Pencarian

Because You 3

Because You Are Mine Karya Beth Kery Bagian 3


"Bagaimana keluargamu" Monsieor Garrond baik-baik saja, aku
yakin?" Ian bertanya.
"Sangat baik, meskipun kami berdua suka memindahkan kucingkucing baru-baru ini
saat kami merenovasi sebagian besar apartemen
kami. Kami terlalu tua untuk menggangunya secara rutin, aku
ketakutan. Bagaimana kondisi Lord Stratham?"
"Nenek bilang kakek menderita setelah operasi lututnya, tapi dia
keras kepala dalam hal ini. Dia sembuh dengan baik."
Alaine tertawa kecil. "Sampaikan salamku untuk mereka berdua lain
waktu saat kau bertemu mereka."
"Boleh, tapi kau pasti lebih senang bertemu mereka sebelum aku.
Nenek berencana untuk menghadiri pembukaan pameran Plygnotus
minggu depan." "Kami beruntung," Alaine berkata dengan berseri-seri dan Francesca
tidak mengerti tapi merasa Alaine mengerti sepenuhnya. Tatapan
Alaine tertuju pada Francesca dengan ketertarikan yang sopan.
Francesca jelas mengerti kecerdasan dan keingintahuannya.
"Francesca Arno, aku ingin memperkenalkanmu pada Alaine
Laurent. Dia adalah pimpinan di museum St. Germain."
"Ms. Arno, selamat datang," Alaine berkata, menjabat tangannya.
"Mr. Noble mengatakan pada saya anda adalah seniman yang sangat
berbakat." Kehangatan menyerangnya oleh pengakuan Ian yang memuji dirinya
tanpa sepengetahuannya. "Terima kasih. Hasil karyaku bukan apaapa dibanding apa
yang anda tangani di sini setiap hari. Saya senang
bisa datang ke museum St. Germain saat saya sedang belajar pasca
sarjana di Paris." "Bukankah ini tempat yang penuh inspirasi dan sejarah?" Alain
berkata, tersenyum. "Saya harap bagian yang akan ditunjukkan Ian
pada anda akan memberikan inspirasi yang spesial. Kami sangat
bangga memilikinya di sini di museum St. Germain," Alain berkata
misterius. "Saya akan meninggalkan kalian untuk melihatnya. Saya
sudah mengatur semua untuk kalian. Yakinlah bahwa kalian tidak
akan terganggu. Saya sudah menutup penjagaan pada tempat
pemaran karya seni Fontainebleau untuk kunjungan kalian agar bisa
mendapatkan keleluasaan. Saya bekerja di sisi kiri, jika kalian
membutuhkan saya," kata Monsieur Laurent.
"Kami tidak perlu. Dan aku ingin sekali berterima kasih atas
perhatiannya. Aku tahu ini adalah permintaan yang tidak biasa,"
Kata Ian. "Aku sangat yakin kau tidak akan melakukannya tanpa alasan yang
bagus," kata Monsieur Laurent lembut.
"Aku akan memanggilmu saat kami selesai melihat-lihat. Itu tidak
akan lama." Ian meyakinkan.
Monsieur Laurent membungkuk terlihat sangat alami dan anggun
dan berjalan pergi. "Ian, apa yang kita lakukan?" Francesca berbisik dengan marah saat
Ian mulai membimbingnya menuju ke jalan melengkung, temaram
yang berlawanan arah dengan Monsieur Laurent.
Ian tidak langsung menjawab, sulit untuk mengikut langkah
panjangnya saat Francesca memakai stiletto. Mereka dengan cepat
mulai menembus jalan ke dalam rungan tengah yang besar, gedung
tua, secepatnya masuk ke area museum yang dia ketahui. Tempat ini
adalah museum bergaya tempat pameran karya seni merangkap
galeri. Interior di museum St. Germain yang juga istana masih tetap
dibiarkan utuh. Berjalan melintasi ruangan memberikan kesan akan
kemewahan nan elegan, hidup di istana abad tujuh belas yang
menampilkan perlengkapan tak ternilai dan bagian menakjubkan dari
seni Yunani dan Romawi. "Apakah kau ingin aku melukis lagi untukmu, dan inspirasinya di
sini museum St. Germain?" Francesca mendesak.
"Tidak," Kata Ian, tidak menatap pada Francesca saat Ian
menariknya, suara dari sepatu hak tingginya di lantai marmer
menggema sampai ke langit-langit dan menyapu lantai marmer.
"Kenapa kau tegesa-gesa?" Francesca bertanya dengan heran.
"Karena aku mengatakan pada diriku sendiri aku ingin
memberikanmu pengalaman ini, tapi aku juga ingin sekali
bersamamu sendirian di hotel." Ian mengatakannya tanpa berbelitbelit sehingga
Francesca tidak dapat berbicara saat mereka melewati
tempat pemeran karya seni di sisi kanan dan kiri Francesca,
bayangan kaku patung hanya meningkatkan perasan tidak nyata
yang dirasakan Francesca. Francesca berpikir segalanya seperti
khayalan sepanjang hari, tapi berjalan di tempat paling sepi, halaman
istana yang tenang di sebelah Ian membuatnya kehilangan arah. Ian
berjalan ke dalam lorong panjang yang familiar, tempat pameran
karya seni yang sempit dan tiba-tiba berhenti.
Ian berhenti begitu mendadak, Francesca hampir jatuh ke depan oleh
sepatu hak tingginya, rambutnya jatuh di wajahnya. Francesca
menyadari ke mana tatapan Ian tertuju dan mendongak,
kebingungan. Mulut Francesca terbuka karena terpesona.
"Aphrodite of Argos." Francesca terengah.
"Ya. Pemerintah Italia mengirimnya sebagai pinjaman pada kami
selama enam bulan." "Kami?" Francesca berbisik dalam nada tenang saat ia menatap
patung Aphrodite yang tak ternilai harganya. Cahaya bulan terpancar
dari luar bagian melengkung di jendela gedung ke langit langit,
memandikan tempat pameran karya seni dan patung dengan cahaya
neon yang lembut. Keanggunan membelit tubuh dan ekspresi indah
masuk ke dalam marmer putih dingin begitu mempesona saat
bersinar dari bayangan tirai.
"Museum St. Germain adalah milik keluarga kakekku. James Noble
adalah penyokong dari museum ini. Koleksinya memiliki banyak
kontribusi bagi masyarakat-sebuah persembahan untuk siapa saja
yang berbagi dalam kecintaannya pada benda antik. Aku menjabat
segai dewan pengurus, begitu juga nenekku."
Francesca menatapnya, Ian secara terbuka memandang dengan
kagum dan rasa hormat saat dia mengamati patungnya membuat
Francesca terkejut. Rasa terkejut yang menyenangkan. Ian biasanya
adalah tipe orang yang menahan diri. Ada sebuah kerendahan dalam
diri Ian Noble yang tidak Franceca pahami.
"Kau menyukai bagian ini," Ucap Francesca, lebih merupakan
pernyataan dibanding pertanyaan, mengingat kembali akan miniatur
patung ini di rumah Ian di Chicago.
"Aku akan memilikinya kalau aku bisa," Ian mengakui. Senyumnya
yang sedikit sedih tertuju pada Francesca. "Tapi kau tidak bisa
memiliki Aprhodite, benar, kan" Atau itu yang mereka katakan
padaku." Francesca menelan ludah. Perasaan aneh seakan melayang yang
melandanya saat ia berdiri di sana bersama dengan pria penuh tekateki yang suka
memaksakan kehendaknya. "Kenapa kau begitu menyukai benda ini secara khusus?" Francesca
bertanya. Tatapan Ian tertuju padanya, cahaya bulan membuat wajah setegas
Aprhodite. "Selain dari segi artistik dan keindahan" Mungkin karena apa yang
dia lakukan," Kata Ian.
Kerutan alis Francesca tersambung saat dia melihat lagi pada patung
itu. "Dia sedang mandi, bukan?"
Ian menganguk. Francesca merasa Ian menatapnya. "Dia mengikuti
ritual hariannya tetang kemurnian. Setiap hari, Aprhodite
membersihkan dirinya sendiri dan bangkit sekali lagi. Fantasi yang
menarik, bukan?" "Apa maksudmu?" Francesca bertanya sambil menatap Ian, terjerat
oleh bayangan wajahnya dan cahaya bulan yang terpancar di
matanya. Ian meraihnya. Ujung jari Ian terasa hangat di pipinya,
namun begitu dia tetap saja menggigil.
"Itulah mengapa kita membersihkan dosa kita. Aku hanya
menggabungkan diriku, Francesca," Kata Ian pelan.
"Ian," Francesca memulai, terharu pada nada bicara Ian. Mengapa
dia begitu yakin kalau dia berdosa"
"Jangan dipikirkan," Kata Ian menyelanya. Ian berbalik menghadap
wajah Francesca sepenuhnya, meletakkan tangannya di pinggang
Francesca dan menarik tubuh Francesca kearahnya. Mata Francesca
melebar. Karena memakai hak tinggi, dia lebih tinggi pada tubuh Ian
tidak seperti biasanya. Francesca bisa merasakan buah kemaluannya
yang kokoh menekannya gundukan selangkangannya dan ereksinya
yang keras naik di sepanjang paha kirinya. Bagaiman mungkin Ian
bisa menjadi begitu keras meskipun mereka nyaris tidak
bersentuhan" Apakah ini karena pengaruh Aprhodite" Francesca
berpikir dengan heran. Telapak tangan Ian terbuka di sepanjang sisi rahangnya, mengangkat
wajahnya pada sinar bulan. Jantung Francesca mulai berdetak liar
dibalik tulang dadanya. Ian mendorong pinggulnya, menyebabkan
udara keluar dari paru paru Francesca pada bukti gairahnya yang
penuh. Jari Ian tertekuk di pinggulnya. Ian menenggelamkan
kepalanya, dan dia menyapukan bibirnya pada bibir Franceesca,
seolah ia mencoba untuk menghirup napasnya.
"Ya Tuhan aku menginginkanmu," Ian berkata hampir marah,
sebelum dia menangkap bibir Francesca, lidahnya memisahkan bibir
Francesca. Bersentuhan langsung dengan Ian seolah Francesca tibatiba menyelam
kedalam api. Susah payah memaksanya, rasa itu
membanjirinya. Francesca sedikit terhuyung di atas sepatu haknya,
dan Ian menariknya lebih merapat padanya, tubuh Francesca
menyatu pada otot dan tubuh pria yang bergairah. Francesca tidak
punya pengalaman sama sekali berhubungan dengan gairah seorang
pria. Apakah gairah membara ini telah terbangun dalam diri Ian
sepanjang hari" Sepanjang minggu"
Francesca mengerang di mulut Ian, tubuh wanitanya meleleh di atas
tubuh pria yang keras dan panas. Tangan Ian bergeser ke ikat
pinggang yang membalut gaunnya. Ketika Ian menutup ciuman
mereka dengan kasar beberapa saat kemudian, Francesca merasa
pusing karena bahagia. Ian melangkah mundur. Tepi gaun Francesca
terbuka lebar, memperlihatkan kulit telanjangnya pada sinar bulan.
Ian mendorong kain itu kesamping, memperlihatkan tubuhnya yang
hampir telanjang. Tatapan Ian menelusurinya. Nafas Francesca
terhenti di paru-parunya saat ia melihat ekspresi menghormat pada
wajahnya yang kaku bercampur gairah yang menyala.
"Aku ingin kau mengingat ini seumur hidupmu." Kata Ian kasar.
"Aku akan mengingatnya," jawab Francesca tanpa ragu. Siapa yang
akan lupa pada pengalaman luar biasa ini" Meskipun Francesca
bingung oleh arti dibalik kata-kata Ian.
"Duduk di sini," Kata Ian, meletakkan tangannya di pinggangnya.
Francesca membuka mulutnya untuk menunjukkan kebingungannya,
tapi Ian memandunya ke meja tempat pemujaan yang mengelilingi
Aphrodite. Francesca duduk dan merasa kedinginan, meja yang
keras di bawah kain tipis gaunnya. Ian meletakkan tangannya pada
lututnya dan membuka lututnya. Ian berlutut di depannya.
"Ian?" Francesca bertanya dengan bingung.
Mengapa tangannya bergetar saat Ian menurunkan celana dalamnya
menuruni paha dan di turun ke lututnya" Organ kewanitaannya
mengepal kuat oleh antisipasi yang semakin meningkat.
"Kupikir aku bisa menunggu. Ternyata aku tidak bisa." Ian
bergumam dan Francesca mendengar penyesalan pada suaranya. Ian
menatap wajahnya seraya tangannya mengelus paha dan
pinggangnya, dan Francesca merasa dirinya memanaskan marmer
yang dingin. "Jika aku tidak mencicipi rasamu sekarang, kurasa aku
akan mati. Dan jika aku mencicipi rasamu, aku tidak akan bisa
berhenti. Aku akan bercinta denganmu di sini dan sekarang."
"Oh, Tuhan," Francesca mengerang dengan gemetar. Francesca
merasa aliran panas yang akrab diantara pahanya. Kepala Ian turun
ke pangkuannya. Tangannya membuka kewanitaannya lebih lebar
untuk dinikmatinya. Mata Francesca terbelalak oleh sensasi dari
kehangatan ujung jarinya, lidahnya yang licin tenggelam diantara
labianya, menggosok dan menusuk pada klitnya.
Francesca berpegangan pada rambut tebal Ian dan merengek. Kepala
Francesa terkulai kebelakang. Di tengah gairah berkabut yang
meluap, dia sekelias melihat Aphrodite menatap tenang, dengan
kepuasan tertingginya. *** Because You Must Learn Bab 7 Cesca merasa dirinya meleleh pada lempengan marmer dingin,
kehilangan semua rasa dirinya, kehidupan hanya untuk mengalami
dorongan listrik berikutnya, slide sensual berikutnya adalah lidah Ian
pada pusat dirinya. Jari-jarinya terjerat di rambut Ian, menyukai
teksturnya. Bagaimana bisa manusia mengatur hidupnya, bekerja,
tidur dan makan ketika kesenangan begitu banyak tersedia untuk
mereka" Mungkin Ian adalah jawaban dari pertanyaannya. Tidak setiap orang
mempunyai bakat, atau kekasih yang luar biasa yang tersedia bagi
mereka. Karena sesungguhnya lidah Ian dan mulutnya adalah yang
paling terampil di planet ini dalam hal memberikan kenikmatan...
Ian mendesak Cesca dengan tangannya, dan Cesca bersandar jauh
kembali bertumpu, menguatkan dirinya dengan tangannya,
memiringkan panggulnya ke sudut agar lebih akomodatif. Geraman
kepuasan Ian bergetar rendah di dalam tubuh Cesca. Ian melebarkan
paha Cesca lebih luas, untuk menggali dan melihat. Teriakan
bergema di langit-langit ketika lidah Ian terjun jauh ke dalam celah
Cesca. "Ian!" Lidah Ian bercinta dengan Cesca, lambat dan lesu pada awalnya,
tetapi beberapa detik kemudian mejadi lebih liar ketika pinggul
Cesca bolak-balik melawannya. Ian mengerang, menangkupkan
tangannya yang besar di pinggul Cesca, jari-jarinya mencengkeram
pantat Cesca, dan menahannya agar tetap bisa menjadi santapannya.
Cesca tersentak ketika Ian mencium pusat dirinya, lidah Ian melesak
jauh kedalam vaginanya, dan menggunakan bibir atasnya untuk
menerapkan tekanan yang mantap pada klitorisnya. Ian seketika
memutar kepalanya , dari sisi ke sisi di antara pahanya, merangsang
dirinya dengan sangat tepat. Matanya terbelalak.
Cesca menatap dewa seks dan dewa cintanya, terpaku, saat ia
menggigil dalam orgasme yang hebat.
*** Ian memeluk erat Cesca, mulutnya bergerak dengan kekuatan
terbatas, lidahnya menggali, mendesak lebih dalam menghisap
semua ledakan kenikmatan dan rasa manis tubuh Cesca yang
bergetar. Ketika Cesca tenang, Ian mengambil dan menjilat lagi sarisari
kenikmatan hasil dari kerjanya. Ian tahu Cesca sangat lezat
mulai dari mulut dan kulitnya, tetapi dia belum siap untuk
menyerang ke pusat milik Cesca.
Ian sangat mabuk kepayang akan Cesca, dan dia ingin lebih.
Kejantanannya keras dan ia berpikir liar, semua tertuju kepada
Cesca, menekan dan mencium basah di perut kencang Cesca. Dia
berdiri, mengernyitkan rasa sakit di kejantanannya. Rasa puas yang
terpancar di wajah Cesca sementara ini bisa memuaskan nafsunya.
Ian datang menderu kembali saat ia menatap lekat-lekat ke tubuh
telanjang yang tergeletak di atas tempat tidur. Cahaya bulan
berkilauan di mata Cesca yang gelap dan juga berkilau pada
kewanitaannya yang basah.


Because You Are Mine Karya Beth Kery di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ian mengangkat Cesca, menyukai cara Cesca meringkuk di
pelukannya. Cesca bisa begitu keras kepala, dan itu disengaja. Cesca
meletakkan kepalanya di bahu Ian dengan penuh kepercayaan.
Hal itu membuat Ian semakin ingin memiliki Cesca.
Ian menurunkan Cesca di depan Aphrodite - sofa malas yang cocok
untuk seorang raja yang dihiasi beludru yang berumbai dan
memposisikan Cesca dengan benar. Bukannya mendudukkannya, ia
membuat Cesca berdiri. Ia cepat-cepat melepaskan gaun Cesca dan
menggantungkannya di sandaran kursi terdekat. Selanjutnya, ia
melepaskan jaketnya, dan menaruhnya sebagai alas. Cesca
menatapnya dengan bingung ketika ia dengan hati-hati mengatur
bantal di sofa. "Louis XIV pernah bersantai di sini. Nenek akan mencekikku jika
aku...mengotorinya."
Ian tersenyum kecil saat mendengar Cesca tertawa. Dia menaruh
tangannya di sepanjang rahang Cesca dan mengangkat wajah Cesca
untuk menciuminya dengan lahap. Kejantanannya menegang ketika
Cesca dengan malu-malu menjilat bibirnya, mencicipi dirinya.
"Itu benar. Mengapa kau tak harus merasakan sesuatu yang begitu
manis" "Kata Ian serak sambil menyesal karena harus melepaskan
ciumannya untuk mencari kondom. Badai dalam dirinya mulai
merobek sampai ke luar. Dia tak percaya pada kewarasannya, jika ia
tidak segera berada di dalam Francesca segera...segera.
"Berbaringlah di atas sofa itu," kata Ian, suaranya terdengar serak
untuk telinganya sendiri.
Cesca berbaring beralaskan jaket Ian , kaki dan perutnya tampak
pucat di bawah sinar bulan dan kontras dengan lapisan hitam jaket
milik Ian. Sofa malas itu tanpa lengan, panjang dan lebar, dengan
sandaran melengkung. Cesca berbaring sehingga tubuhnya berada di
bagian datar, bagian atas kepalanya ke belakang, betisnya bertumpu
di ujung sofa. Kecantikan Cesca sedikit mengekang Ian,
membuatnya menggertakkan giginya.
Ian melepaskan celananya buru-buru. Dia mendorong celananya ke
paha dan melepas celana boxernya yang menutupi ereksinya. Ian
berhenti membuka kondom, ketika menangkap mata Cesca
terbelalak tertuju pada kejantanannya yang besar.
Cesca takut padanya. "Ini akan baik-baik saja. Aku akan pelan-pelan, " Ian meyakinkan,
sambil memasang kondom "Biarkan aku menyentuhmu," bisik
Cesca. Ian membeku, sampai ke dasar kejantanannya. Berdenyut dan
mengejang di tangannya atas permintaan manis yang tak terduga dari
Cesca. Ian membayangkan Cesca melakukan apa yang dia minta,
merasakan jari-jari Cesca pada dirinya, bibirnya, lidahnya.
"Tidak," kata Ian keras, melebihi yang dia maksud. Penyesalan
menusuknya ketika ia melihat ekspresi Cesca yang terkejut. "Aku
harus ada di dalam dirimu sekarang," kata Ian lebih pelan. "Aku
harus. Aku sudah menunggu begitu lama. Terlalu lama. "
Cesca mengangguk, matanya yang besar dan gelap terpaku pada
wajah Ian. Ian menendang sepatu, melepas kaus kakinya dan
melangkah keluar dari celananya. Ian membuka kancing kemejanya,
tapi dia tidak bisa menjaga pandangannya dari paha yang melebar
dan kewanitaan yang berkilau milik Cesca. Ian tidak sabar untuk
melepaskan pakaiannya. Ian mendekati Cesca, lututnya di dekat
sudut sofa yang lebar, tangannya tepat di atas bahu Cesca. Ian tahu
dia harus meletakkan lututnya di antara paha Cesca yang terbuka,
meletakkan kakinya di sekeliling paha Cesca benar-benar membuat
dirinya melingkupi seluruh paha Cesca.
Begitu indah...saat Ian melakukannya.
"Berpeganganlah di belakang sofa," Ujar Ian.
Cesca tampak bingung dengan permintaan Ian, tetapi tetap
menurutinya, Kepatuhan Cesca membuat denyut kejantanan Ian
yang menggantung di antara pahanya, menjadi berat...terbakar.
Ketika lengan Cesca berada di atas kepalanya, berpegang pada
sandaran sofa, Ian mendengus puas.
"Aku ingin mengikatmu, tapi karena di sini tidak bisa, kau harus
menjaga tanganmu tetap di belakang, kau mengerti?" Tanya Ian
tegang. "Aku lebih suka menyentuhmu," kata Cesca, gerakan bibir pink
gelap itu memikat Ian. "Aku juga lebih suka itu," Ian meyakinkan dengan muram,
kemudian memegang kejantanannya. "Dan itu sebabnya kau harus
tetap menjaga tanganmu ke belakang, hanya itu yang perlu kau
lakukan." *** Cesca merasa kesulitan untuk bernapas, berbaring, mencengkeram
putus asa ke tepi kayu dari atas sofa, menatap gambar yang sangat
indah atas seorang pria. Dia sangat ingin menyentuh Ian , dan
menatap dengan takjub saat Ian menyentuh dirinya sendiri. Ian
menggenggam miliknya yang panjang, tebal dan keras sebagai
persiapan untuk memasuki dirinya. Otot-otot miliknya terkatup rapat
dalam gairah dan kecemasan. Ian tampak begitu besar, begitu berat,
begitu bergairah dengan keinginannya.
Pada detik terakhir, Ian tampaknya mempertimbangkan kembali
untuk memasuki Cesca. Ini membuat kejantanannya tergantung
dengan berat di antara tubuh mereka. Ian meraih bra sutra dan
membuka pengaitnya. Basah dan panas langsung melonjak di pusat
diri Cesca ketika Ian membuka cupnya, memamerkan payudaranya.
Cesca melihat kejantanan Ian berkedut.
"Venus," kata Ian kasar, ia tersenyum kecil. Cesca menunggu,
napasnya tertahan di paru-parunya, berharap Ian akan menyentuh
kulit, dan menyentuh payudaranya yang kesemutan dan putingnya
yang menusuk-nusuk, tapi tidak dilakukannya. Sebaliknya, Ian
memegang kejantanannya lagi. Mendorong salah satu lutut Cesca
untuk kembali membuka lebih lebar untuknya, ia menekankan
kepala penisnya di celah Cesca. Cesca menggigit bibir untuk
menahan teriakannya. Cesca mendengus dalam gairah atau
ketidakpuasan, dia tidak bisa berkata ketika ia menekuk pinggul dan
ujung milik Ian meluncur di dalam dirinya.
"Ah, ya Tuhan, kau mencobaku," gumam Ian.
Cesca melihat bagaimana kakunya Ian, kilatan gigi putihnya saat Ian
meringis. Cesca Ingin memberikan bantuan lebih dari apa pun saat
itu, menjadi liar untuk memberi Ian kesenangan, mendorong Ian
dengan pinggulnya. Cesca mendengking sakit ketika ditusuk tibatiba, nyaris tidak
memperhatikan ketika Ian memberikan geraman
mengintimidasi dan menampar sisi pinggulnya sebagai peringatan.
"Masih bertahan, Francesca. Apa yang kau coba lakukan, membunuh
kita berdua?" "Tidak, aku hanya..."
"Sudahlah," kata Ian, dan Cesca sadar napas Ian menjadi tak
menentu. "Apakah lebih baik sekarang?" Tanya Ian setelah beberapa
saat. Cesca menyadari bahwa Ian mengacu pada rasa sakit yang pernah ia
alami. Bagaimana Ian tahu bahwa itu begitu tajam dan menyakitkan"
Itu menyakitkan ketika kejantanannya sudah setengah jalan di dalam
tubuhnya. Otot-ototnya meregang dan mengetuk-ngetuk di sekitar
daging yang berdenyut-denyut. Rasanya sedikit tidak nyaman, tapi
rasa sakit yang tajam telah berlalu.
Ian di dalam dirinya. Bersatu bersama dirinya.
"Tidak sakit," bisik Cesca, kagum pada semburat nada suaranya.
Cesca melihat tenggorokan Ian mengejang saat ia menelan. Ian
melepaskan tangannya dari lutut Cesca dan meraih pusat dirinya di
antara pahanya. "Oh," Cesca mengerang ketika Ian mulai menekan dan menggesek
klitorisnya dengan ibu jarinya. Ia tampaknya tahu benar jumlah
gesekan yang tepat untuk membuat Cesca menggeliat dalam
kenikmatan. Kejantanannya yang penuh tertanam dalam diri Cesca
memberikan tekanan pada klitorisnya menambahkan dimensi lain
kegembiraan. "Berhenti menggeliat," Teriak Ian jengkel, nadanya bercampur
dengan keputusasaan, kemesraan, gairah, dan dekat dengan titik
puncaknya. Manipulasi Ian membuat Cesca terbakar tak tertahankan.
Ian menekan dengan pinggulnya. Erangan Ian tampak hampir
merobek tenggorokannya saat kejantanannya melaju hampir
sepenuhnya ke dalam diri Cesca. Yang tersisa adalah tangan Ian
untuk tetap di antara kedua paha Cesca. Kenyerian menjadi pecah
melalui sensasi tebal dan padat milik Ian yang terus menekan dan
memberi kenikmatan. "Ian," Cesca berteriak.
Ian mendorong sedikit dengan pinggulnya, menekan tangannya lebih
tegas terhadap klitoris Cesca, dan kemudian menabrak dengan
panggulnya...sekali...dua kali. Cesca merintih dan bergoncang
menuju orgasmenya, miliknya mengepal kencang. Kali ini, bahkan
melalui gelombang kenikmatan yang bergegas di sekelilingnya, ia
tahu bahwa geraman Ian muncul dari gairah terhadapnya. Cesca
masih berada di puncak kenikmatan ketika Ian melepaskan
tangannya dari inti dirinya dan mempersiapkan dirinya sendiri
dengan tangannya. Ian mendengus saat ia mengundurkan diri dan
tenggelam ke dalam diri Cesca lagi.
"Ah, Tuhan, milikmu...lebih baik dari yang aku bayangkan," Ian
mengerang hampir tak jelas sambil mengelus lagi, panjang dan
keras. "Satu-satunya hal yang terbaik adalah membuat dirimu
telanjang Cesca." Cesca masih merintih ketika kenikmatan masih menggetarkan
tubuhnya. Ian membuatnya gemetar bahkan ketika kejantanannya
terus membesar dan semakin menuntut, panggul Ian mulai
menampar, melawan miliknya dalam irama yang menuntut. Ian
berhenti sejenak, kemudian sepenuhnya tertanam dalam tubuh
Cesca, dan testisnya menyentuh intim luar pusat kewanitaannya.
Cesca berteriak dalam kegembiraan.
"Aku tidak ingin menyakitimu, tetapi kau sudah membuatku gila,
Francesca," desisnya.
"Kau tidak menyakitiku."
"Tidak?" Cesca menggelengkan kepalanya.
Cesca merasakan ketegangan meningkat di tubuh Ian. Ian mulai
bercinta lagi dengan Cesca, pinggulnya mengemudikan
kejantanannya seperti piston yang menyodorkan cairan. Cesca
menjerit kecil, tapi jeritannya terbakar di tenggorokannya. Cesca
sadar bahwa sebelumnya ia sudah menahan Ian untuk menidurinya,
tapi sekarang Ian bercinta dengan sempurna dengan dirinya...dan
tidak hanya secara sempurna, dengan keterampilannya Ian
membuatnya tertegun. Gerakan Ian halus dan baku sekaligus, sangat
terkendali dan belum menjadi liar. Rasanya seolah-olah Ian
mengalahkan kesenangan ke dalam dirinya, membelai miliknya
sampai dia tahu dia bisa meledak menjadi nyala api setiap saat. Dia
mulai menggoyangkan pinggulnya dengan penuh ritme, teriakan
kecil bermunculan dari tenggorokannya setiap kali mereka jatuh
bersama-sama ketika suara tajam yang timbul dari kulit bertemu
kulit. "Ya Tuhan," Ian mengerang beberapa saat kemudian, terdengar
sengsara dan gembira sekaligus. Dia bergeser di atas sofa, dan
melaju ke dalam diri Cesca dengan kekuatan sedemikian rupa
sehingga bagian atas kepala Cesca menabrak bantal kembali. Cesca
bingung sebelumnya Ian melebarkan kakinya ke sofa dan kini
kakinya tertanam di lantai. Ian berada di belakang Cesca dan sofa,
mendorong dan menggeram. "Ian, biarkan tanganku turun dari sofa," pinta Cesca ketika Ian mulai
mendorong lagi dan lagi dan Cesca merasa klimaks menjulang di
dirinya setiap kali Ian melakukannya. Cesca sangat ingin menyentuh
Ian. "Tidak," kata Ian tegang. Dia mendorong kakinya dan melaju ke
dalam diri Cesca, mendengus saat tubuh mereka menampar bersamasama. Sebuah suara
retak terdengar dari sofa, tapi untungnya bukan
bagian paling berharga dari furnitur dan tidak runtuh ke tumpukan
beludru dengan mereka di atasnya. Kepala Cesca menabrak bantal,
payudaranya bergoyang-goyang karena dorongan kuat dari tubuh Ian
yang besar, sensasinya menarik dan membuatnya pusing. Ian
mengangkat tangannya dan meraih tubuh Cesca, membuka lebih
lebar labianya, sebelum Ian memutar pinggulnya, "bolanya" bergulir
terkena area luar kewanitaan Cesca, mengitari kejantanannya yang
besar dan halus terhadap dinding vagina Cesca. "Tidak sampai kau
orgasme lagi, sayang."
Cesca merasa seolah-olah dia benar-benar tidak punya pilihan.
Tekanan yang Ian bangun di dalam dirinya benar-benar tak
tertahankan. Sebuah teriakan tak percaya bisa keluar dari
tenggorokannya ketika kebahagiaan mengguncang dirinya sekali
lagi. Ian mendengus keras sebagai tanda kepuasan dan mulai
menyetubuhi Cesca lebih cepat dari sebelumnya, membiarkan
keliarannya terkandung dalam dirinya keluar dengan begitu hati-hati
menguasai dirinya. Cesca berteriak protes ketika Ian menarik kejantanannya dengan
tiba-tiba dan menekan lututnya ke sofa, mengangkangi dirinya.
Napasnya terdengar compang-camping dan tidak menentu. Cesca
menatap ke arahnya, klimaksnya memudar dalam ketidakhadiran
Ian, bingung dengan tindakannya. Dia menyaksikan dengan cahaya
dari lampu redup saat Ian menggunakan tangannya untuk memompa
kejantanannya. "Ian?" Erangan Ian terdengar seperti penuh penderitaan, kenikmatannya
meningkat saat ia mulai ejakulasi. Rasa sakit menyeruap dalam diri
Cesca saat melihat Ian memuaskan dirinya sendiri dan terpisah dari
dirinya. Dia menurunkan tangannya perlahan-lahan, merasa tertegun,
tak berdaya...sangat terangsang pada apa yang baru saja dilakukan
oleh Ian. Sesaat kemudian, Ian menjatuhkan tangannya dan membungkuk di
atas Cesca, otot-ototnya berkumpul ketat, terengah-engah. Cesca
pikir Ian sangat indah, memiliki tubuh dan jiwanya, tapi Ian lebih
dari itu saat ia berlutut di atasnya, gemetar dan tidak menuntaskan
gairahnya. Cesca meraih tangan Ian, menggeser tangannya di bawah kerah dan
membelai otot-otot yang kuat di bahu Ian. Ian menggigil saat Cesca
menyentuhnya, sangat mendebarkan
"Kenapa?" "Maafkan aku," Ian termegap-megap. "Aku khawatir...kau hamil."
"Tidak apa-apa, Ian," bisik Cesca. Keharuan menyeruak ketika
kekhawatiran dan kecemasan Ian takut akan membuat Cesca hamil.
Dengan hati-hati Cesca merapihkan kembali saku kemejanya yang
terbuka dan memegangnya di belakang dengan satu tangan. Satu
tangannya yang lain di punggungnya, mengharap Ian menunduk ke
arahnya dengan lembut. "Kemarilah," Cesca memanggil dengan tegas ketika dia merasa Ian
menolak. Untuk sesaat Ian ragu-ragu, tapi kemudian ia
menurutinya. Tubuh Ian yang kokoh dan beban berat menekan ke
dalam tubuhnya bagai sebuah keajaiban.
"Aku sangat prima untukmu. Aku belum...belum ada orang lain
selama berminggu-minggu ini. Ini benar-benar bukan aku. Aku bisa
merasakan ini bergejolak dalam diriku, dan aku khawatir...kondom
saja tidak cukup. Bodoh." gumam Ian.
Cesca mencium bahu Ian dan membelai dadanya yang lebar, naikturun. Sesuatu yang
penuh dan tak dapat dijelaskan membengkak di


Because You Are Mine Karya Beth Kery di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dadanya saat ia tahu ini bukanlah seks yang seperti biasanya.
Apakah dia memiliki sesuatu yang dipantang"
Tidak. Tentu saja tidak. Ini agak menakutkan Cesca, kompleksitas Ian, kesepian Ian. Dia
terus membelai saat Ian kembali ke dirinya sendiri, tatapannya
terpaku pada wajah misterius mereka, bertanya-tanya dengan kaku
jika Aphrodite merencanakan untuk memberkati atau mengutuk
mereka. *** Ian tampak tenggelam dalam dunianya sendiri ketika dalam
perjalanan ke hotel, meskipun Cesca duduk di sampingnya di kursi
belakang limusin, melingkarkan lengannya, kepala Cesca bersandar
di dadanya, dia membelai rambut Cesca. Pada awalnya, Cesca
khawatir ia menyesali kerentanan sesaat kembali ke museum,
kehadiran Ian, tapi kemudian ia mulai santai dengan sikap diam Ian.
Dia melihat melalui kelopak matanya yang berat seperti lampu Paris
yang bergegas di dekat jendela, mengingat semua detail dari apa
yang tak terduga yang terjadi di dalam salon dalam detail yang lebih
jelas. Tentu saja Ian tidak bisa menyesali atas apa yang baru saja terjadi,
itu tadi pengalaman yang luar biasa, kan"
Hotel George V baru saja lewat dari Champs-Elys?es. Untuk
menyebutnya mewah agak sedikit meremehkannya, Francesca pikir
ia akan mengikuti Ian ke lift emas. Dia tersentak saat Ian membuka
pintu untuknya dan dia melangkah ke ruang tamu yang penuh barang
antik dan menampilkan kain yang halus, perapian dari marmer, dan
karya seni abad ketujuh belas dan abad kedelapan belas yang asli.
"Lewat sini," Ian mengarahkan, membimbingnya ke kamar tidur
yang diperuntukkan untuk kaum bangsawan.
"Oh, itu indah," gumam Cesca, menyentuh penutup tempat tidur dari
sutra dan memandang sekitar ruangan yang dihias dengan selera
tinggi. Tatapan Ian tertuju ke Cesca saat menanggalkan jas dan
menggantungkannya berdiri di atas valet.
"Hotel ini dekat dengan tempat pertemuanku besok. Aku harus
bangun pagi-pagi. Aku mungkin akan tidak ada saat kau bangun.
Kau harus melihat pemandangan dari teras saat pagi datang. Aku
pikir kau akan menyukainya. Aku akan memesan sarapan, dan kau
dapat bersantap di luar sana, jika kau suka. Kau tampak sangat
lelah." Cesca berkedip pada perubahan topik obrolan. "Kurasa, Aku kira. Ini
hari yang panjang. Aku tidak percaya bahwa pagi ini aku sudah
meninggalkan High Jinks. Itu semua tampaknya seperti...mimpi."
Sebenarnya, Cesca merasa seperti orang yang berbeda dari orang
yang telah menjawab ketukan Ian pagi ini...bahkan saat pertama kali
memasuki Musee de St Germain malam itu. Bercinta dengan Ian
telah mengubahnya, entah bagaimana.
Cesca melirik Ian dengan gugup, dia merasa tak pasti tentang apa
yang ingin Ian lakukan terhadapnya.
"Kenapa kau tidak bersiap-siap untuk tidur," kata Ian dengan kasar,
sambil menunjuk pintu masuk ke kamar mandi yang berdekatan.
"Jacob membawa barang-barang kita pada saat kita makan malam.
Kau akan menemukan tasmu di sana."
"Maukah kau pergi dulu?" Tanya Cesca.
Ian menggelengkan kepalanya saat ia mulai untuk melepaskan
mansetnya. "Aku akan menggunakan kamar mandi di suite satunya
lagi." "Ada satu lagi kamar tidur suite?"
Dia mengangguk. "Jacob biasanya menginap di sana."
"Tapi tidak untuk saat ini?"
Ian melirik ke arah Cesca. "Tidak, Tidak kali ini. Aku ingin semua
tentang dirimu untuk diriku sendiri."
Denyut nadi Cesca mulai berdetak di lehernya saat ia berbalik dan
berjalan ke kamar mandi. Dengan hati-hati ia mulai melepas gaun,
bra, dan mutiaranya, kata-kata Ian masih bergema di kepalanya.
Bercermin di kamar mandi, Cesca melihat apa yang harus Ian sadari
saat ia mempelajari dirinya sebelumnya. Wajahnya tampak pucat di
tempat yang bergairah, bibirnya yang memerah seperti disengat.
Matanya tampak luar biasa besar di atas lingkaran gelap di
bawahnya. Dia ingin mandi tapi tiba-tiba terlalu lelah. Dia mencuci
mukanya dan menggosok gigi di wastafel. Dia menatap dalam
ketakutan yang meningkat pada tas ransel nilonnya yang ada di
bangku dengan bantal pouf emas. Itu tampak sangat menyedihkan di
tempat semewah ini. Sama seperti yang Cesca lakukan, tidak diragukan lagi.
Sama seperti malam-malam sebelumnya, Cesca merasa konyol
mengenakan celana yoga dan Cubs T-shirt yang dibawanya sebagai
pengganti piyama. Dia mengoleskan pelembab dan menyisir
rambutnya sebelum dia berjalan keluar dari kamar mandi. Cesca
terdiam ketika dia melihat Ian berdiri di samping sofa sambil
mengetuk-ngetuk ponselnya. Tatapannya berlari kagum dengan
serakah. Ian tidak mengenakan apa-apa kecuali sepasang piyama
hitam yang dipakai pada pinggul rampingnya. Tubuhnya yang
sempurna dari pinggang rampingnya ke dadanya yang bidang,
punggung dan bahu begitu indah. Tidak ada satu onspun lemak pada
dirinya. Dia begitu disiplin, Cesca hanya bisa membayangkan
latihan rutin apa yang bisa membuatnya seperti ini. Rambut pendek
gelap di tengkuknya dan pelipisnya yang sedikit basah saat ia
mencucinya. Cesca belum pernah melihat seorang laki-laki lebih indah dari ini
dalam hidupnya. Dia yakin dia tidak akan pernah lagi.
Ian memandang sekeliling dan melihat Cesca berdiri di sana. Cesca
bergeser canggung di kakinya di bawah tatapan Ian yang seperti
laser. Ian tiba-tiba berpaling dan melanjutkan tugasnya.
"Kenapa kau tidak pergi tidur?" Tanyanya, sambil mengirimkan
pesan. Cesca mulai menarik selimut dari tempat tidur mewahnya.
"Buka bajumu," kata Ian dari seberang ruangan ketika dia mulai
masuk ke tempat tidur. Cesca berhenti dan menoleh ke arahnya. Dia
tidak beranjak dari teleponnya. Napasnya mulai datang tak menentu
saat ia mulai menanggalkan pakaian.
Kenapa Ian tidak menatapnya seperti yang dia lakukan pada saat di
pesawat ketika dia ditelanjangi, mata biru Ian bersinar di setiap
gerakan yang dibuat oleh Cesca"
Cesca naik ke tempat tidur dan menarik selembar selimut untuk
dirinya sendiri. Ian tetap di di luar kamar, hanya ibu jarinya
bergerak. Kelopak matanya terasa berat, tempat tidurnya sangat
lembut dan hangat. Dia mengantuk.
Terdengar bunyi klik, dan mata Cesca langsung terbuka. Ian
mematikan lampu. Cesca merasa kasur bergerak di bawahnya saat
Ian merebahkan dirinya di sampingnya. Ian ke sisinya, menariknya
ke dalam pelukannya, punggung Cesca di perut Ian. Cesca bisa
merasakan bahwa Ian masih mengenakan piyamanya dan
juga...bahwa Ian tidak mengenakan apa-apa di bawah piyama
tipisnya. Tiba-tiba, Cesca bangun. "Kenapa kau masih memakai piyama, dan aku harus telanjang?"
Tanya Cesca dalam kegelapan.
Ian menyisir rambut Cesca dari bahunya dan membelainya,
mengirimkan sulur kesenangan melalui dirinya.
"Aku akan sering berpakaian saat kau telanjang."
"Itu tidak masuk akal," kata Cesca, napasnya terhalang ketika jarijari Ian yang
panjang membelai di atas kurva salah satu
payudaranya. Dia merasa kejantanan Ian bergerak di samping
pantatnya. Clitnya berdenting dalam kenikmatan, seolah-olah bagai
sebuah respon. "Ini menyenangkanku saat aku dapat menyentuhmu dengan cara
apapun, pada setiap waktu dan setiap aku menginginkannya."
"Ketika kau tetap berpakaian dan terkendali?" Tanya Cesca, sedikit
kemarahan memasuki nada suaranya.
"Ya,ketika aku tetap berpakaian dan terkendali," ulang Ian dalam
penegasan. "Tapi-" "Tidak ada 'tapi' tentang hal itu," kata Ian sambil membelai pantat
Cesca, ada senyum dalam suaranya. Kejantanannya melawan Cesca
lagi, dan dia mendesah, menarik tangannya. "Kau tidak harus
mengeluh, Francesca," Ian mengecam, membuat Cesca lebih tegas
terhadap dirinya. "Kendaliku sudah berbisik tipis ketika datang ke
dirimu. Kau hanya perlu melihat malam ini untuk membuktikannya."
"Itu menakjubkan," bisik Cesca, kekaguman terdengar dari nadanya.
Ian terdiam sejenak, dan kemudian menyentuh di antara pahanya.
Cesca tersentak dalam kegembiraan ketika Ian mendorong jarijarinya dengan lembut
di antara kakinya dan menangkup miliknya,
bahasa tubuh keduanya sangat lembut dan sangat posesif.
"Aku memiliki kekuatan untuk mengendalikanmu karena aku seperti
berpengalaman terhadap wanita, dan kau...perawan," gumamnya,
ada benang kemarahan dalam suaranya.
Cesca memerah panas pada kata-kata kasar Ian. Hal mengendalikan
adalah benar. Cesca sudah sepenuhnya di tangan Ian, tergeletak di
sofa, dan mencintai setiap menit dari keposesifan Ian.
"Aku bukan perawan lagi," katanya dengan suara gemetar. "Kita bisa
melakukannya lagi, dan kau tidak perlu khawatir kali ini."
Kejantanannya meluncur melawan Cesca lagi. Untuk beberapa detik,
Cesca merasakan ketegangan Ian...dan keraguannya.
Perlahan-lahan tangannya dilepaskan dari kewanitaan Cesca .
"Tidak. Besok saja. Aku memiliki banyak hal yang ingin aku ajarkan
kepadamu. Setidaknya kau layak mendapatkan satu malam untuk
pemulihan. " "Tentang apa?" Bisik Cesca.
"Kau akan segera tahu. Sekarang pergi tidur. Aku punya rencana
besar untukmu besok."
Mendengar itu hampir tidak membuat Cesca mengantuk. Namun
demikian, setelah satu menit, tubuh Cesca jadi santai di samping
tubuh Ian, nyaman dan hangat dalam kehadiran Ian.
*** Ian bangkit dari tidurnya yang dalam dan gelap, mimpi sensual
untuk menemukan tubuh telanjang Francesca yang terpampang
terhadap dirinya, membuatnya bergairah, menekan lembut
pantatnya, melengkung, tangannya dipenuhi dengan payudara Cesca
yang lembut. Ya Tuhan. Dia meringis sambil memutar tubuhnya untuk melihat jam, menjaga
tangan di pinggul Francesca sepanjang waktu, menjaga pantat
manisnya untuk selalu berdekatan dengan kejantanannya. Cesca
merasakan gerakan Ian dan mengejangkan pinggulnya dalam
tidurnya, membuatnya menggertakan gigi saat ada stimulasi pada
ereksinya. Ian mengangkat telepon dan mematikan alarm. Bukannya bangun,
seperti yang biasa dia lakukan, ia meletakkan kembali telepon di
meja samping tempat tidurnya dan mengatur piyamanya dan
membebaskan kejantanannya yang membengkak. Dia menarik
Francesca lebih dekat, meregangkan pinggul dan memasukkan
kejantanannya lebih dalam di celah yang manis hangat di antara
pantat Cesca. Tuhan, ini begitu nikmat, pikirnya sambil mendorong
kembali miliknya yang telah membesar karena ereksi jauh lebih
dalam, mengapit dirinya di antara pantat Cesca. Kenikmatan seksual
yang telah dibangun pada saat dia memegang tubuh telanjang Cesca
sepanjang malam, yang telah dibangunnya sejak dia meledak pada
saat klimaks di St Germain membuatnya membengkak tinggi dan
kuat. Dia memegang pinggul Cesca dengan mantap dan
meregangkan pinggulnya, menggeram pada kesenangan yang
merobeknya saat dia membenamkan sekali lagi kejantanannya di
antara tempat yang sehalus dan selembut satin.
Ian menyadari bahwa Cesca mendesah di sampingnya. Dia
mendengar Cesca terkesiap dan dengan lembut menyebutkan
namanya, tapi ia begitu terjebak dalam kelezatan tak terduga dari
mantra pagi seksual Cesca yang dilemparkan kepadanya, yang bisa
lakukannya adalah mendorong dan mendengus dan mengambil
kesenangannya. Kejantanannya terasa besar dan kencang, indah dan
sensitif saat ia kembali menarik di antara pantat yang hangat dan
nyaman milik Cesca. Cesca mencoba untuk menyentuhnya, tapi Ian
menangkap tangannya dan meletakkannya di samping perut Cesca,
memegang di sana sambil terus mendorong di pantat manis Cesca.
Sejak kapan Ian bisa menjadi begitu tergila-gila hanya dari pantat
seorang wanita" "Beri aku waktu sebentar," kata Ian dengan kasar, sampil terus
mendorong Cesca dengan cepat. "Ini tidak akan lama."
Benar saja, ia meledak klimaks hanya sesaat kemudian. Ia
menggertakkan giginya melihat dirinya orgasme di pantat Cesca.
Tuhan, apa yang dia lakukan kepadaku, dia terus tegang dan
ejakulasi, tegang, dan ejakulasi, berpikir liar jika kesenangan yang
menggetarkan akan berakhir. Ian merosot di atas Cesca, terengahengah. Cesca
merintih ketika Ian bersandar untuk mengambil tisu,
dan berusaha membersihkan emisi berlimpah dari kulitnya.
Ian mendongak dan keheranan. Cesca membalikkan kepalanya di
bantal. Pipinya merah muda, bibirnya memerah. Ian membuang tisu
dan membungkuk di atas Cesca.
"Apakah itu menggetarkanmu?" Tanya Ian, sambil mencium bibir
Cesca dengan lembut. "Membiarkan aku menggunakan tubuhmu
untuk kesenanganku?"
"Ya," kata Cesca di samping bibir Ian.
"Dan kau berhak untuk senang juga, sayang." kata Ian.
Ian menyelipkan jari-jarinya di antara paha terkatup dan menemukan
milik Cesca yang sudah basah. Cesca tersentak, memutar kepalanya
menjauh dari dia, menekan pipinya ke bantal. Ian tersenyum saat
jarinya meluncur di antara labia dan klitorisnya.
"Aku ingin datang dalam dirimu, Francesca. Di seluruh tubuhmu,"
gumamnya, sambil membungkuk, bernapas di samping telinga
Cesca. "Tidakkah kau ingin seperti itu, juga?"
"Oh, ya." "Maka, kau harus melakukan sesuatu untuk tidak hamil."
"Ya," Cesca mendesah ketika Ian mengusapnya dengan
lembut...tegas. Persuasif. Ian melihat Cesca lekat-lekat dan erat saat ia merangsang Cesca,
terpesona oleh kelopak mata yang halus dan mengedip dan warna di
pipinya. Bibir Cesca memberi isyarat kepadanya.
"Aku akan menahanmu nanti," gumamnya. "Dan mengajarkan cara
untuk menyenangkanku bahkan lebih dari yang sudah kau lakukan.
Apakah kau suka itu?"
"Ya," kata Cesca, bibir Cesca yang gemetar hampir membunuh Ian.
Ian meraba dan mengusap klitorisnya lebih cepat, Cesca
mencondongkan pantatnya dan Ian memberikan apa yang Cesca
butuhkan, menggerakkan seluruh lengan sambil membelainya
dengan tegas. "Aku ingin menyenangkanmu, Ian."
"Ya," geram Ian, sambil mencium Cesca dengan kasar, menyiksa
bibir kecilnya. "Dan akan kau lakukan."
Cesca menjerit dan gemetar terhadap Ian. Ian menjaganya sampai
Cesca mencapai klimaks, dan mengantisipasi tubuhnya sendiri
ketika ia berpikir datang ke suite dan menemukan Cesca siap untuk


Because You Are Mine Karya Beth Kery di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tunduk pada keinginannya...dan untuk dirinya sendiri.
Ian mencium leher Cesca ketika dia menjadi tenang kembali,
sesekali memukul-mukul pada rasa manis di kulitnya. Erangan
lembut bergetar dari bibir Cesca.
"Undang-undang tentang pengendalian kelahiran di Paris sedikit
lebih longgar. Aku tahu seorang apoteker yang bisa kita andalkan
untuk beberapa bulan ke depan '. Kau bisa memulai segera" gumam
Ian. Ian berhenti di leher yang menggiurkan milik Cesca saat ia merasa
Cesca menegang. "Aku tidak akan ke dokter?"
"Walaupun kau akan kembali ke Amerika Serikat, harus kau
lakukan. Tapi semakin cepat kau memulai, semakin baik. Aku akan
menyuruh Jacob untuk mengantarkannya, dan kau bisa mulai minum
pil hari ini. Aku sudah berkonsultasi dengan apoteker. Kau tidak
memiliki risiko kesehatankan" Tekanan darah tinggi, riwayat stroke"
" "Tidak, aku sangat sehat. Aku baru saja cek kesehatan bulan lalu."
Cesca berbalik menghadap Ian. Dia memiringkan dagunya dan
memandang Ian dengan matanya yang gelap dan lembut. "Tentu saja
aku akan mulai minum pil. Aku tahu betapa pentingnya ini untukmu,
Ian. " "Terima kasih," ujar Ian, menjatuhkan ciuman di mulut Cesca,
memikirkan bahwa di balik itu semua Cesca hanya tahu sedikit
tentang betapa pentingnya itu.
*** Francesca meringkuk di tempat tidur sat Ian bangun untuk bersiapsiap untuk
sebuah rapat, bermalas-malasan setelah mendapatkan
sebuah ciuman dan klimaks. Dia tertidur, membuka matanya yang
mengantuk sesaat kemudian untuk melihat Ian berdiri di tepi tempat
tidur menatapnya, tampak luar biasa tampan dalam setelan gelap,
kemeja putih yang rapi tersetrika, dan dasi sutra biru pucat, dan
aroma aftershave menggelitik hidungnya.
"Apakah kau ingin aku memesankan sarapan untukmu?" Tanya Ian,
hening, suara berat mencolok Ian seperti belaian dan masih
terbungkus di ruangan mewah. "Kau bisa sarapan di teras" Ini hari
yang indah." "Aku akan memesannya sendiri," katanya, suaranya berat karena
rasa kantuk. Ian mengangguk dan melangkah mundur, seolah-olah akan pergi. Ian
ragu-ragu, dan tiba-tiba menukik ke bawah, mencium dengan keras
di mulut Cesca. Tidak ada keraguan tentang hal itu. Ciuman Ian lebih...sensual dari
orang lain. Bukan berarti dia punya banyak pengalaman, tapi tetap
saja. Bagaimana mungkin bahwa ciuman itu dengan cepat segera
membuat Cesca ingat apa yang telah ia miliki di mulut Ian, di bibir
bawahnya, memuja...menuntut"
Cesca mengawasi Ian pergi beberapa saat kemudian, tampak begitu
tinggi dan berwibawa dalam setelan gelap, merasakan campuran
yang aneh dari sukacita dan penyesalan. Setelah Ian pergi,
terpampang langit Paris yang memukau dan air mancur yang
terkenal dari Three Graces. Cesca memesan layanan kamar dan
memakan sarapannya diluar, seperti yang Ian sarankan, sungguh
benar-benar pengalaman mewah dan mencolok serta luar biasa.
Setelah itu, Cesca menghubungi Davie. Sesungguhnya, ia mencoba
meyakinkan temannya bahwa dia aman dan senang berada di Paris
dengan Ian. Davie tampak kurang senang dengan petualangan kecil
Cesca. Bahkan, kekhawatiran itu menyoroti beberapa hal yang
sangat mudah membuat Cesca lupa ketika Ian ada sampingnya,
bercinta dengannya, membuat Cesca lupa segalanya kecuali tentang
hasratnya terhadap Ian. Cesca ingat bagaimana Ian telah membayar lukisannya, tahu benar
bahwa Cesca tidak pernah menolak untuk menyelesaikannya. Cesca
ingat secara rinci bagaimana Ian akan menutup bar dan berkata ingin
memilikinya secara seksual dalam rangka untuk mengeluarkannya
dari pikirannya. Cesca ingat bagaimana Ian membujuknya untuk mulai meminum pil
hari itu. Tunggu dulu...kapan Cesca membuat keputusan yang logis tentang
pilihan yang penting terhadap tubuhnya" Itu terjadi begitu saja,
entah bagaimana, sementara Ian telah menciumnya dan membujuk
dia dan membuat dia menjerit dalam kenikmatan.
Sebuah keputusan berat tenggelam di perutnya.
Tidak, itu belum seperti itu.
Apakah aku seperti itu"
Untungnya, Cesca memiliki alasan untuk menghentikan obrolan
pendeknya dengan Davie. Menjelang akhir pembicaraan mereka, ia
mulai khawatir temannya akan mulai mendengar kecemasan
merembes keluar dari suaranya.
Merasa gelisah, Cesca mengeluarkan pakaian jogingnya, berhenti
ketika dia menyadari Ian tidak memberinya kunci suite. Dia
menelepon ke meja resepsionis ,dan lega karena petugasnya bisa
berbicara bahasa Inggris. Recepsonis itu meyakinkannya bahwa
namanya terdaftar sebagai tamu dan dia dapat mengambil kunci
kartu di meja depan jika dia bisa menunjukkan kartu identitasnya.
Cesca berganti pakaian dan memutuskan turun untuk jalan-jalan di
Paris, kembali berjalan-jalan beberapa kilo di jalanan sempit seperti
turis dan belanja, sangat ramai di Champs-Elys?es, melewati Arc de
Triomphe. Pada saat ia kembali ke hotel, dia ditimpa banyak
kecemasan dan kekhawatiran di trotoar. Jogging selalu tidak
menenangkannya. Tentu saja Ian belum memanipulasinya tentang pengendalian
kehamilan. Keinginannya sama besarnya dengan Ian untuk bebas
risiko dalam hal kehamilan. Mengapa ia berpikir sebaliknya"
Cesca merasa santai dan damai sampai ia membuka pintu suite dan
melihat Ian mondar-mandir dengan tegang di depan perapian
marmer, energi mengalir darinya, mengingatkannya seperti harimau
yang dikurung. Telepon menempel di telinganya. Ian berhenti dan
melihat ke arah Cesca. "Sudahlah," katanya, mulutnya ditekan dengan keras dan menatap ke
arah Cesca. "Dia hanya berjalan-jalan." Dia mengetuk jarinya pada
panel telepon dan meletakkannya di atas perapian.
"Dari mana saja kau?" Tanya Ian. Tulang punggungnya kaku dalam
nadanya yang menuduh. Ian berjalan ke arah Cesca, matanya
bersinar seperti api meliuk-liuk.
"Jogging," kata Cesca, sambil melirik celana pendek, T-shirt, dan
sepatu ketsnya yang seolah-olah berkata, Halo, Bukankah ini sudah
jelas" "Aku khawatir. Kau bahkan tidak meninggalkan pesan."
Mulut Cesca menganga. "Aku pikir kau tak akan kembali sebelum
aku," Cesca berseru, terkejut oleh kemarahan Ian yang tak
terkendali. "Ada apa denganmu?"
Otot-otot wajah Ian menegang. "Akulah yang membawamu ke Paris.
Aku bertanggung jawab terhadapmu. Aku lebih suka kalau kau tidak
pergi begitu saja seperti itu, "bentak Ian, berbalik dan berjalan
menjauh dari Cesca. "Aku bertanggung jawab untuk diriku sendiri. Aku sudah melakukan
pekerjaan yang cukup baik selama dua puluh tiga tahun terakhir,
terima kasih banyak, "jawab Cesca dengan kesal.
"Kau ke sini denganku," kata Ian.
"Ian, itu konyol," seru Cesca. Dia tidak bisa percaya Ian begitu tidak
rasional. Apa yang ada di balik kemarahannya" Apakah Ian begitu
mengontrol, begitu rewel tentang rencananya, bahwa ia tidak boleh
mengambil keputusan spontan, seperti lari pagi" "Kau tidak
mungkin benar-benar marah padaku karena aku joging."
Otot melompat di pipi Ian. Di balik kilatan amarah di mata Ian,
Cesca melihat bayangan kekhawatiran yang tak berdaya. Tuhan, Ian
benar-benar khawatir terhadapnya. Kenapa" Terlepas dari pengaruh
Ian terhadapnya, hatinya telah jatuh kepada Ian. Ian berjalan ke arah
Cesca. Cesca menolak dorongan untuk melangkah mundur, Ian
tampak begitu kuat. "Aku marah karena kau pergi tanpa meninggalkan pesan di mana
kau berada. Jika kau izin terlebih dahulu, mungkin akan berbeda.
Meskipun aku akan mengatakan bahwa aku lebih suka kau tidak
pergi jalan-jalan di kota yang asing sendirian. Ini bukan Chicago.
Kau hampir tidak bisa bahasanya.
"Aku tinggal di Paris selama beberapa bulan!"
"Aku tidak suka ketika ada orang di bawah tanggung jawabku
terhadapnya tiba-tiba menghilang," katanya melalui rahangnya yang
kaku. Ian menatap Cesca, dan tiba-tiba Cesca merasa sadar atas pakaian
yang dikenakannya, bra joging, T-shirt ketat, dan celana pendek.
Putingnya ditarik ketat ketika tatapan Ian bertahan pada
payudaranya. "Pergi dan mandilah," kata Ian, berbalik dan berjalan menuju
perapian. "Kenapa?" Ian meletakkan lengannya di atas perapian dan melirik ke arahnya.
"Karena kau harus banyak belajar, Francesca," katanya, nadanya
lebih tenang. Cesca menelan ludah.
"Apakah kau akan...menghukumku?"
"Aku sangat khawatir ketika aku pulang kembali, suite hotel dalam
keadaan kosong. Aku berharap kau akan di sini menungguku. Jadi
jawabannya adalah ya. Aku akan menghukummu, dan kemudian aku
akan bercinta denganmu untuk kesenanganku sendiri. Setelah itu,
jika kau belum belajar dari pelajaran tersebut, maka mungkin aku
akan menghukummu lagi. Tak peduli berapa lama waktu yang
dibutuhkan olehmu untuk belajar, aku tidak suka kalau kau
impulsif." Puting Cesca menarik lebih erat terhadap kain ketat bra jogingnya
walaupun kemarahannya naik. Gairahnya mengalir dengan panas.
"Kau bisa menghukumku jika kau mau, tapi aku tidak akan
membiarkanmu melakukannya cuma gara-gara aku pergi joging. Itu
bodoh." "Percayai saja apa pun yang kau suka. Tapi kau akan mandi dan
memakai jubah. Cuma Itu saja. Tunggu aku di kamar tidur, "kata Ian,
berbalik dan mengangkat telepon lagi. Dia menekan nomor dan
menyapa seseorang dengan cepat dalam bahasa Prancis sebelum ia
mulai membuat beberapa pertanyaan. Cesca sudah melesat pergi.
Cesca terpaku di tempat ia berdiri, terbakar emosi karena Ian
menyuruhnya mandi dan memakai jubah sialan dan terkutuklah dia
untuk semua kesewenang-wenangannya.
Ada satu bagian yang terasa buruk adalah karena telah sengaja
menyebabkan ada bayangan ketakutan di mata Ian.
Dan ada bagian lain yang sangat menyenangkan dengan apa yang
Ian katakan. Cesca memikirkan terus-menerus pada saat Ian
memukulnya, dan selalu menyesal terhadap hal-hal yang telah
berhenti dengan tidak wajar.
Cesca ingin melihat bagaimana Ian memuncak pada proses
membangkitkan gairahnya tersebut. Dia ingin menyenangkan hati
Ian. Tapi apa yang harus dibayarnya" ia bertanya-tanya dengan cemas
sambil berjalan ke kamar tidur, sadar terhadap fakta bahwa ia akan
melakukan perintah Ian. Kenapa Ian harus menjadi seperti teka-teki"
Kenapa Ian harus mengubahnya menjadi satu-satunya...bahkan
untuk dirinya sendiri"
*** Because You Must Learn Bab 8 Setelah mandi, Cesca duduk dengan gelisah di sofa mewah di kamar
tidur suite, kemarahannya memuncak. Berani-beraninya Ian
membuatnya menunggu seperti ini" Bukankah Ian ingin merenggut
stringnya" Ian merenggut string Cesca lebih dari satu kali hentakan. Cesca ingin
lari ke kamar mandi dan mengunci pintu untuk menghentikan
gairahnya yang tersulut ketika berada di sofa. Menunggu
membuatnya marah, tapi untuk beberapa alasan terkutuk yang tak
bias dia pahami, hal itu membuatnya terangsang
juga...Antisipasinya...kegembiraan dicampur dengan dosis ampuh
kecemasan tentang apa yang Ian rencanakan untuknya.
Cesca tersentak ketika pintu ke kamar suite tiba-tiba terbuka dan Ian
masuk ke ruangan. Ian melirik ke arah Cesca duduk sebelum ia
berjalan ke tempat gantungan jas dan menggantung jasnya. Dia
membuka pintu lemari yang dipoles dengan sangat antik dan
membungkuk seolah-olah meraih sesuatu. Cesca tegang, mencoba
untuk melihat apa yang Ian lakukan, tapi pintu menghalangi
pandangannya. Ketika Ian mulai mengatur, Cesca berpaling, dia tak
ingin Ian tahu bagaimana dia begitu fokus memperhatikan terhadap
apa yang Ian lakukan. Cecsa terkejut ketika Ian berjalan di sekitar sofa beberapa saat
kemudian dan meletakkan cambuk hitam di atas meja tamu. Cesca
menatap dengan mata terbelalak ke ikat pinggang kulit dua inci dari
empat inci yang lentur pada ujungnya, panjang, dan tipis, hatinya
mulai menekan melawan tulang dadanya.
"Jangan takut," kata Ian lirih.
Cesca menatap Ian. "Tapi sepertinya itu akan menyakiti."
"Aku sudah pernah menghukummu sebelumnya. Apakah sakit?"
"Sedikit," kata Cesca, tatapannya jatuh ke salah satu tangan Ian,
yang tampaknya sedang memegang sepasang borgol, tali tangannya
terbuat dari kulit hitam yang tampak lembut.
Oh tidak. "Yah, hukumannya tidak banyak jika aku tidak menyengat sedikit...
sekarang?" Cesca menatap wajah Ian yang tampan, terpesona oleh
suara suara rendahnya...dipaksa. "Berdirilah dan lepaskan jubahmu."
Cesca tidak memalingkan tatapannya saat ia berdiri, entah
bagaimana ia mengambil keberanian dari beberapa pesan yang tak
terucapkan di mata Ian. Dia menjatuhkan jubah ke bantal. Tatapan
Ian jatuh ke Cesca, lubang hidung Ian melebar sedikit. Cesca
menggigil. "Apakah kau mau aku menyalakan api?" Tanya Ian, sambil
menunjuk pada perapian gas.
"Tidak," kata Cesca, terdengar emosional oleh kombinasi permintaan
sopan dan niat Ian untuk menghukum dirinya. Ian berjalan ke
perapian. "Jangan berpaling dariku," perintah Ian ketika Cesca mulai
berpaling. Cesca rindu untuk memutar dagu di atas bahu Ian untuk
melihat apa yang Ian lakukan di belakangnya, kecemasan dan
kegembiraannya terganjal, tapi Cesca tetap menahan dirinya. Apakah
itu karena ia mau memberi Ian kepuasan mengetahui bahwa dia
penasaran, atau karena dia entah bagaimana merasa Ian tidak ingin
Cesca melihat dari atas bahunya"
Ian memulai dengan membelit tangan Cesca dengan satu
pergelangan tangannya. "Tenang, sayang..." gumamnya. "Kau tahu aku tidak pernah benarbenar
membahayakanmu. Kau harus percaya padaku."
Cesca tak mengatakan apa-apa, pikirannya berpacu saat Ian mulai
memborgol pergelangan tangan kanannya. "Sekarang kau mungkin
bisa melihatku," kata Ian.
Cesca berbalik, putingnya menegang ketika dia menyadari betapa


Because You Are Mine Karya Beth Kery di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dekat Ian berdiri. Ian pasti tahu itu. Tak ada cara untuk
menyembunyikan gairah Cesca saat Ian mengikat pergelangan
tangannya yang lain ke dalam manset. Ian menundukkan kepalanya
beberapa inci karena kesemutan, puncaknya seperti ditusuk-tusuk.
Posisi lengan Cesca saat diborgol pergelangan tangannya membuat
payudaranya semakin montok. Ketika selesai, tangan Cesca diikat di
depan dadanya. Ian melangkah mundur. Puting Cesca mencubit lebih
erat ketika ia melihat tatapan Ian terpaku pada payudaranya.
"Sekarang angkat pergelangan tanganmu dan letakkan di belakang
kepala," perintah Ian. Ian menatap Cesca saat ia mematuhinya.
"Lekukkan kembali sikumu dan lengkungkan punggungmu sedikit.
Aku ingin ototmu meregang ketat." Cesca berusaha untuk
melakukan apa yang Ian minta, menyodorkan payudaranya ke depan
dan siku ke belakang, memperhatikan bentuk mulut Ian yang sedikit
membentak ketika dia melakukannya.. Posisi ini membuat Cesca
merasa sangat telanjang dan terbuka. Kemudian ia berpaling. "Ini
akan memperkuat sensasi rasanya," jelas Ian, sambil berbalik
berjalan ke meja tamu. "Dari rasa sakit?" Tanya Cesca, suaranya gemetar dari kecemasan
dan penuh antisipasi ketika dia melihat Ian berjalan ke meja tamu.
Apakah ia akan mengambil cambuk yang menakutkan itu...Ian
datang mendekatinya lagi, tapi Cesca tidak melihat cambuknya.
Hatinya mengetuk tulang rusuk yang membentang seperti meminta
untuk keluar ketika dia melihat tabung putih yang sedikit akrab. Ian
membuka tutup dan mencelupkan jari telunjuknya ke dalam krim.
"Sudah kukatakan sebelumnya bahwa aku akan lebih suka jika kau
tidak takut padaku," kata Ian.
Cesca tersentak keras, gemetar ketika Ian langsung menjatuh jarinya
di antara labia dan mulai melapisi klitorisnya dengan emolien yang
ia tahu akan segera membuat tergelitik dan membakar...dan
membuatnya ingin. Cesca menggigit bibir untuk mencegah dari berteriak dan melihat
Ian memperhatikan dirinya dengan sangat fokus.
"Tapi yang ingin aku tekankan, ini tetap hukuman," kata Ian tegas.
"Aku ingin menekankan bahwa walaupun aku mengijinkanmu untuk
menghukumku," kata Cesca sebelum udara terlontar dari dari
tenggorokannya saat jari Ian mengusapkan krim dengan tatapan
seperti banteng yang penuh dengan akurasi. "Aku masih akan pergi
jogging atau melakukan hal lain yang benar-benar aku inginkan
tanpa meminta izin darimu."
Ian menurunkan tangannya dan berjalan pergi. Cesca menahan
teriakannya karena kenikmatannya yang terampas tiba-tiba. Ian
berbalik dan datang mendekatinya lagi, sambil
membawa cambuknya. Dia tidak bisa melepaskan pandangan dari
perangkat jahat yang tampak digenggam di tangan Ian yang besar,
tampak maskulin. Itu tampak lebih menyakitkan daripada pukulan
oleh tangan Ian. "Lebarkan pahamu...jika kau betul-betul menginginkannya," ujar Ian
lirih. Cesca berkedip, tatapannya terfokus pada tatapan Ian. Panas
bergegas melalui pusat miliknya ketika dia melihat secercah hiburan
dan gairah panas di mata Ian...ketika Cesca mendengar keberanian
dalam nada suara Ian. Jika Cesca setuju dengan apa yang Ian minta, itu karena dia
menginginkannya juga. Pernyataan impulsif pembangkangannya
barusan adalah buktinya. Rasa frustrasi mengalir melaluinya ketika
dia menyadari betapa mahirnya Ian dan betapa patuhnya ia dalam
mengungkapkan keinginannya sendiri dalam satu kali sambaran.
Dia melebarkan kakinya, memelototi Ian untuk sementara.
"Kemarahan mencairkan otot-ototmu dalam posisi ini. Dan anehnya
itu tidak membuatku senang" Gumam Ian, kemiringan mulutnya
menunjukkan bahwa Ian tertawa diam-diam, tidak hanya pada diri
Cesca tapi pada dirinya sendiri. Dia mengangkat cambuknya, dan
semua kejengkelan Cesca penuh sesak oleh antisipasi
yang mencolok. Bukankah Ian akan menampar pantatnya dengan itu,
seperti yang dilakukannya dengan menggunakan dayung" Otot
perutnya melompat dalam kegembiraan ketika Ian menjalankan ikat
pinggang kulit di perutnya. Sensasi erotis menukik melalui inti
miliknya ketika Ian menggosoknya dengan sensual di pinggulnya.
Dia mengangkat cambuknya.
Plak. Plak. Plak. Cesca tersentak, merasakan sengatan dari ikat pinggang yang
berlama-lama di pinggulnya. Dengan cepat memudar menjadi rasa
panas kesemutan. "Terlalu keras?" Gumam Ian, tatapan Ian berjalan di atas wajah
Cesca dan kemudian ke payudaranya. Ian merapikan ikat pinggang
kulit di rusuknya di atas payudara kanan Cesca. Cesca mengerang
tak terkendali saat Ian menekankan ikat pinggang pada putingnya
dan mengusapnya. "Puting indahmu memberitahuku bahwa semuanya baik-baik saja."
Ian mengangkat ikat pinggang dan meletakkannya di sisi payudara
Cesca, kemudian di bawah lekukan payudara Cesca, dan kemudian
puting Cesca mengerut, tindakannya cepat, tegas, dan ringkas.
Sesuatu dinyalakan dalam diri Cesca. Cairan panas mengalir di
antara kedua pahanya, kekuatan reaksinya menyetrumnya hampir
sebanyak fakta bahwa ia baru saja dipukul di dadanya. Matanya
menjepit ketat seperti rasa malu yang memukul dirinya. Apakah ini
semacam penyimpangan, karena memiliki reaksi besar untuk sesuatu
yang begitu sakit" "Francesca?" Cesca membuka matanya saat mendengar nada tegang Ian.
"Kau baik-baik saja?"
"Ya," kata Cesca, mulutnya bergetar tak terkendali. Stimulasi pada
clitnya tampaknya melakukan tugasnya dengan semangat bahkan
lebih dari ketika Ian pernah memukulnya dengan dayung,
membuatnya klitorisnya mendesis dengan penuh gairah.
"Rasanya sakit atau nikmat?" Ian menuntut dengan kasar.
"Aku...sakit," bisik cesca, antara malu dan gairah bersaing
mengendalikan pikiran dan tubuhnya. Ekspresinya menegang. "Dan
nikmat. Begitu nikmat."
"Sialan," gumam Ian, matanya menyala, meskipun Cesca memiliki
kesan yang berbeda. Ia menyukai jawabannya bukannya marah
kepada Cesca. Ian menurunkan cambuknya lagi, muncul di bagian
bawah payudara Cesca yang lain, membuat gundukan bulat milik
Cesca bergoncang sedikit. Cesca menggigit bibirnya, tapi erangan
bergetar di tenggorokannya. "Aku akan membuat pantatmu menjadi
merah, kau begitu mungil..."
Cesca tidak pernah belajar "semungil" apa dia, karena Ian mencubit
putingnya lagi dan lagi. Aksinya begitu lembut, namun cukup kuat
untuk menyebabkan rasa tersengat yang membuat Francesca
mengertakkkan giginya dan menutup matanya. Tanpa berpikir, Cesca
mendorong payudaranya ke depan.
"Itu benar, menampilkan dirimu kepadaku," Cesca mendengar Ian
bergumam saat Ian mengelus bagian bawah dan bagian sisi
payudaranya beberapa kali. "Sekarang...ceritakan apa yang betulbetul membuatmu
nikmat saat ini?" Gumam Ian, sambil
menggeser cambuknya secara sensual di kedua payudaranya. Mata
Cesca masih tertutup, ia benar-benar menikmati sensasi yang
dirasakannya. Oh Tuhan, klitorisnya menjerit untuk minta perhatian
di antara pahanya. "Francesca?" Tanya Ian tajam.
Oh, tidak. Ian tidak akan membuat Cesca mengatakannya. Ian
meluncurkan ikat pinggang kulit ke putingnya dan membuat gerakan
berkedut, merangsang diri Cesca sampai ke intinya. Cesca tersentak.
"Ini akan menyenangkanku jika kau..."
Ian mengejangkan ikat pinggang pada puting Cesca lagi, dan Cesca
gemetar. "Katakan saja. Kau tak perlu malu untuk itu, "kata Ian, suaranya
terdengar keras dan lunak sekaligus.
Rahang Ian menegang, terpecah antara berbicara tentang kebenaran
dan menelannya. Ian memijat puting Cesca dengan cepat
menggunakan ikat pinggang.
"Ini akan menyenangkan jika kau menamparku...di antara pahaku."
Cesca membuka matanya waspada ketika Ian mengangkat putingnya
dan tidak berbicara. "Apa?" Tanya Cesca setelah beberapa saat, tidak
bisa membaca ekspresi kaku dari Ian.
Ian menggeleng pelan, dan Cescaa menyadari bahwa Ian tertegun.
Hidungnya mengembang, dan tiba-tiba Ian tampak sengit. Hati
Cesca tenggelam. Sepertinya itu bukan yang Ian ingin dengar dari
Cesca. "Aku...aku...baik...di setiap tempat...aku...aku minta maaf?" tanya
Cesca, bingung dengan reaksi Ian, tidak yakin apa yang seharusnya
dia katakan. "Jangan pernah meminta maaf untuk menjadi cantik," kata Ian,
sebelum dia melangkah maju dan meletakkan tangannya di
sepanjang sisi rahang Cesca. Dia meraih bibir Cesca dengan
bibirnya, menjarah bibir Cesca dengan bibirnya, menekan dengan
tangguh dan mencelupkan lidahnya. Rasanya yang kuat menyatakan
kepemilikan, baru saja mulai membuat Cesca mabuk, ketika Ian
mengangkat kepalanya. "Kau menggodaku tanpa alasan." kata
Francesca terengah-engah melawan bibir Ian. Nada suaranya sudah
terdengar seperti tuduhan, tapi mulai sadar bahwa dalam situasi ini,
setidaknya, itu pasti menunjukkan bahwa Ian senang.
Panas membanjiri milik Cesca, kenikmatan Ian entah bagaimana
menjadi kenikmatannya juga.
"Tapi aku tidak akan teralihkan."
"Aku tidak berusaha untuk mengalihkanmu"
"Aku akan menyelesaikan hukuman ini," kata Ian, seolah-olah
mempersiapkan diri, mengabaikan ledakan yang terjadi pada diri
Cesca. Dia mencium Cesca sekali dengan lembut di mulut.
"Sekarang membungkuk dan perlihatkanlah pantatmu. Kau dapat
menyimpan pahamu ketika tanganmu terikat. Aku harus membuat
pantat manismu terbakar karena telah membuatku khawatir seperti
itu. " Sesuatu dalam nadanya membuat Cesca berpikir Ian akan
menghukumnya lebih keras daripada yang pertama kali. Cesca
menurunkan tangannya, membungkuk dan menempatkan tangannya
menahan di atas lututnya. Ian segera mulai menggosok ikat pinggang
kulit di atas pantatnya sambil membelai dengan lembut. Dia ingat
bagaimana Ian telah mengatakan kepadanya untuk melengkungkan
punggungnya sedikit. Miliknya terkatup rapat, puting
supersensitifnya meremang saat ia mendorongnya maju.
Ian berhenti membelai pantatnya dengan ikat pinggang tersebut. Dia
melirik ke arahnya dengan cemas.
Ian menggumamkan umpatan. Cesca menyaksikan gairahnya
meningkat saat Ian mulai mengendorkan celananya dengan buruburu. Bukannya
menarik celananya turun ke pahanya, ia
membiarkannya turun di sekitar pinggul, yang membuat
kejantanannya yang sudah ereksi semakin terihat jelas. Ian
membiarkan beban berat itu jatuh dengan bebas, kain dari celana
boxernya yang tergantung di pinggulnya membentuk sudut
horisontal dari tubuhnya.
Cesca menatap kejantanan Ian dengan takjub. Dia belum pernah
melihatnya sedekat ini sebelumnya. Ian tidak pernah membiarkan ia
melihatnya. Ini mengejutkan betapa indahnya. Bagaimana bisa Ian
berjalan-jalan dengan sesuatu yang begitu jelas, begitu besar, di
antara kakinya sepanjang waktu" Untunglah, itu tidak selalu keras
setiap waktu...tapi tetap saja. Itu bisa dimengerti oleh Cesca, itu
hanya alat kelamin Ian saja. Cesca menatapnya, terpesona, pada
benda tebal panjang dengan urat membengkak, yang menunjukkan
bukti gairah Ian, bagian kepalanya meruncing lezat yang membuat
air liur Cesca menetes, kejantanan Ian dicukur rapi dengan testitel
yang penuh. "Seharusnya aku menutup matamu," gumam Ian datar.
"Menunduklah, cantik." Cesca melakukannya, ia kesulitan mengatur
napasnya. Ian mengusap cambuk di pantatnya. "Apakah kau siap?"
"Ya," Cesca menjerit. Apakah Cesca siap"
Ian memukul pantat Cesca dengan ikat pinggang kulit, dan Cesca
menjerit. Mungkin Ian harus belajar untuk membedakan suara
Cesca, mana suara yang menikmati mana suara yang kesakitan
karena Ian terus menampar Cesca, memukul di setiap bagian kulit
Cesca, yang membuat pantatnya menjadi panas. Setelah memukul
pantat Cesca sekali, Ian mulai memukul lagi. Menampar kulit Cesca
yang sudah dipukul, tapi tidak menyengat. Cesca menggertakkan
giginya, desisan yang tak tertahankan dari klitorisnya membantunya
bertahan dari rasa terbakar yang sedikit membuat tidak nyaman.
Mengapa ikat pinggang itu bisa merangsang putingnya, padahal itu
jauh dari putingnya" Mengapa pula telapak kakinya mulai terbakar
pada saat Ian terus menghukum pantatnya"
"Oooh," keluh Cesca ketika Ian mendaratkan pukulan yang sangat
nakal. "Membungkuklah dan letakkan tanganmu di atas kakimu."
Ian berbicara begitu tajam, Cesca sudah tidak tahan tetapi berpaling
menatap Ian. Cesca mengerang gemetar ketika ia melihat Ian
mengepalkan kejantanannya di tangannya dan membelai dirinya
sendiri sambil terus memukulnya. Meskipun pandangan Ian tetap
tertuju pada tugasnya, ia menyadari arti pandangan Cesca.
"Menunduklah," sergah Ian.
Cesca membungkuk lebih jauh, meregangkan pahanya ke belakang,
Ian menatapnya dengan membabi buta ketika tangan Cesca
diletakkan rata di atas kakinya. Apakah itu suara Ian yang
mendengus rendah karena nikmat" Pikirannya tiba-tiba tersebar
ketika Ian menggunakan tangannya yang besar untuk menarik
kembali pantatnya, mengekspos miliknya yang sudah basah ke udara
dingin. Cesca berteriak tajam ketika Ian mengetukkan ikat pinggang sedikit
yang membuat dia terangsang. Ian menekan lebih keras dengan
tangannya, membuka kembali pantatnya dan bibir vaginanya.
Pop. Lututnya langsung tertekuk ketika klitnya membengkak. Cesca tibatiba mengerti
arti dari cambuk sebagai sex toys: kecil, tepat,
mematikan-setidaknya bila di tangan Ian.
Ian buru-buru meletakkan tangannya di bahu Cesca, memantapkan
diri Cesca karena orgasme membanting ke dalam diri Cesca seperti
gelombang pasang. Cesca berlutut, kehilangan dirinya selama
beberapa detik, hilang dalam cengkeraman klimaks yang meledak.
Jauh, ia menyadari bahwa Ian memeluknya saat ia gemetar, satu
pinggulnya menempel di tubuh Ian, yang lain dipegang oleh tangan,
jari-jari Ian bergerak sibuk d iantara kedua kakinya, membuatnya
berteriak dalam suka cita kenikmatan yang tiada henti.
Ian sekarang mendesaknya dengan tangannya, membimbingnya,
ketika Cesca sudah tidak begitu gemetar.
"Membungkuklah dan letakkan tanganmu di atas kursi," kata Ian
tegang dari belakang Cesca. Cesca membungkuk dengan bingung di
atas bantal lebar dan mewah dari kursi Louis XV. Dia merasa Ian
bergerak di belakangnya, celana Ian menyentuh pantatnya, kemudian
ujung ereksinya. Kenikmatan baru menembus kebingungannya.
*** Ian menduga Cesca akan membunuhnya, tetapi ia tidak menyangka
Cesca melakukannya dengan begitu tepat...begitu kejam. Ian


Because You Are Mine Karya Beth Kery di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mencari kondom dan membungkus miliknya dengan liar.
Sangat menyenangkan jika kau memukulku...di antara pahaku.
Ian hampir saja mengalami serangan jantung ketika Cesca
mengatakan hal itu. Cesca telah mencoba untuk menggodanya saat
memintanya untuk menampar puting cantiknya, yang dengan jelas...
Cesca sudah sangat menikmatinya sama seperti Ian.
Lalu Cesca membuka bibir merah mudanya dan mengatakan hal itu.
Lalu Ian mengatakan bahwa ia menghukum Cesca untuk dosa
impulsifnya. Cesca pikir dia sedang bercanda"
Ian meletakkan satu tangan di pinggul Cesca, memantapkan dirinya,
dan meletakkan kejantanannya di tangannya.
"Aku akan bercinta dengan keras denganmu sekarang," kata Ian,
menatap kontras erotis pantat Cesca yang memerah dan
punggungnya yang pucat dan pahanya yang putih. "Aku tidak akan
menunggu sampai kau datang, cantik. Kau telah melakukan ini
kepadaku, dan kau harus menerima konsekuensinya. "
Ian menggunakan tangannya untuk membelai pantat dan membuka
milik Cesca, mendorong kepala kejantanannya ke celah mungilnya.
Dia merasa dirinya meregangkan Cesca. Milik Cesca yang panas
menembus kondom. Ian meraih pinggul Cesca untuk menenangkan
dirinya saat bolanya menyodok Cesca, Cesca tersentak tapi tetap ke
depan. Tangannya bergegas untuk menemukan pegangan. Dia
menunggu sampai Cesca meraih sisi kayu dari bagian belakang
kursi, mulutnya berkerut meringis menahan diri.
Ian mulai meniduri Cesca, menarik kejantanannya kembali sampai
hanya kepalanya saja yang tenggelam, dan kemudian menyodok
kembali ke dalam diri Cesca sampai kulit mereka beradu bersamasama dan jeritan
kecil keluar dari tenggorokan Cesca. Dunia Ian
dipersempit hanya melihat tubuh Cesca yang telanjang, submisif
yang cantik, gesekan yang tajam hampir tak tertahankan menindih
Cesca, aliran yang panas mengejek Ian, membuatnya
memerah...membunuhnya. Melalui kabut kebutuhannya, ia menyadari bahwa sodokannya
terlalu kuat pada tubuh Cesca yang lembut, sampai menyebabkan
kursi bergeser sedikit di atas karpet Oriental. Itu bukan kesalahan
Francesca, itu kesalahannya sepenuhnya, dan Ian menggeram
seperti hewan dirampas miliknya.
"Tetap di situ," kata Ian, mengangkat pinggul Cesca lebih tegas
dalam genggamannya dan menyodorkan milik Cesca untuk
kejantanannya yang mengamuk, menampar pantat Cesca yang
bersentuhan dengan panggul dan pahanya, ini sudah kelewatan jika
dia memukul pantat Cesca dan terbakar dalam ketidaknyamanan.
Tuhan, rasanya begitu nikmat. Dia membanting Cesca yang
menyentuh panggul, kejantanannya menyentak kejam pada
jangkauan terjauhnya di tubuh Cesca.
Geramannya tercetak jelas di tenggorokan Ian ketika orgasme
melanda dirinya. *** Francesca hanya berbaring di sana dengan pipinya yang panas
menempel di kain lembut kursi, mulutnya menganga terbuka heran
pada sensasi saat Ian datang di dalam dirinya. Semua kekuatan itu,
meluncur ke dalam dirinya, meledak di dalam dirinya. Cesca pikir
dia akan ingat saat pertama kali dia merasa Ian mengalah pada
kenikmatannya sementara ia memendam jauh di dalam tubuhnya
selama sisa hidupnya. Dengusan Ian terdengar seperti mengoyak tenggorokannya. Rasanya
seperti sesuatu yang penting sedang merobeknya keluar ketika Ian
menarik dirinya tiba-tiba.
"Francesca," katanya pada saat yang sama Ian mengangkat Cesca ke
posisi berdiri, punggungnya depannya, dan berbalik ke arah sofa.
Mereka berjalan terhuyung-huyung, tubuh mereka tetap menempel
saat mereka berjalan ke sofa. Ian menjatuhkan tubuhnya ke bantal,
sambil membawa Cesca. Dia berbaring di pinggul kirinya,
punggungnya menempel kencang di dasi dan kancing kemeja Ian.
Hangat, lengket, dan kejantanannya masih tangguh menekan tulang
bawahnya. Mereka berdua terengah-engah dan tersentak sejenak. Cesca menjadi
terpaku oleh sensasi napas Ian yang hangat mencolok di leher dan
bahunya. "Ian?" panggil Cesca setelah napasnya lebih teratur dan ia mulai
meluruskan pinggang dan panggulnya.
"Ya," jawab Ian, suaranya rendah dan kasar.
"Apakah kau benar-benar marah kepadaku?"
"Tidak. Tidak lagi. "
"Tapi sebelumnya kau marah?" Desak Cesca.
"Ya." Cesca memutar dagunya. Wajah Ian tampak tenang saat ia melihat
tangannya bergerak naik dan turun di tubuh telanjang Cesca yang
terbaring di sampingnya. "Aku tidak mengerti. Kenapa?"
Tangannya goyah dan mulutnya mengetat.
"Tolong beritahuku," bisik Cesca.
"Ibuku sering pergi sesekali ketika aku masih kecil," kata Ian.
"Lari?" Tanya Cesca perlahan-lahan. "Kenapa" Pergi kemana?"
Dia mengangkat bahu. "Hanya Tuhan yang tahu. Aku akan
menemukannya di tempat-tempat yang mengejutkan dan berbeda di
bawah jalan raya, mencoba untuk memberi makan daun ke anjing
yang panik, mandi telanjang di sungai yang dingin..."
Gelombang horor melanda Cesca saat ia mengamati wajah Ian yang
tanpa ekspresi. "Dia sakit jiwa?" Tanya Cesca, mengingat apa yang Mrs. Hanson
katakan kepadanya. "Schizophrenic," kata Ian, mengangkat tangannya dari pinggul dan
membelai kembali poni pendek dari dahi Cesca. "Tipe Disorganized,
tiba-tiba dia bisa sangat paranoid juga."
"Dan apakah dia...apakah dia seperti itu sepanjang waktu?" Tanya
Francesca melalui tenggorokan yang mengetat.
Matanya yang biru melintas di wajahnya. Cesca cepat-cepat
menyembunyikan keprihatinannya, intuisi membawanya untuk
kasihan. "Tidak. Dia tidak seperti itu. Kadang-kadang, dia ibu yang
manis, ibu yang paling baik, ibu yang paling penuh kasih sedunia. "
"Ian," seru Cesca lembut ketika dia mulai duduk. Cesca merasakan
Ian menarik diri dan membenci dirinya sendiri ketika dia tahu dialah
yang menyebabkannya. "Tidak apa-apa," kata Ian, mengayunkan kakinya yang panjang ke
lantai, menghadap ke Cesca. "Mungkin itu akan membantu kau
untuk memahami lebih baik mengapa aku benar-benar akan lebih
suka kalau kau tidak menghilang seperti itu."
"Aku pasti akan dan meninggalkan pesan atau telepon jika hal
serupa terjadi lagi nantinya, tapi aku harus membuat pilihanku
sendiri," kata Cesca dengan gugup. Cesca tidak bisa berjanji untuk
selalu menunggu untuk Ian dan membantunya mengatasi
kecemasannya. Ian berbalik menoleh. Cesca merasakan kekesalan Ian. Apakah Ian
akan mengatakan bahwa sebaiknya Cesca menuruti apa yang Ian
perintahkan, atau pengaturan mereka akan terhenti" "Aku akan lebih
suka kau hanya duduk jika situasi yang sama muncul," kata Ian.
"Aku tahu. Aku mendengarmu," kata Cesca pelan. Dia duduk dan
menyapukan mulutnya terhadap rahang keras Ian. "Dan aku akan
menjaga preferensimu dalam pikiranku sebelum aku membuat
pilihanku sendiri." Ian memejamkan mata sebentar, seakan mengumpulkan dirinya
sendiri. Apakah Cesca tidak pernah berhenti untuk mengganggunya"
"Kenapa kau tidak membersihkan diri dan kita akan pergi keluar
untuk beristirahat," kata Ian kaku sambil berdiri dan mulai keluar
dari ruangan, mungkin untuk pergi ke suite lain dan membersihkan
diri. Rasa lega melanda diri Cesca ketika menyadari bahwa ia tidak
akan menerbangkannya kembali ke Chicago karena tidak menuruti
apa yang Ian inginkan, ketika Ian sangat menginginkannya.
Memang, begitulah laki-laki selalu ingin menang sendiri.
"Kau tidak akan mencoba dan mengajariku lagi...mencoba untuk
meyakinkanku itu memang caramu?" Tanya Cesca, tak mampu
menjaga senyum dari sudut mulutnya.
Ian melirik lewat bahunya. Cesca melihat kilatan di mata birunya
yang mengingatkannya seperti panas petir dan seperti badai yang
terpasang di kejauhan. Senyum Cesca memudar.
Kapan Cesca akan belajar untuk menutup mulut besarnya"
"Hari ini belum berakhir, Francesca," kata Ian, suaranya rendah,
mengandung ancaman yang membelai, sebelum ia berbalik dan
berjalan keluar dari ruangan.
*** Because I Said So Bab 9 Francesca masuk ke ruang tamu suite setelah mandi dan berganti
baju. Dia menemukan Ian duduk di depan meja, komputernya
terbuka, telepon berada di samping telinganya.
"Aku secara ekstensif terkesan pada latar belakangnya.
Pengalamannya yang tidak menyukai usaha kapitalis dan tidak -
dapat - dipercaya oleh perusahaan Internet. Dia tidak memiliki
kaitan dengan disiplin keuangan," Francesca mendengar Ian
berbicara. Ian memandang sekilas dan menyadari Francesca berjalan masuk ke
ruangan. Matanya tidak pernah lepas dari Francesca saat dia
berbicara. "Apa yang baru saja kukatakan padamu adalah kau bisa
menyewa siapapun yang kau inginkan dari penyatuan yang bisa
diterima oleh kandidat CFO, Declan. Kau harus menginformasikan
padaku tentang penyatuan itu, sampai kau mendapatkannya. Jangan
memulai proses perekrutan, terutama dengan badut seperti ini." Jeda
lagi "Mungkin itu semua benar bagi semua perusahaan lain di dunia
ini, tapi tidak untuk perusahaanku," kata Ian, suaranya seperti es
kering, sebelum mengatakan selamat tinggal dengan cepat.
"Maaf tentang itu," kata Ian, berdiri dan melepas kacamatanya. "Aku
mengalami kesulitan memulai susunan kepegawaian perusahaan."
"Jenis perusahaan apa itu?" Tanya Francesca, tertarik. Ian tidak
pernah berbicara banyak tentang pekerjaannya pada Francesca.
"Konsep game sosial media yang aku uji coba di Eropa."
"Dan kau punya masalah menemukan pelaksana yang kau
inginkan?" Ian mendesah dan berdiri. Dia terlihat kasual mewah, istilah baru
yang dibuat Francesca untuk menggambarkan pakaian Ian saat dia
tidak memakai setelan khasnya. Hari ini, memakai sweater kerah V
berwarna biru terang, di bawahnya dia memakai kemeja putih yang
hanya terlihat kerahnya, dan sepasang celana hitam yang Oh Tuhan begitu seksi
untuk pinggang sempit dan kaki panjangnya.
"Ya, kira-kira seperti itu," Ian mengakui, sambil mengetik pada
keyboard di komputernya. "Biasanya seperti itu, bagaimana pun
juga. Sayang sekali, pasar berorientasi pada pemuda, aku tertarik
pada semacam GUNSLINGER liar dari eksekutif yang suka
menghabiskan uangku melulu karena seperti itu."
"Dan sementara itu kau mungkin membebaskan produk dan ide
penjualanmu, kau orang yang kolot jika mengenai finansial?"
Ian memandang dari atas komputernya sebelum dia menutup
monitor dan berjalan ke arah Francesca. "Apakah kau tahu banyak
tentang bisnis?" "Tidak sedikit pun. Aku adalah bencana berjalan untuk masalah
keuangan. Tanya Davie. Aku bisa menghabiskan uang sewaku setiap
bulan. Aku hanya mengira tentang gaya bisnismu dari apa yang aku
ketahui tentang kepribadianmu." Ian berhenti beberapa kaki di
depannya dan sedikit mengangkat kelopak matanya, salah satu
sikapnya yang terhibur. "Kepribadian?" "Kau tahu," kata Francesca, pipinya memanas. "Sesuatu yang gila
kontrol." Ian tersenyum dan mengangkat tangan untuk menyentuh pipinya,
seolah berpacu dengan kehangatan.
"Aku tidak kuatir menghabiskan uang - dan lebih banyak uang - aku
hanya ingin mengetahui beberapa alasan yang baik. Kau terlihat
sangat cantik." kata Ian tiba tiba, mengubah arah pembicaraan.
"Terima kasih," Francesca bergumam, menatap ke bawah karena
malu oleh kemeja katun sederhana berlengan panjang yang dia pakai
dan dimasukkan ke dalam jeans hipster dengan ikat pinggang
favoritnya. Dia membiarkan rambutnya tergerai, tapi menjepit
bagian depannya agar tidak jatuh ke wajahnya. "Aku....aku tidak
membawa banyak baju untuk dipakai. Aku tidak yakin tentang apa
yang ingin kau lakukan malam ini."
"Ah...bicara tentang yang mana..." Ian menurunkan tangannya dari
pipi Francesca dan memeriksa jam tangannya. Seolah dia terfokus
pada apa yang hendak terjadi, suara ketukan terdengar di pintu, Ian
melangkah melintasi ruangan dan membukanya. Seorang wanita
menarik berusia empat puluhan, memakai gaun cokelat dan memakai
heels dari kulit binatang (semacam buaya) masuk ke dalam suite.
Francesca berdiri di sana, kebingungan, saat Ian saling memberi
salam dengan wanita itu dalam bahasa Prancis kemudian melambai
ke arah Francesca. "Francesca, ini Margarite. Dia adalah asisten belanjaku. Dia
berbicara bahasa Prancis dan Italia, tapi tidak dengan bahasa
Inggris." Francesca saling memberi salam dengan wanita itu dalam bahasa
Prancis terbatas yang dia tahu. Francesca melihat Ian dengan
pertanyaan di matanya saat wanita itu mengambil pita pengukur dan
sesuatu yang terlihat seperti penggaris kayu aneh dari tas tangan
mewah yang dia bawa. Dia mendekati Francesca, tersenyum.
"Ian" Ada apa?" Tanya Francesca, alisnya berkerut saat dia menatap
Margarite meletakkan penggaris kayu aneh dan tas tangannya dan
memegang pita pengukur di tangannya. Dia berjalan mendekat ke
Francesca yang kebingungan. Matanya melebar dalam
ketidakpercayaan saat wanita itu meregangkan pengukur itu di
sekitar pinggulnya, kemudian bergerak cepat di sekitar pinggangnya.
"Lin Soong luar biasa hebat untuk mengira ukuran pakaian jadi.
Bahkan dia menebak dengan benar ukuran kaki. Dia adalah salah
satu yang memesan pakaian yang kau pakai tadi malam, dan dia
sepertinya lebih dari standar biasanya. Bagaimana pun juga, aku
pikir lebih baik mendapatkan ukuran yang lebih tepat untuk pakaian
jahit," Ian berkata begitu saja dari seberang ruangan. Francesca
melihat ke atas, terperanjat, saat Margarite tanpa berbelit
meregangkan pita pengukur di sekeliling payudaranya. Ian sedang
memasukkan beberapa file ke dalam tas kerjanya, tapi terhenti saat
dia melihat ekspresi Francesca.
"Ian, katakan padanya untuk berhenti," Francesca mengomel dalam
napasnya, seolah suaranya mengurangi kemungkinan Margarite sakit
hati, lupa jika wanita itu tidak bisa berbahasa Inggris.
"Kenapa?" Tanya Ian. "Aku ingin meyakinkanmu bahwa pakaianmu
akan sempurna untukmu."
Margarite meletakkan lagi alat kayu itu, yang mana Francesca sadar
bahwa sekarang itu adalah alat pengukur kaki. Francesca berjalan
melewati wanita yang tersenyum itu, ekspresinya tegang, dan
mendekati Ian. "Hentikan ini. Aku tidak ingin baju baru," Francesca mendesis,
menatap lagi ke arah tatapan sopan yang tidak nyaman dari
Margarite yang kebingungan.


Because You Are Mine Karya Beth Kery di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku mungkin ingin kau menghadiri suatu acara denganku yang
memerlukan pakaian formal," kata Ian, sambil menutup resleting tas
kerjanya dengan cepat. "Aku minta maaf. Ku pikir aku tidak bisa pergi jika kau tidak
memikirkan penampilanku yang pantas."
Ian menatapnya tajam pada nada bicara Francesca. Cuping
hidungnya melebar sedikit saat dia akhirnya mengerti
kemarahannya. Margarite bertanya dalam bahasa Prancis dari seberang ruangan.
Tatapan Ian terasa berat, tapi Francesca berpegang pada
keputusannya. Ian berjalan meninggalkan dia dan berbicara dengan
cepat pada Margarite dalam bahasa Prancis. Wanita itu mengangguk
mengerti, tersenyum hangat pada Ian, meraih dompetnya dan pergi.
"Maukah kau mengatakan padaku apa maksud semua itu?" Ian
bertanya padanya setelah dia menutup pintu setelah kepergian
Margarite. "Aku minta maaf. Ini adalah penawaran yang terlalu banyak darimu.
Tapi aku tahu jenis pakaian apa yang mungkin kau katakan pada
Margarite untuk dibuat atau dibeli. Aku hanya seorang sarjana muda,
Ian. Aku tidak bisa membayar semua itu."
"Aku mengerti itu. Aku membeli semuanya untukmu."
"Aku bilang padamu aku tidak dijual."
"Aku bilang padamu ini adalah salah satu jenis pengalaman yang
bisa aku berikan padamu." Ian membentak.
"Baiklah, aku tidak tertarik pada salah satu jenisnya."
"Aku ingin membuatnya jelas bahwa ini mungkin ada di dalam
persyaratan ku, Francesca, dan kau setuju. Aku menerima sifat keras
kepalamu dalam takaran kecil, tapi kau sudah terlalu jauh saat ini."
Kata Ian seraya mengejarnya, menjernihkan kemarahan pada
perlawanannya. "Tidak. Kau yang terlalu jauh. Aku menghabiskan hampir seluruh
hidupku untuk mempunyai sosok yang berwibawa yang mengatakan
padaku penampilanku yang salah dan mencoba untuk mengubahnya.
Kau pikir aku begitu bodoh untuk memberimu izin untuk memulai
hal yang sama sekarang" Aku adalah aku. Jika kau tidak ingin
berada di dekatku seperti ini, aku minta maaf," kata Francesca,
suaranya terdengar terguncang.
Ian berhenti. Francesca berharap Ian tidak pernah melihat dengan
pandangan laser yang telihat begitu kuat. Air mata yang tidak
Francesca harapkan memenuhi matanya. Ini menyakitkan,
mengetahui Ian lebih suka dia berbeda. Francesca tahu ini tidak
logis, Ian berkata dia tidak ingin mengubahnya, hanya pakaiannya,
tapi dia tidak bisa mencegah emosinya yang membengkak. Mereka
berdiri di sana dalam keheningan sementara Francesca mencoba
untuk mengetahuinya. "Jangan dipikirkan," kata Ian pelan setelah beberapa saat sementara
Francesca menatap kosong pada penahan Matahari pada jendela
teras, lengannya menyilang di bawah dadanya. "Mungkin kita bisa
membicarakan ini nanti. Aku tidak ingin berdebat denganmu
sekarang. Ini hari yang indah. Aku ingin menikmatinya bersamamu."
Francesca menatap Ian penuh harapan. Apakah Ian benar-benar rela
memaafkannya karena telah menolak kedermawanannya"
Francesca menjatuhkan lengannya.
"Apa...apa yang akan kau lakukan?"
Ian menutup jarak di antara mereka. "Baiklah, aku berencana untuk
sedikit berbelanja dan makan sore. Tapi sekarang aku mendengar
pendapatmu tentang hal ini, aku pikir rencananya berubah."
Francesca menyembunyikan seringainya. Dia tahu Ian tidak suka
mengubah rencananya. "Bagaimana dengan tur singkat di Muse? d'Art Moderne dan
dilanjutkan dengan makan sore?"
Francesca mengamati wajah Ian yang tenang lebih dekat, mencari
petunjuk pada suasana hatinya dan tidak menemukan apa-apa. "Ya.
Itu sangat bagus." Ian mengangguk dan mengulurkan lengannya ke arah pintu.
Francesca berjalan melewatinya, berhenti saat Ian tiba tiba
memanggilnya. Seolah dia ragu untuk mengatakan sesuatu
sebelumnya, tapi sekarang mengatakan nya. Francesca menoleh.
"Aku ingin kau tahu kalau aku jauh dari ingin mengkritik
pakaianmu. Apakah kau memakai mutiara atau t shirt cubs-mu, aku
melihatmu sangat menarik. Mungkin kau tidak menyadarinnya?"
Mulut Francesca ternganga karena terkejut. "Aku...aku
menyadarinya. Benar. Maksudku-"
"Aku tahu maksudmu. Tapi kau adalah wanita yang sangat cantik.
Aku ingin kau mengerti, Francesca."
"Terdengar seolah kau ingin memilikinya...selama kau merasa
nyaman," Francesca tidak bisa menghentikan dirinya berbicara.
"Tidak," kata Ian kasar, Francesca mengerjap. Ian menarik napas
perlahan, melihat seolah dia menyesali perkataannya. "Aku
mengakui, kau mungkin mempunyai alasan yang bagus untuk
mempercayainya, menyampaikan apa yang kau ketahui tentang
aku....Apa yang aku tahu tentang aku, bagaimana pun juga. Tapi aku
mengetahui aku benar-benar ingin kau mengerti dirimu dengan
jelas....untuk mengenali kekuatanmu."
Francesca hanya menatapnya, mulutnya terbuka, bingung oleh pesan
di mata Ian. Francesca tetap kebingungan saat Ian meraih tangannya dan
membawanya meninggalkan kamar.
Francesca mengingatkan dirinya berulang kali bahwa ini sematamata perjanjian
seksual yang dia miliki dengan Ian. Karena pada
kenyataannya, dia tidak bisa membayangkan hari yang lebih
romantis dalam hidupnya. Atas permintaannya, mereka meninggalkan Jacob dengan mobil dan
mereka menelusuri jalanan di Paris. Francesca merasa geli karena
kegembiraan dan senang oleh sensasi tangannya yang digenggam
Ian, sering menatap ke samping untuk meyakinkan dirinya bahwa
dia benar-benar berkeliling kota paling romantis di dunia dengan
pria yang paling menarik, dan memaksa yang pernah dia lihat.
"Aku lapar," Francesca berkata jujur setelah tur singkat dan
menyenangkan mereka di Mus?e d'Art Moderne, di mana Francesca
terus menerus kagum oleh banyaknya pengetahuan Ian tentang seni
dan bawaan rasa. Ian menjadi teman yang ideal, penuh perhatian
pada Francesca untuk apa yang ingin dia lihat, tertarik pada apa yang
akan dia katakan, menyatakan lebih dari rasa humor, kejenakaanya
yang tidak pernah dia lakukan sebelumnya bersama Francesca.
"Bisakah kita makan di sini?" Tanya Francesca. Ia menunjuk pada
restoran kecil menarik di pinggir jalan yang mereka lewati di Rue
Goethe dengan tempat duduk di luar.
"Lin sudah mengatur meja pribadi untuk kita di Le Cinq," kata Ian,
menunjuk pada restoran yang sangat eksklusif. Restoran mahal di
hotel mereka. "Lin Soong," Francesca merenung, melihat pasangan yang duduk di
dekat meja, wanita itu mengambil makanan dengan malas dengan
jarinya sementara dia tertawa pada sesuatu yang dikatakan
temannya. "Dia sangat efisien dalam merencanakan sesuatu, benar
kan?" "Yang terbaik. Itulah mengapa aku mempekerjakan dia," kata Ian
kering sebelum dia memberi pandangan menyamping pada
Francesca. Francesca menatapnya terkejut beberapa saat kemudian
sebelum masuk ke restoran kecil dan melambaikan tangannya untuk
masuk. Ekspresinya menunjukkan kegelian.
"Benarkah?" Francesca bertanya gembira.
"Tentu saja. Meskipun aku bisa menjadi spontan sementara waktu.
Dalam langkah yang sangat kecil, bagaimanapun juga," Ian
menambahkan dengan lucu. "Akankah keajaiban tidak pernah berhenti?" Francesca menggoda.
Ian mengerjap, terlihat sedikit terkejut, saat Francesca mengangkat
jari kakinya dan mencium Ian di mulutnya sebelum mereka duduk di
salah satu meja di luar ruangan.
"Apakah kau ingin minuman selain air soda?" Ian bertanya sopan
saat pelayan datang ke meja mereka.
Francesca menggelengkan kepalanya. "Tidak, itu saja, terima kasih."
Ian menempatkan pesanan mereka dan pelayan membiarkan mereka
satu sama lain. Francesca tersenyum pada Ian dari seberang meja,
merasa sangat bahagia, mengagumi betapa mata biru elektriknya
terlihat meskipun mereka duduk di bawah bayangan kanopi.
"Kau pernah bilang padaku sekali kalau kau tidak benar-benar
berkembang dan sendirian sampai kau kuliah. Apakah kau pernah
berpikir dalam hubungan serius bersama pria dengan semua
intervensi usia?" tanya Ian.
Francesca menghindari tatapan Ian. Pengalamannya tentang kencan
- atau kurang dari pada itu - benar-benar bukan hal yang dia
inginkan untuk dibicarakan dengan pria mempesona seperti Ian.
"Aku hanya benar-benar tidak pernah berhasil dengan seseorang,
kurasa." Francesca menatap penuh hati-hati dan melihat Ian terus
melihatnya penuh harap. Francesca mendesah. Ian terlihat tidak
ingin menyudahi pembicaraan ini. "Aku tidak tertarik pada sebagian
besar pria di kampus, tidak dalam perasaan romantis, bagaimanapun
juga. Aku suka keluar bersama pria, seperti biasanya. Aku menerima
mereka lebih baik daripada wanita. Kebanyakan wanita...Bagaimana
penampilanku" Di mana kau membeli jeans itu" Apa yang akan kau
pakai pada Jumat malam jadi kita terlihat serasi" Francesca memutar
matanya. "Tapi ketika hal itu terjadi dengan pria...untuk..." Francesca terdiam,
kesulitan menemukan kata-kata yang tepat.
"Detail yang kotor?" Ian berkata pelan.
"Yeah, kupikir begitu," Francesca mengakuinya, keheningan terjadi
selama beberapa sementara pelayan menyajikan minuman mereka.
Mereka masing-masing menempatkan pesanan untuk makan sore.
Setelah pelayan pergi, Ian menatap Francesca seolah menunggu.
"Aku tidak tahu kau ingin aku mengatakan apa," kata Francesca,
memerah. "Cowok enak untuk diajak ke pesta, dan untuk keluar
bersama, dan bersenang-senang, tapi buatku, aku tidak pernah
benarbenar....tertarik," kata Francesca, suaranya terdengar seperti bisikan,
"Pada salah satu dari mereka. Mereka terlalu muda. Terlalu
mengganggu. Aku menjadi sakit saat mereka selalu bertanya padaku
apakah aku ingin pergi berkencan," kata Francesca penuh kejujuran.
"Maksudku...kenapa selalu aku yang hanya mengambil keputusan?"
Kata-katanya membuat Ian kagum saat dia menyadari Ian tersenyum
kecil. "Apa?" Tanya Francesca.
"Kau adalah submisif seksual alami, Francesca. Satu-satunya yang
paling alami yang pernah kulihat. Kau juga luar biasa cerdas,
berbakat, bebas...begitu hidup. Sebuah perpaduan yang unik.
Kekecewaanmu pada kencan mungkin akar dari fakta bahwa pria
membuat perasaan gembira yang salah padamu, boleh dikatakan
begitu.Mungkin hanya sedikit pria di bumi ini yang membuatmu
menyerah." Ian mengambil gelasnya dan melihat Francesca dari atas
bibirnya saat dia menyesap air es. "Rupanya, aku adalah salah satu
pria itu. Aku menganggap diriku beruntung untuk hal itu."
Francesca membuat suara ejekan, terus menerus mengamati Ian
dengan gugup. Apakah dia serius" Francesca mengingat bagaimana
Ian menggunakan kata submisif pada malam dia memukul pantat
Francesca di rumahnya. Francesca tidak menyukai kata yang seolah
menyiratkan tentang dirinya, dan langsung mendorong kata itu
keluar dari kesadarannya sejak saat itu.
"Aku tidak tahu apa yang kau katakan," Francesca berkata dengan
acuh. Saat ini, bagaimana pun juga, dia tidak bisa berhenti
memikirkan tentang apa yang Ian katakan, berhenti mengingat rasa
muak yang melelahkan ketika pria sedang berkencan minum terlalu
banyak sebelum mereka bergerak cepat secara seksual padanya,
ketika sikapnya tidak menentu atau belum dewasa...
...ketika sikapnya berlawanan dengan Ian.
Alis Ian melengkung naik sedikit, seolah dia melihat bagian terkunci
dalam pikiran Francesca. "Bisakah kita membicarakan hal yang lain?" Tanya Francesca,
menatap keluar orang-orang yang berjalan-jalan di pinggir jalan.
"Tentu saja, jika itu kemauanmu," Ian menyetujui dan Francesca
mencurigai persetujuan diam-diamnya yang begitu mudah karena dia
tahu dia telah membuat penilaian.
"Lihat itu," kata Francesca, mengangguk ke arah tiga pemuda yang
lewat di depan restoran dengan motor skuter. "Aku selau ingin
menyewa salah satunya saat aku berada di Paris. Mereka terlihat
menyenangkan." "Kenapa kau tidak melakukannya?" Tanya Ian.
Francesca benar-benar memerah saat ini. Francesca menatap
sekelilingnya, berharap seolah-olah gila ketika dia melihat pelayan
datang dengan hidangan utama mereka.
"Francesca?" Ian bertanya, memajukan duduknya sedikit.
"Aku...uh...Aku..." Francesca menutup matanya cepat. "Aku tidak
punya surat ijin mengemudi."
"Kenapa tidak?" tuntut Ian, terlihat bertanya-tanya.
Francesca mencoba menutupi rasa malunya, tidak yakin mengapa
rasa malu itu begitu kuat dengan Ian tentang fakta pembicaraan ini.
Semua temannya tahu dia tidak bisa menyetir. Banyak orang di kota
juga tidak bisa menyetir. Caden, contohnya, dia tidak punya mobil.
"Saat SMU, aku benar-benar tidak punya tujuan untuk pergi kemana
pun, dan orang tuaku tidak mendorongku. Aku memilih keluar dari
kursus mengemudi," kata Francesca cepat, berharap Ian tidak
mengamati penghindarannya dari kebenaran.
Yang sebenarnya adalah, dia berada di saat yang paling berat saat dia
berusia enam belas tahun. Francesca setiap hari berterima kasih pada
Tuhan bahwa tubuhnya terlihat lebih muda untuk memungkinkan
tiba-tiba penurunan berat badan yang dia alami pada usia delapan
belas tahun. Di luar dari kekagumannya, tidak ada sama sekali bekas parut dari
ukuran berat badannya bertahun-tahun dalam hidupnya. Berat
badannya menyusut seolah ini benar-benar menjadi pengalaman
traumatis yang bisa dia sembuhkan dari lawan kejadian biologis
yang terukur. Tapi enam belas tahun yang manis menjadi enam belas tahun yang
menyedihkan bagi Francesca. Dia mendaftar untuk kursus
mengemudi dengan tiga gadis lain dari kelas senamnya, tiga gadis
itu yang mana - dengan sikap yang mengerikan - secara teratur
mengganggunya. Kelas senam menjadi siksaan setiap hari baginya.
Ide untuk menghabiskan satu jam untuk mengurung tiga gadis
pengejek menyembunyikan tawa mereka dari setiap gerakan kikuk
yang dia lakukan, dan guru senam pria yang samar-samar bersimpati
pada gadis yang diremehkan, menjadi terlalu sulit baginya. Orang
tuanya curiga ini hanya alasannya untuk menghindari kursus
mengemudi, dan mendesaknya untuk tidak mengikuti kelasnya.
Mereka mungkin malu dengan ide yang Francesca lakukan.
"Saat aku pindak ke Chicago, sama sekali tidak ada alasan untuk
mendapat surat ijin mengemudi. Aku tidak bisa membeli mobil,
parkir, atau asuransi. Jadi, mobil mejadi seseatu yang
diperdebatkan," Francesca menjelaskan pada Ian.
"Bagaimana kau berpergian?"
"El, sepedaku...kakiku," kata Francesca, menyeringai.
Ian menggelengkan kepalanya, cepat. "Itu tidak bisa diterima."
Seringai Francesca menghilang."Apa maksud mu?" tanya Francesca,
terluka.

Because You Are Mine Karya Beth Kery di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ian memandangnya dengan gusar saat dia menyadari Francesca
merasa tersinggung. "Maksudku adalah seorang wanita muda
sepertimu seharusnya memiliki dasar utama kontrol dalam hidup."
"Lalu menurutmu menyetir adalah dasar dari kontrol?"
"Ya." Ian menjawab sebuah kenyataan hingga suara tawa terkejut
keluar dari tenggorokannya. "Ini adalah hal penting, mendapat surat
ijin mengemudimu, tidak ada bedanya dengan kau mengambil
langkah pertamamu...atau belajar bagaimana mengontrol
kemarahanmu," Ian menambahkan mantap saat Francesca membuka
mulut untuk mendebatnya. Kedatangan hidangan utama mereka
sementara tertunda oleh perubahan pembicaraan mereka.
"Alasan untuk semua perkataan, kau tahu," Ian merenung beberapa
saat, menatap malas ke arah bumbu salad yang melimpah di atas
sayuran nya. "Satu hal tentang duduk di tempat menyetir, menyetir
nasibmu, kekuatan menyetir..."
Pada akhirnya tatapannya bertemu dengan tatapan Ian, mengingat
dengan jelas bagaimana Ian menggambarkan kepemilikannya atas
Francesca di Museum St. Germain tadi malam. Senyum kecilnya
mengatakan pada Francesca bahwa dia tahu Francesca
mengingatnya. "Kenapa kau tidak mengizinkanku untuk mengejarimu menyetir?"
Tanya Ian. "Ian" Francesca memulai, merasa putus asa, dan sedikit tidak punya
harapan. "Aku tidak mengatakan ini untuk mengendalikanmu. Aku ingin kau
merasa lebih dalam mengontrol seluruh hidupmu, kenyataannya,"
Ian menyela, sambil memotong ayam filletnya dengan cepat. Ian
menengadah saat Francesca tidak berbicara. "Ayolah, Francesca,"
bujuk Ian. "Jadilah sedikit impulsif."
"Oh, ha, ha," kata Francesca menyindir, tapi dia dia tidak bisa
menahan senyum karena dorongaan Ian. Francesca meleleh saat Ian
balas menyeringai, kejam, rasa seksi terpancar dari matanya. "Kau
bersikap seolah kau berencana mengajariku menyetir di Paris setelah
kita selesai makan siang."
"Karena memang benar," kata Ian, mengambil ponselnya.
Mereka masih berada di restoran, mengobrol, menyesap kopi, dan
menunggu Jacob datang dengan mobil yang Ian minta.
"Itu dia," kata Ian, pandangannya menuju pada sedan BMW hitam
berkilauan dengan jendela berwarna. Francesca mendengar Ian
bertanya pada Jacob mengenai menyewa mobil transmisi otomatis
dan membawa mobil itu ke alamat restoran. Jacob sudah di sini
sekarang. Ini begitu aneh untuk mempertimbangkan sesuatu untuk
dilakukan saat uang bukanlah menjadi tujuan.
Francesca tidak percaya dia membiarkan Ian membicarakan hal ini.
Francesca tersenyum saat Jacob memberikan kunci mobil pada Ian.
"Apakah kau ingin kami mengantarmu?" Francesca bertanya pada
supir itu saat dia berbalik untuk berjalan di pinggir jalan.
"Aku akan berjalan menuju hotel. Itu tidak terlalu jauh." Jacob
menyakinkan dengan gembira sebelum dia melambai dan berbalik
pergi. Ian membuka pintu penumpang untuk Francesca. Francesca lega
kalau Ian tidak memulai mengajarinya menyetir di jalan Paris yang
sibuk. Meskipun demikian, Francesca yakin bahwa bencana bisa saja
terjadi. "Ini adalah mobil yang benar-benar menyenangkan," kata Francesca,
duduk di kursi penumpang dan memandang sementara Ian mengatur
kursi sopir untuk kaki panjangnya. "Tidak bisakah kau menyewa
mobil yang tepat" Bagaimana bila aku menghancurkan mobil ini?"
"Kau tidak akan menghancurkannya," kata Ian saat dia mulai
mengendarai mobil ke jalanan yang teduh. Awan bergulung,
menyembunyikan sinar matahari keemasan yang mereka nikmati di
sepanjang hari di musim gugur. "Kau punya refleks yang
mengagumkan dan mata yang bagus. Aku menyadarinya pada saat
pertandingan anggar kecil kita."
Ian melilhat cepat ke samping dan menangkap Francesca yang
sedang menatapnya. Francesca mengerjap, tatapannya memantul
dari Ian. Francesca hanya melihat Ian menyetir satu kali, pada
malam dia merenggutnya keluar dari studio tato. Mungkin Ian benar
tentang kekuatan dan menyetir. Ian terlihat benar-benar penuh
kontrol saat dia mengarahkan setir, sentuhannya ringan tapi
meyakinkan, seperti seorang pecinta. Untuk beberapa alasan, hal itu
membuat Francesca berpikir seperti apa dia terlihat di genggaman
Ian pada awalnya. Francesca menggigil.
"Apakah AC-nya terlalu kencang?" Ian bertanya khawatir.
"Tidak. Aku baik-baik saja. Kita akan pergi ke mana?"
"Kembali ke Museum St. Germain," gumam Ian. "Hari Senin hampir
berakhir. Di sana ada tempat parkir pegawai yang luas di belakang,
di mana kita akan berlatih."
Francesca membayangkan tentang membenturkan mobil langsung ke
dinding istana yang lebar dan tidak memutuskan jika dia gembira
atau gelisah kalau Kakek Ian adalah pemilik tempat itu. Ini akan
menjadi cara yang menyedihkan untuk Earl yang mulia untuk
mengetahui kehidupannya. Dua puluh menit kemudian, Francesca duduk di belakang kemudi
sedan sementara Ian duduk di sampingnya di kursi penumpang. Ini
terasa begitu aneh, pertama-tama duduk di kursi supir, dan kedua
karena kemudinya berlawanan dengan sisi mobil yang biasa di
negaranya. "Kupikir ini semua adalah dasarnya," Ian berkata setelah menunjuk
pada kunci kontrol mekanisme dan gas padanya. "Jaga kakimu di
rem dan geser mobil ."
"Sudah?" Francescaa mencicit gugup.
"Tujuannya adalah membuat mobil bergerak, Francesca. Kau tidak
bisa melakukannya saat di taman," kata Ian bosan. Francesca
melakukan apa yang Ian katakan, kakinya menekan rem.
"Sekarang kurangi remnya, benar." kata Ian saat mobil mulai maju
beberapa inci di tanah parkir yang sepi. "Sekarang mulailah
mencoba dengan menekan pedal gas...tenang, Francesca" Ian
menambahkan saat Francesca menekan kakinya terlalu jauh dan
mobil berguncang ke depan. Francesca menghempaskan kakinya di
rem lebih agresif, dan mereka berdua meluncur ke depan pada sabuk
pengaman mereka. Sialan. Francesca menatap Ian dengan gugup.
"Seperti yang kau lihat," kata Ian masam, "Pedal gasnya sangat
sensitif. Tetap mencoba. Hanya ini satu-satunya cara kau akan
belajar." Francesca mengatupkan giginya bersamaan kali ini dan dengan hatihati menyentuh
pedal gas. Ketika mobil mulai bereaksi pada
SUBTLEST himbauannya, sensasi melandanya.
"Bagus sekali. Sekarang belok ke kiri dan berputar," perintah Ian.
Francesca menekan gas terlalu banyak pada tikungan.
"Rem." Sekali lagi, dia menghempaskan mereka pada sabuk pengaman.
"Aku minta maaf," Francesca menjerit.
"Kalau aku bilang rem, maksudku injak rem perlahan untuk
mengerem perlahan. Jika aku bilang kau berhenti, aku akan bilang
berhenti. Kau harus belok perlahan atau kau akan hilang kontrol.
Sekarang sekali lagi," kata Ian, tidak kasar.
Ian begitu sabar padanya selama setengah jam ke depan. Francesca
sedikit kagum, terutama karena dia benar benar SPAZ menyetir.
Sentakannya terhenti dan akselerasinya cukup lancar sedikit di
bawah pengawasan Ian, bagaimanapun juga, dan dia mulai merasa
sangat gembira mengendarai mobil mengkilap, mobil yang
responsif. "Sekarang parkirkan mobil di tempat ujung sana," pinta Ian,
menunjuk. Hujan mulai terpercik di kaca depan mobil saat Francesca
berbelok rapi ke area parkir dan berteriak kemenangan. "Bagus
sekali," Ian berterimakasih, tersenyum padanya saat dia berbalik
melihat Ian. "Baiklah latihan lebih lanjut dilakukan saat kita tiba di
Chicago. Aku akan menyuruh Lin untuk mengirimkan peraturan
jalan jadi kau bisa mempelajarinya di pesawat saat pulang besok,
dan kau akan siap untuk tes mengemudi dalam seminggu atau lebih."
Francesca begitu gembira, dia tidak berkomentar pada rencana Ian
yang sangat teliti pada detail hidupnya. Francesca memegang
kemudi dan menatap keluar jendela, menyeringai. Belajar
mengemudi ternyata lebih dari sebuah pengalaman pembebasan diri
dari yang dia bayangkan. Atau hanya karena dia terlalu gembira
karena Ian, instrukturnya yang penyabar"
"Kau lihat, ini tidak begitu sulit," kata Ian ketika hujan mulai turun
lebih cepat di kaca depan mobil. "Nyalakan wiper dan lampu. Hujan
mulai akan turun. Bagian ini," kata Ian, menunjuk masing-masing
tombol. "Bagus. Kita akan mencoba sekali lagi sebelum badai
menghantam kencang. Aku ingin kau kembali ke tempat itu dan
membelokkan mobil ke kiri. Benar sekali," kata Ian saat Francesca
mulai mengarahkan persneling mundur. "Gunakan cerminmu.
Tidak...tidak, jalan yang lain, Francesca." Francesca meraba-raba
kebingungan bagaimana untuk menggerakkan kemudi sementara
bergerak mundur mendapatkan hasil yang diinginkan. Bermaksud
untuk mengerem, Francesca menghantam pedal gas dengan keras di
saat yang sama dia memutar kemudi ke arah yang lain. Ketika mobil
bergerak tiba-tiba, Francesca membanting kemudi ke bawah,
hasilnya mobil terhempas di sekitar jalan, benar-benar berputar
putar. Arus listrik seolah terpercik di aliran darahnya dengan tidak terduga,
kegembiraan datang mendadak dari gerakan itu...dari kehilangan
kontrol. Francesca berteriak. Mobil itu tiba-tiba berhenti dengan berdecit, menyebabkan
rambutnya terhempas ke depan kemudi ketika sabuk pengaman
menahannya. Francesca mengalaminya tiba-tiba, rasa kedekatan
yang aneh dengan mobil, seolah mobil itu hidup dan hanya
menampakkan goresan melawan. Francesca mendengus dengan
tertawa. "Francesca," kata Ian tajam.
Francesca menghentikan tawanya dan melihat Ian dengan mata
terbuka lebar. Ian terlihat bingung dan sedikit mengerut. "Aku benar
benar minta maaf, Ian."
"Bawa mobil ke taman," kata Ian cepat. Apakah Ian marah padanya"
Ian tidak suka kekacauan, dia memandang rendah ketika Francesca
hilang kontrol. Francesca mengikuti instruksi Ian dengan cepat,
merasa sedikit sesak napas dan pening, tidak yakin jika reaksinya
datang dari mobil yang berputar dalam putaran yang kuat atau
kilatan di mata Ian saat ini.
"Aku sudah bilang padamu ini ide buruk," gumam Francesca,
memutar kunci starter sehingga tidak bermaksud lebih lanjut
membuat kerusakan yang tidak disengaja.
"Ini bukanlah ide yang buruk," kata Ian, mulutnya membentuk garis
keras. Napas Francesca membeku di paru-parunya saat Ian
meraihnya, jari Ian berkerut di rambutnya, memutar wajah Francesca
agar berhadapan dengannya. Hal selanjutnya yang Francesca tahu,
Ian menunduk dan menangkap mulutnya. Adrenalin yang
menyerangnya telah hilang, mobil yang berputar di jalan yang basah
tidak bisa dibandingkan dengan gelombang kegembiraan pada
ciuman Ian yang tak terduga. Francesca meleleh oleh tekanan Ian,
rasa Ian membanjirinya, tuntutan dorongan lidahnya menaklukkan
pikiran Francesca. Hisapan Ian begitu tepat, cairan mengalir di
antara paha Francesca seolah Ian bagaimanapun juga menyihirnya
dalam mulutnya. Francesca terengah saat Ian mengangkat kepalanya
beberapa saat kemudian. "Kau begitu cantik," kata Ian kasar.
"Aku...aku apa?" Tanya Francesca, masih bingung dan terpaku oleh
ciuman Ian. Ian tersenyum dan menyentuh pipinya lembut. "Pergi ke kursi
belakang dan lepaskan celana jeans dan celana dalammu. Aku ingin
merasakanmu. Sekarang."
Francesca menatap Ian dengan mulut terbuka dan kemudian melihat
keluar melalui jendela mobil dengan gelisah.
"Tidak ada siapa-siapa di sekitar sini. Meskipun ada orang berjalan
atau seseorang mengamati penjagaan museum, kaca ini gelap.
Sekarang lakukan apa yang aku katakan," kata Ian lembut. "Aku
akan bergabung denganmu sebentar lagi."
Francesca membuka ikat pinggangnya, napasnya masih tak menentu,
dan ia membuka pintu sopir. Hujan yang deras mulai berjatuhan,
maka dia menutup pintu dengan cepat dan berlari ke belakang.
Harimau Mendekam Naga Sembunyi 17 Pendekar Rajawali Sakti 24 Kemelut Pusaka Leluhur Hati Budha Tangan Berbisa 4
^