Putri Kesayangan Ayah 1
Putri Kesayangan Ayah Daddy's Little Girl Karya Mary Higgins Clark Bagian 1
Chapter 1 KETIKA Ellie terbangun pagi itu, perasaannya mengatakan
sesuatu yang tidak enak telah terjadi.
Mengikuti instingnya ia meraih Bones, boneka anjingnya yang
lembut dan hangat, yang sudah berbagi bantal dengannya sejak lama
berselang. Ketika ia merayakan ulang tahunnya yang ketujuh bulan
lalu, Andrea, kakak perempuannya yang berusia lima belas tahun,
sempat meledeknya bahwa sudah waktunya melemparkan Bones ke
gudang di loteng. Kemudian Ellie ingat apa yang tidak beres: Andrea tidak pulang
tadi malam. Setelah makan malam, ia pergi ke rumah sahabatnya,
Joan, untuk belajar matematika. Ia sudah berjanji akan pulang sekitar
pukul sembilan. Pukul sembilan seperempat, Mommy menjemput
Andrea di rumah Joan, dengan berjalan kaki, namun mereka
mengatakan Andrea sudah pulang sejak pukul delapan.
Mommy kembali dalam keadaan cemas dan berusaha menahan
tangis, persis pada waktu Daddy baru saja pulang kerja. Daddy
seorang letnan polisi di Dinas Kepolisian New York. Ia dan Mommy
langsung mulai menelepon semua teman Andrea, tapi tak seorang pun
tahu di mana dia. Kemudian Daddy mengatakan akan berkeliling
dengan mobilnya ke arah tempat main boling dan kedai es krim, siapa
tahu Andrea ada di sana. "Kalau dia bohong mengenai bikin PR sampai pukul sembilan,
dia tidak boleh keluar rumah ini selama enam bulan," ujarnya marah,
setelah itu ia berpaling ke Mommy, "Aku sudah bilang, aku sudah
bilang ribuan kali - aku tidak suka dia pergi keluar sendirian setelah
gelap." Meskipun nadanya tinggi, Ellie tahu Daddy lebih merasa cemas
daripada marah. "Demi Tuhan, Ted, dia pergi pukul tujuh tadi. Dia pergi ke
rumah Joan. Dia sudah merencanakan pulang sekitar pukul sembilan,
aku bahkan menjemputnya ke sana dengan berjalan kaki."
"Kalau begitu, di mana dia?"
Mereka menyuruh Ellie tidur, dan akhirnya ia jatuh tertidur, dan
baru terbangun sekarang. Mungkin Andrea sudah pulang, batinnya
sambil berharap. Ia menyelinap turun dari tempat tidur, bergegas
melintasi kamarnya, kemudian cepat-cepat menelusuri lorong, menuju
kamar Andrea. Mudah-mudahan dia ada di sana, doanya dalam hati. Ia
membuka pintunya. Tempat tidur Andrea sama sekali tidak ditiduri
malam itu. Dengan bertelanjang kaki, diam-diam ia menuruni tangga.
Tetangga mereka, Mrs. Hilmer, sedang duduk bersama Mommy di
dapur. Mommy masih mengenakan pakaian malam sebelumnya, dan
ia seperti habis menangis lama.
Ellie lari mendekat. "Mommy."
Mommy memeluknya dan mulai terisak. Ellie merasa tangan
Mommy mencengkeram pundaknya, begitu kuat hingga nyaris
menyakitinya. "Mommy, mana Andrea?"
"K-kita... t-tidak... tahu. Daddy masih mencarinya bersama
polisi." "Ellie, bagaimana kalau kau berpakaian dan aku menyiapkan
sarapan untukmu?" tanya Mrs. Hilmer.
Tidak ada yang mengatakan padanya bahwa ia harus buru-buru
karena bus sekolah akan tiba sebentar lagi. Tanpa bertanya, Ellie tahu
ia tidak akan pergi ke sekolah hari itu.
Dengan patuh ia mencuci muka dan tangannya, menyikat gigi
dan rambutnya, setelah itu mengenakan pakaian bermainnya - baju
berleher tinggi dan celana panjang biru favoritnya - kemudian ia
kembali ke bawah. Persis pada saat ia duduk di meja tempat Mrs. Hilmer telah
meletakkan jus dan cornflakes, Daddy masuk melalui pintu dapur.
"Dia tidak kelihatan," ujarnya. "Kami sudah mencari ke mana-mana.
Kemarin ada orang berkeliling dari pintu ke pintu, meminta-minta
sumbangan untuk sesuatu yang tidak jelas. Dia sempat mampir di kafe
tadi malam, dan meninggalkan tempat itu sekitar pukul delapan.
Mestinya dia lewat rumah Joan dalam perjalanan ke jalan besar sekitar
waktu Andrea pulang. Mereka sedang mencarinya."
Ellie tahu Daddy berusaha tidak menangis. Dan Daddy
sepertinya juga tidak melihat ia ada di sana, namun ia tidak
tersinggung. Kadang-kadang Daddy pulang dalam keadaan sangat
emosional, karena sesuatu yang menyedihkan terjadi ketika ia
bertugas, sehingga selama beberapa waktu ia tidak banyak bicara.
Tampangnya juga seperti itu saat ini.
Andrea sedang bersembunyi - Ellie yakin akan hal itu.
Mungkin Andrea sengaja meninggalkan rumah Joan lebih awal, untuk
menemui Rob Westerfield di tempat persembunyian mereka, setelah
itu mungkin ia kemalaman dan tidak berani pulang. Daddy pernah
bilang kalau ia sampai bohong lagi mengenai keberadaannya, Daddy
akan membuatnya berhenti bermain band di sekolah. Daddy pernah
bilang begitu ketika Andrea ketahuan naik mobil bersama Rob
Westerfield saat ia seharusnya berada di perpustakaan.
Andrea senang sekali main band; tahun lalu ia satu-satunya
murid baru yang terpilih untuk main di bagian suling. Tapi kalau ia
memang meninggalkan rumah Joan lebih awal dan pergi ke tempat
persembunyian itu untuk menemui Rob, dan Daddy sampai tahu, itu
berarti ia harus berhenti main.
Mommy selalu bilang Andrea bisa memanipulasi Daddy
seenaknya, namun Mommy tidak mengatakan itu bulan lalu, ketika
salah satu rekan Daddy mengungkapkan padanya bahwa ia sempat
mencegat Rob Westerfield dan memberinya surat tilang karena
ngebut, dan Andrea sedang bersamanya waktu itu.
Daddy tidak bilang apa-apa sampai setelah makan malam.
Kemudian ia bertanya pada Andrea, berapa lama Andrea berada di
perpustakaan. Andrea tidak menjawab. Setelah itu Daddy berkata, "Ternyata kau cukup pintar. Kau
tahu petugas yang menilang Westerfield akan memberitahukan, kau
tadi bersamanya. Andrea, anak muda itu tidak hanya kaya dan manja,
tapi juga brengsek luar-dalam. Kalau dia sampai mati gara-gara
ngebut, kau tidak boleh ada di dalam mobil itu bersamanya. Pokoknya
kau dilarang keras berurusan apa pun dengannya."
Tempat persembunyian itu terletak di garasi belakang rumah
besar megah milik Mrs. Westerfield, nenek Rob yang tinggal di sana
sepanjang musim panas. Biasanya selalu dalam keadaan tidak dikunci,
dan kadang-kadang Andrea dan teman-temannya menyelinap ke sana
untuk merokok. Andrea pernah mengajak Ellie ke sana beberapa kali,
saat ia harus menjaga Ellie.
Teman-temannya sempat marah sekali pada Andrea karena
mengajak Ellie, namun Andrea mengatakan, "Ellie anak baik. Dia
bukan tukang ngadu." Ellie senang sekali mendengar itu, tapi Andrea
tidak mengizinkan Ellie mencoba satu isapan sekalipun.
Ellie yakin tadi malam Andrea meninggalkan rumah Joan lebih
awal karena ia sudah punya rencana bertemu Rob Westerfield. Ellie
sempat mendengar ketika Andrea berbicara pada anak muda itu di
telepon kemarin, dan setelah selesai, boleh dibilang ia menangis. "Aku
bilang pada Rob, aku akan pergi ke pesta dansa itu dengan Paulie,"
ungkapnya, "dan sekarang dia benar-benar marah padaku."
Ellie teringat percakapan itu saat ia menghabiskan cornflakes
dan jusnya. Daddy sedang berdiri di dekat kompor. Ia memegang
cangkir berisi kopi. Mommy sedang menangis lagi, tapi hampir tanpa
bersuara. Kemudian, untuk pertama kali, Daddy sepertinya menyadari
keberadaannya di sana. "Ellie, kurasa sebaiknya kau pergi ke sekolah.
Aku akan mengantarmu saat makan siang."
"Aku boleh keluar sekarang?"
"Ya. Tapi jangan jauh-jauh."
Ellie lari untuk mengambil jaketnya, dan tahu-tahu sudah
berada di luar pintu. Ketika itu tanggal 15 November, daun-daun
terasa lembap dan dingin di kaki. Langit berawan gelap, dan ia dapat
menebak bahwa hujan akan turun lagi. Ellie berandai mereka berada
di Irvington kembali, tempat tinggal mereka dulu. Di sini suasananya
sepi. Hanya Mrs. Hilmer yang tinggal di jalan itu, selain mereka.
Daddy sebetulnya lebih suka tinggal di Irvington, tapi mereka
pindah kemari, lima kota lebih jauh, karena Mommy ingin rumah
lebih besar dan tanah lebih luas. Mereka bisa memperoleh itu kalau
mereka pindah lebih ke arah Westchester, ke kota yang pada saat itu
belum menjadi satelit New York City.
Setiap kali Daddy mengatakan ia merindukan Irvington, tempat
ia dibesarkan dan tempat mereka tinggal sampai dua tahun lalu,
Mommy mengatakan padanya betapa menyenangkan rumah mereka
yang baru. Kemudian Daddy akan mengatakan di Irvington ada
pemandangan Hudson River dan Tappan Zee Bridge senilai satu juta
dolar, dan ia tidak perlu menempuh jarak sejauh lima mil untuk
membeli koran atau roti. Sekitar tempat tinggal mereka merupakan daerah berhutan.
Rumah besar keluarga Westerfield terletak persis di belakang rumah
mereka, tapi berada di sisi seberang hutan. Ellie menoleh ke arah
jendela dapur di belakangnya, untuk memastikan tak seorang pun
mengawasi dirinya. Ia mulai lari di antara pepohonan.
Lima menit setelah itu, ia sampai di sebuah tempat terbuka,
kemudian lari melintasi hamparan itu ke arah tanah keluarga
Westerfield. Merasa semakin sendirian, ia bergegas menelusuri jalan
mobil yang panjang dan mengitari rumah itu, sosoknya yang kecil
menghilang dalam bayangan gelap hujan badai yang sebentar lagi
turun. Ada pintu samping menuju garasi, dan pintu itu biasanya tidak
terkunci. Tapi ternyata tidak mudah bagi Ellie untuk memutar
kenopnya. Akhirnya ia berhasil, dan melangkah masuk ke dalam
keremangan ruangan. Garasi itu cukup besar untuk menyimpan empat
mobil, tapi satu-satunya kendaraan yang ditinggalkan Mrs.
Westerfield setelah bermusim panas di sana hanyalah mobil pickup.
Andrea dan teman-temannya pernah membawa beberapa helai selimut
tua untuk duduk-duduk kalau mereka ke sana. Mereka selalu duduk di
tempat yang sama, di bagian belakang garasi, di belakang mobil
pickup, supaya kalau kebetulan ada yang melongok ke dalam melalui
jendela, mereka tidak terlihat. Ellie tahu di sanalah Andrea akan
bersembunyi kalau ia memang ada di tempat ini.
Ellie tidak tahu mengapa ia tiba-tiba merasa takut, tapi
begitulah adanya. Kini, bukannya lari, malah kaki-kakinya justru
terasa berat sekali dibawa bergerak ke arah bagian belakang garasi itu.
Tapi kemudian ia melihatnya - ujung selimut yang mengintip dari
balik mobil pickup itu. Jadi, Andrea ada di sini! Ia dan temantemannya tidak
akan pernah meninggalkan selimut-selimut mereka
begitu saja; begitu akan pergi, mereka selalu melipatnya kembali dan
menyembunyikannya di lemari tempat menyimpan bahan-bahan
pembersih. "Andrea..." Sekarang Ellie lari, sambil memanggil pelan supaya
Andrea tidak kaget. Mungkin dia tertidur, batin Ellie.
Ya, ternyata memang begitu. Meskipun di dalam garasi itu
gelap, Ellie bisa melihat rambut Andrea yang panjang tergerai keluar
dari bawah selimut. "Andrea, ini aku." Ellie langsung berlutut di dekat Andrea, dan
menyingkapkan selimut yang menutupi wajah kakaknya.
Andrea memakai topeng, topeng monster yang mengerikan,
lengket, dan lembek. Ellie mengulurkan tangan untuk melepasnya,
jari-jarinya masuk ke rongga di dalam dahi Andrea. Saat ia buru-buru
menarik tangannya kembali, ia baru menyadari ada genangan darah
yang mulai merembes melalui celana panjangnya.
Kemudian, dari suatu tempat di dalam ruangan luas itu, ia yakin
ia mendengar suara napas seseorang suara tarikan napas berat dan
tidak teratur, seperti orang sedang berusaha menahan sesuatu yang
kemudian lepas menjadi semacam tawa terkikik.
Ketakutan, ia berusaha berdiri, namun lututnya yang licin oleh
darah membuatnya tergelincir dan ia jatuh terjerembap ke atas tubuh
Andrea. Bibirnya mengenai sesuatu yang mulus dan dingin - liontin
emas Andrea. Kemudian dengan sempoyongan ia berhasil berdiri,
membalikkan tubuh, dan lari keluar.
Ia tidak tahu bahwa ia menjerit-jerit sampai hampir tiba di
rumah. Ted dan Genine Cavanaugh lari ke kebun belakang, dan
melihat anak bungsu mereka menghambur keluar dari daerah hutan itu
dengan lengan-lengan terulur, tubuhnya yang kecil berlumuran darah
kakaknya. Chapter 2 KECUALI pada saat timnya sedang latihan atau ikut bertanding
selama musim bisbol, Paulie Stroebel yang berusia enam belas tahun
bekerja di bengkel dan pompa bensin di Hillwood sepulang sekolah
atau sepanjang hari Sabtu. Pilihan lainnya pada jam-jam yang sama
adalah membantu toko penganan milik orangtuanya yang terletak satu
blok dari Main Street - kegiatan yang sudah ia kerjakan sejak berusia
tujuh tahun. Agak lamban secara akademis, tapi cukup baik dalam hal-hal
mekanis, ia menyukai pekerjaan mereparasi mobil, sementara kedua
orangtuanya menunjukkan pengertian mereka mengenai keinginannya
bekerja untuk orang lain. Dengan rambut pirang susah diatur, mata
biru, pipi tembam, dan tubuh gempal setinggi 176 senti, Paulie dinilai
sebagai karyawan pendiam namun suka bekerja keras oleh bosnya di
bengkel, dan sedikit bodoh oleh teman-teman sekolahnya di Delano
High. Satu-satunya keberhasilannya di sekolah adalah menjadi
anggota tim football. Pada hari Jumat, ketika berita tentang pembunuhan Andrea
Cavanaugh sampai di sekolah, para pembimbing pelajar ditugasi pergi
ke kelas-kelas untuk menyampaikan kabar itu pada murid-murid.
Paulie sedang asyik mengikuti pelajaran ketika Miss Watkins masuk
ke kelasnya, berbisik pada gurunya, kemudian mengetuk meja untuk
meminta perhatian. "Ada berita sedih sekali untuk kalian," mulainya. "Kami baru
saja mendengar..." Dalam nada tertahan ia memberitahukan bahwa
siswa tahun kedua, Andrea Cavanaugh, telah terbunuh, sebagai korban
penganiayaan. Reaksi yang terdengar adalah suara tarikan napas
terkejut dan protes penuh emosi dari seluruh kelas.
Kemudian teriakan "Tidak!" membuat yang lain terenyak.
Paulie Stroebel yang biasanya tenang dan tidak banyak suara, tiba-tiba
sudah berdiri, wajahnya mengernyit mengekspresikan kepedihan
mendalam. Sementara rekan-rekan sekelasnya tertegun
mengawasinya, pundaknya mulai berguncang-guncang. Suara isak
tertahan mendera tubuhnya. Ia segera lari keluar ruangan. Begitu pintu
tertutup di belakangnya, ia menggumamkan sesuatu dalam suara
teredam, sehingga sulit ditangkap oleh kebanyakan di antara mereka.
Namun siswa yang duduk paling dekat ke pintu kemudian berani
bersumpah bahwa kata-katanya berbunyi, "Aku tidak percaya dia
mati!" Emma Watkins, pembimbing pelajar yang sudah merasa
terguncang oleh kejadian tragis itu, merasa seperti ditikam sebilah
pisau. Ia suka pada Paulie, dan mengerti kebiasaan siswa yang sangat
lamban dan selalu merasa dikucilkan ini untuk selalu berusaha keras
menyenangkan hati orang lain.
Ia sendiri yakin ucapan pedih yang disuarakan Paulie adalah,
"Kurasa dia tidak mati."
Putri Kesayangan Ayah Daddy's Little Girl Karya Mary Higgins Clark di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sore itu, untuk pertama kali setelah enam bulan bekerja di
bengkel, Paulie tidak muncul. Ia juga tidak menelepon bosnya untuk
memberitahukan ketidakhadirannya. Ketika kedua orangtuanya tiba di
rumah malam itu, mereka menemukan Paulie berbaring di tempat
tidur, menerawangi langit-langit, dengan foto-foto Andrea tercecer di
sekitarnya. Baik Hans maupun Anja Wagner Stroebel lahir di Jerman,
berimigrasi ke Amerika bersama orangtua mereka ketika mereka
masih kanak-kanak. Mereka bertemu dan menikah saat usia mereka
menjelang empat puluhan, dan dengan menggabungkan uang
tabungan masing-masing, mereka membuka toko penganan. Meski
tidak suka mendemonstrasikan perasaan, mereka sangat protektif
terhadap putra tunggal mereka.
Semua yang datang ke toko mereka membicarakan soal
pembunuhan itu, sambil saling mempertanyakan siapa yang begitu
tega melakukan perbuatan yang amat sangat mengerikan itu. Keluarga
Cavanaugh pelanggan tetap toko mereka, dan pasangan Stroebel ikut
terlibat dalam diskusi mengenai kemungkinan Andrea memang sudah
merencanakan bertemu seseorang di garasi keluarga Westerfield itu.
Mereka sependapat Andrea cantik, tapi sedikit nakal.
Seharusnya ia mengerjakan PR-nya dengan Joan Lashley sampai
pukul sembilan malam, tapi tahu-tahu ia pulang lebih awal. Apakah ia
sudah punya rencana bertemu seseorang, atau ia dihadang dalam
perjalanan pulangnya"
Anja Stroebel langsung mengikuti instingnya begitu rnelihat
foto-foto yang berserakan di tempat tidur putranya. Ia meraup fotofoto itu untuk
disimpan di dalam buku sakunya. Saat suaminya
menatap dengan ekspresi bertanya, ia menggeleng. Itu berarti
suaminya tidak perlu menanyakan apa-apa padanya. Kemudian ia
duduk di dekat Paulie, dan merangkul anaknya itu.
"Andrea memang gadis yang sangat cantik," ujarnya
menghibur, suaranya yang memiliki aksen jadi lebih berat kalau ia
sedang emosional. "Aku masih ingat bagaimana dia memberikan
selamat padamu ketika kau berhasil menangkap bola itu dan
menyelamatkan timmu dalam pertandingan musim semi yang lalu.
Seperti semua temannya yang lain, kau tentunya sangat sedih."
Mulanya Paulie merasa seakan ibunya berbicara padanya dari
suatu tempat jauh. Sama seperti teman-temannya yang lain. Apa
maksudnya" "Polisi akan mendatangi semua yang pernah menjadi teman
dekat Andrea, Paulie" ujar ibunya pelan, tapi penuh wibawa.
"Aku mengajak dia ke pesta dansa," ujar Paulie, suaranya
tertahan. "Dia bilang dia mau pergi denganku."
Anja tahu putranya tidak pernah mengajak gadis mana pun
berkencan sebelum ini. Tahun lalu ia tidak mengajak siapa-siapa ke
acara dansa tahun keduanya di sekolah menengah.
"Kalau begitu, kau suka padanya, Paulie?"
Paulie Stroebel mulai mengisak. "Mama, aku sayang sekali
padanya." "Kau suka padanya, Paul," ujar Anja bersikeras. "Coba ingat
itu." Pada hari Sabtu, dengan sikap tenang dan menunjukkan
penyesalan karena tidak hadir pada hari Jumat sore, Paulie Stroebel
muncul di tempat kerjanya di stasiun pompa bensin.
Pada hari Sabtu sore, Hans Stroebel secara pribadi mengantar
sepotong daging ham Virginia dan salad ke rumah keluarga
Cavanaugh, dan meminta tetangga mereka, Mrs. Hilmer, yang
membukakan pintu, untuk menyampaikan rasa duka citanya yang
mendalam pada seluruh keluarga itu.
Chapter 3 " SEDIHNYA Ted dan Genine sama-sama anak tunggal," Ellie
mendengar Mrs. Hilmer berkata beberapa kali pada hari Sabtu itu.
"Akan lebih mudah kalau mereka punya banyak keluarga di saat-saat
seperti ini." Ellie tidak peduli mengenai memiliki banyak keluarga. Ia cuma
ingin Andrea kembali, ia ingin Mommy berhenti menangis, dan ia
ingin Daddy berbicara dengannya. Daddy hampir tidak mengucapkan
sepatah kata pun padanya sejak ia lari pulang ke rumah. Daddy
merengkuhnya ke dalam pelukannya, dan Ellie berhasil
menyampaikan padanya di mana Andrea berada, dan bahwa Andrea
terluka. Kemudian, setelah Daddy pergi ke tempat persembunyian itu
dan melihat Andrea, dan para polisi berdatangan, ia masih sempat
berkata, "Ellie, kau tahu tadi malam dia mungkin pergi ke garasi itu.
Kenapa kau tidak bilang apa-apa pada kami waktu itu?"
"Daddy tidak tanya padaku, dan Daddy suruh aku tidur."
"Ya, itu betul," kata ayahnya. Tapi kemudian Ellie
mendengarnya berkata pada salah satu rekannya, "Andai aku tahu
Andrea ada di sana. Mungkin dia masih hidup sekitar pukul sembilan.
Mungkin kalau aku menemukannya saat itu, dia masih punya
peluang." Seseorang dari pihak kepolisian berbicara dengan Ellie dan
mengajukan beberapa pertanyaan padanya tentang tempat
persembunyian itu, dan siapa saja yang suka pergi ke sana. Di dalam
kepalanya Ellie bisa mendengar suara Andrea mengatakan, "Ellie anak
baik. Dia bukan tukang ngadu."
Begitu teringat Andrea, dan tahu Andrea tidak akan pernah
pulang lagi, Ellie mulai menangis begitu sedih, sehingga polisi itu
berhenti menanyainya. Kemudian, pada hari Sabtu sore, seseorang yang mengaku
sebagai Detektif Marcus Longo datang ke rumah. Ia mengajak Ellie ke
ruang makan dan menutup pintunya. Ellie berpendapat orang itu
memiliki tampang menyenangkan. Orang itu berkata ia mempunyai
anak laki-laki sebaya Ellie, dan mereka berdua sangat mirip. "Dia
punya mata biru yang sama," katanya. "Rambutnya juga persis
punyamu. Aku sering bilang padanya bahwa rambutnya itu seperti
pasir yang kena cahaya matahari."
Kemudian ia mengungkapkan bahwa empat teman Andrea telah
mengaku mereka pernah pergi ke tempat persembunyian itu dengan
Andrea, namun tak seorang pun dari mereka berada di sana malam itu.
Ia menyebutkan nama gadis-gadis itu, lalu bertanya, "Ellie, apa masih
ada gadis lain yang mungkin menemui kakakmu di sana"
Sepertinya ia tidak mengkhianati mereka kalau mereka sudah
mengaku sendiri. "Tidak ada," bisik Ellie. "Itu sudah semuanya."
"Apa ada orang lain yang mungkin ditemui Andrea di tempat
persembunyian itu?" Ellie tampak ragu. Ia tidak bisa menceritakan tentang Rob
Westerfield. Itu berarti membuka rahasia Andrea.
Detektif Longo berkata, "Ellie, seseorang telah melukai Andrea
sedemikian parah, sehingga dia tidak bisa diselamatkan lagi. Jangan
kaulindungi orang itu. Andrea tentu ingin kau mengatakan semua
yang kauketahui." Ellie menunduk memandangi tangan-tangannya. Dalam rumah
pertanian besar dan tua ini, ruang ini tempat favoritnya. Dulunya
ruang ini dilapisi kertas dinding yang suram, namun sekarang seluruh
dinding tersebut telah dicat warna kuning muda, dan lampu rombyong
tergantung di atas meja, dengan bola-bola lampu berbentuk lilin.
Mommy menemukannya di pasar murah, dan mengatakan lampu itu
sangat berharga. Ia telah menghabiskan waktu cukup lama unruk
membersihkannya, dan sekarang setiap orang yang melihatnya sangat
mengaguminya. Mereka selalu makan di ruang makan itu, walaupun Daddy
menganggap itu konyol. Mommy mempunyai buku tentang cara
menata meja unruk acara makan formal. Andrea bertugas menata meja
dengan cara seperti itu setiap hari Minggu, meski hanya untuk mereka
sekeluarga. Ellie suka membantunya, dan dengan antusias mereka
meletakkan perangkat makan mereka yang dari perak dan porselen.
"Lord Malcolm Big Bottom adalah tamu kehormatan kita hari
ini," Andrea suka berkata. Kemudian, mengikuti apa yang dibacanya
dari buku etika, ia akan menyediakan tempat duduk bagi sosok itu di
sebelah kanan Mommy. "Oh, tidak, Gabrielle, gelas air harus
diletakkan sedikit ke sebelah kanan dari pisau makan."
Nama Ellie yang sebenarnya adalah Gabrielle, tapi tak seorang
pun memanggilnya begitu, kecuali Andrea kalau sedang meledek
dirinya. Ellie bertanya-tanya apakah ia yang ditugaskan menata meja
seperti itu setiap hari Minggu mulai sekarang. Mudah-mudahan tidak.
Tanpa Andrea, semuanya tidak menarik lagi.
Rasanya sedikit aneh berpikiran seperti itu. Di satu pihak, ia
tahu Andrea sudah meninggal dan akan dikuburkan hari Selasa pagi di
pekuburan Tarrytown, bersama nenek dan kakek Cavanaugh. Di lain
pihak, ia berharap Andrea masih akan pulang setiap saat, menariknya
dekat-dekat, untuk mengungkapkan suatu rahasia padanya.
Rahasia. Kadang-kadang Andrea bertemu Rob Westerfield di
tempat persembunyian itu. Tapi Ellie telah berjanji untuk tidak
mengungkapkan itu pada siapa pun.
"Ellie, siapa pun yang mencelakai Andrea bisa juga mencelakai
orang lain kalau dia tidak dihentikan," ujar Detektif Longo. Nada
suaranya tenang dan ramah.
"Apakah karena aku Andrea mati" Menurut Daddy begitu."
"Tidak, menurutnya tidak begitu, Ellie," ujar Detektif Longo.
"Tapi apa pun yang kauungkapkan tentang rahasiamu dengan Andrea
mungkin bisa membantu kami sekarang."
Rob Westerfield, batin Ellie. Mungkin aku tidak mengingkari
janjiku kalau aku bercerita pada Detektif Longo tentang dia. Kalau
memang Rob yang mencelakai Andrea, semua orang harus tahu. Ia
mengamati kembali kedua tangannya. "Kadang-kadang dia menemui
Rob Westerfield di tempat persembunyian itu," bisiknya.
Detektif Longo mendoyongkan tubuhnya ke depan. "Apa
menurutmu dia akan menjumpai Rob di sana malam itu?" tanyanya.
Ellie dapat melihat bahwa ia merasa tertarik mendengar tentang Rob.
"Kurasa begitu, Paulie Stroebel meminta Andrea pergi
bersamanya ke pesta dansa Thanksgiving, dan Andrea sudah
mengiyakan. Sebetulnya dia tidak ingin pergi dengan Paulie, tapi
Paulie bilang dia tahu Andrea suka diam-diam menemui Rob
Westerfield, dan Andrea takut Paulie akan mengadukannya pada
Daddy kalau dia tidak mau pergi dengan Paulie. Tapi setelah itu Rob
marah sekali padanya, dan Andrea ingin menjelaskan kenapa dia mau
pergi dengan Paulie, supaya Paulie tidak mengadukannya pada Daddy.
Jadi, mungkin karena itu dia meninggalkan rumah Joan lebih awal."
"Dari mana Paulie tahu Andrea berkencan dengan Rob
Westerfield?" "Andrea bilang, mungkin Paulie membuntutinya ke tempat
persembunyian itu. Paulie sangat ingin Andrea menjadi pacarnya."
Chapter 4 MESIN cuci itu habis dipakai.
"Apa yang begitu penting, hingga tidak bisa ditunda sampai aku
kembali, Mrs. Westerfield?" tanya Rosita, nada suaranya sedikit
cemas, seakan khawatir ia telah melalaikan tugasnya. Ia pergi keluar
kota pada hari Kamis, untuk mengunjungi bibinya yang sakit.
Sekarang sudah Sabtu pagi, dan ia baru saja kembali. "Anda
sebetulnya tidak usah repot-repot mencuci saat Anda sedang sibuk
dengan urusan mendekorasi rumah-rumah itu."
Linda Westerfield tidak tahu mengapa tiba-tiba rasa cemas
melanda dirinya. Entah mengapa, ia tidak langsung menanggapi
ucapan Rosita. "Ah, cuma sekali-sekali, waktu aku sedang mengecek lukisan
dekoratifku dan memberikan sentuhan-sentuhan akhir, aku sekalian
memasukkan lap-lap bekas cat ke dalam mesin cuci, daripada
membiarkannya tergeletak di sana berlama-lama," jawabnya.
"Wah, kalau dilihat dari banyaknya sabun yang Anda pakai,
sepertinya banyak sekali yang Anda cuci. Selain itu, Mrs. Westerfield,
aku mendengar tentang putri keluarga Cavanaugh di siaran berita
kemarin. Aku masih terus memikirkannya. Siapa menyangka
peristiwa seperti itu bisa terjadi di kota kecil ini" Betul-betul
menyedihkan." "Ya, tentu saja." Sepertinya Rob yang habis memakai mesin ini,
batin Linda. Yang jelas, Vince, suaminya, tidak akan pernah
menyentuh mesin cuci. Mungkin ia bahkan tidak tahu cara
memakainya. Mata Rosita yang gelap tampak berkaca-kaca. Ia mengusapnya
dengan tangan. "Kasihan ibunya."
Rob" Kenapa dia sampai repot-repot mencuci sendiri"
Itu trik lama Rob. Ketika berumur sebelas, dia berusaha
mencuci bau asap rokok yang menempel di pakaian bermainnya.
"Andrea Cavanaugh gadis yang sangat cantik. Dan ayahnya
letnan polisi! Seharusnya orang seperti dia mampu melindungi
anaknya sendiri." "Ya, seharusnya begitu," Linda duduk di meja dapur, mengoratoret sketsa untuk
dekorasi jendela rumah baru seorang pelanggannya.
"Tega-teganya menghancurkan kepala gadis itu. Orang itu pasti
monster. Mudah-mudahan dia digantung begitu ditemukan."
Rosita masih terus mendumel sendiri, dan sepertinya tidak
mengharapkan ditanggapi. Linda menyelipkan sketsanya ke dalam
map "Mr. Westerfield dan aku akan menemui beberapa teman di hotel
untuk makan, Rosita," ujarnya sambil turun dari bangku tingginya.
"Apa Rob akan ada di rumah?"
Pertanyaan bagus, batin Linda. "Dia sedang pergi joging,
sebentar lagi pulang. Tanya saja sendiri padanya nanti." Ia merasa
suaranya sedikit bergetar. Rob agak gelisah dan murung seharian
kemarin. Saat berita kematian Andrea Cavanaugh mulai merebak ke
seluruh kota, ia mengira Rob akan sedih. Ternyata reaksinya seperti
tidak terlalu peduli. "Aku tidak begitu kenal dia, Mom," kilahnya.
Apakah itu karena Rob, sama seperti kebanyakan anak muda
berusia sembilan belas tahun, merasa sulit menghadapi kematian
orang yang masih begitu muda" Apakah itu karena entah mengapa ia
merasa seperti hidupnya sendiri terancam"
Linda menaiki tangga perlahan-lahan, tiba-tiba merasa sesuatu
yang tidak enak sedang terjadi. Mereka pindah dari rumah kota
mereka di East Seventieth Srreet, Manhattan, ke rumah dari zaman
sebelum revolusi ini enam tahun lalu, saat Rob mulai masuk asrama.
Ketika itulah terpintas dalam diri mereka bahwa selama ini mereka
sebetulnya ingin menetap di kota tempat rumah ibu Vince berada, di
mana mereka selalu melewatkan liburan musim panas. Kata Vince, ia
punya banyak kesempatan menghasilkan uang di sini, dan mulai
melakukan investasinya di bidang real estate.
Rumah yang seakan tidak mengenal batas waktu itu menjadi
sumber ketenangan yang tak ada habisnya bagi Linda, namun hari ini
Linda tidak menyempatkan diri menikmati halusnya kayu selusuran
tangga di bawah sentuhan tangannya, atau pemandangan lembah
melalui jendela di atas tangga itu.
Ia langsung menuju kamar Rob. Pintunya tertutup. Rob sudah
pergi selama sejam, dan seharusnya sebentar lagi kembali. Dengan
waswas ia membuka pintu dan masuk ke dalam. Tempat tidurnya
masih berantakan, tapi bagian lain ruangan itu tampak rapi. Rob
sangat rapi mengenai pakaiannya, kadang-kadang ia bahkan
menyetrika kembali celananya yang baru dicuci untuk menajamkan
lipatannya, tapi ia sama sekali tidak peduli dengan pakaian kotornya.
Linda boleh berharap melihat pakaian yang dikenakan Rob pada hari
Kamis dan kemarin menumpuk di lantai, menunggu Rosita kembali.
Buru-buru ia melintasi ruangan, untuk melongok ke dalam
Putri Kesayangan Ayah Daddy's Little Girl Karya Mary Higgins Clark di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tempat pakaian kotor di kamar mandi. Itu juga kosong.
Suatu saat antara Kamis pagi, saat Rosita tidak ada, dan pagi
ini, Rob telah mencuci dan mengeringkan semua pakaian yang
dikenakannya pada hari Kamis dan kemarin. Kenapa"
Linda ingin memeriksa lemari pakaiannya, namun ia menyadari
risiko Rob akan memergokinya melakukan itu. Ia merasa tidak siap
untuk konfrontasi itu. Ia meninggalkan kamar itu sambil memastikan
menutup pintunya kembali, kemudian menuju ujung lorong dan
membelok masuk ke dalam kamar tidur utama, yang ia tambahkan
bersama Vince saat mereka memperluas rumah itu.
Tiba-tiba menyadari bahwa ia mungkin terserang migrain, ia
menjatuhkan mapnya ke sofa di ruang duduk, pergi ke kamar mandi,
dan membuka lemari obat. Sambil menelan dua pil sesuai resep, ia
menatap cermin dan sangat terkejut melihat betapa pucat dan tegang
tampangnya. Ia masih mengenakan setelan jogingnya, karena tadinya ia
merencanakan lari pagi setelah menyelesaikan sketsanya. Rambut
pendeknya yang merah kecokelatan diikat ke belakang, dan ia tidak
memakai rias wajah. Menurut penilaiannya yang superkritis, ia
tampak lebih tua daripada umurnya yang baru empat puluh empat
tahun, dengan kerut-kerut halus di seputar matanya dan sudut-sudut
bibirnya. Jendela kamar mandi itu menghadap ke halaman depan dan
jalan masuk mobil. Saat melirik keluar, ia melihat mobil yang tidak
dikenalnya meluncur masuk. Tak lama kemudian bel rumah berbunyi.
Ia berharap Rosita akan menggunakan interkom untuk
memberitahukan siapa yang datang, namun ternyata Rosita naik ke
atas dan menyerahkan sebuah kartu nama padanya.
"Dia ingin bicara dengan Rob, Mrs. Westerfield. Aku bilang
padanya Rob pergi joging, lalu dia bilang dia akan menunggu."
Linda lebih tinggi sekitar dua puluh senti dari Rosita, yang
tingginya hanya sekitar 150 senti, tapi ia hampir terpaksa
mencengkeram lengan wanita bertubuh kecil itu untuk menopang
tubuhnya setelah ia membaca nama yang tercantum di kartu itu:
Detektif Marcus Longo. Chapter 5 KE mana pun Ellie pergi, ia terus merasa seperti menghalangi
jalan orang. Setelah detektif yang baik itu pergi, ia mencoba mencari
Mommy, namun Mrs. Hilmer mengatakan dokter telah memberikan
sesuatu pada ibunya agar bisa beristirahat. Daddy melewatkan
sebagian besar waktunya di dalam ruang kerja pribadinya, dengan
pintu tertutup rapat. Ia sudah mengatakan tidak ingin diganggu.
Grandma Reid, yang tinggal di Florida, tiba pada hari Sabtu
sore, tapi Grandma juga hanya menangis terus.
Mrs. Hilmer dan beberapa teman Mommy dari klub bridge
duduk di dapur. Ellie mendengar salah satu dari mereka, Mrs. Storey,
berkata, "Aku tidak bisa berbuat apa-apa di sini, tapi aku juga merasa
keberadaan kita di sini mungkin bisa membuat Genine dan Ted tidak
merasa ditinggalkan."
Ellie pergi keluar, main ayunan. Ia mendorong dengan kakinya,
sehingga ayunan itu bergerak semakin tinggi. Ia ingin sekali
mengayunnya sampai melewati puncak. Ia ingin jatuh dari puncak itu
dan menghunjam ke bumi untuk melukai dirinya sendiri. Dengan
demikian, ia mungkin dapat menghentikan luka di dalam hatinya.
Hujan sudah berhenti, namun tetap saja tidak ada matahari, dan
rasanya masih dingin. Setelah agak lama, Ellie sadar semua itu tidak
ada gunanya; ayunan itu tidak akan pernah bisa melewati puncaknya.
Ia masuk kembali ke rumah, memasuki lorong kecil menuju dapur. Ia
menangkap suara ibu Joan. Wanita itu bersama para wanita lain, dan
Ellie tahu ia sedang menangis. "Aku sempat heran Andrea pulang
lebih awal. Ketika itu sudah gelap di luar, sehingga sempat terpikir
olehku untuk mengantarnya pulang. Andai saja..."
Kemudian Ellie mendengar Mrs. Lewis berkata, "Andai Ellie
menceritakan pada mereka Andrea biasa pergi ke garasi yang disebut
anak-anak `tempat persembunyian' itu, Ted mungkin masih keburu
tiba di sana pada waktunya."
"Andai Ellie..."
Ellie naik ke atas melalui tangga belakang, diam-diam, supaya
mereka tidak mendengar langkah-langkahnya. Koper Grandma ada di
atas tempat tidur. Aneh sekali. Apakah Grandma tidak akan tidur di
kamar Andrea" Kamar itu kosong sekarang.
Atau mungkin mereka akan membiarkan dirinya tidur di kamar
Andrea. Dengan begitu, kalau ia sampai terbangun di malam hari, ia
bisa berpura-pura Andrea akan kembali setiap saat.
Pintu kamar Andrea tertutup. Ia membukanya perlahan-lahan,
sebagaimana biasa ia lakukan setiap Sabtu pagi, kalau ingin
memastikan apakah Andrea masih tidur lelap.
Daddy berdiri di dekat meja tulis Andrea. Ia menggenggam
bingkai foto di tangannya. Ellie tahu itu foto Andrea ketika masih
bayi, berbingkai perak dengan tulisan "Daddys Little Girl" digrafir di
atasnya. Saat Ellie mengawasinya, Daddy membuka tutup kotak musik,
salah satu hadiah yang pernah ia beli untuk Andrea beberapa saat
setelah kelahirannya. Secara bergurau Daddy pernah bilang Andrea
tidak pernah mau tidur ketika masih bayi, karena itu ia akan memutar
kotak musik itu dan berdansa seputar ruangan dengannya mengikuti
irama lagu, menyanyikan kata-katanya dengan lembut, sampai Andrea
tertidur. Ellie pernah bertanya apakah Daddy juga melakukan itu
dengannya, tapi Mommy bilang tidak, karena ia selalu tidur dengan
manis. Sejak lahir, ia tidak pernah rewel.
Beberapa patah kata lagu itu merasuk dalam kepala Ellie,
sementara iramanya mengalun di dalam ruangan itu. ':.. You re daddys
little girl to have and to hold ... You re the spirit of ' Christmas, my
star on the tree... And you re daddy's little girl. " - Kau gadis kecil
Daddy... Kau semangat Natal-ku, bintangku di pohon Natal... Kau
gadis kecil Daddy... Saat Ellie mengawasinya, Daddy duduk di tepi tempat tidur
Andrea dan mulai menangis sesenggukan.
Ellie melangkah mundur, menutup kembali pintunya perlahanlahan, seperti pada
saat membukanya. DUA PULUH TIGA TAHUN KEMUDIAN
Chapter 6 KAKAKKU, Andrea, dibunuh hampir dua puluh tiga tahun
yang lalu, namun rasanya seperti baru kemarin terjadi.
Rob Westerfield ditangkap dua hari setelah upacara pemakaman
Andrea, dan dituntut dengan tuduhan pembunuhan tingkat satu. Nyaris
hanya berdasarkan informasi yang kuberikan pada mereka, pihak
kepolisian mendapatkan surat perintah untuk menggeledah rumah
kediaman keluarga Westerfield dan mobil Rob. Mereka menemukan
pakaian yang dikenakannya pada malam ia mencabut nyawa Andrea,
dan walaupun ia telah menggunakan pemutih sebanyak-banyaknya,
laboratorium kepolisian toh berhasil mengidentifikasi bekas-bekas
darah. Tuas dongkrak yang dijadikan alat membunuh ditemukan di
dalam bagasi mobilnya. Ia juga sudah sempat mencuci itu, namun
helai rambut Andrea ternyata masih menempel padanya.
Rob membela diri dengan menyatakan ia pergi menonton pada
malam Andrea dibunuh. Tempat parkir gedung bioskop ternyata
penuh waktu itu, sehingga ia meninggalkan mobilnya di bengkel di
sebelahnya. ia menyatakan pompa bensin sudah tutup ketika itu,
namun ia menemukan Paulie Stroebel sedang bekerja di bengkel
sebelahnya. Menurutnya ia masuk untuk menemui Paulie, mengatakan
pada Paulie bahwa ia meninggalkan mobilnya di situ, dan akan
mengambilnya nanti, sekembalinya dari menonton.
Ia menyatakan bahwa sementara ia menonton, Paulie Stroebel
rupanya memakai mobilnya untuk pergi ke tempat persembunyian itu,
membunuh Andrea, dan setelah itu membawa kembali mobilnya ke
bengkel. Menurut Rob, ia sudah meninggalkan mobilnya di bengkel
itu sedikitnya enam kali untuk memperbaiki bagian-bagiannya yang
ringsek, dan bahwa pada salah satu kesempatan itu Paulie bisa saja
membuat kunci ekstra. Ia mencoba menjelaskan bekas darah pada pakaiannya dan selasela alas sepatu
karetnya, dengan menyatakan bahwa Andrea sempat
merengek padanya untuk menemuinya di tempat persembunyian itu.
Ia menyatakan Andrea sering mengganggu dirinya dengan telepontelepon, dan bahwa
Andrea memang meneleponnya pada jam makan
di malam Andrea meninggal. Andrea sempat mengatakan padanya
akan ke pesta dansa dengan Paulie Stroebel, dan bahwa ia tidak ingin
Rob marah padanya. "Aku tidak peduli dengan siapa dia pergi," kilah Rob saat
memberikan kesaksiannya dalam sidang. "Dia cuma salah satu cewek
di kota ini yang naksir aku. Dia selalu membuntuti aku ke mana-mana.
Kalau kebetulan aku ada di kota, tahu-tahu dia muncul. Kalau aku
sedang main boling, tahu-tahu dia bermain di lajur sebelahku. Aku
pernah memergoki dia dan teman-temannya nongkrong di dalam
garasi nenekku, asyik merokok. Supaya kelihatan baik, aku bilang
padanya tidak apa-apa. Dia selalu merengek padaku untuk diajak
jalan-jalan dengan mobilku. Dia terus-terusan meneleponku."
Ia punya alasan untuk pergi ke garasi yang dijadikan tempat
persembunyian itu malam itu. "Aku keluar dari bioskop," kilahnya,
"dan baru akan pulang ke rumah. Kemudian aku agak
mengkhawatirkan dia. Biarpun aku sudah bilang padanya tidak akan
menemuinya, dia toh bilang akan tetap menungguku sampai kapan
pun. Kupikir ada baiknya aku mampir sebentar, untuk memastikan dia
pulang sebelum ayahnya marah-marah. Lampu di garasi itu mati.
Sambil jalan meraba-raba, aku menuju bagian belakang mobil pickup
itu. Di situ Andrea dan teman-temannya biasa duduk, di atas selimutselimut,
untuk merokok. "Aku merasa menginjak selimut. Samar-samar aku melihat ada
seseorang sedang berbaring di situ, dan kupikir Andrea jatuh tertidur
saat menungguku. Kemudian aku jongkok, dan merasakan ada darah
di wajahnya. Aku lari."
Ia ditanya kenapa ia lari. "Karena aku takut dituduh akulah yang
melakukannya." "Apa menurutmu yang terjadi padanya?"
"Aku tidak tahu. Aku takut. Tapi begitu menemukan gagang
dongkrak di bagasi mobilku berlepotan darah, aku yakin Paulie-lah
yang telah membunuhnya."
Bicaranya lancar, dan keterangannya sudah dipersiapkan secara
matang. Ia anak muda yang tampan, dengan penampilan betul-betul
meyakinkan. Tapi aku berada di pihak lawan Rob Westerfield. Aku
masih ingat saat aku berdiri da mimbar untuk menjawab pertanyaanpertanyaan yang
dilontarkan jaksa penuntut.
"Ellie, apakah Andrea menelepon Rob Westerfield sebelum dia
pergi untuk membuat pekerjaan rumahnya dengan Joan?"
"Ya." "Apakah Rob sering menelepon Andrea?"
"Kadang-kadang, tapi begitu Daddy atau Mommy yang
menjawab, dia langsung menutup telepon. Dia mau Andrea yang
meneleponnya, karena dia punya telepon pribadi di kamarnya."
"Apakah ada alasan khusus kenapa Andrea meneleponnya pada
malam dia dibunuh?" "Ya." "Apakah kau mendengar pembicaraannya?"
"Sebagian. Aku masuk ke kamarnya. Dia sudah mau menangis.
Dia bilang pada Rob bahwa dia terpaksa pergi dengan Paulie ke pesta
dansa itu. Dia tidak mau Paulie mengadu pada Daddy, dia kadangkadang menemui Rob
di tempat persembunyian itu."
"Lalu apa yang terjadi?"
"Dia bilang pada Rob dia akan pergi ke rumah Joan untuk bikin
PR, dan Rob bilang padanya untuk menemuinya di tempat
persembunyian itu." "Apakah kau mendengar dia mengatakan itu pada Andrea?"
"Tidak, tapi aku mendengar Andrea bilang, aku akan coba, Rob.
Lalu dia menutup telepon. Dan Andrea bilang, 'Rob ingin aku pulang
dari rumah Joan lebih cepat dan menemuinya di tempat
persembunyian itu. Dia marah padaku. Dia bilang aku sebetulnya
tidak boleh pergi dengan orang lain."'
"Andrea mengatakan itu padamu?"
"Ya." "Lalu apa yang terjadi?"
Lalu di atas mimbar itu aku membuka rahasia Andrea yang
terakhir dengan mengingkari janjiku padanya janji dengan "menyilang
dada dan siap mati" sebagai tanda aku tidak akan pernah menceritakan
pada seorang pun tentang liontin yang pernah diberikan Rob padanya.
Liontin itu terbuat dari emas berbentuk hati, dengan batu-batu biru
kecil. Andrea pernah memperlihatkan padaku inisial nama mereka
yang digrafir di bagian belakangnya. Kemudian aku mulai menangis,
karena aku merasa begitu kehilangan kakakku, dan begitu sakit
rasanya membicarakan dirinya. Setelah itu, tanpa ditanya aku
menambahkan, "Dia memakai liontin itu sebelum pergi, karena itu aku
tahu dia akan menemui Rob."
"Liontin?" "Rob pernah memberi liontin padanya. Andrea memakainya di
bawah bajunya, supaya tak ada yang melihat. Tapi aku dapat
merasakannya ketika aku menemukannya di dalam garasi itu."
Aku masih ingat saat aku duduk di bangku saksi itu. Aku masih
ingat bagaimana aku mencoba untuk tidak menatap Rob Westerfield.
Ia terus mengawasiku. Aku dapat merasakan kebencian yang
terpancar dari dalam dirinya.
Dan aku berani sumpah aku dapat membaca apa yang ada
dalam pikiran kedua orangtuaku yang duduk di belakang jaksa
penuntut. Ellie, seharusnya kau memberitahu kami; seharusnya kau
memberitahu kami. Kesaksianku langsung diterkam oleh para pembela. Mereka
menyatakan Andrea selalu memakai liontin yang diberikan ayahku
padanya, dan itu ternyata ada di atas lemari pakaiannya setelah
jenazahnya ditemukan. Aku cuma mengada-ada atau sekadar
mengulang bualan Andrea tentang Rob.
"Andrea memakai liontin itu pada waktu aku menemukannya,"
aku bersikeras. "Aku merasakannya," tambahku penuh emosi. "Karena
itu aku tahu Rob Westerfield-lah yang ada di tempat persembunyian
itu pada saat aku menemukan Andrea. Dia kembali untuk mengambil
liontin itu." Para pembela Rob menjadi marah, kemudian keluar perintah
untuk mencabut pernyataan itu dari catatan kesaksian. Hakim
mengarahkan juri untuk tidak menjadikan itu bahan pertimbangan
mereka. Apakah ada yang mempercayai pernyataanku tentang liontin
yang diberikan Rob pada Andrea" Aku tidak tahu. Keputusan berada
di tangan juri, yang kemudian berembuk selama hampir seminggu.
Belakangan kami tahu sebagian dari mereka cenderung menilai kasus
itu sebagai tindak pembantaian, namun yang lain bersiteguh itu tindak
pembunuhan biasa. Mereka sepakat Rob membawa gagang dongkrak
ke dalam garasi itu dengan maksud untuk membunuh Andrea.
Aku selalu membaca ulang transkripsi persidangan itu setiap
kali Westerfield mengajukan permohonan dibebaskan secara
bersyarat, dan menulis surat keberatan untuk memprotes
pembebasannya. Tapi mengingat ia sudah mendekam hampir dua
puluh dua tahun di penjara, aku tahu kali ini pembebasan bersyarat itu
Putri Kesayangan Ayah Daddy's Little Girl Karya Mary Higgins Clark di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
akan diberikan padanya; karena itulah aku merasa harus kembali ke
Oldham-on-the Hudson. ****************************************
Aku berusia tiga puluh tahun, tinggal di Atlanta, dan bekerja
sebagai wartawan investigasi pada Atlanta News. Pemimpin redaksi,
Pete Lawlor, biasanya keberatan apabila seorang stafnya meminta
izin, meski dengan alasan cuti tahunan. Karena itu, kupikir ia akan
mencak-mencak begitu aku mengatakan padanya bahwa aku perlu
segera cuti selama beberapa hari, bahkan mungkin beberapa kali lagi
nanti. "Kau mau menikah?"
Aku bilang padanya bahwa menikah merupakan hal terakhir
dalam daftarku. "Lalu, ada apa?"
Aku tidak pernah mengungkapkan pada siapa pun di kantor ini
tentang kehidupan pribadiku, namun Pete Lawlor termasuk jenis
orang yang sepertinya selalu tahu segala sesuatu tentang semua orang.
Ia berumur tiga puluh satu tahun, mulai botak, dan selalu berusaha
keras menurunkan berat badannya. Mungkin ia termasuk laki-laki
paling pintar yang pernah kukenal. Enam bulan setelah aku mulai
bekerja untuk koran itu dan meliput soal pembunuhan seorang remaja,
ia berkata dalam nada sambil lalu, Ini pasti berat bagimu. Aku tahu
tentang kakakmu." Ia tidak mengharapkan jawaban dariku, aku juga tidak
memberikannya, tapi aku dapat merasakan empatinya. Tentu saja itu
sangat menolong. Tugas itu benar-benar telah menuntut banyak
dariku. "Pembunuh Andrea akan mengajukan permohonan dibebaskan
secara bersyarat. Aku takut kali ini dia akan mendapatkannya, dan aku
ingin tahu apakah aku bisa melakukan sesuatu untuk mencegahnya."
Pete menyandarkan tubuh di kursinya. Ia selalu mengenakan
kemeja dengan kancing terbuka di lehernya, dan sweater. Kadangkadang aku
bertanya-tanya apakah ia tidak punya jas" "Sudah berapa
lama dia dipenjara?"
"Hampir dua puluh dua tahun.
"Sudah berapa kali dia memohon pembebasan bersyarat?"
"Dua kali." "Apa pernah ada masalah selama dia dalam penjara?"
Aku merasa seperti anak sekolah yang sedang diinterogasi.
"Sejauh aku tahu, tidak."
"Kalau begitu, kemungkinan besar dia bakal bebas."
"Aku rasa begitu."
"Lalu, untuk apa kau repot-repot?"
"Karena aku merasa harus."
Pete Lawlor bukan tipe yang suka membuang waktu ataupun
mengumbar kata. Ia tidak bertanya lebih jauh lagi. Ia cuma
mengangguk. "Oke, kapan sidangnya?"
"Sidangnya baru minggu depan. Tapi aku mau bicara dengan
seorang staf di dewan pertimbangan pembebasan bersyarat hari Senin
nanti." Ia kembali menekuni pekerjaan di meja tulisnya. dan dengan
begitu mempersilakan aku meninggalkan ruangan itu. "Oke," ujarnya.
Namun, sewaktu aku membalikkan badan, ia menambahkan, "Ellie,
kau sebenarnya tidak setegar yang kausangka."
"Ya, kurasa begitu." Aku sama sekali tidak berusaha
menyatakan terima kasihku padanya atas izin cuti itu.
Itu terjadi kemarin. Hari berikutnya, hari Sabtu, aku terbang
dari Atlanta ke Bandara Westchester County, kemudian menyewa
mobil. Aku bisa saja menginap di motel di Ossining, dekat Sing Sing,
penjara tempat pembunuh Andrea disekap. Namun aku menempuh
jarak lima belas mil lebih jauh menuju kota yang pernah menjadi
tempat tinggalku, Oldham-on-the-Hudson, dan berhasil mendapatkan
kamar di Parkinson Inn yang samar-samar aku ingat kadang-kadang
kami kunjungi untuk makan siang atau makan malam.
Losmen itu kelihatannya cukup maju. Dalam kesejukan hari
Sabtu bulan Oktober ini, semua meja di ruang makan itu ditempati
oleh orang-orang berpakaian santai, kebanyakan berduaan atau
bersama keluarga. Untuk sesaat aku dilanda nostalgia. Dalam suasana
seperti inilah aku mengenang masa kecilku, kami berempat makan
siang di sini pada hari Sabtu, setelah itu sekali waktu Dad mengantar
Andrea dan aku ke bioskop. Andrea bertemu teman-temannya, tapi ia
tidak merasa risih bahwa aku terus membuntutinya.
"Ellie anak baik, dia bukan tukang mengadu," begitu katanya
selalu. Jika filmnya selesai lebih awal, kami semua bergegas ke garasi
tempat persembunyian itu, di mana Andrea, Joan, Margy, dan Dottie
merokok cepat-cepat sebelum pulang ke rumah.
Andrea sudah siap dengan jawaban begitu Daddy menyatakan
mencium bau rokok di bajunya. "Mau bagaimana lagi. Kita pergi
makan piza sehabis nonton, dan banyak orang merokok di situ."
Kemudian ia mengedipkan matanya ke arahku.
Losmen itu hanya mempunyai delapan kamar untuk tamu, tapi
kebetulan satu masih kosong. Sebuah kamar sederhana dengan tempat
tidur bersandaran besi, lemari bufet dengan dua laci, meja di samping
tempat tidur, dan kursi. Jendelanya menghadap ke timur, ke arah
lokasi rumah yang pernah kami tinggali. Matahari sore itu bersinar
redup, sebentar muncul sebentar menghilang di balik awan, sesaat
menyilaukan, kemudian tidak tampak sama sekali.
Aku berdiri di dekat jendela, menatap keluar, dan aku merasa
seperti ketika berusia tujuh tahun, saat aku mengawasi ayahku
memegang kotak musik itu.
Chapter 7 AKU mengingat sore itu sebagai hari paling menentukan dalam
hidupku. Santo Ignatius dari Loyola pernah berkata, "Pasrahkan
seorang anak pada kami sampai dia berumur tujuh tahun, setelah itu
akan kutunjukkan pada kalian sosoknya sebagai laki-laki."
Aku berasumsi bahwa itu juga berlaku untuk anak perempuan.
Aku berdiri di sana, diam seperti tikus, mengawasi ayahku yang
kukagumi, sesenggukan sambil memeluk foto kakakku yang sudah
tiada di dadanya, sementara suara lirih dari kotak musik itu mengalun
memenuhi seluruh ruangan.
Aku termenung, kemudian bertanya pada diriku, apakah sempat
terpintas dalam diriku untuk berlari ke arahnya, untuk memeluknya,
menyerap semua kesedihannya dan membiarkan kesedihan itu berbaur
dengan kesedihanku sendiri. Namun kenyataannya pada saat itu pun
aku mengerti bahwa kesedihannya sangat unik, dan apa pun yang
kulakukan tidak akan pernah dapat mengurangi kepedihannya.
Letnan Edward Cavanaugh, opsir yang dikagumi dalam Dinas
Kepolisian Daerah New York, pahlawan belasan orang yang pernah
diselamatkannya dalam berbagai situasi berbahaya, tidak mampu
mencegah pembunuhan atas putrinya yang cantik, keras kepala, dan
baru berusia lima belas tahun. Kesedihannya tak mungkin dapat ia
bagi dengan siapa pun, bahkan dengan mereka yang memiliki
hubungan darah dengannya.
Setelah bertahun-tahun, aku mulai mengerti bahwa kesedihan
yang dipendam sendiri menimbulkan rasa bersalah yang bak kentang
panas perlu dilemparkan ke orang lain, dari tangan satu ke tangan lain,
sehingga akhirnya jatuh ke tangan mereka yang paling tidak mampu
melemparkannya lagi. Dalam hal ini, sosok itu adalah aku.
Detektif Longo segera mengambil tindakan berdasarkan janjiku
pada Andrea yang aku ingkari. Aku telah memberikan dua petunjuk
padanya, dua calon tersangka: Rob Westerfield, yang memanfaatkan
pesona gaya playboy kayanya untuk memikat perhatian Andrea, dan
Paul Stroebel, si remaja canggung yang lamban, yang jatuh hati pada
si anggota band yang cantik, yang secara antusias menyoraki
kemenangannya di lapangan football
Hura, hura, hura untuk tim tuan rumah - tak seorang pun bisa
melakukan itu lebih baik daripada Andrea!
Sementara mereka mendalami hasil autopsi Andrea dan
menyiapkan upacara penguburannya di Pemakaman Gate of Heaven,
di sebelah makam kedua orangtua ayahku, aku hanya samar-samar
ingat Detektif Longo menginterogasi Rob Westerfield dan Paul
Stroebel. Keduanya membantah dan menyatakan tidak melihat Andrea
pada Kamis malam itu, dan mereka sama-sama tidak punya rencana
bertemu dengannya. Paul sedang bekerja di bengkel pompa bensin, walau
sebenarnya mereka sudah tutup sejak pukul tujuh. Ia menyatakan
terpaksa lembur karena harus menyelesaikan beberapa reparasi kecil
pada sejumlah mobil. Rob Westerfield bersumpah ia pergi ke bioskop,
dan ia bahkan menunjukkan potongan karcisnya sebagai bukti.
Aku masih ingat saat aku berdiri di dekat makam Andrea,
dengan sekuntum mawar bertangkai panjang di tangan, yang setelah
doa-doa dipanjatkan harus kuletakkan di atas peti Andrea. Aku juga
masih ingat bahwa aku merasa seperti mati di dalam diriku, mati dan
sekaku Andrea ketika aku berlutut di dekatnya di tempat
persembunyian itu. Aku ingin menyatakan betapa menyesalnya aku karena
membongkar rahasia mengenai rencana pertemuannya dengan Rob,
dan dengan penyesalan sama dalamnya aku juga ingin sekali
menyatakan maafku karena tidak memberitahu mereka begitu mereka
tahu ia telah meninggalkan rumah Joan, tapi belum juga sampai di
rumah. Tapi tentu saja aku tidak mengatakan apa-apa waktu itu. Aku
menjatuhkan bunga itu, yang kemudian jatuh dari peti Andrea, tapi
sebelum aku sempat memungutnya kembali, nenekku lewat di
depanku untuk meletakkan bunganya di atas peti, kakinya menginjak
mawarku sampai melesak ke dalam tanah berlumpur.
Beberapa saat kemudian, kami mulai mengisi liang kubur
Andrea, dan di antara wajah-wajah sedih itu aku menangkap tatapan
marah yang diarahkan padaku. Keluarga Westerfield tidak hadir,
namun pasangan Stroebel ada di situ, berdiri mengapit Paulie dengan
pundak-pundak saling bersentuhan. Aku masih ingat bagaimana
perasaan bersalah itu melanda diriku, membuatku hanyut dan sulit
bernapas. Perasaan itu tidak pernah meninggalkan diriku lagi sejak itu.
Aku sudah mencoba menceritakan pada mereka bahwa sewaktu
berlutut di dekat tubuh Andrea, aku mendengar suara napas seseorang,
tapi mereka tidak percaya, karena aku begitu histeris dan ketakutan
waktu itu. Suara napasku sendiri, saat aku berlari keluar dari hutan,
memburu dan tersengal-sengal seperti saat aku kena radang
pernapasan berat. Namun selama bertahun-tahun aku sering terbangun
gara-gara mimpi buruk yang sama itu: aku berlutut di dekat tubuh
Andrea, merasakan licin darahnya, mendengar suara napas berat dan
dengus tertahan seperti milik binatang pemangsa.
Aku yakin, mengikuti insting ketakutan yang selama ini telah
menyelamatkan umat manusia dari kebinasaan, bahwa Rob
Westerfield memiliki nafsu binatang di dalam dirinya, yang begitu
dibebaskan akan segera mencari mangsa lagi.
Chapter 8 KETIKA merasa air mataku mulai merebak, aku menjauhi
jendela, meraih tas ranselku, dan melemparkannya ke atas tempat
tidur. Aku hampir tersenyum saat membongkarnya, membayangkan
bisa-bisanya aku mengkritik koleksi pakaian Pere Lawlor yang
seadanya. Aku mengenakan jeans dan sweater berleher tinggi. Di
dalam tasku, selain baju tidur dan pakaian dalam, aku hanya
membawa sehelai rok panjang dari wol dan dua sweater lagi. Aku
suka sepatu model kelom, karena cocok untuk posturku yang 176
senti. Rambutku masih tetap berwarna pasir. Aku membiarkannya
tumbuh panjang, kadang-kadang menyanggulnya ke atas, atau
menjepitnya begitu saja di belakang leherku.
Andrea yang cantik dan feminin amat mirip ibuku. Aku sendiri
lebih memiliki postur kasar ayahku, yang lebih cocok untuk sosok
laki-laki daripada wanita. Tak seorang pun akan menyebut aku seperri
bintang di pohon Natal. Aroma menggoda menebar keluar dari dalam ruang makan, dan
aku mulai lapar. Aku memilih penerbangan pagi dari Atlanta,
sehingga tentu saja aku harus tiba di bandara jauh sebelum jam
keberangkatanku. Hidangan makannya - maaf, hidangan minumnya -
ternyata secangkir kopi yang sama sekali tidak enak.
Jam satu tiga puluh aku turun ke ruang makan, orang-orang
yang makan siang sudah mulai meninggalkan tempat itu, sehingga
dengan mudah aku mendapatkan meja di pojok, dekat perapian. Aku
baru menyadari bahwa aku agak kedinginan ketika hawa hangat
menerpa tangan dan kakiku.
"Anda mau memesan minuman?" tanya si pelayan, wanita
berambut abu-abu dengan wajah tersenyum dan tanda nama "Liz".
Kenapa tidak" batinku, kemudian aku memesan segelas anggur
merah. Begitu ia kembali, kukatakan padanya aku ingin memesan sup
bawang, dan ia menyatakan itu memang hidangan kesukaan banyak
orang. "Apa kau sudah lama di sini, Liz?" tanyaku. "Dua puluh lima
tahun. Coba bayangkan."
Ia tentunya pernah melayani kami bertahun-tahun lalu. "Masih
menyiapkan roti sandwich dengan jelly dan selai kacang?" tanyaku
lagi. "Ya, tentu, apa Anda sering memesannya dulu?"
"Ya." Mendadak aku menyesal mengatakan itu. Aku sama
sekali tak ingin orang-orang mengenaliku sebagai "adik perempuan
gadis yang dibunuh dua puluh tiga tahun yang lalu."
Namun Liz sepertinya sudah terbiasa mendengar basa-basi dari
mereka yang pernah makan di losmen itu bertahun-tahun lalu, dan
tanpa berkomentar lagi ia meninggalkan mejaku.
Aku mencicipi anggur itu, dan perlahan-lahan mulai mengingat
kejadian-kejadian khusus saat kami duduk di sini sebagai keluarga,
ketika kami masih hidup sebagai keluarga. Saat ada yang berulang
tahun, biasanya, atau kalau mampir untuk makan dalam perjalanan
pulang setelah bepergian. Terakhir kali kami kemari adalah ketika
nenekku datang berkunjung setelah ia tinggal di Florida selama
hampir setahun. Aku masih ingat saat ayahku menjemputnya di
bandara, kemudian bertemu dengan kami di sini. Kami mernesan kue
untuknya, dengan huruf-huruf berwarna pink di atas glasir putih yang
berbunyi, "Selamat datang, Grandma."
Ia mulai mengucurkan air mata. Air mata bahagia. Air mata
bahagia terakhir yang diuraikan dalam keluarga kami. Kenangan itu
mengingatkan aku kembali pada banjir air mata di hari pemakaman
Andrea, dan percekcokan terbuka antara kedua orang tuaku di depan
orang banyak. Chapter 9 SETELAH pemakaman, kami kembali ke rumah. Para wanita
tetangga kami telah menggelar meja, dan banyak orang hadir di sana;
tetangga lama kami dari Irvington, teman-teman baru ibuku dari
lingkungan gereja, teman-teman main bridge-nya, dan para rekannya
sesama sukarelawan di rumah sakit. Banyak teman lama ayahku dan
juga opsir-opsir kenalannya, beberapa di antara mereka masih
mengenakan seragam dan sedang bertugas, mampir cukup lama untuk
ikut menyatakan kesetiakawanan mereka.
Lima gadis sobat kental Andrea mengelompok di pojokan
dengan mata sembap penuh air mata. Joan, yang rumahnya dikunjungi
Andrea, tampak sangat terpukul dan sedang dihibur oleh keempat
gadis lainnya.
Putri Kesayangan Ayah Daddy's Little Girl Karya Mary Higgins Clark di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aku merasa tersisih dari mereka semua. Ibuku tampak sangat
sedih dalam pakaian hitamnya, duduk di sofa ruang tamu. Temanteman di sampingnya
memegangi tangannya dan berusaha
membujuknya minum secangkir teh. "Ini akan menghangatkanmu,
Genine. Tanganmu dingin." Ia merasa agak terhibur, walaupun
matanya masih basah oleh air mata, dan beberapa kali aku mendengar
ia berkata, "Aku tidak percaya dia sudah tidak ada."
Ibu dan ayahku saling menguatkan di pemakaman, tapi
sekarang mereka duduk di ruangan yang berbeda, ibuku di ruang
tamu, ayahku di pojok teras belakang yang sekarang sudah berubah
jadi semacam tempat untuk menyendiri. Nenekku ada di dapur dengan
beberapa teman lamanya dari Irvington, dengan sedih mengenang
masa-masa yang lebih menyenangkan dalam hidupnya.
Aku berkeliling di antara mereka, dan meski tak usah
dipertanyakan lagi bahwa mereka menyapaku dan menyatakan bahwa
aku gadis kecil yang tegar, aku toh merasa amat sendirian. Aku ingin
ada Andrea. Aku ingin ke atas, ke kamar kakakku, menemukan dia di
sana, dan naik ke atas tempat tidurnya sementara ia asyik berceloteh di
telepon dengan teman-temannya, atau dengan Rob Westerfield.
Sebelum menelepon Rob, ia akan berkata, "Aku bisa
mempercayaimu, kan, Ellie?"
Tentu saja bisa. Rob hampir tidak pernah meneleponnya di
rumah, karena Andrea dilarang berhubungan dengannya, sehingga
selalu ada kecemasan saat Andrea menerima telepon di kamarnya,
bahwa ibu atau ayahku mungkin mengangkat pesawat telepon di
bawah dan mendengar suaranya.
Ibu atau ayahku" Atau hanya ayahku" Apakah ibuku akan
marah" Biar bagaimanapun, Rob seorang Westerfield. Mrs.
Westerfield senior maupun junior sekali-sekali menghadiri rapat di
Women's Club, di mana ibuku juga menjadi anggotanya.
Kami kembali ke rumah siang hari. Pada pukul dua, orangorang mulai berpamitan
sambil mengatakan, "Setelah semua yang
kalian alami, kalian butuh istirahat."
Aku tahu bahwa itu berarti, setelah menyatakan duka cita pada
yang sedang berkabung, sedikit menghibur, mereka siap pulang. Bila
masih ada sedikit keengganan untuk meninggalkan rumah kami,
alasannya karena mereka sangat ingin mengetahui perkembangan
terakhir dari upaya menemukan pembunuh Andrea.
Sementara itu, semua orang sudah tahu tentang ledakan emosi
Paulie di sekolah, dan mereka juga tahu Andrea ada di dalam mobil
Rob Westerfield ketika Rob ditangkap karena melanggar batas
kecepatan di jalan pada bulan sebelumnya.
Paulie Stroebel. Siapa menyangka anak muda pendiam yang
tertutup itu bisa jatuh hati pada gadis seperti Andrea, atau bahwa
Andrea menyatakan bersedia pergi dengannya ke pesta dansa
Thanksgiving" Rob Westerfield. Ia telah menyelesaikan tahun pertamanya di
perguruan tinggi, dan ia pasti bukan anak bodoh - setiap orang bisa
melihat itu. Namun menurut desas-desus ia telah dikeluarkan.
Sepertinya ia telah menyia-nyiakan waktu di tahun pertamanya itu. Ia
berusia sembilan belas tahun ketika ia mulai memperhatikan kakakku.
Apa haknya main-main dengan Andrea yang baru duduk di kelas dua
sekolah menengah" "Bukankah konon dia terlibat dalam peristiwa yang menimpa
neneknya di rumahnya itu?"
Persis saat aku secara tak sengaja mendengar itu, bel pintu
berbunyi dan Mrs. Storey dari klub bridge ibuku, yang kebetulan
sedang ada di ruang depan, berdiri untuk membuka pintu. Di teras
depan berdiri Mrs. Dorothy Westerfield, nenek Rob, pemilik rumah
dengan garasi tempat Andrea mengembuskan napas terakhirnya.
Ia wanita anggun dan mengesankan. Pundaknya lebar dan
dadanya penuh. Ia selalu berdiri tegak, sehingga tampak lebih tinggi
daripada sebenarnya. Rambutnya yang berwarna abu-abu besi
bergelombang alamiah dan disisir ke belakang. Pada usia tujuh puluh
tiga, alisnya masih hitam, menarik perhatian orang ke matanya yang
cokelat muda dan menampilkan ekspresi cerdas. Garis rahangnya
yang kuat tidak menunjukkan bekas kecantikan, tapi hal itu
menambah kesan wibawanya.
Ia tidak memakai topi, dan mengenakan baju musim dingin abuabu gelap berpotongan
bagus. Ia masuk ke ruang muka, matanya
segera menyapu seluruh ruangan, mencari ibuku yang sedang
berusaha melepaskan tangannya dari teman-temannya dan berusaha
berdiri. Mrs. Westerfield bergerak langsung ke arahnya. "Aku sedang
berada di California, dan baru bisa kembali sekarang, tapi aku ingin
menyampaikan rasa bela sungkawaku padamu dan keluargamu,
Genine. Bertahun-tahun lalu aku kehilangan anak lelakiku yang masih
remaja karena kecelakaan ski, jadi aku bisa mengerti perasaan kalian
saat ini." Di saat ibuku mengangguk dengan rasa terima kasih, suara
ayahku menggelegar memenuhi ruangan. "Ini bukan kecelakaan, Mrs.
Westerfield," ujarnya. "Anak gadisku dibunuh. Dia dihajar sampai
mati, dan ada kemungkinan cucu Anda pelakunya. Malah, mengingat
reputasinya, sebaiknya Anda tahu dialah tersangka utamanya. Jadi,
aku mohon Anda pergi dari sini. Anda beruntung masih hidup sampai
hari ini. Anda masih tidak percaya bahwa dia terlibat perampokan di
mana Anda ditembak dan ditinggalkan dalam keadaan sekarat, ya
kan?" "Ted, teganya kau mengatakan itu," ujar ibuku dalam nada
memohon. "Mrs. Westerfield, aku minta maaf Suamiku..."
Rumah yang sedang penuh itu tiba-tiba seperti kosong, seakan
hanya mereka bertiga yang ada di sana. Semua yang hadir seperti
terpaku di tempat masing-masing, seakan mereka pion-pion dalam
permainan yang biasa kumainkan sewaktu aku masih kecil.
Ayahku tampak seperti sosok orang dari Kitab Perjanjian Lama.
Ia telah melepaskan dasinya, bagian leher kemejanya dalam keadaan
terbuka. Wajahnya seputih kemejanya. Mata birunya berubah gelap. Ia
memiliki rambut tebal bernuansa cokelat alami, namun saat itu
tampaknya jadi lebih lebat, seakan amarahnya telah membangkitkan
medan listrik ke dalamnya.
"Jangan minta maaf untukku, Genine," teriaknya. "Tak seorang
polisi pun dalam rumah ini yang tidak tahu bahwa Rob Westerfield itu
tukang bikin masalah. Anakku - anak kita - mati. Sekarang kau..." ia
melangkah menghampiri Mrs. Westerfield... "kau keluar dari rumah
ini, dan bawa serta air mata buayamu."
Wajah Mrs. Westerfield sekarang sama pucatnya seperti wajah
ayahku. Ia tidak menjawab, melainkan meremas erat tangan ibuku,
kemudian melangkah tenang ke pintu.
Saat membuka mulutnya, ibuku tidak meninggikan suara,
namun nadanya tajam sekali. "Kau memang ingin Rob Westerfield
yang menjadi pembunuh anakmu, ya kan, Ted" Kau tahu Andrea
tergila-gila padanya, dan kau tidak bisa menerima itu. Kau tahu
sesuatu" Kau cemburu! Kalau kau mau bersikap lebih wajar dan
membiarkan dia pergi dengan Rob, atau anak muda lain, dia tidak
akan perlu sembunyi-sembunyi melakukannya..."
Kemudian ibuku meniru gaya bicara ayahku, "Andrea, kau
hanya boleh pergi ke pesta sekolah dengan teman lelaki dari
sekolahmu. Tapi kau tidak boleh naik mobilnya. Aku yang akan
menjemputmu, dan aku yang akan mengantarmu."
Wajah ayahku memerah, entah karena rasa malu atau marah,
aku tidak tahu. "Kalau dia patuh padaku, dia masih hidup sekarang,"
ujarnya datar, suaranya tenang tapi pahit. "Kalau saja kau tidak
mencium tangan orang yang namanya Westerfield..."
"Untungnya kau tidak dilibatkan dalam pengusutan ini," sela
ibuku. "Bagaimana dengan anak muda keluarga Stroebel itu"
Bagaimana dengan si pekerja serabutan, Will Nebels" Bagaimana
dengan salesman itu" Apa mereka sudah menemukannya?"
"Bagaimana dengan peri gigi?" Kini suara ayahku bernada
mengejek. Ia membalikkan tubuh dan kembali ke ruang kerja
pribadinya, tempat teman-temannya sedang berkumpul. Ia menutup
pintu di belakangnya. Akhirnya suasana menjadi sunyi.
Chapter 10 TADINYA nenekku merencanakan menginap di rumah kami
malam itu, tapi karena merasa sebaiknya ayah-ibuku tidak diganggu,
ia mengemasi kopernya, kemudian pergi bersama seorang teman dari
Irvington. Ia akan menginap di sana semalam, dan diantar ke bandara
keesokan paginya. Harapannya bahwa akan terjadi rekonsiliasi antara kedua
orangtuaku setelah perang mulut yang pedas itu ternyata tidak
terpenuhi. Ibuku tidur di kamar Andrea malam itu, dan setiap malam
selama sepuluh bulan berikutnya, sampai masa akhir persidangan itu,
saat uang yang dimiliki keluarga Westerfield dan tim pembelanya
yang paling hebat tidak dapat lagi menyelamatkan Rob Westerfield
dari keputusan bersalah dalam kasus yang menyebabkan kematian
Andrea. Setelah itu rumah kami dijual. Ayahku kembali ke Irvington,
ibuku dan aku mulai hidup berpindah-pindah, mulai di Florida dekat
rumah nenekku. Ibuku, yang sebelum menikah pernah bekerja sebagai
sekretaris, mendapat pekerjaan di sebuah jaringan hotel nasional.
Selain selalu tampak atraktif, ia juga rajin dan pandai, sehingga
dengan cepat kariernya menanjak menjadi semacam pembenah
masalah, sehingga ia harus pindah hampir setiap delapan belas bulan
ke hotel lain di kota lain.
Sayangnya, ia juga memanfaatkan kecerdikannya untuk
menyembunyikan dari semua orang - kecuali aku - kenyataan bahwa
ia telah menjadi alkoholik; ia minum-minum setiap hari begitu tiba di
rumah. Beberapa tahun ia mampu mempertahankan pekerjaannya,
sesekali mengaku "flu" jika ia membutuhkan beberapa hari untuk
memulihkan kondisinya. Minuman keras kadang-kadang membuatnya diam dan murung.
Di lain saat ia jadi lebih terbuka, dan pada masa-masa seperti itulah
aku menyadari betapa besar sebetulnya cintanya pada ayahku.
"Ellie, aku sudah tergila-gila padanya sejak pertama kali aku
melihatnya. Apa aku pernah cerita padamu bagaimana kami
bertemu?" Sudah berkali-kali, Ibu. "Aku berumur sembilan belas waktu itu, dan sudah bekerja
sebagai sekretaris selama enam bulan. Aku membeli mobil, kotak
jingga beroda dengan tangki bensin. Aku memutuskan melihat
seberapa cepat aku dapat mengemudikannya di jalan raya. Tiba-tiba
aku mendengar suara sirene, dan melalui spion kulihat sebuah lampu
berkedap-kedip di belakangku. Aku mendengar pengeras suara
menyuruhku minggir. Ayahmu menilangku dan menguliahiku sampai
aku menangis. Tapi, ketika dia muncul di hari persidanganku, dia
menyatakan akan mengajariku mengemudi."
Pada kesempatan lain ia akan mengeluh, "Dia memang hebat
dalam banyak hal. Dia lulusan perguruan ringgi, tampan, dan punya
otak. Tapi dia merasa paling nyaman berada di antara teman-temannya
dan tidak menyukai perubahan. Karena itulah dia tidak mau pindah ke
Oldham. Masalahnya bukan di mana kita tinggal, tapi sikapnya yang
terlalu keras pada Andrea. Meski kita tinggal di Irvington, Andrea
akan tetap main belakang."
Semua itu biasanya berakhir dengan, "Andai kita tahu di mana
kita harus mencarinya sewaktu dia tidak pulang." Artinya, andai aku
memberitahu mereka tentang tempat persembunyian itu.
Kelas tiga di Florida. Kelas empat dan lima di Louisiana. Kelas
enam di Colorado. Kelas rujuh di California. Kelas delapan di New
Mexico. Kiriman uang dari ayahku datang setiap awal bulan, tapi aku
hanya bertemu dengannya sekali-sekali di tahun-tahun pertama,
setelah itu tidak pernah lagi. Andrea, anak emasnya, telah tiada. Tidak
ada lagi yang tersisa antara dia dan ibuku, kecuali penyesalan pahit
dan cinta yang membeku; apa pun perasaannya terhadapku, ternyata
tidak cukup besar untuk membangkitkan keinginannya bertemu
denganku. Berada di bawah satu atap denganku sepertinya hanya akan
membuka kembali bekas-bekas lukanya yang sudah mulai memulih.
Andai aku mengungkapkan pada mereka tentang tempat
persembunyian itu. Saat aku tumbuh dewasa, rasa kagumku pada ayahku telah
berganti menjadi antipati. Kenapa tidak kautanya pada dirimu sendiri:
Andai aku menanyai Ellie, bukan malah menyuruhnya pergi tidur"
Bagaimana kalau begitu, Daddy"
Untungnya, menjelang aku mulai kuliah, kami sudah cukup
lama tinggal di California untuk menetap, dan aku masuk UCLA
jurusan jurnalistik. Ibuku meninggal karena kanker hati enam bulan
setelah aku diwisuda, dan karena ingin memulai sesuatu yang baru,
aku melamar dan mendapat pekerjaan di Atlanta.
Rob Westerfield tidak saja membunuh kakakku pada malam
November dua puluh dua tahun yang lalu. Saat aku duduk di losmen
itu dan mengawasi Liz menghidangkan sup bawang di hadapanku, aku
mulai bertanya-tanya seperti apakah hidup kami andai Andrea masih
hidup. Ibu dan ayahku tentunya masih bersama, masih tinggal di sini.
lbuku memiliki rencana besar untuk memugar rumah kami, sehingga
ayahku tentu akan senang tinggal di situ. Saat menelusuri kota dalam
mobilku, aku melihat bahwa desa yang tadinya terpencil itu sudah
berkembang. Sekarang kesannya lebih seperti kota kecil khas daerah
Westchester, persis seperti yang pernah dibayangkan ibuku. Ayahku
tidak perlu lagi pergi sejauh lima mil hanya untuk sebotol susu.
Tapi, apakah kami tetap tinggal di tempat ini atau tidak, yang
pasti adalah andai Andrea masih hidup, ibuku juga masih hidup. Ia
tidak membutuhkan alkohol sebagai pelariannya.
Ayahku bahkan mungkin akan menyadari bagaimana aku
mengaguminya, dan pada waktunya, mungkin saat Andrea memasuki
perguruan tinggi, mencurahkan perhatiannya yang sangat kudambakan
padaku. Aku mencicipi supku. Rasanya persis seperti yang kuingat.
Chapter 11 Liz kembali ke mejaku, membawa sekeranjang roti renyah. Ia
berbasa-basi sebentar. "Tadi Anda menyebut-nyebut roti sandwich
dengan jelly dan selai kacang. Anda tentunya sering kemari dulu."
Aku merasa tergugah oleh rasa ingin tahunya.
"Dulu sekali," sahutku, sambil berusaha tampak wajar. "Kami
pindah ketika aku masih kecil. Aku tinggal di Atlanta sekarang."
"Aku pernah ke sana sekali. Kota yang indah." Ia pergi.
Atlanta, pintu gerbang daerah Selatan. Ternyata memang
tempat yang sesuai untukku. Di saat begitu banyak rekanku sesama
jurnalis hanya tertarik menekuni dunia pertelevisian, entah mengapa
dari awal aku lebih berminat berkecimpung di media cetak. Dan
akhirnya aku merasa menemukan diriku di sini.
Lulusan baru perguruan tinggi biasanya tidak dibayar banyak di
penerbitan koran, namun berkat tunjangan asuransi yang diwariskan
ibuku, aku bisa leluasa menata sebuah apartemen kecil dengan tiga
kamar. Aku berbelanja dengan hati-hati di toko mebel bekas dan
tempat-tempat obralan. Setelah selesai mendandani apartemenku, aku
agak terkejut begitu melihat bahwa tanpa sadar aku telah mencipta
ulang efek keseluruhan ruang duduk rumah lama kami di Oldham.
Nuansa biru dan merah pada karpetnya. Sofa berlapis kain biru dan
Putri Kesayangan Ayah Daddy's Little Girl Karya Mary Higgins Clark di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kursi bersandaran rendah. Bahkan satu set sofa bergaya ottoman,
lengkap dengan bangku kecil pasangannya, walau kesannya sedikit
dipaksakan. Suasana itu membangkitkan kembali begitu banyak kenangan;
ayahku yang tertidur di sofa, kaki-kakinya yang panjang berselonjor di
atas bangku kccil; Andrea tanpa banyak bicara mendorong kakikakinya, kemudian
duduk di sana; mata ayahku membuka, senyumnya
mengembang menyambut anak emasnya yang cantik dan
menggemaskan... Aku selalu berjingkat-jingkat di seputar rumah kalau ia sedang
beristirahat, agar tidak mengganggu tidurnya. Saat Andrea dan aku
membereskan meja setelah makan, aku mendengarkan dengan
saksama begitu ayahku menceritakan pada ibuku sambil menikmati
cangkir kopinya yang kedua, apa yang terjadi hari itu di tempat
kerjanya. Aku sangat kagum padanya. Ayahku, ujarku selalu pada
diriku dengan bangga, menyelamatkan nyawa banyak orang.
Tiga tahun setelah mereka bercerai, ayahku menikah lagi.
Sementara itu aku sudah melakukan kunjunganku yang kedua kali dan
terakhir ke Irvington. Aku tidak mau menghadiri pernikahannya, juga
tidak peduli ketika ia menulis untuk mengabari bahwa aku
mempunyai adik laki-laki. Perkawinannya yang kedua telah
memberinya anak laki-laki yang tadinya ia harapkan adalah aku.
Edward James Cavanaugh, Jr., sekarang berumur sekitar tujuh belas
tahun. Kontak terakhirku dengan ayahku adalah ketika aku menulis
untuk mengabarinya bahwa ibuku telah meninggal dunia, dan aku
ingin abunya dikirim ke Pemakaman Gate of Heaven untuk disatukan
dalam makam Andrea. Kalau ia tidak setuju, aku akan menguburnya
bersama kedua orangtuanya sendiri di makam keluarga mereka.
Ia membalasku, menyatakan bela sungkawa, dan bahwa ia
mengatur semuanya sesuai yang kuinginkan. Ia juga mengundangku
datang mengunjunginya di Irvington.
Aku mengirim abu jenazah Ibu, tapi menolak undangannya.
*************************************
Sup bawang itu berhasil menghangatkan tubuhku, namun
kenangan-kenangannya sempat membuatku gelisah. Aku memutuskan
naik ke atas, ke kamarku, untuk mengambil jaket, setelah itu keliling
kota naik mobil. Saat itu baru pukul setengah tiga, dan aku sudah
mulai bertanya-tanya kenapa tidak menunggu sampai besok untuk
datang kemari. Aku sudah punya janji dengan orang bernama Martin
Brand di kantor pengadilan, jam sepuluh pagi hari Senin. Aku akan
benar-benar berusaha membuatnya yakin bahwa Rob Westerfield
sebaiknya tidak dibebaskan, tapi seperti sudah dikatakan Pete Lawlor
padaku, upayaku mungkin akan sia-sia.
Lampu pesawat telepon kamarku berkedip-kedip. Aku
mendapat pesan untuk segera menelepon Pete Lawlor. Ia langsung
menjawab pada deringan pertama. "Sepertinya kau punya insting
untuk berada di tempat yang tepat pada waktu yang tepat, Ellie,"
ujarnya. "Barusan aku dapat kabar. Keluarga Westerfield akan
mengadakan konferensi pers lima belas menit lagi. CNN yang akan
meliputnya. Will Nebels, si pekerja serabutan yang diperiksa dalam
kasus pembunuhan kakakmu, telah membuat pernyataan bahwa dia
melihat Paul Stroebel di dalam mobil Rob Westerfield di malam
Andrea terbunuh. Dia mengaku melihat Paul memasuki garasi itu
dengan memegang sesuatu di tangannya, lalu lari keluar sepuluh menit
kemudian, kembali ke dalam mobil, dan setelah itu meluncur pergi."
"Mengapa Nebels tidak bilang apa-apa waktu itu?" sergahku.
"Dia mengaku takut ada yang menuduhnya sebagai penyebab
kematian kakakmu." "Bagaimana dia bisa melihat semua itu?"
"Dia sedang berada di rumah nenek Westerfield. Dia habis
melakukan beberapa reparasi, dan tahu kode untuk menyalakan alarm
rumah itu. Dia juga tahu si nenek punya kebiasaan meninggalkan uang
kontan di laci-laci dalam rumah. Dia sedang bangkrut waktu itu, dan
butuh uang. Dia sedang berada di kamar tidur utama yang jendelanya
menghadap ke garasi, dan ketika pintu mobil itu dibuka, dia melihat
jelas tampang Stroebel."
"Dia bohong," sahutku datar.
"Ikuti konferensi pers itu," anjur Pete, "setelah itu liput
ceritanya. Kau wartawan investigasi." Ia terdiam sebentar. "Kecuali
kalau itu terlalu berat untukmu."
"Tidak," sahutku. "Aku akan bicara denganmu lagi nanti."
Chapter 12 KONFERENSI itu diselenggarakan di kantor White Plains
milik William Hamilton, Esq., pengacara yang disewa keluarga
Westerfield untuk membuktikan bahwa Robson Parke Westerfield
tidak bersalah. Hamilton membuka acara tersebut dengan memperkenalkan
dirinya. Ia berdiri di antara dua sosok lelaki. Aku mengenali salah satu
di antara mereka sebagai ayah Rob, Vincent Westerfield. Ia memiliki
tampang berwibawa di usia enam puluh limaan, dengan rambut
keperakan dan garis-garis wajah aristokrat. Di sisi lain Hamilton
berdiri orang bertampang gugup, dengan mata tidak fokus, berusia
antara enam sampai tujuh puluh tahun, yang terus mencakup dan
membuka jari-jari tangannya.
Ia diperkenalkan sebagai Will Nebels. Hamilton menyampaikan
ringkasan singkat tentang latar belakangnya. "Will Nebels sudah
bekerja bertahun-tahun di Oldham sebagai pekerja serabutan. Kadangkadang dia
bekerja untuk Mrs. Dorothy Westerfield di rumah
pedesaannya, di dalam garasi tempat mayat Andrea Cavanaugh
ditemukan. Bersama banyak yang lain, Mr. Nebels sempat ditanyai
keberadaannya pada hari Kamis malam, saat Andrea kehilangan
nyawanya. Mr. Nebels menyatakan pada waktu itu dia sedang makan
malam di restoran lokal, setelah itu dia langsung pulang ke rumah.
Ternyata memang ada yang melihatnya makan di situ, sehingga tidak
ada alasan pada waktu itu untuk meragukan pengakuannya.
"Namun, ketika penulis cerita kriminal terkenal Jake Bern, yang
sedang menulis buku tentang kematian Andrea dan pengakuan tidak
bersalah dari Rob Westerfield, mewawancarai Mr. Nebels, beberapa
fakta baru mulai terungkap."
Hamilton menoleh ke Will Nebels, "Will, aku bisa memintamu
menceritakan sekali lagi pada media massa, apa persisnya yang telah
kauungkapkan pada Mr. Bern?"
Nebels mengingsut tubuhnya dengan gugup. Ia kelihatan tidak
nyaman dalam dandanannya. Ia mengenakan kemeja, dasi, dan setelan
jas yang aku yakin sengaja dipakaikan padanya khusus untuk
kesempatan itu. Cara membela diri yang usang, sudah ratusan kali
kusaksikan dalam persidangan. Dandani si calon tersangka, potong
rambutnya, pastikan ia bercukur bersih, pakaikan kemeja dan dasi,
meski seumur hidupnya ia tidak pernah mengancing leher kemejanya.
Hal yang sama berlaku untuk saksi yang diajukan oleh pihak pembela.
"Aku merasa tidak enak," mulai Nebels, suaranya serak. Kulihat
ia kurus dan pucat, dan aku bertanya-tanya apakah ia sakit. Aku hanya
mengingatnya samar-samar. Ia pernah bekerja sekali-sekali di tempat
kami, tapi seingatku ia sedikit gemuk.
"Sudah beberapa wakru aku memendam ini, dan ketika penulis
itu mulai menanyai aku soal kasus itu, aku tahu aku harus
mengeluarkannya dari dadaku."
Kemudian ia mulai mengungkapkan cerita seperti yang telah
tersiar. Ia melihat Paul Stroebel datang mengendarai mobil Rob
Westerfield ke tempat persembunyian itu, dan berjalan masuk ke
dalam garasi dengan membawa benda berat. Kesimpulannya, tentu
saja, benda itu gagang dongkrak yang digunakan unruk menghajar
Andrea sampai mati, gagang dongkrak yang kemudian ditemukan di
dalam bagasi mobil Rob Westerfield.
Kemudian giliran Vincent Westerfield berbicara. "Selama dua
puluh dua tahun putraku dikurung dalam penjara, di antara pelaku
kejahatan berat. Selama itu dia selalu menyatakan
ketidakberlibatannya dalam kasus kriminal yang mengerikan ini. Dia
pergi ke bioskop malam itu. Dia memarkir mobilnya di bengkel servis
di sebelah gedung bioskop, tempat kendaraan keluarga kami biasanya
direparasi, di mana kuncinya dengan mudah dapat dibuat duplikatnya.
Mobil itu berada di sana sekurangnya tiga kali dalam waktu satu bulan
itu, untuk pengerjaan penyok-penyok kecil.
"Paul Stroebel sedang bekerja di sana malam itu. Pompa
bensinnya sudah tutup pukul tujuh. tapi dia masih sibuk mereparasi
mobil di bagian bengkelnya. Rob berbicara dengan Paul, mengatakan
dia meninggalkan mobilnya di tempat parkir sementara dia menonton.
Kita tahu Paul selalu menyangkal hal ini, tapi sekarang kita punya
bukti bahwa selama ini dia bohong. Sementara putraku menonton
film, Stroebel memakai mobilnya, pergi ke tempat yang mereka sebut
tempat persembunyian, kemudian membunuh gadis itu."
Ia menegakkan tubuh, suaranya jadi semakin berat dan keras,
"Putraku akan memohon pembebasan bersyarat. Setahu kami, dia akan
segera dilepaskan dari penjara. Tapi itu saja tidak cukup. Dengan
adanya bukti baru ini, kami akan meminta persidangan diulang, dan
kami yakin kali ini Rob akan dibebaskan dari tuduhan. Kami hanya
bisa berharap bahwa Paul Stroebel, pembunuh yang sebenarnya, akan
diadili dan dipenjara seumur hidup."
Aku menyaksikan konferensi pers itu di televisi, dalam ruang
duduk kecil. di lantai utama losmen. Aku begitu marah, sehingga
merasa ingin melemparkan sesuatu ke layar kaca itu. Bagi Rob
Westerfield situasinya tampak sangat menguntungkan. Jika ia terbukti
bersalah lagi, mereka tidak bisa memenjarakannya lagi. Ia sudah
menjalani hukumannya. Kalau ia dibebaskan dari tuduhan, pengadilan
tidak akan mengajukan Paulie Stroebel ke muka sidang hanya
berdasarkan pengakuan saksi yang tidak dapat dipercaya seperti Will
Nebels. Walaupun demikian, di mata orang banyak, ia akan dianggap
pembunuh. Rupanya banyak orang sudah mendengar tentang konferensi ini,
sebab begitu aku menyalakan TV, mereka berdatangan. Penerima
tamu di losmen itulah yang pertama memberikan komentar. "Paulie
Stroebel. Yang benar saja, anak malang itu tidak sanggup melukai
lalat sekalipun." "Yah, tapi banyak yang menganggap dia mampu berbuat lebih
dari sekadar membunuh lalat," ujar seorang pelayan yang kulihat di
ruang makan tadi. "Aku memang tidak di sini waktu kejadian itu, tapi
aku sudah mendengar banyak. Kau akan tercengang berapa banyak
orang yang merasa Rob Westerfield tidak bersalah."
Para wartawan di konferensi itu menghujani Will Nebels
dengan berbagai pertanyaan. "Apa kau tahu bahwa kau bisa masuk
penjara karena dianggap telah melecehkan pengadilan?" kudengar
seorang wartawan bertanya.
"Biar aku yang menjawab," ujar Hamilton. "Status dakwaan
telah kedaluarsa. Mr. Nebels tidak akan menghadapi tuntutan. Dia
tampil sekarang untuk membetulkan yang salah. Dia tidak tahu
Andrea Cavanaugh ada di dalam garasi itu malam itu, dia juga tidak
tahu saat itu tentang apa yang telah terjadi. Sayangnya, dia menjadi
panik begitu menyadari kesaksiannya mungkin akan menyeret dirinya
dalam kasus pembunuhan itu; karena itulah dia tetap menutup mulut."
"Apakah Anda dijanjikan sejumlah uang untuk memberikan
pengakuan ini, Mr. Nebels?" tanya wartawan lain.
Persis seperti yang ingin kutanyakan.
Lagi-lagi Hamilton mengambil alih. "Sama sekali tidak."
Apakah Mr. Nebels akan memerankan dirinya sediri dalam
filmnya" batinku. "Apakah Mr. Nebels sudah melaporkan itu pada pihak
kejaksaan?" "Belum. Kami ingin masyarakat yang berpikiran jernih
mengetahui terlebih dahulu pernyataannya sebelum semuanya diputarbalik oleh
pihak jaksa penuntut. Maksudnya begini - sebetulnya tidak
enak menyarakan ini, tapi seandainya Andrea Cavanaugh mengalami
pelecehan seksual, Rob Westerfield pasti sudah dari dulu-dulu dilepas
berdasarkan bukti-bukti tes DNA. Nyatanya, justru kepeduliannya
yang membuatnya terjebak. Andrea sempat memohon-mohon padanya
untuk menemuinya di tempat persembunyian itu. Melalui telepon,
gadis itu bilang dia telah menyatakan setuju pergi kencan dengan Paul
Stroebel, hanya karena dia menganggap Paulie tidak bakal
memprovokasi rasa cemburu anak muda seperti Rob Westerfield.
"Kenyataannya, Andrea Cavanaugh mengejar-ngejar Rob
Westerfield. Dia sering kali menelepon Rob.
Rob tidak peduli dengan siapa dia berkencan. Gadis itu genit,
gila cowok, tipe gadis yang 'populer'."
Bulu kudukku meremang mendengar tuduhan itu.
"Satu-satunya kesalahan Rob adalah menjadi panik ketika
menemukan mayat Andrea. Dia pulang ke rumah, tanpa menyadari dia
membawa pulang alat pembunuh di dalam mobilnya, dan darah
Andrea yang telah mengotori bagasi mobilnya. Malam itu dia
memasukkan celana panjang, kemeja, dan jaketnya ke dalam mesin
cuci karena dia sangat ketakutan."
Tapi dia toh tidak takut menghilangkan semua bekas darah itu,
batinku. Kamera dialihkan pada si pembawa acara dari CNN. "Kami
akan menghubungi pensiunan detektif Marcus Longo yang mengikuti
wawancara ini bersama kita dari rumahnya di Oldham-on-theHouston. Mr. Longo, apa
pendapar Anda tentang pernyataan Mr.
Nebels?" "Semuanya rekayasa. Robson Westerfield dinyatakan bersalah
melakukan pembunuhan karena dia memang bersalah telah melakukan
pembunuhan. Aku bisa mengerti perasaan keluarganya, tapi mencoba
mengalihkan kesalahan pada orang lain yang tidak bersalah, sungguhsungguh tidak
dapar dibenarkan." Bravo, batinku. Kenangan akan Detektif Longo yang beberapa
tahun lalu duduk bersamaku di ruang makan kami untuk meyakinkan
aku bahwa tidak apa-apa kalau aku menceritakan rahasia Andrea,
lamat-lamat berputar kembali di kepalaku. Longo berusia sekitar enam
puluhan sekarang, wajahnya tirus, dengan alis mata tebal hitam, dan
hidung gaya Romawi. Sisa-sisa rambutnya seperti guratan garam dan
merica di seputar kepalanya. Tapi ia memiliki wibawa meyakinkan,
yang memperkuat efek sindirannya mengenai sandiwara yang baru
saja disaksikannya. Ia masih tinggal di Oldham. Aku memutuskan akan
meneleponnya suatu saat nanti.
Konferensi pers itu berakhir, orang-orang mulai keluar
meninggalkan ruangan. Si penerima tamu losmen, anak muda
berpenampilan rapi yang kelihatan seperti baru lulus perguruan tinggi,
menghampiriku. "Apakah semuanya oke di kamar Anda, Miss
Cavanaugh?" Seorang pelayan berjalan melewati sofa tempat aku duduk. Ia
menoleh dan menatapku tajam, dan aku tahu ia ingin menanyakan
apakah aku mempunyai hubungan dengan gadis yang terbunuh dalam
kasus Westerfield. Ini rupanya indikasi pertama bahwa aku harus merelakan
anonimitas diriku bila aku ingin tetap tinggal di Oldham.
Oke, batinku. Memang harus kuhadapi.
Chapter 13 MRS HILMER masih tinggal di rumah yang sama, di ujung
jalan. Ada empat rumah lain sekarang yang memisahkannya dari
tempat yang pernah kami tinggali selama beberapa tahun itu. Jelas
tampak bahwa mereka yang sekarang menghuni rumah kami telah
Putri Kesayangan Ayah Daddy's Little Girl Karya Mary Higgins Clark di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mewujudkan impian Ibu untuk tempat itu. Kedua sisinya mengalami
perluasan, juga bagian belakangnya. Asalnya memang rumah
pertanian berukuran ideal, tapi kini bangunan itu tampak sebagai
rumah kediaman yang betul-betul indah, megah namun ramah, dengan
dinding papan putih bersih dan jendela berkisi-kisi dalam nuansa hijau
gelap. Aku melambatkan laju kendaraanku saat melewatinya, dan
kemudian, karena merasa yakin di pagi hari Minggu yang tenang ini
tidak akan ada yang memperhatikan, aku berhenti.
Pohon-pohonnya sudah lebih besar tentu saja. Cuaca musim
gugur tahun ini panas di daerah Timur Laut, dan meskipun saat ini
udara terasa dingin, rimbun dedaunan bernuansa emas kemerahan
masih tampak berkilauan pada ranting-rantingnya.
Ruang duduk rumah itu jelas sudah diperluas. Bagaimana
dengan ruang makannya" batinku. Sesaat aku membayangkan diriku
di sana, memegangi dus dengan perangkat sendok-garpu dari perak -
atau nampan perak - sementara Andrea dengan cermat menata meja.
"Hari ini Lord Malcolm Bigbottom akan menjadi tamu kita. "
Mrs. Hilmer rupanya sudah menunggu kedatanganku. Begitu
aku turun dari mobil, pintu depannya terbuka. Beberapa saat setelah
itu aku merasakan pelukannya yang hangat. Dari dulu tubuhnya
memang kecil, agak gemuk, dengan wajah keibuan dan mata cokelat
bersinar. Kini rambut cokelatnya sudah berwarna perak sepenuhnya,
dan ada kerut-kerut di sekitar mata dan mulutnya. Namun pada
dasarnya ia masih persis seperti yang kuingat. Selama bertahun-tahun
ia selalu mengirimi ibuku kartu Natal dengan surat panjang, dan
ibuku, yang tidak pernah mengirim kartu, menulisinya kembali,
menekankan hal-hal yang positif mengenai kepindahan kami, serta
bagaimana prestasiku di sekolah.
Aku menulisinya untuk mengabari sewaktu ibuku meninggal,
dan menerima surat yang hangat dan menghibur darinya. Aku tidak
mengabarinya saat aku pindah ke Atlanta, sehingga pasti semua kartu
dan surat yang mungkin pernah ia kirim telah dikembalikan ke
alamatnya. Pihak kantor pos tidak akan mengupayakan penyampaian
surat terlalu jauh sekarang-sekarang ini.
"Ellie, kau jangkung sekali," ujarnya antara tersenyum dan
tertawa. "Kau begitu mungil dulu."
"Ini terjadi waktu aku duduk di sekolah menengah," ungkapku.
Sudah ada kopi yang menunggu di atas kompor, dan kue muffin
blueberry yang keluar dari oven. Atas desakanku, kami tetap tinggal di
dapur dan duduk di bangku pojoknya. Selama beberapa menit ia
menceritakan padaku keadaan keluarganya. Aku hampir tidak
mengenal kedua anaknya. Mereka berdua sudah menikah saat kami
pindah ke Oldham. "Delapan cucu," ujarnya bangga. "Sayangnya, tak
seorang pun dari mereka tinggal di dekat sini, tapi aku toh masih
sering bisa melihat mereka." Aku tahu ia sudah bertahun-tahun hidup
menjanda. "Anak-anakku bilang tempat ini terlalu besar untukku, tapi
ini toh rumahku, dan aku merasa betah di sini. Kalau aku sudah tidak
bisa ke mana-mana lagi, aku akan menjualnya, kurasa, tapi tidak
sekarang." Secara singkat aku menceritakan tentang pekerjaanku, setelah
itu kami mulai membicarakan alasanku berada kembali di Oldham.
"Ellie, sejak hari Rob digiring keluar dari ruang sidang itu dengan
tangan terbelenggu, keluarga Westerfield tetap bersikeras bahwa dia
tidak bersalah, dan terus berjuang keras mengupayakan
pembebasannya. Mereka juga berhasil meyakinkan banyak orang
tentang itu." Ekspresinya menjadi resah. "Ellie, setelah mengatakan
itu, aku harus mengakui sesuatu. Aku juga sudah mulai bertanya-tanya
mungkinkah Rob Westerfield dihukum sebagian karena reputasinya
sebagai tukang bikin masalah. Dia sudah kepalang dinilai brengsek,
sehingga tidak heran dengan mudah orang berpikiran negatif tentang
dirinya." Ia juga menonton konferensi pers itu. "Ada satu hal yang aku
percaya dalam ucapan Will Nebels tadi," ujarnya datar, "yaitu bahwa
dia berpotensi menyusup ke dalam rumah Mrs. Westerfield untuk
mencuri uang. Apakah dia ada di sana malam itu" Mungkin. Di satu
pihak, aku juga bertanya-tanya apa saja yang sudah mereka tawarkan
padanya agar mau mengungkapkan cerita itu, dan di lain pihak aku
teringat reaksi Paulie begitu mereka mengumumkan kematian Andrea.
Aku mengikuti saat gurunya memberikan kesaksian di muka sidang.
Belum pernah kulihat saksi yang tampak begitu ragu. Jelas sikapnya
sangat protektif terhadap Paulie, namun dia terpaksa mengakui bahwa
saat Paulie lari keluar dari kelas, dia mendengar Paulie berkata,
'Kurasa dia tidak mati'."
"Bagaimana keadaan Paulie Stroebel sekarang?" tanyaku.
"Keadaannya baik sekali. Selama sepuluh sampai dua belas
tahun setelah sidang itu, dia sangat tertutup. Dia tahu ada yang
beranggapan dialah yang membunuh Andrea, dan itu rupanya sangat
meresahkannya. Dia mulai bekerja di toko penganan orangtuanya, dan
setahuku kebanyakan waktunya dia lebih suka menyendiri. Tapi sejak
ayahnya meninggal dan dia terpaksa mengambil alih lebih banyak
tanggung jawab, kepribadiannya seakan mendapat kesempatan
berkembang. Kuharap cerita Will Nebels tidak akan membuatnya
guncang sekarang." "Kalau Rob Westerfield sampai disidang kembali dan namanya
dibersihkan, kesannya akan seperti Paulie-lah sebetulnya yang
bersalah," ujarku. "Apakah mereka bisa menahan dirinya, dan mengajukannya ke
muka sidang?" "Aku bukan ahli hukum, tapi kurasa tidak. Kesaksian Will
Nebels akan cukup untuk memungkinkan Rob Westerfield disidang
kembali dan namanya dibersihkan, meskipun tidak cukup untuk
mengajukan Paulie Stroebel. Namun dampaknya akan terasa. Paulie
akan menjadi korban Westerfield yang berikutnya."
"Mungkin, mungkin juga tidak. Itulah sulitnya." Mrs. Hilmer
tampak ragu, kemudian melanjutkan. "Ellie, orang yang menulis buku
tentang kasus ini pernah datang menemuiku. Ada yang
mengungkapkan padanya bahwa aku dekat dengan keluargamu."
Aku mulai merasa tidak enak mendengar ucapannya. "Seperti
apa dia?" "Sopan. Dia mengajukan beberapa pertanyaan. Aku sangat
berhati-hati menjawabnya. Tapi harus kuakui padamu sekarang,
bahwa Bern punya pandangan sendiri, dan dia akan memastikan faktafakta yang ada
bisa mendukungnya. Dia menanyakan, apakah alasan
ayahmu begitu tegas pada Andrea karena kakakmu setiap kali diamdiam menemui anak
muda yang berbeda." "Tapi kenyataannya tidak begitu."
"Dia akan membuat seakan kesannya begitu."
"Ya, Andrea semula memang naksir Rob Westerfield, tapi
setelah itu dia juga mulai takut pada Rob." Aku tidak menyangka aku
akan mengatakan itu, tapi saat kata-kata itu keluar, aku menyadari
bahwa memang begitulah kenyataannya. "Dan aku sempat
mencemaskannya," bisikku. "Rob Westerfield begitu marah padanya
gara-gara Paulie." "Ellie, aku berada di rumahmu waktu itu. Aku berada di sana
saat kau memberikan kesaksianmu di muka sidang. Kau tidak pernah
bilang bahwa kau ataupun Andrea takut pada Rob Westerfield."
Apakah ia ingin mengingatkan bahwa aku mungkin sedang
membangun kembali suatu kenangan yang sebetulnya tidak ada, untuk
membenarkan kesaksian yang pernah kuberikan di masa kanakkanakku" Tapi kemudian
ia menambahkan, "Ellie, sebaiknya kau hatihati. Penulis itu sempat menyatakan
padaku kemungkinan kau bocah
yang emosional dan tidak stabil ketika itu. Itu tentunya akan dia
masukkan dalam bukunya."
Jadi, begitu skenarionya, batinku: Andrea yang suka gonta-ganti
pacar, aku yang secara emosional tidak stabil, dan Paulie Stroebel
yang merupakan pembunuh sebenarnya. Kalau sebelumnya aku
sempat tidak yakin, kini aku sudah tahu apa yang harus kulakukan.
"Rob Westerfield mungkin akan keluar penjara, Mrs. Hilmer,"
ujarku, setelah itu dengan geram aku menambahkan, "tapi begitu aku
selesai dengan penyidikanku dan menulis semua detail kehidupannya
yang kotor, tak seorang akan mau berjalan bersamanya, siang maupun
malam. Dan begitu kasusnya disidangkan kembali, tak seorang juri
pun akan memihak padanya."
Chapter 14 PADA hari Senin pukul sepuluh pagi, aku punya janji temu
dengan Martin Brand yang duduk sebagai staf dalam dewan penentu
pembebasan bersyarat di Albany. Ternyata ia lelaki bertampang
capek, berusia sekitar enam puluhan, dengan bayangan gelap di bawah
matanya, dan rambut tebal bernuansa abu-abu yang sudah
memerlukan perhatian dari tukang cukurnya. Ia telah membuka
kancing teratas kemejanya, dan melonggarkan simpul dasinya sampai
beberapa senti. Kulit wajahnya yang kemerahan menyatakan ia punya
masalah tekanan darah tinggi.
Tidak perlu diragukan ia sudah sering mendengar berbagai versi
protesku selama sekian tahun masa tugasnya.
"Ms. Cavanaugh, Westerfield sudah dua kali mengalami
penolakan pembebasan bersyarat. Kali ini, menurutku, dia akan
dilepaskan." "Tapi dia residivis."
"Anda tidak dapat memastikan itu."
"Anda tidak dapat memastikan situasinya tidak begitu."
"Kepadanya sudah ditawarkan pembebasan bersyarat dua tahun
lalu, kalau dia mau mengakui melakukan tindakan pembunuhan atas
diri kakak Anda, kalau dia mau bertanggung jawab atas tindak
kejahatan itu, dan menyatakan penyesalannya. Namun dia memilih
untuk tidak menerima tawaran itu."
"Ah, Mr. Brand. Terlalu banyak yang harus dia pertaruhkan
untuk mengakui apa yang sebenarnya terjadi. Dia tahu Anda tak
mungkin dapat menahannya lebih lama."
Ia angkat bahu. "Aku lupa Anda reporter investigasi."
"Selain itu, aku juga adik gadis berusia lima belas tahun yang
direnggut kesempatannya untuk merayakan hari ulang tahun keenam
belasnya." Ekspresi jemu dan lelah itu sesaat hilang dari matanya. "Ms.
Cavanaugh, aku tidak meragukan kemungkinan Rob Westerfield
bersalah, tapi kurasa sebaiknya Anda menerima fakta bahwa dia sudah
menjalani hukumannya, dan bahwa setelah beberapa insiden selama
beberapa tahun pertama, dia telah menjaga kelakuannya."
Aku ingin sekali tahu mengenai beberapa insiden itu, namun
aku juga yakin Martin Brand tidak akan mau mengungkapkannya
padaku. "Masih ada satu hal lagi," tambahnya. "Walau seandainya dia
bersalah, yang dia lakukan terhadap kakak Anda adalah tindak
kejahatan yang melibatkan emosi, sehingga kemungkinan dia akan
mengulanginya bisa dikatakan hampir tidak ada. Kami memiliki
statistiknya. Kemungkinan menjadi residivis untuk tindak kejahatan
seperti itu menurun setelah usia tiga puluh tahun, dan hampir hilang
serelah usia empat puluh."
"Tapi ada beberapa orang yang lahir tanpa hati nurani, dan
begitu mereka dilepas, mereka akan seperti bom waktu berjalan."
Aku mendorong kursiku ke belakang, kemudian berdiri. Brand
juga berdiri. "Ms. Cavanaugh, aku punya advis yang kurang
menyenangkan. Kurasa Anda selama ini terus dihantui kenangan yang
diakibatkan terbunuhnya kakak Anda secara brutal. Tapi Anda tidak
mungkin dapat menghidupkannya kembali, dan Anda juga tidak dapat
menahan Rob Westerfield lebih lama di dalam penjara. Kalau
kasusnya disidangkan kembali dan namanya dibersihkan, maka
begitulah kenyataannya. Anda masih muda. Sebaiknya Anda kembali
ke Atlanta dan mencoba melupakan tragedi ini."
"Itu advis yang bagus, Mr. Brand, dan mungkin aku akan
mempertimbangkannya kelak," sahutku. "Tapi tidak sekarang."
Chapter 15 T1GA tahun yang lalu, setelah menulis satu seri artikel
mengenai Jason Lambert, pembunuh berantai di Atlanta, aku
menerima telepon dari Maggie Reynolds, editor buku di New York
yang pernah berkenalan denganku di sebuah panel yang membahas
soal kejahatan kriminal. Ia menawarkan kontrak untuk menggubah
artikel-artikel tersebut menjadi bentuk buku.
Lambert pembunuh tipe Ted Bundy. Ia selalu berkeliaran di
sekitar kampus, berlagak seperti mahasiswa, setelah itu ia memancing
wanita-wanita muda untuk masuk ke dalam mobilnya. Seperti korbankorban Bundy,
gadis-gadis itu kemudian menghilang begitu saja.
Untungnya ia tidak sempat melenyapkan korbannya yang terakhir
pada saat ia tertangkap. Ia sedang mendekam di penjara Georgia saat
ini, masih harus menjalani masa hukuman selama 149 tahun, tanpa
peluang mendapatkan fasilitas bebas bersyarat.
Buku itu ternyata cukup laris, bahkan selama beberapa minggu
sempat mempertahankan posisinya dalam urutan terbawah daftar bestseller the New
York Times. Aku menelepon Maggie setelah
meninggalkan kantor Brand. Setelah mendeskripsikan kasusnya serta
jalur investigasi yang akan kutempuh, ia langsung menyatakan setuju
memberiku kontrak untuk buku mengenai kasus pembunuhan Andrea,
buku yang kujanjikan padanya akan secara meyakinkan membuktikan
bahwa Rob Westerfield bersalah.
"Banyak sekali publisitas tentang apa yang ditulis Jake Bern,"
ujar Maggie padaku. "Aku ingin mengimbangi itu dengan buku hasil
tulisanmu. Bern pernah melanggar kontraknya dengan kami setelah
kami menghabiskan banyak sekali untuk publisitas bukunya yang
terakhir, untuk mencoba menaikkan citranya.
Aku memperhitungkan proyek itu akan membutuhkan sekitar
tiga bulan untuk riset intensif dan penulisannya, dan beberapa bulan
ekstra sesudahnya, kalau Rob Westerfield berhasil mendapat peluang
untuk disidang ulang. Losmen itu akan terlalu membatasi gerak, dan
terlalu mahal untuk ditinggali dalam tenggang waktu panjang. Karena
itulah aku menanyakan pada Mrs. Hilmer, apakah ia tahu salah satu
apartemen yang disewakan di sekitar daerah ini. Ia menepis ideku dan
bersikeras aku menempati apartemen tamu di atas garasinya.
"Aku membangunnya beberapa tahun lalu, sebagai persiapan
kalau-kalau suatu saat nanti aku membutuhkan orang untuk berada di
dekatku setiap waktu," ungkapnya menjelaskan. "Ellie, tempatnya
nyaman, tenang, dan aku akan menjadi tetangga yang baik, tidak akan
mengganggumu dengan keluar-masuk seenaknya."
"Dari dulu Anda tetangga yang baik." Benar-benar solusi yang
ideal, tapi satu-satunya hal yang mengganjal adalah aku harus selalu
melewati rumah lama kami. Namun aku berasumsi bahwa kepedihan
yang kurasakan saat melintasi wilayah yang pernah kami tempati itu
lama-lama akan mereda. "Anugerah Tuhan." Itulah julukan yang diberikan ibuku pada
tempat itu. Ia begitu antusias memiliki properti seluas itu, dan
bertekad membuat kebun yang akan mendapat sorotan dalam edisi
musim semi the Oldham Garden Club.
Aku pindah dari losmen itu ke apartemen tamu Mrs. Hilmer,
dan pada hari Rabu terbang kembali ke Atlanta. Aku tiba pukul enam
lewat seperempat sore di kantor. Aku tahu Pete tidak mungkin sudah
pulang. Ia kawin dengan pekerjaannya.
Ia mengangkat wajah, melihatku, tersenyum sebentar, kemudian
berkata, "Ayo, kita bisa omong sambil makan spageti."
"Bagaimana dengan upayamu menghilangkan lima kilo itu?"
"Aku sudah memutuskan unruk tidak memikirkannya selama
Putri Kesayangan Ayah Daddy's Little Girl Karya Mary Higgins Clark di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
beberapa jam ke depan."
Pete memiliki intensitas yang mampu memacu mereka yang
berada di sekitarnya. Ia Iangsung bergabung dengan harian swasta the
News setelah lulus, dan dalam dua tahun ia menjadi kepala staf
redaksi. Menjelang usia dua puluh delapan, ia memegang dua jabatan,
pemimpin redaksi dan penerbitan. Harian yang dianggap mulai
megap-megap itu tiba tiba memperoleh gairahnya kembali.
Mempekerjakan reporter investigasi kriminal merupakan salah
satu cetusan idenya untuk menaikkan omset, dan mendapatkan posisi
itu enam tahun yang lalu merupakan keberuntungan bagiku. Tadinya
aku diterima sebagai reporter muda. Ketika calon yang diharapkan
Pete menduduki jabatan itu mundur pada saat-saat terakhir, aku
ditunjuk untuk mengisinya, tapi hanya sampai seorang pengganti
permanen ditemukan. Kemudian, suatu hari, tanpa banyak komentar,
Pete menghentikan upayanya mencari pengganti. Posisi itu untukku.
Napoli's benar-benar tipe restoran yang umum ditemukan di
Itali. Pete memesan sebotol Chianti dan meraih sepotong roti hangat
yang disajikan di meja kami. Ingatanku kembali pada semester yang
pernah kulewatkan di Roma selama masa kuliahku. Saat itu
merupakan sedikit di antara sekian banyak masa-masa bahagia dalam
kehidupanku sebagai orang dewasa.
Ibu sedang mencoba memulihkan kondisinya, dan hasilnya
cukup lumayan. Ia mengunjungiku di sana selama liburan musim
semi, dan kami sempat melewatkan waktu yang sangat menyenangkan
bersama-sama. Kami menjelajahi kota Roma, menghabiskan waktu
seminggu di Florence dan kota-kota di daerah perbukitan Tuscany.
Kami mengakhirinya dengan kunjungan ke Venesia. Ibuku wanita
yang cantik, dan dalam perjalanan itu, saat ia tersenyum, ia tampak
persis seperti dulu. Sesuai kesepakatan yang sebetulnya tidak pernah
diucapkan, kami tidak menyebut-nyebut Andrea ataupun ayahku.
Aku bersyukur memiliki kenangan itu.
Anggur diantar, diterima oleh Pete, kemudian dibuka. Aku
mencicipinya, setelah iru langsung memulai dengan apa yang ingin
kusampaikan. "Aku sudah melakukan penjajakan. Upaya
membersihkan nama Westerfield mempunyai peluang besar untuk
Bulan Jatuh Dilereng Gunung 12 Pendekar Mabuk 020 Ladang Pertarungan Pembalesan 1
Chapter 1 KETIKA Ellie terbangun pagi itu, perasaannya mengatakan
sesuatu yang tidak enak telah terjadi.
Mengikuti instingnya ia meraih Bones, boneka anjingnya yang
lembut dan hangat, yang sudah berbagi bantal dengannya sejak lama
berselang. Ketika ia merayakan ulang tahunnya yang ketujuh bulan
lalu, Andrea, kakak perempuannya yang berusia lima belas tahun,
sempat meledeknya bahwa sudah waktunya melemparkan Bones ke
gudang di loteng. Kemudian Ellie ingat apa yang tidak beres: Andrea tidak pulang
tadi malam. Setelah makan malam, ia pergi ke rumah sahabatnya,
Joan, untuk belajar matematika. Ia sudah berjanji akan pulang sekitar
pukul sembilan. Pukul sembilan seperempat, Mommy menjemput
Andrea di rumah Joan, dengan berjalan kaki, namun mereka
mengatakan Andrea sudah pulang sejak pukul delapan.
Mommy kembali dalam keadaan cemas dan berusaha menahan
tangis, persis pada waktu Daddy baru saja pulang kerja. Daddy
seorang letnan polisi di Dinas Kepolisian New York. Ia dan Mommy
langsung mulai menelepon semua teman Andrea, tapi tak seorang pun
tahu di mana dia. Kemudian Daddy mengatakan akan berkeliling
dengan mobilnya ke arah tempat main boling dan kedai es krim, siapa
tahu Andrea ada di sana. "Kalau dia bohong mengenai bikin PR sampai pukul sembilan,
dia tidak boleh keluar rumah ini selama enam bulan," ujarnya marah,
setelah itu ia berpaling ke Mommy, "Aku sudah bilang, aku sudah
bilang ribuan kali - aku tidak suka dia pergi keluar sendirian setelah
gelap." Meskipun nadanya tinggi, Ellie tahu Daddy lebih merasa cemas
daripada marah. "Demi Tuhan, Ted, dia pergi pukul tujuh tadi. Dia pergi ke
rumah Joan. Dia sudah merencanakan pulang sekitar pukul sembilan,
aku bahkan menjemputnya ke sana dengan berjalan kaki."
"Kalau begitu, di mana dia?"
Mereka menyuruh Ellie tidur, dan akhirnya ia jatuh tertidur, dan
baru terbangun sekarang. Mungkin Andrea sudah pulang, batinnya
sambil berharap. Ia menyelinap turun dari tempat tidur, bergegas
melintasi kamarnya, kemudian cepat-cepat menelusuri lorong, menuju
kamar Andrea. Mudah-mudahan dia ada di sana, doanya dalam hati. Ia
membuka pintunya. Tempat tidur Andrea sama sekali tidak ditiduri
malam itu. Dengan bertelanjang kaki, diam-diam ia menuruni tangga.
Tetangga mereka, Mrs. Hilmer, sedang duduk bersama Mommy di
dapur. Mommy masih mengenakan pakaian malam sebelumnya, dan
ia seperti habis menangis lama.
Ellie lari mendekat. "Mommy."
Mommy memeluknya dan mulai terisak. Ellie merasa tangan
Mommy mencengkeram pundaknya, begitu kuat hingga nyaris
menyakitinya. "Mommy, mana Andrea?"
"K-kita... t-tidak... tahu. Daddy masih mencarinya bersama
polisi." "Ellie, bagaimana kalau kau berpakaian dan aku menyiapkan
sarapan untukmu?" tanya Mrs. Hilmer.
Tidak ada yang mengatakan padanya bahwa ia harus buru-buru
karena bus sekolah akan tiba sebentar lagi. Tanpa bertanya, Ellie tahu
ia tidak akan pergi ke sekolah hari itu.
Dengan patuh ia mencuci muka dan tangannya, menyikat gigi
dan rambutnya, setelah itu mengenakan pakaian bermainnya - baju
berleher tinggi dan celana panjang biru favoritnya - kemudian ia
kembali ke bawah. Persis pada saat ia duduk di meja tempat Mrs. Hilmer telah
meletakkan jus dan cornflakes, Daddy masuk melalui pintu dapur.
"Dia tidak kelihatan," ujarnya. "Kami sudah mencari ke mana-mana.
Kemarin ada orang berkeliling dari pintu ke pintu, meminta-minta
sumbangan untuk sesuatu yang tidak jelas. Dia sempat mampir di kafe
tadi malam, dan meninggalkan tempat itu sekitar pukul delapan.
Mestinya dia lewat rumah Joan dalam perjalanan ke jalan besar sekitar
waktu Andrea pulang. Mereka sedang mencarinya."
Ellie tahu Daddy berusaha tidak menangis. Dan Daddy
sepertinya juga tidak melihat ia ada di sana, namun ia tidak
tersinggung. Kadang-kadang Daddy pulang dalam keadaan sangat
emosional, karena sesuatu yang menyedihkan terjadi ketika ia
bertugas, sehingga selama beberapa waktu ia tidak banyak bicara.
Tampangnya juga seperti itu saat ini.
Andrea sedang bersembunyi - Ellie yakin akan hal itu.
Mungkin Andrea sengaja meninggalkan rumah Joan lebih awal, untuk
menemui Rob Westerfield di tempat persembunyian mereka, setelah
itu mungkin ia kemalaman dan tidak berani pulang. Daddy pernah
bilang kalau ia sampai bohong lagi mengenai keberadaannya, Daddy
akan membuatnya berhenti bermain band di sekolah. Daddy pernah
bilang begitu ketika Andrea ketahuan naik mobil bersama Rob
Westerfield saat ia seharusnya berada di perpustakaan.
Andrea senang sekali main band; tahun lalu ia satu-satunya
murid baru yang terpilih untuk main di bagian suling. Tapi kalau ia
memang meninggalkan rumah Joan lebih awal dan pergi ke tempat
persembunyian itu untuk menemui Rob, dan Daddy sampai tahu, itu
berarti ia harus berhenti main.
Mommy selalu bilang Andrea bisa memanipulasi Daddy
seenaknya, namun Mommy tidak mengatakan itu bulan lalu, ketika
salah satu rekan Daddy mengungkapkan padanya bahwa ia sempat
mencegat Rob Westerfield dan memberinya surat tilang karena
ngebut, dan Andrea sedang bersamanya waktu itu.
Daddy tidak bilang apa-apa sampai setelah makan malam.
Kemudian ia bertanya pada Andrea, berapa lama Andrea berada di
perpustakaan. Andrea tidak menjawab. Setelah itu Daddy berkata, "Ternyata kau cukup pintar. Kau
tahu petugas yang menilang Westerfield akan memberitahukan, kau
tadi bersamanya. Andrea, anak muda itu tidak hanya kaya dan manja,
tapi juga brengsek luar-dalam. Kalau dia sampai mati gara-gara
ngebut, kau tidak boleh ada di dalam mobil itu bersamanya. Pokoknya
kau dilarang keras berurusan apa pun dengannya."
Tempat persembunyian itu terletak di garasi belakang rumah
besar megah milik Mrs. Westerfield, nenek Rob yang tinggal di sana
sepanjang musim panas. Biasanya selalu dalam keadaan tidak dikunci,
dan kadang-kadang Andrea dan teman-temannya menyelinap ke sana
untuk merokok. Andrea pernah mengajak Ellie ke sana beberapa kali,
saat ia harus menjaga Ellie.
Teman-temannya sempat marah sekali pada Andrea karena
mengajak Ellie, namun Andrea mengatakan, "Ellie anak baik. Dia
bukan tukang ngadu." Ellie senang sekali mendengar itu, tapi Andrea
tidak mengizinkan Ellie mencoba satu isapan sekalipun.
Ellie yakin tadi malam Andrea meninggalkan rumah Joan lebih
awal karena ia sudah punya rencana bertemu Rob Westerfield. Ellie
sempat mendengar ketika Andrea berbicara pada anak muda itu di
telepon kemarin, dan setelah selesai, boleh dibilang ia menangis. "Aku
bilang pada Rob, aku akan pergi ke pesta dansa itu dengan Paulie,"
ungkapnya, "dan sekarang dia benar-benar marah padaku."
Ellie teringat percakapan itu saat ia menghabiskan cornflakes
dan jusnya. Daddy sedang berdiri di dekat kompor. Ia memegang
cangkir berisi kopi. Mommy sedang menangis lagi, tapi hampir tanpa
bersuara. Kemudian, untuk pertama kali, Daddy sepertinya menyadari
keberadaannya di sana. "Ellie, kurasa sebaiknya kau pergi ke sekolah.
Aku akan mengantarmu saat makan siang."
"Aku boleh keluar sekarang?"
"Ya. Tapi jangan jauh-jauh."
Ellie lari untuk mengambil jaketnya, dan tahu-tahu sudah
berada di luar pintu. Ketika itu tanggal 15 November, daun-daun
terasa lembap dan dingin di kaki. Langit berawan gelap, dan ia dapat
menebak bahwa hujan akan turun lagi. Ellie berandai mereka berada
di Irvington kembali, tempat tinggal mereka dulu. Di sini suasananya
sepi. Hanya Mrs. Hilmer yang tinggal di jalan itu, selain mereka.
Daddy sebetulnya lebih suka tinggal di Irvington, tapi mereka
pindah kemari, lima kota lebih jauh, karena Mommy ingin rumah
lebih besar dan tanah lebih luas. Mereka bisa memperoleh itu kalau
mereka pindah lebih ke arah Westchester, ke kota yang pada saat itu
belum menjadi satelit New York City.
Setiap kali Daddy mengatakan ia merindukan Irvington, tempat
ia dibesarkan dan tempat mereka tinggal sampai dua tahun lalu,
Mommy mengatakan padanya betapa menyenangkan rumah mereka
yang baru. Kemudian Daddy akan mengatakan di Irvington ada
pemandangan Hudson River dan Tappan Zee Bridge senilai satu juta
dolar, dan ia tidak perlu menempuh jarak sejauh lima mil untuk
membeli koran atau roti. Sekitar tempat tinggal mereka merupakan daerah berhutan.
Rumah besar keluarga Westerfield terletak persis di belakang rumah
mereka, tapi berada di sisi seberang hutan. Ellie menoleh ke arah
jendela dapur di belakangnya, untuk memastikan tak seorang pun
mengawasi dirinya. Ia mulai lari di antara pepohonan.
Lima menit setelah itu, ia sampai di sebuah tempat terbuka,
kemudian lari melintasi hamparan itu ke arah tanah keluarga
Westerfield. Merasa semakin sendirian, ia bergegas menelusuri jalan
mobil yang panjang dan mengitari rumah itu, sosoknya yang kecil
menghilang dalam bayangan gelap hujan badai yang sebentar lagi
turun. Ada pintu samping menuju garasi, dan pintu itu biasanya tidak
terkunci. Tapi ternyata tidak mudah bagi Ellie untuk memutar
kenopnya. Akhirnya ia berhasil, dan melangkah masuk ke dalam
keremangan ruangan. Garasi itu cukup besar untuk menyimpan empat
mobil, tapi satu-satunya kendaraan yang ditinggalkan Mrs.
Westerfield setelah bermusim panas di sana hanyalah mobil pickup.
Andrea dan teman-temannya pernah membawa beberapa helai selimut
tua untuk duduk-duduk kalau mereka ke sana. Mereka selalu duduk di
tempat yang sama, di bagian belakang garasi, di belakang mobil
pickup, supaya kalau kebetulan ada yang melongok ke dalam melalui
jendela, mereka tidak terlihat. Ellie tahu di sanalah Andrea akan
bersembunyi kalau ia memang ada di tempat ini.
Ellie tidak tahu mengapa ia tiba-tiba merasa takut, tapi
begitulah adanya. Kini, bukannya lari, malah kaki-kakinya justru
terasa berat sekali dibawa bergerak ke arah bagian belakang garasi itu.
Tapi kemudian ia melihatnya - ujung selimut yang mengintip dari
balik mobil pickup itu. Jadi, Andrea ada di sini! Ia dan temantemannya tidak
akan pernah meninggalkan selimut-selimut mereka
begitu saja; begitu akan pergi, mereka selalu melipatnya kembali dan
menyembunyikannya di lemari tempat menyimpan bahan-bahan
pembersih. "Andrea..." Sekarang Ellie lari, sambil memanggil pelan supaya
Andrea tidak kaget. Mungkin dia tertidur, batin Ellie.
Ya, ternyata memang begitu. Meskipun di dalam garasi itu
gelap, Ellie bisa melihat rambut Andrea yang panjang tergerai keluar
dari bawah selimut. "Andrea, ini aku." Ellie langsung berlutut di dekat Andrea, dan
menyingkapkan selimut yang menutupi wajah kakaknya.
Andrea memakai topeng, topeng monster yang mengerikan,
lengket, dan lembek. Ellie mengulurkan tangan untuk melepasnya,
jari-jarinya masuk ke rongga di dalam dahi Andrea. Saat ia buru-buru
menarik tangannya kembali, ia baru menyadari ada genangan darah
yang mulai merembes melalui celana panjangnya.
Kemudian, dari suatu tempat di dalam ruangan luas itu, ia yakin
ia mendengar suara napas seseorang suara tarikan napas berat dan
tidak teratur, seperti orang sedang berusaha menahan sesuatu yang
kemudian lepas menjadi semacam tawa terkikik.
Ketakutan, ia berusaha berdiri, namun lututnya yang licin oleh
darah membuatnya tergelincir dan ia jatuh terjerembap ke atas tubuh
Andrea. Bibirnya mengenai sesuatu yang mulus dan dingin - liontin
emas Andrea. Kemudian dengan sempoyongan ia berhasil berdiri,
membalikkan tubuh, dan lari keluar.
Ia tidak tahu bahwa ia menjerit-jerit sampai hampir tiba di
rumah. Ted dan Genine Cavanaugh lari ke kebun belakang, dan
melihat anak bungsu mereka menghambur keluar dari daerah hutan itu
dengan lengan-lengan terulur, tubuhnya yang kecil berlumuran darah
kakaknya. Chapter 2 KECUALI pada saat timnya sedang latihan atau ikut bertanding
selama musim bisbol, Paulie Stroebel yang berusia enam belas tahun
bekerja di bengkel dan pompa bensin di Hillwood sepulang sekolah
atau sepanjang hari Sabtu. Pilihan lainnya pada jam-jam yang sama
adalah membantu toko penganan milik orangtuanya yang terletak satu
blok dari Main Street - kegiatan yang sudah ia kerjakan sejak berusia
tujuh tahun. Agak lamban secara akademis, tapi cukup baik dalam hal-hal
mekanis, ia menyukai pekerjaan mereparasi mobil, sementara kedua
orangtuanya menunjukkan pengertian mereka mengenai keinginannya
bekerja untuk orang lain. Dengan rambut pirang susah diatur, mata
biru, pipi tembam, dan tubuh gempal setinggi 176 senti, Paulie dinilai
sebagai karyawan pendiam namun suka bekerja keras oleh bosnya di
bengkel, dan sedikit bodoh oleh teman-teman sekolahnya di Delano
High. Satu-satunya keberhasilannya di sekolah adalah menjadi
anggota tim football. Pada hari Jumat, ketika berita tentang pembunuhan Andrea
Cavanaugh sampai di sekolah, para pembimbing pelajar ditugasi pergi
ke kelas-kelas untuk menyampaikan kabar itu pada murid-murid.
Paulie sedang asyik mengikuti pelajaran ketika Miss Watkins masuk
ke kelasnya, berbisik pada gurunya, kemudian mengetuk meja untuk
meminta perhatian. "Ada berita sedih sekali untuk kalian," mulainya. "Kami baru
saja mendengar..." Dalam nada tertahan ia memberitahukan bahwa
siswa tahun kedua, Andrea Cavanaugh, telah terbunuh, sebagai korban
penganiayaan. Reaksi yang terdengar adalah suara tarikan napas
terkejut dan protes penuh emosi dari seluruh kelas.
Kemudian teriakan "Tidak!" membuat yang lain terenyak.
Paulie Stroebel yang biasanya tenang dan tidak banyak suara, tiba-tiba
sudah berdiri, wajahnya mengernyit mengekspresikan kepedihan
mendalam. Sementara rekan-rekan sekelasnya tertegun
mengawasinya, pundaknya mulai berguncang-guncang. Suara isak
tertahan mendera tubuhnya. Ia segera lari keluar ruangan. Begitu pintu
tertutup di belakangnya, ia menggumamkan sesuatu dalam suara
teredam, sehingga sulit ditangkap oleh kebanyakan di antara mereka.
Namun siswa yang duduk paling dekat ke pintu kemudian berani
bersumpah bahwa kata-katanya berbunyi, "Aku tidak percaya dia
mati!" Emma Watkins, pembimbing pelajar yang sudah merasa
terguncang oleh kejadian tragis itu, merasa seperti ditikam sebilah
pisau. Ia suka pada Paulie, dan mengerti kebiasaan siswa yang sangat
lamban dan selalu merasa dikucilkan ini untuk selalu berusaha keras
menyenangkan hati orang lain.
Ia sendiri yakin ucapan pedih yang disuarakan Paulie adalah,
"Kurasa dia tidak mati."
Putri Kesayangan Ayah Daddy's Little Girl Karya Mary Higgins Clark di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sore itu, untuk pertama kali setelah enam bulan bekerja di
bengkel, Paulie tidak muncul. Ia juga tidak menelepon bosnya untuk
memberitahukan ketidakhadirannya. Ketika kedua orangtuanya tiba di
rumah malam itu, mereka menemukan Paulie berbaring di tempat
tidur, menerawangi langit-langit, dengan foto-foto Andrea tercecer di
sekitarnya. Baik Hans maupun Anja Wagner Stroebel lahir di Jerman,
berimigrasi ke Amerika bersama orangtua mereka ketika mereka
masih kanak-kanak. Mereka bertemu dan menikah saat usia mereka
menjelang empat puluhan, dan dengan menggabungkan uang
tabungan masing-masing, mereka membuka toko penganan. Meski
tidak suka mendemonstrasikan perasaan, mereka sangat protektif
terhadap putra tunggal mereka.
Semua yang datang ke toko mereka membicarakan soal
pembunuhan itu, sambil saling mempertanyakan siapa yang begitu
tega melakukan perbuatan yang amat sangat mengerikan itu. Keluarga
Cavanaugh pelanggan tetap toko mereka, dan pasangan Stroebel ikut
terlibat dalam diskusi mengenai kemungkinan Andrea memang sudah
merencanakan bertemu seseorang di garasi keluarga Westerfield itu.
Mereka sependapat Andrea cantik, tapi sedikit nakal.
Seharusnya ia mengerjakan PR-nya dengan Joan Lashley sampai
pukul sembilan malam, tapi tahu-tahu ia pulang lebih awal. Apakah ia
sudah punya rencana bertemu seseorang, atau ia dihadang dalam
perjalanan pulangnya"
Anja Stroebel langsung mengikuti instingnya begitu rnelihat
foto-foto yang berserakan di tempat tidur putranya. Ia meraup fotofoto itu untuk
disimpan di dalam buku sakunya. Saat suaminya
menatap dengan ekspresi bertanya, ia menggeleng. Itu berarti
suaminya tidak perlu menanyakan apa-apa padanya. Kemudian ia
duduk di dekat Paulie, dan merangkul anaknya itu.
"Andrea memang gadis yang sangat cantik," ujarnya
menghibur, suaranya yang memiliki aksen jadi lebih berat kalau ia
sedang emosional. "Aku masih ingat bagaimana dia memberikan
selamat padamu ketika kau berhasil menangkap bola itu dan
menyelamatkan timmu dalam pertandingan musim semi yang lalu.
Seperti semua temannya yang lain, kau tentunya sangat sedih."
Mulanya Paulie merasa seakan ibunya berbicara padanya dari
suatu tempat jauh. Sama seperti teman-temannya yang lain. Apa
maksudnya" "Polisi akan mendatangi semua yang pernah menjadi teman
dekat Andrea, Paulie" ujar ibunya pelan, tapi penuh wibawa.
"Aku mengajak dia ke pesta dansa," ujar Paulie, suaranya
tertahan. "Dia bilang dia mau pergi denganku."
Anja tahu putranya tidak pernah mengajak gadis mana pun
berkencan sebelum ini. Tahun lalu ia tidak mengajak siapa-siapa ke
acara dansa tahun keduanya di sekolah menengah.
"Kalau begitu, kau suka padanya, Paulie?"
Paulie Stroebel mulai mengisak. "Mama, aku sayang sekali
padanya." "Kau suka padanya, Paul," ujar Anja bersikeras. "Coba ingat
itu." Pada hari Sabtu, dengan sikap tenang dan menunjukkan
penyesalan karena tidak hadir pada hari Jumat sore, Paulie Stroebel
muncul di tempat kerjanya di stasiun pompa bensin.
Pada hari Sabtu sore, Hans Stroebel secara pribadi mengantar
sepotong daging ham Virginia dan salad ke rumah keluarga
Cavanaugh, dan meminta tetangga mereka, Mrs. Hilmer, yang
membukakan pintu, untuk menyampaikan rasa duka citanya yang
mendalam pada seluruh keluarga itu.
Chapter 3 " SEDIHNYA Ted dan Genine sama-sama anak tunggal," Ellie
mendengar Mrs. Hilmer berkata beberapa kali pada hari Sabtu itu.
"Akan lebih mudah kalau mereka punya banyak keluarga di saat-saat
seperti ini." Ellie tidak peduli mengenai memiliki banyak keluarga. Ia cuma
ingin Andrea kembali, ia ingin Mommy berhenti menangis, dan ia
ingin Daddy berbicara dengannya. Daddy hampir tidak mengucapkan
sepatah kata pun padanya sejak ia lari pulang ke rumah. Daddy
merengkuhnya ke dalam pelukannya, dan Ellie berhasil
menyampaikan padanya di mana Andrea berada, dan bahwa Andrea
terluka. Kemudian, setelah Daddy pergi ke tempat persembunyian itu
dan melihat Andrea, dan para polisi berdatangan, ia masih sempat
berkata, "Ellie, kau tahu tadi malam dia mungkin pergi ke garasi itu.
Kenapa kau tidak bilang apa-apa pada kami waktu itu?"
"Daddy tidak tanya padaku, dan Daddy suruh aku tidur."
"Ya, itu betul," kata ayahnya. Tapi kemudian Ellie
mendengarnya berkata pada salah satu rekannya, "Andai aku tahu
Andrea ada di sana. Mungkin dia masih hidup sekitar pukul sembilan.
Mungkin kalau aku menemukannya saat itu, dia masih punya
peluang." Seseorang dari pihak kepolisian berbicara dengan Ellie dan
mengajukan beberapa pertanyaan padanya tentang tempat
persembunyian itu, dan siapa saja yang suka pergi ke sana. Di dalam
kepalanya Ellie bisa mendengar suara Andrea mengatakan, "Ellie anak
baik. Dia bukan tukang ngadu."
Begitu teringat Andrea, dan tahu Andrea tidak akan pernah
pulang lagi, Ellie mulai menangis begitu sedih, sehingga polisi itu
berhenti menanyainya. Kemudian, pada hari Sabtu sore, seseorang yang mengaku
sebagai Detektif Marcus Longo datang ke rumah. Ia mengajak Ellie ke
ruang makan dan menutup pintunya. Ellie berpendapat orang itu
memiliki tampang menyenangkan. Orang itu berkata ia mempunyai
anak laki-laki sebaya Ellie, dan mereka berdua sangat mirip. "Dia
punya mata biru yang sama," katanya. "Rambutnya juga persis
punyamu. Aku sering bilang padanya bahwa rambutnya itu seperti
pasir yang kena cahaya matahari."
Kemudian ia mengungkapkan bahwa empat teman Andrea telah
mengaku mereka pernah pergi ke tempat persembunyian itu dengan
Andrea, namun tak seorang pun dari mereka berada di sana malam itu.
Ia menyebutkan nama gadis-gadis itu, lalu bertanya, "Ellie, apa masih
ada gadis lain yang mungkin menemui kakakmu di sana"
Sepertinya ia tidak mengkhianati mereka kalau mereka sudah
mengaku sendiri. "Tidak ada," bisik Ellie. "Itu sudah semuanya."
"Apa ada orang lain yang mungkin ditemui Andrea di tempat
persembunyian itu?" Ellie tampak ragu. Ia tidak bisa menceritakan tentang Rob
Westerfield. Itu berarti membuka rahasia Andrea.
Detektif Longo berkata, "Ellie, seseorang telah melukai Andrea
sedemikian parah, sehingga dia tidak bisa diselamatkan lagi. Jangan
kaulindungi orang itu. Andrea tentu ingin kau mengatakan semua
yang kauketahui." Ellie menunduk memandangi tangan-tangannya. Dalam rumah
pertanian besar dan tua ini, ruang ini tempat favoritnya. Dulunya
ruang ini dilapisi kertas dinding yang suram, namun sekarang seluruh
dinding tersebut telah dicat warna kuning muda, dan lampu rombyong
tergantung di atas meja, dengan bola-bola lampu berbentuk lilin.
Mommy menemukannya di pasar murah, dan mengatakan lampu itu
sangat berharga. Ia telah menghabiskan waktu cukup lama unruk
membersihkannya, dan sekarang setiap orang yang melihatnya sangat
mengaguminya. Mereka selalu makan di ruang makan itu, walaupun Daddy
menganggap itu konyol. Mommy mempunyai buku tentang cara
menata meja unruk acara makan formal. Andrea bertugas menata meja
dengan cara seperti itu setiap hari Minggu, meski hanya untuk mereka
sekeluarga. Ellie suka membantunya, dan dengan antusias mereka
meletakkan perangkat makan mereka yang dari perak dan porselen.
"Lord Malcolm Big Bottom adalah tamu kehormatan kita hari
ini," Andrea suka berkata. Kemudian, mengikuti apa yang dibacanya
dari buku etika, ia akan menyediakan tempat duduk bagi sosok itu di
sebelah kanan Mommy. "Oh, tidak, Gabrielle, gelas air harus
diletakkan sedikit ke sebelah kanan dari pisau makan."
Nama Ellie yang sebenarnya adalah Gabrielle, tapi tak seorang
pun memanggilnya begitu, kecuali Andrea kalau sedang meledek
dirinya. Ellie bertanya-tanya apakah ia yang ditugaskan menata meja
seperti itu setiap hari Minggu mulai sekarang. Mudah-mudahan tidak.
Tanpa Andrea, semuanya tidak menarik lagi.
Rasanya sedikit aneh berpikiran seperti itu. Di satu pihak, ia
tahu Andrea sudah meninggal dan akan dikuburkan hari Selasa pagi di
pekuburan Tarrytown, bersama nenek dan kakek Cavanaugh. Di lain
pihak, ia berharap Andrea masih akan pulang setiap saat, menariknya
dekat-dekat, untuk mengungkapkan suatu rahasia padanya.
Rahasia. Kadang-kadang Andrea bertemu Rob Westerfield di
tempat persembunyian itu. Tapi Ellie telah berjanji untuk tidak
mengungkapkan itu pada siapa pun.
"Ellie, siapa pun yang mencelakai Andrea bisa juga mencelakai
orang lain kalau dia tidak dihentikan," ujar Detektif Longo. Nada
suaranya tenang dan ramah.
"Apakah karena aku Andrea mati" Menurut Daddy begitu."
"Tidak, menurutnya tidak begitu, Ellie," ujar Detektif Longo.
"Tapi apa pun yang kauungkapkan tentang rahasiamu dengan Andrea
mungkin bisa membantu kami sekarang."
Rob Westerfield, batin Ellie. Mungkin aku tidak mengingkari
janjiku kalau aku bercerita pada Detektif Longo tentang dia. Kalau
memang Rob yang mencelakai Andrea, semua orang harus tahu. Ia
mengamati kembali kedua tangannya. "Kadang-kadang dia menemui
Rob Westerfield di tempat persembunyian itu," bisiknya.
Detektif Longo mendoyongkan tubuhnya ke depan. "Apa
menurutmu dia akan menjumpai Rob di sana malam itu?" tanyanya.
Ellie dapat melihat bahwa ia merasa tertarik mendengar tentang Rob.
"Kurasa begitu, Paulie Stroebel meminta Andrea pergi
bersamanya ke pesta dansa Thanksgiving, dan Andrea sudah
mengiyakan. Sebetulnya dia tidak ingin pergi dengan Paulie, tapi
Paulie bilang dia tahu Andrea suka diam-diam menemui Rob
Westerfield, dan Andrea takut Paulie akan mengadukannya pada
Daddy kalau dia tidak mau pergi dengan Paulie. Tapi setelah itu Rob
marah sekali padanya, dan Andrea ingin menjelaskan kenapa dia mau
pergi dengan Paulie, supaya Paulie tidak mengadukannya pada Daddy.
Jadi, mungkin karena itu dia meninggalkan rumah Joan lebih awal."
"Dari mana Paulie tahu Andrea berkencan dengan Rob
Westerfield?" "Andrea bilang, mungkin Paulie membuntutinya ke tempat
persembunyian itu. Paulie sangat ingin Andrea menjadi pacarnya."
Chapter 4 MESIN cuci itu habis dipakai.
"Apa yang begitu penting, hingga tidak bisa ditunda sampai aku
kembali, Mrs. Westerfield?" tanya Rosita, nada suaranya sedikit
cemas, seakan khawatir ia telah melalaikan tugasnya. Ia pergi keluar
kota pada hari Kamis, untuk mengunjungi bibinya yang sakit.
Sekarang sudah Sabtu pagi, dan ia baru saja kembali. "Anda
sebetulnya tidak usah repot-repot mencuci saat Anda sedang sibuk
dengan urusan mendekorasi rumah-rumah itu."
Linda Westerfield tidak tahu mengapa tiba-tiba rasa cemas
melanda dirinya. Entah mengapa, ia tidak langsung menanggapi
ucapan Rosita. "Ah, cuma sekali-sekali, waktu aku sedang mengecek lukisan
dekoratifku dan memberikan sentuhan-sentuhan akhir, aku sekalian
memasukkan lap-lap bekas cat ke dalam mesin cuci, daripada
membiarkannya tergeletak di sana berlama-lama," jawabnya.
"Wah, kalau dilihat dari banyaknya sabun yang Anda pakai,
sepertinya banyak sekali yang Anda cuci. Selain itu, Mrs. Westerfield,
aku mendengar tentang putri keluarga Cavanaugh di siaran berita
kemarin. Aku masih terus memikirkannya. Siapa menyangka
peristiwa seperti itu bisa terjadi di kota kecil ini" Betul-betul
menyedihkan." "Ya, tentu saja." Sepertinya Rob yang habis memakai mesin ini,
batin Linda. Yang jelas, Vince, suaminya, tidak akan pernah
menyentuh mesin cuci. Mungkin ia bahkan tidak tahu cara
memakainya. Mata Rosita yang gelap tampak berkaca-kaca. Ia mengusapnya
dengan tangan. "Kasihan ibunya."
Rob" Kenapa dia sampai repot-repot mencuci sendiri"
Itu trik lama Rob. Ketika berumur sebelas, dia berusaha
mencuci bau asap rokok yang menempel di pakaian bermainnya.
"Andrea Cavanaugh gadis yang sangat cantik. Dan ayahnya
letnan polisi! Seharusnya orang seperti dia mampu melindungi
anaknya sendiri." "Ya, seharusnya begitu," Linda duduk di meja dapur, mengoratoret sketsa untuk
dekorasi jendela rumah baru seorang pelanggannya.
"Tega-teganya menghancurkan kepala gadis itu. Orang itu pasti
monster. Mudah-mudahan dia digantung begitu ditemukan."
Rosita masih terus mendumel sendiri, dan sepertinya tidak
mengharapkan ditanggapi. Linda menyelipkan sketsanya ke dalam
map "Mr. Westerfield dan aku akan menemui beberapa teman di hotel
untuk makan, Rosita," ujarnya sambil turun dari bangku tingginya.
"Apa Rob akan ada di rumah?"
Pertanyaan bagus, batin Linda. "Dia sedang pergi joging,
sebentar lagi pulang. Tanya saja sendiri padanya nanti." Ia merasa
suaranya sedikit bergetar. Rob agak gelisah dan murung seharian
kemarin. Saat berita kematian Andrea Cavanaugh mulai merebak ke
seluruh kota, ia mengira Rob akan sedih. Ternyata reaksinya seperti
tidak terlalu peduli. "Aku tidak begitu kenal dia, Mom," kilahnya.
Apakah itu karena Rob, sama seperti kebanyakan anak muda
berusia sembilan belas tahun, merasa sulit menghadapi kematian
orang yang masih begitu muda" Apakah itu karena entah mengapa ia
merasa seperti hidupnya sendiri terancam"
Linda menaiki tangga perlahan-lahan, tiba-tiba merasa sesuatu
yang tidak enak sedang terjadi. Mereka pindah dari rumah kota
mereka di East Seventieth Srreet, Manhattan, ke rumah dari zaman
sebelum revolusi ini enam tahun lalu, saat Rob mulai masuk asrama.
Ketika itulah terpintas dalam diri mereka bahwa selama ini mereka
sebetulnya ingin menetap di kota tempat rumah ibu Vince berada, di
mana mereka selalu melewatkan liburan musim panas. Kata Vince, ia
punya banyak kesempatan menghasilkan uang di sini, dan mulai
melakukan investasinya di bidang real estate.
Rumah yang seakan tidak mengenal batas waktu itu menjadi
sumber ketenangan yang tak ada habisnya bagi Linda, namun hari ini
Linda tidak menyempatkan diri menikmati halusnya kayu selusuran
tangga di bawah sentuhan tangannya, atau pemandangan lembah
melalui jendela di atas tangga itu.
Ia langsung menuju kamar Rob. Pintunya tertutup. Rob sudah
pergi selama sejam, dan seharusnya sebentar lagi kembali. Dengan
waswas ia membuka pintu dan masuk ke dalam. Tempat tidurnya
masih berantakan, tapi bagian lain ruangan itu tampak rapi. Rob
sangat rapi mengenai pakaiannya, kadang-kadang ia bahkan
menyetrika kembali celananya yang baru dicuci untuk menajamkan
lipatannya, tapi ia sama sekali tidak peduli dengan pakaian kotornya.
Linda boleh berharap melihat pakaian yang dikenakan Rob pada hari
Kamis dan kemarin menumpuk di lantai, menunggu Rosita kembali.
Buru-buru ia melintasi ruangan, untuk melongok ke dalam
Putri Kesayangan Ayah Daddy's Little Girl Karya Mary Higgins Clark di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tempat pakaian kotor di kamar mandi. Itu juga kosong.
Suatu saat antara Kamis pagi, saat Rosita tidak ada, dan pagi
ini, Rob telah mencuci dan mengeringkan semua pakaian yang
dikenakannya pada hari Kamis dan kemarin. Kenapa"
Linda ingin memeriksa lemari pakaiannya, namun ia menyadari
risiko Rob akan memergokinya melakukan itu. Ia merasa tidak siap
untuk konfrontasi itu. Ia meninggalkan kamar itu sambil memastikan
menutup pintunya kembali, kemudian menuju ujung lorong dan
membelok masuk ke dalam kamar tidur utama, yang ia tambahkan
bersama Vince saat mereka memperluas rumah itu.
Tiba-tiba menyadari bahwa ia mungkin terserang migrain, ia
menjatuhkan mapnya ke sofa di ruang duduk, pergi ke kamar mandi,
dan membuka lemari obat. Sambil menelan dua pil sesuai resep, ia
menatap cermin dan sangat terkejut melihat betapa pucat dan tegang
tampangnya. Ia masih mengenakan setelan jogingnya, karena tadinya ia
merencanakan lari pagi setelah menyelesaikan sketsanya. Rambut
pendeknya yang merah kecokelatan diikat ke belakang, dan ia tidak
memakai rias wajah. Menurut penilaiannya yang superkritis, ia
tampak lebih tua daripada umurnya yang baru empat puluh empat
tahun, dengan kerut-kerut halus di seputar matanya dan sudut-sudut
bibirnya. Jendela kamar mandi itu menghadap ke halaman depan dan
jalan masuk mobil. Saat melirik keluar, ia melihat mobil yang tidak
dikenalnya meluncur masuk. Tak lama kemudian bel rumah berbunyi.
Ia berharap Rosita akan menggunakan interkom untuk
memberitahukan siapa yang datang, namun ternyata Rosita naik ke
atas dan menyerahkan sebuah kartu nama padanya.
"Dia ingin bicara dengan Rob, Mrs. Westerfield. Aku bilang
padanya Rob pergi joging, lalu dia bilang dia akan menunggu."
Linda lebih tinggi sekitar dua puluh senti dari Rosita, yang
tingginya hanya sekitar 150 senti, tapi ia hampir terpaksa
mencengkeram lengan wanita bertubuh kecil itu untuk menopang
tubuhnya setelah ia membaca nama yang tercantum di kartu itu:
Detektif Marcus Longo. Chapter 5 KE mana pun Ellie pergi, ia terus merasa seperti menghalangi
jalan orang. Setelah detektif yang baik itu pergi, ia mencoba mencari
Mommy, namun Mrs. Hilmer mengatakan dokter telah memberikan
sesuatu pada ibunya agar bisa beristirahat. Daddy melewatkan
sebagian besar waktunya di dalam ruang kerja pribadinya, dengan
pintu tertutup rapat. Ia sudah mengatakan tidak ingin diganggu.
Grandma Reid, yang tinggal di Florida, tiba pada hari Sabtu
sore, tapi Grandma juga hanya menangis terus.
Mrs. Hilmer dan beberapa teman Mommy dari klub bridge
duduk di dapur. Ellie mendengar salah satu dari mereka, Mrs. Storey,
berkata, "Aku tidak bisa berbuat apa-apa di sini, tapi aku juga merasa
keberadaan kita di sini mungkin bisa membuat Genine dan Ted tidak
merasa ditinggalkan."
Ellie pergi keluar, main ayunan. Ia mendorong dengan kakinya,
sehingga ayunan itu bergerak semakin tinggi. Ia ingin sekali
mengayunnya sampai melewati puncak. Ia ingin jatuh dari puncak itu
dan menghunjam ke bumi untuk melukai dirinya sendiri. Dengan
demikian, ia mungkin dapat menghentikan luka di dalam hatinya.
Hujan sudah berhenti, namun tetap saja tidak ada matahari, dan
rasanya masih dingin. Setelah agak lama, Ellie sadar semua itu tidak
ada gunanya; ayunan itu tidak akan pernah bisa melewati puncaknya.
Ia masuk kembali ke rumah, memasuki lorong kecil menuju dapur. Ia
menangkap suara ibu Joan. Wanita itu bersama para wanita lain, dan
Ellie tahu ia sedang menangis. "Aku sempat heran Andrea pulang
lebih awal. Ketika itu sudah gelap di luar, sehingga sempat terpikir
olehku untuk mengantarnya pulang. Andai saja..."
Kemudian Ellie mendengar Mrs. Lewis berkata, "Andai Ellie
menceritakan pada mereka Andrea biasa pergi ke garasi yang disebut
anak-anak `tempat persembunyian' itu, Ted mungkin masih keburu
tiba di sana pada waktunya."
"Andai Ellie..."
Ellie naik ke atas melalui tangga belakang, diam-diam, supaya
mereka tidak mendengar langkah-langkahnya. Koper Grandma ada di
atas tempat tidur. Aneh sekali. Apakah Grandma tidak akan tidur di
kamar Andrea" Kamar itu kosong sekarang.
Atau mungkin mereka akan membiarkan dirinya tidur di kamar
Andrea. Dengan begitu, kalau ia sampai terbangun di malam hari, ia
bisa berpura-pura Andrea akan kembali setiap saat.
Pintu kamar Andrea tertutup. Ia membukanya perlahan-lahan,
sebagaimana biasa ia lakukan setiap Sabtu pagi, kalau ingin
memastikan apakah Andrea masih tidur lelap.
Daddy berdiri di dekat meja tulis Andrea. Ia menggenggam
bingkai foto di tangannya. Ellie tahu itu foto Andrea ketika masih
bayi, berbingkai perak dengan tulisan "Daddys Little Girl" digrafir di
atasnya. Saat Ellie mengawasinya, Daddy membuka tutup kotak musik,
salah satu hadiah yang pernah ia beli untuk Andrea beberapa saat
setelah kelahirannya. Secara bergurau Daddy pernah bilang Andrea
tidak pernah mau tidur ketika masih bayi, karena itu ia akan memutar
kotak musik itu dan berdansa seputar ruangan dengannya mengikuti
irama lagu, menyanyikan kata-katanya dengan lembut, sampai Andrea
tertidur. Ellie pernah bertanya apakah Daddy juga melakukan itu
dengannya, tapi Mommy bilang tidak, karena ia selalu tidur dengan
manis. Sejak lahir, ia tidak pernah rewel.
Beberapa patah kata lagu itu merasuk dalam kepala Ellie,
sementara iramanya mengalun di dalam ruangan itu. ':.. You re daddys
little girl to have and to hold ... You re the spirit of ' Christmas, my
star on the tree... And you re daddy's little girl. " - Kau gadis kecil
Daddy... Kau semangat Natal-ku, bintangku di pohon Natal... Kau
gadis kecil Daddy... Saat Ellie mengawasinya, Daddy duduk di tepi tempat tidur
Andrea dan mulai menangis sesenggukan.
Ellie melangkah mundur, menutup kembali pintunya perlahanlahan, seperti pada
saat membukanya. DUA PULUH TIGA TAHUN KEMUDIAN
Chapter 6 KAKAKKU, Andrea, dibunuh hampir dua puluh tiga tahun
yang lalu, namun rasanya seperti baru kemarin terjadi.
Rob Westerfield ditangkap dua hari setelah upacara pemakaman
Andrea, dan dituntut dengan tuduhan pembunuhan tingkat satu. Nyaris
hanya berdasarkan informasi yang kuberikan pada mereka, pihak
kepolisian mendapatkan surat perintah untuk menggeledah rumah
kediaman keluarga Westerfield dan mobil Rob. Mereka menemukan
pakaian yang dikenakannya pada malam ia mencabut nyawa Andrea,
dan walaupun ia telah menggunakan pemutih sebanyak-banyaknya,
laboratorium kepolisian toh berhasil mengidentifikasi bekas-bekas
darah. Tuas dongkrak yang dijadikan alat membunuh ditemukan di
dalam bagasi mobilnya. Ia juga sudah sempat mencuci itu, namun
helai rambut Andrea ternyata masih menempel padanya.
Rob membela diri dengan menyatakan ia pergi menonton pada
malam Andrea dibunuh. Tempat parkir gedung bioskop ternyata
penuh waktu itu, sehingga ia meninggalkan mobilnya di bengkel di
sebelahnya. ia menyatakan pompa bensin sudah tutup ketika itu,
namun ia menemukan Paulie Stroebel sedang bekerja di bengkel
sebelahnya. Menurutnya ia masuk untuk menemui Paulie, mengatakan
pada Paulie bahwa ia meninggalkan mobilnya di situ, dan akan
mengambilnya nanti, sekembalinya dari menonton.
Ia menyatakan bahwa sementara ia menonton, Paulie Stroebel
rupanya memakai mobilnya untuk pergi ke tempat persembunyian itu,
membunuh Andrea, dan setelah itu membawa kembali mobilnya ke
bengkel. Menurut Rob, ia sudah meninggalkan mobilnya di bengkel
itu sedikitnya enam kali untuk memperbaiki bagian-bagiannya yang
ringsek, dan bahwa pada salah satu kesempatan itu Paulie bisa saja
membuat kunci ekstra. Ia mencoba menjelaskan bekas darah pada pakaiannya dan selasela alas sepatu
karetnya, dengan menyatakan bahwa Andrea sempat
merengek padanya untuk menemuinya di tempat persembunyian itu.
Ia menyatakan Andrea sering mengganggu dirinya dengan telepontelepon, dan bahwa
Andrea memang meneleponnya pada jam makan
di malam Andrea meninggal. Andrea sempat mengatakan padanya
akan ke pesta dansa dengan Paulie Stroebel, dan bahwa ia tidak ingin
Rob marah padanya. "Aku tidak peduli dengan siapa dia pergi," kilah Rob saat
memberikan kesaksiannya dalam sidang. "Dia cuma salah satu cewek
di kota ini yang naksir aku. Dia selalu membuntuti aku ke mana-mana.
Kalau kebetulan aku ada di kota, tahu-tahu dia muncul. Kalau aku
sedang main boling, tahu-tahu dia bermain di lajur sebelahku. Aku
pernah memergoki dia dan teman-temannya nongkrong di dalam
garasi nenekku, asyik merokok. Supaya kelihatan baik, aku bilang
padanya tidak apa-apa. Dia selalu merengek padaku untuk diajak
jalan-jalan dengan mobilku. Dia terus-terusan meneleponku."
Ia punya alasan untuk pergi ke garasi yang dijadikan tempat
persembunyian itu malam itu. "Aku keluar dari bioskop," kilahnya,
"dan baru akan pulang ke rumah. Kemudian aku agak
mengkhawatirkan dia. Biarpun aku sudah bilang padanya tidak akan
menemuinya, dia toh bilang akan tetap menungguku sampai kapan
pun. Kupikir ada baiknya aku mampir sebentar, untuk memastikan dia
pulang sebelum ayahnya marah-marah. Lampu di garasi itu mati.
Sambil jalan meraba-raba, aku menuju bagian belakang mobil pickup
itu. Di situ Andrea dan teman-temannya biasa duduk, di atas selimutselimut,
untuk merokok. "Aku merasa menginjak selimut. Samar-samar aku melihat ada
seseorang sedang berbaring di situ, dan kupikir Andrea jatuh tertidur
saat menungguku. Kemudian aku jongkok, dan merasakan ada darah
di wajahnya. Aku lari."
Ia ditanya kenapa ia lari. "Karena aku takut dituduh akulah yang
melakukannya." "Apa menurutmu yang terjadi padanya?"
"Aku tidak tahu. Aku takut. Tapi begitu menemukan gagang
dongkrak di bagasi mobilku berlepotan darah, aku yakin Paulie-lah
yang telah membunuhnya."
Bicaranya lancar, dan keterangannya sudah dipersiapkan secara
matang. Ia anak muda yang tampan, dengan penampilan betul-betul
meyakinkan. Tapi aku berada di pihak lawan Rob Westerfield. Aku
masih ingat saat aku berdiri da mimbar untuk menjawab pertanyaanpertanyaan yang
dilontarkan jaksa penuntut.
"Ellie, apakah Andrea menelepon Rob Westerfield sebelum dia
pergi untuk membuat pekerjaan rumahnya dengan Joan?"
"Ya." "Apakah Rob sering menelepon Andrea?"
"Kadang-kadang, tapi begitu Daddy atau Mommy yang
menjawab, dia langsung menutup telepon. Dia mau Andrea yang
meneleponnya, karena dia punya telepon pribadi di kamarnya."
"Apakah ada alasan khusus kenapa Andrea meneleponnya pada
malam dia dibunuh?" "Ya." "Apakah kau mendengar pembicaraannya?"
"Sebagian. Aku masuk ke kamarnya. Dia sudah mau menangis.
Dia bilang pada Rob bahwa dia terpaksa pergi dengan Paulie ke pesta
dansa itu. Dia tidak mau Paulie mengadu pada Daddy, dia kadangkadang menemui Rob
di tempat persembunyian itu."
"Lalu apa yang terjadi?"
"Dia bilang pada Rob dia akan pergi ke rumah Joan untuk bikin
PR, dan Rob bilang padanya untuk menemuinya di tempat
persembunyian itu." "Apakah kau mendengar dia mengatakan itu pada Andrea?"
"Tidak, tapi aku mendengar Andrea bilang, aku akan coba, Rob.
Lalu dia menutup telepon. Dan Andrea bilang, 'Rob ingin aku pulang
dari rumah Joan lebih cepat dan menemuinya di tempat
persembunyian itu. Dia marah padaku. Dia bilang aku sebetulnya
tidak boleh pergi dengan orang lain."'
"Andrea mengatakan itu padamu?"
"Ya." "Lalu apa yang terjadi?"
Lalu di atas mimbar itu aku membuka rahasia Andrea yang
terakhir dengan mengingkari janjiku padanya janji dengan "menyilang
dada dan siap mati" sebagai tanda aku tidak akan pernah menceritakan
pada seorang pun tentang liontin yang pernah diberikan Rob padanya.
Liontin itu terbuat dari emas berbentuk hati, dengan batu-batu biru
kecil. Andrea pernah memperlihatkan padaku inisial nama mereka
yang digrafir di bagian belakangnya. Kemudian aku mulai menangis,
karena aku merasa begitu kehilangan kakakku, dan begitu sakit
rasanya membicarakan dirinya. Setelah itu, tanpa ditanya aku
menambahkan, "Dia memakai liontin itu sebelum pergi, karena itu aku
tahu dia akan menemui Rob."
"Liontin?" "Rob pernah memberi liontin padanya. Andrea memakainya di
bawah bajunya, supaya tak ada yang melihat. Tapi aku dapat
merasakannya ketika aku menemukannya di dalam garasi itu."
Aku masih ingat saat aku duduk di bangku saksi itu. Aku masih
ingat bagaimana aku mencoba untuk tidak menatap Rob Westerfield.
Ia terus mengawasiku. Aku dapat merasakan kebencian yang
terpancar dari dalam dirinya.
Dan aku berani sumpah aku dapat membaca apa yang ada
dalam pikiran kedua orangtuaku yang duduk di belakang jaksa
penuntut. Ellie, seharusnya kau memberitahu kami; seharusnya kau
memberitahu kami. Kesaksianku langsung diterkam oleh para pembela. Mereka
menyatakan Andrea selalu memakai liontin yang diberikan ayahku
padanya, dan itu ternyata ada di atas lemari pakaiannya setelah
jenazahnya ditemukan. Aku cuma mengada-ada atau sekadar
mengulang bualan Andrea tentang Rob.
"Andrea memakai liontin itu pada waktu aku menemukannya,"
aku bersikeras. "Aku merasakannya," tambahku penuh emosi. "Karena
itu aku tahu Rob Westerfield-lah yang ada di tempat persembunyian
itu pada saat aku menemukan Andrea. Dia kembali untuk mengambil
liontin itu." Para pembela Rob menjadi marah, kemudian keluar perintah
untuk mencabut pernyataan itu dari catatan kesaksian. Hakim
mengarahkan juri untuk tidak menjadikan itu bahan pertimbangan
mereka. Apakah ada yang mempercayai pernyataanku tentang liontin
yang diberikan Rob pada Andrea" Aku tidak tahu. Keputusan berada
di tangan juri, yang kemudian berembuk selama hampir seminggu.
Belakangan kami tahu sebagian dari mereka cenderung menilai kasus
itu sebagai tindak pembantaian, namun yang lain bersiteguh itu tindak
pembunuhan biasa. Mereka sepakat Rob membawa gagang dongkrak
ke dalam garasi itu dengan maksud untuk membunuh Andrea.
Aku selalu membaca ulang transkripsi persidangan itu setiap
kali Westerfield mengajukan permohonan dibebaskan secara
bersyarat, dan menulis surat keberatan untuk memprotes
pembebasannya. Tapi mengingat ia sudah mendekam hampir dua
puluh dua tahun di penjara, aku tahu kali ini pembebasan bersyarat itu
Putri Kesayangan Ayah Daddy's Little Girl Karya Mary Higgins Clark di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
akan diberikan padanya; karena itulah aku merasa harus kembali ke
Oldham-on-the Hudson. ****************************************
Aku berusia tiga puluh tahun, tinggal di Atlanta, dan bekerja
sebagai wartawan investigasi pada Atlanta News. Pemimpin redaksi,
Pete Lawlor, biasanya keberatan apabila seorang stafnya meminta
izin, meski dengan alasan cuti tahunan. Karena itu, kupikir ia akan
mencak-mencak begitu aku mengatakan padanya bahwa aku perlu
segera cuti selama beberapa hari, bahkan mungkin beberapa kali lagi
nanti. "Kau mau menikah?"
Aku bilang padanya bahwa menikah merupakan hal terakhir
dalam daftarku. "Lalu, ada apa?"
Aku tidak pernah mengungkapkan pada siapa pun di kantor ini
tentang kehidupan pribadiku, namun Pete Lawlor termasuk jenis
orang yang sepertinya selalu tahu segala sesuatu tentang semua orang.
Ia berumur tiga puluh satu tahun, mulai botak, dan selalu berusaha
keras menurunkan berat badannya. Mungkin ia termasuk laki-laki
paling pintar yang pernah kukenal. Enam bulan setelah aku mulai
bekerja untuk koran itu dan meliput soal pembunuhan seorang remaja,
ia berkata dalam nada sambil lalu, Ini pasti berat bagimu. Aku tahu
tentang kakakmu." Ia tidak mengharapkan jawaban dariku, aku juga tidak
memberikannya, tapi aku dapat merasakan empatinya. Tentu saja itu
sangat menolong. Tugas itu benar-benar telah menuntut banyak
dariku. "Pembunuh Andrea akan mengajukan permohonan dibebaskan
secara bersyarat. Aku takut kali ini dia akan mendapatkannya, dan aku
ingin tahu apakah aku bisa melakukan sesuatu untuk mencegahnya."
Pete menyandarkan tubuh di kursinya. Ia selalu mengenakan
kemeja dengan kancing terbuka di lehernya, dan sweater. Kadangkadang aku
bertanya-tanya apakah ia tidak punya jas" "Sudah berapa
lama dia dipenjara?"
"Hampir dua puluh dua tahun.
"Sudah berapa kali dia memohon pembebasan bersyarat?"
"Dua kali." "Apa pernah ada masalah selama dia dalam penjara?"
Aku merasa seperti anak sekolah yang sedang diinterogasi.
"Sejauh aku tahu, tidak."
"Kalau begitu, kemungkinan besar dia bakal bebas."
"Aku rasa begitu."
"Lalu, untuk apa kau repot-repot?"
"Karena aku merasa harus."
Pete Lawlor bukan tipe yang suka membuang waktu ataupun
mengumbar kata. Ia tidak bertanya lebih jauh lagi. Ia cuma
mengangguk. "Oke, kapan sidangnya?"
"Sidangnya baru minggu depan. Tapi aku mau bicara dengan
seorang staf di dewan pertimbangan pembebasan bersyarat hari Senin
nanti." Ia kembali menekuni pekerjaan di meja tulisnya. dan dengan
begitu mempersilakan aku meninggalkan ruangan itu. "Oke," ujarnya.
Namun, sewaktu aku membalikkan badan, ia menambahkan, "Ellie,
kau sebenarnya tidak setegar yang kausangka."
"Ya, kurasa begitu." Aku sama sekali tidak berusaha
menyatakan terima kasihku padanya atas izin cuti itu.
Itu terjadi kemarin. Hari berikutnya, hari Sabtu, aku terbang
dari Atlanta ke Bandara Westchester County, kemudian menyewa
mobil. Aku bisa saja menginap di motel di Ossining, dekat Sing Sing,
penjara tempat pembunuh Andrea disekap. Namun aku menempuh
jarak lima belas mil lebih jauh menuju kota yang pernah menjadi
tempat tinggalku, Oldham-on-the-Hudson, dan berhasil mendapatkan
kamar di Parkinson Inn yang samar-samar aku ingat kadang-kadang
kami kunjungi untuk makan siang atau makan malam.
Losmen itu kelihatannya cukup maju. Dalam kesejukan hari
Sabtu bulan Oktober ini, semua meja di ruang makan itu ditempati
oleh orang-orang berpakaian santai, kebanyakan berduaan atau
bersama keluarga. Untuk sesaat aku dilanda nostalgia. Dalam suasana
seperti inilah aku mengenang masa kecilku, kami berempat makan
siang di sini pada hari Sabtu, setelah itu sekali waktu Dad mengantar
Andrea dan aku ke bioskop. Andrea bertemu teman-temannya, tapi ia
tidak merasa risih bahwa aku terus membuntutinya.
"Ellie anak baik, dia bukan tukang mengadu," begitu katanya
selalu. Jika filmnya selesai lebih awal, kami semua bergegas ke garasi
tempat persembunyian itu, di mana Andrea, Joan, Margy, dan Dottie
merokok cepat-cepat sebelum pulang ke rumah.
Andrea sudah siap dengan jawaban begitu Daddy menyatakan
mencium bau rokok di bajunya. "Mau bagaimana lagi. Kita pergi
makan piza sehabis nonton, dan banyak orang merokok di situ."
Kemudian ia mengedipkan matanya ke arahku.
Losmen itu hanya mempunyai delapan kamar untuk tamu, tapi
kebetulan satu masih kosong. Sebuah kamar sederhana dengan tempat
tidur bersandaran besi, lemari bufet dengan dua laci, meja di samping
tempat tidur, dan kursi. Jendelanya menghadap ke timur, ke arah
lokasi rumah yang pernah kami tinggali. Matahari sore itu bersinar
redup, sebentar muncul sebentar menghilang di balik awan, sesaat
menyilaukan, kemudian tidak tampak sama sekali.
Aku berdiri di dekat jendela, menatap keluar, dan aku merasa
seperti ketika berusia tujuh tahun, saat aku mengawasi ayahku
memegang kotak musik itu.
Chapter 7 AKU mengingat sore itu sebagai hari paling menentukan dalam
hidupku. Santo Ignatius dari Loyola pernah berkata, "Pasrahkan
seorang anak pada kami sampai dia berumur tujuh tahun, setelah itu
akan kutunjukkan pada kalian sosoknya sebagai laki-laki."
Aku berasumsi bahwa itu juga berlaku untuk anak perempuan.
Aku berdiri di sana, diam seperti tikus, mengawasi ayahku yang
kukagumi, sesenggukan sambil memeluk foto kakakku yang sudah
tiada di dadanya, sementara suara lirih dari kotak musik itu mengalun
memenuhi seluruh ruangan.
Aku termenung, kemudian bertanya pada diriku, apakah sempat
terpintas dalam diriku untuk berlari ke arahnya, untuk memeluknya,
menyerap semua kesedihannya dan membiarkan kesedihan itu berbaur
dengan kesedihanku sendiri. Namun kenyataannya pada saat itu pun
aku mengerti bahwa kesedihannya sangat unik, dan apa pun yang
kulakukan tidak akan pernah dapat mengurangi kepedihannya.
Letnan Edward Cavanaugh, opsir yang dikagumi dalam Dinas
Kepolisian Daerah New York, pahlawan belasan orang yang pernah
diselamatkannya dalam berbagai situasi berbahaya, tidak mampu
mencegah pembunuhan atas putrinya yang cantik, keras kepala, dan
baru berusia lima belas tahun. Kesedihannya tak mungkin dapat ia
bagi dengan siapa pun, bahkan dengan mereka yang memiliki
hubungan darah dengannya.
Setelah bertahun-tahun, aku mulai mengerti bahwa kesedihan
yang dipendam sendiri menimbulkan rasa bersalah yang bak kentang
panas perlu dilemparkan ke orang lain, dari tangan satu ke tangan lain,
sehingga akhirnya jatuh ke tangan mereka yang paling tidak mampu
melemparkannya lagi. Dalam hal ini, sosok itu adalah aku.
Detektif Longo segera mengambil tindakan berdasarkan janjiku
pada Andrea yang aku ingkari. Aku telah memberikan dua petunjuk
padanya, dua calon tersangka: Rob Westerfield, yang memanfaatkan
pesona gaya playboy kayanya untuk memikat perhatian Andrea, dan
Paul Stroebel, si remaja canggung yang lamban, yang jatuh hati pada
si anggota band yang cantik, yang secara antusias menyoraki
kemenangannya di lapangan football
Hura, hura, hura untuk tim tuan rumah - tak seorang pun bisa
melakukan itu lebih baik daripada Andrea!
Sementara mereka mendalami hasil autopsi Andrea dan
menyiapkan upacara penguburannya di Pemakaman Gate of Heaven,
di sebelah makam kedua orangtua ayahku, aku hanya samar-samar
ingat Detektif Longo menginterogasi Rob Westerfield dan Paul
Stroebel. Keduanya membantah dan menyatakan tidak melihat Andrea
pada Kamis malam itu, dan mereka sama-sama tidak punya rencana
bertemu dengannya. Paul sedang bekerja di bengkel pompa bensin, walau
sebenarnya mereka sudah tutup sejak pukul tujuh. Ia menyatakan
terpaksa lembur karena harus menyelesaikan beberapa reparasi kecil
pada sejumlah mobil. Rob Westerfield bersumpah ia pergi ke bioskop,
dan ia bahkan menunjukkan potongan karcisnya sebagai bukti.
Aku masih ingat saat aku berdiri di dekat makam Andrea,
dengan sekuntum mawar bertangkai panjang di tangan, yang setelah
doa-doa dipanjatkan harus kuletakkan di atas peti Andrea. Aku juga
masih ingat bahwa aku merasa seperti mati di dalam diriku, mati dan
sekaku Andrea ketika aku berlutut di dekatnya di tempat
persembunyian itu. Aku ingin menyatakan betapa menyesalnya aku karena
membongkar rahasia mengenai rencana pertemuannya dengan Rob,
dan dengan penyesalan sama dalamnya aku juga ingin sekali
menyatakan maafku karena tidak memberitahu mereka begitu mereka
tahu ia telah meninggalkan rumah Joan, tapi belum juga sampai di
rumah. Tapi tentu saja aku tidak mengatakan apa-apa waktu itu. Aku
menjatuhkan bunga itu, yang kemudian jatuh dari peti Andrea, tapi
sebelum aku sempat memungutnya kembali, nenekku lewat di
depanku untuk meletakkan bunganya di atas peti, kakinya menginjak
mawarku sampai melesak ke dalam tanah berlumpur.
Beberapa saat kemudian, kami mulai mengisi liang kubur
Andrea, dan di antara wajah-wajah sedih itu aku menangkap tatapan
marah yang diarahkan padaku. Keluarga Westerfield tidak hadir,
namun pasangan Stroebel ada di situ, berdiri mengapit Paulie dengan
pundak-pundak saling bersentuhan. Aku masih ingat bagaimana
perasaan bersalah itu melanda diriku, membuatku hanyut dan sulit
bernapas. Perasaan itu tidak pernah meninggalkan diriku lagi sejak itu.
Aku sudah mencoba menceritakan pada mereka bahwa sewaktu
berlutut di dekat tubuh Andrea, aku mendengar suara napas seseorang,
tapi mereka tidak percaya, karena aku begitu histeris dan ketakutan
waktu itu. Suara napasku sendiri, saat aku berlari keluar dari hutan,
memburu dan tersengal-sengal seperti saat aku kena radang
pernapasan berat. Namun selama bertahun-tahun aku sering terbangun
gara-gara mimpi buruk yang sama itu: aku berlutut di dekat tubuh
Andrea, merasakan licin darahnya, mendengar suara napas berat dan
dengus tertahan seperti milik binatang pemangsa.
Aku yakin, mengikuti insting ketakutan yang selama ini telah
menyelamatkan umat manusia dari kebinasaan, bahwa Rob
Westerfield memiliki nafsu binatang di dalam dirinya, yang begitu
dibebaskan akan segera mencari mangsa lagi.
Chapter 8 KETIKA merasa air mataku mulai merebak, aku menjauhi
jendela, meraih tas ranselku, dan melemparkannya ke atas tempat
tidur. Aku hampir tersenyum saat membongkarnya, membayangkan
bisa-bisanya aku mengkritik koleksi pakaian Pere Lawlor yang
seadanya. Aku mengenakan jeans dan sweater berleher tinggi. Di
dalam tasku, selain baju tidur dan pakaian dalam, aku hanya
membawa sehelai rok panjang dari wol dan dua sweater lagi. Aku
suka sepatu model kelom, karena cocok untuk posturku yang 176
senti. Rambutku masih tetap berwarna pasir. Aku membiarkannya
tumbuh panjang, kadang-kadang menyanggulnya ke atas, atau
menjepitnya begitu saja di belakang leherku.
Andrea yang cantik dan feminin amat mirip ibuku. Aku sendiri
lebih memiliki postur kasar ayahku, yang lebih cocok untuk sosok
laki-laki daripada wanita. Tak seorang pun akan menyebut aku seperri
bintang di pohon Natal. Aroma menggoda menebar keluar dari dalam ruang makan, dan
aku mulai lapar. Aku memilih penerbangan pagi dari Atlanta,
sehingga tentu saja aku harus tiba di bandara jauh sebelum jam
keberangkatanku. Hidangan makannya - maaf, hidangan minumnya -
ternyata secangkir kopi yang sama sekali tidak enak.
Jam satu tiga puluh aku turun ke ruang makan, orang-orang
yang makan siang sudah mulai meninggalkan tempat itu, sehingga
dengan mudah aku mendapatkan meja di pojok, dekat perapian. Aku
baru menyadari bahwa aku agak kedinginan ketika hawa hangat
menerpa tangan dan kakiku.
"Anda mau memesan minuman?" tanya si pelayan, wanita
berambut abu-abu dengan wajah tersenyum dan tanda nama "Liz".
Kenapa tidak" batinku, kemudian aku memesan segelas anggur
merah. Begitu ia kembali, kukatakan padanya aku ingin memesan sup
bawang, dan ia menyatakan itu memang hidangan kesukaan banyak
orang. "Apa kau sudah lama di sini, Liz?" tanyaku. "Dua puluh lima
tahun. Coba bayangkan."
Ia tentunya pernah melayani kami bertahun-tahun lalu. "Masih
menyiapkan roti sandwich dengan jelly dan selai kacang?" tanyaku
lagi. "Ya, tentu, apa Anda sering memesannya dulu?"
"Ya." Mendadak aku menyesal mengatakan itu. Aku sama
sekali tak ingin orang-orang mengenaliku sebagai "adik perempuan
gadis yang dibunuh dua puluh tiga tahun yang lalu."
Namun Liz sepertinya sudah terbiasa mendengar basa-basi dari
mereka yang pernah makan di losmen itu bertahun-tahun lalu, dan
tanpa berkomentar lagi ia meninggalkan mejaku.
Aku mencicipi anggur itu, dan perlahan-lahan mulai mengingat
kejadian-kejadian khusus saat kami duduk di sini sebagai keluarga,
ketika kami masih hidup sebagai keluarga. Saat ada yang berulang
tahun, biasanya, atau kalau mampir untuk makan dalam perjalanan
pulang setelah bepergian. Terakhir kali kami kemari adalah ketika
nenekku datang berkunjung setelah ia tinggal di Florida selama
hampir setahun. Aku masih ingat saat ayahku menjemputnya di
bandara, kemudian bertemu dengan kami di sini. Kami mernesan kue
untuknya, dengan huruf-huruf berwarna pink di atas glasir putih yang
berbunyi, "Selamat datang, Grandma."
Ia mulai mengucurkan air mata. Air mata bahagia. Air mata
bahagia terakhir yang diuraikan dalam keluarga kami. Kenangan itu
mengingatkan aku kembali pada banjir air mata di hari pemakaman
Andrea, dan percekcokan terbuka antara kedua orang tuaku di depan
orang banyak. Chapter 9 SETELAH pemakaman, kami kembali ke rumah. Para wanita
tetangga kami telah menggelar meja, dan banyak orang hadir di sana;
tetangga lama kami dari Irvington, teman-teman baru ibuku dari
lingkungan gereja, teman-teman main bridge-nya, dan para rekannya
sesama sukarelawan di rumah sakit. Banyak teman lama ayahku dan
juga opsir-opsir kenalannya, beberapa di antara mereka masih
mengenakan seragam dan sedang bertugas, mampir cukup lama untuk
ikut menyatakan kesetiakawanan mereka.
Lima gadis sobat kental Andrea mengelompok di pojokan
dengan mata sembap penuh air mata. Joan, yang rumahnya dikunjungi
Andrea, tampak sangat terpukul dan sedang dihibur oleh keempat
gadis lainnya.
Putri Kesayangan Ayah Daddy's Little Girl Karya Mary Higgins Clark di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aku merasa tersisih dari mereka semua. Ibuku tampak sangat
sedih dalam pakaian hitamnya, duduk di sofa ruang tamu. Temanteman di sampingnya
memegangi tangannya dan berusaha
membujuknya minum secangkir teh. "Ini akan menghangatkanmu,
Genine. Tanganmu dingin." Ia merasa agak terhibur, walaupun
matanya masih basah oleh air mata, dan beberapa kali aku mendengar
ia berkata, "Aku tidak percaya dia sudah tidak ada."
Ibu dan ayahku saling menguatkan di pemakaman, tapi
sekarang mereka duduk di ruangan yang berbeda, ibuku di ruang
tamu, ayahku di pojok teras belakang yang sekarang sudah berubah
jadi semacam tempat untuk menyendiri. Nenekku ada di dapur dengan
beberapa teman lamanya dari Irvington, dengan sedih mengenang
masa-masa yang lebih menyenangkan dalam hidupnya.
Aku berkeliling di antara mereka, dan meski tak usah
dipertanyakan lagi bahwa mereka menyapaku dan menyatakan bahwa
aku gadis kecil yang tegar, aku toh merasa amat sendirian. Aku ingin
ada Andrea. Aku ingin ke atas, ke kamar kakakku, menemukan dia di
sana, dan naik ke atas tempat tidurnya sementara ia asyik berceloteh di
telepon dengan teman-temannya, atau dengan Rob Westerfield.
Sebelum menelepon Rob, ia akan berkata, "Aku bisa
mempercayaimu, kan, Ellie?"
Tentu saja bisa. Rob hampir tidak pernah meneleponnya di
rumah, karena Andrea dilarang berhubungan dengannya, sehingga
selalu ada kecemasan saat Andrea menerima telepon di kamarnya,
bahwa ibu atau ayahku mungkin mengangkat pesawat telepon di
bawah dan mendengar suaranya.
Ibu atau ayahku" Atau hanya ayahku" Apakah ibuku akan
marah" Biar bagaimanapun, Rob seorang Westerfield. Mrs.
Westerfield senior maupun junior sekali-sekali menghadiri rapat di
Women's Club, di mana ibuku juga menjadi anggotanya.
Kami kembali ke rumah siang hari. Pada pukul dua, orangorang mulai berpamitan
sambil mengatakan, "Setelah semua yang
kalian alami, kalian butuh istirahat."
Aku tahu bahwa itu berarti, setelah menyatakan duka cita pada
yang sedang berkabung, sedikit menghibur, mereka siap pulang. Bila
masih ada sedikit keengganan untuk meninggalkan rumah kami,
alasannya karena mereka sangat ingin mengetahui perkembangan
terakhir dari upaya menemukan pembunuh Andrea.
Sementara itu, semua orang sudah tahu tentang ledakan emosi
Paulie di sekolah, dan mereka juga tahu Andrea ada di dalam mobil
Rob Westerfield ketika Rob ditangkap karena melanggar batas
kecepatan di jalan pada bulan sebelumnya.
Paulie Stroebel. Siapa menyangka anak muda pendiam yang
tertutup itu bisa jatuh hati pada gadis seperti Andrea, atau bahwa
Andrea menyatakan bersedia pergi dengannya ke pesta dansa
Thanksgiving" Rob Westerfield. Ia telah menyelesaikan tahun pertamanya di
perguruan tinggi, dan ia pasti bukan anak bodoh - setiap orang bisa
melihat itu. Namun menurut desas-desus ia telah dikeluarkan.
Sepertinya ia telah menyia-nyiakan waktu di tahun pertamanya itu. Ia
berusia sembilan belas tahun ketika ia mulai memperhatikan kakakku.
Apa haknya main-main dengan Andrea yang baru duduk di kelas dua
sekolah menengah" "Bukankah konon dia terlibat dalam peristiwa yang menimpa
neneknya di rumahnya itu?"
Persis saat aku secara tak sengaja mendengar itu, bel pintu
berbunyi dan Mrs. Storey dari klub bridge ibuku, yang kebetulan
sedang ada di ruang depan, berdiri untuk membuka pintu. Di teras
depan berdiri Mrs. Dorothy Westerfield, nenek Rob, pemilik rumah
dengan garasi tempat Andrea mengembuskan napas terakhirnya.
Ia wanita anggun dan mengesankan. Pundaknya lebar dan
dadanya penuh. Ia selalu berdiri tegak, sehingga tampak lebih tinggi
daripada sebenarnya. Rambutnya yang berwarna abu-abu besi
bergelombang alamiah dan disisir ke belakang. Pada usia tujuh puluh
tiga, alisnya masih hitam, menarik perhatian orang ke matanya yang
cokelat muda dan menampilkan ekspresi cerdas. Garis rahangnya
yang kuat tidak menunjukkan bekas kecantikan, tapi hal itu
menambah kesan wibawanya.
Ia tidak memakai topi, dan mengenakan baju musim dingin abuabu gelap berpotongan
bagus. Ia masuk ke ruang muka, matanya
segera menyapu seluruh ruangan, mencari ibuku yang sedang
berusaha melepaskan tangannya dari teman-temannya dan berusaha
berdiri. Mrs. Westerfield bergerak langsung ke arahnya. "Aku sedang
berada di California, dan baru bisa kembali sekarang, tapi aku ingin
menyampaikan rasa bela sungkawaku padamu dan keluargamu,
Genine. Bertahun-tahun lalu aku kehilangan anak lelakiku yang masih
remaja karena kecelakaan ski, jadi aku bisa mengerti perasaan kalian
saat ini." Di saat ibuku mengangguk dengan rasa terima kasih, suara
ayahku menggelegar memenuhi ruangan. "Ini bukan kecelakaan, Mrs.
Westerfield," ujarnya. "Anak gadisku dibunuh. Dia dihajar sampai
mati, dan ada kemungkinan cucu Anda pelakunya. Malah, mengingat
reputasinya, sebaiknya Anda tahu dialah tersangka utamanya. Jadi,
aku mohon Anda pergi dari sini. Anda beruntung masih hidup sampai
hari ini. Anda masih tidak percaya bahwa dia terlibat perampokan di
mana Anda ditembak dan ditinggalkan dalam keadaan sekarat, ya
kan?" "Ted, teganya kau mengatakan itu," ujar ibuku dalam nada
memohon. "Mrs. Westerfield, aku minta maaf Suamiku..."
Rumah yang sedang penuh itu tiba-tiba seperti kosong, seakan
hanya mereka bertiga yang ada di sana. Semua yang hadir seperti
terpaku di tempat masing-masing, seakan mereka pion-pion dalam
permainan yang biasa kumainkan sewaktu aku masih kecil.
Ayahku tampak seperti sosok orang dari Kitab Perjanjian Lama.
Ia telah melepaskan dasinya, bagian leher kemejanya dalam keadaan
terbuka. Wajahnya seputih kemejanya. Mata birunya berubah gelap. Ia
memiliki rambut tebal bernuansa cokelat alami, namun saat itu
tampaknya jadi lebih lebat, seakan amarahnya telah membangkitkan
medan listrik ke dalamnya.
"Jangan minta maaf untukku, Genine," teriaknya. "Tak seorang
polisi pun dalam rumah ini yang tidak tahu bahwa Rob Westerfield itu
tukang bikin masalah. Anakku - anak kita - mati. Sekarang kau..." ia
melangkah menghampiri Mrs. Westerfield... "kau keluar dari rumah
ini, dan bawa serta air mata buayamu."
Wajah Mrs. Westerfield sekarang sama pucatnya seperti wajah
ayahku. Ia tidak menjawab, melainkan meremas erat tangan ibuku,
kemudian melangkah tenang ke pintu.
Saat membuka mulutnya, ibuku tidak meninggikan suara,
namun nadanya tajam sekali. "Kau memang ingin Rob Westerfield
yang menjadi pembunuh anakmu, ya kan, Ted" Kau tahu Andrea
tergila-gila padanya, dan kau tidak bisa menerima itu. Kau tahu
sesuatu" Kau cemburu! Kalau kau mau bersikap lebih wajar dan
membiarkan dia pergi dengan Rob, atau anak muda lain, dia tidak
akan perlu sembunyi-sembunyi melakukannya..."
Kemudian ibuku meniru gaya bicara ayahku, "Andrea, kau
hanya boleh pergi ke pesta sekolah dengan teman lelaki dari
sekolahmu. Tapi kau tidak boleh naik mobilnya. Aku yang akan
menjemputmu, dan aku yang akan mengantarmu."
Wajah ayahku memerah, entah karena rasa malu atau marah,
aku tidak tahu. "Kalau dia patuh padaku, dia masih hidup sekarang,"
ujarnya datar, suaranya tenang tapi pahit. "Kalau saja kau tidak
mencium tangan orang yang namanya Westerfield..."
"Untungnya kau tidak dilibatkan dalam pengusutan ini," sela
ibuku. "Bagaimana dengan anak muda keluarga Stroebel itu"
Bagaimana dengan si pekerja serabutan, Will Nebels" Bagaimana
dengan salesman itu" Apa mereka sudah menemukannya?"
"Bagaimana dengan peri gigi?" Kini suara ayahku bernada
mengejek. Ia membalikkan tubuh dan kembali ke ruang kerja
pribadinya, tempat teman-temannya sedang berkumpul. Ia menutup
pintu di belakangnya. Akhirnya suasana menjadi sunyi.
Chapter 10 TADINYA nenekku merencanakan menginap di rumah kami
malam itu, tapi karena merasa sebaiknya ayah-ibuku tidak diganggu,
ia mengemasi kopernya, kemudian pergi bersama seorang teman dari
Irvington. Ia akan menginap di sana semalam, dan diantar ke bandara
keesokan paginya. Harapannya bahwa akan terjadi rekonsiliasi antara kedua
orangtuaku setelah perang mulut yang pedas itu ternyata tidak
terpenuhi. Ibuku tidur di kamar Andrea malam itu, dan setiap malam
selama sepuluh bulan berikutnya, sampai masa akhir persidangan itu,
saat uang yang dimiliki keluarga Westerfield dan tim pembelanya
yang paling hebat tidak dapat lagi menyelamatkan Rob Westerfield
dari keputusan bersalah dalam kasus yang menyebabkan kematian
Andrea. Setelah itu rumah kami dijual. Ayahku kembali ke Irvington,
ibuku dan aku mulai hidup berpindah-pindah, mulai di Florida dekat
rumah nenekku. Ibuku, yang sebelum menikah pernah bekerja sebagai
sekretaris, mendapat pekerjaan di sebuah jaringan hotel nasional.
Selain selalu tampak atraktif, ia juga rajin dan pandai, sehingga
dengan cepat kariernya menanjak menjadi semacam pembenah
masalah, sehingga ia harus pindah hampir setiap delapan belas bulan
ke hotel lain di kota lain.
Sayangnya, ia juga memanfaatkan kecerdikannya untuk
menyembunyikan dari semua orang - kecuali aku - kenyataan bahwa
ia telah menjadi alkoholik; ia minum-minum setiap hari begitu tiba di
rumah. Beberapa tahun ia mampu mempertahankan pekerjaannya,
sesekali mengaku "flu" jika ia membutuhkan beberapa hari untuk
memulihkan kondisinya. Minuman keras kadang-kadang membuatnya diam dan murung.
Di lain saat ia jadi lebih terbuka, dan pada masa-masa seperti itulah
aku menyadari betapa besar sebetulnya cintanya pada ayahku.
"Ellie, aku sudah tergila-gila padanya sejak pertama kali aku
melihatnya. Apa aku pernah cerita padamu bagaimana kami
bertemu?" Sudah berkali-kali, Ibu. "Aku berumur sembilan belas waktu itu, dan sudah bekerja
sebagai sekretaris selama enam bulan. Aku membeli mobil, kotak
jingga beroda dengan tangki bensin. Aku memutuskan melihat
seberapa cepat aku dapat mengemudikannya di jalan raya. Tiba-tiba
aku mendengar suara sirene, dan melalui spion kulihat sebuah lampu
berkedap-kedip di belakangku. Aku mendengar pengeras suara
menyuruhku minggir. Ayahmu menilangku dan menguliahiku sampai
aku menangis. Tapi, ketika dia muncul di hari persidanganku, dia
menyatakan akan mengajariku mengemudi."
Pada kesempatan lain ia akan mengeluh, "Dia memang hebat
dalam banyak hal. Dia lulusan perguruan ringgi, tampan, dan punya
otak. Tapi dia merasa paling nyaman berada di antara teman-temannya
dan tidak menyukai perubahan. Karena itulah dia tidak mau pindah ke
Oldham. Masalahnya bukan di mana kita tinggal, tapi sikapnya yang
terlalu keras pada Andrea. Meski kita tinggal di Irvington, Andrea
akan tetap main belakang."
Semua itu biasanya berakhir dengan, "Andai kita tahu di mana
kita harus mencarinya sewaktu dia tidak pulang." Artinya, andai aku
memberitahu mereka tentang tempat persembunyian itu.
Kelas tiga di Florida. Kelas empat dan lima di Louisiana. Kelas
enam di Colorado. Kelas rujuh di California. Kelas delapan di New
Mexico. Kiriman uang dari ayahku datang setiap awal bulan, tapi aku
hanya bertemu dengannya sekali-sekali di tahun-tahun pertama,
setelah itu tidak pernah lagi. Andrea, anak emasnya, telah tiada. Tidak
ada lagi yang tersisa antara dia dan ibuku, kecuali penyesalan pahit
dan cinta yang membeku; apa pun perasaannya terhadapku, ternyata
tidak cukup besar untuk membangkitkan keinginannya bertemu
denganku. Berada di bawah satu atap denganku sepertinya hanya akan
membuka kembali bekas-bekas lukanya yang sudah mulai memulih.
Andai aku mengungkapkan pada mereka tentang tempat
persembunyian itu. Saat aku tumbuh dewasa, rasa kagumku pada ayahku telah
berganti menjadi antipati. Kenapa tidak kautanya pada dirimu sendiri:
Andai aku menanyai Ellie, bukan malah menyuruhnya pergi tidur"
Bagaimana kalau begitu, Daddy"
Untungnya, menjelang aku mulai kuliah, kami sudah cukup
lama tinggal di California untuk menetap, dan aku masuk UCLA
jurusan jurnalistik. Ibuku meninggal karena kanker hati enam bulan
setelah aku diwisuda, dan karena ingin memulai sesuatu yang baru,
aku melamar dan mendapat pekerjaan di Atlanta.
Rob Westerfield tidak saja membunuh kakakku pada malam
November dua puluh dua tahun yang lalu. Saat aku duduk di losmen
itu dan mengawasi Liz menghidangkan sup bawang di hadapanku, aku
mulai bertanya-tanya seperti apakah hidup kami andai Andrea masih
hidup. Ibu dan ayahku tentunya masih bersama, masih tinggal di sini.
lbuku memiliki rencana besar untuk memugar rumah kami, sehingga
ayahku tentu akan senang tinggal di situ. Saat menelusuri kota dalam
mobilku, aku melihat bahwa desa yang tadinya terpencil itu sudah
berkembang. Sekarang kesannya lebih seperti kota kecil khas daerah
Westchester, persis seperti yang pernah dibayangkan ibuku. Ayahku
tidak perlu lagi pergi sejauh lima mil hanya untuk sebotol susu.
Tapi, apakah kami tetap tinggal di tempat ini atau tidak, yang
pasti adalah andai Andrea masih hidup, ibuku juga masih hidup. Ia
tidak membutuhkan alkohol sebagai pelariannya.
Ayahku bahkan mungkin akan menyadari bagaimana aku
mengaguminya, dan pada waktunya, mungkin saat Andrea memasuki
perguruan tinggi, mencurahkan perhatiannya yang sangat kudambakan
padaku. Aku mencicipi supku. Rasanya persis seperti yang kuingat.
Chapter 11 Liz kembali ke mejaku, membawa sekeranjang roti renyah. Ia
berbasa-basi sebentar. "Tadi Anda menyebut-nyebut roti sandwich
dengan jelly dan selai kacang. Anda tentunya sering kemari dulu."
Aku merasa tergugah oleh rasa ingin tahunya.
"Dulu sekali," sahutku, sambil berusaha tampak wajar. "Kami
pindah ketika aku masih kecil. Aku tinggal di Atlanta sekarang."
"Aku pernah ke sana sekali. Kota yang indah." Ia pergi.
Atlanta, pintu gerbang daerah Selatan. Ternyata memang
tempat yang sesuai untukku. Di saat begitu banyak rekanku sesama
jurnalis hanya tertarik menekuni dunia pertelevisian, entah mengapa
dari awal aku lebih berminat berkecimpung di media cetak. Dan
akhirnya aku merasa menemukan diriku di sini.
Lulusan baru perguruan tinggi biasanya tidak dibayar banyak di
penerbitan koran, namun berkat tunjangan asuransi yang diwariskan
ibuku, aku bisa leluasa menata sebuah apartemen kecil dengan tiga
kamar. Aku berbelanja dengan hati-hati di toko mebel bekas dan
tempat-tempat obralan. Setelah selesai mendandani apartemenku, aku
agak terkejut begitu melihat bahwa tanpa sadar aku telah mencipta
ulang efek keseluruhan ruang duduk rumah lama kami di Oldham.
Nuansa biru dan merah pada karpetnya. Sofa berlapis kain biru dan
Putri Kesayangan Ayah Daddy's Little Girl Karya Mary Higgins Clark di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kursi bersandaran rendah. Bahkan satu set sofa bergaya ottoman,
lengkap dengan bangku kecil pasangannya, walau kesannya sedikit
dipaksakan. Suasana itu membangkitkan kembali begitu banyak kenangan;
ayahku yang tertidur di sofa, kaki-kakinya yang panjang berselonjor di
atas bangku kccil; Andrea tanpa banyak bicara mendorong kakikakinya, kemudian
duduk di sana; mata ayahku membuka, senyumnya
mengembang menyambut anak emasnya yang cantik dan
menggemaskan... Aku selalu berjingkat-jingkat di seputar rumah kalau ia sedang
beristirahat, agar tidak mengganggu tidurnya. Saat Andrea dan aku
membereskan meja setelah makan, aku mendengarkan dengan
saksama begitu ayahku menceritakan pada ibuku sambil menikmati
cangkir kopinya yang kedua, apa yang terjadi hari itu di tempat
kerjanya. Aku sangat kagum padanya. Ayahku, ujarku selalu pada
diriku dengan bangga, menyelamatkan nyawa banyak orang.
Tiga tahun setelah mereka bercerai, ayahku menikah lagi.
Sementara itu aku sudah melakukan kunjunganku yang kedua kali dan
terakhir ke Irvington. Aku tidak mau menghadiri pernikahannya, juga
tidak peduli ketika ia menulis untuk mengabari bahwa aku
mempunyai adik laki-laki. Perkawinannya yang kedua telah
memberinya anak laki-laki yang tadinya ia harapkan adalah aku.
Edward James Cavanaugh, Jr., sekarang berumur sekitar tujuh belas
tahun. Kontak terakhirku dengan ayahku adalah ketika aku menulis
untuk mengabarinya bahwa ibuku telah meninggal dunia, dan aku
ingin abunya dikirim ke Pemakaman Gate of Heaven untuk disatukan
dalam makam Andrea. Kalau ia tidak setuju, aku akan menguburnya
bersama kedua orangtuanya sendiri di makam keluarga mereka.
Ia membalasku, menyatakan bela sungkawa, dan bahwa ia
mengatur semuanya sesuai yang kuinginkan. Ia juga mengundangku
datang mengunjunginya di Irvington.
Aku mengirim abu jenazah Ibu, tapi menolak undangannya.
*************************************
Sup bawang itu berhasil menghangatkan tubuhku, namun
kenangan-kenangannya sempat membuatku gelisah. Aku memutuskan
naik ke atas, ke kamarku, untuk mengambil jaket, setelah itu keliling
kota naik mobil. Saat itu baru pukul setengah tiga, dan aku sudah
mulai bertanya-tanya kenapa tidak menunggu sampai besok untuk
datang kemari. Aku sudah punya janji dengan orang bernama Martin
Brand di kantor pengadilan, jam sepuluh pagi hari Senin. Aku akan
benar-benar berusaha membuatnya yakin bahwa Rob Westerfield
sebaiknya tidak dibebaskan, tapi seperti sudah dikatakan Pete Lawlor
padaku, upayaku mungkin akan sia-sia.
Lampu pesawat telepon kamarku berkedip-kedip. Aku
mendapat pesan untuk segera menelepon Pete Lawlor. Ia langsung
menjawab pada deringan pertama. "Sepertinya kau punya insting
untuk berada di tempat yang tepat pada waktu yang tepat, Ellie,"
ujarnya. "Barusan aku dapat kabar. Keluarga Westerfield akan
mengadakan konferensi pers lima belas menit lagi. CNN yang akan
meliputnya. Will Nebels, si pekerja serabutan yang diperiksa dalam
kasus pembunuhan kakakmu, telah membuat pernyataan bahwa dia
melihat Paul Stroebel di dalam mobil Rob Westerfield di malam
Andrea terbunuh. Dia mengaku melihat Paul memasuki garasi itu
dengan memegang sesuatu di tangannya, lalu lari keluar sepuluh menit
kemudian, kembali ke dalam mobil, dan setelah itu meluncur pergi."
"Mengapa Nebels tidak bilang apa-apa waktu itu?" sergahku.
"Dia mengaku takut ada yang menuduhnya sebagai penyebab
kematian kakakmu." "Bagaimana dia bisa melihat semua itu?"
"Dia sedang berada di rumah nenek Westerfield. Dia habis
melakukan beberapa reparasi, dan tahu kode untuk menyalakan alarm
rumah itu. Dia juga tahu si nenek punya kebiasaan meninggalkan uang
kontan di laci-laci dalam rumah. Dia sedang bangkrut waktu itu, dan
butuh uang. Dia sedang berada di kamar tidur utama yang jendelanya
menghadap ke garasi, dan ketika pintu mobil itu dibuka, dia melihat
jelas tampang Stroebel."
"Dia bohong," sahutku datar.
"Ikuti konferensi pers itu," anjur Pete, "setelah itu liput
ceritanya. Kau wartawan investigasi." Ia terdiam sebentar. "Kecuali
kalau itu terlalu berat untukmu."
"Tidak," sahutku. "Aku akan bicara denganmu lagi nanti."
Chapter 12 KONFERENSI itu diselenggarakan di kantor White Plains
milik William Hamilton, Esq., pengacara yang disewa keluarga
Westerfield untuk membuktikan bahwa Robson Parke Westerfield
tidak bersalah. Hamilton membuka acara tersebut dengan memperkenalkan
dirinya. Ia berdiri di antara dua sosok lelaki. Aku mengenali salah satu
di antara mereka sebagai ayah Rob, Vincent Westerfield. Ia memiliki
tampang berwibawa di usia enam puluh limaan, dengan rambut
keperakan dan garis-garis wajah aristokrat. Di sisi lain Hamilton
berdiri orang bertampang gugup, dengan mata tidak fokus, berusia
antara enam sampai tujuh puluh tahun, yang terus mencakup dan
membuka jari-jari tangannya.
Ia diperkenalkan sebagai Will Nebels. Hamilton menyampaikan
ringkasan singkat tentang latar belakangnya. "Will Nebels sudah
bekerja bertahun-tahun di Oldham sebagai pekerja serabutan. Kadangkadang dia
bekerja untuk Mrs. Dorothy Westerfield di rumah
pedesaannya, di dalam garasi tempat mayat Andrea Cavanaugh
ditemukan. Bersama banyak yang lain, Mr. Nebels sempat ditanyai
keberadaannya pada hari Kamis malam, saat Andrea kehilangan
nyawanya. Mr. Nebels menyatakan pada waktu itu dia sedang makan
malam di restoran lokal, setelah itu dia langsung pulang ke rumah.
Ternyata memang ada yang melihatnya makan di situ, sehingga tidak
ada alasan pada waktu itu untuk meragukan pengakuannya.
"Namun, ketika penulis cerita kriminal terkenal Jake Bern, yang
sedang menulis buku tentang kematian Andrea dan pengakuan tidak
bersalah dari Rob Westerfield, mewawancarai Mr. Nebels, beberapa
fakta baru mulai terungkap."
Hamilton menoleh ke Will Nebels, "Will, aku bisa memintamu
menceritakan sekali lagi pada media massa, apa persisnya yang telah
kauungkapkan pada Mr. Bern?"
Nebels mengingsut tubuhnya dengan gugup. Ia kelihatan tidak
nyaman dalam dandanannya. Ia mengenakan kemeja, dasi, dan setelan
jas yang aku yakin sengaja dipakaikan padanya khusus untuk
kesempatan itu. Cara membela diri yang usang, sudah ratusan kali
kusaksikan dalam persidangan. Dandani si calon tersangka, potong
rambutnya, pastikan ia bercukur bersih, pakaikan kemeja dan dasi,
meski seumur hidupnya ia tidak pernah mengancing leher kemejanya.
Hal yang sama berlaku untuk saksi yang diajukan oleh pihak pembela.
"Aku merasa tidak enak," mulai Nebels, suaranya serak. Kulihat
ia kurus dan pucat, dan aku bertanya-tanya apakah ia sakit. Aku hanya
mengingatnya samar-samar. Ia pernah bekerja sekali-sekali di tempat
kami, tapi seingatku ia sedikit gemuk.
"Sudah beberapa wakru aku memendam ini, dan ketika penulis
itu mulai menanyai aku soal kasus itu, aku tahu aku harus
mengeluarkannya dari dadaku."
Kemudian ia mulai mengungkapkan cerita seperti yang telah
tersiar. Ia melihat Paul Stroebel datang mengendarai mobil Rob
Westerfield ke tempat persembunyian itu, dan berjalan masuk ke
dalam garasi dengan membawa benda berat. Kesimpulannya, tentu
saja, benda itu gagang dongkrak yang digunakan unruk menghajar
Andrea sampai mati, gagang dongkrak yang kemudian ditemukan di
dalam bagasi mobil Rob Westerfield.
Kemudian giliran Vincent Westerfield berbicara. "Selama dua
puluh dua tahun putraku dikurung dalam penjara, di antara pelaku
kejahatan berat. Selama itu dia selalu menyatakan
ketidakberlibatannya dalam kasus kriminal yang mengerikan ini. Dia
pergi ke bioskop malam itu. Dia memarkir mobilnya di bengkel servis
di sebelah gedung bioskop, tempat kendaraan keluarga kami biasanya
direparasi, di mana kuncinya dengan mudah dapat dibuat duplikatnya.
Mobil itu berada di sana sekurangnya tiga kali dalam waktu satu bulan
itu, untuk pengerjaan penyok-penyok kecil.
"Paul Stroebel sedang bekerja di sana malam itu. Pompa
bensinnya sudah tutup pukul tujuh. tapi dia masih sibuk mereparasi
mobil di bagian bengkelnya. Rob berbicara dengan Paul, mengatakan
dia meninggalkan mobilnya di tempat parkir sementara dia menonton.
Kita tahu Paul selalu menyangkal hal ini, tapi sekarang kita punya
bukti bahwa selama ini dia bohong. Sementara putraku menonton
film, Stroebel memakai mobilnya, pergi ke tempat yang mereka sebut
tempat persembunyian, kemudian membunuh gadis itu."
Ia menegakkan tubuh, suaranya jadi semakin berat dan keras,
"Putraku akan memohon pembebasan bersyarat. Setahu kami, dia akan
segera dilepaskan dari penjara. Tapi itu saja tidak cukup. Dengan
adanya bukti baru ini, kami akan meminta persidangan diulang, dan
kami yakin kali ini Rob akan dibebaskan dari tuduhan. Kami hanya
bisa berharap bahwa Paul Stroebel, pembunuh yang sebenarnya, akan
diadili dan dipenjara seumur hidup."
Aku menyaksikan konferensi pers itu di televisi, dalam ruang
duduk kecil. di lantai utama losmen. Aku begitu marah, sehingga
merasa ingin melemparkan sesuatu ke layar kaca itu. Bagi Rob
Westerfield situasinya tampak sangat menguntungkan. Jika ia terbukti
bersalah lagi, mereka tidak bisa memenjarakannya lagi. Ia sudah
menjalani hukumannya. Kalau ia dibebaskan dari tuduhan, pengadilan
tidak akan mengajukan Paulie Stroebel ke muka sidang hanya
berdasarkan pengakuan saksi yang tidak dapat dipercaya seperti Will
Nebels. Walaupun demikian, di mata orang banyak, ia akan dianggap
pembunuh. Rupanya banyak orang sudah mendengar tentang konferensi ini,
sebab begitu aku menyalakan TV, mereka berdatangan. Penerima
tamu di losmen itulah yang pertama memberikan komentar. "Paulie
Stroebel. Yang benar saja, anak malang itu tidak sanggup melukai
lalat sekalipun." "Yah, tapi banyak yang menganggap dia mampu berbuat lebih
dari sekadar membunuh lalat," ujar seorang pelayan yang kulihat di
ruang makan tadi. "Aku memang tidak di sini waktu kejadian itu, tapi
aku sudah mendengar banyak. Kau akan tercengang berapa banyak
orang yang merasa Rob Westerfield tidak bersalah."
Para wartawan di konferensi itu menghujani Will Nebels
dengan berbagai pertanyaan. "Apa kau tahu bahwa kau bisa masuk
penjara karena dianggap telah melecehkan pengadilan?" kudengar
seorang wartawan bertanya.
"Biar aku yang menjawab," ujar Hamilton. "Status dakwaan
telah kedaluarsa. Mr. Nebels tidak akan menghadapi tuntutan. Dia
tampil sekarang untuk membetulkan yang salah. Dia tidak tahu
Andrea Cavanaugh ada di dalam garasi itu malam itu, dia juga tidak
tahu saat itu tentang apa yang telah terjadi. Sayangnya, dia menjadi
panik begitu menyadari kesaksiannya mungkin akan menyeret dirinya
dalam kasus pembunuhan itu; karena itulah dia tetap menutup mulut."
"Apakah Anda dijanjikan sejumlah uang untuk memberikan
pengakuan ini, Mr. Nebels?" tanya wartawan lain.
Persis seperti yang ingin kutanyakan.
Lagi-lagi Hamilton mengambil alih. "Sama sekali tidak."
Apakah Mr. Nebels akan memerankan dirinya sediri dalam
filmnya" batinku. "Apakah Mr. Nebels sudah melaporkan itu pada pihak
kejaksaan?" "Belum. Kami ingin masyarakat yang berpikiran jernih
mengetahui terlebih dahulu pernyataannya sebelum semuanya diputarbalik oleh
pihak jaksa penuntut. Maksudnya begini - sebetulnya tidak
enak menyarakan ini, tapi seandainya Andrea Cavanaugh mengalami
pelecehan seksual, Rob Westerfield pasti sudah dari dulu-dulu dilepas
berdasarkan bukti-bukti tes DNA. Nyatanya, justru kepeduliannya
yang membuatnya terjebak. Andrea sempat memohon-mohon padanya
untuk menemuinya di tempat persembunyian itu. Melalui telepon,
gadis itu bilang dia telah menyatakan setuju pergi kencan dengan Paul
Stroebel, hanya karena dia menganggap Paulie tidak bakal
memprovokasi rasa cemburu anak muda seperti Rob Westerfield.
"Kenyataannya, Andrea Cavanaugh mengejar-ngejar Rob
Westerfield. Dia sering kali menelepon Rob.
Rob tidak peduli dengan siapa dia berkencan. Gadis itu genit,
gila cowok, tipe gadis yang 'populer'."
Bulu kudukku meremang mendengar tuduhan itu.
"Satu-satunya kesalahan Rob adalah menjadi panik ketika
menemukan mayat Andrea. Dia pulang ke rumah, tanpa menyadari dia
membawa pulang alat pembunuh di dalam mobilnya, dan darah
Andrea yang telah mengotori bagasi mobilnya. Malam itu dia
memasukkan celana panjang, kemeja, dan jaketnya ke dalam mesin
cuci karena dia sangat ketakutan."
Tapi dia toh tidak takut menghilangkan semua bekas darah itu,
batinku. Kamera dialihkan pada si pembawa acara dari CNN. "Kami
akan menghubungi pensiunan detektif Marcus Longo yang mengikuti
wawancara ini bersama kita dari rumahnya di Oldham-on-theHouston. Mr. Longo, apa
pendapar Anda tentang pernyataan Mr.
Nebels?" "Semuanya rekayasa. Robson Westerfield dinyatakan bersalah
melakukan pembunuhan karena dia memang bersalah telah melakukan
pembunuhan. Aku bisa mengerti perasaan keluarganya, tapi mencoba
mengalihkan kesalahan pada orang lain yang tidak bersalah, sungguhsungguh tidak
dapar dibenarkan." Bravo, batinku. Kenangan akan Detektif Longo yang beberapa
tahun lalu duduk bersamaku di ruang makan kami untuk meyakinkan
aku bahwa tidak apa-apa kalau aku menceritakan rahasia Andrea,
lamat-lamat berputar kembali di kepalaku. Longo berusia sekitar enam
puluhan sekarang, wajahnya tirus, dengan alis mata tebal hitam, dan
hidung gaya Romawi. Sisa-sisa rambutnya seperti guratan garam dan
merica di seputar kepalanya. Tapi ia memiliki wibawa meyakinkan,
yang memperkuat efek sindirannya mengenai sandiwara yang baru
saja disaksikannya. Ia masih tinggal di Oldham. Aku memutuskan akan
meneleponnya suatu saat nanti.
Konferensi pers itu berakhir, orang-orang mulai keluar
meninggalkan ruangan. Si penerima tamu losmen, anak muda
berpenampilan rapi yang kelihatan seperti baru lulus perguruan tinggi,
menghampiriku. "Apakah semuanya oke di kamar Anda, Miss
Cavanaugh?" Seorang pelayan berjalan melewati sofa tempat aku duduk. Ia
menoleh dan menatapku tajam, dan aku tahu ia ingin menanyakan
apakah aku mempunyai hubungan dengan gadis yang terbunuh dalam
kasus Westerfield. Ini rupanya indikasi pertama bahwa aku harus merelakan
anonimitas diriku bila aku ingin tetap tinggal di Oldham.
Oke, batinku. Memang harus kuhadapi.
Chapter 13 MRS HILMER masih tinggal di rumah yang sama, di ujung
jalan. Ada empat rumah lain sekarang yang memisahkannya dari
tempat yang pernah kami tinggali selama beberapa tahun itu. Jelas
tampak bahwa mereka yang sekarang menghuni rumah kami telah
Putri Kesayangan Ayah Daddy's Little Girl Karya Mary Higgins Clark di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mewujudkan impian Ibu untuk tempat itu. Kedua sisinya mengalami
perluasan, juga bagian belakangnya. Asalnya memang rumah
pertanian berukuran ideal, tapi kini bangunan itu tampak sebagai
rumah kediaman yang betul-betul indah, megah namun ramah, dengan
dinding papan putih bersih dan jendela berkisi-kisi dalam nuansa hijau
gelap. Aku melambatkan laju kendaraanku saat melewatinya, dan
kemudian, karena merasa yakin di pagi hari Minggu yang tenang ini
tidak akan ada yang memperhatikan, aku berhenti.
Pohon-pohonnya sudah lebih besar tentu saja. Cuaca musim
gugur tahun ini panas di daerah Timur Laut, dan meskipun saat ini
udara terasa dingin, rimbun dedaunan bernuansa emas kemerahan
masih tampak berkilauan pada ranting-rantingnya.
Ruang duduk rumah itu jelas sudah diperluas. Bagaimana
dengan ruang makannya" batinku. Sesaat aku membayangkan diriku
di sana, memegangi dus dengan perangkat sendok-garpu dari perak -
atau nampan perak - sementara Andrea dengan cermat menata meja.
"Hari ini Lord Malcolm Bigbottom akan menjadi tamu kita. "
Mrs. Hilmer rupanya sudah menunggu kedatanganku. Begitu
aku turun dari mobil, pintu depannya terbuka. Beberapa saat setelah
itu aku merasakan pelukannya yang hangat. Dari dulu tubuhnya
memang kecil, agak gemuk, dengan wajah keibuan dan mata cokelat
bersinar. Kini rambut cokelatnya sudah berwarna perak sepenuhnya,
dan ada kerut-kerut di sekitar mata dan mulutnya. Namun pada
dasarnya ia masih persis seperti yang kuingat. Selama bertahun-tahun
ia selalu mengirimi ibuku kartu Natal dengan surat panjang, dan
ibuku, yang tidak pernah mengirim kartu, menulisinya kembali,
menekankan hal-hal yang positif mengenai kepindahan kami, serta
bagaimana prestasiku di sekolah.
Aku menulisinya untuk mengabari sewaktu ibuku meninggal,
dan menerima surat yang hangat dan menghibur darinya. Aku tidak
mengabarinya saat aku pindah ke Atlanta, sehingga pasti semua kartu
dan surat yang mungkin pernah ia kirim telah dikembalikan ke
alamatnya. Pihak kantor pos tidak akan mengupayakan penyampaian
surat terlalu jauh sekarang-sekarang ini.
"Ellie, kau jangkung sekali," ujarnya antara tersenyum dan
tertawa. "Kau begitu mungil dulu."
"Ini terjadi waktu aku duduk di sekolah menengah," ungkapku.
Sudah ada kopi yang menunggu di atas kompor, dan kue muffin
blueberry yang keluar dari oven. Atas desakanku, kami tetap tinggal di
dapur dan duduk di bangku pojoknya. Selama beberapa menit ia
menceritakan padaku keadaan keluarganya. Aku hampir tidak
mengenal kedua anaknya. Mereka berdua sudah menikah saat kami
pindah ke Oldham. "Delapan cucu," ujarnya bangga. "Sayangnya, tak
seorang pun dari mereka tinggal di dekat sini, tapi aku toh masih
sering bisa melihat mereka." Aku tahu ia sudah bertahun-tahun hidup
menjanda. "Anak-anakku bilang tempat ini terlalu besar untukku, tapi
ini toh rumahku, dan aku merasa betah di sini. Kalau aku sudah tidak
bisa ke mana-mana lagi, aku akan menjualnya, kurasa, tapi tidak
sekarang." Secara singkat aku menceritakan tentang pekerjaanku, setelah
itu kami mulai membicarakan alasanku berada kembali di Oldham.
"Ellie, sejak hari Rob digiring keluar dari ruang sidang itu dengan
tangan terbelenggu, keluarga Westerfield tetap bersikeras bahwa dia
tidak bersalah, dan terus berjuang keras mengupayakan
pembebasannya. Mereka juga berhasil meyakinkan banyak orang
tentang itu." Ekspresinya menjadi resah. "Ellie, setelah mengatakan
itu, aku harus mengakui sesuatu. Aku juga sudah mulai bertanya-tanya
mungkinkah Rob Westerfield dihukum sebagian karena reputasinya
sebagai tukang bikin masalah. Dia sudah kepalang dinilai brengsek,
sehingga tidak heran dengan mudah orang berpikiran negatif tentang
dirinya." Ia juga menonton konferensi pers itu. "Ada satu hal yang aku
percaya dalam ucapan Will Nebels tadi," ujarnya datar, "yaitu bahwa
dia berpotensi menyusup ke dalam rumah Mrs. Westerfield untuk
mencuri uang. Apakah dia ada di sana malam itu" Mungkin. Di satu
pihak, aku juga bertanya-tanya apa saja yang sudah mereka tawarkan
padanya agar mau mengungkapkan cerita itu, dan di lain pihak aku
teringat reaksi Paulie begitu mereka mengumumkan kematian Andrea.
Aku mengikuti saat gurunya memberikan kesaksian di muka sidang.
Belum pernah kulihat saksi yang tampak begitu ragu. Jelas sikapnya
sangat protektif terhadap Paulie, namun dia terpaksa mengakui bahwa
saat Paulie lari keluar dari kelas, dia mendengar Paulie berkata,
'Kurasa dia tidak mati'."
"Bagaimana keadaan Paulie Stroebel sekarang?" tanyaku.
"Keadaannya baik sekali. Selama sepuluh sampai dua belas
tahun setelah sidang itu, dia sangat tertutup. Dia tahu ada yang
beranggapan dialah yang membunuh Andrea, dan itu rupanya sangat
meresahkannya. Dia mulai bekerja di toko penganan orangtuanya, dan
setahuku kebanyakan waktunya dia lebih suka menyendiri. Tapi sejak
ayahnya meninggal dan dia terpaksa mengambil alih lebih banyak
tanggung jawab, kepribadiannya seakan mendapat kesempatan
berkembang. Kuharap cerita Will Nebels tidak akan membuatnya
guncang sekarang." "Kalau Rob Westerfield sampai disidang kembali dan namanya
dibersihkan, kesannya akan seperti Paulie-lah sebetulnya yang
bersalah," ujarku. "Apakah mereka bisa menahan dirinya, dan mengajukannya ke
muka sidang?" "Aku bukan ahli hukum, tapi kurasa tidak. Kesaksian Will
Nebels akan cukup untuk memungkinkan Rob Westerfield disidang
kembali dan namanya dibersihkan, meskipun tidak cukup untuk
mengajukan Paulie Stroebel. Namun dampaknya akan terasa. Paulie
akan menjadi korban Westerfield yang berikutnya."
"Mungkin, mungkin juga tidak. Itulah sulitnya." Mrs. Hilmer
tampak ragu, kemudian melanjutkan. "Ellie, orang yang menulis buku
tentang kasus ini pernah datang menemuiku. Ada yang
mengungkapkan padanya bahwa aku dekat dengan keluargamu."
Aku mulai merasa tidak enak mendengar ucapannya. "Seperti
apa dia?" "Sopan. Dia mengajukan beberapa pertanyaan. Aku sangat
berhati-hati menjawabnya. Tapi harus kuakui padamu sekarang,
bahwa Bern punya pandangan sendiri, dan dia akan memastikan faktafakta yang ada
bisa mendukungnya. Dia menanyakan, apakah alasan
ayahmu begitu tegas pada Andrea karena kakakmu setiap kali diamdiam menemui anak
muda yang berbeda." "Tapi kenyataannya tidak begitu."
"Dia akan membuat seakan kesannya begitu."
"Ya, Andrea semula memang naksir Rob Westerfield, tapi
setelah itu dia juga mulai takut pada Rob." Aku tidak menyangka aku
akan mengatakan itu, tapi saat kata-kata itu keluar, aku menyadari
bahwa memang begitulah kenyataannya. "Dan aku sempat
mencemaskannya," bisikku. "Rob Westerfield begitu marah padanya
gara-gara Paulie." "Ellie, aku berada di rumahmu waktu itu. Aku berada di sana
saat kau memberikan kesaksianmu di muka sidang. Kau tidak pernah
bilang bahwa kau ataupun Andrea takut pada Rob Westerfield."
Apakah ia ingin mengingatkan bahwa aku mungkin sedang
membangun kembali suatu kenangan yang sebetulnya tidak ada, untuk
membenarkan kesaksian yang pernah kuberikan di masa kanakkanakku" Tapi kemudian
ia menambahkan, "Ellie, sebaiknya kau hatihati. Penulis itu sempat menyatakan
padaku kemungkinan kau bocah
yang emosional dan tidak stabil ketika itu. Itu tentunya akan dia
masukkan dalam bukunya."
Jadi, begitu skenarionya, batinku: Andrea yang suka gonta-ganti
pacar, aku yang secara emosional tidak stabil, dan Paulie Stroebel
yang merupakan pembunuh sebenarnya. Kalau sebelumnya aku
sempat tidak yakin, kini aku sudah tahu apa yang harus kulakukan.
"Rob Westerfield mungkin akan keluar penjara, Mrs. Hilmer,"
ujarku, setelah itu dengan geram aku menambahkan, "tapi begitu aku
selesai dengan penyidikanku dan menulis semua detail kehidupannya
yang kotor, tak seorang akan mau berjalan bersamanya, siang maupun
malam. Dan begitu kasusnya disidangkan kembali, tak seorang juri
pun akan memihak padanya."
Chapter 14 PADA hari Senin pukul sepuluh pagi, aku punya janji temu
dengan Martin Brand yang duduk sebagai staf dalam dewan penentu
pembebasan bersyarat di Albany. Ternyata ia lelaki bertampang
capek, berusia sekitar enam puluhan, dengan bayangan gelap di bawah
matanya, dan rambut tebal bernuansa abu-abu yang sudah
memerlukan perhatian dari tukang cukurnya. Ia telah membuka
kancing teratas kemejanya, dan melonggarkan simpul dasinya sampai
beberapa senti. Kulit wajahnya yang kemerahan menyatakan ia punya
masalah tekanan darah tinggi.
Tidak perlu diragukan ia sudah sering mendengar berbagai versi
protesku selama sekian tahun masa tugasnya.
"Ms. Cavanaugh, Westerfield sudah dua kali mengalami
penolakan pembebasan bersyarat. Kali ini, menurutku, dia akan
dilepaskan." "Tapi dia residivis."
"Anda tidak dapat memastikan itu."
"Anda tidak dapat memastikan situasinya tidak begitu."
"Kepadanya sudah ditawarkan pembebasan bersyarat dua tahun
lalu, kalau dia mau mengakui melakukan tindakan pembunuhan atas
diri kakak Anda, kalau dia mau bertanggung jawab atas tindak
kejahatan itu, dan menyatakan penyesalannya. Namun dia memilih
untuk tidak menerima tawaran itu."
"Ah, Mr. Brand. Terlalu banyak yang harus dia pertaruhkan
untuk mengakui apa yang sebenarnya terjadi. Dia tahu Anda tak
mungkin dapat menahannya lebih lama."
Ia angkat bahu. "Aku lupa Anda reporter investigasi."
"Selain itu, aku juga adik gadis berusia lima belas tahun yang
direnggut kesempatannya untuk merayakan hari ulang tahun keenam
belasnya." Ekspresi jemu dan lelah itu sesaat hilang dari matanya. "Ms.
Cavanaugh, aku tidak meragukan kemungkinan Rob Westerfield
bersalah, tapi kurasa sebaiknya Anda menerima fakta bahwa dia sudah
menjalani hukumannya, dan bahwa setelah beberapa insiden selama
beberapa tahun pertama, dia telah menjaga kelakuannya."
Aku ingin sekali tahu mengenai beberapa insiden itu, namun
aku juga yakin Martin Brand tidak akan mau mengungkapkannya
padaku. "Masih ada satu hal lagi," tambahnya. "Walau seandainya dia
bersalah, yang dia lakukan terhadap kakak Anda adalah tindak
kejahatan yang melibatkan emosi, sehingga kemungkinan dia akan
mengulanginya bisa dikatakan hampir tidak ada. Kami memiliki
statistiknya. Kemungkinan menjadi residivis untuk tindak kejahatan
seperti itu menurun setelah usia tiga puluh tahun, dan hampir hilang
serelah usia empat puluh."
"Tapi ada beberapa orang yang lahir tanpa hati nurani, dan
begitu mereka dilepas, mereka akan seperti bom waktu berjalan."
Aku mendorong kursiku ke belakang, kemudian berdiri. Brand
juga berdiri. "Ms. Cavanaugh, aku punya advis yang kurang
menyenangkan. Kurasa Anda selama ini terus dihantui kenangan yang
diakibatkan terbunuhnya kakak Anda secara brutal. Tapi Anda tidak
mungkin dapat menghidupkannya kembali, dan Anda juga tidak dapat
menahan Rob Westerfield lebih lama di dalam penjara. Kalau
kasusnya disidangkan kembali dan namanya dibersihkan, maka
begitulah kenyataannya. Anda masih muda. Sebaiknya Anda kembali
ke Atlanta dan mencoba melupakan tragedi ini."
"Itu advis yang bagus, Mr. Brand, dan mungkin aku akan
mempertimbangkannya kelak," sahutku. "Tapi tidak sekarang."
Chapter 15 T1GA tahun yang lalu, setelah menulis satu seri artikel
mengenai Jason Lambert, pembunuh berantai di Atlanta, aku
menerima telepon dari Maggie Reynolds, editor buku di New York
yang pernah berkenalan denganku di sebuah panel yang membahas
soal kejahatan kriminal. Ia menawarkan kontrak untuk menggubah
artikel-artikel tersebut menjadi bentuk buku.
Lambert pembunuh tipe Ted Bundy. Ia selalu berkeliaran di
sekitar kampus, berlagak seperti mahasiswa, setelah itu ia memancing
wanita-wanita muda untuk masuk ke dalam mobilnya. Seperti korbankorban Bundy,
gadis-gadis itu kemudian menghilang begitu saja.
Untungnya ia tidak sempat melenyapkan korbannya yang terakhir
pada saat ia tertangkap. Ia sedang mendekam di penjara Georgia saat
ini, masih harus menjalani masa hukuman selama 149 tahun, tanpa
peluang mendapatkan fasilitas bebas bersyarat.
Buku itu ternyata cukup laris, bahkan selama beberapa minggu
sempat mempertahankan posisinya dalam urutan terbawah daftar bestseller the New
York Times. Aku menelepon Maggie setelah
meninggalkan kantor Brand. Setelah mendeskripsikan kasusnya serta
jalur investigasi yang akan kutempuh, ia langsung menyatakan setuju
memberiku kontrak untuk buku mengenai kasus pembunuhan Andrea,
buku yang kujanjikan padanya akan secara meyakinkan membuktikan
bahwa Rob Westerfield bersalah.
"Banyak sekali publisitas tentang apa yang ditulis Jake Bern,"
ujar Maggie padaku. "Aku ingin mengimbangi itu dengan buku hasil
tulisanmu. Bern pernah melanggar kontraknya dengan kami setelah
kami menghabiskan banyak sekali untuk publisitas bukunya yang
terakhir, untuk mencoba menaikkan citranya.
Aku memperhitungkan proyek itu akan membutuhkan sekitar
tiga bulan untuk riset intensif dan penulisannya, dan beberapa bulan
ekstra sesudahnya, kalau Rob Westerfield berhasil mendapat peluang
untuk disidang ulang. Losmen itu akan terlalu membatasi gerak, dan
terlalu mahal untuk ditinggali dalam tenggang waktu panjang. Karena
itulah aku menanyakan pada Mrs. Hilmer, apakah ia tahu salah satu
apartemen yang disewakan di sekitar daerah ini. Ia menepis ideku dan
bersikeras aku menempati apartemen tamu di atas garasinya.
"Aku membangunnya beberapa tahun lalu, sebagai persiapan
kalau-kalau suatu saat nanti aku membutuhkan orang untuk berada di
dekatku setiap waktu," ungkapnya menjelaskan. "Ellie, tempatnya
nyaman, tenang, dan aku akan menjadi tetangga yang baik, tidak akan
mengganggumu dengan keluar-masuk seenaknya."
"Dari dulu Anda tetangga yang baik." Benar-benar solusi yang
ideal, tapi satu-satunya hal yang mengganjal adalah aku harus selalu
melewati rumah lama kami. Namun aku berasumsi bahwa kepedihan
yang kurasakan saat melintasi wilayah yang pernah kami tempati itu
lama-lama akan mereda. "Anugerah Tuhan." Itulah julukan yang diberikan ibuku pada
tempat itu. Ia begitu antusias memiliki properti seluas itu, dan
bertekad membuat kebun yang akan mendapat sorotan dalam edisi
musim semi the Oldham Garden Club.
Aku pindah dari losmen itu ke apartemen tamu Mrs. Hilmer,
dan pada hari Rabu terbang kembali ke Atlanta. Aku tiba pukul enam
lewat seperempat sore di kantor. Aku tahu Pete tidak mungkin sudah
pulang. Ia kawin dengan pekerjaannya.
Ia mengangkat wajah, melihatku, tersenyum sebentar, kemudian
berkata, "Ayo, kita bisa omong sambil makan spageti."
"Bagaimana dengan upayamu menghilangkan lima kilo itu?"
"Aku sudah memutuskan unruk tidak memikirkannya selama
Putri Kesayangan Ayah Daddy's Little Girl Karya Mary Higgins Clark di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
beberapa jam ke depan."
Pete memiliki intensitas yang mampu memacu mereka yang
berada di sekitarnya. Ia Iangsung bergabung dengan harian swasta the
News setelah lulus, dan dalam dua tahun ia menjadi kepala staf
redaksi. Menjelang usia dua puluh delapan, ia memegang dua jabatan,
pemimpin redaksi dan penerbitan. Harian yang dianggap mulai
megap-megap itu tiba tiba memperoleh gairahnya kembali.
Mempekerjakan reporter investigasi kriminal merupakan salah
satu cetusan idenya untuk menaikkan omset, dan mendapatkan posisi
itu enam tahun yang lalu merupakan keberuntungan bagiku. Tadinya
aku diterima sebagai reporter muda. Ketika calon yang diharapkan
Pete menduduki jabatan itu mundur pada saat-saat terakhir, aku
ditunjuk untuk mengisinya, tapi hanya sampai seorang pengganti
permanen ditemukan. Kemudian, suatu hari, tanpa banyak komentar,
Pete menghentikan upayanya mencari pengganti. Posisi itu untukku.
Napoli's benar-benar tipe restoran yang umum ditemukan di
Itali. Pete memesan sebotol Chianti dan meraih sepotong roti hangat
yang disajikan di meja kami. Ingatanku kembali pada semester yang
pernah kulewatkan di Roma selama masa kuliahku. Saat itu
merupakan sedikit di antara sekian banyak masa-masa bahagia dalam
kehidupanku sebagai orang dewasa.
Ibu sedang mencoba memulihkan kondisinya, dan hasilnya
cukup lumayan. Ia mengunjungiku di sana selama liburan musim
semi, dan kami sempat melewatkan waktu yang sangat menyenangkan
bersama-sama. Kami menjelajahi kota Roma, menghabiskan waktu
seminggu di Florence dan kota-kota di daerah perbukitan Tuscany.
Kami mengakhirinya dengan kunjungan ke Venesia. Ibuku wanita
yang cantik, dan dalam perjalanan itu, saat ia tersenyum, ia tampak
persis seperti dulu. Sesuai kesepakatan yang sebetulnya tidak pernah
diucapkan, kami tidak menyebut-nyebut Andrea ataupun ayahku.
Aku bersyukur memiliki kenangan itu.
Anggur diantar, diterima oleh Pete, kemudian dibuka. Aku
mencicipinya, setelah iru langsung memulai dengan apa yang ingin
kusampaikan. "Aku sudah melakukan penjajakan. Upaya
membersihkan nama Westerfield mempunyai peluang besar untuk
Bulan Jatuh Dilereng Gunung 12 Pendekar Mabuk 020 Ladang Pertarungan Pembalesan 1