The Proposal 3
The Proposal The Proposition 2 Karya Katie Ashley Bagian 3
Aidan tersenyum. "Halo Virginia, senang bertemu denganmu."
Seperti yang diperkirakan, Grammy memeluknya dengan erat.
"Bagaimana keadaan gadisku tersayang?"
"Sekarang dia marah karena bukannya beristirahat, kau malah
memasak untuknya." Jawabnya sembari melepaskan pelukan.
Grammy memiringkan kepala berubannya ke arah Aidan dan Aidan
mendengus. "Meski dia ingin aku memberitahumu kalau dia baikbaik saja, tapi aku
tidak bisa berbohong."
"Sudah kuduga."
"Secara fisik, dia baik-baik saja, tapi secara emosilah yang
menyakitinya....dan aku." Memasukkan tangan ke sakunya, Aidan
menggoyangkan kakinya. "Aku harap aku tahu apa yang harus aku
katakan atau perbuat untuk membuatnya lebih baik. Aku benci
melihatnya menangis, dan melihatnya ketakutan benar-benar
membunuhku." Virginia mengusap lengannya. "Aw, sayang, aku yakin kau sudah
melakukan hal terbaik untuk menjaganya. Hamil sudah cukup berat
baginya tanpa harus ditambah masalah kelahiran prematur dan
istirahat total." "Apakah penting seberapa baik aku menjaganya sementara akulah
alasan kenapa dia begini?"
"Sekarang jangan berpikir seperti itu."
"Itu kenyataannya, bukan begitu?"
Virginia menggelengkan kepalanya. "Aku tidak disini bukan untuk
menghakimi atau menghukummu atas apa yang terjadi, Aidan.
Masalah itu antara kau, Tuhan dan Emma. Dan jika aku mengenal
gadisku dengan baik, penyebab stresnya berkaitan dengan apa yang
terjadi pada ayahmu. Berkendara dalam ambulan, mendengar sirine,
aku tahu kalau itu membuat Emma teringat akan apa yang terjadi
pada ayahnya." Grammy memegang dagunya. "Jadi, jangan salahkan
dirimu sendiri, oke" Jika kau tidak ada disana, tidak ada seorangpun
yang akan menolong Emma."
Senyum ragu muncul di bibir Aidan. "Aku rasa begitu."
"Well, aku tahu itu." Grammy melambaikan tangannya menyuruh
Aidan masuk. "Ayo masuk dan ambil makanannya. Aku tidak ingin
menahanmu terlalu lama dari Emma."
"Bukan berarti dia peduli," gumam Aidan.
Virgiinia memandang lewat bahunya ke arah Aidan dengan
pemahaman tersirat di wajahnya. "Dia sangat peduli lebih dari yang
kau tahu." Pernyataan itu membuat jantungnya berdebar dan memberinya
harapan lebih. Saat dia memasuki ruang tamu, matanya terkunci
pada Earl yang sedang duduk. Dia menelan ludah dan menguatkan
diri menanti kemarahan Earl. "Halo, Earl."
"Halo juga, Aidan." Jawabnya, mematikan suara televisi.
"Bagaimana keadaanmu?"
Earl mengedikkan bahunya. "Sedikit lebih baik."
Virginia menghembuskan nafas frustrasi. "Dia terlalu banyak
beraktifitas, dan dia akan berakhir di Rumah Sakit lagi."
Earl memandang Virginia dengan tatapan putus asa. "Aku benci
hanya duduk sepanjang hari dan menunggu bantuan atau makanan."
Rajuknya. "Kau terdengar seperti Emma," jawab Aidan geli.
"Semoga hati Emmie Lou diberkati," balasnya.
Berjalan melewati Earl, Grammy mencium pipinya. "Percaya
padaku, sayang, tidak ada seorangpun yang menginginkamu untuk
bisa berdiri lebih dari diriku."
Earl menyeringai ke arahnya. "Kau seorang malaikat, Ginny."
Suara hampir mirip cekikikan terdengar dari Grammy sebelum dia
berbalik menghadap Aidan. "Sayang, silahkan duduk dan aku akan
menyiapkan semuanya."
Aidan melirik ragu antara Virginia dan Earl. "Kau yakin tidak perlu
bantuanku?" Dia menggelengkan kepala. "Tidak. Aku hanya perlu mengeluarkan
caserole terakhir dari dalam oven."
Setelah dia menuju dapur, Aidan dengan terpaksa duduk di sofa. Dia
menelan ludah dengan susah payah saat melihat ke arah senapan
yang ada di lemari tidak jauh dari tempatnya duduk.
Suara Earl mengejutkannya. "Ada apa denganmu?"
"Ti-tidak ada apa-apa." Saat melihat alis Earl berkerut dengan tanya,
dia menghela nafas. "Aku hanya memperkirakan seberapa cepat aku
bisa menghadangmu sebelum kau mengambil senapan di lemari."
Mata Earl berkilat geli. "Nak, aku tidak akan menembakmu karena
apa yang kau lakukan pada Emmie Lou."
"Benarkah?" Dia menggelengkan kepala. "Pertama, aku ingin cicitku memiliki
ayah dan kau tidak akan bisa memenuhi itu jika kau terkubur sejauh
enam kaki di bawah tanah."
Aidan tertawa gugup. "Tidak, aku rasa tidak."
Earl melirik ke arah dapur sebelum mengarahkan perhatiannya
kembali pada Aidan. "Kedua, aku mungkin melakukan banyak hal,
tapi munafik bukan salah satunya."
"Maaf?" Dengan menghela nafas, Earl berkata, "Anggap saja kalau saat aku
masih muda dan bodoh, aku pernah melakukan kesalahan yang sama
sepertimu." Mulut Aidan terbuka karena terkejut. "Jadi kau, um..."
Earl memutar matanya. "Seberapa jelas kau ingin rinciannya" Aku
pemuda dua puluh lima tahun yang sombong. Hanya karena Ginny
tidak memperhatikanku lagi karena kedua anak lelaki kami, aku
hampir membiarkan seorang pelacur murahan merusak pernikahan
kami." "Ya, itu sangat jelas."
"Untungnya bagiku, Virginia memberikanku kesempatan kedua dan
aku menghabiskan hampir lima puluh tahun ini untuk
memperbaikinya." Bersandar kedepan, Aidan bertanya, "Butuh berapa lama sampai dia
mau memaafkanmu?" "Sangat, sangat lama."
Aidan membuang nafas frustasi. "Aku hanya berharap Em akan
semurah hati itu." "Tergantung seberapa banyak kerja keras dan usaha yang kau
lakukan." "Yang benar" Aku bersumpah kalau aku sudah berusaha matimatian."
Earl mendengus. "Percaya padaku, sampai kau bekerja keras di
bawah terik matahari demi mengumpulkan uang untuk membelikan
istrimu perhiasan yang dia inginkan, kau tidak akan bisa bicara
seperti itu." Dengan kernyitan, Aidan menjawab. "Aku rasa tidak."
Suara Grammy terdengar dari dapur. "Ok, sayang, ini sudah siap."
Saat Aidan berdiri, Earl memegang tangannya. "Dengar, nak, kau
harus tetap mencoba. Emmie Lou merupakan keturunan wanita yang
keras kepala. Tapi yang Aku tahu dia tergila-gila padamu, jadi kalau
kau benar-benar menginginkannya, maka kau harus terus berusaha
memenangkannya kembali."
Kata-kata menenangkan Earl membuatnya tersenyum. "Aku pasti
akan melakukannya." *** Saat Aidan kembali ke Atlanta, dia berhenti di sebuah toko bahan
makanan dan membeli beberapa belanjaan sebelum pulang ke
rumah. Saat mobilnya memasuki pekarangan, jantungnya tiba-tiba
berhenti. Mobil Becky sudah tidak ada. Pikirannya berkecamuk.
Bagaimana kalau Emma mengalami kontraksi lagi dan Becky
membawanya ke Rumah Sakit" Bergegas keluar dari mobil tanpa
menutup pintu, Aidan berlari melewati garasi dan masuk dari dapur.
"Emma!" Teriaknya.
Suara senapan dan ledakan terdengar olehnya. Memutar leher, dia
melihat John dan Percy duduk di sofa dengan sebuah konsol game
ditangan mereka. "Dimana Emma" Dimana ibu kalian?" Desaknya
tanpa kata halo. John menatapnya dan memutar matanya sebelum kembali fokus
pada permainannya. "Dude, simpan kejantananmu. Ibu dapat
panggilan darurat dari Universitas untuk meeting, jadi kami menjaga
Emma sampai dia kembali. Georgie berada dikamar dengan Emma
sekarang sambil menonton Finding Nemo atau semacamnya."
Aidan terlalu lega sehingga mengabaikan kata-kata kotor yang di
ucapkan John. "Oh, well, bagus." Aidan menunjuk ke arah garasi
dengan jempolnya. "Bisakah kalian menolongku dengan belanjaan
dan makanan dari rumah Grammy!"
"Yang benar?" Tanya John.
Aidan menggerutu. "Iya, aku serius. Sebut saja itu balasan karena
sudah membajak kolamku selama musim panas."
"Aku pikir kau mengizinkan kami memakai kolammu karena kami
keponakan favoritmu?" Tanya Percy, sembari berdiri dari sofa.
Aidan tertawa dan mengacak rambutnya. "Aku rasa itu benar." Saat
John masih tidak bergerak, Aidan meraih dan mengambil
mainannya. "Hei!" Protes John.
"Angkat bokongmu dan kau mungkin masih punya kesempatan
untuk bermain lagi."
Mendengus, John berdiri dan melangkah ke arah dapur. Aidan dan
Percy mengikuti di belakangnya. Aidan membuka bagasi dan
menunduk mulai menyerahkan belanjaan pada mereka.
"Paman Aidan?" Mulai Percy.
"Iya?" "Tidakkah kau pikir kalau kau harus menikahi Emma?"
Aidan tersentak dan terbentur saat dia mengangkat kepalanya.
"Sialan!" Teriaknya saat pandangannya berkunang-kunang.
Beberapa kata makian terlontar keluar dari mulutnya saat rasa sakit
menjalar di tengkorak kepalanya.
"Mulut bagus yang kau punya." Cibir John.
Menggertakkan gigi, Aidan mengusap kepalanya. "Katakan itu pada
ibumu, dan aku akan memberitahunya tentang komentarmu tadi
mengenai kejantananku."
Mata John membesar. "Dude, itu benar-benar tidak keren!"
"Yeah, Well, terima saja." Aidan kembali melanjutkan kegiatan tadi
saat dia sadar kalau Percy menanti jawabannya. "Perce-"
Alis pirang Percy berkerut. "Tidakkah kau mencintainya?"
"Oh, Tuhan," gumam Aidan, mengacak rambutnya. Dia mengernyit
saat rasa sakit menusuk kepalanya. "Apakah ibumu yang menyuruh
kau mengatakan ini atau sesuatu?"
"Tidak, saat aku bertanya tentang hal yang sama pada Emma, dia
hanya bilang kalau kau seorang cad." Percy mengangkat bahu. "Aku
bahkan tidak tahu artinya."
"Aku yakin kalau maksudnya adalah seorang pria yang bersikap
seperti bajingan kepada wanita."
Aidan melirik marah pada John. "Aku bukan seorang bajingan!"
John mengangkat tangannya. "Bukan aku yang bilang tapi ibu."
Serahkan saja pada kakaknya yang seorang profesor bahasa inggris
untuk memakai istilah dari abad sembilan belas. Dia menyerahkan
kotak dari Earl dan Virginia pada Percy.
"Perce, semuanya rumit karena-"
"Kau seorang bajingan?" Tanya John.
Mengabaikannya, Aidan berkata. "Aku bodoh dan melakukan
sesuatu yang menyakiti perasaan Emma. Perlu waktu baginya untuk
memaafkan dan menerimaku kembali."
Percy menahan bawaannya di salah satu pinggulnya. "Kau akan
memiliki bayi dengan Emma, jadi hal bertanggung jawab yang bisa
kau lakukan adalah dengan menikahinya." Ucapnya masuk akal.
Aidan mengerjap berkali-kali ke arah Percy. "Apakah kepalaku
terbentur cukup parah dari perkiraanku atau apakah kau benar-benar
bertingkah seperti orang dewasa, daripada seperti anak-anak?"
Percy mengangkat bahunya. "Mungkin. Dad selalu bilang kalau aku
bijaksana." Aidan tertawa. "Aku rasa dia benar." Dia melirik John yang
menyeringai. "Tentu saja, apa yang kau katakan harus terdengar
dewasa dibandingkan dengan yang satu ini," ucapnya menunjuk ke
arah John. "Terserah." Gerutu John.
Aidan mengangkat kantong yang ringan dan menyerahkannya pada
John. "Apa ini?" Tanyanya, mengintip ke dalam.
Aidan kembali merebut kantong tersebut. "Emm, itu untuk Emma."
"Tidak terlihat seperti ukurannya," ucapnya dengan mata berbinar
geli. "Itu karena Noah, sok pintar." Dia menunjuk bagasi. "Selesaikan dan
bawa masuk semuanya. Aku akan melihat Emma."
John mengambil beberapa kantong lagi sementara Aidan dan Percy
berjalan ke rumah. Aidan meninggalkan mereka di dapur dan
berjalan ke lorong. Suara tawa Emma menghangatkan hatinya. Lalu
dengan suara bersenandung, dia mendengar Georgie berkata.
"Noah...Noah! Menendanglah untukku!"
Berdiri di pintu masuk, Aidan melihat pemandangan itu dengan
senyuman. Emma memegang senter di perutnya. Beranjak
mendekat, tatapan Georgie terpaku ke perut Emma, seakan
menunggu sesuatu terjadi.
Emma memandang ke arah Aidan dan tersenyum . "Hei, kau sudah
pulang." "Grammy mengirim salam dan berjanji akan berkunjung dalam
waktu seminggu." Emma mendesah frustasi. "Dan Grandaddy?" Tanyanya.
"Masih sakit, tapi semakin membaik. Dan dia berhasil untuk tidak
menyinggungku secara verbal maupun fisik."
Alis Emma terangkat naik. "Itu berita bagus."
Dia menunjuk ke arah Emma dan Georgie. "Apa yang sedang kalian
lakukan?" "Mencoba tipuan cahaya," jawab Georgie tanpa melepaskan matanya
dari perut Emma. "Tipuan cahaya?" Ulangnya, berjalan mendekati mereka.
Emma mengangguk. "Berhubung mata bayinya mulai terbuka di
bulan ke enam, seharusnya dengan menempelkan senter di perut bisa
membuatnya bergerak." Emma tersenyum ke arah Georgie. "Dia
tidak pernah merasakan bayi menendang, jadi dia mau merasakan
Noah." Aidan tertawa. "Sudah beruntung?"
Bibir Georgie menekuk. "Belum."
"Dia memperlihatkan kekeraskepalaan Fitzgerald dengan tidak mau
bekerja sama." Kata Emma.
"Hei, aku rasa dia juga mendapatkan itu darimu." Balas Aidan.
"Noah, tendang!" Perintah Georgie.
Aidan tertawa melihat usaha Gerogie. "Apakah kau pernah berpikir
kalau mungkin kau membuatnya marah atau sesuatu" Bagaimana
kau bisa suka kalau ada orang yang mengarahkan cahaya ke
matamu?" Aidan menangkap dan menarik pergelangan kaki Georgie
agar turun dari tempat tidur. "Coba kita lihat bagaimana kau
menyukainya, huh." Georgie terkikik saat Aidan menarik kaosnya ke atas dan
menempelkan senter ke perutnya. "Hentikan, paman Aidan!"
Katanya, saat dia menarik nafas.
"Apakah bayimu mulai menendang?" Tanya Aidan.
The Proposal The Proposition 2 Karya Katie Ashley di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Georgie menarik turun kaosnya. "Aku tidak punya bayi dalam
perutku, bodoh!" "Kau tidak punya?"
"Tidak, hanya ibu-ibu yang punya bayi dalam perut mereka."
"Oh, aku mengerti." Aidan mengelitiki Georgie, membuatnya
tertawa dan menggeliat lagi.
"Cepat Georgie!" Teriak Emma.
Aidan menangkap pinggang Georgie dan menariknya kembali pada
Emma. Emma memegang tangan Georgie dan menaruhnya di atas
perutnya.Matanya membesar. "Paman Aidan, Noah menendangku!"
Emma menyeringai. "Dia pasti suka suara tawamu. Karena itu yang
membuatnya bergerak, bukan cahaya."
Georgie melepaskan tangannya untuk bersandar ke depan dan
mencium tempat dimana dia merasakan Noah bergerak. "Aku cinta
kau, Noah!" Aidan tersenyum ketika melihat kilau di mata hijau zamrud Emma.
Dia sudah terbiasa dengan perubahan hormon Emma. Georgie,
bagaimanapun, melihat ke arahnya dengan terkejut. "Kenapa kau
menangis, bibi Emma?"
"Karena kau anak yang manis," timpalnya, merangkul Georgie ke
pelukannya. Dia mencium puncak kepala Georgie. Tidak luput dari
perhatian Aidan kalau Georgie memanggil Emma dengan sebutan
bibi dan Emma tidak membantah.
"Aku mau pipis," kata Georgie, menjauh dari Emma dan turun dari
tempat tidur. Saat Georgie melewati Aidan, pandangan Emma terpaku melihat
kantong yang berada di sisi Aidan. "Apa itu?"
"Oh, um...." Dia menggaruk rahangnya dan bergerak gelisah. Aidan
tidak tahu kenapa dia gugup dengan hadiah yang ingin diberikannya
pada Emma. Itu hanya sebuah jumpsuit bodoh. "Sesuatu untuk
Noah." Mata hijau Emma bersinar gembira. "Benarkah?"
"Bukan sesuatu yang besar. Aku melihatnya di toko dan terpikir akan
dia...dan kau." Dengan seringaian seperti anak kecil di hari natal, Emma mengambil
kantong itu dari Aidan. Tangannya merogoh kedalam dan
mengeluarkan jumpsuit tersebut. Dia membuka dan membaca
tulisannya. "Aku lucu, Mommy lucu. Dan Daddy..." Dia bertemu
pandang dengan Aidan. "Daddy beruntung," Aidan menyelesaikan untuknya.
"Oh, Aidan," gumamnya. Matanya kembali berkaca-kaca, tapi
sebuah senyum senang bermain di bibirnya saat menyentuh
pinggiran jumpsuit. Dia memiringkan kepala ke arah Aidan. "Terima
kasih. Ini terlalu menggemaskan dan lucu. Dan aku suka baju
bertulisan pertamanya diperoleh dari ayahnya."
"Selain baju baptisnya," Aidan mengingatkan Emma.
"Oh, kau benar. Tapi tetap saja."
"Jika aku tahu kau akan menjadi sentimen, aku akan membelikannya
sesuatu yang bagus." Kata Aidan geli.
"Bukan hanya karena jumpsuitnya, Aidan. Tapi apa yang tertulis."
Jawabnya lembut. Matanya bertemu dengan mata Aidan, dan hatinya
berdegup akan cinta yang bisa dilihatnya di mata Emma. Jika dia
bisa menyimpan kenangan seperti ini dalam botol, maka suatu saat
dia bisa memperlihatkan lagi kenangan tersebut saat Emma
meragukan cintanya pada Aidan.
"Bibi Emma?" Tanya Georgie, melangkah menuju tempat tidur.
"Apa sayang?" "Aku hanya berpikir bagaimana bisa Noah bisa berada di dalam
perutmu?" "Um, well..." "Mommy bilang kalau Noah anaknya paman Aidan, jadi apakah dia
yang meletakkannya disana?"
Mata Emma melotot saat melihat ke arah Aidan. "Uh, well..."
John dan Percy kemudian muncul di pintu masuk. "Kau tahu, aku
juga penasaran tentang itu, jadi mungkin kau bisa menjelaskannya
pada kami semua," kata John dengan seringaian geli.
Aidan melotot ke arah John. "Georgie," mulainya, "Darimana
datangnya bayi perlu kau tanyakan pada ibu dan ayahmu."
Alis Georgie berkerut. "Kenapa" Apakah itu rahasia?"
"Tidak, hanya saja. Um, well..." Aidan memijit tengkuknya sambil
mencari jawabannya. Akhirnya, dia ingat akan apa yang diberitahu
ibunya saat dia kecil dan kakaknya, Angie sedang hamil. "Seperti ini.
Ketika seorang pria dan wanita saling mencintai, cintanya akan
tumbuh di dalam tubuh wanita dan terciptalah bayi."
Menggaruk dagunya, John bertanya, "Jadi, aku rasa itu artinya kau
mencintai Emma, huh?"
Aidan memandangnya dengan sorot mata mematikan sebelum
beralih ke arah Georgie. Rasa ingin tahu berkilat di wajahnya karena
penjelasan tersebut. "Sungguh keren karena aku tumbuh dari cinta
Mom dan Dad," gumamnya.
Ketika Aidan berani melirik Emma, dia memandang balik dengan
mata membesar dan mulut terbuka. Meski dia sudah
mengisyaratkannya setiap hari, tapi dia masih belum bisa untuk
mengatakannya. Mungkin sekarang adalah waktu yang tepat untuk
mengatakannya dan memastikan hubungan mereka. "Hei, temanteman, di dapur ada
brownis buatan Grammy kalau kalian mau."
Georgie melompat turun dari tempat tidur sementara John dan Percy
berlari ke lorong. Saat mereka sudah sendirian, dia tersenyum pada
Emma. "Bagaimana penjelasanku?"
Dia menarik nafas. "Bagus...dan manis dan dia benar-benar
percaya." "Tapi apakah kau percaya?"
"Apa maksudmu?" Bisik Emma.
Jantung Aidan berdegup kencang. Ini saatnya. Sekarang atau tidak
sama sekali. Dia melangkah maju dan membuka mulutnya.
"Aidan Fitzgerald, apa yang kau lakukan dengan memberikan coklat
pada anakku sebelum makan malam?" Tanya Becky dari arah pintu
dengan tangan di pinggang.
Sialan! Momennya telah rusak. Aidan berbalik untuk melototi
Becky. Becky menatapnya dengan wajah lucu. "Diantara John dan
Percy, aku tidak yakin ada brownis yang tersisa untuk Emma."
Aidan mengacak rambutnya dan menghela nafas. "Aku minta maaf,
kak. Mereka membantuku mengangkat belanjaan, jadi aku pikir
mereka bisa mendapatkan cemilan."
Dia menyeringai. "Kau dimaafkan kalau begitu." Becky berbalik
pada Emma. "Semua baik-baik saja selama aku pergi?"
Emma mengangguk. "Mereka pengasuh terbaik yang aku punya
sejauh ini." Becky tertawa. "Aku percaya kalau mereka satu-satunya untukmu
selain adikku ini." Dengan senyum menggoda ke arah Aidan, Emma berkata. "Oh, dia
lebih dari sekedar pengasuh."
Alis Aidan menaik. "Oh, benarkah?"
"Mmmm, hmmm. Kau yang memasak, penjaga rumah dan seorang
penghibur." Aidan menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. "Iya, aku
memang semua itu." "Well, kurasa aku dan anak-anak sebaiknya pergi," kata Becky. Dia
melangkah ke tempat tidur dan mencium Emma.
"Jaga dirimu, mama."
"Pasti...dan Aidan juga."
Melihat ekspresi penuh cinta Emma, Aidan tidak bisa menahan
senyuman. "Tentu saja."
"Buat dia kerja keras kalau begitu," ucap Becky. Pura-pura
mendorong Aidan, kemudian mencium pipinya.
"Kau bisa bertaruh kalau dia akan begitu." Balas Aidan.
"Sampai jumpa," ucap Becky seraya melambai.
Aidan memandang Emma untuk beberapa saat. Haruskah dia maju
dan mengatakannya sekarang atau menunggu saat yang tepat" Bunyi
telepon Emma membuatnya yakin untuk menunggu.
*** Bab 11 Beberapa hari berikutnya bergulir seiring dalam irama yang
monoton. Belum lama, Emma telah menghabiskan minggu
pertamanya hanya istirahat di tempat tidur. Dia hanya membaca,
menonton TV dan film, dan ia dikunjungi Casey dan Connor serta
saudara Aidan. Sesuai dengan janjinya, Grammy datang selama satu
hari, dan Emma maupun Aidan tidak bisa menahan dia untuk
memasakkan mereka makan besar bersama dengan hidangan
penutupnya. Emma sangat senang ketika Patrick datang. Emma
sangat bahagia melihat dia sudah terlihat sehat dan benar-benar
bertolak belakang ketika terakhir kali dia melihatnya. Mereka berdua
dalam langkah menuju pemulihan, dan Emma sangat bersyukur.
Untungnya, cuti Aidan telah berubah dengan melakukan pekerjaan
lebih banyak di rumah. Emma menyukai fakta bahwa Aidan terus
sibuk sehingga ia tidak akan terus-menerus mengawasi Emma
seperti induk ayam gila setiap saat setiap hari. Tapi itu bukan karena
Emma tidak menikmati Aidan berada di sekitarnya. Dia menyukai
fakta bahwa Aidan bersedia melakukan apa saja dan semua yang dia
minta. Dia sebagai teman bicara yang baik dan fakta bahwa Aidan
setiap kali makan menemani Emma dan biasanya tertidur saat
menonton film, dan itu berarti Aidan akhirnya tidur di sisinya.
Setiap hari tampaknya mereka semakin dekat dan lebih dekat lagi.
Tapi rasa khawatir telah menggerogoti jauh di dalam perut Emma.
Dia takut dengan hormonnya dan kedekatannya pada situasi bed-
rest-nya akan membuatnya buta terhadap kebenaran dari karakter
Aidan. Setelah semua itu, sebelumnya dia sudah pernah ditipu Aidan
sekali. Bisakah dia benar-benar akan sepenuhnya mempercayai dia
lagi" Bisakah secara emosional dia bertahan untuk membangun
sebuah kehidupan dengan Aidan dan siap bila semuanya akan jatuh
berantakan jika ia ditipu lagi"
Pada Senin sore, Emma baru saja bersiap untuk menonton secara
maraton dari salah satu seri lama favoritnya, yaitu Dr. Quinn
Medicine Woman, saat teleponnya berdengung di sampingnya.
Melihat nama yang muncul di layar, detak jantungnya berakselerasi
begitu cepat yang mengancam akan menendang keluar dari dadanya.
Itu dari Pesh. Apa aku begitu lancang untuk menanyakan bolehkah
aku memeriksamu malam ini"
Emma menggelengkan kepalanya saat ia membaca dan mengulang
lagi teksnya. Bukan hanya itu, dia selalu terdengar begitu berbeda
dari laki-laki yang dia kenal, tapi dia selalu begitu baik dan
bijaksana. Dia sudah menelepon dua kali untuk mengeceknya, tapi ia
belum memulai pembicaraan tentang keinginannya untuk datang.
Tentu saja. Kedengarannya menyenangkan.
Aku bahkan siap membawakan mesin USG portabel, jadi kita bisa
memeriksa Little Man. Mendengar dia menyebut Noah, jantung Emma meleleh. Ah, terima
kasih banyak. Apakah jam lima terlalu sore" Aku harus pergi jam sembilan
malam. Tidak apa-apa. Luar biasa. Apa kau suka makanan India"
Emma menggigit bibir bawahnya sebelum menjawab. Sebenarnya,
aku belum pernah makan makanan itu.
Serius" Yep. Aku berharap kau bisa melihat seberapa besar mulutku menganga
sekarang. Sambil tertawa, Emma mengetik Maaf. Gadis Selatan yang keras
kepala dibesarkan di boonies (pedesaan) menolak perubahan.
Kita harus memperbaiki itu. Aku akan membawakanmu beberapa
makanan dari restoran India favoritku.
Kedengarannya luar biasa.
Kirimkan saja sms alamatmu itu, dan aku akan menemuimu
beberapa saat lagi. Saat jari-jarinya mengetik alamat rumah Aidan, rasa jijik membanjiri
dirinya. Apakah dia serius tentang mengajak pria lain ke rumah
Aidan" Seorang pria yang kehadirannya ini memiliki kemampuan
untuk membingungkan kedalaman perasaannya terhadap Aidan"
"Ugh, kau seorang penuh dengan kebencian, orang yang buruk
sekali, Emma Harrison!" Keluhnya, kepalanya jatuh kembali di atas
bantal. Mengapa segalanya harus menjadi begitu rumit"
Dia tahu apa yang akan dikatakan Casey. Hal ini menjadi rumit
karena Aidan hampir meniduri wanita lain dan menghancurkan
hatinya dan kepercayaan Emma. Jika ia tidak melakukan kesalahan
seperti itu, dia bahkan tidak akan terhibur ide dari Pesh. Tetapi pada
saat yang sama, Aidan telah berusaha keras untuk mendapatkan maaf
darinya, dan dia tidak bisa mengabaikan fakta bahwa dia adalah ayah
dari anaknya. "Jalang tidak berperasaan," gumamnya sebagai monolog internalnya
yang telah bekerja keras menyebut dirinya seperti itu.
Tapi jujur, hal itu tidak terdengar seperti dia mengundang Pesh untuk
berhubungan seks dengannya. Ia datang dalam kapasitas medis demi
kebaikan. Hanya karena dia kebetulan membawa makan malam
tidak berarti itu adalah kencan atau sesuatu yang istimewa. Emma
telah mengatakan kepadanya di rumah sakit bahwa ia tidak yakin ia
punya sesuatu untuk memberi harapan padanya, jadi hal itu tidak
seperti mengarahkan dia ke ... atau tidak setia kepada Aidan.
Sekarang dia harus mencari cara untuk memberitahu Aidan tentang
Pesh yang akan berkunjung. Perutnya bergejolak membayangkani
prospek itu. Untungnya, ia tidak perlu menunggu lama. Aidan
muncul di ambang pintu hanya beberapa saat kemudian ketika
Emma masih duduk sambil menatap layar teleponnya.
"Kau butuh sesuatu?"
Emma memaksa bibirnya tersenyum. "Tidak, aku baik-baik saja."
"Dengar, aku tahu kau membenci aku karena aku begitu protektif,
jadi apakah baik-baik saja jika aku melakukan sesuatu ke kantor"
Mereka tampaknya tidak memahami istilah "cuti" ini sama sekali."
"Tidak, tidak, tidak apa-apa."
"Aku mungkin ke gym setelah itu. Aku pergi tidak lebih dari dua
jam. Aku bisa membeli makan malam untuk kita pada perjalanan
pulang." "Oh, um, itu tidak perlu."
Aidan menatapnya dengan tampilan lucu. "Apakah kau tidak akan
kelaparan?" "Sebenarnya, sebentar lagi Pesh akan datang untuk 1house call. Dia
juga membawa makan malam."
Emma menarik napas saat alis pirang Aidan menghilang ke garis
rambut di dahinya. "Kau memiliki kencan dengan Pesh malam ini?"
"Ini bukan kencan!" Protesnya.
Aidan melipat tangannya di dadanya dan membalas, "Dia tidak
hanya mampir untuk memeriksa denyut nadimu, Em. Bajingan ini
membawakan makan malam."
Emma meringis. "Tidak, tidak seperti itu. Pesh tahu bahwa aku tidak
ingin memulai segala sesuatunya sekarang. Dia hanya memeriksaku
dan bersikap baik. Kau tahu, bersikap ramah dan lainnya."
"Tentu saja tidak terdengar seperti itu bagiku."
Mendengar nada Aidan yang keras, Emma menatap selimutnya.
"Dengar, ini rumahmu dan aku sudah memaksa keramahanmu. Jadi,
jika kau benar-benar merasa yakin tentang Pesh, aku akan
The Proposal The Proposition 2 Karya Katie Ashley di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memberitahu dia untuk tidak datang."
Ketika Emma berani melihatnya lagi, ekspresi Aidan sesaat
melunak. "Maksudmu kau mau melakukan itu" Untukku?"
"Tentu saja aku mau. Beri aku sedikit penghargaan untuk
mempertimbangkan perasaanmu."
Setelah menyentakkan satu tangannya untuk mengacak-acak
rambutnya, Aidan mendengus frustrasi. "Dan kau yakin kau tidak
mencoba untuk memulai suatu hubungan dengan dia?"
"Itu hal terakhir yang aku butuhkan saat ini karena lebih banyak stres
dalam kehidupanku, dan hubungan apapun itu, terutama pada
seseorang yang baru, selalu akan membuat stres."
"Bahkan denganku?"
Emma memiringkan kepalanya ke arahnya. "Aku bukan orang yang
menyebabkan stres dalam hubungan kita, ingat?"
Aidan meringis "Aku sangat menyadari apa yang sudah kulakukan
karena hal itu terus datang kembali untuk menghantuiku. Seperti
halnya dengan si Bajingan asing ini ingin menempel di
sekelilingmu." Emma memutar matanya. "Dia memiliki nama, dan itu Pesh. Jika
kau mau meluang waktu untuk mengenal dia, kau akan menyadari
dia bukan tipe pria yang mencoba untuk mengambil keuntungan dari
aku atau ingin masuk ke celana dalamku."
"Tidak, itu lebih buruk karena dia tidak melakukannya," gerutu
Aidan. "Apa?" "Aku lebih suka dia menjadi orang idiot yang mencoba masuk ke
dalam celanamu karena kau benar-benar akan muak dengan hal itu
dan mengatakan kepadanya berani-beraninya kau melakukan itu -
seperti yang kau lakukan padaku pertama kali." Aidan merengut.
"Tapi itu lebih buruk karena dia pria terhormat yang tidak peduli
bahwa kau sedang mengandung anak orang lain. Dia berbau
komitmen, demi Tuhan. Sialan, kau mungkin akan bertunangan pada
saat ia pulang malam ini!"
Setelah mendengar kata-kata Aidan, Emma tetap membisu. Ketika
mereka saling menatap selama beberapa detik yang menyakitkan,
Aidan mendesah. "Baik. Biarkan dia datang dan memeriksamu."
"Dia tidak memeriksaku. Dia memeriksa tanda-tanda vitalku. Dia
bahkan membawa USG portabel untuk memeriksa Noah."
"Luar biasa," gumam Aidan sebelum mulai berjalan ke arah pintu.
"Kau tidak adil," katanya.
Aidan berbalik, api menyala di matanya. "Maaf?"
"Tidak bisakah kau berempati dengan apa yang kualami" Semua
kebingungan yang aku rasakan tentangmu dan tentang kita dan
semua ketidakpastian - kau merasakan hal ini juga, bukan?"
"Apakah kau menyindir bahwa apa yang kau alami sekarang adalah
hal sama yang kulakukan tentang berkomitmen padamu?"
"Tidak, hanya saja -"
Aidan mengangkat tangannya ke atas. "Aku telah berpikir panjang
dan keras untuk membuat beberapa perbandingan, Em. Karena pada
akhirnya, kebingunganku itu sudah membawa aku mengacaukan hal
paling indah yang pernah aku miliki." Dia menggelengkan kepalanya
dengan sedih ke arah Emma. "Aku tidak ingin kau harus melalui hal
yang sama." Dada Emma runtuh mendengar kata-kata Aidan, dan dia harus
menghirup napas dengan keras. Apakah Aidan benar" Apakah dia
membuang kebahagiaan dengan kedua tangannya karena
ketidakpastian bodohnya itu"
Suara Aidan membawa Emma keluar dari pikirannya. "Berapa lama
aku harus pergi malam ini?"
"Aidan, kau tidak harus pergi. Kau dapat tinggal disini dan melihat
bahwa tidak ada yang terjadi."
"Aku mungkin seorang 2masokis tetapi hanya sampai batas
tertentu," jawabnya dengan getir.
Emma mendesah. "Dia datang pukul lima, dan dia harus pergi ke
tempat kerja pukul sembilan."
Aidan mengangguk sebagai jawaban. "Aku membawa ponsel jika
kau membutuhkan aku."
Tanpa banyak bicara, Aidan meninggalkannya. Ketika pintu
belakang dibanting, Emma terkejut. Beau datang ke kamar tidur dan
memberinya pandangan 'apa-apaan ini'. Emma memutar matanya.
"Yeah, yeah, itu semua salahku, kan?"
Beau menyalak dan naik ke tempat tidur. Emma duduk dan
membungkuk untuk menggaruk telinganya. "Ayolah. Aku harus
bersiap-siap. Kita memiliki teman sore ini."
Telinga Beau ceria mendengar Emma menyebutkan teman, tapi dia
menggelengkan kepalanya ke arahnya. "Tapi aku yakin kau sama
sekali tidak akan menyukai Pesh. Kau akan mendapatkan semua
wilayahmu, yang berarti aku mungkin perlu menempatkanmu di
ruang bawah tanah." Dia merengek dan menjauhkan diri, menyebabkan Emma tertawa.
"Tidak sekarang, konyol. Hanya saat sebelum temanku tiba disini."
Kemudian Emma begitu sibuk bersiap-siap menyambut kedatangan
Pesh. Setelah dia mandi, dia memakai sedikit makeup. Untuk
membuktikan kepada dirinya sendiri dan Aidan kalau hal ini bukan
kencan, dia tidak perlu repot-repot memakai salah satu baju atau
pakaian hamilnya yang lebih bagus. Dia mengambil pakaian sehariharinya dari
lemari, celana stretch dan kemeja lengan panjang.
Setelah mengusir Beau ke ruang bawah tanah, Emma bersantai di
sofa sambil membaca buku ketika Pesh membunyikan bel.
"Masuklah," serunya.
Pesh mendorong pintu. Tatapannya mengamati ruang untuk mencari
Emma. Ketika matanya bertemu dengan mata Emma, Pesh
tersenyum berseri-seri. "Well, halo. Tidakkah kau terlihat begitu
cantik?" Emma melirik pakaiannya kemudian kembali menatap ke arahnya.
"Serius?" Pesh tergelak. "Maksudku bukan pakaianmu. Maksudku warna
kulitmu terlihat sangat indah. Bed-rest-mu tampaknya setuju dengan
tubuhmu karena sekarang kau tampak sehat dan bercahaya."
"Oh, well, terima kasih. Senang mendengarnya."
"Kau tak mulai merasa sedikit stress karena terpenjara, kan?"
Emma menyeringai. "Mungkin sedikit. Aku hanya keluar dari rumah
sekali untuk pergi ke dokter. Tidak ada yang menarik."
"Well, bicara tentang dokter, biarkan aku mengambil tasku dan
monitor, dan kita akan memeriksa untuk melihat bagaimana
kondisimu." "Kedengarannya bagus."
Pesh menghilang keluar ke teras sejenak sebelum kembali dengan
membawa tas medis hitam dan sebuah kotak besar yang ada handlenya. Dia
menempatkannya di sisi sofa. Kemudian Pesh melihat ke
sekeliling ruang tamu, mengamati dekorasi dalam ruangan ini. "Kau
memiliki tempat yang sangat indah."
"Terima kasih, tapi aku tidak bisa memperoleh pujian ini karena ini
bukan rumahku." Dia duduk perlahan-lahan di sofa di samping Emma. "Aku
seharusnya menyadari kau tinggal dengan seseorang."
Sambil menggigit bibir, Emma menjawab, "Sebenarnya, ini rumah
Aidan." Pesh merengut. "Aku sendirian denganmu di rumahnya."
Pipi Emma menghangat. "Aku minta maaf jika itu membuatmu tidak
nyaman. Dia satu-satunya orang yang bisa merawatku."
"Tidak apa-apa." Pesh meletakkan tangannya di atas tangan Emma.
"Aku mau pergi kemana saja jika itu berarti aku akan menghabiskan
waktu denganmu." Emma bertemu dengan tatapan intensnya. "Terima kasih,"
gumamnya. Segala sesuatu yang ia debatkan dengan Aidan tentang
dirinya menjadi tertarik pada Pesh tampaknya terbang keluar jendela
ketika dia menatap mata cokelatnya yang menggetarkan jiwa.
Pesh membalik pergelangan tangannya ke atas dan mulai memeriksa
nadinya. "Sedikit lebih cepat, tapi tampaknya baik-baik saja,"
ujarnya. Membungkuk, Pesh mulai merogoh tas medisnya. Dia menempatkan
ear tips stetoskop di telinganya dan menempelkan diaphgram ke
dadanya. Semua sikapnya profesional saat dia menginstruksikan,
"Bernapaslah dengan normal." Saat Pesh menggeser diaphgram di
dadanya, lengannya menyentuh payudaranya, dan Emma menegang.
Jika Pesh melihat reaksinya, dia tidak mengakuinya. Sebaliknya,
alisnya berkerut saat ia mendengarkan jantung dan paru-paru Emma.
Kedekatan Pesh menyebabkan detak jantungnya semakin cepat.
Aromanya seperti kayu, panas dari tubuhnya, rambut hitam
berantakan, dia ingin menjalankan jari-jarinya disela-sela rambutnya
- semua itu membuat Emma terganggu. Bernafas normal seperti
yang diminta Pesh benar-benar hal yang mustahil. Sebaliknya,
Emma berhasil menarik napas yang sedikit terengah. Mata gelap
Pesh beralih dari stetoskop ke mata Emma. Dia melepaskan ear tips
dari telinganya dan tersenyum dengan penuh arti. "Entah aku yang
membuatmu gugup, atau kau harus kembali ke rumah sakit karena
pernafasan dan detak jantungmu tidak menentu."
Emma merasakan rona kehangatan merayap di pipinya. "Tidak, itu
karenamu," gumamnya.
Pesh mengangkat alisnya. "Jadi kau mengatakan jika Dr Pendleton
yang disini memeriksa tanda-tanda vitalmu, kau tidak akan bereaksi
seperti ini?" Tawa tergagap keluar dari bibirnya. "Tentu saja tidak."
Dengan menggeser tubuhnya, Pesh mencondongkan tubuhnya lebih
dekat ke Emma. Matanya yang gelap menembus mata Emma.
"Mengapa aku membuatmu gugup, Emma?"
Mulut Emma menjadi kering, dan ia menjilati bibirnya. "Karena..."
Kau begitu amat sangat tampan, dan tubuhmu yang menakjubkan
itu telah menyentak hormon kehamilanku menjadi tak terkendali,
membuatku memikirkan sesuatu tentang dirimu yang biasanya aku
tidak pernah begitu. Namun selain dari hawa nafsu, kau baik dan
penuh kasih, dan jika diberi kesempatan, aku bisa melihat diriku
jatuh cinta padamu. Emma menghembuskan nafas yang sudah ia tahan. "Aku sudah
mengatakan kepada Aidan bahwa tidak ada apa-apa diantara kita,
dan kau tahu aku tidak bisa memberimu lebih. Tapi sekarang saat
kau berada di depanku, menatapku ..." Emma bergidik. "Kau
membingungkan aku." "Aku membingungkanmu?"
Sambil menatap tangannya, Emma berkata, "Aku masih sangat
peduli pada Aidan, tapi ketika aku bersamamu, aku mulai
merasa...berbeda." "Aku bisa berpendapat itu hanya sekedar faktor biologis, dan
tubuhmu seolah mencari pasangan untuk melindungimu dan
anakmu." "Jika itu kasusnya, maka yang aku rasakan hanya itu pada Aidan,
kan?" Ekspresi Pesh bertambah serius. "Jadi setidaknya aku memiliki
kesempatan untuk merayumu?"
"Untuk merayuku?"
Dia tertawa. "Bukan kata yang biasa kau gunakan?"
"Tidak juga." Pesh memiringkan kepalanya sambil berpikir. "Hmm, Kesempatan
untuk merebut hatimu dengan merayumu" Dengan anggur dan
mengajakmu makan malam?"
Emma tersenyum dan menunjuk ke perutnya. "Tidak akan ada acara
menikmati anggur, dengan bed-rest-ku, acara makan kita akan
menjadi agak terbatas."
"Ah, tapi itulah sebabnya aku membawa makanan untukmu." Dia
bangkit dari sofa. "Sebentar aku akan mengambilnya, dan kita akan
memulai rayuan kita."
Ketika Pesh mengedipkan mata padanya, Emma tertawa. "Oke."
Pesh berhenti ketika ia sampai di pintu dan berbalik. "Selama aku
memiliki kesempatan untuk memenangkan hatimu, Emma, aku akan
mengambil apapun yang dapat kau berikan padaku."
Emma mencoba untuk tidak kewalahan mendengar kata-katanya.
Semua rencana yang dia berikan kepada Pesh adalah persahabatan,
dan itu saja - tidak lebih dan tidak kurang. Terlepas dari tubuhnya
yang berkhianat ingin merasakan kebalikannya.
Pesh membawa dua tas besar berisi makanan ketika berjalan kembali
memasuki pintu. "Ya ampun. Kau tahu aku tidak bisa makan
banyak!" Goda Emma. Pesh tertawa. "Aku tahu, tapi aku hanya ingin kau merasakan
hidangan makanan yang berbeda dengan bumbu rempah dari
masakan India." Dia melihat ke sekeliling. "Haruskah aku membawa
makanan ini ke dapur?"
"Tidak, tempatkan saja makanannya di sini di atas meja. Kita akan
mengadakan semacam piknik."
"Kedengarannya menyenangkan." Begitu Pesh meletakkan tas ke
bawah, ia berbalik kembali pada Emma. Sambil menggosok
tangannya, ia berkata, "Sebelum kita makan, mari kita periksa Little
Man." Emma tertawa melihat antusias Pesh. "Oke."
"Sulit dipercaya melihat teknologi yang sudah dibuat sejauh ini, kita
benar-benar memiliki mesin USG portabel."
"Memang gila." Pesh mengatur perangkat itu kemudian berbalik untuk mengangkat
atasan Emma. Secara naluri Emma mengulurkan tangannya untuk
menepuk tangan Pesh. Alis Pesh terangkat karena heran. "Maafkan
aku. Aku hanya -" "Aku tahu. Aku bersikap konyol. "
Emma kemudian menggeser atasannya di atas perutnya dan
menyesali fakta bahwa Pesh harus melihatnya seperti ini. Jika Pesh
bisa bertahan saat melihat perutnya yang membesar dan benar-benar
tidak terlihat jijik, mungkin dia sangat layak diberi kesempatan
untuk berhubungan romantis. Dengan cepat Emma membuang
pikiran itu dari kepalanya ketika Pesh menyemprotkan jelly dingin di
atas kulitnya. Pesh menjalankan 1transducer di atas perutnya, dan gambar buram
Noah muncul di layar. "Itu dia. Mungkin aku bisa menambahkan,
tampaknya dia juga baik."
Emma fokus pada pada Noah. Tangan dan kakinya sedikit
menggapai-gapai karena transducer itu tampaknya mengganggu
istirahatnya. Bahkan, ia memberikan dua tendangan dengan antusias
untuk membuktikan dia ingin dibiarkan sendiri. "Detak jantungnya
normal, dan semuanya terlihat baik termasuk plasenta." Pesh
mendongak dari monitor untuk bertemu dengan tatapan Emma.
"Tidak ada lagi kontraksi atau rasa sakit, kan?"
"Tidak. Semuanya telah baik-baik saja."
Dia tersenyum. "Seperti sebuah berkah mendengar itu. Aku yakin
setelah kau bed-rest sampai minggu depan, ke depannya kau bisa
berbahagia dan sehat menjalani sisa masa kehamilanmu."
"Aku sudah berharap dan berdoa untuk itu," jawab Emma.
Pesh menepuk tangan Emma untuk menenangkannya. "Percaya
saja." kemudian dia menyingkirkan transducer itu.
Emma melirik perutnya yang lengket. "Apakah kau keberatan
mengambilkan aku handuk tangan dari dapur?"
Dari tas medisnya, Pesh mengeluarkan handuk. "Aku selalu siap."
Emma tertawa. "Well, terima kasih kalau begitu."
The Proposal The Proposition 2 Karya Katie Ashley di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sementara kau membersihkan diri, aku akan mengambil piring dan
sendok garpu perak untuk kita."
"Kedengarannya tepat."
Saat Emma mengusap untuk membersih dirinya dari jeli, ia
mendengar Pesh membuka dan menutup lemari. Dia mulai
memasuki ruang tamu ketika ada suara keras di pintu basement yang
menyebabkan dia melompat dan hampir menjatuhkan semuanya.
Matanya melebar menatap Emma saat mendengar suara menggaruk
dan lolongan yang tertahan di pintu. "Apakah Aidan
menyembunyikan seseorang di ruang bawah tanah?"
Emma terkekeh. "Itu punya kami... um, well, anjing Aidan yang
sangat manja, Beau."
Pesh mengangguk sambil meletakkan piring. "Kau ingin
membiarkannya keluar?"
"Aku rasa begitu. Aku tidak yakin bagaimana dia akan bereaksi
terhadapmu." "Hewan biasanya mencintaiku, jadi kita akan melihat apakah aku
bisa memenangkan hatinya." Ketika pesh membuka pintu ruang
bawah tanah, Beau datang melompat-lompat masuk. Dia berlari ke
Emma dan menjilati tangannya. "Hei anak manis."
Kemudian telinganya berdiri tegak, dan ia berbalik untuk mendekati
Pesh. Sebuah geraman pelan keluar dari tenggorokannya. "Tidak,
tidak, Beau. Pesh teman kita," katanya, meraih tali lehernya.
Pesh perlahan-lahan berjalan ke sofa. Dengan ragu-ragu, ia
mengulurkan tangannya ke Beau untuk dibaui. Setelah Beau
menerimanya, ia masih menatap tajam ke arah Pesh. "Aku hampir
berpikir Aidan telah memperingatkannya tentang aku sebelum ia
meninggalkan rumah malam ini," ujar dia.
Emma tertawa. "Dia biasanya benar-benar baik di sekitar orang
asing, tapi aku takut ini mungkin terjadi karena Aidan pergi."
"Dia hanya menjadi baik, anjing menandai wilayahnya. Karena dia
belum mengenalku, dia melindungimu dan bayimu." Pesh
memiringkan kepalanya ke samping. "Hmm, mari kita lihat apakah
aku bisa menjadi teman." Dia memasukkan tangannya ke salah satu
kantong. "Mari kita lihat apakah sepotong Samosa mungkin bisa
membuat kesepakatan." Dia mengulurkan tangannya pada Beau
dengan sepotong apa itu tampaknya seperti tortilla.
Beau melirik ke belakang ke arah Emma. "Tidak apa-apa. Kau boleh
memakannya." Dengan enggan, dia beringsut ke depan dan
menyambar roti dari tangan Pesh.
"Apa sebenarnya itu?"
"Ini bungkus kentang dengan bumbu rempah-rempah."
"Oh ya ampun, dia akan berada di surga. Dia sangat menyukai
kentang hampir sama dengan daddy-nya." Ketika Emma menyadari
apa yang dia katakan, dia tidak bisa menahan rona merah memenuhi
pipinya. "Jadi sementara aku menyiapkan makanan, apakah kau mau
memberitahuku apa yang terjadi denganmu dan Aidan?"
Emma meringis. "Apakah aku harus?"
"Tidak, jika itu akan membuatmu marah. Aku tidak ingin
membuatmu menderita."
Emma mengerang. "Tidak, kurasa itu adil kalau kau tahu apa yang
kau hadapi." "Atau kemarahan yang akan aku hadapi?"
"Kurasa ya," gumamnya.
"Jadi, kau dan Aidan berkencan, kau hamil, dan dia tidak bisa
berkomitmen?" Duga Pesh, saat tangannya masuk ke salah satu
kantong. Oh Tuhan. Bagaimana bisa ia menduga sangat jauh dari kebenaran"
"Tepatnya tidak seperti itu."
Pesh mengalihkan perhatiannya dari wadah makanan, lalu ia melihat
ke arah Emma. "Maafkan aku. Aku seharusnya tidak bertanya."
"Tidak, hanya saja saat di rumah sakit aku mengatakan hal itu adalah
cerita lama, aku tidak bercanda." Setelah mengambil napas dalamdalam, ia
melanjutkan untuk memberitahu Pesh segala sesuatu dari
awal ketika ia menginginkan Connor sebagai ayah dari anaknya
sampai pengkhianatan Aidan.
Ketika akhirnya Emma selesai dengan ceritanya, Pesh
menggelengkan kepalanya. "Kau benar. Itu adalah cerita yang sangat
panjang." Mendengar godaannya, Emma memukul lengannya dengan mainmain, dan Pesh
menyeringai. "Terima kasih karena mau berbagi
denganku. Aku tahu tidaklah mudah melepaskan bebanmu dari
semua rasa sakit itu."
Emma memiringkan kepalanya ke arahnya. "Apakah kau selalu
berbicara sangat tepat - sangat sopan?"
"Orang tuaku suka mengatakan aku berjiwa tua. Kurasa itulah
sebabnya aku terdengar seperti itu."
"Apakah kau anak yang paling tua?"
Pesh mengangguk. "Ya, bisa dibilang aku gambaran klasik anak
tertua. Adikku ... well, dia cerita lain untuk hari lain."
Emma tertawa saat Pesh mulai menuang sup ke dalam mangkuk. Dia
mencium aromanya dengan penuh penghargaan ke mangkuk. "Hmm,
apa ini?" "Rasam atau sup tomat."
Dia mencoba mencicipinya. "Benar-benar enak."
"Kurasa mungkin kamu akan menyukainya. Ini makanan yang
sangat sehat juga. Baik untuk pencernaan."
Emma tertawa. "Restoran itu seharusnya mempekerjakanmu sebagai
PR (Public Relations) mereka."
"Begitukah menurutmu?"
Emma mengangguk. "Aku harus tahu hal seperti itu. Maksudku, aku
bekerja di periklanan."
Setelah makan sup beberapa sendok, dia mengamati Pesh saat
membuka wadah lain. Melihat ketakutan Emma, ia berkata, "Coba
saja satu suap Daal Makhani." Ketika dia melihat Pesh dengan raguragu, Pesh
tertawa. "Percayalah. Ini baik untukmu. Makanan ini
memiliki banyak protein dan serat di dalamnya."
Saat Emma mendorong sendok ke dalam mulutnya, ia tahu dia telah
membuat kesalahan. "Sangat pedas."
"Serius?" Emma menganggukkan kepalanya sambil tangannya mengipasi
depan mulutnya. "Kurasa aku harus menyebutkan kalau aku agak
pengecut jika itu berkaitan dengan makanan pedas."
"Oh, well, kalau begitu kamu tidak usah makan itu dan sebagai
gantinya ayam mentega saja." Pesh menaruh sesuatu berwarna
oranye di piringnya sepertinya itu ayam.
"Jadi, ceritakan tentang keluargamu," kata Emma. Sulit untuk
berbicara mengingat lidahnya masih membara.
"Well, ayahku datang ke Amerika bersama orang tuanya ketika ia
masih remaja. Dia ingin meninggalkan India di belakang dan
menjadi Amerikanisasi." Pesh menggelengkan kepalanya. "Dia
bahkan mengubah namanya menjadi Charlie."
"Benarkah?" Pesh menyeringai. "Ya, tak seorangpun yang tahu, kecuali ibu dan
almarhum kakek-nenekku tetap memanggilnya dengan nama aslinya.
Emma mendorong garpunya di piring, tidak pasti apa yang harus
dimakan berikutnya. "Bagaimana dengan ibumu?"
"Dialah alasan mengapa aku tidak sepenuhnya Amerikanisasi, atau
memiliki nama seperti Bill atau yang lainnya."
Emma tertawa. "Aku tak bisa melihatmu sebagai 'Bill' ... atau
mungkin William, tapi jelas bukan Bill atau Billy."
"Aku juga tidak." Pesh menyeka mulutnya dengan serbet. " Dia
datang untuk menikah dengan ayahku ketika dia baru saja delapan
belas tahun. Mereka sudah saling kenal saat masih anak-anak, tapi
alasan itu kebanyakan karena dijodohkan."
"Oh," gumam Emma. Dia mencoba menggigit makanan yang kurang
pedas. "Apakah pernikahanmu dijodohkan?"
"Tidak. Bahkan, Jade adalah bukan gadis - India pertama yang
pernah aku kencani."
"Apakah ibumu marah?"
Dia menganggukkan kepalanya. "Pada awalnya. Tapi Jade sangat
ingin menyesuaikan dirinya pada kehidupanku dan kebiasaanku.
Selama bertahun-tahun kami kencan, ia perlahan-lahan
menumbuhkan kepercayaan pada ibuku."Dia menyeringai pada
Emma. "Sementara ayahku, si pengkhianat kebudayaannya,
bayangan tentang rambut pirang, bermata biru sebagai menantu
perempuannya adalah sebuah mimpi yang menjadi kenyataan!"
Emma tertawa. "Aku hanya bisa membayangkannya." Ketika ia
mendongak dari piringnya, ia melihat ekspresi Pesh telah berubah
menjadi serius. "Apa?"
"Aku hanya bisa membayangkan dia akan senang melihat kecantikan
seorang berambut coklat dengan mata hijau berkilau."
Garpu Emma terjatuh dan berisik di lantai. Dia dan Pesh sama-sama
membungkuk untuk mengambilnya, dan akhirnya kepala mereka
berbenturan. "Oomp," gumam Emma. Lalu dia membawa tangannya
ke kepalanya dan mengusap dahinya yang terasa sakit.
"Maaf aku membuatmu marah," kata Pesh dengan lembut.
"Kau tidak membuatku marah. Hanya saja..." Dia menggigiti
bibirnya, tidak tahu bagaimana melanjutkan kata-katanya. "Ketika
kau mengatakan hal-hal seperti itu, aku merasa seperti memberi
harapan padamu. Aku tidak ingin kau terluka."
"Emma, aku seorang pria dewasa. Aku sepenuhnya mampu
mengurus diriku sendiri dan perasaanku. Aku juga menyadari
bagaimana kau bersikap sangat jelas kepadaku."
Emma menggelengkan kepalanya. "Lalu mengapa kau repot-repot
membuang waktumu untukku jika aku sudah jelas menutup diri?"
"Itu pertanyaan sama yang mungkin ditujukan untuk Aidan. Kenapa
dia harus repot-repot meminta maaf padamu setelah apa yang dia
lakukan dan bagaimana kau masih memiliki perasaan padanya?"
Pesh tersenyum ragu-ragu. "Karena kau layak diperjuangkan."
"Oh Tuhan," keluhnya. Emma menutupi wajahnya dengan kedua
tangannya. "Apakah aku mengatakan sesuatu yang salah?"
Dari balik tangannya, dia menjawab, "Oh tidak. Itulah masalahnya.
Kau tak pernah mengatakan hal yang salah. Semua yang kau katakan
dan lakukan benar-benar luar biasa."
Pesh tertawa. "Aku minta maaf karena telah membingungkanmu,
Emma. Benar-benar minta maaf."
Dia mengintip melalui jari-jarinya ke arahnya. "Benarkah?"
"Well, aku bisa berbohong dan mengatakan ya, tapi sebenarnya aku
senang karena perlahan-lahan aku mulai merobohkan dinding
pertahananmu. Aku ingin kau bisa melihat kapanpun kau siap dan
jika kau benar-benar menginginkan aku, aku akan berada disini."
"Kau pasti akan mengatakan sesuatu seperti itu," gerutunya.
Berdiri, Pesh meregangkan tangannya di atas kepalanya. "Oke, aku
pikir sudah waktunya untuk merubah percakapan dan aku akan
membersihkan ini." "Oh tidak, kau tidak perlu melakukan itu."
"Aku tidak akan bermimpi melangkahi keramahanmu dengan
meninggalkan kekacauan disini."
"Kau dengan kata-kata sopanmu lagi," komentar Emma.
Dia menggoyang-goyangkan satu jarinya ke arah Emma. "Oke, jadi
aku bicara dengan sopan. Apa ada sesuatu yang unik tentangmu?"
"Hmm, well ..."
"Oh, ayolah. Aku tahu harusnya ada banyak hal yang unik
tentangmu." "Baiklah, aku seorang penyanyi."
Alis gelapnya terangkat karena terkejut. "Kau?"
Emma mengangguk kemudian mengatakan pada Pesh semuanya saat
ia mulai bernyanyi di bar milik sepupunya Gary.
"Kau bernyanyi di bar 'Doc'?" Pesh bertanya, sudut-sudut bibirnya
terangkat naik karena merasa geli.
"Ya, benar. Itu julukan Gary."
"Hmm, aku suka ironi itu."
Ketika Pesh mengedipkan mata padanya, Emma menggelengkan
kepalanya. "Oke, jadi aku seorang penyanyi. sesuatu unik yang lain
tentangmu?" Sambil menggaruk dagunya, Pesh berkata, "Well, aku memiliki dan
menerbangkan pesawatku sendiri."
Mata Emma melebar. "Kau melakukan itu?"
"Yep. Sebenarnya, hal itu tidak sepenuhnya pesawatku sendiri. Ayah
dan saudaraku yang tengah juga memiliki lisensi pilot."
"Wow, aku tidak pernah naik dengan pesawat kecil sebelumnya."
"Kalau begitu aku harus mengajakmu kapan-kapan."
Detak jantung Emma bergetar mendengar sindiran tersebut. Seolah-
olah dia bisa membaca pikirannya, Pesh menyeringai. "Apakah kau
yakin kau sudah selesai makan?"
Mengingat perutnya sudah bergolak dari campuran bumbu rempahrempah dan makanan,
ia tahu ia tidak bisa makan sesuap lagi. "Ya.
Terima kasih." "Kau tidak akan keberatan jika aku mengambil sisanya untuk dokter
dan perawat lainnya?"
"Tidak, tidak. Silahkan saja."
Pesh menyeringai. "Jadi aku tidak bisa menjual makanan India
kepadamu, ya?" Emma tertawa. "Kupikir sekarang aku lebih baik tetap dengan
mengambil satu hidangan saja bukannya mencicipi semua itu."
Pesh baru saja selesai membersihkan ketika pagernya berbunyi.
"Serius?" Gerutunya.
"Ada apa?" "Mereka membutuhkan aku sedikit lebih awal malam ini. Kurasa
bulan purnama telah membuat orang-orang menjadi gila."
"Benarkah?" Pesh melirik dan tersenyum. "Bagian yang mana" Mereka
membutuhkan aku untuk datang lebih awal atau bahwa bulan
purnama benar-benar membuat orang-orang menjadi gila?"
Emma terkikik. "Kurasa keduanya."
"Oh ya. Malam bulan purnama di ER adalah sesuatu yang seperti
keluar dari film horor."
"Kalau begitu aku akan mengirimkan doa untukmu."
"Silakan." Dia melirik tas di sekitarnya. "Kupikir aku harus dua kali
bolak balik. Aku akan segera kembali." Dia meraih tas makanan dan
tas medis dan menuju pintu keluar. Beau pun mulai mengikuti di
belakangnya. "Tidak boy. Kemarilah."
Dia segera datang ke samping Emma. Tampilan yang ditunjukkan
Beau padanya membuat bibir Emma tersenyum. "Tidak, aku tidak
lari dengannya. Teman tidurmu telah memberi memo di meja agar
tetap tinggal." Beau mengibaskan ekornya mendengar komentar Emma. Ketika
Pesh kembali memasuki pintu , Beau menegang. Pesh menatapnya
saat ia datang di sekitar sofa untuk mengambil mesin USG. "Hmm,
aku tebak makanan Samosa itu tidak mempererat persahabatan kita,
ya sobat?" Beau maju lalu melompat di sofa dan membaringkan kepalanya di
pangkuan Emma. Pesh tertawa ceria. Menggoyangkan satu jarinya
pada Beau, ia berkata, "Kau rawat dia dan Little Man, oke?"
Emma tersenyum. "Dia akan melakukannya."
"Terima kasih sudah membiarkan aku datang malam ini."
The Proposal The Proposition 2 Karya Katie Ashley di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tidak, seharusnya aku yang mengucapkan terima kasih karena pada
kenyataannya kau bersedia memeriksaku dan membawakan makan
malam." "Aku senang melakukannya, dan satu lagi aku berharap untuk
mengulangi di kemudian hari. Tapi kupikir aku akan menunggu
sampai kau sudah tidak bed-rest untuk memulai rayuanku lagi."
"Oke, Kurasa kita bisa melakukan itu."
Pesh mengelus dagunya sambil berpikir. "Apakah kamu suka
opera?" "Oh, ya, aku suka itu. Aku penggemar berat seni budaya."
Setelah mengambil dompet dari sakunya, Pesh mengeluarkan
beberapa tiket. "Ini adalah untuk pertunjukan Aida pekan depan. Kau
seharusnya sudah tidak bed-rest lagi pada saat itu. Apa kau ingin
pergi?" Melihat keraguan Emma, Pesh berkata, "Hanya sebagai
teman, Emma." Emma menghela napas lega. "Terima kasih. Aku akan menikmati
pertunjukan itu." "Kalau begitu aku berharap untuk bertemu denganmu lagi minggu
depan saat 'bukan-kencan' kita untuk menonton opera Aida."
"Aku juga." Pesh meraih mesin kemudian membungkuk lalu mencium dengan
lembut pipi Emma. Beau mengangkat kepalanya dan menggeram
rendah. "Beau!" Emma menegurnya. Dia menunduk dan
memberinya tatapan sedih yang terbaik dengan telinga terkulai.
"Kurasa itu isyarat bagiku untuk pergi."
"Maafkan aku tentang dia."
Pesh menggelengkan kepalanya. "Jangan minta maaf tentang
apapun, Emma. Untuk Beau, untuk tidak menikmati makan
malam..." Wajahnya melayang beberapa inci dari Emma. "Terlebih
dari semuanya, jangan menyesali atas apa yang mungkin telah aku
lakukan untuk apa yang kau rasakan malam ini."
Emma menatapnya, tak berkedip dan tak bergerak. "Tidak akan."
"Baik." Kemudian Pesh berdiri, dan melambaikan tangannya sebagai
tanda perpisahan, ia berjalan keluar pintu.
Setelah mereka tinggal berdua, Beau merengek dan meringkuk
padanya. "Oh beri aku kelonggaran, bisakah" Tidak mudah menjadi
seorang yang hamil dan besar yang penuh dengan hormon!"
Kemudian dia berbaring di atas bantal dan menyalakan TV.
*** 1house call: Kunjungan profesional seorang dokter ke rumah.
seorang yang suka disiksa untuk mendapatkan kenikmatan.
2masokis: 1transducer: alat USG seperti stik yang terhubung dengan monitor
Bab 12 Pada jam sembilan lebih, Beau mengangkat kepalanya dan
menggonggong dengan riang. "Hmm, aku tebak itu artinya Daddy
sudah pulang?" Beau mengibaskan ekornya dan berlari ke dapur. Bunyi bip dari
alarm rumah memberitahunya akan kedatangan Aidan di balik pintu.
"Hiya, boy. Apa kau menjaga benteng selama aku pergi?"
Aidan masuk ke ruang tamu dengan Beau menyalak di sisinya. "Aku
sangat berharap ia tidak melakukan hal-hal yang memalukan seperti
mengencingimu untuk menandai wilayahnya selama teman
kencanmu di sini." "Tidak, ia tidak melakukannya," bentak Emma.
"Omong-omong, bagaimana kencanmu?" tanya Aidan, melemparkan
kuncinya di atas meja. "Itu bukan kencan," jawabnya.
"Maaf, Miss Testy - cewek mudah tersinggung." Aidan menghirup
dalam. "Ugh, bau apa ini?"
"Pesh membawa makanan India untuk aku coba." Perut Emma terasa
mual saat memikirkan memakan makanan itu lagi, paling tidak
makanan yang banyak mengandung rempah-rempah. "Kau habis dari
mana?" tanya Emma, mencoba mengubah topik pembicaraan.
"Aku habis mendapatkan kencan yang benar-benar panas."
Kepala Emma tersentak untuk menatapnya. Emma tidak bisa
menghentikan matanya yang terbelalak dan mulutnya yang
menganga. Aidan telah bersama dengan wanita lain" Setelah semua
yang telah ia katakan padanya sebelum ia pergi" Emma mual dan
hampir muntah, dan ia berusaha bicara. "Ka-kau berkencan?"
Aidan mengangguk dan duduk di meja kopi. Lututnya menyentuh
Emma, dan Emma melawan dorongan untuk menarik dirinya dari
kedekatan dengan Aidan. Aidan bersandar di sikunya.
"Membayangkan pakaiannya. Celana pendek, seperti milik Daisy
Duke (bangsawan Daisy) dengan pipi pantat menggantung- "
"Celana pendek" Ini baru akhir Oktober!"
Aidan mengangkat tangannya. "Aku belum selesai ngomong."
Emma menyilangkan tangannya di depan dada, ia gusar dan
mendengus frustasi. "Baik."
"Lagi pula, seperti yang sudah aku katakan, ada Daisy Duke, dengan
sepatu bot koboi, dan di atas itu semua, ia memakai atasan halter
yang telanjang mulai dari..." Aidan menutup matanya dan
menggeleng. "Ya ampun, aku terlihat bagus!"
Mata Aidan tersentak terbuka, dan lalu ia mengedipkan mata pada
Emma. Emma menatapnya tak percaya. "Tidak ada gadis yang
memakai... maksudmu, kau..."
Aidan tertawa. "Aku hanya menggodamu, Em. Aku pergi ke tempat
Pop dan kami menonton pertandingan. Aku yakin sekali aku tidak
keluar dengan seorang wanita."
Kemungkinan Aidan mempunyai kencan yang sesungguhnya
membuat Emma berada dalam badai emosi, bersamaan dengan rasa
lega yang ia rasakan, ia juga tahu ia akan muntah. Emma hanya
mempunyai sedikit waktu untuk merasa panik tentang apakah ia
akan berhasil ke kamar mandi sebelum ia membungkuk dan muntah
di pangkuan Aidan. Aidan melihat celana kotornya dan menatap kembali mata Emma.
"Sial, Em, Aku tahu leluconku sangat buruk, tapi apakah kau benarbenar harus
sampai memuntahiku?"
Air mata malu menyengat mata Emma. "Aku-aku... Aku minta
maaf." Ekspresi Aidan berubah, dari kegelian menjadi penuh kasih sayang
saat Emma menangis. Aidan mengulurkan tangannya dan mengusap
lengannya. "Hey, jangan menangis. Kau bukan orang pertama yang
memuntahiku. Aku pernah tinggal di kelompok persaudaraan dulu.
Tidak ada yang lebih buruk dari muntahan pria mabuk."
"Aku tidak percaya kau sangat baik tentang ini," kata Emma sambil
terisak. "Yaah, ini bukan seperti kau melakukannya dengan sengaja." Ia
menaikkan alisnya pada Emma. "Iya kan?"
"Tidak! Aku tidak pernah melakukannya!"
Aidan mengusap pipi Emma dengan ibu jarinya. "Aku tahu. Aku
hanya menggodamu lagi, Em."
"Aku berpikir makanan itu tidak cocok denganku - terlalu banyak
rempah-rempah yang berbeda dan saus yang digunakan," jawab
Emma, sambil menyeka hidungnya dengan lengan bajunya.
"Hmm, aku pikir itu juga menunjukkan orang yang membawanya,
bukan begitu?" "Aidan," Emma memperingatkan, rasa malunya berubah menjadi
rasa marah saat Emma mendengar asumsi Aidan.
Aidan menganggukkan kepalanya pada Emma. "Menurutku
sepertinya Noah sedang mencoba memberitahumu sesuatu. Aku
senang laki-laki kecil itu sudah mulai mendukung ayahnya."
Emma menyipitkan mata padanya. "Aku tidak pernah makan
makanan India sebelumnya. Ini tidak ada hubungannya dengan
perasaanku ataupun perasaan Noah. Ini berhubungan dengan sistem
pencernaanku, terima kasih banyak," bentak Ammy.
Aidan menyeringai. "Ah, itu dia perubahan mood kehamilan yang
aku suka." Emma mendengus dengan nafas frustasi. "Ayolah. Kau perlu
membersihkan dirimu, dan aku membutuhkan tidur kembali."
Ketika Aidan berdiri, muntahan mengalir di celananya. Ia mengubah
ekspresinya. "Astaga, aku pikir ini benar-benar bisa memicu reflek
muntahku." Ia membuka kancing celananya, dan ia menurunkan
resletingnya. Dengan cepat ia melepas celananya dan
menggumpalkannya. "Lebih baik aku menaruhnya di mesin cuci."
Emma mencodongkan tubuhnya ke depan untuk bangun dari sofa
bersamaan saat Aidan membalikkan badan. Wajah Emma tepat
berhadapan dengan selangkangan Aidan. Nafas Aidan menajam, dan
Emma tersentak membalikkan badannya. "uh-maaf," gumam Emma.
"Malam ini terasa lebih baik dan lebih baik lagi," gerutu Aidan.
Sebelum Aidan menuju ke kamar mandi, ia memutar badannya dan
menawarkan tangannya pada Emma. Jantung Emma berdetak
kencang. "Terima kasih."
"Terima kasih kembali. Dengar, aku akan mengambil barangbarangku dan menggunakan
kamar mandi di atas, jadi kau dapat
menggunakan kamar mandiku."
Hormon Emma menjadi tak terkendali. "Aw, itu begitu manis,"
gumam Emma. Aidan memberinya seringai lucu. "Sialan, babe, tidak butuh usaha
yang banyak untuk membuatmu terkesan, ya?"
Emma memutar matanya. "Maafkan aku untuk berterima kasih pada
kebaikanmu," Emma mendengus sebelum berjalan ke kamar mandi
dan membanting pintunya. Aidan menjulurkan kepalanya saat Emma membuka baju atasannya.
Emma melengking saat melihat Aidan. "Um, kau ingat aku akan
mengambil barang-barangku di sini, kan?"
"Iya, ambilah."
Emma hanya menggunakan bra, memulai untuk menggosok gigi.
Aidan mengambil shampoo dan body wash miliknya, ia bersandar
untuk mengambil sikat giginya sebelum memberikan ciuman di
punggung telanjang Emma. Jika Aidan menyadari reaksi Emma,
Aidan tidak akan berkata apapun. "Sekarang, jangan berdiri terlalu
lama." Memberinya hormat, Emma bergumam dengan mulut penuh pasta
gigi, "Siap, sir."
Aidan menggelengkan kepalanya. "Selalu dirimu dan mulutmu itu."
Emma menyeringai padanya sebelum ia keluar pintu.
*** Ketika Emma selesai mandi, Aidan masih di lantai atas. Lelah
karena emosi yang seperti rollercoaster sepanjang hari, Emma segera
tertidur nyenyak. Tapi tidak terasa tenang. Mimpi mengganggunya.
Pertama, Emma melihat pertarungan sampai mati antara Aidan dan
Pesh yang memperebutkan dirinya seperti di masa lalu. Lalu Emma
bermimpi saat Noah lahir, Noah tampak mirip dengan Pesh, daripada
mirip dengan Emma ataupun Aidan.
Akhirnya, pikiran Emma bergelung ke mimpi yang lainnya - satu
mimpi yang terasa sangat nyata karena itu pernah sekali terjadi.
Air dingin membelit leher dan bahu Emma yang telanjang saat ia
memasukkan kakinya untuk bertahan di kolam Grammy and
Granddaddy. Emma hampir bisa menyentuh dasar kolam jika ia mau
menenggelamkan kepalanya. Saat ia memijakan kakinya ke air,
Aidan berenang mendekatinya, sinar pemangsa terlihat di sorot
matanya. Sebuah getaran antisipasi melalui diri Emma.
"Apa kau kedinginan?" tanya Aidan.
"Sedikit," gumam Emma.
"Kalau begitu biarkan aku menghangatkanmu." Aidan menarik
Emma dalam pelukannya dan membawa bibirnya ke bibir Emma.
"Mmm, kau terasa manis... sedikit lebih manis dari biasanya."
Emma tersenyum di bibir Aidan. "Mungkin karena aku berhenti
sejenak untuk makan kue sebelum aku datang ke kamarmu."
Aidan terkekeh. "Hasrat tengah malam untuk makan dan sex, huh?"
"Yep." "Aku pikir ini waktunya kita memenuhi hasrat kedua itu, iya kan?"
"Kumohon." "Lilitkan kakimu di sekelilingku, babe."
Emma melakukan apa yang diperintahkannya. Aidan mendengus
saat ia mulai berjalan menggendongnya dari tengah kolam ke tepian.
"Apakah aku terlalu berat?"
"Tidak, tidak sama sekali." Gumam Aidan dengan gigi terkatup.
Emma tertawa. "Aidan, aku bisa jalan sendiri. Kau tidak harus
menggendongku." "Ini bukan karena kau terlalu berat. Hanya saja ini lebih sulit
daripada yang kubayangkan saat di air."
"Aw, tapi sekarang sudah pasti kau adalah pahlawanku!" Lalu Emma
mencium pipi Aidan. Emma mencium menyusuri rahangnya
sebelum menggigit dan menjilatinya saat Emma kembali ke bibir
Aidan. Emma memindahkan pinggulnya ke pangkal paha Aidan.
"Sialan, Em", gumam Aidan mencengkeram erat pantat Emma
dengan tangannya. "Apakah aku membuatmu keras?"
"Oh tentu saja."
"Bagus". Emma mendorong lidahnya masuk ke mulut Aidan,
mencari kehangatannya. Emma membiarkan lidah Aidan menari
menggodanya. Lalu seperti menjentikkan saklar, mereka berubah
dari saling menggoda menjadi saling menyerang mulut mereka.
Saat Aidan keluar dari tepian, ia memegang erat Emma saat ia
berlutut, membuat Emma menjerit. "Kau baik-baik saja?" tanya
Aidan. Emma mendongakan kepala padanya. Bulan purnama
memancarkan sinar pelangi disekitar kepala Aidan, sejenak
membuatnya tampak seperti malaikat.
"Aku baik-baik saja sekarang." Emma melebarkan kakinya untuk
mengijinkan Aidan mendekatkan jarak diantara mereka. "Bercintalah
dengan aku, Aidan." Aidan menatap tajam mata Emma, dan Emma tahu fakta bahwa
Emma menggunakan istilah bercinta belum hilang dalam diri Aidan.
"Apapun yang kau mau, babe," jawab Aidan dengan seringai
sombongnya yang biasa. Ketika Aidan mendorong masuk padanya, Emma menjerit dan
mencengkeram erat bahu Aidan. Aidan bergerak perlahan, lembut
dalam dirinya. Lidah Aidan mengikuti gerakan keluar masuknya
yang lembut sementara tangannya menangkup salah satu
payudaranya, membuat putingnya mengeras.
Saat Emma merasa akan mencapai orgasme, Aidan merubah
kecepatan dan mulai menghujam lebih keras dan lebih keras pada
Emma, membuat pasir dan ranting dibawahnya menusuk punggung
Emma. Aidan mengguncangnya dalam pelukannya. "Tidak, jangan
seperti itu. Bersikaplah lembut padaku, Aidan," gumam Emma.
Perlahan Emma tersedot keluar dari bercinta di pantai dan kembali
di kamar Aidan. Seseorang mengguncangnya. Tidak, Aidan telah
mengguncangnya. "Em, bangunlah."
Kelopak mata Emma bergetar terbuka menatap wajah Aidan yang
khawatir. "Apa yang terjadi?"
Tangan Aidan melepaskan bahu Emma untuk menangkup pipinya.
"Kau mengerang. Aku pikir kau sedang bermimpi buruk atau
sesuatu."
The Proposal The Proposition 2 Karya Katie Ashley di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tidak, aku akan orgasme," gumam Emma dengan mengantuk.
"Maaf?" Tiba-tiba Emma terjaga. Emma langsung menutupi wajahnya yang
memerah dengan tangannya karena malu. "Ya Tuhan."
Aidan terkekeh disampingnya. "Em, kau gadis nakal. Jadi apakah
kau mengerang karena kau sedang bermimpi sex?"
Emma tidak menghiraukannya, dan berguling ke samping.
Menepuk-nepuk bantal dan menjatuhkan dirinya.
"Tunggu sebentar. Saat kau berkata, 'Bersikaplah lembut padaku,
Aidan', itu bukan tentangku yang membangunkanmu, kan?"
"Aku akan kembali tidur sekarang."
Aidan menyikut bahu Emma dengan main-main. "Oh ayolah, Emma.
Akui saja. Kau bermimpi bercinta denganku." Suara Aidan bergetar
dengan kesenangan. "Aku pasti bagus jika aku bisa membuatmu orgasme."
Emma mendengus putus asa. "Aku heran kau bahkan bertanya
seberapa bagus dirimu. Tidakkah kau selalu berpikir kau
menakjubkan?" Aidan melingkarkan tangannya di bahu Emma, menggulingkan
punggungnya. Dengan satu tangan di sisi kepala Emma, Emma
terjepit dibawah Aidan dan memaksanya menatap wajah Aidan.
"Kau adalah satu-satunya wanita di dunia ini yang ingin aku buat
takjub di tempat tidur atau memberikan orgasme bertubi-tubi yang
luar biasa nikmat." Aidan menggelengkan kepalanya. "Tidak ada
yang lain, aku bersumpah."
Menatap mata Aidan, Emma menggososok pangkal janggut di pipi
Aidan dengan belakang tangannya. "Kau harus bercukur," gumam
Emma. Aidan mengangkat alisnya. "Kau tidak ingin aku menumbuhkannya"
Mungkin jenggot atau berewok?"
"Tidak, aku suka itu apa adanya."
"Maka aku akan mencukurnya. Untukmu."
Diliputi oleh perasaan Emma yang mendalam untuk Aidan dan
masih belum pilih dari mimpi erotisnya, Emma mengangkat
tubuhnya dan memberi ciuman di bibir Aidan. Aidan langsung
membeku, dan Emma merasa seperti mencium patung marmer.
Ketika Emma membuka mulutnya untuk menyelipkan lidahnya di
bibir Aidan, Aidan perlahan mulai mencair. Tangan Emma yang
telah membelai pipi Aidan menyelinap ke rambutnya. Emma
menjalankan jari-jarinya melalui helaian halus, menyentak dan
menarik rambutnya sama seperti yang Emma lakukan dengan
giginya pada bibir bawah Aidan.
Aidan memberikan erangan kecil di belakang tenggorakannya saat
Aidan memasukkan lidahnya ke mulut Emma. Tuhan, Emma telah
merindukan perasaan saat mulut Aidan di mulutnya - lidah Aidan
menari menggoda di sepanjang lidahnya. Hasrat berkumpul di
bawah pinggang Emma, dan ia tahu ia menginginkan Aidan lebih
dari apapun sebelumnya. Aidan memindahkan tangannya dari bahu Emma ke payudaranya,
meremas, dan menangkup kulit sensitif di bawah gaun malamnya.
Emma melebarkan kakinya, sehingga pinggul Aidan masuk diantara
mereka. Tapi ketika Aidan mulai mengangkat ujung gaun malam Emma,
mata Emma terbuka pada kenyataan, bukannya mimpi,
menyentakkannya. "Tunggu, tidak Aidan!"
Aidan menarik kepalanya dari leher Emma untuk menatapnya
dengan matanya yang berkabut dan mabuk karena hasrat. "Tolong
katakan padaku ini bukan karena kau tidak ingin melakukan ini, tapi
ini karena kita berdua menyadari bahwa dokter mengatakan tidak
boleh?" Emma mengangguk. "Aku bahkan tidak seharusnya mengalami
orgasme karena akan menyebabkan kontraksi."
Aidan menyeringai padanya. "Berarti kau beruntung aku
membangunkanmu dari mimpi sex itu, huh?"
Memerah, Emma setengah tertawa. "Aku kira begitu." Saat Aidan
menarik diri dari dirinya, Emma berkata, "maafkan aku."
"Tidak perlu, kita berdua yang salah." Aidan tersenyum sambil
meringkuk dengannya. "Di samping itu, mungkin tidak memuaskan
secara fisik dengan hanya memelukmu saja sepanjang malam, tapi
tidak ada yang lain yang ingin aku lakukan."
Emma mengerang. "Mengapa kau harus mengatakan sesuatu seperti
itu?" "Apa?" Emma menurunkan tatapannya. "Kau tetap berkata dan melakukan
semua hal yang menakjubkan. Itu membingungkanku".
"Kau ingin aku menjadi seorang bajingan atau sesuatu seperti itu?"
"Tentu tidak." "Oh, aku tahu. Kau ingin aku menjadi Aidan yang dulu, Aidan yang
egois, jadi lebih mudah untukmu untuk tidak merasakan yang kau
lakukan." "Aku tidak bilang seperti itu."
"Tapi tidakkah kau ingin aku berubah?"
"Aku jatuh cinta pada Aidan yang dulu, ingat?"
Aidan semakin frustrasi. "Tapi bukankah kau ingin aku menjadi pria
yang lebih baik untukmu dan Noah?"
"Tentu saja aku ingin."
"Jadi biarkan aku bicara dan melakukan apa yang aku inginkan."
"Baiklah." Mereka saling diam sejenak. "Kau benar-benar tidak akan pernah
memaafkanku, ya?" tanya Aidan.
"Tunggu, dari mana pertanyaan itu berasal?"
Aidan bangun dan duduk. "Semua yang telah aku lakukan untukmu
di delapan hari terakhir, semua yang telah aku katakan, semua
permohonan maaf, mencoba memperbaikinya... Itu tidak ada artinya
bagimu, kan?" "Itu tidak benar," bantah Emma.
"Itu jelas benar. Jika kau benar-benar berusaha kita bisa bersama
lagi, kau tidak akan membiarkan Pesh datang kemari, bahkan dengan
tujuan pengobatan. Kau seharusnya sudah mengatakan kau ingin
bersama denganku." "Aku bilang jika itu membuatmu sangat terganggu, aku tidak akan
membiarkan Pesh datang kemari, dan kau lebih dari diterima untuk
tetap berada di sini - ini adalah rumahmu, demi Tuhan. Kau bisa
tetap tinggal dan melihat dengan matamu sendiri bahwa tidak ada
kejadian romantis yang terjadi antara Pesh dan aku. Tapi kau lebih
memilih pergi." "Jadi sekarang kau bersikap seperti jika aku pergi itu berarti aku
benar-benar tidak perduli jika Pesh mencoba mendekatimu?"
"Bukan, sama sekali bukan seperti itu."
"Sekali lagi, jadi semuanya adalah salahku, kan?"
Emma memijat pelipisnya. "Kumohon, bisakah kita tidak berdebat
tentang ini" Aku lelah."
"Yeah, kau tahu, aku juga." Aidan melemparkan selimut dan turun
dari ranjang. Emma tidak bertanya kemana ia akan pergi. Hentakan
kaki Aidan di tangga memberitahunya semua yang ingin ia ketahui.
Dengan kepalan tangannya, Emma menghapus air matanya. Sialan,
mengapa ia tidak tahu apa yang seharusnya ia lakukan" Mengapa
semuanya tidak bisa menjadi jelas bahwa ia membutuhkan Aidan,
atau ia harus mengucapkan selamat tinggal pada Aidan" Mengapa ia
selalu merasa emosinya naik-turun seperti yoyo"
Saat Emma menangis, Beau muncul dan melompat ke ranjang
bersamanya. "Oh Beau," Emma terisak, memeluk erat Beau. Beau
masih berbaring dengannya, membiarkan Emma mengeluarkan
semua emosinya. Akhirnya, Emma tertidur karena lelah.
*** Bab 13 Atmosfer di antara Emma dan Aidan tegang selama beberapa hari
terakhir bed-rest Emma. Meskipun Aidan membawakan semua yang
Emma butuhkan, melayani setiap keinginannya, tapi itu tidak sama
seperti sebelumnya. Aidan tidak lagi tinggal dan menonton film
bersama dengannya. Dan bahkan dengan Beau di samping Emma,
ranjangnya terasa dingin dan kosong tanpa Aidan di malam hari.
Aidan meletakkan semua keputusan di tangan Emma. Aidan merasa
ia telah melakukan segala-galanya agar Emma memaafkannya, dan
sekarang Aidan sudah selesai melakukan segala sesuatunya.
Sekarang apapun yang terjadi diantara mereka tergantung pada
Emma. Dan Emma benar-benar tidak punya petunjuk bagaimana
memprosesnya. Saat Emma pergi untuk bertemu dengan dokter kandungannya, Dr.
Middleton, Emma senang bahwa semuanya tampak baik-baik saja,
dan Emma bisa berhenti dari bed-restnya dan kembali bekerja pada
minggu depan. Seharusnya ia merasa bahagia, ketidakpastian masih
membuatnya merasa berat. Apakah ia akan pergi sore ini dan pulang
ke rumahnya" Apakah ia tetap tinggal dan mencoba bersama dengan
Aidan" Atau apakah ia bersiap untuk pindah ke Ellijay dan tinggal
bersama Grammy dan Granddaddy seperti yang sebenarnya telah ia
rencanakan" Setelah Emma dan Aidan masuk ke dalam mobil, kesunyian yang
pekat melanda mereka. Akhirnya setelah seperti dalam keabadian,
Aidan menghela nafas. "Dengarkan, Em, mungkin kau tidak akan
senang dengan apa yang akan kukatakan, tapi kurasa aku harus
mengatakannya." "Okay," jawab Emma ragu-ragu.
"Aku tahu kau sudah tidak perlu lagi bed-rest, tapi menurutku kau
tidak perlu melakukan sesuatu yang berat. Jadi jika kau bersedia, aku
lebih suka jika kau tetap tinggal di rumahku... paling tidak tinggallah
lebih lama." Ketika Emma membalikkan badannya dan menatap Aidan, ia
melihat rahang Aidan menggertak-gertakkan giginya. Aidan
mencoba mengontrol emosinya. Ia tahu bahwa itu tandanya Aidan
menginginkan dirinya tetap tinggal. Pikiran itu membuat jantungnya
berdetak lebih kencang. "Apa kau yakin kau tidak keberatan?"
Aidan mengalihkan tatapannya yang jauh keluar jendela dan
mengarahkan tatapan Emma pada dirinya. "Tentu saja aku tidak
keberatan. Tinggallah beberapa hari atau beberapa minggu lagi."
Lalu Aidan bergumam pelan, "tinggallah selamanya."
Napas Emma tersentak saat Aidan mengungkapkan keinginannya
berkomitmen, tapi ia memutuskan untuk tidak menekannya. "Jika
kau benar-benar yakin, maka aku akan senang untuk tinggal
bersamamu." Emma memberikannya senyuman ceria, membuat bibir Aidan
tersenyum. "Bagus. Aku senang mendengarnya. Sekarang mengapa
kita tidak merayakannya dengan mentraktirmu makan malam?"
"Tidak, tidak, kali ini giliranku yang mentraktirmu, kau sudah cukup
melakukan semuanya."
"Hmm, aku pikir aku tidak akan pernah membiarkan wanita
membayar untuk makan malamku," renung Aidan.
"Bagus. Kau harus belajar bahwa selalu ada yang pertama untuk
segala hal." Aidan terkekeh. "Baiklah, Em. Karena kau yang mentraktir makan
malam ini, biarkan aku memilih tempat yang paling mahal!"
*** Malam berikutnya Emma bersiap-siap untuk bukan-kencannya
dengan Pesh untuk menonton opera. Setelah sentuhan terakhir pada
rambutnya, Emma berdiri di depan cermin kamar mandi dan melihat
dirinya sendiri. Dengan pinggang ramping, dan tali lebar spaghetti,
gaun koktail berwarna ungu yang jatuh tepat di bawah lututnya.
Hidung Emma berkerut sedikit saat ia menyadari bagaimana
kehamilannya membuat belahan dadanya semakin berisi. Sepertinya
ukuran cup dadanya semakin membesar dalam beberapa hari
terakhir. Ia yakin saat ia tidak akan mengenakan mantel untuk
menutupinya. Emma tidak pernah berdandan cukup lama, dan sebenarnya ia telah
membeli gaun itu untuk acara gladi makan malamnya Casey dan
Nate yang megah. Tapi Emma senang mengenakan gaun itu terlebih
dulu untuk menonton opera.
Saat terdengar pintu depan dibanting, Emma mengernyit. "Em?"
suara Aidan memanggilnya.
"Aku ada di kamar mandi." Seperti pengecut, Emma belum
menceritakan rencananya untuk pergi dengan Pesh. Emma tahu itu
akan menimbulkan masalah yang tidak perlu. Emma berharap ia bisa
menyelinap keluar sebelum Aidan pulang. Dengan meninggalkan
catatan atau sms akan lebih mudah daripada harus menghadapinya.
Tapi tampaknya Aidan tidak pernah berpikiran bahwa tidak ada apaapa antara Emma
dan Pesh, dan pada saat yang sama, Aidan juga
belum mengatakan padanya tiga kata ajaib yang sudah lama ingin
Emma dengar. Sementara dalam pikiran Emma, ia mengatakan pada dirinya sendiri
bahwa rencananya menonton opera itu tidak merugikan siapapun,
hati Emma berkecamuk dalam amarahnya sendiri. Dari dalam lubuk
hatinya yang paling dalam, Emma tahu ia telah menyakiti Aidan, hal
itu akan membuat Emma menjadi orang yang jahat. Emma
seharusnya memberitahu Pesh pada saat pertama kali Pesh
menyinggung tentang datang ke opera, tapi sebaliknya, Emma malah
menghiraukan kata hatinya dan setuju untuk datang.
Emma tersentak keluar dari lamunannya saat terdengar Aidan
berjalan menyusuri lorong. "Aku memilih beberapa Chinese food
saat perjalanan kemari. Aku pikir jika kau mau, kita bisa pergi ke
tempat Percy dan bertemu dengannya malam ini. Ia benar-benar
menginginkan kita untuk datang. Aku bersumpah, ia meneleponku
sampai lima kali." Emma mengernyit tentang kenyataan ia tidak hanya mengecewakan
Percy tapi juga Aidan. Aidan muncul di pintu kamar mandi dengan
telur gulung yang baru dimakannya setengah di tangannya. Aidan
menatap Emma, dan mulutnya terbuka menganga. "Aku pikir
gaunmu sedikit berlebihan untuk acara YMCA."
Kehangatan membanjiri pipi Emma. "Sebenarnya, aku akan pergi
menonton opera malam ini."
Wajah Aidan lesu. "Dengan Pesh?"
Emma menggigit bibir bawahnya sebelum menjawab. "Ia sudah
memintaku minggu lalu karena ia punya tiket lebih. Beberapa
pasangan lain juga akan di sana, jadi ini tidak seperti hanya ada kami
berdua saja. Ini cuman salah satu cara merayakan aku bebas dari
bed-restku." Perasaan terluka terpancar di mata Aidan, Emma
dengan cepat menambahkan, "ini hanya di pusat kota Fox. Aku tidak
akan pulang terlambat, dan aku berjanji tidak akan banyak berdiri
sesering mungkin." Kebungkaman Aidan membuat dada Emma terasa runtuh. Emma
tahu ia harus menjauh dari Aidan. Saat Emma melewatinya keluar
pintu, Emma melihat remah telur gulung di wajah Aidan. Menjinjit,
Emma menggerakkan ibu jarinya di atas sudut bibi Aidan,
mengelapnya. Aidan meraih lenganya, mata birunya berkedip dengan
keputusasaan. "Em, jangan pergi. Kumohon."
Emma berharap Aidan tidak memperhatikan Emma yang mulai
bergetar. "Aidan, aku sudah terlanjur memberi tahu Pesh aku akan
datang, dan aku sudah berpakaian. Selain itu, ini bukanlah kencan.
Aku berjanji." Aidan merengut pada Emma. "Tentu saja ini adalah kencan. Kau
mungkin berpikir kalau ini hanya sebagai teman, tapi aku yakin ia
The Proposal The Proposition 2 Karya Katie Ashley di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tidak berpikiran seperti itu. Atau setidaknya ia menginginkanmu
percaya pada kebohongannya untuk mendapatkanmu."
Emma merunduk melihat ubin kamar mandi. "Ya, itu benar bahwa
Pesh menginginkan hubungan kami lebih dari teman, tapi aku sudah
mengatakan padanya aku tidak tahu apa yang sebenarnya
kuinginkan". "Itu tidak benar. Kau ingin kita bersama-sama. Aku tahu itu." Saat
Emma menolak melihat Aidan, tangan Aidan mencengkeram dagu
Emma, memaksa Emma untuk menatapnya. "Mengapa kau selalu
melawannya" Melawan kebersamaan kita?"
Emma mencoba menarik dirinya, tapi Aidan malah mempererat
pelukannya. "Aku tidak melawan kebersamaan kita. Tidak benarbenar ada lagi kata
kita, ya kan" Kau sudah memastikan itu saat kau
tidak bisa mengatakan kau mencintaiku dan mencoba menggoda
wanita lain!" Aidan menyipitkan mata padanya. "Oh tentu saja ada! Itu ada
sebelumnya, dan masih tetap ada."
Emma menggelengkan kepalanya saat air mata membakar matanya.
"Apa kau belum juga mengerti" Kau mematahkan hatiku, Aidan!
Kau menghancurkanku menjadi berkeping-keping, aku bahkan tidak
yakin aku masih bisa utuh lagi denganmu atau dengan laki-laki lain."
Wajah Aidan berkerut dengan penderitaan. "Dan aku bilang aku
minta maaf. Aku sudah meminta dan memohon padamu untuk
memaafkanku. Aku bahkan telah mencoba menunjukkan padamu
dengan berbagai cara betapa menyesalnya aku. Karena sepuluh hari
terakhir, apa yang kita miliki sekarang bahkan lebih kuat, tapi sial,
kau tetap keras kepala menolakku karena kau takut aku akan
mengacaukannya lagi!"
Pipi Emma memerah karena kemarahannya. "Dan bagaimana aku
tahu kau tidak akan mengacaukannya" Kau berkata kau
menginginkan lebih denganku terakhir kali dan lihat kemana itu
menuntun kita. Bagaimana aku tahu kau tidak akan menempatkan
cincin di jariku dan kemudian panik dan mengacau di belakangku"!"
tanya Emma. "Karena aku tidak akan seperti itu. Aku bersumpah demi Tuhan dan
apapun yang suci aku tidak akan seperti itu!"
"Kau tidak bisa berjanji seperti itu. Kau tidak yakin apa yang akan
kau lakukan esok atau lima tahun dari sekarang."
"Aku yakin! Aku tahu di dalam hatiku aku tidak pernah merasakan
perasaan pada orang lain seperti perasaanku padamu. Semua yang
aku inginkan adalah dirimu."
"Aidan- " Jawaban Aidan langsung melumat bibir Emma dengan bibirnya.
Getaran listrik yang akrab muncul dan gemercik disekelilingnya.
Kebutuhan fisik, bersama dengan cinta, berdenyut dalam dirinya,
dan Emma berpikir ia bisa mati jika ia tidak bisa semakin dekat
dengan Aidan. Emma ingin menyentuh dan merasakan setiap inchi
tubuhnya. Aidan mengeluaran erangan kesakitan saat lidah Emma bergesekan
dengan bibirnya. Aidan melebarkan mulutnya, menerima lidah
Emma dan menggodanya dengan lidahnya. Hampir secara naluriah,
Emma memeluk leher Aidan saat Aidan memeluk pinggang Emma.
Mereka bergerak dalam kekuatan satu sama lain.
Ketika Aidan mulai menarik dirinya, Emma memberikan sebuah
teriakan protes. "Rasakan kebersamaan kita, Emma. Ini ada di sini,
dan semua yang perlu kau lakukan adalah menerimanya," gumam
Aidan di bibir Emma. Mata Emma terbuka, dan ia menatap Aidan. "Emma, aku cin-"
Suara bel berbunyi memotong perkataan Aidan dan menyentakkan
Emma keluar dari mantra Aidan. "Ya Tuhan," geram Emma. Tangan
Emma turun dari leher Aidan untuk mendorong dada Aidan.
"Biarkan aku pergi". Ketika Aidan masih memeluk erat Emma,
Emma memberikan tatapan panik pada tatapan sedih Aidan.
"Kumohon, Aidan."
Tangan Aidan turun dengan lemas dari Emma saat bahunya turun
dalam kekalahan. "Baik. Pergilah padanya. Aku harap ia bisa
memberimu apa yang jelas-jelas tidak kau inginkan dariku. Tapi
jangan berpikir satu menit pun kau tidak melakukan seperti yang aku
lakukan. Kau lari dari kebahagiaan dan mencoba menenangkan
ketakutanmu dengan pria lain."
Aidan berbalik dan meninggalkan Emma sendirian di dalam kamar
mandi. Merasa pusing, Emma mencengkeram ujung meja. Air mata
menggenang di mata Emma, tapi ia berjuang untuk tetap tenang.
Emma mendengar Aidan membukakan pintu depan dan menyuruh
Pesh masuk. Emma melihat dirinya di cermin dan menyeringai.
Ciumannya dengan Aidan membuat lipstik di bibirnya berlepotan.
"Tunggu sebentar!" teriak Emma.
"Pergunakan waktu semaumu," jawab Pesh dengan sopan tanpa
dibuat-buat. Emma yakin Pesh hanya bersikap sopan mengingat
Aidan ada di sana. Setelah Emma menyelesaikan dandanannya, ia meraih tasnya dan
bergegas menyusuri lorong. Pesh berdiri di teras dengan
membelakangi Emma. Tangan Pesh ada di dalam saku gugup
bermain-main dengan kunci didalamnya sementara Aidan tak terlihat
dimanapum. Emma berdehem. "Maafkan aku terlambat."
Pesh berbalik dan menikmati penampilan Emma. Senyum ceria
melengkung di wajah Pesh. "Kau terlihat sangat cantik, hanya pria
bodoh yang tidak langsung memaafkanmu."
"Terima kasih," jawab Emma. Emma kagum betapa tampannya Pesh
dalam mantelnya yang menyembunyikan jas dan dasi yang ia
kenakan di bawahnya. Sebuah syal berwarna krim melingkari
lehernya. "Kau juga terlihat tampan."
"Terima kasih, aku menghargai itu." Ia melihat disekeliling foyer.
"Dimana mantelmu?"
"Oh, tunggu sebentar." Saat Emma akan menuju ke kloset di
samping dapur, tiba-tiba Aidan muncul, membawakan Emma mantel
gaun formal di tangannya. "Kau tidak mau melupakan ini. Malam ini
pasti di bawah 40 derajat, aku tidak ingin kau dan Noah merasa
kedinginan." Emma mencoba mengambil mantelnya, tetapi Aidan berniat
memakaikan mantel itu padanya. Emma berbalik membelakangi
Aidan dan menghadap ke Pesh. Rahang Pesh menegang saat melihat
Aidan menarik mantelnya menaiki lengannya dan mengarah ke
bahunya. "Terima kasih."
"Terima kasih kembali." Jari-jari Aidan masih ada di bahu Emma
sampai akhirnya Emma melangkah menjauh dari Aidan.
"Aku kira kita lebih baik cepat pergi. Kita tidak ingin melewati
makan malam pesanan kita," kata Emma pada Pesh.
"Senang melihatmu lagi, Aidan. Katakan pada ayahmu aku berharap
ia bisa menjaga dirinya sendiri."
"Yeah, sama untukmu juga. Aku akan mengatakan pada Pop kau titip
salam untuknya." Emma tidak bisa percaya bahwa Aidan bisa bersikap ramah. Tapi
saat Emma dan Pesh sampai di pintu depan, Aidan berkata, "Jagalah
gadisku." Tangan Pesh membeku di gagang pintu. "Um, aku akan
melakukannya," gumam Pesh sebelum ia membukakan pintu untuk
Emma. Saat pintu tertutup di belakang Pesh, ia menghela napasnya
dengan gusar. "Maafkan aku karena hal itu." Emma memulai ketika mereka mulai
menuruni tangga. "Tidak apa-apa. Mungkin aku juga akan bereaksi dengan cara yang
sama." "Serius?" Pesh mengangguk sambil menahan pintu terbuka Jaguar-nya. "Jika
ada seseorang yang mencoba mengganggu wanita yang aku cintai,
aku mungkin akan bersikap kurang sopan."
"Tapi kau tidak mengganggu. Aidan tahu kita hanya berteman."
Emma memperhatikan Pesh tersentak saat Emma mengucapkan kata
teman. "Kita masih tetap teman kan, Pesh?"
Senyuman terpaksa melengkung di bibir Pesh. "Tentu saja kita
berteman." Kegelisahan merayapi ulu hati Emma. Ekspresi Emma pasti telah
memperingatkan Pesh pada perasaan Emma karena Pesh berkata,
"Emma, jika kau merasa tidak nyaman karena kita pergi malam ini
atau karena meninggalkan Aidan, kita tidak harus melakukannya.
Aku tidak pernah mau melakukan semua yang bisa membuatmu
tidak nyaman." Ketulusan dalam suara Pesh membuat Emma menggelengkan
kepalanya. "Tidak, aku baik-baik saja. Mari kita pergi." Tapi pada
kenyataanya Emma merasa jauh dari baik-baik saja. Emosi Emma
berdengung dan berbunyi seperti segerombolan belalang yang siap
mengambil alih dirinya setiap saat.
Pesh mengangguk, dan setelah Emma duduk di kursi, Pesh
menutupkan pintu untuk Emma.
Setelah Pesh memutari mobil, ia masuk ke mobil, dan menyalakan
mesinnya. Ia menoleh pada Emma dan tersenyum. "Aku senang kau
telah setuju untuk datang denganku malam ini. Saudara
perempuanku dan suaminya akan bergabung dengan kita."
"Oh," gumam Emma saat menyadari bahwa ini adalah kencan ganda.
"Tapi Shevta menyadari kita tidak saling berkomitmen, jadi kau
tidak perlu khawatir menjadi canggung."
Yeah, aku yakin Shevta berpikiran lebih dari itu tentang kita lebih
dari yang kau pikirkan - seperti halnya Becky! pikir Emma, tapi ia
menutup erat mulutnya. Jari-jari Emma menyusuri ujung mantelnya,
dan ia memelintirnya dengan kegugupan.
Pesh mencoba mengisi keheningan yang tidak nyaman dengan
obrolan tentang saudara perempuannya dan suaminya. Menurut
Emma, Pesh sangat mengagumi adiknya, Shevta, dan Shevta seperti
seorang wanita yang luar biasa.
"Dimana kita akan makan?"
"Di sebuah restauran India di dekat kota Fox".
Perut Emma menggeliat mendengar itu, tetapi sebelum ia berhasil
mencoba memasang raut wajah tanpa ekspresi, Pesh tertawa
terbahak-bahak. "Aku hanya menggodamu."
Tawa gugup keluar dari mulut Emma. "Benarkah?"
Sejenak Pesh mengalihkan pandangannya dari jalan untuk
memberikan senyuman pada Emma. "Aku sudah memesan tempat di
Livingston, jadi kita akan ada tepat di seberang jalan dan punya
banyak waktu untuk makan dan bersantai."
"Oh, aku selalu menginginkan makan disana. Tempat itu terlihat
indah, bangunan tua dengan Hotel Georgian Terrace."
"Aku senang aku membuat pilihan yang bagus."
Emma tersenyum. "Aku pikir suatu hari jika aku tidak hamil, aku
akan memberanikan diri untuk mencoba makanan India lagi."
"Benar kau berpikiran seperti itu?" Saat Emma menganggukan
kepalanya, Pesh berkata, "Nah itu yang bisa disebut berani."
"Sebenarnya, kau belum tahu cerita yang selengkapnya dan
bagaimana sebenarnya kejadian itu!"
"Oh, apa yang terjadi?"
Emma meringis sebelum ia menceritakan kisah muntahnya di
pangkuan Aidan. Tentu saja, Emma menutupi cerita-cerita detail
tentang apa yang telah terjadi diantara Emma dan Aidan malam itu.
Ekspresi Pesh berubah serius. "Aku benci mendengar kau sakit.
Seharusnya aku menyadari mencampur semua rempah-rempah akan
kurang baik untukmu - khususnya jika kau punya langit-langit
rongga mulut yang sensitif."
"Tidak apa-apa. Hal seperti itu bisa terjadi," kata Emma saat mereka
memasuki area parkir di seberang Livingston.
Setelah mematikan mesin mobil, Pesh menoleh pada Emma. "Jadi
kita akan mencari makanan yang cocok untukmu malam ini dan
memastikan kau tidak harus lari ke kamar mandi atau muntah di
panggung musik?" Emma tertawa. "Aku tidak sesensitif itu."
"Phew, aku senang mendengarnya." Pesh mengelilingi mobil tidak
hanya membuka pintu untuk Emma, tapi ia memegang tangan Emma
untuk membantunya keluar dari mobil.
Emma menggelengkan kepala padanya. "Kau tahu, perutku belum
begitu besar yang dapat membuatku susah untuk bergerak."
Pesh mengedipkan matanya. "Aku tahu. Aku hanya
menggunakannya sebagai taktik agar aku bisa memegang
tanganmu." Emma tidak bisa menahan tawanya saat senyum nakal terbentuk di
pipi Pesh. "Bisakah aku tetap memegang tanganmu dan
mengantarmu masuk ke restauran?"
"Kurasa bisa." "Aku tidak ingin kau berpikir aku terlalu cepat melangkah ke
depan." "Aku pasti akan memberitahukanmu jika hal itu terjadi."
Saat lampu berubah warna, mereka segera menyeberangi jalan dan
menuju ke restauran. Saat mereka sampai di tempat pelayan, Pesh
melepaskan tangan Emma. "Reservasi atas nama Nadeen," kata
Pesh. Pelayan melirik ke bawah melihat bukunya. "Ya, dua teman semeja
Anda sudah ada di sini. Silahkan ikuti saya".
Pesh mempersilahkan Emma duluan, dan Emma tepat di belakang
pelayan itu. Ketika mereka berhenti di depan meja dengan sepasang
orang India telah duduk di situ, Emma menarik napas dalam-dalam.
"Shevta, Sanjay, ini temanku, Emma Harrison," kata Pesh
memperkenalkan. Emma mengulurkan tangannya pada Shevta. "Senang berkenalan
denganmu." Shevta membalasnya dengan senyuman saat ia bersalaman dengan
Emma. "Aku yang senang berkenalan denganmu, Ms. Harrison.
Silahkan duduk". Emma bersalaman dengan Sanjay sebelum Emma melihat kursi
kosong. Setelah membantu Emma melepaskan mantelnya, Pesh
menarik kursi untuk Emma lalu memajukannya ke meja.
Setelah mereka memberikan pesanan minumannya pada pelayan,
Shevta menoleh pada Emma. "Jadi, aku tahu kau adalah penggemar
berat opera?" "Oh ya. Ibuku membawaku ke Fox ketika aku remaja. Aku berumur
tiga belas tahun ketika pertama kali aku melihat Aida."
"Sanjay dan aku memiliki tiket musiman sejak kami menikah.
Dengan jadwalnya yang padat, kami tidak bisa menontonnya
termasuk Alpesh, meskipun ia sangat suka opera," kata Shevta.
"Aku sangat senang kau mengajakku sore ini."
Dengan senyuman licik, Shevta berkata, "Oh tidak, kamilah yang
senang kau ada di sini."
Emma menggeser kursinya dan mencoba memfokuskan
perhatiannya pada menu dan tidak menambah ketegangan tentang
ada atau tidaknya hubungan istimewa diantara Emma dan Pesh.
Sisa waktu makan malam berjalan lancar, dan Emma benar-benar
menikmati berada di luar bersama Shevta dan Sanjay. Tentu saja,
Pesh dengan wajah yang menawan, dan Emma yang tidak bisa
menahan perasaan kecil yang bergejolak di dadanya setiap kali
Emma menangkap Pesh mencuri pandang pada Emma atau setiap
kali Pesh mengedipkan matanya main-main.
Setelah mereka selesai makan, mereka berjalan menyeberangi jalan
di bawah tanda lampu berkelap-kerlip Teater Fox. Saat penjaga pintu
The Proposal The Proposition 2 Karya Katie Ashley di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengantar mereka ke barisan ketiga di dalam orkestra, Emma
menoleh pada Pesh dengan mata yang melebar. "Posisi duduknya
menakjubkan!" Pesh tersenyum saat ia membantu Emma melepaskan mantelnya.
"Aku senang kau menyukainya."
"Menyukainya" Aku tidak pernah membayangkan aku bisa sedekat
ini. Aku merasa seperti aku berada di balik layar. Jadi, tidak seperti
aku berada diatas panggung seperti ini."
"Kau pernah bergabung dengan teater?" Tanya Pesh saat mereka
menuruni tangga menuju ke kursi beludru yang mewah.
"Oh ya." Emma kemudian menghabiskan sisa waktu sebelum lampu
meredup menikmati Pesh tentang peran bermusik Emma.
Saat tirai terangkat terbuka, Emma duduk terpesona di tempat
duduknya. Kostum, susunan musik, pertunjukan - semuanya
mempesona dan lebih mempesona dari yang ia ingat. Ketika para
pemain keluar dari tirai, ia bertepuk tangan sangat keras sampai
telapak tangannya sakit dan berubah merah.
Saat mereka menyusuri lorong, Emma merasakan tangan Pesh
berada di punggung bawahnya, membimbingnya keluar dari
kerumunan. Angin dingin langsung terasa saat mereka mendorong
pintu lobi dan kemudian berada di bawah tenda.
"Aku sangat senang bertemu denganmu." kata Sanjay.
"Aku juga senang," jawab Emma, bersalaman dengannya.
Shevta mencodongkan badannya ke telinga Emma dan berbisik.
"Kami harap bisa bertemu denganmu lagi secepatnya. Aku sudah
lama sekali tidak melihat Pesh bahagia."
Karena sindiran itu, dada Emma terasa sesak, dan ia merasa sulit
bernapas. Bagaimana ia menjelaskan pada Shevta bahwa ia tidak
bisa membalas perasaan Pesh, dan bagaimanapun ia berusaha
mencobanya, pada akhirnya ia tetap saja akan melukai Pesh" Atau ia
membohongi dirinya sendiri dengan mengabaikan secuil hatinya
yang berkerlap-kerlip saat Pesh tersenyum padanya atau melakukan
sesuatu yang manis atau bijaksana" Bersama Pesh, ia tidak perlu
khawatir tentang kesetiaan atau tidak mampu untuk mengatakan apa
yang dia rasakan. Pesh melakukan semuanya dengan hati, dan ia
juga berpikiran sederhana, ia tidak pernah berpikir untuk berbuat
curang. Akhirnya, Emma bergumam, "Terima kasih."
Saat mereka melambaikan tangan perpisahan pada Sanjay dan
Shevta, Pest melingkarkan lengannya pada Emma. "Jadi apa kau
menikmati Aida lagi?"
"Oh aku mengaguminya! Cerita cintanya sangat indah, bahkan
bagian sedihnya." "Kau membuatku khawatir saat kau sesegukan."
Emma menyeringai. "Aku tidak bisa menahannya, ini adalah
pencampuran diriku dari pengaruh hormon yang tidak masuk akal
dan fakta aku selalu menangis secara emosional baik di film, buku
ataupun teater." Mereka ada di tikungan tempat parkir saat Pesh berhenti. "Ada apa?"
tanya Emma. Pesh menunjuk ke arah kereta kuda yang ditarik di pinggir jalan.
"Mau naik itu?"
Emma membelalakan matanya terkejut membayangkan antara rasa
romantis dan cara masuk ke kereta nantinya. "Aku menyukainya,
tapi..." "Kau takut kau tidak bisa naik ke keretanya?"
Emma mengerutkan alisnya. "Bagaimana kau...?"
Pesh tertawa. "Tebakan keberuntungan. Tapi tak perlu takut. Aku
yakin kita bisa melakukannya." Pesh memegang tangan Emma dan
menaruhnya di sisi kereta. "Sekarang letakkan kakimu di sanggurdi."
Tangan Pesh ada di pinggang Emma dan dengan lembut mengangkat
tubuhnya. Emma menarik kakinya yang lain dan kemudian maju ke
depan di kursi. "Oomph," gumam Emma, saat Emma mencoba
merapikan gaunnya. "Apa kau baik-baik saja?"
"Aku baik-baik saja."
"Okey, kami siap," kata Pesh pada kusirnya.
"Baik, Mr. Nadeen." Saat tali kekang dihentakkan, kereta meluncur
ke depan, membuat Emma terjatuh ke belakang di dada Pesh.
Saat Emma menarik dirinya sendiri dari dada Pesh, Emma bertanya,
"bagaimana ia tahu namamu?"
"Jika kau mau naik kereta kuda setelah jam 10, kau harus
menyewanya." "Kau menyewa sebuah kereta kuda untuk kita?" tanya Emma tidak
percaya. "Ya, begitulah, pada saat itu, itu terlihat seperti ide yang cemerlang cara lain
dari diriku untuk merayumu. Tentu saja, itu sebelum aku
menjemputmu dan mengalami seluruh adegan bersama Aidan."
Emma menundukkan kepalanya. "Maafkan aku."
Dengan lembut jari-jari Pesh menangkup dagu Emma, memaksa
Emma melihat padanya. "Tolong jangan meminta maaf. Aku hanya
senang dapat menghabiskan sore yang indah ini bersamamu."
Emma melihat ekspresi ketulusan Pesh, dan Emma pun tersenyum.
"Begitu juga aku. Dan terima kasih sudah sangat memahamiku."
"Dengan senang hati." Mereka melihat-lihat pemandangan lalu lintas
dan orang-orang yang tergesa-gesa di sekitar mereka. Untuk
melawan udara dingin, Emma merapat lebih dekat ke Pesh. Sesaat
Pesh terasa tegang sebelum ia memeluk Emma dengan lengannya.
Meskipun Emma membenci dirinya sendiri karena itu, ia tidak bisa
menghiraukan bagaimana Pesh terasa sangat berbeda dengan Aidan.
Ia lebih tinggi, lebih berotot. Emma merasa kecil dibungkus dalam
pelukannya, bahkan dengan perutnya yang semakin membesar.
"Emma," ia berbisik.
Emma menyentakkan kepalanya dari dada Pesh untuk menatapnya.
Kerinduan yang intens membara di mata Pesh melepaskan
perlindungan Emma dan mengirim getaran kecil padanya untuk
memulainya. Sebelum Emma bisa menghentikan dirinya sendiri, ia
mencodongkan tubuhnya ke depan, memberikan Pesh undangan
yang diinginkannya. Bibir hangat Pesh menyapu lembut bibirnya. Ketika Emma tidak
menarik dirinya, Pesh menekannya lebih keras. Sebagai pria sejati,
Pesh tidak mencoba memperdalam ciumannya dengan mencari celah
masuk untuk lidahnya. Sebaliknya, ia menarik dirinya untuk
menatap Emma. Getaran itu telah membuat percikan api di bawah
pinggang Emma, dan Emma memanggut bibirnya lagi padanya. Kali
ini Emma menyelipkan lidahnya masuk ke bibir Pesh. Pesh
mengeluarkan erangan kecil di tenggorokannya sebelum Pesh
melesatkan lidahnya ke lidah Emma.
Pada saat itu, Emma merasa tidak cukup dekat dengannya atau
cukup mendapatkan dirinya. Tangan Emma berada di rambut Pesh
saat ia bergerak hampir duduk di pangkuannya. Emma merintih
frustasi saat tangan Pesh berada di pundak Emma untuk
mendorongnya menjauh. "Tidak, Emma."
"Apa?" gumamnya dengan pandangannya yang berkabut.
Pesh menggelengkan kepalanya. "Ini bukan dirimu. Ini pengaruh
hormonmu." "Tidak, tunggu. Sama sekali bukan karena itu." Emma menatapnya.
"Percaya padaku saat aku bilang, kau benar-benar, benar-benar
pencium yang ulung."
Pesh tertawa. "Dan dalam lima menit, kau akan membenci dirimu
sendiri dan aku, sama seperti yang aku lakukan sekarang ini."
"Kenapa?" "Karena aku merasa seperti seorang bajingan yang mendekatimu
tanpa mempertimbangkan kau baru saja bebas dari bed-rest mu, kita
nyaris mengenal satu sama lain, dan emosimu adalah dengan orang
lain." Emma berkedip beberapa kali, memahami kata-katanya. Lalu tangan
Emma bergerak menutupi mukanya sendiri. "Ya Tuhan, aku
bertingkah seperti pelacur yang hebat, iya kan?" erang Emma.
"Tidak, kau tidak seperti itu." Saat Emma mengintip melihatnya,
Pesh tersenyum malu-malu. "Selain itu, kau bisa menyalahkan
hormon kehamilanmu. Seharusnya aku lebih mengetahuinya."
Emma mengulurkan tangannya untuk menggenggam tangan Pesh.
"Ini bukan hanya karena hormonku yang membuatku
menginginkanmu, Pesh. Kau pria yang menakjubkan - tampan, kuat,
penuh kasih, selalu memberikan dirimu dan juga hatimu. Semua
wanita di posisiku pasti akan bersedia menurunkan celananya
untukmu, bahkan jika mereka biasanya memiliki moralitas."
Pesh tertawa. "Setelah selama ini dan siapa yang tahu bahwa aku
adalah seperti pelumer celana."
Emma menyeringai. "Kau butuh lebih sering keluar dari ER
(Emergency Room)." "Jika aku punya sore-sore selanjutnya yang seperti ini, maka aku
pasti akan melakukannya."
Sindiran Pesh membuat Emma menunduk ke arah pangkuannya
Perguruan Sejati 8 Lima Sekawan 04 Ke Sarang Penyelundup Tugas Tugas Hercules 1
Aidan tersenyum. "Halo Virginia, senang bertemu denganmu."
Seperti yang diperkirakan, Grammy memeluknya dengan erat.
"Bagaimana keadaan gadisku tersayang?"
"Sekarang dia marah karena bukannya beristirahat, kau malah
memasak untuknya." Jawabnya sembari melepaskan pelukan.
Grammy memiringkan kepala berubannya ke arah Aidan dan Aidan
mendengus. "Meski dia ingin aku memberitahumu kalau dia baikbaik saja, tapi aku
tidak bisa berbohong."
"Sudah kuduga."
"Secara fisik, dia baik-baik saja, tapi secara emosilah yang
menyakitinya....dan aku." Memasukkan tangan ke sakunya, Aidan
menggoyangkan kakinya. "Aku harap aku tahu apa yang harus aku
katakan atau perbuat untuk membuatnya lebih baik. Aku benci
melihatnya menangis, dan melihatnya ketakutan benar-benar
membunuhku." Virginia mengusap lengannya. "Aw, sayang, aku yakin kau sudah
melakukan hal terbaik untuk menjaganya. Hamil sudah cukup berat
baginya tanpa harus ditambah masalah kelahiran prematur dan
istirahat total." "Apakah penting seberapa baik aku menjaganya sementara akulah
alasan kenapa dia begini?"
"Sekarang jangan berpikir seperti itu."
"Itu kenyataannya, bukan begitu?"
Virginia menggelengkan kepalanya. "Aku tidak disini bukan untuk
menghakimi atau menghukummu atas apa yang terjadi, Aidan.
Masalah itu antara kau, Tuhan dan Emma. Dan jika aku mengenal
gadisku dengan baik, penyebab stresnya berkaitan dengan apa yang
terjadi pada ayahmu. Berkendara dalam ambulan, mendengar sirine,
aku tahu kalau itu membuat Emma teringat akan apa yang terjadi
pada ayahnya." Grammy memegang dagunya. "Jadi, jangan salahkan
dirimu sendiri, oke" Jika kau tidak ada disana, tidak ada seorangpun
yang akan menolong Emma."
Senyum ragu muncul di bibir Aidan. "Aku rasa begitu."
"Well, aku tahu itu." Grammy melambaikan tangannya menyuruh
Aidan masuk. "Ayo masuk dan ambil makanannya. Aku tidak ingin
menahanmu terlalu lama dari Emma."
"Bukan berarti dia peduli," gumam Aidan.
Virgiinia memandang lewat bahunya ke arah Aidan dengan
pemahaman tersirat di wajahnya. "Dia sangat peduli lebih dari yang
kau tahu." Pernyataan itu membuat jantungnya berdebar dan memberinya
harapan lebih. Saat dia memasuki ruang tamu, matanya terkunci
pada Earl yang sedang duduk. Dia menelan ludah dan menguatkan
diri menanti kemarahan Earl. "Halo, Earl."
"Halo juga, Aidan." Jawabnya, mematikan suara televisi.
"Bagaimana keadaanmu?"
Earl mengedikkan bahunya. "Sedikit lebih baik."
Virginia menghembuskan nafas frustrasi. "Dia terlalu banyak
beraktifitas, dan dia akan berakhir di Rumah Sakit lagi."
Earl memandang Virginia dengan tatapan putus asa. "Aku benci
hanya duduk sepanjang hari dan menunggu bantuan atau makanan."
Rajuknya. "Kau terdengar seperti Emma," jawab Aidan geli.
"Semoga hati Emmie Lou diberkati," balasnya.
Berjalan melewati Earl, Grammy mencium pipinya. "Percaya
padaku, sayang, tidak ada seorangpun yang menginginkamu untuk
bisa berdiri lebih dari diriku."
Earl menyeringai ke arahnya. "Kau seorang malaikat, Ginny."
Suara hampir mirip cekikikan terdengar dari Grammy sebelum dia
berbalik menghadap Aidan. "Sayang, silahkan duduk dan aku akan
menyiapkan semuanya."
Aidan melirik ragu antara Virginia dan Earl. "Kau yakin tidak perlu
bantuanku?" Dia menggelengkan kepala. "Tidak. Aku hanya perlu mengeluarkan
caserole terakhir dari dalam oven."
Setelah dia menuju dapur, Aidan dengan terpaksa duduk di sofa. Dia
menelan ludah dengan susah payah saat melihat ke arah senapan
yang ada di lemari tidak jauh dari tempatnya duduk.
Suara Earl mengejutkannya. "Ada apa denganmu?"
"Ti-tidak ada apa-apa." Saat melihat alis Earl berkerut dengan tanya,
dia menghela nafas. "Aku hanya memperkirakan seberapa cepat aku
bisa menghadangmu sebelum kau mengambil senapan di lemari."
Mata Earl berkilat geli. "Nak, aku tidak akan menembakmu karena
apa yang kau lakukan pada Emmie Lou."
"Benarkah?" Dia menggelengkan kepala. "Pertama, aku ingin cicitku memiliki
ayah dan kau tidak akan bisa memenuhi itu jika kau terkubur sejauh
enam kaki di bawah tanah."
Aidan tertawa gugup. "Tidak, aku rasa tidak."
Earl melirik ke arah dapur sebelum mengarahkan perhatiannya
kembali pada Aidan. "Kedua, aku mungkin melakukan banyak hal,
tapi munafik bukan salah satunya."
"Maaf?" Dengan menghela nafas, Earl berkata, "Anggap saja kalau saat aku
masih muda dan bodoh, aku pernah melakukan kesalahan yang sama
sepertimu." Mulut Aidan terbuka karena terkejut. "Jadi kau, um..."
Earl memutar matanya. "Seberapa jelas kau ingin rinciannya" Aku
pemuda dua puluh lima tahun yang sombong. Hanya karena Ginny
tidak memperhatikanku lagi karena kedua anak lelaki kami, aku
hampir membiarkan seorang pelacur murahan merusak pernikahan
kami." "Ya, itu sangat jelas."
"Untungnya bagiku, Virginia memberikanku kesempatan kedua dan
aku menghabiskan hampir lima puluh tahun ini untuk
memperbaikinya." Bersandar kedepan, Aidan bertanya, "Butuh berapa lama sampai dia
mau memaafkanmu?" "Sangat, sangat lama."
Aidan membuang nafas frustasi. "Aku hanya berharap Em akan
semurah hati itu." "Tergantung seberapa banyak kerja keras dan usaha yang kau
lakukan." "Yang benar" Aku bersumpah kalau aku sudah berusaha matimatian."
Earl mendengus. "Percaya padaku, sampai kau bekerja keras di
bawah terik matahari demi mengumpulkan uang untuk membelikan
istrimu perhiasan yang dia inginkan, kau tidak akan bisa bicara
seperti itu." Dengan kernyitan, Aidan menjawab. "Aku rasa tidak."
Suara Grammy terdengar dari dapur. "Ok, sayang, ini sudah siap."
Saat Aidan berdiri, Earl memegang tangannya. "Dengar, nak, kau
harus tetap mencoba. Emmie Lou merupakan keturunan wanita yang
keras kepala. Tapi yang Aku tahu dia tergila-gila padamu, jadi kalau
kau benar-benar menginginkannya, maka kau harus terus berusaha
memenangkannya kembali."
Kata-kata menenangkan Earl membuatnya tersenyum. "Aku pasti
akan melakukannya." *** Saat Aidan kembali ke Atlanta, dia berhenti di sebuah toko bahan
makanan dan membeli beberapa belanjaan sebelum pulang ke
rumah. Saat mobilnya memasuki pekarangan, jantungnya tiba-tiba
berhenti. Mobil Becky sudah tidak ada. Pikirannya berkecamuk.
Bagaimana kalau Emma mengalami kontraksi lagi dan Becky
membawanya ke Rumah Sakit" Bergegas keluar dari mobil tanpa
menutup pintu, Aidan berlari melewati garasi dan masuk dari dapur.
"Emma!" Teriaknya.
Suara senapan dan ledakan terdengar olehnya. Memutar leher, dia
melihat John dan Percy duduk di sofa dengan sebuah konsol game
ditangan mereka. "Dimana Emma" Dimana ibu kalian?" Desaknya
tanpa kata halo. John menatapnya dan memutar matanya sebelum kembali fokus
pada permainannya. "Dude, simpan kejantananmu. Ibu dapat
panggilan darurat dari Universitas untuk meeting, jadi kami menjaga
Emma sampai dia kembali. Georgie berada dikamar dengan Emma
sekarang sambil menonton Finding Nemo atau semacamnya."
Aidan terlalu lega sehingga mengabaikan kata-kata kotor yang di
ucapkan John. "Oh, well, bagus." Aidan menunjuk ke arah garasi
dengan jempolnya. "Bisakah kalian menolongku dengan belanjaan
dan makanan dari rumah Grammy!"
"Yang benar?" Tanya John.
Aidan menggerutu. "Iya, aku serius. Sebut saja itu balasan karena
sudah membajak kolamku selama musim panas."
"Aku pikir kau mengizinkan kami memakai kolammu karena kami
keponakan favoritmu?" Tanya Percy, sembari berdiri dari sofa.
Aidan tertawa dan mengacak rambutnya. "Aku rasa itu benar." Saat
John masih tidak bergerak, Aidan meraih dan mengambil
mainannya. "Hei!" Protes John.
"Angkat bokongmu dan kau mungkin masih punya kesempatan
untuk bermain lagi."
Mendengus, John berdiri dan melangkah ke arah dapur. Aidan dan
Percy mengikuti di belakangnya. Aidan membuka bagasi dan
menunduk mulai menyerahkan belanjaan pada mereka.
"Paman Aidan?" Mulai Percy.
"Iya?" "Tidakkah kau pikir kalau kau harus menikahi Emma?"
Aidan tersentak dan terbentur saat dia mengangkat kepalanya.
"Sialan!" Teriaknya saat pandangannya berkunang-kunang.
Beberapa kata makian terlontar keluar dari mulutnya saat rasa sakit
menjalar di tengkorak kepalanya.
"Mulut bagus yang kau punya." Cibir John.
Menggertakkan gigi, Aidan mengusap kepalanya. "Katakan itu pada
ibumu, dan aku akan memberitahunya tentang komentarmu tadi
mengenai kejantananku."
Mata John membesar. "Dude, itu benar-benar tidak keren!"
"Yeah, Well, terima saja." Aidan kembali melanjutkan kegiatan tadi
saat dia sadar kalau Percy menanti jawabannya. "Perce-"
Alis pirang Percy berkerut. "Tidakkah kau mencintainya?"
"Oh, Tuhan," gumam Aidan, mengacak rambutnya. Dia mengernyit
saat rasa sakit menusuk kepalanya. "Apakah ibumu yang menyuruh
kau mengatakan ini atau sesuatu?"
"Tidak, saat aku bertanya tentang hal yang sama pada Emma, dia
hanya bilang kalau kau seorang cad." Percy mengangkat bahu. "Aku
bahkan tidak tahu artinya."
"Aku yakin kalau maksudnya adalah seorang pria yang bersikap
seperti bajingan kepada wanita."
Aidan melirik marah pada John. "Aku bukan seorang bajingan!"
John mengangkat tangannya. "Bukan aku yang bilang tapi ibu."
Serahkan saja pada kakaknya yang seorang profesor bahasa inggris
untuk memakai istilah dari abad sembilan belas. Dia menyerahkan
kotak dari Earl dan Virginia pada Percy.
"Perce, semuanya rumit karena-"
"Kau seorang bajingan?" Tanya John.
Mengabaikannya, Aidan berkata. "Aku bodoh dan melakukan
sesuatu yang menyakiti perasaan Emma. Perlu waktu baginya untuk
memaafkan dan menerimaku kembali."
Percy menahan bawaannya di salah satu pinggulnya. "Kau akan
memiliki bayi dengan Emma, jadi hal bertanggung jawab yang bisa
kau lakukan adalah dengan menikahinya." Ucapnya masuk akal.
Aidan mengerjap berkali-kali ke arah Percy. "Apakah kepalaku
terbentur cukup parah dari perkiraanku atau apakah kau benar-benar
bertingkah seperti orang dewasa, daripada seperti anak-anak?"
Percy mengangkat bahunya. "Mungkin. Dad selalu bilang kalau aku
bijaksana." Aidan tertawa. "Aku rasa dia benar." Dia melirik John yang
menyeringai. "Tentu saja, apa yang kau katakan harus terdengar
dewasa dibandingkan dengan yang satu ini," ucapnya menunjuk ke
arah John. "Terserah." Gerutu John.
Aidan mengangkat kantong yang ringan dan menyerahkannya pada
John. "Apa ini?" Tanyanya, mengintip ke dalam.
Aidan kembali merebut kantong tersebut. "Emm, itu untuk Emma."
"Tidak terlihat seperti ukurannya," ucapnya dengan mata berbinar
geli. "Itu karena Noah, sok pintar." Dia menunjuk bagasi. "Selesaikan dan
bawa masuk semuanya. Aku akan melihat Emma."
John mengambil beberapa kantong lagi sementara Aidan dan Percy
berjalan ke rumah. Aidan meninggalkan mereka di dapur dan
berjalan ke lorong. Suara tawa Emma menghangatkan hatinya. Lalu
dengan suara bersenandung, dia mendengar Georgie berkata.
"Noah...Noah! Menendanglah untukku!"
Berdiri di pintu masuk, Aidan melihat pemandangan itu dengan
senyuman. Emma memegang senter di perutnya. Beranjak
mendekat, tatapan Georgie terpaku ke perut Emma, seakan
menunggu sesuatu terjadi.
Emma memandang ke arah Aidan dan tersenyum . "Hei, kau sudah
pulang." "Grammy mengirim salam dan berjanji akan berkunjung dalam
waktu seminggu." Emma mendesah frustasi. "Dan Grandaddy?" Tanyanya.
"Masih sakit, tapi semakin membaik. Dan dia berhasil untuk tidak
menyinggungku secara verbal maupun fisik."
Alis Emma terangkat naik. "Itu berita bagus."
Dia menunjuk ke arah Emma dan Georgie. "Apa yang sedang kalian
lakukan?" "Mencoba tipuan cahaya," jawab Georgie tanpa melepaskan matanya
dari perut Emma. "Tipuan cahaya?" Ulangnya, berjalan mendekati mereka.
Emma mengangguk. "Berhubung mata bayinya mulai terbuka di
bulan ke enam, seharusnya dengan menempelkan senter di perut bisa
membuatnya bergerak." Emma tersenyum ke arah Georgie. "Dia
tidak pernah merasakan bayi menendang, jadi dia mau merasakan
Noah." Aidan tertawa. "Sudah beruntung?"
Bibir Georgie menekuk. "Belum."
"Dia memperlihatkan kekeraskepalaan Fitzgerald dengan tidak mau
bekerja sama." Kata Emma.
"Hei, aku rasa dia juga mendapatkan itu darimu." Balas Aidan.
"Noah, tendang!" Perintah Georgie.
Aidan tertawa melihat usaha Gerogie. "Apakah kau pernah berpikir
kalau mungkin kau membuatnya marah atau sesuatu" Bagaimana
kau bisa suka kalau ada orang yang mengarahkan cahaya ke
matamu?" Aidan menangkap dan menarik pergelangan kaki Georgie
agar turun dari tempat tidur. "Coba kita lihat bagaimana kau
menyukainya, huh." Georgie terkikik saat Aidan menarik kaosnya ke atas dan
menempelkan senter ke perutnya. "Hentikan, paman Aidan!"
Katanya, saat dia menarik nafas.
"Apakah bayimu mulai menendang?" Tanya Aidan.
The Proposal The Proposition 2 Karya Katie Ashley di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Georgie menarik turun kaosnya. "Aku tidak punya bayi dalam
perutku, bodoh!" "Kau tidak punya?"
"Tidak, hanya ibu-ibu yang punya bayi dalam perut mereka."
"Oh, aku mengerti." Aidan mengelitiki Georgie, membuatnya
tertawa dan menggeliat lagi.
"Cepat Georgie!" Teriak Emma.
Aidan menangkap pinggang Georgie dan menariknya kembali pada
Emma. Emma memegang tangan Georgie dan menaruhnya di atas
perutnya.Matanya membesar. "Paman Aidan, Noah menendangku!"
Emma menyeringai. "Dia pasti suka suara tawamu. Karena itu yang
membuatnya bergerak, bukan cahaya."
Georgie melepaskan tangannya untuk bersandar ke depan dan
mencium tempat dimana dia merasakan Noah bergerak. "Aku cinta
kau, Noah!" Aidan tersenyum ketika melihat kilau di mata hijau zamrud Emma.
Dia sudah terbiasa dengan perubahan hormon Emma. Georgie,
bagaimanapun, melihat ke arahnya dengan terkejut. "Kenapa kau
menangis, bibi Emma?"
"Karena kau anak yang manis," timpalnya, merangkul Georgie ke
pelukannya. Dia mencium puncak kepala Georgie. Tidak luput dari
perhatian Aidan kalau Georgie memanggil Emma dengan sebutan
bibi dan Emma tidak membantah.
"Aku mau pipis," kata Georgie, menjauh dari Emma dan turun dari
tempat tidur. Saat Georgie melewati Aidan, pandangan Emma terpaku melihat
kantong yang berada di sisi Aidan. "Apa itu?"
"Oh, um...." Dia menggaruk rahangnya dan bergerak gelisah. Aidan
tidak tahu kenapa dia gugup dengan hadiah yang ingin diberikannya
pada Emma. Itu hanya sebuah jumpsuit bodoh. "Sesuatu untuk
Noah." Mata hijau Emma bersinar gembira. "Benarkah?"
"Bukan sesuatu yang besar. Aku melihatnya di toko dan terpikir akan
dia...dan kau." Dengan seringaian seperti anak kecil di hari natal, Emma mengambil
kantong itu dari Aidan. Tangannya merogoh kedalam dan
mengeluarkan jumpsuit tersebut. Dia membuka dan membaca
tulisannya. "Aku lucu, Mommy lucu. Dan Daddy..." Dia bertemu
pandang dengan Aidan. "Daddy beruntung," Aidan menyelesaikan untuknya.
"Oh, Aidan," gumamnya. Matanya kembali berkaca-kaca, tapi
sebuah senyum senang bermain di bibirnya saat menyentuh
pinggiran jumpsuit. Dia memiringkan kepala ke arah Aidan. "Terima
kasih. Ini terlalu menggemaskan dan lucu. Dan aku suka baju
bertulisan pertamanya diperoleh dari ayahnya."
"Selain baju baptisnya," Aidan mengingatkan Emma.
"Oh, kau benar. Tapi tetap saja."
"Jika aku tahu kau akan menjadi sentimen, aku akan membelikannya
sesuatu yang bagus." Kata Aidan geli.
"Bukan hanya karena jumpsuitnya, Aidan. Tapi apa yang tertulis."
Jawabnya lembut. Matanya bertemu dengan mata Aidan, dan hatinya
berdegup akan cinta yang bisa dilihatnya di mata Emma. Jika dia
bisa menyimpan kenangan seperti ini dalam botol, maka suatu saat
dia bisa memperlihatkan lagi kenangan tersebut saat Emma
meragukan cintanya pada Aidan.
"Bibi Emma?" Tanya Georgie, melangkah menuju tempat tidur.
"Apa sayang?" "Aku hanya berpikir bagaimana bisa Noah bisa berada di dalam
perutmu?" "Um, well..." "Mommy bilang kalau Noah anaknya paman Aidan, jadi apakah dia
yang meletakkannya disana?"
Mata Emma melotot saat melihat ke arah Aidan. "Uh, well..."
John dan Percy kemudian muncul di pintu masuk. "Kau tahu, aku
juga penasaran tentang itu, jadi mungkin kau bisa menjelaskannya
pada kami semua," kata John dengan seringaian geli.
Aidan melotot ke arah John. "Georgie," mulainya, "Darimana
datangnya bayi perlu kau tanyakan pada ibu dan ayahmu."
Alis Georgie berkerut. "Kenapa" Apakah itu rahasia?"
"Tidak, hanya saja. Um, well..." Aidan memijit tengkuknya sambil
mencari jawabannya. Akhirnya, dia ingat akan apa yang diberitahu
ibunya saat dia kecil dan kakaknya, Angie sedang hamil. "Seperti ini.
Ketika seorang pria dan wanita saling mencintai, cintanya akan
tumbuh di dalam tubuh wanita dan terciptalah bayi."
Menggaruk dagunya, John bertanya, "Jadi, aku rasa itu artinya kau
mencintai Emma, huh?"
Aidan memandangnya dengan sorot mata mematikan sebelum
beralih ke arah Georgie. Rasa ingin tahu berkilat di wajahnya karena
penjelasan tersebut. "Sungguh keren karena aku tumbuh dari cinta
Mom dan Dad," gumamnya.
Ketika Aidan berani melirik Emma, dia memandang balik dengan
mata membesar dan mulut terbuka. Meski dia sudah
mengisyaratkannya setiap hari, tapi dia masih belum bisa untuk
mengatakannya. Mungkin sekarang adalah waktu yang tepat untuk
mengatakannya dan memastikan hubungan mereka. "Hei, temanteman, di dapur ada
brownis buatan Grammy kalau kalian mau."
Georgie melompat turun dari tempat tidur sementara John dan Percy
berlari ke lorong. Saat mereka sudah sendirian, dia tersenyum pada
Emma. "Bagaimana penjelasanku?"
Dia menarik nafas. "Bagus...dan manis dan dia benar-benar
percaya." "Tapi apakah kau percaya?"
"Apa maksudmu?" Bisik Emma.
Jantung Aidan berdegup kencang. Ini saatnya. Sekarang atau tidak
sama sekali. Dia melangkah maju dan membuka mulutnya.
"Aidan Fitzgerald, apa yang kau lakukan dengan memberikan coklat
pada anakku sebelum makan malam?" Tanya Becky dari arah pintu
dengan tangan di pinggang.
Sialan! Momennya telah rusak. Aidan berbalik untuk melototi
Becky. Becky menatapnya dengan wajah lucu. "Diantara John dan
Percy, aku tidak yakin ada brownis yang tersisa untuk Emma."
Aidan mengacak rambutnya dan menghela nafas. "Aku minta maaf,
kak. Mereka membantuku mengangkat belanjaan, jadi aku pikir
mereka bisa mendapatkan cemilan."
Dia menyeringai. "Kau dimaafkan kalau begitu." Becky berbalik
pada Emma. "Semua baik-baik saja selama aku pergi?"
Emma mengangguk. "Mereka pengasuh terbaik yang aku punya
sejauh ini." Becky tertawa. "Aku percaya kalau mereka satu-satunya untukmu
selain adikku ini." Dengan senyum menggoda ke arah Aidan, Emma berkata. "Oh, dia
lebih dari sekedar pengasuh."
Alis Aidan menaik. "Oh, benarkah?"
"Mmmm, hmmm. Kau yang memasak, penjaga rumah dan seorang
penghibur." Aidan menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. "Iya, aku
memang semua itu." "Well, kurasa aku dan anak-anak sebaiknya pergi," kata Becky. Dia
melangkah ke tempat tidur dan mencium Emma.
"Jaga dirimu, mama."
"Pasti...dan Aidan juga."
Melihat ekspresi penuh cinta Emma, Aidan tidak bisa menahan
senyuman. "Tentu saja."
"Buat dia kerja keras kalau begitu," ucap Becky. Pura-pura
mendorong Aidan, kemudian mencium pipinya.
"Kau bisa bertaruh kalau dia akan begitu." Balas Aidan.
"Sampai jumpa," ucap Becky seraya melambai.
Aidan memandang Emma untuk beberapa saat. Haruskah dia maju
dan mengatakannya sekarang atau menunggu saat yang tepat" Bunyi
telepon Emma membuatnya yakin untuk menunggu.
*** Bab 11 Beberapa hari berikutnya bergulir seiring dalam irama yang
monoton. Belum lama, Emma telah menghabiskan minggu
pertamanya hanya istirahat di tempat tidur. Dia hanya membaca,
menonton TV dan film, dan ia dikunjungi Casey dan Connor serta
saudara Aidan. Sesuai dengan janjinya, Grammy datang selama satu
hari, dan Emma maupun Aidan tidak bisa menahan dia untuk
memasakkan mereka makan besar bersama dengan hidangan
penutupnya. Emma sangat senang ketika Patrick datang. Emma
sangat bahagia melihat dia sudah terlihat sehat dan benar-benar
bertolak belakang ketika terakhir kali dia melihatnya. Mereka berdua
dalam langkah menuju pemulihan, dan Emma sangat bersyukur.
Untungnya, cuti Aidan telah berubah dengan melakukan pekerjaan
lebih banyak di rumah. Emma menyukai fakta bahwa Aidan terus
sibuk sehingga ia tidak akan terus-menerus mengawasi Emma
seperti induk ayam gila setiap saat setiap hari. Tapi itu bukan karena
Emma tidak menikmati Aidan berada di sekitarnya. Dia menyukai
fakta bahwa Aidan bersedia melakukan apa saja dan semua yang dia
minta. Dia sebagai teman bicara yang baik dan fakta bahwa Aidan
setiap kali makan menemani Emma dan biasanya tertidur saat
menonton film, dan itu berarti Aidan akhirnya tidur di sisinya.
Setiap hari tampaknya mereka semakin dekat dan lebih dekat lagi.
Tapi rasa khawatir telah menggerogoti jauh di dalam perut Emma.
Dia takut dengan hormonnya dan kedekatannya pada situasi bed-
rest-nya akan membuatnya buta terhadap kebenaran dari karakter
Aidan. Setelah semua itu, sebelumnya dia sudah pernah ditipu Aidan
sekali. Bisakah dia benar-benar akan sepenuhnya mempercayai dia
lagi" Bisakah secara emosional dia bertahan untuk membangun
sebuah kehidupan dengan Aidan dan siap bila semuanya akan jatuh
berantakan jika ia ditipu lagi"
Pada Senin sore, Emma baru saja bersiap untuk menonton secara
maraton dari salah satu seri lama favoritnya, yaitu Dr. Quinn
Medicine Woman, saat teleponnya berdengung di sampingnya.
Melihat nama yang muncul di layar, detak jantungnya berakselerasi
begitu cepat yang mengancam akan menendang keluar dari dadanya.
Itu dari Pesh. Apa aku begitu lancang untuk menanyakan bolehkah
aku memeriksamu malam ini"
Emma menggelengkan kepalanya saat ia membaca dan mengulang
lagi teksnya. Bukan hanya itu, dia selalu terdengar begitu berbeda
dari laki-laki yang dia kenal, tapi dia selalu begitu baik dan
bijaksana. Dia sudah menelepon dua kali untuk mengeceknya, tapi ia
belum memulai pembicaraan tentang keinginannya untuk datang.
Tentu saja. Kedengarannya menyenangkan.
Aku bahkan siap membawakan mesin USG portabel, jadi kita bisa
memeriksa Little Man. Mendengar dia menyebut Noah, jantung Emma meleleh. Ah, terima
kasih banyak. Apakah jam lima terlalu sore" Aku harus pergi jam sembilan
malam. Tidak apa-apa. Luar biasa. Apa kau suka makanan India"
Emma menggigit bibir bawahnya sebelum menjawab. Sebenarnya,
aku belum pernah makan makanan itu.
Serius" Yep. Aku berharap kau bisa melihat seberapa besar mulutku menganga
sekarang. Sambil tertawa, Emma mengetik Maaf. Gadis Selatan yang keras
kepala dibesarkan di boonies (pedesaan) menolak perubahan.
Kita harus memperbaiki itu. Aku akan membawakanmu beberapa
makanan dari restoran India favoritku.
Kedengarannya luar biasa.
Kirimkan saja sms alamatmu itu, dan aku akan menemuimu
beberapa saat lagi. Saat jari-jarinya mengetik alamat rumah Aidan, rasa jijik membanjiri
dirinya. Apakah dia serius tentang mengajak pria lain ke rumah
Aidan" Seorang pria yang kehadirannya ini memiliki kemampuan
untuk membingungkan kedalaman perasaannya terhadap Aidan"
"Ugh, kau seorang penuh dengan kebencian, orang yang buruk
sekali, Emma Harrison!" Keluhnya, kepalanya jatuh kembali di atas
bantal. Mengapa segalanya harus menjadi begitu rumit"
Dia tahu apa yang akan dikatakan Casey. Hal ini menjadi rumit
karena Aidan hampir meniduri wanita lain dan menghancurkan
hatinya dan kepercayaan Emma. Jika ia tidak melakukan kesalahan
seperti itu, dia bahkan tidak akan terhibur ide dari Pesh. Tetapi pada
saat yang sama, Aidan telah berusaha keras untuk mendapatkan maaf
darinya, dan dia tidak bisa mengabaikan fakta bahwa dia adalah ayah
dari anaknya. "Jalang tidak berperasaan," gumamnya sebagai monolog internalnya
yang telah bekerja keras menyebut dirinya seperti itu.
Tapi jujur, hal itu tidak terdengar seperti dia mengundang Pesh untuk
berhubungan seks dengannya. Ia datang dalam kapasitas medis demi
kebaikan. Hanya karena dia kebetulan membawa makan malam
tidak berarti itu adalah kencan atau sesuatu yang istimewa. Emma
telah mengatakan kepadanya di rumah sakit bahwa ia tidak yakin ia
punya sesuatu untuk memberi harapan padanya, jadi hal itu tidak
seperti mengarahkan dia ke ... atau tidak setia kepada Aidan.
Sekarang dia harus mencari cara untuk memberitahu Aidan tentang
Pesh yang akan berkunjung. Perutnya bergejolak membayangkani
prospek itu. Untungnya, ia tidak perlu menunggu lama. Aidan
muncul di ambang pintu hanya beberapa saat kemudian ketika
Emma masih duduk sambil menatap layar teleponnya.
"Kau butuh sesuatu?"
Emma memaksa bibirnya tersenyum. "Tidak, aku baik-baik saja."
"Dengar, aku tahu kau membenci aku karena aku begitu protektif,
jadi apakah baik-baik saja jika aku melakukan sesuatu ke kantor"
Mereka tampaknya tidak memahami istilah "cuti" ini sama sekali."
"Tidak, tidak, tidak apa-apa."
"Aku mungkin ke gym setelah itu. Aku pergi tidak lebih dari dua
jam. Aku bisa membeli makan malam untuk kita pada perjalanan
pulang." "Oh, um, itu tidak perlu."
Aidan menatapnya dengan tampilan lucu. "Apakah kau tidak akan
kelaparan?" "Sebenarnya, sebentar lagi Pesh akan datang untuk 1house call. Dia
juga membawa makan malam."
Emma menarik napas saat alis pirang Aidan menghilang ke garis
rambut di dahinya. "Kau memiliki kencan dengan Pesh malam ini?"
"Ini bukan kencan!" Protesnya.
Aidan melipat tangannya di dadanya dan membalas, "Dia tidak
hanya mampir untuk memeriksa denyut nadimu, Em. Bajingan ini
membawakan makan malam."
Emma meringis. "Tidak, tidak seperti itu. Pesh tahu bahwa aku tidak
ingin memulai segala sesuatunya sekarang. Dia hanya memeriksaku
dan bersikap baik. Kau tahu, bersikap ramah dan lainnya."
"Tentu saja tidak terdengar seperti itu bagiku."
Mendengar nada Aidan yang keras, Emma menatap selimutnya.
"Dengar, ini rumahmu dan aku sudah memaksa keramahanmu. Jadi,
jika kau benar-benar merasa yakin tentang Pesh, aku akan
The Proposal The Proposition 2 Karya Katie Ashley di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memberitahu dia untuk tidak datang."
Ketika Emma berani melihatnya lagi, ekspresi Aidan sesaat
melunak. "Maksudmu kau mau melakukan itu" Untukku?"
"Tentu saja aku mau. Beri aku sedikit penghargaan untuk
mempertimbangkan perasaanmu."
Setelah menyentakkan satu tangannya untuk mengacak-acak
rambutnya, Aidan mendengus frustrasi. "Dan kau yakin kau tidak
mencoba untuk memulai suatu hubungan dengan dia?"
"Itu hal terakhir yang aku butuhkan saat ini karena lebih banyak stres
dalam kehidupanku, dan hubungan apapun itu, terutama pada
seseorang yang baru, selalu akan membuat stres."
"Bahkan denganku?"
Emma memiringkan kepalanya ke arahnya. "Aku bukan orang yang
menyebabkan stres dalam hubungan kita, ingat?"
Aidan meringis "Aku sangat menyadari apa yang sudah kulakukan
karena hal itu terus datang kembali untuk menghantuiku. Seperti
halnya dengan si Bajingan asing ini ingin menempel di
sekelilingmu." Emma memutar matanya. "Dia memiliki nama, dan itu Pesh. Jika
kau mau meluang waktu untuk mengenal dia, kau akan menyadari
dia bukan tipe pria yang mencoba untuk mengambil keuntungan dari
aku atau ingin masuk ke celana dalamku."
"Tidak, itu lebih buruk karena dia tidak melakukannya," gerutu
Aidan. "Apa?" "Aku lebih suka dia menjadi orang idiot yang mencoba masuk ke
dalam celanamu karena kau benar-benar akan muak dengan hal itu
dan mengatakan kepadanya berani-beraninya kau melakukan itu -
seperti yang kau lakukan padaku pertama kali." Aidan merengut.
"Tapi itu lebih buruk karena dia pria terhormat yang tidak peduli
bahwa kau sedang mengandung anak orang lain. Dia berbau
komitmen, demi Tuhan. Sialan, kau mungkin akan bertunangan pada
saat ia pulang malam ini!"
Setelah mendengar kata-kata Aidan, Emma tetap membisu. Ketika
mereka saling menatap selama beberapa detik yang menyakitkan,
Aidan mendesah. "Baik. Biarkan dia datang dan memeriksamu."
"Dia tidak memeriksaku. Dia memeriksa tanda-tanda vitalku. Dia
bahkan membawa USG portabel untuk memeriksa Noah."
"Luar biasa," gumam Aidan sebelum mulai berjalan ke arah pintu.
"Kau tidak adil," katanya.
Aidan berbalik, api menyala di matanya. "Maaf?"
"Tidak bisakah kau berempati dengan apa yang kualami" Semua
kebingungan yang aku rasakan tentangmu dan tentang kita dan
semua ketidakpastian - kau merasakan hal ini juga, bukan?"
"Apakah kau menyindir bahwa apa yang kau alami sekarang adalah
hal sama yang kulakukan tentang berkomitmen padamu?"
"Tidak, hanya saja -"
Aidan mengangkat tangannya ke atas. "Aku telah berpikir panjang
dan keras untuk membuat beberapa perbandingan, Em. Karena pada
akhirnya, kebingunganku itu sudah membawa aku mengacaukan hal
paling indah yang pernah aku miliki." Dia menggelengkan kepalanya
dengan sedih ke arah Emma. "Aku tidak ingin kau harus melalui hal
yang sama." Dada Emma runtuh mendengar kata-kata Aidan, dan dia harus
menghirup napas dengan keras. Apakah Aidan benar" Apakah dia
membuang kebahagiaan dengan kedua tangannya karena
ketidakpastian bodohnya itu"
Suara Aidan membawa Emma keluar dari pikirannya. "Berapa lama
aku harus pergi malam ini?"
"Aidan, kau tidak harus pergi. Kau dapat tinggal disini dan melihat
bahwa tidak ada yang terjadi."
"Aku mungkin seorang 2masokis tetapi hanya sampai batas
tertentu," jawabnya dengan getir.
Emma mendesah. "Dia datang pukul lima, dan dia harus pergi ke
tempat kerja pukul sembilan."
Aidan mengangguk sebagai jawaban. "Aku membawa ponsel jika
kau membutuhkan aku."
Tanpa banyak bicara, Aidan meninggalkannya. Ketika pintu
belakang dibanting, Emma terkejut. Beau datang ke kamar tidur dan
memberinya pandangan 'apa-apaan ini'. Emma memutar matanya.
"Yeah, yeah, itu semua salahku, kan?"
Beau menyalak dan naik ke tempat tidur. Emma duduk dan
membungkuk untuk menggaruk telinganya. "Ayolah. Aku harus
bersiap-siap. Kita memiliki teman sore ini."
Telinga Beau ceria mendengar Emma menyebutkan teman, tapi dia
menggelengkan kepalanya ke arahnya. "Tapi aku yakin kau sama
sekali tidak akan menyukai Pesh. Kau akan mendapatkan semua
wilayahmu, yang berarti aku mungkin perlu menempatkanmu di
ruang bawah tanah." Dia merengek dan menjauhkan diri, menyebabkan Emma tertawa.
"Tidak sekarang, konyol. Hanya saat sebelum temanku tiba disini."
Kemudian Emma begitu sibuk bersiap-siap menyambut kedatangan
Pesh. Setelah dia mandi, dia memakai sedikit makeup. Untuk
membuktikan kepada dirinya sendiri dan Aidan kalau hal ini bukan
kencan, dia tidak perlu repot-repot memakai salah satu baju atau
pakaian hamilnya yang lebih bagus. Dia mengambil pakaian sehariharinya dari
lemari, celana stretch dan kemeja lengan panjang.
Setelah mengusir Beau ke ruang bawah tanah, Emma bersantai di
sofa sambil membaca buku ketika Pesh membunyikan bel.
"Masuklah," serunya.
Pesh mendorong pintu. Tatapannya mengamati ruang untuk mencari
Emma. Ketika matanya bertemu dengan mata Emma, Pesh
tersenyum berseri-seri. "Well, halo. Tidakkah kau terlihat begitu
cantik?" Emma melirik pakaiannya kemudian kembali menatap ke arahnya.
"Serius?" Pesh tergelak. "Maksudku bukan pakaianmu. Maksudku warna
kulitmu terlihat sangat indah. Bed-rest-mu tampaknya setuju dengan
tubuhmu karena sekarang kau tampak sehat dan bercahaya."
"Oh, well, terima kasih. Senang mendengarnya."
"Kau tak mulai merasa sedikit stress karena terpenjara, kan?"
Emma menyeringai. "Mungkin sedikit. Aku hanya keluar dari rumah
sekali untuk pergi ke dokter. Tidak ada yang menarik."
"Well, bicara tentang dokter, biarkan aku mengambil tasku dan
monitor, dan kita akan memeriksa untuk melihat bagaimana
kondisimu." "Kedengarannya bagus."
Pesh menghilang keluar ke teras sejenak sebelum kembali dengan
membawa tas medis hitam dan sebuah kotak besar yang ada handlenya. Dia
menempatkannya di sisi sofa. Kemudian Pesh melihat ke
sekeliling ruang tamu, mengamati dekorasi dalam ruangan ini. "Kau
memiliki tempat yang sangat indah."
"Terima kasih, tapi aku tidak bisa memperoleh pujian ini karena ini
bukan rumahku." Dia duduk perlahan-lahan di sofa di samping Emma. "Aku
seharusnya menyadari kau tinggal dengan seseorang."
Sambil menggigit bibir, Emma menjawab, "Sebenarnya, ini rumah
Aidan." Pesh merengut. "Aku sendirian denganmu di rumahnya."
Pipi Emma menghangat. "Aku minta maaf jika itu membuatmu tidak
nyaman. Dia satu-satunya orang yang bisa merawatku."
"Tidak apa-apa." Pesh meletakkan tangannya di atas tangan Emma.
"Aku mau pergi kemana saja jika itu berarti aku akan menghabiskan
waktu denganmu." Emma bertemu dengan tatapan intensnya. "Terima kasih,"
gumamnya. Segala sesuatu yang ia debatkan dengan Aidan tentang
dirinya menjadi tertarik pada Pesh tampaknya terbang keluar jendela
ketika dia menatap mata cokelatnya yang menggetarkan jiwa.
Pesh membalik pergelangan tangannya ke atas dan mulai memeriksa
nadinya. "Sedikit lebih cepat, tapi tampaknya baik-baik saja,"
ujarnya. Membungkuk, Pesh mulai merogoh tas medisnya. Dia menempatkan
ear tips stetoskop di telinganya dan menempelkan diaphgram ke
dadanya. Semua sikapnya profesional saat dia menginstruksikan,
"Bernapaslah dengan normal." Saat Pesh menggeser diaphgram di
dadanya, lengannya menyentuh payudaranya, dan Emma menegang.
Jika Pesh melihat reaksinya, dia tidak mengakuinya. Sebaliknya,
alisnya berkerut saat ia mendengarkan jantung dan paru-paru Emma.
Kedekatan Pesh menyebabkan detak jantungnya semakin cepat.
Aromanya seperti kayu, panas dari tubuhnya, rambut hitam
berantakan, dia ingin menjalankan jari-jarinya disela-sela rambutnya
- semua itu membuat Emma terganggu. Bernafas normal seperti
yang diminta Pesh benar-benar hal yang mustahil. Sebaliknya,
Emma berhasil menarik napas yang sedikit terengah. Mata gelap
Pesh beralih dari stetoskop ke mata Emma. Dia melepaskan ear tips
dari telinganya dan tersenyum dengan penuh arti. "Entah aku yang
membuatmu gugup, atau kau harus kembali ke rumah sakit karena
pernafasan dan detak jantungmu tidak menentu."
Emma merasakan rona kehangatan merayap di pipinya. "Tidak, itu
karenamu," gumamnya.
Pesh mengangkat alisnya. "Jadi kau mengatakan jika Dr Pendleton
yang disini memeriksa tanda-tanda vitalmu, kau tidak akan bereaksi
seperti ini?" Tawa tergagap keluar dari bibirnya. "Tentu saja tidak."
Dengan menggeser tubuhnya, Pesh mencondongkan tubuhnya lebih
dekat ke Emma. Matanya yang gelap menembus mata Emma.
"Mengapa aku membuatmu gugup, Emma?"
Mulut Emma menjadi kering, dan ia menjilati bibirnya. "Karena..."
Kau begitu amat sangat tampan, dan tubuhmu yang menakjubkan
itu telah menyentak hormon kehamilanku menjadi tak terkendali,
membuatku memikirkan sesuatu tentang dirimu yang biasanya aku
tidak pernah begitu. Namun selain dari hawa nafsu, kau baik dan
penuh kasih, dan jika diberi kesempatan, aku bisa melihat diriku
jatuh cinta padamu. Emma menghembuskan nafas yang sudah ia tahan. "Aku sudah
mengatakan kepada Aidan bahwa tidak ada apa-apa diantara kita,
dan kau tahu aku tidak bisa memberimu lebih. Tapi sekarang saat
kau berada di depanku, menatapku ..." Emma bergidik. "Kau
membingungkan aku." "Aku membingungkanmu?"
Sambil menatap tangannya, Emma berkata, "Aku masih sangat
peduli pada Aidan, tapi ketika aku bersamamu, aku mulai
merasa...berbeda." "Aku bisa berpendapat itu hanya sekedar faktor biologis, dan
tubuhmu seolah mencari pasangan untuk melindungimu dan
anakmu." "Jika itu kasusnya, maka yang aku rasakan hanya itu pada Aidan,
kan?" Ekspresi Pesh bertambah serius. "Jadi setidaknya aku memiliki
kesempatan untuk merayumu?"
"Untuk merayuku?"
Dia tertawa. "Bukan kata yang biasa kau gunakan?"
"Tidak juga." Pesh memiringkan kepalanya sambil berpikir. "Hmm, Kesempatan
untuk merebut hatimu dengan merayumu" Dengan anggur dan
mengajakmu makan malam?"
Emma tersenyum dan menunjuk ke perutnya. "Tidak akan ada acara
menikmati anggur, dengan bed-rest-ku, acara makan kita akan
menjadi agak terbatas."
"Ah, tapi itulah sebabnya aku membawa makanan untukmu." Dia
bangkit dari sofa. "Sebentar aku akan mengambilnya, dan kita akan
memulai rayuan kita."
Ketika Pesh mengedipkan mata padanya, Emma tertawa. "Oke."
Pesh berhenti ketika ia sampai di pintu dan berbalik. "Selama aku
memiliki kesempatan untuk memenangkan hatimu, Emma, aku akan
mengambil apapun yang dapat kau berikan padaku."
Emma mencoba untuk tidak kewalahan mendengar kata-katanya.
Semua rencana yang dia berikan kepada Pesh adalah persahabatan,
dan itu saja - tidak lebih dan tidak kurang. Terlepas dari tubuhnya
yang berkhianat ingin merasakan kebalikannya.
Pesh membawa dua tas besar berisi makanan ketika berjalan kembali
memasuki pintu. "Ya ampun. Kau tahu aku tidak bisa makan
banyak!" Goda Emma. Pesh tertawa. "Aku tahu, tapi aku hanya ingin kau merasakan
hidangan makanan yang berbeda dengan bumbu rempah dari
masakan India." Dia melihat ke sekeliling. "Haruskah aku membawa
makanan ini ke dapur?"
"Tidak, tempatkan saja makanannya di sini di atas meja. Kita akan
mengadakan semacam piknik."
"Kedengarannya menyenangkan." Begitu Pesh meletakkan tas ke
bawah, ia berbalik kembali pada Emma. Sambil menggosok
tangannya, ia berkata, "Sebelum kita makan, mari kita periksa Little
Man." Emma tertawa melihat antusias Pesh. "Oke."
"Sulit dipercaya melihat teknologi yang sudah dibuat sejauh ini, kita
benar-benar memiliki mesin USG portabel."
"Memang gila." Pesh mengatur perangkat itu kemudian berbalik untuk mengangkat
atasan Emma. Secara naluri Emma mengulurkan tangannya untuk
menepuk tangan Pesh. Alis Pesh terangkat karena heran. "Maafkan
aku. Aku hanya -" "Aku tahu. Aku bersikap konyol. "
Emma kemudian menggeser atasannya di atas perutnya dan
menyesali fakta bahwa Pesh harus melihatnya seperti ini. Jika Pesh
bisa bertahan saat melihat perutnya yang membesar dan benar-benar
tidak terlihat jijik, mungkin dia sangat layak diberi kesempatan
untuk berhubungan romantis. Dengan cepat Emma membuang
pikiran itu dari kepalanya ketika Pesh menyemprotkan jelly dingin di
atas kulitnya. Pesh menjalankan 1transducer di atas perutnya, dan gambar buram
Noah muncul di layar. "Itu dia. Mungkin aku bisa menambahkan,
tampaknya dia juga baik."
Emma fokus pada pada Noah. Tangan dan kakinya sedikit
menggapai-gapai karena transducer itu tampaknya mengganggu
istirahatnya. Bahkan, ia memberikan dua tendangan dengan antusias
untuk membuktikan dia ingin dibiarkan sendiri. "Detak jantungnya
normal, dan semuanya terlihat baik termasuk plasenta." Pesh
mendongak dari monitor untuk bertemu dengan tatapan Emma.
"Tidak ada lagi kontraksi atau rasa sakit, kan?"
"Tidak. Semuanya telah baik-baik saja."
Dia tersenyum. "Seperti sebuah berkah mendengar itu. Aku yakin
setelah kau bed-rest sampai minggu depan, ke depannya kau bisa
berbahagia dan sehat menjalani sisa masa kehamilanmu."
"Aku sudah berharap dan berdoa untuk itu," jawab Emma.
Pesh menepuk tangan Emma untuk menenangkannya. "Percaya
saja." kemudian dia menyingkirkan transducer itu.
Emma melirik perutnya yang lengket. "Apakah kau keberatan
mengambilkan aku handuk tangan dari dapur?"
Dari tas medisnya, Pesh mengeluarkan handuk. "Aku selalu siap."
Emma tertawa. "Well, terima kasih kalau begitu."
The Proposal The Proposition 2 Karya Katie Ashley di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sementara kau membersihkan diri, aku akan mengambil piring dan
sendok garpu perak untuk kita."
"Kedengarannya tepat."
Saat Emma mengusap untuk membersih dirinya dari jeli, ia
mendengar Pesh membuka dan menutup lemari. Dia mulai
memasuki ruang tamu ketika ada suara keras di pintu basement yang
menyebabkan dia melompat dan hampir menjatuhkan semuanya.
Matanya melebar menatap Emma saat mendengar suara menggaruk
dan lolongan yang tertahan di pintu. "Apakah Aidan
menyembunyikan seseorang di ruang bawah tanah?"
Emma terkekeh. "Itu punya kami... um, well, anjing Aidan yang
sangat manja, Beau."
Pesh mengangguk sambil meletakkan piring. "Kau ingin
membiarkannya keluar?"
"Aku rasa begitu. Aku tidak yakin bagaimana dia akan bereaksi
terhadapmu." "Hewan biasanya mencintaiku, jadi kita akan melihat apakah aku
bisa memenangkan hatinya." Ketika pesh membuka pintu ruang
bawah tanah, Beau datang melompat-lompat masuk. Dia berlari ke
Emma dan menjilati tangannya. "Hei anak manis."
Kemudian telinganya berdiri tegak, dan ia berbalik untuk mendekati
Pesh. Sebuah geraman pelan keluar dari tenggorokannya. "Tidak,
tidak, Beau. Pesh teman kita," katanya, meraih tali lehernya.
Pesh perlahan-lahan berjalan ke sofa. Dengan ragu-ragu, ia
mengulurkan tangannya ke Beau untuk dibaui. Setelah Beau
menerimanya, ia masih menatap tajam ke arah Pesh. "Aku hampir
berpikir Aidan telah memperingatkannya tentang aku sebelum ia
meninggalkan rumah malam ini," ujar dia.
Emma tertawa. "Dia biasanya benar-benar baik di sekitar orang
asing, tapi aku takut ini mungkin terjadi karena Aidan pergi."
"Dia hanya menjadi baik, anjing menandai wilayahnya. Karena dia
belum mengenalku, dia melindungimu dan bayimu." Pesh
memiringkan kepalanya ke samping. "Hmm, mari kita lihat apakah
aku bisa menjadi teman." Dia memasukkan tangannya ke salah satu
kantong. "Mari kita lihat apakah sepotong Samosa mungkin bisa
membuat kesepakatan." Dia mengulurkan tangannya pada Beau
dengan sepotong apa itu tampaknya seperti tortilla.
Beau melirik ke belakang ke arah Emma. "Tidak apa-apa. Kau boleh
memakannya." Dengan enggan, dia beringsut ke depan dan
menyambar roti dari tangan Pesh.
"Apa sebenarnya itu?"
"Ini bungkus kentang dengan bumbu rempah-rempah."
"Oh ya ampun, dia akan berada di surga. Dia sangat menyukai
kentang hampir sama dengan daddy-nya." Ketika Emma menyadari
apa yang dia katakan, dia tidak bisa menahan rona merah memenuhi
pipinya. "Jadi sementara aku menyiapkan makanan, apakah kau mau
memberitahuku apa yang terjadi denganmu dan Aidan?"
Emma meringis. "Apakah aku harus?"
"Tidak, jika itu akan membuatmu marah. Aku tidak ingin
membuatmu menderita."
Emma mengerang. "Tidak, kurasa itu adil kalau kau tahu apa yang
kau hadapi." "Atau kemarahan yang akan aku hadapi?"
"Kurasa ya," gumamnya.
"Jadi, kau dan Aidan berkencan, kau hamil, dan dia tidak bisa
berkomitmen?" Duga Pesh, saat tangannya masuk ke salah satu
kantong. Oh Tuhan. Bagaimana bisa ia menduga sangat jauh dari kebenaran"
"Tepatnya tidak seperti itu."
Pesh mengalihkan perhatiannya dari wadah makanan, lalu ia melihat
ke arah Emma. "Maafkan aku. Aku seharusnya tidak bertanya."
"Tidak, hanya saja saat di rumah sakit aku mengatakan hal itu adalah
cerita lama, aku tidak bercanda." Setelah mengambil napas dalamdalam, ia
melanjutkan untuk memberitahu Pesh segala sesuatu dari
awal ketika ia menginginkan Connor sebagai ayah dari anaknya
sampai pengkhianatan Aidan.
Ketika akhirnya Emma selesai dengan ceritanya, Pesh
menggelengkan kepalanya. "Kau benar. Itu adalah cerita yang sangat
panjang." Mendengar godaannya, Emma memukul lengannya dengan mainmain, dan Pesh
menyeringai. "Terima kasih karena mau berbagi
denganku. Aku tahu tidaklah mudah melepaskan bebanmu dari
semua rasa sakit itu."
Emma memiringkan kepalanya ke arahnya. "Apakah kau selalu
berbicara sangat tepat - sangat sopan?"
"Orang tuaku suka mengatakan aku berjiwa tua. Kurasa itulah
sebabnya aku terdengar seperti itu."
"Apakah kau anak yang paling tua?"
Pesh mengangguk. "Ya, bisa dibilang aku gambaran klasik anak
tertua. Adikku ... well, dia cerita lain untuk hari lain."
Emma tertawa saat Pesh mulai menuang sup ke dalam mangkuk. Dia
mencium aromanya dengan penuh penghargaan ke mangkuk. "Hmm,
apa ini?" "Rasam atau sup tomat."
Dia mencoba mencicipinya. "Benar-benar enak."
"Kurasa mungkin kamu akan menyukainya. Ini makanan yang
sangat sehat juga. Baik untuk pencernaan."
Emma tertawa. "Restoran itu seharusnya mempekerjakanmu sebagai
PR (Public Relations) mereka."
"Begitukah menurutmu?"
Emma mengangguk. "Aku harus tahu hal seperti itu. Maksudku, aku
bekerja di periklanan."
Setelah makan sup beberapa sendok, dia mengamati Pesh saat
membuka wadah lain. Melihat ketakutan Emma, ia berkata, "Coba
saja satu suap Daal Makhani." Ketika dia melihat Pesh dengan raguragu, Pesh
tertawa. "Percayalah. Ini baik untukmu. Makanan ini
memiliki banyak protein dan serat di dalamnya."
Saat Emma mendorong sendok ke dalam mulutnya, ia tahu dia telah
membuat kesalahan. "Sangat pedas."
"Serius?" Emma menganggukkan kepalanya sambil tangannya mengipasi
depan mulutnya. "Kurasa aku harus menyebutkan kalau aku agak
pengecut jika itu berkaitan dengan makanan pedas."
"Oh, well, kalau begitu kamu tidak usah makan itu dan sebagai
gantinya ayam mentega saja." Pesh menaruh sesuatu berwarna
oranye di piringnya sepertinya itu ayam.
"Jadi, ceritakan tentang keluargamu," kata Emma. Sulit untuk
berbicara mengingat lidahnya masih membara.
"Well, ayahku datang ke Amerika bersama orang tuanya ketika ia
masih remaja. Dia ingin meninggalkan India di belakang dan
menjadi Amerikanisasi." Pesh menggelengkan kepalanya. "Dia
bahkan mengubah namanya menjadi Charlie."
"Benarkah?" Pesh menyeringai. "Ya, tak seorangpun yang tahu, kecuali ibu dan
almarhum kakek-nenekku tetap memanggilnya dengan nama aslinya.
Emma mendorong garpunya di piring, tidak pasti apa yang harus
dimakan berikutnya. "Bagaimana dengan ibumu?"
"Dialah alasan mengapa aku tidak sepenuhnya Amerikanisasi, atau
memiliki nama seperti Bill atau yang lainnya."
Emma tertawa. "Aku tak bisa melihatmu sebagai 'Bill' ... atau
mungkin William, tapi jelas bukan Bill atau Billy."
"Aku juga tidak." Pesh menyeka mulutnya dengan serbet. " Dia
datang untuk menikah dengan ayahku ketika dia baru saja delapan
belas tahun. Mereka sudah saling kenal saat masih anak-anak, tapi
alasan itu kebanyakan karena dijodohkan."
"Oh," gumam Emma. Dia mencoba menggigit makanan yang kurang
pedas. "Apakah pernikahanmu dijodohkan?"
"Tidak. Bahkan, Jade adalah bukan gadis - India pertama yang
pernah aku kencani."
"Apakah ibumu marah?"
Dia menganggukkan kepalanya. "Pada awalnya. Tapi Jade sangat
ingin menyesuaikan dirinya pada kehidupanku dan kebiasaanku.
Selama bertahun-tahun kami kencan, ia perlahan-lahan
menumbuhkan kepercayaan pada ibuku."Dia menyeringai pada
Emma. "Sementara ayahku, si pengkhianat kebudayaannya,
bayangan tentang rambut pirang, bermata biru sebagai menantu
perempuannya adalah sebuah mimpi yang menjadi kenyataan!"
Emma tertawa. "Aku hanya bisa membayangkannya." Ketika ia
mendongak dari piringnya, ia melihat ekspresi Pesh telah berubah
menjadi serius. "Apa?"
"Aku hanya bisa membayangkan dia akan senang melihat kecantikan
seorang berambut coklat dengan mata hijau berkilau."
Garpu Emma terjatuh dan berisik di lantai. Dia dan Pesh sama-sama
membungkuk untuk mengambilnya, dan akhirnya kepala mereka
berbenturan. "Oomp," gumam Emma. Lalu dia membawa tangannya
ke kepalanya dan mengusap dahinya yang terasa sakit.
"Maaf aku membuatmu marah," kata Pesh dengan lembut.
"Kau tidak membuatku marah. Hanya saja..." Dia menggigiti
bibirnya, tidak tahu bagaimana melanjutkan kata-katanya. "Ketika
kau mengatakan hal-hal seperti itu, aku merasa seperti memberi
harapan padamu. Aku tidak ingin kau terluka."
"Emma, aku seorang pria dewasa. Aku sepenuhnya mampu
mengurus diriku sendiri dan perasaanku. Aku juga menyadari
bagaimana kau bersikap sangat jelas kepadaku."
Emma menggelengkan kepalanya. "Lalu mengapa kau repot-repot
membuang waktumu untukku jika aku sudah jelas menutup diri?"
"Itu pertanyaan sama yang mungkin ditujukan untuk Aidan. Kenapa
dia harus repot-repot meminta maaf padamu setelah apa yang dia
lakukan dan bagaimana kau masih memiliki perasaan padanya?"
Pesh tersenyum ragu-ragu. "Karena kau layak diperjuangkan."
"Oh Tuhan," keluhnya. Emma menutupi wajahnya dengan kedua
tangannya. "Apakah aku mengatakan sesuatu yang salah?"
Dari balik tangannya, dia menjawab, "Oh tidak. Itulah masalahnya.
Kau tak pernah mengatakan hal yang salah. Semua yang kau katakan
dan lakukan benar-benar luar biasa."
Pesh tertawa. "Aku minta maaf karena telah membingungkanmu,
Emma. Benar-benar minta maaf."
Dia mengintip melalui jari-jarinya ke arahnya. "Benarkah?"
"Well, aku bisa berbohong dan mengatakan ya, tapi sebenarnya aku
senang karena perlahan-lahan aku mulai merobohkan dinding
pertahananmu. Aku ingin kau bisa melihat kapanpun kau siap dan
jika kau benar-benar menginginkan aku, aku akan berada disini."
"Kau pasti akan mengatakan sesuatu seperti itu," gerutunya.
Berdiri, Pesh meregangkan tangannya di atas kepalanya. "Oke, aku
pikir sudah waktunya untuk merubah percakapan dan aku akan
membersihkan ini." "Oh tidak, kau tidak perlu melakukan itu."
"Aku tidak akan bermimpi melangkahi keramahanmu dengan
meninggalkan kekacauan disini."
"Kau dengan kata-kata sopanmu lagi," komentar Emma.
Dia menggoyang-goyangkan satu jarinya ke arah Emma. "Oke, jadi
aku bicara dengan sopan. Apa ada sesuatu yang unik tentangmu?"
"Hmm, well ..."
"Oh, ayolah. Aku tahu harusnya ada banyak hal yang unik
tentangmu." "Baiklah, aku seorang penyanyi."
Alis gelapnya terangkat karena terkejut. "Kau?"
Emma mengangguk kemudian mengatakan pada Pesh semuanya saat
ia mulai bernyanyi di bar milik sepupunya Gary.
"Kau bernyanyi di bar 'Doc'?" Pesh bertanya, sudut-sudut bibirnya
terangkat naik karena merasa geli.
"Ya, benar. Itu julukan Gary."
"Hmm, aku suka ironi itu."
Ketika Pesh mengedipkan mata padanya, Emma menggelengkan
kepalanya. "Oke, jadi aku seorang penyanyi. sesuatu unik yang lain
tentangmu?" Sambil menggaruk dagunya, Pesh berkata, "Well, aku memiliki dan
menerbangkan pesawatku sendiri."
Mata Emma melebar. "Kau melakukan itu?"
"Yep. Sebenarnya, hal itu tidak sepenuhnya pesawatku sendiri. Ayah
dan saudaraku yang tengah juga memiliki lisensi pilot."
"Wow, aku tidak pernah naik dengan pesawat kecil sebelumnya."
"Kalau begitu aku harus mengajakmu kapan-kapan."
Detak jantung Emma bergetar mendengar sindiran tersebut. Seolah-
olah dia bisa membaca pikirannya, Pesh menyeringai. "Apakah kau
yakin kau sudah selesai makan?"
Mengingat perutnya sudah bergolak dari campuran bumbu rempahrempah dan makanan,
ia tahu ia tidak bisa makan sesuap lagi. "Ya.
Terima kasih." "Kau tidak akan keberatan jika aku mengambil sisanya untuk dokter
dan perawat lainnya?"
"Tidak, tidak. Silahkan saja."
Pesh menyeringai. "Jadi aku tidak bisa menjual makanan India
kepadamu, ya?" Emma tertawa. "Kupikir sekarang aku lebih baik tetap dengan
mengambil satu hidangan saja bukannya mencicipi semua itu."
Pesh baru saja selesai membersihkan ketika pagernya berbunyi.
"Serius?" Gerutunya.
"Ada apa?" "Mereka membutuhkan aku sedikit lebih awal malam ini. Kurasa
bulan purnama telah membuat orang-orang menjadi gila."
"Benarkah?" Pesh melirik dan tersenyum. "Bagian yang mana" Mereka
membutuhkan aku untuk datang lebih awal atau bahwa bulan
purnama benar-benar membuat orang-orang menjadi gila?"
Emma terkikik. "Kurasa keduanya."
"Oh ya. Malam bulan purnama di ER adalah sesuatu yang seperti
keluar dari film horor."
"Kalau begitu aku akan mengirimkan doa untukmu."
"Silakan." Dia melirik tas di sekitarnya. "Kupikir aku harus dua kali
bolak balik. Aku akan segera kembali." Dia meraih tas makanan dan
tas medis dan menuju pintu keluar. Beau pun mulai mengikuti di
belakangnya. "Tidak boy. Kemarilah."
Dia segera datang ke samping Emma. Tampilan yang ditunjukkan
Beau padanya membuat bibir Emma tersenyum. "Tidak, aku tidak
lari dengannya. Teman tidurmu telah memberi memo di meja agar
tetap tinggal." Beau mengibaskan ekornya mendengar komentar Emma. Ketika
Pesh kembali memasuki pintu , Beau menegang. Pesh menatapnya
saat ia datang di sekitar sofa untuk mengambil mesin USG. "Hmm,
aku tebak makanan Samosa itu tidak mempererat persahabatan kita,
ya sobat?" Beau maju lalu melompat di sofa dan membaringkan kepalanya di
pangkuan Emma. Pesh tertawa ceria. Menggoyangkan satu jarinya
pada Beau, ia berkata, "Kau rawat dia dan Little Man, oke?"
Emma tersenyum. "Dia akan melakukannya."
"Terima kasih sudah membiarkan aku datang malam ini."
The Proposal The Proposition 2 Karya Katie Ashley di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tidak, seharusnya aku yang mengucapkan terima kasih karena pada
kenyataannya kau bersedia memeriksaku dan membawakan makan
malam." "Aku senang melakukannya, dan satu lagi aku berharap untuk
mengulangi di kemudian hari. Tapi kupikir aku akan menunggu
sampai kau sudah tidak bed-rest untuk memulai rayuanku lagi."
"Oke, Kurasa kita bisa melakukan itu."
Pesh mengelus dagunya sambil berpikir. "Apakah kamu suka
opera?" "Oh, ya, aku suka itu. Aku penggemar berat seni budaya."
Setelah mengambil dompet dari sakunya, Pesh mengeluarkan
beberapa tiket. "Ini adalah untuk pertunjukan Aida pekan depan. Kau
seharusnya sudah tidak bed-rest lagi pada saat itu. Apa kau ingin
pergi?" Melihat keraguan Emma, Pesh berkata, "Hanya sebagai
teman, Emma." Emma menghela napas lega. "Terima kasih. Aku akan menikmati
pertunjukan itu." "Kalau begitu aku berharap untuk bertemu denganmu lagi minggu
depan saat 'bukan-kencan' kita untuk menonton opera Aida."
"Aku juga." Pesh meraih mesin kemudian membungkuk lalu mencium dengan
lembut pipi Emma. Beau mengangkat kepalanya dan menggeram
rendah. "Beau!" Emma menegurnya. Dia menunduk dan
memberinya tatapan sedih yang terbaik dengan telinga terkulai.
"Kurasa itu isyarat bagiku untuk pergi."
"Maafkan aku tentang dia."
Pesh menggelengkan kepalanya. "Jangan minta maaf tentang
apapun, Emma. Untuk Beau, untuk tidak menikmati makan
malam..." Wajahnya melayang beberapa inci dari Emma. "Terlebih
dari semuanya, jangan menyesali atas apa yang mungkin telah aku
lakukan untuk apa yang kau rasakan malam ini."
Emma menatapnya, tak berkedip dan tak bergerak. "Tidak akan."
"Baik." Kemudian Pesh berdiri, dan melambaikan tangannya sebagai
tanda perpisahan, ia berjalan keluar pintu.
Setelah mereka tinggal berdua, Beau merengek dan meringkuk
padanya. "Oh beri aku kelonggaran, bisakah" Tidak mudah menjadi
seorang yang hamil dan besar yang penuh dengan hormon!"
Kemudian dia berbaring di atas bantal dan menyalakan TV.
*** 1house call: Kunjungan profesional seorang dokter ke rumah.
seorang yang suka disiksa untuk mendapatkan kenikmatan.
2masokis: 1transducer: alat USG seperti stik yang terhubung dengan monitor
Bab 12 Pada jam sembilan lebih, Beau mengangkat kepalanya dan
menggonggong dengan riang. "Hmm, aku tebak itu artinya Daddy
sudah pulang?" Beau mengibaskan ekornya dan berlari ke dapur. Bunyi bip dari
alarm rumah memberitahunya akan kedatangan Aidan di balik pintu.
"Hiya, boy. Apa kau menjaga benteng selama aku pergi?"
Aidan masuk ke ruang tamu dengan Beau menyalak di sisinya. "Aku
sangat berharap ia tidak melakukan hal-hal yang memalukan seperti
mengencingimu untuk menandai wilayahnya selama teman
kencanmu di sini." "Tidak, ia tidak melakukannya," bentak Emma.
"Omong-omong, bagaimana kencanmu?" tanya Aidan, melemparkan
kuncinya di atas meja. "Itu bukan kencan," jawabnya.
"Maaf, Miss Testy - cewek mudah tersinggung." Aidan menghirup
dalam. "Ugh, bau apa ini?"
"Pesh membawa makanan India untuk aku coba." Perut Emma terasa
mual saat memikirkan memakan makanan itu lagi, paling tidak
makanan yang banyak mengandung rempah-rempah. "Kau habis dari
mana?" tanya Emma, mencoba mengubah topik pembicaraan.
"Aku habis mendapatkan kencan yang benar-benar panas."
Kepala Emma tersentak untuk menatapnya. Emma tidak bisa
menghentikan matanya yang terbelalak dan mulutnya yang
menganga. Aidan telah bersama dengan wanita lain" Setelah semua
yang telah ia katakan padanya sebelum ia pergi" Emma mual dan
hampir muntah, dan ia berusaha bicara. "Ka-kau berkencan?"
Aidan mengangguk dan duduk di meja kopi. Lututnya menyentuh
Emma, dan Emma melawan dorongan untuk menarik dirinya dari
kedekatan dengan Aidan. Aidan bersandar di sikunya.
"Membayangkan pakaiannya. Celana pendek, seperti milik Daisy
Duke (bangsawan Daisy) dengan pipi pantat menggantung- "
"Celana pendek" Ini baru akhir Oktober!"
Aidan mengangkat tangannya. "Aku belum selesai ngomong."
Emma menyilangkan tangannya di depan dada, ia gusar dan
mendengus frustasi. "Baik."
"Lagi pula, seperti yang sudah aku katakan, ada Daisy Duke, dengan
sepatu bot koboi, dan di atas itu semua, ia memakai atasan halter
yang telanjang mulai dari..." Aidan menutup matanya dan
menggeleng. "Ya ampun, aku terlihat bagus!"
Mata Aidan tersentak terbuka, dan lalu ia mengedipkan mata pada
Emma. Emma menatapnya tak percaya. "Tidak ada gadis yang
memakai... maksudmu, kau..."
Aidan tertawa. "Aku hanya menggodamu, Em. Aku pergi ke tempat
Pop dan kami menonton pertandingan. Aku yakin sekali aku tidak
keluar dengan seorang wanita."
Kemungkinan Aidan mempunyai kencan yang sesungguhnya
membuat Emma berada dalam badai emosi, bersamaan dengan rasa
lega yang ia rasakan, ia juga tahu ia akan muntah. Emma hanya
mempunyai sedikit waktu untuk merasa panik tentang apakah ia
akan berhasil ke kamar mandi sebelum ia membungkuk dan muntah
di pangkuan Aidan. Aidan melihat celana kotornya dan menatap kembali mata Emma.
"Sial, Em, Aku tahu leluconku sangat buruk, tapi apakah kau benarbenar harus
sampai memuntahiku?"
Air mata malu menyengat mata Emma. "Aku-aku... Aku minta
maaf." Ekspresi Aidan berubah, dari kegelian menjadi penuh kasih sayang
saat Emma menangis. Aidan mengulurkan tangannya dan mengusap
lengannya. "Hey, jangan menangis. Kau bukan orang pertama yang
memuntahiku. Aku pernah tinggal di kelompok persaudaraan dulu.
Tidak ada yang lebih buruk dari muntahan pria mabuk."
"Aku tidak percaya kau sangat baik tentang ini," kata Emma sambil
terisak. "Yaah, ini bukan seperti kau melakukannya dengan sengaja." Ia
menaikkan alisnya pada Emma. "Iya kan?"
"Tidak! Aku tidak pernah melakukannya!"
Aidan mengusap pipi Emma dengan ibu jarinya. "Aku tahu. Aku
hanya menggodamu lagi, Em."
"Aku berpikir makanan itu tidak cocok denganku - terlalu banyak
rempah-rempah yang berbeda dan saus yang digunakan," jawab
Emma, sambil menyeka hidungnya dengan lengan bajunya.
"Hmm, aku pikir itu juga menunjukkan orang yang membawanya,
bukan begitu?" "Aidan," Emma memperingatkan, rasa malunya berubah menjadi
rasa marah saat Emma mendengar asumsi Aidan.
Aidan menganggukkan kepalanya pada Emma. "Menurutku
sepertinya Noah sedang mencoba memberitahumu sesuatu. Aku
senang laki-laki kecil itu sudah mulai mendukung ayahnya."
Emma menyipitkan mata padanya. "Aku tidak pernah makan
makanan India sebelumnya. Ini tidak ada hubungannya dengan
perasaanku ataupun perasaan Noah. Ini berhubungan dengan sistem
pencernaanku, terima kasih banyak," bentak Ammy.
Aidan menyeringai. "Ah, itu dia perubahan mood kehamilan yang
aku suka." Emma mendengus dengan nafas frustasi. "Ayolah. Kau perlu
membersihkan dirimu, dan aku membutuhkan tidur kembali."
Ketika Aidan berdiri, muntahan mengalir di celananya. Ia mengubah
ekspresinya. "Astaga, aku pikir ini benar-benar bisa memicu reflek
muntahku." Ia membuka kancing celananya, dan ia menurunkan
resletingnya. Dengan cepat ia melepas celananya dan
menggumpalkannya. "Lebih baik aku menaruhnya di mesin cuci."
Emma mencodongkan tubuhnya ke depan untuk bangun dari sofa
bersamaan saat Aidan membalikkan badan. Wajah Emma tepat
berhadapan dengan selangkangan Aidan. Nafas Aidan menajam, dan
Emma tersentak membalikkan badannya. "uh-maaf," gumam Emma.
"Malam ini terasa lebih baik dan lebih baik lagi," gerutu Aidan.
Sebelum Aidan menuju ke kamar mandi, ia memutar badannya dan
menawarkan tangannya pada Emma. Jantung Emma berdetak
kencang. "Terima kasih."
"Terima kasih kembali. Dengar, aku akan mengambil barangbarangku dan menggunakan
kamar mandi di atas, jadi kau dapat
menggunakan kamar mandiku."
Hormon Emma menjadi tak terkendali. "Aw, itu begitu manis,"
gumam Emma. Aidan memberinya seringai lucu. "Sialan, babe, tidak butuh usaha
yang banyak untuk membuatmu terkesan, ya?"
Emma memutar matanya. "Maafkan aku untuk berterima kasih pada
kebaikanmu," Emma mendengus sebelum berjalan ke kamar mandi
dan membanting pintunya. Aidan menjulurkan kepalanya saat Emma membuka baju atasannya.
Emma melengking saat melihat Aidan. "Um, kau ingat aku akan
mengambil barang-barangku di sini, kan?"
"Iya, ambilah."
Emma hanya menggunakan bra, memulai untuk menggosok gigi.
Aidan mengambil shampoo dan body wash miliknya, ia bersandar
untuk mengambil sikat giginya sebelum memberikan ciuman di
punggung telanjang Emma. Jika Aidan menyadari reaksi Emma,
Aidan tidak akan berkata apapun. "Sekarang, jangan berdiri terlalu
lama." Memberinya hormat, Emma bergumam dengan mulut penuh pasta
gigi, "Siap, sir."
Aidan menggelengkan kepalanya. "Selalu dirimu dan mulutmu itu."
Emma menyeringai padanya sebelum ia keluar pintu.
*** Ketika Emma selesai mandi, Aidan masih di lantai atas. Lelah
karena emosi yang seperti rollercoaster sepanjang hari, Emma segera
tertidur nyenyak. Tapi tidak terasa tenang. Mimpi mengganggunya.
Pertama, Emma melihat pertarungan sampai mati antara Aidan dan
Pesh yang memperebutkan dirinya seperti di masa lalu. Lalu Emma
bermimpi saat Noah lahir, Noah tampak mirip dengan Pesh, daripada
mirip dengan Emma ataupun Aidan.
Akhirnya, pikiran Emma bergelung ke mimpi yang lainnya - satu
mimpi yang terasa sangat nyata karena itu pernah sekali terjadi.
Air dingin membelit leher dan bahu Emma yang telanjang saat ia
memasukkan kakinya untuk bertahan di kolam Grammy and
Granddaddy. Emma hampir bisa menyentuh dasar kolam jika ia mau
menenggelamkan kepalanya. Saat ia memijakan kakinya ke air,
Aidan berenang mendekatinya, sinar pemangsa terlihat di sorot
matanya. Sebuah getaran antisipasi melalui diri Emma.
"Apa kau kedinginan?" tanya Aidan.
"Sedikit," gumam Emma.
"Kalau begitu biarkan aku menghangatkanmu." Aidan menarik
Emma dalam pelukannya dan membawa bibirnya ke bibir Emma.
"Mmm, kau terasa manis... sedikit lebih manis dari biasanya."
Emma tersenyum di bibir Aidan. "Mungkin karena aku berhenti
sejenak untuk makan kue sebelum aku datang ke kamarmu."
Aidan terkekeh. "Hasrat tengah malam untuk makan dan sex, huh?"
"Yep." "Aku pikir ini waktunya kita memenuhi hasrat kedua itu, iya kan?"
"Kumohon." "Lilitkan kakimu di sekelilingku, babe."
Emma melakukan apa yang diperintahkannya. Aidan mendengus
saat ia mulai berjalan menggendongnya dari tengah kolam ke tepian.
"Apakah aku terlalu berat?"
"Tidak, tidak sama sekali." Gumam Aidan dengan gigi terkatup.
Emma tertawa. "Aidan, aku bisa jalan sendiri. Kau tidak harus
menggendongku." "Ini bukan karena kau terlalu berat. Hanya saja ini lebih sulit
daripada yang kubayangkan saat di air."
"Aw, tapi sekarang sudah pasti kau adalah pahlawanku!" Lalu Emma
mencium pipi Aidan. Emma mencium menyusuri rahangnya
sebelum menggigit dan menjilatinya saat Emma kembali ke bibir
Aidan. Emma memindahkan pinggulnya ke pangkal paha Aidan.
"Sialan, Em", gumam Aidan mencengkeram erat pantat Emma
dengan tangannya. "Apakah aku membuatmu keras?"
"Oh tentu saja."
"Bagus". Emma mendorong lidahnya masuk ke mulut Aidan,
mencari kehangatannya. Emma membiarkan lidah Aidan menari
menggodanya. Lalu seperti menjentikkan saklar, mereka berubah
dari saling menggoda menjadi saling menyerang mulut mereka.
Saat Aidan keluar dari tepian, ia memegang erat Emma saat ia
berlutut, membuat Emma menjerit. "Kau baik-baik saja?" tanya
Aidan. Emma mendongakan kepala padanya. Bulan purnama
memancarkan sinar pelangi disekitar kepala Aidan, sejenak
membuatnya tampak seperti malaikat.
"Aku baik-baik saja sekarang." Emma melebarkan kakinya untuk
mengijinkan Aidan mendekatkan jarak diantara mereka. "Bercintalah
dengan aku, Aidan." Aidan menatap tajam mata Emma, dan Emma tahu fakta bahwa
Emma menggunakan istilah bercinta belum hilang dalam diri Aidan.
"Apapun yang kau mau, babe," jawab Aidan dengan seringai
sombongnya yang biasa. Ketika Aidan mendorong masuk padanya, Emma menjerit dan
mencengkeram erat bahu Aidan. Aidan bergerak perlahan, lembut
dalam dirinya. Lidah Aidan mengikuti gerakan keluar masuknya
yang lembut sementara tangannya menangkup salah satu
payudaranya, membuat putingnya mengeras.
Saat Emma merasa akan mencapai orgasme, Aidan merubah
kecepatan dan mulai menghujam lebih keras dan lebih keras pada
Emma, membuat pasir dan ranting dibawahnya menusuk punggung
Emma. Aidan mengguncangnya dalam pelukannya. "Tidak, jangan
seperti itu. Bersikaplah lembut padaku, Aidan," gumam Emma.
Perlahan Emma tersedot keluar dari bercinta di pantai dan kembali
di kamar Aidan. Seseorang mengguncangnya. Tidak, Aidan telah
mengguncangnya. "Em, bangunlah."
Kelopak mata Emma bergetar terbuka menatap wajah Aidan yang
khawatir. "Apa yang terjadi?"
Tangan Aidan melepaskan bahu Emma untuk menangkup pipinya.
"Kau mengerang. Aku pikir kau sedang bermimpi buruk atau
sesuatu."
The Proposal The Proposition 2 Karya Katie Ashley di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tidak, aku akan orgasme," gumam Emma dengan mengantuk.
"Maaf?" Tiba-tiba Emma terjaga. Emma langsung menutupi wajahnya yang
memerah dengan tangannya karena malu. "Ya Tuhan."
Aidan terkekeh disampingnya. "Em, kau gadis nakal. Jadi apakah
kau mengerang karena kau sedang bermimpi sex?"
Emma tidak menghiraukannya, dan berguling ke samping.
Menepuk-nepuk bantal dan menjatuhkan dirinya.
"Tunggu sebentar. Saat kau berkata, 'Bersikaplah lembut padaku,
Aidan', itu bukan tentangku yang membangunkanmu, kan?"
"Aku akan kembali tidur sekarang."
Aidan menyikut bahu Emma dengan main-main. "Oh ayolah, Emma.
Akui saja. Kau bermimpi bercinta denganku." Suara Aidan bergetar
dengan kesenangan. "Aku pasti bagus jika aku bisa membuatmu orgasme."
Emma mendengus putus asa. "Aku heran kau bahkan bertanya
seberapa bagus dirimu. Tidakkah kau selalu berpikir kau
menakjubkan?" Aidan melingkarkan tangannya di bahu Emma, menggulingkan
punggungnya. Dengan satu tangan di sisi kepala Emma, Emma
terjepit dibawah Aidan dan memaksanya menatap wajah Aidan.
"Kau adalah satu-satunya wanita di dunia ini yang ingin aku buat
takjub di tempat tidur atau memberikan orgasme bertubi-tubi yang
luar biasa nikmat." Aidan menggelengkan kepalanya. "Tidak ada
yang lain, aku bersumpah."
Menatap mata Aidan, Emma menggososok pangkal janggut di pipi
Aidan dengan belakang tangannya. "Kau harus bercukur," gumam
Emma. Aidan mengangkat alisnya. "Kau tidak ingin aku menumbuhkannya"
Mungkin jenggot atau berewok?"
"Tidak, aku suka itu apa adanya."
"Maka aku akan mencukurnya. Untukmu."
Diliputi oleh perasaan Emma yang mendalam untuk Aidan dan
masih belum pilih dari mimpi erotisnya, Emma mengangkat
tubuhnya dan memberi ciuman di bibir Aidan. Aidan langsung
membeku, dan Emma merasa seperti mencium patung marmer.
Ketika Emma membuka mulutnya untuk menyelipkan lidahnya di
bibir Aidan, Aidan perlahan mulai mencair. Tangan Emma yang
telah membelai pipi Aidan menyelinap ke rambutnya. Emma
menjalankan jari-jarinya melalui helaian halus, menyentak dan
menarik rambutnya sama seperti yang Emma lakukan dengan
giginya pada bibir bawah Aidan.
Aidan memberikan erangan kecil di belakang tenggorakannya saat
Aidan memasukkan lidahnya ke mulut Emma. Tuhan, Emma telah
merindukan perasaan saat mulut Aidan di mulutnya - lidah Aidan
menari menggoda di sepanjang lidahnya. Hasrat berkumpul di
bawah pinggang Emma, dan ia tahu ia menginginkan Aidan lebih
dari apapun sebelumnya. Aidan memindahkan tangannya dari bahu Emma ke payudaranya,
meremas, dan menangkup kulit sensitif di bawah gaun malamnya.
Emma melebarkan kakinya, sehingga pinggul Aidan masuk diantara
mereka. Tapi ketika Aidan mulai mengangkat ujung gaun malam Emma,
mata Emma terbuka pada kenyataan, bukannya mimpi,
menyentakkannya. "Tunggu, tidak Aidan!"
Aidan menarik kepalanya dari leher Emma untuk menatapnya
dengan matanya yang berkabut dan mabuk karena hasrat. "Tolong
katakan padaku ini bukan karena kau tidak ingin melakukan ini, tapi
ini karena kita berdua menyadari bahwa dokter mengatakan tidak
boleh?" Emma mengangguk. "Aku bahkan tidak seharusnya mengalami
orgasme karena akan menyebabkan kontraksi."
Aidan menyeringai padanya. "Berarti kau beruntung aku
membangunkanmu dari mimpi sex itu, huh?"
Memerah, Emma setengah tertawa. "Aku kira begitu." Saat Aidan
menarik diri dari dirinya, Emma berkata, "maafkan aku."
"Tidak perlu, kita berdua yang salah." Aidan tersenyum sambil
meringkuk dengannya. "Di samping itu, mungkin tidak memuaskan
secara fisik dengan hanya memelukmu saja sepanjang malam, tapi
tidak ada yang lain yang ingin aku lakukan."
Emma mengerang. "Mengapa kau harus mengatakan sesuatu seperti
itu?" "Apa?" Emma menurunkan tatapannya. "Kau tetap berkata dan melakukan
semua hal yang menakjubkan. Itu membingungkanku".
"Kau ingin aku menjadi seorang bajingan atau sesuatu seperti itu?"
"Tentu tidak." "Oh, aku tahu. Kau ingin aku menjadi Aidan yang dulu, Aidan yang
egois, jadi lebih mudah untukmu untuk tidak merasakan yang kau
lakukan." "Aku tidak bilang seperti itu."
"Tapi tidakkah kau ingin aku berubah?"
"Aku jatuh cinta pada Aidan yang dulu, ingat?"
Aidan semakin frustrasi. "Tapi bukankah kau ingin aku menjadi pria
yang lebih baik untukmu dan Noah?"
"Tentu saja aku ingin."
"Jadi biarkan aku bicara dan melakukan apa yang aku inginkan."
"Baiklah." Mereka saling diam sejenak. "Kau benar-benar tidak akan pernah
memaafkanku, ya?" tanya Aidan.
"Tunggu, dari mana pertanyaan itu berasal?"
Aidan bangun dan duduk. "Semua yang telah aku lakukan untukmu
di delapan hari terakhir, semua yang telah aku katakan, semua
permohonan maaf, mencoba memperbaikinya... Itu tidak ada artinya
bagimu, kan?" "Itu tidak benar," bantah Emma.
"Itu jelas benar. Jika kau benar-benar berusaha kita bisa bersama
lagi, kau tidak akan membiarkan Pesh datang kemari, bahkan dengan
tujuan pengobatan. Kau seharusnya sudah mengatakan kau ingin
bersama denganku." "Aku bilang jika itu membuatmu sangat terganggu, aku tidak akan
membiarkan Pesh datang kemari, dan kau lebih dari diterima untuk
tetap berada di sini - ini adalah rumahmu, demi Tuhan. Kau bisa
tetap tinggal dan melihat dengan matamu sendiri bahwa tidak ada
kejadian romantis yang terjadi antara Pesh dan aku. Tapi kau lebih
memilih pergi." "Jadi sekarang kau bersikap seperti jika aku pergi itu berarti aku
benar-benar tidak perduli jika Pesh mencoba mendekatimu?"
"Bukan, sama sekali bukan seperti itu."
"Sekali lagi, jadi semuanya adalah salahku, kan?"
Emma memijat pelipisnya. "Kumohon, bisakah kita tidak berdebat
tentang ini" Aku lelah."
"Yeah, kau tahu, aku juga." Aidan melemparkan selimut dan turun
dari ranjang. Emma tidak bertanya kemana ia akan pergi. Hentakan
kaki Aidan di tangga memberitahunya semua yang ingin ia ketahui.
Dengan kepalan tangannya, Emma menghapus air matanya. Sialan,
mengapa ia tidak tahu apa yang seharusnya ia lakukan" Mengapa
semuanya tidak bisa menjadi jelas bahwa ia membutuhkan Aidan,
atau ia harus mengucapkan selamat tinggal pada Aidan" Mengapa ia
selalu merasa emosinya naik-turun seperti yoyo"
Saat Emma menangis, Beau muncul dan melompat ke ranjang
bersamanya. "Oh Beau," Emma terisak, memeluk erat Beau. Beau
masih berbaring dengannya, membiarkan Emma mengeluarkan
semua emosinya. Akhirnya, Emma tertidur karena lelah.
*** Bab 13 Atmosfer di antara Emma dan Aidan tegang selama beberapa hari
terakhir bed-rest Emma. Meskipun Aidan membawakan semua yang
Emma butuhkan, melayani setiap keinginannya, tapi itu tidak sama
seperti sebelumnya. Aidan tidak lagi tinggal dan menonton film
bersama dengannya. Dan bahkan dengan Beau di samping Emma,
ranjangnya terasa dingin dan kosong tanpa Aidan di malam hari.
Aidan meletakkan semua keputusan di tangan Emma. Aidan merasa
ia telah melakukan segala-galanya agar Emma memaafkannya, dan
sekarang Aidan sudah selesai melakukan segala sesuatunya.
Sekarang apapun yang terjadi diantara mereka tergantung pada
Emma. Dan Emma benar-benar tidak punya petunjuk bagaimana
memprosesnya. Saat Emma pergi untuk bertemu dengan dokter kandungannya, Dr.
Middleton, Emma senang bahwa semuanya tampak baik-baik saja,
dan Emma bisa berhenti dari bed-restnya dan kembali bekerja pada
minggu depan. Seharusnya ia merasa bahagia, ketidakpastian masih
membuatnya merasa berat. Apakah ia akan pergi sore ini dan pulang
ke rumahnya" Apakah ia tetap tinggal dan mencoba bersama dengan
Aidan" Atau apakah ia bersiap untuk pindah ke Ellijay dan tinggal
bersama Grammy dan Granddaddy seperti yang sebenarnya telah ia
rencanakan" Setelah Emma dan Aidan masuk ke dalam mobil, kesunyian yang
pekat melanda mereka. Akhirnya setelah seperti dalam keabadian,
Aidan menghela nafas. "Dengarkan, Em, mungkin kau tidak akan
senang dengan apa yang akan kukatakan, tapi kurasa aku harus
mengatakannya." "Okay," jawab Emma ragu-ragu.
"Aku tahu kau sudah tidak perlu lagi bed-rest, tapi menurutku kau
tidak perlu melakukan sesuatu yang berat. Jadi jika kau bersedia, aku
lebih suka jika kau tetap tinggal di rumahku... paling tidak tinggallah
lebih lama." Ketika Emma membalikkan badannya dan menatap Aidan, ia
melihat rahang Aidan menggertak-gertakkan giginya. Aidan
mencoba mengontrol emosinya. Ia tahu bahwa itu tandanya Aidan
menginginkan dirinya tetap tinggal. Pikiran itu membuat jantungnya
berdetak lebih kencang. "Apa kau yakin kau tidak keberatan?"
Aidan mengalihkan tatapannya yang jauh keluar jendela dan
mengarahkan tatapan Emma pada dirinya. "Tentu saja aku tidak
keberatan. Tinggallah beberapa hari atau beberapa minggu lagi."
Lalu Aidan bergumam pelan, "tinggallah selamanya."
Napas Emma tersentak saat Aidan mengungkapkan keinginannya
berkomitmen, tapi ia memutuskan untuk tidak menekannya. "Jika
kau benar-benar yakin, maka aku akan senang untuk tinggal
bersamamu." Emma memberikannya senyuman ceria, membuat bibir Aidan
tersenyum. "Bagus. Aku senang mendengarnya. Sekarang mengapa
kita tidak merayakannya dengan mentraktirmu makan malam?"
"Tidak, tidak, kali ini giliranku yang mentraktirmu, kau sudah cukup
melakukan semuanya."
"Hmm, aku pikir aku tidak akan pernah membiarkan wanita
membayar untuk makan malamku," renung Aidan.
"Bagus. Kau harus belajar bahwa selalu ada yang pertama untuk
segala hal." Aidan terkekeh. "Baiklah, Em. Karena kau yang mentraktir makan
malam ini, biarkan aku memilih tempat yang paling mahal!"
*** Malam berikutnya Emma bersiap-siap untuk bukan-kencannya
dengan Pesh untuk menonton opera. Setelah sentuhan terakhir pada
rambutnya, Emma berdiri di depan cermin kamar mandi dan melihat
dirinya sendiri. Dengan pinggang ramping, dan tali lebar spaghetti,
gaun koktail berwarna ungu yang jatuh tepat di bawah lututnya.
Hidung Emma berkerut sedikit saat ia menyadari bagaimana
kehamilannya membuat belahan dadanya semakin berisi. Sepertinya
ukuran cup dadanya semakin membesar dalam beberapa hari
terakhir. Ia yakin saat ia tidak akan mengenakan mantel untuk
menutupinya. Emma tidak pernah berdandan cukup lama, dan sebenarnya ia telah
membeli gaun itu untuk acara gladi makan malamnya Casey dan
Nate yang megah. Tapi Emma senang mengenakan gaun itu terlebih
dulu untuk menonton opera.
Saat terdengar pintu depan dibanting, Emma mengernyit. "Em?"
suara Aidan memanggilnya.
"Aku ada di kamar mandi." Seperti pengecut, Emma belum
menceritakan rencananya untuk pergi dengan Pesh. Emma tahu itu
akan menimbulkan masalah yang tidak perlu. Emma berharap ia bisa
menyelinap keluar sebelum Aidan pulang. Dengan meninggalkan
catatan atau sms akan lebih mudah daripada harus menghadapinya.
Tapi tampaknya Aidan tidak pernah berpikiran bahwa tidak ada apaapa antara Emma
dan Pesh, dan pada saat yang sama, Aidan juga
belum mengatakan padanya tiga kata ajaib yang sudah lama ingin
Emma dengar. Sementara dalam pikiran Emma, ia mengatakan pada dirinya sendiri
bahwa rencananya menonton opera itu tidak merugikan siapapun,
hati Emma berkecamuk dalam amarahnya sendiri. Dari dalam lubuk
hatinya yang paling dalam, Emma tahu ia telah menyakiti Aidan, hal
itu akan membuat Emma menjadi orang yang jahat. Emma
seharusnya memberitahu Pesh pada saat pertama kali Pesh
menyinggung tentang datang ke opera, tapi sebaliknya, Emma malah
menghiraukan kata hatinya dan setuju untuk datang.
Emma tersentak keluar dari lamunannya saat terdengar Aidan
berjalan menyusuri lorong. "Aku memilih beberapa Chinese food
saat perjalanan kemari. Aku pikir jika kau mau, kita bisa pergi ke
tempat Percy dan bertemu dengannya malam ini. Ia benar-benar
menginginkan kita untuk datang. Aku bersumpah, ia meneleponku
sampai lima kali." Emma mengernyit tentang kenyataan ia tidak hanya mengecewakan
Percy tapi juga Aidan. Aidan muncul di pintu kamar mandi dengan
telur gulung yang baru dimakannya setengah di tangannya. Aidan
menatap Emma, dan mulutnya terbuka menganga. "Aku pikir
gaunmu sedikit berlebihan untuk acara YMCA."
Kehangatan membanjiri pipi Emma. "Sebenarnya, aku akan pergi
menonton opera malam ini."
Wajah Aidan lesu. "Dengan Pesh?"
Emma menggigit bibir bawahnya sebelum menjawab. "Ia sudah
memintaku minggu lalu karena ia punya tiket lebih. Beberapa
pasangan lain juga akan di sana, jadi ini tidak seperti hanya ada kami
berdua saja. Ini cuman salah satu cara merayakan aku bebas dari
bed-restku." Perasaan terluka terpancar di mata Aidan, Emma
dengan cepat menambahkan, "ini hanya di pusat kota Fox. Aku tidak
akan pulang terlambat, dan aku berjanji tidak akan banyak berdiri
sesering mungkin." Kebungkaman Aidan membuat dada Emma terasa runtuh. Emma
tahu ia harus menjauh dari Aidan. Saat Emma melewatinya keluar
pintu, Emma melihat remah telur gulung di wajah Aidan. Menjinjit,
Emma menggerakkan ibu jarinya di atas sudut bibi Aidan,
mengelapnya. Aidan meraih lenganya, mata birunya berkedip dengan
keputusasaan. "Em, jangan pergi. Kumohon."
Emma berharap Aidan tidak memperhatikan Emma yang mulai
bergetar. "Aidan, aku sudah terlanjur memberi tahu Pesh aku akan
datang, dan aku sudah berpakaian. Selain itu, ini bukanlah kencan.
Aku berjanji." Aidan merengut pada Emma. "Tentu saja ini adalah kencan. Kau
mungkin berpikir kalau ini hanya sebagai teman, tapi aku yakin ia
The Proposal The Proposition 2 Karya Katie Ashley di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tidak berpikiran seperti itu. Atau setidaknya ia menginginkanmu
percaya pada kebohongannya untuk mendapatkanmu."
Emma merunduk melihat ubin kamar mandi. "Ya, itu benar bahwa
Pesh menginginkan hubungan kami lebih dari teman, tapi aku sudah
mengatakan padanya aku tidak tahu apa yang sebenarnya
kuinginkan". "Itu tidak benar. Kau ingin kita bersama-sama. Aku tahu itu." Saat
Emma menolak melihat Aidan, tangan Aidan mencengkeram dagu
Emma, memaksa Emma untuk menatapnya. "Mengapa kau selalu
melawannya" Melawan kebersamaan kita?"
Emma mencoba menarik dirinya, tapi Aidan malah mempererat
pelukannya. "Aku tidak melawan kebersamaan kita. Tidak benarbenar ada lagi kata
kita, ya kan" Kau sudah memastikan itu saat kau
tidak bisa mengatakan kau mencintaiku dan mencoba menggoda
wanita lain!" Aidan menyipitkan mata padanya. "Oh tentu saja ada! Itu ada
sebelumnya, dan masih tetap ada."
Emma menggelengkan kepalanya saat air mata membakar matanya.
"Apa kau belum juga mengerti" Kau mematahkan hatiku, Aidan!
Kau menghancurkanku menjadi berkeping-keping, aku bahkan tidak
yakin aku masih bisa utuh lagi denganmu atau dengan laki-laki lain."
Wajah Aidan berkerut dengan penderitaan. "Dan aku bilang aku
minta maaf. Aku sudah meminta dan memohon padamu untuk
memaafkanku. Aku bahkan telah mencoba menunjukkan padamu
dengan berbagai cara betapa menyesalnya aku. Karena sepuluh hari
terakhir, apa yang kita miliki sekarang bahkan lebih kuat, tapi sial,
kau tetap keras kepala menolakku karena kau takut aku akan
mengacaukannya lagi!"
Pipi Emma memerah karena kemarahannya. "Dan bagaimana aku
tahu kau tidak akan mengacaukannya" Kau berkata kau
menginginkan lebih denganku terakhir kali dan lihat kemana itu
menuntun kita. Bagaimana aku tahu kau tidak akan menempatkan
cincin di jariku dan kemudian panik dan mengacau di belakangku"!"
tanya Emma. "Karena aku tidak akan seperti itu. Aku bersumpah demi Tuhan dan
apapun yang suci aku tidak akan seperti itu!"
"Kau tidak bisa berjanji seperti itu. Kau tidak yakin apa yang akan
kau lakukan esok atau lima tahun dari sekarang."
"Aku yakin! Aku tahu di dalam hatiku aku tidak pernah merasakan
perasaan pada orang lain seperti perasaanku padamu. Semua yang
aku inginkan adalah dirimu."
"Aidan- " Jawaban Aidan langsung melumat bibir Emma dengan bibirnya.
Getaran listrik yang akrab muncul dan gemercik disekelilingnya.
Kebutuhan fisik, bersama dengan cinta, berdenyut dalam dirinya,
dan Emma berpikir ia bisa mati jika ia tidak bisa semakin dekat
dengan Aidan. Emma ingin menyentuh dan merasakan setiap inchi
tubuhnya. Aidan mengeluaran erangan kesakitan saat lidah Emma bergesekan
dengan bibirnya. Aidan melebarkan mulutnya, menerima lidah
Emma dan menggodanya dengan lidahnya. Hampir secara naluriah,
Emma memeluk leher Aidan saat Aidan memeluk pinggang Emma.
Mereka bergerak dalam kekuatan satu sama lain.
Ketika Aidan mulai menarik dirinya, Emma memberikan sebuah
teriakan protes. "Rasakan kebersamaan kita, Emma. Ini ada di sini,
dan semua yang perlu kau lakukan adalah menerimanya," gumam
Aidan di bibir Emma. Mata Emma terbuka, dan ia menatap Aidan. "Emma, aku cin-"
Suara bel berbunyi memotong perkataan Aidan dan menyentakkan
Emma keluar dari mantra Aidan. "Ya Tuhan," geram Emma. Tangan
Emma turun dari leher Aidan untuk mendorong dada Aidan.
"Biarkan aku pergi". Ketika Aidan masih memeluk erat Emma,
Emma memberikan tatapan panik pada tatapan sedih Aidan.
"Kumohon, Aidan."
Tangan Aidan turun dengan lemas dari Emma saat bahunya turun
dalam kekalahan. "Baik. Pergilah padanya. Aku harap ia bisa
memberimu apa yang jelas-jelas tidak kau inginkan dariku. Tapi
jangan berpikir satu menit pun kau tidak melakukan seperti yang aku
lakukan. Kau lari dari kebahagiaan dan mencoba menenangkan
ketakutanmu dengan pria lain."
Aidan berbalik dan meninggalkan Emma sendirian di dalam kamar
mandi. Merasa pusing, Emma mencengkeram ujung meja. Air mata
menggenang di mata Emma, tapi ia berjuang untuk tetap tenang.
Emma mendengar Aidan membukakan pintu depan dan menyuruh
Pesh masuk. Emma melihat dirinya di cermin dan menyeringai.
Ciumannya dengan Aidan membuat lipstik di bibirnya berlepotan.
"Tunggu sebentar!" teriak Emma.
"Pergunakan waktu semaumu," jawab Pesh dengan sopan tanpa
dibuat-buat. Emma yakin Pesh hanya bersikap sopan mengingat
Aidan ada di sana. Setelah Emma menyelesaikan dandanannya, ia meraih tasnya dan
bergegas menyusuri lorong. Pesh berdiri di teras dengan
membelakangi Emma. Tangan Pesh ada di dalam saku gugup
bermain-main dengan kunci didalamnya sementara Aidan tak terlihat
dimanapum. Emma berdehem. "Maafkan aku terlambat."
Pesh berbalik dan menikmati penampilan Emma. Senyum ceria
melengkung di wajah Pesh. "Kau terlihat sangat cantik, hanya pria
bodoh yang tidak langsung memaafkanmu."
"Terima kasih," jawab Emma. Emma kagum betapa tampannya Pesh
dalam mantelnya yang menyembunyikan jas dan dasi yang ia
kenakan di bawahnya. Sebuah syal berwarna krim melingkari
lehernya. "Kau juga terlihat tampan."
"Terima kasih, aku menghargai itu." Ia melihat disekeliling foyer.
"Dimana mantelmu?"
"Oh, tunggu sebentar." Saat Emma akan menuju ke kloset di
samping dapur, tiba-tiba Aidan muncul, membawakan Emma mantel
gaun formal di tangannya. "Kau tidak mau melupakan ini. Malam ini
pasti di bawah 40 derajat, aku tidak ingin kau dan Noah merasa
kedinginan." Emma mencoba mengambil mantelnya, tetapi Aidan berniat
memakaikan mantel itu padanya. Emma berbalik membelakangi
Aidan dan menghadap ke Pesh. Rahang Pesh menegang saat melihat
Aidan menarik mantelnya menaiki lengannya dan mengarah ke
bahunya. "Terima kasih."
"Terima kasih kembali." Jari-jari Aidan masih ada di bahu Emma
sampai akhirnya Emma melangkah menjauh dari Aidan.
"Aku kira kita lebih baik cepat pergi. Kita tidak ingin melewati
makan malam pesanan kita," kata Emma pada Pesh.
"Senang melihatmu lagi, Aidan. Katakan pada ayahmu aku berharap
ia bisa menjaga dirinya sendiri."
"Yeah, sama untukmu juga. Aku akan mengatakan pada Pop kau titip
salam untuknya." Emma tidak bisa percaya bahwa Aidan bisa bersikap ramah. Tapi
saat Emma dan Pesh sampai di pintu depan, Aidan berkata, "Jagalah
gadisku." Tangan Pesh membeku di gagang pintu. "Um, aku akan
melakukannya," gumam Pesh sebelum ia membukakan pintu untuk
Emma. Saat pintu tertutup di belakang Pesh, ia menghela napasnya
dengan gusar. "Maafkan aku karena hal itu." Emma memulai ketika mereka mulai
menuruni tangga. "Tidak apa-apa. Mungkin aku juga akan bereaksi dengan cara yang
sama." "Serius?" Pesh mengangguk sambil menahan pintu terbuka Jaguar-nya. "Jika
ada seseorang yang mencoba mengganggu wanita yang aku cintai,
aku mungkin akan bersikap kurang sopan."
"Tapi kau tidak mengganggu. Aidan tahu kita hanya berteman."
Emma memperhatikan Pesh tersentak saat Emma mengucapkan kata
teman. "Kita masih tetap teman kan, Pesh?"
Senyuman terpaksa melengkung di bibir Pesh. "Tentu saja kita
berteman." Kegelisahan merayapi ulu hati Emma. Ekspresi Emma pasti telah
memperingatkan Pesh pada perasaan Emma karena Pesh berkata,
"Emma, jika kau merasa tidak nyaman karena kita pergi malam ini
atau karena meninggalkan Aidan, kita tidak harus melakukannya.
Aku tidak pernah mau melakukan semua yang bisa membuatmu
tidak nyaman." Ketulusan dalam suara Pesh membuat Emma menggelengkan
kepalanya. "Tidak, aku baik-baik saja. Mari kita pergi." Tapi pada
kenyataanya Emma merasa jauh dari baik-baik saja. Emosi Emma
berdengung dan berbunyi seperti segerombolan belalang yang siap
mengambil alih dirinya setiap saat.
Pesh mengangguk, dan setelah Emma duduk di kursi, Pesh
menutupkan pintu untuk Emma.
Setelah Pesh memutari mobil, ia masuk ke mobil, dan menyalakan
mesinnya. Ia menoleh pada Emma dan tersenyum. "Aku senang kau
telah setuju untuk datang denganku malam ini. Saudara
perempuanku dan suaminya akan bergabung dengan kita."
"Oh," gumam Emma saat menyadari bahwa ini adalah kencan ganda.
"Tapi Shevta menyadari kita tidak saling berkomitmen, jadi kau
tidak perlu khawatir menjadi canggung."
Yeah, aku yakin Shevta berpikiran lebih dari itu tentang kita lebih
dari yang kau pikirkan - seperti halnya Becky! pikir Emma, tapi ia
menutup erat mulutnya. Jari-jari Emma menyusuri ujung mantelnya,
dan ia memelintirnya dengan kegugupan.
Pesh mencoba mengisi keheningan yang tidak nyaman dengan
obrolan tentang saudara perempuannya dan suaminya. Menurut
Emma, Pesh sangat mengagumi adiknya, Shevta, dan Shevta seperti
seorang wanita yang luar biasa.
"Dimana kita akan makan?"
"Di sebuah restauran India di dekat kota Fox".
Perut Emma menggeliat mendengar itu, tetapi sebelum ia berhasil
mencoba memasang raut wajah tanpa ekspresi, Pesh tertawa
terbahak-bahak. "Aku hanya menggodamu."
Tawa gugup keluar dari mulut Emma. "Benarkah?"
Sejenak Pesh mengalihkan pandangannya dari jalan untuk
memberikan senyuman pada Emma. "Aku sudah memesan tempat di
Livingston, jadi kita akan ada tepat di seberang jalan dan punya
banyak waktu untuk makan dan bersantai."
"Oh, aku selalu menginginkan makan disana. Tempat itu terlihat
indah, bangunan tua dengan Hotel Georgian Terrace."
"Aku senang aku membuat pilihan yang bagus."
Emma tersenyum. "Aku pikir suatu hari jika aku tidak hamil, aku
akan memberanikan diri untuk mencoba makanan India lagi."
"Benar kau berpikiran seperti itu?" Saat Emma menganggukan
kepalanya, Pesh berkata, "Nah itu yang bisa disebut berani."
"Sebenarnya, kau belum tahu cerita yang selengkapnya dan
bagaimana sebenarnya kejadian itu!"
"Oh, apa yang terjadi?"
Emma meringis sebelum ia menceritakan kisah muntahnya di
pangkuan Aidan. Tentu saja, Emma menutupi cerita-cerita detail
tentang apa yang telah terjadi diantara Emma dan Aidan malam itu.
Ekspresi Pesh berubah serius. "Aku benci mendengar kau sakit.
Seharusnya aku menyadari mencampur semua rempah-rempah akan
kurang baik untukmu - khususnya jika kau punya langit-langit
rongga mulut yang sensitif."
"Tidak apa-apa. Hal seperti itu bisa terjadi," kata Emma saat mereka
memasuki area parkir di seberang Livingston.
Setelah mematikan mesin mobil, Pesh menoleh pada Emma. "Jadi
kita akan mencari makanan yang cocok untukmu malam ini dan
memastikan kau tidak harus lari ke kamar mandi atau muntah di
panggung musik?" Emma tertawa. "Aku tidak sesensitif itu."
"Phew, aku senang mendengarnya." Pesh mengelilingi mobil tidak
hanya membuka pintu untuk Emma, tapi ia memegang tangan Emma
untuk membantunya keluar dari mobil.
Emma menggelengkan kepala padanya. "Kau tahu, perutku belum
begitu besar yang dapat membuatku susah untuk bergerak."
Pesh mengedipkan matanya. "Aku tahu. Aku hanya
menggunakannya sebagai taktik agar aku bisa memegang
tanganmu." Emma tidak bisa menahan tawanya saat senyum nakal terbentuk di
pipi Pesh. "Bisakah aku tetap memegang tanganmu dan
mengantarmu masuk ke restauran?"
"Kurasa bisa." "Aku tidak ingin kau berpikir aku terlalu cepat melangkah ke
depan." "Aku pasti akan memberitahukanmu jika hal itu terjadi."
Saat lampu berubah warna, mereka segera menyeberangi jalan dan
menuju ke restauran. Saat mereka sampai di tempat pelayan, Pesh
melepaskan tangan Emma. "Reservasi atas nama Nadeen," kata
Pesh. Pelayan melirik ke bawah melihat bukunya. "Ya, dua teman semeja
Anda sudah ada di sini. Silahkan ikuti saya".
Pesh mempersilahkan Emma duluan, dan Emma tepat di belakang
pelayan itu. Ketika mereka berhenti di depan meja dengan sepasang
orang India telah duduk di situ, Emma menarik napas dalam-dalam.
"Shevta, Sanjay, ini temanku, Emma Harrison," kata Pesh
memperkenalkan. Emma mengulurkan tangannya pada Shevta. "Senang berkenalan
denganmu." Shevta membalasnya dengan senyuman saat ia bersalaman dengan
Emma. "Aku yang senang berkenalan denganmu, Ms. Harrison.
Silahkan duduk". Emma bersalaman dengan Sanjay sebelum Emma melihat kursi
kosong. Setelah membantu Emma melepaskan mantelnya, Pesh
menarik kursi untuk Emma lalu memajukannya ke meja.
Setelah mereka memberikan pesanan minumannya pada pelayan,
Shevta menoleh pada Emma. "Jadi, aku tahu kau adalah penggemar
berat opera?" "Oh ya. Ibuku membawaku ke Fox ketika aku remaja. Aku berumur
tiga belas tahun ketika pertama kali aku melihat Aida."
"Sanjay dan aku memiliki tiket musiman sejak kami menikah.
Dengan jadwalnya yang padat, kami tidak bisa menontonnya
termasuk Alpesh, meskipun ia sangat suka opera," kata Shevta.
"Aku sangat senang kau mengajakku sore ini."
Dengan senyuman licik, Shevta berkata, "Oh tidak, kamilah yang
senang kau ada di sini."
Emma menggeser kursinya dan mencoba memfokuskan
perhatiannya pada menu dan tidak menambah ketegangan tentang
ada atau tidaknya hubungan istimewa diantara Emma dan Pesh.
Sisa waktu makan malam berjalan lancar, dan Emma benar-benar
menikmati berada di luar bersama Shevta dan Sanjay. Tentu saja,
Pesh dengan wajah yang menawan, dan Emma yang tidak bisa
menahan perasaan kecil yang bergejolak di dadanya setiap kali
Emma menangkap Pesh mencuri pandang pada Emma atau setiap
kali Pesh mengedipkan matanya main-main.
Setelah mereka selesai makan, mereka berjalan menyeberangi jalan
di bawah tanda lampu berkelap-kerlip Teater Fox. Saat penjaga pintu
The Proposal The Proposition 2 Karya Katie Ashley di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengantar mereka ke barisan ketiga di dalam orkestra, Emma
menoleh pada Pesh dengan mata yang melebar. "Posisi duduknya
menakjubkan!" Pesh tersenyum saat ia membantu Emma melepaskan mantelnya.
"Aku senang kau menyukainya."
"Menyukainya" Aku tidak pernah membayangkan aku bisa sedekat
ini. Aku merasa seperti aku berada di balik layar. Jadi, tidak seperti
aku berada diatas panggung seperti ini."
"Kau pernah bergabung dengan teater?" Tanya Pesh saat mereka
menuruni tangga menuju ke kursi beludru yang mewah.
"Oh ya." Emma kemudian menghabiskan sisa waktu sebelum lampu
meredup menikmati Pesh tentang peran bermusik Emma.
Saat tirai terangkat terbuka, Emma duduk terpesona di tempat
duduknya. Kostum, susunan musik, pertunjukan - semuanya
mempesona dan lebih mempesona dari yang ia ingat. Ketika para
pemain keluar dari tirai, ia bertepuk tangan sangat keras sampai
telapak tangannya sakit dan berubah merah.
Saat mereka menyusuri lorong, Emma merasakan tangan Pesh
berada di punggung bawahnya, membimbingnya keluar dari
kerumunan. Angin dingin langsung terasa saat mereka mendorong
pintu lobi dan kemudian berada di bawah tenda.
"Aku sangat senang bertemu denganmu." kata Sanjay.
"Aku juga senang," jawab Emma, bersalaman dengannya.
Shevta mencodongkan badannya ke telinga Emma dan berbisik.
"Kami harap bisa bertemu denganmu lagi secepatnya. Aku sudah
lama sekali tidak melihat Pesh bahagia."
Karena sindiran itu, dada Emma terasa sesak, dan ia merasa sulit
bernapas. Bagaimana ia menjelaskan pada Shevta bahwa ia tidak
bisa membalas perasaan Pesh, dan bagaimanapun ia berusaha
mencobanya, pada akhirnya ia tetap saja akan melukai Pesh" Atau ia
membohongi dirinya sendiri dengan mengabaikan secuil hatinya
yang berkerlap-kerlip saat Pesh tersenyum padanya atau melakukan
sesuatu yang manis atau bijaksana" Bersama Pesh, ia tidak perlu
khawatir tentang kesetiaan atau tidak mampu untuk mengatakan apa
yang dia rasakan. Pesh melakukan semuanya dengan hati, dan ia
juga berpikiran sederhana, ia tidak pernah berpikir untuk berbuat
curang. Akhirnya, Emma bergumam, "Terima kasih."
Saat mereka melambaikan tangan perpisahan pada Sanjay dan
Shevta, Pest melingkarkan lengannya pada Emma. "Jadi apa kau
menikmati Aida lagi?"
"Oh aku mengaguminya! Cerita cintanya sangat indah, bahkan
bagian sedihnya." "Kau membuatku khawatir saat kau sesegukan."
Emma menyeringai. "Aku tidak bisa menahannya, ini adalah
pencampuran diriku dari pengaruh hormon yang tidak masuk akal
dan fakta aku selalu menangis secara emosional baik di film, buku
ataupun teater." Mereka ada di tikungan tempat parkir saat Pesh berhenti. "Ada apa?"
tanya Emma. Pesh menunjuk ke arah kereta kuda yang ditarik di pinggir jalan.
"Mau naik itu?"
Emma membelalakan matanya terkejut membayangkan antara rasa
romantis dan cara masuk ke kereta nantinya. "Aku menyukainya,
tapi..." "Kau takut kau tidak bisa naik ke keretanya?"
Emma mengerutkan alisnya. "Bagaimana kau...?"
Pesh tertawa. "Tebakan keberuntungan. Tapi tak perlu takut. Aku
yakin kita bisa melakukannya." Pesh memegang tangan Emma dan
menaruhnya di sisi kereta. "Sekarang letakkan kakimu di sanggurdi."
Tangan Pesh ada di pinggang Emma dan dengan lembut mengangkat
tubuhnya. Emma menarik kakinya yang lain dan kemudian maju ke
depan di kursi. "Oomph," gumam Emma, saat Emma mencoba
merapikan gaunnya. "Apa kau baik-baik saja?"
"Aku baik-baik saja."
"Okey, kami siap," kata Pesh pada kusirnya.
"Baik, Mr. Nadeen." Saat tali kekang dihentakkan, kereta meluncur
ke depan, membuat Emma terjatuh ke belakang di dada Pesh.
Saat Emma menarik dirinya sendiri dari dada Pesh, Emma bertanya,
"bagaimana ia tahu namamu?"
"Jika kau mau naik kereta kuda setelah jam 10, kau harus
menyewanya." "Kau menyewa sebuah kereta kuda untuk kita?" tanya Emma tidak
percaya. "Ya, begitulah, pada saat itu, itu terlihat seperti ide yang cemerlang cara lain
dari diriku untuk merayumu. Tentu saja, itu sebelum aku
menjemputmu dan mengalami seluruh adegan bersama Aidan."
Emma menundukkan kepalanya. "Maafkan aku."
Dengan lembut jari-jari Pesh menangkup dagu Emma, memaksa
Emma melihat padanya. "Tolong jangan meminta maaf. Aku hanya
senang dapat menghabiskan sore yang indah ini bersamamu."
Emma melihat ekspresi ketulusan Pesh, dan Emma pun tersenyum.
"Begitu juga aku. Dan terima kasih sudah sangat memahamiku."
"Dengan senang hati." Mereka melihat-lihat pemandangan lalu lintas
dan orang-orang yang tergesa-gesa di sekitar mereka. Untuk
melawan udara dingin, Emma merapat lebih dekat ke Pesh. Sesaat
Pesh terasa tegang sebelum ia memeluk Emma dengan lengannya.
Meskipun Emma membenci dirinya sendiri karena itu, ia tidak bisa
menghiraukan bagaimana Pesh terasa sangat berbeda dengan Aidan.
Ia lebih tinggi, lebih berotot. Emma merasa kecil dibungkus dalam
pelukannya, bahkan dengan perutnya yang semakin membesar.
"Emma," ia berbisik.
Emma menyentakkan kepalanya dari dada Pesh untuk menatapnya.
Kerinduan yang intens membara di mata Pesh melepaskan
perlindungan Emma dan mengirim getaran kecil padanya untuk
memulainya. Sebelum Emma bisa menghentikan dirinya sendiri, ia
mencodongkan tubuhnya ke depan, memberikan Pesh undangan
yang diinginkannya. Bibir hangat Pesh menyapu lembut bibirnya. Ketika Emma tidak
menarik dirinya, Pesh menekannya lebih keras. Sebagai pria sejati,
Pesh tidak mencoba memperdalam ciumannya dengan mencari celah
masuk untuk lidahnya. Sebaliknya, ia menarik dirinya untuk
menatap Emma. Getaran itu telah membuat percikan api di bawah
pinggang Emma, dan Emma memanggut bibirnya lagi padanya. Kali
ini Emma menyelipkan lidahnya masuk ke bibir Pesh. Pesh
mengeluarkan erangan kecil di tenggorokannya sebelum Pesh
melesatkan lidahnya ke lidah Emma.
Pada saat itu, Emma merasa tidak cukup dekat dengannya atau
cukup mendapatkan dirinya. Tangan Emma berada di rambut Pesh
saat ia bergerak hampir duduk di pangkuannya. Emma merintih
frustasi saat tangan Pesh berada di pundak Emma untuk
mendorongnya menjauh. "Tidak, Emma."
"Apa?" gumamnya dengan pandangannya yang berkabut.
Pesh menggelengkan kepalanya. "Ini bukan dirimu. Ini pengaruh
hormonmu." "Tidak, tunggu. Sama sekali bukan karena itu." Emma menatapnya.
"Percaya padaku saat aku bilang, kau benar-benar, benar-benar
pencium yang ulung."
Pesh tertawa. "Dan dalam lima menit, kau akan membenci dirimu
sendiri dan aku, sama seperti yang aku lakukan sekarang ini."
"Kenapa?" "Karena aku merasa seperti seorang bajingan yang mendekatimu
tanpa mempertimbangkan kau baru saja bebas dari bed-rest mu, kita
nyaris mengenal satu sama lain, dan emosimu adalah dengan orang
lain." Emma berkedip beberapa kali, memahami kata-katanya. Lalu tangan
Emma bergerak menutupi mukanya sendiri. "Ya Tuhan, aku
bertingkah seperti pelacur yang hebat, iya kan?" erang Emma.
"Tidak, kau tidak seperti itu." Saat Emma mengintip melihatnya,
Pesh tersenyum malu-malu. "Selain itu, kau bisa menyalahkan
hormon kehamilanmu. Seharusnya aku lebih mengetahuinya."
Emma mengulurkan tangannya untuk menggenggam tangan Pesh.
"Ini bukan hanya karena hormonku yang membuatku
menginginkanmu, Pesh. Kau pria yang menakjubkan - tampan, kuat,
penuh kasih, selalu memberikan dirimu dan juga hatimu. Semua
wanita di posisiku pasti akan bersedia menurunkan celananya
untukmu, bahkan jika mereka biasanya memiliki moralitas."
Pesh tertawa. "Setelah selama ini dan siapa yang tahu bahwa aku
adalah seperti pelumer celana."
Emma menyeringai. "Kau butuh lebih sering keluar dari ER
(Emergency Room)." "Jika aku punya sore-sore selanjutnya yang seperti ini, maka aku
pasti akan melakukannya."
Sindiran Pesh membuat Emma menunduk ke arah pangkuannya
Perguruan Sejati 8 Lima Sekawan 04 Ke Sarang Penyelundup Tugas Tugas Hercules 1