Pencarian

Perfume Story Of Murderer 4

Perfume The Story Of A Murderer Karya Patrick Suskind Bagian 4


Aura itulah yang menjadi aroma persona pada masing-masing orang. Sangat kompleks dan tak bisa dipersepsikan oleh kebanyakan orang. Manusia normal bahkan tak menyadari bahwa mereka memiliki hal seperti ini. Aura yang tak bisa disamarkan atau ditutupi dengan pakaian atau kosmetik apa pun, bahkan parfum. Aroma dasar yang merupakan emisi primordial ini secara naluriah dikenal dan menciptakan kedekatan antar individu. Membuat manusia merasa nyaman dan selatu ada dorongan naluri untuk tinggal bersama manusia lain, merasa aman dan normal. Pendek kata, aroma standar ini membuat seorang manusia bisa diterima oleh manusia lain.
Parfum aneh inilah yang dibuat Grenouille pada hari itu. Tidak seperti parfum atau wewangian, tapi seperti manusia normal yang memancarkan bau. Sulit didefinisikan atau dijelaskan, tapi begitulah adanya. Kalau seseorang mengendus aroma ini di kegelapan dalam sebuah ruangan, ia bisa mengetahui bahwa ada manusia tain di ruangan itu. Kalau parfum ini dipakai oleh manusia normal, ia akan memancarkan kesan seolah ada dua orang dalam satu tubuh - katakanlah, makhluk aneh berpesona ganda. Sulit dijelaskan atau dijabarkan dengan kata-kata karena secara visual (itu pun jika terlihat) akan tampak seperti bayangan kabur dan tak fokus, seperti sesuatu di dasar danau di bawah gelombang permukaan air.
Grenouille tahu bahwa bau manusia tak akan pernah bisa ditiru secara sempurna, tapi setidaknya yang ia buat cukuplah untuk niengelabui orang lain.
Ada sedikit kotoran kucing di balik ambang pintu yang mengarah ke halaman rumah dan tampaknya masih lumayan segar. Grenouille mengambil setengah sendok teh kotoran itu dan mencampurnya bersama beberapa tetes cuka apel dan garam halus dalam sebuah botol aduk. Di bawah meja ia menemukan secuil keju sisa makan siang
Runel. Sudah agak lama, mulai membusuk dan berbau menyengat. Bau amis ia ambil dari tutup kaleng sarden di belakang laboratorium, dicampur telur busuk dan minyak kastroli, amonia, pala, sisa-sisa bekas cukur pada silet pencukur, plus gosongan kulit babi yang ditumbuk halus. Ia juga menambahkan minyak kesturi dalam jumlah besar, baru setelah itu diaduk dalam larutan alkohol, dibiarkan mengendap, latu disaring ke botol kedua. Aroma hasil endapannya sangat memuakkan. Berbau tengik seperti got, dan kalau disebar setitik saja ke udara, rasanya seperti berdiri di tengah-tengah Paris di terik musim panas, di sudut perempatan jalan Fers dan jalan Lingerie, muara tempat bertemunya seluruh aroma dari Les Halles, tanah pekuburan Cimetiere de Innocents dan perkampungan sekitar.
Di atas dasar aroma yang menjijikkan ini - yang baunya lebih menyerupai mayat busuk ketimbang manusia, Grenouille menggelar selapis aroma minyak segar dari permen, lavender, terpentin, limau, dan eukaliptus, yang lalu disamarkan dan dilemahkan secara simultan dengan wewangian dari minyak bunga seperti geranium, mawar, jeruk, dan melati. Setelah dilarutkan kedua kalinya dengan alkohol dan sepercik cuka apel, aroma dasar yang busuk tadi hilang. Sebenarnya tidak hilang, tapi bersifat laten dan tersamar oleh ramuan segar di atasnya. Aneh juga bahwa sama sekali tak ada bau busuk yang tertinggal. Parfum yang sudah jadi ini memancarkan aroma hidup yang sehat dan bersemangat.
Grenouille membuat dua flacon penuh, disumbat dan dimasukkan ke saku baju. Lalu ia mencuci semua botol, pengaduk, corong, dan sendok bekas pakai dengan air. Dicuci hati-hati dan dibilas dengan minyak almond pahit untuk membuang semua bau bekas percobaan tadi. Terakhir, ia mengambil sebuah botol aduk lagi dan
membuat lagi parfum yang sama dengan cepat, sebagai salinan dari yang pertama. Sama-sama mengandung elemen segar dan bebungaan tapi tidak dibangun dari aroma dasar yang busuk tadi. Kali ini ia memberi aroma dasar konvensional dari kesturi, ambergris, setitik minyak musang dan kayu cedar. Hasil. akhirnya sangat berbeda dari yang pertama. Lebih enak, lebih polos dan segar, karena tidak mengandung imitasi aroma manusia. Jika manusia normal memakai parfum kedua ini dan bercampur dengan aroma tubuhnya sendiri, hasilnya tak akan bisa dibedakan dengan parfum Grenouille yang pertama.
Parfum kedua juga dituang ke flacon. Lalu Grenouille membuka pakaian. Parfum pertama dipercikkan pertama kali ke pakaian, lalu ketiak, sela jempol kaki, daerah kelamin, dada, leher, belakang telinga, dan rambut. Setelah itu ia mengenakan lagi pakaian dan meninggalkan laboratorium.
Tiga Puluh Dua Di AMBANG PINTU RUMAH, mendadak ia merasa takut. Ini pertama kalinya ia memancarkan aroma manusia. Baunya tidak enak dan membuat mual. Grenouille tak tahu apakah orang lain bakal mencium seperti itu juga, karena itu ia tidak berani untuk langsung menuju kedai minum tempat Runel dan kepala rumah tangga keluarga Marquis menunggu. Akan lebih bijaksana kalau ia mencoba dulu "aura" baru ini di jalanan.
Grenouille menyelinap ke arah sungai melalui gang-gang yang paling gelap dan sempit, tempat para penyamak dan pencelup pakaian membuka kios dan berbisnis. Setiap kali ada orang lewat atau saat melewati daerah tempat anak-
anak kecil bermain atau ada wanita yang sedang duduk-duduk, ia sengaja berjalan lebih perlahan agar "aroma manusia"-nya bercampur dan membentuk awan aura yang lebih padat.
Sejak keccil Grenouille sudah terbiasa tidak diacuhkan orang. Bukan karena mereka jijik seperti dugaannya semula, tapi lebih karena mereka tak menyadari kehadirannya. Ia tidak memiliki "aura" manusia normal. Tak ada gelombang yang memancar dari tubuhnya ke atmosfer seperti manusia normal (karena - bau bisa dibaca juga sebagai gelombang kalau menurut ilmu fisika). Ibarat kata, ia tak punya "bayangan" yang terpantul ke manusia lain. Hanya kalau kebetulan bertubrukan saja mereka menoleh. Itu pun hanya sesaat. Beberapa detik berisi pandangan seolah melihat makhluk aneh yang mestinya tidak ada - makhluk yang walau secara visual ada, tapi secara "rasa" tidak ada. Setelah itu berjalan lagi tanpa menoleh dan melupakan Grenouille sama sekali.
Tapi lihatlah sekarang, di jalan kota Montpellier ini Grenouilk merasa dan melihat dengan mata kepala sendiri bahwa ia memberi kesan pada orang yang dilewati. Setiap langkah semakin menumbuhkan percaya diri dan kebanggaan yang mengguyur seperti manusia gurun bertemu air. Ketika melewati seorang wanita yang sedang menimba air di sumur, Grenouille melihat sendiri betapa si wanita mengangkat kepala untuk melihat siapa yang lewat, lalu setelah puas kembali menimba. Lelaki yang semula duduk membelakanginya juga menoleh dan menatap penasaran cukup lama. Anak-anak berhenti bermain dan menyingkir memberi jalan. Bahkan saat segerombolan dari mereka berlarian menghambur dari pintu sebuah rumah ke arahnya, tak ada wajah ketakutan di situ. Mereka lewat seperti biasa. Tidak berlaku heboh atau apa.
Beberapa peristiwa sejenis mengajari Grenouille untuk menakar lebih persis daya dan pengaruh "aura" barunya ini. Ia jadi makin percaya diri dan ceroboh. Berjalan makin cepat ke arah orang-orang, lewat lebih dekat, bahkan sedikit menjulurkan sebelah tangan, menyenggol seolah tak sengaja. Ia juga menubruk seseorang seolah tak sengaja waktu kondisi jalan sedang ramai. Grenouille berhenti, meminta maaf, dan orang itu menanggapi baik-baik. Menerima. permohonan maaf, bahkan menepuk pundak Grenouille seraya tersenyum.
Grenouille meninggalkan gang sempit dan masuk ke alun-alun di depan gereja Saint-Pierre. Bel tengah berbunyi. Orang-orang bergerombol di depan pintu gereja. Rupanya ada yang baru menikah dan mereka ingin melihat kedua mempelai. Grenouille ikut mendekat dan membaur. Ia mendorong membuka jalan ke sana kemari, ke tumpukan manusia yang paling padat di mana tubuhnya bisa bersenggolan - tak hanya lengan, tapi juga pipi dan dagu. Sengaja menggosok-gosok membaurkan aroma barunya di bawah hidung mereka. Di tengah keramaian itu ia membentangkan tangan, kedua kaki, dan melonggarkan kerah agar aroma parfum bisa keluar dengan bebas. Kegembiraan makin membuncah ketika melihat bahwa tak ada yang menanggapi berlebihan. Betapa ajaib dan ironisnya melihat betapa sekian banyak pria, wanita, dan anak-anak berdiri berdesakan di sekitarnya, begitu bebas dan begitu mudah dikelabui. Menghirup tanpa menghiraukan ramuan parfum yang ia buat dari kotoran kucing, keju busuk, dan cuka apel - menganggapnya sebagai bau mereka sendiri dan menerimanya begitu saja. Lihatlah dia kini, Grenouille si kutu busuk, berada di tengah-tengah mereka sebagai seorang manusia normal!
Seorang gadis kecil berdiri dekat lututnya, berdiri berdesakan di tengah orang dewasa. Diangkatnya si kecil
dengan perhatian pura-pura dan digendongnya dengan satu tangan agar bisa melihat lebih jelas. Ibunya tak hanya toleran tapi juga berterima kasih, sementara si gadis berseru gembira.
Grenouille bertahan di situi selama seperempat jam dengan anak kecil di pelukan. Upacara pernikahan terus berlanjut, berarak keluar gereja diiringi dentang bel, sorak-sorai massa, dan denting koin tanda keberuntungan. Kegembiraan Grenouille lain lagi. Kegembiraan hitam -perasaan penuh kemenangan yang jahat dan membuatnya gemetar seperti orang melepas berahi. Ia nyaris tak mampu membendung luapan kemenangan agar tidak tiba-tiba menjerit gila-gilaan di depan orang-orang. Pernyataan bahwa ia tak takut lagi pada mereka. Tidak membenci mereka lagi, kendati kejijikannya begitu dalam dan total. Karena mereka demikian bodoh sampai kebodohan itu tercium begitu keras. Demikian mudah diperdayai. Biarlah begitu. Toh mereka bukan apa-apa dan ia adalah segalanya! Seolah mengumpatkan ejekan, Grenouille memeluk si kecil makin erat, ikut berseru dan bersorak dalam paduan bersama yang lain, "Hidup pasangan pengantin! Panjang umur kedua mempelai!"
Setelah pesta usai dan orang-orang mulai bubar, Grenouille mengembalikan si kecil ke ibunya lalu masuk ke gereja untuk menenangkan diri dan beristirahat. Udara dalam gereja masih sarat wewangian dua dupa di sisi attar, membumbung ke atas membentuk awan. Mengapung dalam lapisan tipis di atas aroma samar para pengunjung yang baru saja duduk. Grenouille duduk mencangkung di bangku di belakang tempat paduan suara.
Seketika itu ia diliputi perasan nyaman. Tidak memabukkan seperti mimpinya dulu di perut gunung, tapi perasaan nyaman yang dingin dan waras, seperti baru menyadari daya kekuatan sendiri. Kini ia tahu persis apa
yang mampu dilakukan. Dengan kegeniusannya ia mampu menciptakan imitasi aroma manusia sedemikian sempurna sampai anak kecil saja bisa tertipu. Grenouile sadar mampu berbuat lebih jauh lagi, seperti menyempurnakan aroma ini, misalnya. Tak hanya aroma manusia tapi juga aroma super - semacam aroma malaikat yang begitu baik dan vital. Siapa pun yang menciumnya akan terpengaruh dan mencintainya. Mencintai Grenouille sang pembawa aroma tersebut.
Ya, itu yang ia inginkan. Bahwa mereka akan mencintainya seperti tersihir. Tidak hanya menerimanya sebagai salah seorang dari mereka, tapi mencintainya sampai tergila-gila dan lupa daratan. Membuat mereka bergulung di lantai, menjerit dan menangis. Bahkan berlutut seperti memuja Tuhan. Ingin berdekatan hanya agar bisa menciumnya. Mencium Grenouille! Ia akan menjadi dewa aroma seperti dalam fantasinya, tapi kali ini dengan dunia dan orang-orang di dunia nyata. Ia sadar mampu melakukan semua ini. Orang bisa menutup mata dari ketakutan, dari keindahan... dan menutup telinga dari melodi atau kata-kata, tapi tak ada yang bisa melarikan diri dari aroma, karena aroma. bisa diibaratkan napas itu sendiri. Setiap tarikan akan masuk ke tubuh dan tak mungkin bisa bertahan, kecuali kalau ingin mati tercekik. Aroma akan masuk ke kesejatian diri, ke jantung, dan menetap selamanya antara rasa pilihan untuk menyukai atau membenci aroma tersebut, memengaruhi bahkan sampai ke pilihan untuk jijik dan nafsu, cinta dan benci. Barang siapa yang menguasai aroma pasti mampu menguasai hati manusia. Grenouille duduk santai di bangku panjang gereja Saint-Perre.
Tersenyum dalam euforia sambil membangun rencana menguasai manusia. Sinar matanya tidak memancarkan kegilaan, tidak pula senyum sinting seperti tokoh-tokoh
megalomaniak klasik. Ia tidak gila karena masih mampu mempertanyakan diri sendiri secara objektif. Tanpa dramatisasi atau pretensi apa pun ia mengaku bahwa niat ini timbul karena ia memang jahat. Sangat jahat. Pengakuan ini meluncur berbatur senyum dan kepuasan. Dengan wajah polos bahagia.
Grenouille duduk cukup lama menikmati keheningan. Ia menarik napas dalam-dalam, menghirup aroma gereja. Seulas senyum terlintas lagi. Tuhan kok baunya tengik, ya"! Konyol juga kalau dipikir. Kok bisa Dia membiarkan diriNya berbau busuk. Selain itu juga palsu, karena terbuat dari campuran ekstrak linden, dedak kayu manis, dan potasiurn nitrat. Tuhan bau. Tuhan yang diaku oleh seorang pendeta bau di kejauhan. Tuhan yang ditipu umat, atau barangkali Dia sendiri juga penipu. Tak beda dengan Grenouille. Hanya lebih buruk!
Tiga Puluh Tiga MARQUIS DE LA TAILLADE-ESPINASsE kagum dengan parfum baru Grenouille. Sangat mengejutkan, katanya -bahkan untuk orang sekelas penemu fluidum letale, melihat betapa hebat pengaruh parfum secara umum. Barang seremeh dan sefana parfum ternyata bisa seperti itu hanya karena berasal dari ekstraksi substansi bumi. Wajah Grenouille yang tadinya pias kini terlihat segar dan memerah seperti orang sehat pada umumnya. Pun dengan kualifikasi status rendah karena keterbatasan edukasi, ia kini tampak seperti memiliki kepribadian baru. Tak diragukan lagi bahwa ia, sang Taillade-Espinasse, harus membahas hal ini kelak dalam sebuah bab penting tentang etika pola makan di buku barunya nanti - sebuah risalah
lanjutan tentang fenomena teori fluidum letale. Tapi sekarang ia ingin merasakan parfum baru ini.
Grenouille memberi dua flacon aroma bunga konvensional yang ia buat berjam-jam lalu. Sang Marquis memercikkan ke tubuhnya dan segera merasa puas. Ia mengaku bahwa setelah bertahun-tahun terkungkung aroma violet, sepercik parfum buatan Grenouille mampu membuatnya merasa tumbuh sayap. Dan kalau tidak salah, sakit lututnya juga mulai berkurang, begitu pun dengung di telinga. Pokoknya ia serasa melayang, bugar, dan kembali muda. Suka cita ia memeluk Grenouille dan memanggilnya, "Saudara fluidal-ku," sambil cepat-cepat menambahkan bahwa ini bukan sekadar sapaan sosial, tapi murni bersifat spiritual dalam conspectu universalitatis fluidi letalis -dalam kaitannya dengan fluidum letale, dan hanya dalam hal ini, semua manusia setara! Tanpa sungkan memeluk Grenouille, seperti kawan ia menggiring Grenouille dalam rencana berikutnya untuk membangun sebuah pondokan internasional tanpa memandang status, bertujuan membasmi fluidum letale dan menggantikannya secepat mungkin dengan fluidum vitale (aroma buatan Grenouille). Saat itu juga ia menjanjikan Grenouille sebagai penghuni pertama. Ia juga minta dituliskan formula parfum bunga itu dalam secarik kertas, lalu memberi lima puluh koin emas pada Grenouille.
Persis satu minggu setelah ceramah ilmiah yang pertama, Marquis de la Taillade-Espinasse mempersembahkan Grenouille sekali lagi di aula utama universitas. Ramainya luar biasa. Seolah seluruh Montpellier tumpah di situ. Tak hanya kalangan ilmuwan, tapi juga kalangan sosial dan kaum wanita yang ingin melihat manusia gua nan legendaris. Musuh-musuh lama Taillade dari Friends of the University Botanical Gardens dan Society for the Advancement of Agricultural tak bisa berbuat banyak kendati telah mengerahkan seluruh anggota untuk mengacau. Acara itu sukses besar.
Taillade-Espinasse pertama-tama mengingatkan kondisi Grenouile seminggu lalu dengan menyebarkan gambar manusia gua dengan segala keburukan dan atribut grafis lain. Kemudian ia menampilkan Grenouile baru dalam balutan mantel biru beludru yang elok dan kemeja sutra. Tampil klimis, berbedak, rapi. Berjalan tegak, anggun berlenggok sendiri ke atas podium, membungkuk hormat dan mengangguk, senyum ke kiri lalu ke kanan. Membungkam rasa skeptis dan kritik. Bahkan kawan-kawan dari Universitas Botani juga diam seribu bahasa. Perubahan ini terlalu dahsyat, bahkan nyaris bagai mukjizat. Mereka melihat sendiri betapa seminggu lalu Grenouille lebih mirip binatang ketimbang manusia. Lamat-lamat terdengar bisikan orang-orang berdoa. Saat Taillade-Espinasse berbicara, seluruh ruangan hening. Sekali lagi ia memaparkan teori yang sudah sangat dikenal tentang fluidum letale, menjelaskan bagaimana dan dengan cara apa mekanika serta pola makan yang ia terapkan terhadap tubuh Grenouille, sebelum akhirnya diberi fluidum vitale. Terakhir, berdasarkan fakta-fakta yang telah dijabarkan, ia memohon pada hadirin baik kawan maupun lawan, agar sedianya menyudahi perlawanan terhadap doktrin baru. ini dan berjuang bersama membasmi bencana fluidum letale dan membuka diri terhadap manfaat fluidum vitale. Pada titik ini ia membentangkan tangan dan memandang takzim ke atas. Banyak pengunjung dari kalangan terpelajar berlaku serupa dan para wanita menangis.
Grenouille berdiri di podium tapi tidak menyimak. Dengan amat puas ia menyaksikan efek dari parfum yang sama sekah berbeda, yaitu parfumnya sendiri. Tak ada yang tahu bahwa Grenouille telah mempersiapkan diri sebelum pertunjukan untuk memercik parfum, khusus
diperhitungkan berdasarkan ukuran ruang aula, agar efek aura parfumnya tersebar maksimum. Dengan mata kepala sendiri ia menyaksikan pengaruhnya begitu terlihat nyata, dari penonton di kursi terdepan sampai ke pojok belakang dan gateri bagian atas. Hatinya melonjak girang melihat tak ada seorang pun yang tidak berubah setelah menghirup parfum itu tanpa disadari. Ekspresi wajah, aura, juga emosi, turut berubah. Mereka yang semula melotot heran kini menatap dengan pandangan lebih sejuk. Yang duduk bersandar dengan alis terangkat skeptis dan pinggir mulut melecehkan, kini lebih rileks dan menatap polos. Saat aroma menerjang, bahkan yang semula takut-takut, ngeri dan terlalu sensitif melihat penampilan lama Grenouille, kini memandang dengan lebih bersahabat dan bersimpati.
Saat ceramah selesai, seluruh hadirin bangkit berdiri dan bertepuk sorai. Meriah sekali, ditingkahi seruan: "Panjang umur fluidum vitale!" "Panjang umur Taillade-Espinasse!" "Selamat untuk teori fluidal!" "Tinggalkan pengobatan ortodoks!" Ini semua jeritan kalangan intelek kota Montpelier dan a ggota-anggota terhormat universitas terbesar di selatan Prands. Marquis de la Tailade-Espinasse tak pernah merasa begitu bahagia seperti saat ini.
Lain lagi perasaan Grenouille. Saat turun dari podium untuk membaur bersama keramaian, ia tahu bahwa sebenarnya sambutan ini diarahkan untuk dirinya seorang, Jean-Baptiste Grenouille, walau tak seorang pun menyadari hal ini.
Tiga Puluh Empat GRENOUILLE TINGGAL DI MONTPELLIER selama beberapa minggu. Ia kini terkenal dan kerap diundang ke berbagai perkumpulan untuk menceritakan pengalaman selama berada di gua dan tentang bagaimana sang Marquis menyembuhkannya. Ia terpaksa terus mengangkat kisah tentang perampok yang dulu. Bagaimana ia diseret, keranjang diletakkan di sisinya setiap kali jam makan, dan tentang tangga penyelamat. Setiap kali ia menambahkan detail baru dan hiperbola yang lebih hebat. Grenouille jadi makin pandai bicara - meski sangat terbatas karena ia belum pernah berbicara dengan benar sepanjang hidup. Dan yang terpenting baginya adalah peluang latihan rutin untuk berbohong.
Pokoknya, ia bisa mengatakan apa saja pada siapa saja. Publik menaruh kepercayaan - bahkan sejak napas pertama, karena menghirup aroma parfum Grenouille selagi menyimak. Mereka percaya apa saja. Dus, Grenouille beroleh keyakinan diri dalam bersosialisasi - sesuatu yang dulu tak pernah terpikir bisa jadi nyata. Ini juga terlihat dari tubuhnya yang seolah bertumbuh. Punuknya hilang dan ia berjalan nyaris tegak. Setiap kali orang berbicara padanya ia tidak lagi refieks merunduk tapi tetap tegak dan balas menatap. Ia memang tidak langsung menjadi manusia abad ini atau selebritas sosial dalam semalam. Yang jelas terlihat adalah bahwa ia tak lagi jadi makhluk penggugup dan ceroboh dalam pergaulan. Yang tampak di permukaan adalah kesederhanaan alami atau sedikit sifat malu-malu yang menarik simpati banyak orang, dan terutama tentu saja wanita. Lingkungan elite zaman itu memang peka pada segala hal yang berbau natural dan pesona tertentu yang masih mentah seperti yang tampak pada Grenouille.
Awal bulan Maret, Grenouille mengepak barang dan pergi diam-diam. Pagi-pagi sekali, saat gerbang kota baru saja dibuka. Ia memakai mantel cokelat biasa yang ia beli di pasar loak sehari sebelumnya, dan sebuah topi lusuh menutupi separo wajah. Tak ada yang melihat atau mengenalinya, karena ia sengaja tidak memakai parfum. Menjelang tengah hari sang Marquis datang tergopoh-gopoh ke pos penjaga di pintu gerbang. Si penjaga bersumpah bahwa ia tahu dan mengawasi berbagai jenis orang yang meninggalkan kota pagi ini tapi tidak melihat si manusia gua, yang pastinya akan segera dikenali. Marquis lantas menyebar berita bahwa ialah yang mengizinkan Grenouille pergi dari Montpellier ke Paris karena ada urusan keluarga. Padahal ia sangat terpukul karena sedianya berniat mengajak Grenouile tur ke seluruh Prancis dalam rangka menggalang pendukung dan pengikut teori fluidal.
Setelah beberapa waktu ia tenang lagi. Terutama melihat ketenarannya tersebar sendiri sedemikian rupa tanpa harus mengadakan tur dan nyaris tanpa berbuat apa-apa sama sekali. Sebuah artikel panjang tentang fluidum letale Taillade muncul di Jurnal des Sgavans dan bahkan di Courier de l'Europe. Segera setelah itu pasien-pasien fluidal dari dalam dan luar kota berbondong-bondong datang memohon penyembuhan. Pada musim panas 1764 ia mendirikan organisasi 'Masyarakat Vital Fluidum'-nya yang pertama, dengan 120 orang anggota di Montpellier dan membuka cabang di Marseille serta Lyon. Tak lama sampai ia memberanikan diri maju ke Paris, dan dari sana mulai bergerak menguasai dunia dengan ajarannya. Sebagai tahap awal, ia ingin membangun basis propaganda dengan menorehkan prestasi-prestasi heroik. Ini demi menenggelamkan kisah tentang Grenouille dan percobaan-percobaan lain di masa. lalu. Pada awal bulan Desember ia
mengumpulkan sekelompok murid dan pendukung setia untuk bergabung dalam sebuah ekspedisi ke gunung Pic du Canigou di Paris. Konon disebut sebagai gunung tertinggi di seluruh Pyrenees. Walau sudah uzur, ia ingin dikenal sebagai orang yang mampu mencapai puncak di ketinggian sembilan ribu kaki dan tinggal di sana selama tiga minggu. Katanya ia baru akan turun persis pada malam Natal. Setelah menghirup udara murni yang jauh dari bumi, kelak a. akan turun layaknya perjaka tingting berusia dua puluh.
Para murid dan pendukung menyerah melakukan pendakian setiba di Vernet-perkampungan manusia terakhir di kaki gunung yang menakutkan itu. Tapi tak ada yang bisa menghentikan Marquis. Di bawah terjangan udara sedingin es, semangatnya meluap-luap seperti anak kecil dan mulai mendaki sendirian. Hal terakhir yang dilihat gembira ke langit plus orang hanya bayangan tangan melambai senandung nyanyian, sebelum akhirnya lenyap di badai salju.
Pengikutnya menanti dengan sia-sia kepulangan Marquis de la Taillade-Espinasse pada malam Natal itu. Ia tidak kembali sebagai pemuda atau orang tua. Tidak pula kembali saat musim panas tahun berikutnya menjelang. Pengikut paling setia mencoba mengadakan pencarian, namun pulang dengan tangan hampa. Tak ada jejak barang sesobek pakaian pun, tak ada mayat, bagian tubuh atau tulang sekalipun yang mereka temui.
Ajaran Marquis tetap utuh. Malah tersebar legenda bahwa di puncak gunung itu ia menyatu dengan fluidum vitale. Bersatu dan mengapung abadi di udara. Tak terlihat namun senantiasa muda, bebas bersasana di puncak-puncak Pyrenees. Barang siapa mendaki dan menemuinya akan terlindung dari penyakit atau proses penuaan selama setahun. Teori fluidal Taillade terus kokoh sampai abad kesembilan belas. Banyak disokong oleh instansi medis
serta dipakai sebagai salah satu terapi penyembuhan oleh banyak kalangan. Bahkan sampai sekarang, di kedua sisi Pyrenees (Prancis dan Spanyol), khususnya di Perpignan dan Figueras, banyak perkumpulan rahasia pemuja Taillade yang mengadakan pertemuan setahun sekali untuk mendaki puncak Pic du Canigou.
Di sana mereka menyalakan api unggun dengan dalih untuk merayakan titik balik musim panas dan penghormatan terhadap St. John - tapi sebenarnya ini dilakukan sebagai penghormatan terhadap guru mereka, TaiRade-Espinasse, dan ajaran fluidum-nya yang agung, sembari mencari hidup abadi. Kalau beruntung.
Bagian III Tiga Puluh Lima KALAU DULU GRENOUILLE butuh waktu tujuh tahun saat pertama kali melanglang Prancis, perjalanan kali ini ia tempuh dalam waktu kurang dari tujuh hari. Ia tidak lagi menghindari jalan utama dan perkotaan. Tidak pula mengambil jalan memutar. Kini ia memiliki aroma, uang, dan keyakinan diri. Ia tak mau buang waktu.
Sore hari sepeninggalnya dari Montpellier ia tiba di Le Grau-du-Roi, sebuah kota pelabuhan kecil di barat daya Aigues-Morres, di mana ia menumpang sebuah kapal dagang menuju Marseille. Di Marseille ia tidak segera meninggalkan pelabuhan tapi langsung mencari kapal untuk pergi lebih jauh lagi menyusur pantai ke arah selatan. Dua hari kemudian ia tiba di Toulon, dan esoknya di Cannes. Sisa perjalanan dilakoni dengan berjalan kaki. Mengikuti jalan belakang yang mengarah ke perbukitan, terus ke utara.
Dua jam kemudian ia berdiri di tanjakan, di hadapan sebentang lembah seluas beberapa mil yang seperti cekungan di lanskap. Sekelilingnya dipagari perbukitan dan gunung terjal. Di cekungan itu terdapat banyak ladang, taman, dan semak buah zaitun-menciptakan iklim yang intim, asli, dan khusus. Meski laut begitu dekat dan terlihat dari puncak bukit, tapi iklimnya tidak maritim. Tidak bergaram atau berpasir. Sebuah iklim nonekspansif. Pagar perbukitan dan pegunungan membuat tempat ini hening bin tenang. Seolah berhari-hari jauhnya dari tepi pantai. Dan meski puncak-puncak pegunungan sebelah utara tertutup salju, tidak membuat tempat ini kering, tandus, atau berhawa dingin. Musim semi lebih dulu muncul di sini ketimbang di Montpellier. Kabut tipis mencercah seperti kaca di atas padang. Pohon-pohon aprikot dan almond sedang ranum, udara terasa hangat beraroma bunga jonquil.
Di seberang lembah, sekitar dua mil jauhnya, berdiri sebuah kota diapit pegunungan. Dari jauh tak begitu mengesankan. Tidak tampak puncak katedral mengungguli atap-atap rumah, kecuali sebuah menari gereja kecil. Tidak ada benteng atau bangunan-bangunan besu. Dinding-dinding berdiri bersahaja, rumah-rumah berserakan di sana-sini, terutama yang mengarah ke dataran, memberi kesan berantakan seperti daerah pinggiran. Seolah kota itu sudah berkali-kali dikuasai dan diambil alih banyak pihak sampai tak lagi peduli soal pertahanan terhadap pendatang. Mungkin bukannya tak mampu, tapi lebih didasari pada kemalasan warganya, atau kesadaran akan kekuatan sendiri. Seperti tak merasa butuh menonjolkan diri. Cukuplah dengan bercokol sedikit di atas lembah di kaki pegunungan, dan rasanya memang lebih tepat begitu.
Kota yang nyaman dan percaya diri ini bernama Grasse. Sudah puluhan tahun menjadi pusat produksi dan penjualan wewangian, parfum, sabun, serta minyak. Mendiang Giuseppe Baldini selalu menyebut tempat ini dengan takzim. Kota ini adaah Roma-nya wewangian, tanah surga para pembuat parfum, dan mereka yang belum pernah ke sini tak pantas menyandang gelar ahli parfum.
Grenouille menatap kota itu dengan pandangan sejuk. Ia tak sedang mencari tanah surga para pembuat parfum dan hatinya tidak melonjak melihat kota kecil menempel di lereng gunung. Kedatangannya dilandasi kesadaran bahwa di tempat ini ia bisa memelajari beberapa teknik pembuatan aroma yang lebih baik ketimbang di kota mana pun di dunia. Ia ingin - tidak - ia harus mendapatkan pengetahuan itu, demi tujuan pribadi.
Grenouille mengambil flacon parfum dari saku, memercik sedikit, dan lanjut berjalan. Satu setengah jam kemudian, sekitar tengah hari, ia tiba di Grasse.
Ia makan siang di sebuah penginapan dekat jantung kota, di sebuah tempat bernama Aires. Halamannya dibagi dua oleh sebuah selokan di mana para penyamak kulit mencuci kulit hasil samakan dan setelahnya dijemur sampai kering. Baunya begitu menyengat dan kerap membuat pelanggan penginapan kehilangan selera makan. Tapi tidak buat Grenouille. Malah terasa akrab di hidung. Membuatnya merasa aman. Di setiap kota, yang dicari pertama kali selalu lokasi penyamakan. Baru setelah itu menjelajah ke tempat lain.
Sepanjang siang ia habiskan dengan berkeliling kota. Ternyata memang sangat kotor dan jorok. Mungkin lantaran air yang memancar dari sumur dan banyak mata air lain dibiarkan mengalir begitu saja tanpa dibuatkan sungai atau selokan, membanjiri jalan dan menyisakan kotoran. Rumah-rumah di beberapa lokasi permukiman
berdiri begitu rapat, menyisakan celah hanya beberapa meter untuk gang dan tangga, memaksa pejalan kaki untuk saling bersenggolan menyusuri tanah becek. Bahkan di alun-alun dan sepanjang jalan kota yang lebih besar, kendaraan masih sulit lalu-lalang.
Namun betapapun kotor, sempit, dan jorok, kota ini tetap ramai dengan aktivitas perdagangan. Sepanjang perjalanani Grenouille mendapati tak kurang dari tujuh usaha pembuatan sabun, selusin ahli parfum, pembuat sarung tangan, tempat-tempat penyulingan berjumlah lebih dari sepuluh jari, studio pembuatan minyak rambut dan toko rempah-rempah, juga tujuh pengusaha grosir parfum.
Mereka ini adalah para psdagang yang berkuasa penuh mengendalikan jalur perdagangan aroma. Orang tak bisa langsung menebak dari rupa rumah-rumah mereka. Tampaknya saja yang sederhana ala kelas menengah, tapi yang tersimpan di belakangnya, dalam gudang dan loteng-loteng raksasa, dalam tong-tong minyak, di tumpukan sabun lavender terbaik, dalam botol-botol besar kolonye bebungaan, anggur dan alkohol, dalam bal-bal kulit beraroma, dalam tumpukan karung dan peti-peti besar serta kecil sarat berisi rempah-rempah.... Grenouille
mengendusi setiap detail yang menguap dari balik dinding-dinding tebal. Baginya ini jauh lebih kaya dari kekayaan sepuluh orang pangeran. Dan ketika ia mengendus lebih dalam menembus toko-toko dan gudang penyimpanan sepanjang jalan, ia menemukan bahwa di balik perumahan pinggiran ini tersimpan bangunan-bangunan mewah. Ada taman kecil namun sangat elok, tempat mawar-mawar beracun dan pohon-pohon palem tumbuh subur serta air-air mancur dipagari semak bunga berornamen. Ruangan-ruangan ini memanjang dari sayap-sayap rumah yang tampak dari luar, biasanya dibuat membentuk huruf U ke arah selatan. Di lantai atas, kamar-
kamar tidur bermandikan sinar matahari, dinding berlapis sutra, sementara di lantai bawah ada ruang-ruang duduk berlapis dinding kayu, juga ruang makan. Kadang disertai teras yang dibangun menjorok ke udara terbuka. Tempat ini, persis kata Baldini dulu, adalah tempat penghuninya makan dengan piring porselen dan peralatan makan dari emas. Orang-orang yang tinggal di balik selubung toko-toko sederhana ini bermandikan emas dan kekuasaan. Kekayaan yang diamankan dengan sangat hati-hati. Tercium sangat kuat, melebihi apa pun yang pernah diendus Grenouille sepanjang tur mengeliling kota ini.
Ia berhenti dan berdiri sejenak di depan salah satu istana terselubung ini. Rumah itu terletak di muka jalan Droite yang merupakan jalan arteri utama yang membagi seluruh kota dari timur sampai ke barat. Penampilannya biasa saja, tak ada yang luar biasa. Bagian depan barangkali sedikit lebih luas dan lebih besar dari tetangga kanan-kiri, tapi tetap tidak mencolok. Di pintu gerbang berdiri sebuah kereta tempat tong-tong diturunkan ke sebuah jalur landai. Ada sebuah kendaraan lain yang menunggu. Seseorang membawa setumpuk kertas masuk ke ruangan kantor, keluar lagi bersama seorang pria lain, keduanya menghilang melewati pintu gerbang. Grenouille berdiri di seberang jalan dan mengamati. Kita tahu ia tidak tertarik dengan kesibukan atau bisnis atau apalah, tapi toh ia berdiri di situ, maka pasti ada apa-apanya.
Ia berpejam mata dan berkonsentrasi pada aroma yang mengambang dari bangunan di seberang jalan itu. Ada aroma tong-tong cuka apel dan anggur, aroma sesak gudang barang, aroma kekayaan yang disembunyikau oleh tembok-tembok tinggi, dan akhirnya aroma taman yang pasti terletak jauh di ujung bangunan itu. Tidak mudah menangkap aroma taman itu, karena mereka datang dalam
untaian tipis dari atas atap rumah dan turun ke jalan. Grenouille bisa mengenali aroma bunga magnolia, bakung, daphne, dan rhododendron, tapi sepertinya ada aroma lain. Sesuatu di taman itu yang mengeluarkan aroma sangat indah. Aroma yang begitu elok dan tak pernah ia endus sebelumnya - atau barangkali pernah, satu kali. Tapi sudah lama sekali. Ia harus bisa mendekati sumber aroma ini.
Grenouille menimbang-nimbang apakah hendak langsung menerabas saja melewati gerbang dan masuk. Tapi sementara begitu banyak orang lalu-lalang sibuk mengangkut dan menghitung tong-tong di muka rumah, risiko ketahuan akan cukup besar. Grenouille memutuskan untuk kembali ke jalan, mencari gang kecil atau celah sepanjang sisi rumah yang mungkin bisa membawanya ke bagian belakang. Ia berjalan beberapa meter sampai menembus gerbang kota di ujung jalan Droite, berbelok tajam ke kiri dan menyusuri dinding kota sepanjang kaki gunung. Kaki belum lagi melangkah terlalu jauh ketika aroma taman itu tercium. Mulanya samar, bercampur dengan aroma padang pegunungan, tapi makin lama makin kuat. Tahulah ia bahwa jaraknya sudah dekat. Sangat dekat. Taman itu persis berada di balik tembok kota. Persis di sebelah, hanya terhalang dinding. Kalau ia mundur sedikit sepanjang lereng yang menuju ke atas, ia bisa melihat pucuk-pucuk dahan pohon jeruk di balik tembok.
Sekali lagi ia menutup mata. Aroma taman menghambur masuk. Konturnya begitu persis dan jelas terbayang di pikiran. Dan aroma itu, aroma magis yang paling berharga itu, ada di antara mereka. Wajah Grenouille dibakar gairah, sekaligus dingin di tengkuk oleh rasa takut. Darah naik ke kepala dan turun ke pusar, lalu naik lagi, turun lagi - tubuh ini nyaris tak bisa dikendalikan. Serangan aroma ini datang begitu tiba-tiba. Untuk sesaat, setarikan napas yang rasanya bagai seabad, waktu terlipat dua atau malah lenyap sama
sekali karena detik itu ia tak mampu menjejaki ruang dan waktu. Rasanya seperti ditembakkan dari moncong meriam ke dinding masa lalu, ke jalan Marais di Paris, ke suatu malam di awal September 1753. Tak salah lagi. Aroma yang keluar dari taman ini adalah aroma gadis berambut merah yang ia bunuh malam itu. Penemuan ini membuat ia menangis terharu - dan kesadaran bahwa hal ini tak mungkin terjadi membuatnya takut setengah mati.
Grenouille merasa pusing. Ia gamang sejenak dan terpaksa bersandar ke tembok, lalu melorot berjongkok. Berusaha mengendalikan diri dan indra penciumannya, ia mulai menghirup aroma "magis" itu dalam tarikan-tarikan pendek dan tidak berbahaya. Perlahan ia menyimpulkan bahwa walaupun aroma dari balik tembok ini sangat mirip dengan aroma si gadis berambut merah, tapi tidak benar-benar persis. Katakaniah, 98 persen nyaris menyamai. Sungguh luar biasa! Dalam imajinasi penciumannya Grenouille melihat si gadis seolah dengan mata kepala sendiri. Ia tidak sedang duduk tapi berlompatan, melakukan pemanasan lalu diam mendinginkan diri. Tampaknya sedang bermain permainan di mana ia harus bergerak dan diam dengan cepat. Ada orang lain juga. Seseorang dengan bau yang tidak terlalu menonjol. Orang ini memiliki kulit putih bersih. Bermata hijau. Bintik-bintik di wajah, leher, dan buah dada.... napas. Grenouille berhenti
sejenak, lalu mengendus lebih giat dan mencoba menekan ingatan aroma si gadis berambut merah dari jalan Marais. Bukan apa-apa, tapi gadis di balik tembok ini belum lagi memiliki buah dada! Kuncup pun belum. Sangat lembut, nyaris tak berbau dan berbintik-bintik. Buah dada yang baru mulai mengembang - kemungkinan sejak beberapa hari terakhir, atau malah beberapa jam, lalu atau detik ini. Sedemikian mungilnya tangkup buah dada gadis ini..Dengan kata lain: si gadis masih bocah! Tapi bukan sembarang bocah!
Keringat menetes di kening Grenouille. Ia tahu bahwa anak-anak tidak memiliki aroma khusus. Tak bedanya kuncup hijau pada bunga sebelum merekah. Tapi anak di balik tembok ini, kuncup ini masih tertutup rapat, yang berarti baru saja memancarkan ujung aromanya. Tak mungkin dikenali manusia lain kecuali Grenouille. Anak sekecil ini sudah mampu mengeluarkan aroma surgawi yang kelak jika merekah akan memancarkan aroma parfum yang belum pemah dicium jagat. Sekarang saja baunya sudah enak sekali. Grenouille teringat dan membandingkannya dengan gadis berambut merah dari jalan Marais. Si kecil di balik tembok pastinya tidak bertubuh semontok dan sematang itu, tapi lebih halus, lebih kaya nuansa, dan lebih alami. Dalam satu atau dua tahun ke depan aroma ini akan semakin matang dan menciptakan daya tarik yang tak mungkin ditolak siapa pun, pria atau wanita. Orang akan dengan mudah luluh dan takluk di bawah pengaruh magis si gadis tanpa tahu kenapa. Dan karena mereka sedemikian bodoh, menggunakan hidung hanya untuk bernapas dan hanya meyakini apa yang bisa dilihat mata, lantas berpendapat bahwa ini pasti disebabkan oleh kecantikan, keanggunan, dan pesona fisik si gadis. Dalam kedunguan mereka akan memuji-muji keelokan tubuh, kerampingan, dan buah dada. Mata yang katanya bagai zamrud, gigi mutiara, perut semulus gading, dan segudang pembanding idiot lainnya. Lalu didaulatlah si gadis sebagai Ratu Melati. Dilukis oleh seorang pelukis bodoh, dikerling penuh puja-puji sebagai wanita terelok di seluruh Prancis. Remaja-remaja pria berebut memetik mandolin di bawah jendela; para lelaki kaya nan buncit berlutut merajuk pada ayah si gadis agar menerima pinangan mereka; dan wanita segala usia akan mendesah
iri sampai terbawa mimpi ingin memiliki wajah dan tubuh seperti itu walau hanya sehari. Tidak satu pun sadar bahwa sesungguhnya bukan penampilan yang telah menjerat mereka. Bukan keindahan eksternal yang membuai jagat, tapi murni aroma tubuh! Hanya Grenouille yang sadar akan hal ini. Ya, ia sendiri. Ia tahu persis fakta ini.
Ah! Ingin sekali memiliki aroma ini. Tapi tidak dengan ceroboh seperti ketika menguras aroma si gadis dari jalan Marais. Saat itu ia hanya mengisap untuk diri sendiri dan akhirnya malah merusak aroma tersebut. Tidak. Ia ingin sungguh-sungguh memiliki aroma gadis kecil di balik tembok ini. Menguliti dari kulitnya dan menjadikan aroma itu sebagai milik pribadi. Bagaimana caranya, ia belum tahu. Tapi ia punya waktu dua tahun untuk putar otak. Yang pasti akan jauh lebih sulit dari merampok aroma sekuntum mawar langka.
Grenouille bangkit. Nyaris dengan takzim, seperti meninggalkan sesuatu yang suci atau kekasih yang lelap. Ia menjauh perlahan, dengan lembut, membungkuk agar tidak dilihat atau didengar orang. Jangan sampai ada yang menyadari penemuan ini. Maka berlarilah ia sepanjang tembok ke ujung lain kota itu, di mana ia tak lagi diusik aroma si gadis dan masuk kembali lewat pintu gerbang Feneants.
Grenouille berdiri di bawah bayang-bayang bangunan. Kebusukan aroma jalanan membuatnya merasa nyaman dan membantu menjinakkan nafsu yang semula membludak. Dalam lima belas menit ia tenang kembali, sambil mencatat dalam hati untuk tidak lagi mendekati daerah sekitar taman di belakang tembok. Sikap terlalu hati-hati ini sebenarnya tidak perlu, tapi ia sedang terlalu senang. Sang bunga akan mekar sendiri di sana tanpa ia harus melakukan apa-apa, dan ia sudah tahu persis dengan cara apa bunga itu akan merekah. Grenouille tak ingin
meracuni diri dengan aroma itu secara prematur. Ia harus menyibukkan diri dengan pekerjaan. Memperluas pengetahuan dan menyempurnakan teknik agar lebih siap saat panen tiba. Ia punya waktu dua tahun.
Tiga Puluh Enam TAK JAUH DARI GERBANG FENEANTS, di jalan Louve, Grenouille menemukan sebuah tempat usaha pembuatan parfum kecil dan melamar kerja.
Ia beroleh kabar bahwa pemilik usaha, Maitre parfumeur Honore Arnulfi, telah meninggal pada musim dingin tahun lalu dan bahwa janda berusia tiga puluh tahun berambut hitam nan ceria ini sekarang mengurus bisnis sendiri, dibantu oleh seorang ahli.
Setelah berkeluh-kesah tentang masa-masa paceklik dan kondisi keuangan yang menjelang ajal, Madame Arnulfi menyatakan bahwa ia tak sanggup membiayai seorang ahli lagi, tapi ia memang membutuhkan tenaga ahli untuk menangani bisnis di masa depan. Ia tak bisa menampung Grenouille di rumah ini tapi memiliki sebuah kabin kecil di tengah padang zaitun di belakang biara Franciscan yang jauhnya tak sampai sepuluh menit berjalan kaki. Grenouille bisa tidur di situ kalau mau, kendati sempit. Ia mengaku bahwa sebagai seorang nyonya yang baik ia berkewajiban mengurus kesejahteraan fisik para pekerjanya, tapi tak mampu memberi sarapan dua kali sehari. Pendek kata, seperti dugaan Grenouille, Madame Arnulfi adalah seorang wanita kaya nan pelit dengan insting bisnis yang baik. Dan karena Grenouille tidak rewel soal uang dan menyatakan diri cukup puas dibayar dua franc seminggu plus kebutuhan minim lainnya, kesepakatan dengan segera
terjalin. Ahli pertama dipanggil - seorang pria raksasa bernama Druot. Grenouille langsung tahu bahwa orang ini berbagi ranjang dengan Madame Arnulfi secara teratur dan sang janda tak bisa mengambil putusan penting tanpa berkonsultasi dengannya lebih dulu. Dengan kaki terentang dan awan aroma bernuansa sperma, ia menjejakkan diri di depan Grenouille yang tampak begitu ringkih, mengamati dari ke bawah, memandang lurus ke mata - seolah dengan teknik ini ia bisa mencium niat buruk atau gelagat sebagai calon saingan, akhirnya memberi sinyal persetujuan dengan sebuah anggukan.
Setelah urusan kontrak selesai, Grenouille berjabat tangan, dan makanan kecil yang sudah dingin, sehelai selimut, dan kunci di belakang biara. Kabin itu lebih tepat disebut gubuk. Tidak berjendela dan berbau jerami serta kotoran ka bing. Tapi Grenouille tidak protes. Ia malah suka dan mencoba membuat situasi senyaman mungkin. Esok ia mulai bekerja untuk Madame Arnulfi.
Saat itu sedang musim bunga jonquil. Madame Arnulfi menanam bunga itu dalam bidang-bidang kecil di sebidang tanah bercekungan lebar miliknya di bawah kota, atau membeli dari para petani yang ia tawar gila-gilaan setiap onsnya. Bunga dikirim pagi-pagi sekali lalu dipindah ke ruang kerja dengan keranjang, ke sebuah tumpukan yang sangat banyak namun ringan dan harum. Di saat yang sama, Druor mencairkan lemak babi dan lemak sapi dalam sebuah tungku besar untuk dijadikan sup berkrim. Sesekop penuh bunga segar ia masukkan ke godokan sementara Grenouille terus mengaduk menggunakan pengaduk sepanjang sapu. Bunga-bunga itu mengapung sebentar, seperti mata manusia menjelang kematian, dan segera kehilangan warna begitu pengaduk mendesak mereka ke pelukan minyak hangat. Nyaris seketika itu juga bunga-bunga itu pudar dan melayu. Kematian datang begitu cepat dan mereka tak
punya pilihan selain menghembuskan napas aroma terakhir ke dalam minyak. Greno menyaksikan semua ini dengan sangat kagum. Makin banyak bunga yang ia desak ke dalam tungku, makin manis aroma minyaknya. Bukan berarti bunga-bunga itu terus menyesakkan aroma, tapi minyak sendiri telah membentuk dan menegaskan aroma tersebut.
Kadang sup menjadi terlalu kental sehingga harus segera. dituang ke dalam ayakan, membebaskannya dari bangkai bunga dan memberi ruang untuk bunga baru. Begitu terus Grenouille dan Druot bekerja sepanjang hari tanpa berhenti karena prosedurnya memang tidak memungkinkan penundaan. Sampai sore, seluruh tumpukan bunga ludes ke tungku minyak. Agar tidak ada yang terbuang percuma, sisanya direndam dalam air panas dan diperas sampai tetes terakhir dalam sebuah mesin pemeras. Itu pun masih sedikit mengambangkan keharuman. Mayoritas aroma yang menjadi jiwa lautan bunga ini tetap berada dalam tungku. Ditutup rapat dan diawetkan dalam pelumas berwarna putih buram yang tidak berbau dan lambat mengental.
Prosedur maceration - pelembutan dengan metode perendaman ini berlanjut keesokan harinya. Tungku dipanaskan lagi, minyak dicairkan dan diberi makan bebungaan baru. Ini berlangsung sampai beberapa hari, dari pagi sampai sore. Benar-benar pekerjaan melelahkan. Tangan Grenouille serasa rontok dan tinggal tulang. Punggungnya sakit setiap kali menyeret badan pulang ke kabin. Walau Druot setidaknya berbadan tiga kali lebih kuat, ia tak pernah au bergantian engaduk. Malah dengan ramah terus menuang bunga, menjaga api dan kadang - entah karena panas atau apa - pergi keluar untuk minum. Tapi Grenouille tidak protes. Ia terus mengaduk bunga di dalam minyak tanpa mengeluh. Dari subuh sampai
malam dan nyaris tidak menyadari beratnya pekerjaan lantaran tak habis kagum dengan proses yang berlangsung di depan mata dan di bawah hidungnya ini: pada bunga-bunga yang layu begitu cepat dan penyerapan aroma mereka.
Suatu hari Druot memutuskan bahwa minyak sudah jenuh dan tak mampu menyerap aroma lagi. Ia mematikan api, mengayak minyak kental untuk terakhir kali, dan menuang hasilnya ke wadah tembikar. Minyak dengan segera mengeras menjadi pomade - minyak rambut yang sangat harum.
Kini giliran Madame Arnulfi beraksi. Ia hadir menguji kandungan logam dari produk yang baru dibuat, memberi nama dan mencatat dengan persis kualitas serta kuantitas produk tersebut. Setelah menyumbat wadah tembikar, menyegel, dan menyimpannya di gudang loteng berhawa sejuk, ia merapikan gaun hitamnya, mengambil kerudung berkabung sebagai seorang janda, lalu berkeliling ke pari penjual parfum grosir dan eceran. Dengan rayuan mengharukan ia menjelaskan pada para lelaki itu tentang kondisinya sebagai seorang wanita yang ditinggal mati suami, membiarkan mereka menawar, membandingkan harga, mendesah lemas, dan akhirnya menjual atau kadang tidak menjual apa-apa.
Minyak rambut berparfum, jika disimpan di tempat sejuk, dapat bertahan dalam jangka waktu lama. Kalau harga saat ini sedang jelek, siapa tahu akan naik lagi di musim dingin atau musim panas berikutnya. Di samping pertimbangan lain apakah hendak menjual ke pedagang keliling seperti ini atau bergabung dengan produsen-produsen kecil lain dan bekerja sama mengirim pomade ke Genoa atau berbagai konvoi ke pasar malam musim gugur di Beaucaire. Ini memang bisnis berisiko, tapi sangat menguntungkan kalau sukses. Madame Amulfi dengan
sangat hati-hati mempertimbangkan berbagai kemungkinan ini. Kadang ia mau menekan kontrak, menjual beberapa porsi dagangan tapi tetap menyimpan porsi lain untuk cadangan, juga mengambil risiko bernegosiasi dengan pihak ketiga untuk kepentingan pribadi. Ini memang melanggar kontrak, tapi kalau selama masa negosiasi itu ia mendapat kesan bahwa pasar pomade sedang jenuh dan bahaya jika menumpuk barang, ia segera pulang ke rumah, menyampir kerudung, menyuruh Druot menuang produk ke tempat pemurnian dan mengubahnya menjadi essence absolue.
jika demikian yang terjadi, pomade akan dikeluarkan lagi dari gudang loteng, dihangatkan dengan hati-hati dalam belanga-belanga tertutup, dicairkan dengan alkohol rektifikasi, lalu dicampur dan dibilas seluruhnya dengan pengaduk yang dioperasikan oleh Grenouille. Sekembali ke gudang loteng, adukan ini segera didinginkan. Kandungan alkoholnya dipisahkan dan dituang ke botol lain. Ini proses pembuatan sejenis parfum dengan intensitas kepekatan luar biasa, sementara sisa pomade tak bisa dipakai karena telah kehilangan mayoritas aroma. Dus, aroma bunga ditransfer ke medium lain. Tapi pekerjaan tidak berhenti sampai di sini. Setelah alkohol berparfum disaring dengan hati-hati dengan ayakan dawai agar sesedikit mungkin mengandung sisa minyak, Druot menuang alkohol berparfum itu ke sebuah kepala tambat kecil, lalu disuling perlahan di atas api kecil. Yang tersisa adalah sejumlah kecil cairan berwarna pucat yang sangat dikenal Grenouille tapi belum pernah dicium dalam kualitas dan kemumian seperti ini, baik di laboratorium Baldini ataupun Runel. Ini sari pati terbaik dari minyak bunga. Polesan aromanya dipekatkan seratus kali menjadi sebotol kecil essence absolue. Esensi ini tak lagi membawa aroma manis. Baunya nyaris menyengat, tajam, dan sengit. Tapi jika setetes saja dilarutkan dalam seliter alkohol, mampu membugarkan dan membangkitkan seluruh aroma bunga yang tersembunyi.
Hasilnya sedikit sekali. Cairan hasil sulingan hanya mampu mengisi tiga flacon kecil. Tak ada yang tersisa dari ratusan ribu bunga kecuali tiga flacon mungil itu. Namun produk ini kini memiliki nilai sangat tinggi, bahkan di kota Grasse ini. Nilainya bisa lebih tinggi lagi begitu dikirim ke Paris atau Lyon, ke Grenoble, Genoa atau Marseille! Madame Arnulfi memandangi tiga flacon itu seolah mengelusi permukaannya dengan mata, lalu menyumbat lubang dengan gabus keras yang pas memenuhi leher flacon sambil menahan napas, seolah cemas agar tidak setetes pun benda berharga ini yang terhirup atau terbuang percuma oleh napas. Agar lebih yakin bahwa tidak satu atom pun terbuang percuma, ia menyegel sekeliling sumbat dengan lilin dan membungkus leher botol dengan plastik keras. Baru setelah itu ia taruh dalam sebuah peti kayu beralas kain katun, kemudian disimpan dan dikunci di loteng atas.
Tiga Puluh Tujuh PADA BULAN APRIL mereka merendam belukar broom serta bunga pohon jeruk. Lautan mawar mendapat giliran di bulan Mei. Aroma manisnya seperti menenggelamkan seluruh kota dalam kabut krim manis yang tak terlihat selama sebulan.
Grenouille bekerja seperti kuda pacu. Tanpa menonjolkan diri dan dengan kepatuhan seorang budak, ia lakukan semua tugas yang disuruh Druot. Tapi sementara ia mengaduk, menggosok bak mandi, membersihkan
tempat itu, atau mengisi kayu bakar seolah tanpa otak, sesungguhnya tak satu hal pun yang luput dari perhatiannya, baik bisnis maupun proses metamorfosis aroma. Grenouille memanfaatkan hidung ajaibnya untuk mengobservasi dan memonitor setiap detail kejadian dengan lebih baik ketimbang Druot. Contohnya, migrasi aroma kelopak mawar tadi; dari minyak mawar ke alkohol, sampai ke flacon-flacon kecil yang amat berharga. Jauh sebelum Druot sadar, ia sudah lebih dulu tahu kapan godokan minyak sudah terlalu panas, kapan bunganya perlu ditambah, dan kapan godokan telah sarat aroma. Grenouille bisa mencium apa yang terjadi di dalam. tungku dan kapan persisnya penyulingan harus berhenti. Kadang ia sengaja memberi tahu ini - tentu dengan cara yang tidak mencurigakan dan berupa saran. Misalnya ketika ia berkata, "Godokan minyak mungkin sudah terlalu panas...," atau, "Minyak ini sebaiknya disaring dulu...," atau, "Rasanya alkohol dalam tabung penyulingan ini sudah menguap .....
Druot tidak terlalu bodoh untuk mengabaikan begitu saja "saran-saran amatir" ini. Ia tahu bahwa hasilnya memang bisa lebih baik jika menuruti kata-kata Grenouille. Apalagi melihat cara penyampaianya yang tidak angkuh atau sok tahu, juga karena Grenouile tidak pernah -terlebih di hadapan Madame Arnulfi - mengabaikan atau meragukan otoritas dan posisi Druot sebagai seorang ahli utama, tidak pula memberi saran dengan nada sinis atau menyinggung. Jadi, tak ada salahnya dituruti. Pun seiring bergulirnya waktu, ia tak merasa terlalu keberatan menyerahkan hampir segala putusan dalam proses pekerjaan pada Grenouille.
Dus, makin lama Grenouille tak hanya ditugasi mengaduk adonan, tapi juga memasukkan bunga ke tungku, memanaskan dan mengayak, sementara Druot pergi ke kedai Quatre Dauphins di seberang jalan untuk minum segelas anggur atau ke lantai atas, "menghibur" Madamc Arnulfi. Yakin bahwa Grenouille bisa diandalkan.
Di pihak lain, meski pekerjaannya jadi dua kali lipat lebih berat, Grenouille lebih suka bekerja sendiri. Menyempurnakan teknik baru dan kadang sedikit bereksperimen. Dengan girang ia menemukan bahwa pomade buatannya bisa dibilang lebih baik, dan bahwa essence absolue buatannya sendiri lebih murni beberapa persen ketimbang buatannya bersama Druot.
Musim bunga melati berawal di akhir bulan Juli dan bunga tiberosa di bulan Agustus. Parfum dari kedua bunga ini sangat halus, elok, dan rapuh. Tak hanya bunganya harus dipetik sebelum matahari terbit, tapi mereka juga menuntut perhatian dan penanganan khusus. Bila dihangatkan aromanya berkurang dan jika dididihkan akan musnah sama sekali. "Jiwa" mereka tak bisa direnggut begitu saja, tapi harus "dibujuk" secara metodis menggunakan ruang resapan khusus, di mana bunga-bunga itu ditabur di atas lempengan kaca berlapis minyak lemak dingin atau dibungkus kain berlapis minyak lemak. Dengan cara ini mereka akan mati dalam tidur. Butuh tiga hingga empat hari sampai mereka layu dan menguapkan aromanya ke lapisan minyak... Sisa bunga diangkat hati-hati untuk memberi ruang bagi bunga baru. Prosedur ini diulang antara sepuluh sampai dua puluh kali. Baru pada bulan September pomade dari bunga ini bisa dibuat dan minyak wangi bisa diperas dari kain pembungkus. Hasilnya memang jauh lebih sedikit daripada metode perendaman, namun kemurnian dan kualitas pasta melati atau huile antique de tubereuse ini jauh melebihi hasil yang diperoleh dengan teknik lain. Khusus untuk bunga melati, permukaan minyak wangi yang dihasilkan sangat bening, manis, lengket, beraroma erotis dan murni. Hidung Grenouille mampu membedakan antara aroma bunga yang asli dengan
parfum yang dihasilkan, karena campuran aroma spesifik dari media minyak yang dipakai - betapa pun murni - tetap hadir laksana kelambu jaring laba-laba di atas aroma melati. Melembutkan dan menipiskan ketajaman aroma asli sedemikian rupa agar lebih enak diendus manusia normal. Di pihak lain, teknik perendaman dingin tetap merupakan metode terbaik dan paling efektif untuk menangkap aroma-aroma lembut. Tak ada cara lain lagi yang lebih baik. Pun bila metode ini dirasa tidak cukup baik buat hidung Grenouille, sudah lebih dari cukup buat hidung manusia normal.
Berbagai teknik seni pembuatan parfum dikuasai Grenouille dengan cepat. Bahkan melebihi Druot, gurunya sendiri. Namun Grenouile tetap waspada agar tidak menonjol dan menjaga sikap merendah. Membuat Druot dengan senang hati membiarkannya pergi ke rumah jagal untuk membeli lemak yang paling tepat, memurnikan dan memprosesnya, menyaring serta menyesuaikan proporsinya sedemikian rupa agar menjadi media terbaik penangkap aroma. Ini pekerjaan sulit dan kerap dikeluhkan oleh Druot karena lemak yang banyak mengandung campuran bahan lain menjadi basi atau terlalu berbau babi, kambing, atau sapi, dapat merusak pomade yang hendak dibuat. Ia biarkan Grenouile memutuskan sendiri bagaimana mengatur lempengan-lempengan berlapis minyak di ruang resapan, kapan waktu rotasi memasukkan bebungaan, dan apakah pomade yang dibuat sudah cukup resap. Tak lama kemudian ia juga mengizinkan Grenouille memutuskan hal-hal krusial yang hanya bisa dikira-kira, sama dengan Baldini dulu. Grenouille mampu menentukan takaran yang lebih tepat, tentunya dengan bantuan hidung. Tapi Druot tak pernah curiga soal ini.
"Ia punya sentuhan yang baik," ujar Druot suatu kali. "Untuk sejumlah hal, instingnya bisa diandalkan." Kadang ia
juga berpikir, "Sesungguhnya, kalau mau jujur, ia lebih berbakat daripada aku - seratus kali lebih baik sebagai seorang ahli parfum." Tapi tetap saja ia menganggap Grenouile dungu karena pemuda itu sama sekali tak berniat mengomersialisasikan bakatnya. Padahal kalau Druot diberi sedikit saja dari bakat itu, niseaya ia bakal jadi pakarnya ahli parfum. Grenouille dengan lihai mendorong Druot untuk sampai pada kesimpulan tersebut dengan menunjukkan kesan bodoh, membosankan, serta tak berambisi. Bertingkah seperti tak menyadari kegeniusan diri sendiri dan hanya mau bekerja berdasarkan perintah Druot yang dianggap lebih berpengalaman. Dus, atas dasar ini mereka mampu bekerja sama dengan baik.
Musim gugur dan musim dingin tiba. Suasana tempat kerja jadi lebih sepi. Aroma bunga terperangkap di tempayan dan flacon-flacon di gudang loteng. Jika Madame Arnulfi tidak menyuruh membuat pomade atau barang lain atau menyuling sekarung rempah-rempah kering, tak banyak pekerjaan yang bisa dilakukan. Panen zaitun tetap dipetik beberapa keranjang tiap minggunya. Minyaknya diperas dan sisanya ditaruh di penggingan. Anggur juga disuling menjadi alkohol rektifikasi.
Makin lama, Druot makin jarang kelihatan. Ia lebih sering "dinas" di ranjang Madame Arnulfi. Setiap kali muncul badannya bau keringat dan air mani. Itu pun paling hanya sekadar lewat dan langsung menuju kedai minum. Madame juga jarang turun dari lantai atas. Sibuk dengan perhitungan investasi dan menyiapkan pakaian berkabung sebagai seorang janda. Berhari-hari Grenouille nyaris tidak melihat seorang pun kecuali pembantu yang bertugas menyiapkan sup makan siang, roti, dan zaitun untuknya.
Sementara itu, Grenouille juga jarang sekali keluar rumah. Ia ikut ambil bagian dalam kehidupan bisnis parfum - dengan menghadiri pertemuan dan prosesi para ahli -
hanya agar tidak terlalu menonjolkan, saat ada maupun tidak. Itak punya teman atau kenalan dekat, namun tetap berhati-hati agar tidak dianggap sombong atau kurang supel. Pada para ahli lain ia meninggalkan kesan sebagai sosok yang membosankan dan tidak menguntungkan. Grenouille jadi ahli berakting membosankan dan ceroboh, walau tidak kelewatan sampai menjadi bahan olok-olok atau objek lelucon di serikat kerja. Ia sukses membuat orang berpikir bahwa ia sama sekali tidak menarik. Orang-orang membiarkannya sendiri, dan Grenouille memang lebih suka begitu.
Tiga Puluh Delapan GRENOUILLE MENGHABISKAN WAKTU di tempat kerja. Pada Druot ia menjelaskan bahwa ia sedang mencoba menciptakan formula kolonye baru. Padahal sesungguhnya ia sedang bereksperimen aroma untuk hal yang sama sekali lain. Walau amat jarang dipakai, parfum yang ia buat di Montpellier makin lama makin menipis. Grenouille harus membuat yang baru. Kali ini ia tidak puas hanya menyalin aroma dasar manusia dengan mencampur ramuan begitu saja. Ada kebanggaan baru untuk menambahkan setitik aroma pribadi, atau lebih.Pertama-tama ia membuat aroma yang mampu membuatnya jadi tidak mencolok - aroma sehari-hari yang biasa-biasa saja, lengkap dengan aroma asam keju khas manusia, namun dibuat sedemikian rupa agar seolah keluar dari pakaian yang dikenakan. Ini dimaksudkan agar ia lebih leluasa bergerak di tengah manusia. Parfum ini cukup mampu menegaskan aura kehadiran melatui penciuman, namun dibuat sedemikian rupa agar tidak mengganggu hidung orang lain -
maksudnya, tidak begitu menyengat sampai membuat orang menoleh mencari sumber bau. Dengart parfum ini, Grenouille seolah tidak benar-benar hadir namun ditegaskan dengan aura bersahaja. Cocok dipakai di lingkungan rumah Arnulfi atau saat harus berjalan ke kota.
Kadang aroma ini ada efek jeleknya juga, seperti saat disuruh Druot atau atas keinginannya sendiri keluar membeli ekstrak kesturi. Saking "bersahajanya" parfum itu sampai ia nyaris "tidak tampak" alias tidak diacuhkan oleh penjaga toko, tidak dilayani, diberi barang yang salah atau terlupakan ketika sedang menunggu untuk dilayani. Grenouille lantas membuat parfum yang lebih harum dan sedikit berbau keringat - katakanlah, aromanya lebih punya karakter agar kehadirannya lebih tegas dan orang percaya bahwa ia memang sedang buru-buru serta ada urusan penting. Ia juga sukses mengimitasi aura aroma Druot, yang dipelajari dengan meresapi secarik linen berminyak dengan sedikit telur bebek segar dan fermentasi tepung terigu. Biasa dipakai Grenouille saat sedang butuh menarik perhatian.
Grenouille juga menciptakan parfum khusus untuk menarik simpati dan terbukti efektif di kalangan wanita paruh baya dan nenek-nenek. Berbau susu encer dan kayu lembut segar. Efek yang tercipta bahkan saat keluyuran dengan wajah berantakan tak bercukur, cemberut, dan terbungkus mantel tebal - adalah sosok seorang anak malang bermantel lusuh yang butuh pertolongan. Sekali saja menangkap aromanya, wanita-wanita tua yang bersimpati akan memenuhi kantung mantel Grenouille dengan kacang dan buah pir kering karena ia tampak begitu kelaparan dan tak berdaya. Pernah seorang istri tukang daging membiarkannya memilih daging dan tulang mana saja secara gratis karena aroma Grenouille menyentuh rasa keibuannya/ Grenouille menurut, lalu pulang dan
mencerna daging itu dalam rendaman alkohol untuk digunakan sebagai komponen utama dari aroma berikut yang akan dibuat, khusus jika ia sedang ingin menghindar dan sendirian. Aura aromanya mernuakkan, seperti bau mulut seorang pelacur tua jalanan saat baru bangun tidur. Efeknya sangat efektif, sampai Druot yang pemberani dan perkasa itu langsung menghindar dan keluar mencari udara segar - tentunya tanpa benar-benar menyadari apa yang membuatnya menyingkir. Beberapa parfum tersebut di sekitar kabin juga cukup ampuh mengusir pengganggu, baik manusia maupun binatang.
Berbekal perlindungan beragam aroma ini, yang ia ganti sesuka hati seperti orang bersalin pakaian sesuai situasi, Grenouille mampu bergerak. leluasa di tengah manusia sambil tetap menyembunyikan wajah aslinya. Kegiatan utama difokuskan pada proses pembuatan aroma. Ia belum lupa pada si gadis kecil di balik tembok, dan sisa waktu tinggal setahun lebih sedikit. Secara sistematis ia merencanakan bagaimana mengasah "senjata', memoles teknik, dan menyempumakan metode.
Dus, ia mulai dari percobaan yang dulu gagal dilakukan di tempat Baldini, yaitu mengambil sari pati aroma benda-benda mati, seperti batu, metal, kaca, kayu, garam, air, udara....
Kalau dulu ia gagal total menggunakan proses penyulingan yang masih kasar, kini ia sukses, berkat daya serap luar biasa dari teknik lemak. Grenouille mengambil sebuah pegangan pintu dari kuningan karena ia suka aroma dingin, apak, dan keliatan benda itu. Jadilah ia bungkus dengan lemak daging sapi selama beberapa hari. Dan ternyata berhasil. Saat lemak dibuka dan diperiksa, memang mengandung aroma pegangan pintu, meski amat samar. Pun setelah direndam dalam alkohol, aromanya tidak hilang. Sangat tipis, jauh, dan terbayangi oleh uap
alkohol, tapi tetap mampu diendus hidung Grenouille. Taruhlah tak ada manusia lain yang bisa mencium ini selain Grenouille, tapi setidaknya secara prinsip Grenouille sudah jauh lebib berhasil ketimbang dulu. Kalau ia punya seribu buah pegangan pintu dan membungkusnya dalam buntel lemak sapi selama seribu hari, pasti bisa menghasilkan beberapa tetes parfum beraroma pegangan pintu dari kuningan yang cukup kuat untuk diendus manusia normal. Menghadirkan ilusi kehadiran benda itu di depan hidung mereka.
Grenouille juga sukses bereksperimen dengan debu kapur sebuah batu yang ia temukan di semak taman zaitun di depan kabin. Ia rendam dan ekstraksi menjadi sejumlah kecil pomade rasa batu. Ia suka aroma mikroskopisnya. Lantas dikombinasikan dengan aroma lain dari berbagai objek di sekitar kabin dan dengan susah-payah membuat miniatur aroma taman belukar zaitun di belakang biara Franciscan. Setelah disimpan dalam sebuah flacon kecil, ia mampu membangkitkan taman belukar itu kapan saja ia mau.
Semua ini adalah adikarya aroma dari bermacam pernik remeh yang tak bisa dinikmati atau dikagumi siapa pun selain Grenouille. Sebuah jagat kesempurnaan yang membuat Grenouille berani mencatat bahwa inilah saat-saat paling membahagiakan dalam hidup. Kini tiba saat ia melangkah ke lanskap yang lebih luas. Waktunya mengoleksi objek hidup.
Grenouille mengawali langkah dengan berburu lalat, belatung, tikus, dan kucing kecil, lalu merendam mereka dalam minyak lemak hangat. Malam hari ia merayap ke kandang binatang, menyampirkan kain berlapis minyak ke tubuh sapi, kambing, dan babi selama beberapa jam, atau membungkus dengan perban berminyak. Lain waktu ia menyelinap ke kandang domba dan diam-diam mencukur
seekor biri-biri. Wol yang didapat lalu direndam dalam alkohol rektifikasi. Awalnya tidak terlalu membuahkan hasil. Tidak seperti benda mati, binatang punya kebiasaan buruk untuk protes setiap kali dipaksa menyerahkan aroma. Babi suka merobek perban dengan menggosokkan badan ke tiang pancang; domba mengembik tiap kali didekati tengah malam dengan pisau; sapi dengan bebalnya mengguncang badan menjatuhkan kain lengket yang menempel di punggung. Bahkan serangga juga ikut-ikutan. Beberapa ekor kumbang suka buang air saat dikerjai; lalu tikus - mungkin karena takut - juga buang air di lapisan kain berminyak yang sedianya mau dijadikan dasar pomade ala tikus. Tidak seperti bebungaan, rata-rata binatang yang coba direndam selalu sungkan menyerahkan aroma dengan sukarela. Kalau tidak berisik, pasti meronta-ronta menjelang mati. Menolak pasrah, mencakar dan menendang, membuat keringat keluar dan asamnya merusak lapisan minyak. Mana bisa bekerja dengan baik kalau begini. Objek harus lebih dulu ditenangkan. Dan harus seketika, agar mereka tak sempat panik atau berontak. Satu-satunya jalan adalah: dibunuh.
Metode ini dicoba pertama kali pada seekor anak anjing. Ia pancing agar terpisah dari induknya dengan sepotong daging, dari rumah jagal sampai ke laboratorium. Begitu si anjing kegirangan menikmati daging di tangan kiri Grenouille, segera Grenouille hajar bagian belakang kepalanya dengan sebilah kayu di tangan kanan. Kematian datang begitu tiba-tiba sampai wajah si anjing malang masih memerikan kegirangan di mata dan mulut. Pun setelah dimasukkan ke ruang peresapan. Aroma yang keluar sempurna berbau anjing, tanpa kontaminasi keringat. Tapi ia tetap harus hati-hati karena bangkai organik terkenal cepat rusak. Jadilah Grenouille menunggui korban selama dua belas jam sampai detik pertama
hidungnya menangkap bau bangkai itu - bukannya tak suka, tapi ini harus segera dibereskan kalau tak mau pekerjaan jadi sia-sia. Proses segera dihentikan, bangkai dibuang dan minyak hasil serapan dituang ke belanga untuk dibilas hati-hati. Alkohol hasil sulingan dituang sedikit, lalu ia mengisi sebotol kecil dengan beberapa cetes perasan minyak. Parfum yang dihasilkan sangat jelas beraroma anjing-basah, segar, berlemak, dan agak tajam. Benar-benar seperti anjing. Iseng, ia mengetes parfum itu ke induk mendiang anak anjing tadi di rumah jagal. Kontan si induk anjing langsung menggonggong kegirangan dan tak mau melepas moncongnya dari botol parfum. Grenouille menyegel botol rapat-rapat, menyimpannya di kantong cukup lama, dan membawanya ke mana-mana sebagai suvenir kesuksesan. Saat pertama kali ia berhasil merampas jiwa aromatik dari makhluk hidup.
Selanjutnya, dengan amat bertahap dan hati-hati ia mulai beralih ke manusia. Semula ia menyebar jaring pengintaian agak luas karena belum tahu benar bagaimana melumpuhkan korban baru ini. Metode perburuan dijajal dari jarak jauh.
Berbekal penyamaran dengan parfum, ia membaur di tengah-tengah pengunjung Quatre Dauphins dan diam-diam menyelipkan sehelai kain berlapis minyak lemak di bawah bangku, meja, serta sudut-sudut tersembunyi. Beberapa hari kemudian ia ambil kembali untuk dites. Kendati membaur bersama rupa-rupa aroma dapur, asap rokok, dan anggur, setitik aroma manusia tetap bisa dikenali. Namun ini masih sangat kabur dan tersamar. Tidak terasa personal. Aura massal sejenis yang lebih murni dan halus ia peroleh dari katedral. Grenouille menggantung kain eksperimentaInya pada malam tanggal 24 Desember di bawah bangku gereja dan diambil lagi pada tanggal 26 setelah melalui lebih dari tujuh misa berturut-
turut. Bauran aroma yang menyembur dari resapan kain ini tajam berbau keringat dubur, darah menstruasi, keringat di belakang lutut, dan keringat kepalan tangan, bercampur dengan bau napas ribuan pelantun himne gereja dan ocehan paduan suara Ave Maria, plus induksi dupa khas gereja. Konsentratnya membentuk awan menyesakkan yang tak terlihat, tapi tak petak lagi memang bau manusia.
Aroma individual pertama ia peroleh dari Rumah Sakit de la Charite. Ia berhasil mencuri seprai bekas membungkus mayat seorang ahli pembuat karung selama dua bulan. Sedianya seprai itu hendak dibakar karena si mayat mati oleh sakit paru-paru. Hasilnya sungguh menakutkan. Si pembuat karung seolah bangkit dari kematian. Menguap naik bersama larutan alkohol, mengambang di langit-langit. Sedikit terkontaminasi oleh metode penyulingan dan penyakit, tapi sangat bisa dikenali sebagai personifikasi aroma seseorang. Grenouille bisa membayangkan si mayat bertubuh kecil, usia tiga puluhan, rambut pirang, hidung pesek, tangan dan kaki pendek-pendek, kaki rusak dan rata, kemaluan bengkak, gampang marah dan bau mulutnya apak. Secara aromatik pun tak bisa dibilang tampan. Tak pantas disimpan lama-lama.
Kendati demikian, sepanjang malam. Grenouille membiarkan aroma itu berkibaran di kabin sambil diendusnya berkali-kali. Senang dan puas dengan kekuatan yang kini dipegang atas aura manusia lain. Setelah puas, botol parfumnya ia buang ke tong sampah.
Grenouille mencoba satu eksperimen lagi musim dingin itu. Ia membayar satu franc pada seorang wanita pemulung bisu-tuli untuk mengenakan beberapa set kain gombal berlapis minyak lemak yang langsung menempel ke kulit. Dari sini ia menemukan bahwa lemak panggul daging domba, babi, dan sapi bila dicairkan berkali-kali dengan kombinasi rasio 2:3:5 plus sedikit minyak perawan, sangat baik menyerap aroma manusia.
Grenouille menyudahi sampai di situ. Ia menahan diri untuk tidak menguasai dan memproses sepenuhnya seorang manusia hidup. Setidaknya jangan dulu. Risiko masih terlalu besar dan tak ada pengetahuan baru yang bisa diperoleh. Yang penting sekarang ia telah menguasai teknik yang dibutuhkan untuk merampas aroma manusia. Tak perlu pembuktian lebih jauh lagi.
Lagi pula, aroma manusia sama sekali tidak penting. Ia lebih dari sanggup membuat imitasinya kalau mau. Yang diimpikannya adalah aroma manusia tertentu. Manusia-manusia langka yang mampu menumbuhkan rasa cinta. Inilah korban sesungguhnya.
Tiga Puluh Sembilan PADA BULAN JANUARI, sang janda Arnulfi menikahi ahli utamanya, Dominique Druot, yang lantas naik pangkat menjadi Maitre gantier etparfumeur. Jamuan makan besar-besaran digelar untuk para master kelas satu, dan pesta yang lebih sederhana untuk para ahli biasa. Madame Arnulfi membeli seprai baru untuk ranjang yang kini dibagi secara, resmi bersama Druot dan membuang semua pakaian mendiang suaminya dari lemari. Nama dinasti Arnulfi tetap dipakai, bersama dengan warisan plus status manajer bisnis keluarga dan kunci gudang loteng. Druot memenuhi kewajiban seksualnya setiap hari dan menyegarkan diri dengan anggur. Grenouille sendiri, meski kini menjadi satu-satunya ahli di perusahaan ini, tetap diserahi tanggung jawab mengurus hampir semua pekerjaan dengan upah dan kabin yang itu-itu juga.
Tahun baru diawali dengan panen bunga cassia, kemudian bakung, mawar ungu, dan narcissus narkotik. Pada suatu minggu di bulan Maret, setahun sejak tiba di Grasse, Grenouille pergi melongok perkembangan segala sesuatunya di taman di belakang tembok di ujung kota. Kali ini ia sudah bersiap diri menerima aroma. Sudah bisa mengira-ngira apa yang menanti. Pun saat mengendusnya di gerbang Neuve, separo jalan dari jarak yang harus ditempuh untuk sampai ke belakang tembok, jantungnya berdebar lebih keras dan darahnya berdesir kegirangan. Si gadis masih di sana. Bunga tercantik itu tak cacat dihajar musim dingin dan getahnya kian matang. Ia sedang tumbuh, berkembang, dan menguatkan kelopak terelok yang akan muncul! Aromanya juga main kuat, sesuai dugaan, tanpa kehilangan ciri khas dan keistimewaan. Apa yang setahun lalu hanya setetes, kini membaur menjadi aliran halus aroma nan samar dan gemerlap dengan ribuan warna, namun tetap solid dan tidak pecah. Grenouille mengenali "mata air" ini dengan suka cita. Satu tahun lagi. Ya, dua belas bulan lagi, dan mata air ini akan meluap. Saat itu ia akan membendung dan menampung aliran aroma tersebut.
Grenouille berjalan menyusuri tembok ke belakang taman. Walau si gadis tampaknya sedang berada di dalam rumah, di kamarnya dengan jendela tertutup, aromanya mengalir turun ke hidung Grenouille seperti angin lembut. Grenouille berdiri diam. Ia tidak pusing atau segamang saat pertama kali mencium. Dadanya penuh kebahagiaan seorang pencinta saat mendengar atau melihat kekasihnya dari kejauhan, dan sadar kelak akan memboyong si gadis. Sungguh menggelikan sekaligus ironis melihat Grenouille, si kutu penyendiri, si pembawa bencana, monster yang tak pernah merasakan cinta dan tak akan pernah mampu mengilhami cinta, berdiri di belakang tembok kota Grasse di hari bulan Maret itu, penuh rasa cinta dan bahagia dengan perasaan tersebut.
Benar bahwa ia tidak mencintai manusia lain, termasuk gadis yang tinggal di rumah di balik tembok. Yang dicintai hanya aromanya. Itu saja, tak ada yang lain. Sekuat asa untuk menjadikan aroma itu miliknya suatu hari kelak. Ia bersumpah akan membawa aroma ini pulang tahun depan. Dan setelah sumpah setia yang aneh ini terlontar, ia pergi dengan hati ringan dan kembali ke kota lewat gerbang Cours.
Malam hari, sambil berbaring di kabin, ia bangkitkan kembali kenangan aroma itu dan meresapkan diri di dalamnya. Membelai dan dibelai. Begitu dekat, seolah telah memilikinya benar-benar, lalu bercinta dengan aroma itu dan dengan dirinya sendiri. Lama sekali. Ia ingin membawa perasaan mencintai diri sendiri ini untuk menemaninya dalam tidur. Namun begitu mata terpejam, detik pertama tarikan napas menjelang lelap, aroma itu lenyap. Pergi begitu saja. Digantikan oleh aroma kamar yang dingin dan tajamnya bau kandang kambing.
Grenouille ketakutan. Apa yang terjadi jika aroma itu sudah kumiliki... bagaimana jika habis" Ini tidak sama dengan memori, karena ingatan membuat aroma abadi. Realitas selalu punya batas. Fana. Setelah habis dipakai, sumber aromanya juga tak akan ada lagi, dan aku harus kembali telanjang seperti dulu - kembali bergantung pada imitasi. Tidak, bahkan lebih buruk dari sebelumnya, karena untuk sementara aku memang pemah memiliki - sudah begitu terbiasa dan tak mampu melupakan karena aku memang tak pernah melupakan aroma. Lalu setelah habis, aku terpaksa kembali ke memoriku. Persis seperti yang kulakukan sekarang dengan pertanda atas apa yang akan kumiliki kelak. Buat apa begitu"
Ini pikiran yang sangat meresahkan Grenouille. Amat mengerikan ketika tahu bahwa begitu ia memiliki aroma yang belum dimilikinya itu, mau tak mau ia akan kehilangan juga suatu hari kelak. Berapa lama bisa ia simpan" Beberapa hari" Beberapa minggu" Mungkin sebulan penuh kalau dihemat. Lalu" Dalam bayangannya, Grenouille melihat dirinya menangkup beberapa tetes terakhir dari botol, membilas flacon dengan alkohol agar tetes terakhir tidak lenyap, lalu ia melihat - mengendus, betapa aroma tercinta itu menguap ditelan udara, selamanya. Rasanya akan seperti kematian perlahan yang amat panjang - seperti tercekik namun dibalik. Penguapan tubuh secara perlahan yang menyakitkan, lalu terlempar ke dunia fana.
Kuduknya merinding. Mendadak ia dikuasai keinginan untuk membatalkan rencananya dan menghilang saat ini juga di kegelapan malam. Berkelana menuruti langkah kaki, melewati gunung-gunung bersalju tanpa berhenti, ratusan mil menuju gunung Auvergne, kembali ke gua lamanya, terlelap dan mati.
Tapi ini tidak dilakukan. Grenouile duduk tegak meneguhkan hati, walau dorongan itu amat kuat mendeburi batin. Ia tidak menyerah karena sadar bahwa keinginan ini sejak dulu selalu mendera. Kawan lama yang menyuruh untuk kabur dan bersembunyi dalam gua. Ia sudah tahu rasanya. Yang belum adalah bagaimana rasanya memiliki aroma manusia sesempurna aroma gadis di balik tembok. Pun bila harus kehilangan lagi suatu saat, perasaan memiliki dan kehilangan tampaknya lebih menggiurkan ketimbang tak pernah memiliki sama sekali. Toh ia sudah menolak segalanya dalam hidup, tapi belum pernah merasa memiliki dan kehilangan.
Perlahan keraguan itu mereda dan hawa tubuh kembali normal. Ia bisa merasakan kehangatan darah yang menyegarkan dan keinginan untuk kembali ke niat awal. Kini bahkan lebih kuat karena tidak lagi didasari nafsu semata, tapi juga atas dasar pertimbangan matang. Grenouille si kutu psikopat berdarah dingin, dihadapkan pada pilihan antara mati kering atau memeluk setetes harapan, dan ia memilih yang terakhir. Sadar bahwa tetes ini akan benar-benar menjadi miliknya yang terakhir. Ia kembali berbaring di ranjang. Nyaman di atas jerami, meringkuk di bawah selimut dan merasa sangat heroik.
Grenouille tak akan menjadi Grenouille yang kita kenal kalau menyerah begitu saja pada fantasi fatalistik kepahlawanan. Kemauannya untuk bertahan dan menang terlalu kuat, sangat lihai, dan semangatnya kenyang ditempa. Dus, ia memutuskan untuk memiliki aroma gadis di balik te bok. Kalau ia harus kehilangan lagi setelah beberapa minggu dan mati kangen, biarlah begitu. Lebih baik pernah memiliki lalu mati ketimbang tidak sama sekali. Atau paling tidak memanjangkan kepemilikan itu selama mungkin. Ia hanya harus mengawetkan dengan lebih hati-hati saja. Menahan eksistensi aroma tanpa harus kehilangan karakternya. Semata-mata masalah seni.
Ada aroma-aroma yang mampu bertahan sampai berpuluh tahun. Sebuah..almari yang digosok parfum kesturi, sepotong kulit yang dikuyupi minyak kayu manis, segumpal ambergris, peti dari kayu pohon cedar - semua memiliki aroma yang boleh dibilang abadi. Sementara benda-benda lain seperti minyak limau, ekstrak bergamot, jonquil, tuberosa, dan aroma bebungaan, umumnya menguap setelah beberapa jam terpapar udara terbuka ketika dalam bentuk yang masih murni dan belum terikat oleh zat kimia lain. Ahli parfum menyiasati situasi dengan mengikat aroma yang mudah menguap itu membentuk rantai - katakanlah begitu. Pada intinya adalah berusaha menjinakkan kecenderungan untuk bebas. Namun rantai ini
harus disusun "berlubang" atau "berjeda" satu sama lain agar aromanya tetap keluar. Kalau diikat benar-benar malah tidak akan tercium. Jeda ini bisa diisi zat lain yang berfungsi sebagai pengikat aroma dasar. Grenouille pernah sukses mencoba cara ini dengan sempurna pada minyak wangi beraroma tuberosa. Ia mengikat aroma dasar bunga itu dengan sedikit kesturi, vanila, labdanum, dan cemara. Hanya dengan cara itu aromanya bisa keluar dan bertahan, meski sedikit tersamar oleh elemen pengikat. Kenapa cara serupa tak bisa dicoba pada aroma si gadis" Kenapa ia harus mempertahankan aroma tak ternilai dan paling rapuh ini dalam kondisi murni" Amatir sekali! Sama. sekali tidak berkelas kalau begitu! Toh orang juga tidak begitu saja mengenakan permata yang belum dipotong atau bongkahan emas sebagai kalung! Ia kan tidak sama dengan ahli parfum primitif macam Druot atau siapalah. Bukankah ia ahli parfum terhebat di dunia"
Grenouille menepuk keningnya sendiri. Merasa bodoh tidak terpikir begini sebelumnya. Aroma unik ini memang tak bisa digunakan dalam kondisi mentah. Harus diperlakukan seperti batu berharga. Ia harus membuat semacam mahkota aroma, dengan puncak terhalus terjalin bersama aroma lain namun terap berada di atas yang lain. Aroma utama akan tetap berkilau. Parfum ini akan ia buat dengan mengerahkan seluruh tatanan seni pembuatan parfum, dan aroma gadis di balik tembok akan menjadi jiwa aroma tersebut.
Minyak kesturi, bunga atar, mawar, atau sari bunga pohon jeruk tak cukup tepat dipakai sebagai aksesori, sebagai dasar, sebagai tenor sekaligus soprano, sebagai puncak dan bahan pengikat. Ia yakin itu. Parfum manusia super spesial ini membutuhkan racikan lain.
Empat Puluh BULAN MEI TAHUN ITU, tubuh telanjang seorang gadis lima belas tahun ditemukan di sebuah padang mawar, separo jalan antara Grasse dan dusun Opie di sebelah timur. Ia dibunuh dengan pukulan keras di belakang kepala. Petani yang menemukan begitu kaget melihat pemandangan ini sampai nyaris dituduh sebagai pelaku. Waktu ditanya polisi lidahnya terselip, mengatakan bahwa ia tak pemah melihat hal yang begitu indah, padahal ia ingin berkata sebaliknya bahwa ia tak pernah melihat hal sekeji itu.
Si gadis memang sangat cantik. Sosoknya termasuk jajaran wanita-wanita rapuh terbuat dari madu gelap yang mulus, manis dan sangat lengket. Biasa mengendalikan suhu ruangan dengan tingkah laku berlebihan, seperti mengibas rambut dan mengerlingkan mata sambil berdiri tegak di tengah ruangan laksana pusat badai, seolah tak menyadari daya tariknya terhadap orang lain. Menumbuhkan hasrat pada lelaki dan kecemburuan pada wanita. Apalagi ia masih sangat muda, sehingga gelombang daya tariknya belum terlalu kental. Kedua kaki dan tangan masih mulus dan utuh, buah dada ranum dan puting sekeras telur rebus. Bentangan wajahnya dihiasi rambut hitam panjang, sarat kontur kelembutan dan l indah. Namun justru rambut itu yang hilang. Si memotong dan memboyong rambut si gad pakaiannya.
Orang-orang langsung mencurigai kaum gi mereka tega melakukan apa saja. Gipsi terkenal suka menggelar karpet dari tenunan pakaian, mengisi bantal dengan rambut manusia, membuat boneka dari kulit dan lekak-lekuk indah. namun justru rambut itu yang hilang. si pembunuh memotong dan memboyong rambut si gadis bersama pakaiannya.
melakukan kejahatan keji. Sayangnya, tidak ada gipsi di sekitar situ waktu kejadian. Tidak dekat maupun jauh. Rombongan terakhir melewati daerah itu bulan Desember lalu.
Karena tak ada gipsi, orang lalu memutar tudingan kepada para pekerja migran keturunan Italia. Tapi mereka juga tak ada saat ini. Terlalu awal buat mereka untuk datang. Biasanya mereka baru muncul sekitar bulan Juni, saat panen bunga melati. Akhirnya, kecurigaan jatuh pada para pembuat rambut palsu. Mereka langsung digeledah kalau-kalau menyimpan rambut si gadis. Tentu saja tak ada hasil. Lantas kaum Yahudi dapat giliran dituduh, selanjutnya para pendeta biara Benedictine yang konon terkenal bejat, walau semuanya sudah berusia di atas tujuh puluh tahun. Berikutnya para penganut Cistercian, para Freemason, lalu orang-orang gila dari Rumah Sakit de la Charite berikutnya tukang bakar arang, para pengemis, dan terakhir para bangsawan juga kena tuduhan, khususnya Marquis de Cabris karena dikenal sudah tiga kali menikah dan konon sering menggelar misa hitam pesta seks di gudang loteng di mana ia meminum darah perawan untuk memperkuat kejantanan. Semua tuduhan ini tentu saja tidak berdasar dan tak bisa dibuktikan. Tak ada yang menyaksikan pembunuhan itu. Pakaian dan rambut si korban juga tak ditemukan di mana pun. Setelah beberapa minggu, letnan polisi yang ditugasi mengusut menangguhkan penyelidikan.
Pada pertengahan bulan Juni, para pekerja migran Italia datang. Banyak yang hadir bersama keluarga dan menyewakan diri sebagai buruh pemetik bunga. Para petani mempekerjakan mereka seperti biasa. Tapi karena peristiwa pernbunuhan itu masih membayang, mereka melarang keras istri dan anak-anak mereka berhubungan dengan para pekerja itu. Tak ada salahnya berhati-hati,
begitu kata mereka. Walau tidak bertanggung jawab langsung atas pembunuhan, bisa saja..mereka ikut anda di situ, jadi lebih baik berjaga-jaga.
Tak lama setelah awal musim panen melati, terjadi dua pembunuhan beruntun. Korban lagi-lagi gadis muda nan cantik dari jenis rapuh seperti yang pertama; berambut hitam, lagi-lagi ditemukan telanjang, rambut dipotong dan terbaring di padang bunga dengan belakang kepala remuk. Jejak pelaku juga tak ada. Kabar segera menyebar seperti kebakaran, diimbuhi adanya ancaman tindakan kekerasan terhadap buruh migran karena kedua korban ternyata keturunan Italia, putri seorang buruh harian dari Genoese.
Ketakutan menghunjam seisi kota dan daerah sekitamya. Orang tak tahu pada siapa harus melampiaskan kemarahan. Walau masih ada yang mencurigai orang gila atau sang Marquis nan nyentrik, namun tak ada yang benar-benar yakin karena yang pertama selalu dijaga pengawal siang-malam, dan yang kedua sudah lama pergi ke Paris.
Masyarakat kota Grasse merapatkan barisan. Para petani bersedia membuka gudang-gudang mereka untuk ditinggali para migran yang selama ini selalu tidur di luar. Warga menyusun jadwal ronda di setiap blok. Pihak kepolisian memperketat penjagaan di gerbang kota. Namun semua usaha ini sia-sia karena beberapa hari setelah pembunuhan ganda itu muncul lagi mayat gadis keempat. Lagi-lagi dengan karakteristik serupa. Korban kali ini seorang buruh pencuci pakaian keturunan Sardinia dari istana uskup agung. Ia dibunuh dekat cekungan raksasa Fontaine de la Foux, persis di depan gerbang kota. Dan meski warga berhasil mendesak dewan kota untuk melakukan penanganan lebih jauh seperti kendali pengawasan yang lebih ketat di gerbang kota, tambahan peserta ronda, dan penetapan jam malam untuk semua wanita sejak jam tujuh malam, sepanjang musim panas itu setiap minggu selalu
jatuh korban wanita muda. Selalu gadis yang belum lama puber, sangat cantik, dan biasanya berkulit gelap - tipe manis. Tak lama berselang, si pembunuh tak lagi menolak tipe yang lebih umum, dengan rata-rata karakteristik berkulit halus, pucat, dan lebih montok. Bahkan mulai merambat ke gadis berambut cokelat dan pirang kusam, asal tidak terlalu kurus. Ia melacak korban di mana saja. Tak hanya di dusun-dusun terbuka di sekitar Grasse, tapi juga di dalam kota. Putri seorang tukang kayu ditemukan tewas di kamarnya sendiri di lantai lima. Tak ada yang mengaku mendengar suara aneh. Dan kalau biasanya anjing-anjing menyalak setiap mencium aroma asing, kali ini mereka diam saja. Makin menumbuhkan kesan bahwa si pembunuh tak tersentuh dan tidak nyata. Seperti hantu.
Warga jelas marah dan memaki aparat yang dianggap tak becus menangani situasi. Gosip sedikit saja sudah mampu memicu tawuran. Seorang pedagang keliling yang enjual ramuan pelet dan obat ajaib lain nyaris dibantai massa hanya gara-gara gosip bahwa salah satu bahan dalam ramuan obatnya menggunakan rambut wanita. Kebakaran terjadi di rumah hartawan Cabris dan Rumah Sakit de la Charite. Seorang pelayan yang pulang kemalaman ditembak oleh majikannya sendiri; seorang penenun wol bernama. Alexandre Misnard yang menyangka si pelayan sebagai si pembunuh. Mereka yang mampu segera mengirim putri remaja mereka ke saudara jauh atau sekolah asrama di Nice, Aix, atau Marseille. Letnan polisi yang bertanggung jawab dicopot dari jabatannya atas desakan dewan kota. Penggantinya menugaskan ahli medis untuk memeriksa tubuh korban guna menentukan kondisi keperawanan. Hasilnya menunjukkan bahwa semua organ seksual masih utuh dan tampaknya bahkan sama sekali disentuh.
Anehnya, penemuan ini justru menambah kesan seram karena semua orang menduga pasti ada tanda-tanda perkosaan. Setidaknya dengan demikian orang tahu kemungkinan motif pembunuhan tersebut. Tapi sekarang mereka seperti dibutakan dan benar-benar bingung. Mereka yang percaya Tuhan segera memohon perlindungan dalam doa agar rumahnya terlindung dari bencana.
Dewan kota Grasse adalah sebuah komite yang terdiri atas tiga puluh orang terkaya dan paling berpengaruh dari kalangan umum serta ningrat. Mayoritas berpendidikan tinggi, tak percaya takhayul, tak suka ke gereja, dan kalau boleh lebih suka menggusur saja semua biara yang ada di kota lalu mengubahnya menjadi gudang atau pabrik. Namun dalam kegentingan ini, orang-orang angkuh dan berkuasa itu bersedia merendahkan diri menulis petisi permohonan pada uskup untuk mengutuk monster sadis yang tak bisa ditangkap oleh kekuatan fana ini, persis seperti tindakan pendahulu mereka pada tahun 1708. Mereka juga memohon agar si pembunuh dikucilkan dari semua kegiatan sosial. Implementasinya, mulai akhir bulan September, pembunuh sadis yang telah membunuh tak kurang dari 24 gadis tercantik dari semua kalangan itu dilaknat dan dikucilkan dari semua kegiatan sosial, baik secara tertulis apalagi sampai disebut di mimbar-mimbar umum dan gereja di seluruh kota - termasuk larangan sang uskup sendiri untuk membicarakan hal itu di mimbar katedral Norre-Dame-du-Puy.
Hasilnya cukup nyata. Si pembunuh seolah lenyap dari muka bumi. Oktober dan November berlalu tanpa berita penemuan mayat baru. Memasuki awal Desember, ada berita dari Grenoble tentang seorang pembunuh yang suka mencekik gadis-gadis muda, lalu merobek pakaian dan menarik rambut mereka sampai lepas dengan tangan.
alau metode ini terdengar kasar dan tidak sebersih pembunuh Grasse, semua orang yakin bahwa pelakunya pasti sama. Ada kelegaan bahwa binatang itu telah hijrah ke Grenoble yang jauhnya tujuh hari perjalanan. Warga Grasse menyilangkan tanda salib tiga kali berturut-turut tanda syukur. Lalu mereka merayakan sebuah prosesi obor untuk menghormati sang uskup, sekalian merayakan thanksgiving tanggal 24 Desember. Pada tanggal 1 januari 1766, penjagaan dikendurkan dan peraturan jam malam untuk wanita tidak diberlakukan lagi. Kondisi normal kembali mengisi kehidupan dengan cepat. Ketakutan publik menipis dan tak ada lagi yang membicarakan teror ganas yang pernah mendera dua kota serta permukiman sekitar beberapa bulan berselang. Keluarga korban pun sungkan banyak bicara. Kutukan sang uskup seolah tak hanya ampuh mengusir si pembunuh tapi juga kenangan tentang dirinya. Warga sama sekali tak keberatan.
Namun, sejak peristiwa menghebohkan ini sampai sekarang di kota itu, mereka yang memiliki putri remaja tak akan membebaskan mereki bergaul atau keluyuran begitu saja tanpa pengawasan, apalagi menjelang malam. Setiap pagi saat ayah atau ibu melihat putrinya masih sehat dan ceria, hatinya merasa bahagia tanpa mau mengakui kenapa begitu.
Empat Puluh Satu ADA SATU ORANG Di GRASSE yang tidak meyakini begitu saja kedamaian ini. Namanya Antoine Richis. Ia adalah anggota kedua dewan kota dan tinggal di rumah besar dekat gerbang kota yang mengarah ke jalan Droite.
Richis hidup menduda dan punya seorang putri bernama Laure. Walau usianya belum empat puluh tahun dan tubuh masih sempurna, ia belum berniat untuk menikah lagi. Ia ingin mencari suami untuk putrinya. Dan tidak boleh sembarang orang, tapi harus dari kalangan berpangkat atau ningrat. Kebetulan ada seorang baron bernama Baron de Bouyon yang punya seorang putra dan tanah dekat Vence. Sang Baron terkenal bereputasi baik namun situasi keuangannya buruk. Ia dan Richis telah mengatur kontrak tentang masa depan perkawinan kedua anak mereka. Begitu Laure menikah, Richis juga berencana mengakhiri masa mendudanya dengan salah seorang dari rumah keluarga Dree, Maubert, atau Fontmichel. Bukan karena putus asa dan merasa hina kalau tak mendapat pasangan ningrat, tapi karena ingin membangun dinasti sendiri dan mengatur agar anak-cucunya berada di jalur mudah yang mengarah langsung ke posisi politik dan sosial tertinggi. Untuk itu, setidaknya ia harus mempunyai dua orang putra. Satu untuk meneruskan bisnis keluarga, yang lain untuk mengejar karier di bidang hukum yang mengarah ke parlemen di Aix dan peningkatan status ke posisi ningrat. Posisinya sekarang tak memungkinkan untuk bisa berharap banyak, kecuali jika berhasil menyatukan pertalian hubungan keluarga dengan salah satu keluarga ningrat.
Satu hal pasti yang mendukung angan-angan ini adalah kekayaan. Antoine Richis adalah orang terkaya dibanding siapa pun. Propertinya tak hanya tersebar di sekitar Grasse dalam wujud ladang-ladang jeruk, minyak zaitun, gandum, dan rami, tapi juga dekat Vence dan sampai Antibes di mana ia menyewakan peternakan. Ia punya rumah dan vila di Aix dan di pedesaan sekitar, saham di kapal dagang yang berbisnis dengan India, sebuah kantor permanen di Genoa, dan termasuk penjual grosir terbesar di Prancis untuk parfum, rempah-rempah, minyak, dan kulit.
Bagaimanapun, harta paling berharga bagi Richis adalah putrinya sendiri. Anak semata wayang yang baru berumur enam belas tahun, berambut pirang-merah, bermata hijau. Wajahnya begitu elok dan mampu memesona orang dari segala usia, baik pria maupun wanita. Membuat orang melongo dengan wajah seperti sedang menjilat es krim, memasang ekspresi dungu dan menjilat ludah. Bahkan Richis juga suka memandangi wajah putrinya lama-lama. Seperempat atau setengah jam saja sudah cukup mengistirahatkan pikiran dari urusan dunia, bahkan dari bisnisnya sendiri. Padahal dalam tidur pun ia selalu memikirkan bisnis. Keelokan Laure membuat batin luluh dalam kontemplasi dan sejenak lupa apa yang semula hendak dilakukan.
Dan akhir-akhir ini, perasan Richis selalu jengah. Setiap malam saat mengantar putrinya tidur atau kadang pagi hari saat membangunkan, ia melihat Laure lelap seperti diistirahatkan oleh tangan Tuhan. Matanya menelusuri pinggul dan buah dada putrinya dalam balutan gaun tidur. Napas yang membuat buah dada itu turun naik, bahu jenjang, siku dan lengan mulus tempat si gadis bersandar wajah. Saat-saat seperti ini kadang membuat perutnya keram dan tercekat menelan ludah, seraya mengutuk posisinya sendiri sebagai ayah - bukan sebagai seorang lelaki asing agar ia bisa berbaring di samping Si gadis, di atasnya dan di dalamnya. Di saat seperti ini keringat mengalir deras, tangan dan kaki gemetar menahan berahi, dan akhirnya ia membungkuk memutuskan memberi kecupan di kening khas seorang ayah.
Beberapa tahun terakhir, saat sedang heboh-hebohnya terjadi pembunuhan, godaan jahat ini belum mendera. Daya tarik yang terasakan masih daya tarik normal seorang anak
kecil. Karena itu ia juga tidak terlalu mencemaskan Laure bakal jadi korban. Semua orang tahu bahwa si pembunuh tak pernah menyerang anak-anak atau wanita dewasa. Incarannya selatu gadis perawan yang baru mekar. Namun, ia tetap memperketat penjagaan di rumah, memasang terali di semua jendela lantai atas, dan menyuruh pengasuh Laure berbagi kamar tidur dengan si gadis. Ia tak mau mengirim putrinya keluar kota seperti banyak dilakukan kawan-kawan lain - bahkan ada yang memboyong seluruh keluarga. Richis menganggap sikap ini sangat tidak pantas dilakukan sebagai seorang anggota dewan. Ia justru harus jadi panutan ketegaran, keberanian, dan keteguhan bagi masyarakat. Lagi pula, ia jenis orang yang tak rela putusannya dibuat oleh orang lain. Apalagi oleh publik yang panik dan gosip kriminal yang tidak jelas. Jadilah ia selama hari-hari kelabu itu menjadi salah satu dari segelintir orang yang kebal dari rasa takut dan tetap tenang.
Gelang Perasa 2 Pendekar Rajawali Sakti 157 Dendam Pendekar Pendekar Gila Api Di Bukit Menoreh 5
^