Pencarian

My Name Red 5

My Name Is Red Karya Orhan Pamuk Bagian 5


Sang empu miniaturis yang telah menciptakanku dengan segudang rasa sesal kini
berkeliaran tak tentu arah di jalanan setiap malam. Seperti para empu Cina, ia
yakin akan menjadi sesuatu yang telah dilukisnya.[]
Bab 25 PEREMPUANPEREMPUAN dari daerah Menara-merah dan Kucinghitam telah memesan kain-
kain perca ungu dan merah dari kota Bilejik. Maka, pagi-pagi sekali kantung
barangku yang besar kuisi penuh dan kuikat menjadi sebuah bundelan. Aku
mengeluarkan kain sutra Cina hijau yang baru datang dari jauh dibawa oleh
saudagar Portugis, namun tak terjual, kugantikan dengan sutra berwarna biru yang
lebih mencolok. Untuk memeriahkan butiran salju di musim dingin tak berujung
ini, dengan cermat kulipat banyak sekali kaus kaki berwarnawarni, selendang
selendang tebal dan rompi berat yang semuanya terbuat dari kain wol. Aku
mengepak mereka di tengahtengah buntalan. Ketika kubentangkan selimutku nanti,
sebundel warna akan merekah bagai bunga warnawarni, membuat hati perempuan
paling tak peduli sekalipun menjadi berbunga-bunga. Kemudian, aku mengepak
beberapa bahan yang agak ringan, tetapi mahal; saputangan-saputangan sutra,
dompet dan kain mandi berbordir, khusus bagi para perempuan yang memanggilku
bukan untuk membeli pakaian, melainkan untuk bergunjing. Aku mengangkat semua
barang bawaanku tersebut. Ya, Tuhan, semua ini terlalu berat untuk kupanggul,
barangbarang ini bias mematahkan tulang punggungku.
aku adalah esther Aku menurunkannya lagi dan membukanya. Saat aku memandangi isinya, dan berusaha
memilih-milih mana yang bisa kutinggalkan, aku mendengarkan ketukan di pintu.
Nesim membukanya dan memanggilku.
Ternyata itu adalah Hayriye si perempuan gundik yang merona dan tersipu. Dia
menggenggam surat di tangannya.
"Shekure yang mengirimkannya," desisnya. Budak ini begitu salah tingkah,
sehingga kau akan berpikir bahwa dialah yang sedang jatuh cinta dan ingin segera
menikah. Dengan sangat serius, kusambar surat itu dari tangannya. Aku memperingatkan si
tolol itu untuk pulang ke rumah tanpa diketahui oleh siapa pun, dan dia pun
berlalu. Nesim menyorotkan pandangan bertanya ke arahku. Aku mengambil buntalan
terbesar yang menjadi buntalan samaran, tetapi juga teringan, ini adalah
buntalan yang biasa kubawa saat aku mengirimkan suratsurat.
"Shekure, anak perempuan Tuan Enishte, sedang terbakar api asmara," ujarku.
"Gadis malang itu telah menjernihkan pikirannya."
Aku terkekeh dan berjalan keluar, tetapi kemudian aku terhenyak oleh perasaan
malu. Jika kebenaran harus diungkapkan, aku ingin sekali mencucurkan air mata
untuk kepedihan Shekure, daripada memuluskan jalan kasihnya. Betapa cantiknya
perempuan itu, gadisku yang bermata gelap dan muram!
Aku tidak pernah berjalan secepat ini melewati rumahrumah bobrok di daerah
pemukiman Yahudi kami yang tampak lebih sunyi dan lebih menyedihkan ditelan
dinginnya pagi. Beberapa lama kemudian, ketika aku menangkap bayangan pengemis
buta yang selalu mangkal di sudut jalan rumah Hasan, aku berteriak sekencangkencangnya, "Pakaian!"
"Nenek sihir gendut," ujarnya. "Andai kau tidak berteriak sekalipun, aku tetap
akan mengetahui kedatanganmu dari langkah-langkah kakimu."
"Kau si buta tak berguna," sahutku. "Kau orang Tatar sial! Orangorang buta
sepertimu akan dicambuk atas izin Allah. Semoga Allah memberimu hukuman yang
setimpal." Di masa lalu, pembicaraan seperti itu tak akan membuatku berang. Aku tidak akan
menganggap serius hal-hal seperti itu. Ayah Hasan membuka pintu. Ia adalah
seorang Abkhazia, seorang lelaki terhormat dan santun.
"Mari kita lihat, apakah yang kaubawa kali ini?" tanyanya.
"Apakah anak laki-lakimu yang malas itu masih terlelap?"
"Bagaimana mungkin ia bisa terlelap" Ia sedang menunggu, menantikan kabar
darimu." Rumah ini begitu gelap, sehingga setiap kali aku datang, aku merasa seakanakan
sedang memasuki sebuah liang kubur. Shekure tidak pernah bertanya apa saja yang
mereka kerjakan, tetapi aku selalu menjelaskan secara rinci tentang tempat
tersebut agar dia tidak terpikir untuk kembali ke ruang bawah tanah ini. Sulit
sekali membayangkan Shekure yang jelita pernah menjadi nyonya di rumah ini dan
tinggal di sini bersama putraputranya yang nakal itu. Di dalam rumah tercium
aroma tidur dan kematian. Aku masuk ke ruangan sebelah, melangkah lebih jauh ke
dalam kegelapan yang pekat.
Kau tidak bisa melihat tanganmu sendiri di depan wajahmu. Aku bahkan tidak
mendapat kesempatan untuk
memberikan surat itu langsung pada Hasan. Ia muncul dari balik kegelapan dan
menyambar surat itu dari tanganku. Seperti yang selalu kulakukan, aku
meninggalkannya sendirian untuk membaca surat itu dan memuaskan
keingintahuannya. Tak lama kemudian ia mengangkat kepalanya dari halaman surat
itu. "Tidak adakah hal lainnya?" desaknya. Ia tahu tak ada kabar lain lagi. "Ini
sebuah pesan singkat," ujarnya dan membacanya:
Hitam Effendi, kau sudah mengunjungi rumah kami, dan menghabiskan waktu
berharihari di sini. Namun, kudengar kau masih juga belum menulis sebaris
kalimat pun untuk buku ayahku. Jangan berharap banyak tanpa menuntaskan terlebih
dahulu manuskrip itu. Dengan surat di tangan, ia menatap dengan sorot mata menuduh ke dalam mataku,
seakanakan semua itu adalah kesalahanku. Aku tidak menyukai keheningan seperti
ini di dalam rumah ini. "Tidak ada lagi katakata yang menyatakan bahwa ia sudah menikah dan suaminya
akan kembali dari medan perang," serunya.
"Mengapa?" "Bagaimana aku tahu?" balasku. "Bukan aku yang menulis surat itu."
"Kadangkadang aku malah mempertanyakan hal itu," tuduhnya sambil menyerahkan
kembali surat tersebut dengan lima belas keping uang perak.
"Sebagian orang menjadi semakin pelit kala mereka mendapat lebih banyak. Kau
tidak seperti itu," ucapku.
Ada satu sisi yang menawan dalam diri lakilaki ini, sehingga di luar semua sisi
gelap dan sifat jahatnya,
orang bias melihat mengapa Shekure masih saja bersedia menerima suratsuratnya.
"Apa isi buku ayah Shekure itu?"
"Kautahu, mereka bilang Sultan mendanai keseluruhan proyek itu."
"Para miniaturis saling bunuh garagara lukisanlukisan dalam buku itu,"
ungkapnya. "Apakah hal itu terjadi karena uang, atau karena buku itu melecehkan
agama kita" Mereka bilang, sekali saja melihat isi halaman-halamannya, sudah
cukup untuk membuat kita buta."
Ia mengatakan semuanya dengan tersenyum, seolaholah ia tahu bahwa aku tidak akan
menganggap serius perkataannya. Bahkan, andai itu adalah masalah yang harus
dimasukkan ke dalam hati, menurutnya aku tak akan menganggap serius masalah itu.
Seperti sebagian besar lakilaki yang mengandalkan jasaku sebagai pengirim surat
dan perantara, Hasan akan menyerangku secara lisan ketika harga dirinya terluka.
Sementara aku, sebagai bagian dari pekerjaanku, akan berpurapura amat
tersinggung untuk menyenangkannya. Para gadis, sebaliknya, mereka akan memelukku
dan menangis tersedu-sedu ketika perasaan mereka terluka.
"Kau seorang perempuan pintar," puji Hasan untuk menenteramkan harga diriku yang
menurutnya sudah ia lukai. "Kirimkan ini secepat mungkin. Aku ingin tahu jawaban
si bodoh itu." Sejenak aku merasa ingin berkata, "Hitam bukan orang bodoh." Dalam situasi
seperti itu, membuat sepasang orang yang bersaing saling cemburu akan
menghasilkan lebih banyak uang bagi Esther si mak comblang. Namun, aku takut ia
akan meledak tibatiba, "Kaukenal pengemis Tatar di ujung jalan ini?" tanyaku. "Yang satu itu sangat
kasar." Untuk menghindari lakilaki buta itu, aku berjalan menyusuri jalan lain, dan
karenanya aku jadi melewati Pasar Ayam lebih pagi. Mengapa orangorang muslim
tidak makan kepala dan kaki ayam" Karena kepala dan kaki ayam itu menjijikkan!
Nenekku, semoga beliau beristirahat dalam damai di alam baka, menceritakan
padaku betapa kaki ayam amat murah harganya ketika keluarganya tiba di sini dari
Portugal, sehingga dia akan merebusnya untuk dimakan.
Di Kemeraralik, aku melihat seorang perempuan berkuda dengan budaknya, duduk
tegak di atas punggung kuda seperti seorang lakilaki. Dia tampak sangat sombong,
mungkin dia adalah istri seorang pasha yang kaya raya atau anak perempuannya.
Aku menghela napas. Andai ayah Shekure tidak terlalu mencurahkan hidupnya
sepenuhnya pada buku, andai suami Shekure telah kembali dari perang Safawiyah
dengan semua harta rampasan perangnya, Shekure mungkin akan hidup seperti
perempuan sombong ini. Lebih dari siapa pun, Shekure pantas mendapatkannya.
Saat aku kembali ke jalan menuju rumah Hitam, jantungku berdegup kencang. Apakah
aku menginginkan Shekure menikahi lakilaki ini" Aku sudah berhasil menjaga
hubungan Shekure dengan Hasan, sekaligus membuat mereka berdua tetap terpisah.
Namun, bagaimana dengan si Hitam ini" Ia seakanakan menjejakkan kedua kakinya di
atas bumi ini dalam segala hal, kecuali mengenai cintanya pada Shekure,
"Pakaian!" Tidak ada yang ingin kugadaikan demi kesenangan
mengirimkan surat pada pasangan-pasangan kekasih yang dibingungkan oleh
kesunyian hatinya, atau karena tidak adanya suami atau istri. Bahkan jika mereka
sudah yakin akan mendapatkan kabar yang paling buruk sekalipun, ketika mereka
baru akan membaca surat tersebut, sebuah getaran penuh harap mendera mereka.
Tanpa kuceritakan apa pun tentang kembalinya suaminya, dengan mengikatnya dengan
peringatan "Jangan berharap terlalu banyak" saja, Shekure tentu sudah memberi
Hitam lebih dari sekadar alasan untuk berharap. Dengan suka hati, aku memandangi
Hitam membaca surat itu. Ia begitu berbahagia hingga ia terguncang, bahkan
ketakutan. Saat ia menulis surat balasan, sebagai seorang penjaja pakaian yang
peka, aku membuka buntalan barang dagangan "samaran"-ku dan dari dalamnya aku
mengambil sebuah dompet berwarna gelap yang akan kutawarkan pada nyonya pemilik
rumah Hitam yang selalu ingin tahu urusan orang itu.
"Dompet ini terbuat dari beludru Persia terbaik," bujukku.
"Putraku meninggal dunia di medan perang di Persia," sahutnya. "Surat siapa yang
kaukirimkan pada Hitam?"
Aku bisa membaca dari wajahnya bahwa dia sedang berencana menjodohkan anak
perempuannya sendiri yang kurus kering itu, atau entah anak perempuan siapa,
dengan si Hitam berhati singa ini. "Bukan dari siapa-siapa," jawabku. "Salah
seorang kerabatnya yang miskin sedang sekarat di rumah sakit Bayrampasha dan
membutuhkan uang." "Ya, ampun," serunya tak teryakinkan, "siapakah lakilaki malang itu?"
"Bagaimana putramu tewas di medan peperangan?"tanyaku tanpa menjawab
pertanyaannya. Kami mulai bertukar pandangan sinis. Dia seorang janda dan sendirian, Hidupnya
pasti sangat sulit. Jika kau pernah menjadi seorang penjaja pakaian dan pengirim
pesan seperti Esther, kau akan tahu bahwa hanya kekayaan, kekuasaan, dan kisah
cinta legendaris yang memancing keingintahuan orang. Hal-hal lainnya hanyalah
kecemasan, perpisahan, kecemburuan, kesendirian, kekejaman, curahan air mata,
gunjingan, dan kemiskinan tiada akhir. Beberapa hal tidak pernah berubah,
seperti perabotan yang menghiasi sebuah rumah: sehelai permadani tua yang sudah
memudar, seperangkat mangkuk sup, dan sebuah panci tembaga kecil yang diletakkan
di atas sehelai kain untuk memanggang yang kosong, penjepit dan sebuah kotak abu
yang disimpan di samping tungku, dua buah peti lapuk satu kecil, satu ?besar dan sebuah gantungan turban bisa terus menjaga kehidupan sunyi seorang
? janda, dan sebilah pedang tua untuk menakut-nakuti pencuri.
Hitam segera kembali dengan dompet uangnya. "Perempuan penjaja pakaian," ujarnya
dengan suara nyaring agar didengar si nyonya rumah yang suka ikut campur itu,
"ambil ini dan bawalah kepada pasien kita yang menderita itu. Jika ia sudah
mempunyai balasannya untukku, aku akan menantikannya. Kau bisa menemuiku di
rumah Tuan Enishte, tempat aku akan menghabiskan waktu sepanjang hari."
Semua permainan ini sebenarnya tidak perlu dilakukan. Tak ada alasan bagi
seorang lelaki tangguh seperti Hitam menyembunyikan siasat asmaranya, isyarat
yang diterimanya, atau saputangan dan surat yang dikirimkannya untuk mengejar
seorang perempuan. Atau sesungguhnya ia mengincar anak perempuan si nyonya rumah" Kadang kala, aku
benarbenar tidak memercayai Hitam dan merasa takut ia sedang memperdaya Shekure.
Bagaimana mungkin, meski ia menghabiskan waktu sepanjang hari dengan Shekure di
rumah yang sama, ia tidak mampu memberikan tanda apa pun pada perempuan itu"
Begitu aku sudah berada di luar, aku membuka dompet itu. Isinya dua belas keping
perak dan sepucuk surat. Aku sangat penasaran mengenai isi surat itu, sehingga
aku nyaris berlari ke rumah Hasan. Para penjual sayuran telah memajang kubis,
wortel, dan semua jenis sayuran di depan kedaikedai mereka. Namun, aku bahkan
tidak terpikir untuk menyentuh daun-daun bawang gemuk yang ditawarkan padaku
itu, sekadar untuk menyenangkan mereka sekalipun.
Aku berbelok memasuki jalan samping dan melihat si Tatar buta itu ada di sana
menunggu untuk bisa mencemoohku lagi. "Cuih," aku meludah ke arahnya. Hanya itu
yang kulakukan. Mengapa hawa dingin menusuk ini tidak membekukan gelandangan itu
sampai mati" Ketika Hasan membaca surat itu dengan berdiam diri, aku tidak mampu
mengendalikan kesabaranku. Akhirnya, karena tak tahan, tibatiba saja aku berkata
"Ya?" dan ia pun mulai membaca dengan suara keras:
Shekureku tersayang, kau ingin aku menyelesaikan buku ayahmu. Kau bias
memastikan aku tidak memiliki tujuan lain lagi. Aku mendatangi rumahmu untuk
alasan ini, bukan untuk mengganggumu seperti yang semula kauduga. Aku cukup
mengerti bahwa rasa cintaku padamu adalah masalahku sendiri. Meski demikian,
karena cintaku ini, aku tidak cukup mampu mengangkat
penaku dan menuliskan apa yang ayahmu pamanku tersayang minta padaku untuk ? ?bukunya. Setiap kali kurasakan keberadaanmu di rumah itu, aku melayang dan tak
mampu memusatkan perhatian pada ayahmu. Aku terbuai memikirkannya, dan untuk itu
hanya ada satu alasan: Setelah dua belas tahun, aku hanya sempat sekali saja
melihat wajahmu, saat kau memperlihatkan dirimu di jendela itu. Kini, aku merasa
takut kehilangan pemandangan itu. Andai aku bisa sekali lagi saja melihat
wajahmu dari dekat, aku tidak akan lagi merasa takut kehilangan dirimu, dan aku
bisa dengan mudah menyelesaikan buku ayahmu. Kemarin, Shevket membawaku ke
sebuah rumah kosong milik keluarga Yahudi yang dihukum gantung. Tak ada seorang
pun yang melihat kami di sana. Hari ini, kapan pun kau punya waktu, aku akan
pergi ke tempat itu dan menunggumu. Kemarin, Shevket menceritakan padaku bahwa
kau bermimpi suamimu telah meninggal dunia.
Hasan membaca surat itu dengan nada mencemooh, pada beberapa kalimat ia
meninggikan suaranya yang sudah dalam nada tinggi seperti suara seorang
perempuan, dan beberapa kali suaranya bergetar bagai seorang kekasih yang
frustasi dan hilang akal. Ia merendahkan apa yang ditulis Hitam sebagai
keinginannya "untuk melihatmu sekali lagi saja" dalam bahasa Persia. Ia
menambahkan, "Begitu Hitam melihat Shekure memberinya harapan, ia akan segera
membuat penawaran. Siasat semacam itu tidak mungkin dilakukan oleh seorang
kekasih sejati." "Ia sungguhsungguh kasmaran pada Shekure," tukasku dengan naif.
"Komentar itu membuktikan bahwa kau berada di pihak Hitam," sahutnya. "Jika
Shekure menulis dia bermimpi kakakku sudah mati, artinya dia menerima kematian
suaminya." "Tapi itu hanya mimpi," sahutku seperti orang tolol.
"Aku tahu sepandai dan secerdik apa Shevket. Kami pernah tinggal bersama selama
bertahuntahun! Tanpa izin dan dukungan ibunya, ia tidak akan pernah membawa
Hitam ke rumah Yahudi yang digantung itu. Jika Shekure berpikir bahwa dia sudah
selesai dengan kakakku dengan kami dia sungguh keliru! Kakakku masih hidup dan? ?ia akan kembali dari medan perang."
Sebelum ia sempat membuat kesimpulan, ia masuk ke kamar sebelah, di mana ia
bermaksud untuk menyalakan sebatang lilin, tetapi malah membakar tangannya
sendiri. Ia melolong kesakitan. Lalu sambil menjilati bagian tangannya yang
terbakar, ia berhasil juga menyalakan sebatang lilin dan meletakkannya di
samping sebuah meja kerja lipat. Ia mengeluarkan pena buluh dari wadahnya,
membenamkannya ke dalam wadah tinta, dan dengan marah mulai menuliskan sesuatu
di atas secarik kertas kecil. Aku merasa ia senang melihatku mengamatinya
menulis, dan untuk menunjukkan bahwa aku tidak takut, aku tersenyum lebar.
"Kau pasti tahu, siapa Yahudi yang digantung ini?" tanyanya.
"Di seberang komplek perumahan ini ada sebuah bangunan bercat kuning. Orang
bilang namanya Moshe Hamon, dokter kesayangan Sultan yang terdahulu, dan juga
dokter bagi orangorang kaya. Selama bertahuntahun ia menyembunyikan istri
simpanannnya dari Amasya yang orang Yahudi, beserta adik lelakinya. Bertahun
tahun yang lalu di Amasya, di malam Passover*,
"Hati raya kaum Yahudi yang berlangsung tujuh hari tujuh malam, dimulai pada
hari ke-14 bulan Nisan (bulan ketujuh dalam kalender bangsa Yahudi, disebut juga
ketika seorang pemuda Yunani dinyatakan 'hilang' di perkampungan Yahudi, orang
lantas menuduh pemuda itu telah dicekik agar roti tanpa ragi bisa dibuat dari
darahnya. Saat para saksi palsu dihadapkan, hukuman mati terhadap kaum Yahudi
dimulai. Namun, dokter kesayangan Sultan membantu menyelamatkan perempuan Yahudi


My Name Is Red Karya Orhan Pamuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cantik itu dan adiknya, lalu menyembunyikan mereka atas seizin Sultan. Setelah
Sultan wafat, musuhmusuh Sultan tidak bisa menemukan si perempuan cantik, tetapi
mereka berhasil menggantung adiknya yang ternyata tinggal di tempat itu
sendirian." "Jika Shekure tidak menunggu kakakku kembali dari medan perang, mereka akan
menghukumnya," tegas Hasan, sambil menyerahkan surat itu padaku.
Tidak ada kemarahan atau kekesalan yang tampak di wajahnya, hanya gurat kesialan
dan kepedihan yang muncul dari cinta yang terluka. Tibatiba saja aku melihat di
matanya betapa cinta telah membuatnya cepat menua. Uang yang dihasilkannya
dengan bekerja di bea cukai sama sekali tidak mempertahankan kemudaannya.
Setelah melihat seringai jahat dan ancamannya, mulai terbersit dalam diriku
bahwa ia mungkin akan bertanya lagi padaku bagaimana cara memenangkan hati
Shekure. Namun, ia telah makin dekat pada kejahatan, hingga ia tidak lagi
bertanya. Begitu seseorang menerima kehadiran iblis dalam dirinya dan cinta
?yang ditolak adalah alasan utama untuk melakukannya kekejian akan menyeruak
?begitu saja. Aku jadi takut dengan semua pikiranpikiranku dan bayangan pedang
merah mengerikan yang dibicarakan oleh anakanak lelaki itu yang akan melukai
siapa pun yang menyentuhnya. Aku ingin segera
bulan Aviv^ untuk memperingati eksodus orangorang Yahudi dari penahanan mereka
di Mesir pada zaman Nabi Musa
meninggalkan tempat itu. Dengan pikiran yang nyaris gila, aku tergopoh-gopoh
keluar. Aku menjadi korban tak berdosa kutukan si pengemis Tatar itu. Namun, aku segera
memulihkan diriku sendiri. Perlahanlahan aku menjatuhkan sebongkah batu kecil
yang kuambil dari tanah ke saputangan pengemis itu, dan berkata, "Untukmu, Tatar
buduk." Tanpa tertawa, aku melihat tangannya menggapai penuh harap ke arah batu yang ia
kira kepingan uang. Lalu dengan mengabaikan sumpah serapahnya, aku melangkah
mantap menuju "anak perempuan"-ku yang akan kunikahkan dengan seorang suami yang
baik. "Putriku" yang manis itu menyajikan sepotong kue bayam yang sebetulnya merupakan
sisa-sisa, tetapi masih terasa renyah. Untuk makan siang dia menyiapkan daging
domba rebus campur saus dan telur cacah, dibumbui prem masam, seperti yang
kusuka. Agar tidak mengecewakannya, aku menyantap dua sendok besar hidangan itu
dengan roti segar. Dia juga membuatkan campuran lezat manisan anggur. Tanpa ragu
lagi, aku meminta sesendok makan penuh selai kelopak mawar yang kemudian kuaduk
rata di dalam manisan anggur, sebelum kububuhkan di atas makananku. Setelah itu,
aku pergi untuk mengantarkan surat kepada Shekureku yang murung. []
Bab 26 - AKU, SHEKURE i AKU TEMGAH melipat dan menaruh pakaian yang ; sudah dicuci dan digantung
sampai kering kemarin, ketika Hayriye berseru bahwa Esther I datang ... atau, ?inilah yang ingin kuceritakan padamu. Namun, mengapa aku harus berdusta"
Baiklah, sesungguhnya ketika Esther datang, aku sedang mengintip ayahku dan
Hitam lewat lubang di lemari. Dengan penasaran aku menunggu surat dari Hasan dan
Hitam, oleh karena itu benakku memang selalu memikirkan Esther. Saat kusadari
bahwa ketakutan ayahku terhadap kematian itu cukup beralasan, aku juga tahu
bahwa ketertarikan Hitam padaku tidak selamanya. Ia kasmaran sepanjang ia
menginginkan pernikahan, dan karena ia ingin menikah, dengan mudah ia jatuh
cinta. Andai bukan terhadapku, ia tetap akan mencintai perempuan lain. Andai
bukan aku, ia akan menikahi perempuan lainnya, dan berupaya jatuh cinta pada
perempuan tersebut. Di dapur, Hayriye mendudukan Esther di salah satu sudut dan memberikannya
segelas air mawar dingin, sambil menyorotkan pandangan bersalah ke arahku.
Kusadari, sejak Hayriye menjadi gundik ayahku, dia mungkin telah melaporkan pada
ayah semua yang tela dilihatnya. Aku takut hal ini akan menjadi masalah.
"Gadisku yang bermata hitam, si jelita yang bernasib
buruk, yang paling cantik di antara yang cantik, aku terlambat karena Nesim,
suamiku yang babi itu menyibukkanku dengan segala macam hal tak berguna,"
celoteh Esther. "Kau tidak memiliki seorang suami yang mempersulit hidupmu, dan
kuharap kau menyadari nilainya."
Dia mengeluarkan suratsurat itu. Aku menyambarnya dengan cepat dari tangannya.
Hayriye mundur ke salah satu sudut dapur, tempat dia tidak akan mengganggu kami,
tetapi masih bias mendengar semua yang kami bicarakan. Agar Esther tidak bias
melihat ekspresi wajahku, aku memunggunginya, dan membaca surat Hitam terlebih
dahulu. Saat aku memikirkan rumah Yahudi yang digantung itu, sejenak aku
menggigil. "Jangan takut, Shekure, kau bisa mengendalikan situasinya," kukatakan
itu pada diriku sendiri, dan mulai membaca surat Hasan. Tampaknya ia sedang
murka saat menuliskannya:
Shekure, aku terbakar gairah, meski kutahu kau sama sekali tidak memikirkannya.
Dalam mimpiku, aku melihat diriku mengejarmu melintasi padang pasir hingga ke
puncakpuncak bukit. Setiap kali kau membiarkan salah satu suratku yang kutahu
?sudah kaubaca tanpa membalasnya, sebatang anak panah menembus jantungku. Aku
?menuliskan ini dengan harapan kali ini kau akan membalasnya. Katakata sudah
terucap, semua orang membicarakannya, bahkan anakanakmu mengatakannya: kau sudah
memimpi kan suamimu tewas, dan kini kau menyatakan dirimu bebas tak terikat. Tak
bias kukatakan apakah itu benar atau salah. Yang kutahu kau masih menikah dengan
kakakku, dan terikat dengan keluarga ini. Kini ayahku memihakku dan kami berdua
akan menghadap hakim untuk mengembalikanmu ke rumah ini. Kami akan datang
dengan sekelompok orang yang kami kumpulkan untuk memperingatkan ayahmu. Siapkan
barang-barangmu, kau akan pulang kembali ke rumah ini. Kirimkan balasanmu lewat
Esther secepat mungkin. Usai membaca surat itu untuk kedua kalinya, aku menguatkan diri dan memandangi
Esther dengan sorot mata bertanyatanya, tetapi dia tidak memberitahukan hal-hal
baru tentang Hasan atau Hitam padaku.
Aku mengeluarkan pena buluh yang kusembunyikan di sebuah sudut dapur, meletakkan
selembar kertas di atas papan alas untuk membuat roti, dan bersiap menuliskan
sepucuk surat untuk Hitam, saat kemudian aku terpaku.
Sesuatu terbersit dalam benakku. Aku menoleh ke arah Esther; Dia sedang asyik
menikmati air mawar dingin dengan keriangan seorang anak kecil, hingga tampak
menggelikan bagiku bahwa dia bisa saja menyadari apa yang sedang berkecamuk
dalam benakku. "Lihatlah betapa cantiknya kala kau tersenyum, sayang," ujarnya. "Jangan cemas,
pada akhirnya semuanya akan baikbaik saja. Istanbul penuh sesak oleh lakilaki
kaya dan para pasha yang rela menyerahkan jiwa mereka untuk bisa menikah dengan
seorang perempuan cantik yang memiliki begitu banyak bakat seperti dirimu."
Kau mengerti apa yang sedang kubicarakan: Kadang kala kau hendak mengatakan
sesuatu yang kauyakini, tetapi kemudian kau mempertanyakannya kembali sebelum
katakata itu tuntas terucap dari mulutmu, "Mengapa aku mengatakannya dengan
setengah hati, meskipun sudah kupastikan berulangulang?" Itulah yang terjadi
ketika aku mengatakan hal berikut ini, "Tapi Esther, demi Tuhan, siapa yang mau
menikahi seorang janda beranak dua?"
"Seorang janda sepertimu" Banyak sekali, ada
serombongan lelaki yang mau," sahutnya, sambil menerjemahkan kalimatnya dengan
gerakan tangan. Aku menatap ke dalam bola matanya, memikirkan bahwa aku tidak menyukainya. Aku
merasa membeku, karena dia tahu aku tak akan memberikan padanya sepucuk surat,
dan bahkan akan lebih baik kalau dia pergi saja. Setelah Esther pergi, aku
mengurung diri di sudut pribadiku di rumah itu, meski aku merasakan
kesunyian bagaimana aku mengatakannya dalam jiwaku.? ?Sambil bersandar ke dinding selama beberapa waktu, aku berdiri diam ditelan
kegelapan. Aku merenungi apa yang harus kulakukan, memikirkan rasa takut yang
semakin besar menjalari tubuhku, Sementara itu, aku bisa mendengar Shevket dan
Orhan sedang saling berceloteh di lantai atas.
"Kau lemah seperti anak perempuan,"ujar Shevket. "Kau hanya bisa menyerang dari
belakang." "Gigiku copot," seru Orhan.
Pada saat yang sama, bagian lain pikiranku sedang memusatkan diri pada apa yang
terjadi antara ayahku dan Hitam. Pintu biru bengkel kerja terbuka, dan aku bisa
dengan mudah mendengarkan pembicaraan mereka. Ayahku berkata, "Setelah melihat
lukisan potret karya para empu Venesia, kita menyadari dengan sejuta ketakutan
bahwa, dalam lukisan, mata tidak bias lagi menjadi sebentuk lubang di wajah yang
selalu sama, melainkan harus menyerupai mata kita sendiri yang memantulkan
cahaya bagai sebuah cermin dan menyerap sinar bagai sebuah sumur. Bibir tidak
bisa lagi hanya berupa celah di tengah wajah dan datar seperti kertas, melainkan
harus terlihat padat berisi ekspresi masingmasing dengan bayangan merah yang?berbeda yang sepenuhnya menggambarkan kegembiraan, kesedihan, dan semangat
?kita, lewat gerakan paling samar otot yang tegang atau santai. Hidung kita tidak
bisa lagi hanya berupa dinding yang membelah wajah, melainkan harus hidup dan
menjadi bagian tubuh yang menunjukkan keingintahuan, dengan bentuk masingmasing
yang unik." Apakah Hitam terkejut seperti aku, saat ayahku menyebut orangorang kafir yang
telah dilukis wajahnya itu sebagai "kita?" Saat aku melihat ke dalam lubang
tempat aku mengintip, aku menemukan wajah Hitam menjadi sangat pucat, hingga
beberapa saat aku merasa cemas. Kekasihku yang berkulit gelap, pahlawanku yang
sedang gundah, apakah kau mampu terlelap memikirkanku sepanjang malam" Itukah
sebabnya rona menghilang dari wajahmu"
Mungkin kau tak tahu bahwa Hitam adalah seorang lelaki tampan yang tinggi dan
ramping, Ia memiliki jidat yang lebar, sepasang mata berbentuk buah badam, serta
batang hidung yang kuat, lurus dan bagus. Seperti saat masih kanakkanak,
tangannya panjang dan kurus, dan jemarinya lincah. Tubuhnya ramping tapi liat,
dengan sepasang bahu yang lebar, meski tidak selebar para pengangkut air. Ketika
ia masih remaja, tubuh dan wajahnya masih belum terbentuk. Dua belas tahun
kemudian, ketika untuk pertama kalinya aku melihat lagi sosoknya yang berkulit
gelap, aku langsung melihat betapa ia telah mencapai kesempurnaan.
Kini, saat aku memicingkan mataku ke lubang intip di lemari dinding itu, aku
melihat wajahnya membiaskan kecemasan yang sedang menderanya. Aku merasa
bersalah sekaligus bangga, karena ia menderita akibat
memikirkanku. Hitam menyimak apa yang dikatakan ayahku, sambil menatap
ilustrasiilustrasi yang dibuat untuk buku itu dengan pandangan polos bagaikan
seorang anak kecil. Barulah kemudian, ketika aku melihat ia akan membuka
mulutnya yang merah jambu seperti anak kecil, tak kuduga aku merasa seperti
ingin menyumpalkan payudaraku ke dalam mulutnya. Dengan jemariku merayap di
belakang lehernya, bermainmain dengan rambutnya, Hitam akan meletakkan kepalanya
di antara sepasang buah dadaku. Seperti yang pernah dilakukan anakanakku, ia
akan membeliakkan bola matanya ke atas karena rasa nikmat saat ia mengisap
putting susuku: Setelah memahami bahwa hanya lewat kasih sayangku saja ia akan
menemukan kedamaian, ia akan sepenuhnya terikat padaku.
Aku bernapas terengahengah dan membayangkan Hitam terpukau melihat ukuran
payudaraku yang besar dengan takjub dan penuh gairah daripada mempelajari
?lukisan Iblis yang saat itu sedang ditunjukkan oleh ayahku padanya. Bukan hanya
payudaraku, seakan akan mabuk ia juga akan memandangi rambutku, leherku, dan
sekujur tubuhku. Ia begitu tertarik padaku, hingga ia akan merayuku, sesuatu
yang tak bisa dilakukannya saat masih seorang pemuda. Dari pandangan matanya,
aku menyadari betapa ia mengagumi sikap angkuhku, perilakuku, carak membawa
diri, kesabaran dan ketegaranku dalam menanti suamiku, dan keindahan surat yang
kutulis untuknya. Aku merasa marah pada ayahku yang telah merancang segalanya sedemikian rupa
sehingga aku tidak bisa menikah lagi. Aku juga merasa muak dengan semua
ilustrasi yang ditiru para miniaturis suruhannya dari karya
empu-empu Frank, dan aku sebal dengan kenangan kenangannya tentang Venesia.
Saat aku mengatupkan kelopak mataku lagi Allah, ini bukan keinginanku sendiri
?terbayang olehku Hitam telah mendekatiku dengan sedemikian indah, hingga di
tengah kegelapan aku bias merasakannya di sampingku. Tibatiba saja, aku merasa
ia mendatangiku dari arah belakang. Ia menciumi belakang leherku, bagian
belakang telingaku, dan bias kurasakan betapa kuatnya ia. Ia begitu kokoh, besar
dan keras, dan aku bisa bersandar di tubuhnya. Aku merasa begitu aman. Tengkukku
meremang, putingputing payudaraku menegang. Sepertinya di tengah kegelapan itu,
dengan kedua mata terkatup, aku bias merasakan organ tubuhnya yang membesar di
belakangku, menempel ke tubuhku. Kepalaku berputar. Posisi apa yang disukai
Hitam" Aku bertanyatanya.
Sesekali dalam mimpiku, suamiku dengan penderitaannya menunjukkan zakarnya
padaku. Aku sadar bahwa suamiku sedang berjuang mempertahankan setiap tetes
darah di tubuhnya yang telah ditembus tombak dan dipenuhi anakanak panah pasukan
Persia, mencoba berjalan tegak mendekatiku. Namun sialnya, ada sebuah sungai di
antara kami. Saat ia memanggilmanggilku dari seberang sungai dengan berlumuran
darah dan tampak amat kesakitan, kuperhatikan bahwa ia mengalami ereksi. Jika
benar yang dikatakan oleh pengantin Georgia di pemandian umum dan celoteh
perempuanperempuan tua yang binal itu, "Ya, benda itu bisa membesar sampai
sebesar itu," maka kelamin suamiku tidak terlalu besar. Jika milik Hitam lebih
besar, jika benda besar yang kusaksikan di balik sabuknya ketika ia meraih
kertas kosong yang kukirimkan lewat Shevket kemarin itu
memang benarbenar batang zakarnya dan sepertinya memang demikian aku takut ? ?nanti akan merasa kesakitan, bila benda itu masuk ke kelaminku. "Ibu, Shevket
mengejekku," Aku meninggalkan sudut gelap di lemari dinding itu dan diamdiam melintas masuk
ke ruangan di seberang lorong tempat aku mengambil sebuah rompi katun merah dari
peti dan mengenakannya. Mereka membentangkan kasur alas tidurku dan terus
berteriak-teriak sambil bermainmain di atasnya.
"Bukankah sudah Ibu peringatkan, setiap kali Hitam dating berkunjung, kalian
tidak boleh saling berteriak?"
"Mengapa Ibu mengenakan rompi merah itu?" tanya Shevket.
"Tapi Ibu, Shevket tadi mengejekku," seru Orhan.
"Bukankah Ibu sudah memberitahumu agar jangan mengejek adikmu" Dan untuk apa
benda ini ada di sini?" di pinggir ruangan tampak sepotong kulit binatang,
"Itu bangkai," sahut Orhan, "Shevket menemukannya di jalanan."
"Cepat ambil dan lemparkan kembali ke tempat kau menemukannya, sekarang!"
"Biar Shevket saja yang melakukannya." "Ibu bilang sekarang!"
Seperti yang biasa kulakukan sebelum memukul pantat mereka, aku menggigit bibir
bawahku menahan marah. Begitu melihat betapa seriusnya aku, mereka segera
berlari ketakutan. Kuharap mereka segera kembali agar tidak terserang demam.
Di antara semua miniaturis, aku paling menyukai Hitam. Ia menyukaiku lebih dari
yang lainnya, dan aku mengerti isi kalbunya. Aku mengambil sebatang pena dan
sehelai kertas. Begitu aku duduk, tanpa berpikir panjang aku menuliskan kalimat berikut
ini: Baiklah kalau begitu, sebelum Azan isya berkumandang, aku akan menemuimu di
rumah orang Yahudi yang digantung itu. Rampungkan buku ayahku secepat mungkin.
Aku tidak membalas surat Hasan. Bahkan jika ia memang sungguhsungguh akan pergi
ke pengadilan hari ini, aku tidak percaya serombongan orang yang dikumpulkan
olehnya dan ayahnya akan segera mengepung rumah ini. Jika ia memang benarbenar
hendak melakukan tindakan seperti itu, ia akan melakukannya tanpa harus menulis sepucuk surat atau menantikan
jawabanku terlebih dahulu. Ia pasti sedang menunggu tanggapanku, dan ketika
surat balasanku itu tidak juga muncul, itu akan membuatnya gila. Jangan kira aku
sama sekali tidak takut padanya. Namun, aku mengandalkan Hitam untuk
melindungiku. Lagi pula, biar kukatakan padamu apa yang terjadi di dalam batinku
saat ini: Aku yakin diriku tidak terlalu takut pada Hasan karena sesungguhnya
aku juga mencintainya. Jika kau keberatan dan berpikir, "Kalau begitu cinta seperti apa ini?" aku punya
pembenaran. Bukan berarti aku tak memerhatikan betapa selama bertahuntahun, di
bawah satu atap, saat kami berdua sama-sama menunggu kepulangan suamiku, betapa
menyedihkan, lemah dan egoisnya lelaki ini. Namun, Esther menceritakan padaku
bahwa kini ia sudah menghasilkan banyak uang dan aku selalu tahu kapan ?perempuan itu berkata jujur, dari alisnya yang terangkat naik. Sejak ia punya
uang, dan dengan kepercayaan dirinya, sosok Hasan yang
suka memaksa itu sudah lenyap, menyingkap keanehan misterius yang menarik
hatiku. Aku menemukan sisi ini pada dirinya lewat suratsuratnya yang dengan
keras kepala terus ia kirimkan padaku.
Hitam dan Hasan sama-sama menderita karena cintanya padaku. Hitam menghilang,
mengelana selama dua belas tahun. Yang satunya, Hasan, mengirimiku surat setiap
hari, dan di sudutsudutnya ia melukis burungburung dan rusa. Pada awalnya aku
takut padanya, tetapi kemudian aku senang membacai suratnya berkali-kali.
Aku juga tahu Hasan selalu ingin tahu tentang semua hal yang berkaitan denganku,
sehingga aku tidak terkejut saat ia tahu aku melihat mayat suamiku di dalam
mimpi. Aku curiga Esther membiarkan Hasan membaca suratsurat yang kukirimkan
pada Hitam. Kau lebih tahu dariku apakah kecurigaanku itu memang sungguh
terjadi. "Di manakah kalian?" tanyaku pada anakanakku untuk mengetahui apakah mereka
sudah kembali. Mereka mengerti aku tidak sungguhsungguh marah. Tanpa bersikap kasar, aku
menarik tubuh Shevket ke samping, ke sudut gelap lemari dinding. Aku
mengangkatnya ke atas pangkuanku, lalu kucium kepalanya dan bagian belakang
lehernya. "Kau kedinginan, sayang," sahutku. "Berikan tanganmu yang indah itu, biar Ibu


My Name Is Red Karya Orhan Pamuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghangatkannya Tangannya bau, tetapi aku tidak berkomentar. Aku menekankan kepalanya ke dadaku,
lalu memeluknya erat-erat dan lama. Sebentar saja ia sudah merasa hangat, merasa
nyaman seperti anak kucing yang merengek manja karena merasa senang.
"Kau sangat mencintai ibumu, bukan?"
"Hhmm ..." "Apakah itu artinya 'ya?"" "Ya."
"Lebih dari siapa pun?" "Ya."
"Kalau begitu aku akan menceritakan sesuatu padamu," ujarku, seolaholah aku akan
membocorkan sebuah rahasia. "Tapi kau jangan mengatakannya pada siapa pun, ya?"
Aku berbisik di telinganya, "Aku mencintaimu lebih dari siapa pun, kautahu itu?"
"Lebih dari Orhan sekalipun?"
"Lebih dari Orhan sekalipun. Orhan masih muda, seperti seekor burung kecil, ia
tidak memahami apa pun. Kau lebih cerdas, kau sudah bisa mengerti." Aku mencium
dan menghirup wangi rambutnya. "Jadi, aku akan memintamu melakukan sesuatu.
Ingatkah ketika kau diamdiam membawakan Hitam segumpal kecil kertas kosong
kemarin" Kau akan melakukan hal yang sama hari ini, ya?"
"Ia adalah orang yang telah membunuh Ayah."
"Apa?" "Ia membunuh ayahku. Ia sendiri yang mengatakannya kemarin di rumah Yahudi yang
digantung itu." "Apa yang dikatakannya?"
'"Aku membunuh ayahmu,' katanya. 'Aku sudah membunuh banyak orang,' katanya."
Tibatiba saja sesuatu terjadi. Shevket meluncur turun dari pangkuanku dan mulai
menangis. Mengapa anak ini menangis" Baiklah, kuakui, aku pasti tak mampu
mengendalikan diriku saat itu, dan aku menamparnya. Aku tidak mau ada siapa pun
yang berpikir bahwa aku kejam. Namun, bagaimana mungkin ia bisa mengatakan
sesuatu yang tak masuk akal tentang seorang lakilaki yang
mungkin akan kunikahi dan itu berarti dengan mempertimbangkan kedua anak ini.?Putraku yang mungil dan tak berayah itu masih saja menangis dan serta-merta
kejadian itu membuatku sangat terpuruk. Aku nyaris mencucurkan air mata. Kami
saling berpelukan. Beberapa kali ia cegukan. Apakah tamparanku tadi pantas
menghasilkan sedemikian banyak air mata" Aku membelai rambutnya.
Semuanya berawal seperti ini: Sehari sebelumnya, seperti yang kauketahui, aku
memberi tahu ayahku selintas bahwa aku bermimpi suamiku telah tewas.
Sesungguhnya, sebagaimana yang sering terjadi selama empat tahun terakhir,
selama suamiku tak kembali dari peperangannya dengan bangsa Persia, mimpi
tentangnya selalu berkelebat, dan juga selalu ada sesosok mayat. Namun, apakah
ia si mayat itu" Ini masih menjadi misteri bagiku,
Mimpi selalu diartikan bermakna sebaliknya. Di Portugal, tempat asal nenek
Esther, mimpi digunakan sebagai alasan untuk membuktikan adanya pertemuan antara
orangorang sesat dengan Iblis dan mereka bercinta. Sebagai contohnya, meski
kerabat jauh Esther menyangkal keyahudian mereka dengan menyatakan "Kami menjadi
Katolik seperti kalian," para penyiksa Jesuit di gerejagereja Portugis tidak mau
percaya, dan tetap menyiksa mereka serta memaksa mereka menjelaskan bangsa jin
dan setan dalam mimpi mereka, seolaholah membebani mereka dengan mimpimimpi yang
tak pernah mereka alami. Lalu mereka akan memaksa orangorang Yahudi itu mengakui
mimpimimpi ini, agar mereka bisa membakar orang orang malang itu di tiang
pancang. Dengan cara ini, mimpi bisa dimanipulasi untuk
menunjukkan bahwa orang berhubungan kelamin dengan iblis, serta untuk menuduh
dan menghukum orangorang Yahudi.
Mimpi baik untuk tiga hal:
ALIF: Kau menginginkan sesuatu, tetapi kau tak bisa memintanya. Maka kau akan
berkata bahwa kau memimpikannya. Dengan demikian, kau bisa meminta apa yang
kauinginkantanpa benarbenar memintanya.
BA : Kauingin menjahili seseorang. Contohnya, kauingin menipu seorang perempuan.
Maka, kau akan mengatakan bahwa perempuan yang seperti ini atau yang seperti itu
melakukan perzinaan, atau pasha yang ini atau yang itu mencuri seguci anggur.
Aku memimpikannya, kau bilang. Dengan cara seperti ini, bahkan jika mereka tidak
memercayaimu sekalipun, pengungkapan adanya perbuatan dosa ini nyaris tidak akan
dilupakan orang. JIM : Kau menginginkan sesuatu, tetapi kau bahkan tidak tahu apa yang
kauinginkan tersebut. Maka, kau akan menceritakan sebuah mimpi yang
membingungkan. Teman-teman atau keluargamu akan segera menerjemahkan mimpi itu
dan memberitahukan padamu apa yang kaubutuhkan atau apa yang bisa mereka lakukan
untukmu. Contohnya, mereka akan berkata: Kau membutuhkan seorang suami, seorang
anak, sebuah rumah .... Kita tidak pernah menceritakan pada orang lain mimpi
kita yang sesungguhnya. Saat mereka berkata bahwa mereka "melihatnya," mereka
hanya menceritakan mimpi yang mereka "mimpikan" di siang hari, dan akan selalu
ada maksud-maksud tertentu di belakangnya. Hanya seorang tolol yang akan
menceritakan mimpi malam harinya sebagaimana yang memang mereka alami. Jika kau
melakukannya, semua orang akan mempermainkanmu dan menerjemahkan mimpi itu
sebagai sebuah firasat buruk. Tak seorang pun akan menganggap serius mimpi yang
sesungguhnya, termasuk mereka yang memimpikannya. Atau, doa akan menunjukkannya
padamu, bukan" Lewat sebuah mimpi yang diceritakan setengah hati, aku mengisyaratkan bahwa
suamiku mungkin saja benarbenar telah mati. Meskipun ayahku pada awalnya tidak
menerimanya sebagai pertanda kebenaran, setelah kembali dari pemakaman tiba tiba
saja ia memercayai bukti dari sebuah mimpi, dan ia pun menyimpulkan bahwa
suamiku memang telah tewas. Maka, semua orang, tidak hanya memercayai bahwa
suamiku, yang seolaholah tidak bisa mati selama empat tahun terakhir ini, telah
mati dalam sebuah mimpi, melainkan juga amat yakin terhadap kematiannya
seakanakan itu telah dinyatakan secara resmi. Saat itulah anakanakku menyadari
bahwa mereka sudah benarbenar tak berayah. Mereka lalu sungguhsungguh berduka.
"Apakah kau pernah bermimpi?" tanyaku pada Shevket.
"Ya," ia menjawab sambil tersenyum. "Ayah tidak pulang lagi ke rumah, dan aku
akhirnya menikahi Ibu."
Hidungnya yang sempit, matanya yang gelap, dan bahunya yang lebar lebih
menyerupai aku daripada ayahnya. Sesekali, aku merasa bersalah karena tidak
mampu mewariskan kepada anakanakku tubuh tinggi ayah
mereka dan dahinya yang lebar.
"Pergilah main pedangpedangan dengan adikmu," "Bolehkah kami menggunakan pedang
tua milik ayah?" "Ya."
Terkadang, aku menatap langit-langit mendengarkan suara pedang anakanak itu
saling beradu, seiring aku berjuang untuk menekan rasa takut dan kecemasan yang
tumbuh dalam diriku. Aku turun ke dapur dan berkata pada Hayriye, "Ayahku sudah
lama sekali minta dibuatkan sup ikan. Mungkin aku harus memintamu pergi ke
pelabuhan Galleon. Mengapa kau tidak mengambil beberapa lembar manisan buah
kering yang disukai Shevket, dan biarkan anakanak menikmatinya."
Ketika Shevket sedang makan di dapur, Orhan dan aku naik ke lantai atas. Aku
menaikkannya ke atas pangkuanku dan mencium lehernya.
"Kau berkeringat," kataku. "Apa yang terjadi?"
"Shevket memukulku dengan pedang merah paman kami."
"Ini memar," seruku, dan kemudian menyentuh luka itu. "Apakah ini sakit" Betapa
Shevket tak berperasaan. Dengarkan apa yang akan kukatakan. Kau sangat cerdas
dan peka, Aku mempunyai satu permintaan padamu. Jika kau mengerjakan apa yang
kuminta, aku akan memberitahukan padamu sebuah rahasia yang tak kukatakan pada
Shevket atau siapa pun."
"Apa rahasianya?"
"Apakah kau melihat secarik kertas ini" Pergilah ke kakekmu, dan tanpa setahu
kakekmu, simpanlah kertas ini di tangan Hitam Effendi. Apakah kau mengerti?"
"Aku mengerti."
"Apakah kau mau melakukannya?"
"Rahasianya apa?"
"Bawakan dulu kertasnya," pintaku. Sekali lagi aku mencium lehernya yang berbau
wangi. Bicara soal wewangian, sudah lama sekali sejak terakhir kali Hayriye
membawa anakanak ini ke pemandian umum. Mereka tidak ke pemandian lagi sejak
cerita Shevket menyebar di antara para perempuan di tempat itu. "Aku akan
mengatakan rahasianya padamu nanti." Aku menciumnya. "Kau sangat cerdas dan
tampan. Shevket anak yang menjengkelkan. Ia bahkan berani mengangkat sebelah
tangannya untuk melawan ibunya."
"Aku tidak akan mengirimkan ini," ucapnya. "Aku takut pada Hitam Effendi. Ia
orang yang membunuh ayahku."
"Shevket yang memberitahumu, bukan?" tanyaku. "Ayo, cepat turun dan katakana
padanya untuk segera datang kemari."
Orhan bisa melihat kemarahan di wajahku. Dengan ketakutan ia meluncur turun dari
pangkuanku dan berlari keluar ruangan. Mungkin ia juga merasa agak senang karena
Shevket terlibat masalah kali ini. Tak lama kemudian, keduanya kembali dengan
pipi merona. Shevket sedang memegang sepotong manisan buah kering dengan satu
tangan dan sebilah pedang di tangan lainnya.
"Kau berkata pada adikmu bahwa Hitam adalah orang yang membunuh ayahmu,"
cecarku. "Aku bahkan tidak ingin kau mengatakan hal sebodoh itu di rumah ini
lagi. Kalian berdua seharusnya menghormati dan menunjukkan kasih sayang pada
Hitam. Apakah kita saling mengerti" Aku tidak akan membiarkan kalian
menghabiskan sisa usia kalian tanpa seorang ayah."
"Aku tidak menginginkan lelaki itu. Aku lebih suka kita kembali ke rumah kita,
tempat Paman Hasan tinggal, dan
menunggu kepulangan ayah," tukas Shevket lancang.
Perkataannya ini membuatku sangat terganggu hingga aku menamparnya. Ia tidak
meletakkan pedangnya. Pedang itu terjatuh dari tangannya.
"Aku menginginkan ayahku sendiri," ujarnya sambil terisak.
Namun, aku menangis lebih keras darinya.
"Kau sudah tidak mempunyai ayah lagi. Ia tidak akan kembali," sahutku di tengah
isak tangisku. "Kalian berdua kini tak berayah, tidakkah kalian memahami hal
itu, bandit kecil." Tangisku semakin menjadi-jadi, sehingga aku cemas mereka
yang ada di dalam rumah akan mendengarnya.
"Kami bukan bandit kecil," sahut Shevket, ia menangis nyaring.
Kami bertiga menangis bersama lumayan nyaring. Menangis melembutkan hatiku, dan
kurasa aku menangis karena kegiatan itu membuatku menjadi lebih baik. Saat
menangis bersama, kami saling berpelukan dan berbaring bersama di atas kasur
gulung. Shevket membenamkan kepalanya di antara buah dadaku, seolaholah ingin
tidur siang. Kadangkadang kami berpelukan sambil berbaring seperti ini, seakan
akan kami saling melekat, tetapi aku bisa merasakan ia tidak sungguhsungguh
tidur. Aku mungkin telah tertidur bersama mereka, kecuali benakku masih
memikirkan apa yang terjadi di lantai bawah. Aku bisa mencium aroma jeruk panas.
Segera saja aku terduduk di kasur dan membuat suarasuara ribut hingga anakanak
itu terbangun. "Turunlah ke bawah, mintalah Hayriye memberi kalian makan."
Aku sendirian di kamar itu. Salju mulai turun di luar
sana. Aku memohon pertolongan Allah. Lalu aku membuka Alquran, dan selepas
membaca surat "Ali Imran" yang menyatakan bahwa mereka yang terbunuh di medan
perang dan mati di jalan Allah akan bergabung di kerajaan Allah, aku pun
menenangkan diri mengingat almarhum suamiku. Apakah ayahku sudah menunjukkan
lukisan potret setengah jadi Sultan kami pada Hitam" Menurut ayahku, lukisan
potret itu bagaikan hidup, sehingga siapa pun yang melihatnya akan memalingkan
pandangannya karena takut, seperti yang terjadi pada siapa pun yang berusaha
memandang langsung mata Sultan kami yang agung.
Aku memanggil Orhan, dan tanpa mengangkat tubuhnya ke atas pangkuanku, aku
mencium keningnya, ubun-ubunnya, lalu kedua pipinya. "Sekarang, kau tidak perlu
takut dan jangan sampai kakekmu melihatnya. Kau akan memberikan kertas ini pada
Hitam. Paham?" "Gigiku longgar, mau copot."
"Saat kau kembali, jika kaumau, aku akan menariknya hingga benarbenar tanggal,"
ujarku. "Kau akan berjalan menyamping ke arahnya. Ia akan bingung tidak tahu
harus melakukan apa, dan ia akan memelukmu. Lalu kau diamdiam memasukkan kertas
ini ke dalam genggaman tangannya. Paham?"
"Aku takut." "Tidak ada yang perlu ditakutkan. Jika bukan Hitam, tahukah kau siapa yang ingin
menjadi ayah kalian" Paman Hasan! Apakah kaumau Paman Hasan menjadi ayah
kalian?" "Tidak." "Baiklah kalau begitu, ayo kita lihat keberanianmu, Orhanku yang tampan dan
cerdas," bujukku. "Jika tidak,
awas kau ... Aku akan sangat marah, dan jika kau menangis, aku bahkan akan semakin
marah." Aku melipat suratku beberapa kali, lalu kujejalkan ke dalam kepalan tangan
mungilnya yang kini terentang dengan putus asa dan enggan. Ya, Allah, bantulah
hambamu agar anakanak tak berayah ini tidak harus menjaga diri mereka sendiri.
Aku mendampinginya hingga ke ambang pintu, sambil memegangi tangannya. Di tepi
pintu ia memandang ke arahku dengan sorot mata takut untuk terakhir kalinya.
Aku mengawasinya lewat lubang intip saat ia melangkah bimbang ke arah sofa,
mendekati ayahku dan Hitam, ia berhenti, dan sejenak tampak raguragu tidak ?yakin apa yang harus ia lakukan. Ia memandangi lubang untuk mencariku. Ia mulai
menangis. Namun, dengan satu upaya terakhir, ia berhasil menyerahkan diri ke
pangkuan Hitam. Hitam, yang cukup pandai untuk mendapatkan haknya sebagai ayah
bagi anakanakku, tidak panik menemukan Orhan menangis tanpa alasan di
pangkuannya, dan ia memeriksa jika ada sesuatu di tangan anak itu.
Orhan kembali padaku di bawah tatapan marah ayahku. Aku berlari menghambur ke
arahnya, lalu merengkuhnya ke dalam pangkuanku, menciumnya lama sekali. Aku
membawanya turun ke dapur dan mengisi penuh mulutnya dengan kismis yang sangat
disukainya. "Hayriye, bawalah anakanak ke pelabuhan Galleon dan belilah ikan yang cocok
untuk sup ikan dari toko Kosta. Bawalah uang perak ini dan sisanya belikanlah
buah ara kering berwarna kuning dan ceri untuk Orhan waktu kalian pulang.
Belikan juga Shevket buncis panggang dan sosis manis dengan kenari. Bawalah
mereka berjalan jalan ke mana pun mereka ingin pergi sampai saat Azan isya
berkumandang, tetapi tolong berhati-hatilah agar mereka tidak terkena flu."
Setelah mereka bertiga berkemas dan pergi, keheningan di rumah itu
menyenangkanku. Aku naik ke lantai atas dan mengambil cermin kecil buatan
mertuaku yang dihadiahkan suamiku padaku. Aku sengaja menyembunyikannya di
antara sarungsarung bantal yang beraroma lavender. Aku menggantungkannya. Jika
aku memandangi diri di cermin dari kejauhan, dan bergerak lembut, aku bisa
melihat keseluruhan tubuhku. Rompi merah itu cocok kukenakan, tetapi aku juga
ingin memakai blus ungu ibuku yang merupakan bagian dari gaun pengantinnya. Aku
mengeluarkan jubah panjang berwarna hijau pupus yang telah dibordir bunga
bungaan oleh nenekku, dan kukenakan, tetapi itu tidak membuatku puas. Saat aku
mencoba memakaikannya di balik blus ungu itu, aku merasa merinding; aku
menggigil, dan lidah api lilin ikut bergetar bersamaku. Di luar semua itu, tentu
saja, aku akan memakai jubah jalan-jalanku yang bergarisgaris dan terbuat dari
bulu rubah, tetapi di saat-saat terakhir aku mengubah pendapatku, dan diamdiam
aku melintasi lorong, mengambil jubah wol longgar berwarna biru langit yang
diberikan ibuku padaku, dan mengenakannya. Tepat saat itu aku mendengar suara
gaduh di pintu dan aku menjadi panik: Hitam beranjak pergi! Aku bergegas membuka
jubah tua ibuku dan mengenakan jubah bulu bergaris merah. Jubah itu agak ketat
di bagian dada, tetapi aku menyukainya. Aku kemudian mengenakan kerudung
terhalus dan terputih yang kumiliki, dan kukenakan menutupi wajahku,
Hitam Effendi masih belum pergi, tentu saja. Aku
membiarkan angan-anganku mengelabuiku. Jika aku keluar sekarang, aku bisa
mengatakan pada ayahku bahwa aku pergi membeli ikan dengan anakanak, Aku
melangkah perlahan menuruni tangga bagaikan seekor kucing.
Aku menutup pintu klik seperti hantu. Tanpa bersuara aku melintasi halaman dan? ?ketika aku sudah berada di jalan, sejenak aku menoleh dan memandangi rumahku.
Dari balik kerudungku rumah itu seperti bukan rumah kami sama sekali.
Tidak ada siapa pun di jalan itu, bahkan tidak seekor kucing pun. Serpihan salju
menari-nari di udara. Dengan menggigil, aku memasuki taman liar yang tak pernah
tersirami sinar matahari. Taman itu meruapkan bau dedaunan busuk, kelembaban,
dan kematian. Namun, ketika aku memasuki rumah si Yahudi yang digantung itu, aku
merasa seolaholah memasuki rumahku sendiri. Orang bilang, jin mengadakan
pertemuan di tempat ini di malam hari, menyalakan api tungku, dan membuat
kemeriahan. Aku terkejut mendengar suara langkah kakiku sendiri di rumah kosong
ini. Aku menunggu, terpaku. Kudengar suarasuara di taman, tetapi kemudian
semuanya menjadi sunyi senyap. Aku mendengar seekor anjing menyalak tak jauh
dari tempat itu. Aku mengenali semua anjing di lingkungan kami dari salakan
mereka, tetapi aku tidak mampu mengenali yang satu ini.
Dalam kesunyian itu kurasakan ada orang lain di rumah itu dan aku terdiam agar
ia tidak bisa mendengar suara langkah kakiku. Orangorang asing terdengar sedang
bercakap-cakap sambil melintasi jalanan. Aku memikirkan Hayriye dan anakanak.
Aku berdoa pada Tuhan agar mereka tidak terkena flu. Masih di tengah keheningan,
aku mulai dihinggapi rasa sesal. Hitam tidak
datang. Aku telah membuat kesalahan, dan aku harus segera kembali ke rumah
sebelum harga diriku terkoyak semakin parah. Sambil merasa ketakutan, aku
membayangkan Hasan sedang mengawasiku, dan kemudian aku mendengar suara gerakan
di taman. Pintu pun terbuka.


My Name Is Red Karya Orhan Pamuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku segera mengganti posisiku. Entah mengapa aku melakukannya, tetapi ketika aku
berdiri di sisi kiri jendela tempat cahaya redup dari taman menembus masuk,
kusadari Hitam bias melihatku, meminjam istilah ayahku, "dalam misteri sebuah
bayangan." Aku pun menutupi wajahku dengan kerudung, lalu menanti, dan
mendengarkan dengan cermat suara langkah kakinya.
Hitam melewati ambang pintu dan melihatku, lalu setelah beberapa langkah ia pun
berhenti. Kami berdiri hanya terpisah lima langkah, saling memandang. Ia tampak
lebih sehat dan kuat daripada yang tampak dari balik lubang intip. Hening
terasa. "Bukalah kerudungmu," pintanya lirih. "Kumohon."
"Aku masih menikah. Aku sedang menunggu kepulangan suamiku."
"Bukalah kerudungmu," pintanya lagi, masih dengan berbisik lirih. "Suamimu tidak
akan pernah kembali."
"Apakah kau menyiapkan pertemuan denganku di sini untuk mengatakan hal itu
padaku?" "Tidak, aku melakukannya agar bisa melihatmu. Aku memikirkanmu selama dua belas
tahun. Bukalah kerudungmu, sayangku, izinkan aku melihatmu sekali saja."
Aku membukanya. Aku merasa senang saat ia mengamati wajahku dalam diam, dan
menatap nanar bola mataku.
"Pernikahan dan menjadi ibu membuatmu semakin cantik saja. Wajahmu kini telah
sepenuhnya berubah dari yang kuingat."
"Bagaimana kau mengingatku?"
"Dengan sejuta kepedihan, karena saat aku memikirkanmu, aku tidak bias menahan
diri memikirkan perempuan yang kuingat bukanlah dirimu, melainkan sesosok
khayalan. Di masa kanakkanak kita, ingatkah kau bagaimana kita mendiskusikan
kisah Hiisrev dan Shirin yang jatuh cinta setelah saling melihat gambar mereka,
bukan" Mengapa Shirin tidak langsung jatuh cinta pada si tampan Hiisrev ketika
untuk pertama kalinya dia melihat gambar lakilaki itu tergantung didahan pohon"
Mengapa harus melihat gambar itu tiga kali sebelum dia jatuh cinta" Kau pernah
berkata bahwa dalam dongeng semuanya terjadi tiga kali. Aku akan mendebatnya,
cinta seharusnya bersemi saat dia pertama kali melihat gambar itu. Namun, siapa
yang bisa melukiskan Hiisrev dengan cukup nyata sehingga Shirin langsung jatuh
cinta dengannya, dan siapa yang bias melukis dengan sedemikian tepat sehingga
perempuan itu langsung mengenalinya" Kita tidak pernah membicarakan hal ini.
Dalam waktu dua belas tahun ini, jika aku memiliki sebuah lukisan potret dirimu
yang sedemikian nyata, mungkin aku tidak akan terlalu merana."
Ia mengatakan hal-hal yang sangat indah dengan nada seperti ini, kisahkisah
tentang melihat sebuah ilustrasi dan jatuh cinta karenanya, dan betapa ia
menderita karena berputus asa atas diriku. Aku memerhatikan caranya mendekatiku
perlahanlahan, dan setiap kata-katanya bergerak di dalam kesadaranku, lalu
mendarat di suatu tempat di dalam ingatanku. Kemudian, aku memikirkan kata
katanya itu satu persatu. Namun,
kini penilaianku atas keajaiban kata-katanya sungguh emosional dan mengikatku
pada dirinya. Aku merasa bersalah karena telah menyebabkannya merana selama dua
belas tahun. Betapa ia seorang lelaki bermulut manis! Betapa Hitam adalah
seorang lelaki yang baik! Ia bagaikan seorang anak kecil yang lugu! Aku bisa
membaca semua itu di matanya. Kenyataannya ia teramat mencintaiku, dan itu
membuatku memercayainya. Kami berpelukan. Ini sangat membahagiakanku, hingga aku sama sekali tidak merasa
bersalah melakukannya. Aku membiarkan diriku melebur dengan perasaan yang manis
ini. Aku mendekapnya lebih erat. Kubiarkan ia menciumku, dan aku membalas
ciumannya. Saat kami berciuman, seolaholah seisi dunia memasuki sebuah senjakala
yang lembut. Aku berharap semua orang bisa saling berpelukan seperti yang kami
lakukan. Samarsamar aku mengingat betapa cinta seharusnya seperti ini. Ia
memasukkan lidahnya ke dalam mulutku. Aku begitu terhanyut dengan yang sedang
kulakukan, seolaholah alam semesta ini ditelan seberkas cahaya yang
membahagiakan. Aku tak bias memikirkan hal-hal buruk.
Biar kuceritakan padamu bagaimana pelukan kami digambarkan oleh para empu
miniaturis Herat, jika ini menjadi kisah tragisku yang suatu hari nanti ditulis
dalam sebuah buku. Ada beberapa ilustrasi mengagumkan yang pernah ditunjukkan
ayahku padaku, di mana ketegangan kisah yang menyertainya seirama dengan ayunan
dedaunan, hiasan dinding bergema dalam corak pinggiran halaman bersepuh emas dan
keriangan sepasang sayap tak serasi burung layanglayang yang menembus batas
halaman, menggambarkan puncak kebahagiaan sepasang kekasih. Saling berpandangan
dari jauh dan saling menyiksa perasaan dengan kalimat-kalimat menjurus, sepasang kekasih digambarkan
tampak sedemikian kecilnya di kejauhan, hingga untuk sesaat kisah itu tampak
bukan seperti kisah mereka sama sekali, melainkan kisah tentang malam
berbintang, pepohonan yang gelap, dan istana megah tempat mereka bertemu dengan
halaman dan tamannya yang indah, yang setiap helai daunnya digambarkan begitu
indah dan khusus. Andai seseorang memerhatikan dengan saksama keseimbangan
tersembunyi paduan warnanya yang hanya bisa diterjemahkan oleh para miniaturis
lewat kepasrahan total terhadap seni, dan cahaya misterius yang menyalakan
segenap penjuru lukisan tersebut, pengamat yang cermat akan segera mengetahui
rahasia yang ada di balik ilustrasiilustrasi ini adalah bahwa mereka diciptakan
oleh cinta itu sendiri. Seakanakan secercah cahaya memancar dari kedua sejoli
tersebut, dari kedalaman ilustrasi itu. Dan ketika Hitam dan aku berpelukan,
keindahan mengaliri bumi ini dengan cara yang sama.
Syukurlah, aku sudah cukup banyak melihat kehidupan ini untuk tahu bahwa
keindahan seperti itu tak akan pernah bertahan lama. Dengan lembut Hitam
merengkuh kedua payudaraku yang besar. Rasanya nikmat sekali, dan seketika aku
lupa diri. Aku mendambakannya mengisap putingputing susuku. Namun, ia tidak
sanggup melakukannya, karena ia tidak sepenuhnya merasa yakin dengan yang sedang
dilakukannya, meskipun kebimbangannya tak mencegahnya menginginkan yang lebih
dari sekadar merengkuh payudaraku. Lambat laun, semakin lama kami berpelukan,
rasa takut dan malu menyeruak di antara kami berdua. Namun, ketika ia
mencengkram pahaku untuk menarik tubuhku lebih dekat
seraya menekankan ejantanannya yang besar dan mengeras ke perutku, mulamula aku
menyukainya an merasa penasaran. Aku tidak merasa malu. Kukatakan pada diriku
sendiri bahwa pelukan seperti itu pasti akan mengarah pada tindakan lain seperti
yang satu itu. Meski aku memalingkan wajahku, aku tidak mampu mengalihkan
pandangan mataku yang membelalak saat melihat ukuran kelaminnya.
Beberapa saat kemudian, ketika ia tibatiba berusaha memaksaku melakukan tindakan
tak senonoh yang bahkan tidak akan dilakukan oleh para perempuan Kipchak dan
para gundik yang saling bergunjing di pemandian umum sekalipun, aku mematung
karena terpana dan bingung.
"Jangan mengerutkan keningmu, sayangku," pintanya. Aku bangkit, mendorong
tubuhnya, dan berteriak padanya tanpa sedikit pun peduli pada kekecewaannya.[]
Bab 27 --^>V*>-- AKU DINAMAI HITAM --T) f*"--" - DI TENGAH kegelapan rumah orang Yahudi yang digantung itu, Shekure mengerutkan
keningnya ;I> dan mulai berteriak, padahal aku bisa dengan (fdEj mudah
menjejalkan batang besar yang kupegang dengan kedua tanganku ini ke dalam mulut
gadis-gadis Sirkasia yang kutemui di Tiflis, pelacurpelacur Kipchak, para
pengantin miskin yang dijual di penginapan, para janda Turki dan Persia, pelacur
pelacur biasa yang jumlahnya meningkat di Istanbul, perempuanperempuan Mingeria
yang jalang, gadis-gadis Abkhazia yang binal, daradara buas dari Armenia,
perempuanperempuan murahan dari Genoa dan Suriah, atau para pemain sandiwara
figuran yang memerankan perempuan dan bocah lelaki haus seks, tetapi tidak bisa
kumasukkan ke dalam mulut Shekure, Dengan murka dia menuduhku telah lupa daratan
dan kehilangan kendali dengan meniduri perempuanperempuan murahan dengan segala
cara dari Persia ke Baghdad dan dari gang-gang kecil di kotakota panas Arab ?
hingga pesisir Kaspia dan telah lupa bahwa sebagian perempuan masih merasa ?pedih perih dalam mempertahankan kehormatan mereka. Semua katakata cintaku ia
tuduh sebagai rayuan gombal belaka.
Dengan penuh penghargaan aku mendengarkan amukan kekasihku yang menyebabkan
benda bersalah di tanganku ini mengendur, dan meskipun aku sepenuhnya dipermalukan oleh keadaan
dan penolakan yang kuterima, ada dua hal yang tetap membuatku senang: 1. bahwa
aku menahan diri dari merendahkan diri dengan menandingi kemurkaan Shekure
dengan kemarahan serupa, sebagaimana yang sering menjadi reaksi kerasku pada
perempuan lainnya dalam situasi seperti itu, dan 2. aku jadi tahu bahwa Shekure
mengetahui perjalanan-perjalanan yang kulakukan, dan itu membuktikan bahwa dia
memikirkanku lebih dari yang kubayangkan.
Melihat betapa aku menjadi sedemikian terpuruk karena tidak mampu melampiaskan
hasrat yang membara ini, Shekure mulai mengasihaniku.
"Jika kau sungguhsungguh mencintaiku dengan cinta yang membara," ujarnya
seakanakan berusaha memberi alasan bagi dirinya sendiri, "kau seharusnya
berusaha mengendalikan diri layaknya seorang lakilaki terhormat. Kau tidak akan
berupaya merusak kehormatan perempuan yang sungguhsungguh kauidamkan. Kau
bukanlah satusatunya lelaki yang berusaha untuk bisa menikah denganku. Apakah
ada orang yang melihatmu kemari?"
"Tidak." Saat dia mendengar langkah kaki di tengah kegelapan taman yang berselimut salju,
dia menolehkan wajah manisnya yang selama dua belas tahun tidak mampu kuingat
itu ke arah pintu dan memberiku pemandangan menyenangkan saat melihat sosoknya.
Ketika kami mendengar suara gemerisik sekilas, kami berdua menunggu dalam diam,
tetapi tidak ada seorang pun yang masuk. Aku ingat betapa ketika Shekure masih
berusia dua belas tahun, dia sudah membangkitkan perasaan
aneh dalam diriku, karena dia lebih banyak tahu dariku.
"Hantu Yahudi yang digantung itu gentayangan di tempat ini," ujarnya.
"Apakah kau pernah datang kemari?"
"Jin, hantu, mayat hidup ... mereka datang bersama angin, merasuki bendabenda dan
membuat suarasuara di tengah kesunyian. Semuanya bersuara. Aku tidak harus jauh-
jauh mendatangi tempat ini. Aku bisa mendengarnya."
"Shevket membawaku kemari untuk menunjukkan mayat seekor kucing, tetapi bangkai
itu sudah lenyap." "Aku tahu kau memberitahunya bahwa kaulah yang membunuh ayahnya."
"Bukan begitu. Apakah katakataku memang sering terpelintir begitu" Aku tidak
bilang akulah yang membunuh ayahnya, melainkan aku berusaha mengatakan bahwa aku
ingin menjadi ayahnya."
"Mengapa kau berkata padanya bahwa kau yang membunuh ayahnya?"
"Ia yang bertanya lebih dahulu, apakah aku pernah membunuh orang. Kukatakan
padanya yang sebenarnya bahwa aku pernah membunuh dua orang."
"Untuk menyombongkan diri?"
"Untuk menyombongkan diri dan mengesankan seorang anak yang ibunya kucintai,
karena kusadari bahwa ibunya ini melindungi kedua bandit kecil ini dengan
membesar-besarkan kepahlawanan ayahnya dengan memamerkan harta rampasan
perangnya di rumah itu."
"Kalau begitu teruslah menyombongkan diri! Mereka tidak menyukaimu."
"Shevket tidak menyukaiku, tetapi Orhan suka padaku," balasku, dengan berseri
seri bangga karena mengetahui kesalahan kekasihku. "Meski demikian, aku akan menjadi ayah bagi
keduanya." Kami bergidik cemas dan gemetar di keremangan cahaya saat sesosok bayangan dari
sesuatu yang tak ada melintas di antara kami. Aku menguatkan diri dan melihat
betapa Shekure menangis terisak perlahan.
"Suamiku yang malang memiliki seorang adik bernama Hasan. Saat aku menanti
kepulangan suamiku, aku hidup serumah dengannya dan ayah mertuaku selama dua
tahun. Ia jatuh cinta padaku. Akhir-akhir ini ia mencurigai sesuatu yang sedang
terjadi pada diriku. Ia amat marah membayangkan aku mungkin akan menikah dengan
orang lain, denganmu misalnya. Ia mengirimkan pernyataan yang isinya ia akan
menyeretku kembali ke rumah mereka dengan kekerasan. Mereka berkata, karena aku
bukan seorang janda di mata hakim, mereka akan memaksaku kembali ke rumah itu
atas nama suamiku. Mereka bisa menyerbu rumah kami kapan saja. Ayahku tidak mau
aku dinyatakan sebagai janda lewat keputusan hakim. Jika aku dinyatakan telah
bercerai, ia berpikir aku akan menemukan seorang suami baru bagiku dan
meninggalkannya. Dengan pulang ke rumahnya bersama anakanak, aku membawa
kebahagiaan baginya di tengah kesepian hidupnya setelah kematian ibuku. Apakah
kau bersedia tinggal bersama kami?"
"Bagaimana maksudmu?"
"Jika kita sudah menikah, maukah kau tinggal dengan ayahku, bersama kami semua?"
"Aku tidak tahu."
"Pikirkan hal ini secepat mungkin. Kau tidak memiliki waktu banyak, percayalah.
Ayahku merasa bahwa setan sedang dalam perjalanan menghampiri kami, dan
menurutku ia benar. Jika Hasan dan anak buahnya mengepung rumah kami dengan bala
tentara Turki dan menyeret ayahku ke hadapan hakim, maukah kau bersaksi bahwa
kau pernah melihat mayat suamiku" Kau baru datang dari Persia, mereka akan
memercayaimu." "Aku akan bersaksi, tetapi bukan aku yang membunuhnya."
"Baiklah, bersama saksi lainnya maukah kau bersaksi di hadapan hakim bahwa kau
melihat mayat suamiku yang berlumuran darah di medan perang di Persia agar aku
bisa dinyatakan sebagai seorang janda?"
"Aku tidak benarbenar melihatnya, sayang, tetapi demi kau, aku akan tetap
bersaksi." "Apakah kau mencintai anakanakku?"
"Ya." "Katakan padaku, apa dalam diri mereka yang kau cintai?"
"Aku mencintai ketangguhan Shevket, kelugasan, kejujuran, kepandaian, dan
kebandelannya," ujarku. "Aku juga mencintai kepekaan perasaan Orhan, sikapnya
yang lembut, dan kecerdasannya. Aku mencintai kenyataan bahwa mereka adalah
anakanakmu." Kekasihku yang bermata gelap itu tersenyum simpul dan meneteskan beberapa bulir
air mata. Lalu, dengan kegugupan terencana seorang perempuan yang berharap bisa
menyelesaikan banyak hal dalam waktu yang singkat, dia mengganti bahan
pembicaraan, "Buku ayahku harus diselesaikan dan dipersembahkan ke hadapan
Sultan kita. Buku ini adalah sumber kemalangan yang melanda kita sekarang ini."
"Keburukan apa yang menimpa kita selain pembunuhan terhadap Elok Effendi?"
Pertanyaan ini membuatnya murung. Tampak berpurapura dalam usahanya untuk
kelihatan polos, dia berkata, "Para pengikut Nusret Hoja sedang menyebarkan
gunjingan bahwa buku ayahku adalah sebuah pelecehan terhadap agama dan memuat
tandatanda kekafiran orangorang Frank. Apakah para miniaturis yang sering
mendatangi rumah kami menjadi saking cemburu, hingga mereka diamdiam saling
bersiasat" Kau berada di antara mereka, kau pasti lebih tahu!"
"Adik mendiang suamimu," ujarku, "apakah ia memiliki keterkaitan tertentu dengan
para miniaturis ini, buku ayahmu, atau para pengikut Nusret Hoja, atau ia hanya
mengurusi urusannya sendiri?"
"Ia tidak terlibat dengan semua itu. Ia hanya mengurusi urusannya sendiri,"
jawabnya. Keheningan yang misterius dan ganjil menyeruak sejenak.
"Saat kalian tinggal satu atap dengan Hasan, apakah kau bisa melepaskan diri
darinya?" "Kulakukan sebisa mungkin di dalam sebuah rumah berkamar dua."
Beberapa ekor anjing tak jauh dari tempat itu benarbenar sedang bersenang
senang, dan mereka mulai menyalak dengan penuh semangat.
Aku tidak mampu memberanikan diri untuk bertanya mengapa mendiang suami Shekure
yang muncul sebagai pemenang dari begitu banyak medan perang, dan menjadi
pemilik sebidang tanah hadiah Sultan, merasa pantas menempatkan istrinya di
bawah satu atap dengan adik laki-lakinya di sebuah rumah berkamar dua. Dengan
bimbang dan gugup, aku mempertanyakan hal berikut pada kekasih masa kecilku ini,
"Mengapa menurutmu kau
pantas menikah dengan suamimu itu?"
"Tentu saja, aku harus menikahi seseorang," sahutnya. Ini benar, dengan begitu
lugas dan pintar dia menjelaskan pernikahannya tanpa terlalu mengagungkan
suaminya dan mengecewakan aku. "Kau pergi, mungkin tidak akan pernah kembali.
Menghilang dalam kemarahan yang terpendam, yang mungkin saja pertanda cinta,
meskipun seorang kekasih yang mendendam juga melelahkan dan tidak menjanjikan
masa depan." Ini juga benar, tetapi bukan alasan yang cukup untuk menikah dengan
bajingan itu. Tidak terlalu sulit mengambil kesimpulan dari raut wajah malu-
malunya bahwa tak lama setelah aku meninggalkan Istanbul, Shekure sudah
melupakanku seperti yang dilakukan orangorang lainnya. Dia memberitahukan padaku
dusta yang amat kentara ini untuk menyembuhkan patah hatiku, meski hanya
sedikit, aku menganggapnya sebagai niat baiknya yang harus kusyukuri. Aku
menjelaskan betapa selama aku melakukan perjalanan, aku tidak mampu
mengenyahkannya dari ingatanku, betapa di malam hari bayangannya menghantuiku
bagaikan sosok gaib. Ini adalah rahasia terdalamku, kepedihan paling dahsyat
yang pernah kurasakan, dan kuputuskan bahwa aku tidak akan pernah mampu
membaginya dengan siapa pun: kepedihan hatiku itu sedemikian nyata, tapi seperti
yang kusadari dengan tiba tiba, rasa sakit itu tidaklah tulus.


My Name Is Red Karya Orhan Pamuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Agar perasaan dan hasratku dipahami dengan benar, aku harus menjelaskan sejelas-
jelasnya makna yang berbeda antara kebenaran dan ketulusan yang kuketahui untuk
pertama kalinya: Betapa menyatakan kenyataan seseorang lewat katakata, dengan
sebenar-benarnya, akan membuat seseorang menjadi tidak tulus. Mungkin,
contoh terbaik adalah kami para miniaturis yang menjadi gundah gulana memikirkan
ada pembunuh di antara kami. Mempertimbangkan sebuah lukisan yang
sempurna gambar seekor kuda, misalnya tidak peduli seindah apa pun gambar itu ? ?
melukiskan seekor kuda sungguhan, kuda yang diciptakan sedemikian cermat oleh
Allah, atau kudakuda buatan para empu miniaturis yang terhebat, masih saja tidak
akan sepadan dengan ketulusan miniaturis berbakat yang menggambarkannya.
Ketulusan seorang miniaturis, atau ketulusan kita hamba-hamba Allah, tidak
muncul dalam bakat dan kesempurnaan; sebaliknya, ketulusan itu akan muncul lewat
salah ucap, kesalahan, kelelahan, dan frustrasi. Aku mengatakan hal ini demi
mereka para gadis yang akan menjadi bingung ketika melihat tak ada bedanya
antara hasrat membara yang kurasakan pada Shekure saat itu seperti yang ?diketahuinya sendiri dengan, katakana saja, nafsu berahi memusingkan yang
?kurasakan pada sesosok makhluk lembut berwajah sewarna tembaga, si cantik Kazvin
berbibir merah burgundi, yang menghantuiku selama perjalananku. Dengan
kecerdasannya yang luar biasa dan intuisinya yang seperti jin, Shekure memahami
sisi diriku yang tangguh bertahan selama dua belas tahun ditempa siksaan yang
sesungguhnya demi cinta, juga sisi lain diriku yang bagaikan seorang pengumbar
nafsu menyedihkan yang tak mampu memikirkan hal lain kecuali kepuasan sesaat
dari hasrat gelapnya di saat pertama kami bias berduaan. Nizami telah
membandingkan mulut yang tercantik di antara yang cantik, Shirin, dengan sebuah
wadah tinta berisi butiran mutiara.
Ketika kawanan anjing yang bersemangat itu mulai menyalak lagi, Shekure yang
penuh gairah hidup itu berkata, "Aku harus pergi sekarang." Saat itulah kami berdua menyadari bahwa
rumah milik hantu Yahudi itu benarbenar gelap gulita, meski masih ada beberapa
waktu lagi sebelum malam jatuh sempurna. Tubuhku terlonjak dengan sendirinya,
menghambur memeluknya sekali lagi, tetapi bagai seekor burung pipit yang
terluka, dengan gesit dia mengelak.
"Apakah aku masih tetap cantik" Jawab dengan cepat."
Kukatakan padanya, betapa cantiknya dia mau mendengarkanku, memercayai, dan
menyetujui apa yang kukatakan.
"Bagaimana dengan pakaianku?"
Kukatakan pendapatku padanya.
"Apakah aku wangi?"
Tentu saja, Shekure selalu tahu apa yang dikisahkan Nizami sebagai "catur cinta"
yang tidak berisi permainan katakata, melainkan muslihat-muslihat perasaan yang
terpendam di antara sepasang kekasih.
"Kehidupan seperti apa yang ingin kaudapatkan?" tanyanya. "Mampukah kau menjaga
anakanakku yang tak berayah?"
Ketika aku membicarakan waktu dua belas tahun lebih pengalamanku di bidang
pemerintahan, pengetahuan luas yang kuperoleh dalam medan peperangan, menjadi
saksi kematian di sana, dan masa depanku yang gemilang, aku memeluknya.
"Betapa indahnya cara kita saling memeluk saat ini," ucapnya. "Dan semuanya kini
sudah kehilangan misteri utamanya."
Untuk membuktikan betapa tulusnya aku, aku memeluknya dengan lebih erat. Aku
bertanya padanya, setelah aku memendamnya selama dua belas tahun, mengapa dia mengembalikan
lukisan yang kubuat khusus untuknya lewat Esther. Dalam bola matanya, aku
membaca keterkejutannya atas kelelahanku dan kasih sayang yang memancar di dalam
dirinya. Kami berciuman. Kali ini aku tidak terpaku oleh lonjakan berahi; kami
berdua dibekukan oleh detak jantung yang menderu seperti sekawanan burung
?pipit akibat sebentuk cinta amat kuat yang memasuki hati, dada, dan perut kami.
?Tidakkah bermain cinta adalah penawar cinta yang terbaik"
Saat aku menyentuh payudaranya, Shekure mendorong tubuhku dengan gerakan tegas,
tetapi lebih manis dari sebelumnya. Dia mengatakan betapa aku bukanlah seorang
lelaki yang cukup matang untuk menjaga kesakralan sebuah pernikahan dengan
seorang perempuan yang kunodai sebelum pernikahan tersebut. Aku cukup abai
dengan melupakan bahwa Iblis akan ikut campur dalam setiap perbuatan yang
tergesagesa Aku juga tak berpengalaman dalam mengetahui berapa banyak kesabaran
dan ketenangan harus dikorbankan di balik sebuah pernikahan yang bahagia. Dia
lolos dari pelukanku, dan melangkah menuju pintu, kerudung linennya telah
terjatuh ke lehernya. Aku menangkap pemandangan salju yang turun ke permukaan
jalan, yang pada awalnya selalu mengalah pada kegelapan, dan lupa bahwa kami
tadi berbisik-bisik di tempat ini mungkin agar tidak mengganggu roh orang ?Yahudi yang digantung itu aku berteriak kencang, "Apa yang akan kita lakukan
?sekarang?" "Aku tak tahu," sahutnya, memainkan aturan "catur cinta." Dia berjalan melintasi
taman tua itu, meninggalkan jejak kaki yang lembut di atas salju yang pasti
?akan segera terhapus oleh butiran salju yang putih dan lenyap tanpa suara.[]
?Bab 28 AKU AKAN DISEBUT SEORANG PEMBUNUH
r TAK DIRAGUKAN lagi, kau pun pasti pernah mengalami apa yang akan kugambarkan:
Berkali-kali, ketika berjalan melalui jalan-jalan Istanbul yang tak berujung dan
penuh tikungan, ketika menyendok segigit rebusan sayur ke mulutku di dapur umum
atau menatap penuh perhatian pada pola lengkung sebuah penghias batas bercorak
rerumputan, aku merasa tinggal di masa kini seakanakan itu adalah masa lalu.
Maka, ketika aku berjalan melintasi jalanan yang terbasuh putih oleh salju, aku
akan terdorong untuk mengatakan bahwa aku pernah berjalan di tempat itu
sebelumnya. Peristiwa-peristiwa luar biasa yang akan kuhubungkan terjadi sekaligus di masa
kini dan masa lalu. Saat itu malam hari, senja belum lama sirna ditelan
kegelapan dan salju tipis jatuh ketika aku berjalan melintasi ruas jalan tempat
Enishte Effendi tinggal. Tak seperti malammalam yang lain, kini aku datang ke sini mengetahui dengan
tepat apa yang kuinginkan. Pada malam malam yang lain, kakiku akan membawaku ke
sini ketika aku berpikir tak tentu arah mengenai hal-hal lain: tentang bagaimana
aku bercerita pada ibuku bahwa aku mendapatkan tujuh ratus keping perak hanya
untuk menyelesaikan sebuah buku, tentang sampulsampul buku
Herat dengan mawar-mawar kecil hiasan tak disepuh yang berasal dari zaman
Timurleng, tentang kejutan yang terus terjadi saat mengetahui bahwa orangorang
lain masih melukis dengan namaku atau tentang tindakan gila-gilaan dan
pelanggaran-pelanggaran hukum yang kulakukan. Bagaimanapun, kali ini aku datang
ke sini dengan pemikiran matang dan sebuah tujuan.
Gerbang halaman yang luas yang aku takut tak dibukakan siapa pun untukku
?terbuka sendiri ketika aku mengetuknya, menenangkanku bahwa Allah memang
bersamaku. Lantai batu berkilau di halaman yang kulewati di malammalam yang lalu
ketika aku datang untuk menambahi ilustrasi baru untuk buku Enishte Effendi
terasa lengang. Di sebelah kanan sumur terdapat sebuah ember, dan di atasnya
bertengger seekor burung pipit yang tampak kedinginan; sedikit agak jauh dari
situ terdapat kompor batu di udara terbuka yang untuk beberapa alasan tak
dinyalakan bahkan di malam seperti ini. Di sebelah kiri terdapat istal untuk
kuda para tamu yang dibuat terpisah dari lantai rumah. Semuanya seperti yang
kuharapkan. Aku masuk melalui pintu yang tak dikunci di samping istal, dan
sebagai seorang tamu tak diundang yang menghindari hal yang tak diinginkan, aku
membersihkan kakiku dan terbatuk saat memanjat anak tangga kayu menuju ruang
tamu. Batukku tak mendatangkan tanggapan. Suara ribut saat aku membersihkan sepatuku
yang berlumpur juga tak mengundang perhatian. Sepatuku kulepas dan kutinggalkan
di pintu masuk menuju ruangan luas yang juga dipakai sebagai serambi. Seperti
yang telah menjadi kebiasaanku setiap kali aku datang berkunjung, aku mencari-
cari apa yang kuduga sebagai sepasang mata
hijau Shekure yang indah, tetapi nihil, dan kemungkinan bahwa tak ada seorang
pun di rumah itu terlintas di benakku.
Aku berjalan ke arah kanan ke dalam kamar ada satu kamar di tiap-tiap sudut ?lantai dua tempat kubayangkan Shekure tidur meringkuk dengan anakanaknya. Aku
?merabaraba ranjang dan kasur, dan membuka sebuah peti di sudut dan sebuah lemari
dinding tinggi dengan sebuah pintu yang sangat ringan. Ketika aku mengira aroma
buah badam yang lembut di kamar itu pastilah aroma kulit Shekure, sebuah bantal
yang telah dimasukkan ke lemari jatuh menimpa kepalaku dan kemudian mengenai
sebuah ceret tembaga dan cangkircangkir. Aku mendengar suara rebut dan tibatiba
tersadar bahwa ruangan itu gelap. Hm, kusadari hawa terasa dingin.
"Hayriye?" seru Enishte Effendi dari dalam kamar lain. "Shekure" Siapakah itu?"
Aku bergegas ke luar kamar itu, berjalan menyilang ke ruang depan yang luas, dan
masuk ke kamar berpintu biru tempat aku pernah bekerja dengan Enishte Effendi
menyelesaikan bukunya musim dingin yang lalu.
"Ini aku, Enishte Effendi," ujarku. "Aku."
"Siapakah kau?"
Saat itu juga aku mengerti bahwa namanama di bengkel kerja yang dipilih Ensihte
Effendi tak banyak berkaitan dengan kerahasiaan. Namanama itu adalah pelecehan
halusnya terhadap kami. Seperti yang akan ditulis seorang juru tulis pongah
dalam kolofon pada halaman terakhir sebuah manuskrip yang diberi ilustrasi
secara menakjubkan, aku perlahanlahan mengucapkan tiap suku kata nama lengkapku,
termasuk nama ayahku, tempat kelahiranku, dan frasa "pelayanmu yang malang dan penuh dosa".
"Hah?" serunya mulamula, lalu menambahkan lagi, "Hah!"
Tepat seperti lelaki tua yang bertemu Malaikat Maut dalam dongeng Assyria yang
kudengar saat kanakkanak, Enishte Effendi terdiam sejenak yang serasa lama
sekali. Jika ada di antara kalian yang percaya, karena aku baru saja menyebut
kata "maut", bahwa aku sengaja datang ke sini untuk urusan semacam itu, kalian
telah sungguhsungguh keliru memahami buku yang tengah kalian pegang. Akankah
seseorang dengan rencana seperti itu mengetuk pintu" Melepas sepatu" Datang
tanpa membawa pisau"
"Jadi, kau datang rupanya," ujarnya, kembali seperti lelaki tua dalam dongeng
itu. Tetapi kemudian ia berkata dengan nada yang sama sekali berbeda, "Selamat
datang, anakku. Katakan padaku, apakah yang kauinginkan?"
Langit sudah gelap sekarang, Ada cukup cahaya yang masuk melalui kaca jendela
sempit berlapik kain yang dicelup ke lilin yang jika disingkap pada musim semi,
?akan menampakkan pohon delima untuk membedakan bentuk bendabenda di dalam
?ruangan, cukup cahaya untuk menyenangkan seorang illustrator Cina yang rendah
hati. Aku tak bisa melihat jelas wajah Enishte Effendi saat ia duduk, seperti
biasa, di depan sebuah bangku baca lipat yang rendah, sehingga cahaya jatuh ke
samping kirinya. Dengan susah payah aku mencoba mengingat kembali keakraban di
antara kami ketika kami membuat hiasan miniature bersama, dan dengan suara
perlahan dan lembut membahas semua itu sepanjang malam diterangi cahaya lilin di
tengah batu-batu poles, pena buluh,
wadah tinta, dan kuas. Aku tidak yakin apakah itu akibat rasa terasing atau
karena malu, tetapi aku merasa jengah dan menahan diri agar tidak mengakui
secara terbuka perasan cemasku. Pada saat itu, aku memutuskan untuk menjelaskan
diri dengan sebuah kisah.
Pernah dengar tentang seniman Syekh Muhammad dari Isfahan" Tak ada pelukis yang
mampu melebihinya dalam pilihan warna, dalam kemampuan simetri, dalam
menggambarkan sosok manusia, binatang dan wajah, dalam melukis dengan sebua
puisi yang meyiratkan perasaan tak terkendali, dan dalam penerapan logika yang
digunakan untuk geometri. Setelah mencapai status empu pelukis pada usia muda,
empu ini dengan sebuah sentuhan ilahiah menghabiskan tiga puluh tahun penuh
mencari penemuan paling berani mengenai materi subjek, komposisi, dan gaya.
Berkarya dengan gaya tinta hitam Cina yang dibawa pada kami oleh orangorang ?Mongol dengan keterampilan dan naluri yang bagus mengenai simetri, ia merupakan
?orang yang memperkenalkan setan-setan mengerikan, jin-jin bertanduk, kudakuda
berzakar besar, monster-monster separuh manusia, dan para raksasa, dalam gaya
melukis Herat yang luar biasa halus, Ia adalah yang pertama kali tertarik dan
kemudian dipengaruhi oleh lukisan potret yang datang dari kapal-kapal Barat dari
Portugal dan Flanders. Ia memperkenalkan kembali teknikteknik terlupakan yang
berasal dari zaman Jengis Khan dan tersembunyi dalam berjilid-jilid buku tua
yang lapuk. Di depan orang lain, ia berani melukis adegan-adegan yang
membangkitkan berahi seperti gambar Iskandar Agung mengintip gadis-gadis cantik
berenang telanjang di pulau perempuan dan Shirin sedang mandi diterangi cahaya
bulan. Ia menggambarkan Nabi Muhammad terbang menukik di punggung Buraq
bersayap, para raja yang merancap, anjinganjing kawin, serta para Syekh mabuk
anggur, dan membuat gambargambar itu bisa diterima oleh seluruh komunitas para
pencinta buku. Ia telah melakukannya, terkadang secara diamdiam, terkadang
secara terbuka, minum banyak anggur dan mengisap opium, dengan penuh semangat
yang berlangsung hingga tiga puluh tahun. Kemudian, di usia tuanya, ia menjadi
murid seorang Syekh yang saleh, dan dalam waktu singkat, ia pun berubah sama
sekali. Ia sampai pada kesimpulan bahwa semua lukisan yang telah ia buat selama
tiga puluh tahun sebelumnya bersifat tidak senonoh dan bertentangan dengan
kehendak Tuhan. Ia menolak semua lukisan itu. Lebih jauh lagi, ia mengabdikan
tiga puluh tahun berikutnya dari hidupnya untuk berkelana dari istana ke istana,
dari kota ke kota, untuk menemukan dan menghancurkan manuskrip-manuskrip yang
telah ia iluminasi di perpustakaan dan tempat penyimpanan harta para raja dan
sultan. Bila ia menemukan lukisan yang telah ia buat pada tahuntahun sebelumnya
di perpustakaan milik shah, pangeran, atau bangsawan mana pun, ia tak bisa
dicegah untuk menghancurkannya. Ia mendapat izin dengan membujuk atau dengan
tipu muslihat, dan ketika tak ada orang yang memerhatikan, ia akan merobek
halaman yang di dalamnya terdapat ilustrasi karyanya, atau dengan memanfaatkan
kesempatan, ia mencipratinya dengan air, membuatnya hancur berantakan. Aku
menganggap kisah ini sebagai sebuah contoh bagaimana seorang miniaturis bisa
sedemikian menderita karena dengan bodohnya meninggalkan keimanannya demi karya
seninya. Itu sebabnya aku menyebutkan bagaiman Syekh Muhammad membakar perpustakaan luas
milik Pangeran Ismail Mirza yang berisi ratusan buku yang telah diberi ilustrasi
olehnya. Di sana ada begitu banyak buku karyanya sehingga ia tak bisa
menyisihkan bukunya sendiri dari yang lainnya. Dengan berapiapi, seakanakan
mengalaminya sendiri, aku bercerita bagaimana si pelukis itu, dalam kesedihan
dan penyesalan yang dalam, telah terbakar hingga mati dalam kebakaran dahsyat
tersebut. "Apakah kau merasa takut karena lukisanlukisan yang telah kita buat, anakku?"
tanya Enishte Effendi penuh kasih.
Ruangan itu menjadi kelam kini, aku tak bisa melihat diriku sendiri, tetapi aku
merasakan bahwa ia mengatakan hal ini dengan seulas senyum tersungging.
"Buku kita bukan lagi rahasia," sahutku. "Barangkali ini tidak penting. Tetapi
desas-desus sedang menyebar. Mereka bilang kita sedang melakukan penghujatan
terhadap agama secara sengaja. Mereka berkata bahwa di sini kita telah membuat
sebuah buku tidak seperti yang ditugaskan dan diharapkan Sultan, tetapi hanya
untuk menyenangkan diri kita sendiri, sesuatu yang mengejek Nabi kita dan meniru
para empu kaum kafir. Ada yang percaya buku itu bahkan menggambarkan Iblis
begitu baik hati. Mereka bilang kita melakukan sebuah dosa tiada berampun dengan
berani menggambar, dari sudut pandang seekor anjing jalanan, seekor kuda terbang
dan sebuah masjid seakanakan berukuran sama dengan perkecualian bahwa masjid ?berada di latar belakang yang berarti mengejek orang beriman yang melakukan
?salat. Aku tak bisa tidur memikirkan hal-hal semacam itu."
"Kita membuat ilustrasi bersama-sama," ujar Enishte
Effendi. "Bisakah kita mempertimbangkan
gagasan-gagasan semacam itu, apa lagi melakukan serangan seperti itu?"
"Tidak sama sekali," ujarku dengan berani. "Tapi mereka telah mendengar tentang
itu, entah bagaimana. Mereka bilang ada satu lukisan terakhir di mana, menurut
desas-desus, terdapat penyimpangan terbuka terhadap agama kita dan yang kita
anggap suci." "Kau telah melihat sendiri lukisan terakhir itu."
"Tidak, aku membuat gambargambar yang kauminta di berbagai tempat di atas
selembar kertas lebar yang merupakan ilustrasi dua halaman," tukasku dengan
kehati-hatian dan ketepatan yang kuharap akan menyenangkan Enishte Effendi.
"Tapi aku tak pernah melihat ilustrasi selengkapnya. Jika aku telah melihat
keseluruhan lukisan itu, aku akan memliki kesadaran yang jernih untuk menyangkal
segala fitnah ini." "Mengapa kau merasa bersalah?" tanyanya. "Apa yang sedang menggerogoti jiwamu"
Siapa yang menyebabkanmu membenci dirimu sendiri?"
"... merasa cemas seseorang telah menyerang sesuatu yang ia tahu suci, setelah
menghabiskan waktu berbulan-bulan membuat ilustrasi sebuah buku dengan gembira ...
menderita siksa neraka semasa hidup ... jika saja aku bisa melihat lukisan
terakhir itu secara keseluruhan."
"Inikah yang membuatmu susah hati?" ujarnya. "Inikah alas an kedatanganmu?"
Tibatiba saja rasa panik menyerangku. Bisakah ia memikirkan sesuatu yang
menggemparkan, misalnya akulah yang telah membunuh Elok Effendi yang malang itu"
"Mereka yang ingin menggulingkan Sultan dan
menggantinya dengan pangeran," kataku,
"menambah-nambahi desas-desus yang busuk ini, mengatakan bahwa beliau secara
diamdiam mendukung buku ini."
"Berapa banyak orang yang sungguhsungguh memercayai itu?" tanyanya dengan letih.
"Sebagai akibatnya setiap ulama penuh ambisi yang merasa mendapat bantuan dan


My Name Is Red Karya Orhan Pamuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang kepalanya telah membengkak akan berkhotbah bahwa agama telah diabaikan dan
tak dihargai. Ini adalah cara paling bisa diandalkan untuk menjamin hidup
seseorang." Apakah ia mengira aku datang hanya untuk memberitahunya tentang sebuah
gunjingan" "Elok Effendi yang malang, Tuhan mengistirahatkan jiwanya," kataku, suaraku
gemetar. "Menurut dugaan, kita membunuhnya karena ia telah melihat keseluruhan
lukisan terakhir dan meyakini bahwa itu menghina keimanan kita. Seorang kepala
divisi di bengkel kerja istana yang kukenal menceritakan hal ini padaku. Kautahu
bagaimana murid junior dan senior, semua orang senang bergunjing."
Menjaga garis penalaran ini dan makin berapiapi, aku terus melanjutkan
perkataanku selama beberapa waktu. Aku tak tahu berapa banyak dari yang
kukatakan yang sungguhsungguh kudengar, berapa banyak yang kukarang-karang
karena merasa takut setelah berurusan dengan tukang fitnah licik itu, atau
berapa banyak aku melebihlebihkan perkataanku. Aku lebih banyak mengucapkan
bujuk rayu dalam percakapanku, berharap Enishte Effendi mau memperlihatkan
padaku ilustrasi dua halaman yang terakhir itu agar membuatku tenang. Mengapa ia
tidak menyadari inilah satusatunya cara bagiku agar bisa mengatasi ketakutanku
terperosok ke dalam lumpur dosa" Bermaksud mengejutkannya, aku bertanya dengan sikap menantang, "Mungkinkah
seseorang sanggup membuat seni yang bersifat menghujat tanpa menyadarinya?"
Sebagai pengganti jawaban, ia menggerakkan tangannya dengan amat lembut dan
anggun sekanakan memperingatkanku ada seorang anak kecil sedang tidur di dalam ?kamar itu dan aku benarbenar jatuh terdiam. "Sudah gelap sekarang," ujarnya,
?hampir serupa bisikan, "mari kita nyalakan lilin."
Setelah menyalakan lilin dari batubara panas di dalam anglo yang menghangati
ruangan, aku memerhatikan sebuah ekspresi penuh kebanggaan diri di wajahnya yang
tak terbiasa kulihat dan ini sangat menggangguku. Atau apakah itu sebuah raut
mengasihani" Apakah ia telah mengetahui semuanya" Apakah ia berpikir bahwa aku
ini semacam pembunuh hina dina ataukah ia takut kepadaku" Aku teringat betapa
tibatiba pikiranku berputar tanpa kendali dan dengan bodohnya aku mendengarkan
sesuatu yang kukira seakanakan orang lain sedang berpikir. Karpet di bawahku,
misalnya: Ada sebuah corak mirip serigala di satu sudut, tapi mengapa tadi aku
tak memerhatikannya"
"Cinta yang dirasakan seluruh khan, shah, dan sultan terhadap lukisan, ilustrasi
dan bukubuku yang bagus bisa dibagi dalam tiga musim," kata Enishte Effendi.
"Pada mulanya mereka berani, bersemangat, dan penuh rasa ingin tahu. Para
penguasa menginginkan lukisan hanya untuk penghormatan, untuk memengaruhi
bagaimana orang lain memandang mereka. Selama masa ini, mereka mendidik diri
sendiri. Dalam fase kedua, mereka
menugaskan pembuatan bukubuku untuk memuaskan selera mereka sendiri. Karena
belajar dengan tulus untuk menikmati lukisan, mereka menumpuk penghormatan
sekaligus mengumpulkan buku agar setelah mati, kemasyhuran mereka di dunia ini
tetap terpelihara. Bagaimanapun, disenjakala hayat seorang sultan, ia tak lagi
peduli dengan keabadian duniawinya. Yang kumaksud dengan "keabadian duniawi"
adalah hasrat untuk diingat oleh generasi yang akan datang, oleh para cucu kita.
Para penguasa yang mengngagumi hiasan miniatur dan bukubuku telah mendapatkan
keabadian melalui manuskrip manuskrip yang mereka tugaskan kepada kami dalam
?halamanhalaman yang memuat namanama mereka setiap kali riwayat mereka
dituliskan. Kemudian,masingmasing di antara mereka sampai pada kesimpulan bahwa
lukisan adalah sebuah rintangan untukmendapat tempat yang aman di dunia lain,
sesuatu yang secara alamiah mereka hasratkan. Inilah yang paling mengganggu dan
menakutkanku. Shah Tahmasp, yang juga merupakan seorang empu miniaturis dan
menghabiskan masa mudanya dalam bengkel kerjanya sendiri, menutup studionya yang
luar biasa ketika ajalnya mendekat, mengusir para pelukis berbakat dari Tabriz,
menghancurkan bukubuku yang telah ia hasilkan, dan menderitapenyesalan yang amat
dalam. Mengapa mereka semua percaya bahwa lukisan akan menghalangi mereka dari
gerbang surga?" "Kautahu betul apa sebabnya! Karena mereka me-nginat perkataan Nabi Muhammad
junjungan kita bahwa pada hari pembalasan nanti Allah akan menghukum berat para
pelukis." "Bukan para pelukis," sergah Enishte Effendi. "Mereka
yang membuat berhala. Dan ini bukan berasal dari Alquran, melainkan dari hadis
yang diriwayatkan Imam Bukhari."
"Pada hari pembalasan kelak para pembuat berhala akan disuruh menghidupkan
patungpatung yang mereka ciptakan," ujarku dengan hatihati. "Karena mereka tak
akan bisa melakukannya, mereka akan disiksa di neraka. Jangan lupakan bahwa di
dalam Alquran, 'pencipta' adalah salah satu nama Allah. Aliahlah yang
menciptakan, yang menjadikan yang tiada menjadi ada, yang memberi kehidupan pada
yang mati. Tak seorang pun yang sebanding denganNya. Dosa terbesar adalah yang
dilakukan oleh para pelukis yang mengira bisa melakuakan apa yang dilakukan
Allah, yang mengaku sebanding denganNya."
Aku mengungkapkan pernyataanku dengan tegas, seakanakan aku juga menuduhnya. Ia
menatap mataku lekat-lekat.
"Kau kira ini yang telah kita lakukan?"
"Tidak," kataku dengan seulas senyum. "Inilah yang diduga oleh Elok Effendi
semoga ia beristirahat dengan damai saat ia melihat lukisan terakhir. Ia bilang?kau menggunakan ilmu perspektif dan metodemetode para empu Venesia yang tiada
lain adalah godaan setan. Dalam lukisan terakhir, kau pasti membuat wajah
seseorang yang telah mati menggunakan teknikteknik orang Frank, sehingga orang
orang yang melihatnya mendapat kesan itu bukan lukisan, melainkan sebuah
kenyataan. Hingga tingkat tertentu gambar ini memiliki kekuatan yang memikat
orang untuk menunduk di hadapannya, seperti patungpatung di gereja. Menurutnya,
ini adalah karya iblis, bukan hanya seni perspektif mengubah lukisan dari
sudut pandang Tuhan dan merendahkannya hingga ke tingkat seekor anjing jalanan,
tetapi karena kepercayaanmu terhadap metodemetode orangorang Venesia berarti kau
berpaling dari tradisi kita sendiri yang telah mapan dan oleh karenanya
orangorang kafir itu akan menelanjangi kita dari kemurnian kita dan menjadikan
kita tak lebih daripada sekadar budak-budak mereka."
"Tak apa pun yang murni," ujar Enishte Effendi. "Di ranah seni perbukuan,
kapanpun sebuah adikarya dibuat, kapan pun sebuah lukisan menakjubkan membuat
mataku menangis karena bahagia dan menyebabkan tubuhku bergetar, aku merasa
pasti akan hal berikut: dua gaya yang tak pernah bersatu telah menyatu untuk
menciptakan sesuatu yang baru dan menakjubkan. Kita berutang pada Bihzad dan
kemegahan lukisan Persia yang mempertemukan kepekaan ilustrasi Arab dengan
lukisan Cina-Mongol. Lukisanlukisan terbaik Shah Tahmasp berbaur dengan gaya
Persia dan kehalusan orangorang Turki. Kini, jika orangorang tidak bias
menghargai bengkel kerja buku seni Akbar Khan di Hindustan, ini karena ia
mendorong para miniaturisnya menerima beragam gaya para empu kaum Frank. Milik
Tuhanlah Timur dan Barat. Semoga Ia melindungi kita dari kehendak untuk menjadi
murni dan tak mau berbaur."
Bagaimanapun lembut dan terangnya wajahnya dalam cahaya lilin, bayangannya yang
terpantul di dinding sama hitam dan menakutkannya. Alihalih menemukan kata-
katanya masuk akal, aku justru tidak memercayainya. Aku menduga ia curiga
padaku, dan oleh karenanya aku pun makin curiga padanya. Kurasakan ia berkali
kali mendengarkan gerbang halaman di bawah,
berharap seseorang akan membebaskannya dari kehadiranku.
"Kau sendiri mengatakan padaku bagaimana Syekh Muhammad dari Isfahan membakar
perpustakaan agung berisi lukisanlukisan yang telah ia campakkan dan bagaimana
ia juga mengorbankan diri dalam kesadaran yang terganggu," ujarnya. "Kini
biarkan aku bercerita padamu kisah lain yang tidak kauketahui berkaitan dengan
legenda itu. Memang benar, ia telah menghabiskan tiga puluh tahun terakhir
hidupnya untuk memburu karya-karyanya sendiri. Bagaimanapun, dalam bukubuku yang
ia baca dengan teliti, ia menemukan banyak sekali karya tiruan yang diilhami
oleh karya-karyanya dibanding karya aslinya sendiri. Dalam tahuntahun
berikutnya, ia sampai pada kesadaran bahwa dua generasi seniman telah menerima
model bentuk ilustrasi yang justru telah ia campakkan, bahwa mereka telah
menanam dalam-dalam lukisanlukisannya dalam benak mereka atau lebih tepatnya, ?telah membuat lukisanlukisan itu sebagai bagian jiwa mereka. Saat Syekh Muhammad
mencoba menemukan lukisanlukisannya sendiri dan menghancurkannya, ia menemukan
bahwa para miniaturis muda, dengan penghormatan, telah membuat ulang
lukisanlukisan itu dalam bukubuku yang tak terhitung banyaknya, dan telah
mengacu pada lukisanlukisan itu dalam membuat ilustrasi kisahkisah lain,
sehingga menyebabkan lukisanlukisan itu diingat oleh semua orang dan tersebar ke
seluruh dunia. Selama bertahuntahun, ketika kita melihat buku demi buku dan
ilustrasi demi ilustrasi, kita mengetahui hal-hal berikut: Seorang pelukis hebat
tidak berpuas diri dengan memengaruhi kita lewat karya-karya utamanya; yang
terpenting, ia berhasil mengubah cara berpikir kita. Sekali kemahiran seorang miniaturis masuk ke dalam
jiwa kita dengan cara seperti ini, itu akan menjadi patokan bagi keindahan dalam
dunia kita. Di akhir hidupnya, ketika empu dari Isfahan itu membakar karya
seninya sendiri, ia bukan hanya menyaksikan fakta bahwa karya-karyanya, alihalih
musnah, justru berkembang biak dan bertambah. Ia mengerti bahwa semua orang kini
melihat dunia dengan cara ia memandangnya. Hal-hal yang tidak menyerupai
lukisanlukisan yang ia buat dalam masa mudanya kini justru dianggap buruk."
Tak kuasa mengendalikan rasa kagum yang bergelora dalam diriku dan tak mampu
mengendalikan hasratku untuk menyenangkan Enishte Effendi, aku jatuh di hadapan
lututnya. Saat aku mencium tangannya, mataku bersimbah air mata dan aku merasa
telah memberikan padanya tempat dalam jiwaku yang sebelumnya selalu ditempati
oleh Tuan Osman. "Seorang miniaturis," ujar Enishte Effendi dengan nada suara seorang yang
berpuas diri, "menciptakan karya seninya dengan memerhatikan kesadarannya dan
mematuhi prinsip-prinsip yang ia yakini, tanpa takut pada apa pun. Ia tak peduli
pada perkataan musuhmusuhnya, orangorang fanatik, dan mereka yang iri padanya."
Namun, bagiku Enishte Effendi bukanlah seorang miniaturis saat aku mencium
tangannya yang tua itu di sela derai air mataku. Aku merasa malu dengan
pikiranku. Seakanakan ada orang lain yang memasukkan dengan paksa gagasan tak
tahu malu yang jahat itu ke dalam kepalaku. Kau pun tahu betapa benarnya
pernyataan ini. "Aku tak takut pada mereka," ujar Enishte, "karena aku tak takut mati."
Siapakah "mereka" itu" Aku menganggukkan kepala seakanakan aku mengerti. Namun,
hatiku mulai merasa tak enak. Aku memerhatikan bahwa buku tua yang tegeletak di
samping Enishte adalah Kitab Sukma karya El-Jezviyye, Para orang tua pikun yang
merindukan kematian mencintai buku ini yang menceritakan petualangan-petualangan
yang menanti jiwa manusia. Sejak terakhir kali aku ke sini, aku hanya melihat
satu benda baru di antara bendabenda yang terkumpul di atas baki yang terletak
di atas peti, di antara tempat pena, pisau pemotong pena, papan untuk alas
pemotong ujung pena, wadah tinta, dan kuas: sebuah tempat tinta dari perunggu,
"Mari kita tetapkan, sekali dan selamanya, bahwa kita tidak takut pada mereka,"
kataku dengan berani. "Keluarkanlah ilustrasi yang terakhir. Mari kita tunjukkan
pada mereka." "Tapi tidakkah ini akan membuktikan bahwa kita memikirkan fitnahan mereka, atau
setidaknya kita menganggapnya serius" Kita tak melakukan apa pun atas apa yang
tidak kita takuti. Apakah yang bisa membuatmu sampai begitu ketakutan?"
Ia mengelus rambutku seperti seorang ayah. Aku takut aku bakal menangis lagi.
Kupeluk ia. "Aku tahu mengapa Elok Effendi yang malang itu dibunuh," ujarku penuh semangat.
"Dengan menghujatmu, bukumu dan kita, Elok Effendi sedang berencana menghasut
para pengikut Nusret Hoja dari Erzurum agar menyerang kita. Ia meyakinkan mereka
bahwa kita telah tergoda oleh setan. Ia mulai menyebarkan gunjingan semacam itu,
mencoba menghasut para miniaturis lain yang sedang mengerjakan bukumu agar
memberontak melawanmu, Aku tak tahu mengapa ia tibatiba melakukan hal ini. Barangkali karena
cemburu, barangkali ia dipengaruhi setan. Dan para miniaturis lain pun mendengar
bagaimana Elok Effendi bersikukuh hendak menghancurkan kita. Kau bisa bayangkan
bagaimana mereka menjadi takut dan mengalah pada godaan untuk curiga seperti
diriku, Karena salah satu dari kelompok mereka disudutkan, di tengah malam, oleh
Suling Naga 17 Musuh Dalam Selimut Karya Liang Ie Shen Makhluk Mungil Pembawa 2
^