Pencarian

Hex Hall 2

Hex Hall Karya Rachel Hawkins Bagian 2


permukaan bumi. Mereka menganggap diri mereka sebagai kesatria suci,
sementara kita merupakan iblis yang harus dimusnahkan. Tahun lalu kelompok ini
saja bertanggung jawab atas kematian lebih dari seribu Prodigium."
Aku menatap mata itu dan merasakan bulu kudukku meremang. Sekarang aku
ingat mengapa gambar itu rasanya tak asing lagi. Aku pernah melihatnya sekali di
salah satu buku Mom. Umurku baru sekitar tiga belas tahun, hanya
membalikbalikkan halaman buku itu tanpa tujuan, sambil mengagumi gambar-gambar
mengilat dari penyihir-penyihir yang terkenal. Lalu sampailah aku pada lukisan
tentang eksekusi seorang penyihir di Skotlandia, mungkin sekitar tahun 1600-an.
Gambarnya begitu mengerikan sehingga aku tak henti-hentinya menatapnya. Aku
masih bisa melihat penyihir yang sedang berbaring, diikat ke papan kayu. Rambut
pirangnya tergerai ke tanah, dan air mukanya menampakkan teror. Ada lelaki
berambut gelap yang sedang menggenggam pisau perak berdiri menjulang di
sampingnya. Lelaki itu tidak memakai kemeja, dan tepat di atas jantungnya ada
tato - sebuah mata dengan iris keemasan.
"Di masa lalu kita sudah lebih dari mampu bertahan dari ketiga kelompok ini,
tetapi saat itu mereka terpisah dan tidak akur. Sekarang kami menerima kabar
bahwa mereka mungkin membentuk semacam perdamaian. Kalau ini terjadi..."
Dia menghela napas. "Yah, bisa dikatakan kita tidak bisa membiarkan itu
terjadi." Mata itu memudar, dan Mrs. Casnoff pun menepukkan tangannya. "Nah. Sudah
cukup. Besok pagi kalian semua akan sangat sibuk, jadi kalian dibubarkan. Lampu
mati dalam waktu setengah jam."
Kepala sekolah itu terdengar begitu ceria dan resmi, sehingga aku bertanya-tanya
apakah aku berhalusinasi saat mendengar bagian pada dasarnya dia mengatakan
bahwa kami semua akan mati. Tetapi, dengan sekali lihat ke sekeliling ruangan
aku tahu bahwa kawan-kawan sekelasku juga sama terpukul dan bingungnya dengan
aku. "Nah," kata Archer, sambil menepukkan tangan ke pahanya. "Itu baru."
Sebelum aku bisa bertanya apa maksudnya, dia sudah beranjak dari tempat
duduknya dan menghilang di antara gerombolan murid.
Bab 8 BERKAT LANGKAH KAKINYA yang panjang, aku nyaris harus berlari untuk
merendengi Archer. Sewaktu aku berhasil mengejarnya, dia sudah separuh jalan naik tangga.
"Cross!" panggilku. Aku tak sanggup membuat diriku mengucapkan "Archer"
dengan suara nyaring. Pasti aku merasa seperti berada di dalam sebuah episode
Masterpiece Theatre. "Archer! Mari kita ambil sepoci teh, Bung!"
Anak lelaki itu berhenti di tangga dan berputar. Anehnya, dia tidak nyengir.
"Mercer," jawabnya, membuat mataku berputar.
"Begini, apa maksudmu dengan 'itu baru'" Kukira kau sudah pernah melihatnya
sebelumnya." Dia turun dua anak tangga. "Memang," Archer menjawab sewaktu dia hanya dua
anak tangga di atasku. "Tiga tahun lalu, waktu aku empat belas tahun. Tahun
pertamaku di sini. Tapi dulu beda."
"Beda bagaimana?"
Dia melepaskan blazernya, sambil memutarkan bahu seakan-akan jaket itu berat.
"Mereka masih memperlihatkan adegan Charles Walton, sepertinya itu adegan
favorit. Dan ada werewolf yang ditembak, dan mungkin satu atau dua peri dibakar.
Tetapi tidak ada gambar sebanyak itu. Dan tidak sekaligus seperti tadi."
Dia menunduk menatapku, seakan-akan sedang mengukurku. "Juga tidak ada
penyihir dan warlock yang digantung. Aku harus bilang, aku sedikit terkesan."
Aku melipat lengan di dada dan merengut. Aku tidak suka caranya memandangku.
"Terkesan oleh apa?"
"Sewaktu aku melihatnya tiga tahun yang lalu, aku harus berlari ke kamar mandi
kecil di sebelah sana - dia menunjuk ke pintu-pintu kecil di seberang serambi -
dan memuntahkan isi perutku. Apa yang kita lihat malam ini jauh lebih buruk,
bahkan kau tidak kelihatan pucat. Kau lebih tangguh daripada sangkaanku."
Aku menahan diri untuk tidak tertawa. Wajahku mungkin tampak kalem, tetapi
perutku masih terasa bagaikan lantai dansa musik rock. Secara singkat aku
terhibur oleh bayangan organ-organku yang memakai pensil alis dan jins robek-robek, aku
memberikan Archer tatapan yang kuharap kelihatan acuh tak acuh. "Aku hanya
tidak memercayai semua itu."
Dia menaikkan sebelah alisnya, yang membuatku benar-benar iri hati. Aku tidak
pernah bisa melakukannya. Aku selalu berakhir dengan menaikkan kedua alisku
dan kelihatan terperanjat alih-alih angkuh.
"Tidak percaya semua yang mana?"
"Semua cerita tentang manusia yang ingin membunuh kita dengan banyak cara
yang kejam." "Kurasa sejarah benar-benar mendukung hipotesis itu, Mercer. Yah, manusia telah
memusnahkan ribuan umat mereka sendiri untuk mencoba mendapatkan kita."
"Ya, tapi itu kan di masa lalu," debatku. "Ketika mereka juga menganggap kita
mengebor lubang di kepalamu, atau mengeringkan darahmu akan
menyembuhkanmu dari sebuah penyakit. Manusia sekarang lebih berpikir
modern." "Begitu, ya?" Dia nyengir lagi. Aku ingin tahu apakah wajahnya sakit kalau
dibiarkan terlalu lama tidak nyengir.
"Begini," kataku. "Ibuku manusia. Dan dia mencintai Prodigium. Dia tidak akan
pernah melakukan apa-apa untuk menyakitiku. Bahkan, dia mendapatkan
seorang - " "Anak perempuannya kan penyihir."
"Apa?" Archer menghela napas dan menyampirkan jaket ke salah satu pundaknya,
memegangnya dengan ujung jari telunjuknya. Kukira hanya model lelaki di
majalah GQ saja yang melakukan itu. "Ibumu mungkin manusia yang
mengagumkan, tapi apakah kau benar-benar percaya sikapnya akan hangat dan
ramah terhadap penyihir kalau dia tidak membesarkan penyihir?"
Aku ingin menjawab ya. Sungguh. Tapi, dia benar juga. Mom mungkin menjadi
pakar monster demi aku, tetapi tidakkah dia melarikan diri dari Dad pada saat
Dad mengatakan siapa dirinya yang sebenarnya"
"Kau benar," kata Archer, nadanya sedikit melembut. "Manusia tidak seperti di
zaman dahulu kala. Tapi semua gambaran itu benar, Mercer. Manusia selalu akan
merasa takut terhadap kita. Mereka selalu akan dengki terhadap kekuatan kita,
dan curiga terhadap motif-motif kita."
"Tidak semuanya," kataku, tetapi suaraku kedengarannya lemah, dan aku sedang
memikirkan Felicia yang histeris dan menjerit, "Itu dia! Dia penyihir!"
Archer kembali mengedikkan bahunya. "Mungkin tidak. Tapi kau hidup dengan
satu kaki di masing-masing dunia, dan kau tidak bisa melakukan itu lagi. Kau
sekarang berada di Hecate."
Kata-katanya menghantamku. Tak pernah terpikir olehku bahwa aku berbeda,
bahwa kebanyakan Prodigium dibesarkan di rumah tangga dengan kedua orangtua
seperti mereka. Dan beberapa dari anak-anak di sini nyaris tidak pernah
berinteraksi dengan manusia begitu mereka mendapatkan kekuatan. Meskipun ada
keraguan yang merayapi kulitku bagaikan serangga, aku berkata, "Ya, tapi - "
"Arch!" Elodie sedang berdiri di bordes di atas kami, satu tangan berkacak di pinggul
yang pada dasarnya tidak ada. Biasanya ketika adegan semacam ini terjadi di film, si
pacar memelototi gadis satunya dengan kecemburuan yang hijau cemerlang. Tetapi
karena Elodie seorang dewi, dan aku, yah, bukan, dia sama sekali tidak kelihatan
terancam. Bahkan, lebih cenderung bosan.
"Sebentar, El," seru Archer kepadanya.
Elodie melakukan gerakan kombinasi mata-berputar dan menyibakkan-rambut
yang hanya bisa dilakukan oleh gadis-gadis cantik yang merasa jengkel terhadap
pacarnya, dan berjalan menaiki tangga ke lantai tiga. Kurasa gadis itu
menggoyangkan pinggulnya terlalu banyak saat dia berjalan, tapi, hei, itu cuma
pendapat saja. "Arch?" tanyaku begitu Elodie menghilang, sambil berusaha melakukan gaya
menaikkan alis itu. Seperti biasa, tidak berhasil, jadi mungkin aku hanya
kelihatan kaget. Hanya, "Sampai nanti, Mercer," jawabannya. Tapi saat Archer berputar untuk
pergi, aku tidak bisa menahan diri untuk mengatakan, "Apakah menurutmu mereka
mungkin terkadang punya alasan?"
Dia berputar lagi menghadapku. "Siapa?"
Aku memandang berkeliling, tetapi lorongnya kosong.
"Orang-orang itu. Aliansi dan perempuan Irlandia itu. Mata," jawabku.
"Maksudku, yang kita lihat itu mengerikan, tapi bukankah memang Prodigium
berbahaya itu juga ada?"
Sesaat kami saling berpandangan. Tadinya kupikir dia jengkel kepadaku, tapi aku
lalu menyadari bahwa tatapan matanya bukan amarah. Melainkan seolah-olah
dia... Entahlah... mengamatiku atau apalah.
Aku merasa seakan-akan ada hawa panas janggal yang menjalar dari perut ke
pipiku. Aku tidak tahu apakah Archer memperhatikannya, tetapi dia tersenyum
kepadaku, senyum betulan kali ini, dan aku benar-benar merasakan napasku
tercekat di dada. Itu perasaan yang sama dengan yang pernah kualami sewaktu
kelas empat ketika Suzie Strelzyk menantangku untuk menyentuh dasar kolam
renang di gelanggang olahraga YMCA. Aku berhasil melakukannya, tetapi sambil
menjejakkan kaki untuk kembali ke permukaan, dadaku rasanya bagaikan
terperangkap di dalam alat untuk menekan sampah, dan aku pusing saat keluar dari
air. Itulah yang kurasakan sekarang, gara-gara menatap mata Archer Cross.
Dia turun dua anak tangga di antara kami sampai dia berada di anak tangga yang
sama denganku. Aku harus mendongak menatapnya, tetapi setidaknya tidak
membuat leherku pegal lagi. Dia mencondongkan tubuhnya mendekat, dan aku
mencium bau bersih bersabun itu.
"Aku tidak akan mengatakan hal seperti itu di sekitar sini kalau aku jadi kau,
Mercer," bisiknya. Aku bisa merasakan embusan napasnya yang hangat di pipiku,
dan walaupun aku tidak mau mengakuinya, kurasa mataku mungkin agak
mengerjap. Tapi hanya sedikit. Seraya memperhatikan Archer yang melompat menaiki tangga, aku menggertakkan
gerahamku dan mengulangi mantra di kepalaku:
Aku tidak akan naksir Archer Cross, aku tidak naksir Archer Cross, aku tidak
akan... Sekembalinya aku ke kamar, Jenna sedang duduk bersila di atas tempat tidurnya,
membaca buku. Aku menghela napas dan bersandar di pintu, mendorongnya agar tertutup sampai
terdengar bunyi klik nyaring.
"Ada apa" Akibat Pertunjukan Gambar Bergerak?" tanya Jenna tanpa mendongak.
"Bukan. Maksudku, ya, tentu saja. Acara itu kacau."
"Mm-hmm," Jenna sepakat. "Ada lagi?"
"Aku naksir Archer Cross."
Jenna tertawa. "Dasar payah kau."
Aku menghempaskan diri ke tempat tidurku.
"Kenapa?" erangku ke bantal. Aku berguling dan menatap langit-langit. "Baiklah,
dia imut. Memangnya kenapa. Banyak cowok yang imut."
Sudah jelas rengekanku tentang anak laki-laki yang kusukai mengganggu bacaan
Jenna, karena dia meluruskan tungkainya dan menghampiri untuk bertengger di
tepi mejanya. "Archer tidak imut," dia mengoreksi. "Anak anjinglah yang imut.
Bayi itu imut. Aku imut. Archer Cross itu ganteng banget. Padahal aku bahkan
tidak suka laki-laki."
Baiklah, jadi Jenna tidak akan banyak membantu dalam melenyapkan kasmaran.
"Dia berengsek," tukasku. "Ingat kejadian werewolf pagi ini?"
"Ya," kata Jenna dengan kering. "Menyelamatkan kau dari werewolf. Alat pikat
yang keren." Aku mengerang. "Kau sama sekali tidak menolong."
"Maaf." Kami berdiam diri selama beberapa saat, aku menatap noda jamur mencurigakan di
langit-langit, Jenna bersandar ke belakang bertumpu dengan kedua sikunya, sambil
mengetuk-ngetukkan kaki ke laci mejanya. Di luar, aku bisa mendengar lolongan.
Saat itu bulan purnama, jadi para shapeshifter boleh berlari bebas di halaman.
Aku ingin tahu apakah Taylor berada di luar sana.
"Ooh!" kata Jenna tiba-tiba, sambil duduk tegak dengan begitu cepat sampaisampai
dia menggulingkan gelas tempat pulpennya. "Dia punya pacar yang benarbenar
menyebalkan!" "Ya!" kataku, sambil duduk dan menunjuk Jenna. "Terima kasih! Pacar jahat yang
sudah membenciku, tak kurang dari itu. Dan cowok mana saja yang bersedia
menghabiskan waktunya dengan Elodie bukanlah orang yang pantas untuk
disukai." "Benar sekali," kata Jenna sambil mengangguk empati.
Dengan merasa lebih baik, aku berguling menelungkup untuk menyambar buku
dari samping tempat tidur.
"Tapi aneh juga, sih," kata Jenna.
"Apanya?" "Archer dan Elodie. Elodie mengejar-ngejar Archer sepanjang tahun lalu, tetapi
cowok itu tidak pernah menginginkan sesuatu dari Elodie. Pokoknya, apa pun.
Kemudian Archer kembali entah dari mana, dan jeder ! Mendadak mereka pacaran.
Aneh." "Tidak juga," tukasku. "Maksudku, Elodie cantik luar biasa. Mungkin hormon
akhirnya memengaruhi akal sehat Archer."
"Mungkin," kata Jenna, sambil meletakkan dagu di tangannya. "Tapi tetap saja.
Archer itu pintar dan kocak sebagai tambahan ganteng. Elodie itu bodoh dan
membosankan." "Dan cantik," aku menambahkan. "Bahkan cowok-cowok pintar pun jadi bodoh
kalau melihat cewek cantik."
"Benar," Jenna sepakat.
Aku sudah akan menyinggung soal Holly lagi ketika suara Casnoff melayang
masuk menembus ruangan, hampir terdengar seperti berasal dari sistem pengeras
suara. Kurasa itu semacam mantra pembesaran suara.
"Anak-anak, mengingat jadwal padat besok, kalian diharapkan untuk segera
beristirahat malam ini. Lampu akan dipadamkan sepuluh menit lagi."
Aku melirik arlojiku. "Ini baru pukul delapan," kataku dengan tak percaya. "Dia
ingin kita tidur tepat pukul delapan?"
Sambil mendesah, Jenna menghampiri lemarinya dan mengeluarkan piyama.
"Selamat datang di kehidupan Hecate, Sophie."
Ada kerusuhan kacau-balau menuju kamar mandi untuk menggosok gigi, tetapi
semuanya shapeshifter dan penyihir. Kurasa peri punya gigi bersih secara alami.
Begitu aku kembali dari kerusuhan itu, aku hanya punya waktu tiga menit untuk
memakai piyama dan terjun ke tempat tidur. Tepat pukul 8:10, lampu-lampu pun
padam. Otakku berputar-putar, dan tidak tahu bagaimana aku bisa tertidur.
"Tidakkah aneh untukmu," tanyaku kepada Jenna. "Pergi tidur di malam hari"
Maksudku, bukankah vampir seharusnya tidur sepanjang hari?"
"Ya," jawabnya. "Tapi selama aku di sini, aku harus mengikuti jadwal Hecate.
Pasti akan menyebalkan begitu aku boleh pergi."
Aku tidak bertanya kapan dia boleh pergi. Orang-orang lain diluluskan dari
Hecate pada umur delapan belas tahun, tetapi kami semua kan menua seperti manusia.
Jenna akan selalu berusia lima belas.
Aku berbaring di tempat tidur dan mencoba untuk membayangkan pikiran-pikiran
yang membuat mengantuk. Rasanya seperti aku baru saja menutup mataku ketika
aku mendengar pintu berderit terbuka.
Dengan panik, aku terduduk, jantungku berdebar-debar. Jam di samping tempat
tidurku menunjukkan saat itu beberapa menit setelah tengah malam.
Sesosok tubuh menyelinap ke dalam kamar.
Aku terkesiap. "Tenang saja," gumam Jenna dari tempat tidurnya. "Itu mungkin cuma hantu.
Kadang-kadang mereka suka begitu."
Kemudian ada suara korek api dinyalakan, dan ada kolam cahaya kecil menerangi
sosok tersebut. Elodie. Dia memakai piyama sutra berwarna ungu, sebatang lilin hitam menyala di
tangannya. Dua lilin lagi menyala, dan aku melihat Chaston dan Anna, juga


Hex Hall Karya Rachel Hawkins di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berpakaian piyama, berdiri di belakang Elodie.
"Sophia Mercer," kata Elodie. "Kami datang untuk memasukkanmu ke dalam
persaudarian kami. Ucapkanlah keempat kata itu untuk memulai ritual."
Aku berkedip kepadanya. "Apakah kau sedang bercanda?"
Anna mendesah dengan putus asa. "Tidak, keempat katanya adalah, 'Aku
menerima tawaranmu, saudari'."
Aku menyingkirkan rambut dari wajahku dan berkata, "Sudah kubilang tadi, aku
tidak yakin apakah aku ingin bergabung dengan kelompokmu. Aku tidak akan
mengatakan apa-apa untuk memulai ritual mana pun."
"Mengucapkan keempat kata itu tidak berarti kau bergabung secara otomatis," kata
Chaston, sambil melangkah maju. "Itu artinya hanya ritual penerimaan bisa
dimulai. Kau bisa mundur kapan saja."
"Oh, pergilah bersama mereka," kata Jenna.
Aku bisa melihatnya diterangi cahaya lilin, sedang duduk di atas tempat tidur,
mata hitamnya waspada. "Mereka tidak akan berhenti mengganggumu sampai kau
mendengarkan mereka."
Mulut Elodie mengencang, tetapi dia tidak mengatakan apa-apa.
"Baiklah," kataku, sambil menyingkapkan selimut dan berdiri. "Aku... aku
menerima tawaranmu, saudari."
Bab 9 MEREKA BERTIGA MENDAHULUIKU ke kamar Elodie dan Anna.
"Bagaimana kalian sampai bisa sekamar?" bisikku. "Kukira Hecate
menggembargemborkan belajar untuk hidup dengan Prodigium lainnya."
Elodie sedang mencari-cari sesuatu di mejanya dan tidak menunjukkan tanda-tanda
mendengarkan aku, jadi Chaston menjawab, "Terkadang penyihir harus
berpasangan karena jumlah kita selalu lebih banyak daripada peri atau
shapeshifter." "Kenapa begitu?" tanyaku.
Anna menjawabku sambil menyalakan lebih banyak lagi lilin, menyirami kamar
dengan pendaran lembut. "Peri dan shifter tidak berusaha bepergian di dunia
manusia seperti penyihir. Lebih sedikit peluang mereka untuk dikirim ke tempat
ini." Elodie sudah menemukan sepotong kapur di mejanya dan sibuk menggambar
pentagram besar di lantai kayu keras. Begitu selesai, dia menggambar lingkaran
di sekelilingnya. "Biasanya kami melakukan ritual ini di luar, lebih disukai di antara lingkaran
pohon-pohon," katanya, sambil duduk di kepala pentagram. Chaston dan Anna
duduk di kedua sisinya, jadi aku duduk di seberangnya. "Tapi, kita tidak
diizinkan masuk ke hutan. Mrs. Casnoff, pokoknya, sangat ketat terhadap hal itu."
Kami berempat duduk di sekeliling pentagram sambil berpegangan tangan. Aku
bertanya-tanya apakah kami akan menyanyikan "Kumbaya".
"Sophie, sihir apa yang pertama kali kau lahirkan ke alam semesta?" tanya
Elodie. "Apa?" "Mantra pertama yang pernah kau rapalkan," kata Chaston, sambil
mencondongkan tubuhnya ke depan, rambut pirangnya tergerai di pundaknya.
"Mantra pertama itu merupakan hal yang sakral untuk seorang penyihir. Sewaktu
aku berumur dua belas tahun, aku menciptakan badai yang berlangsung selama tiga
hari. Dan Anna membekukan waktu selama... berapa lama?"
"Sepuluh jam," jawab Anna.
Aku memandang ke seberang lingkaran ke arah Elodie. Cahaya lilin berkelip-kelip
di matanya. "Bagaimana denganmu?" tanyaku.
"Aku mengubah siang menjadi malam."
"Oh." "Apa mantramu, Sophie?" tanya Chaston dengan penuh rasa ingin tahu.
Tadinya aku ingin berbohong. Aku bisa mengatakan bahwa aku menyihir
seseorang menjadi batu, atau apalah. Tapi, mungkin kalau mereka tahu betapa
payahnya aku sebagai penyihir, mungkin mereka akan mundur dari urusan
kelompok ini. "Aku mengubah rambutku menjadi ungu."
Aku mendapat tiga tatapan seragam.
"Ungu?" tanya Anna.
"Bukan dengan sengaja, sih," kataku. "Aku mencoba untuk meluruskannya secara
permanen, tetapi kurasa aku melakukan kesalahan karena sebagai gantinya
rambutku jadi ungu. Tapi, hanya selama tiga minggu. Jadi... yah, itulah sihir
pertama yang pernah kulakukan."
Mereka terdiam. Anna dan Chaston saling bertukar pandang melintasi lingkaran.
"Mungkin sebaiknya aku pergi," kataku.
"Jangan!" kata Chaston, sambil meremas tanganku.
"Ya, jangan pergi," tambah Anna. "Jadi, sihir pertamamu memang... yah, agak
bodoh. Kau merapalkan mantra yang lebih besar setelah itu, bukan?" Dia
mengangguk kepadaku untuk membesarkan hatiku.
"Mantra apa yang mengakibatkanmu masuk ke sini?" tanya Elodie. Dia duduk
dengan sangat diam, matanya berkilauan. "Pasti itu penting."
Aku membalas tatapannya dari seberang lingkaran. "Aku merapalkan mantra
cinta." Anna dan Chaston menghela napas serempak dan menjatuhkan tanganku.
"Mantra cinta?" Elodie meringis.
"Bagaimana dengan kalian?" Aku memandang berkeliling lingkaran itu kepada
mereka bertiga. "Apa yang kalian lakukan sampai dikirim ke Hecate?"
Anna yang pertama bicara. "Aku mengubah seorang anak lelaki di kelas Bahasa
Inggris-ku menjadi tikus got."
Chaston mengedikkan bahunya. "Sudah kubilang. Aku membuat badai selama tiga
hari." Elodie melirik ke arah lantai untuk sedetik. Aku tidak yakin, tetapi aku mengira
dia menarik napas panjang. Ketika mendongakkan kepalanya, dia tampak kalem.
Bahkan santai. "Aku membuat seorang gadis menghilang."
Aku menelan ludah. "Untuk berapa lama?"
"Selamanya." Sekarang aku yang menarik napas dalam-dalam. "Jadi, kalian bertiga melakukan
mantra yang menyakiti orang lain."
"Tidak," jawab Anna. "Kami melakukan mantra-mantra kuat yang cocok untuk
kaum kita. Manusia cuma... menghalangi saja."
Hanya itulah yang ingin kudengar. Aku bangkit. "Baiklah, yah, terima kasih atas
tawarannya, tapi... ya. Kurasa ini tidak akan berhasil."
Chaston mengulurkan tangan dan mencengkeram tanganku lagi. "Tidak, jangan
pergi," katanya. Matanya lebar dan berbinar-binar diterpa cahaya lilin.
"Oh, biarkan saja," kata Elodie dengan suara jijik. "Toh sudah jelas dia pikir
dirinya lebih baik daripada kita."
"Begini, aku tidak mengatakan begitu - "
"Tapi kita perlu orang keempat," Chaston menimpali.
"Tidak kalau yang keempat itu hanya membebani saja," bentak Elodie.
"Dia satu-satunya penyihir hitam di sini. Kita butuh dia," kata Anna dengan
suara rendah. "Tanpa empat orang, kita tidak akan cukup kuat untuk menahannya."
"Menahan apa?" tanyaku, tetapi pada saat yang bersamaan, Elodie mendesis,
"Diam, Anna." "Toh tidak berhasil," kata Chaston dengan muram.
"Benar, nih, apakah kalian ngomong pakai kode atau apa?" tanyaku.
"Tidak," kata Elodie, sambil bangkit berdiri. "Mereka bicara tentang hal-hal
yang berhubungan dengan kelompok. Hal-hal yang bukan urusanmu."
Kurasa belum pernah ada orang yang menatapku dengan semarah itu. Aku agak
tidak mengerti jadinya. Maksudku, tentu saja aku menolak undangan untuk
bergabung dengan kelompok mereka, tapi itu kan tidak seperti aku meludahi wajah
mereka atau apalah. "Maaf kalau aku melukai perasaan kalian," kataku, "Tapi... eh, bukan karena
kalian, melainkan aku?"
Oh, itu benar-benar payah, Sophie.
Anna dan Chaston sekarang sudah berdiri. Anna merengut kepadaku, tetapi
Chaston masih kelihatan khawatir.
"Kau juga butuh kami, Sophie," kata Chaston. "Tidak akan mudah bagimu tanpa
saudari-saudari yang bisa melindungimu."
"Melindungiku dari apa?"
"Apakah sejujurnya kau berpikir bahwa orang-orang di sini akan menerimamu
dengan tangan terbuka?" tanya Elodie. "Antara teman sekamarmu yang lintah itu
dan ayahmu, kau sedang menuju tempat pembuangan tanpa kami."
Perutku melesak. "Ada apa dengan ayahku?"
Mereka bertiga saling berpandangan.
"Dia tidak tahu," gumam Elodie.
"Tahu apa?" Chaston membuka mulutnya untuk menjawab, tetapi Elodie menghentikannya.
"Biarkan dia mencari tahu sendiri." Dia membuka pintu. "Semoga beruntung
bertahan di Hecate, Sophie. Kau akan membutuhkannya."
Kalau itu bukan semacam pengusiran, aku tidak tahu apa itu.
Aku begitu sibuk memikirkan tentang ayahku sehingga aku langsung melangkahi
bagian tengah lingkaran, sambil menendang lilin ke atasnya. Aku mendesis saat
lilin panas tumpah di kakiku yang telanjang. Aku berani sumpah bisa mendengar
Anna cekikikan. Aku terpincang-pincang menghampiri pintu. Sebelum pergi, aku berputar
menghadap Elodie. Dia sedang memperhatikan aku bagaikan batu.
"Maaf," kataku lagi. "Aku tidak menyadari menolak sebuah kelompok itu begitu
berarti." Selama sedetik kupikir dia akan menjawab.
Kemudian dia merendahkan suaranya dan berkata, "Aku menghabiskan bertahuntahun
di dunia manusia dengan dipandang sebagai monster. Tak seorang pun yang
boleh menatapku seperti itu lagi." Mata hijaunya yang keras menyipit. "Sudah
pasti tidak dari penyihir pecundang seperti kau."
Setelah itu, dia membanting pintu di depan wajahku.
Aku berdiri di lorong, sangat menyadari suara napasku sendiri. Apakah aku
menatapnya seperti dia seorang monster" Aku memikirkan bagaimana perasaanku
ketika dia mengatakan bahwa dia pernah membuat seorang gadis malang
menghilang. Ya, mungkin aku menatapnya seperti itu.
"Baiklah, sudah CUKUP!" seseorang berteriak.
Sebuah pintu terbanting terbuka di seberang lorong, dan Taylor keluar dari
kamarnya sambil menghentak-hentakkan kakinya. Dia sedang memakai kaus
gombroh, dan rambutnya berantakan di sekitar wajahnya. Sekali lagi mulutnya
penuh dengan taring. "KELUAR!" jeritnya, sambil menunjuk ke lorong. Dari pintu yang terbuka aku
bisa melihat Nausicaa dan Siobhan, bersama dengan para peri lainnya, yang sedang
duduk bersila di atas lantai. Cahaya hijau berpendar dari tengah-tengah
lingkaran, tapi aku tidak bisa melihat apa itu.
Kelompok itu pun berdiri.
"Kau tidak bisa menghalangiku dari menjalankan ritual kaumku," kata Nausicaa.
Taylor menyibakkan rambut dari wajahnya. "Tidak, tapi aku bisa mengatakan
kepada Casnoff bahwa kalian mencoba untuk berkomunikasi dengan Istana Seelie
dengan benda mirip cermin itu."
Nausicaa merengut dan membungkuk untuk memungut lingkaran berpendar yang
terbuat dari kaca hijau. "Ini bukan 'benda cermin'. Ini kolam embun yang
dikumpulkan dari bunga-bunga yang mekar di malam hari yang ditemukan di bukit
tertinggi di - " "MASA BODOH," teriak Taylor. "Aku harus berada di kelas Klasifikasi
Shapeshifter pukul delapan pagi, dan aku tidak bisa tidur dengan benda cermin
bodoh kalian itu yang menyinari wajahku."
Siobhan merapatkan diri, rambut birunya menutupi wajahnya, dan membisikkan
sesuatu di telinga Nausicaa.
Sambil mengangguk, Nausicaa memberikan isyarat kepada para peri lainnya.
"Mari. Kita bisa meneruskan ini di suatu tempat yang tidak terlalu... primitif."
Taylor memutarkan matanya.
Peri-peri itu melayang melewatiku. Siobhan melemparkan pandangan menghina
kepadaku, lalu mereka berubah menjadi lingkaran cahaya, kira-kira seukuran bola
tenis, dan melayang menyusuri lorong.
"Sana pergi kalian," kata Taylor dengan suara pelan sebelum berpaling kepadaku
dengan senyuman cerah. Gigi-gigi taringnya sudah hampir tidak kelihatan
sekarang, tetapi matanya masih keemasan. "Hai lagi."
"Hai," kataku dengan lemah, sambil melambaikan tangan.
"Jadi, sedang apa kau masih bangun dan berkeliaran begini?"
Aku menganggukkan kepala ke arah pintu Elodie. "Cuma, kau tahu, kan,
bersosialisasi. Tidakkah kau seharusnya di luar, berlari di hutan atau...apalah?"
Taylor tampak kebingungan. "Tidak, itu hanya werewolf."
"Ada bedanya, ya?"
Keramahan lenyap dari wajahnya. "
Ya," tukasnya. "Aku ini shifter. Itu artinya, aku bisa menjadi binatang betulan.
Werewolf itu di antara binatang dan manusia." Dia bergidik. "Dasar makhluk
aneh." "Jangan dengarkan dia," sebuah suara menggeram di belakangku.
Werewolf itu lebih besar daripada Justin, dan bulunya kemerahan alih-alih
keemasan. Dia berdiri di ujung lorong seberang, di dekat tangga.
"Shifter cuma iri karena kami jauh lebih kuat daripada mereka," dia melanjutkan,
sambil bersandar ke dinding. Sikapnya sungguh manusiawi, dan itu membuatnya
kelihatan lebih menakutkan.
Aku menelan ludah dan kembali mundur ke arah pintu Elodie. Taylor tidak tampak
ketakutan, hanya jengkel. "Silakan ngomong saja sendiri, Beth."
Kepadaku dia mengatakan, "Sampai besok, Sophie."
"Sampai besok."
Siwerewolf itu tetap berdiri di ujung lorong, lidahnya terjulur keluar dan
matanya terang. Aku harus melewatinya untuk kembali ke kamarku.
Aku berusaha untuk menjaga agar wajahku tanpa emosi saat berjalan ke arahnya.
Kakiku masih nyeri karena lilin, tetapi aku sudah tidak terpincang-pincang.
Ketika aku berada di dekat werewolf itu, dia membuatku terperanjat dengan
menjulurkan satu tangan besarnya, di ujungnya ada cakar yang tampaknya
mematikan. Untuk sedetik, kupikir dia sedang berusaha untuk mencabik-cabikku.
Tapi kemudian dia berkata, "Aku Beth," dan aku baru sadar bahwa aku seharusnya
menjabat kakinya. Aku menjabatnya, dengan canggung. "Sophie."
Dia tersenyum. Kelihatannya menakutkan, tetapi itu bukan salah Beth.
"Apa kabar," katanya, suaranya medok.
Baiklah, ini tidak terlalu buruk. Aku bisa menghadapinya. Jadi, dia pernah
melahap seseorang. Kelihatannya dia tidak ingin -
Beth membenamkan moncongnya ke rambutku dan menarik napas panjang yang
bikin gemetar. Air liur hangat menetes-netes dari moncong terbukanya ke pundakku yang tak
tertutup piyama. Aku memaksakan diri untuk berdiri dengan sangat tenang, dan setelah beberapa
saat, dia melepaskan aku.
Sambil menggerakkan pundaknya dengan malu, dia berkata, "Maaf. Kebiasaan
werewolf." "Hei, tidak masalah," kataku, walaupun yang bisa kupikirkan hanyalah... air liur!
Air liur werewolf! Di kulitku!
"Sampai nanti!" katanya kepadaku seraya aku bergegas melewatinya.
"Ya, pasti!" kataku sambil menengok ke belakang.
Sewaktu mencapai kamarku, aku melesat ke mejaku dan menarik segumpal tisu.
"Uh, uh, uh!" Aku mengerang, sambil menggosok-gosok pundakku. Begitu aku
sudah bebas air liur, aku menyalakan lampuku untuk mencari antiseptik tangan.
Aku teringat Jenna, dan berputar untuk memandangnya di tempat tidurnya. "Oh,
ma - " Jenna sedang duduk di tempat tidurnya, sekantong darah menancap di mulutnya.
Matanya merah terang. "Maaf," aku menyelesaikan kalimatku dengan lemah. "Atas lampu itu."
Jenna menurunkan kantongnya, ada lelehan darah di dagunya. "Camilan tengah
malam. Aku... kukira kau masih lama selesainya," katanya pelan. Warna merah


Hex Hall Karya Rachel Hawkins di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perlahan memudar dari matanya.
"Tidak apa-apa," kataku sambil menghempaskan diri di kursi mejaku. Perutku
berputar, tetapi aku tidak akan membiarkan Jenna mengetahuinya. Aku ingat
katakata Archer: Kau sekarang berada di Hecate.
Dan ya ampun, bukankah malam ini sudah membuktikan itu.
"Percayalah, itu bukan hal paling aneh yang kulihat malam ini."
Jenna mengusap dagunya dengan punggung tangannya, masih belum mau
menatapku. "Jadi, apakah kau bergabung dengan kelompok mereka?"
"Oh, amit-amit, tidak," kataku.
Saat itu dia menatapku, kentara sekali terkejut. "Mengapa tidak?"
Aku menggosok kedua mataku. Aku benar-benar lelah. "Aku tidak suka yang
begitu-begitu." "Mungkin karena kau bukan durjana genit."
"Yah, kurasa kadar kegenitan durjanaku yang tidak seberapa merupakan angka
mati. Setelah itu, aku menyaksikan pertengkaran antara shifter dengan beberapa
peri - Oh, omong-omong, apa sih Seelie itu?"
"Istana Seelie" Itu sekelompok peri yang menggunakan sihir putih."
"Kalau begitu aku tidak mau bertemu dengan yang hitamnya," gumamku.
Jenna mengangguk ke arah tisu di tanganku. "Itu untuk apa?"
"Hah" Oh, ya. Setelah pertengkaran peri itu, seorang werewolf mengendus
rambutku dan meneteskan air liur padaku. Malam ini sungguh luar biasa."
"Dan setelah itu, kau kembali ke kamarmu dan melihat vampir mengudap," kata
Jenna. Nada suaranya enteng, tetapi dia memelintirkan selimut Electric Raspberry
di tangannya. "Tidak usah khawatir tentang itu," kataku. "Hei, kalau werewolf perlu ngiler,
maka vampir juga perlu makan..."
Jenna tertawa sebelum mengambil kantong darah dan dengan malu-malu bertanya,
"Apakah kau keberatan kalau aku..."
Perutku mengejang lagi, tapi aku memaksakan diri untuk tersenyum, "Tancap
saja." Aku menghempaskan diri ke tempat tidurku. "Mereka sangat membenciku."
Jenna berhenti mengisap. "Siapa?"
"Kelompok itu. Kata mereka aku membutuhkan perlindungan mereka dari
kehancuran sosial karena, eh..."
"Karena aku teman sekamarmu?"
Aku duduk. "Ya, itu hanya sebagian saja. Tapi mereka juga mengatakan sesuatu
tentang ayahku." "Hah," kata Jenna sambil berpikir dalam. "Siapa ayahmu?"
Aku kembali berbaring, sambil mendorong bantal ke bawah kepalaku. "Cuma
warlock biasa, setahuku. James Atherton."
"Tidak pernah mendengarnya," kata Jenna. "Tapi aku kan selalu berada di luar
kalangan. Jadi, menurutmu Elodie dan cewek-cewek itu marah kepadamu?"
Aku teringat tatapan Elodie yang keras. "Oh, ya," kataku dengan pelan.
Mendadak Jenna tertawa terbahak-bahak.
"Apa?" Dia menggelengkan kepalanya, segaris poni pink-nya jatuh menutupi sebalah
matanya. "Cuma berpikir. Ya ampun, Sophie, ini baru hari pertamamu dan kau
sudah berteman dengan orang buangan di sekolah ini, membuat jengkel gadisgadis
yang paling ngetop di Hecate, dan naksir berat pada cowok paling ganteng.
Kalau kau berhasil dihukum besok, kau akan menjadi seperti, legenda."
Bab 10 BERDASARKAN DEFINISI JENNA, diperlukan satu setengah minggu bagiku
untuk menjadi legendaris. Minggu pertama berlangsung dengan lancar, mengingat
semua hal. Di antaranya, kelas-kelasnya sangat mudah sekali. Kebanyakan
pelajaran kelihatannya hanya berupa alasan bagi para guru untuk menasihati kami
habis-habisan. Bahkan Lord Byron, yang kelasnya tadinya kutunggu-tunggu,
ternyata hanya berupa festival mendengkur besar-besaran. Kalau dia tidak sedang
memoleskan puisi tentang betapa menakjubkannya dirinya, dia merajuk di
belakang mejanya dan menyuruh kami semua untuk diam - walaupun ada
beberapa hari ketika dia membiarkan kami berjalan-jalan lama sekali di sekitar
kolam untuk "menyatu dengan alam". Itu cukup menyenangkan.
Aku berharap ada pelajaran tentang bagaimana caranya merapal mantra, tetapi
menurut Jenna, kelas-kelas seperti itu hanya diajarkan di sekolah Prodigium
"sungguhan", tempat bagus di mana para Prodigium sakti mengirimkan anak-anak
mereka. Karena Hecate secara teknis sekolah pemasyarakatan, kami terperangkap
di dalam pelajaran tentang perburuan penyihir pada masa abad keenam belas dan
hal-hal seperti itu. Payah.
Satu-satunya sisi baiknya adalah Jenna berada di hampir semua kelasku.
"Mereka tidak punya kelas khusus untuk vampir," dia menjelaskan. "Jadi, tahun
lalu mereka cuma memberikan jadwal pelajaran yang sama dengan Holly. Kurasa
mereka memutuskan untuk melakukan hal yang sama tahun ini."
Satu-satunya pelajaran Jenna yang tidak sama denganku adalah olahraga, atau di
Hecate mereka menyebutnya "Pertahanan". Pelajaran itu ada di jadwalku setiap
dua minggu sekali, jadi aku sedang berada di pertengahan minggu keduaku di
Hecate saat aku mengikutinya.
"Mengapa hanya ada dua minggu sekali?" tanyaku kepada Jenna pagi itu. "Semua
kelas kita bertemu setiap hari."
Aku sedang memakai baju biru Hecate yang benar-benar norak.
Seragam olahraga, yang terdiri dari celana pendek katun biru dan T-shirt yang
terlalu-ketat-untuk-disebut-nyaman dengan lambang "HH" tercetak dengan aksara
putih melingkar-lingkar tepat di atas dada kiriku.
"Karena," jawab Jenna, "kalau kau mendapatkan pelajaran Pertahanan setiap hari,
atau bahkan setiap minggu, kau akan terkapar di rumah sakit."
Jadi, aku tidak terlalu merasa percaya diri saat berjalan menuju rumah kaca yang
mereka sulap menjadi sasana olahraga.
Tempat itu mungkin hampir setengah kilometer dari rumah utama, tetapi baru saja
menempuh perjalanan sejauh sekitar seratus meter, aku sudah bersimbah peluh.
Aku tidak bodoh, aku tahu bahwa Georgia berhawa panas, dan aku pernah tinggal
di beberapa daerah berhawa panas sebelumnya. Tetapi di tempat-tempat seperti
itu, seperti Arizona dan Texas, panasnya tidak seperti ini, jenis hawa panas yang
tampaknya mengisap seluruh semangat hidup dari diriku. Yang ini basah jenis
tertentu yang membuatmu merasa seperti embun pastilah tumbuh di kulitmu.
"Sophie!" Aku berbalik dan melihat Chaston, Anna, dan Elodie sedang berjalan ke arahku.
Mereka tampak mengagumkan memakai seragam olahraga jelek ini. Sialan.
Walau begitu - sewaktu mereka mendekat - kulihat mereka juga berkeringat, yang
membuatku merasa lebih baik. Mereka bertiga berada di beberapa kelas yang sama
denganku, tetapi mereka belum pernah mengajakku bicara sejak malam pertama
itu. Aku bertanya-tanya mau apa mereka sekarang.
"Hei," kataku dengan santai, saat mereka beriringan denganku. "Ada apa
sekarang" Datang untuk memperingatkan aku tentang kematianku yang tak lama
lagi di tangan kelinci empuk" Atau menembakkan petir kepadaku?"
Chaston tertawa, dan yang membuatku kaget setengah mati, menggandengkan
tangannya kepadaku. "Begini, Sophie, kami sudah bicara, dan kami menyesal
tentang kejadian malam itu. Jadi, kau memang tidak mau bergabung dengan
kelompok kami. Tidak masalah!"
"Ya," tambah Anna, sambil menghampiri dari sisi satunya. "Reaksi kami terlalu
berlebihan." "Begitu?" kataku.
"Kami sedang mencoba meminta maaf," tambah Elodie, sambil berjalan mundur di
depan kami. Aku benar-benar berharap dia menabrak pohon. "Aku bicara dengan
Archer, dan menurutnya kau oke."
"Benarkah?" tanyaku sebelum aku bisa menghentikan diriku.
Bagus sekali, Sophie, pikirku. Cara yang bagus untuk jadi keren.
"Ya, dan dia bilang kau tidak tahu apa-apa tentang Prodigium. Katanya itu agak
menyedihkan, sebenarnya."
Aku mencoba untuk tersenyum, tetapi ada sesuatu yang gelap dan tajam melintir di
perutku yang membuatnya jadi sedikit sulit. "Hah."
"Ya," kata Chaston. "Dan setelah itu kami pikir kami membuatmu ketakutan."
"Boleh dibilang begitu." Aku bisa melihat rumah kaca sekarang. Bangunan itu
terbuat dari kayu putih dan kaca, dengan jendela-jendela yang memantulkan sinar
matahari pagi dan bercahaya dengan begitu cemerlangnya sehingga mataku sakit
dibuatnya. Tidak seperti bangunan Hecate lainnya, rumah kaca itu sangat ceria.
Ada beberapa murid yang bertebaran, kelihatannya seperti blueberry.
"Dan kami menyesal," tambah Anna. Aku ingin tahu apakah mereka sudah berlatih
bicara secara tiga arah seperti yang sedang mereka lakukan ini. Aku
membayangkan mereka duduk membentuk lingkaran di kamar asrama mereka,
sambil menyisir rambut mereka dan berkata, "Baiklah, jadi aku akan mengatakan
kita merasa menyesal, setelah itu kau bilang bahwa pacarmu yang ganteng itu
bilang dia menyedihkan."
"Jadi, kita bisa mulai dari awal lagi?" tanya Chaston. "Teman?"
Mereka semua tersenyum penuh harapan kepadaku, termasuk Elodie. Aku
seharusnya tahu saat itu juga bahwa ini tidak mungkin berakhir dengan baik, tapi
dengan bodohnya aku balas tersenyum dan berkata, "Ya. Teman."
"Bagus!" Chaston dan Anna memekik berbarengan. Elodie semacam
menggumamkannya sedetik kemudian.
"Baiklah," kata Chaston seraya kami mendekati rumah kaca. "Jadi sebagai teman,
menurut kami sudah sepantasnya kami memberikan perkenalan terhadap pelajaran
Pertahanan." "Si Vandy yang mengajar, dan dia menyebalkan," kata Elodie.
"Benar, wanita berkaret rambut."
Mata berputar bersamaan. Apakah ketiga gadis ini atlet perenang indah di waktu
luang mereka" "Ya," Anna mendesah. "Karet rambut konyol itu."
"Jen... eh, aku mendengar seseorang mengatakan itu portal portabel menuju
neraka miliknya." Mereka bertiga tertawa mendengarnya. "Maunya begitu," Anna mendengus.
"Si Vandy itu sebenarnya penyihir hitam yang lumayan," Elodie menjelaskan.
"Tapi dia terlalu sombong, begitu kata mereka di sini. Dia dulu bekerja di
Dewan. Mencoba untuk bermain-main menjalankan Hecate, dan... yah, ceritanya panjang.
Tapi berakhir dengan dia dikirim ke Dewan untuk Pemunahan."
"Dan," tambah Anna dengan bisikan bersekongkol, "sebagian dari hukumannya
yaitu dia harus kembali ke Hecate tetapi tidak sebagai kepala sekolah. Hanya
guru biasa. Dia seharusnya menjadi contoh bagi yang lainnya. Itulah alasannya mengapa
dia begitu kejam." "Dia pasti akan melampiaskannya kepadamu karena kau anak baru," kata Chaston.
"Tapi," Elodie memotong, "dia benar-benar lembek. Jadi kalau kau bermasalah,
puji saja tatonya." "Tato?" tanyaku. Dilihat dari dekat, rumah kaca itu lebih besar daripada
sangkaanku. Apa yang mereka semai di sini" Redwood"
"Dia punya banyak tato cantik-cantik berwarna ungu di lengannya. Semacam
lambang sihir atau sebangsanya, seperti rune atau apalah," lanjut Elodie. "Dia
benar-benar bangga terhadap tato-tato itu. Katakan saja kau menyukainya, dan kau
pasti akan selamat seumur hidup dari si Vandy."
Kami berjalan melewati pintu depan rumah kaca, lengan Chaston masih melingkari
lenganku. Ruangan itu besar, dan terasa lebih besar lagi karena hanya ada
sekitar lima puluh orang di dalamnya. Pertahanan tidak dibagi berdasarkan umur entah
karena alasan apa, jadi aku melihat anak-anak berumur dua belas tahun yang
kelihatan sangat ketakutan. Di sana terang benderang, tentu saja, tetapi tidak
panas. Ada udara sejuk yang mengalir di sekelilingku, jadi kurasa bangunan ini memiliki
mantra yang sama dengan yang di rumah utama.
Dari banyak segi, ruangan itu mirip dengan aula olahraga sekolah menengah:
lantai kayu, matras biru untuk senam, beban. Tapi, mau tak mau aku melihat beberapa
hal yang benar-benar tidak normal.
Seperti beberapa belenggu besi yang disekrup ke dinding. Dan, sebuah tiang
gantungan berukuran besar berdiri di bagian belakang ruangan.
Elodie langsung berlari menghampiri Archer, yang ternyata, tidak sekerempeng
sangkaanku. Seragam anak laki-laki pada dasarnya sama dengan seragam
perempuan, dan T-shirt birunya memeluk dada Archer yang jauh lebih bidang
dibanding yang kubayangkan. Aku mencoba untuk tidak memandangnya, dan aku
sudah pasti mencoba untuk menginjak percikan kecil kecemburuan sedingin es
yang merebak di dalam diriku ketika Archer merundukkan bibirnya ke bibir Elodie
untuk mengecupnya. Seorang gadis jangkung berambut merah melambaikan tangannya kepadaku. "Hai,
Sophie!" Aku balas melambai, sambil bertanya-tanya siapa gerangan... Oh, ya. Rambut
merah. Beth si werewolf. Aku jauh lebih menyukainya ketika dia tidak sedang
meneteskan air liurnya padaku. Dia mengisyaratkan aku untuk berdiri di
sebelahnya, tetapi sebelum aku bisa, suara sengau nyaring terdengar memecahkan
obrolan. "Baiklah, semuanya!"
Si Vandy bergerak menembus kerumunan, memakai seragam yang sama dengan
kami. Aku langsung melihat deretan tatonya. Tato itu berwarna ungu tua yang
bahkan tampak lebih terang di atas kulitnya yang pucat dan lembek.
Karet rambut tak ketinggalan mengikat rambut cokelatnya. Matanya kecil dan
hitam mirip mata babi yang memindai kerumunan, bahkan dari kejauhan pun aku
bisa melihat air muka bersemangat ganjil terpancar dari wajahnya. Seakan-akan,
dia sedang berharap seseorang hendak menantangnya agar dia bisa
menghempaskan mereka bagaikan serangga.
Pendek kata, dia membuatku ketakutan setengah mati.
"Dengar!" salaknya dengan suara yang melengking. Seperti Mrs. Casnoff, dia
berlogat Selatan, tetapi logatnya terdengar lebih kasar dan bukannya lembut dan
mengalun. "Aku yakin guru-guru kalian yang lain akan mengatakan bahwa
pelajaran di kelas-kelas Sejarah Sihir, atau Klasifikasi Vampir, atau, apa,
Perawatan Diri untuk Werewolf" - aku melihat beberapa anak laki-laki, termasuk
Justin, meremang, tetapi si Vandy melanjutkan - "Lebih penting daripada kelas ini.
Tapi coba katakan: seberapa banyak pelajaran-pelajaran itu akan membantu ketika
kau diserang oleh manusia" Atau Brannick" Atau, lebih buruk lagi dari semua itu,
seorang Mata" Kalian pikir buku akan menyelamatkan kalian ketika L'Occhio di
Dio datang memanggil kalian?"
Kurasa kami tidak kelihatan terlalu terkesan, karena wanita itu tampaknya
mengepul dengan marah. Jarinya praktis meretakkan papan jepit di depannya saat
dia menunjuk sesuatu. "Mercer! Sophia!" teriaknya.
Aku mendesiskan kata yang sangat buruk dengan pelan, tapi aku mengacungkan
tanganku. "Eh... Di sini. Aku."
"Majulah!" Aku pun maju. Dia menyentakkan tanganku sampai aku berdiri di sampingnya.
"Nah, Miss Mercer, dikatakan di sini di dalam daftar bahwa ini adalah tahun
pertamamu di Hecate, benar?"
"Ya." "Ya, apa?" "Eh... ya, Ma'am."
"Jadi, rupanya kau melakukan mantra cinta yang membuatmu dikirimkan ke
Hecate. Apakah itu untukmu, atau kau hanya mencoba untuk membuat entah
manusia mana menjadi temanmu, Miss Mercer?"
Aku mendengar cekikikan dari kerumunan, dan aku tahu wajahku merah padam.
Dasar kulit pucat sialan.
Kelihatannya itu pertanyaan retorika, karena si Vandy tidak menunggu jawaban.
Dia berputar dan berlutut di depan sebuah tas kanvas besar. Ketika dia berdiri,
dia sedang memegang pasak kayu.
"Bagaimana kau akan melindungi dirimu dari ini, Miss Mercer?"
"Aku penyihir," kataku secara otomatis, lagi-lagi aku mendengar kerumunan
menggumam dan cekikikan. Aku bertanya-tanya apakah Archer juga tertawa, tapi
aku lalu memutuskan untuk tidak ingin tahu.
"Kau penyihir?" ulang si Vandy. "Jadi, kenapa" Sepotong kayu besar lancip yang
ditancapkan ke jantungmu tidak akan membunuhmu?"
Bodoh, bodoh, bodoh. "Aku, eh, kurasa bisa, ya."
Si Vandy tersenyum, dan itu salah satu senyuman yang sangat meresahkan yang
pernah kulihat. Kentara sekali aku adalah serangga untuk hari ini.
Sambil berputar menjauhiku, dia memandang ke kerumunan sampai melihat


Hex Hall Karya Rachel Hawkins di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seseorang yang membuat matanya menyipit. "Mr. Cross!"
Oh, ya Tuhan, pikirku dengan lemah. Oh, kumohon, kumohon, jangan...
Archer maju ke depan dan berdiri di sebelah si Vandy, sambil melipat lengan di
dadanya. Cahaya matahari yang masuk dari jendela menerpa rambutnya, yang
ternyata bukan hitam, tetapi cokelat tua yang sama dengan warna matanya.
Kemudian si Vandy berpaling kepadaku dan meletakkan pasak itu di tanganku.
Aku tidak tahu pasak macam apa yang biasanya dipakai oleh pembunuh vampir,
tetapi yang ini rasanya sangat payah. Pasak itu terbuat dari semacam kayu kuning
murahan yang terasa tajam di telapak tanganku. Selain itu, juga terasa tidak
beres di dalam genggamanku, dan aku membiarkannya semacam tergantung di sisiku.
Tetapi, si Vandy mencengkeram sikuku dan mengacungkan lenganku sedemikian
rupa sehingga aku memegangnya seakan-akan aku siap menghunjamkannya ke
dada Archer. Aku mendongak menatap pemuda itu, dan melihat bahwa dia sedang berusaha
keras agar tidak tertawa. Matanya nyaris berkaca-kaca, dan bibirnya
berkedutkedut. Tanganku mengencang memegang pasak itu. Mungkin menghunjamkan ke
jantungnya bukan gagasan buruk.
"Mr. Cross," kata si Vandy, masih sambil tersenyum manis. "Silakan melucuti
Miss Mercer dengan menggunakan Keterampilan Sembilan."
Mendadak, semua kekurangajaran lenyap dari wajah Archer. "Anda pasti
bercanda." "Kalau kau tidak menunjukkannya, aku yang akan melakukannya."
Bab 11 SEDETIK KUPIKIR DIA masih akan menolak, tapi kemudian dia kembali
menatapku dan menggerutu, "Baiklah."
"Bagus sekali!" si Vandy benar-benar bersemangat. "Nah, Miss Mercer, serang
Mr. Cross." Aku menatap guru itu. Bahkan aku belum pernah menggunakan penepuk lalat
sepanjang hidupku, dan perempuan ini mengharapkan aku untuk menghunjamkan
tongkat kayu tajam begitu saja kepada seseorang"
Senyuman si Vandy semakin mengeras. "Kapan saja, sekarang."
Seandainya saja aku bisa mengatakan bahwa aku mendapatkan kemampuan putri
pendekar dari dalam diriku dan dengan mahirnya aku melompat ke arah Archer,
senjata terangkat tinggi-tinggi, gigi menyeringai. Itu pasti keren.
Tapi, aku malah mengangkat pasaknya setinggi pundak dan melangkahkan kaki
dengan terseret-seret dua, mungkin tiga kali maju.
Jari-jari bagaikan penjepit mencengkeram leherku, pasak itu direnggut dari
tanganku, dan rasa nyeri tajam menusuk di bagian atas pahaku saat aku mendarat
di tanah dengan debaman yang membuat aku kehabisan napas.
Dan seolah-olah itu belum cukup buruk, begitu aku mendarat, sesuatu yang keras
dan berat - lututnya, kupikir - menghantamku tepat di tulang dada. Kau tahu,
untuk berjaga-jaga kalau masih ada napas yang tertinggal di dalam paru-paruku.
Ujung pasaknya menggurat kulit sensitif tepat di bawah daguku. Aku mendongak,
mendesis, ke wajah Archer.
Dia langsung bangkit dari aku secepat kilat, tetapi yang bisa kulakukan hanyalah
berguling miring, menarik lutut ke dadaku, dan menunggu sampai oksigen kembali
memasuki tubuhku. "Bagus sekali!" kudengar si Vandy berkata dari suatu tempat di kejauhan. Secara
harfiah aku melihat bintang-bintang, dan setiap napas yang dengan susah payah
kutarik terasa bagaikan sedang menghirup melalui kaca pecah.
Sisi baiknya, kasmaranku terhadap Archer lenyap sama sekali. Selesai sudah.
Begitu seorang anak laki-laki menghantamkan dengkulnya ke tulang rusukmu,
kurasa perasaan romantis apa pun seharusnya secara alami menghilang seperti
hantu. Kemudian aku merasakan dua tangan di bawah lenganku, mengangkatku agar
berdiri. "Maafkan aku," gumam Archer, tapi aku hanya memelototinya. Tenggorokanku
masih terasa tebal serta bengkak, dan aku tidak ingin mencoba untuk
mengeluarkan suara lewat situ.
Apalagi semua kata yang ingin kuucapkan kepadanya.
"Nah," kata si Vandy dengan cerah. "Mr. Cross menunjukkan teknik yang
sempurna di sini, walaupun aku pasti akan diam di dada lawan lebih lama lagi."
Archer menganggukkan kepalanya sedikit kepadaku saat si ibu guru mengatakan
itu, dan aku bertanya-tanya apakah dia sedang mencoba memberitahukan kepadaku
bahwa itulah alasan dia melakukannya; keadaanku akan jauh lebih buruk kalau si
Vandy yang melakukannya. Aku benar-benar tak peduli. Aku masih jengkel.
"Sekarang, Mr. Cross, Keterampilan Empat," kicau si Vandy.
Tetapi, kali ini Archer menggelengkan kepalanya. "Tidak."
"Mr. Cross," kata Vandy dengan tajam, tetapi Archer hanya melemparkan
pasaknya ke kaki wanita itu. Aku menantikan tindakan mencabik-cabik, atau
memukul dengan tongkat, atau setidaknya, menuliskan sesuatu, tetapi sekali lagi,
si Vandy hanya menyunggingkan senyuman tegangnya. Dia memungut pasak dan
memberikannya kepadaku. Aku yakin aku pasti akan muntah. Apakah tidak ada anak baru lain yang bisa dia
siksa" Aku memandang berkeliling dan menangkap beberapa tatapan simpati,
tetapi yang lainnya tampak lega karena bukan mereka yang hendak diremukkan.
"Baiklah. Perhatikan dan pelajarilah, Anak-anak. Keterampilan Empat. Serang aku,
Miss Mercer." Aku hanya tercenung di sana sambil menatap guru itu.
Dia mengatupkan bibirnya dengan kesal, dan kemudian, tanpa aba-aba, tangannya
menjulur untuk menyambarku. Tapi kali ini aku sudah siap, dan marah, dan
kesakitan. Tanpa pikir panjang, aku menarik kakiku dan menendangkannya.
Dengan keras. Aku melihat kakiku yang terlindung oleh sepatu mengenai dadanya seakan-akan
kaki tersebut milik orang lain. Tidak mungkin kaki itu punyaku. Aku belum pernah
menendang siapa pun sepanjang hidupku, aku sudah pasti tidak akan menendang
seorang guru. Tapi, aku baru saja melakukannya. Aku menendang si Vandy di dadanya, dan dia
pun terkapar di atas matras biru, tidak jauh dari tempatku terkapar sebelumnya.
Aku mendengar murid-murid lain terkesiap serempak. Maksudku, sungguh. Napas
kelimapuluh murid itu tampaknya tersentak secara bersamaan.
Tepat pada saat itulah kemudian keseriusan dari apa yang kulakukan tercerna
olehku. Aku berlutut dan mengulurkan tanganku. "Oh, ya Tuhan! Aku... aku tidak
bermaksud..." Wanita itu menepis tanganku dan bangkit berdiri, lubang hidungnya kembangkempis.
Aku amat, sangat kacau. "Miss Mercer," katanya, sambil bernapas dengan berat, membuat aku teringat akan
seekor banteng. "Apakah ada alasan apa saja bagiku agar tidak menjatuhkan
hukuman selama sebulan?"
Mulutku bergerak, tetapi tidak ada yang keluar.
Kemudian, bagaikan wahyu, aku teringat saran Elodie. "Aku suka tato Anda!"
semburku. Aku baru saja menyangka seisi kelas terkesiap sebelumnya. Sekarang suara yang
mereka keluarkan seperti udara yang keluar dari balon.
Si Vandy memiringkan kepalanya dan menatapku dengan mata kecilnya yang
disipitkan."Kau apa?"
"Aku...aku suka tato Anda. Tinta Anda. Eh, tato Anda. Itu benar-benar keren."
Aku belum pernah melihat seseorang yang mengalami pembengkakan pembuluh
nadi sebelumnya, tetapi aku khawatir itulah persisnya apa yang hendak dialami
oleh si Vandy. Dengan panik, aku memandang ke kerumunan murid sampai aku
bertemu dengan tatapan Elodie. Dia nyengir, dan aku menyadari aku baru saja
melakukan kesalahan yang mengerikan.
"Kuharap kau tidak sedang merencanakan untuk punya waktu luang di sini di
Hecate, Miss Mercer," Vandy menyeringai. "Hukuman. Tugas ruang bawah tanah.
Sampai akhir semester."
Semester ini" Aku menggelengkan kepala. Siapa yang pernah mendengar hukuman
yang berlangsung selama delapan belas minggu" Ini gila! Dan tugas ruang bawah
tanah" Apa pula itu"
"Oh, ayolah," aku mendengar seseorang berkata, lalu aku mendongak dan melihat
Archer membelalakkan matanya kepada si Vandy. "Dia tidak tahu! Dia tidak
dibesarkan seperti kita."
Si Vandy menyingkirkan sejumput rambut dari keningnya. "Benarkah, Mr. Cross"
Jadi, menurutmu hukuman Miss Mercer itu tidak adil?"
Archer tidak menjawab, tetapi si Vandy mengangguk seakan-akan pemuda itu
menjawabnya. "Baiklah. Kalau begitu, tanggung bersama."
Elodie memekik, dan aku merasa puas mendengarnya.
"Sekarang, kalian berdua menyingkirlah dari ruang olahragaku dan melapor
kepada Mrs. Casnoff," kata si Vandy, sambil menggosok-gosok dadanya.
Archer sudah keluar dari pintu nyaris sebelum kata-kata itu meluncur dari mulut
si Vandy, tetapi aku masih merasa sedikit tercenung, belum lagi kesakitan. Aku
terpincang-pincang ke arah pintu keluar, tak menggubris tatapan Elodie dan
Chaston. *** Archer sudah jauh di depanku dan berjalan dengan begitu cepat sehingga aku
hampir tidak bisa menyusulnya.
"Kau suka 'tinta'nya?" Dia menggeram ketika akhirnya aku berhasil berada di
sampingnya. "Seolah-olah dia tidak punya cukup alasan untuk membencimu."
"Maaf, apakah kau marah kepadaku" Aku" Tulang punggungkulah yang praktis
kau hancurkan, Bung, jadi tolong periksa sikapmu, ya."
Archer berhenti dengan begitu mendadak sehingga aku benar-benar berjalan tiga
langkah melewatinya dan harus berputar.
"Kalau si Vandy yang melakukan manuver itu, kau akan berada di bangsal
kesehatan sekarang juga. Maaf karena telah mencoba menyelamatkan bokongmu.
Lagi." "Dan aku tidak memerlukan orang lain untuk menyelamatkan bokongku," aku
balas membentak, wajahku panas.
"Begitu," katanya sebelum berjalan ke arah rumah. Tetapi kemudian, sesuatu yang
dikatakannya membuatku terpana.
"Apa maksudmu dia punya cukup alasan untuk membenciku?"
Archer jelas-jelas tidak bermaksud untuk berhenti berjalan, jadi aku harus
berlarilari kecil untuk mengejarnya.
"Ayahmulah yang memberikan tato itu."
Aku menyambar sikunya, jari-jariku meleset di atas kulitnya yang licin. "Tunggu.
Apa?" "Tanda-tanda itu artinya dia sudah menjalani Pemunahan. Itu adalah lambang
kesalahannya, bukan kebanggannya. Mengapa kau..."
Kata-katanya menghilang, mungkin karena aku memelototinya.
"Elodie," gerutunya.
"Ya," aku balas mengumpat. "Pacarmu dan teman-temannya benar-benar
membantu memberitahukan tentang si Vandy kepadaku pagi ini."
Archer menghela napas dan menggosok pangkal lehernya, yang berdampak
menarik T-shirt-nya jadi semakin ketat membalut dadanya. Bukannya aku peduli.
"Begini, Elodie... dia - "
"Jadi tidak usah peduli," kataku, sambil mengacungkan tangan. "Nah, apa
maksudmu sewaktu kau bilang ayahku yang memberikan tato itu kepadanya?"
Archer menatapku dengan pandangan tak percaya. "Wow."
"Apa?" "Kau benar-benar tidak tahu?"
Aku tidak pernah bisa benar-benar merasakan tekanan darahku meningkat
sebelumnya, tetapi saat ini bisa. Rasanya seperti aku merasakan sihir yang
pernah kurasakan, hanya dengan lebih banyak kemurkaan yang dikucurkan ke dalamnya.
"Tidak. Tahu. Apa?" Akhirnya aku berhasil mengatakannya.
"Ayahmu adalah ketua Dewan. Seperti, orang yang mengirimkan kita semua ke
sini." Bab 12 SETELAH INFORMASI KECIL itu, aku melakukan sesuatu yang belum pernah
kulakukan sebelumnya seumur hidupku.
Aku mengalami keruntuhan ratu drama habis-habisan.
Maksudku, tangisku meledak. Dan bukan air mata cantik yang tragis serta anggun.
Tidak, aku mengalami ledakan tangis berantakan yang melibatkan wajah merah
padam dan ingus. Biasanya aku bertekad untuk tidak menangis di hadapan orang-orang, apalagi
cowok keren yang kutaksir sebelum mereka mencoba mencekikku.
Tetapi entah mengapa, mendengar bahwa ada hal lain yang tidak kuketahui
membuatku langsung tercemplung.
Untungnya Archer tidak kelihatan ngeri mendengar isak tangisku, bahkan dia
mengulurkan tangannya seperti hendak memegang pundakku. Atau mungkin akan
menamparku. Tetapi sebelum dia bisa menghiburku atau melakukan tindakan kekerasan lain
terhadap diriku, aku berputar menjauhinya dan melengkapi momen ratu drama
dengan melarikan diri. Sama sekali tidak anggun.
Tapi, aku sampai pada titik di mana aku sama sekali tak peduli. Aku hanya
berlari, dadaku membara, leherku nyeri akibat kombinasi cengkeraman cekikan Archer
dan air mata. Kakiku menjejak di rumput tebal dengan hentakan tumpul, dan yang bisa
kupikirkan hanyalah betapa aku ini idiot murni.
Tidak tahu apa-apa tentang mantra penangkis.
Tidak tahu apa-apa tentang tato.
Tidak tahu apa-apa tentang Mata Italia yang besar, bodoh, dan jahat.
Tidak tahu apa-apa tentang Dad.
Sama sekali tidak tahu apa-apa tentang bagaimana cara menjadi penyihir.
Tidak tahu, tidak tahu, tidak tahu.
Aku tidak yakin berapa jauh tepatnya aku berlari, tetapi pada saat aku sampai di
kolam di belakang sekolah, tungkaiku gemetaran dan pinggangku nyeri. Aku harus
duduk. Untungnya, ada bangku batu kecil tepat di tepi air. Aku begitu kehabisan
napas akibat berlari dan menangis, sehingga aku benar-benar tidak melihat lumut
yang merayapi bangku itu dan menghempaskan diri. Bangkunya panas karena
terkena sinar matahari, dan aku sedikit berjengit.
Aku duduk di sana, siku di lututku dan kepala di tanganku, mendengarkan suara
napasku dan melihatnya keluar masuk paru-paruku. Keringat mengucur dari
kening ke pinggangku, dan aku mulai merasa sedikit pusing.
Aku begitu... marah. Baiklah, jadi Mom begitu ketakutan karena Dad adalah
seorang warlock. Cukup adil. Tapi, mengapa Mom setidaknya membiarkan aku
bicara dengannya" Pasti menyenangkan untuk bisa sedikit mendapatkan peringatan
tentang si Vandy. Kau tahu kan, hanya kata-kata akrab, "Oh, omong-omong, guru
olahragamu sangat membenciku, dan, oleh karena itu, membencimu juga! Semoga
beruntung!" Aku mengerang dan berbaring di bangku, hanya untuk kembali ke posisi duduk
ketika batu panas itu menyentuh kulit lenganku.
Tanpa benar-benar memikirkannya, aku meletakkan tangan di atas bangku dan
berpikir. Nyaman. Percikan kecil terbang dari jari telunjukku, dan mendadak bangku di bawahku
mulai terentang dan melengkung sampai membentuk dirinya menjadi kursi sofa
beledu empuk indah yang bercorak garis-garis zebra berwarna pink terang. Jelas,
Jenna sudah memengaruhiku.
Aku kembali bersandar di atas tempat peristirahatan baruku yang nyaman, getaran
menyenangkan mendengung merambatiku. Aku belum pernah melakukan sihir
sejak datang ke Hecate, dan aku sudah lupa kalau bahkan mantra sekecil apa pun
bisa membuatku merasa nikmat. Aku tidak bisa menciptakan sesuatu dari udara
kosong - hanya sedikit penyihir yang bisa melakukannya, dan lagi pula itu sihir
hitam yang benar-benar serius - tapi aku bisa mengubah benda-benda menjadi
benda yang sama tetapi dengan versi berbeda.
Jadi, aku meletakkan satu tangan ke dadaku dan tersenyum saat seragam
olahragaku beriak dan berkurang sampai aku hanya memakai kaus tanpa lengan
putih dan celana pendek dril. Kemudian aku menunjukkan jari ke arah tepi air dan
memperhatikan saat aliran air melingkar naik dari permukaan danau, berputar
menjadi silinder sampai aku mendapatkan segelas es teh yang melayang di udara di
depanku. Aku merasa cukup puas terhadap diriku sendiri, dan lebih dari sedikit mabuk
sihir, seraya menyandarkan diri ke sofa empukku sambil menyesap teh. Aku bisa jadi
pecundang, tapi hei, setidaknya aku pecundang yang bisa sihir, iya, kan"


Hex Hall Karya Rachel Hawkins di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku duduk di sana dengan tangan berkeringatku yang menudungi mataku selama
beberapa menit, sambil mendengarkan burung-burung, kecipak pelan di tepian air,
dan selama beberapa saat itu aku mampu melupakan bahwa diriku tengah berada di
dalam masalah serius ketika aku kembali ke sekolah nanti.
Sambil menurunkan lenganku, aku menengok untuk memandang kolam.
Di sana, tepat di seberang kolam, ada seorang gadis yang berdiri di tepi sebelah
sana. Kolamnya cukup sempit, jadi aku bisa melihatnya dengan jelas: itu hantu
berbaju hijau yang kulihat pada hari pertamaku di Hecate. Dan sama seperti pada
hari pertama itu, dia menatapku lekat-lekat.
Sangat menakutkan, kalau boleh dibilang begitu. Karena tidak yakin apa yang
harus kulakukan, aku mengangkat tangan dan dengan payahnya melambaikan
sapaan. Gadis itu menjawab dengan mengangkat tangannya. Kemudian dia menghilang.
Tidak memudar seperti yang kulihat terjadi pada hantu Isabelle. Hanya satu menit
dia berada di sana, kemudian dia menghilang.
"Penasaran dan penasaran," kataku, suaraku agak terlalu nyaring di tengah
keheningan, dan membuatku semakin ketakutan.
Suasana hatiku yang baik mulai memudar sementara getaran mantranya
menghilang, lalu aku menunduk dan melihat pakaianku yang imut dan lebih keren
kembali berubah menjadi seragam olahragaku. Aneh. Sihirku biasanya bertahan
lebih lama daripada itu. Sofa di bawahku juga mulai terasa agak keras, dan
kupikir hanya tinggal sekitar lima menit saja sebelum aku duduk di atas batu panas
berlumut lagi. Pikiranku kembali ke orangtuaku dan kegemaran mereka berdusta besar. Bahkan,
sementara aku mencoba untuk berusaha mengarahkan kemarahan yang
sepantasnya kepada mereka karena telah mengakibatkan aku terlibat kekacauan ini,
aku tahu bahwa bukan itu yang membuat seragam olahragaku yang jelek ini kacau.
Melainkan ketakutan terburukku tampaknya menjadi kenyataan. Berbeda dari
orang-orang di sekelilingmu itu satu hal, orang-orang yang dengan mereka kau
benar-benar, yah, berbeda. Menjadi orang yang terbuang di dalam kelompok orang
yang terbuang itu masalah yang sama sekali berbeda.
Aku menghela napas dan berbaring di atas sofa, yang sekarang dirambati lumut di
satu sisinya. Aku memejamkan mata.
"Sophia Alice Mercer, orang aneh di antara orang aneh," gumamku.
"Maaf?" Aku membuka mata dan melihat sesosok wanita menjulang di atasku. Matahari
berada tepat di belakang orang itu, mengubahnya menjadi bayangan hitam, tetapi
bentuk rambutnya membuat Mrs. Casnoff mudah dikenali.
"Apakah aku berada dalam masalah?" tanyaku tanpa bangkit.
Itu mungkin hanya halusinasi yang diakibatkan oleh hawa panas, tetapi aku cukup
yakin aku melihatnya tersenyum, saat dia membungkukkan tubuhnya untuk
meletakkan tangan di bawah pundakku dan mendorongku ke posisi duduk.
"Menurut Mr. Cross, kau punya tugas di ruang bawah tanah selama sisa semester
ini, jadi ya, menurutku kau berada di dalam masalah besar. Tapi itu urusan Ms.
Vanderlyden, bukan urusanku."
Dia menunduk ke arah sofa pink terangku, dan mulutnya mencong menjadi cibiran
kecil jijik. Dia meletakkan tangannya di bagian belakang kursi dan mantraku
luntur menjadi curahan kelap-kelip pink sampai sofaku menjadi kursi duduk terhormat
berwarna biru muda yang dihiasi oleh gambar-gambar kubis mawar besar
berwarna pink. "Lebih baik," katanya dengan kering, sambil duduk di sampingku.
"Nah, Sophia, maukah kau menceritakan kepadaku mengapa kau berada di sini di
tepi kolam dan bukannya masuk ke kelas berikutmu?"
"Aku sedang mengalami gejolak remaja, Mrs. Casnoff," jawabku. "Aku butuh,
begitulah, butuh menulis di dalam buku harianku atau apalah."
Mrs. Casnoff mendengus dengan halus. "Sarkasme merupakan kualitas yang tidak
menarik pada diri wanita muda, Sophia. Nah, aku datang kemari tidak untuk
memanjakanmu ke dalam entah pesta menyedihkan apa yang kau putuskan untuk
kau adakan sendiri, jadi aku lebih suka kalau kau mengatakan yang sejujurnya."
Aku menengok ke arah wanita itu, yang tampak sempurna memakai jas wol gading
(lagi-lagi memakai bahan wol dengan hawa sepanas ini! Ada apa sih dengan
orang-orang ini"), dan menghela napas. Ibuku sendiri saja, yang super keren,
nyaris tidak mengerti aku. Apa yang bisa dibantu oleh magnolia baja yang sudah
pudar dengan rambut dilapisi pengerasnya ini"
Tapi kemudian, aku menumpahkan semuanya. "Aku sama sekali tidak tahu
menahu tentang bagaimana cara menjadi penyihir. Semua orang di sini hidup di
dunia ini, sementara aku tidak, dan itu menyebalkan."
Mulutnya mengerucut lagi, dan kupikir dia hendak mengomeli aku karena
mengatakan menyebalkan, tetapi ternyata dia berkata, "Kata Mr. Cross, kau tidak
tahu bahwa ayahmu adalah ketua Dewan yang sekarang."
"Ya." Dia mencabut seutas benang kecil dari jasnya dan berkata, "Aku nyaris tidak tahu
apa alasan ayahmu untuk melakukan beberapa hal, tetapi aku yakin dia punya
alasan tertentu untuk merahasiakan posisinya darimu. Dan lagi pula, kehadiranmu
di sini sangat... sensitif, Sophia."
"Apa maksudnya?"
Mrs. Casnoff tidak menjawab selama beberapa saat, sebagai gantinya dia menatap
danau. Akhirnya dia berpaling padaku dan menggenggam tanganku. Walaupun
hawanya panas, kulitnya terasa sejuk dan kering, sedikit mirip kertas, dan
sementara aku menatap wajahnya, aku menyadari bahwa Mrs. Casnoff lebih tua
daripada yang kukira, dengan banyak sekali garis-garis yang menyebar dari
matanya. "Ayo ikut aku ke kantorku, Sophia. Ada beberapa hal yang perlu kita diskusikan."
Bab 13 KANTORNYA ADA DI lantai satu, setelah ruang berkursi tegak lurus. Saat
berjalan melewatinya kali ini kulihat kursi-kursi tegak lurusnya telah berhanti
menjadi kursi bersayap yang lebih bagus dan lebih kokoh, dan sofa yang kelihatan
agak berjamur sudah diganti kain pelapisnya menjadi kain bercorak garis-garis
putih dan kuning yang ceria.
"Kapan Anda mendapatkan perabot barunya?" tanyaku.
Mrs. Casnoff menengok ke belakang. "Kami tidak ganti perabot. Itu mantra
persepsi." "Maaf?" "Salah satu ide Jessica Prentiss. Perabot rumah ini mencerminkan benak orang
yang melihatnya. Dengan demikian kami bisa mengukur tingkat kenyamananmu
terhadap sekolah dari apa yang kau lihat."
"Jadi, aku yang membayangkan perabot jorok?"
"Kurang lebih, ya."
"Bagaimana dengan di bagian luar rumah" Jangan tersinggung, atau apalah, tapi
kelihatannya masih jelek."
Mrs. Casnoff tertawa pelan. "Tidak, mantranya hanya digunakan di ruangan umum
rumah ini: ruang duduk, ruang kelas, dan sebagainya. Hecate harus memelihara
beberapa kesan murungnya, bukan begitu?"
Aku berbalik di pintu kantor Mrs. Casnoff dan kembali memandang ruang duduk.
Sekarang aku bisa melihat bagaimana sofa, kursi, bahkan gordennya berpendar dan
sedikit bergetar, seperti panas yang naik dari permukaan jalan
Aneh. Kukira Mrs. Casnoff punya ruangan yang paling besar dan paling megah di rumah
ini. Kau tahu, kan, sesuatu yang berisi buku-buku kuno, dengan perabot jati
berat dan jendela-jendela dari lantai hingga ke langit-langit.
Alih-alih dia membimbingku ke ruangan kecil tak berjendela. Tercium bau kuat
parfum lavendernya, dan bau lain yang pahit dan lebih kuat. Setelah beberapa
saat aku menyadari bahwa itu bau teh. Ada poci listrik kecil yang sedang mendidih di
tepi meja, yang bukan meja kayu sebesar monster seperti yang kubayangkan, tetapi
hanya meja kecil saja. Ada buku-buku, tetapi dijejerkan dalam deretan vertikal di sekeliling ketiga
dari empat dindingnya. Aku mencoba membaca judul-judul di punggung bukunya,
tetapi yang tidak terlalu pudar untuk dibaca ternyata dalam bahasa yang tidak
kuketahui. Satu-satunya di kantor Mrs. Casnoff yang sama sekali jauh dari yang kubayangkan
adalah kursinya. Kursi itu sebenarnya tidak mirip kursi, melainkan lebih mirip
singgasana: kursi besar tinggi yang berlapiskan beledu ungu.
Kursi di sisi meja seberangnya lebih rendah sekitar sepuluh senti, dan ketika
aku duduk di situ, aku langsung merasa bagaikan berumur enam tahun.
Yang, menurutku, memang itulah tujuannya.
"Teh?" tanyanya setelah dengan resminya menata dirinya di atas singgasana ungu
itu. "Tentu." Beberapa saat berlalu dalam keheningan saat Mrs. Casnoff menuangkan secangkir
teh merah kental untukku. Tanpa bertanya, dia menambahkan susu dan gula.
Aku menyesapnya. Rasanya persis sama dengan teh yang biasa dibuatkan Mom
untukku pada hari-hari musim dingin berhujan: hari-hari saat kami menghabiskan
waktu dengan meringkuk di sofa, sambil membaca atau mengobrol. Rasa yang
sudah tidak asing itu membuatku nyaman, dan aku merasakan diriku sedikit
mengendur. Yang, lagi-lagi, mungkin itulah tujuannya.
Aku mendongak menatapnya. "Bagaimana Anda - "
Mrs. Casnoff hanya melambaikan tangannya. "Aku penyihir, Sophia."
Aku merengut. Dimanipulasi selalu merupakan salah satu dari hal-hal yang tidak
kusukai. Seperti terhadap dengan ular. Dan Britney Spears.
"Jadi, Anda tahu mantra yang membuat teh terasa seperti... teh?"
Mrs. Casnoff menyesap dari cangkirnya, dan aku mendapatkan kesan dia sedang
menahan tawa. "Sebenarnya, lebih daripada itu." Dia memberikan isyarat ke arah
poci. "Bukalah."
Aku mencondongkan tubuhku dan melakukannya.
Pocinya kosong. "Minuman kegemaranmu adalah teh sarapan Irlandia. Kalau kegemaranmu limun,
kau sudah menemukan minuman itu di dalam cangkirmu. Kalau cokelat, kau akan
mendapatkannya. Itu mantra kenyamanan dasar yang sangat berguna untuk
membuat orang lain menjadi santai. Seperti dirimu sebelum sifat dasarmu yang
penuh curiga itu timbul."
Wow. Dia hebat. Bahkan aku belum pernah berusaha melakukan mantra untuk
segala keperluan sebelumnya.
Tapi, bukannya aku akan membiarkan dia tahu bahwa aku terkesan.
"Bagaimana kalau minuman kesukaanku adalah bir" Apakah Anda akan
memberikan segelas minuman dingin itu kepadaku?"
Kepala sekolah itu mengangkat kedua pundaknya yang terlalu anggun untuk
disebut kedikan. "Kalau begitu, mungkin dengan suatu cara akan kucegah."
Sambil menarik sebuah portofolio kulit dari tumpukan map di atas mejanya, dia
kembali bersandar di singgasananya.
"Katakanlah, Sophia," kata Mrs. Casnoff. "Apa persisnya yang kau ketahui tentang
keluargamu?" Wanita itu bersandar di kursinya, sambil menyilangkan kaki, tampak sesantai yang
dimungkinkan untuknya. "Tidak banyak," kataku dengan waspada. "Ibuku berasal dari Tennessee, dan
kedua orangtuanya meninggal di dalam sebuah kecelakaan mobil saat Mom
berusia dua puluh tahun - "
"Bukan sisi keluargamu yang itu yang kumaksud," kata Mrs. Casnoff. "Apa yang
kau ketahui tentang keluarga ayahmu?"
Bahkan sekarang dia sama sekali tidak mencoba untuk menyembunyikan
keingintahuannya. Mendadak aku merasa seakan-akan ada sesuatu yang sangat
penting yang tergantung dari jawabanku berikutnya.
"Aku hanya tahu bahwa ayahku warlock bernama James Atherton. Mom bertemu
dengannya di Inggris, dan Dad mengaku dia dibesarkan di sana, tapi Mom tidak
yakin apakah itu benar."
Sambil menghela napas, Mrs. Casnoff meletakkan cangkirnya dan mulai
membuka-buka portofolio kulitnya. Dia menurunkan kacamatanya dari tempatnya
yang biasa di puncak kepalanya sambil bergumam, "Sebentar, aku baru saja
melihat... Ah, ya, ini dia."
Dia merogoh ke dalam portofolio, kemudian mendadak berhenti dan mendongak
menatapku. "Sophia, sangat penting yang kita diskusikan di dalam ruangan ini untuk tetap
berada di dalam ruangan ini. Ayahmu memintaku untuk menceritakan ini
kepadamu ketika menurutku waktunya tepat, dan kurasa saatnya sudah tiba."
Aku hanya mengangguk. Maksudku, memangnya apa yang bisa kau katakan
setelah mendengar kalimat seperti itu"
Sepertinya itu sudah cukup baginya, dan dia menyerahkan gambar hitam-putih
kepadaku. Seorang perempuan muda balas menatapku. Dia kelihatannya mungkin
beberapa tahun lebih tua dariku, dan dari potongan bajunya, kurasa gambar itu
diambil pada suatu masa di tahun 1960-an. Gaunnya berwarna gelap, dan
bergelombang di betisnya seakan-akan angin sepoi-sepoi baru saja meniupnya.
Rambutnya terang, mungkin pirang atau merah.
Tepat di belakangnya, aku bisa melihat teras depan Hecate Hall. Daun jendelanya
berwarna putih pada saat itu.
Perempuan itu sedang tersenyum, tetapi senyumannya tampak tegang, dipaksakan.
Matanya. Besar, terpisah lebar, dan sangat cemerlang.
Dan sangat tidak asing lagi.
Satu-satunya mata seperti yang pernah kulihat adalah mata ayahku, di dalam
gambar dia satu-satunya yang kupunya.
"Siapa - " Suaraku sedikit bergetar. "Siapa ini?"
Aku mendongak menatap Mrs. Casnoff dan mendapati dia sedang memperhatikan
aku dengan saksama. "Itu," katanya, sambil menuangkan secangkir teh lagi
untuknya. "Adalah nenekmu, Lucy Barrow Atherton."
Nenekku. Untuk waktu yang lama aku merasa seolah tak mampu bernapas. Aku
hanya menatap wajah itu, dengan putus asa mencoba menemukan diriku di
dalamnya. Aku tidak bisa menemukan apa-apa. Tulang pipinya tajam dan tinggi, sementara
wajahku agak bundar. Hidungnya terlalu panjang untuk mirip dengan hidungku,
dan bibirnya terlalu tipis.
Aku menatap wajahnya, yang walalupun tersenyum, kelihatan sedih.
"Dia dulu di sini?" tanyaku.
Mrs. Casnoff meletakkan kacamatanya di puncak kepala dan mengangguk. "Lucy
sebenarnya dibesarkan di sini di Hecate, tentu saja sebelum tempat ini menjadi
Hecate. Kurasa gambar itu diambil tak lama setelah ayahmu lahir."
"Apakah Anda... apakah Anda mengenalnya?"
Mrs. Casnoff menggelengkan kepala. "Sepertinya itu sebelum aku lahir. Tetapi
sebagian besar Prodigium mengenalnya, tentu saja. Kisahnya sungguh unik."
Selama enam belas tahun aku bertanya-tanya siapa diriku sebenarnya, dari mana
asal muasalku. Dan inilah jawabannya ada di hadapanku. "Mengapa?"
"Aku sudah menceritakan kisah berawalnya Prodigium pada hari pertamamu di
sini. Apakah kau ingat?"
Rasanya seperti dua minggu yang lalu, pikirku. Tentu saja aku ingat. Tapi aku
memutuskan untuk menyimpan sarkasme itu, dan berkata, "Ya. Malaikat. Perang
dengan Tuhan." "Ya. Akan tetapi, pada kasusmu, keluargamu tidak mendapatkan kekuatannya
sampai tahun 1939, ketika nenek buyutmu berusia enam belas tahun."
"Kukira kau harus terlahir sebagai penyihir. Kata Mom hanya vampir yang
bermula sebagai manusia."
Mrs. Casnoff mengangguk. "Biasanya itulah yang terjadi. Akan tetapi, selalu ada
manusia aneh yang berusaha untuk mengubah nasib mereka. Mereka menemukan
buku mantra atau mantra khusus, suatu cara untuk mengaruniai diri mereka dengan
kemuliaan, kekuatan mistis. Hanya sedikit yang selamat dari prosesnya. Nenek
buyutmu merupakan satu di antara yang sedikit itu."
Karena tidak tahu harus berkata apa, aku meneguk tehku banyak-banyak. Sudah
dingin, dan gulanya mengendap di dasar, membuatnya jadi seperti sirop.
"Bagaimana?" Akhirnya aku bertanya.
Mrs. Casnoff menghela napas. "Soal itu, sayangnya aku tidak tahu. Kalaupun Alice
pernah bicara secara mendalam kepada seseorang tentang pengalamannya, maka
itu tidak pernah dicatat. Aku hanya tahu dari apa yang kudengar dari sana-sini.
Rupanya, dia berkenalan dengan seorang penyihir sangat jahat yang mencoba
untuk memperkuat kemampuannya dengan bantuan sihir hitam. Sihir yang telah
dinyatakan sebagai sihir terlarang oleh Dewan sejak abad ketujuh belas. Tak
seorang pun yang tahu persis bagaimana Alice bisa sampai terlibat dengan
perempuan ini - Mrs. Thorne, kurasa namanya - atau apakah Alice tahu siapakah


Hex Hall Karya Rachel Hawkins di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

wanita itu sebenarnya. Entah bagaimana mantra yang dimaksudkan untuk Mrs.
Thorne malah mengubah Alice."
"Tunggu, tapi kata Anda Mrs. Thorne menggunakan sihir hitam untuk mantra ini,
bukan?" Mrs. Casnoff mengangguk. "Ya. Juga bahan-bahan yang mengerikan. Alice sangat
beruntung karena tidak terbunuh selama perubahan berlangsung. Mrs. Thorne tidak
seberuntung itu." Mendadak aku merasa seperti menelan bongkahan es, bahkan saat perutku
membeku, butiran-butiran keringat bermunculan di keningku.
"Jadi...nenek buyutku dibuat menjadi penyihir dengan sihir hitam" Seperti, jenis
sihir yang paling buruk dan yang paling berbahaya?"
Lagi-lagi Mrs. Casnoff mengangguk. Dia masih menatapku lekat-lekat.
"Nenek buyutmu merupakan penyimpangan, Sophia. Maafkan aku. Aku tahu itu
kata yang sangat buruk, tetapi tidak ada cara lain untuk mengatakannya."
"Bagaimana" - suaraku keluar sebagai kuakan, dan aku pun mendeham - "Apa
yang terjadi padanya?"
Mrs. Casnoff menghela napas. "Akhirnya dia ditemukan oleh seorang anggota
Dewan di London. Dia dimasukkan ke dalam rumah sakit jiwa, sambil mengoceh
dan meracau tentang penyihir dan demon. Anggota Dewan membawa nenek
buyutmu dari anak yang dikandungnya, Lucy, ke Hecate."
"Nenekku?" Aku menunduk memandang foto yang kupegang.
"Ya. Alice sedang mengandung saat dia ditemukan. Mereka menunggu sampai
nenekmu lahir sebelum membawa mereka berdua kemari."
Dia menuangkan secangkir teh lagi untuknya. Aku merasa Mrs. Casnoff sudah
enggan bicara, tapi aku harus menanyakannya. "Lalu, apa yang terjadi setelah
itu?" Mrs. Casnoff mengaduk tehnya dengan semacam konsentrasi yang biasanya
dicurahkan kepada pembedahan otak. "Alice tidak dapat menyesuaikan diri dengan
baik dengan perubahannya," jawabnya tanpa menatapku. "Setelah tiga bulan
berada di Hecate, entah bagaimana dia berhasil melarikan diri. Lagi-lagi, tak
ada yang tahu persis bagaimana, tetapi Alice punya sihir yang sangat kuat untuk
digunakan. Dan setelah itu..." Mrs. Casnoff jeda untuk menyesap tehnya.
"Dan setelah itu?" Aku mengulanginya.
Akhirnya dia mengangkat pandangan matanya. "Dia dibunuh. L'Occhio di Dio."
"Bagaimana kita tahu bahwa itu - "
"Mereka punya ciri yang sangat khas dalam cara menyingkirkan kita," jawabnya
dengan cepat. "Bagaimanapun juga, Lucy, yang ditinggalkan, tinggal di sini di
Hecate sehingga Dewan bisa mengamatinya."
"Apa, seperti percobaan ilmiah?" Aku tidak bermaksud untuk terdengar begitu
marah, tetapi aku sudah berada di luar ketakutan.
"Kekuatan Alice sudah melampaui bagan. Secara harfiah dia Prodigium terkuat
yang pernah tercatat. Penting bagi Dewan untuk mengetahui apakah tingkat sihir
seperti itu diturunkan kepada putrinya - yang walau bagaimana - separuh
manusia." "Apakah diturunkan?"
"Ya. Dan kekuatan itu juga diturunkan kepada ayahmu."
Matanya menatap mataku. "Dan kepadamu."
Bab 14 SETELAH PERTEMUAN KECIL kami, Mrs. Casnoff memberikan waktu libur
selama sisa sore itu untuk - sebagaimana istilah yang digunakannya -
"Merenungkan apa yang baru saja kau pelajari". Tapi, aku tidak merasa terlalu
ingin merenung. Aku berderap langsung ke lantai tiga. Di dalam ceruk kecil di
lorongku, ada deretan telepon merah menyala yang bisa digunakan oleh murid.
Telepon-telepon itu berdebu akibat jarang dipakai karena sebagian besar
Prodigium di Hecate tidak perlu telepon untuk berbicara dengan keluarga mereka.
Vampir bisa memakai telepati, tetapi sepertinya Jenna tidak ingin menghubungi
rumahnya. Para shapeshifter punya semacam hubungan mental kawanan, dan
kaum peri menggunakan angin atau serangga terbang untuk menyampaikan pesan.
Aku pernah melihat Nausicaa yang sedang menggumamkan sesuatu kepada seekor
capung pagi-pagi. Sementara penyihir dan warlock, seharusnya ada berbagai mantra yang bisa kau
gunakan untuk berbicara dengan orang lain - segala sesuatu dari mulai membuat
suaramu muncul sebagai tulisan di dinding, sampai membuat seekor kucing
menyalurkan suaramu. Tapi aku tidak tahu satu pun dari mantra-mantra itu, dan
kalaupun aku tahu, itu hanya berguna untuk penyihir lain. Karena Mom manusia
biasa, jadi komunikasi manusialah yang kupakai.
Aku mengangkat telepon, meringis karena gagangnya yang terasa kasar di
tanganku yang berkeringat.
Beberapa detik kemudian, Mom mengangkatnya.
"Ayahku adalah ketua Dewan," kataku, bahkan sebelum Mom selesai
mengucapkan halo. Aku mendengarnya mendesah. "Oh, Sophie, aku ingin mengatakannya kepadamu."
"Tapi Mom tidak cerita," kataku, dan aku terkejut karena merasakan
tenggorokanku tercekat. "Soph..." "Mom tidak mengatakan apa-apa kepadaku." Mataku panas dan suaraku terdengar
bergetar. "Mom tidak mengatakan siapa ayahku, dan Mom tidak mengatakan
bahwa aku sepertinya penyihir yang paling sakti yang pernah ada. Mom tidak
mengatakan bahwa Dad adalah orang yang... yang menghukumku agar pergi ke
sini." "Dia tidak punya pilihan," kata Mom, suaranya letih. "Kalau putrinya
dikecualikan dari hukuman, bagaimana nanti pandangan Prodigium lain terhadap dirinya?"
Aku menyeka pipiku dengan pangkal telapak tanganku.
"Yah, tentu saja aku tidak mau dia kelihatan buruk," kataku.
"Sayang, aku akan coba menelepon ayahmu, dan kita bisa menyelesaikan - "
"Mengapa Mom tidak mengatakan bahwa orang-orang ingin membunuhku?"
Mom sedikit terkesiap. "Siapa yang mengatakan itu kepadamu?"
Dia menuntut, dan sekarang Mom terdengar lebih marah daripada aku.
"Mrs. Casnoff," jawabku. Tepat setelah dia menjatuhkan bom tentang kekuatanku,
Mrs. Casnoff menceritakan salah satu alasan mengapa ayahku mengirimkan aku ke
Hecate - untuk menjaga agar aku tetap selamat.
"Kau tidak bisa menyalahkan ayahmu," katanya. "L'Occhio di Dio membunuh
Lucy juga, pada tahun 1974, dan ayahmu sudah banyak mengalami percobaan
pembunuhan. Selama lima belas tahun pertama hidupmu, ayahmu bisa
merahasiakan keberadaanmu. Tapi sekarang... hanya masalah waktu sebelum
L'Occhio di Dio mengetahui keberadaanmu, dan kau tidak akan terlindung jika
berada di dunia biasa."
"Bagaimana... bagaimana dengan orang-orang Irlandia itu?" Aku menguak.
Tatapan mata Mrs. Casnoff beralih dariku.
"Keluarga Brannick bukan masalah saat ini," hanya itulah yang diucapkannya.
Aku tahu dia berdusta, tetapi aku terlalu terpukul untuk meminta keterangan
lebih lanjut. "Apakah itu benar?" Sekarang aku bertanya kepada Mom. "Apakah Dad
mengirimkan aku ke sini karena aku berada dalam bahaya?"
"Aku ingin bicara dengan Mrs. Casnoff sekarang juga," kata Mom, tanpa
menjawab pertanyaanku. Ada kemurkaan di dalam suaranya, tetapi juga ada
ketakutan. "Apakah itu benar?" Aku mengulangi.
Ketika Mom tidak menjawab, aku berteriak, "Apakah itu benar?"
Ada pintu yang terbuka di suatu tempat di lorong, aku pun melirik ke belakang
dan melihat Taylor yang menyembulkan kepalanya dari kamarnya. Sewaktu dia
melihat aku, dia hanya menggelengkan kepala sedikit dan menutup pintunya.
"Soph," kata Mom, "Begini, kita akan... kita akan bicarakan ini kalau kau pulang
untuk liburan musim dingin, ya" Ini bukan hal yang ingin kubicarakan lewat
telepon." "Jadi itu benar," kataku, sambil menangis.
Ada keheningan yang begitu panjang di ujung sambungan sehingga aku bertanyatanya
apakah Mom sudah menutup teleponnya. Kemudian dia menghela napas
panjang dan berkata, "Kita bisa membicarakan ini nanti."
Aku membanting gagang teleponnya. Pesawat telepon itu mengeluarkan suara dua
benda bertumburan keras sebagai protes. Aku melorot di dinding ke lantai dan
menarik kedua lututku sehingga aku bisa meletakkan kepala di atasnya.
Lama sekali aku duduk seperti itu, bernapas dengan lambat keluar-masuk,
mencoba untuk menghentikan deraian air mata. Ada sebagian kecil dari diriku
yang anehnya merasa bersalah, seperti seharusnya aku merasa super bangga karena
ternyata aku ini penyihir yang sakti mandraguna atau apalah. Tapi tidak. Aku
merasa jauh lebih senang kalau bisa menyerahkan masalah kulit berpendar dan
rambut melayang-layang serta membuat ledakan-ledakan kepada Elodie dan
gadisgadis itu. Aku hanya bisa menjalankan usaha kedai teh kecil atau apalah,
tempat aku bisa menjual buku-buku tentang astrologi dan cakra. Itu pasti asyik. Aku
mungkin bisa memakai sesuatu yang ungu dan mengambang -
Aku mengangkat kepalaku untuk menghentikan racauan mentalku. Bulu kudukku
terasa meremang lagi. Aku mendongak dan melihat gadis dari tepi danau itu sedang berdiri di ujung
lorong. Dari sedekat ini kulihat dia kira-kira sebaya denganku. Dia sedang
mengerutkan keningnya kepadaku, dan kulihat gaun hijaunya melambai-lambai di
betisnya seakan-akan tertiup angin.
Sebelum aku bisa membuka mulutku untuk bertanya siapakah dirinya, dia
mendadak berputar dan berlalu. Aku menajamkan pendengaran untuk menangkap
suara sepatunya di tangga kayu, tetapi tidak ada suara.
Sekarang perasaan merinding itu tidak hanya di leherku, melainkan di mana-mana.
Mungkin aneh kelihatannya walaupun bersekolah di tempat yang penuh dengan
monster dan masih saja takut hantu, tetapi semua ini terasa semakin konyol. Ini
sudah yang ketiga kalinya aku melihat gadis itu, dan setiap kali dia tampak
sedang mengamati aku. Tapi kenapa"
Dengan perlahan aku berdiri dan berjalan menyusuri lorong.
Aku berhenti sejenak di belokan, khawatir kalau-kalau dia berdiri di sana,
menungguku. Apa yang akan dia lakukan memangnya, Sophie" Pikirku. Memekik, "Hihihihi?"
Berjalan menembus dirimu" Demi Tuhan, dia kan hantu.
Tetapi, aku masih menahan napas saat dengan segera berbelok di tikungan.
Dan, menabrak sesuatu yang sangat padat.
Aku mencoba menjerit, tetapi yang keluar hanyalah "Uuuh!" tertahan.
Tangan terjulur untuk membuatku berdiri diam.
"Whoa," kata Jenna sambil tertawa kecil.
"Oh. Hai," kataku, kehabisan napas karena tabrakan tadi, dan dibanjiri perasaan
lega. "Apakah kau baik-baik saja?" Dia memperhatikan wajahku dengan prihatin.
"Hari ini panjang."
Dia tersenyum kecil. "Pastinya begitu. Aku sudah dengar tentang kejadian dengan
si Vandy." Aku mengerang. Karena urusan rahasia keluarga dan pembunuh serta hantu, aku
sama sekali melupakan tentang bahaya yang lebih mutakhir.
"Itu salahku sendiri. Seharusnya aku tidak usah mendengarkan Elodie."
"Ya, seharusnya jangan," kata Jenna, sambil memelintir sejumput rambut pink-nya.
"Apakah benar kau diberi tugas ruang bawah tanah sampai akhir semester?"
"Ya. Apa sih itu, omong-omong?"
"Pokoknya menyebalkan," jawabnya datar. "Dewan menyimpan semua artefak
sihir bekas di sini, dan benda-benda itu ditumpukkan begitu saja di ruang bawah
tanah. Orang-orang yang mendapatkan tugas ruang bawah tanah harus mencoba
untuk mengatalog semua sampah itu."
"Mencoba?" "Yah, semua barang itu memang sampah, tapi sampah sihir, jadi bisa
berpindahpindah. Membuat katalog adalah pekerjaan yang sia-sia karena benda-
benda itu tidak diam di tempat yang sama."
"Bagus," gerutuku.
"Hati-hati, Sophie. Si Lintah kelihatannya sedang lapar."
Aku melongok melewati pundak Jenna dan melihat Chaston sedang berdiri di
ujung lorong. Aku belum pernah melihat dia tanpa Elodie dan Anna, dan efeknya
sedikit menyebalkan. Chaston menyeringai kepada kami, tetapi kelihatannya lebih mirip meniru Elodie
daripada ekspresi yang sesungguhnya.
"Tutup mulut, Chaston," kataku dengan jengkel.
"Penyihir, adalah untuk makan malam," katanya dengan tawa culas sebelum
menghilang ke dalam kamarnya.
Dibandingkan dengan aku, Jenna tampak lebih pucat daripada biasanya. Bisa saja
karena tipuan cahaya, tetapi kupikir hanya selama sedetik matanya berkilat
merah. "Lintah," gumamnya. "Itu baru."
"Hei," kataku, sambil sedikit mengguncangkannya. "Jangan biarkan mereka
membuatmu terpancing. Apalagi yang itu. Dia tidak sepadan."
Jenna mengangguk. "Kau benar," katanya, tetapi dia masih menatap pintu Chaston.
"Jadi, apakah kau akan masuk ke Klasifikasi Shapeshifter?"
Aku menggelengkan kepalaku. "Casnoff meliburkan aku," kataku.
Untungnya, Jenna tidak bertanya mengapa. "Sip. Kalau begitu sampai ketemu
waktu makan malam." Setelah Jenna pergi, tadinya aku mau ke kamar untuk membaca atau berbaring,
alih-alih aku pergi ke bawah dan masuk ke perpustakaan. Seperti ruangan-ruangan
lainnya di rumah ini, ruangan itu kelihatan jauh lebih berkurang kusamnya
bagiku. Kursi-kursinya tak lagi kelihatan mirip jamur yang seolah-olah siap untuk
menelan aku, dan jauh lebih nyaman.
Aku hanya perlu memindai rak-raknya sebentar sebelum menemukan apa yang
kucari. Bukunya hitam, dengan punggung retak-retak. Tidak ada judul, tetapi mata
keemasan besar dicap di sambil depannya.
Aku duduk di salah satu kursi dan menarik tungkai dan bersila, sambil membuka
buku di bagian tengahnya. Ada beberapa halaman bergambar mengilap, sebagian
besar merupakan reproduksi dari lukisan, walaupun ada juga beberapa foto buram
dari sebuah kastil bobrok di Italia yang seharusnya adalah markas besar L'Occhio
di Dio. Aku membalik-balikkan halamannya, berhenti ketika aku sampai di gambar
yang sama dengan yang pernah kulihat di buku milik Mom. Gambarnya sama
mengerikannya dengan yang kuingat, penyihirnya sedang berbaring, matanya liar
karena ketakutan, dan ada lelaki berambut gelap yang merunduk di atasnya sambil
memegang pisau perak. Mata itu ditato di atas jantungnya.
Aku beralih dari gambar itu untuk membaca sekilas tulisannya.
Dibentuk pada tahun 1129, perkumpulan ini dimulai di Prancis sebagai kumpulan
dari Kesatria Templar. Berawal dari sekelompok kesatria suci yang diberi tugas
untuk membersihkan dunia dari demon, kelompok ini tak lama kemudian
dipindahkan ke Italia, tempat mereka mendapatkan nama resminya L'Occhio di
Dio - Mata Tuhan. Kelompok ini dengan segera menjadi terkenal karena tindakan
brutalnya terhadap segala bentuk Prodigium, tetapi mereka juga dikenal sering
menyerang manusia yang membantu Prodigium. Seiring berjalannya waktu
mereka berubah dari pendekar suci menjadi mirip organisasi teroris. L'Occhio di
Dio adalah sekelompok pembunuh elit rahasia yang hanya memiliki satu tujuan -
kehancuran total seluruh Prodigium.
"Nah, baik sekali mereka," gerutuku kepada diriku sendiri.
Aku membalik-balik lebih banyak lagi halaman. Sisa buku itu tampaknya berisi
sejarah pemimpin kelompok tersebut dan korban-korban Prodigium mereka yang
paling terkenal. Aku memindai daftar namanya, tetapi tidak melihat Alice Barrow
di sana. Mungkin Mrs. Casnoff salah dan urusan Alice ternyata tidak seserius
itu. Aku sudah hendak meletakkan buku itu ke rak ketika sebuah ilustrasi hitam-putih
menarik perhatianku dan membuatku panas-dingin. Gambar itu menunjukkan
seorang penyihir yang berbaring di atas tempat tidur, kepalanya terkulai ke satu
sisi, matanya kosong. Ada dua lelaki bertampang serius yang berpakaian serba
hitam berdiri di belakang perempuan itu, sedang menunduk memandang sosoknya.
Kemeja mereka terbuka cukup lebar sehingga aku bisa melihat tato di atas jantung
mereka. Yang satu sedang memegang tongkat panjang dan tipis dengan ujung
lancip, hampir seperti pisau es. Yang satunya memegang bejana yang berisi cairan
gelap yang kelihatannya mencurigakan. Aku melirik keterangan gambar yang ada
di bagian bawah gambar itu.


Hex Hall Karya Rachel Hawkins di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Walaupun pemotongan jantung merupakan cara yang paling umum dipakai oleh
Mata, kelompok ini dikenal sering mengeringkan darah Prodigium. Entah
tindakan ini dilakukan untuk meniru vampir atau alasan lain yang tidak
diketahui. Aku bergidik saat menatap penyihir yang berpandangan kosong itu. Tidak ada
lubang di lehernya, seperti yang mereka temukan pada Holly, tetapi kedua orang
itu entah bagaimana jelas-jelas mengeringkan darah penyihir tersebut.
Tapi itu tidak mungkin. Kami berada di sebuah pulau, dan ada lebih banyak mantra
pelindung yang mengelilingi tempat ini daripada yang bisa kuhitung. Tentunya
tidak mungkin ada anggota Mata yang bisa masuk tanpa terdeteksi.
Aku membalik-balikkan halaman bukunya, mencari bab mana saja tentang Mata
yang melewati mantra pelindung, tetapi semua yang kubaca mengatakan bahwa
Mata tidak menggunakan sihir, hanya tindakan brutal.
Belakangan setelah aku menyelundupkan buku itu ke kamarku, aku menunjukkan
gambar itu kepada Jenna. Kupikir dia akan tertarik, tetapi dia nyaris tidak memandangnya sebelum
memalingkan wajah dan naik ke tempat tidurnya.
"L'Occhio di Dio tidak membunuh seperti itu," katanya sambil memadamkan
lampu. "Mereka tidak pernah bersikap rahasia, atau semacamnya. Mereka ingin
orang tahu bahwa itu perbuatan mereka."
"Bagaimana kau tahu itu?" tanyaku.
Jenna hanya berbaring saja di sana, dan kupikir dia tidak akan menjawab aku.
Kemudian, di tengah kegelapan, dia berkata, "Karena aku pernah melihat mereka."
Bab 15 DUA HARI KEMUDIAN, aku memulai tugas ruang bawah tanah.
Aku harus memberi tahu di awal bahwa aku belum pernah berada di ruang bawah
tanah seumur hidupku. Bahkan, aku tidak melihat ada alasan mengapa seseorang
harus pergi ke ruang bawah tanah kecuali melibatkan anggur.
Ruang bawah tanah yang ini kelihatannya benar-benar tidak ramah. Di antaranya,
lantainya hanya berupa tanah yang dipadatkan, yang... amit-amit. Udaranya sejuk
walaupun di luar panas, dan tercium bau apak dan lembap. Sebagai tambahan,
langit-langitnya tinggi dan berlampu pijar, ada satu jendela kecil yang
menghadap ke gundukan kompos di belakang sekolah, dan rak-rak berisi barang rongsokan
berdebu, dan mendadak aku mengerti mengapa satu semester penuh dengan tugas
ruang bawah tanah begitu berat. Tidak hanya itu saja, si Vandy memutuskan untuk
bersikap sangat kejam dan memberikan tugas selama tiga malam seminggu,
langsung setelah makan malam. Jadi, sementara semua orang lain bersantai-santai
di kamar mereka, atau mengerjakan salah satu esai epik Lord Byron, Archer dan
aku akan membuat katalog setumpuk barang rongsokan yang menurut Dewan
terlalu penting untuk dibuang tetapi tidak cukup penting untuk disimpan di
markas besar Dewan di London. Jenna mencoba untuk menghiburku pagi itu dengan mengatakan, "Setidaknya kau
melakukan tugas itu dengan cowok keren."
"Archer sudah tidak keren lagi," aku membalasnya. "Dia mencoba membunuhku,
dan dia pacaran dengan Setan."
Tapi, harus kuakui bahwa saat aku berdiri berdampingan dengannya di tangga
ruang bawah tanah dan mendengarkan si Vandy mengoceh tentang apa yang harus
kami lakukan di bawah sana, mau tidak mau aku melirik ke samping kepada anak
laki-laki itu dan melihat kalau mengesampingkan kecenderungan melakukan
pembunuhan dan pacar iblis, dia masih keren. Seperti biasanya, dasinya longgar
dan lengan kemejanya digulung. Dia memperhatikan si Vandy dengan air muka
bosan dan geli secara samar-samar, sambil melipat lengannya di depan dada.
Pose itu sungguh sempurna untuk dada dan lengannya. Sungguh tidak adil dari
antara semua orang, Elodie-lah yang mendapatkan dia sebagai kekasih" Maksudku,
di mana keadilan tepat ketika -
"Miss Mercer!" si Vandy menyalak, dan aku pun terlonjak cukup tinggi sehingga
nyaris kehilangan keseimbanganku.
Aku mencengkeram susunan di dekatku, dan Archer menangkap siku lenganku
yang satunya. Kemudian dia mengedipkan sebelah matanya, dan aku langsung mengalihkan
perhatian kepada si Vandy seakan-akan dia wanita yang paling memesona yang
pernah kulihat. "Apakah kau ingin aku mengulangi sesuatu, Miss Mercer?" Dia meringis.
"T-tidak. Aku sudah paham," aku terbata-bata.
Wanita itu membelalakkan matanya kepadaku selama semenit. Kurasa dia sedang
mencoba mencari-cari cemoohan yang cerdas. Tetapi si Vandy itu dungu, sama
seperti sebagian besar orang kejam pada umumnya, jadi akhirnya dia hanya bisa
semacam menggeram dan menyeruak di antara aku dan Archer untuk berjalan
menaiki tangga. "Satu jam!" serunya sambil menengok ke belakang.
Pintu kuno itu sama sekali tidak berderak seperti menjerit kesakitan saat dia
mendorongnya hingga menutup.
Dengan ngeri, aku mendengar suara klik nyaring.
"Apakah dia baru saja mengunci kita?" tanyaku kepada Archer, suaraku terdengar
jauh lebih melengking daripada yang kuinginkan.
"Yap," jawabnya, sambil berlari-lari kecil menuruni anak tangga untuk memungut
salah satu dari dua papan berpenjepit yang ditinggalkan si Vandy secara
mengkhawatirkan di atas deretan bejana.
"Tapi itu... bukankah itu melanggar hukum?"
Archer tersenyum, tetapi tidak mendongak dari papannya. "Kau benar-benar harus
melupakan masalah-masalah manusia seperti keabsahan, Mercer."
Dia mendongak tiba-tiba, matanya melebar. "Oh! Aku baru teringat sesuatu."
Dia menurunkan papannya dan merogoh-rogoh sakunya sebentar.
"Ini," katanya, sambil berjalan menghampiriku dan menjejalkan sesuatu yang
ringan ke tanganku yang terbuka.
Aku menunduk. Rupanya segumpal tisu. "Berengsek kau." Aku melemparkan tisunya ke kaki Archer dan menghentakhentakkan
kaki melewatinya. Wajahku membara.
"Pantas saja Elodie jadi pacarmu," gerutuku sambil mengambil papan. Aku
sengaja membalik-balikkan kertasnya dengan kasar. Semuanya ada dua puluh
lembar, dengan sekitar lima puluh benda yang terdaftar pada masing-masing
lembarnya. Mataku membaca kilat beberapa di antaranya, melihat benda-benda
seperti "Tali gantungan Rebecca Nurse" dan "Potongan Tangan: A. Voldari".
Aku merobek sepuluh halaman pertamanya dan menyerahkannya kepada Archer,
bersama sebatang pulpen. "Nih, ambil separuhnya," kataku, tanpa menatapnya. Kemudian aku berjalan ke
rak yang paling jauh dari dia, rak yang berada tepat di bawah jendela kecil.
Archer tidak bergerak selama beberapa saat, dan aku bisa merasakan ada sesuatu
yang ingin dia katakan, tetapi akhirnya dia hanya menghela napas dan berjalan ke
sisi ruangan yang berlawanan.
Selama sekitar lima belas menit kami bekerja sambil diam seribu bahasa.
Walaupun si Vandy telah menghabiskan waktu selamanya untuk menjelaskan
tugas tersebut kepada kami, ternyata pekerjaan itu cukup mudah, walaupun
sungguh konyol dan membosankan. Kami harus melihat benda di atas rak dan
menemukan namanya di lembaran kertas dan menuliskan di atas rak mana dan di
slot apa di rak itu berada. Satu-satunya yang membuat sulit hanyalah tak satu
pun dari benda-benda itu yang berlabel, jadi terkadang sulit untuk mengetahui apa
namanya. Seperti, di atas Rak G, Slot 5, ada sehelai kain merah yang bisa jadi
"Selembar penutup, Grimoire, C. Catellan" atau "Serpihan dari Jubah Upacara S.
Cristakos". Atau, bisa juga bukan dua-duanya dan terkadang ternyata sesuatu yang ada di
daftar Archer. Sebenarnya akan lebih cepat jika kami bekerja sama, tetapi aku
masih marah karena urusan tisu itu.
Aku berjongkok dan memungut sebuah genderang rusak. Mataku memindai daftar,
tetapi tidak benar-benar melihat sesuatu. Aku tahu seharusnya aku tidak menangis
di hadapannya, tetapi aku tidak menyangka dia akan sebegitu berengseknya
sampai-sampai menggodaku karena itu. Bukannya kami sahabat kental atau apa,
tapi malam pertama itu rasanya seakan-akan kami menciptakan sedikit ikatan.
Rupanya tidak. "Aku cuma bercanda," katanya tiba-tiba. Aku berputar dan mendapati dia
berjongkok di belakangku.
"Terserah." Aku kembali berbalik menghadap rak.
"Apa maksudmu tentang aku dan Elodie?" tanyanya.
Aku memutar mataku sambil berdiri dan berjalan ke Rah H. "Apakah sebegitu
sulitnya untuk dipahami" Maksudku, dia menertawakan aku habis-habisan tempo
hari, jadi kau memang pantas jadi pacarnya, kalau kau juga menikmati mencemooh
aku. Manis betul kalau pasangan bisa berbagi hobi."
"Hei," bentaknya. "Ulah kecil Elodie itu juga menjerumuskan aku ke sini, ingat"
Aku mencoba untuk membantumu."
"Tidak ada yang menyuruhmu," jawabku, sambil berpura-pura mempelajari
dengan saksama benda yang tadinya seperti setumpuk daun-daun yang melayang
di dalam bejana berisi cairan kemerahan.
Kemudian aku menyadari bahwa itu bukan daun melainkan mayat-mayat kecil
peri. Sambil menahan desakan untuk melemparkannya dariku dan mengeluarkan bunyi
"EEEEUUUUUUGGGGHH!", aku membalik-balikkan kertas, mencari sesuatu
yang kelihatan seperti "Mayat Peri Kecil".
"Yah, tidak usah khawatir," bentaknya, sambil membalik-balikkan kertasnya.
"Tidak akan terjadi lagi."
Kami terdiam selama beberapa saat, masing-masing mencari-cari di daftar kami.
"Apakah kau punya sesuatu yang mungkin sebagian dari kain altar?" tanyanya
akhirnya. "Periksa Rak G, Slot 5," jawabku.
Kemudian entah dari mana datangnya, dia berkata, "Dia tidak seburuk itu, tahukah
kau. Elodie. Kau hanya perlu mengenal dia."
"Apakah itu sebabnya kalian jadian?"
"Apa?" Aku menelan ludah, mendadak gugup. Aku sebenarnya tidak ingin mendengar
Archie mengoceh secara puitis tentang Elodie, tetapi aku juga sungguh-sungguh
penasaran. "Kata Jenna kau tadinya, seperti... pemegang kartu anggota kelompok Kami Benci
Elodie. Apa yang terjadi?"
Archer melengos dan mulai memunguti barang-barang secara acak tanpa benarbenar
memperhatikannya. "Dia berubah," katanya dengan pelan. "Setelah Holly meninggal - kau tahu
tentang Holly?" Aku mengangguk. "Teman sekamar Jenna. Elodie, Chaston, dan Anna yang
memberi tahu aku." Archer mengusapkan tangannya ke rambut gelapnya. "Ya. Mereka masih
bersikeras menyalahkan Jenna. Pokoknya, Elodie dan Holly tadinya bersahabat
erat saat mereka mulai sekolah di sini, dan Holly dan aku bertunangan - "
"Sebentar," kataku, sambil mengangkat tangan. "Bertunangan?"
Archer tampak kebingungan. "Ya. Semua penyihir bertunangan dengan warlock
bujangan pada ulang tahun mereka yang ketiga belas. Setahun setelah mereka
mendapatkan kekuatan."
Anak lelaki itu mengerutkan dahinya. "Apakah kau baik-baik saja?" tanyanya. Aku
yakin pastilah air mukaku aneh sekali. Sewaktu berumur tiga belas tahun aku
membayangkan tentang membiarkan seorang anak laki-laki menciumku.
Bertunangan sudah pasti jauh di luar yang kubayangkan.
"Tidak apa-apa," gumamku. "Hanya aneh saja memikirkannya. Sangat... Jane
Austen." "Tidak begitu buruk."
"Baiklah. Perjodohan untuk menikah di usia remaja itu merupakan hal yang baik."
Dia menggelengkan kepalanya. "Kami tidak menikah di usia remaja, hanya
bertunangan. Dan penyihir selalu punya hak untuk menolak atau menerima
pertunangan itu dan berubah pikiran di kemudian hari. Tapi perjodohan itu
biasanya cocok, berdasarkan kekuatan, kepribadian yang serasi. Hal-hal semacam
itu." "Apa katamulah. Bahkan aku tidak bisa membayangkan punya tunangan."
"Kau mungkin punya juga."
Aku menatapnya. "Maaf?"
"Ayahmu itu orang yang sangat penting. Aku yakin dia mencarikan jodoh untukmu
sewaktu kau berumur tiga belas tahun."
Bahkan aku tidak ingin membahasnya. Membayangkan ada seorang warlock di
luar sana yang berencana untuk menjadikan aku nyonyanya suatu hari nanti itu
terlalu berat untuk kuhadapi. Bagaimana jika dia berada di sini di Hecate"
Bagaimana jika kau mengenal orang itu" Oh, ya Tuhan, bagaimana kalau itu si bau
mulut yang duduk tepat di belakangku di kelas Evolusi Sihir"
Aku membulatkan tekad untuk bertanya kepada ibuku tentang semua ini begitu aku
memutuskan untuk bicara dengannya lagi.
"Baiklah," kataku kepada Archer. "Eh... teruskan saja ceritamu."
"Menurutku tidak ada yang menyadari apa arti kematian Holly bagi Elodie. Jadi
kami mulai bicara selama musim panas, tentang Hecate dan Holly, dan dari satu
hal menjadi hal lain..."
"Dan kau boleh menyelamatkan aku dari harus mendengar detail yang
menjijikkan," kataku dengan senyuman, bahkan saat sesuatu yang menyakitkan
sedikit memelintir dadaku. Jadi, anak ini benar-benar menyukai Elodie. Aku
selama ini memupuk khayalan rahasia bahwa Archer hanya berpura-pura menyukai
Elodie agar lelaki itu bisa mencampakkannya dengan cara yang paling memalukan
yang mungkin dilakukan, lebih disukai jika lewat televisi nasional.
"Begini," katanya. "Aku akan meminta Elodie dan teman-temannya agar jangan
mengganggumu, bagaimana" Dan, sungguh, cobalah untuk memberikan
kesempatan lagi kepadanya. Aku bersumpah dia punya sesuatu yang dalam yang
tersembunyi." Tanpa pikir panjang, aku membalas dengan, "Kubilang tidak usah menceritakan
bagian yang menjijikkannya."
Selama sedetik aku tidak yakin apakah aku menyadari apa yang baru saja
kukatakan. Dan kemudian barulah kusadari dan aku pun mengutuk mulut
sarkastisku agar langsung masuk ke neraka. Sambil merah padam, aku memandang
ke arah Archer. Dia sedang menatapku dengan pandangan terperanjat.
Kemudian dia tertawa terbahak-bahak.
Aku juga mulai cekikikan, dan tak lama kemudian kami berdua duduk di lantai
tanah sambil mengusap air mata kami. Sudah lama sekali sejak terakhir kalinya
aku benar-benar tertawa bersama seseorang, atau berkelakar jorok, dan aku tidak
menyangka rasanya ternyata menyenangkan sekali. Untuk sejenak aku melupakan
bahwa ternyata aku terbuat dari iblis, dan bahwa aku sedang dikuntit oleh hantu.
Rasanya menyenangkan. "Aku tahu aku suka padamu, Mercer," katanya ketika akhirnya kami berhenti
cekikikan, dan aku senang karena bisa menimpakan kesalahan atas pipiku yang
mendadak merah padam kepada gelak tawa itu.
"Tapi tunggu," kataku, bersandar di salah satu rak, sambil mencoba untuk menarik
napasku. "Kalau setiap orang bertunangan pada umur tiga belas tahun, tidakkah
dia sudah diatur untuk menikah dengan orang lain?"
Archer mengangguk. "Tapi sudah kubilang, itu tindakan sukarela. Pertunangan
selalu bisa dinegosiasikan ulang. Maksudku, aku dianggap sebagai tangkapan
bagus." "Dan rendah hati, pula," jawabku, sambil melemparkan pulpenku kepadanya.
Dia menangkapnya dengan mudah.
Dari atas kami, pintunya mengeluarkan jeritan kematian, dan kami pun terlonjak
berdiri dengan rasa bersalah, seakan-akan tertangkap basah sedang bermesraan
atau apalah. Mendadak bayangan aku dan Archer berciuman sambil bersandar di salah satu rak
membanjiri benakku, dan aku merasakan rona di pipiku meluas ke seluruh
tubuhku. Di luar kemauanku, aku melirik bibir Archer. Ketika aku menaikkan
pandanganku, dia sedang menatapku dengan ekspresi yang benar-benar tak bisa
dibaca. Tetapi sama seperti air muka yang terpampang di wajahnya di tangga pada
malam pertama, yang ini membuatku serasa tak mampu bernapas. Aku benar-benar
gembira ketika si Vandy berteriak, "Mercer! Cross!"
Suara paraunya yang tidak enak didengar setara dengan mandi air dingin, dan
ketegangan itu pun lenyap. Pikiran bergairahku sudah sepenuhnya menguap pada
saat kami keluar dari ruang bawah tanah.
"Waktu yang sama, tempat yang sama, Rabu," kata si Vandy saat kami berlari ke
arah tangga utama. Dengan sendirinya, Elodie sedang menanti Archer di ruang duduk lantai dua. Dia


Hex Hall Karya Rachel Hawkins di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

duduk di atas sofa biru usang. Lampu di dekatnya menimbulkan pendaran
keemasan di atas kulitnya yang tanpa cacat, dan menonjolkan kilauan mirah delima
di rambutnya. Aku berputar kepada Archer, tetapi dia sedang menatap Elodie seperti... yah,
seperti aku menatapnya. Bahkan aku tidak sudi repot-repot mengucapkan selamat malam. Aku hanya
berlari-lari kecil menaiki anak tangga ke kamarku.
Jenna tidak ada di sana, dan setelah ruang bawah tanah yang menjijikkan itu, aku
benar-benar butuh mandi. Aku menyambar handuk dari koperku dan kaus tanpa
lengan dan celama piyama dari lemari pakaian berlaciku.
Lantai kami lengang. Anak laki-laki dan perempuan tidak harus terpisah sampai
pukul sembilan, dan saat itu baru pukul tujuh, jadi kurasa semua sedang
dudukduduk di ruang tamu di bawah.
Sambil masih memikirkan Archer (dan patah hati yang umum terjadi karena
bertepuk sebelah tangan gara-gara naksir seseorang yang berpacaran dengan
seorang dewi), aku menuju ke kamar mandi dan membuka pintunya. Ruangannya
dipenuhi oleh uap tebal, dan aku nyaris tidak bisa melihat apa yang ada di
depanku. Sementara aku melangkah maju, air hangat menyapu kakiku. Aku bisa
mendengar suara air bak mandi mengalir.
"Halo?" panggilku.
Tidak ada jawaban, jadi dugaan pertamaku seseorang meninggalkan keran menyala
untuk bercanda. Mrs. Casnoff tidak akan merasa geli. Air panas tidak baik untuk
lantai yang berumur dua ratus tahun.
Kemudian uap airnya mulai merebak, mengalir keluar lewat pintu di belakangku.
Lalu aku melihat mengapa kerannya masih menyala.
Mataku memerlukan waktu lama untuk menerima apa yang sedang dilihat. Tadinya
kupikir mungkin Chaston hanya tertidur di bak mandi dan airnya berwarna pink
akibat garam mandi atau apalah. Kemudian aku menyadari bahwa matanya tidak
tertutup, tetapi semacam separuh terpejam, hampir seakan dia sedang mabuk. Dan,
airnya berwarna merah muda terkena darahnya.
Bab 16 AKU MELIHAT DUA lubang luka kecil tepat di bawah rahangnya, dan sayatan
yang lebih panjang dan lebih menyeramkan di kedua pergelangan tangannya, yang
sedang meneteskan darah ke lantai.
Bahkan tanpa berpikir, aku bergegas menghampirinya, sambil menggumamkan
mantra penyembuh. Mantranya tidak terlalu ampuh, aku tahu itu. Yang paling
tinggi yang bisa dilakukannya hanyalah menyembuhkan lutut yang lecet, tetapi
kupikir tidak ada salahnya kucoba. Sementara aku mengamatinya, kedua lubang
kecil di lehernya tampak merapat singkat, hanya untuk kembali terbuka lagi. Aku
mengeluarkan bunyi seperti isakan. Ya, Tuhan, mengapa sihirku begitu
menyedihkan" Mata Chaston bergerak sedikit, dan dia membuka mulutnya seperti hendak
mengatakan sesuatu. Aku berlari ke pintu. "Mrs. Casnoff! Siapa saja! Tolong!"
Beberapa kepala muncul di lorong.
"Oh, Tuhan," aku mendengar seseorang meratap. "Jangan lagi."
Kisah Cinta Abadi 8 Goosebumps - Komplotan Makhluk Kadal Pendekar Bloon 13
^