Pencarian

Senja Di Himalaya 5

Senja Di Himalaya The Inheritance Of Lose Karya Kiran Desai Bagian 5


?"Bocah naakal katanya lagi ketika dia mem-bawakan prasad untuk Biju dari
kuil di Queens. "Menimbulkan begitu banyak kekhwatiran dan masalah."
Dan dalam prasad itu Biju tahu untuk tidak mengharap apa pun selainnya.
Prasad itu adalah sebuah umpan, sebuah muslihat India kuno dari majikan kepada
pelayan, pemimpin murah hati yang
berusaha memelihara kesetiaan pegawainya; mem-berikan upah seperti budak,
tetapi sekali-sekali sekotak manisan, sebuah kado mewah ....
Maka Biju terbaring di atas alas tidurnya dan memandangi pergerakan
matahari melalui kisi-kisi pada deretan bangunan di seberangnya. Dari setiap
sudut yang terlihat di kota tanpa kaki langit ini, terlihat bangunan-bangunan
yang berdiri seperti tumbuhan belantara yang menjalar, haus akan cahaya,
menyimpan kegelapan abadi yang beku di bagian bawah, siang hah menyorot di sela-
sela kabut, membelah masuk ke dalam apartemen-apartemen pada waktu-waktu yang
tepat dan singkat, seruas tembaga berkunjung di antara pukul 10 dan 12
barangkali, atau di antara pukul 10 dan 10.45, di antara 14.30 dan 15.45.
Sementara di tempat-tempat miskin, kemewahan disewakan, dibagi, dan dipindah
dari tetangga ke tetangga, waktu kedatangannya diperhatikan dan dinanti oleh
kucing, tanaman, orang-orang tua yang mungkin duduk sebentar dengan cahaya itu
melintang di lutut mereka. Tetapi cahaya ini terlalu singkat untuk bisa menjadi
hiburan yang nyata dan lebih terkesan seperti penampakan sebuah kenangan indah
ketimbang hal yang nyata.
* Setelah dua minggu, Biju bisa berjalan dengan bantuan sebatang tongkat.
Dua minggu kemudian rasa sakitnya telah hilang, tetapi tidak, tentu saja,
masalah pokok mengenai green card. Hal itu terus saja membuatnya sakit.
Surat izin, surat izin. Green card, green card, machoot sala oho ka patha
chaar sau bees, green card yang bermakna harfiah kartu hijau padahal tak
berwarna hijau itu. Masalah itu menggayut dengan berat, kagok, kemerahan di
otaknya siang-malam, dia tak bisa memikirkan hal lain, dan kadang-kadang dia
muntah, memeluk toilet, mengosongkan kerong-kongannya ke dalam kerongkongan
toilet, dan menelungkup di atasnya seperti seorang pemabuk. Tukang pos membawa
surat-surat lagi dari ayahnya, dan saat mengambil surat-surat itu, dia mena-
ngis. Kemudian dia membaca surat-surat tersebut dan menjadi marah besar.
"Tolong bantu Oni ... aku sudah memintamu pada surat sebelumnya, tetapi kau
tidak membalas .... Dia pergi ke kedutaan dan orang-orang Amerika itu amat
terkesan dengannya. Dia akan tiba dalam waktu sebulan .... Mungkin dia bisa
tinggal bersa-mamu sampai dia memperoleh sesuatu Biju mulai menggertakkan gigi
di sepanjang mimpi buruknya, terbangun pada suatu pagi dengan gigi retak
melintang. "Kau terdengar seperti pengaduk semen," ke-luh Jeev, "aku sendiri tak bisa
tidur, gara-gara gertakan gigimu dan tikus berlarian."
Suatu malam, Jeev terbangun dan memerang-kap seekor tikus di dalam tong
sampah logam tempat hewan itu mencari makan.
Dia menuangkan cairan pembakar dan memba-
kar tikus itu. "Jangan ribut-ribut, keparat," orang-orang ber-teriak dari atas. "Otak
udang. Bajingan. Demi Setan. Haram jadah. Dasar sialan." Hujan botol bir
berpecahan di sekeliling mereka.
* "Tanyakan padaku harga sepatu mana pun di seluruh penjuru Manhattan dan
aku akan memberi tahu di mana kau bisa mendapatkan harga terbaik."
Saeed Saeed lagi. Bagaimana caranya dia muncul sedemikian tiba-tiba di
seluruh wilayah kota"
"Ayo, tanyakan padaku."
"Aku tidak tahu."
"Sadarlah, Bung," katanya dengan keramahan yang tegas. "Sekarang kau di
sini, bukan di rumah-mu lagi. Apa pun yang kau mau, kau harus coba dan kau bisa
lakukan." Bahasa Inggris Saeed Saeed sekarang sudah cukup bagus hingga sekarang
dia tengah membaca dua buah buku, Berhentilah Kha-watir dan Mulai Menjaiani
Hidup serta Bagaimana Berbagi Hidup dengan Orang Lain.
Dia memiliki dua puluh lima pasang sepatu saat ini; ukuran sebagian di
antara sepatu-sepatu itu tidak pas, tetapi dia tetap membelinya, semata-mata
demi keindahan molek benda itu.
Kaki Biju telah pulih. Bagaimana kalau kakinya tidak pulih"
Yah, kakinya telah pulih.
Meskipun demikian, mungkin dia akan pulang.
Kenapa tidak" Untuk membuat jengkel dirinya sendiri, membuat jengkel
takdirnya, menyenangkan musuh-musuhnya, orang-orang yang ingin dia enyah dari
sini dan orang-orang yang senang melihat dia pulang mungkin dia akan pulang.?Sementara Saeed mengoleksi sepatu, Biju memelihara rasa mengasihani-diri.
Saat melihat seekor serangga mati di dalam karung beras basmati yang datang
jauh-jauh dari Dehra Dun, dia nyaris menangis penuh dukacita dan mengagumi
perjalanan serangga itu, yang merupakan rasa simpati untuk perjalanannya
sendiri. Di India nyaris tak ada yang mampu membeli beras ini, dan orang harus
menempuh perjalanan mengelilingi dunia untuk bisa memakan beras semacam itu di
tempat makanan itu cukup murah sehingga kau bisa melahapnya tanpa harus menjadi
kaya; dan ketika kau pulang ke tempat mereka ditanam, kau tak mampu membeli
beras itu lagi. "Tinggallah di sana selama mungkin," si juru masak pernah berkata.
"Tinggallah di sana. Cari uang. Jangan kembali ke sini."[]
TIGA PULUH SATU Pada Maret, Bapa Booty, Paman Potty, Lola, Noni, dan Sai duduk di dalam
jip perusahaan susu Swiss dalam perjalanan ke Gymkhana Darjeeling untuk
menukarkan buku-buku perpustakaan mereka sebelum kekacauan di lereng bukit
semakin memburuk. Saat itu beberapa minggu setelah perampokan senjata di Cho Oyu dan sebuah
program aksi yang baru disusun di Ghoom, menyampaikan ancaman:
Pemblokiran jalan untuk menghentikan aktivitas ekonomi dan mencegah agar
pepohonan di perbu-kitan, bebatuan besar di ngarai sungai, tidak diba-wa pergi
ke dataran rendah. Segala jenis kendaraan akan dihentikan.
Hah bendera hitam pada 13 April.
Pemogokan tujuh puluh dua jam pada Mei.
Tak ada peringatan nasional. Tak ada Hah Re-publik, Hah Kemerdekaan, ulang
tahun Gandhi. Pemboikotan pemilu dengan slogan, "Kami tidak akan terus berada di negara
bagian Bengali Barat milik orang lain."
Tak membayar pajak dan utang (pintar sekali).
Membakar pakta Indo-Nepal tahun 1950.
Nepal atau bukan, semua orang dianjurkan (diwajibkan) untuk ikut
menyumbangkan dana dan membeli kalender serta kaset pidato yang disampai-
kan oleh Ghising, tokoh tertinggi GNLF di Darjeeling, dan oleh Pradhan,
tokoh tertinggi di Kalimpong.
Diminta (diwajibkan) agar semua keluarga Bengali, Lepcha, Tibet, Sikkim,?Bihari, Marwari, Nepal, atau apa pun suku bangsa yang lain dalam kumpulan campur
aduk itu mengirimkan wakil pria ke seluruh prosesi, dan mereka juga harus meng-
?hadiri pembakaran pakta Indo-Nepal.
Jika ada yang tidak hadir, mereka akan tahu dan ... yah, tak ada yang
menginginkan mereka me-nyelesaikan kalimat itu.
* "Ke mana pantatmu?" kata Paman Potty kepada Bapa Booty saat dia masuk ke
dalam jip. Paman Potty mengamati temannya dengan se-rius. Penyakit flu telah membuat
Bapa Booty begitu kurus sehingga pakaiannya tampak menggantung pada cekungan.
"Pantatmu hilang!"
Pendeta itu duduk di atas ban berenang yang digembungkan karena pantatnya
yang kurus kering sakit jika berkendara di dalam jip kasar yang digerakkan oleh
diesel itu, hanya segelintir palang rangka dan lembaran logam serta mesin dasar
yang melekat, kaca pelindung anginnya dihiasi pecahan berpola sarang laba-laba
gara-gara batu-batu yang beterbangan dari jalan yang rusak. Usia mobil itu sudah
dua puluh tiga tahun, tetapi masih bisa berfungsi dan Bapa Booty mengklaim bahwa
tak ada kendaraan lain di pasaran yang sebanding dengan-
nya. Di bagian belakang terdapat payung-payung, buku-buku, para perempuan, dan
beberapa bongkah keju yang hendak diantarkan Bapak Booty ke Hotel Windamere dan
Biara Loreto, tempat orang-orang memakan keju itu di atas roti bakar setiap
pagi, dan sebongkah keju ekstra untuk Restoran Glenary's kalau-kalau Bapa Booty
bisa membujuk mereka untuk mengganti keju Amul, tetapi mereka tidak mau. Si
manajer percaya bahwa jika sesuatu dike-mas dalam kaleng buatan pabrik dengan
merek tertera di atasnya, ketika sesuatu itu ditampilkan dalam kampanye iklan
nasional, sudah tentu sesuatu itu lebih baik ketimbang apa pun yang di-buat oleh
peternak di sebelah rumah, seorang Thapa meragukan dengan seekor sapi meragukan
yang hidup dekat situ. "Tetapi ini diproduksi oleh para peternak lokal, apakah Anda tidak ingin
mendukung mereka?" Bela Bapa Booty.
"Kendali mutu, Bapa," balasnya, "reputasi di seluruh India, merek dagang,
penghargaan pelang-gan, standar kesehatan internasional."
Bapa Booty tetap penuh harap, melesat me-nembus musim semi, setiap bunga,
setiap makhluk bersolek, mengeluarkan zat feromonnya.
Taman di Biara St. Joseph penuh dengan de-ngungan kesuburan semacam itu
sehingga Sai ber-tanya-tanya, saat mereka melintas di dalam jip, apakah hal itu
membuat malu para biarawati. Bunga-bunga bakung Paskah yang besar dan
terkembang lebar lengket oleh antera yang melim-pah; serangga-serangga
saling berkejaran dengan gila-gilaan membelah angkasa, zip zip; dan kupu-kupu
berahi, berwarna hijau ketimun, melintasi kaca jip dengan tergesa-gesa menuju
ngarai-ngarai laut yang dalam; kegentingan cinta dan bujuk rayu tampak bahkan di
antara makhluk-makhluk yang lebih sederhana.
* Gyan dan Sai Sai mengenang kebersamaan mereka berdua, mengenang ?pertengkaran mereka mengenai Natal; pertengkaran itu sungguh buruk, dan betapa
berlawanan dengan masa lalu. Sai mengingat wajahnya di leher Gyan, di tangan dan
kaki atas dan bawah, perut, jari-jari, di sini dan di sana, di begitu banyak
tempat sehingga kadang-kadang Sai mencium Gyan dan malah mendapati dia sedang
mencium dirinya sendiri. "Yesus akan datang," kata sebuah poster di penguatan tanah longsor saat
mereka menukik memasuki Teesta.
"Untuk menjadi Hindu," seseorang menambahkan dengan kapur di bawahnya.
Hal ini terasa sangat lucu bagi Bapa Booty, tetapi dia berhenti tertawa
saat mereka melewati papan iklan Amul.
Sangat Lezat bermentega ?"Piastik! Bagaimana bisa mereka menyebutnya mentega dan keju" Sama sekali
bukan. Kita bisa menggunakannya untuk iapisan anti-air"
* Lola dan Noni melambai ke luar jendela jip. "Halo, Mrs. Thondup." Mrs.
Thondup, dari sebuah keluarga aristokrat Tibet, tengah duduk di luar dengan
anak-anak perempuannya, Pern Pern dan Doma yang mengenakan baku berwarna permata
serta blus sutra pucat yang ditenun halus dengan de-lapan lambang Buddhis yang
membawa keberun-tungan. Kedua anak perempuan ini, yang bersekolah di Biara
Loreto, seharusnya menjadi teman Sai dulu sekali, begitulah rencana orang-?orang dewasa tetapi mereka tidak ingin menjadi teman Sai. Mereka sudah punya
?teman. Sudah penuh. Tak ada ruang untuk keganjilan.
"Wanita yang sangat anggun," komentar Lola dan Noni selalu ketika mereka
melihat Mrs. Thondup karena mereka menyukai para aristokrat serta me-nyukai para
petani; hanya yang berada di tengah-tengahlah yang memuakkan: kelas menengah
yang melompat-lompat di kaki langit dalam gerombolan yang tak habis-habis.
Oleh sebab itu, mereka tidak melambai pada Mrs. Sen yang keluar dari
kantor pos. "Mereka terus memohon dan memohon anak perempuanku untuk menehma
saja green card," Lola menirukan te-tangganya. Pendusta, pendusta, dasar tukang
bohong .... Mereka melambai lagi saat melewati para putri
Afghanistan yang duduk di atas kursi rotan di antara bunga-bunga azalea
putih yang tengah mekar, suci tetapi mengundang seperti trik pakaian dalam yang
baik. Dari rumah mereka, tak salah lagi, menguarlah aroma ayam.
"Sup?" teriak Paman Potty, yang sudah merasa lapar, hidungnya bergetar
penuh gairah. Dia telah melewatkan sarapan paginya yang biasa berupa makanan-
sisa-dibungkus-omelet. "Sup!" Melambai, setelah itu, pada anak-anak yatim piatu Sekolah Graham's yang
tengah berada di lapangan bermain mereka sungguh cantik laksana malaikat,
?mereka terlihat seolah telah mati dan naik ke surga.
Pasukan militer berlari-lari kecil di sepanjang jalan yang tertutup kupu-
kupu yang tengah ber-cumbu rayu serta capung-capung berwarna mena-wan biru,
?merah, oranye yang menggantung pada sudut geometris yang sangat genting pada
?pasangan mereka. Para pria itu terengah-engah dan megap-megap, kaki-kaki kurus
mereka menjulur keluar dari celana pendek yang sangat lebar dan lucu: bagaimana
mereka akan mempertahankan India melawan Cina yang begitu dekat di balik
pegunungan di Nathu-La"
Dari dapur barak militer terdengar rumor me-ngenai semakin meningkatnya
vegetarianisme. Lola sering berjumpa dengan perwira-perwira muda yang tidak hanya
vegetarian, tetapi juga pantang minuman keras. Bahkan komando tertinggi.
"Menurutku sebagai anggota militer, kau seti-daknya harus makan ikan,"
kata Lola. "Mengapa?" tanya Sai.
"Untuk bisa membunuh, kau harus karnivora, kalau tidak, kaulah yang
diburu. Lihat saja di alam raya rusa, sapi. Bagaimanapun, kita adalah hewan dan
?untuk menang, kita harus mencicipi rasa darah." Namun, militer sudah berubah
dari militer tipe Inggris menjadi militer India sejati. Bahkan dalam pilihan
warna cat. Mereka melewati klub Striking Lion's yang dicat warna merah muda
pengantin. "Yah," Noni berkomentar, "mereka tentunya bo-san dengan warna lumpur pada
segala sesuatu." "BUNGA," begitu tertera pada papan nama besar di dekat situ sebagai bagian
dari Program Pemercantikan Militer walaupun tempat itu adalah satu-satunya titik
di bukit yang tidak ada bunganya.
* Mereka berhenti untuk membiarkan sepasang biara-wan muda menyeberang
menuju gerbang rumah besar yang baru dibeli oleh ordo mereka.
"Uang Hollywood," kata Lola. "Dan pernah pada suatu masa para biarawan itu
berterima kasih pada India, satu-satunya negara yang mau menerima mereka!
Sekarang mereka membenci kita. Menunggu orang Amerika membawa mereka ke
Disneyland. Mustahil!"
"Ya, Tuhan, mereka begitu tampan," kata Paman Potty, "siapa yang ingin
mereka enyah?" Paman Potty teringat sewaktu dia dan Bapa Booty kali pertama berjumpa ...
mata mereka yang mengagumi biarawan yang sama di pasar ... awal sebuah
persahabatan yang agung. "Semua orang mengatakan orang-orang Tibet yang malang orang-orang Tibet ?yang malang," Ian-jut Lola, "tetapi mereka sungguh orang-orang brutal, seorang
Dalai Lama saja nyaris tak bisa berta-han hidup mereka semua mati sebelum
?waktunya. Istana Potala itu Dalai Lama pasti berterima kasih pada nasib baiknya
?karena berada di India, iklimnya lebih baik, dan jujur saja, makanannya lebih
enak. Homo daging kambing yang enak dan gemuk."
Noni: "Tetapi dia tentunya vegetarian, bukan?"
"Biarawan-biarawan ini bukan vegetarian. Sa-yuran segar apa yang tumbuh di
Tibet" Dan fak-tanya, Buddha meninggal karena kebanyakan makan daging
babi.?"Situasi yang hebat," kata Paman Potty. "Pasukan militer vegetarian
sementara para biarawan melahap daging
* Mereka meluncur turun melewati pepohonan sai dan pani saaj, Kiri te Kanawa
sedang diputar di tape, suaranya membubung dari level ngarai untuk melayang-
layang di sekitar lima puncak Kanchenju-nga.
Lola: "Tetapi perdengarkan Maria Callas padaku kapan saja. Tak ada yang
menandingi para penya-nyi lama. Lebih baik Caruso ketimbang Pavarotti."
Dalam waktu satu jam, mereka telah turun memasuki kepekatan udara tropis
yang lembap dan panas di atas sungai serta menemui semakin banyak kumpulan kupu-
kupu, kumbang, dan capung. "Bukankah akan menyenangkan tinggal di sana?" Sai
menunjuk pada rumah peristirahatan pemerintah yang memiliki pemandangan ke arah
beting, di sela-sela rerumputan menuju Teesta yang resah
?Kemudian mereka menanjak lagi memasuki hu-tan pinus dan langit cerah di
antara bidang-bidang kecil hujan keemasan. "Hujan bunga, metok-chharp," kata
Bapa Booty. "Sungguh menyenangkan di Tibet, hujan dan sinar mentari pada saat
yang sama." Wajahnya berseri-seri melihat kuncup-kuncup terang itu melalui
jendela yang retak sembari duduk di atas ban renangnya.


Senja Di Himalaya The Inheritance Of Lose Karya Kiran Desai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

* Untuk mengakomodasi ledakan penduduk, pemerintah baru-baru ini
mengeluarkan perundang-unda-ngan yang membolehkan dibangunnya tambahan lantai di
atas setiap rumah di Darjeeling; beban semakin banyak beton yang menekan ke
bawah telah memacu penukikan miring kota tersebut dan mengakibatkan lebih banyak
tanah longsor ketimbang sebelum-sebelumnya. Saat didekati, kota itu tampak
seperti tumpukan sampah yang menju-lang ke atas sekaligus menyorong ke bawah
sehingga terlihat seperti terjepret dalam foto, sebuah momen beku kejatuhannya.
"Darjeeling benar-benar jatuh," kata para wanita dengan puas, dan maksud mereka bukan
hanya secara harfiah. "Ingat, betapa cantiknya kota ini dulu?"
Pada saat mereka menemukan ruang untuk par-kir yang separuh berada di
dalam selokan di belakang pasar, perkataan mereka terbukti dengan sangat jelas
dan kepuasan diri berganti menjadi kemasaman saat mereka turun di antara sapi-
sapi yang sedang melahap kulit-kulit buah, berjalan melewati cairan kotor yang
mengaliri jalan, dan melintasi kemacetan di jalan pasar. Menambahi kekacauan dan
keributan tersebut, monyet-monyet berlari melompat-lompat pada atap seng di atas
kepala mereka, menimbulkan suara gemuruh. Namun kemudian, persis ketika Lola
hendak memberi ko-mentar lain tentang tamatnya Darjeeling, tiba-tiba awan
terbelah dan Kanchenjunga muncul menjulang sungguh menakjubkan; puncak itu ?terlihat di sana; cukup dekat untuk dijilat: 28.168 kaki ting-ginya. Di
kejauhan, orang bisa melihat Puncak Everest, sebentuk segitiga yang malu-malu.
Seorang wisatawan mulai menghambur-ham-burkan teriakan seolah dia baru
saja melihat seorang bintang pop.
* Paman Potty memisahkan diri. Dia di Darjeeling bukan demi buku-buku,
melainkan untuk mendapatkan perbekalan alkohol cukup banyak sampai ber-akhirnya
kerusuhan sipil. Dia telah membeli seluruh
persediaan rum di toko-toko Kalimpong dan dengan tambahan beberapa karton
lagi dari sini, dia akan siap menghadapi jam malam dan gangguan persediaan
minuman keras selama pemogokan dan pem-blokiran jalan.
"Bukan pembaca buku," kata Lola, mencela.
"Pembaca komik," Sai membenarkan. Paman Potty adalah pelahap Asterix, Tin
Tin, dan Beiieve It or Not yang antusias di toilet, tidak menganggap dirinya
terlalu tinggi untuk bacaan semacam itu meskipun dia dulu belajar bahasa di
Oxford. Karena pendidikannya itulah Lola dan Noni tahan meng-hadapinya, dan juga
karena Paman Potty berasal dari keluarga Lucknow yang terkenal dan dia me-
manggil orangtuanya Mater dan Pater. Mater adalah gadis yang sangat cantik pada
masanya sehingga satu jenis mangga dinamai seperti namanya: Haseena. "Dia itu
terkenal genit," kata Lola yang mendengarnya dari seseorang yang mendengar dari
orang lain yang mengenakan sari menggelantung di bahu, blus berpotongan rendah
dan semacamnya .... Setelah bersenang-senang sebanyak mungkin, Haseena menikahi
seorang diplomat bernama Alphonso (tentu saja, juga nama satu jenis mangga
terkenal). Haseena dan Alphonso, mereka mera-yakan pernikahannya dengan membeli
dua kuda balap, Chengiz Khan dan Tamerlane, yang pernah tampil di halaman depan
Times of India. Kedua binatang itu dijual bersama sebuah rumah di Mable Arch di
London, dan dikalahkan oleh nasib buruk serta perubahan zaman, Mater dan Pater
akhirnya terpaksa pulang ke India, masuk ke sebuah ashram seperti tikus, tetapi
putra mereka menolak untuk menerima akhir menyedihkan dari semangat mereka yang
luar biasa ini. "Ashram apa?" Lola dan Noni pernah bertanya padanya. "Apa yang mereka
ajarkan di sana?" "Pengurangan makan, pengurangan tidur," keluh Paman Potty, "diikuti oleh
derma. Penyusutan jiwa dengan tepat agar orang meraung-raung pada Tuhan, meminta
diselamatkan." Dia senang mence-ritakan kisah ketika, ke dalam lingkungan
vegetarian ketat tersebut bahkan tak ada bawang putih atau bawang merah untuk ?menghangatkan darah dia menyelundupkan seporsi babi hutan jungli panggang yang
?dia pergoki tengah menggali-gali di ladang bawangnya, lalu dia tembak. Daging
babi itu wangi oleh aroma makanan terakhir hewan tersebut. "Mereka menyantap
habis setiap keratnya, Mater dan Pater!"
Mereka membuat janji bertemu untuk makan siang, dan Paman Potty, dengan
sisa-sisa kekayaan keluarganya di saku, pergi ke toko minuman keras sementara
yang lain melanjutkan ke perpustakaan.
* Perpustakaan Gymkhana adalah sebuah ruangan seperti kamar mayat yang
diliputi aroma musk buku-buku tua, aroma yang nyaris terlalu manis dan keras
untuk bisa ditanggung. Judul buku-buku itu telah lama pudar ke dalam sampul
bergesper; sebagian di antaranya belum pernah disentuh dalam waktu lima puluh tahun
dan buku-buku itu remuk bila dipegang, merontokkan lem seperti serpihan-serpihan
serangga berpolisakarida. Halaman-hala-mannya terhiasi pelbagai bentuk kumpulan
tum-buhan paku yang telah lama hancur dan dibor oleh rayap sehingga menjadi
terlihat seperti peta pemasangan pipa ledeng. Kertas yang menguning menyebarkan
gelenyar asam yang samar dan dengan mudah rontok menjadi keping-keping mozaik,
nyaris tak terasa di antara jari-jemari sayap-sayap ngengat di tepi keabadian
?dan debu. Di sana ada Himalayan Times dalam bentuk terjilid, satu-satunya terbitan
mingguan berbahasa Inggris yang melayani masyarakat Tibet, Bhutan, Sikkim,
kebun-kebun teh Darjeeling, serta Dooar, dan Illustrated Weekly, yang pernah
memuat sebuah puisi tentang sapi karya Bapa Booty.
Tentu saja mereka juga memiliki The Far Pavilions dan The Raj
Quartet tetapi Lola, Noni, Sai, dan Bapa Booty bersepakat dalam pendapat bahwa
?mereka tidak menyukai penulis Inggris yang menulis tentang India; membuat perut
mual; igauan dan demam entah bagaimana berjalan seiring dengan kuil, ular, dan
percintaan yang tidak patut, darah yang tertumpah, serta keguguran; tidak sesuai
dengan kenyataan. Penulis Inggris yang menulis tentang Inggrislah yang bagus:
P.G. Wodehouse, Agatha Christie, pedesaan Inggris tempat mereka berkomentar
tentang bunga crocus yang muncul lebih awal tahun itu dan yang terbaik di antara
semuanya, novel-novel rumah aristokrat mewah. Membaca buku-buku itu kita
merasa seolah-olah sedang menonton film-film itu di dalam gedung British Council
di Calcutta yang berpenyejuk rua-ngan, tempat Lola dan Noni sering diajak ke
sana saat masih kecil, musik biola yang mengalun mengantarkan sampai di jalan
aspal; pintu rumah membuka dan seorang kepala pelayan keluar mem-bawa payung,
karena tentu saja, di sana selalu hujan; dan hal pertama yang terlihat dari
nyonya rumah itu adalah sepatunya, menjulur keluar dari pintu terbuka; dari
bentuk kaki itu kau sudah bisa meramalkan dengan senang raut congkak wajahnya.
Ada tak terhingga cerita perjalanan di India dan berkali-kali, dalam buku
demi buku, terdapat adegan kedatangan pada waktu yang larut di sebuah bungalo
dak, sang juru masak tengah memasak di dapur yang menghitam, dan Sai menyadari
bahwa pengiriman dirinya ke Kalimpong dengan cara seperti itu hanyalah bagian
dari pengulangan, bukan sesuatu yang orisinal. Pengulangan itu telah menghendaki
Sai, menanti Sai, mengutuk Sai, dan beberapa langkah yang dibuat dahulu sekali
telah memunculkan mereka semua: Sai, sang hakim, Mutt, si juru masak, bahkan
mobil kentang tumbuk itu.
Saat melihat-lihat rak di sini, Sai tidak hanya menemukan dirinya sendiri,
tetapi juga membaca My Vanishing Tribe, yang mengungkapkan kepada Sai bahwa pada
saat yang sama dia tak tahu apa-apa mengenai orang-orang yang berada di sini
terlebih dahulu. Suku bangsa Lepcha, Rongpa, orang-orang ngarai yang mengikuti Bon
dan meyakini bahwa orang Lepcha, Fodongthing, dan Nuzongye pertama diciptakan
dari salju suci Kanchenjunga.
Ada juga James Herriot si dokter hewan yang lucu, Gerald Durrell, Sam Pig
dan Ann Pig, Paddington Bear, dan Scratchkin Patchkin yang hidup seperti
selembar daun di pohon apel. Dan:
Para pria terhormat India, yang menghargai diri sendiri, seyogianya tidak
memasuki kom-partemen yang dikhususkan untuk orang Eropa, sebagaimana dia tidak
seharusnya memasuki rangkaian gerbong yang dikhususkan untuk para wanita.
Meskipun Anda mungkin telah memiliki kebiasaan dan tingkah laku seperti orang
Eropa, beranilah untuk menunjukkan bahwa Anda tidak malu menjadi orang India,
dan, dalam situasi apa pun, mengin-dentifikasi diri dengan ras Anda sendiri.
H. Hardless, Pedoman Etiket Pria India Terhormat.?Serbuan amarah mengejutkan Sai. Tidaklah bi-jaksana membaca buku-buku
lama; kemarahan yang dinyalakan bukan kemarahan lama, melainkan kemarahan baru.
Jika dia tak bisa menemukan kepa-rat congkak itu sendiri, Sai ingin mencari
keturunan si H. Hardless dan menusuk mereka hingga mati.
Tetapi anak seharusnya tak dipersalahkan atas kejahatan sang ayah, Sai
mencoba membujuk dirinya sendiri saat itu. Tetapi, karena itu apakah patut sang
anak menikmati keuntungan haram sang ayah"
* Sai memilih mencuri dengar pembicaraan Noni dengan sang pustakawan
mengenai Crime and Punishment, "Aku separuh terpesona oleh penulisannya, tetapi
separuh kebingungan," kata Noni, "oleh ide pengakuan dosa dan pengampunan
Kristiani ini mereka meletakkan beban kejahatan pada korban! Jika tak ada yang
?bisa membatalkan perbuatan jahat, lalu kenapa dosa harus dibatalkan?"
Kenyataannya, keseluruhan sistem tersebut tampaknya lebih membela orang
jahat ketimbang orang baik-baik. Kau bisa berbuat buruk, mengatakan bahwa kau
menyesal, kau bisa lebih banyak bersenang-senang dan dikembalikan lagi pada
posisi yang sama dengan orang yang tak pernah melakukan apa-apa, yang sekarang
harus tertimpa kejahatan sekaligus mengalami sulitnya memaafkan, tanpa tambahan
yang enak-enak sama sekali. Dan, tentu saja, orang akan merasa jauh lebih bebas
untuk berbuat dosa jika menyadari keberadaan jaring pengaman semacam itu: maaf,
maaf, oh maaf maaf sekali.
Seperti burung-burung yang enteng beter-bangan, orang bisa mengumbar bebas
kata-kata itu. Sang pustakawan yang merupakan saudara ipar dokter langganan mereka semua
di Kalimpong, berkata, "Kita orang Hindu memiliki sistem yang lebih baik. Kau
mendapatkan yang patut kaudapatkan dan kau tak bisa melepaskan diri dari
perbuatanmu. Dan setidaknya dewa-dewa kita terlihat selayaknya dewa, bukan"
Seperti Raja Rani. Bukan seperti Buddha, Yesus tipe-tipe pengemis."?Noni: "Tetapi kita juga mengelak! Bukan pada kehidupan yang sekarang, kita
bilang, pada kehi-dupan yang lain, barangkali
Sai menambahkan, "Yang paling buruk adalah orang-orang yang mengira kaum
miskin sudah se-pantasnya kelaparan karena perbuatan buruk mereka sendirilah
pada kehidupan sebelumnya yang membuahkan masalah bagi mereka
Faktanya adalah tak ada yang tersisa. Tak ada sistem yang bisa meringankan
ketidakadilan dalam segala hal; peradilan tak memiliki jangkauan; per-adilan
mungkin menangkap pencuri ayam, tetapi kejahatan-kejahatan samar yang besar
harus dibebaskan karena, jika teridentifikasi dan terjaring, kejahatan-kejahatan
itu akan meruntuhkan seluruh struktur dari apa yang disebut sebagai peradaban.
Untuk kejahatan-kejahatan yang terjadi di dalam hubungan dahsyat antarbangsa,
untuk kejahatan-kejahatan yang terjadi di ruang-ruang intim antara dua orang
tanpa saksi, untuk kejahatan-kejahatan ini pihak yang bersalah tak akan pernah
membayar. Tak ada agama dan pemerintahan yang akan meringankan neraka tersebut.
* Selama sesaat percakapan mereka tenggelam oleh suara arak-arakan di jalan.
"Apa yang mereka katakan?" tanya Noni. "Mereka meneriakkan sesuatu dalam bahasa
Nepal." Mereka menonton dari jendela saat sekelompok pemuda berlalu sambil membawa
papan-papan poster. "Pasti gerombolan Gorkha itu lagi."
"Tetapi, apa yang mereka katakan?"
"Itu bukan diucapkan agar dimengerti orang. Cuma ribut-ribut, tamasha,"
kata Lola. "Ha, ya, mereka terus saja naik-turun, meneriakkan suatu hal atau hal
lainnya kata si pustakawan. "Hanya diperlukan segelintir orang sesat dan mereka
mengumpulkan orang-orang buta huruf; semua orang tak berguna yang keluyuran tak
punya kegiatan itu * Paman Potty telah bergabung dengan mereka sekarang, sesudah mengantar
persediaan rumnya ke dalam jip, dan Bapa Booty keluar dari tumpukan buku
mistisisme. "Apakah kita akan makan di sini?"
Mereka masuk ke dalam ruang makan, tetapi ruang itu tampak sepi, meja-meja
berisi piring dan gelas yang dibalik untuk menandakan bahwa tempat
itu tidak dibuka untuk usaha.
Sang manajer keluar dari kantornya, tampak kacau.
"Maaf sekali, Nyonya-Nyonya. Kami mengalami masalah aliran dana dan harus
menutup aula makan. Semakin sulit saja mempertahankan segala sesuatu."
Dia berhenti sejenak untuk melambai pada beberapa orang asing. "Pergi
jalan-jalan, ya" Pada satu masa seluruh raja datang ke Darjeeling, Raja Cooch
Behar, raja dari Burdwan, Raja Purnia .... Jangan lewatkan Biara Ghoom
"Anda pasti mendapatkan uang dari para wi-satawan ini, bukan?"
Gymkhana sudah mulai menyewakan kamar untuk mempertahankan agar klub itu
tetap berjalan "Hah" Uang apa. Mereka begitu ketakutan di-manfaatkan karena kekayaan
mereka, sampai-sampai kamar paling murah pun mereka tawar harganya ... tetapi,
lihat saja kartu pos yang diting-galkan pasangan tadi di meja depan untuk diki-
rimkan, "Baru makan malam enak hanya seharga 4.50 dolar. Kami sungguh tak
percaya betapa murahnya negara ini!! Kami sangat senang di sini, tetapi kami
akan gembira pulang ke rumah, di sana, jujur saja (maaf, dari dulu kami memang
bukan tipe yang berbicara dengan benar secara politik) deodoran tersedia secara
luas "Dan mereka ini adalah para wisatawan terakhir. Sudah untung mereka ada di
sini. Kekacauan politik ini akan membuat mereka pergi."[]
TTGA PULUH DUA Dalam aula makan Gymkhana ini, di salah satu sudut yang dihiasi dengan
tanduk rusa dan kulit binatang yang dimakan rayap, bergentayanganlah hantu
percakapan terakhir antara sang hakim dan teman satu-satunya, Bose.
Saat itu adalah kali terakhir mereka berjumpa. Kali terakhir sang hakim
mengendarai mobilnya keluar dari gerbang Cho Oyu.
Mereka sudah tidak saling bertemu dalam waktu tiga puluh tahun.
* Bose mengangkat gelasnya, "untuk masa lalu," dia berkata lalu minum.
"Ahhh. Air Susu Ibu."
Dia telah membawa sebotol Talisker untuk mereka berdua, dan dialah,
seperti bisa diduga, yang memprakarsai pertemuan ini. Saat itu sebulan sebelum
Sai tiba di Kalimpong. Bose menulis surat kepada sang hakim bahwa dia akan
menginap di Gymkhana. Mengapa sang hakim mau pergi" Dido-rong oleh harapan
kosong untuk menidurkan kena-ngannya" Didorong rasa penasaran" Dia memberi tahu
diri sendiri bahwa dia mau pergi karena jika dia tidak pergi ke Gymkhana,
sebagai gantinya Bose akan datang ke Cho Oyu * "Harus kau akui kita memiliki pegunungan terbaik di dunia," kata Bose.
"Pernahkah kau mendaki Sandak Fu" Si Micky pernah ingat dia" Orang yang bodoh" ?Mengenakan sepatu barunya dan pada saat dia tiba di kaki gunung, kakinya melepuh
begitu parah sehingga dia harus duduk di dasar gunung, sementara istrinya,
Mithu ingat dia" Sangat penuh semangat" Perempuan yang hebat" dia berlari
? ?sampai ke puncak dengan mengenakan chappal Hawaiinya.
"Ingat Dickie, orang yang dengan mantel wol dan pipa kayu ceri berpura-
pura menjadi seorang tuan tanah Inggris, mengatakan hal-hal seperti,
'Renungkanlah cahaya ... musim dingin ... yang pucat ... pucat ini ... dan sebagainya"1
Punya anak terbelakang mental dan tak bisa menanggungnya ... dia bunuh diri.
"Ingat Subramanium" Istrinya, wanita yang pendek dan gemuk, empat kali
empat kaki" Meng-hibur diri dengan sekretaris Anglo, tetapi istrinya itu, wanita
itu menendangnya dari rumah dan me-ngambil seluruh uangnya ... dan begitu uang
lenyap, lenyap pulalah si sekretaris Anglo. Menemukan pria menyedihkan lain
Kepala Bose terdongak saat tertawa dan gigi gigi palsunya mengertak
?jatuh. Dia buru-buru menundukkan kepala dan memasangnya lagi. Sang hakim merasa
perih melihat pemandangan mereka
berdua, bahkan sebelum mereka memulai malam itu dengan sepatutnya dua
?Fitzbilly beruban di sudut klub, durri yang bernoda air, kepala boneka beruang
yang menyeringai merosot rendah, separuh isinya berjatuhan keluar. Tawon hidup
di dalam gigi makhluk itu, dan ngengat hidup di dalam bulunya, yang juga telah
menipu beberapa kutu yang menggali liang di sana, yakin akan menemukan darah,
dan mati kelaparan. Di atas perapian, tempat sebuah potret Raja dan Ratu Inggris
dalam pakaian upacara penobatan pernah tergantung, sekarang terpasang potret
Gandhi, kurus dan dengan tulang iga terlihat. Tidak terlalu membantu
meningkatkan selera makan atau kenyamanan dalam sebuah klub, pikir sang hakim.
Tetap saja, orang bisa membayangkan bagaimana tempat ini dulunya, para
pengusaha per-kebunan dalam balutan kemeja yang dicuci air mendidih menempuh
perjalanan bermil-mil menem-bus kabut, dengan jas resmi di sakunya agar pantas
untuk menyantap sup tomat. Apakah kontras tersebut menarik hati mereka,
permainan nada-nada kecil dengan garpu dan sendok, dansa dengan latar belakang


Senja Di Himalaya The Inheritance Of Lose Karya Kiran Desai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang merayakan olahraga penuh darah dan brutalitas" Di dalam buku tamu, yang
disimpan di perpustakaan, pembantaian dicatat dengan tulisan tangan yang
mengandung kualitas kehalusan feminin dan keseimbangan sempurna, seolah-olah
menyampaikan kehalusan rasa dan pikiran sehat. Ekspedisi memancing ke Teesta
berhasil membawa pulang, baru empat puluh tahun
silam, seekor mahaseer seberat lima puluh kilogram. Twain telah menembak
tiga belas ekor harimau di jalanan antara Calcutta dan Darjeeling. Tetapi tikus-
tikus belum ditembaki dan mereka mengunyah tikar serta berlari-lari di sekitar
saat kedua pria itu berbincang.
"Ingat bagaimana aku mengantarmu membeli mantel di London" Ingat benda
jelek yang sebelumnya kau pakai" Yang terlihat seperti gow wallah sejati" Ingat
bagaimana kau dulu melafalkan 3heelee sebagai Giggly" Ingat" Ha ha."
Hati sang hakim dipenuhi gelora emosi berbisa: berani-beraninya orang ini!
Itukah alasan dia me-lakukan perjalanan ini, untuk meninggikan diri, merendahkan
sang hakim, memantapkan posisi berkuasa pada masa lalu agar dia bisa menghargai
dirinya sendiri pada masa kini"
"Ingat Granchester" Dan apakah masih ada madu untuk tehnya?"
Dia dan Bose di kapal, menjaga jarak agar tidak bersentuhan dengan orang
lain dan mengganggu orang tersebut dengan kulit cokelat mereka.
Sang hakim mencari pelayan. Mereka harus memesan makan malam,
menyelesaikan ini, lalu ber-pisah sebelum terlalu malam. Dia memikirkan Mutt
yang tengah menunggunya. Anjing itu akan berada di jendela, matanya tertancap pada pintu gerbang,
ekornya tegak lurus di antara kakinya, tubuhnya menegang oleh penan-tian, alis
matanya mengerut. Ketika sang hakim kembali, dia akan mengambil
sebatang tongkat. "Boleh kulempar" Kau bisa menangkapnya" Ku-lempar saja?" dia akan bertanya
pada Mutt. Ya ya ya ya Mutt akan melonjak dan melon-cat, tak mampu menahan ?pengharapan lebih lama lagi.
* Jadi dia mencoba untuk tidak memedulikan Bose, tetapi begitu mulai, Bose
meningkatkan secara histeris kecepatan dan nadanya dalam mencampuri privasi
orang lain. Sang hakim tahu bahwa Bose dulu merupakan salah seorang anggota ICS yang
mengajukan kasus pengadilan untuk mendapatkan pensiun setara dengan anggota ICS
yang berkulit putih. Mereka kalah, tentu saja, dan entah bagaimana cahaya telah
lenyap dari diri Bose. Meskipun surat demi surat yang diketik di mesin tik Olivetti portabel
milik Bose berdatangan, sang hakim menolak terlibat. Pada saat itu dia sudah
belajar bersikap sinis dan tahu bagaimana Bose terus memelihara
kenaifannya yah, sungguh me-nakjubkan. Lebih aneh lagi, kenaifannya jelas-jelas
?diwarisi oleh anak lelakinya karena bertahun-tahun kemudian, sang hakim
mendengar bahwa si anak lelaki juga mengajukan tuntutan pada majikannya, Shell
Oil, dan dia juga kalah. Si anak lelaki berkilah bahwa saat itu adalah zaman
yang berbeda dengan aturan yang berbeda pula, tetapi ternyata yang
ada hanyalah versi lain dari hal yang sama.
"Biaya hidup di India lebih rendah," demikian mereka menanggapi.
Akan tetapi, bagaimana kalau mereka ingin li-buran di Prancis" Membeli
sebotol minuman di toko bebas bea" Mengirim anak kuliah di Amerika" Siapa yang
mampu membiayainya" Jika mereka dibayar lebih rendah, bagaimana India tidak
terus miskin" Bagaimana orang-orang India bisa bepergian ke seluruh dunia dan
hidup di dunia dengan cara yang sama seperti orang-orang Barat" Perbedaan-perbe-
daan ini dirasakan Bose sebagai tak tertanggungkan.
Namun, keuntungan hanya bisa diraup dalam celah antarbangsa, mengadu satu
dengan yang lain. Mereka mengutuk dunia ketiga menjadi dunia ketiga. Mereka
memaksa Bose dan anak lelakinya ke posisi inferior hanya sampai di situ, tidak
?lebih tinggi lagi dan dia tak bisa menerimanya. Tidak setelah memercayai bahwa
?dia adalah teman mereka. Dia terkenang bagaimana pemerintah Inggris dan pegawai
negerinya berlayar pergi, melem-parkan topi mereka ke luar kapal, hanya
meninggalkan orang-orang India menggelikan yang tak bisa mengenyahkan dari diri
mereka apa yang telah mereka pelajari sedemikian rupa hingga merusakkan jiwa
mereka. Lagi-lagi mereka maju ke pengadilan dan lagi lagi mereka maju ke ?pengadilan dengan keyakinan tak tergoyahkan pada sistem peradilan. Lagi-lagi
mereka kalah. Lagi-lagi mereka pasti akan kalah.
Pria dengan wig putih keriting dan wajah gelap
yang tertutup bedak, mengetukkan palu, selalu mengalahkan pribumi, dalam
dunia yang masih kolonial.
* Di Inggris, tak diragukan lagi mereka tertawa terbahak-bahak, tetapi di
India, juga, semua orang tertawa senang melihat orang seperti Bose di-curangi.
Mereka mengira diri mereka superior, ber-lagak, padahal mereka sama
saja bukankah begitu" dengan yang lain.
? ?Semakin mulut sang hakim mengatup, semakin Bose tampak bertekad
mendesakkan percakapan sampai kebisuan itu pecah.
"Hari-hari terbaik dalam hidupku," dia berkata. "Ingat" Menggalah perahu
melewati King's, Trinity, sungguh pemandangan yang menakjubkan, Tuhan, dan
setelah itu apa" Ah, ya, Corpus Christi ...Bukan, aku salah, ya" Pertama-tama
Trinity, lalu St. John's. Bukan. Pertama Clare, lalu Trinity, lalu nama yang
kewanita-wanitaan, Primrose ... Primrose?"
"Bukan, sama sekali bukan begitu urutannya," sang hakim mendengar dirinya
berkata dengan nada tersinggung keras seperti anak remaja. "Trinity dulu, baru
Clare." "Bukan, bukan, kau ini bilang apa. King's, Corpus Christi, Clare, lalu St.
John. Ingatan mulai memudar, bocah tua
"Kurasa ingatan-mulah yang mungkin mening-galkan-mu!"
Bose terus minum teguk demi teguk, sangat ingin mempertengkarkan
sesuatu sebuah kenangan bersama, suatu konstruksi kenyataan yang seti-daknya,
?mengandung komitmen dua orang
?"Bukan, bukan. King's! Trinity!" dia memukulkan gelasnya di atas meja.
"Jesus! Clare! Gonville! Dan setelah itu minum teh di Granchester!"
Sang hakim tak tahan lagi, dia mengangkat tangannya ke udara, menghitung
jarinya: 1. St. John's! 2. Trinity! 3. Clare! 4. King's! Bose terdiam. Dia terlihat lega oleh penolakan
itu. "Bagaimana kalau kita memesan makan malam?" tanya sang hakim.
* Namun, Bose berayun cepat ke posisi lain yang sama-sama mengandung ?kepuasan diri tetapi tak ada kedalaman, kebulatan hati. Masih merupakan
?pertanyaan bagi Bose: haruskah dia mengutuk masa lalu atau menemukan arti di
dalamnya" Mabuk, mata tergenang air mata, "Bangsat!" katanya dengan getir.
"Sungguh bangsat mereka itu!" meninggikan suara seolah-olah berusaha memberi
keyakinan pada dirinya sendiri. "Goras lolos dari segala huku-
?man, bukan" Orang kulit putih keparat. Mereka bertanggung jawab atas
segala kejahatan abad ini!" Hening.
"Yah," kata Bose kemudian, pada keheningan yang tak setuju, berusaha
berdamai dengannya, "kita beruntung dalam satu hal, baap re, mereka sudah tidak
di sini, puji syukur. Akhirnya mereka pergi juga
Tetap tak ada tanggapan dari sang hakim. "Tidak seperti di Afrika masih
?membuat masalah di sana Hening.
"Yah, kurasa itu tak terlalu berarti sekarang mereka bisa melakukan
?pekerjaan kotornya dari jauh
Rahang mengeras mengendur tangan mengepal membuka mengepal.
"Oh, mereka tidak sejahat itu, kukira ... tidak semua
Rahang mengeras mengendur tangan mengepal membuka mengepal membuka
? * Kemudian sang hakim meledak, tanpa sadar:
"YA! YA! YA! Mereka semua jahat. Mereka ba-
gian darinya. Dan kita juga bagian dari masalah,
Bose, tepat seperti kau bisa berkata bahwa kita
adalah bagian dari solusi." Dan:
"Pelayan! "Pelayan! "Relay an" "Pelayan!!
"PELAYAN!!! seru sang hakim, benar-benar pu-tus asa.
"Barangkali sedang mengejar ayam," kata Bose lemah. "Kurasa mereka tidak
menduga akan ada tamu."
* Sang hakim berjalan memasuki dapur dan menemukan dua cabai hijau yang
terlihat menggelikan dalam sebuah wadah kaleng di atas rak kayu yang bertuliskan
"Pameran Kentang Terbaik 1933".
Selain itu tak ada apa-apa.
Dia pergi ke meja resepsionis. "Tak ada orang di dapur."
Pria di meja resepsionis sedang separuh terti-dur. "Ini sudah sangat
larut, Tuan. Silakan ke sebelah saja ke Glenary's. Mereka punya restoran lengkap
dan bar." "Kami datang ke sini untuk makan malam. Apa aku harus melaporkanmu pada
pihak manajemen?" Dengan bersungut-sungut pria itu pergi memutar ke belakang,
dan akhirnya seorang pelayan yang ogah-ogahan menghampiri meja mereka; keropeng
miju-miju kering di atas jas birunya menorehkan pulasan warna kuning. Dia tadi
tengah tidur se-bentar di sebuah kamar kosong dia adalah pelayan model lama ?yang ada di mana-mana, bekerja seperti
seorang pegawai komunis, hidup nyaman teramat jauh dari gagasan mengerikan
berupa melayani orang-orang beruang dengan sopan ala kapitalis.
"Daging kambing panggang dengan saus mint. Apakah daging kambingnya
empuk?" tanya sang hakim dengan angkuh.
Sang pelayan tetap tak gentar, "Siapa yang bisa mendapatkan daging kambing
empuk?" dia bertanya dengan nada mencemooh.
"Sup tomat?" Dia mempertimbangkan pilihan ini, tetapi tak memiliki keyakinan untuk
mengakhiri pertimbangan. Setelah beebrapa menit tanpa keputusan berlalu, Bose
memecahkan kebekuan dengan bertanya, "Risoles?" Itu mungkin bisa menyelamatkan
malam tersebut. "Oh, tidak," kata si pelayan, menggeleng-gelengkan kepala dan tersenyum
kurang ajar. "Tidak, itu tidak bisa Anda dapatkan.?"Yah, kalau demikian, apa
yang kalian punya?" "Karekamibingpu/aokambingkaresayurpu/a'osayur
ii "Tetapi tadi kaubilang daging kambingnya tidak empuk."
"Ya, saya sudah memberi tahu Anda, bukan?" * * *
Makanan tiba. Bose melakukan upaya nekat untuk mundur dan mengulangi dari
awal, "Aku sendiri baru saja mendapatkan juru masak baru," katanya. "Si
Sheru itu mampus setelah empat puluh tahun bekerja. Juru masak yang baru
belum terlatih, tetapi karena itu upahnya murah. Aku mengeluarkan buku-buku
resep dan membacakannya saat dia menyalin semuanya dalam bahasa Bengali.
'Begini,1 kataku padanya, 'yang dasar-dasar saja, tidak usah aneh-aneh. Pelajari
saja cara membuat saus co-kelat dan saus putih tuangkan saus putih ke atas ikan
?dan tuangkan saus cokelat di atas daging kambing.1"
Tetapi dia tak berhasil mempertahankan upaya
ini. Bose sekarang memohon langsung pada sang hakim, "Kita berteman, bukan?"
"Bukankah begitu" Bukankah kita berteman?"
"Waktu berlalu, keadaan berubah," kata sang hakim, merasakan klaustrofobia
serta kekikukan. "Tetapi apa yang ada pada masa lalu tak akan pernah berubah, bukan?"
"Kurasa berubah. Masa kini mengubah masa lalu. Saat melihat ke belakang,
kita tak menemukan apa yang kita tinggalkan, Bose."
Sang hakim tahu bahwa dia tak akan pernah berkomunikasi dengan Bose lagi.
Dia tak ingin ber-pura-pura bahwa dirinya adalah teman orang Inggris (orang-
orang India menyedihkan itu yang mengagung-agungkan persahabatan yang nantinya
dinyatakan oleh pihak [kulit putih] lainnya sebagai tidak pernah ada!), juga
tidak ingin membiarkan diri terseret ke dalam kubangan. Dia telah mempertahankan
kebungkaman tak bernoda dan dia tak akan
membiarkan Bose menghancurkannya. Dia tidak akan menjatuhkan harga diri
untuk melodrama pada akhir hidupnya dan dia tahu betapa berbahayanya
pengakuan itu akan menghancurkan segala pe-luang martabat selamanya. Orang-?orang menyam-bar apa yang kauberikan pada mereka seperti seonggok hati yang
masih merah dan melahapnya.
Sang hakim meminta nota, sekali, dua kali, tetapi bahkan nota tidak
penting bagi si pelayan. Dia terpaksa berjalan kembali memasuki dapur.
Bose dan sang hakim saling bersalaman dengan tangan basah, dan sang hakim
mengelap tangannya di celana sesudah itu, tetapi tetap saja, tatapan Bose pada
dirinya seperti lendir yang lengket.
"Good night Good-bye. So long selamat malam. Selamat tinggal. Sampai
?jumpa lagi." bukan kalimat-kalimat India, kalimat-kalimat Inggris. Ba-rangkali
?itulah sebab utama mereka sangat senang mempelajari bahasa baru:
kecanggungannya, upa-yanya, tata bahasanya, menghardikmu; sebuah bahasa baru
menyediakan jarak dan menjaga hati tetap utuh.
* Kabut tersangkut erat pada pohon-pohon teh di kedua sisi jalan saat sang
hakim meninggalkan Darjeeling, dan dia nyaris tak dapat melihat. Dia mengemudi
pelan-pelan, tak ada mobil lain, tak ada apa-apa di sekitar, kemudian, sialan
?Kenangan akan ?Enam bocah lelaki di halte bus.
"Kenapa orang Cina kuning" Dia buang air kecil melawan arah angin, HA-HA.
Kenapa orang India cokelat" Dia buang air besar dengan badan ter-jungkir, HA HA
HA." Mengejeknya di jalan, melemparkan batu, mengolok-olok, menirukan wajah
monyet. Betapa anehnya hal itu: dia takut terhadap anak-anak, ta-kut terhadap
manusia-manusia yang berukuran separuh dari dirinya ini.
Kemudian dia mengingat peristiwa terburuk. Seorang India lain, seorang
pemuda yang tak dia kenal; tetapi jelas seseorang persis seperti dirinya, persis
seperti Bose, tengah ditendangi dan dipukuli di belakang pub di simpang jalan.
Salah seorang penyerang pemuda itu membuka risleting celana dan mengencinginya,
dikelilingi oleh sekerumunan pria berwajah merah yang bersorak-sorai. Dan sang
calon hakim, yang sedang melintas, dalam perjala-nannya pulang dengan membawa
pai daging babi untuk makan malam apa yang dia lakukan" Dia tidak mengatakan
?apa-apa. Dia tidak melakukan apa-apa. Dia tidak memanggil bantuan. Dia berbalik
dan kabur, lari menuju kamar sewanya dan duduk di sana.
* Tanpa berpikir, sang hakim mengambil langkah yang telah terstandar,
belokan-belokan familier untuk kembali ke Cho Oyu, alih-alih menyusuri tepian
lereng gunung. Di dekat rumah, dia nyaris menabrak sebuah jip militer yang diparkir di
tepi jalan, dengan lampu mati. Si juru masak dan beberapa orang tentara tengah
menyembunyikan kotak-kotak minuman keras di dalam semak. Sang hakim menyumpah
tetapi meneruskan perjalanan. Dia tahu tentang bisnis sampingan si juru masak
dan mengabaikannya. Sudah merupakan kebiasaannya menjadi majikan dan si juru
masak menjadi pelayan, tetapi ada yang telah berubah pada hubungan mereka di
dalam sebuah sistem yang menjaga agar baik pelayan dan majikan terselubung ilusi
keamanan. Mutt sedang menantinya di depan pintu gerbang, dan raut wajah sang hakim
melunak dia membunyikan klakson untuk memberitahukan keda-tangannya. Sedetik ?kemudian Mutt berubah dari anjing paling tidak bahagia di dunia menjadi anjing
paling bahagia dan hati Jemubhai menjadi muda oleh rasa senang.
Si juru masak membukakan gerbang, Mutt melompat ke tempat duduk di sebelah
sang hakim, dan mereka berkendara bersama dari gerbang ke garasi ini untuk
?menyenangkan Mutt, bahkan ketika sang hakim sudah tidak lagi menggunakan mobil
untuk pergi ke mana pun, dia mengantarkan Mutt berkendara mengelilingi tanah
miliknya untuk menyenangkan anjing itu. Dan begitu Mutt masuk, anjing itu akan
memasang tampang penuh kebesaran, memiringkan ekspresinya, dan tersenyum ramah
ke kanan dan ke kiri. Di atas meja, ketika sang hakim masuk, dia menemukan telegram itu menanti.
"Kepada Hakim Patel dari St. Augustine's: mengenai cucu perempuan Anda, Sai
Mistry." Sang hakim mempertimbangkan permintaan biara dalam jeda kelemahan singkat
yang dia alami setelah kunjungan Bose, ketika dia dipaksa meng-hadapi fakta
bahwa dirinya telah menoleransi gagasan-gagasan artifisial tertentu untuk me-
nyangga eksistensinya. Ketika kita membangun di atas dusta, kita membangun
dengan kuat dan kukuh. Kebenaranlah yang merusak kita. Dia tak bisa meruntuhkan
dusta itu, kalau tidak masa lalu akan hancur, dan dengan demikian masa kini ...


Senja Di Himalaya The Inheritance Of Lose Karya Kiran Desai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tetapi dia sekarang menyerah pada sesuatu di masa lalu yang telah bertahan,
lantas kembali, yang mungkin, tanpa terlalu dia perhatikan, menebus dosanya
? * Sai bisa merawat Mutt, pikir sang hakim. Si juru masak sudah semakin
jompo. Akan bagus memiliki seseorang yang tak dibayar di rumah itu untuk
membantu segala sesuatu seiring tahun berlalu. Sai tiba, dan sang hakim khawatir
gadis itu akan memicu kebencian laten dalam dirinya, bahwa dia akan ingin
menyingkirkan Sai atau memperlakukan Sai sebagaimana dia telah memperlakukan ibu
Sai, nenek Sai. Namun Sai, ternyata, lebih terasa sebagai keluarganya ketimbang
yang dia bayangkan. Ada sesuatu yang familier mengenai gadis itu; Sai memiliki aksen dan sikap
yang sama. Sai adalah seorang India terbaratkan yang dibesarkan oleh para
biarawati Inggris, seorang India terasing yang hidup di India. Perjalanan yang
telah dimulai sang hakim dulu sekali berlanjut dalam keturunannya. Barangkali
dia melakukan kesalahan dalam memu-tuskan hubungan dengan anak perempuannya ...
dia sudah mengutuk gadis itu sebelum dia mengenai gadis itu. Tanpa dia sadari,
dia merasa, dalam kebergemingan bawah sadarnya, suatu ketidak-seimbangan dalam
perbuatannya tengah menyeim-bangkan diri.
Cucu yang tak dia benci ini barangkali adalah satu-satunya keajaiban yang
pernah dilemparkan takdir kepadanya.[]
TIGA PULUH TIGA Enam bulan setelah Sai, Lola dan Noni, Paman Potty serta Bapa Booty
melakukan wisata perpustakaan ke Klub Gymkhana, tempat itu dikuasai oleh Front
Pembebasan Nasional Gorkha, yang berkemah di aula dansa dan ring skating,
semakin jauh mengejek apa pun kepura-puraan yang masih dimi-liki klub tersebut
meskipun sudah direndahkan oleh para stafnya.
Pria-pria bersenjata beristirahat di ruang bersolek wanita, menikmati
pipa-pipa ledeng besar yang masih bercap barhead Scotland, patentees" dalam
huruf-huruf berwarna ungu dan berlama-lama di depan cermin panjang karena
seperti sebagian besar penduduk kota itu, mereka jarang sekali memiliki
kesempatan untuk melihat diri sendiri dari atas sampai bawah.
Ruang makan dipenuhi pria-pria mengenakan khaki, berpose untuk dipotret,
kaki di atas kepala macan tutul yang diawetkan, wiski di tangan, api di perapian
masih dengan ubin bercorak mawar. Mereka meminum habis seluruh isi bar, dan pada
malam-malam yang dingin mereka menurunkan kulit-kulit binatang dari dinding dan
tidur di dalam lipatannya yang bau apak.
Kelak terbukti mereka juga menimbun senjata,
menggambar peta, merencanakan pengeboman jembatan, merumuskan rencana yang
berkembang dalam kenekatan saat para manajer kabur dari perkebunan teh yang
membentang bergelombang di sekujur Pegunungan Singalila di sekitar Gymkhana,
dari Happy Valley, Makaibari, Chonglu, Pershok.
Kemudian, ketika semuanya berakhir dan orang-orang itu telah
menandatangani pakta perdamaian serta meninggalkan tempat itu di sini, persis ?di Klub Gymkhana, di atas meja-meja makan yang diletakkan berpasang-pasangan
dalam satu deret mereka mementaskan penyerahan senjata secara publik.
?Pada 2 Oktober 1988, pada Hah Gandhi Jayanti, tujuh ribu pria menyerahkan
lebih dari lima ribu senjata laras panjang, revolver buatan dalam negeri,
pistol-pistol, senjata laras tunggal dan laras ganda, senapan sten. Mereka
menyerahkan ribuan renteng amunisi, tiga ribu lima ratus bom, batang gelatin,
alat peledak dan ranjau darat, berkilo-kilo mesiu, cangkang mortir, meriam. Anak
buah Ghising saja memiliki lebih dari dua puluh empat ribu senjata. Dalam
tumpukan itu terdapat senapan pompa B5A sang hakim, senapan Springfield, Holland
& Holland laras ganda yang, setelah waktu minum teh, dia bawa menjelajahi daerah
pedalaman yang mengelilingi Bonda.
* Tetapi ketika Lola, Noni, Bapa Booty, Paman Potty,
dan Sai ditolak dari ruang makan Gymkhana, mereka tidak mengira situasi
klub itu akan menjadi begitu buruk. Mereka salah memaknai kemuraman ruang
tersebut dengan masalah yang ada saat ini, persis sebagaimana disampaikan sang
manajer, dan tidak memaknainya sebagai pertanda buruk masa depan ruang makan
tersebut. Kalau begitu, di mana mereka akan makan siang"
"Tempat baru itu, Let's B Veg?" tanya Bapa Booty.
"Jangan ghas phoos, jangan ranting dan da-un!" kata Paman Potty tegas. Dia
tidak pernah memakan hijau-hijauan jika masih bisa menghin-darinya.
"Lung Fung?" Tempat itu adalah sebuah restoran Cina bobrok dengan naga-
naga kertas yang terlihat bengis bergantungan dari langit-langit.
"Tidak terlalu enak duduk-duduk di sana."
"Windamere?" "Terlalu mahal, hanya untuk orang asing. Lagi pula, hanya tehnya yang
enak, makan siangnya tipe asrama misionaris .... Tunda khitchri ... Daging kambing
gulung yang berlemak ... garam dan merica, jika kita beruntung sekali.
Akhirnya Glenary's, seperti biasa.
"Banyak pilihan, paling tidak semua orang bisa mendapatkan yang ?diinginkan."
Maka mereka beramai-ramai menyeberang. Di sebuah meja di sudut duduklah
Bapa Peter Lingda-moo, Bapa Pius Marcus, dan Bapa Bonniface
D'Souza yang tengah menyantap apple strudle. "Selamat sore, Monsignor,"
sapa mereka pada Bapa Booty, menguarkan aroma Eropa pada diri mereka. Begitu
elegan: Monsignor .... Seperti biasanya, ruang itu sebagian besar disesaki murid-murid sekolahan
yang menggeliat-geliut gembira karena makan siang di luar, me-ngingat sekolah
asrama merupakan salah satu usaha ekonomi terbesar Darjeeling selain teh. Ada
anak-anak yang lebih tua tengah merayakan ulang tahun sendiri tanpa pengawasan,
anak-anak yang lebih muda ditemani oleh orangtua mereka yang berkunjung dari
Calcutta atau bahkan Bhutan dan Sikkim, Bangladesh, Nepal, atau dari perkebunan-
perkebunan teh di sekitar tempat itu. Beberapa kepala keluarga yang sedang murah
hati juga tengah menanyai anak-anak mereka tentang pela-jaran, tetapi ibu-ibu
mereka memprotes, "Biarkan mereka sekali-sekali, baba," sembari mengisi piring
dan membelai rambut, memandangi anak-anak mereka sebagaimana anak-anak mereka
memandangi makanan, berusaha memasukkan sebanyak yang mereka mampu.
Mereka hafal menunya di luar kepala karena sudah bertahun-tahun menyantap
hidangan isti-mewa di Glenary's. Menu India, Eropa, atau Cina; gorengan, sup
ayam dan jagung manis, es krim dengan saus cokelat panas. Mengambil keuntungan
kilat dari mata orangtua yang meleleh sudah hampir tiba waktunya untuk
?berpisah seporsi es krim lagi dengan saus cokelat panas" "Boleh, ya,
?Ma, ya, Ammi, ya, Mami," mata sang ibu beralih kepada sang ayah, "Priti,
tidak, sudah cukup, jangan memanjakannya sekarang," lalu menyerah, karena
mengetahui bahwa Ma, Ammi, atau Mami akan menangis sepanjang perjalanan yang
sepi kembali menuju perkebunan atau bandara atau stasiun kereta api. Apakah
ibunya dulu seperti ini" Juga ayahnya" Sai tiba-tiba merasa kehilangan dan
cemburu pada anak-anak ini. Ada seorang perempuan Tibet yang sangat cantik dalam
balutan baku serta celemek berwarna langit dengan potongan-potongan pita
berwarna cerah yang membuat orang langsung merasa nyaman dan dicintai. "Oh, pipi
yang manis manis sekali," seluruh anggota keluarga berkata, tertawa saat mereka
pura-pura memakan si bayi, dengan cara yang ramah dan lembut, dan si bayi
tertawa paling keras di antara semua. Kenapa dia tak bisa menjadi bagian dari
keluarga itu" Menyewa kamar dalam kehidupan orang lain"
Lola dan Noni menggosok alat makannya pada serbet kertas, mengelap piring
dan gelasnya, me-ngembalikan piring dan gelas yang terlihat buram.
"Bagaimana kalau minum sedikit, nyonya-nyonya?" kata Paman Potty.
"Oh Potty, sudah mulai minum sedini ini."
"Terserahlah. Gin tonic," dia memesan, lalu mencelupkan roti tongkatnya
langsung ke dalam piring mentega. Mengangkat gumpalan keemasan yang ceria. "Aku
suka memakan sedikit roti dengan mentegaku," dia mengumumkan.
"Mereka membuat fish and chips yang enak
dengan saus tartar," kata Bapa Booty dengan denyut penuh harap,
membayangkan ikan air tawar dalam balutan seragam keemasan tepung roti yang
renyah. "Apakah ikannya segar?" Lola bertanya kepada si pelayan. "Dari
Teesta?""Kenapa tidak?" jawab si pelayan.
"Kenapa tidak?""!! Aku tidak tahu! Kaulah yang tahu KENAPA kalau
TIDAK! !!?"Lebih baik tidak mengambil risiko. Bagaimana kalau ayam dengan saus
keju?""Keju apa?" tanya Bapa Booty.
Semua orang mematung ... keheningan yang beku.
Mereka tahu penghinaan itu akan datang Sangat lezat bermentega ... Juara ?Keju Seluruh India
?"AMUL!!?"PLASTIK LAPISAN KEDAP AIR!!" teriak Bapa Booty.
Seperti biasanya mereka mempertimbangkan pilihan mereka dan memilih
hidangan Cina. "Tidak seperti makanan Cina sebenarnya, tentu saja," Lola mengingatkan
semua orang bahwa Joydeep, suaminya yang sekarang telah meninggal dunia, pernah
mengunjungi Cina dan melaporkan bahwa makanan Cina di Cina sangat berbeda. Lebih
buruk, malah. Dia menceritakan telur yang berumur seratus hah (dan kadang-kadang
katanya berumur dua ratus hah) dikubur lalu digali sebagai makanan enak, dan
semua orang mengeluarkan desahan nikmat yang mengagetkan. Joydeep sangat sukses
dalam pesta-pesta koktail setelah pulang. "Mereka
juga tidak terlalu memerhatikan penampilan," tu-turnya, "wajah chapta.
Jauh lebih baik para perempuan India, benda-benda antik India, musik India, Cina
India-" Padahal di seluruh penjuru India, tak ada yang lebih baik ketimbang Cina
Calcutta! Ingat Ta Fa Shun" Tempat para wanita yang pergi berbelanja bertemu
untuk menikmati sup asam pedas dan menyertainya dengan gosip asam pedas
?"Jadi kita akan makan apa?" tanya Paman Potty yang sudah menghabiskan
seluruh roti tongkatnya sekarang.
"Daging ayam atau babi?"
"Chee chee. Jangan percaya daging babinya, penuh cacing pita. Siapa yang
tahu dari babi seperti apa daging itu berasal?""Ayam pedas, kalau begitu?"
Dari luar terdengar suara para pemuda yang berpawai itu lewat lagi.
"Ampun, ribut sekali. Segala tuntutan lakukan-atau-mati ini."
Ayam pedas tiba dan, setelah menaruhnya di atas meja mereka, si pelayan
mengelap hidungnya pada tirai. "Coba lihat itu," kata Lola. "Tak heran kita
orang India tak pernah maju." Mereka mulai makan. "Tetapi makanan di sini enak."
Nyam nyam. * Saat mereka keluar dari restoran, arak-arakan yang sama dengan yang tadi
mengganggu mereka saat sedang makan dan saat mereka tengah berada di perpustakaan kembali
melintasi jalan setelah menjelajahi seluruh Darjeeling.
"Gorkhaland untuk orang-orang Gorkha."
"Gorkhaland untuk orang-orang Gorkha."
Mereka berhenti untuk membiarkan arak-arakan itu lewat dan siapa yang
nyaris menginjak jari kaki Sai"?Gyan!!
Dalam balutan sweter merah tomatnya, ber-seru-seru nyaring dengan cara
yang tak bisa dikenali Sai.
Apa yang dilakukannya di Darjeeling! Kenapa dia berada dalam pawai GNLF,
berpawai demi kemer-dekaan orang-orang Nepal India"
Sai membuka mulut untuk berteriak kepada Gyan, tetapi pada saat itu Gyan
juga melihat Sai, dan kekagetan di wajah Gyan diikuti oleh sekilas gerakan
kepala yang galak dan sorot tajam yang dingin di matanya yang merupakan
peringatan untuk tidak mendekat. Sai mengatupkan mulut seperti seekor ikan, dan
keterkejutan membanjiri insangnya.
Pada saat itu Gyan telah berlalu.
"Bukankah itu guru les matematikamu?" tanya
Noni. "Kurasa bukan," kata Sai, berjuang mempertahankan harga diri,
mempertahankan akal sehat. "Mirip dia, aku sendiri sempat mengira itu dia,
tetapi bukan ...." * Dalam perjalanannya yang curam untuk kembali turun ke Teesta, mereka
memerhatikan bahwa Sai menjadi pucat.
"Kau baik-baik saja?" tanya Bapa Booty.
"Mabuk darat." "Tataplah cakrawala, itu selalu membantu."
Sai menancapkan pandangan pada puncak tertinggi Pegunungan Himalaya, pada
kebekuan yang tak bergerak. Namun, tak ada bedanya. Ada yang berputar-putar
dalam otak Sai dan dia tak bisa memahami apa yang dilihat oleh matanya.
Akhirnya, cairan empedu yang asam meluap di kerongkongan-nya, menggoreng sistem
pencernaannya, membakar mulutnya, mengikis giginya dia bisa merasakan giginya
?berubah menjadi kapur saat diserang oleh kedatangan kembali ayam pedas.
"Hentikan mobilnya, hentikan mobilnya," kata Lola. "Biarkan dia keluar."
Sai mulai muntah ke dalam rerumputan, me-ngeluarkan sejenis sup daging
pedas, menyajikan pemandangan tak menyenangkan berupa makan siang mereka lagi
yang sekarang tampak jauh lebih buruk karena telah dicerna. Noni menuangkan
untuk Sai secangkir air es dari kapsul perak botol termos zaman angkasa luar,
dan Sai beristirahat di atas sebuah batu dalam cahaya matahari di tepian Teesta
transparan yang cantik. "Ambil napas dalam-dalam, Sayang, makanan tadi itu
sangat berminyak, mereka benar-benar sudah menurun?dapur kotor oh, melihat pelayan itu saja seharusnya sudah cukup
?memperingatkan kita."
Di ujung seberang jembatan para penjaga pos pemeriksaan tengah mengecek
beberapa kendaraan yang lewat. Waspada dalam masa kacau ini, mereka membukai
buntelan dan tas semua orang di dalam sebuah bus dan mengeluarkan barang-barang milik-
nya. Para penumpang menunggu dengan wajah hampa di dalam bus; orang-orang yang
malang, wajah mereka menempel pada jendela, ratusan pasang mata separuh mati,
seperti hewan-hewan dalam perjalanan menuju maut; seolah-olah perjalanan itu
begitu melelahkan sehingga jiwa mereka sudah binasa. Kedua sisi bus tepercik
muntahan, spanduk-spanduk besar berwarna cokelat dikem-bangkan angin. Beberapa
kendaraan lain menunggu dalam antrean setelah bus tersebut untuk mendapatkan
perlakuan sama, dihalangi oleh sebuah palang logam yang melintang jalan.
Matahari sore menghampar tebal dan keemasan pada pepohonan, dan dengan
cahaya begitu terang, bayang-bayang di bawah dedaunan, di sisi mobil, dan di
antara bilah-bilah rumput serta beba-tuan berwarna sehitam malam. Hawa di lembah
terasa panas, tetapi sungai itu, ketika Sai mence-lupkan tangan ke dalamnya,
cukup dingin untuk membuat urat darah Sai mati rasa.
"Tidak usah buru-buru, Sai, toh kita harus menunggu lama, mobil-mobil
berbaris mengantre."
Bapa Booty sendiri keluar, berjalan naik-turun, merenggangkan badan,
senang mendapatkan ke- sempatan mengistirahatkan pantatnya yang kesakitan, ketika dia melihat
seekor kupu-kupu yang luar biasa.
Lembah Teesta terkenal atas kupu-kupunya, dan para spesialis datang dari
seluruh penjuru dunia untuk melukis dan mendokumentasikan mereka. Makhluk-
makhluk langka dan spektakuler yang digambarkan dalam buku perpustakaan Kupu-
Kupu Mengagumkan dari Wiiayah Timur Laut Himalaya beterbangan di depan mata
mereka. Pada suatu musim panas, ketika berusia dua belas tahun, Sai telah
mengarang nama-nama untuk mereka-"Kupu-kupu topeng Jepang, kupu-kupu dari
pegunungan jauh, kupu-kupu Icarus jatuh dari langit, kupu-kupu yang dibebaskan
sebuah seruling, kupu-kupu festival layang-layang" dan menuliskan semuanya ke ?dalam sebuah buku yang dijuduli "Koleksi Kupu-Kupuku" serta menyertai nama-nama
itu dengan ilustrasi. "Menakjubkan," kata Bapa Booty. "Coba lihat yang satu ini." Berwarna biru
merak dengan ekor pita panjang berwarna zamrud. "Oh, astaga, dan yang
itu" hitam dengan bintik-bintik putih dan lidah api merah muda di bagian
?tengahnya ... "Oh, kameraku ... Potty, bisakah kau menggeledah di laci kecil dekat
setir mobil?" Paman Potty sedang membaca Asterix: Ave Gaul! By Toutatis!!!! #@ ***.'.'",
tetapi dia membangunkan diri dan menyerahkan Leica kecil itu melalui jendela.
Saat kupu-kupu tersebut mengepakkan sayap
dengan menawan di atas seutas kawat jembatan, Bapa Booty menjepret foto.
"Astaga, kurasa aku bergetar, gambarnya mungkin akan kabur."
Dia hendak mencoba lagi ketika para penjaga mulai berteriak-teriak dan
salah seorang di antara mereka bergegas mendekat. "Dilarang keras me-motret di
jembatan." Tidakkah dia tahu itu"
Astaga, dia tahu, dia tahu, sebuah kekhilafan, dia melupakannya karena
terlalu bersemangat. "Maaf sekali, Pak Petugas." Dia tahu, dia tahu. Ini adalah
jembatan yang sangat penting, jembatan ini, kontak India dengan wilayah utara,
dengan perba-tasan tempat mereka mungkin harus bertempur melawan Cina lagi suatu
hah nanti, dan sekarang, tentu saja, ada pemberontakan Gorkha juga.
Kenyataan bahwa Bapa Booty adalah orang asing, tidak membantu.
Mereka menyita kameranya dan mulai memerik-sa jip.
Ada bau yang mengganggu. "Bau apa ini?" "Cheese keju."
? "Kya cheez?" kata seseorang dari Meerut.
Mereka tak pernah mendengar tentang keju sebelumnya. Mereka terlihat tak


Senja Di Himalaya The Inheritance Of Lose Karya Kiran Desai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

percaya. Baunya sungguh terlalu mencurigakan dan salah seorang di antara mereka
melaporkan bahwa dia merasa baunya seperti bau bahan pembuat bom. "Gas maar raha
hai," kata si pemuda Meerut.
"Apa katanya?" tanya Bapa Booty.
"Sesuatu berbau gas sangat tajam. Sesuatu
berbau gas menyafa."
"Buang saja," mereka memberi tahu Bapa Booty. "Sudah basi."
"Belum." "Sudah, seisi mobil berbau."
Para penjaga pos pemeriksaan sekarang mulai memeriksa tumpukan buku,
menimbang-nimbangnya dengan hidung berkerut yang sama dengan saat menimbang-
nimbang keju tanpa pemilik yang diper-siapkan untuk Glenary's.
"Apa ini?" Mereka mengharapkan buku-buku yang bersifat antinasional dan
menghasut. "Trollope," jawab Lola dengan ringan, menjadi bersemangat dan bergairah
gara-gara perubahan situasi. "Aku selalu mengatakan," dia menoleh pada yang lain
dengan gaya santai. "Bahwa aku akan menyimpan Trollope untuk masa tuaku; aku
tahu itu akan menjadi hiburan lamban yang sempurna ketika aku tak memiliki
banyak kegiatan lain dan, yah, beginilah aku sekarang. Buku-buku model lamalah
yang kusuka. Bukan buku jenis baru, yang tak ada awal, tak ada pertengahan, tak
ada akhir, hanya serentetan ... plasma yang mengambang bebas ...."Penulis Inggris,"
Lola memberi tahu penjaga.
Si penjaga terus memeriksa: The Last Chronicle of Bar set: The Archdeacon
goes to Framley, Mrs. Dobbs Broughton Piles her Fagots.
"Tahukah kalian," Lola bertanya kepada yang lain, "bahwa dia juga
menciptakan kotak pos?"
"Kenapa Anda membacanya?"
"Untuk mengalihkan pikiranku dari semua ini." Dia
memberi isyarat secara samar dan kurang ajar pada tempat itu secara umum
dan si penjaga sendiri. Yang punya harga diri. Yang tahu dirinya penting. Yang
tahu bahwa ibunya tahu dirinya penting. Tak sampai sejam yang lalu sang ibu
telah menguatkan keyakinannya dan keyakinan putranya dengan puri aioo ditemani
oleh Limca rasa limau lemon yang lezat, desis yang dikeluarkan minuman itu
menim-bulkan keributan kecil di sekitar hidungnya.
Marah atas kekurangajaran Lola, wajahnya masih terjaga gara-gara percikan
soda, dia memberi perintah agar buku itu diletakkan dalam jip polisi.
"Anda tak bisa menyitanya," kata Lola, "itu buku perpustakaan, dasar pria
kecil tolol. Aku bisa mendapatkan masalah di Gymkhana. Anda tak akan membayar
mereka untuk menggantinya."
"Dan ini?" Si penjaga meneliti buku yang lain.
Noni telah memilih sebuah cerita sedih mengenai kebrutalan polisi selama
pergerakan Naxalite karya Mahashveta Devi, diterjemahkan oleh Spivak yang,
menurut Indian Express yang baru-baru ini dibaca Noni dengan penuh minat,
menjadi sosok terkemuka gara-gara kostum berupa sehelai sari dan bot militer.
Dia juga memilih sebuah buku karya Amir Chaudhuri yang berisi penggambaran
pemadaman listrik di Calcutta yang menyebabkan orang-orang seluruh India melunak
dengan nostalgia komunal ketiadaan tenaga listrik. Noni sudah pernah membaca
buku itu sebelumnya, tetapi sekali-kali dia kembali ke buku itu untuk setengah
melahap, setengah tenggelam dalam gambar-gambar yang
indah. Bapa Booty meminjam buku mengenai esote-risme Buddhist, ditulis
oleh seorang sarjana dari universitas biara legendaris di Lhasa, serta Five
Little Pigs karya Agatha Christie. Dan Sai membawa Wuthering Heights dalam
tasnya. "Kami harus membawa buku-buku ini ke kantor untuk diperiksa."
"Kenapa" Tolonglah, Pak," kata Noni, berusaha membujuk si penjaga, "kami
sudah secara khusus pergi ... apa yang akan kami baca ... terjebak di rumah ...selama
jam malam yang panjang "Tetapi Pak Polisi, Anda hanya tinggal melihat kami untuk mengetahui tidak
perlu membuang-buang waktu Anda untuk orang seperti kami," kata Bapa Booty.
"Begitu banyak goonda di sekitar
Tetapi mereka tak punya simpati untuk para kutu buku, dan Lola mulai
berteriak-teriak, "Maling, itulah sebenarnya kalian para polisi. Semua orang
tahu itu. Bekerja sama dengan para goonda. Aku akan menemui mayor militer, aku
akan menghadap SDO. Situasi macam apa ini, menggertak penduduk, kalian orang-
orang kecil berjalan ke sana kemari. Aku tidak akan menyogok kalian, jika itu
yang kalian harapkan lupakan saja. Ayo kita pergi," dia berkata dengan tegas ?kepada yang lain.
"Chaio yaar," kata Paman Potty dan melirik pada botol-botol minuman
kerasnya untuk meng-isyaratkan bahwa mereka boleh mengambil satu atau dua botol
JIKA .... Namun si penjaga berkata, "Masalah serius. Bahkan lima botol tak akan
cukup." Dan jelaslah
sudah persoalan seperti apa yang akan dihadapi Kalimpong.
"Tenanglah, Nyonya," kata polisi itu kepada Lola, malah semakin
menyinggung wanita itu. "Kalau memang tak ada apa-apa dalam buku-buku kalian,
kami akan mengembalikannya."
Buku-buku perpustakaan yang merah menyala-nyala itu dibawa pergi dengan
hati-hati. Kamera Bapa Booty juga disita dan diserahkan ke meja supervisor;
kasusnya akan diteliti secara terpisah.
* Sai tidak terlalu memerhatikan karena dia masih berpikir tentang Gyan yang
tidak megacuhkannya, dan dia tidak peduli buku-buku itu diambil.
Kenapa Gyan ada di sana" Kenapa dia tidak ingin menyapa Sai" Gyan pernah
berkata, "Aku tidak bisa menolakmu ... aku harus terus kembali
Di rumah si juru masak tengah menunggu, tetapi Sai langsung pergi tidur
tanpa makan malam, dan ini sangat menyinggung perasaan si juru masak, yang
menganggap hal itu berarti bahwa Sai telah makan enak di restoran dan sekarang
membenci sajian di rumah.
Sensitif terhadap kecemburuan si juru masak, Sai biasanya pulang dan
mengeluh, "Bumbunya tidak ditumbuk dengan halus gigiku nyaris patah menggigit ?biji merica, dan dagingnya keras, aku harus menelan tanpa mengunyah, semuanya
dalam bentuk potongan-potongan besar dengan bergelas-
gelas air." Si juru masak akan tertawa dan tertawa. "Ha ha, ya, tak ada
yang mau berlama-lama mem-bersihkan dan mengempukkan daging dengan benar lagi,
menumbuk bumbu, memanggangnya Kemudian, mendadak berubah semakin serius, dia
akan berseru, sembari mengacungkan jari untuk menge-mukakan pendapatnya seperti
seorang politisi, "Dan untuk ini mereka memasang harga yang tinggi!" Mengangguk-
angguk keras, sadar akan kengerian dunia. Sekarang, dalam suasana hati yang
manja, si juru masak membantingi piring.
"Ada apa ini!" teriak sang hakim. Sebuah per-nyataan, bukan pertanyaan,
yang seharusnya di-respons dengan keheningan.
"Tidak ada apa-apa," sahut si juru masak, tak peduli, "apa yang mungkin
terjadi" Babyji pergi tidur. Dia habis makan di hotel."[J
TIGA PULUH EMPAT Seminggu setelah perjalanan ke perpustakaan, buku-buku itu dikembalikan,
setelah dinyatakan tak berbahaya, tetapi pihak berwenang tidak berang-gapan sama
mengenai foto kupu-kupu. Di luar sayap hitam kupu-kupu tersebut yang menawan,
foto itu menampilkan pos penjagaan di jembatan, dan jembatan itu sendiri,
melintang di atas Teesta. Bahkan, mereka memerhatikan bahwa foto itu difokuskan
bukan pada kupu-kupu, melainkan pada jembatan.
"Aku terburu-buru," kata Bapa Booty, "aku lupa memfokuskan dengan benar,
kemudian persis ketika aku hendak mencoba lagi, aku ditangkap."
Namun, polisi tidak mendengarkan dan malam itu mereka mendatangi Bapa
Booty di rumahnya, menjungkirbalikkan segala sesuatu; mengambil jam beker,
radio, beberapa baterai cadangan, sebung-kus paku yang dia beli untuk
menyelesaikan pem-buatan kandang sapi, serta sebotol rum Black Cat ilegal dari
Sikkim. Mereka membawa pergi semuanya.
"Mana surat-surat Anda?"
Bapa Booty sekarang diketahui tinggal di India secara ilegal. Astaga, dia
tak mengira akan berurusan dengan pihak yang berwenang; dia telah membiarkan
izin tinggalnya kedaluwarsa di bagian
belakang sebuah laci berjamur karena untuk mem-perbarui izin sungguh
merupakan neraka birokratis, dan tak pernah lagi dia berencana untuk
meninggalkan atau kembali memasuki India .... Dia tahu dirinya adalah orang asing
tetapi sudah tidak terpikir bahwa dia memiliki status lain selain orang asing
India .... Dia punya waktu dua minggu untuk meninggalkan Kalimpong.
"Tetapi saya telah tinggal di sini selama 45 tahun.?"Itu sama sekali tidak
penting. Merupakan hak istimewa Anda untuk tinggal di sini, tetapi kami tidak
bisa menoleransi penyalahgunaan hak istimewa tersebut."
Kemudian sang pembawa kabar menjadi lebih ramah, mengingat anak lelakinya
sendiri diajar oleh Jesuit, dan dia berharap bisa mengirim bocah itu ke Inggris
atau Amerika. Atau bahkan Swiss juga boleh ...."Maaf, Bapa," katanya, "tetapi
hari-hari ini ... aku sendiri bisa kehilangan pekerjaan. Pada waktu yang berbeda
mungkin aku bisa melepaskan Anda, tetapi saat ini ... kumohon segeralah pergi ke
Biro perjalanan Snow Lion dan pesan tiket Anda. Kami akan menyediakan tumpangan
gratis dengan jip peme-rintah ke Siliguri. Anggap saja liburan, Bapa, dan terus
kabari kami. Kalau ini sudah selesai, ajukan lamaran untuk surat-surat yang
diperlukan dan kembali. Tak ada masalah." Betapa mudahnya mengucapkan kata-kata
itu. Dia menjadi semakin gembira karena bisa bersikap begitu sopan dan ramah.
Kembalilah. Tak ada masalah. Beristirahatlah. Berliburlah.
Bapa Booty segera menghubungi semua orang yang dia kenal yang mungkin bisa
membantunya, kepala polisi dan SDO yang rutin berkunjung ke peternakan sapi
untuk membeli dadih manis, Mayor Aloo di barak militer yang menyukai cerutu
cokelat yang dibuat Bapa Booty, para pejabat departemen kehutanan yang memberi
bibit jamur tiram agar dia memiliki jamur di kebunnya pada musim jamur. Pada
tahun ketika rumpun bambu di tanah miliknya berbunga dan lebah-lebah dari
seluruh distrik itu mengerumuni bunga-bunga putih tersebut, departemen kehutanan
membeli biji-bijinya dari Bapa Booty karena biji-biji itu sangat berharga bambu?hanya berbunga sekali dalam seratus tahun. Ketika rumpun tersebut mati setelah
upaya luar biasa ini, mereka memberi Bapa Booty bambu baru untuk ditanam, tunas-
tunas muda yang ujungnya seperti kepang.
Namun sekarang, semua orang yang dalam masa damai telah menikmati
kebersamaan dengan Bapa Booty dan mengobrol tentang hal-hal sema-cam dadih,
jamur, dan bambu terlalu sibuk atau terlalu takut untuk membantu.
"Kami tidak dapat menoleransi ancaman atas keamanan nasional.?"Bagaimana
dengan rumahku" Bagaimana dengan peternakanku, sapi-sapiku?"
Tetapi semua itu ilegal seperti dirinya.
"Warga negara asing tidak diperbolehkan memiliki properti dan Anda tahu
itu, Bapa. Apa perlu- nya Anda memiliki semua ini?"
Peternakan itu sebenarnya atas nama Paman Potty karena dulu sekali, ketika
masalah kecil yang mengganggu ini muncul, dia menandatangani dokumen-dokumen
atas nama temannya .... Tetapi properti kosong berisiko tinggi karena Kalimpong sedari dahulu
telah dicap sebagai ",area yang sangat sensitif," dan menurut undang-undang,
militer berhak menempati tanah yang tak ber-penghuni. Mereka membayar sewa
sangat murah, memasang beton di sekitar, dan mengisi rumah-rumah yang mereka
ambil alih dengan serentetan penghuni sementara yang tak ambil peduli dan
merusak tempat tersebut. Itulah yang biasanya terjadi.
Namun dua hah kemudian, Bapa Booty keda-tangan tamu lain, seorang dokter
Nepal yang ingin membuka sebuah klinik swasta dan tanpa diundang untuk itu,
berjalan memasuki gerbang untuk melihat pemandangan yang sama dengan yang telah
dilihat dan dibelai Bapa Booty dengan matanya. Dia meng-amati rumah yang
dibangun dengan kukuh yang dinamai Bapa Booty Sukhtara. Bintang Kebahagiaan. Dia
mengetukkan buku-buku jarinya pada kandang sapi dengan sikap puas seorang
pemilik. Dua puluh lima pasien kaya mengantre .... Kemudian dia mengajukan
penawaran untuk membeli peternakan Swiss itu dengan harga nyaris cuma-cuma.
"Itu bahkan belum menutup ongkos pemba-ngunan kandang sapi, apalagi rumah
utama." "Anda tidak akan mendapatkan penawaran lain."
"Kenapa tidak?"
"Aku telah mengaturnya dan Anda tak punya pilihan. Anda sudah beruntung
mendapatkan apa yang kutawarkan. Anda tinggal di negara ini secara tidak sah dan
Anda harus menjual atau kehilangan segalanya."
* "Aku akan merawat sapi-sapi itu, Booty," kata temannya, Paman Potty. "Tak
perlu khawatir. Bila masalah sudah selesai, kembalilah dan mulai lagi dari apa
yang kautinggalkan."
Mereka duduk bersama, Bapa Booty, Paman Potty, dan Sai. Di latar belakang
sebuah kaset Abida Parveen tengah diputar. "Allah hu, Allah hu, Allah hu Tuhan
hanyalah tanah kosong dan ruang hampa, kata suara parau itu, tak peduli dengan
hilangnya cinta. Dia membawamu ke ujung segala yang bisa kau tanggung dan
kemudian Dia melepaskan, melepaskan .... "Mujhe jaaaane do Vang seyogianya ?diharapkan orang adalah kebebasan. Akan tetapi, Bapa Booty tidak terhibur oleh
janji Paman Potty karena harus diakui bahwa temannya ini adalah seorang
alkoholik dan tak bisa diandalkan. Dalam keadaan mabuk, dia akan membiarkan apa
pun terjadi, dia bisa mengatakan apa saja, tetapi itu adalah kesalahan Bapa
Booty sendiri: mengapa sebelumnya dia tidak melamar paspor India" Karena sama
tololnya dengan TIDAK melamar paspor Amerika atau Swiss" Dia merasakan
kehampaan dalam dirinya, membenci kepasrahannya pada gagasan-gagasan
dunia, bahkan ketika dia tidak sepakat dengan gagasan-gagasan itu.
Seekor musang melompat-lompat seperti air di atas rumput, berwarna mirip
malam, hanya gera-kannya yang memperlihatkan keberadaannya.
Amarah memelintir hati Sai. Ini perbuatan Gyan, pikirnya. Inilah yang dia
perbuat dan yang diperbuat oleh orang-orang seperti dia atas nama kelayakan
hidup dan pendidikan, atas nama rumah sakit untuk orang-orang Nepal dan posisi
manajemen. Pada akhirnya, Bapa Booty, Bapa Booty terkasih yang, terus terang
saja, telah melakukan jauh lebih banyak hal untuk pembangunan di perbukitan ke-
timbang seluruh penduduk lokal, dan tanpa ber-teriak-teriak atau mengayunkan
kukri, Bapa Bootylah yang akan dikorbankan.
Di lembah-lembah, malam telah turun, lampu-lampu mulai bermunculan dalam
tanah liat bertek-stur yang berlumut, kegelapan berbau segar melu-as,
menghamparkan dedaunannya. Mereka bertiga meneguk Old Monk, memandangi saat
gelap merayap melewati jari kaki dan lutut mereka, bayang-bayang berdaun kubis
menjalar dan menyentuh mereka di pipi, hidung, menyelubungi wajah mereka. Gelap
merambati puncak kepala mereka dan terus merambat hingga memadamkan Kanchenjunga
yang memijarkan warna merah muda cabul tak senonoh yang terakhir ... mereka
masing-masing secara terpisah mengenang betapa banyak petang yang mereka lalui
seperti ini ... betapa tak
terbayangkan bahwa semua itu tak lama lagi akan berakhir. Di sini Sai
belajar bagaimana musik, al-kohol, dan persahabatan bersama-sama dapat
menciptakan sebuah peradaban besar. "Tak ada yang semanis ini, teman-teman
tercinta-" Paman Potty biasanya berkata dengan mengangkat gelasnya sebelum
minum. Ada aula-aula konser di Eropa tempat Bapa Booty akan segera kembali,
gedung-gedung opera tempat musik membentuk seluruh hadirin menjadi satu hati
yang berduka atau bergembira, dan tempat tepuk tangan bergemuruh seperti hujan
.... Namun, bisakah mereka merasa seperti mereka merasa di sini" Duduk-duduk di
atas gunung, hati separuh kosong-separuh penuh, merindukan kein-dahan, keluguan
yang sekarang mengetahui. Dengan hasrat untuk kekasih tercinta atau untuk dunia
luas atau untuk dunia di balik dunia yang ada sekarang ....
Sai berpikir tentang betapa tak jelas baginya apa sebenarnya yang dia
rindukan pada hari-hari pertamanya di Cho Oyu, bahwa hanya kerinduan itu sendiri
yang menemukan gaung di dalam jiwanya yang perih. Kerinduan itu sekarang telah
hilang, pikir Sai, dan rasa perih itu tampak telah menemukan hakikatnya.
Pikiran Sai kembali pada hah perampokan senjata di Cho Oyu awal segalanya?menjadi kacau.[]
TIGA PULUH LIMA Betapa bodohnya senapan-senapan itu dibiarkan tergantung di dinding,
artefak-artefak yang telah pensiun yang diturunkan derajatnya menjadi benda
sejarah, terlalu sering terlihat sehingga tak di-perhatikan atau dipikirkan.
Gyan adalah orang terakhir yang menurunkan dan memeriksa senapan-senapan
itu anak lelaki menyukai hal-hal semacam itu. Bahkan Dalai Lama, Sai pernah
?membaca, memiliki koleksi permainan perang dan prajurit mainan. Tak terpikir
oleh Sai bahwa senapan-senapan itu bisa dibangkitkan lagi untuk digunakan.
Akankah ada tindak kejahatan yang, ketika titik dihubungkan dengan titik lain,
terlacak sampai ambang pintu mereka"
* "Kakekku dulu biasa berburu," Sai pernah bercerita pada Gyan, berusaha
membuatnya terkesan, tetapi kenapa Sai merasa bangga" Atas sesuatu yang
seharusnya membuatnya malu"
Si juru masak mengisahkan banyak cerita kepada Sai:
"Sungguh shikari yang hebat dia, Saibaby. Dia dulu sangat tampan, dan dia


Senja Di Himalaya The Inheritance Of Lose Karya Kiran Desai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terlihat sangat pern- berani dan gaya di atas kudanya. Para penduduk desa pasti memanggilnya
jika ada pemangsa ma-nusia berkeliaran.?"Apakah sering ada?" Bulu kuduk
meremang. "Oh, setiap saat. Rrrr-rrr, begitu kau akan mendengar mereka, dan suaranya
seperti kayu sedang digergaji. Aku ingat pernah terbangun dan menyimak. Pada
pagi hah kau bisa melihat jejak-jejak anjing di tepi sungai, kadang-kadang
bahkan di sekitar tenda-tenda."
Si juru masak tak bisa menahan diri untuk tidak bersenang-senang, dan
semakin sering dia mengu-lang ceritanya, semakin cerita-cerita itu menjadi lebih
nyata ketimbang kenyataan.
* Polisi telah datang untuk menyelidiki kejahatan itu dan, di dalam tempat
tinggal si juru masak, melem-parkan surat-surat Biju hingga beterbangan ....
"Mereka harus melakukannya," kata si juru masak. "Ini masalah serius."
Keseriusan itu terbukti ketika, pada suatu pagi tak lama setelah Bapa
Booty mendengar berita de-portasinya, perwira polisi subdivisi tiba di Cho Oyu.
Sang hakim dan Sai tengah berada di halaman dan perwira tersebut harus mencari-
cari terlebih dahulu sebelum menemukan mereka di dalam selubung bayang-bayang
mereka sendiri serta bayang-ba-yang dedaunan.
"Para pelaku masih belum tertangkap," kata SDO
yang dikelilingi tiga polisi yang membawa senjata dan lathi, "tetapi saya
mohon jangan khawatir, Tuan. Kami akan menumpas ini secepat mungkin. Mengambil
langkah tegas pada elemen-elemen antisosial.
"Anda tahu, ayah saya juga seorang shikari hebat," dia meneruskan sambil
minum teh. "Saya bilang padanya, kalau saja dia tidak semahir itu, tentu dia
meninggalkan sesuatu untuk kami juga!! Bukan begitu" Ha ha," dia tertawa, tetapi
tawanya pasti akan terlihat merah muda terang pada tes litmus. "Hakim Sahib,
kalian para shikari terlalu hebat, singa, dan macan tutul .... Sekarang ini jika
Anda masuk ke dalam hutan dan melihat seekor ayam yang kabur dari suatu tempat,
Anda sudah beruntung, bukan?"
Hening. Apakah dia sudah terlalu jauh"
"Tetapi tak perlu khawatir, kami akan menang-kap para penjahat itu. Mereka
menggunakan per-soalan Bhutan, Assam sebagai alasan untuk membuat kekacauan di
sini. Negara kita ini selalu di-pecah-belah dan itu menyedihkan untuk orang-
orang seperti kita, yang dibesarkan dengan perasaan nasionalisme, dan lebih
buruk lagi bagi Anda, Tuan, yang berjuang untuk kemerdekaan kita .... Para
antinasionalisme ini tak menghargai apa pun atau siapa pun, bahkan tidak
menghargai diri mereka sendiri .... Seluruh perekonomian tengah terancam.?"Tahukah
kau," dia beralih pada Sai, "apa tiga T distrik Darjeeling" Bisakah kau memberi
tahuku?" Sai menggelengkan kepala. Dengan rasa
kecewa pada Sai, rasa penuh kemenangan dalam dirinya, dia melagukan: "Teh!
"Tiang kayu! "Turisme!"
Saat perwira itu keluar, dia berhenti di depan sebuah tumbuhan menjalar
yang tengah berbunga. "Bunga yang indah, Hakim Sahib. Jika orang melihat
pemandangan semacam ini, dia akan tahu Tuhan itu ada." Passionflower memang
bunga menakjubkan yang aneh, tiap kuntum hanya berumur sehari, ten-takel garis-
garis ungu dan putih, separuh anemone laut, separuh bunga sendiri saja, ?menawarkan cukup alasan untuk beragama.
"Saya menjadi giat berkebun," kata sang SDO, "semenjak tiba di Kalimpong.
Saya merawat tana-man-tanaman saya persis seolah-olah mereka itu bayi. Yah, beri
tahu saya jika Anda mengalami masalah lagi. Saya rasa tidak akan terjadi, tetapi
tak diragukan lagi ini situasi yang pelik." Dia mengenakan syalnya seperti
seorang nasionalis Lempar! Lilit! Banyak pekerjaan! Tak boleh buang-buang
?waktu! Negara memanggil! Dan dia kembali masuk ke dalam jipnya. Sang sopir
memundurkan jip keluar dari gerbang, lantas menderu pergi.
"Mari kita lihat apa yang dia lakukan," kata si juru masak.
"Mereka tak akan pernah menemukan siapa pun," kata sang hakim.
Sai tidak mengatakan apa-apa karena dia tak bisa berhenti kembali pada
pikiran tentang Gyan yang menghindarinya * Beberapa hah kemudian polisi menahan seorang pemabuk menyedihkan atas
kejahatan itu. Si pemabuk biasa terlihat terbaring lalai akan dunia di dalam
selokan di tepian jalan pasar. Terkadang di antara orang-orang yang lewat, ada
satu dua yang akan menyeretnya, menampar pipinya, dan mengi-rimnya terhuyung-
huyung pulang, saling silang dengan pola rumput, dengan mata penuh mimpi.
Alih-alih begitu, sekarang si pemabuk diangkut ke kantor polisi, tempat
dia duduk di atas lantai, tangan dan kakinya terikat. Polisi-polisi berdiri di
sekitarnya dengan tampang bosan. Meskipun demikian, tiba-tiba saja, dipicu oleh
sesuatu yang tak terlihat, mereka pulih dari kelesuannya, melompat, dan mulai
memukuli pria itu. Semakin dia berteriak, semakin keras mereka memukulinya; mereka
mengubahnya menjadi seong-gok bubur kertas, menggebuk kepalanya hingga darah
mengaliri wajahnya, merontokkan giginya, menendanginya sampai tulang iganya
patah?Orang-orang di atas maupun di bawah lereng bukit dapat mendengarnya
memohon dan menjerit. Polisi-polisi tersebut menyaksikannya dengan jijik. Dia
menyatakan diri tidak bersalah, "Saya tidak mencuri senjata dari siapa pun, saya
tidak memasuki rumah siapa pun, tidak, tidak, ada kekeliruan
Jeritannya adalah jeritan pertama dan jeritan itu mengumumkan beakhirnya
kehidupan normal di lereng bukit.
"Saya tidak melakukan apa-apa, tetapi saya minta maaf." Selama berjam-jam
semua terus ber-lanjut, teriakan-teriakan putus asa yang membelah udara, "saya
minta maaf, saya minta maaf, saya minta maaf
Namun, polisi hanya tengah mempraktikkan tek-nik penyiksaan mereka,
menyiapkan diri untuk yang akan datang. Ketika pria itu merangkak keluar di atas
lututnya, sepasang matanya telah kehilangan nyala. Kedua mata itu nantinya pulih
menjadi kehampaan murni tak berbatas yang selamanya akan menyebabkan orang lain
tersentak karena takut dan jijik.
Satu-satunya berkah adalah dia tak akan melihat mereka tersentak dan akan
menghilang se-utuhnya ke dalam alkohol yang telah senantiasa memberinya
penghiburan.[] TIGA PULUH ENAM Mr. Iype sang agen koraniah yang mengatakan dengan sambil lalu, sembari
melambaikan satu eksem-plar India Abroad, "Kau dari wilayah Darjeeling, bukan"
Banyak masalah di sana "Kenapa?"
"Orang-orang Nepal membuat masalah ... sungguh orang-orang yang sangat
menyusahkan "Pemogokan?""Jauh lebih buruk lagi, bhai, bukan hanya pemogokan, seluruh
lereng bukit ditutup."
"Benarkah?" "Sudah berbulan-bulan ini terjadi. Kau belum dengar?"
"Belum. Aku sudah lama tak menerima surat." "Menurutmu kenapa?"
Biju menyalahkan gangguan yang biasa cuaca buruk,
?ketidakprofesionalan atas berhentinya ko-respondensi sang ayah.
?"Mereka seharusnya menendang bangsat-bangsat itu kembali ke Nepal," lanjut
Mr. Iype. "Orang Bangladesh ke Bangladesh, orang Afghan ke Afghanistan, seluruh
Muslim ke Pakistan, orang Tibet, Bhutan, kenapa mereka berada di negara kita?"
"Kenapa kita berada di sini?"
"Negara ini berbeda," kata Mr. Iype tidak tahu
malu. "Tanpa kita, apa yang akan mereka lakukan?" Biju kembali bekerja.
Sepanjang hah itu, sedikit demi sedikit semakin memuncak, dia menjadi
yakin bahwa ayahnya sudah meninggal. Sang hakim tak akan tahu bagaimana
menemukan Biju jika memang dia mau mencoba menemukan Biju. Kegelisahan Biju
mulai menghebat. * Keesokan harinya dia tak tahan lagi; dia menyelinap keluar dari dapur dan
membeli sebuah nomor sehar-ga dua puluh lima dolar dari seorang gelandangan yang
memiliki keahlian mempelajari nomor-nomor dengan berkeliaran di luar bilik
telepon, mencuri de-ngar orang-orang yang menyebutkan kode panggi-lan mereka dan
merekamnya dalam kepala. Dia telah berkeliaran di belakang seorang Mr. Onopolous
yang sama sekali tak curiga, yang tengah melakukan sambungan telepon dan
membebankan biaya sambungan itu pada kartu platinumnya?"Tetapi bergegaslah," katanya pada Biju, "aku tidak yakin mengenai nomor
ini, beberapa orang sudah menggunakannya
Gagang telepon itu masih lembap dan hangat karena keintiman terakhir yang
dilakukannya, dan dia membalas embusan napas Biju, desah pekat penderita TBC.
Karena tidak ada telepon di Cho Oyu, Biju menghubungi nomor telepon rumah pe-
nginapan MetalBox di Ringkingpong Road.
"Bisakah Anda menghubungi ayah saya" Saya
akan menelepon lagi dalam waktu dua jam."***
Maka, pada suatu sore, beberapa minggu sebelum sambungan telepon diputus,
sebelum jalan dan jembatan dibom, dan mereka jatuh ke dalam kekacauan total,
satpam MetalBox datang menge-tuk-ngetuk gerbang Cho Oyu. Si juru masak tengah
merebus kuah dengan tulang dan daun bawang
?"La! Telepon! La! Telepon! Ada telepon dari anakmu. La! Dari Amerika. Dia
akan menelepon kembali sejam lagi. Ayo cepat!"
Si juru masak langsung pergi, meninggalkan tulang-tulang kerangka yang
bagian atasnya tertutup potongan-potongan acak warna hijau yang menari-nari,
pada Sai untuk diawasi-"Babyji!?"Kau mau ke mana?" tanya Sai, yang tengah
mencabuti duri tumbuhan dari pantalon Mutt sambil memikirkan ketidakhadiran
Gyan ?Namun, si juru masak tidak menjawab. Dia sudah berada di luar gerbang dan
berlari. * Telepon itu duduk berjongkok di ruang tamu rumah penginapan tersebut
dikelilingi gembok dan rantai agar para pelayan yang suka mencuri hanya bisa
menerima telepon dan bukan melakukan sambungan telepon. Ketika telepon berdering
lagi, si satpam melompat ke arahnya, sambil berkata, "Telepon, la! Telepon! La
mail" dan seluruh keluarganya datang berlarian dari gubuk mereka di luar. Setiap
kali telepon berdering, mereka berlari dengan kesetiaan
yang teguh. Para pendukung hal-hal baru yang modern, mereka tidak akan,
tidak akan, membiarkan dering itu turun derajat menjadi sesuatu yang biasa-biasa
saja. "HALO?" "HALO" HALO?"
Mereka berkerumun di sekitar si juru masak, terkikik-kikik dalam penantian
yang nikmat. "HALO?"
"HALO" PITAJI?""
"BIJU?" Dengan logika alamiah, dia meninggikan suara untuk menutup jarak
antara mereka, mengirim suaranya nun jauh ke Amerika.
"Biju, Biju," keluarga si satpam mengulang bersama-sama, "itu Biju," kata
mereka pada satu sama lain. "Oh, itu anak lelakimu," kata mereka pada si juru
masak. "Itu anak lelakinya," kata mereka pada satu sama lain. Mereka mengamati
ekspresi si juru masak menanti perubahan, mencari petunjuk mengenai apa yang
tengah dikatakan di ujung se-berang, ingin menyelinap semakin dalam memasuki
percakapan tersebut, untuk menjadi percakapan tersebut, malah.
"HALO HALO?"?"?" HAH" AKU TIDAK BISA MENDENGARMU. SUARAMU SANGAT JAUH."
"AKU TIDAK BISA DENGAR. BISAKAH KAU MENDENGARKU?""Dia tidak bisa dengar."
"APA?" "Masih tidak bisa dengar?" mereka bertanya kepada si juru masak.
Atmosfer Kalimpong mencapai Biju nun jauh di
New York sana; menggembung padat di sambungan telepon dan dia bisa
merasakan denyut belukar, mencium udara yang lembap, kerimbunan hitam kehijauan;
dia bisa membayangkan seluruh kera-gaman teksturnya, kelembutan pisang yang
laksana bulu burung, tunas tajam kaktus, gerak halus tumbuhan paku-pakuan; dia
bisa mendengar suara kodok trrr whonk, wee wee butt ock butt ock di sela-sela
bayam, nada yang meninggi membaur tak terasa dengan malam ....
"HALO" HALO?""Gemeresik, gemeresik" kata keluarga si satpam, "tak bisa
dengar?" Si juru masak melambai-lambai marah pada mereka, "Sssssttt," lalu mendadak
merasa takut kehilangan detik yang berharga dengan anaknya. Dia kembali pada
telepon, masih menyuruh mereka diam dari belakang, tangannya nyaris lepas saking
bersemangatnya gerakannya.
Mereka mundur sesaat, tetapi kemudian, setelah makin terbiasa dengan
isyarat pengusiran itu, tak lagi merasa takut, dan kembali.
"HALO?" "KYA?" "KYA?" Bayang-bayang kata-kata mereka lebih besar daripada substansinya. Gaung
suara mereka sendiri menelan jawaban dari seberang dunia.
"TERLALU BANYAK SUARA GEMERESIK."
Istri satpam pergi keluar dan mengamati kabel yang goyah itu, sambungan
rapuh yang bergetar di atas jurang dan melintasi pegunungan, melintasi
Kanchenjunga yang mengeluarkan asap seperti gunung berapi atau sebatang
cerutu seekor burung mungkin hinggap di atasnya, seekor nightjar mungkin ?menukik menembus sinyal yang tak stabil, satelit di angkasa mungkin saja
mengeluarkan suara terputus-putus?"Terlalu banyak angin, angin bertiup," kata istri si satpam, "kabelnya
bergoyang-goyang seperti ini, seperti ini" tangannya mengayun-ayun.
?Anak-anaknya memanjat pohon dan mencoba memegangi kabel agar stabil.
Badai statis memunculkan diri pada ruang antara ayah dan anak.
"APA YANG TERJADI?" berteriak lebih kencang-"APAKAH SEMUA BAIK-BAIK
?SAJA"!" "APA KATAMU?" "Lepaskan," kata istri satpam, merenggut anak-anaknya dari pohon, "kalian
membuatnya semakin parah."
"APA YANG SEDANG TERJADI" APAKAH DI SANA ADA KERUSUHAN" PEMOGOKAN?"
"TIDAK ADA MASALAH SEKARANG." (Lebih baik jangan membuatnya khawatir.)
"SEKARANG TIDAK!!?"Apakah dia akan pulang?" tanya si satpam.
"APAKAH PITAJI BAIK-BAIK SAJA?" Biju berteriak di jalanan New York.
"TIDAK USAH MENGKHAWATIRKANKU. TIDAK USAH MENGKHAWATIRKAN APA-APA DI SINI.
APAKAH ADA PENGATURAN YANG LAYAK UNTUK MAKAN DI HOTEL" APAKAH RESTORANMU MEMBERI
AKOMODASI" APAKAH ADA ORANG LAIN DARI
UTTAR PRADESH DI SANA?"
"Memberi akomodasi. Makanan gratis. SEMUA BAIK. TETAPI APAKAH PITAJI BAIK-
BAIK SAJA?" Biju bertanya lagi.
"SITUASI SUDAH TENANG SEKARANG."
"KESEHATAN PITAJI BAIK?"
"YA. SEMUA BAIK."
"Ann, semua baik-baik saja," kata semua orang, sambil mengangguk-anggukkan
kepala. "Semua baik-baik saja" Semua baik-baik saja."
Tiba-tiba, setelah itu tak ada lagi yang bisa dikatakan karena meskipun
emosinya masih ada, percakapannya sudah tidak ada; yang satu ber-kembang,
sementara yang lain tidak, dan mereka mendadak jatuh ke dalam kekosongan.
"Kapan dia pulang?" bisik sang satpam memban-
tu. "KAPAN KAMU PULANG?""AKU TIDAK TAHU. AKAN KUCOBA
Dia ingin menangis. "TIDAK BISAKAH KAU MINTA CUTI?"
Dia bahkan belum mencapai kehormatan di-anugerahi liburan sesekali. Dia
tak bisa pulang untuk menemui ayahnya.
"KAPAN KAMU BISA AMBIL CUTI?""AKU TIDAK TAHU
"HALO?" "La ma ma ma ma ma, dia tak bisa ambil cuti. Kenapa tidak" Entah, pasti
sulit di sana, cari uang banyak-banyak, tetapi satu hal sudah pasti, mereka
harus bekerja sangat keras untuk itu ...
Tidak ada hasil tanpa usaha .... di mana pun di dunia
"HALO" HALO?""PITAJI, BISAKAH KAU MENDE-NGARKU?"
Mereka menjauh lagi dari satu sama Iain-Seep beep honk honk trr butt ock,
lalu telepon mati dan mereka terdampar dalam jauhnya jarak yang membentang di
antara mereka. "HALO" HALO?" ke dalam seringaian gagang telepon.?"Halo" Halo" Halo" Halo?" Suara mereka meng-gema kembali kepada diri
mereka sendiri. Si juru masak meletakkan gagang telepon, gemetaran.
"Dia akan menelepon lagi," kata si satpam.
Tetapi pesawat telepon itu tetap membisu.
Di luar, katak-katak mengeluarkan suara tttt tttt, seolah-olah mereka
telah menelan nada deringnya.
Dia berusaha mengguncangkan alat itu agar kembali hidup, berharap
setidaknya bisa mengucapkan kata-kata perpisahan yang biasa. Lagi pula, bahkan
pada kata-kata klise, kita bisa menegakkan emosi yang sejati.
"Pasti ada masalah dengan sambungannya."
"Ya, ya, ya."

Senja Di Himalaya The Inheritance Of Lose Karya Kiran Desai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Seperti biasa, masalah sambungan.
"Dia akan pulang dalam keadaan gemuk. kude-ngar mereka semua pulang dalam
keadaan gemuk," kata saudari ipar satpam tiba-tiba, berusaha menghibur si juru
masak. * Telepon itu sudah selesai, dan kehampaan yang ingin dihalau Biju malah
bertambah kuat. Dia tak bisa berbicara dengan ayahnya; tak ada yang tersisa di antara
mereka kecuali kalimat-kalimat darurat, baris-baris telegram ringkas yang
diteriakkan seolah-olah di tengah pertempuran. Mereka tak lagi punya arti bagi
hidup satu sama lain, yang tertinggal hanya harapan bahwa mereka akan punya arti
bagi satu sama lain. Dia berdiri dengan kepala masih di dalam bilik telepon yang
bertabur gumpalan-gumpalan permen karet yang sudah keras dan kata-kata
FuckShitCockDick-PussyLoveWar seperti biasa, gambar swastika, serta gambar hati
yang ditusuk dengan anak panah, semua berbaur jadi satu dalam sebuah taman
grafiti yang padat, terlalu sentimental terlalu penuh amarah terlalu
cabul kompos hati manusia yang membusuk dan berbau manis memualkan.
?Jika dia melanjutkan hidupnya di New York, bisa jadi dia tak akan pernah
menjumpai Pitaji-nya lagi. Itu terjadi sepanjang waktu; sepuluh tahun berlalu,
lima belas tahun, telegram tiba, atau telepon, orangtua telah tiada dan si anak
terlambat. Atau mereka pulang dan mendapati mereka telah melewatkan seperempat
kurun terakhir kehidupan, orangtua mereka seperti negatif foto. Dan ada juga
tragedi-tragedi yang lebih buruk. Setelah kegem-biraan awal usai, sering kali
menjadi jelas bahwa cinta kasih telah hilang; karena cinta toh hanyalah kebiasaan, dan manusia
cenderung melupakan, atau menjadi terbiasa dengan ketiadaan cinta. Mereka pulang
dan menemukan hanya selubung luar; cinta telah tergerogoti dari dalam, seperti
Cho Oyu yang dicungkili dari dalam oleh rayap.
* Mereka semua menjadi gemuk di sana ....
Si juru masak tahu mengenai mereka yang menjadi gemuk di sana. Itu adalah
salah satu hal yang diketahui semua orang:
"Apakah kau bertambah gemuk, beta, seperti semua orang di Amerika?"
demikian si juru masak dulu sekali pernah menulis kepada anaknya, agak
menyimpang dari format mereka biasanya.
"Ya, bertambah gemuk," Biju membalas, "ketika pitaji melihatku nanti, aku
akan berukuran sepuluh kali lipat dari diriku dulu." Biju tertawa saat menulis
baris-baris ini dan si juru masak tertawa sangat keras ketika membacanya; dia
berbaring di atas punggungnya dan menendang-nendang ke udara seperti seekor
kecoa. "Ya," Biju berkata, "aku bertambah gemuk sepuluh kali lipat dari diriku ?dulu," dan tercengang ketika dia pergi ke toko sembilan puluh sembilan sen serta
mendapati bahwa dia harus membeli kemejanya di rak anak-anak. Si penjaga toko,
seorang pria dari Lahore, duduk di atas tangga yang tinggi di bagian tengah
serta mengawasi guna memastikan bahwa tak ada yang mencuri apa pun, dan matanya melekat pada
Biju begitu Biju masuk, membuat Biju tersengat perasaan bersalah. Padahal Biju
tidak melakukan apa-apa. Meskipun demikian, semua orang bisa memastikan bahwa
Biju telah melakukan sesuatu, karena tampang bersalahnya ada di sana, bisa
dilihat oleh semua orang.
Dia merindukan Saeed. Dia ingin melihat, sekali lagi, meskipun sekilas,
pada negara itu melalui lensa optimistis mata Saeed.
* Biju kembali ke Kafe Gandhi dan di sana tak ada yang memerhatikan
ketidakhadirannya. "Datanglah kalian semua dan tontonlah per-tandingan kriket, OK?" Harish-
Harry telah membawa sebuah album foto untuk menunjukkan kepada para pegawainya
foto-foto flat pribadi di New Jersey yang baru saja dia bayar uang mukanya. Dia
sudah memasang sebuah parabola raksasa dengan gaduh di tengah halaman depan
tanpa memedulikan fakta bahwa pihak manajemen dari komunitas terpilih ini
bersikeras agar benda itu diletakkan secara samar di bagian samping seperti
sebuah daun telinga yang tak kentara; dia telah menang dalam ikhtiarnya ini,
setelah dengan cerdik berteriak, "Rasisme! Rasisme! Aku tidak akan bisa
menangkap saluran India dengan baik."
Itu berarti dia tinggal mengkhawatirkan anak perempuannya. Teman sekaligus
saingan mereka, istri Mr. Shah, telah menjaring seorang mempelai pria dengan membuat kebab
Galawati dan me-ngirimnya via Fed-Ex jauh-jauh ke Oklahoma. "Sebuah keluarga
dehati di tengah ladang jagung," Harish-Harry memberi tahu istrinya. "Dan kau
harus melihat orang yang mereka pamer-pamerkan ini sungguh lutoo. Dengan ?ukuran tubuh orang Amerika dia terlihat seperti sesuatu yang digunakan untuk
?mendobrak pintu." Dia menasihati anak perempuannya, "Dulu adalah persoalan harga diri bagi
seorang gadis untuk memiliki kepribadian yang menyenangkan. Berting-kahlah
seperti orang bodoh sekarang dan kau boleh menyesal nanti sepanjang sisa hidupmu
.... Setelah itu, jangan datang kepada kami sambil menangis, OK?"[]
TIGA PULUH TUJUH Situasi akan membaik, demikian SDO dulu berkata, tetapi meskipun mereka
telah mulai menyiksa orang secara acak di seluruh penjuru kota, situasi tidak
kunjung membaik. Serentetan pemogokan membuat segala macam bisnis terus tutup.
Pemogokan satu hah. Pemogokan tiga hah. Kemudian pemogokan tujuh hah.
Ketika Toko Serba Ada Lark's buka s ebentar pada suatu pagi, Lola
memenangi pertempuran me-lawan kedua putri Afghan memperebutkan botol-botol dan
kaleng-kaleng terakhir. Kelak pada bulan itu, para putri tak bisa memikirkan hal
lain selain selai, geram karenanya, di tengah-tengah segala pembunuhan dan
rumah-rumah yang terbakar itu, "Dasar wanita yang sungguh-sungguh keji!"
Lola menikmati tiap-tiap hah saat dia mengo-leskan selai jeruk Druk tipis-
tipis agar bisa bertahan lama.
Pemogokan tiga belas hah. Pemogokan dua puluh satu hah. Lebih sering ada
pemogokan daripada tidak. Udara mengandung lebih banyak air ketimbang udara.
Bernapas menjadi sulit dan ada perasaan
tercekik di tempat yang, bagaimanapun juga, murah hati dalam hal ruang
ketimbang hal lain. Akhirnya, semua toko dan kantor tidak buka sama sekali Biro Perjalanan
?Snow Lion dan kios STD, toko syal, penjahit tuli, Agen Surat Kabar Kanshi Nath &
Sons semua orang diteror untuk terus menutup daun pintu serta jendela mereka,
?bahkan tak boleh menampakkan batang hidung mereka ke luar jendela. Pemblokiran
jalan meng-hentikan lalu lintas, membuat truk-truk kayu dan batu tidak bisa
pergi, menghalangi teh diangkut. Paku-paku disebarkan di jalan, oli mobil ditum-
pahkan di mana-mana. Pemuda-pemuda GNLF menuntut sejumlah besar uang jika memang
mereka bersedia membiarkan orang lewat dan memaksa orang itu membeli kaset
pidato GNLF serta kalender Gorkhaland.
Pria-pria datang mengendarai truk-truk dari Tindharia dan Mahanadi,
berkumpul di luar kantor polisi, dan melemparkan batu bata serta botol. Gas air
mata tidak membuyarkan mereka; begitu pula serbuan lathi.
"Yah, seberapa banyak tanah yang mereka inginkan?" tanya Lola dengan
muram. Noni: "Subdivisi Darjeeling, Kalimpong, serta Kurseong, dan menjangkau
sampai kaki perbukitan, sebagian distrik Jalpaiguri dan Cooch Behar, dari Bengal
sampai Assam." "Tak ada ketenangan untuk orang jahat," kata Mrs. Sen, jarum rajut
bekerja, dia tengah membuat sweter untuk perdana menteri karena bersimpati
atas masalah-masalah yang dihadapi perdana menteri. Bahkan, di Delhi udara
bisa menjadi dingin ... terutama di bungalo-bungalo berangin tempat mereka
menempatkan para pejabat pemerintah puncak. Namun, Mrs. Sen bukan perajut yang
terampil. Sangat lamban. Tidak seperti ibunya, yang, dalam rentang waktu
menonton sebuah film, bisa merajut selembar utuh selimut bayi.
"Siapa yang jahat?" kata Lola. "Bukan kita. Merekalah yang jahat. Dan
kitalah yang tidak bisa tenang. Tidak ada ketenangan untuk orang yang tidak
jahat." Apa sesungguhnya negara itu kalau bukan gagasan mengenainya" Lola berpikir
tentang India sebagai sebuah konsep, harapan, atau cita-cita. Seberapa sering
kita bisa menyerangnya sebelum gagasan tersebut ambruk" Meruntuhkan sesuatu
membutuhkan latihan; itu adalah seni hitam dan mereka tengah mengasahnya. Dengan
setiap argumen, yang selanjutnya akan lebih mudah, akan menjadi tindakan
spontan, dan seperti menghan-curkan sebuah pernikahan, akan mustahil untuk
menjaga jarak, untuk berhenti mengorek luka bahkan meski luka itu adalah milik
kita sendiri. * Mereka sudah selesai membaca buku-buku perpus-takaannya, tetapi tentu saja
tak ada urusan mengembalikan buku-buku itu. Pada suatu pagi ketika mayor rapi
yang menjalankan Klub Gymkhana
datang, dia mendapati GNLF telah mengusir para pustakawan serta petugas
administrasi dan menikmati ruang serta privasi terbesar yang pernah mereka
miliki dalam hidupnya, tidur di antara rak-rak buku, melompat-lompat di dalam
ruang ganti pakaian wanita, tempat Lola, tak seberapa lama sebelumnya, meniup-
niup puff-nya dan membedaki hidungnya dengan lembut.
Tak ada turis yang datang dari Calcutta dengan pakaian berlapis-lapis yang
menggelikan seolah-olah bersiap ke Antartika, menjelajahkan bau kapur barus yang
membakar menyusuri kota. Tak ada pengunjung yang datang, dengan lemak kota
mereka yang kaya, untuk membebani kuda tua kudisan dalam tur berkuda. Tahun ini
kuda-kuda bebas. Tak ada yang datang ke Himalayan Hotel dan duduk di bawah lukisan gunung
yang diterangi cahaya bulan seperti sesosok hantu dalam balutan seprai karya
Roerich, untuk "Merasakan Pengalaman Kembali ke Masa Lalu" sebagaimana yang
tertera dalam brosur, untuk memesan Irish Stew, dan nyam nyam nyam mengunyah
kambing kurus Kalimpong. Rumah-rumah penginapan perusahaan tutup. Para satpam yang pada masa-masa
seperti ini dalam setiap tahun harus pindah dari rumah utama yang mereka duduki
secara tidak sah selama musim dingin ke gubuk-gubuk mereka di sekitar situ; yang
harus mengubah raut wajah mereka dari penuh martabat menjadi raut menghamba "Ji
huzoor"; mengganti gembok lemari yang telah mereka
congkel untuk mengeluarkan televisi dan pemanas listrik buatan Jepang;
tahun ini, mereka mendapati kenyamanan mereka berlanjut tanpa putus.
Dan sementara para satpam tetap di tempat, anak-anak ditarik dari sekolah-
sekolah asrama saat para orangtua membuka surat kabar, lalu membaca dengan ngeri
mengenai iklim pegunungan yang menyehatkan diusik oleh para pemberontak
separatis serta taktik gerilya. Histeria yang semakin memuncak di mana-manalah
yang barangkali patut dipersalahkan ketika kelompok bocah lelaki terakhir di St.
Xavier mempermalukan diri mereka sendiri. Ketika diperintahkan untuk membantu
mempersiap-kan makan malam (karena para juru masak telah menghilang ke dalam
kabut), mereka menemukan bahwa cara terbaik memutus kepala seekor ayam adalah
dengan memuntir, lalu mencabutnya seperti sumbat botol jauh lebih baik ?ketimbang menggergajinya dengan sebilah pisau tumpul. Pesta darah dan bulu pun
terjadi, hum hara besar yang heboh, ayam-ayam tanpa kepala berlarian ke sana
kemari mencecerkan usus dan tahi. Bocah-bocah lelaki itu menjerit-jerit sampai
mereka menangis gara-gara tertawa yang keterlaluan, tawa mereka tenggelam serta
meronta dalam sedu sedan, dan sedu sedan meluap serta mengembang dengan tawa.
Guru piket menyalakan selang air untuk mendorong mereka kembali berpikir sehat
dengan air dingin, tetapi tentu saja saat itu sudah tidak ada air tersisa di
dalam tangki. * mulut mereka sendiri yang seperti ikan; sebuah teleskop buatan Jerman;
cincin hidung nenek buyut mereka yang terhias mutiara; kaca mata kelelawar dari
tahun enam puluhan; sendok-sendok perak untuk makan sumsum (dari dulu mereka
adalah keluarga besar pemakan sumsum); serbet-serbet damas dengan kantung
terjahit untuk membungkus segitiga roti lapis ketimun-"Hanya sepercik air,
ingat, untuk melembapkan kainnya sebelum kalian pergi piknik Benda-benda koleksi
remeh yang dikumpulkan sedikit demi sedikit dari versi romantis Barat dan versi
imajinatif Timur yang mengandung cukup kekuatan untuk mempertahankan harga diri
melintasi kebencian keji antarbangsa.
"Apa yang kalian inginkan?" Lola bertanya kepada pemuda-pemuda itu dan
wajahnya menunjukkan pada mereka bahwa dia memiliki sesuatu yang patut
dilindungi. "Kami menjual kalender, Bibi, dan kaset untuk pergerakan."
"Kalender apa, kaset apa?"
Mengimbangi cara masuk mereka yang dengan paksa serta pakaian loreng
Pedang Asmara 14 Gerbang Nasib Postern Of Fate Karya Agatha Christie Pusaka Rimba Hijau 1
^