Romantic Story About Serena 3
A Romantic Story About Serena Karya Santhy Agatha Bagian 3
tahu, yang pasti ekspresi Damian berubah seketika.
Dia membalikkan tubuh. Menatap Serena ragu-ragu. Dan ketika dilihatnya
Serena membuka lengan menyambutnya, Damian mengerang. Kemudian
melangkah tergesa ke arah Serena, tersandung-sandung menghampiri Serena.
Sejenak mereka berdiri berhadapan. Lalu Damian jatuh berlutut dan memeluk
pinggang Serena, membenamkan wajahnya di perut Serena. Napasnya tersengal
menahan perasaan. Dengan lembut Serena memeluk dan mengelus rambut Damian.
"Aku mencintaimu," Damian berbisik dengan suara parau, wajahnya masih
terbenam di perut Serena, "entah sejak kapan aku mencintaimu. Mungkin sejak
pertama kali aku melihatmu, aku...." napas Damian tersengal, "Aku mungkin
manusia paling kejam, paling jahat...tapi aku...Aku tidak....."
"Damian," sekali lagi Serena berbisik lembut. Damian mendongakkan wajahnya
dan menatap Serena, wajah Serena penuh air mata, dan tiba-tiba mata Damian
terasa panas. "Jangan menangis," Tiba-tiba Damian berdiri dan merengkuh Serena ke dalam
pelukannya, memeluknya erat-erat, "Jangan menangis lagi, aku bersumpah tidak
akan pernah membiarkanmu menangis lagi."
Serena memeluk Damian erat-erat. Permintaan maaf Damian dan kelembutan
sikapnya meluluhkan hatinya, menumbuhkan perasaan baru di dalam hatinya,
mereka telah begitu dekat selama ini, kedekatan yang dipaksakan, tetapi mau
tak mau telah membuka pembatas yang selama ini ada di hati Serena.
Lama mereka berpelukan, dalam keheningan. Serena menumpahkan tangisnya
di pelukan Damian dan lelaki itu memeluk Serena erat-erat, membenamkan
wajahnya di rambut Serena.
Setelah tangis Serena mereda, Damian mengangkat dagu Serena agar
menghadap ke arahnya, mengusap air mata di pipi Serena dengan lembut.
"Pulanglah bersamaku, kembalilah bersamaku Serena, bukan karena uang tiga
ratus juta itu. Aku ingin kau melupakan masalah hutang itu, aku ingin kau
bersamaku karena kemauanmu sendiri. Pulanglah bersamaku Serena, kita mulai
lagi semuanya dari awal....Dan jika...Dan jika...." Damian menarik napas,
menahan perasaannya, "Jika kau memang belum mencintaiku, aku akan
menunggu. Bahkan aku tidak akan menyentuhmu kalau kau tidak mau, aku tidak
akan memaksakan kehendakku, kau bisa tenang. Aku... Aku hanya ingin kau ada
di tempat dimana aku bisa melihatmu setiap hari."
Serena menatap Damian, dan melihat ketulusan di sana, melihat cinta di sana
yang tidak di tahan-tahan lagi.
Dia baru membuka mulutnya untuk menjawab ketika pintu ruangan itu terbuka.
Suster Ana membuka pintu, terlalu panik dan terengah-engah untuk merasa
malu ketika menemukan Damian dan Serena sedang berpelukan.
"Serena!!!" Suster Ana berusaha menormalkan nafasnya, dia tadi setengah
berlari ke sini, "Cepat!!! Cepat ikuti aku ke ruang perawatan!!!! Rafi sadar!!!
Dia terbangun dari komanya!!!!!"
*** Serena berlari, tanpa sadar melepaskan diri dari pelukan Damian, dia berlari
penuh air mata, ke kamar perawatan Rafi, kerinduannya membuncah, rasa
syukurnya tak tertahankan.
Ketika sampai di depan pintu perawatan nafasnya terengah, dia berhenti karena
pintu itu masih di tutup rapat, suster Ana tergopoh-gopoh mengejarnya,
"Serena, jangan masuk dulu, dokter baru menstabilkan kondisinya."
Penantian itu terasa begitu lama, sampai kemudian Serena diijinkan masuk,
hanya lima menit untuk sekedar menengok Rafi, setelah itu dokter harus
mengevaluasi kondisinya Rafi lagi.
Dadanya sesak tak tertahankan ketika mata itu balas menatapnya, mata yang
selama ini terpejam, tertidur dalam damai, membuat Serena menanti, mata itu
sekarang terbuka, hidup, dan balas menatapnya,
"Rafi," suara Serena serak oleh emosi, dan tangisnya meledak, dia menghampiri tepi
ranjang, ke arah Rafi yang masih terbaring, pucat dengan alat-alat penunjang
kehidupan yang masih menopangnya, tapi hidup dan membuka mata.
Serena meraih tangan Rafi dan menciumnya, lalu menangis.
"Rafi." Banyak yang ingin Serena ungkapkan, dia ingin mengucap syukur karena Rafi
akhirnya bangun, dia ingin merajuk karena Rafi memilih waktu yang begitu lama
untuk terbangun, dia ingin menangis kuat-kuat, tapi semua emosi menyebabkan
suaranya tercekat di tenggorokan.
Air mata tampak menetes dari pipi Rafi, lelaki itu mencoba berbicara, tetapi
tampak begitu susah payah,
"Stttt...Kau tidak boleh bicara dulu," gumam Serena lembut, mencegah Rafi
berusaha terlalu keras, "mereka memasang selang di tenggorokanmu, untuk
makanan, kau koma selama kurang lebih dua tahun."
Mata Rafi menatap Serena, tampak tersiksa, dan dengan lembut Serena
mengusap air mata di pipi Rafi,
"Nanti, setelah mereka yakin kondisimu membaik, mereka akan melepas selang
itu dan kau akan bisa berbicara lagi, tapi sekarang, kau cukup mengangguk atau
menggeleng saja ya, sekarang..." Serena menelan ludah, menahan isak tangis yang dalam,
"Sekarang kita harus mensyukuri karena kau akhirnya terbangun, ya?"
Rafi menganggukkan kepalanya, dan seulas senyum dengan susah payah
muncul dari bibirnya, "Sekarang istirahatlah dulu, dokter akan mengecek kondisimu lagi" bisik Serena
lembut ketika melihat isyarat dari dokter yang menunggui mereka.
Ketika Serena akan beranjak, genggaman Rafi di tangannya menguat, Dengan
lembut Serena menoleh dan memberikan senyuman penuh cinta kepada Rafi,
"Aku tidak akan kemana-mana, aku harus menyingkir karena dokter akan
memeriksamu lagi, tapi aku tidak akan kemana-mana, aku akan berada di dekat
sini sehingga saat kau butuh nanti aku akan langsung datang."
Pegangan Rafi mengendor, lelaki itu mau mengerti. Dengan lembut Serena
mengecup dahi Rafi dan melangkah menjauh keluar ruangan perawatan. Air
matanya mengucur dengan derasnya ketika dia melangkah menghampiri suster
Ana. Suster Ana masih berdiri di sana dan Serena langsung berlari ke arahnya,
menangis keras-keras. "Dia sadar suster...dia akhirnya sadar...aku masih tak percaya, selama ini aku
hampir kehilangan harapan. Mulai berpikir kalau Rafi memang tidak mau
bangun, mulai berpikir kalau semua perjuanganku ini sia-sia... Tapi
sekarang...", Serena terisak, "Aku tak percaya bahwa pada akhirnya dia sadar... dia kembali
dari tidur panjangnya, dia ada di sini untuk aku..."
Dengan lembut Suster Ana mengelus rambut Serena,
"Ini semua karena perjuanganmu Serena, Tuhan melihat keyakinanmu maka ia
mengabulkannya." mata suster Ana juga berkaca-kaca, terharu melihat
pasangan yang sudah hampir menjadi legenda karena kekuatan cintanya di
rumah sakit ini, akhirnya akan berujung bahagia.
Tapi kemudian, suter Ana menyadari kehadiran Damian di ujung ruangan, masih
bersandar di pintu lorong ruang perawatan, dengan wajah tanpa ekspresi.
Dengan lembut dilepaskannya Serena dari pelukannya,
"Eh mungkin aku harus pergi dulu Serena, mungkin masih ada hal-hal yang ingin
kalian bicarakan?" suster Ana mengedikkan bahunya ke arah Damian,
Baru saat itulah sejak pemberitahuan suster Ana tadi, Serena menyadari
kehadiran Damian di ruangan itu. Pipinya langsung memerah mengingat
pernyataan cinta Damian, sesaat sebelumnya. Tapi dia sungguh tidak bisa
berkata apa-apa. Setelah Suster Ana meninggalkan ruangan itu, suasana menjadi canggung,
dalam keheningan yang tidak menyenangkan.
"Dia sadar." gumam Damian akhirnya, memecah keheningan.
Serena menganggukkan kepalanya, belum mampu bersuara.
Damian tampak berfikir, "Kau bahagia?" tanyanya kemudian, lembut.
Serena mengernyitkan keningnya, Damian telah berubah, menjadi sedikit lebih
manusiawi, menjadi sedikit mudah disentuh. Damian yang dulu tidak akan
mungkin menanyakan itu padanya. Damian yang dulu pasti akan langsung
memaksa membawanya pulang tanpa peduli perasaan Serena.
"Ya, aku bahagia." seulas senyum kecil muncul di bibir Serena, membayangkan
Rafi. Damian mengernyit melihat senyuman itu. Senyuman itu bagaikan pisau yang
menusuk hatinya, senyuman yang diberikan Serena ketika membayangkan lelaki
lain, ketika membayangkan Rafi.
"Bagus," gumamnya datar, kemudian menatap Serena lembut, "mungkin kita
harus melakukan pengaturan kembali dengan perkembangan yang mendadak
ini, tetapi aku tidak mau mengganggumu dulu, kau pasti ingin fokus dulu dengan
kondisi Rafi... jadi kupikir aku akan kembali lagi saja nanti."
"Terima kasih Damian." akhirnya Serena bisa berkata-kata, pelan.
Damian tersenyum miring, "Aku meminta maaf, dan kau malah menjawabnya dengan ucapan terima kasih,
Serena yang aneh." dengan hati-hati Damian mendekat, lalu setelah yakin
bahwa Serena tak akan menjauh, dia merengkuh Serena ke dalam pelukannya,
"Ingat kata-kataku tadi." bisiknya lembut, lalu menunduk dan memberikan
Serena sebuah ciuman yang singkat tetapi menggetarkan kepada Serena.
Dan pergilah Damian, meninggalkan Serena yang masih berdiri terpaku,
memegangi bibirnya yang terasa hangat, bekas ciuman Damian.
*** "Dia sadar." Damian menyesap minumannya sambil berdiri terpaku menatap ke
pemandangan dari jendela lantai atas kantornya.
Vanessa, yang masih bersama Freddy hanya diam terpaku. Damian sudah
menceritakan semuanya kepada mereka tadi, tentang sadarnya Rafi dari
komanya. Dan sekarang lelaki itu hanya terdiam dan mengulang-ulang kata 'dia
sadar' 'dia sadar' sambil menatap keluar.
Vanessa menarik napas mulai tak sabar, sedangkan Freddy hanya mengetukketukkan
tanggannya di lutut. Damian masih belum menunjukkan tanda-tanda
memaafkannya jadi dia memilih diam dan tidak mengatakan apa-apa.
"Kurasa karena perkembangan baru yang tidak terduga ini, kau akhirnya
memutuskan untuk melepaskan Serena?"
Pertanyaan Vanessa itu membuat Damian mendadak memutar tubuhnya dengan
tajam menghadap Vanessa dan menatapnya dengan mata menyala-nyala.
"Dia belum memilih," gumam Damian setengah menggeram. "detik terakhir
sebelumnya, dia menerimaku dalam pelukannya, membalas pelukanku dan aku
yakin akan menerima ajakanku untuk pulang bersamaku."
"Sudahlah Damian, sekarang kan tunangannya yang setia ditungguinya selama
dua tahun sudah sadar, kau tidak bisa......" tanpa sadar Freddy bersuara
memberikan pendapat seperti kebiasaannya sebelumnya. Tapi langsung berhenti
mendadak ketika menerima tatapan tajam penuh permusuhan dari Damian,
"Aku....aku hanya mencoba memaparkan kenyataan di depanmu." suara Freddy
hilang tertelan karena tatapan Damian makin tajam.
Vanessa menghela napas sekali lagi,
"Damian, Freddy benar, sadarnya Rafi ini bukankah merupakan tujuan hidup
Serena selama ini" Biarkan mereka berbahagia Damian, mereka pantas
mendapatkannya setelah tahun-tahun penuh penantian dan ketidakpastian yang
menyiksa." "Tidak!" Damian tetap bersikeras, "aku tidak bisa menyerah begitu saja dan
membiarkan Serena salah memilih. Dia mencintaiku. Perasaannya pada Rafi
mungkin hanya kasihan."
"Kenapa kau tidak bisa berpikir kalau perasaannya kepadamulah yang mungkin
hanya perasaan sesaat karena keadaan yang dipaksakan" Kau pernah dengar
apa itu Stockholm Syndrome?" sela Vanessa jengkel.
Damian tercenung, tentu saja dia tahu apa itu Stockholm Syndrome, dan
menyakitkan kalau menyadari bahwa perasaan Serena kepadanya mungkin
ditumbuhkan oleh situasi keterpaksaan. Dengan gusar diusapnya rambutnya,
"Aku akan menanyakan langsung padanya. Nanti. Setelah kondisi tunangannya
lebih baik." Vanessa tidak berkata-kata. Dan Freddy hanya diam, tak tahu harus bicara apa
lagi. *** Dua hari kemudian, Serena berdiri di depan ruangan perawatan Rafi dengan
cemas, tangannya menggenggam tangan suster ana setengah menangis.
Matanya semakin berkaca-kaca ketika mendengar suara teriakan dari dalam.
Teriakan Rafi, "Suster...." hati Serena terasa di iris-iris, menyadari bahwa suara pertama yang
dikeluarkan Rafi setelah 2 tahun adalah teriakan kesakitan.
"Tidak apa-apa Serena, itu pertanda bagus, Rafi memang kesakitan, mereka
sedang melepas selang di tenggorokan dan di dadanya, tetapi kalau Rafi bisa
mengeluarkan suara, itu pertanda kondisinya sudah semakin membaik." suster
Ana menggenggam tangan Serena, membagikan kekuatannya.
Suara teriakan itu terdengar lagi, begitu serak hingga Serena hampir tak
mengenalinya. Air matanya mulai menetes satu-satu tanpa dapat ditahannya,
"Berapa lama lagi suster?" menunggu di luar seperti ini terasa bagaikan siksaan
yang paling mengerikan. "Sebentar lagi, nanti mereka akan mengizinkanmu menemuinya," dengan lembut
suster Ana mengusap-usap Serena, "dia harus melalui ini Serena, dan nanti akan
banyak kesakitan lagi, tapi ini proses penyembuhan, dia pasti akan sembuh."
Serena menganggukkan kepalanya, memejamkan matanya, menunggu.
Penantian itu terasa begitu lama, lama sekali sampai tim dokter dan perawat
keluar dan mengizinkan Serena masuk,
Dengan hati-hati, Serena melangkah masuk ke ruangan perawatan Rafi.
Ruangan yang sangat akrab, sangat dikenalinya. Tetapi sekarang berbeda,
Rafinya tidak tidur. Rafinya tidak menutup mata, dia bangun, sadar dan hidup.
Hati Serena sesak oleh euforia yang membuncah.
Serena duduk di sebelah ranjang, dan Rafi langsung menyadari kehadirannya,
tangannya membuka dan dengan lembut Serena menyelipkan jemarinya kesana,
"Hai", sapa Serena lembut.
Rafi tersenyum, lalu mengeryit karena gerakan sederhana itu ternyata
menyakitinya, "Sa...kit", gumamnya susah payah.
Serena tersenyum lembut, sebelah tangannya mengusap dada Rafi yang kurus,
berhati-hati agar tidak menyentuh luka di dadanya,
"Mereka sudah melepas selang di tenggorokan dan dadamu",
Rafi mengeryit lagi, "Berapa lama?", suaranya serak dan terpatah-patah,
"Apanya?" "Tidur... Berapa lama?"
Serena mendesah lembut, "Dua tahun", jawabnya pelan. Dan langsung menerima tatapan penuh kesedihan
dari Rafi, "Tapi dua tahun tidak terasa lama kok, yang penting kau bangun, kau
berjuang dan aku bangga padamu." sambung Serena cepat-cepat.
Rafi tampak sedikit lega mendengar penjelasan Serena, tapi lalu dia mengernyit
lagi, "Mama... Papa....?"
Serena menggenggam tangan Rafi erat-erat,
"Mereka meninggal pada saat kecelakaan itu Rafi."
Dan hati Serena bagaikan diremas-remas ketika melihat Rafi memejamkan mata
dan menangis, dengan lembut diusapnya air mata Rafi, dikecupnya pipi lelaki itu
yang pucat dan tirus, "Tapi aku yakin mereka sudah tenang disana. Mereka pasti bahagia sekarang,
mengetahui kau sudah sadar."
Rafi membuka matanya dan menatap Serena lembut,
"Maaf." "Kenapa?" Serena mengernyit.
"Karena... Kau... Ditinggal..sendiri..."
Air mata ikut mengalir di pipi Serena,
"Aku tidak apa-apa, lihat" Aku sehat dan baik-baik saja. Aku bertahan buat
kamu. Dan sekarang kamu yang harus berjuang buat aku ya, kamu harus
berjuang untuk pulih lagi, bersamaku."
Rafi mengangguk dan memejamkan mata, percakapan singkat itu membuatnya
begitu kelelahan, Dengan lembut Serena mengusap rambut Rafi,
"Istirahatlah sayang, tidurlah, aku akan ada saat kau terlelap, aku akan ada
saat kau bangun lagi." Dengan lembut Serena terus mengusap rambut Rafi sampai nafas lelaki itu
A Romantic Story About Serena Karya Santhy Agatha di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berubah teratur dan tertidur pulas.
"Dia kuat, dia akan baik-baik saja."
Suara dari arah pintu yang terdengar tiba-tiba itu mengejutkan Serena, dia
menoleh dan mendapati dokter Vanessa sudah berdiri di sana, entah sejak
berapa lama. "Dokter Vanessa?"
Vanessa tersenyum dan melangkah mendekat,
"Yah kau pasti tidak menduga kedatanganku, aku kesini bersama seseorang."
Vanessa mengedikkan kepalanya ke arah pintu, Serena mengikuti arah
pandangan Vanessa dan wajahnya memucat melihat Freddy berdiri di sana, tidak
melangkah masuk, hanya berdiri di ambang pintu dengan ragu-ragu.
"Dia datang untuk minta maaf." jelas Vanessa lembut begitu melihat ekspresi
takut Serena, "dia sudah meminta maaf kepada Damian dan Damian
mengusirnya, menyuruhnya meminta maaf padamu karena kaulah yang
dilukainya." Damian. Nama itu melintas di benak Serena. Damian dan pernyataan cintanya.
Tiba-tiba dada Serena terasa penuh, tapi lalu dia mengernyit. Tidak, dia harus
membunuh perasaan apapun itu yang muncul untuk Damian. Dia harus fokus
kepada Rafi, "Mungkin kita bisa berbicara di luar?" Vanessa berucap setengah berbisik,
melirik ke Rafi yang sedang tertidur pulas.
Serena mengangguk mengikuti dokter Vanessa sampai ke ujung lorong, dengan
diam-diam Freddy mengikuti mereka.
"Maaf," gumam Freddy ketika mereka sudah ada di lorong yang sepi, dia
mengeryit sedikit ketika melihat bahwa Serena menjaga jarak kepadanya, sedikit
berlindung di belakang Vanessa, terlihat takut kepadanya.
Freddy mengusap rambutnya penuh perasaan bersalah, "aku sendiri tak tahu
setan apa yang menghinggapiku saat itu, aku salah paham dan berbuat fatal...
Mungkin aku memang pantas menerima luka-luka akibat semua pukulan ini...."
Freddy mencoba menatap Serena selembut mungkin, menunjukkan ketulusannya
sebesar mungkin agar Serena yakin, "kumohon jangan takut kepadaku Serena,
aku minta maaf, aku benar-benar menyesal, aku malu."
Kata-kata itu merasuk ke dalam jiwa Serena, dia menatap lelaki di depannya ini.
Dia memang tidak terlalu akrab dengan pengacara Damian ini, mereka
berinteraksi hanya kalau perlu dan kebanyakan Freddy hanya berinteraksi
dengan Damian, mengabaikannya. Tetapi sekarang lelaki ini terlihat begitu tulus,
tulus dan berantakan, dengan memar di mana-mana, meskipun tidak
mengurangi ketampanannya.
Serena mencoba menganguk dan memunculkan senyum kecil meskipun dia
masih menjaga jarak, "Iya", jawabnya pelan.
Freddy menatap Serena dalam-dalam, mencari kepastian di sana, dan yang
dilihat di mata Serena adalah ketulusan,
"Aku dimaafkan?" tanyanya pelan.
Serena akhirnya tersenyum lepas,
"Iya." Dengan lembut Freddy membalas senyuman Serena,
"Sekarang aku tahu kenapa hati Damian yang keras itu bisa melumer menjadi
begitu lembut." gumamnya pelan, membuat pipi Serena merona.
Dengan lega Vanessa menarik napas panjang,
"Kalau begini masalah sudah selesai," Vanessa menoleh ke arah Freddy, "nah
Freddy bisakah kau ke tempat lain dulu" Aku ingin berbicara berdua dengan
Serena, percakapan dokter dengan keluarga pasien, kau tahu."
Freddy meringis dengan pengusiran itu, lalu mengangguk,
"Oke, telpon aku kalau kalian sudah selesai." gumamnya dan membalikkan tubuh
melangkah pergi setengah diseret mengingat kondisinya yang babak belur
setelah dihajar habis-habisan.
Mereka berdua menatap kepergian Freddy dan Vanessa tersenyum,
"Dia sangat menyesal kau tahu."
Serena mengangguk, "Saya mengerti," lalu Serena menatap Vanessa dengan penuh ingin tahu,
"Dokter ingin berbicara tentang apa kepada saya?" kecemasan tampak terdengar
dari suara Serena, apakah terjadi sesuatu dengan Rafi"
Vanessa tersenyum mencoba menenangkan Serena,
"Tenang saja, Rafi akan baik-baik saja. Aku sudah berbicara dengan dokter yang
menangani Rafi, dia bilang Rafi bisa kembali pulih meski proses pemulihannya
bisa berlangsung lama," dengan lembut Vanessa menggenggam tangan Serena,
"Serena apakah dokter sudah memberitahukan kepadamu tentang
kemungkinan.... Kemungkinan bahwa Rafi bisa lumpuh selamanya?"
Serena mengangguk, tidak tampak terkejut,
"Pada saat Rafi jatuh koma pun, dokter sudah memberitahukan kemungkinan itu
kepada saya, dokter bilang kalau meskipun nanti Rafi sadar, dia bisa lumpuh
selamanya." "Tapi kemungkinannya tidak seratus persen, masih ada harapan 20 persen
bahwa Rafi bisa berjalan lagi kalau dia ada di tangan yang tepat....."
"Maksud dokter?", Serena mengernyitkan keningnya,
"Maksudku, aku merekomendasikan diriku untuk merawat Rafi, kau tahu aku
sedang mendalami spesialisasi pemulihan tulang dan saraf, jadi aku bisa
merawat Rafi dengan baik..... Nanti ketika dia sudah boleh keluar dari rumah
sakit, Rafi harus terus menjalani terapi dengan begitu masih ada kemungkinan
dia bisa berjalan lagi."
"Apakah.... Apakah dokter diminta Damian melakukannya?" Serena menatap
dokter Vanessa sedikit curiga. Kebaikan hati perempuan cantik di depannya ini
tampak diluar dugaan, apakah Damian memaksa dokter Vanessa menawarkan ini
kepadanya" Vanessa mengangkat bahu dan tersenyum lagi,
"Damian memintaku memang, tapi bukan itu alasan aku ingin merawat Rafi,"
Vanessa menepuk pundak Serena hangat, "Kau tahu almarhum suamiku.... Dia
meninggal dalam kecelakaan beruntun di jalan tol, kecelakaan yang sama yang
menewaskan kedua orang tuamu dan melukai rafi."
"Astaga", Serena menutup mulutnya dengan jemarinya, terkejut,
"Yah astaga", Vanessa tersenyum, "dunia ini sempit bukan" Kadang
kebetulankebetulan yang terjadi sering membuatku bertanya-tanya," tatapan
Vanessa berubah serius, "tapi sungguh Serena, kondisi Rafi ini kupandang sebagai
kesempatan kedua, aku tidak bisa merawat suamiku pada saat itu, tapi kurasa Tuhan memberiku
kesempatan untuk merawat korban yang selamat dari kecelakaan yang sama,
itupun kalau kau mengizinkan."
Serena menganggukkan kepalanya, terharu,
"Iya dokter, saya akan senang dan lega sekali menyerahkan perawatan Rafi di
tangan dokter." *** "Tidak enak." Rafi mengernyit, menggelengkan kepalanya, menghindari sendok
berisi bubur sayuran yang disuapkan Serena kepadanya.
Hari ini adalah tiga minggu sejak Rafi tersadar dari komanyaa, kondisinya sudah
mulai membaik, dia sudah bisa duduk, sudah bisa mengucapkan lebih dari satu
kalimat, dan alat-alat penunjang kehidupannya sudah mulai dilepas satu persatu,
dokter sendiri memuji perkembangan Rafi yang luar biasa pesat, tekad lelaki itu
kuat, maka ketika dia berniat untuk sembuh dia akan merasakannya sepenuh
hati. "Kau harus memakannya," gumam Serena sedikit geli dengan kemanjaan Rafi
yang seperti anak-anak, "ini menyehatkanmu."
"Rasanya seperti muntahan." Gumam Rafi, tapi akhirnya menurut membuka
mulutnya, menerima suapan Serena lalu mengernyit ketika menelan.
Ekspresinya membuat Serena tergelak, tapi kemudian Rafi meraih tangan Serena
yang tidak memegang sendok, ekspresinya berubah serius,
"Serena, tak terbayangkan rasa terimakasihku padamu....aku tidak tahu
bagaimana mengungkapkan cintaku, aku.... Para dokter dan perawat
menceritakan perjuanganmu untukku...."
"Stttt," Serena meletakkan sendoknya dan menyentuhkan jemarinya di bibir Rafi,
"Perjuangannya sepadan, kau akhirnya bangun kan?"
"Tapi...." ekspresi kesedihan menghantam Rafi, "aku.... Aku mungkin tidak akan
bisa berjalan lagi. Aku mungkin lumpuh selamanya, aku hanya akan menjadi
bebanmu..." "Rafi," Serena menyela sedikit marah, "kau tidak boleh memvonis dirimu sendiri,
kesembuhanmu yang luar biasa ini juga diluar prediksi dokter bukan" Kita pasti
bisa kalau kita berjuang dengan tekad dan keyakinan kuat bersama-sama,
meskipun begitu....", Suara Serena berubah sendu, "meskipun pada akhirnya kau
lumpuh selamanya pun, aku akan tetap bahagia bersamamu... Kau tahu selama
ini aku selalu berdoa apa" Aku berdoa yang penting kau sadar, aku tidak peduli
yang lain, Tuhan sudah mengabulkan doaku Rafi.... Tidakkah itu cukup?"
Mata Rafi tampak berkaca-kaca.
"Kau tidak tahu betapa aku mencintaimu......"
Suara di pintu itu mengalihkan perhatian mereka, Serena dan Rafi menoleh
bersamaan, lalu Serena tersenyum, Dokter Vanessa ada di sana, dalam
kunjungannya yang biasa, sekarang bahkan dokter Vanessa sudah mulai akrab
dan berteman dengan Rafi.
Tapi senyuman Serena langsung membeku ketika menyadari siapa yang
mengikuti di belakang dokter Vanessa, itu Damian!
Damian yang sama. Damian yang tampan dengan penampilan bak adonis,
dengan ekspresi yang dingin dan tidak terbaca. Serena tidak pernah
berhubungan dengan Damian lagi sejak Rafi sadarkan dari komanya, Damian
selalu memaksakan maksudnya dengan perantaraan dokter Vanessa, seperti
ketika Damian memaksakan untuk menanggung biaya rumah sakit Rafi dan
ketika Damian memaksakan Serena setuju - lewat bujukan dokter Vanessa - agar
Serena dan Rafi pulang ke apartemen yang dibelikannya ketika Rafi sudah boleh
pulang dari rumah sakit nanti.
Sekarang lelaki itu berdiri di depannya, ekspresinya tak terselami dan sedikit
muram, membuat Serena bertanya-tanya, apakah Damian mendengarkan
percakapannya dengan Rafi tadi. Apakah Damian tidak senang mendengarnya,
"Dokter Vanessa," Rafi menyapa ramah ketika Serena hanya diam saja, lalu
menatap ingin tahu ke arah lelaki tampan yang sepertinya hanya menatap
terfokus kepada Serena, "Halo Rafi, aku datang untuk mengecek keadaanmu. Dua hari lagi kau sudah
boleh pulang kalau kondisimu sebaik ini terus," Vanessa menyadari Rafi menatap
ke arah Damian, lalu menyikut pinggang Damian untuk menarik perhatian
Damian yang terarah lurus kepada Serena, "Dan ini Damian, dia eh bosku dan
bos Serena juga." Damian menolehkan kepalanya pelan-pelan, lalu menatap ke arah Rafi,
menelusurinya dengan tajam dan meneliti.
Inikah laki-laki yang dicintai Serena sampai rela mengorbankan segalanya"
Tibatiba pikiran jahat melintas di benaknya, apa yang akan diperbuat Rafi jika
tibatiba dia mengungkapkan bahwa Serena sudah menjual keperawanannya
kepadanya" Bahwa dia sudah berkali-kali meniduri tunangannya yang katanya
dicintainya tadi" "Damian." Vanessa bergumam ketika Damian hanya menatap dan tidak
bersuara, Damian lalu mendekat dan mengulurkan tangannya kepada Rafi,
"Salam kenal, saya adalah.... Atasan Serena di tempat kerjanya... Kebetulan
kami eh cukup .... akrab." sedikit senyum muncul di bibir Damian ketika
menyadari Serena dan Vanessa tampak begitu cemas dengan kata-kata yang
mungkin muncul dari bibirnya,
Rafi menerima jabatan tangan Damian dan tersenyum tulus,
"Terimakasih." meskipun Rafi sedikit bertanya-tanya kenapa tatapan Damian
seolah-olah ingin membunuhnya.
"Saya senang kondisi anda semakin membaik." gumam Damian tenang, tapi
terdengar seolah-olah mengatakan, kenapa kau tak mati saja biar semua jadi
mudah" Serena mengernyit mendengar nada suara Damian itu, lelaki itu sama sekali
tidak mencoba membuat suasana menjadi lebih mudah malah seolah-olah
menantang Serena untuk mengakui sesuatu " mengakui apa" apakah Damian
ingin agar Serena mengakui segalanya di depan Rafi" Mengakui bahwa dia sudah
menjual keperawanan dan tubuhnya demi membiayai biaya operasi Rafi?"
Serena akan mengakuinya, itu pasti, dia tidak mungkin membohongi Rafi. Rafi
mungkin akan marah dan sedih, sedih karena Serena terpaksa melakukan semua
itu demi dirinya. Lalu mungkin Rafi akan menyalahkan dirinya sendiri. Oh, lelaki
itu tidak akan meninggalkan dirinya karena sudah tidak perawan. Serena begitu
mengenal Rafi hingga yakin akan hal itu, dia lelaki berpkiran terbuka, tetapi
yang Serena takuti adalah Rafi akan semakin menyalahkan dirinya, sendiri,
menyalahkan kondisinya yang tidak berdaya yang membuat Serena harus
berjuang sendirian demi dirinya, dan Serena tidak mau Rafi mengalami itu
semua, tidak di saat kondisi Rafi masih begitu rapuh dan ada di dalam proses
pemulihan. Nanti, Serena pasti akan mengakui semuanya, tetapi tidak sekarang.
Karena itu dia langsung memelototi Damian mengingatkan, memastikan Damian
melihat isyarat dalam matanya, dan menggeram dalam hati ketika Damian
malahan tersenyum meremehkan.
"Mr. Damian ini adalah atasanku di tempat lamaku bekerja." jelas Serena cepat
begitu melihat kebingungan di mata Rafi.
"Tempatmu sekarang bekerja Serena, kamu masih bekerja di sana." sela Damian
tajam. Serena ternganga mendengar bantahan Damian itu, kehabisan kata-kata,
sementara lelaki itu tersenyum datar pada Rafi,
"Kami sempat mengalami sedikit kesalahpahaman. Saya menuduh Serena
melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak dia lakukan, Tetapi saya sekarang
sudah menyadari kesalahan saya," Damian menatap Serena penuh arti, "dan
dengan rendah hati, saya meminta Serena kembali kepada saya". kata-kata itu
diucapkan dengan datar dan santai, tapi entah kenapa arti yang tersirat di
dalamnya membuat pipi Serena merona.
Vanessa langsung berdehem memecah kecanggungan,
"Bagus, kita akhirnya menyelesaikan segala kesalahpahaman," gumamnya ceria,
"Nah sekarang aku ingin memeriksa kondisimu Rafi."
"Saya tidak pernah merasa lebih baik dokter." Rafi tersenyum, perhatiannya
teralih dari Damian dan Serena.
"Dan akan lebih baik lagi, aku yakin mengingat pesatnya kondisimu," Vanessa
tersenyum, lalu menatap Serena dan Damian, "Kalian bisa keluar sebentar" aku
ingin memeriksa kondisi Rafi."
Dan dalam diam Damian dan Serena melangkah keluar ruangan. Mereka masih
berdiri diam di lorong ruang perawatan.
"Well dia tampak sehat." gumam Damian kemudian, menyandarkan tubuhnya di
tembok dan menatap Serena tajam,
Serena menganggukkan kepalanya.
"Dia tidak akan bisa berjalan lagi kan?" sambung Damian jahat.
Serena membelalakkan matanya mendegar kekejaman dalam suara Damian,
"Damian!! Jahat sekali kau!", mata Serena tampak berkaca-kaca, "Dokter
Vanessa bilang masih ada kesempatan bagi Rafi untuk sembuh, dan aku percaya
dia akan sembuh." "Sampai berapa lama lagi Serena" kau harus menunggu dalam waktu yang tak
pasti lagi, Kenapa mencintai seseorang harus penuh pengorbanan seperti itu?"
Damian mendeses kesal, "Dan kata Vanessa dia juga mungkin tidak bisa
berfungsi sebagai laki-laki normal..."
"Damian!!!" Serena setengah berteriak, menghentikan kata-kata Damian, pipinya
memerah mendengar ucapan Damian yang begitu vulgar.
Damian mengangkat bahunya tanpa rasa bersalah,
"Aku cuma mengungkapkan apa yang dikatakan Vanessa kepadaku," tiba-tiba
dia mendekat dan merengkuh pundah Serena, "Bagaimana Serena" Bagaimana
jika dia tidak dapat berfungsi sebagai lelaki normal" padahal aku tahu...", mata
Damian menyala-nyala, "aku tahu betapa kau gadis kecil yang penuh gairah,
betapa kau menyambut setiap sentuhanku dengan gairah yang sama, betapa
kau menyukainya... Bagaimana kau nanti bisa tahan tidak merasakan itu
semua...tidak disentuh.. tidak di..."
"Hentikan!!!!" Kali ini Serena benar-benar berteriak, matanya berkaca-kaca.
Membuat Damian terdiam dan tidak melanjutkan kata-katanya. Serena tampak
begitu rapuh sekaligus begitu kuat dengan wajah pucat pasi dan mata berkacakaca
seperti itu, membuat Damian ingin melumatnya...
"Kau terlalu picik kalau selalu memandang sebuah kasih sayang hanya dari
kemampuan melakukan hubungan fisik," desis Serena tajam,
"aku mencintai Rafi, aku hanya butuh kehadirannya di sampingku, itu saja...
A Romantic Story About Serena Karya Santhy Agatha di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kalaupun.. kalaupun dia nantinya tidak bisa memelukku dengan bergairah, aku
tidak peduli, yang penting dia hidup dan ada di sisiku, aku tidak butuh yang
lain lagi..." "Tidak butuh yang lain lagi?" Kata-kata Serena yang penuh cinta kepada Rafi itu
menyulut kemarahan Damian, dengan kasar direngggutnya Serena ke dalam
pelukannya, "Kalau begitu bagaimana dengan yang ini?"!"
Dengan tanpa diduga-duga, Damian mencium bibir Serena, pertama kasar,
meluapkan kemarahannya disana, melumat bibir Serena dengan menyakitkan
seolah ingin menghukumnya. Oh! betapa dia ingin menghukum perempuan ini
karena menyakitinya! Oh berapa dia merindukan perempuan ini!!
Ciumannya melembut ketika merasakan bibir perempuan yang sangat
dirindukannya, yang sudah lama tidak disentuhnya, yang sudah lama tidak
dirasakannya. Kerinduannya meluap, dipeluknya tubuh Serena erat-erat,
dilumatnya bibirnya dengan seluruh gairahnya, dipujanya bibir itu.
Serena yang tidak menyangka akan dicium dengan seintens itu semula hanya
terpaku, lalu dia memejamkan matanya, aroma Damian, kemaskulinannya
menyeruak di dalam dirinya. Membangkitkan kenangan lama akan kedekatan
mereka, dan secara alami, Serena membalas pelukan dan lumatan Damian.
Entah berapa lama mereka berciuman sampai kemudian Damian melepaskan
tautan bibir mereka, terengah-engah.
Dengan lembut Damian menunduk, masih berpelukan, dahinya menyatu dengan
dahi Serena, napas mereka yang panas menyatu, bibir mereka masih
berdekatan. Kemarahan Damian mereda seketika oleh ciuman itu, kini dadanya dipenuhi oleh
perasaan lembut yang menyesakkan dada,
"Jangan bilang kau tidak merindukan sentuhanku." bisik Damian lembut,
Serena memejamkan mata berusaha menggeleng,
"Aku tidak merindukannya." erangnya mencoba melawan,
Damian menundukkan kepalanya, menghujani telinga dan leher Serena dengan
ciuman-ciuman lembut seringan bulu, membuat tubuh Serena gemetaran,
"Teruslah berbohong" bisik Damian di telinga Serena, "Tapi tubuhmu tidak bisa
membohongiku, tubuhmu merindukanku Serena, dan aku merindukanmu." bisik
Damian di sela-sela kecupannya.
Serena mengerang, mencoba melawan kebenaran yang menyiksanya. Dia
merindukan Damian, dia memang merindukan lelaki itu. Sering di malam-malam
dia berbaring di sendirian di sofa rumah sakit, menunggui Rafi. Dia merindukan
Damian, merindukan pelukannya yang melingkari perutnya dengan posesif,
merindukan lengannya yang selalu menjadi bantal tidurnya, merindukan desah
napas teratur Damian di telinganya ketika tertidur pulas. Tapi Serena
menahannya, mencoba mengenyahkannya. Perasaan itu tidak boleh
ditumbuhkan. Dia sudah mempunyai Rafi, Rafinya, tunangannya. Kekasih yang
dicintainya. Kekasih yang ditunggunya tanpa putus asa selama dua tahun.
Kekasih yang sekarang sedang berjuang untuk pulih kembali demi dirinya.
Air mata mengalir deras di pipi Serena,
"Aku merindukanmu Damian." pengakuan itu, pengakuan yang sama sekali tidak
di duga-duga Damian membuat gerakan lelaki itu yang sedang mencumbu
Serena terpaku. Damian langsung menegakkan tubuhnya, mengangkat dagu Serena agar
menatapnya, "Apa" Katakan sekali lagi, katakan," Damian mendesak ketika Serena
menghindari matanya. "Katakan sekali lagi Serena, aku perlu mendengarkan
lagi." Serena menarik napas panjang, lalu menatap mata biru yang berbinar-binar itu,
"Aku merindukanmu Damian." gumamnya lagi, lebih pelan dan bergetar.
"Demi Tuhan," Damian memejamkan matanya lama, lalu memeluk Serena,
"betapa aku ingin mendengar pengakuan itu darimu..."
Mereka berpelukan lama, menikmati saat-saat yang penuh dengan keheningan
itu, sampai kemudian Damian menjauhkan pelukannya dan menatap penuh
tekad, "Kita harus berbicara dengan Rafi."
"Jangan!!!" Serena langsung berteriak mencegah dan ketakutan, "Jangan
Damian!!" Mata Damian berkilat-kilat,
"Kau harus menentukan perasaanmu Serena, aku atau Rafi. Salah satu dari kami
harus mendapat kepastian tentang perasaanmu." gumamnya tegas.
Serena menangis lagi, tangannya bergerak lembut, mengelus pipis Damian, lelaki
itu langsung memejamkan matanya,
"Damian... Mungkin aku juga menyayangimu, mungkin aku juga mencintaimu.
Tapi Rafi lebih membutuhkan aku, tanpa aku dia tidak punya siapa-siapa lagi.
Sedangkan kau, kau lelaki yang hebat, kau bisa mencari banyak penggantiku,
kau pasti masih bisa hidup tanpa aku." gumam Serena lembut.
Ketika Damian membuka matanya, kesakitan dan kepedihan yang terpancar di
dalamnya begitu mengiris hati Serena,
"Jadi aku dikalahkan karena aku hebat?" suara Damian terdengar begitu pedih,
"Apakah aku harus luka parah seperti Rafi dulu biar kau memilihku?"
"Damian!!!" Serena berseru spontan, terkejut, "Jangan pernah.... jangan pernah
berpikir seperti itu, kau... kau pasti bisa memahami keputusanku."
Damian melihat air mata Serena yang mengalir dan mengusapnya lembut,
Kemudian Damian merangkum pipi Serena dengan kedua tangannya,
menghadapkan wajah mungil pucat pasi itu agar mau menatap matanya.
Mereka bertatapan. Yang satu penuh air mata, yang lain penuh tekad, saling
memandang dalam keheningan,
Lalu sebuah senyum kecil muncul di bibir Damian,
"Dasar perempuan kecilku yang bodoh, kau tidak perlu mengatakan apa-apa
lagi. Cukup dengan kau bahagia. Itu saja, kau mengerti" Sekarang hapus air
matamu itu dan tersenyumlah!"
*** Sejak saat itu Damian seolah-olah menghilang dari kehidupan Serena, Serena
merenung dalam mobil rumah sakit yang membawa mereka pulang ke
apartemen. Hari ini Rafi sudah boleh pulang dari rumah sakit, bersama Vanessa dan suster
Ana mereka pulang ke apartemen. Suster Ana memutuskan untuk tinggal
sementara membantu Serena, dan Vanessa sudah berjanji akan berkunjung
setiap hari untuk mengecek kondisi rafi dan melakukan terapi rutin.
Kata Dokter Vanessa, Damian memutuskan mengambil tugas perjalanan ke
eropa dan mungkin akan kembali dalam waktu yang lama.
Dada Serena terasa nyeri, ketika sekali lagi mengakui kenyataan itu kepada
dirinya sendiri, Oh ya, dia merindukan Damian, sangat merindukannya. Ternyata
cinta memang bisa tumbuh tanpa direncanakan. Serena mencintai Damian. Dia
tidak tahu kapan perasaan ini bertumbuh. Dia hanya tahu dia mencintai Damian,
itu saja. "Aku tidak menyangka bosmu yang kelihatannya sombong itu bisa begitu baik,
meminjamkan apartemennya", Rafi memecah keheningan, menatap Serena
dengan sedikit menyelidik, dia bertanya-tanya karena akhir-akhir ini Serena
begitu murung, "Aku yang membujuknya", Vanessa yang duduk di kursi depan cepat-cepat
menjawab, tahu bahwa Serena pasti kebingungan dengan pertanyaan Rafi itu,
"Damian adalah sahabat suamiku, aku bilang merawatmu penting bagiku, karena
kamu adalah salah seorang yang selamat dari kecelakaan yang menewaskan
suamiku. Jadi Damian mau meminjamkan apartemen itu, toh apartemen itu tidak
terpakai." Diam-diam Serena dan suster Ana menarik napas lega mendengar kelihaian
dokter Vanessa menjawab. Mereka sampai di apartemen, dan Serena mendorong kursi roda Rafi memasuki
ruangan itu. Begitu mereka masuk tanpa sadar Serena mengernyit, semua kenangan itu
seolah menghantamnya. Di sini, di apartemen ini dia menghabiskan waktu
berdua dengan Damian, makan malam bersama, bercakap-cakap bersama....
"Apartemen yang sangat bagus, kita beruntung Serena, bos mu sangat baik."
Rafi mendongakkan kepalanya ke belakang menatap Serena sambil tersenyum,
Mau tak mau Serena memaksakan senyuman di bibirnya. Kuatkah ia berada di
sini" Apalagi di kamar itu... Serena melirik kamarnya, tempat Damian juga
menghabiskan sebagian besar waktunya di sana. Tidak! dia tidak mau masuk lagi
ke kamar itu! Dengan cepat dan efisien mereka menyiapkan segalanya sehingga Rafi selesai di
terapi dan beristirahat di kamarnya. Suster Ana menjaganya sebentar, lalu
berpamitan untuk kembali ke rumah sakit, berjanji akan pulang dan menginap di
sini nanti malam. Setelah memastikan Rafi tertidur pulas, Vanessa menyeduh teh dan mengajak
Serena duduk di ruang depan.
"Dia sudah kembali dari eropa." Vanessa membuka percakapan, menatap Serena
dari atas cangkir kopi yang diteguknya.
Seketika itu juga hati Serena melonjak, tahu siapa yang di isyaratkan sebagai
'dia' itu. "Apakah dia baik-baik saja?" Tanya Serena pelan.
Vanessa tersenyum miring mendengar kelembutan dalam suara Serena,
"Kau itu baik hati ya, sudah menerima arogansinya yang tidak tanggungtanggung,
tetapi masih saja mencemaskannya," dengan pelan Vanessa
meletakkan cangkirnya, "Yah, dia baik-baik saja, sedikit kurus, terlalu
memaksakan diri dan jadi pemarah seperti beruang terluka, tak ada yang berani
menyinggungnya dan mendekatinya dalam radius 100 meter kalau dia sedang
mengeluarkan aura pemarahnya, bahkan direktur keuangan memilih
berhubungan dengannya via telepon," Vanessa terkekeh. Lalu wajahnya berubah
serius melihat kesedihan Serena, "Yah.... dengan melupakan fakta kalau
akhirakhir ini dia lebih seperti mayat hidup daripada manusia, sepertinya dia
baik-baik saja." Serena memalingkan wajahnya dengan pedih,
"Dia menderita Serena..." desah Vanessa kemudian, "Aku tidak pernah
melihatnya seperti ini sebelumnya."
"Sudah..." Serena tidak tahan lagi mendengarnya, penderitaan Damian serasa
mengiris-iris hatinya, "Sudah aku tidak mau mendengar lagi."
Vanessa menarik napas, "Tapi tadi dia memintaku menyampaikan pesan kepadamu."
Kata-kata Vanessa yang menggantung membuat Serena menoleh, tertarik,
"Pesan?" Vanessa menggangguk, "Ya, sebuah pesan... malam ini jam delapan, ditunggu di restourannya," lalu
Vanessa menyebutkan nama sebuah hotel,
Dan Serena mengernyit, hotel tempat pertama kali dia bersama Damian.
*** Serena merasa tidak nyaman, pakaiannya terlalu biasa-biasa saja untuk ukuran
hotel yang mewah ini. Dia berdiri dengan kikuk di lobby, tak tahu harus berbuat
apa. Entah dorongan apa yang membuatnya datang menemui Damian malam ini. Dia
tahu dia nekat, seperti memancing iblis untuk membakarnya. Tapi dia tidak bisa
menahan diri. Dia ingin bertemu Damian, walaupun mungkin ini untuk terakhir
kalinya. "Bisa dibantu nona?" Lelaki petugas hotel itu datang menghampiri, sepertinya
melihat kebingungan Serena,
"Eh saya...saya Serena...saya sudah ditunggu..."
"Nona Serena," petugas itu berubah sopan dan membungkukkan tubuh,
"silahkan, anda sudah ditunggu, mari saya antar."
Dengan ragu Serena melangkah mengikuti petugas hotel itu, memasuki
restaurant yang tertata dengan mewah dan elegan.
Dan disanalah Damian, duduk dengan pakaian resminya, mata Damian sudah
melihatnya ketika dia memasuki ruangan. Dan tidak lepas memandanginya
dengan tajam setelahnya. Ketika Serena mendekat, Damian berdiri dengan sopan lalu duduk lagi setelah
Serena duduk, Hening sejenak, masing-masing sibuk dengan pikirannya sendiri.
"Terimakasih sudah datang." gumam Damian lembut,
Serena mengangguk, matanya berkaca-kaca melihat kelembutan tatapan
Damian. "Mungkin ini untuk terakhir kalinya, mungkin setelah ini aku tidak akan datang
lagi." gumam Serena pelan.
Damian menggangguk, "Setelah ini aku tidak akan pernah memintamu datang lagi."
Hening lagi. Sampai pelayan membawakan makanan pembuka, mereka makan
malam dalam diam. Sampai kemudian Damian menuangkan anggur ke gelas Serena,
Serena mengernyit, "Aku tidak pernah minum alkohol."
Damian tersenyum menggoda, senyum pertamanya malam itu,
"Tenang saja, aku akan menjagamu. Kemungkinan terburuknya mungkin kau
diperkosa saat mabuk."
Pipi Serena langsung merona dan Damian terkekeh.
Anggur itu mencairkan segalanya, suasana menjadi hangat, dan percakapan
mereka mengalir lancar, Damian menceritakan tentang perjalanannya ke Eropa
dan Serena mendengarkannya dengan penuh minat.
Sampai kemudian, Damian menggenggam tangan Serena lalu mengecupnya,
"Aku ingin memelukmu."
Hanya satu kalimat, tapi Serena mengerti. Dia menganggukkan kepalanya. Entah
kenapa dia menyetujuinya. Mungkin karena anggur itu sudah mempengaruhi
pikiran normalnya. Yang pasti Serena juga ingin merasakan pelukan Damian.
Dengan lembut Damian menghela Serena, melangkah ke lantai atas,
Ketika Damian membuka pintu kamar, Serena menatap Damian bingung, dan
Damian tertawa menyadari kebingungan Serena,
"Yah... kamar yang sama... Kuakui... aku memang agak sedikit sentimental,"
Damian mengangkat bahu, pipinya sedikit merona, "Kupikir... tempat saat
pertama akan cocok untuk menjadi tempat saat terakhir kita."
Serena tersenyum lembut, dan membiarkan Damian membimbingnya memasuki
kamar, Mereka berdiri dengan canggung, sampai Damian mengeluarkan sebuah kotak
dari sakunya, "Aku membawa cincin keluargaku, cincin yang diberikan turun-temurun untuk
pengantin perempuan," dengan tenang dia membuka kotak itu dan menunjukkan
cincin dengan berlian biru yang mungil dan cantik, "Aku ingin memberikannya
kepadamu." "Tidak!!" Serena langsung berseru keras, menolak, "Jangan Damian, itu... itu
cincin yang sangat penting, itu untuk pengantin wanitamu!"
"Bagiku, kaulah pengantin wanitaku," Damian menarik tangan Serena, memaksa
memasangkan cincin itu ketangannya, lalu menggenggamnya erat-erat ketika
Serena berusaha melepaskan cincin itu, "Aku ingin kau memilikinya."
"Damian..." Serena merintih penuh penderitaan, penuh air mata, Dan Damian
mengusap air matanya lembut, mengecup air matanya lembut,
"Serena," bisiknya seolah kesakitan, lalu mencium bibirnya dengan lembut dan
penuh perasaan, "Astaga... Serena.... Serena... Betapa aku merindukanmu..."
Ciumannya semakin dalam, semakin bergairah, semakin penuh kerinduan, tak
tertahankan.... *** Damian melepaskan ciumannya dan menatap Serena lembut,
"Kau mabuk ya?" senyumnya. Merasa senang karena Serena membalas
ciumannya dengan sama bergairahnya.
Serena hanya merangkulkan tangannya erat-erat di leher Damian, merasakan
benaknya melayang-layang. Sepertinya dia memang mabuk, karena sekarang dia
merasa bebas dan begitu nyaman bersama Damian.
Damian terkekeh geli, "Aku senang kalau kau mabuk, kau begitu penurut dan tidak takut-takut,"
dengan lembut Damian mengecup telinga Serena, mencumbunya dengan penuh
kelembutan, "biarkan aku mencintaimu malam ini Serena...."
Dengan lembut Damian menghela Serena ke atas tempat tidur dan mengecupi
wajahnya penuh perasaan, "selama ini kita berhubungan seks...tapi malam ini
aku berjanji, kita akan.... bercinta."
Damian menggerakkan tangannya menurunkan gaun Serena dan mulai
mengecupi pundaknya, tersenyum senang ketika mendengar desahan Serena,
"Hmm, kau senang sayang" Kau menyukainya ya?" dengan penuh perasaan di
kecupinya semua permukaan kulit Serena.
Serena merasa dirinya melayang-layang, pengaruh alkohol, ditambah kemesraan
A Romantic Story About Serena Karya Santhy Agatha di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Damian yang luar biasa membuatnya merasa di awang-awang, dibukanya
matanya, dan samar-samar dilihatnya Damian mengecupi jemarinya, ketika
Damian menatapnya, mata laki-laki itu tampak berkilauan,
Posisi mereka begitu intim, telanjang bersama dengan tubuh menyatu. Damian
mendesakkan dirinya lebih rapat, menikmati tubuh perempuannya yang
melingkupinya. Dadanya serasa membuncah oleh perasaan hangat, ketika mata
mereka bersatu dalam pesan yang tersirat,
"Aku mencintaimu." bisik Damian lembut. Dan Serenapun melayang, terbawa
oleh cinta Damian. **** Damian memeluk tubuh Serena yang lunglai dan terlelap, tubuhnya rileks setelah
percintaan mereka. Tapi otaknya berpikir keras.
Dia sengaja membuat Serena mabuk malam ini, agar Serena tidak waspada,
agar Serena tidak menyadari, tidak menyadari apa yang sudah dia rencanakan
jauh sebelumnya. Dia tidak memakai pelindung saat mereka bercinta tadi. Dia berusaha membuat
Serena hamil. Damian memejamkan mata dan mengernyit ketika sengatan rasa bersalah
menyerbunya. Dia telah memanipulasi ketulusan perasaan Serena dengan
menjebaknya. Tapi mau bagaimana lagi" Dia sudah berusaha melupakan Serena.
Tuhan tahu dia berusaha sangat keras, apa saja agar Serena bahagia bersama
Rafinya yang sudah dipilihnya. Dia bahkan mengajukan diri untuk perjalanan
bisnis ke luar negeri agar bisa melupakan Serena. Tapi perempuan itu
membayanginya, membuatnya gelisah dan tidak bisa berkonsentrasi. Damian
merasa dirinya nyaris gila ketika memutuskan akan pulang dan memutuskan
untuk memiliki Serena dengan cara apapun. Jika Serena tidak mau memilihnya,
maka Damian akan memaksa Serena memilihnya!
Dengan lembut Damian mengecup dahi Serena yang berbaring di lengannya.
Sebelah tangannya meraba perut Serena yang telanjang di balik selimut dan
mengelusnya. Anakku mungkin sudah bertumbuh di sini, pikirnya posesif. Rasa memiliki dengan
intensitas luar biasa muncul tiba-tiba dalam hatinya ketika menyadari bahwa
anaknya mungkin sudah mulai bertumbuh dan terbentuk di dalam rahim Serena.
Dengan lembut diusapnya perut Serena, Damian tidak bisa menahan diri, pelanpelan
diletakkannya kepala Serena di bantal, lalu dia bergerak turun dan
mengecup perut Serena, "Kau harus tumbuh di sana," bisiknya penuh tekad, "Kau harus tumbuh sehat
dan kuat di sana, agar ayahmu bisa memiliki ibumu", Damian berbicara sambil
mengecup perut Serena. Kemungkinan bayi itu terbentuk dari percintaan mereka adalah 80%, Damian
sudah mempelajarinya dari semua referensi yang bisa ia dapat, ia mengetahui
bahwa dari rata-rata umur mereka berdua kemungkinan Serena hamil malam ini
sangat besar, dan diam-diam dia sudah mencocokkan dengan siklus Serena, dia
tahu perempuan itu sedang dalam masa suburnya.
Ciuman-ciuman lembut di perutnya itu membuat Serena terbangun, dia
membuka mata dan menatap Damian,
"Damian?" Serena bertanya-tanya kenapa Damian mengecup perutnya.
Damian tersenyum, senyum yang sedikit kejam menurut Serena, tapi usapan
tangan lelaki itu yang dilakukan sambil lalu di sepanjang kulitnya yang
telanjang, terasa begitu lembut sekaligus menggoda,
"Aku bergairah lagi." gumam Damian Serak, lalu bergerak naik dan mengecup
bibir Serena penuh gairah.
Damian berbeda dengan tadi, pikir Serena, kali ini sedikit lebih kasar, tidak
menahan diri dan sangat posesif. Ciumannya begitu bergairah, melumat bibir
Serena kuat-kuat, lidahnya menjelajahi mulut Serena dengan panas, tangannya
mengusap tubuh Serena penuh gairah,
"Kau milikku Serena." gumam Damian parau sebelum bercinta lagi dengan
Serena. *** Serena terbangun dalam pelukan Damian. Matahari fajar sedikit menembus tirai
putih jendela hotel itu, masih gelap dan dingin. Dengan nyaman Serena makin
bergelung dalam pelukan lelaki itu. Dan secara otomatis Damian mengetatkan
pelukannya, melingkarkan lengannya erat-erat di tubuh Serena.
Serena memejamkan matanya, menenggelamkan wajahnya di dada telanjang
Damian, menghirup aroma Damian kuat-kuat dan menyimpannya rapat-rapat
dalam memorinya. Tiba-tiba air mata merembes dari sela bulu matanya, dan
Serena menahannya agar tidak menjadi isakan.
Kenapa" Kenapa Tuhan membuatnya jatuh cinta lebih dulu kepada Damian
sebelum kemudian mengabulkan doanya agar Rafi terbangun dari komanya" Apa
rencana Tuhan di balik semua peristiwa ini" Kenapa di saat Rafi benar-benar
sudah bangun, hatinya sudah jatuh dimiliki oleh Damian"
Serena mengigit bibirnya agar tangisnya tidak semakin keras dan
membangunkan Damian, dia tidak boleh menangis. Ini semua sudah menjadi
keputusannya. Dia sudah memiliki Rafi. Rafi yang mencintai dan dicintai olehnya
sejak awal. Rafi yang sebatang kara dan tidak akan punya siapa-siapa kalau
Serena tidak ada di sampingnya. Rafi lebih membutuhkan Serena dibandingkan
Damian. Tanpa Serena, Rafi akan rapuh, sedangkan tanpa Serena, Damian akan
tetap kuat. Damian bisa mencari Serena-Serena yang lain dengan segala
kelebihannya, sedangkan Rafi hanya memiliki Serena.
Dia sudah memutuskan dalam hatinya, tapi kenapa hatinya tetap terasa begitu
sakit" Rasanya seperti disayat-sayat ketika memikirkan Damian, ketika
ingatannya melayang pada setiap kebersamaan mereka. Kenapa rasanya masih
terasa begitu sakit"
Dan malam ini Serena memutuskan bertindak egois. Hanya malam ini ya Tuhan,
ampuni aku, desah Serena dalam hati. Dia tahu semua ini akan terjadi. Dia tahu
jika dia datang menemui Damian pada akhirnya mereka akan berakhir di ranjang
dan bercinta. Serena tahu itu semua akan terjadi, tapi dia tetap mengambil
konsekuensi itu, dia butuh merasakan pelukan Damian untuk terakhir kalinya,
dan kemudian meyakinkan dirinya bahwa ini adalah perpisahannya dengan
Damian. Pelukan Damian tiba-tiba mengencang dan lelaki itu dengan masih malasmalasan
mengecup dahi Serena, "Dingin?" tanyanya Serak.
Serena mendongakkan wajah dan mendapati mata biru itu menatapnya. Lalu
tersenyum lembut, dan menggeleng.
Damian meraih dagu Serena dan mengecupnya dengan kecupan singkat,
"Aku menyakitimu tidak semalam?"
Sekali lagi Serena menggeleng dan menenggelamkan wajahnya ke dada Damian,
menahan air mata. Ini adalah saat berharganya. Berada dalam pelukan erat
Damian, merasakan kelembutan dan kemesraannya. Dia akan menyimpan
kenangan ini dihatinya, biar di saat-saat dia merasa pedih dan merindukan
Damian, dia tinggal menarik keluar kenangan tentang pagi ini, dan hatinya bisa
terasa hangat. Seperti inilah dia akan mengenang Damian nanti, lembut, penuh cinta dan
memeluknya erat-erat. Seolah mengerti pikiran Serena yang berkecamuk, Damian tidak mengatakan
apa-apa lagi. Dia hanya memeluk Serena erat-erat dan mengusap punggungnya
dengan lembut, mereka larut dalam keheningan dan usapan Damian membuat
Serena setengah tertidur,
"Aku harap kau tidak menyesali malam tadi." bisik Damian lembut, menggugah
Serena dari kondisi setengah tidurnya.
Serena mendongakkan kepalanya lagi dan menatap Damian lembut,
"Kau tahu aku tidak menyesal." tangannya dengan hati-hati mengusap wajah
Damian, takut akan reaksi Damian karena dia tidak pernah melakukannya
sebelumnya. Tapi Damian langsung memejamkan mata, menikmati setiap
usapan Serena dengan penuh perasaan.
Merasa mendapatkan izin, dengan lembut Serena menggerakkan tangannya,
meraba wajah Damian. Mulai dari dahinya, lalu ke alisnya yang tebal, ke mata
yang terpejam itu, ke bulu mata tebal yang hampir menyentuh pipi ketika
Damian terpejam, ke hidungnya, ke tulang pipinya yang tinggi, ke rahangnya
yang mulai ditumbuhi bakal janggut, hingga ke bibirnya yang tipis tapi penuh,
bibir yang tak terhitung lagi sudah mengecupnya berapa kali.
"Serena..." Damian mendesah, mengernyitkan keningnya merasakan usapan
lembut Serena di wajahnya, tangannya lalu menahan jemari Serena di bibirnya
dan mengecupnya, mata birunya membuka dan menatap Serena bagai api biru
yang menyala, "Apapun yang akan terjadi nanti, aku akan membuat kau mensyukuri malam ini."
gumam Damian misterius. Serena mengernyitkan kening mendengar kata-kata Damian yang penuh arti.
Apa maksud Damian" Tapi sebelum Serena bisa berpikir lebih lanjut, Damian sudah meggulingkan
tubuh Serena dan menindihnya. Bercinta lagi dengannya.
*** Serena membuka pintu apartemen dengan berhati-hati dan menemukan dokter
Vanessa sedang duduk di ruang tamu sedang menyesap kopi dan menonton
televisi. Dokter Vanessa tersenyum penuh pengertian ketika menatap Serena. Saat itu
jam 8 pagi, Serena sengaja meminta Damian memulangkannya pagi-pagi
sehingga Rafi belum bangun. Semalampun ia berangkat setelah yakin Rafi sudah
tertidur pulas. "Rafi belum bangun." jawab dokter Vanessa tenang, menjawab pertanyaan di
mata Serena. Serena menarik napas lega,
"Dokter menginap di sini?" tanyanya pelan.
Vanessa mengangguk, "Suster Ana memintaku menemani untuk berjaga-jaga, dan aku tidak keberatan,
toh aku tidak ada acara apa-apa," Vanessa tersenyum lembut kepada Serena,
"kuharap semalam menyelesaikan segalanya."
Pipi Serena memerah mendengar ucapan Dokter Vanessa yang penuh arti itu,
"Dia agak marah tadi pagi saat saya buru-buru pulang demi Rafi", bisik Serena
pelan. Vanessa terkekeh sambil meletakkan cangkir kopinya,
"Dia memang begitu, tak usah pedulikan, aku yakin sebenarnya dia bahagia kau
telah memberinya kesempatan," suara dokter Vanessa berubah serius, "Dan
setelah semalampun kau tetap pada keputusanmu Serena?"
Serena tercenung mendengar pertanyaan
menganggukkan kepalanya mantap,
itu, sejenak ragu, tapi lalu "Saya harus terus bersama Rafi, dia membutuhkan saya." jawabnya lembut.
"Kau selalu memikirkan orang lain, bagaimana dengan dirimu sendiri?" tanya
dokter Vanessa tiba-tiba.
Dengan masih tersenyum Serena menjawab,
"Saya tidak apa-apa dokter, saya merasa bahagia karena semua orang bahagia."
Semua orang bahagia selain kau dan Damian. Pikir Vanessa miris ketika Serena
berpamitan ke kamar untuk berganti pakaian. Vanessa tahu kalau Serena sama
tersiksanya dengan Damian. Dan dia ingin berteriak marah kepada Serena,
memarahi ketidakegoisan perempuan itu, sekaligus bertanya sampai kapan
Serena mendedikasikan hidupnya untuk kepentingan orang lain" Untuk
kebahagiaan orang lain" Vanessa merasakan dorongan kuat untuk memaksa
Serena berbuat egois, mementingkan kepentingannya sendiri, berusaha meraih
kebahagiaannya sendiri. Tapi dia tahu Serena, dengan kebaikan hatinya yang
luar biasa itu tidak akan mau melakukannya.
Dan tiba-tiba Vanessa teringat pertemuannya dengan Damian ketika lelaki itu
baru pulang dari eropa beberapa hari lalu, mata Damian saat itu tampak penuh
tekad, setengah gila dan menyala-nyala,
"Kalau dia tidak bisa memilihku, maka aku akan memaksanya memilihku."
Wajah Vanessa memucat mendengar nada final dalam ucapan Damian waktu itu,
"Astaga Damian, kau tidak sedang berencana melakukan tindakan kasar dan
pemaksaan untuk memiliki Serena kan?" berbagai pikiran buruk melintas di
pikirannya, seperti kemungkinan Damian menculik Serena dan membawanya
pergi, atau kemungkinan Damian akan menyingkirkan Rafi dengan cara kasar.
Itu semua bisa dilakukan Damian dengan kekejaman dan kekuasaannya. Dan
Vanessa takut Damian kehilangan akal sehatnya dan memutuskan melakukan
salah satu dari hal yang ditakutinya itu.
Damian menarik napas panjang,
"Aku akan membuatnya hamil anakku." gumamnya setelah jeda yang cukup
lama. Vanessa menganga mendengarnya,
"Apa?" Vanessa sudah mendengar cukup jelas tadi, tapi dia sama sekali tidak
yakin dengan apa yang didengar telinganya, dia butuh mendengar lagi.
"Aku akan membuatnya mengandung anakku." gumam Damian penuh tekad.
"Kau sudah gila ya Damian?"" suara Vanessa meninggi menyadari keseriusan
dalam suara Damian, Tapi Damian sama sekali tidak terpengaruh dengan nada marah dan ketidak
setujuan Vanessan dia tetap tenang dan berpikir,
"Jika Serena mengandung anakku, mengingat sifatnya, dia tidak akan mungkin
mengugurkannya. Itu berarti dia akan mengakui hubungan kami kepada Rafi,
dan aku akan menggunakan segala cara - dengan menggunakan anak itu
sebagai alasan - agar aku bisa mengklaim Serena."
"Kau gila!" seru Vanessa tidak setuju, "apa kau tidak pernah memikirkan
perasaan Rafi?" Hatinya akan hancur, dan Serena juga akan menderita jika dia
sadar dia telah menyakiti hati Rafi."
"Kau pikir mereka saja yang menderita hah?"" sela Damian keras, membuat
Vanessa tertegun, "aku juga menderita! Aku tidak bisa makan, aku tidak bisa
tidur! Aku menjalani detik demi detik, menit demi menit penuh penyiksaan!! Aku
sama saja sudah mati akhir-akhir ini! Aku juga menderita, menyadari bahwa aku
bisa memiliki Serena tetapi tidak bisa berbuat apa-apa untuk membuat
perempuan itu memilihku!! Sebelum kepulanganku aku sudah bertekad akan
melakukan ini! Tidak ada yang bisa mengahalangiku!!
"Damian," Vanessa melembut, mencoba meredakan emosi Damian, "aku
mengerti perasaanmu, tapi bagaimana kalau nanti Rafi ternyata menerima
kondisi Serena apa adanya dan kemudian Serena memutuskan membesarkan
anak itu bersama Rafi?"
"Kalau itu terjadi aku akan menggunakan cara kekerasan," jawab Damian dingin,
"aku akan memberikan ultimatum, Serena memilihku, atau aku akan merenggut
anak itu darinya, kalau perlu aku akan menempuh jalur hukum."
"Kejam sekali." Vanessa bergumam spontan.
Damian mengangguk tidak membantah,
"Ya memang kejam sekali." jawabnya menyetujui, tanpa penyesalan dan tampak
penuh tekad menjalankan rencananya.
Dan sekarang Vanessa duduk di ruang makan, mencoba menarik kenangannya
kembali. Dengan pelan disesapnya kopinya lagi,
Semoga Tuhan melindungi Serena kalau Damian benar-benar membuatnya hamil
malam kemarin. Semoga Tuhan mengampuninya karena dengan kesadaran
penuh dia sudah mendukung rencana Damian.
*** Hampir sebulan sejak kejadian itu, dan Damian menepati janjinya. Tidak
menemui Serena lagi. Atas bujukan dan desakan Vanessa, Serena kembali
bekerja di perusahaan Damian, lagipula bujukan Vanessa ada benarnya juga,
Serena butuh gajinya untuk menghidupi mereka semua. Dan selama sebulan itu
Damian, sang CEO menjadi orang yang paling sulit dilihat di kantor, jika tidak
sedang melakukan perjalanan bisnis, lelaki itu mengurung diri di ruangan
kerjanya dan tidak keluar-keluar. Sesekali Serena masih berpapasan dengan
Freddy, lelaki itu masih bekerja di sini, Damian tidak jadi memecatnya,
sepertinya dia dan Damian sudah berhasil menyelesaikan kesalahpahaman di
antara mereka. Dan Serena merindukan Damian. Dia sudah bertekad melupakan Damian, tetapi
hatinya punya mau sendiri, kadang dia menatap lift khusus direksi yang
menyambung langsung ke ruangan Damian dengan penuh harap. Berharap
tanpa sengaja dia melihat Damian keluar dari sana, melangkah ke parkiran
mobilnya. Tuhan tahu betapa ia bersyukur seandainya saja dia bisa melihat
Damian, biarpun cuma satu detik, biarpun cuma dari kejauhan. Tapi entah
kenapa Damian seperti punya pengaturan waktu sendiri agar tidak bertemu
Serena. Sore itu Serena melangkah memasuki apartemennya dengan lunglai, dia tidak
A Romantic Story About Serena Karya Santhy Agatha di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
enak badan, sedikit panas dan meriang, jadi dia minta izin pulang cepat.
Ketika memasuki ruang tamu, dia mendengar suara tawa dari ruang tengah.
Suara Rafi dan dokter Vanessa. Dokter Vanessa sudah mendapat izin Damian
menggunakan setengah hari kerjanya untuk melakukan terapi khusus pada Rafi.
Terapinya sudah membuahkan hasil, Rafi sudah bisa menggerakkan jari-jari
kakinya, sedikit mengangkatnya dan melatih saraf-sarafnya. Optimisme bahwa
Rafi akan bisa berjalan lagi semakin besar.
Serena melangkah ke ruang tamu dan melihat Rafi sedang duduk di kursi
rodanya sedang dokter Vanessa menuangkan teh untuknya, sepertinya session
terapi sudah selesai. Rafi mendongak ketika merasakan kehadiran Serena dan tersenyum lebar,
mengulurkan tangannya, "Hai sayang," Dengan senyum pula Serena melangkah mendekat, menyambut uluran tangan
Rafi. Lelaki itu membawanya ke mulutnya dan mengecupnya,
"Bagaimana session terapi kali ini?" tanyanya lembut.
Rafi tertawa dan Serena mengamatinya dengan bahagia, Rafi banyak tertawa
akhir-akhir ini. Lelaki itu makin sehat, warna kulitnya juga sudah jadi cokelat
sehat, tidak pucat pasi seperti dulu. Badannya sudah berisi dan tampak lebih
kuat. Rafi sudah menjadi Rafinya yang dulu, yang penuh tawa dan vitalitas,
dengan semangat hidup yang memancar dari dalam dirinya.
"Aku tadi sudah belajar berdiri, sulit sekali Serena sampai keringatku
bercucuran, tapi aku senang sudah sampai di tahap sejauh ini", jelas Rafi bahagia.
Serena membelalakkan matanya senang,
"Benarkah?", dengan gembira ditatapnya dokter Vanessa, "benarkah dokter?"
Dokter Vanessa mengangguk dengan senyum dikulum,
"Perkembangan Rafi sangat pesat Serena, aku optimis dia akan bisa berjalan
lagi." Dengan bahagia Serena memeluk Rafi erat-erat,
"Oh aku bangga sekali padamu mendengarnya sayang!" serunya dengan
kegembiraan murni. Tapi tiba-tiba Rafi melepaskan pelukannya dan menatap Serena sambil
mengerutkan alisnya, "Sayang, badanmu panas."
Gantian Serena yang mengerutkan keningnya lalu meraba dahinya sendiri,
"Benarkah" Aku memang merasa tidak enak badan, makanya aku pulang cepat."
Dengan cemas, Rafi menoleh ke arah Vanessa,
"Dokter, badannya panas bukan?"
Vanessa segera mendekat dan menyentuh dahi Serena lembut,
"Benar, kau panas Serena, apakah kau terserang flu?"
Serena menggelengkan kepalanya,
"Tidak, saya tidak pilek ataupun batuk dokter, tapi ada masalah dengan perut
saya, akhir-akhir ini saya sering memuntahkan makanan yang saya makan,
makanya badan saya terasa lemah dan..."
"Memuntahkan makanan?" dokter Vanessa mengernyitkan keningnya, begitu
serius. Serena menganggukkan kepalanya, tidak menyadari
pandangan dokter Vanessa menelusuri tubuhnya.
betapa seriusnya "Sudah berapa lama?" tanya dokter Vanessa lagi.
Serena tampak berpikir, "Baru beberapa hari ini, mungkin seminggu terakhir ini."
"Apa kau kena maag Serena?" Rafi menyela tampak semakin cemas.
"Mungkin," Serena mengusap perutnya, "Soalnya aku sering mual."
Dokter Vanessa mengikuti arah tangan Serena dan menatap perut Serena,
"Kau tampak pucat Serena, berbaringlah dulu, aku akan menyusul dan
memeriksamu nanti setelah selesai dengan Rafi."
Serena menganggukkan kepalanya, lalu menunduk dan mengecup dahi Rafi,
"Aku berbaring dulu ya." bisiknya lembut dan Rafi mengangguk, balas mengecup
dahi Serena. Seperginya Serena, Vanessa memijit kaki Rafi untuk session pelemasan akhir
sambil berpikir keras...... Tidak enak badan, mual, memuntahkan makanannya....
Jika dihitung-hitung tanggalnya, semuanya tepat. Apakah Serena sudah hamil
dan tidak menyadarinya"
"Dokter?" Rafi yang menyadari kalau Vanessa melamun menegurnya hingga
Vanessa tergeragap, "Dokter tidak apa-apa?"
Vanessa berdehem salah tingkah,
"Ah, maafkan aku Rafi, aku sedang memikirkan Serena."
"Kalau begitu sebaiknya dokter memeriksa Serena dulu, aku juga
mencemaskannya dok," Rafi tersenyum melihat Vanessa ragu-ragu, "Tidak apaapa
dok, aku sudah lebih kuat sekarang, aku bisa membawa diriku sendiri ke
kamar dan mengurus diriku sendiri. Kumohon, uruslah Serena dulu."
Sambil mengangguk, Vanessa bergegas menyusul Serena ke kamarnya.
Serena sedang berbaring miring memegangi perutnya, tampak kesakitan dan
pucat pasi. Vanessa duduk di sebelah ranjang, menyentuh dahi Serena lagi, panas
membara, meskipun keringat dingin mengalir deras,
"Saya muntah-muntah lagi barusan dokter." Serena memejamkan matanya dan
tidak berani membukanya, seolah takut kalau dia membuka matanya, rasa mual
yang hebat akan menyerangnya lagi.
"Berbaringlah dulu, aku akan membuatkan teh mint untukmu, untuk mengurangi
mual, nanti aku akan membuatkan resep obat untukmu." obat untuk wanita
hamil. Vanessa mulai merasa yakin melihat kondisi Serena. Serena hanya
mengangguk patuh masih memejamkan matanya.
Beberapa saat kemudian, Vanessa kembali datang dan membantu Serena duduk,
lalu membantunya meneguk teh mint itu, setelah itu dia membaringkan Serena
yang lemas di ranjang, Serena meletakkan kepalanya di bantal dengan penuh
syukur, "Terima kasih dokter, tehnya sangat membantu, perut saya tidak begitu bergolak
lagi seperti tadi." Vanessa tersenyum lembut,
"Cobalah untuk tidur." gumamnya sebelum melangkah keluar kamar.
Ketika merasa suasana cukup aman, dengan Rafi yang sepertinya sudah masuk
ke kamarnya, Vanessa meraih ponselnya dan memejet nomor telepon Damian.
Damian memang menghilang dari kehidupan Serena, tetapi lelaki itu tetap
memantau setiap detik kehidupan Serena, lelaki itu menuntut laporan yang
sedetail-detailnya dari Vanessa setiap saat. Dan menurut Vanessa, Damian
berhak mengetahui dugaannya ini.
"Vanessa." Damian mengangkat teleponnya pada deringan pertama.
"Damian," Vanessa berbisik pelan, bingung memulai dari mana. Sejenak suasana
hening, dan tiba-tiba suara Damian memecah keheningan.
"Dia hamil." itu pernyataan bukan pertanyaan.
"Aku tidak bisa menyimpulkannya seakurat itu sebelum dilakukan test urine dan
test lainnya, tapi kemungkinan besar dia hamil, dia memuntahkan semua yang
dimakannya, dan mual-mual setiap saat."
"Dia hamil." kali ini rona kegembiraan mewarnai suara Damian,
"Aku akan melakukan test urine dulu Damian, kau tak bisa...."
"Aku akan segera kesana." dan Damian menutup telepon. Membiarkan Vanessa
ternganga di seberang, lalu menggerutu dengan ketidaksabaran Damian.
Damian mau kesini, lalu apa" Langsung melemparkan bom itu ke muka Rafi dan
Serena" Dasar! Vanessa berniat menunggu Damian di depan apartemen,
berusaha mencegah Damian bertindak gegabah, lelaki itu harus berusaha
pelanpelan, apalagi kehamilan Serena belum dipastikan secara akurat.
Lama sekali Vanessa menunggu di ruang tamu, hampir satu jam. Kenapa
Damian lama sekali" Apakah Damian membatalkan niatnya kemari" Vanessa
mulai bertanya-tanya. Saat itulah Rafi mendorong kursi rodanya ke ruang tamu,
Vanessa menoleh dan tersenyum,
"Hai Rafi, bagaimana kondisimu?"
Rafi balas tersenyum, "Tidak pernah lebih baik, aku tadi membaca di kamar, dan mulai merasa bosan
jadi aku keluar, bagaimana keadaan Serena?"
Vanessa menarik napas, "Dia sudah tidur pulas sepertinya, kasihan sepertinya perutnya bermasalah."
Rafi mengernyitkan keningnya,
"Dia bekerja terlalu keras," gumamnya sendu, "dan itu semua gara-gara aku."
"Rafi," Vanessa menyela dengan lembut, "Kita sudah pernah membahas ini kan"
Kau tidak boleh menyalahkan diri sendiri, lagipula Serena melakukannya dengan
sukarela." "Benarkah?" suara Rafi menjadi pelan, "kadang-kadang aku merasa dia hanya
kasihan kepadaku." "Rafi....", Vanessa tidak melanjutkan kata-katanya karena tiba-tiba ponselnya
berdering, dengan cepat diliriknya layar ponselnya. Freddy.
"Freddy?" panggilnya setelah mengangkat telepon, "Freddy kau tahu di mana
Damian" Dia bilang akan ke sini, tapi sampai sekarang dia belum datang....."
"Vanessa, Damian kecelakaan di tol."
*** "Serena." dengan lembut Vanessa menggoyangkan pundak Serena yang tertidur
pulas. Sementara Rafi mengikuti di belakangnya.
Dengan sedikit lemah Serena membuka mata dan agak waspada melihat wajah
dokter Vanessa yang pucat pasi, dengan segera dia duduk, gerakan tiba-tiba itu
langsung membuat kepalanya pening, tapi Serena menahannya sambil
mengernyit, "Ada apa dokter" Rafi kenapa?"
"Aku baik-baik saja di sini." gumam Rafi dalam senyum.
Serena menatap Rafi dengan lega, tapi lalu menatap dokter Vanessa yang begitu
pucat pasi, "Serena, aku.... Ah aku bingung bagaimana mengatakannya, tapi aku harus
segera pergi, ini darurat... Tapi aku bertanya-tanya mungkin kau mau ikut.."
"Ada apa dokter?", Serena mulai tegang ketika dokter Vanessa tidak juga
mengatakan maksudnya. "Damian, barusan kecelakaan di jalan tol, dia sudah dibawa ke rumah sakit, tapi
kami belum tahu kondisinya, Freddy juga sedang dalam perjalanan menuju
kesana." "Apa?" warna pucat mulai menjalar ke wajah Serena, lalu segera digantikan
dengan kepanikan luar biasa, "Ya Tuhan, aku ikut ke rumah sakit, dokter!!"
Rafi mengamati kepanikan Serena dari kejauhan, tapi dia hanya diam dan
menatap. Serena tampak pucat pasi dan ketakutan luar biasa. Kenapa sampai
begitu" Seolah-olah kondisi Damian benar-benar membuatnya cemas. Padahal
Damian kan hanya atasannya di perusahaan" Atau..... Jangan-jangan lebih dari
atasan " Pikiran buruk itu menyeruak dalam benak Rafi, dan dia cepat-cepat
menyingkirkannya. Tapi ketika dia melihat betapa Serena mulai gemetaran
karena cemas dan panik ketika bersiap-siap berangkat, mau tak mau pikiran
buruk itu memenuhi benaknya, ada hubungan istimewa apa antara Damian
dengan Serena" Perjalanan ke rumah sakit berlangsung begitu menyiksa bagi Serena, dia terus
menerus berdoa, seakan semua trauma masa lalu menghantamnya lagi keraskeras. Ini
hampir sama dengan kecelakaan yang membunuh kedua orangtuanya
dan melukai Rafi dulu. Dan Serena tidak akan kuat menanggungnya kalau
sampai terjadi apa-apa kepada Damian. Ya Tuhan!! Jangan sampai terjadi apaapa
pada Damian, dia belum sempat mengatakan... Dia belum sempat
mengatakan dengan jelas, bahwa dia... Bahwa dia mencintai Damian.
Serena berlari di depan menuju ruangan gawat darurat sementara Vanessa
mendorong kursi roda Rafi di belakangnya.
Dia melangkah memasuki ruang perawatan itu dan langsung bertatapan dengan
Damian. Lelaki itu duduk di meja perawatan, telanjang dada, kepalanya terluka dan sudah
di tutup perban, dokter sedang membalut luka di pundak dan lengannya. Banyak
darah, tapi sudah dibersihkan. Selebihnya, Damian tidak apa-apa. Lelaki itu
masih hidup, masih untuh, dan ketika Damian memalingkan kepalanya lalu
menatap Serena dengan mata birunya yang menyala-nyala.
Serena pingsan. *** Damian berteriak memanggil Serena, begitu juga dengan Vanessa dan Rafi yang
ada di belakang Serena. Tapi Serena pingsan mendadak dan jatuh ke lantai.
Dengan kasar Damian menyingkirkan tangan dokter yang sedang membalut
lukanya dan melompat turun, setengah berlari menghampiri Serena, perawat
datang menghampiri, tapi Damian menyingkirkannya,
"Biar aku saja." gumamnya serak, mengeryit sedikit ketika mengangkat Serena
menyakiti luka di lengan dan bahunya, tapi dia tidak peduli, dipeluknya Serena
dengan posesif dan dibaringkannya ke meja perawatan,
"Tuan, saya belum menyelesaikan membalut lukanya." gumam dokter di ruang
gawat darurat itu sedikit jengkel,
"Nanti saja." Damian bergumam tajam dengan arogansi yang sudah seperti
pembawaan alaminya sehingga membuat dokter itu terdiam, mengangkat
bahunya lalu pergi. "Sayang," Damian menepuk pipi Serena, tapi perempuan itu begitu pucat pasi,
dengan panik, Damian menoleh ke arah Vanessa di pintu, mengabaikan Rafi,
"Dia tidak apa-apa?"
Vanessa mendorong Rafi mendekat, lalu menyentuh Serena,
"Dia demam Damian, dia sedang sakit ketika memaksa mengikuti aku kesini,
terus tepuk pipinya pelan-pelan dan sadarkan dia, sepertinya dia shock,"
Vanessa menatap Damian tajam, "dan kau..kau tidak pernah kecelakaan selama
hidupmu, apa yang kau lakukan di jalan tol tadi sehingga berakhir di rumah sakit
ini?" Apakah kau mabuk?""
Damian mengeryit, "Aku tidak mabuk, aku hanya terlalu buru-buru ingin cepat sampai jadi kurang
hati-hati." saat itulah Serena bergerak membuka mata, "ah, sayang.....sayang,
kau baik-baik saja?"
Serena mengerjap-ngerjapkan matanya, begitu mendapati wajah Damian ada di
dekatnya, airmata mengalir di pipinya, tangannya bergetar ketika terangkat dan
menyentuh wajah Damian, meyakinkan dirinya bahwa betul-betul Damian yang
ada di depannya, Dengan lembut Damian meraih tangan Serena dan mengecupnya,
"Aku ada di sini, aku baik-baik saja." gumamnya setengah berbisik.
Serena membiarkan tangannya dalam genggaman Damian, merasakan kulit
Damian yang panas, mensyukuri bahwa lelaki itu masih hidup. Tadi rasanya
seperti mau mati saja ketika mengetahui bahwa Damian kecelakaan, pikiranpikiran
buruk melandanya, membuatnya ingin menangis dan berteriak,
membuatnya hampir menyalahkan Tuhan. Karena dia sudah memutuskan akan
menerima tidak bisa bersama-sama dengan Damian lagi asalkan lelaki itu tetap
hidup, asalkan lelaki itu masih ada, hidup dan bernafas di dunia ini, biarpun
Serena tidak bisa melihatnya lagi. Pikiran bahwa Damian bisa saja meninggal dan
tidak ada di dunia ini hampir membuatnya ingin menyusul saja. Karena itulah
tadi ketika melihat Damian masih hidup meskipun terluka membuatnya lega luar
biasa sehingga pingsan. Serena merasakan dadanya sesak ketika menyadari,
bahwa cinta barunya, cintanya yang tidak diduga, cinta yang bertumbuh tanpa
disadari karena kebersamaan mereka yang tidak direncanakan itu ternyata sudah
mencapai tingkat intensitas yang sangat besar.
"Jangan pernah ulangi lagi," suara Serena bergetar ketika mencoba berbicara
serius kepada Damian, "Jangan pernah ulangi lagi melakukan seperti ini
kepadaku." Damian meraih kedua tangan Serena dan mengecup jemarinya dengan lembut,
"aku berjanji," jawabnya penuh perasaan, "Sekarang tidurlah sayang, aku ada di
sini." Dengan lembut Damian mengusap dahi Serena yang panas, membuat pikiran
Serena melayang, dia merasa lelah sekali, tubuhnya, jiwanya dan raganya.
Tubuhnya sakit dan lunglai sedang jiwanya kelelahan menahan perasaan.
Usapan tangan Damian di dahinya membuatnya dipenuhi kelegaan luar biasa,
membuatnya dipenuhi rasa damai tidak terkira sehingga Serena akhirnya terlelap
lagi. "Kemari, lukamu harus dibalut." Vanessa mencoba menarik perhatian Damian,
lelaki itu menatap Serena dengan serius, memastikan bahwa Serena sudah tidur,
lalu menurut menggerakkan tubuhnya agar Vanessa lebih mudah membalut luka
di pundak dan lengannya. Saat itulah Damian menyadari kehadiran Rafi, yang hanya diam saja menatap
semua kejadian itu tanpa berkata-kata. Mata Damian berkilat-kilat,
"Aku mencintainya." gumamnya terus terang, membuat Vanessa tersedak dan
saat itulah dia juga baru menyadari kehadiran Rafi.
A Romantic Story About Serena Karya Santhy Agatha di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Rafi hanya terdiam, menatap Serena yang tertidur pulas dengan sedih,
"Aku tahu." gumamnya pelan.
Damian mengangkat dagunya, mengernyit ketika perban itu membebat kencang
lukanya, "Dan dia juga mencintaiku, tetapi dia memilihmu." sambungnya getir.
Rafi menghela nafas, "Itupun aku juga tahu."
"Sudah selesai." Vanessa menyela cepat, lalu menepuk pundak Damian,
"Berbaringlah dulu di ranjang sebelah", Vanessa mengedikkan bahu ke ranjang
di sebelah ranjang yang dipakai Serena yang masih kosong. "Kau harus
berbaring, kepalamu terbentur dan jika kau tidak segera berbaring kau akan
mengalami vertigo." sambungnya tegas ketika melihat Damian akan membantah.
Semula Damian akan membantah, dia ingin melanjutkan pembicaraan dengan
Rafi, menjelaskan semuanya. Tetapi Vanessa benar, rasa pusing mulai
menyerangnya, pusing dan nyeri di bahu dan kepalanya. Obat penghilang rasa
sakit yang disuntikkan dokter jaga tadipun mulai bereaksi, membuatnya merasa
lemas dan lunglai. Akhirnya Damian mengangkat bahu dan melangkah ke
ranjang kosong itu. "Kita belum selesai bicara." gumamnya pada Rafi, mulai menguap.
"Nanti saja." sela Vanessa mengernyit, lalu meraih kursi roda Rafi dan
mendorongnya keluar, "Ayo Rafi, kita harus membiarkan mereka beristirahat."
bisiknya lembut dan mendorong mereka keluar dari ruangan perawatan itu.
Vanessa mendorong Rafi sampai di ruang tunggu yang tenang dan sepi, lalu
duduk di sofa di sebelah Rafi. Suasana hening, dan Rafi hanya termenung tidak
berkata-kata sampai lama. Vanessa menunggu, menunggu sepatah pertanyaan
dari Rafi sebelum menjelaskan semuanya, dan akhirnya pertanyaan itu datang
setelah menunggu sekian lama,
"Apa yang terjadi di sini?", gumam Rafi serak, dia tetap bertanya meskipun
kebenaran itu sudah menyeruak dalam kesadarannya, membuat dadanya sesak.
Vanessa menghela napas mendengarnya,
"Ceritanya panjang..."
"Aku punya banyak waktu", sela Rafi tak sabar, "Jelaskan semuanya"
"Serena tidak pernah bermaksud mengkhianatimu kau tahu," gumam Vanessa
sedih, "Dia selalu berusaha setia kepadamu."
"Kau bicara begitu padahal jelas-jelas di depan mataku tadi dia jatuh cinta
setengah mati kepada lelaki lain?" gumamnya getir.
"Kau tahu, Serena putus asa ketika dia akhirnya berhubungan dengan Damian...
biaya operasimu... operasi ginjalmu - dokter mengultimatum kau harus segera
dioperasi ginjal untuk menyelamatkan nyawamu - sangat mahal, hampir
mencapai tiga ratus juta, sementara seluruh harta Serena sudah habis, dia
menanggung hutang yang sangat besar di perusahaan... jadi... jadi Serena
memutuskan menjual keperawanan dan tubuhnya kepada Damian."
"Oh Tuhan!" Wajah Rafi pucat pasi, keringat dingin mengalir di tubuhnya. Jadi semua ini
bermula dari dirinya" Semua kegilaan tak diduga ini bermula dari keinginan
Serena menyelamatkan nyawanya" Menjual keperawanannya!! Oh Tuhan, Rafi
tidak pernah peduli apakah Serena masih suci atau tidak, baginya Serenanya
adalah Serena yang sama. Tapi... Mengetahui bahwa Serena melakukan itu demi
dirinya benar-benar menghancurkan hatinya. Mengetahui bahwa pada akhirnya
Serena menyerahkan hati pada lelaki lain yang disebabkan oleh dirinya sangat
menyakiti perasaannya. "Dan Damian, atasan Serena itu pasti laki-laki brengsek karena mau mengambil
manfaat dari gadis lemah yang sedang kesulitan." desis Rafi marah.
Vanessa menggeleng, "Tidak seperti itu Rafi, Damian sangat kaya, dia bisa mendapatkan gadis
manapun yang dia mau, Tapi sudah sejak lama dia menginginkan Serena,
menurutku sebenarnya sudah sejak lama Damian mencintai Serena tetapi dia
tidak menyadarinya, karena itu mungkin Damian menganggap satu-satunya cara
untuk memiliki Serena adalah menerima tawarannya."
Rafi mengernyit mendengar penjelasan Vanessa, hatinya sakit menyadari bahwa
sekarang dia menjadi penghalang antara dua orang yang saling mencintai.
"Kenapa Serena tidak membiarkan aku mati saja?" rintihnya dalam geraman
penuh kesakitan, "Mungkin lebih baik aku dibiarkan mati saja sehingga aku tidak
menghalangi kebahagiannya..."
Vanessa menyentuh pundak Rafi lembut,
"Jangan pernah punya pemikiran seperti itu," selanya tegas, "Serena
mencintaimu sepenuh hati, dia berjuang mati-matian demi kehidupanmu, jangan
pernah menghancurkan hatinya dengan kata-kata seperti itu."
"Dia sudah tidak mencintaiku lagi, dia hanya kasihan padaku, tatapan lelaki itu,
tatapan Damian kepadaku ketika mengatakan bahwa Serena lebih memilihku
dibanding dirinya tadi begitu penuh penghinaan dan kemarahan, seolah lebih
baik aku tahu diri dan menyingkir saja."
"Damian memang seperti itu, dia marah karena Serena memilih untuk
bersamamu. Tapi Damian mencintai Serena, karena itu dia menghormati
keputusan Serena." "Lelaki itu, apakah benar dia mencintai Serena" dia terlalu berkuasa, terlalu
mendominasi, terlalu arogan... aku takut dia hanya ingin menunjukkan
kekuasaannya, hanya ingin memuaskan arogansinya untuk memiliki Serena..."
Vanessa menggeleng, "Damian yang dulu memang seperti itu, tapi ketika bersama Serena, gadis itu
dengan segala kepolosan dan kebaikan hatinya telah merubahnya. Damian
benar-benar mencintai Serena, aku mengenal Damian sejak dulu kau tahu, dan
dia tidak pernah seperti itu sebelumnya, begitu mencintai seorang perempuan,
begitu tergila gila hingga hampir dikatakan bisa gila karenanya."
Rafi menghela nafas panjang,
"Kalau begitu, kau ingin aku yang melepaskan Serena?"
Vanessa mengangkat bahunya pedih,
"Keputusan ada di tanganmu... Serena sendiri tidak akan pernah
meninggalkanmu, dia terlalu setia dan menyayangimu untuk meninggalkanmu.
Dia rela mengorbankan perasaannya demi kamu. Jadi, kalau kau tidak
melepaskannya, dia juga tidak akan pernah mengkhianatimu demi Damian."
Rafi memegang pangkal hidungnya, mengernyit seolah kesakitan,
"Aku sangat mencintai Serena." gumamnya perih.
Air mata Vanessa mulai menetes melihat kepedihan Rafi, pelan dia berjongkok di
depan Rafi dan memeluk lelaki itu. Rafi tidak menolak, dia juga tidak menahan
air matanya menetes. Kepedihan itu begitu dalam, kepedihan untuk merelakan
diri melepaskan sesuatu yang paling berharga di tangannya, agar sesuatu paling
berharga itu bisa menemukan kebahagiaannya.
"Aku tahu dan aku bisa mengerti kesedihanmu, kau tak perlu melepaskan Serena
kalau kau tak bisa." bisik Vanessa lembut, mengusap kepala Rafi di bahunya,
membiarkan lelaki itu terisak dengan kepedihannya.
Lama Rafi menumpahkan perasaannya, dengan isakan tertahan dan keheningan
yang dalam, lalu dia mundur, melepaskan diri dari pelukan Vanessa, duduk tegak
dengan tekad kuat di matanya.
"Aku tidak mungkin membiarkan Serena menderita dengan bertahan bersamaku,
tidak setelah aku melihat betapa dalamnya perasaan Serena kepada Damian
tadi, tapi sebelumnya aku ingin berbicara dengan Damian."
*** Serena masih tertidur di ruang perawatan. Vanessa menungguinya. Sementara
Damian yang baru terbangun, dua jam setelah kecelakaan itu berjalan pelan,
menuju ruang tunggu, dia sudah mencuci muka dan agak segar, tapi mau tak
mau nyeri di kepala dan bahunya membuatnya mengernyit ketika berjalan.
Rafi sedang duduk membelakanginya di kursi roda. Menatap ke luar, ke arah
jendela lebar yang ada di ruang duduk itu, hujan sedang turun deras di luar
membuat suasana ruangan itu begitu suram.
"Bagaimana keadaan Serena?" Tanya Rafi, menyadari kehadiran Damian tetapi
tidak menoleh untuk menatapnya.
"Baik, Vanessa sudah mengatur perawatan dan obatnya, sekarang dia masih
tertidur." Damian berdiri, bersandar di tembok dekat Rafi, ikut menatap hujan
yang mengalir deras di luar yang gelap, hanya menyisakan tetes air yang
berkilauan terkena cahaya lampu.
"Kau pasti tahu kenapa aku ingin berbicara denganmu."
Damian mengangguk meski tahu Rafi tidak menoleh untuk melihatnya.
Hening sejenak, terasa begitu lama sampai kemudian terdengar Rafi menghela
nafas panjang. "Apakah kau mencintainya?" tanyanya pelan.
"Sangat." jawab Damian cepat, tulus.
Rafi memejamkan mata ketika rasa perih menyengat di dadanya mendengar
ketulusan Damian kepada Serena. Mengetahui bahwa ada lelaki lain yang
mencintai Serena dengan intensitas begitu besar kepada Serena ternyata
menyakitinya, membuatnya terasa terpuruk dan di kalahkan. Tapi Rafi
menguatkan hatinya, semua demi Serena, demi kebahagiaan Serenanya.
"Apakah kau akan membahagiakannya?"
"Kebahagiaannya akan menjadi tujuan hidupku." gumam Damian jujur, dia lalu
menoleh menatap Rafi yang sedang menatapnya, dua laki-laki yang mencintai
satu wanita saling bertatapan.
"Maafkan aku..." Damian mengehela nafas, "aku tidak pernah bermaksud
mencuri Serena darimu, aku tidak mengetahui keberadaanmu sampai saat
terakhir, kau tahu."
Rafi mengernyit mendengar informasi yang baru didapatnya itu, Vanessa belum
menceritakan semua ini padanya, mungkin Vanessa ingin Rafi mendengar sendiri
dari mulut Damian. "Serena tidak menceritakan alasan kenapa dia menjual diri padamu?"
"Tidak, mungkin semua akan berbeda jika dia menceritakan semuanya dari
awal," gumam Damian penuh penyesalan, "aku memang jahat dan selalu
mengambil apa yang kuinginkan tanpa tanggung-tanggung, tapi aku tidak
pernah mengambil keuntungan dari penderitaan seseorang. Saat itu dia datang
padaku, menjual dirinya padaku...kau tahu apa yang kupikirkan waktu itu?"
Damian menatap Rafi dengan sedih, "Kupikir dia pelacur penggemar barangbarang
mahal yang putus asa membutuhkan uang untuk memenuhi hasratnya
akan kemewahan." "Serena tidak seperti itu." geram Rafi marah.
"Ya, dia tidak seperti itu," Damian setuju, "Tapi waktu itu apa yang bisa
dipikirkan lelaki seperti aku" lelaki dengan kekayaan yang selalu mendapatkan
wanita karena uang" aku memang salah waktu itu, aku menginginkan Serena
dan aku punya uang yang diinginkannya, jadi kuterima tawarannya."
"Tapi pada akhirnya kau tetap jatuh cinta padanya meskipun kau menganggap
dia pelacur murahan." Rafi merenung.
Sekali lagi Damian menganggukkan kepalanya.
"Ya, aku jatuh cinta kepadanya, bahkan aku mulai tidak peduli kalau ternyata
memang hanya menginginkan uangku, aku berpikir, tidak apa-apa, toh aku
punya uang banyak, tidak apa-apa selama dia ada di sisiku." Damian menghela
nafas panjang. "Kenyataan tentang keberadaanmu pada akhirnya menghantamku... Bahwa dia
melakukan semua ini demi cintanya kepadamu."
Rafi memejamkan matanya. "Dia sudah tidak mencintaiku lagi, dia hanya kasihan dan merasa bertanggung
jawab." "Dia tetap mencintaimu," Damian tersenyum sayang ketika membayangkan
Serena, "hatinya selalu dipenuhi cinta tanpa pandang bulu, mungkin karena
itulah dia berhasil menyentuh hatiku yang gelap."
Rafi menganggukkan kepala, ikut tersenyum ketika membayangkan Serena.
"Yah... Meskipun begitu, hatinya sudah kau miliki," Rafi menghela nafas, "Aku
akan melepaskan Serena."
"Kau pikir dia akan mau?" sela Damian sedih, "Dia sudah memutuskan akan
menjagamu, dia tidak akan mau."
"Dia pasti mau, aku sendiri yang akan berbicara padanya, aku tidak perlu dijaga,
terapi ini berhasil dan Vanessa meyakinkan kalau aku rutin melakukannya, dalam
waktu empat bulan aku sudah akan bisa berjalan dengan normal. Aku masih bisa
melanjutkan karirku sebagai pengacara setelahnya, mungkin butuh waktu lama
dan aku harus belajar lagi, tapi kurasa aku bisa melangkah dengan kekuatanku
sendiri." Damian menganggukkan kepalanya, yakin kalau Rafi pasti mampu melakukan
apa yang dikatakannya. "Maafkan aku." gumamnya tulus.
"Kenapa?", Rafi mengernyit menatap Damian ingin tahu.
"Karena sudah mengalihkan hati Serena darimu."
Rafi tersenyum, kali ini senyum yang benar-benar tulus,
"Seharusnya aku berterimakasih kepadamu, kau menjaganya selama aku tidak
bisa ada untuk menjaganya."
Damian terdiam, Rafi juga terdiam lama.
Lalu Damian mengaku, "Kau mungkin ingin memukulku,
mengatakannya padamu..."
bahkan membunuhku setelah aku "tentang apa?" mau tak mau Rafi merasakan ingin tahu ketika mendengar nada
misterius di suara Damian.
Sesaat Damian tampak kesulitan berbicara,
"Aku... aku punya rencana jahat untuk merebut Serena darimu, aku pikir kalau
Serena tidak mau memilihku, aku akan memaksanya memilihku."
"Rencana jahat apa?" sela Rafi, langsung waspada.
Damian tertawa getir, "Bukan... rencana ini tidak menyakiti siapapun... kau tahu... Aku ingin sengaja
membuat Serena hamil... agar mau tak mau dia menjadi milikku."
Sejenak Rafi terdiam, pengakuan Damian ini mau tak mau menyulut
kemarahannya. Menyadari bahwa Damian memanipulasi kepolosan Serenanya.
"Dasar Brengsek." geram Rafi pelan.
Damian menganggukkan kepalanya.
"Ya memang, aku brengsek. aku putus asa, setengah gila untuk memiliki Serena,
aku minta maaf." "Menurutmu apakah rencana jahatmu itu sudah berhasil?" Tanya Rafi kemudian,
tiba-tiba menghubungkannya dengan kondisi sakit Serena.
Damian mengangguk, menahan perasaannya untuk menjaga perasaan Rafi, tapi
mau tak mau Rafi melihat sorot bahagia yang menyala-nyala di mata Damian.
Tiba-tiba dia merasa tenang, lelaki ini sungguh mencintai Serena, putusnya
dalam hati, mungkin lebih dalam dari cintanya sendiri kepada Serena...
"Vanessa tadi sore menghubungiku, memberitahu kondisi Serena, dan entah
kenapa aku tahu. Aku tahu bahkan sebelum mereka melakukan test, aku tahu
begitu saja." "Dan karena itu kau kecelakaan, kau dalam perjalanan menemui Serena?"
Damian tersenyum, tidak berkata-kata, tapi matanya menjelaskan semuanya.
"Lelaki bodoh." gumam Rafi getir. Dan Damian tertawa mendengarnya.
"Memang," gumamnya dalam tawa, lalu mengulurkan tangannya kepada Rafi,
"Terimakasih atas kebaikan hatimu."
Rafi menyambut jabatannya dengan hangat.
"Aku melakukannya demi Serena, bukan demi kamu, jadi ingat saja, kapanpun
kau berani-beraninya membuat Serena tidak bahagia, kau akan mendapati
dirimu berhadapan denganku."
Damian tersenyum mempererat jabatan tangannya,
"Aku berjanji kau tidak akan pernah berhadapan denganku."
********* "Ketika Serena membuka matanya, dia mendapati Rafi duduk di sisi ranjangnya.
Menatapnya dalam senyum. Serena langsung sadar bahwa karena kepanikannya tadi dia melupakan
keberadaan Rafi. Ya Tuhan!! Apa yang dipikirkan Rafi ketika menyaksikan
semuanya tadi?" Pikiran itu membuatnya panik dan hendak bangkit dari
ranjangnya, tapi Rafi menahannya dengan tangannya.
"Tidak apa-apa, tetap berbaring." gumamnya lembut.
Serena menurut membaringkan tubuhnya, tetapi menatap Rafi dengan
kepanikan mendalam. "Rafi aku..." "Sudah kubilang tidak apa-apa, aku sudah tahu semuanya Serena, dan aku
mengerti." Kata-kata itu membuat wajah Serena pucat pasi,
"Tahu apa" mereka mengatakan apa padamu?" bisiknya lemah.
"Semuanya, tentang dirimu dan Damian, dan perasaanmu kepadanya."
"Aku tidak punya perasaan apa-apa kepada..."
A Romantic Story About Serena Karya Santhy Agatha di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sttttt," Rafi menghentikan kata-kata Serena, "Tidak perlu membohongi dirimu
sendiri lagi Serena, aku sudah tahu semuanya, kau begitu menyayangiku
sehingga mau berkorban untukku, tubuhmu kau korbankan," Rafi menghela
nafasnya pedih, "Dan sekarang, bahkan jiwa dan kebahagiaanmu mau kau
korbankan juga untukku?"
Mata Serena mulai berkaca-kaca.
"Aku tidak merasa mengorbankan apapun Rafi, aku mencintaimu, aku ingin
menjagamu, aku..." Dengan lembut Rafi meraih tangan Serena dan menggenggamnya.
"Ya aku yakin, kau sangat mencintaiku, aku percaya itu," dengan lembut Rafi
menoleh ke arah pintu, "Dia ada di luar, menunggu waktu untuk menemuimu,
aku sudah berbicara dengannya dan yakin bahwa cintanya padamu begitu besar,
bahkan mungkin lebih besar dari cintaku padamu." desah Rafi getir.
"Jangan berkata seperti itu." air mata mulai menetes di pipi Serena, dan Rafi
mengapusnya dengan lembut.
"Itu kenyataannya, dia begitu mencintaimu sehingga mau mengambil resiko
apapun agar kau bahagia, dan dia rela dibenci olehmu agar kau bahagia," Rafi
tersenyum lembut, "Terus terang aku mengaguminya dan aku merasa tenang
kalau dia yang menjagamu."
"Jangan berkata seperti itu." Serena mulai merasa dirinya seperti kaset yang
rusak, mengulang-ulang kalimat yang sama.
"Aku harus mengatakannya." gumam Rafi sedikit geli dengan kata-kata Serena.
Yah, dia ternyata bisa bahagia juga menyadari bahwa pada akhirnya dia akan
memberikan kebahagiaan pada Serena, kebebasan yang akan di berikan pada
Serena akan membawa perempuan yang dicintainya itu kepada kebahagiaan,
dan Rafi merasakan kebahagiaan tersendiri ketika dia pada akhirnya merelakan
Serena. Semua patah hati dan kesakitannya akan sepadan dengan senyum dan
kebahagiaan Serena pada akhirnya. "Tapi sebelumnya aku harus bertanya
kepadamu, Serena, apakah kau mencintai Damian?"
Pertanyaan yang diungkapkan secara langsung tanpa diduga itu membuat
Serena tertegun. "Rafi... aku..."
"Tanyakan kepada hatimu Serena," bisik Rafi lembut, mendorong Serena agar
mau jujur kepada dirinya sendiri, "Aku yakin kau sudah menyadarinya, kau
hanya perlu mengakuinya kepadaku."
Di luar, Damian yang menunggu sambil bersandar di tembok dekat pintu masuk
mendengar semuanya, jantungnya berdetak keras, penuh antisipasi, ikut
menanti jawaban Serena. Kumohon katakan Ya, bisik Damian dalam hati, menjeritkan permohonannya
dalam diam, kumohon katakan Ya , kau mencintaiku Serena.
Di dalam ruangan Serena tertegun, menatap Rafi, menatap ketulusan yang ada
di sana. Tidak apa-apakah kalau dia mengakuinya" Tidak apa-apakah kalau Rafi
akhirnya mendengarnya"
Serena menarik napas dalam dalam, menahankan debar jantungnya, lalu
menghembuskannya pelan-pelan.
"Ya Rafi," gumamnya lembut setengah berbisik, "Ya, aku mencintai Damian, aku
sangat mencintainya." air mata menetes lagi di pipinya.
Rafi mengusap air mata itu dengan lembut, sedikit melirik ke pintu, menyadari
kehadiran Damian di sana. Kau dengar itu Damian" Gumamnya dalam hati,
Permataku ini mencintaimu, dia sangat berharga dan dia mencintaimu, kau harus
menjaganya baik-baik, jangan pernah menyakitinya...
Di luar Damian memejamkan matanya mendengar pengakuan Serena itu, dia
dipenuhi kelegaan yang luar biasa. Serena hampir tidak pernah mengungkapkan
perasaan padanya, Damian harus selalu mengukur-ukur, menebak-nebak dari
mata dan tindakan Serena. Dan mendengar sendiri kalimat itu dari bibir Serena,
diucapkan dengan penuh keyakinan, mau tak mau membuat tubuhnya dibanjiri
aliran kebahagiaan. "Dia pasti akan menjagamu Serena, kau tidak usah mencemaskan aku lagi, aku
sudah tidak perlu dijaga."
"Tapi, Rafi..."
Rafi tersenyum dan menggelengkan kepalanya,
"Dokter Vanessa mengajakku ke jerman. Disana dia punya kenalan spesialis
tulang dan saraf yang sangat ahli, yang bisa menyembuhkanku lebih cepat, dan
kupikir aku akan mengambil kesempatan itu."
Serena membelalakkan matanya, pucat pasi.
"Rafi.... Kau akan pergi?""
Rafi menganggukkan kepalanya.
"Aku akan mengejar kebahagiaanku, aku akan menyembuhkan diri dan memulai
karirku, masih ada harapan dan aku tidak akan menyerah. Kau sudah memberiku
contoh dengan berjuang untukku tanpa putus asa padahal kemungkinan aku
terbangun dari koma sangat kecil, jadi sekarang aku akan berusaha berjuang."
Serena tertegun, kehabisan kata-kata mendengar kalimat Rafi. Dia hanya punya
satu hal untuk diungkapkan, kata maaf, maaf karena aku mencintai orang lain,
maaf karena aku mengkhianati cintamu, maaf karena aku membiarkan hatiku
dimiliki orang lain. Ketika dia akan membuka mulutnya untuk meminta maaf, Rafi mencegahnya
dengan menaruh jemarinya di bibir Serena.
"Jangan meminta maaf, aku tahu kau akan meminta maaf," Rafi tersenyum
simpul, "Kau tidak perlu meminta maaf, kau tidak pernah berniat
mengkhianatiku, bahkan kau malah berniat mengorbankan hati dan perasaanmu
demi aku. Seharusnya aku yang berterimakasih padamu."
Dengan lembut Rafi melepaskan cincin emas pertunangan di tangannya, dan
meletakkannya dalam genggaman Serena.
"Aku melepaskanmu, Serena, tunanganku yang berharga. Terimakasih untuk
cinta yang pernah kita bagi bersama. Terimakasih untuk semua perjuangan yang
telah kau korbankan untukku, Terimakasih karena pernah mencintaiku," dengan
lembut Rafi mengecup jemari Serena yang terpaku, "sekarang kau bebas,
kejarlah kebahagiaanmu sendiri."
Air mata mengalir deras makin tak terbendung di mata Serena. Hatinya penuh
sesak, campur aduk antara penyesalan dan kelegaan luar biasa, akhirnya dengan
pelan Serena duduk lalu memeluk Rafi erat-erat. Berbagi tangis bersamanya.
"Terimakasih Rafi, aku mencintaimu." isak Serena pelan.
"Aku juga mencintaimu." suara Rafi bergetar oleh air mata yang mulai datang.
********** Semua berlangsung begitu cepat, dokter dan perawat serta Vanessa hilir mudik
di ruangan itu untuk memeriksa keadaannya. Serena merasa sudah baikan,
hanya sedikit mual dan demamnya sudah turun, tapi entah kenapa Vanessa
bersikeras agar dia tetap di rawat inap di rumah sakit ini. Sebenarnya dia sakit
apa" Serena mulai bertanya-tanya.
Rafi sudah berpamitan tadi, diantar oleh dokter Vanessa, mengatakan akan
mempersiapkan kepergian mereka ke Jerman, kemungkinan dua minggu lagi.
Dan saat Serena sendirian, pikirannya melayang. Dimana Damian" Apakah dia di
rawat di rumah sakit ini" Bagaimana kondisinya" Kenapa Damian tidak
menemuinya" Pemikiran-pemikiran itu membuatnya terlelap lagi.
Ketika bangun hari sudah sore, suasana kamar tampak remang-remang karena
lagi-lagi hujan turun di luar membuat langit kelihatan gelap, Serena menatap
hujan di jendela dan mendesah.
"Sudah enakan?" suara itu terdengar lembut dan tiba-tiba sehingga Serena
terlonjak kaget, dia menoleh dan mendapati Damian duduk di ranjang, di
sampingnya. Lelaki itu begitu diam, Serena mengernyit, pantas dia tidak
menyadari kehadirannya. "Maaf aku mengagetkanmu," Damian tersenyum samar, lalu menyentuh dahi
Serena, "sudah tidak panas lagi. Syukurlah. Kau masih memuntahkan
makananmu?" Serena menggelengkan kepalanya, masih belum mampu berkata-kata.
"Aku... Aku sudah bisa menelan sup panas dari rumah sakit tadi."
Damian mengangguk dan tersenyum.
"Aku sudah berbicara dengan Rafi, Serena," Damian segera berseru ketika
melihat Serena akan menyela kata-katanya, "apapun yang akan kau katakan,
aku tidak akan pernah melepaskanmu. Aku sudah mendapat kesempatan ini jadi
tidak akan kusia-siakan, kau tidak akan dan tidak boleh menolakku atau
melepaskan diri dariku." suara Damian tegas dan penuh ancaman, matanya
menyala-nyala. Dalam hati Serena merasa geli, ini Damiannya yang biasa. Tidak berubah meski
mencintainya, tetap saja arogan dan terbiasa mengungkapkan keinginannya
dengan mengancam. Tapi bagaimanapun juga ini Damian yang sama yang
dicintainya. "Ya Damian." jawabnya dalam senyum.
Jawaban sederhana itu membuat Damian yang begitu tegang karena antisipasi
penolakan yang mungkin dilakukan Serena, terpana.
"Apa?" Damian bertanya seperti orang bodoh.
Serena tersenyum lembut, otomatis tangannya bergerak menyentuh dahi
Damian yang berkerut bingung, mengelusnya lembut, menghilangkan kerut yang
ada di sana. "Ya Damian, aku tidak akan melepaskan diri darimu."
Damian seolah kesulitan mencerna jawaban sederhana Serena, tetapi ketika dia
bisa memahaminya, seketika itu juga Damian merengkuh Serena, memeluknya
erat-erat. "Demi Tuhan... Aku sepertinya masih butuh berkali-kali diyakinkan olehmu,"
bisiknya serak di rambut Serena, "Kau selalu membuatku bertanya-tanya,
dengan mata lebarmu yang selalu tersenyum, dengan kelembutanmu, kau selalu
membuatku bertanya-tanya apakah kau mencintaiku."
Serena membalas pelukan Damian dengan lembut.
"Aku mencintaimu."
"Katakan lagi," Damian mengerang, memejamkan matanya, mengetatkan
pelukannya, "aku butuh diyakinkan."
"Aku mencintaimu." ulang Serena patuh.
Damian melepaskan pelukannya lalu mengusap rambut Serena lembut,
kemudian meraih tangannya, mengernyit ketika melihat Serena masih memakai
cincin dari Rafi, bersebelahan dengan cincin darinya.
Dengan lembut disentuhnya tangan Serena, disentuhnya cincin Rafi disana.
"Boleh aku melepaskannya?"
Damian tetap akan melepaskannya meskipun Serena menggeleng, Serena tahu
itu. Tapi Serena menghargai Damian yang menyempatkan diri bertanya
kepadanya. Dengan lembut ia mengangguk.
Hati-hati Damian melepaskan cincin pertunangan Serena dengan Rafi, lalu
meletakkannya di meja. Setelah itu dikecupnya jemari Serena yang memakai
cincin pemberiannya. "Aku ingin kau menikah denganku, segera."
Sekali lagi Serena tersenyum, lamaran khas ala Damian. Bukannya bertanya
'maukah kau menikah denganku"' lelaki ini malah menyatakan keinginannya
dengan arogansi yang tak terbantahkan. Tiba-tiba Serena mengerutkan
keningnya mencerna kalimat Damian.
"Kenapa harus segera?"
Dan entah kenapa pertanyaannya itu membuat pipi Damian memerah. Serena
jadi bertanya-tanya apa yang salah dengan pertanyaannya.
"Kau... Eh, mungkin kau tidak menyadari perubahan tubuhmu...." Damian
tampak kesulitan menyusun kata-kata. Tapi pada akhirnya dia melemparkan
kebenaran itu, "Kau... Sedang mengandung anakku"
Kata-kata itu membuat Serena ternganga, itu adalah kebenaran yang sama
sekali tidak disangka-sangkanya. Damian sangat hati-hati kalau bercinta
dengannya. Bahkan dalam kondisi berhasratpun dia selalu ingat untuk memakai
pelindung, jadi Serena tak mungkin hamil. Karena itulah meskipun tubuh Serena
menunjukkan gejala seperti perempuan hamil, tidak datang bulan, mual, kram di
perut dan sebagainya, tidak pernah sedikitpun terlintas di benaknya kalau dia
sedang mengandung. Kemudian kesadaran itu melintas di benaknya, Serena tidak mungkin
mengandung, kecuali kalau Damian menginginkannya, Serena tidak mungkin
mengandung, kecuali kalau Damian sengaja....
"Kau selalu menggunakan pelindung," gumam Serena menatap Damian dengan
waspada, "Malam itu kau tidak memakainya."
Pipi Damian agak memerah tapi dia menatap mata Serena tanpa penyesalan.
"Aku memang sengaja, semua yang terjadi malam itu memang sudah
kurencanakan," dengan angkuh Damian mengangkat dagunya, "aku ingin kau
memilihku." Pipi Serena memucat sedikit marah.
"Kau berencana menjebakku dengan kehamilan?"
Damian menggenggam tangan Serena erat-erat memejamkan matanya penuh
kepedihan. "Aku memang brengsek dan licik, tapi itu semua kulakukan karena aku hampir
gila putus asa ingin memilikimu, aku mencintaimu dan menderita karenanya, aku
bersedia minta maaf kalau kau menginginkannya, tapi aku tidak pernah
menyesal sudah membuatmu hamil..."
Kata-kata itu, yang diungkapkan dengan sepenuh hari, melelehkan kemarahan
Serena, dengan lembut diraihnya kepala Damian dan dipeluknya. Lama mereka
berpelukan dalam diam. "Karena itu kau mencium perutku." gumam Serena, teringat keanehan perilaku
Damian saat itu. "Ya," Damian tersenyum bangga, "saat itu aku yakin dia sedang terbentuk, aku
memerintahkannya supaya tumbuh sehat agar aku bisa memiliki ibunya,"
Damian mengangkat bahu, "aku konyol sekali ya."
Serena tertawa mendengarnya, sisi santai Damian yang jarang diperlihatkannya
ini juga sudah membuatnya jatuh cinta. Ya, dia benar-benar mencintai lelaki ini,
dengan segala arogansinya, dengan segala kekeras kepalaannya, sekaligus
dengan segala kasih sayangnya yang Serena tahu, melimpah untuknya.
Dengan lembut Serena mengelus perutnya, menyadari bahwa buah cinta mereka
sedang bertumbuh di perutnya, semakin lama semakin kuat, hingga akhirnya
nanti akan terlahir ke dunia.
Mata Damian mengikuti gerakan Serena. Lalu tangannya mengikuti Serena,
mengusap perutnya lembut.
"Dia kuat dan baik-baik saja di sana." gumam Damian setengah berbisik.
"Ya." Serena berbisik juga.
"Mungkin nanti dia akan mulai menendang-nendang." dahi Damian berkerut,
mengingat isi buku-buku referensi kehamilan yang mulai dibacanya.
Serena, mengangguk, tersenyum simpul.
"Pasti, seperti pemain sepakbola."
"Aku lebih suka dia seperti CEO handal." dahi Damian tetap berkerut.
Serena terkekeh. "Ya, seperti CEO handal," suara Serena berubah seperti bisikan, "Seperti
ayahnya." Mereka bertatapan, mata Serena berkaca-kaca, mata Damian berkilauan penuh
perasaan. Diantara tatapan mereka terjalin setiap impian orang tua tentang
anaknya di masa depan. Lalu Damian mengecup dahi Serena.
"Terimakasih sudah hadir di hidupku," bisiknya serak penuh perasaan,
"Terimakasih sudah mengajari aku mencintai dengan begitu dalam, terimakasih
sudah menyentuh hatiku yang gelap dan jahat sehingga bisa merasakan
indahnya mencintai seseorang, dan yang terpenting terimakasih sudah mau
mencintaiku." lalu dia meraih dagu Serena dan mengecup bibirnya lembut,
kecupan penuh kasih sayang yang dengan segera berubah menjadi panas dan
bergairah. Lama kemudian Damian baru mengangkat kepalanya, meninggalkan bibir Serena
yang panas dan basah, matanya berkilat-kilat penuh gairah, tetapi dia menahan
diri dan mencoba tersenyum, mengusap rambut Serena dengan lembut.
"Nanti, setelah kau sehat," janjinya penuh arti, membuat pipi Serena memerah,
lalu memeluk Serena lagi, "Aku mencintaimu Serena, dan aku berjanji akan
membuatmu serta anak-anak kita nanti bahagia, kau boleh pegang janjiku itu."
Serena tersenyum mendengar tekad kuat dalam suara Damian.
"Aku tahu Damian, aku juga mencintaimu."
Mereka tetap berpelukan, dipenuhi perasaan cinta yang hangat. Hanya ada
mereka berdua dan kebersamaan mereka, Serena dengan Damiannya yang
akhirnya menyerahkan hatinya untuk termiliki satu sama lain. Yang pada
akhirnya bisa saling memiliki satu sama lain.
THE END *Terima kasih untuk pembaca semua yg sudah memberikan apresiasi positif
terhadap "A Romantic Story About Serena" ini, Novel ini dapat dikoleksi dalam
format cetak, epub dan pdf. Buat kalian yang penasaran membaca karya-karya
Santhy Agatha selanjutnya nantikan kehadirannya segera di blog ini*
A Romantic Story About Serena Karya Santhy Agatha di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Penelitian Rahasia 7 Pendekar Gagak Rimang Lambang Penyebar Kematian Pendekar Panji Sakti 9
tahu, yang pasti ekspresi Damian berubah seketika.
Dia membalikkan tubuh. Menatap Serena ragu-ragu. Dan ketika dilihatnya
Serena membuka lengan menyambutnya, Damian mengerang. Kemudian
melangkah tergesa ke arah Serena, tersandung-sandung menghampiri Serena.
Sejenak mereka berdiri berhadapan. Lalu Damian jatuh berlutut dan memeluk
pinggang Serena, membenamkan wajahnya di perut Serena. Napasnya tersengal
menahan perasaan. Dengan lembut Serena memeluk dan mengelus rambut Damian.
"Aku mencintaimu," Damian berbisik dengan suara parau, wajahnya masih
terbenam di perut Serena, "entah sejak kapan aku mencintaimu. Mungkin sejak
pertama kali aku melihatmu, aku...." napas Damian tersengal, "Aku mungkin
manusia paling kejam, paling jahat...tapi aku...Aku tidak....."
"Damian," sekali lagi Serena berbisik lembut. Damian mendongakkan wajahnya
dan menatap Serena, wajah Serena penuh air mata, dan tiba-tiba mata Damian
terasa panas. "Jangan menangis," Tiba-tiba Damian berdiri dan merengkuh Serena ke dalam
pelukannya, memeluknya erat-erat, "Jangan menangis lagi, aku bersumpah tidak
akan pernah membiarkanmu menangis lagi."
Serena memeluk Damian erat-erat. Permintaan maaf Damian dan kelembutan
sikapnya meluluhkan hatinya, menumbuhkan perasaan baru di dalam hatinya,
mereka telah begitu dekat selama ini, kedekatan yang dipaksakan, tetapi mau
tak mau telah membuka pembatas yang selama ini ada di hati Serena.
Lama mereka berpelukan, dalam keheningan. Serena menumpahkan tangisnya
di pelukan Damian dan lelaki itu memeluk Serena erat-erat, membenamkan
wajahnya di rambut Serena.
Setelah tangis Serena mereda, Damian mengangkat dagu Serena agar
menghadap ke arahnya, mengusap air mata di pipi Serena dengan lembut.
"Pulanglah bersamaku, kembalilah bersamaku Serena, bukan karena uang tiga
ratus juta itu. Aku ingin kau melupakan masalah hutang itu, aku ingin kau
bersamaku karena kemauanmu sendiri. Pulanglah bersamaku Serena, kita mulai
lagi semuanya dari awal....Dan jika...Dan jika...." Damian menarik napas,
menahan perasaannya, "Jika kau memang belum mencintaiku, aku akan
menunggu. Bahkan aku tidak akan menyentuhmu kalau kau tidak mau, aku tidak
akan memaksakan kehendakku, kau bisa tenang. Aku... Aku hanya ingin kau ada
di tempat dimana aku bisa melihatmu setiap hari."
Serena menatap Damian, dan melihat ketulusan di sana, melihat cinta di sana
yang tidak di tahan-tahan lagi.
Dia baru membuka mulutnya untuk menjawab ketika pintu ruangan itu terbuka.
Suster Ana membuka pintu, terlalu panik dan terengah-engah untuk merasa
malu ketika menemukan Damian dan Serena sedang berpelukan.
"Serena!!!" Suster Ana berusaha menormalkan nafasnya, dia tadi setengah
berlari ke sini, "Cepat!!! Cepat ikuti aku ke ruang perawatan!!!! Rafi sadar!!!
Dia terbangun dari komanya!!!!!"
*** Serena berlari, tanpa sadar melepaskan diri dari pelukan Damian, dia berlari
penuh air mata, ke kamar perawatan Rafi, kerinduannya membuncah, rasa
syukurnya tak tertahankan.
Ketika sampai di depan pintu perawatan nafasnya terengah, dia berhenti karena
pintu itu masih di tutup rapat, suster Ana tergopoh-gopoh mengejarnya,
"Serena, jangan masuk dulu, dokter baru menstabilkan kondisinya."
Penantian itu terasa begitu lama, sampai kemudian Serena diijinkan masuk,
hanya lima menit untuk sekedar menengok Rafi, setelah itu dokter harus
mengevaluasi kondisinya Rafi lagi.
Dadanya sesak tak tertahankan ketika mata itu balas menatapnya, mata yang
selama ini terpejam, tertidur dalam damai, membuat Serena menanti, mata itu
sekarang terbuka, hidup, dan balas menatapnya,
"Rafi," suara Serena serak oleh emosi, dan tangisnya meledak, dia menghampiri tepi
ranjang, ke arah Rafi yang masih terbaring, pucat dengan alat-alat penunjang
kehidupan yang masih menopangnya, tapi hidup dan membuka mata.
Serena meraih tangan Rafi dan menciumnya, lalu menangis.
"Rafi." Banyak yang ingin Serena ungkapkan, dia ingin mengucap syukur karena Rafi
akhirnya bangun, dia ingin merajuk karena Rafi memilih waktu yang begitu lama
untuk terbangun, dia ingin menangis kuat-kuat, tapi semua emosi menyebabkan
suaranya tercekat di tenggorokan.
Air mata tampak menetes dari pipi Rafi, lelaki itu mencoba berbicara, tetapi
tampak begitu susah payah,
"Stttt...Kau tidak boleh bicara dulu," gumam Serena lembut, mencegah Rafi
berusaha terlalu keras, "mereka memasang selang di tenggorokanmu, untuk
makanan, kau koma selama kurang lebih dua tahun."
Mata Rafi menatap Serena, tampak tersiksa, dan dengan lembut Serena
mengusap air mata di pipi Rafi,
"Nanti, setelah mereka yakin kondisimu membaik, mereka akan melepas selang
itu dan kau akan bisa berbicara lagi, tapi sekarang, kau cukup mengangguk atau
menggeleng saja ya, sekarang..." Serena menelan ludah, menahan isak tangis yang dalam,
"Sekarang kita harus mensyukuri karena kau akhirnya terbangun, ya?"
Rafi menganggukkan kepalanya, dan seulas senyum dengan susah payah
muncul dari bibirnya, "Sekarang istirahatlah dulu, dokter akan mengecek kondisimu lagi" bisik Serena
lembut ketika melihat isyarat dari dokter yang menunggui mereka.
Ketika Serena akan beranjak, genggaman Rafi di tangannya menguat, Dengan
lembut Serena menoleh dan memberikan senyuman penuh cinta kepada Rafi,
"Aku tidak akan kemana-mana, aku harus menyingkir karena dokter akan
memeriksamu lagi, tapi aku tidak akan kemana-mana, aku akan berada di dekat
sini sehingga saat kau butuh nanti aku akan langsung datang."
Pegangan Rafi mengendor, lelaki itu mau mengerti. Dengan lembut Serena
mengecup dahi Rafi dan melangkah menjauh keluar ruangan perawatan. Air
matanya mengucur dengan derasnya ketika dia melangkah menghampiri suster
Ana. Suster Ana masih berdiri di sana dan Serena langsung berlari ke arahnya,
menangis keras-keras. "Dia sadar suster...dia akhirnya sadar...aku masih tak percaya, selama ini aku
hampir kehilangan harapan. Mulai berpikir kalau Rafi memang tidak mau
bangun, mulai berpikir kalau semua perjuanganku ini sia-sia... Tapi
sekarang...", Serena terisak, "Aku tak percaya bahwa pada akhirnya dia sadar... dia kembali
dari tidur panjangnya, dia ada di sini untuk aku..."
Dengan lembut Suster Ana mengelus rambut Serena,
"Ini semua karena perjuanganmu Serena, Tuhan melihat keyakinanmu maka ia
mengabulkannya." mata suster Ana juga berkaca-kaca, terharu melihat
pasangan yang sudah hampir menjadi legenda karena kekuatan cintanya di
rumah sakit ini, akhirnya akan berujung bahagia.
Tapi kemudian, suter Ana menyadari kehadiran Damian di ujung ruangan, masih
bersandar di pintu lorong ruang perawatan, dengan wajah tanpa ekspresi.
Dengan lembut dilepaskannya Serena dari pelukannya,
"Eh mungkin aku harus pergi dulu Serena, mungkin masih ada hal-hal yang ingin
kalian bicarakan?" suster Ana mengedikkan bahunya ke arah Damian,
Baru saat itulah sejak pemberitahuan suster Ana tadi, Serena menyadari
kehadiran Damian di ruangan itu. Pipinya langsung memerah mengingat
pernyataan cinta Damian, sesaat sebelumnya. Tapi dia sungguh tidak bisa
berkata apa-apa. Setelah Suster Ana meninggalkan ruangan itu, suasana menjadi canggung,
dalam keheningan yang tidak menyenangkan.
"Dia sadar." gumam Damian akhirnya, memecah keheningan.
Serena menganggukkan kepalanya, belum mampu bersuara.
Damian tampak berfikir, "Kau bahagia?" tanyanya kemudian, lembut.
Serena mengernyitkan keningnya, Damian telah berubah, menjadi sedikit lebih
manusiawi, menjadi sedikit mudah disentuh. Damian yang dulu tidak akan
mungkin menanyakan itu padanya. Damian yang dulu pasti akan langsung
memaksa membawanya pulang tanpa peduli perasaan Serena.
"Ya, aku bahagia." seulas senyum kecil muncul di bibir Serena, membayangkan
Rafi. Damian mengernyit melihat senyuman itu. Senyuman itu bagaikan pisau yang
menusuk hatinya, senyuman yang diberikan Serena ketika membayangkan lelaki
lain, ketika membayangkan Rafi.
"Bagus," gumamnya datar, kemudian menatap Serena lembut, "mungkin kita
harus melakukan pengaturan kembali dengan perkembangan yang mendadak
ini, tetapi aku tidak mau mengganggumu dulu, kau pasti ingin fokus dulu dengan
kondisi Rafi... jadi kupikir aku akan kembali lagi saja nanti."
"Terima kasih Damian." akhirnya Serena bisa berkata-kata, pelan.
Damian tersenyum miring, "Aku meminta maaf, dan kau malah menjawabnya dengan ucapan terima kasih,
Serena yang aneh." dengan hati-hati Damian mendekat, lalu setelah yakin
bahwa Serena tak akan menjauh, dia merengkuh Serena ke dalam pelukannya,
"Ingat kata-kataku tadi." bisiknya lembut, lalu menunduk dan memberikan
Serena sebuah ciuman yang singkat tetapi menggetarkan kepada Serena.
Dan pergilah Damian, meninggalkan Serena yang masih berdiri terpaku,
memegangi bibirnya yang terasa hangat, bekas ciuman Damian.
*** "Dia sadar." Damian menyesap minumannya sambil berdiri terpaku menatap ke
pemandangan dari jendela lantai atas kantornya.
Vanessa, yang masih bersama Freddy hanya diam terpaku. Damian sudah
menceritakan semuanya kepada mereka tadi, tentang sadarnya Rafi dari
komanya. Dan sekarang lelaki itu hanya terdiam dan mengulang-ulang kata 'dia
sadar' 'dia sadar' sambil menatap keluar.
Vanessa menarik napas mulai tak sabar, sedangkan Freddy hanya mengetukketukkan
tanggannya di lutut. Damian masih belum menunjukkan tanda-tanda
memaafkannya jadi dia memilih diam dan tidak mengatakan apa-apa.
"Kurasa karena perkembangan baru yang tidak terduga ini, kau akhirnya
memutuskan untuk melepaskan Serena?"
Pertanyaan Vanessa itu membuat Damian mendadak memutar tubuhnya dengan
tajam menghadap Vanessa dan menatapnya dengan mata menyala-nyala.
"Dia belum memilih," gumam Damian setengah menggeram. "detik terakhir
sebelumnya, dia menerimaku dalam pelukannya, membalas pelukanku dan aku
yakin akan menerima ajakanku untuk pulang bersamaku."
"Sudahlah Damian, sekarang kan tunangannya yang setia ditungguinya selama
dua tahun sudah sadar, kau tidak bisa......" tanpa sadar Freddy bersuara
memberikan pendapat seperti kebiasaannya sebelumnya. Tapi langsung berhenti
mendadak ketika menerima tatapan tajam penuh permusuhan dari Damian,
"Aku....aku hanya mencoba memaparkan kenyataan di depanmu." suara Freddy
hilang tertelan karena tatapan Damian makin tajam.
Vanessa menghela napas sekali lagi,
"Damian, Freddy benar, sadarnya Rafi ini bukankah merupakan tujuan hidup
Serena selama ini" Biarkan mereka berbahagia Damian, mereka pantas
mendapatkannya setelah tahun-tahun penuh penantian dan ketidakpastian yang
menyiksa." "Tidak!" Damian tetap bersikeras, "aku tidak bisa menyerah begitu saja dan
membiarkan Serena salah memilih. Dia mencintaiku. Perasaannya pada Rafi
mungkin hanya kasihan."
"Kenapa kau tidak bisa berpikir kalau perasaannya kepadamulah yang mungkin
hanya perasaan sesaat karena keadaan yang dipaksakan" Kau pernah dengar
apa itu Stockholm Syndrome?" sela Vanessa jengkel.
Damian tercenung, tentu saja dia tahu apa itu Stockholm Syndrome, dan
menyakitkan kalau menyadari bahwa perasaan Serena kepadanya mungkin
ditumbuhkan oleh situasi keterpaksaan. Dengan gusar diusapnya rambutnya,
"Aku akan menanyakan langsung padanya. Nanti. Setelah kondisi tunangannya
lebih baik." Vanessa tidak berkata-kata. Dan Freddy hanya diam, tak tahu harus bicara apa
lagi. *** Dua hari kemudian, Serena berdiri di depan ruangan perawatan Rafi dengan
cemas, tangannya menggenggam tangan suster ana setengah menangis.
Matanya semakin berkaca-kaca ketika mendengar suara teriakan dari dalam.
Teriakan Rafi, "Suster...." hati Serena terasa di iris-iris, menyadari bahwa suara pertama yang
dikeluarkan Rafi setelah 2 tahun adalah teriakan kesakitan.
"Tidak apa-apa Serena, itu pertanda bagus, Rafi memang kesakitan, mereka
sedang melepas selang di tenggorokan dan di dadanya, tetapi kalau Rafi bisa
mengeluarkan suara, itu pertanda kondisinya sudah semakin membaik." suster
Ana menggenggam tangan Serena, membagikan kekuatannya.
Suara teriakan itu terdengar lagi, begitu serak hingga Serena hampir tak
mengenalinya. Air matanya mulai menetes satu-satu tanpa dapat ditahannya,
"Berapa lama lagi suster?" menunggu di luar seperti ini terasa bagaikan siksaan
yang paling mengerikan. "Sebentar lagi, nanti mereka akan mengizinkanmu menemuinya," dengan lembut
suster Ana mengusap-usap Serena, "dia harus melalui ini Serena, dan nanti akan
banyak kesakitan lagi, tapi ini proses penyembuhan, dia pasti akan sembuh."
Serena menganggukkan kepalanya, memejamkan matanya, menunggu.
Penantian itu terasa begitu lama, lama sekali sampai tim dokter dan perawat
keluar dan mengizinkan Serena masuk,
Dengan hati-hati, Serena melangkah masuk ke ruangan perawatan Rafi.
Ruangan yang sangat akrab, sangat dikenalinya. Tetapi sekarang berbeda,
Rafinya tidak tidur. Rafinya tidak menutup mata, dia bangun, sadar dan hidup.
Hati Serena sesak oleh euforia yang membuncah.
Serena duduk di sebelah ranjang, dan Rafi langsung menyadari kehadirannya,
tangannya membuka dan dengan lembut Serena menyelipkan jemarinya kesana,
"Hai", sapa Serena lembut.
Rafi tersenyum, lalu mengeryit karena gerakan sederhana itu ternyata
menyakitinya, "Sa...kit", gumamnya susah payah.
Serena tersenyum lembut, sebelah tangannya mengusap dada Rafi yang kurus,
berhati-hati agar tidak menyentuh luka di dadanya,
"Mereka sudah melepas selang di tenggorokan dan dadamu",
Rafi mengeryit lagi, "Berapa lama?", suaranya serak dan terpatah-patah,
"Apanya?" "Tidur... Berapa lama?"
Serena mendesah lembut, "Dua tahun", jawabnya pelan. Dan langsung menerima tatapan penuh kesedihan
dari Rafi, "Tapi dua tahun tidak terasa lama kok, yang penting kau bangun, kau
berjuang dan aku bangga padamu." sambung Serena cepat-cepat.
Rafi tampak sedikit lega mendengar penjelasan Serena, tapi lalu dia mengernyit
lagi, "Mama... Papa....?"
Serena menggenggam tangan Rafi erat-erat,
"Mereka meninggal pada saat kecelakaan itu Rafi."
Dan hati Serena bagaikan diremas-remas ketika melihat Rafi memejamkan mata
dan menangis, dengan lembut diusapnya air mata Rafi, dikecupnya pipi lelaki itu
yang pucat dan tirus, "Tapi aku yakin mereka sudah tenang disana. Mereka pasti bahagia sekarang,
mengetahui kau sudah sadar."
Rafi membuka matanya dan menatap Serena lembut,
"Maaf." "Kenapa?" Serena mengernyit.
"Karena... Kau... Ditinggal..sendiri..."
Air mata ikut mengalir di pipi Serena,
"Aku tidak apa-apa, lihat" Aku sehat dan baik-baik saja. Aku bertahan buat
kamu. Dan sekarang kamu yang harus berjuang buat aku ya, kamu harus
berjuang untuk pulih lagi, bersamaku."
Rafi mengangguk dan memejamkan mata, percakapan singkat itu membuatnya
begitu kelelahan, Dengan lembut Serena mengusap rambut Rafi,
"Istirahatlah sayang, tidurlah, aku akan ada saat kau terlelap, aku akan ada
saat kau bangun lagi." Dengan lembut Serena terus mengusap rambut Rafi sampai nafas lelaki itu
A Romantic Story About Serena Karya Santhy Agatha di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berubah teratur dan tertidur pulas.
"Dia kuat, dia akan baik-baik saja."
Suara dari arah pintu yang terdengar tiba-tiba itu mengejutkan Serena, dia
menoleh dan mendapati dokter Vanessa sudah berdiri di sana, entah sejak
berapa lama. "Dokter Vanessa?"
Vanessa tersenyum dan melangkah mendekat,
"Yah kau pasti tidak menduga kedatanganku, aku kesini bersama seseorang."
Vanessa mengedikkan kepalanya ke arah pintu, Serena mengikuti arah
pandangan Vanessa dan wajahnya memucat melihat Freddy berdiri di sana, tidak
melangkah masuk, hanya berdiri di ambang pintu dengan ragu-ragu.
"Dia datang untuk minta maaf." jelas Vanessa lembut begitu melihat ekspresi
takut Serena, "dia sudah meminta maaf kepada Damian dan Damian
mengusirnya, menyuruhnya meminta maaf padamu karena kaulah yang
dilukainya." Damian. Nama itu melintas di benak Serena. Damian dan pernyataan cintanya.
Tiba-tiba dada Serena terasa penuh, tapi lalu dia mengernyit. Tidak, dia harus
membunuh perasaan apapun itu yang muncul untuk Damian. Dia harus fokus
kepada Rafi, "Mungkin kita bisa berbicara di luar?" Vanessa berucap setengah berbisik,
melirik ke Rafi yang sedang tertidur pulas.
Serena mengangguk mengikuti dokter Vanessa sampai ke ujung lorong, dengan
diam-diam Freddy mengikuti mereka.
"Maaf," gumam Freddy ketika mereka sudah ada di lorong yang sepi, dia
mengeryit sedikit ketika melihat bahwa Serena menjaga jarak kepadanya, sedikit
berlindung di belakang Vanessa, terlihat takut kepadanya.
Freddy mengusap rambutnya penuh perasaan bersalah, "aku sendiri tak tahu
setan apa yang menghinggapiku saat itu, aku salah paham dan berbuat fatal...
Mungkin aku memang pantas menerima luka-luka akibat semua pukulan ini...."
Freddy mencoba menatap Serena selembut mungkin, menunjukkan ketulusannya
sebesar mungkin agar Serena yakin, "kumohon jangan takut kepadaku Serena,
aku minta maaf, aku benar-benar menyesal, aku malu."
Kata-kata itu merasuk ke dalam jiwa Serena, dia menatap lelaki di depannya ini.
Dia memang tidak terlalu akrab dengan pengacara Damian ini, mereka
berinteraksi hanya kalau perlu dan kebanyakan Freddy hanya berinteraksi
dengan Damian, mengabaikannya. Tetapi sekarang lelaki ini terlihat begitu tulus,
tulus dan berantakan, dengan memar di mana-mana, meskipun tidak
mengurangi ketampanannya.
Serena mencoba menganguk dan memunculkan senyum kecil meskipun dia
masih menjaga jarak, "Iya", jawabnya pelan.
Freddy menatap Serena dalam-dalam, mencari kepastian di sana, dan yang
dilihat di mata Serena adalah ketulusan,
"Aku dimaafkan?" tanyanya pelan.
Serena akhirnya tersenyum lepas,
"Iya." Dengan lembut Freddy membalas senyuman Serena,
"Sekarang aku tahu kenapa hati Damian yang keras itu bisa melumer menjadi
begitu lembut." gumamnya pelan, membuat pipi Serena merona.
Dengan lega Vanessa menarik napas panjang,
"Kalau begini masalah sudah selesai," Vanessa menoleh ke arah Freddy, "nah
Freddy bisakah kau ke tempat lain dulu" Aku ingin berbicara berdua dengan
Serena, percakapan dokter dengan keluarga pasien, kau tahu."
Freddy meringis dengan pengusiran itu, lalu mengangguk,
"Oke, telpon aku kalau kalian sudah selesai." gumamnya dan membalikkan tubuh
melangkah pergi setengah diseret mengingat kondisinya yang babak belur
setelah dihajar habis-habisan.
Mereka berdua menatap kepergian Freddy dan Vanessa tersenyum,
"Dia sangat menyesal kau tahu."
Serena mengangguk, "Saya mengerti," lalu Serena menatap Vanessa dengan penuh ingin tahu,
"Dokter ingin berbicara tentang apa kepada saya?" kecemasan tampak terdengar
dari suara Serena, apakah terjadi sesuatu dengan Rafi"
Vanessa tersenyum mencoba menenangkan Serena,
"Tenang saja, Rafi akan baik-baik saja. Aku sudah berbicara dengan dokter yang
menangani Rafi, dia bilang Rafi bisa kembali pulih meski proses pemulihannya
bisa berlangsung lama," dengan lembut Vanessa menggenggam tangan Serena,
"Serena apakah dokter sudah memberitahukan kepadamu tentang
kemungkinan.... Kemungkinan bahwa Rafi bisa lumpuh selamanya?"
Serena mengangguk, tidak tampak terkejut,
"Pada saat Rafi jatuh koma pun, dokter sudah memberitahukan kemungkinan itu
kepada saya, dokter bilang kalau meskipun nanti Rafi sadar, dia bisa lumpuh
selamanya." "Tapi kemungkinannya tidak seratus persen, masih ada harapan 20 persen
bahwa Rafi bisa berjalan lagi kalau dia ada di tangan yang tepat....."
"Maksud dokter?", Serena mengernyitkan keningnya,
"Maksudku, aku merekomendasikan diriku untuk merawat Rafi, kau tahu aku
sedang mendalami spesialisasi pemulihan tulang dan saraf, jadi aku bisa
merawat Rafi dengan baik..... Nanti ketika dia sudah boleh keluar dari rumah
sakit, Rafi harus terus menjalani terapi dengan begitu masih ada kemungkinan
dia bisa berjalan lagi."
"Apakah.... Apakah dokter diminta Damian melakukannya?" Serena menatap
dokter Vanessa sedikit curiga. Kebaikan hati perempuan cantik di depannya ini
tampak diluar dugaan, apakah Damian memaksa dokter Vanessa menawarkan ini
kepadanya" Vanessa mengangkat bahu dan tersenyum lagi,
"Damian memintaku memang, tapi bukan itu alasan aku ingin merawat Rafi,"
Vanessa menepuk pundak Serena hangat, "Kau tahu almarhum suamiku.... Dia
meninggal dalam kecelakaan beruntun di jalan tol, kecelakaan yang sama yang
menewaskan kedua orang tuamu dan melukai rafi."
"Astaga", Serena menutup mulutnya dengan jemarinya, terkejut,
"Yah astaga", Vanessa tersenyum, "dunia ini sempit bukan" Kadang
kebetulankebetulan yang terjadi sering membuatku bertanya-tanya," tatapan
Vanessa berubah serius, "tapi sungguh Serena, kondisi Rafi ini kupandang sebagai
kesempatan kedua, aku tidak bisa merawat suamiku pada saat itu, tapi kurasa Tuhan memberiku
kesempatan untuk merawat korban yang selamat dari kecelakaan yang sama,
itupun kalau kau mengizinkan."
Serena menganggukkan kepalanya, terharu,
"Iya dokter, saya akan senang dan lega sekali menyerahkan perawatan Rafi di
tangan dokter." *** "Tidak enak." Rafi mengernyit, menggelengkan kepalanya, menghindari sendok
berisi bubur sayuran yang disuapkan Serena kepadanya.
Hari ini adalah tiga minggu sejak Rafi tersadar dari komanyaa, kondisinya sudah
mulai membaik, dia sudah bisa duduk, sudah bisa mengucapkan lebih dari satu
kalimat, dan alat-alat penunjang kehidupannya sudah mulai dilepas satu persatu,
dokter sendiri memuji perkembangan Rafi yang luar biasa pesat, tekad lelaki itu
kuat, maka ketika dia berniat untuk sembuh dia akan merasakannya sepenuh
hati. "Kau harus memakannya," gumam Serena sedikit geli dengan kemanjaan Rafi
yang seperti anak-anak, "ini menyehatkanmu."
"Rasanya seperti muntahan." Gumam Rafi, tapi akhirnya menurut membuka
mulutnya, menerima suapan Serena lalu mengernyit ketika menelan.
Ekspresinya membuat Serena tergelak, tapi kemudian Rafi meraih tangan Serena
yang tidak memegang sendok, ekspresinya berubah serius,
"Serena, tak terbayangkan rasa terimakasihku padamu....aku tidak tahu
bagaimana mengungkapkan cintaku, aku.... Para dokter dan perawat
menceritakan perjuanganmu untukku...."
"Stttt," Serena meletakkan sendoknya dan menyentuhkan jemarinya di bibir Rafi,
"Perjuangannya sepadan, kau akhirnya bangun kan?"
"Tapi...." ekspresi kesedihan menghantam Rafi, "aku.... Aku mungkin tidak akan
bisa berjalan lagi. Aku mungkin lumpuh selamanya, aku hanya akan menjadi
bebanmu..." "Rafi," Serena menyela sedikit marah, "kau tidak boleh memvonis dirimu sendiri,
kesembuhanmu yang luar biasa ini juga diluar prediksi dokter bukan" Kita pasti
bisa kalau kita berjuang dengan tekad dan keyakinan kuat bersama-sama,
meskipun begitu....", Suara Serena berubah sendu, "meskipun pada akhirnya kau
lumpuh selamanya pun, aku akan tetap bahagia bersamamu... Kau tahu selama
ini aku selalu berdoa apa" Aku berdoa yang penting kau sadar, aku tidak peduli
yang lain, Tuhan sudah mengabulkan doaku Rafi.... Tidakkah itu cukup?"
Mata Rafi tampak berkaca-kaca.
"Kau tidak tahu betapa aku mencintaimu......"
Suara di pintu itu mengalihkan perhatian mereka, Serena dan Rafi menoleh
bersamaan, lalu Serena tersenyum, Dokter Vanessa ada di sana, dalam
kunjungannya yang biasa, sekarang bahkan dokter Vanessa sudah mulai akrab
dan berteman dengan Rafi.
Tapi senyuman Serena langsung membeku ketika menyadari siapa yang
mengikuti di belakang dokter Vanessa, itu Damian!
Damian yang sama. Damian yang tampan dengan penampilan bak adonis,
dengan ekspresi yang dingin dan tidak terbaca. Serena tidak pernah
berhubungan dengan Damian lagi sejak Rafi sadarkan dari komanya, Damian
selalu memaksakan maksudnya dengan perantaraan dokter Vanessa, seperti
ketika Damian memaksakan untuk menanggung biaya rumah sakit Rafi dan
ketika Damian memaksakan Serena setuju - lewat bujukan dokter Vanessa - agar
Serena dan Rafi pulang ke apartemen yang dibelikannya ketika Rafi sudah boleh
pulang dari rumah sakit nanti.
Sekarang lelaki itu berdiri di depannya, ekspresinya tak terselami dan sedikit
muram, membuat Serena bertanya-tanya, apakah Damian mendengarkan
percakapannya dengan Rafi tadi. Apakah Damian tidak senang mendengarnya,
"Dokter Vanessa," Rafi menyapa ramah ketika Serena hanya diam saja, lalu
menatap ingin tahu ke arah lelaki tampan yang sepertinya hanya menatap
terfokus kepada Serena, "Halo Rafi, aku datang untuk mengecek keadaanmu. Dua hari lagi kau sudah
boleh pulang kalau kondisimu sebaik ini terus," Vanessa menyadari Rafi menatap
ke arah Damian, lalu menyikut pinggang Damian untuk menarik perhatian
Damian yang terarah lurus kepada Serena, "Dan ini Damian, dia eh bosku dan
bos Serena juga." Damian menolehkan kepalanya pelan-pelan, lalu menatap ke arah Rafi,
menelusurinya dengan tajam dan meneliti.
Inikah laki-laki yang dicintai Serena sampai rela mengorbankan segalanya"
Tibatiba pikiran jahat melintas di benaknya, apa yang akan diperbuat Rafi jika
tibatiba dia mengungkapkan bahwa Serena sudah menjual keperawanannya
kepadanya" Bahwa dia sudah berkali-kali meniduri tunangannya yang katanya
dicintainya tadi" "Damian." Vanessa bergumam ketika Damian hanya menatap dan tidak
bersuara, Damian lalu mendekat dan mengulurkan tangannya kepada Rafi,
"Salam kenal, saya adalah.... Atasan Serena di tempat kerjanya... Kebetulan
kami eh cukup .... akrab." sedikit senyum muncul di bibir Damian ketika
menyadari Serena dan Vanessa tampak begitu cemas dengan kata-kata yang
mungkin muncul dari bibirnya,
Rafi menerima jabatan tangan Damian dan tersenyum tulus,
"Terimakasih." meskipun Rafi sedikit bertanya-tanya kenapa tatapan Damian
seolah-olah ingin membunuhnya.
"Saya senang kondisi anda semakin membaik." gumam Damian tenang, tapi
terdengar seolah-olah mengatakan, kenapa kau tak mati saja biar semua jadi
mudah" Serena mengernyit mendengar nada suara Damian itu, lelaki itu sama sekali
tidak mencoba membuat suasana menjadi lebih mudah malah seolah-olah
menantang Serena untuk mengakui sesuatu " mengakui apa" apakah Damian
ingin agar Serena mengakui segalanya di depan Rafi" Mengakui bahwa dia sudah
menjual keperawanan dan tubuhnya demi membiayai biaya operasi Rafi?"
Serena akan mengakuinya, itu pasti, dia tidak mungkin membohongi Rafi. Rafi
mungkin akan marah dan sedih, sedih karena Serena terpaksa melakukan semua
itu demi dirinya. Lalu mungkin Rafi akan menyalahkan dirinya sendiri. Oh, lelaki
itu tidak akan meninggalkan dirinya karena sudah tidak perawan. Serena begitu
mengenal Rafi hingga yakin akan hal itu, dia lelaki berpkiran terbuka, tetapi
yang Serena takuti adalah Rafi akan semakin menyalahkan dirinya, sendiri,
menyalahkan kondisinya yang tidak berdaya yang membuat Serena harus
berjuang sendirian demi dirinya, dan Serena tidak mau Rafi mengalami itu
semua, tidak di saat kondisi Rafi masih begitu rapuh dan ada di dalam proses
pemulihan. Nanti, Serena pasti akan mengakui semuanya, tetapi tidak sekarang.
Karena itu dia langsung memelototi Damian mengingatkan, memastikan Damian
melihat isyarat dalam matanya, dan menggeram dalam hati ketika Damian
malahan tersenyum meremehkan.
"Mr. Damian ini adalah atasanku di tempat lamaku bekerja." jelas Serena cepat
begitu melihat kebingungan di mata Rafi.
"Tempatmu sekarang bekerja Serena, kamu masih bekerja di sana." sela Damian
tajam. Serena ternganga mendengar bantahan Damian itu, kehabisan kata-kata,
sementara lelaki itu tersenyum datar pada Rafi,
"Kami sempat mengalami sedikit kesalahpahaman. Saya menuduh Serena
melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak dia lakukan, Tetapi saya sekarang
sudah menyadari kesalahan saya," Damian menatap Serena penuh arti, "dan
dengan rendah hati, saya meminta Serena kembali kepada saya". kata-kata itu
diucapkan dengan datar dan santai, tapi entah kenapa arti yang tersirat di
dalamnya membuat pipi Serena merona.
Vanessa langsung berdehem memecah kecanggungan,
"Bagus, kita akhirnya menyelesaikan segala kesalahpahaman," gumamnya ceria,
"Nah sekarang aku ingin memeriksa kondisimu Rafi."
"Saya tidak pernah merasa lebih baik dokter." Rafi tersenyum, perhatiannya
teralih dari Damian dan Serena.
"Dan akan lebih baik lagi, aku yakin mengingat pesatnya kondisimu," Vanessa
tersenyum, lalu menatap Serena dan Damian, "Kalian bisa keluar sebentar" aku
ingin memeriksa kondisi Rafi."
Dan dalam diam Damian dan Serena melangkah keluar ruangan. Mereka masih
berdiri diam di lorong ruang perawatan.
"Well dia tampak sehat." gumam Damian kemudian, menyandarkan tubuhnya di
tembok dan menatap Serena tajam,
Serena menganggukkan kepalanya.
"Dia tidak akan bisa berjalan lagi kan?" sambung Damian jahat.
Serena membelalakkan matanya mendegar kekejaman dalam suara Damian,
"Damian!! Jahat sekali kau!", mata Serena tampak berkaca-kaca, "Dokter
Vanessa bilang masih ada kesempatan bagi Rafi untuk sembuh, dan aku percaya
dia akan sembuh." "Sampai berapa lama lagi Serena" kau harus menunggu dalam waktu yang tak
pasti lagi, Kenapa mencintai seseorang harus penuh pengorbanan seperti itu?"
Damian mendeses kesal, "Dan kata Vanessa dia juga mungkin tidak bisa
berfungsi sebagai laki-laki normal..."
"Damian!!!" Serena setengah berteriak, menghentikan kata-kata Damian, pipinya
memerah mendengar ucapan Damian yang begitu vulgar.
Damian mengangkat bahunya tanpa rasa bersalah,
"Aku cuma mengungkapkan apa yang dikatakan Vanessa kepadaku," tiba-tiba
dia mendekat dan merengkuh pundah Serena, "Bagaimana Serena" Bagaimana
jika dia tidak dapat berfungsi sebagai lelaki normal" padahal aku tahu...", mata
Damian menyala-nyala, "aku tahu betapa kau gadis kecil yang penuh gairah,
betapa kau menyambut setiap sentuhanku dengan gairah yang sama, betapa
kau menyukainya... Bagaimana kau nanti bisa tahan tidak merasakan itu
semua...tidak disentuh.. tidak di..."
"Hentikan!!!!" Kali ini Serena benar-benar berteriak, matanya berkaca-kaca.
Membuat Damian terdiam dan tidak melanjutkan kata-katanya. Serena tampak
begitu rapuh sekaligus begitu kuat dengan wajah pucat pasi dan mata berkacakaca
seperti itu, membuat Damian ingin melumatnya...
"Kau terlalu picik kalau selalu memandang sebuah kasih sayang hanya dari
kemampuan melakukan hubungan fisik," desis Serena tajam,
"aku mencintai Rafi, aku hanya butuh kehadirannya di sampingku, itu saja...
A Romantic Story About Serena Karya Santhy Agatha di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kalaupun.. kalaupun dia nantinya tidak bisa memelukku dengan bergairah, aku
tidak peduli, yang penting dia hidup dan ada di sisiku, aku tidak butuh yang
lain lagi..." "Tidak butuh yang lain lagi?" Kata-kata Serena yang penuh cinta kepada Rafi itu
menyulut kemarahan Damian, dengan kasar direngggutnya Serena ke dalam
pelukannya, "Kalau begitu bagaimana dengan yang ini?"!"
Dengan tanpa diduga-duga, Damian mencium bibir Serena, pertama kasar,
meluapkan kemarahannya disana, melumat bibir Serena dengan menyakitkan
seolah ingin menghukumnya. Oh! betapa dia ingin menghukum perempuan ini
karena menyakitinya! Oh berapa dia merindukan perempuan ini!!
Ciumannya melembut ketika merasakan bibir perempuan yang sangat
dirindukannya, yang sudah lama tidak disentuhnya, yang sudah lama tidak
dirasakannya. Kerinduannya meluap, dipeluknya tubuh Serena erat-erat,
dilumatnya bibirnya dengan seluruh gairahnya, dipujanya bibir itu.
Serena yang tidak menyangka akan dicium dengan seintens itu semula hanya
terpaku, lalu dia memejamkan matanya, aroma Damian, kemaskulinannya
menyeruak di dalam dirinya. Membangkitkan kenangan lama akan kedekatan
mereka, dan secara alami, Serena membalas pelukan dan lumatan Damian.
Entah berapa lama mereka berciuman sampai kemudian Damian melepaskan
tautan bibir mereka, terengah-engah.
Dengan lembut Damian menunduk, masih berpelukan, dahinya menyatu dengan
dahi Serena, napas mereka yang panas menyatu, bibir mereka masih
berdekatan. Kemarahan Damian mereda seketika oleh ciuman itu, kini dadanya dipenuhi oleh
perasaan lembut yang menyesakkan dada,
"Jangan bilang kau tidak merindukan sentuhanku." bisik Damian lembut,
Serena memejamkan mata berusaha menggeleng,
"Aku tidak merindukannya." erangnya mencoba melawan,
Damian menundukkan kepalanya, menghujani telinga dan leher Serena dengan
ciuman-ciuman lembut seringan bulu, membuat tubuh Serena gemetaran,
"Teruslah berbohong" bisik Damian di telinga Serena, "Tapi tubuhmu tidak bisa
membohongiku, tubuhmu merindukanku Serena, dan aku merindukanmu." bisik
Damian di sela-sela kecupannya.
Serena mengerang, mencoba melawan kebenaran yang menyiksanya. Dia
merindukan Damian, dia memang merindukan lelaki itu. Sering di malam-malam
dia berbaring di sendirian di sofa rumah sakit, menunggui Rafi. Dia merindukan
Damian, merindukan pelukannya yang melingkari perutnya dengan posesif,
merindukan lengannya yang selalu menjadi bantal tidurnya, merindukan desah
napas teratur Damian di telinganya ketika tertidur pulas. Tapi Serena
menahannya, mencoba mengenyahkannya. Perasaan itu tidak boleh
ditumbuhkan. Dia sudah mempunyai Rafi, Rafinya, tunangannya. Kekasih yang
dicintainya. Kekasih yang ditunggunya tanpa putus asa selama dua tahun.
Kekasih yang sekarang sedang berjuang untuk pulih kembali demi dirinya.
Air mata mengalir deras di pipi Serena,
"Aku merindukanmu Damian." pengakuan itu, pengakuan yang sama sekali tidak
di duga-duga Damian membuat gerakan lelaki itu yang sedang mencumbu
Serena terpaku. Damian langsung menegakkan tubuhnya, mengangkat dagu Serena agar
menatapnya, "Apa" Katakan sekali lagi, katakan," Damian mendesak ketika Serena
menghindari matanya. "Katakan sekali lagi Serena, aku perlu mendengarkan
lagi." Serena menarik napas panjang, lalu menatap mata biru yang berbinar-binar itu,
"Aku merindukanmu Damian." gumamnya lagi, lebih pelan dan bergetar.
"Demi Tuhan," Damian memejamkan matanya lama, lalu memeluk Serena,
"betapa aku ingin mendengar pengakuan itu darimu..."
Mereka berpelukan lama, menikmati saat-saat yang penuh dengan keheningan
itu, sampai kemudian Damian menjauhkan pelukannya dan menatap penuh
tekad, "Kita harus berbicara dengan Rafi."
"Jangan!!!" Serena langsung berteriak mencegah dan ketakutan, "Jangan
Damian!!" Mata Damian berkilat-kilat,
"Kau harus menentukan perasaanmu Serena, aku atau Rafi. Salah satu dari kami
harus mendapat kepastian tentang perasaanmu." gumamnya tegas.
Serena menangis lagi, tangannya bergerak lembut, mengelus pipis Damian, lelaki
itu langsung memejamkan matanya,
"Damian... Mungkin aku juga menyayangimu, mungkin aku juga mencintaimu.
Tapi Rafi lebih membutuhkan aku, tanpa aku dia tidak punya siapa-siapa lagi.
Sedangkan kau, kau lelaki yang hebat, kau bisa mencari banyak penggantiku,
kau pasti masih bisa hidup tanpa aku." gumam Serena lembut.
Ketika Damian membuka matanya, kesakitan dan kepedihan yang terpancar di
dalamnya begitu mengiris hati Serena,
"Jadi aku dikalahkan karena aku hebat?" suara Damian terdengar begitu pedih,
"Apakah aku harus luka parah seperti Rafi dulu biar kau memilihku?"
"Damian!!!" Serena berseru spontan, terkejut, "Jangan pernah.... jangan pernah
berpikir seperti itu, kau... kau pasti bisa memahami keputusanku."
Damian melihat air mata Serena yang mengalir dan mengusapnya lembut,
Kemudian Damian merangkum pipi Serena dengan kedua tangannya,
menghadapkan wajah mungil pucat pasi itu agar mau menatap matanya.
Mereka bertatapan. Yang satu penuh air mata, yang lain penuh tekad, saling
memandang dalam keheningan,
Lalu sebuah senyum kecil muncul di bibir Damian,
"Dasar perempuan kecilku yang bodoh, kau tidak perlu mengatakan apa-apa
lagi. Cukup dengan kau bahagia. Itu saja, kau mengerti" Sekarang hapus air
matamu itu dan tersenyumlah!"
*** Sejak saat itu Damian seolah-olah menghilang dari kehidupan Serena, Serena
merenung dalam mobil rumah sakit yang membawa mereka pulang ke
apartemen. Hari ini Rafi sudah boleh pulang dari rumah sakit, bersama Vanessa dan suster
Ana mereka pulang ke apartemen. Suster Ana memutuskan untuk tinggal
sementara membantu Serena, dan Vanessa sudah berjanji akan berkunjung
setiap hari untuk mengecek kondisi rafi dan melakukan terapi rutin.
Kata Dokter Vanessa, Damian memutuskan mengambil tugas perjalanan ke
eropa dan mungkin akan kembali dalam waktu yang lama.
Dada Serena terasa nyeri, ketika sekali lagi mengakui kenyataan itu kepada
dirinya sendiri, Oh ya, dia merindukan Damian, sangat merindukannya. Ternyata
cinta memang bisa tumbuh tanpa direncanakan. Serena mencintai Damian. Dia
tidak tahu kapan perasaan ini bertumbuh. Dia hanya tahu dia mencintai Damian,
itu saja. "Aku tidak menyangka bosmu yang kelihatannya sombong itu bisa begitu baik,
meminjamkan apartemennya", Rafi memecah keheningan, menatap Serena
dengan sedikit menyelidik, dia bertanya-tanya karena akhir-akhir ini Serena
begitu murung, "Aku yang membujuknya", Vanessa yang duduk di kursi depan cepat-cepat
menjawab, tahu bahwa Serena pasti kebingungan dengan pertanyaan Rafi itu,
"Damian adalah sahabat suamiku, aku bilang merawatmu penting bagiku, karena
kamu adalah salah seorang yang selamat dari kecelakaan yang menewaskan
suamiku. Jadi Damian mau meminjamkan apartemen itu, toh apartemen itu tidak
terpakai." Diam-diam Serena dan suster Ana menarik napas lega mendengar kelihaian
dokter Vanessa menjawab. Mereka sampai di apartemen, dan Serena mendorong kursi roda Rafi memasuki
ruangan itu. Begitu mereka masuk tanpa sadar Serena mengernyit, semua kenangan itu
seolah menghantamnya. Di sini, di apartemen ini dia menghabiskan waktu
berdua dengan Damian, makan malam bersama, bercakap-cakap bersama....
"Apartemen yang sangat bagus, kita beruntung Serena, bos mu sangat baik."
Rafi mendongakkan kepalanya ke belakang menatap Serena sambil tersenyum,
Mau tak mau Serena memaksakan senyuman di bibirnya. Kuatkah ia berada di
sini" Apalagi di kamar itu... Serena melirik kamarnya, tempat Damian juga
menghabiskan sebagian besar waktunya di sana. Tidak! dia tidak mau masuk lagi
ke kamar itu! Dengan cepat dan efisien mereka menyiapkan segalanya sehingga Rafi selesai di
terapi dan beristirahat di kamarnya. Suster Ana menjaganya sebentar, lalu
berpamitan untuk kembali ke rumah sakit, berjanji akan pulang dan menginap di
sini nanti malam. Setelah memastikan Rafi tertidur pulas, Vanessa menyeduh teh dan mengajak
Serena duduk di ruang depan.
"Dia sudah kembali dari eropa." Vanessa membuka percakapan, menatap Serena
dari atas cangkir kopi yang diteguknya.
Seketika itu juga hati Serena melonjak, tahu siapa yang di isyaratkan sebagai
'dia' itu. "Apakah dia baik-baik saja?" Tanya Serena pelan.
Vanessa tersenyum miring mendengar kelembutan dalam suara Serena,
"Kau itu baik hati ya, sudah menerima arogansinya yang tidak tanggungtanggung,
tetapi masih saja mencemaskannya," dengan pelan Vanessa
meletakkan cangkirnya, "Yah, dia baik-baik saja, sedikit kurus, terlalu
memaksakan diri dan jadi pemarah seperti beruang terluka, tak ada yang berani
menyinggungnya dan mendekatinya dalam radius 100 meter kalau dia sedang
mengeluarkan aura pemarahnya, bahkan direktur keuangan memilih
berhubungan dengannya via telepon," Vanessa terkekeh. Lalu wajahnya berubah
serius melihat kesedihan Serena, "Yah.... dengan melupakan fakta kalau
akhirakhir ini dia lebih seperti mayat hidup daripada manusia, sepertinya dia
baik-baik saja." Serena memalingkan wajahnya dengan pedih,
"Dia menderita Serena..." desah Vanessa kemudian, "Aku tidak pernah
melihatnya seperti ini sebelumnya."
"Sudah..." Serena tidak tahan lagi mendengarnya, penderitaan Damian serasa
mengiris-iris hatinya, "Sudah aku tidak mau mendengar lagi."
Vanessa menarik napas, "Tapi tadi dia memintaku menyampaikan pesan kepadamu."
Kata-kata Vanessa yang menggantung membuat Serena menoleh, tertarik,
"Pesan?" Vanessa menggangguk, "Ya, sebuah pesan... malam ini jam delapan, ditunggu di restourannya," lalu
Vanessa menyebutkan nama sebuah hotel,
Dan Serena mengernyit, hotel tempat pertama kali dia bersama Damian.
*** Serena merasa tidak nyaman, pakaiannya terlalu biasa-biasa saja untuk ukuran
hotel yang mewah ini. Dia berdiri dengan kikuk di lobby, tak tahu harus berbuat
apa. Entah dorongan apa yang membuatnya datang menemui Damian malam ini. Dia
tahu dia nekat, seperti memancing iblis untuk membakarnya. Tapi dia tidak bisa
menahan diri. Dia ingin bertemu Damian, walaupun mungkin ini untuk terakhir
kalinya. "Bisa dibantu nona?" Lelaki petugas hotel itu datang menghampiri, sepertinya
melihat kebingungan Serena,
"Eh saya...saya Serena...saya sudah ditunggu..."
"Nona Serena," petugas itu berubah sopan dan membungkukkan tubuh,
"silahkan, anda sudah ditunggu, mari saya antar."
Dengan ragu Serena melangkah mengikuti petugas hotel itu, memasuki
restaurant yang tertata dengan mewah dan elegan.
Dan disanalah Damian, duduk dengan pakaian resminya, mata Damian sudah
melihatnya ketika dia memasuki ruangan. Dan tidak lepas memandanginya
dengan tajam setelahnya. Ketika Serena mendekat, Damian berdiri dengan sopan lalu duduk lagi setelah
Serena duduk, Hening sejenak, masing-masing sibuk dengan pikirannya sendiri.
"Terimakasih sudah datang." gumam Damian lembut,
Serena mengangguk, matanya berkaca-kaca melihat kelembutan tatapan
Damian. "Mungkin ini untuk terakhir kalinya, mungkin setelah ini aku tidak akan datang
lagi." gumam Serena pelan.
Damian menggangguk, "Setelah ini aku tidak akan pernah memintamu datang lagi."
Hening lagi. Sampai pelayan membawakan makanan pembuka, mereka makan
malam dalam diam. Sampai kemudian Damian menuangkan anggur ke gelas Serena,
Serena mengernyit, "Aku tidak pernah minum alkohol."
Damian tersenyum menggoda, senyum pertamanya malam itu,
"Tenang saja, aku akan menjagamu. Kemungkinan terburuknya mungkin kau
diperkosa saat mabuk."
Pipi Serena langsung merona dan Damian terkekeh.
Anggur itu mencairkan segalanya, suasana menjadi hangat, dan percakapan
mereka mengalir lancar, Damian menceritakan tentang perjalanannya ke Eropa
dan Serena mendengarkannya dengan penuh minat.
Sampai kemudian, Damian menggenggam tangan Serena lalu mengecupnya,
"Aku ingin memelukmu."
Hanya satu kalimat, tapi Serena mengerti. Dia menganggukkan kepalanya. Entah
kenapa dia menyetujuinya. Mungkin karena anggur itu sudah mempengaruhi
pikiran normalnya. Yang pasti Serena juga ingin merasakan pelukan Damian.
Dengan lembut Damian menghela Serena, melangkah ke lantai atas,
Ketika Damian membuka pintu kamar, Serena menatap Damian bingung, dan
Damian tertawa menyadari kebingungan Serena,
"Yah... kamar yang sama... Kuakui... aku memang agak sedikit sentimental,"
Damian mengangkat bahu, pipinya sedikit merona, "Kupikir... tempat saat
pertama akan cocok untuk menjadi tempat saat terakhir kita."
Serena tersenyum lembut, dan membiarkan Damian membimbingnya memasuki
kamar, Mereka berdiri dengan canggung, sampai Damian mengeluarkan sebuah kotak
dari sakunya, "Aku membawa cincin keluargaku, cincin yang diberikan turun-temurun untuk
pengantin perempuan," dengan tenang dia membuka kotak itu dan menunjukkan
cincin dengan berlian biru yang mungil dan cantik, "Aku ingin memberikannya
kepadamu." "Tidak!!" Serena langsung berseru keras, menolak, "Jangan Damian, itu... itu
cincin yang sangat penting, itu untuk pengantin wanitamu!"
"Bagiku, kaulah pengantin wanitaku," Damian menarik tangan Serena, memaksa
memasangkan cincin itu ketangannya, lalu menggenggamnya erat-erat ketika
Serena berusaha melepaskan cincin itu, "Aku ingin kau memilikinya."
"Damian..." Serena merintih penuh penderitaan, penuh air mata, Dan Damian
mengusap air matanya lembut, mengecup air matanya lembut,
"Serena," bisiknya seolah kesakitan, lalu mencium bibirnya dengan lembut dan
penuh perasaan, "Astaga... Serena.... Serena... Betapa aku merindukanmu..."
Ciumannya semakin dalam, semakin bergairah, semakin penuh kerinduan, tak
tertahankan.... *** Damian melepaskan ciumannya dan menatap Serena lembut,
"Kau mabuk ya?" senyumnya. Merasa senang karena Serena membalas
ciumannya dengan sama bergairahnya.
Serena hanya merangkulkan tangannya erat-erat di leher Damian, merasakan
benaknya melayang-layang. Sepertinya dia memang mabuk, karena sekarang dia
merasa bebas dan begitu nyaman bersama Damian.
Damian terkekeh geli, "Aku senang kalau kau mabuk, kau begitu penurut dan tidak takut-takut,"
dengan lembut Damian mengecup telinga Serena, mencumbunya dengan penuh
kelembutan, "biarkan aku mencintaimu malam ini Serena...."
Dengan lembut Damian menghela Serena ke atas tempat tidur dan mengecupi
wajahnya penuh perasaan, "selama ini kita berhubungan seks...tapi malam ini
aku berjanji, kita akan.... bercinta."
Damian menggerakkan tangannya menurunkan gaun Serena dan mulai
mengecupi pundaknya, tersenyum senang ketika mendengar desahan Serena,
"Hmm, kau senang sayang" Kau menyukainya ya?" dengan penuh perasaan di
kecupinya semua permukaan kulit Serena.
Serena merasa dirinya melayang-layang, pengaruh alkohol, ditambah kemesraan
A Romantic Story About Serena Karya Santhy Agatha di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Damian yang luar biasa membuatnya merasa di awang-awang, dibukanya
matanya, dan samar-samar dilihatnya Damian mengecupi jemarinya, ketika
Damian menatapnya, mata laki-laki itu tampak berkilauan,
Posisi mereka begitu intim, telanjang bersama dengan tubuh menyatu. Damian
mendesakkan dirinya lebih rapat, menikmati tubuh perempuannya yang
melingkupinya. Dadanya serasa membuncah oleh perasaan hangat, ketika mata
mereka bersatu dalam pesan yang tersirat,
"Aku mencintaimu." bisik Damian lembut. Dan Serenapun melayang, terbawa
oleh cinta Damian. **** Damian memeluk tubuh Serena yang lunglai dan terlelap, tubuhnya rileks setelah
percintaan mereka. Tapi otaknya berpikir keras.
Dia sengaja membuat Serena mabuk malam ini, agar Serena tidak waspada,
agar Serena tidak menyadari, tidak menyadari apa yang sudah dia rencanakan
jauh sebelumnya. Dia tidak memakai pelindung saat mereka bercinta tadi. Dia berusaha membuat
Serena hamil. Damian memejamkan mata dan mengernyit ketika sengatan rasa bersalah
menyerbunya. Dia telah memanipulasi ketulusan perasaan Serena dengan
menjebaknya. Tapi mau bagaimana lagi" Dia sudah berusaha melupakan Serena.
Tuhan tahu dia berusaha sangat keras, apa saja agar Serena bahagia bersama
Rafinya yang sudah dipilihnya. Dia bahkan mengajukan diri untuk perjalanan
bisnis ke luar negeri agar bisa melupakan Serena. Tapi perempuan itu
membayanginya, membuatnya gelisah dan tidak bisa berkonsentrasi. Damian
merasa dirinya nyaris gila ketika memutuskan akan pulang dan memutuskan
untuk memiliki Serena dengan cara apapun. Jika Serena tidak mau memilihnya,
maka Damian akan memaksa Serena memilihnya!
Dengan lembut Damian mengecup dahi Serena yang berbaring di lengannya.
Sebelah tangannya meraba perut Serena yang telanjang di balik selimut dan
mengelusnya. Anakku mungkin sudah bertumbuh di sini, pikirnya posesif. Rasa memiliki dengan
intensitas luar biasa muncul tiba-tiba dalam hatinya ketika menyadari bahwa
anaknya mungkin sudah mulai bertumbuh dan terbentuk di dalam rahim Serena.
Dengan lembut diusapnya perut Serena, Damian tidak bisa menahan diri, pelanpelan
diletakkannya kepala Serena di bantal, lalu dia bergerak turun dan
mengecup perut Serena, "Kau harus tumbuh di sana," bisiknya penuh tekad, "Kau harus tumbuh sehat
dan kuat di sana, agar ayahmu bisa memiliki ibumu", Damian berbicara sambil
mengecup perut Serena. Kemungkinan bayi itu terbentuk dari percintaan mereka adalah 80%, Damian
sudah mempelajarinya dari semua referensi yang bisa ia dapat, ia mengetahui
bahwa dari rata-rata umur mereka berdua kemungkinan Serena hamil malam ini
sangat besar, dan diam-diam dia sudah mencocokkan dengan siklus Serena, dia
tahu perempuan itu sedang dalam masa suburnya.
Ciuman-ciuman lembut di perutnya itu membuat Serena terbangun, dia
membuka mata dan menatap Damian,
"Damian?" Serena bertanya-tanya kenapa Damian mengecup perutnya.
Damian tersenyum, senyum yang sedikit kejam menurut Serena, tapi usapan
tangan lelaki itu yang dilakukan sambil lalu di sepanjang kulitnya yang
telanjang, terasa begitu lembut sekaligus menggoda,
"Aku bergairah lagi." gumam Damian Serak, lalu bergerak naik dan mengecup
bibir Serena penuh gairah.
Damian berbeda dengan tadi, pikir Serena, kali ini sedikit lebih kasar, tidak
menahan diri dan sangat posesif. Ciumannya begitu bergairah, melumat bibir
Serena kuat-kuat, lidahnya menjelajahi mulut Serena dengan panas, tangannya
mengusap tubuh Serena penuh gairah,
"Kau milikku Serena." gumam Damian parau sebelum bercinta lagi dengan
Serena. *** Serena terbangun dalam pelukan Damian. Matahari fajar sedikit menembus tirai
putih jendela hotel itu, masih gelap dan dingin. Dengan nyaman Serena makin
bergelung dalam pelukan lelaki itu. Dan secara otomatis Damian mengetatkan
pelukannya, melingkarkan lengannya erat-erat di tubuh Serena.
Serena memejamkan matanya, menenggelamkan wajahnya di dada telanjang
Damian, menghirup aroma Damian kuat-kuat dan menyimpannya rapat-rapat
dalam memorinya. Tiba-tiba air mata merembes dari sela bulu matanya, dan
Serena menahannya agar tidak menjadi isakan.
Kenapa" Kenapa Tuhan membuatnya jatuh cinta lebih dulu kepada Damian
sebelum kemudian mengabulkan doanya agar Rafi terbangun dari komanya" Apa
rencana Tuhan di balik semua peristiwa ini" Kenapa di saat Rafi benar-benar
sudah bangun, hatinya sudah jatuh dimiliki oleh Damian"
Serena mengigit bibirnya agar tangisnya tidak semakin keras dan
membangunkan Damian, dia tidak boleh menangis. Ini semua sudah menjadi
keputusannya. Dia sudah memiliki Rafi. Rafi yang mencintai dan dicintai olehnya
sejak awal. Rafi yang sebatang kara dan tidak akan punya siapa-siapa kalau
Serena tidak ada di sampingnya. Rafi lebih membutuhkan Serena dibandingkan
Damian. Tanpa Serena, Rafi akan rapuh, sedangkan tanpa Serena, Damian akan
tetap kuat. Damian bisa mencari Serena-Serena yang lain dengan segala
kelebihannya, sedangkan Rafi hanya memiliki Serena.
Dia sudah memutuskan dalam hatinya, tapi kenapa hatinya tetap terasa begitu
sakit" Rasanya seperti disayat-sayat ketika memikirkan Damian, ketika
ingatannya melayang pada setiap kebersamaan mereka. Kenapa rasanya masih
terasa begitu sakit"
Dan malam ini Serena memutuskan bertindak egois. Hanya malam ini ya Tuhan,
ampuni aku, desah Serena dalam hati. Dia tahu semua ini akan terjadi. Dia tahu
jika dia datang menemui Damian pada akhirnya mereka akan berakhir di ranjang
dan bercinta. Serena tahu itu semua akan terjadi, tapi dia tetap mengambil
konsekuensi itu, dia butuh merasakan pelukan Damian untuk terakhir kalinya,
dan kemudian meyakinkan dirinya bahwa ini adalah perpisahannya dengan
Damian. Pelukan Damian tiba-tiba mengencang dan lelaki itu dengan masih malasmalasan
mengecup dahi Serena, "Dingin?" tanyanya Serak.
Serena mendongakkan wajah dan mendapati mata biru itu menatapnya. Lalu
tersenyum lembut, dan menggeleng.
Damian meraih dagu Serena dan mengecupnya dengan kecupan singkat,
"Aku menyakitimu tidak semalam?"
Sekali lagi Serena menggeleng dan menenggelamkan wajahnya ke dada Damian,
menahan air mata. Ini adalah saat berharganya. Berada dalam pelukan erat
Damian, merasakan kelembutan dan kemesraannya. Dia akan menyimpan
kenangan ini dihatinya, biar di saat-saat dia merasa pedih dan merindukan
Damian, dia tinggal menarik keluar kenangan tentang pagi ini, dan hatinya bisa
terasa hangat. Seperti inilah dia akan mengenang Damian nanti, lembut, penuh cinta dan
memeluknya erat-erat. Seolah mengerti pikiran Serena yang berkecamuk, Damian tidak mengatakan
apa-apa lagi. Dia hanya memeluk Serena erat-erat dan mengusap punggungnya
dengan lembut, mereka larut dalam keheningan dan usapan Damian membuat
Serena setengah tertidur,
"Aku harap kau tidak menyesali malam tadi." bisik Damian lembut, menggugah
Serena dari kondisi setengah tidurnya.
Serena mendongakkan kepalanya lagi dan menatap Damian lembut,
"Kau tahu aku tidak menyesal." tangannya dengan hati-hati mengusap wajah
Damian, takut akan reaksi Damian karena dia tidak pernah melakukannya
sebelumnya. Tapi Damian langsung memejamkan mata, menikmati setiap
usapan Serena dengan penuh perasaan.
Merasa mendapatkan izin, dengan lembut Serena menggerakkan tangannya,
meraba wajah Damian. Mulai dari dahinya, lalu ke alisnya yang tebal, ke mata
yang terpejam itu, ke bulu mata tebal yang hampir menyentuh pipi ketika
Damian terpejam, ke hidungnya, ke tulang pipinya yang tinggi, ke rahangnya
yang mulai ditumbuhi bakal janggut, hingga ke bibirnya yang tipis tapi penuh,
bibir yang tak terhitung lagi sudah mengecupnya berapa kali.
"Serena..." Damian mendesah, mengernyitkan keningnya merasakan usapan
lembut Serena di wajahnya, tangannya lalu menahan jemari Serena di bibirnya
dan mengecupnya, mata birunya membuka dan menatap Serena bagai api biru
yang menyala, "Apapun yang akan terjadi nanti, aku akan membuat kau mensyukuri malam ini."
gumam Damian misterius. Serena mengernyitkan kening mendengar kata-kata Damian yang penuh arti.
Apa maksud Damian" Tapi sebelum Serena bisa berpikir lebih lanjut, Damian sudah meggulingkan
tubuh Serena dan menindihnya. Bercinta lagi dengannya.
*** Serena membuka pintu apartemen dengan berhati-hati dan menemukan dokter
Vanessa sedang duduk di ruang tamu sedang menyesap kopi dan menonton
televisi. Dokter Vanessa tersenyum penuh pengertian ketika menatap Serena. Saat itu
jam 8 pagi, Serena sengaja meminta Damian memulangkannya pagi-pagi
sehingga Rafi belum bangun. Semalampun ia berangkat setelah yakin Rafi sudah
tertidur pulas. "Rafi belum bangun." jawab dokter Vanessa tenang, menjawab pertanyaan di
mata Serena. Serena menarik napas lega,
"Dokter menginap di sini?" tanyanya pelan.
Vanessa mengangguk, "Suster Ana memintaku menemani untuk berjaga-jaga, dan aku tidak keberatan,
toh aku tidak ada acara apa-apa," Vanessa tersenyum lembut kepada Serena,
"kuharap semalam menyelesaikan segalanya."
Pipi Serena memerah mendengar ucapan Dokter Vanessa yang penuh arti itu,
"Dia agak marah tadi pagi saat saya buru-buru pulang demi Rafi", bisik Serena
pelan. Vanessa terkekeh sambil meletakkan cangkir kopinya,
"Dia memang begitu, tak usah pedulikan, aku yakin sebenarnya dia bahagia kau
telah memberinya kesempatan," suara dokter Vanessa berubah serius, "Dan
setelah semalampun kau tetap pada keputusanmu Serena?"
Serena tercenung mendengar pertanyaan
menganggukkan kepalanya mantap,
itu, sejenak ragu, tapi lalu "Saya harus terus bersama Rafi, dia membutuhkan saya." jawabnya lembut.
"Kau selalu memikirkan orang lain, bagaimana dengan dirimu sendiri?" tanya
dokter Vanessa tiba-tiba.
Dengan masih tersenyum Serena menjawab,
"Saya tidak apa-apa dokter, saya merasa bahagia karena semua orang bahagia."
Semua orang bahagia selain kau dan Damian. Pikir Vanessa miris ketika Serena
berpamitan ke kamar untuk berganti pakaian. Vanessa tahu kalau Serena sama
tersiksanya dengan Damian. Dan dia ingin berteriak marah kepada Serena,
memarahi ketidakegoisan perempuan itu, sekaligus bertanya sampai kapan
Serena mendedikasikan hidupnya untuk kepentingan orang lain" Untuk
kebahagiaan orang lain" Vanessa merasakan dorongan kuat untuk memaksa
Serena berbuat egois, mementingkan kepentingannya sendiri, berusaha meraih
kebahagiaannya sendiri. Tapi dia tahu Serena, dengan kebaikan hatinya yang
luar biasa itu tidak akan mau melakukannya.
Dan tiba-tiba Vanessa teringat pertemuannya dengan Damian ketika lelaki itu
baru pulang dari eropa beberapa hari lalu, mata Damian saat itu tampak penuh
tekad, setengah gila dan menyala-nyala,
"Kalau dia tidak bisa memilihku, maka aku akan memaksanya memilihku."
Wajah Vanessa memucat mendengar nada final dalam ucapan Damian waktu itu,
"Astaga Damian, kau tidak sedang berencana melakukan tindakan kasar dan
pemaksaan untuk memiliki Serena kan?" berbagai pikiran buruk melintas di
pikirannya, seperti kemungkinan Damian menculik Serena dan membawanya
pergi, atau kemungkinan Damian akan menyingkirkan Rafi dengan cara kasar.
Itu semua bisa dilakukan Damian dengan kekejaman dan kekuasaannya. Dan
Vanessa takut Damian kehilangan akal sehatnya dan memutuskan melakukan
salah satu dari hal yang ditakutinya itu.
Damian menarik napas panjang,
"Aku akan membuatnya hamil anakku." gumamnya setelah jeda yang cukup
lama. Vanessa menganga mendengarnya,
"Apa?" Vanessa sudah mendengar cukup jelas tadi, tapi dia sama sekali tidak
yakin dengan apa yang didengar telinganya, dia butuh mendengar lagi.
"Aku akan membuatnya mengandung anakku." gumam Damian penuh tekad.
"Kau sudah gila ya Damian?"" suara Vanessa meninggi menyadari keseriusan
dalam suara Damian, Tapi Damian sama sekali tidak terpengaruh dengan nada marah dan ketidak
setujuan Vanessan dia tetap tenang dan berpikir,
"Jika Serena mengandung anakku, mengingat sifatnya, dia tidak akan mungkin
mengugurkannya. Itu berarti dia akan mengakui hubungan kami kepada Rafi,
dan aku akan menggunakan segala cara - dengan menggunakan anak itu
sebagai alasan - agar aku bisa mengklaim Serena."
"Kau gila!" seru Vanessa tidak setuju, "apa kau tidak pernah memikirkan
perasaan Rafi?" Hatinya akan hancur, dan Serena juga akan menderita jika dia
sadar dia telah menyakiti hati Rafi."
"Kau pikir mereka saja yang menderita hah?"" sela Damian keras, membuat
Vanessa tertegun, "aku juga menderita! Aku tidak bisa makan, aku tidak bisa
tidur! Aku menjalani detik demi detik, menit demi menit penuh penyiksaan!! Aku
sama saja sudah mati akhir-akhir ini! Aku juga menderita, menyadari bahwa aku
bisa memiliki Serena tetapi tidak bisa berbuat apa-apa untuk membuat
perempuan itu memilihku!! Sebelum kepulanganku aku sudah bertekad akan
melakukan ini! Tidak ada yang bisa mengahalangiku!!
"Damian," Vanessa melembut, mencoba meredakan emosi Damian, "aku
mengerti perasaanmu, tapi bagaimana kalau nanti Rafi ternyata menerima
kondisi Serena apa adanya dan kemudian Serena memutuskan membesarkan
anak itu bersama Rafi?"
"Kalau itu terjadi aku akan menggunakan cara kekerasan," jawab Damian dingin,
"aku akan memberikan ultimatum, Serena memilihku, atau aku akan merenggut
anak itu darinya, kalau perlu aku akan menempuh jalur hukum."
"Kejam sekali." Vanessa bergumam spontan.
Damian mengangguk tidak membantah,
"Ya memang kejam sekali." jawabnya menyetujui, tanpa penyesalan dan tampak
penuh tekad menjalankan rencananya.
Dan sekarang Vanessa duduk di ruang makan, mencoba menarik kenangannya
kembali. Dengan pelan disesapnya kopinya lagi,
Semoga Tuhan melindungi Serena kalau Damian benar-benar membuatnya hamil
malam kemarin. Semoga Tuhan mengampuninya karena dengan kesadaran
penuh dia sudah mendukung rencana Damian.
*** Hampir sebulan sejak kejadian itu, dan Damian menepati janjinya. Tidak
menemui Serena lagi. Atas bujukan dan desakan Vanessa, Serena kembali
bekerja di perusahaan Damian, lagipula bujukan Vanessa ada benarnya juga,
Serena butuh gajinya untuk menghidupi mereka semua. Dan selama sebulan itu
Damian, sang CEO menjadi orang yang paling sulit dilihat di kantor, jika tidak
sedang melakukan perjalanan bisnis, lelaki itu mengurung diri di ruangan
kerjanya dan tidak keluar-keluar. Sesekali Serena masih berpapasan dengan
Freddy, lelaki itu masih bekerja di sini, Damian tidak jadi memecatnya,
sepertinya dia dan Damian sudah berhasil menyelesaikan kesalahpahaman di
antara mereka. Dan Serena merindukan Damian. Dia sudah bertekad melupakan Damian, tetapi
hatinya punya mau sendiri, kadang dia menatap lift khusus direksi yang
menyambung langsung ke ruangan Damian dengan penuh harap. Berharap
tanpa sengaja dia melihat Damian keluar dari sana, melangkah ke parkiran
mobilnya. Tuhan tahu betapa ia bersyukur seandainya saja dia bisa melihat
Damian, biarpun cuma satu detik, biarpun cuma dari kejauhan. Tapi entah
kenapa Damian seperti punya pengaturan waktu sendiri agar tidak bertemu
Serena. Sore itu Serena melangkah memasuki apartemennya dengan lunglai, dia tidak
A Romantic Story About Serena Karya Santhy Agatha di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
enak badan, sedikit panas dan meriang, jadi dia minta izin pulang cepat.
Ketika memasuki ruang tamu, dia mendengar suara tawa dari ruang tengah.
Suara Rafi dan dokter Vanessa. Dokter Vanessa sudah mendapat izin Damian
menggunakan setengah hari kerjanya untuk melakukan terapi khusus pada Rafi.
Terapinya sudah membuahkan hasil, Rafi sudah bisa menggerakkan jari-jari
kakinya, sedikit mengangkatnya dan melatih saraf-sarafnya. Optimisme bahwa
Rafi akan bisa berjalan lagi semakin besar.
Serena melangkah ke ruang tamu dan melihat Rafi sedang duduk di kursi
rodanya sedang dokter Vanessa menuangkan teh untuknya, sepertinya session
terapi sudah selesai. Rafi mendongak ketika merasakan kehadiran Serena dan tersenyum lebar,
mengulurkan tangannya, "Hai sayang," Dengan senyum pula Serena melangkah mendekat, menyambut uluran tangan
Rafi. Lelaki itu membawanya ke mulutnya dan mengecupnya,
"Bagaimana session terapi kali ini?" tanyanya lembut.
Rafi tertawa dan Serena mengamatinya dengan bahagia, Rafi banyak tertawa
akhir-akhir ini. Lelaki itu makin sehat, warna kulitnya juga sudah jadi cokelat
sehat, tidak pucat pasi seperti dulu. Badannya sudah berisi dan tampak lebih
kuat. Rafi sudah menjadi Rafinya yang dulu, yang penuh tawa dan vitalitas,
dengan semangat hidup yang memancar dari dalam dirinya.
"Aku tadi sudah belajar berdiri, sulit sekali Serena sampai keringatku
bercucuran, tapi aku senang sudah sampai di tahap sejauh ini", jelas Rafi bahagia.
Serena membelalakkan matanya senang,
"Benarkah?", dengan gembira ditatapnya dokter Vanessa, "benarkah dokter?"
Dokter Vanessa mengangguk dengan senyum dikulum,
"Perkembangan Rafi sangat pesat Serena, aku optimis dia akan bisa berjalan
lagi." Dengan bahagia Serena memeluk Rafi erat-erat,
"Oh aku bangga sekali padamu mendengarnya sayang!" serunya dengan
kegembiraan murni. Tapi tiba-tiba Rafi melepaskan pelukannya dan menatap Serena sambil
mengerutkan alisnya, "Sayang, badanmu panas."
Gantian Serena yang mengerutkan keningnya lalu meraba dahinya sendiri,
"Benarkah" Aku memang merasa tidak enak badan, makanya aku pulang cepat."
Dengan cemas, Rafi menoleh ke arah Vanessa,
"Dokter, badannya panas bukan?"
Vanessa segera mendekat dan menyentuh dahi Serena lembut,
"Benar, kau panas Serena, apakah kau terserang flu?"
Serena menggelengkan kepalanya,
"Tidak, saya tidak pilek ataupun batuk dokter, tapi ada masalah dengan perut
saya, akhir-akhir ini saya sering memuntahkan makanan yang saya makan,
makanya badan saya terasa lemah dan..."
"Memuntahkan makanan?" dokter Vanessa mengernyitkan keningnya, begitu
serius. Serena menganggukkan kepalanya, tidak menyadari
pandangan dokter Vanessa menelusuri tubuhnya.
betapa seriusnya "Sudah berapa lama?" tanya dokter Vanessa lagi.
Serena tampak berpikir, "Baru beberapa hari ini, mungkin seminggu terakhir ini."
"Apa kau kena maag Serena?" Rafi menyela tampak semakin cemas.
"Mungkin," Serena mengusap perutnya, "Soalnya aku sering mual."
Dokter Vanessa mengikuti arah tangan Serena dan menatap perut Serena,
"Kau tampak pucat Serena, berbaringlah dulu, aku akan menyusul dan
memeriksamu nanti setelah selesai dengan Rafi."
Serena menganggukkan kepalanya, lalu menunduk dan mengecup dahi Rafi,
"Aku berbaring dulu ya." bisiknya lembut dan Rafi mengangguk, balas mengecup
dahi Serena. Seperginya Serena, Vanessa memijit kaki Rafi untuk session pelemasan akhir
sambil berpikir keras...... Tidak enak badan, mual, memuntahkan makanannya....
Jika dihitung-hitung tanggalnya, semuanya tepat. Apakah Serena sudah hamil
dan tidak menyadarinya"
"Dokter?" Rafi yang menyadari kalau Vanessa melamun menegurnya hingga
Vanessa tergeragap, "Dokter tidak apa-apa?"
Vanessa berdehem salah tingkah,
"Ah, maafkan aku Rafi, aku sedang memikirkan Serena."
"Kalau begitu sebaiknya dokter memeriksa Serena dulu, aku juga
mencemaskannya dok," Rafi tersenyum melihat Vanessa ragu-ragu, "Tidak apaapa
dok, aku sudah lebih kuat sekarang, aku bisa membawa diriku sendiri ke
kamar dan mengurus diriku sendiri. Kumohon, uruslah Serena dulu."
Sambil mengangguk, Vanessa bergegas menyusul Serena ke kamarnya.
Serena sedang berbaring miring memegangi perutnya, tampak kesakitan dan
pucat pasi. Vanessa duduk di sebelah ranjang, menyentuh dahi Serena lagi, panas
membara, meskipun keringat dingin mengalir deras,
"Saya muntah-muntah lagi barusan dokter." Serena memejamkan matanya dan
tidak berani membukanya, seolah takut kalau dia membuka matanya, rasa mual
yang hebat akan menyerangnya lagi.
"Berbaringlah dulu, aku akan membuatkan teh mint untukmu, untuk mengurangi
mual, nanti aku akan membuatkan resep obat untukmu." obat untuk wanita
hamil. Vanessa mulai merasa yakin melihat kondisi Serena. Serena hanya
mengangguk patuh masih memejamkan matanya.
Beberapa saat kemudian, Vanessa kembali datang dan membantu Serena duduk,
lalu membantunya meneguk teh mint itu, setelah itu dia membaringkan Serena
yang lemas di ranjang, Serena meletakkan kepalanya di bantal dengan penuh
syukur, "Terima kasih dokter, tehnya sangat membantu, perut saya tidak begitu bergolak
lagi seperti tadi." Vanessa tersenyum lembut,
"Cobalah untuk tidur." gumamnya sebelum melangkah keluar kamar.
Ketika merasa suasana cukup aman, dengan Rafi yang sepertinya sudah masuk
ke kamarnya, Vanessa meraih ponselnya dan memejet nomor telepon Damian.
Damian memang menghilang dari kehidupan Serena, tetapi lelaki itu tetap
memantau setiap detik kehidupan Serena, lelaki itu menuntut laporan yang
sedetail-detailnya dari Vanessa setiap saat. Dan menurut Vanessa, Damian
berhak mengetahui dugaannya ini.
"Vanessa." Damian mengangkat teleponnya pada deringan pertama.
"Damian," Vanessa berbisik pelan, bingung memulai dari mana. Sejenak suasana
hening, dan tiba-tiba suara Damian memecah keheningan.
"Dia hamil." itu pernyataan bukan pertanyaan.
"Aku tidak bisa menyimpulkannya seakurat itu sebelum dilakukan test urine dan
test lainnya, tapi kemungkinan besar dia hamil, dia memuntahkan semua yang
dimakannya, dan mual-mual setiap saat."
"Dia hamil." kali ini rona kegembiraan mewarnai suara Damian,
"Aku akan melakukan test urine dulu Damian, kau tak bisa...."
"Aku akan segera kesana." dan Damian menutup telepon. Membiarkan Vanessa
ternganga di seberang, lalu menggerutu dengan ketidaksabaran Damian.
Damian mau kesini, lalu apa" Langsung melemparkan bom itu ke muka Rafi dan
Serena" Dasar! Vanessa berniat menunggu Damian di depan apartemen,
berusaha mencegah Damian bertindak gegabah, lelaki itu harus berusaha
pelanpelan, apalagi kehamilan Serena belum dipastikan secara akurat.
Lama sekali Vanessa menunggu di ruang tamu, hampir satu jam. Kenapa
Damian lama sekali" Apakah Damian membatalkan niatnya kemari" Vanessa
mulai bertanya-tanya. Saat itulah Rafi mendorong kursi rodanya ke ruang tamu,
Vanessa menoleh dan tersenyum,
"Hai Rafi, bagaimana kondisimu?"
Rafi balas tersenyum, "Tidak pernah lebih baik, aku tadi membaca di kamar, dan mulai merasa bosan
jadi aku keluar, bagaimana keadaan Serena?"
Vanessa menarik napas, "Dia sudah tidur pulas sepertinya, kasihan sepertinya perutnya bermasalah."
Rafi mengernyitkan keningnya,
"Dia bekerja terlalu keras," gumamnya sendu, "dan itu semua gara-gara aku."
"Rafi," Vanessa menyela dengan lembut, "Kita sudah pernah membahas ini kan"
Kau tidak boleh menyalahkan diri sendiri, lagipula Serena melakukannya dengan
sukarela." "Benarkah?" suara Rafi menjadi pelan, "kadang-kadang aku merasa dia hanya
kasihan kepadaku." "Rafi....", Vanessa tidak melanjutkan kata-katanya karena tiba-tiba ponselnya
berdering, dengan cepat diliriknya layar ponselnya. Freddy.
"Freddy?" panggilnya setelah mengangkat telepon, "Freddy kau tahu di mana
Damian" Dia bilang akan ke sini, tapi sampai sekarang dia belum datang....."
"Vanessa, Damian kecelakaan di tol."
*** "Serena." dengan lembut Vanessa menggoyangkan pundak Serena yang tertidur
pulas. Sementara Rafi mengikuti di belakangnya.
Dengan sedikit lemah Serena membuka mata dan agak waspada melihat wajah
dokter Vanessa yang pucat pasi, dengan segera dia duduk, gerakan tiba-tiba itu
langsung membuat kepalanya pening, tapi Serena menahannya sambil
mengernyit, "Ada apa dokter" Rafi kenapa?"
"Aku baik-baik saja di sini." gumam Rafi dalam senyum.
Serena menatap Rafi dengan lega, tapi lalu menatap dokter Vanessa yang begitu
pucat pasi, "Serena, aku.... Ah aku bingung bagaimana mengatakannya, tapi aku harus
segera pergi, ini darurat... Tapi aku bertanya-tanya mungkin kau mau ikut.."
"Ada apa dokter?", Serena mulai tegang ketika dokter Vanessa tidak juga
mengatakan maksudnya. "Damian, barusan kecelakaan di jalan tol, dia sudah dibawa ke rumah sakit, tapi
kami belum tahu kondisinya, Freddy juga sedang dalam perjalanan menuju
kesana." "Apa?" warna pucat mulai menjalar ke wajah Serena, lalu segera digantikan
dengan kepanikan luar biasa, "Ya Tuhan, aku ikut ke rumah sakit, dokter!!"
Rafi mengamati kepanikan Serena dari kejauhan, tapi dia hanya diam dan
menatap. Serena tampak pucat pasi dan ketakutan luar biasa. Kenapa sampai
begitu" Seolah-olah kondisi Damian benar-benar membuatnya cemas. Padahal
Damian kan hanya atasannya di perusahaan" Atau..... Jangan-jangan lebih dari
atasan " Pikiran buruk itu menyeruak dalam benak Rafi, dan dia cepat-cepat
menyingkirkannya. Tapi ketika dia melihat betapa Serena mulai gemetaran
karena cemas dan panik ketika bersiap-siap berangkat, mau tak mau pikiran
buruk itu memenuhi benaknya, ada hubungan istimewa apa antara Damian
dengan Serena" Perjalanan ke rumah sakit berlangsung begitu menyiksa bagi Serena, dia terus
menerus berdoa, seakan semua trauma masa lalu menghantamnya lagi keraskeras. Ini
hampir sama dengan kecelakaan yang membunuh kedua orangtuanya
dan melukai Rafi dulu. Dan Serena tidak akan kuat menanggungnya kalau
sampai terjadi apa-apa kepada Damian. Ya Tuhan!! Jangan sampai terjadi apaapa
pada Damian, dia belum sempat mengatakan... Dia belum sempat
mengatakan dengan jelas, bahwa dia... Bahwa dia mencintai Damian.
Serena berlari di depan menuju ruangan gawat darurat sementara Vanessa
mendorong kursi roda Rafi di belakangnya.
Dia melangkah memasuki ruang perawatan itu dan langsung bertatapan dengan
Damian. Lelaki itu duduk di meja perawatan, telanjang dada, kepalanya terluka dan sudah
di tutup perban, dokter sedang membalut luka di pundak dan lengannya. Banyak
darah, tapi sudah dibersihkan. Selebihnya, Damian tidak apa-apa. Lelaki itu
masih hidup, masih untuh, dan ketika Damian memalingkan kepalanya lalu
menatap Serena dengan mata birunya yang menyala-nyala.
Serena pingsan. *** Damian berteriak memanggil Serena, begitu juga dengan Vanessa dan Rafi yang
ada di belakang Serena. Tapi Serena pingsan mendadak dan jatuh ke lantai.
Dengan kasar Damian menyingkirkan tangan dokter yang sedang membalut
lukanya dan melompat turun, setengah berlari menghampiri Serena, perawat
datang menghampiri, tapi Damian menyingkirkannya,
"Biar aku saja." gumamnya serak, mengeryit sedikit ketika mengangkat Serena
menyakiti luka di lengan dan bahunya, tapi dia tidak peduli, dipeluknya Serena
dengan posesif dan dibaringkannya ke meja perawatan,
"Tuan, saya belum menyelesaikan membalut lukanya." gumam dokter di ruang
gawat darurat itu sedikit jengkel,
"Nanti saja." Damian bergumam tajam dengan arogansi yang sudah seperti
pembawaan alaminya sehingga membuat dokter itu terdiam, mengangkat
bahunya lalu pergi. "Sayang," Damian menepuk pipi Serena, tapi perempuan itu begitu pucat pasi,
dengan panik, Damian menoleh ke arah Vanessa di pintu, mengabaikan Rafi,
"Dia tidak apa-apa?"
Vanessa mendorong Rafi mendekat, lalu menyentuh Serena,
"Dia demam Damian, dia sedang sakit ketika memaksa mengikuti aku kesini,
terus tepuk pipinya pelan-pelan dan sadarkan dia, sepertinya dia shock,"
Vanessa menatap Damian tajam, "dan kau..kau tidak pernah kecelakaan selama
hidupmu, apa yang kau lakukan di jalan tol tadi sehingga berakhir di rumah sakit
ini?" Apakah kau mabuk?""
Damian mengeryit, "Aku tidak mabuk, aku hanya terlalu buru-buru ingin cepat sampai jadi kurang
hati-hati." saat itulah Serena bergerak membuka mata, "ah, sayang.....sayang,
kau baik-baik saja?"
Serena mengerjap-ngerjapkan matanya, begitu mendapati wajah Damian ada di
dekatnya, airmata mengalir di pipinya, tangannya bergetar ketika terangkat dan
menyentuh wajah Damian, meyakinkan dirinya bahwa betul-betul Damian yang
ada di depannya, Dengan lembut Damian meraih tangan Serena dan mengecupnya,
"Aku ada di sini, aku baik-baik saja." gumamnya setengah berbisik.
Serena membiarkan tangannya dalam genggaman Damian, merasakan kulit
Damian yang panas, mensyukuri bahwa lelaki itu masih hidup. Tadi rasanya
seperti mau mati saja ketika mengetahui bahwa Damian kecelakaan, pikiranpikiran
buruk melandanya, membuatnya ingin menangis dan berteriak,
membuatnya hampir menyalahkan Tuhan. Karena dia sudah memutuskan akan
menerima tidak bisa bersama-sama dengan Damian lagi asalkan lelaki itu tetap
hidup, asalkan lelaki itu masih ada, hidup dan bernafas di dunia ini, biarpun
Serena tidak bisa melihatnya lagi. Pikiran bahwa Damian bisa saja meninggal dan
tidak ada di dunia ini hampir membuatnya ingin menyusul saja. Karena itulah
tadi ketika melihat Damian masih hidup meskipun terluka membuatnya lega luar
biasa sehingga pingsan. Serena merasakan dadanya sesak ketika menyadari,
bahwa cinta barunya, cintanya yang tidak diduga, cinta yang bertumbuh tanpa
disadari karena kebersamaan mereka yang tidak direncanakan itu ternyata sudah
mencapai tingkat intensitas yang sangat besar.
"Jangan pernah ulangi lagi," suara Serena bergetar ketika mencoba berbicara
serius kepada Damian, "Jangan pernah ulangi lagi melakukan seperti ini
kepadaku." Damian meraih kedua tangan Serena dan mengecup jemarinya dengan lembut,
"aku berjanji," jawabnya penuh perasaan, "Sekarang tidurlah sayang, aku ada di
sini." Dengan lembut Damian mengusap dahi Serena yang panas, membuat pikiran
Serena melayang, dia merasa lelah sekali, tubuhnya, jiwanya dan raganya.
Tubuhnya sakit dan lunglai sedang jiwanya kelelahan menahan perasaan.
Usapan tangan Damian di dahinya membuatnya dipenuhi kelegaan luar biasa,
membuatnya dipenuhi rasa damai tidak terkira sehingga Serena akhirnya terlelap
lagi. "Kemari, lukamu harus dibalut." Vanessa mencoba menarik perhatian Damian,
lelaki itu menatap Serena dengan serius, memastikan bahwa Serena sudah tidur,
lalu menurut menggerakkan tubuhnya agar Vanessa lebih mudah membalut luka
di pundak dan lengannya. Saat itulah Damian menyadari kehadiran Rafi, yang hanya diam saja menatap
semua kejadian itu tanpa berkata-kata. Mata Damian berkilat-kilat,
"Aku mencintainya." gumamnya terus terang, membuat Vanessa tersedak dan
saat itulah dia juga baru menyadari kehadiran Rafi.
A Romantic Story About Serena Karya Santhy Agatha di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Rafi hanya terdiam, menatap Serena yang tertidur pulas dengan sedih,
"Aku tahu." gumamnya pelan.
Damian mengangkat dagunya, mengernyit ketika perban itu membebat kencang
lukanya, "Dan dia juga mencintaiku, tetapi dia memilihmu." sambungnya getir.
Rafi menghela nafas, "Itupun aku juga tahu."
"Sudah selesai." Vanessa menyela cepat, lalu menepuk pundak Damian,
"Berbaringlah dulu di ranjang sebelah", Vanessa mengedikkan bahu ke ranjang
di sebelah ranjang yang dipakai Serena yang masih kosong. "Kau harus
berbaring, kepalamu terbentur dan jika kau tidak segera berbaring kau akan
mengalami vertigo." sambungnya tegas ketika melihat Damian akan membantah.
Semula Damian akan membantah, dia ingin melanjutkan pembicaraan dengan
Rafi, menjelaskan semuanya. Tetapi Vanessa benar, rasa pusing mulai
menyerangnya, pusing dan nyeri di bahu dan kepalanya. Obat penghilang rasa
sakit yang disuntikkan dokter jaga tadipun mulai bereaksi, membuatnya merasa
lemas dan lunglai. Akhirnya Damian mengangkat bahu dan melangkah ke
ranjang kosong itu. "Kita belum selesai bicara." gumamnya pada Rafi, mulai menguap.
"Nanti saja." sela Vanessa mengernyit, lalu meraih kursi roda Rafi dan
mendorongnya keluar, "Ayo Rafi, kita harus membiarkan mereka beristirahat."
bisiknya lembut dan mendorong mereka keluar dari ruangan perawatan itu.
Vanessa mendorong Rafi sampai di ruang tunggu yang tenang dan sepi, lalu
duduk di sofa di sebelah Rafi. Suasana hening, dan Rafi hanya termenung tidak
berkata-kata sampai lama. Vanessa menunggu, menunggu sepatah pertanyaan
dari Rafi sebelum menjelaskan semuanya, dan akhirnya pertanyaan itu datang
setelah menunggu sekian lama,
"Apa yang terjadi di sini?", gumam Rafi serak, dia tetap bertanya meskipun
kebenaran itu sudah menyeruak dalam kesadarannya, membuat dadanya sesak.
Vanessa menghela napas mendengarnya,
"Ceritanya panjang..."
"Aku punya banyak waktu", sela Rafi tak sabar, "Jelaskan semuanya"
"Serena tidak pernah bermaksud mengkhianatimu kau tahu," gumam Vanessa
sedih, "Dia selalu berusaha setia kepadamu."
"Kau bicara begitu padahal jelas-jelas di depan mataku tadi dia jatuh cinta
setengah mati kepada lelaki lain?" gumamnya getir.
"Kau tahu, Serena putus asa ketika dia akhirnya berhubungan dengan Damian...
biaya operasimu... operasi ginjalmu - dokter mengultimatum kau harus segera
dioperasi ginjal untuk menyelamatkan nyawamu - sangat mahal, hampir
mencapai tiga ratus juta, sementara seluruh harta Serena sudah habis, dia
menanggung hutang yang sangat besar di perusahaan... jadi... jadi Serena
memutuskan menjual keperawanan dan tubuhnya kepada Damian."
"Oh Tuhan!" Wajah Rafi pucat pasi, keringat dingin mengalir di tubuhnya. Jadi semua ini
bermula dari dirinya" Semua kegilaan tak diduga ini bermula dari keinginan
Serena menyelamatkan nyawanya" Menjual keperawanannya!! Oh Tuhan, Rafi
tidak pernah peduli apakah Serena masih suci atau tidak, baginya Serenanya
adalah Serena yang sama. Tapi... Mengetahui bahwa Serena melakukan itu demi
dirinya benar-benar menghancurkan hatinya. Mengetahui bahwa pada akhirnya
Serena menyerahkan hati pada lelaki lain yang disebabkan oleh dirinya sangat
menyakiti perasaannya. "Dan Damian, atasan Serena itu pasti laki-laki brengsek karena mau mengambil
manfaat dari gadis lemah yang sedang kesulitan." desis Rafi marah.
Vanessa menggeleng, "Tidak seperti itu Rafi, Damian sangat kaya, dia bisa mendapatkan gadis
manapun yang dia mau, Tapi sudah sejak lama dia menginginkan Serena,
menurutku sebenarnya sudah sejak lama Damian mencintai Serena tetapi dia
tidak menyadarinya, karena itu mungkin Damian menganggap satu-satunya cara
untuk memiliki Serena adalah menerima tawarannya."
Rafi mengernyit mendengar penjelasan Vanessa, hatinya sakit menyadari bahwa
sekarang dia menjadi penghalang antara dua orang yang saling mencintai.
"Kenapa Serena tidak membiarkan aku mati saja?" rintihnya dalam geraman
penuh kesakitan, "Mungkin lebih baik aku dibiarkan mati saja sehingga aku tidak
menghalangi kebahagiannya..."
Vanessa menyentuh pundak Rafi lembut,
"Jangan pernah punya pemikiran seperti itu," selanya tegas, "Serena
mencintaimu sepenuh hati, dia berjuang mati-matian demi kehidupanmu, jangan
pernah menghancurkan hatinya dengan kata-kata seperti itu."
"Dia sudah tidak mencintaiku lagi, dia hanya kasihan padaku, tatapan lelaki itu,
tatapan Damian kepadaku ketika mengatakan bahwa Serena lebih memilihku
dibanding dirinya tadi begitu penuh penghinaan dan kemarahan, seolah lebih
baik aku tahu diri dan menyingkir saja."
"Damian memang seperti itu, dia marah karena Serena memilih untuk
bersamamu. Tapi Damian mencintai Serena, karena itu dia menghormati
keputusan Serena." "Lelaki itu, apakah benar dia mencintai Serena" dia terlalu berkuasa, terlalu
mendominasi, terlalu arogan... aku takut dia hanya ingin menunjukkan
kekuasaannya, hanya ingin memuaskan arogansinya untuk memiliki Serena..."
Vanessa menggeleng, "Damian yang dulu memang seperti itu, tapi ketika bersama Serena, gadis itu
dengan segala kepolosan dan kebaikan hatinya telah merubahnya. Damian
benar-benar mencintai Serena, aku mengenal Damian sejak dulu kau tahu, dan
dia tidak pernah seperti itu sebelumnya, begitu mencintai seorang perempuan,
begitu tergila gila hingga hampir dikatakan bisa gila karenanya."
Rafi menghela nafas panjang,
"Kalau begitu, kau ingin aku yang melepaskan Serena?"
Vanessa mengangkat bahunya pedih,
"Keputusan ada di tanganmu... Serena sendiri tidak akan pernah
meninggalkanmu, dia terlalu setia dan menyayangimu untuk meninggalkanmu.
Dia rela mengorbankan perasaannya demi kamu. Jadi, kalau kau tidak
melepaskannya, dia juga tidak akan pernah mengkhianatimu demi Damian."
Rafi memegang pangkal hidungnya, mengernyit seolah kesakitan,
"Aku sangat mencintai Serena." gumamnya perih.
Air mata Vanessa mulai menetes melihat kepedihan Rafi, pelan dia berjongkok di
depan Rafi dan memeluk lelaki itu. Rafi tidak menolak, dia juga tidak menahan
air matanya menetes. Kepedihan itu begitu dalam, kepedihan untuk merelakan
diri melepaskan sesuatu yang paling berharga di tangannya, agar sesuatu paling
berharga itu bisa menemukan kebahagiaannya.
"Aku tahu dan aku bisa mengerti kesedihanmu, kau tak perlu melepaskan Serena
kalau kau tak bisa." bisik Vanessa lembut, mengusap kepala Rafi di bahunya,
membiarkan lelaki itu terisak dengan kepedihannya.
Lama Rafi menumpahkan perasaannya, dengan isakan tertahan dan keheningan
yang dalam, lalu dia mundur, melepaskan diri dari pelukan Vanessa, duduk tegak
dengan tekad kuat di matanya.
"Aku tidak mungkin membiarkan Serena menderita dengan bertahan bersamaku,
tidak setelah aku melihat betapa dalamnya perasaan Serena kepada Damian
tadi, tapi sebelumnya aku ingin berbicara dengan Damian."
*** Serena masih tertidur di ruang perawatan. Vanessa menungguinya. Sementara
Damian yang baru terbangun, dua jam setelah kecelakaan itu berjalan pelan,
menuju ruang tunggu, dia sudah mencuci muka dan agak segar, tapi mau tak
mau nyeri di kepala dan bahunya membuatnya mengernyit ketika berjalan.
Rafi sedang duduk membelakanginya di kursi roda. Menatap ke luar, ke arah
jendela lebar yang ada di ruang duduk itu, hujan sedang turun deras di luar
membuat suasana ruangan itu begitu suram.
"Bagaimana keadaan Serena?" Tanya Rafi, menyadari kehadiran Damian tetapi
tidak menoleh untuk menatapnya.
"Baik, Vanessa sudah mengatur perawatan dan obatnya, sekarang dia masih
tertidur." Damian berdiri, bersandar di tembok dekat Rafi, ikut menatap hujan
yang mengalir deras di luar yang gelap, hanya menyisakan tetes air yang
berkilauan terkena cahaya lampu.
"Kau pasti tahu kenapa aku ingin berbicara denganmu."
Damian mengangguk meski tahu Rafi tidak menoleh untuk melihatnya.
Hening sejenak, terasa begitu lama sampai kemudian terdengar Rafi menghela
nafas panjang. "Apakah kau mencintainya?" tanyanya pelan.
"Sangat." jawab Damian cepat, tulus.
Rafi memejamkan mata ketika rasa perih menyengat di dadanya mendengar
ketulusan Damian kepada Serena. Mengetahui bahwa ada lelaki lain yang
mencintai Serena dengan intensitas begitu besar kepada Serena ternyata
menyakitinya, membuatnya terasa terpuruk dan di kalahkan. Tapi Rafi
menguatkan hatinya, semua demi Serena, demi kebahagiaan Serenanya.
"Apakah kau akan membahagiakannya?"
"Kebahagiaannya akan menjadi tujuan hidupku." gumam Damian jujur, dia lalu
menoleh menatap Rafi yang sedang menatapnya, dua laki-laki yang mencintai
satu wanita saling bertatapan.
"Maafkan aku..." Damian mengehela nafas, "aku tidak pernah bermaksud
mencuri Serena darimu, aku tidak mengetahui keberadaanmu sampai saat
terakhir, kau tahu."
Rafi mengernyit mendengar informasi yang baru didapatnya itu, Vanessa belum
menceritakan semua ini padanya, mungkin Vanessa ingin Rafi mendengar sendiri
dari mulut Damian. "Serena tidak menceritakan alasan kenapa dia menjual diri padamu?"
"Tidak, mungkin semua akan berbeda jika dia menceritakan semuanya dari
awal," gumam Damian penuh penyesalan, "aku memang jahat dan selalu
mengambil apa yang kuinginkan tanpa tanggung-tanggung, tapi aku tidak
pernah mengambil keuntungan dari penderitaan seseorang. Saat itu dia datang
padaku, menjual dirinya padaku...kau tahu apa yang kupikirkan waktu itu?"
Damian menatap Rafi dengan sedih, "Kupikir dia pelacur penggemar barangbarang
mahal yang putus asa membutuhkan uang untuk memenuhi hasratnya
akan kemewahan." "Serena tidak seperti itu." geram Rafi marah.
"Ya, dia tidak seperti itu," Damian setuju, "Tapi waktu itu apa yang bisa
dipikirkan lelaki seperti aku" lelaki dengan kekayaan yang selalu mendapatkan
wanita karena uang" aku memang salah waktu itu, aku menginginkan Serena
dan aku punya uang yang diinginkannya, jadi kuterima tawarannya."
"Tapi pada akhirnya kau tetap jatuh cinta padanya meskipun kau menganggap
dia pelacur murahan." Rafi merenung.
Sekali lagi Damian menganggukkan kepalanya.
"Ya, aku jatuh cinta kepadanya, bahkan aku mulai tidak peduli kalau ternyata
memang hanya menginginkan uangku, aku berpikir, tidak apa-apa, toh aku
punya uang banyak, tidak apa-apa selama dia ada di sisiku." Damian menghela
nafas panjang. "Kenyataan tentang keberadaanmu pada akhirnya menghantamku... Bahwa dia
melakukan semua ini demi cintanya kepadamu."
Rafi memejamkan matanya. "Dia sudah tidak mencintaiku lagi, dia hanya kasihan dan merasa bertanggung
jawab." "Dia tetap mencintaimu," Damian tersenyum sayang ketika membayangkan
Serena, "hatinya selalu dipenuhi cinta tanpa pandang bulu, mungkin karena
itulah dia berhasil menyentuh hatiku yang gelap."
Rafi menganggukkan kepala, ikut tersenyum ketika membayangkan Serena.
"Yah... Meskipun begitu, hatinya sudah kau miliki," Rafi menghela nafas, "Aku
akan melepaskan Serena."
"Kau pikir dia akan mau?" sela Damian sedih, "Dia sudah memutuskan akan
menjagamu, dia tidak akan mau."
"Dia pasti mau, aku sendiri yang akan berbicara padanya, aku tidak perlu dijaga,
terapi ini berhasil dan Vanessa meyakinkan kalau aku rutin melakukannya, dalam
waktu empat bulan aku sudah akan bisa berjalan dengan normal. Aku masih bisa
melanjutkan karirku sebagai pengacara setelahnya, mungkin butuh waktu lama
dan aku harus belajar lagi, tapi kurasa aku bisa melangkah dengan kekuatanku
sendiri." Damian menganggukkan kepalanya, yakin kalau Rafi pasti mampu melakukan
apa yang dikatakannya. "Maafkan aku." gumamnya tulus.
"Kenapa?", Rafi mengernyit menatap Damian ingin tahu.
"Karena sudah mengalihkan hati Serena darimu."
Rafi tersenyum, kali ini senyum yang benar-benar tulus,
"Seharusnya aku berterimakasih kepadamu, kau menjaganya selama aku tidak
bisa ada untuk menjaganya."
Damian terdiam, Rafi juga terdiam lama.
Lalu Damian mengaku, "Kau mungkin ingin memukulku,
mengatakannya padamu..."
bahkan membunuhku setelah aku "tentang apa?" mau tak mau Rafi merasakan ingin tahu ketika mendengar nada
misterius di suara Damian.
Sesaat Damian tampak kesulitan berbicara,
"Aku... aku punya rencana jahat untuk merebut Serena darimu, aku pikir kalau
Serena tidak mau memilihku, aku akan memaksanya memilihku."
"Rencana jahat apa?" sela Rafi, langsung waspada.
Damian tertawa getir, "Bukan... rencana ini tidak menyakiti siapapun... kau tahu... Aku ingin sengaja
membuat Serena hamil... agar mau tak mau dia menjadi milikku."
Sejenak Rafi terdiam, pengakuan Damian ini mau tak mau menyulut
kemarahannya. Menyadari bahwa Damian memanipulasi kepolosan Serenanya.
"Dasar Brengsek." geram Rafi pelan.
Damian menganggukkan kepalanya.
"Ya memang, aku brengsek. aku putus asa, setengah gila untuk memiliki Serena,
aku minta maaf." "Menurutmu apakah rencana jahatmu itu sudah berhasil?" Tanya Rafi kemudian,
tiba-tiba menghubungkannya dengan kondisi sakit Serena.
Damian mengangguk, menahan perasaannya untuk menjaga perasaan Rafi, tapi
mau tak mau Rafi melihat sorot bahagia yang menyala-nyala di mata Damian.
Tiba-tiba dia merasa tenang, lelaki ini sungguh mencintai Serena, putusnya
dalam hati, mungkin lebih dalam dari cintanya sendiri kepada Serena...
"Vanessa tadi sore menghubungiku, memberitahu kondisi Serena, dan entah
kenapa aku tahu. Aku tahu bahkan sebelum mereka melakukan test, aku tahu
begitu saja." "Dan karena itu kau kecelakaan, kau dalam perjalanan menemui Serena?"
Damian tersenyum, tidak berkata-kata, tapi matanya menjelaskan semuanya.
"Lelaki bodoh." gumam Rafi getir. Dan Damian tertawa mendengarnya.
"Memang," gumamnya dalam tawa, lalu mengulurkan tangannya kepada Rafi,
"Terimakasih atas kebaikan hatimu."
Rafi menyambut jabatannya dengan hangat.
"Aku melakukannya demi Serena, bukan demi kamu, jadi ingat saja, kapanpun
kau berani-beraninya membuat Serena tidak bahagia, kau akan mendapati
dirimu berhadapan denganku."
Damian tersenyum mempererat jabatan tangannya,
"Aku berjanji kau tidak akan pernah berhadapan denganku."
********* "Ketika Serena membuka matanya, dia mendapati Rafi duduk di sisi ranjangnya.
Menatapnya dalam senyum. Serena langsung sadar bahwa karena kepanikannya tadi dia melupakan
keberadaan Rafi. Ya Tuhan!! Apa yang dipikirkan Rafi ketika menyaksikan
semuanya tadi?" Pikiran itu membuatnya panik dan hendak bangkit dari
ranjangnya, tapi Rafi menahannya dengan tangannya.
"Tidak apa-apa, tetap berbaring." gumamnya lembut.
Serena menurut membaringkan tubuhnya, tetapi menatap Rafi dengan
kepanikan mendalam. "Rafi aku..." "Sudah kubilang tidak apa-apa, aku sudah tahu semuanya Serena, dan aku
mengerti." Kata-kata itu membuat wajah Serena pucat pasi,
"Tahu apa" mereka mengatakan apa padamu?" bisiknya lemah.
"Semuanya, tentang dirimu dan Damian, dan perasaanmu kepadanya."
"Aku tidak punya perasaan apa-apa kepada..."
A Romantic Story About Serena Karya Santhy Agatha di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sttttt," Rafi menghentikan kata-kata Serena, "Tidak perlu membohongi dirimu
sendiri lagi Serena, aku sudah tahu semuanya, kau begitu menyayangiku
sehingga mau berkorban untukku, tubuhmu kau korbankan," Rafi menghela
nafasnya pedih, "Dan sekarang, bahkan jiwa dan kebahagiaanmu mau kau
korbankan juga untukku?"
Mata Serena mulai berkaca-kaca.
"Aku tidak merasa mengorbankan apapun Rafi, aku mencintaimu, aku ingin
menjagamu, aku..." Dengan lembut Rafi meraih tangan Serena dan menggenggamnya.
"Ya aku yakin, kau sangat mencintaiku, aku percaya itu," dengan lembut Rafi
menoleh ke arah pintu, "Dia ada di luar, menunggu waktu untuk menemuimu,
aku sudah berbicara dengannya dan yakin bahwa cintanya padamu begitu besar,
bahkan mungkin lebih besar dari cintaku padamu." desah Rafi getir.
"Jangan berkata seperti itu." air mata mulai menetes di pipi Serena, dan Rafi
mengapusnya dengan lembut.
"Itu kenyataannya, dia begitu mencintaimu sehingga mau mengambil resiko
apapun agar kau bahagia, dan dia rela dibenci olehmu agar kau bahagia," Rafi
tersenyum lembut, "Terus terang aku mengaguminya dan aku merasa tenang
kalau dia yang menjagamu."
"Jangan berkata seperti itu." Serena mulai merasa dirinya seperti kaset yang
rusak, mengulang-ulang kalimat yang sama.
"Aku harus mengatakannya." gumam Rafi sedikit geli dengan kata-kata Serena.
Yah, dia ternyata bisa bahagia juga menyadari bahwa pada akhirnya dia akan
memberikan kebahagiaan pada Serena, kebebasan yang akan di berikan pada
Serena akan membawa perempuan yang dicintainya itu kepada kebahagiaan,
dan Rafi merasakan kebahagiaan tersendiri ketika dia pada akhirnya merelakan
Serena. Semua patah hati dan kesakitannya akan sepadan dengan senyum dan
kebahagiaan Serena pada akhirnya. "Tapi sebelumnya aku harus bertanya
kepadamu, Serena, apakah kau mencintai Damian?"
Pertanyaan yang diungkapkan secara langsung tanpa diduga itu membuat
Serena tertegun. "Rafi... aku..."
"Tanyakan kepada hatimu Serena," bisik Rafi lembut, mendorong Serena agar
mau jujur kepada dirinya sendiri, "Aku yakin kau sudah menyadarinya, kau
hanya perlu mengakuinya kepadaku."
Di luar, Damian yang menunggu sambil bersandar di tembok dekat pintu masuk
mendengar semuanya, jantungnya berdetak keras, penuh antisipasi, ikut
menanti jawaban Serena. Kumohon katakan Ya, bisik Damian dalam hati, menjeritkan permohonannya
dalam diam, kumohon katakan Ya , kau mencintaiku Serena.
Di dalam ruangan Serena tertegun, menatap Rafi, menatap ketulusan yang ada
di sana. Tidak apa-apakah kalau dia mengakuinya" Tidak apa-apakah kalau Rafi
akhirnya mendengarnya"
Serena menarik napas dalam dalam, menahankan debar jantungnya, lalu
menghembuskannya pelan-pelan.
"Ya Rafi," gumamnya lembut setengah berbisik, "Ya, aku mencintai Damian, aku
sangat mencintainya." air mata menetes lagi di pipinya.
Rafi mengusap air mata itu dengan lembut, sedikit melirik ke pintu, menyadari
kehadiran Damian di sana. Kau dengar itu Damian" Gumamnya dalam hati,
Permataku ini mencintaimu, dia sangat berharga dan dia mencintaimu, kau harus
menjaganya baik-baik, jangan pernah menyakitinya...
Di luar Damian memejamkan matanya mendengar pengakuan Serena itu, dia
dipenuhi kelegaan yang luar biasa. Serena hampir tidak pernah mengungkapkan
perasaan padanya, Damian harus selalu mengukur-ukur, menebak-nebak dari
mata dan tindakan Serena. Dan mendengar sendiri kalimat itu dari bibir Serena,
diucapkan dengan penuh keyakinan, mau tak mau membuat tubuhnya dibanjiri
aliran kebahagiaan. "Dia pasti akan menjagamu Serena, kau tidak usah mencemaskan aku lagi, aku
sudah tidak perlu dijaga."
"Tapi, Rafi..."
Rafi tersenyum dan menggelengkan kepalanya,
"Dokter Vanessa mengajakku ke jerman. Disana dia punya kenalan spesialis
tulang dan saraf yang sangat ahli, yang bisa menyembuhkanku lebih cepat, dan
kupikir aku akan mengambil kesempatan itu."
Serena membelalakkan matanya, pucat pasi.
"Rafi.... Kau akan pergi?""
Rafi menganggukkan kepalanya.
"Aku akan mengejar kebahagiaanku, aku akan menyembuhkan diri dan memulai
karirku, masih ada harapan dan aku tidak akan menyerah. Kau sudah memberiku
contoh dengan berjuang untukku tanpa putus asa padahal kemungkinan aku
terbangun dari koma sangat kecil, jadi sekarang aku akan berusaha berjuang."
Serena tertegun, kehabisan kata-kata mendengar kalimat Rafi. Dia hanya punya
satu hal untuk diungkapkan, kata maaf, maaf karena aku mencintai orang lain,
maaf karena aku mengkhianati cintamu, maaf karena aku membiarkan hatiku
dimiliki orang lain. Ketika dia akan membuka mulutnya untuk meminta maaf, Rafi mencegahnya
dengan menaruh jemarinya di bibir Serena.
"Jangan meminta maaf, aku tahu kau akan meminta maaf," Rafi tersenyum
simpul, "Kau tidak perlu meminta maaf, kau tidak pernah berniat
mengkhianatiku, bahkan kau malah berniat mengorbankan hati dan perasaanmu
demi aku. Seharusnya aku yang berterimakasih padamu."
Dengan lembut Rafi melepaskan cincin emas pertunangan di tangannya, dan
meletakkannya dalam genggaman Serena.
"Aku melepaskanmu, Serena, tunanganku yang berharga. Terimakasih untuk
cinta yang pernah kita bagi bersama. Terimakasih untuk semua perjuangan yang
telah kau korbankan untukku, Terimakasih karena pernah mencintaiku," dengan
lembut Rafi mengecup jemari Serena yang terpaku, "sekarang kau bebas,
kejarlah kebahagiaanmu sendiri."
Air mata mengalir deras makin tak terbendung di mata Serena. Hatinya penuh
sesak, campur aduk antara penyesalan dan kelegaan luar biasa, akhirnya dengan
pelan Serena duduk lalu memeluk Rafi erat-erat. Berbagi tangis bersamanya.
"Terimakasih Rafi, aku mencintaimu." isak Serena pelan.
"Aku juga mencintaimu." suara Rafi bergetar oleh air mata yang mulai datang.
********** Semua berlangsung begitu cepat, dokter dan perawat serta Vanessa hilir mudik
di ruangan itu untuk memeriksa keadaannya. Serena merasa sudah baikan,
hanya sedikit mual dan demamnya sudah turun, tapi entah kenapa Vanessa
bersikeras agar dia tetap di rawat inap di rumah sakit ini. Sebenarnya dia sakit
apa" Serena mulai bertanya-tanya.
Rafi sudah berpamitan tadi, diantar oleh dokter Vanessa, mengatakan akan
mempersiapkan kepergian mereka ke Jerman, kemungkinan dua minggu lagi.
Dan saat Serena sendirian, pikirannya melayang. Dimana Damian" Apakah dia di
rawat di rumah sakit ini" Bagaimana kondisinya" Kenapa Damian tidak
menemuinya" Pemikiran-pemikiran itu membuatnya terlelap lagi.
Ketika bangun hari sudah sore, suasana kamar tampak remang-remang karena
lagi-lagi hujan turun di luar membuat langit kelihatan gelap, Serena menatap
hujan di jendela dan mendesah.
"Sudah enakan?" suara itu terdengar lembut dan tiba-tiba sehingga Serena
terlonjak kaget, dia menoleh dan mendapati Damian duduk di ranjang, di
sampingnya. Lelaki itu begitu diam, Serena mengernyit, pantas dia tidak
menyadari kehadirannya. "Maaf aku mengagetkanmu," Damian tersenyum samar, lalu menyentuh dahi
Serena, "sudah tidak panas lagi. Syukurlah. Kau masih memuntahkan
makananmu?" Serena menggelengkan kepalanya, masih belum mampu berkata-kata.
"Aku... Aku sudah bisa menelan sup panas dari rumah sakit tadi."
Damian mengangguk dan tersenyum.
"Aku sudah berbicara dengan Rafi, Serena," Damian segera berseru ketika
melihat Serena akan menyela kata-katanya, "apapun yang akan kau katakan,
aku tidak akan pernah melepaskanmu. Aku sudah mendapat kesempatan ini jadi
tidak akan kusia-siakan, kau tidak akan dan tidak boleh menolakku atau
melepaskan diri dariku." suara Damian tegas dan penuh ancaman, matanya
menyala-nyala. Dalam hati Serena merasa geli, ini Damiannya yang biasa. Tidak berubah meski
mencintainya, tetap saja arogan dan terbiasa mengungkapkan keinginannya
dengan mengancam. Tapi bagaimanapun juga ini Damian yang sama yang
dicintainya. "Ya Damian." jawabnya dalam senyum.
Jawaban sederhana itu membuat Damian yang begitu tegang karena antisipasi
penolakan yang mungkin dilakukan Serena, terpana.
"Apa?" Damian bertanya seperti orang bodoh.
Serena tersenyum lembut, otomatis tangannya bergerak menyentuh dahi
Damian yang berkerut bingung, mengelusnya lembut, menghilangkan kerut yang
ada di sana. "Ya Damian, aku tidak akan melepaskan diri darimu."
Damian seolah kesulitan mencerna jawaban sederhana Serena, tetapi ketika dia
bisa memahaminya, seketika itu juga Damian merengkuh Serena, memeluknya
erat-erat. "Demi Tuhan... Aku sepertinya masih butuh berkali-kali diyakinkan olehmu,"
bisiknya serak di rambut Serena, "Kau selalu membuatku bertanya-tanya,
dengan mata lebarmu yang selalu tersenyum, dengan kelembutanmu, kau selalu
membuatku bertanya-tanya apakah kau mencintaiku."
Serena membalas pelukan Damian dengan lembut.
"Aku mencintaimu."
"Katakan lagi," Damian mengerang, memejamkan matanya, mengetatkan
pelukannya, "aku butuh diyakinkan."
"Aku mencintaimu." ulang Serena patuh.
Damian melepaskan pelukannya lalu mengusap rambut Serena lembut,
kemudian meraih tangannya, mengernyit ketika melihat Serena masih memakai
cincin dari Rafi, bersebelahan dengan cincin darinya.
Dengan lembut disentuhnya tangan Serena, disentuhnya cincin Rafi disana.
"Boleh aku melepaskannya?"
Damian tetap akan melepaskannya meskipun Serena menggeleng, Serena tahu
itu. Tapi Serena menghargai Damian yang menyempatkan diri bertanya
kepadanya. Dengan lembut ia mengangguk.
Hati-hati Damian melepaskan cincin pertunangan Serena dengan Rafi, lalu
meletakkannya di meja. Setelah itu dikecupnya jemari Serena yang memakai
cincin pemberiannya. "Aku ingin kau menikah denganku, segera."
Sekali lagi Serena tersenyum, lamaran khas ala Damian. Bukannya bertanya
'maukah kau menikah denganku"' lelaki ini malah menyatakan keinginannya
dengan arogansi yang tak terbantahkan. Tiba-tiba Serena mengerutkan
keningnya mencerna kalimat Damian.
"Kenapa harus segera?"
Dan entah kenapa pertanyaannya itu membuat pipi Damian memerah. Serena
jadi bertanya-tanya apa yang salah dengan pertanyaannya.
"Kau... Eh, mungkin kau tidak menyadari perubahan tubuhmu...." Damian
tampak kesulitan menyusun kata-kata. Tapi pada akhirnya dia melemparkan
kebenaran itu, "Kau... Sedang mengandung anakku"
Kata-kata itu membuat Serena ternganga, itu adalah kebenaran yang sama
sekali tidak disangka-sangkanya. Damian sangat hati-hati kalau bercinta
dengannya. Bahkan dalam kondisi berhasratpun dia selalu ingat untuk memakai
pelindung, jadi Serena tak mungkin hamil. Karena itulah meskipun tubuh Serena
menunjukkan gejala seperti perempuan hamil, tidak datang bulan, mual, kram di
perut dan sebagainya, tidak pernah sedikitpun terlintas di benaknya kalau dia
sedang mengandung. Kemudian kesadaran itu melintas di benaknya, Serena tidak mungkin
mengandung, kecuali kalau Damian menginginkannya, Serena tidak mungkin
mengandung, kecuali kalau Damian sengaja....
"Kau selalu menggunakan pelindung," gumam Serena menatap Damian dengan
waspada, "Malam itu kau tidak memakainya."
Pipi Damian agak memerah tapi dia menatap mata Serena tanpa penyesalan.
"Aku memang sengaja, semua yang terjadi malam itu memang sudah
kurencanakan," dengan angkuh Damian mengangkat dagunya, "aku ingin kau
memilihku." Pipi Serena memucat sedikit marah.
"Kau berencana menjebakku dengan kehamilan?"
Damian menggenggam tangan Serena erat-erat memejamkan matanya penuh
kepedihan. "Aku memang brengsek dan licik, tapi itu semua kulakukan karena aku hampir
gila putus asa ingin memilikimu, aku mencintaimu dan menderita karenanya, aku
bersedia minta maaf kalau kau menginginkannya, tapi aku tidak pernah
menyesal sudah membuatmu hamil..."
Kata-kata itu, yang diungkapkan dengan sepenuh hari, melelehkan kemarahan
Serena, dengan lembut diraihnya kepala Damian dan dipeluknya. Lama mereka
berpelukan dalam diam. "Karena itu kau mencium perutku." gumam Serena, teringat keanehan perilaku
Damian saat itu. "Ya," Damian tersenyum bangga, "saat itu aku yakin dia sedang terbentuk, aku
memerintahkannya supaya tumbuh sehat agar aku bisa memiliki ibunya,"
Damian mengangkat bahu, "aku konyol sekali ya."
Serena tertawa mendengarnya, sisi santai Damian yang jarang diperlihatkannya
ini juga sudah membuatnya jatuh cinta. Ya, dia benar-benar mencintai lelaki ini,
dengan segala arogansinya, dengan segala kekeras kepalaannya, sekaligus
dengan segala kasih sayangnya yang Serena tahu, melimpah untuknya.
Dengan lembut Serena mengelus perutnya, menyadari bahwa buah cinta mereka
sedang bertumbuh di perutnya, semakin lama semakin kuat, hingga akhirnya
nanti akan terlahir ke dunia.
Mata Damian mengikuti gerakan Serena. Lalu tangannya mengikuti Serena,
mengusap perutnya lembut.
"Dia kuat dan baik-baik saja di sana." gumam Damian setengah berbisik.
"Ya." Serena berbisik juga.
"Mungkin nanti dia akan mulai menendang-nendang." dahi Damian berkerut,
mengingat isi buku-buku referensi kehamilan yang mulai dibacanya.
Serena, mengangguk, tersenyum simpul.
"Pasti, seperti pemain sepakbola."
"Aku lebih suka dia seperti CEO handal." dahi Damian tetap berkerut.
Serena terkekeh. "Ya, seperti CEO handal," suara Serena berubah seperti bisikan, "Seperti
ayahnya." Mereka bertatapan, mata Serena berkaca-kaca, mata Damian berkilauan penuh
perasaan. Diantara tatapan mereka terjalin setiap impian orang tua tentang
anaknya di masa depan. Lalu Damian mengecup dahi Serena.
"Terimakasih sudah hadir di hidupku," bisiknya serak penuh perasaan,
"Terimakasih sudah mengajari aku mencintai dengan begitu dalam, terimakasih
sudah menyentuh hatiku yang gelap dan jahat sehingga bisa merasakan
indahnya mencintai seseorang, dan yang terpenting terimakasih sudah mau
mencintaiku." lalu dia meraih dagu Serena dan mengecup bibirnya lembut,
kecupan penuh kasih sayang yang dengan segera berubah menjadi panas dan
bergairah. Lama kemudian Damian baru mengangkat kepalanya, meninggalkan bibir Serena
yang panas dan basah, matanya berkilat-kilat penuh gairah, tetapi dia menahan
diri dan mencoba tersenyum, mengusap rambut Serena dengan lembut.
"Nanti, setelah kau sehat," janjinya penuh arti, membuat pipi Serena memerah,
lalu memeluk Serena lagi, "Aku mencintaimu Serena, dan aku berjanji akan
membuatmu serta anak-anak kita nanti bahagia, kau boleh pegang janjiku itu."
Serena tersenyum mendengar tekad kuat dalam suara Damian.
"Aku tahu Damian, aku juga mencintaimu."
Mereka tetap berpelukan, dipenuhi perasaan cinta yang hangat. Hanya ada
mereka berdua dan kebersamaan mereka, Serena dengan Damiannya yang
akhirnya menyerahkan hatinya untuk termiliki satu sama lain. Yang pada
akhirnya bisa saling memiliki satu sama lain.
THE END *Terima kasih untuk pembaca semua yg sudah memberikan apresiasi positif
terhadap "A Romantic Story About Serena" ini, Novel ini dapat dikoleksi dalam
format cetak, epub dan pdf. Buat kalian yang penasaran membaca karya-karya
Santhy Agatha selanjutnya nantikan kehadirannya segera di blog ini*
A Romantic Story About Serena Karya Santhy Agatha di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Penelitian Rahasia 7 Pendekar Gagak Rimang Lambang Penyebar Kematian Pendekar Panji Sakti 9