Pencarian

Senja Di Himalaya 7

Senja Di Himalaya The Inheritance Of Lose Karya Kiran Desai Bagian 7


Karachi-Delhi-Cacutta, pesawat itu berhenti lagi agar orang-orang dari negara-
negara Teluk Persia bisa me-rangkak naik. Mereka datang bergegas-gegas Cepat! ?
Cepat! ... Cepat! membuka tas jinjing mereka untuk mengambil wiski Scotch, ?meminumnya langsung dari mulut botol. Kristal-kristal es kecil yang melengkung
terbentuk pada jendela pesawat. Di dalam, udaranya panas. Biju menyantap nampan
berisi kare ayam, bayam dan nasi, es krim stroberi, berkumur dan meludahkannya
ke dalam cangkir es krim yang kosong, kemudian mencoba mendapatkan makan malam
lagi. "Persediaan kami terbatas," kata pramugari-pramugari, yang digoda oleh
para pria, yang mabuk dan berteriak-teriak, mencubit para pramugari itu saat
mereka lewat, memanggil-manggil nama mereka, "Sheila! Raveena! Kusum! Nandita!"
Selain bau keringat, sekarang ada bau makanan dan rokok yang pekat, napas
daur ulang seisi pesawat, bau kamar mandi yang semakin menyengat.
Di kaca kamar mandi ini, Biju memberi salut pa-
da dirinya sendiri. Di sinilah dia, dalam perjalanan pulang, tanpa
mengetahui nama atau apa saja tentang presiden Amerika, tanpa mengetahui nama
sungai tempat dia sering berkeliaran di tepiannya, bahkan tanpa pernah mendengar
tempat-tempat wisata mana pun tidak pernah mendengar tentang Patung Liberty,
?Macy's, Little Italy, Jembatan Brooklyn, Museum Imigrasi; tidak pernah makan
bialy di Barney Greengrass, kue bola berkuah di Jimmy's Shanghai, tidak pernah
mengunjungi gereja-gereja gospel dalam tur Harlem. Dia kembali memandangi lautan
yang sunyi dan berpikir bahwa pemandangan semacam ini hanya bisa membuat orang
sedih. Sekarang, Biju berjanji pada dirinya sendiri, dia akan melupakan wawasan
ini, memulai lagi dari awal. Dia akan membeli taksi. Tabungannya sedikit,
dikumpulkan di dalam sepatunya, kaus kakinya, pakaian dalamnya, selama bertahun-
tahun ini, tetapi dia merasa bisa. Dia akan menyetir naik-turun pegunungan pada
hari-hari pasaran, perada kertas emas, dewa-dewa di atas dasbor, klakson lucu,
PAWpumPOMpaw atau TWIII-diii-diii DIII-TWIII-diii-diii. Dan dia akan membangun
sebuah rumah dengan dinding solid, atap yang tak akan terbang setiap musim
hujan. Biju memainkan adegan perjumpaan dengan ayahnya berkali-kali seperti film
di kepalanya, menangis sedikit saat memikirkan kebahagiaan dan emosi yang
sedemikian dalam. Mereka akan duduk di luar pada malam hah, meminum chhang,
menceritakan lelucon-lelucon semacam yang dia dengar saling dipertukarkan oleh
para pemabuk di pesawat: Jadi, pada suatu hah Santa Singh dan Banta Singh sedang tidak melakukan
apa-apa, berleha-leha, memandang angkasa, dan tiba-tiba saja sebuah pesawat
angkatan udara terbang melintas, pria-pria berparasut keluar dari pesawat, masuk
ke jip-jip militer yang menunggu mereka di tengah lapangan, dan pulang. "Arre,
sata, asyik sekali," kata Santa kepada Banta, "cara hebat untuk mendapatkan
uang." Maka pergilah mereka ke agen perekrutan dan beberapa bulan kemudian,
mereka berada di dalam pesawat. "Wane Guruji Ka Khalsa, Wane Guruji Ki Fateh,"
kata Santa dan melompat. "Wane Guruji Ka Khalsa, Wahe Guruji Ki Fateh," kata
Banta dan melompat. '"Arre, Banta,1 kata Santa, sedetik kemudian, "parasut sa/a ini tidak
membuka.1 "'Ai, Santa,1 kata Banta, "punyaku juga tidak, intezaam khas pemerintah,
tunggu saja dan lihat-lah, ketika kita sampai di bawah, jip bhenchoot itu juga
tidak akan ada di sana.'"[]
EMPAT PULUH ENAM Sai memandang keiuar dari jendeianya dan tak bisa memastikan mengenai apa
segala ribut-ribut itu. Sang hakim berteriak, "Mutt, Mutt." Saat itu sudah waktunya Mutt makan
makanan rebus dan si juru masak telah merebus Nutrinuggets kedelai dengan labu
dan kotak kaldu Maggi. Sang hakim khawatir karena Mutt harus makan seperti ini,
tetapi Mutt telah menghabiskan daging terakhir; sang hakim telah melarang
dirinya dan Sai makan daging, dan si juru masak, tentu saja, memang dari dulu
tak pernah mendapatkan kemewahan makan daging. Meskipun demikian, masih ada
sedikit selai kacang, untuk chapati Mutt, dan susu bubuk.
Tetapi Mutt tak menjawab.
"Mutty, mutt, rebusan Sang hakim menyusuri sekeliling kebun, ke luar pintu
gerbang, dan naik-turun jalan.
"Rebusan, rebusan?"Mutty Mutt" MUTT?" Suaranya menjadi gelisah.
Sore berubah menjadi malam, kabut turun me-nyapu, tetapi Mutt tidak juga
muncul. Sang hakim teringat para pemuda berpakaian gerilyawan yang datang merampok
senjata. Mutt menyalak, para pemuda itu berteriak seperti sege-
rombol gadis sekolahan, mundur menuruni anak tangga untuk gemetar
ketakutan di balik semak-semak. Tetapi Mutt juga takut; dia bukan anjing
pemberani seperti yang mereka bayangkan.
"MUTT-MUTT MUTTV-MUTTMUTTYMUTTMUTT"!" Mutt tak juga datang pada saat
kegelapan telah turun. Tak pernah sang hakim merasa dengan setajam ini bahwa pada senjakala di
Kalimpong, ada suatu penyerahan kekuatan yang nyata. Kita tak bisa bangkit
melawan kegelapan yang begitu kuat, begitu besar, tanpa celah sedikit pun. Dia
keluar dengan senter terbesar yang mereka punya, me-nyorotkannya tanpa guna ke
dalam hutan, menyi-mak suara jakal; menunggu di beranda sepanjang malam;
mengamati lereng-lereng pegunungan tak terlihat di seberang saat lentera-lentera
para pemabuk yang jatuh meluncur seperti bintang jatuh. Pada saat senja
terlihat, dia panik. Dia pergi ke rumah-rumah busti kecil untuk menanyakan
apakah mereka melihat Mutt; dia bertanya pada tukang susu dan tukang roti, yang
sekarang berada di rumah dengan koper kalengnya yang sudah usang, yang berisi
biskuit khari dan biskuit susu yang sangat disukai Mutt.
"Tidak, saya tidak melihat kutti itu."
Sang hakim marah saat mendengar Mutt disebut sebagai "kutti", tetapi
menahan diri karena dia tidak boleh berteriak pada orang-orang yang bantuannya
mungkin dia butuhkan sekarang.
Dia bertanya pada si tukang pipa, si tukang lis-
trik. Dengan sia-sia, dia memberi isyarat pada kedua penjahit tuli yang
telah membuatkan mantel musim dingin dari sebuah selimut untuk Mutt, dengan
gesper di bagian perut. Dia menerima wajah-wajah hampa, beberapa tawa marah. "Saata Machoot ... apa
yang dia pikir-kan" Bahwa kita akan mencari anjingnya?" Orang-orang merasa
terhina. "Pada masa seperti ini. Makan saja kita tidak bisa!"
Dia mengetuk pintu Mrs. Thondup, Lola dan Noni, siapa saja yang mungkin
berbaik hati, jika bukan demi dirinya, maka demi Mutt, atau demi profesi,
posisi, agama mereka. (Dia merindukan para misionaris mereka akan memahami dan
?mereka akan berkewajiban untuk membantu.) Semua orang yang dia datangi merespons
dengan firasat buruk. Apakah ini masa yang penuh harapan" Mereka sudah menerima
nasib Mutt, dan sang hakim ingin mencekik mereka saat mereka bicara.
Mrs. Thondup: "Apakah dia mahal?"
Sang hakim tak pernah memikirkan Mutt dengan cara seperti itu, tetapi ya,
Mutt mahal harga-nya, diantar dari peternakan anjing di Calcutta yang
mengkhususkan diri pada setter merah. Selembar surat keterangan silsilah
menyertai, "Bapak: Cecil. Induk: Ophelia."
"La ma ma ma ma, pasti dicuri, Pak Hakim," Mrs. Thondup berkata. "Anjing-
anjing kami, Ping dan Ting kami membawanya jauh-jauh dari Lhasa, dan ketika ?sampai di sini, Ping hilang. Si perampok menahannya untuk membiakkan anak-anak
anjing, mengawinkannya lagi dan lagi. Sumber penghasilan yang bagus, bukan" Pergi
saja ke KM tiga belas, Anda akan lihat pelbagai versi palsu Ping berlarian ke
sana kemari di mana-mana. Akhirnya, Ping kabur dan melarikan diri, tetapi
seluruh kepribadiannya telah berubah." Mrs. Thondup menunjuk sang kor-ban, yang
mengeluarkan air liur dari mulut tuanya, memandang tajam pada sang hakim.
Paman Potty: "Pasti ada yang hendak merampok Anda, Sahib
Hakim menyingkirkan penghalang. Si Gobbo itu, dia meracuni Kutta-ku Sahib,
?sudah bertahun-tahun yang lalu sekarang.
"Tetapi kami baru saja dirampok."
"Orang lain pastilah telah memutuskan untuk melakukan hal yang sama
Kedua putri Afghan: "Anjing kami, anjing pem-buru Afghan, Anda tahu, kami
bepergian dengan ayah kami dan suatu hah dia hilang. Dia dimakan oleh orang-
orang Naga, ya, mereka memakan anjing mereka memakan Frisky. Bahkan, budak-
?budak kami ya, kami dulu punya budak kami mengancam mereka dengan taruhan
? ?nyawa mereka, tetapi tetap saja mereka tidak berhasil menyelamatkan Frisky tepat
pada waktunya." Lola: "Masalah kita orang India adalah kita tidak memiliki rasa cinta pada
binatang. Anjing, kucing ada hanya untuk ditendang. Kita tidak bisa me-nahan
diri kita memukul, melempari batu, menyik-sa, kita tak berhenti sampai hewan
?itu mati, kemudian kita merasa sangat puas bagus! Bunuh saja! Hancurkan! Lenyap
?sudah! kita merasakan kepua-
?san dalam tindakan ini."
* Apa yang telah dia lakukan" Dia merasa telah bersikap tidak adil pada
Mutt. Dia merasa telah menaruh Mutt di tempat yang anjing itu tak akan pernah
bisa bertahan hidup, tempat yang bengis dan edan. Anjing-anjing perbukitan
Bhutia-mast/ff-mastiff yang terluka oleh perkelahian, seringai dirusak bentuknya
oleh kebuasan, telinga kaku karena berkali-kali berdarah bisa saja mencabik-
?cabik Mutt hingga hancur. Tanaman Nightshade tumbuh di setiap jurang, bunganya
kering segar dan putih seperti jubah Paus, tetapi mengandung zat
halusinogen Mutt bisa saja meminum getah bera-cunnya. Ular-ular kobra
?itu suami-istri, selebar kaleng biskuit, hidup di tebing di belakang Cho Oyu
?mungkin saja menggigitnya. Jakal-jakal rabies yang berhalusinasi, tak bisa
?minum, tak bisa mene-lan, mungkin saja datang dari dalam hutan, haus, sangat
haus ... Dua tahun lampau, ketika mereka membawa epidemi rabies ke kota, sang
hakim membawa Mutt untuk diberi vaksinasi yang sebagian besar orang tak mampu
membayarnya. Dia telah menyelamatkan Mutt sementara anjing-anjing liar
dikumpulkan dan dibantai satu truk penuh (tersenyum dan mengibas-ngibaskan ekor,
salah mengartikan satu-satunya kesempatan mereka naik truk dengan kehidupan baru
yang mewah) dan seisi keluarga yang terlalu miskin untuk membayar vaksin
seharga tiga ribu rupee pun mati; staf rumah sakit telah diperintahkan
untuk mengatakan bahwa mereka tidak punya obat karena takut terjadi kerusuhan.
Di sela-sela kegilaan rabies, datanglah saat-saat kejernihan sehingga para
korban tahu pasti apa yang tengah terjadi pada diri mereka, tahu pasti seperti
apa kegilaan itu terlihat, terasa
Dia mengira kewaspadaannya akan melindungi anjingnya dari segala
kemungkinan marabahaya. Harga arogansi semacam itu sangatlah mahal.
Dia pergi menemui perwira polisi subdivisi yang mengunjungi Cho Oyu
setelah perampokan, tetapi kerusuhan itu telah merusak sikap baik sang 5DO. Dia
bukan lagi penggemar berkebun yang pernah memuji passionflower sang hakim.
"Tuan yang terhormat," katanya pada sang hakim, "aku sendiri pencinta
binatang, tetapi pada masa-masa seperti ini ... itu adalah kemewahan yang tak bisa
kita tanggung-" Dia juga telah berhenti mengisap tembakau ceri spesialnya kebiasaan ?tersebut terkesan keterla-luan pada masa seperti ini. Orang selalu merasa
terdorong untuk kembali pada kesederhanaan ala Gandhi ketika integritas bangsa
tengah terancam, nas'-dai, roW-namak, itu dan itu lagi. Benar-benar buruk ....
Sang hakim masih ngotot, "Tetapi tidak bisakah Anda melakukan sesuatu dan
dia menjadi marah, menghempaskan tangannya.
"Seekor anjing! Hakim, dengarkan diri Anda
sendiri. Orang-orang terbunuh. Apa yang bisa kula-kukan" Tentu saja aku
sangat menghormati Anda ... sudah kuluangkan waktu meskipun khawatir dituduh pilih
kasih .... Tetapi kita sedang berada dalam situasi darurat. Di Calcutta, di Delhi,
terdapat kekhawatiran besar mengenai kemerosotan hukum dan ketertiban, dan pada
akhirnya itulah yang harus kita pikirkan, bukankah begitu" Negara kita. Kita
harus mengalami ketidaknyamanan dan aku tak perlu memberitahukan ini kepada
seseorang yang memiliki pengalaman seperti Anda Sang SDO menatap sang hakim
dengan pandangan lekat tertentu yang meyakinkan sang hakim bahwa dia bermaksud
bersikap kasar. Sang hakim pergi ke kantor polisi tempat suara jeritan seorang pria dari
ruang dalam diperdengar-kan dengan sengaja, pikir sang hakim, untuk meng-
intimidasinya, untuk memeras uang suap.
Dia memandangi para polisi di hadapannya. Mereka balas memandang dengan
kurang ajar. Mereka menunggu di ruang depan, menanti kesempatan sampai mereka semua
masuk dan memberi pria itu pelajaran terakhir yang tak bisa dilupa-kannya.
Mereka mulai terkekeh. "Ha, ha, ha. Datang untuk masalah anjingnya! Anjing" Ha,
ha ha ha ha ... Sinting1." Mereka menjadi marah separuh jalan dalam humor mereka.
"Jangan buang-buang waktu kami," kata mereka. "Keluar."
Apakah barangkali mereka tahu nama pria yang mereka tahan setelah
perampokan senjata itu" Sang hakim bersikukuh. Dia ingin tahu, hanya se-
buah gagasan, apa mungkin pria itu yang bertang-gung jawab"
Pria yang mana" Pria yang mereka tuduh mencuri senjatanya ... dan dia sama sekali tidak
menyalahkan polisi, tetapi istri dan ayah pria itu telah mendatanginya dan
terlihat marah ... Tidak ada pria seperti itu, kata mereka, apa yang dia
bicarakan" Sekarang, maukah dia berhenti membuang waktu mereka dan keluar" Suara
pria yang berteriak di belakang semakin menghebat seolah-olah disengaja untuk
memberi pesan yang teramat jelas pada sang hakim.
* Dia tak bisa memikirkan hukuman yang cukup besar untuk umat manusia.
Seorang manusia tidak setara dengan seekor binatang, tidak separtikel pun dari
dirinya. Hidup manusia busuk, korup, dan sementara itu ada makhluk-makhluk elok
yang hidup dengan indah di atas bumi tanpa melukai siapa pun. "Kita yang
seharusnya mati," sang hakim nyaris menangis.
* Dunia telah mengkhianati Mutt. Dunia telah meng-khianati keindahan; dunia
telah mengkhianati ke-anggunan. Namun, dengan meninggalkan dunia ini, dengan
sang hakim memisahkan diri dari dunia, Mutt pasti akan menderita.
Sang hakim telah kehilangan pengaruhnya ....
Sekelumit "tuan sahib huzoor" demi basa-basi, tetapi itu hanya polesan
sisa sekarang; dia sudah tahu apa sebenarnya anggapan mereka tentang dirinya.
Dia tiba-tiba teringat mengapa dia pergi ke Inggris dan bergabung dengan
ICS; alasannya menjadi lebih jelas daripada sebelum-sebelumnya tetapi sekarang?posisi kekuasaan tersebut telah hilang, terkikis habis dalam bertahun-tahun
penuh sinisme dan kebencian pada manusia.
"Biskuit, guk-guk, mam-mam, susu, khana, is-htoo, bubur, dalia, chalo,
mobil, pom-pom, doo-doo, waikie"-
Dia meneriakkan seluruh bahasa antara Mutt dan dirinya, mengirim kata-kata
cinta kekanak-kanakan melayang di atas Pegunungan Himalaya, menggerak-gerakkan
tali pengikat Mutt sehingga bergemerencing sedemikian rupa yang dulu membuat
anjing itu melompat Guuk! dengan keempat kaki bersamaan, seolah-olah menaiki
? ?mainan pegas. "Walkie, baba, muffin ....
"Mutt, mutton, little chop .... teriaknya, lalu, "Maafkan aku, anjing
kecilku .... Tolong lepaskan dia siapa pun engkau
Dia terus menyalakan gambaran tentang Mutt, bagaimana Mutt kadang-kadang
berbaring telen-tang dengan keempat kaki di udara, menghangat-kan perut sembari
tidur. Bagaimana sang hakim baru-baru ini membujuk Mutt untuk memakan labu
rebusnya yang tidak enak dengan berlari mengitari kebun sembari mengeluarkan
suara mendengung seolah-olah sayuran itu adalah seekor serangga aneh, kemudian sang hakim
menyorongkan kubus labu itu ke dalam mulut Mutt yang terbuka-lebar-karena-kaget,
dan dalam keterkejutan, Mutt buru-buru menelannya.
Sang hakim membayangkan mereka berdua nyaman di tempat tidur: selamat
malam, selamat pagi. * Militer keluar pada senja hah untuk memastikan jam malam dijalankan dengan
sempurna. "Anda harus kembali, Tuan," kata seorang ten-
tara. "Jangan halangi aku," kata sang hakim dengan aksen Inggris untuk membuat
tentara itu mundur, tetapi tentara itu terus mengikutinya dalam jarak yang aman
sampai sang hakim berbalik dengan marah menuju rumah sambil berpura-pura tidak
ter-buru-buru. "Ayoiah pulang, kasihku, gadisku tersayang, Putri Raden Ayu Kanjeng Ratu,
Soo-soo, poo-poo, Cuckoo, bau bau enak enak, Anak nakal,
Maem-maem, waktu makan, Mu tiara berlian, Waktu minum teh! Biskuit!
Manis! Chicki.' Tangkap tufangnya!" Betapa menggelikan semua itu terdengar tanpa
ada seekor anjing yang menerima kata-kata tersebut.
Si tentara mengikuti dalam jarak yang aman, terkejut mendengar apa yang


Senja Di Himalaya The Inheritance Of Lose Karya Kiran Desai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keluar dari mulut sang hakim.
Ada sesuatu yang salah, dia bercerita pada istrinya di kompleks untuk
anggota militer yang telah menikah, blok-blok beton membelakangi hutan
belantara. Ada sesuatu yang tidak patut tengah terjadi.
"Apa?" tanya si perempuan, pengantin baru, benar-benar senang dengan
sistem pemipaan dan peralatan memasaknya yang modern.
"Hanya Tuhan yang tahu apa yang terjadi, pria-pria pikun dan hewan-hewan
mereka ... kauta-hulah," katanya, "segala macam hal aneh
Kemudian, mereka melupakan perbincangan itu karena militer masih
mendapatkan pasokan makanan yang cukup dan sang istri memberi tahu suaminya
bahwa mereka diberi jatah mentega begitu banyak sehingga mereka bisa membaginya
dengan keluarga besar mereka, walaupun hal ini melanggar hukum, dan bahwa
meskipun biasanya ayam broiler memiliki bobot antara enam ratus sampai delapan
ratus gram, ayam yang diantarkan pada mereka nyaris dua kali itu beratnya:
apakah pemasok unggas militer menyuntik unggas dengan air"[]
EMPAT PULUH TUJUH Sementara itu, sebagai akibat pawai, polisi diper-kuat dan sekarang
memburu para pemuda GNLF, menyisir dusun-dusun terpencil, mencoba menya-ring
para pendukung GNLF dari para penganut Marxisme, dari para pendukung Kongres,
dari orang-orang yang tidak memedulikan keduanya. Mereka menggerebek kebun-kebun
teh saat tempat-tempat itu hendak tutup; manajer-manajer yang teringat akan
penyerangan oleh para pemberontak pada para pemilik perkebunan di Assam pergi
dengan pesawat pribadi menuju Calcutta.
Para buronan, dalam pelarian, menghindari polisi, tidur di rumah-rumah
orang kaya di kota Lola dan Noni, sang dokter, para putri Afghan, para ?pensiunan pejabat, orang-orang Bengali, orang-orang luar, siapa pun yang
rumahnya tak akan digeledah.
* Ada laporan mengenai arus datang dan pergi di perbatasan Nepal dan Sikkim,
mengenai para pensiunan militer yang mengendalikan gerakan, mem-berikan
pelatihan kilat tentang bagaimana mema-sang bom, menyergap polisi, meledakkan
jembatan. Akan tetapi, siapa saja bisa melihat bahwa mereka umumnya adalah anak
muda, yang meniru gaya mereka dari Rambo, kepala penuh terisi pukulan-pukulan
karate dan kungfu, menderu ke mana-mana di atas sepeda motor curian, jip curian,
bersuka ha. Uang dan senjata di saku mereka. Mereka hidup dalam film. Pada saat
selesai, mereka akan menga-lahkan fiksi mereka sendiri dan film-film baru akan
dibuat berdasarkan kisah mereka ....
Mereka datang dengan topeng pada malam ha-ri, memanjati gerbang, menjarah
rumah-rumah. Melihat seorang perempuan berjalan pulang ter-bungkus selendang,
mereka menyuruhnya membuka selendang itu dan mengambil beras serta sedikit gula
yang dia sembunyikan. Di jalan menuju pasar, pepohonan digantungi tubuh-tubuh musuh pihak yang ?mana dan musuh siapa" Ini adalah kesempatan untuk membuat siapa pun yang tidak
kausuka lenyap, untuk membalaskan dendam lama keluarga. Jeritan-jeritan terus
terdengar dari kantor polisi meskipun sebotol Black Label bisa menyelamatkan
nyawamu. Orang-orang terluka, tumpahan isi perut yang dibungkus kulit ayam agar
tetap segar, dengan tergesa diangkut dengan usungan bambu ke dokter untuk
dijahit; seorang pria ditemukan terkubur dalam tangki pem-buangan kotoran,
setiap inci tubuhnya tersayat pisau, matanya tercungkil keluar....
Namun, sementara para penduduk dikagetkan oleh kekerasan tersebut, mereka
juga sering kali terkejut oleh kelumrahan itu semua. Menemukan
luasnya kekejian yang mampu ditampung hati saat mereka duduk di rumah
tanpa melakukan apa-apa, dan mendapati bahwa adalah sesuatu yang mungkin, bila
dihadapkan dengan aroma busuk kejahatan yang tak terbayangkan, bagi manusia
untuk mulai merasa bosan, menguap, disibukkan oleh persoalan kaus kaki hilang,
oleh kejengkelan antartetangga, untuk merasakan lapar melompat-lompat seperti
seekor tikus kecil di dalam perut dan kembali, sekali lagi, pada persoalan
mendesak mengenai apa yang bisa dimakan .... Di sanalah mereka, orang-orang yang
paling biasa, orang-orang yang sungguh tak cocok dengan pertanyaan-pertanyaan
luar biasa itu, terperangkap dalam pertempuran khayalan antara masa lalu versus
masa kini, keadilan versus ketidakadilan hal yang paling biasa tersapu ke dalam
?kebencian luar biasa karena kebencian luar biasa, bagaimanapun, adalah peristiwa
biasa.[] EMPAT PULUH DELAPAN Setelah Delhi, penerbangan Gulf Air mendarat di Bandara Dum Dum Calcutta.
Biju mencium bau itu lagi, bau menyengat lantai yang disucihamakan dengan phenyl
oleh wanita tukang pel yang miskin sekaligus memiliki bakat untuk menjadi
teramat menyebalkan. Mata menatap ke bawah dan memukul kaki telanjang dengan
kain gombal kotor, dia memperkenalkan beberapa pendatang untuk kali pertamanya
pada campuran dahsyat antara simpati mendalam dan kejengkelan mendalam.
Terdapat kerumunan yang sukar dikendalikan di sekitar ban berjalan
pengantar bagasi karena beberapa pesawat masuk pada saat yang bersamaan dan
terlihat lebih banyak variasi orang India ketimbang yang dipertunjukkan di Gulf
Air, kembali berada dalam kumpulan yang sama setelah secara sengaja berevolusi
ke dalam pelbagai celah yang tersedia di luar negeri. Ada eksekutif yang mengam-
bil kursus mengenai anggur, orang-orang yang masih mempertahankan kebudayaan
mereka dan pergi ke kuil di Bern, atau entah di mana. Pemuda Bhang-ra funky yang
mengenakan anting-anting dan celana baggy. Hippie yang telah menyadari fakta
bahwa orang bisa melepaskan diri dari status imig-ran yang tidak menarik dan
mengalami saat yang sungguh menyenangkan sebagai seorang India di antara orang kulit putih,
menyemburkan segala macam soal Hindu-mantra-Tantra-Ibu-Pertiwi-masyarakat
pribumi-energi tunggal-organik-Sha\fct/-ganja-kristal-cenayang-intuisi. Ada
anak-anak muda ahli komputer yang bergaji sejuta dolar. Sopir taksi, pembersih
toilet, dan para pebisnis muda konvensional yang mencoba bersikap keren dengan
mengundang teman-teman untuk menyantap "kare yang sangat pedas, seberapa pedas
kalian bisa tahan?" Orang-orang India yang tinggal di luar negeri, orang-orang India yang
bepergian ke luar negeri, yang paling kaya dan yang paling miskin, orang-orang
yang mondar mandir mempertahankan green card mereka. Pelajar India yang membawa
pulang si pirang terang, berpura-pura tidak ada masalah, mencoba bersikap
santai, tetapi setiap molekulnya tegang dan gelisah, "Ayolah, yaar, cinta tak
memandang warna Dia cuma kebetulan tersan-dung ke dalam stereotipe; dia adalah
sosok tulen yang cuma kebetulan masuk ke dalam klise ....
Di belakangnya sepasang gadis India memasang raut jijik.
"Pasti begitu turun dari pesawat, langsung memburu wanita tua Amerika agar
bisa mendapatkan green card-nya tanpa peduli apakah wanita itu berwajah seperti
kuda atau tidak. Dan wajah wanita itu memang seperti kuda!Iff"
"Wanita-wanita kita adalah yang paling cantik sedunia," kata seorang pria
dengan sungguh-sung- guh kepada gadis-gadis India itu, barangkali khawatir mereka merasa
terluka, tetapi dia terdengar seolah-olah tengah mencoba menghibur diri sendiri.
"Benar, para wanita kita adalah yang terbaik di dunia," kata seorang
perempuan lain, "sedangkan para lelaki kita adalah gadha yang jelas-jelas paling
buruk di seluruh dunia."
"Dadi Amma!" semua orang memekik. "Dadi Am-ma! Seorang nenek-nenek, sari
terangkat tinggi untuk beraksi, menampakkan kaus kaki berwarna kulit yang kendur
dan kaki berbulu, tengah me-ngebut dengan troli barang, memukul pergelangan-
pergelangan kaki, berjuang mencapai ban berjalan bagasi.
Dua pria dengan raut meremehkan di wajahnya, turun dari penerbangan Air
France, saling mencari dan menemukan satu sama lain, "Anda dari mana, Bung?"
tetap angkuh. "Ohio." "Columbus?" "Bukan, agak di luarnya." "Di mana?"
"Kota kecil, Anda tak akan tahu."
ii 7 ii "Paris, Ohio." Dia mengatakan ini dengan sedikit membela diri. "Anda?"
"South Dakota."
Wajahnya menjadi cerah. "Coba lihat ini," katanya, menunjuk ke arah luar,
membebaskan mereka berdua dari tekanan, "setiap kali pulang kita me-ngira
pastilah ada yang berubah, tetapi semuanya
tetap sama." "Benar," kata pria satunya. "Tidak menyenangkan mengatakan hal ini, tetapi
terpaksa. Ada alasan yang menyebabkan beberapa negara tidak maju-maju
Mereka menunggu koper-kopernya, tetapi koper-koper itu tidak juga datang.
Banyak tas yang tidak datang dan Biju mencuri dengar pertengkaran di meja
layan Air France tempat para penumpang harus mengisi formulir kehilangan bagasi:
"Kompensasi hanya diberikan pada orang India yang tidak bertempat tinggal
di India dan orang-orang asing, tidak diberikan pada Warga Negara India,
MENGAPA?" semua Warga Negara India berteriak, "Tidak adil tidak adil TIDAK ADIL
TIDAK ADIL!" "Ini kebijakan Air France, Pak," ujar si petugas, mencoba menenangkan
mereka, "Orang asing memerlukan uang untuk hotel/sikat gigi-"
"Lalu kenapa, keluarga kami di Jalpaiguri, kami masih harus melanjutkan
perjalanan" sergah seorang wanita, "dan sekarang kami harus bermalam serta
menunggu koper-koper kami .... Argumen macam apa yang kauberikan pada kami ini"
Kami membayar sama banyak dengan orang lain. Orang asing mendapatkan lebih
banyak dan orang India mendapatkan lebih sedikit. Memperlakukan orang dari
negara kaya dengan baik, sedangkan orang dari negara miskin dengan buruk.
Memalukan. Mengapa ada kebijakan yang berat sebelah semacam ini
terhadap rekan sebangsamu?"
"Ini ADALAH kebijakan Air France, Nyonya," ulang si petugas. Seolah-olah
dengan melemparkan kata-kata Paris atau Eropa akan langsung menginti-midasi,
menjamin kejujuran, dan membungkam perlawanan.
"Bagaimana aku harus melanjutkan perjalanan ke Jalpaiguri dengan pakaian
dalam kotor" Karena sekarang aku berbau begitu busuk, sampai-sampai aku malu
berdekatan dengan siapa pun," kata wanita yang sama, menjepit hidungnya sendiri
dengan ekspresi menderita untuk menunjukkan betapa dia merasa malu, bahkan untuk
berada di dekat dirinya sendiri.
* Semua NRI yang memegang green card dan paspor, terlihat puas diri dan
beradab. Memang seperti itu, bukan" Kekayaan membuahkan semakin banyak kekayaan.
Mereka punya lebih banyak uang dan karena punya lebih banyak uang, mereka akan
mendapatkan lebih banyak uang. Mudah bagi mereka untuk berdiri di antrean, dan
mereka berdiri dengan sabar, menunjukkan betapa mereka tak perlu berjuang lagi;
sikap mereka membuktikan betapa mereka sudah terurus dengan baik. Dan mereka tak
sabar untuk berbelanja-"Belanja ke iiye jaenge, bhel puri khaenge ... dolar me
kamaenge, pum pum pum. Hanya delapan rupee ke penjahit, hanya dua puluh dua
sen!" demikian mereka akan berkata,
dengan penuh kemenangan mengonversi segalanya ke dalam mata uang Amerika;
dan sementara be-lanja diubah ke dalam dolar, persenan untuk pelayan bisa
dikalkulasi dalam kurs setempat, "seratus lima puluh rupee, apa dia gila" Beri
saja seratus, itu pun sudah terlalu banyak."
Seorang perempuan Calcutta menemani seorang saudara perempuan Chicago
"memanfaatkan daaier-nya, memanfaatkan daaier-nya," menemukan ku-man kebencian
pertama yang menggerogoti seperti lepra yang pada waktunya akan menghancurkan
keluarga mereka dari dalam secara permanen.
* Paspor Amerika, Inggris, India semuanya berwarna biru laut, dan para NRI
mencoba memastikan sisi yang tepat yang terbuka sehingga para petugas bandara
bisa melihat nama negaranya dan langsung mengetahui siapa yang harus
diperlakukan dengan hormat.
Namun, ada kekurangan dalam hal ini karena meskipun staf Air France
mungkin diberi instruksi yang berbeda, entah di mana dalam alur tersebut ?imigrasi, pemeriksaan bagasi, keamanan orang bisa dihadapkan pada pegawai yang
?bermusuhan atau tipe nasionalis yang akan bersusah payah menyik-samu secara
perlahan dengan alasan apa saja. "Ah, iri, iri" mereka mengimunisasi diri
?terlebih dulu agar tak ada kritik yang bisa menembus diri mereka selama
kunjungan-"ah cuma iri, iri, iri pada daaler
kami." * "Yah, kuharap kau bisa keluar hidup-hidup, Bung," kata pria Ohio kepada si
pria South Dakota setelah mereka mengisi formulir klaimnya, merasa bahagia
berganda, pertama karena uang Air France, kedua karena semuanya dipertegas
kembali, "Oh, hoho, India yang tidak cakap, kita harus sudah menduga hal semacam
ini, tipikai, tipikai,'"
Mereka melewati Biju yang tengah memeriksa barang-barangnya yang akhirnya
tiba, dan tiba dengan utuh.
"Tetapi masalahnya terjadi di Prancis," kata seseorang, "bukan di sini.
Mereka tidak memuat koper-koper itu di sana."
Namun, kedua pria itu terlalu puas untuk memerhatikan.
"Semoga beruntung," kata mereka kepada satu sama lain sambil saling
memukul punggung, dan si pria Ohio pergi, merasa senang karena didukung dengan
cerita tas yang hilang amunisi melawan ayahnya karena dia tahu ayahnya tidak
?bangga terhadapnya. Bagaimana mungkin ayahnya tidak bangga" Tetapi begitulah
kenyataannya. Dia tahu apa pendapat ayahnya: bahwa imigrasi, yang sering kali
ditampilkan sebagai tindakan heroik, bisa saja merupakan kebalikannya; bahwa
kepengecutanlah yang mendorong banyak orang ke Amerika; ketakutan mewarnai
perjalanan mereka, bukan keberanian; hasrat kecoa untuk kabur ke tempat kemiskinan tak pernah
terlihat, tidak dengan jelas, ke tempat nurani tak harus tersentak-sentak; ke
tempat orang tak pernah mendengar permintaan para pelayan, pengemis, kerabat
yang bangkrut, dan tempat kedermawanan seseorang tak pernah dinyatakan secara
terbuka; tempat orang sudah bisa merasa berbudi hanya dengan merawat istri
?anak-anjing mereka sendiri. Mengalami kelegaan menjadi sesuatu yang dicangkokkan
pada penduduk setempat tanpa diketahui dan menyembunyikan perspektif yang
diperoleh dari perjalanan. Ohio adalah tempat pertama yang dia cintai karena di
sana dia akhirnya bisa memperoleh kedamaian
?Namun, kemudian ayahnya memandang kepa-danya, dengan duduk mengenakan
kurta piyama membersihkan gigi dengan tusuk gigi, dan dia tahu ayahnya berpikir
bahwa itu hanyalah keyakinan yang muncul karena menempatkan diri kita di sebuah
lingkup yang kecil. Dan sang anak lelaki tak akan mampu menahan amarahnya: iri,
iri, bahkan pada anakmu sendiri, demikian dia berpikir, iri, dendam mendalam
dunia ketiga?Sekali, ayahnya datang ke Amerika Serikat, dan dia tidak terkesan, bahkan
dengan ukuran rumah anaknya:
"Apa manfaatnya" Semua ruangan itu terham-par percuma, pemborosan air,
pemborosan listrik, pemborosan pemanas, penyejuk udara, tidak terlalu pintar,
bukan" Dan kau harus berkendara setengah jam untuk ke pasar! Tempat ini disebut
dunia pertama?"" Ekdum bekaart"
Sang ayah mengenai hot dog: "Sosisnya tidak enak, rotinya tidak enak,
sausnya tidak enak, bahkan mustard-nya tidak enak. Padahal ini perusahaan
Amerika! Kita bisa mendapatkan sosis yang lebih enak di Calcutta!"
Sekarang sang anak punya cerita mengenai ba-gasi yang hilang.
* Biju melangkah keluar bandara memasuki malam Calcutta, yang hangat,
laksana mamalia. Kakinya terbenam dalam debu yang telah tersaring menjadi
kelembutan di kakinya, dan dia merasakan suatu perasaan yang tak tertanggungkan,
sedih dan sentimental, tua dan manis layaknya kenangan mengenai jatuh tertidur,
seorang bayi di pangkuan ibunya. Ribuan orang berada di luar meskipun saat itu
sudah hampir pukul sebelas malam. Biju melihat sepasang kambing berjanggut yang
elegan di dalam angkong, berkendara menuju penyembelihan. Se-kumpulan pria tua
dengan wajah kambing yang elegan, tengah mengisap bidi. Sebuah masjid dan
menara-menara menyorotkan sinar hijau gaib pada malam dengan sekelompok
perempuan bergegas lewat dalam balutan burka, gelang kaki berdenting-denting di
balik warna hitam dan campur aduk warna-warni menyala dari sebuah toko permen.
Roti-roti melayang di udara seolah-olah tengah dilemparkan dalam pertunjukan
akrobat, membuat berbintik-bintik langit di atas restoran yang menam-pilkan slogan "Makanan
enak membuat perasaan enak." Biju berdiri di sana dalam malam selembut sari yang
hangat kuku dan berdebu. Keboyakan manis kampung halaman dia merasa segala
?sesuatu di sekitarnya bergeser dan terpasang ke tempat-nya, merasa dirinya
perlahan menyusut ke ukuran semula, kegelisahan raksasa menjadi orang asing
menyurut arogansi dan kehinaan seorang imigran yang tak tertanggungkan itu. Tak
?ada yang memer-hatikannya di sini, dan kalaupun mereka mengatakan sesuatu, kata-
kata mereka santai, acuh tak acuh. Dia melihat sekeliling dan untuk kali
pertama-nya setelah entah berapa lama, pandangannya tak berkabut dan dia
mendapati dirinya bisa melihat dengan jelas. []
EMPAT PULUH SEMBILAN

Senja Di Himalaya The Inheritance Of Lose Karya Kiran Desai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sang hakim beriutut, dan dia berdoa pada Tuhan, dia, Jemubhai Popatlal
sang agnostik, yang telah menempuh perjalanan sukar dan panjang untuk
menggugurkan doa-doa keluarganya; dia yang telah menolak untuk melempar kelapa
ke dalam air dan memberkati perjalanannya sendiri bertahun-tahun lampau di atas
geladak kapal SS Strathnaver.
"Jika kau mengembalikan Mutt, aku akan me-ngakuimu di depan umum, aku tak
akan pernah me-ngingkarimu iagi, aku akan menyatakan pada dunia bahwa aku
percaya padamu padamu jika kau mengembalikan Mutt "
? ? ? Kemudian dia bangkit. Dia tengah menghancur-kan pendidikannya, kembali
pada manusia penuh takhayul yang melakukan tawar-menawar, mengajukan
pengorbanan, berjudi dengan takdir, membu-juk, menantang apa pun yang ada di
luar sana?Tunjukkan padaku jika kau memang ada!
Kalau tidak, aku akan tahu bahwa kau bukan apa-apa.
Bukan apa-apa! Bukan apa-apa! dia mengejek.
?Namun, pada malam hah, pikiran itu kembali memasuki benaknya
?Apakah iman yang telah dia sangkal ini, apakah iman tersebut sekarang
tengah membalasnya" Untuk dosa-dosa yang telah dia perbuat yang tak ada pengadilan di dunia
ini bisa menghadapinya. Namun fakta itu, dia tahu, tidak mengurangi beban yang
mereka taruh di neraca, tidak mengubah semua itu menjadi tiada .... Akan tetapi,
siapa yang mungkin membalasnya" Dia tidak percaya pada Tuhan yang marah, pada
neraca keseimbangan. Tentu tidak. Semesta ini tidak ambil bagian dalam keadilan.
Keadilan semata-mata merupakan kecong-kakan manusiawinya sampai dia lebih tahu.
?Namun, dia memikirkan tentang keluarga yang dia tinggalkan.
Dia berpikir tentang ayahnya, yang kekuatan, harapan, serta cintanya telah
dia reguk, hanya untuk berbalik meludahi wajah ayahnya. Kemudian, dia teringat
tentang bagaimana dia mengembalikan istrinya, Nimi. Pada saat itu, Bomanbhai
Patel pe-milik haveli yang dihiasi ukiran halus itu telah meninggal, dan seorang
paman merebut singgasana-nya, satu-satunya ketidakberuntungan Bomanbhai hanya
?punya anak perempuan, tanpa anak lelaki memainkan kutukannya setelah dia
?tiada. * Benak sang hakim kembali pada alasan yang membuat dia mengirim istrinya
pulang. Ini didasarkan pada satu kejadian khusus.
Pagi-pagi sekali di Bonda, sebuah mobil berhenti dan sekelompok wanita
bermunculan keluar, anggota wanita partai Kongres yang bersemangat, Mrs.
Mohan, berada di belakang setir. Mereka melihat Nimi di samping pintu
gerbang tempat tinggal Jemubhai, "Oh, Mrs. Patel, ikutlah bersama kami mengapa
?selalu menolak" Kali ini aku tak mau mendengar penolakan! Mari pergi dan
bersenang-senang. Anda harus keluar dari rumah sekali-sekali."
Setengah senang, setengah takut, Nimi mendapati dirinya berada di atas
pangkuan lebar seorang asing di dalam mobil itu. Mereka berkendara ke stasiun
dan harus parkir jauh sekali karena ribuan orang telah berkumpul untuk
berteriak-teriak dan berunjuk rasa, "raj Inggris murdabad!: Mereka berhenti
sesaat, lantas mengikuti arak-arakan mobil menuju sebuah rumah.
Nimi diberi piring berisi telur orak-arik dan roti panggang, tetapi dia
tidak memakannya karena situasi terlalu ribut, terlalu banyak orang, semua
berteriak dan berdebat. Dia mencoba tersenyum pada seorang bayi, yang ingat cara
menggerakkan otot-ototnya dengan baik sesaat kemudian dan balas tersenyum ketika
sudah terlambat. Akhirnya, sebuah suara berkata, "Lekaslah, ke-reta sudah hendak berangkat,
kita harus segera sampai di stasiun," dan sebagian besar massa membanjir keluar
dari rumah itu lagi. Salah seorang yang tidak ikut keluar mengantar Nimi ke
rumahnya dan hanya itu saja.
"Kita menjadi bagian sejarah yang tengah di-buat, Mrs. Patel. Hah ini Anda
melihat salah seorang tokoh terbesar di India."
Vang mana" Nimi tidak mengetahuinya.
* ngatkanmu, Patel, sebagai seorang sahabat."
Wajah tak bersahabat. Mr. Singh membenci Jemubhai dan dia membenci orang-
orang Gujarat, secara khusus, dia membenci marga Patel, yang selalu berupaya
mencari keuntungan sendiri, seperti jakal.
Jemubhai mengendarai mobil ke rumah menyusuri jalan kanal. Dia tahu
kemampuan mata-mata yang mereka pekerjakan, tetapi rahangnya menegang dan
mengendur: Bagaimana ini mungkin"
"Aku mengundangnya karena ingin bersikap ramah," demikian Mrs. Mohan
berkata ketika ditegur oleh Jemubhai.
"Karena licik seperti setan," sergah Jemubhai geram.
"Karena nakal," timpal Mr. Mohan, memasukkan mithai ke dalam mulut Mrs.
Mohan untuk menye-lamati istrinya yang pintar dalam hal politik.
Tetapi, apa yang akan dikatakan oleh Nimi"
* Punggung Jemubhai menghadap Nimi saat perempuan itu masuk. Dengan
perlahan, Jemubhai membuat minuman untuk dirinya sendiri, menuangkan kilauan
kejam Scotch, mengambil es batu dengan penjepit perak berbentuk cakar,
menceburkan es batu itu ke dalam gelasnya. Es batu itu retak dan mengeluarkan
asap. "Yang mana?" tanyanya, mengaduk bongkah-bongkah es batu dan berbalik, raut
di wajahnya Sang hakim, kembali dari tur lima ekor ayam hutan, dua ekor burung puyuh,?seekor rusa, terekam dalam catatan berburunya dipanggil oleh komisaris distrik
?saat kembali dan diberi kabar mengejutkan bahwa istrinya termasuk anggota
panitia penyambutan Nehru di Stasiun Kereta Api Militer. Nimi telah menyantap
telur orak-arik dan roti panggang bersama para anggota puncak Partai Kongres.
Bukan catatan buruk mengenai Jemubhai, yang akan mengganjal kenaikan
pangkatnya, yang menjadi keprihatinan komisaris, melainkan aib yang akan
diderita oleh sang komisaris sendiri dan seluruh pamong praja yang memiliki, dia
memukulkan kepa-lan tangannya, "Reputasi, dasar sial!"
"Itu tidak mungkin benar, Pak. Istri saya adalah wanita yang sangat
tradisional. Seperti yang Anda ketahui, dia terlalu pemalu untuk ikut klub.
Malah, dia tak pernah meninggalkan rumah."
"Kali ini dia melakukannya, oh, ya, dia melaku-kannya. Tipe tradisionallah
yang harus diawasi, Mr. Patel. Tidak sepemalu yang ingin kaunyatakan hanya ?berfungsi sebagai pemikat. Aku kira kau akan mendapati bahwa perjalanan ini
mustahil disangkal karena bukti-bukti yang menguatkannya datang tidak hanya dari
satu orang. Aku percaya bahwa tak seorang pun dari anggota keluargamu," dia
berhenti sejenak, "akan melakukan apa pun yang bisa membahayakan kariermu lagi.
Aku memperi- seolah dia tengah menyelenggarakan sidang, bersiap menjalani sebuah proses
rasional yang teliti. Dia meneguk dan wiski itu setengah melumpuh-kan kerongkongannya. Kemudian
kekebasan itu buyar dalam pelepasan panas yang nikmat.
Dia menghitung dengan jari tangannya yang bebas:
1. "Apakah kau ini sekadar orang udik?" Berhenti sebentar.
2. "Apakah kau pembohong?" Berhenti sebentar.
3. "Apakah kau memainkan permainan dungu kaum perempuan?"
Berhenti sebentar. 4. "Apakah kau dengan sengaja mencoba membuatku marah?"
Berhenti lama. Lalu, kalimat yang diludahkan dengan sengit:
5. "Atau apakah kau sekadar bodoh luar biasa?"
Ketika Nimi tak mengatakan apa-apa, dia menunggu.
"Yang mana di antara semuanya tadi" Kita tidak akan mengakhiri percakapan
ini sampai kau menjawab."
Menunggu lebih lama. "Yang mana" Apakah kau benar-benar bodoh, aku bertanya padamu"!" Diam.
"Yah, aku harus menyimpulkan bahwa jawaban-nya adalah semua yang
kusebutkan tadi. Apakah jawabannya adalah semua yang kusebutkan tadi?""
Dengan ketakutan yang semakin meningkat saat Nimi mengucapkan kata-kata
itu, memanggil ruh yang sama dengan yang ada pada malam powder-puff, dia
menantang Jemubhai. Mencengangkan bagi telinga Jemubhai dan telinganya sendiri
yang terkejut, seolah-olah terbangun ke dalam momen kejernihan sebelum mati,
Nimi berkata, "Kauiah yang bodoh."
Untuk kali pertamanya Jemubhai memukul Nimi, meskipun dia sudah ingin
melakukannya sebelum itu dan melawan dorongan melakukannya selama beberapa saat.
Dia menuangkan isi gelasnya di atas kepala Nimi, melemparkan botol air terayun
ke wajah yang tak lagi dianggapnya cantik, mengisi telinga Nimi dengan air soda
yang meletup-letup. Kemudian, ketika ini belum cukup untuk meredakan amarahnya,
dia memukul-mukul dengan tinjunya, mengangkat lengannya untuk dijatuhkan pada
Nimi lagi dan lagi, secara ritmis, sampai tangannya sendiri kehabisan tenaga dan
bahunya keesokan hah menegang sampai sakit seakan-akan habis memotong kayu. Dia
bahkan sedikit pincang, kakinya sakit karena menendangi Nimi.
"Pelacur bodoh, pelacur kotor!" semakin dia menyumpah, semakin keras dia
mendapati dirinya bisa memukul.
Lebam di sana sini terlihat keesokan paginya dalam kontras tragis dengan
pemandangan peradaban yang tenteram telur di mangkuk telur, teh nyaman berada ?di cerek, surat kabar. Lebam-lebam
itu tak memudar selama berminggu-minggu. Sepuluh sidik jari biru kehitaman
membekas di lengan Nimi, gumpalan sehitam mendung terbayang di bagian tubuh Nimi
yang didorong Jemubhai ke tembok gumpalan yang secara mengejutkan menyebar
?gara-gara satu dorongan keras yang tepat itu.
Amarah, begitu dilepaskan, seperti jin dari dalam botol, tak bisa lagi
dikekang. Semakin Nimi diam, semakin nyaring Jemubhai berteriak, dan jika Nimi
memprotes, lebih buruk lagi. Nimi segera menyadari bahwa apa pun yang dia
perbuat atau tidak dia perbuat, hasilnya sama saja. Kebencian Jemubhai adalah
makhluk tersendiri; kebencian itu meningkat dan membakar, muncul kembali dengan
sendirinya, dan dalam diri Nimi Jemubhai hanya berusaha mencari pembenaran,
mencari penyempurnaan bagi kebencian itu. Dalam saat-saat paling murni, Jemubhai
bisa membayangkan dirinya membunuh Nimi,
Pada titik ini Jemubhai menjadi semakin berhati-hati, sangat teliti dalam
segala bidang lain dalam hidupnya pekerjaannya, kegiatan mandinya, kegia-tan
?menyisir rambutnya risau dengan kesadaran akan betapa mudahnya bagi dia untuk
?tergelincir dari kendali dan membiarkan kariernya melakukan tindak kekerasan
final. * Musim semi tiba di Bonda dalam warna-warni ter-siram susu, dan cecak,
kodok, serta ulat bulu yang baru menetas berlompatan dan merayap di sekitar
dalam ukuran bayi mungil yang menawan. Jemubhai tak tahan lagi memandang
wajah Nimi, membelikan-nya tiket, dan mengembalikan Nimi ke Gujarat.
"Terlalu memalukan," kata Nimi, terbangun dari keadaan tak sadarnya. Dia
bisa tahan untuk dirinya sendiri malah, itu akan seperti obat penenang, suatu
?tempat yang gelap untuk menyembunyikan diri tetapi untuk keluarganya yah,
? ?pikiran tentang rasa malu mereka atas dirinya terlalu berat untuk ditanggung.
"Jika aku tidak mengirimmu pulang," kata Jemubhai pada Nimi pada titik
ini, dengan nada nyaris ramah, "aku akan membunuhmu. Dan aku tidak ingin
dipersalahkan untuk kejahatan semacam itu, jadi kau harus pergi."
Enam bulan kemudian sebuah telegram sampai di Bonda untuk mengumumkan
kelahiran seorang bayi. Jemubhai mabuk-mabukan malam itu dan bukan karena bahagia. Tanpa melihat
anaknya, dia sudah yakin bahwa bayi itu akan terlihat: semerah le-puhan,
melengking seperti ketel air, menumpahkan cairan, gelombang panas dan kemarahan
memancar darinya. Nun jauh dari Jemubhai, Nimi sedang memanda-ngi anak perempuannya. Bayi
itu tengah tidur nyenyak, dan pada bulan-bulan awal kehidupannya, kedamaian
tampak begitu dalam tertambat pada dirinya.
* "Istrimu siap untuk kembali. Dia sudah beristirahat," tulis paman di
haveli, dengan penuh harap. Dia salah memahami alasan kepulangan Nimi dan
mengait-kannya dengan keprihatinan Jemubhai mengenai kesehatan istrinya karena
bagaimanapun, pantas-pantas saja bila seorang anak perempuan pulang untuk
melahirkan anak pertama. Mereka berharap bayi ini akan membawa ayahnya kembali
ke komu-nitas mereka. Dia sekarang sudah menjadi orang yang berpengaruh dia ?bisa membantu mereka semua.
* Jemu mengirim uang bersama sepucuk surat. "Itu tidak bisa dilakukan,"
balasnya. "Pekerjaanku banyak. Tidak ada sekolahan. Terus-menerus melakukan
perjalanan Sang paman mengusir sang keponakan. "Kau adalah tanggung jawab suamimu,"
katanya dengan marah. "Pulanglah. Ayahmu memberi mas kawin ketika kau
menikah kau sudah mendapatkan ba-gianmu dan anak perempuan tidak berhak meng-
?klaim apa-apa setelah itu. Jika kau telah membuat suamimu marah, mintalah maaf
padanya." Ayolah pulang, gadis manisku tercinta.
Nimi menjalani sisa hidupnya dengan seorang saudara perempuan yang tak
menikah sesukses dan setinggi Nimi. Saudara iparnya membenci setiap gigit
makanan yang memasuki mulut Nimi. Dia mencari tanda-tanda bahwa Nimi bertambah
gemuk dalam pengayomannya yang dermawan
* Ayah Jemubhai datang untuk memohon.
"Kehormatan keluarga kita telah lenyap. Kita beruntung Bomanbhai sudah
mati, syukurlah. Itu menjadi skandal di kota."
"Kenapa ayah bicara seperti ini?" ujar Jemubhai kepada ayahnya. "Ayah
mengikuti skenario orang udik. Dia tak pantas jadi istriku."
"Mengirimmu pergi adalah sebuah kesalahan. Kau sudah berubah menjadi orang
asing bagi kami." "Ayah sendirilah yang mengirimku dan sekarang Ayah datang serta mengatakan
itu adalah sebuah kesalahan! Bagus sekali." Dia direkrut untuk membawa rekan-
rekan senegaranya memasuki zaman modern, tetapi dia hanya bisa berhasil
sendirian dengan menyingkirkan mereka semua, atau mereka akan muncul dengan
penuh celaan, menunjukkan padanya kebohongan yang telah dia jelma.
* Ayahnya hanya menginap dua malam. Mereka tidak banyak bicara setelah
percakapan pertama, dan Jemubhai tak menanyakan apa-apa mengenai siapa-siapa di
Piphit karena dia menyadari bahwa melakukan hal itu akan merupakan sebuah
penghinaan. Namun, ketika ayahnya pergi, Jemubhai mencoba memberinya uang,
secara memalukan ber- upaya memindahkannya dari tangan ke tangan. Ayahnya tak mau menerima,
memalingkan wajah, dan masuk ke dalam mobil. Sang hakim merasa dia seharusnya
memanggil ayahnya untuk kembali, dan dia sudah hendak melakukannya, kata-kata
sudah di berada di ujung tenggorokannya tetapi dia tidak mengatakan apa-apa dan?sopir membawa ayahnya kembali ke stasiun tempat, tak terlalu lama sebelumnya,
Nimi telah melihat Nehru, tanpa diketahui oleh Nimi sendiri.
* Perang pecah di Eropa dan India, bahkan di desa-desa, dan berita-berita
tentang kehancuran negara itu memenuhi surat kabar; setengah juta orang mati
dalam kerusuhan, tiga sampai empat juta mati dalam kelaparan di Bengali, tiga
belas juta tergusur dari rumah mereka; kelahiran bangsa itu benar-benar
diselubungi kegelapan. Itu terlihat sudah selayaknya.
Sang hakim bekerja lebih keras daripada se-belum-sebelumnya. Kepergian
Inggris meninggalkan kekosongan kekuasaan yang besar, semua orang India yang
menjadi anggota ICS naik ke level puncak, tak peduli berada di pihak mana mereka
dalam perjuangan kemerdekaan, tak peduli bakat ataupun keahlian mereka.
Di suatu tempat, dalam laju tahun-tahun yang gelap itu, telegram kedua
tiba, telegram yang mendahului telegram mengenai akan datangnya Sai
ke Cho Oyu. Seorang perempuan terbakar api kompor.
Oh, negara ini, orang-orang berseru, senang bisa mencebur ke dalam
kalimat-kalimat biasa, di sini nyawa manusia murah, di sini standar sangat
jelek, di sini kompor dibuat dengan asal-asalan dan kain sari murahan mudah
terbakar ?sebagai seorang perempuan kau ingin mati atau
? ?yah, sebagai seorang perempuan yang ingin bunuh diri
? ?tanpa saksi, tanpa kasus
? ?begitu mudah, satu gerakan tangan
? ?dan untuk polisi, kasusnya sangat sederhana, sekadar satu lagi gerakan
?tangan yang cepat ?rupee menimbulkan gerakan berminyak di antara dua telapak tangan
? ?"Oh, terima kasih, Tuan," kata seorang polisi.
"Tak perlu berterima kasih pada saya," kata sang saudara ipar.
Dan dalam satu kedipan mata kau bisa mele-watkan segalanya.
Sang hakim memilih untuk memercayai bahwa itu adalah kecelakaan.
Abu tak punya berat, abu tak membocorkan rahasia, abu melayang terlalu


Senja Di Himalaya The Inheritance Of Lose Karya Kiran Desai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ringan untuk rasa bersalah; terlalu ringan untuk gravitasi, abu melayang naik
dan, syukurlah, menghilang.
Tahun-tahun ini kabur bagi banyak orang, dan ketika mereka keluar dari
tahun-tahun tersebut, dengan kelelahan, seluruh dunia telah berubah, ada
jurang dalam segala sesuatu apa yang telah terjadi dalam keluarga mereka ?sendiri, apa yang telah terjadi di tempat lain, kekejian apa yang telah terjadi
seperti epidemi di semua tempat di sebuah dunia yang sekarang penuh dengan
kuburan-kuburan tanpa nisan mereka tidak melihat karena mereka tak mampu
?memeriksa masa lalu. Mereka harus meraih masa depan dengan segala yang mereka
miliki. Satu hal sejati yang dipelajari Jemubhai: hati manusia bisa berubah
menjadi apa pun. Adalah mungkin untuk melupakan kalau bukan penting sekali untuk
melupakan. * Sekarang Jemubhai bertanya-tanya apakah dia telah membunuh istrinya demi
ideal-ideal yang ke-liru. Mencuri harga diri perempuan itu, memperma-lukan
keluarganya, mempermalukan keluarga Nimi, mengubah Nimi menjadi penjelmaan rasa
malu mereka. Bahkan, mereka pun tak mampu menerima Nimi saat itu, dan hidup Nimi
hanya bisa menjadi tak berguna setelahnya, dan anak perempuannya hanya bisa
menjadi tak berguna dan absurd. Jemubhai telah membuang gadis itu ke sekolah
asrama biara, lega ketika gadis itu meraih tingkat ketidakber-gunaan dan
keabsurdan baru dengan kawin lari bersama seorang lelaki yang dibesarkan di
panti asuhan. Bahkan, para kerabat sudah tidak meng-harapkan Jemubhai
memerhatikan anak itu lagi
?Jemubhai tidak menyukai istrinya, tetapi itu tidak bisa dijadikan alasan,
bukan" Kemudian, dia teringat suatu saat dulu sekali ketika dirinya pernah benar-
benar menyukai Nimi. Jemubhai berusia dua puluh tahun, Nimi empat belas tahun.
Tempatnya adalah Piphit dan mereka berada di atas sepeda, menuruni lereng dengan
hang gembira di sela-sela tahi sapi.
* Sai tiba bertahun-tahun sesudahnya, dan meskipun sang hakim tak pernah
mengakui dengan sela-yaknya fakta itu pada dirinya sendiri, dia tahu bahwa
dirinya berharap sebuah sistem peradilan yang tak bernama mulai menghapus utang-
utang-nya. * "Mutt," suara sang hakim pecah. "Cintaku yang lucu. Cintaku yang nakal.
Cintaku yang lucu dan nakal." Ke atas pegunungan dia mencari.
....... Ditemani oleh Sai dan si juru masak.
* Ketika Mutt menghilang, Sai, yang menyembunyikan rasa kehilangannya akan
Gyan pertama-tama dalam flu dan kemudian dalam kerusuhan di lereng perbukitan,
menemukan penyamaran yang sangat
sempurna, sampai-sampai dirinya sendiri bingung mengenai asal usul
kesedihannya. "Mutt Mutty Mutton chop," Sai memekik naik-turun, dengan cara yang
tak pernah bisa dilakukannya di depan publik untuk menyatakan kesedihannya
sendiri. Dia merasa bersyukur atas keluasan hamparan tanah ini, terus berjalan
mencoba menemukan kembali kaki langit karena rasanya ruang meninggalkannya ?pada peng-hujung percintaan yang menjanjikan pemandangan luas yah, kaki langit
?itu tidak ada. Kesedihan begitu takut akan ruang sempit.
Si juru masak juga berjalan, berteriak, "MUTTY," kekhawatirannya akan anak
lelakinya terbungkus dalam hilangnya Mutt, "MUTTY." Dia tengah ber-bicara dengan
takdirnya tangannya terulur, tela-pak tangannya membuka, suratnya, belum juga
?datang. [] LIMA PULUH "Tidak ada bus ke Kaiimpong." "Mengapa tidak?"
Ada di surat kabar, bukan" Pria di terminal bus Siliguri terkejut oleh
ketidaktahuan Biju. Di TV" Di setiap percakapan" Di udara"
Berarti masalah masih terus berlanjut"
Semakin buruk. Bagaimana mungkin dia tidak tahu" Dia datang dari mana"
Dari Amerika. Tidak ada surat kabar, tidak ada telepon ....
Pria itu lantas mengangguk-angguk, bersimpati.
Tetapi, "Tidak ada kendaraan yang menuju Kalimpong. Situasi sangat tegang,
thai. Ada penem-bakan di sana. Semua orang jadi gila."
Biju berubah ngotot, "Aku harus pergi. Ayahku di sana
"Tidak bisa pergi. Tidak mungkin. Situasi di sana gawat dan mereka
memblokir jalan, menebarkan oli mobil dan paku di sepanjang jalan semua jalan
?benar-benar tertutup."
Biju duduk di atas barang-barangnya di terminal bus sampai pria itu
akhirnya merasa iba kepadanya.
"Dengar," katanya, "pergilah ke Panitunk dan kau mungkin bisa mendapatkan
angkutan dari sana, tetapi itu sangat berbahaya. Kau nanti harus
memohon-mohon pada orang-orang GNLF."
Biju menunggu di sana selama empat hah sampai sebuah jip GNLF hendak
berangkat. Mereka menyewakan tempat duduk ekstra dengan harga sangat tinggi.
"Tidak ada tempat," kata orang-orang itu kepada Biju.
Biju membuka dompet barunya untuk mengambil dolar.
Dia membayar. Abraham Lincoln, pada Tuhan kita beriman .... Orang-orang itu
tak pernah melihat uang Amerika, mengedarkan lembar-lembar uang tersebut dan
menelitinya. "Tetapi kau tak bisa membawa barang sebanyak
itu." Dia membayar lagi, mereka menumpuk tas-tas-nya di atas kap mobil dan
mengikatnya dengan tali, kemudian mereka pergi, menyusuri jalan sempit yang
tinggi di atas ladang-ladang kebanjiran, melintasi pijar padi dan pisang muda,
melalui suaka margasatwa dengan tanda raksasa, "DILARANG MEMBERI MAKAN SATWA
LIAR," terpaku di pepo-honan. Dia merasa sangat santai di belakang, bahkan
perjalanan dengan orang-orang ini tidak meng-ganggu ketenangannya. Dia
menjulurkan kepala keluar dan mendongak menatap tas-tasnya untuk memastikan tas-
tas itu masih terikat dengan benar.
Jalan miring, hanya berupa segaris tonjolan ka-rang di atas Teesta, sebuah
sungai gila, Biju teringat, yang melonjak ke belakang sekaligus ke depan setiap
saat. Biju bergelantungan pada rangka
logam jip itu saat kendaraan tersebut bermanuver melintasi parit-parit
berpinggiran tinggi, galur-galur, serta di atas bebatuan lubang di jalanan itu ?lebih banyak ketimbang jalannya sendiri dan segala sesuatu dari hati sampai
darah Biju terguncang-guncang hebat. Dia memandang ke bawah pada ketiadaan,
bergegas mengembalikan pandangannya pada tepian sungai yang bopeng. Maut begitu
dekat Biju melupakan ini dalam eksistensi abadinya di Amerika kedekatan
? ?konstan ini dengan tujuan terdekat seseorang.
Maka, berpegangan erat pada tempurung logam itu, mereka meliuk-liuk
menaiki bukit. Ada banyak kupu-kupu beragam jenis, dan ketika hujan turun
sedikit, kupu-kupu itu menghilang. Hujan berhenti dan kupu-kupu kembali: hujan
kecil turun lagi, dan mereka menghilang lagi. Awan mengembus keluar-masuk jip,
mengaburkan orang-orang itu dari satu sama lain setiap beberapa saat. Di
sepanjang jalan, kodok bernyanyi penuh semangat. Terdapat seti-daknya selusin
tanah longsor di jalan antara Siliguri dan Kalimpong, dan saat mereka menunggu
tanah-tanah longsor itu dibersihkan, para pedagang asongan datang menawarkan
momo dalam ember, buah kelapa yang dipotong dalam irisan segitiga. Di sinilah
ayahnya tinggal dan di sinilah Biju dulu mengunjunginya dan di sinilah mereka
merenca-nakan untuk mengirim dirinya ke Amerika, dan Biju, dalam
ketidaktahuannya, melakukan tepat seperti yang diperintahkan oleh sang ayah,
dalam ketidaktahuannya sendiri. Apa yang mungkin diketahui
oleh ayahnya" Kebiasaan meninggalkan keluarga untuk bekerja telah mengutuk
mereka selama beberapa generasi sehingga mereka selalu meninggalkan hati mereka
di tempat lain, benak mereka memikirkan tentang orang di tempat lain; mereka tak
pernah berada dalam satu eksistensi pada satu waktu. Betapa menyenangkannya
menjalani hal yang sebaliknya.[]
LIMA PULUH SATU Sang hakim, yang ielah menunggu, jatuh tertidur dan bermimpi bahwa Mutt
sedang sekarat sesaat Mutt sadar dari delirium, memandang sang hakim dengan
?sorot pengenalan, mengibaskan ekor dengan upaya heroik, dan sedetik kemudian lenyaplah sudah, jiwa di balik matanya.
"Mutt?" sang hakim mencondongkan tubuh ke arah Mutt, mencari-cari secercah
cahaya. "Tidak ada," kata si juru masak, juga dalam mimpi sang hakim, "dia sudah
mati, lihatlah," desak-nya dengan raut pasti, lalu dia mengangkat salah satu
kaki Mutt dan melepaskannya. Kaki itu tidak terjatuh kembali dengan cepat. Kaki
itu turun dengan perlahan-lahan. Mutt menjadi kaku, dan si juru masak menjentik
anjing itu dengan kukunya, tetapi Mutt tidak tersentak.
"Jangan sentuh dia! Aku akan membunuhmu!" teriak sang hakim nyaring,
membangunkan dirinya sendiri, teryakinkan oleh logika mimpinya.
* Keesokan harinya ketika kembali dari satu lagi upaya pencarian tanpa
hasil, sang hakim mengulangi kata-katanya, "jika kau tidak menemukan Mutt
SEKARANG JUGA," katanya, dengan suara meleng-king, pada si juru masak,
"AKU AKAN MEMBUNUHMU. Benar. Aku sudah muak. Ini kesalahanmu. Merupakan tanggung
jawabmu untuk mengawasinya ketika aku pergi mandi."
Di sinilah perbedaannya: si juru masak menyukai Mutt. Dia mengajak Mutt
jalan-jalan, membuatkan roti panggang untuk sarapan Mutt dengan sebutir telur di
musim dingin, membuatkan makanan rebus, memanggilnya, "Mutty, Ishtu, Ishtoo,"
tetapi jelas, senantiasa, bahwa Mutt hanyalah seekor binatang baginya.
Sang hakim dan juru masaknya telah tinggal bersama jauh lebih lama
ketimbang mereka pernah tinggal dengan siapa pun, bisa dibilang di kamar yang
sama, lebih dekat satu sama lain ketimbang dengan manusia lain dan tak saling ?memahami, sedikit pun, sama sekali.
Saat itu dua minggu setelah Mutt menghilang. Dia pasti sudah mati sekarang
jika dia digigit ular atau pasti sudah mati kelaparan jika dia terluka di suatu
tempat yang jauh. "Tetapi TEMUKAN," perintah sang hakim pada si juru masak. "TEMUKAN DIA.
SEKARANG JUGA." "Bagaimana, bagaimana caranya, sahib?" Si juru masak memohon .... "Saya
sedang berusaha, saya sudah berusaha
"TEMUKAN DIA. Ini kesalahanmu. Mutt dalam penjagaanmu! Aku akan
MEMBUNUHMU. Tunggu saja. Kau tidak melaksanakan kewajibanmu. Kau tidak mengawasi
Mutt. Itu tugasmu dan kau mem-
biarkan dia dicuri. Berani-beraninya kau" Berani-beranianya kau?""
Si juru masak bertanya-tanya apakah dia memang telah melakukan sesuatu
yang salah dan rasa bersalahnya mulai tumbuh. Apakah dia sudah lalai" Dia sudah
gagal melaksanakan tugasnya, bukan" Dia tidak mencari dengan cukup keras. Dia
tidak menunjukkan rasa hormat. Dia seharusnya mengawasi Mutt pada hah ketika
anjing itu menghilang ....
Dia mulai menangis tanpa memandang pada siapa pun serta apa pun dan
menghilang ke dalam hutan.
Terlintas di benaknya saat berjalan tersandung-sandung bahwa dia telah
melakukan sesuatu yang sedemikian buruk sampai-sampai dia akan dibalas oleh
takdir dan sesuatu yang lebih buruk akan terjadi.
Sai sekarang berjalan naik-turun jalan setapak berteriak ke pepohonan
mencari si juru masak, "Pu-langlah, tidak apa-apa, dia tidak sungguh-sungguh,
dia sangat sedih sampai dia gila, dia tak menyadari apa yang dikatakannya
Sang hakim tengah minum di beranda dan me-yakinkan diri sendiri bahwa dia
sama sekali tidak merasa menyesal, dia benar-benar berhak mengatakan apa yang
dia katakan kepada si juru masak .... Tentu saja! Aku akan membunuhmu!"
"Di mana kau?" panggil Sai, berjalan di bawah gugusan Bimasakti, yang, dia
baca dalam My Vanishing Tribe, oleh kaum Lepcha disebut Zo-lungming, 'dunia
beras'. Paman Potty menyeru-"Sudahkah kau menemukan anjing itu?"
"Belum, dan sekarang si juru masak juga hilang." "Dia akan kembali. Mau
menemaniku minum?" Tetapi Sai terus berjalan.
Si juru masak tidak mendengar Sai karena dia secara tak sengaja masuk ke
Kantin Thapa's, yang penuh dengan pria yang tengah minum, menghabiskan sisa uang
mereka. Dia menceritakan pada mereka apa yang terjadi dan itu membuat mereka
tertawa, sekelumit humor pada masa-masa yang menakutkan ini. Anjing mati!
Keriuhan menyebar. Mereka nyaris tak bisa berhenti tertawa. Di suatu tempat
ketika orang mati tanpa terlalu diperhatikan. Mereka mati karena TBC, hepatitis,
lepra, demam kuno biasa .... Dan tak ada pekerjaan, tak ada lowongan, tak ada yang
bisa dimakan ribut-ribut seperti ini soal anjing! Ha ha ha ha ha ha.?"Ini bukan sesuatu yang lucu," sergah si juru masak, tetapi dia ikut
tertawa sedikit, merasa lega bahwa hal ini jelas-jelas lucu, tetapi kemudian dia
merasa lebih buruk, merasa bersalah berlipat ganda, dan dia meneruskan rengekan
dan ratapannya. Dia telah melalaikan tugasnya .... Kenapa dia tidak mengawasi
kutti itu .... Di sebuah sudut Kantin Thapa's ada Gyan, yang sudah diperbolehkan keluar
rumah lagi. Dia tidak tertawa. Oh, hah mengerikan ketika dia memberi tahu para
pemuda tentang senjata sang hakim itu. Apa, di atas segalanya, yang telah Sai
lakukan terhadapnya" Rasa bersalah melanda lagi dan dia
merasa pusing serta mual. Ketika si juru masak pergi, Gyan mengejarnya.
"Aku tidak datang untuk memberi les karena segala kekacuan ini ....
Bagaimana Sai?" kata Gyan komat-kamit.
"Dia sangat mengkhawatirkan anjing itu. Dia menangis terus."
"Katakan padanya aku akan mencari Mutt."
"Bagaimana kau akan melakukannya?"
"Katakan padanya bahwa aku berjanji akan menemukan anjing itu. Tidak usah
khawatir. Yakin-lah dan katakan padanya. Aku akan menemukan Mutt dan membawanya
ke rumah kalian." Gyan mengucapkan kalimat ini dengan keyaki-nan yang tak ada hubungannya
dengan Mutt atau-pun kemampuan Gyan menemukan anjing tersebut.
Si juru masak memandanginya dengan curiga. Dia tak terlalu terkesan dengan
kemampuan Gyan. Bahkan, Sai sendiri telah memberi tahu si juru masak bahwa guru
lesnya tak terlalu pintar.
Tetapi sekali lagi Gyan mengangguk yakin. Ketika bertemu Sai nanti, dia
akan membawa oleh-oleh untuk gadis itu.[]
LIMA PULUH DUA Biju sudah lama tidak pernah melihat keluasan se-macam itu kebesaran yang?melimpah dan menye-luruh dari pegunungan serta bebatuan yang meme-nuhi sisinya.
Di beberapa tempat, seluruh pegunungan benar-benar terlepas dari dirinya
sendiri, terhampar seperti sungai es penuh bebatuan besar, pepohonan tumbang. Di
seberang kehancuran itu, jalan bagai alur semut yang membahayakan itu tersapu
bersih. Biju merasa tergairahkan oleh keluasan belantara, oleh tanaman-tanaman
menjalar, hijau melimpah yang menjalar dan menjerit, ketidak-senonohan lolongan
kodok yang seperti suara tanah dan udara itu sendiri. Tetapi persoalan jalan
tersebut sungguh membosankan. Oleh karena itu, merasa sabar seperti seseorang di
hadapan kebesaran alam, tak sabar seperti yang dirasakan seseorang pada detail-
detail manusia, Biju menanti perjumpaan dengan ayahnya. Tugas memahat kembali
sebuah jalan menembus reruntuhan ini tentu saja biasanya dikontrakkan pada tim-
tim lelaki dan perempuan cebol serta bungkuk yang menyusun kembali segala
sesuatu dari batu demi batu, meletakkan semuanya menjadi satu lagi setiap kali
pekerjaan mereka terkoyak, membawa batu-batu dan lumpur dalam keranjang rotan
yang dicantelkan pada tali di sekeliling dahi mereka, ter-huyung-huyung seperti
orang gila gara-gara beban tersebut, memukul-mukul batu-batu kali besar lagi dan
lagi selama berjam-jam dengan palu dan pahat sampai sekeping terlepas, lantas
sekeping lagi. Mereka menghamparkan batu-batu tersebut dan permukaan jalan
teraspal lagi Biju teringat bagaimana, saat masih kecil, ayahnya selalu
?menyuruh-nya berjalan di atas aspal yang baru disebar setiap kali mereka
menemuinya, untuk memperkuat, demikian menurut sang ayah, sol sepatu Biju yang
tipis. Karena sekarang pemerintah menangguhkan perbaikan, orang-orang GNLF di
dalam jip terpaksa berjuang keluar sendiri dan menggelindingkan batu-batu kali
ke pinggir, menyingkirkan batang-batang pohon tumbang, menyekop bongkahan-
bongkahan tanah .... Mereka melewati tujuh longsoran tanah. Pada longsoran
kedelapan mereka terus saja terperosok dalam lumpur, jip menggelinding turun
kembali. Mereka mundur, memerlukan ruang untuk me-mutar mesin dan mengumpulkan
tenaga yang cukup untuk melewati galur-galur serta tanah tak ber-aspal, kemudian
berkendara lagi dengan kecepatan tinggi. Berkali-kali mesin macet dan mati lalu
mereka kembali menggelinding mundur. Mereka mundur lagi, kemudian terdengar brum
brum bruuum1. ..... Mereka keluar lagi, semuanya kecuali pengemu-di, melepas ikatan barang-
barang bawaan dan menumpuknya di atas tanah basah. Akhirnya pada percobaan
kesebelas, setelah mundur sangat jauh
dan mendorong maju, mesin menyentak jip kembali berguncang-guncang, dan
?mereka bertepuk tangan lega, menumpuk kembali barang-barang ke atas, memanjat
masuk, dan berangkat. Mereka nyaris menghabiskan waktu seharian penuh untuk
perjalanan yang seharusnya hanya memakan waktu dua jam. Tentunya mereka akan
segera tiba. Kemudian, mereka membelok ke sebuah jalan yang lebih kecil, yang lebih
sulit untuk dilalui.

Senja Di Himalaya The Inheritance Of Lose Karya Kiran Desai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apakah ini jalan Kalimpong?" tanya Biju, kebi-ngungan.
"Kami harus mengantarkan beberapa orang ter-lebih dahulu .... Mengambil
jalan memutar." Jam demi jam berlalu .... Longsoran kesembilan lantas kesepuluh.
* "Tetapi kapan kita akan sampai di Kalimpong?" tanya Biju. "Apakah kita
bisa sampai nanti malam?"
"Tenang saja, bhai." Mereka tidak terlihat risau meskipun matahari
terbenam dengan cepat dan kegelapan lembap yang dingin tertumpah dari belantara.
Sudah larut malam saat mereka mencapai beberapa gubuk kecil di sepanjang
jalan tanah yang terdiri dari lumpur yang teraduk dan genangan-genangan air.
Orang-orang itu keluar dan menurun-kan semua barang bawaan mereka, termasuk
koper-koper dan tas Biju.
"Berapa lama kita berhenti di sini?"
"Kami hanya bisa sampai di sini. Kau bisa berja-lan ke Kalimpong sendiri,"
kata mereka dan menun-juk sebuah jalan setapak di sela-sela pepohonan. "Jalan
pintas." Kepanikan menyentak dalam dirinya. "Bagaimana aku bisa membawa barang-
barangku?" "Tinggalkan saja di sini. Supaya aman." Mereka tertawa. "Kami akan
mengirimkan barang-barang tersebut kepadamu nanti."
"Tidak," kata Biju, dibuat ngeri oleh kesadaran bahwa dirinya tengah
dirampok. "Pergilah!" mereka menunjuk.
Biju berdiri di sana. Daun-daun menjulang dalam satu gerombolan; suara
katak mengembang menjadi nada yang sama seperti yang mengembang dalam telinga
Biju melalui telepon pada hah ketika dia menelepon ayahnya dari jalanan New
York. Di atas sana, pegunungan membentang?Di bawah, pegunungan menukik curam, seperti dalam mimpi buruk, nun jauh
menuju Teesta. "Pergilah, silakan! Bhago," ujar seorang pria, sekarang menunjuk dengan
senapannya. Biju berbalik. "Tetapi berikan dompetmu kepada kami dan lepas sepatumu sebelum kau
pergi." Biju membalikkan badan kembali.
"Ikat pinggangnya juga bagus," kata seorang pria lain, memandangi ikat
pinggang kulit itu dengan penuh minat. "Bagus sekali baju-baju yang dibeli di
Amerika. Kualitasnya sangat baik."
Biju menyerahkan dompetnya. Dia melepas ikat
pinggangnya. "Kau melupakan sepatumu."
Biju melepaskan sepatunya. Di bawah sol palsu sepatu tersebut terdapat
tabungannya. "Jaketmu." Dan ketika jaket denimnya sudah lepas, mereka memutuskan bahkan
jins dan t-shirt Biju juga menarik.
Biju mulai gemetaran, dan dengan meraba-raba, tersandung-sandung, dia
melepaskan potongan ter-akhir pakaiannya, berdiri dengan hanya mengenakan celana
dalam putihnya. Pada saat ini, anjing-anjing dari seluruh penjuru busti meluncur
berdatangan. Anjing-anjing itu penuh luka dan botak akibat perkelahian dan pe-
nyakit, tetapi mereka, seperti tuan-tuan mereka, memiliki roman kriminal.
Anjing-anjing tersebut me-ngelilingi Biju dengan gaya bandit, ekor melengkung ke
atas seperti bendera, menyalak dan menggertak.
Anak-anak dan perempuan mengawasi dari dalam bayang-bayang.
"Biarkan aku pergi," Biju memohon.
Salah seorang pria, sambil tertawa terbahak-bahak, menarik sebuah daster
dari pagar tanaman tempat pakaian itu dijemur. "Jangan, jangan, jangan berikan
itu padanya," pekik seorang wanita tua ompong yang buruk rupa, jelas pemilik
pakaian itu. "Biar dia pakai, kami akan membelikanmu baju yang lain. Dia datang
dari Amerika. Mana boleh dia pergi menemui keluarganya dalam keadaan bugil?"
Mereka tertawa. Dan Biju lari?Dia lari memasuki hutan belantara dengan dike-jar anjing-anjing tersebut,
yang tampaknya juga sedang menikmati lelucon, menyeringai dan meng-gertakkan
gigi. Akhirnya, ketika Biju telah melewati daerah yang dianggap anjing-ajing itu
sebagai batas kekuasaan mereka, mereka bosan dan mengeluyur pulang.
Pekat pun hinggap dan Biju duduk persis di tengah-tengah jalan
setapak tanpa tas-tasnya, tanpa tabungannya, dan yang paling buruk, tanpa harga
?dirinya. Kembali dari Amerika dalam keadaan jauh lebih kekurangan ketimbang yang
pernah dia alami. Dia mengenakan daster tersebut. Daster itu berbunga-bunga merah muda pudar
dengan lengan menggembung berwarna kuning, kerutan di leher dan pinggiran baju.
Daster itu tentulah telah dipilih dengan cermat dari tumpukan pakaian di pasar.
* Mengapa dia pergi" Mengapa dia pergi" Sungguh bodoh dirinya. Biju
memikirkan Harish-Harry-"pulanglah untuk beristirahat dan kemudian kembali." Mr.
Kakkar, sang agen perjalanan, yang telah memperingatkannya-"Sobat, biar kuberi
tahu, kau membuat kesalahan besar."
Biju memikirkan Saeed Saeed.
Pada satu kesempatan terakhir, Biju bertemu dengan Saeed Saeed secara
kebetulan. "Biju, Bung, aku melihat gadis ini, saudara pe-
rempuan Lutfi, dia berkunjung dari Zanzibar, dan BEGITU aku melihat gadis
itu, aku berkata pada Lutfi, 'kurasa dialah ORANGNYA, Bung.1" "Kau sudah
menikah." "Tetapi empat tahun lagi aku akan mendapatkan green card-ku dan ... fshht ...
enyah .... Aku akan bercerai dan menikah sungguhan. Saat itu kami hanya akan
melangsungkan upacara di masjid .... Gadis ini ... Dia
Biju menunggu. Saeed meledak penuh ketakjuban, "SANGAT Biju menunggu.
"BERSIH!! Baunya .... SANGAT HARUM! Dan uku-ran empat belas. UKURAN
TERBAIK!" Saeed menunjukkan pada Biju dengan tangan terbentang betapa mungil
menawannya ukuran sang istri kedua.
"Tetapi ketika aku menemuinya, aku tidak me-nyentuhnya sedikit pun.
Bahkan, tidak seperti ini-" Dia mengacungkan jarinya seperti seekor siput malu-
malu dari dalam cangkangnya. "Aku bersikap sopan. Kami akan membeli rumah di New
Jersey. Aku sedang mengikuti kursus di bidang pemeliharaan pesawat terbang."
* Biju duduk ketakutan karena apa yang telah dia lakukan, karena sendirian
di dalam hutan, dan dia takut orang-orang itu akan datang mengejarnya lagi. Dia
tak bisa berhenti memikirkan segala barang
yang telah dia beli dan sekarang hilang. Tentang uang yang dia sembunyikan
di bawah sol palsu sepatunya. Tentang dompetnya. Tiba-tiba saja, dia merasa
denyutan lama lutut yang dulu terluka saat dia tergelincir di lantai Harish-
Harry.[] LIMA PULUH TTGA Di Cho Oyu, para katak tengah menguak di jhora, di bedeng bayam, dan
tinggi di dalam tanki air di atas pepohonan. Pada larut malam itu, si juru ma-
sak masuk menembus tanaman nightshade dan mengetuk pintu sang hakim.
"Ada apa?" tanya sang hakim.
Si juru masak membuka pintu dalam keadaaan terbungkus alkohol begitu tebal
sampai-sampai membuat matanya berair seperti bawang merah. Setelah berhenti di
Kantin Thapa dan minum-minum di sana, dia kembali pada persediaan chhang-nya
sendiri dan menenggaknya pula.
"Jika saya telah bersikap tidak patuh," dia ber-komat-kamit, mendekati
kaki tempat tidur sang hakim dengan mata yang tidak terfokus, "pukul saya."
"Apa?" kata sang hakim, terduduk di tempat tidur dan menyalakan lampu,
juga dalam keadaan mabuk. Gara-gara wiski.
"Saya orang jahat," teriak si juru masak, "saya orang jahat, pukul saya,
sahib, hukum saya." Berani-beraninya dia?Berani-beraninya dia menghilangkan Mutt berani-beraninya dia tidak
menemukan Mutt berani-beraninya dia datang dan mengganggu sang hakim
?ii Apa" ii "APA KATAMU?"?"!!!!" sang hakim berteriak. "Sahib, pukul saya "
?"Jika itu membuatmu merasa lebih baik," kata sang hakim, "baiklah."
"Saya orang jahat, orang lemah. Saya lebih baik mati daripada hidup."
Sang hakim bangkit dari tempat tidur. Di tempat tidur dia berat; saat
berdiri dia ringan. Dia harus terus bergerak .... Jika dia tidak memperluas diri
ke dalam tindakan, dia akan jatuh. Dia memukul si juru masak pada bagian kepala
dengan sandalnya. "Jika ini yang kauinginkan!"
Kemudian si juru masak terjatuh di kaki sang hakim, mendekap salah satu
kaki itu dan menangis memohon ampun. "Saya orang jahat, ampuni saya, ampuni saya
"Pergi," ujar sang hakim, menolakkannya, berusaha menyentakkan kaki agar
terbebas. "Pergi."
Si juru masak tak mau pergi. Dia menggenggam lebih erat. Dia menangis dan
meneteskan air liur pada kaki sang hakim. Ingus keluar dari hidungnya, air mata
dari matanya. Sang hakim mulai memukul si juru masak lebih keras dan lebih keras lagi
agar si juru masak melepaskan kakinya. Dia menendang-nendang, memukul, dan
menampar. "Sahib, saya minum minuman keras. Saya orang jahat. Pukul saya. Pukul
saya." Menamparinya, memukulinya, memukulinya?"Saya telah berbuat buruk," si juru masak berkata, "saya minum minuman
keras saya mema- kan beras yang sama dengan Anda bukan beras pelayan tetapi beras Dehradun
saya makan daging dan saya berbohong saya makan dari panci yang sama saya
mencuri minuman keras dari militer saya membuat chhang saya membuat laporan
keuangan yang berbeda selama lima puluh tahun saya telah menipu Anda dalam
laporan keuangan itu setiap hah uang saya tidak halal uang saya palsu kadang-
kadang saya menendang Mutt saya tidak me-ngajaknya jalan-jalan hanya duduk di
pinggir jalan mengisap bidi dan pulang saya orang jahat saya tidak memerhatikan
siapa pun dan apa pun kecuali diri saya sendiri-Pu/cu/ saya!"
Gelora amarah tersebut terasa akrab bagi sang hakim.
Dia berujar, "Dasar kotor, dasar munafik. Kalau kau ingin hukuman, aku
akan memberikannya padamu!"
"Ya," isak si juru masak, "itu benar. Tugas An-dalah untuk mendisiplinkan
saya. Itu sudah seharusnya."
* Sai datang menyerbu dari kamarnya karena mendengar bunyi gedebukan. "Apa
yang terjadi?"" Hentikan. Hentikan segera. Hentikan ini!" pekik Sai, "Hentikan!"
"Biarkan saja," kata si juru masak. "Biarkan saja. Dia ingin membunuhku.
Biarkan dia membunuhku. Apa artinya hidupku" Tidak ada. Lebih baik hidupku
tiada. Hidupku tidak ada gunanya bagi semua orang. Tidak ada gunanya
bagimu dan bagiku. Bu-nuh saya! Mungkin itu akan membuat Anda puas. Itu akan
membuat saya puas. Silakan!"
"Aku akan membunuhmu. Aku akan membu-nuhmu."
"Bunuh saya." "Aku akan membunuhmu."
* Si juru masak tidak menyinggung-nyinggung anak lelakinya ... dia tidak punya
anak ... dia tidak pernah punya anak ... hanya harapannyalah yang menulis surat
padanya ... Biju tidak ada ....
* Sang hakim terus memukul dengan segala daya tubuhnya yang melendut dan
mengerut, bercak-bercak liur beterbangan dari mulut sang hakim yang ototnya
sudah kendur, dagunya berguncang-guncang tanpa kendali. Namun lengannya, yang
digantungi kulit yang sudah mati itu, turun, me-nimpakan sandal ke atas kepala
si juru masak. * "Ada hal yang sangat buruk tengah terjadi," Sai tersedu-sedu dan menutupi
kedua telinganya, kedua matanya. "Tidak tahukah kalian" Tahukah
kalian apa itu" Ada hal yang sangat buruk tengah terjadi."
Namun, mereka tidak berhenti.
* Sai lari keluar. Berdiri di tengah kegelapan kaya humus dalam balutan
piyama katun putihnya dan merasakan beban hampa hah itu, hatinya sendiri yang
kecil, kemuakannya pada si juru masak, pada permohonan si juru masak,
kebenciannya pada sang hakim, kesedihan egois dirinya sendiri yang me-nyedihkan,
cinta tak ada gunanya yang egois dan menyedihkan ....
Namun, suara-suara itu mengikutinya, gebukan lirih dan teriakan para pria
di dalam, suara sang hakim memukuli si juru masak. Mungkinkah itu benar-benar
demi Mutt ..." Dan Mutt" Di mana gerangan Mutt"
Dijual kepada sebuah keluarga yang tak bisa mencintainya di sebuah desa di
luar Kurseong, sebuah keluarga biasa, membayar mati-matian un-tuk mendapatkan
modernitas, menerima kepalsuan. Mereka tak akan merawat Mutt. Mutt hanyalah
sebuah konsep. Mereka berjuang menuju gagasan mengenai sesuatu, menuju apa
artinya memiliki seekor anjing mahal. Mutt membuat mereka kecewa sebagaimana
kehidupan modern, dan mereka mengi-kat Mutt ke sebuah pohon, menendangnya ....
Sai berpikir untuk menyeberangi jhora dan me-larikan diri ke Paman Potty?Yang tentu sedang memikirkan Bapa Booty
?Terhuyung-huyung melintasi jembatan, melalui pohon-pohon bambu, dengan
sebongkah keju terikat di dudukan belakang sepedanya.
Suatu hah tak lama lagi, orang-orang GNLF akan datang kembali
?Tak usah hiraukan aku, Sayang tutup saja pintu di belakangmu ketika kau
?pergi, aku tak ingin para berandalan mengganggumu
?Ketika Paman Potty bangun, dia akan menya-dari bahwa dia telah
menandatangani pelepasan tanahnya dan juga tanah Bapa Booty, kepada para pemilik
baru .... * Dan Mrs. Sen dia akan merajut sweter yang tidak akan pernah dikenakan
?Rajiv Gandhi dan yang menurut Lola dan Noni bagaimanapun tidak cocok dengan
warna kulit Rajiv Gandhi yang putih ke-merahan khas para cendekiawan Kashmir.
Takdir pria itu akan berjalin kelindan dengan seorang Ma-can Tamil perempuan
secara lebih intim ketimbang yang bisa dimimpikan Mrs. Sen dengan sweter
kuningnya. Dan Lola serta Noni akan melangsungkan pem-bantaian tahunan pada musim
seperti ini dengan Baygon, obat nyamuk bakar, dan pemukul lalat. Setiap dua
tahun Lola akan mengunjungi London, pulang dengan membawa bungkus-bungkus sup
Knorr dan pakaian dalam Marks and Spencer. Pixie
akan menikahi seorang pria Inggris dan Lola akan nyaris mati karena
senang. "Zaman sekarang, semua orang di Inggris menginginkan gadis India!"
Dan Gyan" Di mana Gyan" Sai tidak tahu bahwa Gyan merindukannya
? * Sai berdiri di dalam kegelapan dan hujan mulai turun sebagaimana yang
sering terjadi pada malam bulan Agustus. Listrik padam, sebagaimana yang selalu
terjadi, televisi bergoyang-goyang dan BBC terpo-tong-potong oleh badai. Cahaya
lentera menyala di dalam rumah-rumah. Tes-tes, tik-tik, kucuran, tetesan jatuh
ke dalam periuk dan panci-panci yang diletakkan di bawah bocoran
?Sai berdiri di dalam basah. Hujan memukuli de-daunan, jatuh dengan suara
tercebur seperti tahi ke dalam jhora. Hujan menampar, kodok-kodok yang
menyanyikan lagu kebangsaan bersuka ha dalam jumlah mereka yang jutaan, dari
Teesta ke Cho Oyu, membubung tinggi ke Deolo dan Pegunu-ngan Singalila.
Menenggelamkan suara sang hakim memukuli si juru masak.
* "Apa sebenarnya maksud semua ini?" tanya Sai, tetapi mulutnya tak bisa
mencapai telinganya dalam keriuhan itu; hatinya terhampar dalam keadaan hancur,
tak terlihat mampu menyapa benaknya;
benaknya tak bisa berbicara pada hatinya. "Sungguh memalukan diriku ini ..."
katanya .... Memangnya siapa dirinya ... dirinya yang merasa penting, yang menuntut
kebahagiaan, meneriakkannya pada takdir, pada langit yang tuli, memekik agar
kebahagiaannya diserahkan ..."
Berani-beraninya kau ... berani-beraninya kau tidak melakukannya ..."
Mengapa aku tidak boleh mendapatkannya ..." ... Berani-beraninya ... Aku
berhak ... Jiwa tamaknya yang kecil .... Ledakan amarah dan kejengkelannya .... Air
matanya yang jahat .... Tangisannya, yang cukup untuk seluruh kesedihan di dunia
ini, hanya diperuntukkan bagi dirinya sendiri. Hidup tidaklah tunggal dalam
tujuannya ... atau bahkan dalam arahnya .... Kesederhanaan yang telah diajarkan pada
Sai tidak akan bertahan. Tak akan pernah lagi Sai bisa berpikir bahwa hanya ada


Senja Di Himalaya The Inheritance Of Lose Karya Kiran Desai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

satu narasi dan narasi itu adalah miliknya sendiri, bahwa dia boleh menciptakan
kebahagiaan kecilnya sendiri yang kikir dan hidup dengan aman di dalamnya.
* Tetapi apa yang akan terjadi di Cho Oyu" Dia harus kabur.
Si juru masak akan merayap kembali ke pon-doknya.
Sang hakim akan kembali ke kamarnya Semalaman hujan akan turun. Hujan ?akan ber-lanjut, datang dan pergi, datang dan pergi, dengan
keganasan yang hanya tersaingi oleh kebuasan reaksi tanah pada serangan
gencar tersebut. Hijau menggiurkan yang carut akan terlepas; kota itu akan
meluncur menuruni bukit. Perlahan, dengan susah payah, seperti semut, manusia
akan membuat alur dan peradaban lalu perang mereka sekali lagi, hanya untuk
menihilkan semua itu kembali ....
* Pagi baru akan menetas, hitam atau biru, cerah atau berkabut. Sarapan,
makan siang. Sang hakim akan duduk di depan meja caturnya, dan pada pukul 4.30
tanpa berpikir, semata-mata karena kebiasaan, dia akan membuka mulut dan
berkata, sebagaimana biasanya, "Panna Lai, bawakan teh-nya."
Dan seperti biasanya akan ada makanan manis dan makanan asin Sai berdiri
?di sana ?Dia berpikir tentang ayahnya dan program luar angkasa. Dia berpikir
tentang seluruh majalah National Geographic dan buku-buku yang pernah dia baca.
Tentang perjalanan sang hakim, perjalanan si juru masak, perjalanan Biju.
Tentang bola dunia yang berputar pada porosnya.
Dan Sai merasakan secercah kekuatan.
* Majelis katak yang optimistis terus bernyanyi, bah-
kan ketika seberkas cahaya wiski lemah terlihat di timur sementara hujan
mereda. Di belakang Sai, Cho Oyu masih dipenu- hi bayang-bayang. Sai tak lagi bisa
mendengar para pria di dalam. Sang hakim terbaring kelelahan di tempat tidurnya.
Si juru masak duduk terbungkuk di dapur, wajahnya masih dalam cengkeraman mimpi
buruk. Sai, yang pusing karena kurang tidur, berbalik untuk masuk ke dalam rumah.
Tetapi kemudian, persis saat melakukannya, Sai menyadari kebe-radaan setitik
kecil sosok manusia yang berjuang mendaki lereng di sela-sela awan yang masih
menyelimuti lembah itu. Sai berhenti untuk memastikan. Titik itu menghilang ke
dalam pepohonan, muncul lagi, menghilang lagi, muncul lagi mengitari lekak-lekuk
pegunungan. Titik itu menciptakan bidang-bidang warna merah muda dan kuning yang
pelan-pelan semakin membesar berjuang perlahan menembus ledakan lebat tumbuhan ?kepulaga liar
?Gyan" Pikir Sai dengan harapan melambung. Se-baris pesan: bagaimanapun aku
akan mencintaimu. Seseorang yang menemukan Mutt" Di sini .... Dia di sini, segar bugar! Lebih
montok daripada sebelumnya!
* Sosok itu tak kunjung hilang. Orang lain. Seorang perempuan bungkuk yang
menyeret salah satu kakinya dengan susah payah. Dia pastilah dalam
perjalanan menuju tempat lain.
Sai masuk ke dalam menuju dapur. "Aku akan membuatkan teh untukmu," kata
Sai kepada si juru masak, yang masih penuh dengan bekas sandal.
Sai menaruh ketel, bergulat dengan sebatang korek api basah. Akhirnya,
korek api tersebut me-nyala dan Sai membakar bola-bola kertas koran di bawah
batang-batang kayu. * Kemudian mereka mendengar bunyi gerbang diker-takkan. Waduh, pikir Sai
ketakutan, barangkali itu adalah perempuan pengemis yang dulu lagi, yang
suaminya dibutakan. Sekali lagi gerbang bergemeretak.
"Biar aku yang pergi," kata si juru masak dan dia bangkit pelan-pelan,
membersihkan dirinya dari debu.
Dia berjalan melintasi alang-alang basah menuju gerbang.
Di gerbang, mengintip dari sela-sela besi tempa kerawang berwarna hitam,
di antara peluru-peluru meriam yang berlumut, adalah sosok berbalut daster itu.
"Pitaji?" kata sosok tersebut, yang penuh ke-rut dan warna.
Kanchenjunga muncul di atas mega-mega yang memencar, sebagaimana yang
biasa terjadi hanya pagi-pagi sekali selama musim ini?"Biju?" bisik si juru masak
?"Biju?" dia berteriak, kacau-balau
?Sai menatap keluar dan melihat dua sosok sa-ling melompat menuju satu sama
lain sementara gerbang terayun membuka.
Lima puncak Kanchenjunga berubah keemasan oleh sejenis cahaya terang yang
membuat orang merasa, walau hanya sekilas, bahwa kebenaran je-las terlihat.
Yang perlu kaulakukan hanyalah meraih dan memetiknya.[]
DAFTARISTILAH INDIA Bhai: saudara lelaki, bentuk sapaan akrab
untuk seorang pria. Bidi: sejenis rokok murah yang terbuat
dari tembakau segar dibungkus daun. Chutney: bumbu berempah yang terbuat
dari buah atau sayuran, diberi cuka,
rempah, dan gula. Chutney: Penyedap khas India yang terbuat
dari buah atau sayur yang diolah
dengan cuka, rempah-rempah, dan
garam. Dal: tau dhai. sejenis kacang-kacangan.
Dhoti: sejenis cawat untuk kaum pria di
India, berupa kain yang dililitkan di
pinggang. Didi: kakak perempuan, Mbak, atau seka-
dar bentuk sapaan yang sopan pada
perempuan di India. Ghee: mentega cair dan bening yang
terbuat dari susu sapi atau kerbau.
Biasa digunakan dalam pelbagai
masakan India. Gopi: istri atau anak perempuan dari peng-
gembala sapi Krishna. Jalebi: manisan India, dibuat dari gulungan
Kukri: Kurta: Laddoo: Lathi: Maund: Mithai: Pakora: Paratha: Pilau: adonan yang direndam dalam sirup, sejenis pisau besar dengan mata tajam
melengkung yang melebar di ujungnya, digunakan oleh orang-orang Gurkha di Nepal
untuk berburu dan bertarung.
semacam kemeja longgar tanpa kerah. Disebutjuga khurta. bisa juga taddu
atau ladoo, adalah semacam gula-gula India yang terbuat dari tepung terigu,
gula, dan shortening. Cara membuatnya adalah dengan digoreng, kemudian dibentuk
bulatan batang bambu panjang terbungkus besi yang digunakan sebagai senjata,
terutama oleh polisi di India, satuan berat di India, yang nilainya berbeda-beda
dari satu tempat ke tempat yang lain, tetapi secara umum sama dengan 37 kg.
ejenis gula-gula khas India, sepotong daging atau sayuran, dibungkus dengan
adonan yang telah dimbumbui, lalu digoreng dengan minyak panas.
roti tanpa ragi yang tebal dan rata yang digoreng di atas wajan ceper.
disebut juga piiaf, piiaff, atau puiao. Hidangan India atau Timur Tengah yang
terdiri dari nasi atau gandum,
sayur, dan bumbu-bumbu, biasanya ditambahi dengan daging atau ikan. Puja:
ritual persembahan dalam agama
Hindu Puri: roti bundar kecil dan datar yang
terbuat dari tepung gandum tak be-ragi, digoreng dengan minyak panas, dan
disajikan dengan daging atau sayuran.
Shikari: pemburu. Tandoori: masakan yang dibuat menggunakan tandoor, semacam oven gerabah.
Tika: atau tilak, tanda yang dikenakan
orang Hindu di dahi untuk menan-dakan kasta, status, atau sekte, atau
sebagai hiasan. DAFTAR ISTILAH NON-INDIA ?"If* Acre: satuan luas tanah, setara dengan
0, 405 hektar Agent Orange: bahan kimia perontok daun yang
digunakan AS saat perang di
Vietnam. Cupule: bagian berbentuk cangkir dari
badan atau tanaman, seperti yang melingkungi bagian bawah buah pohon ek.
Drop scone: semacam panekuk kecil tetapi tebal yang dibuat dengan
menjatuhkan sesendok adonan pada wajan ceper atau permukaan panas lainnya.
Halilintar: atau Vajra dalam bahasa Sanskrit dan dorje dalam bahasa Tibet,
adalah alat ritual atau spiritual yang penting baik bagi Budhhisme mau-pun
Hinduisme. Dorje juga bisa merujuk pada sebuah tongkat kecil yang dipegang di
tangan kanan oleh para lama Tibet saat upacara keagamaan.
Horlicks: nama perusahaan dan minuman
susu campur ragi yang diklaim me-mudahkan tidur ketika mabuk pada
waktu tidur. Minuman ini diporudksi oleh GlaxoSmithKline di Inggris Raya,
India, dan Jamaika. INS: Singkatan dari Immigration and
Naturalization Service. Dinas Imigrasi dan Naturalisasi
Irish stew: semacam sup yang terdiri dari daging kambing, kentang, dan
bawang bombay. Kanga: atau khanga, kain katun tipis khas
Afrika Timur yang dicetak dengan pola warna-warni, terutama digunakan oleh
kaum perempuan. Kirsch: brendi yang disuling dari jus buah
ceri yang difermentasi. Mastiff: jenis anjing bertubuh besar dan
kuat yang memiliki daun telinga terkulai serta bibir menggantung.
Millet: semacam biji-bijian yang banyak
tumbuh di negara-negara beriklim hangat dan wilayah-wilayah yang tanahnya
jelek. Banyak digunakan untuk membuat tepung atau minuman beralkohol.
Mimosa: minuman yang terbuat dari sampa-
nye dan jus jeruk. Saffron: sejenis kunyit. Saus Bebek: duck sauce adalah saus Cina yang berwarna oranye. Dikenal juga
sebagai plum sauce atau saus prem. Saus bebek digunakan dalam
masakan Cina sebagai cocolan untuk hidangan goreng dengan minyak banyak
semacam eggroll, mi, bakso ayam goreng. Saus ini terbuat dari prem manis atau
buah lain seperti persik atau aprikot, gula, cuka, jahe, dan cabai. Tidak ada
bebek dalam saus bebek. Nama ini berasal dari restoran Cina di AS yang salah
menyajikan saus tersebut dengan panekuk yang dihidangkan bersama Bebek Peking,
bukan dengan saus hoisin, seperti praktik aslinya.
Scone: semacam kue tawar atau tidak
terlalu manis yang terbuat dari susu, gula, dan terigu. Kadang-kadang ada
tambahan buah. Biasanya disajikan dengan mentega sebagai teman minum teh.
Setter: jenis anjing besar berbulu panjang
yang dilatih untuk berdiri kaku bila mencium hewan buruan.
T-bone: potongan besar daging sapi bagian
pinggang yang mengandung tulang berbentuk huruf T.
DAFTAR NAMA ORANG Catullus: Gaius Valerius Catullus, seorang pu-jangga Romawi, terkenal
karena puisi-puisi cintanya.
Grant: Jenderal Ulysses S. Grant (1822-1885) Presiden Amerika ke-18.
Nellie Bly: (5 Mei 1864-27 Januari 1922) adalah seorang jurnalis, penulis,
industrialis, dan pekerja sosial Amerika. Dia terkenal karena memublikasikan
pengalaman ketika dia berpura-pura gila untuk me-neliti rumah sakit jiwa dari
dalam. Dia juga terkenal atas perjalanan keliling dunianya yang memecahkan
rekor. Kn.hi Desai lahir di India pada 1971 dan menghabiskan masa bclajarnya di
India, higgris, dan Amerika. Kiran nicinpcl.ij.iri pcnulisan kreatif di Columbia
University. Novel pcrtamanya, / htlldlhiloo in the CiimiM Orchard, mendapatkan
rcspon luas yang sangat baik. begitn pnla novel keduanynini.
Petualangan Manusia Harimau 7 Lima Sekawan Di Gua Kelelawar Dendam Sejagad 7
^