Pencarian

Senja Di Himalaya 2

Senja Di Himalaya The Inheritance Of Lose Karya Kiran Desai Bagian 2


dari Lhasa berdansa waltz di Gymkhana Ball, membuat takjub penduduk setempat
dengan gaya mereka yang kosmopolit. Namun, untuk jangka waktu yang lama, terjadi kelangkaan pangan yang parah,
sebagaimana bia-sanya terjadi ketika kekacauan politik tiba di daerah
perbukitan. * "Sebaiknya kita pergi ke pasar, Noni. Barang-barang akan habis. Dan buku-
buku perpustakaan kita! Harus diganti."
"Aku tak akan sampai sebulan lagi," kata Lola. "Hampir selesai," dia
mengetuk-ngetuk Bend in the River, "tugas berat-"
"Penulis hebat," sahut Noni. "Kelas satu. Salah satu buku terbaik yang
pernah kubaca." "Oh, entahlah," timpal Lola, "menurutk u dia aneh. Terperangkap pada masa
lalu ... dia tidak maju-maju. Neurosis kolonial, dia tak pernah mem-bebaskan diri
dari penyakit itu. Padahal, sekarang situasinya sudah sangat berbeda. Malah,"
katanya, "ayam tikka masaia telah menggantikan ikan dan kentang sebagai makan
malam yang paling banyak dipesan untuk dibawa pulang di Inggris. Itu baru saja
diulas di Indian Express.
"Tikka masaia," ulangnya. "Bisakah kau me-mercayai itu?" Lola membayangkan
pedesaan Inggris, kastil, pagar tanaman, landak, dan sebagai-nya, dan tikka
masaia mendesis di atas bus, sepeda, Roll-Royce. Kemudian dia membayangkan
sebuah adegan dalam To the Manor Born: "Oh Aud-
rey. Betapa sangat menyenangkan! Ayam tikka masaia1. Ya, dan aku sudah
membeli beras basmati juga untuk kita. Aku sungguh berpendapat itu adalah beras
terbaik, ya, 'kan?" "Yah, aku tidak suka sependapat denganmu, tetapi mungkin kau ada benarnya
juga," Noni me-ngakui. "Lagi pula, kenapa dia tidak menulis tentang tempat
tinggalnya sekarang" Kenapa dia tidak mengangkat, katakanlah, kerusuhan rasial
di Manchester?" "Juga Inggris Baru, Noni. Sebuah masyarakat yang benar-benar kosmopolit.
Pixie, misalnya, sama sekali tidak punya keluhan."
* Pixie, anak perempuan Lola, adalah seorang reporter BBC. Sesekali Lola
mengunjunginya dan saat kembali, dia membuat semua orang muak, tak mau diam:
"Rekreasi yang hebat, dan oh, stroberi serta krimnya ... dan ah, stroberi serta
krimnya * "Astaga! Stroberi dan krimnya sungguh luar biasa, Sayang, dan berada di
taman yang paling indah," Noni menirukan saudaranya. "Seolah-olah tak ada
stroberi dan krim di Kalimpong!" kata Noni, kemudian. "Dan bisa dimakan tanpa
harus bicara berbelit-belit serta bertingkah seperti seekor babi yang memakai
sepatu hak tinggi." "Sungguh mengerikan, kaki para gadis Inggris itu," timpal Paman Potty,
yang menghadiri per-cekcokan tersebut. "Benda besar berwarna pucat. Baguslah
mereka mulai mengenakan celana sekarang."
Namun, Lola terlalu pusing untuk mendengar-kan. Koper-kopernya penuh
dengan Marmite, kotak-kotak kaldu Oxo, bungkus-bungkus sup Knorr, After Eight,
umbi bunga daffodil, dan persediaan baru losion ketimun Boots serta pakaian
dalam Marks and Spencer inti, esensi, dari keinggrisan sebagaimana yang dia ?
pahami. Sudah tentu Sang Ratu sendiri mengenakan stoking sekaligus celana dalam
kualitas unggul ini: Ratu andal. Stoking ini andal.
Ratu sederhana. Stoking ini sederhana.
Ratu kuat. Stoking ini kuat.
Ratu bukan orang Stoking ini bukan sembarangan. produk sembarangan.
Mereka berjaya. Pixielah yang mengilhami ritual malam mendengarkan radio.
"Budhoo?" "Huzoor."
"Selamat malam ... bersama saya Piyali Bannerji dengan warta berita BBC."
Di seluruh India, orang yang mendengar nama India itu diucapkan dalam
aksen Inggris pucca tertawa dan tertawa sedemikian keras sampai perut
mereka sakit. Wabah penyakit. Perang. Kelaparan. Noni ber-seru dan marah, tetapi Lola
mendesah bangga dan tak mendengar apa pun selain keanggunan suara anak
perempuannya yang dibuat-buat, mengungguli segala horor yang mungkin ditimpakan
dunia pada orang lain. "Lebih baik pergi sesegera mungkin," demikian dulu Lola
menasihati Pixie, "India sudah di ambang kehancuran. Aku tak ingin memaksa, Sa-
yangku, Manisku, hanya memikirkan kebahagiaanmu semata, tetapi pintu tak akan
terbuka seiamanya ...."[]
SEPULUH Biju mengawaii tahun keduanya di Amerika di Res-toran Italia Pinocchio's,
mengaduk tong berisi saus Bolognese yang menggelegak, sementara melalui sebuah
pengeras suara penyanyi opera melantun-kan cinta dan pembunuhan, balas dendam
dan patah hati. "Dia bau," keluh istri pemilik restoran. "Kurasa aku alergi dengan minyak
rambutnya." Sang istri mengharapkan karyawan dari wilayah Eropa yang lebih
miskin Bulgaria barangkali, atau Cekoslovakia. Setidaknya, orang-orang itu ?mungkin memiliki kesamaan dengan mereka seperti agama dan warna kulit, kakek-
kakek yang menyantap sosis asap dan bertampang seperti mereka juga, tetapi
orang-orang seperti itu tak cukup banyak jumlahnya atau mereka tak cukup putus
asa, sang istri pemilik restoran tak tahu pasti alasannya ....
Si pemilik restoran membelikan sabun dan pasta gigi, sikat gigi, sampo
plus kondisioner, Q-tips, gunting kuku, serta yang terpenting di antara
semuanya, deodoran, dan memberi tahu Biju bahwa dia telah membelikan beberapa
benda yang mungkin diperlukan Biju.
Mereka berdiri di sana dan merasa malu oleh keintiman produk-produk yang
tergeletak di antara mereka berdua. Si pemilik restoran mencoba taktik lain: "Apa pendapat orang-orang di
India tentang Paus?"
Dengan menunjukkan penghargaannya akan pendapat Biju, dia hendak
mengangkat harga diri Biju karena pemuda tersebut jelas-jelas kekurangan di
bagian itu. "Kau sudah berusaha," kata istrinya, menghi-burnya beberapa hah kemudian
ketika mereka tak bisa mendeteksi adanya perubahan pada diri Biju. "Kau bahkan
sudah membelikan sabun," kata si istri.
* Biju mendatangi Tom & Tomoko's "Tidak ada lowongan."?McSweeney's Pub "Tidak sedang mencari kar-yawan."
?Freddy's Wok "Bisa naik sepeda?" Ya, bisa.
? * Sayap ayam Szechuan dan kentang goreng, hanya 3.00 dolar. Nasi goreng 1.35
dolar dan 1.00 dolar untuk kue bola goreng-wajan yang gemuk dan kencang seperti
bayi belah kue itu dan piring akan terbanjiri dengan aliran minyak lezat. Di
?negara ini orang miskin makan seperti raja! Ayam Jenderal Tso, daging babi
kaisar, dan Biju mengendarai sepeda dengan kantung hantaran di pegangannya,
sebuah sosok gemetaran di antara bus-bus yang terbatuk, taksi-taksi yang
muntah sungguh luar biasa suara raungan, suara buangan gas yang berasal dari
?lalu lintas ini. Biju mengayuh pedalnya kuat-kuat, dicela oleh sopir-sopir taksi
yang datang langsung dari Punjab seorang pria bukanlah makhluk dalam sangkar
?seorang pria sungguh liar dan dia harus menyetir dengan liar, dalam taksi yang
menyentak-nyentak dan mendecit-decit. Mereka mengolok Biju dengan suara
klaksonnya yang sedemikian keras sampai seolah-olah bisa membelah dunia menjadi
benda cair dan benda padat:teeeceeettt!
Pada suatu malam, Biju dikirim untuk mengan-tarkan sup asam-pedas dan
telur fu yung hai kepada tiga gadis India, mahasiswa, penghuni baru di
lingkungannya dalam sebuah apartemen yang baru dibuka di bawah peraturan kota
yang telah ditinjau kembali untuk menaikkan harga sewa. Spanduk-spanduk
bertuliskan "Hah Antigentrifikasi" diseret-seret sepanjang jalan oleh para
penghuni lama untuk sebuah festival pada sore hah tadi sembari memainkan musik,
memanggang hot dog di jalan, dan menjual seluruh barang rongsokan mereka yang
berdebu. Suatu hah nanti para gadis India itu berharap menjadi kalangan kelas
mene-ngah, tetapi untuk saat ini, meskipun tidak diterima di lingkungan
tersebut, mereka sedang berada pada tahap mahasiswa yang berapi-api memihak
rakyat miskin yang mengharapkan mereka enyah.
Gadis yang menjawab bel pintu tersenyum, gigi
berkilauan, mata berkilauan di balik kacamata yang berkilauan. Dia
menerima kantung makanan dan masuk untuk mengambil uangnya. Ruang apartemen itu
diliputi feminitas India, rambut tebal berbau harum yang baru dikeramasi,
sandal-sandal Kolha-puri terlilit emas berserakan. Buku-buku akuntansi tebal
berada di atas meja bersama dengan sebuah patung Ganesha pendek gemuk yang
dibawa dari rumah meskipun berat, untuk dekorasi interior plus keberuntungan
dalam hai keuangan dan ujian.
"Yah," salah seorang di antara mereka me-lanjutkan percakapan yang disela
oleh kedatangan Biju, membahas gadis India lain yang tidak ada di situ, "kalau
begitu, kenapa dia tidak mencari lelaki India saja, yang akan memahami segala
persoalan ledakan amarah itu?"
"Dia tak sudi melirik lelaki India, dia tidak me-nginginkan seorang pria
India baik-baik yang turn-bun besar dengan bercakap-cakap bersama bibi-bibinya
di dapur." "Kalau begitu pria seperti apa yang dia ingin-kan?"
"Dia ingin pria Marlboro dengan gelar Ph.D."
Gadis-gadis itu memiliki sikap sok suci yang umum didapati pada banyak
perempuan India ber-bahasa Inggris dan berpendidikan tinggi, yang pergi untuk
brunch dengan mimosa, memakan rati Dadi mereka dengan jari-jari yang terampil,
mengenakan sari atau memakai celana pendek elastis untuk aerobik, bisa
mengatakan "Namaste, Bibi Kusum, aayiye, baethiye, khayiyef" semudah mengatakan
"Shit1" Mereka segera terbiasa dengan potongan rambut pendek, mendambakan
percintaan gaya Barat, dan menyukai upacara tradisional dengan banyak perhiasan:
rangkaian hijau (yang berarti zamrud), rangkaian merah (yang berarti batu
delima), rangkaian putih (yang berarti berlian). Mereka menganggap diri mereka
secara unik berada pada posisi untuk menguliahi semua orang mengenai berbagai
topik: dosen-dosen akuntansi mengenai akuntansi; orang-orang Vermont mengenai
dedau-nan musim gugur; orang-orang India mengenai Amerika; orang-orang Amerika
mengenai India; orang-orang India mengenai India; orang-orang Amerika mengenai
Amerika. Mereka percaya diri; mereka keren; di Amerika Serikat, di negara yang
masih mengasumsikan kaum perempuan India me-ngalami penindasan, mereka
disanjung-sanjung sebagai sosok luar biasa yang menimbulkan efek tak ?menguntungkan, yaitu membuat mereka semakin menjadi-jadi.
Kue keberuntungan, demikianlah mereka mulai memeriksa, saus sambal, kecap,
saus bebek, sum-pit, serbet, sendok pisau garpu plastik.
"Dhanyawad. Shukria. Terima kasih. Tip ekstra. Sebaiknya kau membeli topi-
syal-sarung tangan untuk bersiap menghadapi musim dingin."
Gadis bermata berkilauan itu mengucapkan dengan banyak cara agar maksudnya
bisa tersam-paikan dari segala sudut agar Biju bisa benar-benar memahami
?keramahan mereka dalam perte-muan antara orang-orang India berbeda kelas dan
bahasa, kaya dan miskin, utara dan selatan, kasta tinggi dan kasta rendah
di luar negeri ini. Berdiri di ambang pintu, Biju merasakan emosi yang campur aduk: lapar,
hormat, benci. Dia me-naiki sepeda yang tadi dia sandarkan pada jeruji pagar dan
sudah hendak pergi, tetapi sesuatu membuatnya berhenti dan mundur kembali. Apar-
temen itu berada di lantai dasar dengan teralis hitam pengaman, dan Biju
meletakkan dua jari di bibirnya, lalu bersiul ke dalam jendela kepada gadis-
gadis yang tengah mencelupkan sendok-sendoknya ke dalam wadah plastik tempat
cairan cokelat dan potongan-potongan telur yang samar-samar tampak mengerikan
disandingkan dengan plastik, suit suit suuuuut, dan sebelum melihat respons
mereka, Biju mengayuh secepat dia bisa memasuki lalu lintas yang memberengut
meraung sepanjang Broadway, dan saat dia mengayuh, dia bernyanyi lantang, "O,
yeh ladki zara si deewani iagti hai
Lagu lama, lagu paling bagus.
* Namun setelah itu, dalam kurun waktu satu minggu, lima orang menelepon
Freddy's Wok untuk menge-luhkan bahwa makanan pesanan mereka dingin. Saat itu
sudah mulai memasuki musim dingin.
Gelap datang dengan cepat, malam mengunyah waktu lebih banyak daripada
yang menjadi bagian-nya. Biju mencium aroma salju pertama dan menda-patinya
memiliki bau tak enak nan menusuk yang
sama dengan yang ada di dalam freezer, dia merasakan derak ala Thermocol
saat menginjak salju. Di Hudson, es remuk dengan nyaring menjadi serpi-han, dan
di dalam siluet sungai kelabu yang pecah tersebut, para penduduk kota ini
seolah-olah diberi pemandangan sesuatu yang jauh dan menyedihkan yang bisa
mereka gunakan untuk merenungkan kesepian mereka sendiri.
Biju meletakkan pelapis berupa koran di bawah bajunya eksemplar sisa dari?Mr. Iype si agen koran yang baik hati dan kadang-kadang dia mengambil panekuk
?bawang merah, lantas menyelipkannya di bawah kertas koran, diilhami oleh
kenangannya akan seorang paman yang biasa pergi ke ladang pada musim dingin
dengan paratha jatah makan siangnya di balik rompi. Namun, bahkan ini tampak-nya
tidak membantu, dan pernah sekali, di atas sepedanya, Biju mulai menangis karena
kedinginan, dan tangisan itu kemudian membuka luka yang lebih dalam rintihan
?yang begitu memilukan keluar di sela-sela isakan sampai Biju sendiri kaget
mengeta-hui kesedihannya ternyata memiliki kedalaman sedemikian rupa.
* Ketika Biju pulang ke ruang bawah tanah sebuah bangunan di ujung Harlem,
dia langsung jatuh tertidur.
Bangunan itu milik sebuah perusahaan mana-jemen tersembunyi yang
mendaftarkan alamat me- reka sebagai One and a Quarter Street dan memiliki rumah-rumah petak di
seluruh sudut lingkungan tersebut, pengawasnya mencari penghasilan tam-bahan
dengan menyewakan secara ilegal bilik-bilik bawah tanah secara mingguan,
bulanan, bahkan harian, kepada sesama penduduk ilegal. Bahasa Inggris yang
dikuasainya kira-kira hampir sama dengan Biju, jadi antara bahasa Spanyol,
Hindi, dan bahasa isyarat asal-asalan, dengan gigi emas Jacinto berkilat-kilat
terkena sinar matahari sore, mereka menyepakati akad sewa. Biju bergabung dengan
populasi yang terus berubah dari orang-orang yang tinggal sementara di dekat
kotak seke-ring, di balik tungku pemanas, di dalam ruang-ruang sempit, dan di
dalam sudut-sudut berbentuk janggal yang dulunya adalah gudang makanan, kamar
pelayan, ruang cuci, dan ruang penyimpanan di dasar yang sebelumnya merupakan
rumah satu keluarga, pintu masuknya masih terhias dengan sepotong mozaik
berwarna yang berbentuk bintang. Orang-orang itu menggunakan bersama sebuah
toilet kuning; baknya adalah palung cuci dari kaleng. Tersedia satu kotak
sekering untuk seluruh bangunan, dan jika ada yang menyalakan terlalu banyak
peralatan atau lampu, PET, listrik pun padam, dan para penghuni berteriak pada
angin lalu, karena tak ada orang, tentu saja yang bisa mendengar mereka.
Di sana Biju merasa gugup sejak hah pertama-nya. "Apa kabar," seorang
lelaki di tangga tempat tinggal barunya menyapa, mengulurkan tangan dan
mengangguk-angguk, "namaku Joey, dan aku baru saja minum WIIZKEI!" Lantang
dan mendesis. Ini adalah gelandangan setempat yang berada di ujung wilayah
berburu dan meramunya, yang kadang-kadang dia tandai dengan menembakkan lengku-
ngan kencing terang benderang sampai ke seberang jalan. Dia menghabiskan musim
dinginnya di sini, di jeruji stasiun bawah tanah dalam igloo berupa kantung
plastik raksasa yang kendor, lalu meng-gembung kencang penuh hawa apak setiap
kali kereta lewat. Biju menyambut tangan lengket yang terulur itu, pria tersebut
menggenggam tangannya erat-erat, dan Biju melepaskan diri lalu lari terbirit-
birit, kekehan tawa mengikutinya.
* "Makanannya sudah dingin," para pelanggan menge-luh. "Sup tiba dalam
keadaan dingin! Lagi-lagi! Nasi-nya selalu sudah dingin."
"Saya juga kedinginan," kata Biju marah.
"Mengayuhlah lebih cepat," kata si pemilik.
"Tidak bisa." * Jam sudah menunjukkan pukul satu pagi lebih sedikit ketika Biju
meninggalkan Freddy's Wok untuk kali terakhirnya, lampu-lampu jalan terlihat
seperti lingkaran cahaya yang dipenuhi lapisan uap beku berbentuk bintang, dan
dengan susah payah Biju berjalan di antara gundukan-gundukan salju yang dihiasi wadah-wadah
makanan kosong dan kencing anjing yang memadat berwarna kuning kaget. Jalanan
kosong hanya berisi seorang gelandangan yang berdiri menatap jam tangan tak
kasatmata di pergelangan tangannya sembari berbicara di gagang telepon umum yang
sudah mati. "Lima! Empat! Tiga! Dua! Satu LEPAS LANDASM teriaknya, kemudian ?menutup telepon dan berlari sambil memegangi to-pinya seolah-olah benda itu
mungkin terbang tersapu roket yang baru saja dia luncurkan ke angkasa.
Biju berbelok masuk secara mekanis pada rumah suram keenam dengan bagian


Senja Di Himalaya The Inheritance Of Lose Karya Kiran Desai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

depan yang seperti batu nisan, melewati kaleng-kaleng logam yang padanya bisa
dia dengar suara yang sudah pasti merupakan suara cakar tikus, dan menuruni
rangkaian tangga menuju ruang bawah tanah.
"Aku sangat lelah," serunya keras-keras.
Seorang pria di dekat Biju gelisah dalam tidur-nya, berbalik ke sana,
berbalik ke sini. Seorang pria lain tengah menggertakkan gigi.
* Pada saat Biju mendapatkan pekerjaan lagi, di sebuah toko roti di Broadway
dan La Salle, dia nyaris menghabiskan semua uang di amplop penyimpanan dalam
kaus kakinya. Saat itu musim semi, es mulai meleleh, air seni yang terbebas pun
mengalir. Di semua tempat, di kafe-kafe dan bistro-bistro kota itu, orang-orang
memanfaatkan irisan sedap antara musim dingin, yang dinginnya gila-gilaan,
dan musim panas, yang panasnya gila-gilaan, serta bersantap di udara terbuka di
atas trotoar sempit di bawah bunga-bunga ceri. Para wanita yang berpakaian baby-
doll, dengan pita, dan ikatan pita yang tidak cocok dengan kepribadian mereka,
memanjakan diri dengan daun pakis muda pertama pada musim itu, aroma masakan
mahal bercampur dengan serdawa taksi-taksi dan helaan napas cabul stasiun bawah
tanah yang menerbangkan rok-rok para gadis berkostum musim semi, membuat mereka
berpikir jangan-jangan beginilah yang dirasakan Maryln Monroe entah bagaimana
? tidak demikian .... Wali kota menemukan seekor tikus di Gracie Mansion.
Dan Biju di toko roti Queen of Tarts, bertemu Saeed Saeed, yang nantinya
menjadi orang yang paling dia kagumi di Amerika Serikat.
"Aku berasal dari Zanzibar, bukan Tanzania," katanya, memperkenalkan diri.
Biju tak mengetahui keduanya. "Di mana itu?"
"Kau tidak tahu" Zanzibar penuh orang India, Bung! Nenekku dia orang ?India!"
Di Kota Batu orang-orang memakan samosa dan chapati, jalebi, nasi pilau ....
Saeed Saeed bisa bernyanyi seperti Amitabh Bachhan dan Hema Malini. Dia
bernyanyi, "Mera joota haijapanidan "Bombay se aaya mere dost-Oi" Dia bisa
membuat gerakan dengan tangan terentang dan menggo-yangkan pinggul, begitu pula
Kavavfya dari Kazakhstan serta Omar dari Malaysia, dan bersama-sama mereka menyerbu Biju
dengan gerak-gerak tari yang menawan. Biju merasa sangat bangga akan film-film
dari negaranya sampai-sampai dia nyaris pingsan.[]
SEBELAS Senin, Rabu, dan Jumat adalah jadwal Noni memberi les kepada Sai.
Si juru masak mengantar Sai dan menjemputnya di Mon Ami, meneruskan
perjalanan ke pasar dan kantor pos pada waktu di antaranya, serta menjual
chhang-nya. Awalnya, si juru masak memulai bisnis minuman keras sebagai usaha
sampingan demi Biju karena gajinya nyaris tak berubah selama bertahun-tahun.
Kenaikan gaji terakhirnya adalah dua puluh lima rupee.
"Tetapi Sahib," dia memohon, "bagaimana saya bisa hidup dengan gaji
sebesar ini?" "Semua biaya hidupmu sudah ditanggung tempat tinggal, pakaian, makanan,
?obat-obatan. Ini adalah ekstra," geram sang hakim.
"Bagaimana dengan Biju?"
"Memangnya kenapa Biju" Biju harus mencari cara sendiri. Ada apa
dengannya?" Si juru masak, yang terkenal atas kualitas ung-gul produknya, akan membeli
millet, mencucinya seperti beras, kemudian setelah menambahkan ragi,
membiarkannya sampai berfermentasi semalaman pada cuaca panas, lebih lama pada
musim dingin. Satu atau dua hah di dalam karung goni, dan ketika
sudah muncul rasa asam kering yang mendesis, si juru masak menjualnya di
sebuah restoran gubuk bernama Gompu's. Dirinya dipenuhi rasa bangga melihat
orang-orang duduk di tengah uap dan asap dengan cangkir-cangkir bambu mereka
berisi biji padi-padiannya disiram air panas. Mereka mengisap cairan itu,
menyaring millet-nya dengan batang bambu sebagai sedotan-aaaaah .... Si juru masak
mendesak para pelanggannya untuk menyimpan chhang di dekat tempat tidur mereka
kalau-kalau mereka merasa haus pada malam hah, mengklaim bahwa minuman itu
memberi kekuatan setelah sakit. Usaha berisiko ini membawanya pada tindakan
berisiko lain, yang bahkan lebih menguntungkan mengingat si juru masak membuat
jaringan di pasar gelap bermerk dan menjadi mata rantai penting, meskipun kecil,
dalam bisnis gelap jatah minuman keras dan minyak bersubsidi. Gubuknya merupakan
jalur alternatif yang tertutup hutan dan mudah dicapai oleh truk-truk militer
dalam perjalanan ke mes para perwira. Dia berdiri di semak belukar, menunggu.
Kendaraan-kendaraan tersebut berhen-ti dan dengan cepat peti-peti
diturunkan Teacher's, Old Monk, Gilby's, Gymkhana; dia membawa peti-peti ?tersebut ke gubuknya dan nantinya ke pedagang-pedagang tertentu di kota yang
menjual botol-botol itu. Mereka semua menerima bagian uang, untuk si juru masak
sedikit bagian dalam persekongkolan itu, lima puluh rupee, seratus rupee; sopir
truk mendapatkan bagian lebih besar; orang-orang di mes lebih banyak lagi;
bagian ter- besar masuk ke saku Mayor Aloo, teman Lola dan Noni, yang mendapatkan
untuk mereka, dengan cara serupa, rum Black Cat dan brendi ceri dari Sikkim
kegemaran kakak-beradik tersebut.
* Hal ini dilakukan si juru masak demi Biju, tetapi juga demi dirinya
sendiri karena si juru masak mendam-bakan modernitas: oven sekaligus pemanggang,
alat cukur elektris, jam tangan, kamera, komik warna. Pada malam hah dia tidak
bermimpi dalam simbol-simbol Freudian yang masih menjerat orang lain melainkan
dalam kode-kode modern, rangkaian nomor telepon melayang sebelum dia bisa memu-
tarnya, sebuah televisi yang terputus-putus siaran-nya.
Dia mendapati bahwa tak ada yang seburuk melayani sebuah keluarga yang tak
bisa dibanggakan, yang mengecewakan, membuat malu, dan membuat kita terlihat
konyol. Bagaimana juru masak dan pelayan lain, tukang kebun dan satpam di lereng
bukit tertawa, sembari menyombongkan betapa baiknya mereka diperlakukan oleh
majikan-nya gaji, kenyamanan, bahkan dana pensiun di rekening bank khusus.
?Bahkan, sedemikian dicin-tainya sebagian pelayan ini sehingga mereka benar-benar
dimohon untuk tidak bekerja; para majikan mereka membujuk agar mereka memakan
krim dan ghee, untuk merawat gatal-gatal yang mereka derita karena kedinginan
dan menjemur diri seperti kadal raksasa pada sore hah musim dingin. Satpam MetalBox
meyakinkan si juru masak bahwa tiap pagi dia mengonsumsi telur goreng dengan
?roti putih, ketika roti putih masih menjadi tren, dan karena sekarang roti
cokelat yang paling gaya, dengan roti cokelat.
Persaingan ini begitu serius sehingga si juru masak mulai berdusta.
Sebagian besar berdusta mengenai masa lalu karena masa kini terlalu mudah dicek
kebenarannya. Dia mengembuskan rumor mengenai kejayaan masa lalu sang hakim, dan
dengan begitu kejayaannya sendiri, sehingga hai itu berkobar dan berkembang
subur di seluruh penjuru pasar. Seorang negarawan yang hebat, kata si juru
masak, tuan tanah kaya yang menyumbangkan tanah milik keluarganya, pejuang
kemerdekaan yang meninggalkan kedudukan tinggi di pengadilan karena tidak ingin
mengadili rekan senegaranya dia tidak mampu, tidak dengan semangat patriotik
?semacam yang dia miliki, memenjarakan anggota kongres, membubarkan demonstrasi.
Seorang pria yang sungguh membangkitkan inspirasi, tetapi dibuat tunduk, pada
kebersahajaan dan kebijakan, oleh kedukaan karena meninggalnya sang istri, sang
istri sendiri adalah jenis ibu religius dan martir yang membuat setiap orang
Hindu merasa hormat. "Itulah sebabnya dia duduk sendirian sepanjang hah setiap
hah." Si juru masak tak pernah mengenai istri sang hakim, tetapi dia mengklaim
bahwa informasinya diperoleh dari pelayan-pelayan yang lebih lama
bekerja di rumah tangga itu, dan pada akhirnya, dia menjadi memercayai
ceritanya sendiri yang menga-gumkan tersebut. Cerita itu memberinya rasa harga
diri, bahkan saat dia memilih sayuran yang dijual murah dan menimbang-nimbang
semangka rusak yang dipotong harganya.
"Dulu dia benar-benar berbeda," demikian si juru masak berkata kepada Sai,
juga, saat kali pertama gadis itu tiba di Kalimpong. "Kau tak akan percaya. Dia
terlahir sebagai orang kaya."
"Di mana dia lahir?"
"Di dalam salah satu keluarga terkemuka di Gujarat. Ahmedabad. Atau
Baroda" Haveli besar seperti istana."
Sai senang menemani si juru masak di dapur sementara pria itu menceritakan
pelbagai kisah ke-padanya. Si juru masak memberinya sedikit adonan untuk
digulung menjadi chapati dan menunjukkan kepada Sai bagaimana cara membuatnya
benar-benar bundar, tetapi chapati buatan Sai tercipta menjadi beragam bentuk.
"Peta India," kata si juru masak, menyingkirkan satu chapati. "Oof ho, sekarang
kau membuat peta Pakistan," dia melemparkan chapati berikutnya. Akhirnya, si
juru masak mem-biarkan Sai meletakkan salah satu chapati buatan-nya di atas api
agar mengembang dan jika tidak, "Yah, Roti Istimewa untuk Si Anjing," demikian
juru masak mengumumkan. "Tetapi ceritakan lebih banyak lagi," pinta Sai, saat si juru masak
mengizinkannya mengoleskan selai pada kue tarcis atau memarut keju untuk
dijadikan saus. "Mereka mengirimnya ke Inggris dan sepuluh ribu orang mengantar
kepergiannya. Dia pergi naik gajah! Untuk kau ketahui, dia memenangi beasiswa
dari sang maharaja ...."
* Suara si juru masak yang berbicara sampai di telinga sang hakim saat dia
duduk di depan papan catur di ruang tamu. Ketika mengenang masa lalunya, secara
misterius, dia mulai gatal-gatal. Setiap bagian dari dirinya dipenuhi dengan
sensasi yang membakar. Sensasi itu menggelegak di dalam dirinya sampai dia
nyaris tak tahan. * Jemubhai Popatlal Patel sebenarnya dilahirkan dalam sebuah keluarga kasta
petani, dalam sebuah bangunan sementara di bawah atap daun palem yang berkerisik
penuh tikus, di daerah pinggiran Piphit tempat kota itu sudah mulai terlihat
seperti pede-saan lagi. Saat itu adalah tahun 1919 dan keluarga Patel masih bisa
mengingat masa ketika Piphit tak terlihat bertambah tua. Awalnya, kota itu
dikuasai oleh raja-raja Gaekwad dari Baroda, lalu dikuasai Inggris, tetapi
meskipun pajak ditujukan pada satu penguasa, lalu berganti ke penguasa yang
lain, wilayah itu tampak tak terpengaruh; sebuah kuil berdiri di pusatnya, dan
di sampingnya, tumbuhlah sebatang pohon Banyan yang bercabang banyak; dalam naungannya yang kukuh,
pria-pria berjanggut putih memuntahkan kenangan mereka; sapi mele-nguh oo aaw oo
aaw; para wanita menyusuri ladang-ladang kapas untuk mengambil air di sungai
yang teraduk lumpur, sungai yang sangat lambat, boleh dibilang tidur.
Namun, kemudian rel kereta dibentangkan di sepanjang tambak-tambak garam
untuk mengantar kereta uap dari stasiun di Surat dan Bombay mengangkut kapas
dari daerah pedalaman. Rumah-rumah besar muncul di wilayah sipil, sebuah gedung
pengadilan dengan menara jam untuk menegakkan waktu baru yang bergerak cepat,
dan di jalan-jalan berkumpul segala jenis orang: Hindu, Kristen, Jain, Muslim,
juru tulis, anggota militer, dan perempuan-perempuan suku pedalaman. Di pasar,
para pemilik toko dari kedai-kedai sempit tempat mereka ber-tengger tengah
menjalankan usaha yang membu-bung di antara Kobe dan Panama, Port-au-Prince,
Shanghai, Manila, dan kios-kios beratap seng yang terlalu kecil untuk dimasuki,
yang jaraknya berhari-hari perjalanan dengan gerobak sapi. Di sini, di pasar, di
atas balkon sempit yang menjorok dari sebuah toko penjual manisan, ayah Jemubhai
memiliki sebuah bisnis kecil berupa menyediakan saksi palsu untuk maju di
pengadilan. (Siapa yang mengira bahwa putranya, bertahun-tahun kemudian, akan
menjadi seorang hakim")
Kisah yang lumrah: suami yang cemburu me-ngiris hidung istrinya atau
dokumen palsu mene- rangkan kematian seorang janda yang sebenarnya masih hidup agar harta
miliknya bisa dibagi-bagi di antara keturunannya yang tamak.
Dia melatih orang-orang miskin, orang-orang yang putus asa, para bajingan,
mempersiapkan mereka dengan saksama:
"Apa yang kau ketahui mengenai kerbau Manubhai?"
"Manubhai, sebenarnya, tak punya kerbau sama sekali."
Dia bangga akan kemampuannya memengaruhi dan merusak jalur keadilan,
menukar kebenaran dengan kepalsuan, kepalsuan dengan kebenaran; dia tak merasa
bersalah. Pada saat kasus pencurian seekor sapi sampai di pengadilan, berabad-
abad perdebatan telah terjadi di antara keluarga-keluarga yang bercekcok, begitu
banyak keruwetan dan balas dendam sehingga sudah tak ada lagi benar atau salah.
Sia-sia mencari jawaban yang jujur. Seberapa jauh orang bisa kembali ke masa
lalu, meluruskan persoalan"
Bisnis itu sukses. Dia membeli sepeda Hercules bekas seharga tiga puluh
lima rupee dan menjadi sering terlihat berkendara di sekeliling kota. Ketika
putra pertama dan satu-satunya lahir, harapannya langsung melambung. Bayi
Jemubhai melilitkan kelima jarinya di sekeliling satu jari ayahnya; geng-
gamannya kuat dan agak kaku, tetapi ayahnya menganggap cengkeraman putranya itu
sebagai tanda sehat dan tak bisa menutupi senyumnya di balik kumis. Ketika
putranya sudah cukup umur, dia
mengirim anak itu ke sekolah misionaris
* Setiap pagi hah sekolah, ibu Jemubhai membangun-kan Jemubhai dalam
kegelapan agar dia bisa me-ngulang pelajarannya.
"Jangan, kumohon, sebentar lagi, sebentar lagi." Jemubhai menggeliat-
geliat dari cengkeraman ibunya, mata masih terpejam, siap kembali masuk ke alam
tidur karena dia tak pernah terbiasa dibangun-kan dengan diam-diam seperti ini,
pada waktu seperti ini yang dikuasai kawanan perampok dan serigala, dikuasai
suara-suara dan bentuk-bentuk aneh yang, dia yakin, tak seharusnya didengar atau
dilihat olehnya, seorang pelajar SLTP di Bishop Cotton School. Hanya ada
kegelapan di depan matanya meskipun dia tahu bahwa sebenarnya itu adalah
pemandangan yang kacau-balau, deretan kerabat yang keras kepala tidur di luar,
kaka-kaki-masa-masi-phoi-phua, buntelan berbagai warn a menggantung pada atap
ilalang beranda, kerbau-kerbau ditambatkan pada pepohonan dengan gelang-gelang
di moncongnya. Ibunya adalah sesosok hantu di halaman yang gelap, menuangkan air sumur
dingin pada tubuh Jemubhai yang tak terlihat, menyikat ganas dengan pergelangan
tangan wanita petani yang besar, menggosokkan minyak di rambutnya, dan meskipun
Jemubhai tahu hai itu akan meningkatkan kemam-puan otaknya, dia merasa ibunya
tengah menggo- sok-gosok otaknya, menggosoknya hingga lepas.
Dia muak dijejali perutnya. Setiap hah, dia diberi segelas susu segar yang
dihiasi lemak keemasan. Ibunya menyorongkan gelas tersebut ke bibir Jemubhai,
baru menurunkannya ketika gelas itu kosong sehingga Jemubhai terlihat seperti
seekor paus muncul dari dalam lautan, terengah-engah berna-pas. Dengan perut
penuh krim, benak penuh dengan belajar, kamper tergantung dalam kantung kecil di
seputar lehernya untuk mengelakkan penyakit; bungkusan itu didoakan serta dicap
jempol warna merah dan kuning dengan tika. Dia diantar ke sekolah di atas
dudukan belakang sepeda ayahnya.
Di pintu masuk gedung sekolah terdapat potret Ratu Victoria dalam busana
seperti tirai berenda, jubah tanpa lengan yang berkelim, dan topi aneh dengan
tangkai bulu menjulur keluar. Setiap pagi saat Jemubhai lewat di bawahnya, dia
mendapati raut wajah sang ratu yang seperti kodok itu me-narik dan sangat
terkesan bahwa seorang perem-puan yang berwajah sedemikian biasa bisa sedemikian
berkuasa. Semakin dia merenungkan keganjilan ini, semakin besar rasa hormatnya
untuk ratu dan Inggris. Di sanalah, di bawah kehadiran ratu yang buruk rupa, Jemubhai akhirnya
berkembang memenuhi potensi kelelakiannya. Dari garis silsilah Patel yang sudah
sangat tua, muncullah kecerdasan yang tampak modern dalam semangatnya. Dia bisa
membaca sebuah halaman, menutup buku tersebut, lalu menuturkan isinya lagi,
mengingat selusin angka di
kepalanya, memfungsikan otaknya seperti sebuah mesin yang mulus menghadapi
kerumitan perhitu-ngan, menggelindingkan jawabannya seperti sebuah produk jadi
meluncur keluar dari corong pipa pabrik. Kadang kala, ketika sang ayah memandang
Jemubhai, dia lupa mengenali anaknya karena dia melihat, dengan imajinasinya
yang sejelas sinar-X, bunga kol yang tumbuh subur dalam tengkorak anaknya.
Anak-anak perempuannya segera dikorbankan untuk memastikan bahwa Jemubhai
mendapatkan yang terbaik dalam segala hai, dari cinta sampai makanan. Tahun
berlalu tanpa terasa. Namun, cita-cita Jemubhai tak kunjung menjadi jelas dan sang ayahlah yang
kali pertama menyinggung tentang dinas kepegawaian sipil.
* Ketika Jemubhai, yang berusia empat belas tahun, lulus ranking pertama di
kelasnya, sang kepala sekolah, Mr. McCooe, memanggil sang ayah dan menyarankan
agar anak lelakinya menempuh ujian pembela hukum wilayah yang akan memungkinkan-
nya mendapatkan pekerjaan di pengadilan hakim rendah. "Anak yang cerdas ... dia


Senja Di Himalaya The Inheritance Of Lose Karya Kiran Desai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mungkin saja mencapai pengadilan tinggi!"
Sang ayah keluar sembari berpikir, Yah, jika dia bisa melakukan itu, dia
bisa melakukan lebih daripada itu. Dia bisa menjadi hakim itu sendiri, bukan"
Anak lelakinya mungkin, mungkin, bisa.' men-duduki kursi yang dihadapi
oleh ayahnya, pengacau sistem yang bangga, jenjang terendah dalam hierarki
pengadilan. Dia bisa saja menjadi seorang komisaris wilayah atau hakim
pengadilan tinggi. Dia mungkin akan mengenakan wig putih konyol di atas wajah
berkulit gelap di tengah hawa membakar musim panas dan mengetukkan palu pada kasus-kasus gadungan
itu. Ayah di bawah, anak di atas, mereka akan menguasai pengadilan, lengkap.
* Impiannya juga merupakan impian Jemubhai. Begitu luar biasanya impian
mereka, hai itu menggairahkan mereka seperti sebuah dongeng, dan barangkali
karena impian ini melayang terlalu tinggi di angkasa sehingga tak bisa didekati
dengan logika, maka impian itu mewujud, mulai memunculkan tekanan yang nyata.
Tanpa kenaifan, ayah dan anak itu tentu akan kalah; kalau saja mereka membidik
lebih rendah, sesuai dengan logika probabilitas, mereka pasti gagal.
Jumlah orang India di ICS menurut rekomendasi adalah SO persen dan kuota
itu bahkan tak men-dekati terpenuhi. Ada tempat di atas, ada tempat di atas.
Sudah pasti tak ada tempat di bawah.
* Jemubhai bersekolah di Bishop's College dengan
beasiswa, dan setelah itu, dia pergi ke Cambridge dengan naik SS
Strathnaver. Ketika dia kembali, sebagai anggota ICS, dia ditempatkan di distrik
yang jauh dari kampung halamannya di Uttar Pradesh.
* "Sangat banyak pelayan, saat itu," tutur si juru masak kepada Sai.
"Sekarang, tentu saja, akulah satu-satunya pelayan." Dia mulai bekerja pada usia
sepuluh tahun, dengan gaji separuh usianya, lima rupee, sebagai bocah chokra
pembantu umum di dapur sebuah kelab tempat ayahnya menjadi juru masak puding.
Pada usia empat belas tahun, dia dipekerjakan oleh sang hakim dengan gaji
dua belas rupee per bulan. Saat itu adalah masa-masa ketika masih relevan untuk
mengetahui bahwa jika sebelanga kepala susu diikatkan di bagian bawah seekor
sapi, ketika kita berjalan ke perkemahan berikutnya, kepala susu itu akan
teraduk sendiri menjadi men-tega di penghujung hah itu. Bahwa tempat penyim-
panan daging portabel bisa dibuat dari sebuah payung terjungkir yang
sekelilingnya diikat dengan Jala nyamuk.
* "Kami selalu dalam perjalanan," ungkap si juru masak, "tiga dari empat
minggu. Hanya pada hari-hari
musim hujan terburuk kami berhenti. Kakekmu ber-kendara dengan mobil jika
memungkinkan, tetapi wilayah tersebut sebagian besar tidak beraspal, dan nyaris
tak ada jembatan yang menyeberangi sungai, jadi dia lebih sering mengendarai
kuda. Kadang-kadang, saat menembus area-area belukar serta arus sungai yang
lebih dalam dan lebih cepat, dia menyeberang di atas gajah. Kami mendahului di
depannya dalam rangkaian gerobak sapi yang dipenuhi porselen, tenda, furnitur,
karpet semua-nya. Ada kuli-kuli, para pengawal, seorang stenog-rafer. Ada ?sebuah bilik toilet darurat sebagai tenda kamar mandi, bahkan sepasang murga-
murgi dalam sebuah sangkar di bagian bawah gerobak. Mereka peranakan asing dan
ayam betina itu menghasilkan telur lebih banyak ketimbang murgi lain yang
kuketahui." * "Di mana kalian tidur?" tanya Sai.
"Kami mendirikan tenda di desa-desa di seluruh penjuru distrik: sebuah
tenda ruang tidur besar seperti bubungan atap untuk kakekmu, dengan tenda
tambahan untuk kamar mandi, ruang ganti pakaian, ruang tamu, dan ruang makan.
Tenda-tenda itu sangat mewah, karpet-karpet Kashmir, peralatan makan perak, dan
kakekmu berpakaian rapi untuk makan malam bahkan di tengah hutan belantara,
dengan jas makan malam berwarna hitam serta dasi kupu-kupu.
"Seperti yang sudah kukatakan, kami mendahului, agar jika kakekmu tiba,
segalanya telah siap persis seperti ketika kami meninggalkan perkemahan
sebelumnya, dokumen yang sama yang membuka pada sudut yang sama dibalik ke
halaman yang sama. Kalau berbeda sedikit saja, kakekmu akan marah besar.
"Jadwal dijalankan dengan sangat ketat kami tidak boleh terlambat lima
?menit sekalipun, jadi kami semua harus belajar membaca jam.
"Pada pukul lima empat lima aku harus mengan-tarkan bed tea, teh untuk
diminum di tempat tidur, dengan baki ke tenda kakekmu. 'Bed tea,' demikian aku
berseru saat mengangkat tutup tenda.
"Bad tea, teh basi." Demikian seruan itu ter-dengar. "Baaad teee. Baaad
teeee." Sai pun mulai tertawa.
* Sang hakim memandangi papan caturnya, tetapi setelah kenangan membakar
mengenai awal perja-lanan hidupnya, dia sekarang merasakan kelegaan saat
mengingat hidupnya sebagai pejabat keliling di dinas kepegawaian sipil.
* Jadwal yang ketat menenangkannya, seperti juga penerapan wewenang secara
konstan. Betapa dia menyukai kekuasaannya atas kelas-kelas yang
menindas keluarganya selama berabad-abad seperti sang stenografer,
?misalnya, yang berkasta Brahmana. Di sanalah dia, merangkak memasuki sebuah
tenda kecil di bagian samping, sementara Jemubhai berbaring seperti seorang raja
di atas tempat tidur yang diukir dari kayu jati, dengan Jala nyamuk menggantung.
"Bed tea," si juru masak berseru. "Baaad tee." Dia lantas duduk untuk
minum. 6.30: dia mandi berendam dalam air yang telah dipanaskan di atas api
sampai semerbak dengan aroma asap kayu dan berbintik-bintik oleh abu. Dengan
taburan bedak, dia mendandani wajahnya yang baru dicuci, dengan pulasan minyak
rambut dia mendandani rambutnya. Mengunyah roti bakar yang sehitam arang karena
dipanggang di atas api, dengan olesan selai jeruk di atas bagian yang gosong.
8.30: dia berkendara menuju ladang-ladang bersama para pejabat setempat
dan semua orang di desa itu ikut serta untuk bersenang-senang. Diikuti oleh
seorang pengawal yang memegangkan payung di atas kepalanya untuk menamenginya
dari senga-tan matahari, Jemubhai menjelajahi ladang-ladang dan memastikan
perkiraan panennya sesuai dengan pernyataan kepala kampung. Tanah pertanian
menghasilkan tak sampai sepuluh maund padi atau gandum setiap satu ekar, dan
dengan harga dua rupee satu maund, setiap orang di sebuah desa, kadang kala,
berutang pada bania. (Tentu saja tak ada yang tahu bahwa Jemubhai sendiri
terjerat utang, bahwa dulu sekali di kota kecil Piphit di Gujarat, para rentenir
telah mencium pada dirinya kombinasi terbaik antara ambisi dan kemiskinan ...
bahwa mereka masih duduk menunggu dengan bersila di atas sebuah tikar kotor di
pasar, menger-takkan jari-jari kaki, menggertakkan buku-buku jari menunggu
pelunasan utang ....) 2.00: setelah makan siang, sang hakim duduk di belakang mejanya di bawah
sebatang pohon untuk mengadili berbagai kasus, biasanya dalam suasana hati
jengkel, karena dia membenci ketidak-resmian, sangat tidak menyukai bintik-
bintik baya-ngan dedaunan di atas tubuhnya yang membuat dia terlihat seperti
anjing keturunan campuran yang acak-acakan. Selain itu, ada aspek pencemaran dan
kecurangan yang lebih buruk: dia mende-ngarkan kasus dalam bahasa Hindi, tetapi
kasus tersebut dicatat dalam bahasa Urdu oleh sang stenografer dan diterjemahkan
oleh sang hakim ke dalam dokumen kedua menggunakan bahasa Inggris, meskipun
penguasaan bahasa Hindi dan Urdunya sendiri sangat lemah; para saksi yang tak
bisa membaca sama sekali menempelkan cap jempol mereka di bagian bawah dokumen
yang bertuliskan "Telah Dibaca dan Dinyatakan Benar," sebagaimana yang
diinstruksikan. Tak ada yang tahu pasti berapa banyak kebenaran yang tercecer di
antara bahasa-bahasa itu, di antara bahasa-bahasa itu dengan kebutahurufan;
kejelasan yang dituntut oleh keadilan tak pernah ada. Meskipun demikian, di luar
soal bayangan dedaunan dan kekacauan baha-
sa, sang hakim meraih reputasi menakutkan karena cara bicaranya yang
seolah-olah bukan dalam bahasa apa pun, dan karena wajahnya yang seperti topeng
mengesankan sesuatu yang tak mungkin dicemari kekeliruan manusiawi. Raut muka
dan sikap yang diasah di sini pada akhirnya membawanya menuju pengadilan tinggi
di Lucknow tempat dia, sementara merasa jengkel oleh burung-burung dara tidak
taat hukum yang mondar-mandir di aula-aula tinggi yang suram itu, memimpin
dengan wig berbedak putih di atas wajah berbedak putih, palu di tangan.
Foto dirinya, yang berbusana seperti itu, yang jengkel seperti itu, masih
tertempel di dinding, dalam parade sejarah yang mengagung-agungkan kemajuan
hukum dan ketertiban di India.
4.3D: teh harus sempurna: drop scone yang dibuat di wajan. Dia akan
menghadapinya dengan dahi berkerut, seolah-olah merenungkan sesuatu yang penting
dengan marah, kemudian, sebagaima-na pada masa pensiunnya, daya tarik makanan
manis mengambil alih, dan wajah kerjanya yang keras akan menetaskan suatu
ekspresi damai. 5.30: dia keluar ke daerah pedesaan dengan alat pancing atau senapan.
Daerah pedesaan penuh binatang buruan; gerombolan burung yang bermigrasi
menjerat langit pada Oktober; burung puyuh dan ayam hutan dengan deretan anak
mereka membuntuti di belakang menderu lewat seperti mainan anak-anak yang bisa
bergerak dan bersuara; ayam pegar makhluk gendut bodoh,?tercipta untuk ditembak lari terbirit-birit menembus belukar. Gemuruh
? tembakan senjata bergulir, dedaunan bergetar, dan dia mengalami kesunyian dalam
yang hanya mungkin muncul setelah terjadi-nya kekerasan. Namun, ada satu hai
yang senan-tiasa hilang, buktinya, ganjaran dari aksi, kejan-tanan pria, ayam
untuk dimasukkan ke dalam belanga, karena dia kembali dengan Tangan kosong!?Dia adalah penembak yang buruk.
8.00: si juru masak menyelamatkan reputasinya, memasak seekor ayam,
menyajikannya, memprokla-masikan hidangan itu sebagai "roast bastard, bangsat
panggang," persis seperti buku lelucon kesukaan orang Inggris tentang para
penduduk asli yang menggunakan bahasa Inggris secara keliru. Namun kadang-
kadang, saat menyantap roast bustard atau ayam hutan panggang itu, sang hakim
merasa bahwa lelucon tersebut mungkin juga mengenai dirinya, dan dia meminta rum
lagi, me-nenggaknya, dan terus makan meski merasa tengah memakan dirinya sendiri
karena dia juga (benar-kah") bagian dari lelucon itu ....
9.00: sambil minum Ovaltine, dia mengisi buku catatan dengan data yang
berhasil dikumpulkan hah itu. Lampu Petromaks menyala sungguh ribut
?suaranya serangga-serangga mengarungi benda hitam itu untuk menghujaninya
?dengan serbuk lem-but (ngengat), dengan pendaran cahaya (kum-bang). Garis,
kolom, kotak. Dia menyadari bahwa kebenaran paling jelas terlihat dalam bentuk
agrerat kecil karena kebenaran kecil dalam jumlah banyak bisa bergabung menjadi
satu kebohongan menji-jikkan berukuran besar. Terakhir, dalam catatan harian
yang juga disampaikan pada atasan-atasan-nya, dia merekam pengamatan-pengamatan
acak seorang pria terpelajar, yang suka memerhatikan, yang akrab dengan sastra
serta ilmu ekonomi; dan dia mengarang-ngarang keberhasilan berburu: dua ekor
ayam hutan ... seekor rusa bertanduk tiga puluh dua inci ....
11.00: tersedia botol air panas untuknya pada musim dingin, dan di segala
musim, dengan mendengar suara angin memukul-mukul dan dengkuran si juru masak,
dia jatuh tertidur. * Si juru masak merasa kecewa bekerja untuk Jemubhai. Kemunduran yang parah,
pikirnya, dari ayahnya, yang hanya melayani orang kulit putih.
ICS telah terindianisasi dan mereka tidak me-nyukainya, sebagian pelayan
tua ini, tetapi apa yang bisa diperbuat" Si juru masak bahkan memiliki pesaing
untuk pekerjaan ini, seorang pria yang muncul dengan rekomendasi koyak yang
diwarisi dari ayah dan kakeknya untuk menunjukkan garis keturunan yang jujur dan
biasa melayani dengan baik.
Ayah si juru masak, yang telah menempuh ka-riernya tanpa pujian semacam
itu, membeli bebe-rapa rekomendasi dari bursa chittie pelayan untuk
anak lelakinya. Sebagian di antara rekomendasi itu begitu kuno sampai
menyebutkan keahlian membuat pai dhobi dan ayam country captain.
Sang hakim memeriksa rekomendasi-rekomen-dasi tersebut: "Tetapi namanya
bukan Solomon Pappiah. Bukan Sampson. Bukan Thomas."
"Anda tahu, mereka begitu menyukainya," kata ayah si juru masak, "sampai
mereka menamainya dengan nama orang sebangsa mereka. Karena cinta, mereka
memanggilnya Thomas."
Sang hakim tak percaya. "Dia masih perlu diajari," akhirnya sang ayah mengakui dan menurunkan
tuntutan upah dua puluh rupee untuk anak lelakinya, "tetapi karena itulah
upahnya murah. Dan dalam hai membuat puding, tak ada yang bisa mengalahkannya.
Dia bisa membuat satu jenis puding yang berbeda setiap hah selama setahun
penuh." "Apa yang bisa dia buat?"
"Pisanggorengnanasgorengapelgorengapplesurpriseap
plecharlotteapplebettybreadandbuttertarselaicustard
karameltipsypuddingrumtumpuddingjamrolypolyginger
steampudingkurmapanekuklemoncustardtelurcustardj
erukcustardkopicustardstroberitriflebakedalaskasouffl
emanggasoufflelemonsoufflekopisoufflecokelatgooseb
errysoufflepudingcokelatpudingkopipudingkelapapudin
gsusurumbabarumcakebrandysnapperstewsetupjamb
usetuppremsetupapelsetuppersiksetupaprikotpaiman
ggatarcokelattarapelgooseberrytarttarlemontarselait
arselaijerukbebincafloatingislandpinappleupsidedowna
ppleupsidedowngooseberryupsidedownplumupsidedo
wnpeachupsidedownraisinupsidedown-"Baiklah. Baiklah."[]
DUA BELAS Demikianlah hidup Sai berlanjut di Kalimpong Lola dan Noni, Paman Potty ?dan Bapa Booty, sang hakim dan si juru masak ... hingga dia bertemu Gyan.
Sai bertemu Gyan karena suatu hah, ketika Sai berusia enam belas tahun,
Noni mendapati dirinya tak bisa lagi mengajari gadis itu ilmu fisika.
Saat itu adalah sore musim panas yang lebih menyengat ketimbang biasanya
dan hawa panas telah mengantar para penduduk kota memasuki kondisi kelenger.
Atap-atap seng mendesis, lusinan ular terpanggang di bebatuan, dan bunga-bunga
bermekaran semegah serta sesempurna dalam balu-tan musim panas. Paman Potty
duduk memandangi kehangatan dan kemilau matahari, minyak keluar di permukaan
hidungnya, di permukaan salami, di permukaan keju. Sepotong keju, sepotong
salami, seteguk Kingfisher dingin. Dia menyandar ke belakang agar wajahnya
berada dalam keteduhan sementara jari kakinya dalam cahaya matahari, dan
menghela napas: semua hai di dunia ini sudah pada tempatnya. Komponen-komponen
utama sudah seimbang, panas dan dingin, benda cair dan benda padat, matahari dan
keteduhan. Bapa Booty di peternakan sapi miliknya mendapati diri terbawa memasuki
keadaan meditatif oleh gemuruh kunyahan sapi-sapinya. Seperti apa kira-kira rasa keju susu yak ..."
Di dekat situ kedua putri Afghan tengah men-desah dan memutuskan untuk
memakan ayam mereka dalam keadaan dingin.
Mrs. Sen, tak terkalahkan oleh hawa panas, mulai menyusuri jalan menuju
Mon Ami, didorong oleh kabar terakhir dari anak perempuannya, Mun Mun, di
Amerika: dia diterima bekerja di CNN. Dia memikirkan dengan senang mengenai
betapa hai ini akan membuat Lola jengkel. Hah, memangnya Lola Banerjee kira
dirinya itu siapa" Bersikap sombong ... selalu pamer mengenai anak perempuannya di
BBC Sama sekali tak menduga akan datangnya beri-ta ini, Lola tengah berada di
taman menjumputi ulat bulu dari brokoli Inggris. Ulat-ulat bulu itu berbintik-
bintik hijau dan putih, dengan mata biru gadungan, kaki-kaki gemuk yang
menggelikan, ekor, dan sebuah hidung yang amat besar. makhluk yang mengagumkan,
pikirnya, mengamati salah satu ulat itu dengan saksama, tetapi kemudian dia
melem-parnya ke arah seekor burung yang sudah menunggu dan langsung mematuknya.
Isi berwarna hijau menggeliat-geliat keluar dari ulat bulu itu seperti pasta
gigi dari tube yang ditusuk.
Di beranda Mon Ami, Noni dan Sai duduk di de-pan buku teks yang terbuka:
neutron ... dan pro-tron ... elektron ... Jadi jika maka ?""? ?Mereka belum bisa memahami pertanyaan tersebut tetapi merasa terejek saat
melihat ilustrasi sempurna dari jawaban atas pertanyaan itu dite-rangi cahaya matahari, di
seberang beranda: se-rangga-serangga sangat kecil yang tergantung dalam sebuah
kulit tempat mereka melompat-lompat tanpa lelah di dalamnya, dikekang oleh
mantra yang tak bisa dipatahkan.
Noni merasa kelelahan tiba-tiba melandanya; jawaban pertanyaan itu
tampaknya bisa diperoleh melalui mukjizat bukan sains. Mereka menyingkirkan buku
itu ketika tukang roti tiba di Mon Ami seperti biasanya setiap sore, mengangkat
koper dari atas kepala dan membukanya. Di bagian luar, koper itu penuh goresan;
di bagian dalam bersinar-sinar seperti peti harta karun, dengan Swiss roll,
queen cake, dan diajarkan padanya oleh para misionaris di lereng bukit, kue
kering mentega kacang yang menurut para perempuan itu membuat orang teringat
ekspresi kekaguman dalam film-film kartun Amerika: gosh, golly, gee whiz,
jeepers creepers.

Senja Di Himalaya The Inheritance Of Lose Karya Kiran Desai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mereka memilih queen cake merah muda dan kuning lalu mulai berbincang.
"Nan, Sai, berapa usiamu sekarang" Lima belas tahun?"
"Enam belas." Sulit diperkirakan, pikir Noni. Sai terlihat lebih tua dalam beberapa hai,
sekaligus jauh lebih muda dalam beberapa hai lain.
Lebih muda, tak diragukan lagi, karena dia menjalani hidup yang sedemikian
terasing, dan lebih tua, tak diragukan lagi, karena dia menghabiskan seluruh
waktunya dengan orang-orang tua. Sai
mungkin akan selalu seperti ini, kekanak-kanakan meskipun sudah tua, tua
meskipun masih muda. Noni memandangi Sai dengan tatapan menilai. Sai mengenakan
celana khaki dan t-shirt bertuliskan "Tibet Merdeka". Kakinya tak beralas dan
dia menjalin rambut pendeknya dalam dua kepangan tak rapi yang berakhir persis
di atas bahunya. Noni dan Lola baru-baru ini membahas tentang betapa buruknya
bagi Sai bila terus tumbuh seperti ini: "Dia tak akan belajar keterampilan
sosial ... tak ada yang seusianya ... rumah penuh lelaki ...."
* "Tidakkah sulit bagimu hidup seperti itu dengan kakekmu?"
"Si juru masak sangat banyak bicara," kata Sai, "jadi aku tidak
keberatan." Betapa dia diserahkan begitu saja pada si juru masak selama bertahun-tahun
... jika bukan karena dia dan Lola, pikir Noni, Sai sendiri tentu sudah lama
terjatuh ke level kelas pelayan.
"Apa saja yang dia bicarakan?"
"Oh, cerita-cerita tentang desanya, bagaimana istrinya meninggal, kasus
pengadilan antara dia dan saudaranya ... aku harap Biju bisa mengumpulkan banyak
uang," kata Sai dengan serius, "mereka keluarga termiskin di desanya. Rumah
mereka masih terbuat dari tanah liat dengan atap ilalang."
Noni merasa hai ini bukan informasi yang pantas diberikan oleh si juru
masak. Penting untuk menarik
garis tegas antarkelas atau kalau tidak, akan membahayakan orang-orang
dari kedua belah pihak yang dipisahkan oleh jurang perbedaan itu. Para pelayan
selalu mendapatkan gagasan aneh-aneh, lantas ketika mereka menyadari bahwa dunia
tidak hendak memberi mereka dan anak-anak mereka apa yang diberikannya pada
orang lain, mereka menjadi marah dan penuh kebencian. Lola dan Noni harus terus
menghalangi pelayan mereka, Kesang, mem-beritahukan informasi pribadinya, tetapi
Noni mengakui, sulit melakukan itu. Sebelum disadari, kita bisa tergelincir ke
wilayah-wilayah yang berkai-tan dengan hati yang hanya boleh diungkapkan antar
orang-orang yang setara secara sosial. Dia mengingat sebuah peristiwa yang belum
terlalu lama berselang ketika kedua bersaudara terlalu tertarik untuk
menghentikan pelayan mereka menceritakan asmaranya dengan si tukang susu.
"Saya sangat menyayanginya," tutur Kesang. "Saya seorang Sherpa, dia
seorang Raj, tetapi saya berbohong dan memberi tahu orangtua saya bahwa dia
adalah seorang Bhutia sehingga mereka bersedia mengizinkan kami menikah. Itu
adalah pernikahan yang indah. Menurut kebiasaan orang-orang tem-patnya, kami
harus menyerahkan begitu banyak, daging babi, uang, ini dan itu, apa pun yang
mereka minta harus kami penuhi, tetapi kami tidak me-nyelenggarakan pernikahan
seperti itu. Dia merawat orangtua saya ketika mereka sakit dan sedari awal kami
bersumpah bahwa dia tak akan meninggalkan saya dan saya tak akan
meninggalkannya. Timbal balik. Tak ada yang meninggalkan yang lain. Dia tak akan pernah mati dan
meninggalkan saya, sedang-kan saya tak akan pernah mati dan meninggalkan-nya.
Kami mengikat sumpah ini. Sejak sebelum menikah, kami sudah mengucapkan ini."
Dan dia mulai menangis. Kesang dengan gigi cokelatnya yang menggelikan
mencuat sana sini, pakaian bernodanya yang jorok, dan konde ram-butnya yang lucu
bertengger nyaris jatuh di atas kepalanya. Kesang, yang mereka terima dalam
kondisi belum terlatih sebagai amal baik dan mengajarinya membuat sate ala
Indonesia dengan saus kacang dan kecap, sup asam manis dengan saus tomat dan
cuka, goulash Hongaria dengan tomat dan dadih. Kisah cintanya mengagetkan kedua
bersaudara itu. Selama ini Lola selalu menyatakan bahwa para pelayan tidak
mengalami cinta dengan cara yang sama layaknya orang-orang seperti diri
mereka-"Seluruh struktur hubungan mereka berbeda, lebih ekonomis, praktis jauh ?lebih bijak, aku yakin, kalau saja mereka bisa menanga-ninya sendiri." Bahkan,
Lola sekarang terpaksa merenungkan jangan-jangan dirinyalah yang tak pernah
mengalami cinta yang nyata; dia dan Joydeep tak pernah melakukan perbincangan
mengenai iman secara mendalam itu tidak rasional, jadi mereka tidak pernah
?melakukannya. Namun karena itu, mungkinkah mereka tak pernah memiliki cinta yang
sesungguhnya" Lola mengubur pikiran tersebut.
* Noni tidak pernah mengenai cinta.
Dia tidak pernah duduk dalam ruangan yang hening dan membicarakan hal-hal
yang bisa membuat jiwa bergetar seperti sebatang lilin. Dia tak pernah
menampilkan dirinya dengan genit di pesta-pesta Calcutta, sari membalut ketat
pinggulnya, es bergemeletuk hebat dalam air soda jeruk nipisnya. Dia tidak
pernah mengibarkan bendera asmara yang singkat dan gilang-gemilang, merah
menyala, di atas eksistensi dirinya, bahkan tidak pula satu babak drama,
sekelumit sandiwara untuk mengang-katnya melampaui hidupnya. Apa yang pernah dia
alami" Kebencian yang sangat pun tidak; tidak pula kegetiran, duka. Sekadar
kejengkelan mengenai hal-hal kecil: bagaimana seseorang tak membuang ingusnya
melainkan terus mengeluarkan bunyi sur-sur-sur di dalam perpustakaan, menarik
ingusnya lagi dan lagi. Dia mendapati, dan ini mengagetkannya, bahwa dirinya ternyata merasa iri
terhadap Kesang. Garis telah dikaburkan, keberuntungan telah salah diberikan.
Dan siapa yang akan mencintai Sai"
Ketika Sai kali pertama datang, Noni melihat dirinya di dalam diri gadis
itu, dalam sikap malu-malu Sai. Inilah yang terjadi bila menyerahkan makhluk
yang sensitif pada sistem pendidikan yang kejam, pikirnya. Noni juga dulu
dikirim ke sekolah serupa kau hanya bisa menghindari jeratannya dengan?menyembunyikan diri, tetap diam ketika ditanyai, tak mengungkapkan
pendapat, berharap tak kasatmata kalau tidak begitu, mereka akan berhasil
?mendapatkanmu, menghancurkanmu.
Noni baru berhasil memulihkan kepercayaan dirinya ketika semua sudah
terlambat. Hidup telah melewatinya dan pada masa-masa itu, semua hai harus
terjadi cepat pada seorang gadis, atau tidak akan terjadi sama sekali.
* "Apakah kau tidak ingin bertemu rekan sebayamu?" Noni bertanya pada Sai.
Namun, Sai pemalu di sekitar teman seusianya. Meskipun demikian, dia yakin
akan satu hai: "aku ingin melakukan perjalanan," Sai mengaku.
Buku membuat Sai resah. Dia mulai membaca lebih cepat, lebih banyak,
sampai-sampai dia berada di dalam narasi dan narasi berada di dalam dirinya,
halaman-halaman berganti sedemikian cepat, hati terlibat penuh dia tak bisa
?berhenti. Dengan cara ini, dia membaca To Kill a Mockingbird, Cider with Rosie,
dan Life with Father dari perpustakaan Klub Gymkhana. Dan foto-foto tentang
Amazon yang kecokelatan, Patagonia yang gersang di majalah-majalah Nationaf
Geographic, seekor siput kupu-kupu transparan di laut, bahkan foto sebuah rumah
Jepang tua yang tertidur di tengah salju ... Dia merasa semua itu sangat
?menyentuhnya sehingga sering kali dia nyaris tak
bisa membaca teks yang menyertainya perasaan yang diciptakan oleh foto-
?foto itu begitu indah, hasratnya begitu menyakitkan. Dia teringat kedua
orangtuanya, cita-cita ayahnya untuk melakukan perjalanan ruang angkasa. Dia
mencermati foto-foto yang diambil via satelit tentang sebuah badai yang
mengembuskan awan merah dari permukaan matahari, merasakan hasrat kuat akan ayah
yang tak dikenalnya, dan membayangkan bahwa dia tentulah juga memiliki dorongan
yang sama dalam dirinya untuk mencapai sesuatu yang luar biasa.
Cho Oyu dan segala rutinitas sang hakim dirasa sebagai pembatasan baginya
saat itu. "Kadang-kadang, aku ingin hidup di tepi laut," desah Noni. "Setidaknya
ombak tak pernah berhenti bergerak."
Dulu sekali, ketika Noni masih seorang perem-puan muda, dia pergi ke Digha
dan mengetahui ba-gaimana rasanya diangkat oleh lautan yang miste-rius. Dia
memandang ke pegunungan, pada kesem-purnaan kebergemingan mereka.
"Pegunungan Himalaya dulu pernah berada di bawah air," kata Sai. Dia
mengetahui ini dari bacaannya. "Ada fosil-fosil ammonoid di puncak Everest."
* Noni dan Sai mengambil buku fisika itu lagi. Kemudian mereka meletakkannya
lagi. Dengarkan aku," Noni berkata kepada Sai, "jika kau mendapatkan kesempatan
dalam hidup ini, ambillah. Lihat aku, seharusnya aku berpikir tentang masa depan
ketika masih muda dulu. Sebaliknya, baru ketika sudah terlambat, aku menyadari
apa yang seharusnya kulakukan sejak dulu. Aku dulu bercita-cita menjadi seorang
arkeolog. Aku sering pergi ke British Council dan melihat buku-buku tentang
Kaisar Tutankhamen .... Namun, orang-tuaku bukan jenis orangtua yang mau memahami.
Kau tentu tahu, ayahku adalah jenis orang kuno, jenis pria yang dibesarkan dan
dididik hanya untuk memberi perintah .... Kau harus melakukannya sendiri, Sai."
* Sekali lagi mereka mencoba fisika, tetapi Noni tidak bisa menemukan
jawaban untuk soal yang ada.
"Saya khawatir telah kehabisan kemampuan dalam bidang sains dan
matematika. Sai membutuhkan guru yang lebih memenuhi syarat dalam bidang-bidang
ini," demikian isi surat yang dikirimkan Noni melalui Sai untuk sang hakim.
"Dasar perempuan tak bertanggung jawab," kata sang hakim, marah karena
hawa panas ini mengi-ngatkannya akan kebangsaannya. Malam itu dia mendiktekan
kepada Sai sepucuk surat untuk
pimpinan perguruan tinggi setempat.
"Apabila ada seorang pengajar atau mahasiswa tingkat lanjut yang bersedia
memberi les, mohon beri tahu mereka bahwa kami mencari seorang guru les
matematika dan sains."[]
TIG A BELAS Tidak sampai beberapa minggu yang cerah berlalu ketika sang pimpinan
perguruan tinggi membalas bahwa dia bisa merekomendasikan seorang mahasiswa
berpotensi yang telah menamatkan jenjang sarjana muda, tetapi belum memperoleh
pekerjaan. Mahasiswa itu adalah Gyan, seorang mahasiswa akuntansi yang pendiam yang
pernah mengira bahwa tindakan menata angka akan menenangkan dirinya; tetapi,
ternyata tidak seperti itu, bahkan, semakin banyak penjumlahan yang dia lakukan,
semakin banyak kolom statistik yang dia tuliskan yah, semua itu sepertinya ?hanya melipatgandakan jumlah tempat ketika ilmu pengetahuan solid menguap dan
lenyap begitu saja. Dia menikmati berjalan kaki ke Cho Oyu serta mengalami keba-
hagiaan yang sederhana dan menyegarkan, meskipun perjalanan itu membutuhkan
waktu dua jam mendaki, dari Bong Busti tempat dia tinggal, dengan cahaya
matahari bersinar di sela-sela rumpun bambu besar dalam celah yang melompat-
lompat, memberikan kesan kemilau cairan.
* Pada mulanya Sai enggan direnggut dari keasyikan-
nya membaca National Geographic dan dikurung di ruang makan bersama Gyan.
Di depan mereka, dalam bentuk setengah lingkaran, terbentanglah alat belajar
yang disiapkan oleh si juru masak: pengga-ris, pulpen, globe, kertas grafik,
satu set perlengka-pan geometri, peraut pensil. Si juru masak merasa benda-benda
tersebut membawa masuk atmosfer klinis ke ruangan itu seperti atmosfer yang
meme-sonanya di toko obat, di klinik, dan di lab patologi, tempat dia menikmati
keheningan yang dikawal oleh rak-rak obat, timbangan dan termometer, cupule,
vial, pipet, cacing pita yang diubah menjadi spe-simen dalam larutan formalin,
dengan ukuran tertera pada botol.
Si juru masak lalu berbicara dengan sang apo-teker, secara hati-hati,
berusaha tak mengacaukan keseimbangan rentan di tempat itu, karena dia
memercayai takhayul sebesar dia memercayai sains. "Begitu, ya, saya paham,"
ujarnya bahkan meskipun sebenarnya dia tidak paham, dan dengan nada yang pantas
dia mengumumkan gejala-gejala yang dia derita, berusaha tidak terlalu melebih-
lebihkan, kepada dokter yang dia muliakan, yang mengamati si juru masak melalui
kaca matanya: "Tidak buang air besar selama lima hah, rasa aneh di mulut, thun
thun di kaki dan tangan serta kadang-kadang chun chun."
"Apa itu chun chun dan apa itu thun thun?" "Chun chun itu rasa geli. Thun
thun itu ketika ada rasa sakit yang datang dan pergi."
"Sekarang apa yang Anda rasakan" Chun chun?"
"Bukan, THUN THUN."
Pada kunjungan berikutnya. "Apakah Anda sudah merasa lebih baik?"
"Lebih baik, tetapi masih-" "Thun thun?"
"Bukan, dokter," demikian si juru masak berkata dengan teramat serius,
"chun chun." Dia keluar bersama obat-obatannya dengan merasa sangat terhormat. Oh, ya,
dia telah menan-tikan modernitas dan tahu bahwa jika kita berinves-tasi di
dalamnya, modernitas akan memberi tahu bahwa kita patut dihargai di dunia ini.
Namun, di luar klinik dia bertemu Kesang atau
tukang bersih-bersih di rumah sakit atau satpam
Metalbox, yang akan mulai mengecam, "Sekarang
sudah tak ada harapan lagi, sekarang kau harus
melakukan puja, akan memakan biaya ribuan rupee ii
Atau: "aku kenal orang yang mengalami gejala persis sama dengan yang
kauceritakan, dia tak pernah bisa berjalan lagi ...." Pada saat si juru masak
kembali ke rumah, dia telah kehilangan kepercayaan pada sains dan mulai meraung:
"Hai hai, hamara kya hoga, hai hai, hamara kya hoga?" dan dia harus kembali ke
klinik keesokan harinya untuk mengembalikan pikiran sehatnya.
* Demikianlah, dengan menghargai, menghasrati ra-sionalitas, si juru masak
membawa masuk teh dan roti keju goreng dengan bubuk cabe dicampur dalam keju, kemudian duduk di
atas bangkunya persis di luar pintu, mengawasi Sai dan guru les baru itu,
mengangguk-angguk setuju mendengar nada suara Gyan yang hati-hati, kata-kata
cermat yang mengarah, perhitungan demi perhitungan, pada suatu jawaban rapi dan
pasti yang bisa dikonfirmasi dengan daftar di balik buku teks.
Juru masak yang bodoh. Dia tidak menyadari bahwa kehati-hatian itu bukan
berasal dari keyakinan pada sains, melainkan berasal dari rasa grogi dan keragu-
raguan; bahwa meskipun kedua orang itu tampak terserap dalam atom, mata mereka
melekat erat pada angka-angka dalam ruangan yang dinding-dindingnya menggembung
seperti layar itu, mereka menggelepar; bahwa seperti petang membuka diri pada
kedalaman yang lebih merasuk di luar, mereka akan tertelan ke dalam sesuatu yang
lebih berbahaya ketimbang tujuan dipekerjakannya Gyan; bahwa meskipun mereka
berjuang membangun benteng dari segala kemungkinan yang tersedia bagi mereka,
terdapat cukup alasan untuk mengkhawatirkan bahwa semua itu tidak cukup untuk
menyelamatkan mereka. Jawaban singkat yang benar itu ternyata biasa
saja. Gyan memberikan jawaban tersebut dengan penuh penyesalan. Jawaban itu
adalah antiklimaks. Tak akan cukup memuaskan. Setelah mengesam-pingkannya,
penantian hebat yang tak bisa lagi disematkan pada hasil penghitungan semakin
me- nguat dan meningkat, membuat mereka kehabisan napas tatkala waktu dua jam
telah habis dan Gyan bisa kabur tanpa memandang Sai, yang telah menimbulkan
pengaruh sedemikian hebat pada diri Gyan.
* "Sungguh aneh guru les itu orang Nepal," komentar si juru masak pada Sai
ketika Gyan telah pergi. Sesaat kemudian dia berkata, "tadinya kukira dia
tentulah orang Bengali."
"Hm?" tanya Sai. Seperti apa tampangku tadi" pikir Sai. Bagaimana
tampangnya di mata sang guru les" Sang guru les sendiri, pikir Sai, memiliki
roman muka yang sangat cerdas. Matanya serius, sua-ranya dalam, tetapi bibirnya
terlalu tebal untuk raut muka yang seserius itu. Selain itu, rambutnya keriting
dan mencuat sebegitu rupa sehingga membuatnya terlihat lucu. Keseriusan yang
dipa-dukan dengan kelucuan ini dirasa Sai sangat menawan.
"Orang Bengali itu," lanjut si juru masak, "sangat pintar."
"Jangan konyol," tukas Sai. "Meskipun orang Bengali sudah pasti menyetujui
hai tersebut." "Itu gara-gara ikan," kata si juru masak. "Orang-orang pesisir lebih
pintar dibandingkan orang pedalaman."
"Siapa bilang?"
"Semua orang tahu," sahut si juru masak.
"Orang pesisir makan ikan dan lihat saja betapa jauh lebih pandainya
mereka, orang-orang Bengali, Malayali, Tamil. Orang pedalaman terlalu banyak
makan biji-bijian, dan makanan itu memperlambat pencernaan terutama ?millet membentuk gumpa-lan besar dan berat. Darah mengalir ke perut dan bukan
?ke kepala. Orang Nepal bisa menjadi prajurit yang baik, kuli yang baik, tetapi
mereka tak begitu cemerlang di sekolah. Bukan salah mereka, orang-orang malang
itu." "Kalau begitu, kau sendiri makanlah ikan sana," kata Sai. "Vang keluar
dari mulutmu cuma hal-hal bodoh melulu."


Senja Di Himalaya The Inheritance Of Lose Karya Kiran Desai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Di sini aku membesarkanmu seperti anakku sendiri dengan penuh cinta dan
lihat saja bagaimana caramu bicara padaku si juru masak mulai
meratap. * Malam itu Sai duduk menatap cermin.
Saat duduk di hadapan Gyan, dia merasa sangat sadar diri, dia yakin itu
karena Gyan mena-tapnya, tetapi setiap kali dia mendongak, Gyan tengah melihat
ke arah lain. Kadang-kadang Sai merasa dirinya cantik, tetapi saat mulai meneliti dengan
cermat, dia mendapati kecantikan adalah hai yang mudah berubah. Begitu Sai
menemukannya, kecantikan itu terlepas dari genggaman; alih-alih menertibkannya,
Sai tak bisa menahan diri untuk mengeksploitasi fleksibilitas ke-
cantikan. Dia menjulurkan lidah pada dirinya sendiri dan memutar matanya,
lalu tersenyum memikat. Dia mengubah ekspresinya dari setan menjadi seorang
ratu. Ketika menggosok gigi, dia mengamati bahwa buah dadanya terguncang-guncang
seperti dua buah jeli dihidangkan terburu-buru ke atas meja. Dia menurunkan
mulutnya untuk mencecap daging tersebut dan mendapati bagian tubuh itu kencang
sekaligus lunak. Kemontokan keberguncangan ke-kencangan kelembutan, semua
menjadi satu dalam cara yang ajaib, tentulah memberinya sejumlah tertentu
kekuatan tawar" Namun, jika dia terus bersama dua pria berkaki bengkok ini, di rumah yang
jauh dari mana-mana ini, kecantikan ini, yang sedemikian singkat sehingga Sai
nyaris tak bisa mempertahankannya agar tetap seperti itu, akan pudar dan
kedaluwarsa, tanpa ada yang tahu, tanpa ada yang menyelamatkan, dan tanpa bisa
diselamatkan. Dia menatap lagi dan mendapati wajahnya diwarnai kesedihan, dan bayangan
wajahnya tam-pak jauh. Dia harus mendorong diri memasuki masa depan dengan segala cara yang
memungkinkan, kalau tidak dia akan terjebak selamanya di sebuah tempat yang
telah dilewati waktu. * Selama berhari-hari, Sai mendapati dirinya terus-menerus terobsesi dengan
wajahnya sendiri, sadar bahwa pada saat yang sama dia tengah mengasah hasratnya untuk sesuatu yang
lain. Tetapi bagaimana tampangnya" Dia mencari-cari dalam panci-panci baja
antikarat, dalam lampu-lampu gompa butter yang mengilap, dalam bejana-bejana
para pedagang di pasar, dalam bayang-bayang yang ditampilkan sendok-sendok dan
pisau-pisau di meja makan, dalam permukaan kolam yang kehijauan. Bulat dan gemuk
dirinya di dalam sendok, panjang dan tipis di dalam pisau, berbintik-bintik oleh
serangga dan ikan-ikan kecil di kolam; keemasan dalam satu pencahayaan, kelabu
dalam pencahayaan yang lain; lantas kembali ke cermin; tetapi cermin, plin-plan
seperti biasanya, hanya menunjukkan satu pantulan, lalu pantulan yang lain dan
meninggalkannya, seperti biasa, tanpa jawaban. []
EMPAT BELAS Pada 4.25 pagi Biju menuju toko roti Queen of Tarts, dengan mewaspadai
polisi polisi yang terkadang muncul tiba-tiba: hendak ke mana dan mau apa ?dengan siapa jam berapa dan mengapa"
Namun, mengingat Keimigrasian beroperasi secara terpisah dari Kepolisian,
barangkali lebih baik memanggang roti pagi, dan lagi-lagi Biju terjatuh di sela-
sela celah dalam sistem. Di atas toko roti itu kereta bawah tanah me-luncur di atas konstruksi
bergaris kasar yang di-sangga oleh pilar-pilar baja. Kereta lewat dengan jeritan
sangat kencang; roda-rodanya memercikkan hujan kembang api yang pada malam hah
melemparkan sinar terang bergerigi yang dahsyat pada perumahan kumuh Harlem,
tempat dia bisa melihat segelintir lampu telah menyala dan bebe-rapa orang
selain dirinya memulai kehidupan mini. Di Queen of Tarts, alat pemanggang mulai
mendesis, cahaya berkedip-kedip, seekor tikus bergerak memasuki kegelapan. Ekor
akar umbi, bertulang kepala besar, berdada lebar, tikus itu menoleh sembari
menyeringai saat berjalan dengan bunyi derakan halus persis di atas perangkap
yang terlalu kecil untuk menahannya.
"Namaste, babaji," ucap Saeed Saeed.
* Sapi ini bukan sapi India; oleh sebab itu, bukan sapi suci"
Oleh sebab itu, dia menyukai orang-orang Muslim dan hanya membenci orang
Pakistan" Oleh sebab itu, dia menyukai Saeed, tetapi membenci keseluruhan Muslim
secara umum" Oleh sebab itu, dia menyukai orang-orang Muslim serta Pakistan, dan India
harus menyadari kesalahan serta menyerahkan Kashmir"
Tidak, tidak, bagaimana mungkin dan
?Ini hanyalah bagian kecil dari dilemanya. Biju teringat apa kata orang di
kampung halamannya mengenai orang kulit hitam. Seorang pria sedesanya yang
bekerja di kota pernah berkata, "Berhati-hatilah terhadap hubshi. Ha ha, di
negara mereka, mereka hidup seperti monyet di pepohonan. Mereka datang ke India
dan menjadi lelaki."
Biju dulu mengira pria sedesanya itu menyatakan bahwa India sudah jauh
lebih maju sehingga orang-orang kulit hitam belajar berpakaian dan makan ketika
mereka datang, tetapi maksud orang itu sebenarnya adalah bahwa orang-orang kulit
hitam berlarian ke sana kemari mencoba menghamili setiap gadis India yang mereka
lihat. Oleh karena itu, dia membenci semua orang kulit hitam tetapi menyukai
Saeed" Biju memikirkan pertengkarannya dulu dengan si orang Pakistan, kebiasaan
menyerang agama orang itu sehingga dia besar dengan mengucapkan, "Babi, babi,
anak babi." Sekarang ada Saeed Saeed, dan kekaguman Biju pada orang ini
membingungkannya. Memang be-ginilah cara kerja takdir. Biju terliputi hasrat
untuk menjadi teman lelaki ini karena Saeed Saaed tidak terseret arus, dia
melambung bersama arus. Nya-tanya, banyak sekali orang yang ingin menempel
padanya seperti selembar papan saat kapal tenggelam tidak hanya sesama orang ?Zanzibar atau sesama pendatang ilegal, tetapi juga orang-orang Amerika; para
warga negara dengan berat badan berlebih dan kehilangan kepercayaan diri yang
dia olok-olok ketika makan siang dengan seiris pizza sendirian; para pekerja
kantoran separuh baya dan kesepian yang mampir untuk bercakap-cakap setelah
bermalam-malam tak bisa tidur memikirkan apakah di Amerika di Amerika! mereka
? ?benar-benar mendapatkan yang terbaik di antara semua pilihan yang ada. Mereka
menceri-takan rahasia-rahasia semacam itu yang barangkali hanya bisa disampaikan
dengan nyaman kepada seorang asing yang ilegal.
Saeed baik dan dia bukan orang Pakistan. Oleh sebab itu, dia OK"
Oleh karena itu, tak ada yang salah dengan orang kulit hitam serta Saeed"
Atau orang Meksiko, Cina, Jepang, atau semua orang lain ...?""
Kebiasaan membenci ini telah menyertai Biju, dan dia mendapati dirinya
menyimpan rasa kagum pada orang-orang kulit putih, yang bisa dibilang telah
banyak merugikan India, dan menyimpan sikap kurang ramah terhadap nyaris semua
orang lain, yang tak pernah melakukan satu hai pun yang merugikan India.
Barangkali Saeed Saeed mengalami dilema yang sama mengenai Biju.
Dari dapur-dapur lain, Biju mengetahui apa pendapat dunia mengenai orang-
orang India: Di Tanzania, jika bisa, mereka tentu mengusir orang-orang India seperti di
Uganda. Di Madagaskar, jika bisa, mereka tentu mengusir orang-orang India.
Di Nigeria, jika bisa, mereka tentu mengusir orang-orang India.
Di Fiji, jika bisa, mereka tentu mengusir orang-orang India.
Di Cina, mereka membenci orang-orang India.
Di Hong Kong. Di Jerman Di Italia. Di Jepang. Di Guam. Di Singapura. Burma.
Afrika Selatan. Mereka tidak menyukai orang India.
Di Guadalupe apakah di sana mereka menyukai orang India"
?Tidak. Barangkali Saeed telah diperingatkan tentang orang-orang India, tetapi dia
tidak tampak tergang-gu oleh kontradiksi; suatu kebaikan hati menopang-nya dan
menggantungkannya melampaui dilema-dilema semacam itu.
* Saeed punya banyak pacar.
"Ya, ampuuuun!!" serunya. "Ya, ampwuuuun! Dia terus menelepon dan
meneleponku lagi," dia mencengkeram kepalanya, "aaaiii ... aku tak tahu harus
berbuat apaff" "Kautahu harus berbuat apa," sahut Omar dengan masam.
"Ha ha ha, ah ah, tidak, aku akan jadi gilaaa-aaaa. Terlalu banyak pooky
pooky, Bung!" "Itu gara-gara rambut gimbalmu, potong saja dan gadis-gadis itu akan
pergi." "Tetapi aku tidak ingin gadis-gadis itu pergi!" Ketika gadis-gadis cantik
datang untuk mengambil kue kayumanis mereka yang memiliki lubang meman-jang
berisi hiasan gula cokelat dan rempah-rempah, Saeed melukiskan keindahan dan
kemiskinan Zanzibar, dan rasa iba gadis-gadis itu mengembang seperti bongkahan
roti yang diberi ragi betapa mereka ingin menyelamatkan Saeed, membawa Saeed ?pulang dan menidurkannya dengan televisi dan sistem pemipaan yang baik; betapa
mereka ingin terlihat menyusuri jalan dengan seorang pria tinggi ganteng yang
berambut gimbal. "Dia imuti Dia imut! Dia imuti" kata gadis-gadis itu, akhirnya
mabuk, kemudian memeras keluar hasrat mereka melalui telepon kepada teman-teman
mereka. * Pekerjaan pertama Saeed di Amerika adalah di masjid di Ninety-Sixth
Street, tempat imam masjid mempekerjakannya untuk mengumandangkan azan
subuh karena Saeed bisa berkokok seperti ayam jago dengan baik, tetapi
sebelum sampai di tempat kerja, dia terbiasa berhenti di kelab-kelab malam di
sepanjang perjalanan karena dari segi waktu, hai tersebut sepertinya merupakan
urut-urutan yang cukup wajar. Dengan kamera sekali pakai di saku bajunya, dia
berdiri di pintu menanti kesempatan mengambil foto diri bersama orang-orang kaya
dan terkenal: Mike Tyson, ya! Dia saudaraku. Naomi Campbell, dia gadisku. Hei,
Bruce (Springsteen)! Aku Saeed Saeed dari Afrika. Tetapi jangan khawatir, Bung,
kami sudah tidak memakan orang kulit putih lagi.
Tibalah saat ketika mereka mengizinkan Saeed masuk.
Dia memiliki bakat yang tak habis-habis ber-kenaan dengan pintu, meskipun,
dua tahun lalu selama razia INS, dia tertangkap dan dideportasi meskipun,
dibuktikan oleh kamera Kodak, telah sangat dekat dengan kalangan terbaik
Amerika. Dia kembali ke Zanzibar, tempat dia disambut sebagai orang Amerika,
menyantap ikan kingfish yang dimasak dalam santan di bawah bayangan pohon kelapa
yang bergaris-garis, bermalas-malasan di atas pasir yang sehalus semolina, dan
pada malam hah ketika bulan berubah keemasan dan malam bersinar seolah basah,
dia mengencani gadis-gadis di Stone Town. Ayah gadis-gadis itu mendorong mereka
memanjat keluar dari jendela kamar mereka pada malam hah; gadis-gadis itu
memanjat turun dari pohon dan duduk di pangkuan Saeed, dan para
ayah memata-matai, berharap menemukan pasa-ngan kekasih itu dalam posisi
mencurigakan. Anak lelaki yang dulu sekali berkeluyuran di sudut-sudut
jalan tak punya pekerjaan, hanya membawa masalah, begitu parah sehingga semua ?tetangga ikut menyumbang ongkos tiketnya untuk pergi dari situ sekarang bocah
?ini secara ajaib jadi cukup memenuhi syarat. Mereka berdoa agar dia terpaksa
menikahi Fatma yang gemuk atau Salma yang cantik atau Khadija yang bermata abu-
abu bening dan bersuara seperti kucing. Para ayah mencoba dan para gadis
mencoba, tetapi Saeed melarikan diri. Mereka memberi Saeed kanga untuk menge-
nang mereka, dengan slogan, "Kenangan adalah seperti berlian," dan "Baumu yang
wangi menen-teramkan hatiku," agar jika Saeed tengah bersantai di Kota New York,
dia mungkin akan melepas bajunya, membalutkan kanga di seputar tubuhnya,
mengangin-anginkan buah zakarnya, dan mengingat gadis-gadis di kampung
halamannya. Dalam waktu dua bulan, Saeed telah kembali dengan paspor baru, nama
?baru terketik dengan bantuan beberapa lembar uang yang diserahkan kepada juru
tulis di luar kantor pemerintah. Ketika Saeed tiba di bandara JFK sebagai
Rasheed Zulfickar, dia melihat petugas yang yang dulu mendeportasinya menung-gu
di meja. Jantungnya berdebar secepat kipas angin di telinganya, tetapi orang itu
tak mengingat-nya, "Syukurlah, bagi mereka, kami semua terlihat serupa!"
* Saeed, dia menikmati seluruh permainan, bagaimana negara ini memaksanya
mengerahkan segala akal-nya dan memberinya imbalan; dia memikatnya, membujuknya,
menipunya, merasakan kasih dan kesetiaan terhadapnya. Ketika tiba waktunya, dia
yang telah membuka semua pintu belakang, dia yang telah, dengan mesin fotokopi,
tip-ex, dan pemotong kertas, menyabotase sistem secara me-nakjubkan (satu orang
yang terampil menangani mesin fotokopi, jaminnya kepada Biju, bisa menaklukkan
Amerika), dia akan mengikrarkan kesetiaan emosional pada bendera negeri ini
dengan air mata di pipi dan keyakinan dalam suaranya. Negara ini mengenali
sesuatu dalam diri Saeed, mengenali Saeed di dalam sesuatu tesebut, dan kisah
cinta ini timbal balik. Naik- turun, kadang-kadang lebih banyak masam ketimbang
manis, mungkin, tetapi walau demikian, melampaui segala yang bisa dibayangkan
INS, ini adalah percintaan gaya lama.
* Pada pukul 6 pagi rak-rak toko roti terisi dengan roti gandum, oatmeal,
dan peasant bread, biskuit aprikot dan raspberry yang ketika pecah menga-lirkan
selai kuning gading atau merah delima yang melimpah. Pada pagi seperti itu, Biju
duduk di luar disinari potongan pucat matahari, dengan sebuah
kue roll. Dia membelah tempurung lapisan kulit kue itu dan mulai
memakannya, mencabuti bagian yang selembut wol dengan jemarinya yang panjang dan
ramping ?Namun, di New York keluguan tak pernah menang: sebuah ambulans lewat,
polisi New York, truk pemadam kebakaran; kereta api bawah tanah melintas di atas
kepala Biju dan irama yang menyentak tersebut menjalar melalui sepatunya yang
tanpa penjagaan; suara itu mengguncangkan hatinya dan merusak kue roll tersebut.
Dia berhenti mengunyah, memikirkan tentang ayahnya Sakit. Mati. Cacat.
?Dia mengingatkan dirinya sendiri bahwa pikiran paniknya hanya merupakan
hasil dari lewatnya moda transportasi yang ekstra kuat, dan dia mencari-cari
roti di mulutnya, tetapi benda itu telah menyebar seperti segumpal awan halus di
sekitaran lidahnya dan menghilang.
* Di Kalimpong, si juru masak tengah menulis, "Biju terkasih, bisakah kau
membantu ...." Minggu lalu si satpam MetalBox mengunjungi-nya secara resmi guna
menceritakan kepada si juru masak mengenai anak lelakinya, yang sudah cukup
besar untuk mencari kerja, tetapi tak ada pekerjaan. Bisakah Biju membantunya
menyeberang ke Amerika" Anak itu bersedia memulai dari level pekerjaan kasar,
tetapi tentu saja pekerjaan kanto-
ran adalah yang terbaik. Italia juga boleh, ucapnya menambahkan. Seorang
pria sedesanya pergi ke Italia dan mendapatkan mata pencahariaan yang baik
sebagai juru masak tandoori.
* Pada awalnya si juru masak terganggu, kesal oleh permintaan itu, merasakan
di dalam dirinya bergolak perang antara kebaikan hati dan kejahatan, tetapi
kemudian "Kenapa tidak, akan kupintakan
kepadanya, sangat sulit, harap diingat, tetapi tak ada salahnya mencoba."
Dan dia mulai merasakan sebuah gelenyar kenyataan bahwa si penjaga telah?meminta tolong! Itu memantapkan Biju di mata ayahnya sebagai sebuah sukses-
lengkap-dengan-segala-pakaian-dan -sepatu-bagus.
Mereka duduk di luar pondok si juru masak serta merokok; dan rasanya enak
menjadi dua pria tua yang duduk bersama, membicarakan anak-anak muda. Tumbuhan
nightshade yang beracun tengah berbunga, bunganya berbentuk lonceng raksasa yang
berkilauan, putih dan kaku, menakutkan dan bersih tanpa noda. Sebuah bintang
muncul dan seekor sapi tersesat berkeliaran perlahan melewati mereka pada senja
hah itu. * Demikianlah, untuk semakin meninggikan anaknya
dan kebanggaan dirinya sendiri, si juru masak menulis dalam lembaran surat
kilat berwarna biru, "Beta terkasih, tolong pastikan kau bisa membantu anak
lelaki si satpam MetalBox."
Dia pergi tidur dengan senang dan bahagia, hanya satu kali terbangun
ketakutan mendengar suara gedebuk, tetapi itu cuma sapi tersesat tadi yang
kembali melalui jurang dan berusaha berjalan menembus hujan. Si juru masak
mengusir sapi itu, mengenang anak lelakinya, dan setelah terhubung lagi dengan
kedamaiannya, kembali tidur.
Sebuah permintaan tolong meningkatkan status seseorang.
* Surat izin tinggal, surat izin tinggal?Saeed mengajukan permohonan lotre ini setiap tahun, tetapi orang India
tidak diperbolehkan mengajukan permohonan. Orang Bulgaria, Irlandia,
Malagasia daftarnya masih panjang, tetapi tidak, orang India tidak termasuk.


Senja Di Himalaya The Inheritance Of Lose Karya Kiran Desai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

?Terlalu banyak saling desak untuk keluar, untuk menarik turun semua orang lain,
untuk memanjat di atas bahu orang lain dan lari. Antrean akan tertutup selama
bertahun-tahun, kuota penuh, terlalu penuh, sampai meluap-luap.
Di toko roti, mereka menelepon saluran khusus imigrasi begitu jarum jam
menunjuk pada angka 8.30 dan bergantian memegang gagang telepon untuk melakukan
aktivitas menunggu sambungan yang
bisa jadi berlangsung seharian.
"Apa status Anda sekarang, Pak" Saya tak bisa membantu kecuali saya tahu
status Anda saat ini."
Mereka lantas cepat-cepat menutup telepon, khawatir kantor imigrasi
memiliki mesin berkecepa-tan supersonik elektronik siaga tinggi super yang
mengintai zing bing bip yang bisa
mentransfer menghubungi memutar membaca melacak nomor menuju Hegalitas mereka.
?Oh, surat izin tinggal, surat izin tinggal, surat
?Kadang-kadang Biju sedemikian resah sehingga dia nyaris tak mampu terus
menjadi dirinya sendiri. Sepulang kerja, dia menyeberang ke arah sungai, bukan
menuju area tempat anjing-anjing bermain liar di alun-alun selebar sapu tangan,
sementara para pemilik mereka sibuk memunguti tahi-tahi an-jingnya, melainkan ke
tempat, setelah malam lajang di sinagog, gadis-gadis yang mengenakan rok dan
lengan panjang berjalan dengan gaya kuno bersama
pria-pria bertampang kuno yang mengenakan baju dan topi hitam seakan-akan
mereka harus membawa masa lalu mereka setiap saat agar tidak kehilangan masa
lalu tersebut. Dia berjalan ke ujung terjauh tempat para gelandangan sering
tidur di ruang hijau lebat yang seolah tumbuh bukan dari tanah, melainkan dari
lumpur kota yang subur. Seekor ayam gelandangan juga tinggal di taman itu.
Sebentar-sebentar Biju melihat hewan tersebut menggaruk-garuk tanah dengan
santai dan dia merasakan kerinduan menusuk akan kehidupan desa.
"Chkchkchk," dia memanggil ayam itu, tetapi hewan tersebut langsung lari,
kebingungan dalam gaya menawan seorang gadis kurang menarik yang malu dan yakin
akan daya tarik kesucian.
Biju berjalan ke tempat warna hijau, berubah menjadi seujung jojol dan
tempat orang-orang seperti dirinya sering duduk di atas bebatuan dan memandang
ke bentangan wilayah New Jersey yang suram. Kapal-kapal ganjil melintas:
tongkang sampan, kapal penarik yang berhidung pesek dengan moncong mereka
mendorong pengangkut batu bara yang besar bagian bawahnya; kapal-kapal lain yang
tidak jelas tujuannya dengan derek dan roda penggerak yang telah karatan, asap
?hitam mengepul keluar. Biju mau tak mau merasakan kilasan amarah pada ayahnya karena mengirimnya
seorang diri ke negara ini, tetapi Biju tahu bahwa dirinya juga tak akan
memaafkan ayahnya jika tidak mengirimnya ke sini. []
LIMA BELAS Di Kaiimpong, pohon prem di luar klinik, yang disi-rami dengan darah busuk
dari lab patologi, menge-luarkan begitu banyak bunga, sampai-sampai para
pengantin baru berpose di atas bangku di bawah pohon itu. Mengabaikan permohonan
sangat dari satu pasangan untuk menyingkir dari pengambilan foto mereka, si juru
masak duduk di ujung bangku, memasang kacamatanya untuk membaca surat dari Biju
yang baru saja tiba. "Saya mendapatkan pekerjaan baru di sebuah toko roti dan bos kami memberi
kami tanggung jawab penuh
Hah itu adalah perayaan Haat di Kaiimpong dan segerombolan orang yang hang
gembira berbon-dong-bondong ke pasar dengan kegairahan yang melengking tinggi,
semua orang mengenakan pakaian terbaik mereka.
Si juru masak melipat surat itu dan meletak-kannya di dalam saku bajunya.
Merasa gembira, dia menukik turun memasuki haat, menerobos di sela-sela para
wanita Nepal yang membungkuk dan me-nunduk dengan cincin emas di hidung
menjuntai dan para perempuan Tibet dengan kepang dan tasbih doa, di sela-sela
mereka yang telah berjalan dari desa-desa yang jauh untuk menjual jamur-jamur
berlumpur yang dibungkus tetumbuhan hijau atau dedaunan payau, yang sudah
setengah masak ter-panggang matahari. Bubuk, minyak, dan simpul-simpul akar
diulurkan oleh para tukang obat Lepcha; kios-kios lain menawarkan bulu yak, yang
semrawut dan kasar seperti bulu setan, dan karung-karung berisi udang kering
mini dengan sungut berukuran terlalu besar; ada pula barang-barang asing selun-
dupan dari Nepal, parfum, jaket jins, benda-benda elektronik; juga ada sabit
kukri, lembar-lembar plastik penahan hujan, dan gigi palsu.
Ketika si juru masak dan sang hakim kali pertama tiba di Kalimpong,
karavan-karavan wol masih sering datang, dikawal oleh para pengendara bagal yang
mengenakan sepatu bot dari bulu hewan, anting-anting berayun, dan aroma tanah
orang-orang serta binatang-binatang itu mengalirkan arus panas melawan aroma
pinus nan lembut yang membuat orang-orang seperti Lola dan Noni datang dari
Calcutta untuk mengalaminya. Si juru masak ingat yak-yak mengangkut lebih dari
dua ratus pon garam dan, terletak di bagian atas, bayi-bayi kemerahan yang
dimasukkan di dalam belanga-belanga masak, sedang mengunyah potongan keju churbi
kering. "Putraku bekerja di New York," si juru masak menyombong kepada semua orang
yang dia temui. "Dia menjadi manajer sebuah bisnis restoran.
"New York. Kota yang sangat besar," dia menjelaskan. "Mobil dan bangunan
di sana sama sekali tidak seperti di sini. Di negara itu, tersedia
cukup makanan untuk semua orang.?"Kapan Anda ke sana, Babaji?""Suatu hah
nanti," dia tertawa. "Suatu hah nanti putraku akan menjemputku."
Azalea dan dan jintan kering bertebaran terbungkus dalam berkas koran. Dia
teringat hah ketika Dalai dan Panchen Lama datang ke Kalimpong, dan mereka
membakar dupa sepanjang jalan. Si juru masak ikut dalam rombongan itu. Dia bukan
Buddhis, tentu saja, tetapi dia ikut dengan sema-ngat sekuler. Gemuruh doa yang
samar meluncur menuruni gunung saat keledai dan kuda melangkah pom pom pom
keluar dari dalam kabut, lonceng berdendang, panji doa berkibaran dari pelana.
Si juru masak berdoa untuk Biju dan pergi tidur dengan merasa saleh, perasaan
tersebut begitu menyala sehingga dia merasa bersih meskipun tahu bahwa dirinya
kotor. Sekarang dia berjalan melewati terminal bus yang berminyak serta berbau
gas buangan yang mencekik dan melalui bilik-bilik gelap tempat, di balik tirai
merah kotor, orang bisa membayar untuk menonton pada layar yang bergetar film-
film sema-cam Pemerkosaan Perawan Eksotis dan Perempuan itu: Rahasia Kehidupan
Perkawinan. Di sini tak ada orang yang akan tertarik mendengar cerita tentang anak
lelaki si juru masak. Di Agen Perjalanan Snow Lion, si juru masak harus menunggu sebelum
mendapatkan perhatian sang manajer. Tashi tengah sibuk berbincang dengan seorang
wisatawan Tashi terkenal mampu memikat para perempuan asing dan memberi mereka?kesempatan untuk menulis surat ke negara asal mereka dengan kisah wajib
mengenai petualangan cinta dengan seorang sherpa. Di mana-mana terdapat brosur-
brosur perjalanan biara yang dise-lenggarakan Tashi, foto-foto hotel yang
dibangun dengan gaya tradisional, dihiasi perabot antik, yang banyak di
antaranya memang diambil dari biara. Tentu saja Tashi menghilangkan fakta bahwa
bangunan-bangunan yang berusia berabad-abad itu semuanya telah dimodernisasi
dengan beton, lampu neon, dan keramik kamar mandi.
"Kalau Anda pergi ke Amerika, ajak saya juga," kata Tashi setelah menjual
tiket perjalanan ke Sikkim kepada wisatawan tadi.
"Ya, ya. Kita semua akan pergi. Kenapa tidak" Masih banyak tempat di
Amerika. Negara inilah yang sudah penuh sesak.?"Jangan khawatir, saya menyi-
sihkan uang untuk membeli tiket, dan bagaimana kabar Ayah, bagaimana kesehatan
Ayah?" demikian Biju menulis. Suatu hah nanti anak lelakinya akan mencapai
segala yang gagal dilakukan orangtua Sai, segala yang telah gagal dilakukan sang
hakim. Si juru masak berjalan melewati Penjahit Apollo Tuli. Tak ada gunanya
mengatakan apa pun di tempat ini karena mereka benar-benar akan menulikan
telinga sebagaimana yang mereka lakukan pada semua keluhan pelanggan setelah
mereka menger-jakan segala sesuatu dengan ceroboh, membuat garis horizontal,
bukannya vertikal, menjahit pakaian sang hakim dengan ukuran Sai sementara
pakaian Sai dalam ukuran sang hakim.
Si juru masak memasuki Toko Lark's untuk membeli teh Tosh's, mi telur, dan
susu kental manis Milkmaid. Dia memberi tahu sang dokter, yang datang untuk
mengambil vaksin yang dia simpan di dalam lemari es Lark's, "Anak lelakiku
mendapatkan pekerjaan baru di AS." Anak lelaki sang dokter juga di AS. Si juru
masak memiliki kesamaan dengan seorang dokter! Orang paling terkemuka di kota
ini. Saat berjalan pulang pada waktu petang, dia memberi tahu orang-orang yang
berhenti sejenak dari kegiatan mendaki naik sambil membawa beban berat,
beristirahat persis di tengah jalan, tempat lumpur dan rerumputan tak akan
mengotori baju bagus mereka. Bila sebuah mobil mendekat, mereka berdiri; ketika
mobil sudah lewat, mereka duduk lagi.
Dia memberi tahu Mrs. Sen, yang, tentu saja, juga memiliki anak yang
berada di Amerika, "Negara terbaik di dunia. Semua orang yang pergi ke Inggris,
sekarang menyesal Tangan wanita itu memberi isyarat penuh arti ke rumah
tetangganya di Mon Ami. Si juru masak lalu pergi dan memberi tahu Lola, yang
membenci tantangan atas Inggris, tetapi bersikap baik terhadap si juru masak
karena lelaki itu miskin; hanya anak perempuan Mrs. Sen yang merupakan ancaman
dan layak dipotong lehernya. Si juru masak memberi tahu kedua putri Afghan, yang
mengupahnya untuk mengantarkan seekor ayam setiap kali si juru masak pergi ke
pasar. Mereka merebus ayam tersebut pada hah itu juga karena mereka tak punya
kulkas, dan setiap hah sampai ayam itu habis, mereka memasak ulang
seporsi dengan cara yang berbeda dikare, dimasak kecap, diberi saus keju,
?dan pada saat memba-hagiakan ketika dalam waktu semalam, kebun-kebun di seluruh
Kalimpong ditumbuhi jamur, dimasak saus jamur dengan brendi sebanyak satu tutup
botol. Si juru masak memberi tahu rahib-rahib yang bermain sepak bola di luar
gompa, dengan mengikat jubah mereka. Dia memberi tahu Paman Potty dan Bapa
Booty. Mereka tengah berdansa di beranda, Paman Potty yang memegang sakelar
lampu menyalakan dan memadamkannya berulang-ulang. "Apa kaubilang?" tanya
mereka, mengecilkan suara musik untuk mendengarkan. "Selamat untuknya!" Mereka
mengangkat gelasnya dan mengencangkan suara musik lagi, "Jambalaya ... pumpkin
pie-a ... mio maio ..."
Kemudian, si juru masak berhenti di kios terakhir untuk membeli kentang.
Dia selalu membeli kentang di sini agar tidak perlu menjinjing kentang jauh-
jauh, dan dia mendapati anak perempuan si pemilik kios yang berada di balik meja
layan mengenakan gaun malam panjang, seperti yang saat itu menjadi mode. Di
mana-mana terlihat perempuan memakai gaun malam, anak-anak perempuan, istri-
istri, nenek-nenek, keponakan-keponakan perempuan, berjalan ke toko, mengambil
air di siang bolong seolah-olah hendak pergi tidur, rambut panjang, kain
berkerut-kerut, menampilkan adegan sebuah mimpi indah pada siang hah.
Gadis itu cantik, mungil dan montok, sekilas
pandang pada belahan gaun malam itu menampak-kan buah dada yang seputih
mentega sehingga bahkan para perempuan yang melihatnya akan terpikat. Dan dia
tampak pantas di kios itu. Tentu-nya Biju akan menyukainya" Ayah gadis itu cukup
kaya, konon kata orang ...."Tiga kilo kentang," kata si juru masak pada gadis itu
dengan suara yang luar biasa lembut untuk ukurannya. "Bagaimana berasnya"
Bersih?""Tidak, Paman," jawab si gadis. "Beras yang kami punya sangat kotor.
Penuh kerikil sampai-sampai gigi akan patah kalau memakan-nya.?"Bagaimana atta-
nya?""Atta-nya lebih baik."
Bagaimanapun, si juru masak membatin, uang bukan segalanya. Ada
kebahagiaan sederhana dalam merawat orang lain dan memiliki orang lain untuk
merawat kita.[] ENAM BELAS Ketika Sai tertarik pada cinta, dia menjadi tertarik pada kisah cinta
orang lain, dan dia mendesak si juru masak untuk menceritakan mengenai sang
hakim dan istrinya. Si juru masak berkata, "Ketika aku masuk ke rumah ini, semua pelayan lama
mengatakan padaku bahwa kematian nenekmu membuat kakekmu menjadi orang yang
kejam. Dia adalah perempuan hebat, tidak pernah meninggikan suara pada para
pelayan. Betapa besar cinta kakekmu kepadanya! Bahkan, saking dalamnya cinta
mereka, sampai membuat mual karena terlalu berlebihan untuk di-lihat orang
lain.?"Benarkah Kakek begitu mencintai-nya?" Sai terheran-heran.
"Tentunya benar," jawab si juru masak. "Tetapi mereka bilang dia tidak
menunjukkannya." "Barangkali Kakek tidak mencintai Nenek?" gagas Sai.
"Tutup mulutmu, gadis jahat. Tarik kata-kata-mu!" seru si juru masak.
"Sudah tentu kakekmu mencintainya.?"Bagaimana para pelayan tahu, kalau begitu?"
Si juru masak berpikir sebentar, mengenang istrinya sendiri. "Memang
benar," katanya. "Tak ada yang tahu dengan pasti, tetapi tak ada yang me-
ngatakan apa-apa pada masa itu karena ada banyak cara untuk mengungkapkan
cinta, bukan hanya cara seperti di film yang merupakan satu-satunya cara yang ?kautahu. Kau ini gadis yang sungguh bodoh. Cinta paling agung adalah cinta yang
tak pernah ditampakkan.IIMKau mengatakan apa pun yang kausuka?"Ya, aku
menganggap itulah cara terbaik," tutur si juru masak setelah berpikir-pikir
lagi. "Jadi" Kakek mencintai Nenek atau tidak?" * * *
Si juru masak dan Sai duduk dengan Mutt di atas anak tangga yang menuju
taman, mengambili kutu anjing itu, dan saat seperti ini selalu merupakan saat
yang menyenangkan bagi mereka. Kutu-kutu kantung-khaki yang besar mudah dibasmi,
tetapi kutu-kutu cokelat yang kecil sulit dibunuh; mereka tiarap di lekukan-
lekukan batu, jadi ketika dipukul dengan batu yang lain, kutu-kutu kecil itu
tidak mati, tetapi dalam sekejap berhasil melarikan diri. Sai mengejar kutu-kutu
itu ke sana kemari. "Jangan kabur, jangan berani-berani naik kembali ke badan
Mutt." Mereka lantas mencoba menenggelamkan kutu-kutu itu dalam sekaleng air,
tetapi hewan-hewan tersebut sungguh tangguh, memanjati punggung satu sama lain
dan merayap keluar. Sai mengejar mereka lagi, menaruh kutu-kutu itu kembali ke
dalam kaleng, bergegas ke toilet, dan menyiram
mereka, tetapi bahkan setelah itu mereka muncul lagi ke permukaan,
berenang mati-matian dalam lubang toilet.
* Ingatan, yang sekarang autentik, bersinar-sinar dari mata si juru masak.
"Ya, ampun," seru si juru masak. "Kakekmu sama sekali tidak menyukai
istrinya. Nenekmu jadi gila."
"Benarkah?" "Ya, mereka bilang wanita itu benar-benar sin-ting."
"Siapa sebenarnya dia?""Aku lupa namanya, tetapi nenekmu adalah anak
seorang pria kaya dan keluarga nenekmu jauh lebih tinggi kedudukannya ketimbang
kakekmu, dari cabang kasta tertentu yang tentu saja tidak tinggi, seperti yang
kautahu, tetapi dalam kelompok ini, mereka telah menjadi terpandang. Hal itu
bisa diketahui dari roman muka-nya, yang lembut; jari kakinya, hidung, telinga,
serta jari tangan yang semuanya begitu halus dan mungil, dan nenekmu berkulit
sangat putih persis seperti susu. Dari warna kulitnya, konon, orang bisa salah ?mengira dia sebagai orang asing. Keluarga nenekmu hanya menikah di antara lima
belas keluarga, tetapi perkecualian diberikan untuk kakekmu karena dia anggota
ICS. Tetapi lebih dari itu aku tidak tahu."
* "Siapa sebenarnya nenekku?" Sai kemudian bertanya pada sang hakim yang
duduk tenang seperti seekor burung bangau di depan papan catur-nya. "Apakah dia
berasal dari keluarga yang sangat kaya?"
Sang hakim menyahut "Aku sedang bermain catur, apa kau tidak lihat?"
Sang hakim kembali menatap papan catur, kemudian dia berdiri dan berjalan
menuju taman. Bajing-bajing terbang saling berkejaran di sela-sela lingkaran
tumbuhan pakis dan kabut, pegunungan seperti tanduk kambing liar yang menembus
di te-ngahnya. Dia kembali ke papan caturnya dan membuat langkah, tetapi langkah
itu terasa seperti langkah lama dalam sebuah permainan lama.
Dia tidak ingin mengingat wanita itu, tetapi gambaran yang muncul di
benaknya sungguh lembut tak terduga.
* Keluaga Patel bermimpi mengirim anak lelaki mereka ke Inggris, tetapi
uangnya tak kunjung mencukupi betapapun keras ayah Jemu bekerja, karena itu
mereka mendatangi para rentenir, yang meman-dangi ayah dan anak dengan raut muka
mengantuk seperti buaya, kemudian menerkam dengan tawaran sepuluh ribu rupee.
Dengan bunga 22 persen. Meskipun demikian, itu masih belum cukup, dan mereka mulai mencari
mempelai wanita. Jemu akan menjadi anak lelaki pertama di
komunitas mereka yang belajar di universitas Inggris. Tawaran mas kawin
mengalir dan ayahnya mulai melakukan penimbangan dan penghitungan yang
menyenangkan: buruk rupa emas agak lebih banyak, kulit pucat emas boleh agak ? ?kurang. Anak perempuan jelek berkulit hitam dari seorang lelaki kaya tampaknya


Senja Di Himalaya The Inheritance Of Lose Karya Kiran Desai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

merupakan kandidat terbaik mereka.
* Di wilayah Piphit yang lain, di dekat kamp militer, tinggallah seorang
pria pendek dengan hidung mirip badak yang seolah menaik, bukan turun, yang
membawa tongkat malaka, mengenakan jubah brokat panjang, dan tinggal dalam
sebuah haveli yang diukir dengan begitu halus sampai seolah tak memiliki berat.
Pria ini adalah Bomanbhai Patel. Ayahnya secara sembunyi-sembunyi membantu pihak
yang tepat dalam sebuah pertempuran kecil antara Inggris dan Gaekwads, dan dia
diberi imbalan oleh intendan resimen itu dengan selembar kontrak untuk menjadi
pemasok resmi makanan kuda untuk kamp militer Inggris di Piphit. Akhirnya,
keluarga itu memonopoli pengiriman seluruh barang kering kepada pasukan militer
itu, dan ketika Bomanbhai menjadi penerus ayahnya, dia mendapatkan cara untuk
memperoleh keuntungan yang lebih besar lagi dengan memperluas bisnisnya ke
bisnis lain tanpa batas. Kepada para prajurit dia menawarkan perem-puan-
perempuan haram di suatu wilayah haram
kota tersebut yang bisa dijadikan sasaran pelam-piasan pembesaran
kejantanan mereka; mengem-balikan para prajurit itu ke barak dengan tubuh
dipenuhi tebaran rambut hitam, dan berbau seperti kelinci dari sebuah kandang
kelinci. Walaupun demikian, istri dan anak-anak perempuan Bomanbhai sendiri
dikurung di balik dinding-dinding tinggi haveli yang di luarnya berterakan
tulisan, "Tempat tinggal Bomanbhai Patel, Pemasok Militer, Pemodal, Pedagang."
Di sini mereka men-jalani hidup santai di dalam tempat tinggal khusus perempuan,
keketatan penyelenggaraan purdah ini meningkatkan kehormatan Bomanbhai di masya-
rakat, dan dia mulai memiliki kebiasaan dan keane-han kecil, mengembangkan
keeksentrikan tertentu yang, persis seperti dia rencanakan, semakin mene-gaskan
keterandalan kekayaannya dan menambah kehormatannya. Dia mempertunjukkan benda-
benda yang dibelinya, rutinitasnya dengan sambil lalu tetapi merencanakan
semuanya dengan saksama mendapatkan jubah brokat yang menjadi ciri khas-nya,
?tongkat mengilapnya dan memelihara seekor trenggiling bersisik, karena dia
memiliki ketertarikan pada semua makhluk berhidung besar. Dia memesan satu set
kaca jendela berwarna yang membanjiri haveli dengan cahaya berwarna-warni buah
yang meriah tempat anak-anak bermain di bawahnya, terpikat oleh betapa diri
mereka bisa berubah menjadi berwarna oranye atau ungu atau separuh oranye dan
separuh hijau. Orang-orang Cina pedagang keliling yang men-
jual renda dan sutra menunggu di luar saat barang-barang mereka dibawa ke
tempat para perempuan untuk diperiksa. Para pedagang perhiasan memba-wakan
perhiasan-perhiasan langka untuk mahar anak-anak perempuan Bomanbhai, benda-
benda pusaka yang dijual oleh seorang raja yang bangkrut. Cuping telinga istri
Bomanbhai memanjang gara-gara digantungi berlian Afrika Selatan, yang begitu
besar, begitu berat, sehingga suatu hah, dari salah sebuah daun telinga, sebelah
anting jatuh menyobek telinga, sebuah meteor lenyap dengan suara gedebuk
berlumuran darah memasuki mangkuk srikhand-nya.
Namun, puncak kemenangan datang ketika dia, yang awalnya hanyalah pemilik
kedai benda-benda kaleng, tetapi sekarang lebih kaya ketimbang se-luruh Brahmana
di kota itu, mempekerjakan seorang juru masak Brahmana yang menjunjung hukum
pencemaran dengan begitu ketat sampai-sampai bila ada yang mengucapkan "eendoo",
telur, di dapur, seluruh panci dan belanga, semua sendok harus dicuci, semua
makanan harus dibuang. * Suatu hah sekelompok orang yang nyaris meleter dalam kegairahan mereka,
berduyun-duyun masuk untuk menemui Bomanbhai dan memberi tahunya mengenai
keberangkatan Jemubhai ke Inggris sebentar lagi. Alis mata Bomanbhai mengerut
saat dia menimbang-nimbang informasi tersebut, tetapi
dia tidak mengatakan apa-apa, menyesap sedikit brendi Exshaw No. 1 dengan
air panas dalam piala minum Venesia.
Ambisi masih menggerogoti dirinya dan meskipun memiliki juru masak
Brahmana, dia tahu bahwa ada dunia yang lebih luas dan jarang sekali sejarah
memberikan celah untuk melakukan suatu aksi akrobatis. Seminggu kemudian, di
memasuki tandau-nya yang dihela oleh dua ekor kuda betina putih, berkendara
melewati British Club di Thornton Road yang tak pernah bisa dia masuki seberapa
pun uang yang dia miliki di sakunya, sampai di wilayah lain kota itu, dan di
sana, dia memukau para penghuni gubuk Patel saat menawarkan Bela, anak
perempuannya yang paling cantik, yang bersama saudari-saudarinya tengah
berbaring di tempat tidur besar sembari mengeluh kebosanan di bawah lampu
kristal yang memberi nuansa es nan mewah di dalam gerahnya musim panas.
Jika Jemu berhasil dalam mencapai cita-citanya, Bela akan menjadi istri
salah seorang pria paling berpengaruh di India.
* Pesta pernikahan itu berlangsung selama seminggu dan sedemikian mewah
sampai tak ada orang di Piphit yang meragukan bahwa keluarga tersebut hidup
berkelimpahan ghee dan emas, jadi ketika Bomanbhai membungkukkan badan sambil
mengu-capkan namaste dan memohon agar tamu-tamunya
makan dan minum, mereka tahu sikap rendah hati ini cuma pura-pura dan ?dengan demikian, merupakan sikap rendah hati yang paling baik. Sang mempelai
wanita serupa gundukan perhiasan yang berkilauan memantulkan cahaya, nyaris tak
mampu berjalan terbebani emas permata yang dia kenakan. Mas kawinnya berupa uang
tunai, emas, zamrud dari Venezuela, mirah delima dari Burma, berlian kundun yang
belum diasah, sebuah jam dengan rantainya, berhelai-helai kain wol untuk sang
suami agar dibuat menjadi pakaian yang dikenakan saat pergi ke Inggris, dan
dalam sebuah amplop licin, selembar tiket perjalanan dengan SS Strathnaver dari
Bombay ke Liverpool. Setelah menikah, nama Bela diganti dengan nama yang dipilihkan oleh keluarga Jemubhai,
dan dalam beberapa jam saja, Bela menjadi Nimi Patel.
* Jemubhai, yang menjadi berani gara-gara alkohol dan ingatan akan tiketnya,
mencoba menarik lepas sari istrinya, yang terbuat dari emas dalam jumlah sama
banyak dengan sutra, saat perempuan itu duduk di ujung tempat tidur, seperti
yang dinasihatkan paman-pamannya, sembari memukul punggung Jemubhai.
Jemubhai nyaris terkejut menemukan seraut wajah di balik gundukan berlapis
emas itu. Wajah tersebut digantungi perhiasan-perhiasan kecil, tetapi bahkan
semua itu tak bisa menyembunyikan
dengan sempurna wajah seorang gadis empat belas tahun yang menangis
ketakutan, "Selamatkan aku," dia menangis.
Jemubhai sendiri mendadak merasa gentar, di-buat takut oleh ketakutan
istrinya. Setelah sera-ngan keangkuhan patah, Jemubhai kembali kepada dirinya
yang lembut. "Jangan menangis," katanya dengan panik, mencoba memperbaiki
keadaan, "Dengar, aku tidak melihat, aku bahkan tidak sedang melihat rnu."
Jemubhai mengembalikan kain yang berat itu kepadanya, menyelubungkan kembali
kain tersebut di atas kepala gadis itu, tetapi si gadis terus saja terisak-isak.
* Keesokan paginya, para paman tertawa. "Apa yang terjadi" Tidak ada?"
Mereka memberi isyarat ke arah tempat tidur.
Tertawa lagi hah berikutnya.
Hah ketiga, khawatir. "Paksa dia," para paman mendesak Jemubhai. "Bersikap tegaslah. Jangan
biarkan dia memban-del.?"Keluarga lain tak akan sesabar ini," mereka
memperingatkan Nimi. "Kejar dia dan pojokkan," para paman meme-rintah Jemubhai.
Meskipun merasa terpancing, dan kadang-kadang menyadari ada sebuah
dorongan yang pasti dan terpusat di dalam dirinya, di hadapan sang istri, hasrat
itu lenyap. "Dasar manja," mereka berkata pada Nimi. "Bertingkah."
Bagaimana mungkin Nimi tidak senang dengan Jemu mereka yang pintar, anak
lelaki pertama dari masyarakat mereka yang akan pergi ke Inggris.
Namun, Jemubhai mulai merasa kasihan pada istrinya, juga pada dirinya
sendiri, karena mereka sama-sama menanggung siksaan kepasifan ini malam demi
malam. Saat keluarganya keluar menjual perhiasan untuk mendapatkan tambahan uang,
Jemubhai mena-wari istrinya mengendarai sepeda Hercules ayahnya. Perempuan itu
menggelengkan kepala, tetapi ketika Jemubhai menaiki kendaraan itu, seraut rasa
ingin tahu kanak-kanak mengalahkan komitmen si perempuan pada air mata dan dia
pun naik dengan menyamping. "Pentangkan kakimu lebar-lebar," Jemubhai
memerintahkan dan mengayuh pedal. Mereka meluncur semakin cepat dan semakin
cepat, di antara pepohonan dan sapi-sapi, meluncur di sela-sela gundukan tahi
sapi. Jemubhai menoleh, menangkap sekilas mata Nimi oh, tak ada mata lelaki ?yang terlihat seperti ini atau menatap dunia dengan cara seperti ini ....
Dia mengayuh lebih kuat. Tanah melandai, dan saat mereka terbang menuruni
lereng itu, hati mereka tertinggal sesaat, melayang di antara dedaunan hijau,
langit biru. * Sang hakim mendongak dari papan caturnya. Sai telah memanjat sebatang
pohon di pinggir taman. Dari cabang pohon itu, orang bisa melihat jalan meliuk-
liuk di bawah sana dan Sai akan bisa melihat kedatangan Gyan.
Pada setiap minggu pelajaran matematika, ke-tegangan makin meningkat
sehingga mereka nyaris tak bisa duduk di ruangan yang sama tanpa merasa ingin
kabur. Sai terserang sakit kepala. Gyan harus pergi lebih cepat. Mereka membuat
pelbagai alasan, tetapi begitu berpisah, mereka merasa gelisah serta, anehnya,
marah, dan mereka menunggu-nunggu kembali kedatangan hah Selasa berikutnya,
penantian semakin meningkat tak tertahankan.
Sang hakim berjalan mendekat.
"Turun.?"Kenapa?""Mutt jadi gelisah melihatmu di atas sana."
Mutt mendongak menatap Sai, mengibaskan ekor, tak ada keresahan yang
tampak di matanya. "Benarkah?" kata Sai.
"Aku harap guru lesmu itu tidak mendapatkan gagasan-gagasan aneh," kata
sang hakim kemudian. "Gagasan aneh apa?""Cepat turun."
Sai turun, masuk ke dalam rumah, dan mengu-rung diri di dalam kamarnya.
Suatu hah nanti dia akan meninggalkan tempat ini.
"Waktu harus bergerak," demikian Noni pernah berkata kepadanya. "Jangan
menempuh kehidupan yang di dalamnya waktu tidak bergerak, seperti yang
kulakukan. Itulah nasihat terbesar yang bisa kuberikan kepadamu."[]
Pendekar Muka Buruk 5 Dewa Arak 44 Tawanan Datuk Sesat Petualangan Dipulau Suram 4
^