Pencarian

Orang Ketiga 3

Orang Ketiga Karya Sherls Astrella Bagian 3


lekatlekat, "Aku iri padamu." Fulvia terperanjat. "Jangan berpikir terlalu banyak," ujar Fulvia, "Kami adalah
kakak adik. Aku tidak mungkin merebut Davies darimu. Selain itu, sudah menjadi sifatnya selalu
mengkhawatirkanku." "Aku tahu," Margot tersenyum, "Karena itu pulalah aku mencintainya."
Fulvia lega. "Katakan, Fulvia, apa yang membuatmu melamun."
"Aku tidak sedang melamun."
"Benarkah itu?" Margot tidak percaya, "Sesaat yang lalu aku begitu yakin kau
tidak akan sadar walau di sampingmu ada bom meledak."
"Sungguh," Fulvia meyakinkan, "Aku hanya merasa bosan. Biasanya Trevor dan
Richie datang menggangguku tetapi hari ini mereka tidak muncul dan itu membuatku merasa sangat
jenuh." "Kau benar," Margot menyadarinya, "Biasanya kedua kakak sepupumu itu selalu
berada di sekitarmu. Ke mana mereka" Mengapa mereka tidak muncul?"
"Mungkin mereka tidak tahu hari ini aku ada di rumah."
"Aku dapat memahaminya," kata Margot lagi, "Davies mengatakan padaku hari ini
kau tidak pergi keluar rumah. Irving tidak menjemputmu?"
Fulvia terperanjat. "Bagaimana kau tahu?"
"Tentu saja Davies," Margot tersenyum penuh kemenangan.
Fulvia merasa bodoh. Tentu saja Davies telah mengatakan semuanya pada Margot.
Di awal Fulvia meminta bantuan Irving, ia tidak pernah memikirkan apa yang
mungkin dikatakan orang lain tetapi semenjak Countess Kylie menyalahartikan sikap Irving padanya di hari
Minggu yang lalu Fulvia mulai mencemaskan keputusannya yang lalu itu.
Sedikitpun Fulvia tidak pernah memikirkannya. Fulvia tidak pernah menduga mereka
akan menjadi bahan pembicaraan. Sekarang semuanya sudah terlambat.
Irving pasti tidak menyukai gosip baru ini.
"Hari ini kalian akan pergi ke mana?"
"Apakah kau pikir kakakmu itu akan mengajakku pergi?" Margot mengeluh. "Ia tidak
pernah mengajakku pergi ke mana pun selain ke tempat ini."
Fulvia tersenyum. Ia tahu Margot hanya bercanda.
"Aku lebih suka berpikir ia tidak tahu harus mengajakmu pergi ke mana,"
hiburnya, "Dan Unsdrell adalah satu-satunya hal yang bisa dipikirkan olehnya."
"Membawaku pulang kemudian meninggalkanku?" tanya Margot, "Kurasa tidak."
"Davies pergi?" Fulvia tidak percaya.
"Ya, ia pergi meninggalkanku ke Osbesque. Sepertinya kaum pria keluarga kalian
sedang berkumpul di Osbesque untuk membicarakan suatu masalah."
Fulvia termenung. "Aku mendengar Lewis menginap disanakemarin. Apakah ini
berkaitan dengannya?" "Aku tidak tahu. Davies tidak mengatakan apa-apa kepadaku."
"Semoga tidak terjadi sesuatu yang buruk," gumam Fulvia.
"Tidak akan," Margot meyakinkan, "Davies pergi ke Osbesque dengan wajah gembira.
Pasti tidak terjadi sesuatu yang buruk."
Fulvia juga mengharapkannya.
"Katakan, Margot, bagaimana menurutmu kalau kita berbincang-bincang di Ruang
Duduk sambil menikmati makanan kecil?"
"Aku sangat mendukung idemu itu," kata Margot gembira.
Mereka meninggalkan kamar Fulvia.
"Biarlah kaum pria itu meributkan masalah mereka sendiri," kata Margot bergurau,
"Yang terpenting kita juga bisa menikmati waktu kita sendiri."
Fulvia tertawa mendengarnya.
Margot benar-benar wanita yang menarik. Fulvia yakin Davies juga melihatnya
demikian. Margot sangat memahami sifat kakaknya. Walaupun ia terdengar sering mengeluhkan sifat
Davies itu, tetapi sesungguhnya ia hanya bercanda. Seperti yang sering dikatakan Margot padanya,
sifatsifat Davies itulah yang membuatnya tertarik.
Fulvia menyukai Margot. Ia yakin mereka dapat menjadi kakak adik yang akrab.
Dalam waktu singkat mereka telah duduk di dalam Ruang Duduk dengan teh di antara
mereka dan makanan ringan lainnya. "Mengapa aku tidak melihat Countess Kylie?" tanya Margot.
"Sejak pagi Mama sibuk. Entah apa yang disibukkannya. Mungkin ia mempunyai
rencana minum teh bersama Bibi Yolanda dan Bibi Horace. Atau mungkin mereka tengah merencanakan
liburan musim panas ini." "Keluarga kalian benar-benar akrab," puji Margot, "Benar-benar membuat orang
lain iri." "Ya," Fulvia sependapat. "Mereka benar-benar akrab hingga orang lain percaya
mereka adalah kakak adik bukan sepupu jauh."
"Bagaimanakah hubungan keluarga kalian?" tanya Margot, "Selama ini aku hanya
tahu kalian masih berhubungan kerabat tetapi aku tidak melihat kemiripan di antara kalian."
"Aku juga tidak mengetahuinya dengan jelas," jawab Fulvia, "Sejak aku lahir aku
sudah tahu kami masih berkerabat." "Apakah kau tidak pernah menanyakannya?"
"Apakah itu penting?" Fulvia balas bertanya dengan polos, "Aku rasa kami tahu
kami masih berhubungan kerabat sudah cukup. Untuk apa mengetahui lebih banyak?"
Margot tersenyum. Ia sudah banyak mendengar sifat Fulvia dari Davies. Fulvia
adalah gadis seperti ini. Ia sangat memperhatikan orang lain tetapi ia tidak mau tahu terlalu banyak.
Bagi Fulvia, tahu sudah cukup. Tidak perlu bertanya lebih banyak lagi. Mungkin sifat inilah yang
membuatnya berbeda dengan wanita-wanita pada umumnya yang selalu ingin tahu.
"Sudah kuduga kalian ada di sini."
"Audrey!" Fulvia terperanjat melihat kakak sepupunya itu tiba-tiba muncul.
"Mengapa kau ada di sini?" "Mereka mengusirku," jawab Audrey santai.
"Mengusirmu?" Margot bertanya heran, "Bukankah kaum pria keluarga kalian sedang
membicarakan masalah kalian?" "Benar. Mereka sedang membicarakan masalah kami," Audrey duduk di kursi depan
Fulvia, "Tetapi kaum pria keluarga kami itu tidak mau campur tangan wanita. Karena itulah Richie
mengusirku ke sini untuk mengabarkan temuannya padamu, Fulvia. Tetapi aku tidak keberatan. Aku juga
tidak mau ikut campur masalah Lewis."
"Lewis?" Fulvia terperanjat, "Apakah terjadi sesuatu dengannya" Apakah kalian
bertengkar lagi?" Audrey tersenyum melihat kepanikan Fulvia itu.
"Tidak, Fulvia," Audrey menenangkan gadis itu, "Tidak terjadi apa-apa dengan
kami. Lewis hanya tiba-tiba saja mengusulkan untuk pulang ke Osbesque dan membicarakan masalah
kami dengan orang tuaku." "Tidak ada yang perlu kaukhawatirkan," Audrey cepat-cepat menambahkan melihat
raut wajah Fulvia yang mulai berubah, "Lewis meminta bantuan orang tuaku untuk memulihkan keadaan
Greenwalls dan usaha keluarganya. Sekarang para pria itu sedang sibuk membicarakan rencana
mereka." Fulvia lega mendengarnya. "Aku senang Lewis sudah kembali seperti semula."
"Aku juga sangat gembira," kata Audrey, "Kemarin pagi ia benar-benar
mengagetkanku ketika tibatiba berkata, 'Audrey, kita pulang.' Aku benar-benar senang ia sudah kembali seperti
semula. Aku tahu hari ini akan datang."
"Audrey, bukankah tadi kau mengatakan Richie memintamu mengabarkan temuannya
pada Fulvia," Margot mengingatkan, "Apakah itu?"
"Richie mengatakan ia mendengar ada Festival Topeng," kata Audrey, "Ia berkata
kau pasti akan tertarik." "Apakah kau akan pergi juga, Audrey?" tanya Fulvia menatap kakak sepupunya
lekatlekat, "Kau sudah lama tidak meninggalkan Greenwalls."
"Tentu saja," sahut Audrey, "Lewis bahkan berjanji untuk mengenakan topeng yang
sesuai denganku." Fulvia tersenyum gembira.
"Aku berharap Davies juga akan mengajakku," keluh Margot.
"Pasti, Davies," kata Audrey, "Tadi aku mendengar Davies berkata kau pasti ingin
pergi kesanadan ia akan mengajakmu." "Benarkah itu?" Margot berseru gembira.
"Oh, ini benar-benar luar biasa," Fulvia merasa hari ini benar-benar merupakan
hari bahagianya, "Tidakkah kau dengar itu, Margot, Davies akan mengajakmu. Kita bisa pergi
bersamasama." "Kapankah festival itu diadakan?" Margot bertanya lebih lanjut, "Apakah minggu
depan?" "Masih dua bulan lagi. Tepatnya seminggu setelah pesta ulang tahun Duke of
Wyndham." Jawaban Audrey itu membuat Margot kecewa.
"Jangan bersedih seperti itu, Margot," Fulvia membesarkan hati wanita itu, "Dua
bulan bukanlah waktu yang lama. Kau bisa mempersiapkan segalanya sebelum waktu itu. Aku pun
juga harus mulai memikirkan apa yang harus aku kenakan. Pertama-tama aku harus berpikir dengan
siapakah aku akan pergi. Audrey, kau pasti pergi dengan Lewis. Kemudian Margot dengan Davies.
Tinggallah aku, Trevor dan Richie. Aku ingin pergi berduaan seperti kalian tetapi rasanya aku harus
pergi bertiga lagi." "Kau bisa pergi dengan Irving," Audrey mengusulkan.
"Itu tidak mungkin. Irving pasti sudah mempunyai janji dan ia belum tentu mau
pergi kesana." Pernyataan Fulvia itu membuat Audrey maupun Margot terperangah.
"Fulvia, apakah kau tidak mendengar kabar-kabar itu?" tanya Audrey keheranan.
"Semua orang membicarakannya." Fulvia hanya menatap kakak sepupunya itu.
"Irving sudah berubah," lanjut Margot, "Ia sudah tidak pernah lagi terlihat
keluar bersama wanita mana pun. Ia juga tidak pernah berganti-ganti pasangan."
"Sekarang ia sudah berubah menjadi seorang pria yang setia," Audrey menegaskan.
"Benarkah itu?" Fulvia tidak percaya.
Audrey dan Margot saling berpandangan heran.
"Kau tidak tahu?" tanya Margot tidak percaya.
"Siapakah wanita itu?" Fulvia balik bertanya penuh ingin tahu. "Aku senang
akhirnya Irving dapat berubah menjadi seorang pria yang setia."
Sekali lagi dua wanita muda itu saling berpandangan bingung.
"Kau tidak tahu siapa wanita itu?"
"Kau tidak cemburu padanya?" Audrey menyelidiki.
"Cemburu?" Fulvia balik bertanya.
Fulvia terdiam. "Mungkin," katanya sambil tersenyum, "Tetapi aku sungguh berbahagia untuk wanita
itu." Sekali lagi dua wanita muda itu saling berpandangan bingung.
"Kau tidak tahu siapa wanita itu?" Margot menyelidiki, "Bukankah kau pergi
bersama Irving beberapa hari ini?" Fulvia terperanjat. Semua orang tentu menduga mereka terus berduaan sepanjang
hari dalam beberapa hari mendatang ini tetapi kenyatannya bukan seperti itu. Fulvia tidak tahu
bagaimana menjelaskan ini dan ia hanya dapat memohon bantuan Audrey melalui tatapannya.
"Aku melihat Irving sangat memperhatikanmu," Audrey tersenyum penuh arti, "Aku
yakin ia mulai tertarik padamu." Seketika wajah Fulvia memerah. "Jangan menuduh yang tidak-tidak. Kami hanya
teman. Hanya teman," ia menegaskan.
"Aku tidak mendengarnya seperti ini," desak Margot, "Aku telah mendengar


Orang Ketiga Karya Sherls Astrella di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

semuanya dari Davies." "Apakah Mama memberitahu Davies?" Fulvia bertanya penuh waspada.
"Memberitahu apa?" Audrey dan Margot bertanya penuh ingin tahu.
"Tidak ada. Tidak ada," Fulvia mengelak dengan panik.
Audrey mencurigai kepanikan Fulvia demikian pula Margot.
"Apakah kalian sedang membicarakanku?"
"Mama!" Fulvia terkejut melihat Countess Kylie muncul di pintu.
"Tidak, Bibi Kylie," kata Audrey.
"Bagaimana mungkin kami membicarakan Anda?" tambah Margot.
"Kami sedang membicarakan Fulvia dan Irving," Audrey tersenyum penuh arti sambil
melirik Fulvia. Fulvia merasa sedang dipojokkan.
"Berbicara tentang Irving," kata Countess, "Ia datang mencarimu, Fulvia."
Spontan Audrey dan Margot menatap Fulvia penuh ingin tahu.
"Mencariku?" Fulvia heran.
"Aku memintanya menantimu di Ruang Tamu."
"Aku segera kesana," Fulvia beranjak bangkit.
Kedua wanita itu memperhatikan Fulvia yang terburu-buru meninggalkan mereka.
"Apa yang kalian bicarakan?" tanya Countess Kylie tertarik.
"Kami membicarakan kabar terbesar abad ini, Bibi," jawab Audrey.
Margot tertawa mendengarnya.
Fulvia cepat-cepat menutup pintu. Ia tidak mau lagi mendengar pembicaraan yang
menyudutkan dirinya itu. Irving berdiri di Ruang Tamu dengan wajah tidak senangnya.
"Anda mencari saya, M'lord?" tanya Fulvia heran melihat raut wajah pria itu.
"Aku tidak bisa menerima tindakanmu ini!" kata Irving tegas.
Fulvia tidak mengerti. "Aku tidak menerima penolakan," Irving menyodorkan kotak merah pada Fulvia.
"Oh." "Bukan 'oh' yang ingin aku terima!"
Fulvia tersenyum lembut. "Seperti yang saya katakan, tanpa mengurangi hormat dan
terima kasih saya pada Anda, saya tidak dapat menerima hadiah Anda."
"Kau tidak mempunyai alasan menolaknya!" Irving bersikeras.
"Saya lebih tidak mempunyai alasan menerimanya," dengan tenang Fulvia
menjelaskan, "Saya tidak
sedang berulang tahun. Saya tidak sedang dalam peringatan apa pun. Saya tidak
patut menerimanya. Saya menghormati Anda sebagai teman saya dan saya sangat berterima kasih atas segala
yang Anda lakukan untuk saya. Dan bila Anda berkenan, saya lebih ingin memberi sesuatu untuk Anda
daripada menerima sesuatu dari Anda. Saya tahu tidak ada yang dapat membalas segala budi yang Anda
lakukan untuk saya. Hanya sepatah kata 'terima kasih' yang dapat saya berikan untuk Anda saat ini."
Irving terhenyak. "Saya sungguh tersanjung oleh perhatian Anda pada saya, tetapi saya tidak dapat
menerima cumacuma pemberian ini. Saya tidak akan menyangkal saya sangat menginginkan kotak musik
ini lebih dari apa pun. Walau demikian, sungguh tidak lucu bila saya memberikan hadiah pemberian
Anda kepada orang tua saya sebagai hadiah pernikahan."
Entah mengapa Irving seperti kehabisan kata-katanya.
"Saya ingin memberi mereka sebuah hadiah yang saya peroleh dari hasil kerja
keras saya. Saya ingin mereka tahu saya menghargai jerih payah mereka dalam membesarkan saya."
"Mereka tidak menerima pengembalian kotak musik ini kecuali ia cacat atau
rusak," Irving berkata seolah memberitahu dirinya sendiri.
"Oh," Fulvia terkejut.
"Aku juga tidak dapat menyimpannya," Irving menatap Fulvia penuh harap.
"Bila demikian," Fulvia berpikir cepat, "Maka yang bisa saya lakukan adalah
membelinya dari Anda." Irving membelalak. "Katakanlah Anda membantu saya membelinya karena Anda tahu kekhawatiran saya,"
Fulvia melanjutkan tanpa memberi kesempatan pada Irving untuk berbicara.
"Saya tidak tahu berapa Anda membelinya," Fulvia merogoh saku bajunya dan
mengeluarkan sebuah kantung kecil. "Saya hanya menyiapkan uang sejumlah harga yang pernah saya
tanyakan. Semoga saya tidak merugikan Anda."
"Terima kasih," Fulvia mengambil kotak itu dari tangan Irving dan memberikan
kantung yang penuh berisi uang itu pada Irving. "Saya sungguh berterima kasih atas kebaikan Anda.
Anda telah menyelamatkan kotak berharga ini dari pembeli lain dan mengantarkannya pada saya. Berkat Anda
saya dapat menghemat waktu saya." Fulvia tersenyum gembira. Pipinya yang kemerahan tampak merona merah oleh
kegembiraannya. Matanya yang keunguan tampak terharu.
"Tak perlu sungkan," Irving tidak tahu harus berkata apa.
"Bila Anda tidak keberatan," Fulvia masih tersenyum gembira, "Saya ingin segera
menyembunyikan benda ini di kamar saya sebelum seorang pun dari keluarga saya melihatnya."
Irving tertegun. "Saya akan segera kembali setelah saya menyembunyikannya di tempat yang aman,"
kata Fulvia lagi. "Tidak perlu. Aku sudah tidak mempunyai kepentingan di sini. Aku akan segera
kembali ke Nerryland." Fulvia kecewamendengarnya.
"Ijinkan saya mengantar kepulangan Anda," Fulvia berkata sopan.
Irving tidak berkata apa-apa. Ia masih tetap berdiam diri ketika mereka telah
sampai di depan Unsdrell. "Terima kasih," Fulvia mengulangi dengan penuh syukur, "Saya benar-benar
berterima kasih atas semua kebaikan Anda selama ini. Saya berharap saya dapat membalasnya suatu hari
nanti." "Tidak perlu sungkan," Irving merasa anehmendengar nada suaranya yang penuh
kebingungan, ketakjuban dan entah perasaan apa lagi yang tercampur aduk dalam suaranya
seperti dalam benaknya saat ini. Fulvia tersenyum manis. Irving tertegun melihat senyum yang mempercantik wajah oval gadis itu. Mata biru
keunguannya terlihat semakin cerah dengan senyum yang tersembunyi di baliknya.
"Unsdrell akan selalu terbuka untuk Anda," senyum manis Fulvia tidak menghilang.
"Aku tidak akan menahanmu lebih lama lagi," Irving mendapatkan kembali dirinya.
"Selamat jalan."
Irving menatap gadis itu lekat-lekat. Tangannya terulur.
Jantung Fulvia berdebar-debar melihat pandangan mata yang memabukkan itu. Ia
hanya pernah melihat sinar lembut dalam mata biru tua itu sekali.
"Selamat siang," Irving menarik kembali tangannya dan ia bergegas masuk dalam
kereta kudanya. Fulvia tertegun. Kekecewaan merebak dari sisi terdalam hatinya dan ia mengawasi
kepergian kereta kuda itu dengan hati hampa.
Teringat kotak di tangannya, Fulvia bergegas kembali ke kamarnya. Fulvia
menyembunyikan kotak itu di bawah tempat tidurnya, tempat yang paling aman menurutnya dan pergi ke Ruang
Duduk untuk menemui keluarganya. Derai tawa mereka terdengar begitu keras ketika Fulvia berada di sekitar Ruang
Duduk dan suara itu semakin keras ketika semakin dekat.
"Apa yang kalian bicarakan?" Fulvia bertanya penuh ingin tahu.
Tawa ketiganya berhenti. Mereka menatap Fulvia dengan heran.
"Kau sudah kembali?" tanya Audrey heran.
"Di mana Irving?" Margot tertarik.
"Ia sudah pulang," jawab Fulvia sambil mendekat, "Ia masih mempunyai keperluan."
"Apa yang dibicarakannya denganmu?" Margot terus bertanya.
"Tidak ada," jawab Fulvia, "Ia tidak membicarakan apa pun denganku."
"Benarkah itu?" Margot bergeser untuk semakin mendekatkan dirinya dengan Fulvia.
"Benar," Fulvia bersikeras untuk tidak membicarakan hal itu.
"Jangan mendesaknya," Countess membuat Fulvia merasa lega, "Aku yakin ia masih
malu untuk mengatakannya pada kita."
Perkataan Countess itu membuat Fulvia merasa salah tingkah.
Ketiganya menatap rona merah di pipi Fulvia dengan penuh ingin tahu.
Fulvia berpikir cepat untuk mengalihkan perhatian mereka.
"Apakah yang kalian bicarakan barusan?" Fulvia berpura-pura tidak menyadari
tatapan mereka, "Tampaknya menarik sekali."
"Kurasa saat ini memang percuma mendesaknya," keluh Audrey.
Keluhan Audrey itu membuat Fulvia merasa semakin tidak nyaman. Sekarang ia tidak
mempunyai alasan untuk meninggalkan tempat ini. Selain itu adalah hal yang sangat tidak
sopan untuk meninggalkan mereka begitu saja. "Kami sedang membicarakan Festival Topeng mendatang," kata Countess.
Fulvia tertarik. "Apakah Mama juga akan pergi?"
"Mungkin," Countess tersenyum dan menambahkan, "Bila ayahmu juga mau pergi."
"Aku akan membujuk Papa," Fulvia menawarkan diri, "Aku yakin Papa pasti mau
mendengarku." "Aku juga yakin kau akan lebih berhasil daripada aku," Countess tersenyum
melihat semangat putrinya itu. "Dan, Audrey," Fulvia mengalihkan pandangan, "Apakah kau bisa membujuk Paman
Meyer dan Bibi Horace?" Audrey kebingungan. "Pasti akan sangat menyenangkan sekali untuk pergi beramai-ramai ke sana,"
Fulvia berkata penuh semangat, "Aku akan membujuk Paman Graham dan Bibi Yolanda." Lalu Fulvia melihat
Margot. "Kau juga bisa mengajak orang tuamu," katanya penuh semangat.
Margot tersenyum. "Kau juga bisa mengundang Irving."
Wajah Fulvia langsung memerah.
Ketiga wanita itu tertawa.
Fulvia merasa hari ini ia tidak akan bisa melepaskan diri dari suasana yang
memojokkan dirinya ini. -----0----Irving menimang-nimang kantung uang. Pikirannya bercampur aduk dan
hatinya galau. Bukan ini yang ia harapkan dari Fulvia. Bukan ini rencananya semula.
Beberapa saat lalu ia begitu yakin ia telah mengerti Fulvia. Fulvia tidak
berbeda dari apa yang ada dalam pikirannya. Ia hanyalah seorang gadis ingusan yang mempunyai cara unik
untuk mendapatkan keinginannya. Beberapa saat lalu ia pergi menemui Fulvia untuk membuat gadis itu menjelaskan
semua rencananya yang aneh ini. Beberapa saat lalu ia ingin membuat gadis itu mengungkapkan semua rencana
liciknya. Dan sekarang gadis itu kembali menjungkirbalikkan pikirannya.
Irving tidak mengerti. Bahasa dalam buku yang terbuka lebar itu masih sulit
dimengerti olehnya. Ia dapat membaca tulisan itu tetapi ia tidak dapat mengerti bahasa yang
digunakannya. Ia tidak dapat menangkap isi buku itu. Irving meremas kantung itu. "Sial!" tangannya bergerak melempar benda itu.
Senyum manis Fulvia merekah.
Tangan Irving terhenti. "Aku tidak mengerti gadis ingusan itu," geramnya. Irving membuka laci meja
bacanya dan melempar kantung itu ke dalamnya. 11 Fulvia termenung. Ia sudah tahu ia akan sedih setelah semua ini berakhir tetapi ia tidak pernah
menyangka ia akan sesedih ini. Fulvia merindukan saat-saat Irving datang menjemputnya. Fulvia ingin sekali
kembali ke masa-masa itu. Waktu kebersamaan mereka tidaklah panjang dan tidaklah dipenuhi
perbincangan tetapi itu sudah cukup membuat Fulvia gembira.
Kadang Fulvia menyesal mengapa dulu ia tidak banyak bertanya pada Irving
mengenai dirinya. Andai saja ia mengetahui lebih banyak tentang pria itu, Fulvia mungkin dapat
menggunakannya sebagai alasan
untuk menemuinya. Kadang Fulvia berpikir untuk meminta Trevor dan Richie menemaninya mencari
Irving. Mereka adalah teman. Dan seorang teman tidak perlu mencari alasan untuk bertemu. Tetapi
Fulvia tidak tahu bagaimana harus menjelaskan keinginannya pada kedua kakak sepupunya itu.


Orang Ketiga Karya Sherls Astrella di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Di sisi lain, Fulvia yakin Davies tidak akan membiarkannya mencari Irving. Sikap
Davies setiap kali Irving datang sudah menjelaskan ketidaksukaannya pada Irving.
Countess Kylie tentu tidak keberatan dengan keinginannya dan Count Clarck pasti
tidak akan melarangnya. Count Clarck hanya akan memperingatinya untuk hati-hati.
Sekarang kedatangan Trevor dan Richie terasa bagaikan angin lalu. Fulvia sudah
tidak terlalu berminat untuk menghadapi kedua sepupunya itu. Ia tidak terlalu mempunyai
semangat untuk mengikuti ajakan mereka. Hati dan pikiran Fulvia tercurah sepenuhnya pada kenangan-kenangan singkat
bersama Irving. Minatnya terarah pada keinginan untuk bertemu Irving.
Fulvia merasa ia benar-benar telah jatuh cinta pada Irving.
Fulvia mengharapkan pertemuan dengan Irving lagi tetapi itu tidak mungkin.
Irving sekarang mungkin telah berada dalam pelukan wanita yang konon telah menundukkannya itu. Irving
sekarang mungkin sedang bersama wanita itu menikmati waktu-waktu kebersamaan mereka.
Fulvia iri pada wanita itu. Ia berharap ialah wanita yang beruntung itu.
Fulvia mendesah panjang. Ini hanyalah mimpi. Irving tidak mungkin jatuh cinta pada seorang gadis ingusan
sepertinya. Fulvia mendesah lagi. "Adaapa, Fulvia?" tanya Richie cemas. "Kulihat kau terus mendesah hari ini."
"Tidak ada apa-apa," Fulvia mengelak kemudian ia segera mengalihkan perhatian
mereka, "Ke mana kita akan pergi hari ini?"
"Bagaimana kalau kita kekota?" Richie mengusulkan.
"Tidak. Kita tidak akan ke mana-mana," Trevor tidak sependapat.
"Apa maksudmu?" Richie tidak dapat menerima pendapat Trevor.
"Fulvia sudah lama tidak berdiam diri di rumah. Fulvia pasti sudah merindukan
masamasa tenang di dalam tempat ini," Trevor menjelaskan dengan sengit. "Ia pasti ingin berkumpul
dengan keluarganya." "Apa kau ingin berkata aku ingin menculik Fulvia?"
Fulvia mendesah. Inilah kakak-kakak sepupunya.
Desahan itu terdengar oleh kedua sepupu itu dan spontan mereka menatap Fulvia
lekat-lekat. Tatapan mereka membuat Fulvia terkejut.
"Bagaimana kalau kita ke gunung?" Fulvia mengusulkan.
"Gunung?" keduanya bertanya heran.
"Kalian tahu, aku merasa seperti berada di puncak dunia ketika berdiri di atas
tebing tinggi," Fulvia menjelaskan dengan penuh semangat, "Darisanaaku bisa melihat rumah-rumah kecil
penduduk yang dikeliingi pegunungan tinggi. Aku bisa melihat hamparan hijau pepohonan. Aku
juga bisa melihat laut di kejauhan." "Tidak!" Trevor dan Richie berseru serempak.
Fulvia terkejut. "Gunung adalah tempat yang sangat berbahaya," kata Trevor tegas.
"Apa yang akan terjadi bila kau tersesat disana?" timpal Richie.
Fulvia mendesah panjang. Ternyata memang hanya Irving yang bisa menjaganya tanpa
mengekangnya. "Kau mendesah lagi," keluh Trevor.
"Apa yang sebenarnya terjadi padamu?" tanya Richie pula.
"Tidak. Tidak ada apa-apa," Fulvia memeluk lengan keduanya, "Jadi, ke mana kita
akan pergi?" Di saat Fulvia terus membuat kedua kakak sepupunya khawatir dengan desahannya
yang tidak berujung itu, beberapa mil dari tempat itu Irving mengurung dirinya di Ruang Baca.
Tidak ada yang dilakukannya selama berhari-hari ini selain mengurung diri dan
membaca. Tindakannya itu tentu saja membuat Duke yang tidak pernah menyukai
petualanganpetualangan cintanya,
gembira. Tetapi di sisi lain Duke juga mulai mencemaskan suasana hati putra
tunggalnya itu. Duke tidak dapat berbuat apa-apa. Hubungannya dengan Irving tidaklah akrab.
Bahkan dapat dikatakan mereka hampir seperti orang asing satu sama lain.
Duke tahu Irving menyalahkan dirinya atas kepergian ibunya. Irving terus
menyalahkannya atas peristiwa yang terjadi tujuh belas tahun lalu ia. Duke pun sependapat dengannya.
Ialah yang harus disalahkan sehingga istrinya kabur bersama kekasih gelapnya, Nelson.
Semua tahu Duke sangat mencintai istrinya tetapi semua juga tahu Duke gila judi.
Itulah yang dilakukannya setiap hari hingga ia sering mengabaikan istrinya. Sikapnya inilah
yang membuat Duchess dengan mudah jatuh dalam pelukan pria lain.
Apapun yang terjadi, Duke percaya putranya dapat mengatasinya. Duke percaya
padanya. Bila Duke memilih untuk membiarkan Irving, maka tidak demikian halnya dengan
Clementine, sepupu Irving yang cantik itu. Clementine telah mengenal Irving jauh sebelum Irving terkenal. Clementine telah
jatuh cinta pada Irving jauh sebelum wanita-wanita itu. Mereka telah tumbuh besar bersama.
Clementine tahu Irving tidak akan pernah menolaknya. Irving juga tidak akan pernah memberikan bunga mawar
merah padanya karena mereka tidaklah terpisahkan. Inilah kelebihannya dibandingkan wanita-wanita itu
tetapi ini jugalah kekurangannya. Clementine tidak akan pernah mendapatkan Irving karena mereka
adalah sepupu! "Apa yang kaulakukan hari ini?" Clementine melingkarkan tangan di leher Irving
yang sedang duduk membaca buku. "Apa maumu?" Irving bertanya kesal.
Clementine duduk di sisi Irving. "Aku mendengar kau tidak pernah keluar rumah
lagi akhir-akhir ini," ia menatap Irving penuh ingin tahu, "Apakah penggemar-penggemarmu itu telah
meninggalkanmu?" Irving mengacuhkannya. Ia terus membaca bukunya seolah-olah tidak ada gangguan
dari wanita itu. "Apa yang terjadi padamu" Kau seperti bukan Irving yang kukenal lagi,"
Clementine mengeluh, "Apakah kau putus cinta?"
"Jangan ganggu aku," Irving berkata tajam. Ia sedang tidak dalam suasana hati
untuk meladeni Clementine. Irving sudah tidak pernah keluar rumah lagi semenjak pertemuan terakhirnya
dengan Fulvia. Ia juga tidak pernah menemui gadis itu lagi walau ia ingin bertemu dengannya lagi.
Irving tahu ia tidak bisa. Ia tidak mempunyai alasan untuk menemui gadis itu dan gadis itu belum tentu mau
menemuinya. Irving sudah mencoba untuk kembali pada kebiasaan lamanya sebelum ia bertemu
Fulvia tetapi ia tidak bisa. Ia tidak memiliki keinginan untuk bertemu dengan wanita lain selain
Fulvia. Fulvia telah membuat Irving merasa semua wanita di dunia ini sangat membosankan
kecuali dirinya. Semua wanita terasa seperti buku yang terbuka bagi Irving tak terkecuali Fulvia.
Hanya saja tulisan dalam buku Fulvia sangatlah tidak mudah dimengerti. Selalu dan selalu ada yang membuat
Irving merasa tidak pernah bosan bersama gadis itu.
Irving tidak pernah menyadarinya ketika ia masih bertemu Fulvia setiap harinya.
Dan kini setelah beberapa hari tidak bertemu dengannya, Irving sadar ia mulai terpikat pada gadis
itu. Entah kapan ia mulai tertarik padanya. Entah kapan Fulvia mulai menjerat
hatinya. Irving tidak pernah tahu. Semua ini hanya terjadi begitu saja dalam pertemuan mereka yang sering
namun singkat dan tanpa banyak pembicaraan itu. Pepatah kuno itu benar. Kadang kita terlalu dekat untuk menyadari perasaan kita.
"Ayolah, Irving," Clementine berkata manja, "Jangan bersedih hati seperti itu
hanya karena seorang wanita. Aku bisa menggantikan kedudukannya."
"Kau sudah gila."
Clementine bertopang dagu. "Ya, aku sudah gila karena kau. Sungguh sayang sekali
kita adalah sepupu. Bila tidak, maka aku akan meminta Papa menikahkanku denganmu."
Mata Irving langsung bersinar tajam. "Jangan bermimpi. Aku tidak akan pernah
tertarik untuk menikah terutama denganmu." "Itulah salah satu alasan kau mematahkan sekian banyak hati para wanita," keluh
Clementine. "Aku tidak ingin mendengar ceramahmu," Irving menjauhi Clementine.
"Irving," Clementine mengekor Irving, "Temani aku," ia menarik tangan Irving.
"Aku tidak ingin pergi."
"Ayolah," desak Clementine dengan manja, "Sepanjang hari kau terus mengurung
diri membaca buku. Apakah kau tidak bosan" Temanilah aku sebentar."
Irving benar-benar tidak menikmati gangguan ini dan ia berseru, "Jangan ganggu
aku!" Clementine terdiam. Seruan penuh kemarahan itu telah menjelaskan padanya suasana
hati Irving saat ini. Clementine tahu Irving benar-benar marah kali ini dan ia akan ada dalam
masalah bila ia terus mengusik pria ini. Clementine memperhatikan Irving yang meninggalkan Ruang Baca dengan suasana
hatinya yang masih dipenuhi kemarahan itu. Irving boleh tidak mengakuinya tetapi seisi dunia tahu pria itu telah berubah.
Clementine ingin tahu apakah yang membuat Irving berubah. Atau mungkin tepatnya,
siapa" -----0----"Dia tidak datang lagi?" tanya Countess ingin tahu.
"Dia?" Fulvia kebingungan.
"Irving," Countess Kylie menjelaskan, "Mengapa Irving tidak datang menjemputmu
lagi?" Fulvia terperanjat. Ia tidak tahu bagaimana menjelaskan hal ini pada keluarganya
tanpa membuat mereka mengetahui rahasianya.
"Irving sibuk," Fulvia mengatakan apa yang terlintas dalam pikirannya.
Countess tampak tidak dapat menerima jawaban yang diucapkan dengan kepanikan
itu. "Bagaimana kalian akan merayakan pesta pernikahan kalian besok lusa?" Fulvia
cepatcepat mengalihkan pembicaraan. "Aku belum memikirkannya," kata Countess, "Apakah kau mempunyai ide, Clarck?"
"Aku tidak tahu," jawab Count Clarck.
"Bagaimana kalau kita mengundang semua orang ke sini?" Fulvia mengusulkan,
"Pasti akan menyenangkan sekali dapat makan bersama-sama mereka semua. Lewis juga pasti
akan datang kali ini, bukan" Rasanya sudah lama sekali kita tidak makan bersama-sama."
"Aku sependapat," sahut Countess senang, "Kita juga mengundang Irving."
"Irving?" Fulvia terkejut.
"Mengapa!" Apakah kita harus mengundangnya?" Davies tidak dapat menerima usulan
Countess. "Kurasa tidak ada salahnya mengundang Irving," kata Countess santai, "Lagipula
ia akan menjadi bagian keluarga kita."
Wajah Fulvia langsung memerah. "Tidak ada cerita seperti itu Mama," Fulvia
mengelak. Mata Davies melotot lebar.
"Kita juga bisa mengundang Margot," Countess benar-benar tidak mempedulikan
keberatan putranya. "Ia juga akan segera menjadi bagian keluarga kita," Countess tersenyum penuh
arti. Wajah Davies bersemu. Fulvia tersenyum melihatnya. "Kau senang, bukan?" Fulvia menggoda kakaknya,
"Kalau kau tidak berani mengundangnya, aku akan membantumu."
"Jangan usil!" Davies tidak menyukai godaan itu, "Urusi saja masalahmu sendiri."
"Masalahku?" Fulvia tidak mengerti.
"Bagaimana?" Davies balas menggoda Fulvia, "Apakah aku perlu membantumu
mengundang Irving?" Fulvia terperanjat. Ia benar-benar melupakan usul ibunya itu.
"T-tidak," Fulvia cepat-cepat mengelak, "Aku bisa melakukannya sendiri."
"Semua sudah diputuskan," Countess berkata gembira.
Keduanya terdiam. Mereka memperhatikan Countess yang benar-benar larut dalam


Orang Ketiga Karya Sherls Astrella di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kegembiraannya itu. Fulvia termenung. Ia tidak tahu bagaimana mengundang Irving. Ia tidak yakin
Irving akan bersedia datang. Ia tidak yakin Irving akan menyukai pertemuan keluarga ini.
Selama ini Irving tidak pernah menolak menemaninya ke Greenwalls. Ia juga tidak
pernah tampak keberatan ketika ia harus berdiam diri disanasementara Fulvia bercakap-cakap
dengan Audrey. Tetapi kali ini lain. Fulvia tidak tahu bagaimana tanggapan Irving atas
undangannya ini. Fulvia juga tidak tahu bagaimana ia harus mengundang pria itu.
Bila Fulvia bisa, ia ingin sekali mengundang Brent, Jehona beserta kedua
putranya. Tentu saja Fulvia tidak bisa. Ia pasti akan kewalahan menjelaskan pada keluarganya bagaimana ia
bisa mengenal mereka dan mengapa ia mengundang mereka.
Fulvia berpikir keras. Bagaimanakah ia harus mengundang Irving" Bagaimana ia
harus membawa seorang pria asing dalam pertemuan keluarganya tanpa membuat setiap orang
mencurigai mereka" Fulvia pusing. Sepanjang malam ia terus memikirkannya.
Terpikir oleh Fulvia untuk membohongi keluarganya dengan mengatakan Irving tidak
mempunyai waktu. Fulvia yakin tidak akan ada yang tahu kebohongannya ini. Orang tuanya
tentu dapat menerima alasan ini. Sayangnya, pikiran itu telah terbaca oleh Davies.
"Ada apa, Fulvia?" tanya Davies ketika mereka berkumpul untuk makan pagi,
"Apakah kau sedang mencari cara untuk menghindari Irving" Jangan katakan padaku kau berencana
membohongi kami dengan mengatakan Irving sibuk atau semacamnya."
Fulvia terperanjat. "Tidak ada hal semacam itu."
"Benarkah?" Davies curiga.
"Benar," Fulvia meyakinkan, "Aku hanya sedang berpikir bagaimana mengundang
Irving." "Apakah aku perlu membantumu?" cemooh Davies.
"Tidak perlu!" sahut Fulvia, "Aku bisa melakukannya sendiri."
"Apakah aku perlu mengantarmu ke Nerryland?" Davies tersenyum licik, "Aku harus
memastikan kau pergi ke sana hari ini."
"Jangan usil!" Fulvia tidak menyukai cara Davies menggodanya, "Kau juga perlu
memikirkan cara mengundang Margot." "Aku sudah memikirkannya," Davies berkata ringan, "Pagi ini aku berencana
menemuinya. Aku bisa mengantarmu ke Nerryland sebelum menemui Margot."
"Itu adalah ide bagus," kata Countess menyetujui. "Segeralah kalian menemui
mereka." "Kau dengar itu?" Davies berkata puas.
Fulvia tidak menyukai ini. Ia jauh lebih tidak menyukai saat-saat Davies
mencemooh kedatangan Irving. Tiba-tiba saja Fulvia menyadarinya. Sepertinya Davies sudah tidak terlalu
mempermasalahkan hubungannya dengan Irving!
"Davies," Fulvia menatap kakaknya lekat-lekat, "Kau sudah tidak membenci
Irving?" Davies terperanjat. "Siapa yang mengatakannya!?" Davies bertanya kesal, "Aku
membencinya. Aku sangat membenci pria seperti itu."
Fulvia tertegun. Davies memperhatikan Fulvia. Tiba-tiba ia khawatir Fulvia akan membencinya
karenanya. "Beberapa saat lalu aku merasa kau mulai menyukai Irving," gumam Fulvia, "Kau
bahkan seperti mendesak aku untuk segera mempunyai hubungan serius dengan Irving."
"Siapa yang mengatakannya!?" Davies marah, "Aku tidak akan membiarkan pria
berbahaya seperti itu berada di dekatmu! Aku tidak akan pernah menyetujui hubungan kalian! Pria
semacam itu hanya akan membuatmu terluka." Fulvia menatap Davies. Davies tersekat. Ia mengkhawatirkan tindakan Fulvia berikutnya. Ia tidak siap
untuk mendengar adik yang paling dicintainya itu berkata, 'Aku membencimu.' Ia tidak akan pernah
pernah siap! "Sepertinya kau sudah mulai tertular Trevor dan Richie," Fulvia tersenyum geli.
Davies terkejut. Apakah yang diketahui Fulvia tentang pertengkaran keduanya
untuk memperebutkan dirinya" "Tetapi aku akan lebih kaget kalau mendengar mereka yang mengatakan hal itu."
Davies memperhatikan Fulvia. Fulvia bukanlah gadis yang bisa diremehkan. Ia
adalah gadis yang pandai. Davies merasa ia tidak akan terkejut bila suatu ketika nanti Fulvia
berkata, 'Aku tahu mereka selalu bertengkar memperebutkanku.'
"Sudah. Sudah," Countess menghentikan gurauan di antara keduanya, "Sebaiknya
kalian segera menghabiskan sarapan kalian dan berangkat."
"Baik," kata keduanya dan mereka segera menghabiskan sarapan mereka tanpa
gurauan lagi. Setelah itu mereka kembali ke kamar masing-masing untuk bersiap-siap.
Ketika Fulvia tiba di luar, kereta keluarga Silverschatz menantinya tak jauh
dari Davies yang duduk di punggung kudanya. "Kau tidak naik kereta?" Fulvia bertanya heran.
"Aku akan pergi sendiri," jawab Davies, "Biarlah mereka yang mengantarmu ke
Nerryland." Lalu ia menambahkan dengan senyum nakalnya, "Aku yakin kau tidak akan lari."
Fulvia ingin sekali membantah kakaknya tetapi Davies telah memacu kudanya dan
berkata, "Selamat tinggal." Fulvia pun memberitahukan tujuannya pada kusir kuda dan sesaat kemudian mereka
telah meluncur ke Nerryland. Ketika Fulvia berdiri di depan bangunan Nerryland Palace yang megah, Fulvia
menjadi ragu. Dan ketika ia menanti seseorang membukakan pintu untuknya, kecemasannya kian
menjadi-jadi. Apakah Irving ada di rumah" Apakah Irving bersedia menemuinya" Apakah Irving
tidak mempunyai tamu lain" Seorang pelayan muda akhirnya muncul di depan Fulvia.
"Saya mencari Irving," kata Fulvia begitu melihat pelayan itu.
"Apakah Anda mempunyai janji dengan Tuan Muda?" tanya pelayan itu.
"Tidak," jawab Fulvia lalu dengan was-was ia bertanya, "Apakah aku harus membuat
perjanjian dulu sebelum bertemu Irving?"
"Beberapa hari ini Tuan Muda tidak ingin diganggu siapa pun. Ia juga menolak
menerima tamu yang datang tanpa janji terlebih dahulu."
Fulvia sedih. Pria muda itu tertegun melihat kesedihan Fulvia.
"Saya tidak yakin Tuan Muda akan bersedia menerima Anda," pelayan itu
membesarkan hati Fulvia, "Tetapi saya akan mencobanya. Saya akan memberitahu kedatangan Anda pada Tuan
Muda." "Terima kasih," Fulvia tidak terlalu berharap untuk dapat bertemu Irving.
"Dapatkah Anda memberitahu identitas Anda pada saya?"
Fulvia mengangguk. "Saya adalah putri Count of Silverschatz."
"Masuklah ke dalam, M'lady," pelayan itu mempersilakan Fulvia masuk, "Saya akan
segera melaporkan kedatangan Anda pada Tuan Muda."
Fulvia mengangguk. Ia tidak berharap terlalu banyak untuk dapat bertemu Irving.
Pelayan itu bergegas menuju Ruang Baca tempat Irving mengurung dirinya akhir-
akhir ini. "Adaapa?" Irving bertanya tidak senang melihat kedatangan pelayan yang
menurutnya telah menganggu ketenangannya itu. "Putri Count of Silverschatz ingin bertemu dengan Anda, Tuan Muda."
'Fulvia!' benak Irving menyadarinya.
"Apa keperluannya?"
"Saya tidak tahu, Tuan Muda. Ia tidak mengatakan tujuannya pada saya."
"Di mana dia?" Irving berdiri.
"Ia menanti Anda di pintu masuk."
Irving tidak bertanya dan tidak berkata apa-apa lagi. Ia langsung beranjak untuk
menemui Fulvia, gadis yang terus menghantuinya itu.
Fulvia menunduk menatap permukaan lantai yang bersih. Tangannya mempermainkan
topinya dengan gusar. Iatampak begitu gelisah. Sebentar ia menatap ke dalam Nerryland dan
sebentar kemudian ia menatap kereta kuda yang menantinya di luar.
Fulvia ragu. Haruskah ia terus menanti ketika ia yakin Irving tidak akan
menemuinya" Mengapa Irving harus menemuinya" Mereka sudah tidak mempunyai hubungan lagi.
Langkah-langkah berat yang mendekat dengan cepat menarik perhatian Fulvia.
Fulvia tertegun melihat Irving berjalan mendekat dengan tidak sabar.
"Maaf telah membuatmu menunggu."
Fulvia tidak dapat mengungkapkan kegembiraannyamendengar suara berat yang
dirindukannya itu. Irving merasakan sebuah kepuasan melihat gadis itu. Ia tidak pernah mempunyai
perasaan ingin bertemu seseorang yang begitu mendalam seperti ini. Ia tidak pernah mempunyai
perasaan ini terhadap wanita mana pun. "Mari kita berbicara di dalam," Irving mengundang.
Saat ini Fulvia juga ingin berbicara panjang lebar dengan pria itu. Itulah yang
yang paling diinginkannya di dunia ini detik ini.
"Saya tidak dapat berlama-lama di sini," kata Fulvia sedih, "Saat ini Trevor
maupun Richie pasti sudah tiba di Unsdrell."
Perasaan asing muncul di benak Irvingmendengar Fulvia menyebut nama kedua pria
yang terus memperebutkan Fulvia itu.
"Saya datang untuk menyampaikan undangan ibu saya," Fulvia menjelaskan
tujuannya, "Besok kami akan mengadakan acara makan malam bersama untuk merayakan ulang tahun
pernikahanorang tua saya."
Irving tertegun. "Ini adalah acara makan malam biasa antar keluarga kami," Fulvia cepat-cepat
menambahkan, "Saya tidak memaksa Anda untuk datang. Saya bisa mengerti andai Anda tidak bisa
datang." "Pukul berapa?"
Fulvia terkejut. 12 Hari ini adalah hari yang sangat dinantikan Fulvia. Dua puluh tujuh tahun yang
lalu pada hari yang sama kedua orang tuanya mengikat janji.
Tetapi bukan itulah yang sangat dinanti-nantikan Fulvia.
Semua orang dalam keluarga Silverschatz tahu apa yang dinanti-nantikan gadis itu
atau tepatnya siapa. Pagi ini setelah menyelesaikan makan paginya, Fulvia memberikan hadiah
pilihannya kepada orang tuanya. Seperti tebakan Fulvia, Countess Kylie sangat gembira menerima hadiah itu dan ia
terus mendengarkan musiknya yang lembut itu di dalam kamarnya.
Fulvia gembira karenanya.
Sejak siang ini seluruh pelayan Silverschatz sibuk menyiapkan pesta kecil untuk
merayakan ulang tahun pernikahan Count dan Countess. Tidak ada sesuatu yang perlu disiapkan
khusus untuk pesta ini selain makanan yang lebih bervariasi dan porsi yang lebih besar, tentunya.
Tidak seperti biasanya, hari ini akan ada empat belas orang yang berkumpul di
Silverschatz untuk makan malam bersama. Sore hari ketika matahari mulai condong di barat, Davies pergi untuk menjemput
Margot. Count dan Countess tampak seperti biasa. Sementara itu Fulvia sudah tidak sabar
menantikan kehadiran seseorang. Begitu Davies pergi, Fulvia juga segera berdandan dan menanti di pintu masuk.
Keluarga Garfinkelnn yang datang pertama kali keheranan melihatnya berdiri di
sana. "Kau menantiku?" tanya Trevor.


Orang Ketiga Karya Sherls Astrella di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tidak," jawab Fulvia lalu ia bertanya, "Di mana Audrey?"
"Ia akan datang bersama Lewis," jawab Countess Horace, "Aku percaya tak lama
lagi mereka akan muncul." "Aku senang mendengarnya," Fulvia tersenyum gembira, "Mama dan Papa telah
menanti kalian di Ruang Makan." "Mereka telah bersiap di sana?" tanya Count Meyer heran.
"Mama ingin makan malam ini segera dimulai begitu tamu-tamunya lengkap," kata
Fulvia menerangkan, "Dan Mama pikir akan lebih menyenangkan berbicara dengan perut
kenyang." Countess Horace tertawa, "Aku mengerti."
"Tampaknya mereka ingin kita segera bergabung dengan mereka," Count Meyer
tersenyum. "Aku akan menemanimu di sini, Fulvia," sahut Trevor.
"Tidak perlu, Trevor. Aku akan mendapat masalah bila membiarkan tamu Mama ikut
menanti di pintu masuk." "Hari ini Fulvia bertugas menyambut tamu," kata Count, "Kau ikut kami memberi
selamat pada tuan rumah." Trevor pun mengikuti mereka tanpa bantahan.
Fulvia tersenyum melihat kepergian keluarga Garfinkelnn.
Sesaat kemudian sebuah kereta yang dikenali Fulvia dengan baik berhenti di
depannya. "Selamat datang," Fulvia menyambut pria yang baru turun dari dalam kereta itu,
"Saya telah menanti kedatangan Anda." "Aku berharap aku tidak terlambat," kata Irving.
"Tidak," Fulvia tersenyum, "Anda adalah tamu kedua."
"Aku datang sepagi itu?"
Fulvia hanya tersenyum. Ia membawa Irving memasuki Unsdrell.
Sekali lagi terdengar roda-roda kereta mendekat. Ketika Fulvia membalikkan
badannya, ia melihat Lewis tengah membantu Audrey turun dari dalam kereta.
"Irving?" Audrey berdiri di depan kereta dengan heran, "Kau juga datang?"
"Kuharap kita belum terlambat," kata Lewis pula.
"Lewis!" Fulvia berseru gembira, "Kau juga datang." Fulvia mendekati mereka.
Irving mencengkal tangan Fulvia.
Fulvia keheranan melihat raut tidak senang Irving.
Audrey juga menyadarinya. "Sebaiknya kita segera memberi selamat pada Paman dan
Bibi," katanya sambil menggandeng suaminya masuk.
"Benar," Lewis juga menyadari rasa tidak suka Irving padanya, "Aku lihat tamu
kalian sudah tiba semua." "Belum," Fulvia membenarkan, "Richie dan orang tuanya belum datang."
"Keluarga Ousterhouwl belum muncul?" Lewis bertanya heran.
Audrey tertawa kecil. "Aku takkan heran bila lagi-lagi Countess Yolanda membuat
mereka terlambat." "Kalian masih di sini?"
Mereka terkejut. "Aku kira kalian sudah berkumpul di Ruang Makan," Davies melangkah masuk
diiringi Margot. Mata Davies menangkap sosok Irving di sisi Fulvia. Ia menatap tajam jari jemari
Irving yang melingkari pergelangan tangan kanan Fulvia itu.
"Anda juga datang?" Margot bertanya heran lalu ia melihat Davies dan menuduhnya,
"Kau tidak memberitahuku." "Untuk apa?" tanya Davies.
Fulvia tahu ia harus segera bertindak. "Mengapa kita tidak masuk bersama-sama?"
katanya mengusulkan, "Mama pasti senang melihat kedatangan kita semua."
"Aku yakin ia akan lebih senang andai Earl of Ousterhouwl sekeluarga muncul
bersama-sama kita," timpal Lewis. "Mereka belum datang?" Davies bertanya heran, "Kupikir Richie tidak mau
kedahuluan..." "Di mana Countess Kylie?" Margot memotong lalu ia melirik tajam Davies.
Davies tidak menyukainya.
"Mama telah menanti kita di Ruang Makan," jawab Fulvia.
Audrey yang juga menyadari arti tindakan Margot segera menyahut, "Mari kita
bergegas ke sana. Bibi Kylie pasti sudah tidak sabar menanti kita."
"Benar," Margot merangkul tangan Davies dan menariknya masuk.
Audrey juga segera mengikutinya sambil menggandeng Lewis.
Tinggallah Fulvia kebingungan melihat tingkah Margot dan Audrey.
"Sebaiknya kita tidak membuang waktu," Fulvia menatap Irving.
"Tentu," Irving mengapit tangan Fulvia di sikunya dan saat itulah Fulvia
menyadari Irving masih memegang tangannya. Belum lama Fulvia memasuki Ruang Makan bersama Irving, Richie muncul dengan
wajah kesalnya. "Akhirnya kau datang juga," Trevor berkata setengah mengejek.
"Mama membuat kami terlambat," Richie menyalahkan ibunya yang muncul beberapa
saat kemudian. Richie melihat kursi di depan Trevor yang kosong dan tanpa banyak bicara ia
duduk di sana. Begitu setiap orang duduk di tempat mereka masing-masing, Countess Kylie meminta
pelayan untuk mengantarkan makan malam mereka.
"Akhirnya kita bisa berkumpul bersama-sama," Fulvia tersenyum gembira melihat
keluarganya yang telah berkumpul bersama di Ruang Makan.
Belum pernah ia melihat Ruang Makan Silverschatz sepenuh ini. Tidak semenjak
setahun lalu. Dan kali ini meja makan lebih penuh karena bertambahnya dua orang, Margot dan
Irving. Mereka duduk berhadap-hadapan. Di sisi kanan meja makan yang panjang itulah
keluarga Silverschatz duduk. Dimulai dari Count Clarck, Countess Kylie, Davies dan Margot kemudian
Fulvia dan Irving. Dan yang terakhir adalah Trevor. Di sisi kiri, Earl of Ousterhouwl duduk didampingi
istrinya. Demikian pula Count of Garfinkelnn dan Lewis. Dan sebagai penutupnya adalah Richie.
Fulvia tidak tahu mengapa mereka duduk berpasang-pasangan seperti ini tetapi
beginilah mereka mengambil posisi beberapa saat lalu. Ini hanya terjadi begitu saja tanpa ada
yang mengatur. "Benar," Countess Horace sependapat. "Pertemuan keluarga kita kali ini lebih
ramai dari yang sebelumnya." Countess Horace melihat Margot yang duduk di sisi Davies sambil
tersenyum kemudian pada Irving. "Aku bisa memahami kedatangan Margot, tetapi Irving?" Countess Yolanda
bertanyatanya. "Ya," Earl Graham sependapat, "Aku tidak menduga Irving juga akan datang."
Fulvia sudah tahu mereka pasti akan mempertanyakan keberadaan Irving dan ia
hanya mempunyai satu jawaban, "Mama yang mengundangnya."
"Benarkah itu, Kylie?" tanya Countess Yolanda tertarik.
"Aku melakukannya demi Fulvia."
Fulvia terperanjat. "Aku melihat hubungan mereka mulai mendekat akhir-akhir ini."
"Tidak," Fulvia cepat-cepat membantah, "Mama salah sangka. Kami hanya teman
biasa." "Benarkah itu?" Countess Kylie menyelidiki, "Bukankah kalian telah menghabiskan
waktu bersamasama selama ini?" "Apa maksudnya?" tanya Countess Yolanda tertarik.
"Fulvia pergi bersama Irving selama beberapa hari terakhir ini," kata Audrey,
"Mereka juga sering datang mengunjungiku."
"Ya," timpal Lewis membenarkan, "Dan aku mendapat pelajaran dari Irving."
Audrey tersenyum melihat suaminya. Bekas tinju Irving telah hilang dari wajahnya
tetapi bekas di hatinya tidak akan pernah hilang. Tinju itu telah menyadarkan Lewis dari
kesalahannya selama ini. "Irving membawa Fulvia pergi setiap hari?" ulang Trevor tidak percaya.
"Selama sebulan ini?" timpal Richie.
Davies adalah orang pertama yang menyadar kejanggalan itu.
"Kalian tidak tahu selama ini Fulvia pergi bersama Irving?" Audrey mengulangi
dengan takjub. "Kami tidak tahu," kata Trevor.
"Benar. Kami tidak tahu," Richie mengulang pernyataan Trevor.
Audrey menatap Davies dengan heran.
Davies pun tidak dapat mengatakan apa-apa. Ia juga tidak mengerti. Bukankah
selama ini Irving selalu mencari Fulvia karena dua sepupu itu.
Fulvia panik. Ia harus segera mencari akal sebelum mereka semua curiga.
"Irving membantuku mendapatkan hadiah ulang tahun pernikahan Papa Mama," Fulvia
mengatakan apa yang terlintas di pikirannya.
Semua menatap gadis yang sedang berusaha keras menutupi kepanikannya itu.
Audrey tiba-tiba menyadari semua kesalahpahaman ini. Fulvia pasti lupa
mengatakan padanya ia mempunyai Irving sebagai pelindungnya setelah Davies hampir menangkap basah
kebohongannya itu. Audrey masih ingat Fulvia bersikeras untuk tidak membiarkan keluarganya tahu.
Audrey memahami bahaya yang akan ia hadapi bila ia membongkar rahasia gadis itu. Maka ia
memutuskan untuk membantunya. "Ya," kata Audrey, "Aku ingat Fulvia pernah mengatakan padaku ia ingin membeli
sebuah hadiah yang sangat istimewa." "Hadiah apa?" tanya Trevor dan Richie serempak. "Hadiah apa sehingga Fulvia
harus pergi setiap hari selama berbulan-bulan!?"
"Hanya sebulan," Fulvia meralat.
"Dan mengapa harus Irving!?" keduanya bertanya serempak lagi.
Fulvia benar-benar kewalahan sekarang.
"Ia yang meminta bantuanku," Irving yang sejak awal berdiam diri, membuka suara.
"Benar," Fulvia segera menimpali, "Aku bertemu dengannya ketika aku sedang
pusing memikirkan hadiah itu. Kemudian aku meminta bantuannya." Lalu Fulvia menatap kedua kakak
sepupunya dan berkata penuh penyesalan. "Aku sungguh tidak menyangka kalian akan marah seperti ini.
Saat itu aku hanya berpikir Irving pasti bersedia membantuku dan aku tidak memikirkan perasaan
kalian. Maafkan aku." Tatapan sedih Fulvia itu membuat kedua sepupu itu berdiam diri. Keduanya saling
bertatapan dan larut dalam pikiran mereka sendiri.
"Sudahlah," Count Meyer memotong pembicaraan itu, "Untuk apa kalian
mempermasalahkan masalah yang sudah lewat." "Bukankah ini bagus?" timpal Countess Kylie, "Sekarang Davies mempunyai Margot
dan Fulvia mempunyai Irving." "Kapankah giliran kalian?" Countess Horace menatap Trevor dan Richie.
Lagi-lagi mereka membuat Fulvia terperanjat. Bagaimana ia harus menjelaskan
kesalahpahaman ini tanpa mengungkit rahasianya"
Fulvia memang sudah mendapatkan hadiah istimewa untuk kedua orang tuanya tetapi
ia tetap tidak dapat memberitahu mereka rahasianya itu. Akibatnya pasti akan sangat fatal bila
mereka mengetahuinya. Dalam ketiga keluarga ini, cukup Audrey yang tahu.
"Aku juga ingin segera bertemu calon menantuku," timpal Countess Yolanda.
Pembicaraan ini benar-benar membuat Fulvia merasa tidak nyaman. Diam-diam Fulvia
melirik Irving yang tetap berdiam diri di sisinya dan ia mulai berpikir,
'Apakah yang dipikirkan Irving" Apakah ia menyukai pembicaraan ini" Irving pasti
tidak menyukai pembicaraan yang membosankan ini.'
"Mereka pasti akan segera mendapatkan pasangannya," Count Clarck.
"Tidak perlu kaudesak mereka. Mereka pasti segera mencari pasangannya," timpal
Earl Graham. "Dan bila mereka tidak juga mendapatkannya, kalian bisa mulai mencari jodoh
untuk mereka," tambah Count Meyer, orang yang paling suka bercanda dan mempunyai pandangan yang unik
di antara mereka. Fulvia merasa pembicaraan ini sudah benar-benar membuatnya tidak nyaman.
"Bisakah kita membicarakan yang lain?" pinta Fulvia, "Pembicaraan kalian sudah
membuatku merasa bersalah. Kita mengundang Irving dan Margot bukan untuk mendengarkan masalah ini
bukan" Kita mengundang mereka untuk berbagi kebahagiaan bersama kita."


Orang Ketiga Karya Sherls Astrella di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mereka terdiam. Count Meyer tertawa. "Tampaknya si kecil Fulvia sudah mulai merasa tidak nyaman
dengan pembicaraan ini," katanya bercanda, "Mungkin kita memang harus membicarakan yang
lain." Audrey tersenyum. "Kurasa ia benar. Aku juga mulai merasa pembicaraan ini
sungguh membuat beberapa orang merasa tidak nyaman," katanya sambil melirik Trevor dan Richie
yang masih berunding dengan pandangan mata mereka.
"Beberapa orang sudah ingin menyendiri," Margot menimpali sambil menatap Fulvia
yang tersipusipu di sisi Irving yang tampak tak terusik oleh pembicaraan ketiga keluarga ini
beberapa saat lalu. "Dan beberapa ingin menyelesaikan permasalahan di antara mereka," Davies berdiri
dan mengulurkan tangan pada Margot, "Aku ingin berbicara denganmu. Kau punya waktu?"
"Tentu," Margot menyambutnya dengan menerima uluran tangan Davies.
Keduanya meninggalkan Ruang Makan diiringi tatapan tertarik para ibu dalam tiga
keluarga itu. "Aku mempunyai beberapa hal yang ingin aku rundingkan bersama kalian," Lewis
ikut berdiri, "Aku telah memikirkannya masak-masak sejak kemarin dan aku ingin tahu apa pendapat
kalian." "Tentu saja," Count Meyer berdiri, "Aku selalu siap kapan pun kau
membutuhkanku." "Kita bisa membicarakannya di Ruang Kerjaku," Count Clarck mengusulkan.
"Ide yang bagus," Count Audrey tak ketinggalan.
"Kaum pria itu tampaknya sudah mulai," gumam Countess Yolanda melihat kepergian
keempat pria itu. "Kita juga bisa mencari kesibukan yang lain," usul Countess Kylie, "Bagaimana
kalau kita berbincang-bincang di Ruang Duduk?"
"Ide yang bagus," timpal Countess Horace sambil tersenyum penuh arti, "Kita bisa
melanjutkan pembicaraan kita yang terpotong beberapa saat lalu itu."
Fulvia yakin para ibu dalam ketiga keluarga ini pasti akan meneruskan
pembicaraan mengenai jodoh putra-putri mereka. Fulvia melihat Irving. "Apakah Anda ingin melakukan sesuatu?" tanyanya, "Ataukah
Anda sudah ingin pulang" Acara makan malam ini tampaknya sudah usai."
"Irving akan berbicara dengan kami," Trevor memutuskan.
"Benar," timpal Richie, "Kami mempunyai hal penting yang ingin kami bicarakan
dengannya." Tiba-tiba Fulvia mencurigai semangat membara keduanya. "Apa yang ingin kalian
bicarakan dengannya?" tanyanya penuh curiga.
"Tidak ada," Trevor menolak menjawab.
"Ini adalah masalah antara kaum pria," Richie menegaskan, "Benarkah, Irving?"
Irving tidak mengerti apa yang sedang dikatakan dua pria itu.
Kedua sepupu itu berdiri di sisi Irving.
Irving pun tahu mereka ingin membicarakan sesuatu yang penting dengannya. Irving
berdiri. "Jangan melakukan sesuatu padanya," Fulvia memperingatkan dengan tajam.
Irving terkejut. Ia menatap Fulvia lekat-lekat. Tampaknya gadis ini tahu apa
yang sedang direncanakan kedua sepupunya. "Jangan khawatir," Trevor berjanji, "Kami hanya ingin berbicara dengannya."
"Membicarakan masalah pria," timpal Richie.
Fulvia masih tidak dapat mempercayai tingkah kedua sepupunya yang tiba-tiba
menjadi sangat akrab itu. "Tinggallah kita berdua," kata Audrey sepeninggal tiga pria itu.
Fulvia melihat kakak sepupunya yang duduk di seberang.
"Fulvia," Audrey berpindah duduk di sisi Fulvia, "Mengapa engkau tidak
memberitahuku mengenai Irving?" "Apakah aku tidak memberitahumu?" Fulvia bingung.
"Tidak. Kau tidak pernah mengatakan peran Irving dalam rahasiamu itu," Audrey
menegaskan. Fulvia terdiam. Ia mengingat-ingat kejadian yang telah lampau. Ia merasa ia
telah mengatakan pada Audrey. Hari itu setelah Irving setuju untuk membantunya, Fulvia segera
memutuskan untuk memberitahu Audrey dan... "Aku ingat," ujar Fulvia, "Hari itu aku ingin memberitahumu tetapi kau
mengusirku. Hari itu kau mengurung diri di kamar sehingga aku sangat mencemaskanmu."
"Kau memang tidak pernah berubah," keluh Audrey, "Setiap kali kau sedang
memfokuskan diri pada sesuatu, engkau selalu melupakan yang lain."
"Tidak," Fulvia tidak sependapat, "Aku tidak seperti itu."
"Aku sudah melihatnya beberapa kali," Audrey berkata penuh kemenangan, "Aku
sering meihatmu mengabaikan Irving ketika kau sudah berbicara denganku sehingga aku harus segera
mencari cara mengingatkanmu atas keberadaan Irving."
Fulvia tersipu. Audrey benar. Ia sering melupakan keberadaan Irving selama ia
berada di Greenwalls dan ia tidak akan ingat pulang bila bukan karena Audrey yang mengingatkannya.
-----0----'Bagaimana kalian mengharapkan aku menilai perasaan gadis itu kalau
aku sendiri tidak mengerti dia!"' hati Irving berteriak, 'Bagaimana kalian mengharapkan aku berkata bila
aku sendiri berharap dia mencintaiku!"' Kedua sepupu itu menatap Irving dengan penuh antusias.
Irving melihat keduanya dengan putus asa. "Aku tidak tahu."
"Apa maksudmu?" protes Trevor.
"Kau pasti tahu!?" Richie juga tidak terima. "Bukankah kau terus menemui Fulvia
selama ini untuk mengetahui siapa yang di antara kami yang lebih dicintai Fulvia?"
"Tidak. Aku.." "Davies!" sahut Trevor, "Pasti Davies yang mengatur semua ini untuk kita."
"Benar," Richie sependapat, "Pasti Davies yang melakukan semua ini."
Irving kebingungan. "Siapapun yang lebih dicintai Fulvia, kami tidak akan menuntutmu. Kami hanya
ingin tahu siapa di antara kami yang lebih dicintai Fulvia," Trevor meyakinkan dengan penuh
antusias. "Aku bukan?" tanya Richie percaya diri, "Aku yang lebih dicintai Fulvia."
"Tidak, aku!" "Aku!" bantah Richie. "Fulvia tidak pernah lupa merajut hadiahNataluntukku."
"Fulvia selalu ingat untuk merayakan pesta ulang tahunku!" Trevor tak mau kalah.
"Fulvia selalu ingat membelikan sesuatu tiap kali ia pergi ke luarkota!"
"Fulvia tidak pernah lupa mengajakku setiap kali ia hendak berpergian!"
"Fulvia selalu menyisakan jatahku setiap kali aku datang terlambat!"
Tidak salah kedua pria itu memperebutkan Fulvia.
Dulu Irving menertawakan pertengkaran mereka. Sekarang ia merasa ia turut
terperangkap di dalamnya. Fulvia adalah malaikat tetapi ia bukan sembarang malaikat.
Fulvia adalah bidadari tetapi ia bukan sembarang bidadari.
Fulvia adalah dewi tetapi ia bukan sembarang dewi.
Ia adalah Fulvia dan ia nyata!
Ia adalah malaikatnya! Ia adalah bidadarinya! Ia adalah dewinya! Entah kapan ia terperangkap dalam pertengkaran konyol ini. Entah kapan ia
terjerat oleh pesona gadis itu. Ia tidak tahu dan ia tidak menyadarinya.
Sekilas gadis itu tampak begitu genit - seperti wanita berambut pirang yang
selama ini dikenalnya. Tetapi ketika ia mulai mengenal gadis itu, ia yakin gadis itu cerdik serta
licik. Dan ketika ia semakin mengenal gadis itu, ia sadar gadis itu begitu dewasa di balik wajahnya yang
kekanakkanakan dan ia begitu lembut. Ia tahu bagaimana mengontrol dirinya.
Ia tahu bagaimana menempatkan dirinya.
Ia tahu bagaimana memperlakukan orang lain.
Fulvia bukan saja pandai tetapi juga cerdas.
Tahulah Irving sekarang mengapa kedua pria itu terus memperebutkan Fulvia.
Mengertilah Irving sekarang mengapa Davies sangat menjaga Fulvia.
Sadarlah Irving sekarang mengapa keluarga itu menyembunyikan Fulvia.
Irving termenung melihat kedua sepupu yang terus membandingkan perlakukan Fulvia
terhadap mereka. Fulvia selalu memperhatikan mereka.
Fulvia tahu apa yang dapat membuat Trevor bahagia seperti ia tahu apa yang dapat
menyenangkan Richie. "Fulvia mencintai kalian berdua sama besarnya," Irving memotong pertengkaran
kedua orang itu. Seketika mereka memelototi Irving.
"Aku tidak melihat Fulvia mencintai seorang dari kalian lebih dari yang lain. Ia
mencintai kalian sama besarnya." "Tidak mungkin!" bantah mereka bersamaan.
"Maaf tapi hanya itu yang dapat kukatakan," kata Irving, "Bila kalian ingin
tahu, mengapa kalian tidak menanyakannya pada Fulvia?"
"Andai Fulvia mau mengatakannya maka hal itu akan sangat mudah bagi kami," keluh
Richie. "Ia tidak pernah mau mengatakannya pada kami."
"Ya, selama yang bertanya adalah kami," tambah Richie.
"Maaf aku tidak bisa membantu," Irving berdiri.
Kedua pria itu menatap Irving dengan lesu.
"HEI!" Trevor tiba-tiba berseru.
Mereka heran. "Kau bisa menanyakannya pada Fulvia!?" Trevor berseru girang.
"Kau adalah orang luar," Richie mulai mengerti, "Dan Fulvia telah menganggapmu
sebagai temannya." Walau demikian Irving masih tidak mengerti apa yang ada di pikiran kedua pria
itu. "Fulvia tidak pernah mau mengatakannya pada kami tetapi kami yakin ia mau
mengatakannya pada orang ketiga," kata Trevor penuh semangat.
"Benar. Karena itulah diperlukan bantuan orang ketiga," timpal Richie.
Irving terdiam. "Fulvia pasti mau mengatakannya padamu!" kedua pria itu menepuk pundak Irving
dengan puas. -----0----"Aku tidak mengerti," kata Margot, "Bukankah kau mengatakan Irving
menemui Fulvia karena permintaan dua orang itu?"
"Aku juga tidak mengerti. Bila bukan karena Trevor dan Richie, mengapa Irving
terus mencari Fulvia?" "Tidak mungkin salah!" Margot menyahut gembira.
"Apa?" "Irving tertarik pada Fulvia," Margot berkata penuh semangat, "Karena itulah ia
terus menemui Fulvia." "Omong kosong!" Davies tidak menyukai ide itu, "Irving hanya ingin mempermainkan
Fulvia!" "Tidakkah kau memperhatikan cara Irving menatap Fulvia sepanjang makan malam
tadi?" tanya Margot, "Ia menatap Irving seperti seorang pria yang tengah dilanda cinta."
"Ia selalu seperti itu," cemooh Davies.
Margot mengangkat bahunya. Ia tidak ingin berdebat dengan Davies mengenai Fulvia
dan Irving. Margot tahu Davies tidak pernah menyukai hubungan keduanya walau sesungguhnya
ia setuju. "Davies!" Mereka membalik badan. "Davies!" Trevor dan Richie berlari mendekat dengan riang.
"Davies!" Richie memeluk Davies, "Kau memang saudara yang baik."
"Tak percuma selama ini aku terus bergantung padamu," Trevor menambahkan.
"Ada apa?" "Jangan berpura-pura tidak tahu," kata Richie, "Kau pasti telah mengatur semua
ini demi kami." Davies menatap Margot. Margot juga tidak mengerti.
"Apa yang kalian katakan?"
"Ayolah, Davies," kata Trevor penuh semangat, "Kau pasti sengaja mengatur
pertemuan Irving dan Fulvia setiap harinya juga hari ini."
Davies benar-benar tidak mengerti jalan pikiran keduanya.
"Kau memang seorang saudara yang baik," kata Richie tak kalah antusiasnya.
"Sebentar lagi kami akan tahu siapa yang akan menjadi adik iparmu," timpal


Orang Ketiga Karya Sherls Astrella di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Trevor. "Dan itu pasti aku!"
"Aku!" sahut Trevor, "Pasti aku!"
Davies melihat keduanya mulai bertengkar. "Mari kita menjauh," Davies membawa
Margot menjauhi kedua sepupu yang mulai bertengkar lagi itu.
"Davies," gumam Margot, "Masalah ini menjadi semakin rumit."
"Kau benar," Davies sependapat, "Semua tidak semudah yang aku pikirkan. Bahkan
sekarang mereka mengira aku sengaja menyuruh Irving bertemu Fulvia setiap hari demi mereka.
Bagaimana mungkin aku menyodorkan Fulvia pada pria semacam itu!?"
"Mereka benar-benar telah salah paham."
"Aku benar-benar tidak mengerti jalan pikiran mereka," keluh Davies.
"Ini akan gawat sekali," kata Margot cemas.
Davies tidak mengerti. "Kedua musuh bebuyutan itu pasti menyalahkanmu kalau Fulvia memilih Irving,"
Margot menatap Davies lekat-lekat, "Mereka pasti tidak melepaskanmu kalau keduanya bersatu."
Davies mengeluh panjang. "Mengapa aku harus terlibat dalam masalah ini?"
-----0----Fulvia meninggalkan Ruang Makan.
Pelayan telah mulai merapikan kembali Ruang Makan dan Audrey telah pergi menemui
Lewis. Dari Audrey, Fulvia mendengar bahwa Lewis berencana untuk memulihkan keadaan
Greenwalls dan usaha ayahnya. Lewis mulai mengumpulkan kembali orang-orang yang dulu pernah
bekerja pada ayahnya dan ia juga mulai menemui rekan-rekan dagang ayahnya. Count Garfinkelnn juga
bersedia memberi pinjaman uang untuk membuka kembali usaha mereka. Trevor juga telah menawarkan
diri untuk membantu mereka. Hari-hari mendatang Audrey akan sibuk membantu suaminya.
Fulvia turut berbahagia mendengarnya.
Seseorang berjalan mendekat.
Fulvia keheranan melihat Irving berjalan seorang diri. "Di manakah Trevor dan
Richie?" tanyanya heran, "Apakah kalian telah menyelesaikan urusan kalian?"
"Fulvia," Irving berkata serius, "Bisakah kita berbicara berdua?"
Fulvia semakin heran mendengar keseriusan Irving.
"Tentu," kata Fulvia, "Apakah yang ingin Anda bicarakan dengan saya?"
"Bisakah kita berbicara tanpa didengar orang lain?"
Fulvia tidak mengerti permintaan itu, namun ia berkata, "Kita bisa berbicara di
Perpustakaan. Saya yakin tidak akan ada yang menganggu kita di sana."
Irving tidak menanggapi. Ia hanya berjalan mengikuti Fulvia.
Seperti dugaan Fulvia, tidak seorang pun yang nampak di Ruang Perpustakaan
Unsdrell. Ia mempersilakan Irving masuk dan menutup pintu rapat-rapat.
"Apakah yang ingin Anda bicarakan dengan saya?" Fulvia mengulangi pertanyaannya.
Tiba-tiba Irving tidak tahu bagaimana harus memulai semua ini.
"Bagaimanakah pendapatmu tentang Trevor dan Richie?"
"Mereka adalah kakak yang baik," jawab Fulvia keheranan, "Mengapa Anda
menanyakannya" Apakah
ini ada hubungannya dengan mereka?"
Tiba-tiba Fulvia menyadarinya, "Apakah mereka meminta Anda untuk membuat saya
memilih seorang di antara mereka?" Entah mengapa Irving tidak terkejut mendengarnya.
"Kau telah menebaknya," Irving menekan kegetiran hatinya, "Kau harus memilih
seorang di antara mereka." "Mengapa?" Fulvia keheranan. "Mengapa saya harus memilih seorang dari mereka?"
"Mereka mencintaimu. Kau tahu mereka sering memperebutkanmu. Mereka siap
berkorban apa saja untuk mendapatkan cintamu."
"Anda?" Irving berdiam diri. "Apakah Anda tidak mencintai saya?"
"Mereka telah banyak berkorban untukmu," Irving memunggungi Fulvia. Takkan
pernah ia membiarkan Fulvia membaca perasaannya. Tidak akan! "Mereka benar-benar mencintaimu."
"Saya tidak akan pernah memilih seorang dari mereka. Anda tahu itu."
"Kau tidak mempunyai pilihan lain. Kau tidak bisa menghancurkan lebih banyak
lagi perasaan orang lain." "Saya bukan Anda."
"Engkau sadar kau lebih kejam dari aku," cibir Irving - mengingatkan Fulvia akan
katakatanya sendiri. "Setidaknya saya telah berusaha untuk tidak menyakiti mereka."
"Tindakanmu saat ini hanya menyakiti mereka."
"Saya tidak mencintai mereka lebih besar dari cinta saya pada Anda."
Andai keadaannya tidak seperti ini, Irving akan merasa sangat bahagia tetapi
kenyataannya bukan seperti ini. Irving merasa begitu kotor. Ia merasa begitu tertekan. Bagaimana ia
bisa menjadi seorang yang sama dengan orang yang merebut ibunya dari ayahnya"
Irving tidak mau menjadi orang ketiga dalam hubungan mereka!
"Pilihlah seorang dari mereka," Irving tidak dapat menyembunyikan kepahitan
hatinya, "Kau tidak mempunyai pilihan lain."
"Anda begitu egois," kata Fulvia kesal, "Anda tidak bisa memaksa saya memilih
seorang di antara mereka ketika Anda tahu saya mencintai Anda lebih dari mereka."
"Kaulah yang egois!" Irving tiba-tiba membalikkan badannya dan mencengkeram
pundak Fulvia, "Apa kau tahu apa yang kurasakan" Apa kau tahu bagaimana rasanya menjadi orang
ketiga?" Fulvia terhenyak menatap mata tajam Irving yang siap menelannya itu.
"Apa kau mengerti perasaanku!?" bentak Irving, "Aku merasa jijik! Aku merasa
kotor! Bagaimana aku bisa menjadi orang ketiga di antara hubungan kalian!" Aku membencinya! Aku
membenci kenyataan ini! Aku benci membiarkan diriku terjerat dalam perangkapmu. Aku benci membiarkan
diriku jatuh cinta padamu!" Fulvia terpaku. Mata ungunya meredup.
Irving membalikkan badannya. "Pilihlah seorang dari mereka dan semuanya
berakhir!" katanya dingin dan meninggalkan Fulvia yang masih terpaku tanpa kata-kata.
Fulvia terus memandangi punggung yang kian menjauh itu.
Inikah mawar merahnya dari Irving"
Inikah cara perpisahan mereka yang dipilih Irving"
Inikah satu-satunya cara mengakhiri hubungan mereka"
Inilah mawar merah dari Irving.
Mawar yang paling berduri...
Air mata Fulvia menetes. 'Apakah jatuh cinta adalah sebuah kesalahan"'
13 Irving melihat undangan itu dan ia tahu ia akan bertemu dengan Fulvia lagi.
Sudah sebulan lebih lamanya ia tidak bertemu Fulvia.
Sudah sebulan lebih ia tidak direpotkan oleh dua pria itu.
Sudah sebulan lebih ia tidak mendengar berita mereka.
Sebulan lebih gadis itu tidak pernah mencarinya lagi setelah sore itu.
Sebulan lebih gadis itu tidak pernah menampakkan dirinya lagi di hadapannya.
Ini artinya Fulvia telah memilih seorang dari mereka!
Hati Irving hancur membayangkan Fulvia bergandengan tangan dengan seorang dari
mereka. 'Siapapun pilihan Fulvia, bukan urusanku,' Irving berusaha menyingkirkan pedih
di hatinya. Ia akan menunjukkan pada Fulvia bahwa ia tidak pernah terjerat perangkapnya,
bahwa ia tidak pernah menyesali perpisahan mereka.
Ia akan menunjukkan Fulvia tidak lebih dari salah seorang gadis yang pernah
melintas dalam hidupnya! Ya, ia akan menunjukkannya.
Setelah sekian lama menyembunyikan diri dari segala bentuk pertemuan dengan
dirinya, ia yakin Fulvia tidak akan bisa menghindari pesta ini. Itupun kalau dia tiba-tiba
mengalami gangguan mental. Menilik sifat manjanya dangayahidupnya, Irving bisa meyakinkan seisi dunia ini
Fulvia akan hadir dalam pesta ulang tahun Duke of Wyndham.
Semua orang tahu bagaimana terkenalnya keluarga Wyndham. Semua tahu bagaimana
melimpah ruahnya harta kekayaan mereka. Irving pun bisa memastikan harta keluarga Wyndham
melebihi kekayaan keluarganya. Bila selama ini tidak ada satu pertemuan pun yang bisa mempertemukan mereka,
maka inilah satusatunya yang dapat mempertemukan mereka.
Di mana tempat Fulvia bila bukan di pesta-pesta kalangan orang ternama"
Di mana tempat gadis manja itu bila bukan di sisi pria-pria kaya"
Di mana tempat gadis binal itu bila bukan di pelukan pria-pria berharta"
Di mana pun ia berada, Irving tidak peduli.
Itulah keyakinan Irving. Tetapi keyakinan tetaplah sebuah keyakinan.
Seminggu kemudian ketika hari di mana pesta tersebut diselenggarakan, Irving
tidak dapat menghentikan dirinya untuk tidak memperhatikan pintu masuk.
Bukanlah kebiasaan Irving untuk datang pertama kali dalam suatu pesta tetapi
sore ini ia menjadi tamu pertama yang hadir. Sulit bagi Irving untuk mengingkari keinginannya untuk segera bertemu Fulvia.
Bagaimanapun terlukanya dirinya oleh sikap Fulvia, Irving tidak dapat memungkiri bahwa ia
masih mencintai gadis itu. Dan kenyataan ini membuatnya kian membenci Fulvia. Sama seperti ia membenci
bagian dari dirinya yang mencintai Fulvia. Sejak awal di sanalah ia berdiri. Ia berdiri di sudut Hall yang gelap dan
terhindar dari keramaian tetapi cukup jelas untuk memperhatikan tamu yang perlahan-lahan meramaikan
suasana. Sejak awal di sanalah ia memperhatikan setiap tamu yang hadir dengan mata
jelinya. Matanya yang biasanya mencari-cari wanita cantik untuk menemaninya selama pesta,
mencari-cari sesosok gadis yang dirindukan oleh bagian dirinya yang dibencinya.
Wanita-wanita cantik di depannya pasti tidak akan menolak menemaninya sepanjang
malam ini. Mereka juga pasti tidak akan menolak untuk menghabiskan malam bersamanya.
Mereka akan rela melakukan apa saja hanya untuk mendapat perhatian darinya.
Tapi hari ini Irving tidak tertarik pada mereka.
Irving ingin mengingkari perasaan itu tetapi ia kalah oleh bagian lain dari
dirinya. Dan, di sanalah ia bersembunyi sembari menantikan kehadiran gadis yang bahkan
dalam mimpi pun dirindukannya itu. Tepat satu jam Irving berdiri di sudut Hall, kereta keluarga Silverschatz tiba
di halaman Windport. Irving yang semula bersandar santai di sudut gelap itu langsung berdiri tegak
bagai seorang prajurit yang siap menyambut kehadiran atasannya.
Satu per satu keluarga Silverschatz turun dari kereta.
Irving dapat melihat Trevor turun duluan kemudian disusul oleh ayahnya dan
kemudian ibunya. Fulvia tidak ada bersama mereka!
'Tentu saja,' ia mengejek dirinya sendiri, 'Ia tentu datang bersama pria
pilihannya.' Keluarga Silverschatz baru saja turun dari kereta ketika kereta keluarga
Garfinkelnn datang disusul kereta keluarga Ousterhouwl.
Ketiga keluarga itu terkenal oleh dekatnya hubungan keluarga mereka. Takkan
heran bila mereka datang bersamaan. Irving juga tidak akan heran melihat Fulvia turun dari salah satu kereta
keluarga itu. Satu per satu penumpang kereta keluarga Garfinkelnn turun. Demikian pula
penumpang kereta keluarga
Ousterhouwl. Irving tertegun. Irving heran. Fulvia tidak ada! Ia tidak melihat Fulvia bersama rombongan itu. Ia tidak melihat Fulvia bersama
Trevor maupun Richie. Ia juga tidak melihat Fulvia bersama keluarganya.
'Permainan apa yang dimainkan gadis ingusan itu"' alam bawah sadarnya
memperingatkan. Apa pun itu, Irving akan memastikan gadis itu tidak akan berhasil
mengelabuhinya. Tidak setelah semua yang terjadi di antara mereka!
Irving melangkah keluar dari tempatnya bersembunyi.


Orang Ketiga Karya Sherls Astrella di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Selamat sore," Irving menyapa, "Kulihat hubungan keluarga kalian memang seerat
yang dikabarkan." "Kami adalah teman sepermainan sejak kecil," kata Richie bangga.
"Ya, aku dapat melihatnya. Tetapi kulihat seorang dari kalian menghilang."
"Siapa?" tanya Richie dan tiba-tiba ia menyadari kejanggalan dalam kemunculan
mereka kali ini, "Apakah yang kau maksud Fulvia?"
"Fulvia tidak mau datang," keluh Trevor.
"Tampaknya kami telah membuatnya marah," tambah Richie suram.
Irving tidak menangkap maksud mereka.
"Bukankah ia telah menentukan pilihannya?"
"Ya...," gumam kedua pria itu bersamaan dan menatap Irving.
Otak Irving langsung memperingatkannya akan bahaya yang menghadang. 'Mereka
tahu!' hatinya waswas."
Ia memilih untuk menjadi biarawati," kata Davies.
Irving terperanjat. Ia menatap pria yang berdiri di belakangnya itu.
"Biarawati?" ulangnya tidak percaya. "Mereka berdua telah membuatnya lelah. Ia tidak dapat memilih seorang dari
mereka tanpa melukai perasaan yang lain. Yang lebih penting adalah ia tidak dapat mengingkari dirinya
sendiri. Ia mencintai mereka berdua seperti mereka mencintai aku. Mereka berdua tahu itu tetapi tidak
pernah mengakuinya. Mereka hanya bisa memperebutkan Fulvia tanpa menyadari bagaimana Fulvia merasa
tertekan oleh perseteruan mereka."
"Fulvia berkata cinta sejatinya tidak ada pada kami. Cinta sejatinya adalah
sebuah kesalahan besar," kata Trevor murung. "Kesalahan besar," Irving tersekat.
"Ia tidak mau menyakiti orang lain. Ia tidak mau menjadi sumber kesalahan orang
lain. Ia tidak mau menjadi sumber pertengkaran orang lain lagi," Richie sepakat.
"Maksud kalian...," desis Irving.
"Ia telah memutuskan untuk tidak menikah," Davies menjelaskan, "Bila memilih
adalah sebuah kesalahan maka lebih baik tidak memilih, katanya."
Irving menatap Davies tanpa kata-kata.
Ia merasa sesuatu ditarik dengan paksa dari dalam dirinya.
Irving tidak tahu harus bereaksi bagaimana atas kenyataan yang tidak terduga
ini. Irving tidak mengerti apa yang dipikiran Fulvia.
Tetapi mereka yang berdiri di sekitarnya mengerti apa yang tengah dipikirkan
Irving. "Kau tidak menduganya, bukan?" ujar Richie, "Aku juga tidak menduga Fulvia akan
memilih jalan senekat itu." "Kurasa Fulvia benar-benar kesal oleh pertengkaran kami," Trevor menyesal,
"Tidak seharusnya kami bertengkar terus hingga semua menjadi seperti ini. Tanpa kami sadari, kami telah
memberikan beban bagi Fulvia." "Sudah sejak awal kukatakan sikap kalian itu akan mengekang kebebasan Fulvia,"
Davies menyalahkan kedua sepupunya itu, "Fulvia mungkin mencintai salah seorang dari
kalian tetapi bagaimana ia bisa memilih bila seorang dari kalian harus terluka sementara yang lain
bersenangsenang atas keputusannya itu?" "Ya, kami mengakui salah."
"Sekarang aku dapat mengerti mengapa Fulvia selalu menolak memilih seorang di
antara kami," tambah Trevor, "Ia mencintai kami berdua sama besarnya hingga ia tidak ingin
kami terluka. Tetapi kami telah membuatnya terluka."
"Ia begitu takut melukai kami hingga ia memilih jalan ini," timpal Richie.
Irving tertegun. Tidak! Itu tidak benar! Mereka salah! Mereka tidak tahu siapa yang memaksa Fulvia mengambil jalan ini.
Mereka tidak mengerti situasi yang sebenarnya.
"Percuma saja kalian menyesal," Davies berkata dengan sinisnya, "Fulvia telah
memutuskan yang terbaik yang dapat ia lakukan."
"Yang dapat kalian lakukan sekarang adalah mendukungnya," Davies membalikkan
badan dan meninggalkan mereka. 'Mendukungnya"' Irving tertegun.
Apakah ini berarti ia harus rela melepaskan Fulvia lagi" Melepaskannya ketika ia
memperoleh sebuah kesempatan" Dan untuk selama-lamanya"
Irving berpikir keras. Ia tidak pernah berpikir sekeras ini semenjak tujuh belas tahun lalu.
Ia tidak pernah berpikir sepanjang malam semenjak ibunya pergi meninggalkan
rumah bersama Nelson, kekasih gelapnya.
Tapi ini berbeda. Bila tujuh belas tahun silam ia memikirkan bagaimana membalas
dendam kepada wanita-wanita binal yang hanya dapat melukai perasaan pria seperti ibunya
melukai ayahnya, maka kali ini ia berpikir keras apa yang dapat ia lakukan untuk Fulvia dan dirinya
sendiri. Bila saat ia berusia delapan tahun itu ia memutuskan untuk membuat kaum wanita itu bertekuk lutut di
hadapannya dan memohon cintanya, kali ini ia memutuskan untuk menemui Fulvia.
Irving akan membuat Fulvia mengatakan sendiri semua yang didengarnya dari
keluarga gadis itu! Maka pagi itu begitu Irving selesai menyantap sarapan pagi yang disediakan
untuknya, Irving langsung melesat ke Unsdrell. Irving tidak peduli apakah gadisnya itu telah bangun atau tidak. Irving tidak
peduli seberapa pagi kehadirannya di Unsdrell. Irving hanya tahu ia tidak dapat menanti lebih lama
lagi. Irving ingin bertemu Fulvia bukan nanti bukan esok tetapi saat ini juga!
-----0----Fulvia muncul di pintu dengan senyumnya yang menawan.
Bukan ini sikap yang Irving harapkan dari Fulvia.
Irving mengharapkan Fulvia muncul dengan penuh kemarahan atau mungkin
kekecewaan. Senyum manis yang mengembang di wajah manis itu seolah berkata pada Irving bahwa tidak
pernah terjadi apaapa di antara mereka. Dan itu membuat Irving semakin terluka.
"Selamat siang, M'lord," sapa Fulvia.
Orang lain! Fulvia memperlakukannya seperti orang yang baru pertama kali
ditemuinya! "Selamat siang, Fulvia," Irving menyembunyikan kepahitannya di antara suara
dinginnya, "Kau tampaknya lebih segar bugar dari yang kudengar."
Fulvia tertawa kecil. Suara tawa itu seperti menertawakan kerinduannya dan Irving merasa sangat
terpukul. Ia datang bukan untuk memperdalam jarak di antara mereka.
"Mereka terlalu membesar-besarkan," Fulvia tidak dapat menutupi tawa gelinya,
"Janganlah Anda terlalu percaya pada mereka."
"Setidaknya aku boleh mempercayai perasaanku, bukan?" Irving bertanya lembut.
Fulvia terdiam. "Kau selalu mengatakan bahwa aku tidak bisa terus mempermainkan perasaanku
sendiri," Irving mengingatkan Fulvia. Fulvia tidak ingin menjawab pertanyaan itu.
Mata biru gelap itu menatap Fulvia dengan penuh kerinduan.
"Saya turut berbahagia Anda menyadarinya," Fulvia menghindari tatapan itu.
"Sayangnya, aku tidak dapat melihatnya."
"Perasaan Anda mengetahuinya," Fulvia tidak ingin berbicara banyak.
"Perasaanku mengatakan kau mempunyai banyak kegalauan hati."
Fulvia tidak menanggapi. Irving terus memandang punggung itu. Fulvia begitu dekat darinya tetapi ia
merasa Fulvia berada di tempat yang jauh - tempat yang tak teraih olehnya. Tiada jalan yang
menghubungkan tempat Fulvia dengannya. Tiada kata-kata yang dapat menjembatani perasaannya dengan Fulvia.
"Bila tidak ada yang Anda butuhkan dari saya," kata Fulvia dingin, "Ijinkan saya
meneruskan kesibukan saya." Irving kaget. Fulvia akan meninggalkannya!
"Mereka ingin tahu mengapa kau bersikeras tidak keluar bersama seorang pun dari
mereka," otaknya berputar cepat mencari topik pembicaraan dengan Fulvia.
Fulvia membalik badannya. Matanya yang dingin menatap Irving lekat-lekat.
"Anda tahu jawabannya," katanya pedih dan melalui Irving.
Irving terpaku dan ketika ia membalikkan badan, Fulvia telah meninggalkan
ruangan itu. Inikah jawaban Fulvia" Inikah keputusan Fulvia"
Sudah tidak ada tempat baginya di hati Fulvia. Sudah tidak ada gunanya ia
berlamalama di tempat ini.
Dengan lesu, Irving meninggalkan Ruang Tamu.
"Kudengar kau datang menemui Fulvia," seseorang mencegat Irving di pintu masuk
Unsdrell. Irving menatap Davies. Ia tidak ingin memberi penjelasan apa pun pada pria itu.
Ia sedang tidak dalam suasana hati untuk bersitegang dengan pria yang selalu berseberangan jalan
dengannya itu. "Aku tidak tahu apa yang terjadi pada kalian," Davies berkata dengan nada
mengancamnya, "Tetapi
aku ingin kau menyelesaikan apa yang telah kaumulai ini."
Davies mendekati Irving. Dari caranya berjalan, caranya menatap Irving, terlihat jelas bahwa pria itu
ingin sekali membunuh Irving, pria yang ia percaya bertanggung jawab atas semua ini! Dan Irving sadar
akan kesalahannya itu. "Kalau kau butuh bantuan, jangan segan untuk mengatakannya padaku," katanya
sebelum berlalu. Irving terkejut. Ia mengawasi Davies yang terus melangkah santai ke dalam gedung
megah itu. Davies memang seorang kakak yang baik. Ia tahu bagaimana melindungi adiknya dan
ia tahu apa yang dapat dilakukan seorang kakak membahagiakan adik satu-satunya.
Mungkin selama ini Irving telah salah menilai Davies.
Dalam hatinya Irving berjanji pada Davies untuk membuat Fulvia kembali tersenyum
dengan senyum menawannya yang dulu. Dan untuk itu Irving tahu ia harus memulai semuanya dari
awal. Dari Trevor dan Richie memohon bantuannya.
-----0----"Tuan Muda Richie dan Tuan Muda Trevor ingin bertemu, Tuan Puteri."
Fulvia mengangkat kepala dari buku. "Aku sibuk," katanya singkat.
"Apakah sekarang kau sedemikian sibuknya hingga kau tidak bisa bertemu kami
walau hanya sesaat?" Richie muncul dari belakang pelayan itu.
Fulvia melihat keduanya tanpa rasa tertarik. "Kalau kalian datang untuk
membujukku, lupakan saja. Aku tidak akan merubah keputusanku."
"Kami juga tahu tidak ada gunanya membujukmu," kata Trevor, "Kami sudah
menyerah." "Apa mau kalian?" Fulvia bertanya curiga.
"Kami datang untuk mengantar surat Irving," jawab Richie.
"Irving?" Fulvia heran, "Apa yang ia inginkan?"
"Kami juga tidak tahu," Trevor menatap Richie.
Beberapa saat yang lalu Irving mengundang mereka berdua ke rumahnya. Ia tidak
mengatakan tujuannya pada mereka berdua. Ia hanya berkata,
"Apakah kalian ingin menggagalkan keinginan Fulvia?"
Tentu saja itu adalah hal yang paling diinginkan keduanya.
Semenjak Fulvia mengumumkan keputusannya sebulan lalu, keduanya terus membujuk
Fulvia. Hampir setiap saat keduanya berusaha membuat Fulvia membatalkan keputusannya itu.
Tetapi keteguhan hati Fulvia tidak pernah goyah.
Davies juga tidak bisa diandalkan lagi. Ia mendukung keputusan Fulvia bahkan ia
menyuruh mereka untuk berhenti menganggu Fulvia.
Count Clarck beserta Countess Kylie juga tidak ingin campur tangan dalam
keputusan putrinya itu. Mereka percaya Fulvia telah melakukan yang terbaik untuk dirinya sendiri. Dua
keluarga yang lain juga lepas tangan. Tidak ada yang dapat membantu keduanya.
"Aku dapat membantu kalian."
"Percuma saja," kata Trevor.
"Kami telah berusaha dan Fulvia tetap tidak merubah keputusannya," Richie
sependapat. "Apakah kalian tidak mempercayaiku?"
"Semuanya akan sia-sia," Richie berkata sedih, "Semuanya telah terlambat."
Irving tidak mengerti.

Orang Ketiga Karya Sherls Astrella di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Fulvia telah mempersiapkan semuanya. Ia telah mendaftarkan diri ke sekolah
biara dan ia diterima. Minggu depan ia akan berangkat ke sana."
Irving terbelalak. "Minggu depan...?"
"Tepatnya lima hari lagi," kata Richie.
"Apakah yang bisa kaulakukan dalam lima hari?" tanya Trevor, "Sementara kami
yang sudah sebulan ini tidak berhasil membujuknya."
"Tidak," Irving berkata penuh percaya diri, "Pasti ada cara."
"Mengapa?" tanya Trevor, "Mengapa engkau begitu yakin?"
"Karena aku juga tidak ingin Fulvia mengambil keputusan ini," jawab Irving, "Aku
telah membuat dia mengambil keputusan ini dan aku pulalah yang bisa membuatnya membatalkannya."
Keduanya menatap Irving lekat-lekat.
"Baiklah," kata Richie, "Kami percaya padamu."
"Apa yang kau ingin kami lakukan?" tanya Trevor.
Dan di sinilah sekarang mereka berada, mengantar surat Irving kepada Fulvia.
Keduanya sudah hampir yakin Fulvia tidak akan menerima surat itu ketika Fulvia
berkata, "Berikan surat itu padaku."
Trevor memberikan surat Irving pada Fulvia.
Mereka memperhatikan Fulvia membuka surat itu. Mereka tidak tahu apa isi surat
itu. Mereka tidak bertanya apapun pada Irving. Mereka percaya Irving mempunyai cara untuk
membatalkan keputusan Fulvia ini. Fulvia membuka lipatan kertas itu dan membaca tulisan tangan Irving.
Sekali aku telah membantumu menyimpan kotak musik untuk hadiah ulang tahun
pernikahan orang tuamu. Dapatkah sekarang kau membantuku menemukan buket bunga yang indah
untuk almarhum ibuku tercinta" Irving Fulvia menutupsuratitu dan mengeluarkan secarik kertas dari laci mejanya. Tanpa
berkata apa-apa, ia mulai menulis. Kedua pria itu memperhatikan Fulvia tanpa berani bertanya apa-apa.
-----0----Melalui surat ini, saya menyatakan dengan penuh penyesalan saya tidak
dapat membantu Anda. Salam sejahtera, Fulvia Irving kecewa. Ia merasa satu jalan antara dia dan Fulvia telah tertutup lagi.
Tidak banyak jalan yang dapat ia jalani untuk mendekati Fulvia.
Tidak adakah cara yang dapat ia lakukan untuk mendapatkan hati Fulvia lagi"
Tidak adakah yang bisa membuat Fulvia membatalkan keputusannya ini"
Melihat raut wajah Irving, mereka tahu apa yang dikatakan Fulvia dalamsuratitu.
Dan mereka turut merasa sedih untuk Irving.
"Maafkan kami, Irving," Trevor turut bersedih.
"Aku tahu. Aku tahu ini akan sia-sia," kata Richie pula.
"Ini adalah karma," kata Irving, "Davies telah memperingatiku untuk tidak
menyakiti Fulvia dan aku telah mempersalahkan cinta di antara kami."
"APA!?" pekik kedua pria itu bersamaan - mencengkeram kerah baju Irving.
"KAU!?"" mereka mengepalkan tangan mereka - siap meninju Irving.
"Aku tidak menyukai kenyataan menjadi orang ketiga di antara kalian. Aku tidak
ingin menjadi Nelson kedua." Kedua pria itu melepaskan Irving dan duduk termenung di kursi mereka masing-
masing. "Aku tidak menyalahkanmu," kata Trevor. "Sejujurnya, sejak awal kami sempat
khawatir Fulvia akan jatuh cinta padamu."
"Tetapi kami berpikir Fulvia tidak mungkin jatuh cinta pria sepertimu. Ia
mungkin tidak mengenalmu tetapi ia tahu reputasimu dan ia selalu mengatakan ia tidak menyukai pria
sepertimu yang suka mempermainkan perasaan," ujar Richie.
"Dan kau pun tidak akan jatuh cinta pada Fulvia," tambah Trevor.
"Kami begitu yakin tetapi Davies lebih bijak," keluh Richie, "Ia terus
memperingatkan kami sebelum kami mempertemukan kalian. Davies tahu reputasimu tetapi ia lebih paham Fulvia.
Ia tahu kalian berdua sangat kontras tetapi kalian berdua juga saling melengkapi."
"Davies juga memperingati kami," Trevor memberitahu.
Irving termenung. "Apakah kau pernah mendengar Festival Topeng?" tanya Richie.
Irving melihat mereka. "Mungkin kau bisa menggunakannya sebagai sebuah kesempatan," kata Richie lagi.
"Fulvia ingin sekali pergi ke festival itu. Ia bahkan ingin seluruh keluarga
kami pergi ke sana bersama-sama," kata Trevor, "Namun kami mendengar Fulvia telah memutuskan untuk
tidak pergi. Ia beralasan ia sudah tidak tertarik dan ia harus meyakinkan semuanya telah siap
sebelum ia berangkat ke sekolah biara pilihannya."
"Fulvia tidak pernah mengakui kesedihannya tetapi ia tidak dapat membohongi kami
yang telah mencintainya semenjak kecil."
"Aku yakin Fulvia akan bersedia bila kau, pria yang dicintainya, mengajaknya."
Irving menatap mereka. "Kami tidak bisa membantumu lagi," kata Richie, "Kau telah merebut Fulvia dari
kami dan kau sendiri yang harus berusaha."
"Setidaknya kami telah memberitahumu sebuah kesempatan," timpal Trevor.
"Terima kasih."
"Kami pasti akan merebut Fulvia kembali bila kau menyakiti Fulvia."
Irving mengangguk. Ini adalah kesempatan terakhirnya, kesempatan terakhirnya sebelum Fulvia pergi
ke sekolah biara. Irving akan memanfaatkan kesempatan ini dengan baik.
Apa pun yang terjadi, Irving tidak akan membiarkan Fulvia mengingkari
perasaannya sendiri. Irving tahu Fulvia masih mencintainya.
Irving yakin Fulvia juga merindukannya.
Maka hari itu ia pergi ke Greenwalls.
Davies, seolah mengetahui kedatangannya, telah menantinya di depan pintu.
"Aku tahu kau pasti akan datang," kata pria itu sambil bersandar di dinding.
Irving tidak mengatakan apa-apa. Ia yakin Davies tahu tujuan kedatangannya.
"Ia ada di dalam kamarnya."
"Terima kasih," Irving melangkah masuk.
"Irving," panggil Davies.
Irving berhenti. "Kau tahu di mana kamar Fulvia?"
Irving terhenyak. Dalam pikirannya hanya ada Fulvia dan ia benar-benar melupakan
hal itu. "Aku akan mengantarmu," Davies menepuk pundak Irving dan mendahuluinya.
Irving mengikuti pria itu.
"Kau lebih parah dari Trevor dan Richie," Davies tersenyum geli, "Tetapi kau
lebih baik darinya." "Kupikir kau membenciku."
"Ya," Davies mengakui, "Aku membencimu karena kau merebut Fulvia dariku. Tetapi
aku juga mengakui kau jauh lebih baik daripada keduanya."
"Lebih baik?" Irving heran, "Bukannya kau selalu menuduhku mempermainkan
Fulvia?" "Aku akui itu juga," kata Davies, "Tetapi aku sudah tidak khawatir lagi. Fulvia
telah menjinakkanmu." Irving terdiam. Davies benar. Sedikitpun tidak salah. Semenjak mengenal Fulvia,
ia mulai kehilangan rasa tertariknya pada wanita-wanita lain. Dan sekarang seluruh hati, jiwa dan
raganya hanya untuk Fulvia dan gadis itu seorang. Davies berhenti. "Aku hanya bisa mengantarmu sampai di sini," katanya, "Kamar Fulvia adalah pintu
kedua itu." "Terima kasih," Irving melalui Davies.
"Irving," lagi-lagi Davies memanggil pria itu.
Irving menoleh. "Aku tahu kau akan berhasil," Davies tersenyum.
Irving mengangguk. "Kami akan menanti kalian di festival itu," kata Davies dan ia pun meninggalkan
tempat itu. Irving juga segera ke kamar Fulvia.
Begitu berada di depan kamar Fulvia, keragu-raguan menghampiri Irving. Irving
tidak yakin Fulvia akan menerimanya. "Tidak! Aku datang bukan untuk kalah tetapi untuk menang!" Irving membulatkan
hatinya dan mengetuk pintu kamar Fulvia. "Siapa?" Irving tersekat mendengar suara yang dirindukannya itu.
"Siapakah itu?" Fulvia membuka pintu kamarnya.
Irving terpaku. Tidak pernah ia merasakan sebuah keinginan sebesar ini untuk
meraih seorang wanita dalam pelukannya. Fulvia mematung. Ia menatap Irving lekat-lekat.
Setelah pagi ia meninggalkan Irving di Ruang Tamu, ia begitu yakin Irving tidak
akan pernah menemuinya lagi. Fulvia yakin Irving tidak dapat menerima cintanya sama seperti
ia tidak dapat menerima kenyataan ia juga mencintai Fulvia.
Fulvia benar. Bahkan setelah menerima surat itu pun ia tahu ia tidak pernah
salah. Irving tidak pernah dapat menerima kenyataan bahwa mereka saling mencintai. Ia
juga tidak bisa menghapuskan rasa bersalah karena keputusannya ini. Dan rasa bersalah itulah
yang membuatnya menerima tawaran Trevor dan Richie untuk membujuknya membatalkan keputusannya
ini. Saat ini Irving juga pasti datang untuk membujuknya! Membujuknya demi Trevor dan
Richie! "Pergi!!" seru Fulvia kesal. "Pergi!" Fulvia menutup pintu kamarnya.
Irving menahan pintu itu dengan tangannya.
"Aku tidak akan pergi denganmu! Aku tidak mau pergi ke festival itu!"
"Aku tidak mengatakan akan mengajakmu kesana," kata Irving tenang.
Fulvia terdiam. Irving memanfaatkan kesempatan itu dan melangkah masuk.
"Keluar! Aku tidak mau bertemu denganmu."
"Tapi kau begitu ingin menemuiku," kata Irving.
Lagi-lagi Fulvia terdiam.
"Kau tidak bisa terus membohongi perasaanmu. Kau tahu itu," ujar Irving.
Fulvia memunggungi Irving.
Irving meraih pundak Fulvia - menahan gerakannya.
"Kau boleh membohongi semua orang tetapi kau tidak bisa membohongi dirimu
sendiri." Fulvia memalingkan wajahnya. Matanya terasa pedas.
"Aku tidak pernah merasa begitu benci diriku sendiri karena sadar telah melukai
perasaan seseorang,"
kata Irving, "Aku tidak pernah merasa begitu gila karena mencintai seseorang.
Aku tidak peduli menjadi orang ketiga atau orang keberapa pun selama aku dapat membuatmu tersenyum.
Mencintai seseorang bukanlah kesalahan."
Fulvia memejamkan matanya.
"Aku datang untuk mengatakan padamu bahwa aku tidak menyesali cintaku padamu.
Aku akui aku pernah membenci kenyataan menjadi orang ketiga di antara kalian. Sekarang aku
bersyukur menjadi orang ketiga di antara kalian sebelum orang lain dan orang pertama yang mendapatkan
cinta sejatimu." Irving melepaskan pundak Fulvia.
"Aku ingin kau tahu aku akan terus mencintaimu apa pun yang terjadi dan sampai
kapan pun juga." Fulvia tidak bergerak sedikitpun.
"Apakah kau begitu ingin menjadi biarawati?"
Fulvia tidak menjawab. "Jawab aku, Fulvia, apakah kau benar-benar ingin menjadi biarawati?"
Fulvia tidak bereaksi. Irving termenung. Ini artinya kesempatan terakhirnya pun telah tertutup. Ia
tidak akan dapat menggoyahkan keputusan Fulvia seperti ia tidak bisa menghancurkan pembatas di
antara mereka yang kian lama kian menebal. Irving pun meninggalkan kamar Fulvia dengan lesu.
14 Fulvia berdiri di kejauhan - melihat orang-orang yang sedang bersenang-senang


Orang Ketiga Karya Sherls Astrella di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dalam Festival Topeng. Semua orang bertopeng. Semua orang mengenakan kostum terbaik mereka.
Fulvia bertaruh. Ya, ia akan bertaruh dalam festival ini.
Festival ini mungkin akan menjadi kemunculannya yang pertama sebagai seorang
makhluk baru. Tapi mungkin juga menjadi kemunculannya yang terakhir.
Ketika Fulvia mendengar suara roda kereta diiringi langkah-langkah lincah kuda
menjauh, ia tahu Irving telah pulang. Fulvia ingin mengejar kereta itu namun otaknya menolak
keras. Ia akui ia sempat menangis ketika Irving pergi begitu saja. Untungnya, otaknya
mengingatkannya pada kenyataan. Irving datang demi Trevor dan Richie. Tidak ada gunanya ia terus
mengharapkan pria itu datang hanya untuknya. Pria itu tidak pernah percaya pada cinta. Bagaimana
mungkin ia bisa tiba-tiba mencintainya sepenuh hatinya" Bagaimana mungkin ia akan mempercayai katakatanya"
Ia hanyalah seorang gadis ingusan. Ia bukan wanita-wanita cantik yang pernah menjadi kekasih
Irving. Ya, ia tidak pernah menjadi kekasihnya, Fulvia mengakui dengan sedih. Mereka
menghabiskan waktu bersama hanya karena permintaannya sendiri. Irving tidak akan pernah datang
menjemputnya bila bukan karena permintaannya. Bahkan di kedatangannya yang terakhir pun ia datang bukan
untuk dirinya sendiri. Cerita cinta ini cukup sampai di sini. Tidak ada gunanya terus memperpanjangnya.
Pada awalnya Fulvia memang tidak tertarik pada Irving. Irving bukanlah tipe pria yang ia
sukai. Sebaliknya, ia tidak menyukai kebiasaan Irving berganti-ganti pasangan. Ia juga tahu Irving bukanlah
tipe seorang pria yang setia. Kalaupun sekarang Irving benar-benar jatuh cinta padanya, besok atau lusa
hatinya akan beralih pada wanita cantik lain. Ini memang kesalahannya sendiri, jatuh cinta pada orang
yang salah. Karenanya, cerita cinta ini harus segera ditutup. Ia sudah membuat keputusan menyangkut
masa depannya. Ia sudah mempersiapkan semua ini semenjak sebulan ini. Sekarang sudah terlambat untuk
mundur. Seharusnya itulah yang dilakukan Fulvia. Namun kenyataannya, kpergian Irving
meninggalkan satu ganjalan di benaknya. Pertanyaan Irving yang terus menggema di telinga membuat
Fulvia berpikir. Apakah ia benar-benar ingin menjadi seorang biarawati"
Dan ketika melihat kereta keluarga Engelschalf meninggalkan Unsdrell, Fulvia
sadar. Irving telah mengingkari cinta di antara mereka. Irving telah membenci cinta di
antara mereka. Tetapi Irving telah menyadarinya dan ia telah berusaha memperbaiki kesalahannya.
Sementara itu dirinya" Apakah ia telah memaafkan Irving"
Selama ini Fulvia hanya tahu Irving melakukan semua ini demi Trevor dan Richie.
Di hari kedua kakak sepupunya itu memperkenalkan Irving, Fulvia sudah menyadari ini adalah
rencana keduanya. Bagaimana mungkin keduanya tiba-tiba memperkenalkan seorang pria padanya
sementara mereka selalu berusaha menjauhkan setiap pria yang berusaha mendekatinya"
Bagaimana kedua pria yang senantiasa bertengkar memperebutkan dirinya itu tiba-
tiba membantu Irving" Hanya satu alasan di balik semua ini. Mereka membuat Irving membantu rencana
mereka. Mereka pulalah yang membuat Irving memaksanya memilih seorang di antara mereka.
Fulvia termenung. Apakah pemikirannya ini benar" Apakah pemahamannya ini tidak salah"
Irving tidak menanti perintah Trevor ketika ia melindunginya dari Lewis.
Irving tidak menerima perintah Richie ketika ia mengantar jemputnya setiap hari.
Irving tidak pernah memberitahu Trevor maupun Richie ketika ia membawanya ke
gunung. Keduanya pasti telah menahan Irving bila mereka tahu.
Keduanya pasti telah melarang Irving bila mereka tahu ke mana Irving akan
membawanya. Bukankah gunung adalah tempat yang berbahaya bagi mereka"
Apakah yang telah dilakukannya selama ini" Apakah yang telah ia perbuat"
Tubuh Fulvia jatuh lemas.
Irving berusaha memperbaiki keadaan ini ketika ia menyadari kesalahannya. Irving
berusaha memulihkan keadaan yang telah dikacaukannya ini.
Dan ia... Apakah yang telah ia perbuat selama sebulan ini"
Tidak ada! Ia tidak melakukan apa pun!
Ia tidak berusaha membuat Irving menarik kembali kata-katanya seperti Irving
berusaha membatalkan keputusannya. Ia tidak berusaha meyakinkan Irving seperti Irving berusaha menyadarkan dirinya.
Ia hanya bisa bersembunyi. Ia hanya bisa menerima keadaan.
Air mata Fulvia jatuh. Satu-satunya yang telah ia lakukan hanyalah bersembunyi dari kepedihan. Ia telah
mengingkari kesedihannya dengan memutuskan menjadi biarawati.
Ia telah lari dari kenyataan dengan memilih menjadi seorang biarawati.
Air mata Fulvia jatuh semakin deras. Ia ingin berlari pada Irving. Ia ingin
menjatuhkan diri pada pelukan pria itu. Sekarang di sinilah ia berada.
Fulvia mengawasi puluhan penduduk yang memadati taman kota. Ia memperhatikan
lautan manusia yang mengenakan topeng itu.
Sesuatu meyakinkan Fulvia bahwa Irving ada di antara mereka.
Fulvia percaya ia akan menemukan Irving.
Dengan bulat tekad, Fulvia melangkah ke kerumunan penduduk.
Fulvia terus melangkah di antara para penduduk. Ia memperhatikan mata yang
tersembunyi di balik topeng-topeng itu. Ia mencari-cari mata biru tua yang hanya bersinar lembut
untuknya itu. Seseorang menyenggol Fulvia.
Tubuh Fulvia yang tidak siap, langsung limbung.
Seseorang menangkap Fulvia.
"Maaf," orang yang menyenggol Fulvia berkata.
"Tidak mengapa," Fulvia tersenyum.
Fulvia membalikkan badan untuk berterima kasih pada orang yang telah menolongnya
itu dan ia tersekat. Sepasang mata dingin itu menatapnya lekat-lekat.
Fulvia tidak dapat melihat warna mata itu dalam kegelapan malam tetapi ia merasa
begitu mengenal tatapan itu. Sesuatu dalam dirinya mengatakan ia merindukan sinar dingin itu.
Musik yang lembut mengalun.
Fulvia melihat sekitarnya.
Setiap orang telah bersiap diri dengan pasangan yang mereka pilih.
Tiba-tiba tubuh Fulvia ditarik.
Fulvia menatap pemilik sepasang mata dingin yang menariknya mendekat itu.
Pria itu tidak berkata apa-apa. Ia tetap membisu ketika meletakkan tangan
kirinya di pinggang Fulvia dan tangan kanannya menggenggam tangan kanan Fulvia dengan lembut.
Sinar mata dingin itu membius Fulvia dan ia meletakkan tangannya yang bebas di
pundak pria itu. Fulvia tidak mendengarkan musik yang mengalun di taman kota. Ia tidak
mempedulikan orang-orang yang berdansa di sekitarnya.
Matanya terpaku pada sepasang mata dingin yang terus menatapnya lekat-lekat itu.
Kakinya melangkah mengiringi langkah pria itu.
Cara pria itu menatapnya membuat pipi Fulvia terasa panas. Sinar dingin yang
memabukkan sepasang mata itu membius Fulvia. Tiba-tiba musik dimatikan dan suasana menjadi gelap gulita.
Fulvia terkejut. Ia mendekatkan diri pada pria itu.
Fulvia dapat merasakan sepasang tangan hangat pria itu di punggungnya. Dan
jantungnya berdebar kencang. "Mari membuka topeng kita!" Fulvia mendengar seseorang berseru.
Fulvia melihat orang-orang mulai membuka topengnya. Fulvia tidak tahu apa yang
harus dilakukannya dan ia masih kebingungan ketika ia merasa seseorang melepaskan topengnya.
Sesaat kemudian cahaya terang puluhan lilin menerangi tempat itu.
Sinar terang lilin yang menyala tak jauh di depannya menyilaukan mata Fulvia.
Fulvia menunduk untuk melindungi matanya dari cahaya terang itu.
Sepasang tangan merapikan rambut Fulvia yang tertarik oleh topengnya.
"Aku tahu kau akan datang."
Fulvia tersekat. Sesaat ia merasa nafasnya terputus. Ia mengangkat kepalanya.
Irving tersenyum lembut. Kaki Fulvia kehilangan tenaganya.
Irving menahan tubuh gadis itu dalam pelukannya.
"A... aku...," Fulvia berpegangan pada Irving, "Aku begitu cemas aku salah memilih."
Irving tersenyum. "Kau tahu pilihanmu tidak salah."
"Oh, Irving," bisik Fulvia.
"Kurasa kau butuh tempat yang lebih tenang," Irving mengangkat Fulvia dan tanpa
mempedulikan pandangan penuh ingin tahu orang lain, ia membawa Fulvia menjauhi kerumunan.
"Kau merasa lebih baik sekarang?" Irving mendudukkan Fulvia di kursi di salah
satu sisi taman kota itu. "Ya...," Fulvia menunduk malu.
Tiba-tiba saja ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Ia datang untuk
menemui Irving. Ia datang untuk memberi jawaban pada Irving dan kini setelah pria itu berada di sisinya,
Fulvia benar-benar tidak tahu apa yang harus dilakukannya.
"Aku mempunyai sesuatu untukmu," Irving mengeluarkan sesuatu dari kantungnya.
Fulvia tertegun melihat kantung itu. Ia tidak mungkin salah mengenali kantung
pemberian Brent untuk menyimpan uang yang akan digunakannya untuk membeli hadiah ulang tahun
pernikahan orang tuanya itu.
"Kantung itu..."
"Terimalah," desak Irving.
Fulvia menerimanya dengan ragu-ragu.
Begitu tangan Fulvia menyentuhnya, Fulvia merasakan sesuatu yang padat dan
keras. Fulvia menatap Irving. "Bukalah," Irving tersenyum.
Jari-jemari Fulvia membuka simpul kantung itu. Matanya terbelalak melihat
isinya. "Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan dengan uang itu ketika teringat kau
berkata kau ingin sekali bermain di pantai," ujar Irving, "Aku menggunakannya untuk mencari kerang itu."
Fulvia menatap Irving penuh haru. "Ini... ini..."
Irving tersenyum. "Aku tahu kau pasti akan menyukainya."
"Ini pasti lebih mahal dari kotak musik itu."
"Aku tidak memusingkannya."
"Tapi saya..." "Aku tahu apa yang akan kaukatakan," potong Irving, "Aku juga tidak
memberikannya secara cumacuma." Fulvia menatap Irving penuh ingin tahu.
"Menikahlah denganku."
Fulvia terkejut. "Anda... bukankah Anda...?"
"Aku tahu apa yang kuinginkan,"Irvingmenegaskan, "Hanya kau satu-satunya wanita
yang ingin kunikahi. Kaulah satu-satunya wanita yang kuinginkan mendampingiku. Satu-satunya
wanita dari siapa aku ingin keturunanku dilahirkan. Aku telah mendapatkanmu dan aku tidak ingin
kehilanganmu lagi. Tidak untuk selama-lamanya."
Fulvia tidak dapat mempercayai pendengarannya.
"Dan aku tidak suka ditolak, Fulvia,"Irvingmemperingatkan, "Kau tahu itu."
"Ya, Irving," Fulvia melingkarkan tangannya di leher pria itu, "Aku tahu."
"Kuanggap itu sebagai jawabanmu."
Fulvia tersenyum gembira. Tidak akan ada yang dapat menyatakan perasaannya kali
ini. Tidak akan ada yang dapat menggantikan kebahagiannya ini.
Dan ketika Irving memeluknya, Fulvia tahu inilah yang paling diinginkannya.
"Hadiah pertunangan kita," bisik Irving dan mencium bibir Fulvia.
tamat Beraksi Kembali 2 Maling Romantis Seri 1 Pendekar Harum Karya Khu Lung Naga Dari Selatan 14
^