Pencarian

Senja Di Himalaya 4

Senja Di Himalaya The Inheritance Of Lose Karya Kiran Desai Bagian 4


lagi. Mereka meninggal dunia di Rusia tempat ayahku bekerja sebagai ilmuwan."
Namun, kisah keluarganya sendiri juga berlang-sung di luar negeri, kata
Gyan kepada Sai, dengan agak bangga. Mereka memiliki persamaan lebih banyak
ketimbang yang mereka kira.
* Kisah tersebut seperti ini:
Pada 1800-an moyang Gyan meninggalkan de-sa mereka di Nepal dan tiba di
Darjeeling, terpikat oleh janji-janji pekerjaan di perkebunan teh. Di
sana, di sebuah dusun kecil di pinggiran salah satu perkebunan teh
terpencil, mereka memiliki seekor kerbau yang terkenal karena susunya yang
sangat kental. Tak lama, datanglah Pasukan Kerajaan, mengukuri calon prajurit di
desa-desa di seluruh penjuru bukit dengan penggaris serta pita pengu-kur, dan
secara kebetulan mereka menjumpai bahu kakek buyut Gyan yang mengesankan, yang
telah menjadi sangat kuat berkat susu kerbau mereka sampai-sampai dia pernah
menghajar anak penjual manisan di desa itu dalam sebuah pertandingan gulat,
padahal anak itu luar biasa sehat dan mak-mur. Seorang prajurit yang lebih
dahulu direkrut dari desa mereka melaporkan bahwa para prajurit dimanjakan
dengan kenyamanan seperti wanita kelas atas hangat dan kering dengan selimut ?dan kaus kaki, mentega dan ghee, daging domba dua kali seminggu, sebutir telur
setiap hah, selalu ada air di keran, obat untuk setiap penyakit, setiap keluhan
dan lecet. Orang bisa meminta bantuan untuk gatal-gatal di pantat atau sengatan
lebah tanpa rasa malu, semua itu sebagai imbalan bagi kerja yang tak lebih dari
berbaris bolak-balik di Grand Trunk Road. Militer menawarkan uang jauh lebih
besar kepada anak lelaki yang tumbuh kuat berkat susu kerbau ini ketimbang yang
pernah dihasilkan sang ayah karena sang ayah berkerja sebagai pesuruh di
perkebunan itu; berangkat sebelum fajar dengan membawa sebuah keranjang kerucut
besar yang sudah dibagi menjadi beberapa bagian di punggungnya dan berjuang
untuk kembali saat matahari terbenam, bersusah payah mendaki bukit. Keranjang itu
sekarang penuh dengan selapis sayur dan seekor ayam hidup mematuk-matuk pada
tumpukan itu; telur, kertas toilet, sabun, jepit rambut, dan kertas surat di
bagian atas untuk ditulisi memsahib, "Anak perempuanku tersayang, di sini
sungguh indah dan keindahan itu nyaris, nyaris mengimbangi rasa sepinya ...."
Maka dia pun berikrar setia pada Kerajaan, dan pergilah dia, awal dari
seratus tahun lebih komitmen keluarga itu pada peperangan Inggris.
Pada awalnya, janji itu terbukti benar yang dilakukan kakek buyut Gyan ?hanyalah berbaris selama bertahun-tahun yang makmur, dan dia memper-oleh seorang
istri dan tiga anak lelaki. Namun, kemudian mereka mengirimnya ke Mesopotamia
tempat peluru Turki membuat jantungnya berlu-bang-lubang seperti ayakan dan dia
pun bocor sampai mati di medan pertempuran. Sebagai balas jasa pada keluarga
itu, agar mereka tidak kehila-ngan pendapatan mereka, militer mempekerjakan
putra tertua mereka, meskipun kerbau yang terkenal itu sekarang sudah mati dan
prajurit rekrutan baru itu kurus kering. Prajurit India bertempur di Birma,
Gibraltar, Mesir, Italia.
Dua bulan sebelum ulang tahunnya yang kedua puluh tiga, pada 1943, sang
prajurit kurus terbunuh di Burma, saat dengan gemetaran membela Inggris dari
serangan Jepang. Saudara lelakinya ditawari pekerjaan, dan bocah lelaki ini juga
meninggal, di Italia, di luar Florence, sama sekali tidak sedang
bertempur, tetapi sedang membuat selai dari buah aprikot untuk mayor
batalion di sebuah vila yang ditinggali pasukan Inggris. Enam butir jeruk limun,
demikian dia diberi instruksi, dan empat cangkir gula. Dia mengaduk-aduk belanga
di tengah pedesaan Italia yang tidak mengancam, ayam pegar mendesing melewati
pohon-pohon zaitun dan tanaman anggur, pasukan perlawanan menggali jamur truffle
di hutan. Saat itu adalah musim semi yang luar biasa subur, kemudian, mereka
dibom ?Ketika Gyan masih sangat kecil, anggota keluarga terakhir yang menjadi
prajurit suatu hah turun dari bus di terminal bus Kalimpong dan datang dengan
sebuah jari kaki hilang. Tak ada yang mengingat dia, tetapi akhirnya, kenangan
masa kecil ayah mereka terbangkitkan dan pria itu dikenali sebagai seorang
paman. Dia tinggal bersama keluarga Gyan sampai meninggal dunia, tetapi mereka
tak pernah mengetahui ke mana dia dulu pergi, atau negara-negara mana yang telah
dia lawan. Dia berasal dari sebuah generasi, di seluruh penjuru dunia, yang
lebih mudah melupakan ketimbang mengingat, dan semakin anak-anak mereka
mendesak, semakin ingatan mereka buyar. Pernah sekali Gyan bertanya, "Paman,
Inggris itu seperti apa?"
Dan dia menjawab, "Aku tidak tahu ...."
"Bagaimana mungkin Paman tidak tahu?"?"
"Aku tidak pernah ke sana."
Bertahun-tahun bergabung dengan pasukan Inggris dan dia tak pernah ke
Inggris! Bagaimana ini bisa terjadi" Mereka mengira dia telah menjadi mak-
mur dan melupakan mereka, hidup seperti seorang bangsawan London ....
Kalau begitu, dari mana saja dia"
Sang paman tak pernah mengatakannya. Setiap empat minggu sekali dia pergi
ke kantor pos untuk mengambil uang pensiunnya yang berjumlah tujuh pound
sebulan. Sebagian besar waktunya diha-biskan dengan duduk di atas kursi lipat,
tanpa suara menggerakkan seraut wajah tak berekspresi seperti sekuntum bunga
matahari, suatu tekad cacat hampa yang membuntuti matahari, satu-satunya tujuan
yang tersisa dalam hidupnya adalah me-nyamakan kedua hai itu, orbit wajahnya dan
orbit cahaya. Sejak saat itu, keluarga tersebut menginvesta-sikan harta mereka di bidang
pendidikan dan ayah Gyan mengajar di sebuah sekolah perkebunan teh di luar
Darjeeling. * Kemudian kisah tersebut berakhir. "Bagaimana dengan ayahmu?" Seperti apa
dia" Sai bertanya, tetapi dia tidak mendesak Gyan. Lagi pula, Sai tahu bahwa
sebuah kisah harus berakhir.
* Malam sudah berubah menjadi dingin, dan hah menjadi gelap lebih cepat.
Sai, pulang terlambat dan meraba-raba mencari jalan di bawah kakinya,
berhenti di rumah Paman Potty untuk meminjam senter. "Mana teman yang
ganteng itu ...?" Paman Potty dan Bapa Booty menggoda Sai. "Ampun. Pemuda-pemuda
Nepal itu, tulang pipi tinggi, lengan berotot, dada bidang. Mereka pria yang
bisa melakukan banyak hai, Sai, menebang pohon, memba-ngun pagar, membawa kotak-
kotak berat ... mmm mmm."
Si juru masak menunggu di pintu gerbang dengan sebuah lentera ketika Sai
akhirnya mencapai Cho Oyu. Wajah kerut-merut pemarahnya menatap tajam dari
tumpukan semrawut selendang dan sweter. "Aku sudah menunggu, menunggu ... Sudah
gelap begini kau belum juga pulang!" dia mengeluh, terhuyung-huyung di depan Sai
menyusuri jalan setapak dari gerbang menuju rumah, terlihat gendut dan seperti
perempuan. "Tidak usah mengurusiku!" kata Sai, untuk kali pertama menyadari tak
tertahankannya kelekatan keluarga dan teman ketika dia menemukan kebe-basan dan
ruang dalam cinta. Si juru masak merasa terluka sampai lubuk chutney-nya. "Aku akan
memukulmu," teriaknya. "Aku sudah membesarkanmu dari kecil! Dengan penuh cinta!
Beginikah caramu bicara padaku" Tak lama lagi aku akan mati dan kepada siapa kau
akan mengadu" Ya, ya, sebentar lagi aku akan mati. Mungkin saat itu kau akan
bahagia. Aku di sini, sangat mengkhawatirkanmu, sementara kau di sana,
bersenang-senang, tidak ambil peduli ...."
"Ohhoho." Seperti biasa Sai akhirnya mencoba
menenangkannya. Si juru masak tak sudi ditenang-kan, kemudian akhirnya dia
pun tenang, sedikit. [] DUA PULUH EMPAT Di Kafe Gandhi, pencahayaan dibuat terus temaram agar bisa menyembunyikan
noda dengan lebih baik. Dari sini, masih jauh perjalanan menuju tren fusion,
perpaduan makanan, keju kambing dan samosa basil, margarita mangga. Ini adalah
restoran sejati, India yang umum, dan dia bisa dipesan secara komplet, satu
pemberhentian di jalur kereta bawah tanah atau bahkan lewat telepon: kursi-kursi
berwarna merah dan keemasan, mawar-mawar plastik di atas meja dengan embun
sintetis, lukisan kain menggambarkan?Oh tidak, tidak lagi
?Iya lagi ?Krishna dan para gopi, kembang desa di dekat
sumur .... Dan menunya?Oh, tidak, tidak lagi
?Iya lagi ?Tikka masafa, daging panggang tandoori, kare sayur navrattan, dai makhni,
pappadum. Harish-Harry berkata, "Temukan pasarmu. Kaji pasarmu. Layani pasarmu."
Permintaan-Penawaran. Titik ke-sepakatan India-Amerika. Inilah sebabnya kami
adalah imigran yang baik. Pasangan yang serasi. (Kenyataannya, tuan dan nyonya
yang terhormat, kami mempraktikkan bentuk kapitalisme yang maju jauh sebelum Amerika
menjadi Amerika; ya, kalian mungkin mengira itu adalah keberhasilan kalian,
tetapi semua kebudayaan berasal dari India, ya).
Namun, apakah Harish-Harry meremehkan pa-sarnya" Dia tidak peduli.
Para pelanggan mahasiswa-mahasiswa miskin, dosen-dosen tidak
?tetap datang memenuhi tempat itu pada waktu makan siang prasmanan, "MAKAN
?SEPUASNYA DENGAN HARGA 5.99 dolar," terhu-yung-huyung keluar dibanjiri musik
pemikat ular dan beratnya makanan.
* Untuk menambah kerumunan orang baru yang men-denting masuk, istri Harrish-
Harry datang setiap Minggu pagi setelah dia mengeramasi rambutnya. Sekumpulan
rambut basah, diikat lepas dengan selembar pita emas dari kotak buah-dan-kacang
Diwali, meneteskan air ke lantai di belakangnya.
"Arre, Biju ... to sunao kahani," demikian ucap-nya selalu, "batao ... ada
cerita apa?" Tetapi tidak masalah bila Biju tidak punya cerita untuk disampaikan karena
perempuan itu langsung menuju buku kas yang disimpan di bawah sederetan dewa-
dewa dan batang dupa. "Hae, hae," suaminya tertawa senang, kilau berlian dan emas muncul pada
pupil matanya yang sehitam beledu. "Kita tak bisa membodohi Malini. Begitu
menelepon, mendapatkan yang terbaik dari
siapa pun." * Malinilah yang mengusulkan agar para staf tinggal di bawah ruang dapur.
"Pondokan gratis," kata Harrish-Harry kepada
Biju. Dengan memberikan pembebasan ongkos sewa tempat di New York City, mereka
bisa memotong gaji sampai seperempat upah minimum, mengklaim kembali uang
persenan untuk ongkos perawatan gedung, mengawasi para pekerja, dan memaksa
mereka bekerja enam belas, tujuh belas jam per hah bagai keledai. Saran, Jeev,
Rishi, Mr. Lalkaka, dan sekarang Biju. Semua ilegal. "Kita di sini adalah sebuah
keluarga bahagia," ujar Malini, dengan penuh semangat menepuk-nepukkan minyak
sayur ke wajah dan tangannya, "tak perlu losion atau ramu-an, baba, ini sama
manjurnya." Biju telah meninggalkan ruang bawah tanah di Harlem pada suatu pagi dini
hah ketika dedaunan di pohon yang berantakan di luar berwarna oranye
mengagetkan, gemulai dan berkilauan. Dia membawa satu tas dan matras
tidurnya selembar busa persegi panjang dengan bekas goresan peti tempat telur ?digulung menjadi sebuah buntelan dan diikat dengan tali. Sebelum berkemas, dia
memandang sekali lagi pada foto pernikahan orangtuanya yang dia bawa dari India,
warnanya sudah mulai pudar; foto itu sekarang adalah potret dua sosok hantu
bertampang serius. Persis ketika dia hendak pergi, Jacinto, yang selalu
muncul untuk menagih uang sewa pada waktu yang tepat, datang menghampiri, "Adios
Adios," gigi emas menampilkan sekilas ke-gembiraan seorang penambang.
Biju menoleh untuk kali terakhirnya pada bagian depan bekas kemegahan yang
sekarang mulai runtuh itu. Di kejauhan berdirilah makam Grant seperti kue
pemakaman bundar berwarna abu-abu dengan hiasan pinggir yang kasar. Dari jarak
lebih dekat, perumahan itu seperti rangkaian rapat diagram batang pada
cakrawala. Di Kafe Gandhi, di tengah panci-panci yang berukuran terlalu besar dan
kantung-kantung masa-lah yang diselimuti serbuk gergaji, Biju memulai kehidupan
barunya. Orang-orang membasuh wajah dan berkumur di bak cuci dapur, menyisir
rambut mereka di depan cermin seukuran perangko yang di-paku di atasnya,
menggantung celana panjang mereka di atas tali yang direntangkan melintasi rua-
ngan itu, bersama lap piring. Pada malam hah mereka membuka gulungan peralatan
tidur mereka di mana saja ada ruang untuk itu.
Tikus-tikus yang ada pada pekerjaan-pekerjaan sebelumnya belum
meninggalkan Biju. Mereka ada di sini juga, bersuka ha di dalam sampah,
mencakari kayu hingga tembus, membuat lubang-lubang yang disumpal Harish-Harry
dengan amplas dan ditutup dengan batu bata, tetapi tikus-tikus tersebut dapat
menyingkirkan halangan kecil semacam itu. Mereka minum susu persis sebagaimana
diperintahkan pa- pan iklan, mengonsumsi protein; vitamin dan mineral tumpah dari telinga
dan cakar mereka yang tak ter-kalahkan, serta dari gusi dan bulu mereka.
Kwarshi-kov, beri beri, gondokan (yang di Kalimpong telah menyebabkan
serombongan cebol gila berleher kodok berkeliaran di lereng pegunungan),
penyakit-penyakit karena kekurangan gizi semacam itu tak dikenal bagi populasi
tikus semacam ini. Salah seekor tikus mengunyah rambut Biju pada malam hah.
"Untuk sarangnya," kata Jeev. "Tikus itu sedang bunting, kurasa."
Mereka terbiasa merayap naik dan tidur di atas meja. Saat fajar, mereka
bergeser turun lagi sebelum Harish datang, "Chalo, chalo, hah baru, dolar baru."
* Kepada pegawainya, Harish-Harry bersikap ramah dan jenaka, tetapi dia bisa
mendadak menjadi ma-rah dan penuh disiplin. "Diam, tutup mulut," dia berkata,
dan dia bisa saja menjitak kepala mereka. Akan tetapi, ketika seorang pelanggan
Amerika memasuki pintu, sikapnya langsung berubah drastis menjadi berkebalikan
dan rasa panik tampak me-nguasainya.
"Halo Halo," katanya kepada seorang anak ber-pakaian satin merah muda yang
mengoleskan makanan di sekujur kaki kursi, "Kau sering membuat susah mamamu, ha
ha" Tetapi suatu hah nanti kau
akan membuatnya bangga, bukan" Akan jadi orang heeebat, orang kaaaya, appa
katamu" Kaw ingin karre ayyam yang enak?" Harish-Harry tersenyum dan bertekuk
lutut. Harish-Harry kedua nama itu, demikian Biju mulai memahami, mengisyaratkan?sebuah jurang dalam yang tak dia duga ketika kali pertama berjalan masuk dan
menemui pria itu, sebuah penjelmaan dari kejelasan prinsip yang tengah dicari
Biju. Dukungan terhadap suaka sapi itu diberikan untuk berjaga-jaga apabila
kehidupan setelah kematian versi Hindu ternyata benar dan apabila, setelah mati,
dia dimasukkan ke dalam pengaturan alam baq2ka ala Hindu. Meskipun demikian,
bagaimana jika dewa-dewa lain yang bertakhta" Dia berusaha berada di pihak
penguasa yang tepat, mencoba bersetia kepada begitu banyak hai sampai dirinya
sendiri tak bisa memastikan manakah di antara banyak pribadinya itu yang asli,
jika memang ada. * Bukan cuma Harish-Harry. Kebingungan merajalela di kalangan
"haa/f'n'haf ," para pelajar India yang datang dengan teman-teman Amerika, satu
?aksen pada satu bagian mulut, aksen yang lain di bagian mulut yang lain;
mencampuradukkannya, lalu meng-ombang-ambingkannya, terkadang menurunkan derajat
ke bahasa Hindi untuk menunjukkan kepada satu sama lain: Siapa" Bukan, bukan,
bukannya mereka berpura-pura menjadi sesuatu yang lain dari
siapa dan apa diri mereka sebenarnya. Bukan mereka yang memunggungi
kebudayaan terbesar yang pernah disaksikan dunia ....
Dan percintaan mereka kombinasi India-Kulit Putih, khususnya, adalah
?persoalan istimewa. Para desi masuk dengan merasa sangat tidak nyaman dan pelayan-pelayan
mulai menyeringai serta mencemooh, mengangkat alis untuk menunjukkan kepada para
desi itu apa pendapat mereka.
"Pedas, sedang, atau tidak pedas?" mereka bertanya. "Pedas," para
pelanggan menjawab tanpa kecuali, pamer, memberi tahu kencan mereka bahwa mereka
adalah produk eksotis yang murni, dan di dapur orang-orang tertawa, "Ha ha,"
lantas men-dadak amarah yang murni muncul, "saiai"
Si penjahat menggigit vindaioo
?Dan vindaioo itu dia menggigit balik.
?Wajah-wajah mengernyit kesakitan, telinga dan mata terbakar, lidah menjadi
mati rasa, mereka merengek meminta yoghurt, menjelaskan pada re-kan semeja, "Itu
yang kami lakukan di India, kami selalu menyantap yoghurt untuk keseimbangan ..."
Keseimbangan, kautahu ....
Kautahu, kautahu ?Panas dingin, asam manis, pahit menyengat, kebijakan kuno Ayurveda yang
bisa memberikan ke-tenangan sempurna pada seseorang ...."Terlalu pedas?" Biju
selalu bertanya, sambil menyeringai.
Sembari berlinangan air mata, "Tidak, tidak."


Senja Di Himalaya The Inheritance Of Lose Karya Kiran Desai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tak ada kemurnian dalam usaha ini. Dan tak ada kebanggaan. Dia telah
kembali pulang pada ke- tidakjelasan pandangan * Harish-Harry menyalahkan anak perempuannya karena mengacaukan komitmennya.
Gadis itu telah menjadi orang Amerika. Cincin hidung dia rasa co-cok dengan
sepatu bot perang dan pakaian hijau tentara dari toko perlengkapan militer.
Kata sang istri, "Apa-apaan segala omong kosong ini, beri dia dua tamparan
keras, begitulah caranya "Baguslah kalau memang kausuka itu," demikian kata Harish-Harry, tetapi
tamparan tidak berguna. "Maju terus, Nak!" kata Harish-Harry, berusaha, sebagai
gantinya, menghadapi dengan tabah ke-nyataan bahwa anak perempuannya sudah
menjadi orang Amerika. "MAJU terus, Nak!!!" Tetapi itu juga tidak berguna. "Aku
tidak minta dilahirkan," kata si gadis. "Kalian melahirkanku untuk alasan-alasan
egois kalian sendiri, menginginkan seorang pelayan, bukan" Tetapi di negara ini,
Dad, tak ada yang akan mengelap bokongmu secara cuma-cuma."
Bahkan bukan pantatf Mengelap bokongmu! Dad! Bahkan bukan Papaji. Tak ada
yang mengelap pantatmu, Papaji. Dad dan bokong. Harish-Harry mabuk dalam sebuah
episode yang akan menjadi sangat biasa dan boyak; dia duduk di meja kasir dan
tak mau pulang meskipun para staf dapur dengan resah menanti-nanti agar mereka
bisa naik ke meja dan tidur berselimutkan taplak. "Dan mereka
mengira kita mengagumi mereka!" Dia mulai tertawa. "Setiap kali ada yang
masuk restoranku, aku tersenyum" dia menampakkan seringaian tengkorak-nya-"Hai,?apa kabar," tetapi yang kuinginkan adalah mematahkan leher mereka. Aku tidak
bisa melaku-kannya, tetapi mungkin anak lelakiku akan melaku-kannya, dan itu
adalah harapan terbesarku. Suatu hah Jayant-Jay akan tersenyum serta
melingkarkan tangan di seputar leher anak-anak lelaki mereka, dan dia akan
mencekik mereka sampai mati."
"Lihatlah Biju, lihatlah seperti apa dunia ini," katanya dan mulai
menangis dengan lengan meling-kari bahu Biju.
* Hanya ingatan tentang uang yang tengah dihasil-kannya yang menenangkan
Harish-Harry. Dalam pemikiran tentang ini dia menemukan alasan yang benar-benar
masuk akal untuk berada di sini, sebuah nilai yang bisa disepakati bersama,
sebuah jembatan yang menghubungkan jurang itu dan satu fakta yang tak tampak
?merupakan kontradiksi antarbangsa ini dia tampilkan terang-terangan.
"Hah baru dolar baru, satu sen yang berhasil dihemat adalah satu sen yang
berhasil didapat, tanpa upaya tak ada laba, bisnis adalah bisnis, harus kita
kerjakan apa yang harus kita kerjakan." Aksioma-aksioma ini merupakan kemewahan
yang tak tergapai bagi Biju, tentu saja, tetapi tetap saja dia mengulang-
ulangnya, menikmati kata-kata ceria
itu dan momen persahabatan tersebut.
"Harus mencari nafkah, apa lagi yang bisa Anda lakukan?" demikian Biju
akan berkomentar. "Kau benar, Biju. Apa lagi yang bisa kulakukan" Kita di sini," renungnya,
"untuk meraih peluang yang lebih besar. Bagaimana kita bisa mengelak?"
Dia mengharapkan rumah yang lebih besar, kemudian dia mengharapkan rumah
yang lebih besar lagi bahkan meski dia harus membiarkan rumah itu tak berperabot
untuk sementara, seperti saingan beratnya, Mr. Shah, yang memiliki tujuh kamar,
se-muanya kosong hanya diisi TV, sofa, dan karpet-karpet berwarna putih. Bahkan,
TV-nya berwarna putih karena untuk komunitas itu putih melam-bangkan kesuksesan
di luar India. "Hae hae, kami tidak akan terburu-buru memiliki perabot," kata
Mr. Shah, "tetapi rumahnya, 'kan, sudah ada." Foto-foto eksterior rumah telah
dikirim ke seluruh kerabat di Gujarat, sebuah mobil putih diparkir di depannya.
Sebuah mobil Lexus, kendaraan mewah terkemuka itu. Di atasnya, sang istri duduk
sembari terlihat berpuas diri. Wanita itu meninggalkan India sebagai seorang
mempelai yang penurut, terlukis dan tepercik henna, sarinya dihiasi emas begitu
banyak sehingga dia menyalakan semua detektor logam di bandara dan sekarang ?inilah dia mengenakan ja-ket dan celana panjang yang serasi, rambut dipo-tong
?pendek, tas make-up, dan mampu bergoyang macarena.[]
DUA PULUH LIMA Mereka membawa Mutt ke Penjahit Apollo Tuli guna diukur untuk mantel musim
dingin yang akan dipotong dari selembar selimut karena hari-hari telah berganti
memasuki musim dingin, dan meskipun di Kaiimpong tidak bersalju, hanya berubah
menjadi suram, di seluruh penjuru kota itu garis salju menukik, dan pegunungan
tinggi di sekitar kota ber-garis-garis putih. Pada pagi hah, mereka menjumpai es
di parit, es di puncak gunung, dan es di lekukan bukit.
Melalui retakan-retakan dan lubang-lubang di Cho Oyu, masuklah aroma
steril musim dingin. Keran dan kenop kamar mandi bergoyang mengusir
keterkejutan. Serat-serat kain sweter dan syal yang tergetar meremang,
memancarkan kilat. "Ow, ow," ucap Sai. Kulitnya menampilkan pola kekeri-ngan
berbentuk sisik-sisik. Ketika Sai melepas pakaian, kulit kering berjatuhan
seperti garam dari gudang garam dan rambutnya, mengejek gravitasi, menegak
seperti antena radio yang bergemeresik di atas kepalanya. Ketika dia tersenyum,
bibirnya sobek dan mengalirkan darah.
Dengan teroles vaselin sampai licin dan lembut untuk merayakan Natal, Sai
bergabung dengan Bapa Booty dan Paman Potty di Mon Ami. Di sana,
selain bau Vaselin, ada pula aroma domba basah tetapi itu hanya bau
?sweter-sweter mereka yang lembap. Selapis perada kertas perak di atas sebuah
pohon cemara yang tumbuh di dalam pot berkilat-kilat dalam cahaya api yang
mendesis dan meletup-letup, hawa dingin menyengat di luarnya.
Bapa Booty dan Paman Potty bernyanyi bersama:
Siapa rnelernpar overall ke dalam sup kental Mrs. Murphy"
Ketika tiada yang menjawab, mereka berteriak lebih kencang
?SIAPA MELEMPAR OVERALL KE DALAM SUP KENTAL MRS. MURPHY"
Lola pun bergabung, mabuk, dan gila-gilaan.
* Oh, malam yang indah ? Oh, sup yang indah di dalam panci tembaga Gyako, separit kuah daging di
sekitar cerobong batu bara, uap daging domba di rambut mereka, kilau berlimpah
lemak keemasan, jamur kering yang menjadi begitu licin sampai merayap turun
dalam keadaan sangat panas sebelum kau bisa me-ngunyah ototnya. "What's for
PUDS" Pudingnya apa?" Lola, ketika dia mengatakan ini di Inggris, merasa
terguncang mendapati bahwa orang Inggis tidak mengerti .... Bahkan, Pixie juga
pura-pura kebingungan .... Akan tetapi, di sini kata-kata itu dipahami dengan baik, dan Kesang
mengangkat sebuah puding berat yang mempersatukan persaudaraan buah dan
kacangnya via brendi, dan mereka menguduskan puding itu dengan sebuah mahkota
kilauan brendi yang menyucikan.
Mustafa memanjat ke tempat favoritnya lagi, di atas pangkuan Sai,
menolehkan wajahnya pertama-tama pada api, kemudian bagian belakang tubuh-nya,
pelan-pelan melunak, sampai pantatnya mulai menetes ke bawah kursi dan dia
melompat sambil meraung kaget, melotot pada Sai seolah-olah gadis itu
bertanggung jawab atas ketidaksenonohan ini.
Untuk kesempatan itu, kedua bersaudara telah mengeluarkan hiasan-hiasan
yang mereka dapat dari Inggris berbagai benda yang terlihat seolah-olah berasa ?mint kepingan salju, orang-orangan salju, untaian es, bintang-bintang. Ada pula
?troll, peri pembuat sepatu (kenapa tukang sepatu, troll, dan peri bernuansa
Natal" Sai bertanya-tanya) yang disimpan sepanjang tahun di dalam sebuah kotak
sepatu Bata di atas loteng bersama dengan cerita mengenai hantu Inggris yang
mengenakan gaun malam berkelepak yang sering mereka gunakan untuk menakuti Sai
ketika gadis itu kali pertama datang:
"Apa yang dia ucapkan?"
"Hmm, kurasa dia bersuara wuuu huuu seperti burung hantu, bersiul
perlahan, wuu huuu, manis dan serius. Sekali-kali dia berkata, 'Mau setetes
sh-e-rr-y, saa-yaa-ng"1 dengan suara yang geme-taran tetapi sangat
anggun." Dan ada kado-kado kaus kaki rajut dari desa pengungsi Tibet, wolnya masih
mengandung serpi-han jerami dan biji-biji tajam yang menunjukkan keaslian dan
membangkitkan simpati ekstra untuk para pengungsi meskipun itu memerihkan kaki.
Ada pula anting-anting batu amber dan koral, botol-botol brendi aprikot buatan
Bapa Booty, buku-buku tulis dengan lembaran kertas beras yang tembus cahaya
serta berpunggung bambu bergaris-garis yang dibuat di Bong Busti oleh semeja
penuh pe-gawai wanita cerewet yang saling berbagi makanan enak pada waktu
tiffin, makan siang mereka, yang kadang kala menjatuhkan sepotong acar ... dan
terkadang halaman-halaman buku itu ternoda percikan kuning besar yang meriah ....
* Semakin banyak rum. Dalam kemabukan yang bertambah dalam, ketika nyala api
perlahan mati, Lola menjadi tenang, menarik sebuah kenangan murni dari kedalaman
tersebut: "Pada masa-masa itu, tahun lima puluhan dan enam puluhan," tuturnya,
"Mencapai Sikkim atau Bhutan masih merupakan perjalanan yang jauh karena nyaris
tak ada jalan besar. Kami biasa pergi mengendarai kuda, membawa karung-karung
kacang polong untuk kuda-kuda poni, peta-peta, ter-mos pinggang berisi wiski.
Pada musim hujan, lintah terjun bebas dari pepohonan menjatuhi kami, menjadwalkan dengan cermat
waktu yang tepat untuk melakukan akrobat. Kami membasuh diri di dalam air garam
untuk menangkal mereka, mengga-rami sepatu dan kaus kaki kami, bahkan rambut
kami. Badai lantas menyapu garam itu dan kami harus berhenti untuk menggarami
diri lagi. Hutan waktu itu sangat dahsyat dan luas jika orang diberi tahu bahwa?ada seekor hewan ajaib tinggal di dalamnya, dia pasti percaya. Kami keluar di
puncak-puncak pegunungan tempat biara-biara melekat erat di pinggiran karang,
dikelilingi oleh kuil dan panji-panji doa, bagian depannya yang putih me-nangkap
cahaya senja, semua berwarna keemasan seperti jerami, pegunungan menampilkan
garis-garis tak rata berwarna nila. Kami berdiri dan beristirahat sampai lintah-
lintah itu mulai menembus ke dalam kaus kaki kami. Buddhisme sudah lama ada di
sini, lebih lama ketimbang di semua tempat lain, dan kami mengunjungi sebuah
biara yang konon diba-ngun ketika seorang lama terbang melayang dari satu puncak
gunung ke puncak gunung yang lain, dari Menak Hill ke Enchey, dan biara lain
yang dibangun ketika selarik pelangi menghubungkan Kanchenjunga dengan puncak
bukit. Sering kali gompa-gompa itu kosong karena para biarawan juga petani;
mereka berada jauh di ladangnya dan berkumpul hanya beberapa kali setahun untuk
melakukan puja dan yang terdengar hanyalah angin di sela-sela bambu. Awan
menembus memasuki pintu dan berbaur dengan lukisan awan. Bagian dalam
biara-biara itu gelap, bernoda asap, dan kami berusaha melihat mural yang
ada dengan cahaya dari lentera mentega
"Perlu dua minggu perjalanan berat untuk men-capai Thimpu. Di tengah
jalan, melewati hutan be-lantara, kami menginap di benteng-benteng seperti kapal
yang disebut dzong itu, yang dibangun tanpa satu paku pun. Kami mengirim seorang
pria lebih dahulu dengan membawa kabar kedatangan kami, dan mereka mengirimkan
hadiah untuk menyambut kami di suatu titik antara. Seratus tahun lampau hadiah
itu tentu berupa teh Tibet, nasi kuning, jubah sutra dari Cina yang pinggirnya
dihiasi bulu dari domba yang belum lahir, hal-hal semacam itu; pada saat itu,
untuk kami, hadiah tersebut berupa sebuah keranjang piknik berisi roti lapis ham
dan bir Gymkhana. Dzong-dzong itu benar-benar komplet, memiliki pasukan, petani,
bangsawan, dan nara-pidana sendiri di dalam ruang tahanan bawah tanah para
?pembunuh dan orang-orang yang tepergok menangkap ikan dengan dinamit semua disel
menjadi satu. Ketika membutuhkan seorang juru masak atau tukang kebun baru,
mereka mengulurkan tali dan menarik keluar seorang pria. Saat tiba, kami
mendapati hidangan bunga kol keju dan babi berselimut di dalam aula yang
diterangi lentera. Pria ini, yang ditahan karena pembunuhan keji, begitu
terampil dalam membuat kue apa pun yang dibu-tuhkan, dia bisa menyediakan. Tar
?frambus terenak yang pernah kurasakan."
"Dan bak mandinya," Bapa Booty ikut menimpali,
"ingat bak mandinya" Suatu kali, ketika aku sedang mengikuti program
sosial sebuah perusahaan susu, aku menginap di tempat ibu suri, saudara
perempuan Jigme Dorji, agen Butan dan penguasa Provinsi Ha, yang tinggal di dekatmu, Sai, di Tashiding dia menjadi begitu berkuasa?sehingga para pembunuh bayaran sang raja menghabisinya meskipun dia adalah
saudara ratu. Bak mandi di dzong mereka terbuat dari batang pohon yang
dilubangi, sebuah celah dipahat di bawahnya sebagai tempat batu panas untuk
menjaga agar air tetap mengepulkan uap, dan saat kau berendam, para pelayan
keluar-masuk untuk mengganti batu-batu panas itu dan menggosok tubuhmu. Dan jika
kita berkemah, mereka akan menggali lubang di tepi sungai, mengisinya dengan
air, menurunkan batu-batu panas ke da-lamnya; jadi kau bisa mencebar-cebur
dengan dike-lilingi salju Himalaya dan hutan rhododendron.
"Bertahun-tahun kemudian, ketika aku kembali ke Bhutan, sang ratu
mendesakku agar memasuki kamar mandi. 'Tetapi saya tidak merasa perlu ke kamar
mandi.' '"Tidak, tetapi kau harus ke sana.'
'"Tetapi saya tidak MERASA PERLU ke kamar
mandi.' '"Oh, tetapi HARUS.'
"Maka aku pun pergi ke kamar mandi, dan kamar mandi mereka telah
direnovasi, penuh dengan segala pipa modern, keramik merah muda, shower merah
muda, dan toilet berpenyiram otomatis berwarna merah muda."
"Ketika aku keluar lagi, sang ratu tengah menunggu, kulitnya semerah muda
kamar mandi karena bangga, 'Lihat, betapa bagusnya kamar mandi itu" Anda LIHAT,
'kan"'" "Kenapa kita semua tidak pergi ke sana lagi saja," timpal Noni. "Mari
merencanakan perjalanan. Kenapa tidak?"
* Sai pergi tidur malam itu dengan kaus kaki barunya, yang memiliki desain
tiga lapis yang digunakan para sherpa dalam ekspedisi pendakian gunung, yang
dikenakan Tenzing untuk mendaki puncak Everest.
Sai dan Gyan baru-baru ini bertamasya untuk melihat kaus kaki Tenzing ini,
yang terbentang seperti elang di museum Darjeeling yang berdampi-ngan dengan
tugu peringatannya, dan mereka telah memandangi kaus kaki itu dengan cermat.
Mereka juga meneliti topinya, beliung es, ransel, contoh makanan kering yang
mungkin dia bawa, Horlick, obor, serta contoh ngengat dan kelelawar dari dataran
tinggi Himalaya. "Dia itu pahlawan sejati, Tenzing," Gyan berkata. "Hilary tak mungkin
berhasil tanpa keberadaan para sherpa yang membawakan tas-tasnya." Semua orang
di sekitar tempat itu menyetujui hai ini. Tenzing jelas-jelas yang pertama, atau
kalau tidak dia dipaksa menunggu dengan membawa tas-tas agar Hilary bisa
melangkahkan kaki kali pertama atas nama upaya kolonial menancapkan bendera di
atas sesuatu yang bukan miliknya.
Saat itu Sai bertanya-tanya, haruskah manusia menaklukkan gunung atau
haruskah mereka mengharapkan gunung menguasai mereka" Para sherpa naik-turun,
sepuluh kali, lima belas kali pada beberapa kasus, tanpa kejayaan, tanpa klaim
kepemi-likan, dan ada orang-orang yang mengatakan bahwa gunung itu sakral serta
sama sekali tak boleh dinodai.[]
DUA PULUH ENAM Seusai tahun barulah, ketika Gyan kebetulan tengah membeli beras di pasar,
dia mendengar orang-orang berteriak saat berasnya sedang ditimbang. Sewaktu
keluar dari toko, dia terbawa arak-arakan yang datang dengan terengah-engah dari
Mintri Road dipimpin oleh para pemuda yang memegang kukri-nya tinggi-tinggi dan
memekikkan, "Jai Gorkha." Dalam kacau balau wajah-wajah dia melihat teman-teman
kuliah yang dia abaikan sejak memulai asmaranya dengan Sai. Padam, Jungi, Dawa,
Dilip. "Chhang, Bhang, Burung hantu, Keledai," dia me-manggil teman-temannya
dengan nama julukan mereka? *
Mereka sedang meneriakkan, "Kemenangan untuk Pasukan Pembebasan Gorkha,"
dan tidak mendengar Gyan. Berkat kekuatan orang-orang yang mendo-rong dari
belakang, dan dengan kepesatan orang-orang yang berjalan di depan, mereka
membaur menjadi sesosok makhluk tunggal. Tanpa upaya sama sekali, Gyan mendapati
dirinya meluncuri jalanan yang penuh dengan para pedagang Marwari yang duduk
bersila di atas mimbar matras putih.
Mereka beriring-iringan melintasi toko-toko antik berisi thangkha-thangkha
yang menjadi semakin antik dengan setiap embusan keletihan dari lalu lintas yang
melewatinya; melintasi para pandai perak Newari; seorang dokter homeophaty; pen-
jahit tuli yang semuanya terlihat kaget, merasakan getaran dari apa yang tengah
dipekikkan tetapi tak bisa mengetahui isinya. Seorang wanita gila dengan kaleng
tergantung di telinganya dan mengenakan pakaian dari sisa kain penjahit, yang
telah memang-gang bangkai seekor burung di atas beberapa batu bara di tepi
jalan, melambai pada arak-arakan tersebut seperti seorang ratu.
Saat meluncur melewati pasar, Gyan merasakan sejarah tengah dibuat, roda-
roda sejarah berputar di bawah dirinya karena orang-orang itu bersikap seolah-
olah mereka tengah ditampilkan sebagai aktor utama dalam sebuah film dokumenter
perang, dan Gyan mau tak mau melihat pemandangan tersebut dari sudut pandang
nostalgia, dari posisi seorang revolusioner. Tetapi kemudian, dia ditarik keluar
dari perasaan itu, oleh pemandangan yang purba dan biasa, para pemilik toko yang
kha-watir menonton dari gua mereka yang ternoda musim hujan. Kemudian, dia ikut
berteriak bersama orang banyak, dan percampuran suaranya dengan kebesaran dan


Senja Di Himalaya The Inheritance Of Lose Karya Kiran Desai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kekuatan tampak menciptakan suatu relevansi, suatu afirmasi yang tak pernah dia
rasakan sebelumnya, dan dia ditarik kembali ke dalam pembuatan sejarah.
Lalu, saat melihat ke arah perbukitan, dia ter-
lempar keluar dari pengalaman itu kembali. Bagaimana mungkin hai yang
biasa dapat berubah"
Apakah orang-orang ini benar-benar berkomit-men pada nilai penting arak-
arakan ataukah ada suatu kualitas terpisah bagi tindakan yang mereka lakukan"
Apakah mereka mendapatkan ilham dari kisah-kisah protes lama atau dari harapan
untuk menuturkan kisah yang baru" Apakah jantung mereka melonjak-lonjak demi
sesuatu yang sejati" Begitu mereka berteriak-teriak, berbaris, apakah
perasaannya nyata" Apakah mereka memandang diri mereka dari perspektif di luar
momen ini, para fans Bruce Lee dalam balutan t-shirt-Amerika-yang-dibuat-di-
Cina-dan-datang-via-Kathmandu mereka yang terlepas dari kekangan ini"
Dia berpikir tentang betapa sering dia mengharapkan bisa mengantre di
kedutaan Amerika atau Inggris, dan pergi. "Dengar Momo," dia pernah berkata pada
Sai yang gembira, "mari kita pergi ke Australia." Terbang, selamat tinggal, da-
da. Bebas dari sejarah. Bebas dari tuntutan keluarga dan berabad-abad utang yang
semakin membesar. Pat-riotisme ini palsu, Gyan tiba-tiba merasa demikian saat
dia berbaris; ini pastilah hanya rasa frustrasi para pemimpin memanfaatkan ?kejengkelan dan kebencian alami para remaja untuk tujuan-tujuan pribadi; untuk
mewujudkan harapan mereka sendiri dalam menggapai kekuasaan yang sama dengan
yang dimiliki para pejabat pemerintahan sekarang, kemampuan yang sama untuk
mengimbali para pe-bisnis setempat dengan pelbagai transaksi sebagai
ganti uang suap, kemampuan untuk memberi pe-kerjaan kepada kerabat mereka,
memberi tempat bagi anak-anak mereka di sekolah, koneksi gas masak ....
Namun, orang-orang itu berteriak, dan dia melihat dari wajah mereka bahwa
mereka tidak memiliki sinisme yang sama dengan dirinya. Perkataan mereka
sungguh-sungguh; mereka merasakan ketidak-adilan. Mereka melintasi gudang-gudang
yang berasal dari masa ketika Kalimpong merupakan pu-sat perdagangan wol,
melewati biro perjalanan Snow Lion, kotak telepon STD, Ferrazzini's Pelopor
Makanan Cepat Saji, dua wanita Tibet kakak-beradik di Toko Selendang Warm Heart;
melintasi perpustakaan yang meminjamkan komik dan payung-payung rusak yang
menggantung dengan janggal seperti burung-burung terluka di sekeliling pria yang
memperbaikinya. Mereka berhenti di luar kantor polisi, tempat para polisi yang
biasanya dapat ditemukan sedang bergosip telah menghilang ke dalam dan mengunci
pintu. Gyan mengingat kisah-kisah menggetarkan ketika para penduduk bangkit dalam
jumlah jutaan dan menuntut agar Inggris angkat kaki. Di sana ada kemuliaan
seperti itu, keberanian seperti itu, nyala keagungan seperti itu-"India untuk
rakyat India. Tak ada pemajakan tanpa perwakilan. Tak ada bantuan untuk
peperangan. Tak satu orang pun, tak satu rupee pun. British Raj Murdabad1." Jika
sebuah bangsa memiliki klimaks seperti itu dalam sejarahnya, dalam jantungnya,
tidakkah dia haus akan hai itu lagi" * Seorang lelaki merangkak naik ke atas bangku:
"Pada 1947, saudara-saudariku, Inggris pergi dan memberikan kemerdekaan
pada India, membe-rikan Pakistan pada kaum Muslim, memberikan ketentuan-
ketentuan istimewa kepada kasta dan suku bangsa yang dijadwalkan, sudah mengatur
segala sesuatunya, saudara-saudari
?"Kecuali kita. KECUALI KITA. Orang-orang Nepal India. Pada waktu itu,
April 1947, Partai Komunis India menuntut Gorkhasthan, tetapi tuntutan itu tidak
dihiraukan ... Kita adalah pekerja di perkebu-nan teh, kuli yang menyeret beban
berat, prajurit. Dan apakah kita diperbolehkan menjadi dokter dan pegawai
pemerintahan, pemilik perkebunan teh" Tidak! Kita dibuat terus berada pada level
pelayan. Kita bertempur demi kepentingan Inggris selama dua ratus tahun. Kita
bertempur di Perang Dunia pertama. Kita pergi ke Afrika Timur, ke Mesir, ke
Teluk Persia. Kita dipindahkan ke sana kemari sesuka mereka. Kita bertempur pada
Perang Dunia Kedua. Di Eropa, Suriah, Persia, Malaya, dan Burma. Bagaimana nasib
mereka tanpa keberanian bangsa kita" Kita masih bertempur untuk mereka. Ketika
resimen dipecah pada saat kemerdekaan, sebagian pergi ke Inggris, sebagian tetap
tinggal, orang-orang kita yang tetap di sini bertempur untuk India dengan cara
yang sama. Kita adalah prajurit, setia, pembe-
rani. India atau Inggris, mereka tak pernah punya alasan untuk meragukan
loyalitas kita. Dalam pepe-rangan dengan Pakistan kita bertempur melawan mantan
rekan-rekan kita di sisi seberang perbata-san. Betapa jiwa kita menjerit. Tetapi
kita adalah bangsa Gorkha. Kita adalah prajurit. Karakter kita tak pernah
diragukan. Dan apakah kita telah diberi imbalan untuk itu?" Sudahkah kita diberi
kompen-sasi?" Apakah kita diberi penghargaan?"
'Tidak! Mereka meludahi kita."
Gyan teringat wawancara kerjanya yang terakhir lebih dari setahun silam,
ketika dia menempuh perjalanan jauh ke Calcutta dengan bus malam ke sebuah
kantor yang terkubur di tengah-tengah suatu kompleks beton dan diterangi getaran
sebuah tabung neon yang tak pernah berubah menjadi cahaya mantap.
Semua orang terlihat putus asa, baik orang-orang yang berada di ruangan
tersebut maupun pewawancara yang akhirnya mematikan lampu yang berkedip-kedip
itu-"tegangan rendah" dan melang-sungkan wawancara dalam gelap. "Bagus sekali, ?kami akan memberi kabar bila Anda berhasil." Gyan, yang berhasil keluar dengan
meraba-raba dalam kesimpangsiuran itu dan melangkah keluar memasuki cahaya musim
panas yang tak kenal ampun, tahu dia tak akan pernah diterima.
"Kita ini delapan puluh persen dari populasi, ada sembilan puluh kebun teh
di distrik ini, tetapi apakah ada satu saja yang dimiliki orang Nepal?" tanya
lelaki itu. "Tidak." "Apakah anak-anak kita bisa mempelajari bahasa kita di sekolah?" "Tidak."
"Bisakah kita bersaing untuk mendapatkan pekerjaan ketika semua pekerjaan
telah dijanjikan pada orang lain?"
"Tidak." "Di negara kita sendiri, negara yang kita bela, kita diperlakukan seperti
budak. Setiap hah truk-truk berangkat membawa pergi isi hutan kita, dijual oleh
orang-orang asing untuk mengisi kantung orang-orang asing. Setiap hah batu-batu
kita diambil dari palung Sungai Teesta untuk membangun rumah-rumah serta kota-
kota mereka. Kita adalah buruh yang bekerja telanjang kaki di segala cuaca,
sekurus lidi, sementara mereka duduk dengan tubuh gendut di rumah-rumah manajer
dengan istri-istri mereka yang gendut, dengan rekening-rekening bank mereka yang
gendut dan anak-anak mereka yang gendut berada di luar negeri. Bahkan, kursi-
kursi mereka pun gendut. Kita harus berjuang, saudara-saudari, untuk menangani
urusan kita sendiri. Kita harus bersatu dibawah bendera GNLF, Gorkha National
Liberation Front Front Pembe-basan Nasional Gorkha. Kita akan membangun rumah
?sakit dan sekolah. Kita akan menyediakan pekerjaan untuk anak-anak lelaki kita.
Kita akan memberi martabat pada anak-anak perempuan kita yang menjunjung beban
berat, memecah batu di jalan-jalan. Kita akan mempertahankan tanah turn-
pah darah kita sendiri. Di sinilah tempat kita dila-hirkan, tempat
orangtua kita dilahirkan, tempat kakek-nenek kita dilahirkan. Kita akan
menyeleng-garakan urusan kita sendiri dalam bahasa kita sendiri. Jika perlu,
kita akan membasuh kukri kita yang berlumuran darah dalam induk perairan Teesta.
Jai Gorkha." Si penyampai pidato menga-yunkan kukri-nya dan kemudian menusuk ibu
jarinya, mengangkat pemandangan penuh darah itu untuk dilihat semua orang.
"Jai Gorkha! Jai Gorkha! Jai Gorkha!" kerumunan orang banyak berseru-seru,
darah mereka sendiri mendengung, berdenyut, bergelora melihat tangan si
penyampai pidato. Tiga puluh pendukung melangkah maju dan ikut mengucurkan darah
dari jempol mereka dengan kukri untuk menulis sebuah plakat menuntut Gorkhaland,
dengan darah. "Para prajurit Gorkha pemberani yang membela India dengarlah panggilan
?ini," seru selebaran yang membanjiri lereng perbukitan. "Harap segera
mengundurkan diri dari ketentaraan. Karena ketika kalian akan pensiun saat itu,
kalian mungkin akan diperlakukan sebagai orang asing."
GNLF akan menawarkan pekerjaan pada rekan sebangsanya, serta sebuah
pasukan berkekuatan 40.ODD orang, universitas-universitas, dan rumah-sakit-
rumahsakit. * Setelah itu, Chhang, Bhang, Burung Hantu, Keledai,
dan banyak lagi lainnya duduk di gubuk sesak kantin Ex-Militer Thapa's di
Ringkingpong Road. Sebuah tanda kecil bertulisan tangan yang dicat di bagian
samping berbunyi "Ayam Broiler". Sebuah papan permainan karambol diletakkan di
atas tong minyak di luar dan dua orang prajurit jompo compang-camping, berkaki
bengkok, yang semula tergabung dalam Pasukan Tembak Gurkha Kedelapan, sedang
bermain saat awan bergeser dan mengombak di sela-sela lutut mereka. Pegunungan
membelah tajam dan jatuh di kedua sisinya menjadi semak-semak bambu yang kelabu
karena uap yang me-ngembun.
Udara menjadi semakin dingin dan malam semakin pekat. Gyan, yang secara
tak sengaja terbawa arak-arakan, yang berteriak setengah berkelakar, setengah
sungguh-sungguh, yang telah separuh bermain-main, separuh menjadi bagian,
menemukan semangat yang menggerakkannya. Sarkasme dan rasa malunya telah lenyap.
Dipicu oleh alkohol, dia akhirnya menyerah pada tarikan sejarah yang memikat dan
dia mendapati nadinya melonjak-lonjak menuju sesuatu yang terasa benar-benar
nyata. Dia menceritakan kisah kakek buyutnya, paman -paman ayahnya, "Dan apa
kalian kira mereka mendapatkan pensiun yang sama dengan orang Inggris yang
berpangkat setara" Mereka bertempur sampai mati, tetapi apakah mereka
mendapatkan gaji yang sama?"
Semua amarah lain di kantin itu menyambut ke-marahannya, menepuk-nepuk
punggung kemara- hannya. Mendadak jelaslah mengapa dia tidak punya uang dan tak ada
pekerjaan sungguhan yang didapatnya, mengapa dia tak bisa terbang ke per-guruan
tinggi di Amerika, mengapa dia malu mem-biarkan siapa pun melihat rumahnya. Dia
teringat bagaimana dia menghalangi Sai ketika gadis itu mengusulkan untuk
mengunjungi keluarga Gyan. Di atas semua itu, dia menyadari mengapa kesabaran
ayahnya membuatnya marah, dan mengapa dia merasa tak bisa berbicara dengan
ayahnya, pria yang gagasannya tentang kebahagiaan sedemikian bersahaja hingga
bahkan gangguan rutin berupa lima puluh dua bocah lelaki yang berteriak-teriak
di ruang kelasnya di perkebunan teh, bahkan jauhnya jarak dengan keluarganya,
kesunyian pekerjaannya, tidak membuatnya sedih. Gyan ingin mengguncang-
guncangnya, tetapi kepuasan apa yang bisa dida-pat dari mengguncangkan kaus
kaki" Menegur orang semacam itu hanya akan berbalik membuatmu semakin frustrasi?....
Untuk sesaat, segala macam kepura-puraan yang telah dia jalani, rasa malu
yang telah dia derita, masa depan yang tak sudi menerimanya semua hai ini
?bergabung menjadi satu membentuk sebuah kebenaran tunggal.
Orang-orang itu duduk mengaduk kemarahan mereka, mengetahui, sebagaimana
semua orang lain di negara ini, pada waktunya masing-masing, bahwa kebencian
lama bisa dibangkitkan tanpa batas.
Dan ketika mereka menggalinya dari kubur, mereka mendapati kebencian itu
murni, jauh lebih murni daripada sebelumnya, karena dukacita masa lalu sudah hilang. Hanya
kemarahan yang terting-gal, tersaring, terbebaskan. Kemarahan itu adalah hak
mereka sejak lahir, dia bisa membawa mereka begitu tinggi, dia adalah candu.
Mereka duduk sembari merasa terangkat tinggi, di sana di atas bangku-bangku kayu
sempit, mengentakkan kaki mereka yang dingin di atas lantai tanah.
Atmosfer saat itu sangat maskulin dan Gyan merasakan sekilas rasa malu
mengenang pesta minum tehnya bersama Sai di beranda, roti keju, queen cake dari
tukang roti, dan lebih buruk lagi, ruang hangat mungil yang mereka tempati
bersama, percakapan kekanak-kanakan itu?Hal-hal semacam itu mendadak berlawanan dengan tuntutan kedewasaannya.
Dia menyuarakan opini tegas agar gerakan Gorkha mengambil rute paling
keras yang mungkin ditempuh.[]
DUA PULUH TUJUH Dengan suasana hati tak menentu dan gelisah, Gyan tiba di Cho Oyu keesokan
harinya, jengkel karena harus menempuh perjalanan jauh itu di dalam hawa dingin
untuk sejumlah kecil uang yang diba-yarkan sang hakim kepadanya. Dia menjadi
marah melihat orang-orang tinggal di sini dalam rumah dan tanah yang sangat
besar ini, mandi air panas, tidur sendiri-sendiri di kamar-kamar yang luas, dan
dia tiba-tiba teringat makan malam menyantap daging dan kacang polong rebus
bersama Sai dan sang hakim, kata-kata sang hakim "Akal sehat tampaknya tidak
kaumiliki, anak muda."
"Kau sangat terlambat," kata Sai ketika melihat Gyan, dan Gyan merasa
marah dengan cara yang berbeda dari malam sebelumnya ketika, marah dalam sapuan
cat perang, Gyan menganjurkan pantat ke satu arah dan dada ke arah lain dan
menemukan sikap badan yang superior, cara bicara yang baru. Kemarahan yang
piciklah yang menariknya kembali, mengekang semangatnya, membuatnya merasa
jengkel. Kejengkelan itu berbeda dari apa pun yang pernah dia rasakan pada Sai
sebelumnya. * Untuk menghibur Gyan, Sai bercerita kepadanya tentang pesta Natal
?Kautahu, tiga kali kami mencoba menyalakan sendok sup penuh brendi dan
menuangkannya ke atas puding
?Gyan mengabaikan Sai, dia membuka buku fisika. Oh, andai Sai mau tutup
mulut ketololan gamblang yang sebelumnya lolos dari pengamatannya dalam diri
?gadis itu Gyan terlalu jengkel untuk mengha-dapinya.
?Sai berpaling dengan enggan pada halaman-halaman buku itu; sudah lama
mereka tidak memberi perhatian selayaknya pada fisika.
"Jika dua benda, yang satu seberat ... satunya lagi seberat ... dijatuhkan
dari menara miring Pisa, pada jam berapa dan seberapa cepat kedua benda itu
jatuh ke tanah?""Suasana hatimu sedang tidak enak," kata Sai dan menguap dengan
nyaman untuk mengisyaratkan pilihan lain yang lebih menyenang-kan.
Gyan berpura-pura tidak mendengar Sai. Kemudian dia juga menguap, tanpa
sadar. Sai menguap lagi, panjang lebar seperti seekor singa, membiarkan kuapan
itu merekah lebar. Kemudian Gyan juga menguap, kuapan kecil yang dia coba tahan dan telan
kembali. Sai menguap ? Gyan menguap. "Bosan pada fisika?" tanya Sai, terdorong oleh kesan perdamaian yang
tampak itu. "Tidak, sama sekali tidak."
"Kalau demikian, apa alasanmu menguap?" "KARENA AKU DIBUAT BOSAN SETENGAH
MATI OLEHMU, ITULAH ALASANNYA." Diam terpana.
"Aku tidak tertarik pada Natal!" teriak Gyan. "Kenapa kalian merayakan
Natal" Kalian orang Hindu dan kalian tidak merayakan Idul Fitri atau hah
kelahiran Guru Nanak, bahkan Durga Puja atau Dussehra atau Tahun Baru Tibet."
Sai mempertimbangkan hai tersebut: Mengapa" Dia selalu merayakan Natal.
Bukan karena biara, kebenciannya pada biara sangat mendalam, tetapi ...."Kalian
seperti budak, itulah kalian, meniru-niru Barat, mempermalukan diri sendiri.
Karena orang-orang seperti kalian tak pernah mencapai apa-apa." Tersengat oleh
kesengitan Gyan, "Bukan," sahut Sai, "bukan itu alasannya."
"Lalu apa?" "Jika aku ingin merayakan Natal, aku akan me-rayakannya, dan jika aku
tidak ingin merayakan Diwali, aku tak akan merayakannya. Tak ada salah-nya
sedikit bersenang-senang dan Natal adalah hah raya di India sama seperti yang
lain." Ini disampaikan untuk membuat Gyan merasa antisekuler dan anti-Gandhi.
"Terserah," Gyan mengangkat bahu, "tak ada artinya bagiku itu hanya ?menunjukkan pada seluruh dunia bahwa kau GOBLOK."
Gyan mengucapkan kata-kata ini dengan se-ngaja, sangat ingin melihat raut
terluka menghiasi wajah Sai.
"Yah, kalau demikian, kenapa kau tidak pulang saja, jika aku memang
goblok" Apa gunanya me-ngajariku?""Baiklah, aku akan pulang. Kau benar. Apa
gunanya mengajarimu" Jelas-jelas kau cuma ingin meniru. Tak bisa berpikir
sendiri. Peniru, peni-ru. Tidakkah kautahu, orang-orang yang kautiru, MEREKA
TIDAK MENGINGINKANMU!!!!"
"Aku tidak meniru siapa-siapa!" "Kaupikir kau orang pertama yang merayakan
Natal" Ayolah, jangan katakan padaku kau sebodoh itu."
"Yah, jika kau sepintar itu," kata Sai, "Kenapa kau tak bisa menemukan
pekerjaan yang layak" Gagal, gagal, gagal. Pada setiap wawancara."
"Karena orang-orang sepertimu1."
"Oh, karena aku ... dan kau bilang aku bodoh" Siapa yang bodoh" Ajukan di
depan seorang hakim dan akan kita lihat siapa yang menurutnya bodoh."
Sai mengambil gelasnya dan air di dalamnya tumpah sebelum mencapai
bibirnya karena tubuh-nya bergetar sedemikian hebat.[]
DUA PULUH DELAPAN Sang hakim tengah mengenang kebenciannya.
* Ketika kembali dari Inggris, dia disambut oleh band alat musik tiup jompo
yang sama dengan yang mengantar kepergiannya, tetapi band itu kali ini tak


Senja Di Himalaya The Inheritance Of Lose Karya Kiran Desai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terlihat karena gumpalan asap dan debu yang diterbangkan oleh kembang api yang
dilemparkan di atas rel kereta api meledak saat kereta memasuki stasiun. Siulan
dan sorak-sorai membahana dari dua ribu orang yang berkumpul untuk menyaksikan
pe-ristiwa bersejarah ini, putra pertama dari komunitas mereka yang bergabung
dengan ICS. Dia dilimpahi kalungan bunga; kelopak-kelopak bunga hinggap di
pinggiran topinya. Dan di sana, berdiri dalam naungan selebar pisau di ujung
stasiun, ada orang lain yang terlihat samar-samar familier; bukan saudara
perempuan, bukan sepupu; itu adalah Nimi, istrinya, yang telah dikembalikan dari
rumah sang ayah, tempat Nimi menghabiskan jeda waktu yang ada. Kecuali
percakapan singkat dengan para induk semang dan "Apa kabar?" di toko-toko, sudah
bertahun-tahun Jemubhai tidak berbicara dengan seorang perempuan.
Nimi mendekatinya dengan seuntai karangan bunga. Mereka tidak saling
menatap saat Nimi mengangkat kalungan bunga itu di atas kepala Jemu. Mata Jemu
memandang ke atas, mata Nimi mengarah ke bawah. Jemu berusia dua puluh lima,
Nimi sembilan belas. "Wan, malu-malu, malu-malu" kerumunan orang yang bergembira sangat yakin ?telah menyaksikan ketakutan cinta. (Betapa menakjubkannya harapan yang dimiliki
para penonton selalu menolak memercayai ketiadaan asmara.) Apa yang akan dia
?lakukan pada Nimi" Dia sudah lupa bahwa dirinya memiliki seorang
istri. Yah, dia tahu, tentu saja, tetapi perempuan itu telah tersapu pergi
seperti segala sesuatu dalam masa lalunya, serangkaian fakta yang tak lagi punya
makna. Meskipun demikian, yang satu ini akan mengikutinya sebagaimana istri-
istri pada masa itu mengikuti suami-suami mereka.
* Sepanjang lima tahun terakhir ini Nimi mengenang petualangan bersepeda
mereka dan hatinya yang melayang betapa elok dirinya tentunya di mata Jemubhai
?... Pria itu telah menganggapnya menarik dan dia bersedia menghargai siapa pun
yang beranggapan demikian. Nimi menggeledah tas perlengkapan mandi yang dibawa
pulang Jemubhai dari Cambridge dan menemukan sebotol krim hijau,
satu set sikat rambut dan sisir, sebuah puff pemulas bedak terlingkar tali
sutra dalam wadah bedak bundar dan, menyerbunya dengan lembut, kepulan wangi
?lavender yang kali pertama dia hirup. Aroma ringan dan segar yang melayang dari
benda-benda baru milik Jemubhai semuanya berasal dari suatu tempat yang asing.
Piphit berbau debu dan sekali waktu ada wangi hujan yang mengejutkan. Parfum-
parfum Piphit sangat keras, tajam, dan membuat pening. Dia tak tahu banyak
tentang orang Inggris, dan sedikit hai yang dia tahu didasarkan pada potongan-
potongan pembicaraan yang sampai ke mereka di dalam pingitan tempat khusus
perempuan, seperti fakta bahwa para perempuan Inggris di klub bermain tenis
dengan hanya mengenakan pakaian dalam.
"Celana pendek!" kata seorang paman yang masih muda.
"Pakaian dalam," para wanita bersikeras.
Di antara para perempuan berpakaian dalam yang memainkan raket tenis,
bagaimana mungkin dia bisa bertahan"
Nimi mengambil puff bedak sang hakim, membuka blusnya, dan membedaki
dadanya. Dia mengaitkan kancing blusnya lagi dan puff tersebut, yang begitu
asing, begitu halus, dia masukkan ke dalam blusnya; Nimi tahu dirinya sudah
terlalu tua untuk pencurian kekanak-kanakan semacam itu, tetapi hatinya dipenuhi
kerakusan. * Sore hah di Piphit berlangsung sangat lama, keluarga Patel tengah
beristirahat, berusaha menghapuskan ketakutan bahwa waktu tak akan pernah
bergerak lagi, semua kecuali Jemubhai yang sudah tak terbiasa dengan kepasrahan
semacam itu. Dia duduk tegak, gelisah, menatap pada dinosaurus bersayap, pohon pisang
berparuh ungu dengan mata seseorang yang melihat pohon tersebut untuk kali
pertamanya. Dia adalah orang as'mg-orang asing jerit setiap bagian tubuhnya. ?Hanya pencernaannya yang tidak sependapat dan mengatakan padanya bahwa dia
berada di rumah: berjongkok kesakitan di kakus luar rumah yang sempit, sepasang
lutut lelaki terhormat itu berkeriat-keriut, menyumpah "Sialan," dia merasa
pencernaannya bekerja sesuper efisien transportasi Barat.
Saat dengan malas-malasan memutuskan untuk memeriksa barang-barangnya, dia
menemukan kehilangan itu.
"Mana puff bedakku?" teriak Jemubhai pada para wanita Patel yang terbaring
menelentang seperti elang di atas lapik di bawah naungan beranda.
"Apa?" tanya mereka, mengangkat kepala, menamengi mata mereka dari cahaya
yang membakar. "Ada yang telah menggerayangi barang-barangku."
Sebenarnya, pada saat itu, hampir semua orang di rumah itu telah
menggerayangi barang-barangnya dan mereka tak bisa memahami mengapa hai itu menjadi
masalah. Gagasan baru Jemubhai mengenai privasi tak dapat dipahami; kenapa dia
berkeberatan dan bagaimana hai ini ada hubungannya dengan mencuri"
"Tetapi apa yang hilang?"
"Puff-ku." "Apa itu?" Dia mencoba menjelaskan. "Tetapi apa sebenarnya guna benda itu, baba?" Mereka memandanginya dengan
kebingungan. "Apanya yang merah mudah dan putih" Yang kautaburkan di wajahmu" Mengapa?"
"Apa warnanya?" "Merah muda?"
Ibu Jemubhai mulai merasa khawatir. "Apakah ada yang salah dengan
kulitmu?" tanyanya, prihatin.
Namun, "Ha ha," tawa salah seorang saudara perempuan yang mendengarkan
dengan saksama, "kami mengirimmu ke luar negeri untuk menjadi seorang pria
terhormat, tetapi kau malah menjadi perempuan!"
Kegemparan menyebar, dan dari rumah-rumah klan Patel yang lebih jauh,
kerabat mulai berdatangan. Para kaka kaki masa masi phua phoi. Anak-anak kecil
yang mengerikan bila bersama-sama, segerombolan yang tak bisa dipisahkan anak
demi anak, karena mereka menyerupai sesosok monster gabungan dengan banyak
lengan dan kaki yang datang meluncur, menerbangkan debu, menjerit-jerit; ratusan
tangan yang ditutupkan pada ratusan mulut monster yang terkikik. Siapa yang telah
mencuri apa" "Powder Puff-nya hilang," kata ayah Jemubhai, yang tampaknya berpikiran
bahwa benda ini pastilah penting sekali bagi pekerjaan anaknya.
Mereka semua mengucapkan powder puff dalam bahasa Inggris, karena, tentu
saja, tak ada istilah dalam bahasa Gujarat untuk benda rekaan ini. Aksen mereka
melukai perasaan sang hakim. "Pauvdar Paaf," terdengar seperti sejenis masakan
Parsi. Mereka mengeluarkan seluruh benda di dalam lemari, menjungkirbalikkannya,
menyerukan dan memeriksa setiap barang, kemeja-kemejanya, pakaian-pakaian
dalamnya, kacamata operanya, yang telah dia gunakan untuk melihat tutu merah
muda dan putih para balerina yang menari dengan gerakan kaki menyamping cepat
dalam Giselle, mengembang dalam pola kue dan dekorasi cake.
Tetapi tidak, benda itu tidak ada di sana. Benda itu juga tidak ada di
dapur, atau di beranda. Tidak ada di mana-mana.
Ibu Jemubhai menanyai sepupu-sepupu yang paling nakal.
"Apakah kalian melihatnya?"
"Apa?""Paudar paaf."
"Apa itu paudur poff" Paudaar paaaf?"
"Untuk melindungi kulit."
"Untuk melindungi kulit dari apa?"
Dan seluruh situasi memalukan saat menjelaskannya harus dijalani lagi.
"Merah muda dan putih" Untuk apa?"
* "Kalian semua tahu apa?" kata Jemubhai. Dasar orang-orang bodoh yang suka
mencuri. Dia mengira selera mereka cukup bagus untuk merasa terkesan, bahkan
sedikit kagum melihat sosoknya yang sekarang, alih-alih mereka malah
menertawakannya. "Kau pasti tahu sesuatu," sang hakim akhirnya menuduh Nimi.
"Aku belum melihatnya. Kenapa aku harus memerhatikan benda itu?" jawab
Nimi. Hatinya berdebar di bawah dadanya yang berbedak lavender merah muda dan
putih, di bawah puff suaminya yang baru kembali dari Inggris.
Jemubhai tidak menyukai wajah istrinya, mencari-cari kebenciannya,
menemukan kecantikan, menyingkirkannya. Dulu kecantikan itu pernah menjadi
sebuah hai memikat sekaligus menakutkan yang membuat hatinya meleleh, tetapi
kecantikan itu sekarang tampak tak berarti. Seorang gadis India tak akan pernah
secantik seorang gadis Inggris.
Tepat pada saat itu, ketika hendak membalikkan badan, dia melihatnya?Menjulur keluar dari sela-sela kait baju Nimi, beberapa serabut tipis dan
lembut. "Dasar sampan!" Jemubhai berteriak dan, dari antara buah dada Nimi yang
berduka, dia menarik keluar, seperti sekuntum bunga yang menggelikan, atau sebongkah hati yang
hancur terbelah Puff bersoleknya.
? * "Patahkan ranjangnya," teriak seorang bibi tua, saat mendengar pergumulan
di dalam kamar itu, dan mereka semua mulai terkekeh serta mengangguk-angguk
puas. "Sekarang gadis itu akan tenang," kata wanita tua lain yang bersuara obat.
"Gadis itu terlalu banyak tingkah."
Di dalam kamar, yang dikosongkan secara khusus dari semua orang yang
biasanya tidur di sana, Jemubhai, wajahnya berbedak amarah, menangkap istrinya.
Nimi melepaskan diri dari cengkeraman dan amarah Jemubhai lepas landas.
Nimi yang telah mencuri. Nimi yang telah menyebabkan mereka
menertawakannya. Gadis dusun buta huruf ini. Jemubhai mencengkeram istrinya
lagi. Nimi berlari dan Jemubhai mengejarnya. Nimi berlari menuju pintu. Tetapi
pintu itu terkunci. Nimi mencoba lagi. Pintu itu tak bergerak.
Sang bibi telah menguncinya untuk berjaga-jaga. Segala kisah tentang
?mempelai yang berusaha melarikan diri kadang-kadang, bahkan
?ada cerita tentang suami yang mengendap-endap keluar. Aibaibaibaib untuk
keluarganya. Jemubhai menghampiri Nimi dengan raut pembunuhan.
Nimi berlari ke jendela. Jemubhai menghalanginya. Tanpa berpikir, Nimi memungut wadah bedak dari meja di dekat pintu dan
melemparkannya ke wajah Jemubhai, sembari merasa ngeri akan apa yang tengah dia
lakukan, tetapi ketakutan telah menyatu tanpa bisa diubah lagi dengan tindakan
itu, dan dalam sedetik selesailah sudah
?Wadah itu pecah berantakan, bedak melayang seketika lalu turun perlahan-
lahan. Terselimuti seperti setan oleh zat berwarna permen manis tersebut,
Jemubhai mengapit Nimi, merobohkannya ke lantai, dan selagi warna mawar sempurna
yang meledak menjadi sejuta butiran itu terus turun perlahan, dalam frustrasi
berahi dan amarah yang padat penis menegak, berbintik-bintik hitam keunguan
?seolah-olah ternoda amarah, mencari-cari, membuka terowongan yang pernah dia
dengar rumor mengenainya Jemubhai menyumpalkan organ tubuhnya dengan kikuk ke ?dalam tubuh Nimi.
Seorang paman yang sudah lanjut usia, lelaki berwajah keriput seperti
burung dalam balutan dhoti dan kacamata, menyaksikan melalui celah di dinding
luar, merasa berahinya sendiri mengembang dan pop membuatnya meloncat-loncat
? ?mengitari halaman.* * *
Jemubhai senang dia bisa menyembunyikan keamatirannya,
kekurangterampilannya, dengan kebencian dan amarah ini adalah trik yang sangat
?bermanfaat baginya sepanjang hidupnya dalam beragam bidang tetapi, ya, Tuhan,
?kengerian itu semua mengejutkannya: pertemuan organ-organ yang meraih, mengisap,
dalam serangan dan pengganyangan yang dahsyat;
tendangan-tendangan terluka dan penuh memar, wujud kehidupan yang
gemetaran; terowongan yang pinggirannya berambut; kekejian berotot ular yang
mendesak-desak; bau kencing dan tahi bercampur dengan bau seks; tekanan yang
kuat, semburan air asin, aliran yang tak terkontrol itu semua mengaduk perutnya
?yang beradab. Namun, dia mengulang tindakan kotor itu lagi dan lagi. Bahkan dalam
keadaan bosan, terus-menerus, sebuah kebiasaan yang tak bisa dia hindari.
Kejijikan ini serta kebandelannya sendiri membuat Jemubhai semakin marah dan
segala bentuk kekejaman terhadap Nimi menjadi tak terhindarkan. Jemubhai memberi
Nimi pelajaran tentang kesepian dan kehinaan yang sama dengan yang telah
dipelajarinya sendiri. Di depan umum, dia tak pernah berbicara atau memandang ke
arah Nimi. Nimi menjadi terbiasa dengan raut acuh tak acuh saat Jemubhai menindihnya,
tatapannya melayang ke suatu titik yang tak terlalu jauh, sepenuhnya
sibuk dengan dirinya sendiri, sorot mata hampa serupa dengan sorot mata
seekor anjing atau monyet bersetubuh di pasar; sampai mendadak Jemubhai tampak
lepas kendali dan ekspresinya lepas dari wajahnya. Sesaat kemudian, sebelum apa
pun terungkapkan, ekspresi itu kembali seperti semula dan Jemubhai undur diri
untuk menghabiskan waktu panjang yang mendetail di kamar mandi dengan sabun, air
panas, dan Dettol. Ritual pembersihan diri itu disusul dengan sedosis klinis
wiski, seolah-olah yang dikonsumsinya adalah obat pembasmi kuman.
* Sang hakim dan Nimi menghabiskan waktu dua hah berkendara dengan kereta
api serta mobil, dan ketika mereka tiba di Bonda, sang hakim menyewa sebuah
bungalo di pinggiran wilayah penduduk sipil dengan harga tiga puluh lima rupee
per bulan, tanpa air dan listrik. Dia tak mampu menyewa rumah yang lebih baik
sampai dia melunasi utang-utangnya, tetapi tetap saja, dia menyisihkan uang guna
mempekerjakan seorang asisten pribadi buat Nimi. Seorang Miss Enid Pott yang
terlihat seperti seekor buldog dengan topi di atas kepalanya. Pekerjaan
sebelumnya adalah guru privat untuk anak-anak Mr. Singh, sang komisaris, dan dia
membesarkan anak-anak asuhannya untuk memanggil ibunya dengan Mam, ayahnya
dengan Fa, memberi mereka minyak ikan cod untuk cacing
perut mereka dan mengajari mereka membawakan "Nellie Sly". Selembar foto
di dalam dompetnya menampilkan dia dengan dua gadis kecil berkulit gelap yang
mengenakan rok kelasi; kaus kaki mereka gaya, tetapi wajah mereka kuyu.
Nimi tidak kunjung menguasai bahasa Inggris, dan itu karena
kekeraskepalaannya, pikir sang hakim.
"Apa ini?" sang hakim bertanya kepada Nimi dengan marah, memegang sebuah
pir tinggi-tinggi. "Apa ini?" menunjuk pada mangkuk saus yang dibelinya di toko barang ?bekas, dijual oleh sebuah keluarga yang cap inisial namanya sungguh
menguntungkan cocok, JPP, dalam hiasan tulisan yang rumit. Sang hakim telah
membelinya diam-diam, menyembunyikannya di dalam kantung yang lain, sehingga
kepura-puraannya yang menyakitkan dan penghematannya tidak akan tercium. James
Peter Peterson atau Jemubhai Popattat Patet. Tolong, ya.
* "Apa ini?" sang hakim bertanya sembari mengangkat roti kadet. Hening.
"Jika kau tak bisa mengatakan namanya, kau tak boleh memakannya." Hening
lagi. Sang hakim menyingkirkan roti itu dari piring Nimi. Kemudian pada malam
harinya, dia merenggut Ovaltine yang sedang diteguk dengan sangsi oleh Nimi, "Dan jika kau tidak
suka, jangan meminumnya."
Dia tak bisa mengajak Nimi ke mana-mana dan gelisah ketika Mrs. Singh
mengibas-ngibaskan jari ke arahnya serta berujar, "Di mana istri Anda, Mr.
Patel" Tak ada sangkut-pautnya dengan urusan purdah, kuharap?" Saat memainkan
perannya dalam karier sang suami, Mrs. Singh mencoba untuk meniru apa yang
dianggapnya sebagai suatu keseimbangan khas wanita Inggris antara sikap ramah
yang singkat serta secara tegas menolak omong kosong, dan dengan demikian,
berhasil menghancurkan semangat begitu banyak penduduk setempat yang
membanggakan diri, terutama dalam hal omong kosong.
* Nimi tidak menemani suaminya dalam tur, tidak seperti istri-istri lain,
yang ikut pergi di atas punggung kuda atau punggung gajah atau punggung unta
atau di dalam palki yang dijunjung oleh para kuli (yang semuanya, karena pantat
para nyonya yang gemuk-gemuk itu, akan mati muda), sementara berkeretak-keretak
di belakang menyusullah belanga-belanga dan panci-panci dan botol-botol wiski
dan botol anggur port, Geiger counter dan Scintillometre, kaleng ikan tuna dan
ayam hidup yang menjadi gila karena gelisah. Tak ada yang pernah memberi tahu
ayam itu, tetapi dia tahu; hal itu ada dalam jiwanya, penantian akan
kapak. Nimi ditinggalkan sendirian di Bonda; tiga dari empat minggu, dia
menyusuri rumah itu, menyusuri taman. Dia telah menghabiskan waktu sembilan
belas tahun di dalam kurungan halaman tertutup sang ayah dan dia masih juga tak


Senja Di Himalaya The Inheritance Of Lose Karya Kiran Desai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mampu mempertimbangkan gagasan berjalan melewati pintu gerbang. Bagaimana
gerbang itu berdiri untuk dipergunakan keluar masuk pemandangan itu memenuhi
?diri Nimi dengan rasa kesepian. Dirinya tak terawat, kebebasannya tak berguna,
suaminya mengabaikan kewajibannya.
Dia menaiki tangga menuju atap datar dalam kesopanan petang hah musim
panas yang lambat, dan menyaksikan Sungai Yamuna mengalir melewati sebuah
pemandangan yang terselubung debu dengan lembut. Sapi-sapi tengah dalam
perjalanan pulang; lonceng-lonceng berdentang di kuil; Nimi bisa melihat burung-
burung mencobai pohon demi pohon sebagai tempat bertengger malam itu, sembari
mengeluarkan suara yang terlalu bersemangat seperti perempuan-perempuan di toko
sari. Di seberang sungai, di kejauhan, dia bisa melihat reruntuhan sebuah pondok
berburu yang berasal dari masa kaisar Mughal, Jehangir: hanya segelintir tiang
lengkung pucat yang masih menyangga ukiran bunga iris. Para Mughal turun dari
pegunungan untuk menyerbu India tetapi, meskipun berbakat dalam berperang, cukup
lembut hati untuk menangisi gugurnya bunga ini tekena panas; mimpi yang tak
kunjung hilang akan bunga
iris tersebut diukir di mana-mana, oleh para pemahat yang merasakan
nostalgia itu, yang melihat keindahan apa yang mereka pahatkan tetapi tak pernah
mereka ketahui. Melihat pemandangan ini, melihat sejarah berlalu dan berjalan terus,
menyentuh hati Nimi dengan cara yang muram. Dia benar-benar telah terlempar
keluar dari kehidupan. Minggu demi minggu berlalu dan dia tak pernah bicara pada
siapa-siapa, para pelayan melemparkan makanan sisanya ke atas meja untuk dimakan
Nimi, mencuri perbekalan tanpa rasa takut, membiarkan rumah menjadi kotor tanpa
rasa bersalah sampai sehari sebelum kedatangah Jemubhai ketika tiba-tiba rumah
itu berkilauan kembali, jam disetel menurut jadwal, air direbus hingga mendidih
dalam waktu dua puluh menit, buah-buahan direndam selama jumlah menit yang
ditentukan dalam larutan potassium permanganate. Akhirnya, mobil bekas Jemubhai
yang baru yang lebih terlihat seperti seekor sapi gempal yang ramah ketimbang ?sebuah mobil akan datang berserdawa melalui pintu gerbang.
?Jemubhai cepat-cepat memasuki rumah, dan ketika dia mendapati istrinya
dengan kurang ajar menyelisihi ambisinya
?Yah, kemarahannya terlalu besar untuk ditanggung.
Bahkan, ekspresi Nimi menjengkelkan Jemubhai, tetapi ketika ekspresi itu
sedikit demi sedikit digantikan oleh kehampaan, Jemubhai menjadi jengkel oleh
ketiadaan eskpresi tersebut.
Apa yang akan dilakukannya dengan Nimi" Nimi yang tak bisa apa-apa, tak
bisa menghibur diri sendiri, tak berguna, tetapi dengan kehadiran yang
mengganggu. Dia sudah ditinggalkan oleh Miss Enid Pott yang mengatakan, "Nimi
tampaknya sudah membulatkan tekad untuk tidak belajar. Anda memiliki swaraji di
bawah hidung Anda, Mr. Patel. Nimi tak mau berdebat dengan demikian, orang bisa
?menanggapi dan melakukan dialog dia sekadar menjadi lunglai."
?Lalu ada pula pantat Nimi yang khas India itu malas, berukuran selebar
?kerbau. Ketajaman bau minyak rambut merahnya yang dirasakan Jemubhai seperti
sentuhan fisik. "Copot perhiasan murahan yang menggelikan itu," Jemubhai memerintah Nimi,
jengkel oleh bunyi kerincing gelang di kaki dan tangan Nimi.
"Kenapa kau harus berpakaian secara mencolok seperti itu" Kuning dan merah
muda" Apa kau sinting?" Jemubhai melempar botol minyak rambut Nimi dan rambut
panjang Nimi selalu terlepas tak peduli betapapun rapi Nimi menggelungnya. Sang
hakim mendapati helai-helai rambut itu melayang memasuki ruangan, menapaki
udara; Jemubhai menemukan sehelai rambut mencekik sebutir jamur di dalam sup
jamurnya. Suatu hah dia menemukan jejak kaki di atas dudukan toilet-Mm/ berjongkok
di atasnya, Nimi berjongkok di atasnya! Jemubhai nyaris tak bisa menahan
?kemurkaannya, mencengkeram kepala Nimi dan mendorongnya ke dalam lubang toilet,
lalu setelah beberapa saat, Nimi, yang terlumpuhkan oleh deritanya, menjadi
sangat tak bertenaga, mulai tertidur di dalam sinar matahari heliografik dan
terjaga pada tengah malam. Nimi berusaha keras menatap dunia tetapi tak bisa
memusatkan pandangan pada dunia, tak pernah bercermin, karena dia tak mampu
melihat dirinya sendiri di dalamnya, dan tak mungkin dia bisa menghabiskan waktu
untuk berpakaian serta menyisir rambut, aktivitas-aktivitas yang hanya
diperuntukkan bagi orang-orang yang bahagia dan dicintai.
Ketika Jemubhai melihat Nimi, pipi meledak dalam jerawat bernanah, dia
menganggap runtuhnya kecantikan Nimi sebagai penghinaan lebih lanjut dan merasa
khawatir penyakit kulit juga akan menyerang dirinya. Jemubhai menginstruksikan
kepada para pelayan untuk mengelap segala sesuatu dengan Dettol guna membunuh
kuman. Dia membedaki dirinya sendiri ekstra hati-hati dengan puff barunya,
setiap kali dengan mengingat puff yang telah diletakkan di antara payudara
istrinya yang cabul dan bermoncong badut.
"Jangan tunjukkan wajahmu di luar," katanya kepada Nimi. "Orang-orang bisa
lari berteriak menjauhimu." Di akhir tahun, kengerian yang mereka rasakan pada
satu sama lain begitu hebat sehingga mereka seolah-olah ditarik ke dalam
kepahitan tanpa batas yang membawa mereka melampaui batas-batas apa yang bisa
dirasakan oleh semua manusia normal. Mereka lebih dikuasai oleh emosi ini
ketimbang oleh diri mereka sendiri, mengalami
amarah dengan kekuatan yang cukup besar untuk menyatukan seluruh bangsa
dalam kebencian.[] DUA PULUH SEMBILAN "Natal!" kata Gyan. "Dasar bodoh!"
Saat pergi, dia bisa mendengar Sai mulai teri-sak. "Dasar bajingan kotor,"
Sai berteriak di sela-sela tangisannya, "kembali ke sini. Bersikap sedemi-kian
buruk, kemudian melarikan diri?"
Rupa kerusakan yang mereka buat itu menggu-sarkan dan amarah Gyan mulai
menakutkan dirinya sendiri saat dia melihat wajah Sai di sela-sela jeruji emosi
yang mampu mengubah bentuk. Gyan me-nyadari Sai tak mungkin merupakan penyebab
dari apa yang dia rasakan, tetapi saat pergi, dia membanting pintu gerbang
hingga tertutup. Natal tak pernah mengganggu Gyan sebelum-nya?Namun, Sai menegaskan kebenciannya. Melalui Sai, Gyan melihat kebencian
itu oh kemudian Gyan tak bisa mengelak untuk menajamkan kebencian itu,
? ?kalaupun hanya demi sebuah kejelasan.
Apa kau tidak punya harga diri" Mencoba menjadi begitu Barat. Mereka tidak
menginginkanmu!!!! Pergilah ke sana dan lihat apakah mereka menyam-butmu dengan
tangan terbuka. Kau akan mencoba membersihkan toilet mereka, bahkan pada saat
itu pun mereka tak menginginkanmu.
* Gyan kembali ke Cho Oyu. "Dengar," katanya, "aku minta maaf." Butuh bujukan beberapa saat.
"Bersikap sedemikian buruk!" kata Sai. "Maaf."
Namun, pada akhirnya Sai menerima permintaan maaf Gyan karena dia merasa
lega bisa berpaling dari kesadaran bahwa, bagi Gyan, Sai bukanlah pu-sat
percintaan mereka. Sai salah dia hanyalah pu-sat bagi dirinya sendiri, seperti
?selama ini, dan seorang pemain kecil yang menjalankan perannya dalam cerita
orang lain. Sai berpaling dari pikiran ini dan menyambut ciuman-ciuman Gyan.
"Aku tak bisa menolakmu, itulah masalahnya ..." kata Gyan.
Sai, sang penggoda, tertawa.
Namun, sifat manusia seperti itu adanya. Ciuman-ciuman tersebut terlalu
lemah. Beberapa menit kemudian, permintaan maaf itu berubah dari tulus menjadi
tidak tulus, dan Gyan marah pada dirinya sendiri karena telah menyerah.
* Gyan pergi ke kantin, senja menampilkan Kali yang marah saat dia berjalan,
dan sekali lagi dia me-rasakan gelora kemurnian. Dia harus mengorbankan ciuman-
ciuman konyol demi kedewasaannya. Suatu
perasaan kesyahidan merayapi dirinya, dan bersama kemurnian untuk sebuah
prinsip bermunculanlah kekhawatiran akut akan pencemaran. Dia ternodai oleh
asmaranya, dilemahkan oleh betapa mudahnya Sai menyerahkan diri. Bukan seperti
itu seharusnya cara berperilaku. Itu menjijikkan.
Dia teringat bagian tengah roda kehidupan Buddhis yang dijepit dengan
taring dan cakar setan untuk menunjukkan cobaan yang memerangkap kita: ayam
jantan-ular-babi; berahi-angkaramurka-kedunguan; masing-masing mengejar,
memakan, dan dimakan oleh yang lain.
* Sai di Cho Oyu juga tengah duduk merenungkan hasrat, amarah, dan
kebodohan. Dia mencoba menekan kemarahannya, tetapi kemarahan itu terus saja
meluap-luap; dia mencoba mendamaikan pera-saan-perasaannya sendiri, tetapi
perasaan-pera-saan itu tak mau melunak.
Apa salahnya membuat alasan untuk berpesta" Lagi pula, orang lantas bisa
meneruskan argumen itu secara logis dan memaparkan penjelasan yang menyalahkan
tindakan berbicara dalam bahasa Inggris juga, atau menyantap kue pastel di Hasty
Tasty segala persoalan yang Gyan sendiri akan sulit membela diri. Sai ?menghabiskan waktu beberapa lama menyusun pemikiran yang menyanggah pendapat
Gyan untuk menunjukkan segala celahnya.
"Dasar bajingan," kata Sai pada kehampaan.
"Harga diriku bernilai seribu orang seperti kau."
"Ke mana orang itu pergi begitu cepat?" tanya si juru masak kemudian pada
malam itu. "Siapa yang tahu?" jawab Sai. "Tetapi kau be-nar soal ikan dan orang
Nepal. Dia itu tidak terlalu pintar. Semakin lama kami belajar bersama, semakin
sedikit tampaknya yang dia tahu, dan kenyataan bahwa dia tidak tahu dan aku tahu
bahwa dia tidak tahu itu membuatnya marah."
?"Ya," kata si juru masak dengan penuh simpati karena dia sendiri telah
memperkirakan kebodohan pemuda itu.
* Di Kantin Thapa's, Gyan menceritakan pada Uloo dan Gadha, Burung Hantu dan
Keledai, tentang bagaimana dia terpaksa memberi les untuk mencari uang. Betapa
senang dirinya jika bisa mendapatkan pekerjaan yang layak dan meninggalkan
sepasang orang rewel itu, Sai dan kakeknya dengan aksen Inggris yang dibuat-buat
dan wajah berbedak merah muda dan putih di sekujur kulit cokelat tua. Semua
orang di kantin itu tertawa saat dia menirukan aksen sang hakim, "Siapa penyair
yang banyak dibaca akhir-akhir ini, anak muda?" Dan disemangati oleh "Ha ha"
mereka, dengan lidah gatal serta lentur gara-gara alkohol, Gyan melom-pat dengan
mulus pada deskripsi rumah itu, senjata di atas dinding, dan selembar ijazah
dari Cambridge yang bahkan tak mereka tahu apa itu untuk bisa
merasa malu karenanya * Kenapa dia tidak boleh mengkhianati Sai"
Sai yang tak bisa berbicara selain dalam ba-hasa Inggris dan bahasa Hindi
pasaran, Sai yang tak bisa bercakap-cakap dengan siapa pun di luar strata
sosialnya yang sempit. Sai yang tak bisa makan dengan tangan; tak bisa berjongkok di atas tanah
dengan paha menem-pel betis untuk menunggu bus; yang tak pernah pergi ke kuil
kecuali karena minat arsitektural; tak pernah mengunyah paan dan belum pernah
men-cicipi sebagian besar manisan di mithaishop, karena semua makanan itu
membuatnya muntah; Sai yang meninggalkan sebuah film Bollywood dengan keha-bisan
tenaga karena terkuras emosinya sehingga dia berjalan pulang seperti orang sakit
dan terbaring hancur berantakan di sofa; Sai yang menganggap memakai minyak di
rambut itu norak dan menggu-nakan tisu untuk membersihkan pantatnya; yang merasa
lebih senang dengan sayuran yang mereka sebut sebagai sayur-mayur Inggris,
kacang polong, kacang buncis, bawang salad, dan takut-takut terhadap loki, ?tinda, kathal, kaddu, patrel, dan saag produk setempat di pasar.
Saat makan bersama mereka selalu merasa malu Gyan, merasa gugup oleh
?kerewelan Sai dan kenikmatan makan yang ditahan-tahan Sai, se-dangkan Sai,
merasa jijik melihat semangat Gyan
dan jemari Gyan yang meremas-remas daf, seru-putan dan kecapannya. Sang
hakim bahkan memakan chapati, puri, dan paratha-nya, dengan pisau dan garpu. Dia
juga bersikeras agar Sai, saat bersamanya, melakukan hal yang sama.
* Tetap saja, Gyan sangat yakin Sai merasa bangga akan perilakunya; Sai
menyamarkan kebanggaan itu sebagai rasa malu atas kekurangindiaan dirinya,
barangkali, tetapi itu menegaskan statusnya. Oh, ya. Itu memberikan kepada Sai
keuntungan yang tak pada tempatnya, pancingan berupa perendahan diri, kritik
diri dan mendapatkan hal sebaliknya yang terjad-kau tidak jatun, kau meningkat
secara gaib. Maka, dalam kegairahan momen tersebut, Gyan bercerita. Tentang senjata dan
dapur yang penuh perbekalan itu, minuman keras di dalam lemari, ke-tiadaan
telepon dan ketiadaan orang untuk dimintai pertolongan.
Namun keesokan paginya, ketika dia bangun, dia kembali dihinggapi rasa
bersalah. Dia teringat saat terbaring berpelukan di dalam taman tahun lalu, di
atas rumput kasar di bawah pepohonan tinggi yang mengukir langit, bintang-
bintang laksa-na laba-laba berkilauan di sela-sela tumbuhan paku yang purba.
Tetapi sungguh cair cinta itu. Dia tidak tegas, Gyan menyadari, dia bukan
kitab suci; cinta adalah kegoyahan yang cocok dengan pengkhianatan,
berubah bentuk sesuai dengan apa pun cetakan tempat cinta dituangkan. Dan
faktanya, sulit me-nahan diri untuk tidak menuangkannya ke pelbagai wadah. Cinta
bisa dimanfaatkan untuk beraneka ragam tujuan ... Gyan berharap andai cinta adalah
sebuah batasan. Cinta sungguh-sungguh mulai membuatnya takut.[]
TIGA PULUH Dengan mengkhawatirkan masalah yang semakin berkembang di pasar dan
gangguan persediaan gara-gara pemogokan, juru masak memasukkan daging kerbau
yang semakin sulit dibeli ke dalam makanan rebus Mutt. Dia membuka potongan
daging pinggang tersebut dari bungkus kertas koran yang basah oleh darah, dan
tiba-tiba dilanda pikiran bahwa dirinya tengah memegang dua kilo bagian tubuh
anaknya, dalam keadaan mati seperti itu.
Bertahun-tahun lalu, ketika istri si juru masak meninggal karena jatuh
dari pohon saat mengum-pulkan dedaunan untuk kambing mereka, semua orang di
desanya mengatakan bahwa hantu perem-puan itu mengancam membawa Biju bersamanya,
karena dia telah meninggal dengan sedemikian menyakitkan. Para pendeta
menyatakan bahwa arwah yang meninggal dengan cara seperti itu akan terus marah.
Istrinya adalah orang yang lembut bahkan si juru masak hanya punya sedikit ?kenangan tentang istrinya sedang berbicara tetapi mereka bersikeras bahwa itu
?benar, bahwa Biju telah melihat ibunya, sesosok hantu tembus pandang pada malam
hah, berusaha mencakarnya. Keluarga besarnya berjalan jauh ke kantor pos di kota
terdekat untuk mengirim serentetan telegram ke
alamat sang hakim. Telegram pada masa itu tiba via pesuruh pos yang
berlari sambil menggoyangkan lembing dari desa ke desa. "Atas nama Ratu
Victoria, izinkan saya lewat," dendangnya dengan suara melengking, meskipun dia
tidak tahu serta tidak peduli bahwa Ratu Victoria sudah lama tiada.
"Pendeta mengatakan bahwa balli harus dila-kukan pada saat amava, malam
tak berbulan yang paling gelap dalam sebulan. Kau harus mengur-bankan seekor
ayam." Sang hakim menolak mengizinkan si juru masak pergi. "Takhayul. Dasar
bodoh! Kenapa di sini tidak ada hantu" Tidakkah seharusnya mereka ada di sini
seperti di desamu?" "Karena di sini ada listrik," jawab si juru masak. "Hantu takut listrik
dan di desa kami tidak ada listrik, itulah alasannya
"Apa gunanya hidupmu selama ini?" kata sang hakim, "Kau tinggal bersamaku,
pergi ke dokter sungguhan, kau bahkan belajar membaca dan me-nulis sedikit,
kadang-kadang kau membaca koran, dan semua itu tak ada gunanya! Tetap saja para
pendeta membodohimu, merampok uangmu."
Semua pelayan yang lain membentuk paduan suara yang menasihati si juru
masak untuk me-ngabaikan pendapat majikan mereka dan memilih menyelamatkan
anaknya karena sudah pasti hantu itu ada, "Hota hai hota hai, kau harus melaku-
kannya." Si juru masak menemui sang hakim dengan ce-rita karangan tentang atap
gubuk di desanya yang melayang lagi dalam badai terakhir. Sang hakim me-nyerah dan sang juru
masak pun pergi ke desanya.
Dia menjadi khawatir sekarang, bertahun-tahun kemudian, bahwa persembahan
kurban itu tak manjur, bahwa efeknya dibatalkan oleh kebohongan yang
disampaikannya kepada sang hakim, bahwa arwah istrinya belum benar-benar tenang,
bahwa persembahan kurban itu tak dicatat dengan baik, atau kurang besar. Dia
telah mengurbankan seekor kambing dan seekor ayam, tetapi bagaimana jika sang
arwah masih menghendaki Biju"
* Si juru masak kali pertama berupaya mengirim anak lelakinya ke luar negeri
empat tahun lalu ketika seorang agen perekrutan tenaga kerja di bidang kapal
pesiar muncul di Kalimpong guna mengum-pulkan lamaran untuk pramusaji, pengiris
sayuran, pembersih toilet staf kasar paling rendah, yang semuanya akan tampil ?di gala dinner terakhir dengan mengenakan kemeja dan dasi kupu-kupu, meluncur di
atas es, berdiri di atas bahu satu sama lain, dengan nanas di kepala mereka,
serta menuang dan menyalakan alkohol pada kue crepe.
"Akan memperoleh status pekerja legal di Ame-rika Serikat!!!!" kata iklan


Senja Di Himalaya The Inheritance Of Lose Karya Kiran Desai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang muncul di surat kabar setempat dan ditempelkan pada tembok di berbagai
lokasi seputar kota. Orang itu mendirikan kantor temporer dalam ka-marnya di Sinclair's Hotel.
Antrean yang terbentuk di luar mengitari hotel dan kembali lagi ke depan,
di titik itu kepala antrean bercampur dengan buntut antrean dan terjadilah
kecurangan-kecurangan. Senang karena bisa masuk lebih cepat ketim-bang perkiraannya adalah Biju,
yang dipanggil dari rumah mereka di Kalimpong untuk wawancara ini, meskipun sang
hakim berkeberatan. Kenapa Biju tak bisa berencana bekerja untuk dia ketika si
juru masak pensiun" Biju membawa beberapa rekomendasi palsu si juru masak untuk wawancara itu
guna membuktikan dia berasal dari keluarga yang jujur, dan sebuah surat dari
Bapa Booty yang mengatakan bahwa Biju memiliki karakter moral yang teguh dan
sebuah lagi dari Paman Potty yang mengatakan bahwa Biju membuat restoran
panggangan terbaik menjadi tidak ada apa-apanya, meskipun Paman Potty be-lum
pernah memakan apa pun yang dimasak oleh pemuda ini yang juga tidak pernah makan
apa pun yang dia masak sendiri karena dia memang tak pernah memasak. Neneknya
memberi makan dan memanjakannya seumur hidup, meskipun mereka adalah salah satu
keluarga paling miskin di desa yang miskin.
Bagaimanapun wawancara itu berhasil.
?"Saya bisa membuat segala jenis puding. Eropa maupun India.
"Wan itu bagus sekali. Kami menghidangkan prasmanan berisi tujuh belas
makanan manis setiap malam."
Dalam momen yang indah, Biju diterima dan dia membubuhkan tanda tangan
pada bagian bertitik-titik di formulir yang diberikan.
Si juru masak sangat bangga, "Itu karena segala puding yang kuberitahukan
pada anak itu ... Mereka menyelenggarakan prasmanan besar di kapal setiap malam,
kapal itu seperti hotel, kalian tahu, dijalankan persis seperti kelab-kelab pada
masa lalu. Si pewawancara menanyakan padanya apa yang bisa dia buat dan dia
menjawab, 'saya bisa membuat ini dan itu, apa pun yang Anda minta. Baked Alaska,
floating island, brandy snap.'"
"Apa kau yakin dia terlihat legal?" tanya satpam MetalBox.
"Benar-benar legal," jawab si juru masak, mem-bela orang yang telah begitu
menghargai anaknya. Mereka kembali ke hotel malam berikutnya dengan formulir kesehatan yang
telah diisi dan wesel senilai delapan ribu rupee untuk membayar biaya
administrasi serta pelatihan yang akan dilangsung-kan di Kathmandu karena masuk
akal bagi mereka semua untuk membayar guna mendapatkan peker-jaan. Si perekrut
membuat tanda terima untuk surat wesel itu, memeriksa formulir kesehatan yang
diisi dengan gratis oleh dokter pasar, yang telah cukup berbaik hati menunjukkan
tekanan darah Biju lebih rendah daripada sebenarnya, berat badannya lebih besar,
dan dia mengisi kolom imunisasi dengan tanggal-tanggal yang merupakan waktu yang
tepat untuk mendapatkan imunisasi andai Biju pernah mendapatkannya.
"Harus terlihat sempurna atau orang-orang ke-dutaan akan mempersulit dan
kalau sudah begitu, apa yang bisa kita lakukan?" Si dokter tahu ini karena dia
mengirim anaknya sendiri dalam perja-lanan ini beberapa tahun lampau. Sebagai
balasan atas pertolongan ini, Biju berjanji membawakan sebungkus keju churbi
kering ke AS dan mengirim-kannya ke anak lelaki sang dokter di sekolah
kedokteran di Ohio karena pemuda itu pernah sekolah asrama di Darjeeling dan
mengembangkan kebiasaan mengunyah keju tersebut saat belajar.
Dua minggu kemudian, Biju pergi ke Kathmandu dengan bus untuk pelatihan
selama seminggu di kantor pusat agen perekrutan tersebut.
Kathmandu adalah kota kayu ukir penuh kuil dan istana, yang terperangkap
dalam kekusutan meng-hancurkan dari beton modern yang membentang hingga tertelan
debu dan memanjat ke angkasa.
Dengan sia-sia Biju mencari-cari pegunungan; Puncak Everest di mana dia" ?Biju menyusuri jalan-jalan utama yang datar menuju sekumpulan gang Abad
Pertengahan yang penuh suara dari masa silam, sebuah jalan penuh pekerja logam,
sebuah jalan penuh perajin tembikar mencampur tanah liat, jerami, pasir, dengan
kaki telanjang mereka; tikus-tikus di sebuah kuil Ganesha memakan manisan. Pada
satu titik sebuah daun jendela reyot yang tergores bintang terbuka dan seraut
wajah dari cerita dongeng memandang keluar, murni di tengah kotoran itu, tetapi
ketika Biju menengok gadis muda itu telah hilang; seorang wanita tua keriput
meng- gantikan tempatnya untuk berbincang dengan wanita tua lain yang sedang
dalam perjalanan dengan membawa baki sesaji untuk puja; dan setelah itu Biju
kembali berada di antara blok-blok beton, skuter, dan bus. Sebuah billboard
dilukisi iklan pa-kaian dalam yang menampilkan sebuah saku pakaian dalam raksasa
yang menonjol; melintang pada tonjolan itu sebuah tanda silang berwarna hitam.
"Dilarang mencopet." Demikian peringatnya. Beberapa orang asing yang tertawa
memotret diri di depan billboard itu. Di sebuah jalan sempit, di dekat situ, di
balik sebuah bioskop, terdapat kedai tukang daging berukuran kecil, dengan
deretan kaki ayam kuning yang menjadi hiasan pinggir di atas pintu. Seorang pria
berdiri di luar, tangannya meneteskan sari daging di atas sebaskom air yang
dihiasi warna karat darah, dan nomor yang tertera di samping pintu itu cocok
dengan alamat yang dimiliki Biju di sakunya: blok A 223, lantai bawah, di
belakang gedung bioskop Pun.
"Satu lagi!" pria di depan berteriak ke ruang belakang. Beberapa pria lain
tengah bergulat dengan seekor kambing yang melawan yang telah melihat hati
sesama ternak tergeletak terbuang di atas lantai.
"Kau ditipu," tawa si tukang daging. "Sudah banyak orang yang meminta
diberangkatkan ke AS"
Para pria tersebut mengikat kambing itu dan keluar sambil menyeringai,
semuanya mengenakan rompi penuh darah. "Ah, idiot. Siapa yang mem-berikan uang
begitu saja seperti itu" Dari mana
asalmu" Kau kira dunia ini terdiri dari siapa" Para penjahat! Para
penjahat! Sana ajukan laporan ke kantor polisi. Bukan berarti mereka akan
melakukan sesuatu Sebelum si tukang jagal menggorok leher si kambing, Biju bisa mendengarnya
memuntahkan rasa jijiknya, memekikkan "Dasar ja/ang, pelacur, binai, saii," pada
kambing itu, kemudian menyeret-nya maju, dan membunuhnya.
Orang harus menyumpahi sesosok makhluk agar bisa menghancurkannya.
Saat Biju berdiri linglung di luar, memikirkan apa yang harus dilakukan,
mereka menguliti kambing itu, menggantungnya dalam keadaan terbalik untuk
mengalirkan darahnya. * Upaya keduanya ke Amerika berupa lamaran biasa dan terus terang untuk
mendapatkan visa wisata-wan.
Seorang lelaki dari desanya telah mencoba se-banyak lima belas kali dan
baru-baru ini, pada percobaan keenam belas, dia mendapatkan visa tersebut.
"Jangan pernah menyerah," lelaki itu menasihati para pemuda di desanya,
"pada saatnya, hah ke-beruntunganmu akan tiba."
"Apakah ini Amriken embassy?" Biju bertanya pada seorang satpam yang
berada di depan bagian luar gedung yang mengesankan.
"Amreeka nehi, bephkuph. Ini US embassy!" Biju meneruskan jalannya, "Di
mana Amriken embassy?"
"Di sana." Orang itu menunjuk pada gedung yang sama. "Itu US."
"Sama saja," kata satpam itu dengan tidak sa-bar. "Lebih baik kuluruskan
sebelum kau naik pesawat, bhai."
Di luar, segerombolan manusia kumuh tampak-nya telah berkemah selama
berhari-hari tanpa jeda. Keluarga-keluarga komplet yang telah menempuh
perjalanan dari desa-desa nun jauh, menyantap makanan yang mereka bungkus dan
bawa serta; beberapa orang tak bersepatu, beberapa lagi dengan sepatu plastik
yang berlubang; semua sudah berbau keringat purba dari sebuah perjalanan tanpa
akhir. Begitu orang masuk ke dalam, rua-ngannya berpenyejuk udara dan orang bisa
me-nunggu di deret-deret kursi kecil bersandaran bulat warna oranye yang
bergetar jika ada orang di deretan yang sama mulai menggoyangkan lututnya naik-
turun. * Nama depan: Balwinder Nama keluarga: Singh Nama lain: Nama apa, ya"?Nama kesayangan, kata seseorang, dan de-
ngan taat mereka menulis, "Guddu. Dumpy, Pumpy, Cherry, Ruby, Pinky,
Chicky, Micky, Vicky, Dicky, Sunny, Bunny, Honey, Lucky
Setelah berpikir sebentar, Biju menulis "Baba".
"Demand draft?" kata para penjaja yang me-lintas dengan mengendarai bajaj.
"Foto paspor chahiye" Foto paspor" Campa Cola chahiye, Campa Cola?"
Kadang-kadang setiap lembar dokumen yang dibawa para pelamar adalah palsu:
akta kelahiran, catatan vaksinasi dari dokter, tawaran dukungan keuangan. Ada
tempat bagus yang bisa didatangi, ratusan juru tulis duduk bersila di depan
mesin ketik, siap membantu dengan stempel dan bahasa hukum yang benar untuk
setiap persyaratan yang mungkin diajukan
"Bagaimana kita bisa mencari uang sebanyak itu?" Seseorang dalam antrean
khawatir dia akan ditolak gara-gara kecilnya rekening bank yang dia miliki.
"Uuuf, kau tidak bisa menunjukkan rekening sekecil ini," tawa seseorang
yang lain, mengintip dari atas bahunya dengan sorot menilai yang terang-
terangan. "Apa kau tidak tahu bagaimana cara melakukannya?"
"Bagaimana?" "Seluruh keluargaku," jelas orang itu, "semua paman dari segala tempat,
Dubai-Selandia Baru-Singapura, mengirim uang ke rekening sepupuku di Tulsa, bank
mencetak lembar rekening itu, sepupuku mengirim sepucuk surat dukungan yang
sudah disahkan notaris, kemudian dia mengirim uang itu kembali ke tempat
asalnya. Bagaimana lagi kau bisa mendapatkan uang yang cukup untuk memuaskan
mereka!" Pengumuman terdengar dari pengeras suara yang tak terlihat, "Seluruh
pelamar visa harap me-ngantre di depan loket nomor tujuh untuk mengam-bil nomor
pemrosesan visa." "Apa apa, apa katanya?" Biju, yang seperti separuh penghuni ruangan itu,
tidak memahami isi pengumuman tersebut, tetapi dia melihat apa yang harus mereka
lakukan dari orang-orang yang pa-ham, yang berlari, senang mendapatkan tempat
pertama. Bau busuk, ludah, teriakan, dan tuntutan; mereka melompat ke arah
loket, mencoba menem-pelkan diri ke loket dengan cukup kuat sehingga dapat
melekat di sana dan tidak terlepas; para lelaki muda memotong antrean,
menyingkirkan nenek-nenek ompong, menginjak bayi di bawah kakinya. Di sini bukan
tempat bagi sopan santun dan beginilah antrean itu terbentuk: pria-pria lajang
berwajah serigala di tempat pertama, pria-pria yang membawa keluarga di tempat
kedua, perempuan-perempuan yang sendirian serta Biju, dan terakhir, orang-orang
jompo. Pendorong bertubuh paling besar, berada di tempat pertama; betapa puas
dia dan penuh senyum; dia membersihkan dirinya dari debu, menampilkan diri
dengan sikap halus seekor kucing. Saya sopan, Pak, siap pergi ke AS, saya sopan,
Bu. Biju memerhatikan bahwa mata orang itu, yang begitu hidup saat mengarah pada
orang- orang asing, menoleh pada rekan senegaranya, tiba-tiba berubah hampa, lalu
mati. Sebagian orang itu akan terpilih, sebagian di-tolak, dan tak ada
pertanyaan mengenai adil atau tidaknya. Apa yang memunculkan keputusan itu"
Kehendak hati; bisa karena ketidaksukaan pada wajah seseorang, gara-gara suhu di
luar empat puluh lima derajat celcius, dan ketidaksabaran menghadapi semua orang
India; atau barangkali se-mata-mata fakta bahwa dalam antrean kita berada
setelah seorang yang mendapat iya, jadi kemung-kinan besar kita mendapat tidak.
Biju gemetar me-mikirkan apa yang mungkin membuat orang-orang ini tidak suka.
Namun, besar kemungkinannya mereka mengawali dengan ramah dan santai, kemudian,
dihadapkan pada semua orang bodoh dan menjeng-kelkan ini, dengan dusta dan
kisah-kisah sinting mereka, serta hasrat mereka untuk tetap tinggal yang nyaris
tak tersembunyikan di balik janji berapi-api untuk kembali, mereka akan
merespons dengan tembakan senapan mesin tanpa pandang bulu: TIDAK! TIDAK! TIDAK!
TIDAK! TIDAK! Di lain pihak, terlintas di benak orang-orang yang sekarang berdiri di
depan, bahwa pada awal-nya, saat masih segar dan siap siaga, para petugas
mungkin akan lebih cenderung memeriksa dokumen-dokumen mereka dengan lebih
teliti dan menemukan celah-celah dalam argumen mereka ... Atau dengan jahat para
petugas memulai hah dengan penolakan, seolah-olah untuk latihan.
Tak ada cara untuk menerka pikiran dan hati
orang-orang Amerika yang hebat ini, dan Biju me-mandangi loket-loket
tersebut dengan cermat, berusaha menemukan pola yang bisa dia pelajari. Sebagian
petugas tampak lebih ramah ketimbang yang lain, sebagian tampak memadang hina,
sebagian teliti, sebagian lagi jelas-jelas bencana karena mereka mengusir semua
orang dengan tangan hampa.
Biju harus menghampiri takdirnya tak lama lagi. Dia berdiri di sana
memerintah diri sendiri, Tun-jukkan kesan tak gentar seolah-olah tak ada yang
harus kausembunyikan. Jelas dan tegaslah ketika menjawab pertanyaan serta
pandanglah langsung ke dalam mata petugas untuk menunjukkan bahwa kau jujur.
Tetapi ketika kau sudah di ambang histeria, penuh rasa gugup dan keinginan
melukai yang ditahan, kau hanya bisa terlihat jujur dan tenang dengan bersikap
tidak jujur. Jadi, entah jujur atau tidak, dengan tak jujur menampilkan kesan
jujur, dia harus berdiri di hadapan kaca antipeluru, sembari masih melatih
jawaban atas pertanyaan yang dia tahu akan datang, perta-nyaan-pertanyaan yang
untuknya dia harus memiliki jawaban yang dikarang secara sempurna.
"Berapa banyak uang yang Anda miliki?"
"Bisakah Anda membuktikan pada kami bahwa Anda tidak akan terus tinggal?"
Biju menyaksikan saat kata-kata diajukan pada orang lain dengan
keterusterangan sempurna, dengan mata tegas dan tak sungkan-sungkan jang-gal ?tatkala digunakan untuk mengajukan pertanya-
an-pertanyaan sekasar itu. Berdiri di sana, mera-sakan besarnya ukuran
kebencian yang mengarah padanya, dia harus menjawab dengan cara yang cerdas
sekaligus rendah hati. Jika dia melantur, berusaha terlalu keras, tampak terlalu
congkak, kebingungan, jika mereka tidak mendapatkan yang mereka inginkan dengan
cepat dan mudah, dia tak akan diterima. Di ruangan ini merupakan fakta yang
diterima oleh semua bahwa orang-orang India bersedia menjalani segala jenis
penghinaan agar bisa masuk Amerika Serikat. Kau bisa menumpuk sampah di atas
kepala mereka dan mereka tetap akan mengemis untuk datang dengan merangkak ....
* "Dan apa tujuan kunjungan Anda?"
"Apa yang harus kita katakan, apa yang harus kita katakan?" mereka
berdiskusi di dalam antrean. "Kita katakan saja seorang hubshi mendobrak masuk
ke dalam toko dan membunuh saudari ipar kita dan sekarang kita harus pergi ke
pemakamannya." "Jangan katakan itu." Seorang mahasiswa teknik yang sudah kuliah di
Universitas North Carolina, berada di sini untuk memperbarui visanya, tahu bahwa
alasan itu tak akan terdengar benar.
Namun, dia diteriaki agar diam. Dia tidak popu-
ler. "Kenapa jangan?"
"Terlalu berlebihan. Itu streotipe. Mereka akan curiga."
Tetapi mereka bersikeras. Itu adalah fakta yang diketahui seluruh umat
manusia. "Orang kulit hi-tamlah yang melakukan segala hal semacam ini."
"Ya, ya," beberapa orang lain di antrean me-nyepakati. "Ya, ya." Orang
kulit hitam, yang hidup seperti monyet di pohon, tidak seperti kita, begitu
beradab .... Mereka, kemudian, terguncang melihat wanita Afrika-Amerika berada di balik
loket. (Ya, Tuhan, kalau orang-orang Amerika menerima orang kulit hitam,
tentunya mereka akan menyambut orang India dengan tangan terbuka" Betapa mereka
akan gembira melihat kita!)
Akan tetapi ... beberapa orang di depan sudah ditolak. Kekhawatiran Biju
meningkat saat dia melihat seorang perempuan mulai menjerit dan meng-ayun-
ayunkan tubuh dalam serangan epilepsi duka-cita. "Orang-orang ini tak
mengizinkanku pergi, anak perempuanku baru saja melahirkan, orang-orang ini tak
mengizinkanku pergi, aku tak bisa melihat cucuku sendiri, orang-orang ini ... aku
sudah mau mati ... mereka bahkan tak mengizinkanku melihat wajah cucuku Dan para
satpam pun menyerbu masuk untuk menyeret perempuan itu menyusuri koridor suci
hama yang telah dibilas dengan pembunuh kuman.
* Pria dengan cerita pembunuhan hubshi dia dikirim ke loket hubshi. Hubshi ?hubshi bandar bandar,
berusaha berpikir cepat oh, tidak, prasangka normal India tidak akan
?berguna di sini, kebencian dan kekasaran cerita hancur berantakan di dalam
?kepalanya. "Orang Meksiko, bilang saja orang Meksiko," desis seseorang yang lain.
"Orang Meksiko?"
Dia tiba di loket, mengubah sikap karena terancam, menjadi sebaik mungkin.
"Selamat pagi, Bu." (Lebih baik jangan membuat hubshi itu marah,
yaar sedemikian besar keinginannya berimigrasi ke AS, sampai-sampai dia bisa
?bersikap sopan kepada orang kulit hitam.) "Benar, Bu, kejadiannya seperti ini,


Senja Di Himalaya The Inheritance Of Lose Karya Kiran Desai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Orang Meksiko-Teksiko, saya tidak tahu persis-nya," dia berkata kepada perempuan
yang mema-kunya dengan tatapan pakar kupu-kupu. (Meksiko-Teksiko?") "Saya tidak
tahu, Bu," bergerak-gerak gelisah, "sesuatu mirip seperti itu yang dikatakan
saudara saya, tetapi dia sangat kacau, Anda tahu, saya tak ingin menanyakan
seluruh perinciannya."
"Tidak, kami tidak bisa memberikan visa kepada Anda."
"Mengapa, Bu, tolonglah, Bu, saya sudah mem-beli tiketnya, Bu
Dan orang-orang yang menanti visa yang me-miliki rumah-rumah besar, hidup
penuh kemudahan, jins, mobil-mobil Inggris disetir sopir yang menunggu di luar
untuk mengantar mereka kembali ke jalan-jalan teduh, dan para juru masak yang
tidak tidur siang untuk menunggu hingga lewat waktu dengan hidangan makan siang
(sesuatu yang ringan makaroni keju ...), selama ini mereka berusaha memisahkan diri dari ?kerumunan luas yang kumuh. Dari sikap, pakaian, dan logat, mereka mencoba
menyampaikan kepada para petugas bahwa mereka adalah kelompok sempurna-untuk-
perjalanan-ke-luar-negeri yang terpilih sebelumnya serta terbatas jumlahnya,
terampil menggunakan pisau dan garpu, tak berserdawa keras-keras, tak naik ke
atas toilet untuk berjongkok seperti yang tengah dilakukan para perempuan dusun
pada saat ini karena tak pernah melihat toilet semacam itu sebelumnya,
mengalirkan air dari ketinggian untuk membersihkan pantatnya dan membanjiri
lantai dengan serpihan-serpihan tahi basah.
"Saya sudah pernah ke luar negeri sebelumnya dan saya selalu kembali. Anda
bisa lihat dari paspor saya." Inggris. Swis. Amerika. Bahkan, Selandia Baru.
Menantikan, ketika di New York, film terbaru, pizza, anggur (California, juga
anggur Cile sangat nikmat, Iho, dan harganya tidak mahal. Jika orang sudah
?beruntung, dia akan beruntung lagi.
Biju mendekati loket yang ditentukan untuknya yang membingkai seorang pria
muda bersih berka-camata. Orang kulit putih terlihat bersih karena mereka lebih
putih; semakin gelap warna kulit kita, pikir Biju, semakin kita terlihat kotor.
"Apa alasan Anda pergi?"
"Saya ingin pergi sebagai wisatawan." "Bagaimana kami tahu Anda akan
kembali?" "Keluarga saya, istri, dan anak lelaki saya di sini. Dan toko saya."
"Toko apa?" "Toko kamera." Apakah si petugas bisa memer-cayai ini"
"Di mana Anda akan menginap?"
"Dengan teman saya di New York. Nandu namanya dan ini alamatnya jika Anda
ingin melihatnya." "Berapa lama?" "Dua minggu, jika diperkenankan." (Oh, tolong-lah, sehari saja, satu hah.
Itu sudah cukup meme-nuhi tujuanku ....)
"Apakah Anda memiliki dana untuk membiayai perjalanan Anda?"
Biju menunjukkan lembar bank palsu yang diperoleh si juru masak dari
seorang juru tulis korup sebuah bank pemerintah dengan ditukar dua botol Black
Label. "Silakan bayar di loket dekat sini dan Anda bisa mengambil visa Anda
setelah pukul lima sore." "Bagaimana ini mungkin?"
Seorang pria yang sempat mengobrol dengan-nya, masih di antrean di
belakangnya, memanggil-manggil dengan nada melengking:
"Apakah kau berhasil, Biju" Biju, apakah kau berhasil" Biju" Biju!" Dalam
teriakan merak yang penuh semangat itu, Biju merasa pria ini bersedia mati
untuknya, tetapi, tentu saja, kenekatan pria itu adalah untuk dirinya sendiri.
"Ya, aku berhasil.?"Kau pemuda paling beruntung sedunia," kata pria itu.
* Pemuda paling beruntung sedunia. Dia berjalan melintasi sebuah taman untuk
menikmati kabar ini sendirian. Air selokan yang masih kotor tengah digunakan
untuk mengairi sepetak rumput yang subur dan berbau busuk, menyeringai
berkilauan dalam petang. Di luar selokan Biju menguber serombongan babi dengan
cap transparan hitam melintang di perut mereka, berlari mengejar babi-babi itu
dengan girang. "Hup hup," teriaknya. Burung-burung gagak yang bertengger di
punggung babi-babi itu menghambur beterbangan dengan marah karena harus melompat
terbang secara terbalik. Seorang pelari yang mengenakan setelan olahraga
berhenti untuk menatap, sopir yang menunggu sang pelari sembari menggosok
giginya dengan ranting neem juga berhenti dan menatap. Biju mengejar seekor
sapi. "Hup hup." Dia meloncati tanaman-tanaman hias dan melompat di atas palang
latihan, melakukan puii-up dan push-up.
* Keesokan harinya, dia mengirim telegram kepada ayahnya, "pemuda paling
beruntung di seluruh penjuru dunia," dan ketika telegram itu tiba, dia tahu
ayahnya akan menjadi ayah paling bahagia sedunia. Dia tidak tahu, tentu saja,
bahwa Sai juga sangat gembira. Bahwa ketika dia mengunjungi Kalimpong untuk
wawancara terkutuk dengan kapal layar itu, Sai mendapati hatinya diguncangkan
oleh kesadaran bahwa si juru masak memiliki keluarga
sendiri dan memikirkan mereka terlebih dahulu. Jika anak lelakinya ada,
dia hanya akan memberi per-hatian sepintas lalu kepada Sai. Sai hanya alterna-
tif, sosok tempat si juru masak menumpahkan kasihnya jika dia tak bisa
mendapatkan Biju, sosok yang sejati.
"Yipiiii," teriak Sai ketika mendengar mengenai visa Biju. "Hip hip
huraaa." * Di Kafe Gandhi, tiga tahun lebih sedikit setelah hah ketika Biju menerima
visanya, pemuda paling beruntung sedunia itu tergelincir di atas bayam busuk di
dapur Harish-Harry, meluncur cepat meninggalkan jalur hijau licin dan jatuh
dengan suara berdebam keras. Lututnya. Dia tak bisa berdiri.
"Bisakah Anda memanggil dokter?" katanya kepada Harish-Harry setelah Saran
dan Jeev mem-bantunya naik ke alas tidurnya di antara sayur-mayur.
"Dokter!! Tahukah kau berapa ongkos berobat di negara ini"!?"Kejadiannya
di sini. Tanggung jawab Anda."
"Tanggung jawabku!" Harish-Harry berdiri di atas Biju, marah besar. "Kau
tergelincir di dapur. Jika kau tergelincir di jalan, lalu siapa yang akan kau
minta, hm?" Dia telah memberikan kesan yang salah pada pemuda ini. Dia telah
bersikap terlalu baik dan Biju salah memahami malam-malam saat dia memeluk jiwa
bosnya yang terbelah di pang-
kuannya, merekatkannya jadi satu dengan aksioma-aksioma favorit Harish-
Harry. "Aku menampungmu. Aku mempekerjakanmu tanpa surat-surat, memper-lakukanmu
seperti anakku sendiri dan sekarang be-gini caramu membalasku! Tinggal di sini
tanpa uang sewa. Di India apakah kau akan dibayar" Hak apa yang kaumiliki"
Apakah salahku kau tidak member-sihkan lantai" KAU yang seharusnya membayar-KU
karena tidak membersihkannya, hidup seperti babi. Apakah aku menyuruh-MU untuk
hidup seperti babi?"
Lutut Biju yang berdenyut-denyut membuatnya berani, menurunkan derajatnya
pada keteruste-rangan seekor binatang. Dia membelalak pada Harish-Harry, kepura-
puraan telah lenyap; dalam momen kesakitan fisik ini, perasaannya sendiri
menjadi tersaring jelas. "Tanpa kami, hidup seperti babi," kata Biju, "bis-nis apa yang Anda
miliki" Beginilah cara Anda mendapat uang, tidak membayar kami karena Anda tahu
kami tak bisa berbuat apa-apa, memaksa kami bekerja siang-malam karena kami
ilegal. Kenapa Anda tidak mensponsori kami untuk mendapatkan green card?"
Letusan gunung berapi. "Bagaimana aku bisa mensponsorimu"! Jika aku mensponsori-mu, aku harus
mensponsori Rishi, dan jika aku mensponsori Rishi, maka aku harus mensponsori
Saran, dan jika dia maka Jeev, dan lantas Mr. Laikaka akan datang dan berkata,
tetapi saya sudah di sini paling lama, saya yang paling dihor-mati, dan saya
seharusnya menjadi yang pertama.
Bagaimana aku bisa membuat perkecualian" Aku harus pergi ke INS dan
mengatakan bahwa tak ada Warga Negara Amerika yang bisa melakukan perkerjaan
kalian. Aku harus membuktikannya. Aku harus membuktikan aku telah
mengiklankannya. Mereka akan memeriksa restoranku. Mereka akan meneliti dan
mengajukan berbagai pertanyaan. Dan dilihat dari cara mereka, si pemilik
restoranlah yang akan dipenjara karena mempekerjakan staf ilegal. Kalau kau
tidak senang, pergi saja sekarang. Carilah orang untuk mensponsorimu. Tahu
segampang apa aku bisa menggantimu" Tahu seberuntung apa dirimu"!!! Kau kira tak
ada ribuan orang di kota ini yang tengah mencari kerja" Aku bisa menggantimu
seperti ini," dia menjentikkan jari, "aku akan men-jentikan jari dan dalam
sedetik ratusan orang akan muncul. Enyah dari hadapankuf"
Tetapi karena Biju tak bisa berjalan, Harish-Harrylah yang harus pergi.
Dia pergi ke atas dan kemudian kembali turun, karena suasana hatinya telah
berubah dalam sekejap begitulah selalu dirinya, badai petir yang bergerak ?dengan cepat.
"Dengar," dia berkata dengan lebih ramah, "ka-pan aku pernah
memperlakukanmu dengan buruk" Aku bukan orang jahat, 'kan" Kenapa kau menye-
rangku" Karena sebenarnya, aku mempertaruhkan leher untukmu, Biju, katakan
padaku, sebanyak apa lagi yang bisa kaupinta" Hal-hal berisiko ini tak bisa
kulakukan." Dia mengeluarkan lima puluh dolar dari dompetnya. "Ini. Kenapa tidak
beristirahat saja" Kau bisa membantu memotong sayur sambil berba-
ring dan jika kau tidak membaik, pulanglah. Dokter sangat murah dan bagus
di India. Dapatkan pera-watan medis terbaik dan setelahnya kau selalu bisa
kembali." Sebentuk cahaya pagi sederhana terhampar di lantai, sebuah belah ketupat
kecil jatuh di sela-sela kisi-kisi. "Bocah naakal," Harish-Harry menggoyang-
goyangkan jarinya seperti sebuah lelucon. Bentuk geometris itu mulai mengalirkan
cahaya, menjadi berubah-ubah, keluar merayapi tembok.
Pulang. Datang kembali. Seseorang di dapur masa lalu Biju pernah berkata, "tak mungkin sesulit itu
atau jumlah kalian tak akan sangat banyak di sini."
Tetapi MEMANG sesulit itu, WALAUPUN DEM2K2-AN jumlah orang India di sini
sangat banyak. Sangat, sangat sulit. Berjuta-juta orang terancam mati,
dipermalukan, dibenci, kehilangan keluarga TETAPI jumlah mereka di sini sangat?banyak.
Tetapi Harish-Harry tahu hal ini. Bagaimana dia bisa berkata
"Pulang datang kembali," dengan cara yang mudah dan lancar seperti itu"
Suling Emas 4 Walet Emas 07 Pendekar Kipas Akar Wangi Si Kumbang Merah 7
^