Putri Kesayangan Ayah 4
Putri Kesayangan Ayah Daddy's Little Girl Karya Mary Higgins Clark Bagian 4
wajahnya, slang-slang di lengannya, perban tebal di pergelangan
tangannya. Selama malam panjang itu, aku melihat kecemasan yang
membayang di wajah Mrs. Stroebel, menyaksikan bibirnya bergerak
dalam doa, dan mendapati aku sendiri mulai berdoa. Mulanya keluar
begitu saja, tapi kemudian lebih intensif. Kalau Kau menyelamatkan
Paulie untuknya aku akan mencoba menerima semua yang pernah
terjadi. Mungkin aku tidak akan berhasil, tapi aku berjanji akan
berusaha. Berkas-berkas cahaya mulai menembus kegelapan di luar.
Pukul sembilan lewat seperempat, seorang dokter memasuki ruang
tunggu itu. "Keadaan Paulie sudah stabil," ujarnya. Dia akan pulih.
Bagaimana kalau kalian pulang sekarang untuk tidur?"
**************************************
Aku pulang dari rumah sakit naik taksi; dalam perjalanan, aku
meminta si sopir berhenti sebentar supaya aku bisa membeli koran
pagi itu. Setelah membaca sekilas halaman muka harian Westchester
Post itu, aku bersyukur di dalam unit perawatan intensif itu, Paulie
Stroebel tidak memiliki akses untuk membaca koran.
Judul berita itu berbunyi "Tersangka Pembunuhan Melakukan
Upaya Bunuh Diri". Bagian selebihnya halaman depan itu memuat foto-foto tiga
orang. Yang paling kiri foto Will Nebels yang berpose di depan
kamera, dengan ekspresi sok tahu di wajahnya yang sama sekali tidak
meyakinkan Di sebelah kanan foto wanita berusia enam puluh limaan,
dengan tampang was-was yang semakin menonjolkan kerutan-kerutan
wajahnya. Yang di tengah foto Paulie, di belakang meja kasir tokonya,
dengan pisau roti di tangan.
Foto itu telah dipotong sedemikian rupa, sehingga yang tampak
hanya tangannya yang menggenggam pisau. Entah apa konteksnya,
karena sama sekali tidak terlihat roti yang sedang dipotongnya.
Matanya melihat ke dalam kamera, kedua alisnya menyatu.
Aku memperkirakan foto itu diambil saat Paulie sama sekali
tidak siap. Pokoknya, efeknya menggambarkan lelaki yang tegang,
dengan pandangan tidak fokus, mengacungkan senjata.
Tulisan di bawah foto-foto itu merupakan kutipan ucapan. Di
bawah foto Nebels tertulis: "Setahuku, dia yang melakukan itu". Di
bawah foto wanita bertampang waswas: "Dia mengakui itu padaku".
Di bawah foto Paulie: "Maafkan aku, maafkan aku".
Liputannya ada di halaman 3, tapi aku harus menunda dulu
membacanya, karena taksi yang kutumpangi memasuki jalan mobil
tempat penginapanku. Begitu berada di kamar, aku memusatkan
kembali perhatianku pada koran itu.
Wanita dalam foto di halaman pertama itu bernama Lillian
Beckerson, pengurus rumah tangga Mrs. Dorothy Westerfield selama
tiga puluh satu tahun. "Tidak pernah ada orang sebaik Mrs.
Westerfield di muka bumi ini," tertulis di koran itu, mengutip
ucapannya. "Suaminya pernah menjadi senator, kakek Suaminya
gubernur daerah New York. Dia sudah menanggung aib yang
mencemarkan nama keluarganya ini selama lebih dari dua puluh
tahun. Sekarang, di saat cucu satu-satunya sedang berusaha
membuktikan dia tidak bersalah, wanita yang berbohong di mimbar
saksi ketika masih kecil itu kembali untuk mencoba
menghancurkannya lagi melalui sebuah situs."
Yang dia maksud adalah aku, batinku.
"Mrs. Westerfield mengikuti situs itu, dan dia menangis
kemarin sore. Aku tidak tahan lagi. Aku pergi ke toko penganan itu
dan mendamprat lelaki itu. Aku memohon padanya untuk mengatakan
yang sebenarnya, untuk mengakui perbuatannya. Kalian tahu apa yang
dia katakan padaku" "Maafkan aku, maafkan aku." Oke, kalau kau
memang tidak bersalah, apakah itu yang akan kaukatakan" Kurasa
tidak." Kau akan mengatakan itu kalau kau Paulie. Aku memaksa
diriku terus membaca. Aku jurnalis investigasi, dan aku bisa melihat
Colin Marsh, yang menulis artikel ini, adalah orang sensasionalis yang
tahu cara mengutip dan kemudian memanipulasi ucapan-ucapan
bernada provokatif. Ia telah menemui Emma Watkins, si pembimbing siswa yang
sekian tahun lalu menyatakan di mimbar saksi bahwa sambil
mengisak Paulie mengatakan, "Kukira dia tidak mati," ketika kepada
kelasnya diumumkan bahwa Andrea meninggal.
Ms. Watkins menyatakan pada Marsh bahwa selama sekian
tahun ia selalu merasa kurang enak mengenai vonis yang dijatuhkan
pada Rob Westerfield. Ia mengatakan Paulie sangat sensitif, dan kalau
dia tahu Andrea cuma bercanda ketika menyatakan bersedia pergi
bersamanya ke pesta dansa itu, mungkin saja dia kesal dan
melampiaskan kekecewaannya.
Melampiaskan. Cara yang pas sekali untuk
mengekspresikannya, batinku.
Will Nebels, sosok mengenaskan itu, si culas yang suka main
rangkul gadis gadis, memperoleh porsi yang cukup berarti dalam
liputan itu. Dengan bumbu-bumbu lebih banyak lagi dibandingkan
penampilannya dalam wawancara televisi yang kutonton beberapa
hari lalu, ia menyatakan pada Marsh, ia melihat Paulie masuk ke
garasi tempat persembunyian itu pada malam kejadian, membawa tuas
dongkrak. Ia mengakhirinya dengan menyatakan penyesalan sedalam
dalamnya karena tidak bakal bisa menebus kesalahannya pada
keluarga Westerfield, karena kelalaiannya untuk tidak segera tampil
menyatakan yang sebenarnya.
Selesai membaca liputan itu, aku melempar koran tersebut ke
tempat tidur. Aku marah sekali, sekaligus cemas. Kasus itu dievaluasi
melalui media massa dan semakin banyak orang akan diyakinkan
bahwa Rob Westerfield sebetulnya tidak bersalah. Aku menyadari
kalau aku membacanya dengan kepala dingin, ada kemungkinan aku
pun bisa diyakinkan bahwa selama ini orang yang tidak bersalah telah
dihukum. Namun, kalau Mrs. Westerfield bisa terguncang setelah
membaca isi situsku, pasti juga ada orang lain yang merasakan efek
sama. Aku menyalakan komputerku dan mulai menyibukkan diri.
"Untuk menunjukkan loyalitasnya yang mendalam secara
gegabah pengurus rumah tangga Mrs Dorothy Westerfield
menyelonong masuk ke toko penganan keluarga Stroebel, dan secara
verbal menyerang Paulie Stroebel. Beberapa jam setelah itu, Paulie,
laki-laki berhati lembut dan stres berat akibat kebohongankebohongan yang
ditebarkan uang keluarga Westerfield, mencoba
melakukan tindak bunuh diri.
"Aku menaruh simpati pada Mrs. Dorothy Westerfield, yang
sebetulnya wanita yang baik, untuk kepedihan yang ditanggungnya
selama ini karena perbuatan kriminal yang pernah dilakukan cucunya.
Aku percaya dia akan menemukan kedamaian di hatinya dengan
menerima kenyataan bahwa nama baik keluarganya yang terpandang
masih tetap akan dihormati oleh generasi generasi mendatang.
"Dia hanya perlu meninggalkan harta kekayaannya yang
berlimpah untuk amal, yang memungkinkan pendidikan bagi muridmurid di generasi
mendatang dan pendanaan riset di bidang medis
yang akan menyelamatkan kehidupan sekian banyak insan manusia.
Mewariskan peninggalannya pada seorang pembunuh hanya akan
memperparah tragedi yang lebih dari dua puluh tahun lalu mencabut
nyawa kakakku, dan yang kemarin hampir saja menghilangkan nyawa
Paulie Stroebel. "Setahuku komite untuk menegakkan keadilan bagi Rob
Westerfield baru saja dibentuk.
"Aku mengundang Anda sekalian untuk bergabung dalam
komite, untuk menegakkan keadilan bagi Paulie Stroebel.
"Mrs. Dorothy Westerfield, Anda undangan pertama!"
Lumayan, batinku saat aku memindahkan teks itu ke situsku.
Ketika aku mematikan komputer, ponselku berbunyi.
"Aku habis membaca koran." Aku langsung mengenali suara
itu. Lelaki yang kemarin ini menyatakan pernah mendekam dalam
penjara bersama Rob Westerfield, dan mendengarnya mengaku
terlibat pembunuhan lain.
"Aku memang berharap mendapat kabar dari Anda." Aku
mencoba mengendalikan suaraku agar terdengar sambil lalu.
"Menurutku, Westerfield berhasil membuat si Stroebel tolol itu
kelihatan jelek." "Dia tidak tolol," sahutku ketus.
"Terserah. Begini perjanjiannya. Lima ribu dolar. Aku akan
memberitahu Anda nama depan orang yang menurut Westerfield dia
bunuh " "Nama depan!" "Cuma itu yang aku tahu. Terserah mau terima atau tidak."
"Tidak ada lagi yang bisa Anda berikan padaku" Maksudku,
kapan kejadiannya, di mana?"
"Aku cuma tahu nama depannya, dan aku butuh uang hari
Jumat." Sekarang hari Senin. Aku memiliki sekitar $3.000 dalam
rekening simpananku di Atlanta, dan meski dengan sangat berat hati,
aku bisa meminjam sisanya dari Pete, kalau uang muka pembayaran
bukuku belum masuk menjelang hari Jumat.
"Bagaimana?" Nada suaranya tidak sabaran.
Aku tahu mungkin saja aku sedang diakali, namun ini risiko
yang kuputuskan akan kuambil.
"Aku akan menyediakan uangnya hari Jumat," janjiku.
Chapter 29 MENJELANG Rabu malam, keadaanku sudah boleh dibilang
normal kembali. Aku sudah punya kartu kredit, SIM, dan uang. Uang
muka untuk bukuku sudah ditransfer ke rekeningku melalui bank di
dekat penginapanku. Istri pengelola apartemenku di Atlanta telah
mengepak beberapa potong pakaian untukku, dan mengirimkannya
tadi malam. Lepuh di telapak kakiku sudah memulih, dan aku bahkan
sempat merapikan rambutku di salon.
Yang paling penting, aku sudah membuat janji temu untuk hari
Kamis sore di Boston dengan Christopher Cassidy, mantan murid
Arbinger yang bersekolah dengan beasiswa, yang pada usia empat
belas tahun pernah dihajar habis-habisan oleh Rob Westerfield.
Aku sudah memasukkan dalam situsku pengalaman Dr
Margaret Fisher yang lengannya pernah dipelintir oleh Rob
Westerfield dan mendapat bayaran $500 dari ayahnya untuk tidak
mengajukan tuntutan. Aku sudah mengirim teksnya lewat e-mail sebelum aku
memasukkannya di Internet. Ia tidak hanya menyatakan oke, tapi juga
memberikan opininya secara profesional, bahwa perilaku kekerasan
dan letupan emosi yang pernah dialaminya mungkin saja merupakan
reaksi yang sama dari Rob Westerfield yang berakibat terbunuhnya
Andrea waktu itu. Sementara itu, Joan telah menghubungi teman-teman dekat
Andrea di masa sekolah menengahnya, dan ia melaporkan tak seorang
pun di antara mereka pernah melihat Andrea memakai liontin itu,
kecuali liontin yang diberikan ayahnya padanya
Setiap hari aku memberikan deskripsi liontin itu di situsku,
dengan harapan akan memperoleh informasi yang mungkin saja akan
diberikan seseorang. Sejauh ini memang belum ada hasilnya. E-mailku selalu penuh
dengan tanggapan orang-orang. Ada yang mendukung
apa yang kulakukan. Ada pula yang secara pedas mengecamku. Selain
itu ada juga beberapa pengirim pesan iseng. Dua mengakui sebagai
pelaku pembunuhan itu. Satu menyatakan Andrea masih hidup dan
mengharapkan aku menyelamatkan dirinya.
Beberapa surat isinya mengancamku. Satu yang kurasa bukan
sekadar gertakan menyatakan ia sangat kecewa melihat aku berhasil
lolos dari kebakaran itu. Ia menambahkan, "Baju tidurmu lucu - dari
L.L. Bean, bukan?" Apakah si penulis kebetulan mengawasi peristiwa itu dari antara
pepohonan, atau mungkinkah dia si penyusup yang memasuki
apartemenku, dan kebetulan melihat baju tidurku tergantung di lemari
pakaian kamar tidur" Apa pun prospeknya, niatnya adalah
mengintimidasi, dan kuakui dua-duanya sama menakutkan.
Aku menghubungi Mrs. Stroebel beberapa kali dalam sehari,
dan sewaktu keadaan Paulie semakin membaik, nada lega mulai
mewarnai suaranya. Namun ia masih cemas. "Ellie, kalau sampai ada
sidang ulang, Paulie terpaksa harus bersaksi. Aku khawatir dia akan
melakukan ini lagi pada dirinya. Dia pernah mengatakan padaku,
"Mama, dalam sidang aku tidak bisa menjawab mereka sampai mereka
mengerti maksudku. Aku khawatir waktu Andrea ingin bertemu Rob
Westerfield. Aku tidak pernah mengancam Andrea.?"
Kemudian ia menambahkan, "Teman-temanku meneleponku.
Mereka mengikuti situsmu. Mereka bilang semua orang seharusnya
punya teman seperti kau. Aku menceritakan itu pada Paulie. Dia ingin
kau datang menengoknya."
Aku berjanji akan ke sana pada hari Jumat.
Selain untuk melakukan beberapa keperluan, selama ini aku
tinggal di dalam kamarku, mengerjakan buku itu. Dan aku meminta
makananku diantar ke kamar. Namun pada hari Rabu pukul tujuh
malam aku memutuskan pergi ke bawah untuk makan malam
Ruang makan penginapan ini tidak jauh berbeda dengan yang
ada di Parkinson Inn, meski kesannya lebih formal. Letak mejamejanya lebih
berjauhan, dan taplaknya dari bahan linen putih, bukan
bercorak kotak-kotak merah-putih. Hiasan meja di Parkinson adalah
tempat lilin yang lucu, bukan vas kecil berisi bunga. Mereka yang
makan di sini jelas lebih tua - orang-orang berumur dari kelas yang
lebih tinggi, bukan kelompok-kelompok yang masih suka berhurahura yang biasanya
memenuhi Parkinson. Tapi makanannya sama enaknya, dan setelah berdebat dengan
diriku sendiri antara menu iga kambing dan ikan, aku memilih yang
betul betul ingin kumakan. Aku memesan kambing.
Aku mengeluarkan dari tasku buku yang memang ingin kubaca,
dan selama satu jam berikutnya menikmati kombinasi yang aku
suka - makan malam enak dan buku bagus. Aku begitu tenggelam
dalam ceritanya, sehingga ketika seorang pelayan muncul untuk
mengangkat piringku dan berbicara denganku, aku mengangkat
wajahku dengan kaget. Aku bilang ya, aku mau kopi dan tidak, aku tidak mau hidangan
pencuci mulut. "Tuan yang duduk di meja itu ingin menawarkan segelas
minuman pada Anda." Aku sudah tahu itu Rob Westerfield, bahkan sebelum aku
menoleh. Ia duduk kurang dari 1,8 meter dariku, dengan gelas anggur
di tangannya. Ia mengangkat gelasnya, sok mengajak bersulang,
kemudian tersenyum. "Dia menanyakan padaku apakah aku tahu nama Anda, Miss.
Aku bilang padanya siapa Anda, lalu dia menulis ini untuk Anda."
Ia menyerahkan kartu padaku, dengan nama lengkap
Westerfield yang diembos di atasnya, Robson Parke Westerfield. Ya
Tuhan, dia melakukannya secara terbuka, itulah yang terpintas di
kepalaku saat aku membalik kartu itu.
Di atasnya ia menulis: "Andrea memang manis, tapi kau
cantik". Aku berdiri, kemudian berjalan ke arahnya, menyobek kartu
namanya, dan menjatuhkannya ke dalam gelas anggurnya. "Mungkin
kau mau memberiku liontin yang kauambil kembali setelah kau
Putri Kesayangan Ayah Daddy's Little Girl Karya Mary Higgins Clark di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membunuhnya," usulku.
Pupil matanya melebar, dan ekspresi mengajak bercanda dalam
matanya yang biru cobalt menghilang. Sesaat aku mengira ia akan
melompat berdiri dan menyerangku seperti ketika ia menyerang Dr.
Fisher di restoran itu sekian tahun lalu. "Kalung itu sempat
membuatmu cemas sekali waktu itu, bukan?" ujarku. "Yah, kurasa
sekarang pun masih, dan aku akan mencari tahu alasannya."
Si pelayan sedang berdiri di antara kedua meja kami,
ekspresinya bingung. Jelas ia tidak mengenali Westerfield, dan aku
bertanya-tanya sudah berapa lama ia berada di kota Oldham ini.
Dengan kepalaku aku menunjuk Westerfield. "Bawakan Mr.
Westerfield segelas anggur lagi, dan masukkan tagihannya ke dalam
rekeningku." ****************************************
Entah kapan, malam itu, sistem alarm mobilku dirusak orang
dan tangki bensinku dibuka paksa. Cara yang sangat efisien untuk
merusak mobil adalah dengan menuangkan pasir ke dalam tangki
bensinnya. Dinas kepolisian Oldham dalam wujud Detektif White muncul
menanggapi teleponku mengenai BMW-ku yang berantakan. Secara
tak langsung ia menanyai dari mana aku memperoleh pasir, dan ia
menyebutkan kebakaran di garasi Mrs. Hilmer memang terjadi secara
sengaja. Ia juga menyatakan sisa-sisa handuk dengan bekas rendaman
bensin yang merupakan penyebab kebakaran itu sudah diidentifikasi
mirip dengan handuk-handuk yang ditinggalkan Mrs. Hilmer di lemari
seprai apartemennya. "Benar-benar suatu kebetulan, Ms. Cavanaugh," ujarnya.
Bukankah begitu?" Chapter 30 AKU menyewa mobil untuk pergi ke Boston, memenuhi
janjianku dengan Christopher Cassidy. Aku betul-betul marah karena
mobilku sendiri rusak, dan cemas karena aku tahu ada hal lain yang
harus kuhadapi. Tadinya aku mengira orang yang menyusup ke
apartemenku waktu itu berniat mencari bahan yang mungkin akan
kupergunakan di dalam situsku. Sekarang aku bertanya-tanya apakah
alasan utamanya berada di sana adalah untuk mencuri sesuatu yang
bisa dipakainya kelak, untuk menyulut kebakaran yang nyaris
membuatku kehilangan nyawa itu.
Tentu saja aku tahu Rob Westerfield-lah yang berada di
belakang semua ini, dan ia memiliki keroco-keroco seperti yang
pernah menghampiriku di pelataran parkir Sing Sing untuk melakukan
pekerjaan-pekerjaan kotor baginya. Aku ingin membuktikan pada
dunia bahwa dengan menelusuri masa lalunya, akan terungkap pola
kekerasan yang sudah berlangsung sekian tahun, dan berbuntut
kematian Andrea. Selain itu, aku juga percaya ia ingin menjadikan aku
korban berikut polanya itu.
Sama seperti mempertaruhkan $5.000 untuk nama depan
seseorang yang mungkin pernah menjadi korban Westerfield, ini juga
merupakan risiko yang harus kuambil.
Reporter yang baik harus selalu tepat waktu. Tidak bisa
menggunakan kendaraanku sendiri, masih harus menunggu pihak
kepolisian mengisi formulir laporan, dan setelah itu pergi ke tempat
menyewa kendaraan ternyata menghabiskan banyak waktu.
Sebetulnya aku tidak akan terlambat untuk janji temu itu; tapi
cuacanya tidak mendukung.
Menurut prakiraan, langit akan mendung dan mungkin hujan
salju ringan di waktu malam. Namun hujan salju ringan itu mulai jatuh
sekitar lima puluh mil di luar kota Boston; akibatnya jalan menjadi
licin, dan lalu lintas terpaksa merambat. Sementara menit demi menit
terus berlalu, aku melirik jam di dasborku. Hatiku resah menanggapi
arus kendaraan yang tersendat-sendat. Sekretaris Christopher Cassidy
sudah mengingatkan aku untuk datang tepat waktu, mengingat ia
benar-benar menyisihkan waktu di antara jadwalnya yang sangat padat
hari itu, dan akan berangkat malam ini untuk pertemuan di Eropa.
Waktu menunjukkan pukul dua kurang empat menit ketika aku
akhirnya terengah-engah tiba di kantornya untuk janji pukul dua kami.
Selama beberapa menit aku duduk di ruang tunggunya yang apik,
berusaha mengatur napas. Aku merasa tegang dan agak susah
memusatkan pikiran, selain itu aku mulai merasa agak pusing.
Tepat pukul dua sekretaris Cassidy muncul untuk mengantarku
ke ruang kerja pribadinya. Saat mengikutinya, aku mencoba
mengingat-ingat semua yang sudah kuketahui mengenai Cassidy. Di
antaranya, tentu saja, ia mendapat beasiswa untuk bersekolah di
Arbinger Academy, dan bahwa ia yang mendirikan perusahaan ini.
Saat melacak namanya di Internet, aku mendapati ia lulus Yale
sebagai yang terbaik dalam angkatannya, ia memperoleh gelar master
dari Harvard Business School, dan penghargaan dari begitu banyak
yayasan, yang membuktikan ia donatur yang royal.
Ia berusia empat puluh dua tahun, menikah, memiliki anak
perempuan berusia lima belas tahun, dan sangat suka berolah raga.
Benar-benar laki laki luar biasa.
Begitu aku masuk ke dalam ruangan itu, ia melangkah keluar
dari belakang meja tulisnya, menghampiriku sambil mengulurkan
tangan. "Aku senang sekali bertemu Anda, Ms. Cavanaugh. Boleh aku
memanggil Anda Ellie" Aku merasa seperti sudah mengenal Anda.
Bagaimana kalau kita duduk di sana?" Ia menunjuk tempat untuk
duduk duduk di dekat jendela.
Aku memilih sofanya. Ia duduk di tepi kursi di depanku. "Kopi
atau teh?" tanyanya.
"Kopi kental," sahutku penuh rasa terima kasih. Aku merasa
secangkir kopi akan membantuku menjernihkan dan memusatkan
pikiran. Ia meraih pesawat telepon di meja dekat kursinya. Saat ia
berbicara dengan sekretarisnya, aku mendapat kesempatan untuk
mengamatinya; aku menyukai apa yang kulihat. Setelan jas biru
gelapnya berpotongan apik dan kemeja putihnya konservatif, namun
dasi merah bercorak tongkat golf kecil-kecil memberi kesan lebih
santai. Ia memiliki bahu bidang, tubuh tegap dan ramping, rambut
pirang kecokelatan yang lebat, dan mata merah kecokelatan yang
letaknya dalam. Dari dalam dirinya terpancar energi yang mengungkapkan
semangat hidupnya, dan aku bisa merasakan Christopher Cassidy
bukanlah tipe yang suka menyia-nyiakan waktunya.
Sekarang ia langsung ke pokok permasalahan. "Sewaktu Craig
Parshall meneleponku, dia menyatakan padaku kenapa Anda ingin
bicara denganku." "Kalau begitu, Anda tahu bahwa Rob Westerfield sudah keluar
dari penjara, dan mungkin kasusnya akan disidangkan kembali."
"Dan dia sedang mencoba mengalihkan tuduhan bersalah atas
kematian kakak Anda pada orang lain. Ya, aku tahu itu. Mengalihkan
kesalahan untuk perbuatannya merupakan salah satu kebiasaan
lamanya. Dia pernah melakukan hal yang sama ketika berusia empat
belas tahun." "Itu persisnya informasi yang ingin kumasukkan dalam situsku.
Keluarga Westerfield sudah memiliki seseorang yang mereka sebut
saksi, yang akan berbohong untuk mereka. Situasinya adalah, dalam
sidang ulang nanti mereka memiliki peluang bagus untuk
membersihkan nama mereka, dan setelah itu seluruh kasus akan
dihapuskan. Rob Westerfield akan dianggap martir yang telah
menghabiskan lebih dari dua puluh tahun di penjara untuk tindak
kejahatan yang dilakukan orang lain. Aku tidak bisa membiarkan itu
terjadi. "Apa yang ingin Anda ketahui dariku?"
"Mr Cassidy," mulaiku.
"Semua yang benci Rob Westerfield memanggilku Chris."
"Chris, menurut Craig Parshall, Westerfield pernah menghajar
Anda habis-habisan ketika kalian sama-sama menjalani tahun kedua di
Arbinger." "Kami sama-sama olahragawan berprestasi. Suatu ketika kami
memperebutkan posisi dalam pertandingan atletik. Aku berhasil
memenangkannya. Kurasa dia penasaran. Satu dua hari kemudian, aku
sedang dalam perjalanan kembali ke asrama dari perpustakaan. Aku
membawa setumpuk buku. Dia menghampiriku dari belakang, lalu
menonjok leherku. Sebelum aku sempat melakukan apa-apa, dia sudah
menindihku. Akhirnya aku mengalami patah hidung dan tulang
rahang." "Dan tidak seorang pun berusaha menghalanginya?"
"Dia sudah memperhitungkan waktunya. Dia menyerang saat
tidak ada siapa pun di sekitar tempat itu dan setelah itu menyatakan
akulah yang memulai semua itu. Untungnya, seorang senior kebetulan
sedang melongok ke luar jendela, dan menyaksikan apa yang terjadi.
Tentu saja pihak sekolah tidak menginginkan skandal. Keluarga
Westerfield sudah menjadi donatur andalan selama beberapa generasi.
Ayahku sudah siap mengajukan tuntutan, namun dia ditawari
beasiswa penuh untuk adikku yang saat itu duduk di kelas delapan,
kalau dia mau mempertimbangkannya kembali. Aku yakin keluarga
Westerfield akhirnya membayar "beasiswa" itu."
Kopi disajikan. Nikmat sekali. Cassidy tampak termenung saat
ia mendekatkan cangkirnya ke bibir. Kemudian ia berkata, "Demi
nama baik sekolah, Rob terpaksa menarik diri di akhir tahun ajaran."
"Apa aku boleh menulis ini di situsku" Pengungkapan nama
Anda akan menambah makna dari apa yang sedang kukerjakan."
"Itu pasti. Aku masih ingat waktu kakak Anda meninggal. Aku
membaca seluruh liputan mengenai sidang itu, karena keterlibatan
Westerfield. Waktu itu aku berandai aku bisa tampil di mimbar saksi
dan mengungkapkan pada mereka bahwa dia bajingan. Aku punya
anak perempuan yang seumur kakak Anda saat dia meninggal. Aku
bisa membayangkan perasaan ayah Anda, apa yang dialami seluruh
keluarga Anda." Aku mengangguk. "Peristiwa itu menghancurkan kami sebagai
keluarga." "Itu sama sekali tidak mengherankan."
"Sebelum dia menyerang Anda, apakah Anda banyak
berhubungan dengannya di sekolah?"
"Aku cuma putra tukang masak kontrakan. Dia seorang
Westerfield. Dia tidak punya waktu untukku, sampai aku dianggap
menghalangi jalannya."
Cassidy melirik arlojinya. Sudah waktunya mengucapkan
terima kasih padanya dan pergi. Tapi aku masih punya satu
pertanyaan lagi, "Bagaimana mengenai tahun pertamanya" Anda
berhubungan dengannya?"
"Tidak juga. Kami menekuni kesibukan yang berbeda. Dia lebih
aktif dalam klub drama, dan terlibat dalam beberapa kali pementasan.
Aku pernah menonton aktingnya, dan harus kuakui dia benar-benar
berbakat. Dia tidak pernah menjadi pemeran utama, tapi toh mendapat
nominasi sebagai aktor terbaik untuk salah satu penampilannya, jadi
kukira untuk sementara dia cukup senang."
Cassidy bangkit berdiri, kemudian dengan enggan aku juga
berdiri. "Anda baik sekali," ujarku memulai, tapi ia segera memotong
kalimatku. "Aku baru ingat sesuatu. Westerfield senang sekali dirinya
disorot, dan tidak ingin keberhasilannya dilupakan orang begitu saja.
Dia mengenakan wig berwarna pirang gelap dalam drama itu, dan
supaya kami tidak lupa betapa bagus permainannya, sesekali dia suka
memakai kembali wig itu. Kemudian dia berlagak seperti tokoh yang
pernah dia perankan, dan aku masih ingat dia bahkan menandatangani
kertas-kertas tugas di kelas memakai nama si tokoh."
Aku teringat bagaimana Rob Westerfield muncul di penginapan
itu tadi malam, dan memberi kesan pada si pelayan bahwa ia sedang
mencoba mengambil hatiku. "Dia masih suka akting," sahutku dalam
nada geram. ***************************************
Aku cepat-cepat pergi makan siang, dan kembali ke mobil pada
pukul setengah empat. Hujan salju belum reda, dan perjalananku
menuju Boston mulai terasa seperti piknik dibandingkan perjalanan
pulang ke Oldham. Aku meletakkan ponselku di sebelahku, di bangku
depan mobil, untuk menghindari luputnya telepon si laki-laki yang
pernah mendekam dalam penjara bersama Westerfield.
Ia menyatakan membutuhkan uang menjelang hari Jumat. Saat
ini perasaanku mengatakan bahwa informasi yang akan diberikannya
cukup berharga, sehingga aku benar-benar berharap ia tidak berubah
pikiran. Baru pukul setengah dua belas malam itu aku akhirnya tiba
kembali di tempat penginapanku. Aku baru saja masuk ke kamar
ketika ponselku berbunyi. Ternyata telepon yang sedang kutunggutunggu, namun
kali ini suara yang kudengar terkesan cemas. "Begini,
kurasa aku sedang dijebak. Mungkin aku tidak akan bisa keluar dari
sini." "Anda di mana?"
"Dengar dulu. Kalau aku memberikan nama itu padamu, apa
aku bisa mempercayaimu untuk membayarku kelak?"
"Ya, bisa," "Rupanya Westerfield menyadari aku bisa menimbulkan
masalah baginya. Dia punya banyak uang sejak lahir. Aku tidak punya
apa-apa. Kalau aku keluar dari sini dan kau membayarku, sedikitnya
aku punya sesuatu. Kalau sampai aku tidak bisa keluar lagi, mungkin
kau bisa memojokkan Westerfield untukku dengan tuduhan
melakukan pembunuhan."
Sekarang aku yakin laki-laki ini tidak berniat memanfaatkan
aku, bahwa ia memang memiliki informasi untukku. "Aku berjanji
akan membayar Anda. Aku berjanji akan memojokkan Westerfield
untuk Anda." "Westerfield pernah bilang padaku, "Aku menghajar Phil
sampai mati, dan rasanya bukan main." Kaudengar itu" Phil - itu
namanya. " Lalu telepon terputus Chapter 31 ROB WFSTERFIELD berusia sembilan belas tahun ketika
membunuh Andrea. Dalam waktu delapan bulan ia ditahan,
diinterogasi, dihadapkan ke muka sidang, divonis, kemudian dikirim
ke penjara. Meskipun ia sempat ditahan di luar dengan jaminan
sebelum dijatuhi vonis, aku tidak begitu yakin selama tenggang waktu
delapan bulan itu ia akan mengambil risiko membunuh orang lagi.
Itu berarti tindak kejahatan tersebut dilakukan sekitar dua puluh
dua sampai dua puluh tujuh tahun yang lalu. Aku harus melacak lima
sampai enam tahun dalam kehidupannya itu untuk menemukan
hubungan antara dirinya dengan seseorang yang sudah mati dengan
nama kecil Phil. Sepertinya tidak masuk akal membayangkan kemungkinan Rob
pernah membunuh di usia tiga belas atau empat belas tahun. Atau
masuk akal" Ia baru berumur empat belas ketika menyerang
Christopher Cassidy secara keji.
Aku memperhitungkan dalam tahun-tahun itu ia berada di
Arbinger, Massachusetts selama satu setengah tahun, dan setelah itu
enam bulan di Bath Public School di Inggris, dua tahun di Carrington
Academy di Maine, dan sekitar satu semester di Willow, perguruan
tinggi yang tidak begitu jelas, dekat Buffalo. Keluarga Westerfield
memiliki rumah di Vail dan sebuah lagi di Palm Beach. Kurasa Rob
pernah mengunjungi tempat-tempat itu. Ia tentunya juga pernah
mengikuti kursus-kursus singkat di luar negeri.
Putri Kesayangan Ayah Daddy's Little Girl Karya Mary Higgins Clark di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ruang lingkup yang cukup luas untuk diliput Aku butuh
bantuan. Marcus Longo pernah menjadi detektif Kantor Kejaksaan
Daerah Westchester selama dua puluh lima tahun. Kalau ada yang
dapat melacak tindak pembunuhan atas diri seseorang dengan hanya
nama depan sebagai pegangan, aku berani bertaruh dialah orangnya.
Untungnya, saat menelepon Marcus, aku bisa langsung
berbicara dengannya, dan bukan dengan mesin penerima pesannya.
Seperti dugaanku, ia pergi ke Colorado untuk menjemput istrinya.
"Kami tinggal di sana selama beberapa hari, untuk melihat-lihat
rumah," ujarnya menjelaskan. "Kurasa kami sudah menemukan satu."
Nada suaranya berubah. "Tadinya aku mau menceritakan
padamu tentang cucuku, tapi itu bisa menunggu. Setahuku banyak
yang terjadi sejak aku pergi."
"Aku tidak bisa menyangkal itu, Marcus. Bagaimana kalau
kutraktir kau makan siang" Aku butuh sedikit nasihat."
"Nasihatnya gratis Aku yang mentraktirmu makan siang."
*******************************************
Kami bertemu di The Depot Restaurant di Cold Spring. Di sana,
sambil menikmati sandwich isi daging asap, selada, dan minum kopi,
aku melaporkan padanya apa yang kualami selama seminggu itu.
Ia menyela beberapa kali dengan pertanyaan-pertanyaannya.
"Menurutmu, maksud kebakaran itu untuk menakut-nakutimu
atau memang untuk membunuhmu?"
"Kenyataannya aku lebih dan sekadar takut; aku tidak begitu
yakin bisa keluar dari situ waktu itu."
"Oke. Dan kaubilang pihak kepolisian Oldham menduga kau
sendiri yang menyulut api itu?"
"Opsir White sudah mengupayakan segalanya kecuali
memborgolku." "Sepupunya pernah bekerja di Kantor Kejaksaan ketika aku
masih di sana. Dia sudah menjadi hakim sekarang, dan anggota klub
yang sama dengan ayah Rob. Secara terbuka, dia berpendapat Paulie
Stroebel-lah yang bersalah atas kematian Andrea. Aku berani bertaruh
gara-gara dialah White bersikap seperti itu padamu. Situsmu itu
berdampak sangat provokatif terhadap mereka yang merasa dekat
dengan keluarga Westerfield."
"Kalau begitu, aku berhasil "
Aku melayangkan mata ke sekelilingku, untuk memastikan
tidak ada yang menangkap pembicaraan kami. "Marcus..."
"Ellie, apa kau sadar matamu terus nyalang ke sana kemari"
Siapa atau apa yang membuatmu resah?"
Aku menceritakan padanya tentang kemunculan Rob
Westerfield di tempat penginapan itu. "Dia baru muncul setelah aku
hampir selesai makan," ungkapku. "Seseorang rupanya meneleponnya
untuk memberitahukan. Aku yakin itu."
Aku tahu setelah ini Marcus akan mengingatkan aku untuk
lebih berhati-hati, atau memintaku berhenti mengisi situsku dengan
materi-materi membahayakan itu. Aku tidak memberikan kesempatan
itu padanya. "Marcus, aku menerima telepon dari seseorang yang pernah
dipenjara bersama Rob." Aku mengungkapkan padanya tentang
transaksi yang telah kubuat untuk mendapatkan informasi itu, serta
mengenai telepon orang itu tadi malam.
Ia mendengarkan dengan serius, matanya mempelajari ekspresi
wajahku. Ia membiarkan aku berbicara, dan setelah itu bertanya, "Kau
percaya pada orang ini, ya?"
"Marcus, aku tahu bodoh sekali mempertaruhkan lima ribu
dolar. Tapi orang ini benar-benar takut kehilangan nyawanya. Dia
mau aku tahu tentang Phil karena dia menaruh dendam pada
Westerfield." "Kaubilang dia menyinggung soal karton yang kauacungkan di
luar bangunan penjara itu."
"Ya." "Menurut dugaanmu dia tahanan, jadi itu mungkin berarti dia
dilepas pada hari itu. Kau hanya satu kali ke sana, bukan?"
"Ya." "Ellie, orang itu mungkin saja petugas penjara yang akan masuk
atau sedang keluar dari penjara saat kau berdiri di situ. Dengan uang,
kau bisa membeli jasa dari beberapa petugas atau para tahanan lain."
Aku tidak pernah berpikir sejauh itu. "Tadinya aku berharap
kau bisa mengupayakan daftar tahanan yang dilepas pada hari sesudah
Westerfield keluar. Dari situ kau bisa melihat apakah sesuatu terjadi
pada salah satu di antara mereka."
"Aku bisa mengupayakan itu. Ellie, kau tahu ini juga bisa
merupakan permainan salah satu orang iseng."
"Aku tahu itu, tapi kurasa tidak." Aku membuka agendaku.
"Aku sudah membuat daftar sekolah-sekolah yang pernah
menampung Rob Westerfield, baik di sini maupun di Inggris, dan
tempat-tempat di mana keluarganya memiliki rumah. Tentunya ada
database yang memuat kasus-kasus pembunuhan yang tidak berhasil
dipecahkan dalam tenggang waktu antara dua puluh dua sampai dua
puluh tujuh tahun yang lalu, bukan?"
"Tentu saja." "Kantor Kejaksaan Westchester juga punya?"
"Ya." "Kau bisa mengaksesnya, atau meminta seseorang melakukan
itu untukmu?" "Ya, bisa." "Kalau begitu, tidak akan terlalu sulit melacak apakah ada
korban dengan nama depan Phil di situ, bukan?"
"Ya." "Bagaimana mengenai pengecekan database tindak kejahatan
yang tidak berhasil dipecahkan di daerah-daerah sekitar sekolah dan
rumah yang pernah ditempati Westerfield?"
Marcus mempelajari daftar itu. "Massachusetts, Maine, Florida,
Colorado, New York, Inggris." Ia bersiul. "Lumayan luas daerah
lingkupnya. Kita lihat apa yang bisa kulakukan."
"Satu hal lagi. Mengingat cara Rob Westerfield beroperasi,
apakah ada database untuk tindak kejahatan yang berhasil dipecahkan,
yang mencantumkan nama Phil sebagai korban dan seseorang yang
menyatakan dirinya bersalah menjalani hukumannya?"
"Ellie, sembilan dari sepuluh orang yang dinyatakan bersalah
dalam persidangan dan berada di belakang terali menyatakan orang
lainlah yang melakukan tindak kejahatan itu. Bagaimana kalau kita
memulai dengan kejahatan-kejahatan yang tidak berhasil dipecahkan
dan melihat dulu hasilnya?"
"Besok aku akan memuat cerita Christopher Cassidy mengenai
Rob dalam situsku. Tak seorang pun akan mempertanyakan integritas
Cassidy, sehingga pengungkapannya akan dianggap cukup relevan.
Aku belum sempat menghubungi Carrington Academy. Akan kulihat
apakah aku bisa membuat janji dengan mereka di sana untuk hari
Senin atau Selasa." "Coba cek daftar murid di tahun-tahun Westerfield bersekolah
di sana," usul Marcus sambil memberikan isyarat untuk meminta bon.
"Aku sudah memikirkan itu. Satu di antara sekolah-sekolah itu
mungkin pernah mempunyai murid bernama Phil, yang pernah
berhubungan dengan Westerfield."
"Mungkin saja," ujar Marcus. "Para mahasiswa perguruan
tinggi biasanya datang dari seluruh pelosok negeri. Mungkin saja
Westerfield mengikuti salah satu dari mereka ke tempat asalnya, untuk
membuat perhitungan dengannya."
"'Aku menghajar Phil sampai mati, dan rasanya bukan main."
Siapakah orang-orang yang pernah menyayangi Phil" tanyaku
pada diri sendiri. Apakah mereka masih meratapi kepergiannya"
Tentu saja masih. Pelayan meletakkan bon di hadapan Marcus. Aku menunggu
sampai ia berlalu sebelum mengatakan,"Aku bisa menghubungi
kontakku di Arbinger. Dia sudah cukup banyak membantu. Kalau aku
jadi pergi ke Carrington dan Willow College, aku akan meminta daftar
siswa mereka dari masa Westerfield di sana. Philip bukan nama yang
terlalu umum, bukan?"
"Ellie, tadi katamu seseorang memberitahu Rob Westerfield
bahwa kau sedang makan di restoran itu."
"Ya." "Kaubilang informanmu menyatakan dia mencemaskan
keselamatannya." "Ya." "Ellie, Rob Westerfield tentunya cemas situsmu akan membuat
neneknya meninggalkan semua uangnya untuk amal. Sekarang dia
mungkin mulai takut menanggapi keberhasilanmu menyingkap
kejahatan lain yang berpeluang menyeret dirinya kembali ke penjara.
Apakah kau sadar betapa berbahayanya situasimu?"
"Terus terang, ya, tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa untuk
mengatasi itu." "Yang benar saja, Ellie, tentu saja kau bisa! Ayahmu pernah
bertugas di dinas patroli daerah. Dia sudah pensiun. Kau bisa tinggal
bersamanya. Dia bisa melindungimu. Percayalah, kau butuh
pelindung. Dan satu hal lagi: Kalau yang dikatakan orang itu memang
relevan, membantu mengembalikan Westerfield ke dalam penjara juga
akan membantu ayahmu mengakhiri penderitaannya. Kurasa kau tidak
menyadari betapa berat beban yang dipikulnya selama ini."
"Dia masih berhubungan denganmu?"
"Ya." "Marcus, maksudmu memang baik," ujarku saat kami berdiri,
"tapi kurasa kau tidak mengerti. Ayahku sudah mengakhiri
penderitaannya saat dia melepaskan kami dan tidak pernah berusaha
memenangkan kami kembali. Ibuku membutuhkan dan mengharapkan
dia melakukan itu, namun dia sama sekali tidak berusaha. Lain kali,
kalau dia menelepon, bilang padanya agar lebih baik menonton
permainan basket putranya, dan jangan mengganggu aku lagi."
Marcus merangkulku saat kami berpisah di pelataran parkir.
"Aku akan meneleponmu begitu aku mulai melihat titik terang,"
janjinya. Aku kembali ke tempat penginapanku. Mrs. Willis berada di
belakang mejanya. "Adik Anda sedang menunggu di ruang rekreasi,"
ujarnya. Chapter 32 Ia berdiri di muka jendela, melihat ke luar, punggungnya
menghadap ke arahku. Tingginya sekitar 186 senti, lebih tinggi
daripada yang kuperkirakan saat aku melihatnya di televisi. Ia
mengenakan celana dari bahan khaki, sepatu karet, dan jaket
sekolahnya. Tangannya di dalam saku, dan ia menggoyang-goyang
kaki kanannya. Aku mendapat kesan ia sedang waswas.
Rupanya ia mendengar suara langkah kakiku, karena ia
memutar tubuhnya. Kami berpandangan.
"Kau tidak akan pernah bisa memungkirinya," ujar nenekku
setiap kali, dalam nada bergurau pada ibuku tentang Andrea. "Dia
persis kau." Andai kata nenekku ada di sini, ia pasti akan mengatakan hal
yang sama mengenai kami. Dari luar, setidaknya, kami tidak akan
pernah dapat saling memungkiri.
"Halo, Ellie, aku adikmu, Teddy." Ia melangkah
menghampiriku sambil mengulurkan tangan.
Aku tidak menyambutnya. "Apa aku boleh bicara denganmu lima menit saja?" Suaranya
belum betul-betul dalam, namun sudah mulai. Ia tampak cemas, tapi
nekat. Aku menggeleng, kemudian mengambil ancang-ancang untuk
meninggalkannya. "Kau kakakku, ujarnya. Setidaknya bicaralah padaku lima
menit saja. Siapa tahu kau akan suka padaku, begitu kau
mengenalku." Aku membalikkan tubuh ke arahnya. "Teddy, kau kelihatannya
anak baik, tapi aku yakin kau bisa menggunakan waktumu dengan
lebih baik daripada menghabiskannya denganku. Aku tahu kau
dikirim kemari oleh ayahmu. Sepertinya dia tidak menangkap aku
tidak pernah mau melihat atau mendengar apa-apa lagi mengenai
dirinya." "Dia juga ayahmu. Entah kau mau percaya atau tidak, dia tidak
pernah berhenti menjadi ayahmu. Dia tidak mengirimku kemari. Dia
bahkan tidak tahu aku ada di sini. Aku kemari karena ingin bertemu
denganmu. Dari dulu aku ingin bertemu denganmu."
Aku menangkap nada memohon dalam suaranya. "Bagaimana
kalau kita minum soda atau apa?"
Aku menggeleng. "Aku mohon, Ellie. Entah karena cara ia menyebut namaku, atau mungkin memang
sulit bagiku untuk bersikap lebih keras padanya. Ia tidak pernah
melakukan kesalahan apa-apa padaku
Akhirnya aku berkata, "Ada mesin otomat di lorong." Aku
mulai merogoh dompetku. "Aku ada. Kau mau minum apa?"
"Air putih." "Aku juga. Aku akan segera kembali." Senyumannya malumalu, sekaligus lega.
Aku duduk di kursi rotan untuk dua orang, kemudian mencoba
mencari cara untuk mengusirnya pergi. Aku tidak ingin mendengar
rengekannya mengenai betapa baiknya ayah kami, dan sebaiknya aku
merelakan yang sudah berlalu.
Mungkin ayahku memang baik untuk dua anaknya, untuk
Andrea dan untukmu, batinku, tapi aku sepertinya terselip entah di
mana. Teddy kembali membawa dua botol berisi air. Aku bisa
membaca pikirannya saat ia melihat kursi rotan untuk dua orang itu,
dan sebuah kursi. Aku tidak mau ia duduk di dekatku. Saudara
sedarah-sedagingku, batinku. Tidak, itu ungkapan untuk Adam dan
Hawa, bukan untuk dua orang bersaudara.
Saudara seayah. "Ellie, maukah kau datang menontonku main basket sekalisekali?"
Aku sama sekali tidak siap untuk pertanyaan itu.
"Maksudku, apakah setidaknya kita tidak bisa berteman" Dari
dulu aku berharap kau mau datang menengok kami, tapi kalau kau
tidak mau, mungkin kau dan aku bisa sekali-sekali ketemu. Aku
membaca bukumu tahun lalu, mengenai kasus-kasus yang
kaukerjakan. Hebat sekali Aku ingin sekali bicara denganmu tentang
itu." "Teddy, aku sedang sibuk sekali sekarang ini, dan..."
Ia memotong kalimatku, "Aku mengikuti situsmu setiap hari.
Caramu menulis tentang Westerfield pasti membuatnya kalang kabut.
Ellie, kau kakakku, dan aku tidak mau sesuatu terjadi padamu."
Aku ingin mengatakan padanya, "Jangan panggil aku
kakakmu," namun kata-kata itu tidak mau keluar dari mulutku.
Akhirnya aku berkata, "Jangan khawatir tentang aku. Aku bisa
menjaga diriku." "Apa aku boleh bantu" Tadi pagi aku membaca di koran
mengenai apa yang terjadi pada mobilmu. Anggaplah seseorang
mengerjai ban atau rem mobil yang kaukendarai saat ini" Aku biasa
merawat mobil. Aku bisa memeriksanya untukmu sebelum kau pergi
ke mana-mana, atau aku bahkan bisa mengantarmu ke mana-mana
Putri Kesayangan Ayah Daddy's Little Girl Karya Mary Higgins Clark di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan mobilku." Nadanya begitu tulus dan khawatir, sehingga aku terpaksa
tersenyum. "Teddy, kau harus sekolah dan banyak latihan basket. Dan
sekarang aku benar-benar harus bekerja."
Ia berdiri bersamaku. "Tampang kita mirip," ujarnya.
"Aku tahu itu."
"Aku senang. Ellie, aku tidak akan menghalangimu sekarang,
tapi aku akan kembali."
Andai ayahmu dulu juga senekat itu, batinku. Kemudian aku
menyadari andai ayahku nekat, anak muda ini tidak akan pernah
muncul di dunia. ********************************************
Aku bekerja selama beberapa jam, memoles cara menyuguhkan
kisah Christopher Cassidy dalam situsku. Setelah merasa puas, aku
mengirim hasilnya lewat e-mail ke kantornya untuk mendapatkan
persetujuannya. Pada pukul empat, Marcus Longo menelepon. "Ellie, keluarga
Westerfield meniru caramu. Mereka baru saja membuka situs:
comjus-rob.com." "Coba kutebak, singkatan apa itu Committee for Justice for
Rob - komite menuntut keadilan untuk Rob."
"Betul. Setahuku mereka memasang advertensi di semua koran
Westchester untuk mengiklankannya. Pada dasarnya, strategi mereka
adalah menampilkan kisah-kisah menyentuh dari orang-orang yang
telah dituduh secara salah melakukan perbuatan kriminal."
"Dengan begitu, mereka akan menghubungkannya dengan Rob
Westerfield, sosok paling tak berdosa di antara mereka semua."
"Kau benar. Tapi mereka juga telah melakukan pelacakan
sehubungan dengan dirimu, dan mereka berhasil mendapatkan
beberapa masukan yang sepertinya kurang menguntungkan."
"Maksudmu?" "The Fromme Center, sebuah fasilitas psikiatri."
"Aku memang pernah membuat artikel mengenai fasilitas itu
dengan cara menyamar. Sebuah proyek mercusuar. Menghabiskan
dana pemerintah daerah Georgia, padahal tak seorang pun ahli jiwa
maupun psikolog yang legal duduk di dalam stafnya."
"Kau pernah menjadi pasien di sana?"
"Marcus, kau gila" Tentu saja tidak."
"Apa pernah ada foto dirimu di Fromme Center, di mana kau
sedang berbaring di tempat tidur dengan kaki dan tangan terikat?"
"Ya, memang ada dan foto itu diambil untuk memberi
gambaran bagaimana situasi di sana. Setelah pemerintah daerah
menutup Fromme Center dan memindahkan pasien-pasiennya ke
beberapa fasilitas lain, kami melakukan peliputan lanjut mengenai
cara mereka memasung pasien-pasien mereka, yang kadang-kadang
selama beberapa hari. Kenapa?"
"Semua itu ada dalam situs keluarga Westerfield."
"Tanpa penjelasan?"
"Mereka hanya memberi kesan kau pernah mendekam di sana."
Marcus terdiam. "Ellie, apa kau heran mereka mau main kotor?"
"Aku akan heran kalau mereka tidak melakukan itu, terus terang
Aku akan memuat seluruh liputanku, termasuk foto-foto dan teksnya
secara lengkap di dalam situsku. Aku akan menggunakan judul baru:
"Dusta Westerfield yang Terbaru". Tapi aku tahu mereka yang
membaca situs Westerfield belum tentu akan membuka situsku."
"Atau sebaliknya. Itu yang kemudian aku khawatirkan. Ellie
apa kau merencanakan menulis sesuatu di dalam situsmu mengenai
kemungkinan terjadinya tindak pembunuhan yang lain itu?"
"Aku masih belum yakin. Di satu pihak, siapa pun yang
kebetulan membaca itu mungkin akan maju dengan informasi yang
dimilikinya mengenai si korban. Di lain pihak itu mungkin akan
membuat Rob Westerfield waspada dan segera bertindak untuk
menutupi jejak-jejaknya."
"Atau menghabisi sosok yang berpeluang memberikan
kesaksian yang akan mencelakai dirinya itu. Kau benar-benar harus
berhati-hati." " Itu mungkin sudah terjadi."
"Tepat sekali. Kabari aku apa keputusanmu."
***********************************************
Aku menyalakan komputerku dan menemukan situs The
Committee for Justice for Robson Westerfield itu.
Desainnya memang mengesankan, dengan kutipan Voltaire di
bawah judulnya: It is better to risk saving a guilty person than to
condemn an innocent one - lebih baik mengambil risiko melepas
orang yang bersalah daripada menghukum orang yang tidak bersalah.
Foto Rob Westerfield yang tampak serius dan termenung
dipasang persis di bawah kata-kata itu, diikuti kisah beberapa orang
yang memang pernah menjalani hukuman untuk tindak kejahatan yang
dilakukan orang lain. Kisah-kisah itu ditulis dengan baik dan
menyentuh. Tak perlu dipungkiri bahwa Jake Bern-lah pengarangnya.
Bagian situs yang meliput latar belakang keluarga Westerfield
menampilkan mereka seperti keluarga kerajaan Amerika. Ada fotofoto Rob ketika
masih bayi bersama kakeknya, seorang senator
Amerika, dan ketika berusia sembilan atau sepuluh tahun bersama
neneknya yang membantunya menggunting pita sebuah gelanggang
baru untuk anak-anak. Ada foto dirinya bersama kedua orangtuanya
menaiki kapal Queen Ehzabeth II, dan dalam pakaian tenis putih di
The Everglades Club. Kurasa idenya adalah menyampaikan bahwa benar-benar tidak
terpikir oleh anak muda yang berasal dari keluarga baik-baik ini untuk
mencabut nyawa seseorang.
Aku menjadi bintang dalam peliputan berikut situs itu. Di situ
diperlihatkan aku telentang di tempat tidur di pusat perawatan sakit
jiwa Fromme, dengan tangan dan kaki terikat, mengenakan pakaian
rumah sakit yang mengenaskan, khas untuk para pasien di situ Hanya
sebagian tubuhku ditutup sehelai selimut usang tipis.
Judul artikel itu: "Saksi yang Pernah Menjebloskan Rob
Westerfield ." Aku langsung mematikan komputerku. Aku mempunyai
kebiasaan yang kuwarisi dari ayahku. Saat betul-betul marah
mengenai sesuatu ia selalu menggigit sudut kanan bibir bawahnya.
Itulah yang kulakukan saat ini.
Aku duduk diam selama setengah jam, mencoba mengendalikan
diri sambil mempertimbangkan semua pro dan kontra masalah yang
sedang kuhadapi, dan mencoba mencari cara yang tepat untuk
mengungkapkan secara terbuka, apa yang bisa dianggap sebagai
pengakuan Westerfield untuk suatu tindak pembunuhan lain.
Marcus Longo telah menyatakan akan ada masalah teritorial
dalam upaya kami melacak misteri pembunuhan tak terpecahkan yang
mungkin dilakukan Rob Westerfield.
Jaringan Internet bersifat internasional.
Apakah aku akan mempertaruhkan seseorang dengan
memasukkan nama yang mungkin menjadi korban pembunuhan itu di
sana" Namun si penelepon gelap yang menghubungiku sudah berada
dalam bahaya, dan ia tahu itu.
Akhirnya aku menyusun kata pembukaan yang sederhana.
"Menurut perkiraan, sekitar dua puluh dua sampai dua puluh
tujuh tahun yang lalu, Rob Westerfield melakukan tindak kejahatan
lain. Berikut ini kutipan ucapannya sendiri saat berada di bawah
pengaruh obat-obat terlarang di penjara, "Aku menghajar Phil sampai
mati, dan rasanya bukan main."
"Barang siapa memiliki informasi tentang tindak kejahatan ini,
harap e-mail aku di eliel234@mediaone net. Kerahasiaan dijamin, dan
ada imbalan." Aku mempelajari tulisanku sekali lagi. Rob Westerfield pasti
akan membaca ini, batinku. Tapi siapa tahu ia mengenal seseorang
selain si penelepon gelap itu, yang memiliki informasi yang berpotensi
membahayakan dirinya"
Ada dua hal yang tidak akan dilakukan reporter investigasi:
mengungkapkan sumbernya, serta menempatkan orang yang tidak
bersalah dalam bahaya. Aku menekan ikon HOLD di layar komputerku.
Chapter 33 PADA hari Jumat malam aku merasa butuh seseorang dan aku
menelepon Pete Lawlor. "Telepon Anda dialihkan ke jasa penerima pesan..."
"Ini mantan kolegamu yang merasa punya cukup banyak
perhatian untuk ingin tahu keadaanmu, peluang yang kaumiliki dalam
pekerjaan, serta kesehatanmu," ujarku. "Terima kasih kalau kau mau
bereaksi." Ia menelepon kembali setengah jam kemudian. "Kau pasti
sedang sangat butuh seseorang untuk diajak bicara."
"Ya. Karena itu aku ingat padamu."
"Trims." "Boleh aku tahu di mana kau sekarang?"
"Di Atlanta. Mengemasi barang-barangku."
"Rupanya kau sudah mengambil keputusan."
"Ya. Pekerjaan ini ideal sekali. Basisnya di New York, tapi
dengan peluang cukup sering untuk melakukan perjalanan.
Memberikan laporan dan lokasi-lokasi paling panas di dunia."
"Koran apa?" "Bukan koran. Aku akan menjadi bintang TV."
"Bukannya kau harus menghilangkan lima kilo dulu sebelum
mereka mau memakaimu?"
"Aku tidak ingat kau bisa sekejam itu."
Aku tertawa. Berbicara dengan Pete bisa membuat perasaan
lega, sedikit realita dalam kehidupanku yang semakin terasa tidak
jelas. "Kau bercanda, atau kau memang benar-benar mendapat
pekerjaan di TV?" "Ini serius. Aku akan bekerja untuk Packard Cable."
"Packard. Hebat sekali."
"Di jaringannya yang lebih baru, tapi berpeluang berkembang
dengan cepat. Tadinya aku akan mengambil yang di L.A. meskipun
itu bukan persis yang kuinginkan, tapi kemudian mereka
menghubungiku." "Kapan kau mulai?"
"Hari Rabu. Aku sedang proses mengalih sewa apartemenku
dan mengumpulkan barang-barangku untuk dimuat ke mobil. Aku
akan berangkat hari Minggu sore. Makan malam hari Selasa?"
"Oke. Menyenangkan mendengar suaramu yang merdu itu..."
"Jangan tutup dulu, Ellie. Aku mengikuti situsmu."
"Lumayan bagus, kan?"
"Kalau orang ini seperti yang pernah kaukatakan, kau sedang
main api." Memang, batinku. "Kau harus janji tidak akan menyuruhku
hati-hati." "Janji. Kita ngobrol lagi hari Senin sore."
*******************************************
Aku kembali ke komputerku. Sudah hampir pukul delapan, dan
selama itu aku masih terus bekerja. Aku sudah memesan makanan
untuk diantar ke kamar, dan sambil menunggu aku sedikit
melemaskan otot-ototku, sementara pikiranku terus berjalan.
Berbicara dengan Pete setidaknya telah memperluas
pandanganku yang tadinya begitu sempit. Selama beberapa minggu
terakhir ini, aku berada di dunia yang tokoh utamanya adalah Rob
Westerfield. Kini, untuk sesaat, aku bisa melihat melewati tenggang
waktu itu, melewati sidang ulangnya, melewati kemampuanku
membuktikan pada dunia seberapa dalam sudah mendarah daging
pembawaannya yang menyukai kekerasan itu.
Aku bisa menggali dan menyebarluaskan setiap perbuatan jahat
dan busuk yang pernah ia lakukan. Mungkin aku bisa melacak
pembunuhan yang pernah ia lakukan. Pembunuhan yang sejauh ini
masih belum terpecahkan. Aku bisa mengungkapkan kisahnya yang
kotor dan mengenaskan dalam buku. Setelah itu tiba waktunya bagiku
memulai dengan lembaran kehidupanku yang baru.
Pete sudah memulai - basis baru di New York, pekerjaan baru
di media yang berbeda. Aku melingkarkan jari-jariku di belakang kepala, dan mulai
memutar tubuh dan satu sisi ke sisi lain. Otot-otot di leherku sudah
kaku, sehingga enak rasanya melemaskannya seperti itu. Yang kurang
baik adalah kenyataan bahwa aku merasa kehilangan Pete Lawlor, dan
aku enggan kembali ke Atlanta, kecuali ia ada di sana.
*****************************************
Aku berbicara dengan Mrs. Stroebel pada hari Sabtu pagi. Ia
menceritakan padaku bahwa Paulie tidak lagi di dalam ruang
perawatan intensif, dan mungkin boleh pulang setelah akhir minggu
ini. Aku berjanji akan mampir sebentar sekitar pukul tiga. Saat aku
tiba, Mrs. Stroebel sedang duduk di dekat tempat tidur Paulie. Begitu
ia mengangkat wajahnya ke arahku, aku bisa melihat dari kecemasan
yang membayang di wajahnya bahwa ada masalah.
"Temperaturnya naik sekitar waktu makan siang. Ada infeksi di
lengannya. Dokter mengatakan dia akan sembuh, tapi aku begitu
cemas, Ellie." Aku menatap Paulie. Lengannya masih dibebat perban, dan ada
beberapa botol infus yang terus meneteskan cairan ke dalam tubuhnya.
Ia tampak pucat sekali, dan kepalanya terus bergerak.
"Dia sudah mendapat antibiotik, ditambah sesuatu untuk
menenangkannya,?" ujar Mrs. Stroebel. "Demam membuatnya
gelisah." Aku menarik kursi dan duduk di dekatnya Paulie mulai
bergumam. Matanya mengerjap-ngerjap.
"Aku di sini, Paulie," ujar Mrs. Stroebel dengan lembut. "Ellie
Cavanaugh juga ada di sini bersamaku. Dia datang untuk menengok."
"Hai, Paulie." Aku berdiri, kemudian mendoyongkan tubuhku
ke arah tempat tidurnya, supaya ia dapat melihatku.
Matanya tampak berkaca-kaca karena demam, namun ia toh
mencoba tersenyum. "Ellie, sahabatku."
"Aku sahabatmu."
Matanya menutup kembali. Sesaat kemudian ia mulai
bergumam tidak jelas. Aku mendengar ia membisikkan nama Andrea.
Mrs. Stroebel memainkan tangannya dengan gelisah. "Dia terus
menggumamkan itu. Rupanya itu terus yang ada dalam pikirannya.
Dia khawatir mereka akan mengajukannya kembali ke muka sidang.
Tak seorang pun mengerti seberapa jauh mereka telah membuatnya
tertekan pada waktu itu." Suaranya meninggi, dan aku bisa melihat
Paulie semakin gelisah. Aku meremas tangan Mrs. Stroebel dan
mengangguk ke arah tempat tidur. Ia menangkap maksudku.
"Tentu, Ellie, berkat kau semuanya akan beres nanti," ujarnya
tegar. "Paulie tahu itu. Orang-orang datang ke toko kami dan
menceritakan padaku mereka melihat situsmu, di mana kau
menunjukkan seberapa brengseknya Rob Westerfield. Paulie dan aku
membuka situsmu minggu lalu. Isinya membuat kami terhibur."
Paulie tampak lebih tenang sedikit, kemudian ia berbisik, "Tapi,
Mama... bagaimana kalau aku lupa..." Mrs. Stroebel tiba-tiba tampak
serbasalah. "Jangan bilang apa apa lagi, Paulie," ujarnya cepat.
"Tidurlah. Kau harus sembuh."
"Mama..." "Paulie, kau harus diam sekarang." Dengan lembut tapi pasti ia
Putri Kesayangan Ayah Daddy's Little Girl Karya Mary Higgins Clark di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menutup mulut Paulie dengan tangannya.
Perasaanku mengatakan Mrs. Stroebel merasa tidak enak dan
ingin aku segera pergi, karena itulah aku bangkit berdiri
"Mama..." Mrs. Stroebel segera ikut berdiri bersamaku, kemudian
memblokir aksesku ke tempat tidur Paulie, seakan takut aku berada
terlalu dekat dengan Paulie. Aku tidak mengerti apa yang membuat ia
begitu gelisah. "Sampaikan salamku pada Paulie, Mrs. Stroebel,"
ujarku cepat. "Aku akan menelepon Anda besok, untuk tahu
keadaannya " Paulie mulai berbicara lagi kepalanya terus bergerak-gerak
gelisah. "Terima kasih, Ellie. Sampai besok." Mrs. Stroebel mulai
menggiringku keluar pintu.
"Andrea," seru Paulie, "jangan ke luar dengan dia".
Aku memutar tubuhku. Suara Paulie masih jelas sekali, namun kini nadanya terdengar
cemas dan memohon. "Mama, bagaimana kalau aku lupa dan
mengatakan pada mereka sesuatu tentang liontin yang dia pakai ketika
itu" Aku akan mencoba tidak bilang apa-apa, tapi kalau aku lupa, kau
tidak akan membiarkan mereka memasukkan aku ke penjara, kan?"
Chapter 34 "DIA punya alasan mengatakan itu. Kau harus mempercayai
aku. Kenyataannya tidak seperti yang kaubayangkan." ujar Mrs.
Stroebel padaku sambil mengisak, saat kami berdiri di lorong luar
kamar Paulie. "Kita harus bicara, dan Anda harus betul-betul jujur padaku,"
ujarku. Namun kami tidak mendapatkan peluang itu pada saat itu -
dokter yang merawat Paulie tampak berjalan ke arah kami.
"Ellie, aku akan meneleponmu besok," janji Mrs. Stroebel.
"Aku sedang bingung sekali saat ini." Sambil menggeleng dan
memutar tubuhnya, Mrs. Stroebel berusaha mengembalikan kendali
dirinya. Aku kembali ke tempat penginapan itu sambil menyetir secara
otomatis. Mungkinkah selama ini aku keliru" Apakah Rob
Westerfield - dan seluruh keluarganya - benar-benar telah menjadi
korban kekeliruan dalam proses penegakan keadilan"
Dia memelintir lenganku... Dia menyelinap di belakangku dan
menghajar leherku. Dia bilang, "Aku menghajar Phil sampai mati, dan
rasanya bukan main. "
Reaksi Paulie menanggapi serangan verbal pengurus rumah
tangga Mrs. Westerfield adalah melukai dirinya sendiri, dan bukan
orang lain. Aku tidak percaya Paulie yang membunuh Andrea namun aku
yakin sekian tahun yang lalu Mrs. Stroebel pernah membuatnya tidak
mengatakan sesuatu yang ia ketahui.
Liontin itu. Saat memasuki pelataran parkir tempat penginapan, aku dilanda
perasaan tidak enak, menanggapi ironi yang sedang kuhadapi. Tak
seorang pun, benar-benar tak seorang pun mempercayai Rob
Westerfield pernah memberikan liontin pada Andrea, dan Andrea
mengenakannya pada malam ia meninggal.
Namun kini keberadaan liontin itu telah dinyatakan oleh satusatunya orang yang
mungkin takut mengakui secara terbuka bahwa ia
tahu sesuatu mengenainya.
Aku mengawasi sekelilingku saat turun dari mobil. Sekarang
pukul empat seperempat, bayangan-bayangan sudah tampak panjang
dan miring. Matahari yang masih tersisa sebentar muncul sebentar
hilang di balik awan, dan angin semilir mengembus sisa-sisa daun
terakhir dari pepohonan. Suaranya menggerisik di pelintasan, dan
dalam pikiranku yang sedang kacau kesannya seperti bunyi langkahlangkah kaki.
Pelataran parkir itu hampir penuh, dan kemudian aku ingat aku
melihat kesibukan untuk menyiapkan resepsi pernikahan sewaktu
berangkat tadi siang. Untuk mendapatkan tempat kosong, aku terpaksa
mengitari pelataran parkir itu sampai ke bagian paling pojok, sehingga
aku tidak terlihat dari arah penginapan. Hatiku semakin tidak enak,
rasanya seseorang sedang menunggu di sana, mengawasiku.
Aku tidak lari, tapi aku toh berjalan cepat-cepat saat menyusuri
deretan kendaraan yang diparkir, menuju tempat yang lebih aman Saat
aku melewati sebuah mobil pick-up tua, pintunya tiba-tiba terbuka,
seorang lelaki melompat turun dan mencoba menangkap lenganku.
Aku mulai lari, dan berhasil menempuh jarak sekitar tiga meter
ketika aku tiba-tiba tersandung gara-gara sepatu moccasin ekstra besar
yang baru kubeli untuk alas kakiku yang masih dibebat perban.
Saat salah satu sepatuku terbang entah ke mana, aku merasa
tubuhku terhuyung, siap jatuh terjerembap, dan dengan panik aku
berusaha menemukan kembali keseimbanganku, tapi terlambat.
Telapak tangan dan tubuhku menjadi korban paling parah ketika aku
jatuh, dan boleh dibilang untuk sesaat aku merasa kehabisan napas.
Lelaki itu segera bersimpuh di atas satu lutut di dekatku.
''Jangan teriak," ujarnya cepat. "Aku tidak berniat melukaimu: aku
mohon jangan teriak!"
Aku memang tak mungkin berteriak. Selain itu, aku juga tak
mungkin bisa meloloskan diriku lagi dari cengkeramannya dan lari ke
tempat penginapan itu. Seluruh tubuhku bergetar sebagai reaksi
benturan dengan permukaan pelataran yang keras itu. Mulutku
terbuka, dalam keadaan panik aku berusaha menghirup udara.
"K-kau... m-mau... apa?" Akhirnya aku berhasil mengeluarkan
beberapa patah kata. "Berbicara denganmu. Tadinya aku mau mengirim e-mail, tapi
entah siapa nanti yang akan ikut membacanya. Aku ingin menjual
informasi tentang Rob Westerfield."
Aku menoleh ke arahnya. Wajahnya tampak dekat sekali.
Usianya sekitar empat puluhan, dengan rambut tipis yang tidak bisa
dikatakan bersih. Ia melirik ke sana kemari dengan resah, seperti
orang yang sudah siap lari setiap saat. Ia mengenakan jaket dan celana
jeans yang jelas tampak usang
Sementara aku mulai berusaha berdiri, ia mengambilkan sepatu
moccasin-ku. "Aku tidak berniat melukaimu," ulangnya. "Akan
berbahaya bagiku bila terlihat bersamamu. Tolong dengar. Kalau kau
tidak tertarik pada apa yang akan kukatakan, aku akan segera pergi
dari sini." Ini mungkin tidak masuk akal, tapi entah mengapa aku percaya
padanya. Andai ia mau membunuhku, ia sudah mendapatkan
kesempatan itu tadi. "Kau mau dengar?" Nadanya tidak sabaran.
"Oke." "Kau mau duduk di dalam pickup-ku sebentar" Aku tidak mau
ada yang melihatku di sini. Orang-orang Westerfield ada di manamana."
Aku percaya itu, tapi aku tidak berniat masuk ke dalam pickupnya. "Katakan apa
yang ingin kaukatakan di luar sini."
"Aku punya sesuatu yang mungkin bisa menghubungkan
Westerfield dengan kejahatan yang dia lakukan sekian tahun lalu."
"Kau minta berapa?"
"Seribu dolar."
"Info apa yang kaumiliki?"
"Kau tahu nenek Westerfield pernah ditembak dan ditinggal
dalam keadaan dianggap mati sekitar dua puluh lima tahun yang lalu.
Kau menulis tentang itu dalam situsmu."
"Betul." "Kakakku, Skip, masuk penjara gara-gara itu. Dia dihukum dua
puluh tahun penjara. Dia mati setelah menjalani setengah masa
hukumannya. Ternyata dia tidak tahan. Memang dari awal dia sudah
sakit-sakitan." "Kakakmu yang menembak Mrs. Westerfield, kemudian
merampok rumahnya?" "Ya, tapi Westerfield yang merencanakan itu. Dia membayar
Skip dan aku untuk melaksanakannya."
"Untuk apa dia melakukan itu?"
"Westerfield memakai obat-obat terlarang. Karena itu dia putus
kuliah. Dia punya utang besar, dan dia pernah melihat surat wasiat
neneknya. Neneknya sudah menyisihkan seratus ribu dolar untuknya
Begitu meninggal, uang itu akan langsung masuk ke dalam
kantongnya. Dia menjanjikan pada kami sepuluh ribu dolar untuk
pekerjaan itu." "Apakah dia bersama kalian malam itu?"
"Kau bercanda" Dia ada di New York, makan malam bersama
ayah-ibunya. Dia tahu cara menyelamatkan dirinya."
"Apakah dia membayar kakakmu atau kau setelah itu?"
"Sebelumnya dia memberi jam Rolex-nya pada kakakku
sebagai jaminan. Kemudian dia melaporkan jam itu dicuri orang."
"Kenapa?" "Untuk menutupi jejaknya setelah kakakku ditangkap.
Westerfield menyatakan dia bertemu kami di tempat main boling pada
malam sebelum wanita tua itu jadi korban. Dia bilang Skip terus
melirik jam itu, karena itu dia menyimpannya di dalam tasnya
sewaktu dia mulai main. Dia bilang pada polisi begitu dia mau
mengeluarkan jam itu dari dalam tasnya, benda itu sudah tidak di situ
lagi, dan kami sudah tidak kelihatan. Dia bersumpah hanya sekali
itulah dia melihat Skip dan aku."
"Dari mana kalian tahu mengenai neneknya, tanpa dia sendiri
yang mengungkapkan itu pada kalian?"
"Pernah ada liputan luas tentang dirinya di koran. Dia
menyumbang pendirian suatu bagian di salah satu rumah sakit atau
entah apa." "Bagaimana kakakmu dan kau sampai tertangkap?"
"Aku tidak ditangkap. Kakakku dijemput polisi hari berikutnya.
Dia memang punya catatan kejahatan, dan merasa resah setelah
menembak wanita tua itu. Untuk alasan itulah sebetulnya dia ada di
sana, tapi Westerfield ingin peristiwa itu tampak seperti perampokan.
Rob tidak memberi kami nomor brankasnya, sebab hanya pihak
keluarganya yang tahu nomor itu, dan itu akan berbahaya baginya. Dia
menyuruh Skip membawa pahat dan pisau dan meninggalkan goresan
pada brankas, supaya tampak bahwa Skip berusaha membukanya, tapi
tidak bisa. Namun tangan Skip terluka, dan dia melepaskan sarung
tangannya untuk mengelap darahnya. Rupanya dia sempat menyentuh
brankas itu, karena mereka menemukan bekas sidik jarinya di sana."
"Kemudian dia pergi ke atas untuk menembak Mrs.
Westerfield?" "Ya. Tapi tak seorang pun dapat membuktikan aku ada di sana.
Aku yang bertugas mengawasi dan menjadi pengemudi. Skip
menyuruhku diam. Dia yang memikul kesalahan, sementara
Westerfield bebas sama sekali."
"Juga kau." Ia angkat bahu. "Ya, aku tahu itu."
"Berapa usiamu waktu itu?"
"Enam belas." "Berapa umur Westerfield waktu itu?"
"Tujuh belas." "Apa kakakmu sama sekali tidak berusaha menunjuk
Westerfield?" "Tentu saja. Tapi tidak ada yang percaya."
"Aku tidak begitu yakin. Neneknya mengubah surat wasiatnya.
Hibah sebanyak seratus ribu dolar itu sudah tidak di sana lagi."
"Bagus. Mereka menyuruh Skip mengaku mencoba melakukan
tindak pembunuhan dengan imbalan hukuman dua puluh tahun
penjara. Dia bisa kena tiga puluh tahun, tapi dia bersedia mengaku
untuk mendapat maksimum dua puluh tahun. Pihak kejaksaan
menyepakati perjanjian itu, sehingga wanita tua itu tidak perlu
memberikan kesaksiannya di muka sidang."
Berkas cahaya terakhir sinar matahari sudah sama sekali
menghilang di balik awan. Aku masih merasa terguncang akibat jatuh
tadi, tapi kini aku juga merasa dingin.
"Siapa namamu?" tanyaku.
"Alfie. Alfie Leeds."
"Alfie, aku mempercayai ucapanmu," ujarku. "Tapi aku tidak
mengerti, untuk apa kau mengungkapkan ini padaku sekarang. Tak
ada secuil bukti pun Rob Westerfield terlibat dalam kasus kejahatan
itu." "Aku punya bukti keterlibatannya."
Alfie merogok sakunya dan mengeluarkan selembar kertas
terlipat. "Ini salinan denah yang diberikan Rob Westerfield pada kami
supaya kakakku bisa masuk ke dalam rumah itu tanpa mengganggu
sistem alarmnya." Dari saku lain ia mengeluarkan lampu senter setebal pensil.
Berdiri di luar, di pelataran parkir yang banyak angin, bukanlah
tempat ideal untuk mempelajari denah. Aku menatap laki-laki itu lagi.
Ia sedikit pendek daripadaku, dan postur tubuhnya tidak dapat
dikatakan perkasa. Aku memutuskan mengambil risiko. "Aku akan
masuk ke dalam mobil pickup-mu, tapi aku harus duduk di belakang
kemudi," ujarku. "Terserah." Aku membuka pintu pengemudi, kemudian melayangkan
pandang ke sekelilingku. Tak ada seorang pun di sana. Bangku
belakangnya tampak diratakan dan dimuati kaleng-kaleng cat, kain
lap, dan tangga. Ia memutar ke bagian penumpang. Aku menyelinap
di belakang kemudi, tapi tidak menutup pintu sepenuhnya. Aku ingin
memastikan kalau ini jebakan, aku masih punya waktu untuk turun
dengan cepat. Sebagai reporter investigasi, aku terpaksa berhubungan dengan
sejumlah karakter yang tidak begitu menyenangkan, di tempat-tempat
yang biasanya tidak akan aku kunjungi. Akibatnya, instingku untuk
melindungi diri berkembang cukup baik. Mengingat aku sedang
bersama orang yang pernah berkomplot dalam suatu pembunuhan, aku
sudah mempersiapkan tindakan pengamanan yang dimungkinkan.
Begitu kami berdua berada di dalam mobil pickup itu, ia
menyerahkan padaku kertasnya. Berkas sinar senter yang ala kadarnya
itu ternyata cukup untukku mengenali rumah dan jalan mobil keluarga
Westerfield. Bahkan garasi yang juga menjadi tempat persembunyian
itu digambarkan di sana. Di bawahnya tampak denah terinci seluruh
bagian dalam rumah itu "Coba lihat, denah ini memberikan gambaran tentang sistem
alarmnya, juga kode untuk menetralkannya. Rob tidak khawatir
masalah alarm yang dinetralkan itu akan mengalihkan perhatian orang
pada dirinya, sebab memang sudah banyak yang tahu kodenya, baik
para pekerja serabutan maupun yang tetap. Ini denah lantai bawah,
ruang baca dengan brankas, tangga menuju kamar tidur wanita tua itu,
dan bagian dapur yang menuju kamar pembantu."
Sebuah nama tercantum di bagian bawah lembaran itu. "Siapa
Jim?" tanyaku. "Yang menggambar denah ini. Westerfield bilang pada Skip,
orang ini pernah melakukan beberapa pekerjaan di rumahnya. Kami
belum pernah bertemu dia."
"Apakah kakakmu pernah memperlihatkan ini pada polisi?"
"Tadinya dia mau memakai denah itu, tapi pengacara yang
mereka sediakan baginya mengatakan padanya untuk melupakan itu.
Dia bilang Skip tidak punya bukti Westerfield memberikan itu
padanya, dan fakta bahwa denah itu ada di tangannya hanya akan
memperburuk situasinya. Menurutnya, kenyataan bahwa di dalam
denah brankas itu ada di lantai bawah, sedangkan kamar tidur si
Putri Kesayangan Ayah Daddy's Little Girl Karya Mary Higgins Clark di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
nyonya tua jelas di atas, hanya akan membuktikan bahwa Skip
memang sudah punya niat membunuh."
"Jim sebetulnya bisa mendukung pernyataan kakakmu. Apakah
pernah ada upaya untuk menemukannya?"
"Kurasa tidak. Aku sudah menyimpan denah ini bertahun-tahun,
dan ketika aku melihat situsmu, terpikir olehku mungkin ini bisa
kauselidiki untuk menggantung Westerfield. Bagaimana" Kau mau
beri aku seribu dolar untuk ini?"
"Dari mana aku tahu denah ini tidak kaugambar sendiri untuk
mendapat uang dariku?"
"Kau tidak akan tahu. Kembalikan itu padaku."
"Alfie, andai si pengacara waktu itu lebih serius menanggapi
cerita kakakmu tentang si Jim ini, dan mengungkapkan keberadaannya
pada pihak kejaksaan serta memperlihatkan pada mereka denah ini,
mereka akan terpaksa menggali lebih dalam kebenaran informasi itu.
Kakakmu akan mendapatkan hukuman lebih ringan sebagai
kompensasi untuk kerja samanya, dan Westerfield mungkin juga akan
mendapat ganjaran untuk kejahatannya."
"Ya, tapi masih ada satu masalah lagi. Westerfield membayar
kami berdua, kakakku dan aku, untuk pekerjaan itu. Si pengacara
mengingatkan kakakku kalau Westerfield sampai ditangkap, dia akan
mengambil langkah dengan mengungkapkan pada pihak kejaksaan
bahwa aku terlibat. Skip lebih tua lima tahun dari aku, dan dia merasa
bersalah telah melibatkan aku."
"Oke, baik kau maupun Rob sudah berada di luar jangkauan
masa berlakunya hukum untuk kasus ini. Tapi tunggu sebentar. Kau
bilang tadi ini salinan dari lembaran asli. Di mana aslinya?"
"Sudah disobek si pengacara. Dia bilang dia tidak mau itu jatuh
ke tangan yang salah "
"Dia menyobeknya!"
"Tapi dia tidak tahu Skip sudah membuat salinannya, yang dia
berikan padaku." "Aku mau ini," putusku. "Aku akan memberikan uangnya
padamu besok pagi." Kami berjabat tangan. Tangannya sedikit kotor, juga kapalan,
yang bagiku berarti Alfie biasa bekerja keras dan kasar.
Saat ia melipat kertas itu dengan hati-hati menjadi bentuk
persegi yang rapi dan memasukkannya ke sakunya, aku tak dapat
menahan diri dan berkata, "Dengan barang bukti seperti ini, aku tidak
mengerti kenapa pengacara kakakmu tidak mencoba mengupayakan
pendekatan dengan pihak kejaksaan. Tidak akan terlalu sulit melacak
keberadaan pekerja serabutan bernama Jim yang menggambar denah
ini. Polisi akan menekannya untuk menelanjangi Rob, dan kau akan
dihadapkan ke muka sidang khusus untuk menangani kejahatan
remaja. Aku curiga pengacara kakakmu sudah disogok oleh keluarga
Westerfield." Ia tersenyum, memperlihatkan sederetan gigi yang tidak
terpelihara. "Dia bekerja untuk mereka sekarang. Hamilton namanya,
waktu itu dia muncul di televisi dan mengatakan akan mengupayakan
sidang ulang bagi Rob untuk membersihkan namanya."
Chapter 35 BEGITU aku berada kembali di kamarku, ada pesan agar aku
menelepon Mrs. Hilmer. Aku sudah berbicara dengannya beberapa
kali setelah peristiwa kebakaran itu, dan selama ini ia baik sekali
padaku. Ia terutama mengkhawatirkan keadaanku, dan ia sempat
prihatin sekali aku hampir terperangkap dalam api. Ia membuatku
merasa seakan aku telah melakukan sesuatu yang menguntungkan
baginya dengan mengubah garasi dan apartemennya menjadi
tumpukan puing. Aku menyatakan bersedia makan bersamanya pada
hari Minggu malam. Aku baru saja menutup pesawatku, saat Joan menelepon. Aku
juga sudah berbicara beberapa kali dengannya, tapi tidak sempat
bertemu selama seminggu ini. Aku ingin sekali segera mengembalikan
uang dan pakaian yang kupinjam darinya. Aku sudah membawa
celana panjang, sweater, dan jaketnya ke binatu, dan mencuci semua
pakaian dalam dan aku sudah membeli sebotol sampanye untuk Joan
dan Leo, dan sebotol lagi untuk teman mereka yang memiliki ukuran
tubuh sama denganku. Tentu saja bukan itu alasan Joan menelepon. Ia, Leo, dan anakanak mereka akan
pergi makan ke II Palazzo, dan mengharapkan aku
mau bergabung dengan mereka.
"Pastanya enak, pizanya enak, tempatnya asyik," janjinya. "Aku
yakin kau akan suka."
"Kau tidak perlu membujukku. Aku mau ikut." Nyatanya, aku
merasa butuh untuk keluar. Setelah pertemuanku dengan Alfie di
pelataran parkir, pikiranku terus berkisar seputar orang-orang yang
kehidupannya dijungkirbalikkan atau dihancurkan oleh Rob
Westerfield dan uang keluarga Westerfield.
Yang pertama Andrea, tentu saja. Setelah itu Mom. Kemudian
Paulie, yang begitu ketakutan dipaksa mengungkapkan bahwa ia tahu
sesuatu mengenai liontin itu. Apa pun yang ia ketahui mengenai
liontin itu, aku berani mempertaruhkan nyawaku bahwa ia tidak
terlibat dengan kematian Andrea.
Mrs. Stroebel, yang selalu bekerja keras dan jujur, rupanya juga
terperangkap dalam jaring-jaring penderitaan yang ditimbulkan
keluarga Westerfield. Pasti sangat mencemaskan baginya saat Paulie
dihadapkan sebagai saksi dalam sidang itu. Andai satu orang saja
ketika itu mempercayai aku ketika aku mengatakan Rob pernah
memberikan liontin pada Andrea, dan setelah itu Paulie ditanyai
mengenai itu di muka sidang. Dengan mudah ia akan mencelakai
dirinya sendiri. Aku mempercayai semua yang diungkapkan Alfie Leeds
padaku. Aku tidak meragukan sedikit pun bahwa kakaknya berpotensi
menjadi pembunuh. Ia bersedia menghabisi nyawa Mrs. Westerfield
dan meninggalkannya dalam keadaan sekarat. Namun sejahat apa pun
dia, ia toh berhak mendapatkan pengacara yang secara adil akan
membelanya. Pengacara yang ditunjuk ternyata mau disuap oleh
keluarga Westerfield. Aku bisa membayangkan sosok William Hamilton, Juris
Doctor, membayangkan kasus itu sebagai kesempatan emas yang
sudah dinanti-nantikannya. Rupanya ia pergi menemui ayah Rob,
memperlihatkan padanya denah itu, kemudian memperoleh imbalan
memadai untuk kerja samanya
Alfie juga merupakan korban. Sebelumnya ia selalu dilindungi
oleh kakaknya, dan tak perlu diragukan lagi ia merasa bersalah tidak
dapat menemukan cara untuk menjebak Rob Westerfield. Selama
bertahun-tahun ia menyimpan bukti yang tidak berani
diperlihatkannya pada siapa-siapa.
Kenyataan paling pahit untukku, tentu saja, adalah fakta bahwa
andai kata Rob Westerfield dihukum ketika itu, dengan tuduhan
merencanakan pembunuhan atas diri neneknya, ia tidak akan sempat
mengenal Andrea. Kini aku mempunyai satu nama lagi dalam daftar orang-orang
yang ingin kuhadapkan ke muka sidang: Yang Mulia William
Hamilton. Hal hal seperti itulah yang sedang berkecamuk dalam pikiranku
saat Joan menelepon. Aku benar-benar membutuhkan selingan. Kami
berjanji bertemu pada pukul tujuh di II Palazzo.
Kau mengada-ada, ujarku dalam hati, saat aku menempuh jarak
pendek menuju jantung kota kecil itu. Perasaanku mengatakan ada
yang membuntutiku. Mungkin ada baiknya kalau aku memberitahu
Opsir White, batinku sarkastis. Ia sedang amat sangat mencemaskan
diriku. Ia akan langsung meluncur kemari, dengan sirene meraungraung.
Ah, sudahlah, umpatku dalam hati. Ia yakin sekali aku kembali
ke kota itu untuk mencari masalah, dan aku sangat terobsesi gara-gara
Rob Westerfield menjadi orang bebas.
Oke, Opsir White, aku memang terobsesi, namun aku tidak
secara sengaja membuat kakiku cedera, atau menghancurkan mobilku
hanya untuk menegaskan maksudku.
*****************************************
Joan dan Leo serta ketiga anak laki-laki mereka sudah duduk di
meja pojok saat aku tiba di II Palazzo. Aku hanya ingat Leo samarsamar. Ia sudah
duduk di kelas terakhir Oldham High ketika Joan dan
Andrea sedang menjalani tahun kedua mereka.
Yang sulit dihindarkan adalah begitu seseorang yang dulu
mengenalku melihat aku kembali untuk pertama kali, hal pertama
yang mereka ingat adalah kematian Andrea. Setelah itu mereka akan
mengeluarkan komentar, atau jelas-jelas berusaha tidak
membicarakannya sama sekali.
Aku menyukai cara Leo menghadapi pertemuannya denganku.
Ia berkata, "Tentu saja aku ingat kau, Ellie. Kau pernah ada di rumah
Joan bersama Andrea beberapa kali saat aku mampir. Kau gadis kecil
yang serius sekali ketika itu."
"Dan sekarang aku gadis besar yang serius sekali." Aku
langsung suka padanya. Tingginya sekitar 180 senti, dengan postur
kekar, rambut pirang kecokelatan, dan mata gelap yang cerdas.
Senyumnya mirip senyum Joan, hangat dan tulus. Ia langsung
membangkitkan perasaan bahwa ia bisa dipercaya. Aku tahu ia
pialang saham, karena itu aku langsung mencatat di kepalaku untuk
berbicara dengannya begitu aku punya uang kelak. Aku yakin akan
merasa nyaman mengikuti nasihatnya dalam soal investasi.
Anak-anak mereka berusia sepuluh, empat belas, dan tujuh
belas tahun. Yang sulung, Billy, duduk di sekolah menengah, kelas
terakhir, dan langsung menceritakan padaku bahwa tim basketnya
pernah bertanding melawan tim Teddy.
"Teddy dan aku pernah membicarakan soal perguruan tinggi
yang kami minati, Ellie," ujarnya. "Kami sama-sama akan mencoba di
Dartmouth dan Brown. Kuharap kami akan memasuki perguruan
tinggi yang sama kelak. Dia sangat menyenangkan."
"Ya, dia memang menyenangkan," ujarku sependapat.
"Kau tidak pernah cerita kau sudah bertemu dengannya,"
potong Joan cepat. "Dia sempat mampir untuk menemuiku di tempat penginapan
itu sebentar." Joan tampak senang Aku ingin mengatakan padanya agar tidak
berharap terjadi reuni akbar di antara para anggota keluarga
Cavanaugh, tapi menu keburu dibagikan, dan Leo ternyata cukup
tanggap untuk mengubah topik pembicaraan.
Aku cukup sering menjadi babysitter pada waktu-waktu
luangku di masa remaja, dan aku senang berada di antara anak-anak.
Pekerjaanku di Atlanta tidak memberiku cukup banyak peluang untuk
itu, jadi sudah lama sekali rasanya. Benar-benar seru berada di antara
ketiga anak ini. Dalam waktu singkat, di antara hidangan kerang dan
pasta, mereka sudah menceritakan padaku tentang aktivitas-aktivitas
mereka, dan aku berjanji pada Sean, yang berusia sepuluh tahun,
bahwa aku akan bermain catur dengannya.
"Aku hebat lho," ujarku mengingatkannya.
"Aku pasti lebih hebat lagi," sahutnya yakin.
"Kita lihat saja nanti."
"Bagaimana kalau besok" Hari Minggu Kami ada di rumah."
"Oh, maaf, besok aku sudah punya rencana. Tapi kita akan
bermain secepatnya." Kemudian aku ingat sesuatu. Aku berpaling ke
Joan. "Aku tidak memasukkan koper yang ingin kukembalikan
padamu di mobilku." "Bawa saja besok, lalu kita bisa main catur," usul Sean.
"Kau harus makan," ujar Joan. "Makan siang sekitar setengah
dua belas?" "Kedengarannya asyik," sambutku.
Ruangan bar II Palazzo dipisahkan oleh panel kaca dengan
ruang makannya, mulai dari pintu masuk. Saat aku tiba, aku tidak
sempat memperhatikan siapa yang ada di bar itu. Namun aku melihat
bahwa selagi kami makan, Joan kadang-kadang melihat sekilas
melalui pundakku, ekspresinya waswas.
Kami sedang menghirup kopi ketika aku mulai mengerti kenapa
ia begitu khawatir. "Ellie, Will Nebels sudah duduk di bar sejak kau belum datang.
Rupanya ada yang memberitahu dia kau di sini. Dia sedang menuju
kemari, dan dari tampangnya, kelihatannya dia mabuk."
Peringatan itu ternyata terlambat. Aku merasakan lengan
melingkari leherku, dan kecupan menjijikkan mendarat di pipiku.
"Ellie kecil, ya Tuhan, si Ellie Cavanaugh kecil. Kau masih ingat
bagaimana aku membetulkan ayunan untukmu, Sayang" Daddy-mu
memang tidak pernah bisa membetulkan apa-apa. Mamamu selalu
memanggilku untuk itu. "Will, yang ini musti dibetulin. Will...?"
Ia mencium telingaku, kemudian bagian belakang leherku.
"Jangan kausentuh dia," ujar Leo, nadanya tinggi. Ia sudah
berdiri. Bisa dibilang aku sama sekali tak bisa bergerak. Nebels
menindihku dengan seluruh berat tubuhnya. Lengannya di atas
pundakku; tangannya mulai bergerak turun, menggerayangi bagian
dalam sweaterku. "Dan si Andrea kecil yang cantik. Dengan mataku sendiri aku
melihat si bego itu masuk ke dalam garasi membawa tuas dongkrak..."
Seorang pelayan berusaha menarik tubuhnya dari satu sisi, Leo
dan Billy dari sisi lain. Aku berusaha mendorong wajahku darinya,
tapi percuma. Ia mulai menciumi mataku. Kemudian mulutnya yang
basah dan bau bir menempel di bibirku. Kursiku mulai menjungkit ke
belakang saat kami bergumul. Aku sempat cemas bagian belakang
kepalaku akan menghantam lantai sementara bajingan itu semakin
nekat. Namun beberapa lelaki dari meja-meja di dekat kami segera
menghampiri, dan dengan tangan-tangan kuat menahan kursi yang
semakin oleng itu sebelum mendarat ke lantai.
Kemudian secara paksa Nebels diseret pergi dan kursiku
ditegakkan kembali. Aku menutupi wajahku dengan dua tangan.
Untuk kedua kali dalam enam jam tubuhku begitu gemetaran,
sehingga aku tak bisa memberikan respons pada mereka-mereka yang
menanyai aku dengan cemas dari semua penjuru. Beberapa jepit yang
sebelumnya menahan rambutku kini lepas, membuat rambutku
tergerai jatuh ke pundak. Aku merasakan belaian Joan, dan aku ingin
memintanya menghentikan itu - simpati pada saat ini akan
membobolkan bendunganku. Mungkin ia merasakan keinginanku,
sebab setelah itu ia menarik tangannya.
Aku bisa mendengar si manajer menyuarakan permohonan
maafnya dalam nada terbata-bata. Memang seharusnya kau menyesali
itu, umpatku dalam hati. Seharusnya kau sudah berhenti melayani si
pemabuk itu dari tadi. Amarah meluap-luap inilah yang kubutuhkan untuk membuatku
menemukan diriku kembali. Aku mengangkat tanganku dan mulai
merapikan rambutku ke belakang. Kemudian aku melayangkan
pandang ke seputar meja, ke arah wajah-wajah yang tampak cemas
itu. Aku angkat bahu. "Aku tidak apa-apa," ujarku pada mereka.
Aku menatap Joan, dan tahu apa yang ada dalam pikirannya.
Tidak akan ada bedanya kalau ia meneriakkannya.
"Ellie, kau mengerti sekarang, apa yang kumaksud tentang Will
Nebels" Dia mengaku dia ada di rumah Mrs. Westerfield malam itu.
Mungkin dia sedang mabuk waktu itu. Menurutmu apa yang akan dia
lakukan begitu dia melihat Andrea masuk sendirian ke dalam garasi
itu?" ******************************************
Putri Kesayangan Ayah Daddy's Little Girl Karya Mary Higgins Clark di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Setengah jam kemudian, setelah menghabiskan secangkir kopi
yang baru diseduh, aku bersikeras kembali ke tempat penginapanku
sendirian. Tapi di tengah perjalanan aku bertanya-tanya apakah itu
bukan keputusan bodoh. Aku yakin sekarang bahwa aku dibuntuti
orang, dan aku bertekad tidak mengambil risiko untuk sendirian lagi
di pelataran parkir itu. Karena itulah aku tidak membelok masuk ke
penginapan, melainkan melewatinya, dan setelah itu menghubungi
polisi melalui ponselku. "Kami akan mengirim mobil patroli," ujar petugas yang
menerima teleponku. "Di mana Anda sekarang?" Aku
memberitahukan lokasiku. "Oke. Anda bisa putar kendaraan Anda dan memasuki jalan
mobil penginapan. Kami akan berada tepat di belakang mobil yang
membuntuti Anda. Dalam situasi apa pun, Anda jangan keluar dari
mobil sampai kami menjemput Anda."
Aku mengurangi kecepatanku, dan mobil di belakangku juga
mengurangi kecepatannya. Sekarang, setelah tahu akan ada mobil
patroli yang datang, aku bersyukur mobil di belakangku masih ada di
sana. Aku ingin polisi tahu siapa yang ada di dalam mobil itu, dan apa
alasannya mengikuti aku. Aku hampir sampai di penginapan. Aku memasuki jalan
mobilnya, namun mobil di belakangku terus melaju pergi. Beberapa
saat kemudian, aku melihat lampu mobil patroli berkedap-kedip, dan
mendengar raung sirene. Aku menepikan kendaraanku di jalan mobil penginapan, dan
setelah itu berhenti. Dua menit kemudian mobil patroli itu, tanpa
kedap kedip lampunya, muncul di belakangku. Seorang petugas keluar
dan menghampiriku di dalam mobilku. Saat aku menurunkan kaca
jendela, kulihat ia tersenyum. "Memang ada yang membuntuti Anda
tadi, Ms. Cavanaugh. Anak muda itu bilang dia adik Anda, dan dia
hanya ingin memastikan Anda kembali dengan aman kemari."
"Ya ampun. Suruh dia pulang," ujarku. Tapi kemudian aku
menambahkan, "Tolong sampaikan padanya aku bilang terima kasih."
Chapter 36 AKU sudah merencanakan menelepon Marcus Longo pada hari
Minggu pagi, tapi ternyata ia lebih gesit daripada aku. Saat pesawat
telepon berdering pukul sembilan, aku sedang duduk di belakang
komputer, dengan cangkir kopi kedua di meja di dekatnya.
"Kuanggap kau sudah bangun sejak pagi, Ellie," ujarnya.
"Semoga aku benar."
"Terus terang, aku kesiangan pagi ini," sahutku. "Aku bangun
pukul tujuh tadi." "Justru itu yang sebetulnya kuharapkan. Aku sudah
menghubungi Sing Sing."
"Untuk memastikan mereka tahu, apakah dalam beberapa hari
terakhir ini ada mantan tahanan atau sipir yang terlibat dalam salah
satu kecelakaan fatal?"
"Ya." "Kau memperoleh sesuatu?"
"Ellie, kau berada di luar bangunan itu pada tanggal satu
November. Herb Coril, tahanan yang pernah mendekam satu sel
dengan Rob Westerfield, dilepas pagi itu. Dia tinggal di rumah semi
permanen di daerah kumuh Manhattan. Dia tidak pernah terlihat lagi
sejak hari Jumat malam."
"Aku menerima telepon terakhirnya pada hari Jumat malam,
sekitar pukul setengah sebelas," ujarku. "Entah siapa yang
meneleponku waktu itu kedengarannya mencemaskan
keselamatannya." "Kita tidak tahu apakah dia orang yang sama, dan kita juga
tidak tahu apakah Coril tidak hanya melanggar persyaratan
pembebasannya dengan menghilang begitu saja."
"Menurutmu bagaimana?" tanyaku.
"Biasanya aku tidak begitu percaya hal-hal yang terjadi secara
kebetulan, terutama dalam kasus-kasus seperti ini."
"Aku juga." Aku mengungkapkan pada Marcus tentang pertemuanku dengan
Alfie. "Aku cuma bisa berharap tidak terjadi apa-apa pada Alfie
sebelum kau menerima denahnya," ujar Marcus geram. "Aku sama
sekali tidak heran mendengar ini. Kami semua menduga Rob
Westerfield yang merencanakannya. Tapi aku bisa membayangkan
efeknya atas dirimu."
"Maksudmu, fakta bahwa seharusnya Rob mendekam di
penjara, sehingga tidak sempat berkenalan dengan Andrea" Itu terus
yang ada dalam pikiranku, dan mulai mengganggu konsentrasiku."
"Tapi kau tahu dengan salinan denah dan pernyataan yang akan
dibuat Alfie di hadapan kejaksaan pun kau tidak akan pernah dapat
menuntut Westerfield. Alfie sendiri terlibat di dalamnya, sedangkan
denah itu ditandatangani orang bernama Jim, yang tidak dikenal oleh
siapa-siapa." "Ya, aku tahu itu."
"Masa berlakunya hukum untuk tindak kejahatan itu sudah
lewat untuk mereka semua - untuk Westerfield, Alfie, dan Jim yang
entah siapa itu." "Jangan lupakan Hamilton. Kalau aku dapat membuktikan dia
menghancurkan barang bukti yang berpeluang meringankan hukuman
kliennya dengan melibatkan Westerfield dalam kasus itu, dia akan
berhadapan dengan komite etik."
Aku berjanji pada Marcus akan menunjukkan denah yang akan
diserahkan Alfie padaku. Setelah mengakhiri pembicaraan kami, aku
mencoba mengalihkan perhatianku kembali pada pekerjaanku.
Prosesnya berjalan lambat, dan setelah berhasil menambahkan sedikit,
aku menyadari sudah waktunya aku berangkat untuk memenuhi janji
makan siang dengan keluarga Joan.
Kali ini aku ingat membawa koper dan kantong plastik binatu
berisi celana panjang, sweater, dan jaket.
Sebelum sampai ke dekat biara para bruder Franciscan di
Graymoor pun aku tahu aku akan mampir di sana. Sepanjang minggu
itu, suatu kenangan perlahan-lahan muncul dari bawah sadarku. Aku
pernah mengunjungi tempat itu bersama ibuku setelah Andrea
meninggal. Sebelumnya ia sudah menelepon Romo Emil, pastor yang
ia kenal. Si pastor akan berada di penginapan Saint Christopher hari
itu, dan mereka berjanji untuk bertemu di sana.
Penginapan Saint Christopher yang masih terletak dalam
kawasan biara itu merupakan tempat para bruder menampung para
alkoholis dan pecandu obat-obat terlarang yang tidak punya uang.
Samar-samar aku ingat pernah duduk di sana ditemani seorang wanita,
mungkin seorang sekretaris, sementara ibuku berada di dalam ruang
kerja si biarawan. Kemudian Romo Emil membawa kami masuk ke
dalam kapel. Seingatku ada buku di samping kapel, tempat orang-orang bisa
menulis permohonan mereka. Ibuku menulis sesuatu, lalu
menyodorkan penanya padaku.
Aku merasa ingin ke sana lagi.
Biarawan yang menerimaku memperkenalkan dirinya sebagai
Bruder Bob. Ia tidak mempertanyakan maksudku. Kapel itu kosong,
dan ia berdiri di pintu saat aku berlutut selama beberapa waktu.
Sesudah itu aku melayangkan pandang ke sekelilingku, dan melihat
mimbar dengan buku berukuran besar itu.
Aku mendekat dan meraih penanya.
Tiba-tiba aku ingat apa yang pernah kutulis di sana dulu: Aku
mohon kembalikan Andrea pada kami.
Kali ini aku tidak berusaha menahan diriku untuk tidak
menangis. "Sudah banyak air mata yang tumpah di kapel ini." Bruder Bob
berdiri di dekatku. Kami berbicara selama satu jam. Saat sampai di rumah Joan,
aku sudah berdamai kembali dengan Tuhan.
**********************************************
Joan dan aku berdebat dalam suasana bersahabat mengenai
pandangan kami yang berbeda tentang polah Nebels malam
sebelumnya. "Ellie, jelas dia sedang mabuk. Berapa banyak orang yang
mulutnya jadi tidak terkendali saat mereka sudah kebanyakan minum"
Maksudku, itu bukan saatnya mereka bohong - pada saat itulah
mereka cenderung kelepasan dengan mengatakan yang sebenarnya."
Aku harus mengakui apa yang dikatakan Joan ada benarnya.
Aku pernah menyidik dan menulis tentang dua kasus di mana si
pembunuh tidak akan pernah tertangkap kalau ia tidak kebanyakan
minum scotch atau vodka, kemudian menumpahkan seluruh isi
hatinya pada seseorang yang setelah itu langsung menelepon polisi.
"Tapi aku tidak melihatnya dengan cara itu," ujarku padanya
dan Leo. "Di mataku, Will Nebels adalah pecundang yang sama sekali
tidak punya karakter. Dia seperti agar-agar yang siap dituang ke dalam
cetakan. Kau merencanakan bentuk yang kauinginkan, dan kau akan
memperolehnya. Dia tidak terlalu mabuk untuk ingat dia pernah
membetulkan ayunanku, dan bahwa ayahku tidak terampil dengan alat
alat pertukangan." "Aku sependapat dengan Ellie," ujar Leo "Nebels jauh lebih
kompleks dari yang tampak dari luar." Kemudian ia menambahkan,
"Tapi itu, tentu saja, tidak berarti Joan salah. Kalau Nebels memang
melihat Paulie Stroebel masuk ke dalam garasi itu malam itu, dia
cukup cerdik untuk tahu bahwa masa berlakunya hukum untuk tindak
kejahatan itu sudah lewat, dan bahwa cukup aman baginya untuk
mendapatkan uang ekstra dari itu."
"Hanya saja bukan dia sendiri yang mereka ide itu," ujarku.
"Mereka yang mendekatinya. Dia menyatakan sepakat untuk
mengungkapkan versi yang mereka butuhkan, dan mereka
membayarnya untuk itu."
Aku mendorong kursiku ke belakang. "Makannya enak sekali,"
ujarku, tapi sekarang aku ingin memenangkan pertandingan catur
dengan Sean." Aku berhenti sebentar untuk melayangkan pandang ke luar
jendela. Untuk kedua kalinya pada waktu yang sama, aku berada di
dalam ruangan ini untuk menikmati Minggu sore yang indah. Aku
menahan napasku kembali melihat pemandangan menakjubkan sungai
dan hamparan gunung dari tempat ini.
Dalam kehidupanku, yang begitu jauh dari kedamaian,
menikmati keindahan seperti ini terasa bak berada di oasis.
Aku memenangkan pertandingan catur yang pertama. Sean
yang kedua. Kemudian kami berjanji untuk bertanding lagi
"secepatnya". *******************************************
Sebelum berangkat pulang, aku menelepon rumah sakit dan
berbicara dengan Mrs. Stroebel. Demam Paulie sudah mereda, dan ia
merasa jauh lebih enak. "Dia ingin bicara denganmu, Ellie."
Empat puluh menit kemudian, aku sudah berada di samping
tempat tidurnya. "Kau tampak jauh lebih baik dibandingkan kemarin,"
ujarku padanya. Ia masih tampak pucat, namun matanya bening, dan ia sudah
memakai bantal ekstra. Ia tersenyum malu. "Ellie, Mama bilang kau
tahu aku juga pernah melihat liontin itu."
"Kapan kau melihatnya, Paulie?"
"Aku bekerja di bengkel pompa bensin. Tugas pertamaku di
sana adalah mencuci dan membersihkan mobil-mobil setelah selesai
direparasi. Sewaktu membersihkan mobil Rob pada suatu hari, aku
menemukan liontin itu terselip dt bangku depan. Rantainya putus."
"Maksudmu pada hari tubuh Andrea ditemukan?" Tapi itu tidak
masuk akal, batinku. Kalau Rob kembali untuk mengambil liontin itu
pagi itu, ia tidak akan meninggalkannya begitu saja di dalam
mobilnya. Apakah mungkin ia begitu ceroboh"
Paulie mengalihkan pandang ke ibunya. "Mama?" ujarnya
dalam nada memohon. "Oke, Paulie," ujar Mrs Stroebel dengan lembut. "Kau memang
habis makan banyak obat, sehingga agak sulit bagimu mengingat
semuanya. Kau bilang padaku kau pernah melihat liontin itu dua kali."
Aku menatap tajam ke arah Mrs Stroebel, sambil mencoba
memutuskan apakah ia tidak sedang mempengaruhi anaknya. Tapi
Paulie kemudian mengangguk.
"Betul, Mama. Aku menemukan liontin itu di mobilnya
Rantainya putus. Aku menyerahkannya kembali pada Rob, dan dia
memberi aku tip sepuluh dolar. Aku menyatukannya dengan uang
yang kusimpan untuk membeli hadiah ulang tahunmu yang kelima
puluh." "Aku ingat itu, Paulie."
"Kapan Anda merayakan ulang tahun kelima puluh, Mrs
Stroebel?" tanyaku. "Satu Mei. Di bulan Mei sebelum Andrea meninggal."
"Bulan Mei sebelum Andrea meninggal!" Sesaat aku tertegun.
Kalau begitu, Rob tidak membeli liontin itu khusus untuk Andrea,
batinku. Liontin itu mungkin milik salah satu gadis yang ketinggalan
di mobilnya, yang kemudian digrafirnya dengan inisial mereka
sebelum diberikan pada Andrea.
"Paulie, kau masih ingat rupa liontin itu?" tanyaku
"Ya. Bagus memang Bentuknya seperti hati, dari emas bertatah
batu batu biru kecil."
Persis seperti yang kudeskripsikan di mimbar untuk para saksi
waktu itu. "Paulie, kau pernah melihat liontin itu lagi setelahnya" tanyaku.
"Ya. Andrea begitu baik padaku. Dia mendatangi aku dan
mengatakan aku main bagus sekali, dan memenangkan pertandingan
sepak bola itu untuk tim kami. Pada saat itulah aku memutuskan
mengajaknya pergi ke pesta dansa itu.
"Aku pergi ke rumahmu, dan melihatnya memasuki daerah
pepohonan. Aku membuntutinya sampai di luar rumah Mrs
Westerfield. Dia memakai liontin itu, dan aku tahu ketika itu bahwa
Rob telah memberikan liontin itu padanya. Rob bukan anak baik. Dia
memberikan tip besar padaku, tapi dia tidak baik. Mobilnya selalu
penyok di sana-sini karena dia selalu mengemudikannya dengan cepat
sekali." "Kau melihat Rob pada hari itu?"
"Aku bertanya pada Andrea, apakah aku bisa bicara dengannya,
tapi dia bilang tidak bisa saat itu, dia sedang buru-buru. Aku kembali
ke dalam hutan, dan mengawasinya masuk ke dalam garasi itu.
Beberapa menit setelah itu, Rob Westerfield masuk ke sana."
"Ceritakan pada Ellie kapan itu, Paulie."
"Itu satu minggu sebelum Andrea meninggal dalam garasi itu."
Satu minggu sebelumnya. "Kemudian, beberapa hari sebelum dia meninggal aku berbicara
dengan Andrea lagi. Aku bilang padanya bahwa Rob itu jahat sekali,
dan sebaiknya dia tidak bertemu dengan Rob di dalam garasi itu, dan
aku tahu ayahnya akan marah sekali kalau tahu dia pergi ke sana
dengan Rob." Paullie menatap langsung ke arahku. "Ayahmu selalu baik
sekali padaku, Ellie. Dia selalu memberi aku tip untuk mengisi tangki
bensinnya, dan dia selalu mengajak aku ngobrol soal sepak bola. Dia
baik sekali." "Sewaktu kau mengingatkan Andrea tentang Rob, apakah
ketika itu kau juga mengajaknya pergi ke pesta dansa itu
Putri Kesayangan Ayah Daddy's Little Girl Karya Mary Higgins Clark di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bersamamu?" "Ya, dan dia bilang oke, dia minta aku berjanji tidak
mengadukannya pada ayahnya tentang Rob."
"Dan kau tidak pernah melihat liontin itu lagi"
"Tidak, Ellie."
"Dan kau tidak pernah pergi ke garasi itu lagi?"
"Tidak, Ellie."
Paulie memejamkan mata, dan bisa kulihat ia mulai lelah sekali.
Aku meraih tangannya "Paulie, aku tidak mau kau khawatir lagi. Aku berjanji padamu
semuanya akan beres nanti, dan sebelum aku selesai, semua orang
akan tahu kau baik, hatimu lembut dan bersih. Juga kau pandai. Ketika
masih muda, kau sudah bisa melihat Rob Westerfield busuk sekali
Banyak orang di sini masih belum juga bisa melihat itu."
"Paulie melihat dengan hatinya," ujar Mr. Stroebel pelan.
Paulie membuka matanya "Aku ngantuk sekali. Aku sudah
ceritakan padamu tentang liontin itu?"
"Ya, sudah." Mrs. Stroebel mengantarku ke lift. "Ellie, bahkan dalam
persidangan mereka berusaha begitu keras menyalahkan Paulie atas
kematian Andrea Aku begitu takut waktu itu. Karena itulah aku bilang
padanya untuk tidak pernah membicarakan soal liontin itu."
"Aku mengerti."
"Aku harap begitu. Anak seperti dia selalu butuh perlindungan,
bahkan setelah dewasa. Kaudengar pengacara Westerfield di televisi
mengatakan pada semua orang bahwa sidang yang baru akan
membuktikan Paulie-lah yang membunuh Andrea. Bisa kaubayangkan
Paulie duduk di mimbar saksi sementara orang itu terus
memberondongnya dengan pertanyaan-pertanyaan?"
Orang itu. Orang itu adalah Yang Mulia William Hamilton.
"Tidak, aku tidak bisa."
Aku mengecup pipinya. "Paulie beruntung memiliki Anda, Mrs.
Stroebel." Ia menatapku. "Dia beruntung memilikimu, Ellie."
Chapter 37 PUKUL tujuh aku menuju rumah Mrs. Hilmer untuk makan
malam bersamanya. Tentu saja itu berarti aku harus melewati rumah
lama kami. Malam itu lampu-lampunya menyala semua, dan dengan
cahaya bulan yang bersinar menerangi daerah hutan di belakangnya,
kesannya seperti gambar pada sampul majalah. Persis seperti rumah
yang diangan-angankan ibuku, contoh sempurna rumah pertanian
indah dan tenang yang dikembangkan.
Jendela-jendela kamarku dulu terletak di atas pintu muka, dan
aku bisa melihat profil seseorang bergerak di antaranya. Pasangan
Kelton, yang sekarang menempati rumah itu, berusia sekitar lima
puluh tahunan. Mereka penghuni satu-satunya rumah itu yang kulihat
pada malam terjadinya kebakaran, tapi mungkin mereka memiliki
anak-anak remaja yang terus tidur di antara raung sirene mobil polisi
dan pemadam kebakaran. Aku bertanya-tanya apakah penghuni
kamarku sekarang juga suka bangun pagi-pagi dan sambil rebahan
mengawasi marahari terbit, seperti aku dulu.
Rumah Mrs. Hilmer juga terang benderang malam itu Aku
memasuki jalan mobilnya, yang kini hanya menuju satu tempat.
Lampu besarku menyorot puing-puing bekas garasi dan apartemennya
yang hangus. Entah kenapa aku teringat tempat lilin dan wadah buah
yang mendekorasi meja ruang makan apartemen yang asri itu. Bendabenda itu tidak
mahal, tapi jelas dipilih dengan penuh pertimbangan
dan selera tinggi. Semua yang ada di dalam apartemen itu telah dipilih dengan
pertimbangan. Kalau Mrs. Hilmer kelak membangun tempat itu
kembali, benda-benda seperti itulah yang akan membutuhkan waktu
dan usaha untuk mendapatkan gantinya.
Dengan bayangan itu dalam kepalaku, aku memasuki
rumahnya, siap untuk kembali meminta maaf. Namun ia tidak mau
mendengar itu. "Bagaimana kalau kau berhenti mencemaskan soal
garasi itu?" ujarnya sambil menghela napas, kemudian ia menarik
wajahku untuk memberi kecupan. "Ellie, ada yang menyulut api itu
dengan sengaja." "Aku tahu itu. Anda tidak menganggap aku bertanggung jawab
untuk itu?" "Ya Tuhan, tentu saja tidak. Ellie, sewaktu aku kembali dan
Brian White menyelonong masuk kemari, lalu terang-terangan
menuduhmu pyromaniac, aku langsung memberikan tanggapan pedas
mengenai dirinya. Kalau ini bisa membuatmu meraba lebih enak, dia
juga pernah menyatakan padaku aku cuma membayangkan ada yang
mengikutiku dari dan ke perpustakaan pada hari itu. Aku juga sekalian
meluruskan pandangannya tentang itu. Tapi terus terang Ellie, yang
mencemaskan adalah membayangkan bahwa siapa pun yang
memasuki apartemen itu sewaktu kau berada di sini untuk makan
malam, ternyata mencuri beberapa handuk dari sana untuk membuat
kesan kaulah yang menyulut api itu."
"Setiap hari aku mengambil handuk dari dalam lemari itu. Aku
tidak pernah memperhatikan lima atau enam buah di antaranya
hilang." "Bagaimana kau bisa" Rak-rak itu penuh handuk. Dulu pernah
aku tidak tahan melihat barang diskon, dan sekarang aku punya cukup
handuk untuk sampai akhir zaman. Oke, makan malam sudah siap,
dan kau tentunya lapar Ayo kita langsung ke meja makan."
Makan malam terdiri atas hidangan udang, yang disusul dengan
salad segar. Nikmat sekali. "Dua kali makan enak dalam satu hari,"
ujarku. "Aku benar-benar sedang dimanja."
Aku menanyakan tentang cucunya, dan mendengar bahwa
pergelangannya yang cedera sedang memulih dengan baik.
"Menyenangkan melewatkan beberapa waktu dengan Janey,
dan bayinya betul-betul meluluhkan hati. Tapi, Ellie, setelah seminggu
aku sudah ingin pulang. Hatiku mau, tapi sudah lama sekali aku tidak
bangun sekitar pukul lima pagi untuk menghangatkan botol susu."
Ia mengatakan selama ini ia terus mengikuti situsku, dan bisa
kulihat sisa-sisa rasa simpati yang pernah dimilikinya untuk Rob
Westerfield sudah memudar. "Ketika aku membaca pernyataan si
psikolog, yang mengungkapkan bagaimana Rob pernah memelintir
lengannya di restoran itu, aku benar-benar terguncang. Janey pernah
bekerja di restoran semasa kuliah. Membayangkan seorang bajingan
melecehkan dirinya seperti itu sempat membuat darahku bergolak "
"Tunggu sampai Anda membaca yang berikutnya. Dia juga
sempat melabrak rekan sesama pelajar ketika baru duduk di kelas dua
sekolah menengah." "Polahnya semakin menjadi-jadi Aku sedih sekali ketika
mendengar tentang Paulie. Bagaimana keadaannya?"
"Keadaannya membaik. Aku sudah menengoknya tadi sore."
Aku sempat ragu sebentar, tidak yakin apakah aku ingin menceritakan
tentang pengungkapan Paulie mengenai liontin itu. Tapi kemudian aku
memutuskan untuk menceritakannya. Mrs. Hilmer dapat dipercaya,
juga dapat menjadi barometer pendapat penduduk setempat. Aku tahu
ia masih yakin masalah liontin itu merupakan bagian dari imajinasiku.
Akan sangat menarik dan membantu untuk melihat reaksinya
mengenai itu sekarang. Tehnya dingin sementara ia mendengarkan ceritaku, dan
wajahnya menjadi keras. "Ellie, pantas Mrs Stroebel tidak ingin Paulie
berbicara tentang liontin itu. Cerita itu bisa dengan mudah diputar
balikkan, sehingga dia sendiri yang akan kena getahnya."
"Aku tahu itu. Paulie mengaku dia sempat memegang liontin
itu, dan dia menyerahkannya pada Rob, dan menjadi resah ketika
melihat Andrea memakainya, sehingga dia mengikuti Andrea sampai
ke garasi itu." Aku berhenti sebentar dan menatapnya. "Mrs. Hilmer,
Anda percaya kejadiannya seperti itu?"
"Yang aku percaya adalah meskipun keluarga Westerfield
memiliki begitu banyak uang, tingkah laku Rob Westerfield betulbetul murahan dan
jahat. Dia memberi hadiah pada Andrea sesuatu
yang pernah menjadi milik gadis lain, yang sepertinya tertinggal
dalam mobilnya. Aku berani bertaruh dia membawa liontin itu ke
salah satu pusat perbelanjaan, membayar beberapa dolar untuk
digrafir, dan setelah itu membual-bual tentang itu."
"Tadinya terpikir olehku untuk mencoba melacak siapa yang
menggrafirnya, tapi setelah sekian tahun, rasanya hampir tak
mungkin. Sudah lama mereka membuat grafiran seperti itu di kioskios perhiasan
pusat perbelanjaan."
"Jadi, kau belum tahu cara menggunakan informasimu tentang
liontin itu?" "Belum. Aku begitu senang liontin dalam ingatanku itu ternyata
memang ada, sehingga aku belum sempat berpikir sejauh itu. Liontin
Peristiwa Merah Salju 1 Gento Guyon 7 Topeng Robinson Crusoe 2
wajahnya, slang-slang di lengannya, perban tebal di pergelangan
tangannya. Selama malam panjang itu, aku melihat kecemasan yang
membayang di wajah Mrs. Stroebel, menyaksikan bibirnya bergerak
dalam doa, dan mendapati aku sendiri mulai berdoa. Mulanya keluar
begitu saja, tapi kemudian lebih intensif. Kalau Kau menyelamatkan
Paulie untuknya aku akan mencoba menerima semua yang pernah
terjadi. Mungkin aku tidak akan berhasil, tapi aku berjanji akan
berusaha. Berkas-berkas cahaya mulai menembus kegelapan di luar.
Pukul sembilan lewat seperempat, seorang dokter memasuki ruang
tunggu itu. "Keadaan Paulie sudah stabil," ujarnya. Dia akan pulih.
Bagaimana kalau kalian pulang sekarang untuk tidur?"
**************************************
Aku pulang dari rumah sakit naik taksi; dalam perjalanan, aku
meminta si sopir berhenti sebentar supaya aku bisa membeli koran
pagi itu. Setelah membaca sekilas halaman muka harian Westchester
Post itu, aku bersyukur di dalam unit perawatan intensif itu, Paulie
Stroebel tidak memiliki akses untuk membaca koran.
Judul berita itu berbunyi "Tersangka Pembunuhan Melakukan
Upaya Bunuh Diri". Bagian selebihnya halaman depan itu memuat foto-foto tiga
orang. Yang paling kiri foto Will Nebels yang berpose di depan
kamera, dengan ekspresi sok tahu di wajahnya yang sama sekali tidak
meyakinkan Di sebelah kanan foto wanita berusia enam puluh limaan,
dengan tampang was-was yang semakin menonjolkan kerutan-kerutan
wajahnya. Yang di tengah foto Paulie, di belakang meja kasir tokonya,
dengan pisau roti di tangan.
Foto itu telah dipotong sedemikian rupa, sehingga yang tampak
hanya tangannya yang menggenggam pisau. Entah apa konteksnya,
karena sama sekali tidak terlihat roti yang sedang dipotongnya.
Matanya melihat ke dalam kamera, kedua alisnya menyatu.
Aku memperkirakan foto itu diambil saat Paulie sama sekali
tidak siap. Pokoknya, efeknya menggambarkan lelaki yang tegang,
dengan pandangan tidak fokus, mengacungkan senjata.
Tulisan di bawah foto-foto itu merupakan kutipan ucapan. Di
bawah foto Nebels tertulis: "Setahuku, dia yang melakukan itu". Di
bawah foto wanita bertampang waswas: "Dia mengakui itu padaku".
Di bawah foto Paulie: "Maafkan aku, maafkan aku".
Liputannya ada di halaman 3, tapi aku harus menunda dulu
membacanya, karena taksi yang kutumpangi memasuki jalan mobil
tempat penginapanku. Begitu berada di kamar, aku memusatkan
kembali perhatianku pada koran itu.
Wanita dalam foto di halaman pertama itu bernama Lillian
Beckerson, pengurus rumah tangga Mrs. Dorothy Westerfield selama
tiga puluh satu tahun. "Tidak pernah ada orang sebaik Mrs.
Westerfield di muka bumi ini," tertulis di koran itu, mengutip
ucapannya. "Suaminya pernah menjadi senator, kakek Suaminya
gubernur daerah New York. Dia sudah menanggung aib yang
mencemarkan nama keluarganya ini selama lebih dari dua puluh
tahun. Sekarang, di saat cucu satu-satunya sedang berusaha
membuktikan dia tidak bersalah, wanita yang berbohong di mimbar
saksi ketika masih kecil itu kembali untuk mencoba
menghancurkannya lagi melalui sebuah situs."
Yang dia maksud adalah aku, batinku.
"Mrs. Westerfield mengikuti situs itu, dan dia menangis
kemarin sore. Aku tidak tahan lagi. Aku pergi ke toko penganan itu
dan mendamprat lelaki itu. Aku memohon padanya untuk mengatakan
yang sebenarnya, untuk mengakui perbuatannya. Kalian tahu apa yang
dia katakan padaku" "Maafkan aku, maafkan aku." Oke, kalau kau
memang tidak bersalah, apakah itu yang akan kaukatakan" Kurasa
tidak." Kau akan mengatakan itu kalau kau Paulie. Aku memaksa
diriku terus membaca. Aku jurnalis investigasi, dan aku bisa melihat
Colin Marsh, yang menulis artikel ini, adalah orang sensasionalis yang
tahu cara mengutip dan kemudian memanipulasi ucapan-ucapan
bernada provokatif. Ia telah menemui Emma Watkins, si pembimbing siswa yang
sekian tahun lalu menyatakan di mimbar saksi bahwa sambil
mengisak Paulie mengatakan, "Kukira dia tidak mati," ketika kepada
kelasnya diumumkan bahwa Andrea meninggal.
Ms. Watkins menyatakan pada Marsh bahwa selama sekian
tahun ia selalu merasa kurang enak mengenai vonis yang dijatuhkan
pada Rob Westerfield. Ia mengatakan Paulie sangat sensitif, dan kalau
dia tahu Andrea cuma bercanda ketika menyatakan bersedia pergi
bersamanya ke pesta dansa itu, mungkin saja dia kesal dan
melampiaskan kekecewaannya.
Melampiaskan. Cara yang pas sekali untuk
mengekspresikannya, batinku.
Will Nebels, sosok mengenaskan itu, si culas yang suka main
rangkul gadis gadis, memperoleh porsi yang cukup berarti dalam
liputan itu. Dengan bumbu-bumbu lebih banyak lagi dibandingkan
penampilannya dalam wawancara televisi yang kutonton beberapa
hari lalu, ia menyatakan pada Marsh, ia melihat Paulie masuk ke
garasi tempat persembunyian itu pada malam kejadian, membawa tuas
dongkrak. Ia mengakhirinya dengan menyatakan penyesalan sedalam
dalamnya karena tidak bakal bisa menebus kesalahannya pada
keluarga Westerfield, karena kelalaiannya untuk tidak segera tampil
menyatakan yang sebenarnya.
Selesai membaca liputan itu, aku melempar koran tersebut ke
tempat tidur. Aku marah sekali, sekaligus cemas. Kasus itu dievaluasi
melalui media massa dan semakin banyak orang akan diyakinkan
bahwa Rob Westerfield sebetulnya tidak bersalah. Aku menyadari
kalau aku membacanya dengan kepala dingin, ada kemungkinan aku
pun bisa diyakinkan bahwa selama ini orang yang tidak bersalah telah
dihukum. Namun, kalau Mrs. Westerfield bisa terguncang setelah
membaca isi situsku, pasti juga ada orang lain yang merasakan efek
sama. Aku menyalakan komputerku dan mulai menyibukkan diri.
"Untuk menunjukkan loyalitasnya yang mendalam secara
gegabah pengurus rumah tangga Mrs Dorothy Westerfield
menyelonong masuk ke toko penganan keluarga Stroebel, dan secara
verbal menyerang Paulie Stroebel. Beberapa jam setelah itu, Paulie,
laki-laki berhati lembut dan stres berat akibat kebohongankebohongan yang
ditebarkan uang keluarga Westerfield, mencoba
melakukan tindak bunuh diri.
"Aku menaruh simpati pada Mrs. Dorothy Westerfield, yang
sebetulnya wanita yang baik, untuk kepedihan yang ditanggungnya
selama ini karena perbuatan kriminal yang pernah dilakukan cucunya.
Aku percaya dia akan menemukan kedamaian di hatinya dengan
menerima kenyataan bahwa nama baik keluarganya yang terpandang
masih tetap akan dihormati oleh generasi generasi mendatang.
"Dia hanya perlu meninggalkan harta kekayaannya yang
berlimpah untuk amal, yang memungkinkan pendidikan bagi muridmurid di generasi
mendatang dan pendanaan riset di bidang medis
yang akan menyelamatkan kehidupan sekian banyak insan manusia.
Mewariskan peninggalannya pada seorang pembunuh hanya akan
memperparah tragedi yang lebih dari dua puluh tahun lalu mencabut
nyawa kakakku, dan yang kemarin hampir saja menghilangkan nyawa
Paulie Stroebel. "Setahuku komite untuk menegakkan keadilan bagi Rob
Westerfield baru saja dibentuk.
"Aku mengundang Anda sekalian untuk bergabung dalam
komite, untuk menegakkan keadilan bagi Paulie Stroebel.
"Mrs. Dorothy Westerfield, Anda undangan pertama!"
Lumayan, batinku saat aku memindahkan teks itu ke situsku.
Ketika aku mematikan komputer, ponselku berbunyi.
"Aku habis membaca koran." Aku langsung mengenali suara
itu. Lelaki yang kemarin ini menyatakan pernah mendekam dalam
penjara bersama Rob Westerfield, dan mendengarnya mengaku
terlibat pembunuhan lain.
"Aku memang berharap mendapat kabar dari Anda." Aku
mencoba mengendalikan suaraku agar terdengar sambil lalu.
"Menurutku, Westerfield berhasil membuat si Stroebel tolol itu
kelihatan jelek." "Dia tidak tolol," sahutku ketus.
"Terserah. Begini perjanjiannya. Lima ribu dolar. Aku akan
memberitahu Anda nama depan orang yang menurut Westerfield dia
bunuh " "Nama depan!" "Cuma itu yang aku tahu. Terserah mau terima atau tidak."
"Tidak ada lagi yang bisa Anda berikan padaku" Maksudku,
kapan kejadiannya, di mana?"
"Aku cuma tahu nama depannya, dan aku butuh uang hari
Jumat." Sekarang hari Senin. Aku memiliki sekitar $3.000 dalam
rekening simpananku di Atlanta, dan meski dengan sangat berat hati,
aku bisa meminjam sisanya dari Pete, kalau uang muka pembayaran
bukuku belum masuk menjelang hari Jumat.
"Bagaimana?" Nada suaranya tidak sabaran.
Aku tahu mungkin saja aku sedang diakali, namun ini risiko
yang kuputuskan akan kuambil.
"Aku akan menyediakan uangnya hari Jumat," janjiku.
Chapter 29 MENJELANG Rabu malam, keadaanku sudah boleh dibilang
normal kembali. Aku sudah punya kartu kredit, SIM, dan uang. Uang
muka untuk bukuku sudah ditransfer ke rekeningku melalui bank di
dekat penginapanku. Istri pengelola apartemenku di Atlanta telah
mengepak beberapa potong pakaian untukku, dan mengirimkannya
tadi malam. Lepuh di telapak kakiku sudah memulih, dan aku bahkan
sempat merapikan rambutku di salon.
Yang paling penting, aku sudah membuat janji temu untuk hari
Kamis sore di Boston dengan Christopher Cassidy, mantan murid
Arbinger yang bersekolah dengan beasiswa, yang pada usia empat
belas tahun pernah dihajar habis-habisan oleh Rob Westerfield.
Aku sudah memasukkan dalam situsku pengalaman Dr
Margaret Fisher yang lengannya pernah dipelintir oleh Rob
Westerfield dan mendapat bayaran $500 dari ayahnya untuk tidak
mengajukan tuntutan. Aku sudah mengirim teksnya lewat e-mail sebelum aku
memasukkannya di Internet. Ia tidak hanya menyatakan oke, tapi juga
memberikan opininya secara profesional, bahwa perilaku kekerasan
dan letupan emosi yang pernah dialaminya mungkin saja merupakan
reaksi yang sama dari Rob Westerfield yang berakibat terbunuhnya
Andrea waktu itu. Sementara itu, Joan telah menghubungi teman-teman dekat
Andrea di masa sekolah menengahnya, dan ia melaporkan tak seorang
pun di antara mereka pernah melihat Andrea memakai liontin itu,
kecuali liontin yang diberikan ayahnya padanya
Setiap hari aku memberikan deskripsi liontin itu di situsku,
dengan harapan akan memperoleh informasi yang mungkin saja akan
diberikan seseorang. Sejauh ini memang belum ada hasilnya. E-mailku selalu penuh
dengan tanggapan orang-orang. Ada yang mendukung
apa yang kulakukan. Ada pula yang secara pedas mengecamku. Selain
itu ada juga beberapa pengirim pesan iseng. Dua mengakui sebagai
pelaku pembunuhan itu. Satu menyatakan Andrea masih hidup dan
mengharapkan aku menyelamatkan dirinya.
Beberapa surat isinya mengancamku. Satu yang kurasa bukan
sekadar gertakan menyatakan ia sangat kecewa melihat aku berhasil
lolos dari kebakaran itu. Ia menambahkan, "Baju tidurmu lucu - dari
L.L. Bean, bukan?" Apakah si penulis kebetulan mengawasi peristiwa itu dari antara
pepohonan, atau mungkinkah dia si penyusup yang memasuki
apartemenku, dan kebetulan melihat baju tidurku tergantung di lemari
pakaian kamar tidur" Apa pun prospeknya, niatnya adalah
mengintimidasi, dan kuakui dua-duanya sama menakutkan.
Aku menghubungi Mrs. Stroebel beberapa kali dalam sehari,
dan sewaktu keadaan Paulie semakin membaik, nada lega mulai
mewarnai suaranya. Namun ia masih cemas. "Ellie, kalau sampai ada
sidang ulang, Paulie terpaksa harus bersaksi. Aku khawatir dia akan
melakukan ini lagi pada dirinya. Dia pernah mengatakan padaku,
"Mama, dalam sidang aku tidak bisa menjawab mereka sampai mereka
mengerti maksudku. Aku khawatir waktu Andrea ingin bertemu Rob
Westerfield. Aku tidak pernah mengancam Andrea.?"
Kemudian ia menambahkan, "Teman-temanku meneleponku.
Mereka mengikuti situsmu. Mereka bilang semua orang seharusnya
punya teman seperti kau. Aku menceritakan itu pada Paulie. Dia ingin
kau datang menengoknya."
Aku berjanji akan ke sana pada hari Jumat.
Selain untuk melakukan beberapa keperluan, selama ini aku
tinggal di dalam kamarku, mengerjakan buku itu. Dan aku meminta
makananku diantar ke kamar. Namun pada hari Rabu pukul tujuh
malam aku memutuskan pergi ke bawah untuk makan malam
Ruang makan penginapan ini tidak jauh berbeda dengan yang
ada di Parkinson Inn, meski kesannya lebih formal. Letak mejamejanya lebih
berjauhan, dan taplaknya dari bahan linen putih, bukan
bercorak kotak-kotak merah-putih. Hiasan meja di Parkinson adalah
tempat lilin yang lucu, bukan vas kecil berisi bunga. Mereka yang
makan di sini jelas lebih tua - orang-orang berumur dari kelas yang
lebih tinggi, bukan kelompok-kelompok yang masih suka berhurahura yang biasanya
memenuhi Parkinson. Tapi makanannya sama enaknya, dan setelah berdebat dengan
diriku sendiri antara menu iga kambing dan ikan, aku memilih yang
betul betul ingin kumakan. Aku memesan kambing.
Aku mengeluarkan dari tasku buku yang memang ingin kubaca,
dan selama satu jam berikutnya menikmati kombinasi yang aku
suka - makan malam enak dan buku bagus. Aku begitu tenggelam
dalam ceritanya, sehingga ketika seorang pelayan muncul untuk
mengangkat piringku dan berbicara denganku, aku mengangkat
wajahku dengan kaget. Aku bilang ya, aku mau kopi dan tidak, aku tidak mau hidangan
pencuci mulut. "Tuan yang duduk di meja itu ingin menawarkan segelas
minuman pada Anda." Aku sudah tahu itu Rob Westerfield, bahkan sebelum aku
menoleh. Ia duduk kurang dari 1,8 meter dariku, dengan gelas anggur
di tangannya. Ia mengangkat gelasnya, sok mengajak bersulang,
kemudian tersenyum. "Dia menanyakan padaku apakah aku tahu nama Anda, Miss.
Aku bilang padanya siapa Anda, lalu dia menulis ini untuk Anda."
Ia menyerahkan kartu padaku, dengan nama lengkap
Westerfield yang diembos di atasnya, Robson Parke Westerfield. Ya
Tuhan, dia melakukannya secara terbuka, itulah yang terpintas di
kepalaku saat aku membalik kartu itu.
Di atasnya ia menulis: "Andrea memang manis, tapi kau
cantik". Aku berdiri, kemudian berjalan ke arahnya, menyobek kartu
namanya, dan menjatuhkannya ke dalam gelas anggurnya. "Mungkin
kau mau memberiku liontin yang kauambil kembali setelah kau
Putri Kesayangan Ayah Daddy's Little Girl Karya Mary Higgins Clark di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membunuhnya," usulku.
Pupil matanya melebar, dan ekspresi mengajak bercanda dalam
matanya yang biru cobalt menghilang. Sesaat aku mengira ia akan
melompat berdiri dan menyerangku seperti ketika ia menyerang Dr.
Fisher di restoran itu sekian tahun lalu. "Kalung itu sempat
membuatmu cemas sekali waktu itu, bukan?" ujarku. "Yah, kurasa
sekarang pun masih, dan aku akan mencari tahu alasannya."
Si pelayan sedang berdiri di antara kedua meja kami,
ekspresinya bingung. Jelas ia tidak mengenali Westerfield, dan aku
bertanya-tanya sudah berapa lama ia berada di kota Oldham ini.
Dengan kepalaku aku menunjuk Westerfield. "Bawakan Mr.
Westerfield segelas anggur lagi, dan masukkan tagihannya ke dalam
rekeningku." ****************************************
Entah kapan, malam itu, sistem alarm mobilku dirusak orang
dan tangki bensinku dibuka paksa. Cara yang sangat efisien untuk
merusak mobil adalah dengan menuangkan pasir ke dalam tangki
bensinnya. Dinas kepolisian Oldham dalam wujud Detektif White muncul
menanggapi teleponku mengenai BMW-ku yang berantakan. Secara
tak langsung ia menanyai dari mana aku memperoleh pasir, dan ia
menyebutkan kebakaran di garasi Mrs. Hilmer memang terjadi secara
sengaja. Ia juga menyatakan sisa-sisa handuk dengan bekas rendaman
bensin yang merupakan penyebab kebakaran itu sudah diidentifikasi
mirip dengan handuk-handuk yang ditinggalkan Mrs. Hilmer di lemari
seprai apartemennya. "Benar-benar suatu kebetulan, Ms. Cavanaugh," ujarnya.
Bukankah begitu?" Chapter 30 AKU menyewa mobil untuk pergi ke Boston, memenuhi
janjianku dengan Christopher Cassidy. Aku betul-betul marah karena
mobilku sendiri rusak, dan cemas karena aku tahu ada hal lain yang
harus kuhadapi. Tadinya aku mengira orang yang menyusup ke
apartemenku waktu itu berniat mencari bahan yang mungkin akan
kupergunakan di dalam situsku. Sekarang aku bertanya-tanya apakah
alasan utamanya berada di sana adalah untuk mencuri sesuatu yang
bisa dipakainya kelak, untuk menyulut kebakaran yang nyaris
membuatku kehilangan nyawa itu.
Tentu saja aku tahu Rob Westerfield-lah yang berada di
belakang semua ini, dan ia memiliki keroco-keroco seperti yang
pernah menghampiriku di pelataran parkir Sing Sing untuk melakukan
pekerjaan-pekerjaan kotor baginya. Aku ingin membuktikan pada
dunia bahwa dengan menelusuri masa lalunya, akan terungkap pola
kekerasan yang sudah berlangsung sekian tahun, dan berbuntut
kematian Andrea. Selain itu, aku juga percaya ia ingin menjadikan aku
korban berikut polanya itu.
Sama seperti mempertaruhkan $5.000 untuk nama depan
seseorang yang mungkin pernah menjadi korban Westerfield, ini juga
merupakan risiko yang harus kuambil.
Reporter yang baik harus selalu tepat waktu. Tidak bisa
menggunakan kendaraanku sendiri, masih harus menunggu pihak
kepolisian mengisi formulir laporan, dan setelah itu pergi ke tempat
menyewa kendaraan ternyata menghabiskan banyak waktu.
Sebetulnya aku tidak akan terlambat untuk janji temu itu; tapi
cuacanya tidak mendukung.
Menurut prakiraan, langit akan mendung dan mungkin hujan
salju ringan di waktu malam. Namun hujan salju ringan itu mulai jatuh
sekitar lima puluh mil di luar kota Boston; akibatnya jalan menjadi
licin, dan lalu lintas terpaksa merambat. Sementara menit demi menit
terus berlalu, aku melirik jam di dasborku. Hatiku resah menanggapi
arus kendaraan yang tersendat-sendat. Sekretaris Christopher Cassidy
sudah mengingatkan aku untuk datang tepat waktu, mengingat ia
benar-benar menyisihkan waktu di antara jadwalnya yang sangat padat
hari itu, dan akan berangkat malam ini untuk pertemuan di Eropa.
Waktu menunjukkan pukul dua kurang empat menit ketika aku
akhirnya terengah-engah tiba di kantornya untuk janji pukul dua kami.
Selama beberapa menit aku duduk di ruang tunggunya yang apik,
berusaha mengatur napas. Aku merasa tegang dan agak susah
memusatkan pikiran, selain itu aku mulai merasa agak pusing.
Tepat pukul dua sekretaris Cassidy muncul untuk mengantarku
ke ruang kerja pribadinya. Saat mengikutinya, aku mencoba
mengingat-ingat semua yang sudah kuketahui mengenai Cassidy. Di
antaranya, tentu saja, ia mendapat beasiswa untuk bersekolah di
Arbinger Academy, dan bahwa ia yang mendirikan perusahaan ini.
Saat melacak namanya di Internet, aku mendapati ia lulus Yale
sebagai yang terbaik dalam angkatannya, ia memperoleh gelar master
dari Harvard Business School, dan penghargaan dari begitu banyak
yayasan, yang membuktikan ia donatur yang royal.
Ia berusia empat puluh dua tahun, menikah, memiliki anak
perempuan berusia lima belas tahun, dan sangat suka berolah raga.
Benar-benar laki laki luar biasa.
Begitu aku masuk ke dalam ruangan itu, ia melangkah keluar
dari belakang meja tulisnya, menghampiriku sambil mengulurkan
tangan. "Aku senang sekali bertemu Anda, Ms. Cavanaugh. Boleh aku
memanggil Anda Ellie" Aku merasa seperti sudah mengenal Anda.
Bagaimana kalau kita duduk di sana?" Ia menunjuk tempat untuk
duduk duduk di dekat jendela.
Aku memilih sofanya. Ia duduk di tepi kursi di depanku. "Kopi
atau teh?" tanyanya.
"Kopi kental," sahutku penuh rasa terima kasih. Aku merasa
secangkir kopi akan membantuku menjernihkan dan memusatkan
pikiran. Ia meraih pesawat telepon di meja dekat kursinya. Saat ia
berbicara dengan sekretarisnya, aku mendapat kesempatan untuk
mengamatinya; aku menyukai apa yang kulihat. Setelan jas biru
gelapnya berpotongan apik dan kemeja putihnya konservatif, namun
dasi merah bercorak tongkat golf kecil-kecil memberi kesan lebih
santai. Ia memiliki bahu bidang, tubuh tegap dan ramping, rambut
pirang kecokelatan yang lebat, dan mata merah kecokelatan yang
letaknya dalam. Dari dalam dirinya terpancar energi yang mengungkapkan
semangat hidupnya, dan aku bisa merasakan Christopher Cassidy
bukanlah tipe yang suka menyia-nyiakan waktunya.
Sekarang ia langsung ke pokok permasalahan. "Sewaktu Craig
Parshall meneleponku, dia menyatakan padaku kenapa Anda ingin
bicara denganku." "Kalau begitu, Anda tahu bahwa Rob Westerfield sudah keluar
dari penjara, dan mungkin kasusnya akan disidangkan kembali."
"Dan dia sedang mencoba mengalihkan tuduhan bersalah atas
kematian kakak Anda pada orang lain. Ya, aku tahu itu. Mengalihkan
kesalahan untuk perbuatannya merupakan salah satu kebiasaan
lamanya. Dia pernah melakukan hal yang sama ketika berusia empat
belas tahun." "Itu persisnya informasi yang ingin kumasukkan dalam situsku.
Keluarga Westerfield sudah memiliki seseorang yang mereka sebut
saksi, yang akan berbohong untuk mereka. Situasinya adalah, dalam
sidang ulang nanti mereka memiliki peluang bagus untuk
membersihkan nama mereka, dan setelah itu seluruh kasus akan
dihapuskan. Rob Westerfield akan dianggap martir yang telah
menghabiskan lebih dari dua puluh tahun di penjara untuk tindak
kejahatan yang dilakukan orang lain. Aku tidak bisa membiarkan itu
terjadi. "Apa yang ingin Anda ketahui dariku?"
"Mr Cassidy," mulaiku.
"Semua yang benci Rob Westerfield memanggilku Chris."
"Chris, menurut Craig Parshall, Westerfield pernah menghajar
Anda habis-habisan ketika kalian sama-sama menjalani tahun kedua di
Arbinger." "Kami sama-sama olahragawan berprestasi. Suatu ketika kami
memperebutkan posisi dalam pertandingan atletik. Aku berhasil
memenangkannya. Kurasa dia penasaran. Satu dua hari kemudian, aku
sedang dalam perjalanan kembali ke asrama dari perpustakaan. Aku
membawa setumpuk buku. Dia menghampiriku dari belakang, lalu
menonjok leherku. Sebelum aku sempat melakukan apa-apa, dia sudah
menindihku. Akhirnya aku mengalami patah hidung dan tulang
rahang." "Dan tidak seorang pun berusaha menghalanginya?"
"Dia sudah memperhitungkan waktunya. Dia menyerang saat
tidak ada siapa pun di sekitar tempat itu dan setelah itu menyatakan
akulah yang memulai semua itu. Untungnya, seorang senior kebetulan
sedang melongok ke luar jendela, dan menyaksikan apa yang terjadi.
Tentu saja pihak sekolah tidak menginginkan skandal. Keluarga
Westerfield sudah menjadi donatur andalan selama beberapa generasi.
Ayahku sudah siap mengajukan tuntutan, namun dia ditawari
beasiswa penuh untuk adikku yang saat itu duduk di kelas delapan,
kalau dia mau mempertimbangkannya kembali. Aku yakin keluarga
Westerfield akhirnya membayar "beasiswa" itu."
Kopi disajikan. Nikmat sekali. Cassidy tampak termenung saat
ia mendekatkan cangkirnya ke bibir. Kemudian ia berkata, "Demi
nama baik sekolah, Rob terpaksa menarik diri di akhir tahun ajaran."
"Apa aku boleh menulis ini di situsku" Pengungkapan nama
Anda akan menambah makna dari apa yang sedang kukerjakan."
"Itu pasti. Aku masih ingat waktu kakak Anda meninggal. Aku
membaca seluruh liputan mengenai sidang itu, karena keterlibatan
Westerfield. Waktu itu aku berandai aku bisa tampil di mimbar saksi
dan mengungkapkan pada mereka bahwa dia bajingan. Aku punya
anak perempuan yang seumur kakak Anda saat dia meninggal. Aku
bisa membayangkan perasaan ayah Anda, apa yang dialami seluruh
keluarga Anda." Aku mengangguk. "Peristiwa itu menghancurkan kami sebagai
keluarga." "Itu sama sekali tidak mengherankan."
"Sebelum dia menyerang Anda, apakah Anda banyak
berhubungan dengannya di sekolah?"
"Aku cuma putra tukang masak kontrakan. Dia seorang
Westerfield. Dia tidak punya waktu untukku, sampai aku dianggap
menghalangi jalannya."
Cassidy melirik arlojinya. Sudah waktunya mengucapkan
terima kasih padanya dan pergi. Tapi aku masih punya satu
pertanyaan lagi, "Bagaimana mengenai tahun pertamanya" Anda
berhubungan dengannya?"
"Tidak juga. Kami menekuni kesibukan yang berbeda. Dia lebih
aktif dalam klub drama, dan terlibat dalam beberapa kali pementasan.
Aku pernah menonton aktingnya, dan harus kuakui dia benar-benar
berbakat. Dia tidak pernah menjadi pemeran utama, tapi toh mendapat
nominasi sebagai aktor terbaik untuk salah satu penampilannya, jadi
kukira untuk sementara dia cukup senang."
Cassidy bangkit berdiri, kemudian dengan enggan aku juga
berdiri. "Anda baik sekali," ujarku memulai, tapi ia segera memotong
kalimatku. "Aku baru ingat sesuatu. Westerfield senang sekali dirinya
disorot, dan tidak ingin keberhasilannya dilupakan orang begitu saja.
Dia mengenakan wig berwarna pirang gelap dalam drama itu, dan
supaya kami tidak lupa betapa bagus permainannya, sesekali dia suka
memakai kembali wig itu. Kemudian dia berlagak seperti tokoh yang
pernah dia perankan, dan aku masih ingat dia bahkan menandatangani
kertas-kertas tugas di kelas memakai nama si tokoh."
Aku teringat bagaimana Rob Westerfield muncul di penginapan
itu tadi malam, dan memberi kesan pada si pelayan bahwa ia sedang
mencoba mengambil hatiku. "Dia masih suka akting," sahutku dalam
nada geram. ***************************************
Aku cepat-cepat pergi makan siang, dan kembali ke mobil pada
pukul setengah empat. Hujan salju belum reda, dan perjalananku
menuju Boston mulai terasa seperti piknik dibandingkan perjalanan
pulang ke Oldham. Aku meletakkan ponselku di sebelahku, di bangku
depan mobil, untuk menghindari luputnya telepon si laki-laki yang
pernah mendekam dalam penjara bersama Westerfield.
Ia menyatakan membutuhkan uang menjelang hari Jumat. Saat
ini perasaanku mengatakan bahwa informasi yang akan diberikannya
cukup berharga, sehingga aku benar-benar berharap ia tidak berubah
pikiran. Baru pukul setengah dua belas malam itu aku akhirnya tiba
kembali di tempat penginapanku. Aku baru saja masuk ke kamar
ketika ponselku berbunyi. Ternyata telepon yang sedang kutunggutunggu, namun
kali ini suara yang kudengar terkesan cemas. "Begini,
kurasa aku sedang dijebak. Mungkin aku tidak akan bisa keluar dari
sini." "Anda di mana?"
"Dengar dulu. Kalau aku memberikan nama itu padamu, apa
aku bisa mempercayaimu untuk membayarku kelak?"
"Ya, bisa," "Rupanya Westerfield menyadari aku bisa menimbulkan
masalah baginya. Dia punya banyak uang sejak lahir. Aku tidak punya
apa-apa. Kalau aku keluar dari sini dan kau membayarku, sedikitnya
aku punya sesuatu. Kalau sampai aku tidak bisa keluar lagi, mungkin
kau bisa memojokkan Westerfield untukku dengan tuduhan
melakukan pembunuhan."
Sekarang aku yakin laki-laki ini tidak berniat memanfaatkan
aku, bahwa ia memang memiliki informasi untukku. "Aku berjanji
akan membayar Anda. Aku berjanji akan memojokkan Westerfield
untuk Anda." "Westerfield pernah bilang padaku, "Aku menghajar Phil
sampai mati, dan rasanya bukan main." Kaudengar itu" Phil - itu
namanya. " Lalu telepon terputus Chapter 31 ROB WFSTERFIELD berusia sembilan belas tahun ketika
membunuh Andrea. Dalam waktu delapan bulan ia ditahan,
diinterogasi, dihadapkan ke muka sidang, divonis, kemudian dikirim
ke penjara. Meskipun ia sempat ditahan di luar dengan jaminan
sebelum dijatuhi vonis, aku tidak begitu yakin selama tenggang waktu
delapan bulan itu ia akan mengambil risiko membunuh orang lagi.
Itu berarti tindak kejahatan tersebut dilakukan sekitar dua puluh
dua sampai dua puluh tujuh tahun yang lalu. Aku harus melacak lima
sampai enam tahun dalam kehidupannya itu untuk menemukan
hubungan antara dirinya dengan seseorang yang sudah mati dengan
nama kecil Phil. Sepertinya tidak masuk akal membayangkan kemungkinan Rob
pernah membunuh di usia tiga belas atau empat belas tahun. Atau
masuk akal" Ia baru berumur empat belas ketika menyerang
Christopher Cassidy secara keji.
Aku memperhitungkan dalam tahun-tahun itu ia berada di
Arbinger, Massachusetts selama satu setengah tahun, dan setelah itu
enam bulan di Bath Public School di Inggris, dua tahun di Carrington
Academy di Maine, dan sekitar satu semester di Willow, perguruan
tinggi yang tidak begitu jelas, dekat Buffalo. Keluarga Westerfield
memiliki rumah di Vail dan sebuah lagi di Palm Beach. Kurasa Rob
pernah mengunjungi tempat-tempat itu. Ia tentunya juga pernah
mengikuti kursus-kursus singkat di luar negeri.
Putri Kesayangan Ayah Daddy's Little Girl Karya Mary Higgins Clark di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ruang lingkup yang cukup luas untuk diliput Aku butuh
bantuan. Marcus Longo pernah menjadi detektif Kantor Kejaksaan
Daerah Westchester selama dua puluh lima tahun. Kalau ada yang
dapat melacak tindak pembunuhan atas diri seseorang dengan hanya
nama depan sebagai pegangan, aku berani bertaruh dialah orangnya.
Untungnya, saat menelepon Marcus, aku bisa langsung
berbicara dengannya, dan bukan dengan mesin penerima pesannya.
Seperti dugaanku, ia pergi ke Colorado untuk menjemput istrinya.
"Kami tinggal di sana selama beberapa hari, untuk melihat-lihat
rumah," ujarnya menjelaskan. "Kurasa kami sudah menemukan satu."
Nada suaranya berubah. "Tadinya aku mau menceritakan
padamu tentang cucuku, tapi itu bisa menunggu. Setahuku banyak
yang terjadi sejak aku pergi."
"Aku tidak bisa menyangkal itu, Marcus. Bagaimana kalau
kutraktir kau makan siang" Aku butuh sedikit nasihat."
"Nasihatnya gratis Aku yang mentraktirmu makan siang."
*******************************************
Kami bertemu di The Depot Restaurant di Cold Spring. Di sana,
sambil menikmati sandwich isi daging asap, selada, dan minum kopi,
aku melaporkan padanya apa yang kualami selama seminggu itu.
Ia menyela beberapa kali dengan pertanyaan-pertanyaannya.
"Menurutmu, maksud kebakaran itu untuk menakut-nakutimu
atau memang untuk membunuhmu?"
"Kenyataannya aku lebih dan sekadar takut; aku tidak begitu
yakin bisa keluar dari situ waktu itu."
"Oke. Dan kaubilang pihak kepolisian Oldham menduga kau
sendiri yang menyulut api itu?"
"Opsir White sudah mengupayakan segalanya kecuali
memborgolku." "Sepupunya pernah bekerja di Kantor Kejaksaan ketika aku
masih di sana. Dia sudah menjadi hakim sekarang, dan anggota klub
yang sama dengan ayah Rob. Secara terbuka, dia berpendapat Paulie
Stroebel-lah yang bersalah atas kematian Andrea. Aku berani bertaruh
gara-gara dialah White bersikap seperti itu padamu. Situsmu itu
berdampak sangat provokatif terhadap mereka yang merasa dekat
dengan keluarga Westerfield."
"Kalau begitu, aku berhasil "
Aku melayangkan mata ke sekelilingku, untuk memastikan
tidak ada yang menangkap pembicaraan kami. "Marcus..."
"Ellie, apa kau sadar matamu terus nyalang ke sana kemari"
Siapa atau apa yang membuatmu resah?"
Aku menceritakan padanya tentang kemunculan Rob
Westerfield di tempat penginapan itu. "Dia baru muncul setelah aku
hampir selesai makan," ungkapku. "Seseorang rupanya meneleponnya
untuk memberitahukan. Aku yakin itu."
Aku tahu setelah ini Marcus akan mengingatkan aku untuk
lebih berhati-hati, atau memintaku berhenti mengisi situsku dengan
materi-materi membahayakan itu. Aku tidak memberikan kesempatan
itu padanya. "Marcus, aku menerima telepon dari seseorang yang pernah
dipenjara bersama Rob." Aku mengungkapkan padanya tentang
transaksi yang telah kubuat untuk mendapatkan informasi itu, serta
mengenai telepon orang itu tadi malam.
Ia mendengarkan dengan serius, matanya mempelajari ekspresi
wajahku. Ia membiarkan aku berbicara, dan setelah itu bertanya, "Kau
percaya pada orang ini, ya?"
"Marcus, aku tahu bodoh sekali mempertaruhkan lima ribu
dolar. Tapi orang ini benar-benar takut kehilangan nyawanya. Dia
mau aku tahu tentang Phil karena dia menaruh dendam pada
Westerfield." "Kaubilang dia menyinggung soal karton yang kauacungkan di
luar bangunan penjara itu."
"Ya." "Menurut dugaanmu dia tahanan, jadi itu mungkin berarti dia
dilepas pada hari itu. Kau hanya satu kali ke sana, bukan?"
"Ya." "Ellie, orang itu mungkin saja petugas penjara yang akan masuk
atau sedang keluar dari penjara saat kau berdiri di situ. Dengan uang,
kau bisa membeli jasa dari beberapa petugas atau para tahanan lain."
Aku tidak pernah berpikir sejauh itu. "Tadinya aku berharap
kau bisa mengupayakan daftar tahanan yang dilepas pada hari sesudah
Westerfield keluar. Dari situ kau bisa melihat apakah sesuatu terjadi
pada salah satu di antara mereka."
"Aku bisa mengupayakan itu. Ellie, kau tahu ini juga bisa
merupakan permainan salah satu orang iseng."
"Aku tahu itu, tapi kurasa tidak." Aku membuka agendaku.
"Aku sudah membuat daftar sekolah-sekolah yang pernah
menampung Rob Westerfield, baik di sini maupun di Inggris, dan
tempat-tempat di mana keluarganya memiliki rumah. Tentunya ada
database yang memuat kasus-kasus pembunuhan yang tidak berhasil
dipecahkan dalam tenggang waktu antara dua puluh dua sampai dua
puluh tujuh tahun yang lalu, bukan?"
"Tentu saja." "Kantor Kejaksaan Westchester juga punya?"
"Ya." "Kau bisa mengaksesnya, atau meminta seseorang melakukan
itu untukmu?" "Ya, bisa." "Kalau begitu, tidak akan terlalu sulit melacak apakah ada
korban dengan nama depan Phil di situ, bukan?"
"Ya." "Bagaimana mengenai pengecekan database tindak kejahatan
yang tidak berhasil dipecahkan di daerah-daerah sekitar sekolah dan
rumah yang pernah ditempati Westerfield?"
Marcus mempelajari daftar itu. "Massachusetts, Maine, Florida,
Colorado, New York, Inggris." Ia bersiul. "Lumayan luas daerah
lingkupnya. Kita lihat apa yang bisa kulakukan."
"Satu hal lagi. Mengingat cara Rob Westerfield beroperasi,
apakah ada database untuk tindak kejahatan yang berhasil dipecahkan,
yang mencantumkan nama Phil sebagai korban dan seseorang yang
menyatakan dirinya bersalah menjalani hukumannya?"
"Ellie, sembilan dari sepuluh orang yang dinyatakan bersalah
dalam persidangan dan berada di belakang terali menyatakan orang
lainlah yang melakukan tindak kejahatan itu. Bagaimana kalau kita
memulai dengan kejahatan-kejahatan yang tidak berhasil dipecahkan
dan melihat dulu hasilnya?"
"Besok aku akan memuat cerita Christopher Cassidy mengenai
Rob dalam situsku. Tak seorang pun akan mempertanyakan integritas
Cassidy, sehingga pengungkapannya akan dianggap cukup relevan.
Aku belum sempat menghubungi Carrington Academy. Akan kulihat
apakah aku bisa membuat janji dengan mereka di sana untuk hari
Senin atau Selasa." "Coba cek daftar murid di tahun-tahun Westerfield bersekolah
di sana," usul Marcus sambil memberikan isyarat untuk meminta bon.
"Aku sudah memikirkan itu. Satu di antara sekolah-sekolah itu
mungkin pernah mempunyai murid bernama Phil, yang pernah
berhubungan dengan Westerfield."
"Mungkin saja," ujar Marcus. "Para mahasiswa perguruan
tinggi biasanya datang dari seluruh pelosok negeri. Mungkin saja
Westerfield mengikuti salah satu dari mereka ke tempat asalnya, untuk
membuat perhitungan dengannya."
"'Aku menghajar Phil sampai mati, dan rasanya bukan main."
Siapakah orang-orang yang pernah menyayangi Phil" tanyaku
pada diri sendiri. Apakah mereka masih meratapi kepergiannya"
Tentu saja masih. Pelayan meletakkan bon di hadapan Marcus. Aku menunggu
sampai ia berlalu sebelum mengatakan,"Aku bisa menghubungi
kontakku di Arbinger. Dia sudah cukup banyak membantu. Kalau aku
jadi pergi ke Carrington dan Willow College, aku akan meminta daftar
siswa mereka dari masa Westerfield di sana. Philip bukan nama yang
terlalu umum, bukan?"
"Ellie, tadi katamu seseorang memberitahu Rob Westerfield
bahwa kau sedang makan di restoran itu."
"Ya." "Kaubilang informanmu menyatakan dia mencemaskan
keselamatannya." "Ya." "Ellie, Rob Westerfield tentunya cemas situsmu akan membuat
neneknya meninggalkan semua uangnya untuk amal. Sekarang dia
mungkin mulai takut menanggapi keberhasilanmu menyingkap
kejahatan lain yang berpeluang menyeret dirinya kembali ke penjara.
Apakah kau sadar betapa berbahayanya situasimu?"
"Terus terang, ya, tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa untuk
mengatasi itu." "Yang benar saja, Ellie, tentu saja kau bisa! Ayahmu pernah
bertugas di dinas patroli daerah. Dia sudah pensiun. Kau bisa tinggal
bersamanya. Dia bisa melindungimu. Percayalah, kau butuh
pelindung. Dan satu hal lagi: Kalau yang dikatakan orang itu memang
relevan, membantu mengembalikan Westerfield ke dalam penjara juga
akan membantu ayahmu mengakhiri penderitaannya. Kurasa kau tidak
menyadari betapa berat beban yang dipikulnya selama ini."
"Dia masih berhubungan denganmu?"
"Ya." "Marcus, maksudmu memang baik," ujarku saat kami berdiri,
"tapi kurasa kau tidak mengerti. Ayahku sudah mengakhiri
penderitaannya saat dia melepaskan kami dan tidak pernah berusaha
memenangkan kami kembali. Ibuku membutuhkan dan mengharapkan
dia melakukan itu, namun dia sama sekali tidak berusaha. Lain kali,
kalau dia menelepon, bilang padanya agar lebih baik menonton
permainan basket putranya, dan jangan mengganggu aku lagi."
Marcus merangkulku saat kami berpisah di pelataran parkir.
"Aku akan meneleponmu begitu aku mulai melihat titik terang,"
janjinya. Aku kembali ke tempat penginapanku. Mrs. Willis berada di
belakang mejanya. "Adik Anda sedang menunggu di ruang rekreasi,"
ujarnya. Chapter 32 Ia berdiri di muka jendela, melihat ke luar, punggungnya
menghadap ke arahku. Tingginya sekitar 186 senti, lebih tinggi
daripada yang kuperkirakan saat aku melihatnya di televisi. Ia
mengenakan celana dari bahan khaki, sepatu karet, dan jaket
sekolahnya. Tangannya di dalam saku, dan ia menggoyang-goyang
kaki kanannya. Aku mendapat kesan ia sedang waswas.
Rupanya ia mendengar suara langkah kakiku, karena ia
memutar tubuhnya. Kami berpandangan.
"Kau tidak akan pernah bisa memungkirinya," ujar nenekku
setiap kali, dalam nada bergurau pada ibuku tentang Andrea. "Dia
persis kau." Andai kata nenekku ada di sini, ia pasti akan mengatakan hal
yang sama mengenai kami. Dari luar, setidaknya, kami tidak akan
pernah dapat saling memungkiri.
"Halo, Ellie, aku adikmu, Teddy." Ia melangkah
menghampiriku sambil mengulurkan tangan.
Aku tidak menyambutnya. "Apa aku boleh bicara denganmu lima menit saja?" Suaranya
belum betul-betul dalam, namun sudah mulai. Ia tampak cemas, tapi
nekat. Aku menggeleng, kemudian mengambil ancang-ancang untuk
meninggalkannya. "Kau kakakku, ujarnya. Setidaknya bicaralah padaku lima
menit saja. Siapa tahu kau akan suka padaku, begitu kau
mengenalku." Aku membalikkan tubuh ke arahnya. "Teddy, kau kelihatannya
anak baik, tapi aku yakin kau bisa menggunakan waktumu dengan
lebih baik daripada menghabiskannya denganku. Aku tahu kau
dikirim kemari oleh ayahmu. Sepertinya dia tidak menangkap aku
tidak pernah mau melihat atau mendengar apa-apa lagi mengenai
dirinya." "Dia juga ayahmu. Entah kau mau percaya atau tidak, dia tidak
pernah berhenti menjadi ayahmu. Dia tidak mengirimku kemari. Dia
bahkan tidak tahu aku ada di sini. Aku kemari karena ingin bertemu
denganmu. Dari dulu aku ingin bertemu denganmu."
Aku menangkap nada memohon dalam suaranya. "Bagaimana
kalau kita minum soda atau apa?"
Aku menggeleng. "Aku mohon, Ellie. Entah karena cara ia menyebut namaku, atau mungkin memang
sulit bagiku untuk bersikap lebih keras padanya. Ia tidak pernah
melakukan kesalahan apa-apa padaku
Akhirnya aku berkata, "Ada mesin otomat di lorong." Aku
mulai merogoh dompetku. "Aku ada. Kau mau minum apa?"
"Air putih." "Aku juga. Aku akan segera kembali." Senyumannya malumalu, sekaligus lega.
Aku duduk di kursi rotan untuk dua orang, kemudian mencoba
mencari cara untuk mengusirnya pergi. Aku tidak ingin mendengar
rengekannya mengenai betapa baiknya ayah kami, dan sebaiknya aku
merelakan yang sudah berlalu.
Mungkin ayahku memang baik untuk dua anaknya, untuk
Andrea dan untukmu, batinku, tapi aku sepertinya terselip entah di
mana. Teddy kembali membawa dua botol berisi air. Aku bisa
membaca pikirannya saat ia melihat kursi rotan untuk dua orang itu,
dan sebuah kursi. Aku tidak mau ia duduk di dekatku. Saudara
sedarah-sedagingku, batinku. Tidak, itu ungkapan untuk Adam dan
Hawa, bukan untuk dua orang bersaudara.
Saudara seayah. "Ellie, maukah kau datang menontonku main basket sekalisekali?"
Aku sama sekali tidak siap untuk pertanyaan itu.
"Maksudku, apakah setidaknya kita tidak bisa berteman" Dari
dulu aku berharap kau mau datang menengok kami, tapi kalau kau
tidak mau, mungkin kau dan aku bisa sekali-sekali ketemu. Aku
membaca bukumu tahun lalu, mengenai kasus-kasus yang
kaukerjakan. Hebat sekali Aku ingin sekali bicara denganmu tentang
itu." "Teddy, aku sedang sibuk sekali sekarang ini, dan..."
Ia memotong kalimatku, "Aku mengikuti situsmu setiap hari.
Caramu menulis tentang Westerfield pasti membuatnya kalang kabut.
Ellie, kau kakakku, dan aku tidak mau sesuatu terjadi padamu."
Aku ingin mengatakan padanya, "Jangan panggil aku
kakakmu," namun kata-kata itu tidak mau keluar dari mulutku.
Akhirnya aku berkata, "Jangan khawatir tentang aku. Aku bisa
menjaga diriku." "Apa aku boleh bantu" Tadi pagi aku membaca di koran
mengenai apa yang terjadi pada mobilmu. Anggaplah seseorang
mengerjai ban atau rem mobil yang kaukendarai saat ini" Aku biasa
merawat mobil. Aku bisa memeriksanya untukmu sebelum kau pergi
ke mana-mana, atau aku bahkan bisa mengantarmu ke mana-mana
Putri Kesayangan Ayah Daddy's Little Girl Karya Mary Higgins Clark di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan mobilku." Nadanya begitu tulus dan khawatir, sehingga aku terpaksa
tersenyum. "Teddy, kau harus sekolah dan banyak latihan basket. Dan
sekarang aku benar-benar harus bekerja."
Ia berdiri bersamaku. "Tampang kita mirip," ujarnya.
"Aku tahu itu."
"Aku senang. Ellie, aku tidak akan menghalangimu sekarang,
tapi aku akan kembali."
Andai ayahmu dulu juga senekat itu, batinku. Kemudian aku
menyadari andai ayahku nekat, anak muda ini tidak akan pernah
muncul di dunia. ********************************************
Aku bekerja selama beberapa jam, memoles cara menyuguhkan
kisah Christopher Cassidy dalam situsku. Setelah merasa puas, aku
mengirim hasilnya lewat e-mail ke kantornya untuk mendapatkan
persetujuannya. Pada pukul empat, Marcus Longo menelepon. "Ellie, keluarga
Westerfield meniru caramu. Mereka baru saja membuka situs:
comjus-rob.com." "Coba kutebak, singkatan apa itu Committee for Justice for
Rob - komite menuntut keadilan untuk Rob."
"Betul. Setahuku mereka memasang advertensi di semua koran
Westchester untuk mengiklankannya. Pada dasarnya, strategi mereka
adalah menampilkan kisah-kisah menyentuh dari orang-orang yang
telah dituduh secara salah melakukan perbuatan kriminal."
"Dengan begitu, mereka akan menghubungkannya dengan Rob
Westerfield, sosok paling tak berdosa di antara mereka semua."
"Kau benar. Tapi mereka juga telah melakukan pelacakan
sehubungan dengan dirimu, dan mereka berhasil mendapatkan
beberapa masukan yang sepertinya kurang menguntungkan."
"Maksudmu?" "The Fromme Center, sebuah fasilitas psikiatri."
"Aku memang pernah membuat artikel mengenai fasilitas itu
dengan cara menyamar. Sebuah proyek mercusuar. Menghabiskan
dana pemerintah daerah Georgia, padahal tak seorang pun ahli jiwa
maupun psikolog yang legal duduk di dalam stafnya."
"Kau pernah menjadi pasien di sana?"
"Marcus, kau gila" Tentu saja tidak."
"Apa pernah ada foto dirimu di Fromme Center, di mana kau
sedang berbaring di tempat tidur dengan kaki dan tangan terikat?"
"Ya, memang ada dan foto itu diambil untuk memberi
gambaran bagaimana situasi di sana. Setelah pemerintah daerah
menutup Fromme Center dan memindahkan pasien-pasiennya ke
beberapa fasilitas lain, kami melakukan peliputan lanjut mengenai
cara mereka memasung pasien-pasien mereka, yang kadang-kadang
selama beberapa hari. Kenapa?"
"Semua itu ada dalam situs keluarga Westerfield."
"Tanpa penjelasan?"
"Mereka hanya memberi kesan kau pernah mendekam di sana."
Marcus terdiam. "Ellie, apa kau heran mereka mau main kotor?"
"Aku akan heran kalau mereka tidak melakukan itu, terus terang
Aku akan memuat seluruh liputanku, termasuk foto-foto dan teksnya
secara lengkap di dalam situsku. Aku akan menggunakan judul baru:
"Dusta Westerfield yang Terbaru". Tapi aku tahu mereka yang
membaca situs Westerfield belum tentu akan membuka situsku."
"Atau sebaliknya. Itu yang kemudian aku khawatirkan. Ellie
apa kau merencanakan menulis sesuatu di dalam situsmu mengenai
kemungkinan terjadinya tindak pembunuhan yang lain itu?"
"Aku masih belum yakin. Di satu pihak, siapa pun yang
kebetulan membaca itu mungkin akan maju dengan informasi yang
dimilikinya mengenai si korban. Di lain pihak itu mungkin akan
membuat Rob Westerfield waspada dan segera bertindak untuk
menutupi jejak-jejaknya."
"Atau menghabisi sosok yang berpeluang memberikan
kesaksian yang akan mencelakai dirinya itu. Kau benar-benar harus
berhati-hati." " Itu mungkin sudah terjadi."
"Tepat sekali. Kabari aku apa keputusanmu."
***********************************************
Aku menyalakan komputerku dan menemukan situs The
Committee for Justice for Robson Westerfield itu.
Desainnya memang mengesankan, dengan kutipan Voltaire di
bawah judulnya: It is better to risk saving a guilty person than to
condemn an innocent one - lebih baik mengambil risiko melepas
orang yang bersalah daripada menghukum orang yang tidak bersalah.
Foto Rob Westerfield yang tampak serius dan termenung
dipasang persis di bawah kata-kata itu, diikuti kisah beberapa orang
yang memang pernah menjalani hukuman untuk tindak kejahatan yang
dilakukan orang lain. Kisah-kisah itu ditulis dengan baik dan
menyentuh. Tak perlu dipungkiri bahwa Jake Bern-lah pengarangnya.
Bagian situs yang meliput latar belakang keluarga Westerfield
menampilkan mereka seperti keluarga kerajaan Amerika. Ada fotofoto Rob ketika
masih bayi bersama kakeknya, seorang senator
Amerika, dan ketika berusia sembilan atau sepuluh tahun bersama
neneknya yang membantunya menggunting pita sebuah gelanggang
baru untuk anak-anak. Ada foto dirinya bersama kedua orangtuanya
menaiki kapal Queen Ehzabeth II, dan dalam pakaian tenis putih di
The Everglades Club. Kurasa idenya adalah menyampaikan bahwa benar-benar tidak
terpikir oleh anak muda yang berasal dari keluarga baik-baik ini untuk
mencabut nyawa seseorang.
Aku menjadi bintang dalam peliputan berikut situs itu. Di situ
diperlihatkan aku telentang di tempat tidur di pusat perawatan sakit
jiwa Fromme, dengan tangan dan kaki terikat, mengenakan pakaian
rumah sakit yang mengenaskan, khas untuk para pasien di situ Hanya
sebagian tubuhku ditutup sehelai selimut usang tipis.
Judul artikel itu: "Saksi yang Pernah Menjebloskan Rob
Westerfield ." Aku langsung mematikan komputerku. Aku mempunyai
kebiasaan yang kuwarisi dari ayahku. Saat betul-betul marah
mengenai sesuatu ia selalu menggigit sudut kanan bibir bawahnya.
Itulah yang kulakukan saat ini.
Aku duduk diam selama setengah jam, mencoba mengendalikan
diri sambil mempertimbangkan semua pro dan kontra masalah yang
sedang kuhadapi, dan mencoba mencari cara yang tepat untuk
mengungkapkan secara terbuka, apa yang bisa dianggap sebagai
pengakuan Westerfield untuk suatu tindak pembunuhan lain.
Marcus Longo telah menyatakan akan ada masalah teritorial
dalam upaya kami melacak misteri pembunuhan tak terpecahkan yang
mungkin dilakukan Rob Westerfield.
Jaringan Internet bersifat internasional.
Apakah aku akan mempertaruhkan seseorang dengan
memasukkan nama yang mungkin menjadi korban pembunuhan itu di
sana" Namun si penelepon gelap yang menghubungiku sudah berada
dalam bahaya, dan ia tahu itu.
Akhirnya aku menyusun kata pembukaan yang sederhana.
"Menurut perkiraan, sekitar dua puluh dua sampai dua puluh
tujuh tahun yang lalu, Rob Westerfield melakukan tindak kejahatan
lain. Berikut ini kutipan ucapannya sendiri saat berada di bawah
pengaruh obat-obat terlarang di penjara, "Aku menghajar Phil sampai
mati, dan rasanya bukan main."
"Barang siapa memiliki informasi tentang tindak kejahatan ini,
harap e-mail aku di eliel234@mediaone net. Kerahasiaan dijamin, dan
ada imbalan." Aku mempelajari tulisanku sekali lagi. Rob Westerfield pasti
akan membaca ini, batinku. Tapi siapa tahu ia mengenal seseorang
selain si penelepon gelap itu, yang memiliki informasi yang berpotensi
membahayakan dirinya"
Ada dua hal yang tidak akan dilakukan reporter investigasi:
mengungkapkan sumbernya, serta menempatkan orang yang tidak
bersalah dalam bahaya. Aku menekan ikon HOLD di layar komputerku.
Chapter 33 PADA hari Jumat malam aku merasa butuh seseorang dan aku
menelepon Pete Lawlor. "Telepon Anda dialihkan ke jasa penerima pesan..."
"Ini mantan kolegamu yang merasa punya cukup banyak
perhatian untuk ingin tahu keadaanmu, peluang yang kaumiliki dalam
pekerjaan, serta kesehatanmu," ujarku. "Terima kasih kalau kau mau
bereaksi." Ia menelepon kembali setengah jam kemudian. "Kau pasti
sedang sangat butuh seseorang untuk diajak bicara."
"Ya. Karena itu aku ingat padamu."
"Trims." "Boleh aku tahu di mana kau sekarang?"
"Di Atlanta. Mengemasi barang-barangku."
"Rupanya kau sudah mengambil keputusan."
"Ya. Pekerjaan ini ideal sekali. Basisnya di New York, tapi
dengan peluang cukup sering untuk melakukan perjalanan.
Memberikan laporan dan lokasi-lokasi paling panas di dunia."
"Koran apa?" "Bukan koran. Aku akan menjadi bintang TV."
"Bukannya kau harus menghilangkan lima kilo dulu sebelum
mereka mau memakaimu?"
"Aku tidak ingat kau bisa sekejam itu."
Aku tertawa. Berbicara dengan Pete bisa membuat perasaan
lega, sedikit realita dalam kehidupanku yang semakin terasa tidak
jelas. "Kau bercanda, atau kau memang benar-benar mendapat
pekerjaan di TV?" "Ini serius. Aku akan bekerja untuk Packard Cable."
"Packard. Hebat sekali."
"Di jaringannya yang lebih baru, tapi berpeluang berkembang
dengan cepat. Tadinya aku akan mengambil yang di L.A. meskipun
itu bukan persis yang kuinginkan, tapi kemudian mereka
menghubungiku." "Kapan kau mulai?"
"Hari Rabu. Aku sedang proses mengalih sewa apartemenku
dan mengumpulkan barang-barangku untuk dimuat ke mobil. Aku
akan berangkat hari Minggu sore. Makan malam hari Selasa?"
"Oke. Menyenangkan mendengar suaramu yang merdu itu..."
"Jangan tutup dulu, Ellie. Aku mengikuti situsmu."
"Lumayan bagus, kan?"
"Kalau orang ini seperti yang pernah kaukatakan, kau sedang
main api." Memang, batinku. "Kau harus janji tidak akan menyuruhku
hati-hati." "Janji. Kita ngobrol lagi hari Senin sore."
*******************************************
Aku kembali ke komputerku. Sudah hampir pukul delapan, dan
selama itu aku masih terus bekerja. Aku sudah memesan makanan
untuk diantar ke kamar, dan sambil menunggu aku sedikit
melemaskan otot-ototku, sementara pikiranku terus berjalan.
Berbicara dengan Pete setidaknya telah memperluas
pandanganku yang tadinya begitu sempit. Selama beberapa minggu
terakhir ini, aku berada di dunia yang tokoh utamanya adalah Rob
Westerfield. Kini, untuk sesaat, aku bisa melihat melewati tenggang
waktu itu, melewati sidang ulangnya, melewati kemampuanku
membuktikan pada dunia seberapa dalam sudah mendarah daging
pembawaannya yang menyukai kekerasan itu.
Aku bisa menggali dan menyebarluaskan setiap perbuatan jahat
dan busuk yang pernah ia lakukan. Mungkin aku bisa melacak
pembunuhan yang pernah ia lakukan. Pembunuhan yang sejauh ini
masih belum terpecahkan. Aku bisa mengungkapkan kisahnya yang
kotor dan mengenaskan dalam buku. Setelah itu tiba waktunya bagiku
memulai dengan lembaran kehidupanku yang baru.
Pete sudah memulai - basis baru di New York, pekerjaan baru
di media yang berbeda. Aku melingkarkan jari-jariku di belakang kepala, dan mulai
memutar tubuh dan satu sisi ke sisi lain. Otot-otot di leherku sudah
kaku, sehingga enak rasanya melemaskannya seperti itu. Yang kurang
baik adalah kenyataan bahwa aku merasa kehilangan Pete Lawlor, dan
aku enggan kembali ke Atlanta, kecuali ia ada di sana.
*****************************************
Aku berbicara dengan Mrs. Stroebel pada hari Sabtu pagi. Ia
menceritakan padaku bahwa Paulie tidak lagi di dalam ruang
perawatan intensif, dan mungkin boleh pulang setelah akhir minggu
ini. Aku berjanji akan mampir sebentar sekitar pukul tiga. Saat aku
tiba, Mrs. Stroebel sedang duduk di dekat tempat tidur Paulie. Begitu
ia mengangkat wajahnya ke arahku, aku bisa melihat dari kecemasan
yang membayang di wajahnya bahwa ada masalah.
"Temperaturnya naik sekitar waktu makan siang. Ada infeksi di
lengannya. Dokter mengatakan dia akan sembuh, tapi aku begitu
cemas, Ellie." Aku menatap Paulie. Lengannya masih dibebat perban, dan ada
beberapa botol infus yang terus meneteskan cairan ke dalam tubuhnya.
Ia tampak pucat sekali, dan kepalanya terus bergerak.
"Dia sudah mendapat antibiotik, ditambah sesuatu untuk
menenangkannya,?" ujar Mrs. Stroebel. "Demam membuatnya
gelisah." Aku menarik kursi dan duduk di dekatnya Paulie mulai
bergumam. Matanya mengerjap-ngerjap.
"Aku di sini, Paulie," ujar Mrs. Stroebel dengan lembut. "Ellie
Cavanaugh juga ada di sini bersamaku. Dia datang untuk menengok."
"Hai, Paulie." Aku berdiri, kemudian mendoyongkan tubuhku
ke arah tempat tidurnya, supaya ia dapat melihatku.
Matanya tampak berkaca-kaca karena demam, namun ia toh
mencoba tersenyum. "Ellie, sahabatku."
"Aku sahabatmu."
Matanya menutup kembali. Sesaat kemudian ia mulai
bergumam tidak jelas. Aku mendengar ia membisikkan nama Andrea.
Mrs. Stroebel memainkan tangannya dengan gelisah. "Dia terus
menggumamkan itu. Rupanya itu terus yang ada dalam pikirannya.
Dia khawatir mereka akan mengajukannya kembali ke muka sidang.
Tak seorang pun mengerti seberapa jauh mereka telah membuatnya
tertekan pada waktu itu." Suaranya meninggi, dan aku bisa melihat
Paulie semakin gelisah. Aku meremas tangan Mrs. Stroebel dan
mengangguk ke arah tempat tidur. Ia menangkap maksudku.
"Tentu, Ellie, berkat kau semuanya akan beres nanti," ujarnya
tegar. "Paulie tahu itu. Orang-orang datang ke toko kami dan
menceritakan padaku mereka melihat situsmu, di mana kau
menunjukkan seberapa brengseknya Rob Westerfield. Paulie dan aku
membuka situsmu minggu lalu. Isinya membuat kami terhibur."
Paulie tampak lebih tenang sedikit, kemudian ia berbisik, "Tapi,
Mama... bagaimana kalau aku lupa..." Mrs. Stroebel tiba-tiba tampak
serbasalah. "Jangan bilang apa apa lagi, Paulie," ujarnya cepat.
"Tidurlah. Kau harus sembuh."
"Mama..." "Paulie, kau harus diam sekarang." Dengan lembut tapi pasti ia
Putri Kesayangan Ayah Daddy's Little Girl Karya Mary Higgins Clark di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menutup mulut Paulie dengan tangannya.
Perasaanku mengatakan Mrs. Stroebel merasa tidak enak dan
ingin aku segera pergi, karena itulah aku bangkit berdiri
"Mama..." Mrs. Stroebel segera ikut berdiri bersamaku, kemudian
memblokir aksesku ke tempat tidur Paulie, seakan takut aku berada
terlalu dekat dengan Paulie. Aku tidak mengerti apa yang membuat ia
begitu gelisah. "Sampaikan salamku pada Paulie, Mrs. Stroebel,"
ujarku cepat. "Aku akan menelepon Anda besok, untuk tahu
keadaannya " Paulie mulai berbicara lagi kepalanya terus bergerak-gerak
gelisah. "Terima kasih, Ellie. Sampai besok." Mrs. Stroebel mulai
menggiringku keluar pintu.
"Andrea," seru Paulie, "jangan ke luar dengan dia".
Aku memutar tubuhku. Suara Paulie masih jelas sekali, namun kini nadanya terdengar
cemas dan memohon. "Mama, bagaimana kalau aku lupa dan
mengatakan pada mereka sesuatu tentang liontin yang dia pakai ketika
itu" Aku akan mencoba tidak bilang apa-apa, tapi kalau aku lupa, kau
tidak akan membiarkan mereka memasukkan aku ke penjara, kan?"
Chapter 34 "DIA punya alasan mengatakan itu. Kau harus mempercayai
aku. Kenyataannya tidak seperti yang kaubayangkan." ujar Mrs.
Stroebel padaku sambil mengisak, saat kami berdiri di lorong luar
kamar Paulie. "Kita harus bicara, dan Anda harus betul-betul jujur padaku,"
ujarku. Namun kami tidak mendapatkan peluang itu pada saat itu -
dokter yang merawat Paulie tampak berjalan ke arah kami.
"Ellie, aku akan meneleponmu besok," janji Mrs. Stroebel.
"Aku sedang bingung sekali saat ini." Sambil menggeleng dan
memutar tubuhnya, Mrs. Stroebel berusaha mengembalikan kendali
dirinya. Aku kembali ke tempat penginapan itu sambil menyetir secara
otomatis. Mungkinkah selama ini aku keliru" Apakah Rob
Westerfield - dan seluruh keluarganya - benar-benar telah menjadi
korban kekeliruan dalam proses penegakan keadilan"
Dia memelintir lenganku... Dia menyelinap di belakangku dan
menghajar leherku. Dia bilang, "Aku menghajar Phil sampai mati, dan
rasanya bukan main. "
Reaksi Paulie menanggapi serangan verbal pengurus rumah
tangga Mrs. Westerfield adalah melukai dirinya sendiri, dan bukan
orang lain. Aku tidak percaya Paulie yang membunuh Andrea namun aku
yakin sekian tahun yang lalu Mrs. Stroebel pernah membuatnya tidak
mengatakan sesuatu yang ia ketahui.
Liontin itu. Saat memasuki pelataran parkir tempat penginapan, aku dilanda
perasaan tidak enak, menanggapi ironi yang sedang kuhadapi. Tak
seorang pun, benar-benar tak seorang pun mempercayai Rob
Westerfield pernah memberikan liontin pada Andrea, dan Andrea
mengenakannya pada malam ia meninggal.
Namun kini keberadaan liontin itu telah dinyatakan oleh satusatunya orang yang
mungkin takut mengakui secara terbuka bahwa ia
tahu sesuatu mengenainya.
Aku mengawasi sekelilingku saat turun dari mobil. Sekarang
pukul empat seperempat, bayangan-bayangan sudah tampak panjang
dan miring. Matahari yang masih tersisa sebentar muncul sebentar
hilang di balik awan, dan angin semilir mengembus sisa-sisa daun
terakhir dari pepohonan. Suaranya menggerisik di pelintasan, dan
dalam pikiranku yang sedang kacau kesannya seperti bunyi langkahlangkah kaki.
Pelataran parkir itu hampir penuh, dan kemudian aku ingat aku
melihat kesibukan untuk menyiapkan resepsi pernikahan sewaktu
berangkat tadi siang. Untuk mendapatkan tempat kosong, aku terpaksa
mengitari pelataran parkir itu sampai ke bagian paling pojok, sehingga
aku tidak terlihat dari arah penginapan. Hatiku semakin tidak enak,
rasanya seseorang sedang menunggu di sana, mengawasiku.
Aku tidak lari, tapi aku toh berjalan cepat-cepat saat menyusuri
deretan kendaraan yang diparkir, menuju tempat yang lebih aman Saat
aku melewati sebuah mobil pick-up tua, pintunya tiba-tiba terbuka,
seorang lelaki melompat turun dan mencoba menangkap lenganku.
Aku mulai lari, dan berhasil menempuh jarak sekitar tiga meter
ketika aku tiba-tiba tersandung gara-gara sepatu moccasin ekstra besar
yang baru kubeli untuk alas kakiku yang masih dibebat perban.
Saat salah satu sepatuku terbang entah ke mana, aku merasa
tubuhku terhuyung, siap jatuh terjerembap, dan dengan panik aku
berusaha menemukan kembali keseimbanganku, tapi terlambat.
Telapak tangan dan tubuhku menjadi korban paling parah ketika aku
jatuh, dan boleh dibilang untuk sesaat aku merasa kehabisan napas.
Lelaki itu segera bersimpuh di atas satu lutut di dekatku.
''Jangan teriak," ujarnya cepat. "Aku tidak berniat melukaimu: aku
mohon jangan teriak!"
Aku memang tak mungkin berteriak. Selain itu, aku juga tak
mungkin bisa meloloskan diriku lagi dari cengkeramannya dan lari ke
tempat penginapan itu. Seluruh tubuhku bergetar sebagai reaksi
benturan dengan permukaan pelataran yang keras itu. Mulutku
terbuka, dalam keadaan panik aku berusaha menghirup udara.
"K-kau... m-mau... apa?" Akhirnya aku berhasil mengeluarkan
beberapa patah kata. "Berbicara denganmu. Tadinya aku mau mengirim e-mail, tapi
entah siapa nanti yang akan ikut membacanya. Aku ingin menjual
informasi tentang Rob Westerfield."
Aku menoleh ke arahnya. Wajahnya tampak dekat sekali.
Usianya sekitar empat puluhan, dengan rambut tipis yang tidak bisa
dikatakan bersih. Ia melirik ke sana kemari dengan resah, seperti
orang yang sudah siap lari setiap saat. Ia mengenakan jaket dan celana
jeans yang jelas tampak usang
Sementara aku mulai berusaha berdiri, ia mengambilkan sepatu
moccasin-ku. "Aku tidak berniat melukaimu," ulangnya. "Akan
berbahaya bagiku bila terlihat bersamamu. Tolong dengar. Kalau kau
tidak tertarik pada apa yang akan kukatakan, aku akan segera pergi
dari sini." Ini mungkin tidak masuk akal, tapi entah mengapa aku percaya
padanya. Andai ia mau membunuhku, ia sudah mendapatkan
kesempatan itu tadi. "Kau mau dengar?" Nadanya tidak sabaran.
"Oke." "Kau mau duduk di dalam pickup-ku sebentar" Aku tidak mau
ada yang melihatku di sini. Orang-orang Westerfield ada di manamana."
Aku percaya itu, tapi aku tidak berniat masuk ke dalam pickupnya. "Katakan apa
yang ingin kaukatakan di luar sini."
"Aku punya sesuatu yang mungkin bisa menghubungkan
Westerfield dengan kejahatan yang dia lakukan sekian tahun lalu."
"Kau minta berapa?"
"Seribu dolar."
"Info apa yang kaumiliki?"
"Kau tahu nenek Westerfield pernah ditembak dan ditinggal
dalam keadaan dianggap mati sekitar dua puluh lima tahun yang lalu.
Kau menulis tentang itu dalam situsmu."
"Betul." "Kakakku, Skip, masuk penjara gara-gara itu. Dia dihukum dua
puluh tahun penjara. Dia mati setelah menjalani setengah masa
hukumannya. Ternyata dia tidak tahan. Memang dari awal dia sudah
sakit-sakitan." "Kakakmu yang menembak Mrs. Westerfield, kemudian
merampok rumahnya?" "Ya, tapi Westerfield yang merencanakan itu. Dia membayar
Skip dan aku untuk melaksanakannya."
"Untuk apa dia melakukan itu?"
"Westerfield memakai obat-obat terlarang. Karena itu dia putus
kuliah. Dia punya utang besar, dan dia pernah melihat surat wasiat
neneknya. Neneknya sudah menyisihkan seratus ribu dolar untuknya
Begitu meninggal, uang itu akan langsung masuk ke dalam
kantongnya. Dia menjanjikan pada kami sepuluh ribu dolar untuk
pekerjaan itu." "Apakah dia bersama kalian malam itu?"
"Kau bercanda" Dia ada di New York, makan malam bersama
ayah-ibunya. Dia tahu cara menyelamatkan dirinya."
"Apakah dia membayar kakakmu atau kau setelah itu?"
"Sebelumnya dia memberi jam Rolex-nya pada kakakku
sebagai jaminan. Kemudian dia melaporkan jam itu dicuri orang."
"Kenapa?" "Untuk menutupi jejaknya setelah kakakku ditangkap.
Westerfield menyatakan dia bertemu kami di tempat main boling pada
malam sebelum wanita tua itu jadi korban. Dia bilang Skip terus
melirik jam itu, karena itu dia menyimpannya di dalam tasnya
sewaktu dia mulai main. Dia bilang pada polisi begitu dia mau
mengeluarkan jam itu dari dalam tasnya, benda itu sudah tidak di situ
lagi, dan kami sudah tidak kelihatan. Dia bersumpah hanya sekali
itulah dia melihat Skip dan aku."
"Dari mana kalian tahu mengenai neneknya, tanpa dia sendiri
yang mengungkapkan itu pada kalian?"
"Pernah ada liputan luas tentang dirinya di koran. Dia
menyumbang pendirian suatu bagian di salah satu rumah sakit atau
entah apa." "Bagaimana kakakmu dan kau sampai tertangkap?"
"Aku tidak ditangkap. Kakakku dijemput polisi hari berikutnya.
Dia memang punya catatan kejahatan, dan merasa resah setelah
menembak wanita tua itu. Untuk alasan itulah sebetulnya dia ada di
sana, tapi Westerfield ingin peristiwa itu tampak seperti perampokan.
Rob tidak memberi kami nomor brankasnya, sebab hanya pihak
keluarganya yang tahu nomor itu, dan itu akan berbahaya baginya. Dia
menyuruh Skip membawa pahat dan pisau dan meninggalkan goresan
pada brankas, supaya tampak bahwa Skip berusaha membukanya, tapi
tidak bisa. Namun tangan Skip terluka, dan dia melepaskan sarung
tangannya untuk mengelap darahnya. Rupanya dia sempat menyentuh
brankas itu, karena mereka menemukan bekas sidik jarinya di sana."
"Kemudian dia pergi ke atas untuk menembak Mrs.
Westerfield?" "Ya. Tapi tak seorang pun dapat membuktikan aku ada di sana.
Aku yang bertugas mengawasi dan menjadi pengemudi. Skip
menyuruhku diam. Dia yang memikul kesalahan, sementara
Westerfield bebas sama sekali."
"Juga kau." Ia angkat bahu. "Ya, aku tahu itu."
"Berapa usiamu waktu itu?"
"Enam belas." "Berapa umur Westerfield waktu itu?"
"Tujuh belas." "Apa kakakmu sama sekali tidak berusaha menunjuk
Westerfield?" "Tentu saja. Tapi tidak ada yang percaya."
"Aku tidak begitu yakin. Neneknya mengubah surat wasiatnya.
Hibah sebanyak seratus ribu dolar itu sudah tidak di sana lagi."
"Bagus. Mereka menyuruh Skip mengaku mencoba melakukan
tindak pembunuhan dengan imbalan hukuman dua puluh tahun
penjara. Dia bisa kena tiga puluh tahun, tapi dia bersedia mengaku
untuk mendapat maksimum dua puluh tahun. Pihak kejaksaan
menyepakati perjanjian itu, sehingga wanita tua itu tidak perlu
memberikan kesaksiannya di muka sidang."
Berkas cahaya terakhir sinar matahari sudah sama sekali
menghilang di balik awan. Aku masih merasa terguncang akibat jatuh
tadi, tapi kini aku juga merasa dingin.
"Siapa namamu?" tanyaku.
"Alfie. Alfie Leeds."
"Alfie, aku mempercayai ucapanmu," ujarku. "Tapi aku tidak
mengerti, untuk apa kau mengungkapkan ini padaku sekarang. Tak
ada secuil bukti pun Rob Westerfield terlibat dalam kasus kejahatan
itu." "Aku punya bukti keterlibatannya."
Alfie merogok sakunya dan mengeluarkan selembar kertas
terlipat. "Ini salinan denah yang diberikan Rob Westerfield pada kami
supaya kakakku bisa masuk ke dalam rumah itu tanpa mengganggu
sistem alarmnya." Dari saku lain ia mengeluarkan lampu senter setebal pensil.
Berdiri di luar, di pelataran parkir yang banyak angin, bukanlah
tempat ideal untuk mempelajari denah. Aku menatap laki-laki itu lagi.
Ia sedikit pendek daripadaku, dan postur tubuhnya tidak dapat
dikatakan perkasa. Aku memutuskan mengambil risiko. "Aku akan
masuk ke dalam mobil pickup-mu, tapi aku harus duduk di belakang
kemudi," ujarku. "Terserah." Aku membuka pintu pengemudi, kemudian melayangkan
pandang ke sekelilingku. Tak ada seorang pun di sana. Bangku
belakangnya tampak diratakan dan dimuati kaleng-kaleng cat, kain
lap, dan tangga. Ia memutar ke bagian penumpang. Aku menyelinap
di belakang kemudi, tapi tidak menutup pintu sepenuhnya. Aku ingin
memastikan kalau ini jebakan, aku masih punya waktu untuk turun
dengan cepat. Sebagai reporter investigasi, aku terpaksa berhubungan dengan
sejumlah karakter yang tidak begitu menyenangkan, di tempat-tempat
yang biasanya tidak akan aku kunjungi. Akibatnya, instingku untuk
melindungi diri berkembang cukup baik. Mengingat aku sedang
bersama orang yang pernah berkomplot dalam suatu pembunuhan, aku
sudah mempersiapkan tindakan pengamanan yang dimungkinkan.
Begitu kami berdua berada di dalam mobil pickup itu, ia
menyerahkan padaku kertasnya. Berkas sinar senter yang ala kadarnya
itu ternyata cukup untukku mengenali rumah dan jalan mobil keluarga
Westerfield. Bahkan garasi yang juga menjadi tempat persembunyian
itu digambarkan di sana. Di bawahnya tampak denah terinci seluruh
bagian dalam rumah itu "Coba lihat, denah ini memberikan gambaran tentang sistem
alarmnya, juga kode untuk menetralkannya. Rob tidak khawatir
masalah alarm yang dinetralkan itu akan mengalihkan perhatian orang
pada dirinya, sebab memang sudah banyak yang tahu kodenya, baik
para pekerja serabutan maupun yang tetap. Ini denah lantai bawah,
ruang baca dengan brankas, tangga menuju kamar tidur wanita tua itu,
dan bagian dapur yang menuju kamar pembantu."
Sebuah nama tercantum di bagian bawah lembaran itu. "Siapa
Jim?" tanyaku. "Yang menggambar denah ini. Westerfield bilang pada Skip,
orang ini pernah melakukan beberapa pekerjaan di rumahnya. Kami
belum pernah bertemu dia."
"Apakah kakakmu pernah memperlihatkan ini pada polisi?"
"Tadinya dia mau memakai denah itu, tapi pengacara yang
mereka sediakan baginya mengatakan padanya untuk melupakan itu.
Dia bilang Skip tidak punya bukti Westerfield memberikan itu
padanya, dan fakta bahwa denah itu ada di tangannya hanya akan
memperburuk situasinya. Menurutnya, kenyataan bahwa di dalam
denah brankas itu ada di lantai bawah, sedangkan kamar tidur si
Putri Kesayangan Ayah Daddy's Little Girl Karya Mary Higgins Clark di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
nyonya tua jelas di atas, hanya akan membuktikan bahwa Skip
memang sudah punya niat membunuh."
"Jim sebetulnya bisa mendukung pernyataan kakakmu. Apakah
pernah ada upaya untuk menemukannya?"
"Kurasa tidak. Aku sudah menyimpan denah ini bertahun-tahun,
dan ketika aku melihat situsmu, terpikir olehku mungkin ini bisa
kauselidiki untuk menggantung Westerfield. Bagaimana" Kau mau
beri aku seribu dolar untuk ini?"
"Dari mana aku tahu denah ini tidak kaugambar sendiri untuk
mendapat uang dariku?"
"Kau tidak akan tahu. Kembalikan itu padaku."
"Alfie, andai si pengacara waktu itu lebih serius menanggapi
cerita kakakmu tentang si Jim ini, dan mengungkapkan keberadaannya
pada pihak kejaksaan serta memperlihatkan pada mereka denah ini,
mereka akan terpaksa menggali lebih dalam kebenaran informasi itu.
Kakakmu akan mendapatkan hukuman lebih ringan sebagai
kompensasi untuk kerja samanya, dan Westerfield mungkin juga akan
mendapat ganjaran untuk kejahatannya."
"Ya, tapi masih ada satu masalah lagi. Westerfield membayar
kami berdua, kakakku dan aku, untuk pekerjaan itu. Si pengacara
mengingatkan kakakku kalau Westerfield sampai ditangkap, dia akan
mengambil langkah dengan mengungkapkan pada pihak kejaksaan
bahwa aku terlibat. Skip lebih tua lima tahun dari aku, dan dia merasa
bersalah telah melibatkan aku."
"Oke, baik kau maupun Rob sudah berada di luar jangkauan
masa berlakunya hukum untuk kasus ini. Tapi tunggu sebentar. Kau
bilang tadi ini salinan dari lembaran asli. Di mana aslinya?"
"Sudah disobek si pengacara. Dia bilang dia tidak mau itu jatuh
ke tangan yang salah "
"Dia menyobeknya!"
"Tapi dia tidak tahu Skip sudah membuat salinannya, yang dia
berikan padaku." "Aku mau ini," putusku. "Aku akan memberikan uangnya
padamu besok pagi." Kami berjabat tangan. Tangannya sedikit kotor, juga kapalan,
yang bagiku berarti Alfie biasa bekerja keras dan kasar.
Saat ia melipat kertas itu dengan hati-hati menjadi bentuk
persegi yang rapi dan memasukkannya ke sakunya, aku tak dapat
menahan diri dan berkata, "Dengan barang bukti seperti ini, aku tidak
mengerti kenapa pengacara kakakmu tidak mencoba mengupayakan
pendekatan dengan pihak kejaksaan. Tidak akan terlalu sulit melacak
keberadaan pekerja serabutan bernama Jim yang menggambar denah
ini. Polisi akan menekannya untuk menelanjangi Rob, dan kau akan
dihadapkan ke muka sidang khusus untuk menangani kejahatan
remaja. Aku curiga pengacara kakakmu sudah disogok oleh keluarga
Westerfield." Ia tersenyum, memperlihatkan sederetan gigi yang tidak
terpelihara. "Dia bekerja untuk mereka sekarang. Hamilton namanya,
waktu itu dia muncul di televisi dan mengatakan akan mengupayakan
sidang ulang bagi Rob untuk membersihkan namanya."
Chapter 35 BEGITU aku berada kembali di kamarku, ada pesan agar aku
menelepon Mrs. Hilmer. Aku sudah berbicara dengannya beberapa
kali setelah peristiwa kebakaran itu, dan selama ini ia baik sekali
padaku. Ia terutama mengkhawatirkan keadaanku, dan ia sempat
prihatin sekali aku hampir terperangkap dalam api. Ia membuatku
merasa seakan aku telah melakukan sesuatu yang menguntungkan
baginya dengan mengubah garasi dan apartemennya menjadi
tumpukan puing. Aku menyatakan bersedia makan bersamanya pada
hari Minggu malam. Aku baru saja menutup pesawatku, saat Joan menelepon. Aku
juga sudah berbicara beberapa kali dengannya, tapi tidak sempat
bertemu selama seminggu ini. Aku ingin sekali segera mengembalikan
uang dan pakaian yang kupinjam darinya. Aku sudah membawa
celana panjang, sweater, dan jaketnya ke binatu, dan mencuci semua
pakaian dalam dan aku sudah membeli sebotol sampanye untuk Joan
dan Leo, dan sebotol lagi untuk teman mereka yang memiliki ukuran
tubuh sama denganku. Tentu saja bukan itu alasan Joan menelepon. Ia, Leo, dan anakanak mereka akan
pergi makan ke II Palazzo, dan mengharapkan aku
mau bergabung dengan mereka.
"Pastanya enak, pizanya enak, tempatnya asyik," janjinya. "Aku
yakin kau akan suka."
"Kau tidak perlu membujukku. Aku mau ikut." Nyatanya, aku
merasa butuh untuk keluar. Setelah pertemuanku dengan Alfie di
pelataran parkir, pikiranku terus berkisar seputar orang-orang yang
kehidupannya dijungkirbalikkan atau dihancurkan oleh Rob
Westerfield dan uang keluarga Westerfield.
Yang pertama Andrea, tentu saja. Setelah itu Mom. Kemudian
Paulie, yang begitu ketakutan dipaksa mengungkapkan bahwa ia tahu
sesuatu mengenai liontin itu. Apa pun yang ia ketahui mengenai
liontin itu, aku berani mempertaruhkan nyawaku bahwa ia tidak
terlibat dengan kematian Andrea.
Mrs. Stroebel, yang selalu bekerja keras dan jujur, rupanya juga
terperangkap dalam jaring-jaring penderitaan yang ditimbulkan
keluarga Westerfield. Pasti sangat mencemaskan baginya saat Paulie
dihadapkan sebagai saksi dalam sidang itu. Andai satu orang saja
ketika itu mempercayai aku ketika aku mengatakan Rob pernah
memberikan liontin pada Andrea, dan setelah itu Paulie ditanyai
mengenai itu di muka sidang. Dengan mudah ia akan mencelakai
dirinya sendiri. Aku mempercayai semua yang diungkapkan Alfie Leeds
padaku. Aku tidak meragukan sedikit pun bahwa kakaknya berpotensi
menjadi pembunuh. Ia bersedia menghabisi nyawa Mrs. Westerfield
dan meninggalkannya dalam keadaan sekarat. Namun sejahat apa pun
dia, ia toh berhak mendapatkan pengacara yang secara adil akan
membelanya. Pengacara yang ditunjuk ternyata mau disuap oleh
keluarga Westerfield. Aku bisa membayangkan sosok William Hamilton, Juris
Doctor, membayangkan kasus itu sebagai kesempatan emas yang
sudah dinanti-nantikannya. Rupanya ia pergi menemui ayah Rob,
memperlihatkan padanya denah itu, kemudian memperoleh imbalan
memadai untuk kerja samanya
Alfie juga merupakan korban. Sebelumnya ia selalu dilindungi
oleh kakaknya, dan tak perlu diragukan lagi ia merasa bersalah tidak
dapat menemukan cara untuk menjebak Rob Westerfield. Selama
bertahun-tahun ia menyimpan bukti yang tidak berani
diperlihatkannya pada siapa-siapa.
Kenyataan paling pahit untukku, tentu saja, adalah fakta bahwa
andai kata Rob Westerfield dihukum ketika itu, dengan tuduhan
merencanakan pembunuhan atas diri neneknya, ia tidak akan sempat
mengenal Andrea. Kini aku mempunyai satu nama lagi dalam daftar orang-orang
yang ingin kuhadapkan ke muka sidang: Yang Mulia William
Hamilton. Hal hal seperti itulah yang sedang berkecamuk dalam pikiranku
saat Joan menelepon. Aku benar-benar membutuhkan selingan. Kami
berjanji bertemu pada pukul tujuh di II Palazzo.
Kau mengada-ada, ujarku dalam hati, saat aku menempuh jarak
pendek menuju jantung kota kecil itu. Perasaanku mengatakan ada
yang membuntutiku. Mungkin ada baiknya kalau aku memberitahu
Opsir White, batinku sarkastis. Ia sedang amat sangat mencemaskan
diriku. Ia akan langsung meluncur kemari, dengan sirene meraungraung.
Ah, sudahlah, umpatku dalam hati. Ia yakin sekali aku kembali
ke kota itu untuk mencari masalah, dan aku sangat terobsesi gara-gara
Rob Westerfield menjadi orang bebas.
Oke, Opsir White, aku memang terobsesi, namun aku tidak
secara sengaja membuat kakiku cedera, atau menghancurkan mobilku
hanya untuk menegaskan maksudku.
*****************************************
Joan dan Leo serta ketiga anak laki-laki mereka sudah duduk di
meja pojok saat aku tiba di II Palazzo. Aku hanya ingat Leo samarsamar. Ia sudah
duduk di kelas terakhir Oldham High ketika Joan dan
Andrea sedang menjalani tahun kedua mereka.
Yang sulit dihindarkan adalah begitu seseorang yang dulu
mengenalku melihat aku kembali untuk pertama kali, hal pertama
yang mereka ingat adalah kematian Andrea. Setelah itu mereka akan
mengeluarkan komentar, atau jelas-jelas berusaha tidak
membicarakannya sama sekali.
Aku menyukai cara Leo menghadapi pertemuannya denganku.
Ia berkata, "Tentu saja aku ingat kau, Ellie. Kau pernah ada di rumah
Joan bersama Andrea beberapa kali saat aku mampir. Kau gadis kecil
yang serius sekali ketika itu."
"Dan sekarang aku gadis besar yang serius sekali." Aku
langsung suka padanya. Tingginya sekitar 180 senti, dengan postur
kekar, rambut pirang kecokelatan, dan mata gelap yang cerdas.
Senyumnya mirip senyum Joan, hangat dan tulus. Ia langsung
membangkitkan perasaan bahwa ia bisa dipercaya. Aku tahu ia
pialang saham, karena itu aku langsung mencatat di kepalaku untuk
berbicara dengannya begitu aku punya uang kelak. Aku yakin akan
merasa nyaman mengikuti nasihatnya dalam soal investasi.
Anak-anak mereka berusia sepuluh, empat belas, dan tujuh
belas tahun. Yang sulung, Billy, duduk di sekolah menengah, kelas
terakhir, dan langsung menceritakan padaku bahwa tim basketnya
pernah bertanding melawan tim Teddy.
"Teddy dan aku pernah membicarakan soal perguruan tinggi
yang kami minati, Ellie," ujarnya. "Kami sama-sama akan mencoba di
Dartmouth dan Brown. Kuharap kami akan memasuki perguruan
tinggi yang sama kelak. Dia sangat menyenangkan."
"Ya, dia memang menyenangkan," ujarku sependapat.
"Kau tidak pernah cerita kau sudah bertemu dengannya,"
potong Joan cepat. "Dia sempat mampir untuk menemuiku di tempat penginapan
itu sebentar." Joan tampak senang Aku ingin mengatakan padanya agar tidak
berharap terjadi reuni akbar di antara para anggota keluarga
Cavanaugh, tapi menu keburu dibagikan, dan Leo ternyata cukup
tanggap untuk mengubah topik pembicaraan.
Aku cukup sering menjadi babysitter pada waktu-waktu
luangku di masa remaja, dan aku senang berada di antara anak-anak.
Pekerjaanku di Atlanta tidak memberiku cukup banyak peluang untuk
itu, jadi sudah lama sekali rasanya. Benar-benar seru berada di antara
ketiga anak ini. Dalam waktu singkat, di antara hidangan kerang dan
pasta, mereka sudah menceritakan padaku tentang aktivitas-aktivitas
mereka, dan aku berjanji pada Sean, yang berusia sepuluh tahun,
bahwa aku akan bermain catur dengannya.
"Aku hebat lho," ujarku mengingatkannya.
"Aku pasti lebih hebat lagi," sahutnya yakin.
"Kita lihat saja nanti."
"Bagaimana kalau besok" Hari Minggu Kami ada di rumah."
"Oh, maaf, besok aku sudah punya rencana. Tapi kita akan
bermain secepatnya." Kemudian aku ingat sesuatu. Aku berpaling ke
Joan. "Aku tidak memasukkan koper yang ingin kukembalikan
padamu di mobilku." "Bawa saja besok, lalu kita bisa main catur," usul Sean.
"Kau harus makan," ujar Joan. "Makan siang sekitar setengah
dua belas?" "Kedengarannya asyik," sambutku.
Ruangan bar II Palazzo dipisahkan oleh panel kaca dengan
ruang makannya, mulai dari pintu masuk. Saat aku tiba, aku tidak
sempat memperhatikan siapa yang ada di bar itu. Namun aku melihat
bahwa selagi kami makan, Joan kadang-kadang melihat sekilas
melalui pundakku, ekspresinya waswas.
Kami sedang menghirup kopi ketika aku mulai mengerti kenapa
ia begitu khawatir. "Ellie, Will Nebels sudah duduk di bar sejak kau belum datang.
Rupanya ada yang memberitahu dia kau di sini. Dia sedang menuju
kemari, dan dari tampangnya, kelihatannya dia mabuk."
Peringatan itu ternyata terlambat. Aku merasakan lengan
melingkari leherku, dan kecupan menjijikkan mendarat di pipiku.
"Ellie kecil, ya Tuhan, si Ellie Cavanaugh kecil. Kau masih ingat
bagaimana aku membetulkan ayunan untukmu, Sayang" Daddy-mu
memang tidak pernah bisa membetulkan apa-apa. Mamamu selalu
memanggilku untuk itu. "Will, yang ini musti dibetulin. Will...?"
Ia mencium telingaku, kemudian bagian belakang leherku.
"Jangan kausentuh dia," ujar Leo, nadanya tinggi. Ia sudah
berdiri. Bisa dibilang aku sama sekali tak bisa bergerak. Nebels
menindihku dengan seluruh berat tubuhnya. Lengannya di atas
pundakku; tangannya mulai bergerak turun, menggerayangi bagian
dalam sweaterku. "Dan si Andrea kecil yang cantik. Dengan mataku sendiri aku
melihat si bego itu masuk ke dalam garasi membawa tuas dongkrak..."
Seorang pelayan berusaha menarik tubuhnya dari satu sisi, Leo
dan Billy dari sisi lain. Aku berusaha mendorong wajahku darinya,
tapi percuma. Ia mulai menciumi mataku. Kemudian mulutnya yang
basah dan bau bir menempel di bibirku. Kursiku mulai menjungkit ke
belakang saat kami bergumul. Aku sempat cemas bagian belakang
kepalaku akan menghantam lantai sementara bajingan itu semakin
nekat. Namun beberapa lelaki dari meja-meja di dekat kami segera
menghampiri, dan dengan tangan-tangan kuat menahan kursi yang
semakin oleng itu sebelum mendarat ke lantai.
Kemudian secara paksa Nebels diseret pergi dan kursiku
ditegakkan kembali. Aku menutupi wajahku dengan dua tangan.
Untuk kedua kali dalam enam jam tubuhku begitu gemetaran,
sehingga aku tak bisa memberikan respons pada mereka-mereka yang
menanyai aku dengan cemas dari semua penjuru. Beberapa jepit yang
sebelumnya menahan rambutku kini lepas, membuat rambutku
tergerai jatuh ke pundak. Aku merasakan belaian Joan, dan aku ingin
memintanya menghentikan itu - simpati pada saat ini akan
membobolkan bendunganku. Mungkin ia merasakan keinginanku,
sebab setelah itu ia menarik tangannya.
Aku bisa mendengar si manajer menyuarakan permohonan
maafnya dalam nada terbata-bata. Memang seharusnya kau menyesali
itu, umpatku dalam hati. Seharusnya kau sudah berhenti melayani si
pemabuk itu dari tadi. Amarah meluap-luap inilah yang kubutuhkan untuk membuatku
menemukan diriku kembali. Aku mengangkat tanganku dan mulai
merapikan rambutku ke belakang. Kemudian aku melayangkan
pandang ke seputar meja, ke arah wajah-wajah yang tampak cemas
itu. Aku angkat bahu. "Aku tidak apa-apa," ujarku pada mereka.
Aku menatap Joan, dan tahu apa yang ada dalam pikirannya.
Tidak akan ada bedanya kalau ia meneriakkannya.
"Ellie, kau mengerti sekarang, apa yang kumaksud tentang Will
Nebels" Dia mengaku dia ada di rumah Mrs. Westerfield malam itu.
Mungkin dia sedang mabuk waktu itu. Menurutmu apa yang akan dia
lakukan begitu dia melihat Andrea masuk sendirian ke dalam garasi
itu?" ******************************************
Putri Kesayangan Ayah Daddy's Little Girl Karya Mary Higgins Clark di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Setengah jam kemudian, setelah menghabiskan secangkir kopi
yang baru diseduh, aku bersikeras kembali ke tempat penginapanku
sendirian. Tapi di tengah perjalanan aku bertanya-tanya apakah itu
bukan keputusan bodoh. Aku yakin sekarang bahwa aku dibuntuti
orang, dan aku bertekad tidak mengambil risiko untuk sendirian lagi
di pelataran parkir itu. Karena itulah aku tidak membelok masuk ke
penginapan, melainkan melewatinya, dan setelah itu menghubungi
polisi melalui ponselku. "Kami akan mengirim mobil patroli," ujar petugas yang
menerima teleponku. "Di mana Anda sekarang?" Aku
memberitahukan lokasiku. "Oke. Anda bisa putar kendaraan Anda dan memasuki jalan
mobil penginapan. Kami akan berada tepat di belakang mobil yang
membuntuti Anda. Dalam situasi apa pun, Anda jangan keluar dari
mobil sampai kami menjemput Anda."
Aku mengurangi kecepatanku, dan mobil di belakangku juga
mengurangi kecepatannya. Sekarang, setelah tahu akan ada mobil
patroli yang datang, aku bersyukur mobil di belakangku masih ada di
sana. Aku ingin polisi tahu siapa yang ada di dalam mobil itu, dan apa
alasannya mengikuti aku. Aku hampir sampai di penginapan. Aku memasuki jalan
mobilnya, namun mobil di belakangku terus melaju pergi. Beberapa
saat kemudian, aku melihat lampu mobil patroli berkedap-kedip, dan
mendengar raung sirene. Aku menepikan kendaraanku di jalan mobil penginapan, dan
setelah itu berhenti. Dua menit kemudian mobil patroli itu, tanpa
kedap kedip lampunya, muncul di belakangku. Seorang petugas keluar
dan menghampiriku di dalam mobilku. Saat aku menurunkan kaca
jendela, kulihat ia tersenyum. "Memang ada yang membuntuti Anda
tadi, Ms. Cavanaugh. Anak muda itu bilang dia adik Anda, dan dia
hanya ingin memastikan Anda kembali dengan aman kemari."
"Ya ampun. Suruh dia pulang," ujarku. Tapi kemudian aku
menambahkan, "Tolong sampaikan padanya aku bilang terima kasih."
Chapter 36 AKU sudah merencanakan menelepon Marcus Longo pada hari
Minggu pagi, tapi ternyata ia lebih gesit daripada aku. Saat pesawat
telepon berdering pukul sembilan, aku sedang duduk di belakang
komputer, dengan cangkir kopi kedua di meja di dekatnya.
"Kuanggap kau sudah bangun sejak pagi, Ellie," ujarnya.
"Semoga aku benar."
"Terus terang, aku kesiangan pagi ini," sahutku. "Aku bangun
pukul tujuh tadi." "Justru itu yang sebetulnya kuharapkan. Aku sudah
menghubungi Sing Sing."
"Untuk memastikan mereka tahu, apakah dalam beberapa hari
terakhir ini ada mantan tahanan atau sipir yang terlibat dalam salah
satu kecelakaan fatal?"
"Ya." "Kau memperoleh sesuatu?"
"Ellie, kau berada di luar bangunan itu pada tanggal satu
November. Herb Coril, tahanan yang pernah mendekam satu sel
dengan Rob Westerfield, dilepas pagi itu. Dia tinggal di rumah semi
permanen di daerah kumuh Manhattan. Dia tidak pernah terlihat lagi
sejak hari Jumat malam."
"Aku menerima telepon terakhirnya pada hari Jumat malam,
sekitar pukul setengah sebelas," ujarku. "Entah siapa yang
meneleponku waktu itu kedengarannya mencemaskan
keselamatannya." "Kita tidak tahu apakah dia orang yang sama, dan kita juga
tidak tahu apakah Coril tidak hanya melanggar persyaratan
pembebasannya dengan menghilang begitu saja."
"Menurutmu bagaimana?" tanyaku.
"Biasanya aku tidak begitu percaya hal-hal yang terjadi secara
kebetulan, terutama dalam kasus-kasus seperti ini."
"Aku juga." Aku mengungkapkan pada Marcus tentang pertemuanku dengan
Alfie. "Aku cuma bisa berharap tidak terjadi apa-apa pada Alfie
sebelum kau menerima denahnya," ujar Marcus geram. "Aku sama
sekali tidak heran mendengar ini. Kami semua menduga Rob
Westerfield yang merencanakannya. Tapi aku bisa membayangkan
efeknya atas dirimu."
"Maksudmu, fakta bahwa seharusnya Rob mendekam di
penjara, sehingga tidak sempat berkenalan dengan Andrea" Itu terus
yang ada dalam pikiranku, dan mulai mengganggu konsentrasiku."
"Tapi kau tahu dengan salinan denah dan pernyataan yang akan
dibuat Alfie di hadapan kejaksaan pun kau tidak akan pernah dapat
menuntut Westerfield. Alfie sendiri terlibat di dalamnya, sedangkan
denah itu ditandatangani orang bernama Jim, yang tidak dikenal oleh
siapa-siapa." "Ya, aku tahu itu."
"Masa berlakunya hukum untuk tindak kejahatan itu sudah
lewat untuk mereka semua - untuk Westerfield, Alfie, dan Jim yang
entah siapa itu." "Jangan lupakan Hamilton. Kalau aku dapat membuktikan dia
menghancurkan barang bukti yang berpeluang meringankan hukuman
kliennya dengan melibatkan Westerfield dalam kasus itu, dia akan
berhadapan dengan komite etik."
Aku berjanji pada Marcus akan menunjukkan denah yang akan
diserahkan Alfie padaku. Setelah mengakhiri pembicaraan kami, aku
mencoba mengalihkan perhatianku kembali pada pekerjaanku.
Prosesnya berjalan lambat, dan setelah berhasil menambahkan sedikit,
aku menyadari sudah waktunya aku berangkat untuk memenuhi janji
makan siang dengan keluarga Joan.
Kali ini aku ingat membawa koper dan kantong plastik binatu
berisi celana panjang, sweater, dan jaket.
Sebelum sampai ke dekat biara para bruder Franciscan di
Graymoor pun aku tahu aku akan mampir di sana. Sepanjang minggu
itu, suatu kenangan perlahan-lahan muncul dari bawah sadarku. Aku
pernah mengunjungi tempat itu bersama ibuku setelah Andrea
meninggal. Sebelumnya ia sudah menelepon Romo Emil, pastor yang
ia kenal. Si pastor akan berada di penginapan Saint Christopher hari
itu, dan mereka berjanji untuk bertemu di sana.
Penginapan Saint Christopher yang masih terletak dalam
kawasan biara itu merupakan tempat para bruder menampung para
alkoholis dan pecandu obat-obat terlarang yang tidak punya uang.
Samar-samar aku ingat pernah duduk di sana ditemani seorang wanita,
mungkin seorang sekretaris, sementara ibuku berada di dalam ruang
kerja si biarawan. Kemudian Romo Emil membawa kami masuk ke
dalam kapel. Seingatku ada buku di samping kapel, tempat orang-orang bisa
menulis permohonan mereka. Ibuku menulis sesuatu, lalu
menyodorkan penanya padaku.
Aku merasa ingin ke sana lagi.
Biarawan yang menerimaku memperkenalkan dirinya sebagai
Bruder Bob. Ia tidak mempertanyakan maksudku. Kapel itu kosong,
dan ia berdiri di pintu saat aku berlutut selama beberapa waktu.
Sesudah itu aku melayangkan pandang ke sekelilingku, dan melihat
mimbar dengan buku berukuran besar itu.
Aku mendekat dan meraih penanya.
Tiba-tiba aku ingat apa yang pernah kutulis di sana dulu: Aku
mohon kembalikan Andrea pada kami.
Kali ini aku tidak berusaha menahan diriku untuk tidak
menangis. "Sudah banyak air mata yang tumpah di kapel ini." Bruder Bob
berdiri di dekatku. Kami berbicara selama satu jam. Saat sampai di rumah Joan,
aku sudah berdamai kembali dengan Tuhan.
**********************************************
Joan dan aku berdebat dalam suasana bersahabat mengenai
pandangan kami yang berbeda tentang polah Nebels malam
sebelumnya. "Ellie, jelas dia sedang mabuk. Berapa banyak orang yang
mulutnya jadi tidak terkendali saat mereka sudah kebanyakan minum"
Maksudku, itu bukan saatnya mereka bohong - pada saat itulah
mereka cenderung kelepasan dengan mengatakan yang sebenarnya."
Aku harus mengakui apa yang dikatakan Joan ada benarnya.
Aku pernah menyidik dan menulis tentang dua kasus di mana si
pembunuh tidak akan pernah tertangkap kalau ia tidak kebanyakan
minum scotch atau vodka, kemudian menumpahkan seluruh isi
hatinya pada seseorang yang setelah itu langsung menelepon polisi.
"Tapi aku tidak melihatnya dengan cara itu," ujarku padanya
dan Leo. "Di mataku, Will Nebels adalah pecundang yang sama sekali
tidak punya karakter. Dia seperti agar-agar yang siap dituang ke dalam
cetakan. Kau merencanakan bentuk yang kauinginkan, dan kau akan
memperolehnya. Dia tidak terlalu mabuk untuk ingat dia pernah
membetulkan ayunanku, dan bahwa ayahku tidak terampil dengan alat
alat pertukangan." "Aku sependapat dengan Ellie," ujar Leo "Nebels jauh lebih
kompleks dari yang tampak dari luar." Kemudian ia menambahkan,
"Tapi itu, tentu saja, tidak berarti Joan salah. Kalau Nebels memang
melihat Paulie Stroebel masuk ke dalam garasi itu malam itu, dia
cukup cerdik untuk tahu bahwa masa berlakunya hukum untuk tindak
kejahatan itu sudah lewat, dan bahwa cukup aman baginya untuk
mendapatkan uang ekstra dari itu."
"Hanya saja bukan dia sendiri yang mereka ide itu," ujarku.
"Mereka yang mendekatinya. Dia menyatakan sepakat untuk
mengungkapkan versi yang mereka butuhkan, dan mereka
membayarnya untuk itu."
Aku mendorong kursiku ke belakang. "Makannya enak sekali,"
ujarku, tapi sekarang aku ingin memenangkan pertandingan catur
dengan Sean." Aku berhenti sebentar untuk melayangkan pandang ke luar
jendela. Untuk kedua kalinya pada waktu yang sama, aku berada di
dalam ruangan ini untuk menikmati Minggu sore yang indah. Aku
menahan napasku kembali melihat pemandangan menakjubkan sungai
dan hamparan gunung dari tempat ini.
Dalam kehidupanku, yang begitu jauh dari kedamaian,
menikmati keindahan seperti ini terasa bak berada di oasis.
Aku memenangkan pertandingan catur yang pertama. Sean
yang kedua. Kemudian kami berjanji untuk bertanding lagi
"secepatnya". *******************************************
Sebelum berangkat pulang, aku menelepon rumah sakit dan
berbicara dengan Mrs. Stroebel. Demam Paulie sudah mereda, dan ia
merasa jauh lebih enak. "Dia ingin bicara denganmu, Ellie."
Empat puluh menit kemudian, aku sudah berada di samping
tempat tidurnya. "Kau tampak jauh lebih baik dibandingkan kemarin,"
ujarku padanya. Ia masih tampak pucat, namun matanya bening, dan ia sudah
memakai bantal ekstra. Ia tersenyum malu. "Ellie, Mama bilang kau
tahu aku juga pernah melihat liontin itu."
"Kapan kau melihatnya, Paulie?"
"Aku bekerja di bengkel pompa bensin. Tugas pertamaku di
sana adalah mencuci dan membersihkan mobil-mobil setelah selesai
direparasi. Sewaktu membersihkan mobil Rob pada suatu hari, aku
menemukan liontin itu terselip dt bangku depan. Rantainya putus."
"Maksudmu pada hari tubuh Andrea ditemukan?" Tapi itu tidak
masuk akal, batinku. Kalau Rob kembali untuk mengambil liontin itu
pagi itu, ia tidak akan meninggalkannya begitu saja di dalam
mobilnya. Apakah mungkin ia begitu ceroboh"
Paulie mengalihkan pandang ke ibunya. "Mama?" ujarnya
dalam nada memohon. "Oke, Paulie," ujar Mrs Stroebel dengan lembut. "Kau memang
habis makan banyak obat, sehingga agak sulit bagimu mengingat
semuanya. Kau bilang padaku kau pernah melihat liontin itu dua kali."
Aku menatap tajam ke arah Mrs Stroebel, sambil mencoba
memutuskan apakah ia tidak sedang mempengaruhi anaknya. Tapi
Paulie kemudian mengangguk.
"Betul, Mama. Aku menemukan liontin itu di mobilnya
Rantainya putus. Aku menyerahkannya kembali pada Rob, dan dia
memberi aku tip sepuluh dolar. Aku menyatukannya dengan uang
yang kusimpan untuk membeli hadiah ulang tahunmu yang kelima
puluh." "Aku ingat itu, Paulie."
"Kapan Anda merayakan ulang tahun kelima puluh, Mrs
Stroebel?" tanyaku. "Satu Mei. Di bulan Mei sebelum Andrea meninggal."
"Bulan Mei sebelum Andrea meninggal!" Sesaat aku tertegun.
Kalau begitu, Rob tidak membeli liontin itu khusus untuk Andrea,
batinku. Liontin itu mungkin milik salah satu gadis yang ketinggalan
di mobilnya, yang kemudian digrafirnya dengan inisial mereka
sebelum diberikan pada Andrea.
"Paulie, kau masih ingat rupa liontin itu?" tanyaku
"Ya. Bagus memang Bentuknya seperti hati, dari emas bertatah
batu batu biru kecil."
Persis seperti yang kudeskripsikan di mimbar untuk para saksi
waktu itu. "Paulie, kau pernah melihat liontin itu lagi setelahnya" tanyaku.
"Ya. Andrea begitu baik padaku. Dia mendatangi aku dan
mengatakan aku main bagus sekali, dan memenangkan pertandingan
sepak bola itu untuk tim kami. Pada saat itulah aku memutuskan
mengajaknya pergi ke pesta dansa itu.
"Aku pergi ke rumahmu, dan melihatnya memasuki daerah
pepohonan. Aku membuntutinya sampai di luar rumah Mrs
Westerfield. Dia memakai liontin itu, dan aku tahu ketika itu bahwa
Rob telah memberikan liontin itu padanya. Rob bukan anak baik. Dia
memberikan tip besar padaku, tapi dia tidak baik. Mobilnya selalu
penyok di sana-sini karena dia selalu mengemudikannya dengan cepat
sekali." "Kau melihat Rob pada hari itu?"
"Aku bertanya pada Andrea, apakah aku bisa bicara dengannya,
tapi dia bilang tidak bisa saat itu, dia sedang buru-buru. Aku kembali
ke dalam hutan, dan mengawasinya masuk ke dalam garasi itu.
Beberapa menit setelah itu, Rob Westerfield masuk ke sana."
"Ceritakan pada Ellie kapan itu, Paulie."
"Itu satu minggu sebelum Andrea meninggal dalam garasi itu."
Satu minggu sebelumnya. "Kemudian, beberapa hari sebelum dia meninggal aku berbicara
dengan Andrea lagi. Aku bilang padanya bahwa Rob itu jahat sekali,
dan sebaiknya dia tidak bertemu dengan Rob di dalam garasi itu, dan
aku tahu ayahnya akan marah sekali kalau tahu dia pergi ke sana
dengan Rob." Paullie menatap langsung ke arahku. "Ayahmu selalu baik
sekali padaku, Ellie. Dia selalu memberi aku tip untuk mengisi tangki
bensinnya, dan dia selalu mengajak aku ngobrol soal sepak bola. Dia
baik sekali." "Sewaktu kau mengingatkan Andrea tentang Rob, apakah
ketika itu kau juga mengajaknya pergi ke pesta dansa itu
Putri Kesayangan Ayah Daddy's Little Girl Karya Mary Higgins Clark di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bersamamu?" "Ya, dan dia bilang oke, dia minta aku berjanji tidak
mengadukannya pada ayahnya tentang Rob."
"Dan kau tidak pernah melihat liontin itu lagi"
"Tidak, Ellie."
"Dan kau tidak pernah pergi ke garasi itu lagi?"
"Tidak, Ellie."
Paulie memejamkan mata, dan bisa kulihat ia mulai lelah sekali.
Aku meraih tangannya "Paulie, aku tidak mau kau khawatir lagi. Aku berjanji padamu
semuanya akan beres nanti, dan sebelum aku selesai, semua orang
akan tahu kau baik, hatimu lembut dan bersih. Juga kau pandai. Ketika
masih muda, kau sudah bisa melihat Rob Westerfield busuk sekali
Banyak orang di sini masih belum juga bisa melihat itu."
"Paulie melihat dengan hatinya," ujar Mr. Stroebel pelan.
Paulie membuka matanya "Aku ngantuk sekali. Aku sudah
ceritakan padamu tentang liontin itu?"
"Ya, sudah." Mrs. Stroebel mengantarku ke lift. "Ellie, bahkan dalam
persidangan mereka berusaha begitu keras menyalahkan Paulie atas
kematian Andrea Aku begitu takut waktu itu. Karena itulah aku bilang
padanya untuk tidak pernah membicarakan soal liontin itu."
"Aku mengerti."
"Aku harap begitu. Anak seperti dia selalu butuh perlindungan,
bahkan setelah dewasa. Kaudengar pengacara Westerfield di televisi
mengatakan pada semua orang bahwa sidang yang baru akan
membuktikan Paulie-lah yang membunuh Andrea. Bisa kaubayangkan
Paulie duduk di mimbar saksi sementara orang itu terus
memberondongnya dengan pertanyaan-pertanyaan?"
Orang itu. Orang itu adalah Yang Mulia William Hamilton.
"Tidak, aku tidak bisa."
Aku mengecup pipinya. "Paulie beruntung memiliki Anda, Mrs.
Stroebel." Ia menatapku. "Dia beruntung memilikimu, Ellie."
Chapter 37 PUKUL tujuh aku menuju rumah Mrs. Hilmer untuk makan
malam bersamanya. Tentu saja itu berarti aku harus melewati rumah
lama kami. Malam itu lampu-lampunya menyala semua, dan dengan
cahaya bulan yang bersinar menerangi daerah hutan di belakangnya,
kesannya seperti gambar pada sampul majalah. Persis seperti rumah
yang diangan-angankan ibuku, contoh sempurna rumah pertanian
indah dan tenang yang dikembangkan.
Jendela-jendela kamarku dulu terletak di atas pintu muka, dan
aku bisa melihat profil seseorang bergerak di antaranya. Pasangan
Kelton, yang sekarang menempati rumah itu, berusia sekitar lima
puluh tahunan. Mereka penghuni satu-satunya rumah itu yang kulihat
pada malam terjadinya kebakaran, tapi mungkin mereka memiliki
anak-anak remaja yang terus tidur di antara raung sirene mobil polisi
dan pemadam kebakaran. Aku bertanya-tanya apakah penghuni
kamarku sekarang juga suka bangun pagi-pagi dan sambil rebahan
mengawasi marahari terbit, seperti aku dulu.
Rumah Mrs. Hilmer juga terang benderang malam itu Aku
memasuki jalan mobilnya, yang kini hanya menuju satu tempat.
Lampu besarku menyorot puing-puing bekas garasi dan apartemennya
yang hangus. Entah kenapa aku teringat tempat lilin dan wadah buah
yang mendekorasi meja ruang makan apartemen yang asri itu. Bendabenda itu tidak
mahal, tapi jelas dipilih dengan penuh pertimbangan
dan selera tinggi. Semua yang ada di dalam apartemen itu telah dipilih dengan
pertimbangan. Kalau Mrs. Hilmer kelak membangun tempat itu
kembali, benda-benda seperti itulah yang akan membutuhkan waktu
dan usaha untuk mendapatkan gantinya.
Dengan bayangan itu dalam kepalaku, aku memasuki
rumahnya, siap untuk kembali meminta maaf. Namun ia tidak mau
mendengar itu. "Bagaimana kalau kau berhenti mencemaskan soal
garasi itu?" ujarnya sambil menghela napas, kemudian ia menarik
wajahku untuk memberi kecupan. "Ellie, ada yang menyulut api itu
dengan sengaja." "Aku tahu itu. Anda tidak menganggap aku bertanggung jawab
untuk itu?" "Ya Tuhan, tentu saja tidak. Ellie, sewaktu aku kembali dan
Brian White menyelonong masuk kemari, lalu terang-terangan
menuduhmu pyromaniac, aku langsung memberikan tanggapan pedas
mengenai dirinya. Kalau ini bisa membuatmu meraba lebih enak, dia
juga pernah menyatakan padaku aku cuma membayangkan ada yang
mengikutiku dari dan ke perpustakaan pada hari itu. Aku juga sekalian
meluruskan pandangannya tentang itu. Tapi terus terang Ellie, yang
mencemaskan adalah membayangkan bahwa siapa pun yang
memasuki apartemen itu sewaktu kau berada di sini untuk makan
malam, ternyata mencuri beberapa handuk dari sana untuk membuat
kesan kaulah yang menyulut api itu."
"Setiap hari aku mengambil handuk dari dalam lemari itu. Aku
tidak pernah memperhatikan lima atau enam buah di antaranya
hilang." "Bagaimana kau bisa" Rak-rak itu penuh handuk. Dulu pernah
aku tidak tahan melihat barang diskon, dan sekarang aku punya cukup
handuk untuk sampai akhir zaman. Oke, makan malam sudah siap,
dan kau tentunya lapar Ayo kita langsung ke meja makan."
Makan malam terdiri atas hidangan udang, yang disusul dengan
salad segar. Nikmat sekali. "Dua kali makan enak dalam satu hari,"
ujarku. "Aku benar-benar sedang dimanja."
Aku menanyakan tentang cucunya, dan mendengar bahwa
pergelangannya yang cedera sedang memulih dengan baik.
"Menyenangkan melewatkan beberapa waktu dengan Janey,
dan bayinya betul-betul meluluhkan hati. Tapi, Ellie, setelah seminggu
aku sudah ingin pulang. Hatiku mau, tapi sudah lama sekali aku tidak
bangun sekitar pukul lima pagi untuk menghangatkan botol susu."
Ia mengatakan selama ini ia terus mengikuti situsku, dan bisa
kulihat sisa-sisa rasa simpati yang pernah dimilikinya untuk Rob
Westerfield sudah memudar. "Ketika aku membaca pernyataan si
psikolog, yang mengungkapkan bagaimana Rob pernah memelintir
lengannya di restoran itu, aku benar-benar terguncang. Janey pernah
bekerja di restoran semasa kuliah. Membayangkan seorang bajingan
melecehkan dirinya seperti itu sempat membuat darahku bergolak "
"Tunggu sampai Anda membaca yang berikutnya. Dia juga
sempat melabrak rekan sesama pelajar ketika baru duduk di kelas dua
sekolah menengah." "Polahnya semakin menjadi-jadi Aku sedih sekali ketika
mendengar tentang Paulie. Bagaimana keadaannya?"
"Keadaannya membaik. Aku sudah menengoknya tadi sore."
Aku sempat ragu sebentar, tidak yakin apakah aku ingin menceritakan
tentang pengungkapan Paulie mengenai liontin itu. Tapi kemudian aku
memutuskan untuk menceritakannya. Mrs. Hilmer dapat dipercaya,
juga dapat menjadi barometer pendapat penduduk setempat. Aku tahu
ia masih yakin masalah liontin itu merupakan bagian dari imajinasiku.
Akan sangat menarik dan membantu untuk melihat reaksinya
mengenai itu sekarang. Tehnya dingin sementara ia mendengarkan ceritaku, dan
wajahnya menjadi keras. "Ellie, pantas Mrs Stroebel tidak ingin Paulie
berbicara tentang liontin itu. Cerita itu bisa dengan mudah diputar
balikkan, sehingga dia sendiri yang akan kena getahnya."
"Aku tahu itu. Paulie mengaku dia sempat memegang liontin
itu, dan dia menyerahkannya pada Rob, dan menjadi resah ketika
melihat Andrea memakainya, sehingga dia mengikuti Andrea sampai
ke garasi itu." Aku berhenti sebentar dan menatapnya. "Mrs. Hilmer,
Anda percaya kejadiannya seperti itu?"
"Yang aku percaya adalah meskipun keluarga Westerfield
memiliki begitu banyak uang, tingkah laku Rob Westerfield betulbetul murahan dan
jahat. Dia memberi hadiah pada Andrea sesuatu
yang pernah menjadi milik gadis lain, yang sepertinya tertinggal
dalam mobilnya. Aku berani bertaruh dia membawa liontin itu ke
salah satu pusat perbelanjaan, membayar beberapa dolar untuk
digrafir, dan setelah itu membual-bual tentang itu."
"Tadinya terpikir olehku untuk mencoba melacak siapa yang
menggrafirnya, tapi setelah sekian tahun, rasanya hampir tak
mungkin. Sudah lama mereka membuat grafiran seperti itu di kioskios perhiasan
pusat perbelanjaan."
"Jadi, kau belum tahu cara menggunakan informasimu tentang
liontin itu?" "Belum. Aku begitu senang liontin dalam ingatanku itu ternyata
memang ada, sehingga aku belum sempat berpikir sejauh itu. Liontin
Peristiwa Merah Salju 1 Gento Guyon 7 Topeng Robinson Crusoe 2