Sang Godfather 5
The God Father Sang Godfather Karya Mario Puzo Bagian 5
kehilangan suara. Rekamanku tidak laku lagi. Aku tidak mendapatkan pekerjaan
dalam film. Kemudian Godfather marah padaku dan tidak mau berbicara denganku di telepon atau
menemuiku sewaktu aku ke New York. Kau selalu menjadi orang yang menghalangiku dan aku
menimpakan kesalahan padamu, tapi aku tahu kau tidak akan berbuat begitu tanpa perintah
Don. Tapi tidak ada yang bisa marah padanya. Itu sama saja dengan marah pada Tuhan. Jadi ku-kutuk
kau. Tapi kau benar sejak dulu. Dan untuk menunjukkan padamu bahwa aku benar-benar menyesal, akan
kuturuti nasihatmu. Tidak ada minum minuman keras lagi hingga suaraku pulih. Oke?"
Permintaan maafnya tulus. Hagen melupakan kemarahannya. Pasti ada sesuatu dalam
diri pria berusia 35 tahun ini, kalau tidak, Don pasti tidak akan sesayang itu padanya. Ia
berkata, "Lupakan saja,
Johnny." Ia malu pada betapa dalamnya perasaan Johnny dan pada kecurigaannya
bahwa hal itu mungkin ditimbulkan rasa takut, ketakutan bahwa ia menyebabkan Don marah
padanya. Dan tentu saja Don tidak pernah bisa dipengaruhi siapa pun karena alasan apa pun. Perasaan
sayangnya hanya bisa berubah karena keinginannya sendiri.
"Keadaannya tidak terlalu buruk," katanya pada Johnny. "Kata Don, ia bisa
membatalkan apa saja yang dilakukan Woltz terhadap dirimu. Bahwa kau hampir bisa dipastikan akan
memenangkan Oscar. Tapi ia merasa kau tidak akan bisa memecahkan masalahmu. Ia ingin mengetahui
apakah kau memiliki otak dan nyali untuk menjadi produser sendiri, membuat filmmu sendiri
dari awal sampai akhir." "Bagaimana cara ia mengusahakan aku bisa memenangkan Oscar?" tanya Johnny
takjub. Hagen berkata pedas, "Bagaimana kau bisa semudah itu percaya bahwa Woltz bisa
mengatur segalanya sedangkan (Kunjungi http://vodozom.wordpress.com)
Don tidak" Sekarang karena perlu mendapatkan kepercayaanmu untuk bagian lain
urusan kita, aku harus mengatakan ini padamu. Ayah baptismu orang yang jauh lebih berkuasa
daripada Jack Woltz. Dan ia jauh lebih berkuasa di bidang-bidang yang jauh lebih rumit. Bagaimana ia
bisa mengatur pemberian Oscar" Ia mengendalikan, atau mengendalikan orang yang mengendalikan,
semua serikat buruh dalam industri, semua orang atau hampir semua orang yang akan memberikan
suara. Tentu saja kau harus bagus, kau harus yakin sekali pada kemampuanmu. Dan Godfather memiliki
otak yang jauh lebih cerdas daripada Jack Woltz. Ia tidak mendekati orang-orang ini dan
menodongkan pistol ke kepala mereka sambil berkata, "Berikan suara kepada Johnny Fontane, kalau tidak
kau kehilangan pekerjaan." Ia tidak memaksa kalau paksaan tidak berhasil atau menimbulkan
ketidaksenangan bagi terlalu banyak orang. Ia akan membuat orang-orang itu memilihmu karena mereka
ingin berbuat begitu. Tapi mereka tidak ingin berbuat begitu kalau tidak ada keuntungannya.
Sekarang percayalah padaku bahwa ia bisa memberimu Oscar. Dan kalau ia tidak mengusahakannya, kau
tidak akan mendapatkan hadiah itu."
"Oke," kata Johnny, "aku percaya padamu. Dan aku memiliki nyali dan otak untuk
menjadi produser, tapi aku tidak memiliki uang. Tidak ada bank yang mau membiayai diriku. Butuh
uang berjuta-juta untuk membuat film."
Hagen berkata tegas, "Sesudah kau mendapatkan Oscar, mulailah susun rencana
untuk memproduksi tiga filmmu sendiri. Pekerjakan orang-orang terbaik dalam bisnis film, teknisi
terbaik, bintang terbaik, siapa saja yang kaubutuhkan. Rencanakan tiga hingga lima film."
"Kau sinting," kata Johnny. "Film sebanyak itu berarti dua puluh juta dolar."
(Kunjungi http://vodozom.wordpress.com)
"Saat kau membutuhkan uangnya," kata Hagen, "hubungi aku" Akan kuberikan nama
bank di California sini yang akan menangani pendanaannya. Jangan khawatir, mereka sudah
sejak dulu membiayai pembuatan film. Minta saja uang kepada mereka dengan cara yang biasa,
dengan alasanalasan selayaknya, seperti transaksi bisnis biasa. Mereka akan
setuju. Tapi kau harus menghubungi
aku dulu dan memberitahukan angka-angkanya dan rencanamu. Oke?"
Johnny terdiam lama sekali. Lalu ia berkata pelan, "Ada yang lain lagi?"
Hagen tersenyum. "Maksudmu, apakah ada yang harus kaulakukan sebagai imbalan
pinjaman dua puluh juta dolar" Tentu saja ada yang harus kaulakukan." Ia menunggu hingga
Johnny berbicara. "Lagi
pula, tidak ada yang tidak akan kaulakukan kalau Don memintamu melakukannya."
Johnny berkata, "Don harus memintanya sendiri padaku kalau urusannya serius, kau
mengerti" Aku tidak mau memercayai kata-katamu atau Sonny."
Hagen terkejut dengan ketajaman logika Johnny. Rupanya Johnny Fontane memang
memiliki otak. Ia punya akal untuk mengetahui Don terlalu menyayanginya, dan terlalu pintar,
sehingga tidak akan memintanya melakukan tindakan yang tolol dan berbahaya, yang mungkin akan
diminta Sonny. Ia berkata pada Johnny, "Baiklah, kuyakinkan kau soal satu hal. Godfather memberi
aku dan Sonny perintah tegas untuk tidak melibatkan dirimu dengan cara apa pun ke dalam apa
saja yang mungkin akan menjadi publikasi buruk bagimu gara-gara kesalahan kami. Dan ia sendiri
juga tidak akan melakukannya. Kujamin pertolongan apa pun yang dimintanya darimu akan
kautawarkan untuk kaulakukan sebelum ia memintanya. Oke?" Johnny tersenyum. "Oke," katanya.
Hagen berkata, "Ia juga memercayaimu. Katanya kau punya otak dan dengan begitu
menurut perhitungannya, bank akan mendapat keuntungan dari investasi itu, yang berarti
ia akan mendapat uang dari bisnis tersebut. Jadi ini transaksi bisnis semata, jangan lupakan itu.
Uangnya jangan kauhamburkan. Mungkin kau anak baptis kesayangannya, tapi dua puluh juta dolar
bukan uang yang sedikit. Ia harus mempertaruhkan leher untuk memastikan kau mendapatkannya."
"Katakan padanya ia tak perlu khawatir," kata Johnny. "Kalau orang seperti Jack
Woltz bisa menjadi jenius besar film, setiap orang bisa."
"Itu yang diperhitungkan Godfather," kata Hagen. "Kau bisa mengantarku kembali
ke bandara" Aku sudah mengatakan semua yang harus kukatakan. Setelah kau mulai menandatangani
kontrak untuk segala sesuatu, gunakan pengacaramu sendiri, aku tidak akan turun tangan. Tapi
aku ingin melihat semuanya sebelum kautandatangani, kalau kau tidak keberatan. Kau juga tidak akan
mendapat kesulitan tenaga kerja. Itu akan menghemat biaya pembuatan film hingga batas
tertentu, jadi kalau ada akuntan yang mencantumkan biaya untuk itu, abaikan saja angka-angka tersebut."
Johnny berkata hati-hati, "Apa aku harus mendapat persetujuanmu dalam masalah
lain, skenario, bintang film, hal-hal seperti itu?"
Hagen menggeleng. "Tidak," katanya. "Ada kemungkinan Don keberatan terhadap hal-
hal tertentu, tapi kalau memang ada masalah, ia pasti akan menyampaikannya sendiri padamu.
Tapi aku tidak bisa membayangkan apa yang tidak disetujuinya. Film sama sekali tidak berpengaruh
pada Don, dengan cara apa pun, jadi ia tidak berminat. Dan ia tidak suka mencampuri urusan orang
lain, itu bisa kukatakan padamu berdasarkan pengalaman."
"Bagus," kata Johnny. "Akan kuantar sendiri kau ke bandara. Dan sampaikan terima
kasihku pada Godfather. Aku mau meneleponnya untuk berterima kasih langsung padanya, tapi ia
tidak pernah menerima telepon. Kenapa begitu?"
Hagen mengangkat bahu. "Ia hampir tidak pernah berbicara melalui telepon. Ia
tidak ingin suaranya direkam, bahkan sewaktu mengatakan sesuatu yang biasa saja. Ia takut mereka
memutarbalikkan katakatanya sebegitu rupa hingga kedengaran berbeda. Kupikir itu
alasannya. Bagaimanapun juga, satu-
satunya kekhawatirannya adalah dijebak pihak berwenang. Jadi ia tidak mau
memberi mereka peluang." Mereka masuk ke mobil Johnny dan pergi ke bandara. Hagen berpikir Johnny lebih
baik daripada dugaannya selama ini. Sudah ada yang diketahuinya tentang sifat orang itu,
kesediaannya mengantarkan Hagen sendiri ke bandara membuktikannya. Kebaikan pribadinya,
sesuatu yang dipercaya Don juga. Dan permintaan maafnya. Permintaan maaf Johnny tulus. Hagen
sudah lama mengenal Johnny dan tahu permintaan maaf pria itu bukan karena takut. Johnny
sejak dulu punya nyali. Itu sebabnya ia selalu mendapat kesulitan, dengan bosnya di dunia film
dan dengan kaum wanita. Ia juga salah satu dari sedikit orang yang tidak takut pada Don. Fontane
dan Michael mungkin satu-satunya kenalan Hagen yang bisa dibilang memiliki keberanian seperti itu.
Jadi permintaan maaf Johnny tulus, dan ia akan menerimanya. Ia dan Johnny akan sering bertemu selama
beberapa tahun yang akan datang. Dan Johnny harus lulus ujian berikutnya, yang akan membuktikan
seberapa cerdik dirinya. Ia harus melakukan sesuatu bagi Don yang tidak akan pernah diminta Don
sendiri untuk dilakukan Johnny atau dipaksanya dilakukan anak baptisnya itu sebagai bagian
(Kunjungi http://vodozom.wordpress.com)
dari persetujuan. Hagen bertanya-tanya dalam hati apakah Johnny Fontane cukup
cerdas untuk menyadari bagian itu dari persetujuan ini.
Setelah mengantar Hagen ke bandara (Hagen meminta Johnny tidak menemaninya
menunggu pesawat), Johnny pergi ke rumah Ginny. Ginny terkejut melihatnya. Tapi Johnny
ingin berada di tempatnya agar bisa berpikir, menyusun rencana. Ia tahu apa yang dikatakan Hagen
padanya sangat penting, seluruh hidupnya akan berubah. Dulu ia bintang besar, tapi kini, di
usia yang baru 35 tahun, ia
telah tamat. Ia mengakui sendiri hal itu. Biarpun ia memenangkan Oscar sebagai
aktor terbaik, apa arti kemenangan itu baginya" Tidak ada sama sekali, kalau suaranya tidak pulih. Ia
hanya orang kelas dua, tanpa kekuasaan yang sesungguhnya, tanpa keunggulan apa pun. Bahkan gadis itu
pun menolaknya. Gadis yang begitu manis, cerdas, dan hip, tapi apakah Sharon akan sedingin itu
kalau ia di puncak" Sekarang sesudah Don mendukungnya dengan dana, ia akan bisa menjadi sebesar
siapa pun di Hollywood. Ia bisa menjadi raja. Johnny tersenyum. Persetan. Ia bahkan bisa
menjadi Don. Pasti asyik juga bersama Ginny lagi beberapa minggu, mungkin lebih lama. Ia akan
mengajak anakanak keluar setiap hari, mungkin mengundang beberapa teman ke
rumah. Ia akan berhenti mengonsumsi minuman keras dan rokok, akan benar-benar menjaga diri. Mungkin
suaranya bisa kuat kembali. Kalau semua itu terjadi dan ia dibantu dengan uang Don, ia tidak akan
terkalahkan. Ia benarbenar akan mirip seorang raja atau kaisar zaman dulu
sebagaimana yang bisa terjadi di Amerika. Dan
hal itu tidak harus tergantung pada kekuatan suaranya atau berapa lama publik
akan memedulikan dirinya sebagai seorang aktor. Hal itu akan
menjadi kerajaan yang berakar pada uang dan kekuasaannya akan sangat istimewa,
dari jenis yang paling diinginkan semua orang.
Ginny menyiapkan kamar tidur tamu baginya. Mereka sama-sama memahami bahwa
mereka tidak akan tidur sekamar, bahwa mereka tidak akan hidup sebagai suami-istri. Mereka
tidak akan memiliki hubungan seperti itu lagi. Dan sekalipun dunia luar yang penuh kolumnis gosip
dan penggemar film hanya menyalahkan dirinya atas kegagalan pernikahan mereka, dengan cara yang
aneh, di antara mereka berdua, mereka sama-sama mengetahui Ginny yang harus lebih disalahkan
atas perceraian mereka. Sewaktu Johnny Fontane menjadi penyanyi dan bintang film komedi musik paling
populer, ia tidak pernah berpikir untuk meninggalkan istri dan anak-anaknya. Ia terlalu Italia,
terlalu kuno. Tentu saja ia tidak setia. Itu tidak mungkin dihindari dalam bisnisnya dan dengan godaan
yang terus-menerus dihadapinya. Dan walaupun ia pria kurus yang tampak lemah, ia memiliki aura
mantap seperti banyak tipe Latin yang bertulang kecil. Dan kaum wanita membuatnya senang dengan
keterkejutan mereka. Ia suka pergi bersama gadis alim berwajah manis dan tampak polos, dan sewaktu
membuka pakaiannya, ia mendapati payudara yang begitu montok dan penuh, sangat kontras dengan
wajahnya yang kekanakkanakan. Ia senang pada sikap malu-malu dan tersipu-sipu
gadis berpenampilan seksi yang penuh
gerak tipuan seperti pemain basket yang lincah, genit seakan pernah tidur dengan
seratus pria, lalu saat mereka berdua saja, ia harus berjuang berjam-jam untuk bisa masuk dan
beraksi, dan mendapati mereka ternyata masih perawan.
Dan semua pria Hollywood lain menertawakan kegemaran Johnny pada perawan. Mereka
The God Father Sang Godfather Karya Mario Puzo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyebutnya berselera kuno,
bodoh. Ingat saja betapa repot dan lama mengajari perawan pandai bercinta dan
akhirnya ternyata mereka tidak sepandai itu. Tapi Johnny mengetahui memang begitulah cara
menghadapi gadis muda. Orang harus mendekati si gadis dengan benar, lalu apa yang lebih dahsyat
daripada membuat seorang gadis bisa menikmati permainan cinta pertamanya" Ah, alangkah nikmatnya menembus
benteng pertahanan seorang gadis. Alangkah senangnya merasakan kaki-kaki mereka di-
belitkan ke tubuh kita. Paha mereka berbeda-beda bentuknya, begitu pula bokong mereka. Warna kulit
mereka juga berlainan, dari putih hingga cokelat dan kehitaman. Pernah ia tidur dengan gadis kulit
berwarna di Detroit, gadis
baik-baik, bukan pelacur, anak penyanyi jazz yang bermain bersamanya di kelab
malam, dan gadis itu merupakan salah satu pengalaman paling manis baginya. Bibirnya benar-benar
terasa seperti madu hangat bercampur lada, kulitnya yang cokelat tua mulus, lembut, dan ia semanis
wanita mana pun yang pernah diciptakan Tuhan dan ia masih perawan.
Pria lain selalu membicarakan seks oral, variasi ini-itu, tapi ia sebenarnya
tidak terlalu menyukainya.
Ia tidak pernah terlalu menyukai gadis yang mau mencoba bercinta secara
menyimpang, dan gaya itu tidak pernah benar-benar memuaskannya. Ia dan istri keduanya akhirnya tidak
cocok, karena wanita tersebut begitu menyukai gaya 69 sehingga tak suka yang lain dan Johnny harus
berjuang agar mereka bisa bercinta secara konvensional. Istri keduanya mulai mengejek dan menyebutnya
pria kampungan, dan gosip tersebar bahwa ia bercinta seperti anak-anak. Mungkin itu sebabnya
gadis yang tadi malam menolak dirinya. Ah, persetan, lagi pula gadis itu pasti tidak terlalu hebat di
ranjang. Ia selalu bisa menebak gadis mana yang senang bercinta dan
biasanya merekalah yang terbaik. Terutama gadis-gadis yang belum terlalu lama
melakukannya. Yang benar-benar dibencinya adalah gadis yang mulai bercinta sejak usia dua belas
tahun dan telah "tamat"
di usia dua puluh tahun. Setelah itu mereka melakukan semuanya secara otomatis,
padahal beberapa di antara mereka sangat cantik. Mereka juga bisa menipumu.
Ginny membawa kopi dan kue ke kamarnya, lalu meletakkannya di meja panjang.
Johnny bercerita singkat padanya bahwa Hagen akan menolongnya mendapatkan pinjaman untuk produksi
film dan Ginny sangat senang mendengarnya. Johnny akan menjadi orang penting lagi. Tapi
Ginny tidak bisa membayangkan sebesar apa sebenarnya kekuasaan Don Corleone, sehingga ia tidak
mengerti sepenting apa kedatangan Hagen dari New York. Johnny memberitahu Ginny bahwa
Hagen juga akan membantunya menangani segi-segi hukumnya.
Sesudah mereka selesai minum kopi, Johnny mengatakan ia akan bekerja malam ini,
menelepon dan merencanakan masa depan. "Separo dari semua ini akan kubuat atas nama anak-
anak," katanya pada Ginny. Ginny tersenyum penuh terima kasih dan menciumnya sebagai ucapan selamat
malam sebelum meninggalkan kamar. Ada piring kaca penuh rokok bermonogram yang sangat disukainya dan sekotak penuh
cerutu hitam Kuba sebesar pensil di meja tulisnya. Johnny menyandar ke kursi dan mulai
menelepon. Otaknya benar-benar berputar keras. Ia menelepon pengarang bukunya, novel laris, yang
merupakan dasar film barunya. Pengarang itu pria sebaya dirinya, yang menanjak dengan susah payah dan
sekarang menjadi orang terkenal di dunia literatur. Ia datang ke Hollywood dengan harapan akan
diperlakukan sebagai orang top, tapi seperti sebagian besar pengarang lain, ia diperlakukan seperu sampah. Johnny pernah
menyaksikan penghinaan yang dialami si pengarang pada suatu malam di Brown Derby. Pengarang
itu dipasangkan dengan bintang muda terkenal berdada besar untuk acara kencan di kota yang pasti
akan berakhir di tempat tidur. Tapi saat mereka makan malam, si bintang muda meninggalkan
pengarang terkenal itu karena ada bintang film berwajah tikus memberi isyarat memanggil padanya.
Kejadian tersebut membuat si pengarang paham struktur kekuasaan di Hollywood. Tidak peduli bukunya
menjadikan dirinya terkenal di seluruh dunia, bintang muda lebih memilih orang film yang
paling buruk, paling angkuh, dan paling palsu daripada dirinya.
Sekarang Johnny menelepon pengarang itu di rumahnya di New York untuk
mengucapkan terima kasih mengenai peran besar yang ditulisnya dalam buku baginya. Ia memuji orang
itu habis-habisan. Lalu sambil lalu ia menanyakan perkembangan novel berikutnya dan ceritanya. Ia
menyulut sebatang cerutu sementara si pengarang bercerita mengenai bab yang paling menarik dan
akhirnya berkata, "Aku ingin sekali membacanya sesudah kauselesaikan. Bagaimana kalau kaukirimkan
satu copy untukku" Mungkin aku bisa mendapatkan transaksi yang bagus untukmu, lebih bagus
daripada yang kaudapat dari Woltz."
Semangat yang terdengar dalam suara si pengarang memberitahu Johnny bahwa
dugaannya benar. Woltz menipu orang itu, memberinya bayaran yang rendah untuk bukunya. Johnny
mengatakan ia mungkin akan berada di New York sesudah liburan dan ingin si pengarang makan
malam bersama beberapa temannya. "Aku kenal beberapa cewek yang cantik," kata Johnny dengan
nada bergurau. Si pengarang tertawa dan menyetujui.
Selanjutnya Johnny menelepon sutradara dan juru kamera film yang baru saja
diselesaikannya untuk berterima kasih atas bantuan yang mereka berikan padanya. Ia memberitahu mereka
dengan penuh keyakinan bahwa ia mengetahui Woltz tidak menyukai dirinya dan ia sangat
menghargai bantuan mereka, dan kalau ada apa saja yang bisa dilakukannya untuk mereka, mereka hanya
perlu menghubungi dirinya. Lalu ia melakukan telepon yang paling sulit di antara semuanya, yaitu
menghubungi Jack Woltz. Ia
berterima kasih kepada Woltz untuk perannya dalam film dan mengatakan akan
senang bekerja dengan Woltz kapan saja. Ia melakukan tindakan ini semata-mata untuk mengalihkan
perhatian Woltz. Ia selamanya sangat jujur, sangat lurus. Dalam beberapa hari Woltz akan
mengetahui usahanya dan terkejut pada teleponnya yang menipu, dan Johnny Fontane memang mengharapkan
Jack Woltz merasakan hal itu. Sesudah itu ia duduk menghadapi meja tulis dan menikmati cerutu. Ada wiski di
meja dekat dinding, tapi ia telah berjanji pada diri sendiri dan Hagen bahwa ia tidak akan menyentuh
minuman keras lagi. Seharusnya ia bahkan tidak merokok. Sebenarnya tindakan itu bodoh; apa pun yang
tidak beres dengan suaranya tidak mungkin bisa disembuhkan dengan berhenti merokok dan minum. Tidak
terlalu, tapi persetan, siapa tahu tindakan itu ada gunanya. Ia menginginkan semua kesempatan
yang menguntungkan dirinya, karena sekarang ia memiliki kesempatan.
Sesudah rumah sunyi, mantan istrinya tidur, kedua putri tercintanya juga pulas,
ia bisa memikirkan kembali masa-masa mengerikan dalam hidupnya saat ia meninggalkan mereka. Ia
meninggalkan mereka demi wanita jalang yang menjadi istri keduanya. Tapi sekarang pun ia
tersenyum saat teringat wanita itu, sundal paling hebat dalam banyak hal. Di
samping itu, satu-satunya hal yang menyelamatkan hidupnya adalah hari ia
bertekad tidak memiliki wanita, atau lebih spesifik lagi, hari ia memutuskan ia tidak bisa membenci
istri pertamanya dan putri-putrinya, istri keduanya, dan pacar-pacarnya, sampai Sharon Moore
menolaknya supaya bisa membual pernah menolak ajakan bercinta dengan Johnny Fontane yang terkenal.
Ia pernah berkeliling menyanyi bersama band, kemudian menjadi bintang radio dan
pertunjukan panggung, sebelum akhirnya berhasil di film. Dan selama waktu itu ia menjalani
hidup sesuka hati, menggauli setiap wanita yang diinginkannya, tapi ia tidak membiarkan semua itu
memengaruhi kehidupan pribadinya. Kemudian ia jatuh cinta pada wanita yang segera menjadi
istri keduanya, Margot Ashton. Ia sungguh tergila-gila pada wanita itu. Kariernya jadi
berantakan, suaranya hilang,
kehidupan keluarganya kacau-balau. Dan akhirnya tibalah hari ia tidak punya apa-
apa. Yang menjadi persoalan, ia selalu demawan dan adil. Ketika menceraikannya, ia
memberikan kepada istri pertamanya semua yang dimilikinya. Ia memastikan kedua anaknya mendapatkan
sebagian dari apa saja yang dibuatnya, setiap rekaman, setiap film, setiap pertunjukan yang
dilakukan di kelab malam. Dan setelah kaya dan termasyhur, ia tidak pernah menolak apa pun
permintaan istrinya yang pertama. Ia menolong semua saudara istrinya, ayah dan ibunya, teman-teman
sekolah wanitanya dan keluarga mereka. Ia tak pernah menjadi selebriti yang sombong. Ia menyanyi dalam
pesta perkawinan dua adik perempuan istrinya, sesuatu yang tidak suka dilakukannya. Ia tidak
pernah menolak permintaan istrinya, kecuali menyerahkan sepenuhnya kepribadiannya sendiri.
Kemudian sereJah ia jatuh sampai ke dasar, tidak lagi mendapat pekerjaan dalam
film, tidak bisa menyanyi lagi, dikhianati istrinya yang kedua, ia pergi melewatkan beberapa hari
bersama Ginny dan anak-anak. Suatu malam ia bisa dibilang menyembah minta ampun pada istrinya
karena perasaannya begitu kacau. Hari itu ia mendengar salah satu rekamannya dan suaranya
kedengaran begitu buruk sehingga ia menuduh teknisi suara menyabot rekaman. Sayangnya akhirnya ia yakin
memang begitulah suaranya yang sebenarnya. ia membanting rekaman master itu dan tidak
mau menyanyi lagi. Ia begitu malu sehingga tidak bisa bernyanyi satu lagu pun kecuali bersama Nino
dalam pesta pernikahan Connie Corleone.
Ia tidak pernah melupakan ekspresi wajah Ginny sewaktu mengetahui semua kesialan
ini. Ekspresi itu hanya satu detik kelihatan di wajahnya, tapi cukup bagi Johnny untuk tidak
melupakannya. Itu ekspresi yang menunjukkan kepuasan buas dan penuh sukacita. Itu ekspresi yang
membuat Johnny yakin istrinya sangat membencinya bertahun-tahun terakhir ini. Ginny cepat-cepat
menutupi perasaannya dan menyatakan simpati yang dingin tapi sopan. Johnny pura-pura
menerimanya. Beberapa hari berikutnya ia menemui tiga gadis yang paling disukainya beberapa
tahun terakhir, gadis-gadis yang tetap berteman dengannya dan terkadang tidur bersamanya secara
bersahabat, gadisgadis yang dibantunya dengan seluruh kekuatannya, gadis-gadis
yang diberinya ratusan ribu dolar
dalam bentuk hadiah dan kesempatan kerja. Di wajah mereka ia melihat ekspresi
kepuasan sekilas yang sama. Pada waktu itulah ia menyadari ia harus mengambil keputusan. Ia bisa menjadi
seperti banyak pria lain di Hollywood, produser yang sukses, penulis, sutradara, aktor, yang memburu
wanita cantik dengan kebencian penuh nafsu. Ia
bisa menggunakan kekuasaan dan bantuan keuangan dengan perasaan kurang rela,
selalu waspada menghadapi kemungkinan pengkhianatan, selalu yakin wanita bisa mengkhianati dan
meninggalkan dirinya, merupakan musuh yang harus dikalahkan. Atau ia bisa menolak membenci
wanita dan terus memercayai mereka. Ia mengetahui dirinya tidak bisa tidak mencintai mereka,
bahwa sesuatu dalam jiwanya akan mati kalau ia tidak terus mencintai wanita, tidak peduli seberapa
besar pengkhianatan dan ketidaksetiaan mereka. Tidak masalah apakah wanita yang paling dicintainya
di dunia diam-diam senang melihat dirinya hancur, terhina, bernasib sial; tidak masalah kalau dalam
cara yang paling buruk, bukan secara seksual, mereka tidak setia padanya. Ia tidak memiliki
pilihan lain. Ia harus menerima mereka. Jadi ia bercinta dengan mereka semua, memberi mereka hadiah,
menyembunyikan sakit hatinya melihat mereka gembira menyaksikan kesialan yang menimpa dirinya.
Ia memaafkan mereka karena tahu yang dialaminya ini adalah akibat kehidupannya yang sangat
bebas dan karena menikmati mereka sepenuhnya. Tapi sekarang ia tidak pernah merasa bersalah
karena tidak jujur pada mereka. Ia tidak pernah merasa bersalah mengenai perlakuannya terhadap Ginny,
berkeras tetap menjadi satu-satunya ayah bagi anak-anaknya, tapi tidak pernah mempertimbangkan
rujuk dengan Ginny, dan memberitahukan hal itu pada Ginny. Hanya itulah satu-satunya segi
positif kejatuhannya.
The God Father Sang Godfather Karya Mario Puzo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ia jadi tebal muka dalam hal menyakiti hati wanita.
Ia kelelahan dan sangat mengantuk, tapi satu ingatan tidak mau meninggalkannya
menyanyi bersama Nino Valenti. Tiba-tiba ia mengetahui apa yang akan menyenangkan Don melebihi
apa pun. Ia mengangkat telepon dan meminta operator menghubungkannya dengan New York. Ia
menghubungi Sonny Corleone dan meminta nomor telepon Nino Valenti. Lalu ia menelepon Nino.
Nino kedengaran agak mabuk, seperti biasa.
"Hei, Nino, bagaimana kalau kau datang kemari dan bekerja bersamaku?" tanya
Johnny. "Aku membutuhkan orang yang bisa kupercaya."
Nino, dengan bergurau, berkata, "Well, entahlah, Johnny, aku sudah memiliki
pekerjaan yang bagus sebagai sopir truk, sambil mengencani ibu-ibu di sepanjang rute yang kulalui,
dan dengan mudah mendapat seratus lima puluh dolar setiap minggu. Apa yang bisa kautawarkan?"
"Sebagai awalan, aku bisa membayarmu lima ratus ditambah kencan buta dengan
bintang film, bagaimana?" kata Johnny. "Dan mungkin kau akan kuberi kesempatan menyanyi di
pesta-pesta." "Yeah. Oke, well, akan kupikirkan dulu," kata Nino. "Akan kubicarakan dulu
dengan pengacara dan akuntanku, dan kernet trukku."
"Hei, jangan bergurau, Nino," kata Johnny. "Aku membutuhkan dirimu di sini.
Kuminta kau terbang kemari besok pagi dan menandatangani kontrak pembayaran lima ratus ribu seminggu
untuk setahun. Jadi kalau kau merebut salah satu gadisku dan aku memecatmu, kau mendapat
sedikitnya gaji setahun. Oke?" Lama sekali tidak ada yang bicara. Suara Nino terdengar serius. "Hei, Johnny,
kau bergiuran?" Johnny berkata, "Aku serius, kid. Pergilah ke kantor agenku di New York. Mereka
akan memberimu tiket pesawat dan sedikit uang tunai. Akan kutelepon mereka besok pagi-pagi
sekali. Jadi kau bisa tiba
di sini sorenya. Oke" Akan kukirim orang untuk menjemputmu di bandara dan
membawamu ke rumah." Sekali lagi mereka terdiam sejenak, lalu Nino, dengan suara pelan, tidak pasti,
berkata, "Oke, Johnny."
Ia kedengaran tidak mabuk lagi.
Johnny meletakkan telepon dan bersiap-siap tidur. Ia merasa lebih baik daripada
kapan pun sejak ia memecahkan master rekaman itu.
(Kunjungi http://vodozom.wordpress.com)
Bab 13 Johnny Fontane duduk dalam studio rekaman yang besar dan menghitung berbagai
pengeluaran di notes kuning. Para pemain musik mulai masuk, semua temannya sejak ia masih kecil
dan dikenal sebagai penyanyi band anak-anak. Konduktornya, orang terbaik dalam bisnis musik
pop dan baik padanya di masa-masa sulit, memberi setiap pemain buku musik dan instruksi
lisan. Namanya Eddie Neils. Ia bersedia ikut rekaman untuk menyenangkan Johnny, sekalipun jadwalnya
sendiri padat. Nino Valenti duduk menghadapi piano sambil memainkan tuts-tutsnya dengan
gelisah. Ia juga menyesap rye dari gelas sangat besar. Johnny tidak keberatan. Ia mengetahui Nino
menyanyi rama baiknya dalam keadaan sadar maupun mabuk, dan yang mereka lakukan sekarang tidak
membutuhkan keahlian bermain musik sedikit pun dari pihak Nino.
Eddie Neils membuat aransemen khusus beberapa lagu lama Italia dan Sisilia, dan
karya istimewa nyanyian duet yang dibawakan Nino dan Johnny di pesta pernikahan Connie
Corleone. Johnny membuat rekaman itu terutama karena ia mengetahui Don menyukai lagu-lagu seperti
itu dan itu akan merupakan hadiah Natal yang sempurna baginya. Ia
juga menduga rekaman itu akan laku keras, meskipun tentu saja tidak mencapai
sejuta. Dan ia memperhitungkan bahwa membantu Nino adalah balas budi yang diinginkan Don.
Bagaimanapun, Nino anak baptis Don juga.
Johnny meletakkan clipboard dan notes di kursi lipat di sampingnya dan beranjak
ke samping piano. Ia berkata, "Hei, paisan," dan Nino menengadah sambil berusaha tersenyum. Ia
tampak agak sakit. Johnny membungkuk dan menggosok punggung Nino. "Santai saja, kid," katanya.
"Lakukan pekerjaanmu dengan baik sekarang dan akan kuatur kencanmu dengan cewek paling
cantik di seluruh Hollywood." Nino meneguk wiskinya. "Siapa, Lassie?"
Johnny tertawa. "Bukan, Deanna Dunn. Kujamin barangnya bagus."
Nino terkesan, tapi tidak bisa menahan diri untuk berkata dengan nada pura-pura
berharap, "Kau tidak
bisa mendapatkan Lassie untukku?"
Para musisi mulai memainkan lagu pembuka medley. Johnny Fontane mendengarkan
dengan teliti. Eddie Neils akan memainkan semua lagu beraransemen khususnya. Lalu mereka akan
mulai merekam. Sementara mendengarkan, Johnny mencatat dalam hati bagaimana tepatnya ia akan
mengucapkan setiap bait, bagaimana ia akan membawakan setiap lagu. Ia mengetahui suaranya
tidak akan bertahan lama, tapi Nino akan membawakan sebagian besar lagu, dan Johnny akan menyanyi di
bawahnya. Kecuali, tentu saja, untuk nyanyian duet. Ia harus menghemat tenaga untuk itu.
Ia menarik Nino berdiri dan mereka berdua menghadapi mikrofon masing-masing.
Nino melakukan kesalahan di bagian pembukaan, lalu melakukannya lagi. Wajahnya mulai memerah
karena malu. Johnny menggodanya, "Hei, kau sengaja mengulur waktu agar lembur?"
273 "Aku kurang nyaman tanpa mandolin," kata Nino. Johnny memikirkannya sejenak.
"Pegang gelas minumanmu," katanya.
Tampaknya hal itu membantu. Nino terus minum dari gelas itu sambil bernyanyi,
tapi hasilnya bagus. Johnny menyanyi dengan santai, tidak tegang, suaranya hanya menari-nari di
sekitar melodi utama yang dibawakan Nino. Tidak ada kepuasan emosional dalam jenis nyanyian ini, tapi
ia terpesona pada kemampuan teknisnya sendiri. Ada yang dipelajarinya setelah sepuluh tahun
menyanyi. Ketika mereka tiba pada lagu duel yang mengakhiri rekaman, Johnny membebaskan
suaranya dan setelah mereka selesai ia merasakan tenggorokannya sakit. Para pemain musik
hanyut dalam lagu terakhir, hal yang langka bagi kaum veteran yang berpengalaman. Mereka memukuli
instrumen dan mengentakkan kaki seperti tepuk tangan sebagai tanda suka. Pemain drum melakukan
ruffle. Dengan menghitung waktu istirahat dan berunding, mereka bekerja hampir empat jam
sebelum berhenti. Eddie Neils menghampiri Johnny dan berkata pelan, "Kau kedengaran
bagus sekali, man. Mungkin kau siap untuk membuat rekaman. Aku punya lagu yang sempurna sekali
untukmu." Johnny menggeleng. "Sudahlah, Eddie, jangan menggodaku. Lagi pula, dua jam lagi
aku akan terlalu serak bahkan untuk bicara. Kaupikir banyak yang harus kita bereskan dari kerja
kita hari ini?" Eddie berkata sambil berpikir, "Nino harus datang ke studio besok pagi. Ia
melakukan beberapa kesalahan. Tapi ia jauh lebih baik daripada dugaanku. Sedang mengenai suaramu,
akan kuminta bagian suara membereskan apa yang tidak kusukai. Oke?" "Oke," kata Johnny.
"Kapan aku bisa mendengar hasilnya?"
"Besok malam," kata Eddie Neils. "Di tempatmu?"
"Yeah," kata Johnny. "Terima kasih, Eddie. Sampai ketemu besok pagi." Ia meraih
lengan Nino dan mengajaknya keluar studio. Mereka pergi ke rumahnya, bukan ke rumah Ginny.
Saat itu hari telah menjelang senja. Nino tetap lebih daripada separo mabuk.
Johnny menyuruhnya mandi pancuran lalu tidur. Mereka akan menghadiri pesta besar pukul sebelas
malam. Sesudah Nino terjaga, Johnny memberinya pengarahan. "Pesta ini diselenggarakan
Lonely Hearts Club milik seorang bintang film," katanya. "Wanita-wanita yang datang malam ini
adalah yang kaulihat di film sebagai ratu gemerlapan pujaan berjuta-juta pria yang bersedia mengorbankan
tangan kanan mereka agar bisa bercinta dengan mereka. Dan satu-satunya alasan kehadiran
mereka adalah untuk menemukan orang yang mau mengajak mereka ke ranjang. Kau tahu sebabnya" Karena
mereka haus hal itu, mereka hanya sedikit terlalu tua. Dan setiap wanita kaya lain, mereka
menginginkannya dengan gaya kelas atas."
"Kenapa suaramu?" tanya Nino.
Johnny berbicara nyaris berbisik "Setiap kali aku bernyanyi sedikit, selalu
begini jadinya. Sudah sebulan aku tidak bisa bernyanyi. Tapi serakku akan hilang dua hari lagi."
Nino berkata sambil berpikir, "Berat juga, heh?"
Johnny mengangkat bahu. "Dengar, Nino, jangan sampai kau terlalu mabuk malam
ini. Kau harus memperlihatkan pada gadis-gadis Hollywood bahwa temanku bukan paisan yang lemah.
Kau harus berhasil. Ingat, beberapa dari wanita-wanita itu sangat berkuasa di dunia film,
mereka bisa mendapatkan pekerjaan untukmu. Tidak ada salahnya bersikap memikat sesudah kau
menaklukkan mereka." Nino mulai menuang minuman lagi. "Aku selalu memikat," katanya. Ia menghabiskan
isi gelasnya. Sambil tersenyum, ia bertanya, "Aku serius, kau benar-benar bisa memperkenalkan
aku pada Deanna Dunn?" "Jangan khawatir," kata Johnny. "Ini tidak akan seperti yang kaupikirkan."
Hollywood Movie Star Lonely Hearts Club (dijuluki begitu oleh para bintang muda
yang harus hadir) berkumpul setiap Jumat malam di rumah Roy McElroy yang seperti istana dan
dimiliki studio. La agen pers, atau lebih tepatnya penasihat humas Woltz International Film
Corporation. Sebenarnya, meskipun acara itu merupakan pesta terbuka McElroy, gagasannya berasal dari otak
praktis Jack Woltz. Beberapa bintang filmnya yang menghasilkan uang sekarang sudah tua. Tanpa
bantuan pencahayaan khusus dan juru rias yang jenius, mereka akan tampak sesuai usia
mereka. Mereka mulai menghadapi masalah. Mereka juga menjadi kurang peka secara fisik dan mental
hingga batas tertentu. Mereka tidak lagi "jatuh cinta". Mereka tidak lagi memegang peran sebagai wanita
yang diburu-buru. Mereka jadi terlalu angkuh; karena uang, ketenaran, sisa-sisa kecantikan.
Woltz menyelenggarakan pesta itu agar mereka lebih mudah mendapatkan kekasih,
kekasih semalam, yang kalau hebat, bisa menjadi partner tidur tetap dan meningkatkan karier
mereka. Karena kegiatan pesta terkadang berubah menjadi perkelahian massal atau kegiatan seksual
berlebihan yang menyebabkan polisi harus campur tangan, Woltz memutuskan melangsungkan pesta di
rumah penasihat humasnya, yang akan berada di sana untuk membereskan segala sesuatu,
membayar orang pers dan polisi agar beritanya tidak tersebar. Bagi aktor-aktor muda tertentu
yang jantan tapi belum mencapai tingkat bintang atau belum pernah mendapat peran utama, kehadiran dalam
pesta Jumat malam itu tidak selalu merupakan tugas yang menyenangkan. Ini karena fakta bahwa
film baru yang belum dilempar studio ke pasaran akan diputar dalam pesta. Kenyataannya, memang
itulah alasan penyelenggaraan pesta itu sendiri. Orang akan mengatakan, "Mari kita lihat
seperti apa film baru yang
dibuat studio ini atau itu." Dengan begitu pesta ditempatkan dalam konteks
profesional. Aktris pemula yang masih muda tidak boleh menghadiri pesta Jumat malam. Atau
lebih tepat, tidak dianjurkan. Sebagian besar dari mereka memahami pesan tersamarnya.
Pemutaran film baru dilangsungkan tengah malam. Johnny dan Nino tiba pukul
sebelas. Ternyata pada pandangan pertama, Roy McElroy tampak seperti pria yang sangat simpatik, serba
rapi, berpakaian bagus. Ia menyambut Johnny Fontane dengan berteriak terkejut tapi gembira. "Apa
yang kaulakukan di sini?" ia bertanya dengan keheranan yang tulus.
Johnny menjabat tangannya. "Aku mengajak pesiar sepupuku dari kampung.
Perkenalkan, Nino." McElroy menjabat tangan Nino dan memandanginya dengan kagum. "Mereka akan
melahapnya hidup-hidup," katanya pada Johnny. Ia mengajak mereka ke patio belakang.
Patio belakang merupakan deretan kamar besar yang jendelanya terbuka ke taman
dan kolam renang. Di sana ada sekitar seratus orang berkeliaran, semuanya membawa gelas minuman.
Penerangan taman diatur secara artistik untuk meningkatkan keindahan wajah dan kulit kaum wanita.
Mereka wanitawanita yang pernah dilihat Nino di layar putih sewaktu masih
remaja. Mereka memainkan peran
dalam impian erotis masa remajanya. Tapi melihat mereka sekarang dalam keadaan
yang sebenarnya seperti melihat mereka me-277
The God Father Sang Godfather Karya Mario Puzo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ngenakan riasan yang mengerikan. Tidak ada yang bisa menyembunyikan kelelahan
jiwa dan raga wanita-wanita itu waktu telah menggerogoti kondisi puncak mereka. Mereka
bersikap dan bergerak dengan memesona sebagaimana yang diingat Nino, tapi mereka seperti buah-buahan
dari lilin, mereka tidak bisa merangsang dirinya. Nino mengambil dua gelas minuman, mengembara
hingga meja tempat ia bisa berdiri di dekat kumpulan botol minuman. Johnny berjalan dengannya.
Mereka minum bersama hingga dari belakang mereka terdengar suara merdu Deanna Dunn.
Nino, seperti jutaan pria lain, mengingat suara itu dalam otaknya selamanya.
Deanna Dunn pernah memenangi dua Oscar, dan main dalam dua film paling laris yang pernah dibuat
Hollywood. Di layar putih, Deanna Dunn memiliki pesona kewanitaan seperti kucing, yang memikat semua
pria. Tapi katakata yang diucapkannya di sini tidak akan pernah terdengar di
layar perak. "Johnny, keparat, aku harus
menemui psikiater lagi karena kau hanya mau menjadi kekasih semalam. Kenapa kau
tidak pernah kembali untuk kedua kalinya?"
Johnny mencium pipi yang disodorkan kepadanya. "Kau membuatku kelelahan selama
sebulan," katanya. "Aku ingin kau bertemu dengan saudara sepupuku Nino. Pemuda Italia yang
manis dan kuat. Mungkin ia bisa menandingimu."
Deanna Dunn berpaling pada Nino dengan pandangan dingin. "Ia senang menonton
preview" Johnny tertawa. "Kurasa ia tidak pernah mendapat kesempatan. Bagaimana kalau kau
mengajaknya?" Nino terpaksa minum sebanyak-banyaknya saat bersama Deanna Dunn. Ia berusaha
bersikap manis dan terbuka, tapi sulit. Deanna Dunn memiliki hidung yang tinggi, wajah tajam
klasik yang merupakan kecantikan khas Anglo-Saxon. Dan ia mengenal wanita ini dengan baik.
Ia pernah melihatnya sendirian di kamar tidur, patah hati, menangisi suaminya, pilot yang
tewas dan membuat anak-anaknya tanpa ayah. Ia pernah melihatnya marah, sakit hati, terhina, tapi
masih memiliki martabat yang berkobar-kobar sewaktu Clark Gable yang jahat menggagahinya, lalu
meninggalkannya gara-gara pelacur. (Deanna Dunn tidak pernah memainkan peran pelacur di film.)
Ia pernah melihat Deanna Dunn marah karena cinta yang tidak dibalas, menggeliat dalam pelukan pria
yang dicintainya, dan ia pernah melihatnya tewas dengan sikap yang anggun sedikitnya enam kali. Ia
pernah melihatnya, mendengarnya, dan memimpikannya, tapi ia tidak siap mendengar kata-kata pertama
yang dilontarkan Deanna Dunn sewaktu mereka berdua saja.
"Johnny salah satu di antara sedikit pria yang bernyali di kota ini," kata
Deanna Dunn. "Yang lain
hanyalah orang bodoh dan sakit, tidak bisa terangsang wanita walaupun dicekoki
satu truk obat perangsang." Ia memegang tangan Nino dan mengajaknya ke sudut ruangan, jauh dari
orang banyak dan persaingan. Lalu, masih dengan pesona yang dingin, Deanna Dunn bertanya kepada Nino tentang
dirinya. Nino mengetahui Deanna tengah memainkan peran wanita kaya yang berbaik hati pada
penjaga kandang atau sopir, yang kalau di dalam film akan ditolaknya (jika dimainkan Spencer
Tracy), atau diterimanya dengan mengorbankan segalanya karena kesukaannya pada pria itu
(kalau dimainkan Clark Gable). Tapi itu bukan masalah. Nino bercerita pada Deanna tentang
bagaimana ia dan Johnny tumbuh dewasa bersama-sama di New York, bagaimana ia dan Johnny menyanyi bersama
dalam penunjukan di kelab malam. Ia mendapati Deanna Dunn sangat simpatik dan penuh
perhatian. Sekali Deanna Dunn 279 bertanya sambil lalu, "Kau mengetahui bagaimana Johnny
memaksa si Woltz keparat itu memberinya peran dalam
filmnya?" Nino tertegun dan menggeleng. Tapi Deanna Dunn
tidak mendesak. Tiba waktu untuk pemutaran preview film baru Jack Woltz. Deanna Dunn menuntun
Nino, tangan Deanna yang hangat memegangi tangannya, menuju ruangan tidak berjendela di rumah
besar itu, tapi dilengkapi sekitar lima puluh sofa untuk dua orang yang tersebar sebegitu rupa
sehingga setiap orang agak terpisah. Nino melihat ada meja kecil di samping sofa, dan di atas meja ada mangkuk es,
gelas-gelas, dan botolbotol minuman keras, ditambah piring berisi rokok. Ia
memberi Deanna Dunn sebatang rokok,
menyulutnya, lalu membuat minuman bagi mereka berdua. Mereka tidak saling
berbicara. Beberapa menit kemudian lampu-lampu dipadamkan.
Nino telah menduga akan ada kejadian luar biasa. Bagaimanapun, ia pernah
mendengar mengenai kebejatan Hollywood yang melegenda. Tapi ia tidak siap menghadapi serangan
Deanna Dunn yang rakus terhadap organ seksualnya, tanpa pembukaan yang sopan dan ramah. Nino
terus menghirup minuman dan menonton film, tapi tidak bisa merasakan, tidak bisa melihat. Ia
merasakan kesenangan yang belum pernah dialaminya. Tapi ini sebagian karena wanita yang tengah
melayaninya dalam kegelapan adalah objek impian masa remajanya.
Tapi entah mengapa kejantanannya terasa terhina. Jadi sesudah Deanna Dunn yang
terkenal di seluruh dunia merasa puas dan merapikannya, dengan sangat tenang Nino memberinya minuman
baru dan menyulut sebatang rokok, dan berkata dengan suara paling santai yang bisa
dibayangkan, "Tampaknya
film ini bagus sekali."
Ia merasa Deanna Dunn menegang di sampingnya di
(Kunjungi http://vodozom.wordpress.com)
sofa. Apakah wanita ini menunggu pujian" Nino mengisi gelasnya hingga penuh dari
botol terdekat dan tangan mereka bersentuhan dalam gelap. Persetan. Deanna Dunn memperlakukan
dirinya seperti gigolo. Karena suatu alasan sekarang ia merasakan kemarahan yang dingin pada
semua wanita ini. Mereka menonton film selama lima belas menit lagi. Nino mencondongkan tubuh
menjauhi Deanna hingga mereka tidak lagi bersentuhan.
Akhirnya Deanna Dunn berbisik kasar, "Jangan sok, kau menyukainya. Milikmu
sebesar rumah." Nino menghirup minuman dan berkata dengan sikap sambil lalu sewajarnya, "Memang
selalu begitu. Kau harus melihatnya waktu aku terangsang."
Deanna Dunn tertawa kecil dan diam sepanjang sisa pemutaran film. Akhirnya film
selesai dan lampulampu dinyalakan kembali. Nino melayangkan pandangan ke
sekelilingnya. Ia bisa melihat bahwa
dalam kegelapan tadi telah berlangsung pesta sekalipun ia tidak mendengar apa-
apa. Tapi beberapa wanita memancarkan ekspresi berseri-seri seakan baru saja mendapat kepuasan yang
luar biasa. Mereka keluar dari ruang pemutaran film. Deana Dunn tiba-tiba meninggalkannya
untuk berbicara dengan pria yang lebih tua, yang dikenal Nino sebagai pemeran utama dalam film;
tapi sekarang, melihat pria itu langsung, ia menyadari pria itu homo. Ia menyesap minuman
sambil berpikir. Johnny Fontane datang ke sisinya dan berkata, "Hei, kid, kau bersenang-senang?"
Nino tersenyum. "Entahlah. Ini berbeda. Sekarang sesampainya di rumah nanti, aku
bisa mengatakan Deanna Dunn menggarapku."
Johnny tertawa. "Ia bisa lebih baik daripada itu kalau mengundangmu ke rumahnya.
Ia mengundangmu?" Nino menggeleng. "Aku terlalu memerhatikan filmnya," katanya. Tapi kali ini
Johnny tidak tertawa. "Yang benar, kid" katanya. "Cewek seperti itu bisa memberimu banyak keuntungan.
Padahal kau biasanya memanfaatkan apa saja. Nino, kadang-kadang aku masih bermimpi buruk
kalau ingat lontelonte jelek yang dulu kaugauli."
Nino melambaikan gelasnya setengah mabuk dan berkata keras, "Yah, mereka jelek,
tapi mereka wanita" Deanna Dunn, di sudut, menoleh untuk melihat mereka berdua. Nino
melambaikan gelas padanya. Johnny Fontane menghela napas. "Oke, kau hanya petani yang bodoh."
"Dan aku tidak akan berubah," kata Nino dengan senyuman mabuknya yang menawan.
Johnny sangat memahami perasaan Nino. Ia tahu Nino tidak semabuk yang
diperlihatkannya. Ia tahu
Nino hanya berpura-pura supaya bisa mengatakan hal-hal yang dirasakannya terlalu
kasar bagi padrone Hollywood-nya yang baru kalau ia tidak mabuk. Ia mengalungkan lengannya
di leher Nino dan berkata, "Kau orang yang sok bijaksana, kau tahu kau punya kontrak yang
sangat mengikat selama setahun dan bisa mengatakan apa saja sesukamu dan aku tidak bisa memecatmu."
"Kau tidak bisa memecatku?" tanya Nino dengan kelicikan mabuk.
"Ya," kata Johnny
"Kalau begitu, persetan kau," kata Nino.
Sesaat Johnny terkejut dan bangkit kemarahannya. Ia melihat Nino menyeringai
tidak peduli. Tapi dalam beberapa tahun terakhir rupanya ia semakin cerdik, atau kejatuhannya dari
puncak kemasyhuran membuatnya semakin peka. Saat itu ia memahami Nino, mengapa teman nyanyinya di
masa kanak-kanak tidak pernah meraih sukses, mengapa ia menghancurkan setiap peluang
sukses sekarang. Nino bereaksi menjauhi semua konsekuensi sukses, bahwa entah bagaimana ia merasa
terhina oleh semua yang dilakukan orang untuknya.
Johnny menggandeng Nino dan menuntunnya ke luar rumah. Kini Nino nyaris tidak
bisa berjalan. Johnny berbicara padanya dengan lemah lembut. "Oke, kid, kau menyanyi saja
untukku, aku ingin menghasilkan uang darimu. Aku tidak ingin mencoba mengatur hidupmu. Lakukan saja
apa yang ingin kaulakukan. Oke, paisan" Yang harus kaulakukan hanya menyanyi untukku dan
menerima uang karena sekarang aku tidak bisa lagi menyanyi. Kau mengerti, Sobat?"
Nino menegakkan tubuh. "Aku akan menyanyi untukmu, Johnny," katanya. Suaranya
begitu pelan sehingga hampir tidak bisa dipahami. "Aku penyanyi yang lebih baik daripada yang
kauketahui. Aku selalu menyanyi lebih baik daripada kau, kau tahu itu?"
Johnny berdiri sambil berpikir, jadi itulah. Ia tahu bahwa ketika suaranya masih
sehat, Nino hanya tidak setingkat dengannya, tidak pernah, ketika mereka bernyanyi bersama sewaktu
kecil. Ia melihat. Nino menunggu jawaban, terhuyung-huyung mabuk dalam sinar bulan California.
"Sialan kau," katanya lembut, dan mereka tertawa bersama seperti masa lalu, sewaktu keduanya
masih sama-sama muda. Sewaktu Johnny Fontane mendengar berita penembakan Don Corleone, ia bukan hanya
mengkhawatirkan Godfather-nya, tapi juga apakah rencana pembiayaan filmnya masih
berlaku. Ia ingin pergi ke New York untuk menyampaikan penghormatan pada Godfather di rumah
sakit. Tapi ia dinasihati supaya tidak memperoleh publikasi buruk, dan
bahwa itu sangat tidak disukai Don Corleone. Maka ia menunggu. Seminggu kemudian
datang utusan dari Tom Hagen. Rencana pembiayaan masih berlaku, tapi hanya untuk satu film
setiap kalinya. Sementara itu Johnny membiarkan Nino bebas di Hollywood dan California, dan
hubungan Nino baik sekali dengan aktris-aktris pemula yang masih muda. Terkadang Johnny
meneleponnya untuk mengajaknya keluar bersama di malam hari tapi tidak pernah tergantung pada
dirinya. Sewaktu mereka membicarakan peristiwa penembakan Don, Nino berkata pada Johnny,
"Ketahuilah, aku pernah meminta pekerjaan pada Don dalam organisasinya dan ia tidak mau
memberikannya. Aku bosan mengemudikan truk dan ingin mendapat banyak uang. Kau tahu apa yang
dikatakannya padaku"
Ia bilang setiap orang hanya memiliki satu takdir dan takdirku adalah menjadi
seniman. Artinya aku tidak boleh menjadi anggota organisasinya."
Johnny memikirkan hal itu. Godfather pasti orang yang paling pandai di dunia. Ia
langsung mengetahui bahwa Nino tidak bisa terlibat dalam kegiatan bisnis Keluarga, hanya
akan mendapat kesulitan atau terbunuh. Terbunuh hanya karena bicaranya yang sok tahu. Tapi
bagaimana Don bisa mengetahui Nino akan menjadi seniman" Sebab, sialan, ia memperhitungkan bahwa
suatu hari nanti aku akan membantu Nino. Dan bagaimana ia bisa memperhitungkan begitu" Karena ia
akan bicara padaku dan aku akan berusaha memperlihatkan rasa terima kasihku. Tentu saja ia
tidak pernah memintaku melakukannya. Ia hanya memberitahuku ia akan bahagia kalau aku
melakukannya. Johnny Fontane menghela napas. Sekarang Godfather sakit, dalam kesulitan, maka ia boleh
mengucapkan selamat tinggal pada Piala Oscar karena Woltz menentangnya dan tidak ada
yang membantu Johnny. Hanya Don yang memiliki kontak pribadi yang bisa menekan,
dan keluarga Corleone harus memikirkan masalah lain. Johnny telah menawarkan bantuan, tapi
Hagen menolak
The God Father Sang Godfather Karya Mario Puzo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan tegas. Johnny sibuk membuat filmnya. Pengarang buku yang dijadikan film yang dibintangi
Johnny itu telah menyelesaikan novel barunya dan datang ke Pantai Barat atas undangannya, untuk
berunding tanpa melibatkan agen atau studio. Buku yang kedua sempurna sekali dengan apa yang
diinginkan Johnny. Ia tidak harus bernyanyi, ceritanya bagus dengan banyak wanita dan seks, serta
memiliki peran yang seketika dikenali Johnny sebagai peran yang sangat cocok bagi Nino. Tokoh itu
berbicara seperti Nino, bertingkah laku seperti Nino, bahkan tampangnya pun mirip Nino. Yang harus
dilakukan Nino hanyalah datang ke studio dan menjadi dirinya sendiri.
Johnny bekerja dengan cepat. Ia menyadari bahwa ia mengetahui lebih banyak
mengenai produksi daripada dugaannya. Tapi ia mempekerjakan produser eksekutif, orang yang
menguasai bidangnya, tapi sulit mencari pekerjaan karena termasuk dalam daftar hitam. Johnny tidak
memanfaatkan kesempatan dan memberi orang itu kontrak yang adil. "Kuharap kau bisa membuatku
lebih hemat dengan cara ini," katanya terus terang pada orang itu.
Jadi ia heran sewaktu produser eksekutif itu menemuinya dan mengatakan wakil
serikat buruh meminta pembayaran lima puluh ribu dolar. Ada banyak masalah yang berkaitan
dengan kerja lembur dan penempatan tenaga kerja, dan uang lima puluh ribu dolar yang dikeluarkannya
tidak akan sia-sia. Johnny bertanya-tanya apakah produser eksekutifnya mencoba memerasnya, lalu
berkata, "Minta orang serikat buruh itu datang padaku."
Orang serikat buruh itu ternyata Billy Goff. Johnny berkata padanya, "Kupikir
masalah serikat buruh sudah diurus teman-temanku. Aku diberitahu untuk tidak mengkhawatirkannya. Sama
sekali." Goff bertanya, "Siapa yang mengatakan itu padamu?" Johnny berkata, "Kau mengetahui
dengan tepat siapa yang mengatakannya padaku. Aku tidak mau menyebutkan namanya tapi ia yang
mengatakan begitu padaku." Goff berkata, "Keadaan sudah berubah. Temanmu dalam kesulitan dan kata-katanya
tidak lagi berpengaruh hingga di Barat sini."
Johnny mengangkat bahu. "Temui aku dua hari lagi. Oke?"
Goff tersenyum. "Baik, Johnny," katanya. "Tapi menelepon New York tidak akan
menolongmu." Tapi menelepon New York ternyata bisa menolongnya. Ia berbicara dengan Hagen di
kantornya. Hagen dengan tegas melarangnya membayar. "Godfather akan sangat marah kalau kau
membayar keparat itu meski hanya lima sen," katanya pada Johnny. "Itu akan menyebabkan
Don kehilangan rasa hormat dari orang lain, padahal sekarang itu tidak boleh terjadi."
"Bisa aku berbicara dengan Don?" tanya Johnny. "Kau mau bicara dengannya"
Pembuatan film harus jalan terus." "Tidak ada yang bisa berbicara dengan Don sekarang ini," kata Hagen. "Sakitnya
terlalu berat. Akan kubicarakan masalah ini dengan Sonny. Tapi aku yang mengambil keputusan dalam
hal ini. Jangan membayar keparat licik itu lima sen pun. Kalau ada perubahan, kau akan kuberi
tahu." Dengan jengkel Johnny menutup telepon. Masalah dengan serikat buruh bisa
menambah biaya yang besar dalam pembuatan film dan dapat mengacaukan pekerjaan pada umumnya. Sesaat
ia berdebat sendiri apakah akan memberi Goff
lima puluh ribu diam-diam atau tidak. Bagaimanapun, Don memberitahu dirinya dan
Hagen memberitahu sekaligus melarang dirinya merupakan dua hal yang berbeda. Tapi ia
memutuskan menunggu beberapa hari. Dengan menunggu ia menghemat lima puluh ribu dolar. Dua malam kemudian, Goff
ditemukan tewas ditembak di rumahnya di Glendale. Tidak ada pembicaraan lagi mengenai masalah
perburuhan. Johnny agak terguncang dengan pembunuhan itu. Untuk pertama kalinya tangan Don
yang panjang melontarkan pukulan mematikan yang begitu dekat dengan dirinya.
Minggu demi minggu berlalu, dan sementara ia semakin sibuk mempersiapkan naskah,
menyusun daftar pemain, dan menangani rincian produksi, Johnny Fontane melupakan
suaranya, melupakan ketidakmampuannya bernyanyi. Tapi sewaktu nominasi Academy Award diumumkan dan
ia ternyata termasuk salah satu calon, ia merasa tertekan karena tidak diminta menyanyikan
salah satu lagu yang dinominasi-kan dalam acara yang ditayangkan televisi secara nasional itu. Tapi
ia mengesampingkannya dan terus bekerja. Ia tidak memiliki peluang untuk memenangi
Oscar sekarang karena Godfather tidak bisa melakukan tekanan, tapi masuk nominasi pun sudah
berarti. Rekaman yang dibuatnya bersama Nino, yang berisi lagu-lagu Italia, jauh lebih
laku daripada apa pun yang dibuatnya akhir-akhir ini. Tapi ia tahu kesuksesan itu lebih merupakan
kesuksesan Nino daripada kesuksesannya sendiri. Ia sekarang pasrah karena tidak bisa bernyanyi
profesional lagi. Sekali seminggu ia makan malam bersama Ginny dan anak-anak. Tidak peduli sesibuk
apa pekerjaannya, ia tidak pernah melewatkan kewajiban itu. Tapi ia tidak tidur
dengan Ginny. Sementara itu, istri keduanya mendapatkan surat cerai
di Meksiko, dan ia kembali menjadi bujangan. Anehnya, ia tidak lagi begitu
bernafsu menggauli aktris-aktris pemula yang masih muda, yang merupakan sasaran empuk baginya.
Sebenarnya ia telah menjadi terlalu angkuh. Ia sakit hati karena tidak seorang pun di antara
bintang-bintang muda itu,
aktris-aktris yang tengah berada di puncak, yang memberinya kesempatan.
Tapi ia sangat senang bekerja keras. Hampir setiap malam ia pulang ke rumah
seorang diri, memutar rekaman-rekaman lamanya, minum, dan menggumam mengikuti beberapa bait lagu. Dulu
ia begitu hebat, sangat hebat. Ia tidak pernah menyadari sehebat apa dirinya dulu. Bahkan
kalaupun tak ada suara istimewanya, yang bisa dimiliki siapa pun, ia sangat hebat. Ia benar-benar
seniman dan ia tidak pernah menyadarinya, tak pernah mengetahui bahwa ia sangat menyukainya. Ia
merusak suaranya sendiri dengan minuman keras, tembakau, dan perempuan tepat pada saat ia benar-
benar mengetahui arti semua itu. Terkadang Nino datang untuk minum dan mendengarkan Lagu bersamanya. Johnny
biasanya berkata padanya dengan nada mengejek, "Dasar keparat bodoh, kau tidak pernah bernyanyi
seperti itu seumur hidupmu." Dan Nino tersenyum memesona sambil menggeleng, dan berkata, "Ya, dan
aku tidak akan pernah bisa," dengan suara yang simpatik, seakan mengetahui apa yang dipikirkan
Johnny. Akhirnya, seminggu sebelum pengambilan gambar film barunya dimulai, malam
penganugerahan Oscar pun tiba. Johnny mengajak Nino ikut, tapi ditolak. Johnny berkata, "Sobat,
aku tidak pernah menuntut kebaikan hatimu, bukan" Sekarang berbaik hatilah padaku dan ikutlah
denganku. Kau satusatunya orang yang akan mengasihaniku kalau aku tidak menang."
Sesaat Nino seakan terkejut. Lalu ia berkata, "Tentu saja, sobat lama, aku
ikut." Ia terdiam sejenak
lalu berkata, "Kalau kau tidak menang, lupakan sajalah. Minumlah semabuk mungkin
dan aku yang akan mengurusmu. Persetan, aku tidak akan minum seteguk pun malam ini. Bagaimana
itu sebagai sahabat?" "Man," kata Johnny Fontane, "itu baru benar-benar sahabat."
Di malam Academy Award itu Nino menepati janjinya. Nino sama sekali tidak minum
dan mereka pergi bersama ke teater tempat acara dilangsungkan. Nino bertanya-tanya dalam
hati mengapa Johnny tidak mengundang salah satu pacarnya atau bekas istrinya ke jamuan makan malam
pemberian Oscar. Terutama Ginny. Apakah ia berpikir Ginny tidak akan mendukungnya" Nino ingin
sekali bisa minum segelas saja, malam ini sepertinya akan panjang dan buruk.
Nino Valenti menganggap seluruh acara Academy Award membosankan sampai pemenang
untuk aktor terbaik diumumkan. Ketika mendengar nama "Johnny Fontane" disebut, ia
melompat-lompat sambil bertepuk tangan. Johnny mengulurkan tangan padanya dan ia menjabatnya. Ia
tahu sahabatnya memerlukan kontak manusiawi dengan seseorang yang dipercayanya. Dan Nino
merasakan kesedihan yang sangat besar karena Johnny tidak memiliki siapa pun yang lebih baik
daripada dirinya pada saat
kemenangannya. Yang menyusul kemudian merupakan mimpi buruk. Film Jack Woltz menyapu bersih
semua penghargaan dan pesta studio penuh orang surat kabar yang semuanya penipu, baik
pria maupun wanita. Nino memenuhi janjinya untuk tidak mabuk, dan ia berusaha menjaga
Johnny. Tapi kaum wanita dalam pesta tersebut terus-menerus menarik Johnny ke kamar tidur untuk
mengobrol sebentar dan Johnny semakin mabuk.
289 Sementara itu, wanita yang memenangkan penghargaan untuk aktris terbaik
mengalami nasib yang sama, tapi lebih menyukainya dan bisa menghadapinya dengan lebih baik. Nino
menolaknya, satusatunya pria yang berbuat begitu di pesta tersebut.
Akhirnya seseorang punya gagasan bagus. Kedua pemenang harus bercinta di depan
umum, dan setiap orang menjadi penontonnya. Si aktris ditelanjangi dan wanita-wanita lain mulai
membuka baju Johnny Fontane. Ketika itulah, Nino, satu-satunya orang yang sadar, menyambar Johnny
yang sudah setengah telanjang dan memanggulnya di pundak, berjuang menembus orang banyak menuju
mobil mereka. Sementara ia menyetir mobil menuju rumah Johnny, Nino berpikir, kalau ini yang
namanya sukses, ia tidak menginginkannya. BUKU TIGA Bab 14 Don menjadi pria sejati pada usia dua belas tahun. Dengan tubuh pendek, rambut
hitam, tinggal di desa Corleone, Sisilia, yang mirip perkampungan Moor, ia dilahirkan dengan nama
Vito Andolini, tapi ketika orang-orang tidak dikenal datang untuk membunuh anak pria yang mereka
bunuh, ibunya mengirim bocah itu ke Amerika untuk tinggal bersama teman-teman. Dan di negeri
baru tersebut ia mengganti namanya menjadi Corleone untuk melestarikan ikatannya dengan kampung
halaman. Itu salah satu dari sedikit tindakan sentimental yang pernah dilakukannya.
Di Sisilia pada pergantian abad, Mafia merupakan pemerintah kedua, jauh lebih
berkuasa daripada pemerintah resmi di Roma. Ayah Vito Corleone terlibat perselisihan dengan orang
desa lain yang lantas membawa masalah mereka ke Mafia. Ayahnya tidak mau tunduk dan dalam
perkelahian di depan umum, ia membunuh kepala Mafia setempat. Seminggu kemudian ia sendiri
ditemukan tewas, tubuhnya hancur karena tembakan lupara. Sebulan sesudah pemakamannya, orang-
orang Mafia bersenjata api datang mencari si putra yang masih kecil, Vito. Mereka
menyimpulkan ia hampir dewasa, bahwa ia mungkin akan menuntut balas kematian ayahnya di tahun-tahun mendatang. Vito
yang berusia dua belas tahun disembunyikan kerabatnya dan dikirim ke Amerika dengan kapal. Di
sana ia tinggal di rumah keluarga Abbandando, yang anaknya, Genco, kemudian menjadi consigliori
sewaktu Vito menjadi don. Vito muda bekerja di toko bahan pangan Abbandando di Ninth Avenue, Hells
Kitchen, New York. Pada usia delapan belas tahun Vito menikah dengan gadis Italia yang baru datang
dari Sisilia, gadis yang baru berusia enam belas tahun tapi pandai memasak dan menjadi ibu rumah
tangga yang baik. Mereka tinggal di rumah sewaan di Tenth Avenue, dekat 35th Street, hanya
beberapa blok dari tempat
kerja Vito. Dua tahun kemudian mereka dianugerahi anak pertama, Santino, yang
dipanggil Sonny oleh semua temannya karena baktinya pada ayahnya.
Di lingkungan ku tinggal pria bernama FanUcei. Ia orang Italia gemuk dan
bertampang bengis, yang mengenakan setelan mahal berwarna terang dan topi fedora krem. Pria tersebut
dikenal sebagai "Tangan Hitam", tukang pukul Mafia yang memeras uang dari para keluarga dan
pemilik toko dengan ancaman penganiayaan. Tapi, karena sebagian besar penghuni lingkungan itu
sendiri juga kejam, ancaman penganiayaan Fanucci hanya efektif terhadap pasangan lanjut usia yang
tidak memiliki putra untuk membela mereka. Beberapa pemilik toko membayarnya dalam jumlah yang tidak
seberapa demi keselamatan. Sekalipun begitu, Fanucci juga senang memangsa sesama penjahat,
orang yang menjual
The God Father Sang Godfather Karya Mario Puzo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lotre Italia atau mengelola perjudian ilegal di rumahnya. Toko bahan pangan
Abbandando memberi upeti dalam jumlah kecil, walau diprotes Genco muda, yang mengatakan pada
ayahnya bahwa ia akan mengakhiri pemerasan Fanucci.
Ayahnya melarang. Vito Corleone menyaksikan semua ini tanpa merasa terlibat
sedikit pun. Suatu hari Fanucci dihadang tiga pemuda yang menggorok lehernya dari telinga ke
telinga, tidak cukup dalam untuk membunuhnya, tapi cukup untuk menakut-nakutinya dan membuatnya
mengeluarkan banyak darah. Vito melihat Fanucci melarikan diri dari orang-orang
yang menghukumnya, dengan irisan melingkar berwarna merah. Yang tidak pernah
dilupakannya adalah Fanucci yang memegangi topi fedora krem di bawah dagunya untuk menampung darah
yang menetes sambil berlari. Seakan ia tidak ingin setelan jasnya kotor atau tidak ingin
meninggalkan jejak darah yang memalukan. Tapi serangan tersebut merupakan berkah tersembunyi bagi Fanucci. Ketiga pemuda
itu bukan pembunuh, hanya pemuda-pemuda tangguh yang ingin memberi pelajaran pada Fanucci
agar menghentikan pemerasan. Fanucci membuktikan diri sebagai pembunuh. Beberapa
minggu kemudian pemuda yang menganiaya dirinya dengan pisau ditembak mati. Dan keluarga kedua
pemuda lainnya membayar Fanucci agar bersumpah tidak akan membalas dendam. Setelah itu upetinya
semakin tinggi dan Fanucci menjadi partner dalam usaha perjudian di lingkungan itu. Sedangkan
Vito Corleone menganggap itu bukan urusannya. Ia segera melupakannya.
Pada Perang Dunia I, sewaktu minyak zaitun impor menjadi barang langka, Fanucci
mendapat bagian keuntungan dari toko bahan pangan Abbandando dengan memasok bukan saja minyak,
tapi juga salami, ham, dan keju impor dari Italia. Lalu ia memasukkan keponakannya di toko
dan Vito Corleone pun kehilangan pekerjaan.
Pada waktu itu anak keduanya, Frederico, telah lahir dan Vito Corleone harus
memberi makan empat mulut. Hingga saat itu ia masih pemuda pendiam yang bisa menahan diri, yang menyimpan
pikirannya, tidak mengungkapkannya pada siapa pun. Anak pemilik toko makanan, Genco Abbandando,
adalah sahabat karibnya, dan Vito membuat keduanya terkejut dengan mencela temannya atas
perbuatan ayahnya itu. Genco, dengan wajah memerah karena malu, bersumpah kepada Vito bahwa ia tidak
akan kekurangan makan. Bahwa ia, Genco, akan mencuri makanan dari toko untuk memenuhi kebutuhan
sahabatnya. Tawaran ini ditolak tegas Vito; merupakan tindakan yang memalukan kalau anak
mencuri dari ayahnya. Tapi Vito muda merasakan kemarahan yang dingin pada Fanucci yang ditakuti itu.
Ia tidak pernah memperlihatkan amarahnya dengan cara apa pun, hanya menunggu kesempatan. Ia
bekerja di perusahaan kereta api selama beberapa bulan, dan sesudah perang berakhir,
pekerjaan tidak begitu ramai hingga ia hanya bisa menerima upah beberapa hari kerja setiap bulannya.
Juga sebagian besar mandornya orang Irlandia dan Amerika yang senang mencerca para pekerja dengan
bahasa yang paling kotor. Vito selalu menunjukkan ekspresi kaku seperti tidak mengerti,
walau ia sangat memahami bahasa Inggris tapi masih bicara dengan aksen Italia.
Pada suatu sore, sewaktu Vito sedang makan malam bersama keluarganya, terdengar
ketukan di jendela yang menghadap saluran udara terbuka yang memisahkan mereka dari
bangunan sebelah. Vito menyibakkan tirai, dan heran melihat salah satu pemuda di lingkungan itu, Peter
Clemenza, mencondongkan tubuh dari jendela di seberang saluran. Ia mengulurkan bungkusan
kain putih. "Hei, paisan" kata Clemenza. "Simpankan ini sampai kuminta kembali. Cepat." Vito
otomatis mengulurkan tangan menerima bungkusan itu. Wajah Clemenza tampak tegang dan mendesak. Kelihatannya
ia tengah menghadapi kesulitan dan Vito menolongnya karena naluri. Tapi sewaktu membuka
bungkusan itu di dapur, ia melihat ada lima pucuk pistol berminyak yang mengotori kain putihnya.
Ia menyimpannya di lemari kamar dan menunggu. Ia mengetahui Clemenza dibawa pergi polisi. Mereka
pasti sudah mengetuk pintunya sewaktu Clemenza memberikan pistol-pistol itu melalui saluran
udara. Vito tidak pernah menceritakannya pada orang lain dan tentu saja istrinya yang
ketakutan tidak berani membuka mulut bahkan sewaktu bergosip, takut suaminya sendiri dijebloskan ke
penjara. Dua hari kemudian, Peter Clemenza muncul kembali di lingkungan itu dan bertanya sambil
lalu pada Vito, "Kau masih menyimpan barangku?"
Vito mengangguk. Ia memiliki kebiasaan sedikit bicara. Clemenza datang ke rumah
sewaannya dan diberi segelas anggur, sementara Vito mengambil bungkusan itu dari lemari.
Clemenza meminum anggurnya, wajahnya yang gemuk dan ramah mengawasi Vito dengan
waspada. "Kau melihat isinya?"
Vito, dengan wajah tetap pasif, menggeleng. "Aku tidak tertarik pada apa yang
bukan urusanku," katanya. Mereka minum anggur bersama-sama sepanjang sisa sore itu. Mereka segera akrab.
Clemenza gemar bercerita; Vko Corleone senang mendengarkan orang yang senang bercerita. Mereka
jadi bersahabat. Beberapa hari kemudian Clemenza menanyakan pada istri Vito Corleone apakah ia
ingin permadani yang bagus untuk lantai ruang duduknya. Ia mengajak Vito untuk membantu
mengangkut permadaninya. Clemenza mengajak Vito ke apartemen dengan dua pilar
marmer dan serambi depan dari marmer putih. Ia membuka
pintu dan mereka berada dalam apartemen yang mewah.
Clemenza menggeram, "Pergilah ke ujung ruangan dan
bantu aku menggulungnya." Permadani itu terbuat wol merah tebal. Vito Corleone
takjub pada kedermawanan Clemenza. Bersama-sama mereka
menggulung permadani, Clemenza memegang ujung yang satu sementara Vito memegang
ujung lain. Mereka mengangkat permadani dan mulai membawanya menuju pintu.
Saat itu bel apartemen berbunyi. Clemenza seketika menjatuhkan gulungan
permadani dan berjalan ke
jendela. Ia menyibakkan tirai ke samping sedikit dan apa yang dilihatnya
menyebabkan ia mencabut pistol dari dalam jaket. Ketika itulah Vito Corleone yang kaget baru menyadari
mereka mencuri permadani dari apartemen orang yang tidak dikenal.
Bel apartemen berbunyi lagi. Vito berdiri di samping Clemenza agar bisa melihat
apa yang terjadi. Di pintu ada polisi berseragam. Sementara mereka memandang, polisi itu membunyikan
bel sekali lagi, lalu mengangkat bahu dan berbalik menuruni tangga marmer ke jalan.
Clemenza mendengus puas dan berkata, "Ayo, kita pergi." Ia mengangkat kembali
ujung permadani dan Vito mengangkat ujung yang lain. Polisi belum lagi berbelok di tikungan
sewaktu mereka keluar dari pintu kayu ek ke jalan, sambil membawa gulungan permadani di antara mereka.
Tiga puluh menit kemudian mereka memotong permadani itu agar sesuai dengan ruang duduk apartemen
Vito Corleone. Mereka masih memiliki cukup permadani untuk kamar tidur. Clemenza pekerja yang
ahli dan dari dalam saku jasnya yang kebesaran (bahkan waktu itu ia telah senang mengenakan
pakaian yang longgar walau belum terlalu gendut), ia mengeluarkan alat pemotong permadani
yang dibutuhkan. Waktu terus berjalan, dan keadaan belum berubah menjadi lebih baik. Keluarga
Corleone tidak bisa memakan permadani yang indah. Jadi, kalau tidak ada pekerjaan, istri dan anak-
anaknya harus kelaparan. Vito menerima beberapa bungkus makanan dari sahabatnya Genco
sementara ia memikirkan situasinya. Akhirnya ia didatangi Clemenza dan Tessio, pemuda tangguh
lain dari lingkungannya. Mereka orang-orang yang menyukai dirinya, melihat caranya membawa
diri, dan mengetahui ia tengah pusing memikirkan nasib. Mereka mengajaknya menjadi anggota
geng mereka yang ahli membajak truk pengangkut gaun sutra sesudah truk itu dimuati di pabrik
di 31st Street. Tidak ada risikonya sama sekali. Sopir-sopir truk adalah orang-orang yang
berpikiran waras, yang begitu melihat pistol langsung menelungkup di tepi jalan, sementara para
pembajak melarikan truk untuk dibongkar muatannya di gudang seorang teman. Sebagian barangnya dijual
pada pedagang grosir Italia, dan sisanya dijual dari rumah ke rumah di lingkungan masyarakat
ItaliaArthur Avenue di Bronx, Mulberry Street, dan distrik Chelsea di Manhattansemua kepada keluarga
Italia yang miskin dan mencari ba-rang murah, yang para putrinya tidak akan mampu membeli barang
seindah itu. Clemenza dan Tessio membutuhkan Vito untuk mengemudikan truk karena mereka
mengetahui ia dulu sopir truk pengiriman di toko bahan pangan Abbandando. Pada tahun 1919,
pengemudi mobil yang ahli sangat langka. Dengan mengabaikan akal sehatnya sendiri, Vito Corleone menerima tawaran mereka.
Argumentasi yang menyebabkan ia mengambil keputusan itu adalah ia akan mendapat bagian
minimal seribu dolar dari pekerjaan itu. Tapi menurutnya, teman-temannya yang masih muda melakukan
kecerobohan, perencanaan mereka untuk pekerjaan itu kacau-balau, dan
299 pendistribusian barang bajakannya dilakukan secara bodoh. Seluruh pendekatan
mereka kurang hatihati, tidak sesuai dengan seleranya. Tapi ia berpendapat
mereka memiliki sifat yang baik dan mantap.
Peter Clemenza, yang mulai gemuk, menimbulkan kepercayaan, dan Tessio yang kecil
ramping menimbulkan keyakinan. Pekerjaan itu sendiri dilakukan tanpa kesulitan. Vito Corleone tidak merasa
takut, dan ini sangat mengherankan dirinya sendiri, sewaktu dua temannya menodongkan pistol dan
memaksa sopir turun dari truk pengangkut sutra. Ia juga terkesan pada ketenangan Clemenza dan
Tessio. Mereka tidak gugup, bahkan bergurau dengan sopirnya, mengatakan sopir itu anak yang baik
sehingga mereka akan mengirimkan beberapa helai gaun kepada istrinya. Karena menurut Vito bodoh
sekali menjajakan sendiri gaun-gaun itu, ia memberikan bagiannya pada tukang tadah, hingga hanya
mendapat tujuh ratus dolar. Tapi jumlah ini cukup besar pada tahun 1919.
Pada hari berikutnya di jalan, Vito Corleone dihentikan Fanucci yang mengenakan
setelan krem dan topi fedora putih. Fanucci bertampang brutal dan tidak melakukan apa pun untuk
menyembunyikan bekas luka yang melingkar dari telinga ke telinga di bawah dagunya. Ia memiliki
alis yang tebal dan kasar, dan wajah yang, anehnya, tampak ramah kalau tersenyum.
Ia berbicara dengan aksen Sisilia yang sangat kental. "Ah, anak muda," katanya
pada Vito. "Kata orang-orang, kau kaya. Kau dan kedua temanmu itu. Tapi apa kau tidak berpikir
bahwa kau sudah agak meremehkan diriku" Bagaimanapun juga, ini lingkunganku, dan kalian harus
mengizinkan aku membasahi paruhku." Ia menggunakan ungkapan Sisilia yang digunakan Mafia, "Fari
vagnari a pizzu." Pizzu artinya
paruh burung kecil seperti burung kenari. Ungkapan itu
sendiri berarti menuntut bagian dari barang jarahan.
Sebagaimana kebiasaannya, Vito Corleone tidak menjawab. Ia seketika memahami
arti kata-kata orang itu dan menunggu tuntutan yang pasti.
Fanucci tersenyum padanya, memperlihatkan gigi emas, dan memegang bekas luka
yang seperti jerat membelit lehernya. Ia mengusap wajahnya dengan saputangan dan membuka kancing
jas sesaat seakan untuk menyejukkan diri, tapi sebenarnya untuk menunjukkan pistol yang
terselip di sabuknya. Lalu ia menghela napas dan berkata, "Beri aku lima ratus dolar dan akan
kulupakan penghinaan kalian. Bagaimanapun, anak muda memang tidak mengetahui sopan santun yang
seharusnya diberikan pada orang seperti diriku."
Vito Corleone tersenyum padanya dan biarpun ia pemuda yang belum pernah
menumpahkan darah, ada sesuatu dalam senyumnya yang mendirikan bulu roma sehingga Fanucci ragu-ragu
sejenak sebelum melanjutkan. "Kalau tidak, polisi akan mencari kalian, istri dan anak-
anak kalian akan malu dan telantar. Tentu saja, kalau informasi tentang keberuntungan kalian tidak
benar, aku akan mencelupkan paruhku sedikit saja. Tapi tidak kurang dari tiga ratus dolar. Dan
jangan coba-coba mengkhianatiku."
The God Father Sang Godfather Karya Mario Puzo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Untuk pertama kalinya Vito Corleone berbicara. Suaranya terkendali, tidak
menunjukkan kemarahan. Bicaranya sopan, cocok bagi anak muda yang berbicara pada pria yang lebih tua
dan lebih terkemuka seperti Fanucci. Ia berkata pelan, "Kedua temanku yang memegang uang bagianku,
aku harus membicarakannya dengan mereka."
Fanucci jadi tenang. "Kau boleh memberitahu kedua temanmu itu bahwa aku berharap
mereka mengizinkan aku membasahi paruhku dengan cara yang sama. Kau tidak perlu takut mengatakannya
pada mereka," tambahnya untuk menegaskan. "Aku dan Clemenza kenal baik, ia memahami hal-hal
seperti ini. Biarlah kau mendapat petunjuk dari mereka. Ia lebih berpengalaman dalam hal
ini." Vito Corleone mengangkat bahu. Ia berusaha terlihat agak malu. "Tentu saja,"
katanya. "Kau mengerti
bahwa semua ini baru bagiku. Terima kasih sudah berbicara padaku seperti ayah
baptis." Fanucci kagum. "Kau anak yang baik," katanya. Ia memegang tangan Vito dan
menggenggamnya dengan dua tangan berbulu. "Kau memiliki rasa hormat," katanya. "Hal yang baik
pada diri anak muda. Lain kali bicarakan dulu denganku, eh" Mungkin aku bisa membantu
rencanamu." Pada tahun-tahun mendatang, Vito Corleone memahami bahwa yang menjadikan ia
bertindak setaktis dan sesempurna itu dalam menghadapi Fanucci adalah kematian ayahnya yang
pemarah, yang dibunuh Mafia di Sisilia. Tapi pada waktu itu yang dirasakannya hanyalah kemarahan yang
dingin karena orang ini akan merampok uang yang diperolehnya dengan mempertaruhkan nyawa dan
kebebasannya. Ia sama sekali tidak takut. Bahkan waktu itu ia berpikir Fanucci orang tolol
yang sinting. Dari apa yang dilihat Vito pada diri Clemenza, pria Sisilia gendut itu lebih suka
kehilangan nyawa daripada
kehilangan satu sen pun uang hasil rampokannya. Bagaimanapun, Clemenza siap
membunuh polisi hanya karena ia mencuri permadani. Dan Tessio yang ramping sama berbahayanya
dengan ular berbisa. Tapi malam itu juga, di apartemen Clemenza di seberang lorong udara, Vito
Corleone mendapat pelajaran lain dalam pendidikan yang baru saja dimulainya. Clemenza mengumpat,
Tessio cemberut, tapi lalu keduanya mulai membicarakan
apakah Fanucci akan puas dengan dua ratus dolar. Menurut Tessio ya.
Clemenza yakin. "Tidak, keparat itu pasti mengetahui berapa yang kita dapat dari
pedagang grosir yang membeli gaun-gaun itu. Fanucci tidak akan mau menerima kurang lima sen pun
dari tiga ratus dolar. Kita harus membayar."
Vito keheranan tapi ia berhati-hati untuk tidak memperlihatkan perasaannya.
"Kenapa kita harus membayarnya" Apa yang bisa dilakukannya pada kita bertiga" Kita lebih kuat
daripada dia. Kita memiliki pistol. Kenapa kita harus menyerahkan uang yang kita dapat dengan susah
payah?" Clemenza menjelaskan dengan sabar. "Fanucci memiliki teman-teman, semuanya orang
yang kejam. Ia memiliki koneksi dengan polisi. Ia ingin kita memberitahukan rencana kita
padanya agar bisa menjebak kita dan mendapat imbalan dari polisi. Dan mereka berutang budi
padanya. Begitulah caranya beroperasi. Dan ia mendapat izin dari Maranzalla sendiri untuk
beroperasi di lingkungan ini."
Maranzalla adalah gengster yang namanya sering masuk koran, terkenal sebagai bos
penjahat yang mengkhususkan diri pada pemerasan, perjudian, dan perampokan bersenjata api.
Clemenza menyajikan anggur buatannya sendiri. Istrinya, setelah meletakkan
sebaki salami, buah zaitun, dan roti Italia di meja, pergi untuk duduk-duduk bersama teman-teman
wanitanya di depan apartemen, membawa kursinya sendiri. Ia wanita Italia muda yang baru beberapa
tahun tinggal di Amerika dan belum menguasai bahasa Inggris.
Vito Corleone duduk dan minum anggur bersama kedua sahabatnya. Belum pernah ia
menggunakan otaknya seperti sekarang. Ia takjub mampu berpikir sejernih ini. Ia mengingat
segala sesuatu yang diketahuinya mengenai Fanucci. Ia teringat hari waktu orang mengiris leher
Fanucci dan Fanucci lari sepanjang jalan sambil memegangi topi fedora di bawah dagu untuk menampung
darah yang menetes-netes. Ia teringat pembunuhan terhadap orang yang menganiaya Fanucci
dengan pisau dan kedua pemuda lain, yang mendapat hukuman tapi lalu dibatalkan dengan membayar
ganti rugi. Dan tiba-tiba ia yakin Fanucci tidak memiliki koneksi dengan orang besar, tidak
mungkin. Orang yang memberikan informasi kepada polisi tidak begitu. Begitu juga orang yang
melupakan pembalasan dendamnya karena uang. Bos Mafioso sejati pasti akan membunuh kedua pemuda lain
itu. Tidak. Fanucci beruntung bisa membunuh satu orang, tapi ia mengetahui tidak akan bisa
membunuh kedua orang lainnya sesudah mereka waspada. Jadi ia membiarkan dirinya "dibeli".
Kebrutalan pribadi orang itulah yang menyebabkan ia bisa menarik upeti dari para pemilik toko dan
perjudian yang dilakukan di
apartemen-apartemen sewaan. Tapi Vito Corleone tahu sedikitnya ada satu usaha
perjudian yang tidak pernah membayar upeti pada Fanucci dan tidak terjadi apa pun pada orang yang
menyelenggarakannya. jadi Fanucci sendirilah masalahnya. Atau Fanucci dengan beberapa orang
bersenjata yang disewa untuk pekerjaan khusus dengan dasar uang semata. Berarti Vito Corleone hanya
punya satu pilihan lain. Jalan hidup yang harus ditempuhnya.
Dari pengalaman inilah timbul keyakinan yang sering dikatakannya bahwa setiap
orang hanya memiliki satu takdir. Malam itu ia bisa saja membayar upeti kepada Fanucci dan
menjadi pekerja toko bahan pangan lagi, lalu mungkin memiliki toko sendiri di tahun-tahun mendatang.
Tapi takdir menentukan ia akan menjadi don dan menghadirkan Fanucci dalam hidupnya untuk
menempatkan dirinya di jalan yang sesuai takdir.
Setelah mereka menghabiskan sebotol anggur, Vito berkata hati-hati kepada
Clemenza dan Tessio, "Kalau kalian mau, bagaimana kalau kalian masing-masing memberiku dua ratus
dolar untuk dibayarkan kepada Fanucci" Kujamin ia akan menerima jumlah itu dariku. Lalu
serahkan segala sesuatunya padaku. Akan kuselesaikan masalah ini dengan cara yang memuaskan
kalian." Seketika mata Clemenza berkilau curiga. Vito berkata tenang padanya, "Aku tidak
pernah membohongi orang yang sudah kuterima sebagai sahabat. Bicaralah kepada Fanucci
sendiri besok pagi. Biar ia sendiri yang minta uang padamu. Tapi jangan bayar dia. Dan jangan
bertengkar dengan cara apa pun. Katakan kau harus mengambil uangnya dan akan kauberikan padaku
untuk kuberikan padanya. Biarlah ia mengerti kau bersedia membayar sebanyak yang dimintanya.
Jangan tawarmenawar. Aku yang akan menawar harga dengannya. Tidak ada gunanya
membuat ia marah pada kita
kalau ia seberbahaya yang kalian katakan."
Mereka membiarkan masalahnya berhenti di sana. Keesokan harinya, Clemenza
berbicara dengan Fanucci untuk memastikan Vito tidak mengarang cerita. Lalu Clemenza datang ke
apartemen Vito dan memberinya dua ratus dolar. Ia menatap Vito Corleone dan berkata, "Fanucci
mengatakan padaku uangnya tidak bisa kurang dari tiga ratus dolar. Bagaimana kau akan membuatnya
mau menerima kurang dari itu?" Vito Corleone menjawab dengan penuh pertimbangan, "Tentu saja itu bukan
urusanmu. Hanya jangan lupa bahwa aku sudah membantumu."
Lalu Tessio datang. Tessio lebih mampu menahan diri daripada Clemenza, lebih
cerdas, lebih pintar, tapi dengan semangat yang lebih rendah. Ia merasakan adanya kekurangan, ada yang
tidak beres. Ia tampak agak gelisah. Ia berkata kepada Vito Corleone, "Hati-hatilah terhadap si
Tangan Hitam keparat itu, ia penuh tipu muslihat. Kau ingin kutemani sebagai saksi sewaktu memberikan
uangnya?" Vito Corleone menggeleng. Ia bahkan tidak mau bersusah payah menjawab. Ia hanya
berkata pada Tessio, "Katakan pada Fanucci, aku akan membayar uang padanya di sini, di
rumahku pukul sembilan malam ini. Aku akan memberinya segelas anggur dan bicara, berunding dengannya
supaya ia mau menerima jumlah yang lebih kecil."
Tessio menggeleng. "Kau tidak akan mujur. Fanucci tak pernah mundur."
"Aku akan bicara baik-baik dengannya," kata Vito Corleone. Ini akan menjadi
ungkapan termasyhur bertahun-tahun yang akan datang. Ini merupakan peringatan, seperti yang
dilakukan ular derik sebelum melontarkan patukan mematikan. Setelah ia menjadi don dan meminta lawan
duduk serta berbicara baik-baik dengannya, mereka mengerti itu kesempatan terakhir untuk
menyelesaikan urusan tanpa pertumpahan darah dan pembunuhan.
Vito Corleone mengatakan kepada istrinya agar membawa pergi kedua anaknya, Sonny
dan Fredo, mengajak mereka ke ujung jalan sesudah makan malam, dan dalam keadaan
bagaimanapun tidak membawa mereka kembali ke rumah sampai ia mengizinkan. Istrinya harus duduk
berjaga di pintu gedung apartemen. Ia punya urusan pribadi yang tidak boleh diganggu dengan
Fanucci. Ia melihat ekspresi ketakutan di wajah istrinya dan marah. "Kau mengira kau menikah dengan
orang bodoh?" Istrinya tidak menjawab. Ia tidak menjawab karena takut, sekarang bukan pada
Fanucci, tapi pada suaminya. Vito tampak berubah di depan matanya, jam demi jam, menjadi pria yang
memancarkan bahaya. 306 Vito Corleone selama ini pendiam, sedikit bicara, tapi selalu lemah lembut, mau
diajak bicara, sifat luar biasa pada diri pria muda dari Sisilia. Yang dilihat istrinya adalah
pelepasan samaran sebagai
orang biasa yang tidak berbahaya, karena sekarang Vito siap menerima takdir. Ia
agak terlambat memulainya, ia sudah berusia dua puluh lima tahun, tapi ia memulainya dengan
penuh semangat. Vito Corleone memutuskan membunuh Fanucci. Dengan berbuat begitu ia akan
memiliki tambahan uang tujuh ratus dolar dalam tabungannya. Tiga ratus dolar uangnya sendiri yang
mestinya dibayarkan pada si teroris Tangan Hitam ditambah dua ratus dolar dari Tessio dan dua ratus
dolar dari Clemenza. Kalau tidak membunuh Fanucci, ia akan membayar tujuh ratus dolar tunai kepada
orang itu. Ia tidak sudi membayar tujuh ratus dolar untuk membiarkan Fanucci tetap hidup. Kalau
Fanucci membutuhkan tujuh ratus dolar untuk pembedahan agar bisa menyelamatkan nyawanya, ia tidak
akan memberi Fanucci tujuh ratus dolar untuk membayar dokter bedah. Ia tidak berutang budi
pada Fanucci, mereka tidak memiliki hubungan darah, dan ia tidak menyayangi Fanucci. Lalu kenapa ia
harus memberi Fanucci tujuh ratus dolar"
Dan selanjutnya tidak terelakkan, karena Fanucci ingin mengambil tujuh ratus
dolar dari dirinya dengan kekerasan, kenapa ia tidak membunuh Fanucci saja" Dunia tidak bakal rugi
kehilangan orang seperti Fanucci. Tentu saja ada beberapa alasan praktis. Fanucci mungkin memang memiliki teman-
teman yang berkuasa dan akan membalas dendam. Fanucci sendiri orang yang berbahaya, tidak
begitu mudah dibunuh. Ada polisi dan ada kursi listrik. Tapi Vito Corleone memang hidup di
bawah ancaman kematian sejak ayahnya terbunuh. Sebagai anak berumur
dua belas tahun, ia melarikan diri dari tangan algojo yang akan mencabut
nyawanya dan menyeberang lautan ke negeri asing, menyandang nama yang asing. Dan penyelidikan diam-diam
selama bertahuntahun meyakinkannya bahwa ia lebih memiliki kecerdasan dan
keberanian daripada siapa pun, tapi ia
tidak pernah mendapat kesempatan untuk menggunakan kecerdasan dan keberanian
itu. Sekalipun begitu ia ragu-ragu sebelum mengambil langkah pertama menuju
takdirnya. Ia bahkan menggulung tujuh ratus dolarnya jadi satu dan meletakkan uang itu di saku kiri
celana. Di saku kanan ia mengantongi pistol pemberian Clemenza yang digunakan untuk membajak truk
pengangkut sutra. Fanucci datang tepat waktu pada pukul sembilan malam. Vito Corleone meletakkan
seguci anggur buatan sendiri yang diperolehnya dari Clemenza.
Fanucci meletakkan topi fedora putihnya di meja di samping guci anggur. Ia
mengendurkan dasi lebar bermotif bunga yang dikenakannya, bekas-bekas tomat tersembunyi dalam motifnya
yang berwarnawarni. Malam musim panas itu sangat gerah dan lampu gas hanya
The God Father Sang Godfather Karya Mario Puzo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memancarkan cahaya remangremang. Di dalam apartemen terasa sunyi. Tapi Vito
Corleone sedingin es. Untuk memperlihatkan niat
baik, ia mengulurkan gulungan uang dan mengawasi dengan hati-hati saat Fanucci,
sesudah menghitung uangnya, mengeluarkan dompet kulit yang lebar dan memasukkan uang
itu. Fanucci menenggak anggur dan berkata, "Kau masih berutang dua ratus dolar padaku."
Wajahnya yang beralis tebal tidak memancarkan ekspresi apa pun.
Vito Corleone berkata tenang, "Aku agak kekurangan uang, aku baru saja
kehilangan pekerjaan.' Izinkan aku berutang dulu padamu beberapa minggu."
Langkah itu merupakan pancingan. Fanucci sudah mendapatkan sebagian besar
uangnya dan akan menunggu. Ia mungkin bahkan bisa dibujuk untuk tidak meminta tambahan lagi atau
menunggu lebih lama. Ia tertawa kecil sambil minum anggur dan berkata, "Ah, kau anak muda yang
cerdas. Kenapa aku tidak menyadarinya sebelum ini" Kau orang yang terlalu pendiam hingga
merugikan dirimu sendiri. Aku bisa menemukan pekerjaan yang sangat menguntungkan bagimu."
Vito Corleone menunjukkan minat dengan anggukan sopan dan mengisi gelas Fanucci
dengan anggur dari guci ungu. Tapi Fanucci membatalkan niatnya untuk melanjutkan kata-katanya
dan berdiri dari kursi, lalu menjabat tangan Vito. "Selamat malam, anak muda," katanya. "Tidak
ada dendam, eh" Kalau ada yang bisa kubantu, beritahu saja aku. Kau sudah melakukan kebaikan
bagi dirimu sendiri malam ini." Vito membiarkan Fanucci menuruni tangga dan meninggalkan gedung apartemen. Jalan
penuh saksi yang akan mengatakan ia telah meninggalkan rumah Corleone dan pulang dengan
selamat. Vito mengawasinya dari jendela. Ia melihat Fanucci berbelok di tikungan menuju 11th
Avenue dan mengetahui Fanucci tengah menuju apartemennya sendiri, mungkin untuk menyimpan
hasil rampokannya sebelum kembali ke jalan. Mungkin untuk meletakkan pistol. Vito
Corleone meninggalkan apartemennya dan lari menaiki tangga ke atap. Ia berjalan di atap
gedung-gedung yang merupakan blok-blok persegi dan menuruni tangga darurat kebakaran di gedung
kosong, yang turun ke halaman belakang. Ia menendang pintu belakang hingga terbuka dan keluar lagi
melalui pintu depan. Apartemen sewaan Fanucci berada di seberang jalan.
Daerah permukiman yang terdiri atas gedung-gedung apartemen hanya membentang ke
barat hingga Tenth Avenue. Eleventh Avenue sebagian besar diisi gudang dan bangunan sementara
yang disewa perusahaan-perusahaan yang bekerja sama dengan New York Central Railroad. Di
sana terdapat banyak lorong yang malang-melintang dari Eleventh Avenue ke Sungai Hudson.
Apartemen Fanucci adalah salah satu dari beberapa apartemen yang masih berdiri di belantara beton
ini, yang sebagian besar dihuni para pekerja kereta api dan stasiun yang masih bujangan, dan
pelacur murahan. Orangorang ini tidak duduk-duduk di pinggir jalan dan mengobrol
dengan sesamanya seperti yang dilakukan
orang-orang Italia yang jujur, mereka duduk di bar sambil meneguk upah. Jadi
Vito Corleone dengan mudah bisa menyelinap menyeberangi Eleventh Avenue yang sepi dan masuk ke
serambi gedung apartemen Fanucci. Di sana ia mencabut pistol yang belum pernah ditembakkan-nya
dan menunggu. Ia mengawasi dari balik pintu kaca serambi, mengetahui Fanucci akan datang dari
arah Tenth Avenue. Clemenza telah menunjukkan padanya kunci pengaman pistol dan cara menarik
pelatuknya dalam keadaan kosong. Tapi sebagai anak kecil di Sisilia, pada usia sembilan tahun ia
sering berburu bersama ayahnya, sering menembakkan senapan tabur yang berat, yang disebut
lupara. Keterampilannya dengan lupara bahkan saat ia masih kecillah yang membuat para
pembunuh ayahnya menjatuhkan hukuman mati bagi dirinya.
Sekarang sewaktu menunggu di lorong yang gelap, ia melihat sosok Fanucci
menyeberangi jalan menuju pintu. Vito mundur, bahunya merapat ke bagian belakang pintu yang menuju
tangga. Ia menggenggam pistolnya yang siap ditembakkan. Tangannya yang terulur hanya dua
langkah dari 310 pintu luar. Pintu pun terbuka ke dalam. Fanucci, putih, besar, bau, mengisi
cahaya berbentuk persegi di pintu. Vito Corleone menembak.
Pintu yang terbuka menyebabkan suaranya terdengar hingga ke jalan, dan gema
letusan pistol mengguncang gedung. Fanucci berpegangan pada sisi pintu, berusaha berdiri tegak,
berusaha meraih pistol. Kekuatan gerakannya menyebabkan kancing-kancing jasnya lepas dan jasnya
pun terbuka. Pistolnya kelihatan, tapi begitu pula darah merah di perut kemeja putihnya.
Dengan sangat hati-hati, seperti menusukkan jarum ke pembuluh darah, Vito Corleone menembakkan peluru
kedua ke bercak darah Fanucci. Fanucci jatuh berlutut, menahan pintu tetap terbuka. Ia mengerang mengerikan,
erangan pria yang menderita kesakitan fisik yang sangat hebat hingga kedengarannya hampir lucu. Ia
terus mengerangerang; Vito ingat mendengar sedikitnya tiga erangan sebelum ia
menempelkan pistol ke pipi Fanucci
yang berkeringat dan berminyak, lalu menembak otaknya. Waktu berlalu tidak lebih
dari lima detik sewaktu Fanucci jatuh tertelungkup tak bernyawa, menahan pintu tetap terbuka
dengan tubuhnya. Dengan hati-hati sekali Vito mengambil dompet lebar dari saku jas orang yang
telah tewas itu dan memasukkannya ke balik kemejanya. Lalu ia menyeberangi jalan menuju gedung
reyot, melalui gedung itu ke bengkel kereta api yang terbuka dan menaiki tangga darurat ke
atap. Dari sana ia mengawasi jalan. Mayat Fanucci masih tergeletak di ambang pintu, tapi tidak
terlihat tanda-tanda kehadiran orang lain. Dua jendela di apartemen sewaan itu telah terbuka dan ia
bisa melihat kepalakepala yang kehitaman menjulur keluar, tapi karena ia tidak
bisa melihat wajah mereka, mereka pun
pasti tidak bisa melihat wajahnya. Dan
orang-orang seperti ku tidak mau memberikan informasi pada polisi. Fanucci bisa
tergeletak di sana hingga subuh atau hingga polisi yang berpatroli tersandung mayatnya. Tidak ada
seorang pun di rumah itu yang akan sengaja melapor ke polisi untuk menjadi sasaran kecurigaan dan
pertanyaan. Mereka akan mengunci pintu dan berpura-pura tidak mendengar apa pun.
Ia bisa santai. Ia melewati atap gedung-gedung apartemen untuk kembali ke pintu
atapnya sendiri dan turun ke apartemen yang dihuninya. Ia membuka kunci pintu, masuk, dan mengunci
pintunya. Ia membuka dompet orang yang telah tewas itu. Selain tujuh ratus dolar yang
diperoleh Fanucci dari dirinya, ada beberapa lembar uang satu dolar dan selembar uang lima dolar.
Di lipatan dompet terselip sekeping uang emas lima dolar, mungkin jimat
keberuntungan. Kalau Fanucci gengster yang kaya, ia pasti tidak membawa hartanya ke mana-mana.
Penemuan ini menguatkan beberapa kecurigaan Vito.
Ia tahu harus menyingkirkan dompet dan pistolnya (bahkan waktu itu pun ia sudah
cukup paham bahwa ia harus membiarkan kepingan uang emas itu tetap berada dalam dompet). Ia
naik ke atap lagi dan berjalan melewati beberapa apartemen. Dilemparkannya dompet ke bawah di
salah satu lorong udara, lalu ia mengosongkan pistol dan menghantamkan larasnya ke atap gedung.
Laras itu tidak patah. Ia membaliknya di telapak tangan dan menghantamkan gagang pistol ke
cerobong asap. Gagang pistol terbelah menjadi dua. Ia memukulkannya lagi dan pistol itu patah menjadi
laras dan gagangnya, menjadi dua bagian yang terpisah. Ia menggunakan lorong udara yang berbeda untuk
membuang setiap potongan. Potongan-potongan pistol tersebut tidak menimbulkan suara
sewaktu mengenai tanah sejauh lima tingkat di bawahnya, melainkan terbenam dalam gundukan sampah lunak
yang terkumpul di sana. Besok pagi akan lebih banyak lagi sampah yang dibuang ke sana dari
jendela-jendela, dan kalau ia beruntung, sampah-sampah itu akan menutupi segalanya. Vito kembali ke
apartemennya. Ia agak gemetar tapi bisa mengendalikan diri sepenuhnya. Ia berganti pakaian
dan, takut ada sedikit percikan darah di pakaiannya, melemparkan pakaian itu ke bak besi yang digunakan
istrinya untuk mencuci. Ia mengambil larutan alkali dan sabun cuci cokelat, merendam pakaian,
dan mencucinya di tempat cuci piring. Lalu ia menggosok bak cuci dan tempat cuci piring dengan
larutan alkali dan sabun. Ia menemukan pakaian yang baru dicuci di sudut kamar tidur dan
mencampurkan pakaiannya sendiri di tumpukan itu. Lalu ia mengenakan kemeja dan celana yang sudah
disetrika dan turun untuk
menemani istri dan anak-anaknya yang duduk bersama para tetangga di depan
apartemen. Semua tindakan jaga-jaga itu ternyata tidak perlu. Polisi, setelah menemukan
mayat Fanucci pagi harinya, tidak pernah menanyai Vito Corleone. Bahkan ia heran polisi tidak
pernah mengetahui kunjungan Fanucci ke rumahnya pada malam ia ditembak mati. Vito mengandalkan hal
itu sebagai alibinya, yaitu Fanucci meninggalkan apartemennya dalam keadaan hidup.
Belakangan ia baru mengetahui bahwa polisi senang dengan terbunuhnya Fanucci dan tidak terlalu
bernafsu mengejar pembunuhnya. Mereka menduga kematiannya adalah hukuman yang dilakukan geng lain,
dan mereka menanyai penjahat-penjahat yang memiliki catatan pelanggaran hukum dan riwayat
penggunaan kekerasan. Karena Vito tidak pernah terlibat masalah, ia tidak pernah
diperhatikan polisi. Tapi kalau polisi bisa dibohongi, teman-temannya lain
lagi. Peter Clemenza dan Tessio menghindarinya selama seminggu berikutnya, lalu
seminggu lagi, dan setelah itu baru mereka mengunjungi rumahnya pada suatu sore. Mereka datang
dengan rasa hormat yang mencolok. Vito Corleone menyambut mereka dengan kesopanan yang pasif dan
menjamu mereka dengan anggur. Clemenza yang berbicara terlebih dulu. Ia berkata pelan, "Tidak ada yang
memungut upeti dari para pemilik toko di Ninth Avenue. Tidak ada yang memungut pembayaran dari permainan
kartu dan perjudian di lingkungan ini."
Vito Corleone menatap kedua temannya dengan mantap tapi tidak menjawab. Tessio
berkata, "Kita bisa mengambil alih pelanggan Fanucci. Mereka akan membayar kita."
Vito Corleone mengangkat bahu. "Kenapa datang padaku" Aku tidak tertarik pada
hal-hal seperti itu."
Clemenza tertawa. Bahkan di masa mudanya, sebelum perutnya membuncit, tawanya
sudah seperti tawa pria gendut. Sekarang ia berkata pada Vito Corleone, "Bagaimana dengan
pistol yang kuberikan padamu untuk pekerjaan dengan truk" Karena tidak membutuhkannya lagi, kau bisa
mengembalikannya padaku."
Dengan sangat lambat dan tanpa terburu-buru, Vito Corleone mengeluarkan gulungan
uang dari saku celana dan mengambil lima lembar uang sepuluh dolar. "Ini, kubayar kau. Aku
sudah membuang pistol itu setelah pekerjaan dengan truk." Ia tersenyum pada kedua temannya.
Waktu itu Vito Corleone belum mengetahui pengaruh senyumnya. Senyumnya terasa
dingin karena tidak mengandung ancaman. Ia tersenyum seakan ada lelucon pribadi yang hanya
dipahaminya sendiri. Tapi karena ia tersenyum seperti itu hanya kalau ada masalah yang
berkaitan dengan kematian, dan karena leluconnya tidak benar-benar pribadi,
juga karena matanya tidak ikut tersenyum, dan karena sifatnya yang biasanya
begitu masuk akal dan tenang, penampakan tiba-tiba jati dirinya yang sebenarnya terasa menakutkan.
Clemenza menggeleng. "Aku tidak menginginkan uang," katanya. Vito mengantongi
kembali uangnya. Ia menunggu. Mereka semua saling memahami. Mereka mengetahui ia telah
membunuh Fanucci. Dan walaupun mereka tidak pernah membicarakan hal itu dengan siapa pun,
dalam waktu beberapa minggu seluruh lingkungan pun mengetahuinya. Vito Corleone diperlakukan
sebagai "orang terhormat" oleh setiap orang. Tapi ia tidak mau mengambil alih usaha pemerasan
dan penarikan upeti yang dilakukan Fanucci. Apa yang terjadi selanjutnya tidaklah tetelakkan. Pada suatu malam istri Vito
membawa tetangga mereka yang janda ke apartemen mereka. Wanita itu orang Italia dengan sifat yang
tidak bercacat. Ia bekerja keras dan mengurus rumah bagi anak-anaknya yang tidak lagi memiliki
ayah. Putranya yang berusia enam belas tahun membawa pulang amplop gajinya dalam keadaan masih
tertutup, diserahkan kepadanya sesuai adat leluhur, putrinya yang berusia tujuh belas tahun,
penjahit, juga begitu. Seluruh
The God Father Sang Godfather Karya Mario Puzo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
keluarga menjahitkan kancing ke kartu-kartu di malam hari dengan upah yang tidak
seberapa. Wanita itu bernama Signora Colombo.
Istri Vito Corleone berkata, "Signora ini membutuhkan bantuan. Ia punya
masalah." Vito Corleone mengira akan dimintai bantuan uang, yang siap diberikannya. Tapi
tampaknya Mrs. Colombo memiliki anjing yang sangat disayangi putra bungsunya. Pemilik rumah
sewaan menerima keluhan mengenai anjing yang selalu menyalak di malam hari dan meminta Mrs.
Colombo menyingkirkannya. Mrs. Colombo berpura-pura mematuhinya. Pemilik rumah
mengetahui ia berbohong dan memerintahkan ia meninggalkan apartemen. Kali ini Mrs. Colombo
berjanji akan benar-benar menyingkirkan anjingnya. Tapi pemilik rumah begitu marah sehingga
tidak mencabut perintahnya. Mrs. Colombo harus keluar dari apartemennya, kalau tidak pemilik
rumah akan memanggil polisi untuk mengusirnya. Dan putranya yang bungsu menangis sewaktu
mereka memberikan anjingnya kepada kerabat yang tinggal di Dong Island. Semuanya sia-
sia, mereka tetap harus meninggalkan apartemennya.
Vito Corleone bertanya lembut, "Kenapa kau meminta ban tuanku?"
Mrs. Colombo mengangguk ke arah istri Vito. "Ia yang memberitahuku untuk meminta
bantuanmu." Vito heran. Istrinya tidak pernah bertanya mengenai pakaian yang dicucinya pada
malam ia membunuh Fanucci. Istrinya tidak pernah bertanya dari mana asal semua uang itu
padahal ia tidak bekerja. Bahkan sekarang pun wajah istrinya tetap pasif. Vito berkata pada Mrs.
Colombo, "Aku bisa memberimu sedikit uang untuk membantumu pindah, itu yang kauinginkan?"
Wanita itu menggeleng, air matanya berlinang, "Semua temanku ada di sini, semua
gadis yang tumbuh besar bersamaku di Italia. Bagaimana aku bisa pindah ke lingkungan lain
yang penuh orang asing" Aku ingin kau berbicara dengan pemilik apartemen agar mengizinkan aku
tetap tinggal di sana." Vito mengangguk. "Baiklah kalau begitu. Kau tidak perlu pindah. Aku akan
berbicara dengannya besok pagi." Istrinya tersenyum padanya tapi ia tidak membalas, sekalipun merasa senang. Mrs.
Colombo tampak kurang yakin. "Kau yakin ia akan setuju, pemilik apartemen itu?" tanyanya.
"Signor Roberto?" kata Vito dengan nada terkejut. "Tentu saja ia akan setuju. Ia
orang yang baik hati. Begitu kujelaskan masalahmu padanya, ia akan merasa kasihan padamu. Nah, jangan
biarkan masalah itu membuatmu gelisah lagi. Jangan bingung. Jaga saja kesehatanmu, demi anak-
anakmu." Pemilik apartemen, Signor Roberto, datang ke lingkungan itu setiap hari untuk
memeriksa lima apartemen sewaan miliknya. Ia padrone, orang yang menjual tenaga kerja Italia
begitu turun dari kapal kepada perusahaan-perusahaan besar. Dengan keuntungannya ia membeli gedung-
gedung apartemen sewaan itu satu demi satu. Sebagai orang terpelajar dari Italia utara, ia
membenci orang-orang selatan
dari Sisilia dan Napoli yang buta huruf, yang memenuhi gedungnya seperti hama,
yang melemparkan sampah di lorong udara, yang membiarkan kecoak dan tikus menggerogoti dinding
tanpa mau berusaha menyelamatkan propertinya. Ia bukan orang yang jahat. Ia ayah dan suami
yang baik, tapi terus-menerus mengkhawatirkan investasinya, mengkhawatirkan uang yang
diterimanya, pengeluaran yang tidak terelakkan sebagai pemilik apartemen sewaan yang membuat sarafnya
tegang terus. Sewaktu Vito Corleone menghentikannya di jalan untuk meminta berbicara dengannya
sebentar, Roberto tak menanggapi. Ia tidak kasar, sebab setiap orang dari selatan mungkin
akan menikamnya kalau ia salah berbicara atau salah bersikap, walau orang ini tampak seperti
pemuda yang pendiam. "Signor Roberto," kata Vito Corleone, "teman istriku, janda miskin yang tidak
memiliki pria untuk melindunginya, mengatakan padaku bahwa karena suatu alasan ia diusir
dari apartemennya di gedung milikmu. Kukatakan padanya aku akan berbicara
denganmu, bahwa kau orang yang bisa diajak bicara baik-baik dan bertindak begitu hanya karena salah
paham. Ia sudah menyingkirkan hewan yang menimbulkan semua kesulitan ini, jadi kenapa ia tidak
boleh tetap tinggal" Sebagai sesama orang Italia, aku meminta bantuanmu."
Signor Roberto memandangi pemuda di hadapannya. Ia melihat pemuda dengan
perawakan sedang tapi kekar, berpenampilan seperti orang-orang umumnya tapi bukan penjahat,
meskipun secara menggelikan ia berani menyebut dirinya orang Italia. Roberto mengangkat bahu.
"Aku sudah Pedang Bintang 3 Wiro Sableng 036 Dewi Dalam Pasungan Pendekar Sakti Suling Pualam 6
kehilangan suara. Rekamanku tidak laku lagi. Aku tidak mendapatkan pekerjaan
dalam film. Kemudian Godfather marah padaku dan tidak mau berbicara denganku di telepon atau
menemuiku sewaktu aku ke New York. Kau selalu menjadi orang yang menghalangiku dan aku
menimpakan kesalahan padamu, tapi aku tahu kau tidak akan berbuat begitu tanpa perintah
Don. Tapi tidak ada yang bisa marah padanya. Itu sama saja dengan marah pada Tuhan. Jadi ku-kutuk
kau. Tapi kau benar sejak dulu. Dan untuk menunjukkan padamu bahwa aku benar-benar menyesal, akan
kuturuti nasihatmu. Tidak ada minum minuman keras lagi hingga suaraku pulih. Oke?"
Permintaan maafnya tulus. Hagen melupakan kemarahannya. Pasti ada sesuatu dalam
diri pria berusia 35 tahun ini, kalau tidak, Don pasti tidak akan sesayang itu padanya. Ia
berkata, "Lupakan saja,
Johnny." Ia malu pada betapa dalamnya perasaan Johnny dan pada kecurigaannya
bahwa hal itu mungkin ditimbulkan rasa takut, ketakutan bahwa ia menyebabkan Don marah
padanya. Dan tentu saja Don tidak pernah bisa dipengaruhi siapa pun karena alasan apa pun. Perasaan
sayangnya hanya bisa berubah karena keinginannya sendiri.
"Keadaannya tidak terlalu buruk," katanya pada Johnny. "Kata Don, ia bisa
membatalkan apa saja yang dilakukan Woltz terhadap dirimu. Bahwa kau hampir bisa dipastikan akan
memenangkan Oscar. Tapi ia merasa kau tidak akan bisa memecahkan masalahmu. Ia ingin mengetahui
apakah kau memiliki otak dan nyali untuk menjadi produser sendiri, membuat filmmu sendiri
dari awal sampai akhir." "Bagaimana cara ia mengusahakan aku bisa memenangkan Oscar?" tanya Johnny
takjub. Hagen berkata pedas, "Bagaimana kau bisa semudah itu percaya bahwa Woltz bisa
mengatur segalanya sedangkan (Kunjungi http://vodozom.wordpress.com)
Don tidak" Sekarang karena perlu mendapatkan kepercayaanmu untuk bagian lain
urusan kita, aku harus mengatakan ini padamu. Ayah baptismu orang yang jauh lebih berkuasa
daripada Jack Woltz. Dan ia jauh lebih berkuasa di bidang-bidang yang jauh lebih rumit. Bagaimana ia
bisa mengatur pemberian Oscar" Ia mengendalikan, atau mengendalikan orang yang mengendalikan,
semua serikat buruh dalam industri, semua orang atau hampir semua orang yang akan memberikan
suara. Tentu saja kau harus bagus, kau harus yakin sekali pada kemampuanmu. Dan Godfather memiliki
otak yang jauh lebih cerdas daripada Jack Woltz. Ia tidak mendekati orang-orang ini dan
menodongkan pistol ke kepala mereka sambil berkata, "Berikan suara kepada Johnny Fontane, kalau tidak
kau kehilangan pekerjaan." Ia tidak memaksa kalau paksaan tidak berhasil atau menimbulkan
ketidaksenangan bagi terlalu banyak orang. Ia akan membuat orang-orang itu memilihmu karena mereka
ingin berbuat begitu. Tapi mereka tidak ingin berbuat begitu kalau tidak ada keuntungannya.
Sekarang percayalah padaku bahwa ia bisa memberimu Oscar. Dan kalau ia tidak mengusahakannya, kau
tidak akan mendapatkan hadiah itu."
"Oke," kata Johnny, "aku percaya padamu. Dan aku memiliki nyali dan otak untuk
menjadi produser, tapi aku tidak memiliki uang. Tidak ada bank yang mau membiayai diriku. Butuh
uang berjuta-juta untuk membuat film."
Hagen berkata tegas, "Sesudah kau mendapatkan Oscar, mulailah susun rencana
untuk memproduksi tiga filmmu sendiri. Pekerjakan orang-orang terbaik dalam bisnis film, teknisi
terbaik, bintang terbaik, siapa saja yang kaubutuhkan. Rencanakan tiga hingga lima film."
"Kau sinting," kata Johnny. "Film sebanyak itu berarti dua puluh juta dolar."
(Kunjungi http://vodozom.wordpress.com)
"Saat kau membutuhkan uangnya," kata Hagen, "hubungi aku" Akan kuberikan nama
bank di California sini yang akan menangani pendanaannya. Jangan khawatir, mereka sudah
sejak dulu membiayai pembuatan film. Minta saja uang kepada mereka dengan cara yang biasa,
dengan alasanalasan selayaknya, seperti transaksi bisnis biasa. Mereka akan
setuju. Tapi kau harus menghubungi
aku dulu dan memberitahukan angka-angkanya dan rencanamu. Oke?"
Johnny terdiam lama sekali. Lalu ia berkata pelan, "Ada yang lain lagi?"
Hagen tersenyum. "Maksudmu, apakah ada yang harus kaulakukan sebagai imbalan
pinjaman dua puluh juta dolar" Tentu saja ada yang harus kaulakukan." Ia menunggu hingga
Johnny berbicara. "Lagi
pula, tidak ada yang tidak akan kaulakukan kalau Don memintamu melakukannya."
Johnny berkata, "Don harus memintanya sendiri padaku kalau urusannya serius, kau
mengerti" Aku tidak mau memercayai kata-katamu atau Sonny."
Hagen terkejut dengan ketajaman logika Johnny. Rupanya Johnny Fontane memang
memiliki otak. Ia punya akal untuk mengetahui Don terlalu menyayanginya, dan terlalu pintar,
sehingga tidak akan memintanya melakukan tindakan yang tolol dan berbahaya, yang mungkin akan
diminta Sonny. Ia berkata pada Johnny, "Baiklah, kuyakinkan kau soal satu hal. Godfather memberi
aku dan Sonny perintah tegas untuk tidak melibatkan dirimu dengan cara apa pun ke dalam apa
saja yang mungkin akan menjadi publikasi buruk bagimu gara-gara kesalahan kami. Dan ia sendiri
juga tidak akan melakukannya. Kujamin pertolongan apa pun yang dimintanya darimu akan
kautawarkan untuk kaulakukan sebelum ia memintanya. Oke?" Johnny tersenyum. "Oke," katanya.
Hagen berkata, "Ia juga memercayaimu. Katanya kau punya otak dan dengan begitu
menurut perhitungannya, bank akan mendapat keuntungan dari investasi itu, yang berarti
ia akan mendapat uang dari bisnis tersebut. Jadi ini transaksi bisnis semata, jangan lupakan itu.
Uangnya jangan kauhamburkan. Mungkin kau anak baptis kesayangannya, tapi dua puluh juta dolar
bukan uang yang sedikit. Ia harus mempertaruhkan leher untuk memastikan kau mendapatkannya."
"Katakan padanya ia tak perlu khawatir," kata Johnny. "Kalau orang seperti Jack
Woltz bisa menjadi jenius besar film, setiap orang bisa."
"Itu yang diperhitungkan Godfather," kata Hagen. "Kau bisa mengantarku kembali
ke bandara" Aku sudah mengatakan semua yang harus kukatakan. Setelah kau mulai menandatangani
kontrak untuk segala sesuatu, gunakan pengacaramu sendiri, aku tidak akan turun tangan. Tapi
aku ingin melihat semuanya sebelum kautandatangani, kalau kau tidak keberatan. Kau juga tidak akan
mendapat kesulitan tenaga kerja. Itu akan menghemat biaya pembuatan film hingga batas
tertentu, jadi kalau ada akuntan yang mencantumkan biaya untuk itu, abaikan saja angka-angka tersebut."
Johnny berkata hati-hati, "Apa aku harus mendapat persetujuanmu dalam masalah
lain, skenario, bintang film, hal-hal seperti itu?"
Hagen menggeleng. "Tidak," katanya. "Ada kemungkinan Don keberatan terhadap hal-
hal tertentu, tapi kalau memang ada masalah, ia pasti akan menyampaikannya sendiri padamu.
Tapi aku tidak bisa membayangkan apa yang tidak disetujuinya. Film sama sekali tidak berpengaruh
pada Don, dengan cara apa pun, jadi ia tidak berminat. Dan ia tidak suka mencampuri urusan orang
lain, itu bisa kukatakan padamu berdasarkan pengalaman."
"Bagus," kata Johnny. "Akan kuantar sendiri kau ke bandara. Dan sampaikan terima
kasihku pada Godfather. Aku mau meneleponnya untuk berterima kasih langsung padanya, tapi ia
tidak pernah menerima telepon. Kenapa begitu?"
Hagen mengangkat bahu. "Ia hampir tidak pernah berbicara melalui telepon. Ia
tidak ingin suaranya direkam, bahkan sewaktu mengatakan sesuatu yang biasa saja. Ia takut mereka
memutarbalikkan katakatanya sebegitu rupa hingga kedengaran berbeda. Kupikir itu
alasannya. Bagaimanapun juga, satu-
satunya kekhawatirannya adalah dijebak pihak berwenang. Jadi ia tidak mau
memberi mereka peluang." Mereka masuk ke mobil Johnny dan pergi ke bandara. Hagen berpikir Johnny lebih
baik daripada dugaannya selama ini. Sudah ada yang diketahuinya tentang sifat orang itu,
kesediaannya mengantarkan Hagen sendiri ke bandara membuktikannya. Kebaikan pribadinya,
sesuatu yang dipercaya Don juga. Dan permintaan maafnya. Permintaan maaf Johnny tulus. Hagen
sudah lama mengenal Johnny dan tahu permintaan maaf pria itu bukan karena takut. Johnny
sejak dulu punya nyali. Itu sebabnya ia selalu mendapat kesulitan, dengan bosnya di dunia film
dan dengan kaum wanita. Ia juga salah satu dari sedikit orang yang tidak takut pada Don. Fontane
dan Michael mungkin satu-satunya kenalan Hagen yang bisa dibilang memiliki keberanian seperti itu.
Jadi permintaan maaf Johnny tulus, dan ia akan menerimanya. Ia dan Johnny akan sering bertemu selama
beberapa tahun yang akan datang. Dan Johnny harus lulus ujian berikutnya, yang akan membuktikan
seberapa cerdik dirinya. Ia harus melakukan sesuatu bagi Don yang tidak akan pernah diminta Don
sendiri untuk dilakukan Johnny atau dipaksanya dilakukan anak baptisnya itu sebagai bagian
(Kunjungi http://vodozom.wordpress.com)
dari persetujuan. Hagen bertanya-tanya dalam hati apakah Johnny Fontane cukup
cerdas untuk menyadari bagian itu dari persetujuan ini.
Setelah mengantar Hagen ke bandara (Hagen meminta Johnny tidak menemaninya
menunggu pesawat), Johnny pergi ke rumah Ginny. Ginny terkejut melihatnya. Tapi Johnny
ingin berada di tempatnya agar bisa berpikir, menyusun rencana. Ia tahu apa yang dikatakan Hagen
padanya sangat penting, seluruh hidupnya akan berubah. Dulu ia bintang besar, tapi kini, di
usia yang baru 35 tahun, ia
telah tamat. Ia mengakui sendiri hal itu. Biarpun ia memenangkan Oscar sebagai
aktor terbaik, apa arti kemenangan itu baginya" Tidak ada sama sekali, kalau suaranya tidak pulih. Ia
hanya orang kelas dua, tanpa kekuasaan yang sesungguhnya, tanpa keunggulan apa pun. Bahkan gadis itu
pun menolaknya. Gadis yang begitu manis, cerdas, dan hip, tapi apakah Sharon akan sedingin itu
kalau ia di puncak" Sekarang sesudah Don mendukungnya dengan dana, ia akan bisa menjadi sebesar
siapa pun di Hollywood. Ia bisa menjadi raja. Johnny tersenyum. Persetan. Ia bahkan bisa
menjadi Don. Pasti asyik juga bersama Ginny lagi beberapa minggu, mungkin lebih lama. Ia akan
mengajak anakanak keluar setiap hari, mungkin mengundang beberapa teman ke
rumah. Ia akan berhenti mengonsumsi minuman keras dan rokok, akan benar-benar menjaga diri. Mungkin
suaranya bisa kuat kembali. Kalau semua itu terjadi dan ia dibantu dengan uang Don, ia tidak akan
terkalahkan. Ia benarbenar akan mirip seorang raja atau kaisar zaman dulu
sebagaimana yang bisa terjadi di Amerika. Dan
hal itu tidak harus tergantung pada kekuatan suaranya atau berapa lama publik
akan memedulikan dirinya sebagai seorang aktor. Hal itu akan
menjadi kerajaan yang berakar pada uang dan kekuasaannya akan sangat istimewa,
dari jenis yang paling diinginkan semua orang.
Ginny menyiapkan kamar tidur tamu baginya. Mereka sama-sama memahami bahwa
mereka tidak akan tidur sekamar, bahwa mereka tidak akan hidup sebagai suami-istri. Mereka
tidak akan memiliki hubungan seperti itu lagi. Dan sekalipun dunia luar yang penuh kolumnis gosip
dan penggemar film hanya menyalahkan dirinya atas kegagalan pernikahan mereka, dengan cara yang
aneh, di antara mereka berdua, mereka sama-sama mengetahui Ginny yang harus lebih disalahkan
atas perceraian mereka. Sewaktu Johnny Fontane menjadi penyanyi dan bintang film komedi musik paling
populer, ia tidak pernah berpikir untuk meninggalkan istri dan anak-anaknya. Ia terlalu Italia,
terlalu kuno. Tentu saja ia tidak setia. Itu tidak mungkin dihindari dalam bisnisnya dan dengan godaan
yang terus-menerus dihadapinya. Dan walaupun ia pria kurus yang tampak lemah, ia memiliki aura
mantap seperti banyak tipe Latin yang bertulang kecil. Dan kaum wanita membuatnya senang dengan
keterkejutan mereka. Ia suka pergi bersama gadis alim berwajah manis dan tampak polos, dan sewaktu
membuka pakaiannya, ia mendapati payudara yang begitu montok dan penuh, sangat kontras dengan
wajahnya yang kekanakkanakan. Ia senang pada sikap malu-malu dan tersipu-sipu
gadis berpenampilan seksi yang penuh
gerak tipuan seperti pemain basket yang lincah, genit seakan pernah tidur dengan
seratus pria, lalu saat mereka berdua saja, ia harus berjuang berjam-jam untuk bisa masuk dan
beraksi, dan mendapati mereka ternyata masih perawan.
Dan semua pria Hollywood lain menertawakan kegemaran Johnny pada perawan. Mereka
The God Father Sang Godfather Karya Mario Puzo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyebutnya berselera kuno,
bodoh. Ingat saja betapa repot dan lama mengajari perawan pandai bercinta dan
akhirnya ternyata mereka tidak sepandai itu. Tapi Johnny mengetahui memang begitulah cara
menghadapi gadis muda. Orang harus mendekati si gadis dengan benar, lalu apa yang lebih dahsyat
daripada membuat seorang gadis bisa menikmati permainan cinta pertamanya" Ah, alangkah nikmatnya menembus
benteng pertahanan seorang gadis. Alangkah senangnya merasakan kaki-kaki mereka di-
belitkan ke tubuh kita. Paha mereka berbeda-beda bentuknya, begitu pula bokong mereka. Warna kulit
mereka juga berlainan, dari putih hingga cokelat dan kehitaman. Pernah ia tidur dengan gadis kulit
berwarna di Detroit, gadis
baik-baik, bukan pelacur, anak penyanyi jazz yang bermain bersamanya di kelab
malam, dan gadis itu merupakan salah satu pengalaman paling manis baginya. Bibirnya benar-benar
terasa seperti madu hangat bercampur lada, kulitnya yang cokelat tua mulus, lembut, dan ia semanis
wanita mana pun yang pernah diciptakan Tuhan dan ia masih perawan.
Pria lain selalu membicarakan seks oral, variasi ini-itu, tapi ia sebenarnya
tidak terlalu menyukainya.
Ia tidak pernah terlalu menyukai gadis yang mau mencoba bercinta secara
menyimpang, dan gaya itu tidak pernah benar-benar memuaskannya. Ia dan istri keduanya akhirnya tidak
cocok, karena wanita tersebut begitu menyukai gaya 69 sehingga tak suka yang lain dan Johnny harus
berjuang agar mereka bisa bercinta secara konvensional. Istri keduanya mulai mengejek dan menyebutnya
pria kampungan, dan gosip tersebar bahwa ia bercinta seperti anak-anak. Mungkin itu sebabnya
gadis yang tadi malam menolak dirinya. Ah, persetan, lagi pula gadis itu pasti tidak terlalu hebat di
ranjang. Ia selalu bisa menebak gadis mana yang senang bercinta dan
biasanya merekalah yang terbaik. Terutama gadis-gadis yang belum terlalu lama
melakukannya. Yang benar-benar dibencinya adalah gadis yang mulai bercinta sejak usia dua belas
tahun dan telah "tamat"
di usia dua puluh tahun. Setelah itu mereka melakukan semuanya secara otomatis,
padahal beberapa di antara mereka sangat cantik. Mereka juga bisa menipumu.
Ginny membawa kopi dan kue ke kamarnya, lalu meletakkannya di meja panjang.
Johnny bercerita singkat padanya bahwa Hagen akan menolongnya mendapatkan pinjaman untuk produksi
film dan Ginny sangat senang mendengarnya. Johnny akan menjadi orang penting lagi. Tapi
Ginny tidak bisa membayangkan sebesar apa sebenarnya kekuasaan Don Corleone, sehingga ia tidak
mengerti sepenting apa kedatangan Hagen dari New York. Johnny memberitahu Ginny bahwa
Hagen juga akan membantunya menangani segi-segi hukumnya.
Sesudah mereka selesai minum kopi, Johnny mengatakan ia akan bekerja malam ini,
menelepon dan merencanakan masa depan. "Separo dari semua ini akan kubuat atas nama anak-
anak," katanya pada Ginny. Ginny tersenyum penuh terima kasih dan menciumnya sebagai ucapan selamat
malam sebelum meninggalkan kamar. Ada piring kaca penuh rokok bermonogram yang sangat disukainya dan sekotak penuh
cerutu hitam Kuba sebesar pensil di meja tulisnya. Johnny menyandar ke kursi dan mulai
menelepon. Otaknya benar-benar berputar keras. Ia menelepon pengarang bukunya, novel laris, yang
merupakan dasar film barunya. Pengarang itu pria sebaya dirinya, yang menanjak dengan susah payah dan
sekarang menjadi orang terkenal di dunia literatur. Ia datang ke Hollywood dengan harapan akan
diperlakukan sebagai orang top, tapi seperti sebagian besar pengarang lain, ia diperlakukan seperu sampah. Johnny pernah
menyaksikan penghinaan yang dialami si pengarang pada suatu malam di Brown Derby. Pengarang
itu dipasangkan dengan bintang muda terkenal berdada besar untuk acara kencan di kota yang pasti
akan berakhir di tempat tidur. Tapi saat mereka makan malam, si bintang muda meninggalkan
pengarang terkenal itu karena ada bintang film berwajah tikus memberi isyarat memanggil padanya.
Kejadian tersebut membuat si pengarang paham struktur kekuasaan di Hollywood. Tidak peduli bukunya
menjadikan dirinya terkenal di seluruh dunia, bintang muda lebih memilih orang film yang
paling buruk, paling angkuh, dan paling palsu daripada dirinya.
Sekarang Johnny menelepon pengarang itu di rumahnya di New York untuk
mengucapkan terima kasih mengenai peran besar yang ditulisnya dalam buku baginya. Ia memuji orang
itu habis-habisan. Lalu sambil lalu ia menanyakan perkembangan novel berikutnya dan ceritanya. Ia
menyulut sebatang cerutu sementara si pengarang bercerita mengenai bab yang paling menarik dan
akhirnya berkata, "Aku ingin sekali membacanya sesudah kauselesaikan. Bagaimana kalau kaukirimkan
satu copy untukku" Mungkin aku bisa mendapatkan transaksi yang bagus untukmu, lebih bagus
daripada yang kaudapat dari Woltz."
Semangat yang terdengar dalam suara si pengarang memberitahu Johnny bahwa
dugaannya benar. Woltz menipu orang itu, memberinya bayaran yang rendah untuk bukunya. Johnny
mengatakan ia mungkin akan berada di New York sesudah liburan dan ingin si pengarang makan
malam bersama beberapa temannya. "Aku kenal beberapa cewek yang cantik," kata Johnny dengan
nada bergurau. Si pengarang tertawa dan menyetujui.
Selanjutnya Johnny menelepon sutradara dan juru kamera film yang baru saja
diselesaikannya untuk berterima kasih atas bantuan yang mereka berikan padanya. Ia memberitahu mereka
dengan penuh keyakinan bahwa ia mengetahui Woltz tidak menyukai dirinya dan ia sangat
menghargai bantuan mereka, dan kalau ada apa saja yang bisa dilakukannya untuk mereka, mereka hanya
perlu menghubungi dirinya. Lalu ia melakukan telepon yang paling sulit di antara semuanya, yaitu
menghubungi Jack Woltz. Ia
berterima kasih kepada Woltz untuk perannya dalam film dan mengatakan akan
senang bekerja dengan Woltz kapan saja. Ia melakukan tindakan ini semata-mata untuk mengalihkan
perhatian Woltz. Ia selamanya sangat jujur, sangat lurus. Dalam beberapa hari Woltz akan
mengetahui usahanya dan terkejut pada teleponnya yang menipu, dan Johnny Fontane memang mengharapkan
Jack Woltz merasakan hal itu. Sesudah itu ia duduk menghadapi meja tulis dan menikmati cerutu. Ada wiski di
meja dekat dinding, tapi ia telah berjanji pada diri sendiri dan Hagen bahwa ia tidak akan menyentuh
minuman keras lagi. Seharusnya ia bahkan tidak merokok. Sebenarnya tindakan itu bodoh; apa pun yang
tidak beres dengan suaranya tidak mungkin bisa disembuhkan dengan berhenti merokok dan minum. Tidak
terlalu, tapi persetan, siapa tahu tindakan itu ada gunanya. Ia menginginkan semua kesempatan
yang menguntungkan dirinya, karena sekarang ia memiliki kesempatan.
Sesudah rumah sunyi, mantan istrinya tidur, kedua putri tercintanya juga pulas,
ia bisa memikirkan kembali masa-masa mengerikan dalam hidupnya saat ia meninggalkan mereka. Ia
meninggalkan mereka demi wanita jalang yang menjadi istri keduanya. Tapi sekarang pun ia
tersenyum saat teringat wanita itu, sundal paling hebat dalam banyak hal. Di
samping itu, satu-satunya hal yang menyelamatkan hidupnya adalah hari ia
bertekad tidak memiliki wanita, atau lebih spesifik lagi, hari ia memutuskan ia tidak bisa membenci
istri pertamanya dan putri-putrinya, istri keduanya, dan pacar-pacarnya, sampai Sharon Moore
menolaknya supaya bisa membual pernah menolak ajakan bercinta dengan Johnny Fontane yang terkenal.
Ia pernah berkeliling menyanyi bersama band, kemudian menjadi bintang radio dan
pertunjukan panggung, sebelum akhirnya berhasil di film. Dan selama waktu itu ia menjalani
hidup sesuka hati, menggauli setiap wanita yang diinginkannya, tapi ia tidak membiarkan semua itu
memengaruhi kehidupan pribadinya. Kemudian ia jatuh cinta pada wanita yang segera menjadi
istri keduanya, Margot Ashton. Ia sungguh tergila-gila pada wanita itu. Kariernya jadi
berantakan, suaranya hilang,
kehidupan keluarganya kacau-balau. Dan akhirnya tibalah hari ia tidak punya apa-
apa. Yang menjadi persoalan, ia selalu demawan dan adil. Ketika menceraikannya, ia
memberikan kepada istri pertamanya semua yang dimilikinya. Ia memastikan kedua anaknya mendapatkan
sebagian dari apa saja yang dibuatnya, setiap rekaman, setiap film, setiap pertunjukan yang
dilakukan di kelab malam. Dan setelah kaya dan termasyhur, ia tidak pernah menolak apa pun
permintaan istrinya yang pertama. Ia menolong semua saudara istrinya, ayah dan ibunya, teman-teman
sekolah wanitanya dan keluarga mereka. Ia tak pernah menjadi selebriti yang sombong. Ia menyanyi dalam
pesta perkawinan dua adik perempuan istrinya, sesuatu yang tidak suka dilakukannya. Ia tidak
pernah menolak permintaan istrinya, kecuali menyerahkan sepenuhnya kepribadiannya sendiri.
Kemudian sereJah ia jatuh sampai ke dasar, tidak lagi mendapat pekerjaan dalam
film, tidak bisa menyanyi lagi, dikhianati istrinya yang kedua, ia pergi melewatkan beberapa hari
bersama Ginny dan anak-anak. Suatu malam ia bisa dibilang menyembah minta ampun pada istrinya
karena perasaannya begitu kacau. Hari itu ia mendengar salah satu rekamannya dan suaranya
kedengaran begitu buruk sehingga ia menuduh teknisi suara menyabot rekaman. Sayangnya akhirnya ia yakin
memang begitulah suaranya yang sebenarnya. ia membanting rekaman master itu dan tidak
mau menyanyi lagi. Ia begitu malu sehingga tidak bisa bernyanyi satu lagu pun kecuali bersama Nino
dalam pesta pernikahan Connie Corleone.
Ia tidak pernah melupakan ekspresi wajah Ginny sewaktu mengetahui semua kesialan
ini. Ekspresi itu hanya satu detik kelihatan di wajahnya, tapi cukup bagi Johnny untuk tidak
melupakannya. Itu ekspresi yang menunjukkan kepuasan buas dan penuh sukacita. Itu ekspresi yang
membuat Johnny yakin istrinya sangat membencinya bertahun-tahun terakhir ini. Ginny cepat-cepat
menutupi perasaannya dan menyatakan simpati yang dingin tapi sopan. Johnny pura-pura
menerimanya. Beberapa hari berikutnya ia menemui tiga gadis yang paling disukainya beberapa
tahun terakhir, gadis-gadis yang tetap berteman dengannya dan terkadang tidur bersamanya secara
bersahabat, gadisgadis yang dibantunya dengan seluruh kekuatannya, gadis-gadis
yang diberinya ratusan ribu dolar
dalam bentuk hadiah dan kesempatan kerja. Di wajah mereka ia melihat ekspresi
kepuasan sekilas yang sama. Pada waktu itulah ia menyadari ia harus mengambil keputusan. Ia bisa menjadi
seperti banyak pria lain di Hollywood, produser yang sukses, penulis, sutradara, aktor, yang memburu
wanita cantik dengan kebencian penuh nafsu. Ia
bisa menggunakan kekuasaan dan bantuan keuangan dengan perasaan kurang rela,
selalu waspada menghadapi kemungkinan pengkhianatan, selalu yakin wanita bisa mengkhianati dan
meninggalkan dirinya, merupakan musuh yang harus dikalahkan. Atau ia bisa menolak membenci
wanita dan terus memercayai mereka. Ia mengetahui dirinya tidak bisa tidak mencintai mereka,
bahwa sesuatu dalam jiwanya akan mati kalau ia tidak terus mencintai wanita, tidak peduli seberapa
besar pengkhianatan dan ketidaksetiaan mereka. Tidak masalah apakah wanita yang paling dicintainya
di dunia diam-diam senang melihat dirinya hancur, terhina, bernasib sial; tidak masalah kalau dalam
cara yang paling buruk, bukan secara seksual, mereka tidak setia padanya. Ia tidak memiliki
pilihan lain. Ia harus menerima mereka. Jadi ia bercinta dengan mereka semua, memberi mereka hadiah,
menyembunyikan sakit hatinya melihat mereka gembira menyaksikan kesialan yang menimpa dirinya.
Ia memaafkan mereka karena tahu yang dialaminya ini adalah akibat kehidupannya yang sangat
bebas dan karena menikmati mereka sepenuhnya. Tapi sekarang ia tidak pernah merasa bersalah
karena tidak jujur pada mereka. Ia tidak pernah merasa bersalah mengenai perlakuannya terhadap Ginny,
berkeras tetap menjadi satu-satunya ayah bagi anak-anaknya, tapi tidak pernah mempertimbangkan
rujuk dengan Ginny, dan memberitahukan hal itu pada Ginny. Hanya itulah satu-satunya segi
positif kejatuhannya.
The God Father Sang Godfather Karya Mario Puzo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ia jadi tebal muka dalam hal menyakiti hati wanita.
Ia kelelahan dan sangat mengantuk, tapi satu ingatan tidak mau meninggalkannya
menyanyi bersama Nino Valenti. Tiba-tiba ia mengetahui apa yang akan menyenangkan Don melebihi
apa pun. Ia mengangkat telepon dan meminta operator menghubungkannya dengan New York. Ia
menghubungi Sonny Corleone dan meminta nomor telepon Nino Valenti. Lalu ia menelepon Nino.
Nino kedengaran agak mabuk, seperti biasa.
"Hei, Nino, bagaimana kalau kau datang kemari dan bekerja bersamaku?" tanya
Johnny. "Aku membutuhkan orang yang bisa kupercaya."
Nino, dengan bergurau, berkata, "Well, entahlah, Johnny, aku sudah memiliki
pekerjaan yang bagus sebagai sopir truk, sambil mengencani ibu-ibu di sepanjang rute yang kulalui,
dan dengan mudah mendapat seratus lima puluh dolar setiap minggu. Apa yang bisa kautawarkan?"
"Sebagai awalan, aku bisa membayarmu lima ratus ditambah kencan buta dengan
bintang film, bagaimana?" kata Johnny. "Dan mungkin kau akan kuberi kesempatan menyanyi di
pesta-pesta." "Yeah. Oke, well, akan kupikirkan dulu," kata Nino. "Akan kubicarakan dulu
dengan pengacara dan akuntanku, dan kernet trukku."
"Hei, jangan bergurau, Nino," kata Johnny. "Aku membutuhkan dirimu di sini.
Kuminta kau terbang kemari besok pagi dan menandatangani kontrak pembayaran lima ratus ribu seminggu
untuk setahun. Jadi kalau kau merebut salah satu gadisku dan aku memecatmu, kau mendapat
sedikitnya gaji setahun. Oke?" Lama sekali tidak ada yang bicara. Suara Nino terdengar serius. "Hei, Johnny,
kau bergiuran?" Johnny berkata, "Aku serius, kid. Pergilah ke kantor agenku di New York. Mereka
akan memberimu tiket pesawat dan sedikit uang tunai. Akan kutelepon mereka besok pagi-pagi
sekali. Jadi kau bisa tiba
di sini sorenya. Oke" Akan kukirim orang untuk menjemputmu di bandara dan
membawamu ke rumah." Sekali lagi mereka terdiam sejenak, lalu Nino, dengan suara pelan, tidak pasti,
berkata, "Oke, Johnny."
Ia kedengaran tidak mabuk lagi.
Johnny meletakkan telepon dan bersiap-siap tidur. Ia merasa lebih baik daripada
kapan pun sejak ia memecahkan master rekaman itu.
(Kunjungi http://vodozom.wordpress.com)
Bab 13 Johnny Fontane duduk dalam studio rekaman yang besar dan menghitung berbagai
pengeluaran di notes kuning. Para pemain musik mulai masuk, semua temannya sejak ia masih kecil
dan dikenal sebagai penyanyi band anak-anak. Konduktornya, orang terbaik dalam bisnis musik
pop dan baik padanya di masa-masa sulit, memberi setiap pemain buku musik dan instruksi
lisan. Namanya Eddie Neils. Ia bersedia ikut rekaman untuk menyenangkan Johnny, sekalipun jadwalnya
sendiri padat. Nino Valenti duduk menghadapi piano sambil memainkan tuts-tutsnya dengan
gelisah. Ia juga menyesap rye dari gelas sangat besar. Johnny tidak keberatan. Ia mengetahui Nino
menyanyi rama baiknya dalam keadaan sadar maupun mabuk, dan yang mereka lakukan sekarang tidak
membutuhkan keahlian bermain musik sedikit pun dari pihak Nino.
Eddie Neils membuat aransemen khusus beberapa lagu lama Italia dan Sisilia, dan
karya istimewa nyanyian duet yang dibawakan Nino dan Johnny di pesta pernikahan Connie
Corleone. Johnny membuat rekaman itu terutama karena ia mengetahui Don menyukai lagu-lagu seperti
itu dan itu akan merupakan hadiah Natal yang sempurna baginya. Ia
juga menduga rekaman itu akan laku keras, meskipun tentu saja tidak mencapai
sejuta. Dan ia memperhitungkan bahwa membantu Nino adalah balas budi yang diinginkan Don.
Bagaimanapun, Nino anak baptis Don juga.
Johnny meletakkan clipboard dan notes di kursi lipat di sampingnya dan beranjak
ke samping piano. Ia berkata, "Hei, paisan," dan Nino menengadah sambil berusaha tersenyum. Ia
tampak agak sakit. Johnny membungkuk dan menggosok punggung Nino. "Santai saja, kid," katanya.
"Lakukan pekerjaanmu dengan baik sekarang dan akan kuatur kencanmu dengan cewek paling
cantik di seluruh Hollywood." Nino meneguk wiskinya. "Siapa, Lassie?"
Johnny tertawa. "Bukan, Deanna Dunn. Kujamin barangnya bagus."
Nino terkesan, tapi tidak bisa menahan diri untuk berkata dengan nada pura-pura
berharap, "Kau tidak
bisa mendapatkan Lassie untukku?"
Para musisi mulai memainkan lagu pembuka medley. Johnny Fontane mendengarkan
dengan teliti. Eddie Neils akan memainkan semua lagu beraransemen khususnya. Lalu mereka akan
mulai merekam. Sementara mendengarkan, Johnny mencatat dalam hati bagaimana tepatnya ia akan
mengucapkan setiap bait, bagaimana ia akan membawakan setiap lagu. Ia mengetahui suaranya
tidak akan bertahan lama, tapi Nino akan membawakan sebagian besar lagu, dan Johnny akan menyanyi di
bawahnya. Kecuali, tentu saja, untuk nyanyian duet. Ia harus menghemat tenaga untuk itu.
Ia menarik Nino berdiri dan mereka berdua menghadapi mikrofon masing-masing.
Nino melakukan kesalahan di bagian pembukaan, lalu melakukannya lagi. Wajahnya mulai memerah
karena malu. Johnny menggodanya, "Hei, kau sengaja mengulur waktu agar lembur?"
273 "Aku kurang nyaman tanpa mandolin," kata Nino. Johnny memikirkannya sejenak.
"Pegang gelas minumanmu," katanya.
Tampaknya hal itu membantu. Nino terus minum dari gelas itu sambil bernyanyi,
tapi hasilnya bagus. Johnny menyanyi dengan santai, tidak tegang, suaranya hanya menari-nari di
sekitar melodi utama yang dibawakan Nino. Tidak ada kepuasan emosional dalam jenis nyanyian ini, tapi
ia terpesona pada kemampuan teknisnya sendiri. Ada yang dipelajarinya setelah sepuluh tahun
menyanyi. Ketika mereka tiba pada lagu duel yang mengakhiri rekaman, Johnny membebaskan
suaranya dan setelah mereka selesai ia merasakan tenggorokannya sakit. Para pemain musik
hanyut dalam lagu terakhir, hal yang langka bagi kaum veteran yang berpengalaman. Mereka memukuli
instrumen dan mengentakkan kaki seperti tepuk tangan sebagai tanda suka. Pemain drum melakukan
ruffle. Dengan menghitung waktu istirahat dan berunding, mereka bekerja hampir empat jam
sebelum berhenti. Eddie Neils menghampiri Johnny dan berkata pelan, "Kau kedengaran
bagus sekali, man. Mungkin kau siap untuk membuat rekaman. Aku punya lagu yang sempurna sekali
untukmu." Johnny menggeleng. "Sudahlah, Eddie, jangan menggodaku. Lagi pula, dua jam lagi
aku akan terlalu serak bahkan untuk bicara. Kaupikir banyak yang harus kita bereskan dari kerja
kita hari ini?" Eddie berkata sambil berpikir, "Nino harus datang ke studio besok pagi. Ia
melakukan beberapa kesalahan. Tapi ia jauh lebih baik daripada dugaanku. Sedang mengenai suaramu,
akan kuminta bagian suara membereskan apa yang tidak kusukai. Oke?" "Oke," kata Johnny.
"Kapan aku bisa mendengar hasilnya?"
"Besok malam," kata Eddie Neils. "Di tempatmu?"
"Yeah," kata Johnny. "Terima kasih, Eddie. Sampai ketemu besok pagi." Ia meraih
lengan Nino dan mengajaknya keluar studio. Mereka pergi ke rumahnya, bukan ke rumah Ginny.
Saat itu hari telah menjelang senja. Nino tetap lebih daripada separo mabuk.
Johnny menyuruhnya mandi pancuran lalu tidur. Mereka akan menghadiri pesta besar pukul sebelas
malam. Sesudah Nino terjaga, Johnny memberinya pengarahan. "Pesta ini diselenggarakan
Lonely Hearts Club milik seorang bintang film," katanya. "Wanita-wanita yang datang malam ini
adalah yang kaulihat di film sebagai ratu gemerlapan pujaan berjuta-juta pria yang bersedia mengorbankan
tangan kanan mereka agar bisa bercinta dengan mereka. Dan satu-satunya alasan kehadiran
mereka adalah untuk menemukan orang yang mau mengajak mereka ke ranjang. Kau tahu sebabnya" Karena
mereka haus hal itu, mereka hanya sedikit terlalu tua. Dan setiap wanita kaya lain, mereka
menginginkannya dengan gaya kelas atas."
"Kenapa suaramu?" tanya Nino.
Johnny berbicara nyaris berbisik "Setiap kali aku bernyanyi sedikit, selalu
begini jadinya. Sudah sebulan aku tidak bisa bernyanyi. Tapi serakku akan hilang dua hari lagi."
Nino berkata sambil berpikir, "Berat juga, heh?"
Johnny mengangkat bahu. "Dengar, Nino, jangan sampai kau terlalu mabuk malam
ini. Kau harus memperlihatkan pada gadis-gadis Hollywood bahwa temanku bukan paisan yang lemah.
Kau harus berhasil. Ingat, beberapa dari wanita-wanita itu sangat berkuasa di dunia film,
mereka bisa mendapatkan pekerjaan untukmu. Tidak ada salahnya bersikap memikat sesudah kau
menaklukkan mereka." Nino mulai menuang minuman lagi. "Aku selalu memikat," katanya. Ia menghabiskan
isi gelasnya. Sambil tersenyum, ia bertanya, "Aku serius, kau benar-benar bisa memperkenalkan
aku pada Deanna Dunn?" "Jangan khawatir," kata Johnny. "Ini tidak akan seperti yang kaupikirkan."
Hollywood Movie Star Lonely Hearts Club (dijuluki begitu oleh para bintang muda
yang harus hadir) berkumpul setiap Jumat malam di rumah Roy McElroy yang seperti istana dan
dimiliki studio. La agen pers, atau lebih tepatnya penasihat humas Woltz International Film
Corporation. Sebenarnya, meskipun acara itu merupakan pesta terbuka McElroy, gagasannya berasal dari otak
praktis Jack Woltz. Beberapa bintang filmnya yang menghasilkan uang sekarang sudah tua. Tanpa
bantuan pencahayaan khusus dan juru rias yang jenius, mereka akan tampak sesuai usia
mereka. Mereka mulai menghadapi masalah. Mereka juga menjadi kurang peka secara fisik dan mental
hingga batas tertentu. Mereka tidak lagi "jatuh cinta". Mereka tidak lagi memegang peran sebagai wanita
yang diburu-buru. Mereka jadi terlalu angkuh; karena uang, ketenaran, sisa-sisa kecantikan.
Woltz menyelenggarakan pesta itu agar mereka lebih mudah mendapatkan kekasih,
kekasih semalam, yang kalau hebat, bisa menjadi partner tidur tetap dan meningkatkan karier
mereka. Karena kegiatan pesta terkadang berubah menjadi perkelahian massal atau kegiatan seksual
berlebihan yang menyebabkan polisi harus campur tangan, Woltz memutuskan melangsungkan pesta di
rumah penasihat humasnya, yang akan berada di sana untuk membereskan segala sesuatu,
membayar orang pers dan polisi agar beritanya tidak tersebar. Bagi aktor-aktor muda tertentu
yang jantan tapi belum mencapai tingkat bintang atau belum pernah mendapat peran utama, kehadiran dalam
pesta Jumat malam itu tidak selalu merupakan tugas yang menyenangkan. Ini karena fakta bahwa
film baru yang belum dilempar studio ke pasaran akan diputar dalam pesta. Kenyataannya, memang
itulah alasan penyelenggaraan pesta itu sendiri. Orang akan mengatakan, "Mari kita lihat
seperti apa film baru yang
dibuat studio ini atau itu." Dengan begitu pesta ditempatkan dalam konteks
profesional. Aktris pemula yang masih muda tidak boleh menghadiri pesta Jumat malam. Atau
lebih tepat, tidak dianjurkan. Sebagian besar dari mereka memahami pesan tersamarnya.
Pemutaran film baru dilangsungkan tengah malam. Johnny dan Nino tiba pukul
sebelas. Ternyata pada pandangan pertama, Roy McElroy tampak seperti pria yang sangat simpatik, serba
rapi, berpakaian bagus. Ia menyambut Johnny Fontane dengan berteriak terkejut tapi gembira. "Apa
yang kaulakukan di sini?" ia bertanya dengan keheranan yang tulus.
Johnny menjabat tangannya. "Aku mengajak pesiar sepupuku dari kampung.
Perkenalkan, Nino." McElroy menjabat tangan Nino dan memandanginya dengan kagum. "Mereka akan
melahapnya hidup-hidup," katanya pada Johnny. Ia mengajak mereka ke patio belakang.
Patio belakang merupakan deretan kamar besar yang jendelanya terbuka ke taman
dan kolam renang. Di sana ada sekitar seratus orang berkeliaran, semuanya membawa gelas minuman.
Penerangan taman diatur secara artistik untuk meningkatkan keindahan wajah dan kulit kaum wanita.
Mereka wanitawanita yang pernah dilihat Nino di layar putih sewaktu masih
remaja. Mereka memainkan peran
dalam impian erotis masa remajanya. Tapi melihat mereka sekarang dalam keadaan
yang sebenarnya seperti melihat mereka me-277
The God Father Sang Godfather Karya Mario Puzo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ngenakan riasan yang mengerikan. Tidak ada yang bisa menyembunyikan kelelahan
jiwa dan raga wanita-wanita itu waktu telah menggerogoti kondisi puncak mereka. Mereka
bersikap dan bergerak dengan memesona sebagaimana yang diingat Nino, tapi mereka seperti buah-buahan
dari lilin, mereka tidak bisa merangsang dirinya. Nino mengambil dua gelas minuman, mengembara
hingga meja tempat ia bisa berdiri di dekat kumpulan botol minuman. Johnny berjalan dengannya.
Mereka minum bersama hingga dari belakang mereka terdengar suara merdu Deanna Dunn.
Nino, seperti jutaan pria lain, mengingat suara itu dalam otaknya selamanya.
Deanna Dunn pernah memenangi dua Oscar, dan main dalam dua film paling laris yang pernah dibuat
Hollywood. Di layar putih, Deanna Dunn memiliki pesona kewanitaan seperti kucing, yang memikat semua
pria. Tapi katakata yang diucapkannya di sini tidak akan pernah terdengar di
layar perak. "Johnny, keparat, aku harus
menemui psikiater lagi karena kau hanya mau menjadi kekasih semalam. Kenapa kau
tidak pernah kembali untuk kedua kalinya?"
Johnny mencium pipi yang disodorkan kepadanya. "Kau membuatku kelelahan selama
sebulan," katanya. "Aku ingin kau bertemu dengan saudara sepupuku Nino. Pemuda Italia yang
manis dan kuat. Mungkin ia bisa menandingimu."
Deanna Dunn berpaling pada Nino dengan pandangan dingin. "Ia senang menonton
preview" Johnny tertawa. "Kurasa ia tidak pernah mendapat kesempatan. Bagaimana kalau kau
mengajaknya?" Nino terpaksa minum sebanyak-banyaknya saat bersama Deanna Dunn. Ia berusaha
bersikap manis dan terbuka, tapi sulit. Deanna Dunn memiliki hidung yang tinggi, wajah tajam
klasik yang merupakan kecantikan khas Anglo-Saxon. Dan ia mengenal wanita ini dengan baik.
Ia pernah melihatnya sendirian di kamar tidur, patah hati, menangisi suaminya, pilot yang
tewas dan membuat anak-anaknya tanpa ayah. Ia pernah melihatnya marah, sakit hati, terhina, tapi
masih memiliki martabat yang berkobar-kobar sewaktu Clark Gable yang jahat menggagahinya, lalu
meninggalkannya gara-gara pelacur. (Deanna Dunn tidak pernah memainkan peran pelacur di film.)
Ia pernah melihat Deanna Dunn marah karena cinta yang tidak dibalas, menggeliat dalam pelukan pria
yang dicintainya, dan ia pernah melihatnya tewas dengan sikap yang anggun sedikitnya enam kali. Ia
pernah melihatnya, mendengarnya, dan memimpikannya, tapi ia tidak siap mendengar kata-kata pertama
yang dilontarkan Deanna Dunn sewaktu mereka berdua saja.
"Johnny salah satu di antara sedikit pria yang bernyali di kota ini," kata
Deanna Dunn. "Yang lain
hanyalah orang bodoh dan sakit, tidak bisa terangsang wanita walaupun dicekoki
satu truk obat perangsang." Ia memegang tangan Nino dan mengajaknya ke sudut ruangan, jauh dari
orang banyak dan persaingan. Lalu, masih dengan pesona yang dingin, Deanna Dunn bertanya kepada Nino tentang
dirinya. Nino mengetahui Deanna tengah memainkan peran wanita kaya yang berbaik hati pada
penjaga kandang atau sopir, yang kalau di dalam film akan ditolaknya (jika dimainkan Spencer
Tracy), atau diterimanya dengan mengorbankan segalanya karena kesukaannya pada pria itu
(kalau dimainkan Clark Gable). Tapi itu bukan masalah. Nino bercerita pada Deanna tentang
bagaimana ia dan Johnny tumbuh dewasa bersama-sama di New York, bagaimana ia dan Johnny menyanyi bersama
dalam penunjukan di kelab malam. Ia mendapati Deanna Dunn sangat simpatik dan penuh
perhatian. Sekali Deanna Dunn 279 bertanya sambil lalu, "Kau mengetahui bagaimana Johnny
memaksa si Woltz keparat itu memberinya peran dalam
filmnya?" Nino tertegun dan menggeleng. Tapi Deanna Dunn
tidak mendesak. Tiba waktu untuk pemutaran preview film baru Jack Woltz. Deanna Dunn menuntun
Nino, tangan Deanna yang hangat memegangi tangannya, menuju ruangan tidak berjendela di rumah
besar itu, tapi dilengkapi sekitar lima puluh sofa untuk dua orang yang tersebar sebegitu rupa
sehingga setiap orang agak terpisah. Nino melihat ada meja kecil di samping sofa, dan di atas meja ada mangkuk es,
gelas-gelas, dan botolbotol minuman keras, ditambah piring berisi rokok. Ia
memberi Deanna Dunn sebatang rokok,
menyulutnya, lalu membuat minuman bagi mereka berdua. Mereka tidak saling
berbicara. Beberapa menit kemudian lampu-lampu dipadamkan.
Nino telah menduga akan ada kejadian luar biasa. Bagaimanapun, ia pernah
mendengar mengenai kebejatan Hollywood yang melegenda. Tapi ia tidak siap menghadapi serangan
Deanna Dunn yang rakus terhadap organ seksualnya, tanpa pembukaan yang sopan dan ramah. Nino
terus menghirup minuman dan menonton film, tapi tidak bisa merasakan, tidak bisa melihat. Ia
merasakan kesenangan yang belum pernah dialaminya. Tapi ini sebagian karena wanita yang tengah
melayaninya dalam kegelapan adalah objek impian masa remajanya.
Tapi entah mengapa kejantanannya terasa terhina. Jadi sesudah Deanna Dunn yang
terkenal di seluruh dunia merasa puas dan merapikannya, dengan sangat tenang Nino memberinya minuman
baru dan menyulut sebatang rokok, dan berkata dengan suara paling santai yang bisa
dibayangkan, "Tampaknya
film ini bagus sekali."
Ia merasa Deanna Dunn menegang di sampingnya di
(Kunjungi http://vodozom.wordpress.com)
sofa. Apakah wanita ini menunggu pujian" Nino mengisi gelasnya hingga penuh dari
botol terdekat dan tangan mereka bersentuhan dalam gelap. Persetan. Deanna Dunn memperlakukan
dirinya seperti gigolo. Karena suatu alasan sekarang ia merasakan kemarahan yang dingin pada
semua wanita ini. Mereka menonton film selama lima belas menit lagi. Nino mencondongkan tubuh
menjauhi Deanna hingga mereka tidak lagi bersentuhan.
Akhirnya Deanna Dunn berbisik kasar, "Jangan sok, kau menyukainya. Milikmu
sebesar rumah." Nino menghirup minuman dan berkata dengan sikap sambil lalu sewajarnya, "Memang
selalu begitu. Kau harus melihatnya waktu aku terangsang."
Deanna Dunn tertawa kecil dan diam sepanjang sisa pemutaran film. Akhirnya film
selesai dan lampulampu dinyalakan kembali. Nino melayangkan pandangan ke
sekelilingnya. Ia bisa melihat bahwa
dalam kegelapan tadi telah berlangsung pesta sekalipun ia tidak mendengar apa-
apa. Tapi beberapa wanita memancarkan ekspresi berseri-seri seakan baru saja mendapat kepuasan yang
luar biasa. Mereka keluar dari ruang pemutaran film. Deana Dunn tiba-tiba meninggalkannya
untuk berbicara dengan pria yang lebih tua, yang dikenal Nino sebagai pemeran utama dalam film;
tapi sekarang, melihat pria itu langsung, ia menyadari pria itu homo. Ia menyesap minuman
sambil berpikir. Johnny Fontane datang ke sisinya dan berkata, "Hei, kid, kau bersenang-senang?"
Nino tersenyum. "Entahlah. Ini berbeda. Sekarang sesampainya di rumah nanti, aku
bisa mengatakan Deanna Dunn menggarapku."
Johnny tertawa. "Ia bisa lebih baik daripada itu kalau mengundangmu ke rumahnya.
Ia mengundangmu?" Nino menggeleng. "Aku terlalu memerhatikan filmnya," katanya. Tapi kali ini
Johnny tidak tertawa. "Yang benar, kid" katanya. "Cewek seperti itu bisa memberimu banyak keuntungan.
Padahal kau biasanya memanfaatkan apa saja. Nino, kadang-kadang aku masih bermimpi buruk
kalau ingat lontelonte jelek yang dulu kaugauli."
Nino melambaikan gelasnya setengah mabuk dan berkata keras, "Yah, mereka jelek,
tapi mereka wanita" Deanna Dunn, di sudut, menoleh untuk melihat mereka berdua. Nino
melambaikan gelas padanya. Johnny Fontane menghela napas. "Oke, kau hanya petani yang bodoh."
"Dan aku tidak akan berubah," kata Nino dengan senyuman mabuknya yang menawan.
Johnny sangat memahami perasaan Nino. Ia tahu Nino tidak semabuk yang
diperlihatkannya. Ia tahu
Nino hanya berpura-pura supaya bisa mengatakan hal-hal yang dirasakannya terlalu
kasar bagi padrone Hollywood-nya yang baru kalau ia tidak mabuk. Ia mengalungkan lengannya
di leher Nino dan berkata, "Kau orang yang sok bijaksana, kau tahu kau punya kontrak yang
sangat mengikat selama setahun dan bisa mengatakan apa saja sesukamu dan aku tidak bisa memecatmu."
"Kau tidak bisa memecatku?" tanya Nino dengan kelicikan mabuk.
"Ya," kata Johnny
"Kalau begitu, persetan kau," kata Nino.
Sesaat Johnny terkejut dan bangkit kemarahannya. Ia melihat Nino menyeringai
tidak peduli. Tapi dalam beberapa tahun terakhir rupanya ia semakin cerdik, atau kejatuhannya dari
puncak kemasyhuran membuatnya semakin peka. Saat itu ia memahami Nino, mengapa teman nyanyinya di
masa kanak-kanak tidak pernah meraih sukses, mengapa ia menghancurkan setiap peluang
sukses sekarang. Nino bereaksi menjauhi semua konsekuensi sukses, bahwa entah bagaimana ia merasa
terhina oleh semua yang dilakukan orang untuknya.
Johnny menggandeng Nino dan menuntunnya ke luar rumah. Kini Nino nyaris tidak
bisa berjalan. Johnny berbicara padanya dengan lemah lembut. "Oke, kid, kau menyanyi saja
untukku, aku ingin menghasilkan uang darimu. Aku tidak ingin mencoba mengatur hidupmu. Lakukan saja
apa yang ingin kaulakukan. Oke, paisan" Yang harus kaulakukan hanya menyanyi untukku dan
menerima uang karena sekarang aku tidak bisa lagi menyanyi. Kau mengerti, Sobat?"
Nino menegakkan tubuh. "Aku akan menyanyi untukmu, Johnny," katanya. Suaranya
begitu pelan sehingga hampir tidak bisa dipahami. "Aku penyanyi yang lebih baik daripada yang
kauketahui. Aku selalu menyanyi lebih baik daripada kau, kau tahu itu?"
Johnny berdiri sambil berpikir, jadi itulah. Ia tahu bahwa ketika suaranya masih
sehat, Nino hanya tidak setingkat dengannya, tidak pernah, ketika mereka bernyanyi bersama sewaktu
kecil. Ia melihat. Nino menunggu jawaban, terhuyung-huyung mabuk dalam sinar bulan California.
"Sialan kau," katanya lembut, dan mereka tertawa bersama seperti masa lalu, sewaktu keduanya
masih sama-sama muda. Sewaktu Johnny Fontane mendengar berita penembakan Don Corleone, ia bukan hanya
mengkhawatirkan Godfather-nya, tapi juga apakah rencana pembiayaan filmnya masih
berlaku. Ia ingin pergi ke New York untuk menyampaikan penghormatan pada Godfather di rumah
sakit. Tapi ia dinasihati supaya tidak memperoleh publikasi buruk, dan
bahwa itu sangat tidak disukai Don Corleone. Maka ia menunggu. Seminggu kemudian
datang utusan dari Tom Hagen. Rencana pembiayaan masih berlaku, tapi hanya untuk satu film
setiap kalinya. Sementara itu Johnny membiarkan Nino bebas di Hollywood dan California, dan
hubungan Nino baik sekali dengan aktris-aktris pemula yang masih muda. Terkadang Johnny
meneleponnya untuk mengajaknya keluar bersama di malam hari tapi tidak pernah tergantung pada
dirinya. Sewaktu mereka membicarakan peristiwa penembakan Don, Nino berkata pada Johnny,
"Ketahuilah, aku pernah meminta pekerjaan pada Don dalam organisasinya dan ia tidak mau
memberikannya. Aku bosan mengemudikan truk dan ingin mendapat banyak uang. Kau tahu apa yang
dikatakannya padaku"
Ia bilang setiap orang hanya memiliki satu takdir dan takdirku adalah menjadi
seniman. Artinya aku tidak boleh menjadi anggota organisasinya."
Johnny memikirkan hal itu. Godfather pasti orang yang paling pandai di dunia. Ia
langsung mengetahui bahwa Nino tidak bisa terlibat dalam kegiatan bisnis Keluarga, hanya
akan mendapat kesulitan atau terbunuh. Terbunuh hanya karena bicaranya yang sok tahu. Tapi
bagaimana Don bisa mengetahui Nino akan menjadi seniman" Sebab, sialan, ia memperhitungkan bahwa
suatu hari nanti aku akan membantu Nino. Dan bagaimana ia bisa memperhitungkan begitu" Karena ia
akan bicara padaku dan aku akan berusaha memperlihatkan rasa terima kasihku. Tentu saja ia
tidak pernah memintaku melakukannya. Ia hanya memberitahuku ia akan bahagia kalau aku
melakukannya. Johnny Fontane menghela napas. Sekarang Godfather sakit, dalam kesulitan, maka ia boleh
mengucapkan selamat tinggal pada Piala Oscar karena Woltz menentangnya dan tidak ada
yang membantu Johnny. Hanya Don yang memiliki kontak pribadi yang bisa menekan,
dan keluarga Corleone harus memikirkan masalah lain. Johnny telah menawarkan bantuan, tapi
Hagen menolak
The God Father Sang Godfather Karya Mario Puzo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan tegas. Johnny sibuk membuat filmnya. Pengarang buku yang dijadikan film yang dibintangi
Johnny itu telah menyelesaikan novel barunya dan datang ke Pantai Barat atas undangannya, untuk
berunding tanpa melibatkan agen atau studio. Buku yang kedua sempurna sekali dengan apa yang
diinginkan Johnny. Ia tidak harus bernyanyi, ceritanya bagus dengan banyak wanita dan seks, serta
memiliki peran yang seketika dikenali Johnny sebagai peran yang sangat cocok bagi Nino. Tokoh itu
berbicara seperti Nino, bertingkah laku seperti Nino, bahkan tampangnya pun mirip Nino. Yang harus
dilakukan Nino hanyalah datang ke studio dan menjadi dirinya sendiri.
Johnny bekerja dengan cepat. Ia menyadari bahwa ia mengetahui lebih banyak
mengenai produksi daripada dugaannya. Tapi ia mempekerjakan produser eksekutif, orang yang
menguasai bidangnya, tapi sulit mencari pekerjaan karena termasuk dalam daftar hitam. Johnny tidak
memanfaatkan kesempatan dan memberi orang itu kontrak yang adil. "Kuharap kau bisa membuatku
lebih hemat dengan cara ini," katanya terus terang pada orang itu.
Jadi ia heran sewaktu produser eksekutif itu menemuinya dan mengatakan wakil
serikat buruh meminta pembayaran lima puluh ribu dolar. Ada banyak masalah yang berkaitan
dengan kerja lembur dan penempatan tenaga kerja, dan uang lima puluh ribu dolar yang dikeluarkannya
tidak akan sia-sia. Johnny bertanya-tanya apakah produser eksekutifnya mencoba memerasnya, lalu
berkata, "Minta orang serikat buruh itu datang padaku."
Orang serikat buruh itu ternyata Billy Goff. Johnny berkata padanya, "Kupikir
masalah serikat buruh sudah diurus teman-temanku. Aku diberitahu untuk tidak mengkhawatirkannya. Sama
sekali." Goff bertanya, "Siapa yang mengatakan itu padamu?" Johnny berkata, "Kau mengetahui
dengan tepat siapa yang mengatakannya padaku. Aku tidak mau menyebutkan namanya tapi ia yang
mengatakan begitu padaku." Goff berkata, "Keadaan sudah berubah. Temanmu dalam kesulitan dan kata-katanya
tidak lagi berpengaruh hingga di Barat sini."
Johnny mengangkat bahu. "Temui aku dua hari lagi. Oke?"
Goff tersenyum. "Baik, Johnny," katanya. "Tapi menelepon New York tidak akan
menolongmu." Tapi menelepon New York ternyata bisa menolongnya. Ia berbicara dengan Hagen di
kantornya. Hagen dengan tegas melarangnya membayar. "Godfather akan sangat marah kalau kau
membayar keparat itu meski hanya lima sen," katanya pada Johnny. "Itu akan menyebabkan
Don kehilangan rasa hormat dari orang lain, padahal sekarang itu tidak boleh terjadi."
"Bisa aku berbicara dengan Don?" tanya Johnny. "Kau mau bicara dengannya"
Pembuatan film harus jalan terus." "Tidak ada yang bisa berbicara dengan Don sekarang ini," kata Hagen. "Sakitnya
terlalu berat. Akan kubicarakan masalah ini dengan Sonny. Tapi aku yang mengambil keputusan dalam
hal ini. Jangan membayar keparat licik itu lima sen pun. Kalau ada perubahan, kau akan kuberi
tahu." Dengan jengkel Johnny menutup telepon. Masalah dengan serikat buruh bisa
menambah biaya yang besar dalam pembuatan film dan dapat mengacaukan pekerjaan pada umumnya. Sesaat
ia berdebat sendiri apakah akan memberi Goff
lima puluh ribu diam-diam atau tidak. Bagaimanapun, Don memberitahu dirinya dan
Hagen memberitahu sekaligus melarang dirinya merupakan dua hal yang berbeda. Tapi ia
memutuskan menunggu beberapa hari. Dengan menunggu ia menghemat lima puluh ribu dolar. Dua malam kemudian, Goff
ditemukan tewas ditembak di rumahnya di Glendale. Tidak ada pembicaraan lagi mengenai masalah
perburuhan. Johnny agak terguncang dengan pembunuhan itu. Untuk pertama kalinya tangan Don
yang panjang melontarkan pukulan mematikan yang begitu dekat dengan dirinya.
Minggu demi minggu berlalu, dan sementara ia semakin sibuk mempersiapkan naskah,
menyusun daftar pemain, dan menangani rincian produksi, Johnny Fontane melupakan
suaranya, melupakan ketidakmampuannya bernyanyi. Tapi sewaktu nominasi Academy Award diumumkan dan
ia ternyata termasuk salah satu calon, ia merasa tertekan karena tidak diminta menyanyikan
salah satu lagu yang dinominasi-kan dalam acara yang ditayangkan televisi secara nasional itu. Tapi
ia mengesampingkannya dan terus bekerja. Ia tidak memiliki peluang untuk memenangi
Oscar sekarang karena Godfather tidak bisa melakukan tekanan, tapi masuk nominasi pun sudah
berarti. Rekaman yang dibuatnya bersama Nino, yang berisi lagu-lagu Italia, jauh lebih
laku daripada apa pun yang dibuatnya akhir-akhir ini. Tapi ia tahu kesuksesan itu lebih merupakan
kesuksesan Nino daripada kesuksesannya sendiri. Ia sekarang pasrah karena tidak bisa bernyanyi
profesional lagi. Sekali seminggu ia makan malam bersama Ginny dan anak-anak. Tidak peduli sesibuk
apa pekerjaannya, ia tidak pernah melewatkan kewajiban itu. Tapi ia tidak tidur
dengan Ginny. Sementara itu, istri keduanya mendapatkan surat cerai
di Meksiko, dan ia kembali menjadi bujangan. Anehnya, ia tidak lagi begitu
bernafsu menggauli aktris-aktris pemula yang masih muda, yang merupakan sasaran empuk baginya.
Sebenarnya ia telah menjadi terlalu angkuh. Ia sakit hati karena tidak seorang pun di antara
bintang-bintang muda itu,
aktris-aktris yang tengah berada di puncak, yang memberinya kesempatan.
Tapi ia sangat senang bekerja keras. Hampir setiap malam ia pulang ke rumah
seorang diri, memutar rekaman-rekaman lamanya, minum, dan menggumam mengikuti beberapa bait lagu. Dulu
ia begitu hebat, sangat hebat. Ia tidak pernah menyadari sehebat apa dirinya dulu. Bahkan
kalaupun tak ada suara istimewanya, yang bisa dimiliki siapa pun, ia sangat hebat. Ia benar-benar
seniman dan ia tidak pernah menyadarinya, tak pernah mengetahui bahwa ia sangat menyukainya. Ia
merusak suaranya sendiri dengan minuman keras, tembakau, dan perempuan tepat pada saat ia benar-
benar mengetahui arti semua itu. Terkadang Nino datang untuk minum dan mendengarkan Lagu bersamanya. Johnny
biasanya berkata padanya dengan nada mengejek, "Dasar keparat bodoh, kau tidak pernah bernyanyi
seperti itu seumur hidupmu." Dan Nino tersenyum memesona sambil menggeleng, dan berkata, "Ya, dan
aku tidak akan pernah bisa," dengan suara yang simpatik, seakan mengetahui apa yang dipikirkan
Johnny. Akhirnya, seminggu sebelum pengambilan gambar film barunya dimulai, malam
penganugerahan Oscar pun tiba. Johnny mengajak Nino ikut, tapi ditolak. Johnny berkata, "Sobat,
aku tidak pernah menuntut kebaikan hatimu, bukan" Sekarang berbaik hatilah padaku dan ikutlah
denganku. Kau satusatunya orang yang akan mengasihaniku kalau aku tidak menang."
Sesaat Nino seakan terkejut. Lalu ia berkata, "Tentu saja, sobat lama, aku
ikut." Ia terdiam sejenak
lalu berkata, "Kalau kau tidak menang, lupakan sajalah. Minumlah semabuk mungkin
dan aku yang akan mengurusmu. Persetan, aku tidak akan minum seteguk pun malam ini. Bagaimana
itu sebagai sahabat?" "Man," kata Johnny Fontane, "itu baru benar-benar sahabat."
Di malam Academy Award itu Nino menepati janjinya. Nino sama sekali tidak minum
dan mereka pergi bersama ke teater tempat acara dilangsungkan. Nino bertanya-tanya dalam
hati mengapa Johnny tidak mengundang salah satu pacarnya atau bekas istrinya ke jamuan makan malam
pemberian Oscar. Terutama Ginny. Apakah ia berpikir Ginny tidak akan mendukungnya" Nino ingin
sekali bisa minum segelas saja, malam ini sepertinya akan panjang dan buruk.
Nino Valenti menganggap seluruh acara Academy Award membosankan sampai pemenang
untuk aktor terbaik diumumkan. Ketika mendengar nama "Johnny Fontane" disebut, ia
melompat-lompat sambil bertepuk tangan. Johnny mengulurkan tangan padanya dan ia menjabatnya. Ia
tahu sahabatnya memerlukan kontak manusiawi dengan seseorang yang dipercayanya. Dan Nino
merasakan kesedihan yang sangat besar karena Johnny tidak memiliki siapa pun yang lebih baik
daripada dirinya pada saat
kemenangannya. Yang menyusul kemudian merupakan mimpi buruk. Film Jack Woltz menyapu bersih
semua penghargaan dan pesta studio penuh orang surat kabar yang semuanya penipu, baik
pria maupun wanita. Nino memenuhi janjinya untuk tidak mabuk, dan ia berusaha menjaga
Johnny. Tapi kaum wanita dalam pesta tersebut terus-menerus menarik Johnny ke kamar tidur untuk
mengobrol sebentar dan Johnny semakin mabuk.
289 Sementara itu, wanita yang memenangkan penghargaan untuk aktris terbaik
mengalami nasib yang sama, tapi lebih menyukainya dan bisa menghadapinya dengan lebih baik. Nino
menolaknya, satusatunya pria yang berbuat begitu di pesta tersebut.
Akhirnya seseorang punya gagasan bagus. Kedua pemenang harus bercinta di depan
umum, dan setiap orang menjadi penontonnya. Si aktris ditelanjangi dan wanita-wanita lain mulai
membuka baju Johnny Fontane. Ketika itulah, Nino, satu-satunya orang yang sadar, menyambar Johnny
yang sudah setengah telanjang dan memanggulnya di pundak, berjuang menembus orang banyak menuju
mobil mereka. Sementara ia menyetir mobil menuju rumah Johnny, Nino berpikir, kalau ini yang
namanya sukses, ia tidak menginginkannya. BUKU TIGA Bab 14 Don menjadi pria sejati pada usia dua belas tahun. Dengan tubuh pendek, rambut
hitam, tinggal di desa Corleone, Sisilia, yang mirip perkampungan Moor, ia dilahirkan dengan nama
Vito Andolini, tapi ketika orang-orang tidak dikenal datang untuk membunuh anak pria yang mereka
bunuh, ibunya mengirim bocah itu ke Amerika untuk tinggal bersama teman-teman. Dan di negeri
baru tersebut ia mengganti namanya menjadi Corleone untuk melestarikan ikatannya dengan kampung
halaman. Itu salah satu dari sedikit tindakan sentimental yang pernah dilakukannya.
Di Sisilia pada pergantian abad, Mafia merupakan pemerintah kedua, jauh lebih
berkuasa daripada pemerintah resmi di Roma. Ayah Vito Corleone terlibat perselisihan dengan orang
desa lain yang lantas membawa masalah mereka ke Mafia. Ayahnya tidak mau tunduk dan dalam
perkelahian di depan umum, ia membunuh kepala Mafia setempat. Seminggu kemudian ia sendiri
ditemukan tewas, tubuhnya hancur karena tembakan lupara. Sebulan sesudah pemakamannya, orang-
orang Mafia bersenjata api datang mencari si putra yang masih kecil, Vito. Mereka
menyimpulkan ia hampir dewasa, bahwa ia mungkin akan menuntut balas kematian ayahnya di tahun-tahun mendatang. Vito
yang berusia dua belas tahun disembunyikan kerabatnya dan dikirim ke Amerika dengan kapal. Di
sana ia tinggal di rumah keluarga Abbandando, yang anaknya, Genco, kemudian menjadi consigliori
sewaktu Vito menjadi don. Vito muda bekerja di toko bahan pangan Abbandando di Ninth Avenue, Hells
Kitchen, New York. Pada usia delapan belas tahun Vito menikah dengan gadis Italia yang baru datang
dari Sisilia, gadis yang baru berusia enam belas tahun tapi pandai memasak dan menjadi ibu rumah
tangga yang baik. Mereka tinggal di rumah sewaan di Tenth Avenue, dekat 35th Street, hanya
beberapa blok dari tempat
kerja Vito. Dua tahun kemudian mereka dianugerahi anak pertama, Santino, yang
dipanggil Sonny oleh semua temannya karena baktinya pada ayahnya.
Di lingkungan ku tinggal pria bernama FanUcei. Ia orang Italia gemuk dan
bertampang bengis, yang mengenakan setelan mahal berwarna terang dan topi fedora krem. Pria tersebut
dikenal sebagai "Tangan Hitam", tukang pukul Mafia yang memeras uang dari para keluarga dan
pemilik toko dengan ancaman penganiayaan. Tapi, karena sebagian besar penghuni lingkungan itu
sendiri juga kejam, ancaman penganiayaan Fanucci hanya efektif terhadap pasangan lanjut usia yang
tidak memiliki putra untuk membela mereka. Beberapa pemilik toko membayarnya dalam jumlah yang tidak
seberapa demi keselamatan. Sekalipun begitu, Fanucci juga senang memangsa sesama penjahat,
orang yang menjual
The God Father Sang Godfather Karya Mario Puzo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lotre Italia atau mengelola perjudian ilegal di rumahnya. Toko bahan pangan
Abbandando memberi upeti dalam jumlah kecil, walau diprotes Genco muda, yang mengatakan pada
ayahnya bahwa ia akan mengakhiri pemerasan Fanucci.
Ayahnya melarang. Vito Corleone menyaksikan semua ini tanpa merasa terlibat
sedikit pun. Suatu hari Fanucci dihadang tiga pemuda yang menggorok lehernya dari telinga ke
telinga, tidak cukup dalam untuk membunuhnya, tapi cukup untuk menakut-nakutinya dan membuatnya
mengeluarkan banyak darah. Vito melihat Fanucci melarikan diri dari orang-orang
yang menghukumnya, dengan irisan melingkar berwarna merah. Yang tidak pernah
dilupakannya adalah Fanucci yang memegangi topi fedora krem di bawah dagunya untuk menampung darah
yang menetes sambil berlari. Seakan ia tidak ingin setelan jasnya kotor atau tidak ingin
meninggalkan jejak darah yang memalukan. Tapi serangan tersebut merupakan berkah tersembunyi bagi Fanucci. Ketiga pemuda
itu bukan pembunuh, hanya pemuda-pemuda tangguh yang ingin memberi pelajaran pada Fanucci
agar menghentikan pemerasan. Fanucci membuktikan diri sebagai pembunuh. Beberapa
minggu kemudian pemuda yang menganiaya dirinya dengan pisau ditembak mati. Dan keluarga kedua
pemuda lainnya membayar Fanucci agar bersumpah tidak akan membalas dendam. Setelah itu upetinya
semakin tinggi dan Fanucci menjadi partner dalam usaha perjudian di lingkungan itu. Sedangkan
Vito Corleone menganggap itu bukan urusannya. Ia segera melupakannya.
Pada Perang Dunia I, sewaktu minyak zaitun impor menjadi barang langka, Fanucci
mendapat bagian keuntungan dari toko bahan pangan Abbandando dengan memasok bukan saja minyak,
tapi juga salami, ham, dan keju impor dari Italia. Lalu ia memasukkan keponakannya di toko
dan Vito Corleone pun kehilangan pekerjaan.
Pada waktu itu anak keduanya, Frederico, telah lahir dan Vito Corleone harus
memberi makan empat mulut. Hingga saat itu ia masih pemuda pendiam yang bisa menahan diri, yang menyimpan
pikirannya, tidak mengungkapkannya pada siapa pun. Anak pemilik toko makanan, Genco Abbandando,
adalah sahabat karibnya, dan Vito membuat keduanya terkejut dengan mencela temannya atas
perbuatan ayahnya itu. Genco, dengan wajah memerah karena malu, bersumpah kepada Vito bahwa ia tidak
akan kekurangan makan. Bahwa ia, Genco, akan mencuri makanan dari toko untuk memenuhi kebutuhan
sahabatnya. Tawaran ini ditolak tegas Vito; merupakan tindakan yang memalukan kalau anak
mencuri dari ayahnya. Tapi Vito muda merasakan kemarahan yang dingin pada Fanucci yang ditakuti itu.
Ia tidak pernah memperlihatkan amarahnya dengan cara apa pun, hanya menunggu kesempatan. Ia
bekerja di perusahaan kereta api selama beberapa bulan, dan sesudah perang berakhir,
pekerjaan tidak begitu ramai hingga ia hanya bisa menerima upah beberapa hari kerja setiap bulannya.
Juga sebagian besar mandornya orang Irlandia dan Amerika yang senang mencerca para pekerja dengan
bahasa yang paling kotor. Vito selalu menunjukkan ekspresi kaku seperti tidak mengerti,
walau ia sangat memahami bahasa Inggris tapi masih bicara dengan aksen Italia.
Pada suatu sore, sewaktu Vito sedang makan malam bersama keluarganya, terdengar
ketukan di jendela yang menghadap saluran udara terbuka yang memisahkan mereka dari
bangunan sebelah. Vito menyibakkan tirai, dan heran melihat salah satu pemuda di lingkungan itu, Peter
Clemenza, mencondongkan tubuh dari jendela di seberang saluran. Ia mengulurkan bungkusan
kain putih. "Hei, paisan" kata Clemenza. "Simpankan ini sampai kuminta kembali. Cepat." Vito
otomatis mengulurkan tangan menerima bungkusan itu. Wajah Clemenza tampak tegang dan mendesak. Kelihatannya
ia tengah menghadapi kesulitan dan Vito menolongnya karena naluri. Tapi sewaktu membuka
bungkusan itu di dapur, ia melihat ada lima pucuk pistol berminyak yang mengotori kain putihnya.
Ia menyimpannya di lemari kamar dan menunggu. Ia mengetahui Clemenza dibawa pergi polisi. Mereka
pasti sudah mengetuk pintunya sewaktu Clemenza memberikan pistol-pistol itu melalui saluran
udara. Vito tidak pernah menceritakannya pada orang lain dan tentu saja istrinya yang
ketakutan tidak berani membuka mulut bahkan sewaktu bergosip, takut suaminya sendiri dijebloskan ke
penjara. Dua hari kemudian, Peter Clemenza muncul kembali di lingkungan itu dan bertanya sambil
lalu pada Vito, "Kau masih menyimpan barangku?"
Vito mengangguk. Ia memiliki kebiasaan sedikit bicara. Clemenza datang ke rumah
sewaannya dan diberi segelas anggur, sementara Vito mengambil bungkusan itu dari lemari.
Clemenza meminum anggurnya, wajahnya yang gemuk dan ramah mengawasi Vito dengan
waspada. "Kau melihat isinya?"
Vito, dengan wajah tetap pasif, menggeleng. "Aku tidak tertarik pada apa yang
bukan urusanku," katanya. Mereka minum anggur bersama-sama sepanjang sisa sore itu. Mereka segera akrab.
Clemenza gemar bercerita; Vko Corleone senang mendengarkan orang yang senang bercerita. Mereka
jadi bersahabat. Beberapa hari kemudian Clemenza menanyakan pada istri Vito Corleone apakah ia
ingin permadani yang bagus untuk lantai ruang duduknya. Ia mengajak Vito untuk membantu
mengangkut permadaninya. Clemenza mengajak Vito ke apartemen dengan dua pilar
marmer dan serambi depan dari marmer putih. Ia membuka
pintu dan mereka berada dalam apartemen yang mewah.
Clemenza menggeram, "Pergilah ke ujung ruangan dan
bantu aku menggulungnya." Permadani itu terbuat wol merah tebal. Vito Corleone
takjub pada kedermawanan Clemenza. Bersama-sama mereka
menggulung permadani, Clemenza memegang ujung yang satu sementara Vito memegang
ujung lain. Mereka mengangkat permadani dan mulai membawanya menuju pintu.
Saat itu bel apartemen berbunyi. Clemenza seketika menjatuhkan gulungan
permadani dan berjalan ke
jendela. Ia menyibakkan tirai ke samping sedikit dan apa yang dilihatnya
menyebabkan ia mencabut pistol dari dalam jaket. Ketika itulah Vito Corleone yang kaget baru menyadari
mereka mencuri permadani dari apartemen orang yang tidak dikenal.
Bel apartemen berbunyi lagi. Vito berdiri di samping Clemenza agar bisa melihat
apa yang terjadi. Di pintu ada polisi berseragam. Sementara mereka memandang, polisi itu membunyikan
bel sekali lagi, lalu mengangkat bahu dan berbalik menuruni tangga marmer ke jalan.
Clemenza mendengus puas dan berkata, "Ayo, kita pergi." Ia mengangkat kembali
ujung permadani dan Vito mengangkat ujung yang lain. Polisi belum lagi berbelok di tikungan
sewaktu mereka keluar dari pintu kayu ek ke jalan, sambil membawa gulungan permadani di antara mereka.
Tiga puluh menit kemudian mereka memotong permadani itu agar sesuai dengan ruang duduk apartemen
Vito Corleone. Mereka masih memiliki cukup permadani untuk kamar tidur. Clemenza pekerja yang
ahli dan dari dalam saku jasnya yang kebesaran (bahkan waktu itu ia telah senang mengenakan
pakaian yang longgar walau belum terlalu gendut), ia mengeluarkan alat pemotong permadani
yang dibutuhkan. Waktu terus berjalan, dan keadaan belum berubah menjadi lebih baik. Keluarga
Corleone tidak bisa memakan permadani yang indah. Jadi, kalau tidak ada pekerjaan, istri dan anak-
anaknya harus kelaparan. Vito menerima beberapa bungkus makanan dari sahabatnya Genco
sementara ia memikirkan situasinya. Akhirnya ia didatangi Clemenza dan Tessio, pemuda tangguh
lain dari lingkungannya. Mereka orang-orang yang menyukai dirinya, melihat caranya membawa
diri, dan mengetahui ia tengah pusing memikirkan nasib. Mereka mengajaknya menjadi anggota
geng mereka yang ahli membajak truk pengangkut gaun sutra sesudah truk itu dimuati di pabrik
di 31st Street. Tidak ada risikonya sama sekali. Sopir-sopir truk adalah orang-orang yang
berpikiran waras, yang begitu melihat pistol langsung menelungkup di tepi jalan, sementara para
pembajak melarikan truk untuk dibongkar muatannya di gudang seorang teman. Sebagian barangnya dijual
pada pedagang grosir Italia, dan sisanya dijual dari rumah ke rumah di lingkungan masyarakat
ItaliaArthur Avenue di Bronx, Mulberry Street, dan distrik Chelsea di Manhattansemua kepada keluarga
Italia yang miskin dan mencari ba-rang murah, yang para putrinya tidak akan mampu membeli barang
seindah itu. Clemenza dan Tessio membutuhkan Vito untuk mengemudikan truk karena mereka
mengetahui ia dulu sopir truk pengiriman di toko bahan pangan Abbandando. Pada tahun 1919,
pengemudi mobil yang ahli sangat langka. Dengan mengabaikan akal sehatnya sendiri, Vito Corleone menerima tawaran mereka.
Argumentasi yang menyebabkan ia mengambil keputusan itu adalah ia akan mendapat bagian
minimal seribu dolar dari pekerjaan itu. Tapi menurutnya, teman-temannya yang masih muda melakukan
kecerobohan, perencanaan mereka untuk pekerjaan itu kacau-balau, dan
299 pendistribusian barang bajakannya dilakukan secara bodoh. Seluruh pendekatan
mereka kurang hatihati, tidak sesuai dengan seleranya. Tapi ia berpendapat
mereka memiliki sifat yang baik dan mantap.
Peter Clemenza, yang mulai gemuk, menimbulkan kepercayaan, dan Tessio yang kecil
ramping menimbulkan keyakinan. Pekerjaan itu sendiri dilakukan tanpa kesulitan. Vito Corleone tidak merasa
takut, dan ini sangat mengherankan dirinya sendiri, sewaktu dua temannya menodongkan pistol dan
memaksa sopir turun dari truk pengangkut sutra. Ia juga terkesan pada ketenangan Clemenza dan
Tessio. Mereka tidak gugup, bahkan bergurau dengan sopirnya, mengatakan sopir itu anak yang baik
sehingga mereka akan mengirimkan beberapa helai gaun kepada istrinya. Karena menurut Vito bodoh
sekali menjajakan sendiri gaun-gaun itu, ia memberikan bagiannya pada tukang tadah, hingga hanya
mendapat tujuh ratus dolar. Tapi jumlah ini cukup besar pada tahun 1919.
Pada hari berikutnya di jalan, Vito Corleone dihentikan Fanucci yang mengenakan
setelan krem dan topi fedora putih. Fanucci bertampang brutal dan tidak melakukan apa pun untuk
menyembunyikan bekas luka yang melingkar dari telinga ke telinga di bawah dagunya. Ia memiliki
alis yang tebal dan kasar, dan wajah yang, anehnya, tampak ramah kalau tersenyum.
Ia berbicara dengan aksen Sisilia yang sangat kental. "Ah, anak muda," katanya
pada Vito. "Kata orang-orang, kau kaya. Kau dan kedua temanmu itu. Tapi apa kau tidak berpikir
bahwa kau sudah agak meremehkan diriku" Bagaimanapun juga, ini lingkunganku, dan kalian harus
mengizinkan aku membasahi paruhku." Ia menggunakan ungkapan Sisilia yang digunakan Mafia, "Fari
vagnari a pizzu." Pizzu artinya
paruh burung kecil seperti burung kenari. Ungkapan itu
sendiri berarti menuntut bagian dari barang jarahan.
Sebagaimana kebiasaannya, Vito Corleone tidak menjawab. Ia seketika memahami
arti kata-kata orang itu dan menunggu tuntutan yang pasti.
Fanucci tersenyum padanya, memperlihatkan gigi emas, dan memegang bekas luka
yang seperti jerat membelit lehernya. Ia mengusap wajahnya dengan saputangan dan membuka kancing
jas sesaat seakan untuk menyejukkan diri, tapi sebenarnya untuk menunjukkan pistol yang
terselip di sabuknya. Lalu ia menghela napas dan berkata, "Beri aku lima ratus dolar dan akan
kulupakan penghinaan kalian. Bagaimanapun, anak muda memang tidak mengetahui sopan santun yang
seharusnya diberikan pada orang seperti diriku."
Vito Corleone tersenyum padanya dan biarpun ia pemuda yang belum pernah
menumpahkan darah, ada sesuatu dalam senyumnya yang mendirikan bulu roma sehingga Fanucci ragu-ragu
sejenak sebelum melanjutkan. "Kalau tidak, polisi akan mencari kalian, istri dan anak-
anak kalian akan malu dan telantar. Tentu saja, kalau informasi tentang keberuntungan kalian tidak
benar, aku akan mencelupkan paruhku sedikit saja. Tapi tidak kurang dari tiga ratus dolar. Dan
jangan coba-coba mengkhianatiku."
The God Father Sang Godfather Karya Mario Puzo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Untuk pertama kalinya Vito Corleone berbicara. Suaranya terkendali, tidak
menunjukkan kemarahan. Bicaranya sopan, cocok bagi anak muda yang berbicara pada pria yang lebih tua
dan lebih terkemuka seperti Fanucci. Ia berkata pelan, "Kedua temanku yang memegang uang bagianku,
aku harus membicarakannya dengan mereka."
Fanucci jadi tenang. "Kau boleh memberitahu kedua temanmu itu bahwa aku berharap
mereka mengizinkan aku membasahi paruhku dengan cara yang sama. Kau tidak perlu takut mengatakannya
pada mereka," tambahnya untuk menegaskan. "Aku dan Clemenza kenal baik, ia memahami hal-hal
seperti ini. Biarlah kau mendapat petunjuk dari mereka. Ia lebih berpengalaman dalam hal
ini." Vito Corleone mengangkat bahu. Ia berusaha terlihat agak malu. "Tentu saja,"
katanya. "Kau mengerti
bahwa semua ini baru bagiku. Terima kasih sudah berbicara padaku seperti ayah
baptis." Fanucci kagum. "Kau anak yang baik," katanya. Ia memegang tangan Vito dan
menggenggamnya dengan dua tangan berbulu. "Kau memiliki rasa hormat," katanya. "Hal yang baik
pada diri anak muda. Lain kali bicarakan dulu denganku, eh" Mungkin aku bisa membantu
rencanamu." Pada tahun-tahun mendatang, Vito Corleone memahami bahwa yang menjadikan ia
bertindak setaktis dan sesempurna itu dalam menghadapi Fanucci adalah kematian ayahnya yang
pemarah, yang dibunuh Mafia di Sisilia. Tapi pada waktu itu yang dirasakannya hanyalah kemarahan yang
dingin karena orang ini akan merampok uang yang diperolehnya dengan mempertaruhkan nyawa dan
kebebasannya. Ia sama sekali tidak takut. Bahkan waktu itu ia berpikir Fanucci orang tolol
yang sinting. Dari apa yang dilihat Vito pada diri Clemenza, pria Sisilia gendut itu lebih suka
kehilangan nyawa daripada
kehilangan satu sen pun uang hasil rampokannya. Bagaimanapun, Clemenza siap
membunuh polisi hanya karena ia mencuri permadani. Dan Tessio yang ramping sama berbahayanya
dengan ular berbisa. Tapi malam itu juga, di apartemen Clemenza di seberang lorong udara, Vito
Corleone mendapat pelajaran lain dalam pendidikan yang baru saja dimulainya. Clemenza mengumpat,
Tessio cemberut, tapi lalu keduanya mulai membicarakan
apakah Fanucci akan puas dengan dua ratus dolar. Menurut Tessio ya.
Clemenza yakin. "Tidak, keparat itu pasti mengetahui berapa yang kita dapat dari
pedagang grosir yang membeli gaun-gaun itu. Fanucci tidak akan mau menerima kurang lima sen pun
dari tiga ratus dolar. Kita harus membayar."
Vito keheranan tapi ia berhati-hati untuk tidak memperlihatkan perasaannya.
"Kenapa kita harus membayarnya" Apa yang bisa dilakukannya pada kita bertiga" Kita lebih kuat
daripada dia. Kita memiliki pistol. Kenapa kita harus menyerahkan uang yang kita dapat dengan susah
payah?" Clemenza menjelaskan dengan sabar. "Fanucci memiliki teman-teman, semuanya orang
yang kejam. Ia memiliki koneksi dengan polisi. Ia ingin kita memberitahukan rencana kita
padanya agar bisa menjebak kita dan mendapat imbalan dari polisi. Dan mereka berutang budi
padanya. Begitulah caranya beroperasi. Dan ia mendapat izin dari Maranzalla sendiri untuk
beroperasi di lingkungan ini."
Maranzalla adalah gengster yang namanya sering masuk koran, terkenal sebagai bos
penjahat yang mengkhususkan diri pada pemerasan, perjudian, dan perampokan bersenjata api.
Clemenza menyajikan anggur buatannya sendiri. Istrinya, setelah meletakkan
sebaki salami, buah zaitun, dan roti Italia di meja, pergi untuk duduk-duduk bersama teman-teman
wanitanya di depan apartemen, membawa kursinya sendiri. Ia wanita Italia muda yang baru beberapa
tahun tinggal di Amerika dan belum menguasai bahasa Inggris.
Vito Corleone duduk dan minum anggur bersama kedua sahabatnya. Belum pernah ia
menggunakan otaknya seperti sekarang. Ia takjub mampu berpikir sejernih ini. Ia mengingat
segala sesuatu yang diketahuinya mengenai Fanucci. Ia teringat hari waktu orang mengiris leher
Fanucci dan Fanucci lari sepanjang jalan sambil memegangi topi fedora di bawah dagu untuk menampung
darah yang menetes-netes. Ia teringat pembunuhan terhadap orang yang menganiaya Fanucci
dengan pisau dan kedua pemuda lain, yang mendapat hukuman tapi lalu dibatalkan dengan membayar
ganti rugi. Dan tiba-tiba ia yakin Fanucci tidak memiliki koneksi dengan orang besar, tidak
mungkin. Orang yang memberikan informasi kepada polisi tidak begitu. Begitu juga orang yang
melupakan pembalasan dendamnya karena uang. Bos Mafioso sejati pasti akan membunuh kedua pemuda lain
itu. Tidak. Fanucci beruntung bisa membunuh satu orang, tapi ia mengetahui tidak akan bisa
membunuh kedua orang lainnya sesudah mereka waspada. Jadi ia membiarkan dirinya "dibeli".
Kebrutalan pribadi orang itulah yang menyebabkan ia bisa menarik upeti dari para pemilik toko dan
perjudian yang dilakukan di
apartemen-apartemen sewaan. Tapi Vito Corleone tahu sedikitnya ada satu usaha
perjudian yang tidak pernah membayar upeti pada Fanucci dan tidak terjadi apa pun pada orang yang
menyelenggarakannya. jadi Fanucci sendirilah masalahnya. Atau Fanucci dengan beberapa orang
bersenjata yang disewa untuk pekerjaan khusus dengan dasar uang semata. Berarti Vito Corleone hanya
punya satu pilihan lain. Jalan hidup yang harus ditempuhnya.
Dari pengalaman inilah timbul keyakinan yang sering dikatakannya bahwa setiap
orang hanya memiliki satu takdir. Malam itu ia bisa saja membayar upeti kepada Fanucci dan
menjadi pekerja toko bahan pangan lagi, lalu mungkin memiliki toko sendiri di tahun-tahun mendatang.
Tapi takdir menentukan ia akan menjadi don dan menghadirkan Fanucci dalam hidupnya untuk
menempatkan dirinya di jalan yang sesuai takdir.
Setelah mereka menghabiskan sebotol anggur, Vito berkata hati-hati kepada
Clemenza dan Tessio, "Kalau kalian mau, bagaimana kalau kalian masing-masing memberiku dua ratus
dolar untuk dibayarkan kepada Fanucci" Kujamin ia akan menerima jumlah itu dariku. Lalu
serahkan segala sesuatunya padaku. Akan kuselesaikan masalah ini dengan cara yang memuaskan
kalian." Seketika mata Clemenza berkilau curiga. Vito berkata tenang padanya, "Aku tidak
pernah membohongi orang yang sudah kuterima sebagai sahabat. Bicaralah kepada Fanucci
sendiri besok pagi. Biar ia sendiri yang minta uang padamu. Tapi jangan bayar dia. Dan jangan
bertengkar dengan cara apa pun. Katakan kau harus mengambil uangnya dan akan kauberikan padaku
untuk kuberikan padanya. Biarlah ia mengerti kau bersedia membayar sebanyak yang dimintanya.
Jangan tawarmenawar. Aku yang akan menawar harga dengannya. Tidak ada gunanya
membuat ia marah pada kita
kalau ia seberbahaya yang kalian katakan."
Mereka membiarkan masalahnya berhenti di sana. Keesokan harinya, Clemenza
berbicara dengan Fanucci untuk memastikan Vito tidak mengarang cerita. Lalu Clemenza datang ke
apartemen Vito dan memberinya dua ratus dolar. Ia menatap Vito Corleone dan berkata, "Fanucci
mengatakan padaku uangnya tidak bisa kurang dari tiga ratus dolar. Bagaimana kau akan membuatnya
mau menerima kurang dari itu?" Vito Corleone menjawab dengan penuh pertimbangan, "Tentu saja itu bukan
urusanmu. Hanya jangan lupa bahwa aku sudah membantumu."
Lalu Tessio datang. Tessio lebih mampu menahan diri daripada Clemenza, lebih
cerdas, lebih pintar, tapi dengan semangat yang lebih rendah. Ia merasakan adanya kekurangan, ada yang
tidak beres. Ia tampak agak gelisah. Ia berkata kepada Vito Corleone, "Hati-hatilah terhadap si
Tangan Hitam keparat itu, ia penuh tipu muslihat. Kau ingin kutemani sebagai saksi sewaktu memberikan
uangnya?" Vito Corleone menggeleng. Ia bahkan tidak mau bersusah payah menjawab. Ia hanya
berkata pada Tessio, "Katakan pada Fanucci, aku akan membayar uang padanya di sini, di
rumahku pukul sembilan malam ini. Aku akan memberinya segelas anggur dan bicara, berunding dengannya
supaya ia mau menerima jumlah yang lebih kecil."
Tessio menggeleng. "Kau tidak akan mujur. Fanucci tak pernah mundur."
"Aku akan bicara baik-baik dengannya," kata Vito Corleone. Ini akan menjadi
ungkapan termasyhur bertahun-tahun yang akan datang. Ini merupakan peringatan, seperti yang
dilakukan ular derik sebelum melontarkan patukan mematikan. Setelah ia menjadi don dan meminta lawan
duduk serta berbicara baik-baik dengannya, mereka mengerti itu kesempatan terakhir untuk
menyelesaikan urusan tanpa pertumpahan darah dan pembunuhan.
Vito Corleone mengatakan kepada istrinya agar membawa pergi kedua anaknya, Sonny
dan Fredo, mengajak mereka ke ujung jalan sesudah makan malam, dan dalam keadaan
bagaimanapun tidak membawa mereka kembali ke rumah sampai ia mengizinkan. Istrinya harus duduk
berjaga di pintu gedung apartemen. Ia punya urusan pribadi yang tidak boleh diganggu dengan
Fanucci. Ia melihat ekspresi ketakutan di wajah istrinya dan marah. "Kau mengira kau menikah dengan
orang bodoh?" Istrinya tidak menjawab. Ia tidak menjawab karena takut, sekarang bukan pada
Fanucci, tapi pada suaminya. Vito tampak berubah di depan matanya, jam demi jam, menjadi pria yang
memancarkan bahaya. 306 Vito Corleone selama ini pendiam, sedikit bicara, tapi selalu lemah lembut, mau
diajak bicara, sifat luar biasa pada diri pria muda dari Sisilia. Yang dilihat istrinya adalah
pelepasan samaran sebagai
orang biasa yang tidak berbahaya, karena sekarang Vito siap menerima takdir. Ia
agak terlambat memulainya, ia sudah berusia dua puluh lima tahun, tapi ia memulainya dengan
penuh semangat. Vito Corleone memutuskan membunuh Fanucci. Dengan berbuat begitu ia akan
memiliki tambahan uang tujuh ratus dolar dalam tabungannya. Tiga ratus dolar uangnya sendiri yang
mestinya dibayarkan pada si teroris Tangan Hitam ditambah dua ratus dolar dari Tessio dan dua ratus
dolar dari Clemenza. Kalau tidak membunuh Fanucci, ia akan membayar tujuh ratus dolar tunai kepada
orang itu. Ia tidak sudi membayar tujuh ratus dolar untuk membiarkan Fanucci tetap hidup. Kalau
Fanucci membutuhkan tujuh ratus dolar untuk pembedahan agar bisa menyelamatkan nyawanya, ia tidak
akan memberi Fanucci tujuh ratus dolar untuk membayar dokter bedah. Ia tidak berutang budi
pada Fanucci, mereka tidak memiliki hubungan darah, dan ia tidak menyayangi Fanucci. Lalu kenapa ia
harus memberi Fanucci tujuh ratus dolar"
Dan selanjutnya tidak terelakkan, karena Fanucci ingin mengambil tujuh ratus
dolar dari dirinya dengan kekerasan, kenapa ia tidak membunuh Fanucci saja" Dunia tidak bakal rugi
kehilangan orang seperti Fanucci. Tentu saja ada beberapa alasan praktis. Fanucci mungkin memang memiliki teman-
teman yang berkuasa dan akan membalas dendam. Fanucci sendiri orang yang berbahaya, tidak
begitu mudah dibunuh. Ada polisi dan ada kursi listrik. Tapi Vito Corleone memang hidup di
bawah ancaman kematian sejak ayahnya terbunuh. Sebagai anak berumur
dua belas tahun, ia melarikan diri dari tangan algojo yang akan mencabut
nyawanya dan menyeberang lautan ke negeri asing, menyandang nama yang asing. Dan penyelidikan diam-diam
selama bertahuntahun meyakinkannya bahwa ia lebih memiliki kecerdasan dan
keberanian daripada siapa pun, tapi ia
tidak pernah mendapat kesempatan untuk menggunakan kecerdasan dan keberanian
itu. Sekalipun begitu ia ragu-ragu sebelum mengambil langkah pertama menuju
takdirnya. Ia bahkan menggulung tujuh ratus dolarnya jadi satu dan meletakkan uang itu di saku kiri
celana. Di saku kanan ia mengantongi pistol pemberian Clemenza yang digunakan untuk membajak truk
pengangkut sutra. Fanucci datang tepat waktu pada pukul sembilan malam. Vito Corleone meletakkan
seguci anggur buatan sendiri yang diperolehnya dari Clemenza.
Fanucci meletakkan topi fedora putihnya di meja di samping guci anggur. Ia
mengendurkan dasi lebar bermotif bunga yang dikenakannya, bekas-bekas tomat tersembunyi dalam motifnya
yang berwarnawarni. Malam musim panas itu sangat gerah dan lampu gas hanya
The God Father Sang Godfather Karya Mario Puzo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memancarkan cahaya remangremang. Di dalam apartemen terasa sunyi. Tapi Vito
Corleone sedingin es. Untuk memperlihatkan niat
baik, ia mengulurkan gulungan uang dan mengawasi dengan hati-hati saat Fanucci,
sesudah menghitung uangnya, mengeluarkan dompet kulit yang lebar dan memasukkan uang
itu. Fanucci menenggak anggur dan berkata, "Kau masih berutang dua ratus dolar padaku."
Wajahnya yang beralis tebal tidak memancarkan ekspresi apa pun.
Vito Corleone berkata tenang, "Aku agak kekurangan uang, aku baru saja
kehilangan pekerjaan.' Izinkan aku berutang dulu padamu beberapa minggu."
Langkah itu merupakan pancingan. Fanucci sudah mendapatkan sebagian besar
uangnya dan akan menunggu. Ia mungkin bahkan bisa dibujuk untuk tidak meminta tambahan lagi atau
menunggu lebih lama. Ia tertawa kecil sambil minum anggur dan berkata, "Ah, kau anak muda yang
cerdas. Kenapa aku tidak menyadarinya sebelum ini" Kau orang yang terlalu pendiam hingga
merugikan dirimu sendiri. Aku bisa menemukan pekerjaan yang sangat menguntungkan bagimu."
Vito Corleone menunjukkan minat dengan anggukan sopan dan mengisi gelas Fanucci
dengan anggur dari guci ungu. Tapi Fanucci membatalkan niatnya untuk melanjutkan kata-katanya
dan berdiri dari kursi, lalu menjabat tangan Vito. "Selamat malam, anak muda," katanya. "Tidak
ada dendam, eh" Kalau ada yang bisa kubantu, beritahu saja aku. Kau sudah melakukan kebaikan
bagi dirimu sendiri malam ini." Vito membiarkan Fanucci menuruni tangga dan meninggalkan gedung apartemen. Jalan
penuh saksi yang akan mengatakan ia telah meninggalkan rumah Corleone dan pulang dengan
selamat. Vito mengawasinya dari jendela. Ia melihat Fanucci berbelok di tikungan menuju 11th
Avenue dan mengetahui Fanucci tengah menuju apartemennya sendiri, mungkin untuk menyimpan
hasil rampokannya sebelum kembali ke jalan. Mungkin untuk meletakkan pistol. Vito
Corleone meninggalkan apartemennya dan lari menaiki tangga ke atap. Ia berjalan di atap
gedung-gedung yang merupakan blok-blok persegi dan menuruni tangga darurat kebakaran di gedung
kosong, yang turun ke halaman belakang. Ia menendang pintu belakang hingga terbuka dan keluar lagi
melalui pintu depan. Apartemen sewaan Fanucci berada di seberang jalan.
Daerah permukiman yang terdiri atas gedung-gedung apartemen hanya membentang ke
barat hingga Tenth Avenue. Eleventh Avenue sebagian besar diisi gudang dan bangunan sementara
yang disewa perusahaan-perusahaan yang bekerja sama dengan New York Central Railroad. Di
sana terdapat banyak lorong yang malang-melintang dari Eleventh Avenue ke Sungai Hudson.
Apartemen Fanucci adalah salah satu dari beberapa apartemen yang masih berdiri di belantara beton
ini, yang sebagian besar dihuni para pekerja kereta api dan stasiun yang masih bujangan, dan
pelacur murahan. Orangorang ini tidak duduk-duduk di pinggir jalan dan mengobrol
dengan sesamanya seperti yang dilakukan
orang-orang Italia yang jujur, mereka duduk di bar sambil meneguk upah. Jadi
Vito Corleone dengan mudah bisa menyelinap menyeberangi Eleventh Avenue yang sepi dan masuk ke
serambi gedung apartemen Fanucci. Di sana ia mencabut pistol yang belum pernah ditembakkan-nya
dan menunggu. Ia mengawasi dari balik pintu kaca serambi, mengetahui Fanucci akan datang dari
arah Tenth Avenue. Clemenza telah menunjukkan padanya kunci pengaman pistol dan cara menarik
pelatuknya dalam keadaan kosong. Tapi sebagai anak kecil di Sisilia, pada usia sembilan tahun ia
sering berburu bersama ayahnya, sering menembakkan senapan tabur yang berat, yang disebut
lupara. Keterampilannya dengan lupara bahkan saat ia masih kecillah yang membuat para
pembunuh ayahnya menjatuhkan hukuman mati bagi dirinya.
Sekarang sewaktu menunggu di lorong yang gelap, ia melihat sosok Fanucci
menyeberangi jalan menuju pintu. Vito mundur, bahunya merapat ke bagian belakang pintu yang menuju
tangga. Ia menggenggam pistolnya yang siap ditembakkan. Tangannya yang terulur hanya dua
langkah dari 310 pintu luar. Pintu pun terbuka ke dalam. Fanucci, putih, besar, bau, mengisi
cahaya berbentuk persegi di pintu. Vito Corleone menembak.
Pintu yang terbuka menyebabkan suaranya terdengar hingga ke jalan, dan gema
letusan pistol mengguncang gedung. Fanucci berpegangan pada sisi pintu, berusaha berdiri tegak,
berusaha meraih pistol. Kekuatan gerakannya menyebabkan kancing-kancing jasnya lepas dan jasnya
pun terbuka. Pistolnya kelihatan, tapi begitu pula darah merah di perut kemeja putihnya.
Dengan sangat hati-hati, seperti menusukkan jarum ke pembuluh darah, Vito Corleone menembakkan peluru
kedua ke bercak darah Fanucci. Fanucci jatuh berlutut, menahan pintu tetap terbuka. Ia mengerang mengerikan,
erangan pria yang menderita kesakitan fisik yang sangat hebat hingga kedengarannya hampir lucu. Ia
terus mengerangerang; Vito ingat mendengar sedikitnya tiga erangan sebelum ia
menempelkan pistol ke pipi Fanucci
yang berkeringat dan berminyak, lalu menembak otaknya. Waktu berlalu tidak lebih
dari lima detik sewaktu Fanucci jatuh tertelungkup tak bernyawa, menahan pintu tetap terbuka
dengan tubuhnya. Dengan hati-hati sekali Vito mengambil dompet lebar dari saku jas orang yang
telah tewas itu dan memasukkannya ke balik kemejanya. Lalu ia menyeberangi jalan menuju gedung
reyot, melalui gedung itu ke bengkel kereta api yang terbuka dan menaiki tangga darurat ke
atap. Dari sana ia mengawasi jalan. Mayat Fanucci masih tergeletak di ambang pintu, tapi tidak
terlihat tanda-tanda kehadiran orang lain. Dua jendela di apartemen sewaan itu telah terbuka dan ia
bisa melihat kepalakepala yang kehitaman menjulur keluar, tapi karena ia tidak
bisa melihat wajah mereka, mereka pun
pasti tidak bisa melihat wajahnya. Dan
orang-orang seperti ku tidak mau memberikan informasi pada polisi. Fanucci bisa
tergeletak di sana hingga subuh atau hingga polisi yang berpatroli tersandung mayatnya. Tidak ada
seorang pun di rumah itu yang akan sengaja melapor ke polisi untuk menjadi sasaran kecurigaan dan
pertanyaan. Mereka akan mengunci pintu dan berpura-pura tidak mendengar apa pun.
Ia bisa santai. Ia melewati atap gedung-gedung apartemen untuk kembali ke pintu
atapnya sendiri dan turun ke apartemen yang dihuninya. Ia membuka kunci pintu, masuk, dan mengunci
pintunya. Ia membuka dompet orang yang telah tewas itu. Selain tujuh ratus dolar yang
diperoleh Fanucci dari dirinya, ada beberapa lembar uang satu dolar dan selembar uang lima dolar.
Di lipatan dompet terselip sekeping uang emas lima dolar, mungkin jimat
keberuntungan. Kalau Fanucci gengster yang kaya, ia pasti tidak membawa hartanya ke mana-mana.
Penemuan ini menguatkan beberapa kecurigaan Vito.
Ia tahu harus menyingkirkan dompet dan pistolnya (bahkan waktu itu pun ia sudah
cukup paham bahwa ia harus membiarkan kepingan uang emas itu tetap berada dalam dompet). Ia
naik ke atap lagi dan berjalan melewati beberapa apartemen. Dilemparkannya dompet ke bawah di
salah satu lorong udara, lalu ia mengosongkan pistol dan menghantamkan larasnya ke atap gedung.
Laras itu tidak patah. Ia membaliknya di telapak tangan dan menghantamkan gagang pistol ke
cerobong asap. Gagang pistol terbelah menjadi dua. Ia memukulkannya lagi dan pistol itu patah menjadi
laras dan gagangnya, menjadi dua bagian yang terpisah. Ia menggunakan lorong udara yang berbeda untuk
membuang setiap potongan. Potongan-potongan pistol tersebut tidak menimbulkan suara
sewaktu mengenai tanah sejauh lima tingkat di bawahnya, melainkan terbenam dalam gundukan sampah lunak
yang terkumpul di sana. Besok pagi akan lebih banyak lagi sampah yang dibuang ke sana dari
jendela-jendela, dan kalau ia beruntung, sampah-sampah itu akan menutupi segalanya. Vito kembali ke
apartemennya. Ia agak gemetar tapi bisa mengendalikan diri sepenuhnya. Ia berganti pakaian
dan, takut ada sedikit percikan darah di pakaiannya, melemparkan pakaian itu ke bak besi yang digunakan
istrinya untuk mencuci. Ia mengambil larutan alkali dan sabun cuci cokelat, merendam pakaian,
dan mencucinya di tempat cuci piring. Lalu ia menggosok bak cuci dan tempat cuci piring dengan
larutan alkali dan sabun. Ia menemukan pakaian yang baru dicuci di sudut kamar tidur dan
mencampurkan pakaiannya sendiri di tumpukan itu. Lalu ia mengenakan kemeja dan celana yang sudah
disetrika dan turun untuk
menemani istri dan anak-anaknya yang duduk bersama para tetangga di depan
apartemen. Semua tindakan jaga-jaga itu ternyata tidak perlu. Polisi, setelah menemukan
mayat Fanucci pagi harinya, tidak pernah menanyai Vito Corleone. Bahkan ia heran polisi tidak
pernah mengetahui kunjungan Fanucci ke rumahnya pada malam ia ditembak mati. Vito mengandalkan hal
itu sebagai alibinya, yaitu Fanucci meninggalkan apartemennya dalam keadaan hidup.
Belakangan ia baru mengetahui bahwa polisi senang dengan terbunuhnya Fanucci dan tidak terlalu
bernafsu mengejar pembunuhnya. Mereka menduga kematiannya adalah hukuman yang dilakukan geng lain,
dan mereka menanyai penjahat-penjahat yang memiliki catatan pelanggaran hukum dan riwayat
penggunaan kekerasan. Karena Vito tidak pernah terlibat masalah, ia tidak pernah
diperhatikan polisi. Tapi kalau polisi bisa dibohongi, teman-temannya lain
lagi. Peter Clemenza dan Tessio menghindarinya selama seminggu berikutnya, lalu
seminggu lagi, dan setelah itu baru mereka mengunjungi rumahnya pada suatu sore. Mereka datang
dengan rasa hormat yang mencolok. Vito Corleone menyambut mereka dengan kesopanan yang pasif dan
menjamu mereka dengan anggur. Clemenza yang berbicara terlebih dulu. Ia berkata pelan, "Tidak ada yang
memungut upeti dari para pemilik toko di Ninth Avenue. Tidak ada yang memungut pembayaran dari permainan
kartu dan perjudian di lingkungan ini."
Vito Corleone menatap kedua temannya dengan mantap tapi tidak menjawab. Tessio
berkata, "Kita bisa mengambil alih pelanggan Fanucci. Mereka akan membayar kita."
Vito Corleone mengangkat bahu. "Kenapa datang padaku" Aku tidak tertarik pada
hal-hal seperti itu."
Clemenza tertawa. Bahkan di masa mudanya, sebelum perutnya membuncit, tawanya
sudah seperti tawa pria gendut. Sekarang ia berkata pada Vito Corleone, "Bagaimana dengan
pistol yang kuberikan padamu untuk pekerjaan dengan truk" Karena tidak membutuhkannya lagi, kau bisa
mengembalikannya padaku."
Dengan sangat lambat dan tanpa terburu-buru, Vito Corleone mengeluarkan gulungan
uang dari saku celana dan mengambil lima lembar uang sepuluh dolar. "Ini, kubayar kau. Aku
sudah membuang pistol itu setelah pekerjaan dengan truk." Ia tersenyum pada kedua temannya.
Waktu itu Vito Corleone belum mengetahui pengaruh senyumnya. Senyumnya terasa
dingin karena tidak mengandung ancaman. Ia tersenyum seakan ada lelucon pribadi yang hanya
dipahaminya sendiri. Tapi karena ia tersenyum seperti itu hanya kalau ada masalah yang
berkaitan dengan kematian, dan karena leluconnya tidak benar-benar pribadi,
juga karena matanya tidak ikut tersenyum, dan karena sifatnya yang biasanya
begitu masuk akal dan tenang, penampakan tiba-tiba jati dirinya yang sebenarnya terasa menakutkan.
Clemenza menggeleng. "Aku tidak menginginkan uang," katanya. Vito mengantongi
kembali uangnya. Ia menunggu. Mereka semua saling memahami. Mereka mengetahui ia telah
membunuh Fanucci. Dan walaupun mereka tidak pernah membicarakan hal itu dengan siapa pun,
dalam waktu beberapa minggu seluruh lingkungan pun mengetahuinya. Vito Corleone diperlakukan
sebagai "orang terhormat" oleh setiap orang. Tapi ia tidak mau mengambil alih usaha pemerasan
dan penarikan upeti yang dilakukan Fanucci. Apa yang terjadi selanjutnya tidaklah tetelakkan. Pada suatu malam istri Vito
membawa tetangga mereka yang janda ke apartemen mereka. Wanita itu orang Italia dengan sifat yang
tidak bercacat. Ia bekerja keras dan mengurus rumah bagi anak-anaknya yang tidak lagi memiliki
ayah. Putranya yang berusia enam belas tahun membawa pulang amplop gajinya dalam keadaan masih
tertutup, diserahkan kepadanya sesuai adat leluhur, putrinya yang berusia tujuh belas tahun,
penjahit, juga begitu. Seluruh
The God Father Sang Godfather Karya Mario Puzo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
keluarga menjahitkan kancing ke kartu-kartu di malam hari dengan upah yang tidak
seberapa. Wanita itu bernama Signora Colombo.
Istri Vito Corleone berkata, "Signora ini membutuhkan bantuan. Ia punya
masalah." Vito Corleone mengira akan dimintai bantuan uang, yang siap diberikannya. Tapi
tampaknya Mrs. Colombo memiliki anjing yang sangat disayangi putra bungsunya. Pemilik rumah
sewaan menerima keluhan mengenai anjing yang selalu menyalak di malam hari dan meminta Mrs.
Colombo menyingkirkannya. Mrs. Colombo berpura-pura mematuhinya. Pemilik rumah
mengetahui ia berbohong dan memerintahkan ia meninggalkan apartemen. Kali ini Mrs. Colombo
berjanji akan benar-benar menyingkirkan anjingnya. Tapi pemilik rumah begitu marah sehingga
tidak mencabut perintahnya. Mrs. Colombo harus keluar dari apartemennya, kalau tidak pemilik
rumah akan memanggil polisi untuk mengusirnya. Dan putranya yang bungsu menangis sewaktu
mereka memberikan anjingnya kepada kerabat yang tinggal di Dong Island. Semuanya sia-
sia, mereka tetap harus meninggalkan apartemennya.
Vito Corleone bertanya lembut, "Kenapa kau meminta ban tuanku?"
Mrs. Colombo mengangguk ke arah istri Vito. "Ia yang memberitahuku untuk meminta
bantuanmu." Vito heran. Istrinya tidak pernah bertanya mengenai pakaian yang dicucinya pada
malam ia membunuh Fanucci. Istrinya tidak pernah bertanya dari mana asal semua uang itu
padahal ia tidak bekerja. Bahkan sekarang pun wajah istrinya tetap pasif. Vito berkata pada Mrs.
Colombo, "Aku bisa memberimu sedikit uang untuk membantumu pindah, itu yang kauinginkan?"
Wanita itu menggeleng, air matanya berlinang, "Semua temanku ada di sini, semua
gadis yang tumbuh besar bersamaku di Italia. Bagaimana aku bisa pindah ke lingkungan lain
yang penuh orang asing" Aku ingin kau berbicara dengan pemilik apartemen agar mengizinkan aku
tetap tinggal di sana." Vito mengangguk. "Baiklah kalau begitu. Kau tidak perlu pindah. Aku akan
berbicara dengannya besok pagi." Istrinya tersenyum padanya tapi ia tidak membalas, sekalipun merasa senang. Mrs.
Colombo tampak kurang yakin. "Kau yakin ia akan setuju, pemilik apartemen itu?" tanyanya.
"Signor Roberto?" kata Vito dengan nada terkejut. "Tentu saja ia akan setuju. Ia
orang yang baik hati. Begitu kujelaskan masalahmu padanya, ia akan merasa kasihan padamu. Nah, jangan
biarkan masalah itu membuatmu gelisah lagi. Jangan bingung. Jaga saja kesehatanmu, demi anak-
anakmu." Pemilik apartemen, Signor Roberto, datang ke lingkungan itu setiap hari untuk
memeriksa lima apartemen sewaan miliknya. Ia padrone, orang yang menjual tenaga kerja Italia
begitu turun dari kapal kepada perusahaan-perusahaan besar. Dengan keuntungannya ia membeli gedung-
gedung apartemen sewaan itu satu demi satu. Sebagai orang terpelajar dari Italia utara, ia
membenci orang-orang selatan
dari Sisilia dan Napoli yang buta huruf, yang memenuhi gedungnya seperti hama,
yang melemparkan sampah di lorong udara, yang membiarkan kecoak dan tikus menggerogoti dinding
tanpa mau berusaha menyelamatkan propertinya. Ia bukan orang yang jahat. Ia ayah dan suami
yang baik, tapi terus-menerus mengkhawatirkan investasinya, mengkhawatirkan uang yang
diterimanya, pengeluaran yang tidak terelakkan sebagai pemilik apartemen sewaan yang membuat sarafnya
tegang terus. Sewaktu Vito Corleone menghentikannya di jalan untuk meminta berbicara dengannya
sebentar, Roberto tak menanggapi. Ia tidak kasar, sebab setiap orang dari selatan mungkin
akan menikamnya kalau ia salah berbicara atau salah bersikap, walau orang ini tampak seperti
pemuda yang pendiam. "Signor Roberto," kata Vito Corleone, "teman istriku, janda miskin yang tidak
memiliki pria untuk melindunginya, mengatakan padaku bahwa karena suatu alasan ia diusir
dari apartemennya di gedung milikmu. Kukatakan padanya aku akan berbicara
denganmu, bahwa kau orang yang bisa diajak bicara baik-baik dan bertindak begitu hanya karena salah
paham. Ia sudah menyingkirkan hewan yang menimbulkan semua kesulitan ini, jadi kenapa ia tidak
boleh tetap tinggal" Sebagai sesama orang Italia, aku meminta bantuanmu."
Signor Roberto memandangi pemuda di hadapannya. Ia melihat pemuda dengan
perawakan sedang tapi kekar, berpenampilan seperti orang-orang umumnya tapi bukan penjahat,
meskipun secara menggelikan ia berani menyebut dirinya orang Italia. Roberto mengangkat bahu.
"Aku sudah Pedang Bintang 3 Wiro Sableng 036 Dewi Dalam Pasungan Pendekar Sakti Suling Pualam 6