Pencarian

Pasir Maut 1

Pasir Maut Von Bilma Nach Murzuk Karya Karl May Bagian 1


Pengantar "Pasir Maut " berjudul asli "Von Bilma nach Murzuk" (Dari Bilma
Ke Murzuk) dan ditulis pertama kali di suatu majalah. Ketika
diterbitkan dalam bentuk buku diberi judul baru "Er Raml El Helahk"
dan digabungkan bersama dengan cerita-cerita lainnya dalam
sebuah buku yang berjudul "Auf fremden Pfaden" (Di Pelosok Negeri
Asing) (1897). Untuk mendapatkan informasi lebih banyak tentang Karl May
silakan kunjungi http://indokarlmay.com ("WIGWAM": The Site for
Fellow Pacifists) dan bergabunglah di milis:
indokarlmay@yahoogroups.com untuk mendapatkan informasi
terakhir mengenai Karl May dan karya-karyanya dalam bahasa
Indonesia. Wasalam, Paguyuban-Karl-May-Indonesia (PKMI)
"Pasir Maut" disunting ulang oleh ogh.
Hak cipta terjemahan dalam Indonesia pada Pandu Ganesa ? 2002
Si Khabir (Bagian I) Matahari telah condong ke barat. Setelah menderita panas
yang tak tertahankan sepanjang hari, berbaringlah saya dalam
bayang-bayang unta tunggang saya, tidak jauh dari sumur.
Rekan-rekan perjalanan saya, terutama orang-orang
upahannya berkumpul di sekitar air payau yang menjijikkan yang
menggelegak keluar. Mereka mendengarkan bualan chaddam
(pelayan ) saya Kamil. Saya dapat menangkap kata demi kata yang
diucapkannya, dan sangat geli mendengar dia berusaha sekuat
tenaga untuk menonjol-nonjolkan bermacam-macam sifat baik saya.
"Bukankah Tuan, yang bernama Abram Ben Sakir, yang kaya
raya?" tanyanya kepada saudagar dari Mursuk, yang duduk di
samping dia. "Berapa Tuan membayar orang-orang yang bekerja pada Tuan
dalam perjalanan ini seharinya?"
"Dua ratus Kauris," jawab yang ditanya, "tidak cukupkah?"
"Bagi orang sekaya Tuan, cukup! Tetapi Sihdi (Tuan) saya berkalikali lebih kaya
dari pada Tuan. Namanya Kara Ben Nemsi dan di
oase-oase negerinya terdapat 1000 ekor kuda, 5000 ekor onta,
10.000 ekor kambing dan 20.000 ekor domba kepunyaannya. Saya
diberinya tiap-tiap hari satu Abu Noqtah (arti harfiah: Ayah Bertitik,
mata uang Maria Theresia), sehingga saya akan menjadi lebih kaya
daripada Tuan, jika saya kembali ke duar (kampung perkemahan)
saya. Apalah artinya Tuan, dibanding dengan dia!"
Bohong pembual itu bukan main ! Upah mingguannya disebut upah
hariannya. Jawab pedagang yang benar-benar kaya itu:
"Allah memberi, dan Allah mengambil; tidak semua orang bisa
sama kayanya." "Memang begitu," kata Kamil, dan oleh karena Sihdi saya anak
emas Allah , amat banyak yang dikaruniakan kepadanya. Tuan
belum tahu, betapa masyhurnya nama Kara Ben Nemsi di seluruh
dunia" Ia menguasai semua bahasa yang ada di dunia, yang
jumlahnya empat ribu lima puluh buah. Ia dapat menyebut dan
mengenal semua hewan dan tumbuh-tumbuhan yang jumlahnya
delapan puluh ribu. Ia dapat menyembuhkan kesepuluh ribu penyakit
yang ada di dunia; ia dapat menembak mati seekor singa dengan
hanya sebutir peluru. Ibunya seorang wanita yang tercantik yang
tiada taranya, ibu ayahnya merupakan wadah segala kebajikan, dan
ketiga puluh selir ayahnya amat patuh dan ramah tamah dan
harumnya seperti bunga-bungaan di taman Firdaus. Ia telah
mengalahkan segala pasukan para pahlawan; jika suaranya
berbunyi, bergemetarlah harimau kumbang; dan kiranya ada
perampok Tuareg hendak menyerang kita -kebetulan kita sekarang
ada di daerah mereka- ia akan mengusirnya dengan senapan yang
kecil, yang ada padanya. Lihatlah! Tidakkah Tuan melihat, bahwa ia
mempunyai dua pucuk senapan; satu kecil dan satu besar " Dengan
yang besar ia menghancur-leburkan sebuah Khala (benteng) dan
dengan yang kecil ia menembak seratus ribu kali, tanpa tiap-tiap kali
harus mengisi. Oleh karena itu senjatanya disebut Bundukije et
Tikrar (senapan ulang-repertir). Saya hampir berharap melihat
bangsat-bangsat itu datang kemari, baru Tuan
dapat...." "Demi Allah, jangan berbicara demikian !" sela Schech el
Dschemali (pemimpin kafilah). "Jangan memanggil-manggil
menantang para perampok dan pembunuh begitu, siapa tahu, kalau
niat Scha?tan (setan) timbul, maka ia akan membawa mereka kemari
dan celakalah kita!"
"Celaka" Sedangkan Sihdi saya ada di sini dan saya ada di dekat
Tuan ?" Barangka1i ia akan terus berceritera secara itu jika Schech el
Dschemali tidak menunjuk kepada matahari dan berkata:
"Kawan-kawan, matahari sudah terbenam di cakrawala. Sudah
tiba waktunya untuk shalat magrib. Pujilah kebesaran Allah!"
Semua bangkit berdiri, mencelupkan tangan mereka ke dalam
air, kemudian berlutut, dengan kiblat ke Mekkah dan upacara
sembahyang dilakukan di bawah pimpinan Schech.
Sayapun berlutut, sambil menaikkan doa secara Kristen.
Sebelumnya, saya telah berterus-terang menyatakan ke mereka
sebelum bergabung bahwa saya seorang Kristen, dan mereka tidak
menolak kami. Setelah upacara sembahyang selesai dan kami bangkit berdiri.
Tampak oleh kami seorang berunta, yang datangnya dari sebelah
utara. Hedschihn (unta tunggangan) nya pelari cepat lagi indah, dan
persenjataannya terdiri dari sepucuk bedil Arab panjang dan dua
bilah pisau, yang digantungkan pada kedua pergelangan tangannya.
Cara membawa pisau seperti itu amat berbahaya bagi pihak lawan.
Kedua lengannya dipelukkannya dan musuhnya ditusuk dari arah
punggung: "Sallam!" katanya, setibanya pada kami dan melompat turun dari
untanya, tanpa melututkan untanya terlebih dahulu, "ijinkanlah saya
menyuruh minum Hedschihn saya di sini dan sekalian saya
mengingatkan Tuan-Tuan akan orang-orang berbahaya yang akan
Tuan jumpai dalam perjalanan Tuan."
Ia berselubung burnus (tutup kepala) panjang dan putih, dan dari
tutup kepalanya itu menjorok keluar rambutnya yang hitam dan
yang tebal diminyaki. Tubuhnya besar dan kukuh, wajah oval
dengan tulang pipi tinggi, hidungnya pesek, matanya kecil, serta
berdagu bulat. Kalau saja dia memakai litham (kain penutup muka
sampai ke mata), saya yakin, bahwa ia seorang Targi (bentuk
tunggal dari Tuareg). "Selamat datang," jawab Schech tua. Hewan kenaikkannya
berjalan sendiri menuju ke sumber untuk minum. "Tetapi siapa yang
Anda maksud orang-orang berbahaya dalam perjalanan kami?"
"Orang-orang Imoscharh," jawabnya.
Kaum Tuareg menyebut dirinya dengan nama itu.
Orang-orang Arab menamakan mereka Tuareg.
"Maksud Anda orang-orang Tuareg " Beberapa orang yang
menuju ke arah kami?"
"Bukan hanya beberapa orang, jumlah prajuritnya amat banyak
di Oase Seghedem." "Allah!, nanti malam kami akan menuju ke tempat itu ! "
"Tidak bijaksana ! Saya anggota sebuah kafilah yang terdiri dari
delapan puluh ekor unta dan tiga puluh orang pengiring. Kami datang
dari Bir Ishaya dan sedikitpun tidak ingat akan bahaya. Tetapi, baru
saja kami tiba di Seghedem, kami tiba-tiba diserang oleh orangorang Imoscharh.
Kami mempertahankan diri dengan sekuat tenaga
. . . sayalah satu-satunya yang lolos dari pembantaian."
"Ia waili! "- seru Schech kaget. "Syaitanlah, yang mendorong
anjing-anjing ke perjalanan kami. Mereka akan tinggal di Seghedem
dan kami akan masuk ke perangkap mereka. Apa yang harus kami
lakukan" Kita menanti di sini saja, di Bir (sumur) Ikbar sampai
mereka pergi, yang airnya tak dapat diminum manusia dan hampir
tak cukup untuk memberi minum hewan-hewan kita sehari lagi?"
Dengan perasaan putus asa ia melayangkan pandangannya ke
sekelilingnya. Abram Ben Sakir wajahnya suram dan tanyanya:
"Tidak dapatkah kita menghindari Oase Seghedem ?"
"Tidak dapat." jawab Schech. Ke arah timur tidak mungkin, sebab
sumber terdekat berikutnya terletak tiga hari perjalanan dari sini, di
daerah Tibbu . Ke arah barat kita akan tiba di pegunungan Magarat
ess Ssuchur (Goa-goa Karang), yang jalannya tidak saya kenal."
"Tapi saya kenal jalan itu!" kata orang yang baru datang.
"Anda kenal?" tanya Schech tercengang-cengang. "Anda
tentunya seorang Khabir (Pemimpin) yang lebih kenal akan jalanjalan daripada
saya, yang duakali lebih tua daripada Anda."
"Memang saya seorang Khabir, dan lebih muda pula daripada
Anda. Tetapi hal ini tidak membuktikan apa-apa. Saya kenal akan
daerah ini, karena saya sering pergi ke tempat itu . Saya tadinya
seorang penunjuk jalan kafilah yang diserang oleh orang-orang
Imoscharh, dan berkat pengetahuan saya tentang gurun, saya dapat
meloloskan diri. Saya prajurit Beni Riah dan nama saya Ibn Amarah."
Orang Arab Beni Riah tinggalnya benar di Fezzan,
tetapi bahwa orang ini merupakan anggotanya, saya anggap bohong
belaka, sebab ia bukan orang Arab. Bukankah ia senantiasa
menyebut Tuareg dengan Imoscharh, yang tak pernah disebut
begitu oleh seorang beni Arab Riah" Tetapi rupanya Schech
berpendapat 1ain, sebab katanya:
"Saya tahu, bahwa orang-orang Beni Riah kenal benar akan
jalan dari Mursuk ke Bilma dan saya percaya, bahwa Tuan pernah
pergi ke Magarat ess Ssuchur. Jadi Anda kenal akan Bukit-bukit
Goa-goa Karang" Dan Anda anggap mungkin dengan mengambil
jalan itu kita tidak usah melalui Oase Seghedem dan dapat
menjauhkan diri dari para Tuareg?"
"Ya! Lebih mudah daripada menurut perkiraan Anda. Kalau kita
dari sini berjalan dalam belokan besar di luar daerah oase itu,
bahaya itu kita biarkan di sebelah kanan kita, dan kita bisa tiba
dengan selamat di sumber Ishaya. Saya mau
menjadi penunjuk jalan Anda dan kiranya boleh saya anggap,
bahwa yang lain-lainnya menyetujuinya."
"Setuju! Silahkan duduk dan menjadi tamu kami , mari kita
makan dahulu dan kemudian kita berangkat."
"Saya bersedia menjadi penunjuk jalan dan tamu Anda,
tetapi katakan pula kepada saya,siapa-siapa yang ada di bawah
pimpinan Anda." "Sudah barang tentu Anda harus tahu. Pertama-tama yang ada
di sini Abram Ben Sakir, saudagar dari Mursuk, semua orang
upahan dan unta yang bermuatan kepunyaannya. Saya harus
mengantarkan dia dari Bilma ke Mursuk. Yang ada di sana dua
orang asing, yang menggabungkan diri dengan kami. Yang
seorang namanya Hadschi Kara Ben Nemsi dari negara Barat dan
lainnya Kamil Ben Sufakah, pelayannya."
Khabir itu mengamat-amati kami dan tanyanya kepada Kamil
dengan sombong: "Namamu Kamil Ben Sufakah" Di mana kampung
halamanmu?" "Saya seorang anggota kaum Beni Dscherar dari Ferkah (distrik)
Ischelli," jawab yang ditanya.
"Dan sebagai seorang muslim engkau menjadi pelayan seorang
giaur (tidak seiman)" Moga-moga engkau dikutuk Allah dan masuk
ke dschehennah (neraka)!"
Ia meludahi Kamil, yang dengan tenang membiarkannya, sebab
keberaniannya hanya sampai... di mulut. Sesungguhnya ia seorang
pengecut. Satu-satunya yang berani dilakukannya adalah bertanya
ke saya dengan suara yang menyalahkan:
"Sihdi, Tuan rela membiarkan saya dihina, saya, seorang pelayan
yang setia kepada tuannya, yang disebut pahlawan besar, yang
menguasai dua pucuk senapan?"
"Pahlawan besar?" kata Khabir menista. "Mana mungkin seorang
giaur seorang pahlawan " Akan segera saya perlihatkan bagaimana
saya memperlakukan anjing itu."
Ia menghampiri saya, tapi tertegun pada jarak tiga langkah dari
saya, ditatapnya saya seperti menantang dan tanyanya"
"Engkau kira saya mau mengantarmu ke Mursuk?"
"Tidak!" "Tidak?" bunyi suaranya amat tercengang akan kepastian yang
saya nyatakan. "Terkaanmu benar! Seorang Khabir takkan
memberikan jasanya kepada seorang kafir."
"Engkau keliru. Maksud saya tidak seperti yang engkau tafsirkan.
Maksud saya hendak mengatakan bahwa saya tidak percaya engkau
akan membawa kami ke Mursuk."
"Maschallah! Apa yang akan menghalang-halangi saya untuk
memukul kau sampai jatuh di atas tanah ini buat hinaan yang kau
ucapkan ?" "Jangan sampai ditertawakan! Seorang Targi seperti engkau tidak
dapat merobohkan saya."
Tinju yang sudah diangkatnya untuk menghantam saya, tiba-tiba
diturunkannya lagi dan katanya:
"Apa katamu, saya seorang Targi, seorang prajurit Imoscharh!
Dari mana pengetahuan itu?"
"Saya tidak wajib menerangkannya kepadamu. Tetapi mengapa
engkau tidak mau meneruskan perjalanan kau ke Bilma daripada
kembali lagi ke Mursuk" Mengapa engkau tidak segera kembali lagi
ketika kafilah Tuan disergap di Oase Seghedem, tetapi memerlukan
datang dulu kemari yang jauhnya sehari perjalanan?"
"Sebab ..., sebab....,sebab....."
Ia ragu-ragu. Pertanyaan saya menyulitkan jalan pikirannya dan
baru beberapa jurus kemudian ia dapat melanjutkannya:
"Sebab kaum Imoscharh telah memotong jalan pulang saya."
" Ini toh bukan alasan untuk berjalan sepanjang hari. Saya
tidak percaya akan segala ceritamu. Saya tahu di sana-sini ada
orang-orang Tuareg, tetapi di Seghedem mungkin tidak ada. Saya
lebih percaya akan anggapan bahwa engkau akan membawa kami
kepada mereka. Engkau adalah mirsal (utusan) mereka, gasuhs
(mata-mata) mereka, yang akan menyerahkan kami ke dalam tangan
mereka. Mungkin mereka itu sekarang ada di sekitar Goa-goa
Karang, sebab engkau akan membawa kami ke sana."
Bunyi kata-kata saya sedemikian pastinya, sehingga ia
beberapa saat terpaku keheran-heranan, tetapi kemudian meletuslah
ia: "Ia Allah ! Kurang ajar amat ! Saya disebut gasuhs, seorang
gasuhs sebagai balas budi oleh karena saya mau menyelamatkan
orang-orang ini ! Anjing giaur, yang baunya seperti bangkai, yang
menarik segala macam ulat! Akan saya .... "
"Diam!" sela saya. "Tutup mulut! Sampai sekarang saya tenangtenang saja menerima
hinaan-hinaanmu dan saya akan tetap
tenang. Tetapi apabila engkau berani mengucapkan sepatah kata
lagi saja semacam itu, engkau akan saya tenangkan. Dibandingkan
dengan saya, engkau seorang pengecut yang kotor mulutnya!"
"Kotor mulutnya?" serunya dengan geramnya. "Inilah upahnya!
Terimalah kedua pisau ini, anjing !"
Saya diterpanya dengan kedua lengannya yang terbuka, untuk
dirangkulkannya supaya dapat menusukkan kedua pisaunya ke


Pasir Maut Von Bilma Nach Murzuk Karya Karl May di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dalam punggung saya. Tetapi tinju saya lebih cepat lagi, saya
layangkan ke bawah dagunya, sehingga ia jatuh tertelentang di atas
pasir. Sekejap kemudian dia berhasil bangkit kembali dan
membidikkan senapannya kepada saya, tetapi ketika ia hendak
menarik pelatuknya, saya jangkau dia dan saya rebut senjata itu dari
tangannya. Saya mundur dua langkah,larasnya saya tujukan
kepadanya dan seru saya: "Awas, setapak saja berani maju, riwayatmu akan dihabiskan
dengan pelurumu sendiri! Pulanglah dan minta ibumu mainan yang
lain, yang lebih tepat bagi kau daripada senapan ini!"
Saya tembakkan pelurunya, dan saya pukulkan gagangnya pada
tanah sampai patah. Bukan main marahnya Khabir itu. Dengan
teriakan yang ganas saya diserangnya lagi. Ia tidak melihat bahwa
salah satu kaki saya terangkat. Saya tendang dia di perutnya dan
tergulinglah dia. Saya tindihi dia dengan kedua lutut saya dan
kedua pelipisnya saya tinju, sehingga menenangkannya, seperti
yang saya ancamkan padanya. Ia sama sekali tidak berkutik lagi.
Sekarang amarah Schech lah yang ditujukan kepada saya.
"Apa yang telah Tuan perbuat?" bentaknya. "Kami telah
menerima Tuan dan mengijinkan Tuan ikut dengan kami, dan
sebagai balas budi, Tuan membunuh orang yang akan
menyelamatkan kami!"
"Bukan menyelamatkan, melainkan menjerumuskan
Tuan maksudnya! Selain itu ia hanya pingsan, periksa saja!"
Ia berlutut di samping Khabir itu dan ternyata ia tidak mati, tetapi
geramnya sedikitpun tidak berkurang. Sambil bangkit berdiri
katanya, "Memang ia tidak mati tetapi Tuan telah memukul dia dan
menghancurkan bedilnya dan menurut hukum gurun, balasnya
darah Tuan. Kami terpaksa akan akan mengadili Tuan."
"Lebih baik Tuan menghukum dia. Saya anggap dia seorang
Targi yang bermaksud menjerumuskan Tuan. Apa bila Tuan tidak
percaya, besok sudah akan jelas, bahwa anggapan saya benar.
Saya tidak khawatir akan nasib saya, dan saya tidak takut akan
keputusan Tuan! Siapa yang akan menghalang-halangi saya
melompat ke atas unta saya, kalau saya mau" Tuan beserta kawankawan Tuan hanya
dua belas orang. Pada kedua tabangat
(pestol)kecil ini ada dua kali enam peluru, jadi cukuplah dengan
kedua senjata kecil ini untuk mengenyahkan Tuan, tanpa memakai
senapan saya. Menurut dugaan dan penglihatan saya, hanya Tuan
lah yang memusuhi saya. Tidak mungkin Abram Ben Sakir
mengandung niat menyerahkan nyawa dan barang-barangnya yang
dibawa unta-untanya kepada orang Tuareg, dan para orang
upahannya akan sependapat dengan dia."
"Kata-kata Tuan, biar bagaimana pandainyapun diucapkan,
takkan dapat mengubah akibat perbuatan Tuan! Ayo, mari kita bawa
Khabir ini ke sumber, kita basahi mukanya dengan air supaya hidup
lagi!" Ia dibawa pergi dan sementara itu saya tidak memperdulikan
mereka lagi. Duduklah saya di samping unta saya dan siap
menghadapi segala kemungkinan dengan memegang salah satu
pestol saya. Kamil ikut dengan rombongan itu. Ia ingin tahu
bagaimana hasil usaha mereka. Di dalam gelap yang segera
meliputi kami, gerak-gerik tiap-tiap orang dalam kelompok itu
hampir tidak tampak, tetapi Khabir rupanya segera siuman
kembali dan mereka mengerumuninya sambil berunding. Dua di
antaranya berdiri agak menyamping dan berbisik-bisik satu sama
lainnya. Ternyata Kamil yang sedang berbicara dengan saudagar
dan seperti saya dengar kemudian, menceritakan padanya bahwa
saya lebih bijaksana daripada yang lain-lainnya, dan bahwa dia
lebih baik menerima nasehat saya daripada nasehat-nasehat orang
lain. Bila saya mengganggap Khabir itu Tuareg , tidak usah sangsi
lagi, ia tentu Tuareg. Kata-katanya diterima dengan baik, sebab Abram Ben Sakir
datang ke saya dan seraya katanya,
"Sihdi, pelayan Tuan mengatakan kepada saya bahwa saya
harus mendengar Tuan dan bukan Schech el Dschemali. Betulkah
orang itu seorang mata-mata dan seorang perampok?"
"Betul, untuk itu saya punya bermacam-macam alasan yang Tuan
toh tidak akan mengerti, meskipun semua itu saya ceritakan kepada
Tuan. Hanya saya ingin mengatakan kepada Tuan, bahwa bukan
sekali ini saja saya ada di es Sahar (padang Sahara) dan sudah
berkali-kali berkenalan dengan orang-orang semacam dia.
Sedikitpun tak ada niat dalam hati saya untuk ikut menuju ke Goagoa Karang buat
diserahkan ke dalam tangan Turaeg."
"Allah, wallah, tallah! Apa yang akan saya perbuat" Saya telah
berjanji taat kepada keinginan dan perintah Schech el Dschemali dan
para orang upahan saya lebih percaya akan dia daripada kata-kata
Tuan. Saya akan dikalahkan dan saya harus menerimanya ikut
dengan Khabir itu. Sudilah kiranya Sihdi Tuan memenuhi satu
keinginan saya saja " Janganlah saya ditinggalkan apabila saya
terpaksa ikut ke Bukit Karang."
"Tuan tidak usah meminta pertolongan kepada saya. Yang perlu
adalah pernyataan Tuan, bahwa Tuan tidak mau ke sana, tapi ke
Seghedem." "Tapi saya akan kalah suara. Orang-orang itu bukanlah pelayan
saya, mereka saya sewa buat perjalanan ini, dan Tuan pun mungkin
tahu, bahwa menurut adat di gurun, dalam keadaan bahaya suara
bawahan sama kuatnya dengan suara orang yang biasa
memerintah. Jadi janganlah saya ditinggalkan."
"Saya akan berpikir-pikir dahulu."
"Baiklah, berpikir-pikir dahulu dan katakan kemudian keputusan
apa yang telah Tuan ambil. Biar Khabir itu Tuan curigai sekalipun,
saya masih percaya kepadanya, sebab saya anggap tidak mungkin
seorang muslim yang taat akan agamanya akan mengingkari
janjinya." "Tetapi saya dapat membuktikan bahwa dia bukan seorang
muslim yang taat akan agamanya. Pada waktu matahari tenggelam
di ufuk lautan pasir kita sembahyang, tetapi Khabir itu tidak. Selama
sembahyang magrib dia ada dalam perjalanan, tidak turun dari
Dschemel (unta) nya untuk bertelut, bukankah ketika ia tiba, kita baru
saja menyelesaikan sembahyang kita. Barang siapa yang melalaikan
shalat, tidak boleh dianggap sebagai pengikut Nabi yang beriman,
dan orang semacam itu tidak akan ragu-ragu berkhianat. Tuan
percaya?" "Sihdi, Tuan lebih arif dan lebih bijaksana daripada saya!"
" Dan mengapa ia tidak ikut bertempur, ketika kafilahnya,
menurut ceritanya, disergap " Mengapa ia tenang-tenang duduk di
pinggir air memperkatakan saya dengan panjang lebar sedangkan
keberaniannya tidak ada untuk bertindak dengan tegas " Pada waktu
marahnya meletus tadi ia telah menyerang saya, tetapi sekarang
sesudah reda, hilanglah nafsunya untuk melepaskan dendamnya
kepada saya. Ia tahu, bahwa baginya lebih mudah dan tidak
berbahaya bagi dirinya jika kita mengikuti dia ke Goa-goa Karang.
Kita akan disergap di sana dan kalau kita sudah ditawan, ia dapat
membunuh saya, tanpa membahayakan dirinya. Itulah jalan
pikirannya dan oleh karena itu sekarang saya dibiarkan. Cerdik juga
!" "Kalau saya mendengarkan uraian Tuan, Sihdi, mau tidak mau
keyakinan timbul, bahwa Tuan ada di pihak yang benar. Adalah amat
bijaksana buat ketiga kalinya saya mengajukan permohonan ,
sudilah kiranya Tuan melindungi saya."
"Apabila saya terima permohonan Tuan, saya khawatir bahwa
saya sendiri memerlukan perlindungan! Dengan permohonan ini
Tuan mendorong saya kedalam bahaya demi kepentingan Tuan . . .
." Di sini percakapan saya disela oleh bunyi suara keras Schech el
Dschemali yang berseru: "Marilah kita lakukan sembahyang isya, sebab hari sudah gelap
dan cahaya terakhir lenyaplah sudah."
Sesudah berwudu, bertelutlah semua orang, berkiblat ke arah
Mekka dan mengucapkan doanya mengikuti Schech.
(bersambung ke Bagian II)
Pengantar "Pasir Maut " berjudul asli "Von Bilma nach Murzuk" (Dari Bilma
Ke Murzuk) dan ditulis pertama kali di suatu majalah. Ketika
diterbitkan dalam bentuk buku diberi judul baru "Er Raml El Helahk"
dan digabungkan bersama dengan cerita-cerita lainnya dalam
sebuah buku yang berjudul "Auf fremden Pfaden" (Di Pelosok Negeri
Asing) (1897). Untuk mendapatkan informasi lebih banyak tentang Karl May
silakan kunjungi http://indokarlmay.com ("WIGWAM": The Site for
Fellow Pacifists) dan bergabunglah di milis:
indokarlmay@yahoogroups.com untuk mendapatkan informasi
terakhir mengenai Karl May dan karya-karyanya dalam bahasa
Indonesia. Wasalam, Paguyuban-Karl-May-Indonesia (PKMI)
"Pasir Maut" disunting ulang oleh ogh.
Hak cipta terjemahan dalam Indonesia pada Pandu Ganesa ? 2002
Menuju Magarat ess Ssuchur
(Bagian II) Seusai sembahyang Schech el Dschemali bangkit berdiri dan
memerintahkan semua orang upahan memuati unta-untanya, sebab
kami akan berangkat. "Dan kemana?", tanya saudagar.
"Sudah barang tentu ke Goa-goa Karang!", bunyi
jawabnya. "Tidakkah lebih baik kita langsung pergi ke Oase Seghedem?"
"Tuan mengatakan begitu karena Kara Ben Nemsi ingin pergi ke
sana?" "Memang sesungguhnya!"
"Apabila Tuan lebih percaya kepadanya, ikutilah dia, tidak ada
seorangpun yang akan melarang Tuan. Kami lebih baik mengambil
jalan yang menyimpang, yang melalui Goa-goa Karang daripada
menyerahkan nasib kami kepada orang tolol."
"Semua orang upahan saya harus ikut dengan saya."
"Harus" Mereka bukan budak, melainkan orang-orang merdeka
dan Tuan telah berjanji kepada saya akan taat kepada peraturan
saya. Kita akan memungut suara dan Tuan akan melihat sendiri,
maukah mereka ikut dengan Tuan beserta orang asing itu atau
tunduk kepada akal budinya."
Pemungutan suara telah dilakukan dan ternyata semua bersedia
mengikuti Khabir, kecuali saudagar, saya dan pelayan saya. Abram
Ben Sakir menghampiri saya untuk meminta maaf dan untuk
keempat kalinya memohon dengan sangat supaya ia tidak dibiarkan.
Baru saja ia pergi dari saya, saya dengar bunyi gaduh, yang
datangnya dari arah barat. Ternyata yang menyebabkannya adalah
kaki sejumlah unta dan segera kami lihat sekelompok orang berunta
menghampiri kami. Hari makin lama makin gelap. Tampak oleh
mereka kehadiran kami, sebab mereka berseru keras-keras kepada
kami: "Wakkif-berhenti! Sudah ada manusia di sumber itu. Siapkan
senapan kalian!" Schech el Dschemali berseru,
"Datanglah dengan damai. Kami bukan prajurit atau perampok.
Mari kemari. Hilangkan dahaga Tuan dan hewan-hewan Tuan di sini
dengan air sejuk!" "Tuan merupakan kafillah?"
"Ya!" "Dari mana dan hendak ke mana?"
"Dari Bilma ke Mursuk."
"Berapa jumlah Tuan seluruhnya?"
"Empat belas orang."
"Biarkanlah kami datang ke sana, dan apabila Tuan menipu kami,
nyawa Tuan menjadi tanggungannya."
Perlahan-lahan mereka menuju ke tempat kami. Orang yang
menjadi juru bicaranya berjalan beberapa langkah lebih ke muka,
melayangkan pandangnya dan berseru kepada kawan-kawannya,
"Benar, hanya ada empat belas orang, kita tak usah kuatir. Mari
ke mari !" Ia menggunakan bahasa Arab, tetapi logatnya mengingatkan
saya kepada seorang Tedetu (bentuk tunggal buat Tibbu). Setelah
mereka turun dari unta mereka, saya hitung jumlahnya, tepat dua
puluh orang. Rupanya mereka membawa seorang wanita, sebab di
punggung salah seekor untanya ada sebuah Tachtirwan (usungan
bagi orang perempuan), dibuat dari bambu dan dihiasi dengan pitapita dan rumbai-
rumbai. Pada malam hari kelihatannya seperti
peristiwa dalam dongeng. Rupanya pemimpin kafilah yang baru datang itu, orang gagah
perkasa yang siap bertempur, sebab menempatkan orang-orangnya
demikian rupa hingga mereka senantiasa ada di tempat yang
menguntungkan bila kami menyambutnya sebagai musuh.
Persenjataannya terdiri dari sepucuk bedil panjang, dua pucuk
tombak, sebilah pedang dan mungkin pula beberapa pucuk pestol.
Saya tidak dapat melihatnya dengan jelas apa yang dibawanya
dalam sabuknya. Schech el Dschemali menyambut dia dengan
salam dan katanya, "Anda lihat, bahwa Anda tidak usah khawatir pada kami dan
maaf, kami ingin tahu dengan siapa kami berhadapan."
Jawab yang ditanya dengan angkuh,
"Kami orang Tibbu suku Reschade dan
hendak pergi ke Abo."
"Suku Reschade " Kalau begitu Anda musuh besar kaum Tuareg
dari Asben!" "Ya musuh besar. Allah mengutuk mereka.!"
"Dan Anda datang dari barat, tempat tinggal mereka!"
"Memang kami datang dari sana."
"Kalau begitu tentunya Anda sekalian orang-orang gagah
perkasa yang berani memasuki wilayah musuh besar dengan
sejumlah kelompok kecil ."
Bunyi seru yang datangnya dari Tachtirwan menutup mulut
mereka. Hanya tiga atau empat patah kata yang digunakan, yang
tak dapat saya tangkap artinya. Rupanya seperti bahasa Berber, dan
oleh karena saya hanya kenal akan Beni-Mezab Berber, dugaan
saya kata-kata itu adalah dalam bahasa Tuareg. Amat
mengherankan, baru saja kata-kata itu diucapkan, dengan segera
Khabir yang saya curigai dengan beberapa langkah menghampiri
Tachtirwan dan mengemukakan pertanyaan, yang saya tidak
mengerti pula. Dari balik tirai dijawab oleh suara wanita, mungkin
juga suara anak kecil. Tetapi pemimpin Tibbu sudah sampai di
tempat itu. Ditariknya Khabir pada lengannya dan dengan
marahnya, serunya: "Apa perlunya engkau ada di sini, tempat omm bent saya" Tuan
tidak tahu bahwa itu dilarang" Pergi dari sini!"
Omm bent artinya ibu anak perempuan dan nama itu dipakai untuk
menyebut isteri, sebab nama sesungguhnya di daerah itu tidak
diucapkan. Sekejap Khabir terdiam, seolah-olah ia menekan nafsu
yang menggerakkan hati kecilnya. Di dalam gelap, wajahnya tidak
kelihatan jelas, tetapi sekejap kemudian jawabnya tenang dibuatbuat, sebab masih


Pasir Maut Von Bilma Nach Murzuk Karya Karl May di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kedengaran suara marahnya:
"Omm bent" Bukankan suara seorang anak laki-1aki?"
"Bukan anak laki-laki, dan sekiranya memang benar, engkau
anggap dia memanggilmu" Siapa engkau ini?"
"Nama saya Omar Ibn Amarah dan Khabir kaffilah ini !"
"Dari suku apa?"
"Beni Riah. Dan oleh sebab saya Khabir, jadi orng upahan kafilah
ini, saya rasa saya dapat memberikan jasa-jasa kepada Anda dan
untuk itulah mengapa saya pergi ke Tachtirwan!"
"Jadi begitu. Tapi kami tidak memerlukan jasa jasamu. Kapan
engkau akan berangkat?"
"Kami sedang berkemas-kemas untuk berangkat?"
"Kamipun tak ingin lama-lama di sini, sebab kami berniat secepatcepatnya tiba di
Abo. Oleh karena Tuan-tuan sekalian orang baikbaik, kita dapat berjalan bersama-
sama ke oase, sebab ke sana
sama jalannya." "Kami tidak akan pergi ke Seghedem. Oase itu dan seluruh
dataran sebelah timur yang Tuan hadapi telah diduduki Tuareg."
Rupanya si Tedetu agak kaget, sebab ia mundur beberapa
langkah dan serunya"
"Anjing-anjing Tuareg! Anda tahu pasti ?" "Pasti, saya datang
dari Seghedem. Saya bekas Khabir kafillah yang diserang mereka
dan saya satu-satunya orang yang dapat meloloskan diri. Kami mau
menghindari Seghedem dengan jalan menyimpang. Kami menuju ke
barat untuk mencapai sumber Ishaya. Kami tak dapat menyimpang
ke timur, sebab di sana orang-orang Imoscharh sedang berkeliaran."
Sekali lagi ia tidak menyebut Tuareg, melainkan Imoscharh.
Pengucapan kalimat terakhir dengan tekanan istimewa amat
menyolok mata. Jalan kaum Tibbu menuju ke timur. Mengapa ia
memperingatkan arah itu " Bukankah mula-mulanya ia tidak
mengatakan bahwa kaum Tuareg tidak menduduki daerah itu pula"
Maksudnya mungkin untuk membujuk kaum Tibbu ikut serta dengan
kami ke Magarat ess Ssuchur" Dan jika sekiranya memang begitu,
alasan apakah yang mendorongnya buat hal itu" Dapatkan kiranya
ia menangkap makna panggilan yang keluar dari Tachtirwan" Kalau
begitu, sudah pasti dia orang yang saya curigai, orang Targi. Makin
lama, Khabir ini makin mencurigakan saya.
"Anda barangkali tahu pula, masuk suku golongan mana orangorang Tuareg yang Tuan
percakapkan itu" "Tidak tahu, malah saya tidak mengerti bahasa kaum Imorscharh
itu. Tetapi ketika mereka menyerang kami, saya mendengar seruan
dua patah kata. Kepada saya diceritakan bahwa buat tiap-tiap
serangan diserukan nama suku dan nama pemimpinnya: Kelowi dan
Rhagatta!" "Allah, Allah! Benar! Rhagata nama Amghar (Scheik Utama)
kaum Tuareg-Kelowi di sebelah timur, dan saya tahu pasti, mereka
dibawah pimpinannya sedang membatak. Berterima kasih ke Allah
saya dapat bertemu dengan Anda, sebab biarpun kami bukan
pengecut, kami kiranya dapat dibinasakan semua oleh kaum
Tuareg. Jadi Tuan hendak melalui Magarat ess Ssuchur" Jalan
sukar. Tuan yakin bahwa kita dapat mencapai sumber Ishaya
dengan selamat melalui jalan itu?"
"Saya yakin bahwa di jalan itu kita tidak akan bertemu dengan
orang Targi." "Lalu dari Ishaya saya dapat mengambil arah ke timur untuk
menghindar dari bahaya. Tetapi sebelum saya mengambil
keputusan, saya ingin tahu akan hal-ihwal kalian dengan lebih baik."
"Saya sudah Anda kenal. Kafillah ini kepunyaan saudagar dari
Murzuk yang namanya Abram Ben Sakir. Orang-orang yang ada
padanya itu tukang unta baik-baik yang disewanya. Orang itu yang
duduk di sana, orang asing yang baru kemarin dengan pelayannya
bergabung dengan mereka. Seorang giaur, namanya Kara Ben
Nemsi." "Saya akan memeriksa dia sebentar."
Ia menghampiri saya, membungkukkan dirinya dan menatap
wajah saya. Saya tetap duduk tenang dan diam. Ia kembali lagi,
meludah dan katanya: "Mukanya muka orang lelaki, tetapi hatinya hati pengecut, sebab
ia membiarkan saya memandang hina dia. Seekor singa
membiarkan seekor serigala berjalan di belakangnya, sebab
menganggap terlampau rendah memandang dia. Orang asing itu
boleh juga ikut dengan kita, asal berjalannya jangan mendahului kita,
jika dia tidak mau saya injak-injak sebagai cacing di bawah telapak
kaki saya. Hinaan-hinaan itu tidak saya hiraukan sebab masih belum
waktunya memperlihatkan ke dia siapa saya ini sebenarnya. Mulailah
Abram Ben Sakir memerintahkan melanjutkan pemuatan untauntanya. Ketika hal itu
dilakukan,ia bercakap-cakap dengan Khabir,
kemudian datang ke saya dan katanya:
"Sihdi, ia mengerti bahasa Haussa dan telah berkali-kali
menjawab saya dalam bahasa itu."
"Kalau begitu, ia pasti seorang Targi."
"Saya hampir-hampir tidak percaya. Mengapa sampai tidak
diketahui oleh pemimpin Tibbu" Dia dianggap orang sebagai
pahlawan besar." "Tuan jangan salah sangka. Si Tedetu ini sudah merasa senang,
jika mereka tidak dicurigai orang."
"Maksud Tuan?" "Perampok dan perampok. Mereka musuh turunan, tetapi
mereka masing-masing ditakuti pula."
"Saya belum mengerti."
"Tuan tidak perlu mengerti. Tuan toh tak dapat mengadakan
perubahan apa-apa." "Tuan akan ikut juga dengan kami, meskipun Tuan harus
senantiasa berjalan di belakang kami?"
"Kata siapa?" "Kata orang-orang Tedetu."
"Mereka tidak berhak memerintah saya, saya seorang merdeka
dan akan berjalan sesuka hati saya !"
Ia pergi menggeleng-gelengkan kepalanya, saya menuntun unta
saya ke tempat air, supaya dapat meminum sepuas-puasnya lagi.
Orang-orang Tiddu yang ada di sana semuanya menepi seolah-olah
saya penderita kusta. Pemuatan barang-barang disertai bunyi jeritan unta-unta yang
memekakkan. Setelah orang-orangnya naik di atas unta-unta
mereka, bergeraklah iringan itu seekor demi seekor unta itu
meninggalkan tempat sumber. Iringan hewan beban itu membentuk
satu barisan panjang, karena kendali yang satu diikatkan pada ekor
yang lain. Di muka sekali Khabir, di belakangnya Schech el
Dschemali dan kemudian pemimpin Tedetu yang berjalan di samping
Tachtirwan. Di belakangnya orang-orang Tiddu, dan akhirnya Abram
Ben Sakir, saudagar Murzuk, yang mengepalai kaffilahnya. Saya
menanti sampai mereka maju agak jauh dan kemudian saya dengan
Kamil perlahan-lahan mengikutinya.
Cahaya bintang-bintang sedemikian cukupnya, sehingga kaffilah
itu tidak hilang dari pandangan saya.
"Sekarang kita terpaksa berjalan di belakang mereka!" kata
pelayan saya yang gagah berani itu mengingatkan dengan suara
yang menyesal. "Mengapa Tuan mau saja diperintah demikian,
Sihdi" Bukankah saya ini orang Beni Dscherar dari Ferkah Ischelli"
Bukankah saya seharusnya berjalan paling depan?"
"Siapa yang melarangmu" Berjalanlah di muka kalau kau mau!"
"Tapi Tuan tidak mau. Tuan tahu, betapa sayangnya saya akan
Tuan dan saya tidak tega meninggalkan Tuan sendirian dalam
penghinaan orang-orang itu. Tetapi . .kita akan berkelahi dengan
orang-orang itu?" "Tentu, dan dengan segera pula, terutama
dengan Khabir!" "Jadi Tuan yakin ia seorang Targi?"
"Yakin, dan ia bermaksud menjerumuskan
kaffilah. Saya yakin bahwa orang-orang Tuareg ada di Goa-goa
Karang dan akan menyergap kita. Orang-orang itu secara tolol
menuju kebinasaannya, tetapi mudah-mudahan masih ada
kemungkinan mereka akhirnya memperhatikan saya."
"Dan kalau mereka tidak memperhatikannya?"
"Setidak-tidaknya saya akan mencoba menyelamatkan Abram
Ben Sakir. Bahaya yang mengancam saya amat besar, sebab
Khabir sedang menanti-nanti saatnya untuk melepaskan
dendamnya kepada saya. Tetapi hal ini bukan saja berlaku bagi
Khabir dan orang Tuareg, melainkan juga orang Tibbu. Apabila kita
jatuh ke tangan orang Tuareg, barangkali karena orang Tibbu-lah
kita mungkin selamat."
"Tuan pikir orang-orang Tibbu akan menolong Tuan, seorang
asing " Tetapi menurut pendapat Tuan, mereka sendiri akan
disergap!" "Ya, tapi mereka itu ada membawa apa-apa, yang kalau perlu ada
manfaatnya bagi kita, yaitu Tachtirwan."
"Usungan itu, kiranya ada gunanya bagi kita?"
"Yang penting tentu ada isinya. Menurut dugaan saya di
dalamnya ada seorang anak laki-laki."
"Allah! Benarkah di dalamnya seorang anak laki-laki?"
" Ya, seorang kanak-kanak Tuareg, yang diculik oleh orang-orang
Tibbu." Ia hendak mengatakan apa-apa, tetapi karena tercengangnya,
tak dapat keluar. Beberapa saat kemudian barulah ia bisa berbicara
lagi. "Seorang kanak-kanak Tuareg ! Sihdi mungkin Tuan seorang
ssa'ir (penyair) yang dapat menciptakan sesuatu dari alam khayal."
"Menurut pendapatmu, orang Tibbu amat bermusuhan dengan
orang Tuareg. Apabila ada duapuluh orang dengan diam-diam
memasuki daerah musuhnya dan kembalinya membawa Tachtirwan
yang tertutup rapat-apat, orang akan tahu bagaimana
menerangkannya. Kau kira Tedetu-Tedetu itu membawa omm bent
nya dalam perjalanan berbahaya di daerah musuhnya?"
"Tentu tidak." "Di sana mereka telah menculik anak lelaki Schech Tuareg. Ini
pukulan telak yang dapat diberikan ke seorang musuh dan
perbuatan ini dipergoki oleh Khabir."
"Sebuah petualangan lagi. Tuan mau membebaskan
anak-kanak itu?" "Apa yang akan saya perbuat saya belum tahu, tergantung pada
keadaan. Saya hendak mengantarkan Abram Ben Sakir dengn
selamat ke Murzuk dengan selamat dan apabila ia ada dalam
bahaya, saya hendak menolongnya. Kita lihat saja akhir perjalanan
ini. Jika engkau takut, saya boleh kau tinggalkan dan menuju
langsung ke Seghedem."
"Takut" Jangan salah sangka, Sihdi. Andai kata orang Tuareg
dan orang Tiddu tidak ada, Tuan tentu sependapat dengan saya,
bahwa saya rela berkorban demi kepentingan Tuan, sebab daerah
yang lebih berbahaya daripada Magarat ess Ssuchur saya rasa tidak
ada. Di tengah-tengah gurun terdapat Er Raml el Helahk, Pasir Maut,
suatu danau yang isinya bukan air tetapi pasir halus. Tiap-tiap
makhluk yang bernasib sial dan jatuh ke sana akan tenggelam
berpuluh-puluh meter dalamnya, dan seperti di dalam laut ia akan
mati lemas." "Sungguh", tanya saya seperti orang kena terjang. Saya percaya
akan kata-katanya. Sebab seorang pengelana Adolf von Wrede di
Bahr ess Ssafy di gurun el Ahgaf, telah menemukan laut pasir
semacam itu. Benda seberat satu kilo, diikatkan pada tali sepanjang
delapanbelas meter dengan mudah menghilang ke dalamnya. Kamil,
pelayan saya, telah bercerita tentang orang dan unta yang telah
hilang ke dalam Raml ek Helakh dan yang arwahnya berkeliaran di
Goa-goa Karang. Waktu berlalu dengan cepatnya dan hari menjelang tengah
malam. Cahaya bintang sedang terang-terangnya ketika saya
pendekkan jarak antara kami dengan kaffilah. Saya ingin
memperlihatkan kepada mereka bahwa bukan maksud saya untuk
berada pada jarak demikian di belakang kaffilah. Kami pacu hewan
tunggangan kami dan segera kami ada di samping unta-unta yang
paling belakang. Ketika kami berjalan sepanjang iringan itu, kami
lalui orang Tibbu yang memandang kami dengan marahnya. Si
Tedetu mendengar percepatan langkah hewan kenaikkan kami dan
menoleh. Dilihatnya kami makin lama makin dekat dan teriaknya
memerintah kami, "Kembali!" Kami tak meperdulikannya.
"Kembali, kembali kata saya," ulangnya, "atau harus saya hajar
kalian lebih dulu supaya kalian tahu di mana tempat kalian."
Belum habis ancaman itu diucapkan, kami sudah jauh
meninggalkan dia dan sudah melewati Khabir dan Schech el
Dschemali pula. Beberapa saat kemudian, meletuskan sebuah
tembakan di belakang kami dan saya merasakan tekanan udara
sebuah peluru yang nyaris mengenai saya. Dengan cepat saya
kekang tunggangan saya, dan demikian juga dengan Kamil.
Kami menanti sampai bagian terdepan kaffilah itu menyusul
kami. "Siapa yang menembak saya?" tanya saya.
"Saya," jawab Teddetu. "Dan kalau kau tidak cepat-cepat
kembali, akan saya beri kau peluru kedua."
"Yang tidak kena sasarannya seperti peluru pertama. Engkau
tidak pandai menembak. Akan saya perlihatkan bagaimana
seharusnya. Kamil, turun!"
Ia melompat turun. Si Tedetu dengan untanya berdekatan
dengan saya. Pada kaitan pelananya bergantung dua bilah tombak.
Saya ulurkan tangan saya dan menjangkaunya.
"Anjing, mau apa dengan tombak saya?" tanyanya.
"Memperlihatkan pada kalian bagaimana orang menembak.
Awas!" Kepada Kamil saya berikan tombak yang sebilah, yang harus
dibawanya ke tempat yang saya tentukan dan mengacungkannya.
La1u saya ambil kedua pestol saya dan saya tembakkan kedua
belas peluru pada tombak itu, yang kemudian diperlihatkan Kamil
kepada Tedetu. "Lihat," tegas saya,. . duabelas tembakan duabelas lubang !"
Ia memeriksanya, sepatah katapun tidak diucapkannya, karena
tercengangnya. Sudah barang tentu seluruh iringan berhenti, dan
Kamil harus memancangkan yang kedua ke dalam _pasir, pada jarak
yang demikiaan jauhnya yang masih dapat saya lihat di bawah sinar
yang sayup-sayup. Unta saya sedikitpun tak bergerak, ia sudah
terbiasa akan tembakan, jadi saya tak perlu turun.
"Hitung jumlah tembakannya!" kata saya kepada si Tedetu dan
saya bidikkan senapan Henry saya yang berisi duapuluh lima
tembakan. Saya membidikkannya hati-hati dan tiap kali agak lebih
tinggi sedikit. "Berapa tembakan?" tanya saya.
"Lima belas," jawab Tedetu yang keheran-heranan
melihat orang berkali-kali menembak tanpa mengisi.
"Coba periksalah tombak itu."
Tombak itu dibawa kepadanya. Dirabanya lobang-lobangnya


Pasir Maut Von Bilma Nach Murzuk Karya Karl May di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan jari-jarinya dan dihitungnyalah jumlahnya.
"Maschallah, lima belas lobang!" serunya seperti orang kaget.
Orang asing ini seorang sahir (ahli sihir) dan senapannya sebuah
bundukije el mogiza (senapan ajaib). Jumlah peluru di dalamnya tak
terhitung. "Benar kata-katamu," kata saya. "Dan demikian banyak kalinya
saya dapat menembak serta demikian pastinya saya dapat
mengenai sasaran saya. Demikian jauhnya pula daya capai pelurupeluru saya. Apa
arti senjata-senjata kalian dibandingkan dengan
senapan-senapan saya ini" Engkau mengingini jiwa saya dan telah
menembak saya. Buat sekali ini engkau saya maafkan, tetapi
janganlah berani berbuat lagi. Kalau tidak, dengan segera akan
saya kirimkan engkau ke alam baka. Saya Kara Ben Nemsi dan
hendaknya engkau kenal akan saya."
Ia tidak menjawab dan yang lainnyapun terdiam. Atas isyarat
saya, Kamil naik lagi ke atas untanya dan sayapun berjalan di muka,
dan tidak ada seorangpun yang berani menegur kami. Sudah
barang tentu saya isi pestol-pestol dan senapan saya lagi.
Sekarang kami berjalan menurut kehendak hati kami, kadangkadang di muka, di
samping, di belakang; tetapi senantiasa
waspada supaya tidak terkena peluru gelap. Sampai sembahyang
subuh jalan kami melalui gurun pasir. Setelah sembahyang kami
beristirahat selama kira-kira dua jam. Selanjutnya kami melalui
daerah yang agak berbeda dengan yang sudah-sudah.
Di sebelah kiri kami gurun, di sebelah kanan kami bukit-bukit
karang yang makin jauh makin tinggi menjulang ke langit. Kadangkadang
bergelombang, kadang-kadang seperti anak bukit,
berangkai-rangkai tiada habis-habisnya. Oleh karena kami tak dapat
berjalan di dekatnya, kami rasanya ragu-ragu, alamkah yang
menciptakannya ataukah buatan tangan manusia" Ada dindingdinding, tiang-tiang
raksasa, ada pilar-pilar, jendela-jendela besar
yang menonjol, ada lubang-lubang angin dan pintu-pintu gerbang
yang melengkung bentuknya. Semua itu seolah-olah pertunjukkan
yang menarik seluruh perhatian saya. Sebenarnya saya ingin
berjalan lebih jauh, tetapi saya tidak mau lama-lama meninggalkan
kafilah itu dan pula tidak mau amat berjauhan, sebab menurut
dugaan saya, kami akan segera tiba di tempat yang diingini Khabir.
Kami berjalan makin lama makin jauh, dan senantiasa bukit-bukit
karang ada di sebelah kanan kami seolah tiada tampak akhirnya.
Menjelang tengah hari, sang surya sedemikian teriknya sehingga
baik manusia maupun hewan amat membutuhkan istirahat untuk
melegakan pernafasan. Akhirnya, muncullah dinding karang yang
terjauh. Lereng-lerengnya merupakan lengkungan seperti tapal
kuda. Semua anggota kafillah kecuali saya, menganggap tempat
inilah yang terbaik buat beristirahat guna melepaskan lelah. Mereka
turun dari tunggangan mereka. Unta-untapun dibebaskan dari beban
mereka. Hanya saya sendirilah yang kurang senang akan tempat
berhenti itu, sebab untuk menyergap kami, musuh cukup menutup
tempat luang antara kedua ujung tapal kuda dan semua yang ada di
dalamnya dengan mudah jatuh ke dalam tangannya. Saya diam
saja, sebab saya tahu toh tidak ada seorangpun yang akan
mendengar suara saya. Setelah mereka semua beristirahat, demi
kewaspadaan, saya memeriksa gurun di luar lengkungan itu.
Dari gurun, bukit-bukit karang itu kelihatannya seperti dinding
yang mengurung tempat kami berkemah. Segera perhatian saya
tertarik pada sesuatu pada jarak seperempat jam perjalanan.
Sejumlah nusara el sahra (burung ruak gurun) melayang-layuang di
udara di atas bukit-bukit karang, terkadang tinggi, terkadang
menyelundup ke bukit, tetapi tetap di atas daerah itu. Secepatcepatnya saya
kembali lagi ke tempat perkemahan kami dan
menghampiri Khabir yang kebetulan berdiri di samping orang
Tedetu. "Kita harus pergi dari sini," kata saya. Orang-orang Tuareg di
dekat kita, dan mereka akan menyergap kita!"
"Darimana cerita itu?"
"Dari burung-burung ruak yang berterbangan di atas kita."
"Dapatkan burung-burung itu bercerita?" tanyanya mencemooh.
"Kepada saya dapat, karena saya mengerti bahasanya."
"Engkau tidak usah khawatir. Saya Khabir dan tugas saya
menjaga keselamatan kaffilah ini. Saya akan pergi dan mencari
musuh yang engkau sangka ada di sekitar tempat ini. Ikuti saya."
Cerdik benar akalnya, sebab dengan cara demikian saya dapat
diserahkan terlebih dahulu kepada orang Tuareg. Untuk melawan
akal itu saya menggunakan akal lagi dan jawab saya:
"Ini persoalan orang yang memimpin. Si Tedetu dapat
menyertaimu. Ia kenal dengan daerah gurun, sedang saya masih
asing. Matanya yang tajam mudah memperoleh kepercayaan orang,
dan nanti sekembali mu kepada saya, engkau dapat mengatakan
benar tidaknya pendapat saya."
Maksud saya terpenuhi, sebab si Tedetu menyatakan bersedia
dan bagi Khabir rupanya sama saja, siapa yang terlebih dahulu
diserahkan kepada orang Tuareg, saya atau pemimpin orang Tiddu.
Mereka pergi untuk memeriksa. Hasilnya sudah saya ketahui terlebih
dahulu. Si Tedetu ditawan dan kemudian orang Tuareg menyergap
kami. Saya pergi ke tempat Abram Ben Sakir untuk memperingatkan dia
dan membujuknya meninggalkan tempat yang berbahaya itu. Tapi
sia-sia saja! Ia tidak percaya dan tertawa geli akan kekhawatiran
saya. Oleh karena itu, saya biarkan supaya tidak membuang-buang
waktu berharga saya. Sekarang saya hanya mau berusaha buat
keselamatan saya sendiri, Kamil, dan yang ketiga, isi Tachtirwan. Jika
hati kecil saya boleh dipercaya, kanak-kanak itu kiranya masih ada di
dalamnya, dan dapat menjalankan peran penting dalam
membebaskan saudagar Abram.
(bersambung ke Bagian III)
Pengantar "Pasir Maut " berjudul asli "Von Bilma nach Murzuk" (Dari Bilma
Ke Murzuk) dan ditulis pertama kali di suatu majalah. Ketika
diterbitkan dalam bentuk buku diberi judul baru "Er Raml El Helahk"
dan digabungkan bersama dengan cerita-cerita lainnya dalam
sebuah buku yang berjudul "Auf fremden Pfaden" (Di Pelosok Negeri
Asing) (1897). Untuk mendapatkan informasi lebih banyak tentang Karl May
silakan kunjungi http://indokarlmay.com ("WIGWAM": The Site for
Fellow Pacifists) dan bergabunglah di milis:
indokarlmay@yahoogroups.com untuk mendapatkan informasi
terakhir mengenai Karl May dan karya-karyanya dalam bahasa
Indonesia. Wasalam, Paguyuban-Karl-May-Indonesia (PKMI)
"Pasir Maut" disunting ulang oleh ogh.
Hak cipta terjemahan dalam Indonesia pada Pandu Ganesa ? 2002
Er Raml el Helahk (Bagian III) Orang-orang Tiddu telah menurunkan Tachtirwan dari untanya, dan
menyandarkannya pada dinding batu karang. Kebetulan dekat pada
dinding itu ada jurang yang dalamnya sampai ke kaki bukit. Jejakjejak binatang
membuktikan bahwa jurang ini dapat dilalui. Saya tidak
boleh terlalu dekat menghampiri usungan yang dijaga keras itu , maka
harus diam-diam mendekatinya. Saya meninggalkan perkemahan dan
menyusuri bagian luar dinding karang itu hingga tiba ke dekat jurang
yang saya turuni. Jurang itu agak lurus dan demikian lebarnya
sehingga saya dapat bergerak dengan mudahnya. Segera saya
ketahui bahwa dugaan saya benar. Jurang inilah yang keluar di
bagian dalam lengkungan tapal kuda itu dan di tempat keluarnyalah
Tachtirwan ditaruh. Tidak ada seorangpun yang memperhatikannya.
Dengan membungkuk di suatu sudut dengan jelas dapat saya lihat
usungan itu. Saya kembali lagi ke tempat kami berkemah dan dengan Kamil
unta-unta kami saya bawa keluar dan membelok di ujung, supaya
tidak tampak oleh orang Tuareg apabila mereka tiba di sini. Kedua
kaki muka hewan itu kami ikat, supaya tidak dapat berbaring, tetapi
ikatannya agak longgar, supaya dapat diuraikan lagi dengan cepat
jika saatnya tiba dan harus bergegas.
"Mau kemana Sihdi?" tanya Kamil.
"Mau lari," jawab saya. Tetapi saya mau membawa
serta kanak-kanak yang mungkin masih terikat di dalam Tachtirwan
itu. Turutilah petunjuk saya. Kau lihat jurang itu" Melalui jurang itu
dengan mendaki lereng bukit kita bisa sampai di tempat usungan itu.
Di jurang itulah saya akan bersembunyi. Engkau pergi agak jauh ke
dalam gurun, dari sana kau dapat melihat datangnya orang-orang
Tuareg. Sebelum itu saya tidak dapat merebut anak itu. Engkau tenang-tenang saja,
jangan berbicara dengan siapapun dan terutama jangan sampai
ketahuan siapa yang kau nanti. Tetapi segera mereka tampak
datang, berteriaklah dan kembali lagi ke sini dan
tunggulah saya. Kedatangan musuh tentu akan menimbulkan
kekacauan. Kesempatan itu akan saya gunakan untuk mengambil
anak itu dari usungannya. Kalau saya kembali lagi ke sini dengan
anak itu, engkau sudah melepaskan kaki depan kedua hewan ini
tapi jangan berdiri di samping untamu, melainkan di samping unta
saya, sebab saya memerlukan pertolongan untuk naik ke pelana
yang tinggi itu dengan si anak yang mungkin akan meronta-ronta.
Saya akan menyodorkan dia kepadamu dan engkau pegang eraterat sampai saya duduk.
Kemudian kau sodorkan dia kepada saya.
Kalau dia sudah ada di tangan saya, kau naiki untamu dan kita
pergi. Apabila ada orang bertanya saya ada di mana, katakan saja
saya ada .." "Ya, saya sudah tahu apa yang akan saya katakan Sihdi," sela
Kamil. "Jangan khawatir akan kewaspadaan saya, asal Tuan sendiri
jangan membuat kekhilafan yang menyebabkan kita tertangkap oleh
kaum Tuareg!" Ia pergi dan saya menyelinap ke dalam jurang lagi. Saya ikuti
jurang itu sampai pada suatu sudut. Dari tempat ini saya dapat
mengawasi Tachtirwan. Pisau sudah saya sediakan di tangan untuk
memutuskan tali yang mungkin dipakai untuk mengikat anak itu.
Secara kebetulan Kamil masih dalam lingkup pandangan saya yang
agak terbatas itu, dan saya lihat ia berjalan perlahan-lahan agak
jauh arah ke gurun. Tatkala ia melihat ke utara, tiba-tiba ia berhenti.
Baru saja saya hendak bertanya kepada diri saya sendiri, masih
berapa lama lama saya harus menanti di sini, ia berbalik dan
dengan lompatan-lompatan besar ia berlari menuju tempat saya
sambil berteriak-teriak: "Ada orang-orang berunta datang, jumlahnya banyak! Mari ke sini,
lihat siapa mereka itu! Mudah-mudahan bukan orang Tuareg yang
dipercakapkan Sihdi saya!"
Semua berlarian keluar dan Tachtirwan dibiarkan tak terjaga.
Sekejap kemudian, tanpa menghiraukan apapun juga, saya kuakkan
tirainya. Dugaan saya benar. Tampak oleh saya seorang kanakkanak, berkulit
kehitam-hitaman, berambut ikal hitam, kira-kira lima
tahun umurnya, terikat. Dengan dua kali irisan, talinya terputuskan dan ia bebas. Saya
pegang dia dan saya bawa masuk ke dalam jurang. Di belakang
saya kedengaran orang berteriak-teriak:
"Tuareg! Tuareg! Lekas naik unta dan lari!"
"Diam dan jangan takut," kata saya dalam bahasa Arab
kepada anak itu. Saya tidak menguasai bahasa Tuareg. Entah ia
mengerti bahasa saya, entah karena takut, saya tidak tahu,
pendeknya dia diam. Secepat-cepatnya saya keluar dari jurang.
Di luar, Kamil sudah menanti dengan unta-unta kami. Ia
menerima anak itu dan saya naik ke atas pelana. Tembakantembakan pertama sudah
terdengar. Setelah anak itu diserahkan
lagi ke saya ia melompat ke atas untanya dan
tanpa terlihat seorangpun juga, kami pergi. Di belakang kami
bergema teriakan-teriakan pertempuran.
Kami kembali dengan tidak menggunakan jalan yang sama
dengan arah datang karena tentu akan terlihat, tetapi mengikuti
ujung karang yang menonjol, mendaki gunung lalu berjalan terus dua
jam lamanya, sebelum tiba di tempat yang kami anggap tepat. Ke
arah tempat itu ada jalan alam yang amat sempit dan lambat laun
menanjak, tapi lebarnya cukup bagi ruang gerak unta-unta kami.
Letaknya ada di puncak bukit. Setelah diteliti, ternyata tempat itu
hanya dapat dicapai dari jalan yang telah kami lalui, serta tidak
terlihat dari tempat-tempat yang lebih tinggi sekalipun. Hal ini
menggembirakan kami. Kami ada di tempat yang aman dan bila
perlu dapat dipertahankan, meskipun jumlah musuh agak banyak.
Lain daripada itu, kami memegang pula anak lelaki Tuareg sebagai
sandera, yang dapat kami gunakan sebagai alat penuntut dan
pemaksaan kehendak kami. Di samping itu, meskipun tidak banyak,
ada bahan makanan buat unta-unta kami, yang dengan segera
disambut mereka. Segala perhatian sekarang saya curahkan kepada kepada kanakkanak yang saya bawa,
yang menatap saya dengan setengah rasa
takut setengah rasa percaya. Wajahnya manis kehitam-hitaman
dengan wajahnya bersinar-sinar namun agak suram akibat
kehausan, kelaparan, ketakutan dan kesedihan.
"Mengerti bahasa Arab?" tanya saya.
"Bahasa Targi dan Arab."
Jawabnya menyenangkan saya, dan itu tidak mengherankan.
Anak-anak di daerah lebih ke selatan lebih cepat dewasa daripada
anak di daerah utara, meski kedua bahasa itu dikuasainya secara
kekanak-kanakan. "Namamu?" tanya saya lebih lanjut.
"Khaloba." "Siapa ayahmu?"
"Rhagata, Scheik Utama kaum Kelowis."
Jadi dugaan saya itu amat benar. Ia anak pemimpin Tuareg
yang menyergap kami. Ia bercerita bagaimana cara ia jatuh ke
tangan orang Tibbu. Ketika ayahnya pergi dengan para prajuritnya,
datanglah ke rumahnya seseorang yang menyebut dirinya Haussa
meminta tempat menginap. Permintaan itu dipenuhi. Tapi tengah
malam, ketika semua orang tidur dengan nyenyaknya ia mencuri
anak itu dan dibawanya ke suatu tempat yang agak jauh. Di sana
dinantikan oleh sembilan belas lelaki lainnya dan sebuah
Tachtirwan. Penculik anak-anak itu pemimpin kaum Tibbu, yang
bukan saja amat bermusuhan dengan Tuareg Kelowi, melainkan
juga harus memenuhi tuntutan bela nya terhadap Scheik mereka
dan oleh karena itu ia berani melakukan pekerjaan yang amat
berbahaya dengan menculik anak musuhnya untuk melukai
hatinya. Anak kecil itu bertanya, dapatkah ia dikembalikan kepada orang
tuanya dan saya jawab bahwa saya akan melakukannya dengan
senang hati. Rencana saya sebagai berikut: Bisa saya pastikan, bahwa kaum
Tuareg akan tinggal di tempat perkemahan kami dan pada malam itu
juga saya akan pergi kesana, memberitahukan kepada pemimpin
mereka bahwa anaknya ada pada saya, dan saya bersedia
menukarkannya dengan saudagar Abram Ben Sakir, para orang
upahannya serta segala harta bendanya. Saya yakin, bahwa dia
biarpun agak segan-segan akan menyetujuinya. Sementara itu Kamil


Pasir Maut Von Bilma Nach Murzuk Karya Karl May di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

akan menjaga si anak, karena saya tidak mau menyerahkannya
sebelum segala syarat saya terpenuhi dan sebelum menerima
kepastian bahwa Kamil dan saya akan dianggap dan diperlakukan
sebagai orang bebas dan sahabat suku bangsa itu.
Setelah makan, saya tidur. Kamil harus membangunkan saya
menjelang malam hari. Saya naik ke unta saya, setelah saya sekali
lagi memperingatkan dia supaya tenang dan agar menanti di tempat
persembunyiannya. Dengan lancar saya lakukan perjalanan malam
saya. Para pemenang duduk di sekeliling api, kira delapan puluh
orang Tuareg, dan di dekatnya para tawanan berbaring terikat.
Untunglah di antaranya saya lihat ada Abram Ben Sakir yang tidak
terluka. Tanpa rasa takut dan malu saya menghampiri salah satu api
unggun. Kemunculan saya mencengangkan mereka, tetapi tidak
saya hiraukan. Para tawanan tidak dapat menahan teriakan rasa
keheranan mereka. Salah seorang dekat api, tiba-tiba bangkit dan
berseru: "Itu Kara Ben Nemsi, anjing asing yang kemarin telah memukul
saya! Pegang dia! Penganiayaan terhadap saya harus dibayar
dengan siksaan dschehennah (neraka)."
Yang mengucapkan kata-kata itu adalah Khabir.
Karena tercekam rasa tercengang, tidak ada seorangpun yang
menyambut seruannya. Dia sendirilah yang hendak memegang
saya, tetapi saya dorong dia mundur hampir jatuh.
"Mana Rhagata, pemimpin Tuareg."
"Saya," jawab seorang laki-laki yang tampak gagah, tapi muram,
yang ada di samping Khabir. Nyatalah sekarang bahwa Khabir itu
seorang Targi. "Jika engkau sungguh-sungguh anjing asing yang diceritakan
kepada saya oleh utusan saya, pikiran kau tidak waras tentunya
dengan berani datang ke sini. Engkau akan ditangkap oleh Khabir
dan akan dicincang sampai mati!"
"Nanti dulu", seru saya . "jangan cepat-cepat berkata begitu. Kara
Ben Nemsi tidak takut akan pembalasan , sebab ia tahu ia dilindungi
Yang Maha Kuasa." Kata-kata saya menimbulkan amarah mereka.
"Dengarkan dulu apa yang akan saya katakan. Engkau
mempunyai anak yang bernama Khaloba?"
"Ya," jawabnya keheran-heranan.
"Anakmu telah diculik dan hanya Kara Ben Nemsi yang dapat
mengembalikannya. Silakan bunuh saya kalau kau mau."
Dengan menerobos orang Tuareg saya menuju ke pemimpinnya
dan duduklah saya di sampingnya. Betapa berkesannya cara saya
bertindak dan cara saya menyampaikan pemberitahuan itu. Sudah
barang tentu pada mulanya orang tidak percaya akan apa yang saya
katakan. Tetapi ketika kemudian saya perlihatkan sebentuk suwar
(gelang) tembaga yang saya ambil dari anak itu sebagai bukti,
amarahnya pindah kepada para Tibbu yang mengatakan bahwa
mereka tidak tahu akan adanya seorang anak Targi. Lama sekali
kami berunding, dan saya harus menggunakan seluruh akal saya
untk mencapai maksud saya. Tetapi akhirnya terkabullah semua
keinginan saya. Kamil dan saya tidak akan diganggu, dan demikian
pula harta benda kami. Abram Ben Sakir dan para orang upahannya
akan dibebaskan dan segala barangnya yang telah dirampas akan
dikembalikan. Bagi orang-orang Tibbu, saya tidak bisa berbuat apaapa. Tapi dalam
perjalanan kembali untuk menjemput anak itu, saya
harus disertai oleh beberapa orang Tuareg. Perjanjian ini ditetapkan
dengan macam-macam cara dan dikuatkan oleh sumpah-sumpah
sakti, sehingga dalam hati saya tidak timbul rasa curiga. Yang
menyangsikan saya hanyalah si Khabir, yang tingkah lakunya cepat
berubah. Tadinya meluap-luap rasa dendamnya, sekarang aia
bersedia menerima segala syarat.
Kamipun pergilah dan empat jam kemudian kami bawa anak itu
ke hadapan ayahnya, tak lupa saya bawa pula Kamil ikut bersama
saya. Kegembiraan Rhagata waktu bertemu muka dengan anaknya
memperbesar kepercayaan saya, tetapi memperkecil kewaspadaan
saya. Saya sama sekali tidak memperhatikan orang Tuareg yang
berjalan di belakang saya. Tiba-tiba kepala saya dipukul dengan
gagang senapan, yang menyebabkan saya jatuh pingsan.
Ketika siuman kembali, saya dan Kamil telah tergeletak di
samping para tawanan yang lain, dan segala harta kami telah habis
terampas. Khabir berdiri di depan saya. Ketika dilihatnya mata saya
sudah terbuka lagi, serunya kepada saya meledek,
"Sekarang ganjaranmu baru setimpal manusia jahanam!
Sekarang engkau ada dalam kuasa saya dan engkau akan mati,
meskipun seribu setan tidak dapat membunuhmu."
Saya tutup mata saya dan selanjutnya saya tidak memperdulikan
tendangan dan hinaan kepada saya lagi. Akhirnya sayapun
dibiarkan. Agak lama saya menggeletak demikian, kemudian pipi
saya terasa tersentuh dengan sesuatu yang halus dan suara yang
halus berbisik ke telinga saya,
"En'taijib, Tuan baik budi."
Saya buka mata saya dan saya lihat anak kecil berlutut di
samping saya. Perbuatan itu tidak boleh kelihatan dan cepat-cepat ia
pergi lagi dengan diam-diam. En'taijib! Alangkah bahagianya
mendengar kata-kata itu keluar dari mulut kanak-kanak. Berapa
lamanya lagi sampai ia dapat mengutuk anjing asing pula!"
Kamil saya yang gagah berani merengek-rengek memekakkan
telinga saya. Ia berbaring di samping saya, tapi saya tidak
mendengarkan rengekannya dan akhirnya terdiam dan tertidur.
Demikian pula saya. Sembahyang subuh membangunkan kami dan
saya lihat mereka berkemas-kemas untuk berangkat lagi. Kami
diangkat dan diikatkan pada unta. Perjalanan kami hanya maju
perlahan, karena hewan-hewan itu bukan pelari yang baik.
Kami menuju arah barat daya melalui gurun. Sedikitpun tidak ada
angin berhembus. Cuaca cerah, langit bersih dan diharapkan adanya
hari-hari Sahara yang biasa. Tetapi keadaan akan berubah.
Menjelang tengah hari, tidak ada seorangpun yang mengharapkan
adanya bahaya yang mengancam kami. Kami berhenti untuk
melewatkan jam-jam terpanas pada siang hari itu. Lalu saya
dihampiri Scheik yang memandang saya dengan kurang ajarnya,
dan katanya sambil menunjuk ke kiri:
" Di sana tempat er Raml el Helahk, danau pasir maut. Yang
masuk ke dalam itu tidak pernah ada yang kembali lagi. Kami
memutuskan akan membawa engkau ke sana dan akan
menenggelamkanmu." Sungguh-sungguhkah kata-katanya" Menyuruh saya menghadapi
maut yang mengerikan ataukah hanya untuk menakut-nakuti saya
saja" Saya tidak menghiraukannya, dan dengan kecewa dia
menyumpah-nyumpah pergi menjauhi saya.
Ketika matahari mulai condong ke barat, perjalanan dilanjutkan.
Belum sampai setengah jam, tampak oleh saya bahwa semua unta,
termasuk unta beban, tanpa dilecut mempercepat larinya dan tidak
ada seorangpun, kecuali saya, yang memperhatikannya.
Sudah menjadi kebiasan saya, peristiwa yang paling kecilpun
tidak pernah terlewat begitu saja dari perhatian saya. Saya lihat
semua binatang, tanpa kecuali, lebih cenderung ke arah selatan,
daripada arah yang dipimpinkannya. Di sebelah utara, jadi di
belakang kami, tentu ada apa-apanya yang mempengaruhi mereka.
Saya berpaling sejauh tali yang mengikat saya memungkinkan, dan
saya lihat di sana ada sekelompok kecil awan tipis. Segera saya
tahu, bahaya apa yang mengancam kami karena saya telah
mempelajari segala ciri angin gurun.
"Awas," seru saya, "Cepat cari tempat berlindung, kita dikejar
badai gurun!" Mula-mula peringatan saya ditertawakan, tetapi dua-tiga menit
kemudian berkerutlah wajahnya. Awan yang sedikit itu menjadi lebih
banyak dan lebih gelap dan unta-untapun berjalan dengan lebih
cepat dari semula. Dengan cambuk, kafillah itu maju secepat
binatang-binatang itu dapat berlari. Kelompok awan makin besar dan
makin gelap dan akhirnya seluruh cakrawala di belakang kami
tertutup semua. Celakanya kami diikat pada unta-unta. Apa yang
akan terjadi, apabila mereka menjatuhkan diri dan berbaring"
"Lepaskan saya! Lepaskan saya!" teriak saya.
"Jangan dilepaskan," terdengar suara Scheik "Biarkan mereka
mampus semua ke dschehennah!"
Amarah saya melipat gandakan tenaga saya, sekali renggut
dengan otot saya yang tegang kuat dan ... terputuslah salah satu
tali, segera menyusul yang kedua, mungkin di beberapa tempat ada
yang lemah. Pendeknya saya tidak terikat lagi dan saya lecut hewan
tunggangan saya. Di muka saya terlihat Khabir, dan saya
memerlukan pisau. Saya susul dia. Unta-unta kami bersisihan. Saya
jangkau dia dengan tangan kiri, tarik ke belakang dan dengan tangan
kanan saya renggut pisau dari sabuknya, serta saya tinju dia,
sehingga dia jatuh dari untanya yang terus berlalu tanpa
penunggangnya. Semenit kemudian saya sudah dekat Kamil, yang ikatan talinya
saya putuskan dengan pisau sambil berjalan cepat. Kemudian,
dengan dua kali irisan Abram Ben Sakir terlepas juga dari ikatannya.
Tidak ada waktu lagi untuk mengingatkan orang lain, sebab di
belakang kami terdengar deru dan desah yang ketika saya toleh
terlihat dinding gelap dari langit hingga ke bumi di belakang kami,
yang mengejar kami. Itulah pasir yang dihembus badai, yang dapat
mengubur kami hidup-hidup.
Di muka kami sudah mulai gelap. Badainya sudah sampai ke
saya. Ia menerjang saya seolah-olah saya hendak dilemparkannya
dari unta. Saya berpegang pada pelana dan saya pacu unta saya
hingga hewan itu tidak bisa lari lebih cepat lagi. Pasirnya belum
sampai ke kami, hanya badainya yang sudah tiba, jadi masih ada
kesempatan untuk menyelamatkan diri. Saya lihat di depan saya
orang-orang lari berpencaran. Mereka telah tiba di sisi bukit, yang
banyak bebatuan dan dinding-dinding karangnya yang menjulang
tinggi yang dapat dipakai sebagai tempat berlindung. Saya tidak pelu
mengarahkan binatang saya, nalurinya sendiri menunjukkan arah
yang tepat. Ia berlari secepat-cepatnya ke arah salah satu gundukan
karang dan lekas-lekas merebahkan diri, sampai-sampai saya tidak
berkesempatan melompat dari pelana. Saya menyusup di antara
unta dengan batu. Ujung jubah saya jejalkan ke dalam mulut,
sedang hidung dan mata saya tutupi dengan sorban saya. Baru saja
selesai, pasirnya sudah tiba. Jatuhnya bagai dinding yang menjatuhi
badan saya. Saya tidak berpikir lagi, tidak berkeinginan lagi, saya
hanya mau bisa bernafas. Saya tidak mendengar apa-apa lagi, atau
mungkin karena sedemikian hebatnya kegaduhan itu sampai saya
tidak dapat mendengar apa-apa lagi. Berapa lamanya saya
berlindung di sana, saya tidak ingat lagi. Tapi tiba-tiba ketenangan
datang, dan sunyilah keadaan di sekitar saya, dan unta di samping
saya mulai bergerak. Saya berusaha berdiri. Rasanya sukar, tapi
akhirnya bisa juga. Setelah saya berdiri, barulah tahu, betapa banyak
pasir yang telah menindihi saya. Bagaimana kiranya nasib mereka
yang sama sekali tidak mendapatkan perlindungan" Meskipun saya
telah berusaha untuk menutup semua lubang pada badan, hidung,
telinga, tapi bahkan mulut sayapun penuh dengan pasir yang amat
halus. Kelopak mata yang telah saya tutup rapat-rapat penuh pula
dengan pasir halus. Dengan susah payah saya mencoba untuk
membersihkannya supaya mata tidak sakit. Lalu saya layangkan
pandangan mata ke sekeliling saya.
Dari balik batu-batu yang berserakan, unta dan manusia
berusaha keluar dari timbunan pasir. Hewan sayapun telah berdiri.
Yang mengkhawatirkan adalah keadaan para tawanan yang terikat
pada unta. Hewan-hewan itu merebahkan diri ke tanah berikut
dengan bebannya. Ketika berdiri, orang-orang malang itu
bergelantungan pada unta. Timbunan pasir saya sibakkan untuk
menolong mereka. Seorang demi seorang saya retas putus talinya.
Perbuatan saya dibiarkan oleh para Tuareg, sebab mereka terlalu
sibuk dengan diri mereka sendiri. Kalaupun saya dihalang-halangi,
tentu akan sia-sia saja, karena kini saya tidak terikat bahkan telah
memegang pisau . Bagaimana senapan-senapan saya" Scheik yang mengambilnya.
Dimana dia" Saya cari dengan pandangan mata saya, dan saya
lihat dia muncul dari balik karang dan berjalan kesana kemari.
Menurut dugaan saya dia sedang mencari keterangan tentang
anaknya yang masih belum kelihatan. Kesempatan ini saya
pergunakan. Makin jauh ia meninggalkan tempatnya, makin dekat
saya ke sana, hingga saya mencapainya dan berdiri di samping
untanya. Sekejap kemudian, segala barang saya sudah ada di
tangan lagi dan saya menyingkirkan diri lagi. Untunglah badai pasir
ini bukan dari jenis yang berbahaya dan hanya sebentar saja. Tidak
ada seorangpun yang luka dan segera kami lihat dari arah utara
sekelompok unta menyusul kami. Itulah kelompok hewan beban
dengan pengiring-pengiringnya yang agak menderita gangguan
badai. Hanya seorang yang masih ketakutan, yaitu Scheik yang belum
menemukan anaknya. Sambil berkeluh-kesah dia bertanya kemanamana, tetapi tidak
seorangpun yang bisa memberi keterangan. Anak
itu tidak ada, dan mungkin hilang. Tentunya Tachtirwan itu dengan
tiang-tiangnya yang tinggi takkan tertimbun pasir dan seharusnya
kelihatan dimana adanya. Saya ada pada Abram Ben Sakir dan orang-orangnya berikut
unta mereka. Masing-masing orang membawakan cerita sendirisendiri yang
mengerikan. Sesungguhnya kami harus berterima kasih
pada badai itu karena telah memberikan kesempatan pada saya
untuk mendapatkan pisau Khabir yang menyebabkan
terbebaskannya kami dari ikatan. Sudah tentu kami mengharapkan
untuk tidak ditawan lagi, meskipun saat itu hanya saya yang
bersenjata. Ketika para binatang beban baru saja tiba, Scheik menghampiri
saya. "Engkau bebas dan senapanmu ada padamu lagi?" tanyanya
tercengang. "Kalian akan diikat lagi anjing!"
Ia berpaling hendak memanggil orang-orangnya, tapi saya tidak
membiarkan dan saya pegang dia dari belakang serta saya banting
dia ke tanah serta saya tindihi dadanya dengan lutut saya sambil
mencabut pisau di sabuknya, dan dengan senjata itu saya ancam dia
dengan kata-kata" "Tutup mulutmu, bangsat! Awas sekali berteriak, pisau ini masuk
ke dalam dadamu.Jangan bergerak jika engkau masih sayang akan
jiwamu. Engkau akan berkenalan dengan orang yang kau sebut
anjing!" Baginya semua ini terjadi amat tiba-tiba. Dia mengerti bahwa
saya bersungguh-sungguh dan tidak berani bergerak maupun
berteriak. "Kalau Anda mau selamat dan tak mau jatuh lagi ke tangan
Tuareg, taatilah saya sekarang." Perintah saya kepada orng gajian
saudagar yang ada di sekeliling saya. "Pegang dia dan ikat kedua
lengan dan kakinya."
Perintah saya segera dilaksanakan mereka dan sekarang saya
bertanya ke Scheik: "Tidakkah utusanmu yang jadi Khabir kami menceritakan bahwa
saya mempunyai senapan-senapan ajaib?"
"Ya," jawabnya marah, tapi agak ketakutan.
"Jadi kau tahu, jika kau berani membangkang, jiwmu akan


Pasir Maut Von Bilma Nach Murzuk Karya Karl May di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melayang. Jiwamu tidak aku ingini, demikian juga hartamu, yang
saya ingini adalah supaya kau tepati janjimu yang kau ucapkan
kemarin malam. Apabila kau bersedia, kau akan kami bebaskan dan
tak seorang Tuareg pun yang kami ganggu. Sebaliknya, saya akan
menusukkan pisau ini ke dadamu dan akan menembak tiap Targi
yang berani mendekat ke saya kurang dari limaratus langkah. Ambil
keputusan secepatnya. Saya hitung hingga sepuluh. Pada hitungan
ke sepuluh, waktunya habis, dan pisau ini akan saya tusukkan."
Saya kuakkan baju yang menutup dadanya. Saya todongkan
pisau ke atasnya. Dengan tangan kiri, saya pegang lehernya dan
saya mulai: "Wahid - itnehn - telath - arba - chams-"
"Berhenti," serunya. "Berhenti. Engkau bukan orang Islam. Bukan
pula orang Kristen. Engkau setan dan saya terpaksa menyerah."
"Jadi kami bebas dan segala harta kami akan dikembalikan?"
"Ya!" "Janganlah mengira bahwa kami sekarang sudah puas dengan
ucapan janji belaka yang mudah diingkari lagi nanti. Berikan
sekarang perintah bahwa orang-orangmu sedikit-dikitnya harus
mundur dari sini seribu langkah. Sepuluh orang diantaranya dapat
datang kemari seorang demi seorang untuk mengembalikan untaunta kami dan segala
harta benda kami. Setelah itu dilaksanakan
dan kami sedikitpun tidak diganggu, barulah engkau saya bebaskan
dan sementara engkau melanjutkan perjalananmu, kami akan
kembali. Setuju atau tidak" Saya lanjutkan hitungannya!"
Ujung pisau saya tancapkan ke dadanya dan ia tidak
mengabaikannya. Katanya: "Simpan lagi pisaumu, saya akan melakukan keinginanmu."
"Tidak, pisau ini tetap ditempatnya, di atas dadamu, sampai
semua syarat dipenuhi, dan sedikit saja ada hal yang mecurigakan,
saya tusukkan ke jantungmu. Awas, jangan menggunakan tipu
muslihat." Hampir semua Tuareg telah berkumpul di sekitar hewan beban
yang baru tiba. Salah seorang di antara mereka berlari-lari cepat
mendekati kami dan serunya:
"Mana Scheik kita " Ada ....."
Ia tertegun di tengah kalimat, sebab atas isyarat saya, kawankawan saya minggir,
dia melihat Scheiknya terikat dan terbaring di
atas pasir dengan saya berikut pisau terhunus berlutut di atasnya.
"Faz'allah!" serunya. "Engkau tidak terikat dan itu ...."
"Scheikmu." Saya selesaikan kalimatnya. Bila mau selamat,
kemari dan dengarkan apa yang akan dikatakan."
"Meskipun perlahan dan penuh keraguan, ia mendekati kami.
Menyenangkan kelihatannya bagaimana yang satu dengan suara
gemetar karena marah yang terpendam memberikan perintahnya ,
dan yang lain mendengarkan dengan rasa amarah pula, dan
kemudian pergi untuk melaksanakan. Kami lihat orang Tuareg
berkumpul berteriak-teriak sambil menggerak-gerakkan tangannya
membicarakan perintah tadi. Lalu sepuluh orang diantaranya datang,
seorang demi seorang membawa harta benda kami berikut unta-unta
kami, sedang yang lain mundur hingga jarak yang ditentukan.
Beberapa benda, juga pisau saya belum kelihatan dan saya tuntut
supaya semua barang biar tidak berharganyapun dikembalikan pada
kami. Bagi mereka tiada jalan lain selain memenuhi keinginan kami.
Akhirnya setelah semua barang kami terima kembali, kata Scheik:
"Sekarang semua tuntutanmu sudah kami penuhi, dan kami mau
tahu akan ketepatan janjimu."
"Kara Ben Nemsi tak pernah mengingkari janjinya," jawab saya.
Kau lihat semua orang-orang saya sudah mendapatkan kembali
senjatanya dan semuanya sudah terisi. Apabila kami dipaksa
menembak, tiap-tiap tembakan berarti satu kematian. Jadi pergilah
cepat-cepat dari sini."
"Kami masih perlu tinggal di sini sebab anak saya belum
ketemu." "Carilah cepat-cepat, sebab kami tidak akan meninggalkan
tempat ini sebelum mendapat kepastian bahwa kalian tidak akan lagi
kembali ke sini." Saya lepaskan dia dari ikatannya. Dia bangkit berdiri untuk pergi.
Tapi setelah beberapa langkah dia tertegun, berpaling ke saya, dan
diangkatnya tangannya seperti orang hendak mengucapkan sumpah
dan katanya dengan bunyi penuh kebencian yang tak
terpendamkan: "Engkaulah satu-satunya kafir yang dapat mengalahkan saya,
tetapi takkan ada duanya. Pergilah dari negeri ini, pergilah secepatcepatnya. Sebab, sekiranya saya ketemu lagi
dengan engkau , akan berarti kematianmu, manusia terkutuk!"
Ia kemudian pergi. Sesampainya pada teman-temannya,
rupanya ia dijatuhi tempelakan. Hal itu sama sekali tidak
mengherankan saya. Lalu mereka tercerai-berai ke segala penjuru
mencari Khaloba. Peristiwa yang berakhir dengn selamat
menyenangkan kami. Kami berbaring-baring dengan unta-unta kami
di antara bebatuan karang. Dengan tenang kami melihat para Tuareg
mencari anak hilang yang tak kunjung tampak.
Saya ingin meolong mereka, sebab masih terngiang-ngiang di
telinga saya kata-kata Khaloba: "En taijib!". Namun saya harus
berhati-hati jangan sampai terjatuh lagi ke tangan orang-orang yang
haus akan pembalasan dendam. Rupanya mereka menemukan jejak
alamat. Tampaknya mereka buru-buru menaiki kuda mereka dan
menghilang ke arah selatan. Kami masih mendengar teriakanteriakan mereka.
Kedengarannya tidak seperti orang-orang yang
bergembira, tapi seperti yang dihinggapi kecemasan.
Sesudah mereka tak nampak lagi, kami menanti setengah jam
lagi dan menganggap mereka tidak akan kembali lagi. Kami
berkemas-kemas. Pada saat hendak menaiki unta saya, Kamil
berseru sambil menunjuk arah selatan:
"Sihdi, tunggu sebentar. Ada seorang berunta datang kemari."
Benar apa yang dikatakannya. Tampak oleh kami delapan atau
sepuluh orang lagi menyusul dan amat tergesa-gesa. Kami dapat
mengenali mereka. Orang Tuareg dan paling depan Scheiknya.
Apakah mereka akan menyergap kami" Saya angkat senapan saya
dengan maksud agar mereka tidak datang mendekat.
"Jangan menembak, jangan menembak! Kami bermaksud baik!
Kami bermaksud baik!" teriaknya sekeras-kerasnya dari jauh.
Kawan-kawannya berhenti dan dia sendiri berjalan terus. Saya
turunkan laras bedil saya, karena seorang saja tidak membuat kami
khawatir. Kira-kira pada jarak limapuluh langkah lagi, ia menahan lari
untanya, serta dengan rendah hati memohon:
"Ijinkanlah saya datang pada Tuan, Sihdi. Saya datang kemari
bukan sebagai musuh, tetapi sebagai pemohon, sebab hanya Tuan,
ya hanya Tuan yang bisa menolong saya."
"Silakan." Ia mendekatkan untanya. Ia tidak turun dan tetap duduk di atas
pelananya. Saya ingin tahu apa yang dikehendakinya. Tentu sesuatu
yang luar biasa, sebab wajahnya terlihat berkerut ketakutan dan
nafasnya terputus-putus seperti orang kekurangan udara.
"Naik, lekaslah naik dan ikut dengan saya, secepat-cepatnya!,"
serunya. "Kami sudah kehabisan akal, hanya Tuan yang dapat
menyelamatkan Khaloba, anak saya."
"Mengapa" Dimana dia?"
"Ditengah-tengah Pasir Maut! Dia telah dihanyutkan badai ke
dalam Raml el Helahk."
"Lalu saya harus datang untuk menyelamatkan dia, saya"
Seorang giaur?" "Ya, Tuan dan Tuan sajalah. Kara Ben Nemsi tidak kekurangan
akal. Tidak ada yang tidak dapat dilakukannya. Mata Tuan dapat
melihat yang gaib dan yang ada di tangan Tuan tidak akan tercecer."
Ucapannya benar-benar tulus ikhlas ataukah untuk memancing
saya ke dalam tipu muslihatnya" Tidak, wajahnya tidak berdusta.
Kecemasan yang dipancarkannya tidak dibuat-buat. Dalam hal ini
saya tidak boleh ragu-ragu atau maju mundur.
Naiklah saya ke unta. Terkadang muncul kecurigaan, tapi gema
suara anak kecil itu "en taijib, en taijib", Tuan baik budi! Kami
berjalan terus seperti terbang, sampai anak itu tertolong atau . . .
bertemu dengan ajal saya.
Segera kami tiba di tempat dimana bukit karang memecah
menjadi dua. Di sana para Tuareg berhenti. Unta-unta mereka
berbaring dengan kepala menghadap kami. Di belakang mereka,
suatu tempat berbahaya, yang tidak asing lagi bagi mereka.
Di hadapan saya, terbentang lubang karang yang pinggirnya
hampir menyerupai lingkaran dengan garis tengah sekitar dua
kilometer. Kedalamannya sudah tentu tidak bisa diketahui, tetapi
tentunya luar biasa karena tebingnya curam, hampir tegak lurus.
Cairan apa di dalamnya juga tidak diketahui. Kandungannya berupa
pasir yang amat halus dan ringan sehingga tidak bisa menahan
beban seberat kaki orang atu kaki binatang sekalipun. Menurut
dugaan orang, tadinya isinya berupa air atau sejenis zat cair.
Kemudian, pasir diterbangkan ke sana oleh badai gurun. Yang
berat, jadi bagian bawah yang terdorong badai pasir, sesuai dengan
yang telah kami alami, tertahan oleh bebatuan karang. Tetapi yang
halus dan ringan, melayang-layang di udara, jatuh di atas air dan
tidak tenggelam karena ringannya . Begitulah yang saya bayangkan
terjadinya lautan pasir dan saya rasa pendapat saya itu tidak salah.
Malanglah siapapun yang jatuh ke dalamnya.
Kira-kira pada jarak empat puluh meter dari pinggir pasir maut
itu tampak oleh saya Tachtirwan mengambang di permukaan
daerah maut itu. Berkat bahan-bahan ringan yang dipakai dalam
pembuatan usungan itu, benda itu tidak tenggelam. Khaloba ada di
dalamnya. Untung ia mengerti bahwa ia tidak boleh bergerak. Ia
senantiasa hanya berseru-seru meminta pertolongan. Baru saja ia
melihat saya, ia memanggil-manggil saya.
"Ta'al, ta'al ja Sihdi! Hallisni min el mot meded, meded. Mari
kemari ya Sihdi! Tolonglah saya dari maut. Tolong. Tolong."
"Ya, ya," jawab saya, sambil melompat dari pelana. "Jangan
bergerak supaya tidak kehilangan keseimbangan."
Orang-orang Tuareg berdiam diri. Mata mereka tertuju ke saya,
mata yang cemas, yang sekarang tidak memancarkan benci atau
dendam. Pemimpin mereka juga melompat dari pelananya. Setelah
dia mendengar kata-kata saya, dipegangnya kedua tangan saya dan
serunya dengan gembira: "Tuan hendak mengambil dia" Masih mungkinkah
menyelamatkan dia?" "Dengan pertolongan Tuhan, apa saja mungkin," jawab saya .
"Jelas, bahayanya amat besar, tapi jika yang Maha Kuasa menyertai
saya, saya dapat menyelamatkan anak Tuan. Tetapi jika
berdasarkan pertimbanganNya, yang Maha Adil dan Maha Agung
memutuskan lain, saya dengan anak Tuan akan binasa."
Setelah berpikir sejurus lamanya, saya lanjutkan:
"Tidak ada galah yang cukup panjang dan tidak mungkin pula
saya melemparkan tali. Saya harus berusaha membuat kellek (rakit)
yang dapat membawa saya ke tempat itu."
"Kellek, mana bahan-bahannya" " tanya Scheik tercengang.
"Tidakkah terpikir oleh Anda, mengapa saya membawa tenda
Abram Ben Sakir kemari" Ataukah Tuan mengira barangkali bahwa
saya akan berkemah di atas Pasir Maut Raml El Helakh. Rakit itu
harus amat ringan, amat panjang dan amat lebar supaya bisa
menahan beban saya dan tidak tenggelam. Tenda yang saya bawa
dan tenda Anda yang saya lihat di sini kainnya akan saya pakai dan
tiang-tiangnya akan saya jadikan kerangka rakit itu. Saya mau lihat
dulu berapa dalamnya danau pasir ini dan seberapa berat beban
yang dapat ditahan supaya tidak tenggelam."
Saya ambil salah satu tiang dan dengan itu dengan sangat
berhati-hati selangkah demi selangkah saya cari, saya raba, tepi
danau yang sukar dibedakan karena semua tertutup oleh pasir. Satu
langkah yang ceroboh bisa membinasakan saya. Tak lama kemudian
tongkat sampai ke tempat yang tidak terasa ada dasarnya. Saya
berlutut dan menusukkan tongkat ke dalam zat cair yang tidak
terduga dalamnya. Saya sambung sambungkan beberapa utas tali. Pada salah
satu ujungnya saya ikatkan sebuah batu. Saya turunkan batu dengan
tali-tali yang tersambung sepanjang empat puluh meter. Meski tali
telah masuk semuanya, dasarnya belum tersentuh. Begitulah danau
pasir itu di tepinya saja sudah sedalam itu dan tidak bisa diduga.
Kenyataan ini menimbulkan rasa agak khawatir, sebab dalam hal ini
kepandaian berenang tidak berguna. Kalau rakit ini tidak dapat
bertahan dan saya tergelincir ke dalam bubur pasir itu, maka saya
akan binasa, karena zat padat yang ada dalam cairan itu tidak
memungkinkan gerakan yang dilakukan orang berenang.
Sekarang kami menyusun rakit itu tanpa contoh. Jadi saya
sendiri yang harus merancang bentuk yang paling sesuai dan
konstruksi yang paling praktis, dan juga sebuah kemudi yang dapat
dipakai. Bentuk biasa tidak dapat dipakai, malahan berbahaya. Saya
putuskan untuk mengikat sebatang tiang tenda tegak lurus pada
kerangka layar sebagai alat pengumpil. Alat ini berguna sewaktu
berangkatnya, karena waktu kembalinya saya akan ditarik tali yang
saya ikatkan pada rakit dan ujung lainnya dipegang si Tuareg.
Pembuatan rakit itu dan mengikat segala sesuatu yang
diperlukan agak banyak makan waktu. Sementara itu, kami juga
harus senantiasa menyerukan kata-kata yang menimbulkan harapan,
yang membesarkan hatinya, dan yang menyabarkan anak itu.
Akhirnya kami selesai, tetapi yang tersulit masih harus kami hadapi,
yaitu masuk ke dalam "biduk". Kain tenda bersifat lentur seperti karet
dan tidak memberikan pijakan kuat. Jadi untuk melangkah masuknya
saja sudah amat berbahaya. Saya melakukan dengan amat berhatihati dan.......
Untunglah berhasil. Dengan tiang tenda sebagai galah, rakit itu didorong dari tepi
dan selanjutnya saya gunakan pengumpil. Bukan main senangnya
saya karena ternyata alat itu berdaya guna besar! Empat puluh
meter! Dengan biduk di atas air,jarak yang sedemikin itu tidak
merupakan masalah, beberapa kayuhan sudah lebih dari cukup. .
Tapi di atas bubur jahanam ini, merupakan pekerjaan yang
membahayakan jiwa yang menyiksa saya selama setengah jam.
Saya sudah sering dalam bahaya, tapi belum pernah merasakan
siksaan seperti yang sekarang ini. Baru sekaranglah saya
merasakan bulu roma saya berdiri semua. Tali yang
menghubungkan saya dengan tepi tidak merupakan garis lurus,
tetapi berkelok-kelok seperti ular di belakang rakit. Orang-orang
Tuaregpun diliputi rasa ketakutan, hal ini kedengaran dari suara
mereka apabila mereka melihat "biduk" saya hampir kehilangan
keseimbangan. Akhirnya saya sedemikian dekat dengan Tachtirwan
itu, sehingga saya hampir bisa menyentuhnya.
"Tolonglah saya, tolonglah saya, Sihdi!", pinta anak itu.
"Jangan takut!" jawab saya. "Kalau tetap duduk tenang, dan tidak
kehilangan keseimbangan, saya akan membawamu dengan selamat
kepada ayahmu. Kalau Tachtirwan miring ke kiri atau ke kanan,
bungkukkan badanmu ke arah yang saya serukan."
Pada haluan rakit saya, saya ikatkan tali kecil yang tidak terlalu
berat dan pada ujung lainnya telah saya buatkan jeratan yang saya
lemparkan ke salah satu tiang Tachtirwan. Untunglah saya pernah
berlatih menggunakan tali lasso. Kalau tidak, akan buang-buang
waktu dengan sia-sia saja, karena saya tidak bisa bangkit berdiri


Pasir Maut Von Bilma Nach Murzuk Karya Karl May di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

atau bergeser sedikitpun dari tempat duduk saya. Segera saya
pegang jeratan itu. "Tarik!" teriak saya kepada orang-orang di tepi. "Tarik, tapi
perlahan-lahan, amat perlahan-lahan!"
Mereka melaksanakan seruan saya. Rakit saya mundur dan
Tachtirwan ikut tertarik. Ia memang terlalu ringan untuk bisa
tenggelam, tetapi sebagai alat pengangkutan sama sekali tidak
berguna. Terkadang posisinya sangat miring sekali, dan jika tidak
ingat akan kemungkinan ini dan tidak membawa beberapa gulung tali
sudah barang tentu ia akan tenggelam. Satu jeratan saya kaitkan
pada tiang kanan, dan jeratan lain pada tiang kiri. Dengan demikian
usungan itu tidak terguling karena keseimbangannya terjaga dengan
adanya dua utas tali itu. Untunglah anak itu agak cekatan dan segera
membungkukkan ke arah yang saya serukan jikalau perlu, sehingga
amat memudahkan pekerjaan saya menjaga keseimbangan
Tachtirwan itu. Waktu kembalinya lebih lambat daripada berangkatnya. Kami
menghabiskan waktu tiga perempat jam sebelum sampai ke tepi.
Ayahnya memeluk anaknya dan orang-orang Tuareg bersorak
gembira. Saya meminggir agak jauh, menundukkan kepala dan dengan
tangan terkatub saya memanjatkan doa terima kasih kepada Yang
Maha Kuasa, yang telah memungkinkan saya untuk menyelamatkan
anak itu dari bahaya yang tiada taranya. Baru sekarang setelah
saya alami sendiri, saya tersadar, betapa dahsyatnya bahaya tadi. Di
belakang saya, saya dengar suara Scheik. Ia menghampiri saya dan
memeluk saya. "Sihdi, kami telah memperlakukan Tuan dengan tidak patut.
Katakan pada saya, apa yang harus saya perbuat, supaya saya
dapat menebus dosa kesalahan saya. Kami semua bersedia
memenuhinya. Ingin kuda-kuda saya yang paling bagus, unta-unta
saya yang paling baik" Mintalah sekehendak hati Tuan , semuanya,
semuanya akan kami berikan."
Bagi mereka yang mengerti adat istiadat gurun, penawaran
kudanya kepada saya sungguh bukan suatu hal yang remeh tapi
merupakan suatu persembahan luar biasa. Semuanya
mendengarkan permintaan yang akan saya kemukakan.
"Ya, ada sesuatu yang saya ingini," jawab saya. "Dan jika Anda
dapat memenuhinya, saya akan berterima kasih dan Allah akan
senang melihat Anda."
"Katakanlah!" "Jangan suka mengutuk manusia yang berlainan kepercayaan.
Ingat, kita semua ini, segala bangsa di seluruh dunia, anak Tuhan,
ciptaan Tuhan, makhluk Tuhan. Sayangilah sesama manusia seperti
Anda menyayangi diri Anda sendiri. Tuhan tidak menghendaki orang
yang penuh dengan rasa dendam dan rasa benci terhadap orang
lain, apapun juga warna kulitnya."
Ia termenung sebentar, lalu menyodorkan tangannya kepada
saya dan katanya" "Kata-kata Tuan bagaikan mutiara yang belum pernah saya
ketahui, tetapi dengan tiba-tiba saya dapatkan. Akan saya simpan
baik-baik dalam hati sanubari saya, barangkali saya akan menjadi
kaya karenanya. Telah saya katakan , bahwa Tuanlah manusia
pertama yang mengalahkan saya, dan kiranya satu-satunya dan
yang terakhir, yang berhasil dengan giang-gemilang. Sekarang Tuan
lagi yang menggondol kemenangan. Mula-mula dengan kekerasan
senjata, sekarang dengan cinta-kasih yang mengeratkan hubungan.
Saya berterima kasih untuk kekalahan itu, yang tidak menjatuhkan
saya ke dalam lumpur kehinaan, malahan memperkaya saya dengan
seorang sahabat. Maukah Tuan menjadi sahabat saya,saudara saya,
dimuliakan oleh seluruh suku bangsa saya, diterima dengan tulusikhlas di kemah
kemah kami" "Dengan segala senang hati."
"Kalau begitu mari kita tinggalkan tempat jahanam ini dan
kembali ke Abram Ben Sakir, tempat kita mendirikan kemah kita dan
mengikat persaudaraan menurut adat gurun. Sahabat Tuan adalah
sahabat saya, dan musuh Tuan musuh saya. Tuan telah mengambil
hati saya, sebab Tuan telah menghadiahkan kasih, bukan dendam
atau benci. Allah jubarik fik. Semoga Allah memberkati Tuan!"
-- o -- Pedang Kayu Harum 3 Pendekar Rajawali Sakti 43 Huru Hara Di Watu Kambang Cinta Orang Orang Gagah 2
^