Pencarian

Senja Di Himalaya 1

Senja Di Himalaya The Inheritance Of Lose Karya Kiran Desai Bagian 1


Berita buruk itu datang. Sai tiba-tiba menjadi yatim piatti dan harus
pindah dari asrama ke rumah kakck yang tak pernah dikenalnya, sang hakim. Di
rumah uia di kaki Ginning Kanehenjunga, Himalaya, iuilah Sai mengenal Gyan, sang
guru Matematika.dan jatuh heti kepadanya. Tetapi mereka bak bumi dan langit. Sai
yang berpendidikan barat dengan Gyan yang sangat tradisional. Sang hakim yang
awalnya kuawatir kehadiran Sai akan merusak ketenangannya. akhirnya malah
teringat kepada masa mudanya. seorang pemuda India yang berusaha keras menjadi
pria Inggris, namun pada akhirnya tak merasa menjadi bagian dari apa pun.
Di rumah itu pula tinggal juru masak sang hakim.puranya. Biju. berhasil
pergi kc Amerika namun ternyata dia harus mati-matian bertahan hidup sebagai
imigran gelap di Kota New York, demi mewtujudkan mimpi dan kebahaggiaan sang
ayah. Sampai ketika terjadi kerusuhan di Kalimpong, dan ayahnya tak bisa
dihubungi,dia memutuskan pulang ke India, ke negeri yang dulu tak sabar ingin
ditinggalkannya. Karakter-karakter menakjubkan dari novel ini bagai cermin, mengingatkan
kepada diri kita sendiri. Inilah cerita mengenai mereka yang miskin dan lngu.
mereka yang terhormat namun merasa terasing. karena nmereka terbelah antara
budaya timur dan barat, dan senantiasa mempertanyakan mana yang lebih baik:
tradisi a tan modernitas"
mizan Hikmah PEMENANG MAN BOOKER PRIZE FOR FICTION 2 0 0 6
Senja di Himalaya "Desia! memiliki kemampuan menempatkan humor dan ancaman tragedi secara
silih berganti, suatu kemampuan yang biasa diasosiasikan dengan para penulis
besar ... Luar biasa indah." O: The Oprah Magazine?Senja di Himalaya The Inheritance of Lose
Diterjemahkan dari The Inheritance of Loss Karya Kiran Desai, Terbitan
Grove Press, an imprint of Grove/Atlantic, Inc., New York
Copyright" 2006 by Kiran Desai All rights reserved.
Hak terjemahan bahasa Indonesia ada pada Penerbit Hikmah
Penerjemah: Rika Iffati Farihah Penyelaras aksara: Ifah Nurjany Desain
sampul: Windu Budi Tata letak: elcreative26@yahoo.com
Penerbit Hikmah (PT Mizan Publika) Anggota IKAPI Jin. Puri Mutiara Raya
No. 72 Cilandak Barat, Jakarta Selatan 12430 Telp. (021) 75915762, Faks. (021)
75915759 http './/www .mizan .com/hikmah E-mail: hikmahku@cbn.net.id,
hikmah_publisher@yahoo.com
ISBN: 978-979-114-137-6 Cetakan I, November 2007 Didistribusikan oleh Mizan Media Utama (MMU) Jin. Cinambo (Cisaranten
Wetan) No. 146 Ujungberung, Bandung 40294 Telp.: (022) 7815500 (hunting) Fax.:
(022) 7802288 E-mail: mizanmu@bdg.centrin.net.id JAKARTA: (021) 7661724,
7661725, MAKASSAR: (0411) 871369
SURABAYA: (031) 60050079, (031) 8281857, MEDAN: (061)
820469 Untuk ibuku dengan segenap cinta
Bualan Keheningan Tulisan cahaya menyerang kegelapan, lebih melimpah
ketimbang meteor. Kota asing nan tinggi itu mengambil alih pedesaan. Yakin
akan kehidupan dan kematianku, aku mengamati
mereka yang penuh ambisi dan ingin memahami
mereka. Siang mereka tamak seperti seutas tali penjerat di udara.
Malam mereka adalah istirahat dari gelora di dalam baja,
siaga untuk menyerang. Mereka bicara tentang kemanusiaan. Kemanusiaanku
ada pada perasaan bahwa kita semua
adalah suara dari kemiskinan yang sama. Mereka bicara tentang Tanah Air.
Tanah Airku adalah irama sebuah gitar, beberapa lembar
foto, sebilah pedang tua, doa rumpun willow yang
dapat dilihat saat malam turun. Waktu berjalan di dalam diriku. Lebih
hening daripada bayanganku, aku berjalan melewati
gerombolan tamak yang sombong itu. Mereka tak tergantikan, unik, layak
untuk masa depan. Namaku adalah seseorang dan siapa saja. Aku berjalan perlahan,
seperti seseorang yang datang dari
tempat sedemikian jauh sehingga dia tak berharap akan sampai.
Jorge Luis Borges?Senja di Himalaya
SATU Sepanjang hah, warna-warni sesuram petang, halimun yang bergerak seperti
sesosok makhluk air mengarungi sisi-sisi pegunungan memiliki bayang-bayang dan
kedalaman samudra. Terlihat sekilas di atas kabut, Kanchenjunga adalah puncak
gunung nun jauh dengan es yang mencair sedikit demi sedikit, mengumpulkan kilas
akhir cahaya, segumpal salju tertiup angin pada puncaknya.
Sai, yang duduk di beranda, tengah membaca sebuah artikel mengenai cumi-
cumi raksasa dalam sebuah majalah National Geographic lama. Sesekali dia melihat
ke arah Kanchenjunga, mengamati cahaya ajaib yang keluar dari puncak gunung
tersebut sembari menggigil. Sang hakim duduk di sudut yang jauh dengan papan
caturnya, bermain melawan dirinya sendiri. Menyelinap di bawah kursi sang hakim
tempat dia merasa aman adalah Mutt si anjing betina, sedang mendengkur pelan
dalam tidurnya. Sebuah bohlam gundul berayun pada seutas kawat di atasnya. Hawa
saat itu dingin, tetapi di dalam rumah, udara lebih dingin lagi, ke-gelapan,
kebekuan, ditahan oleh dinding batu sedalam beberapa kaki.
Di sini, di belakang, di dalam dapur yang besar
ini, sang juru masak mencoba menyalakan kayu ba-sah. Dia memainkan jarinya
pada ranting-ranting kayu bakar dengan hati-hati karena takut akan komunitas
kalajengking yang hidup, bercinta, beranak pinak dalam tumpukan kayu itu. Pernah
sekali si juru masak menemukan seekor induk kalajengking, montok oleh racun,
dengan empat belas bayi kalajengking di punggungnya.
Meskipun demikian, pada akhirnya api menyala dan dia meletakkan ketel di
atas api, ketel yang Sudan sedemikian usang, dan berkerak tebal selayak-nya
benda yang digali oleh sebuah tim arkeologis, dan menunggunya mendidih. Seluruh
dinding tempat itu hitam dan lembap, bawang putih tergantung pada tangkai-
tangkai berlumpur yang menjulur dari tiang yang gosong, gumpalan jelaga
mengumpul seperti kelelawar di langit-langit. Nyala api mencip-takan mozaik
jingga menyala di sekujur wajah sang juru masak, dan separuh tubuh bagian
atasnya perlahan menjadi panas, sementara embusan angin yang kejam menyiksa
lututnya yang berpenyakit encok.
Melalui cerobong asap lantas keluar, asap ber-campur dengan kabut yang
semakin lama semakin cepat, semakin tebal, mengaburkan separuh bagian dari
segala sesuatu separuh bukit, lalu separuh sisanya. Pepohonan berubah menjadi ?siluet, mem-bayang, lalu menghilang lagi. Perlahan-lahan kabut menggantikan
semua hal, menggantikan benda-benda padat dengan bayangan, dan segala yang
tertinggal tampak seperti dibuat dari atau diilhami
olehnya. Napas Sai mengembus dari lubang hidung-nya dalam bentuk aliran
panjang, dan diagram cumi-cumi raksasa yang dibangun dari potongan-potongan
informasi, mimpi para ilmuwan, terbenam seluruhnya dalam kegelapan.
Sai menutup majalah dan berjalan keluar menuju kebun. Hutan di ujung
halaman rumput sudah tua dan lebat; semak bambu menjulang tiga puluh kaki
menembus kegelapan; pepohonan laksana para raksasa berkalung lumut, bengkak dan
jelek bentuk-nya, penuh dengan sulur-sulur akar anggrek. Belaian kabut pada
sela-sela rambutnya terasa seperti manusia, dan ketika Sai membentangkan
jemarinya, kabut merangkum jemari Sai dengan lembut dalam mulutnya. Sai berpikir
tentang Gyan, sang guru les matematika, yang seharusnya datang satu jam lalu
dengan buku aljabarnya. Tetapi saat itu sudah pukul 4.30 dan Sai me-makluminya karena kabut yang
semakin tebal. Ketika Sai melihat ke belakang, rumah sudah lenyap; ketika Sai menaiki
anak tangga kembali ke beranda, kebun menghilang. Sang hakim telah jatuh
tertidur dan gravitasi bekerja pada otot-otot yang kendur, menarik garis
mulutnya, menyeret pipi-pipi-nya, menunjukkan kepada Sai bagaimana tampang sang
hakim ketika mati nanti. "Mana tehnya?" sang hakim terjaga dan berta-nya dengan nada menuntut pada
Sai. "Dia terlam-bat," kata sang hakim, memaksudkan si juru masak dengan tehnya,
bukan Gyan. "Biar kuambilkan," Sai menawarkan.
Kelabu telah merembes pula ke dalam rumah, hinggap pada peralatan makan
dari perak, merayap ke sudut-sudut, mengubah cermin di koridor men-jadi mendung.
Sai, dalam perjalanan menuju dapur, menangkap sekilas bayangan dirinya yang
terkabur-kan dan menjangkau ke depan untuk menempelkan bibirnya pada permukaan
kaca, sebentuk ciuman ala bintang film yang sempurna. "Halo," katanya, sepa-ruh
kepada dirinya sendiri dan separuh lagi kepada seseorang yang lain.
Tak ada manusia yang pernah melihat cumi-cumi dewasa raksasa dalam keadaan
hidup, dan meskipun hewan tersebut memiliki mata sebesar apel untuk menjangkau
kepekatan samudra, kesen-dirian mereka begitu dalam sehingga mereka mung-kin
saja tak akan pernah bertemu sesama mereka. Melankolia situasi ini melanda diri
Sai. Mungkinkah pencapaian bisa dirasakan sedalam kehilangan" Dengan romantis
Sai memutuskan bahwa cinta tentulah berada dalam celah antara hasrat dan
pencapaiannya, dalam ketiadaan, bukan pada pemenuhannya. Cinta adalah rasa
rindu, penantian, kesendirian, segala di sekitarnya kecuali emosi itu sendiri.
* Air mendidih dan si juru masak mengangkat ketel air, lalu menuangkannya
pada poci teh. "Payah," juru masak berkata. "Tulangku sakit semua, sendi-sendiku
nyeri tak ada bedanya bila?aku mati. Kalau saja bukan demi Biju ...." Biju adalah anak lelakinya di
Amerika. Dia bekerja di Don Polio atau Hot Tomato" Atau Ali Baba's Fried
?Chicken" Si ayah tidak bisa mengingat, memahami, ataupun melafalkan nama-nama
itu, dan Biju sangat sering berganti pekerjaan, seperti buronan dalam
pelarian dia tak memiliki surat izin.
?"Iya, kabutnya sangat tebal," sahut Sai. "Kura-sa si guru les tak akan
datang." Sai mengatur cangkir, lepek, poci teh, susu, gula, saringan, bis-kuit
Marie, dan Delite agar semuanya bisa termuat di atas nampan.
"Biar kubawakan," Sai menawarkan.
"Hati-hati, hati-hati," omel si juru masak, mengikuti Sai dengan sebuah
baskom enamel berisi susu untuk Mutt. Melihat Sai berjalan dengan susah payah,
sendok-sendok menimbulkan sentakan musik di atas lembaran logam yang melengkung,
Mutt mengangkat kepalanya. "Waktunya minum teh?" ucap matanya sementara ekornya
mulai bergerak-gerak. "Mengapa tak ada yang bisa dimakan?" tanya sang hakim, jengkel, mengangkat
hidungnya dari kekacaubalauan bidak-bidak di tengah papan catur.
Sang hakim kemudian melihat pada gula dalam cawan: butiran-butiran seperti
mika yang kotor. Biskuitnya terlihat seperti karton dan ada bekas jari legam di
atas warna putih tatakan. Teh memang tidak pernah disajikan seperti seharusnya,
tetapi sang hakim menuntut setidaknya ada sepotong kue atau scone, makaroni atau
batang keju. Makanan manis dan makanan asin. Sementara yang terhidang sekarang ini adalah
pengganti yang menyedihkan dan merusak konsep waktu minum teh.
"Hanya biskuit," kata Sai melihat ekspresi sang hakim. "Si tukang kue
pergi menghadiri pernikahan anak perempuannya."
"Aku tidak mau biskuit."
Sai menghela napas. "Bisa-bisanya dia pergi menghadiri sebuah pernikahan" Begitukah cara
menjalankan bisnis" Dasar bodoh. Kenapa si juru masak tidak membuat sesuatu?"
"Gas habis, minyak tanah habis."
"Lalu kenapa dia tidak menggunakan kayu ba-kar" Semua juru masak lama
bisa-bisa saja membuat kue yang enak dengan menumpuk arang di sekitar kotak
kaleng. Kau kira dulu mereka punya kompor gas, kompor minyak" Terlalu malas saja
sekarang." Si juru masak datang tergesa-gesa dengan membawa puding cokelat sisa yang
dipanaskan di atas api dalam sebuah wajan. Sang hakim pun menyantap genangan
cokelat yang indah itu dan perlahan-lahan wajahnya menampakkan raut kepuasan
puding yang enggan. Mereka menyeruput dan mengunyah, segala keberadaan diabaikan oleh
ketiadaan, gerbang tak menuju ke mana pun, dan mereka menyaksikan teh
mengeluarkan kepulan-kepulan uap panjang seperti pita yang sangat banyak,
menyaksikan napas mereka bergabung dengan kabut, lalu pelan-pelan
berputar dan bergulung, berputar dan bergulung.
* Tak ada yang melihat para pemuda itu merayapi rerumputan, bahkan tidak
juga Mutt, sampai mereka sudah menaiki anak tangga. Bukan berarti itu akan ada
bedanya karena tak ada gerendel yang bisa mencegah mereka masuk dan tak seorang
pun yang berada dalam jangkauan panggil kecuali Paman Potty di seberang jurang
jhora, yang tentulah mabuk di atas lantai pada jam seperti ini, terbaring tak
bergerak tetapi merasa dirinya jungkir balik-"Tak usah hiraukan aku, Sayang,"
demikian dia selalu berkata kepada Sai setelah satu sesi minum-minum, sebelah
mata terbuka seperti burung hantu, "aku akan terbaring di sini dan istirahat
sebentar-" Mereka datang melalui hutan dengan berjalan kaki, berpakaian jaket kulit
dari pasar gelap Kath-mandu, celana khaki, bandana gaya berpakaian universal ?para gerilyawan. Salah seorang dari para pemuda tersebut membawa senjata.
Laporan-laporan yang beredar nantinya menu-duh Cina, Pakistan, dan Nepal,
tetapi di belahan dunia yang ini, seperti juga di belahan-belahan lain, terdapat
cukup senjata beredar di sekitar untuk sebuah gerakan melarat dengan pasukan
campur aduk. Mereka mencari apa pun yang bisa mereka temukan sabit kukri,
?kapak, pisau dapur, sekop, segala jenis senjata api.
Mereka mengincar senapan berburu sang hakim.
Di luar misi dan pakaian mereka, para pemuda itu tidak tampak meyakinkan.
Yang tertua di antara mereka terlihat berusia di bawah dua puluh tahun, dan
dengan satu salakan dari Mutt, mereka menjerit seperti sekumpulan gadis
sekolahan, menuruni tangga kembali untuk gemetar ketakutan di balik semak-semak
yang dikaburkan oleh halimun. "Apa-kah dia menggigit, Paman" Ya,
Tuhan!" gemetaran di sana dalam pakaian ala militer mereka.
?Mutt mulai melakukan apa yang selalu dilaku-kannya bila bertemu orang
asing: dia menghadap-kan pantat yang bergoyang-goyang penuh sema-ngat kepada
para penyusup dan melihat ke sekeliling dari belakang, tersenyum, menyampaikan
raut malu-malu sekaligus pengharapan.
Tidak senang melihat anjing itu merendahkan di-ri sedemikian rupa, sang
hakim meraihnya, dan Mutt pun membenamkan moncongnya ke dalam lengan sang hakim.
Para pemuda itu kembali menaiki tangga, terlihat malu, dan sang hakim
menjadi sadar akan fakta bahwa rasa malu ini berbahaya karena kalau saja para
pemuda itu menampilkan rasa percaya diri yang kuat, mereka mungkin tidak akan
terlalu terdorong untuk unjuk kekuatan.
Pemuda yang memegang senapan mengatakan sesuatu yang tak bisa dipahami
oleh sang hakim. "Tidak bisa bahasa Nepal?" dia membentak, bibirnya mencibir untuk
menunjukkan pendapatnya tentang hal itu, tetapi dia kemudian melanjutkan dalam
bahasa Hindi. "Senjata?"
"Kami tidak punya senjata di sini." "Ambil."
"Kalian pasti salah informasi." "Tidak usah repot-repot dengan segala
nakhra ini. Ambil." "Aku perintahkan kalian," kata sang hakim, "untuk meninggalkan tanah
milikku segera." "Ambilkan senjatanya."
"Aku akan memanggil polisi."
Ini adalah ancaman yang menggelikan karena di situ tak ada telepon.
Mereka tertawa seperti di film-film, kemudian, juga seperti di film,
pemuda yang membawa senapan mengarahkan senjatanya pada Mutt. "Sana, ambil
senjata-senjata itu, atau kami pertama-tama akan membunuh anjing ini, lantas kau
yang kedua, si juru masak ketiga, perempuan terakhir," katanya, tersenyum kepada
Sai. "Akan kuambilkan," kata Sai ketakutan dan menggulingkan nampan teh saat
dia beranjak pergi. Sang hakim duduk dengan Mutt di pangkuan-nya. Senjata-senjata itu berasal
dari masa ketika dia masih di ICS, Indian Civil Service Dinas Kepe-gawaian ?Sipil India. Sebuah senjata BSA pompa laras berkapasitas lima peluru, sebuah
senapan Springfield .30, dan sebuah senapan laras ganda, Holland & Holland.
Senjata-senjata itu bahkan tidak dikunci: senjata-senjata itu ditumpuk di ujung
koridor di atas sederet umpan bebek yang bercat hijau dan cokelat.
"Ck ck ck, semuanya berkarat. Kenapa kau tidak
merawat senjata-senjata ini?" Akan tetapi, mereka puas dan keberanian
mereka meningkat. "Kami akan ikut minum teh bersama kalian."
"Teh?" tanya Sai dalam ketakutan yang mem-buatnya mati rasa.
"Teh dan makanan kecil. Beginikah cara kalian memperlakukan tamu" Mengirim
kami kembali ke luar yang dingin tanpa apa pun untuk menghangatkan diri." Mereka


Senja Di Himalaya The Inheritance Of Lose Karya Kiran Desai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saling memandang satu sama lain, lalu kepada Sai, melihat ke atas, ke bawah,
lalu menge-dipkan mata. Dengan penuh kengerian, Sai merasa sangat pe-rempuan.
Tentu saja, semua pemuda itu akrab dengan adegan-adegan film yang
menggambarkan si tokoh pria dan tokoh wanita, dalam balutan pakaian musim dingin
nan nyaman, minum teh yang disajikan dalam perangkat minum teh dari perak oleh
pelayan-pelayan yang terampil. Lalu kabut akan turun, seperti dalam kenyataan,
dan mereka pun bernyanyi serta menari, bermain cilukba di sebuah hotel tempat
pesiar yang bagus. Ini adalah latar film klasik di Kulu-Manali atau, pada masa-
masa prateroris, Kashmir, sebelum orang-orang bersen-jata datang melompat keluar
dari dalam kabut dan jenis film baru harus dibuat.
Si juru masak bersembunyi di bawah meja makan dan mereka menyeretnya
keluar. "Ai aaa, ai aaa," dia menangkupkan kedua tangannya, memohon pada mereka,
"tolonglah, saya orang miskin, tolong." Dia mengangkat lengan-
nya dan mengerut mundur seolah-olah menanti datangnya pukulan.
"Dia tidak melakukan apa-apa, tinggalkan dia," kata Sai, tidak suka
melihat si juru masak diperma-lukan, lebih tidak suka lagi melihat bahwa
satusatu-nya jalan yang terbuka bagi si juru masak adalah mempermalukan diri
lebih lanjut. "Tolong saya hidup hanya untuk melihat anak saya tolong jangan bunuh saya
tolong saya orang miskin ampuni saya."
Dialognya telah dilatih selama berabad-abad, diwariskan turun-temurun
bergenerasi-generasi, karena orang-orang miskin memerlukan dialog pasti;
naskahnya selalu sama, dan mereka tak punya pilihan selain memohon belas
kasihan. Si juru masak tahu secara naluriah bagaimana cara menangis.
Dialog yang sudah sangat dikenal ini membuat para pemuda tersebut meluncur
semakin dalam memasuki peran mereka, peran yang diserahkan oleh si juru masak
kepada mereka seperti sebuah kado.
"Siapa yang mau membunuhmu?" hardik mereka pada si juru masak. "Kami
lapar, cuma itu. Nih, sa-hibmu akan membantumu. Sana," kata mereka pada sang
hakim, "kautahu bagaimana seharusnya me-nyiapkan semua itu dengan benar." Sang
hakim tidak bergerak, jadi orang itu kembali mengarahkan senjata pada Mutt.
Sang hakim merenggut Mutt dan menaruh an-jing itu di belakangnya.
"Terlalu lembut hati, sahib. Kau seharusnya
menunjukkan sisi ramahmu ini pada tamu-tamumu juga. Sana, siapkan meja."
Sang hakim mendapati diri di dapur yang tak pernah dimasukinya, tak sekali
pun, Mutt tertatih-tatih di sekeliling jari kaki sang hakim, Sai dan si juru
masak yang terlalu takut untuk melihat, meng-alihkan pandangan mereka.
Terlintas di benak mereka bahwa mereka semua mungkin saja mati bersama
sang hakim di dalam dapur; dunia sudah jungkir balik dan jelaslah apa saja bisa
terjadi. "Tak ada yang bisa dimakan?"
"Hanya biskuit," sahut Sai untuk kali keduanya hah itu.
"La! Sahib macam apa?" si pemimipin bertanya pada sang hakim. "Tidak ada
makanan kecil! Kalau begitu, buatkan sesuatu. Pikirmu kami bisa bertahan dengan
perut kosong?" Sambil meratap dan memohon keselamatan ji-wanya, si juru masak menggoreng
pakora, adonan-nya memukul minyak panas, suara keras ini terasa merupakan
pelengkap yang cocok untuk situasi saat itu.
Sang hakim meraba-raba mencari taplak meja dalam sebuah laci yang penuh
dengan tirai-tirai yang telah menguning, seprai, dan kain gombal. Sai, tangannya
gemetaran, merebus teh dalam sebuah panci dan menyaringnya, meskipun dia sama
sekali tak tahu bagaimana membuat teh menggunakan cara ini dengan benar, cara
India. Dia hanya tahu cara Inggris.
Para pemuda memeriksa rumah tersebut dengan penuh minat. Mereka
memerhatikan bahwa suasana rumah itu sangat sunyi. Beberapa potong perabot reyot
yang penuh bekas gigitan rayap berbentuk baji berdiri terpisah di dalam bayang-
bayang bersama kursi-kursi lipat terbuat dari pipa-logam mura-han. Hidung mereka
mengerut karena bau tikus yang menyengat khas sebuah ruangan kecil, meskipun
langit-langit rumah itu setinggi monumen publik dan kamar-kamarnya luas seturut
gaya mewah masa lalu, jendela-jendela dipasang agar bisa menyaksikan salju.
Mereka memandangi selembar ijazah keluaran Universitas Cambridge yang nyaris
lenyap menjadi hamparan noda cokelat melapisi permukaan dinding yang telah
membengkak oleh uap lembap dan menggelembung seperti layar kapal. Sebuah pintu
tertutup selamanya di atas sebuah gudang tempat lantai ambruk ke dalamnya. Isi
gudang dan apa yang terlihat seperti kaleng ikan tuna dalam jumlah yang tak
masuk akal, ditumpuk di atas meja Ping-Pong rusak di dalam dapur, dan hanya satu
sudut dapur yang digunakan karena awalnya tempat itu dimaksudkan untuk para
budak pelayan, bukan seorang pelayan sisa.
"Rumah ini perlu banyak perbaikan," para pemuda itu memberi saran.
"Tehnya terlalu hambar," kata mereka dengan gaya ibu mertua. "Dan garamnya
kurang," komentar mereka mengenai pakora. Mereka mencelup biskuit Marie dan
Delite ke dalam teh, menyeruput cairan panas itu dengan berisik. Dua koper yang
mereka temukan di kamar-kamar tidur mereka isi dengan beras, miju-miju, gula,
teh, minyak, korek api, sa-bun Lux, dan Krim Dingin Ponds. Salah seorang di
antara mereka meyakinkan Sai, "Hanya barang-barang yang diperlukan untuk
gerakan." Teriakan dari salah seorang pemuda lainnya memberitahukan kepada
teman-temannya mengenai sebuah lemari terkunci. "Berikan kuncinya kepada kami."
Sang hakim mengambil kunci yang tersembunyi di balik National Geographic,
majalah yang saat dia masih seorang pemuda, dengan bayangan akan jenis kehidupan
yang berbeda, dia bawa ke sebuah toko untuk dijilid kulit dengan tahun terbitnya
tertera dalam huruf emas.
Mereka membuka lemari itu dan menemukan botol-botol Grand Marnier, sherry
amontiiiado, dan Talisker. Sebagian isi botol-botol itu telah menguap seluruhnya
dan sebagian telah berubah menjadi cuka, tetapi tetap saja bocah-bocah lelaki
itu me-naruh semuanya ke dalam peti.
"Rokok?" Tidak ada rokok. Ini membuat mereka marah, dan meskipun tak ada air di
tangki, mereka buang hajat di toilet dan membiarkannya berbau. Setelah itu
mereka siap untuk pergi. "Katakan, 'Jai Gorkha,1" perintah mereka pada sang hakim. "Tanah Gorkha
untuk orang Gorkha."
"Jai Gorkha." "Katakan, 'aku orang bodoh.1" "Aku orang bodoh."
"Yang keras. Aku tidak dengar, huzoor. Ucap-
kan lebih lantang." Sang hakim mengucapkannya dengan suara hampa yang sama.
"Jai Gorkha," ucap si juru masak, dan "Tanah Gorkha untuk orang Gorkha,"
ucap Sai, meskipun mereka tidak diminta untuk mengucapkan apa-apa.
"Aku orang bodoh," kata si juru masak.
Terkekeh-kekeh, para pemuda itu melangkah keluar dari beranda dan memasuki
kabut dengan membawa dua buah koper. Salah satu koper terse-but ditulisi huruf-
huruf putih di atas timah hitam yang berbunyi: "Mr. J.P. Patel, SS Strathnaver."
Peti yang lain bertuliskan: "Miss S. Mistry, Biara St. Augustine." Kemudian
mereka pun lenyap secepat saat mereka muncul.
* "Mereka sudah pergi, mereka sudah pergi," Sai berkata. Mutt mencoba
merespons meskipun rasa takut masih menghuni matanya, dan anjing itu mencoba
mengibaskan ekornya walaupun ekor itu terus tertekuk di antara kakinya. Si juru
masak meledak dalam keluh kesah yang nyaring: "Humara kya hoga, hai hai, humara
kya hoga," dia membiar-kan suaranya melayang-layang. "Hai, hai, apa jadi-nya
kita semua?" "Tutup mulutmu," hardik sang hakim dan dia berpikir: pelayan-pelayan
sialan ini terlahir dan dibesarkan untuk menjerit-jerit.
Sang hakim sendiri duduk tegak, raut wajahnya
ditekan agar tidak berubah, menggenggam erat le-ngan kursi untuk mencegah
gemetaran hebat, dan meskipun dia tahu bahwa dia berusaha menghen-tikan gerakan
yang ada dalam dirinya sendiri, rasanya seolah-olah dia mencoba mempertahankan
diri dari dunia yang bergetar dengan teramat kuat. Di atas meja makan
terhamparlah taplak yang tadi dia bentangkan, putih dengan corak tanaman anggur
yang terkotori oleh noda merah tua tempat bertahun-tahun lampau dia pernah
menumpahkan segelas anggur port saat berusaha melemparkannya pada istrinya
karena mengunyah dengan cara yang membuatnya jijik.
"Lamban sekali," bocah-bocah lelaki itu tadi mengejeknya. "Kalian ini! Tak
tahu malu ... tidak bisa melakukan apa pun sendiri."
Sai dan si juru masak telah mengalihkan pandangan mereka dari sang hakim
serta kehina-annya, bahkan sampai sekarang tatapan mereka menghindari taplak
meja dan memilih mengambil rute lebih jauh ke seberang ruangan itu karena jika
taplak tersebut diakui keberadaannya, entah bagaimana sang hakim akan menghukum
mereka. Sungguh mengerikan, perendahan martabat seorang pria yang penuh
kebanggaan diri. Dia bisa saja membunuh para saksi mata.
Si juru masak menutupi tirai; kerapuhan mereka tampak semakin nyata dengan
adanya kaca dan mereka tampak tergantung tanpa pelindung di tengah-tengah hutan
dan malam karena hutan dan malam menyelubungkan jubah kusut nan gelap pada
diri mereka. Mutt melihat pantulan dirinya sebelum tirai ditutup, mengira
itu serigala, dan melompat. Kemudian dia berbalik, melihat bayangannya di
dinding, dan melompat lagi.
* Saat itu Februari 1986. Sai berusia tujuh belas tahun, dan kisah asmaranya
dengan Gyan si guru les matematika belum lagi genap setahun.
Ketika surat kabar kemudian berhasil melewati pemblokiran jalan, di
dalamnya tertulis: Di Bombay sebuah band bernama Hell No akan tampil di Hotel
Hyatt International. Di Delhi, sebuah pameran teknologi tentang kompor gas tahi sapi dihadiri
oleh delegasi-delegasi dari seluruh penjuru dunia.
Di Kalimpong, jauh tinggi di timur laut Himalaya tempat mereka tinggal si?pensiunan hakim serta juru masaknya, Sai, dan Mutt ada laporan menge-nai
?ketidakpuasan baru di perbukitan, yang menim-bulkan mengumpulnya pemberontakan,
para lelaki, dan senjata. Kali ini kaum Nepal-India, yang muak diperlakukan
seperti minoritas di daerah tempat mereka merupakan mayoritas. Mereka
menginginkan negara sendiri, atau setidaknya negara bagian tersendiri, tempat
mereka bisa menangani urusan mereka sendiri. Di sini, di wilayah tempat India
mengabur menjadi Bhutan dan Sikkim, dan militer melakukan latihan pull-up dan
push-up, merawat tank mereka dengan cat khaki kalau-kalau Cina
menginginkan wilayah kekuasaan di luar Tibet, peta kekuasaan senantiasa
kacau-balau. Koran-koran terkesan pasrah. Banyak sekali terjadi peperangan,
pengkhianatan, barter; antara Nepal, Inggris, Tibet, India, Sikkim, Bhutan;
Darjeeling dicuri dari sini, Ka-limpong direnggut dari sana meskipun, ah,
? meski-pun kabut menyerang seperti seekor naga, melarut-kan, menghapus, membuat
penarikan garis-garis batas terasa konyol.[]
DUA Sang hakim menyuruh juru masak ke kantor polisi keesokan harinya meskipun
dia memprotes karena mengetahui dari kebijaksanaan yang terkumpul selama ?berabad-abad, kebijaksanaan yang sama dengan yang membuatnya memohon di depan
para penyusup bahwa ini bukanlah gagasan yang bijak.
?Para polisi itu selalu membawa sial karena jika mereka disuap oleh para
perampok tersebut, mereka tak akan berbuat apa-apa, dan jika, sebalik-nya,
mereka tidak disuap, situasinya lebih buruk lagi karena para pemuda yang telah
datang malam sebelumnya akan membalas dendam. Mereka sekarang memiliki senjata,
yang bisa saja mereka bersihkan dari karat, mereka isi dengan peluru, dan ...
mereka tembakkan! Entah apa pun caranya, polisi akan mencoba mendapatkan uang
suap. Dia teri-ngat uang 250 rupee hasil menjual kepada Paman Potty chhang yang
dia rebus sendiri dengan cermat, yang sangat berhasil membuat bujangan tua itu
mabuk sampai terbaring di lantai. Tadi malam dia menyembunyikan uang tersebut di
dalam saku pakaian gantinya, tetapi tempat itu tampak-nya tidak cukup aman. Juru
masak mengikatnya tinggi-tinggi di atas sebuah tiang di gubuknya yang terbuat
dari tanah liat dan bambu yang terletak di
bagian bawah tanah milik sang hakim, tetapi kemudian, saat melihat tikus
berlarian naik turun ka-sau, dia khawatir tikus-tikus itu akan memakannya.
Akhirnya, dia menaruh uang tersebut dalam sebuah kaleng dan menyembunyikannya di
garasi, di bawah mobil yang tak pernah pergi ke mana-mana lagi. Dia teringat
anaknya, Biju. Mereka yang berada di Cho Oyu membutuhkan seorang pemuda di sisi mereka.
* Dalam pesannya yang gemetaran, disampaikan seakan-akan oleh gerakan
tangannya yang mere-mas-remas, si juru masak mencoba menekankan betapa dia
hanyalah kurir. Dia sendiri tak ada sang-kut pautnya dengan semua itu dan
menganggap bahwa tak patut merepotkan polisi hanya karena kejadian tersebut; dia
akan segera mengabaikan perampokan, dan bahkan, seluruh konflik serta segala hai
lain yang mungkin bisa mengganggu. Dia adalah seorang pria tanpa daya, hanya
sempat sedikit belajar membaca dan menulis, telah bekerja sekeras keledai
sepanjang hidupnya, sekadar berharap terhindar dari masalah, hidup hanya untuk
bertemu dengan anak lelakinya.
Sayangnya, polisi polisi itu tampak terganggu dan menanyainya dengan
?kasar sembari memperli-hatkan dengan jelas pandangan rendah mereka akan dirinya.
Sebagai seorang pelayan, kedudukan-nya jauh di bawah mereka, tetapi perampokan
senjata dari seorang pensiunan hakim tak bisa diabaikan dan mereka
terpaksa memberitahukannya kepada inspektur.
Sore itu juga polisi tiba di Cho Oyu dalam bari-san jip berwarna kodok
yang terlihat di sela-sela kebekuan bergerak berupa hujan salju bercampur es
kecil-kecilan yang gelisah. Mereka meninggalkan payung-payungnya yang terbuka
berjejer di beran-da, tetapi angin mengobrak-abriknya dan payung-payung itu
mulai berputar-putar sebagian besar berwarna hitam dan meneteskan pewarna
?hitam, tetapi ada juga sebuah payung sintetis merah muda buatan Taiwan, penuh
bunga. * Mereka mewawancarai sang hakim dan menulis laporan untuk mengonfirmasi
keluhan mengenai perampokan dan pelanggaran hak milik. "Ada ancaman yang
dilontarkan, Tuan?" "Mereka meminta Pak Hakim menyiapkan meja dan menyajikan teh," kata si
juru masak dengan sangat serius.
Polisi-polisi itu mulai tertawa.
Mulut sang hakim membentuk garis lurus ma-sam: "Pergilah duduk saja di
dapur. Bar bar karta rehta hai."
Polisi menyapu permukaan-permukaan rumah dengan bubuk pengangkat sidik
jari dan meletakkan sebuah stoples biskuit dari melamin yang penuh sidik jari
berminyak bekas pakora ke dalam kantung
plastik. Mereka mengukur jejak kaki yang menaiki tang-ga di beranda dan menemukan
bukti adanya bera-gam jenis ukuran kaki: "Salah satu ukuran kakinya sangat
besar, Tuan, mengenakan sepatu olahraga Bata."
Pada dasarnya, karena tempat tinggal sang hakim sudah lama menjadi sumber
keingintahuan di pasar, para polisi, seperti para perampok senjata itu,
memanfaatkan kesempatan tersebut untuk melihat-lihat sekeliling dengan penuh
rasa ingin tahu. Dan, seperti para perampok, mereka tidak terkesan oleh apa yang mereka
lihat. Mereka menyaksikan penurunan kemakmuran dengan penuh rasa puas, dan salah
seorang polisi menendang sebuah peralatan pipa goyah yang terpasang mulai dari
parit jhora, dibalut sana sini dengan gombal basah. Dia menyorotkan senternya ke
dalam tangki toilet dan menemukan alat penyiramnya telah diperbaiki dengan karet
gelang dan belat bambu. "Bukti apa yang akan Anda temukan di toilet?" tanya Sai, yang mengikuti si
polisi, merasa malu. * Rumah itu dibangun dulu sekali oleh seorang Skotlandia, pembaca tekun
laporan-laporan pada masa itu: The Indian Alps and How We Crossed Them, oleh
seorang Wanita Pelopor. Land of the Lama. The Phantom Rickshaw. My Mercara Home.
Black Panther of Singrauii. Jiwa sejatinya telah memanggilnya, pada saat
itu, memberi tahunya bahwa hal ini juga liar dan nekat, serta menolak disangkal
haknya untuk berpetualang. Seperti biasa, harga romantika seperti itu sangat
tinggi dan dibayar oleh pihak-pihak lain. Para kuli mengangkut batu-batu besar
dari palung sungai kaki menjadi bengkok, tulang rusuk melengkung, punggung ?berbentuk U, wajah pelan-pelan tertunduk selalu menatap tanah ke atas tempat
?yang dipilih demi pemandangan yang bisa mengangkat hati manusia menuju
ketinggian spiritual. Kemudian pipa-pipa saluran pun tiba, ubin dan pipa besi,
pagar besi tempa mewah yang menggantung seperti renda di antara tepian sungai,
manekin penjahit, yang sekarang ditemukan oleh para polisi yang menerjang naik
ke loteng bom bom, kuatnya gerakan mereka menyebabkan cangkir Meissen terakhir
?yang masih tersisa berkeriut seperti gigi di atas lepeknya. Seribu laba-laba
yang sudah mati terhampar seperti guguran bunga di lantai loteng, dan di atas


Senja Di Himalaya The Inheritance Of Lose Karya Kiran Desai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka, pada sisi bawah atap saring, menghindari tetesan air, anak-cucu para
laba-laba itu menatap para polisi sebagaimana mereka menatap nenek moyang
mereka tanpa simpati secuil pun.? *
Polisi mengambil payungnya dan berderap menuju gubuk si juru masak, ekstra
hati-hati, ekstra curiga. Semua orang tahu bahwa para pelayanlah yang
patut dicurigai kalau sudah menyangkut perampokan, lebih sering iya
daripada tidak. Mereka berjalan melewati garasi, mobil terbenam dalam, moncong menghadap
tanah, rumput menyembul di lantai, perjalanan penuh keluh kesah terakhir mobil
itu ke Darjeeling untuk mengantar sang hakim menemui satu-satunya temannya,
Bose, telah lama terlupakan. Mereka melalui sebuah petak yang anehnya terawat
baik di belakang tangki air, tempat setatakan susu dan setumpuk mithai
ditumpahkan dan menjadi berbercak-bercak oleh hujan salju. Sudut yang bersih
dari alang-alang ini bermula ketika si juru masak, ditaklukkan dan dibuat
frustrasi oleh sebutir telur busuk, telah buang air besar di belakang rumah
alih-alih di tempat biasa-nya di ujung kebun, dan dengan begitu membuat marah
dua ekor ular, mia-mibi, suami-istri, yang tinggal dalam lubang dekat situ.
Si juru masak menceritakan drama itu kepada polisi. "Saya tidak digigit,
tetapi secara misterius tubuh saya membengkak sepuluh kali lipat ukuran saya.
Saya pergi ke kuil dan mereka memberi tahu bahwa saya harus meminta maaf pada
ular-ular tersebut. Oleh karena itu, saya membuat ular-ular-an kobra dari tanah
liat dan meletakkannya di belakang tangki air, membersihkan area sekitarnya
dengan tahi sapi, dan melakukan puja. Seketika, bengkak pun hilang.
Polisi-polisi tersebut menyetujui tindakan ini. "Berdoalah kepada mereka
dan mereka akan selalu melindungimu, mereka tak akan pernah menggigit-
mu." "Ya," juru masak menyepakati, "kedua ular itu tidak menggigit, dan mereka
tak pernah mencuri ayam atau telur. Pada musim dingin mereka tidak sering
terlihat, tetapi pada waktu lain mereka selalu keluar dan memeriksa apakah
segala sesuatunya baik-baik saja. Mengitari tanah rumah ini. Kami hendak membuat
bagian ini menjadi taman, tetapi kami biarkan buat mereka. Mereka menyusuri
pagar di sekeliling Cho Oyu dan kembali ke sarangnya."
"Ular jenis apa?"
"Kobra hitam, sebesar itu," sahut juru masak dan menunjuk pada stoples
biskuit dari melamin yang dibawa seorang polisi dalam kantung plastik. "Suami-
istri." Namun, ular-ular itu tidak melindungi mereka dari perampokan ... seorang
polisi mengenyahkan pikiran tidak religius ini dari benaknya, dan mereka
menyisir area tersebut dengan takzim, kalau-kalau kedua ular atau kerabat ular-
ular yang tersinggung mengejarnya.
* Ketakziman pada wajah para polisi runtuh seketika saat mereka tiba di
gubuk juru masak yang terkubur di bawah jalinan liar tumbuhan merambat
nightshade. Di sini mereka merasa bebas melepaskan penghinaannya, dan mereka
menjungkirbalikkan tempat tidurnya yang kecil, meninggalkan barang-barangnya
yang sedikit dalam satu tumpukan.
Hati Sai terasa sakit melihat betapa sedikitnya benda milik si juru masak:
beberapa helai pakaian tergantung pada sebuah tali, sebilah pisau cukur dan
sepotong sabun cokelat murahan, selembar selimut Kulu yang dulu merupakan milik
Sai, sebuah koper kardus dengan gesper logam yang dulu merupakan milik sang
hakim dan sekarang berisi surat-surat si juru masak, surat rekomendasi yang
membantunya mendapatkan pekerjaan pada sang hakim, surat-surat Biju, dokumen-
dokumen dari sebuah kasus pengadilan yang berlangsung di desanya nun jauh di
Uttar Pradesh sana mengenai masalah lima pohon mangga yang harus dia serahkan
pada saudaranya. Selain itu, dalam kantung satin elastis di dalam koper,
terdapat sebuah jam tangan rusak yang terlalu mahal untuk diperbaiki, tetapi
tetap terlalu berharga untuk dibuang begitu saja dia mungkin bisa menggadai-kan?komponennya. Komponen-komponen jam tangan itu dikumpulkan dalam sebuah amplop
dan kenop putarnya yang kecil jatuh ke dalam re-rumputan ketika polisi merobek
segelnya hingga terbuka. Dua buah foto tergantung di dinding satu pot-ret diri si juru masak
?bersama istrinya pada hah pernikahan mereka, satu potret Biju yang berpakaian
rapi siap meninggalkan rumah. Keduanya adalah potret orang miskin, orang-orang
yang tak mampu mengambil risiko menyia-nyiakan sebuah foto, karena sementara di
seluruh penjuru dunia orang-orang sekarang berpose dengan keleluasaan
yang tak pernah dialami oleh umat manusia sebe-lumnya, di sini mereka
masih berdiri kaku seperti dalam foto rontgen.
Pernah sekali, Sai memotret juru masak dengan kamera Paman Potty,
mendekatinya dengan diam-diam saat si juru masak tengah mengiris bawang merah,
dan Sai terkejut melihat bahwa si juru masak merasa begitu dikhianati. Dia lari
mengganti bajunya dengan pakaian terbaiknya, sehelai kemeja dan celana bersih,
lalu memosisikan diri di depan National Geographies yang dijilid kulit, latar
bela-kang yang dia anggap patut.
Sai bertanya-tanya apakah si juru masak men-cintai istrinya.
Sang istri meninggal dunia tujuh belas tahun lampau, ketika Biju berumur
lima tahun. Perempuan itu jatuh dari sebatang pohon ketika mengumpulkan dedaunan
untuk memberi makan kambing. Kecela-kaan, kata mereka, dan tak ada yang bisa
disalah-kan itu hanyalah takdir sebagaimana takdir menentukan bagi kaum papa
?kuota kecelakaan yang lebih besar, sesuatu yang tak bisa dipersalahkan siapa
pun. Biju adalah satu-satunya anak mereka.
"Sungguh anak yang nakal," si juru masak se-lalu berseru dengan bahagia.
"Akan tetapi, pada dasarnya sifatnya senantiasa baik. Di desa kami, sebagian
besar anjing menggigit, dan sebagian di antara mereka memiliki gigi seukuran
tongkat, tetapi ketika Biju lewat, tak ada hewan yang menyerang-nya. Juga tak
ada ular yang menggigitnya ketika dia keluar menyabit rumput untuk sapi. Dia
memiliki kepribadian seperti itu," tutur si juru masak, penuh rasa bangga. "Dia
sama sekali tidak takut pada apa pun. Bahkan, ketika masih sangat kecil, dia
bisa mengangkat tikus dengan memegang ekornya, mengangkat kodok dengan memegang
lehernya Biju dalam potret ini tidak terlihat pemberani tetapi terlihat kaku,
seperti kedua orangtuanya. Dia berdiri di antara peralatan pemutar tape dan
botol Campa Cola, di depan latar lukisan sebuah danau, dan di kedua sisinya di
balik layar yang dilukis itu, terdapat sawah-sawah kecokelatan dan potongan
tubuh tetangga, sebuah lengan dan jari kaki, rambut dan peringisan, jumbai-
jumbai buntut ayam, meskipun si fotografer telah berusaha mengusir tambahan-
tambahan tersebut dari pemandangan.
Polisi menumpahkan seluruh surat dari koper dan mulai membaca salah
satunya yang bertanggal tiga tahun lalu. Biju baru saja tiba di New York.
"Pitaji yang terhormat, tak perlu khawatir. Segalanya baik-baik saja. Manajer
telah menawarkan posisi pelayan penuh pada saya. Seragam dan makanan akan
disediakan oleh mereka. Angrezi khana saja, tidak ada makanan India, dan
pemiliknya bukan dari India. Dia dari Amerika itu sendiri.
"Dia bekerja untuk orang Amerika," demikian si juru masak menyampaikan isi
surat itu kepada semua orang di pasar.[]
TIGA Nun jauh di Amerika, Biju menghabiskan hari-hari pertamanya berdiri di
balik sebuah meja layan bersama sederetan pria.
"Anda mau yang besar?" tanya rekan sesama pelayan Biju, Romy, mengangkat
sebuah sosis dengan penjepit, mengayunkannya bulat-bulat, mem-banting-bantingnya
pada sisi panci logam, memu-kul-mukulkannya, seperti karet, di hadapan seorang
gadis berwajah manis, yang dibesarkan untuk memperlakukan orang berkulit gelap
selayaknya manusia lain. Gray's Papaya. Hot dog, hot dog, dua buah dengan segelas soda seharga 1.95
dolar. Semangat orang-orang yang bekerja bersama-nya membuat Biju terkagum-kagum,
membuatnya takut, membuatnya luar biasa senang, lalu membuatnya takut lagi.
"Bawang bombay, mustar, acar, saus tomat?"
Suara bak-buk yang itu-itu lagi.
"Chili dog?" Bak-buk goyang kanan kiri. Seperti seorang ca-bul yang melompat dari balik
pohon menggoyang-kan bagian tertentu dari tubuhnya? ?"Ukuran besar" Ukuran kecil?"
"Ukuran besar," sahut si gadis berwajah manis.
"Minuman jeruk" Minuman Nanas?"
Suasana kedai itu meriah dengan rantai-rantai kertas, jeruk-jeruk, dan
pisang-pisang plastik, tetapi suhu udara di dalam sana mendekati empat puluh
derajat Celsius dan keringat menetes dari hidungnya serta memercik pada jari-
jari kakinya. "Anda ingin hot dog India" Anda ingin hot dog Amerika" Anda ingin hot dog
spesiai?" "Pak," kata seorang wanita dari Bangladesh yang tengah mengunjungi
putranya di sebuah universitas New York, "Anda menjalankan usaha yang bagus. Ini
adalah sosis frankfurter terenak yang pernah saya rasakan, tetapi Anda
semestinya mengubah nama kedai ini. Sangat aneh tak bisa dimengerti sama
?sekali!" Biju melambaikan hot dog-nya bersama yang lain, tetapi berkeberatan
ketika, seusai kerja, mereka mengunjungi perempuan-perempuan Dominika di
Washington Heights hanya tiga puluh lima dolar!
?Dia menutupi kepengecutannya dengan pura-pura merasa jijik: "Bagaimana
kalian bisa" Perem-puan- perempuan itu kotor," katanya dengan kaku. "Pelacur
bau," dengan terdengar janggal. "Pelacur kotor, perempuan kotor murahan, kalian
akan terkena penyakit ... bau ... hubshi ... semuanya hitam dan jelek ... mereka
membuatku mual." "Sekarang ini," kata Romy, "aku bisa melakukan-nya dengan AN31NG-
Aaaarghf-" dia meraung, dengan dramatis memegangi bagian belakang kepalanya.
"ArrrrghaAAAA Pria-pria yang lain tertawa.
Mereka adalah pria-pria dewasa; dia adalah ba-yi. Dia berusia sembilan
belas tahun, dia terlihat dan merasa beberapa tahun lebih muda.
"Terlalu panas," katanya pada kesempatan berikutnya.
Kemudian: "Terlalu capek."
Musim berganti: "Terlalu dingin."
Jauh di lubuk hatinya, dia nyaris merasa lega ketika manajer cabangnya
menerima memo yang menginstruksikannya untuk melakukan pemeriksaan green card
pada pegawai-pegawainya. "Tak ada yang bisa kulakukan," kata sang manajer, kulitnya kemerahan
karena harus membagikan penghinaan kepada orang-orang ini. Pria yang baik.
Namanya Frank lucu untuk seorang pria yang menangani frankfurter sepanjang hah.?"Saranku, menghilanglah diam-diam
Maka mereka pun menghilang.[]
EMPAT Angrezi khana. Si juru masak membayangkan ham gulung yang dikeluarkan dari
kaleng dan digoreng dalam bentuk potongan-potongan tebal kemerahan, tentang
souffle ikan tuna, pai biskuit khari, dan merasa yakin bahwa karena putranya
memasak makanan Inggris, kedudukannya tentu lebih tinggi ketimbang jika dia
memasak makanan India. Rasa ingin tahu polisi polisi itu tampak terbang-kitkan oleh surat
?pertama yang mereka baca dan mereka pun mulai membacai surat-surat yang lain.
Untuk menemukan apa" Tanda-tanda adanya tindakan menyimpang" Uang dari penjualan
senjata" Atau apakah mereka sendiri ingin tahu bagaimana cara pergi ke Amerika"
Namun, meskipun surat-surat Biju merekam serangkaian pekerjaan, surat-
surat tersebut setiap kali menuturkan hal yang kurang lebih sama di luar nama
tempat usaha yang mempekerjakannya. Perulangannya memberikan rasa nyaman, dan
peru-langan si juru masak atas perulangan anaknya merajut kenyamanan itu
berlipat ganda. "Pekerjaan yang sangat bagus," dia memberi tahu kenalan-
kenalannya, "bahkan lebih baik ketimbang pekerjaan yang terakhir." Dia
membayangkan sofa TV rekening bank. Pada akhirnya, Biju akan memperoleh cukup
uang dan si juru masak akan pensiun. Dia akan mendapatkan seorang menantu
yang menyediakan makanannya, menggertakkan jari-jari kakinya, cucu-cucu untuk
dipukuli seperti lalat. Waktu mungkin telah mati di dalam rumah yang bertengger di punggung gunung
itu, garis-garisnya dikaburkan oleh lumut, atapnya penuh tumbuhan paku, tetapi
dengan setiap surat, si juru masak bergerak perlahan menuju masa depan.
Dia menulis surat balasan dengan hati-hati agar putranya tidak berpikir
buruk tentang ayahnya yang berpendidikan lebih rendah: "Pastikan kau mena-bung.
Jangan meminjamkan uangmu kepada siapa pun dan berhati-hatilah terhadap orang
yang kau ajak bicara. Di luar sana banyak orang yang akan mengatakan suatu hai
dan melakukan hai yang lain. Pembohong dan penipu. Ingatlah juga untuk
beristirahat. Pastikan kau cukup makan. Sehat Pangkal Kaya. Sebelum kau membuat
keputusan apa pun, bicarakan dengan Nandu."
Nandu adalah seorang pria sedesa yang berada di kota yang sama dengan
Biju. * Suatu kali tibalah selembar kupon di kotak pos Cho Oyu untuk mendapatkan
sebuah Globe Tiup National Geographic secara gratis. Sai mengisinya dan me-
ngirimkannya nun jauh ke sebuah PO Box di Omaha, dan ketika begitu lama waktu
berlalu sampai mereka melupakannya, benda itu tiba bersama selembar
surat keterangan yang memberi selamat kepada mereka karena telah menjadi
anggota yang mencintai petualangan menembus batas-batas pengetahuan dan
keberanian umat manusia selama nyaris seabad penuh. Sai dan si juru masak me-
mompa globe itu, menempelkannya ke porosnya dengan sekrup yang disediakan.
Jarang-jarang ada sesuatu yang tak terduga di dalam kotak pos dan tak pernah ada
sesuatu yang indah. Mereka mengamati gurun-gurun, gunung-gunung, warna hijau dan
kuning musim semi yang segar, salju di kutub; di suatu tempat pada bola indah
ini Biju berada. Mereka mencari New York, dan Sai berusaha menjelaskan pada si
juru masak mengapa di sana malam hah ketika di sini siang hah, persis seperti
Suster Alice mendemonstrasikannya di St. Augustine dengan jeruk dan senter. Si
juru masak merasa aneh kenapa India lebih dahulu memasuki hah, sebuah fakta
terbalik nan lucu yang tam-paknya tidak dicerminkan oleh keadaan lain yang
menyangkut kedua bangsa tersebut.
* Surat-surat bertebaran di atas lantai bersama be-berapa helai pakaian;
kasur usang telah dibalikkan, dan lapisan-lapisan koran yang diletakkan di ba-
wahnya untuk mencegah per tempat tidur menembus kasur tipis telah dihamburkan
secara acak-acakan. Polisi telah menyingkapkan kemiskinan si juru
masak, membongkar fakta bahwa dia tak terawat, bahwa martabat dirinya
tidak berdasar; mereka menghancurkan topeng itu dan melemparkannya ke muka si
juru masak. Polisi-polisi dan payungnya sebagian besar hi-tam, satu merah muda ?berbunga-bunga undur diri melalui kekusutan tanaman nightshade.
?Dengan berlutut, juru masak mencari-cari kenop perak jam tangannya, tetapi
benda itu telah menghilang.
"Yah, mereka harus memeriksa segala sesuatunya," dia berkata. "Sudah
sewajarnya. Bagaimana mereka tahu bahwa aku tidak bersalah" Sering kali
pelayanlah yang mencuri."
* Sai merasa malu. Dia jarang berada di dalam gubuk si juru masak, dan
ketika Sai mencari si juru masak dan masuk, si juru masak terlihat tidak nyaman,
begitu pula Sai, hal ini ada kaitannya dengan kedekatan mereka yang akhirnya
terungkap sebagai sesuatu yang palsu, persahabatan mereka terdiri dari hal-hal
permukaan yang dilakukan dalam baha-sa yang patah-patah karena Sai adalah
pengguna bahasa Inggris dan si juru masak adalah pengguna bahasa Hindi.
Ketidaklancaran bahasa itu memper-mudah mereka untuk tak pernah masuk lebih
dalam, tak pernah masuk ke apa pun yang memerlukan kosakata rumit, tetapi Sai
selalu merasakan simpati saat melihat wajah juru masak yang masam,
mendengar si juru masak melakukan tawar-menawar di pasar, merasa bangga
bahwa dirinya tinggal ber-sama seorang pria yang begitu sulit yang bagai-manapun
bicara kepadanya dengan penuh kasih, memanggilnya Babyji atau Saibaby.
Sai berjumpa si juru masak kali pertama ketika dia dikirim dari St.
Augustine's di Dehra Dun. Sembilan tahun lalu. Taksi menurunkan Sai dan rembulan
bersinar cukup terang hingga dia bisa membaca nama rumah itu Cho Oyu saat ? ?menung-gu, sebagai sesosok figur kurus di depan pagar, kemungilan tubuh Sai
menegaskan keluasan lan-skap. Sebuah koper logam berada di sisinya. "Miss S.
Mistry, Biara St. Augustine." Tetapi gerbang itu terkunci. Sopir taksi memukul-
mukul pagar dan berteriak.
"CV, koi hai" Khansama" Uth. Koi hai" Uth. Khansama?"
Kanchenjunga bersinar menakutkan, pepohonan membentang di kedua sisinya,
batang-batangnya pucat, daun-daunnya hitam, dan di baliknya, di antara pilar-
pilar pohon, sebuah jalan setapak mengarah menuju rumah itu.
Rasanya lama sekali sampai mereka mendengar suara peluit ditiup serta
melihat lentera mendekat, dan tibalah si juru masak, dengan kaki bengkok
menyusuri jalan setapak, wajahnya terlihat seperti terbuat dari kulit binatang,
sama kisut dan kotornya, seperti sekarang, dan seperti sepuluh tahun yang akan
datang. Seorang lelaki dirundung kemiskinan yang dengan kecepatan tinggi berubah


Senja Di Himalaya The Inheritance Of Lose Karya Kiran Desai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjadi pria jompo. Masa kanak-kanak yang sing-kat, masa tua yang
berkepanjangan. Ada beda satu generasi antara si juru masak dan sang hakim,
tetapi orang tak akan tahu saat melihat mereka. Ada kerentaan dalam temperamen
si juru masak, dalam ketelnya, pakaiannya, dapurnya, suaranya, wajahnya, dalam
kekotoran yang tak terusik, aroma permanen yang tak kunjung hilang dari
sepanjang hidup memasak, bau rokok dan minyak tanah.
* "Berani-beraninya mereka berbuat begini kepada-mu," kata Sai, berusaha
mengatasi jurang antara mereka saat berdiri bersama mengamati kekacauan yang
telah ditinggalkan polisi dalam gubuk ini.
"Tetapi kalau tidak begitu, penyelidikan macam apa yang mereka lakukan?"
si juru masak beralasan. Dalam upaya menghibur harga diri si juru masak dengan dua cara yang
berbeda, mereka malah semakin menegaskan kehancurannya.
Mereka membungkuk untuk mengumpulkan benda-benda milik juru masak, dengan
hati-hati pria itu meletakkan lembar-lembar surat dalam amplop yang sesuai.
Suatu hah dia akan mengembalikan surat-surat tersebut kepada Biju agar putranya
itu memiliki rekaman perjalanannya serta merasa bangga dan berhasil.[]
LIMA Biju di Baby Bistro. Di atas, restoran ini adalah restoran Prancis, tetapi di dapur bawahnya
ini adalah restoran Meksiko dan India. Dan, ketika seorang Paki (orang Pakistan)
diperkerjakan, ini adalah restoran Meksiko, India, dan Pakistan.
* Biju di Le Colonial untuk pengalaman kolonial autentik.
Di lantai atas, para kolonial kaya, dan jauh di lantai bawah, para pribumi
miskin. Orang Kolombia, Tunisia, Ekuador, Gambia.
* Di Stars dan Stripes Diner. Bendera Amerika selu-ruhnya di lantai atas,
bendera Guatemala seluruh-nya di lantai bawah.
Plus satu bendera India ketika Biju tiba.
* "Di mana Guatemala itu?" Biju harus bertanya
"Di mana, sin, Guam itu?" "Di mana Madagaskar itu?" "Di mana Guyana itu?"
"Kau tidak tahu?" kata si orang Guyana. "Orang India ada di mana-mana di
Guyana, Bung." "Banyak orang India di Guam. Bisa dibilang, ke mana pun orang memandang
ada orang India." "Trinidad?" "Trinidad penuh orang India! Mereka mengatakan percaya tidak" 'Bukalah ? ?sekaaleng saalmon, Buung.1"
Madagaskar orang India orang India.
?Cile di toko bebas bea Zona Rosa T ierra del Fuego, orang-orang India,
?wiski, peralatan elektro-nik. Getir mengingat orang-orang Pakistan di dalam
bisnis mobil bekas Areca. "Ah ... lupakan ... biarkan bhenchoot-bhenchoot itu
mengais recehan bagian mereka
Kenya. Afrika Selatan. Arab Saudi. Fiji. Selandia Baru. Suriname.
Di Kanada, dulu sekali tibalah sekelompok orang Sikh; mereka pergi ke
wilayah-wilayah pelosok dan para perempuannya membuka saiwar mereka serta
mengenakan kurta seperti gaun.
Orang India, ya, di Alaska; seorang desi men-jalankan toko kelontong
terakhir di kota terakhir sebelum Kutub Utara, sebagian besar menyediakan
makanan kaleng, peralatan memancing, berkan-tung-kantung garam, dan sekop;
istrinya tinggal di Karnal dengan anak-anak mereka. Di sana anak-anak mereka
bisa bersekolah di Taman Kanak-Kanak
Little Angels berkat pengorbanan sang suami.
Di Laut Hitam, ya, orang-orang India, men-jalankan bisnis rempah-rempah.
Hong Kong. Singapura. Bagaimana bisa dia tumbuh besar tanpa mem-pelajari apa-apa" Inggris dia
tahu, dan Amerika, Dubai, Kuwait, tetapi tak banyak yang dia tahu selain itu.
* Seluruh dunia ada di dapur bawah tanah New York, tetapi Biju tidak siap
untuk itu dan nyaris merasa lega ketika orang Pakistan datang. Setidaknya dia
tahu apa yang harus dilakukan. Dia menulis surat dan memberi tahu ayahnya.
Si juru masak merasa khawatir. Di tempat ma-cam apa anaknya bekerja" Dia
tahu itu adalah negara tempat semua orang dari seluruh penjuru dunia datang
untuk bekerja, tetapi oh, tentunya bukan orang Pakistan! Tentunya mereka tidak
akan dipekerjakan. Tentunya orang India lebih disukai?"Hati-hatilah," si juru masak menulis pada putranya. "Berhati-hatilah.
Berhati-hatilah. Jaga jarak. Jangan memercayainya."
Putranya telah membuatnya bangga. Biju merasa tak bisa berbicara langsung
kepada orang itu; setiap molekul tubuhnya merasakan kepura-puraan, tiap helai
rambutnya menjadi siaga. Desi melawan Paki. Ah, perang lama, perang terhebat
?Di mana lagi kata-kata meluncur keluar dengan mudah karena berabad-abad
latihan" Bagaimana lagi ruh ayahmu, kakekmu, bangkit dari kematian"
Di sini di Amerika, tempat segala bangsa menegaskan stereotipenya
?Biju merasa dia tengah mencebur dalam mandi air ketuban yang hangat.
Namun, kemudian air itu menjadi dingin. Perang ini, bagaimanapun, tidak
memuaskan; perang ini tidak bisa berlangsung terlalu dalam, rasa kaku ini tak
pernah bisa dikertakkan, rasa gatal ini tak pernah bisa digaruk; kejengkelan ini
semakin menjadi dengan sendirinya, dan para petarung semakin kegatalan.
"Babi babi, dasar anak babi, sooar ka baccha," seru Biju.
"Uloo ka patha, dasar anak burung hantu, India berengsek rendahan."
Mereka membuat benteng pertahanan pada titik-titik kritis. Mereka saling
melempar meriam kubis. MM" kata si orang Prancis.
Bagi telinga mereka, itu terdengar seperti embusan dandelion marah, tetapi
yang dikatakan-nya adalah bahwa mereka berdua adalah pasangan yang menyusahkan.
Suara pertengkaran mereka telah menaiki tangga serta memperdengarkan nada yang
sumbang, dan mereka bisa mengacaukan
keseimbangan, dunia pertama yang sempurna di atas, dunia ketiga yang
sempurna dua puluh dua anak tangga di bawahnya. Campurkan keduanya dalam satu
tumpukan dan lantas siapa yang akan menjadi pelanggan restorannya, hml Dengan
coquilles Saint-Jacques a tavapeur seharga 27.50 dolar dan bfanquette de veau
seharga 23 dolar, serta seekor bebek yang menjadi pengantar menuju wilayah-
wilayah koloni, duduk seperti seorang pasha di atas bantal lemaknya sendiri,
memancar-kan aroma saffron.
Apa yang mereka pikirkan" Apakah restoran di Paris memiliki ruang bawah
tanah penuh dengan orang Meksiko, desi, dan Paki"
Tidak, tidak. Apa yang kalian pikirkan" Mereka memiliki ruang bawah tanah
penuh dengan orang Aljazair, Senegal, Maroko.
Selamat tinggal, Baby Bistro. "Gunakan waktu luang untuk mandi," kata si
pemilik. Dia sudah cukup berbaik hati mempekerjakan Biju meskipun dia merasa
Biju bau. Paki ke satu arah, Biju ke arah lain. Mengitari sudut, saling bertemu
lagi, berbalik lagi.[] ENAM Demikianiah, ketika Sai menunggu di gerbang, si juru masak datang dengan
kaki bengkok menyusuri jalan setapak dengan lentera di tangannya, meniup peluit
untuk mengusir serigala, dua ekor ular kobra, dan maling setempat, Gobbo, yang
merampok semua penduduk di Kalimpong secara bergiliran dan memiliki saudara di
kepolisian untuk melindunginya.
"Apakah kau datang dari Inggris?" si juru masak bertanya kepada Sai
sembari membuka gembok dan gerendel gerbang yang besar-besar itu, meskipun siapa
saja bisa dengan mudah memanjat pinggiran sungai atau naik dari arah jurang.
Sai menggelengkan kepala.
"Amerika?" Tak masalah ada air dan listrik," kata si juru masak. Kekaguman
menelan kata-katanya, membuat kata-kata itu terdengar puas diri dan gemuk
seperti uang dunia pertama.
"Bukan," sahut Sai.
"Bukan" Bukan?" Kekecewaannya sangat dalam. "Dari luar negeri." Tak ada
tanda tanya. Mengulangi fakta dasar yang tak perlu dipertanyakan. Mengangguk-
anggukkan kepala seolah-olah Sailah yang mengatakannya, bukan dirinya.
"Bukan. Dari Dehra Dun."
"Dehra Dun!" Tercengang, "Kamaaf hai," seru si
juru masak. "Kami di sini sudah begitu ribut, mengira kau datang dari
jauh, padahal selama ini ternyata kau tinggal di Dehra Dun. Kenapa kau tidak ke
sini dari dulu" "Yah," lanjut si juru masak ketika Sai tidak menjawab, "Di mana
orangtuamu?" "Mereka sudah meninggal," sahut Sai. "Meninggal." Juru masak menjatuhkan
lentera dan api pun padam. "Baap re\ Aku tak pernah diberi tahu apa-apa. Apa
jadinya dirimu, anak malang?" kata si juru masak dengan nada mengasihani dan
putus asa. "Di mana mereka meninggal?" Karena api lentera telah padam,
pemandangan diliputi cahaya bulan yang misterius.
"Rusia." "Rusia! Tetapi di sana tidak ada pekerjaan." Kata-katanya kembali menjadi
kurs mata uang yang jatuh, uang dunia ketiga yang sial. "Apa yang mereka lakukan
di sana?" "Ayahku adalah pilot pesawat luar angkasa."
"Pilot pesawat luar angkasa, aku tak pernah mendengar hai semacam itu Si
juru masak memandangi Sai dengan curiga. Ada yang salah dengan gadis ini, dia tahu
itu, tetapi gadis ini toh sudah di sini. "Harus tinggal di sini sekarang,"
pikirnya. "Tak ada pilihan lain bagimu ... begitu me-nyedihkan ... sayang sekali
Anak-anak kadang mengarang-ngarang cerita atau diberi cerita karangan untuk
menutupi kenyataan yang tidak menyenangkan.
Si juru masak dan sopir taksi bersusah payah
mengangkut koper karena jalan setapak itu terlalu penuh dengan alang-alang
sehingga tidak cukup untuk dilewati mobil; hanya sebentang jalur sempit yang
pernah dilalui. Si juru masak membalikkan badan: "Bagaimana mereka meninggal dunia?"
Pada suatu titik di atas, terdengar suara se-ekor burung yang terusik,
suara sayap-sayap lebar mengepak seperti sebuah baling-baling.
* Saat itu adalah sore yang tenang di Moskow, dan Mr. serta Mrs. Mistry
tengah menyeberangi alun-alun menuju Perhimpunan Perjalanan Antar Planet. Ayah
Sai telah tinggal di tempat ini sejak dia terpilih dari Angkatan Udara India
sebagai calon kandidat untuk Program Interkosmos. Ini adalah hari-hari terakhir
romansa India-USSR dan sudah terdapat aroma buket bunga kering di udara, dalam
perca-kapan antara para ilmuwan yang dengan mudah berubah menjadi air mata dan
nostalgia akan tahun-tahun cumbu rayu mawar merah antara kedua negara tersebut.
Mr. dan Mrs. Mistry tumbuh pada masa-masa menggairahkan itu ketika cinta
kasih antar kedua negara dipererat dengan jual beli senjata, kompetisi olahraga,
kunjungan kelompok tari, dan buku-buku bergambar yang memperkenalkan satu
generasi anak sekolahan India pada Baba Yaga, yang tinggal di rumahnya di atas
cakar ayam dalam kegelapan
hutan Rusia masa prasejarah; pada kesulitan-kesu-litan Pangeran Ivan dan
Putri Ivanka sebelum mereka hidup bahagia selamanya di istana dengan kubah
berbentuk bunga bakung. Pasangan suami-istri itu berjumpa di sebuah taman umum di Delhi. Mrs.
Mistry, yang saat itu masih anak kuliahan, biasa keluar dari asramanya untuk
belajar dan mengeringkan rambut dalam nau-ngan dan kedamaian sebuah pohon neem.
Ibu asrama memperbolehkan anak-anak asramanya pergi ke tempat itu. Mr. Mistry
datang ke sana dengan berlari-lari kecil. Dia sudah bergabung dengan Angkatan
Udara, kekar dan tinggi, dengan kumis rapi. Sang pelari mendapati gadis kuliahan
ini sungguh cantik menawan, dengan raut muka separuh masam separuh manis
sehingga dia berhen-ti untuk memandangi. Mereka jadi akrab dalam petak berumput
ini, sapi-sapi yang diikat ke mesin pemotong rumput besar yang berkarat berjalan
mondar-mandir dengan perlahan di depan sebuah makam Mughal yang mulai runtuh.
Sebelum setahun berlalu, di bagian tengah makam yang dalam dan dingin, saat
cahaya tak langsung berwarna keemasan melintas dari ceruk ke ceruk yang sunyi,
semakin samar, semakin wangi melalui panel-panel yang terpahat yang masing-
masing memancarkan cahaya dengan pola renda yang berbeda bebu-ngaan, bintang-?bintang di atas lantainya, Mr. Mistry melamar. Mrs. Mistry berpikir cepat.
?Asmara-nya dengan Mr. Mistry telah membuatnya bisa melepaskan diri dari
kesedihan masa lalunya dan
keboyakan kehidupannya saat ini sebagai seorang gadis. Ada saat ketika
setiap orang ingin menjadi dewasa, dan Mrs. Mistry pun mengiyakan. Si pilot dan
si mahasiswi, si Zoroaster dan si Hindu, keluar dari makam pangeran Mughal
dengan mengetahui bahwa tak ada selain mereka yang akan terkesan oleh percintaan
sekuler yang hebat ini. Meskipun demikian, mereka menganggap diri mereka berun-
tung telah menemukan satu sama lain, masing-masing hampa karena kesepian yang
sama, masing-masing menarik sebagai orang asing bagi yang lain, tetapi sama-sama
terdidik dengan pandangan barat sehingga mereka bisa bernyanyi bersama dengan
cukup merdu sembari memetik gitar. Mereka merasa bebas dan berani, bagian dari
sebuah bangsa modern di sebuah dunia yang modern.
* Pada 1955, Kruschev sudah mengunjungi Kashmir dan menyatakan bahwa Kashmir
selamanya merupakan bagian India, dan beberapa saat setelahnya, kelompok tari
Bolshoi menampilkan Swan Lake di hadapan penonton Delhi yang untuk acara itu me-
ngenakan sari sutra terbaik serta permata terbesar mereka.
Dan, tentu saja, saat itu adalah hari-hari awal penjelajahan angkasa.
Seekor anjing bernama Laika diterbangkan dalam Sputnik II. Pada 1961, seekor
simpanse bernama Ham melakukan perjalanan itu. Setelahnya, pada tahun yang sama,
Yuri Gagarin. Seiring tahun berlalu, tidak hanya orang Amerika dan Soviet, anjing dan
simpanse, tetapi juga seorang berkebangsaan Vietnam, seorang berkebang-saan
Mongol, seorang berkebangsaan Kuba, seorang perempuan, dan seorang kulit hitam
pergi ke luar angkasa. Satelit dan pesawat ulang-alik mengorbit bumi dan bulan;
mendarat di Mars, diluncurkan ke Venus, dan berhasil terbang melewa-ti Saturnus.
Pada masa ini, satu tim tamu pakar aeronautika dan penerbangan Soviet yang telah
diberi instruksi oleh pemerintah mereka guna mencari calon kandidat untuk
dikirim ke angkasa luar tiba di India. Ketika mengunjungi fasilitas ang-katan
udara di ibu kota negara tersebut, perhatian mereka tertawan oleh Mr. Mistry,
tidak hanya karena kompetensinya, tetapi juga karena tekad baja yang bersinar
dari matanya. Mrs. Mistry telah bergabung dengan segelintir kandidat lain di Moskow, dan
Sai yang berusia enam tahun buru-buru dititipkan ke biara tempat ibunya dahulu
bersekolah. Kompetisi sangat ketat. Persis sewaktu Mr. Mistry menuturkan pada istrinya
mengenai keyaki-nan bahwa dirinya akan terpilih di antara kolega-koleganya untuk
menjadi orang India pertama yang berada di luar pengaruh gravitasi bumi, takdir
menentukan lain, dan alih-alih menderu menembus stratosfer, dalam kehidupan ini,
dalam tubuh ini, dia diantar menuju pemandangan dunia lain yang berbeda saat dia
dan istrinya dilindas oleh roda bus lokal, yang dimuati tiga puluh wanita gagah
berani dari berbagai provinsi yang telah menempuh dua hah perjalanan untuk
melakukan barter dan menjual barang-barang dagangannya di pasar.
Maka demikianlah mereka meninggal di bawah roda orang-orang asing, di
tengah peti-peti kayu boneka babushka yang bersarang di dalamnya. Jika memang
pikiran terakhir mereka adalah tentang putri mereka di St. Augustine, Sai tak
akan pernah tahu. * Moskow bukan merupakan bagian dari kurikulum biara. Sai membayangkan
arsitektur besar yang suram, kukuh, berotot kuat, berahang buldog, dalam naungan
abu-abu Soviet, di bawah langit abu-abu Soviet, di sekitar orang-orang Soviet
berwarna abu-abu yang menyantap makanan Soviet berwarna abu-abu. Sebuah kota
yang maskulin, tanpa hiasan tambahan ataupun kekurangan, tanpa tonjolan, tanpa
sudut yang rumit. Aliran tak terken-dali warna merah tua sekarang mengisi
gambaran ini, tampil di layar.
"Aku sangat berduka," kata Suster Caroline, "sangat berduka mendengar
kabar itu, Sai. Kau harus tabah."
"Aku yatim piatu," Sai berbisik kepada dirinya sendiri, saat beristirahat
di ruang kesehatan. "Kedua orangtuaku telah tiada. Aku seorang yatim piatu."
Sai benci biara itu, tetapi tak ada hai lain yang
bisa dia ingat. "Sai tersayang," demikian tulis ibunya, "yah, musim dingin datang lagi dan
kami mengeluarkan pakaian-pakaian wol yang berat. Bertemu Mr. dan Mrs. Sharma
untuk bermain bridge dan papamu curang seperti biasa. Kami menikmati makan ikan
hering, sejenis ikan berbau tajam yang harus kaucicipi suatu hah nanti."


Senja Di Himalaya The Inheritance Of Lose Karya Kiran Desai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sai membalas pada sesi-sesi menulis surat yang disupervisi:
"Mami dan Papa tersayang, bagaimana kabar kalian" Aku baik-baik saja. Di
sini sangat panas. Ke-marin kami ujian sejarah dan Arlene Macedo men-contek
seperti biasa." Akan tetapi, surat-surat itu seperti latihan di buku. Sudah dua tahun
penuh Sai tidak berjumpa kedua orangtuanya, dan urgensi emosional kehadiran
mereka telah lama hilang. Sai berusaha menangis, tetapi tidak bisa.
* Dalam ruang konferensi di bawah sebuah patung Yesus mengenakan dhoti yang
digantungkan pada dua batang kayu yang dipernis, para biarawati berunding dengan
penuh keprihatinan. Bulan ini tak akan ada wesel dari keluarga Mistri dalam
perben-daharaan biara, tak ada sumbangan wajib untuk dana renovasi toilet dan
dana bus, untuk hari-hari libur dan perayaan.
"Anak yang malang, tetapi kita bisa apa?" Para
biarawati berdecak-decak karena mereka tahu Sai adalah masalah istimewa.
Para biarawati yang lebih tua ingat ibu Sai dan fakta bahwa sang hakim mem-bayar
biaya pengasuhannya tetapi tidak pernah berkunjung. Tentu saja, ada bagian-
bagian lain dari kisah tersebut yang tak satu pun dari mereka akan bisa
menyatukannya karena sebagian cerita itu telah hilang, sebagian lagi telah
dilupakan dengan sengaja. Yang mereka tahu tentang ayah Sai hanyalah bahwa dia
dibesarkan di sebuah yayasan Zoroaster untuk anak yatim piatu, dan bahwa dia
dibantu oleh seorang donor dermawan sejak sekolah dasar sampai perguruan tinggi,
dan akhirnya hingga masuk ke angkatan udara. Ketika orangtua Sai ka-win lari,
kerabat di Gujarat, yang merasa diperma-lukan, memutuskan hubungan keluarga
dengan ibu Sai. Dalam negara yang begitu penuh kerabat, Sai menderita kekurangan.
Hanya ada satu nama dalam buku daftar ber-judul "Hubungi dalam keadaan
darurat." Nama kakek Sai, pria yang dulu pernah membayar biaya sekolah:
Nama: Hakim Jemubhai Patel
Hubungan: Kakek dari pihak ibu
Jabatan: Hakim ketua (pensiun)
Agama: Hindu Kasta: Patidar Sai belum pernah bertemu kakek ini yang, pada 1957, diperkenalkan pada
orang Skotlandia yang telah membangun Cho Oyu dan sekarang sedang dalam
perjalanan pulang ke Aberdeen.
"Tempat itu sangat terpencil tetapi tanahnya potensial," kata si orang
Skotlandia, "kina, budi daya sutra, kepulaga, anggrek." Sang hakim tidak
tertarik pada kemungkinan agrikultural tanah itu tetapi tetap pergi melihatnya,
memercayai kata-kata pria tersebut kata-kata termasyhur seorang pria ?terhormat meski apa pun yang telah terjadi. Dia berkendara di atas punggung
?kuda, mendorong hingga terbuka pintu menuju ruang dengan luas berlebihan yang
diterangi cahaya seadanya, sebuah kualitas yang berubah dengan adanya sinar
matahari dari luar. Dia merasa tengah memasuki suatu sensitivitas alih-alih
sebuah rumah. Lantai rumah itu gelap, nyaris hitam, berpapan lebar; langit-
langitnya mirip tulang iga seekor paus, bekas kapak masih terlihat pada kayunya.
Sebuah perapian terbuat dari batu kali keperakan berkilau seperti pasir.
Tumbuhan paku-pakuan yang lebat menerobos memasuki jendela-jendela, lapisan kaku
dedaunan ditempeli spora, gumpalan-gumpalan berombak ditimpa serat halus
berwarna perunggu. Dia tahu di sini dirinya dapat menyadari kedalaman, keluasan,
ketinggian, dan sebuah dimensi lain yang lebih sulit ditangkap. Di luar, burung-
burung dengan warna cerah menukik serta bersiul, dan Pegunungan Himalaya
menjulang lapis demi lapis sampai puncak-puncak yang berkilauan itu membuktikan
betapa kecilnya manusia sehingga masuk akallah untuk menyerahkan semuanya,
mengosongkan segalanya. Sang hakim bisa tinggal di sini, dalam cangkang ini,
dalam tengkorak ini, dengan kenyamanan menjadi
orang asing di negaranya sendiri, karena kali ini dia tak akan mempelajari
bahasanya. Sang hakim tak pernah kembali ke pengadilan.
* "Selamat tinggal," ucap Sai, kepada irasionalitas biara, malaikat-malaikat
warna pastel yang manis serta Kristus yang berlumuran darah, yang disajikan
bersama-sama dalam kontras yang mengganggu. Selamat tinggal pada seragam yang
sangat berat untuk seorang gadis kecil, blazer berpundak mas-kulin serta dasi,
sepatu kuku sapi warna hitam. Selamat tinggal kepada temannya, Arlene Macedo,
satu-satunya murid lain yang memiliki latar belakang tidak konvensional. Ayah
Arlene, menurut pernya-taan Arlene, adalah seorang pelaut Portugis yang pernah
singgah dan sudah pergi. Bukan demi lautan, bisik gadis-gadis lain, melainkan
demi seorang penata rambut Cina di Hotel Claridge's di Delhi. Selamat tinggal
pada empat tahun mempelajari berat-nya rasa malu dan takut, seni bermuslihat,
tertangkap basah oleh detektif-detektif berjubah hitam, dan gemetaran di depan
aturan hukum yang memperlakukan kekhilafan dan kebingungan lumrah sehari-hari
dengan keseriusan kejahatan tingkat tinggi. Selamat tinggal pada:
a. berdiri di dalam tong sampah dengan memakai topi hukuman
b. terserang demam karena kepanasan terkena sinar matahari saat sedang
berdiri satu kaki c. dengan tangan terangkat ke udara
mengumumkan dosa-dosa pada pertemuan pagi
d- dipukul dengan tongkat sampai merah hitam biru dan kuning.
"Gadis tidak tahu malu," demikian Suster Caroline berkata kepada Sai, yang
tak mengerjakan PR, pada suatu hah, dan membuat pantatnya semerah pantat babun
agar Sai tanpa rasa malu segera bisa memiliki rasa malu.
Sistem di sana mungkin terobsesi dengan kesu-cian, tetapi sistem tersebut
sangat baik dalam mendefinisikan cita rasa dosa. Ada rangsangan untuk menggali
kekuatan rasa bersalah dan hasrat, untuk mendesakkan dan mendorong hasilnya.
Inilah yang telah dipelajari Sai. Ini di bagian bawahnya, sementara di bagian
atas ada doktrin pasti: cake lebih baik ketimbang laddoo, sendok garpu pisau
lebih baik ketimbang tangan, meneguk darah Kristus dan menyantap hosti tubuhnya
lebih beradab ketimbang mengalungi sebuah simbol kemaluan pria dengan karangan
bunga marigold. Bahasa Inggris lebih baik ketimbang bahasa Hindi.
* Pemahaman apa pun yang dipelajari Sai berada di antara kontradiksi-
kontradiksi, dan kontradiksi-kon-tradiksi itu sendiri telah diserap olehnya. Lochinvar" dan Tagore, ekonomi dan ilmu moral, tari Skotlandia dalam kostum ?"tartan dan tari panen Punjabi dalam
kostum dhoti, lagu kebangsaan dalam bahasa Bengali dan moto berbahasa
Latin yang tak dapat dipahami menghiasi emblem di saku blazer mereka serta
terdapat pada lengkungan di atas pintu masuk: Pisci tisci episcuium bascuium.
Semacam itulah. * Sai lewat di bawah moto ini untuk kali terakhirnya, ditemani seorang
biarawati tamu yang tengah mempelajari sistem keuangan biara, yang sekarang
hendak menuju Darjeeling. Di luar jendela, dari Dehra Dun ke Delhi, Delhi ke
Siliguri, mereka menyaksikan panorama kehidupan pedesaan dan India terlihat
setua biasanya. Para perempuan berjalan dengan menjunjung kayu bakar di atas
kepala, terlalu miskin untuk bisa mengenakan blus di bawah sari mereka. "Aib,
aib, aku tahu namamu," ucap sang biarawati, merasa gembira. Kemudian dia merasa
tak terlalu gembira. Saat itu dini hah dan rel kereta api penuh dengan deretan
pantat-pantat terbuka. Dari jarak sangat dekat, mereka bisa melihat lusinan
orang buang air besar di atas rel, membilas pantat mereka dengan air dari sebuah
wadah kaleng. "Orang-orang jorok," kata si biarawati, "kemiskinan tidak bisa
dijadikan alasan, bukan, jangan coba-coba bilang begitu kepadaku. Kenapa mereka
harus melakukan itu di sini?"
"Karena landaian," kata seorang sarjana berka-camata dengan raut serius
yang duduk di sebelah si biarawati, "tanah menurun ke arah rel kereta api, jadi ini memang tempat
yang baik." Sang biarawati tidak menyahut. Dan bagi orang-orang yang berak itu, orang-
orang di kereta sedemikian tidak pentingnya bahkan bukan spesies yang
?sama sampai-sampai mereka tidak peduli jika orang-orang yang lewat melihat
?pantat mereka yang menegang, sama tidak pedulinya dengan jika seekor burung
pipit melihat mereka. Begitulah seterusnya.
* Sai diam ... merasakan takdirnya tengah menunggu. Dia bisa merasakan
keberadaan Cho Oyu. "Jangan khawatir, Nak," kata si biarawati. Sai tidak menyahut, dan si
biarawati mulai merasa jengkel.
Mereka pindah ke sebuah taksi dan melintasi ik-lim yang lebih basah,
lanskap hijau yang kecokela-tan, berkeriang-keriut dan mengangguk-angguk diterpa
angin. Mereka berkendara melewati kedai-kedai teh di atas tonggak, ayam yang
dijual dalam keranjang rotan bulat, dan dewi-dewi Durga Puja tengah didirikan
dalam gubuk-gubuk. Mereka melalui sawah-sawah serta gudang-gudang yang tampak
reyot tetapi menampilkan nama perusahaan-peru-sahaan teh terkenal: Rungli
Rungliot, Ghoom, Goenkas.
"Jangan duduk saja mengasihani diri sendiri. Kau tidak beranggapan bahwa
Tuhan merajuk, bukan"
Dengan segala yang harus dilakukan-Nya?"
Mendadak di sebelah kanan, Sungai Teesta melonjak-lonjak ke arah mereka di
antara tepian sungai bertanah putih. Ruang terbuka dan matahari menghunjam
melalui jendela. Pantulan melipatgan-dakan serta menyalin cahaya, sungai,
masing-ma-sing menambahi sudut dan warna satu sama lain, dan Sai menjadi sadar
akan luasnya ruang yang tengah dia masuki.
Di tepian sungai, dengan air yang bergejolak itu mengalir cepat, matahari
sore dalam bentuk bintik-bintik besar tampak di sela-sela pepohonan, mereka
berpisah. Ke arah timur adalah Kalimpong, nyaris tak mampu terus bertengger di
antara bebukitan Deolo dan Ringkingpong. Ke arah barat adalah Darjeeling,
melandai pada Pegunungan Singalila. Si biarawati mencoba memberi nasihat
terakhir, tetapi suaranya ditenggelamkan oleh deru sungai sehingga dia mencubit
pipi Sai sebagai salam perpisahan. Pergilah dia dalam jip Sisters of Ciuny,
mendaki enam ribu kaki memasuki negara penanam teh menuju kota yang hitam dan
berlumpur, yang di-penuhi dengan kompleks-kompleks biara yang menjamur dalam
kabut yang basah. * Malam turun dengan cepat setelah matahari terbe-nam. Dengan mobil miring
ke belakang sehingga moncongnya menghadap langit, mereka melaju meliuk-
liuk salah gerak sedikit saja mereka akan?jatuh terguling. Maut berbisik ke telinga Sai, hidup melompat-lompat dalam
nadinya, jantungnya mele-sak, mereka naik dengan berputar-putar. Tak ada
penerangan jalan di sepanjang Kalimpong, dan lampu-lampu rumah begitu remang-
remang sehingga hanya terlihat saat dilewati; lampu-lampu itu muncul tiba-tiba
dan lenyap seketika. Orang-orang yang berjalan dalam kegelapan tersebut tak
membawa obor ataupun lentera, dan lampu depan mobil menangkap mereka tengah
menyeberangi jalan saat mobil lewat. Sopir taksi membelok dari jalan aspal ke
jalan tanah, dan akhirnya taksi berhenti di tengah belantara di samping gerbang
yang tergantung di antara pilar-pilar batu. Suara mesin perlahan menghilang;
lampu mobil padam. Hanya ada hutan yang mengeluarkan suara ssss tseu ts ts
seuuu.[] TUJUH Oh, kakek yang lebih mirip kadal ketimbang manusia.
Anjing yang lebih mirip manusia ketimbang an-jing.
Wajah Sai terbalik dalam sendok supnya.
Untuk menyambut Sai, si juru masak telah mem-bentuk pure kentang menjadi
sebuah mobil, mengi-ngat-ingat kembali keterampilan masa lalu yang telah lama
terlupakan, ketika, menggunakan medium yang sama, dia menciptakan sebuah kastil
meriah yang dihiasi panji-panji kertas, ikan dengan cincin hidung kaku, landak
dengan duri dari seledri, ayam dengan telur sungguhan diletakkan di belakangnya
untuk menciptakan efek lucu.
Mobil ini memiliki roda dari potongan tomat dan dekorasi yang diambil dari
serpihan-serpihan lama kertas timah yang diperlakukan si juru masak sela-yaknya
logam berharga, dengan mencucinya, me-ngeringkannya, menggunakan benda itu lagi
dan lagi sampai hancur menjadi carikan kertas timah kepe-rakan yang masih juga
tak tega dibuangnya. Mobil itu bertengger di tengah meja, bersama dengan potongan daging domba
berbentuk dayung, kacang hijau yang terendam air, dan bonggol kembang koi
disiram saus keju yang terlihat seperti
otak berselubung. Semua hidangan mengeluarkan pilinan uap dengan hebat,
gumpalan uap beraroma makanan memadat di wajah Sai. Ketika uap sedikit
menjernih, dia melihat kakeknya lagi di ujung meja dan anjing yang berada di
atas kursi lain di samping sang kakek. Mutt tengah tersenyum kepala men-?condong, buk buk bunyi ekornya memukul tempat duduk tetapi sang hakim tampak
?tak menyadari kedatangan Sai. Dia adalah sosok keriput dalam balutan kemeja
putih dan celana panjang hitam dengan gesper di bagian samping. Pakaian itu
sudah usang, tetapi bersih, disetrika oleh si juru masak, yang masih menyetrika
segala sesuatu piyama, handuk, kaus kaki, pakaian dalam, dan saputangan. Wajah
?sang hakim tampak jauh gara-gara sesuatu yang terlihat seperti bedak putih pada
kulit yang gelap atau apakah itu uap belaka" Dan dari sang hakim tercium aroma
?samar kolonye yang mirip antibiotika, agak terlalu jauh dari bau parfum, agak
terlalu dekat dengan bau cairan pengawet. Pada lekukan wajahnya terdapat lebih
dari satu hai yang menandakan reptil, dahi lebar yang botak, hidung yang
melengkung ke dalam, pipi yang cekung, ke-bergemingannya, bibirnya yang sangat
tipis, tata-pannya yang hampa. Seperti orang tua lainnya, dia tidak terkesan
maju mengarungi waktu melainkan mundur. Menyimak hal-hal prasejarah, hadir pada
ketakterhinggaan, dia mirip seekor makhluk Galapagos yang menatap lautan.
* Akhirnya, dia mendongak dan mengarahkan panda-ngannya pada Sai. "Nan,
siapa namamu?" "Sai."
"Sai?" tanyanya jengkel, seolah menjadi marah gara-gara suatu kelancangan.
Si anjing tersenyum. Anjing itu memiliki mon-cong yang anggun, sebuah
benjolan ningrat di puncak kepalanya, pantalon berkerut, ekor yang berpinggiran
rumit ?Sai tak pernah melihat anjing yang sedemikian cantik.
"Anjing Kakek mirip bintang film," kata Sai.
"Mungkin Audrey Hepburn," sahut sang hakim, berusaha tidak memperlihatkan
betapa senangnya dia mendengar komentar ini, "tetapi sudah tentu bukan salah
satu hantu mengerikan yang terpam-pang pada poster-poster di pasar itu."
Sang hakim mengambil sendoknya. "Supnya mana?"
Si juru masak lalai dalam kehebohannya membuat mobil pure kentang.
Sang hakim memukulkan tinjunya. Sup setelah hidangan utama" Rutinitas
telah dikacaukan. Tegangan listrik anjlok tiba-tiba seolah-olah menyesuaikan dengan
kemarahan sang hakim, dan bola lampu mulai mendengung seperti serangga yang
bergerak cepat di atas meja dengan pung-gungnya, jengkel akan voltase plin-plan
yang tidak bisa menghasilkan respons kamikaze ini. Si juru masak telah
memadamkan semua lampu lain di rumah itu untuk mengumpulkan sedikit daya yang
ada guna menyalakan lampu yang ini. Dan, dalam pencahayaan yang tak merata
ini, mereka adalah empat wayang orang dari sebuah dongeng yang bekerjap-kerjap
pada plesteran dinding yang tak rata seorang manusia kadal, seorang juru masak,
?seorang gadis berbulu mata tebal, seekor anjing serigala berekor panjang ....
"Harus memberi tahu si bodoh petugas kantor cabang itu," gerutu sang
hakim, "tetapi tak akan ada gunanya!" Dia membalikkan serangga yang ada di atas
meja dengan pisaunya, hewan itu berhenti mendengung, dan Mutt, yang sebelumnya
memer-hatikan serangga itu dengan terpana, memandangi sang hakim seperti seorang
istri yang penuh cinta. * Si juru masak membawa masuk dua mangkuk sup tomat asam pedas, sambil
bergumam, "Tak ada ucapan terima kasih buatku untuk apa pun .... Lihat saja apa
yang harus kutangani padahal aku sudah tidak lagi muda dan sehat .... Sungguh
payah jadi orang miskin, payah, payah, payah
Sang hakim mengambil sendok dari sebuah ca-wan krim dan memukulkan
gumpalan putih ke dalam merah.
"Yah," kata sang hakim kepada cucunya, "Orang tidak boleh saling
mengganggu. Harus cari guru privat buatmu wanita yang tinggal di lereng bukit, ?tak mampu membayar sekolah biara kenapa harus masuk dalam bisnis menggemukkan
?gereja ..." Lagi pula terlalu jauh, dan tak mampu mengongkosi transportasi lagi, bukan" Tak
bisa mengirimmu ke sekolah negeri, kurasa ... bisa-bisa kau nanti bicara dengan
aksen yang salah dan mengupil.
* Cahaya lampu sekarang meredup, menjadi seutas kawat pijar, rapuh seperti
mukjizat pertama Edison yang ditopang di antara dua jepit kawat dalam bola kaca
lampu bohlam. Lampu itu memancarkan lengkungan cahaya biru terakhir, lalu padam.
"Sialan!" kata sang hakim.
* Di tempat tidurnya malam itu, Sai berbaring di bawah selembar taplak
karena selimut terakhir telah lama rusak. Sai bisa merasakan kehadiran hutan
yang begitu luas, mendengar ketukan buku-buku kosong tanaman bambu, suara jhora


Senja Di Himalaya The Inheritance Of Lose Karya Kiran Desai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang mengalir dalam di belahan gunung itu. Terkalahkan oleh suara kegiatan rumah
tangga pada siang hah, dia muncul pada petang hah, bernyanyi dengan suara murni
ke dalam jendela-jendela. Struktur rumah itu tampak rapuh dalam ketenangan malam
ini hanya selapis sekam. Atap seng berderak-derak ditiup angin. Ketika Sai
?menggerakkan kakinya, jari-jari kakinya beringsut tanpa suara di sepanjang kain
usang itu. Dia mengalami perasaan menakutkan seolah tengah memasuki ruang yang
begitu besar sehingga menjangkau ke depan dan ke belakang sekaligus.
Tiba-tiba, seakan-akan sebuah pintu rahasia membuka dalam pendengarannya,
Sai menjadi sadar akan suara rahang-rahang yang sangat kecil meng-gerinda
perlahan rumah itu menjadi serbuk kayu, sebuah suara yang sulit dideteksi karena
sedemikian rapat menyatu dengan udara, tetapi sekali dikenali, menjadi sangat
keras. Dalam iklim seperti ini, Sai nantinya mengetahui, kayu yang tak terawat
bisa habis tergerogoti dalam waktu satu musim.[]
DELAPAN Di seberang koridor dari kamar Sai, sang hakim me-nelan sebutir Calmpose
karena dia mendapati dirinya terganggu oleh kedatangan cucunya. Dia berbaring
terjaga di tempat tidur, Mutt di sisinya. "Si mungil kesayangan," bisiknya penuh
cinta kepada Mutt. "Betapa panjang telinga ikalmu, hm" Lihatlah ikal-ikal ini."
Tiap malam Mutt tidur dengan kepala di atas bantal sang hakim, dan pada malam-
malam yang dingin Mutt diselimuti syal wol kelinci angora. Anjing itu tengah
tidur, meskipun demikian, salah satu telinganya ditelengkan karena dia
mendengarkan sang hakim sambil terus mendengkur.
Sang hakim mengambil sebuah buku dan mencoba membaca, tetapi tidak bisa.
Dia menyadari, dengan kaget, bahwa dia tengah memikirkan perjalanan-
perjalanannya sendiri, tentang kedata-ngan-kedatangan dan keberangkatan-
keberangka-tannya, dari tempat-tempat nun jauh pada masa lalunya. Dia kali
pertama meninggalkan rumah pada usia dua puluh tahun, dengan sebuah koper logam
hitam persis seperti yang dibawa Sai ketika datang, yang di atasnya tertera
huruf-huruf berwarna putih: "Mr. J.P. Patel, SS Strathnaver." Tahunnya adalah
1939. Kota yang dia tinggalkan adalah kampung halaman leluhurnya di Piphit. Dari
sini dia melakukan perjalanan ke dermaga Bombay, lalu berlayar ke Liverpool, dan
dari Liverpool dia pergi ke Cambridge.
Bertahun-tahun telah berlalu, tetapi hah itu kembali mendatanginya dengan
jelas, dengan kejam. * Sang calon hakim, saat itu hanya dipanggil dengan nama Jemubhai atau
Jemu dihibur dengan permai-nan musik ketika berangkat oleh dua pensiunan ?anggota band militer yang disewa mertuanya. Mereka berdiri di peron di antara
bangku-bangku berlabel "Khusus India" dan "Khusus Eropa", ber-kostum jas merah
dengan hiasan kepang metalik pudar yang terurai di sekeliling lengan dan kerah
baju. Saat kereta meninggalkan stasiun, mereka memainkan "Take Me Back to Dear
Old Blightly", sebuah lagu yang seingatnya cocok dengan peristiwa kepergian.
Sang hakim ditemani ayahnya. Di rumah, ibu-nya menangis karena sebelumnya
tidak memperkira-kan ketidakseimbangan antara kepastian ucapan perpisahan dan
singkatnya saat terakhir.
"Jangan biarkan dia pergi. Jangan biarkan dia pergi."
Anak lelaki kecilnya dengan kumis tipis yang lucu, anak yang sangat
menyukai choorva istimewa buatannya yang tak akan dia temukan di Inggris, dan
sangat tidak suka dingin yang akan terlalu banyak dia alami di sana; dengan
sweter yang dia sulam dalam pola cukup rumit untuk menyatakan kebesaran kasihnya; dengan
Oxford English Dictio-nary-nya yang baru dan kelapa penuh dekorasi untuk
dilemparkan ke dalam ombak sebagai persem-bahan agar perjalanannya diberkati
oleh para dewa. Ayah dan anak tersentak-sentak maju sepanjang pagi dan sore, keluasan
lanskap yang selama ini tanpa sadar ditinggali Jemu menerakan kesan pada
dirinya. Fakta bahwa mereka duduk di dalam kereta api, kecepatannya, membuat
dunianya terkesan remeh, menunjukkan melalui setiap jendela bukti adanya
kehampaan yang siap siaga mencaplok sebongkah hati yang tak waspada. Dia
merasakan ketakutan yang menusuk, bukan akan masa depan-nya, melainkan ketakutan
akan masa lalunya, akan keyakinan konyol yang dia jalani di Piphit.
Bau tak enak Bebek Bombay yang dikeringkan pada perancah kayu di sepanjang
rel kereta api sesaat memadamkan pikirannya; ketika kereta melewati udara yang
netral, ketakutannya muncul lagi.
Dia memikirkan istrinya. Dia baru menikah se-bulan yang lalu. Dia akan
kembali ... bertahun-tahun dari sekarang ... dan lantas apa ..." Semua ini sangat
aneh. Istrinya baru berusia empat belas tahun dan dia belum melihat dengan baik
wajah perempuan itu. Mereka melintasi teluk air asin memasuki Bombay, tiba di Stasiun Victoria,
tempat mereka me-nolak para calo hotel dan menginap dengan seorang kenalan
mertuanya, lantas bangun pagi-pagi guna
menempuh perjalanan menuju Dermaga Ballard
* Ketika Jemubhai kali pertama mengetahui bahwa lautan bergerak mengelilingi
bola dunia, dia merasa dikuatkan oleh fakta ini, tetapi sekarang tatkala dia
berdiri di atas geladak kapal yang penuh tebaran konfeti, memandangi lautan yang
tengah mene-gangkan otot-ototnya yang tak ada habis-habis-nya, dia merasa
pengetahuan ini membuatnya lemah. Ombak-ombak kecil menyurut di sisi kapal dalam
desisan air soda yang kikir, yang sekarang ditingkahi oleh suara mesin. Saat
tiga tiupan peluit memecah udara, ayah Jemubhai, yang menelusuri geladak,
menemukan putranya. "Jangan khawatir," teriaknya. "Kau akan menjadi ranking pertama." Namun,
nada ketakutan membu-yarkan kepastian kata-katanya.
"Lempar kelapanya!" pekiknya.
Jemubhai memandangi ayahnya, seorang pria nyaris tak berpendidikan yang
nekat pergi ke tempat yang tak seharusnya dia datangi, dan cinta kasih dalam
hati Jemubhai bercampur dengan rasa kasihan, rasa kasihan berbaur dengan rasa
malu. Sang ayah merasakan tangannya sendiri terangkat dan menutupi mulutnya: dia
telah mengecewakan putranya.
Kapal bergerak, air membelah dan tumpah, ikan terbang meledakkan warna
perak di atas pecahan air, minuman Tom Collins diedarkan, dan atmosfer
pesta mencapai puncaknya. Kerumunan orang di pantai menjadi sampah yang
bergulung-gulung di tepian ombak: kerang dan starburst, renda pakaian dalam,
bungkus-bungkus kotor dan noda air liur, ekor ikan dan air mata ... Tak lama semua
itu lenyap dalam kabut. Jemu memandangi ayahnya menghilang. Dia tidak melempar kelapa itu dan
tidak menangis. Tidak akan pernah lagi dia mengenal cinta kepada ma-nusia yang
tak dinodai oleh emosi lain yang berten-tangan.
Mereka berlayar melewati Mercusuar Colaba dan memasuki Samudra Hindia
sampai hanya ada bentangan laut ke mana pun dia menghadap.
* Sungguh konyol dirinya terganggu oleh kedatangan Sai, membiarkan
kedatangan anak itu memicu kenangan masa lalunya. Tak diragukan lagi koper-koper
tersebut telah menyentak ingatannya.
Miss S. Mistry, Biara St. Augustine.
Mr. J.P. Patel, SS Strathnaver.
* Namun, dia terus teringat: ketika menemukan ka-binnya, dia mendapati diri
memiliki teman sekabin yang tumbuh besar di Calcutta dan mengarang soneta Latin
dalam gaya sebelas suku kata Catullus, yang telah dia cetak dalam jilid buku
bersepuh emas dan dia bawa serta. Hidung teman sekabin itu mengerut mencium
gumpalan acar milik Jemu yang dibungkus dalam seikat purr, bawang merah, cabai
hijau, dan garam dalam segulung koran; sebuah pisang yang dalam perjalanan telah
menjadi busuk gara-gara panas. Tak ada buah yang mengalami kematian sedemikian
kejam dan hina seperti pisang, tetapi buah itu telah diikutsertakan untuk
berjaga-jaga. Untuk berjaga-jaga akan Apa" Jemu berteriak tanpa suara kepada
ibunya. Untuk berjaga-jaga seandainya dia lapar di sepanjang perjalanan atau harus
menunggu sebelum makanan bisa disiapkan dengan selayaknya atau dia tak berani
pergi ke ruang makan di kapal, mengingat dia tak bisa makan dengan pisau dan
garpu?Dia marah karena ibunya telah memikirkan kemungkinan dia terhina dan
dengan begitu, pikir Jemubhai, malah mempercepat kejadiannya. Dalam upaya ibunya
untuk mencegah satu kehinaan, dia hanya berhasil menambahkan kehinaan lain.
Jemu memungut bungkusan itu, cepat-cepat pergi ke geladak, dan membuangnya
ke luar kapal. Apa ibunya tidak tahu betapa tidak patut sikapnya itu" Cinta yang
memalukan, cinta India, cinta yang jelek dan bau monster-monster lautan boleh
?mendapatkan apa yang telah begitu gigih dibungkus oleh sang ibu ketika bangun
dalam sentimentalitas dini hah itu.
Bau pisang busuk menyurut, oh, tetapi itu malah menyebabkan bau ketakutan
dan kesendirian terungkap sempurna. Di atas bangku tidurnya dalam kabin pada malam hah, lautan mengeluarkan
suara-suara menjilat yang tak senonoh di sekitar pinggiran kapal. Jemu berpikir
tentang bagaimana dia telah separuh mem-buka dan kembali memasangkan pakaian
istrinya dengan buru-buru, tentang bagaimana dia hanya sempat melihat sekilas
raut wajah perempuan tersebut, hanya potongan dan kilasannya ketika pallu yang
menyelubungi kepala istrinya meluncur turun. Bagaimanapun, saat mengenang
kedekatan dengan tubuh perempuan, kemaluannya menegang dalam kegelapan dan
bergoyang-goyang, sesosok makhluk laut sederhana yang buta tetapi menolak
ditolak. Dia merasa organ tubuhnya sendiri janggal: pantang menyerah tetapi
takut-takut; memohon tetapi sombong.
Mereka berlabuh di Liverpool dan band memain-kan "Land Of Hope and
Glory Tanah Pengharapan dan Kejayaan." Teman sekabinnya, yang mengena-kan jas
?wol, memanggil kuli untuk membantu meng-angkat barang-barang bawaannya seorang
?kulit putih untuk mengangkut tas-tas seorang kulit cokelat! Jemubhai membawa
tas-tasnya sendiri, berjalan terhuyung-huyung memasuki sebuah kereta, dan dalam
perjalanannya ke Cambridge, menda-pati dirinya dikejutkan oleh besarnya
perbedaan antara sapi Inggris (yang persegi) dan sapi India (yang berlekuk-
lekuk) saat mereka melewati ladang-ladang.
* Inggris, Jemubhai mengumpulkan keberanian untuk meminta makan malam yang
layak. "Kami sendiri tidak makan banyak pada malam hah, James," sahut Mrs. Rice,
"terlalu berat di perut untuk Bapak." Mrs. Rice selalu menyebut suaminya Bapak
dan dia memanggil Jemubhai dengan James. Namun, pada malam itu, Jemu mendapati
pada piringnya terhi-dang buncis panggang yang mengepul-ngepul di atas roti
panggang. "Terima kasih. Benar-benar enak," katanya se-waktu Mr. Rice duduk dengan
pandangan terus tertancap ke luar jendela.
* Nantinya, dia terheran-heran akan tindakan berani ini karena tak lama
kemudian dia kehilangan segala keberaniannya.
Dia diterima di Fitzwilliam berkat sebuah esai yang dia tulis untuk ujian
masuk, "Persamaan dan Perbedaan antara Revolusi Prancis dan Rusia." Fitzwilliam
bisa dibilang merupakan bahan tertawaan pada masa itu, lebih tepat disebut
bimbingan belajar ketimbang perguruan tinggi, tetapi Jemu langsung mulai belajar
karena itulah satu-satunya keterampilan yang bisa dia bawa dari satu negara ke
negara lain. Dia bekerja dua belas jam tanpa henti, sampai jauh malam, dan dalam
menarik diri seperti itu, dia tak bisa membuat langkah berani ke luar pada momen
yang tepat dan sebagai gantinya, mendapati bahwa kepengecutan dan kesendiriannya
Dia tak henti-henti terpana oleh pemandangan yang menyambutnya. Inggris
tempat dia mencari kamar untuk disewa terdiri dari rumah-rumah kelabu di jalan-
jalan kelabu, yang saling menempel seolah-olah disatukan oleh kertas perangkap
berpe-rekat. Itu mengejutkannya karena dia memperkira-kan hanya ada kemegahan,
tak menyangka bahwa di sini, juga, orang-orang bisa saja miskin dan menjalani
hidup yang tidak indah. Meskipun dia tak terkesan, demikian pula orang-orang
yang menja-wab ketukan pintunya, ketika mereka membuka pintu dan melihat
wajahnya: "Baru saja disewa," "Penuh Semua," atau bahkan sehelai tirai diangkat
dan cepat-cepat diturunkan, hening seakan-akan seluruh penghuni telah, pada
detik itu juga, mati. Dia mendatangi dua puluh dua rumah sebelum sampai di pintu
Mrs. Rice di Thornton Road. Sebetulnya Mrs. Rice juga tidak menginginkannya,
tetapi wanita itu membutuhkan uang dan letak rumahnya begitu rupa di seberang ?stasiun kereta api dari universitas sehingga dia khawatir tidak akan
?mendapatkan penyewa kamar.
Dua kali sehari Mrs. Rice meletakkan baki di kaki tangga telur rebus,
?roti, mentega, selai, susu. Se-telah serentetan malam berbaring dalam keadaan
terjaga mendengarkan gemuruh suara perutnya yang separuh kosong, nyaris menangis
memikirkan keluarganya di Piphit yang menganggapnya layak mendapatkan makan
malam panas seperti Ratu telah menemukan lahan yang subur. Dia menarik diri dalam kesendirian yang
semakin berat dari hah ke hah. Kesendirian itu menjadi kebiasaan, kebiasaan itu
menjadi manusia, dan melumatnya menjadi se-sosok bayang-bayang.
Namun bagaimanapun, bayang-bayang menciptakan kegelisahannya sendiri, dan
meskipun sudah berusaha bersembunyi, dia hanya semakin mem-pertegas sesuatu yang
mengganggu ketenangan orang-orang lain. Karena sepanjang hah tak ada yang bicara
padanya sama sekali, kerongkongannya tersumbat dengan kata-kata yang tak
terucap, hati dan pikirannya berubah menjadi benda-benda tumpul yang perih, dan
perempuan-perempuan tua, bahkan yang papa berambut biru, berbintik-bintik, ?wajah seperti labu busuk berpindah tempat ketika dia duduk di sebelah mereka
?dalam bus sehingga dia tahu bahwa apa pun yang mereka hadapi, mereka aman dalam
keyakinan bahwa hai tersebut bahkan sama sekali tidak seburuk apa yang dia
hadapi. Para perempuan yang lebih muda dan cantik tidak lebih ramah; gadis-gadis
memencet hidung mereka dan terkikik, "Fiuh, dia bau kare!"
* Demikianlah pikiran Jemubhai mulai menyimpang; dia menjadi semakin asing
dengan dirinya sendiri ketimbang dengan orang-orang di sekitarnya, merasa
kulitnya sendiri berwarna aneh, aksennya sendiri janggal. Dia lupa bagaimana
cara tertawa, nyaris tak mampu mengangkat bibirnya membentuk se-nyum, dan kalaupun tersenyum,
dia menutup mulutnya dengan tangan karena dia tak mampu membiar-kan siapa pun
melihat gusinya, giginya. Bagian-bagian itu terasa terlalu pribadi. Bahkan, dia
nyaris tak mampu membiarkan bagian mana pun dari tubuhnya mengintip dari
pakaiannya karena takut menyinggung orang. Dia mulai mandi dengan obsesif,
khawatir dituduh bau, dan setiap pagi dia menggosok hingga lepas aroma tidur
yang berat dengan bau susu, bau gudang ternak yang meliputinya ketika bangun dan
memenuhi kain piyamanya. Sampai akhir hayatnya, dia tak pernah terlihat tanpa
kaus kaki dan sepatu serta lebih memilih kegelapan ketimbang terang, siang hah
yang mendung ketimbang cerah, karena dia curiga cahaya matahari akan membuat
dirinya terlihat, dalam segala keburukannya, dengan terlalu jelas.
Dia sama sekali tidak melihat pemandangan de-sa Inggris, mengabaikan
keindahan bangunan-bangunan perguruan tinggi yang penuh ukiran serta gereja-
gereja yang dilukisi dengan daun emas dan malaikat-malaikat, tak mendengar
paduan suara bocah-bocah lelaki yang bersuara seperti bocah-bocah perempuan, dan
tak menyaksikan sungai hijau menggetarkan pantulan taman yang mengalir dari satu
taman ke taman yang lain atau angsa-angsa yang berenang terbelah dua dengan
bayangan mereka. * Pada akhirnya, dia merasa nyaris bukan manusia, melompat ketika disentuh
lengannya seolah-olah menghindar dari keakraban yang tak tertang-gungkan,
ketakutan dan menderita bahkan hanya demi sebuah "Bagaimana-kabar-Anda-hari-
yang-indah" dengan wanita gemuk berpakaian merah muda hangat yang menjalankan
toko di sudut jalan. "Apa yang bisa saya ambilkan untuk Anda" Katakan lagi,
bebek kata wanita itu menanggapi guma-mannya, mencondongkan tubuh ke depan untuk
mendengar kata-katanya, tetapi suara Jemubhai tersendat-sendat dan hilang saat
dia larut dalam air mata mengasihani diri mendapati perhatian remeh itu. Dia
mulai berjalan lebih jauh menyeberangi kota ke toko-toko yang lebih anonim, dan
ketika dia membeli sebuah sikat cukur, lalu si perempuan muda penjaga toko
berkata bahwa suaminya memiliki benda yang persis sama, saat menyadari kebutuhan
manusiawi mereka yang serupa, kedekatan hubungan mereka, bercukur, suami,
Jemubhai terguncang oleh kenekatan pernyataan itu.
* Sang hakim menyalakan lampu dan melihat tanggal kedaluwarsa pada bungkus
Calmpose. Tidak, obat ini belum kedaluwarsa: seharusnya manjur. Namun, alih-alih
membuatnya tidur, obar ini malah menye-babkannya mengalami mimpi buruk dalam
keadaan terjaga. Dia terbaring di sana sampai sapi-sapi mulai
melenguh seperti peluit kabut menembus kabut dan ayam jantan Paman Potty,
Kookar Raja, mengibar-kan kukuruyuknya ke udara seperti bendera, terdengar
konyol sekaligus nyaring seolah-olah memanggil semua orang ke sirkus. Ayam itu
sudah sehat lagi setelah Paman Potty menjungkirnya, memasukkannya dengan kepala
terlebih dahulu ke dalam sebuah kaleng logam dan membasmi lalat-lalat hijau di


Senja Di Himalaya The Inheritance Of Lose Karya Kiran Desai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bagian pantatnya dengan sem-protan keras obat pembunuh serangga.
* Dihadapkan lagi dengan cucunya, yang duduk di meja sarapan, sang hakim
menginstruksikan kepada si juru masak untuk mengantar Sai menemui guru les yang
dia sewa, seorang wanita bernama Noni yang tinggal dalam jarak satu jam jalan
kaki dari situ. * Sai dan si juru masak menyusuri dengan susah payah jalur panjang yang
membentang kecil dan hitam seperti ular pemakan tikus naik-turun perbukitan, dan
si juru masak memberitahukan kepada Sai hal-hal penting dari kampung halaman-nya
yang baru, menunjukkan rumah demi rumah dan menyampaikan siapa yang tinggal di
mana. Ada Paman Potty, tentu saja, tetangga terdekat mereka, yang telah membeli
tanahnya dari sang hakim bertahun-tahun lalu, seorang petani kaya dan pemabuk; dan temannya,
Bapa Booty, yang memiliki perusahaan susu Swiss, yang mengha-biskan tiap malam
untuk minum-minum bersama Paman Potty. Kedua lelaki itu memiliki mata merah
seperti kelinci, gigi mereka cokelat gara-gara tem-bakau, sistem pencernaan
mereka perlu dibersihkan, tetapi jiwa mereka masih gesit. "Halo Dolly," ucap
Paman Potty, melambai kepada Sai dari beranda-nya, yang menjulur seperti geladak
kapal di atas lereng yang curam itu. Di atas beranda inilah Sai untuk kali
pertamanya akan mendengar Beatles. Dan juga: "Dengan DAGING sebanyak itu tetapi
tak ada PERT AT A" Itu tidak benar, seperti TERMATA HIJAU!"
* Si juru masak menunjukkan tangki-tangki pembibi-tan ikan yang sudah tidak
digunakan lagi, kamp militer angkatan darat, biara di puncak bukit Durpin, dan
jauh di bawah bukit sebuah panti asuhan serta kandang ayam. Di seberang kandang
ayam itu, agar mereka bisa mengambil telur dengan mudah, tinggallah sepasang
putri Afghan yang ayahnya pergi ke Brighton untuk berlibur dan lantas kembali
hanya untuk mendapati Inggris telah menempatkan orang lain di singgasananya.
Pada akhirnya, kedua putri itu diberi suaka oleh Nehru (sungguh pria yang
baik!). Dalam rumah kecil yang suram tinggallah Mrs. Sen, yang anak
perempuannya, Mun Mun, per-
gi ke Amerika * Dan akhirnya, ada Noni (Nonita), yang tinggal bersama saudara
perempuannya, Lola (Lalita) dalam pondok berselubung mawar bernama Mon Ami.
Sewaktu suami Lola meninggal karena serangan jantung, Noni, si perawan tua,
pindah untuk tinggal bersama saudara perempuannya, si janda. Mereka hidup dengan
uang pensiun suami Lola, tetapi tetap saja mereka membutuhkan lebih banyak uang
karena segala perbaikan tanpa henti yang dilakukan pada rumah itu, harga segala
sesuatu yang terus naik di pasar, dan gaji pelayan, tukang sapu, pen-jaga malam,
serta tukang kebun mereka.
Oleh karena itu, untuk memberikan sumbangan pada keuangan rumah tangga
tersebut, Noni mene-rima permintaan sang hakim untuk mengajari Sai. Sains sampai
Shakespeare. Baru ketika kemampuan Noni dalam matematika dan sains goyah saat
Sai berusia enam belas tahun, sang hakim terpaksa mempekerjakan Gyan untuk
mengambil alih kedua mata pelajaran ini.
"Ini Saibaby," kata si juru masak, memperke-nalkan Sai pada kakak-adik
itu. Mereka memandang Sai dengan sedih, anak ya-tim piatu buah cinta India
dengan Soviet yang hancur berantakan.
"Hal terbodoh yang pernah dilakukan India, me-rangkul kubu yang salah.
Ingatkah kau ketika Chotu
dan Motu pergi ke Rusia" Mereka bilang bahwa mereka belum pernah melihat
hai semacam itu," tutur Lola kepada Noni," bahkan di India. Amat sangat tidak
efisien." "Dan ingatkah kau," kata Noni menimpali Lola, "orang-orang Rusia yang
tinggal di sebelah rumah kita di Calcutta" Mereka lari keluar setiap pagi dan
kembali dengan bergunung-gunung makanan, ingat" Mereka di rumah, mengiris,
merebus, menggoreng bergunung-gunung kentang dan bawang. Lalu, pada petang hah,
mereka lari ke pasar lagi, rambut ber-kibaran, datang kembali dengan heboh
karena terlalu bersemangat dan membawa lebih banyak bawang dan kentang untuk
makan malam. Bagi mereka, India adalah tanah kelimpahan. Mereka tak pernah
melihat apa pun yang menyerupai pasar kita."
Tetapi apa pun opini mereka tentang Rusia dan orangtua Sai, seturut tahun
berlalu, mereka menjadi sangat menyayangi Sai.[]
SEMBILAN "Oh, Tuhanku," pekik Lola, ketika dia mendengar bahwa senjata-senjata sang
hakim telah dirampok dari Cho Oyu. Lola sudah jauh lebih beruban sekarang,
tetapi kepribadiannya semakin kuat. "Bagaimana jika para penjahat itu datang ke
Mon Ami" Mereka pasti datang. Tetapi kita tak punya apa-apa. Bukan berarti itu
akan menghalangi mereka. Mereka akan membunuh demi lima puluh rupee."
"Tetapi kalian berdua memiliki penjaga," k ata Sai, setengah melamun,
masih memikirkan bagaimana Gyan tidak datang pada hah perampokan itu. Cintanya
sudah pasti mulai memudar....
"Budhoo" Tetapi dia orang Nepal. Siapa yang bisa memercayainya sekarang"
Satpam selalu ber-peran dalam kasus perampokan. Mereka memberikan informasi dan
mendapatkan bagian hasil rampokan .... Ingat Mrs. Thondup" Dia dulu mempekerjakan
orang Nepal, kembali dari Calcutta setelah satu tahun dan mendapati rumahnya
tersapu bersih. Tersapu bersih. Cangkir piring tempat tidur kursi kabel lampu
perlengkapan rumah, semua benda bahkan rantai dan pelampung di WC. Salah ?seorang perampok mencoba mencuri kabel yang berada di sepanjang jalan dan mereka
menemukannya terse- ngat listrik. Semua batang bambu telah dipotong dan dijual, seluruh buah
limau telah dipetik dari pohonnya. Lubang-lubang telah dibor pada pipa air
sehingga setiap gubuk di lereng pegunungan mendapatkan air dari persediaan
mereka dan tak ada tanda-tanda keberadaan si satpam, tentu saja. Sekejap saja
?melintasi perbatasan, dia sudah menghilang kembali ke Nepal. Ya, ampun, Noni,"
kata Lola, "sebaiknya kita mengusir si Budhoo."
"Tenanglah. Bagaimana bisa?" sahut Noni. "Dia tak memberi kita alasan
untuk itu." Faktanya, kehadiran Budhoo menenangkan kedua bersaudara yang telah
mencapai usia tua bersama di Mon Ami itu, rumah yang petak sayurnya merupakan
satu-satunya di negara tersebut yang, sepengetahuan mereka, berisi brokoli dari
bibit yang didapat dari Inggris; kebunnya menyediakan buah yang cukup untuk
membuat setup pir setiap hah pada musim pir dan sisa yang cukup banyak untuk
bereksperimen membuat anggur di dalam bak mandi. Tali jemuran mereka melendut
karena dibebani pakaian-pakaian dalam Marks and Spencer, dan melalui tingkapan
besar berkaki, mereka dimanjakan dengan pemandangan Kanchenjunga diringkus mega.
Pada pintu masuk rumah menggantung sebuah thangka setan dengan taring-taring
?buas dan ka-lung tengkorak, mengacungkan sebuah penis yang murka untuk mencegah
?kedatangan para misiona-ris. Di ruang tamu ada satu peti barang-barang remeh.
Meja-meja choksee Tibet yang dicat dengan warna hijau lumut dan merah terang
penuh berisi tumpukan buku, termasuk satu jilid buku berisi lukisan karya Nicholas
Roerich, seorang aristokrat Rusia yang melukis Pegunungan Himalaya dengan nuansa
yang sedemikian hebat sehingga kita akan gemetar sekadar membayangkan segala
hawa dingin murni yang berbulir-bulir, pengelana tunggal di atas seekor yak,
pergi ke mana" Keluasan pemandangan itu mengisyaratkan tujuan yang ab-strak.
?Selain itu, ada buku panduan Salim Ali mengenai burung dan semua karya Jane
Austen. Ada keramik Wedgwood di lemari ruang makan dan sebuah botol selai di
bufet, disimpan karena ben-tuknya yang cantik. "Pabrik selai dan marmalade
pilihan Paduka Ratu," demikian tertera dalam huruf keemasan di bawah sebuah
lambang, yang disangga oleh seekor singa bermahkota dan seekor unicorn.
* Kemudian ada pula si kucing, Mustafa, pejantan berbulu jelaga yang
menampilkan kesempurnaan pengurungan yang tak bisa ditembus cinta atau sains
seberapa pun banyaknya. Pada saat ini, dia mulai bersuara seperti lori di
pangkuan Sai, tetapi matanya menatap hampa tepat ke dalam mata Sai,
memperingatkan Sai agar tidak salah mengartikan ini sebagai keakraban.
Untuk menjaga semua ini dan martabat mereka, dua bersaudara itu
mempekerjakan Budhoo, seorang pria pensiunan militer yang pernah melihat aksi
melawan faksi-faksi gerilya di Assam dan memiliki
sebuah senjata besar serta kumis yang sama dah-syatnya. Dia datang setiap
malam pada pukul sem-bilan, membunyikan belnya sembari mengendara sepeda dan
mengangkat pantatnya saat melewati gundukan di taman.
"Budhoo?" kakak-beradik itu akan memanggil dari dalam, duduk tegak di
tempat tidur mereka, terbungkus syal Kulu, menyesap brendi Sikkim, berita BBC
memercik di radio, menghujani mereka dalam letupan yang berpijar-pijar.
"Budhoo?" "Huzoor!" Mereka lantas kembali mendengarkan BBC, dan beberapa saat kemudian,
kadang-kadang, menon-ton televisi hitam putih mungilnya, ketika Doordar-han
menampilkan sajian To the Manor Born atau Yes, Minister, menampilkan pria-pria
berwajah seperti ham yang lembap dan puas. Dengan Budhoo di atap memainkan
antena, dua bersaudara ber-teriak kepadanya melalui jendela, "Kanan, kiri,
bukan, kembali lagi," sementara Budhoo terayun-ayun, pria malang itu, di antara
cabang-cabang pohon dan ngengat, muara cuaca Kalimpong yang kacau.
Sebentar-sebentar sepanjang malam Budhoo juga berjalan mengelilingi Mon
Ami, memukulkan sebatang tongkat dan meniup sebuah peluit agar Lola dan Noni
bisa mendengarnya dan merasa aman sampai pegunungan kembali bersinar 24 karat
dan mereka bangun disambut kabut berbutir-butir yang terbakar dalam sengatan
matahari. * Akan tetapi, mereka telah memercayai Budhoo tanpa alasan apa pun. Dia bisa
saja membunuh mereka ketika mereka berusia sembilan puluhan?"Tetapi jika kita memecatnya," kata Noni, "dia akan marah dan dua kali
lebih mungkin melakukan sesuatu."
"Kuberi tahu, ya, orang-orang Nepal ini tak bisa dipercaya. Dan mereka
tidak sekadar merampok. Mereka juga sama sekali tak berkeberatan membunuh.
* "Yah," desah Lola, "memang pasti akan terjadi, sungguh. Sudah berkembang
sejak lama. Sejak kapan tempat ini merupakan tempat yang damai" Ketika kita
pindah ke Mon Ami, seluruh Kalimpong tengah kacau-balau, ingat" Tak ada yang
tahu siapa yang merupakan mata-mata dan siapa yang bukan. Beijing baru saja
menjuluki Kalimpong sebagai sarang aktivitas anti-Cina
Biarawan mengalir melalui hutan, garis-garis tembakan senjata berwarna
merah tua menghujani pegunungan, saat mereka melarikan diri dari Tibet melalui
rute perdagangan garam dan wol. Para bangsawan juga datang, wanita-wanita cantik
Sumpah Palapa 3 Kisah Membunuh Naga Yi Tian Tu Long Ji Heaven Sword And Dragon Sabre Karya Jin Yong Makam Asmara 8
^