Pencarian

Putri Kesayangan Ayah 2

Putri Kesayangan Ayah Daddy's Little Girl Karya Mary Higgins Clark Bagian 2


berhasil. Jack Bern memang penulis yang baik. Dia sudah
menyelesaikan artikel tentang kasus itu, yang akan dimuat dalam
Vanity Fair bulan depan."
Pete mengambil sepotong roti hangat lagi. "Apa yang bisa
kaulakukan mengenainya?"
"Aku sedang menulis buku yang akan beredar musim semi,
dalam minggu yang sama dengan buku Bern diterbirkan."
Kusampaikan padanya pembicaraanku dengan Maggie Reynolds. Pete
pernah bertemu Maggie dalam acara peluncuran buku yang
diselenggarakannya untukku di Atlanta. "Maggie yang akan
mendukung, dan dia akan membantuku memperlancar prosesnya. Tapi
sementara itu aku harus berusaha menepis artikel-artikel Bern dan
siaran pers keluarga Westerfield."
Pete masih diam. Satu hal lagi mengenai dirinya - ia tidak
pernah terburu-buru memberikan harapan. Dan ia tidak pernah
berusaha mengisi saat-saat hening dalam suatu percakapan.
"Pete, aku menyadari sepenuhnya bahwa serangkaian artikel
mengenai tindak kejahatan yang dilakukan dua puluh dua tahun lalu di
Westchester Country, New York, mungkin tidak akan menggugah
minat banyak orang di daerah Georgia, selain itu kurasa tempatnya
juga tidak akan sesuai. Nama keluarga Westerfield identik dengan
New York." "Setuju. Jadi, apa yang akan kaulakukan sekarang?"
"Mengambil cuti kalau kau tidak keberatan. Atau kalau itu tidak
mungkin, mengundurkan diri, menulis buku itu, dan melihat
perkembangannya setelah buku itu selesai."
Pelayan datang ke meja kami. Kami sama-sama memesan
cannelloni dan selada hijau. Pete sempat ber-hmmm dan ehm sesaat,
tapi setelah itu memutuskan ia ingin memakai saus Gorgonzola.
"Ellie, aku akan melowongkan tempat itu bagimu selama aku
bisa." "Apa maksudmu?"
"Aku sendiri mungkin tidak lama lagi di situ. Ada beberapa
penawaran menarik yang ingin kupertimbangkan."
Aku terkejut. "Tapi the News kan kesayanganmu."
"Kita sudah terlalu besar untuk berkompetisi. Sudah ada
pembicaraan untuk mengompensasi kita. Ada yang menaruh minat.
Mereka tidak begitu peduli mengenai korannya; yang penting
besarnya keuntungan yang dapat mereka peroleh."
"Lalu kau akan ke mana?"
"L.A. Times sepertinya akan menawarkan sesuatu.
Kemungkinan lain adalah Houston."
"Yang mana pilihanmu?"
"Sebelum penawaran itu benar-benar datang, aku tidak akan
menyia-nyiakan waktuku memilih apa yang mungkin tidak ada."
Tanpa menunggu komentarku, Pete melanjutkan ucapannya.
"Ellie, aku sudah melakukan riset ringan sehubungan dengan
kasusmu. Keluarga Westerfield sudah lumayan andal dalam menyusun
strategi pembelaan dalam menghadapi kasus kejahatan ini. Mereka
memiliki tim pengacara yang mengesankan dan sudah siap mengisi
kantong-kantong mereka. Mereka memiliki figur Nebels, dan seculas
apa pun dia, toh akan ada beberapa orang yang mempercayai versi
ceritanya. Lakukanlah apa yang memang harus kaukerjakan, tapi
kumohon, kalau Westerfield sampai diajukan kembali dan namanya
sampai dibersihkan, berjanjilah bahwa kau akan menarik diri."
Ia menatapku langsung. "Ellie, aku tahu apa yang ada dalam
kepalamu, 'Itu tidak mungkin.' Andai aku bisa meyakinkanmu bahwa
tak peduli apa pun yang kau ataupun Bern tulis, banyak orang yang
sampai mati akan merasa Westerfield telah mendapatkan perlakuan
tidak adil, sementara yang lain masih tetap akan menganggapnya
bersalah." Pete tidak bermaksud jelek dengan advisnya, tapi malam itu,
saat aku sedang mempersiapkan segala sesuatu yang kubutuhkan
untuk memperpanjang masa tinggalku di Oldham, aku menyadari
bahwa, bersalah atau tidak bersalah, Rob Westerfield sudah menjalani
masa hukumannya, bahwa orang akan mempunyai pandangan apa pun
yang mereka mau mengenai hikmah dari kasus ini, dan sudah
waktunya bagiku merelakan kenyataan itu.
Tidak ada yang salah memendam amarah demi kebenaran,
batinku. Kecuali kalau itu sudah terlalu lama menjadi ganjalan.
Aku meluncur kembali ke Oldham, dan minggu berikutnya
sidang untuk menentukan pembebasan bersyarat Rob Westerfield
diadakan. Sebagaimana diharapkan, permohonannya dikabulkan, dan
seperti yang diputuskan, ia akan dibebaskan pada tanggal 31 Oktober.
Pas pada hari Halloween, batinku. Benar-benar pas. Pada
malam makhluk-makhluk jahat gentayangan bebas di muka bumi.
Chapter 16 PAULIE STROEBEL sedang berdiri di belakang konter saat
aku membuka pintu tokonya, bel yang ditempelkan di pintu
berdenting-denting. Bayanganku yang samar-samar mengenai dirinya berkisar
sekitar stasiun pompa bensin lama tempat ia bekerja sekian tahun lalu.
Ia biasa mengisi bensin ke dalam tangki kendaraan kami, setelah itu
menyemprot dan mengelap kaca depan mobil sampai mengilat. Aku
masih ingat ibuku mengatakan, "Paulie memang anak baik," ucapan
sentimentil yang tidak pernah dilontarkan lagi setelah ia mulai
dicurigai sehubungan dengan kematian Andrea.
Kurasa kenanganku mengenai penampilannya secara fisik
sebagian, atau mungkin semata-mata, didasarkan pada foto-fotonya
yang kulihat dalam kliping-kliping koran yang disimpan ibuku,
kliping-kliping yang membeberkan secara mendetail kasus
pembunuhan Andrea dan sidangnya. Tidak ada yang lebih menggugah
minat baca publik daripada diajukannya putra tampan sebuah keluarga
terkemuka dan kaya sebagai tersangka dalam kasus pembunuhan
seorang gadis remaja yang cantik.
Tentu saja ada gambar-gambar yang menyertai teks-teks itu:
jenazah Andrea yang digotong keluar dari garasi yang menjadi tempat
persembunyian; peti matinya yang digotong keluar dari gereja; ibuku,
dengan tangan-tangan tercakup, wajah mengungkapkan kesedihan
yang amat sangat; ayahku, dengan ekspresi tidak keruan; aku sendiri,
tampak kecil dan bingung; Paulie Stroebel, terguncang dan tegang;
Rob Westerfield, arogan, tampan, dan menyeringai; Will Nebels,
dengan senyum aneh yang tidak wajar.
Hari kerja yang sukses untuk para fotografer yang bertekad
merangkum emosi insani yang sesungguhnya.
Ibuku tidak pernah menceritakan padaku bahwa ia memiliki
koleksi kliping surat kabar ataupun transkripsi sidang pengadilan ini.
Setelah ia meninggal, aku sempat terguncang begitu menemukan
bahwa koper yang selama ini menemani kepindahan kami ke manamana sesungguhnya
sebuah kotak Pandora yang menyimpan
kenangan sedih. Tebersit sekarang bahwa di saat-saat minuman keras
menghantar ibuku ke suasana depresi, ada kemungkinan ia membuka
koper itu dan menghayati kembali penderitaan pribadinya.
Aku yakin Paulie dan Mrs. Srroebel sudah mendengar aku ada
di kota itu. Begitu ia mengangkat wajahnya dan melihatku, Paulie
tampak tertegun, tapi setelah itu ekspresinya berubah waswas. Aku
menghirup berbagai aroma sedap daging asap dan penganan yang
sepertinya merupakan ciri khas toko makanan Jerman, dan kami
berdiri di sana sambil saling menatap.
Penampilan Paulie yang gempal kelihatannya lebih sesuai unruk
lelaki dewasa dibandingkan foto-fotonya di koran, ketika ia masih
remaja. Pipinya yang gembil sudah susut, ekspresi matanya tidak lagi
mengungkapkan rasa salah tingkah seperti dua puluh tiga tahun yang
lalu. Saat itu beberapa menit menjelang pukul enam, waktu tutup, dan
sebagaimana kuharapkan, tidak ada pelanggan yang muncul pada saatsaat terakhir
untuk mendapatkan pelayanan.
"Paulie, aku Ellie Cavanaugh." Aku melangkah mendekat, dan
mengulurkan tanganku melalui meja kasir. Ia menyambut uluranku,
genggamannya mantap, bahkan sedikit terlalu kuat.
"Aku dengar kau kembali. Will Nebels bohong. Aku tidak ada
di sana malam itu." Suara protesnya bernada tersinggung.
"Aku tahu kau tidak di sana waktu itu."
"Tidak adil dia mengatakan itu."
Pintu yang memisahkan dapur dengan bagian muka toko itu
membuka, kemudian Mrs. Stroebel melangkah keluar. Kesan yang
kuperoleh saat itu adalah bahwa ia senantiasa siap menghadapi apa
pun yang mungkin kurang menyenangkan untuk putranya.
Ia tampak lebih tua, tentu saja, dan ia bukan lagi wanita berpipi
semerah apel yang kuingat. Tubuhnya lebih kurus sekarang.
Rambutnya ubanan, dengan hanya sedikit nuansa bunga daffodil yang
kuingat, dan ia berjalan sedikit pincang. Begitu melihatku, ia berkata,
"Ellie?" dan ketika aku mengangguk, ekspresi cemasnya berubah
menjadi senyuman selamat datang. Ia bergegas mengitari konter untuk
merangkulku. Setelah aku memberikan kesaksianku di muka sidang, Mrs.
Stroebel menghampiriku, mencakup kedua tanganku dalam tangantangannya, dan
dengan air mata tertahan mengucapkan terima
kasihnya padaku. Si pembela telah mencoba mengarahkan aku untuk
mengatakan bahwa Andrea takut pada Paulie, dan kurasa saat berada
di mimbar aku sempat bersiteguh dengan pernyataanku. "Aku tidak
bilang Andrea takut pada Paulie, karena kenyataannya memang tidak.
Dia cuma takut Paulie akan mengadukan pada Daddy bahwa kadangkadang dia menemui
Rob di tempat persembunyian itu."
"Menyenangkan sekali melihatmu lagi, Ellie. Kau sudah
menjadi wanita dewasa, dan aku sudah tua," ujar Mrs. Stroebel saat
bibirnya menyentuh pipiku. Aksen negeri asalnya ikut mengalir
seperti madu di antara kata-katanya.
"Tidak, Anda belum tua," protesku. Kehangatan sambutannya,
seperti juga kehangatan Mrs. Hilmer menyambut kedatanganku, terasa
bak kilasan cahaya yang menyelingi suasana sedih yang tak bisa
disisihkan dan terus menghantuiku sepanjang waktu. Rasanya seperti
pulang ke tempat orang-orang yang betul-betul peduli mengenai
keberadaanku. Di sini, di antara mereka, bahkan setelah sekian lama,
aku bukan orang asing dan aku tidak sendirian.
"Pasang papan tanda 'Tutup' di pintu, Paulie," ujar Mrs.
Stroebel cepat. "Ellie, bagaimana kalau kau ikut pulang dan makan
bersama kami?" "Akan menyenangkan sekali."
Aku membuntuti mereka dengan mobilku. Mereka tinggal
sekitar satu mil dari sana, di salah satu bagian kota yang lebih tua.
Rumah-rumahnya dibangun menjelang akhir abad kesembilan belas,
dan aku bisa membayangkan generasi demi generasi keluargakeluarga yang duduk di
serambi-serambi depannya pada musim panas.
Anjing keluarga Stroebel, seekor Labrador kuning, menyambut
kedatangan kami dengan antusias, dan Paulie langsung mengambil
talinya untuk mengajaknya jalan-jalan.
Rumah mereka ternyata persis seperti yang kubayangkan -
hangat, bersih, dan nyaman. Aku memveto usul Mrs. Stroebel untuk
duduk di salah satu sofa empuk di ruang keluarga dan mengikuti
siaran berita di TV, sementara ia menyiapkan makan malam di dapur.
Aku memilih mengikutinya ke sana, duduk di bangku tinggi di meja
dapur, menonton ia bekerja. Aku menawarkan diri untuk membantu,
tapi dengan tegas ia menyatakan tidak perlu.
"Cuma ala kadarnya," ujarnya. "Aku sudah membuat semur
daging kemarin. Aku selalu menghidangkannya pada hari kedua.
Lebih enak rasanya begitu. Lebih sedap."
Tangannya bekerja dengan sigap, menyiapkan sayuran yang
akan ditambahkan pada semur iru, menguleni adonan untuk membuat
kue kering, memotong sayuran untuk salad. Aku duduk diam-diam,
karena menduga ia ingin berkonsentrasi pada apa yang sedang
dikerjakannya, dan setelah itu barulah kami akan berbincang-bincang.
Ternyata benar. Baru sekitar lima belas menit kemudian, dengan anggukan puas
ia berkata, "Oke. Sekarang, sebelum Paulie kembali, kau harus
bercerita padaku. Apakah Westerfield dapat melakukan ini" Setelah
dua puluh dua tahun, apakah mereka bisa mengupayakan kembali
untuk menjadikan putraku pembunuh?"
"Mereka boleh saja mencoba, tapi belum tentu akan berhasil."
Bahu Mrs. Stroebel melunglai. "Ellie, Paulie sudah melewati
begitu banyak. Kau tahu ketika dia masih muda, segalanya begitu sulit
baginya. Dia bukan murid yang pandai. Semua orang rahu itu.
Ayahnya dan aku selalu cemas mengenai dirinya. Paulie sebetulnya
begitu manis dan baik. Di sekolah dia selalu dikucilkan, kecuali saat
dia bermain football. Hanya pada saat itulah dia merasa dirinya
disukai." Jelas sulit bagi Mrs. Stroebel untuk melanjutkan ucapannya.
"Paulie bermain sebagai cadangan, karena itu dia tidak begitu banyak
muncul. Tapi suatu hari mereka menyertakannya dalam permainan,
dan memperoleh angka, tapi kemudian - aku tidak begitu mengerti
permainannya; andai ayahnya masih hidup, dia pasti dapat
menceritakannya padamu - Paulie mendapat bolanya pada saat-saat
terakhir, dan melakukan sesuatu yang membuat mereka memenangkan
pertandingan itu. "Kakakmu anggota band pada waktu itu, yang paling cantik di
antara semua, seingatku. Dia yang menyambar megaphone ketika itu,
dan bergegas lari ke lapangan. Berulang kali Paulie menceritakan hal
itu padaku - tentang sorakan meriah yang diberikan Andrea untuk
menyambut keberhasilannya."
Mrs. Stroebel terdiam sebentar, memiringkan kepala, seakan
mencoba menangkap suatu suara, dan setelah itu, dalam suara rendah
tapi penuh emosi, ia melantunkan, "Ayo kita sambut Paulie Stroebel
yang paling hebat di antara semua. Dia baik, dia lucu, kita suka
padanya, kita sambut Paulie Stroebel, yang paling hebat di antara
semua. " Matanya berkaca-kaca saat ia mengatakan, "Ellie, itu
merupakan saat-saat paling membahagiakan dalam hidup Paulie. Kau
tidak akan bisa membayangkan bagaimana situasinya baginya setelah
Andrea meninggal, dan keluarga Westerfield mencoba melemparkan
kesalahan itu pada dirinya. Aku yakin dia bersedia mati kalau itu bisa
menyelamatkan Andrea. Dokter kami sempat cemas dia akan mencelakai dirinya sendiri.
Kalau kau sedikit berbeda dari yang lain, sedikit lebih lamban, mudah
sekali bagimu merasa tertekan.
"Keadaannya begitu membaik dalam beberapa tahun terakhir
ini. Dia semakin banyak mengambil keputusan di toko. Kau tahu apa
maksudku. Seperti tahun lalu, dia memutuskan memasang beberapa
meja dan menyewa tenaga orang untuk melayani. Sekadar sarapan
pagi sederhana, kemudian roti sandwich untuk sore hari. Ternyata itu
populer sekali." "Aku melihat meja-meja itu."
"Hidup bagi Paulie memang tidak akan pernah mudah. Dia
selalu harus kerja lebih keras daripada yang lain. Dia akan baik-baik
saja, kecuali..." "Kecuali orang-orang secara aktif mulai menuding ke arahnya
lagi, dan bertanya-tanya apakah bukan dia yang seharusnya
mendekam di penjara selama dua puluh dua tahun," aku menyela.
Mrs. Stroebel mengangguk. "Ya. Itulah yang kumaksudkan."
Kami mendengar pintu depan dibuka. Langkah-langkah kaki
Paulie dan salak pendek si anjing Labrador menyatakan kehadiran


Putri Kesayangan Ayah Daddy's Little Girl Karya Mary Higgins Clark di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka. Paulie melangkah masuk ke dapur. "Tidak adil orang itu
menyatakan aku yang melukai Andrea," ujarnya, kemudian ia
bergegas ke lantai atas. "Dia mulai dihantui lagi oleh masalah itu," ujar Mrs. Stroebel
dalam nada datar. Chapter 17 SEHARI setelah bertemu keluarga Stroebel, aku mencoba
menghubungi Marcus Longo, detektif yang menginvestigasi kasus
pembunuhan Andrea waktu itu. Aku mendengar suara mesin penerima
telepon, dan meninggalkan pesan untuk menyatakan siapa aku dan
nomor ponselku. Selama beberapa hari teleponku tidak dibalas.
Aku kecewa sekali. Mengingat kerasnya reaksi Longo di
televisi menanggapi pandangannya mengenai Rob Westerfield,
semula aku mengira ia akan menyambar pesawatnya untuk
menjawabku. Tepat saat aku mulai dapat menerima kenyataan tidak
akan memperoleh dukungannya, pada tanggal 30 Oktober, ponselku
berbunyi. Ketika aku mengangkatnya, sebuah suara tenang bertanya,
"Ellie, apakah rambutmu masih berwarna pasir dengan biasan cahaya
matahari?" "Halo, Mr. Longo."
"Aku baru kembali dari Colorado, karena itulah kau selama ini
tidak mendengar apa-apa dariku," ujarnya. "Cucu kami yang pertama
lahir hari Selasa yang lalu. Istriku masih ada di sana. Kau bisa pergi
makan bersamaku malam ini?"
"Akan menyenangkan sekali." Kuberitahukan padanya bahwa
aku tinggal di apartemen tarnu Mrs. Hilmer.
"Aku tahu di mana Mrs. Hilmer tinggal."
Hening sesaat, sementara kami sama-sama membatin bahwa
tentu saja ia tahu itu - Mrs. Hilmer tinggal di ujung jalan rumah kami.
"Aku akan menjemputmu pukul tujuh, Ellie."
Aku menunggu ia muncul, dan bergegas turun begitu melihat
mobilnya membelok masuk dan mulai menelusuri jalan mobil. Jalan
itu bercabang, garasi dengan apartemen tamu Mrs. Hilmer terletak di
ujung sebelah kanannya. Tadinya tempat itu istal, dan letaknya
sebenarnya agak jauh dari rumah induk. Aku tidak ingin Marcus
Longo salah belok. Ada orang-orang tertentu di dunia ini yang bisa langsung
membuat kita merasa nyaman. Seperti itulah yang kurasakan dengan
Marcus Longo, begitu aku mengambil tempat di bangku sebelahnya.
"Bertahun-tahun lamanya aku sering memikirkanmu," ujarnya
sambil memutar balik kendaraannya. "Kau sudah ke Cold Spring sejak
kau kembali?" "Aku pernah melewatinya suaru sore, tapi aku tidak turun dari
mobil. Aku ingat aku sering ke sana sewaktu masih kanak-kanak.
Ibuku suka melihat-lihat di toko-toko antiknya."
"Yah, toko-toko itu masih ada, tapi sekarang juga ada beberapa
restoran bagus di sana."
Oldham adalah kota paling utara di perbatasan antara Sungai
Hudson dan Westchester Counry. Cold Spring tertetak di tepian
Hudson, persis melewati batas Putman Country, di seberang Hudson
dari arah West Point. Tempat yang sangat indah, dengan Main Street
yang menampakkan kesan dan suasana seperti di abad kesembilan
belas. Aku memiliki beberapa kenangan yang sangat nyata mengenai
keberadaanku di sana bersama ibuku. Malah, selama tenggang waktu
sekian tahun, kadang-kadang ibuku berbicara tentang Cold Spring;
"Kau masih ingat bagaimana pada sore-sore hari Sabtu kita naik
mobil menelusuri Main Street, kemudian mampir di toko-toko antik
kecil" Aku sedang melatih kalian supaya bisa menghargai barangbarang indah.
Salahkah itu?" Ia akan mulai bernostalgia seperti itu setelah meminum gelas
Scotch-nya yang kedua atau ketiga. Menjelang usia sepuluh tahun,
aku mulai menambahkan air pada botol Dewar-nya, dengan harapan
itu akan memperlambat efek minuman tersebut padanya. Namun
sepertinya tidak terlalu berhasil.
Longo sudah memesan tempat di Cathryn, restoran terbuka
yang menjual daging panggang ala Tuscan di ujung jalan Main Street.
Di sana, di sebuah meja pojok, kami mulai saling menjajaki. Anehnya,
setelah berhadapan ia tampak lebih tua daripada di televisi. Ada
kerutan di daerah sekitar mata dan mulutnya, dan meski tubuhnya
berkesan besar, sepertinya secara fisik ia tidak sekuat itu. Aku
bertanya-tanya apakah sementara ini ia sempat sakit.
"Entah mengapa, tadinya aku mengira tinggimu akan sekitar
seratus enam puluh lima," ujarnya. "Kau kecil sekali untuk usiamu
ketika masih kecil."
"Aku mulai tumbuh selagi di sekolah menengah."
"Kau mirip ayahmu, tahu" Kau sudah menemuinya?"
Pertanyaan itu mengejutkanku. "Belum. Dan aku tidak berniat
menemuinya." Tadinya aku tidak mau menanyakan itu, namun rasa
ingin tahu toh menggugahku. "Apakah Anda sering bertemu
dengannya, Mr. Longo?"
"Panggil saja aku Marcus. Sudah bertahun-tahun aku tidak
bertemu dengannya, tapi putranya, adik seayahmu, atlet serbabisa
yang andal. Dia sering diliput di koran-koran lokal. Ayahmu pensiun
dari dinas patroli daerah sekitar delapan tahun lalu, ketika berumur
lima puluh sembilan tahun. Ada beberapa artikel yang simpatik
mengenai dirinya di koran-koran lokal. Perjalanan kariernya cukup
mengesankan." "Mereka tentunya juga sempat menyinggung soal kematian
Andrea?" "Ya, dan mereka juga memuat beberapa foto, yang baru dan
yang mereka ambil dari arsip. Dari situlah aku melihat sekarang
bahwa kau mirip dengannya."
Aku tidak menjawab. Longo menaikkan alisnya. "Jelas itu
kumaksud sebagai pujian. Meminjam kata-kata ibuku, 'Kau tumbuh
dengan baik.'" Tiba-tiba ia mengalihkan pembicaraan. "Ellie, aku
sudah membaca bukumu dan menyukai isinya. Di dalamnya kau
merangkum dengan baik sekali kepedihan yang dirasakan pihak
keluarga korban. Aku tahu dari mana asalnya itu."
"Tentu saja Anda tahu."
"Kenapa kau kemari, Ellie?"
"Aku kemari karena aku harus memprotes kemungkinan Rob
Westerfield dilepas secara bersyarat."
"Meski kau tahu kau mungkin hanya menyia-nyiakan jatah
penerbangan gratismu," ujar Marcus Longo dalam nada datar.
"Aku tahu upayaku mungkin akan sia-sia."
"Apa kau merasa perlu menyuarakan pendapatmu di tengahtengah padang belantara?"
"Pesanku bukan dimaksudkan untuk membuka jalan bagi Yang
Maha Kuasa. Aku cuma ingin mengingatkan. Kalian akan melepas
seorang pembunuh." "Tapi kau toh akan menyuarakannya di tengah-tengah padang
belantara. Pintu-pintu itu akan dibuka besok pagi untuk Rob
Westerfield, dan dia akan melangkah keluar dari kerangkengnya.
Sebaiknya kau mendengar perkataanku baik-baik, Ellie. Tak perlu
diragukan lagi bahwa kasusnya akan diajukan kembali ke muka
sidang. Kesaksian Nebels mungkin cukup untuk menimbulkan
keraguan di pihak juri, sehingga Westerfield memiliki peluang untuk
dinyatakan tidak bersalah. Namanya akan dibersihkan, dan keluarga
Westerfield akan hidup bahagia selama-lamanya.
"Itu tidak boleh sampai terjadi."
"Ellie, sebaiknya kau mengerti: Keluarga Westerfield merasa
perlu mewujudkan ini. Robson Parke Westerfield adalah pewaris
terakhir dari nama yang tadinya baik dan sangat dihormati. Jangan
sampai kau terpengaruh oleh pandangan umum yang diciptakan
ayahnya. Di balik penampilannya yang sok dermawan, Vincent
Westerfield, ayah Rob, adalah bangsawan bandit yang serakah, namun
dia mendambakan respek untuk putranya. Dan Mrs. Westerfield senior
mcngharapkan itu darinya."
"Apa artinya itu?"
"Artinya, di usia sembilan puluh dua tahun dia masih memiliki
pikiran terang dan memegang kendali atas harta kekayaan
keluarganya. Kalau nama Rob tidak dibersihkan, dia akan
mendermakan seluruh hartanya."
"Tentunya Vincent Westerfield masih punya banyak uang atas
namanya sendiri." "Tentu saja. Tapi itu tidak seberapa dibandingkan kekayaan
ibunya. Mrs. Dorothy Westerfield orang yang berkelas, dan dia tidak
lagi seutuhnya yakin mengenai status tidak bersalah cucunya.
Bukankah ayahmu mengusirnya keluar dari rumah kalian pada hari
upacara penguburan iru?"
"Ya, memang. Ibuku masih tetap menyesali kejadian itu."
"Sepertinya Mrs. Dorothy Westerfield juga merasakan hal yang
sama. Ayahmu telah mengkonfrontasinya secara terbuka dengan fakta
bahwa orang yang merampok dan menembak dirinya menyatakan dia
berkomplot dengan Rob."
"Ya, aku masih ingat ayahku meneriakkan itu."
"Dan sepertinya Mrs. Dorothy juga tidak melupakan itu. Tentu
saja dia ingin mempercayai bahwa Rob telah dihukum secara tidak
adil, namun aku menangkap keraguan di dalam dirinya, yang seiring
perjalanan waktu jadi semakin kuat. Kini, setelah merasa mulai
dikejar waktu, dia berkompromi dengan si ayah. Kalau Rob memang
tidak bersalah, pastikan perkaranya diajukan lagi, dan coreng yang
menodai nama keluarga mereka harus dibersihkan. Kalau tidak,
uangnya, harta keluarga Westerfield, akan didermakan."
"Aku tak menyangka dia memiliki hak suara begitu besar atas
itu." "Mungkin suaminya, ayah Vincent, telah melihat sesuatu dalam
diri putranya yang membuatnya mengatur semuanya seperti itu. Dia
beruntung tidak hidup cukup lama untuk melihat cucunya dihukum
karena tindak pembunuhan."
"Jadi, si ayah harus membuktikan bahwa Rob tidak bersalah,
dan tiba-tiba muncul saksi yang melihat Paulie Stroebel memasuki
tempat persembunyian itu. Apakah Mrs. Westerfield senior dapat
mempercayai versi itu?"
"Ellie, yang dia inginkan adalah sidang baru untuk menelaah
kembali kasus itu dan mengeluarkan keputusan yang dia harapkan."
"Dan Vincent Westerfield akan memastikan hasil keputusan
sidang itu nanti." "Sebaiknya aku menceritakan sesuatu padamu tentang Vincent
Westerfield. Sudah bertahun-tahun dia mendambakan merombak ciri
khas Hudson Valley menjadi daerah hunian berorientasi bisnis. Dia
akan membangun mal di tengah-tengah Sungai Hudson, kalau dia
dapat menemukan cara untuk mewujudkannya. Kaupikir dia peduli
apa yang akan terjadi pada Paulie Stroebel?"
Kartu menu disajikan. Aku memilih hidangan khusus hari itu,
masakan iga kambing muda. Marcus memesan ikan salmon.
Saat menikmati salad, aku mengungkapkan rencanaku padanya.
"Saat menonton wawancara Will Nebels di televisi, aku memutuskan
mencoba mempublikasi beberapa artikel hasil investigasiku. Yang
kuperoleh sejauh ini adalah kontrak menulis buku untuk menimpali
apa yang ditulis Jake Bern."
"Mereka tidak hanya menyuruh Bern menulis buku, mereka
memiliki sarana publisitas yang siap menggelitik dan membuat heboh
kalangan media massa. Yang kaulihat di televisi baru merupakan
tahap awal," Longo mengingatkan. "Aku tidak heran kalau mereka
tiba-tiba menampilkan foro Rob dalam seragam pramuka Eagle
Scout." "Aku masih ingat ayahku mengatakan dia benar-benar brengsek
luar-dalam. Bagaimana cerita tentang pembobolan di rumah
neneknya?" Marcus memiliki daya ingat detektif dalam hal-hal yang
berhubungan dengan tindak kejahatan. "Neneknya sedang berada di
rumahnya di Oldham. Suatu tengah malam, dia mendengar suara,
kemudian bangun. Seorang pembantu tinggal di sana, tapi di sayap
bangunan yang terpisah. Begitu Mrs. Westerfield membuka pintu
kamar tidurnya, dia ditembak dalam jarak dekat. Dia tidak sempat
melihat tampang si penyerang, namun laki-laki itu tertangkap
beberapa hari sesudahnya. Dia menyatakan disuruh Rob dengan janji
sepuluh ribu dolar, kalau dia berhasil menghabisi nyawa si nenek.
"Tidak perlu ditambahkan bahwa tidak ada bukti. Itu hanya
ucapan anak muda putus sekolah berusia dua puluh satu tahun, dengan
catatan kejahatan remaja yang panjang untuk menjatuhkan seorang
Westerfield." "Lalu apa motivasi Rob?"
"Uang. Neneknya mewariskan seratus ribu dolar untuknya. Si
nenek menganggap enam belas tahun bukan usia yang terlalu muda
uniuk mulai mengelola dan menanam uang secara bertanggung jawab.
Tapi dia tidak tahu ketika itu bahwa Rob punya masalah dengan obatobat
terlarang." "Jadi, dia percaya cucunya tidak terlibat dalam penembakan
itu?" "Ya. Namun dia toh mengubah surat wasiatnya. Haknya itu
kemudian mubazir." " Jadi, dia sudah memiliki keraguan mengenai cucunya ketika
itu?" Longo mengangguk. "Itu, dikombinasi keraguan mengenai
keterlibatannya dalam kasus pembunuhan kakakmu, akhirnya menjadi
satu. Intinya, dia menyatakan pada putra dan cucunya untuk
membereskan situasinya atau menutup mulut mereka."
"Lalu bagaimana mengenai ibu Rob Westerfield?"
"Wanita yang juga berkelas. Dia menghabiskan hampir seluruh
waktunya di Florida. Dia memiliki bisnis merancang tata ruang di
Palm Beach. Memakai nama gadisnya, bisa kutambahkan. Dia sangat
sukses. Kau bisa menemukan namanya di Internet."
"Aku sudah membuka situs," sahutku.
Longo menaikkan alisnya. "Itu merupakan cara tercepat untuk menyebarluaskan informasi.
Tiap hari, mulai besok dan seterusnya, aku akan menulis tentang kasus
pembunuhan Andrea dan keterlibatan Rob Westerfield dalam situsku.
Aku akan menelaah setiap rumor negatif mengenai dirinya, dan
mencoba memastikan substansinya. Aku akan mewawancarai para
guru dan teman-teman sekelasnya dari dua sekolah menengah yang
pernah dimasukinya, dan dari tahun-tahun pertamanya di Willow
College. Orang tidak akan dikeluarkan dari sekolah tanpa alasan.
Suatu perjalanan panjang, tapi aku akan melihat apakah aku bisa
melacak keberadaan liontin yang pernah dia berikan pada Andrea."
"Seberapa jauh kau masih ingat itu?"
"Sudah lebih samar-samar sekarang, tentu saja. Tapi dalam
persidangan dulu aku mendiskripsikannya secara sangat rinci. Aku
memiliki transkripsi sidang itu, dengan begitu aku tahu persis apa
yang pernah kukatakan waktu itu - bahwa liontin itu dari emas,
berbentuk hati dan memiliki tiga batu biru di tengahnya, dan bahwa
huruf huruf R dan A digrafir di bagian belakangnya."
"Aku ada di dalam ruang sidang itu saat kau memaparkannya.
Aku ingat aku membayangkan benda itu kedengarannya mahal sekali,
meski kenyataannya itu mungkin cuma pernak-pernik seharga dua
puluh lima dolar yang bisa dibeli di salah satu kios di mal. Mereka
akan membubuhkan inisialmu untuk beberapa dolar."
"Tapi Anda tidak percaya aku benar-benar menyentuhnya


Putri Kesayangan Ayah Daddy's Little Girl Karya Mary Higgins Clark di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ketika aku menemukan tubuh Andrea di tempat persembunyian itu,
atau bahwa aku mendengar suara napas seseorang di dekatku, atau
bahwa liontin itu hilang sebelum polisi datang."
"Ellie, dari kondisi histeris kau memasuki fase shock. Kau
memberi kesaksian bahwa ketika berlutut, kau tergelincir, kemudian
jatuh menimpa tubuh Andrea. Kurasa tidak mungkin bahwa dalam
kegelapan, dan dengan apa yang saat itu ada dalam kepalamu, kau
bisa menyatakan bahwa kau merasakan liontin itu. Kau bilang sendiri
kakakmu selalu memakainya di bawah baju atau sweater-nya."
"Dia memakainya malam itu. Aku yakin. Kenapa Iiontin itu
tidak ada di sana lagi saat polisi datang?"
"Penjelasan yang masuk akal untuk itu adalah si pelaku
mengambilnya setelah dia membunuh kakakmu. Pembelaannya
didasarkan atas pernyataannya bahwa kakakmu cuma salah satu gadis
yang jatuh hati padanya, dan bahwa dia sama sekali tidak menaruh
minat padanya." "Sebaiknya kita biarkan itu di situ untuk sementara," ujarku.
"Aku ingin kita membicarakan hal lain sekarang. Ceritakan padaku
tentang cucu Anda yang baru. Aku yakin dia bayi paling istimewa di
dunia." "Tentu saja." Marcus Longo tampak lega saat aku mengalihkan
topik pembicaraan kami. Hidangan mulai disajikan, dan ia bercerita
padaku tentang keluarganya. "Mark kira-kira seumur denganmu. Dia
pengacara. Dia menikahi gadis dari Colorado, dan mendapat pekerjaan
di sebuah perusahaan di sana. Dia menyukai pekerjaannya. Aku
pensiun beberapa tahun yang lalu, dan sempat menjalani operasi
jantung pada musim dingin yang lalu. Kami melewatkan sebagian
besar bulan-bulan dingin di Florida sekarang, dan sedang
mempertimbangkan menjual rumah kami di sini, untuk membeli
tempat kecil di sekitar Denver, supaya kami bisa melihat anak-anak
tanpa mengacaukan kehidupan mereka."
"Ibuku dan aku pernah melewatkan setahun atau lebih di
Denver." "Kau sudah tinggal selama beberapa waktu di Atlanta, Ellie.
Apa kau betah di sana?"
"Kota yang menyenangkan. Aku punya banyak teman baik di
sana. Aku menyukai pekerjaanku, tapi kalau koran tempatku bekerja
sampai dijual seperti yang digosipkan, aku belum tahu apakah aku
akan tetap tinggal di sana. Mungkin kelak aku merasa sudah waktunya
bagiku menetap di suatu tempat, dan mulai berkeluarga. Sejauh ini
aku belum merasakan apa-apa. Aku selalu merasa masih ada yang
harus kuselesaikan. Seperti bocah yang pergi ke bioskop saat masih
ada PR yang harus diselesaikannya untuk besok?"
"Ya." "Sulit bagimu menikmati film itu, bukan?"
"Itu sudah lama lewat, tapi kurasa memang begitu."
"Ada yang harus kuselesaikan sebelum aku dapat menikmati
film itu," tegasku padanya.
*****************************************
Aku tidak menyalakan lampu sebelum berangkat, dan ketika
kami kembali ke tempat Mrs. Hilmer, apartemen dan garasi itu tampak
gelap dan sepi. Marcus Longo tidak menghiraukan protesku dan
bersikeras mengantarku sampai ke atas. Ia masih menunggu di sana
sementara aku merogoh kunciku, dan setelah itu, sewaktu aku
memasukkan kunci ke dalam lubangnya dan melangkah masuk, ia
berkata tegas, "Kunci pintu dua kali."
"Untuk apa?" tanyaku.
"Ellie, mengutip kata-katamu sendiri, 'Awas, kalian akan
melepas seorang pembunuh."'
"Benar juga." "Kalau begitu, kau harus mengikuti kata hatimu. Aku tidak
bilang padamu untuk jangan mengejar Westerfield, tapi bilang
padamu untuk berhati-hati."
Aku sampai di rumah tepat waktu untuk mengikuti siaran berita
pukul sepuluh. Berita utamanya adalah Rob Westerfield akan dilepas
dari penjara besok pagi, dan akan ada acara jumpa pers di rumah
keluarganya di Oldham siang itu.
Aku tidak mau ketinggalan menontonnya, batinku.
Chapter 18 AKU tidak bisa tidur begitu saja malam itu. Aku terlena
sebentar dan tiba-tiba tersentak kembali, membayangkan bahwa setiap
detik akan membawa Rob Westerfield lebih dekat pada momentum
pembebasannya dari kurungan penjara.
Aku tidak dapat mengalihkan pikiranku darirya, ataupun dari
kejadian yang membuat dia mendekam di balik terali besi selama dua
puluh dua tahun. Nyatanya, semakin dekat waktu pembebasannya,
semakin Andrea dan ibuku terasa hidup bagiku. Andai kata... andai
kata... andai kata... Lupakan itu, sebagian diriku menjerit. Relakan. Biarkan itu
menjadi bagian masa lalumu. Aku tahu apa yang sedang
kupertaruhkan, dan aku tidak ingin itu sampai terjadi. Sekitar pukul
dua, aku bangun dan membuat secangkir cokelat. Aku duduk di dekat
jendela saat meminumnya. Daerah hutan yang memisahkan rumah
kami dengan tempat Mrs. Westerfield senior membentang sampai ke
batas tanah milik keluarga Hilmer, dan masih ada di sana, sebagai
penjamin privasi pribadinya. Aku bisa menyelinap ke sana seperti
yang dilakukan Andrea malam itu, menerobos hutan itu, menuju
tempat persembunyian di garasi.
Kini ada pagar tinggi mengelilingi wilayah beberapa ekar milik
keluarga Westerfield. Aku yakin mereka sudah memasang sistem
pengamanan yang akan mengirim sinyal kalau ada penyusup atau
gadis berusia lima belas tahun. Di usia sembilan puluh dua, orang
biasanya tidak membutuhkan tidur banyak. Aku bertanya-tanya
apakah Mrs. Westerfield masih dalam keadaan bangun saat ini, senang
akan melihat darah dagingnya dilepas dari penjara, tapi toh was-was
menghadapi publisitas yang akan mengiringi peristiwa itu.
Kebutuhannya untuk membersihkan nama keluarga sama kuatnya
seperti tekadku untuk memastikan Paulie Stroebel tidak dihancurkan,
dan nama Andrea tidak ikut terseret dalam lumpur lagi.
Andrea masih polos waktu itu, gadis remaja yang sedang jatuh
cinta, kemudian perasaannya terhadap Rob Westerfield berubah
menjadi ketakutan. Karena itulah ia pergi ke tempat persembunyian
itu pada malam itu. Ia takut tidak menemuinya saat anak muda itu
menyuruhnya datang. Saat aku duduk di sana dalam keremangan subuh, perasaan
bawah sadarku menyatakan Andrea takut padanya, dan aku juga takut
Andrea akan dilukai olehnya. Itu terus menghantui pikiranku. Masih
terbayang jelas olehku sosok Andrea malam itu, saat ia memasang
liontinnya di leher, dan berusaha menahan air matanya. Sebetulnya ia
tidak mau menemui Rob, tapi ia merasa terjebak ketika itu. Karena
itulah aku menambahkan sebuah "andai kata" lagi pada daftarku.
Andai kata ia pergi menemui kedua orangtuaku dan mengaku pada
mereka bahwa ia telah menemui Rob.
Pada saat itu kami bertukar peran, dan aku menjadi si kakak.
Aku kembali ke tempat tidur, kemudian tidur sampai jam tujuh. Aku
duduk di muka TV saat media meliput Rob Westerfield meninggalkan
penjara Sing Sing dalam limousine yang menunggunya di pagar luar.
Reporter TV yang berada di lokasi itu mengungkapkan Rob
Westerfield selama ini selalu menyatakan dirinya tidak bersalah.
Siangnya aku sudah berada kembali di muka TV yang akan
menyiarkan liputan tentang Rob Westerfield pada dunia.
Wawancara itu diadakan dalam ruang perpustakaan rumah
keluarga Westerfield di Oldham. Sofa tempat ia duduk diletakkan di
muka dinding yang penuh buku-buku bersampul mewah, kurasa untuk
menyatakan bahwa ia sosok terpelajar.
Rob mengenakan jas berwarna kulit dari bahan cashmere,
kemeja sportif dengan leher terbuka, celana panjang berwarna gelap,
dan sepatu pantofel santai.
Dari dulu ia memang tampan, tapi kematangannya, membuat ia
tampak semakin menarik. Ia mewarisi garis-garis wajah kuat ayahnya,
dan kelihatannya sudah dapat menyembunyikan seringai arogan yang
tampak di semua foto masa mudanya. Ada sedikit abu-abu di bagian
akar rambutnya yang bernuansa gelap. Ia melipat kedua tangannya di
depan, agak mencondongkan tubuh dengan cara relaks tapi penuh
perhatian. "Latar yang bagus," ujarku sendiri. "Tinggal menampilkan
anjing di dekat kakinya." Begitu melihat tampangnya, aku serasa ingin
muntah. Si pembawa acara adalah Corintie Sommers, presenter The Real
Stor program hari Jumat malam yang sangat populer. Ia memulai
dengan pembukaan singkat: "Baru saja dibebaskan setelah dua puluh
dua tahun dalam penjara... selama ini selalu memprotes dirinya tidak
bersalah... sekarang akan berjuang membersihkan namanya..."
Terus saja, batinku. "Rob Westerfield, pertanyaan yang sudah jelas jawabannya, tapi
bagaimana rasanya menjadi orang bebas?"
Senyum Rob Westerfield hangat. Matanya yang gelap di bawah
alis yang bagus sepertinya tampak geli. "Luar biasa, bukan main. Aku
sudah terlalu besar untuk menangis, tapi aku merasa ingin menangis.
Aku terus mondar-mandir di dalam rumah, menyenangkan sekali bisa
melakukan hal-hal normal, seperti pergi ke dapur untuk mengambil
secangkir kopi lagi."
"Kalau begitu, Anda akan tinggal di sini untuk sementara?"
"Itu pasti. Ayahku sudah merenovasi apartemen bagus untukku
di dekat rumah ini, dan aku akan bekerja sama dengan para pengacara
kami agar bisa segera menghadap ke sidang ulang." Kini ia menatap
serius ke arah kamera. "Corinne, sebetulnya aku bisa dibebaskan
secara bersyarat dua tahun lalu, kalau aku bersedia menyatakan bahwa
aku yang membunuh Andrea Cavanaugh, dan bahwa aku menyesali
peristiwa mengenaskan itu."
"Apakah Anda tidak merasa tergugah melakukan itu?"
"Tidak sama sekali," sahutnya langsung. "Selama ini aku tetap
bersikukuh bahwa aku tidak bersalah, dan sekarang, berkat munculnya
Will Nebels, aku akhirnya mendapat kesempatan membuktikannya."
Kau tidak bisa mengakuinya, terlalu banyak yang harus
kaupertaruhkan untuk itu, batinku. Nenekmu akan mencabut hak
warismu. "Anda pergi menonton film pada malam Andrea Cavanaugh
dibunuh." "Ya, betul. Dan aku tetap tinggal di gedung bioskop itu sampai
filmnya selesai pada jam setengah sepuluh malam. Mobilku diparkir
di bengkel pompa bensin selama lebih dari dua jam. Hanya perlu dua
belas menit dengan mobil untuk sampai ke rumah nenekku dari pusat
kota. Paulie Stroebel punya akses untuk mengendarai mobil itu, dan
sebelumnya dia suka membuntuti Andrea ke mana-mana. Bahkan adik
Andrea mengakui itu di depan sidang."
"Si penjual karcis di bioskop menyatakan dia ingat Anda
membeli karcis." "Betul. Dan aku menyimpan potongan karcis itu sebagai bukti."
"Tapi tak seorang pun melihat Anda meninggalkan gedung
bioskop itu pada akhir pemutaran film?"
"Tak seorang pun ingat melihat aku," ujar Rob mengoreksi.
"Ada bedanya. Sesaat aku melihat sekilas amarah di balik senyumannya yang
menawan. Aku duduk lebih tegak.
Namun setelah itu wawancara berlangsung sebagaimana
layaknya dengan narapidana yang baru dilepas. "Selain membersihkan
nama, apa lagi yang akan Anda lakukan?"
"Pergi ke New York. Makan di restoran-restoran yang mungkin
belum ada sekitar dua puluh dua tahun lalu. Melakukan perjalanan,
pada akhirnya. Mencari pekerjaan." Kini senyuman hangat darinya.
"Bertemu seseorang yang istimewa. Menikah. Punya anak-anak."
Menikah. Punya anak-anak. Semua hal yang tidak akan pernah
dapat dilakukan Andrea. "Anda akan makan apa malam ini, dan siapa saja yang akan
bersama Anda?" "Kami berempat saja - ibuku, ayahku, nenekku, dan aku. Kami
hanya ingin berkumpul sebagai keluarga. Aku sudah meminta makan
malam yang cukup sederhana: cocktail udang, daging iga, kentang
panggang, brokoli, dan selada."
Bagaimana dengan pie apel" batinku.
"Dan sepotong pie apel," tambahnya.
"Dan sampanye, tentunya."
"Itu pasti." "Sepertinya Anda memiliki rencana-rencana yang sudah pasti
untuk menghadapi masa depan Anda, Rob Westerfield. Kami
mengucapkan selamat pada Anda, dan mudah-mudahan dalam sidang
ulang nanti Anda dapat membuktikan bahwa Anda tidak bersalah."
Jurnalis seperti itu" batinku ketus sambil menekan tombol
remote control TV dan melangkah ke meja di ruang makan, tempat
laptop-ku sudah siap menunggu. Aku segera menghubungkan diri
dengan situsku dan mulai menulis.
"Robson Westerfield, pelaku pembunuhan gadis berusia lima
belas tahun, Andrea Cavanaugh, baru saja dibebaskan dari penjara,
dan sekarang sedang berangan menikmati daging iga panggang dan
pie apel. Proses pembersihan nama pembunuh ini baru saja dimulai,
dan akan dilakukan dengan mengorbankan nama baik korbannya yang
masih muda dan nama Paulie Stroebel, laki-laki pendiam yang selalu
bekerja keras dan harus mengatasi berbagai kesulitan.
"Paulie tak perlu mengatasi yang ini."
Tidak buruk untuk permulaan, batinku.
Chapter 19 SETIAP hari Pusat Lembaga Pemasyarakatan Sing Sing
melepaskan tahanan-tahanan yang sudah selesai menjalani masa
hukuman mereka, atau yang dibebaskan bersyarat. Saat berangkat,
mereka diberi celana jeans, sepatu bot untuk bekerja, sebuah jaket,
dan uang $40, dan kecuali mereka dijemput oleh salah satu anggota
keluarga atau teman, mereka akan diantar ke stasiun bus atau
dibelikan tiket kereta api.
Stasiun kereta api berjarak kira-kira empat blok dari penjara.
Narapidana yang dilepas berjalan kaki ke stasiun untuk naik kereta
api, entah ke arah utara atau ke selatan.
Kereta api yang menuju arah selatan berhenti di Manhattan.
Yang menuju utara melintasi kota New York, terus ke arah Buffalo.
Menurut perhitunganku, siapa pun yang keluar dari Sing Sing
sekitar waktu ini sudah hampir pasti tahu tentang Rob Westerfield.
Karena itulah pada hari berikutnya, pagi-pagi sekali, dalam
pakaian hangat, aku memarkir kendaraanku di stasiun, kemudian
berjalan kaki ke arah penjara. Suasana tampak sibuk di sekitar pintu
gerbangnya. Aku sudah mengecek statistiknya, dan tahu ada sekitar
dua puluh tiga ribu orang hukuman yang mendekam di dalam sana.
Celana jeans, sepatu bot, dan jaket bukanlah setelan yang bisa disebut
eksklusif. Bagaimana aku bisa membedakan antara pegawai penjara
yang sedang bebas tugas dengan narapidana yang baru dibebaskan"
Jawabannya: aku tidak bisa.
Untuk mengantisipasi problem itu, aku sudah menyiapkan
tulisan di karton. Aku berdiri di dekat pintu gerbang sambil
memegang karton ini. Bunyinya: "Jurnalis investigasi membutuhkan
informasi mengenai Robson Westerfield, narapidana yang baru saja
dilepas. Imbalan memadai."


Putri Kesayangan Ayah Daddy's Little Girl Karya Mary Higgins Clark di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kemudian terpikir olehku bahwa orang yang meninggalkan
penjara dengan mobil atau taksi, atau orang yang tidak ingin terlihat
berbicara denganku mungkin akan mengontakku kalau bisa
menghubungi aku melalui telepon. Maka aku menambahkan nomor
ponselku - 917-555-126 - dalam tulisan besar dan mudah dibaca.
Pagi itu dingin dan banyak angin. Tanggal satu November. Hari
Raya Semua Orang Kudus. Sejak ibuku meninggal, aku hanya
menghadiri Misa pada hari-hari Natal dan Paskah, di saat orang-orang
Katolik murtad seperti aku mendengar bunyi dentang lonceng gereja
dan dengan langkah-langkah berat memenuhi panggilan itu.
Aku merasa seperti robot begitu sampai di sana. Dengan patuh
aku berlutut dan berdiri bersama yang lain, tanpa mengikuti doadoanya. Aku suka
menyanyi, dan aku bisa merasakan getaran di
tenggorokanku saat suara umat mulai bergabung dengan koor. Pada
Hari Natal, irama musiknya gembira: Para Malaikat Bernyanyi atau
Berlutut di PalunganMu. Pada Hari Paskah, iramanya melantunkan
pujian syukur: Yesus Kristus Sudah Bangkit. Tapi bibirku selalu
terkatup rapat. Biar saja yang lain yang menyanyi.
Dulu aku memang memendam amarah; kini aku cuma merasa
hampa. Apa pun, Kau telah merenggut mereka semua dariku, ya
Tuhan. Apakah Kau puas akhirnya" Aku tahu saat aku menonton TV
dan menyaksikan bagaimana keluarga-keluarga yang utuh tersapu
habis dalam pengeboman, atau menderita kelaparan di dalam kampkamp pengungsi,
seharusnya aku menyadari betapa lebih
beruntungnya aku, betapa lebih baiknya keadaanku. Aku sudah
mencoba merenungkan itu secara logis, tapi percuma. Sebaiknya kita
membuat perjanjian, Tuhan. Kita ridak akan mencampuri urusan
masing-masing. Aku berdiri di sana selama dua jam, sambil memegang kertas
karton itu. Kebanyakan di antara mereka yang keluar-masuk melalui
pintu gerbang itu menoleh, rasa ingin tahu membayang di mata
mereka. Beberapa menyapaku. Seorang lelaki bertubuh besar berusia
menjelang lima puluhan, dengan kelepak topi menutupi telinganya,
berkata ketus, "Nona, apa kau tidak punya kerjaan lain selain
menguntit bajingan itu?" Ia hanya mengatakan padaku bahwa ia
bekerja di penjara itu, dan menolak menyebutkan namanya.
Namun kuperhatikan ada beberapa orang, termasuk yang
tampak seperti petugas penjara, membaca kertas kartonku sambil
mencoba mengingat-ingat nomor ponselku.
Pukul sepuluh, setelah udara dingin terasa menusuk tulang, aku
menyerah dan berjalan kembali ke tempat parkir di stasiun kereta api.
Aku baru saja berdiri di dekat pintu kendaraanku ketika seorang lakilaki
menghampiriku. Ia tampak berusia sekitar tiga puluhan, kurus,
dengan tatapan kejam dan bibir tipis. "Untuk apa kau mengorekngorek
Westerfield?" tanyanya. "Salah apa dia padamu?"
Ia mengenakan celana jeans, jaket, dan sepatu bot. Apa dia baru
saja dilepas dari penjara, kemudian membuntuti aku kemari" batinku.
"Kau kenal dia?" tanyaku.
"Peduli apa kau?"
Kita memiliki insting untuk mundur saat seseorang berada
terlalu dekat dengan kita, saat wajah-wajah kita terlalu dekat.
Punggungku sudah menempel pada sisi kendaraanku, sementara orang
ini terus mendesakku. Dari sudut mataku aku melihat sebuah mobil
pengangkut barang memasuki pelataran parkir itu. Setidaknya, kalau
aku membutuhkan bantuan, ada orang.
"Aku mau masuk ke dalam mobilku. Kau menghalangiku,"
ujarku. "Rob Westerfield narapidana panutan. Kami semua
menghormatinya. Dia memberi contoh yang baik pada kami. Oke,
berapa banyak akan kaubayar aku untuk informasi itu?"
"Biar dia yang membayarmu." Aku memutar tubuhku sambil
membuka jalan dengan pundakku, menekan tombol remote untuk
membuka kunci, kemudian mengentak buka pintu kendaraanku.
Ia tidak mencoba menghalangiku, tapi sebelum aku dapat
menutup pintu kembali, ia berkata, "Biar kuberi sedikit nasihat gratis
padamu. Bakar kertas kartonmu."
Chapter 20 BEGITU berada kembali di apartemen Mrs. Hilmer, aku mulai
menyusuri koran-koran tua peninggalan ibuku, yang ternyata amat
membantu upaya risetku mengenai kehidupan Rob Westerfield.
Dalam beberapa artikel disebutkan dua sekolah menengah yang
pernah dimasukinya. Yang pertama, Arbinger Preparatory School, di
Massachusetts, merupakan salah satu sekolah paling bergengsi di
seluruh negeri. Yang menarik, ia cuma bersekolah di sana selama satu
tahun setengah, sebelum pindah ke Carrington di Rhode Island.
Aku belum pernah mendengar Carrington, karena itu aku
mencoba melacaknya di Internet. Situs Akademi Carrington membuat
sekolah ini terkesan seperti tempat berlibur di mana belajar, berolah
raga, dan pergaulan dirangkai untuk menciptakan semacam firdaus.
Namun di balik deskripsi serba gemerlap yang mereka tawarkan, ada
sesuatu yang mendasar: Sekolah ini diperuntukkan bagi "murid-murid
yang belum menyadari potensi mereka secara akademis ataupun
sosial", untuk "murid-murid yang mungkin mempunyai masalah
dalam menyesuaikan diri dengan disiplin belajar".
Dengan kata lain, tempat untuk anak-anak bermasalah.
Sebelum menempatkan permintaan dalam situsku untuk
mendapatkan informasi mengenai masa-masa sekolah Rob
Westerfield dari sesama rekan sekolah atau para mantan karyawan
Carrington, aku memutuskan untuk melihat sendiri kedua sekolah itu.
Aku menelepon sekolah-sekolah itu, dan menjelaskan bahwa aku
jurnalis yang senang menulis buku tentang Robson Westerfield yang
pernah menjadi murid mereka di sana. Dalam kedua kesempatan itu,
aku berhasil mendapat hubungan dengan kantor pimpinan sekolahsekolah tersebut.
Saat menelepon Arbinger, aku langsung
dihubungkan dengan Craig Parshall yang duduk di bagian humas.
Mr. Parshall menyatakan padaku bahwa sesuai dengan
kebijakan sekolah, mereka tidak pernah mendiskusikan murid-murid
mereka, baik yang sudah mantan ataupun yang masih bersekolah di
sana, dengan pihak pers. Aku langsung menyerang. "Bukankah Anda memberi
kesempatan pada Jake Bern untuk mewawancarai Anda soal Robson
Westerfield?" Sesaat ia terdiam, dan aku tahu apa yang kukatakan itu benar.
"Memang pernah ada wawancara," sahut Parshall, nadanya
terdengar kaku dan tegang. Kemudian ia menambahkan, "Kalau pihak
keluarga siswa, baik yang sudah mantan maupun masih sekolah,
memberikan izin untuk itu, kami tentunya akan berusaha memenuhi
permintaan itu. Sebaiknya Anda mengerti, Ms. Cavanaugh, bahwa
murid-murid kami berasal dari keluarga-keluarga terkemuka,
termasuk putra-putra pemimpin negara dan keluarga kerajaan. Dalam
kasus-kasus tertentu, kami memang perlu memonitor dengan ketat
akses pihak media massa."
"Dan itu tentu menambah nama baik dan reputasi sekolah,"
ujarku. "Di pihak lain, kalau setiap hari dalam Internet ada fakta
bahwa pembunuh gadis berusia lima belas tahun pernah satu sekolah
dengan beberapa siswa dari kalangan-kalangan terkemuka itu, mereka
dan pihak keluarga mereka mungkin tidak terlalu senang. Dan
keluarga-keluarga lain mungkin akan berpikir dua kali sebelum
mengirim anak-anak atau pewaris mereka ke sekolah Anda. Bukankah
begitu, Mr. Parshall"."
Aku tidak memberinya kesempatan untuk menjawab, "Malah
situasinya akan lebih baik untuk sekolah Anda jika Anda bersedia
bekerja sama. Bukankah begitu?"
Setelah terdiam beberapa lama, Parshall akhirnya menjawab,
jelas sekali terdengar tidak senang. "Miss Cavanaugh, aku akan
memenuhi permintaan Anda untuk wawancara. Namun kuingatkan
Anda, satu-satunya informasi yang akan Anda peroleh adalah tanggaltanggal Robson
Westerfield terdaftar sebagai siswa di sekolah ini, dan
fakta bahwa dia telah mengajukan permohonan untuk pindah, dan itu
dikabulkan." "Oh, aku tidak mengharapkan Anda menyatakan bahwa Anda
mengeluarkannya dari sekolah Anda," sahutku sinis. "Tapi aku yakin
Anda memberikan lebih banyak data pada Mr. Bern."
Kami sepakat aku akan muncul di kantornya pukul sebelas
keesokan harinya. Arbinger terletak sekitar empat puluh mil di sebelah utara
Boston. Aku menemukan lokasinya dalam peta, dan mempelajari rute
terbaik untuk diambil, serta berapa banyak waktu yang kubutuhkan
untuk sampai di sana. Kemudian aku menelepon Akademi Carrington, dan kali ini
dialihkan pada Jane Bostrom yang menangani soal pendaftaran murid
baru. Ia mengakui bahwa Jake Bern pernah mendapat kesempatan
wawancara sesuai permintaan pihak keluarga Westerfield, dan
menambahkan bahwa tanpa izin keluarga itu, ia tidak dapat memenuhi
permintaan wawancaraku. "Ms. Bostrom, Carrington adalah sekolah menengah yang
merupakan solusi terakhir," ujarku tegas. "Aku tidak bermaksud
mempertanyakan reputasinya, tapi alasan keberadaan sekolah ini
adalah untuk menerima dan mencoba meluruskan anak-anak
bermasalah, bukan?" Aku senang ia mencoba berbicara blak-blakan padaku. "Banyak
alasan mengapa seorang anak disebut bermasalah, Ms. Cavanaugh.
Kebanyakan karena masalah dalam keluarga. Anak-anak dari keluarga
yang bercerai, anak-anak dengan orangtua yang sangat sibuk dan tidak
punya waktu untuk mereka, anak-anak yang suka menyendiri atau
menjadi bulan-bulanan rekan-rekan seusia mereka. Itu tidak berarti
mereka tidak memiliki kemampuan secara akademis atau berinteraksi
secara sosial. Itu cuma berarti mereka punya masalah dan
membutuhkan bantuan."
"Bantuan yang kadang-kadang, seberapa besar pun upaya Anda,
sebetulnya tidak dapat Anda berikan?"
"Aku bisa memberikan pada Anda daftar lulusan-lulusan kami
yang kemudian berhasil menjadi orang-orang sukses."
"Aku bisa menyebut sebuah nama yang berhasil dalam
melakukan tindak pembunuhannya yang pertama - atau setidaknya
yang diketahui pertama kali dia lakukan." Kemudian aku
menambahkan, "Aku tidak bermaksud menelanjangi Carrington. Aku
cuma ingin tahu mengenai kegiatan Rob Westerfield di masa
remajanya, sebelum dia membunuh kakakku. Mengingat Anda sudah
memberikan begitu banyak informasi pada Jake Bern, sehingga dia
dapat memanipulasi bagian-bagian yang baik dan meniadakan
selebihnya, aku mengharapkan memperoleh akses yang sama."
Mengingat aku harus berada di Arbinger besok, yang jatuh pada
hari Jumat, aku membuat janji dengan Ms. Bostrom di Carrington
untuk hari Senin pagi. Aku sempat berdebat dengan diriku sendiri
untuk menghabiskan waktu di antara kedua pertemuan yang
berlangsung besok dan hari Senin itu di daerah sekitar dua sekolah
tersebut. Setahuku, sekolah-sekolah itu berlokasi di dua kota kecil. Itu
berarti di sana ada tempat-tempat para siswanya biasa berkumpul,
seperti kedai piza atau warung cepat-saji. Duduk-duduk di sekitar
tempat nongkrong di luar kampus pernah membuahkan hasil bagiku,
ketika aku mengerjakan artikel tentang anak muda yang mencoba
membunuh kedua orangtuanya sendiri.
Aku tidak melihat Mrs. Hilmer selama beberapa hari, tapi sore
itu ia meneleponku. "Ellie, aku punya usul. Aku sedang ingin masak
hari ini, jadi aku membuat ayam panggang. Kalau kau tidak punya
rencana lain, bagaimana kalau kau kemari untuk makan malam" Tapi
aku tidak memaksa kalau kau sedang ingin sendirian."
Aku tidak sempat pergi belanja pagi itu, dan aku tahu pilihanku
di rumah hanyalah roti sandwich dengan keju Amerika. Aku juga
masih ingat bahwa Mrs. Hilmer pintar sekali memasak.
"Jam berapa?" tanyaku.
"Oh, sekitar jam tujuh."
"Aku akan datang, aku akan muncul lebih awal malah."
"Bagus." Saat menutup telepon, terpikir olehku bahwa Mrs. Hilmer pasti
menganggap aku tipe yang suka menyendiri. Bisa dibilang ada
benarnya. Tapi, meski pada dasarnya aku suka menyendiri, atau
mungkin justru karena itu, aku toh termasuk pribadi yang cukup
terbuka. Aku senang berada di antara orang-orang, dan setelah
menjalani hari yang sibuk di kantor, aku sering kumpul-kumpul
dengan beberapa teman. Kalau aku bekerja sampai larut malam,
biasanya aku makan pasta atau hamburger dengan siapa saja yang ada
di sekitar situ. Selalu ada dua atau tiga orang di antara kami yang tidak
perlu buru-buru pulang untuk menemui pasangan mereka atau entah
siapa setelah merampungkan berita atau kolom.
Aku termasuk anggota inti dalam grup itu, begitu juga Pete.
Saat aku membasuh wajah, menyikat rambut dan memilinnya ke atas,
aku bertanya-tanya kapan ia akan mengabariku pekerjaan mana yang
dipilihnya. Aku yakin kalaupun usaha persuratkabaran itu tidak
langsung dijual, ia tidak akan bekerja di situ lebih lama lagi. Fakta
bahwa keluarga itu berniat menjualnya sudah cukup untuk
membuatnya mengambil langkah. Ke mana ia akan pergi" Ke
Houston" L.A." Ke mana pun, peluang bahwa jalan yang kami
tempuh akan bersilangan tidak begitu besar lagi setelah ini.
Untuk sesaat aku sempat termenung.
Apartemen yang nyaman ini terdiri atas ruang duduk besar
dengan dapur terbuka di satu pojok, dan sebuah ruang tidur berukuran
sedang. Kamar mandinya terletak di lorong antara kedua ruangan itu.
Aku sudah memasang komputer dan printer-ku di atas meja di ruang
makan dekat dapur. Aku bukan tipe pekerja yang rapi, dan saat akan
mengenakan mantelku, aku sempat melayangkan pandang ke seputar
ruangan, seolah-olah melihatnya melalui mata Mrs. Hilmer.
Kliping surat kabar yang sebelumnya aku telusuri tampak
berserakan di lantai, di seputar kursi yang tadi aku duduki. Wadah
buah dekoratif dan kandelar dari kuningan yang sebelumnya terletak
di tengah-tengah meja bergaya kolonial itu sudah kugeser berdekatan
di atas bufet. Buku agendaku terbentang terbuka di sebelah komputer,
dan penaku tergeletak asal di atasnya. Bundel tebal berupa copy
transkripsi sidang, berikut bolpoin marker bertinta kuning manyala,
terletak di sebelah printer-ku.
Andai kata, entah dengan alasan apa, Mrs. Hilmer ikut
bersamaku kemari dan melihat suasana serba semrawut ini, batinku.
Bagaimana reaksinya nanti" Rasanya aku bisa menebak jawaban atas
pertanyaanku itu, mengingat di rumah Mrs. Hilmer segalanya serba
rapi dan teratur. Aku membungkuk, memunguti berkas-berkas yang berserakan,
untuk disatukan dalam tumpukan yang lebih rapi. Kemudian aku
memutuskan untuk mengeluarkan tas besar tempat aku biasanya
menyimpan kertas-kertas itu, dan memasukkannya ke sana.
Sesudah itu aku memasukkan transkripsi sidang ke dalamnya.
Aku memutuskan bahwa agenda, pena, laptop, dan printer-ku tidak
terlalu mengganggu keindahan tempat itu. Aku mengembalikan wadah
buah dan kandelar ke posisi semula di atas meja. Aku baru hendak
memasukkan tas besar itu ke dalam lemari, ketika terpintas dalam
benakku bahwa andai terjadi kebakaran di apartemen ini, aku akan
kehilangan semua material ini. Kucoba menghalau bayangan itu dari
pikiranku, namun akhirnya kuputuskan membawa tas itu bersamaku.
Aku tidak tahu mengapa aku melakukan itu, tapi begitulah adanya.
Anggap saja itu intuisi, perasaan yang muncul begitu saja, seperti


Putri Kesayangan Ayah Daddy's Little Girl Karya Mary Higgins Clark di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

biasa dikatakan nenekku. Udara di luar masih dingin, tapi setidaknya tiupan angin sudah
mereda. Namun perjalanan dari apartemen ke rumah itu toh terasa
lumayan panjang. Mrs. Hilmer telah mengungkapkan padaku bahwa
setelah suaminya meninggal, ia menambahkan garasi pada rumahnya
karena ia tidak mau lagi mondar-mandir dari dan ke garasi lama. Kini
garasi tua di bawah apartemen itu tidak ada isinya, kecuali beberapa
peralatan dan perabotan kebun.
Saat berjalan ke rumahnya dalam keheningan malam, aku mulai
mengerti mengapa ia tidak ingin melakukan perjalanan itu sendirian
dalam gelap. "Jangan pikir aku juga akan tinggal di sini selain menempati
apartemen itu," ujarku pada Mrs. Hilmer saat ia membuka pintu dan
melihat tasku yang besar. "Tas ini sudah jadi teman perjalananku yang
setia." Saat menikmati segelas sherry, aku menjelaskan padanya apa isi
tas itu. Kemudian sesuatu melintas di kepalaku. Mrs. Hilmer sudah
hampir lima puluh tahun tinggal di Oldham. Ia aktif di gereja dan
dalam berbagai kegiatan di kota itu - itu berarti ia mengenal semua
orang. Ada beberapa nama dalam kliping-kliping surat kabar itu.
Nama-nama yang tidak ada artinya bagiku, tapi mungkin tidak asing
baginya. "Bersediakah Anda menelusuri berkas-berkas ini bersamaku?"
ujarku padanya. "Ada beberapa orang yang namanya disebut di sini,
yang ingin kuajak bicara, kalau mereka masih tinggal di sekitar tempat
ini. Umpamanya, teman-teman sekolah Andrea, orang-orang yang
mengenal Will Nebels, orang-orang yang pernah bergaul dengan Rob
Westerfield pada waktu itu. Aku yakin teman-teman sekelas Andrea
kebanyakan sudah menikah, dan mungkin pindah ke tempat lain.
Maukah Anda membaca artikel-artikel lama ini dan membuatkan
daftar orang-orang yang pada waktu itu berbicara dengan pihak pers,
dan saat ini masih tinggal di sekitar sini" Aku berharap mereka
mungkin tahu sesuatu yang pada waktu itu tidak terpikir oleh mereka."
"Aku bisa langsung mengatakan sesuatu tentang salah satu di
antara mereka," ujar Mrs. Hilmer. "Joan Lashley. Orangtuanya sudah
pensiun, tapi dia menikahi Leo St. Martin. Dia tinggal di Garrison."
Joan Lashley adalah teman Andrea yang sama-sama membuat
PR bersamanya pada malam terakhir itu! Garrison terletak di dekat
Cold Spring, hanya lima belas menit dengan mobil dari sini.
Kelihatannya Mrs. Hilmer akan menjadi sumber informasi yang
berharga mengenai orang-orang yang mungkin ingin kutemui.
Sementara kami minum kopi, aku membuka tasku, kemudian
menggelar beberapa lembar koran di atas meja. Aku melihat
keprihatinan yang membayang di wajah Mrs. Hilmer saat ia meraih
lembaran pertama. Judul beritanya berbunyi, "Gadis Lima Belas
Tahun Dihajar Sampai Mati." Foto Andrea memenuhi halaman
pertamanya. Ia mengenakan seragam band-nya: jaket merah dengan
kancing-kancing dari kuningan, dan rok pendek yang serasi.
Rambutnya tergerai ke pundak, dan ia sedang tersenyum. Ia tampak
bahagia, penuh gairah, dan muda.
Foto itu diambil pada pertandingan pertama di musim itu,
menjelang akhir bulan September. Beberapa minggu kemudian, untuk
pertama kali Rob Westerfield bertemu dengannya, ketika ia sedang
bermain boling bersama teman-temannya di gelanggang olah raga di
kota. Minggu berikutnya Andrea pergi jalan-jalan naik mobilnya, dan
mereka ditilang oleh polisi karena mengebut.
"Mrs. Hilmer, sebaiknya kuingatkan Anda," ujarku. "Ini tidak
akan mudah, karena itu kalau Anda merasa ini terlalu berat bagi
Anda..." Mrs. Hilmer menyela. "Tidak, Ellie, aku mau melakukan ini."
"Oke." Aku mengeluarkan sisa bundelan koran-koran itu.
Transkripsi sidang masih ada di dalam tasku. Aku juga mengeluarkan
itu. "Bahan bacaan yang sama sekali tidak menyenangkan."
"Tinggalkan saja di sini," ujarnya tegas.
Mrs. Hilmer bersikeras meminjamkan padaku senter kecil untuk
kupakai dalam perjalananku kembali ke apartemen, dan harus kuakui
aku merasa bersyukur memiliki itu. Suasana malam itu sudah lebih
terang dengan munculnya bulan bernuansa keperakan. Kurasa
pikiranku mulai melantur, tapi yang terpintas dalam kepalaku
hanyalah bayangan wujud-wujud Halloween berupa kucing hitam
yang nongkrong di saat bulan sabit, wajahnya menyeringai seakan
menyembunyikan misteri. Aku cuma meninggalkan satu lampu kecil menyala di dekat
tangga - lagi-lagi sebagai upaya sadarku untuk menunjukkan
perhatian pada nyonya rumahku, kali ini agar tidak membuat rekening
listriknya melonjak tak terkendali. Saat menaiki tangga, aku tiba-tiba
merasa tidak begitu yakin apakah bijaksana untuk terlalu berhemat.
Lorong tangga itu gelap dan tertutup, serta mengeluarkan suara derak
di bawah setiap injakanku. Tahu-tahu terpikir olehku bahwa Andrea
dibunuh di dalam garasi yang mirip ini. Keduanya semula berfungsi
sebagai lumbung. Loteng tempat penyimpanan jerami kering dari lumbung yang
ini sekarang menjadi apartemen, tapi struktur bangunannya masih
tetap sama. Saat aku berada di ujung tangga, kunci apartemen sudah berada
dalam genggamanku. Dengan cepat aku memutar kunci itu, masuk ke
dalam, kemudian memasang sindik pengamannya. Langsung aku
melupakan soal rekening listrik yang tinggi dan menyalakan semua
lampu yang dapat kutemukan: lampu di masing-masing sisi sofa,
kandelar di atas meja makan, lampu lorong, lampu-lampu kamar tidur.
Akhirnya aku bisa menarik napas lega dan melepaskan rasa cemas
yang tiba-tiba melanda diriku tadi.
Meja itu tampak rapi, tidak biasanya, dengan hanya laptop dan
printer, pena dan buku agendaku di satu sisi, dan wadah buah serta
kandelar lilin di bagian tengahnya. Kemudian aku menyadari ada yang
berubah. Aku telah meninggalkan penaku di sebelah kanan agenda,
persis di sebelah komputer. Sekarang letaknya di sebelah kiri
agendaku, tidak di dekat komputer. Bulu kudukku meremang.
Seseorang tadi kemari, dan rupanya mengubah letaknya. Tapi untuk
apa" Untuk memeriksa agendaku dan mengecek kegiatan-kegiatanku
itu tentunya satu-satunya alasannya. Apa lagi yang juga diperiksanya"
Aku menyalakan komputer dan segera mengecek file tempat
aku menyimpan data-dataku mengenai Rob Westerfield. Sore tadi aku
masih sempat membuat catatan singkat tentang lelaki yang
menghadangku di tempat parkir stasiun kereta api. Ternyata masih
ada, namun kini ada kalimat tambahan di situ. Aku mendeskripsikan
orang itu sebagai lelaki kurus dengan tinggi sedang, ekspresi mata dan
mulut jahat. Kalimat baru itu bunyinya "Dianggap berbahaya, karena
itu pendekatan sebaiknya ekstra hati-hati".
Lututku terasa lemas. Sudah cukup parah bahwa ada orang
masuk kemari sementara aku sedang bersama Mrs. Hilmer, tapi bahwa
ia sengaja menyatakan kehadirannya sungguh-sungguh menakutkan.
Aku betul-betul yakin sudah mengunci pintu apartemen itu saat aku
pergi, namun kuncinya memang dari jenis sederhana dan tidak mahal,
sehingga tidak sulit bagi orang yang profesional untuk membukanya.
Apakah ada yang hilang" Aku segera lari ke kamar tidur dan langsung
melihat bahwa pintu lemari, yang tadinya kutinggalkan dalam keadaan
tertutup, sekarang sedikit menganga. Tapi pakaian dan sepatuku masih
persis sebagaimana aku meninggalkannya. Dalam laci teratas lemari
itu aku menyimpan kotak perhiasan yang dilapis bahan kulit. Giwang,
kalung emas, dan seuntai mutiara sederhana yang panjang merupakan
perhiasan andalanku, tapi dalam kotak itu juga ada cincin pertunangan
dan cincin kawin ibuku, dan giwang berlian yang diberikan ayahku
padanya untuk ulang tahun perkawinan mereka yang kelima belas,
setahun sebelum Andrea meninggal.
Semua masih di sana, jadi itu berarti siapa pun yang masuk
bukanlah maling biasa. Ia datang untuk mencari informasi. Aku
menyadari betapa beruntungnya aku tidak meninggalkan transkripsi
sidang beserta bundelan koran-koran lama itu. Aku tidak meragukan
sedikit pun bahwa itu akan dihancurkan. Aku bisa memperoleh ganti
transkripsi sidang, meskipun itu akan makan waktu lama, tapi
bundelan koran itu betul-betul sulit dikumpulkan kembali. Artikelartikelnya
bukan hanya berisi liputan sidang, tapi juga semua
wawancara serta hal-hal yang melatarbelakanginya.
Aku memutuskan tidak langsung memberitahu Mrs. Hilmer.
Aku yakin ia tidak akan bisa tidur semalaman kalau tahu ada orang tak
diundang masuk ke dalam apartemennya. Aku bertekad mengambil
surat kabar dan transkripsiku besok pagi dan membuat copy-nya.
Pekerjaan yang bakal melelahkan, tapi toh tidak sia-sia. Aku tidak
boleh sampai kehilangan dokumen-dokumen ini.
Aku mengecek pintu sekali lagi. Sindik pengamannya sudah
terpasang, namun aku mengganjalnya lagi dengan kursi berat. Setelah
itu aku mengunci semua jendela, kecuali jendela kamar tidur yang
kubiarkan terbuka untuk mendapatkan udara segar. Aku menyukai
kamar tidur yang dingin, dan tidak ingin kenikmatan itu direnggut
dariku oleh kehadiran tamu yang tak diundang. Selain itu, apartemen
yang kutempati terletak di lantai dua, sehingga tak mungkin orang
bisa masuk ke dalam melalui jendelanya tanpa tangga. Aku bahkan
merasa yakin bahwa seandainya ada orang ingin melukaiku, ia akan
menemukan cara yang lebih mudah daripada menyeret tangga yang
mungkin akan terdengar olehku. Namun, setelah aku akhirnya jatuh
tertidur, aku setiap kali tersentak bangun, kemudian memasang
telinga. Tapi suara-suara yang kudengar ternyata hanya bunyi desau
angin yang menggerisik sisa dedaunan pohon yang terletak di
belakang garasi itu. Baru menjelang subuh, saat terbangun untuk keempat atau
kelima kalinya, kusadari bahwa seharusnya aku bisa langsung
menyimpulkan: Siapa pun yang membuka buku agendaku sekarang
tahu aku ada janji pagi ini di Arbinger, dan di Carrington Academy
pada hari Senin. Aku sudah merencanakan berangkat ke Arbinger pukul tujuh.
Aku tahu Mrs. Hilmer biasa bangun pagi, karena itu pukul tujuh
kurang sepuluh aku meneleponnya untuk menanyakan apakah aku
bisa mampir di rumahnya sebentar. Sambil menikmati kopinya yang
enak, kuceritakan padanya tentang si penyusup, dan bahwa aku
berniat mengambil transkripsi dan koran-koran untuk membuat copynya.
"Tidak, tidak perlu," ujarnya. "Aku sedang tidak ada pekerjaan.
Aku menjadi relawan di perpustakaan, dan sering memakai peralatan
di sana. Aku akan memakai mesin fotokopi di kantor. Dengan begitu,
tidak akan ada yang tahu mengenai ini. Selain Rudy Schell, tentunya.
Dia selalu ada di sana, tapi dia bisa dipercaya untuk tidak buka
mulut." Mrs. Hilmer tampak ragu sesaat, kemudian berkata, "Ellie, aku
ingin kau pindah kemari dan tinggal bersamaku. Aku tidak mau kau
sendirian di dalam apartemen itu. Siapa pun yang datang tadi malam,
mungkin saja akan kembali, dan biar bagaimanapun kurasa sebaiknya
kita menelepon polisi."
"Tidak mengenai pindah kemari," ujarku. "Malah mungkin
sebaiknya aku keluar dari apartemen itu." Ia mulai menggeleng, lalu
aku berkata, "Tapi aku tidak akan melakukan itu. Aku sudah terlalu
nyaman tinggal di dekat Anda. Semula aku memang berniat
melaporkan hal ini pada polisi, tapi kemudian aku memutuskan itu
bukan gagasan bagus. Sama sekali tidak ada tanda-tanda telah terjadi
pemaksaan masuk. Perhiasanku masih utuh. Kalau aku melaporkan
pada polisi bahwa satu-satunya gangguan yang kualami adalah ada
orang memindahkan pena dan menambahkan beberapa patah kata
pada arsip di kompurer, bagaimana menurut Anda reaksinya?" Aku
tidak menunggu jawabannya. "Keluarga Westerfield selalu berpegang
pada skenario bahwa aku anak bermasalah dan punya imajinasi
berlebihan, dan bahwa kesaksianku dalam sidang itu sebetulnya tidak
bisa diandalkan. Coba Anda bayangkan, bagaimana reaksi mereka
mendengar ini" Bisa-bisa aku dianggap cuma ingin cari perhatian,
seperti orang-orang yang mengirim surat-surat ancaman pada diri
sendiri." Aku meneguk sisa kopiku yang terakhir. "Tapi ada yang bisa
Anda lakukan untukku, kalau mau. Tolong telepon Joan Lashley,
tanyakan padanya apakah aku boleh datang menemuinya besok."
Aku lega sekali begitu mendengar Mrs. Hilmer berkata,
"Berhati-hatilah dalam perjalanan," dan aku merasakan kecupannya di
pipiku. *************************************
Saat menyusuri kota Boston, aku terjebak dalam kesibukan lalu
lintasnya. Akibatnya, sudah hampir pukul sebelas ketika aku melewati
pintu gerbang Arbinger Preparatory School yang dijaga ketat. Suasana
sesungguhnya bahkan lebih mengesankan dibandingkan foto-foto di
situs mereka. Bangunan batu kemerahan yang megah itu tampak teduh
dan tenang di bawah langit bulan November. Jalan mobil yang
panjang menerobos kawasan kampus itu, diapit deretan pohon-pohon
tua yang pada musimnya membentuk payung-payung dedaunan yang
rimbun. Tidak sulit membayangkan mengapa kebanyakan siswa yang
lulus dari tempat seperti ini menerima ijazah mereka dengan perasaan
bangga, perasaan bahwa mereka telah diistimewakan, diperlakukan
lebih baik daripada kebanyakan orang.
Saat mengarahkan kendaraanku ke area yang diperuntukkan
bagi para tamu, aku teringat sekolah-sekolah menengah yang pernah
kuikuti. Tahun pertama di Louisville. Pertengahan tahun kedua di Los
Angeles. Tidak, aku masih di sana sampai pertengahan tahun
pertamaku. Kemudian aku ke mana" Oh, ya, Portland, Oregon. Dan
akhirnya kembali ke Los Angeles, yang untuk tahun terakhirku dan
kemudian empat tahun masa perguruan tinggiku memberiku sedikit
rasa stabil. Ibuku masih terus berkelana dari satu hotel ke hotel lain
sampai aku memasuki tahun terakhirku di perguruan tinggi. Pada saat
itulah kerusakan di hatinya bertambah parah, dan ia kemudian tinggal
bersamaku di apartemenku yang kecil, sampai ia meninggal.
Aku selalu ingin kalian, putri putriku, tahu cara melakukan iniitu dengan baik,
Ellie. Dengan begitu, kalau kau kelak bertemu
seseorang yang memiliki latar belakang bagus, kau bisa membawa
dirimu. Oh, Ibu, batinku saat aku dipersilakan masuk ke dalam
bangunan utama, dan diantar ke kantor Craig Parshall. Dindingdinding sepanjang
lorongnya dipenuhi foto-foto sosok berwajah
serius, dan dari sekilas melihat, kusimpulkan kebanyakan di antara
mereka adalah para mantan pimpinan sekolah.
Penampilan Craig Parshall ternyata tidak sepadan dengan
suaranya yang berkesan berwibawa. Ia berusia menjelang enam puluh,
dan masih mengenakan cincin sekolahnya. Rambutnya yang menipis
disisir terlalu rapi - untuk menutupi bagian botak di atas kepalanya -
dan ia tidak dapat menyembunyikan fakta bahwa ia sangat gelisah.
Ruang kerjanya besar dan mewah sekali, dengan dindingdinding berpanel, tirai-
tirai berkesan formal, karpet Persia yang sudah
cukup usang untuk menjamin keantikannya, kursi-kursi sofa berlapis
kulit yang nyaman, dan meja tulis mahoni; setelah menyalamiku, ia
langsung duduk di belakang meja itu.
"Seperti sudah kukatakan pada Anda melalui telepon, Ms.
Cavanaugh...," ia memulai.
"Mr. Parshall, bagaimana kalau kita tidak menyia-nyiakan
waktu kita berdua?" usulku, memotong kata-katanya. "Aku mengerti
sepenuhnya keterbatasan wewenang Anda, dan aku menghormati itu.
Anda cukup menjawab beberapa pertanyaanku, setelah itu aku akan
pergi."

Putri Kesayangan Ayah Daddy's Little Girl Karya Mary Higgins Clark di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku akan memberi Anda tanggal Robson Westerfield
diterima..." "Aku tahu tanggal-tanggal masa dia menjadi siswa di sini. Itu
tercantum dalam laporan persidangan kasus pembunuhan kakakku."
Parshall mengernyit. "Mr. Parshall, keluarga Westerfield memiliki satu tujuan dalam
hidup ini, yaitu membersihkan kembali nama Robson Westerfield,
dengan mengajukan kasusnya kembali, dan memastikan dia
dinyatakan tidak bersalah. Bila mereka berhasil, dunia akan percaya
bahwa seorang anak muda lain - seseorang yang, sebaiknya
kutambahkan, tidak memiliki uang ataupun kemampuan intelektual
untuk melalui prosedur-prosedur ini - bersalah atas kematian
kakakku. Tujuanku adalah memastikan itu tidak sampai terjadi "
"Sebaiknya Anda mengerti...," mulai Parshall.
"Aku mengerti ucapan Anda tidak untuk dipublikasi. Tapi Anda
bisa membuka beberapa pintu untukku. Maksudku, aku mengharapkan
daftar siswa-siswa yang pernah sekelas dengan Rob Westerfield. Aku
ingin tahu, apakah ada di antara mereka yang pernah dekat
dengannya - atau, lebih bagus lagi, apakah ada seseorang yang
mempunyai alasan untuk tidak suka padanya. Siapa yang pernah
tinggal sekamar dengannya" Dan tidak untuk dipublikasi - maksudku
betul-betul tidak untuk dipublikasi - apa alasan dia dikeluarkan dari
sini?" Kami beradu pandang dalam keheningan selama beberapa
waktu, sama-sama tidak berkedip.
"Dalam situsku, dengan mudah aku bisa menyebutkan bahwa
Robson Westerfield keluaran sebuah sekolah eksklusif, tanpa
menyebutkan nama," ujarku, "atau aku dapat menulis begini: Arbinger
Preparatory School, almamater Yang Mulia Pangeran Gregory dari
Belgia, Yang Mulia Pangeran..."
Ia menyelaku. "Tidak untuk dipublikasi?"
"Pasti." "Tanpa menyebutkan nama sekolah atau namaku?"
"Itu pasti." Ia menghela napas, dan aku nyaris merasa kasihan padanya.
"Apakah Anda mengenal ungkapan 'Jangan mempercayai ucapan
orang berdarah biru"', Ms. Cavanaugh?"
"Itu sama sekali tidak asing bagiku - bukan hanya sebagai
kalimat dalam kitab suci, tapi secara nyata itu ditujukan padaku:
'Jangan mempercayai ucapan reporter investigasti."
"Apakah itu suatu peringatan, Ms. Cavanaugh?"
"Kalau seorang reporter investigasi masih memiliki integritas,
jawabannya adalah tidak."
"Dengan pengertian ini, aku akan mempertaruhkan
kepercayaanku pada Anda, dalam arti aku mengandalkan integritas
Anda. Tidak untuk publikasi?"
"Tidak untuk publikasi."
"Satu-satunya alasan Robson Westerfield diterima di sekolah ini
adalah karena ayahnya menawarkan untuk memugar gedung iptek
kami. Dan tanpa sedikit pun publisitas, boleh kutambahkan. Rob
dipasrahkan ke tangan kami sebagai siswa bermasalah dan mengalami
kesulitan berinteraksi dengan rekan-rekannya sesama siswa di
sekolah." "Dia sekolah di Baldwin, Manhattan, selama delapan tahun,"
ujarku. "Pernahkah dia bermasalah di sana?"
"Tidak, sejauh laporan yang kami terima, kecuali bahwa tidak
ada keterangan apa-apa dari guru-guru dan pembimbing siswa sekolah
itu." "Dan laboratorium iptek di sini memang butuh dipugar waktu
itu?" Parshall tampak merasa serbasalah. "Westerfield berasal dari
keluarga terkemuka. Kecerdasannya termasuk jauh di atas rata-rata."
"Oke," sahutku. "Sebaiknya kita langsung ke pokok
permasalahannya. Bagaimana rasanya menampung anak muda seperti
itu di tempat ini?" "Aku baru mulai mengajar di sini waktu itu, sehingga boleh
dibilang aku saksi mata. Situasinya tak mungkin bisa lebih buruk
lagi," ujar Parshall terus terang. "Anda tentunya mengenai istilah
sociopath." Ia menggerakkan tangannya tak sabar. "Maaf. Kata istriku,
aku bisa sangat menjengkelkan kalau memberi penjelasan. Yang
kumaksud sociopath adalah orang yang dilahirkan tanpa nurani, tidak
menghormati dan selalu berada dalam konflik menghadapi aturan
yang berlaku di masyarakat. Aturan-aturan yang biasanya dipatuhi
kita semua. Robson Westerfield merupakan contoh ideal untuk
menggambarkan istilah itu."
"Jadi, sejak awal Anda sudah punya masalah dalam
menghadapinya?" "Seperti kebanyakan anak seperti dirinya, dia dikaruniai
tampang dan kecerdasan yang baik. Selain itu, dia juga pewaris
terakhir sebuah keluarga terkemuka. Kakek dan ayahnya pernah
bersekolah di sini. Tadinya kami berharap dapat mengeluarkan sifatsifat positif
yang mungkin masih terpendam dalam dirinya."
"Pandangan orang-orang mengenai ayahnya, Vincent
Westerfield, tidak begitu positif. Bagaimana catatan mengenai dirinya
di sini?" "Aku pernah memeriksanya. Secara akademis, hanya rata-rata.
Tidak seperti kakeknya, sejauh aku tahu. Pearson Westerfield pernah
menjadi senator." "Kenapa Rob Westerfield meninggalkan sekolah ini di tengahtengah tahun
keduanya?" "Terjadi insiden serius yang berawal dari kekalahannya
menempati suatu posisi dalam tim sepak bola. Dia menyerang siswa
lain. Keluarga anak itu berhasil dibujuk untuk tidak mengajukan
tuntutan, sementara keluarga Westerfield menanggung semua
biayanya. Mungkin lebih dari itu - tapi aku tidak yakin."
Mendadak kusadari bahwa Craig Parshall berbicara agak terlalu
terbuka. Aku menyuarakan pendapatku mengenai itu.
"Aku tidak suka diancam, Ms. Cavanaugh."
"Diancam?" "Tadi pagi, beberapa saat sebelum Anda tiba, aku menerima
telepon dari Mr. Hamilton, pengacara yang mewakili keluarga
Westerfield. Aku diingatkan untuk tidak memberi Anda informasi
negatif mengenai Robson Westerfield."
Mereka bergerak cepat sekali, batinku. "Boleh aku tahu,
informasi apa saja yang telah Anda berikan pada Jake Bern mengenai
Westerfield?" "Tentang kegiatan-kegiatan olah raganya, apa adanya. Robson
anak muda yang kuat; bahkan di usia tiga belas tahun tingginya sudah
hampir 180 senti. Dia bermain dalam tim squash, tim tenis, dan tim
sepak bola. Dia juga bergabung dalam grup teater. Aku
mengungkapkan pada Bern bahwa dia aktor yang sangat berbakat.
Informasi seperti itulah yang dicari Bern. Dia berhasil memancing
beberapa pernyataan dariku yang akan tampil sangat menguntungkan
dalam bentuk tulisan."
Aku sudah bisa membayangkan bagaimana Bern akan
menyunting bab mengenai keberadaan Rob di Arbinger. Dia akan
ditampilkan sebagai sosok siswa berprestasi di semua bidang, di
sekolah menengah yang telah menampung tiga generasi keluarga itu.
"Bagaimana cara dia meninggalkan Arbinger akan dijelaskan?"
"Dia mengambil semester kedua tahun keduanya di luar negeri,
kemudian memutuskan ganti haluan."
"Aku tahu kita harus menengok kembali ke hampir tiga puluh
tahun yang lalu, tapi dapatkah Anda memberikan daftar mantanmantan teman
sekelasnya?" "Anda tidak menerima itu dariku, tentunya."
"Itu sudah disepakati."
******************************************
Ketika meninggalkan Arbinger sejam kemudian, aku membawa
daftar nama siswa-siswa baru dan yang duduk di tahun kedua dalam
kelas Rob Westerfield pada waktu itu. Saat membandingkan itu
dengan daftar alumni aktif, Parshall mengidentifikasi sepuluh yang
masih berada di daerah sekitar Massachusetts dan Manhattan. Salah
satu di antaranya Christopher Cassidy, pemain sepak bola yang pernah
dihajar habis-habisan oleh Rob Westerfield. Ia sekarang memiliki
perusahaan investasi sendiri dan tinggal di Boston.
"Chris murid yang belajar dengan beasiswa, Parshall
menjelaskan. "Dan karena merasa berterima kasih telah mendapat
peluang bersekolah di tempat ini, dia menjadi salah satu donatur
andalan kami. Dalam hal ini, aku bersedia meneleponnya. Selama ini
Chris selalu terus terang mengenai perasaannya terhadap Westerfield.
Tapi sekali lagi, kalau aku menghubungkan Anda dengan dia, ini
bukan untuk dipublikasi."
"Setuju." Parshall mengantarku sampai ke pintu. Saat itu menjelang
waktu ganti pelajaran, dan suara dering lembut bel kemudian diikuti
arus siswa yang keluar dan membentuk kelompok-kelompok kecil dari
berbagai ruangan. Generasi para pelajar Arbinger masa kini, batinku
saat mengamati wajah-wajah muda mereka. Banyak di antara mereka
sudah ditakdirkan menjadi pemimpin di masa mendatang, namun mau
tak mau aku jadi bertanya-tanya, apakah ada seorang Robson
Westerfield di antara mereka tipe sociopath yang sedang berinkubasi
di antara dinding-dinding bangunan eksklusif ini.
Aku meluncur keluar meninggalkan kawasan sekolah,
kemudian menyusuri jalan utama kota kecil itu, yang ternyata dimulai
dari muka sekolah. Dari petanya bisa kulihat jalan itu membentuk
garis lurus dari Arbinger Prep di ujung selatan kota menuju Jenna
Calish Academy untuk para putri di ujung sebelah utara. New
Cotswold merupakan salah satu desa paling menawan di daerah New
England, yang dibangun di sekitar kedua sekolah yang termasuk di
dalam wilayahnya itu. Di sana ada toko buku besar, bioskop,
perpustakaan, sejumlah toko pakaian, dan beberapa restoran kecil.
Aku melupakan niatku unruk melewatkan waktu di sana, dengan
harapan akan mendapatkan informasi mengenai siswa-siswanya. Craig
Parshall sudah memberikan semua informasi yang kuinginkan, dan
aku tahu akan lebih baik bagiku untuk segera melacak bekas rekanrekan sekelas
Rob Westerfield daripada menghabiskan lebih banyak
waktu lagi di sekitar Arbinger.
Tapi hari sudah menjelang siang, dan aku mulai sakit kepala,
sebagian karena aku mulai lapar, sebagian lagi karena aku tidak cukup
tidur malam sebelumnya. Sekitar tiga blok dari sekolah itu, aku melewati restoran
bernama The Library. Papan nama dalam tulisan tangan yang unik itu
menggugah perhatianku, dan aku menduga di situ mungkin supnya
masih buatan sendiri, seperti di rumah. Aku memutuskan untuk
mencoba. Kupinggirkan kendaraanku di pelataran parkir tidak jauh
dari situ. Karena saat itu belum betul-betul siang, aku menjadi pelanggan
makan siang pertama, dan si empunya, wanita sibuk bertampang
ramah berusia menjelang lima puluhan, dengan senang hati
memberiku kesempatan memilih di antara sekian belas meja kecil di
sana, sekaligus memberikan masukan padaku mengenai sejarah
tempat usahanya. "Keluarga kami sudah lima puluh tahun memiliki
tempat ini," ujarnya, meyakinkan aku. "Ibuku, Antoinette Duval, yang
membukanya. Sejak dulu dia ahli masak yang andal, dan ayahku,
untuk menyenangkan hatinya, memasrahkan segalanya padanya.
Ternyata ibuku begitu sukses, sehingga ayahku akhirnya
meninggalkan pekerjaannya sendiri untuk menangani bisnis ini.
Mereka sudah pensiun; aku dan saudara-saudara perempuanku yang
menjalankannya sekarang. Tapi ibuku masih datang beberapa kali
seminggu untuk membuat beberapa masakan spesialnya. Dia sedang
di dapur saat ini, dan kalau Anda mau sup bawang, dia baru saja
selesai membukanya."
Aku memesan supnya, dan rasanya persis seperti yang
kuharapkan. Si empunya restoran datang untuk mengecek reaksiku,
dan pendapatku bahwa sup itu benar-benar luar biasa membuat
wajahnya bersinar-sinar. Kemudian, mengingat belum banyak tamu
yang datang, ia berdiri di dekat mejaku dan bertanya apakah aku akan
tinggal di sekitar situ atau sekadar lewat. Aku memutuskan
mengatakan apa adanya. "Aku jurnalis, dan aku sedang menyusun
cerita tentang Rob Westerfield yang baru saja dibebaskan dari Sing
Sing. Apakah Anda tahu siapa dia?"
Ekspresi wajahnya langsung berubah dari ramah menjadi keras
dan tegang. Ia langsung memutar tubuhnya dan meninggalkanku. Ya
Tuhan, batinku. Untung aku hampir selesai menikmati sup ini.
Tampangnya seperti hendak mengusirku keluar dari sini.
Beberapa saat kemudian ia kembali, kali ini dengan seorang
wanita gemuk berambut putih di belakangnya. Wanita yang lebih tua
itu mengenakan celemek koki, dan sedang mengeringkan tangan pada
sudut celemeknya sambil berjalan ke mejaku. "Mom," ujar si pemilik
restoran, "nona ini sedang menulis sesuatu tentang Rob Westerfield.
Mungkin Mom ingin mengatakan sesuatu padanya."
"Rob Westerfield." Cara Mrs. Duval mengucapkan nama itu
terdengar sengit. "Dia bajingan. Kenapa mereka melepasnya dari
penjara?" Tanpa perlu diminta, ia mengungkapkan ceritanya. "Dia datang
ke sini bersama ayah dan ibunya di suatu akhir minggu. Berapa
usianya waktu itu" Lima belas, mungkin. Dia berdebat dengan
ayahnya. Entah kenapa, tiba-tiba dia melompat berdiri, siap angkat
kaki. Seorang pelayan sedang berjalan di belakangnya, membawa
nampan, dan Rob menabraknya. Makanan tumpah ke sekujur
tubuhnya. Percayalah, Miss, aku belum pernah melihat hal seperti itu.
Rob Westerfield langsung mencengkeram tangan gadis itu dan
memelintirnya sampai dia menjerit kesakitan. Laki-laki itu benarbenar seperti
binatang." "Apakah Anda menghubungi polisi ketika itu?"
"Aku hampir melakukannya, namun ibunya memohon padaku
untuk menunggu. Kemudian si ayah membuka dompetnya dan
memberi si pelayan lima ratus dolar. Gadis itu masih muda sekali. Dia
mau menerimanya. Dia menyatakan tidak akan mengajukan tuntutan.
Setelah itu, si ayah mengatakan padaku untuk membebankan harga
makanan yang tumpah itu dalam rekeningnya."
"Apa yang dilakukan Rob Westerfield?"
"Dia langsung keluar dan meninggalkan orangtuanya untuk
membereskan masalah itu. Ibunya tampak malu sekali. Sesudah
ayahnya membayar si pelayan, dia mengatakan padaku semua ini
salah gadis itu, dan putranya bereaksi seperti itu karena dia terluka
kena makanan panas. Dia mengatakan padaku seharusnya aku melatih
pelayan sebelum membiarkannya membawa nampan."
"Lalu apa yang Anda lakukan?"
"Kukatakan padanya kami tidak mau lagi melayani dia, dan
sebaiknya dia meninggalkan restoranku."
"Anda tidak akan bisa membayangkan seperti apa Mama kalau
sudah marah," ujar putrinya. "Dia mengangkat piring-piring yang baru
saja disajikan di muka mereka, dan langsung membawanya kembali
ke dapur." "Tapi aku kasihan pada Mrs. Westerfield," ujar Mrs. Duval.
"Dia betul-betul gundah. Malah dia menulis surat yang simpatik sekali
untuk meminta maaf. Aku masih menyimpan surat itu dalam arsipku."
Ketika meninggalkan The Library setengah jam kemudian, aku
sudah memperoleh izin untuk mengungkapkan cerita itu di dalam


Putri Kesayangan Ayah Daddy's Little Girl Karya Mary Higgins Clark di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

situsku, dan janji bahwa aku akan menerima copy surat yang pernah
ditulis Mrs. Westerfield pada Mrs. Duval. Selain itu, aku dalam
perjalanan mengunjungi Margaret Fisher, pelayan muda yang
lengannya dipelintir oleh Rob. Dia seorang psikolog sekarang, dan
tinggal dua kota dari tempat itu, dan ya, dia bersedia berbicara
denganku. Dia masih mengingat Rob Westerfield dengan jelas sekali.
"Aku sedang menabung untuk masuk universitas," ujar Dr.
Fisher padaku. "Lima ratus dolar yang diberikan ayahnya bagaikan
anugerah bagiku ketika itu. Kalau menoleh kembali ke belakang, aku
menyesal tidak mengajukan tuntutan atas dirinya. Dia kasar sekali,
dan dari apa yang kupelajari mengenai pikiran manusia, kurasa masa
hukuman dua puluh dua tahun di penjara tidak akan mengubahnya
sedikit pun." Ia wanita menarik di usia empat puluhan, dengan rambut
beruban sebelum waktunya, dan wajah yang tampak muda. Ia
menyatakan padaku bahwa ia hanya punya janji sampai siang pada
hari Jumat itu, dan baru saja akan meninggalkan kantornya sewaktu
aku menelepon. "Aku menonton wawancara dengan dia di TV
beberapa malam yang lalu," ujarnya. "Dia pintar sekali bicara. Aku
sangat muak melihat tampangnya, karena itu aku bisa mengerti
bagaimana perasaan Anda." ?"?""L"W"S."?OG?"OT."?M
Aku mengungkapkan padanya tentang situsku, dan bagaimana
aku berdiri di muka Sing Sing dengan poster yang meminta informasi
tentang polah Rob di dalam penjara.
"Aku justru akan heran kalau selama dia berada di sana tidak
pernah terjadi apa-apa," ujarnya. "Tapi bagaimana mengenai tahuntahun antara
waktu dia bersekolah di sini dan ditahan sehubungan
dengan kasus kematian kakak Anda" Berapa umurnya ketika dia
masuk penjara?" "Dua puluh." "Dengan riwayatnya, kurasa ada situasi-situasi lain yang
diredam atau tidak pernah dilaporkan. Ellie, pernahkah terpikir
olehmu bahwa kau telah menempatkan dirimu sebagai ancaman
berbahaya bagi dirinya" Katamu neneknya sangat waspada.
Bagaimana kalau dia mendengar tentang situsmu dan membukanya,
atau dia menyuruh seseorang mengikuti perkembangannya setiap
hari" Kalau dia sampai membaca cukup banyak fakta negatif
mengenai cucunya, apa lagi yang akan menghalanginya untuk
memutuskan mengubah surat wasiatnya, bahkan sebelum Westerfield
menjalani sidang ulangnya?"
"Bagus sekali kalau itu terjadi!" sambutku. "Aku senang
menganggap aku ikut bertanggung jawab untuk pendermaan uang
keluarga itu." "Aku akan sangat berhati-hati kalau aku jadi kau," ujar Dr.
Fisher pelan. Aku mempertimbangkan nasihatnya dalam perjalananku
kembali ke Oldham. Sudah ada yang menyusup ke dalam
apartemenku, masih ditambah lagi ancaman yang dimasukkan ke
dalam file komputerku. Aku merenungkan kembali, apakah sebaiknya
kulaporkan kejadian itu pada polisi. Namun, demi alasan yang sudah
kuberikan pada Mrs. Hilmer, aku tahu tindakanku untuk tidak
melakukan itu sudah benar; aku tidak mau mempertaruhkan
kemungkinan diriku dianggap sinting. Di pihak lain, aku tidak berhak
menempatkan Mrs. Hilmer dalam situasi berbahaya. Aku memutuskan
mencari tempat tinggal lain.
Dr. Fisher telah memberi izin untuk menggunakan namanya
saat aku menulis mengenai apa yang pernah terjadi di restoran itu.
Satu hal lagi yang akan kulakukan dalam situsku - mengundang
orang-orang berbagi cerita mengenai pengalaman mereka dengan Rob
Westerfield dalam tahun-tahun sebelum ia masuk penjara.
****************************************
Hari sudah sore ketika aku memasuki jalan mobil dan memarkir
mobilku di muka apartemenku. Aku sempat mampir di sebuah
swalayan di Oldham, untuk membeli beberapa kebutuhan. Rencanaku
adalah menikmati hidangan malam yang sederhana: seiris daging
steak, kentang panggang, dan salad. Kemudian aku akan nonton TV
dan tidur lebih awal. Aku harus mulai menulis buku tentang
Westerfield, sesuai dengan kontrakku. Materi yang kugunakan dalam
situsku bisa kuolah lagi dalam buku itu, tapi cara penyajiannya harus
berbeda. Rumah Mrs. Hilmer tampak gelap, karena itu aku tidak yakin ia
ada di rumah. Aku mempertimbangkan kemungkinan mobilnya ada di
dalam garasinya, dan bahwa ia mungkin belum sempat menyalakan
lampu-lampunya. Karena itu aku meneleponnya begitu aku masuk ke
dalam apartemenku. Ia langsung menjawab pada deringan pertama,
dan dari suaranya aku mendengar nada cemas.
"Ellie, kedengarannya mungkin konyol sekali, tapi aku merasa
ada orang membuntutiku hari ini, ketika aku pergi ke perpustakaan."
"Kenapa Anda berpikir begitu?"
"Kau tahu bagaimana sepinya jalan ini. Baru saja aku keluar
dari jalan mobil, melalui kaca spionku kulihat ada mobil di
belakangku. Memang ada jarak di antara kendaraan kami, tapi dia
terus mengikutiku sampai aku masuk ke dalam pelataran parkir di
sebelah perpusakaan. Kemudian kurasa mobil yang sama mengikuti
aku lagi dalam perjalanan pulang.
"Apa dia melaju terus saat Anda membelok masuk?"
"Ya." "Anda bisa mendeskripsikannya?"
"Ukurannya sedang, warnanya gelap, entah hitam entah biru
tua. Sebenarnya cukup jauh dariku, sehingga aku tidak bisa melihat
tampang si pengemudi, tapi sepertinya dia laki-laki. Ellie, apakah
menurutmu, entah siapa yang masuk ke dalam apartemenmu tadi
malam sekarang sedang berkeliaran di sekitar sini?"
"Aku tidak tahu."
"Aku akan menelepon polisi, dan itu berarti aku harus
menceritakan pada mereka tentang tadi malam."
"Ya, tentu." Aku membenci diriku setelah mendengar nada
cemas dalam suara Mrs. Hilmer. Sebelum ini, jelas ia selalu merasa
aman di dalam rumahnya sendiri. Aku hanya bisa berharap peristiwa
ini tidak mengacaukan rasa aman yang dimilikinya selama ini.
Sebuah mobil polisi berhenti di muka rumah Mrs. Hilmer
sepuluh menit kemudian, dan setelah berdebat dengan diriku selama
beberapa menit, aku memutuskan pergi ke sana dan berbicara pada si
petugas polisi. Si polisi yang kelihatannya sudah berpengalaman
tampak tidak begitu menanggapi kecemasan Mrs. Hilmer. "Orang
yang berada di dalam mobil itu tidak berusaha menghentikan ataupun
mengadakan kontak dengan Anda melalui cara apa pun, bukan?"
tanyanya pada Mrs. Hilmer saat aku sampai di sana.
"Memang tidak." Mrs. Hilmer saling memperkenalkan kami.
"Ellie, aku sudah mengenal Opsir White bertahun-tahun."
Kulit wajah polisi itu kasar, seperti orang yang banyak
menghabiskan waktu di udara terbuka. "Lalu tentang si penyusup ini,
Ms. Cavanaugh?" Ia tidak berusaha menutupi sikap skeptisnya saat aku
mengungkapkan mengenai letak pena serta tulisan dalam file-ku itu.
"Maksud Anda, perhiasan Anda sama sekali tidak disentuh, dan satusatunya bukti
yang Anda miliki mengenai seseorang telah memasuki
apartemen Anda adalah Anda merasa pena Anda telah dipindahkan
dari sisi yang satu ke sisi lain agenda Anda, dan ada beberapa patah
kata di dalam file komputer Anda yang seingat Anda tidak Anda
tulis." "Yang memang tidak aku tulis," ujarku mengoreksi ucapannya.
Ia cukup santun untuk tidak secara langsung menyelaku, tapi
setelah itu ia berkata, "Mrs. Hilmer, kami akan mengawasi rumah
Anda selama beberapa hari berikutnya, tapi aku merasa Anda sedikit
cemas setelah mendengar cerita Ms. Cavanaugh tadi pagi, dan karena
itulah Anda mencurigai mobil itu. Sebenarnya mungkin tidak ada apaapa."
'Cerita'-ku, batinku. Terima kasih. Tapi kemudian ia
mengatakan ingin memeriksa kunci pintu apartemen. Setelah berjanji
pada Mrs. Hilmer bahwa aku akan meneleponnya, aku berjalan ke
apartemen itu bersama si polisi. Ia memeriksa kunci pintu dan
menarik kesimpulan yang sama seperti aku sebelumnya: Sama sekali
tidak terjadi tindak pemaksaan.
Ia masih di sana untuk beberapa saat, jelas sedang memikirkan
cara mengeluarkan pendapatnya mengenai sesuatu, dan akhirnya ia
berkata, "Kami mendengar Anda berada di Sing Sing kemarin, Ms.
Cavanaugh." Aku menunggu. Kami sedang berdiri di lorong luar apartemen.
Ia tidak meminta melihat file dalam komputerku, dan itu menunjukkan
seberapa besar kepercayaannya pada "cerita"-ku. Aku tidak berniat
mengundangnya masuk untuk memperpanjang masalah.
"Ms. Cavanaugh, aku ada di sini saat kakak Anda dibunuh, dan
aku mengerti kepedihan yang dialami keluarga Anda. Tapi kalau Rob
Westerfield memang melakukan tindak kejahatan itu, dia sudah
menjalani masa hukumannya, dan harus kukatakan pada Anda bahwa
banyak orang di kota ini tidak menyukainya ketika dia masih muda
dan liar, tapi toh berpendapat dia benar-benar sedang sial."
"Anda-juga berpendapat begitu?"
"Terus terang, ya. Aku selalu merasa Paulie Stroebel-lah yang
bersalah. Banyak hal yang tidak pas dalam sidang itu."
"Seperti..." "Dia pernah membual pada sejumlah anak di sekolah bahwa
kakak Anda akan pergi ke acara Thanksgiving itu dengannya. Kakak
Anda memang menceritakan hal itu pada beberapa di antara mereka
maksudku yang cukup akrab dengannya, bahwa dia pergi dengan
Paulie hanya untuk memanas-manasi Rob Westerfield agar cemburu.
Paulie mendengarnya, mungkin saja dia lalu kalap. Mobil Rob
Westerfield diparkir di bengkel pompa bensinnya. Anda sendiri
pernah bilang di mimbar saksi bahwa Paulie mengatakan pada
Andrea, dia pernah membuntutinya ke tempat persembunyian itu.
Selain itu masih ada si pembimbing siswa yang memberi
kesaksiannya di bawah sumpah bahwa begitu Paulie mendengar mayat
Andrea ditemukan, dia berkata, 'Aku kira dia tidak mati.' "
"Dan masih ada seorang siswa yang pada saat itu berada dalam
jarak lebih dekat dengannya, bersumpah bahwa dia mengatakan, 'Aku
yakin dia tidak mati.' Itu dua pernyataan yang sangat bertentangan."
"Jelas kita tidak sepaham mengenai ini, tapi ada baiknya aku
mengingatkan Anda." Rupanya ia merasakan keteganganku, karena
kemudian ia berkata, "Tolong dengar dulu. Anda telah melakukan
sesuatu yang berbahaya, membawa-bawa kertas karton itu di seputar
Sing Sing. Mereka yang keluar dari sana adalah penjahat-penjahat
kelas berat. Anda berdiri di sana, masih muda dan menarik, dengan
karton yang mencantumkan nomor telepon Anda dan memohon pada
mereka untuk menghubungi Anda. Separo di antara mereka pada
akhirnya akan kembali masuk ke sana dalam beberapa tahun. Menurut
Anda, apa yang akan tebersit di kepala mereka begitu melihat wanita
seperti Anda mengundang masalah?"
Aku menatapnya lurus-lurus. Aku melihat kekhawatiran yang
tulus di wajahnya, dan apa yang ia katakan memang ada benarnya.
"Opsir White, justru Anda dan orang-orang seperti Anda-lah yang
ingin kucoba yakinkan," ujarku. "Aku mengerti sekarang kakakku
takut pada Rob Westerfield waktu itu, dan setelah mendapatkan
informasi mengenai dirinya pada hari ini, aku bisa mengerti
alasannya. Biarpun berbahaya, aku toh akan mengambil risiko untuk
berbicara dengan orang-orang yang melihat kartonku itu - kecuali,
tentu saja, kalau mereka entah bagaimana memiliki hubungan khusus
dengan Rob Westerfield dan keluarganya."
Pada saat itulah terpikir olehku untuk memberikan deskripsi
lelaki yang berbicara padaku di pelataran parkir stasiun kereta api.
Aku meminta padanya untuk mencari tahu, apakah ada mantan
narapidana dengan deskripsi itu yang dilepas kemarin.
"Apa yang akan Anda lakukan dengan informasi itu?" tanyanya.
"Oke. Bagaimana kalau kita melupakan itu?" sahutku.
Mrs. Hilmer rupanya terus menunggu sampai Opsir White
pergi. Ponselku langsung berbunyi begitu lampu belakang
kendaraannya menghilang ke arah jalan.
"Ellie," ujarnya. "Aku sudah membuat copy koran-koran dan
transkripsi sidang itu. Apakah kau membutuhkan aslinya malam ini"
Aku akan pergi nonton dan makan malam dengan beberapa teman,
dan baru kembali sekitar pukul sepuluh nanti."
Aku cemas bila dokumen-dokumen asli dan copynya berada di
bawah satu atap, tapi mau bagaimana lagi.
"Aku akan segera ke sana," ujarku.
"Tidak usah, aku akan meneleponmu begitu mau berangkat.
Aku akan mampir di apartemenmu, supaya kau bisa turun sebentar
untuk mengambil tasmu."
Mrs. Hilmer muncul beberapa saat setelah itu. Waktu baru
menunjukkan pukul setengah lima, tapi langit sudah gelap. Walaupun
begitu, aku toh bisa melihat ketegangan di wajahnya saat ia membuka
jendelanya untuk berbicara padaku.
"Ada lagi yang terjadi?" tanyaku.
"Baru saja aku menerima telepon. Aku tidak tahu dari siapa.
Identitas si penelepon tidak jelas."
"Ceritakan padaku."
"Aku tahu ini tidak masuk akal, tapi orang ini mengatakan aku
harus berhati-hati menampung orang sinting di rumahku. Dia bilang
kau sempat masuk rumah sakit jiwa gara-gara menimbulkan
kebakaran di dalam kelasmu."
"Itu tidak benar. Demi Tuhan, aku belum pernah masuk rumah
sakit sejak aku lahir, apalagi rumah sakit jiwa."
Aku tahu dari kelegaan yang membayang di wajah Mrs. Hilmer
bahwa ia mempercayai ucapanku. Namun itu berarti ia tidak langsung
tidak mempercayai ucapan si penelepon itu. Biar bagaimanapun, pada
kunjungan pertamaku, ia sempat menyatakan bahwa Rob Westerfield
mungkin tidak bersalah, dan bahwa aku terobsesi oleh kematian
Andrea. "Tapi, Ellie, kenapa ada orang yang tega-teganya mengatakan
hal sekejam itu mengenai dirimu?" protesnya. "Dan apa yang bisa
kaulakukan supaya dia tidak menyebarkan hal itu pada orang-orang
lain?" "Rupanya ada yang berniat menjelek-jelekkan aku, dan
jawabannya adalah aku tidak akan dapat menghentikannya." Aku
membuka pintu belakang mobilnya dan meraih tasku. Aku mencoba
mencari kata-kata yang tepat. "Mrs. Hilmer, kurasa sebaiknya aku
pindah ke losmen besok pagi. Opsir White berpendapat aku akan
memancing orang-orang berbahaya akibat berdiri di depan Sing Sing
dengan karton itu. Aku tak mungkin bisa membiarkan mereka kemari.
Akan lebih aman kalau aku tinggal di losmen, dan Anda bisa hidup
tenang lagi." Ternyata ia cukup jujur untuk tidak menyanggah ucapanku.
Suaranya terdengar lega ketika ia mengatakan, "Kurasa itu akan lebih
aman untukku, Ellie." Ia terdiam sebentar, kemudian menambahkan
dengan nada apa adanya, "Dan kukira dengan begitu aku juga akan
merasa lebih tenang." Setelah itu ia berangkat.
Aku berjalan kembali ke arah apartemen itu, menjinjing tasku
dengan perasaan nyaris ditinggalkan. Di dalam kitab suci, para
penderita kusta harus mengalungi kerincingan di leher mereka dan
berteriak, "Najis, najis," kalau kebetulan ada orang dalam jarak terlalu
dekat dengan mereka. Pada saat itu aku berani bersumpah aku merasa
diriku seperti penderita kusta.


Putri Kesayangan Ayah Daddy's Little Girl Karya Mary Higgins Clark di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku meletakkan tasku, kemudian masuk ke kamar tidur untuk
berganti pakaian. Aku mengganti jaketku dengan sweater longgar,
menendang lepas sepatuku, kemudian mengenakan sandal tua berlapis
bulu. Setelah itu aku ke ruang duduk, menuang segelas anggur untuk
diriku, dan duduk di sofa besar dengan kaki di atas bangku.
Sweater dan sandal itu biasanya memberiku rasa nyaman.
Sesaat aku teringat pemberi rasa nyamanku dulu, Bones, boneka
binatang lembut yang tidur sebantal denganku ketika aku masih kecil.
Ia ada di dalam dus di laci teratas lemari dalam apartemenku di
Atlanta. Ia di dalam dus itu bersama memento-memento lain yang
disimpan ibuku dari masa lalunya, termasuk album foto-foto
perkawinannya, foto-foto kami berempat, pakaian bayi, dan yang
paling meluluhkan di antara semuanya, seragam band Andrea. Sesaat
aku menyesal Bones tidak sedang bersamaku saat ini.
Kemudian, saat mencicipi anggurku, aku teringat betapa
seringnya Pete dan aku, di waktu kami pergi keluar bersama setelah
bekerja, berlama-lama menikmati segelas anggur sebelum memesan
makanan. Dua kenangan: ibuku yang minum-minum untuk mendapatkan
ketenangan, dan Pete dan aku untuk bersantai dan tertawa bersama
mengenai hal-hal yang kadang-kadang membuat kami sibuk sekali
hari itu, atau frustrasi.
Sudah sepuluh hari aku tidak mendengar kabar darinya sejak
kami pergi makan malam bersama di Atlanta. Jauh di mata, jauh di
hati, putusku. Sibuk mencari pekerjaan lain. "Sibuk menjajaki peluang
lain," meminjam istilah dalam dunia bisnis, di saat seorang eksekutif
diminta membersihkan mejanya.
Atau di saat ia memutuskan untuk mengakhiri ikatan-ikatannya.
Secara tuntas. Chapter 21 SATU jam kemudian, udara mulai berubah. Suara getaran
lembut kaca yang longgar dari jendela di atas tempat cuci piring
menunjukkan gejala pertama perubahan kecepatan angin. Aku
menghela diriku untuk menaikkan thermostat - pengatur suhu ruang,
setelah itu aku duduk di muka komputer. Menyadari bahwa aku
hampir-hampir merasa kasihan pada diriku sendiri, aku mulai
mengerjakan awal bab pertama bukuku.
Setelah mencoba beberapa kali, aku tahu seharusnya aku
memulai dengan kenangan terakhirku tentang Andrea, dan saat aku
menulis, kenanganku terasa semakin nyata. Aku bisa membayangkan
kamarnya dengan seprai putih dari bahan organdi dan tirai berumbairumbai. Jelas
Sejuknya Kampung Halaman 5 Pendekar Naga Putih 68 Warisan Terkutuk Perangkap Berdarah 2
^