Pencarian

Pagi Siang Dan Malam 1

Pagi Siang Dan Malam Morning Noon Night Karya Sidney Sheldon Bagian 1


MORNING, NOON 9 NIGHT PAGI, SIANG, DAN MALAM HARRY STANFORD, salah satu orang terkaya di dunia, tenggelam secara misterius saat berlayar dengan kapal pesiarnya di lepas pantai Corsica, dan kematiannya memicu serangkaian kejadian yang bergema ke seluruh dunia. Pertemuan keluarga seusai upacara pemakaman di Boston diusik oleh kemunculan seorang wanita muda yang luar biasa cantik. Ia mengaku putri Harry Stanford dan menuntut bagian dari warisan yang bernilai miliaran dolar. Betulkah ia putri sang pengusaha terkemuka, ataukah ia hanya penipu yang mencoba meraih keuntungan" Keluarga Stanford termasuk keluarga paling terpandang di Amerika Serikat, tapi di balik tameng kemasyhuran dan kemewahan tersembunyi jaringan pemerasan, narkotika, dan pembunuhan.
Morning, Noon & Night?kisah perebutan warisan yang dituturkan dengan kepiawaian jago cerita kelas dunia dan berakhir dengan kejutan khas Sidney Sheldon. ?
SIDNEY SHELDON ? Namanya kini masuk dalam Guinness Book of World Records sebagai pengarang yang karyanya paling banyak diterjemahkan di dunia.
? Ubin dari 275 juta eksemplar bukunya sudah beredar di pasaran.
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Jl. Palmerah Selatan 24-26 Lt 6 Jakarta 10270 dSBN 979-605-031 -5
S3-O C/3 i m MORNING, NOON ffJMGHX Pasi, Siang 6f Malam Sanksi Pelanggaran Pasal 44: Undang-undang Nomor 7 Tabun 1987 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 Tentang Hak Cipta
1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah).
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 50.000.000,(LIma puluh juta rupiah).
Sidney Sheldon PAGI, SIANG, DAN MALAM Gramedia Pustaka MORNING, NOON, AND NIGHT by Sidney Sheldon Copyright " 1995 by Sheldon Literary Trust All rents reserved including the rights of reproduction in whole or in part in any form
PAGI, SIANG, DAN MALAM Alihbahasa: Hendarto Setiadi GM 402 96.031 Hak Cipta Terjemahan Indonesia: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama Jl. Palmerah Selatan 24-26, Jakarta 10270 Desain sampul: Pagut Lubis Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, anggota IKAPI, Jakarta, Januari 1996
Cetakan ketiga: Februari 1996 Cetakan keempat: Oktober 1997
Cetakan kelima: Maret 1999 Cetakan keenam: September 1999
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)
SHELDON, Sidney Pagi, Siang, dan Malam / Sidney Sheldon; aiihbahasa, Hendarto Setiadi. - Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1996.
JUdul asli: Morning, Noon, and Night. ISBN 979 - 605 - 031 -5
I. Judul. II. Setiadi, Hendarto
813 Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta Isi di luar tanggung jawab percetakan
UNTUK KIMBERLY dengan penuh cinta
Izinkan mentari pagi menghangatkan
Hatimu di masa muda Dan biarkan angin siang yang lembut
Mendinginkan gairahmu. Tapi waspadalah terhadap malam
Sebab di sanalah maut mengintai,
Menanti, menanti, menanti.
arthur rimbaud sboak by otoy untuk koleksi pribadi dilarang keras memperjual belikan ebook ini karena dilindungi oleh undang undang ottoys@yahoo.com
Bab 1 DMITRI bertanya, "Anda tahu kita diikuti, Mr. Stanford?"
"Ya." Sudah sejak kemarin ia menyadari kehadiran orang-orang itu.
Mereka bertiga; dua pria dan satu wanita. Ketiga-tiganya berpakaian santai, dan mereka berusaha membaur dengan para turis musim panas yang berjalan-jalan di pagi hari. Namun tidaklah mudah untuk tidak menarik perhatian di tempat sekecil desa benteng St.Paul1-de-Vence.
Harry Stanford mula-mula mengetahui kehadiran mereka karena mereka terlalu santai, dan berusaha terlalu keras untuk tidak memandang ke arahnya. Setiap kati Harry Stanford menoleh, ia melihat salah satu dari mereka di belakangnya.
Harry Stanford sasaran yang mudah diikuti. Tingginya sekitar 180 senti. Wajahnya keningrat-ningrat-an. Rambutnya yang putih melewati kerah bajunya. Ia ditemani wanita muda berambut cokelat yang sangat cantik, seekor anjing gembala Jerman berbulu
II putih bersih, serta Dmitri Kaminsky, pengawal pribadinya yang berleher kokoh, berkening rendah, dan sepuluh senti lebih jangkung.
Ia tahu siapa yang mengirim mereka dan mengapa mereka ditugaskan mengikutinya, dan ia sudah bisa mencium bahaya yang mengancamnya. Sudah sejak lama ia terbiasa mengandalkan naluri. Naluri dan intuisi telah membantunya menjadi salah satu orang terkaya di dunia. Majalah Forbes menaksir kekayaan Stanford Enterprises sekitar enam miliar dolar, sementara Fortune mematok angka yang lebih tinggi lagi, yaitu tujuh miliar dolar. The Wall Street Journal, Barron"s, dan The Financial Times sama-sama pernah menurunkan liputan khusus mengenai Harry Stanford. Masing-masing berusaha menguak tabir misteri yang menyelubungi tokoh tersebut. Masing-masing mencoba menganalisis kejeliannya dalam membaca situasi serta ketajamannya dalam mengambil keputusan, yang membantunya membangun usaha raksasa bernama Stanford Enterprises. Namun tak satu pun dapat menjelaskannya sampai tuntas.
Satu hal disepakati oleh semuanya: Harry Stanford memiliki energi yang luar biasa. Ia tak kenal lelah. Pandangan hidupnya sederhana saja: Hari tanpa deal adalah hari yang sia-sia. Ia menguras tenaga para pesaingnya, stafnya, dan semua orang yang berhubungan dengannya. Harry Stanford merupakan fenomena yang mencengangkan. Ia memandang dirinya sebagai orang beragama. Ia percaya pada Tuhan, dan Tuhan yang diyakininya
menginginkan dirinya kaya dan berhasil, dan saingan-saingannya mati.
Harry Stanford termasuk tokoh publik, dan pihak pers mengetahui segala sesuatu mengenai dirinya. Di pihak lain, Harry Stanford juga merupakan sosok tertutup, dan pihak pers tidak mengetahui apa pun mengenai dirinya. Mereka pernah menulis tentang karismanya, tentang gaya hidupnya yang mewah, pesawat dan kapal pesiar pribadinya, serta rumah-rumahnya yang legendaris di Hobe Sound, Maroko, Long Island, London, Prancis Selatan, dan tentu saja juga tentang kediamannya yang menakjubkan, Rose Hill, di kawasan Back Bay di Boston. Namun Harry Stanford sesungguhnya tetap merupakan teka-teki.
"Mau ke mana kita?" wanita muda itu bertanya. Stanford tidak menyahut. Ia terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri. Kedua orang di seberang jalan menggunakan teknik pergantian silang, dan mereka baru saja berganti pasangan lagi. Selain merasakan ancaman, Stanford juga gusar karena mereka melanggar privasinya. Dengan lancang mereka mengikutinya ke tempat ini, ke tempat persembunyian rahasia yang selalu didatanginya jika ia sedang tidak mau berurusan dengan dunia.
St.-Paul-de-Vence merupakan desa abad pertengahan yang cantik, dan terletak di puncak bukit di Alps Maritimes, antara Cannes dan Nice, dikelilingi
bukit-bukit dan lembah-lembah yang menawan. Ke mana pun mata memandang, orang akan melihat hamparan bunga, kebun buah, dan hutan pinus. Desa itu sendiri dipenuhi studio artis, galeri, dan toko barang-barang antik, serta merupakan magnet bagi wisatawan dari segala penjuru dunia.
Harry Stanford dan rombongannya membelok ke Rue Grande.
Stanford berpaling kepada wanita muda yang menyertainya. "Sophia, kau suka museum?"
"Ya, caro." Sophia berusaha keras untuk menyenangkannya. Ia belum pernah bertemu orang seperti Harry Stanford. Tunggu sampai kawan-kawanku mendengar ceritaku tentang dia. Tadinya kupikir tak ada lagi yang perlu kupelajari tentang seks, tapi ya Tuhan, dia begitu kreatif! Dia membuatku kehabisan tenaga!
Mereka mendaki bukit ke museum seni Fondation Maeght dan mengagumi koleksinya yang tersohor? lukisan-lukisan karya Bonnard, Chagall, dan seniman-seniman kontemporer lainnya. Ketika Harry Stanford memandang berkeliling, ia melihat wanita yang sedang berdiri di ujung galeri sambil mengamati karya Miro.
Ia berpaling kepada Sophia. "Lapar?"
"Ya. Kalau kau lapar." Jangan mendesak.
"Baik. Kita makan siang di La ColQmbe d"Or."
La Colombe d"Or termasuk restoran, favorit Stanford, sebuah bangunan abad ke-16 di gerbang desa
lama, yang kemudian beralih fungsi menjadi hotel dan restoran. Stanford dan Sophia memilih meja di taman, di sisi kolam renang, tempat Stanford bisa mengagumi patung-patung karya Braque dan Calder.
Prince, anjing gembala Jerman berbulu putih, berbaring di kaki majikannya. Anjing itu merupakan ciri khas Harry Stanford. Ke mana pun Stanford pergi, Prince selalu mendampinginya dengan setia. Kabarnya, Prince akan menggigit leher siapa pun jika diperintah oleh Harry Stanford. Tak ada yang berminat menguji kebenaran desas-desus tersebut.
Dmitri duduk di meja lain di dekat pintu masuk hotel. Dengan cermat ia mengamati tamu-tamu yang keluar-masuk.
Stanford berpaling kepada Sophia. "Boleh kupesankan makanan untukmu, Sayang?"
"Terima kasih."
Harry Stanford membanggakan diri sebagai penggemar masakan lezat. Ia memesan salad hijau dan fricasse"e de lotte untuk mereka berdua.
Ketika hidangan utama disajikan, Daniele Roux, yang mengelola hotel tersebut bersama suaminya, Francois, menghampiri meja Stanford dan tersenyum. "Bonjour. Apakah semuanya memuaskan, Monsieur Stanford?"
"Ya, Madame Roux. Terima kasih."
Ya, semuanya akan baik-baik saja. Mereka orang-orang kerdif yang berusaha menumbangkan raksasa. Tapi mereka akan kecewa.
Sophia berkata, "Aku belum pernah ke sini. Desa ini indah sekali."
Perhatian Stanford beralih kepada wanita itu. Baru kemarin Dmitri memilihnya di Nice untuk majikannya.
"Mr. Stanford, saya membawa seseorang untuk Anda."
"Ada masalah?" Stanford sempat bertanya.
Dmitri tersenyum lebar. "Sama sekali tidak." Ia melihat wanita itu di lobi Hotel Negresco, dan segera menghampiriaya.
"Maaf, Anda berbahasa Inggris?"
"Ya." Jawaban wanita itu berlogat Italia.
Teman saya ingin makan malam bersama Anda/"
Wanita itu langsung naik pitam. "Saya bukan puttanal Saya aktris," ia menyahut dengan angkuh. Ia memang pernah memperoleh peran figuran dalam film terakhir Pupi Avati, serta peran kecil dengan dua baris dialog dalam salah satu film Giuseppe Tornatore. "Untuk apa saya makan malam dengan orang yang tidak saya kenal?"
Dmitri lalu mengeluarkan setumpuk lembaran seratus dolar. Lima lembar diserahkannya kepada wanita itu. "Teman saya sangat murah hati. Dia punya kapal pesiar, dan dia kesepian." Kemudian ia mengamati perubahan pada roman muka wanita di hadapannya. Mula-mula wanita atu berkesan marah, lalu ingin tahu, dan akhirnya tertarik.
"Kebetulan saya baru menyelesaikan sebuah film dan belum mulai dengan film berikut." Ia tersenyum "Saya rasa tak ada salahnya saya makan malam bersama teman Anda."
"Bagus. Dia akan senang."
"Di mana dia?" "St.-Paul-de-Vence."
Pilihan Dmitri tidak keliru. Orang Italia. Berusia akhir dua puluhan. Wajah sensual, bagaikan kucing. Buah dada ranum. Kini, sambil mengamatinya dari seberang meja, Harry Stanford mengambil keputusan.
"Kau suka bepergian, Sophia?" "Suka sekali."
"Bagus. Kita akan berpesiar. Permisi sebentar."
Sophia memperhatikan Stanford masuk ke restoran dan menghampiri telepon umum di depan kamar kecil pria.
Stanford memasukkan jeton, lalu memutar sebuah nomor. "Tolong sambungkan ke operator maritim."
Beberapa detik kemudian sebuah suara menyahut, "Cest l"operatrice maritime."
"Saya ingin menghubungi yacht Blue" Skies. Wiski bravo lima sembilan delapan nol"."
Percakapan itu berlangsung lima menit, dan setelah selesai, Stanford segera menelepon bandara di Nice. Kali ini percakapannya lebih singkat.
Seusai menelepon, ia berbicara dengan Dmitri,
17 yang segera meninggalkan restoran. Kemudian Stanford kembali ke Sophia. "Bagaimana" Sudah siap?" "Ya."
"Mari kita jalan-jalan dulu." Ia butuh waktu untuk menyusun rencana.
Cuaca hari itu sangat menyenangkan. Matahari membasuh awan-awan merah jambu di cakrawala dengan cahayanya, dan membanjiri jalan-jalan dengan sinar keperakan.
Mereka menyusuri Rue Grande, melewati Eglise, gereja abad ke-12 yang menawan, dan berhenti di boulangerie di depan Arch untuk membeli roti yang masih hangat. Ketika mereka keluar lagi, salah satu dari ketiga orang yang menguntitnya sedang berdiri di luar sambil berlagak mengamati gereja itu. Dmitri juga sudah menunggu.
Harry Stanford menyerahkan roti kepada Sophia. "Tolong kaubawa ke rumah, oke" Aku segera menyusul."
"Baiklah." Sophia tersenyum dan berkata dengan lembut, "Jangan lama-lama, car o"
Stanford memperhatikannya pergi, lalu memanggil Dmitri.
"Bagaimana?" "Wanita itu dan salah satu dari kedua rekannya tinggal di Le Hameau, di jalan yang menuju La Colle."
Harry Stanford kenal tempat itu, sebuah rumah
pertanian yang dicat putih dengan kebun buah di sekelilingnya, kira-kira satu mil sebelah barat St.-Paul-de-Vence. "Dan yang satu lagi?"
"Di Le Mas d"Artigny." Le Mas d"Artigny merupakan wisma Provencal di lereng bukit, sekitar dua mil sebelah barat St.-Paul-de-Vence.
"Apa yang harus saya lakukan, Sir?"
"Tidak ada. Biar aku saja yang menangani mereka."
Vila Harry Stanford terletak di Rue de Casette, bersebelahan dengan mairie, di kawasan perumahan sangat tua yang dibelah jalan-jalan batu yang sempit. Vila itu berlantai lima. Dua tingkat di bawah rumah induk ada garasi serta cave tua, yang digunakan sebagai gudang anggur. Sebuah tangga batu menuju kamar-kamar tidur di lantai atas, ruang kerja, serta teras di atap. Seluruh rumah diisi perabot antik Prancis dan dipenuhi bunga.
Ketika Stanford kembali ke vila, Sophia sudah menunggu di kamar tidur. Tak sehelai benang pun menempel di tubuhnya. "Kenapa lama betul?" bisiknya.
Guna menyambung hidup, Sophia Matteo sering mencari uang tambahan sebagai call girl di sela-sela pembuatan film. Ia sudah terbiasa berpura-pura mengalami orgasme untuk menyenangkan klien-
19 kliennya. Tapi dengan laki-laki yang satu ini, ia tidak perlu berpura-pura. Orang ini seakan-akan tak terpuaskan, dan Sophia berulang-ulang mencapai puncak.
Akhirnya, setelah tenaga mereka sama-sama terkuras habis, Sophia merangkulnya dan bergumam dengan bahagia, "Coba kalau aku bisa tinggal di sini untuk selama-lamanya, cara"
Sayang aku tidak bisa, pikir Stanford geram.
Mereka makan malam di Le Cafe de la Place di Plaza du General-de-Gaulle, di dekat gerbang desa. Hidangannya sangat lezat, dan bahaya yang mengancam merupakan bumbu penyedap bagi Stanford.
Sehabis makan, mereka langsung kembali ke vila. Stanford sengaja berjalan pelan-pelan untuk memastikan bahwa para penguntit mengikuti mereka.
Pukul satu dini hari, seorang pria di seberang jalan memperhatikan lampu-lampu di vila dipadamkan satu per satu, sampai seluruh bangunan terselubung kegelapan.
Pukul setengah lima, Harry Stanford masuk ke kamar tidur tamu yang ditempati Sophia. Dengan lembut ia membangunkannya. "Sophia?""
Wanita itu membuka mata dan menatapnya sambil tersenyum simpul, lalu mengerutkan kening. Stanford telah berpakaian lengkap. Sophia segera duduk tegak. "Ada yang tidak beres?"
20 "Tenang saja, Sayang. Semuanya baik-baik saja. Tadi kau bilang kau suka bepergian. Nah, kita sudah mau berangkat."
Sophia membelalakkan mata. "Pagi-pagi buta begini?"
"Ya. Dan kita tidak boleh ribut."
"Tapi?" "Cepatlah." Lima belas menit kemudian, Harry Stanford, Sophia, Dmitri, dan Prince sudah menuruni tangga batu ke garasi bawah tanah, tempat sebuah Renault cokelat telah menunggu. Pelan-pelan Dmitri membuka pintu garasi dan memandang ke jalan. Selain Corniche putih milik Stanford yang diparkir di depan, jalanan tampak lengang. "Aman."
Stanford berpaling kepada Sophia. "Kita akan bermain-main sebentar. Kau dan aku naik Renault ini, dan berbaring di lantai bangku belakang."
Sophia terheran-heran. "Untuk apa?"
"Aku diikuti saingan bisnisku," Stanford berkata dengan serius. "Dalam beberapa hari mendatang, aku akan menandatangani kontrak bernilai sangat tinggi. Sainganku berusaha mencuri informasi tentang kontrak itu. Aku bisa rugi besar kalau mereka berhasil."
"Aku mengerti," ujar Sophia. Ia sama sekali tidak memahami maksud Stanford.
Lima menit kemudian mereka melewati gerbang desa dan mulai menyusuri jalan raya ke Nice, Seorang pria yang sedang duduk di bangku taman
21 memperhatikan Renault cokelat itu melaju melewati gerbang. Dmitri Kaminsky duduk di belakang kemudi, dan kursi di sampingnya ditempati Prince. Pria tadi meraih telepon seluler dan menekan-nekan tombol.
"Mungkin ada masalah," ia memberitahu wanita yang bekerja sama dengannya.
"Masalah apa?" "Baru saja ada Renault cokelat yang keluar lewat gerbang. Dmitri Kaminsky pegang kemudi, dan anjing itu juga ada di dalam mobil."
"Dan Stanford?" i
"Stanford tidak ikut."
"Tidak mungkin. Pengawalnya tak pernah meninggalkan dia pada malam hari, dan anjing itu malah sama sekali tak pernah beranjak dari sisinya."
"Apakah Corniche-nya masih diparkir di depan vila?" tanya pria satu lagi, yang juga ditugaskan menguntit Harry Stanford.
"Masih, tapi mungkin mereka tukar mobil."
"Mungkin juga mereka mau mengelabui kita!
Hubungi bandara." Dalam beberapa menit mereka sudah berbicara dengan seorang petugas di menara kontrol.
"Pesawat Monsieur Stanford" OuL Pesawatnya mendarat satu jam lalu, dan sudah selesai mengisi
bahan bakar." Lima menit setelah itu, dua anggota tim pengawas telah dalam perjalanan ke bandara, sementara rekan mereka terus mengawasi vila yang gelap.
Ketika Renault itu melewati La Coalle-sur-Loupe, Stanford pindah ke bangku belakang. "Kau sudah boleh duduk sekarang," ia memberitahu Sophia. Kemudian ia berpaling kepada Dmitri. "Ke bandara Nice. Cepat."
sbook by otoy untuk koleksi pribadLdilarang keras memperjual belikan ebbok ini karena dilindungi oleh undang undang ottoys@yahoo.com
Bab 2 SETENGAH jam kemudian, di bandara Nice, sebuah Boeing 727 yang sudah dimodifikasi menggelinding pelan menuju titik lepas landas di ujung landasan pacu. Petugas pengatur lalu lintas udara di menara kontrol berkomentar, "Sepertinya mereka terburu-buru. Pilotnya sampai tiga kali minta izin lepas landas."
"Pesawat siapa itu?" tanya rekannya.
"Harry Stanford. Si Raja Midas."
"Rupanya dia sudah tak sabar meraup satu atau dua miliar lagi."
Petugas pertama menoleh untuk memantau Lear-jet yang sedang melesat di landasan, lalu meraih mikrofon. "Boeing delapan sembilan lima Papa, ini kontrol keberangkatan Nice. Anda diizinkan lepas landas. Lima kiri. Setelah mengudara, silakan belok ke kanan, arah satu empat kosong."
Pilot dan kopi lot pesawat Harry Stanford berpandangan dengan lega. Si pilot menekan tombol mikrofon. "Roger. Boeing delapan sembilan lima
24 Papa diizinkan lepas landas. Belok kanan ke satu
empat kosong." Sesaat kemudian pesawat raksasa itu melaju kencang, dan naik ke langit pagi yang kelabu.
Si kopilot kembali berbicara melalui mikrofon, "Kontrol keberangkatan, Boeing delapan sembilan lima Papa naik dari tiga ribu menuju flight level tujuh kosong."
Ia berpaling kepada pilot di sampingnya. "Huh! Stanford pasti lega karena kita sudah lepas landas. Kenapa dia begitu terburu-buru kali ini?"
Rekannya angkat bahu. "Tak usah cari tahu, kalau Stanford punya mau. Ngomong-ngomong, bagaimana keadaan penumpang kita?"
Si kopilot berdiri, menghampiri pintu kokpit, dan memandang ke kabin. "Dia lagi istirahat."
Mereka menelepon menara kontrol dari mobil mereka.
"Pesawat Mr. Stanford" pesawat itu masih di bandara?"
"Non, Monsieur. Pesawat Monsieur Stanford sudah lepas landas."
"Apakah pilotnya melaporkan rencana penerbangan mereka?"
"Tentu saja, Monsieur."
"Ke mana?" "Mereka menuju Bandara JFK."
"Terima kasih." Pria itu berpaling kepada rekan-
25 nya. "Kennedy. Kita harus menyiapkan orang-orang untuk menyambut mereka."
Ketika Renault cokelat itu melewati pinggiran Monte Carlo dan melaju ke arah perbatasan Italia, Harry Stanford berkata, "Kita tidak diikuti, Dmitri?"
"Tidak, Sir. Siasat kita berhasil."
"Bagus." Harry Stanford menyandarkan punggung dan menarik napas panjang. Tak ada lagi yang perlu dikuatirkannya. Mereka akan memusatkan perhatian pada pesawatnya.
Ia menganalisis situasi yang tengah dihadapinya. Masalah sesungguhnya adalah apa saja yang mereka ketahui, dan kapan mereka mengetahuinya. Mereka tak lebih dari anjing liar yang melacak jejak singa,, dengan harapan dapat menjatuhkannya. Harry Stanford tersenyum sendiri. Mereka meremehkan orang yang menjadi lawan mereka. Orang-orang yang pernah melakukan kesalahan serupa terpaksa membayar mahal. Dan kali ini pun takkan berbeda. Ia Harry Stanford, orang kepercayaan para presiden dan raja. Kekuasaannya luar biasa besar, dan dengan hartanya yang melimpah, ia sanggup menghancurkan perekonomian selusin negara".
Boeing 727 itu melintas di atas Marseilles. Pilotnya berbicara melalui mikrofon, "Marseilles, Boeing delapan sembilan lima Papa memasuki ruang udara Anda. Kami akan naik dan flight level satu sembilan kosong ke flight level dua tiga kosong."
"Roger. Sesaat setelah fajar Renault itu sampai di San Remo. Harry Stanford menyimpan kenangan manis mengenai kota tersebut, namun keadaannya telah berubah drastis. Ia teringat masa ketika San Remo masih merupakan kota elegan dengan hotel-hotel dan restoran-restoran kelas satu, serta kasino mewah tempat orang bisa menjadi kaya raya atau jatuh miskin dalam sekejap. Tapi kini kota tersebut telah ditaklukkan oleh pariwisata, dan kasino yang dulu mewajibkan para pengunjung mengenakan pakaian malam sekarang dibanjiri tamu-tamu berkemeja lengan pendek yang berisik dan sibuk mempertaruhkan uang receh mereka.
Sedan Renault itu menuju pelabuhan, yang berjarak dua belas mil dari perbatasan Prancis-Italia. Pelabuhan tersebut memiliki dua pangkalan, Marina Porto Sole di timur, dan Porto Communale di barat. Di Porto Sole ada petugas khusus yang menuntun kapal-kapal yang hendak merapat. Di Porto Communale, para pemilik perahu harus berusaha sendiri.
"Yang mana?" tanya Dmitri.
"Porto Communale," jawab Stanford. Makin sepi, makin baik.
"Baik, Sir." Lima menit kemudian, Renault itu berhenti di samping Blue Skies, yacht mewah berukuran panjang 54 meter. Kapten Vacarro dan awak kapal
27 sebanyak dua belas orang berbaris di geladak. Si nakhoda segera turun untuk menyambut rombongan yang baru tiba.
"Selamat pagi, Signor Stanford," ujar Kapten Vacarro. "Barang-barang bawaan Anda akan segera diangkut ke kapal, dan?"
"Tidak ada barang. Kita langsung berlayar saja."
"Baik, Sir." "Tunggu duhi." Stanford mengamati awak kapal. Ia mengerutkan kening. "Orang di ujung sana. Dia orang baru, bukan?"
"Ya, Sir. Salah satu pelayan kabin jatuh sakit di Capri, dan kami terpaksa mencari penggantinya. Orang bara ini sangat?"
"Pecat dia," Stanford memerintahkan.
Kapten Vacarro menatapnya dengan terheran-heran. "Pe?""
"Bayar pesangonnya, lalu angkat tali tambat."
Kapten Vacarro mengangguk. "Baik, Sir."
Harry Stanford memandang ke kiri-kanan. Ia kembali memperoleh firasat buruk. Kesan bahaya yang mengelilinginya semakin kuat. Ia tidak menghendaki kehadiran orang asing di sekitarnya. Kapten Vacarro dan awak kapalnya sudah bertahun-tahun bekerja untuknya, dan ia yakin mereka dapat dipercaya. Ia berbalik dan menatap wanita muda yang menyertainya. Dmitri memilih Sophia secara acak, sehingga tak ada risiko. Mengenai Dmitri sendiri, pengawal pribadi yang setia itu sudah lebih dari satu
kali menyelamatkan nyawa majikannya. Stanford berpaling kepada Dmitri. "Jangan jauh-jauh dariku." "Baik, Sir."
Stanford meraih lengan Sophia. "Mari kita naik, Sayang."
Dmitri Kaminsky berdiri di geladak, memperhatikan awak kapal yang sedang menyiapkan keberangkatan mereka. Pandangannya menyapu seluruh pelabuhan, tapi ia tidak melihat sesuatu yang mencurigakan. Pagi-pagi begini memang baru sedikit aktivitas di pelabuhan. Generator kapal mulai berdengung, dan tak lama kemudian Blue Skies mulai menjauhi dermaga.
Nakhoda kapal itu menghampiri Harry Stanford. "Anda belum menyebutkan tujuan kita, Signor Stanford."
"Memang belum." Ia berpikir sejenak. "Portofino."
"Baik, Sir." "Oh ya. Kuminta jangan ada komunikasi radio."
Kapten Vacarro mengerutkan kening. "Jangan?" Baik, Sir, tapi bagaimana kalau?""
Harry Stanford memotong, "Jangan kuatir. Lakukan saja. Dan semua orang dilarang menggunakan telepon satelit."
"Baik, Sir. Apakah kita akan merapat di Portofino?"
"Nanti akan kuberitahukan kepadamu."
Harry Stanford mengantar Sophia berkeliling kapal. Ia senang memamerkan yacht kebanggaannya itu. Blue Skies memang menakjubkan. Master suite-nya sangat mewah. Selain ruang tidur juga ada ruang duduk dan ruang kerja. Ruang kerja tersebut cukup luas, dilengkapi sofa, beberapa kursi santai, dan meja kerja. Di balik meja terdapat peralatan canggih yang memadai untuk mengatur sebuah kota kecil. Pada salah satu dinding ada peta elektronis dengan kapal kecil yang berpindah-pindah sesuai posisi yacht saat ini. Sepasang pintu geser yang terbuat dari kaca menghubungkan master suite dengan teras di luar. Stanford biasa makan pagi di teras itu jika udara sedang panas.
Untuk para tamu tersedia enam kabin mewah, masing-masing dengan panil-panil sutra yang dilukis tangan, jendela-jendela lebar, serta kamar mandi berikut jacuzzi. Ruang santai yang luas didekorasi dengan menggunakan kayu koa.
Ruang makan Blue Skies dapat menampung enam belas tamu. Di geladak bawah terdapat mang fitness dengan peralatan lengkap. Yacht itu juga mempunyai gudang anggur dan ruang teater untuk memutar film. Koleksi film porno milik Harry Stanford termasuk paling lengkap di dunia. Semua perabot di kapalnya teramat mewah, dan lukisan-lukisan yang dipajang sanggup membuat bangga museum mana pun.
"Nah, hampir semuanya sudah kaulihat sekarang." Harry Stanford berkata kepada Sophia. "Sisanya akan kutunjukkan besok saja."
Sophia terkagum-kagum. "Aku belum pernah melihat kapal seperti ini! Kapal ini seperti" seperti sebuah kota!"
Harry Stanford menanggapi luapan semangat itu dengan tersenyum. "Pelayan akan mengantarmu ke kabinmu. Bersantailah dulu. Masih ada pekerjaan yang perlu kutangani."
Harry Stanford kembali ke ruang kerja dan mengamati peta elektronis untuk mengetahui posisi yacht-nya.. Blue Skies berada di Laut Liguria, dan menuju timur laut. Mereka takkan tahu ke mana aku pergi, pikir Stanford. Mereka akan menunggu di JFK. Begitu sampai di Portofino, aku akan membereskan semuanya.
Boeing 727 sedang terbang pada ketinggian 35.000 kaki, ketika pilotnya menerima instruksi baru. "Boeing delapan sembilan lima Papa, silakan lanjutkan penerbangan langsung ke Delta India November, rute empat puluh, sesuai rencana."
"Roger. Boeing delapan sembilan lima Papa melanjutkan penerbangan langsung ke Delta India November, rute empat puluh, sesuai rencana." Ia berpaling kepada kopilot di sampingnya. "Oke, semuanya beres."
Si pilot meregangkan otot-ototnya yang terasa
31 isa kaku. lalu berdiri dan menghampiri pimu kokpit
"Bagaimana keadaan penumpang k"a?" rekannya.
"Sepertinya dia lapar."
tanya Bab 3 PESISIR Liguria lebih dikenal dengan nama Riviera Italia. Pantai itu melengkung dari perbatasan Praneis-ltalia sampai ke Genoa, lalu turun sampai ke Teluk La Spezia. Pelabuhan-pelabuhan seperti Portofino dan Vernazza terletak di sini. dan di lepas pantai, Pulau Elba, Sardinia, dan Corsica dikelilingi perairan yang biru dan berkilau-kilau.
Blue Skies sedang mendekati Portofmo, yang dari kejauhan pun tampak mengesankan dengan bukit-bukitnya yang ditumbuhi pohon-pohon zaitun, pinus, sipres, dan palem. Harry Stanford, Sophia, dan Dmitri berdiri di geladak. Semuanya memandang ke arah pantai.
"Kau sudah sering ke Portofmo?" tanya Sophia. "Beberapa kali."
"Di mana tempat tinggalmu sesungguhnya?"
Terlalu pribadi. "Kau akan betah di Portofmo, Sophia. Tempatnya indah sekali."
Kapten Vacarro menghampiri mereka. "Anda akan bersantap siang di kapal, Signor Stanford"!"
33 "Tidak, kami makan siang di Splendido saja."
"Baiklah. Apakah kita akan segera berlayar lagi sehabis makan siang?"
"Kukira tidak. Keindahan tempat ini harus kita nikmati dulu."
Kapten Vacarro menatapnya dengan heran. Di satu detik Harry Stanford tampak terburu-buru, tapi detik berikutnya ia bersikap seakan-akan mempunyai waktu tak terbatas. Dan larangan berkomunikasi melalui radio" ini belum pernah terjadi! Pazzo.
Ketika Blue Skies membuang sauh di pelabuhan luar, Stanford, Sophia, dan Dmitri pindah ke sekoci untuk turun ke darat. Pelabuhan kecil itu memang menawan, dengan aneka macam toko serta trattorie yang berjajar di tepi jalan menuju ke perbukitan. Selusin perahu nelayan tampak di pantai yang berbatu-batu.
Stanford berpaling kepada Sophia. "Kita akan makan siang di hotel di puncak bukit itu. Pemandangannya bagus sekali dari sana." Ia mengangguk untuk memanggil taksi yang. berhenti di dermaga. "Kau berangkat dulu. Aku segera menyusul." Ia menyerahkan sejumlah lembaran lire.
"Baiklah, caro"
Stanford memperhatikannya pergi, kemudian berpaling kepada Dmitri. "Aku perlu menelepon." Tapi bukan dari kapal, pikir Dmitri. Mereka menghampiri dua boks telepon umum di
pinggir dermaga. Stanford langsung masuk, mengangkat gagang telepon, lalu memasukkan sekeping uang.
"Operator, saya ingin menghubungi seseorang di Union Bank of Switzerland di Jenewa."


Pagi Siang Dan Malam Morning Noon Night Karya Sidney Sheldon di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Seorang wanita mendekati telepon umum kedua. Dmitri cepat-cepat menghalanginya.
"Maaf," ujar wanita itu, "saya?"
"Saya sedang menunggu telepon."
Wanita itu tampak terkejut. "Oh." Penuh harap ia menatap telepon umum yang sedang dipakai Stanford.
"Jangan terlalu berharap," Dmitri menggerutu. "Percakapannya akan makan waktu cukup lama." Wanita itu mengangkat bahu dan pergi. "Halo?"
Dmitri menoleh ke arah Stanford.
"Peter" Kelihatannya ada masalah kecil." Stanford menutup pintu boks telepon. Ia berbicara dengan cepat, sehingga Dmitri tidak mendengar apa yang diucapkannya. Setelah selesai, Stanford menggantungkan gagang telepon dan membuka pintu.
"Semuanya beres?" tanya Dmitri.
"Ayo, kita makan siang."
Splendido merupakan kebanggaan Portofmo, sebuah hotel dengan pemandangan luar biasa ke teluk di bawahnya. Hotel tersebut dikunjungi orang-orang yang sangat kaya, dan selalu menjaga reputasinya
dengan ketat Harry Stanford dan Sophia bersantap siang di teras.
"Bolehkah aku memesan makanan untukmu?" Stanford bertanya. "Di sini ada beberapa hidangan istimewa yang kukira cocok untuk lidahmu."
"Silakan," kata Sophia.
Stanford memesan trenette al pes to, pasta khas setempat, daging domba muda, dan focaccia, roti asin khas daerah itu. .
"Dan bawakan sebotol Schram Delapan-delapan." Ia berpaling kepada Sophia. "Anggur itu memperoleh medali emas dalam International WINE Challenge di London. Kebun anggurnya milikku."
Sophia tersenyum. "Kau beruntung."
Keberhasilan Harry Stanford tidak ada sangkut pautnya dengan keberuntungan. "Aku percaya manusia wajib menikmati hal-hal yang merangsang pancaindra." Ia menggenggam tangan Sophia. "Dan tentu saja juga rangsangan-rangsangan lainnya."
"Kau laki-laki yang luar biasa."
"Terima kasih.?"
Stanford senang dikagumi wanita cantik. Yang ini sebenarnya pantas menjadi putrinya, tapi Stanford malah semakin bergairah.
Sehabis bersantap siang, Stanford menatap Sophia sambil tersenyum. "Mari kita kembali ke yadaV
"Oh, ya!" Harry Stanford sangat berpengalaman di atas ranjang, penuh gairah dan terampil. Akibat egonya yang besar, ia lebih memperhatikan kepuasan wanita yang menemaninya daripada kepuasannya sendiri. Ia tahu -cara merangsang titik-titik erotis seorang wanita, dan permainannya menyerupai simfoni sensual yang mengantarkan lawan-lawannya ke puncak kenikmatan yang belum pernah mereka rasakan.
Mereka menghabiskan sore hari di suite Stanford, dan setelah selesai bercinta, seluruh tenaga Sophia terkuras habis. Harry Stanford kembali berpakaian, lalu naik ke anjungan untuk menemui Kapten Vacarro.
"Anda ingin berkunjung ke Sardinia, Signor Stanford?" si nakhoda bertanya.
"Kita mampir dulu di Elba."
"Baiklah, Sir. Apakah semuanya memuaskan?"
"Ya," sahut Stanford. "Semuanya memuaskan." Ia mulai terangsang lagi, dan segera menuju kabin Sophia.
Keesokan sorenya mereka tiba di Elba, dan membuang sauh di Portoferraio.
Saat memasuki ruang udara Amerika Utara, pilot Boeing 727 itu menghubungi pengawas lalu lintas setempat.
"New York Center, Boeing delapan sembilan lima Papa sedang memasuki ruang udara Anda. Kami akan pindah dari flight level dua enam kosong ke flight level dua empat kosong."
"Roger," New York Center menyahut. "Anda
diizinkan ke satu dua ribu, langsung JFK. Hubungi approach di satu dua tujuh koma empat."
Tiba-tiba terdengar suara menggeram dari arah kabin.
"Tenang, Prince. Ayo, anjing manis. Kau juga harus pakai sabuk pengaman."
Empat laki-laki telah menunggu ketika Boeing 727 itu mendarat. Mereka berdiri di tempat berbeda-beda, agar dapat mengawasi semua penumpang yang turun dari pesawat tersebut. Mereka menunggu setengah jam. Namun satu-satunya penumpang yang muncul adalah seekor anjing gembala Jerman berbulu putih.
Portoferraio merupakan pusat perbelanjaan utama di Elba. Jalan-jalan di kota itu diapit toko-toko bergengsi, dan di belakang pelabuhan, bangunan-bangunan abad ke-18 seakan-akan dinaungi oleh benteng yang dibangun Duke of Florence pada abad ke-16.
Harry Stanford sudah sering mengunjungi pulau tersebut, dan entah kenapa merasa seperti di rumah sendiri di tempat pembuangan Napoleon Bonaparte itu.
"Nanti kita akan melihat-lihat rumah Napoleon," ia berkata kepada Sophia. "Aku akan menemuimu di sana." Ia berpaling kepada Dmitri. "Antarkan dia ke Villa dei Mulini."
"Baik, Sir." Stanford memperhatikan Dmitri dan Sophia pergi. Kemudian ia menatap arlojinya. Waktu tinggal sedikit. Pesawatnya pasti sudah mendarat di Kennedy. Setelah sadar bahwa ia tidak berada di pesawat, mereka akan segera kembali memburunya. Mereka butuh waktu untuk melacakku ke sini, pikir Stanford. Dan saat mereka tahu di mana aku berada, semuanya sudah beres.
Ia masuk ke boks telepon umum di ujung dermaga. "Saya ingin menelepon ke London," Stanford berkata kepada operator. "Barclay"s Bank. Satu tujuh satu?"
Setengah jam kemudian, ia menjemput Sophia dan membawanya kembali ke pelabuhan.
"Kau naik dulu," Stanford menyuruhnya. "Aku perlu menelepon sekali lagi."
Wanita muda itu memperhatikannya melintasi dermaga dengan langkah panjang. Kenapa dia tidak pakai telepon di kapal saja" Sophia bertanya-tanya. *
Di dalam boks telepon umum, Harry Stanford sedang berkata, "Sumitomo Bank di Tokyo"."
Lima belas menit kemudian, ketika kembali ke kapal, ia tampak sangat gusar.
"Apakah kita akan berlabuh di sini?" Kapten Vacarro bertanya.
"Ya," Stanford membentak. "Tidak! Kita langsung ke Sardinia. Sekarang juga!"
Costa Smeralda di Sardinia termasuk tempat paling menawan di sepanjang pesisir Laut Tengah. Kota kecil Porto Cervo merupakan tempat tinggal orang-orang kaya, dan sebagian besar daerah itu dipenuhi vila-vila yang dibangun Aly Khan.
Begitu mereka merapat, Harry Stanford segera mencari telepon umum.
Dmitri mengikutinya, lalu berjaga di luar boks telepon.
"Saya mau menelepon B anca d"Italia di Roma"." Pintu boks telepon menutup.
Percakapan itu berlangsung hampir setengah jam. Stanford tampak geram ketika keluar lagi. Dmitri memperhatikannya sambil terheran-heran.
Stanford dan Sophia makan siang di Liscia di Vacca. Stanford memesan untuk mereka berdua. "Kita mulai dengan malloreddus." keping-keping adonan tepung yang terbuat dari gandum. "Lalu porceddu." Babi kecil yang dimasak dengan aneka rempah-rempah. "Untuk anggur, kita pesan Ver-naccia, dan sebagai hidangan penutup, kita makan sehadas." Goreng-gorengan berisi keju dan parutan kulit limau, serta dilapisi madu pahit dan gula.
"Bene, Signor." Pelayan yang mencatat pesanan mereka tampak terkesan.
Ketika Stanford berpaling untuk mengobrol de-
40 ngan Sophia, ia tersentak kaget. Di dekat pintu masuk restoran ia melihat dua pria yang sedang memandang ke arahnya. Dengan setelan jas berwarna gelap yang mereka kenakan di bawah terik matahari, keduanya sama sekali tidak berusaha menampilkan diri sebagai turis. Apakah mereka mengincarku, ataukah mereka hanya dua orang yang tidak tahu apa-apa" Aku tidak boleh membiarkan daya khayalku lepas kendali, ujar Stanford dalam hati.
"Rasanya kau belum pernah cerita di bidang apa kau bergerak," Sophia sedang berkata.
Stanford mengamatinya. Ia senang berada bersama seseorang yang tidak tahu-menahu tentang dirinya. "Aku sudah pensiun," ia memberitahu wanita itu. "Aku melanglang buana, dan menikmati dunia."
"Melanglang buana" Seorang diri?" Suara Sophia penuh simpati. "Kau pasti sangat kesepian."
Stanford menahan tawa. "Ya, memang. Dan aku bersyukur kau ada di sini untuk menemaniku."
Sophia meraih tangannya. "Aku pun begitu, caro."
Dari sudut matanya, Stanford melihat kedua pria tadi bangkit dan pergi.
Seusai makan siang, Stanford, Sophia, dan Dmitri kembali ke kota.
Stanford langsung mencari telepon umum. "Saya minta disambungkan dengan Credit Lyonnais di Paris"."
41 Sambil memperhatikannya, Sophia berkata kepada Dmitri, "Dia luar biasa, ya?" "Tak ada orang seperti dia." "Kau sudah lama bekerja untuknya?" "Dua tahun," jawab Dmitri. "Kau beruntung."
"Saya tahu." Dmitri menghampiri boks telepon dan berjaga di depannya. Ia mendengar Stanford berkata, "Rene" Kau tentu sudah tahu kenapa aku menelepon" Ya" Ya" Oh, begitu" "Ini kabar gembira!" Suaranya penuh kelegaan. "Jangan" jangan di sana. Lebih baik kita bertemu di Corsica" Ya" Boleh" Setelah pertemuan kita, aku bisa langsung pulang" Terima kasih, Rene."
Stanford menggantungkan gagang telepon. Sejenak ia berdiri sambil tersenyum. Kemudian ia menghubungi sebuah nomor di Boston.
Seorang sekretaris menyahut, "Kantor Mr. Fitzgerald."
"Ini Harry Stanford. Saya mau bicara dengan dia."
"Oh, Mr. Stanford! Maaf, tapi Mr. Fitzgerald sedang cuti. Barangkali ada orang lain yang bisa?""
"Tidak. Saya sedang dalam perjalanan pulang ke Amerika Serikat. Beritahu dia saya menunggunya di Rose Hill di Boston hari Senin pukul sembilan pagi. Suruh dia bawa notaris dan salinan surat wasiat saya."
"Saya akan mencoba?"
"Jangan mencoba. Lakukan saja." Ia memutuskan hubungan, dan berdiri sambil memutar otak. Ketika ia keluar dari boks telepon, suaranya bernada biasa-biasa saja. "Ada urusan yang perlu kubereskan, Sophia. Pergilah ke Hotel Pitrizza dan tunggu di sana."
"Baiklah," jawab Sophia dengan genit. "Tapi jangan lama-lama."
"Jangan kuatir."
Stanford dan Dmitri memperhatikannya menjauh.
"Kita kembali ke yacht" Stanford lalu berkata kepada pengawalnya. "Kita berlayar sekarang juga."
Dmitri menatapnya dengan heran. "Bagaimana dengan?"
"Dia bisa pulang sendiri."
Begitu mereka naik ke Blue Skies, Harry Stanford langsung menemui Kapten Vacarro. "Ke Corsica*" katanya. "Sekarang."
"Saya baru saja menerima laporan cuaca terakhir, Signor Stanford. Kelihatannya akan ada badai. Mungkin lebih baik kalau kita menunggu sampai?"
"Aku mau berangkat sekarang, Kapten."
Kapten Vacarro tampak bimbang. "Pelayarannya takkan menyenangkan, Sir. Ada libeccio?angin barat daya. Kita akan menghadapi ombak besar dan hujan deras."
"Aku tidak peduli." Pertemuan di Corsica itu akan memecahkan semua masalah yang membelit-nya. Ia berpaling kepada Dmitri. "Aku perlu helikopter yang menjemput kita di Corsica dan membawa kita ke Napoli. Atur semuanya. Gunakan telepon umum di dermaga." "Baik, Sir."
Dmitri Kaminsky kembali turun ke dermaga dan masuk ke boks telepon.
Dua puluh menit kemudian, Blue Skies sudah meninggalkan Porto Cervo.
Bab 4 Ia pengagum Dan Quayle, dan sering menggunakan tokoh itu sebagai tolok ukur.
"Aku tidak peduli apa kata orang tentang Quayle, dia satu-satunya politikus yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral. Keluarga?itulah yang paling penting. Kalau tidak ada nilai-nilai keluarga, keadaan negeri ini pasti lebih buruk lagi dari sekarang. Coba itu, anak-anak muda yang kumpul kebo. Keterlaluan, bukan" Pantas saja kejahatan merajalela. Kalau Dan Quayle sampai mencalonkan diri sebagai presiden, dialah yang akan kupilih." Sayang, pikirnya, ia kehilangan hak suara gara-gara undang-undang yang konyol, tapi ia tetap mendukung Quayle sepenuhnya.
Anaknya empat: Billy, delapan tahun, serta ketiga anak perempuannya?Amy, Clarissa, dan Susan; sepuluh, dua belas, dan empat belas tahun. Mereka anak-anak yang manis, dan ia paling bahagia jika bisa menghabiskan waktu bersama mereka. Akhir pekannya dikhususkan bagi mereka. Ia memanggang hamburger dan sosis untuk mereka*, mengajak me-45
reka ke bioskop atau menonton penandingan football dan membantu mereka mengerjakan PR. Semua anak kecil di sekitar rumah mereka memujanya. Ia pandai memperbaiki sepeda dan mainan, dan sering mengajak anak-anak tetangga berpiknik dengan keluarganya Mereka menjulukinya Papa.
Suatu Sabtu pagi yang cerah, ia duduk di tribun dan menonton penandingan baseball. Cuacanya sangat menyenangkan. Udara hangat, dan awan-awan putih tampak menyerupai gumpalan kapas di langit yang biru. Putranya, Billy, sedang mendapat giliran memukul. Billy kelihatan sangat profesional dan dewasa dengan seragam Little League-nya. Papa didampingi istri dan ketiga anak perempuannya. Ah, nikmatnya hidup, ia berkata dalam hati. Kenapa tidak semua keluarga seperti keluarga kami"
Babak kedelapan sudah hampir berakhir. Kedudukan masih seri. Semua base terisi pemain, dan Billy sudah dua kali gagal memukul bola.
Papa berseru-seru memberi semangat, "Hajar bolanya, Billy f Hajar sampai lewat pagar!"
Billy menunggu lemparan pitcher lawan. Bola dilemparkan rendah dan kencang. Billy mengayunkan tongkat, dan gagal lagi.
Wasit berteriak, "Strike three/"
Babak kedelapan berakhir.
Di antara para orangtua dan penonton lain di tribun ada yang berkesan, ada pula yang bersorak"
sorai. Billy berdiri dengan lesu, dan memperhatikan kedua tim berpindah tempat.
Papa kembali berseru, "Tidak apa-apa, Nak. Masih ada kesempatan!"
Billy berusaha memaksakan senyum.
John Cotton, manajer tim Billy, sudah menantinya. "Kau keluar!" katanya,
"Tapi, Mr. Cotton?"
"Tidak ada tapi-tapi. Cepat, keluar lapangan."
Ayah Billy terbengong-bengong ketika menyaksikan putranya meninggalkan lapangan. Dia tidak boleh begitu, pikirnya. Billy harus dapat kesempatan lagi. Aku perlu bicara dengan Mr. Cotton dan menjelaskan semuanya. Saat itulah telepon selulernya berbunyi. Ia membiarkannya berbunyi empat kali sebelum menyahut. Hanya ada satu orang yang mengetahui nomornya. Dia tahu aku tidak suka diganggu pada hari Minggu, ia menggerutu dalam hati.
Dengan enggan ia menarik antena, menekan tombol, lalu berkata, "Halo?"
Suara yang terdengar pelan berbicara selama beberapa menit. Papa mendengarkannya, sesekali mengangguk. Akhirnya ia menyahut, "Ya. Saya mengerti. Saya akan menanganinya." Ia menyimpan pesawat telepon.
"Ada sesuatu yang tidak beres, Sayang?" tanya istrinya.
"Ya, kelihatannya begitu. AkU diberi tugas untuk akhir pekan. Padahal aku mau membuat barbecue untuk kita semua besok."
Istri Papa meraih tangannya dan berkata penuh kasih sayang, "Jangan pikirkan soal itu. Pekerjaanmu lebih penting."
Tidak sepenting keluargaku, ia membantah dalam hati. Dan Quayle pasti mengerti.
Tangannya mendadak gatal sekali dan ia menggaruknya. Kenapa begitu terus" ia bertanya-tanya. Mungkin besok-besok aku perlu ke dokter kulit.
John Cotton bekerja sebagai asisten manajer di supermarket setempat. Ia berbadan besar, dan berusia lima puluhan. Ia bersedia menjadi pelatih tim Little League karena putranya ikut bermain. Dan sore itu timnya kalah karena Billy.
Supermarket yang dikelolanya sudah tutup, dan John Cotton sedang melintasi pelataran parkir ke mobilnya, ketika ia dihampiri laki-laki yang tak dikenalnya. Laki-laki itu membawa sebuah bungkusan.
"Maaf, Mr. Cotton."
"Ya?" " "Apakah saya bisa bicara sebentar dengan Anda?"
"Toko sudah tutup."
"Oh, bukan soal itu. Saya ingin bicara tentang putra saya. Billy sedih sekali karena Anda menariknya dari pertandingan terakhir, dan memberitahunya bahwa dia takkan "dipasang lagi."
"Billy anak Anda" Saya menyesal dia dipasang
dalam pertandingan itu. Dia takkan pernah menjadi pemain baseball."
Ayah Billy berkata dengan serius, "Anda tidak adil, Mr. Cotton. Saya kenal Billy. Dia pemain yang hebat. Anda lihat saja Sabtu depan, kalau dia?"
"Dia tidak akan dipasang. Titik.-" "Tapi?"
"Tidak ada tapi. Saya takkan berubah pikiran. Nah, kalau tak ada lagi?"
"Oh, ini dia." Ayah Billy membuka bungkusan yang dibawanya, dan memperlihatkan sebuah tongkat baseball. Dengan nada memohon ia berkata, "Ini tongkat yang dipakai Billy. Anda bisa lihat sendiri tongkatnya retak, jadi tidak adil kalau Billy dihukum karena?"
"Begini, Mister, saya tidak mau tahu tentang tongkat itu. Pokoknya, anak Anda tidak akan saya pasang lagi!"
Ayah Billy menarik napas panjang. "Anda yakin Anda takkan berubah pikiran?"
"Saya sudah ambil keputusan, dan saya takkan menariknya kembali."
Ketika Cotton hendak meraih gagang pintu mobilnya, ayah Billy mengayunkan tongkat dan menghantam kaca belakang sampai pecah berantukan.
Cotton menatapnya dengan terbengong-bengong. "A,., apa-apaan ini?"
"Pemanasan," ayah Billy menjelaskan. Ia kembali mengayunkan tongkat Kali ini ia mengincar tempurung lutut Cotton.
John Cotton menjerit. Ia jatuh ke aspal dan menggeliat-geliut kesakitan. "Anda gila!" teriaknya. "Tolong!"
Ayah Billy berlutut di sampingnya dan berkata pelan-pelan, "Sekali lagi Anda berteriak, dan lutut Anda yang satu lagi juga akan remuk."
Cotton membelalakkan mata, ngeri.
"Kalau anak saya tidak dipasang dalam pertandingan Sabtu depan, saya akan membunuh Anda dan putra Anda. Mengerti?"
Cotton menatap mata pria itu dan mengangguk sambil menahan sakit.
"Bagus. Oh, dan sebaiknya Anda jangan cerita kepada siapa pun. Saya punya banyak teman." Ia menatap arlojinya. Masih ada waktu untuk naik pesawat berikut ke Boston.
Tangannya mulai gatal lagi.
Pukul tujuh pagi pada hari Minggu, ia berjalan melewati Vendome, melintasi Copley Square, lalu membelok ke Stuart Street. Ia mengenakan setelan jas dengan rompi, dan membawa tas kerja mahal yang terbuat dari kulit. Setengah blok sesudah Park Plaza Castle, ia masuk ke Boston Trust Building dan menghampiri penjaga yang sedang bertugas. Ada belasan perusahaan yang menyewa ruang kantor di gedung besar itu, sehingga bisa dipastikan penjaga di meja resepsionis takkan mengingat tampangnya.
"Selamat pagi," pria itu berkata.
"Selamat pagi, Sir. Ada yang bisa saya bantu?"
Pria itu menghela napas. "Tuhan pun tak dapat membantu saya. Atasan menyangka saya senang menghabiskan hari Minggu dengan melakukan pekerjaan yang seharusnya dikerjakan orang lain."
Si penjaga mengangguk-angguk. "Saya tahu maksud Anda." Ia menyodorkan buku tamu. "Harap diisi dulu, Sir."
Pria itu menuliskan namanya, lalu menghampiri deretan lift. Kantor yang dicarinya terletak di lantai lima. Ia naik sampai lantai enam, turun satu lantai lewat tangga, lalu berjalan menyusuri koridor. Tulisan pada pintu itu berbunyi, RENQUIST, RENQUIST & FITZGERALD, PENGACARA. Ia memandang ke kiri-kanan untuk memastikan tak ada orang lain, kemudian membuka tas kerjanya dan mengambil sepotong kawat. Dalam waktu kurang dari lima detik ia telah berhasil membuka pintu yang terkunci itu. Ia melangkah masuk dan menutup pintu di belakangnya.
Ruang penerima tamu ditata dengan gaya konservatif, seperti layaknya mang penerima tamu salah satu kantor pengacara terkemuka di Boston. Pria itu berhenti sejenak dan memandang berkeliling. Kemudian ia menuju bagian belakang kantor, ke ruang arsip. Di dalam mangan itu terdapat sejumlah lemari arsip yang terbuat dari besi. Setiap lemari diberi tanda berdasarkan urutan abjad.
Ia mencoba membuka lemari R-S, tapi ternyata terkunci.
Ia kembali membuka tas kerja dan mengambil anak kunci tanpa gerigi, kikir, serta tang. Anak kunci itu ditancapkannya ke lubang kunci lemari, lalu diputar pelan-pelan ke kiri-kanan. Kemudian ia mencabutnya kembali dan mengamati sejumlah titik berwarna hitam. Sambil memegang anak kunci itu dengan tang, ia mengikir titik-titik hitam sampai habis. Sekali lagi ia menancapkan anak kunci, lalu mengulangi prosedur tersebut. Ia bersenandung pelan sambil bekerja, dan ia tersenyum ketika menyadari lagu apa yang disenandungkan-nya. Far Away Places.
Keluargaku akan kubawa berlibur, pikirnya riang. Berlibur sungguhan. Anak-anak pasti senang kalau diajak ke Hawaii.
Akhirnya ia berhasil membuka lemari arsip. Dalam sekejap ia telah menemukan map yang dicarinya. Ia mengeluarkan kamera saku Pentax dari tas kerja dan mulai bekerja. Sepuluh menit kemudian pekerjaannya sudah rampung. Ia mengambil beberapa lembar tisu dari tas kerjanya, menghampiri dispenser air minum, dan membasahi semua tisu. Lalu ia kembali ke ruang arsip dan membersihkan serpihan-serpihan logam yang berserakan di lantai. Ia mengunci lemari arsip, keluar ke koridor, mengunci pintu kantor, dan meninggalkan gedung.
Bab 5 MALAM itu, di laut lepas, Kapten Vacarro mendatangi kabin Harry Stanford.
"Signor Stanford?"
"Ya?" Si nakhoda menunjuk peta elektronis di dinding. "Saya kuatir angin akan bertambah kencang. Libeccio berpusat di Selat Bonifacio. Saya sarankan kita mencari perlindungan di salah satu pelabuhan sampai?"
Stanford langsung memotong, "Blue Skies kapal yang tangguh, dan kau nakhoda berpengalaman. Aku yakin kau sanggup mengatasi hambatan ini."
Kapten Vacarro tampak bimbang. "Kalau itu kehendak Anda, Sir. Saya akan berusaha sebaik mungkin."
"Aku percaya kau takkan mengecewakanku, Kapten."
Harry Stanford duduk di mang kerja sMife-nya sambil menyusun strategi. Ia akan bertemu Rene" di
Corsica dan meluruskan semua masalah. Setelah itu, helikopter sewaan akan menerbangkannya ke Napoli, dan dari sana ia" akan mencarter pesawat untuk membawanya ke Boston. Semuanya akan beres, ia berkata dalam hati. Yang kubutuhkan hanya 48 jam. Hanya 48 jam.
Pukul dua dini hari ia terbangun karena kapalnya terombang-ambing dihantam ombak, sementara angin di luar menderu-dera. Stanford sudah beberapa kali terperangkap badai, tapi badai inilah yang paling hebat. Ramalan Kapten Vacarro terbukti benar. Harry Stanford turun dari tempat tidur, dan menghampiri peta di dinding sambil berpegangan untuk menjaga keseimbangan. Kapalnya ternyata telah memasuki Selat Bonifacio. Beberapa jam lagi kita akan tiba di Ajaccio, pikirnya. Kita akan aman setelah sampai di sana.
Apa yang terjadi malam itu takkan pernah diketahui dengan pasti. Kertas-kertas yang bertebaran di teras menunjukkan bahwa ada kertas-kertas lain yang sempat terbawa angin kencang, dan Harry Stanford berusaha meraih kertas-kertas tersebut, tapi karena kapalnya oleng, ia kehilangan keseimbangan dan tercebur ke laut. Dmitri Kaminsky melihatnya jatuh ke air dan segera menyambar pesawat interkom. "Orang tercebur!"
Bab 6 CAPITAINE FRANCOIS DURER, chef de police di Corsica, sedang kesal. Pulaunya dibanjiri turis-turis tolol yang tidak mampu menjaga paspor, dompet, maupun anak-anak mereka. Sejak pagi keluhan-keluhan mengalir tanpa henti ke markas polisi di 2 Cours NapolSon di dekat Rue Sergent Casalonga.
"Dompet saya dijambret"."
"Saya ketinggalan kapal, padahal istri saya sudah naik"."
"Arloji ini saya beli dari seseorang di jalan, tapi ternyata tak ada isinya"."
"Obat yang saya perlukan tidak dijual di sini"."
Masalah, masalah, masalah.
Dan sekarang tampaknya sang capitaine juga harus mengurus mayat seseorang yang mati tenggelam.
"Ah, saya tidak punya waktu sekarang," ia berkata dengan ketus.
"Tapi mereka sudah menunggu di luar," ujar
asistennya. "Apa yang harus saya katakan pada mereka?"
Pikiran Capitaine Durer sudah berada bersama kekasih gelapnya. Hampir saja ia berkata-, "Bawa saja mayat itu ke pulau lain," tapi bagaimanapun juga, ia tetap kepala dinas kepolisian di pulau itu.
"Baiklah." Ia menghela napas. "Saya akan menemui mereka. Tapi sebentar saja."
Sesaat kemudian, Kapten Vacarro dan Dmitri Kaminsky dipersilakan masuk ke ruang kerjanya.
"Duduklah," ujar Capitaine Durer, tanpa merasa perlu bersikap ramah. Kedua pria itu menarik kursi. _ "Coba ceritakan kejadian itu setepat-tepatnya." Kapten Vacarro menyahut, "Saya tidak tahu persis. Saya tidak melihat kejadiannya?" Ia berpaling kepada Dmitri Kaminsky. "Rekan saya ini menyaksikan semuanya. Barangkali lebih baik kalau dia saja yang menjelaskannya."
Dmitri menarik napas panjang. "Peristiwanya sangat mengenaskan. Saya bekerja untuk orang itu." "Sebagai apa?"
"Pengawal, tukang pijat, pengemudi. Yacht kami dihantam badai semalam. Cuacanya buruk sekali. Dia minta saya memijatnya. Selesai dipijat, dia minta diambilkan pil tidur dari kamar mandi. Waktu saya kembali, dia sedang berdiri di teras, di pagar. Kapal kami terombang-ambing. Dia memegang beberapa lembar kertas. Salah satunya terbang terbawa angin. Dia langsung berusaha meraihnya, tapi kehilangan keseimbangan dari tercebur ke laut. Saya langsung berlari untuk menyelamatkannya, tapi tak ada yang dapat saya lakukan. Lalu saya panggil bantuan. Kapten Vacarro segera menghentikan kapal, dan berkat usaha sang kapten yang gagah berani, kami berhasil menemukannya. Namun terlambat. Dia sudah tenggelam."
"Saya turut berdukacita." Sekadar basa-basi. Sesungguhnya Capitaine Durer tidak peduli sedikit pun.
Kapten Vacarro angkat bicara, "Kami beruntung. Angin dan aruslah yang membawa mayatnya kembali ke kapal. Tapi sekarang kami memerlukan izin untuk membawa jenazah almarhum pulang."
"Saya kira tidak ada masalah." Masih ada waktu untuk bersantai sejenak bersama pacar gelapnya sebelum pulang. "Saya akan segera menyiapkan surat kematian serta visa keluar." Capitaine Durer meraih selembar kertas kuning. "Nama almarhum?"
"Harry Stanford."
Capitaine Durer mendadak terdiam. Ia menoleh. "Harry Stanford?" "Ya."
"Harry Stanford yang ituT "Ya."
Dan seketika masa depan Capitaine Durer menjadi jauh lebih cerah. Ia serasa memperoleh berkah dari para dewa. Harry Stanford merupakan legenda internasional! Berita kematiannya akan bergema ke seluruh dunia, dan ia, Capitaine Durer, memegang
57 kendali atas situasi tersebut. Pertanyaan yang segera terlintas dalam benaknya adalah bagaimana situasi ini dapat dimanipulasi agar ia memperoleh manfaat sebesar mungkin. Durer termangu-mangu. Ia mulai memutar otak.
"Kapan jenazahnya bisa diserahkan kepada kami?" Kapten Vacarro bertanya.
Durer menoleh. "Ah. Itu pertanyaan bagus." Seberapa cepat pers bisa datang ke sini" Perlukah kapten kapal ini ikut ambil bagian dalam wawancara" Tuiak perlu. Kenapa aku harus membagi kesempatan ini dengan orang lain" Biar kutangdni sendiri saja. "Banyak sekali yang harus diurus dulu," ia berkata dengan nada menyesal. "Surat-surat yang hams disiapkan?" Ia menghela napas. "Mungkin seminggu atau lebih."
Kapten Vacarro tampak terkejut. "Seminggu atau lebih" Tapi Anda bilang?"
"Ada prosedur resmi yang harus dipenuhi," Durer menandaskan. "Urusan seperti ini tidak bisa dikerjakan terburu-buru." Ia kembali meraih kertas. "Siapa keluarga terdekat almarhum?"
Kapten Vacarro menatap Dmitri seakan-akan minta bantuan.
"Sebaiknya Anda menghubungi pengacaranya di Boston," si pengawal berkata. "Nama kantor pengacaranya?" "Renquist, Renquist, dan Fitzgerald."
Bab 7 PAPAN nama di pintu depan memang bertulisan RENQUIST, RENQUIST & FITZGERALD, namun sesungguhnya kedua Renquist itu sudah lama meninggal. Simon Fitzgerald masih hidup, dan pada usia 76 tahun, ia tetap merupakan motor penggerak di biro hukum yang mempekerjakan enam puluh pengacara itu. Badannya kuras kering. Rambutnya yang putih masih tebal, dan dibiarkan tumbuh panjang. Sikap tubuhnya tegak, seperti layaknya perwira. Saat ini ia sedang berjalan mondar-mandir, sementara berbagai pikiran berkecamuk dalam benaknya.
Ia berhenti di depan sekretarisnya. "Ketika Mr. Stanford menelepon, dia tidak mengatakan masalah apa yang demikian mendesak, sehingga aku harus segera menemuinya?"
"Tidak, Sir. Mr. Stanford hanya berpesan bahwa dia menunggu Anda di ramahnya pukul sembilan pagi pada hari Senin. Dia juga minta Anda membawa notaris dan salinan surat wasiatnya."
"Terima kasih. Coba panggil Mr. Sloane ke sini."
Steve Sloane pengacara yang lihai dan inovatif lulusan Harvard Law School. Usianya empat puluhan. Ia berperawakan tinggi langsing, dengan rambut pirang, mata biru, dan sikap yang santai namun berwibawa. Ia bertugas sebagai trouble-shooter & biro hukum itu, dan merupakan pilihan Simon Fitzgerald untuk menggantikannya kelak. Kalau saja aku punya anak laki-laki, pikir Fitzgerald, aku ingin dia seperti Steve. Ia menoleh ketika Steve Sloane memasuki ruang kerjanya.
"Seharusnya kau masih memancing salmon di Newfoundland," ujar Steve.
"Ada urusan mendadak. Duduklah, Steve. Kita ada masalah." Steve menghela napas. "Seperti biasa." "Ini menyangkut Harry Stanford." Harry Stanford termasuk klien mereka yang paling bergengsi. Setengah lusin kantor pengacara lain menangani berbagai anak perusahaan Stanford Enterprises, tapi urusan pribadi Stanford ditangani oleh Renquist, Renquist & Fitzgerald. Dari sekian banyak pengacara di biro hukum tersebut, hanya Fitzgerald yang pernah berjumpa dengan Stanford, namun Stanford telah menjadi legenda di sana.
"Apa lagi yang dilakukannya sekarang?" tanya Steve.
t tewas." Steve tampak terkejut. "Dia apaV
"Aku bam saja menerima fax dari kepolisian Prancis di Corsica. Rupanya Stanford terjatuh dari yacht-nya dan tenggelam kemarin."
"Ya Tuhan!" "Kau belum pernah bertemu dia, tapi aku telah mewakilinya selama lebih dari tiga puluh tahun. Orangnya sulit." Fitzgerald bersandar di kursinya, mengenang masa lalu. "Sesungguhnya ada dua sosok Harry Stanford?sosok publik yang sanggup memikat burung-burung di pohon uang, dan si bajingan yang gemar menghancurkan orang. Dia pandai merayu, tapi dia pun mampu mematuk bagaikan ular kobra. Dia berkepribadian ganda? dia pawang ular sekaligus ularnya."
"Sepertinya menarik juga."
"Kira-kira tiga puluh tahun lalu?tepatnya, 31 tahun lalu?aku bergabung dengan biro hukum ini. Waktu itu urusan Stanford ditangani oleh Renquist sendiri. Dari pertama Stanford sudah menyerupai raksasa di antara orang-orang biasa. Pengarang mana pun takkan sanggup menciptakan tokoh seperti dia. Energi dan ambisinya luar biasa. Dia atlet yang hebat. Ketika masih di perguruan tinggi, dia dikenal sebagai petinju dan pemain polo peringkat sepuluh gol. Tapi saat itu pun perangainya sudah minta ampun. Di antara semua orang yang pernah kukenal, dialah satu-satunya yang sama sekali tidak memiliki perasaan. Dia sadis dan kejam, dan nalurinya bagaikan naluri burung nazar.Dia gemar mendorong para pesaingnya ke jurang kebangkrutan. Kabarnya ada lebih dari satu orang yang bunuh diri akibat ulahnya."
"Kedengarannya seperti monster."
"Di satu pihak, ya. Di pihak lain, dia mendirikan rumah yatim-piatu di Papua Nugini dan rumah sakit di Bombay, dan menyumbangkan jutaan dolar kepada lembaga-lembaga amal?secara anonim. Tak seorang pun sanggup meramalkan langkah berikutnya."
"Dari mana dia memperoleh semua hartanya?"
"Kau menguasai mitologi Yunani?"
"Aku lupa-lupa ingat"
"Pernah mendengar kisah Oedipus?"
Steve mengangguk. "Dia membunuh ayahnya untuk mendapatkan ibunya."
"Betul. Begitu pula Harry Stanford. Hanya saja dia membunuh ayahnya untuk memperoleh suara ibunya."
Steve terheran-heran. "Maksudnya?"
Fitzgerald mencondongkan badan ke depan. "Di awal tahun tiga puluhan, ayah Harry membuka toko bahan makanan di sini, di Boston. Usahanya ternyata berjalan lancar, sehingga dia membuka toko kedua, dan dalam waktu tidak terlalu lama dia telah berhasil mengembangkan jaringan toko. Ketika Harry selesai kuliah, dia diangkat ayahnya sebagai rekan dan ditempatkan di dewan pimpinan. Seperti yang sudah kukatakan tadi, Harry sangat ambisius. Angan-angannya setinggi langit. Dia ingin membeli tanah
dan melebarkan sayap ke bidang pertanian, peternakan, dan pengalengan, agar perusahaan mereka tidak tergantung pada para pemasok daging dan sayur-mayur, dan dapat mengemas sendiri hasil produksi mereka. Ayahnya tidak setuju, dan mereka sering bertengkar.
"Kemudian Harry memperoleh gagasannya yang paling cemerlang. Dia menyarankan ayahnya membangun jaringan supermarket yang menjual segala sesuatu mulai dari mobil, perabot, sampai ke asuransi jiwa, dengan diskon, dan mengenakan iuran anggota kepada para pelanggan. Ayah Harry menampik gagasan itu sebagai ide gila dan menolaknya mentah-mentah. Tapi Harry tidak menyerah. Dia memutuskan sudah saatnya ayahnya disingkirkan. Dia membujuknya mengambil cuti panjang, dan sementara ayahnya berlibur, dia mulai mempengaruhi dewan pimpinan.
"Dia amat pandai meyakinkan orang, dan gagasannya pun diterima dengan baik. Dia membujuk bibi dan pamannya, yang juga duduk dalam dewan pimpinan, untuk memberikan suara mereka padanya. Dia merayu para anggota dewan yang lain. Dia mengajak mereka bersantap siang, ikut berburu rubah dengan yang satu, bermain golf dengan yang lain. Dia berselingkuh dengan istri salah satu anggota dewan yang mempunyai pengaruh besar terhadap suaminya. Namun ibunyalah pemegang saham terbesar, dan dengan demikian juga memegang suara
yang menentukan. Harry berhasil membujuk ibunya untuk menentang suaminya sendiri." "Astaga!"
"Ketika ayah Harry kembali, dia ternyata telah diberhentikan sebagai pemimpin perusahaan berdasarkan hasil pemungutan suara para pemegang saham."
"Ya Tuhan!" "Masih ada lagi. Harry rupanya belum puas. Ketika ayahnya ingin masuk ke kantornya sendiri, dia diberitahu bahwa dia dilarang memasuki gedung. Dan jangan lupa, saat itu Harry baru berusia tiga puluhan. Di kalangan pegawainya, dia dikenal dengan julukan Manusia Es. Tapi satu hal harus diakui, Steve. Dia berhasil membangun Stanford Enterprises menjadi salah satu konglomerat terbesar di dunia. Dia melebarkan sayap ke industri perkayuan, kimia, komunikasi, dan elektronika, dan aset berupa real estate pun semakin menumpuk. Dan seluruh saham berada di tangannya."
"Dia pasti pria yang luar biasa semasa hidupnya," Steve berkomentar.
"Memang. Dia membuat semua orang terkagum-kagum?termasuk kaum wanita." "Apakah dia pernah menikah?" Simon Fitzgerald terdiam agak lama, mengenang masa lampau. Ketika akhirnya angkat bicara lagi, dia berkata, "Harry Stanford menikah dengan salah satu wanita paling cantik yang pernah kulihat. Emily Temple. Mereka dikaruniai tiga anak,
dua laki-laki dan satu perempuan. Emily Temple berasal dari keluarga sangat terpandang di Hobe Sound, Florida. Dia memuja Harry, dan berusaha menutup mata terhadap penyelewengan suaminya, tapi suatu hari dia tidak tahan lagi. Emily mempunyai pengasuh untuk ketiga anaknya, seorang wanita bernama Rosemary Nelson. Dia masih muda, dan menawan. Sejak pertama Harry Stanford sudah tertarik padanya, dan dia semakin penasaran karena wanita itu ternyata tidak mau diajak terselingkuh. Dia tidak biasa ditolak. Hmm, kalau Harry sudah mulai merayu, tak ada yang sanggup menolak. Akhirnya dia berhasil membawa Rosemary ke ranjang. Wanita itu hamil, lalu menemui dokter. Malang baginya, menantu dokter tersebut penulis kolom. Berita itu tercium olehnya, lalu disebarluaskan melalui tulisannya, sehingga timbul skandal yang menggemparkan seluruh Boston. Semua koran meliput skandal itu. Aku masih menyimpan kliping berisi berbagai artikel."
"Wanita itu menggugurkan kandungannya?"
Fitzgerald menggelengkan kepala. "Tidak. Harry memaksanya menjalani aborsi, tapi dia menolak. Mereka lalu bertengkar hebat. Harry berkata bahwa dia mencintainya dan akan menikahinya. Tentu saja kata-kata itu sudah pernah diucapkannya kepada lusinan wanita lain. Tapi Emily mendengar percakapan mereka, dan malam itu juga dia bunuh diri."
"Mengerikan. Bagaimana nasib si pengasuh?"
"Rosemary Nelson menghilang. Kita tahu dia melahirkan bayi perempuan bernama Julia di St. Joseph"s Hospital di Milwaukee. Dia sempat mengirim surat kepada Stanford, tapi rasanya surat itu tak pernah dibalas. Saat itu Stanford sudah menemukan wanita lain, dan tak lagi tertarik pada Enrily." "Keterlaluan?"
Tragedi sesungguhnya baru terjadi kemudian. Ketiga anak Stanford tentu saja menyalahkan ayah mereka atas kematian ibu mereka. Saat itu usia mereka sepuluh, dua belas, dan empat belas tahun. Sudah cukup besar untuk merasakan kepedihan, tapi masih terlalu kecil untuk melawan ayah mereka. Mereka benci padanya, Dan Harry paling takut apabila suatu hari dia akan mengalami nasib sama seperti ayahnya, yaitu dijatuhkan oleh darah dagingnya sendiri. Karena itu dia berusaha sekuat tenaga untuk memastikan hal tersebut takkan terjadi. Dia mengirim mereka ke sekolah asrama yang berbeda-beda, dan mengatur agar mereka bertemu sesedikit mungkin. Mereka tak pernah menerima uang darinya. Mereka hidup dari warisan yang ditinggalkan ibu mereka. Sejak awal Harry menggunakan metode umpan dalam menghadapi anak-anaknya. Dia menyodorkan hartanya sebagai umpan, lalu menariknya kembali jika ada sesuatu yang tidak berkenan di hatinya"
"Di mana anak-anaknya sekarang?"
"Tyler hakim keliling di Chicago. Woodrow
menganggur. Dia playboy. Dia tinggal di Hobe Sound dan mencari nafkah dengan melakukan taruhan di lapangan golf dan polo. Beberapa tahun yang lalu dia bermain-main dengan pelayan restoran, menghamilinya, dan secara tak terduga memutuskan untuk menikahinya. Semua orang tentu saja terkejut. Kendali perancang busana yang berhasil. Dia menikah dengan orang Prancis, dan tinggal di New York." Fitzgerald berdiri. "Steve, kau sudah pernah ke Corsica?" "Belum."
"Aku minta kau terbang ke sana. Jenazah Harry Stanford ditahan di sana, dan polisi setempat menolak untuk melepaskannya. Kau harus membereskan masalah ini."
"Baiklah." "Kalau kau bisa berangkat hari ini juga?" "Oke. Biar kuatur semuanya." "Terima kasih."
Dalam pesawat Air France yang melayani rute penerbangan Paris-Corsica, Steve Sloane mempelajari buku panduan wisata mengenai pulau itu. Ia membaca bahwa sebagian besar Corsica berbukit-bukit, kota pelabuhan utamanya bernama Ajaccio, dan pulau tersebut merupakan tempat kelahiran Napoleon Bonaparte. Buku panduannya penuh statistik yang menarik, tapi Steve tidak menyangka bahwa pulau yang didatanginya ternyata demikian menawan. Ketika pesawatnya mendekati Corsica,
jauh di bawahnya ia melihat dinding karang putih yang menyerupai White Cliffs of Dover. Pemandangannya menakjubkan.
Pesawat itu mendarat di bandara Ajaccio, dan Steve lalu naik taksi ke Cours Napoleon, jalan utama yang membentang dari Place General-de-Gaulle sampai ke stasiun kereta api di utara. Steve telah menyiapkan pesawat untuk membawa jenazah Harry Stanford ke Paris, tempat peti jenazahnya akan dipindahkan ke pesawat dengan tujuan Boston. Ia tinggal mengurus surat izin pelepasan jenazah.
Steve minta diantar ke gedung Prefecture di Cours Napoleon. Ia menaiki tangga ke lantai dua, dan masuk ke ruang tunggu. Petugas berseragam berpangkat sersan duduk di balik meja.
"Bonjour. Puis-je vous aider?"
"Siapa komandan di sini?"


Pagi Siang Dan Malam Morning Noon Night Karya Sidney Sheldon di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Capitaine Durer."
"Saya ingin bertemu dengannya."
"Dan dengan sehubungan apa?" Sersan itu tampak bangga karena dapat berbahasa Inggris.
Steve mengeluarkan kartu nama. "Saya pengacara Harry Stanford. Saya datang ke sini untuk membawa jenazahnya pulang ke Amerika."
Si sersan mengerutkan kening. "Sebentar tunggu." Ia masuk ke ruang kerja Capitaine Durer, lalu segera menutup pintu. Ruang kerja itu penuh sesak, dipadati wartawan TV dan jaringan berita dari
68 seluruh penjuru dunia. Sepertinya semua orang berbicara secara bersamaan.
"Capitaine, kenapa dia berlayar di tengah badai ketika?""
"Bagaimana dia bisa terjatuh dari kapal di tengah-tengah?""
"Apakah ada unsur kesengajaan?"
"Anda sudah melakukan autopsi?"
"Siapa lagi yang berada di kapal bersama?""
"Sabar, Tuan-tuan." Capitaine Durer mengangkat tangan. "Satu per satu. Satu per satu." Ia memandang berkeliling dan mengamati para wartawan yang tak ingin kehilangan sepatah kata pun. Hatinya berbunga-bunga. Sudah lama ia mengangan-angankan kesempatan seperti ini. Kalau ini kutangani dengan benar, aku bakal naik pangkat dan"
Suara si sersan membuyarkan lamunannya. "Capitaine?" Petugas itu berbisik ke telinga Capitaine Durer, lalu menyerahkan kartu nama Steve Sloane.
Capitaine Durer menatapnya sejenak dan mengerutkan kening. "Saya tidak punya waktu seka-, rang," ia berkata dengan ketus. "Suruh dia kembali besok, pukul sepuluh."
"Baik, Sir." Capitaine Durer memperhatikan sersan itu meninggalkan ruangan. Ia tidak rela membiarkan saat kejayaannya diganggu oleh siapa pun juga. Sambil tersenyum ia kembali berpaling kepada para wartawan. "Nah, apa lagi yang ingin Anda ketahui?""
Di ruang tunggu, sersan tadi. sedang berkata
69 kepada Sloahe, "Saya menyesal, tapi Capitaine Durer sedang sangat sibuk seketika. Beliau minta Anda mengantar diri ke sini besok pagi pukul sepuluh."
Steve Sloane menatapnya dengan heran. "Besok pagi" Ini tidak masuk akal?saya tidak mau menunggu selama itu."
Si sersan angkat bahu. "Itu terserah Anda, Monsieur."
Steve mengeratkan kening. "Baiklah. Saya belum memesan kamar hotel. Ada hotel yang bisa Anda rekomendasikan?"
"Mais om. Dengan senang hati saya beri rekomendasi Colomba, Avenue de Paris Nomor delapan."
Steve menunggu sejenak. "Barangkali ada jalan lain untuk?""
"Besok pagi pukul sepuluh."
Steve membalik dan meninggalkan kantor polisi.
Sementara itu, di ruang kerja Durer, sang capitaine masih asyik melayani para wartawan.
Seorang wartawan TV bertanya, "Bagaimana Anda bisa yakin dia meninggal karena kecelakaan?"
Durer menatap lensa kamera. "Kebetulan ada saksi mata yang melihat kejadian mengenaskan tersebut. Kabin Monsieur Stanford dilengkapi teras terbuka. Rupanya ada berkas penting yang terlepas dari tangannya, lalu terbawa angin ke teras. Monsieur Stanford segera berusaha meraih berkas itu.
Tapi ketika menjulurkan tangan, dia kehilangan
keseimbangan dan tercebur ke laut. Pengawalnya melihat kejadian itu dan segera memanggil bantuan. Kapalnya berhenti, dan
Monsieur Stanford berhasil diangkat. Sayang sekali dalam keadaan tak bernyawa."
"Bagaimana hasil autopsinya?"
"Tuan-tuan, Corsica hanya pulau kecil. Peralatan kami tidak memadai untuk melakukan autopsi penuh. Namun, petugas pemeriksa jenazah melaporkan korban tewas karena tenggelam. Kami menemukan air laut di dalam paru-parunya. Tak ada luka maupun tanda-tanda kekerasan."
"Di mana jenazahnya sekarang?"
"Untuk sementara kami menyimpannya di ruang pendingin. Kami masih menunggu surat izin untuk menyerahkannya kepada pihak keluarga."
Salah satu juru foto berkata, "Anda keberatan kalau kami mengambil foto Anda, Capitaine?"
Capitaine Durer diam sejenak. Kemudian ia menjawab, "Tidak. Silakan lakukan tugas Anda."
Dan kamera-kamera pun dibidikkan.
Colomba hotel yang sederhana tapi rapi dan bersih, dan kamarnya cukup memuaskan. Tindakan Steve yang pertama adalah menghubungi Simon Fitzgerald.
"Aku kuatir ini akan makan waktu lebih lama dari yang kuperkirakan," ia melaporkan. "Apa masalahnya?"
71 "Birokrasi. Aku akan menemui komandan yang bertugas besok pagi dan mencoba membereskannya. Kuharap siangnya aku sudah dapat kembali ke Boston."
"Bagus sekali, Steve. Kita bicara lagi besok."
Ia makan siang di La Fontana di Rue Notre Dame, dan untuk mengisi waktu luang, mulai menjelajahi kota.
Ajaccio merupakan kota Laut Tengah bersuasana semarak, yang masih membanggakan diri sebagai tempat kelahiran Napoleon Bonaparte. Harry Stanford pasti betah di sini, pikir Steve.
Saat itu sedang musim turis di Corsica, dan semua jalan dipadati orang-orang yang berceloteh dalam bahasa Prancis, Italia, Jerman, dan Jepang.
Pada malam hari Steve memesan makanan Italia di Le Boccaccio, lalu kembali ke hotelnya.
"Ada pesan untuk saya?" ia bertanya pada petugas yang menyerahkan kunci kamarnya.
"Tidak, Monsieur."
Ia merebahkan diri di tempat tidur. Ucapan Simon Fitzgerald mengenai Harry Stanford kembali terngiang-ngiang di telinganya.
"Wanita itu menggugurkan kandungannya?"
"Tidak. Harry memaksanya menjalani aborsi, tapi dia menolak. Mereka lalu bertengkar hebat. Harry berkata bahwa ala mencintainya dan akan menikahinya. Tentu saja kata-kata itu sudah pernah diucapkannya kepada lusinan wanita lain.
Tapi Emily mendengar percakapan mereka, dan malam itu juga dia bunuh diri."
Steve bertanya-tanya bagaimana Emily mengakhiri hidupnya.
Akhirnya ia tertidur. Pukul sepuluh keesokan paginya, Steve Sloane kembali mendatangi Prefecture. Ia diterima oleh sersan yang sama seperti kemarin.
"Selamat pagi," Steve menyapanya.
"Bonjour, Monsieur. Apa yang bisa saya tolong untuk membantu Anda?"
Sekali lagi Steve menyerahkan kartu nama kepada sersan itu. "Saya ingin bertemu Capitaine Durer."
"Sebentar." Si sersan berdiri, masuk ke ruang kerja atasannya, lalu menutup pintu.
Capitaine Durer, dengan seragam baru yang mengesankan, sedang diwawancarai oleh kru TV RAI dari Italia. Ia menatap kamera. "Hal pertama yang saya kerjakan setelah menerima kasus ini adalah memastikan bahwa tidak ada unsur-unsur kesengajaan dalam kematian Monsieur Stanford."
Wartawan yang mewawancarainya bertanya, "Dan penyidikan Anda menunjukkan bahwa memang demikian halnya, Capitaine?"
"Ya. Kejadian yang menimpa Monsieur Stanford semata-semata kecelakaan tragis."
Si pengarah acara berkata, "Bene. Sekarang kita ambil dari sudut lain, gambar close-up"
Si sersan memanfaatkan kesempatan ini untuk menyerahkan kartu nama Sloane kepada Capitaine Durer. "Dia ada di luar."
"Kau tidak punya mata?" Durer menggeram. "Kau tidak lihat saya lagi sibuk" Suruh dia kembali besok." Ia baru saja menerima kabar bahwa ada lusinan wartawan yang sedang dalam perjalanan ke Corsica, antara lain dari tempat-tempat sejauh Rusia dan Afrika Selatan. "Demean." "Out"
"Siap, Capitaine?" si pengarah acara bertanya. Capitaine Durer tersenyum. "Siap." Si sersan kembali ke ruang tunggu. "Maaf, Monsieur. Capitaine Durer tidak tersedia hari ini."
Kesabaran Steve telah sampai ke batas minimal. "Pak Capitaine tinggal menandatangani surat izin untuk membawa jenazah Mr. Stanford," ia berkata dengan gusar. "Itu tidak terlalu sulit, bukan?"
"Saya kira tidak mungkin. Pak Capitaine banyak sibuk, dan?"
"Apakah ada orang lain yang bisa mengeluarkan surat izin itu?"
"Oh, tidak ada, Monsieur. Ini harus Pak Capitaine sendiri."
Steve Sloane memaksakan diri untuk tetap tenang. "Kapan saya bisa menemui dia?" "Anda bisa coba lagi besok pagi." Ungkapan coba lagi seakan-akan menusuk telinga Steve. "Baiklah," katanya. "Oh ya, saya dengar ada saksi mata yang melihat kecelakaan itu?
pengawal pribadi Mr. Stanford, seseorang bernama Dmitri Kaminsky." "Ya."
"Saya ingin bicara dengan dia. Barangkali Anda tahu di mana dia tinggal." "Australia." "Itu nama hotel?"
"Bukan, Monsieur." Suara si sersan bernada iba. "Ini nama negara."
Suara Steve langsung meninggi. "Maksud Anda, satu-satunya orang yang melihat kematian Mr. Stanford diizinkan pergi oleh polisi sebelum diinterogasi?"
"Dia sudah dimintai keterangan oleh Capitaine Durer."
Steve menarik napas panjang. "Terima kasih." "Sama-sama, Monsieur."
Ketika Steve kembali ke hotel, ia langsung melapor kepada Simon Fitzgerald.
"Kelihatannya aku terpaksa menginap semalam lagi di sini."
"Ada apa, Steve?"
"Orang yang menangani kasus kita rupanya sibuk sekali. Sekarang lagi musim turis. Mungkin dia kewalahan mencari dompet-dompet yang hilang. Tapi mestinya besok aku sudah bisa pulang."
"Tolong kirim kabar tentang perkembangan selanjutnya."
Meskipun sedang jengkel, Steve tetap dibuat terpesona oleh keindahan Pulau Corsica. Panjang garis pantainya hampir seribu mil, dan gunung-gunung granit yang menjulang tinggi diselubungi salju sampai pertengahan musim panas. Corsica berada di bawah kekuasaan Italia sampai diambil alih oleh Prancis, dan perpaduan kedua kebudayaan itu sungguh memukau.
Ketika sedang makan malam di Creperie U San Carlu, ia teringat komentar Simon Fitzgerald mengenai Harry Stanford. "Di antara semua orang yang pernah kukenal, dialah satu-satunya yang sama sekali tidak memiliki perasaan" dia sadis dan kejam."
Hmm, setelah mati pun Harry Stanford masih sanggup menyusahkan orang, pikir Steve.
Dalam perjalanan pulang ke hotel, Steve berhenti di kios koran dan mengambil International Herald Tribune. Judul utamanya berbunyi: BAGAIMANA NASIB KERAJAAN STANFORD" Ia segera membayar dan sudah hendak berbalik, ketika melihat judul utama sejumlah harian asing lainnya. Ia meraih koran-koran itu dan mengamati semuanya dengan saksama: Ia tercengang. Setiap koran menampilkan berita mengenai kematian Harry Stanford pada halaman pertama, dan semuanya dilengkapi foto Capitaine Durer, yang tampak berseri-seri. Pantas saja "ia begitu sibuk! Hmm, kita lihat saja nanti.
kul 09.45 keesokan paginya, Steve kembali ke ang tunggu di luar ruang kerja Capitaine Durer.
Sersan yang selama ini menyambutnya tidak kelihatan, dan pintu ke ruang kerja terbuka sedikit. Steve segera melangkah masuk. Sang capitaine sedang berganti seragam, mempersiapkan diri menghadapi wawancara pers. Ia menoleh ketika mendengar suara langkah.
"Qu"est-ce que vous faites ici" C"est un bureau privef Allez-vous-en!"
"Saya dari The New York Times" ujar Steve Sloane.
Wajah Durer mendadak cerah. "Ah, silakan masuk. Silakan masuk. Nama Anda?"" "Jones. John Jones."
"Barangkali Anda ingin minum sesuatu" Kopi" Cognac?"
"Tidak usah, terima kasih," jawab Steve.
"Mari, silakan duduk." Suara Durer menjadi serius. "Kedatangan Anda tentunya sehubungan dengan tragedi nahas yang terjadi di pulau kami yang kecil ini. Monsieur Stanford yang malang."
"Sampai kapan jenazahnya akan ditahan di sini?" tanya Sloane.
Capitaine Durer menghela napas. "Ah, saya kuatir masih agak lama. Banyak sekali formulir yang harus diisi jika korban orang sepenting Monsieur Stanford. Ada protokol yang harus diikuti. Anda mengerti, bukan?"
Steve mengangguk. "Mungkin sepuluh hari lagi. Mungkin dua ming-gu." Setelah itu pihak pers pun sudah tak tertarik.
"Ini kartu nama saya." Steve menyerahkannya kepada Capitaine Durer.
Kepala polisi itu meliriknya sepintas, lalu mengeratkan kening dan membacanya lebih saksama. "Anda pengacara. Anda bukan wartawan?"
"Bukan. Saya pengacara Harry Stanford." Steve Sloane bangkit. "Saya perlu tanda tangan Anda untuk membawa jenazahnya pulang."
"Ah, sebenarnya saya ingin membantu," Capitaine Durer menyesalkan. "Sayangnya, saya tak dapat berbuat apa-apa. Saya kira saya tidak?"
"Besok." "Tidak mungkin! Saya tidak mungkin?"
"Saya sarankan Anda menghubungi atasan Anda di Paris. Stanford Enterprises memiliki beberapa pabrik raksasa di Prancis. Sayang sekali kalau direksi kami memutuskan menutup semuanya dan pindah ke negara lain, bukan?"
Capitaine Durer menatapnya tanpa berkedip. "Saya" saya tidak berwenang menangani urusan seperti itu, Monsieur."
"Tapi saya ya," Steve menandaskan. "Anda akan memastikan jenazah Mr. Stanford diserahkan kepada saya besok, atau Anda akan mengalami kesulitan yang tak pernah Anda bayangkan." Ia membalik dan menuju pintu.
"Tunggu! Monsieur! Barangkali dalam beberapa hari?"
"Besok." Dan Steve pergi.
Tiga jam kemudian, Steve Sloane menerima telepon di hotelnya.
"Monsieur Sloane?" Ah, saya punya kabar gembira untuk Anda! Saya berhasil mempersingkat prosedur perizinan, sehingga jenazah Mr. Stanford bisa segera diserahkan kepada Anda. Anda tentu mengerti, ini tidak mudah"."
"Terima kasih. Besok pagi pukul delapan ada pesawat pribadi yang akan membawa kami pulang. Saya kira semua surat yang diperlukan sudah bisa selesai saat itu."
"Tentu saja. Jangan kuatir. Saya akan memastikan?"
"Bagus." Steve meletakkan gagang telepon.
Cukup lama Capitaine Durer duduk sambil termangu-mangu. Merde! Dasar sial! Seharusnya aku tetap menjadi pusat perhatian, paling tidak satu minggu lagi.
Sebuah mobil jenazah sudah siap di apron, ketika pesawat yang membawa jenazah Harry Stanford mendarat di Logan International Airport di Boston. Upacara pemakaman akan diadakan tiga hari kemudian.
Steve Sloane melapor kepada Simon Fitzgerald. "Akhirnya dia bisa pulang," ujar Fitzgerald. "Hmm, reuninya pasti menarik."
"Ya^tra-putri Harry Stanford akan datang untuk ayakan kemauan ayah mereka. Tyler, Woody, dan Kendall."
80 Bab 8 Hakim tyler Stanford mengetahui berita tersebut melalui siaran stasiun TV WBBM di Chicago. Tanpa berkedip ia menatap layar kaca di hadapannya. Jantungnya berdegup-degup. Di layar TV tampak gambar Blue Skies, dan seorang komentator sedang berkata, ?"di tengah badai, di perairan Corsica, ketika tragedi itu terjadi. Dmitri Kaminsky, pengawal pribadi Harry Stanford, menjadi saksi mata kecelakaan tersebut, namun tidak berhasil menyelamatkan majikannya. Di kalangan keuangan, Harry Stanford dikenal sebagai salah satu tokoh paling?"
Tyler duduk termenung, memperhatikan gambar-gambar yang silih berganti, mengenang masa lampau".
Tengah malam ia terbangun karena mendengar suara-suara keras. Usianya empat belas tahun. Selama beberapa menit ia mendengarkan suara-suara gusar itu, kemudian menyusuri koridor lantai atas sampai ke tangga. Ibu dan ayahnya sedang ber-81
tengkar di serambi di bawah. Ibunya berteriak-teriak, dan Tyler melihat ayahnya menampar ibunya
Gambar di layar TV kembali berganti. Harry Stanford tampak berdiri di Ruang Oval di Gedung Putih, bersalaman dengan Presiden Ronald Reagan, ?"salah satu anggota kunci gugus tugas keuangan bara yang membantu Presiden. Harry Stanford merupakan penasihat yang disegani, dan?"
Mereka sedang bermain football di pekarangan belakang. Adiknya, Woody, melempar bola ke arah ramah mereka, dan Tyler segera mengejarnya. Ketika memungut bola, ia mendengar suara ayahnya di balik pagar tanaman. "Aku mencintaimu. Kau tahu itu!"
Tyler berhenti. Ia senang sekali bahwa ibu dan ayahnya tidak bertengkar, tapi kemudian ia mendengar suara pengasuh mereka, Rosemary. "Kau sudah berkeluarga. Jangan ganggu aku."
Dan tiba-tiba Tyler teramat muak. Ia menyayangi ibunya dan Rosemary. Ayahnya merupakan sosok asing yang menakutkan.
Di layar TV tampak serangkaian adegan Harry Stanford berpose bersama Margaret Thatcher" Presiden Mitterand" Mikhail Gorbachev" Si komentator sedang berkata, "Taipan legendaris tersebut
akrab dengan semua kalangan, baik pekerja pabrik maupun pemimpin dunia."
Ia sedang lewat di depan pintu ruang kerja ayahnya ketika ia mendengar suara Rosemary. "Aku akan pergi." Dan kemudian suara ayahnya, "Aku takkan membiarkanmu pergi. Jangan keras kepala, Rosemary! Ini satu-satunya cara kau dan aku bisa?"
"Aku tak mau menuratimu. Dan aku akan mempertahankan bayi ini!" Setelah itu Rosemary menghilang.
Adegan .di layar TV berganti lagi. Kali ini ada rekaman lama yang memperlihatkan keluarga Stanford di muka sebuah gereja. Mereka sedang memperhatikan peti jenazah dimasukkan ke mobil. Si komentator berkata, ?"Harry Stanford dan putra-putrinya di samping peti jenazah" Tindakan bunuh diri Mrs. Stanford dikaitkan dengan gangguan kesehatan yang dialaminya. Berdasarkan laporan para penyelidik dari dinas kepolisian, Harry Stanford?"
Tengah malam buta ia dibangunkan ayahnya. "Bangun, Nak. Ada berita buruk yang harus kaudengar."
Remaja berusia empat belas tahun itu mulai gemetaran. "Ibumu mengalami kecelakaan, Tyler."
83 Ia tahu itu tidak benar. Ayahnyalah yang membunuh ibunya. Ibunya bunuh diri karena ayahnya menjalin affair dengan Rosemary.
Pihak pers dengan gencar meliput peristiwa"tersebut. Skandal itu menggemparkan seluruh Boston, dan koran-koran tabloid memanfaatkannya untuk mengeruk keuntungan besar. Ketiga anak Stanford mengalami cobaan berat. Mereka diejek teman-teman sekolah mereka. Dalam waktu 24 jam, mereka kehilangan kedua orang yang paling mereka cintai. Dan semuanya karena ulah ayah mereka.
"Aku tidak peduli dia ayah kita." Kendali terisak-isak. "Aku benci dia." BI-"-
"Aku juga?" "Aku juga!" Mereka sempat berencana lari dari rumah, tapi mereka tidak tahu ke mana mereka harus berpaling. Akhirnya mereka sepakat untuk memberontak.
Tyler menjadi juru bicara mereka. "Kami ingin ayah lain. Kami tidak ingin hidup bersama Ayah."
Harry Stanford menatapnya, lalu berkata dengan dingin, "Itu bisa diatur."
Tiga minggu kemudian, mereka dikirim ke sekolah asrama?masing-masing ke sekolah yang berbeda. if$Sf
Selama tahun-tahun berikut, ketiga anak itu jarang bertemu dengannya. Mereka membaca berita di koran tentang ayah mereka, atau melihatnya di TV, didampingi wanita-wanita cantik atau di tengah orang-orang terkenal. Tapi mereka bertemu hanya jika ada "acara"?kesempatan berfoto pada Hari Natal atau pada hari libur lainnya?untuk menunjukkan bahwa ia ayah yang baik. Setelah itu, mereka segera dikirim kembali ke sekolah masing-masing sampai "acara" berikutnya.
Tyler tak sanggup mengalihkan pandangan dari pesawat TV di hadapannya. Ia melihat wajah ayahnya, dengan latar belakang sejumlah pabrik di berbagai belahan dunia, ?"salah satu konglomerat terbesar di dunia. Harry Stanford, orang yang membangun konglomerat tersebut, merupakan legenda" Pertanyaan yang kini menyibukkan pikiran para pakar Wall Street adalah, bagaimana nasib perusahaan keluarga itu setelah pendirinya tiada" Harry Stanford meninggalkan tiga anak, namun sampai saat ini belum diketahui siapa yang akan mewarisi kekayaan Stanford yang ditaksir mencapai miliaran dolar, atau siapa yang akan menggantikannya di pucuk pimpinan"."
Ia berusia enam tahun. Ia senang menjelajahi rumah mereka yang besar, keluar-masuk ruangan-ruangan yang mengasyikkan. Satu-satunya tempat yang tak boleh ia masuki adalah ruang kerja ayahnya. Tyler membayangkan ruangan tersebut kerap digunakan untuk pertemuan-pertemuan penting. Ia sering melihat orang-orang berpenampilan penuh wibawa datang dan pergi, menemui ayahnya. Rasa ingin tahu
Tyler semakin terusik karena ruang kerja itu merupakan tempat terlarang baginya
Suatu hari, ketika ayahnya sedang pergi, Tyler memberanikan diri memasuki ruangan tersebut. Ruangan luas itu membuatnya tercengang. Tyler berdiri di pintu, menatap meja tulis yang besar serta kursi kulit yang biasa diduduki ayahnya. Suatu hari aku bakal duduk di kursi itu, dan aku bakal jadi orang penting seperti Ayah. Ia menghampiri meja dan mengamatinya dari dekat. Lusinan dokumen resmi tampak menumpuk. Kemudian ia mengelilingi meja dan duduk di kursi ayahnya. Kursi itu empuk sekali. Sekarang aku juga orang penting!
"Siapa yang menyuruhmu duduk di situ?"
Tyler terenyak. Ia menoleh. Ayahnya berdiri di ambang pintu.
"Siapa yang menyuruhmu duduk di situ?" ayahnya menghardik.
Anak kecil itu gemetaran. "Aku" aku cuma mau tahu bagaimana rasanya"."
Ayahnya bergegas menghampirinya. "Hah, kau takkan pernah tahu bagaimana rasanya! Takkan pernah! Sekarang keluar dari sini dan jangan masuk lagiV
Tyler berlari ke lantai atas. Ia menangis tersedu-sedu. Ibunya menyusul ke kamarnya dan memeluknya. "Jangan menangis, Sayang. Tidak apa-apa kok."
"Dia" dia benci padaku," ujar Tyler terbata-bata.
"Tidak. Dia tidak benci padamu."
"Aku cuma duduk di kursinya."
"Itu kursi dia, Sayang. Dia tidak mau kursinya diduduki orang lain."
Tyler tak sanggup menahan air mata. Ibunya mendekapnya erat-erat dan berkata, "Waktu ayahmu dan Ibu menikah, dia bilang dia menginginkan Ibu menjadi bagian dari perusahaan. Dia memberikan selembar saham pada Ibu. Semacam lelucon keluarga. Saham itu akan Ibu berikan padamu. Jadi sekarang kau juga bagian dari perusahaan. Oke?""
Stanford Enterprises telah menerbitkan seratus saham, dan kini Tyler ikut memegang andil dalam perusahaan ayahnya.
Ketika Harry Stanford mendapat kabar mengenai hadiah istrinya kepada putra sulung mereka, ia mencibir. "Hah, apa yang akan dilakukannya dengan selembar saham itu" Mengambil alih perusahaan?"
Tyler mematikan pesawat TV, lalu kembali termangu-mangu. Ia merasa sangat puas. Pada umumnya, anak laki-laki ingin meraih sukses agar ayahnya merasa bangga. Tyler mendambakan, sukses agar ia dapat menghancurkan ayahnya.
Ketika masih kecil, ia sering bermimpi bahwa ayahnya didakwa membunuh ibunya, dan Tyier-Iah yang menjatuhkan hukuman. Kau kuhukum mati di kursi listrik/ Sesekali mimpinya berbeda, dan ayahnya dihukum mati di tiang gantungan, di kamar gas, atau di hadapan regu tembak. Mimpi-mimpinya terasa begitu nyata.
Kemudian ia dikirim ke sekolah asrama bergaya militer di Mississippi, dan selama empat tahun ia hidup bagaikan di neraka. Tyler membenci disiplin dan cara hidup kaku yang dipaksakan padanya. Pada tahun pertama di sekolah tersebut, ia sempat mempertimbangkan bunuh diri, namun akhirnya membatalkan niatnya itu karena ia tidak rela ayahnya keluar sebagai pemenang dalam pertarungan mereka. Ibuku sudah dibunuhnya. Tapi aku tak akan menyerah.
Tyler merasa memperoleh perlakuan ekstra keras dari para pembinanya, dan ia yakin ayahnyalah yang bertanggung jawab. Tapi ia tidak sudi bertekuk lutut. Meskipun ia terpaksa pulang pada hari-hari libur, kunjungan-kunjungannya ke rumah ayahnya semakin tidak menyenangkan.
Kedua adiknya juga pulang saat liburan, namun tali persaudaraan di antara mereka telah terputus. Ayah mereka telah menghancurkan ikatan kakak-adik di antara mereka. Ketiga anak itu serasa berada di antara orang asing, dan masing-masing tak sabar menunggu liburan berakhir sehingga bisa melarikan diri lagi.
Tyler sadar ayahnya kaya raya, tapi ia pun sadar bahwa uang saku yang mereka terima selama itu berasal dari warisan yang ditinggalkan
ibu mereka. Menjelang dewasa, Tyler mulai bertanya-tanya apakah ia berhak atas kekayaan keluarganya. Ia yakin ia dan kedua adiknya telah dicurangi. Aku harus cari pengacara. Itu tentu saja tidak mungkin, tapi kemudian ia bertekad, Aku akan menjadi pengacara.
Ketika ayah Tyler mendengar cita-cita putranya, ia berkata, "Oh, jadi kau bakal jadi pengacara, hmm" Kaupikir aku akan memberimu pekerjaan di Stanford Enterprises" Hah, jangan bermimpi! Di perusahaanku tidak ada tempat untukmu."
Setelah lulus sekolah hukum, Tyler sebenarnya bisa saja berpraktek di Boston. Berkat nama keluarganya ia akan diterima dengan tangan terbuka di puluhan biro hukum, tapi ia memilih tinggal jauh dari ayahnya.
Ia memutuskan membuka kantor pengacara di Chicago. Masa awalnya penuh kesulitan. Ia tidak sudi memanfaatkan nama keluarganya, dan jarang mendapatkan klien. Panggung politik di Chicago dikendalikan oleh the Machine, dan Tyler segera menyadari bahwa pengacara muda dapat meraih keuntungan jika melibatkan diri dalam kepengurus-an pusat Cook County Lawyers Association yang amat berkuasa. Ia diberi jabatan di kantor kejaksaan negeri. Ia cerdas dan belajar dengan cepat, dalam waktu singkat ia telah menjadi tak ternilai bagi mereka. jEa menangani segala macam kasus
89 kejahatan, dan tingkat keberhasilannya sungguh mencengangkan.
Kariernya berkembang pesat, dan akhirnya tibalah hari ia menerima imbalan atas segala jerih payahnya. Ia terpilih sebagai hakim keliling Cook County. Semula ia menyangka ayahnya akan bangga, namun ternyata ia keliru.
"Kau" Hakim keliling" Ya Tuhan, menilai kontes membuat kue pun kau tak pantas!"
Sepasang Pendekar Kembar 3 Jangan Percaya Pada Orang Mati Never Trust A Dead Man Karya Vivian Vande Velde Tugas Rahasia 1
^