Pencarian

Emptiness Soul 1

Emptiness Of The Soul Karya Andros Luvena Bagian 1


Emptiness of the Soul by Andros Luvena Sinopsis: Masa kecil Jarvis dipenuhi dengan kekerasan. Dia hidup menderita
sampai Liana - seorang wanita yang 15 tahun lebih tua darinya menyelamatkannya
dan memberinya kehidupan yang layak. Tapi
Jarvis harus rela membuang hatinya bersama dengan harga dirinya
untuk menjalani kehidupan itu.
Kehilangan cinta dari orang-orang yang disayanginya membuat
Jarvis membekukan hatinya, tidak ingin dicintai dan mencintai.
Selama ini dia bisa bertahan dengan kehidupan seperti itu, sampai
dia bertemu dengan seorang gadis yang berhasil mengacaukan
kehidupannya. Alexa telah merubah segalanya, memporak-porandakan dinding
kebekuan yang selama bertahun-tahun ini berhasil melindungi
hatinya dari sentuhan sebuah perasaan bernama cinta. Merubah
Jarvis yang sebelumnya tidak ingin dicintai menjadi rindu untuk
dicintai. Ini adalah sebuah kisah tentang perjuangan seorang lelaki yang
merasa tidak memiliki harga diri untuk mendapatkan cinta dari
seorang gadis yang sangat dicintainya. Dengan kebimbangan
dalam hatinya, dia merasa tidak layak untuk dicintai karena
kehidupannya yang kotor dan masa lalunya yang selalu menjadi
mimpi buruknya. Apakah Jarvis memang layak untuk Alexa"
Kisah ini merupakan buku pertama dari trilogy:
1.Emptiness Of The Soul 2.Fragility Of The Soul 3.Freeing The Soul Copyright? 2014 by Andros Luvena
prolog Aku terbangun ketika sebuah tangan kasar meraih kaki kecilku,
tangan itu menyentakku hingga aku terduduk dan terjatuh di lantai.
Aku mengucek mataku yang masih terasa berat, lalu kulihat seorang
laki-laki yang kukenali sebagai adik ibu berdiri garang di depanku.
"Cepat bangun!" bentaknya kasar.
Bukannya beranjak bangun, aku malah mengkeret ketakutan,
kudekap boneka kelinci usang kesayanganku.
Om Benny terlihat geram, dia menarik tanganku dan menyeretnya.
Aku berusaha memberontak dan mencoba untuk bertahan dengan
meraih kaki ranjang yang kujadikan pegangan, sambil berteriakteriak memanggil
Ibu yang selalu bisa kuandalkan, selalu ada saat
aku membutuhkannya. Suaraku sudah serak, berteriak sekencang
mungkin untuk mengalahkan bunyi gemuruh hujan di luar rumah.
Namun Ibu tidak datang juga.
Ibu...Ibu...Di mana Ibu" Kenapa dia tidak datang-datang juga"
Pegangan tanganku terlepas hingga Om Benny bisa dengan
mudahnya menyeretku yang masih berlutut ke luar dari kamar. Aku
terkejut ketika melihat keadaan rumah yang berantakan, kursi dan
meja saling tumpang tindih dalam keadaan terbalik.
Om Benny terus menyeretku, aku meringis kesakitan ketika lututku
terasa perih karena terkena beberapa pecahan beling yang berserakan
di lantai. Lalu aku melihat Ibu yang tergeletak di lantai ruang tengah,
tubuhnya bersimbah darah, dan di sela-sela rambutnya yang
berantakan, aku melihat matanya yang terbuka lebar dengan
pandangan kosong. Aku berteriak, lalu kuhentakkan tanganku yang dipegang Om Benny
kuat-kuat dan berlari menabrak tubuh Ibu yang kini sudah tak
bergerak. Aku menggoyang-goyangkan tubuh Ibu dengan tangan kecilku,
memanggilnya, dan memohon padanya agar dia terbangun dan
memelukku, seperti yang biasanya dia lakukan padaku. Tapi Ibu
tidak mau terbangun. Wajah Ibu yang cantik sekarang pucat, matanya yang terbuka
menatapku kosong. Aku tidak ingin menangis, Ibu bilang anak lakilaki tidak boleh
cengeng. Tapi melihat Ibu yang seperti itu
membuatku tidak bisa menghentikan air mataku. Aku meraung pilu,
melihat kenyataan bahwa Ibu sudah meninggalkanku. Aku menatap
Om Benny dengan garang, aku yakin dialah yang membunuhnya.
Om Benny selalu jahat pada kami, dia selalu memukuliku atau Ibu
yang berusaha melindungiku.
Dipenuhi rasa marah yang mendera hatiku, aku meraih pisau penuh
darah yang tergeletak di samping Ibu. Tangan kecilku bergetar, dan
sambil berteriak marah, aku menyerang Om Benny dengan pisau
yang ada di tanganku. Tapi kemudian yang kurasakan adalah rasa sakit ketika tubuh
kurusku menghantam ubin lantai, kemudian sebuah tendangan
mendarat di kepalaku, membuat kepalaku berdengung dan seakan
hendak meledak. Lalu di ambang batas kesadaranku, aku melihat api
yang berkobar dan kemudian semuanya menjadi...gelap.
*** Bab 1 MY LIFE Aku adalah serigala yang terluka, tubuhku kokoh dan kuat, namun
hatiku terasa remuk. Aku adalah serigala yang terkurung, berada di
sudut gelap dan meringkuk sendirian. Aku adalah serigala malam,
hatiku adalah batu, jiwaku adalah kelam, dan...ragaku adalah
bayangan... Jam hampir menunjukkan tengah malam ketika aku mengendarai
mobil menembus jalanan Ibukota. Derasnya hujan dan hembusan
hawa dingin yang menggigit membuat orang enggan ke luar rumah.
Sehingga jalanan begitu sepi dan lengang. Suara hujan yang
mengenai kaca mobil membuatku sama sekali tidak merasa nyaman.
Aku membenci hujan. Aku mengurangi kecepatan mobilku ketika membelok menuju
apartemen yang kutinggali. Dengan sedikit terburu-buru aku
memarkirkan mobilku dan berlari menembus hujan menuju gedung
apartemen. Aku menepis percikan air yang membasahi bahu sebelum memasuki
lobi apartemen. Kusapu ke belakang dengan jariku, helaian rambut
yang menutupi pandangan. Lalu aku memasuki pintu kaca lobby apartemen, aku
menganggukkan kepala kepada satpam dan langsung menuju lift.
Masuk ke dalam lift, aku menekan tombol yang bertuliskan angka
25. Setengah melamun, memperhatikan angka-angka yang terus
bergerak. Saat terdengar bunyi 'ping' dan pintu lift yang terbuka, aku
segera melangkah ke luar.
Aku membuka pintu apartemen dan melangkah masuk. Saat
menutup pintu, aku mencium wangi lavender memenuhi ruangan
apartemen. Aku menyeringai, aku tahu siapa si lavender itu.
Aku menghampiri salah satu kamar yang kujadikan kamar khusus,
dan melihatnya di sana. Dia mengenakan lingerie warna merah
maroon yang menampilkan lekuk tubuhnya yang membayang karena
terkena pantulan cahaya dari lilin-lilin aromatherapy - satu-satunya
cahaya yang ada di kamar khusus - yang dinyalakannya. Melihat
lekuk tubuhnya yang sempurna, membuatku menelan air liur.
Dia sedang menuangkan minuman ke dalam gelas yang terletak di
atas meja bundar kecil. Aku menghampirinya dan memeluk pinggangnya dari belakang,
mencium lehernya, membuatnya terkikik geli.
"Tunggu tampan," bisiknya sensual.
"Aku tak bisa menunggu..." gumamku terus menelusuri lehernya
dengan bibirku. Tanganku mulai meraba payudaranya yang melebihi
telapak tanganku, kupilin putingnya dengan jari-jariku, membuatnya
menggelinjang, dia suka permainan tanganku.
Dia mendesah, "Ssshhh...Bahkan kau belum melihat lingerie
baruku..." Tanpa melepaskan bibirku dari lehernya, aku menggumam, "Siapa
yang butuh lingerie sialan ini, dia menghalangiku merasakan kulitmu
yang halus." Lalu dengan kasar kurobek lingerie yang menempel di
tubuhnya. Dia berbalik, dengan lingerie yang terkoyak di bagian dadanya,
memperlihatkan payudaranya yang menantang sempurna. Dia
menyambar bibirku dan melumatnya dengan liar. Shit! She's a good
kisser. Aku membalas ciumannya dan meremas pantatnya yang
kenyal, memajukan pinggulku, menunjukkan padanya bahwa
kejantananku sudah mengeras karenanya.
Merasakan kejantananku yang menusuk perutnya, dia melepas
sweaterku dan melucuti celana denimku. Kini aku telanjang di
depannya, dengan kejantananku yang tegak sempurna. Dia berlutut
di depanku hingga wajahnya hanya berjarak beberapa inch dari
kejantananku. Dia mulai menciumi batang kemaluanku, memainkan
lidahnya pada frenulumku dan sesekali membelai bolaku, kemudian
mulut mungilnya menghisap kemaluanku tanpa ampun, dan lidahnya
menjilati cairan pre-cum milikku. Membuatku tidak tahan karena
sensasi kenikmatannya. "Liana..." Aku menggeram, memanggil namanya dan menariknya
berdiri, lalu kulumat bibirnya dengan rakus.
Liana melepaskan ciumanku, menyeringai dan mendorongku ke atas
ranjang, meraih kondom yang tersimpan di dalam laci nakas dan
dengan terampil dia memakaikannya di kemaluanku. Kemudian
secepat kilat dia menaikiku, memasukkan kejantananku ke dalam
kewanitaannya yang sudah sangat basah. Aku mengerang, karena
mendapat serangan yang mendadak itu.
Dia menggoyangkan pantatnya yang gemulai, disertai dengan
cengkeraman dari lubang kewanitaannya ke ereksiku, oh...demi seks
dan segala kenikmatannya, dia melakukan kegel sialan itu lagi.
Aku menusukkan kejantananku dengan gerakan liar, mengikuti
irama putaran pinggulnya, mencengkeram bongkahan pantatnya.
Dari balik helaian rambut basahku yang berwarna perunggu, aku
menatap lapar payudaranya yang menggantung dan bergoyanggoyang. Tanganku beralih
ke payudaranya, meremasnya dengan
lembut. Liana melentingkan punggungnya ke belakang,
mendekatkan payudaranya ke bibirku, kusambar puting payudaranya
dan mengulumnya dalam mulutku. Menghisapnya dengan liar
disertai gigitan-gigitan kecil. Tangan kiriku meremas pinggangnya,
sedangkan tanganku yang satu lagi memilin-milin puting
payudaranya yang bebas. Nafasnya memburu, bersahutan dengan
deruan nafasku, dia mencengkeram bahuku hingga kuku-kukunya
menusuk kulitku. "Oh...Jarvis," Liana mengerang, menyebut namaku, kepalanya
terdongak ke belakang. Aku tahu dia hampir selesai, maka kualihkan
kedua tanganku pada pinggulnya dan kuayunkan naik turun
tubuhnya kuat-kuat, menimbulkan bunyi sensual yang menambah
gairahku. Dan ketika Liana menjatuhkan tubuhnya ke atas tubuhku
dengan erangannya, akupun menyusulnya, melepaskan orgasmeku.
*** Aku telentang di sebelah Liana yang berbaring menghadapku,
tangannya membelai lembut dadaku.
"Kau pulang malam sekali, dari mana saja?" tanyanya.
Aku menatap Liana, wanita yang 15 tahun lebih tua dariku, dia
memiliki wajah eksotis khas Asia, matanya yang sedikit sipit dengan
lingkaran hitam tipis di bawahnya, serta bibirnya yang penuh dan
kulit tubuh yang putih mulus.
"Aku tidak tahu kau akan datang, tadi aku menindaklanjuti tawaran
kerja dari Om Bayu. Jadi aku harus mempelajari berbagai hal yang
bersangkutan dengan properti kalau aku ingin bekerja di sana."
Jawabku. Liana mendesah, "Henry ada panggilan mendadak dari kantornya
yang diluar kota, jadi aku memanfaatkan waktuku sebaik-baiknya."
Aku terkekeh mendengar perkataannya. "Kau tidak curiga dia
berselingkuh?" Godaku.
Dia mendengus dan berbalik telentang, kedua tangannya diletakkan
di atas kepalanya, aku melirik payudaranya yang terekspos
sempurna. "Dia impoten, kau ingat?" gumamnya. Tentu saja aku ingat, karena
itulah dia memeliharaku, bukankah begitu" Aku meringis pedih
mengingat kenyataan itu. "Kau tahu kau tidak perlu bekerja Jarvis," gumam Liana kemudian.
"Aku sudah berumur 18 tahun, sebentar lagi aku lulus, jadi aku harus
mempersiapkan diriku."
"Ya, aku mengerti. Tapi kau bisa fokus belajar jika waktumu tidak
terbagi dengan bekerja. Aku masih bisa membiayai kuliahmu."
Aku berbalik menghadapnya dan memeluk pinggangnya, "Terima
kasih, tapi aku ingin mandiri. Kau tahu kan, aku terbiasa hidup keras
dari kecil, jadi aku tidak akan membiarkanmu membuatku menjadi
pria manja." Liana berbalik membelakangiku dan merapatkan punggungnya ke
dadaku. "Ya sudah, kalau itu maumu."
Tak berapa lama kemudian aku sudah mendengar dengkuran
halusnya. Melihatnya sudah tertidur, aku bangun dan meraih boxerku yang tadi
terlempar dan tergeletak di lantai, setelah memakai boxerku, aku
menyelimuti Liana dengan bed cover. Lalu aku melangkah ke luar
kamar. Aku menuju bar yang terletak di sudut dapur, menghampiri tempat
penyimpanan anggur, dan melihat-lihat isinya. Pilihanku jatuh pada
Armand de Brignac, aku meraih botolnya dan membawanya ke meja
bar. Aku duduk dan menuangkan champagne itu ke dalam gelas yang
langsung kutenggak habis. Sensasi manisnya mengalir di
tenggorokanku. Mengernyitkan keningku, aku menatap botol
Armand de Brignac yang mewah itu, berdiri dengan anggunnya di
atas meja bar. Champagne biasanya di minum saat sedang
merayakan sesuatu bukan" Tapi sekarang, aku meminumnya, apa
yang sedang kurayakan" Keberhasilanku menjadi gigolo" Aku
tersenyum miris mengingat itu. Apakah aku gigolo"
Aku sudah berhubungan seks dengan Liana sejak berumur 15 tahun,
di hari pertama dia menemukanku. Saat dia melakukannya, aku
dalam keadaan kacau, tapi dia tahu cara menenangkanku. Dan dia
membawaku ke perasaan yang belum pernah kurasakan sebelumnya,
gairah. Liana. Dialah penyelamatku.
Aku sedang meringkuk di pinggir jalan ketika dia menemukanku,
tanganku yang gemetar mendekap erat tubuhku yang kedinginan.
Dia menghentikan mobilnya dan turun menghampiriku. Setengah
berlutut, dia menyentuh bahuku, aku menatapnya ketakutan.
"Jangan takut," bisiknya. "Apakah kau sendirian?" tanyanya.
Aku hanya menganggukkan kepalaku lemah.
Dia tersenyum lembut, "Ikutlah denganku."
Kemudian dia membantuku berdiri dan membimbingku menuju
mobilnya. Mobil berwarna merah yang sangat bagus. Dia
membukakan pintu penumpang dan menuntunku memasuki mobil
itu. Lalu dia berjalan kembali ke sisi kiri mobil dan duduk di
belakang kemudi. Melihat aku yang menggigil kedinginan, dia mematikan AC mobil


Emptiness Of The Soul Karya Andros Luvena di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan berbalik meraih jaketnya yang tergeletak di kursi belakang.
"Ini akan membuatmu lebih hangat," gumamnya sambil menyelimuti
tubuhku dengan jaketnya. Aku menatapnya penuh rasa terima kasih.
Dia kembali tersenyum, "Namaku Liana, siapa namamu?"
"Jarvis." Gumamku.
"Okay Jarvis, kau akan ke rumahku sekarang..." katanya sambil
menatap lurus ke depan dan melajukan mobilnya.
Saat mobil melaju, aku memandang ke luar jendela dengan tatapan
kosong. Apa yang akan terjadi padaku selanjutnya"
Mobil memasuki sebuah halaman yang sangat luas. Liana
menghentikan mobilnya di depan rumah tiga lantai yang terlihat
sangat mewah. Aku melongo, menatap kemegahan rumah itu,
dengan teras berlantaikan marmer yang ada pilar-pilar besar
berwarna putih di setiap sisinya. Di depannya terdapat pintu utama
dengan dua daun pintu yang dipenuhi dengan ukiran-ukiran yang
sangat indah. Liana ke luar dari mobil dan kembali membukakan pintu untukku.
Dia membimbingku menuju rumah itu. Aku mengikuti langkahnya
menaiki anak tangga, dan memasuki rumah itu.
Aku lebih terkagum-kagum lagi saat memasuki rumah, tapi Liana
tidak membiarkanku terlalu lama mengagumi seisi rumah itu. Dia
mengajakku ke lantai dua dan memasuki sebuah kamar yang sangat
luas, dengan ranjang yang besar dan kasur yang terlihat empuk.
Sangat berbeda dengan kamarku di rumah Om Benny.
Liana menuntunku memasuki sebuah ruangan yang ada di kamar itu.
Aku kembali melongo ketika mengetahui ruangan yang besarnya
lima kali kamarku itu adalah sebuah kamar mandi.
Aku tersentak ketika Liana mengangkat kaosku.
"Angkat tanganmu," bisiknya lembut. "Tidak apa-apa, kau harus
mandi," katanya ketika melihat aku hanya diam saja.
Aku menurut dan mengangkat tangan, Liana melepas kaosku.
Kemudian jarinya membuka kancing celana pendekku dan
melepasnya, aku tertunduk malu ketika menyadari dibaliknya aku
sama sekali tidak mengenakan apa-apa lagi. Tidak pernah terpikirkan
olehku sebelumnya untuk membeli celana dalam, bisa memakai baju
saja sudah untung. Tapi Liana tidak mempedulikannya, dia menarik tanganku menuju
shower. Liana menyalakan shower, kemudian dia meraih botol sabun
dan menuangkannya di telapak tangannya. Tercium wangi lavender
saat Liana menggosok kedua telapak tangannya sehingga
menghasilkan busa yang melimpah, membuatku merasa tenang dan
nyaman. Lalu dia meraih spons dan menggosokkannya di dadaku
menuju ke bawah hingga perutku. Aku merasakan kenyamanan saat
jari-jarinya menyentuh kulitku, seperti dibelai Ibu saat aku
menangis, atau Tante Mirna saat mengantarkanku tidur.
Liana berjongkok dan mulai menggosok kaki dan pahaku. Aku
mengernyit ketika merasakan sesuatu yang menegang di antara
pahaku saat Liana menyentuhnya. Otomatis aku menunduk, dan
bersirobok pandang dengan matanya yang sedang menatapku tajam,
aku merasa pipiku memerah.
Ketika Liana sudah selesai memandikanku, dia meraih handuk dan
melilitkannya di pinggangku. Kemudian dia melepas pakaiannya
yang basah karena terkena air. Aku ternganga melihatnya yang kini
sudah telanjang bulat, merasa malu aku mengalihkan pandanganku.
Perlahan Liana mendekatiku dan menuntunku ke luar dari kamar
mandi tanpa mempedulikan ketelanjangannya. Lalu dia
mendudukkanku di ranjang. Liana berdiri di depanku, tangannya
membelai lembut bahuku. Dibelai Liana dengan ketelanjangannya
sekarang terasa berbeda dengan tadi, aku merasakan ada yang
menggelenyar di dalam perutku.
Aku merasakan sengatan listrik yang mengalir di tubuhku saat Liana
membungkuk dan mencium bibirku, mula-mula terasa lembut, tapi
kemudian semakin liar dan menuntut. Dia memasukkan lidahnya ke
dalam mulutku, dadaku langsung berdesir. Selanjutnya aku merasa
diselimuti bayangan sehingga aku tidak bisa mengingat pasti
kejadiannya. Yang kuingat kemudian adalah aku sudah terbaring
dengan Liana di atasku, menggoyangkan tubuhnya dengan nafasnya
yang memburu. Aku terbelalak ketika merasakan sensasi aneh saat
kejantananku berada di dalam kewanitaannya. Aliran darahku
mengalir lebih cepat dari yang kuingat, dan aku mengerang,
merasakan kebingungan dengan sensasi yang belum pernah
kurasakan ini. Kemudian aku merasakan ujung kejantananku membengkak dan
terasa penuh, disebabkan oleh naluri, aku mendorong pinggulku
kuat-kuat, menggeram seolah tak tahu malu, lalu...meledaklah
semuanya. Langit seakan bersorak untukku, menaburkan bintang-bintang yang
bercahaya dengan indahnya. Bumi seakan mendukungku dan
melemparkanku dan kemudian dihempaskan pada kelembutan awan
yang menyelimutiku dengan kehalusannya. Aku merasa berbeda,
merasa sangat luar biasa dengan denyutan pada kejantananku, dan
tubuhnya yang terbaring di atasku. Membuatku melupakan semua
permasalahanku. Yang kuingat selanjutnya adalah samar-samar, aku merasa Liana
melepaskan sesuatu dari kemaluanku, dan membuangnya ke sudut
ruangan. Sebuah kantung karet bening yang penuh berisi cairan.
*** Pagi harinya Liana membawakanku makanan yang sangat banyak ke
dalam kamar, aku makan dengan sangat lahap. Kegiatanku semalam
benar-benar menguras tenaga. Mukaku terasa panas mengingat
kejadian semalam, aku menunduk malu.
Liana yang duduk di depanku tersenyum lembut, seolah-olah
mengerti dengan apa yang kupikirkan.
Dia meraih roti bakar yang ada di nampanku dan menyuapkannya
padaku, "Kau harus makan yang banyak," gumamnya, kemudian dia
menyuapkan untuk dirinya sendiri. "Jadi berapa usiamu?" tanyanya.
Aku mengunyah makananku dan menjawab pertanyaannya dengan
gumaman, "15 tahun."
Aku melihat dia seperti tersedak, segera kuraih gelas minumanku
dan menyodorkannya. Dia menerimanya dan meminum habis air
putih yang ada di dalamnya.
Dia berdehem, "Well, kau tidak terlihat seperti...berusia 15 tahun,"
gumamnya kemudian. Aku tersipu, "Aku memang lebih besar dari anak-anak lain yang
seusiaku," gumamku. "Mungkin ini gen dari Ayahku yang orang
Jerman..." Kataku kemudian sambil mengerutkan hidungku karena
merasa ragu. "Ayahmu orang Jerman?" Liana terlihat tertarik.
"Kata Ibuku..."
"Kau...tidak pernah bertemu dengannya." Itu pernyataan bukan
pertanyaan. Aku menggeleng. "Lalu sekarang di mana ibumu?"
Aku menunduk, "Sudah meninggal." Jawabku pelan.
Dia menutup mulutnya dengan telapak tangannya, "Oh...Maaf..." Dia
terlihat sangat menyesal.
Aku tersenyum menenangkannya, "Tidak apa-apa, kejadiannya
sudah sangat lama." Aku berbincang-bincang dengan Liana cukup lama, sama sekali
tidak menyinggung kejadian semalam. Dia tidak mengorek-ngorek
masa laluku sehingga membuatku merasa nyaman bersamanya.
Saat suaminya pulang dia mengenalkanku kepada suaminya, Henry.
Pria yang tampan dan baik hati. Henry mengijinkanku tinggal di
rumahnya. Liana bahkan memasukkanku ke sekolah elit bertaraf internasional,
dia mendaftarkanku sebagai keponakannya. Aku diterima sebagai
murid kelas 9, sama seperti waktu di sekolah yang lama. Aku selalu
belajar dengan tekun, dan berusaha bersikap baik, aku tidak ingin
mengecewakan Henry dan Liana yang sudah begitu baik mau
menampungku. Tentu saja Henry tidak tahu apa yang dilakukan Liana bersamaku
saat dia tidak ada di rumah. Tapi terlepas dari hubungan terlarangku
dengan Liana, aku sangat menghormati Henry. Itu karena dia orang
yang baik dan bijaksana. Tak jarang aku membantunya merekap
data-data perusahaannya, aku cepat belajar, dan Henry sangat senang
dengan hasilnya. Bencana datang saat Henry memergoki aku sedang bercinta dengan
Liana di kamarnya, itu setahun yang lalu. Henry marah besar, dia
hampir memukulku kalau Liana tidak mendekapnya dan
menyuruhku lari, dan ketika aku sudah di luar kamar, Liana
mengunci pintu kamarnya. Aku berdiri di depan pintu kamar hanya mengenakan boxer,
mendengar suara teriakan Henry dan pecahan benda-benda yang
dibanting. Lalu samar-samar, aku mendengar Liana berkata-kata
menenangkan Henry. "Ini hanya seks, sayang. Aku membutuhkannya...Setelah kecelakaan
itu, aku tidak bisa mendapatkan kebutuhan seksualku darimu,
bertahun-tahun aku menahannya, aku tidak pernah berpaling, aku
mencintaimu...Sekarang pun aku mencintaimu. Yang kulakukan
bersama Jarvis hanyalah seks semata, bukan cinta. Ini bukan
salahnya, aku yang memulai..."
"Sejak kapan?" Aku mendengar nada putus asa pada suara Henry.
Tidak ada jawaban. "Apakah sejak pertama kau membawanya ke sini?"
Aku tidak mendengar Liana menjawabnya, tapi kemudian terdengar
suara benda dibanting, membuatku mengerti jawaban yang diberikan
Liana. "Aku membutuhkannya, Henry...Aku wanita normal..." Aku
mendengar Liana berkata dengan suara bergetar.
Lalu aku mendengar Henry menangis, "Maafkan aku...Aku tidak
bisa menjadi suami yang sempurna."
Hening sesaat. "Jangan di sini," Henry kembali bersuara dengan lemah. "Bawa dia
pergi, jangan melakukannya di sini...Aku sudah terlanjur
menyayanginya..." Kemudian aku meninggalkan tempat itu, dan berjalan menuju
kamarku dengan mata berkaca-kaca. Aku benar-benar merasa seperti
seorang bajingan. Dari dalam kamarku, aku melihat Henry pergi dengan mobilnya.
Sekarang di sinilah aku berada, tinggal di sebuah apartemen mewah,
hidup berlimpah harta dengan semua fasilitas yang ada, tapi sama
sekali tidak memiliki hati. Aku sudah membuang hatiku bersama
dengan harga diriku. "Kau tidak tidur?"
Aku menoleh dan melihat Liana bersandar di pintu dapur, dia sudah
mengenakan jubah tidurnya.
Aku tersenyum kepadanya, "Kau terbangun ya?"
Liana menghampiriku, "Tidurlah. Besok kau harus sekolah kan?"
Aku mengangguk, lalu berdiri dan meraih pinggangnya,
membimbingnya ke kamar. "Temani aku tidur," gumamku.
Aku merangkak naik ke atas ranjang dan merebahkan tubuhku,
diikuti oleh Liana. Liana menyelimutiku, kemudian merebahkan
kepalanya di lenganku, tangannya memeluk pinggangku.
"Tidurlah," bisik Liana lembut.
Aku mengusap-usap rambutnya sampai dia tertidur, tapi mataku
masih saja nyalang. Inilah kutukannya. Aku tidak akan pernah bisa tidur jika ada orang lain di sisiku. Tidak
akan pernah.... *** Mobilku memasuki gerbang sekolah dengan perlahan, kubelokkan
mobilku ke tempat parkir dan memarkirkannya di tempat yang tidak
terlalu jauh dari gerbang sekolah. Itu selalu kulakukan agar aku bisa
dengan mudah ke luar saat pulang nanti.
Aku ke luar dari mobil dan membanting pintu mobilku,
menimbulkan suara yang menarik perhatian murid-murid lainnya.
Tapi itu tidak membuatku terganggu, tanpa mempedulikan tatapan
mereka, aku melangkah menuju kelasku.
Dari balik kacamata hitamku, aku melihat beberapa gerombolan
anak perempuan yang mencuri pandang ke arahku, mereka berbisikbisik dan kemudian
cekikikan. Aku hampir sampai kelasku ketika berpapasan dengan Bu Victoria,
salah satu staf TU di sekolahku. Aku menghentikan langkahku dan
melepas kacamataku. "Pagi, Bu." Sapaku sopan.
Bu Victoria menghentikan langkahnya dan tersenyum melihatku.
"Pagi, Jarvis."
"Apa hari ini Anda membawa berita bagus untukku?"
Wanita setengah baya itu tertawa melihatku yang memandangnya
dengan tatapan memohon. "Apa yang sedang kau nantikan?" Dia
balik bertanya dengan senyuman di matanya.
"Sesuatu seperti...surat misalnya."
"Surat apa?" desaknya.
"Surat pemberitahuan lulus seleksi beasiswa," gumamku ragu.
"Yap! Maka kau mendapatkannya," katanya sambil mengeluarkan
sebuah amplop putih. Hampir saja aku terlonjak gembira, aku menerima amplop putih
yang diulurkan Bu Victoria padaku. Amplop putih dengan logo
sebuah perguruan tinggi yang paling berkelas dan berkualitas di kota
ini. "Kau hebat Jarvis, se-Indonesia hanya lima orang yang mendapatkan
beasiswa ini, dan kau mendapatkannya, selamat ya." Kata Bu
Victoria tulus. Aku mengangguk gembira, "Terima kasih, Bu."
"Okay, berjuang ya." Bu Victoria meninggalkanku sambil
melambaikan tangannya. Aku tersenyum simpul menatap amplop di tanganku, ini akan
membuat semuanya menjadi lebih mudah. Aku memasukkan amplop
itu ke dalam tasku dan meneruskan langkahku menuju kelas. Melihat
para murid perempuan yang memandangku dengan tatapan memuja,
dan murid laki-laki yang memandangku dengan tatapan ingin
membunuh, aku hanya mengangkat bahu acuh, mereka hanya iri.
*** Bab 2 ONE NIGHT STAND Hingar bingar suara dentuman musik tidak menggangguku yang
sedang duduk di depan meja bar sebuah nightclub kelas atas.
Perhatianku terpusat pada sekelompok perempuan yang berpakaian
sangat minim. Mereka sedang bergoyang di lantai dansa,
memamerkan lekuk tubuhnya pada para pria hidung belang yang
sedang mengerumuni mereka.
Yang menarik adalah, bahwa tidak ada seorang pria pun yang
berhasil bergabung bersama mereka. Kelima gadis itu, dengan
caranya sendiri selalu bisa mengusir pria-pria yang mendekati
mereka. Adrenalinku merasa tertantang.
Aku meletakkan uang ke atas meja bar dan melangkah menghampiri
kerumunan itu...Kudekati seorang gadis yang paling menarik di
antara mereka, menempel padanya dari belakang dan berbisik


Emptiness Of The Soul Karya Andros Luvena di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

padanya, "Hai, seksi."
Kurasakan gadis itu tersentak dan berbalik, siap mengusirku. Tapi
kemudian dia hanya tersenyum ketika melihatku.
"Hai juga tampan." Dia mengedipkan sebelah matanya padaku.
Aku menyeringai, merapat padanya dan ikut bergoyang mengikuti
irama musik yang menghentak kencang. Aku memegang pinggulnya
dan mendekatkannya pada pinggulku, itu menarik perhatian keempat
gadis yang lainnya. Sehingga mereka mendekati kami dan menempel
kepadaku. Seorang gadis berambut merah merangkul leherku dan
mencoba membalikkan tubuhku padanya, gadis yang lain meraba
punggung dan lenganku, bahkan ada seorang gadis yang berusaha
meremas pantatku. Oh...Shit! Ini benar-benar menggangguku.
Aku mundur dan menarik pinggang gadis yang menjadi incaranku,
"Sorry ladies, aku hanya ingin bersama gadis ini." Aku menunjuk
gadis yang ada di sampingku, membuat gadis itu tersenyum senang.
"Oh tidak," gadis yang berambut merah itu menggeleng, "Bukan
begitu peraturannya."
Aku mengangkat sebelah alisku, "Jadi, apa peraturannya?"
"Kau bersama kami semua, atau tidak sama sekali."
Aku mendekatkan wajahku padanya, "Aku tidak ingin bercinta
dengan 5 orang pelacur," gumamku.
"Kalau begitu, lupakan!" bentaknya sambil menarik tangan gadis
yang ada di sampingku. Demi payudara setiap wanita...gadis itu gila. Aku menyeringai, dan
menyilangkan tanganku di depan dada. "Jadi, kurasa kaulah
pemimpinnya, ya." Aku menatap intens matanya yang menyala. Itu
membuatnya jadi terlihat lebih menarik daripada gadis yang ku incar
tadi. Okay, aku akan berubah haluan.
Dia mengangkat wajahnya, menantangku, "Ya, aku."
"Okay, tidak akan ada lima orang gadis malam ini. Aku hanya ingin
bersamamu." Matanya menatapku ragu, mempertimbangkan tawaranku. "Dengan
semuanya, atau tidak sama sekali," gumamnya pelan, menunjukkan
adanya kebimbangan pada kata-katanya.
Sudut bibirku terangkat, bola sudah berada di tanganku. "Kalau
begitu, lupakan." Kataku mengutip apa yang tadi dia katakan.
Kulihat ada keraguan di matanya, dan ketika aku berbalik, dia
menarik tanganku. "Okay, aku akan bersamamu," katanya membuat teman-temannya
menggerutu kesal. Aku kembali menyeringai dan menarik pinggangnya agar lebih
dekat padaku, menempelkan tubuhnya pada tubuhku. Kulihat temantemannya
menyingkir sambil memberengut.
Kami mulai bergerak mengikuti irama musik, tangannya merangkul
leherku, dan pinggulnya bergoyang di atas pinggulku.
Dia mendekatkan bibirnya padaku, berbisik dengan suara mendesah
menyebutkan namanya. "Carlista."
Bibirku yang sudah agak kelu, pengaruh dari alkohol yang kuminum
tadi membuatku susah mengeja namanya.
Ketika musik berganti menjadi lebih menghentak, dia berbalik
membelakangiku. Punggungnya menempel pada dadaku, dan
pantatnya bergoyang menggesek kejantananku. Membuat ereksiku
semakin keras. Aku menggerayangi tubuhnya, tanganku meraba
pinggangnya, terus ke atas sampai pada payudaranya. Gaun backless
ketat yang digunakannya, mengekspos punggungnya yang putih, aku
memainkan bibirku di sana, dengan tanganku yang menangkup
payudaranya dan sesekali meremasnya.
Dia kembali berbalik menghadapku, tangannya meraba dadaku, dan
pinggulnya kembali bergoyang di atas pinggulku. Aku meraih
pantatnya dan menariknya mendekat padaku, sehingga membuat
pinggulnya menempel pada pinggulku, kemudian kami bergoyang
dengan gerakan orang bercinta.
Kurasa aku akan bercinta dengan gadis ini di sini, kalau saja aksi
kami tidak menjadi pusat perhatian.
"Ayo ke apartmentku." Bisikku di telinganya, lidahku menjilat
cuping telinganya, membuatnya terkikik geli. Kemudian aku
menariknya ke luar dari nightclub itu dan membawanya ke
apartmentku. *** "Oh...Yeah...F*ck me...Jarvis...Yeah...Oh..."
Carlista meracau saat aku menusuk intinya dengan ereksiku. Aku
memegang pergelangan kakinya yang berada di bahuku,
menggerakkan pinggulku maju mundur dan sesekali melakukan
gerakan memutar. "Come on, babe..." Aku menghujamkan kejantananku dan dia
menjerit, kembali kurasakan denyutan di antara ereksiku. Aku
menyeringai, ini orgasmenya yang kedua.
Aku melepaskan kejantananku dari intinya, membalik tubuhnya dan
menarik pantatnya sehingga membuatnya menungging. Kudekatkan
ereksiku yang kini berkilat terkena cairannya, memainkan ujungnya
pada celah di antara bongkahan kedua pantatnya, kemudian
menelusurinya hingga sampai pada intinya, dan menggesekgesekkannya di sana.
Dia mengerang frustasi, "Oh...Ayolah Jarvis, jangan menggodaku,
masukkan sayang..." rintihnya.
"Tenang, babe..." Bisikku kemudian, aku meremas kedua
payudaranya yang menggantung dan memainkan putingnya. Dia
mendesah, nafasnya kembali memburu...Oh yeah, gadis ini cepat
bergairah. Tanganku turun menelusuri perutnya, berputar-putar di sana...dan
turun sampai pada klit-nya. Memainkan klit-nya lebih karena ingin
menyiksanya. Dia mengerang dan menggoyangkan pinggulnya,
berusaha memasukkan ereksiku pada intinya.
Aku memukul pantatnya, membuatnya tersentak, "Diamlah babe!"
"Tidak Jarvis, jangan menyiksaku. Aku ingin milikmu yang besar
itu, masuk ke dalam intiku. LAGI."
"Seberapa besar keinginanmu?"
"Lebih besar dari keinginanku untuk hidup sekarang..."
"Memohonlah!" "Kumohon Jarvis..." Dia memohon dengan suaranya yang serak.
Aku memegang kedua bongkahan pantatnya dan menusukkan
kejantananku pada kewanitaannya, menggerakkan pinggulku dengan
keras, kali ini mencari kenikmatan untuk diriku sendiri. Carlista
kembali menjerit, merasakan orgasme untuk kesekian kalinya. Itu
mendorongku untuk melakukannya dengan cepat, aku bergerak lebih
cepat lagi, dan aku menghujamkan kejantananku dalam-dalam ketika
kurasakan ledakan pada ereksiku.
Aku menghempaskan tubuhku di atas tubuh Carlista yang kini
terbaring telungkup. Sesaat aku terdiam. Lalu aku berguling ke
samping, melepas kondomku dan melemparkannya asal.
Nafasku sudah teratur ketika kulihat Carlista sudah mendengkur
halus. Aku memakai boxerku. Kemudian aku memperhatikan
Carlista. Melihatnya yang tidur tengkurap dalam keadaan telanjang
membuatku mengernyit jijik. Perasaan yang selalu ada setiap aku
selesai melakukan one night stand.
Aku memukul pantat Carlista dengan telapak tanganku, membuatnya
tersentak dan terduduk kaget.
"Apa?" Dia terlihat bingung.
"Saatnya kau pulang, babe." Kataku sambil mengumpulkan
pakaiannya dan menyerahkan padanya.
Dia mengerang, "Ini hampir pagi Jarvis. Biarkan aku menginap di
sini," gumamnya bersiap untuk tidur lagi.
Aku menarik kakinya dan melemparkan pakaiannya ke atas
perutnya. "Tidak, pakai bajumu dan pulanglah. Sebentar lagi Istriku
pulang, aku tidak mau dia melihatku habis bercinta dengan
perempuan lain." Dia tersentak dan langsung terduduk.
Oh yeah, kalimat ini selalu ampuh untuk mengusir perempuan
setelah kau menidurinya. "Kau sudah punya istri?" tanyanya geram.
Aku memasang wajah menyesal dan mengangguk. Membuatnya
bergegas mengenakan bajunya.
"Sialan kau, Jarvis," gumamnya sambil mengenakan sepatunya.
Aku hanya mengangkat bahuku.
Dia meraih tasnya dan melangkah ke luar dari kamar khusus. Lalu
aku mendengar suara pintu yang dibanting.
Aku terkekeh geli, gadis bodoh.
Kemudian aku memastikan pintu apartment terkunci dan kembali ke
kamar khusus. Dengan kondisiku yang 'acak-acakan sehabis
bercinta' membuatku malas kembali ke kamarku yang sebenarnya.
Biasanya aku akan mandi dulu dan tidur di kamarku. Tapi aku malas
mandi malam ini. Aku merebahkan tubuhku di ranjang. Memandang bintang-bintang
yang terlihat dari jendela kaca besar dalam kamar ini.
Pikiranku melayang pada 12 tahun silam, saat api berkobar
membakar rumah dan tubuh Ibuku. Setelah membakar rumah itu,
Om Benny melarikan diri dengan membawaku. Aku tinggal bersama
Om Benny, dia memanfaatkanku untuk mencari uang. Aku
mengamen, menjadi kuli pasar, bahkan menjadi pencopet. Aku
memberontak dan tidak mau melakukannya, saat itu umurku masih 6
tahun, masih terlalu kecil untuk mengerti cara mencari uang. Selama
ini aku hidup nyaman bersama Ibuku, meski hidup kami kekurangan,
Ibu selalu melindungiku dan menyayangiku. Dan saat aku ditarik
dari zona nyamanku dengan paksa, aku tidak bisa menerimanya. Om
Benny yang pemarah selalu memukuliku. Tapi aku tidak peduli, Ibu
sudah tidak ada lagi, buat apa aku hidup di dunia ini...
Aku tidak tahu berapa lama aku tertidur, tapi sesuatu yang basah
yang menelusuri kemaluanku membuatku terbangun. Aku
memicingkan mataku, silau terkena cahaya matahari yang
menerobos dari jendela. Dan aku mengerang ketika melihat Liana
yang sudah telanjang sedang memainkan kejantananku dengan
lidahnya. "Liana...Hentikan sayang..."
Liana tidak mempedulikan ucapanku. Dia memainkan jarinya di
bolaku dan memutar lidahnya mengelilingi ereksiku.
Aku mengangkat pinggulku, tapi Liana memukulkan telapak
tangannya pada pahaku. Aku tersentak, sengatan yang kurasakan
pada pahaku membuat libidoku memuncak.
"Tidak! Ini bukan untukmu, Jarvis!" gumamnya di atas batangku.
O yeah...Ini menarik. Liana bangkit dan mengambil sesuatu dari dalam tas karton yang
semalam bisa kupastikan tidak ada di situ. Lalu aku melihatnya
mengeluarkan sebuah benda bulat panjang berwarna hitam, pada
kedua sisi benda itu terdapat tali yang menyerupai ikat pinggang.
Liana memasang benda itu di antara pahanya dan memasang talinya
pada pinggangnya, aku terbelalak. Oh shit...Itu DILDO.
Aku segera meloncat dan berdiri dari ranjangku dan membuka kedua
telapak tanganku di depan dadaku.
Aku menggeleng-gelengkan kepalaku, "Tidak Liana, tidak! Kau
tidak akan melakukan itu padaku."
Liana menyeringai, "Ya, aku akan melakukannya. Ayolah
sayang...Tidak akan apa-apa." Liana membujukku.
Aku menatapnya ngeri. Melihat dia yang telanjang bulat, dengan
dildo yang menggantung di pinggangnya, di lain waktu mungkin aku
akan tertawa. Tapi TIDAK untuk saat ini.
Secepat kilat aku berbalik dan melompat ke kamar mandi.
Membanting pintu kamar mandi dengan keras dan menguncinya dari
dalam. Aku bersandar pada pintu kamar mandi dan menarik nafas lega.
Sesaat setelah aku menghilangkan kepanikanku, aku melangkah
menuju bathtub dan mengisinya dengan air hangat, menuangkan
sabun ke dalamnya, kemudian berendam, menikmati aroma lavender
yang menenangkan. Aku mendengar Liana mengetuk pintu dan memanggilku lembut,
membujukku untuk ke luar.
"Jarvis...Ayo ke luar sayang..."
"TIDAK!" Sahutku dari dalam.
"Ayolah sayang...Apa kau tidak ingin melakukan sesuatu yang
berbeda?" Aku mengernyit jijik mendengar ucapannya, dengan dildo di lubang
duburku" Tentu saja TIDAK.
"Aku membacanya di novel, dan kau pasti akan menyukainya."
Jadi gara-gara novel. Akan kupastikan penulis novel itu berada di
rumah sakit dalam jangka waktu yang lama.
"Ayolah sayang...Keluarlah..."
Aku menenggelamkan tubuhku ke dalam air sebatas leher. Mencoba
tidak mempedulikan Liana yang masih berusaha membujukku.
Sampai lama kemudian, aku tidak mendengar suaranya lagi.
"Liana..." Panggilku.
"Kau berubah pikiran, sayang?"
Aku mendengus, "Tidak."
"Apakah kau akan di kamar mandi seharian?"
"Aku tidak akan ke luar kalau kau masih memakai dildo itu."
Dia terdiam. Bisa kupastikan dia sedang memikirkan jawabannya.
"Okay, aku akan melepas dildonya." Dia berbohong!
"Kau tahu Liana, kau tidak akan pernah bisa membohongiku."
Aku mendengar dia mengerang, lalu suara benda yang dijatuhkan
dengan kasar. "Sekarang aku sudah melepasnya, PUAS"!"
Aku tersenyum dan melangkah ke luar dari bathtub. Aku meraih
handuk lalu melilitkannya di pinggangku.
Aku membuka pintu kamar mandi dan melihat Liana yang sedang
memakai bajunya, lalu kulihat dildo itu tergeletak di lantai. Aku
mengambilnya, benda itu terasa kenyal dan lembut.
Aku membuka laci yang berada di dalam lemariku, meletakkan
benda itu dan mengunci lacinya. Lalu kuraih kaos dan celana yang
ada di tumpukan terdekat dengan tanganku.
Liana sudah selesai mengenakan bajunya saat aku memakai boxerku.
"Jadi...One night stand heh?" tanyanya.
Aku melirik kondom yang tergeletak di kaki ranjang, lalu kupakai
kaosku. "Kau keberatan?"
Dia tertawa, "Tentu saja tidak."
Aku tahu dia berkata jujur.
"Ya...Seperti biasa..." Aku mengangkat bahuku acuh. "Kau sudah
makan?" Dia menggeleng, "Aku membawakan bubur ayam untukmu."
Aku meraih pinggangnya dan membimbingnya ke luar kamar. "Kau
memasaknya?" "Kau tahu aku tidak bisa masak."
Aku tersenyum dan dia mengusap rambutku dengan sayang.
Bersama Liana, selalu membuatku merasa nyaman. Seperti saat
bersama Ibu...atau Tante Mirna, cuma ini sedikit lebih berbeda...
"Aku mendapatkan beasiswa itu." Kataku ketika sudah duduk di
meja makan. Liana membelalakkan matanya, "Wow...Itu harus dirayakan."
Aku hanya tersenyum, "Tidak usah berlebihan."
"Tapi itu hebat Jarvis. Yah, aku tahu kalau kau memang jenius."
Aku menyuapkan suapan terakhir ke dalam mulutku. "Aku tidak
jenius," gumamku. "Kau jenius. Jangan merendah."
Aku hanya mengangkat bahuku dan membawa mangkuk kosong itu


Emptiness Of The Soul Karya Andros Luvena di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ke tempat cucian piring, lalu mencucinya.
"Ngomong-ngomong, masalah pekerjaanmu itu gimana?"
Mengelap tangan, aku berbalik menghadapnya. "Aku akan
mengaturnya. Banyak orang yang bisa kuliah sambil bekerja."
"Tapi kau masih sekolah."
"Hanya untuk beberapa bulan lagi." Lalu aku mendekati kulkas dan
membuka pintunya. "Aku harus berbelanja hari ini, kau mau ikut?"
"Tidak. Henry mengajakku makan siang dengan rekan bisnisnya hari
ini." Kuke luarkan beberapa isi kulkas yang sudah kadaluwarsa dan
mengumpulkannya di sebuah keranjang. "Bagaimana hubunganmu
dengan Henry?" "Baik-baik saja kurasa."
"Komunikasi?" Aku menanyakan kelancarannya berkomunikasi
dengan Henry. "Tidak ada masalah dengan komunikasi kami. Dia selalu manis,
perhatian, dan selalu membawakan aku bunga setiap pulang ke
rumah." Aku tersenyum sayang, "Dia sangat mencintaimu, ya."
Liana terdiam. Aku menghentikan kegiatanku dan berbalik menghadapnya,
"Sebelumnya maaf ya Liana. Tapi, apa kamu tidak pernah
mengajaknya 'ke dokter'?" Aku membentuk tanda kutip dengan
kedua jari telunjukku saat mengucapkan 'ke dokter'.
Liana menjatuhkan kepalanya ke sandaran kursi dan menghela nafas,
"Henry tidak ingin penyakitnya diketahui orang lain."
Aku mengangkat keranjang yang berisi makanan dan minuman yang
sudah kadaluwarsa dan membuangnya ke tempat sampah. Melihat
Liana yang mengernyitkan dahinya dengan tatapan matanya yang
kosong, aku menghampirinya dan mengusap-usap punggung
tangannya. "Semuanya akan baik-baik saja Liana," gumamku menenangkan.
Liana hanya mengangguk lemah.
*** jantungku. Lalu aku melepas kaos yang sudah basah karena keringat
dan beranjak bangun menuju wastafel. Kubasuh mukaku dengan air
dingin, lalu aku mendongak, menatap bayangan seraut wajah dengan
rambut warna perunggu dalam cermin, yang kembali menatapku
dengan mata birunya yang terlihat lelah.
Sekelebat sosok penuh api menari-nari di pelupuk mataku. Kenapa
mimpi itu tidak pernah mau meninggalkanku"
Aku meraih jubah tidur yang tergeletak pada sandaran kursi dan
memakainya. Lalu aku melangkah menuju balkon kamarku.
Langit masih gelap saat aku membuka pintu, dan merasakan angin
dingin yang menerpa wajahku. Aku bersandar membelakangi pagar
balkon, menyilangkan tangan di depan dadaku. Tatapanku mengarah
pada langit gelap tanpa bintang yang terhampar luas. Langit itu
seperti jiwaku, kelam...tanpa bintang. Jiwa yang kosong karena tidak
memiliki hati. Akankah ada bintang yang mau menerangi jiwa tanpa
hati" Aku masih memiliki hati saat ada Ibu. Aku juga masih memiliki hati
saat ada Tante Mirna. Merekalah penjaga hatiku. Mereka yang
selalu melindungiku. Aku menghela nafas panjang, kembali menatap langit yang semakin
gelap. Aku berbalik dan meletakkan tanganku pada pagar balkon,
menjadikannya tumpuan untuk tubuhku yang condong ke depan.
Sebaris kilat muncul di ujung langit, sepertinya akan turun hujan.
Aku benar-benar benci hujan.
*** Bab 3 FAIRY GIRL 5 Tahun kemudian... Malam sudah larut ketika aku memasuki apartemen. Melepas jas,
aku memasuki kamar dan melemparkannya ke sandaran sofa, dan
menghempaskan tubuhku ke atasnya. Kutekan acak tombol remote
TV dan berhenti pada tayangan film yang sudah berkali-kali
kutonton. Aku mengecilkan volume televisi dan beranjak ke kamar mandi.
Mengguyur tubuh lelahku dengan air hangat dan membasuhnya
dengan sabun beraroma lavender yang selalu disiapkan Liana.
Selesai mandi aku kembali ke sofa dan membuka ponselku, ada
beberapa panggilan tak terjawab dari Liana.
Aku menulis pesan untuk Liana dan mengirimkannya.
Maaf, aku baru menghubungimu. Kau sudah pulang" Balasan dari
Liana langsung datang. Baru saja. Henry di rumah" Dia sudah tidur. Kau mau aku ke sana"
Tidak. Ini sudah malam. Okay, sampai besok. Aku menjatuhkan kepalaku ke sandaran sofa, kesibukanku akhirakhir ini membuatku
jarang bertemu dengan Liana.
Sekarang aku bukan lagi karyawan Om Bayu. Keberuntungan berada
di pihakku saat aku mendapatkan investasi dana dari seseorang yang
tidak kukenal melalui Om Bayu. Orang itu -aku menyebutnya Mr.Xmenginginkanku
menjalankan usaha properti dengan dana yang
sangat minim, dan dia mendapatkan sebagian keuntungannya.
Aku yang masih kuliah saat itu merasa ragu, tapi Om Bayu
menyemangatiku. Om Bayu mengucapkan satu kalimat yang
membuatku merasakan energi positif di dalam dadaku 'Think Big,
Start Small, Act Now'. Maka aku menerima tantangan tersebut.
Aku memulainya dengan bantuan Om Bayu dan Jeremy -anak lakilakinya-. Karena dana
yang minim, aku membeli lahan di pinggiran
kota. Lingkungan yang masih asri dan nyaman, dengan banyaknya
pepohonan, membuatku berpikir untuk membangun sebuah rumah
peristirahatan di sana. Aku bekerja keras setiap hari, di samping kesibukanku sebagai
mahasiswa semester akhir, aku juga harus membagi waktuku dengan
proyek yang sedang kukerjakan. Aku pun resmi resign dari
pekerjaanku yang dulu. Om Bayu tidak keberatan, dia bahkan
menyuruh Jeremy untuk bekerja sama denganku.
Untuk sementara aku dan Jeremy menggunakan apartemenku
sebagai kantor, dan bekerja sepanjang waktu. Tapi kerja keras kami
tidak sia-sia, rumah peristirahatan yang kami bangun terjual dengan
harga fantastis. Itu membuat pemilik modal mempercayai kami dan
menyuntikkan dana yang lebih besar untuk mengembangkan usaha
kami. Setelah tiga tahun, akhirnya kami berhasil merintis usaha di sektor
properti dengan nama JFM Group, dan seperti impianku
sebelumnya, dengan hasil dari jerih payahku, kini aku sudah
memiliki saham meski hanya 13% di perusahaan ini. Jeremy
memiliki saham 10% dan Om Bayu yang akhirnya ikut berpartisipasi
- di luar perusahaannya sendiri- memiliki saham 17%. Sedangkan
Mr. X yang berperan sebagai CEO memiliki saham 60%.
Sekarang kami sudah memiliki kantor sendiri, di lantai 11 sebuah
gedung perkantoran yang cukup bonafide. Kami juga merekrut
beberapa orang karyawan yang sudah berpengalaman.
Karena penasaran, aku pernah menanyakan identitas Mr.X kepada
Om Bayu, tetapi Om Bayu hanya tersenyum dan berkata 'belum
saatnya Jarvis'. Selama ini aku dan Jeremy menyerahkan hasil
laporan kami secara online, dan dalam pertemuan online kami, tidak
pernah satu kalipun Mr.X memperlihatkan wajahnya.
Aku menguap, melirik jam dinding yang terus berdetak. Hampir
tengah malam. Aku mematikan televisi dan beranjak ke ranjangku, merebahkan
tubuhku di atasnya dengan pikiran yang melayang tentang apa saja
yang harus kukerjakan besok. Lalu aku memejamkan mataku
mencoba untuk terlelap. *** Matahari bersinar sangat terik siang ini. Aku duduk di sebuah kedai
kopi murahan yang terletak di pinggir terminal, dengan secangkir
kopi hitam pekat di hadapanku. Seorang preman berwajah garang
yang mengenakan kaos kumal dengan beberapa lubang di sana-sini,
memperhatikanku dengan pandangan menyelidik, terlihat heran
dengan penampilanku yang sangat berbeda dengan orang-orang
disekitarnya. Aku yakin dia orang baru di wilayah ini. Sudah lebih dari lima
tahun, aku selalu menyempatkan waktu ke sini, menyendiri dan
duduk di tempat yang sama selama bertahun-tahun. Wanita tua
pemilik kedai ini pun sudah sangat hafal dengan kopi yang selalu
kupesan, kopi hitam tanpa gula.
Ini...seperti sebuah kebiasaan bagiku, mengamati anak-anak belasan
tahun yang membawa bermacam-macam alat untuk mengamen. Dari
sebuah gitar kecil sampai tutup botol yang dibuat menjadi kecrekan.
Pandanganku jatuh pada seorang anak laki-laki lusuh yang terlihat
berbeda dengan temannya, rambutnya yang berwarna keemasan
tampak berkilau karena terkena sinar mentari. Dia terlihat duduk
menyendiri, menghitung recehan yang dike luarkannya dari sebuah
plastik bekas kantung permen. Di sebelahnya tergeletak sebuah gitar
kecil yang sudah usang. Itu seperti melihat gambaran diriku sepuluh tahun yang lalu. Bukan
secara fisik, tapi lebih pada kondisi.
Aku menyeruput kopi hitamku, rasa pahit kopi menemani pikiranku
kembali ke masa lalu. Dulu aku adalah seorang anak laki-laki kecil yang di jauhi temantemannya karena
rambut warna perunggu dan mata biru yang aku
miliki. Mereka mengejekku dengan sebutan 'bule jadah'.
Aku pernah bertanya pada Ibu, kenapa aku berbeda dengan anakanak yang lainnya...
"Itu karena Ayahmu orang Jerman, nak." Itu jawaban Ibu. "Jarvis
adalah nama Ayahmu. Ibu memberimu nama yang sama dengan
Ayah, agar kau selalu ingat dengan keberadaannya," katanya sambil
mengelus rambutku. Lalu aku bertanya di mana sekarang Ayahku" Ibu mengambil sebuah
peta dunia dan menunjuk dengan jarinya sebuah titik kecil yang
bertuliskan JERMAN, dan Ibu juga menunjukkan padaku tempat di
mana kami tinggal, sebuah titik bertuliskan INDONESIA.
Aku mengelus titik yang bertuliskan Jerman itu dan bertanya pada
Ibu, apakah suatu saat nanti Ayah mau mengajakku ke Jerman. Ibu
mengelus rambutku dan hanya menatapku sedih, kemudian dia
membereskan peta itu, tanpa menjawab pertanyaanku.
Setelahnya aku melihat Ibu menangis di kamar, dan sejak saat itu,
aku tidak berani menanyakan Ayahku lagi.
Saat tinggal bersama Om Benny, setiap siang aku mengamen.
Mengumpulkan recehan demi untuk menyenangkan hatinya, agar
aku tetap diijinkan untuk sekolah.
Sekolah adalah satu-satunya tempat yang bisa mengalihkan
pikiranku dari kesedihan karena ditinggal Ibu.
Selain mengamen, aku juga menjadi kuli pasar. Setiap hari, aku akan
bangun pagi-pagi sekali, berjalan kaki ke pasar yang jaraknya tidak
terlalu jauh dari rumah Om Benny.
Aku selalu jadi yang pertama datang, dan postur tubuhku yang
terlihat lebih besar daripada anak-anak yang lain membuatku
menjadi pilihan pengunjung pasar untuk membawakan belanjaannya.
Langgananku banyak, itu karena aku selalu bersikap sopan.
Penampilanku juga tergolong rapi dibanding anak-anak yang lain,
memakai pakaian -meskipun usang- yang selalu kucuci bersih.
Lalu jika sore menjelang malam, aku akan berkeliling ke daerahdaerah yang jauh
dari tempat tinggalku. Mengamati orang-orang dan
mengambil kesempatan apabila orang itu lengah, aku mengambil
dompet miliknya, menjadi copet dadakan. Saat itu, aku tahu itu
salah. Tapi mendapatkan uang adalah motivasi utamaku. Terutama
jika aku ingin menghindar dari siksaan Om Benny.
Om Benny sangat senang apabila aku pulang dengan membawa uang
yang banyak untuknya. Dia tidak akan memukuliku.
Sisa waktuku, kuhabiskan di kamarku. Sebuah petak kecil yang
hanya cukup untuk selembar kasur tipis adalah kamarku. Aku
menenggelamkan diriku dengan belajar. Mempelajari apa saja,
bahkan yang belum diajarkan di sekolah.
Suara teriakan kenek bis berlogat Batak yang sangat kencang
menarikku ke luar secara paksa dari lamunan panjangku. Kopiku
pun sudah tidak lagi mengepul.
Aku berdiri, mengeluarkan selembar ratusan ribu dari dompetku dan
meletakkannya di atas meja, lalu beranjak meninggalkan tempat itu.
Berjalan menuju mobil yang sengaja kuparkir agak jauh dari kedai.
Aku masuk ke dalam mobil dan duduk di kursi kemudi,
memposisikan tubuhku senyaman mungkin. Lalu bersiap untuk
menstarter ketika ponselku bergetar, menunjukkan adanya sebuah
pesan masuk. Aku membuka pesan itu. Dari Jeremy.
Ke sini sekarang juga. Di cafe biasa.
Aku mengetikkan jariku dengan cepat, membalas pesannya.
Kemudian melajukan mobilku menuju cafe yang di maksud Jeremy.
Jeremy bukan hanya rekan bisnisku, tapi dia juga satu-satunya
temanku. Ponselku berdering saat aku memasuki cafe tempat kami bertemu.
Tapi sebelum aku mengangkat ponselku, aku sudah melihatnya di
salah satu meja di sudut ruangan.
Aku mematikan ponselku dan berjalan menghampirinya. Dia terlihat
kesal, dan mau mencoba menghubungiku lagi, namun kedatanganku
menghentikannya. "Lama sekali," gerutunya kesal.
Tanpa mempedulikan kekesalannya, aku memesan minuman kepada
pelayan yang menghampiri kami. Secangkir coffee latte.
"Tadi dia di sini." Kata Jeremy.
"Siapa?" Aku tidak mengerti.
"Alex, dia gadis yang aku ceritakan kemarin."
Aku bahkan tidak ingat dia menceritakan seorang gadis.
Aku mendengus, "Kau menyuruhku kemari hanya untuk melihat
seorang gadis?" "Dia berbeda," gumamnya.
"Semua perempuan sama saja."
"Itu karena kamu belum pernah melihatnya."
Aku mengangkat kedua bahuku, lalu mulai menyeruput coffee latte
yang kini sudah ada dihadapanku. Paduan rasa manis, pahit, dan
gurih dalam satu sesapan, menghilangkan rasa pahit akibat kopi
hitam tanpa gula yang tadi aku minum di kedai terminal.
"Kurasa, kau harus mulai berkencan."
Aku terkekeh mendengar ucapannya, "Kau paling tahu kalau aku
ahlinya berkencan." "Maksudku, diluar Liana dan one night stand-mu."
Aku mengangkat sebelah alisku, mempertanyakan maksudnya.
Dia menggerakkan kedua telapak tangannya, memutar seperti
putaran roda di depan dadanya, "Hubungan yang lebih serius."
Ucapannya membuatku tersedak coffee latte yang baru saja
kuseruput. Kemudian aku tergelak, "Kau mau membuatku pensiun
karena bosan mempunyai saingan he?"
"Aku serius, aku tidak suka melihatmu terus bersama Liana. Dia
perempuan bersuami."
"Suaminya impoten."
"Bukan berarti kau bisa bercinta dengan Istrinya." Seru Jeremy
marah, mukanya memerah, membuatku bertanya-tanya apa yang


Emptiness Of The Soul Karya Andros Luvena di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membuatnya marah. Jeremy terlihat berusaha menenangkan dirinya, "Sudahlah.
Lupakan," gumamnya. Ucapan Jeremy mengusik pikiranku, Liana dan Henry memang
memiliki masalah internal. Tapi Jeremy benar, aku tidak bisa
menggunakan keadaan Suaminya sebagai alasan pembenaran diri
atas perbuatanku. Tidak seharusnya aku terus bersama Liana. Tapi
apakah aku sanggup meninggalkannya yang begitu tergantung
padaku" "Sepertinya mau turun hujan." Jeremy menatap kosong ke luar
jendela. Aku mengikuti arah pandangan Jeremy. Terlihat gelap
diluar, mentari yang tadi bersinar terik, kini tertutup awan kelabu
yang sangat tebal. Sudah pasti hujan akan turun dengan sangat lebat
sebentar lagi. "Pasti hujan yang sangat lebat," gumamku.
"Sorry, aku harus pulang." Aku beranjak berdiri.
Jeremy hanya mengangguk. Mukanya masih terlihat keruh.
Apa yang dipikirkannya" Gadis itukah"
Aku menepuk bahunya pelan sebagai ucapan selamat tinggal, lalu
melangkah meninggalkannya. Dengan bergegas aku ke luar dari cafe
dan setengah berlari menuju mobilku.
Baru saja aku duduk di kursi mobil, ketika langit mencurahkan hujan
dengan sangat derasnya. Aku menghela nafas panjang, menyalakan
mobilku dan melaju ke luar dari parkiran cafe.
Tidak suka terlalu lama berada di tengah hujan, aku sengaja memilih
jalan memutar untuk menghindari kemacetan. Jalan kecil yang
jarang dilalui kendaraan, dengan pohon-pohon besar di kiri dan
kanannya. Sebagian daun pohon tersebut menutupi jalanan,
membuat suasana terlihat semakin suram.
Aku menatap lurus ke depan, kulihat dari kejauhan sesosok tubuh di
tepi jalan, berdiri di tengah hujan. Penasaran dengan sosok itu, aku
memelankan laju mobilku. Saat mobilku semakin dekat, aku baru menyadari bahwa sosok itu
adalah seorang gadis. Gadis itu membelakangiku, tangannya
terentang ke samping dan kepalanya mendongak ke atas.
Aku semakin memelankan laju mobilku ketika melewati gadis itu.
Dari kaca spion, aku melihat mata gadis itu terpejam. Bibirnya
menyunggingkan sebuah senyuman yang tidak akan kulupakan.
Wajah lembutnya terbingkai rambut berwarna coklat yang dikepang
menyamping melewati bahu kirinya. Sedangkan tetesan air hujan
yang mengenai tubuhnya membias, membentuk kabut putih yang
menyelimuti sosoknya. Dia terlihat menyatu dengan hujan.
Aku menahan keinginanku untuk berbalik ketika pandangan mataku
tidak bisa menangkap sosoknya lagi.
Mencoba menepiskan bayangan gadis itu, aku mempercepat laju
mobilku menuju apartemen.
*** Aku memasuki kantorku, sebuah ruangan yang cukup luas dengan
banyak jendela lebar pada dindingnya. Warna coklat dan hitam
mendominasi furniture ruang kerjaku, berpadu dengan dinding yang
dicat warna putih keseluruhannya. Memberikan kesan tegas dan
maskulin pada ruangan ini.
Tidak ada gambar atau lukisan pada dinding kantor, aku tidak
menyukainya. Terlalu berwarna, dan tampak tidak teratur.
Sebuah sofa kulit type bernardi warna putih dengan meja kaca dan
karpet tebal yang berwarna senada dengan sofanya berada di tengah
ruanganku, dan di salah satu dinding kantor terdapat sebuah pintu
kaca hitam yang menghubungkan ke ruangan meeting.
Aku duduk di kursi kerjaku dan mulai mengeluarkan laptop dari
dalam tas. Menunggu laptop menyala, aku meraih berkas-berkas
yang disiapkan Renata di mejaku.
Aku mencoba untuk mempelajari berkas-berkas itu, tapi pikiranku
sama sekali tidak bisa fokus. Karena kesal, aku melemparkan berkas
itu ke atas meja dan menyandarkan kepalaku pada sandaran kursi.
Mataku terpejam, bayangan gadis itu terekam dalam ingatanku.
Membuatku tidak bisa memikirkan hal yang lainnya.
"Kenapa kau?" Aku membuka mata dan menegakkan tubuhku, merasa terkejut
karena tidak menyadari kehadiran Jeremy yang kini sudah berada di
depanku. "Tidak apa-apa."
Jeremy mendekatiku dan duduk di depanku, "Kau terlihat kacau."
Aku hanya menggeleng, dan meraih berkas yang tadi kulemparkan
ke atas meja. "Aku hanya bingung dengan berkas-berkas ini,"
gumamku. "Oh ayolah, kau tidak pernah bingung dengan berkas-berkas
manapun. Pasti ada sesuatu denganmu."
Aku menghela nafas putus asa. Jeremy tidak akan pernah bisa
dibohongi. Kadang aku berpikir, kenapa dia tidak jadi polisi saja.
"Apa?" desaknya.
Aku meletakkan kembali berkas yang tadi kupegang, dan melipat
kedua tanganku di depan dada. "Okay, tapi aku akan membunuhmu
kalau kau menertawakanku."
"Aku tidak akan menertawakanmu," katanya serius.
"Well, ini terdengar tidak masuk akal," suaraku terdengar gugup.
"Aku melihat seorang gadis..."
Aku menghentikan ucapanku dan menyipitkan mataku ketika
melihat sudut bibir Jeremy berkedut.
"Lupakan!" Bentakku kesal.
Jeremy terbahak, "Maaf, maaf bro..." Dia terlihat susah payah
mengucapkan kalimat itu di tengah-tengah tawanya.
Aku tidak mempedulikannya dan kembali membaca berkas-berkas
yang ada di mejaku. "Aku minta maaf," kata Jeremy ketika tawanya mereda. "Sekarang
lanjutkanlah." "Tidak akan," gumamku.
"Ayolah, aku bersumpah tidak akan tertawa lagi."
"Makan tuh sumpah!"
"Kau benar-benar marah ya?" Jeremy terlihat sangat menyesal.
"Okay, jangan bercerita jika kau tidak ingin. Tapi itu tadi hanya
reaksi spontan. Sebelumnya aku tidak pernah melihatmu
memikirkan seorang gadis, tapi hari ini kau terlihat kacau karena
bertemu seorang gadis. Sejujurnya aku sangat senang."
"Kau senang melihat aku kacau?"
"Oh ayolah, kau tahu bukan itu maksudku."
Kami terdiam beberapa saat, Jeremy meraih beberapa berkas yang
ada di mejaku dan membacanya.
"Aku melihatnya di tengah-tengah hujan kemarin," gumamku,
membuat Jeremy menghentikan kegiatannya.
"Dia...terlihat sangat menikmati hujan, dan itu menggangguku."
"Karena kau tidak menyukai hujan."
"Karena aku membenci hujan," ralatku. "Tapi gadis itu terlihat
sangat menyatu dengan tetesan air hujan yang jatuh mengenai
tubuhnya." Jeremy mendengarkanku dengan seksama.
"Kau tahu" Aku menyukai cara gadis itu mendongakkan kepalanya,
dengan senyuman di bibirnya. Dia bahkan tidak memperhatikan
sekelilingnya, matanya terpejam. Kabut putih yang menyelimuti
tubuhnya, membuatku berpikir...Apa dia seorang peri" Peri hujan
mungkin..." "Kau jatuh cinta padanya."
Pernyataan Jeremy membuatku tersentak, "Tentu saja tidak."
Jawabku cepat. "Aku tidak mungkin jatuh cinta dengan seorang
gadis yang baru kulihat."
Jeremy tersenyum simpul, "Mungkin," gumamnya.
Kami terdiam sesaat. "Kemarin kau bercerita tentang seorang gadis. Kau menyukainya?"
Tanyaku mengalihkan perhatian Jeremy.
Mendadak Jeremy terlihat bersemangat, "Ya. Namanya Alex, dia
sangat cantik. Kurasa aku akan mencoba serius dengannya."
"Wow, dia pasti sangat spesial."
"Dia istimewa. Selama ini aku belum berani mendekatinya, tapi
kupastikan, hari ini aku bisa berkenalan dengannya. Kau harus ikut
denganku." Aku mengangkat sebelah alisku.
"Sore ini, ikut denganku. Di cafe biasa." Lalu Jeremy berdiri, "Kau
akan melihatnya nanti." Dia melirik jam tangannya, "Aku harus
pergi. Sampai nanti," katanya sebelum beranjak meninggalkanku.
Aku hanya menatap punggungnya sampai dia menghilang dari
ruanganku. *** Kami memasuki cafe dan menuju meja yang paling sudut. Tempat
biasa aku dan Jeremy duduk jika ke sini.
Aku menarik sebuah kursi dan duduk di atasnya, Jeremy duduk di
sampingku. "Dia ada di sana." Bisik Jeremy, sudut matanya melirik ke sebuah
meja di tepi jendela besar yang tidak begitu jauh dari meja kami.
Aku melirik ke meja yang dimaksud Jeremy. Ada empat orang gadis
di sana. Seorang gadis langsung menarik perhatianku, dan membuat
jantungku berdetak lebih cepat. Itu peri hujan yang kemarin.
Gadis itu terlihat sangat bosan, kedua tangannya menopang dagu,
pandangannya kosong ke arah jendela lebar yang ada di sampingnya.
Seperti kemarin, rambut coklatnya dikepang asal menyamping
melewati bahunya, agak berantakan memang, tapi terkesan natural.
Cahaya mentari sore yang masuk dari jendela besar di sampingnya,
membuat sosoknya membayang, membentuk siluet yang bersinar.
Dia memang seorang peri...
"Kau sudah melihatnya?" Pertanyaan Jeremy mengalihkan
perhatianku dari gadis itu.
"Siapa?" "Alex, dia gadis berkepang yang duduk di sebelah jendela."
Tidak mungkin... "Aku melihatnya beberapa hari yang lalu di cafe ini. Dia terlihat
sangat berbeda, kau tahu?"
Tentu saja aku tahu. Aku melihat kedua teman Alex berdiri, berbicara dengan Alex dan
melangkah ke luar sambil melambaikan tangannya kepada Alex dan
seorang temannya yang masih berada di situ.
Tiba-tiba Jeremy berdiri, "Aku akan menemuinya." Lalu sebelum
aku mencegahnya, dia sudah menghampiri meja Alex.
Aku hanya memperhatikannya dari mejaku, kulihat Jeremy mencoba
berbicara dengan mereka, kemudian menoleh ke arahku dan
melambaikan tangannya. Apa yang dia lakukan"
Dengan enggan aku menghampiri mereka. Berkenalan dengan
seseorang bukanlah kebiasaanku.
Jeremy sudah duduk di depan Alex ketika aku sampai di meja
mereka, dan duduk di samping Jeremy.
"Ini Jarvis." Jeremy memperkenalkan aku kepada mereka.
Teman Alex mengulurkan tangannya padaku dengan senyuman lebar
yang berlebihan. "Aku Sandra," katanya.
Aku membalas uluran tangannya sekilas dan hanya tersenyum tipis.
"Dia Alex." Sandra menunjuk Alex. "Alexa, tapi kami biasa
memanggilnya Alex. Namanya Alexa...Terdengar seksi di telingaku.
"Alexa. Itu nama yang seksi," gumam Jeremy.
Sejak kapan Jeremy bisa membaca pikiranku"
Alexa tersenyum, namun senyumnya tidak sampai ke matanya.
Kemudian dia mengalihkan perhatiannya ke luar jendela.
"Apa yang menarik di luar sana?" gumamku, membuat Alexa
tersentak. Alexa berpaling menatapku, mata coklat lembutnya yang besar
menatapku tajam. Aku berpikir dia akan mengucapkan kata-kata
pedas padaku, tapi aku salah.
"Banyak hal yang bisa di lihat, tergantung dari sudut mana kau
memandangnya." Dia gadis yang cerdas. Aku menatap matanya, pandangan kami bertemu dan aku tidak bisa
melepaskan mataku dari tatapannya. Tidak ada senyum yang
kemarin kulihat pada bibirnya yang membuatku terpesona, tapi aku
tersesat pada ke dalaman mata coklatnya.
"Alex memang aneh." Ucapan Sandra membuatku dan Alexa
tersadar dan melepaskan tatapan kami. "Dia menyukai apa yang
orang lain tidak sukai, dan dia mengerjakan apa yang orang lain
hindari." Teman seperti apa yang membicarakan temannya seperti itu"
"Mengerjakan yang orang lain hindari?" Jeremy terdengar tertarik.
"Yah, seperti berdiri di tengah hujan misalnya..."
Seketika aku berpaling ke arah Jeremy, dan melihat wajahnya
memucat. "Jadi...Alex itu, peri hujanmu?" gumamnya kepadaku.
"Peri hujan?" Tanya Sandra penasaran.
Aku gugup ketika Alexa juga menatapku penuh tanda tanya.
"Well, ini menarik..." gumam Jeremy.
"Kurasa, kita harus pergi." Aku menarik tangan Jeremy
menyuruhnya berdiri sebelum dia mengatakan semuanya.
Jeremy masih setengah bingung ketika aku menggeretnya ke luar
dari cafe dan mengajaknya berjalan ke tempat parkir. Namun dia
kembali tersadar saat kami memasuki mobil.
Tanpa banyak bicara aku menjalankan mobilku. Mengemudikannya
secepat yang kubisa. Mencoba menghentikan debaran aneh yang kini
menggangguku. Aku menepikan mobilku ketika sudah cukup jauh dari cafe, melepas
sabuk pengamanku dan menjatuhkan kepalaku ke sandaran kursi.
"Wow, ini hebat. Kau tidak pernah tertarik pada seorang wanita, dan
saat kau menyukai seorang gadis, dia gadis yang sama dengan gadis
yang kusukai." "Itu tidak benar," gumamku. "Aku tidak menyukai gadis itu."
Aku tidak yakin dengan apa yang aku ucapkan.
Sesaat kami terdiam. Tiba-tiba Jeremy tertawa terbahak-bahak,
membuatku menoleh dan menatapnya heran.
"Kau menyedihkan, Bro." Dia berkata disela-sela tawanya.
Aku mengerutkan keningku.
Jeremy berusaha menghentikan tawanya, dia memegangi perutnya,
dan itu membuatku merasa kesal padanya. Memangnya apa yang dia
tertawakan" "Tidak, aku tidak akan mengatakannya padamu."
"Mengatakan apa?" Tanyaku penasaran.
Jeremy hanya menggeleng, "Yang pasti, itu akan menyiksamu. Dan
itu membuatku senang." Jeremy menyeringai, merasa senang dengan
apa yang dia pikirkan. Aku mendengus kesal dan kembali menjalankan mobilku. Apapun
yang Jeremy pikirkan, itu tidak akan berpengaruh padaku. Apa yang
bisa lebih menyiksaku daripada kejadian masa laluku"
*** Bab 4 HATIKU KEMBALI Baru beberapa saat yang lalu aku dan Jeremy memasuki nightclub
ini, tapi aku sudah merasa sangat bosan. Musik menghentak, yang


Emptiness Of The Soul Karya Andros Luvena di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

biasanya membangkitkan adrenalinku kini tidak berpengaruh apaapa pada diriku.
Beberapa gadis seksi yang mencoba main mata
padaku sama sekali tidak menarik perhatianku.
"Kau kenapa, bro" Memikirkan Alex?"
Tubuhku menegak, "Tidak." Bantahku cepat.
Jeremy terkekeh, kemudian dia memanggil waitress dan memesan
minuman. Dua orang gadis menghampiri kami dan tersenyum menggoda.
"Sepertinya kalian butuh teman." Kata salah seorang di antara
mereka. "Ya..." "Tidak!" Aku dan Jeremy menjawab berbarengan, membuat kami saling
bertatapan. Aku melotot padanya dan menggelengkan kepalaku.
Jeremy menatap kedua gadis itu penuh penyesalan, "Lain kali,
okay?" katanya pada mereka.
Kedua gadis itu hanya mengangkat bahunya acuh dan meninggalkan
kami. Waitress datang membawakan dua botol Jack Daniel's pesanan
Jeremy. Jeremy meraihnya dan menyerahkan satu botol padaku,
"Malam yang indah untuk mabuk, bro." katanya.
Aku menerima botol itu. Jeremy meneguk Jack Daniel's yang ada di tangannya langsung dari
botol. "Ada apa denganmu?" tanyanya.
Aku hanya menggeleng. "Kita ke sini untuk bersenang-senang, dan kau mengacaukannya.
Berapa gadis yang sudah kau tolak?" Jeremy meneguk minumannya
lagi. "Kalau kamu seperti ini terus, aku akan meninggalkanmu.
Kurasa gadis berbaju merah itu tertarik padaku, aku akan
mengajaknya bercinta."
Aku melirik gadis yang dimaksud Jeremy, seorang gadis dengan baju
yang menempel ketat pada tubuhnya, terlihat sedang bermain mata
dengan Jeremy. Aku mendengus kesal, "Bukankah kau tertarik dengan Alexa"
Kenapa sekarang memikirkan untuk bercinta dengan gadis lain?"
"Aku berubah pikiran." Jeremy berpaling dan menatapku,
"Kupikir...Dia lebih cocok untukmu."
Aku membelalakkan mataku, "Apa maksudmu?"
"Akui saja bro," Jeremy mengalihkan pandangannya. "Kau jatuh
cinta pada Alex. Cinta pada pandangan pertama."
Aku mengerutkan keningku, jatuh cinta" Pada Alex"
"Itu tidak mungkin."
"Kenapa tidak?"
"Aku tidak mungkin jatuh cinta padanya, aku tahu itu."
Jeremy tertawa mengejek, "Kau sudah pernah jatuh cinta" Pada
siapa he" Liana?"
Aku mengernyitkan dahiku, tidak senang mendengar ucapan Jeremy.
"Jangan bicara seperti itu tentang Liana. Aku menghormatinya."
Jeremy kembali terkekeh, "Menghormati sebagai apa" Sebagai Tante
girang" Atau sebagai Ibu" Ibu yang kau tiduri."
Aku meraih kerah bajunya dan mencengkeramnya kuat-kuat, katakatanya benar-benar
membuatku marah. "Brengsek kau Jeremy. Apa
masalahmu he?" Beberapa bodyguard club mulai memperhatikan kami.
"Sorry bro. Tenang, okay?" Jeremy berusaha melepaskan tanganku
dari kerah bajunya. Aku melepaskan tanganku dan menghempaskan punggungku ke
sandaran sofa. "Apa masalahmu, bro?" Tanyaku. "Kau tidak
menyukai Liana, okay. Tidak masalah selama kau tidak
menghinanya dihadapanku." Aku meraih botol Jack Daniel's-ku dan
menenggaknya sampai isinya tinggal setengah.
Jeremy merapikan kerah bajunya. "Okay, aku kelewatan. Aku hanya
tidak suka kau tidak mengakui perasaanmu. Kau tahu kan, aku
tertarik pada Alex" Tapi aku berhenti mendekatinya, karena kupikir
kau tertarik padanya."
"Aku tidak tertarik padanya!" Bantahku cepat.
"Kau tidak tertarik padanya?" Jeremy mengulangi pernyataanku.
"Kau sudah mendengarnya." Aku menegaskan lagi.
"Okay. Jadi tidak masalah kalau aku mendekatinya?"
Aku menggeleng, lalu aku menenggak minumanku lagi,
mengabaikan denyutan nyeri yang terasa di dadaku.
Jeremy menyeringai, kemudian dia juga menenggak minumannya.
Aku tidak tahu lagi berapa banyak aku minum. Aku mulai tidak
sadar dengan apa yang kulakukan, aku hanya mendengar samarsamar Jeremy
berbicara. "Hentikan bro, kau mabuk. Ayo, kuantar kau pulang. Ya..ya, aku
tahu...Dasar kau ini..."
Dan kemudian aku sudah tidak ingat apa-apa lagi.
*** Langkah kaki yang berderap dari kejauhan mulai mendekat. Aku
yang terperangkap dalam tubuh kecilku meringkuk di sudut ruangan
yang terlihat sangat gelap dan suram.
Jangan lagi, kumohon jangan lagi...Ibu, Ibu...Tolong aku...
Lalu aku melihatnya menghampiriku. Mulut jahatnya menyeringai
kepadaku. Dia semakin dekat denganku...Seringaiannya semakin
lebar, aku ingin berteriak, tapi lidahku terasa kelu.
Tangannya yang besar menggenggam sesuatu yang berkilat, itu
terlihat...tajam. Lalu dia menempelkan benda tajam itu pada pangkal
leherku, terasa dingin di kulit leherku yang tipis.
Aku menjerit ketika dia menggoreskan benda itu melintang pada
dada kiriku. Membuat kaos putih usang yang kukenakan sobek dan
membentuk garis berwarna merah. Lalu tiba-tiba...Warna merah
pada kaosku berubah menjadi api yang membara, menyambar tubuh
yang berada di depanku. Tubuh itu menggeliat kepanasan...
Aku tersentak dan terbangun dari tidurku, dan tersadar bahwa itu
hanyalah mimpi. Aku menarik nafas karena lega.
Aku membuka mataku, dan langsung memicingkan mata karena
silau dengan cahaya matahari yang sudah bersinar terang. Kepalaku
langsung terasa sakit saat aku mencoba untuk bangun.
Memperhatikan sekeliling, aku baru menyadari bahwa ini adalah
kamarku. "Kau sudah bangun..."
Aku mengerjapkan mataku heran, kenapa Liana ada di sini"
Seperti bisa membaca pikiranku, Liana berkata, "Semalam Jeremy
menghubungiku, dia bilang kau mabuk." Kemudian dia
menyerahkan baki yang berisi secangkir kopi dan aspirin. "Untuk
meredakan pusing akibat alkohol," katanya.
"Apa yang terjadi?" Tanya Liana setelah aku meminum aspirinnya.
Aku menggelengkan kepalaku, "Hanya sedikit bersenang-senang,"
gumamku, dan kemudian aku meletakkan baki itu pada meja
samping ranjangku. "Siapa itu 'Fairy'?" tanyanya membuat aku langsung berpaling ke
arahnya. Liana menatapku menyelidik.
"Darimana kau tahu" Jeremy?"
Liana tertawa sumbang, "Aku bahkan tidak bertemu Jeremy. Kau
menyebutnya semalaman, dan kau juga mengatakan bahwa kau jatuh
cinta padanya. Benarkah?" Liana mengangkat sebelah alisnya,
meminta kepastian dariku.
Aku mengatakan itu" "Kurasa, aku butuh mandi," gumamku
menghindar untuk menjawab, lalu aku beranjak untuk bangun.
"Jarvis!" Panggilan Liana membuatku terpaku. "Kau tidak pernah
seperti ini sebelumnya, apakah gadis itu sangat berarti buatmu?"
Aku tidak tahu. Aku bahkan baru mengenalnya.
Tanpa menjawab pertanyaannya, aku melangkah menuju kamar
mandi. Menyalakan shower dan membiarkan air dingin mengguyur
kepalaku. Menyegarkan pikiranku. Aku mencoba mengingat apa
yang kubicarakan bersama Jeremy sebelum aku mabuk.
Cinta pada pandangan pertama...Apakah aku jatuh cinta pada Alexa"
Itu tidak mungkin. Aku membuang pikiran itu jauh-jauh dan
mencoba mengalihkan perhatianku dengan lebih fokus pada apa
yang kulakukan. Mengingat aku sudah menyakiti Liana -hal yang paling tidak ingin
aku lakukan-, aku menyelesaikan mandiku cepat-cepat, dan segera
ke luar dari kamar mandi.
Liana sudah tidak ada di kamarku, maka aku bergegas memakai Tshirt dan meraih
celana denimku, lalu memakainya sambil berjalan.
Aku ke luar dari kamar dan mencari Liana.
"Liana..." Panggilku.
"Aku di sini." Aku mendengar suaranya dari kamar khusus. Apa yang dia lakukan"
Aku membuka pintu kamar khusus dan melihatnya sedang
mengepak lingerie-lingerienya yang tergantung di lemari.
Aku mendekatinya, "Apa yang kau lakukan?" Tanyaku.
"Aku harus menyimpan lingerie ini." jawabnya tanpa melihat ke
arahku. "Kenapa?" Liana menatapku, "Kau mungkin akan mengajak gadismu ke sini,
akan mengherankan kalau ada banyak lingerie di lemarimu." Liana
kembali pada kegiatannya semula. "Mungkin kau juga tidak
membutuhkanku lagi," gumamnya sedih.
Tidak tahan dengan kesedihannya, aku meraih tumpukan lingerie itu
dan menggantungnya kembali ke dalam lemari. "Omong kosong,"
gumamku, "Aku tidak akan membawa pulang gadis manapun, jika
itu membuatmu sedih Liana."
"Oh Jarvis, aku tidak pernah keberatan melihatmu bersama one night
stand-mu. Tapi ini berbeda, aku baru mendengar namanya dan aku
merasa sudah kehilanganmu."
Aku berbalik dan menarik pinggangnya hingga tubuhnya menempel
padaku. Menutup bibirnya yang gemetar dengan jariku dan
menatapnya tajam, "Aku milikmu Liana, hanya milikmu."
Mengabaikan rasa pedih yang tiba-tiba muncul dari dalam dadaku,
aku mencium bibir Liana liar. Melumatnya dengan rakus untuk
menghapus rasa bersalahku padanya.
Meski aku sendiri merasakan sakit yang menyengat saat
mengingkari hatiku. Hati yang entah sejak kapan sudah berada
kembali dalam dadaku. Membuatku merasakan sakit saat memeluk Liana, dan membuatku
merasakan nyeri saat aku mencumbu Liana.
Kuangkat tubuh Liana, dan merebahkannya di atas ranjang.
"Aku mencintaimu Jarvis. Entah sejak kapan, aku
membutuhkanmu." Ungkapan cinta dari Liana meremas jantungku.
Aku mencium leher Liana, dan reaksi Liana sungguh
mengejutkanku. Dia menggelinjang dan mendesah, "Sentuh aku Jarvis, yakinkan
hanya aku milikmu..."
Aku menurutinya, menyentuh setiap jengkal tubuhnya.
Membelainya dan membawanya naik sampai tepian batas. Aku
menyetubuhinya dengan pakaian yang masih melekat pada tubuh
kami. Lalu...Ketika kejantananku berada di dalam kewanitaan Liana,
perasaan marah melingkupiku. Rasa sedih dan tak berdaya
membuatku melakukannya dengan kasar.
Aku menghujamkan ereksiku kuat-kuat, saat Liana menarik pantatku
ke arahnya, aku merasakan orgasme Liana, tapi itu belum cukup
untuk membuatku orgasme. Perasaan frustasi dikarenakan rasa marah yang tiba-tiba muncul
memenuhi dadaku. Menimbulkan rasa nyeri yang sangat parah,
membuatku merasa putus asa dan membalikkan tubuhku hingga
telentang, tanpa menginginkan penyelesaian.
Namun aku merasakan Liana menaikiku, dan aku memejamkan mata
saat merasakan lidah lembut Liana menelusuri ereksiku.
Entah kenapa aku melihat Alexa dalam bayanganku, berada di
atasku dan bermain dengan ereksiku. Mata coklatnya menatapku
lembut, bibir tipis dan merah mudanya terlihat menggairahkan di
atas kejantananku. Aku mengerang, merasakan gairah yang luar biasa saat ereksiku
masuk ke dalam mulut mungilnya.
Kuraih kepalanya dan menahannya di atas kejantananku, "Alexa..."
Aku menyebut namanya bagai doa dan menyemburkan orgasmeku
pada mulutnya. Sesaat tubuhku terasa melayang, namun aku kembali terhempas saat
merasakan tubuh yang menegang di atasku. Aku tersadar bukan
Alexa yang bersamaku. Tapi Liana.
Aku membuka mataku dan melihat Liana menatapku sedih dengan
spermaku yang masih membasahi bibirnya. Perasaan bersalah
langsung menderaku. Aku melepaskan tanganku dari kepalanya dan menariknya dalam
pelukanku. "Maafkan aku..." gumamku.
Tapi Liana menarik diri dari pelukanku, "It's okay. Tidak apa-apa
Jarvis." Aku merasa tidak berdaya.
Alexa...Apa yang kau lakukan padaku"
Liana merapikan pakaiannya yang kusut, kemudian dia turun dari
ranjang. "Liana..." Liana hanya mengangkat tangannya, mengisyaratkan kata 'tidak apaapa' dan masuk
ke kamar mandi. Aku mengikutinya, melihatnya menyiapkan air hangat pada bathtub.
Perlahan dia melepas pakaiannya dan masuk ke dalam bathtub.
"Kemarilah," bisiknya. "Temani aku berendam."
Aku melepas pakaianku dan menyusulnya. Duduk di belakangnya
dan memeluk perutnya, menarik punggungnya hingga menempel
pada dadaku. "Ceritakan tentang dia..." gumamnya.
Aku terdiam, hanya meletakkan daguku pada bahunya.
"Namanya Alexa ya" Dia fairy-mu."
Aku menggeleng, "Dia bukan siapa-siapaku."
Sesaat Liana terdiam, dan kemudian mengucapkan kalimat yang
sama sekali tidak ingin aku dengar.
"Jarvis...Aku berpikir untuk meninggalkan Henry."
Aku mempererat pelukanku. "Kenapa?"
Liana mendesah, "Kau tahu kenapa."
"Aku tidak ingin kamu meninggalkan Henry karena aku," gumamku.
"Dia sangat mencintaimu."
"Cintanya tidak cukup untukku, Jarvis." Liana memajukan tubuhnya
dengan tetap menempelkan punggungnya pada dadaku, hingga dia
setengah tiduran di atas dadaku. "Aku mendambakan cintamu."
Aku kembali terdiam. "Tinggallah bersamaku, Jarvis. Aku akan bercerai dengan Henry, dan
kita bisa menikah." Sanggupkah aku menolak Liana"
"Jarvis..." Liana mendongak, menatap mataku sendu. Bibirnya yang
penuh terbuka dan bergetar, menungguku untuk melakukan sesuatu.
Aku merasa sesuatu yang tumpul dan berkarat menusuk jantungku.
Aku tidak akan bisa menolak Liana, setelah apa yang dia lakukan
untukku selama ini. Aku tidak memiliki kekuatan untuk itu.
Menghapus rasa perih yang diakibatkan tusukan itu, perlahan aku
mendekatkan bibirku pada bibirnya. Jarak bibir kami hanya tinggal


Emptiness Of The Soul Karya Andros Luvena di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

beberapa inch, ketika suara bel pintu apartemen berbunyi.
Membuatku bergerak canggung dan menjauh dari Liana.
"Aku harus ke luar," gumamku. Lalu aku berdiri, melangkah ke luar
dari bathtub dan meraih pakaianku. Tergesa-gesa mengenakannya
tanpa mengeringkan tubuhku.
Aku melangkah ke luar dari kamar mandi untuk membuka pintu.
Ada perasaan lega dalam hatiku, ketika aku bisa menghindar dari
Liana...saat ini. Aku membuka pintu apartemen dan melihat Jeremy berdiri di depan
pintu dengan seringaiannya yang lebar.
"Hai bro," katanya sambil melangkah masuk. "Aku membawakanmu
bubur ayam kesukaanmu." Dia mengangkat tas plastik yang
tergantung di tangannya. Kututup pintu apartemen dan berpaling ke arah Jeremy.
"Bagaimana keadaanmu" Kupikir setelah kejadian semalam,
kamu..." Jeremy tertegun ketika melihat Liana menghampiri kami hanya
dengan menggunakan jubah mandinya.
Lalu dia memandangi aku dan Liana bergantian, "Well, kurasa
sekarang kau baik-baik saja," gumamnya. Dia meletakkan tas plastik
berisi bubur ayam itu di atas meja, "Maaf aku mengganggu, lain kali
saja aku mampir lagi." Lalu Jeremy beranjak menuju pintu.
"Tinggallah Jeremy." Aku mencegah Jeremy. "Tinggallah di sini dan
sarapan bersama kami."
Jeremy berbalik dan memandangku, kemudian dia memandang
Liana dengan tatapan tidak suka. "Aku ingin tinggal, tapi aku hanya
membeli bubur untuk dua orang."
Liana menatap Jeremy tajam, "Aku akan pergi," gumamnya, lalu dia
berbalik meninggalkan kami.
"Liana..." Aku mengejarnya dan mencekal lengannya, "Kamu tidak
harus pergi." "Tidak apa-apa Jarvis, aku memang harus pergi. Nanti malam aku ke
sini lagi, okay?" katanya lembut tanpa mempedulikan kehadiran
Jeremy. Lalu dia masuk ke dalam kamar khusus.
Menyandarkan punggungku pada dinding, aku menatap Jeremy,
berusaha memperingatkan dia untuk menjaga sikapnya. Tapi dia
pura-pura tidak melihatku, sambil bersiul, Jeremy meraih tas plastik
yang tadi diletakkannya di atas meja, dan membawanya ke meja
makan yang menyatu dengan dapur.
Aku mendengus kesal, entah apa yang menyebabkan Jeremy tidak
begitu menyukai Liana. Liana pun seperti menjaga jarak dengan
Jeremy. Tidak berapa lama kemudian, Liana ke luar dari kamar dalam
keadaan sudah berpakaian rapi.
Dia mendekatiku dan mencium pipiku, "Aku pergi dulu ya,"
katanya. Dia menatap langsung ke bola mataku, "Aku ingin
jawabannya nanti malam," bisiknya pelan namun tegas. Kemudian
dia melangkah pergi meninggalkanku.
Aku hanya menatap kepergiannya dengan pandangan kosong. Lalu
menyusul Jeremy ke dapur.
Aku duduk di depan Jeremy tanpa bicara apa-apa, dan langsung
menyuapkan bubur ayam yang sudah disiapkan Jeremy ke mulutku.
Melihat perbuatanku, Jeremy terkekeh. "Pantas saja kau begitu
menyukai bubur ayam, ternyata memang nikmat kalau untuk sarapan
ya." Mendengar ucapannya, sendok bubur yang mau kusuapkan ke dalam
mulutku terhenti dan menggantung di udara.
Jeremy mengerutkan keningnya, "Kenapa?" tanyanya heran.
Aku hanya menggeleng, dan melanjutkan suapanku.
Aku tidak pernah menceritakan alasanku kenapa aku begitu
menyukai bubur ayam kepada siapapun. Bahkan kepada Liana.
"Kenapa kau tidak menyukai Liana?" Tanyaku saat aku menyuapkan
sendokan terakhir. Jeremy mengangkat bahunya, "Tidak penting apakah aku menyukai
Liana atau tidak," gumamnya.
"Tapi semalam, saat aku mabuk, kau menghubunginya."
"Aku tidak menghubungi Liana, aku yang membawamu pulang."
Jawab Jeremy membuatku bingung.
"Kenapa Liana bilang kau menghubunginya?"
"Dia bilang begitu?" Jeremy terlihat kesal. "Itu tidak benar, aku tidak
pernah menghubunginya."
Aku terdiam, jadi Liana membohongiku"
"Apa maksud Liana membohongimu?"
Aku hanya mengangkat bahu, lalu aku membereskan perlengkapan
makanku. "Jarvis, kau tidak curiga Liana menyembunyikan sesuatu?"
"Mungkin sekarang dia merahasiakan sesuatu dariku. Tapi aku
yakin, jika sudah saatnya, dia pasti mau menceritakannya."
"Kau percaya sekali sama dia ya."
Aku berbalik menghadap Jeremy.
"Aku sudah bersamanya selama 8 tahun, Jeremy. Aku sangat
mengerti Liana, dia tidak mungkin berbuat sesuatu yang
menyakitiku." "Mungkin dia tidak menyakitimu. Tapi dia menyakiti suaminya,"
gumam Jeremy pelan. Aku hanya menghela nafas, tidak bisa membantah pernyataan
Jeremy. "Aku harus siap-siap. Kau mau menungguku?"
Jeremy mengangguk, "Aku akan menunggumu di ruang tengah."
*** Karena semalam aku mabuk, dan Jeremy yang mengantarkanku
pulang, otomatis mobilku masih berada di tempat parkir nightclub.
Jadi hari ini dia berbaik hati menyediakan tumpangan untukku.
Dalam perjalanan ke kantor, kami lebih banyak terdiam. Sampai
Jeremy mengucapkan satu pertanyaan yang membuat hatiku
berdesir. "Apa kau tidak ingin mengejar Alex?"
"Tidak." Jawabku pendek.
"Kau tidak keberatan kalau aku mengajaknya kencan?"
Aku keberatan. "Aku tidak keberatan." Jawabanku sangat berlawanan dengan apa
yang diucapkan isi hatiku.
Jeremy tersenyum senang. "Thanks bro, sebenarnya aku akan
mundur jika kamu tertarik pada Alex. Tapi kurasa...Kau tidak
menginginkan dia, jadi ini kesempatanku."
Aku memalingkan mukaku dan menatap ke luar jendela,
menyembunyikan rasa terbakar yang tiba-tiba muncul dalam hatiku.
Hanya Tuhan yang tahu, seberapa besar aku menginginkan Alexa.
Fairy girl-ku. "Hari ini, kita ada pertemuan dengan PT Wise Darmawan."
Aku mengangguk tanpa mengalihkan pandanganku, "Perusahaan
pemilik beberapa supermall di kota ini kan?"
"Ya. Bukan hanya di kota ini, mereka juga memiliki supermall di
kota-kota besar lainnya. Bahkan aku dengar, mereka berniat
membangun supermall di kota Sheffield, Inggris."
Aku mengerutkan keningku, "Sheffield?"
"Ya, itu kota kelahiran Mrs. Clara Wise, Istri Tuan Darmawan.
Mungkin itulah salah satu alasan mereka ingin mendirikan supermall
di sana." Kali ini aku mengalihkan perhatianku pada Jeremy.
"Aku dengar, mereka memiliki seorang putri yang sangat cantik. Dia
yang akan menemui kita nanti, karena Tuan Darmawan dan Istrinya
sedang berkunjung ke Sheffield."
"Kau tahu banyak, ya."
"Hei, mereka calon klien kita. Setidaknya kita harus bisa memahami
mereka. Satu-satunya hal yang kusayangkan, aku tidak bisa
mendapatkan gambar putri Tuan Darmawan di manapun. Rupanya
dia orang yang tertutup, sehingga media tidak bisa mengendusnya."
Jeremy membelokkan mobilnya memasuki area perkantoran kami.
"Jadi bersiaplah bro, ini tugasmu untuk meyakinkan mereka agar
mau bekerjasama dengan kita. Kau selalu bisa diandalkan dalam hal
itu." *** Bab 5 ALEXA Aku sedang mempelajari file tentang PT Wise Darmawan yang
diberikan Jeremy padaku, ketika lampu interkom yang berada di
mejaku menyala. "Ada apa, Ren?"
"Miss Wise sudah berada di sini, Pak." Jawab Renata, sekretarisku.
"Okay. Hubungi Jeremy lalu antar Miss Wise ke ruangan meeting."
"Ya, Pak." Beberapa saat setelah aku selesai menyiapkan berkas-berkas, Jeremy
muncul dari balik pintu. "Kau sudah siap?" tanyanya.
Aku mengangguk dan menghampirinya, lalu kami melangkah ke
arah pintu kaca hitam yang menjadi penghubung antara ruanganku
dengan ruangan meeting. Jeremy membuka pintu dan aku melihat Renata sedang berbicara
dengan seorang lelaki paruh baya yang bertubuh gempal. Di
samping laki-laki itu berdiri seorang wanita yang membelakangi
kami. Wanita itu mengenakan rok pensil berwarna abu-abu yang dipadukan
dengan blazer warna peach, membalut tubuhnya dengan pas namun
tetap terlihat sopan. Aku memperhatikan rambut coklatnya yang
tersanggul longgar di atas tengkuknya.
Tunggu...Aku mengenali rambut itu.
"Pak." Sapa Renata yang melihat kedatangan kami.
Wanita itu berbalik... Itu memang dia...Fairy girl-ku.
Alexa terlihat terkejut melihat kehadiran kami, itu terlihat dari mata
coklatnya yang terbuka lebar.
"Wow, Alex. Kejutan yang sangat menyenangkan." Jeremy yang
berdiri di belakangku berjalan melewatiku untuk menghampiri
Alexa. Aku menyusulnya dan berdiri di samping Jeremy.
"Aku tidak menyangka kita akan bertemu lagi." Kata Jeremy.
Alexa tersenyum, gugup dan malu-malu.
"Kalian sudah saling kenal?" Tanya lelaki paruh baya yang
mendampingi Alexa. Lelaki itu mengenakan kacamata yang terlihat
kekecilan untuknya. "Oh ya, maafkan saya. Saya melupakan Anda." Jeremy mengulurkan
tangannya ke arah laki-laki itu, "Saya Jeremy."
Lelaki itu tersenyum ramah dan menyambut uluran tangan Jeremy,
"Tidak apa-apa. Saya Brata, William Subrata. Keturunan Tionghoa
yang lahir di Indonesia dan mencintai Indonesia."
Aku menahan sudut bibirku yang terangkat, melihat muka Alexa
yang memerah mendengar cara perkenalan Tuan Brata. Dia
menyenggol tubuh Tuan Brata dengan bahunya.
Jeremy tertawa, "Saya juga keturunan Tionghoa yang lahir di
Indonesia dan mencintai Indonesia."
Tuan Brata memperhatikan Jeremy dengan seksama dan
mengerutkan keningnya, "Oh ya?" Beliau terlihat heran melihat
tidak ada sama sekali ciri-ciri fisik orang Tionghoa pada Jeremy.
"Dari Ayah atau Ibu?"
"Dari Pamannya Neneknya Ibunya Ayah saya."
Tuan Brata tergelak, perutnya yang tambun ikut bergerak-gerak. "Ya
ya ya, karena itulah saya suka anak muda. Selalu penuh semangat
dan bisa membuat saya tetap awet muda."
Jeremy berdeham, "Begitulah Tuan..."
"Om. Panggil saya Om Brata, di kantor semua orang memanggil
saya Om Brata." "Okay Om Brata. Oh ya, ini teman sekaligus rekan bisnis saya,
Jarvis." Aku menganggukkan kepalaku sopan.
"Ya ya ya, dan kalian sudah mengenal Alexa kan" Dia putri atasan
sekaligus sahabat saya. Ini adalah kali pertama Alexa terjun
langsung dalam dunia bisnis."
"Kami sudah mendengarnya, Om." Jeremy membimbing Om Brata
ke meja yang berada di tengah ruangan. "Sekarang, mari kita
membicarakan bisnis."
Selama satu jam kami membicarakan tentang konsep pembuatan
supermall yang mereka inginkan. Jadi mereka akan membangun
sebuah supermall 21 lantai, dengan 4 lantai basement yang akan
digunakan sebagai tempat parkir. Yang di situ juga mencakup hotel
dengan fasilitas 300 kamar, convention hall, bioskop dengan 4
studio. Atap yang akan digunakan sebagai kolam renang, helipad dan
taman atap. Di tengah-tengah pembicaraan itu, aku sesekali memperhatikan
Alexa yang lebih banyak terdiam. Berbeda dengan saat pertama aku
melihatnya, kali ini wajahnya dipoles dengan make up tipis.
Membuatnya terlihat lebih dewasa. Bibirnya yang tipis membentuk
garis lurus saat dia serius menyimak pembicaraan kami, dan
mengetikkan beberapa hal yang dianggapnya penting dalam
laptopnya. Entah kenapa, hanya dengan melihatnya seperti ini, membuatku
merasakan kesejukan dalam hatiku.
Kami menutup pertemuan dengan kesepakatan untuk bekerja sama.
"Senang bekerja sama dengan kalian." Kata Om Brata sambil
bergantian menjabat tanganku dan Jeremy dengan hangat.
Aku dan Alexa berhadapan, sesaat saling terpaku. Sampai Alexa
mengulurkan tangannya dengan canggung, "Terima
kasih,"gumamnya. Oh...Astaga, suaranya membuat jantungku melompat.
Aku membalas uluran tangannya, dan saat telapak tangannya
menyentuh telapak tanganku, sebuah sengatan listrik menjalar dari
urat nadiku menyebar pada seluruh tubuhku dan berefek pada bagian
tertentu yang membengkak.
Sialan. Aku belum pernah ereksi hanya dengan menyentuh telapak
tangan seorang gadis sebelumnya.
Alexa segera menarik tangannya dengan muka memerah. Itu tidak
luput dari perhatianku, dia merasakan hal yang sama denganku.
Lalu Alexa berpaling pada Jeremy dan menjabat tangannya. Jeremy
menggenggam tangan Alexa lama, membuat hatiku bergejolak
menahan rasa tidak suka. "Apakah kau keberatan, jika aku mengajakmu makan siang hari ini?"
Oh...Demi langit dan bumi, jangan sekarang.
Alexa tergeragap, "Saya..."
"Tentu saja dia bersedia. Ya kan Alex?"
Itu Om Brata yang memotong ucapan Alexa.
"Okay, aku akan menjemputmu nanti." Jeremy melepaskan
genggaman tangannya dari Alexa, yang entah kenapa membuat
sesuatu yang menghimpit hatiku terlepas begitu saja.
Jeremy mengantar Om Brata dan Alexa sampai pintu lift. Sedangkan
aku hanya terpaku di tempat.
"Pak, Anda masih mau di sini?"
Aku lupa dengan kehadiran Renata di ruangan ini.
"Eh ya...Tidak. Maksudku, ya saya mau ke luar."
Setelah meninggalkan Renata yang aku yakin sedang menatapku
kebingungan, aku bergegas menyusul Jeremy.
Dengan langkah panjang, aku menjajari langkah Jeremy. "Apa


Emptiness Of The Soul Karya Andros Luvena di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

maksudmu dengan mengajaknya makan siang?"
Jeremy tersenyum misterius, "Seperti yang kubilang tadi pagi, aku
akan mengajaknya berkencan."
"Jadi, ini adalah kencan?"
"Bukan. Ini adalah batu loncatan menuju kencan," gumamnya.
Hatiku bagai di pukul dengan palu godam. Ada apa dengan hatiku"
Dia kembali padaku tapi selalu membuatku merasakan sakit yang
sebelumnya tidak pernah kurasakan. Apakah dia ingin membalasku
karena selama ini aku telah membuangnya"
*** Menunggu jam makan siang terasa sangat lama untukku, maka 15
menit sebelum jam makan siang, aku sudah ke luar dari ruanganku
dan menuju tempat parkir.
Berdiri di tengah terik matahari dengan bersandar pada mobil
Jeremy. Saat Jeremy datang, dia terlihat mengerutkan keningnya ketika
melihatku yang sudah menunggunya.
"Apa yang kau lakukan di sini?" tanyanya.
"Menunggumu," aku melirik jam tanganku. "Bukankah ini sudah
jam makan siang?" "Kau lupa" Aku ada janji makan siang dengan Alex, aku tidak bisa
menemanimu." Aku menatapnya dengan pandangan tak bersalah. "Aku tidak
membawa mobil, jadi kurasa, aku harus ikut denganmu."
Jeremy tersenyum, "Aku tadi sudah menyuruh Arman mengambil
mobilmu. Itu, di sana mobilmu." Jeremy menunjuk sebuah mobil
-yang aku yakini memang milikku- yang terparkir tidak begitu jauh
dari mobilnya. Kenapa tadi aku tidak melihatnya"
"Oh itu. Ya, tadi aku sudah mencobanya, tapi ternyata bensinnya
habis." Aku mengangkat kedua bahuku, berusaha meyakinkan
Jeremy dengan tatapanku. Jeremy menatapku dengan pandangan menyelidik, "Kau sedang
tidak ingin mengacaukan usahaku mendekati Alex, kan?"
"Tentu saja tidak," jawabku cepat. Aku hanya ingin mengawasimu,
sambungku dalam hati. "Okay, masuklah."
Jeremy memasuki mobilnya dan aku memutar untuk duduk di kursi
penumpang. Jeremy mengendarai mobilnya dengan lincah, menembus kemacetan
ibu kota. Sampai mobilnya memasuki halaman gedung perkantoran
yang sangat megah. Setelah memarkirkan mobil, Jeremy turun. Aku mengikutinya dan
memakai kacamata hitamku, ini berguna saat nanti aku bisa
memperhatikan Alexa tanpa takut diketahuinya.
Kami berjalan beriringan menuju gedung tersebut, dan memasuki
pintu putar yang langsung menuju lobby utama.
Aku menunggu di tempat yang agak jauh, saat Jeremy menghampiri
meja resepsionis dan berbicara dengan seorang wanita yang berada
di sana. Wanita itu memperhatikan Jeremy dan kemudian tampak
menghubungi seseorang. Beberapa saat kemudian aku melihat Alexa ke luar dari pintu lift.
Terlihat sangat cantik. Jeremy menghampiri Alexa dan terlihat membicarakan sesuatu
dengannya, kemudian dia menunjuk ke arahku.
Aku melihat Alexa memandangku sekilas dan menganggukkan
kepalanya pada Jeremy. Kemudian mereka menghampiriku.
"Jarvis, kita akan langsung berangkat." Kata Jeremy.
Aku menganggukkan kepalaku dan berjalan mengikuti mereka yang
mendahuluiku. Alexa berjalan tepat di depanku, dan meskipun aku mencoba untuk
berpaling dari pantatnya yang sempurna, aku tidak bisa. Bayangan
bisa meremas pantatnya dalam keadaan telanjang membuat sesuatu
yang berada di balik celanaku menggeliat, memohon untuk
dibebaskan. Saat kami sampai di samping mobil Jeremy, Jeremy membukakan
pintu belakang mobilnya untuk Alexa, dan menutupnya kembali saat
Alexa sudah masuk ke dalamnya.
Aku hampir membuka pintu penumpang ketika Jeremy
melemparkan kuncinya padaku. Aku menangkap kunci itu, dan
menatap Jeremy tak mengerti.
Tapi Jeremy hanya mengangkat bahunya dan menyebutkan nama
sebuah restoran Prancis. Lalu dia berjalan memutari mobilnya dan
duduk di samping Alexa. Sekarang aku mengerti. Sialan Jeremy, dia menjadikanku supirnya.
Setengah mendengus aku berjalan memutar, membuka pintu kemudi
dan memasukinya. Aku duduk dan memasang sabuk pengamanku.
Sebelum menjalankan mobil, aku melirik Alexa melalui kaca spion
yang ada di atas dashboard mobil. Dia memperhatikanku, aku
merasakan letupan dalam hatiku. Aku mengangkat sudut bibirku
menahan senyum, dan mulai melajukan mobil Jeremy.
"Jadi kamu keturunan Inggris ya?" Jeremy membuka percakapan
dengan Alexa. "Ibuku memang orang Inggris, tepatnya Sheffield."
Oh Tuhan...Aku suka mendengar suaranya.
"Wow itu kota yang indah, Sheffield dekat dengan Edensor, kan?"
"Ya, sekitar satu jam dari Sheffield. Sewaktu kecil, saat mengunjungi
Grandma, aku paling suka piknik ke Edensor. Di sana
menyenangkan sekali, banyak kawanan domba Derbyshire yang
sedang merumput dalam perjalanan ke sana."
"Ya, dan hamparan rumput-rumput hijau serta perbukitan yang
sangat indah." "Kau pernah ke sana juga" Menyenangkan sekali bukan?"
Aku melirik mereka dan melihat Alexa tampak bersemangat saat
menceritakan negara kelahiran Ibunya. Itu membuatnya tidak terlihat
canggung lagi. Jeremy tersenyum dan mengangguk, "Aku pernah berlibur ke sana.
Belum lama, itu karena kakak perempuanku tergila-gila dengan
Edensor setelah membaca novel Andre Hirata." Jeremy memutar
bola matanya seakan berbicara 'dasar perempuan', "Jadi dia
memaksa kami seke luarga untuk berlibur ke sana. Tapi Andre Hirata
benar, Edensor betul-betul seperti negeri khayalan. Sangat indah."
Alexa mengangguk menyetujui, "Aku paling suka ke sana saat
menjelang musim gugur. Pada saat itu, dedaunan mulai berwarna
merah. Sangat indah."
Jadi musim gugur ya... Aku menghentikan mobil di depan sebuah restoran Prancis.
Membuka sabuk pengaman dan segera ke luar dari mobil,
mendahului Jeremy membukakan pintu untuk Alexa.
Jeremy yang baru ke luar dari mobil menatapku tajam, tapi aku purapura tidak
melihatnya dengan menyerahkan kunci mobil. pada
petugas valet. Saat kami sampai di depan pintu, Jeremy seperti baru mengingat
sesuatu. Dia menghampiriku dan berbisik padaku.
"Sorry bro, aku lupa sudah reservasi untuk dua orang."
Aku terbelalak. Double shiiittt...!!!
"Kalau kau mau, kau bisa mencoba untuk masuk, siapa tahu masih
ada meja yang kosong. Tapi..." Jeremy menggantung kalimatnya,
"...biasanya sih tempat ini selalu penuh," katanya dengan nada
menyesal -yang aku yakin di buat-buat-. "Atau...Kau menunggu saja
di mobil, aku janji akan membelikan makan siang dan
membungkusnya untukmu."
Aku melepas kacamataku dan menatapnya gusar, melirik Alexa yang
berdiri agak jauh dari kami. "Sialan kau Jeremy," bisikku geram.
Lalu aku berbalik dan menghampiri petugas valet untuk meminta
kembali kunci mobil Jeremy. Menolaknya dengan kasar saat dia
menawarkan diri untuk mengambilkan mobil tersebut.
Aku berjalan agak jauh untuk sampai ke tempat parkir di mana
mobil Jeremy diparkirkan. Sesampainya di samping mobil, aku
membuka pintu dengan kasar dan duduk di kursi kemudi. Kubuka
jendela mobil bagian penumpang lebar-lebar, lalu aku memilih lagu
pada stereo mobil Jeremy. Saat musik mulai mengalun, aku
merebahkan tubuhku di atas jok mobil dan menjulurkan kakiku ke
luar jendela. Entah berapa lama aku tertidur. Saat aku membuka mataku, aku
sudah melihat Jeremy yang sedang berusaha menyingkirkan kakiku
dari jendela mobil. Aku bangun dan menarik kakiku, "Sudah?" Sindirku sambil
membetulkan letak dudukku.
Jeremy hanya menyeringai dan menyerahkan makan siang yang dia
belikan untukku. Aku menyambar bungkusan tersebut dan
meletakkannya di atas dashboard.
Sekilas aku melihat Alexa yang sedang masuk ke mobil, terlihat
seperti menahan senyum. Aku melirik kaca spion dan melihat diriku
yang berantakan. Rambut perungguku yang agak panjang terlihat
acak-acakan dengan sebagian rambut menutupi dahiku, mataku
terlihat merah karena aku baru saja bangun tidur.
Aku meraih kacamata hitam yang tadi kukaitkan pada kerah kemeja
dan memakainya. Lalu mencoba merapikan rambut dengan tanganku
meski aku tahu itu tidak akan merubah banyak.
Saat Alexa dan Jeremy sudah masuk ke mobil, aku menstarter mobil
dan menjalankannya. Melaju dengan kecepatan tinggi, menyalip
setiap kendaraan yang ada di depanku, dan membelok dengan mulus
saat melewati tikungan tanpa mengurangi kecepatan mobil.
Aku ingin Alexa cepat sampai ke kantornya dan tidak duduk di
samping Jeremy lagi. Aku melirik dari kaca spion dan melihat Alexa memejamkan
matanya, sedang Jeremy terlihat pucat dengan tangan yang
menggenggam sabuk pengaman. Bagus, itu juga suatu keuntungan
bagiku, karena mereka tidak lagi saling bicara.
Aku berhenti tepat di depan kantor Alexa dengan bunyi ban yang
berdecit. Alexa terlihat sedang menenangkan dirinya, lalu dia membuka
matanya dan ke luar dari mobil tanpa menunggu dibukakan pintu.
Jeremy melepas sabuk pengamannya dan menggeser duduknya ke
kursi yang tadi diduduki Alexa, lalu dia menjulurkan lehernya ke
luar jendela. "Terima kasih, Alex," katanya.
Alexa mengangguk, kemudian, tanpa kuduga dia menatapku dari
kaca spion. "Terima kasih, Jarvis," gumamnya pelan, tapi terdengar sangat keras
di telingaku. Aku melongo tidak percaya, sampai dia menghilang dari pandangan.
"Tutup tuh mulut," kata Jeremy sambil membanting pintu saat dia
pindah ke sampingku, "Jalan."
Aku tersadar, dan segera menutup mulutku. Lalu menjalankan mobil
dengan senyuman yang tak bisa hilang dari bibirku.
Kali ini aku menjalankan mobil dengan pelan. Tak kupedulikan
Jeremy yang mengutukiku karena kegilaanku dalam mengendarai
mobilnya di jalan raya. Jeremy selalu berhati-hati jika berkendara. Dia tidak pernah
menjalankan mobilnya di atas kecepatan yang diijinkan. Dia bilang,
itu semua demi keamanan dan kenyamanan. Aku bilang itu karena
dia penakut. Aku turun dari mobilnya saat kami sampai di kantor, dan
menyerahkan kunci mobil padanya. Tapi sebelum Jeremy
menerimanya, dia merogoh sakunya dan mengeluarkan sesuatu dari
dalamnya, lalu menyerahkannya padaku.
Demi apapun yang ada di balik celanaku...Itu kunci mobilku.
"Kunci mobilmu," katanya, "Dengan bensin yang terisi penuh saat
Arman mengambilnya."
*** Aku sampai ke apartemen dalam keadaan sangat lelah. Jam yang
melingkar di tanganku sudah menunjukkan pukul dua dini hari, dan
aku ingin cepat-cepat tidur sekarang.
Aku membuka pintu apartemen dan menyalakan lampu. Lalu
melangkah ke dalam. Aku terkejut ketika melihat Liana duduk di sofa ruang tengah,
seketika aku teringat dengan kata-katanya tadi pagi.
Liana berdiri dan menyambutku, "Kau pulang malam sekali," dia
melirik jam dinding. "Maksudku pagi."
Aku menghampirinya dan mencium pipinya, "Maaf Liana. Hari ini
aku mendapatkan proyek besar dan baru selesai membahas
rancangannya bersama Jeremy."
Liana menggeleng, "Tidak apa-apa." Dia melepas jas dan dasiku.
"Aku hanya khawatir kau menghindariku karena ucapanku tadi
pagi." Aku menghempaskan tubuhku di atas sofa.
"Apa yang kuucapkan tadi pagi, tidak usah kau pikirkan dulu Jarvis."
Liana duduk di sampingku. "Aku memang mencintaimu dan
mengharapkan bisa bersamamu selamanya, tapi aku tidak ingin
memaksamu." Liana menempelkan pipinya pada rahangku dan menggesekgesekkannya di sana. Jari-
jari tangannya membuka kancing
kemejaku satu persatu, lalu dia menelusupkan tangannya ke dadaku
dan memutar-mutar ujung jarinya di sana, membentuk lingkaranlingkaran kecil.
Membangkitkan gairahku. Aku menengadahkan kepalaku, menikmati sentuhan tangannya yang
terawat. Lidahnya menelusuri leherku, naik ke cuping telingaku,
menghadirkan rasa geli yang terasa sangat familiar.
Jari-jarinya mulai turun ke pinggangku dan membuka kancing
celanaku, lalu dia memasukkan tangannya ke balik boxerku dan
meremas kejantananku yang mulai mengeras.
"Terima kasih, Jarvis."
Kalimat pendek yang tadi siang diucapkan Alexa tiba-tiba terngiang
kembali di telingaku. Menghadirkan seraut wajah dengan senyum
gugupnya dalam bayanganku. Membuat kejantananku yang sudah
mengeras, melemas secara tiba-tiba.
Aku tidak menginginkan Liana.
Liana menghentikan aksinya, dia mengerutkan keningnya dan
menatapku bingung. Aku segera menegakkan tubuhku dan membenahi kancing celanaku.
Lalu menatap Liana meminta maaf.
"Aku lelah sekali Liana. Maafkan aku, tapi aku ingin istirahat."
Liana mengangguk mengerti, "Istirahatlah Jarvis," gumamnya.
Aku membungkuk, mencium pipi Liana. Lalu berdiri dan
meninggalkan Liana menuju kamarku.
Di dalam kamarku aku termangu. Memikirkan kejadian demi
kejadian saat pertemuanku dengan fairy girl-ku...Alexa.
Satu lagi yang membuatku yakin kalau dia adalah seorang peri,
karena sekecil apapun sikapnya, gerakannya, dan suaranya itu,
memberikan pengaruh yang sangat kuat bagi tubuhku. Terutama
pada tubuh bagian bawah. Namun kesadaran kembali menghantamku...Siapa aku ini" Anak
yang terbuang" Gigolo"
Rasa nyeri kembali menyelimuti hatiku.
Apakah aku pantas untuk Alexa"
Masa lalu yang ingin kulupakan melintas dalam pikiranku.
Mengingatkanku... Aku tidak pantas untuk Alexa.


Emptiness Of The Soul Karya Andros Luvena di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

*** Bab 6 CEMBURU BUTA Beberapa hari yang lalu, aku adalah Jarvis yang penuh rasa percaya
diri, berpengalaman dan tidak pernah bermain hati. Tapi sekarang,
aku seperti tidak mengenal diriku lagi.
Aku tidak pernah bisa memuaskan Liana lagi, aku tidak bisa fokus
pada pekerjaanku, dan aku jadi seorang yang pemarah.
Ini semua hanya karena seorang gadis bernama Alexa. Gadis yang
sudah mengacaukan hidupku, yang selalu membangkitkan gairahku
hanya dengan memikirkannya, tapi juga yang mematikan hasratku
terhadap wanita lain. Gadis yang membuatku tidak menginginkan wanita manapun,
bahkan Liana sekalipun. Seperti hari ini, aku terduduk lemas di atas kursi kerjaku. Menyesali
kejadian semalam, saat aku memaksakan diri untuk melupakan
Alexa. Malam itu aku pergi sendirian ke nightclub. Seperti di tahun-tahun
saat aku belum mengenal Jeremy. Duduk di meja bar dan mengawasi
setiap wanita yang berusaha menarik perhatianku.
Kupikir 'one night stand' adalah satu-satunya jalan agar aku bisa
melepaskan hasratku. Bersama Liana, itu tidak mungkin saat ini.
Aku akan merasa menjadi seorang bajingan ketika bercinta
dengannya, tetapi Alexa-lah yang ada di dalam pikiranku.
Lagipula, Liana belum ke apartemen lagi sejak kejadian aku
menolaknya beberapa malam yang lalu.
"Tequila sunrise."
Suara seorang wanita di sampingku menarik perhatianku.
Aku menoleh dan melihatnya duduk di sampingku. Postur tubuhnya
mengingatkanku pada Alexa. Kurasa dia bisa jadi teman kencanku
malam ini. "Aku yang akan membayar minuman Nona ini," kataku pada
bartender. Gadis itu menoleh dan tersenyum, "Terima kasih," gumamnya.
"Tidak masalah."
"Kau sendirian?" tanyanya.
"Seperti yang kau lihat."
"Mau bersenang-senang?"
Aku suka wanita agresif. To the point.
Selanjutnya, aku sudah berada di kamar mandi dengan kejantananku
yang berada di dalam mulut wanita itu.
"Ya babe, seperti itu...Ya bagus..."
Gadis itu dengan bersemangat menghisap kejantananku yang sudah
mengeras. Tangannya menggenggam pangkalku dan
menggerakkannya naik turun, sesekali diselingi gerakan memutar.
"Sialan. Lebih keras babe..."
Setelah sekian lama hanya menerima blue balls, aku merasakan
kenikmatan luar biasa pada kejantananku. Aku hampir saja selesai,
tapi kejadian selanjutnya sungguh diluar dugaanku.
Wajah Alexa muncul begitu saja dalam pikiranku, lengkap dengan
senyum gugupnya dan tatapan malu-malunya.
Oh sial! Jangan sekarang...Kumohon jangan sekarang...
Tapi yang di bawah sana tidak mendengarkan perintahku. Dia lemas
begitu saja. Ya, begitu saja.
Membuat gadis yang sedang mengulum kemaluanku merasa bingung
karena benda yang tadi terasa penuh di mulutnya kini mulai
mengecil. Dia menjulurkan lidahnya, menelusuri batang lemasku
yang berada dalam genggamannya. Sungguh suatu usaha yang
mengesankan. Tapi aku tidak akan bangun lagi. Tidak akan bisa.
"Sudah hentikan." Kataku kesal, ketika gadis itu tidak juga berhenti
menjilati penisku. Gadis itu melepaskan tangannya dari kejantananku.
"Kau impoten?" Oh Tuhan, apa yang dia katakan" Apakah dia tidak pernah tahu
kalau impoten itu berarti tidak akan pernah bisa ereksi, tapi dia baru
saja mengulum penis yang keras dan tegang bukan" Well, itu
sebelum aku terkena AE...Alexa Effect, seharusnya tidak mudah
baginya untuk memvonis aku...I M P O T E N.
Aku membenahi celanaku, dan membuang rasa maluku saat
menatapnya. "Sorry babe, sepertinya aku agak bermasalah malam ini..." kubelai
pipinya sekilas, "Tapi aku tidak impoten baby, hanya ada -sedikitmasalah." Aku
memposisikan jari telunjuk di atas Ibu jariku dengan
menyisakan sedikit ruang diantaranya. Menekankan maksudku saat
mengatakan 'sedikit'. "Okay, mungkin lain kali."
"Thank you, babe."
Dia menyelipkan kertas -yang aku yakini adalah kartu namanyapada saku jaketku.
Aku hanya tersenyum, lalu meninggalkannya.
Di depan nightclub aku membuang kertas itu tanpa membacanya.
Aku tidak menginginkan dia. Aku hanya menginginkan Alexa...Fairy
girl-ku. Sekarang di sinilah aku, terduduk lemas di kantorku tanpa memiliki
keinginan untuk menjalani kehidupanku seperti biasanya.
Jeremy jarang menemuiku, dia sibuk dengan usahanya untuk
mendekati Alexa. Kalau mau jujur, hal itulah yang paling
mempengaruhiku. Membayangkan Jeremy berkencan dengan
Alexa.... Huh, sama sekali tidak ingin kubayangkan.
Kurasa, aku harus melakukan sesuatu. Aku tidak bisa hanya duduk
begitu saja tanpa berbuat sesuatu.
Mungkin sedikit berolahraga akan menjernihkan pikiranku. Ya, itu
benar. Aku segera ke luar dari ruanganku dan menuju lift untuk turun ke
bawah. Ada tempat fitness di sekitar sini, aku akan ke sana.
"Selamat sore, Pak." Agus, salah satu satpam di gedung ini
menyapaku saat aku sudah berada di halaman gedung.
Aku hanya menganggukkan kepalaku dan berusaha tersenyum.
"Saya panggilkan petugas valet, Pak?" tanyanya sopan.
"Tidak usah, saya hanya ingin jalan-jalan."
Agus mengangguk dan beranjak meninggalkanku.
Aku melangkahkan kakiku menyusuri jalan kompleks perkantoran.
Di samping jalanan ini dipenuhi dengan pepohonan besar. Hembusan
angin yang kencang membuat beberapa daun yang gugur
berterbangan di sepanjang jalan.
Aku menghentikan langkahku di depan sebuah tempat fitness. Lalu
aku memasuki toko olahraga yang terletak di sebelah tempat. fitness
tersebut, dan membeli sebuah kaos oblong tanpa lengan dan celana
longgar sebatas betis. Aku memasuki ruangan fitness setelah mengganti bajuku, dan
langsung menuju treadmill yang ada di sudut ruangan. Memulai
pemanasan, aku berjalan santai selama lima menit, kemudian
perlahan aku mulai menaikkan kecepatan hingga batas maksimal.
Hanya membutuhkan waktu dua puluh menit untuk mengeluarkan
semua keringat dalam tubuhku, aku memelankan laju kecepatan
secara bertahap, dan berhenti tepat ketika seorang gadis berdiri di
depanku. "Sandra?" Aku mengenali gadis itu sebagai teman Alexa.
"Hai," sapa Sandra, "Sendirian saja?"
Aku mengangguk dan turun dari treadmill lalu mendekati bench
press. Sandra mengikutiku.
Aku memulai latihan untuk otot dadaku dan melihat Sandra masih di
depanku. "Apa yang kau lakukan di sini?" tanyaku.
Sandra mengangkat bahunya, "Melihat-lihat."
"Sendirian?" "Bersama teman."
Aku menghentikan aktivitasku, tertarik dengan ucapannya. "Alexa?"
tanyaku berharap. Sandra menggeleng, "Alex tidak akan suka ke tempat ini."
"Begitu?" aku kembali melanjutkan latihanku.
"Dia agak aneh, kau tahu?"
Bukankah Sandra teman Alexa" Kenapa dia tidak bersikap layaknya
seorang teman" "Dia yang menyebabkan saudara kembarnya hilang."
"Alexa punya saudara kembar?"
"Ya, tapi hilang saat berumur 5 tahun."
"Kenapa kau bilang, Alexa penyebabnya?"
Sandra kembali mengangkat bahunya, "Alexa mengajaknya ke
tengah hutan saat mereka sedang piknik, dan meninggalkannya
begitu saja." Aku mengernyitkan dahiku, Sandra bercerita seolah-olah Alexa
melakukannya dengan sengaja. Hei, mereka masih berumur 5 tahun
saat itu. "Dia sangat aneh..."
"Kau sudah mengatakannya tadi," aku memotong ucapannya, lalu
melirik jam tanganku, "Okay Sandra, aku rasa aku harus kembali
sekarang." Aku tidak ingin berlama-lama mendengarnya menjelekjelekkan Alexa.
"Tunggu." Sandra memegang lenganku.
Aku melirik tangannya yang menempel di lenganku, dan dia segera
melepasnya. "Aku sering melihatmu di nightclub," dia tersenyum, "Apakah nanti
malam kau mau mengajakku ke sana?"
Oh, dia sudah mulai menggangguku.
"Tidak." Jawabku ketus, menghilangkan senyuman di wajahnya.
Aku tidak peduli dan bergegas meninggalkannya. Kembali ke
kantorku dengan langkah yang lebih cepat.
*** Aku baru mengenakan jasku kembali ketika Jeremy memasuki
ruangan. "Kau baru mandi?" tanyanya heran, lalu duduk di sofa yang berada
di ruanganku. "Aku berkeringat." Jawabku pendek.
"Jarvis, aku butuh bantuanmu."
"Apa?" aku menghampiri Jeremy dan duduk di sampingnya.
"Aku mengajak Alexa makan malam."
Aku tertegun, "Kapan?"
"Malam ini." "Apa katanya?" Jantungku berdegup kencang saat menunggu
jawaban Jeremy. "Dia bersedia..."
Matilah aku. "Tapi dia mengajak Sandra juga."
Aku menghela nafas lega. "Karena itu aku minta bantuanmu, ikutlah denganku. Kau bisa
menemani Sandra, jadi dia tidak akan mengganggu kami."
Aku mengerutkan keningku, kenapa harus Sandra" Aku ragu ingin
berurusan dengan Sandra setelah pertemuanku dengannya tadi. Tapi,
kalau aku menolaknya, aku tidak akan bisa mengawasi Jeremy dan
Alexa. Bagaimana kalau mereka memutuskan untuk...tidak!
"Jarvis?" "Okay, aku mau."
Jeremy tersenyum senang. Dia bangkit dari duduknya, "Thanks
sobat. Kau memang bisa diandalkan. Jam tujuh kau jemput Sandra,
kita bertemu di Le Bridge Ancol."
"Tunggu, kita berangkat terpisah?"
Jeremy menatapku, "Tentu saja, aku ingin benar-benar berkencan
dengan Alex. Oh ya, alamat Sandra nanti kukirim lewat email." Lalu
dia melangkah meninggalkanku.
Oh bagus, aku mempunyai kesempatan untuk bersama Alexa, tapi
harus menjaga jarak dengannya.
Sekarang, apa yang akan kulakukan" Menunggu. Itu satu-satunya
jawaban. *** Sandra menggandeng tanganku saat kami melewati jembatan untuk
sampai ke Le Bridge. "Tempat ini sangat indah. Aku senang sekali bisa ke sini bersamamu
Jarvis." Sandra menggelayut manja di pundakku.
Aku ingin menepisnya, tapi itu akan terlihat sangat tidak sopan.
"Menurutmu, apakah ini bukan suatu pertanda, Jarvis" Tadi siang
kau menolak ketika kuajak ke nightclub, tapi sekarang kita berada di
sebuah restoran yang sangat romantis."
Aku hanya diam saja mendengar ocehannya, pikiranku tertuju pada
Alexa dan Jeremy yang sudah menungguku.
"Maksudku, apa ini berarti kita berjodoh?"
Kali ini ucapannya menghentikan langkahku. Aku berpaling,
menatapnya tajam dan meloloskan tangannya dari bahuku. "Kita -
tidak- berjodoh." Kataku menekankan setiap suku kata untuk
menjelaskan maksudku padanya. Lalu melangkah cepat
meninggalkannya. "Jarvis! Tunggu!"
Sandra berteriak memanggilku, tapi aku tetap melangkahkan kakiku.
Lalu kudengar dia mulai berlari menyusulku.
Di ambang pintu masuk aku mengawasi sekeliling dan melihat
Jeremy yang melambaikan tangannya ke arahku. Aku
menghampirinya, Sandra masih setengah berlari di belakangku.
Ada empat kursi di meja itu. Jeremy duduk di depan Alexa, dan
meskipun aku ingin duduk di samping Alexa, pada akhirnya aku
memilih untuk duduk di samping Jeremy. Sandra menyusul dengan
nafas terengah-engah dan duduk di samping Alexa.
"Kau meninggalkanku, Jarvis." Gumam Sandra kesal.
Aku tidak mempedulikannya, tatapanku terpusat pada Alexa. Dia
mengenakan gaun hitam yang memperlihatkan bahunya, rambut
coklat ikalnya tergerai dengan kepang kecil yang melingkar di atas
kepalanya. Sangat cantik...
"Kau sangat cantik..." gumamku tanpa sadar, menatap intens pada
mata coklatnya yang memancarkan kegugupan.
"Ehm..." Jeremy berdeham mengingatkanku. Membuatku berpaling
dan mengalihkan perhatianku dari Alexa. "Aku akan memesan
untukmu," gumamnya, lalu dia beranjak berdiri dan menuju tempat
pemesanan. Tidak ada yang bersuara saat kami makan, bahkan Jeremy sekalipun.
Sesekali aku melirik Alexa yang juga tak banyak bicara, hanya
kadang-kadang berbisik pada Sandra, entah apa yang mereka
bicarakan. Kadang aku merasa gemas ingin menyingkirkan anak rambut yang
tertiup angin dari pipinya, dan menyelipkan di balik telinganya. Atau
menghapus noda saus pada bibirnya dengan lidahku.
Pikiran untuk menghapus noda saus di bibirnya dengan lidahku
membuatku mengeras. "Aku akan ke luar sebentar dengan Alexa." Kata Jeremy
membuyarkan lamunan mesumku.
Alexa terlihat terkejut, tapi dia tetap berdiri dan meyambut uluran
tangan Jeremy. Jeremy melingkarkan lengannya di pinggang Alexa saat berjalan
meninggalkanku. Aku hanya menatap mereka dengan pandangan nanar.
"Pasangan yang sangat serasi," Gumaman Sandra menohok tepat di
ulu hatiku. "Sepertinya Alexa menyukai Jeremy."


Emptiness Of The Soul Karya Andros Luvena di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku melirik Sandra kesal, aku yakin wanita jalang itu hanya ingin
melukai hatiku. Dengan sabar aku menunggu, 10 menit...15 menit...30 menit... Oh
yeah, ini sudah terlalu lama.
Aku bangkit dan berdiri, tanpa mempedulikan Sandra yang masih
mengoceh entah membicarakan apa, dan bergegas ke luar dari
restoran itu. "Jarvis." Sandra memanggilku dan mengikutiku.
Aku berkeliling dan mencari mereka, tapi aku tidak melihat sosok
Alexa maupun Jeremy di antara orang-orang yang lalu lalang.
Mendadak aku menjadi panik, dan saat aku berlari menuju mobilku,
ponselku bergetar. Gugup, aku membuka ponselku dan mendapati pesan dari Jeremy.
Sorry, bro. Alex memutuskan untuk menghabiskan malam
bersamaku. Tolong antar Sandra ke rumahnya.
Tidak mungkin. Aku berlari menuju mobilku.
Pusaka Para Dewa 1 Dewa Arak 38 Neraka Untuk Sang Pendekar Jubah Tanpa Jasad 3
^