Romantic Story About Serena 2
A Romantic Story About Serena Karya Santhy Agatha Bagian 2
"Tentu saja aku sama sekali tidak menduga kalau gadis itu ada hubungannya
denganmu, waktu memeriksa tubuhnya aku melihat bekas-bekas ciuman dari
leher sampai ke perut, lalu aku berfikir, lelaki brengsek mana yang
membiarkannya sampai pingsan kelelahan begitu",
Vanesa mengangkat alisnya, " Dan tiba-tiba saja lelaki brengsek itu muncul."
Damian mengerutkan alisnya lalu terkekeh,
"Sayangnya kata-kata tajammu juga tidak berubah, yah aku memang lelaki
brengsek itu", Damian mengangkat bahu, lalu menatap ke arah Serena yang
terbaring pucat di ranjang klinik itu, " bagaimana kondisinya?", wajahnya
berubah serius. Vanesa menarik napas, "Aku tak mau bertanya apapun itu kehidupan pribadimu", Vanesa menatap tajam
ke arah Damian," gadis itu kelelahan, kurang tidur dan tekanan darahnya rendah
sekali, kondisi tubuhnya lemah dan karena itu dia demam, sepertinya gejala flu."
Damian mengernyitkan allisnya, menerima tatapan tajam Vanesa.
"Baik, baik semua salahku, Freddy sudah mengatakannya padaku, sekarang
bisakah kau meninggalkan kami sendirian sebentar?"
Vanesa melirik ke arah pintu,
"Freddy ada di luar" Bagaimana jika nanti ada karyawan yang kebetulan ke
klinik?" "Itulah gunanya Freddy di luar, tapi kalau sampai terjadipun aku akan bilang
kalau aku sedang mencarimu meminta resep."
Vanesa mengangguk, "Aku akan bergabung dengan Freddy di luar, jangan berbuat macam-macam ya!"
Damian tersenyum mendengar ancaman Vanesa. Wanita itu adalah istri dari
sahabatnya, dan merekapun ahkirnya bersahabat. Sayangnya suami Vanesa
meninggal dalam kecelakaan tragis di jalan tol beberapa tahun lalu, sejak itu
Vanesa membentengi diri dengan mulut tajam dan sifatnya yang ketus, padahal
sebenarnya dia adalah wanita penyayang, sikap ketusnya itu tidak mempan pada
Damian dan Freddy, Damian melirik keluar, seandainya saja Vanesa bisa melirik
Freddy, bagus sekali kalau sahabat-sahabatnya itu bersatu.
Dengan langkah pelan Damian melangkah ke tepi ranjang berdiri di samping
Serena yang tertidur pulas,
Benar, wajahnya pucat sekali, kenapa Damian tidak menyadarinya dari
semalam" Tangan Damian menyentuh dahi Serena, gadis ini demam! Badannya panas
sekali... "Jadi kau ingin mengantar pulang Serena?",
Vanesa tiba-tiba bersuara di pintu dengan agak keras, sengaja memberi
peringatan kepada Damian.
Damian langsung menjauh dan berdiri di depan meja kerja Vanesa.
Pintu terbuka dan salah seorang laki-laki, rekan kerja Serena tapi Damian lupa
namanya, masuk membawa tas Serena yang tertinggal di ruangannya, disusul
oleh Vanesa dan Freddy di belakangnya.
Rekan kerja Serena itu tampak sangat kaget mengetahui Damian, CEO
perusahaan yang hanya pernah dia lihat dari foto, sekarang berdiri langsung di
depannya, wajahnya langsung pucat pasi,
"Aaaa...aaandaa....", lelaki itu bahkan tak sanggup berkata-kata karena
kagetnya, Damian menatap sekilas seolah tak peduli,
"Ya, Saya memang benar Damian", dipasangnya ekspresi paling dingin,
"Saya ada urusan dengan dokter Vanesa, tapi silahkan selesaikan urusan anda
dulu, saya bisa menunggu."
"Alex hanya ingin menjemput rekannya yang pingsan dan mengantarkannya
pulang Damian", Freddy menyela di belakang Vanesa tapi matanya menatap Damian penuh
peringatan. Pulang" Damian mengernyit, tapi Serena kan sekarang tinggal di apartement
mewah yang dia belikan, tidak mungkin dia membiarkan Alex mengantar Serena
pulang! "Saa ...saya hanya sebentar, saya akan mengangkat Serena dan mengantar
pulang, kebetulan saya ada janji temu dengan kilen di dekat tempat kostnya jadi
sekalian, mohon maaf, silahkan dokter jika ada urusan dengan Mr, Damian"
Alex cepat-cepat membalikkan tubuh tak tahan menghadapi tatapan tajam
Damian, memang benar gosip yang beredar, Mr. Damian CEO mereka ini
terkenal sangat dingin dan tidak berperasaan, bahkan aslinya lebih menakutkan,
wajahnya sangat rupawan tapi aura membunuh disekelilingnya sangat kental.
Damian masih terpaku di situ, tempat kost" Si bodoh ini pasti masih mengira
Serena masih tinggal di tempat kostnya yang lama. Dan.. Apa yang dilakukan
lelaki itu ?"" Dia menyentuh tubuh Serena ?"!
Damian hampir menyeberangi ruangan untuk menepiskan tangan Alex yang
mencoba menggendong Serena ketika Suara Vanesa menyela dengan cepat,
menyadari gawatnya situasi yang terjadi,
"Jangan Alex", perintahnya membuat Alex meletakkan tubuh Serena kembali dan
menatap Vanesa penuh tanda tanya,
"aku memberi obat tidur untuknya supaya dia bisa beristirahat, kalau kau
pulangkan dia ke kostnya dalam
kondisi seperti itu, siapa yang akan
menjaganya nanti" Lebih baik biarkan dia beristirahat dan tidur di sini dulu"
Alex menyadari kebenaran perkataan dokter Vanesa dan cepat-cepat
menyetujuinya. Lagipula dia ingin cepat-cepat keluar dari ruangan ini.
Sang CEO hanya berdiri membatu di sudut ruangan tapi tatapan matanya
mengerikan, seperti akan membunuhnya dengan tangan kosong!
Ah, mungkin dia hanya sedang tidak enak badan, Alex berusaha menenangkan
dirinya, lalu mengangguk,
"Baiklah saya akan meninggalkannya dulu, nanti kalau dia sadar saya akan
menjemputnya lagi" gumamnya sambil meletakkan tas serena di kursi dan
hampir melonjak kaget ketika Damian berseru dalam bahasa Jerman yang tidak
dimengertinya, Vanesa agak menahan senyum karena dia tahu arti kata-kata Damian, 'Langkahi
dulu mayatku', itu artinya
"Tidak usah Alex, biar aku yang mengantarnya sekalian pulang nanti"
Alex mengangguk, sebenarnya dia ingin membantah, dia ingin mengantar
Serena, sebenarnya sejak dulu dia sudah suka pada Serena tetapi belum berani
mengungkapkannya karena Serena terlihat begitu tertutup, kejadian ini
dianggapnya sebagai kesempatan mendekati Serena, tapi mengingat aura tak
nyaman di ruangan ini, Alex memutuskan menyerah, mungkin lain kali, putusnya
Lalu melangkah ke luar setelah mengangguk pada semuanya, tak bisa menahan
untuk mempercepat langkahnya keluar dari situ.
"Aku yang akan keheningan. membawanya pulang", Damian bergumam memecah "Kau ada rapat satu jam lagi Damian", sela Freddy tajam.
"Batalkan, mereka akan menyesuaikan jadwalnya denganku"
Vanesa dan Freddy hanya bisa berpandangan, lalu mengangkat bahu.
*** Ketika Serena membuka mata dia sudah ada di ranjangnya, mengenakan salah
satu piyama sutra hitam milik Damian, lelaki itu sedang duduk di ranjang di
sebelahnya,bersila dengan menghadap notebooknya, wajahnya serius sekali.
Serena merasa pusingnya sudah hilang, tapi rasa nyeri di tubuhnya belum hilang
juga, sepertinya dia masih demam.
Seolah merasakan gerakan Serena, Damian menoleh, dan tersenyum.
"Tadi aku mencari piyama untukmu, ternyata kau tak punya piyama ataupun
gaun tidur ya" Aku tidak tahu sebelumnya karena aku selalu menelanjangimu
sebelum tidur" Wajah Serena memerah, bisa bisanya Damian memilih kata-kata itu sebagai
kalimat sapaan pembukanya.
"Kenapa aku tiba-tiba sudah di rumah" Jam berapa ini?"
Damian mengangkat alisnya,
"Kau tidak tahu" Tadi pagi kau pingsan lalu dokter Vanesa menyuntikmu dengan
obat yang membuatmu tidur, tapi aku harus mengajukan komplain karena
sepertinya dosisnya terlalu besar, kau tertidur hampir sepuluh jam....sekarang
sudah jam delapan malam"
Serena terperangah, "Jam delapan malam?"
Damian tersenyum, "Besok-besok kalau kau merasa tidak enak badan jangan memaksakan diri untuk
masuk, kau sangat merepotkanku, aku terpaksa pulang setengah hari untuk
menjagamu" Wajah Serena memucat, dia telah mengganggu kesibukan Damian! Padahal
lelaki itu punya jadwal yang sangat padat dan terpaksa meninggalkannya hanya
gara-gara dia pingsan. "Ma...maafkan aku...", suara Serena terdengar lemah, penuh penyesalan.
Damian menoleh mendengar nada suara Serena, lalu menutup notebooknya dan
meletakkannya di meja samping ranjang,
"Aku tidak memarahimu, lagipula sudah lama aku tidak mengambil cuti", dengan
lembut Damian meletakkan tangannya di dahi Serena, "sudah mendingan, tadi
kau panas sekali tahu, aku sampai mengkompresmu dengan air es"
Serena memejamkan matanya merasakan tangan Damian yang sejuk di dahinya,
kenapa lelaki ini begitu lembut dan penuh perhatian" Sudah lama sekali rasanya
sejak ada yang memperhatikan dirinya. Setelah kedua orang tuanya meninggal,
Serena selalu berjuang sendirian, tidak pernah sama sekali mengijinkan dirinya
menjadi lemah. Sekarang, perhatian yang begitu lembut dari Damian entah
kenapa membuat dadanya sesak,
"Kau sudah bisa minum obatnya" Dokter Vanesa membawakan obat untuk kau
minum, tunggu sebentar",
Damian bangkit dari ranjang dan melangkah keluar kamar,tak lama kemudian
dia kembali membawa nampan, meletakkannya di meja samping ranjang dan
membantu Serena duduk, "Kau harus makan dulu sebelum minum obat",
Aroma kuah yang sangat menggoda itu benar benar membuat air liur menetes,
serena menoleh ke atas nampan yang diletakkan di pangkuannya, semangkuk
sup jagung dan daging yang masih panas dengan aroma yang sangat enak,
"Itu bukan bubur ayam, jadi kuharap kau tidak memuntahkannya", ada nada geli
dalam suara Damian, Mau tak mau Serena tersenyum karena ternyata Damian masih teringat
percakapan mereka kemarin.
Dengan pelan dia berusaha mengangkat sendok sup itu, tapi Damian
menahannya, "Aku suapi", gumamnya sambil mengambil sendok itu.
Wajah Serena memerah canggung, tapi ketika Damian mengarahkan sendok itu
ke mulutnya ahkirnya dia membuka mulutnya pelan,
Dengan tenang damian menyuapi Serena, setelah selesai dia meletakkan
mangkuk kosong itu ke sebelah ranjang,
"Ada yang menempel di bibirmu", tanpa disangka Damian mendekatkan
wajahnya, lalu menjilat sudut bibir Serena dengan lembut, "sekarang sudah
bersih", Damian terkekeh melihat wajah Serena yang merah padam.
"Te...terimakasih" gumam Serena terbata-bata.
Tiba-tiba saja Damian meraih pundak Serena dan menciumnya, ciuman yang
sangat dalam dan membakar, seolah-olah ingin melumat bibir Serena sampai
habis, lama sekali Damian mencium Serena, sampai napas mereka berdua
terengah-engah ketika Damian melepaskan ciumannya,
"Sama-sama", gumam Damian dengan parau kemudian, "kalau begitu minum
obatmu, setelah itu kau harus tidur lagi."
Dengan patuh Serena berbaring lagi di ranjang dan membiarkan Damian
menyelimutinya. Lelaki itu lalu duduk di ranjang di samping Serena dan menyalakan notebooknya
lagi, lalu mulai tenggelam dalam pekerjaannya.
Serena termenung agak lama, Damian tidak menyentuhnya malam ini, tetapi
lelaki ini tetap bermalam di apartement ini untuk merawatnya. Ternyata di balik
sikap kejam dan arogannya, Masih ada sisi baik di jiwanya.
Dengan pemikiran seperti itu, Serena kembali tertidur lelap.
*** Paginya dia terbangun dengan kondisi demam yang lebih parah, sepertinya
pertahanan tubuhnya sedang berperang melawan virus yang menyerang
tubuhnya, Damian sedang mengenakan dasinya, tapi dia segera menghampiri Serena yang
mengerang karena panas tubuhnya tak tertahankan,
Dengan cemas, dia meletakkan tangannya di dahi Serena, astaga! Panas sekali,
dengan cepat dia meraih handphonenya dan memencet nomor Vanesa,
dijelaskannya secara terperinci tentang kondisi Serena, lalu diletakkannya
termometer di tubuh Serena sesuai instruksi Vanesa,
"39 derajat!", Damian berteriak tanpa sadar, "Vanesa ! Dia panas sekali, kenapa
obat yang kau berikan kemarin tidak membuat kondisinya membaik"!"
Didengarnya instruksi-instruksi Vanesa di seberang sana,
"Baik! Akan kuminumkan lagi, apa" seka seluruh tubuhnya dengan air dingin"
Oke, kapan kau bisa kesini untuk mengecek kondisinya" Aku takut dia harus
dibawa ke rumah sakit, baik....baik, kutunggu!"
Damian mengahkiri pembicaraan, lalu memencet nomor-nomor lain, menelpon
Freddy dan jajaran direksinya, lalu memberikan serentetan instruksi pekerjaan
sebelum menutup telephon.
Dengan pelan dilonggarkan dasinya, dan digulungnya lengan kemejanya, lalu dia
berusaha mengguncang tubuh Serena,
"Bangun Serena, kau harus mandi, badanmu panas sekali."
Jawaban Serena hanya berupa erangan tak jelas dan seperti kesakitan, tentu
saja, gadis ini badannya sangat panas!
Damian melepas kancing piyama Serena pelan-pelan lalu melepas piyama itu,
sampai serena telanjang. Kulit gadis itu memerah karena suhu tubuhnya yang
panas, dengan hati-hati dia mengangkat tubuh Serena ke kamar mandi,
meletakkannya ke bathtub, lalu menyalakan keran air dingin.
Tubuh Serena langsung berjingkat ketika air dingin mengenai tubuhnya, tapi
Damian menahan, "Dingin", erang Serena dalam kondisi setengah sadar.
"Tidak apa-apa,tahan,nanti kau akan kuslimuti", bujuk Damian lembut
Setelah selesai Damian mengeringkan tubuh Serena lalu memakaikan piyamanya
yang lain untuknya, dan mengangkat Serena kembali ke tempat tidur,lalu
menyelimutinya dengan selimut yang tebal. Setelah itu dia memaksa Serena
meminum obat yang rasanya pahit dan dengan lembut meminumkan air
untuknya. Dalam kondisi setengah sadar, Serena mengamati keadaan Damian, kemejanya
setengah basah dengan dasi yang sudah dilepas dan beberapa kancing yang
terbuka sementara jasnya tergeletak begitu saja di sofa,
"Kau.....ti..dak ..ke kan..tor?", tanya Serena lemah.
Damian yang sedang membuka kancing kemeja dan melepaskan kemejanya
yang basah menoleh dan tersenyum tipis,
"Bagaimana mungkin aku meninggalkanmu dalam kondisi seperti ini sendirian?"
"Aa...aaku tidak mau...merepotkan...mu", gumam Serena lagi, "i..ni cuma
demam bia..sa..nanti juga sembuh"
Damian mengganti kemejanya dengan t-shirt santai,lalu duduk di tepi ranjang,
"Kau sekarang milikku Serena, kau tanggung jawabku, kalau terjadi apa-apa
denganmu,aku juga yang akan kesusahan bukan?", gumamnya lembut tapi
penuh makna. Wajah Serena memerah,dan memalingkan wajah, tapi itu membuat Damian
tidak dapat menahan diri, diraihnya dagu Serena menghadapnya, tubuhnya
setengah menindih tubuh Serena, lalu dilumatnya bibir serena dengan dalam dan
penuh gairah, nafas mereka menjadi panas.
Dan Damian hampir kehilangan kendali diri, dengan sekuat tenaga diangkatnya
bibirnya, napasnya terangah-engah. Tubuhnya menegang, berteriak ingin
dipuaskan kebutuhannya, tapi Damian menahan diri.
Demi Tuhan !!! Gadis ini sedang sakit!
Serena merasakan gairah Damian yang bangkit, semalam lelaki ini menahan diri
untuk tidak menyentuhnya, padahal Serena tahu Damian punya kebutuhan fisik
yang sangat besar. Melihat lelaki ini menahan diri sampai menggertakkan gigi
menyentuh hati serena. Tanggannya menyentuh pipi Damian,
memejamkan mata menempelkan pipinya
A Romantic Story About Serena Karya Santhy Agatha di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tidak apa-apa", gumam Serena lembut.
tak disangka Damian langsung Mata itu terbuka bagaikan api biru yang menyala-nyala,
"Kau sedang sakit!" geramnya.
Serena tersenyum lalu merangkulkan lengannya ke leher Damian,
"Tidak apa-apa."
Dan Damian menyerah pada gairahnya, sambil mengerang dilumatnya bibir
Serena lagi, dan mereka pun tenggelam dalam gairah yang panas.
Panas tubuh Serena karena demam, menyatu dengan panas tubuh Damian
karena gairah, tubuh mereka menyatu ketika Damian menghujamkan dirinya
dengan lembut, mengerang karena merindukan kenikmatan itu, kenikmatan
ketika tubuh Serena yang selembut sutra melingkupinya, meremas
kejantanannya, membuatnya melayang.
Damian tidak pernah kehilangan kontrol sebelumnya. Dia tidak pernah tidak bias
menahan dirinya untuk bercinta dengan seorang perempuan. Tidak pernah.
Sampai dia bertemu Serena. Gadis mungil ini menjungkirbalikkan dunianya.
Mengancamnya akan kehilangan kendali diri. Dan Damian tahu dia sudah tidak
bisa melepaskan dirinya lagi.
*** Julukan bajingan menjijikkan saja belum pantas untukku. Damian merenung
sambil menatap Serena yang terbaring telanjang,tertidur pulas berbantalkan
lengannya. Obatnya mungkin sudah bereaksi, atau dia kelelahan gara-gara perbuatanmu
dasar bajingan! Damian mengutuk dirinya sendiri. Tega-teganya dia memuaskan
nafsunya atas tubuh Serena yang sedang sakit!
Tapi kelembutan Serena saat membisikkan kalimat "tidak apa-apa" benar benar
membuatnya lepas kendali.
Damian menggertakkan giginya, dia tidak boleh lepas kendali lagi!
Dengan lembut diletakkannya kepala Serena di bantal,dan diselimutinya tubuh
telanjang Serena dengan selimut tebal. Saat itulah bel apartementnya berbunyi,
Damian mengernyit lalu meraih jubah tidurnya yang tersampir di kursi.
Ketika melihat dari lubang di atas pintu,dia melihat Vanesa dan Freddy berdiri
disana,dengan enggan dia membuka pintu apartemennya dan berkacak
pinggang di pintu yang terbuka,
"Kenapa kalian bisa datang berdua disini?" tanyanya curiga.
Vanesa mengangkat alisnya,
"Sungguh penyambutan tamu yang tidak sopan, kau kan yang meminta aku
datang?" Damian menatap Vanesa sekilas lalu menatap Freddy yang sedang tersenyum,
"Dan kau" Kenapa kemari?"
Freddy hanya menunjukkan setumpuk berkas kepada Damian,
Sambil menarik napas panjang Damian membuka pintu lebar-lebar dan
mempersilahkan masuk, "Silahkan masuk kalau begitu. Freddy, ijinkan aku berganti pakaian yang pantas
sebelum melihat berkas-berkas itu, oya Vanesa, Serena masih tidur."
"Tidak hanya tidur kurasa", Vanesa memandang penampilan Damian yang acakacakan
dengan tatapan mencela. Dan ketika Damian tidak membantah melainkan hanya tersenyum kecut,
matanya membelalak tidak percaya,
"Maksudmu...kau..?", Vanesa kehilangan kata-kata, "astaga Damian tidak
kusangka kau menjadi maniak seks separah itu sampai tega-teganya meminta
gadis yang sedang sakit untuk melayanimu!!!", serunya blak-blakkan, "mana dia"
aku harusnya merekomendasikan dia dirawat di rumah sakit, bukannya disini,
kalau disini bersamamu sepertinya dia bukannya sembuh malahan tambah
parah!!!" Freddy tampak tidak peduli dengan pertengkaran dua orang di depannya, dia
sibuk melihat-lihat ruangan apartement itu,
"Wah, apartement yang bagus...mungkin aku bisa beli satu disini ", Gumamnya
santai. Damian melotot ke arahnya, lalu dengan sebal melangkah ke kamar, Vanessa
mengikutinya. Serena sedang tertidur pulas saat Vanessa mendekat ke arahnya, dan
menyentuh dahinya, "Panasnya seperti api, mungkin aku harus membawa sample darahnya ke Lab
untuk memastikan dia tidak terkena demam berdarah....",
Vanessa mengernyit menyadari Serena telanjang di balik selimutnya, "Aku masih
tidak habis pikir kau menidurinya pada saat seperti ini.....aku tak tahu dia
siapamu Damian, setahuku kau masih berpacaran dengan artis cantik itu dan
sekarang tiba2 kau sudah tinggal serumah dengan karyawanmu sendiri......."
"Tidak tinggal serumah,aku tinggal di rumahku sendiri, apartemen ini kubelikan
untuknya." Vanessa mengangkat alisnya,
"Oh ya" Kalau begitu berapa malam kau di rumahmu sendiri dan berapa lama
kau tidur disini?", dengan cekatan, Vanessa memeriksa Kondisi Serena dan
menyiapkan suntikan dari tas kerjanya untuk mengambil sample darah Serena.
Sementara itu Damian kehabisan kata-kata untuk menjawab pertanyaan
Vanessa, "Kau benar", Damian mengangkat bahu, "Sejak tidur bersamanya pertama kali,
aku tidak pernah membiarkannya tidur sendirian lagi tiap malam"
"Bagaimana ceritanya kalian bisa menjalin hubungan", seingatku tingkat peluang
pertemuan antara sang CEO dan staff biasa sangat kecil. Sebenarnya sampai
sekarangpun aku masih bertanya-tanya Damian, Freddy juga tidak mau
menjelaskan apapun, kukira......"
"Bukan urusanmu Vanessa, tidak ada yang aneh dalam hubungan ini, dua orang
setuju untuk saling memenuhi kebutuhan itu saja, dan aku menolak menjawab
apapun kepadamu", Damian menjawab dengan tajam.
Vanessa mengangkat bahu lalu melanjutkan memeriksa Serena lalu menuliskan
resep. "Diagnosa awal hanya flu biasa, tapi lebih lanjut menunggu hasil tes darah. Aku
akan menuliskan resep obat dan antibiotiknya. Tiga hari sekali Damian, dan
ingat, dia harus istirahat. Tahan nafsumu, jika kau tidak bisa menahannya, cari
perempuan lain." *** Serena terbangun dengan rasa mual dan sakit di sekujur tubuhnya. ketika dia
membuka matanya, dia melihat perempuan yang sangat familiar di duduk di
ranjang sebelahnya, "Dokter Vanessa?"
Vanessa tersenyum, "Yah, Damian memintaku datang memeriksamu. Dia dan Freddy, para lelaki
sedang membicarakan masalah bisnis di ruang depan dan aku memutuskan
menunggumu sadar di sini, bagaimana kondisimu?"
Serena berusaha keras mengeluarkan suaranya,
"Mual....pa...nas..", gumamnya serak,
Vanessa memegang dahi Serena, panasnya seperti api,
"Kemari, aku akan membantumu meminum obat."
dengan cekatan Vanessa membantu Serena meminumkan obatnya, lalu
membaringkan Serena lagi dan merapikan selimutnya. Keduanya menyadari
bahwa Serena telanjang di balik selimutnya,
wajah Serena langsung merah padam.
Vanessa menatap Serena penuh pengertian.
" Dia memang kadang kadang sangat egois,kau tahu, terbiasa menjadi bos sejak
dia lahir. Dia bisa dibilang masih keturunan aristokrat dari keluarga
berpengaruh di Jerman, sejak dulu dia sudah terbiasa keinginannya dipenuhi....",
Vanessa mengedipkan sebelah matanya, "Kau tahu, saat pertama mengenalnya
aku sangat tidak menyukainya"
Serena tersenyum malu-malu,
"Saya juga ", jawabnya pelan.
Vanessa tertawa mendengarnya,
"Tapi walau pun begitu kau tidak boleh menuruti kemauannya seperti itu, kau
berhak menolak, kau tahu itu kan?"
Sebelum Serena sempat menjawab, Damian, yang entah kapan sudah berada di
ruangan itu berdehem keras, dengan sengaja.
"Vanessa, bukannya kau harus segera membawa sample darah itu ke lab?",
gumam Damian datar, tapi matanya memperingatkan.
Vanessa tersenyum miring, lalu mengangkat bahu dan tersenyum pada Serena,
"Sepertinya dokter sudah diusir, obatnya ada di meja Damian beserta cara pakai,
kutinggalkan resep kalau2 obatnya habis, besok aku akan mengabarimu tentang
hasil labnya". Vanessa mengangguk pada Serena mengangkat tasnya dan berjalan pergi, pada
saat berhadapan dengan Damian di pintu keluar, dia menatap tajam,
"Ingat Damian, dia harus istirahat kalau mau sembuh", gumamnya tegas
sebelum melangkah pergi, Damian menatap pintu yang tertutup di belakangnya lalu mengangkat bahu dan
tersenyum pada Serena, "Kadang-kadang aku merasa dia masih membenciku sampai sekarang."
Serena tersenyum lemah pada Damian yang menuang segelas air dari teko di
meja samping ranjang, "Apakah kau haus " ayo, aku akan membantumu minum."
Dengan cekatan Damian membantu Serena duduk, beberapa kali selimut melorot
dari dada Serena, hingga Serena harus mencengkeramnya, tapi Damian
mengabaikannya, sama sekali tidak melirik ketelanjangan Serena, rupanya lakilaki
itu bertekad untuk membiarkan Serena beristirahat.
Setelah membantunya minum, Damian menyentuh dahi Serena dengan lembut,
dan mengernyit karena badannya sangat panas,
"Maaf", Serena tiba-tiba merasa bersalah, dia jarang sakit, tapi kali ini
sekalinya sakit sangat parah sehingga harus bergantung pada belas kasihan Damian,
Wajah Damian melembut, "Minta maaf karena sakit ?", Damian menarik napas, "kau benar-benar gadis
aneh", Damian tersenyum miris, "Oke, obat itu akan membuatmu mengantuk,
aku akan memesan makanan, jd begitu bangun kau bisa makan."
Serena mengernyit mendengar kata makan karena dia merasa sangat mual,
Damian menatap Serena dengan tatapan tegas seperti seorang ayah memarahi
anaknya, "Kau harus makan", gumamnya tegas, "Tidurlah", lalu lelaki itu berbalik dan
melangkah keluar kamar. Serena meringkuk dibalik selimut, obat itu membuatnya nyaman dan mengantuk,
sangat mengantuk. *** Damian duduk di tepi ranjang, dan mengamati Serena, panasnya sudah agak
turun dan gadis itu tidur seperti bayi, entah kenapa dan sejak kapan dia merasa
kalau gadis kecil ini menjadi begitu penting baginya. Mungkin karena kedekatan
mereka selama ini, Damian tidak pernah membiarkan orang lain sedekat dengan
dirinya. Tiba-tiba bunyi getaran disamping ranjang mengejutkan Damian, ponsel kecil itu
bergetar dan Damian mengernyitkan keningnya, ponsel milik Serena" Dia baru
pertama melihatnya, karena Serena tidak pernah menggunakannya di depannya.
Dan yang terlintas pertama kali di otak Damian ketika melihat ponsel itu adalah,
dia harus membelikan Serena ponsel yang lebih baik.
Ponsel itu terus bergetar, rupanya penelpon di seberang sana tidak mau
menyerah, Damian meraih ponsel itu karena tidak mau getarannya mengganggu
Serena yang sedang tertidur lelap.
Suster Ana" Damian mengernyit membaca nama penelphon di ponsel itu,
sebelum mengangkatnya, "Serena?", suara diseberang telephone langung menyahut cemas, "maafkan aku
karena menelephone,aku cemas karena kau sudah dua hari tidak kemari dan
tidak ada kabar sama sekali darimu, padahal kau tidak pernah melewatkan satu
haripun, apakah kau baik baik saja?"
Jeda sejenak, Damian ragu untuk bersuara, tetapi kemudian dia bersuara,
"Maaf, Serena sedang tidur", ketika Damian bersuara, dia mendengar suara
terkesiap diseberang sana, sepertinya lawan bicaranya sangat terkejut
mendengar dia yang menyahut,
"Oh...maaf....", suster Ana tampak kehilangan kata-kata.
"Serena sedang sakit, dua hari ini dia demam tinggi, mungkin besok saya akan
memberitahunya kalau anda menelephone", lanjut Damian tenang dan tanpa
memperkenalkan dirinya, tentu saja dia tidak berniat memperkenalkan dirinya.
"Oh, baiklah, terimakasih", suara diseberang terdengar sangat gugup, lalu
telephone ditutup dengan begitu cepat sehingga Damian mengernyit.
Ada yang aneh, wanita diseberang itu memang kaget mendengar suaranya,
tetapi tidak ada kesan bertanya-tanya mendengar suara Damian yang menjawab
telephone. Apakah wanita diseberang itu mengetahui siapa Damian " Dan apa
yang dimaksud dengan datang setiap hari dan tidak pernah melewatkan satu
haripun" Datang kemana" Untuk apa"
Pertanyaan-pertanyaan itu memenuhi kepala Damian
menyadari bahwa dia tidak tahu apa-apa tentang Serena.
dan membuatnya *** Vanessa sedang duduk di bar bersama dengan Freddy, lalu mengernyit,
"menurutmu apakah bos kita itu sudah main hati?"
Freddy menyesap minumannya,
"Apa maksudmu?"
"Gadis kecil itu, Serena"
Hening sejenak dan Freddy menyesap minumannya lagi,
"Menurutku Damian sudah gila", gumamnya dengan nada tidak setuju," Dia
sudah bertindak di luar kehati-hatiannya yang biasa menyangkut gadis itu."
Vanesa menolehkan kepalanya ke Freddy dengan penuh rasa ingin tahu,
"sebenarnya aku sangat penasaran dengan hubungan mereka, menurutku
Damian menyimpan perasaan yang dalam...."
"Ralat, nafsu yang dalam", sela Freddy, "Damian sudah merasakan nafsu yang
dalam ketika melihat gadis itu pertama kalinya dan menginginkannya. Dan gadis
itu, Serena, dia memanfaatkan itu dengan menjual dirinya kepada Damian",
gumamnya jijik. Vanessa mengernyit lagi, "Serena tidak kelihatan seperti gadis yang sengaja menjual dirinya"
"Dia menjual dirinya seharga tiga ratus juta. Aku sendiri yang membuatkan
kontrak perjanjian jual beli yang konyol itu, setelah itu Damian masih
membelikan apartemen untuk tempat dia tinggal, dan bahkan berencana
melunasi hutang gadis itu yang hampir 40juta di perusahaan, aku sudah
menasehatinya kalau dia mulai berlebihan, tapi Damian tidak peduli", gumam
Freddy frustasi. Vanessa merenung dengan serius, tiga ratus juta" Itu uang yang tidak sedikit
untuk perempuan seumuran Serena. Dan gadis itu juga berhutang 40 juta di
perusahaan, sungguh pengeluaran fantastis untuk gadis dengan penampilan
sederhana seperti Serena,
"Menurutmu untuk apa uang itu" Kalau untuk bermewah-mewah sepertinya tidak
mungkin, gadis itu tinggal di tempat kost sederhana, pakaian dan barangbarangnya
tidak ada yang bermerk, dia juga selalu naik kendaraan umum ke
kantor", gumam Vanessa pelan.
Freddy menoleh dan mengangkat alisnya,
"Untuk seorang dokter perusahaan, tampaknya kau tahu banyak"
Vanessa tertawa pelan, "Tentu saja, aku banyak berhubungan dengan karyawan kau tahu. Freddy,
tampaknya kau tidak boleh terlalu berprasangka dulu pada Serena", Vanessa
berubah serius, "Damian bukan orang bodoh, dia tidak akan membiarkan dirinya
dimanfaatkan, kecuali dia melakukannya dengan sukarela"
"Dia mabuk kepayang, lelaki yang mabuk kepayang tidak akan menggunakan
akal sehatnya, dan kalau hal itu mulai keterlaluan, aku sendiri yang akan
memperingatkan Serena", gumam Freddy dengan penuh tekat.
Vanessa diam saja, memahami betapa dalamnya rasa persahabatan antara
Freddy dan Damian, dan betapa Freddy sangat ingin menjaga sahabatnya itu.
Tetapi ada sesuatu yang mengganggu pikirannya, sesuatu tentang Serena, gadis
itu terasa familiar tetapi Vanessa tidak bisa mengingatnya, kapan" Dimana"
*** Serena mulai sembuh, meskipun dia belum bekerja, Damian tidak
mengijinkannya. Laki-laki itu bersikeras bahwa Serena belum boleh bekerja, dan
A Romantic Story About Serena Karya Santhy Agatha di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dia memerintahkan dokter Vanessa menghubungi langsung atasan Serena
sehingga tidak masuknya Serena selama empat hari ini tidak akan menjadi
masalah. Well, besok dia harus masuk, dia sudah sehat, itu hanya flu biasa dan dengan
perawatan Damian yang sengat intensif disertai dengan obat dari dokter Vanessa
yang sangat manjur, dia sudah merasa cukup kuat hari ini.
Dan Serena merindukan Rafi, sudah empat hari dia tidak ke rumah sakit,
kemarin tubuhnya masih terlalu lemah, tetapi sekarang dia sudah agak kuat dan
tidak sabar ingin segera melihat Rafi,
Suster Ana menelephon dan menceritakan perihal Damian yang mengangkat
telephonnya pada waktu Serena tertidur, sekaligus meminta maaf jika dia sudah
hampir membuka rahasia Serena.
Setelah itu, Serena bersikap hati-hati kepada Damian, menunggu lelaki itu
bertanya kepadanya. Tetapi Damian besikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
Jadi Serena berpikir Damian tidak menganggap telephone dari suster Ana itu
sebagai sesuatu yang serius.
Serena sudah berpakaian rapi, saat itu jam lima sore, Damian masih akan pulang
jam sembilan malam, jadi dia masih punya waktu lebih dari cukup untuk
menengok Rafi. Dengan riang karena akhirnya bisa berkunjung lagi ke rumah sakit, Serena
berjalan dan membuka pintu keluar apartemennya, hanya untuk berhadapan
dengan sosok Damian yang akan membuka pintu untuk masuk, Damian
mengamati Serena yang berpenampilan rapi,
"Mau kemana?", tanyanya langsung.
Sejenak Serena terperangah tak menyangka akan berhadapan dengan Damian,
matanya mengerjap gugup. "Serena?", Damian mengulang pertanyaannya dalam matanya.
"Eh aku...", Serena mengerjap lagi, "aku mau membeli bahan makanan di
supermarket", gumamnya, mengucapkan hal pertama yang terpikir di dalam
benaknya. Damian mengernyit, "Kau masih sakit, tidak boleh keluar-keluar, kau bisa membeli bahan makanan itu
besok, lagipula aku sudah membawa makanan", Damian menunjukkan kantong
kertas di tangannya dan melangkah masuk lalu menutup pintu apartement,
ketika dirasakannya Serena masih terpaku dia menoleh dan mengangkat kantong
makanan itu, "Kau tidak mau menatanya di piring sementara aku mandi?", tanyanya lembut,
Serena tergeragap, dan mengangguk, lalu menerima kantong itu dari Damian,
Ketika Damian melangkah ke kamar dan mandi, Serena menata makanan di
dapur dengan frustasi, kenapa Damian sudah pulang sore-sore begini" kenapa
waktunya begitu tidak tepat"
Serena menyempatkan diri menghubungi Suster Ana dan menjelaskan perihal
batalnya kunjungannya ke rumah sakit, untunglah suster Ana mengerti lalu
menjelaskan secara singkat kondisi Rafi yang stabil sehingga kemungkinan
operasi ginjalnya bisa dilakukan beberapa hari lagi. Serena merasa sangat lega
mendengarnya, dengan cepat dipanjatkannya doa permohonan untuk Rafi lalu
melanjutkan menata makanan itu.
Semua masakan yang dibeli Damian tampak hangat dan menggiurkan sehingga
mau tak mau menggugah selera Serena,
"Kau pasti menyukainya, itu menu andalan dari restaurant favoritku", Damian
masuk kedapur dengan mengenakan pakaian santai, dia sudah bertransformasi
dari pebisinis yang dingin ke lelaki yang lebih mudah didekati.
"Mana kopiku?", gumamnya disebelah Serena,
Damian berdiri begitu dekat hingga membuat Serena gugup, dengan ceroboh dia
hampir melompat menjauh dari Damian, membuat lelaki itu mengangkat sebelah
alisnya sambil menatap Serena,
"A....akan kubuatkan", gumam Serena dengan pipi merah padam.
"Tidak, nanti saja akan kubuat sendiri, kemarilah aku belum memeriksamu sejak
tadi", Damian merentangkan tanggannya sambil bersandar di meja dapur.
Serena memandang ragu-ragu ke tangan Damian yang terentang, lalu beralih
kemata Damian yang menyiratkan perintah tanpa kata-kata.
Dengan ragu dia melangkah mendekat ke arah Damian, lelaki itu langsung
merengkuhnya ke dalam pelukannya,
"Hmmmm kau harum seperti aroma bayi", gumam Damian tenggelam disela sela
rambut Serena. Damian juga harum, pikir Serena dalam hati, aroma sabun dan aftershave,
aroma yang sudah familiar dengannya dan mau tak mau Serena merasa nyaman
ada di dalam pelukan Damian,
Mereka berdiri sambil berpelukan beberapa lama, tanpa suara tanpa kata-kata,
Ketika akhirnya Damian mengangkat kepalanya dan menatap Serena, matanya
tampak membara, "Kau sudah tidak demam lagi", suaranya terdengar serak, dan Serena mengerti
artinya, Damian sudah terlalu lama menahan diri, lelaki itu tidak menyentuhnya
selama tiga malam, dan mengingat besarnya gairah Damian kepadanya,
sepertinya itu sudah hampir mencapai batas maksimal pengorbanan Damian.
Serena sangat mengerti. "Iya, aku sudah tidak demam lagi", balas Serena lembut.
Damian mengerang lalu menekankan tubuhnya makin rapat pada tubuh Serena,
hingga kejantanannya yang sudah mengeras menekan Serena membuat pipi
Serena memerah. Dengan lembut Damian mengusap pipi Serena,
"Begitu liar di ranjang, tapi masih bisa memerah pipinya ketika kugoda", dengan
lembut Damian meniupkan napas panas di telinga Serena, membuat tubuh
Serena menggelenyar, "Apakah aku juga bisa membuat yang di bawah sana
merona ketika kugoda?"
Tangan Damian menyentuh Serena dengan lembut, membuat napas Serena
terengah, jemari yang kuat itu menelusup ke dalam, menyentuh Serena dan
menggodanya, membuatnya basah.
Damian mendorong Serena ke atas meja dapur membuka pahanya, lalu dengan
cepat membuka celananya dan menyatukan dirinya dengan Serena.
Kerinduannya begitu dalam sehingga kenikmatan yang terasa begitu menyengat
seakan-akan jiwanya dipukul dengan tabuhan percikan orgasme tanpa ampun.
Entah hati mereka saling berseberangan, tetapi ternyata tubuh mereka saling
membutuhkan. Serena setengah terbaring di atas meja dapur dengan tubuh
Damian melingkupinya, Lelaki itu membutuhkannya dan Serena dengan caranya
sendiri membutuhkan Damian. Ketika paha mungil Serena melingkupi pinggang
Damian, Damian menekankan dirinya kuat kuat, menggoda batas pertahanan
Serena. "Damian...", Serena merintih, tanpa sadar mengucapkan nama Damian, dan
ucapan itu bagaikan musik hangat di telinga Damian,
"Ya manis, katakan manis, kau ingin aku berbuat apa?", bisik Damian parau
disela tubuhnya yang bergolak untuk memuaskan Serena, di sela napasnya yang
tersengal yang terpacu cepat. "Kau ingin aku memuaskanmu ya" Aku akan
memuaskanmu manis, aku akan memuaskanmu sampai kau tidak akan pernah
bias menemukan kepuasan yang sama dari siapapun.", Dengan posesif Damian
menekan Serena menyatakan kepemilikannya,
"Kau tidak akan pernah menemukan lelaki lain...", suara Damian tercekat ketika
hantaman orgasme melandanya, membawa Serena ikut dalam pusaran puncak
kenikmatannya. Dan akhirnya, mereka baru menyantap makan malam hampir lewat tengah
malam. *** Ruangan itu sangat sunyi, hanya suara alat-alat penunjang kehidupan yang
berbunyi secara teratur. Serena duduk disana, disamping ranjang Rafi, menatap Rafi yang terbaring
dengan damai. Dua jam lagi operasi ginjal Rafi akan dilaksanakan.
Kau harus kuat bertahan ya" demi aku kau harus bertahan, kau harus bertahan,
demi aku Rafi... Berkali-kali Serena merapalkan kata-kata itu seperti sebuah doa yang tidak ada
putus-putusnya. Rafi tampak lebih kurus, dan pucat, dan begitu diam, tetapi Serena meyakini
masih ada kekuatan hidup yang tersembunyi di dalam tubuh Rafi, Serena
mempercayainya. Serena percaya kepada Rafi, seluruh harapannya masih
bertumpu kepada kepercayaannya itu.
Kemungkinan keberhasilan operasi itu adalah 40:60, dan Serena bergantung
kepada 40% itu. Dia percaya Rafi adalah lelaki yang kuat, buktinya dia sudah
berhasil bertahan sampai sejauh ini.
Suster Ana masuk ke dalam ruangan, dan menyentuh pundak Serena.
"Kondisinya stabil Serena, aku yakin dia akan berhasil melalui ini semua."
"Iya suster, Rafi pasti kuat."
Suster Ana mengecek denyut nadi Rafi lalu menatap Serena seolah teringat
sesuatu. "Bagaimana kau berpamitan dengan Mr. Damian?"
Serena merona. "Aku bilang menemani teman yang akan melahirkan," gumamnya pelan, merasa
berdosa karena tidak biasa berbohong.
Hari ini hari minggu, Damian kebetulan berencana melewatkan waktunya
seharian dengan Serena. Tetapi dengan alasan palsu dan kebohongan yang
terbata-bata, Serena berhasil membuat Damian melepaskannya.
Meskipun dahi Damian tampak berkerut curiga ketika Serena berpamitan tadi
pagi. "Kalau begitu kenapa kau tak mau kuantar?" kejar Damian tadi pagi ketika
Serena menolak tawarannya.
"Karena temanku ini mengenalmu sebagai bosku, nanti dia bisa mengetahui
semuanya." jawab Serena cepat-cepat.
Lelaki itu mengerutkan keningnya lagi, tidak puas.
"Apakah dia salah satu pegawaiku?"
"Bukan!" Serena langsung menyela keras, karena setelah mengenal Damian lebih dekat,
Serena tahu, jika dia menjawab 'iya', maka Damian pasti akan menyuruh salah
satu staf personalianya untuk mengecek apakah benar ada karyawannya yang
akan melahirkan, dan dia akan mendapati kalau Serena berbohong.
"Dia bukan pegawaimu, tapi dia banyak mengenal teman-teman kantor dan dia
tahu tentangmu, jadi kalau dia melihatmu dia bisa bertanya-tanya kepada yang
lain...." "Oke, kalau begitu di Rumah Sakit mana?"
Serena kehilangan kata-kata, berusaha mencari jawaban.
"Eh...aku tidak tahu di Rumah Sakit mana."
Dengan cepat Damian menghindari tatapannya. melangkah ke hadapan Serena yang berusaha "Kau bilang akan menemani temanmu itu di Rumah sakit, bagaimana mungkin
kau tidak tahu di mana rumah sakitnya?"?"
"A...aku...", dengan gugup Serena menelan ludah, "Aku akan menunggu di kost
yang lama, suaminya akan menjemputku nanti" , disyukurinya jawaban yang
terlintas cepat di otaknya, Dia jarang berbohong, dan tidak pandai berbohong,
sementara Damian terlihat seperti seorang detektif yang mencurigai tindakan
kriminal yang dilakukan di belakangnya.
"Suaminya?" Jawaban itu sepertinya membuat Damian tidak senang karena ekspresi wajahnya
semakin menggelap. "Kau membiarkan suaminya menjemputmu" kalian hanya berdua di jalan?"
Serena merasa gugup, tapi kemudian dia merasa ingin tertawa mendengar
perkataan Damian yang terasa aneh.
"Damian," gumam Serena jengkel, " Dia seorang suami, dan isterinya akan
melahirkan anaknya, apa yang ada di dalam pikiranmu?"
Perkataan itu membuat pipi Damian merona, dan dia melangkah mundur.
"Ah ya...maaf," lalu lelaki itu menatap Serena tajam, " Kau boleh pergi, tapi
begitu sampai di rumah sakit itu kau harus menghubungiku"
"Ya," jawaban Serena terlalu cepat sehingga Damian menatapnya makin curiga.
"Kau harus menghubungiku, Oke?"
"Oke", jawab Serena terlalu cepat.
"Serena!" Suara Damian terdengar jengkel.
"Oke, Aku janji." Jawab Serena akhirnya.
"Dan sebelum jam delapan malam kau harus pulang."
"Baik Damian", Serena berjanji meski tidak tahu apakah dia bisa menepatinya.
Dan sekarang, dengan sengaja Serena mematikan ponselnya. Bagaimanapun
kemarahan Damian nanti akan ditanggungnya, sekarang yang paling penting
adalah Rafi. "Sudah waktunya", gumam suster Ana, membuyarkan lamunan Serena.
Dua perawat lain masuk ke ruangan dan mulai mempersiapkan mesin-mesin
penunjang kehidupan untuk Rafi. Lalu mulai mendorong tubuh Rafi keluar
ruangan. Serena mengikuti di belakang, sampai Rafi menghilang di pintu khusus ruang
operasi. Dengan lemah dia menoleh ke suster Ana,
"Berapa lama suster operasinya?" Suster Ana memeluk Serena lembut.
"Untuk operasi berat seperti ini, minimal 4 jam Serena."
*** 4 jam 5 jam 6 jam ...... Napas Serena mulai terasa sesak, berkali kali dia melirik lampu di atas pintu
ruang operasi. Tetapi tetap tidak ada gerakan di sana. Di setiap detik yang
terlewatkan dengan begitu lambat, napas Serena terasa makin lama makin
sesak. Kenapa lama sekali?" Apa yang terjadi" Apakah para dokter mengalami
kesulitan" Bagaimana kondisi Rafi disana"
Pertanyaan-pertanyaan itu berkecamuk di dalam benak Serena, membuatnya
makin cemas dan ketakutan.
Suster Ana sudah berkali-kali menengok keadaan Serena di sela-sela tugas
jaganya, membawakan Serena segelas teh dan makanan kecil karena Serena
tidak mau makan. "Makanlah dulu Serena. Aku tidak mau kau pingsan nantinya." gumam suster
Ana sambil memijit lembut pundak Serena.
Dengan lemah Serena menggeleng. "Tidak bisa suster, aku terlalu cemas untuk
makan." "Kalau begitu minumlah tehmu, kau sama sekali belum makan sejak tadi,
setidaknya teh manis bisa memberikanmu sedikit tenaga."
Dengan patuh Serena meneguk teh manisnya, lalu menatap ke pintu lagi dengan
cemas. "Kenapa lama sekali suster operasinya?"
Suster Ana menghela napas.
"Aku tidak tahu Serena, tapi Rafi kan kasus khusus, para dokter harus benarbenar
berhati-hati menanganinya, mungkin itu yang memerlukan waktu lebih
lama." Pandangan Serena tetap tidak terlepas dari pintu ruang operasi.
Ketegangannya semakin meningkat, ketika lampu di atas pintu ruang operasi
menyala, tanpa sadar dia terlompat dari tempatnya berdiri dan setengah berlari
menyongsong dokter. Dokter itu tersenyum sebelum Serena bertanya, dia mengenal Serena, mengenal
kegigihan gadis itu memperjuangkan kehidupan tunangannya. Dan tanpa sadar
turut merasakan empati pada pasangan itu.
"Tidak apa-apa Serena, Rafi lelaki yang kuat, operasinya berhasil."
Tubuh Serena langsung lunglai penuh rasa syukur hingga sang dokter harus
menopangnya. "Selamat Serena, kamu berhasil... Kalian berdua berhasil."
*** "Pulanglah dulu Serena, ini sudah hampir jam tiga pagi", suster Ana yang masih
setia menemani mengguncang pundak Serena.
Dia kasihan melihat gadis itu tertidur kelelahan di samping ranjang Rafi, begitu
Rafi keluar dari ruang pemulihan dan kembali ke kamar perawatan intensif,
Serena tak pernah beranjak dari sisi Rafi, tidak makan, tidak minum. Hanya
duduk disana mengenggam tangan Rafi yang tidak terbalut infus, seolah olah
akan ada keajaiban dimana Rafi akhirnya sadarkan diri.
Kasihan sekali kau nak, suster Ana menggumamkan rasa tersentuhnya dalam
hati.
A Romantic Story About Serena Karya Santhy Agatha di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Serena berusaha mengumpulkan kesadarannya, tanpa terasa tadi dia tertidur
karena kelelahan. "Kamu harus pulang Serena, ingat, mungkin Damian kebingungan mencarimu."
Astaga!! Astaga!! Astaga!! Ya Tuhan, Serena benar-benar lupa, Damian!!!
Astaga, lelaki itu pasti akan mencarinya dan sekarang dia pasti sedang marah
besar!!! Dengan gugup Serena bangkit dari kursinya, sedikit gemetar membayangkan
kemarahan Damian nantinya.
"Aku meminta supir rumah sakit mengantarmu pulang, jadi kamu tidak perlu naik
taksi dini hari begini", Suster Ana berusaha meredakan kegugupan Serena.
Dengan cepat Serena mengecup tangan Rafi yang masih ada dalam
genggamannya, memeluk suster Ana dan setengah berlari keluar.
*** Ruangan itu gelap. Gelap dan sunyi, hingga bunyi klik ketika Serena menutup pintu terdengar begitu
keras. Dengan gugup Serena menelan ludah.
Kenapa sepi" Kemana Damian"
Apa Damian mungkin pulang ke rumahnya" Apa mungkin dia tidak tahu kalau
Serena belum pulang" Syukurlah kalau begitu kejadiannya.
Serena berusaha menenangkan dirinya, tapi tetap saja tidak bisa
menyembunyikan rasa gugupnya menghadapi apa yang akan terjadi, seperti
hitungan mundur penantian sebuah bom yang akan meledak saja.
Dan bom itu memang meledak.
Dalam hitungan beberapa menit pintu depan terbuka, tidak, bukan terbuka, tapi
terdorong dengan kasarnya, lampu-lampu menyala.
Damian tampak begitu menakutkan, matanya menyala-nyala, rambutnya acakacakan,
bahkan pakaiannya yang biasanya selalu elegan dan rapi tampak kusut
masai. Yang pasti, lelaki itu kelihatan begitu murka mendapati Serena berdiri di
ruang tamu apartemen itu, hanya menatapnya.
Dengan gerakan kasar dia meraih pundak Serena dan mengguncangnya begitu
keras sampai Serena merasa pusing,
"Kemana saja KAU?"?""!!!", teriak Damian, lepas kendali.
Serena berusaha menjawab, tetapi kepalanya terasa pusing karena Damian
masih mengguncangnya. "Aku mencarimu ke segala penjuru, kau tahu?"?"!!! ", Damian masih berteriak.
"Semua rumah sakit bersalin di kota ini aku datangi satu persatu, tapi tidak ada
kamu!!!! Kemana saja KAU?"?""
"Damian, kalau kau terus mengguncangnya seperti itu, dia akan muntah
sebentar lagi", sebuah suara tenang terdengar di belakang Damian, membuat
lelaki itu terpaku, seolah-olah baru menyadari kehadiran sosok di belakangnya.
Freddy berdiri dengan santai sambil menyandarkan tubuhnya di dinding dekat
pintu, sepertinya menikmati pemandangan Serena yang didamprat oleh Damian.
Damian menarik napas dalam-dalam beberapa kali, berusaha mengontrol
emosinya. Sialan benar Serena!!! Sialan benar gadis ini!!! Tidak tahukah dia begitu cemas
tadi ketika sampai malam Serena tidak juga pulang?" Tak tahukah dia betapa
hati Damian dicengkeram ketakutan yang amat sangat ketika mencoba
menghubungi Serena dan menemukan bahwa ponselnya mati?""
Beribu pikiran buruk tadi berkecamuk di dalam benak Damian, bagaimana kalau
Serena kecelakaan" Atau dia menjadi korban kejahatan?""!!!! Bagaimana kalau
gadis itu terluka parah dan tidak dapat datang kepadanya untuk meminta
pertolongan?"" Dan sekarang, menemukan gadis itu berdiri di ruang tamu apartemennya, tanpa
kekurangan suatu apapun, membuat Damian dibanjiri perasaan lega yang amat
sangat, lega sekaligus murka, murka karena gadis itu telah membuatnya kacau
balau, murka karena gadis itu telah membuatnya berubah dari Damian yang
tenang menjadi Damian yang kacau, murka karena gadis itu telah menumbuhkan
sebentuk perasaan yang tidak dia kenal sebelumnya.
"Pro... Proses melahirkan temanku bermasalah.... Dia... Dia eh... Harus....
Dioperasi....", Serena masih berusaha mengumpulkan nafasnya, diguncang
dengan begitu kerasnya membuat pandangannya berkunang-kunang.
Tangan Damian yang masih berada di pundaknya mencengkeramnya kuat.
"Kalau begitu, apa susahnya meneleponku?"!!! Kenapa kau matikan ponselmu
hah?"!!", Serena mengerjapkan matanya gugup. "Baterai ponselku... Habis..."
"Memangnya tidak ada cara lain buat menghubungiku"! Aku hampir gila
memikirkan kau ada dimana!! Apa kau pikir aku tidak mencemaskanmu?"" Kau
tahu aku hampir melaporkan kehilanganmu ke kantor polisi!!! "
"Damian, sudahlah, toh dia sudah pulang dengan selamat", Freddy menyela,
berusaha lagi meredakan kemarahan Damian.
Dengan tajam Damian menoleh kepada sahabatnya itu,
"Cukup Freddy, kau boleh pulang, terima kasih sudah menemaniku tadi."
Freddy hanya mengangkat bahu menghadapi pengusiran halus itu, dia menepuknepuk
kemejanya yang juga kusut, lalu melangkah keluar pintu.
"Kau harus menenangkan otakmu, kalau kau seperti ini, makin lama aku makin
tidak mengenalmu", kata-kata Freddy ditujukan kepada Damian, tapi matanya
menatap tajam ke arah Serena, menyalahkan.
"Dan kau, Tuan Putri, lain kali belajarlah sedikit bertanggung jawab!",
sambungnya dingin sebelum melangkah keluar dan menutup pintu di
belakangnya. Ruangan itu menjadi begitu hening sepeninggal Freddy.
Damian diam. Dan Serena juga diam, menilai emosi Damian, takut salah berbicara atau
bertindak yang mungkin bisa menyulut emosi Damian semakin parah.
Setelah mengamati dengan hati-hati, Serena menarik kesimpulan kalau
kemarahan Damian sudah mulai mereda, matanya sudah tidak menyala lagi
seperti api biru, dan napasnya sudah teratur, hanya tatapan tajam dan bibirnya
yang menipis itu yang menunjukkan masih ada sisa kemarahan di sana.
"Maafkan aku," bisik Serena pelan, takut-takut.
Sejenak Damian tampak akan mendampratnya lagi, tetapi lelaki itu menarik
napas panjang, berusaha menahan diri.
"Sudahlah", gumamnya, melangkah melewati Serena memasuki kamar.
Dengan gugup Serena berusaha mengejar langkah Damian yang begitu cepat.
"Maafkan aku, aku tidak berpikir kamu akan secemas itu", tersengal Serena
berusaha menjajari langkah Damian menuju kamar. "Aku... aku terlalu terfokus
pada operasi temanku lalu aku...Damian!!", Serena setengah berseru karena
lelaki itu berjalan terus tanpa memperhatikannya.
Damian berhenti melangkah, menatap Serena, tampak begitu dingin.
"Yang penting kau sudah pulang dengan selamat", jawabnya datar.
"Damian.....?" Serena merasa ragu mendengar nada dingin di dalam suara Damian.
"Sudah! Aku mau tidur!" geram Damian marah sambil melangkah ke arah
ranjang. *** Lelaki itu marah, marah besar padanya.
Serena bisa merasakannya dari suasana pagi itu, ketika mereka bersiap-siap
berangkat ke kantor. Semalaman Serena tidak bisa tidur, dan Serena yakin Damian juga tidak tidur,
karena lelaki itu bergerak dengan gelisah sepanjang malam.
Suasana tegang di waktu sarapan pagi itu terasa seperti kawat berduri yang
direntangkan, siap putus dan melukainya.
Ia tidak menyukai suasana seperti ini, lebih baik Damian meledak-ledak marah
seperti kemarin, setidaknya semua kemarahannya terlampiaskan, tidak seperti
sekarang. Lelaki itu murka, tetapi menyimpannya sehingga membuat seluruh dirinya
tegang dari ujung rambut sampai ujung kaki.
"Kita berangkat bersama", desis Damian setelah membanting serbet makannya
ke meja. Tangan Serena yang menyuapkan roti ke mulutnya berhenti di tengah-tengah.
"Apa?" "Kita berangkat bersama-sama", ulang Damian datar.
"Tapi......" "Tidak ada tapi Serena," sela Damian kasar lalu berdiri dengan marah ke pintu,
"Ayo cepat!!!" Dengan gusar lelaki itu membukakan pintu mobil buat Serena, dan
membantingnya ketika Serena sudah duduk di kursi, tanpa dapat membantah,
tanpa dapat memberikan perlawanan.
Sepanjang jalan, lelaki itu menyetir dengan sangat kasar, seolah-olah
melampiaskan kemarahannya. Serena hanya duduk berdiam, tidak mau
melakukan apapun yang dapat memancing kemarahan Damian.
"Nanti kau pulang denganku!! Kau dengar itu?" Kau datang ke ruanganku
setelah jam kantor, kita pulang bersama!!!", gumam Damian tanpa mau dibantah
ketika menurunkan Serena di lobi kantor.
*** Hari ini berlalu dengan amat lambat bagi Serena, perasaannya tidak enak,
sampai kapan Damian akan marah padanya" Sampai kapan Damian akan
bersikap seperti ini kepadanya"
Dia tahu dia bersalah, tapi dia kan sudah meminta maaf" Lagipula kenapa
permasalahan kecil semacam ini begitu dibesar-besarkan oleh Damian"
Pemikiran itu masih berkecamuk di kepalanya ketika keluar dari lift yang
mengantarkannya ke ruangan pribadi CEO perusahaan.
Sebenarnya Serena tadi bermaksud pulang sendiri dan mampir ke rumah Sakit
menengok Rafi, memanfaatkan waktu bebasnya yang dijanjikan oleh Damian
pada waktu perjanjian awal mereka.
Tapi dengan ancaman Damian tadi pagi, Serena tidak punya pilihan lain selain
menuruti permintaan Damian untuk menemuinya di ruangannya sepulang kerja.
Meja sekertaris Damian sudah kosong, dengan pelan Serena melangkah ke pintu
besar ruangan Damian, mengetuknya pelan.
"Masuk." Sebuah suara mempersilahkannya dari dalam. Serena masuk dan menutup pintu
di belakangnya, ketika membalikkan badannya dia terpaku.
Bukan Damian yang ada di sana, tetapi Freddy, lelaki itu sedang duduk santai di
sofa, menyesap segelas brendy, menatap Serena dengan penilaian santai yang
sedikit kurang ajar. "Mr. Damian menyuruh saya kesini jam pulang kantor.", jelas Serena terbata.
Freddy tersenyum, masih duduk santai di sofa sambil menatap brendynya yang
tinggal seperempat gelas.
"Aku tahu, Damian menyuruhku menunggumu di sini, dia sedang menemui tamu
penting dari Jerman di ruang pertemuan."
"Oh." Serena tidak tahu harus berkata apa, suasana terasa sangat canggung. Entah
karena Serena memang tidak kenal dekat dengan Freddy, atau karena sikap
santai palsu yang ditunjukkan Freddy.
"Kalau begitu mungkin saya akan menunggu di luar saja", gumam Serena cepatcepat,
ingin segera meninggalkan ruangan itu.
"Bagaimana rasanya?"
Pertanyaan tiba-tiba Freddy itu menghentikan gerakan tangan Serena membuka
pegangan pintu. "Apa?" "Bagaimana rasanya menjadi wanita simpanan taipan kaya
Damian?",Freddy bangkit berdiri dari sofa dan menghampiri Serena.
seperti Serena tidak suka mendengar nada melecehkan dalam suara Freddy, dia ingin
segera keluar dari ruangan ini.
"Eh, mungkin saya harus menunggu di luar," Serena berhasil membuka pintu
sedikit, tapi dengan lengannya Freddy mendorong pintu itu tertutup lagi.
"Aku bertanya padamu Tuan Putri", ulang Freddy sinis.
Serena menatap Freddy tajam.
"Saya tidak akan membiarkan anda merendahkan saya," desisnya pelan.
Ucapan itu membuat Freddy tertawa, penuh penghinaan.
"Merendahkan katamu", bukannya kau yang datang merangkak meminta
dijadikan pelacur oleh Damian?"?", ejeknya kasar, lalu mencekal lengan Serena
tak kalah kasar, tak peduli Serena mulai meronta-ronta.
"Kau adalah wanita paling rendah, paling murahan yang pernah kukenal, kau
mungkin berhasil merayu Damian dengan tubuhmu", Freddy menyeringai sinis,
"Tak kusangka Damian bisa bertekuk lutut pada perempuan sepertimu, tapi kau
tentu sudah tahu kan" Damian terbiasa dikelilingi perempuan-perempuan
dewasa yang berpengalaman, jadi citra polos dan kekanak-kanakanmu tentu
saja menjadi hal baru yang menyegarkan untuknya."
"Anda salah ! Saya tidak begitu", Serena berusaha menyela, berusaha
melepaskan diri dari cekalan tangan Freddy, tapi genggaman lelaki itu seperti
capit besi, dan dari napasnya yang berbau brendy, sepertinya lelaki itu setengah
mabuk. "Kau tidak bisa membohongiku pelacur cilik!!", Freddy menggeram pelan, "Meski
dulu aku terpaksa membuatkan kontrak tiga ratus juta yang konyol itu, jangan
kira aku akan membiarkanmu menyetir Damian untuk membuat kekonyolan lain
yang merugikannya!!!"
"Anda salah paham!!", Serena setengah berteriak, semakin meronta dari
cengkeraman Freddy yang sangat keras.
"Kau pelacur cilik yang menjual tubuhmu seharga tiga ratus juta", Freddy mulai
merapat ke tubuh Serena. "Aku mulai bertanya-tanya, apakah hargamu sepadan dengan pelayananmu?"?"
"Tidaaak!!! Lepaskan saya!!!", Serena mulai berteriak membabi buta, berusaha
melepaskan diri dari Freddy yang semakin gelap mata.
Lelaki itu mencengkeramnya kuat, mendorongnya ke tembok dan berusaha
menciumnya dengan kasar Serena meronta membabi buta, berusaha menghindari ciuman itu sekuat tenaga,
memalingkan kepalanya seperti orang gila, dia tak mau disentuh Freddy, dia
tidak mau!!!! Damian!!! Damian!!! Tolong aku!!!!
*** Vanessa sedang duduk di ruang tamu rumahnya, merenung.
Ada yang mengganjal di pikirannya, terus mengganggu. Sesuatu yang
diketahuinya sejak dulu tapi di lupakannya.
Sesuatu tentang Serena, dia merasa dia seharusnya mengetahui sesuatu tentang
gadis itu, tapi apa"
Apa itu Vanesa " Bukankah kau merasa sudah pernah mengenal gadis itu
sebelumnya" Sebelum gadis itu bekerja di perusahaan ini " Bukankah gadis itu
terasa begitu familiar"
Dengan gelisah Vanessa berdiri, melangkah ke depan lemari putih yang
terpajang rapi di ruang tamunya....
Sebenarnya dia punya firasat Serena berhubungan dengan masa lalunya, masa
lalu yang ingin dilupakannya, karena terlalu pedih untuk diingatnya.
Kenangan tentang almarhum suaminya, Alfian.....
Dengan gemetar Vanesa membuka laci lemari putih itu, lalu mengeluarkan
sebuah kotak putih yang tidak pernah disentuhnya sejak dua tahun lalu.
Hati-hati dibukanya kotak itu dan dikeluarkannya isinya, sebuah map tebal berisi
berkas-berkas. Vanessa duduk, menarik napas panjang dan membuka map itu, isinya adalah
kliping, potongan berita-berita tentang tragedi dua tahun lalu.
Tragedi kecelakaan beruntun di jalan tol yang menewaskan Alfian suaminya.
Saat itu, dalam kesedihannya, Vanessa mengumpulkan semua berita yang
memuat tentang tragedi itu, menjadikannya satu di dalam satu map besar,
memasukkannya ke kotak, dan menyimpannya, menyimpannya bersama
segenap kepedihan yang dia rasakan.
Sekarang dia membuka lagi kotak kepedihan itu, hatinya terasa nyeri, tangannya
gemetar ketika membuka halaman demi halaman. Potongan artikel itu.
Sampai kemudian dia menemukan apa yang dia cari.
Gambar sosok itu persis sama, meski terlihat muda, rapuh dan remuk redam, itu
Serena yang sama, di gambar artikel itu, dia sedang menunduk mengenakan
pakaian serba hitam di ruang tunggu sebuah rumah sakit,
SELURUH KELUARGA TEWAS MENJADI KORBAN TABRAKAN BERUNTUN
Begitu judul artikel itu,
Disitu dijelaskan bagaimana Serena kehilangan kedua orang tuanya dan
ditinggalkan sebatang kara sendirian. Sedangkan tunangannya, seorang
pengacara bernama Rafi Ardyansyah terbaring koma tak sadarkan diri.
Tunangan?"" Koma?""
Vanesa membaca artikel itu dengan teliti, lalu mengamati background rumah
sakit pada gambar artikel Serena itu.
A Romantic Story About Serena Karya Santhy Agatha di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dia tahu rumah sakit ini karena pernah praktek lapangan disana beberapa tahun
lalu. Dengan segera dia menelephone rumah sakit itu, menggunakan berbagai
koneksi profesi dokternya untuk memperoleh info dari dokter- dokter yang
dikenalnya, Vanessa mencari informasi sebanyak-banyaknya,
dan pada akhirnya menemukan kebenaran.
Kebenaran yang pasti akan menyentuh hati siapapun yang mendengarnya.
Bahkan matanyapun berkaca-kaca karena terharu.
Tiba-tiba Vanessa teringat akan kata-kata Freddy ketika mereka makan siang
bersama tadi, mengenai rencana lelaki itu untuk memberi Serena
pelajaran....Malam ini.....
Oh Tuhan!! Dengan segera, seolah tersadarkan, Vanessa segera meraih dompet dan kunci
mobilnya, Dia harus mencegah Freddy melakukan apapun rencananya untuk memberi
pelajaran pada Serena!! Freddy sudah salah paham, dan apapun yang dilakukan lelaki itu, dia pasti akan
menyesal begitu mengetahui kenyataan yang sebenarnya!!
Vanessa harus mencegahnya sebelum terlambat!!
*** Tamu penting itu akhirnya pulang juga, beres sudah, semua berjalan sesuai
keinginannya. Damian mengacak rambutnya kesal,
Kalau begitu kenapa dia tidak merasa lega?"
Kau tahu kenapa Bisik suara hatinya, Ah ya, aku tahu kenapa. Damian mengakuinya. Serena. Cukup satu nama yang mewakili segalanya. Satu nama yang sedari tadi
menghantui pikirannya. Dia masih marah pada Serena, marah besar. Tapi bahkan meskipun dia marah,
dia tak ingin membuat Serena sedih dengan kemarahannya.
Sungguh ironis. Damian tersenyum sinis, menertawakan dirinya sendiri.
Tanpa terasa , gadis itu, Serena telah menjadi harta yang begitu berharga
untuknya. Tidak pernah dia secemas itu untuk siapapun, seperti yang dia lakukan untuk
Serena kemarin malam, Akuilah Damian, kau menyayangi gadis itu.
Suara hatinya menekannya lagi. Dan Damian tidak membantahnya, dia sudah
terlalu lelah membantahnya.
Gadis itu dengan sifat polos, jujur dan kekanak-kanakannya telah menyentuh sisi
hatinya yang tidak pernah diijinkan tersentuh oleh siapapun.
Ah ya, Serena pasti sudah menunggunya di ruangannya. Tamu penting yang
datang mendadak ini membuatnya terpaksa menghubungi Freddy agar
menunggu di ruangannya kalau-kalau Serena datang.
Membayangkan Serena sedang menunggunya membuat Damian tergesa
melangkah menaiki lift, menuju lantai pribadinya.
Dengan tenang dia membuka pintu ruangannya.
Pemandangan di depannya adalah pemandangan yang tidak disangkanya
sekaligus pemandangan yang paling tidak disukainya.
Freddy sedang berdiri menekan Serena ke tembok, memeluknya erat-erat dan
menciumnya, tubuh Serena yang mungil tenggelam dalam pelukannya.
Ketika menyadari pintu terbuka, Freddy mengangkat kepalanya, dan menatap
Damian yang terpaku di pintu, membeku seperti batu.
"Oh, hai Damian," Freddy tersenyum, mengusap bibirnya yang sedikit bengkak
karena berciuman dengan kasar, "Aku menawar gadismu ini dengan harga
beberapa juta, dan dia bersedia menemaniku selama beberapa jam, boleh kan?"
Serena yang masih berada dalam cengkeraman Freddy menjadi pucat pasi
mendengar fitnah Freddy yang begitu kejam.
Damian tidak akan percaya kata-kata Freddy kan" Damian tidak akan percaya
kan" Tapi ekspresi Damian begitu susah dibaca, lelaki itu seperti membeku.
"Dan kau tahu Damian, kau memang benar- benar tidak rugi", Freddy
menyambung, menyeringai menghina kepada Serena, "Ciumannya lumayan
WOW" "Tidak!!!", Serena akhirnya berhasil bersuara, mencoba membantah kata-kata
Damian, "Tidak!!! Ya Tuhan!! Damian!!!!"
Suara Serena berubah menjadi jeritan ketika dengan secepat kilat tanpa di
dugaduga, Damian menerjang Freddy.
Menarik laki-laki itu dengan kasar dari Serena, lalu menyarangkan pukulan keras
di rahang Freddy, kemudian di perutnya sampai Freddy terbungkuk-bungkuk
menahan sakit, Tetapi Damian masih belum puas. Dia menyarangkan lagi pukulan telak bertubitubi
ke semua bagian tubuh Freddy, tanpa memberi Freddy kesempatan
melawan, "Damian!!! Stop!! Kumohon!! Kau bisa membunuhnya!!", Serena berteriak panik
ketika Damian menghajar Freddy seperti kesetanan.
Dan terus menghajarnya, terus tanpa henti tidak peduli Freddy sudah terkulai
tanpa memberikan perlawanan. Aura membunuh memancar dari mata Damian,
menakutkan. "Damian!!!", Serena menjerit sekuat tenaga, berusaha mengembalikan akal
sehat lelaki itu. Kali ini berhasil, Damian berhenti. Matanya nyalang, napasnya terengah-engah.
Sedangkan kondisi Freddy sungguh mengenaskan, lelaki itu berbaring tak
berdaya, wajahnya penuh darah, mungkin hidungnya patah. Dan sepertinya dia
tidak sadarkan diri. "Astaga." sebuah suara tercekat yang berasal dari pintu membuat Serena dan Damian
menoleh bersamaan, Vanessa berdiri di sana, pucat pasi.
Seolah disadarkan, Damian langsung berdiri, menghampiri Serena dengan bara
kemarahan yang membuat Serena beringsut menjauh.
Lelaki itu tidak peduli, dengan kasar dia menarik lengan Serena, setengah
menyeretnya keluar ruangan.
"Sakit Damian", Serena merintih karena perlakuan kasar Damian, tetapi lelaki itu
tidak peduli, seolah tidak mendengar apa yang diserukan Serena.
Vanessa berusaha menghentikan langkah Damian,
"Damian, kau harus mendengar penjelasanku, semua ini......"
"Diam!!!", teriakan Damian yang menggelegar membuat suara Vanessa tertelan
kembali," Kau urus saja bajingan disana itu sebelum dia mati kehabisan darah!!
Dan begitu dia sadar, katakan padanya bahwa dia dipecat!!"
Damian menggeram marah sambil menyeret Serena menaiki lift.
meninggalkan Vanessa yang masih berdiri terpaku, bingung.
*** "Damian! Semua yang Freddy katakan itu bohong!", Serena berusaha
menjelaskan ketika mereka sampai di apartemen, dan lelaki itu masih
menggelandangnya dengan kasar.
Tubuh Serena dihempaskan dengan sangat kasar ke tempat tidur.
"Dia bohong Damian...", Serena tersengal, putus asa mencoba meyakinkan
Damian. "Freddy tidak pernah berbohong padaku", jawab Damian datar, tangannya
bergerak membuka kancing bajunya.
"Dia bohong...Percayalah", air mata mulai mengalir di sudut mata Serena.
"Tidak ada untungnya baginya berbohong padaku."
"Ada!!!", jerit Serena, "Dia membenciku, dia ingin menyingkirkanku...."
"Wah...Kau pikir kau seberharga itu" Kau tidak lebih dari pelacur kecil dengan
tampilan tanpa dosa....Berapa dia membayarmu untuk sebuah ciuman hah"!
Sepuluh juta?" Dua puluh juta?" Kau pikir kau bisa mendapatkan uang
keuntungan dari kami berdua ya?""
"Kumohon Damian, kau tahu dia berbohong....Kumohon...Kumohon...Percayalah
padaku...", Serena mulai panik ketika Damian melepas kemejanya, "Ke... Kenapa
kau melepas pakaianmu?"
Dengan takut Serena beringsut di ranjang mencoba sejauh mungkin dari
Damian. "Yah...Aku sudah pernah bilang kan?", lelaki itu tersenyum kejam sambil mulai
melepas ikat pinggangnya, tatapan matanya tak lepas dari Serena yang
meringkuk ketakutan seperti sekor mangsa yang menghadapi predator kejam.
"Seorang pelacur harus diperlakukan seperti pelacur!", desis Damian penuh
penghinaan. *** "Sakit", Freddy mengernyit ketika Vanessa mengusap luka di bibirnya dengan
kapas. "Kau pantas mendapatkannya", gumam Vanessa tanpa perasaan, malah semakin
kasar mengusap luka itu. Mereka baru pulang dari rumah sakit, hidung Freddy patah, dan tiga tulang
rusuknya retak sehinga harus ditahan dengan perban. Belum lagi lebam lebam di
tubuh dan mukanya. Mata Freddy sudah mulai bengkak membiru. Pukulan
pukulan yang diberikan Damian benar-benar brutal.
"Aku kan cuma membantu Damian dengan menunjukkan padanya kalau
perempuan yang di peliharanya itu cuma pelacur kecil", Freddy tampak
kesusahan bicara, tapi ia masih membela diri.
"Jangan sebut dia pelacur!!! Kau mungkin lebih kotor darinya!", potong Vanessa
marah, melemparkan kapas yang di celup alkohol itu ke samping, "Kau sudah
bertindak kejam dan gegabah pada Serena.....Astaga! Kau pasti akan menyesal
begitu mengetahui semuanya!!"
"Mengetahui apa?", kali ini Freddy mulai cemas. Vanessa tampak begitu marah
sekaligus begitu sedih. Bertahun-tahun dia mengenal Vanessa, tak pernah wanita
itu tampak begitu dikuasai emosi. Kecuali pada saat pemakaman Alfian.....
"Aku mulai ketakutan", gumam Freddy ketika Vanessa tidak berkata apa-apa,
"Mengetahui apa , Vanessa?"
"Kebenaran tentang Serena", jawab Vanessa lirih lalu mendesah seolah-olah tak
mampu melanjutkan penjelasannya, "Mungkin kau harus melihat ini dulu."
Vanessa mengambil bundelan artikel itu dari kotak putihnya, membukanya dan
meletakkannya di pangkuan Freddy.
Begitu melihat foto yang menyertai artikel itu Freddy terhenyak, dan ketika
membaca judul artikel itu yang ditulis dengan huruf besar-besar, keringat dingin
mengalir di dahinya. Dan begitu selesai membaca keseluruhan artikel itu, wajahnya benar-benar
pucat pasi. "Astaga.....", akhirnya Freddy mampu berkata-kata, suaranya lemah dan diliputi
shock yang mendalam. "Ah ya, astaga". Gumam Vanessa mengejek, "sekarang kau mengerti kan kenapa
aku begitu membela Serena?"
Freddy memejamkan matanya, meringis merasakan matanya yang sakit.
Hidungnya sakit, bibirnya sakit, sekujur tubuhnya sakit. Tapi yang paling sakit
adalah hatinya. Penyesalan itu datang menghantamnya tanpa ampun sehingga
yang bisa dilakukan Freddy hanya diam dan menahankan sesak di dadanya.
Dia pantas mendapatkan ini!!!
"Jadi serena melakukan ini semua karena itu...", suara Freddy diwarnai
kesakitan, lalu dia menatap Vanessa penuh harap, berharap kalau artikel ini
salah. Sebab jika artikel ini benar, apapun yang dilakukan Freddy tadi
benarbenar tak termaafkan, "apakah kau sudah memastikan kebenaran artikel ini?"
Vanessa menatap Freddy tajam, tampak puas dengan penyesalan Freddy.
"Aku sudah memastikan ke rumah sakit itu. Tunangannya, Rafi Ardyansyah
masih terbaring koma disana dan belum pernah sadarkan diri sejak dua tahun
yang lalu. Kemarin Rafi telah menjalani operasi ginjal -- yang aku tahu biayanya
amat mahal, hampir mencapai tiga ratus juta rupiah -- dan sukses. Operasinya
sukses, tapi lelaki itu masih belum sadar", Vanessa memalingkan wajah. Matanya
tampak berkaca-kaca menahan haru.
"Aku bertanya tentang Serena kepada dokter-dokter di rumah sakit itu, dan
rupanya kisah Serena dan Rafi seolah menjadi legenda sendiri di sana. Kisah
seorang wanita yang menunggu tunangannya terbangun tanpa putus asa
selama bertahun-tahun......"
Jadi karena itu. Kebenaran itu menghantam Freddy dengan telak. Jadi karena itu
Serena menjual dirinya. Jadi karena itu Serena mempunya hutang begitu besar
diperusahaan, Freddy menatap Vanessa nanar, lalu mengalihkan tatapannya lagi ke atikel di
depannya, dia mengernyit,
Rafi Ardyansyah... Sebuah kebenaran langsung menghantamnya sekali lagi, sangat keras dan tidak
tanggung-tanggung. "Aku mengenal Rafi Ardyansyah", gumam Freddy seolah kesakitan.
Vanessa langsung menatap Freddy tajam.
"Kau mengenalnya?"
Freddy mengangguk, lunglai.
"Dia... dia pengacara handal dan sukses dari sebuah firma hukum terkenal,
reputasinya bagus, sangat jujur dan jarang kalah...Aku tidak begitu
mengenalnya, hanya pernah beberapa kali bertemu di pengadilan, menangani
kasus yang berbeda, tetapi dia terkenal sebagai pengacara muda berprospek
paling cerah di antara kami...aku mendengar dia akan menikah, sampai
kemudian dia menghilang begitu saja setelah kecelakaan itu,...ada berita cukup
simpang siur setelahnya, katanya dia kecelakaan dan kemudian cacat lalu
pindah ke luar negeri, bahkan banyak gossip bilang dia sudah meninggal akibat
kecelakaan itu...aku...aku sama sekali tidak menyangka dia masih bertahan
hidup...Dalam kondisi koma", Freddy meremas rambutnya seperti tentara kalah
perang, lalu menatap Vanessa, mengernyit,
"Kau bilang kapan operasi Rafi tadi?"
"Kemarin malam", Vanessa melirik jam tangannya, sudah jam tiga pagi, "atau
bisa dibilang sudah kemarin lusa?"
"Oh Tuhan!", Freddy menutup wajahnya dengan kedua tangannya.
Oh Tuhan!.....Apalagi yang bisa dia katakan" Itu sebabnya malam itu Serena
menghilang tanpa kabar dan tidak bisa ditemukan dimana-mana. Perempuan itu
pasti sedang menunggui operasi tunangannya!! Dan apa yang dia katakan
malam itu pada Serena" "Kau mungkin harus belajar lebih bertanggung jawab
tuan putri!" , kata-kata yang sombong dan penuh tuduhan yang sekarang ia
tahu, tak pantas ia ucapkan kepada Serena.
"Kau benar-benar lelaki paling bodoh dan gegabah yang pernah aku kenal",
dengus Vanessa, masih marah atas tindakan Freddy tadi. "Jika kau belum babak
belur oleh Damian, aku pasti akan menamparmu berkali-kali",
Freddy mengernyit mendengar ancaman Vanessa,
"Tapi kau tidak bisa begitu saja menyalahkanku, suatu hari Damian
menghubungiku untuk mengurus kontrak jual beli tubuh Serena senilai tiga ratus
juta. Kau pikir apa yang bisa kupikirkan selain Serena adalah pelacur?"?"
"Jangan sebut-sebut kata pelacur lagi Freddy!!!", potong Vanessa tajam.
Freddy bungkam lalu mengangkat bahu.
"Aku memang salah besar, tapi siapa yg tidak berpikit begitu" Damian sangat
kaya, dan gadis itu punya reputasi hutang besar diperusahaannya.....tentu saja
sebagai pengacara aku menilai ada niat jahat dari sisi Serena", Freddy mencoba
membela diri lagi karena dilihatnya Vanessa masih memelototinya dengan tajam,
"Sebagai seorang pengacara kau seharusnya melakukan penyelidikan", gumam
Vanessa sinis. Freddy menarik napas panjang dan mengangguk.
"Benar, aku terlalu gegabah mengambil tindakan. Sebenarnya aku sudah
bertekad tidak akan ikut campur hubungan Damian dan Serena, tapi malam itu,
ketika Serena menghilang tanpa kabar, Damian mencarinya seperti orang gila,
hampir kehilangan akal sehat karena mencemaskan Serena. Damian berubah
karena gadis itu, dia begitu emosional. Tidak lagi berkepala dingin dan tenang",
Freddy menarik napas dalam, "Aku takut Serena makin lama akan makin
membawa pengaruh buruk bagi Damian, maka aku memutuskan untuk membuat
mereka terpisah sesegera mungkin."
"Memangnya apa yang kau lakukan tadi sampai Damian menghajarmu dengan
begitu brutalnya?" Wajah Freddy tampak memerah malu.
"Aku menciumnya dengan paksa, melecehkan Serena dan memastikan agar
Damian melihat itu semua," gumamnya pelan.
Vanessa langsung melotot marah mendengarnya.
"Apa?" Freddy memalingkan mukanya, tidak tahan menghadapi tatapan tajam Vanessa.
"Dan aku...", kata-kata itu seolah susah payah keluar dari mulut Freddy, "Dan
A Romantic Story About Serena Karya Santhy Agatha di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
aku...memfitnahnya, aku bilang Serena mau kubayar untuk bercumbu denganku
selama beberapa jam...",
"Oh Tuhan, Freddy!!", Vanessa mengerang tak habis pikir dengan perlakukan
Freddy, "Pantas saja Damian menghajarmu habis-habisan, kalau aku ada disana
waktu itu, aku pasti akan memberi semangat padanya agar menghajarmu lebih
keras", Freddy menganggukkan kepalanya,
"Aku...aku pantas menerimanya...", lelaki itu menghela napas panjang, "Tapi
Vanessa...Setelah aku mengetahui semua kebenaran ini, dan melihat tatapan
mata Damian ketika menyeret Serena pulang tadi, entah kenapa aku...cemas. "
Wajah Vanessa mendadak pucat pasi,
"Astaga!!! aku hampir saja lupa, Damian selalu mempercayai kata-katamu!!
bagaimana kalau Damian menyangka bahwa Serena benar-benar menjual dirinya
kepadamu" Kalau melihat betapa posesifnya Damian pada Serena, aku tidak
berani membayangkan betapa marahnya Damian!! kita harus menjelaskan
semua kepada Damian sebelum dia melakukan sesuatu yang nantinya akan dia
sesali," Vanessa langsung meraih gagang telephone dan memencet nomor
Damian. Lama ia mencoba tanpa hasil, ahkirnya menarik napas panjang dan menyerah.
"Semua nomornya tidak aktif, kita juga tak bisa menyerbu ke apartemennya
begitu saja karena ini sudah dini hari", Dengan pasrah Vanessa meletakkan
gagang telephone, "Kita harus menunggu sampai besok pagi, dan jika...dan jika
ternyata semuanya sudah terlambat...", Vanessa melemparkan tatapan tajam ke
arah Freddy yang balas menatapnya penuh rasa bersalah, "Aku akan
membuatmu membayar semua kekacauan yang telah kau buat Freddy."
*** "Seorang pelacur harus diperlakukan seperti pelacur."
Kata-kata Damian yang diucapkan dengan nada dingin dan ketenangan
menakutkan itu seolah-olah bergaung di ruangan yang hening itu.
Lelaki itu sudah melepaskan kemejanya, dan membuka ikat pinggangnya lalu
meletakkannya di ujung ranjang. Matanya begitu dingin, ekspresi wajahnya
tenang, terlalu tenang, hingga membuat Serena gemetar cemas.
"Kau...Harus...Mendengarkan." Serena masih mencoba, meskipun melihat
ekspresi wajah Damian, ia tahu ia tidak akan berhasil.
Damian terlalu marah, dia terlalu dibutakan oleh kemurkaannya.
"Lepaskan kemejamu Serena." gumam Damian datar.
"Damian..." wajah Serena langsung pucat pasi mendengar perintah yang
diucapkan tanpa ekspresi.
"Lepaskan." Nada suara Damian begitu menakutkan. Mungkin Serena akan lebih berani
menghadapi jika Damian berteriak-teriak marah dan membentaknya. Tetapi
lelaki ini begitu tenang hingga menakutkan.
Dengan gemetar Serena melepas kancing demi kancing kemejanya. Menatap
Damian dengan wajah memohon, tetapi lelaki itu tidak terpengaruh.
Setelah seluruh kancing kemeja Serena terlepas, dia berdiri sambil
menggenggam kemejanya yang terbuka dengan kedua tangannya erat-erat,
berlutut di ranjang itu, memohon belas kasihan kepada lelaki yang berdiri di
tepi ranjang dan tampak kejam.
"Aku bilang lepaskan kemejamu, Serena," suara Damian tetap lembut dan
terkendali, tapi entah kenapa Serena makin gemetar mendengarnya, dengan
sudah payah dia melepaskan kemejanya dan menjatuhkannya ke kasur, menatap
Damian tanpa daya. "Sekarang roknya." sambung Damian setelah mengamati tubuh Serena tanpa
malu-malu, membuat seluruh wajah dan tubuh Serena merah padam.
"Tidak...!" Serena berusaha membantah, dia tidak mau dilecehkan seperti ini,
dipaksa membuka baju dihadapan laki-laki yang sama sekali tidak
menghargainya. "Aku bilang roknya!" suara Damian sedikit naik, tetapi tetap tenang. Matanya
menatap tajam tak terbantahkan, hingga mau tak mau Serena bergerak
melepaskan roknya, air mata mulai mengalir di mata Serena.
Hening cukup lama, Damian terdiam sambil menatap Serena tajam. Dan Serena
berlutut di ranjang itu dengan tubuh gemetaran, berusaha memeluk tubuhnya
sendiri dengan kedua tangannya yang kecil.
"Lepas pakaian dalammu."
"Tidak!!" dengan was-was Serena berseru, tanpa sadar tubuhnya beringsut ke
ujung ranjang, ketakutan.
Sikapnya itu malah menyalakan api kemarahan di wajah Damian, lelaki itu sudah
tidak setenang tadi. "Kenapa tidak Serena" Pelacur cilikku" sudah tak terhitung berapa kali aku
melihatmu telanjang, dan kau melakukan semuanya dengan sukarela kan" Demi
uang tiga ratus juta...", Suara Damian terdengar jijik, dia melangkah maju
mendekati ranjang dan secara otomatis Serena langsung beringsut mundur
menjauh. "Aku membeli tubuhmu seharga tiga ratus juta, seharusnya tubuhmu itu bisa
kupergunakan semauku, tetapi aku terlalu baik padamu, memberimu
kemewahan, tidak menyentuhmu di saat kamu sakit, merawatmu...itu semua
terlalu baik untukmu," Mata Damian tampak menyala, "Dan kau dasar pelacur
cilik tak bermoral! bukannya mensyukuri kebaikan hatiku, kau malah merayu
sahabatku...!!!" "Kau salah paham Damian." Serena mulai menangis terisak.
Tetapi Damian tetap mengeraskan hatinya.
"Aku tidak mungkin salah paham dengan apa yang kulihat dengan mata
kepalaku sendiri." Dengan gerakan secepat kilat Damian meraih kedua lengan Serena, sebelum
Serena sempat menghindar dan menempelkan tubuh Serena ke tubuhnya
sendiri. "Kalian berciuman!! kau membiarkan dia menciummu!! menjijikkan sekali
dimataku." Napas Damian mulai terengah-engah, lalu mendorong Serena ke bantal
membuatnya terbanting kasar disana.
Serena berusaha menghindar, berusaha melepaskan diri dari tindihan badan
Damian yang keras dan berat, berusaha melepaskan diri dari cengkeraman
tangan Damian yang kuat dan tanpa ampun.
Tetapi lelaki itu terlalu kuat, terlalu marah, bahkan tidak menyadari kalau
kekasarannya melukai tubuh Serena yang rapuh.
Lelaki itu seperti kerasukan setan. Matanya menyala penuh kebencian ketika dia
menatap Serena. Dengan ketakutan yang amat sangat, Serena berusaha
memberontak dan turun dari ranjang, tetapi Damian menangkapnya,
membantingnya di ranjang lagi dengan kasar, lalu menindihnya.
Serena mengernyit merasakan cengkeraman tangan Damian yang kasar di
tangannya. "Sakit Damian...kumohon..."
"Diam!!" seru Damian marah, dan ketika Serena meronta ketakutan, hal itu
makin mendorong kemarahan Damian, lelaki itu merobek baju Serena dan
mencoba membuka pahanya. Serena berteriak ketakutan, dia tidak siap dan Damian pasti akan melukainya.
Tetapi Damian tidak peduli. Ketika merasakan Serena tidak basah dan tidak siap,
lelaki itu tetap menyatukan dirinya.
Bagi Serena itu adalah kesakitan yang luar biasa, sakit di tubuhnya dan sakit di
hatinya, diperlakukan seperti pelacur rendahan yang tak ada harganya.
Seluruh tubuhnya terasa tersobek-sobek oleh gesekan tubuh Damian, tapi
Serena menahan diri, digigitnya bibirnya hingga hamper berdarah, di
tahankannya air matanya meskipun matanya terasa begitu perih. Dan di
tekannya hatinya dalam dalam yang mulai hancur menjadi serpihan berkepingkeping.
*** Serena berbaring memunggungi Damian, matanya nanar, penuh airmata.
Napasnya sesak karena isakan yang ditahannya.
Setelah semua usai, Damian menjauh dari tubuhnya dan berbaring hening di
sebelahnya, sampai napas yang terengah berubah menjadi tenang dan hening.
Serena tahu Damian tidak tidur, lelaki itu masih berbaring nyalang di
sebelahnya, terlentang menatap langit-langit kamar. Tetapi Serena langsung membalikkan
badan dan berpura-pura tertidur.
Dirasakannya Damian bolak-balik menghadap ke arahnya, seperti ingin
mengajaknya bicara tetapi kemudian ragu dan mengehentikan dirinya di detik
terakhir. Saat-saat hening itu terasa menyiksa. Tubuh Serena tegang meskipun dia
berakting sudah tidur dengan baik, dijaganya agar nafasnya teratur, dijaganya
agar tubuhnya tidak bergerak sama sekali.
Lama-lama dia merasakan tubuh Damian berangsur-angsur santai dan lelaki itu
tertidur. Serena menanti menit demi menit, menyakinkan diri kalau Damian
sudah terlelap, dan setelah cukup yakin, pelan-pelan dia bergerak.
Tubuhnya terasa sakit. Itu tadi benar-benar perkosaan, dan Damian sama sekali
tidak mau repot-repot bersikap lembut. Bibir Serena memar akibat ciuman yang
terlalu kasar, lengannya sedikit lebam karena genggaman yang terlalu keras, dan
masih ada kesakitan-kesakitan lainnya. Di seluruh tubuhnya, di dalam tubuhnya.
Tetapi yang paling sakit adalah hatiku.
Air mata mengalir tanpa suara dari pipi Serena, tapi dia menahan isakan dengan
menggigir bibirnya yang sakit. Dengan hati-hati Serena duduk di tepi ranjang,
mengamati pakaiannya yang berserakan di lantai, dan pakaiann dalamnya yang
setengah dirobek oleh Damian saat lelaki itu melepaskannya dengan marah tadi.
Pelan-pelan, agar tidak menimbulkan gerakan di ranjang tempat Damian
berbaring miring dan tertidur pulas, Serena bangkir berdiri dan memungut
pakaiannya satu persatu. Langkahnya goyah, dan tubuhnya gemetar, tapi Serena
menguatkan diri. Dipakainya pakaiannya pelan-pelan sambil menatap ranjang dengan was-was,
bersiap-siap jika ada satu gerakan sesedikit apapun dari Damian.
Tetapi lelaki itu tidur dengan tenang sampai Serena selesai berpakaian. Serena
lalu mengambil tas kerjanya dan melangkah keluar, tetapi di pintu dia ragu-ragu,
menoleh dan menatap Damian yang masih tertidur pulas.
Damian pasti akan maklum jika dia pergi
dan kejam itu, Damian pasti maklum
kemudian Serena mengernyit, teringat
menghilang tanpa pamit untuk menunggui
begitu saja. Setelah perkosaan brutal
jika Serena menjauh darinya. Tapi
kemarahan Damian ketika Serena
Rafi di rumah sakit hari minggu lalu.
Kalau aku pergi tanpa pamit, apa yang akan dilakukan Damian" apalagi dengan
perjanjian tiga ratus juta itu...
Ketakutan mewarnai perasaan Serena, menahan langkahnya.
Lalu Serena mengeluarkan kertas dan menulis.
Maaf Damian, aku harus pergi sementara. Butuh waktu sendirian.
Tapi Kau bisa tenang, aku tidak akan melarikan diri dari hutang-hutangku.
Aku tidak serendah itu kau tahu.
Sampai jumpa di kantor besok pagi
Serena. *** Pagi itu Damian duduk di kantornya dengan muram. Hari masih pagi, para
karyawan belum datang ke kantor, tapi Damian sudah ada di situ. Dia tak tahan
berada di kamar apartement itu sendirian.
Tanpa Serena. Dia terbangun pagi-pagi sekali, karena terbiasa mencari Serena untuk dipeluk,
tetapi yang ditemukannya hanya bantal kosong. Dengan marah Damian
langsung bangun dan murka.
Berani-beraninya pelacur itu meninggalkannya"
Tetapi kemudian, kertas yang diletakkan di bantal Serena itu agak meredakan
kemarahannya. Sebuah pesan singkat sederhana yang ditulis dengan huruf yang
sangat rapi. Serena bilang "Sampai jumpa di kantor besok pagi" jadi Damian menahan diri
dari kemarahannya dan memutuskan bersiap-siap dan berangkat ke kantor saat
itu juga. Sekarang dia duduk sendirian di ruangannya, memikirkan perbuatannya
semalam dan mulai merasa cemas. Ia terlalu kasar. Ia tahu itu. Ia terlalu kuat
dan Serena terlalu rapuh untuk menahan kemarahannya.
Tapi tidak tahukan Serena kalau pemandangan Serena yang sedang dipeluk dan
dicium oleh Freddy itu benar-benar membuatnya marah" Seharusnya hanya dia
yang boleh memeluk Serena ! Seharusnya hanya dia yang boleh mencium
Serena! Saat itulah pintu diketuk dengan pelan. Damian terdiam penuh antisipasi, dia
sudah menunggu. Siapa lagi yang datang sepagi ini kalau bukan Serena"
"Masuk." Pintu itu terbuka pelan, dan Serena muncul disana. Hati Damian langsung
bagaikan dihantam oleh palu ketika melihat keadaan Serena.
Gadis itu masih memakai pakaiannya yang semalam meskipun kelihatan segar
setelah mandi. Tapi wajahnya kelihatan pucat dan rapuh. Dan bibirnya sedikit
lebam akibat ciuman-ciuman kasarnya kemarin.
Kenapa kau pucat sekali sayang"
Damian berdehem, menahan perasaannya.
Detik itu juga Damian memutuskan dia akan memaafkan Serena. Dia tidak bisa
menyalahkan Serena karena merayu Freddy, tidak ada yang bisa melarangnya
kan" Tidak ada tertulis dalam perjanjian mereka bahwa Serena tidak boleh
menjalin hubungan dengan lelaki lain, disitu hanya tertulis bahwa Damian berhak
memiliki Serena sesuka hatinya.
Oleh karena itu dia akan segera memastikan adanya klausul tambahan dalam
perjanjian itu, bahwa Serena tidak boleh disentuh lelaki lain, bahwa tubuh
Serena adalah hak eksklusifnya, miliknya.
Untuk sekarang, Damian yakin Serena akan memohon maaf padanya, dan itu
bukan masalah, Damian siap memaafkan Serena atas pengkhianatannya
semalam. Dia siap menerima Serena lagi. Dia belum mau melepaskan Serena.
"Duduk." perintahnya, berusaha sedatar mungkin.
Dengan patuh Serena duduk, tapi gadis itu tidak berkata apa-apa, hanya
meremas tangannya dengan gelisah.
"Sebenarnya kau ingin bicara apa hingga harus menunggu sampai di kantor?"
Dimana kau tidur semalam" apakah kau baik-baik saja " apakah aku
menyakitimu" pertanyaan-pertanyaan itu yang bermunculan di benak Damian,
tetapi lelaki itu menahankannya.
Serena mendongakkan kepalanya, matanya tampak penuh tekad ketika menatap
Damian. Takut, tapi penuh tekad.
"Aku...ingin melunasi semua hutangku dan mengakhiri perjanjian kontrak kita."
Damian tertegun. Rasanya seperti seluruh aliran darahnya dihentikan seketika. Ini adalah jawaban
yang sama sekali tidak disangkanya. Damian begitu terkejut hingga membatu
seperti patung. Tetapi ketika keterkejutannya usai. Kemarahan langsung merayapinya. Seperti
api yang membakar pelan-pelan, makin lama makin berbahaya.
"Apa?" desis Damian di antara giginya, tangannya terkepal.
Dengan sedikit gemetar, Serena meletakkan sebuah kertas di meja Damian.
"Ini cek sebesar tiga ratur empat puluh juta, untuk melunasi hutangku sebesar
tiga ratus juta, dan hutang ke perusahaan sebesar empat puluh juta, dan ini..."
Serena meletakkan sebuah amplop di meja, "Surat pengunduran diriku dari
perusahaan ini." Hening cukup lama. Damian hanya duduk di situ, mengamati Serena dengan
mata yang menyala-nyala. Kemudian lelaki itu memajukan tubuhnya dan menatap Serena sambil tersenyum
dingin. "Lunas sepenuhnya" Jadi malam-malam selama kau melayaniku itu kau anggap
service gratis untukku?"
Wajah Serena pucat pasi mendengar hinaan tersirat itu.
"Aku...Aku hanya ingin melepaskan diri dari perjanjian itu..."
Damian mendesis gusar, lalu mengambil cek itu dan mengamatinya, alisnya
terangkat, kemarahan tampak semakin membakarnya.
"Kau bisa memperoleh uang sebanyak ini dalam semalam, apakah kau
menemukan korban lain yang bisa memberimu uang untuk melepaskan diri
dariku?" Serena membelalakkan matanya tak percaya akan kesimpulan negatif yang di
ambil Damian, "Jangan menuduhku serendah itu!!! Aku...aku bukan pelacur seperti yang kau
kira!!"
A Romantic Story About Serena Karya Santhy Agatha di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kau pernah dengan sukarela menjadi pelacurku demi uang tiga ratus juta!!
Bagaimana bisa aku tidak berpikir kau bersedia melacurkan diri pada orang lain
demi melepaskan diri dariku hah?""!!" Damian menggebrak meja dengan begitu
kerasnya, hingga Serena terlonjak kaget dari tempat duduknya.
Lalu tanpa di duganya. Damian mengambil surat pengunduran dirinya di meja.
Dan merobek-robeknya bersama dengan cek yang diberikannya.
Serena hanya ternganga, kaget dengan tindakan tak terduga Damian itu.
Sementara lelaki itu berdiri di sana, menatapnya dengan tatapan mengancam
sambil merobek-robek surat dan cek itu menjadi serpihan-serpihan kecil.
Ketika Damian mulai mendekati Serena, Serena langsung berdiri menjauh,
waspada. "Kenapa kau merobek cek dan surat itu?" tanya Serena gugup, takut akan
suasana hati Damian yang begitu muram.
Damian makin mendekat. Lalu berhenti dan tersenyum sinis ketika melihat
Serena mundur lagi menjauhinya.
"Aku tidak akan melepaskanmu begitu mudah Serena, kau pikir aku akan diam
saja kau bodohi" Aku akan membuatmu menerima balasan setimpal sebelum
akhirnya melepaskanmu..."
Tiba-tiba Damian bergerak cepat meraih Serena sebelum dia bisa menghindar.
Serena mencoba meronta, tapi ia sadar dari pengalamannya bahwa percuma
saja dia melawan kekuatan dan kemarahan Damian, jadi dia hanya diam dengan
wajah pucat pasi ketakutan.
"Katakan padaku Serena...Pria yang membayari hutangmu itu...Apakah dia
sudah menidurimu?" mata Damian menggelap penuh kemurkaan, "Apakah dia
sudah menyentuhmu?" napas Damian mulai memburu, "Apakah ciumannya
sebaik ciumanku" Atau dia hanya pria bodoh yang tertipu oleh kepolosan
palsumu yang...." "Lepaskan aku!!!!" entah darimana Serena seperti mendapatkan kekuatan untuk
mendorong Damian dan melangkah menjauh. "Aku sudah membayar hutangku.
Aku sudah tidak terikat denganmu!! Kau tidak berhak melecehkanku lagi!!"
"Melecehkan katamu?" Kau bilang itu pelecehan" Kau menyambutku dengan
hangat setiap aku mendatangimu dan kau bilang itu pelecehan?""
PLAK!!!! Tangan Serena tanpa disadari melayang sendiri menampar pipi Damian sekeras
mungkin, kata-kata Damian yang luar biasa menghina itu sangat menyakiti
hatinya. Damian berdiri disana mengusap pipinya lalu tersenyum jahat.
"Kenapa menamparku" Apakah kau merasa malu karena kekotoran moralmu
terungkap disini?" gumamnya sinis.
Dengan bergegas Serena melangkah ke pintu, sedikit lega karena Damian tidak
mengikutinya. "Aku akan mengirimkan lagi cek yang baru, berikut surat pengunduran
diriku...Bagiku semua sudah lunas di antara kita" gumamnya lirih.
"Bagiku belum," desis Damian tenang, "Kau boleh kabur kemanapun Serena, dan
aku bersumpah akan mendapatkanmu. Dan ketika itu terjadi aku tidak akan
main-main lagi, aku bahkan akan merantaimu di kamar jika perlu. Dan tak usah
repot-repot mengirimkan cek ataupun surat apapun, aku akan merobekrobeknya
lagi." Tangan Serena yang memegang gagang pintu gemetaran.
"Kenapa kau begitu kejam padaku...?" Rintihnya putus asa, matanya berkacakaca.
Sejenak Damian terpaku. Serena tampak begitu hancur, begitu luluh, hingga
seketika itu juga Damian ingin memeluk Serena dan menghiburnya, meminta
maaf atas kata-kata kasarnya. Tapi akal sehatnya segera mengambil alih. Itu
akting, teriaknya pada diri sendiri, jangan tertipu, gadis ini pandai
memanipulasi orang dengan berpura-pura rapuh. Kau sendiri sudah merasakannya bukan"
"A...Aku tetap akan pergi..." Serena bergumam ketika Damian hanya berdiam
diri, "Kau boleh memaksaku semaumu, tapi aku akan melawanmu sekuat
tenaga." Dengan cepat Serena membuka handel pintu. Lalu menolehkan kepalanya untuk
menatap Damian, mungkin untuk yang terakhir kalinya.
Diserapnya sosok itu baik-baik, sosok dingin yang berdiri kaku, menatap Serena
dengan penuh kebencian. Disimpannya sosok itu baik baik, dan tiba-tiba saja
hatinya terasa teriris. Air mata mulai menetes dari sudut matanya, dan dengan
segera Serena melangkah keluar dari ruangan itu.
Setengah berlari dia memasuki lift tanpa mempedulikan tatapan bingung
sekertaris Damian. Di lobby, suster Ana yang menunggu dengan gelisah dari tadi langsung berdiri
begitu melihat Serena muncul di lift.
"Bagaimana...?"
Pertanyaannya tak terjawab karena Serena langsung mengajaknya keluar dari
lobby menuju parkiran, menaiki mobil jemputan rumah sakit yang diminta suster
Ana mengantar mereka ke sini tadi.
Di mobil air mata Serena tak terbendung lagi dan suster Ana langsung
memeluknya untuk menenangkannya.
"Ssshhh...Semuanya tak berjalan baik ya?"
"Dia...Dia tidak mau menerima uang itu...." serena tersedak oleh tangisan yang
dalam, "Dia...Dia menuduhku menjual diriku kepada lelaki lain demi
mendapatkan uang itu..." tangis Serena meledak lagi dengan kuatnya.
Dan suster Ana langsung memeluknya. Matanya sendiri berkaca-kaca melihat
penderitaan Serena. "Apakah...kau mencintainya, Serena?" tanya suster Ana hati-hati.
Serena langsung tersentak, menatap Suster Ana dengan pandangan nanar.
"Apa..." Itu...Itu tidak mungkin...."
"Serena, mungkin kau tidak menyadarinya, tapi kebersamaan kalian selama ini
mungkin saja menumbuhkan sesuatu yang dalam di antara kalian..." suster Ana
menatap Serena lembut, "Dan kau...Tidak mungkin menangis semenderita ini
jika kau tidak punya perasaan apa-apa kepada Damian, sayang."
Serena hanya termangu. Air matanya masih mengalir, hatinya sakit sekali. Dan
memang benar, penghinaan dan perlakuan kasar Damian telah menyakitinya
lebih daripada yang seharusnya. Tapi Serena tidak mau memikirkan
kemungkinan apapun. Dia tidak mau, dan tidak bisa. Ada Rafi di sisinya bukan"
Suster Ana mendesah melihat kediaman Serena.
"Yah, setidaknya, suatu saat ketika Damian menyadari kesalahannya, dia akan
menyesal dan kuharap aku ada di sana ketika dia memohon maaf padamu."
*** Suster Ana benar, Damian memang menyesal. Tidak perlu waktu lama, hanya
selang satu jam dari kepergian Serena.
"Aku menerima kalian di sini hanya demi Vanessa," gumam Damian dingin,
suasana hatinya benar-benar buruk saat itu.
Ketika sekertarisnya menelepon dan memberitahu bahwa Vanessa dan Freddy
ada di ruangan depan, ingin bertemu dengannya, Damian hampir saja
mengamuk seketika itu juga. Dia sudah menegaskan pada sekertarisnya bahwa
dia sedang tidak ingin diganggu. Tetapi Vanessa memaksa, dan seperti biasanya,
paksaannya berhasil. "Kami harus memberitahumu sesuatu yang penting." gumam Vanessa penuh
tekad, tidak peduli akan tatapan membunuh yang berkali-kali dihujamkan
Damian kepada Freddy yang hanya duduk diam tanpa suara di belakangnya.
"Damian," Vanessa mencoba menarik perhatian Damian yang terus menerus
mempelototi Freddy. "Ada suatu fakta penting tentang Serena yang harus kau
ketahui." Damian langsung tertarik. Fakta apa lagi" Sebuah kebohongan lagi yang belum
diceritakan kepadanya" Sebuah kepalsuan lagi yang akan menyulut
kemarahannya" Dia diam dan menunggu, bersiap-siap untuk meledak lagi, kepalanya terasa
berdenyut dan mulai nyeri.
"Damian..." Vanessa mengernyit cemas ketika melihat Damian tampak kesakitan,
"Kau tidak apa-apa?"
"Aku tidak apa-apa! Cepat selesaikan yang ingin kau katakan, dan bawa dia
pergi dari ruangan ini!" Damian bahkan tidak mau repot-repot menyebut nama
Freddy. Vanessa menarik napas panjang.
"Kau...Kita...Mengambil kesimpulan yang salah tentang Serena." dengan cepat
Vanessa membentangkan artikel itu di meja Damian, "Baca ini."
Damian melirik artikel itu, semuala tidak tertarik, tetapi kemudian mengenali
gambar di artikel itu sebagai Serena, lebih muda beberapa tahun, tapi dia tak
mungkin salah. "Apa yang.........Oh Tuhan!" baru separuh artikel yang dibacanya, tetapi dia
pucat pasi. Dengan gemetar dia membaca artikel itu. Membacanya berulangulang
kemudian, mencoba mencari kesalahan. Tapi kebenaran yang tertulis di
sana tak terbantahkan lagi.
"Benar Damian, keluarga Serena, kedua orangtuanya terenggut pada kecelakaan
yang sama di jalan tol, kecelakaan yang sama yang menewaskan Alfian", mata
Vanessa berkaca-kaca ketika kenangan itu kembali.
"Oh Tuhan!" Damian berpegangan pada meja untuk menopang tubuhnya, Ini
sebabnya Serena selama ini sebatang kara dan sendirian"
"Kedua orang tua saya sudah meninggal dunia, saya hidup sendirian" itu
jawaban Serena waktu gadis itu terpaksa menumpang mobilnya di pagi yang
hujan. Lalu uang tiga ratus juta dan hutang puluhan jutanya di perusahaan itu.....
Sekali lagi Damian mengernyit. "Tunangannya, Rafi, masih terbaring koma sejak kecelakaan itu. Serena
berjuang mati-matian untuk mempertahankan hidupnya. Hutang-hutangnya di
rumah sakit mungkin untuk membiayai biaya perawatan Rafi, dan hutangnya
kepadamu tiga ratus juta mungkin karena gadis itu putus asa," Vanessa
memandang Damian, dan tiba-tiba merasa kasihan, Damian tampak hancur
berkeping-keping, "Aku menelepon rumah sakit tempat Rafi dirawat Damian, Rafi
saat itu harus menjalani operasi pengangkatan ginjal karena salah satu ginjalnya
rusak akibat obat-obatan yang terus menerus.......biaya operasi itu sangat
mahal, hampir mencapai tiga atus juta rupiah...Mungkin itu alasan Serena
menjual dirinya padamu, gadis itu putus asa."
Damian memejamkan matanya, mengingat hari berhujan dimana Serena
membuat penawaran gila itu padanya. Bagaimana mungkin dia dulu tak
menyadarinya" Waktu itu Serena memang terlihat putus asa, panik dan putus
asa. "Freddy bercerita bahwa Serena hilang seharian di hari minggu dan kalian
mencarinya kemana-mana," Vanessa mengedikkan bahunya pada Freddy yang
hanya diam dan menundukkan kepalanya, "Itu hari di mana operasi Rafi
dilaksanakan." Sebuah hantaman lagi yang menerjang Damian. Dia mengernyit, rasanya berat
sekali ketika dia sudah berpegang teguh pada suatu keyakinan bergitu lama tapi
kemudian dihancurkan begitu saja.
Serena gadis baik-baik. Dia bukan gadis bermoral rendah seperti dugaannya
selama ini. Pantas saja waktu itu dia masih perawan. Keperawanan yang
seharusnya untuk tunangan yang dicintainya dikorbankannya. Damian langsung
disengat rasa cemburu yang tajam. Serena pasti begitu mencintai tunangannya
kalau sampai berjuang mati-matian seperti itu.
"Kecelakaan itu terjadi hanya beberapa hari sebelum pernikahan mereka
Damian," Vanessa menoleh secara terang-terangan kepada Freddy, "Biarkan
Freddy yang menjelaskan sisanya kepadamu."
Damian menoleh kepada Freddy dengan muram, masih terbayang adegan
ciuman waktu itu di matanya. Dan kemarahannya langsung membara, kalau
begitu kenapa Serena ada di pelukan Freddy dan Freddy bilang Serena rela
menjual diri padanya"
"Waktu itu semua sudah kurencanakan, Damian," gumam Freddy pelan seolah
bisa membaca pikiran Damian, lalu mengernyit ketika menerima tatapan
menusuk itu lagi, "Aku.... Waktu aku mendampingimu mencari Serena yang
menghilang waktu itu, aku melihat betapa emosionalnya dirimu, itu
menggangguku karena kau berubah, tidak seperti biasanya, aku berpikir Serena
telah menimbulkan pengaruh buruk padamu.....Jadi aku mengambil
keputusan.....aku merekayasa semuanya.....Ciuman itu adalah paksaan
dariku....Serena sama sekali tidak sukarela, dia menolakku sekuat tenaga. Dia
memanggil namamu..."
Damian langsung merangsek maju dengan marah, tanpa diduga. Langsung
meraih kerah kemeja Freddy. Tak peduli tubuh Freddy yang memar dan lebam
akan kesakitan menerima sentuhan seringan apapun.
"Brengsek kau Freddy!!! Brengsek kau!!! Aku mempercayaimu!!" Damian
menggeram di antara ke dua giginya, "Kau tahu malam itu aku
memperlakukannya sebagi pelacur rendahan?"! Aku memperkosanya!!!!"
"Damian, tenanglah dulu", gumam Vanessa hati-hati, berusaha membuat
Damian melepaskan cengkeramannya dari kerah baju Freddy, "Kau menyakiti
Freddy, tidakkah kau sadar kau sudah cukup menyakitinya kemarin" Lepaskan
dia Damian", bujuknya lembut.
Damian bergeming, sejenak seolah-olah akan menghajar Freddy, tapi kemudian
dia melepaskan lelaki itu dengan kasar.
"Harusnya kubunuh saja kau sekalian!", desisnya geram sambil mengacak
rambutnya, Lalu sebuah pertanyaan merasuk di benaknya.
"Kenapa harus Serena yang menanggung seluruh biaya perawatan Rafi" Kenapa
bukan keluarga Rafi?"
"Rafi tidak punya keluarga." Freddy yang menyahut setelah berhasil meredakan
napasnya yang terengah karena perlakuan kasar Damian tadi, "Dia pengacara
juga, kebetulan aku mengenalnya", suaranya tertelan melihat tatapan
bermusuhan Damian, tapi dia bertekad melanjutkan, " Sebenarnya aku tidak
begitu mengenalnya, tetapi Rafi cukup terkenal di kalangan profesi kami karena
reputasi baiknya, aku... Eh... Melakukan penyelidikan singkat tadi dan mendapati
bahwa Rafi dibesarkan di panti asuhan, dia sebatang kara....karena itulah kabar
setelah kecelakaan yang menimpanya menjadi simpang siur, dia menghilang
begitu saja dan gosip yang beredar mengatakan Rafi sudah meninggal, tidak
ada yang tahu bahwa sebenarnya Rafi masih hidup dan ada dalam kondidi
koma", Freddy menatap Damian sungguh-sungguh, "Aku menyesal dan aku
meminta maaf Damian. Aku memang bodoh dan gegabah, aku juga menyesal
setengah mati" Damian tercenung. Lama tidak mengatakan apa-apa. Sejenak ruangan itu begitu
hening. "Damian, mungkin lebih baik kita melepaskan Serena, sudah cukup berat beban
yang dia tanggung," gumam Vanessa pelan memecah keheningan. Lalu dia
berubah ragu-ragu dan berhati-hati dengan reaksi Damian, "mengenai hutanghutang
Serena baik kepadamu dan kepada perusahaan, aku bersedia
menggantinya." "Tidak." "Tidak?" Vanessa mengernyit mendengar gumaman pelan Damian itu.
"Tidak akan kulepaskan. Aku tidak peduli dengan uang itu. Serena tidak akan
kulepaskan." "Damian!!", Vanessa mengernyit jengkel. "Hentikan! Kau tidak tahu betapa
banyak penderitaan yang ditanggung Serena selama ini! tidak bisakah kita
biarkan dia tenang bersama tunangannya" Lagipula kau bisa mencari wanita lain
untuk memuaskanmu bukan" Kau bisa mendapatkan pengganti Serena dalam
beberapa menit!" Damian mengusap wajahnya, tampak begitu menderita,
"Tidak, aku tidak bisa Vanessa." erangnya parau.
Mata Vanessa melebar melihat ekspresi Damian, tidak pernah sebelumnya
Vanessa melihat Damian begitu penuh emosi. Apakah ini berarti Damian benarbenar
mencintai Serena" "Dia punya tunangan Damian, jangan lupa, semua yang dilakukannya adalah
demi menyelamatkan Rafi."
Kebenaran itu menyakiti hati Damian, sengatan cemburu itu kembali melukainya.
"Kalau begitu aku akan membuatnya memilihku," mata Damian penuh tekad,
"Dimana alamat rumah sakitnya?"
*** "Dimana ruangan tempat perawatan Rafi Ardyansyah?" Damian berdiri di depan
resepsionis. Resepsionis itu mendongak dan ternganga. Terpesona melihat penampilan dan
ketampanan Damian. "Ruangan perawatan Rafi Ardyansyah?" Damian mengulang jengkel karena
resepsionis itu hanya menatapnya seperti orang bodoh.
"Oh....Untuk Rafi...Anda...Anda mungkin harus menemui Suster Ana dulu, beliau
suster kepala penanggung jawabnya."
"Dimana?" gumam Damian tak sabar.
A Romantic Story About Serena Karya Santhy Agatha di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Lantai tiga, ruangan perawat nomor dua."
Tanpa basa-basi Damian meninggalkan resepsionis yang masih ternganga itu.
Pintu itu tertutup rapat dan Damian mengetukknya.
"Masuk" sebuah suara yang tegas terdengar dari dalam.
Damian masuk dan langsung berhadapan dengan suster Ana.
Suster Ana langsung menyadari siapa yang berdiri di hadapannya. Dia tidak
mungkin salah mengenali. Penggambaran Serena sangat akurat. Lelaki ini memang benar-benar luar biasa
tampan dengan keangkuhan yang sudah seperti satu paket dengan auranya.
"Apakah anda akhirnya berhasil menemukan kebenaran?" gumam suster Ana
langsung tanpa basa-basi.
Damian mengernyit mendengar sapaan pertama suster Ana yang sama sekali
tidak diduganya. Tapi dia lalu teringat telelepon di tengah malam yang tanpa
sengaja dia angkat. Penelepon itu mengatakan dirinya adalah suster Ana...
"Ya," Damian mengakuinya pelan, "Anda sudah tahu semuanya?"
"Semuanya, dan pertama, sebelum anda menghina Serena lagi. Saya akan
jelaskan kepada anda, semalam Serena datang kepada saya, dengan kondisi
mengenaskan. Mental dan fisik yang rapuh, dan dia bilang ingin melepaskan diri
dari anda, menurut saya itu wajar mengingat perlakuan anda padanya," Suster
Ana menatap Damian dengan pandangan mencela yang terang-terangan hingga
wajah Damian merona, "Uang yang dia pakai untuk melunasi anda, itu adalah
uang pinjaman dari saya dan beberapa staff rumah sakit lain, bukan uang hasil
menjual dirinya kepada lelaki lain seperti apa yang anda tuduhkan kepadanya
tadi pagi." Sebuah kebenaran lagi. Lebih keras daripada tamparan di pipi, lidah Damian
terasa kelu. "Saya ingin bertemu Serena" gumam Damian akhirnya.
Suster Ana mengangkat alisnya.
"Untuk apa" Ketika hubungan hutang piutang itu lunas. Tidak ada lagi perlunya
kalian bertemu, lagi pula saya tidak yakin Serena bersedia menemui anda."
"Tidak ada hubungannya dengan uang! Saya tidak peduli dengan uang!!!"
Damian hampir berteriak, lalu berdehem berusaha meredekan emosinya, "Saya
harus bertemu dengan Serena, meminta maaf, saya tahu selama ini saya
salah...." "Anda bisa menyampaikan permintaan maaf anda melalui saya" sela Suster Ana
tegas. Damian mengernyit, "Saya mohon.....Saya harus bertemu dengan Serena, saya butuh bertemu
dengan Serena." Suster Ana mengamati lelaki yang berdiri di hadapannya. Lelaki ini terlalu
tampan, terlalu kaya sehingga wajar dia tampak begitu arogan. Tapi sekarang
Damian tampak begitu menderita, dan dia rela memohon agar bisa bertemu
Serena. Suster Ana menarik napas, ketika sebuah kesimpulan muncul di
benaknya. Lelaki ini sedang jatuh cinta.
Bagaimana mungkin dia menolak permintaan Damian" Kalau saja Damian hanya
lelaki sombong yang menginginkan bayaran setimpal atas apa yang diberikannya
kepada Serena, suster Ana akan mengusirnya tanpa ragu. Tapi Damian yang ada
di depannya ini tampak begitu kesakitan menanggung rasa bersalah, tampak
remuk redam di dera perasaannya sendiri. Lelaki ini sama menderitanya dengan
Serena. Bagaimana mungkin Suster Ana tega mengusirnya"
"Tapi tolong jangan menyakiti Serena lagi jika kalian bertemu nanti, jangan
memaksanya....." mata Suster Ana melembut membayangkan Serena, "sudah
cukup beban yang ditanggung anak itu."
"Saya berjanji." Damian menjawab yakin.
Sekilas suster Ana mencuri pandang ke arah Damian. Dan tersenyum ketika
mendapati ekspresi Damian ikut melembut karena membayangkan Serena.
Ah Serena, Lelaki ini benar-benar sedang jatuh cinta.......
*** Ruangan itu hening terletak di lorong paling ujung. Dan Serena hanya berdiri di
depan ruang perawatan sambil menatap melalui jendela kaca lebar yang
membatasinya dengan Rafi, saat ini bukan jam besuk dan Serena tidak boleh
masuk. Pikiran Serena terasa berat, dia tidak punya pekerjaan sekarang. Suster Ana dan
yang lain-lain bilang akan membantu, tetapi Serena tidak mungkin
menggantungkan hidupnya pada bantuan orang lain terus menerus, apalagi
dengan biaya perawatan Rafi yang begitu mahal yang harus ditanggungnya
setiap bulannya..... Dengan sedih Serena menatap Rafi, lelaki itu masih terbaring dalam kedamaian
yang sama, begitu pucat, hanya bunyi mesin-mesin penunjang kehidupan itulah
yang menunjukkan kalau masih ada harapan hidup yang tersimpan di sana.
Serena mengusap air mata di sudut matanya.
Ah Rafi..... Sampai kapan kau tertidur begini" Aku merindukanmu kau tahu. Aku
membutuhkanmu. Saat ini aku tidak mengerti dengan perasaanku sendiri, aku
takut jika kau tidak segera bangun nanti aku akan......
Saat itulah Damian masuk, diantarkan oleh Suster Ana di belakangnya. Perasaan
sedih yang aneh menyeruak di dada Damian ketika dia melihat Serena menatap
Rafi yang terbaring di balik kaca dengan tatapan sendu.
"Serena...." Damian bergumam pelan, mendadak dikuasai keinginan yang dalam
untuk mengalihkan perhatian Serena dari Rafi.
Suaranya seperti menyentakkan Serena hingga gadis itu menoleh kaget.
Wajahnya langsung pucat pasi, tidak menduga bahwa Damian akan muncul di
sini, matanya menatap Suster Ana meminta pertolongan.
"Dia datang disini untuk berbicara Serena, dan dia sudah berjanji tidak akan
melakukan atau mengatakan sesuatu yang akan menyakitimu," gumam Suster
Ana lembut, menyadari kegelisahan yang dirasakan Serena, dia lalu mengamit
lengan Serena, "Mari, kuantar kalian ke ruanganku di mana kalian bisa berbicara
dengan tenang, aku akan meninggalkan kalian di sana."
Seperti kerbau yang di cocok hidungnya, Serena hanya mengikuti ketika di
tuntun ke ruangan Suster Ana, sedangkan Damian hanya mengikuti di belakang
dalam diam. Ruangan tetap hening lima menit kemudian ketika suster Ana menutup pintu
ruangan dari luar. "Aku minta maaf." gumam Damian dengan lembut akhirnya.
Serena bersedekap, seolah ingin melindungi dirinya.
"Ya...Sudah di maafkan...Sekarang...Sekarang bisakah kau pergi?" Serena mulai
menahan tangisnya. Damian telah benar-benar melukai hatinya, kehadiran lelaki
itu sekarang, berdiri di depannya, menatapnya dengan begitu lembut, benarbenar
membuat emosinya bergejolak.
"Aku tidak tahu tentang semua ini Serena, baru tadi Vanessa mengungkapkan
kebenaran di depanku. Aku tidak tahu. Tidakkah itu bisa membuat semuanya
sedikit dimaklumi?" sambung Damian pelan. "Selama ini aku salah paham, aku
berpikiran buruk tentangmu dan semakin memupuknya dari hari ke hari. Itu...
Itu juga menyiksaku, antara dorongan untuk menyayangimu atau
menghukummu karena jauh dilubuk hatiku aku mengira aku hanya
dimanfaatkan," Damian mengerjapkan matanya pedih, "Kalau aku tahu tentang
semua ini, segalanya akan berbeda Serena."
Serena memejamkan matanya. Mau tak mau permintaan maaf Damian yang
begitu tulus itu mulai menyentuh hatinya. Damian memang tidak bisa
disalahkan. Dia tidak tahu. Lagipula apa yang harus dipikirkan Damian tentang
gadis yang melemparkan diri padanya demi uang selain bahwa gadis itu adalah
pelacur" "Aku...Aku mengerti....tidak apa-apa, pilihanku juga untuk tidak mengatakan ini
semua kepadamu," suara Serena terdengar serak. "Dan apapun konsekuensinya
aku sudah bersedia menanggungnya....Jadi kita impas."
Damian menatap Serena sedih.
"Serena.... Aku...." Damian mengulurkan tangan hendak meraih Serena, tapi lalu
tertegun ketika Serena mundur seperti ketakutan.
Kesadaran itu menghancurkan Damian, kesadaran bahwa Serena takut dengan
sentuhannya, mungkin akibat kekasarannya semalam.
Damian mengusap rambutnya dengan kasar.
"Aku..... Mungkin semua sudah terlambat. Tapi aku harus mengatakannya.....Aku
mencintaimu Serena, mungkin kau bertanya-tanya kenapa. Tapi aku juga tidak
bisa menjawabnya. Aku juga baru menyadarinya. Itu terjadi begitu saja,"
Damian menatap Serena yang hanya termangu dengan wajah pucat pasi, "Tapi
sekarang itu tak penting lagi bukan" Kesalahanku tidak bisa di maafkan semudah
itu. Dosaku terlalu besar."
Dengan ragu Damian melangkah ke arah pintu, terdiam sejenak.
"Semua hutangmu anggap saja sudah lunas. Aku tidak akan menuntut apapun
darimu, aku akan menjauh darimu dan kau tidak perlu takut harus
menghadapiku lagi. kau bebas sebebas-bebasnya. Dan kalau kau masih mau
bekerja di perusahaanku. Aku akan sangat senang....Tapi aku tidak akan
memaksa. Aku sudah terlalu sering memaksakan kehendakku padamu. Sekarang
tidak akan lagi," punggung Damian tampak tegang, "Selamat tinggal Serena."
gumamnya pelan sebelum membuka handle pintu.
Serena termangu menatap punggung yang begitu tegang itu. Pernyataan cinta
Damian begitu mengejutkannya hingga dia tidak bisa mengatakan apa-apa,
memang Damian telah menyakitinya, tapi ada saat saat dimana Damian berhasil
membuat hatinya terasa hangat. Dan kalau dipikir-pikir, selama kebersamaan
mereka itu. Tidak pernah sekalipun Damian menyakitinya dengan sengaja,
kecuali saat kemarahan menguasainya kemarin.
Sekarang ketika Serena menatap punggung Damian, yang tampak begitu tegang
sekaligus rapuh. Sebuah perasaan hangat menyeruak ke dalam hatinya, sebuah
perasaan yang bertumbuh pelan tanpa dia sadari.
"Damian," Serena bergumam pelan, tapi cukup untuk membuat Damian
membatu di tempat. Tetapi lelaki itu tidak menoleh, hanya berdiri di sana.
Membeku seperti patung. "Damian." kali ini Serena mengulang lagi, lebih lembut sehingga Damian
menoleh menatap Serena. Entah karena mata Serena yang menatapnya penuh kelembutan, Entah karena
Damian pada akhirnya sudah tidak bisa menahan perasaannya lagi. Serena tidak
Maut Di Lembah Sampit 2 Fear Street - Tantangan The Dare Kesatria Baju Putih 3
"Tentu saja aku sama sekali tidak menduga kalau gadis itu ada hubungannya
denganmu, waktu memeriksa tubuhnya aku melihat bekas-bekas ciuman dari
leher sampai ke perut, lalu aku berfikir, lelaki brengsek mana yang
membiarkannya sampai pingsan kelelahan begitu",
Vanesa mengangkat alisnya, " Dan tiba-tiba saja lelaki brengsek itu muncul."
Damian mengerutkan alisnya lalu terkekeh,
"Sayangnya kata-kata tajammu juga tidak berubah, yah aku memang lelaki
brengsek itu", Damian mengangkat bahu, lalu menatap ke arah Serena yang
terbaring pucat di ranjang klinik itu, " bagaimana kondisinya?", wajahnya
berubah serius. Vanesa menarik napas, "Aku tak mau bertanya apapun itu kehidupan pribadimu", Vanesa menatap tajam
ke arah Damian," gadis itu kelelahan, kurang tidur dan tekanan darahnya rendah
sekali, kondisi tubuhnya lemah dan karena itu dia demam, sepertinya gejala flu."
Damian mengernyitkan allisnya, menerima tatapan tajam Vanesa.
"Baik, baik semua salahku, Freddy sudah mengatakannya padaku, sekarang
bisakah kau meninggalkan kami sendirian sebentar?"
Vanesa melirik ke arah pintu,
"Freddy ada di luar" Bagaimana jika nanti ada karyawan yang kebetulan ke
klinik?" "Itulah gunanya Freddy di luar, tapi kalau sampai terjadipun aku akan bilang
kalau aku sedang mencarimu meminta resep."
Vanesa mengangguk, "Aku akan bergabung dengan Freddy di luar, jangan berbuat macam-macam ya!"
Damian tersenyum mendengar ancaman Vanesa. Wanita itu adalah istri dari
sahabatnya, dan merekapun ahkirnya bersahabat. Sayangnya suami Vanesa
meninggal dalam kecelakaan tragis di jalan tol beberapa tahun lalu, sejak itu
Vanesa membentengi diri dengan mulut tajam dan sifatnya yang ketus, padahal
sebenarnya dia adalah wanita penyayang, sikap ketusnya itu tidak mempan pada
Damian dan Freddy, Damian melirik keluar, seandainya saja Vanesa bisa melirik
Freddy, bagus sekali kalau sahabat-sahabatnya itu bersatu.
Dengan langkah pelan Damian melangkah ke tepi ranjang berdiri di samping
Serena yang tertidur pulas,
Benar, wajahnya pucat sekali, kenapa Damian tidak menyadarinya dari
semalam" Tangan Damian menyentuh dahi Serena, gadis ini demam! Badannya panas
sekali... "Jadi kau ingin mengantar pulang Serena?",
Vanesa tiba-tiba bersuara di pintu dengan agak keras, sengaja memberi
peringatan kepada Damian.
Damian langsung menjauh dan berdiri di depan meja kerja Vanesa.
Pintu terbuka dan salah seorang laki-laki, rekan kerja Serena tapi Damian lupa
namanya, masuk membawa tas Serena yang tertinggal di ruangannya, disusul
oleh Vanesa dan Freddy di belakangnya.
Rekan kerja Serena itu tampak sangat kaget mengetahui Damian, CEO
perusahaan yang hanya pernah dia lihat dari foto, sekarang berdiri langsung di
depannya, wajahnya langsung pucat pasi,
"Aaaa...aaandaa....", lelaki itu bahkan tak sanggup berkata-kata karena
kagetnya, Damian menatap sekilas seolah tak peduli,
"Ya, Saya memang benar Damian", dipasangnya ekspresi paling dingin,
"Saya ada urusan dengan dokter Vanesa, tapi silahkan selesaikan urusan anda
dulu, saya bisa menunggu."
"Alex hanya ingin menjemput rekannya yang pingsan dan mengantarkannya
pulang Damian", Freddy menyela di belakang Vanesa tapi matanya menatap Damian penuh
peringatan. Pulang" Damian mengernyit, tapi Serena kan sekarang tinggal di apartement
mewah yang dia belikan, tidak mungkin dia membiarkan Alex mengantar Serena
pulang! "Saa ...saya hanya sebentar, saya akan mengangkat Serena dan mengantar
pulang, kebetulan saya ada janji temu dengan kilen di dekat tempat kostnya jadi
sekalian, mohon maaf, silahkan dokter jika ada urusan dengan Mr, Damian"
Alex cepat-cepat membalikkan tubuh tak tahan menghadapi tatapan tajam
Damian, memang benar gosip yang beredar, Mr. Damian CEO mereka ini
terkenal sangat dingin dan tidak berperasaan, bahkan aslinya lebih menakutkan,
wajahnya sangat rupawan tapi aura membunuh disekelilingnya sangat kental.
Damian masih terpaku di situ, tempat kost" Si bodoh ini pasti masih mengira
Serena masih tinggal di tempat kostnya yang lama. Dan.. Apa yang dilakukan
lelaki itu ?"" Dia menyentuh tubuh Serena ?"!
Damian hampir menyeberangi ruangan untuk menepiskan tangan Alex yang
mencoba menggendong Serena ketika Suara Vanesa menyela dengan cepat,
menyadari gawatnya situasi yang terjadi,
"Jangan Alex", perintahnya membuat Alex meletakkan tubuh Serena kembali dan
menatap Vanesa penuh tanda tanya,
"aku memberi obat tidur untuknya supaya dia bisa beristirahat, kalau kau
pulangkan dia ke kostnya dalam
kondisi seperti itu, siapa yang akan
menjaganya nanti" Lebih baik biarkan dia beristirahat dan tidur di sini dulu"
Alex menyadari kebenaran perkataan dokter Vanesa dan cepat-cepat
menyetujuinya. Lagipula dia ingin cepat-cepat keluar dari ruangan ini.
Sang CEO hanya berdiri membatu di sudut ruangan tapi tatapan matanya
mengerikan, seperti akan membunuhnya dengan tangan kosong!
Ah, mungkin dia hanya sedang tidak enak badan, Alex berusaha menenangkan
dirinya, lalu mengangguk,
"Baiklah saya akan meninggalkannya dulu, nanti kalau dia sadar saya akan
menjemputnya lagi" gumamnya sambil meletakkan tas serena di kursi dan
hampir melonjak kaget ketika Damian berseru dalam bahasa Jerman yang tidak
dimengertinya, Vanesa agak menahan senyum karena dia tahu arti kata-kata Damian, 'Langkahi
dulu mayatku', itu artinya
"Tidak usah Alex, biar aku yang mengantarnya sekalian pulang nanti"
Alex mengangguk, sebenarnya dia ingin membantah, dia ingin mengantar
Serena, sebenarnya sejak dulu dia sudah suka pada Serena tetapi belum berani
mengungkapkannya karena Serena terlihat begitu tertutup, kejadian ini
dianggapnya sebagai kesempatan mendekati Serena, tapi mengingat aura tak
nyaman di ruangan ini, Alex memutuskan menyerah, mungkin lain kali, putusnya
Lalu melangkah ke luar setelah mengangguk pada semuanya, tak bisa menahan
untuk mempercepat langkahnya keluar dari situ.
"Aku yang akan keheningan. membawanya pulang", Damian bergumam memecah "Kau ada rapat satu jam lagi Damian", sela Freddy tajam.
"Batalkan, mereka akan menyesuaikan jadwalnya denganku"
Vanesa dan Freddy hanya bisa berpandangan, lalu mengangkat bahu.
*** Ketika Serena membuka mata dia sudah ada di ranjangnya, mengenakan salah
satu piyama sutra hitam milik Damian, lelaki itu sedang duduk di ranjang di
sebelahnya,bersila dengan menghadap notebooknya, wajahnya serius sekali.
Serena merasa pusingnya sudah hilang, tapi rasa nyeri di tubuhnya belum hilang
juga, sepertinya dia masih demam.
Seolah merasakan gerakan Serena, Damian menoleh, dan tersenyum.
"Tadi aku mencari piyama untukmu, ternyata kau tak punya piyama ataupun
gaun tidur ya" Aku tidak tahu sebelumnya karena aku selalu menelanjangimu
sebelum tidur" Wajah Serena memerah, bisa bisanya Damian memilih kata-kata itu sebagai
kalimat sapaan pembukanya.
"Kenapa aku tiba-tiba sudah di rumah" Jam berapa ini?"
Damian mengangkat alisnya,
"Kau tidak tahu" Tadi pagi kau pingsan lalu dokter Vanesa menyuntikmu dengan
obat yang membuatmu tidur, tapi aku harus mengajukan komplain karena
sepertinya dosisnya terlalu besar, kau tertidur hampir sepuluh jam....sekarang
sudah jam delapan malam"
Serena terperangah, "Jam delapan malam?"
Damian tersenyum, "Besok-besok kalau kau merasa tidak enak badan jangan memaksakan diri untuk
masuk, kau sangat merepotkanku, aku terpaksa pulang setengah hari untuk
menjagamu" Wajah Serena memucat, dia telah mengganggu kesibukan Damian! Padahal
lelaki itu punya jadwal yang sangat padat dan terpaksa meninggalkannya hanya
gara-gara dia pingsan. "Ma...maafkan aku...", suara Serena terdengar lemah, penuh penyesalan.
Damian menoleh mendengar nada suara Serena, lalu menutup notebooknya dan
meletakkannya di meja samping ranjang,
"Aku tidak memarahimu, lagipula sudah lama aku tidak mengambil cuti", dengan
lembut Damian meletakkan tangannya di dahi Serena, "sudah mendingan, tadi
kau panas sekali tahu, aku sampai mengkompresmu dengan air es"
Serena memejamkan matanya merasakan tangan Damian yang sejuk di dahinya,
kenapa lelaki ini begitu lembut dan penuh perhatian" Sudah lama sekali rasanya
sejak ada yang memperhatikan dirinya. Setelah kedua orang tuanya meninggal,
Serena selalu berjuang sendirian, tidak pernah sama sekali mengijinkan dirinya
menjadi lemah. Sekarang, perhatian yang begitu lembut dari Damian entah
kenapa membuat dadanya sesak,
"Kau sudah bisa minum obatnya" Dokter Vanesa membawakan obat untuk kau
minum, tunggu sebentar",
Damian bangkit dari ranjang dan melangkah keluar kamar,tak lama kemudian
dia kembali membawa nampan, meletakkannya di meja samping ranjang dan
membantu Serena duduk, "Kau harus makan dulu sebelum minum obat",
Aroma kuah yang sangat menggoda itu benar benar membuat air liur menetes,
serena menoleh ke atas nampan yang diletakkan di pangkuannya, semangkuk
sup jagung dan daging yang masih panas dengan aroma yang sangat enak,
"Itu bukan bubur ayam, jadi kuharap kau tidak memuntahkannya", ada nada geli
dalam suara Damian, Mau tak mau Serena tersenyum karena ternyata Damian masih teringat
percakapan mereka kemarin.
Dengan pelan dia berusaha mengangkat sendok sup itu, tapi Damian
menahannya, "Aku suapi", gumamnya sambil mengambil sendok itu.
Wajah Serena memerah canggung, tapi ketika Damian mengarahkan sendok itu
ke mulutnya ahkirnya dia membuka mulutnya pelan,
Dengan tenang damian menyuapi Serena, setelah selesai dia meletakkan
mangkuk kosong itu ke sebelah ranjang,
"Ada yang menempel di bibirmu", tanpa disangka Damian mendekatkan
wajahnya, lalu menjilat sudut bibir Serena dengan lembut, "sekarang sudah
bersih", Damian terkekeh melihat wajah Serena yang merah padam.
"Te...terimakasih" gumam Serena terbata-bata.
Tiba-tiba saja Damian meraih pundak Serena dan menciumnya, ciuman yang
sangat dalam dan membakar, seolah-olah ingin melumat bibir Serena sampai
habis, lama sekali Damian mencium Serena, sampai napas mereka berdua
terengah-engah ketika Damian melepaskan ciumannya,
"Sama-sama", gumam Damian dengan parau kemudian, "kalau begitu minum
obatmu, setelah itu kau harus tidur lagi."
Dengan patuh Serena berbaring lagi di ranjang dan membiarkan Damian
menyelimutinya. Lelaki itu lalu duduk di ranjang di samping Serena dan menyalakan notebooknya
lagi, lalu mulai tenggelam dalam pekerjaannya.
Serena termenung agak lama, Damian tidak menyentuhnya malam ini, tetapi
lelaki ini tetap bermalam di apartement ini untuk merawatnya. Ternyata di balik
sikap kejam dan arogannya, Masih ada sisi baik di jiwanya.
Dengan pemikiran seperti itu, Serena kembali tertidur lelap.
*** Paginya dia terbangun dengan kondisi demam yang lebih parah, sepertinya
pertahanan tubuhnya sedang berperang melawan virus yang menyerang
tubuhnya, Damian sedang mengenakan dasinya, tapi dia segera menghampiri Serena yang
mengerang karena panas tubuhnya tak tertahankan,
Dengan cemas, dia meletakkan tangannya di dahi Serena, astaga! Panas sekali,
dengan cepat dia meraih handphonenya dan memencet nomor Vanesa,
dijelaskannya secara terperinci tentang kondisi Serena, lalu diletakkannya
termometer di tubuh Serena sesuai instruksi Vanesa,
"39 derajat!", Damian berteriak tanpa sadar, "Vanesa ! Dia panas sekali, kenapa
obat yang kau berikan kemarin tidak membuat kondisinya membaik"!"
Didengarnya instruksi-instruksi Vanesa di seberang sana,
"Baik! Akan kuminumkan lagi, apa" seka seluruh tubuhnya dengan air dingin"
Oke, kapan kau bisa kesini untuk mengecek kondisinya" Aku takut dia harus
dibawa ke rumah sakit, baik....baik, kutunggu!"
Damian mengahkiri pembicaraan, lalu memencet nomor-nomor lain, menelpon
Freddy dan jajaran direksinya, lalu memberikan serentetan instruksi pekerjaan
sebelum menutup telephon.
Dengan pelan dilonggarkan dasinya, dan digulungnya lengan kemejanya, lalu dia
berusaha mengguncang tubuh Serena,
"Bangun Serena, kau harus mandi, badanmu panas sekali."
Jawaban Serena hanya berupa erangan tak jelas dan seperti kesakitan, tentu
saja, gadis ini badannya sangat panas!
Damian melepas kancing piyama Serena pelan-pelan lalu melepas piyama itu,
sampai serena telanjang. Kulit gadis itu memerah karena suhu tubuhnya yang
panas, dengan hati-hati dia mengangkat tubuh Serena ke kamar mandi,
meletakkannya ke bathtub, lalu menyalakan keran air dingin.
Tubuh Serena langsung berjingkat ketika air dingin mengenai tubuhnya, tapi
Damian menahan, "Dingin", erang Serena dalam kondisi setengah sadar.
"Tidak apa-apa,tahan,nanti kau akan kuslimuti", bujuk Damian lembut
Setelah selesai Damian mengeringkan tubuh Serena lalu memakaikan piyamanya
yang lain untuknya, dan mengangkat Serena kembali ke tempat tidur,lalu
menyelimutinya dengan selimut yang tebal. Setelah itu dia memaksa Serena
meminum obat yang rasanya pahit dan dengan lembut meminumkan air
untuknya. Dalam kondisi setengah sadar, Serena mengamati keadaan Damian, kemejanya
setengah basah dengan dasi yang sudah dilepas dan beberapa kancing yang
terbuka sementara jasnya tergeletak begitu saja di sofa,
"Kau.....ti..dak ..ke kan..tor?", tanya Serena lemah.
Damian yang sedang membuka kancing kemeja dan melepaskan kemejanya
yang basah menoleh dan tersenyum tipis,
"Bagaimana mungkin aku meninggalkanmu dalam kondisi seperti ini sendirian?"
"Aa...aaku tidak mau...merepotkan...mu", gumam Serena lagi, "i..ni cuma
demam bia..sa..nanti juga sembuh"
Damian mengganti kemejanya dengan t-shirt santai,lalu duduk di tepi ranjang,
"Kau sekarang milikku Serena, kau tanggung jawabku, kalau terjadi apa-apa
denganmu,aku juga yang akan kesusahan bukan?", gumamnya lembut tapi
penuh makna. Wajah Serena memerah,dan memalingkan wajah, tapi itu membuat Damian
tidak dapat menahan diri, diraihnya dagu Serena menghadapnya, tubuhnya
setengah menindih tubuh Serena, lalu dilumatnya bibir serena dengan dalam dan
penuh gairah, nafas mereka menjadi panas.
Dan Damian hampir kehilangan kendali diri, dengan sekuat tenaga diangkatnya
bibirnya, napasnya terangah-engah. Tubuhnya menegang, berteriak ingin
dipuaskan kebutuhannya, tapi Damian menahan diri.
Demi Tuhan !!! Gadis ini sedang sakit!
Serena merasakan gairah Damian yang bangkit, semalam lelaki ini menahan diri
untuk tidak menyentuhnya, padahal Serena tahu Damian punya kebutuhan fisik
yang sangat besar. Melihat lelaki ini menahan diri sampai menggertakkan gigi
menyentuh hati serena. Tanggannya menyentuh pipi Damian,
memejamkan mata menempelkan pipinya
A Romantic Story About Serena Karya Santhy Agatha di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tidak apa-apa", gumam Serena lembut.
tak disangka Damian langsung Mata itu terbuka bagaikan api biru yang menyala-nyala,
"Kau sedang sakit!" geramnya.
Serena tersenyum lalu merangkulkan lengannya ke leher Damian,
"Tidak apa-apa."
Dan Damian menyerah pada gairahnya, sambil mengerang dilumatnya bibir
Serena lagi, dan mereka pun tenggelam dalam gairah yang panas.
Panas tubuh Serena karena demam, menyatu dengan panas tubuh Damian
karena gairah, tubuh mereka menyatu ketika Damian menghujamkan dirinya
dengan lembut, mengerang karena merindukan kenikmatan itu, kenikmatan
ketika tubuh Serena yang selembut sutra melingkupinya, meremas
kejantanannya, membuatnya melayang.
Damian tidak pernah kehilangan kontrol sebelumnya. Dia tidak pernah tidak bias
menahan dirinya untuk bercinta dengan seorang perempuan. Tidak pernah.
Sampai dia bertemu Serena. Gadis mungil ini menjungkirbalikkan dunianya.
Mengancamnya akan kehilangan kendali diri. Dan Damian tahu dia sudah tidak
bisa melepaskan dirinya lagi.
*** Julukan bajingan menjijikkan saja belum pantas untukku. Damian merenung
sambil menatap Serena yang terbaring telanjang,tertidur pulas berbantalkan
lengannya. Obatnya mungkin sudah bereaksi, atau dia kelelahan gara-gara perbuatanmu
dasar bajingan! Damian mengutuk dirinya sendiri. Tega-teganya dia memuaskan
nafsunya atas tubuh Serena yang sedang sakit!
Tapi kelembutan Serena saat membisikkan kalimat "tidak apa-apa" benar benar
membuatnya lepas kendali.
Damian menggertakkan giginya, dia tidak boleh lepas kendali lagi!
Dengan lembut diletakkannya kepala Serena di bantal,dan diselimutinya tubuh
telanjang Serena dengan selimut tebal. Saat itulah bel apartementnya berbunyi,
Damian mengernyit lalu meraih jubah tidurnya yang tersampir di kursi.
Ketika melihat dari lubang di atas pintu,dia melihat Vanesa dan Freddy berdiri
disana,dengan enggan dia membuka pintu apartemennya dan berkacak
pinggang di pintu yang terbuka,
"Kenapa kalian bisa datang berdua disini?" tanyanya curiga.
Vanesa mengangkat alisnya,
"Sungguh penyambutan tamu yang tidak sopan, kau kan yang meminta aku
datang?" Damian menatap Vanesa sekilas lalu menatap Freddy yang sedang tersenyum,
"Dan kau" Kenapa kemari?"
Freddy hanya menunjukkan setumpuk berkas kepada Damian,
Sambil menarik napas panjang Damian membuka pintu lebar-lebar dan
mempersilahkan masuk, "Silahkan masuk kalau begitu. Freddy, ijinkan aku berganti pakaian yang pantas
sebelum melihat berkas-berkas itu, oya Vanesa, Serena masih tidur."
"Tidak hanya tidur kurasa", Vanesa memandang penampilan Damian yang acakacakan
dengan tatapan mencela. Dan ketika Damian tidak membantah melainkan hanya tersenyum kecut,
matanya membelalak tidak percaya,
"Maksudmu...kau..?", Vanesa kehilangan kata-kata, "astaga Damian tidak
kusangka kau menjadi maniak seks separah itu sampai tega-teganya meminta
gadis yang sedang sakit untuk melayanimu!!!", serunya blak-blakkan, "mana dia"
aku harusnya merekomendasikan dia dirawat di rumah sakit, bukannya disini,
kalau disini bersamamu sepertinya dia bukannya sembuh malahan tambah
parah!!!" Freddy tampak tidak peduli dengan pertengkaran dua orang di depannya, dia
sibuk melihat-lihat ruangan apartement itu,
"Wah, apartement yang bagus...mungkin aku bisa beli satu disini ", Gumamnya
santai. Damian melotot ke arahnya, lalu dengan sebal melangkah ke kamar, Vanessa
mengikutinya. Serena sedang tertidur pulas saat Vanessa mendekat ke arahnya, dan
menyentuh dahinya, "Panasnya seperti api, mungkin aku harus membawa sample darahnya ke Lab
untuk memastikan dia tidak terkena demam berdarah....",
Vanessa mengernyit menyadari Serena telanjang di balik selimutnya, "Aku masih
tidak habis pikir kau menidurinya pada saat seperti ini.....aku tak tahu dia
siapamu Damian, setahuku kau masih berpacaran dengan artis cantik itu dan
sekarang tiba2 kau sudah tinggal serumah dengan karyawanmu sendiri......."
"Tidak tinggal serumah,aku tinggal di rumahku sendiri, apartemen ini kubelikan
untuknya." Vanessa mengangkat alisnya,
"Oh ya" Kalau begitu berapa malam kau di rumahmu sendiri dan berapa lama
kau tidur disini?", dengan cekatan, Vanessa memeriksa Kondisi Serena dan
menyiapkan suntikan dari tas kerjanya untuk mengambil sample darah Serena.
Sementara itu Damian kehabisan kata-kata untuk menjawab pertanyaan
Vanessa, "Kau benar", Damian mengangkat bahu, "Sejak tidur bersamanya pertama kali,
aku tidak pernah membiarkannya tidur sendirian lagi tiap malam"
"Bagaimana ceritanya kalian bisa menjalin hubungan", seingatku tingkat peluang
pertemuan antara sang CEO dan staff biasa sangat kecil. Sebenarnya sampai
sekarangpun aku masih bertanya-tanya Damian, Freddy juga tidak mau
menjelaskan apapun, kukira......"
"Bukan urusanmu Vanessa, tidak ada yang aneh dalam hubungan ini, dua orang
setuju untuk saling memenuhi kebutuhan itu saja, dan aku menolak menjawab
apapun kepadamu", Damian menjawab dengan tajam.
Vanessa mengangkat bahu lalu melanjutkan memeriksa Serena lalu menuliskan
resep. "Diagnosa awal hanya flu biasa, tapi lebih lanjut menunggu hasil tes darah. Aku
akan menuliskan resep obat dan antibiotiknya. Tiga hari sekali Damian, dan
ingat, dia harus istirahat. Tahan nafsumu, jika kau tidak bisa menahannya, cari
perempuan lain." *** Serena terbangun dengan rasa mual dan sakit di sekujur tubuhnya. ketika dia
membuka matanya, dia melihat perempuan yang sangat familiar di duduk di
ranjang sebelahnya, "Dokter Vanessa?"
Vanessa tersenyum, "Yah, Damian memintaku datang memeriksamu. Dia dan Freddy, para lelaki
sedang membicarakan masalah bisnis di ruang depan dan aku memutuskan
menunggumu sadar di sini, bagaimana kondisimu?"
Serena berusaha keras mengeluarkan suaranya,
"Mual....pa...nas..", gumamnya serak,
Vanessa memegang dahi Serena, panasnya seperti api,
"Kemari, aku akan membantumu meminum obat."
dengan cekatan Vanessa membantu Serena meminumkan obatnya, lalu
membaringkan Serena lagi dan merapikan selimutnya. Keduanya menyadari
bahwa Serena telanjang di balik selimutnya,
wajah Serena langsung merah padam.
Vanessa menatap Serena penuh pengertian.
" Dia memang kadang kadang sangat egois,kau tahu, terbiasa menjadi bos sejak
dia lahir. Dia bisa dibilang masih keturunan aristokrat dari keluarga
berpengaruh di Jerman, sejak dulu dia sudah terbiasa keinginannya dipenuhi....",
Vanessa mengedipkan sebelah matanya, "Kau tahu, saat pertama mengenalnya
aku sangat tidak menyukainya"
Serena tersenyum malu-malu,
"Saya juga ", jawabnya pelan.
Vanessa tertawa mendengarnya,
"Tapi walau pun begitu kau tidak boleh menuruti kemauannya seperti itu, kau
berhak menolak, kau tahu itu kan?"
Sebelum Serena sempat menjawab, Damian, yang entah kapan sudah berada di
ruangan itu berdehem keras, dengan sengaja.
"Vanessa, bukannya kau harus segera membawa sample darah itu ke lab?",
gumam Damian datar, tapi matanya memperingatkan.
Vanessa tersenyum miring, lalu mengangkat bahu dan tersenyum pada Serena,
"Sepertinya dokter sudah diusir, obatnya ada di meja Damian beserta cara pakai,
kutinggalkan resep kalau2 obatnya habis, besok aku akan mengabarimu tentang
hasil labnya". Vanessa mengangguk pada Serena mengangkat tasnya dan berjalan pergi, pada
saat berhadapan dengan Damian di pintu keluar, dia menatap tajam,
"Ingat Damian, dia harus istirahat kalau mau sembuh", gumamnya tegas
sebelum melangkah pergi, Damian menatap pintu yang tertutup di belakangnya lalu mengangkat bahu dan
tersenyum pada Serena, "Kadang-kadang aku merasa dia masih membenciku sampai sekarang."
Serena tersenyum lemah pada Damian yang menuang segelas air dari teko di
meja samping ranjang, "Apakah kau haus " ayo, aku akan membantumu minum."
Dengan cekatan Damian membantu Serena duduk, beberapa kali selimut melorot
dari dada Serena, hingga Serena harus mencengkeramnya, tapi Damian
mengabaikannya, sama sekali tidak melirik ketelanjangan Serena, rupanya lakilaki
itu bertekad untuk membiarkan Serena beristirahat.
Setelah membantunya minum, Damian menyentuh dahi Serena dengan lembut,
dan mengernyit karena badannya sangat panas,
"Maaf", Serena tiba-tiba merasa bersalah, dia jarang sakit, tapi kali ini
sekalinya sakit sangat parah sehingga harus bergantung pada belas kasihan Damian,
Wajah Damian melembut, "Minta maaf karena sakit ?", Damian menarik napas, "kau benar-benar gadis
aneh", Damian tersenyum miris, "Oke, obat itu akan membuatmu mengantuk,
aku akan memesan makanan, jd begitu bangun kau bisa makan."
Serena mengernyit mendengar kata makan karena dia merasa sangat mual,
Damian menatap Serena dengan tatapan tegas seperti seorang ayah memarahi
anaknya, "Kau harus makan", gumamnya tegas, "Tidurlah", lalu lelaki itu berbalik dan
melangkah keluar kamar. Serena meringkuk dibalik selimut, obat itu membuatnya nyaman dan mengantuk,
sangat mengantuk. *** Damian duduk di tepi ranjang, dan mengamati Serena, panasnya sudah agak
turun dan gadis itu tidur seperti bayi, entah kenapa dan sejak kapan dia merasa
kalau gadis kecil ini menjadi begitu penting baginya. Mungkin karena kedekatan
mereka selama ini, Damian tidak pernah membiarkan orang lain sedekat dengan
dirinya. Tiba-tiba bunyi getaran disamping ranjang mengejutkan Damian, ponsel kecil itu
bergetar dan Damian mengernyitkan keningnya, ponsel milik Serena" Dia baru
pertama melihatnya, karena Serena tidak pernah menggunakannya di depannya.
Dan yang terlintas pertama kali di otak Damian ketika melihat ponsel itu adalah,
dia harus membelikan Serena ponsel yang lebih baik.
Ponsel itu terus bergetar, rupanya penelpon di seberang sana tidak mau
menyerah, Damian meraih ponsel itu karena tidak mau getarannya mengganggu
Serena yang sedang tertidur lelap.
Suster Ana" Damian mengernyit membaca nama penelphon di ponsel itu,
sebelum mengangkatnya, "Serena?", suara diseberang telephone langung menyahut cemas, "maafkan aku
karena menelephone,aku cemas karena kau sudah dua hari tidak kemari dan
tidak ada kabar sama sekali darimu, padahal kau tidak pernah melewatkan satu
haripun, apakah kau baik baik saja?"
Jeda sejenak, Damian ragu untuk bersuara, tetapi kemudian dia bersuara,
"Maaf, Serena sedang tidur", ketika Damian bersuara, dia mendengar suara
terkesiap diseberang sana, sepertinya lawan bicaranya sangat terkejut
mendengar dia yang menyahut,
"Oh...maaf....", suster Ana tampak kehilangan kata-kata.
"Serena sedang sakit, dua hari ini dia demam tinggi, mungkin besok saya akan
memberitahunya kalau anda menelephone", lanjut Damian tenang dan tanpa
memperkenalkan dirinya, tentu saja dia tidak berniat memperkenalkan dirinya.
"Oh, baiklah, terimakasih", suara diseberang terdengar sangat gugup, lalu
telephone ditutup dengan begitu cepat sehingga Damian mengernyit.
Ada yang aneh, wanita diseberang itu memang kaget mendengar suaranya,
tetapi tidak ada kesan bertanya-tanya mendengar suara Damian yang menjawab
telephone. Apakah wanita diseberang itu mengetahui siapa Damian " Dan apa
yang dimaksud dengan datang setiap hari dan tidak pernah melewatkan satu
haripun" Datang kemana" Untuk apa"
Pertanyaan-pertanyaan itu memenuhi kepala Damian
menyadari bahwa dia tidak tahu apa-apa tentang Serena.
dan membuatnya *** Vanessa sedang duduk di bar bersama dengan Freddy, lalu mengernyit,
"menurutmu apakah bos kita itu sudah main hati?"
Freddy menyesap minumannya,
"Apa maksudmu?"
"Gadis kecil itu, Serena"
Hening sejenak dan Freddy menyesap minumannya lagi,
"Menurutku Damian sudah gila", gumamnya dengan nada tidak setuju," Dia
sudah bertindak di luar kehati-hatiannya yang biasa menyangkut gadis itu."
Vanesa menolehkan kepalanya ke Freddy dengan penuh rasa ingin tahu,
"sebenarnya aku sangat penasaran dengan hubungan mereka, menurutku
Damian menyimpan perasaan yang dalam...."
"Ralat, nafsu yang dalam", sela Freddy, "Damian sudah merasakan nafsu yang
dalam ketika melihat gadis itu pertama kalinya dan menginginkannya. Dan gadis
itu, Serena, dia memanfaatkan itu dengan menjual dirinya kepada Damian",
gumamnya jijik. Vanessa mengernyit lagi, "Serena tidak kelihatan seperti gadis yang sengaja menjual dirinya"
"Dia menjual dirinya seharga tiga ratus juta. Aku sendiri yang membuatkan
kontrak perjanjian jual beli yang konyol itu, setelah itu Damian masih
membelikan apartemen untuk tempat dia tinggal, dan bahkan berencana
melunasi hutang gadis itu yang hampir 40juta di perusahaan, aku sudah
menasehatinya kalau dia mulai berlebihan, tapi Damian tidak peduli", gumam
Freddy frustasi. Vanessa merenung dengan serius, tiga ratus juta" Itu uang yang tidak sedikit
untuk perempuan seumuran Serena. Dan gadis itu juga berhutang 40 juta di
perusahaan, sungguh pengeluaran fantastis untuk gadis dengan penampilan
sederhana seperti Serena,
"Menurutmu untuk apa uang itu" Kalau untuk bermewah-mewah sepertinya tidak
mungkin, gadis itu tinggal di tempat kost sederhana, pakaian dan barangbarangnya
tidak ada yang bermerk, dia juga selalu naik kendaraan umum ke
kantor", gumam Vanessa pelan.
Freddy menoleh dan mengangkat alisnya,
"Untuk seorang dokter perusahaan, tampaknya kau tahu banyak"
Vanessa tertawa pelan, "Tentu saja, aku banyak berhubungan dengan karyawan kau tahu. Freddy,
tampaknya kau tidak boleh terlalu berprasangka dulu pada Serena", Vanessa
berubah serius, "Damian bukan orang bodoh, dia tidak akan membiarkan dirinya
dimanfaatkan, kecuali dia melakukannya dengan sukarela"
"Dia mabuk kepayang, lelaki yang mabuk kepayang tidak akan menggunakan
akal sehatnya, dan kalau hal itu mulai keterlaluan, aku sendiri yang akan
memperingatkan Serena", gumam Freddy dengan penuh tekat.
Vanessa diam saja, memahami betapa dalamnya rasa persahabatan antara
Freddy dan Damian, dan betapa Freddy sangat ingin menjaga sahabatnya itu.
Tetapi ada sesuatu yang mengganggu pikirannya, sesuatu tentang Serena, gadis
itu terasa familiar tetapi Vanessa tidak bisa mengingatnya, kapan" Dimana"
*** Serena mulai sembuh, meskipun dia belum bekerja, Damian tidak
mengijinkannya. Laki-laki itu bersikeras bahwa Serena belum boleh bekerja, dan
A Romantic Story About Serena Karya Santhy Agatha di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dia memerintahkan dokter Vanessa menghubungi langsung atasan Serena
sehingga tidak masuknya Serena selama empat hari ini tidak akan menjadi
masalah. Well, besok dia harus masuk, dia sudah sehat, itu hanya flu biasa dan dengan
perawatan Damian yang sengat intensif disertai dengan obat dari dokter Vanessa
yang sangat manjur, dia sudah merasa cukup kuat hari ini.
Dan Serena merindukan Rafi, sudah empat hari dia tidak ke rumah sakit,
kemarin tubuhnya masih terlalu lemah, tetapi sekarang dia sudah agak kuat dan
tidak sabar ingin segera melihat Rafi,
Suster Ana menelephon dan menceritakan perihal Damian yang mengangkat
telephonnya pada waktu Serena tertidur, sekaligus meminta maaf jika dia sudah
hampir membuka rahasia Serena.
Setelah itu, Serena bersikap hati-hati kepada Damian, menunggu lelaki itu
bertanya kepadanya. Tetapi Damian besikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
Jadi Serena berpikir Damian tidak menganggap telephone dari suster Ana itu
sebagai sesuatu yang serius.
Serena sudah berpakaian rapi, saat itu jam lima sore, Damian masih akan pulang
jam sembilan malam, jadi dia masih punya waktu lebih dari cukup untuk
menengok Rafi. Dengan riang karena akhirnya bisa berkunjung lagi ke rumah sakit, Serena
berjalan dan membuka pintu keluar apartemennya, hanya untuk berhadapan
dengan sosok Damian yang akan membuka pintu untuk masuk, Damian
mengamati Serena yang berpenampilan rapi,
"Mau kemana?", tanyanya langsung.
Sejenak Serena terperangah tak menyangka akan berhadapan dengan Damian,
matanya mengerjap gugup. "Serena?", Damian mengulang pertanyaannya dalam matanya.
"Eh aku...", Serena mengerjap lagi, "aku mau membeli bahan makanan di
supermarket", gumamnya, mengucapkan hal pertama yang terpikir di dalam
benaknya. Damian mengernyit, "Kau masih sakit, tidak boleh keluar-keluar, kau bisa membeli bahan makanan itu
besok, lagipula aku sudah membawa makanan", Damian menunjukkan kantong
kertas di tangannya dan melangkah masuk lalu menutup pintu apartement,
ketika dirasakannya Serena masih terpaku dia menoleh dan mengangkat kantong
makanan itu, "Kau tidak mau menatanya di piring sementara aku mandi?", tanyanya lembut,
Serena tergeragap, dan mengangguk, lalu menerima kantong itu dari Damian,
Ketika Damian melangkah ke kamar dan mandi, Serena menata makanan di
dapur dengan frustasi, kenapa Damian sudah pulang sore-sore begini" kenapa
waktunya begitu tidak tepat"
Serena menyempatkan diri menghubungi Suster Ana dan menjelaskan perihal
batalnya kunjungannya ke rumah sakit, untunglah suster Ana mengerti lalu
menjelaskan secara singkat kondisi Rafi yang stabil sehingga kemungkinan
operasi ginjalnya bisa dilakukan beberapa hari lagi. Serena merasa sangat lega
mendengarnya, dengan cepat dipanjatkannya doa permohonan untuk Rafi lalu
melanjutkan menata makanan itu.
Semua masakan yang dibeli Damian tampak hangat dan menggiurkan sehingga
mau tak mau menggugah selera Serena,
"Kau pasti menyukainya, itu menu andalan dari restaurant favoritku", Damian
masuk kedapur dengan mengenakan pakaian santai, dia sudah bertransformasi
dari pebisinis yang dingin ke lelaki yang lebih mudah didekati.
"Mana kopiku?", gumamnya disebelah Serena,
Damian berdiri begitu dekat hingga membuat Serena gugup, dengan ceroboh dia
hampir melompat menjauh dari Damian, membuat lelaki itu mengangkat sebelah
alisnya sambil menatap Serena,
"A....akan kubuatkan", gumam Serena dengan pipi merah padam.
"Tidak, nanti saja akan kubuat sendiri, kemarilah aku belum memeriksamu sejak
tadi", Damian merentangkan tanggannya sambil bersandar di meja dapur.
Serena memandang ragu-ragu ke tangan Damian yang terentang, lalu beralih
kemata Damian yang menyiratkan perintah tanpa kata-kata.
Dengan ragu dia melangkah mendekat ke arah Damian, lelaki itu langsung
merengkuhnya ke dalam pelukannya,
"Hmmmm kau harum seperti aroma bayi", gumam Damian tenggelam disela sela
rambut Serena. Damian juga harum, pikir Serena dalam hati, aroma sabun dan aftershave,
aroma yang sudah familiar dengannya dan mau tak mau Serena merasa nyaman
ada di dalam pelukan Damian,
Mereka berdiri sambil berpelukan beberapa lama, tanpa suara tanpa kata-kata,
Ketika akhirnya Damian mengangkat kepalanya dan menatap Serena, matanya
tampak membara, "Kau sudah tidak demam lagi", suaranya terdengar serak, dan Serena mengerti
artinya, Damian sudah terlalu lama menahan diri, lelaki itu tidak menyentuhnya
selama tiga malam, dan mengingat besarnya gairah Damian kepadanya,
sepertinya itu sudah hampir mencapai batas maksimal pengorbanan Damian.
Serena sangat mengerti. "Iya, aku sudah tidak demam lagi", balas Serena lembut.
Damian mengerang lalu menekankan tubuhnya makin rapat pada tubuh Serena,
hingga kejantanannya yang sudah mengeras menekan Serena membuat pipi
Serena memerah. Dengan lembut Damian mengusap pipi Serena,
"Begitu liar di ranjang, tapi masih bisa memerah pipinya ketika kugoda", dengan
lembut Damian meniupkan napas panas di telinga Serena, membuat tubuh
Serena menggelenyar, "Apakah aku juga bisa membuat yang di bawah sana
merona ketika kugoda?"
Tangan Damian menyentuh Serena dengan lembut, membuat napas Serena
terengah, jemari yang kuat itu menelusup ke dalam, menyentuh Serena dan
menggodanya, membuatnya basah.
Damian mendorong Serena ke atas meja dapur membuka pahanya, lalu dengan
cepat membuka celananya dan menyatukan dirinya dengan Serena.
Kerinduannya begitu dalam sehingga kenikmatan yang terasa begitu menyengat
seakan-akan jiwanya dipukul dengan tabuhan percikan orgasme tanpa ampun.
Entah hati mereka saling berseberangan, tetapi ternyata tubuh mereka saling
membutuhkan. Serena setengah terbaring di atas meja dapur dengan tubuh
Damian melingkupinya, Lelaki itu membutuhkannya dan Serena dengan caranya
sendiri membutuhkan Damian. Ketika paha mungil Serena melingkupi pinggang
Damian, Damian menekankan dirinya kuat kuat, menggoda batas pertahanan
Serena. "Damian...", Serena merintih, tanpa sadar mengucapkan nama Damian, dan
ucapan itu bagaikan musik hangat di telinga Damian,
"Ya manis, katakan manis, kau ingin aku berbuat apa?", bisik Damian parau
disela tubuhnya yang bergolak untuk memuaskan Serena, di sela napasnya yang
tersengal yang terpacu cepat. "Kau ingin aku memuaskanmu ya" Aku akan
memuaskanmu manis, aku akan memuaskanmu sampai kau tidak akan pernah
bias menemukan kepuasan yang sama dari siapapun.", Dengan posesif Damian
menekan Serena menyatakan kepemilikannya,
"Kau tidak akan pernah menemukan lelaki lain...", suara Damian tercekat ketika
hantaman orgasme melandanya, membawa Serena ikut dalam pusaran puncak
kenikmatannya. Dan akhirnya, mereka baru menyantap makan malam hampir lewat tengah
malam. *** Ruangan itu sangat sunyi, hanya suara alat-alat penunjang kehidupan yang
berbunyi secara teratur. Serena duduk disana, disamping ranjang Rafi, menatap Rafi yang terbaring
dengan damai. Dua jam lagi operasi ginjal Rafi akan dilaksanakan.
Kau harus kuat bertahan ya" demi aku kau harus bertahan, kau harus bertahan,
demi aku Rafi... Berkali-kali Serena merapalkan kata-kata itu seperti sebuah doa yang tidak ada
putus-putusnya. Rafi tampak lebih kurus, dan pucat, dan begitu diam, tetapi Serena meyakini
masih ada kekuatan hidup yang tersembunyi di dalam tubuh Rafi, Serena
mempercayainya. Serena percaya kepada Rafi, seluruh harapannya masih
bertumpu kepada kepercayaannya itu.
Kemungkinan keberhasilan operasi itu adalah 40:60, dan Serena bergantung
kepada 40% itu. Dia percaya Rafi adalah lelaki yang kuat, buktinya dia sudah
berhasil bertahan sampai sejauh ini.
Suster Ana masuk ke dalam ruangan, dan menyentuh pundak Serena.
"Kondisinya stabil Serena, aku yakin dia akan berhasil melalui ini semua."
"Iya suster, Rafi pasti kuat."
Suster Ana mengecek denyut nadi Rafi lalu menatap Serena seolah teringat
sesuatu. "Bagaimana kau berpamitan dengan Mr. Damian?"
Serena merona. "Aku bilang menemani teman yang akan melahirkan," gumamnya pelan, merasa
berdosa karena tidak biasa berbohong.
Hari ini hari minggu, Damian kebetulan berencana melewatkan waktunya
seharian dengan Serena. Tetapi dengan alasan palsu dan kebohongan yang
terbata-bata, Serena berhasil membuat Damian melepaskannya.
Meskipun dahi Damian tampak berkerut curiga ketika Serena berpamitan tadi
pagi. "Kalau begitu kenapa kau tak mau kuantar?" kejar Damian tadi pagi ketika
Serena menolak tawarannya.
"Karena temanku ini mengenalmu sebagai bosku, nanti dia bisa mengetahui
semuanya." jawab Serena cepat-cepat.
Lelaki itu mengerutkan keningnya lagi, tidak puas.
"Apakah dia salah satu pegawaiku?"
"Bukan!" Serena langsung menyela keras, karena setelah mengenal Damian lebih dekat,
Serena tahu, jika dia menjawab 'iya', maka Damian pasti akan menyuruh salah
satu staf personalianya untuk mengecek apakah benar ada karyawannya yang
akan melahirkan, dan dia akan mendapati kalau Serena berbohong.
"Dia bukan pegawaimu, tapi dia banyak mengenal teman-teman kantor dan dia
tahu tentangmu, jadi kalau dia melihatmu dia bisa bertanya-tanya kepada yang
lain...." "Oke, kalau begitu di Rumah Sakit mana?"
Serena kehilangan kata-kata, berusaha mencari jawaban.
"Eh...aku tidak tahu di Rumah Sakit mana."
Dengan cepat Damian menghindari tatapannya. melangkah ke hadapan Serena yang berusaha "Kau bilang akan menemani temanmu itu di Rumah sakit, bagaimana mungkin
kau tidak tahu di mana rumah sakitnya?"?"
"A...aku...", dengan gugup Serena menelan ludah, "Aku akan menunggu di kost
yang lama, suaminya akan menjemputku nanti" , disyukurinya jawaban yang
terlintas cepat di otaknya, Dia jarang berbohong, dan tidak pandai berbohong,
sementara Damian terlihat seperti seorang detektif yang mencurigai tindakan
kriminal yang dilakukan di belakangnya.
"Suaminya?" Jawaban itu sepertinya membuat Damian tidak senang karena ekspresi wajahnya
semakin menggelap. "Kau membiarkan suaminya menjemputmu" kalian hanya berdua di jalan?"
Serena merasa gugup, tapi kemudian dia merasa ingin tertawa mendengar
perkataan Damian yang terasa aneh.
"Damian," gumam Serena jengkel, " Dia seorang suami, dan isterinya akan
melahirkan anaknya, apa yang ada di dalam pikiranmu?"
Perkataan itu membuat pipi Damian merona, dan dia melangkah mundur.
"Ah ya...maaf," lalu lelaki itu menatap Serena tajam, " Kau boleh pergi, tapi
begitu sampai di rumah sakit itu kau harus menghubungiku"
"Ya," jawaban Serena terlalu cepat sehingga Damian menatapnya makin curiga.
"Kau harus menghubungiku, Oke?"
"Oke", jawab Serena terlalu cepat.
"Serena!" Suara Damian terdengar jengkel.
"Oke, Aku janji." Jawab Serena akhirnya.
"Dan sebelum jam delapan malam kau harus pulang."
"Baik Damian", Serena berjanji meski tidak tahu apakah dia bisa menepatinya.
Dan sekarang, dengan sengaja Serena mematikan ponselnya. Bagaimanapun
kemarahan Damian nanti akan ditanggungnya, sekarang yang paling penting
adalah Rafi. "Sudah waktunya", gumam suster Ana, membuyarkan lamunan Serena.
Dua perawat lain masuk ke ruangan dan mulai mempersiapkan mesin-mesin
penunjang kehidupan untuk Rafi. Lalu mulai mendorong tubuh Rafi keluar
ruangan. Serena mengikuti di belakang, sampai Rafi menghilang di pintu khusus ruang
operasi. Dengan lemah dia menoleh ke suster Ana,
"Berapa lama suster operasinya?" Suster Ana memeluk Serena lembut.
"Untuk operasi berat seperti ini, minimal 4 jam Serena."
*** 4 jam 5 jam 6 jam ...... Napas Serena mulai terasa sesak, berkali kali dia melirik lampu di atas pintu
ruang operasi. Tetapi tetap tidak ada gerakan di sana. Di setiap detik yang
terlewatkan dengan begitu lambat, napas Serena terasa makin lama makin
sesak. Kenapa lama sekali?" Apa yang terjadi" Apakah para dokter mengalami
kesulitan" Bagaimana kondisi Rafi disana"
Pertanyaan-pertanyaan itu berkecamuk di dalam benak Serena, membuatnya
makin cemas dan ketakutan.
Suster Ana sudah berkali-kali menengok keadaan Serena di sela-sela tugas
jaganya, membawakan Serena segelas teh dan makanan kecil karena Serena
tidak mau makan. "Makanlah dulu Serena. Aku tidak mau kau pingsan nantinya." gumam suster
Ana sambil memijit lembut pundak Serena.
Dengan lemah Serena menggeleng. "Tidak bisa suster, aku terlalu cemas untuk
makan." "Kalau begitu minumlah tehmu, kau sama sekali belum makan sejak tadi,
setidaknya teh manis bisa memberikanmu sedikit tenaga."
Dengan patuh Serena meneguk teh manisnya, lalu menatap ke pintu lagi dengan
cemas. "Kenapa lama sekali suster operasinya?"
Suster Ana menghela napas.
"Aku tidak tahu Serena, tapi Rafi kan kasus khusus, para dokter harus benarbenar
berhati-hati menanganinya, mungkin itu yang memerlukan waktu lebih
lama." Pandangan Serena tetap tidak terlepas dari pintu ruang operasi.
Ketegangannya semakin meningkat, ketika lampu di atas pintu ruang operasi
menyala, tanpa sadar dia terlompat dari tempatnya berdiri dan setengah berlari
menyongsong dokter. Dokter itu tersenyum sebelum Serena bertanya, dia mengenal Serena, mengenal
kegigihan gadis itu memperjuangkan kehidupan tunangannya. Dan tanpa sadar
turut merasakan empati pada pasangan itu.
"Tidak apa-apa Serena, Rafi lelaki yang kuat, operasinya berhasil."
Tubuh Serena langsung lunglai penuh rasa syukur hingga sang dokter harus
menopangnya. "Selamat Serena, kamu berhasil... Kalian berdua berhasil."
*** "Pulanglah dulu Serena, ini sudah hampir jam tiga pagi", suster Ana yang masih
setia menemani mengguncang pundak Serena.
Dia kasihan melihat gadis itu tertidur kelelahan di samping ranjang Rafi, begitu
Rafi keluar dari ruang pemulihan dan kembali ke kamar perawatan intensif,
Serena tak pernah beranjak dari sisi Rafi, tidak makan, tidak minum. Hanya
duduk disana mengenggam tangan Rafi yang tidak terbalut infus, seolah olah
akan ada keajaiban dimana Rafi akhirnya sadarkan diri.
Kasihan sekali kau nak, suster Ana menggumamkan rasa tersentuhnya dalam
hati.
A Romantic Story About Serena Karya Santhy Agatha di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Serena berusaha mengumpulkan kesadarannya, tanpa terasa tadi dia tertidur
karena kelelahan. "Kamu harus pulang Serena, ingat, mungkin Damian kebingungan mencarimu."
Astaga!! Astaga!! Astaga!! Ya Tuhan, Serena benar-benar lupa, Damian!!!
Astaga, lelaki itu pasti akan mencarinya dan sekarang dia pasti sedang marah
besar!!! Dengan gugup Serena bangkit dari kursinya, sedikit gemetar membayangkan
kemarahan Damian nantinya.
"Aku meminta supir rumah sakit mengantarmu pulang, jadi kamu tidak perlu naik
taksi dini hari begini", Suster Ana berusaha meredakan kegugupan Serena.
Dengan cepat Serena mengecup tangan Rafi yang masih ada dalam
genggamannya, memeluk suster Ana dan setengah berlari keluar.
*** Ruangan itu gelap. Gelap dan sunyi, hingga bunyi klik ketika Serena menutup pintu terdengar begitu
keras. Dengan gugup Serena menelan ludah.
Kenapa sepi" Kemana Damian"
Apa Damian mungkin pulang ke rumahnya" Apa mungkin dia tidak tahu kalau
Serena belum pulang" Syukurlah kalau begitu kejadiannya.
Serena berusaha menenangkan dirinya, tapi tetap saja tidak bisa
menyembunyikan rasa gugupnya menghadapi apa yang akan terjadi, seperti
hitungan mundur penantian sebuah bom yang akan meledak saja.
Dan bom itu memang meledak.
Dalam hitungan beberapa menit pintu depan terbuka, tidak, bukan terbuka, tapi
terdorong dengan kasarnya, lampu-lampu menyala.
Damian tampak begitu menakutkan, matanya menyala-nyala, rambutnya acakacakan,
bahkan pakaiannya yang biasanya selalu elegan dan rapi tampak kusut
masai. Yang pasti, lelaki itu kelihatan begitu murka mendapati Serena berdiri di
ruang tamu apartemen itu, hanya menatapnya.
Dengan gerakan kasar dia meraih pundak Serena dan mengguncangnya begitu
keras sampai Serena merasa pusing,
"Kemana saja KAU?"?""!!!", teriak Damian, lepas kendali.
Serena berusaha menjawab, tetapi kepalanya terasa pusing karena Damian
masih mengguncangnya. "Aku mencarimu ke segala penjuru, kau tahu?"?"!!! ", Damian masih berteriak.
"Semua rumah sakit bersalin di kota ini aku datangi satu persatu, tapi tidak ada
kamu!!!! Kemana saja KAU?"?""
"Damian, kalau kau terus mengguncangnya seperti itu, dia akan muntah
sebentar lagi", sebuah suara tenang terdengar di belakang Damian, membuat
lelaki itu terpaku, seolah-olah baru menyadari kehadiran sosok di belakangnya.
Freddy berdiri dengan santai sambil menyandarkan tubuhnya di dinding dekat
pintu, sepertinya menikmati pemandangan Serena yang didamprat oleh Damian.
Damian menarik napas dalam-dalam beberapa kali, berusaha mengontrol
emosinya. Sialan benar Serena!!! Sialan benar gadis ini!!! Tidak tahukah dia begitu cemas
tadi ketika sampai malam Serena tidak juga pulang?" Tak tahukah dia betapa
hati Damian dicengkeram ketakutan yang amat sangat ketika mencoba
menghubungi Serena dan menemukan bahwa ponselnya mati?""
Beribu pikiran buruk tadi berkecamuk di dalam benak Damian, bagaimana kalau
Serena kecelakaan" Atau dia menjadi korban kejahatan?""!!!! Bagaimana kalau
gadis itu terluka parah dan tidak dapat datang kepadanya untuk meminta
pertolongan?"" Dan sekarang, menemukan gadis itu berdiri di ruang tamu apartemennya, tanpa
kekurangan suatu apapun, membuat Damian dibanjiri perasaan lega yang amat
sangat, lega sekaligus murka, murka karena gadis itu telah membuatnya kacau
balau, murka karena gadis itu telah membuatnya berubah dari Damian yang
tenang menjadi Damian yang kacau, murka karena gadis itu telah menumbuhkan
sebentuk perasaan yang tidak dia kenal sebelumnya.
"Pro... Proses melahirkan temanku bermasalah.... Dia... Dia eh... Harus....
Dioperasi....", Serena masih berusaha mengumpulkan nafasnya, diguncang
dengan begitu kerasnya membuat pandangannya berkunang-kunang.
Tangan Damian yang masih berada di pundaknya mencengkeramnya kuat.
"Kalau begitu, apa susahnya meneleponku?"!!! Kenapa kau matikan ponselmu
hah?"!!", Serena mengerjapkan matanya gugup. "Baterai ponselku... Habis..."
"Memangnya tidak ada cara lain buat menghubungiku"! Aku hampir gila
memikirkan kau ada dimana!! Apa kau pikir aku tidak mencemaskanmu?"" Kau
tahu aku hampir melaporkan kehilanganmu ke kantor polisi!!! "
"Damian, sudahlah, toh dia sudah pulang dengan selamat", Freddy menyela,
berusaha lagi meredakan kemarahan Damian.
Dengan tajam Damian menoleh kepada sahabatnya itu,
"Cukup Freddy, kau boleh pulang, terima kasih sudah menemaniku tadi."
Freddy hanya mengangkat bahu menghadapi pengusiran halus itu, dia menepuknepuk
kemejanya yang juga kusut, lalu melangkah keluar pintu.
"Kau harus menenangkan otakmu, kalau kau seperti ini, makin lama aku makin
tidak mengenalmu", kata-kata Freddy ditujukan kepada Damian, tapi matanya
menatap tajam ke arah Serena, menyalahkan.
"Dan kau, Tuan Putri, lain kali belajarlah sedikit bertanggung jawab!",
sambungnya dingin sebelum melangkah keluar dan menutup pintu di
belakangnya. Ruangan itu menjadi begitu hening sepeninggal Freddy.
Damian diam. Dan Serena juga diam, menilai emosi Damian, takut salah berbicara atau
bertindak yang mungkin bisa menyulut emosi Damian semakin parah.
Setelah mengamati dengan hati-hati, Serena menarik kesimpulan kalau
kemarahan Damian sudah mulai mereda, matanya sudah tidak menyala lagi
seperti api biru, dan napasnya sudah teratur, hanya tatapan tajam dan bibirnya
yang menipis itu yang menunjukkan masih ada sisa kemarahan di sana.
"Maafkan aku," bisik Serena pelan, takut-takut.
Sejenak Damian tampak akan mendampratnya lagi, tetapi lelaki itu menarik
napas panjang, berusaha menahan diri.
"Sudahlah", gumamnya, melangkah melewati Serena memasuki kamar.
Dengan gugup Serena berusaha mengejar langkah Damian yang begitu cepat.
"Maafkan aku, aku tidak berpikir kamu akan secemas itu", tersengal Serena
berusaha menjajari langkah Damian menuju kamar. "Aku... aku terlalu terfokus
pada operasi temanku lalu aku...Damian!!", Serena setengah berseru karena
lelaki itu berjalan terus tanpa memperhatikannya.
Damian berhenti melangkah, menatap Serena, tampak begitu dingin.
"Yang penting kau sudah pulang dengan selamat", jawabnya datar.
"Damian.....?" Serena merasa ragu mendengar nada dingin di dalam suara Damian.
"Sudah! Aku mau tidur!" geram Damian marah sambil melangkah ke arah
ranjang. *** Lelaki itu marah, marah besar padanya.
Serena bisa merasakannya dari suasana pagi itu, ketika mereka bersiap-siap
berangkat ke kantor. Semalaman Serena tidak bisa tidur, dan Serena yakin Damian juga tidak tidur,
karena lelaki itu bergerak dengan gelisah sepanjang malam.
Suasana tegang di waktu sarapan pagi itu terasa seperti kawat berduri yang
direntangkan, siap putus dan melukainya.
Ia tidak menyukai suasana seperti ini, lebih baik Damian meledak-ledak marah
seperti kemarin, setidaknya semua kemarahannya terlampiaskan, tidak seperti
sekarang. Lelaki itu murka, tetapi menyimpannya sehingga membuat seluruh dirinya
tegang dari ujung rambut sampai ujung kaki.
"Kita berangkat bersama", desis Damian setelah membanting serbet makannya
ke meja. Tangan Serena yang menyuapkan roti ke mulutnya berhenti di tengah-tengah.
"Apa?" "Kita berangkat bersama-sama", ulang Damian datar.
"Tapi......" "Tidak ada tapi Serena," sela Damian kasar lalu berdiri dengan marah ke pintu,
"Ayo cepat!!!" Dengan gusar lelaki itu membukakan pintu mobil buat Serena, dan
membantingnya ketika Serena sudah duduk di kursi, tanpa dapat membantah,
tanpa dapat memberikan perlawanan.
Sepanjang jalan, lelaki itu menyetir dengan sangat kasar, seolah-olah
melampiaskan kemarahannya. Serena hanya duduk berdiam, tidak mau
melakukan apapun yang dapat memancing kemarahan Damian.
"Nanti kau pulang denganku!! Kau dengar itu?" Kau datang ke ruanganku
setelah jam kantor, kita pulang bersama!!!", gumam Damian tanpa mau dibantah
ketika menurunkan Serena di lobi kantor.
*** Hari ini berlalu dengan amat lambat bagi Serena, perasaannya tidak enak,
sampai kapan Damian akan marah padanya" Sampai kapan Damian akan
bersikap seperti ini kepadanya"
Dia tahu dia bersalah, tapi dia kan sudah meminta maaf" Lagipula kenapa
permasalahan kecil semacam ini begitu dibesar-besarkan oleh Damian"
Pemikiran itu masih berkecamuk di kepalanya ketika keluar dari lift yang
mengantarkannya ke ruangan pribadi CEO perusahaan.
Sebenarnya Serena tadi bermaksud pulang sendiri dan mampir ke rumah Sakit
menengok Rafi, memanfaatkan waktu bebasnya yang dijanjikan oleh Damian
pada waktu perjanjian awal mereka.
Tapi dengan ancaman Damian tadi pagi, Serena tidak punya pilihan lain selain
menuruti permintaan Damian untuk menemuinya di ruangannya sepulang kerja.
Meja sekertaris Damian sudah kosong, dengan pelan Serena melangkah ke pintu
besar ruangan Damian, mengetuknya pelan.
"Masuk." Sebuah suara mempersilahkannya dari dalam. Serena masuk dan menutup pintu
di belakangnya, ketika membalikkan badannya dia terpaku.
Bukan Damian yang ada di sana, tetapi Freddy, lelaki itu sedang duduk santai di
sofa, menyesap segelas brendy, menatap Serena dengan penilaian santai yang
sedikit kurang ajar. "Mr. Damian menyuruh saya kesini jam pulang kantor.", jelas Serena terbata.
Freddy tersenyum, masih duduk santai di sofa sambil menatap brendynya yang
tinggal seperempat gelas.
"Aku tahu, Damian menyuruhku menunggumu di sini, dia sedang menemui tamu
penting dari Jerman di ruang pertemuan."
"Oh." Serena tidak tahu harus berkata apa, suasana terasa sangat canggung. Entah
karena Serena memang tidak kenal dekat dengan Freddy, atau karena sikap
santai palsu yang ditunjukkan Freddy.
"Kalau begitu mungkin saya akan menunggu di luar saja", gumam Serena cepatcepat,
ingin segera meninggalkan ruangan itu.
"Bagaimana rasanya?"
Pertanyaan tiba-tiba Freddy itu menghentikan gerakan tangan Serena membuka
pegangan pintu. "Apa?" "Bagaimana rasanya menjadi wanita simpanan taipan kaya
Damian?",Freddy bangkit berdiri dari sofa dan menghampiri Serena.
seperti Serena tidak suka mendengar nada melecehkan dalam suara Freddy, dia ingin
segera keluar dari ruangan ini.
"Eh, mungkin saya harus menunggu di luar," Serena berhasil membuka pintu
sedikit, tapi dengan lengannya Freddy mendorong pintu itu tertutup lagi.
"Aku bertanya padamu Tuan Putri", ulang Freddy sinis.
Serena menatap Freddy tajam.
"Saya tidak akan membiarkan anda merendahkan saya," desisnya pelan.
Ucapan itu membuat Freddy tertawa, penuh penghinaan.
"Merendahkan katamu", bukannya kau yang datang merangkak meminta
dijadikan pelacur oleh Damian?"?", ejeknya kasar, lalu mencekal lengan Serena
tak kalah kasar, tak peduli Serena mulai meronta-ronta.
"Kau adalah wanita paling rendah, paling murahan yang pernah kukenal, kau
mungkin berhasil merayu Damian dengan tubuhmu", Freddy menyeringai sinis,
"Tak kusangka Damian bisa bertekuk lutut pada perempuan sepertimu, tapi kau
tentu sudah tahu kan" Damian terbiasa dikelilingi perempuan-perempuan
dewasa yang berpengalaman, jadi citra polos dan kekanak-kanakanmu tentu
saja menjadi hal baru yang menyegarkan untuknya."
"Anda salah ! Saya tidak begitu", Serena berusaha menyela, berusaha
melepaskan diri dari cekalan tangan Freddy, tapi genggaman lelaki itu seperti
capit besi, dan dari napasnya yang berbau brendy, sepertinya lelaki itu setengah
mabuk. "Kau tidak bisa membohongiku pelacur cilik!!", Freddy menggeram pelan, "Meski
dulu aku terpaksa membuatkan kontrak tiga ratus juta yang konyol itu, jangan
kira aku akan membiarkanmu menyetir Damian untuk membuat kekonyolan lain
yang merugikannya!!!"
"Anda salah paham!!", Serena setengah berteriak, semakin meronta dari
cengkeraman Freddy yang sangat keras.
"Kau pelacur cilik yang menjual tubuhmu seharga tiga ratus juta", Freddy mulai
merapat ke tubuh Serena. "Aku mulai bertanya-tanya, apakah hargamu sepadan dengan pelayananmu?"?"
"Tidaaak!!! Lepaskan saya!!!", Serena mulai berteriak membabi buta, berusaha
melepaskan diri dari Freddy yang semakin gelap mata.
Lelaki itu mencengkeramnya kuat, mendorongnya ke tembok dan berusaha
menciumnya dengan kasar Serena meronta membabi buta, berusaha menghindari ciuman itu sekuat tenaga,
memalingkan kepalanya seperti orang gila, dia tak mau disentuh Freddy, dia
tidak mau!!!! Damian!!! Damian!!! Tolong aku!!!!
*** Vanessa sedang duduk di ruang tamu rumahnya, merenung.
Ada yang mengganjal di pikirannya, terus mengganggu. Sesuatu yang
diketahuinya sejak dulu tapi di lupakannya.
Sesuatu tentang Serena, dia merasa dia seharusnya mengetahui sesuatu tentang
gadis itu, tapi apa"
Apa itu Vanesa " Bukankah kau merasa sudah pernah mengenal gadis itu
sebelumnya" Sebelum gadis itu bekerja di perusahaan ini " Bukankah gadis itu
terasa begitu familiar"
Dengan gelisah Vanessa berdiri, melangkah ke depan lemari putih yang
terpajang rapi di ruang tamunya....
Sebenarnya dia punya firasat Serena berhubungan dengan masa lalunya, masa
lalu yang ingin dilupakannya, karena terlalu pedih untuk diingatnya.
Kenangan tentang almarhum suaminya, Alfian.....
Dengan gemetar Vanesa membuka laci lemari putih itu, lalu mengeluarkan
sebuah kotak putih yang tidak pernah disentuhnya sejak dua tahun lalu.
Hati-hati dibukanya kotak itu dan dikeluarkannya isinya, sebuah map tebal berisi
berkas-berkas. Vanessa duduk, menarik napas panjang dan membuka map itu, isinya adalah
kliping, potongan berita-berita tentang tragedi dua tahun lalu.
Tragedi kecelakaan beruntun di jalan tol yang menewaskan Alfian suaminya.
Saat itu, dalam kesedihannya, Vanessa mengumpulkan semua berita yang
memuat tentang tragedi itu, menjadikannya satu di dalam satu map besar,
memasukkannya ke kotak, dan menyimpannya, menyimpannya bersama
segenap kepedihan yang dia rasakan.
Sekarang dia membuka lagi kotak kepedihan itu, hatinya terasa nyeri, tangannya
gemetar ketika membuka halaman demi halaman. Potongan artikel itu.
Sampai kemudian dia menemukan apa yang dia cari.
Gambar sosok itu persis sama, meski terlihat muda, rapuh dan remuk redam, itu
Serena yang sama, di gambar artikel itu, dia sedang menunduk mengenakan
pakaian serba hitam di ruang tunggu sebuah rumah sakit,
SELURUH KELUARGA TEWAS MENJADI KORBAN TABRAKAN BERUNTUN
Begitu judul artikel itu,
Disitu dijelaskan bagaimana Serena kehilangan kedua orang tuanya dan
ditinggalkan sebatang kara sendirian. Sedangkan tunangannya, seorang
pengacara bernama Rafi Ardyansyah terbaring koma tak sadarkan diri.
Tunangan?"" Koma?""
Vanesa membaca artikel itu dengan teliti, lalu mengamati background rumah
sakit pada gambar artikel Serena itu.
A Romantic Story About Serena Karya Santhy Agatha di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dia tahu rumah sakit ini karena pernah praktek lapangan disana beberapa tahun
lalu. Dengan segera dia menelephone rumah sakit itu, menggunakan berbagai
koneksi profesi dokternya untuk memperoleh info dari dokter- dokter yang
dikenalnya, Vanessa mencari informasi sebanyak-banyaknya,
dan pada akhirnya menemukan kebenaran.
Kebenaran yang pasti akan menyentuh hati siapapun yang mendengarnya.
Bahkan matanyapun berkaca-kaca karena terharu.
Tiba-tiba Vanessa teringat akan kata-kata Freddy ketika mereka makan siang
bersama tadi, mengenai rencana lelaki itu untuk memberi Serena
pelajaran....Malam ini.....
Oh Tuhan!! Dengan segera, seolah tersadarkan, Vanessa segera meraih dompet dan kunci
mobilnya, Dia harus mencegah Freddy melakukan apapun rencananya untuk memberi
pelajaran pada Serena!! Freddy sudah salah paham, dan apapun yang dilakukan lelaki itu, dia pasti akan
menyesal begitu mengetahui kenyataan yang sebenarnya!!
Vanessa harus mencegahnya sebelum terlambat!!
*** Tamu penting itu akhirnya pulang juga, beres sudah, semua berjalan sesuai
keinginannya. Damian mengacak rambutnya kesal,
Kalau begitu kenapa dia tidak merasa lega?"
Kau tahu kenapa Bisik suara hatinya, Ah ya, aku tahu kenapa. Damian mengakuinya. Serena. Cukup satu nama yang mewakili segalanya. Satu nama yang sedari tadi
menghantui pikirannya. Dia masih marah pada Serena, marah besar. Tapi bahkan meskipun dia marah,
dia tak ingin membuat Serena sedih dengan kemarahannya.
Sungguh ironis. Damian tersenyum sinis, menertawakan dirinya sendiri.
Tanpa terasa , gadis itu, Serena telah menjadi harta yang begitu berharga
untuknya. Tidak pernah dia secemas itu untuk siapapun, seperti yang dia lakukan untuk
Serena kemarin malam, Akuilah Damian, kau menyayangi gadis itu.
Suara hatinya menekannya lagi. Dan Damian tidak membantahnya, dia sudah
terlalu lelah membantahnya.
Gadis itu dengan sifat polos, jujur dan kekanak-kanakannya telah menyentuh sisi
hatinya yang tidak pernah diijinkan tersentuh oleh siapapun.
Ah ya, Serena pasti sudah menunggunya di ruangannya. Tamu penting yang
datang mendadak ini membuatnya terpaksa menghubungi Freddy agar
menunggu di ruangannya kalau-kalau Serena datang.
Membayangkan Serena sedang menunggunya membuat Damian tergesa
melangkah menaiki lift, menuju lantai pribadinya.
Dengan tenang dia membuka pintu ruangannya.
Pemandangan di depannya adalah pemandangan yang tidak disangkanya
sekaligus pemandangan yang paling tidak disukainya.
Freddy sedang berdiri menekan Serena ke tembok, memeluknya erat-erat dan
menciumnya, tubuh Serena yang mungil tenggelam dalam pelukannya.
Ketika menyadari pintu terbuka, Freddy mengangkat kepalanya, dan menatap
Damian yang terpaku di pintu, membeku seperti batu.
"Oh, hai Damian," Freddy tersenyum, mengusap bibirnya yang sedikit bengkak
karena berciuman dengan kasar, "Aku menawar gadismu ini dengan harga
beberapa juta, dan dia bersedia menemaniku selama beberapa jam, boleh kan?"
Serena yang masih berada dalam cengkeraman Freddy menjadi pucat pasi
mendengar fitnah Freddy yang begitu kejam.
Damian tidak akan percaya kata-kata Freddy kan" Damian tidak akan percaya
kan" Tapi ekspresi Damian begitu susah dibaca, lelaki itu seperti membeku.
"Dan kau tahu Damian, kau memang benar- benar tidak rugi", Freddy
menyambung, menyeringai menghina kepada Serena, "Ciumannya lumayan
WOW" "Tidak!!!", Serena akhirnya berhasil bersuara, mencoba membantah kata-kata
Damian, "Tidak!!! Ya Tuhan!! Damian!!!!"
Suara Serena berubah menjadi jeritan ketika dengan secepat kilat tanpa di
dugaduga, Damian menerjang Freddy.
Menarik laki-laki itu dengan kasar dari Serena, lalu menyarangkan pukulan keras
di rahang Freddy, kemudian di perutnya sampai Freddy terbungkuk-bungkuk
menahan sakit, Tetapi Damian masih belum puas. Dia menyarangkan lagi pukulan telak bertubitubi
ke semua bagian tubuh Freddy, tanpa memberi Freddy kesempatan
melawan, "Damian!!! Stop!! Kumohon!! Kau bisa membunuhnya!!", Serena berteriak panik
ketika Damian menghajar Freddy seperti kesetanan.
Dan terus menghajarnya, terus tanpa henti tidak peduli Freddy sudah terkulai
tanpa memberikan perlawanan. Aura membunuh memancar dari mata Damian,
menakutkan. "Damian!!!", Serena menjerit sekuat tenaga, berusaha mengembalikan akal
sehat lelaki itu. Kali ini berhasil, Damian berhenti. Matanya nyalang, napasnya terengah-engah.
Sedangkan kondisi Freddy sungguh mengenaskan, lelaki itu berbaring tak
berdaya, wajahnya penuh darah, mungkin hidungnya patah. Dan sepertinya dia
tidak sadarkan diri. "Astaga." sebuah suara tercekat yang berasal dari pintu membuat Serena dan Damian
menoleh bersamaan, Vanessa berdiri di sana, pucat pasi.
Seolah disadarkan, Damian langsung berdiri, menghampiri Serena dengan bara
kemarahan yang membuat Serena beringsut menjauh.
Lelaki itu tidak peduli, dengan kasar dia menarik lengan Serena, setengah
menyeretnya keluar ruangan.
"Sakit Damian", Serena merintih karena perlakuan kasar Damian, tetapi lelaki itu
tidak peduli, seolah tidak mendengar apa yang diserukan Serena.
Vanessa berusaha menghentikan langkah Damian,
"Damian, kau harus mendengar penjelasanku, semua ini......"
"Diam!!!", teriakan Damian yang menggelegar membuat suara Vanessa tertelan
kembali," Kau urus saja bajingan disana itu sebelum dia mati kehabisan darah!!
Dan begitu dia sadar, katakan padanya bahwa dia dipecat!!"
Damian menggeram marah sambil menyeret Serena menaiki lift.
meninggalkan Vanessa yang masih berdiri terpaku, bingung.
*** "Damian! Semua yang Freddy katakan itu bohong!", Serena berusaha
menjelaskan ketika mereka sampai di apartemen, dan lelaki itu masih
menggelandangnya dengan kasar.
Tubuh Serena dihempaskan dengan sangat kasar ke tempat tidur.
"Dia bohong Damian...", Serena tersengal, putus asa mencoba meyakinkan
Damian. "Freddy tidak pernah berbohong padaku", jawab Damian datar, tangannya
bergerak membuka kancing bajunya.
"Dia bohong...Percayalah", air mata mulai mengalir di sudut mata Serena.
"Tidak ada untungnya baginya berbohong padaku."
"Ada!!!", jerit Serena, "Dia membenciku, dia ingin menyingkirkanku...."
"Wah...Kau pikir kau seberharga itu" Kau tidak lebih dari pelacur kecil dengan
tampilan tanpa dosa....Berapa dia membayarmu untuk sebuah ciuman hah"!
Sepuluh juta?" Dua puluh juta?" Kau pikir kau bisa mendapatkan uang
keuntungan dari kami berdua ya?""
"Kumohon Damian, kau tahu dia berbohong....Kumohon...Kumohon...Percayalah
padaku...", Serena mulai panik ketika Damian melepas kemejanya, "Ke... Kenapa
kau melepas pakaianmu?"
Dengan takut Serena beringsut di ranjang mencoba sejauh mungkin dari
Damian. "Yah...Aku sudah pernah bilang kan?", lelaki itu tersenyum kejam sambil mulai
melepas ikat pinggangnya, tatapan matanya tak lepas dari Serena yang
meringkuk ketakutan seperti sekor mangsa yang menghadapi predator kejam.
"Seorang pelacur harus diperlakukan seperti pelacur!", desis Damian penuh
penghinaan. *** "Sakit", Freddy mengernyit ketika Vanessa mengusap luka di bibirnya dengan
kapas. "Kau pantas mendapatkannya", gumam Vanessa tanpa perasaan, malah semakin
kasar mengusap luka itu. Mereka baru pulang dari rumah sakit, hidung Freddy patah, dan tiga tulang
rusuknya retak sehinga harus ditahan dengan perban. Belum lagi lebam lebam di
tubuh dan mukanya. Mata Freddy sudah mulai bengkak membiru. Pukulan
pukulan yang diberikan Damian benar-benar brutal.
"Aku kan cuma membantu Damian dengan menunjukkan padanya kalau
perempuan yang di peliharanya itu cuma pelacur kecil", Freddy tampak
kesusahan bicara, tapi ia masih membela diri.
"Jangan sebut dia pelacur!!! Kau mungkin lebih kotor darinya!", potong Vanessa
marah, melemparkan kapas yang di celup alkohol itu ke samping, "Kau sudah
bertindak kejam dan gegabah pada Serena.....Astaga! Kau pasti akan menyesal
begitu mengetahui semuanya!!"
"Mengetahui apa?", kali ini Freddy mulai cemas. Vanessa tampak begitu marah
sekaligus begitu sedih. Bertahun-tahun dia mengenal Vanessa, tak pernah wanita
itu tampak begitu dikuasai emosi. Kecuali pada saat pemakaman Alfian.....
"Aku mulai ketakutan", gumam Freddy ketika Vanessa tidak berkata apa-apa,
"Mengetahui apa , Vanessa?"
"Kebenaran tentang Serena", jawab Vanessa lirih lalu mendesah seolah-olah tak
mampu melanjutkan penjelasannya, "Mungkin kau harus melihat ini dulu."
Vanessa mengambil bundelan artikel itu dari kotak putihnya, membukanya dan
meletakkannya di pangkuan Freddy.
Begitu melihat foto yang menyertai artikel itu Freddy terhenyak, dan ketika
membaca judul artikel itu yang ditulis dengan huruf besar-besar, keringat dingin
mengalir di dahinya. Dan begitu selesai membaca keseluruhan artikel itu, wajahnya benar-benar
pucat pasi. "Astaga.....", akhirnya Freddy mampu berkata-kata, suaranya lemah dan diliputi
shock yang mendalam. "Ah ya, astaga". Gumam Vanessa mengejek, "sekarang kau mengerti kan kenapa
aku begitu membela Serena?"
Freddy memejamkan matanya, meringis merasakan matanya yang sakit.
Hidungnya sakit, bibirnya sakit, sekujur tubuhnya sakit. Tapi yang paling sakit
adalah hatinya. Penyesalan itu datang menghantamnya tanpa ampun sehingga
yang bisa dilakukan Freddy hanya diam dan menahankan sesak di dadanya.
Dia pantas mendapatkan ini!!!
"Jadi serena melakukan ini semua karena itu...", suara Freddy diwarnai
kesakitan, lalu dia menatap Vanessa penuh harap, berharap kalau artikel ini
salah. Sebab jika artikel ini benar, apapun yang dilakukan Freddy tadi
benarbenar tak termaafkan, "apakah kau sudah memastikan kebenaran artikel ini?"
Vanessa menatap Freddy tajam, tampak puas dengan penyesalan Freddy.
"Aku sudah memastikan ke rumah sakit itu. Tunangannya, Rafi Ardyansyah
masih terbaring koma disana dan belum pernah sadarkan diri sejak dua tahun
yang lalu. Kemarin Rafi telah menjalani operasi ginjal -- yang aku tahu biayanya
amat mahal, hampir mencapai tiga ratus juta rupiah -- dan sukses. Operasinya
sukses, tapi lelaki itu masih belum sadar", Vanessa memalingkan wajah. Matanya
tampak berkaca-kaca menahan haru.
"Aku bertanya tentang Serena kepada dokter-dokter di rumah sakit itu, dan
rupanya kisah Serena dan Rafi seolah menjadi legenda sendiri di sana. Kisah
seorang wanita yang menunggu tunangannya terbangun tanpa putus asa
selama bertahun-tahun......"
Jadi karena itu. Kebenaran itu menghantam Freddy dengan telak. Jadi karena itu
Serena menjual dirinya. Jadi karena itu Serena mempunya hutang begitu besar
diperusahaan, Freddy menatap Vanessa nanar, lalu mengalihkan tatapannya lagi ke atikel di
depannya, dia mengernyit,
Rafi Ardyansyah... Sebuah kebenaran langsung menghantamnya sekali lagi, sangat keras dan tidak
tanggung-tanggung. "Aku mengenal Rafi Ardyansyah", gumam Freddy seolah kesakitan.
Vanessa langsung menatap Freddy tajam.
"Kau mengenalnya?"
Freddy mengangguk, lunglai.
"Dia... dia pengacara handal dan sukses dari sebuah firma hukum terkenal,
reputasinya bagus, sangat jujur dan jarang kalah...Aku tidak begitu
mengenalnya, hanya pernah beberapa kali bertemu di pengadilan, menangani
kasus yang berbeda, tetapi dia terkenal sebagai pengacara muda berprospek
paling cerah di antara kami...aku mendengar dia akan menikah, sampai
kemudian dia menghilang begitu saja setelah kecelakaan itu,...ada berita cukup
simpang siur setelahnya, katanya dia kecelakaan dan kemudian cacat lalu
pindah ke luar negeri, bahkan banyak gossip bilang dia sudah meninggal akibat
kecelakaan itu...aku...aku sama sekali tidak menyangka dia masih bertahan
hidup...Dalam kondisi koma", Freddy meremas rambutnya seperti tentara kalah
perang, lalu menatap Vanessa, mengernyit,
"Kau bilang kapan operasi Rafi tadi?"
"Kemarin malam", Vanessa melirik jam tangannya, sudah jam tiga pagi, "atau
bisa dibilang sudah kemarin lusa?"
"Oh Tuhan!", Freddy menutup wajahnya dengan kedua tangannya.
Oh Tuhan!.....Apalagi yang bisa dia katakan" Itu sebabnya malam itu Serena
menghilang tanpa kabar dan tidak bisa ditemukan dimana-mana. Perempuan itu
pasti sedang menunggui operasi tunangannya!! Dan apa yang dia katakan
malam itu pada Serena" "Kau mungkin harus belajar lebih bertanggung jawab
tuan putri!" , kata-kata yang sombong dan penuh tuduhan yang sekarang ia
tahu, tak pantas ia ucapkan kepada Serena.
"Kau benar-benar lelaki paling bodoh dan gegabah yang pernah aku kenal",
dengus Vanessa, masih marah atas tindakan Freddy tadi. "Jika kau belum babak
belur oleh Damian, aku pasti akan menamparmu berkali-kali",
Freddy mengernyit mendengar ancaman Vanessa,
"Tapi kau tidak bisa begitu saja menyalahkanku, suatu hari Damian
menghubungiku untuk mengurus kontrak jual beli tubuh Serena senilai tiga ratus
juta. Kau pikir apa yang bisa kupikirkan selain Serena adalah pelacur?"?"
"Jangan sebut-sebut kata pelacur lagi Freddy!!!", potong Vanessa tajam.
Freddy bungkam lalu mengangkat bahu.
"Aku memang salah besar, tapi siapa yg tidak berpikit begitu" Damian sangat
kaya, dan gadis itu punya reputasi hutang besar diperusahaannya.....tentu saja
sebagai pengacara aku menilai ada niat jahat dari sisi Serena", Freddy mencoba
membela diri lagi karena dilihatnya Vanessa masih memelototinya dengan tajam,
"Sebagai seorang pengacara kau seharusnya melakukan penyelidikan", gumam
Vanessa sinis. Freddy menarik napas panjang dan mengangguk.
"Benar, aku terlalu gegabah mengambil tindakan. Sebenarnya aku sudah
bertekad tidak akan ikut campur hubungan Damian dan Serena, tapi malam itu,
ketika Serena menghilang tanpa kabar, Damian mencarinya seperti orang gila,
hampir kehilangan akal sehat karena mencemaskan Serena. Damian berubah
karena gadis itu, dia begitu emosional. Tidak lagi berkepala dingin dan tenang",
Freddy menarik napas dalam, "Aku takut Serena makin lama akan makin
membawa pengaruh buruk bagi Damian, maka aku memutuskan untuk membuat
mereka terpisah sesegera mungkin."
"Memangnya apa yang kau lakukan tadi sampai Damian menghajarmu dengan
begitu brutalnya?" Wajah Freddy tampak memerah malu.
"Aku menciumnya dengan paksa, melecehkan Serena dan memastikan agar
Damian melihat itu semua," gumamnya pelan.
Vanessa langsung melotot marah mendengarnya.
"Apa?" Freddy memalingkan mukanya, tidak tahan menghadapi tatapan tajam Vanessa.
"Dan aku...", kata-kata itu seolah susah payah keluar dari mulut Freddy, "Dan
A Romantic Story About Serena Karya Santhy Agatha di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
aku...memfitnahnya, aku bilang Serena mau kubayar untuk bercumbu denganku
selama beberapa jam...",
"Oh Tuhan, Freddy!!", Vanessa mengerang tak habis pikir dengan perlakukan
Freddy, "Pantas saja Damian menghajarmu habis-habisan, kalau aku ada disana
waktu itu, aku pasti akan memberi semangat padanya agar menghajarmu lebih
keras", Freddy menganggukkan kepalanya,
"Aku...aku pantas menerimanya...", lelaki itu menghela napas panjang, "Tapi
Vanessa...Setelah aku mengetahui semua kebenaran ini, dan melihat tatapan
mata Damian ketika menyeret Serena pulang tadi, entah kenapa aku...cemas. "
Wajah Vanessa mendadak pucat pasi,
"Astaga!!! aku hampir saja lupa, Damian selalu mempercayai kata-katamu!!
bagaimana kalau Damian menyangka bahwa Serena benar-benar menjual dirinya
kepadamu" Kalau melihat betapa posesifnya Damian pada Serena, aku tidak
berani membayangkan betapa marahnya Damian!! kita harus menjelaskan
semua kepada Damian sebelum dia melakukan sesuatu yang nantinya akan dia
sesali," Vanessa langsung meraih gagang telephone dan memencet nomor
Damian. Lama ia mencoba tanpa hasil, ahkirnya menarik napas panjang dan menyerah.
"Semua nomornya tidak aktif, kita juga tak bisa menyerbu ke apartemennya
begitu saja karena ini sudah dini hari", Dengan pasrah Vanessa meletakkan
gagang telephone, "Kita harus menunggu sampai besok pagi, dan jika...dan jika
ternyata semuanya sudah terlambat...", Vanessa melemparkan tatapan tajam ke
arah Freddy yang balas menatapnya penuh rasa bersalah, "Aku akan
membuatmu membayar semua kekacauan yang telah kau buat Freddy."
*** "Seorang pelacur harus diperlakukan seperti pelacur."
Kata-kata Damian yang diucapkan dengan nada dingin dan ketenangan
menakutkan itu seolah-olah bergaung di ruangan yang hening itu.
Lelaki itu sudah melepaskan kemejanya, dan membuka ikat pinggangnya lalu
meletakkannya di ujung ranjang. Matanya begitu dingin, ekspresi wajahnya
tenang, terlalu tenang, hingga membuat Serena gemetar cemas.
"Kau...Harus...Mendengarkan." Serena masih mencoba, meskipun melihat
ekspresi wajah Damian, ia tahu ia tidak akan berhasil.
Damian terlalu marah, dia terlalu dibutakan oleh kemurkaannya.
"Lepaskan kemejamu Serena." gumam Damian datar.
"Damian..." wajah Serena langsung pucat pasi mendengar perintah yang
diucapkan tanpa ekspresi.
"Lepaskan." Nada suara Damian begitu menakutkan. Mungkin Serena akan lebih berani
menghadapi jika Damian berteriak-teriak marah dan membentaknya. Tetapi
lelaki ini begitu tenang hingga menakutkan.
Dengan gemetar Serena melepas kancing demi kancing kemejanya. Menatap
Damian dengan wajah memohon, tetapi lelaki itu tidak terpengaruh.
Setelah seluruh kancing kemeja Serena terlepas, dia berdiri sambil
menggenggam kemejanya yang terbuka dengan kedua tangannya erat-erat,
berlutut di ranjang itu, memohon belas kasihan kepada lelaki yang berdiri di
tepi ranjang dan tampak kejam.
"Aku bilang lepaskan kemejamu, Serena," suara Damian tetap lembut dan
terkendali, tapi entah kenapa Serena makin gemetar mendengarnya, dengan
sudah payah dia melepaskan kemejanya dan menjatuhkannya ke kasur, menatap
Damian tanpa daya. "Sekarang roknya." sambung Damian setelah mengamati tubuh Serena tanpa
malu-malu, membuat seluruh wajah dan tubuh Serena merah padam.
"Tidak...!" Serena berusaha membantah, dia tidak mau dilecehkan seperti ini,
dipaksa membuka baju dihadapan laki-laki yang sama sekali tidak
menghargainya. "Aku bilang roknya!" suara Damian sedikit naik, tetapi tetap tenang. Matanya
menatap tajam tak terbantahkan, hingga mau tak mau Serena bergerak
melepaskan roknya, air mata mulai mengalir di mata Serena.
Hening cukup lama, Damian terdiam sambil menatap Serena tajam. Dan Serena
berlutut di ranjang itu dengan tubuh gemetaran, berusaha memeluk tubuhnya
sendiri dengan kedua tangannya yang kecil.
"Lepas pakaian dalammu."
"Tidak!!" dengan was-was Serena berseru, tanpa sadar tubuhnya beringsut ke
ujung ranjang, ketakutan.
Sikapnya itu malah menyalakan api kemarahan di wajah Damian, lelaki itu sudah
tidak setenang tadi. "Kenapa tidak Serena" Pelacur cilikku" sudah tak terhitung berapa kali aku
melihatmu telanjang, dan kau melakukan semuanya dengan sukarela kan" Demi
uang tiga ratus juta...", Suara Damian terdengar jijik, dia melangkah maju
mendekati ranjang dan secara otomatis Serena langsung beringsut mundur
menjauh. "Aku membeli tubuhmu seharga tiga ratus juta, seharusnya tubuhmu itu bisa
kupergunakan semauku, tetapi aku terlalu baik padamu, memberimu
kemewahan, tidak menyentuhmu di saat kamu sakit, merawatmu...itu semua
terlalu baik untukmu," Mata Damian tampak menyala, "Dan kau dasar pelacur
cilik tak bermoral! bukannya mensyukuri kebaikan hatiku, kau malah merayu
sahabatku...!!!" "Kau salah paham Damian." Serena mulai menangis terisak.
Tetapi Damian tetap mengeraskan hatinya.
"Aku tidak mungkin salah paham dengan apa yang kulihat dengan mata
kepalaku sendiri." Dengan gerakan secepat kilat Damian meraih kedua lengan Serena, sebelum
Serena sempat menghindar dan menempelkan tubuh Serena ke tubuhnya
sendiri. "Kalian berciuman!! kau membiarkan dia menciummu!! menjijikkan sekali
dimataku." Napas Damian mulai terengah-engah, lalu mendorong Serena ke bantal
membuatnya terbanting kasar disana.
Serena berusaha menghindar, berusaha melepaskan diri dari tindihan badan
Damian yang keras dan berat, berusaha melepaskan diri dari cengkeraman
tangan Damian yang kuat dan tanpa ampun.
Tetapi lelaki itu terlalu kuat, terlalu marah, bahkan tidak menyadari kalau
kekasarannya melukai tubuh Serena yang rapuh.
Lelaki itu seperti kerasukan setan. Matanya menyala penuh kebencian ketika dia
menatap Serena. Dengan ketakutan yang amat sangat, Serena berusaha
memberontak dan turun dari ranjang, tetapi Damian menangkapnya,
membantingnya di ranjang lagi dengan kasar, lalu menindihnya.
Serena mengernyit merasakan cengkeraman tangan Damian yang kasar di
tangannya. "Sakit Damian...kumohon..."
"Diam!!" seru Damian marah, dan ketika Serena meronta ketakutan, hal itu
makin mendorong kemarahan Damian, lelaki itu merobek baju Serena dan
mencoba membuka pahanya. Serena berteriak ketakutan, dia tidak siap dan Damian pasti akan melukainya.
Tetapi Damian tidak peduli. Ketika merasakan Serena tidak basah dan tidak siap,
lelaki itu tetap menyatukan dirinya.
Bagi Serena itu adalah kesakitan yang luar biasa, sakit di tubuhnya dan sakit di
hatinya, diperlakukan seperti pelacur rendahan yang tak ada harganya.
Seluruh tubuhnya terasa tersobek-sobek oleh gesekan tubuh Damian, tapi
Serena menahan diri, digigitnya bibirnya hingga hamper berdarah, di
tahankannya air matanya meskipun matanya terasa begitu perih. Dan di
tekannya hatinya dalam dalam yang mulai hancur menjadi serpihan berkepingkeping.
*** Serena berbaring memunggungi Damian, matanya nanar, penuh airmata.
Napasnya sesak karena isakan yang ditahannya.
Setelah semua usai, Damian menjauh dari tubuhnya dan berbaring hening di
sebelahnya, sampai napas yang terengah berubah menjadi tenang dan hening.
Serena tahu Damian tidak tidur, lelaki itu masih berbaring nyalang di
sebelahnya, terlentang menatap langit-langit kamar. Tetapi Serena langsung membalikkan
badan dan berpura-pura tertidur.
Dirasakannya Damian bolak-balik menghadap ke arahnya, seperti ingin
mengajaknya bicara tetapi kemudian ragu dan mengehentikan dirinya di detik
terakhir. Saat-saat hening itu terasa menyiksa. Tubuh Serena tegang meskipun dia
berakting sudah tidur dengan baik, dijaganya agar nafasnya teratur, dijaganya
agar tubuhnya tidak bergerak sama sekali.
Lama-lama dia merasakan tubuh Damian berangsur-angsur santai dan lelaki itu
tertidur. Serena menanti menit demi menit, menyakinkan diri kalau Damian
sudah terlelap, dan setelah cukup yakin, pelan-pelan dia bergerak.
Tubuhnya terasa sakit. Itu tadi benar-benar perkosaan, dan Damian sama sekali
tidak mau repot-repot bersikap lembut. Bibir Serena memar akibat ciuman yang
terlalu kasar, lengannya sedikit lebam karena genggaman yang terlalu keras, dan
masih ada kesakitan-kesakitan lainnya. Di seluruh tubuhnya, di dalam tubuhnya.
Tetapi yang paling sakit adalah hatiku.
Air mata mengalir tanpa suara dari pipi Serena, tapi dia menahan isakan dengan
menggigir bibirnya yang sakit. Dengan hati-hati Serena duduk di tepi ranjang,
mengamati pakaiannya yang berserakan di lantai, dan pakaiann dalamnya yang
setengah dirobek oleh Damian saat lelaki itu melepaskannya dengan marah tadi.
Pelan-pelan, agar tidak menimbulkan gerakan di ranjang tempat Damian
berbaring miring dan tertidur pulas, Serena bangkir berdiri dan memungut
pakaiannya satu persatu. Langkahnya goyah, dan tubuhnya gemetar, tapi Serena
menguatkan diri. Dipakainya pakaiannya pelan-pelan sambil menatap ranjang dengan was-was,
bersiap-siap jika ada satu gerakan sesedikit apapun dari Damian.
Tetapi lelaki itu tidur dengan tenang sampai Serena selesai berpakaian. Serena
lalu mengambil tas kerjanya dan melangkah keluar, tetapi di pintu dia ragu-ragu,
menoleh dan menatap Damian yang masih tertidur pulas.
Damian pasti akan maklum jika dia pergi
dan kejam itu, Damian pasti maklum
kemudian Serena mengernyit, teringat
menghilang tanpa pamit untuk menunggui
begitu saja. Setelah perkosaan brutal
jika Serena menjauh darinya. Tapi
kemarahan Damian ketika Serena
Rafi di rumah sakit hari minggu lalu.
Kalau aku pergi tanpa pamit, apa yang akan dilakukan Damian" apalagi dengan
perjanjian tiga ratus juta itu...
Ketakutan mewarnai perasaan Serena, menahan langkahnya.
Lalu Serena mengeluarkan kertas dan menulis.
Maaf Damian, aku harus pergi sementara. Butuh waktu sendirian.
Tapi Kau bisa tenang, aku tidak akan melarikan diri dari hutang-hutangku.
Aku tidak serendah itu kau tahu.
Sampai jumpa di kantor besok pagi
Serena. *** Pagi itu Damian duduk di kantornya dengan muram. Hari masih pagi, para
karyawan belum datang ke kantor, tapi Damian sudah ada di situ. Dia tak tahan
berada di kamar apartement itu sendirian.
Tanpa Serena. Dia terbangun pagi-pagi sekali, karena terbiasa mencari Serena untuk dipeluk,
tetapi yang ditemukannya hanya bantal kosong. Dengan marah Damian
langsung bangun dan murka.
Berani-beraninya pelacur itu meninggalkannya"
Tetapi kemudian, kertas yang diletakkan di bantal Serena itu agak meredakan
kemarahannya. Sebuah pesan singkat sederhana yang ditulis dengan huruf yang
sangat rapi. Serena bilang "Sampai jumpa di kantor besok pagi" jadi Damian menahan diri
dari kemarahannya dan memutuskan bersiap-siap dan berangkat ke kantor saat
itu juga. Sekarang dia duduk sendirian di ruangannya, memikirkan perbuatannya
semalam dan mulai merasa cemas. Ia terlalu kasar. Ia tahu itu. Ia terlalu kuat
dan Serena terlalu rapuh untuk menahan kemarahannya.
Tapi tidak tahukan Serena kalau pemandangan Serena yang sedang dipeluk dan
dicium oleh Freddy itu benar-benar membuatnya marah" Seharusnya hanya dia
yang boleh memeluk Serena ! Seharusnya hanya dia yang boleh mencium
Serena! Saat itulah pintu diketuk dengan pelan. Damian terdiam penuh antisipasi, dia
sudah menunggu. Siapa lagi yang datang sepagi ini kalau bukan Serena"
"Masuk." Pintu itu terbuka pelan, dan Serena muncul disana. Hati Damian langsung
bagaikan dihantam oleh palu ketika melihat keadaan Serena.
Gadis itu masih memakai pakaiannya yang semalam meskipun kelihatan segar
setelah mandi. Tapi wajahnya kelihatan pucat dan rapuh. Dan bibirnya sedikit
lebam akibat ciuman-ciuman kasarnya kemarin.
Kenapa kau pucat sekali sayang"
Damian berdehem, menahan perasaannya.
Detik itu juga Damian memutuskan dia akan memaafkan Serena. Dia tidak bisa
menyalahkan Serena karena merayu Freddy, tidak ada yang bisa melarangnya
kan" Tidak ada tertulis dalam perjanjian mereka bahwa Serena tidak boleh
menjalin hubungan dengan lelaki lain, disitu hanya tertulis bahwa Damian berhak
memiliki Serena sesuka hatinya.
Oleh karena itu dia akan segera memastikan adanya klausul tambahan dalam
perjanjian itu, bahwa Serena tidak boleh disentuh lelaki lain, bahwa tubuh
Serena adalah hak eksklusifnya, miliknya.
Untuk sekarang, Damian yakin Serena akan memohon maaf padanya, dan itu
bukan masalah, Damian siap memaafkan Serena atas pengkhianatannya
semalam. Dia siap menerima Serena lagi. Dia belum mau melepaskan Serena.
"Duduk." perintahnya, berusaha sedatar mungkin.
Dengan patuh Serena duduk, tapi gadis itu tidak berkata apa-apa, hanya
meremas tangannya dengan gelisah.
"Sebenarnya kau ingin bicara apa hingga harus menunggu sampai di kantor?"
Dimana kau tidur semalam" apakah kau baik-baik saja " apakah aku
menyakitimu" pertanyaan-pertanyaan itu yang bermunculan di benak Damian,
tetapi lelaki itu menahankannya.
Serena mendongakkan kepalanya, matanya tampak penuh tekad ketika menatap
Damian. Takut, tapi penuh tekad.
"Aku...ingin melunasi semua hutangku dan mengakhiri perjanjian kontrak kita."
Damian tertegun. Rasanya seperti seluruh aliran darahnya dihentikan seketika. Ini adalah jawaban
yang sama sekali tidak disangkanya. Damian begitu terkejut hingga membatu
seperti patung. Tetapi ketika keterkejutannya usai. Kemarahan langsung merayapinya. Seperti
api yang membakar pelan-pelan, makin lama makin berbahaya.
"Apa?" desis Damian di antara giginya, tangannya terkepal.
Dengan sedikit gemetar, Serena meletakkan sebuah kertas di meja Damian.
"Ini cek sebesar tiga ratur empat puluh juta, untuk melunasi hutangku sebesar
tiga ratus juta, dan hutang ke perusahaan sebesar empat puluh juta, dan ini..."
Serena meletakkan sebuah amplop di meja, "Surat pengunduran diriku dari
perusahaan ini." Hening cukup lama. Damian hanya duduk di situ, mengamati Serena dengan
mata yang menyala-nyala. Kemudian lelaki itu memajukan tubuhnya dan menatap Serena sambil tersenyum
dingin. "Lunas sepenuhnya" Jadi malam-malam selama kau melayaniku itu kau anggap
service gratis untukku?"
Wajah Serena pucat pasi mendengar hinaan tersirat itu.
"Aku...Aku hanya ingin melepaskan diri dari perjanjian itu..."
Damian mendesis gusar, lalu mengambil cek itu dan mengamatinya, alisnya
terangkat, kemarahan tampak semakin membakarnya.
"Kau bisa memperoleh uang sebanyak ini dalam semalam, apakah kau
menemukan korban lain yang bisa memberimu uang untuk melepaskan diri
dariku?" Serena membelalakkan matanya tak percaya akan kesimpulan negatif yang di
ambil Damian, "Jangan menuduhku serendah itu!!! Aku...aku bukan pelacur seperti yang kau
kira!!"
A Romantic Story About Serena Karya Santhy Agatha di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kau pernah dengan sukarela menjadi pelacurku demi uang tiga ratus juta!!
Bagaimana bisa aku tidak berpikir kau bersedia melacurkan diri pada orang lain
demi melepaskan diri dariku hah?""!!" Damian menggebrak meja dengan begitu
kerasnya, hingga Serena terlonjak kaget dari tempat duduknya.
Lalu tanpa di duganya. Damian mengambil surat pengunduran dirinya di meja.
Dan merobek-robeknya bersama dengan cek yang diberikannya.
Serena hanya ternganga, kaget dengan tindakan tak terduga Damian itu.
Sementara lelaki itu berdiri di sana, menatapnya dengan tatapan mengancam
sambil merobek-robek surat dan cek itu menjadi serpihan-serpihan kecil.
Ketika Damian mulai mendekati Serena, Serena langsung berdiri menjauh,
waspada. "Kenapa kau merobek cek dan surat itu?" tanya Serena gugup, takut akan
suasana hati Damian yang begitu muram.
Damian makin mendekat. Lalu berhenti dan tersenyum sinis ketika melihat
Serena mundur lagi menjauhinya.
"Aku tidak akan melepaskanmu begitu mudah Serena, kau pikir aku akan diam
saja kau bodohi" Aku akan membuatmu menerima balasan setimpal sebelum
akhirnya melepaskanmu..."
Tiba-tiba Damian bergerak cepat meraih Serena sebelum dia bisa menghindar.
Serena mencoba meronta, tapi ia sadar dari pengalamannya bahwa percuma
saja dia melawan kekuatan dan kemarahan Damian, jadi dia hanya diam dengan
wajah pucat pasi ketakutan.
"Katakan padaku Serena...Pria yang membayari hutangmu itu...Apakah dia
sudah menidurimu?" mata Damian menggelap penuh kemurkaan, "Apakah dia
sudah menyentuhmu?" napas Damian mulai memburu, "Apakah ciumannya
sebaik ciumanku" Atau dia hanya pria bodoh yang tertipu oleh kepolosan
palsumu yang...." "Lepaskan aku!!!!" entah darimana Serena seperti mendapatkan kekuatan untuk
mendorong Damian dan melangkah menjauh. "Aku sudah membayar hutangku.
Aku sudah tidak terikat denganmu!! Kau tidak berhak melecehkanku lagi!!"
"Melecehkan katamu?" Kau bilang itu pelecehan" Kau menyambutku dengan
hangat setiap aku mendatangimu dan kau bilang itu pelecehan?""
PLAK!!!! Tangan Serena tanpa disadari melayang sendiri menampar pipi Damian sekeras
mungkin, kata-kata Damian yang luar biasa menghina itu sangat menyakiti
hatinya. Damian berdiri disana mengusap pipinya lalu tersenyum jahat.
"Kenapa menamparku" Apakah kau merasa malu karena kekotoran moralmu
terungkap disini?" gumamnya sinis.
Dengan bergegas Serena melangkah ke pintu, sedikit lega karena Damian tidak
mengikutinya. "Aku akan mengirimkan lagi cek yang baru, berikut surat pengunduran
diriku...Bagiku semua sudah lunas di antara kita" gumamnya lirih.
"Bagiku belum," desis Damian tenang, "Kau boleh kabur kemanapun Serena, dan
aku bersumpah akan mendapatkanmu. Dan ketika itu terjadi aku tidak akan
main-main lagi, aku bahkan akan merantaimu di kamar jika perlu. Dan tak usah
repot-repot mengirimkan cek ataupun surat apapun, aku akan merobekrobeknya
lagi." Tangan Serena yang memegang gagang pintu gemetaran.
"Kenapa kau begitu kejam padaku...?" Rintihnya putus asa, matanya berkacakaca.
Sejenak Damian terpaku. Serena tampak begitu hancur, begitu luluh, hingga
seketika itu juga Damian ingin memeluk Serena dan menghiburnya, meminta
maaf atas kata-kata kasarnya. Tapi akal sehatnya segera mengambil alih. Itu
akting, teriaknya pada diri sendiri, jangan tertipu, gadis ini pandai
memanipulasi orang dengan berpura-pura rapuh. Kau sendiri sudah merasakannya bukan"
"A...Aku tetap akan pergi..." Serena bergumam ketika Damian hanya berdiam
diri, "Kau boleh memaksaku semaumu, tapi aku akan melawanmu sekuat
tenaga." Dengan cepat Serena membuka handel pintu. Lalu menolehkan kepalanya untuk
menatap Damian, mungkin untuk yang terakhir kalinya.
Diserapnya sosok itu baik-baik, sosok dingin yang berdiri kaku, menatap Serena
dengan penuh kebencian. Disimpannya sosok itu baik baik, dan tiba-tiba saja
hatinya terasa teriris. Air mata mulai menetes dari sudut matanya, dan dengan
segera Serena melangkah keluar dari ruangan itu.
Setengah berlari dia memasuki lift tanpa mempedulikan tatapan bingung
sekertaris Damian. Di lobby, suster Ana yang menunggu dengan gelisah dari tadi langsung berdiri
begitu melihat Serena muncul di lift.
"Bagaimana...?"
Pertanyaannya tak terjawab karena Serena langsung mengajaknya keluar dari
lobby menuju parkiran, menaiki mobil jemputan rumah sakit yang diminta suster
Ana mengantar mereka ke sini tadi.
Di mobil air mata Serena tak terbendung lagi dan suster Ana langsung
memeluknya untuk menenangkannya.
"Ssshhh...Semuanya tak berjalan baik ya?"
"Dia...Dia tidak mau menerima uang itu...." serena tersedak oleh tangisan yang
dalam, "Dia...Dia menuduhku menjual diriku kepada lelaki lain demi
mendapatkan uang itu..." tangis Serena meledak lagi dengan kuatnya.
Dan suster Ana langsung memeluknya. Matanya sendiri berkaca-kaca melihat
penderitaan Serena. "Apakah...kau mencintainya, Serena?" tanya suster Ana hati-hati.
Serena langsung tersentak, menatap Suster Ana dengan pandangan nanar.
"Apa..." Itu...Itu tidak mungkin...."
"Serena, mungkin kau tidak menyadarinya, tapi kebersamaan kalian selama ini
mungkin saja menumbuhkan sesuatu yang dalam di antara kalian..." suster Ana
menatap Serena lembut, "Dan kau...Tidak mungkin menangis semenderita ini
jika kau tidak punya perasaan apa-apa kepada Damian, sayang."
Serena hanya termangu. Air matanya masih mengalir, hatinya sakit sekali. Dan
memang benar, penghinaan dan perlakuan kasar Damian telah menyakitinya
lebih daripada yang seharusnya. Tapi Serena tidak mau memikirkan
kemungkinan apapun. Dia tidak mau, dan tidak bisa. Ada Rafi di sisinya bukan"
Suster Ana mendesah melihat kediaman Serena.
"Yah, setidaknya, suatu saat ketika Damian menyadari kesalahannya, dia akan
menyesal dan kuharap aku ada di sana ketika dia memohon maaf padamu."
*** Suster Ana benar, Damian memang menyesal. Tidak perlu waktu lama, hanya
selang satu jam dari kepergian Serena.
"Aku menerima kalian di sini hanya demi Vanessa," gumam Damian dingin,
suasana hatinya benar-benar buruk saat itu.
Ketika sekertarisnya menelepon dan memberitahu bahwa Vanessa dan Freddy
ada di ruangan depan, ingin bertemu dengannya, Damian hampir saja
mengamuk seketika itu juga. Dia sudah menegaskan pada sekertarisnya bahwa
dia sedang tidak ingin diganggu. Tetapi Vanessa memaksa, dan seperti biasanya,
paksaannya berhasil. "Kami harus memberitahumu sesuatu yang penting." gumam Vanessa penuh
tekad, tidak peduli akan tatapan membunuh yang berkali-kali dihujamkan
Damian kepada Freddy yang hanya duduk diam tanpa suara di belakangnya.
"Damian," Vanessa mencoba menarik perhatian Damian yang terus menerus
mempelototi Freddy. "Ada suatu fakta penting tentang Serena yang harus kau
ketahui." Damian langsung tertarik. Fakta apa lagi" Sebuah kebohongan lagi yang belum
diceritakan kepadanya" Sebuah kepalsuan lagi yang akan menyulut
kemarahannya" Dia diam dan menunggu, bersiap-siap untuk meledak lagi, kepalanya terasa
berdenyut dan mulai nyeri.
"Damian..." Vanessa mengernyit cemas ketika melihat Damian tampak kesakitan,
"Kau tidak apa-apa?"
"Aku tidak apa-apa! Cepat selesaikan yang ingin kau katakan, dan bawa dia
pergi dari ruangan ini!" Damian bahkan tidak mau repot-repot menyebut nama
Freddy. Vanessa menarik napas panjang.
"Kau...Kita...Mengambil kesimpulan yang salah tentang Serena." dengan cepat
Vanessa membentangkan artikel itu di meja Damian, "Baca ini."
Damian melirik artikel itu, semuala tidak tertarik, tetapi kemudian mengenali
gambar di artikel itu sebagai Serena, lebih muda beberapa tahun, tapi dia tak
mungkin salah. "Apa yang.........Oh Tuhan!" baru separuh artikel yang dibacanya, tetapi dia
pucat pasi. Dengan gemetar dia membaca artikel itu. Membacanya berulangulang
kemudian, mencoba mencari kesalahan. Tapi kebenaran yang tertulis di
sana tak terbantahkan lagi.
"Benar Damian, keluarga Serena, kedua orangtuanya terenggut pada kecelakaan
yang sama di jalan tol, kecelakaan yang sama yang menewaskan Alfian", mata
Vanessa berkaca-kaca ketika kenangan itu kembali.
"Oh Tuhan!" Damian berpegangan pada meja untuk menopang tubuhnya, Ini
sebabnya Serena selama ini sebatang kara dan sendirian"
"Kedua orang tua saya sudah meninggal dunia, saya hidup sendirian" itu
jawaban Serena waktu gadis itu terpaksa menumpang mobilnya di pagi yang
hujan. Lalu uang tiga ratus juta dan hutang puluhan jutanya di perusahaan itu.....
Sekali lagi Damian mengernyit. "Tunangannya, Rafi, masih terbaring koma sejak kecelakaan itu. Serena
berjuang mati-matian untuk mempertahankan hidupnya. Hutang-hutangnya di
rumah sakit mungkin untuk membiayai biaya perawatan Rafi, dan hutangnya
kepadamu tiga ratus juta mungkin karena gadis itu putus asa," Vanessa
memandang Damian, dan tiba-tiba merasa kasihan, Damian tampak hancur
berkeping-keping, "Aku menelepon rumah sakit tempat Rafi dirawat Damian, Rafi
saat itu harus menjalani operasi pengangkatan ginjal karena salah satu ginjalnya
rusak akibat obat-obatan yang terus menerus.......biaya operasi itu sangat
mahal, hampir mencapai tiga atus juta rupiah...Mungkin itu alasan Serena
menjual dirinya padamu, gadis itu putus asa."
Damian memejamkan matanya, mengingat hari berhujan dimana Serena
membuat penawaran gila itu padanya. Bagaimana mungkin dia dulu tak
menyadarinya" Waktu itu Serena memang terlihat putus asa, panik dan putus
asa. "Freddy bercerita bahwa Serena hilang seharian di hari minggu dan kalian
mencarinya kemana-mana," Vanessa mengedikkan bahunya pada Freddy yang
hanya diam dan menundukkan kepalanya, "Itu hari di mana operasi Rafi
dilaksanakan." Sebuah hantaman lagi yang menerjang Damian. Dia mengernyit, rasanya berat
sekali ketika dia sudah berpegang teguh pada suatu keyakinan bergitu lama tapi
kemudian dihancurkan begitu saja.
Serena gadis baik-baik. Dia bukan gadis bermoral rendah seperti dugaannya
selama ini. Pantas saja waktu itu dia masih perawan. Keperawanan yang
seharusnya untuk tunangan yang dicintainya dikorbankannya. Damian langsung
disengat rasa cemburu yang tajam. Serena pasti begitu mencintai tunangannya
kalau sampai berjuang mati-matian seperti itu.
"Kecelakaan itu terjadi hanya beberapa hari sebelum pernikahan mereka
Damian," Vanessa menoleh secara terang-terangan kepada Freddy, "Biarkan
Freddy yang menjelaskan sisanya kepadamu."
Damian menoleh kepada Freddy dengan muram, masih terbayang adegan
ciuman waktu itu di matanya. Dan kemarahannya langsung membara, kalau
begitu kenapa Serena ada di pelukan Freddy dan Freddy bilang Serena rela
menjual diri padanya"
"Waktu itu semua sudah kurencanakan, Damian," gumam Freddy pelan seolah
bisa membaca pikiran Damian, lalu mengernyit ketika menerima tatapan
menusuk itu lagi, "Aku.... Waktu aku mendampingimu mencari Serena yang
menghilang waktu itu, aku melihat betapa emosionalnya dirimu, itu
menggangguku karena kau berubah, tidak seperti biasanya, aku berpikir Serena
telah menimbulkan pengaruh buruk padamu.....Jadi aku mengambil
keputusan.....aku merekayasa semuanya.....Ciuman itu adalah paksaan
dariku....Serena sama sekali tidak sukarela, dia menolakku sekuat tenaga. Dia
memanggil namamu..."
Damian langsung merangsek maju dengan marah, tanpa diduga. Langsung
meraih kerah kemeja Freddy. Tak peduli tubuh Freddy yang memar dan lebam
akan kesakitan menerima sentuhan seringan apapun.
"Brengsek kau Freddy!!! Brengsek kau!!! Aku mempercayaimu!!" Damian
menggeram di antara ke dua giginya, "Kau tahu malam itu aku
memperlakukannya sebagi pelacur rendahan?"! Aku memperkosanya!!!!"
"Damian, tenanglah dulu", gumam Vanessa hati-hati, berusaha membuat
Damian melepaskan cengkeramannya dari kerah baju Freddy, "Kau menyakiti
Freddy, tidakkah kau sadar kau sudah cukup menyakitinya kemarin" Lepaskan
dia Damian", bujuknya lembut.
Damian bergeming, sejenak seolah-olah akan menghajar Freddy, tapi kemudian
dia melepaskan lelaki itu dengan kasar.
"Harusnya kubunuh saja kau sekalian!", desisnya geram sambil mengacak
rambutnya, Lalu sebuah pertanyaan merasuk di benaknya.
"Kenapa harus Serena yang menanggung seluruh biaya perawatan Rafi" Kenapa
bukan keluarga Rafi?"
"Rafi tidak punya keluarga." Freddy yang menyahut setelah berhasil meredakan
napasnya yang terengah karena perlakuan kasar Damian tadi, "Dia pengacara
juga, kebetulan aku mengenalnya", suaranya tertelan melihat tatapan
bermusuhan Damian, tapi dia bertekad melanjutkan, " Sebenarnya aku tidak
begitu mengenalnya, tetapi Rafi cukup terkenal di kalangan profesi kami karena
reputasi baiknya, aku... Eh... Melakukan penyelidikan singkat tadi dan mendapati
bahwa Rafi dibesarkan di panti asuhan, dia sebatang kara....karena itulah kabar
setelah kecelakaan yang menimpanya menjadi simpang siur, dia menghilang
begitu saja dan gosip yang beredar mengatakan Rafi sudah meninggal, tidak
ada yang tahu bahwa sebenarnya Rafi masih hidup dan ada dalam kondidi
koma", Freddy menatap Damian sungguh-sungguh, "Aku menyesal dan aku
meminta maaf Damian. Aku memang bodoh dan gegabah, aku juga menyesal
setengah mati" Damian tercenung. Lama tidak mengatakan apa-apa. Sejenak ruangan itu begitu
hening. "Damian, mungkin lebih baik kita melepaskan Serena, sudah cukup berat beban
yang dia tanggung," gumam Vanessa pelan memecah keheningan. Lalu dia
berubah ragu-ragu dan berhati-hati dengan reaksi Damian, "mengenai hutanghutang
Serena baik kepadamu dan kepada perusahaan, aku bersedia
menggantinya." "Tidak." "Tidak?" Vanessa mengernyit mendengar gumaman pelan Damian itu.
"Tidak akan kulepaskan. Aku tidak peduli dengan uang itu. Serena tidak akan
kulepaskan." "Damian!!", Vanessa mengernyit jengkel. "Hentikan! Kau tidak tahu betapa
banyak penderitaan yang ditanggung Serena selama ini! tidak bisakah kita
biarkan dia tenang bersama tunangannya" Lagipula kau bisa mencari wanita lain
untuk memuaskanmu bukan" Kau bisa mendapatkan pengganti Serena dalam
beberapa menit!" Damian mengusap wajahnya, tampak begitu menderita,
"Tidak, aku tidak bisa Vanessa." erangnya parau.
Mata Vanessa melebar melihat ekspresi Damian, tidak pernah sebelumnya
Vanessa melihat Damian begitu penuh emosi. Apakah ini berarti Damian benarbenar
mencintai Serena" "Dia punya tunangan Damian, jangan lupa, semua yang dilakukannya adalah
demi menyelamatkan Rafi."
Kebenaran itu menyakiti hati Damian, sengatan cemburu itu kembali melukainya.
"Kalau begitu aku akan membuatnya memilihku," mata Damian penuh tekad,
"Dimana alamat rumah sakitnya?"
*** "Dimana ruangan tempat perawatan Rafi Ardyansyah?" Damian berdiri di depan
resepsionis. Resepsionis itu mendongak dan ternganga. Terpesona melihat penampilan dan
ketampanan Damian. "Ruangan perawatan Rafi Ardyansyah?" Damian mengulang jengkel karena
resepsionis itu hanya menatapnya seperti orang bodoh.
"Oh....Untuk Rafi...Anda...Anda mungkin harus menemui Suster Ana dulu, beliau
suster kepala penanggung jawabnya."
"Dimana?" gumam Damian tak sabar.
A Romantic Story About Serena Karya Santhy Agatha di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Lantai tiga, ruangan perawat nomor dua."
Tanpa basa-basi Damian meninggalkan resepsionis yang masih ternganga itu.
Pintu itu tertutup rapat dan Damian mengetukknya.
"Masuk" sebuah suara yang tegas terdengar dari dalam.
Damian masuk dan langsung berhadapan dengan suster Ana.
Suster Ana langsung menyadari siapa yang berdiri di hadapannya. Dia tidak
mungkin salah mengenali. Penggambaran Serena sangat akurat. Lelaki ini memang benar-benar luar biasa
tampan dengan keangkuhan yang sudah seperti satu paket dengan auranya.
"Apakah anda akhirnya berhasil menemukan kebenaran?" gumam suster Ana
langsung tanpa basa-basi.
Damian mengernyit mendengar sapaan pertama suster Ana yang sama sekali
tidak diduganya. Tapi dia lalu teringat telelepon di tengah malam yang tanpa
sengaja dia angkat. Penelepon itu mengatakan dirinya adalah suster Ana...
"Ya," Damian mengakuinya pelan, "Anda sudah tahu semuanya?"
"Semuanya, dan pertama, sebelum anda menghina Serena lagi. Saya akan
jelaskan kepada anda, semalam Serena datang kepada saya, dengan kondisi
mengenaskan. Mental dan fisik yang rapuh, dan dia bilang ingin melepaskan diri
dari anda, menurut saya itu wajar mengingat perlakuan anda padanya," Suster
Ana menatap Damian dengan pandangan mencela yang terang-terangan hingga
wajah Damian merona, "Uang yang dia pakai untuk melunasi anda, itu adalah
uang pinjaman dari saya dan beberapa staff rumah sakit lain, bukan uang hasil
menjual dirinya kepada lelaki lain seperti apa yang anda tuduhkan kepadanya
tadi pagi." Sebuah kebenaran lagi. Lebih keras daripada tamparan di pipi, lidah Damian
terasa kelu. "Saya ingin bertemu Serena" gumam Damian akhirnya.
Suster Ana mengangkat alisnya.
"Untuk apa" Ketika hubungan hutang piutang itu lunas. Tidak ada lagi perlunya
kalian bertemu, lagi pula saya tidak yakin Serena bersedia menemui anda."
"Tidak ada hubungannya dengan uang! Saya tidak peduli dengan uang!!!"
Damian hampir berteriak, lalu berdehem berusaha meredekan emosinya, "Saya
harus bertemu dengan Serena, meminta maaf, saya tahu selama ini saya
salah...." "Anda bisa menyampaikan permintaan maaf anda melalui saya" sela Suster Ana
tegas. Damian mengernyit, "Saya mohon.....Saya harus bertemu dengan Serena, saya butuh bertemu
dengan Serena." Suster Ana mengamati lelaki yang berdiri di hadapannya. Lelaki ini terlalu
tampan, terlalu kaya sehingga wajar dia tampak begitu arogan. Tapi sekarang
Damian tampak begitu menderita, dan dia rela memohon agar bisa bertemu
Serena. Suster Ana menarik napas, ketika sebuah kesimpulan muncul di
benaknya. Lelaki ini sedang jatuh cinta.
Bagaimana mungkin dia menolak permintaan Damian" Kalau saja Damian hanya
lelaki sombong yang menginginkan bayaran setimpal atas apa yang diberikannya
kepada Serena, suster Ana akan mengusirnya tanpa ragu. Tapi Damian yang ada
di depannya ini tampak begitu kesakitan menanggung rasa bersalah, tampak
remuk redam di dera perasaannya sendiri. Lelaki ini sama menderitanya dengan
Serena. Bagaimana mungkin Suster Ana tega mengusirnya"
"Tapi tolong jangan menyakiti Serena lagi jika kalian bertemu nanti, jangan
memaksanya....." mata Suster Ana melembut membayangkan Serena, "sudah
cukup beban yang ditanggung anak itu."
"Saya berjanji." Damian menjawab yakin.
Sekilas suster Ana mencuri pandang ke arah Damian. Dan tersenyum ketika
mendapati ekspresi Damian ikut melembut karena membayangkan Serena.
Ah Serena, Lelaki ini benar-benar sedang jatuh cinta.......
*** Ruangan itu hening terletak di lorong paling ujung. Dan Serena hanya berdiri di
depan ruang perawatan sambil menatap melalui jendela kaca lebar yang
membatasinya dengan Rafi, saat ini bukan jam besuk dan Serena tidak boleh
masuk. Pikiran Serena terasa berat, dia tidak punya pekerjaan sekarang. Suster Ana dan
yang lain-lain bilang akan membantu, tetapi Serena tidak mungkin
menggantungkan hidupnya pada bantuan orang lain terus menerus, apalagi
dengan biaya perawatan Rafi yang begitu mahal yang harus ditanggungnya
setiap bulannya..... Dengan sedih Serena menatap Rafi, lelaki itu masih terbaring dalam kedamaian
yang sama, begitu pucat, hanya bunyi mesin-mesin penunjang kehidupan itulah
yang menunjukkan kalau masih ada harapan hidup yang tersimpan di sana.
Serena mengusap air mata di sudut matanya.
Ah Rafi..... Sampai kapan kau tertidur begini" Aku merindukanmu kau tahu. Aku
membutuhkanmu. Saat ini aku tidak mengerti dengan perasaanku sendiri, aku
takut jika kau tidak segera bangun nanti aku akan......
Saat itulah Damian masuk, diantarkan oleh Suster Ana di belakangnya. Perasaan
sedih yang aneh menyeruak di dada Damian ketika dia melihat Serena menatap
Rafi yang terbaring di balik kaca dengan tatapan sendu.
"Serena...." Damian bergumam pelan, mendadak dikuasai keinginan yang dalam
untuk mengalihkan perhatian Serena dari Rafi.
Suaranya seperti menyentakkan Serena hingga gadis itu menoleh kaget.
Wajahnya langsung pucat pasi, tidak menduga bahwa Damian akan muncul di
sini, matanya menatap Suster Ana meminta pertolongan.
"Dia datang disini untuk berbicara Serena, dan dia sudah berjanji tidak akan
melakukan atau mengatakan sesuatu yang akan menyakitimu," gumam Suster
Ana lembut, menyadari kegelisahan yang dirasakan Serena, dia lalu mengamit
lengan Serena, "Mari, kuantar kalian ke ruanganku di mana kalian bisa berbicara
dengan tenang, aku akan meninggalkan kalian di sana."
Seperti kerbau yang di cocok hidungnya, Serena hanya mengikuti ketika di
tuntun ke ruangan Suster Ana, sedangkan Damian hanya mengikuti di belakang
dalam diam. Ruangan tetap hening lima menit kemudian ketika suster Ana menutup pintu
ruangan dari luar. "Aku minta maaf." gumam Damian dengan lembut akhirnya.
Serena bersedekap, seolah ingin melindungi dirinya.
"Ya...Sudah di maafkan...Sekarang...Sekarang bisakah kau pergi?" Serena mulai
menahan tangisnya. Damian telah benar-benar melukai hatinya, kehadiran lelaki
itu sekarang, berdiri di depannya, menatapnya dengan begitu lembut, benarbenar
membuat emosinya bergejolak.
"Aku tidak tahu tentang semua ini Serena, baru tadi Vanessa mengungkapkan
kebenaran di depanku. Aku tidak tahu. Tidakkah itu bisa membuat semuanya
sedikit dimaklumi?" sambung Damian pelan. "Selama ini aku salah paham, aku
berpikiran buruk tentangmu dan semakin memupuknya dari hari ke hari. Itu...
Itu juga menyiksaku, antara dorongan untuk menyayangimu atau
menghukummu karena jauh dilubuk hatiku aku mengira aku hanya
dimanfaatkan," Damian mengerjapkan matanya pedih, "Kalau aku tahu tentang
semua ini, segalanya akan berbeda Serena."
Serena memejamkan matanya. Mau tak mau permintaan maaf Damian yang
begitu tulus itu mulai menyentuh hatinya. Damian memang tidak bisa
disalahkan. Dia tidak tahu. Lagipula apa yang harus dipikirkan Damian tentang
gadis yang melemparkan diri padanya demi uang selain bahwa gadis itu adalah
pelacur" "Aku...Aku mengerti....tidak apa-apa, pilihanku juga untuk tidak mengatakan ini
semua kepadamu," suara Serena terdengar serak. "Dan apapun konsekuensinya
aku sudah bersedia menanggungnya....Jadi kita impas."
Damian menatap Serena sedih.
"Serena.... Aku...." Damian mengulurkan tangan hendak meraih Serena, tapi lalu
tertegun ketika Serena mundur seperti ketakutan.
Kesadaran itu menghancurkan Damian, kesadaran bahwa Serena takut dengan
sentuhannya, mungkin akibat kekasarannya semalam.
Damian mengusap rambutnya dengan kasar.
"Aku..... Mungkin semua sudah terlambat. Tapi aku harus mengatakannya.....Aku
mencintaimu Serena, mungkin kau bertanya-tanya kenapa. Tapi aku juga tidak
bisa menjawabnya. Aku juga baru menyadarinya. Itu terjadi begitu saja,"
Damian menatap Serena yang hanya termangu dengan wajah pucat pasi, "Tapi
sekarang itu tak penting lagi bukan" Kesalahanku tidak bisa di maafkan semudah
itu. Dosaku terlalu besar."
Dengan ragu Damian melangkah ke arah pintu, terdiam sejenak.
"Semua hutangmu anggap saja sudah lunas. Aku tidak akan menuntut apapun
darimu, aku akan menjauh darimu dan kau tidak perlu takut harus
menghadapiku lagi. kau bebas sebebas-bebasnya. Dan kalau kau masih mau
bekerja di perusahaanku. Aku akan sangat senang....Tapi aku tidak akan
memaksa. Aku sudah terlalu sering memaksakan kehendakku padamu. Sekarang
tidak akan lagi," punggung Damian tampak tegang, "Selamat tinggal Serena."
gumamnya pelan sebelum membuka handle pintu.
Serena termangu menatap punggung yang begitu tegang itu. Pernyataan cinta
Damian begitu mengejutkannya hingga dia tidak bisa mengatakan apa-apa,
memang Damian telah menyakitinya, tapi ada saat saat dimana Damian berhasil
membuat hatinya terasa hangat. Dan kalau dipikir-pikir, selama kebersamaan
mereka itu. Tidak pernah sekalipun Damian menyakitinya dengan sengaja,
kecuali saat kemarahan menguasainya kemarin.
Sekarang ketika Serena menatap punggung Damian, yang tampak begitu tegang
sekaligus rapuh. Sebuah perasaan hangat menyeruak ke dalam hatinya, sebuah
perasaan yang bertumbuh pelan tanpa dia sadari.
"Damian," Serena bergumam pelan, tapi cukup untuk membuat Damian
membatu di tempat. Tetapi lelaki itu tidak menoleh, hanya berdiri di sana.
Membeku seperti patung. "Damian." kali ini Serena mengulang lagi, lebih lembut sehingga Damian
menoleh menatap Serena. Entah karena mata Serena yang menatapnya penuh kelembutan, Entah karena
Damian pada akhirnya sudah tidak bisa menahan perasaannya lagi. Serena tidak
Maut Di Lembah Sampit 2 Fear Street - Tantangan The Dare Kesatria Baju Putih 3