Pencarian

The Proposal 2

The Proposal The Proposition 2 Karya Katie Ashley Bagian 2


pergi. Akhirnya, saat tangannya meraih pegangan pintu, Aidan
meraih bahunya. "Tunggu!" Teriaknya.
*** Bab 5 Dada Aidan mengencang pada prospek membiarkan Emma jauh
darinya bahkan cuma sedetik. Mereka telah banyak berbicara
beberapa jam terakhir ini, sehingga Aidan takut semuanya akan
memudar seperti mimpi jika mereka tidak tetap bersama-sama. Dia
nekat melakukan apapun agar tetap bersamanya. Sebuah pemikiran
terlintas di dalam benaknya, dan ia berseru, "Bisakah aku melihat
Beau?" Emma menatap pangkuannya. Aidan tahu Emma sedang bertempur
hebat di dalam pikirannya sendiri tentang apakah dia akan
membiarkan Aidan datang."Please!" Desak Aidan.
Bahu Emma merosot, tapi ia mengangkat kepalanya dan tersenyum.
"Tentu saja. Maksudku, dia merindukanmu."
Aidan tertawa keras. "Aku meragukan hal itu. Dia lebih memilihmu
daripada aku, bukan?" Kemudian dia seakan diserang memori
menyakitkan pada malam itu ketika Emma memergokinya dengan
Heather. Menyaksikan Beau mengejar Emma, menyenggol perutnya
dan merengek ingin ikut dengannya, telah merobek-robek hatinya
sama seperti malam itu. Dengan gemetar, Aidan memaksakan sebuah
senyum di wajahnya. "Aku yakin dia terlalu sibuk memakan sisa
makanan dan berbaring di sekitar sofamu untuk merindukan aku."
"Tidak, dia benar-benar merindukanmu. lagipula, kau sudah menjadi
ayahnya selama dua tahun."
"Bagus karena aku merindukannya." Aidan membungkuk bergeser
ke arahnya. "Aku merindukannya setiap saat setiap harinya." Mata
hijau Emma melebar baik karena kedekatannya atau fakta bahwa
mereka berdua tahu Aidan tidak berbicara tentang Beau lagi. Aliran
listrik berderak di sekitar mereka berdua.
"Kau bisa mengikuti aku pulang."
"Terima kasih."
Dia menunggu sampai Emma sudah aman di dalam mobilnya dan
memutar mobilnya sebelum Aidan mengeluarkan mobilnya sendiri
dari tempat parkir. Dalam perjalanan ke rumah Emma, Aidan
mengetuk-ngetukkan jari-jarinya dengan cemas di setir. Meskipun
perjalanannya tidak lebih dari sepuluh menit, Aidan merasa sangat
lama untuk sampai kesana. Sebuah harapan berdenyut merasuki
dirinya karena Emma akhirnya memaafkannya dan sepenuhnya
membiarkan dia kembali ke dalam hidupnya.
Saat ia mulai memasuki jalanan masuk kerumahnya, sebuah tanda di
halaman menarik perhatiannya. Menyipitkan mata dalam kegelapan,
dia tersentak mengenali tanda makelar. Kata-kata Dijual telah
melemparkan sebuah pasak menembus jantungnya. Rasa kebencian
menutupi perasaan cinta kasih yang tadi merasuki dirinya.
Aidan berhenti mendadak sampai ban berdecit nyaris keluar dari
jalan. Darahnya memukul telinganya saat ia keluar dari mobil dan
membanting pintu. Dia berada di samping Emma sebelum dia punya
waktu untuk menutup pintu mobilnya. "KAU AKAN PINDAH?"
Menciut karena kemarahan Aidan, Emma menempelkan dirinya ke
mobil. "Ya," bisiknya.
Aidan merasa malu karena reaksinya telah membuat Emma
ketakutan. "Maafkan aku karena berteriak padamu, tapi bagaimana
bisa kau tidak memberitahuku?"
"Aku akan memberitahumu," bantahnya.
"Kapan" Pada saat mobil van untuk pindahan datang" Ya Tuhan,
Emma, kita sudah bersama-sama sepanjang malam! Aku sudah
mengungkapkan hati dan jiwaku, tetapi kau tidak memberitahuku
satu detail kecil ini?"
"Maafkan aku." Aidan takut untuk mengajukan pertanyaan berikutnya karena jauh di
lubuk dia sudah tahu jawabannya. "Dan ke mana kau akan pergi"
"Aku akan pindah kembali ke rumah - ke Ellijay. Aku akan tinggal
dengan Grammy dan Granddaddy untuk sementara waktu sampai
rumah terjual, kemudian aku mungkin akan menemukan tempat
yang dekat dengan mereka. Mereka semakin tua. Granddaddy jatuh
dari tangga seminggu yang lalu dan baru saja menjalani operasi
penggantian pinggul. Mereka membutuhkan aku, tetapi yang lebih
penting, aku membutuhkan mereka."
Aidan menggelengkan kepalanya. "Aku tidak akan membiarkan kau
menjauhkan anakku dari aku!"
Mata hijau Emma menyipit menjadi kemarahan. "Jangan coba-coba
mengancamku seperti itu! Kau tahu aku tidak akan pernah
menjauhkanmu dari Noah. Hanya karena aku tidak tinggal disini,
tidak berarti kau tidak akan bisa melihat dia."
"Ellijay satu setengah jam sialan jauhnya! Bagaimana aku akan bisa
melihat dia ketika dia jauh dariku" Apakah kau akan membuat
jadwal kunjungan untukku" Seperti setiap akhir pekan atau hari-hari
sialan yang lain?" Emma mengusap pelipisnya. "Aku tidak tahu apa yang akan aku
lakukan. Aku hanya tahu aku tidak bisa tinggal disini lagi.
Sendirian." "Sialan, Emma, aku tidak percaya kau bisa begitu tidak
berperasaan." Emma menyentakkan dagunya ke atas dan memelototinya begitu
keras membuat Aidan melangkah mundur. "Kau keparat! Beraniberaninya kau
menuduhku tidak berperasaan! Aku bukan orang yang
berselingkuh dan menghancurkan semuanya di antara kita!"
"Aku tidak tidur dengan dia," protes Aidan.
Emma mengangkat tangannya. "Fakta kau tidak bisa ereksi atau aku
menginterupsimu tidak relevan, Aidan! Kau membawa orang asing
ke rumahmu dengan tujuan menipuku agar keluar dari hati dan
pikiranmu!" Dia meringis. "Aku sudah minta maaf jutaan kali dalam sejuta cara
yang berbeda!" "Aku tahu, tapi seperti yang sudah aku katakan kembali di O'Malley,
aku akan berusaha memaafkanmu, dan itu akan membutuhkan sialan
banyak waktu. Jadi jangan berharap aku jatuh ke dalam pelukan
yang kau sediakan seperti tidak pernah ada yang terjadi dalam waktu
dekat ini. Aku punya kehidupan sebelum bertemu denganmu, dan
aku akan memilikinya setelah bertemu denganmu!" Emma berbalik
dan berjalan menjauhinya.
"Em, tunggu!" Ketika dia terus berjalan, Aidan berseru, "Baik, kau
ingin tindakan yang lebih besar" Ini yang satu lagi." Dia berlutut di
trotoar. Ketika Emma berbalik, matanya melebar. "Apa yang kau lakukan?"
Aidan menatap sekeliling mereka. "Terlihat seperti apa yang
kulakukan ini" Aku berlutut, benar-benar dan sungguh-sungguh
memohonmu untuk memaafkan aku."
"Berdirilah!" Desis Emma ketika ada pasangan sedang berjalan
dengan anjing mereka lalu berhenti untuk menatap mereka berdua.
"Tidak sampai kau memaafkan aku."
Emma menggeram frustrasi. "Aku sudah mengatakan itu akan
membutuhkan waktu, jadi berhentilah bertindak dramatis."
Aidan mengangkat bahu. "Baik, panggil aku Ratu Drama. Panggil
aku nama sialan apapun dalam buku! Hanya saja buang semua
kemarahan dan kebencian dari sistemmu, jadi kau bisa memaafkan
aku malam ini." Aidan membuka tangannya lebar. "Aku sudah
menuliskannya di kartu, di pesan teks, dan pesan suara, dan bahkan
dalam buku puisi yang aku kirimkan untukmu. Tapi sekarang aku
akan mengatakan itu di hadapanmu karena itu satu-satunya
kesempatan yang aku miliki."
Tiba-tiba pada saat itu Aidan tidak merasa begitu yakin pada dirinya
sendiri. Dia menarik napas dengan kasar. "Aku minta maaf, Emma.
Aku sangat menyesal karena menyakiti hatimu. Aku minta maaf
karena menjadi bajingan yang takut menyuarakan perasaanku
kepadamu. Yang paling penting, aku minta maaf karena telah
mengacaukan kehidupan sempurna yang kita miliki dengan
mendorongmu pergi dan berselingkuh di hadapanmu."
Wajah Emma memerah dengan kehangatan saat wanita yang ada di
trotoar itu tersentak. Aidan berpaling ke arah wanita itu. "Ya,
memang benar. Aku salah satu bajingan tak terhitung jumlahnya
yang telah menghancurkan hati para wanita. Aku tidak bisa
mengatakan pada Emma kalau aku mencintainya, dan aku hampir
meniduri wanita lain karena mencoba untuk mendorong Emma
menjauh." Aidan memukulkan telapak tangannya dengan keras ke
dadanya. "Tapi dari lubuk hati dan jiwaku yang terdalam, aku sangat,
sangat menyesal!" "Ya Tuhan bung, apakah kau telah kehilangan harga diri?" Pria itu
mempertanyakan, yang menyebabkan wanita disebelahnya memukul
lengannya. Aidan tertawa. "Ya, memang. Karena aku bersedia melakukan
apapun untuk memenangkan dia kembali," Aidan menunjuk ke arah
Emma dan tersenyum padanya.
Ketika Emma melangkah ke arahnya dengan tatapan penuh tekad,
Aidan merasa harapannya meningkat. Dengan cepat memudar saat
Emma mencengkeram rambut dan menarik kepala Aidan.
"Berdirilah dari jalan masuk rumahku dalam satu menit, atau aku
akan memanggil polisi!" Emma menggelengkan kepalanya seperti
orang sinting. "Aku tidak percaya kau baru saja mempermalukan aku
di depan tetanggaku seperti itu!"
"Kupikir kau menginginkan seorang pria yang mau mengatakan
bagaimana sebenarnya perasaan dia?"
Emma memutar matanya. "Ini," katanya, sambil menunjuk dengan
liar kepada Aidan, "bukan apa yang ada dalam pikiranku."
"Baik," katanya sambil berdiri. Aidan mencondongkan tubuhnya
lebih dekat pada Emma dan memiringkan alisnya. "Tapi bisakah kau
jujur mengatakan kau agak sedikit terkesan dengan ini?"
Sudut bibir Emma tertarik ke atas, dan Aidan tahu Emma berjuang
untuk tidak tersenyum. "Mungkin sedikit."
"Aha, aku tahu itu!"
"Ayolah. Mari kita masuk ke dalam sebelum kau bisa menjadi lebih
dari seorang 1twatwaffle malam ini."
Aidan tertawa terbahak-bahak. "Baru saja kau panggil apa aku?"
"Itu salah satu dari kata-kata Casey."
"Hmm, biar kutebak. Mungkin ini salah satu kata Casey untuk aku?"
Emma mengangguk sambil membuka pintu depan. "Ya, tapi dengan
sejumlah kata makian yang lebih kasar bersamaan dengan itu."
"Aku menyadarinya."
"Silakan duduk. Aku akan melepaskan Beau dari basement."
Ketika Aidan turun pelan-pelan di atas sofa, sebuah memori terlintas
di dalam pikirannya ketika ia bercinta dengan Emma di sofa ini
sebelum pergi menemui kakek-neneknya untuk pertama kalinya. Dia
mendengar Beau dari jauh sebelum ia melihatnya berlari dari sudut
rumah. "Hey boy!" Teriaknya, sambil berdiri dari sofa.
Saat melihat Aidan, Beau benar-benar kehilangan kendali, terlihat
dari seluruh tubuhnya yang menggeliat saat ia mendengking dan
menggonggong. Dia berlari menuju Aidan, menjatuhkannya kembali
ke sofa. Lalu ia menjilati wajah Aidan, serta tangannya, dan bagian
tubuh lainnya yang bisa dia jangkau dengan lidahnya.
Emma tertawa. "Lihat, aku sudah bilang kalau dia merindukanmu."
Beau menyalak beberapa kali seolah-olah setuju, kemudian lidahnya
kembali menjilati wajah Aidan. "Oke, boy, aku juga merindukanmu."
Aidan menggosok atas punggung Beau kemudian menepuk
kepalanya. "Sekarang duduk, Beau, dan jadilah anak yang baik," instruksi
Emma. Yang mengejutkan Aidan, Beau menurut dengan patuh meluncur
turun ke lantai dan duduk dan tidak bergerak sama sekali saat Aidan
membelainya. "Sialan, aku tidak percaya kau sudah membuatnya
patuh." "Dibutuhkan beberapa waktu."
"Apakah kamu merawat Mommy dengan baik sementara aku pergi?"
Tanya Aidan, sambil menggaruk-garuk telinga Beau. Mendengar itu
Emma menarik napas tajam, Aidan melirik ke arahnya dan
mengedipkan matanya. "Dia sudah menjadi teman yang luar biasa. Terutama pada malam
hari," jawab Emma lirih.
"Aku bisa membayangkan. Malam sendirian seperti neraka bagiku."
Emma membuka mulut untuk mengatakan sesuatu, tapi kemudian
tiba-tiba menggoyang-goyangkan jarinya ke Beau. "Berhentilah
menjilati dirimu sendiri, atau aku akan menempatkan 2cone of
shame kembali padamu."
Aidan tertawa sambil menepuk-nepuk punggung Beau. "Jangan
terlalu tegang, Em. Dia hanya seekor anjing. Biarkan dia menjilati
dirinya sendiri jika dia ingin."
Emma menggelengkan kepalanya. "Jika dia terus menjilati seperti
itu, dia akan menyebabkan infeksi pada jahitannya setelah operasi."
"Operasi?" Ulang Aidan dengan lemah. "Apa yang terjadi padanya?"
Ketika Emma tidak menjawab, Aidan mendongak dan melihat muka
Emma memerah sambil merundukkan kepalanya. Oh tidak. Dia
tidak bisa melakukan itu. Dia tidak akan melakukan hal itu. Meraih
kalung di leher Beau, perlahan-lahan Aidan membalikkannya. Begitu
melihat kejantanannya hilang, dia menghela napas. "Kau telah
mengebirinya?" Emma menggigiti bibir bawahnya. "Dokter hewan menyarankan itu.
Dia mengatakan itu akan membantu menenangkan Beau dan
membuat lebih mudah baginya untuk menyesuaikan diri saat Noah
lahir." Aidan bangkit dari lantai. "Ya Tuhan, Em, pada awalnya kau ingin
bolaku di tusuk seperti sate, dan sekarang kau mengebiri anjingku!"
"Aku tidak pernah ingin bolamu...!" Protesnya dengan gusar.
"Secara simbolis kau ingin melakukannya."
Emma memutar matanya. "Tapi lihatlah bagaimana dia sudah jauh
lebih tenang." Aidan melirik Beau. Walaupun ia benci mengakuinya, Beau terlihat
lebih santai. "Yeah, well, kau seharusnya berkonsultasi denganku
terlebih dahulu. Dia anjing miliku!"
Emma mengernyit seperti kesakitan. Dia perlahan-lahan melangkah
sebelum pelan-pelan duduk di kursi. "Whoa, tunggu sebentar. Jangan
pergi dulu. Kita belum selesai membahas hal ini."
"Em?" Ketika dia tidak menjawab, Aidan berjalan mengitari sisi
kursi. Dia berjongkok di depan Emma. Jantungnya tersentak
berhenti dan berdetak kembali saat melihat ekspresi menderita
terukir di wajah Emma. "Em, ada apa?"
"Aku...kram." Emma menutup matanya, dan dadanya naik turun
dengan napas yang berat. "Sakitnya benar-benar buruk."
Rasa ketakutan jatuh di atas kepala Aidan. "Ayolah. Ayo kita ke
rumah sakit." Sebelum Emma bisa memprotes, Aidan mengambil
tangannya dan membantunya berdiri dari kursi. Emma merintih dan
mencengkeram perutnya. "Aku akan menggendongmu jika kau
mau," katanya. "Tidak, aku bisa berjalan," jawabnya.
Aidan memeluk pinggang Emma untuk menyeimbangkannya. "Tetap
disitu Beau," Aidan memerintahkan dari balik bahunya. Beau
merengek, tapi dengan enggan, ia duduk di beranda. Ketika mereka
mulai keluar pintu, Emma membeku. "Tasku."


The Proposal The Proposition 2 Karya Katie Ashley di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku akan mengambilnya." Aidan berbalik dan berjalan meraih tas
yang di tempatkan di atas lantai. Kemudian ia kembali ke samping
Emma untuk membantunya keluar dari pintu dan menuruni tangga
teras. "Kau ingin naik mobilmu karena itu lebih dekat" Aku bisa
memindahkan mobilku."
Dia menggelengkan kepalanya. "Tidak, tidak, mobilmu saja tidak
apa-apa." "Bagaimana rasa sakitnya?"
"Sangat intens," jawabnya terengah-engah.
"Apa kamu perdarahan atau kau merasa air ketubanmu pecah?"
"Tidak, ini hanya kontraksi saja."
Secercah sedikit rasa lega memenuhi diri Aidan. "Ini akan baik-baik
saja, Em. Aku akan membawamu ke rumah sakit, dan apapun itu,
mereka akan menolongmu."
Hatinya hancur ketika Emma menatapnya dengan mata penuh air
mata. "Aku harap begitu."
"Percayalah." Aidan membuka pintu mobil dan pelan-pelan membantu Emma
duduk ke jok mobil. Begitu ia menutup pintu, ia berlari ke sisi
pengemudi. Dia masuk ke dalam dan memutar. Setelah mempercepat
mobilnya menuju jalan raya, ia melirik Emma.
Mata Emma tertutup dan alisnya berkerut sementara dia menggigit
bibirnya. Melepaskan satu tangannya dari setir ia meraih salah satu
tangan Emma. Mata Emma langsung terbuka, dan dia menatap ke
arah Aidan. "Aku disini untukmu, Emma."
"Terima kasih...aku senang." Dia meremas tangan Aidan dengan
ketat. Tidak mau membiarkan tangan Aidan lepas, Emma
menggunakan tangannya yang lain untuk mengeluarkan ponsel dari
tasnya. Dia menyodorkannya ke arah Aidan. "Tolong telepon Casey,"
gumamnya. Dengan satu tangannya tetap di setir, ia menggunakan tangan
satunya untuk menggeser kontak di ponsel Emma. Dia
mempersiapkan dirinya untuk menghadapi amarah yang akan di
terimanya saat jarinya menekan dial. Casey menjawab pada dering
ketiga. "Hey Mama Seksi, maaf aku belum punya kesempatan untuk
meneleponmu lagi," katanya tanpa Halo.
"Um, ini Aidan."
Sebuah jeda panjang di ujung di telepon. "Apa sih yang kau lakukan
dengan ponsel Em" Tolong jangan bilang kau telah melakukan
sesuatu yang benar-benar gila untuk mencoba mendapatkan dia
kembali" Karena jika benar, aku akan memastikanmu akan masuk
penjara sampai lama sekali dimana seorang pria yang sangat besar
dan berbulu dapat membuatmu menjadi suruhannya!" Ia menjerit
cukup keras bahkan Emma bisa mendengar.
"Casey, dengarkan aku. Aku tidak menculik Emma. Kami sedang
dalam perjalanan ke ER di Wellstar."
Casey terkesiap. "Oh Tuhan, apa ada yang salah?"
Aidan melirik Emma yang matanya sekali lagi terpejam sementara
rahangnya terkatup kesakitan. "Dia mengalami beberapa kontraksi."
"Dia tidak pendarahan, kan?"
"Tidak, hanya kontraksi."
Aidan mendengar suara laki-laki yang dia duga Nate sedang
berbicara di latar belakang sana. "Kedengarannya seperti pertanda
baik bahwa dia tidak pendarahan. Nate berpikir mungkin saja
3Braxton Hicks, tapi kami akan berada disana segera mungkin."
"Oke. Bisakah kau menelepon Connor, juga?"
Mata Emma langsung terbuka, dan dia menatap Aidan dengan kaget.
Aidan pikir Emma kagum karena dia tidak perlu diberitahu untuk
melakukan semua itu, dan ia benar-benar bisa memikirkan apa yang
dirasakan Emma. "Ya, tentu." "Bye." Casey hanya mendiamkannya, jadi Aidan mematikan teleponnya."
Ada lagi yang ingin aku telepon" Virginia?"
Emma menggelengkan kepalanya. "Aku tidak ingin membuat
Grammy khawatir lagi jika kasus ini adalah sesuatu seperti Braxton
Hicks." "Oke, jika kau yakin."
Mereka melakukan seluruh perjalanan dalam keheningan yang
menegangkan. Setelah membelokkan mobil sampai berdecit
memasuki halaman parkir rumah sakit, Aidan meluncurkan
mobilnya ke pinggir jalan di ruang gawat darurat dan mematikan
mesinnya. Ketika ia keluar dan mulai berjalan ke sisi Emma, seorang
petugas keamanan bergegas menghampirinya. "Sir, Anda tidak boleh
parkir disana." "Dengar, is..." Aidan terdiam ketika dia menyadari bahwa dia tidak
tahu bagaimana harus menyebut Emma. Dia jelas bukan istrinya dan
status hubungan mereka juga tidak memenuhi syarat sebagai pacar.
"Dia," akhirnya ia menekankan, "mengalami kontraksi dini, jadi aku
harus membantunya masuk. Jika Anda tidak menyukainya, maka
derek saja mobil sialanku!"
Petugas keamanan mengangkat tangannya ke atas. "Maaf Sir.
Setelah Anda mendaftar, tolong segera keluar dan memindahkan
mobilnya. Mercedes bagus seperti itu kalau di derek butuh biaya
banyak untuk menebusnya."
Aidan menggeram dengan frustrasi saat ia mengulurkan tangannya
pada Emma. "Baik. Tapi aku tidak akan kembali kesini sampai aku
tahu dia dan anakku baik-baik saja!" Dengan tangannya yang bebas,
ia mengeluarkan seratus dolar dari dompetnya. "Awasi mobilku,
oke?" Petugas itu menoleh kanan kiri sebelum ia buru-buru menyambar
uangnya. "Ya, Sir."
Mengalihkan perhatian kembali ke Emma, Aidan membantunya
keluar dari mobil. Emma meringis saat ia melangkahkan kakinya.
"Bersandarlah padaku," instruksi Aidan sambil mengambil langkah
dengan tentatif ke pinggir jalan.
Dengan satu lengan melilit di pinggangnya, Aidan menuntun Emma
melewati pintu ganda otomatis dan masuk ke lobi ER. Dia
mencengkeram tangan Aidan dengan erat dan dari ekspresi
wajahnya, Aidan bisa tahu rasa sakitnya lebih buruk. "Sedikit lagi,
Em," katanya. Di meja pendaftaran, Aidan pelan-pelan mendudukkan Emma ke
kursi. Ketika petugas tidak segera datang, ia memukulkan kepalan
tangannya di atas meja. "Tolong, dia mungkin akan mengalami
persalinan prematur disini!"
Resepsionis mengangguk ke arah perawat. "Kami akan
membawanya masuk kedalam."
"Terima kasih," kata Aidan.
Seorang perawat keluar dari pintu dengan membawa kursi roda.
Aidan menolong Emma berdiri kemudian membantu dia duduk di
kursi roda. Ketika ia akan ikut masuk kedalam dengan mereka,
resepsionis memanggilnya. "Anda tidak bisa masuk kedalam sampai
kami memiliki semua data medisnya."
"Saya sebelumnya sudah terdaftar di 4OB/GYN disini," gumam
Emma, dengan gigi terkatup menahan rasa sakit.
"Dia harus tinggal sampai kami mendapatkan informasi
asuransinya." Aidan menatap putus asa ke arahnya saat Emma menyerahkan
tasnya. "Kartuku ada di dompetku."
Aidan segera mengisi dokumen. Sebagian besar ia biarkan kosong,
berharap mereka sudah memiliki data itu karena ia tidak tahu itu.
Ironi itu tidak hilang pada dirinya karena Emma mengandung
bayinya, tapi Aidan tidak tahu apakah dia sudah pernah melakukan
operasi besar atau punya penyakit pada masa kanak-kanak. Pada
waktu yang sama saat ia mulai memencet tombol untuk membuka
pintu, seseorang berdeham.
Ternyata petugas keamanan. "Brengsek!" Teriak Aidan. Beberapa
orang di ruang tunggu menatapnya. Mengambil kunci dari saku,
Aidan berlari melewati petugas keamanan dan menuju mobilnya
yang telah menunggu. Ban berdecit saat dia memutari pintu masuk
dan kembali mengikuti jalur ke tempat parkir yang tersedia.
Ketika Aidan kembali ke dalam, ia menekan tombol pintu "Hanya
untuk Petugas yang Berwenang". Tatapannya berputar-putar dengan
putus asa di sekeliling lorong kamar-kamar. Perasaannya rasa aneh
seperti deja vu pada hari ini sebelumnya, ia baru saja akan
melambaikan tangannya pada perawat ketika Dr Nadeen muncul di
hadapannya, wajahnya tegang tampak khawatir. "Dia berada di
kamar lima," katanya.
Meskipun ia benci mengatakan itu, Aidan bergumam, "Terima
kasih." Aidan mendorong ke depan untuk membuka pintu dan menemukan
tirai tertutup. Suara detak jantung bayi bergema di dinding. "Em?"
Teriaknya. "Aku di sini." Dia bergegas melangkah maju, lalu menyibakkan tirai ke samping.
Saat melihat kaki Emma naik ke 5stirrups dan seorang dokter di
antara kedua kakinya, Aidan membeku.
"Aidan" desaknya, sambil memberi isyarat agar dia ke sisinya. Nada
suaranya mendesak yang membuatnya bergerak dengan cepat. Dia
melangkah ke samping dokter lalu ke sisinya. Dia meraih tangan
Emma dan meremasnya. "Maafkan aku. Aku harus mengisi semua dokumen itu kemudian
harus memindahkan mobilku."
"Tidak apa-apa."
Aidan menggelengkan kepalanya. "Tidak, tidak. Kau seharusnya
tidak harus kembali kesini sendirian. Kau membutuhkan aku." Dia
menatap ke arah Emma. "Aku butuh bersamamu."
"Kau disini sekarang. Itu saja yang paling penting."
Aidan tidak bisa menahan diri untuk membungkuk dan mencium
kening Emma. Tapi dia harus menujukkan rasa terima kasih pada
rumah sakit. Mereka baru saja disana hampir dua puluh menit, dan
Emma sudah memakai baju rumah sakit dan sedang diperiksa oleh
dokter. Dia tidak bisa menahan diri untuk bertanya-tanya apakah
hanya kondisinya yang sangat serius, atau karena Dr Nadeen juga
membantu menangani masalahnya.
Sang Dokter, yang mengenakan jas putih dengan bordir warna biru
bertuliskan "Dr Pendleton", turun dari kursinya. "Anda bisa
menurunkan kaki sekarang." Pelan-pelan Emma menarik kakinya
dari stirrups saat Dr. Pendleton menarik meja kembali dibawah
untuk Emma. Setelah ia melemparkan sarung tangan karetnya ke
tempat sampah, ia berbalik menghadap mereka.
"Meskipun anda mengalami persalinan prematur, Anda tidak
mengalami pembukaan, dan 6plug serviks Anda masih utuh."
Melihat Aidan yang bisa diasumsikan ekspresinya kosong, Dr
Pendleton mengatakan, "Itu adalah faktor yang baik. Saya akan
meminta seorang perawat datang dan memberikan 7Turbutaline,
yang akan menghentikan sisa kontraksi yang Anda alami. Saya akan
datang kembali dan melakukan USG untuk melihat bagaimana
kondisi bayi Anda. Dari detak jantungnya, tampaknya ia menjadi
sedikit gelisah, tapi itu bisa dari dinding rahim yang berkontraksi."
Dia berbalik berjalan menuju pintu. "Karena kondisi Anda sekarang
stabil, aku akan kembali beberapa saat lagi untuk memeriksa Anda."
Kaki Aidan terasa seperti tidak bisa mendukung dia berdiri lagi,
sehingga ia jatuh ke kursi di samping tempat tidur. Membebaskan
rasa mualnya. Untuk sementara, tampaknya Noah akan baik-baik
saja, dan sebaliknya, Emma juga.
"Terima kasih Tuhan," gumam Emma.
Sebuah keributan datang dari luar pintu. "Apa s - " kata Aidan
terpotong karena Casey dan Connor berhamburan masuk ke dalam
ruangan. *** 1twatwaffle: Vagina atau idiot. of shame : Bentuk seperti corn yang di pasang di leher anjing agar kepalanya
tidak bebas bergerak. 3Braxton Hicks: Kontraksi palsu/ kontraksi rahim secara sporadis yang terkadang
di mulai sekitar 6 minggu, meskipun tidak semua orang merasakan itu.
4OB/GYN: Gynecologist (OBstetrics and GYNecology) bagian kandungan.
5stirrups: Alat berupa sepasang logam untuk menyangga pergelangan kaki wanita
selama pemeriksaan ginekologi dan melahirkan.
6plug serviks: Lubang leher rahim.
7Turbutaline: Obat anti kontraksi untuk mencegah persalinan prematur.
2cone Bab 6 "Em!" teriak Casey, bergegas ke samping tempat tidur. Ia memeluk
Emma dan meremasnya dengan erat. "Bagaimana hasilnya?"
"Untuk saat ini, aku baik-baik saja, dan Noah juga baik-baik saja.
Beberapa gejala persalinan prematur, tapi mereka bisa
menghentikannya." Casey dan Connor menghembuskan napasnya dengan lega.
"Syukurlah," kata Connor.
Seorang perawat datang menyela untuk menyuntikkan Turbutaline.
Ia menatap semua orang sebelum menggeleng tidak setuju. "Anda
benar-benar tidak membutuhkan ruangan yang penuh sesak. Anda
membutuhkan istirahat dan santai."
"Kumohon jangan membuat mereka pergi. Mereka membuatku
santai," protes Emma.
Ia berkata sebelum menyuntikkan jarum ke selang infus Emma. "Dr.
Pendelton tidak akan senang dengan banyak orang di dalam sini,
mengganggumu, dan ia akan datang kembali untuk melakukan USG
pada Anda." "Kami akan keluar sebentar," kata Casey dengan diplomatis.
"Yeah, kami tidak ingin membuatmu dalam kesulitan," Connor
menyetujuinya. Ketika Aidan tidak bergerak, Casey menatapnya dengan tajam. "Aku
tetap di sini bersama Emma dan anakku," jawab Aidan dengan
ringkas. "Terserah," katanya sebelum menuju ke pintu. Ia dan Conner pergi
keluar ketika Dr. Pendleton masuk. Mereka menempelkan dirinya
menjauh sampai ke tembok. Tanpa menyapa ataupun peringatan
pada ruangan yang terlalu padat, ia mulai melakukan USG. Emma
merasa sedikit tenang melihat penampakan Noah di layar. Detak
jantung Noah mulai tenang. "Tampaknya Noah berencana untuk
tetap tinggal di dalam sana sementara waktu," kata Dr. Pendleton
sebelum mematikan mesinnya.
Ia berdiri. "Sementara semuanya tampak semakin lebih baik, aku
akan bersikeras menyuruh bed-rest dengan ketat paling tidak selama
seminggu atau dua minggu ke depan. Anda diperbolehkan berbaring
atau duduk, tetapi kaki Anda hanya akan menyentuh lantai untuk ke
toilet. Saya juga menyarankan Anda untuk menggunakan kursi di
dalam kamar mandi. Apa sudah jelas?"
Emma terkesiap. "Tapi pekerjaanku- "
Dr. Pendleton mengangkat satu jarinya untuk membungkam Emma.
"Ms. Harrison, saya tahu itu tampak baik-baik saja sejak kita bisa
mengendalikan situasinya, tapi stabilitas kehamilan Anda di masa
depan terletak pada perawatan Anda pada diri Anda sendiri di
sepuluh hari ke depan."


The Proposal The Proposition 2 Karya Katie Ashley di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Saya mengerti," gumam Emma, mencoba menenangkan
peningkatan rasa panik yang menusuk sekujur tubuhnya seperti
jarum. "Sedangkan untuk pekerjaan Anda, saya akan mengisi dokumen
yang Anda butuhkan untuk mengambil cuti. Yang paling penting
sekarang untuk Anda adalah istirahat dan membatasi tingkat stres
Anda. Kita tidak ingin ada persalinan prematur lagi."
"Berapa lama saya harus tinggal di rumah sakit?" tanya Emma,
dengan suaranya yang bergetar.
"Saya ingin memantau Anda sepanjang malam, dan kemudian Anda
bisa pulang ke rumah. Saya akan memeriksa tentang pemindahan
anda ke kamar di lantai atas."
Setelah Dr. Pendleton keluar dari kamar, emosi Emma meluncur
keluar di luar kendali. Ia mencoba melawan dengan semua yang
dimilikinya agar tidak benar-benar kehilangan kendali pada
kemungkinan hidup Noah masih dalam bahaya. Isakan tangis lolos
dari bibir Emma, membuat Casey dan Aidan balapan menuju ke
arahnya untuk menenangkannya. Entah bagaimana Casey menyikut
Aidan keluar dari jalannya, menghalangi Aidan untuk mendekati
Emma. Sebuah dengusan frustasi keluar dari bibir Aidan. Casey
menghiraukannya dan meraih tangan Emma. Ia meremasnya dengan
erat dan memberikannya sebuah senyuman menyakinkan. "Jangan
menangis, Em. Semuanya akan baik-baik saja. Banyak wanita yang
harus menjalani bed-rest sementara, dan kemudian seluruh proses
kehamilannya benar-benar normal."
Diantara isakan tangisnya, Emma menjawab, "Aku harap begitu."
"Aku tahu. Dan aku akan mengantarkanmu dulu ke Grammy besok
pagi, dan ia akan membantumu melewati ini."
Emma menggelengkan kepalanya saat air mata mengalir turun ke
pipinya. "Aku tidak bisa pergi ke Grammy. Granddaddy telah
melalui operasi penggantian pinggul seminggu yang lalu, dan ia
telah repot untuk merawatnya. Aku tidak bisa memberikan stres
lebih padanya di usianya yang sudah senja."
Aidan membersihkan tenggorokannya dan melangkah ke samping
Casey agar berdiri di depan Emma. "Kau pulang ke rumah
bersamaku. Aku akan merawatmu."
Sebuah desisan keluar dari bibir Casey. Ia menyentakkan tangannya
dari Emma untuk menusukkan satu jarinya pada dada Aidan.
"Langkahi dulu mayatku!"
Alis Aidan terangkat. "Maaf?"
Lubang hidung Casey melebar. "Kau pasti telah kehilangan akal
sehatmu! Kau merawatnya" Kau adalah alasan utama dia berada di
dalam situasi ini." Aidan meringis. "Dengan episode Pop, Emma telah cukup banyak
mengalami stres hari ini seperti di beberapa minggu terakhir."
"Jangan pernah berani mencoba menyalahkan ini pada orang lain!"
"Lihat, kita semua tahu aku telah mengacau! Sangat. Meskipun aku
akan memberikan segalanya untuk menariknya kembali, aku tidak
bisa. Tapi aku bisa memperbaikinya, dan satu cara untuk
membuktikan pada Emma betapa pedulinya aku padanya adalah
dengan merawatnya di saat ia paling membutuhkanku."
Emma menarik napas pada kata-kata Aidan. Emma yakin salah satu
monitor yang tak terhitung jumlahnya yang terhubung padanya akan
rusak karena detak jantungnya yang semakin cepat. Syok bergema di
dalam tubuhnya bahwa Aidan telah menyarankan untuk merawat
dirinya, apalagi ia benar-benar ingin melakukannya. Emma sangat
tersentuh, ia tidak bisa membayangkan bagaimana saraf-sarafnya
bisa memungkinkannya menjadi sangat dekat dengan Aidan.
Akhirnya, Emma menggelengkan kepalanya. "Aku pikir tidak -"
kata Emma memulainya. Mata biru Aidan menyala dengan tekad baja. "Ini bukan untuk
didiskusikan." Casey mendengus. "Oh yeah, ini memang untuk didiskusikan. Jika
ada seseorang yang akan merawat Em, itu adalah aku, brengsek!"
Wajah Aidan menggelap karena amarah, dan Emma takut ia akan
benar-benar kehilangan kesabarannya. Rahangnya terkatup rapat saat
ia mendekati Casey. "Kau tampaknya lupa bahwa ia mengandung
anakku. Ia adalah tanggung jawabku. Kau pasti bisa mempercayai
bahwa tidak ada yang lain yang lebih penting bagiku di dunia ini
daripada anakku." Melotot ke arahnya, Casey membalas, "Sayang sekali kau tidak
pernah berpikir tentang Noah saat kau hampir menyetubuhi pelacur
itu." Saat Aidan menggeram, Connor melerai diantara mereka. "Okay,
cukup!" Ia menggelengkan kepalanya. "Sial, kalian berdua harus
santai dengan kontes memperebutkan Em. Maukah kalian berhenti
sejenak dan berpikir tentang seberapa banyak telah kalian
mengganggu dia?" Aidan dan Casey mengalihkan pandangan mereka dari Connor dan
menatap Emma. Perhatian mereka membuat leher dan pipi Emma
merona. Ekspresi Aidan melembut. "Maafkan aku, Em. Aku tidak ingin
mengganggumu. Aku hanya ingin..." Ia menjalankan jari-jarinya di
rambutnya yang berwarna pasir. "Aku hanya ingin kau
mengijinkanku merawatmu dan Noah."
Ketulusan kata-kata Aidan membuat jantung Emma berdebar lagi,
dan ia membenci dirinya sendiri karena itu. Setelah menggigiti
bibirnya sendiri, Emma bertanya, "Bagaimana dengan pekerjaanmu"
Kmu tidak mungkin melakukan perjalanan seperti sebelumnya dan
merawatku sekaligus."
"Aku tinggal mengambil cutiku seperti dirimu."
Emma tidak bisa menahan matanya sendiri yang melotot. "Kau akan
melakukannya?" "Tentu saja aku akan melakukannya. Kau membutuhkan aku," kata
Aidan, perlahan mendekati tempat tidur.
"Tapi dengan posisimu, apakah mereka bahkan akan
mempertimbangkan memberikanmu cuti" Maksudku, ini bukan
seperti jika kita menikah."
Aidan mengangkat bahunya. "Jika mereka tidak memberikannya,
maka aku tinggal berhenti bekerja. Kau dan Noah sangat berarti
bagiku daripada sebuah pekerjaan."
Casey menyilangkan tangan di depan dadanya dengan marah. "Dan
bagaimana jika libidomu menggelora di suatu malam setelah melihat
beberapa pelacur dengan rok pendek" Apa kamu hanya akan berlari
menjauh darinya lagi?"
"Case," Emma memohon pada saat yang sama dengan Aidan
membentak, "Jangan mengungkitnya!"
"Aku tidak percaya kau benar-benar mempertimbangkan untuk
mengijinkannya melakukan ini. Ia mematahkan hatimu, Em!" teriak
Casey, mengangkat tangannya dengan frustasi.
Emma mendesah. "Ya. Aku cukup menyadari apa yang telah ia
lakukan. Tapi saat ini, aku tidak punya pilihan lain selain menerima
apa yang ia usulkan." Lalu ia mengalihkan pandangannya ke Aidan.
"Rumahku berantakan karena pindahan. Aku akan tinggal
bersamamu." Senyum berseri-seri Aidan sedikit mencairkan es yang tersisa di
dalam hati Emma pada Aidan. "Tentu saja kau bisa melakukannya.
Aku akan menempatkanmu di kamar tidurku karena itu di lantai
bawah dan kamar mandinya yang terdekat."
"Terima kasih. Aku akan membutuhkan beberapa barangku. Casey,
bisakah kau pergi bersama Aidan dan membantunya mengambil
barang yang aku butuhkan?"
Mata Casey melotot seperti Emma baru saja menyuruhnya untuk
membantu Setan mencapai dominasi dunia. "Aku tidak bisa berada
di ruangan yang sama dengan dia, apalagi membantunya mengemas
barang-barangmu!" Emma memutar matanya. "Baiklah, jadilah keledai yang tak dewasa
karena itu. Aku yakin Connor akan senang hati untuk melakukan
itu." "Tentu saja, Emmie Lou," jawab Connor, melangkah ke depan untuk
menepuk punggung Aidan. Dari cara Aidan meringis, Emma yakin
Connor telah memukulnya sedikit lebih keras dari yang dibutuhkan.
"Aku menghargai itu Connor," jawab Emma. Menatap tajam pada
Aidan, ia berkata, "Hanya yang penting. Aku tidak akan tinggal
sangat lama." Sudut bibir Aidan melengkung seperti seringaian puas-diri. "Kita
lihat saja nanti." "Kau benar-benar tak dapat dipercaya," gumam Emma.
"Okey, kalau begitu, sebaiknya kita segera pergi dan memulainya.
Dengan begitu segalanya akan siap untukmu ketika mereka
mengijinkanmu pulang besok pagi," kata Connor.
Aidan mengangguk. "Kedengarannya bagus."
Setelah sekian lama, menghembuskan napasnya, Casey berkata,
"Baiklah. Aku akan pergi bersamamu."
"Serius?" kata Connor dan Aidan dengan bersamaan.
"Ya," tukasnya.
Connor mengangkat kedua tangannya. "Baiklah. Itu adalah
pemakamanmu." "Mari kita hadapi itu. Mengingat aku adalah satu-satunya dari kita
bertiga yang memiliki vagina dan tahu apa yang Emma inginkan,
kalian akan membutuhkanku."
Dengan sebuah dengusan, Connor berkata, "Yeah, well, aku telah
mengenalnya paling lama dan -"
"Kau praktis telah mempunyai vagina?" Casey menggodanya dengan
sebuah senyuman. "Sadis, sialan, sadis!"
Emma tertawa. "Bisakah kalian berhenti dan segera pergi?"
"Man, kau sudah memerintah kami semaumu," kata Connor, dengan
menyeringai. Ia menyikut Aidan. "Kau berada di dalam dua minggu
yang menyenangkan, Slave Boy (Budak Laki-laki)."
Aidan tertawa. "Aku tidak keberatan. Emma bisa menggunakan dan
menyalahgunakan aku sesuka hatinya. Selama ia senang dan sehat,
aku akan melakukan semua yang ia inginkan."
Connor menatap Aidan sejenak dan menggelengkan kepalanya.
"Yep, kau terkena virus-cinta yang buruk, dude. Sangat, sangat
buruk." Ia menoleh kembali pada Emma dan mengedipkan matanya.
"Sampai jumpa besok, Emmie Lou." Ia mencodongkan tubuhnya dan
memberikan Emma sebuah pelukan dan sebuah ciuman. Sebelum
Connor menarik dirinya, ia berbisik di telinga Emma. "Buat dia
bekerja keras, Em, tapi berilah dia sebuah kesempatan juga."
"Aku akan mencobanya."
Connor bertukar tempat dengan Casey yang juga memberikan Emma
sebuah pelukan. "Saat aku sudah selesai, aku akan kembali kemari
dan menginap denganmu," kata Casey.
Emma menggelengkan kepalanya. "Tidak, tidak, aku akan baik-baik
saja. Ini hanya semalam. Ini tidak seperti aku belum pernah
menghabiskan beberapa malam di rumah sakit. Hanya saja aku
biasanya berada di bagian tempat tidur yang lain."
"Apa kau yakin" Nate lembur sepanjang malam hari ini, jadi aku
tidak keberatan." "Aku yakin. Kau bisa datang besok pagi atau ke rumah besok."
Tubuh Casey menegang pada prospek di rumah Aidan. "Kita lihat
saja nanti." Saat Casey berbalik pergi, ia mengayunkan tas besarnya ke
sekeliling, mengenai Aidan tepat di selangkangannya. Dengan
sebuah geraman, Aidan membungkuk, menghembuskan beberapa
napas dan kemudian menarik napasnya. Setelah membaik, Aidan
mendongakkan kepalanya. Mata birunya menyipit ke celah
kemarahan. Casey memberinya sebuah senyuman manis. "Oh, aku sangat
menyesal. Itu salahku."
Aidan bergumam pelan, tapi ia tidak menantang Casey. "Ayolah,"
kata Connor, mengambil lengan Aidan. Setelah Aidan dan Connor
keluar dari pintu, Emma memanggil, "Case?"
Melirik melalui atas bahunya, Casey berkata, "Yeah?"
Emma memberinya senyuman ramah. "Bersikap baiklah
terhadapnya, please?"
Casey mengenduskan napas dengan frustasi. "Bagaimana kau bisa
menyuruhku seperti itu" Kau tahu bagaimana perasaanku
pada...douchenozzle (mulut pancuran pipa) itu!"
"Aku tahu, tapi ada lebih banyak yang terjadi daripada yang kau
pahami. Jadi berikanlah ia sedikit kelonggaran."
Berputar-putar, Casey mengangkat kedua tangannya ke atas. "Sialan,
Em, mengapa kau harus begitu baik dan pemaaf?"
"Aku tak mengatakan aku telah memaafkannya. Aku hanya lebih
mengerti sekarang." Pada ekspresi keraguan Casey yang terus
berlanjut, Emma berkata, "Percaya saja padaku untuk yang satu ini."
"Baikalah, aku akan lebih beradab, tapi aku tidak bisa bersikap
baik." "Lebih beradab berarti kamu tidak akan memukulnya di bolanya lagi
kan?" Casey memberinya seringaian jahat. "Itu berarti aku akan berusaha."
"Berusaha keras, okay?"
Ia mengangguk. "Terima kasih."
*** Casey meniupkan sebuah ciuman sebelum menuju pintu keluar.
Merebahkan kepalanya kembali ke bantal, Emma menghebuskan
napasnya. Tangannya mengelus perutnya sambil terus menatap ke
langit-langit. "Tolong Tuhan, tolong awasi Noah dan jangan biarkan
hal buruk terjadi padanya. Tidak ada hal lain yang penting di dunia
ini selain melahirkannya ke dunia dengan sehat ini di waktu yang
tepat." Saat Emma menutup matanya, wajah Aidan melintas di
depannya, membuat matanya terbuka kembali. "Dan jika Aidan
adalah benar-benar satu-satunya, lembutkanlah hatiku padanya...
atau berikanlah satu pertanda aku harus berpaling darinya."
Doanya terpotong oleh seorang perawat dan seorang mantri.
"Waktunya untuk pindah ke lantai atas."
Mantri itu membawa kursi roda, dan Emma mengayunkan kakinya
turun dari tempat tidur. Setelah ia duduk di kursi roda, ia merapikan
baju rumah sakitnya ke bawah kakinya. Mereka mengambil jalan
pintas dengan naik lift ke lantai 3. Ia tidak bisa menahan diri untuk
bertanya di lantai berapa Patrick berada. Ia bisa membuat catatan
nomor kamarnya, sehingga ia bisa mengirimkannya pada Casey...
dan pada Aidan. Seorang perawat paruh baya berwajah manis datang sesaat ia telah
berbaring di tempat tidur. "Saya Connie, dan jika Anda
membutuhkan sesuatu, Anda tinggal memintanya."
Emma tersenyum. "Terima kasih. Saya menghargai itu."
Setelah Connie dan mantrinya pergi, Emma menyalakan TV untuk
mencoba mengalihkan pikirannya. Ia menikmati beberapa tayangan
lama dari I Love Lucy saat terdengar ketukan lembut dari pintu.
"Ya?" seru Emma, alisnya berkerut pada siapa yang mungkin
mengetuk pintunya. Suara berdecit terbuka sebelum Pesh menyembulkan kepalanya
masuk. "Hey." Emma menggeram dalam hati. Pesh adalah orang terakhir di bumi
ini yang ia harapkan untuk bertemu. Bangkit dari tempat tidurnya,
Emma merapikan rambut bangun tidurnya dan berharap ia tidak


The Proposal The Proposition 2 Karya Katie Ashley di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memiliki mata rakun sisanya setelah menangis. "H -Hi."
Melambaikan jari-jarinya, Pesh mengeluarkan suara berdecak saat ia
masuk ke dalam ruangan. "Hanya tidak bisa membiarkan Mr.
Fitzgerald kalah, huh?"
Emma tertawa. "Tidak, aku pikir tidak begitu."
Menunjuk ke kursi di samping tempat tidur, Pesh bertanya,
"Bolehkah?" "Tentu." Ekspresi riangnya tiba-tiba berubah menjadi serius. "Kau tidak bisa
membayangkan bagaimana ngerinya aku melihat namamu ada di
layar komputer." Ia menggelengkan kepalanya. "Jadi aku benar
berpikiran bahwa kau perlu lebih peduli pada dirimu sendiri?"
"Sayangnya ya. Tapi itu tidak hanya hari ini." Emma menatap ke
bawah pada selimut standar rumah sakit. "Tiga minggu terakhir telah
mengambil korban mereka, kurasa."
"Apakah itu ada hubungannya dengan hubunganmu dengan anak Mr.
Fitzgerald?" Emma menyentakan tatapannya dari selimut ke Pesh. "T-tunggu,
bagaimana kamu..." Pesh memberikannya sebuah senyuman pengertian. "Ceritanya
panjang." "Sama dengan ceritaku," jawab Emma, sambil tertawa muram.
Dengan ketegangan di udara, Emma sangat berusaha untuk
mengubah topik pembicaraan. "Aku pikir hari ini kau sudah pulang.
Saat aku dibawa masuk, aku berharap kau akan menjadi dokterku.
Sikap Dr. Pandleton kurang ramah."
"Aku minta maaf untuk itu."
"Itu bukan salahmu ia begitu kasar."
"Tidak, tapi itu adalah kesalahanku kau harus bertemu dengannya."
"Apa?" Sebuah senyum malu-malu melengkung di bibir Pesh. "Kau telah
ditetapkan sebagai beban kerjaku, tapi aku malah memintanya untuk
bertemu denganmu." Emma tersentak. "Tapi mengapa?"
Menundukkan kepalanya, Pesh menjawab, "Karena aku tahu aku
ingin bertemu denganmu secara pribadi di masa yang akan datang,
dan itu akan menjadi terlalu tidak nyaman bagi kita berdua jika aku
harus..." Pesh menarik napas dalam-dalam saat merah muda
mewarnai pipi coklatnya. "Well, jika aku harus memeriksamu secara
fisik." Pemahaman melanda Emma saat ia memikirkan bagaimana Dr.
Pandleton telah memeriksa secara keseluruhan tubuhnya. "Oh,"
gumam Emma. Pesh mencodongkan tubuhnya di kursinya, matanya yang gelap
membuat kilatan memohon. "Aku tidak ingin kau berpikir aku
adalah seorang bajingan atau apapun yang ingin mengetahui dirimu
lebih baik. Itu subjek yang pertama kali Mr. Fitzgerald singgung."
Emma memelototkan matanya dengan ngeri. "Dia benar-benar telah
melakukan itu" Aku akan memberinya pengertian di saat kami
berdua dalam keadaan lebih baik!" Ketika bahu Pesh merosot dalam
kekalahan, Emma merasa jahat saat Pesh tampak terhina karena
kata-kata Emma. "Oh Pesh, maafkan aku. Itu bukan berarti aku tidak
ingin pergi bersamamu."
Mata gelap Pesh bercahaya karena harapan. "Benarkah?"
"Ya. Aku hanya tidak bisa percaya bahwa Patrick akan melakukan
hal seperti itu." "Apakah karena pernah ada hubungan antara kau dengan anaknya?"
"Ya begitulah dan kenyataannya ia terbaring di ruang gawat darurat.
Itu bukanlah waktu yang paling tepat untuk bermain mak comblang
(pencari jodoh)." "Kurasa aku menanam benih saat aku menyebutmu cantik."
Pipi Emma merona karena pujiannya. "Terima Kasih."
Menatap ke bawah ke tangannya sendiri, Pesh berkata, "Aku ingin
kau tahu bahwa meminta nomor teleponmu dari Mr. Fitzgerald,
mengatakan pada orang yang benar-benar asing bahwa ia cantik - itu
bukanlah diriku. Aku yakin tidak ada satupun rekan-rekanku yang
akan mempercayai aku telah melakukan hal seperti itu."
"Benarkah?" Pesh mengangguk. "Sebenarnya aku tidak pernah bereaksi pada
wanita seperti yang telah aku lakukan denganmu dalam jangka
waktu yang sangat lama."
"Oh?" Pesh mengintip ke arah Emma melalui bulu mata gelapnya.
Kesedihan terpancar di dalam mata Pesh. "Delapan belas bulan yang
lalu aku kehilangan istriku karena aneurisma (pembengkakan
pembuluh darah)." Emma tersentak. "Aku sangat menyesal."
"Kau tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan tak berdaya
menjadi seorang dokter, dan kau tidak bisa menyelamatkan wanita
yang paling kau cintai di dunia."
"Berapa umurnya?" tanya Emma untuk sementara.
"Hanya tiga-puluh-lima."
"Itu sangat muda."
Pesh mengangguk. "Jade telah diadopsi saat ia hanya berumur tiga
tahun. Orang tua angkatnya tidak tahu apa-apa tentang riwayat
medisnya. Dari apa yang telah aku kumpulkan, itu bisa saja dicegah
jika kita tahu tanda-tandanya dan gejala-gejala yang harus
diperhatikan." Saat ekspresi sedih Pesh muncul, Emma mengulurkan tangannya
pada tangan Pesh. Dengan sebuah senyuman penuh syukur, Pesh
menyelipkan tangannya ke dalam tangan Emma. "Aku tahu
bagaimana rasanya kehilangan cinta dalam kehidupanmu."
Alis gelap Pesh melengkung dalam keterkejutan. "Kau tahu?"
Emma mengangguk. "Lima tahun yang lalu tunanganku meninggal
dalam kecelakaan mobil."
"Aku sangat menyesal." Sebuah keheningan yang canggung
memenuhi ruangan. Akhirnya, Pesh memberikan gelengan singkat
dengan kepalanya. "Hmm, diantara kehilangan tunanganmu,
putusnya hubunganmu, dan aku menjadi duda, kurasa kita bisa
membuat sebuah pasangan tragis, ya kan?"
"Orang harus bisa melanjutkan hidupnya," kata Emma dengan
lembut. Tapi saat ia mengucapkan kata-kata itu, ia sedang berpikir
tentang Aidan daripada tentang Travis. Apakah Pesh adalah pertanda
dari doa yang telah diucapkannya" Atau apakah semuanya yang
telah dialaminya dalam tiga minggu terakhir hanya sangat
membingungkannya" "Sejak delapan belas bulan aku kehilangan Jade, aku tidak pernah
membayangkan sama sekali ingin berkencan dengan wanita lain
lagi." Ia tersenyum pada Emma. "Sampai hari ini."
"Tapi mengapa aku?"
"Mengapa tidak?"
"Kau sadar kan aku sedang mengandung enam bulan, kan?"
"Aku akan mengatakan padamu hal yang sama pada anak Mr.
Fitzgerald saat ia menyebutkan hal itu."
Pipi Emma merona saat ia menyebut Aidan. Ia bahkan tidak ingin
mulai membayangkan percakapan apa yang telah terjadi diantara
Patrick, Aidan, dan Pesh. Rasa malu Emma disela oleh Pesh yang
meremas tangannya. "Fakta kau sedang hamil tidak berpengaruh
pada kecantikan lahiriahmu atau kebaikan yang terpancar dari dalam
dirimu." Tanpa berkedip atau tidak bernapas, Emma menatapnya tidak
percaya. Bagaimana mungkin seseorang yang tampan, sukses, penuh
kasih sayang tertarik berkencan dengannya saat ia sedang hamil
enam bulan dengan anak pria lain" "Pesh, aku sangat berterima kasih
atas pujian menyanjungmu, tapi kehidupanku begitu sangat rumit
saat ini." "Dan aku tidak membantu masalahmu dengan pernyataan cintaku, ya
kan?" Emma memberinya sebuah senyum sedih. "Kau sudah melalui
begitu banyak sehingga kau layak mendapatkan kebahagiaan sejati.
Aku harus benar-benar jujur saat aku mengatakan aku hanya tidak
tahu jika aku mempunyai sesuatu untuk diberikan padamu saat ini."
Pesh memiringkan kepalanya ke satu sisi dan berpikir. "Bagaimana
jika kita hanya mencoba mencari tahu satu sama lain sebagai teman
dan lihat bagaimana selanjutnya" Aku tahu kau tidak diperbolehkan
pergi kemanapun di beberapa minggu ke depan, jadi aku bisa datang
ke rumah dan meneleponmu. Kau tahu, memeriksa tanda-tanda
vitalmu." Pesh menyeringai sejenak. "Itu terdengar benar-benar
seperti penguntit, ya kan?"
"Tidak, aku-" "Sudah lama sekali sejak aku melakukan permainan berkencan. Aku
yakin dengan apa yang aku katakan dan lakukan yang membuat
nafsumu mati." *** Emma menatap wajahnya yang sangat tampan dan bertanya-tanya
bagaimana ia bisa membuat semua wanita kehilangan nafsu
padanya. "Aku akan senang dengan kedatanganmu dan
memeriksaku." Alisnya terangkat dengan terkejut. "Benarkah?"
Emma mengangguk. "Aku yakin setelah beberapa hari terjebak di
dalam rumah, aku akan senang ditemani oleh ahli medis."
Senyum kesenangan tampak di wajah Pesh. "Aku akan sangat
senang menyukainya."
"Aku juga." Pager yang ada di sabuk Pesh berbunyi. "Kurasa ini berarti aku lebih
baik segera pergi." Ia bangkit dari kursinya. "Jadi aku harap aku bisa
melihatmu di minggu ini."
"Tapi bagaimana kau akan-"
Pesh mengangkat tangannya. "Mr. Fitzgerald telah mengurus itu."
Emma memutar matanya tapi senyum tampak di dirinya. "Mengapa
aku tidak terkejut?"
Pesh tertawa. Sekali lagi ia mengambil tangan Emma dan kemudian
membawanya ke bibirnya. "Sebaiknya kau berjanji kau benar-benar
bisa menjaga dirimu sendiri."
Kesulitan untuk bernapas, Emma hanya bisa menggumam, "Aku
berjanji." Pesh kemudian berbalik dan menuju ke pintu. Tepat sebelum ia
keluar dari pintu, ia melambaikan tangannya pada Emma. Setelah
Emma mendengar pintu tertutup, kepalanya jatuh kembali ke atas
bantal. Menggelengkan kepalanya, ia tidak bisa mempercayai
peristiwa gila hari ini. Jika ada orang yang mengatakan padanya
sehari sebelumnya seorang pria sangat tampan akan memintanya
pergi berkencan dengannya, ia akan mengatakan pada mereka bahwa
mereka sedang berkhayal. Hal yang sama bisa dikatakan untuk
segalanya yang telah terjadi saat makan malam bersama Aidan dari
pengakuannya tentang Amy pada keinginannya untuk minta maaf
padanya. Lelah karena peristiwa hari ini, Emma menutup matanya dan
mencoba untuk memblokir semua pikiran diluar-kendalinya dan
ketakutannya. *** Bab 7 Sekitar jam tiga pagi, Emma terbangun karena ingin ke kamar kecil.
Saat turun dari tempat tidur, Emma tertegun. Rasa hangat memenuhi
dadanya melihat Aidan tertidur pulas di bangku. Pada satu waktu di
tengah malam Aidan kembali sehingga Emma tidak sendirian.
Jantungnya berdetak cepat melihat Aidan begitu peduli kepadanya.
Pikiran tentang Pesh hilang dari pikiran Emma saat dia duduk di tepi
tempat tidur memandang Aidan.
Leher Aidan tergantung tidak nyaman, dan Emma tahu Aidan akan
mengalami pegal-pegal keesokan harinya. Emma berdiri goyah
diatas dua kakinya dan membungkuk di atas Aidan. "Aidan," Emma
berbisik, sambil mengeluskan tangannya di pipi Aidan.
"Hmm?" "Bangun." Mata Aidan langsung terbuka, dan ia berdiri sangat cepat hampir
menerjang Emma. "Kenapa" Apa kau baik-baik saja?"
Emma tersenyum. "Aku baik-baik saja. Aku hanya perlu ke kamar
kecil, dan kau hampir mematahkan lehermu dengan posisi tidur
seperti itu." Aidan memutar bahunya sambil meringis. "Harusnya kamu
memanggil suster untuk ambil pivot dan tidak banyak bergerak."
Emma mendengus. "Terima kasih banyak, tapi aku tidak separah
itu." Kerlip usil berbinar di mata Aidan. "Mau aku menggendongmu?"
"Sama sekali tidak! Hal terakhir yang aku butuhkan adalah orang
yang akan menjadi penjagaku terkena hernia karena mencoba
menggendongku." "Em, kau tidak akan membuatku terkena hernia," balas Aidan.
"Terserah," gumam Emma sebelum masuk ke kamar kecil. Setelah
Emma selesai dan mencuci tangan, dia keluar menemukan Aidan
sudah tertidur lagi dan mendengkur halus.
Sambil menggelengkan kepala, Emma kembali ke tempat tidur.
Merasa baru saja menutup mata, Emma merasakan nafas seseorang
menghangatkan pipinya. "Em, bangun sayang."
Emma mengerjapkan matanya, dan melihat Aidan di depannya. "Jam
berapa sekarang?" "Enam. Aku hanya ingin kau tahu aku akan ke atas untuk menemani
Pop sebelum dia dioperasi."
"Oke. Katakan padanya aku menyayanginya, dan aku berdoa
untuknya." "Akan kusampaikan." Aidan ragu-ragu sejenak sebelum menunduk
untuk mencium ujung kepala Emma. "Aku benci meninggalkanmu."
"Jangan, kau harus menemani ayahmu."
"Aku akan segera kembali secepatnya."
Emma mengangguk. Ketika Aidan sampai di pintu, Emma berkata,
"Aidan, tunggu."
Aidan berbalik sambil mengangkat alisnya, menunggu respon dari
Emma. "Aku hanya ingin bilang terima kasih karena sudah
bersamaku semalam. Itu sangat berarti karena kau tidak
meninggalkanku sendiri."
Aidan tersenyum, "Walaupun kau tidak perlu mengucapkan terima
kasih, kuterima dengan senang hati."
Ketika Aidan menutup pintu, Emma menyandarkan kepalanya ke
bantal. Tidak lama dia tertidur lagi sampai sarapan pagi datang.
Bersamaan dengan itu datang suster lain untuk memeriksa Emma.
Emma memaksakan diri untuk makan daging yang seperti karet dan
telur yang terlalu matang ketika pintu kamarnya terbuka. "Pagi
sunshine!" Kata Casey, sambil masuk ke kamar.
"Selamat pagi."
"Aku membawakanmu sesuatu yang nyaman untuk pulang ke ... ya,
kurasa aku harus mengatakan sesuatu untuk pergi ke rumah bajingan
itu." Emma memutar matanya. "Bagaimana semalam?"
"Baik-baik saja. Aku berhasil untuk tidak membuatnya cacat atau
mengeluarkan darah."
"Aku senang mendengar kau tidak melakukannya. Apakah kau
mengampuninya secara emosional juga?"
Casey menggerutu sambil duduk di kursi. "Mungkin aku
mengatakan 5 kata padanya paling banyak." Sambil melihat


The Proposal The Proposition 2 Karya Katie Ashley di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekeliling, Casey bertanya, "Omong-omong, kemana si bajingan itu
pergi pagi ini?" Emma mengerutu frustasi sebelum menjawab. "Dia bersama
saudara-saudaranya menunggu bagaimana operasi Patrick berjalan."
"Oh begitu." Baru saja Emma membuka mulutnya untuk bercerita pada Casey
tentang Aidan yang menginap ketika Pesh masuk ke kamar. "Pagi,
aku hanya ingin memeriksa keadaanmu sebelum memulai shiftku."
Emma menggigit bibirnya, menahan tawa melihat ekspresi Casey.
Dengan mulut menganga dan mata terbelalak, Casey memperhatikan
Pesh dari kepala sampai kaki. Ketika Pesh berpaling ke arahnya, dia
mengulurkan tangannya. "Saya Dr. Alpesh Nadeen."
"C-Casey Turner," jawabnya.
"Dia sahabat baik saya" Emma memberitahu Pesh karena Casey
terus menatapnya. "Senang bertemu dengan anda." Melewati Casey, Pesh menghampiri
Emma. "Kuharap kau tidak berpikir ini tidak sopan sama sekali,
tetapi aku mengintip datamu pagi ini."
"Kau benar-benar seorang penguntit," goda Emma.
Pesh tersenyum lebar, membuat lesung pipit muncul di kedua
pipinya. "Nah, semuanya terlihat baik-baik saja. Kupikir sekali kau
menjalani dengan santai untuk empat belas hari ke depan, kau akan
baik-baik saja selama masa kehamilanmu."
"Kuharap begitu."
"Yakinlah. Semua akan baik-baik saja." Sekali lagi penyeranta Pesh
menginterupsi mereka. Pesh melirik pagernya dan merengut.
"Kurasa sebaiknya aku ke bawah."
"Terima kasih banyak untuk mampir kesini."
Pesh mengangguk. "Aku akan menemuimu besok, dan kita akan
memastikan rencana makan malam kita."
"Makan malam?" Pesh mengangkat alis matanya yang gelap kearah Emma. "Kau tak
berpikir aku hanya datang untuk memeriksamu dan keluar begitu
saja, kan?" Emma merasa pipinya menghangat atas sindiran itu, "Tidak, tapi..."
Pesh mengangkat satu tangannya dan tersenyum. "Kita akan
membicarakannya nanti." Berpaling ke arah Casey. "Senang bertemu
dengan anda." "Ya, senang bertemu dengan anda juga," balasnya, pandangan Casey
terpaku pada pantat Pesh saat ia berjalan keluar. Ketika mereka
sudah ditinggal sendiri, Casey berputar ke arah Emma. "Gila, Em!
Kau hanya punya tepat lima detik untuk menjelaskan padaku siapa
Dr. McDreamy Bollywood itu!"
Emma tertawa dan kemudian dia mulai menceritakan segalanya pada
Casey. Saat sudah selesai, Casey mengangguk-anggukkan kepalanya
pelan-pelan. " Wow... maksudku...hanya wow."
Emma mendesah sambil menerawang dan berkata, "Aku tahu."
"Jadi apakah kau akan memberinya kesempatan?"
Emma mengedikkan bahunya. "Mungkin."
"Kupikir pria seperti itu ingin lebih dari sekedar 'mungkin'." Casey
menatap penuh rindu pada pintu yang dilewati Pesh tadi.
"Maksudku, disamping terlihat sangat tampan, pria itu penyayang
dan perhatian...dan berlawanan sekali dengan si bajingan yang takut
dengan komitmen." "Aku sudah terlalu stres, Case. Aku tak bisa memasukkan seorang
pria baru yang potensial ke dalam masalah ini sekarang." Ketika
Casey mulai protes, Emma menggelengkan kepalanya. "Lagipula,
aku masih belum yakin aku siap untuk berpisah dari Aidan."
Casey memutar matanya. "Benarkah" Kau akan membiarkan
perasaanmu pada bajingan itu merusak seseorang yang berpotensial
menjadi belahan jiwa yang menakjubkan?"
"Aidan adalah ayah dari anakku. Untuk kenyataan itu aku akan
selalu mencintainya, tetapi masih banyak masalah diantara kami."
Melihat ekspresi bibir Casey yang mengetat, Emma berkata, "Disini
tidak ada hitam dan putih yang mudah, Case. Semua abu-abu. Selain
apa yang masih kurasakan pada Aidan, perilakunya selama dua
puluh empat jam terakhir sangat menawan. Dia mempertaruhkan
pekerjaannya untuk menjagaku. Dia kembali ke sini tadi malam agar
aku tidak sendirian. Dia memohon dan mengiba maaf dariku. Aku
tidak bisa mengabaikannya begitu saja."
Casey tertunduk mengalah. "Aku hanya tak ingin melihatmu
terluka." "Aku tahu. Dan percayalah, aku juga tak mau. Tetapi setidaknya aku
harus membiarkan Aidan mencoba dan melihat bagaimana semuanya
berjalan, atau aku akan selalu menyesalinya."
Casey akan memprotes tetapi disela oleh handphone Emma yang
berdering. Emma membaca isi pesannya. "Aidan sedang dalam
perjalanan kesini." Casey mengerutkan hidungnya. "Sebaiknya aku pergi, atau aku akan
terlambat kerja." "Jaga kantor untukku selama aku tidak ada."
Casey nyengir. "Pasti. Kau hanya harus baik-baik menjaga dirimu
sendiri dan Tuan Noah, supaya kau dapat kembali sesegera
mungkin." Emma tersenyum. "Pasti akan kucoba."
Casey menunduk dan memeluk sekaligus mencium Emma. "Aku
akan segera menengokmu lagi."
"Bagus." Saat Casey keluar dari pintu, Aidan menyerbu masuk. Aidan
tersentak dan memaksa dirinya sejauh mungkin dari Casey dan buku
notesnya. "Tenang Big Papa, anak-anakmu aman pagi ini."
Aidan menghela napas dengan lega. "Aku lega mendengarnya.
Mereka masih sedikit trauma dari kejadian semalam."
Memandang dari bahunya, Casey mengedipkan mata pada Emma.
"Sampai jumpa."
Emma melambaikan tangannya sebelum mengalihkan perhatiannya
ke Aidan. "Bagaimana keadaan Patrick?"
"Baik," jawab Aidan.
Emma menghela napas lega. "Terima kasih Tuhan."
"Kau akan senang kalau tahu hal pertama yang dia lakukan ketika
kembali ke kamarnya adalah menanyakanmu."
Air mata menggenang di mata Emma. "Benarkah?"
Aidan mengangguk. "Pop bilang sampaikan sayangnya padamu dan
Noah, dan dia akan menjengukmu secepatnya saat dia sudah bisa
keluar." Emma tertawa dan menyapu matanya. "Manis sekali."
"Iya, manis memang mengalir di DNA Fitzgerald, terutama dengan
laki-lakinya." Pikir Aidan.
Emma memandang Aidan dengan jengkel. "Bukankan terlalu awal
untukmu untuk menyombong?"
Aidan terkekeh saat suster datang membawa surat yang menyatakan
Emma diijinkan untuk pulang. Selesai Emma menandatangani
semuanya Aidan berkata, "Ini artinya kita sudah boleh pulang kan?"
Emma mengangguk dan mulai turun tempat tidur. "Segera setelah
aku berganti pakaian dan menyisir rambutku."
Dahi Aidan berkerut. "Jangan berdiri terlalu lama saat kau ganti
pakaian. Duduk di pinggir tub atau dudukan toilet."
Emma mendengus jengkel. "Apa kau akan menjadi overprotektif
seperti ini ketika kita sampai ke rumahmu?"
Aidan menganggukkan kepalanya. "Yap, setidaknya sampai aku tahu
kau dan Noah lepas dari bahaya."
Rasa frustasi Emma menguap sedikit atas ketulusannya. "Baik, baik,
aku akan duduk ketika aku berpakaian."
Setelah Emma di dalam kamar mandi, dengan senang hati ia melepas
baju rumah sakit dan memakai celana yoga dan kaos lengan panjang
yang Casey bawa. Lalu Emma memakai sepatu tenis yang lebih
besar yang baru saja dibeli untuk kakinya yang membengkak. Emma
mengikat rambutnya menjadi ekor kuda.
Ketika Emma sudah selesai, dia melihat suster sudah menunggu
dengan kursi roda. Emma duduk di kursi roda itu saat Aidan
mengambil tas yang Casey bawa bersama dompetnya. Suster
kemudian mendorong Emma menuju lift. "Pastikan kau membaca
surat keluarmu tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Itu
juga menunjukkan kapan kau perlu kembali untuk bertemu dengan
doktermu." Sebelum Emma dapat merespon, Aidan menjawab, "Saya akan
pastikan dia melakukannya."
Suster memberikan Aidan senyum lebar. "Saya yakin kamu akan
menjaga dia dengan baik."
"Iya, bu. Saya akan memberikan dia banyak perhatian lembut penuh
cinta." Ketika Emma memiringkan kepala ke arahnya, Aidan mengedipkan
matanya. Sesampainya di lobby, suster berkata. "Kita akan tunggu
disini sementara suami mengambil mobil."
Emma mengeluarkan suara kecil seperti dicekik sementara Aidan
berhenti melangkah tiba-tiba. "Um, oke," Emma akhirnya bersuara.
Aidan melirik emma sekilas sebelum pergi ke tempat parkir. Tidak
membutuhkan waktu lama baginya untuk kembali dengan mobil.
"Semoga berhasil," kata suster sebelum dia menutup pintu mobil.
"Terima kasih," kata Emma. Dia segera memasang sabuk pengaman
dan berbicara pada Aidan. "Siap."
Saat mereka keluar dari tempat parkir, Aidan berkata. "Ada yang
tidak sabar ingin bertemu denganmu."
"Oh?" Dia melepaskan pandangannya dari jalan untuk tersenyum pada
Emma. "Beau." Emma tertawa. "Kuharap kamu membawanya pulang semalam."
"Kukira rumahnya adalah rumahmu?"
"Rumahnya yang sebenernya."
"Ah, iya kalau begitu. Tentu saja, dia terus berkeliling dari kamar ke
kamar mencarimu." "Kasihan sekali."
"Aku yakin dia akan lebih dari siap untuk berbagi tempat tidurmu
dan yang lainnya ketika kau sampai."
Emma tersenyum. "Aku benci tidur sendiri, jadi aku akan senang
sekali kalau dia jadi teman tidurku lagi."
Aidan membuka mulutnya untuk mengatakan sesuatu tetapi tidak
jadi. "Kenapa?" tanya Emma.
"Tidak." Karena Emma merasa komentar Aidan berhubungan dengan
menawarkan jasanya sebagai teman tidurnya, Emma memutuskan
untuk tidak meneruskannya. Ketika mereka berbelok di jalan rumah
Aidan, dada Emma terasa sakit karena dia merasakan campur aduk
antara kenangan bahagia dan menyakitkan. Saat Aidan memarkir
mobilnya, Emma tidak bisa menahan diri untuk mengingat malam
dimana dia menemukan mobil Aidan dan mobil lainnya.
Ketika Aidan mematikan mesin mobil, dia menengok ke arah Emma.
"Bagaimana kalau kau duduk manis saat aku membuka pintu rumah,
jadi kau tidak harus menunggu?"
Emma melemparkan pandangan ke Aidan, "Aidan, aku pikir aku bisa
berdiri selama dua detik selama kamu membuka pintu."
"Baik," gerutu Aidan.
Emma tidak percaya betapa ekstrimnya pengertian Aidan tentang
bed rest Emma. Satu menit menyebalkan dan berikutnya menjadi
menawan. Dia berharap hormonnya memperbolehkannya untuk
menghargai Aidan daripada mencaci makinya secara verbal.
Hal berikutnya yang dia tahu Aidan bergerak secepat kilat dari mobil
lewat garasi, jadi ketika Emma yang bergerak lambat sampai di
pintu, Aidan sudah membuka kunci dan pintu. "Kerja yang bagus,
Speedy," komentar Emma.
"Kembali." Beau datang mendengking ke dapur. "Hai boy, merindukanku?"
Beau melolong dan mendorong perut Emma, "Aw, kami berdua
baik-baik saja. Aku hanya harus menjalani dengan santai," Emma
memberitahu Beau. "Omong-omong tentang santai, ayo ke tempat tidur."
"Kau ini bossy sekali," jawabnya sambil menyusuri koridor.
Ketika Emma masuk ke kamar Aidan, dia terkesiap. Selimut yang
Grammy buat untuknya ketika dia masih kecil digelar di atas kasur
sementara foto orang tuanya yang dibingkai dengan perak antik
berdiri di atas laci samping tempat tidur. Kursi ayun dan dipannya
ditaruh di samping kanan tempat tidur. Emma berbalik kembali ke
Aidan, tidak mampu menyembunyikan keterkejutannya. "Apakah
Casey yang menyarankan ini?"
"Tidak," gumam Aidan.
Detak jantungnya berdetak cepat sekali. "Maksudmu, kau yang
melakukan ini" Untukku?"
"Ya, aku yang melakukannnya." Aidan menggosok lehernya dengan
gusar dibawah tatapan mata Emma. "Casey membawa barangbarang yang penting,
tetapi aku pikir kau memerlukan beberapa
barang yang bisa membuatmu merasa seperti di rumah. Walaupun
jika kau bilang kau tak akan tinggal lama."
Emma tidak dapat bernapas, apalagi bicara. Oh Tuhan, mengapa dia
begitu luar biasa" Setiap kali Aidan melakukan sesuatu yang
perhatian dan penuh kasih, hal itu hampir saja mematahkan hatinya,
daripada membuatnya hangat. Hal itu seperti menunjukkan ke depan
wajahnya lagi bahwa selain satu kesalahan besar yang dibuat Aidan,
pada dasarnya, dia adalah pria yang baik -- yang berhak menerima
maaf dari Emma. Emma mengambil beberapa langkah ragu ke arah Aidan. Berdiri di
depan Aidan, Emma menatap ke arah mata birunya yang bertanyatanya. Emma maju dan
memberinya pelukan. "Terima kasih, Aidan.
Ini sangat berarti sekali bagiku."
Aidan cepat-cepat memeluk Emma. Emma menutup matanya dan
membiarkan perasaan nyaman dan bahkan cinta membungkusnya.
Napas hangat Aidan menggelitik kulit cuping telinga Emma. "Aku
senang kau menyukainya. Aku ingin melakukan apa saja yang dapat
membuatmu bahagia." "Yah, ini adalah awal yang luar biasa menakjubkan."
"Sama-sama." Emma dapat mendengar kesenangan yang bergetar
dalam suaranya. "Jadi apakah kau ingin istirahat sebentar" Atau aku
bisa membuatkan makan siang lebih awal."
"Sebenarnya, aku ingin sekali mandi. Aku merasa jorok sekali."
Aidan mengangguk. "Aku mengambil kursi dari toko farmasi.
Biarkan aku menyiapkannya untukmu."
"Bagus, aku akan merasa berumur 80 tahun," gerutu Emma,
mengekor di belakang Aidan ke dalam kamar mandi. Dia berhenti
terkesiap melihat jubah favoritnya tergantung di pintu dan semua
peralatan mandi dan make up tertata di meja.
Aidan menutup toilet dan menyuruhnya duduk. "Kau tidak perlu
berdiri, ingat?" Dengan mendesah, Emma menurutinya dan duduk. Tidak lama
untuk Aidan menyetel bangkunya. Setelah dia menyalakan air dan
menyesuaikan temperaturnya, dia melirik dari bahunya ke arah
Emma. "Oke. Kau sudah siap."
"Terima kasih."
Ketika Emma tidak bergerak, Aidan menaikkan alisnya merasa
khawatir. "Kau butuh bantuan?"
Memikirkan Aidan melihatnya telanjang memberikan sensasi hangat


The Proposal The Proposition 2 Karya Katie Ashley di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

di pipinya. Dia menggelengkan kepalanya dengan mati-matian. "Aku
bisa sendiri." "Baiklah," jawab Aidan.
Ketika pintu tertutup di belakang Aidan, Jari-jari Emma menarik
pinggir pakaian dan lalu diam terpaku. Pandangannya menatap di
bangku shower. Kilas balik dari masa lalu saat ibunya berperang
melawan penyakit kanker melanda Emma. Bayangan ibunya
mencoba keluar masuk shower berkelebat dipikirannya, dan
membuatnya menggigil. Bayangan itu ditambah dengan semua yang dilaluinya dalam kurun
waktu dua puluh empat jam membuat emosinya keluar tak
terkendali. Terutama, rasa takut masih menggantung di sekeliling
Emma. Hal ini seperti momok yang diam di ruangan itu, mengejek
Emma bahwa mimpinya yang sempurna memiliki anak akhirnya
akan tercapai. Hanya pikiran akan kehilangan Noah membuatnya
bergidik bergemuruh didalam dirinya.
Membenamkan kepalanya ditangannya, Emma menangis tanpa
malu-malu. Walaupun dia tahu dia tidak boleh begitu, Emma
membiarkan dirinya menangis tersedu-sedu. Pintu kamar mandi
terbuka, Emma terdiam. "Em, apakah kamu baik-baik saja?"
"Aku baik-baik saja," jawab Emma dengan tegas, tetapi suaranya
yang bergetar mengkhianatinya.
Aidan berjalan masuk. Emma mencoba menyembunyikan tubuhnya
yang gemetaran saat Aidan ragu-ragu berjalan. Mengintip Aidan
melalui jari-jarinya, Emma melihat ekspresi khawatir Aidan melihat
dirinya masih duduk di toilet. "Mengapa kau belum mandi?"
"Aku, uh..." Berlutut di depan Emma, Aidan menangkup dagu Emma dengan
jemarinya, mengangkat wajah Emma untuk menatap ke mata Aidan.
"Em, kau harus berhenti menangis. Ini tidak bagus untukmu atau
Noah." "Maaf," bisiknya parau.
Dengan menggunakan tangan yang lain Aidan menangkup wajah
Emma. "Kau tidak perlu meminta maaf. Kau di sini bersamaku
sekarang, dan segalanya akan baik-baik saja."
Emma menggelengkan kepalanya. "Tetapi tidakkah kau lihat"
Semuanya tidak baik-baik saja!"
"Aku tahu, tetapi..."
"Mudah berdiri di sana dan berkata padaku agar tidak bersedih,
tetapi kau tak tahu apa yang aku alami saat ini!" jerit Emma.
Aidan menundukkan mata birunya. "Aku tahu itu, Em."
Emma mengusap pipinya dengan punggung tangannya. "Setiap
menit, setiap detik, aku tidak tahan berpikir kalau semua akan
berantakan. Aku begitu takut sesuatu yang buruk akan terjadi pada
Noah. Aku kehilangan semua orang yang kucintai. Aku tidak bisa
kehilangannya juga." Dadanya menghela saat tangisan memeras
dirinya lagi. Tanpa ragu-ragu, Aidan menarik Emma ke pelukannya yang kuat.
Harusnya Emma mengusir Aidan pergi. Berdekatan dengannya
ketika Emma sedang emosional sama saja bermain dengan api.
Tetapi dia juga begitu lelah sendirian selama ini dan menanggung
semua beban sendiri. Aidan memiliki kekuatan yang cukup untuk
mereka berdua, dan hanya dengan dipeluk olehnya memberikan
kenyamanan untuk Emma. Mendekap punggung Aidan, Emma mengepalkan tangannya di
kemejanya, berpegangan sangat erat. Bibir Aidan hangat di
telinganya, membuatnya menggigil. "Shh, ayolah, sayang. Jangan
menangis," gumam Aidan di telinganya. "Aku disini untukmu, dan
kita akan melaluinya bersama."
Kata-kata Aidan meyakinkan Emma, dan demi Aidan dan Noah,
Emma mencoba menenangkan diri. Ketika tangisannya mereda,
Aidan menjauh sedikit dan menatap tajam Emma. Mata birunya
menyala dengan intens. "Dengarkan aku. Kau punya hak untuk
merasa takut, tetapi aku ingin kau percaya padaku ketika aku bilang
Noah akan baik-baik saja. Dia diberkahi dengan gen yang super
kuat." Menaruh tangannya di perut Emma, Aidan tersenyum. "Dia
adalah sebagian Fitzgerald, dan setiap generasi, laki-laki di
keluargaku terkenal dengan ketangguhan, pejuang yang bertarung
dengan keinginan seperti besi untuk bertahan hidup."
"Sungguh?" tanya Emma sambil sesegukan.
Aidan mengangguk. " Tetapi bahkan lebih dari sekadar darah
pejuang Fitzgerald dari Irlandia, dia mewarisi DNA terbaik dari
ibunya. Ibunya adalah orang yang terkuat yang pernah kukenal."
Kata-kata Aidan, ditambah dengan ketulusannya saat dia berbicara,
menyebabkan dada Emma serasa terbakar. "Oh Aidan," gumamnya.
Aidan menyapu rambut Emma dari wajahnya. "Kau hanya harus
tetap kuat, Em. Api yang terbakar begitu dalam di dirimu - yang
memastikanmu untuk dapat melalui saat-saat tergelap - kau harus
berusaha agar nyalanya lebih bersinar."
"Akan kucoba." "Bagus. Aku senang mendengarnya." Aidan bangun dari lantai.
"Sekarang ayo mandi. Nanti airnya keburu dingin sebelum kau
sempat mandi." Ketika Aidan mengangkat kaosnya melewati kepala, Emma
membelalakan matanya. "Apa yang kau lakukan?"
"Melepaskan kaosku. Aku tak mau basah kuyup saat membantumu
mandi." Emma menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Aku tidak perlu
bantuanmu." "Kau kelelahan, Em. Biarkan aku membantumu, oke?"
"Kupikir itu bukan ide yang bagus."
"Kenapa tidak?"
Rasa hangat memenuhi pipi Emma. "Karena kau akan melihat ku..."
Cengiran usil muncul di bibir Aidan. "Apakah kau lupa kalau aku
sudah mengenal dengan baik setiap inci tubuh indahmu?"
Emma menatap tangannya yang ada dipangkuannya. "Tidak, tetapi
saat itu berbeda. Kita berbeda saat itu."
Tatapan Aidan yang dalam memandangnya membuat Emma
akhirnya menengadah. "Dan sekarang juga berbeda karena aku tidak
akan menggodamu saat aku melihatmu telanjang. Aku akan
menjagamu. Ada tingkat keintiman yang lebih dari sekedar seks,
Emma." "Aku tahu," bisik Emma.
"Jadi biarkan aku membantumu."
Emma menghembuskan napas kekalahan dan mengangguk.
"Maukah kau memutar kursinya, jadi aku tak perlu menghadapmu?"
Kilatan geli bersinar dimata Aidan. "Baik, Nona Pemalu, aku
putarkan." "Asal kau tahu saja, aku tidak seperti terakhir kali kamu melihatku,"
debat Emma saat Aidan memutar kursinya.
Aidan berbalik dan mengedikkan bahu. "Aku tidak percaya.
Lagipula, kau masih secantik ketika pertama kali aku melihatmu."
"Kau selalu genit ya?" balas Emma sambil tersenyum.
"Cuma bilang sesuai kenyataan, nyonya." Kemudian tangan Aidan
memegang pinggiran baju Emma. Tanpa protes, Emma membiarkan
Aidan melepaskan bajunya. Tatapan Aidan tertuju pada belahan dada
Emma lebih lama dari seharusnya sebelum melempar baju Emma ke
keranjang baju kotor. "Berdiri," perintah Aidan.
"Kau terlalu bossy."
"Dan kau terlalu keras kepala," timpal Aidan sambil menurunkan
celana Emma. Hanya mengenakan pakaian dalamnya, Emma gemetaran. Seakanakan mau menyamakan
keadaan, jari-jari Aidan memegang
resletingnya sendiri dan melepaskan celananya juga. Tatapan mata
mereka bertemu saat tangan Emma bergerak kebelakang punggung
dan melepaskan kaitan branya. Setelah branya terlepas, tangan
Emma menutup payudaranya.
"Yang benar saja, Em. Berhentilah bersikap seakan-akan aku ini pria
mesum." Kegusaran Aidan menyulut api kecil dalam diri Emma. Tangan
Emma kemudian memegang bagian pinggang celana dalamnya, dan
dilonggarkan sebisa mungkin sambil diturunkannya melewati
perutnya yang besar. Melihat tatapan terkejut Aidan, Emma berjalan
ke arah shower dan duduk dikursi. "Tolong ambilkan sabun vanila
ku dan sponge merah muda. Terima kasih."
Gelak tawa Aidan menggema di dinding kamar mandi. Membasahi
tangannya di shower, Aidan memberikan sponge pada Emma.
"Sudah kutaruhkan sabun cair disitu." Aidan menutup pintu shower
di belakangnya. Emma tidak berani melihat apakah Aidan melepas
celananya atau tidak. "Mau aku cucikan rambutmu?"
"Kau serius mau melakukan itu?"
"Tentu saja. Lagipula seperti kamu akan membiarkan aku menyabuni
bagian terbaik saja."
Suara terkikik terlepas dari bibir Emma. "Kukira kau akan berlaku
sopan," protesnya. "Memang. Makanya kenapa aku ingin tetap menyibukkan tanganku
dengan rambutmu." "Baiklah." Aidan membasahi rambut Emma dengan semprotan shower. Setelah
yakin basah seluruhnya, Aidan menaruh shampo dengan harum buah
persik di satu tangan kemudian digosoknya sampai berbusa.
Emma tidak dapat menahan erangannya saat jari-jari Aidan memijat
kepalanya. "Oh Tuhan, rasanya enak sekali."
"Aku senang kau menyukainya. Jika pada akhirnya aku dipecat
karena mengambil libur, mungkin aku punya masa depan dalam tata
rias." Emma tertawa. "Aku tidak bisa membayangkanmu menata rambut
sebagai mata pencaharian."
"Aku juga." "Kau tahu, kau mencuci rambutku seperti ini mengingatkanku akan
Out of Africa ketika Robert Redford mencuci rambut Meryl Streep,"
kata Emma. "Ibuku suka sekali film itu."
"Sungguh?" Aidan tertawa sambil membilas rambut Emma. "Iya, dia suka semua
hal tentang Robert Redford. Dia selalu bilang Robert Redford
mengingatkannya pada Pop versi berambut pirang."
"Oh Tuhan, sekarang setelah kupikir-pikir, Patrick memang sedikit
mirip dengan Robert Redford!"
"Aku tidak percaya Pop belum bercerita tentang ini padamu. Hal ini
biasanya membuat dia besar kepala."
"Hmm, egonya besar" Kedengarannya seperti sifat keluarga
Fitzgerald." "Ha, ha," jawab Aidan. Saat jari-jari Aidan menyentuh kerutan luka
Emma, Emma membeku. "Em, apa ini?"
Sponge yang sedang dipegangnya terlepas dan jatuh ke lantai.
"Bukan apa-apa. Hanya luka lama."
"Rasanya tidak seperti bukan apa-apa." Tangan Aidan melepaskan
kepalanya dan ditaruh di bahu Emma. "Katakan padaku."
Emma merangkulkan tangannya di sekeliling dadanya. "Itu hanya
pengingat masa yang menyakitkan dalam hidupku ketika aku
melakukan hal yang sangat bodoh." Ketika tangan Aidan tetap
bertahan di bahunya, Emma menghela napas. "Setelah ibuku
meninggal, aku kesepian sekali. Kesedihanku untuk Travis masih
baru sekali. Tidak ada suami, tidak ada ayah, tidak ada ibu ... aku
tidak dapat melihat menembus awan hitam bahwa aku masih punya
Grammy dan Granddaddy."
Tubuh Emma menggigil saat dia membiarkan bangkai masa lalunya
menari mengelilinginya. "Satu malam aku pergi ke gunung, Aku
terbangun di tengah malam dan masuk ke mobil. Aku mulai
mengebut di jalan yang berkelok-kelok, berharap mobil lain akan
datang dari arah depan, dan aku dapat mengakhiri semuanya."
"Oh Tuhan," gumam Aidan, tangannya meremas bahu Emma dengan
kuat. Emma menatap ke arah Aidan. "Aku malah menabrak pohon. Dan
walaupun hal itu membuat mobilku rusak total dan memberiku bekas
luka mengerikan, aku hidup."
"Apakah hanya sekali itu saja kau mencoba untuk ..." Emma
menebak Aidan tidak kuat mengatakan kata-kata itu.
Emma mengangguk cepat. "Setelah malam itu, aku tahu itu artinya
aku ditakdirkan untuk tetap hidup - mencoba untuk hidup bahagia
untuk orang tuaku dan untuk Travis. Aku menemukan seorang
terapis yang bagus, bersama dengan keluargaku dan keyakinanku,
membantuku melaluinya."
"Terima kasih untuk menceritakannya padaku." Aidan menunduk
dan mencium ujung kepalanya yang basah. "Kau adalah wanita yang
paling luar biasa yang pernah kutemui."
"Aku tidak tahu kalau itu."
"Itu benar." "Apa yang aku lakukan itu benar-benar bodoh dan egois dan ..."
Aidan menggelengkan kepalanya. "Aku tidak akan menghakimimu,
Em. Aku tidak pernah melalui neraka yang kau alami. Aku hanya
lega kau ada disini."
"Terima kasih."
Aidan mematikan keran. Menengok ke arah Emma, dia bertanya,
"Semua sudah bersih?"
Emma tertawa. "Ya, semua bersih."
Aidan membuka pintu shower dan pergi mengambilkan handuk dan
jubahnya. Emma lega melihat Aidan masih memakai pakaian
dalamnya. Walaupun basah kuyup, Emma melihat jelas bentuk
bokong Aidan. Emma memutar matanya pada hormonnya yang di luar kendali, dia
memalingkan pandangannya kembali ke lantai. Ketika Aidan
mengulurkan handuknya, dia mulai mengeringkan tangan dan
kakinya. Aidan menarik rambutnya ke atas dan membungkusnya
dengan handuk yang lain. "Apakah kamu lapar?"
"Umm, hmm," Emma bergumam sambil memakai jubah mandinya.
"Apa ada yang kau inginkan?"
Emma mengangkat alisnya terkejut. "Kau akan membuatkan apa saja
yang kuinginkan?" "Iya. Atau mau keluar dan di bawa pulang."
"Bagaimana kalau shrimp scampi mu?"
Aidan mengangguk. "Sementara kamu mengeringkan rambutmu,
aku akan membuatnya dan membawanya kesini."
"Apakah kau akan membawanya dalam baki perak dengan sekuntum
bunga mawar di dalam vas kristal?" tanya Emma sambil nyengir.
"Selalu saja mulutmu," gumam Aidan sambil keluar dari kamar
mandi. Emma tertawa geli sambil mengeluarkan pengering rambutnya. Dia
menutup dudukan toilet sebelum Aidan menyuruhnya. Setelah
rambutnya kering, dia memakai piyama dan naik ke tempat tidur.
Beau dengan bahagia ikut naik juga di samping Emma.
Emma melihat setumpuk di atas laci samping sebelum membaca
judul-judulnya. Tumpukan itu didominasi buku-buku non-fiksi,
buku-buku self-help. Emma mengambil satu dari sekian favoritnya,
Tuesdays with Morrie, dan mulai membaca ulang.
Aidan muncul beberapa saat kemudian dengan sebuah nampan dan
dua piring tanpa vas kristal dan mawar. Emma menghirup dengan


The Proposal The Proposition 2 Karya Katie Ashley di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

semangat. "Oh Tuhan, baunya enak sekali!"
"Terima kasih."
Emma menegakkan duduknya dan mengambil nampan. Sementara
Aidan mengambil piringnya, Emma mengganguk ke arah laci
samping. "Kenapa memilih topik itu?" tanyanya.
Rona merah mewarnai pipi Aidan. "Oh, um, jadi, itu direkomendasi
oleh terapisku." Emma tersedak gigitan udang yang ada di mulutnya. Setelah baikan,
dia bertanya, "Kau dalam terapi?"
Aidan mengangguk, memalingkan kepalanya dari tatapan tajam
Emma sambil duduk di kursi ayun. "Sudah berapa lama kau
menemui terapis?" Menatap piringnya, Aidan memainkan sepotong udang dengan
garpunya. "Apakah kau harus bertanya?"
"Iya," bisik Emma.
Aidan menyentak tatapannya ke arah mata Emma. "Aku membuat
janji temu di pagi setelah aku dengan suksesnya menghancurkan
hidupku dan hidupmu."
"Oh begitu." "Aku suka sekali Dr. Leighton. Dia sangat membantuku dalam
banyak hal." "Seberapa sering kamu pergi?"
"Tiga kali seminggu."
Emma menelan ludah. "Sesering itu." Walaupun ketika Emma
sedang berurusan dengan kesedihannya yang sangat mendalam, dia
hanya pergi dua kali seminggu.
Aidan tersipu malu. "Aku minta untuk program yang paling intens
karena aku ingin memperbaiki diriku sendiri secepat yang aku
bisa...untukmu dan Noah."
Emma tidak dapat meredakan jantungnya yang berdetak kencang.
Aidan ingin menjadi pria yang baik untuknya - untuk memperbaiki
semua kesalahan yang telah dia lakukan, dan yang paling penting
menjadi segalanya yang Emma mau dan butuhkan. Sebagian dari
dirinya ingin menghampiri dan memeluk dengan erat Aidan - untuk
mengatakan bahwa hatinya masih milik Aidan dan selalu begitu.
Tetapi dia tidak bisa. Dia terlalu malu.
"Ingin nonton film?" tanya Aidan tiba-tiba. Saat Emma
memandangnya dengan skeptis, Aidan tersenyum. "Kau yang pilih,
aku janji." Emma berpikir apa yang ingin ditonton. "The Sound of Music."
Aidan meringis. "Christ, apakah kita harus nonton musikal?"
"Kau bilang aku yang pilih!" timpal Emma.
"Baik, baik," gumam Aidan, mencari-cari di kotak besar berisi DVDDVD yang dia
bawa dari rumah Emma. Saat dia menemukannya, dia
masukan ke dalam player dan mengambil piringnya. Aidan bersantai
di tempa tidur disamping Emma daripada kembali duduk di kursi
ayun. "Bagaimana udangnya?"
"Mmm, lezat." Emma tersenyum pada Aidan. "Aku berharap sekali
kau masaknya banyak."
Aidan tertawa. "Dalam kondisimu, aku menebak lebih baik
memasak dengan dua kali lebih banyak."
"Oh pahlawanku," balas Emma.
"Biar kutebak. Pahlawanmu ini sebentar lagi akan pergi kembali ke
dapur untuk mengambilkan satu porsi lagi."
Emma mengedipkan matanya dengan genit pada Aidan. "Iya, tapi
aku akan duduk manis dan setidaknya menunggu sampai kau selesai
makan dulu." "Malaikat yang murah hati," gumam Aidan dengan mulut penuh
udang. Sambil tertawa, Emma menyalakan TV. Saat film dimulai dan Julie
Andrews mulai berputar-putar dan bernyanyi diatas gunung, Emma
menarik selimutnya lebih dekat dan mendesah puas.
"Kau benar-benar suka film ini ya?" tanya Aidan.
Emma menengok ke arah Aidan. "Bagaimana kalau aku bilang aku
bermain sebagai Maria ketika di SMU?"
Aidan menelan ludah dengan keras. "Maksudmu kamu memakai
kostum biarawati?" "Ya tentu saja."
Aidan menjilat bibirnya. "Sial, itu hot."
Emma memutar matanya. "Dasar."
Aidan tertawa. "Maaf babe, tetapi setiap pria memiliki fantasinya
masing-masing." "Kau membayangkan aku dalam kostum biarawati?"
"Sebenarnya kau dengan memakai apa saja ... atau sama sekali
tidak." Jawab Aidan dengan mengedipkan sebelah matanya.
"Terserah," gumam Emma sambil kembali memandang TV dan
bukan Aidan. Setelah menghabiskan sepiring udang lagi, mata Emma mulai berat.
Saat dia memandang Aidan, mata Aidan sayu, tetapi Emma tidak
yakin apakah itu karena kelelahan atau karena dipaksa menonton
musikal. Emma tertidur tepat sebelum Von Trapp melarikan diri ke
Swiss. Ketika Emma terbangun, diluar sudah gelap. Melihat ke arah
bahunya, Aidan sudah tidak disampingnya lagi. Suara air shower
membuatnya menyadari dimana Aidan berada. Mengintip ke pada
jam weker disamping tempat tidur, baru saja jam enam.
Menguap, Emma meregangkan tubuhnya sebelum duduk. Mengubah
posisinya, membuat Emma ingin buang air. Menggit bibirnya, Emma
memandang ke arah pintu kamar mandi yang tertutup. Ada dua
pilihan : masuk saat Aidan mandi atau menjadi pengecut dan pergi
ke kamar mandi luar. Emma melupakan pilihan yang kedua. Dengan napas berat, Emma
turun dari tempat tidur. Beau mengikutinya. "Kau disini saja. Aku
tidak jauh." Beau tidak menghiraukannya dan tetap mengikuti Emma sampai ke
kamar mandi. Uap mengelilingi Emma dan menghalangi
pandangannya. Baru saja Emma menuju ke toilet, Aidan mematikan
keran air dan keluar dari shower dalam keadaan telanjang. Mata
Emma menatap mata biru Aidan yang kaget sebelum turun
memandang bagian bawah pinggang Aidan. Hormon kehamilannya
menendang keras, dan Emma menjilat bibirnya.
"Apakah kau sudah selesai memandangi paketku?" tanya Aidan,
suaranya menandakan kegelian.
Dengan berat Emma mengangkat pandangan matanya ke arah Aidan.
"Tunggu. Apa?" tanyanya. Lalu rasa malu menyerang Emma, dan
dia langsung menundukkan kepalanya. "Maafkan aku. Aku perlu
buang air kecil." Emma berjalan ke samping tubuh Aidan yang
basah, telanjang dan menuju ke toilet.
Aidan tertawa atas rasa malu Emma. Dia mengambil handuk, tetapi
daripada menutupi tubuhnya dengan handuk, Aidan dengan sengaja
menikmati waktu mengeringkan tangan dan badannya. Emma tidak
menghiraukan Aidan dan fokus buang air kecil. Setelah selesai,
Emma mencuci tangannya. Dia memutar mata ketika Aidan masih
saja telanjang. "Apa yang enak untuk makan malam?"
Emma menahan tatapannya dengan angkuh, dia berkata, "Apa saja,
aku lapar." "Serius?" Emma tertawa. "Kau harus segera terbiasa untuk memberi makan
nafsuku yang di luar kendali."
"Akan kucoba," renung Aidan sambil pada akhirnya dia menutupi
pinggangnya dengan handuk. "Kalau pizza bagaimana?"
"Mmm, menyenangkan."
"Kalau begitu aku pesan pizza saja."
Emma tertawa. "Betul, pesannya porsi besar. Ooh, dan pesan roti
kayu manis juga!" "Okay, aku akan pesankan."
"Bolehkah kita nonton film yang lain lagi?"
Aidan gemetar. "Film cewek lagi?"
Emma memajukan bibir bawahnya. "Boleh ya?"
Aidan memutar matanya. "Baiklah."
"Aw, makasih, makasih, makasih!" teriak Emma, mengalungkan
tangannya ke leher Aidan.
Dengan bibirnya beberapa cm dari bibir Aidan, Emma dengan cepat
memalingkan wajahnya dan mencium pipi Aidan. Aidan memandang
Emma dengan seksama untuk beberapa saat. "Baiklah, cukup sudah.
Kembali ke tempat tidur dan angkat kakimu."
"Siap, Sersan," desah Emma.
Saat Emma keluar dari kamar mandi, Aidan memukul pantat Emma
dengan main-main. Saat Emma memandang Aidan dari balik
bahunya, Aidan menggelengkan kepalanya. "Selalu kau dan mulut
itu!" *** Bab 8 Emma terbangun sejenak sebelum pukul satu, dan setelah ke kamar
mandi, ia menyelinap kembali ke tempat tidur. Aidan sudah tertidur
lelap, mendengkur dengan lembut. Emma baru saja menarik kembali
selimutnya saat teleponnya berbunyi di atas nakas. Ia
mencondongkan tubuhnya dan mengambilnya.
Itu adalah sms dari Casey. Memeriksa dirimu, Em. Berharap kau
beristirahat dan merasa baik-baik saja. Hubungi aku di pagi hari.
Emma tersenyum atas perhatian Casey. Aku baik-baik saja. Terima
kasih sudah bertanya. Btw, apa yang kau lakukan di tengah malam
begini" Aku mungkin akan bertanya padamu pertanyaan yang sama.
Harus buang air kecil. Ah, gotcha. Aku sedang menunggu Nate pulang dan bercinta
denganku!!! Memutar matanya, Emma menulis Pria yang malang. Tidak ada
istirahat karena lelah dengan libidomu di sekitarnya!
Lol. Benar. Berbicara tentang istirahat, dimana assclown (pantat
badut)" Emma tertawa saat jari-jarinya mengetik di atas tombol-tombol. Ia
sedang tertidur di sampingku.
APA-APAAN ITU! APA KAU GILA"!!!
Yaaa dengan teriakanmu! Itu tidaklah seperti kami melakukan
sesuatu. Kami jatuh tertidur karena menonton film.
Aku benar-benar berharap kau menghukumnya dengan beberapa
film cewek yang keren. Emma menatap Aidan yang tertidur dan hampir merasa menyesal
atas apa yang telah ia timbulkan padanya. Hampir. Lol, mari kita
menyebutnya aku memberinya trifecta estrogen dengan The Sound
of Music, Steel Magnolias, and Fried Green Tomatoes. Aku pikir ia
benar-benar menangis saat menonton Steel Magnolias...tapi aku
pikir itu lebih karena ia terjebak menonton film itu bukannya sepak
bola. Ia tidak harus tinggal dan menonton film itu, Em. Ia ingin
bersamamu...the fuckwit. Emma tidak bisa menahan senyum pada layar. Tidak masalah jika ia
ingin bersamaku. Aku tetap tidak yakin aku perlu untuk bersamanya.
Penyesalan terasa di diri Emma saat ia selesai mengetik itu. Ia tidak
yakin bahwa pernyataan itu sepenuhnya benar.
Hmm, apakah perubahan hatimu ada hubungannya dengan Dr.
McDreamy Bollywood" Menggigit bibir bawahnya, Emma ragu-ragu sebelum mengetiknya,
Mungkin...mungkin tidak. Kapan kencan panasnya"
Itu bukanlah berkencan. Ia hanya datang kemari untuk memeriksa
tanda-tanda vitalku. Ia membawa makan malam, Em. Itu adalah kencan.
Terserah. Emma bisa membayangkan Casey memutar matanya dan
menghembuskan napas frustasi saat ia mengetik. Lihat, jangan tidak
menganggap Dr. McDreamy Bollywood hanya karena Aidan
menumbuhkan sebuah vagina dan menjadi serba peduli dan
perhatian. Aidan tidak menumbuhkan sebuah vagina!
Itu tidak akan menyakitinya jika ia memang memilikinya. Mungkin
ia akan mengurangi berpikir dengan penisnya!
Case..., Baik, Baik, aku akan berhenti menjatuhkan si douchenozzle.
Terima kasih Sebenarnya, aku pikir kau perlu menguji teoriku tentang vagina
Aidan. Apa"!! Kau perlu mengirimnya mendapatkan sesuatu untuk dimakan.
Bukankah kau mengidamkan sesuatu"
Emma mengerutkan bibirnya sambil berpikir. Ia mengidam bacon
dan es krim terus menerus, bahkan saat sarapan ia bisa makan
keduanya secara bersama-sama. Aku bisa pergi membeli double
Baconator dari Wendy's dan sebuah minuman dingin.
Ha! Bagus. Mereka buka sampai pukul dua. Suruh dia. ASAP (As
Soon As Possible - secepat mungkin)
Case, ia sedang terlelap tidur.
Oh demi apapun! Bangunkan dia dan biarkan dia menunjukkan
vagina mengkilap barunya!
Emma mendengus frustasi. Baiklah. Ttyl (Talk To You Later -
Bicara denganmu lagi nanti)
Malam! Jangan berpikir aku tidak akan memeriksamu kembali
untuk melihat apakah kau benar-benar melakukannya.
Dasar kau iblis. Tapi kamu menyayangiku! Ya, begitulah. Aku menyayangimu juga. Setelah Emma melemparkan teleponnya kembali ke nakas, ia
menatap Aidan. Aidan sedang di posisi non-seksual favoritnya -
memeluk bantal kepala di atas perutnya. Dengan wajahnya
menghadap ke Emma, ia tampak sangat damai. Emma merasa buruk
sekali membangunkannya - bahkan jika ia benar-benar lapar dan
tidak hanya mencoba membuktikan sesuatu pada Casey.
Sambil mendesah, ia menyodok punggung Aidan. "Aidan?" Aidan
bergerak sedikit. "Bangunlah."
"Em?" tanya Aidan dengan mengantuk.
"Yeah, um, aku benci karena mengganggumu, tapi aku mengidam
sesuatu." Dengan mata yang tertutup, Aidan menguap. "Ingin aku ambilkan
sesuatu dari dapur?"
Emma menggigit bibir bawahnya. "Sebenarnya, aku ingin sesuatu
dari Wendy's." Kelopak mata Aidan langsung terbuka. "Serius?"
Emma mengangguk. "Jam berapa sekarang?"
"Satu." "Kau ingin aku keluar dan membelikanmu sesuatu untuk dimakan
sekarang?" tanya Aidan dengan heran.
"Please?" Aidan menatapnya sejenak, tanpa berkedip dan tanpa bergerak.
Emma hanya bisa membayangkan berbagai pikiran yang berputar di
benak Aidan. Baru saja saat Emma berpikir Aidan mungkin akan


The Proposal The Proposition 2 Karya Katie Ashley di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengatakan padanya untuk kembali tidur, Aidan bangkit ke posisi
duduk dan mengusap matanya. "Apa yang kau inginkan?"
"Double baconator, kentang goreng dan coklat dingin."
"Ya Tuhan, saat malam begini?"
"Aku bisa makan bacon dan es krim sepanjang waktu."
"Ingatkan aku untuk membeli beberapa di toko besok," katanya
sambil bangkit dari tempat tidur.
"Jadi kau benar-benar akan pergi?"
Aidan melambaikan celananya pada Emma. "Tentu saja."
"Kurasa kau telah menumbuhkan sebuah vagina," gumam Emma.
Berhenti sejenak dengan satu kaki berada di dalam celana, Aidan
berkata, "Maaf?"
"Oh, bukan apa-apa."
Setelah ia menutup resleting celananya, ia mencodongkan tubuhnya
ke arah Emma. Dari lampu kamar mandi yang menerangi, Emma
bisa melihat kegelian di wajah Aidan. "Aku berani bersumpah kau
baru saja mengatakan aku menumbuhkan sebuah vagina."
"Tidak, aku berkata bahwa kau benar-benar telah berubah banyak.
Kau tahu secara emosional," kata Emma berbohong.
"Uh-huh." Sebelum Aidan bisa menarik dirinya, Emma mencodongkan
tubuhnya dan mencium pipi Aidan. "Hati-hatilah dan terima kasih."
Ia menyeringai. "Pasti." Ketika Aidan sampai di pintu kamar, ia
kembali. "Hanya pastikan Casey tahu bahwa aku memakai vaginaku
dengan bangga, bukan karena ia mengambil kejantananku dengan tas
miliknya, tapi karena aku ingin menjadi pria yang lebih baik
untukmu." Mata Emma melebar. "Bagaimana kau-"
Aidan tertawa kecil. "Saat aku mulai mengumpulkan semua barang
pribadimu untuk dibawa ke sini, Casey menuduhku menumbuhkan
vagina. Kurasa tidak ada seorangpun yang akan kau sms pada pukul
satu tengah malam selain dia."
Menggelengkan kepalanya, Emma berkata, "Terserah. Yang penting
pergilah membeli makanan untukku, please."
"Aku dan vaginaku akan kembali dalam dua puluh menit.
Maksimal." Dan setelah sekali mengedipkan mata, Aidan pergi.
*** Bab 9 Emma bangun pagi harinya dengan dering nyaring telepon di
telinganya. Mengerlingkan sebelah mata pada jam, dia mengerang.
Ini baru saja jam 7 pagi, dan dia tahu hanya satu orang yang
menelponnya sepagi ini. Meraba-raba teleponnya, dia mengambil dan menekan tombolnya.
"Selamat pagi Grammy," dia berbisik dengan mengantuk.
"Hai sayang. Bagaimana perasaanmu?"
"Mengantuk." Grammy tertawa. "Maafkan aku membangunkanmu, tapi kau tahu
Granddaddy dan aku berpikir tidur lewat dari jam 5 itu terlalu
siang." "Itu ejekan saat kalian kebanyakan tidur."
"Dengar sayang, aku ingin tahu apa Aidan bisa datang ke sini hari
ini" Aku membuat sesuatu dari freezer yang kukira akan kau sukai,
dan aku baru saja akan membuat casseroles untuk Aidan yang bisa
dipanaskan kembali nanti."
"Grammy, kau seharusnya merawat dirimu sendiri dan Granddaddy,
bukan aku!" protes Emma
"Oh, ada apa dengan sedikit casseroles" Kebanyakan sudah selesai
dimasak dan disimpan. Disamping itu, aku tak bisa istirahat jika
kupikir kau dan si bayi tidak mendapat makanan yang baik, yang
sehat." "Sebenarnya, Aidan benar-benar pintar memasak, Grammy."
Grammy berdeham ke dalam telepon. "Tidak sepertiku."
Emma tertawa. "Itu benar."
"Jadi kau pikir dia nanti akan kesini untuk sebentar saja?"
Melihat sekilas melewati bahunya, Emma terkejut mendapatkan
Aidan masih ada di tempat tidur di sampingnya. "Aku akan
menanyakannya saat dia bangun."
Aidan membuka sebelah matanya. "Aku sudah bangun," dia
merengut. "Apa itu artinya kau akan pergi ke tempat Grammy untuk
mengambilkan kita makanan?"
"Dia memasak?" Emma mengangguk. Dia tersenyum lebar. "Tentu saja. Aku akan memakai pakaianku
sekarang." Dengan tawa, Emma membalas, "Aidan akan ada di sana sekitar
siang." Mendengar desahan Grammy, Emma berkata, "Dia perlu
menyediakan sarapan untuk kami dulu lalu mandi."
"Baiklah kalo begitu. Aku mencintaimu, gadis kecilku."
"Aku mencintaimu juga."
Saat Emma menutup teleponnya, ia merengkuh telepon itu ke
dadanya. Ia ingin merasakan pelukan Grammy lebih dari apapun.
Tidak perduli apapun yang terjadi di hidupnya, entah bagaimana
hanya berada dalam pelukan Grammy membuat semuanya baik-baik
saja. "Kau merindukannya, bukan?"
Emma mengalihkan pandangannya pada Aidan dan menggangguk.
"Maukah kau memberinya pelukan yang erat dan menciumnya
untukku ketika kau berada di sana?" Emma bertanya.
Aidan tertawa. "Aku pikir Virginia tidak akan membiarkan aku
melewati pintu depan tanpa memeluk dan menciumku."
Emma terkikik. "Itu benar. Tapi bagaimanapun juga berikan itu
padanya, oke?" "Aku akan melakukannya. Dan lalu aku akan pastikan kembali ke
rumah dan memberikan cintanya padamu juga."
"Terima kasih."
Jatuh ke belakang pada bantal, Aidan mengerang. "Ya Tuhan, hari
pertama aku benar-benar bisa tidur sampai siang di hari kerja, dan
aku bangun jam tujuh-tiga puluh."
"Kau tidak harus bangun tidur sekarang. Kita bisa mencoba kembali
tidur." "Yakin kau tidak lapar?"
Emma mengerutkan hidungnya. "Tidak, aku masih mendapat sedikit
mual di pagi hari." "Maukah kau menyetel alarm untuk jam 10?"
Emma menaikkan sebelah alisnya. "Kau benar-benar berencana tidur
sampai siang, huh?" "Mmm, hmm," Aidan berbisik.
Saat Emma bergerak ke belakang dalam selimut, Aidan bergerak
cepat di dalam kasur. Tangannya menyelinap ke sekitar pinggang
Emma saat memeluknya dari belakang. Menyusupkan wajahnya ke
leher Emma, Aidan berkata, "Hangatkan aku."
Nafas Emma tersentak saat dia menatap sekilas melewati bahunya
pada Aidan. "Apa kau benar-benar kedinginan?"
Aidan membuka salah satu matanya dan memberikan Emma seringai
licik. "Mungkin."
"Uh-huh, baiklah, lihat saja, Tuan."
Mereka baru memposisikan diri saat Noah menendang dengan gila.
"Oomph," Emma berkata, bergeser ke kanan.
"Serius, Em, aku tidak mencoba untuk menyentuh payudaramu!"
Emma terkikik. "Aku tahu kau tidak mencobanya." Dia mengambil
tangan Aidan dan membawa tangan Aidan ke daerah perut dimana
kaki Noah menyundul. Aidan mengambil nafas dalam. Saat Emma menatap kembali
padanya, wajah Aidan berekspresi murni kekaguman. Aidan menatap
Emma dan tersenyum. "Apa dia selalu seaktif ini di pagi hari?"
"Kadang. Biasanya, dia benar-benar mulai aktif setelah aku makan."
"Ah, seperti dia aktif oleh gula atau sesuatu seperti itu?"
"Aku rasa juga begitu."
Bahkan setelah Noah tenang, Aidan tetap menempatkan tangannya
rapat di perut Emma. Walaupun Emma seharusnya memprotes, ia
tidak melakukannya. Terasa terlalu nyaman dengan tangan Aidan
disekitarnya. Dan dalam beberapa saat, Emma merasa mengantuk.
*** Setelah alarm mati pada pukul sepuluh, Aidan melompat keluar dari
tempat tidur. Saat Emma bangkit, dia mengira Aidan akan mandi,
alih-alih Aidan menjangkau teleponnya.
"Apa yang kau lakukan?"
"Menelpon Becky."
"Kenapa?" "Selain pergi ke tempat Grammy, aku perlu pergi ke toko makanan
dan mencari beberapa barang. Mungkin aku keluar lebih lama dari
yang kuperkirakan, dan aku tidak ingin meninggalkanmu begitu
lama." Emma memutar matanya pada Aidan. "Aku rasa aku akan berhasil
dari tempat tidur ke kamar mandi, terimakasih."
Aidan menggelengkan kepalanya saat dia melangkah keluar dari
kamar mandi. "Hai kak, bisa kau menolongku?" Emma
mendengarnya bertanya. Aidan pergi tidak lama sebelum dia
kembali ke dalam. "Becky datang kemari."
"Hebat," Emma merengut.
Alis aidan berkerut dalam kebingungan. "Aku kira kau
menyukainnya?" "Aku memang menyukainya. Kenyataannya, aku menyayanginya
seperti kakakku sendiri. Cuma aku merasa terlalu dilindungi saat ini
- seperti ikan di akuarium."
"Maafkan aku, tapi aku tak bisa berhenti mengkhawatirkanmu, Em."
Dada Emma terasa tercekat pada kesungguhan yang tampak di wajah
Aidan. Ia tak tahu kenapa harus melawan Aidan sebegitu seringnya.
Ia hanya harus berhenti dan menikmati kenyataan bahwa Aidan
menjadi perhatian dan perduli. Alih-alih berargumen, dia
mengangkat tangannya dan menyerah. "Baik, baik. Becky bisa
datang mengasuhku." Aidan menyeringai. "Bagus, mengingat kau tidak punya pilihan."
"Aidan," Emma memperingatkan.
Aidan mendekati Emma untuk mencium pipinya. Lalu Aidan
menarik dirinya, bibirnya bergerak perlahan mendekati bibir Emma.
Saat Emma melihat ke dalam mata Aidan, ia melihat hasratnya
menyala terang. Sebagian dirinya ingin bergerak mendekat dan
menciumnya, tapi sebagian dirinya yang lain tahu seberapa
berisikonya itu. Meletakkan tangannya di dada Aidan, Emma dengan
lembut mendorongnya. "Kau lebih baik pergi mandi. Grammy akan panik dan terus-terusan
memenuhi saluran telepon jika kau tidak ada di sana tepat jam 12."
Rasa sakit sesaat terlintas dalam mata Aidan sebelum dia
menganggukkan kepalanya. "Baiklah kalau begitu."
Jantung Emma tercekat saat ia melihat Aidan berjalan penuh
kekalahan ke dalam kamar mandi.
*** Bab 10 Aidan berkendara keluar kota menuju pegunungan. Hari sudah siang
ketika dia tiba di depan rumah Earl dan Virginia. Dia menarik nafas
saat berjalan ke arah pintu depan. Pintu sudah terbuka ketika dia
baru sampai di beranda. "Well, halo tampan! Senang bertemu
denganmu lagi." Dia lega setidaknya nenek Emma tidak dendam padanya. Tentu saja
diantara Grandaddy dan Grammy, bukan Grammy yang di
khawatirkannya. Hal terburuk yang bisa dilakukan Grammy hanya
memukulnya dengan penggorengan-sedangkan Grandaddy yang
menggunakan pisau dan senapan.
Roh Dalam Keraton 1 Keturunan Pendekar Karya Rajakelana Pendekar Bodoh 1
^