Pencarian

The Propotition 4

The Propotition The Propotition 1 Karya Katie Ashley Bagian 4


Katolik," protes Aidan.
Tanpa mengalihkan tatapannya dari Emma, Patrick menggelengkan
kepalanya. "Dia mungkin akan menghiburku meskipun dengan
memiliki bayi yang di Baptis."
Emma menggigiti bibir bawahnya. "Sebenarnya aku di Baptis."
Melihat Patrick menarik napas dengan keras, Emma mengangkat
tangannya. "Tapi mengingat kau dan Aidan Katolik bayi ini akan
menjadi setengah Katolik, aku kira aku akan melakukannya. Jika itu
berarti banyak bagimu."
Senyum lebar terbentuk di wajah Patrick. "Tentu saja."
"Aku merasa terhormat."
"Terima kasih, Sayang," Patrick memeluk Emma, sambil
meremasnya erat-erat. "Terima kasih atas semuanya, kau seperti
cahaya yang indah di dunia ... serta di dalam kehidupan anakku."
Aidan menatap ayahnya dengan ngeri. Apakah dia telah kehilangan
pikirannya" Emma bukanlah cahaya dalam kehidupannya ...
benarkah" Dia mencoba mengabaikan air mata yang berkilauan di
mata hijau Emma saat dia lepas dari lengan Patrick. Emma mencium
dengan lembut di pipinya. "Terima kasih karena mau menjadi bagian
dari kehidupan bayiku."
Pertukaran emosi terus berlanjut antara ayahnya dan Emma
membuat dia merasa seperti semua udara di dalam ruangan tersedot
keluar. Hanya menarik napas masuk dan keluar membuat dadanya
merasa seperti ada seorang pegulat Sumo yang sedang menekannya
sampai ke bawah. 'Sebuah cahaya yang indah dalam kehidupan
anakku' terus diulang lagi dan lagi dalam pikirannya.
Jauh di dalam dirinya, ada suara kecil yang setuju dengan ayahnya.
Emma membuat gairahnya menyala semenit dan selanjutnya
tertawa. Cara dia berinteraksi dengan Beau dan keponakannya telah
mempesonanya. Emma adalah tipe wanita jika dia sakit secara fisik,
Emma akan berada di sana untuk merawatnya dan melewatinya
bersama, dan jika dia tertimpa masa-masa sulit secara emosional,
Emma akan memberinya kekuatan.
Bagaimana dia begitu buta"
Tatapan Aidan menjelajah mengamati seluruh ruangan. Tidak, dia
hanya butuh keluar dari kamar tidur orang tuanya, keluar dari rumah
ayahnya, kemudian mungkin dia bisa berpikir.
Dia berdeham. "Aku benci menjadi perusak pesta, tapi kami benarbenar harus
pergi. Aku punya banyak pekerjaan setelah kepergianku
bulan lalu." Patrick mengangguk." Aku mengerti, Nak. Aku sangat senang kau
datang." Dia tersenyum pada Emma. "Maksudku kalian berdua
datang." Aidan membutuhkan beberapa saat sebelum ia bisa berkata, "Aku
juga." Emma mencengkeram baju pembaptisan ke dadanya saat ia
mengikuti Patrick keluar dari kamar tidur. Aidan langsung mengikuti
dibelakangnya. "Sekarang kita sudah berkenalan, tidak ada alasan
bagimu untuk menjadi orang asing. Kau tahu di mana tempat
tinggalku, jadi kau tidak harus bergantung pada Aidan untuk
membawamu kemari." Ya Tuhan, dua jam dengan gadis ini, dan ayahnya sudah memberikan
Emma akses penuh untuk datang kapanpun dia mau. Dia tahu,
ayahnya akan menurunkan semua album foto keluarga atau dengan
buku tahunan SMA-nya yang lama untuk menghibur Emma. Benarbenar mimpi buruk.
Patrick memberi Emma pelukan terakhir sebelum beralih ke Aidan.
"Jangan menjadi orang asing."
"Aku akan mencoba."
Setelah Emma mulai menuruni tangga beranda, Patrick meraih
lengan Aidan. "Maukah kau setidaknya mencoba untuk
mempertimbangkan beberapa hal yang kita bicarakan tadi?"
Tanyanya, dengan bisikan yang pelan.
"Aku akan mencoba, Pop. Aku benar-benar akan melakukannya."
Patrick tersenyum. "Bagus. Aku senang mendengarnya."
Emma masuk ke kursi penumpang ketika Aidan berlari menuruni
jalanan depan rumah. Ketika dia masuk ke dalam mobil, dia
menghela napas panjang, napasnyangos-ngosan. Emma berbalik dan
memberinya senyum ragu-ragu. "Itu...menarik."
"Kau bisa mengatakan demikian," jawabnya sambil menggerakkan
persnelling. Setelah ia keluar dari jalanan masuk rumah, ia melirik danmelihat
Emma sedang menjalankan jari-jarinya di atas kain baju
pembaptisan. "Aku yakin kau terlihat menggemaskan mengenakan
ini," komentar Emma.
"Tidak, aku sudah melihat fotonya. Aku terlihat seperti banci gendut
saat mengenakan baju itu."
"Kau tidak tampak seperti banci," godanya.
Aidan mendengus sebagai jawaban. Menatap ke depan, ia
mencengkeram setir dengan erat, berusaha keras untuk tetap
mengontrol perasaan yang berkecamuk dalam dirinya. Mereka tidak
berbicara selama beberapa menit.
Ketika Emma akhirnya mulai berbicara, suaranya tegang. "Aku
minta maaf untuk hari ini."
Aidan mengalihkan pandangan dari jalan untuk menatapnya. "Apa
yang kau bicarakan?"
"Bertemu dengan ayahmu. Terlalu banyak tekanan dan komitmen
untukmu. Aku bisa melihatnya."
"Bukan, bukan itu."
"Ayolah. kau hampir sesak napas karena tertekan ketika kita berada
di kamar tidur orangtuamu."Emma menggelengkan kepalanya. "Aku
serius merasa khawatir kau akan mengalami stroke atau sesuatu."
"Tidak seburuk itu."
Kulit pipinya seperti terbakar karena sorotan Emma yang sedang
menatapnya. "Setidaknya jujurlah tentang situasi ini, Aidan."
Sebuah geraman rendah muncul dari belakang tenggorokannya.
"Baiklah. Benar-benar mengacaukan pikiranku, oke?"
"Itu lebih baik."
"Ya, benar." "Aku serius. Aku selalu ingin kau jujur padaku, terutama tentang
perasaanmu." "Wanita selalu berkata seperti itu, tapi kemudian saat kau
memberitahu mereka tentang bagaimana keadaan yang sebenarnya,
kau mendapatkan kata-kata kasar atau tamparan sebagai seorang
jalang." Suara hening di dalam mobil selama beberapa menit. Akhirnya,
Emma berbicara. "Dengar, aku tidak harus menyimpan baju ini. Kau
dapat mengembalikannya kepada Patrick dan menjelaskan
kepadanya bahwa kau hanya setuju untuk memberikan DNA-mu,
bukan dirimu." Dia memukul kepalan tangannya ke kemudi. "Sialan, Em, itu bukan
apa yang aku inginkan!"
Memotong dua jalur, dia menujuke tempat parkir supermarket.
Setelah suara berdecit berhenti, ia mematikan mesin. Ketika Aidan
berbalik untuk menghadapinya, mataEmma melebar, dan ia menekan
dirinya pada pintu sejauh mungkin dariAidan. "Saat aku mengatakan
hari ini pikiranku kacau, itu adalah lebih dari satu arti. Melihatmu
dengan ayahku - cara dia bereaksi terhadapmu - itu membuatku
tersentuh. Tapi itu tidak sepertiyang ada dalam pikiranmu."
"Oh?" Aidan menggelengkan kepalanya. "Ketika aku bertemu denganmu,
kehidupanku persis seperti yang kuinginkan selama ini. Aku hanya
berpikir menggunakan kemaluanku saat aku mengiraaku bisa
membuatmu hamil dan langsung meninggalkanmu. Dan
sekarang...semuanya begitu sialan rumit...aku tidak tahu lagi cara
mengatasi ini." "Maafkan aku. Aku tidak bermaksud untuk menimbulkan masalah
bagimu atau membebanimu."
Aidan memutar matanya. "Ya Tuhan, Em, bagaimana kau bisa
berpikiran seperti itu?"
Alisnya berkerut. "Karena katamu-"
Dengan mendengus frustrasi, tangannya meraup rambutnya sendiri.
"Sialan, aku tidak pandai dalam hal ini. Aku mengatakan dan
melakukan sesuatu yang salah."
"Aku tidak mengerti," gumamnya.
"Jauh di lubuk hati, aku masih orang yang sama ketika kita pertama
kali memulai semua ini- tidak ada pernikahan, tidak ada komitmen
besar, tidak ada hubungan jangka panjang." Aidan menghela napas.
"Tapi...Aku ingin mencoba untuk memiliki hubungan'lebih'
denganmu." Emma tersentak. "Benarkah?"
Dia menatap Emma dengan saksama. "Meskipun aku benci
mengakuinya, aku benar-benar merindukanmu saat aku pergi."
"Apakah kau yakin itu bukan hanya merindukan seks?"
Aidan merengut padanya. "Ya, aku yakin."
Emmatersenyum ragu-ragu. "Itu sangat menyanjungku."
"Sial, aku tidak berpikir kau akan membuatku sulit melakukan ini."
"Maaf?" "Aku pikir..." Dia menggelengkan kepalanya. "Kupikir kau ingin
hubungan kita 'lebih' dari yang kulakukan."
"Ya," jawabnya lirih.
"Kau memiliki cara untuk menunjukkan hal itu."
Emma memelototinya. "Well, kau sebenarnya tidak bermain dengan
adil. Kamu baik dan perhatian, jika tidak benar-benar peduli,
sepanjang waktu kita mencoba untuk membuatku hamil, namun kau
terus-menerus membuat adanya jarak. Setiap kali aku berpikir kau
mungkin benar-benar tertarik padaku, Kau menutupnya. Dan
sekarang menunggu munculnya faktabahwa kau mungkin
menginginkan 'lebih' saat hormonkumembuat emosionalku menjadi
hancur." "Apa bedanya?" "Semuanya!" Emma menunjuk kaca depan ke seorang *bag boy
remaja yang sedang mengumpulkan troli. "Aku sangat letih
mengendalikan hormonku sekarang jika anak itu memintaku untuk
menikah dengannya, aku akan mengatakan ya."
"Itu sangat kacau." renung Aidan.
"Ya, itulah yang disebut estrogen, dan itu sudah melebihi batas
sekarang. Jika kau ingin tahu seperti apa rasanya, itu seperti
semacam takaran besar bahan bakar dari testosteronmuyang
memompa sampai ujung kepala bagian bawah pinggangmu, dan itu
akan mendorong sebagian besar keputusan."
Aidan menyentakkan kepalanya ke belakang dan tertawa. "Apakah
kau mencoba untuk mengatakan aku hanya berpikir dengan
penisku?" "Aku tidak berpikir akan hamil sekarang jika kau tidak
melakukannya," kata Emma lirih.
Ekspresi Aidan suram. "Apakah aku bisa mengasumsikankalau
estrogen yang berbicara atau kau hanya mencoba untuk
menghentikanku?" Emma menundukkan kepalanya. "Ya dan tidak. Hanya saja
semuanya menjadi lebih emosional saat ini. Bertemu Patrick hari
ini ..."Dia menggigit bibir bawahnya kemudian menatap ke luar
jendela mobil. "Aku tahu kami hanya bersama-sama dalam waktu
yang singkat, tapi saat bertemu dengannya aku merasa hampir
seperti terhubungan ke sesuatu yang sudah tidak kumiliki sangat,
sangat lama - cinta seorang ayah. Perasaan ini sebelumnya hanya
dengan kakekku, dan dia sedarah denganku."
Dada Aidan terasa sesak melihat kesedihan Emma. Dia mengulurkan
tangan dan menggenggamnya. "Em-"
Emma berbalik kembali kepadanya dengan mata berkaca-kaca. "Kau
berpikir kau mencoba untuk melindungimu diri sendiri" Well,
begitupun juga aku. Sama banyaknya aku ingin mengatakan ya
padamu Aidan, aku harus melindungi diriku sendiri dan bayi ini."
"Bayi" Apakah kau benar-benar berpikir aku akan melakukan
sesuatu untuk menyakitinya?"
"Mungkin tanpa sengaja. Tapi aku tidak bisa membiarkan dirimu
masuk ke dalam hidup kami, apakah kau bisa menjamin ketika ada
beberapa wanita dengan rok pendek dan berpayudara besar tidak
merubah pikiranmu." "Itu sangat meremehkan," geramnya.
Emma mengusap matanya. "Maafkan aku, tapi kau tahu pada
beberapa hal yang mendasar itu benar. Kau sendiri yang mengatakan
sejuta kali bahwa kau tidak melakukan hubungan jangka panjang."
"Yeah, well, kau tahu orang bisa berubah."
"Kau tidak bisa membayangkan betapa aku ingin mempercayainya,"
bisiknya. Aidan mendesah, mengetuk-ngetukkan jarinya di setir. "Dengar, ada
panggilan telepon dari kantordimana aku harus terbang ke DC pada
hari Selasa. Aku akan pergi selama beberapa hari. Maukah kau
berpikir tentang hal ini sementara aku pergi?"
"Aku bersedia jika kau mau."
"Apa maksudnya itu?"
"Itu berarti aku ingin kamu memastikan bahwa kau benar-benar
mengerti apa yang kau minta dariku dan dirimu sendiri. Dan aku
ingin kau memiliki gambaran yang cukup jelas tentang apa arti
'lebih' bagimu." "Baik." Aidan menatap Emma dengan tajam. "Aku bersedia jika kau
mau." Sudut mulut Emma melengkung naik menjadi senyuman. "Sepakat."
*** Bag boy: petugas super market yang menempatkan belanjaan ke kantung belanja
kemudian memasukkan ke troli Bab 21 Suara mobil di jalanan masuk rumah menyebabkan Beau melompat
dari sofa dan mulai menggonggong dengan liar ke jendela. "Ada apa
boy?" Tanya Emma, meletakkan bukunya. Beau merengek-rengek
dan berlari ke pintu depan. Bangkit dari sofa, Emma melihat ke
jendela. Pasti berhubungan dengan keponakan Aidan, mudahmudahan Megan tidak
berubah pikiran tentang Emma mengasuh
bayinya dan dia datang kembali untuk mengambil putranya Mason
yang berusia empat bulan. Megan langsung bersahabat dengannya
ketika Emma bertemu dengannya saat makan siang pada hari
Minggu di rumah Patrick. Meskipun Aidan sedang keluar kota,
Patrick bersikeras ia dan cucu masa depannya untuk datang
bergabung dengan mereka. Rasanya agak luar biasa bersama semua
saudara perempuan Aidan dan keluarga mereka, tapi secara
keseluruhan, dia memiliki waktu yang indah karena menjadi bagian
dari keluarganya. Sejak itu Megan senang dengan prospek Emma mengasuh bayi, dia
tidak bisa membayangkan kalau Megan berubah pikiran. Ketika
Emma mengintip melalui tirai, jantungnya melompat ke dalam
tenggorokannya. Itu Aidan. Apa yang dia lakukan di sini" Ketika semalam ia berbicara
dengannya, Aidan mengatakan ia akan pulang seminggu lagi.
Melirik ke bawah ke piyama Scooby Doo yang sudah memudar dan
tank top usang, dia menggelengkan kepalanya. Tidak ada waktu
untuk mencoba dan membuat dirinya lebih rapi. Tentu saja, bagian
menjelaskan mengenai kehadiran Mason akan menjadi sedikit lebih


The Propotition The Propotition 1 Karya Katie Ashley di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sulit. Emma membuka pintu depan. Beau bergegas keluar di kegelapan
malam, menyalak dan mengibas-ngibaskan ekornya. Dia
menyeberangi rumput ke arah Aidan dan hampir menjatuhkannya.
Emma segera keluar ke teras. "Hei! Apa yang kau lakukan di sini?"
Aidan menggaruk Beau yang sedang menggeliat. "Pertemuan
terakhirku dijadwal ulang untuk minggu depan. Aku pulang naik
pesawat pertama, jadi aku bisa mengejutkanmu."
Bergerak-gerak di atas kakinya, Emma berjuang untuk mengatur
napasnya. Secara spontan Aidan benar-benar telah melakukan
sesuatu yang romantis" "Ah, itu manis. Ini kejutan yang sangat
menyenangkan." Melepaskan Beau, Aidan menutup kesenjangan diantara mereka.
"Aku datang langsung kemari karena juga ingin melihat apakah kau
akan memberi jawaban tentang berpikir lagi mengenai sesuatu yang
'lebih' bagi kita." "Aku sudah." Alis Aidan berkerut. "Dan?"
"Jawabannya adalah ya," jawab Emma sambil tersenyum.
Ekspresi Aidan beralih seperti switch dari ketakutan menuju
kebahagiaan. "Aku sangat senang mendengarnya. Aku sudah
berpikir tentang hal itu sepanjang waktu saat aku pergi."
"Aku juga." "Yang paling penting, aku menginginkan hal ini diselesaikan
sebelum harus kembali ke DC."
"Kapan kau akan berangkat lagi?"
"Selasa." Dada Emma sesak melihat prospek itu.
Tatapan liar Aidan menjelajah di atas tubuh Emma, dan dia
menyeringai. "Bertelanjang kaki dan hamil, ya" Sekarang yang
kubutuhkan adalah kau pergi ke dapur dan menyediakan aku makan
malam." Emma memutar matanya. "Aku akan memasakkan sesuatu jika tahu
kau akan datang. Hal terbaik yang aku miliki adalah sisa pizza yang
tadi kupesan." Aidan menarik Emma kepelukannya, lengannya menjelajah di
pinggang Emma. "Aku akan melupakan semua tentang makan
malam jika kau mau masuk kedalam dan memberiku sambutan
selamat datang yang sebenarnya," godanya, lalu ia menjilati dengan
meninggalkan jejak basah sampai ke lehernya.
Emma menggigil karena kebutuhannya mulai terbangun, tetapi
kemudian ia menggelengkan kepalanya. "Um, aku berpikir
sepertinya tidak mungkin."
"Mengapa tidak?"
"Aku punya teman."
Lengan Aidan menegang di sekelilingnya. Dia menyentakkan kepala
menjauh untuk menatapnya dengan ekspresi bingung. "Kau bersama
seorang pria?" Dia mengangguk. "Juga sangat tampan."
Rahangnya menegang. "Tapi kau baru saja mengatakan ... kau setuju
memiliki hubungan 'lebih' denganku."
Emma menggigit bibir untuk menahan diri agar tidak tersenyum
lebar melihat kemarahannya. "Aku tahu. Tapi dia ada di sini sebelum
aku tahu perasaanmu. Dan aku harus mengakui, ada sesuatu tentang
pria ini yang tidak bisa kutolak."
Tanpa banyak bicara, Aidan melepaskan pelukannya dan bergerak
cepat memasuki pintu. "Tunggu, Aidan, aku-"
Dia mengabaikannya dan mendobrak masuk melewati serambi.
Mengikuti di belakangnya, Emma berusaha menangkapnya sebelum
dia mulai berteriak dan menjerit pada pria khayalan untuk
menyuruhnya keluar dari sana, paling tidak sebelum ia
membangunkan Mason. Emma menyaksikan bagaimana Aidan tibatiba langsung berhenti
dan membeku di depan Pack N Play* dimana
Mason tidur. Dia berbalik. "Mason. Maksudmu aku baru saja mengeluarkan
amarahku untuk seorang bayi?"
Dia terkikik. "Ya."
Aidan menghembus napas dengan mendesah, dan membungkuk,sikunya bertumpu pada lututnya. "Aku tidak percaya
kau melakukan itu padaku! aku menyangka aku harus melempar pria
untuk keluar dari sini."
"Oh, ini hanya apa yang diinginkan dari setiap gadis - seseorang
yang bersikap posesif, amukan Knight in Shining Armor*."
Aidan merengut padanya dan mengusapkan satu tangannya ke
dadanya. "Tidak, sial, kupikir aku mengalami serangan jantung atau
sesuatu." Emma menghampirinya dan menekan tangannya di atas jantung
Aidan. "Aw, bayi yang malang, apakah kau menginginkan aku
menciumnya supaya membuatnya menjadi lebih baik?"
Aidan menjulurkan bibir bawahnya dan menampilkan tampang imut
kemudian Emma membungkuk dan mencium jantungnya di atas
kemejanya. "Terima kasih." Aidan mengalihkan pandangannya dari
balik bahunya ke arah Mason. "Jadi apa sebenarnya yang dia
lakukan di sini?" Emma melingkarkan lengannya ke leher Aidan dan menekan
tubuhnya menempel Aidan. "Apa yang bisa kukatakan" Aku
memiliki sesuatu dengan para pria dari keluarga Fitzgerald."
Sudut bibir Aidan sedikit menyeringai mendengar pernyataannya.
"Apakah itu benar?"
"Itu karena Megan kewalahan dengan ujiannya sekarang, jadi aku
menawarkan untuk menjaganya dan membiarkan dia menyelesaikan
pekerjaan yang harus dilakukan tanpa gangguan. Ditambah ini
praktek yang baik bagiku."
"Tunggu, jadi dia bermalam disini?"
"Yap." Dia menyandarkan tubuhnya lalu menggodanya dengan
menggigit bibir Aidan dengan lidahnya. "Tapi dia tidur di Pack N
Play, dan kau bisa berada di tempat tidur. Denganku."
"Hmm, aku suka skenario itu." Dia mencium dengan liar sambil
membimbingnya mundur ke belakang menuju sofa.
"Whoa, tunggu dulu. Aku tidak bermaksud untuk memulainya
sekarang," gumamnya diantara bibir Aidan.
"Kapan waktunya yang lebih tepat?"
Emma membiarkan Aidan mendorongnya turun ke bantalan. "Kita
sebenarnya harus menunggu sampai Mason bangun nanti malam.
Dia akan membutuhkan botol susu dan mandi."
"Dia baik-baik saja." Dia bergerak perlahan di atas tubuh Emma,
masih berhati-hati agar tidak terlalu banyak menanggung berat
badannya. Sementara satu tangan menyusup di bawah tank top-nya,
yang lain menuju ke ban pinggang celana piyama kemudian
berhenti. "Sial, apakah ini gambar Scooby Doo?"
Emma terkikik. "Aku tidak mengharapkan kedatangan seseorang,
dan aku memiliki sedikit obsesi yang mulai meningkat pada kartun
lama." "Mereka hampir membunuh gairahku."
Emma menyelipkan tangannya diantara tubuh mereka kemudian
melengkungkan alisnya. "Tampaknya yang kurasakan ini baik-baik
saja." "Hmm, terus lakukan itu, dan aku pikir ini akan lebih dari baik-baik
saja." Emma terus mengusap-usap milik Aidan yang terhalang oleh
celananya sementara dia menjilati Emma dengan meninggalkan jejak
panas dari leher menuju dadanya. Saat Aidan menurunkan tali tank
top-nya untuk menelanjangi payudaranya, suara jeritan datang dari
sisi lain ruangan. Selama satu menit hal itu belum menyadarkannya,
tapi kemudian Mason mulai meratap dengan suara nyaring. Emma
segera memutuskan ciuman mereka dan menyentakkan tangannya
dari kemaluan Aidan. "Hentikan ... sayang," katanya terengah-engah.
"Tidak, rasanya begitu nikmat," gumamnya masih menciumi tulang
selangka Emma. Emma memutar matanya dan memukul dadanya. "Aidan, apakah
kau tuli" Mason menangis."
"Oh, sial." Sambil mengerang karena tersiksa, Aidan menjauh
darinya. Emma bergeser keluar dari bawah Aidan dan bergegas
menuju Pack N Play. Mason mengangkat tangannya ke arah Emma
saat air mata mengalir di pipinya. "Ah, sst, tidak apa-apa, anak
manis," katanya, sambil meraihnya. Tangisannya sedikit tenang
ketika ia berada dalam pelukannya. "Apakah ada masalah angel"
Apakah kamu lapar?" Emma mencium pipinya dan mengusap punggungnya secara
melingkar sementara Mason menyeringai pada Aidan dibalik bahu
Emma. "Dasar si kecil 'cock-blocker' (penggangu seks)," gerutu Aidan.
Emma tersentak dan berbalik. "Kau baru saja memanggilnya apa?"
"Seorang 'cock-blocker', persis apa yang sedang dia lakukan saat
ini." Mason menjerit menangis, dan Emma memeluknya dengan erat.
"Jangan dengarkan Paman Aidan, sayang. Dia tidak bersungguhsungguh."
Aidan menunjuk Mason. "Lihatlah. Dia baik-baik saja selama kau
memeluknya." Emma menggelengkan kepalanya. "Kau memang benar-benar
seorang bajingan." "Kau tidak boleh memaki di depan bayi,"
menyeringai. tegurnya sambil Emma melebarkan matanya. Dengan gusar, dia berjalan ke Aidan.
"Sekarang sudah hampir waktunya dia makan. Gendong dia
sementara aku akan menyiapkan botolnya."
Anehnya Aidan tidak protes ketika Emma mendorong Mason ke
dalam pelukannya. Mason segera menghentikan isakannya dan
menatap dengan mata terbelalak ke Aidan. "Ya, benar. Kau terjebak
denganku sekarang, dan aku tidak punya payudara yang indah
supaya kamu bisa meringkuk."
Emma memukul lengannya. "Jangan berani-berani bicara seperti itu
padanya! Dia hanya seorang bayi! Payudara hanya makanan
baginya, dasar mesum!"
"Sialan, Em, kapan kau mulai melakukan kekerasan?" Candanya.
Mason yang masih ompong tersenyum pada Aidan ketika Emma
bergegas pergi. Aidan tertawa kecil. "Kurasa dia benar, ya" Tapi
suatu hari nanti kau akan memahami seperti apa rasanya ditinggal
setengah ereksi oleh wanita."
"Aku mendengarnya!" Dia berseru padanya sambil membanting
pintu kulkas. Setelah memanasi susu formula, ia kembali ke ruang
tamu tepat saat Mason mulai rewel lagi. Aidan akan menyerahkan
dia kembali kepadanya, tapi Emma menggelengkan kepalanya.
"Bisakah kau memberikan susu ini kepadanya sementara aku akan
menyiapkan air untuk mandinya?"
Aidan memberinya seringai menggoda. "Dan jika aku menolak,
apakah itu berarti aku tidak akan memiliki kesempatan untuk
mendapatkan kembali piyama Scooby Doo malam ini?"
"Aku akan mengatakan kemungkinannya sangat tipis bahkan
mungkin tak ada." Aidan mengambil botol dari Emma. "Aku rasa tidak ada salahnya
untuk memberinya susu. Sudah lama sekali sejak sejak salah satu
kakakku memaksaku untuk melakukan hal ini, jadi aku sedikit lupa.
Tapi kau yang harus menggantikan popoknya."
Emma menempatkan tangannya ke pinggulnya. "Jadi aku akan
meluruskan hal ini. Kau pada dasarnya memberi makan Mason
bukan untuk membantuku, tapi untuk memastikan agar mendapatkan
seks malam ini?" "Aku menganggap hal itu sebagai situasi yang menguntungkan bagi
kita berdua." Dia menunduk menatap Mason yang sedang menghisap
botol dibawahnya. "Dan untuk dia, juga."
"Baru saja aku berpikir kau telah berubah menjadi seorang bajingan
gila seks, kau bertindak seperti ini."
Aidan memiringkan alisnya. "Semua teman-temanku yang sudah
menikah telah memperingatkan aku tentang betapa buruknya
kehidupan seks-mu yang akan tersingkir setelah kau memiliki anakanak. Aku kira
kau sedang memberiku peringatan dini, ya?"
"Tidak mungkin!" Dia berjalan ke kamar tidurnya. Setelah berada di
dalam kamar mandi, dia menyalakan keran dan menguji suhunya.
Setelah cukup terisi, dia mematikan air dan kembali ke ruang tamu.
Dengan Mason di lekukan satu tangannya, Aidan menggunakan
tangan satunya memegang remote untuk memindahkan saluran.
"Apakah kau sudah membuatnya bersendawa?"
Dia mengalihkan pandangannya dari TV. "Hah?"
Emma memutar matanya dan mengambil botol kosong dari Aidan.
"Aku menyimpulkan bahwa kau tidak pernah memiliki banyak
waktu tentang apa yang harus dilakukan dengan keponakan laki-laki
dan keponakan perempuan ketika mereka masih bayi?"
"Tidak banyak. Kenapa" "
"Karena setelah kau memberi minum botol pada bayi, kau harus
membuatnya bersendawa, atau gas akan menyebabkan mereka
sakit." "Baik, aku akan membuatnya bersendawa." Aidan membawa Mason
ke dada dan menepuk punggungnya.
"Sedikit lebih keras," Emma mengarahkan.
Setelah Aidan memberikan dua tepukan cepat, Mason bersendawa
keras lalu langsung gumoh (muntah sedikit) di seluruh bahunya. "Ya
Tuhan!" Teriak Aidan, menatap ngeri ke arah kemejanya.
"Oh, tenang. Ini hanya gumoh sedikit."
"Ini kemeja seratus dolar, Em."
"Kau bertindak seperti dia melakukannya dengan sengaja." Dia
menyerahkan kotak tisu basah dari meja pada Aidan kemudian
menggendong Mason. "Sementara aku memandikannya, bisakah kau
membantuku menempatkan Pack N Play di kamarku?"
"Ya, aku akan melakukannya."
"Terima kasih."
Saat Emma menyusuri lorong, dia mendengar Aidan menggerutu
sendiri sambil mencuci bajunya. Setelah dia memandikan Mason dan
memakaikan piyama, mata Mason mulai terlihat mengantuk.
Mengintip keluar melalui pintu kamar mandi, dia melihat Pack N
Play sudah berada disana dan menyadari Aidan telah melakukan apa
yang dia pinta. Itu sedikit memulihkan reputasi Aidan dari sudut
pandangnya. Dia menggoyang-goyangkan Mason selama beberapa
menit di kursi goyang sampai dia tahu Mason tertidur pulas.
Ketika Emma akan keluar dari kamar tidur, dia berpikir tentang
komentar sarkastik Aidan tentang bayi dan seks. Emma masih kesal
dengannya karena bersikap egois, tapi dia sepenuhnya tidak ingin
mengubah Aidan tentang ide pernikahan dan anak-anak ketika
semuanya sudah berjalan sangat baik di antara mereka. Perang hebat
sedang berkecamuk di dalam batinnya, akhirnya dia membiarkan
iblis yang menang, bukannya malaikat. Bagaimanapun juga, dia
mencintai orang yang tepat, dan dia akan membuktikan bahwa Aidan
salah jika itu adalah hal terakhir yang Emma lakukan.
Dia berjingkat menuju lemari dan membuka laci paling bawah.
Tertimbun di bawah Bra dan celana dalamnya ada sebuah korset


The Propotition The Propotition 1 Karya Katie Ashley di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hitam dengan tali tipis dan garter yang Casey belikan untuknya saat
ia memutuskan ingin membuat bayi. Pada saat terakhir ia tidak
membutuhkannya. Dengan celana dalam hitam berenda, tentu saja
model lingerie paling berani yang dia miliki. Untungnya, dia bisa
melepaskannya setelah membuka beberapa kancing di perutnya yang
membesar. "Ya, hal ini perlu trik," bisiknya. Meraih lingerie-nya lalu dia
bergegas ke kamar mandi lalu berganti pakaian dengan mengenakan
pakaian dalam itu. Ketika ia menatap di cermin, dia tidak terlihat
seperti ibu hamil yang memamerkan benjolan bayi mungil. Dia
benar-benar tampak seperti rubah betina atau wanita penggoda.
Emma menyusuri lorong. Ketika dia masuk ke dapur, ia bisa
mendengar suara keras dan lantang dari seorang reporter olahraga
yang bergema diseluruh ruang tamu.
"Mason sudah tidur," katanya.
"Dia tidak banyak membuatmu kesulitan, kan?" Tanya Aidan, tanpa
mengalihkan pandangannya dari televisi.
"Tidak, ia tidur seperti malaikat."
"Itu bagus." "Ingin bir?" "Ya. Sepertinya menyenangkan."
Dia mengambil satu dari lemari es dan berjalan perlahan ke sofa.
Aidan bahkan tidak melihat ketika Emma menyerahkan kepadanya.
Ia membuka tutupnya dan menenggaknya.
"Apa yang kamu tonton?"
"The Braves* game."
"Kau ingin bermain game bukan?" Tanyanya malu-malu.
Aidan meneguk bir sebelum berbalik menatapnya. Saat tatapannya
menyapu seluruh tubuh Emma, dia memuntahkan cairan bir keluar
dari mulutnya. "Ya Tuhan, Em, apa sih yang kau kenakan?"
Dia melihat ke bawah ke pakaiannya seperti itu adalah sesuatu yang
biasa dia kenakan. "Hanya kejutan untukmu. Apakah kau tidak
menyukainya?" "Oh, aku menyukainya." Aidan menjilat bibirnya, matanya melekat
pada belahan dadanya yang hampir meluap keluar dari korset itu.
"Hanya saja kupikir setelah aku bertindak seperti seorang bajingan,
aku dicoret di bagian seks malam ini."
"Well, aku seharusnyamemukul pantatmu karena menjadi orang
yang begituburuk sebelumnya."
Aidan tertawa. "Kupikir aku mungin menikmatinya."
Dengan senyum yang tidak senonoh, Emma bangkit dari sofa.
Tatapan Aidan melebar saat melihat garter berenda di atas pahanya.
Emma mengambil bantal dari sofa dan menjatuhkannya di lantai.
Membungkuk di atas Aidan, jari-jari Emma menuju ke kancing
celananya. "Aku ingin menyelesaikan apa yang kita mulai tadi
sebelum kita terganggu, jika itu tak apa-apa."
"Tentu saja aku merasa senang sekali."
Dia menarik ritsletingnya ke bawah, dan Aidan mengangkat
pinggulnya untuk memudahkan Emma menarik lepas celananya.
Ereksinya menegang dibalik celana dalamnya. Berlutut di atas bantal
di antara kaki Aidan, Emma menjalankan tangannya keatas dan ke
bawah di bagian dalam paha Aidan, kuku jari Emma menggores
kulitnya yang sensitif. "Em, please" gumam Aidan.
Emma tersenyum manis padanya saat ia menarik ban pinggang
celana dalamnya ke bawah dan membebaskan ereksinya.
Membawanya dengan satu tangan, dia menjilatnya dengan perlahan,
menyusuri dari pangkalnya sampai ke ujungnya. Menjentikkan
lidahnya dan berputar-putar mengelilingi ujungnya. Dia mengisap
hanya di ujungnya dengan mulutnya kemudian membebaskannya.
Aidan mengerang. "Sayang, jangan menggodaku. Ini sudah terlalu
lama." Emma melanjutkan serangannya secara perlahan-lahan padanya,
merasakan kejantanan Aidan tumbuh menjadi lebih besar karena
tindakannya. Dia meniup ujung kejantanan Aidan yang berkilau,
menyebabkan Aidan menggeraman rendah. Ketika ia mulai protes
lagi, Emma meluncurkan kemaluan Aidan masuk ke dalam
mulutnya. Aidan tersentak dan mendorong pinggulnya,
menyebabkan masuk lebih dalam lagi ke mulutnya. Emma
mendorongnya keluar-masuk, menghisap keras ujung kepalanya,
sementara tangannya mencengkeramnya. Setiap kali dia melakukan,
Aidan mengerang kenikmatan. "Oh Em, oh sial!" Emma
mempercepat gerakannya saat jari-jari Aidan membelit rambut
Emma. "Aku akan datang jika kau tidak berhenti," dia
memperingatkan. Tapi Emma menginginkan semuanya jadi dia tetap melanjutkan
mulutnya bekerja di kemaluannya, membawanya lebih dalam dan
lebih dalam lagi setiap kali menghisapnya sambil lebih menekan di
sekeliling kejantanannya. Akhirnya, Aidan berteriak, mengangkat
pinggulnya dan menyemburkan cairannya kedalam mulutnya. Emma
menjilat dan mengisapnya sampai kering, dan ketika menatap ke
arahnya, mata Aidan membara ke arahnya. "YaTuhan, rasanya begitu
nikmat!" "Aku senang kau menyukainya."
Aidan membungkuk dan menarik Emma ke pangkuannya. Emma
merasa dirinya bertambah basah saat dia mengangkangi Aidan.
Tangan Aidan menuju ke payudaranya, mengeluarkan mereka dari
korsetnya. Saat menangkup mereka, dia melirik ke arah Emma
sambil menyeringai. "Aku pikir aku bisa mengerti maksud dari
permainan kecilmu ini sekarang."
"Permainanku?" Tanyanya polos.
Aidan mengangguk. "Kau ingin membuktikan kepadaku bahwa kau
dapat memiliki bayi dan masih bisa memiliki kehidupan seks yang
panas." Dia mengangkat alisnya. "Oh, apakah kau berpikir bahwa apa yang
baru saja kulakukan benar-benar panas?"
Aidan memutar puting Emma diantara jari-jarinya, menyebabkan
mereka mengeras. "Kau mengenakan sesuatu yang seksi ini
kemudian mengisapku sampai aku datang" yeah, itu sangat panas."
"Aku hanya ingin menyambut kepulanganmu." Emma mengusap
pangkalpahanya di atas kemaluan Aidan yang lemas, memutuskan
akan membawanya kembali mengeras dia mendesakan pinggulnya.
"Em, kau mendorongku menjadi liar," gumam Aidan, bibirnya
menyapu payudaranya. "Kalau begitu bawa aku ke tempat tidur," perintahnya.
"Dengan senang hati." Aidan mencengkeram pinggul Emmadan
mendorongnya menjauh dari kakinya. Saat berdiri, Aidan
menjatuhkan celana dalamnya.
"Buruan lepas kemejamu. Itu Bau," instruksi Emma saat dia mulai
menuju ke kamar tidur. Dia menggoyangkan pinggulnya dengan
provokatif untuk mendapatkan perhatian Aidan. Emma mencibir
ketika mendengar suara kancing lepas dari baju Aidan dan
berhamburan di lantai kayu. Aidan baru saja merusak kemejanya
yang mahal untuk seks. Emma hampir sampai ke lorong sebelum Aidan berada di sisinya.
Aidan melingkarkan lengannya di pinggang Emma, lalu menariknya
ke dalam pelukannya. Napas Aidan membara di pipinya. "Aku akan
membuatmu datang begitu keras sampai kau meneriakkan namaku."
Emma menggigil dalam penantian saat menempelkan dirinya ke
Aidan. "Shh, kita tidak boleh berisik, atau kita akan membangunkan
Mason," jawab Emma. Aidan mencibir. "Aku tidak mengharapkan penonton."
"Nah, apa yang kau sarankan?"
Dia melirik di seberang lorong kemudian menarik Emma ke kamar
tidur tamu. Dia mulai menutup pintu, tapi Emma
menggelengkankepalanya. "Aku tidak akan bisa mendengar Mason."
Aidan mendengus dengan frustrasi kemudian mendorongnya kearah
tempat tidur. Jari-jarinya dengan cekatan melepas kaitan korsetnya.
Ketika payudaranya bebas, mulutnya langsung menutupi salah satu
putingnya. Ereksi menekan perutnya, dan Emma merasa dirinya
sangat dan amat sangat bergairah. Tangan Aidan menyusuri celana
dalamnya, menarik paksa mereka menuruni kakinya.
Dia memutar Emma dan membungkukkannya di tepi tempat tidur,
sikunya bertumpu di kasur. Aidan menyebarkan kaki Emma melebar.
Kemaluannya menyentuh inti Emma dari belakang, dan dia
bertanya, "Apakah ini baik-baik saja?"
"Umm, hmm," gumam Emma.
Dorongan pertama, Emma berteriak. Aidan menyandarkan di
ataspunggung Emma, suara Aidan berbisik di telinganya. "Jangan
membangunkan Mason," dia memperingatkan.
Dia menoleh daribalikbahunyake arah Aidan. "Apa yang
terjadisampai bisa membuatku menjerit?" Katanya terengah-engah.
"Oh, aku masih bisa melakukan itu." Tangannya menjangkau
disekitar dan menemukan klitorisnya yang berdenyut-denyut. Dia
mengusapnya sambil menghujam keluar-masuk pada diri Emma.
"Apakah ini berlebihan, sayang?" Tanyanya, dengan suara serak.
Emma tahu dia takut melakukan sesuatu yang bisa menyakiti
bayinya. Emma menggelengkan kepalanya. "Tidak, rasanya nikmat. Sangat
nikmat." Tangan Aidan yang lain merayap untuk menangkup
payudaranya, mencubit puting diantara jari-jarinya. "Ya, oh ya!"
Teriak Emma, hampir mencapai orgasme pertamanya.
Ketika Aidan melepaskan tangannya, ia merintih kecewa. Begitu
Emma mulai lepas dari ketinggiannya, Aidan membawa jari-jarinya
kembali, dengan cekatan mengusap dan membelainya,
membangunkan Emma kembali. "Ya! Oh, Aidan, oh please!
Aidan!"Serunya. "Please apa?" "Please tetaplah menyentuhku! Tolong buat aku datang!"
Dia membelainya lebih cepat dan lebih cepat lagi sampai Emma
menekankan wajahnya ke kasur, tangannya mencengkeram seprei,
dan berteriak. Merasa dirinya juga sudah dekat, Aidan mencengkeram pinggul
Emma dengan sangat ketat dan membenamkan wajahnyake leher
Emma. Dia datang begitu keras tapi dia tidak peduli untuk
menyembunyikan teriakan suaranya yang serak itu. Ketika selesai,
Aidan menarik Emma berdiri dan membalikkan tubuhnya untuk
berhadapan dengannya. "Jika kau terus menyambutku pulang seperti
ini, kupikir aku akan meminta untuk melakukan perjalanan bahkan
lebih sering lagi." "Ah, alangkah menyenangkan, tapi aku akan sangat merindukanmu
selama seminggu." Aidan menyeringai. "Merindukan aku atau seksnya?" Tanyanya,
melempar kembali pertanyaan Emma seperti biasanya.
Emma memiringkan kepalanya. "Mengapa selalu seks!"
Aidan mendengus dan sambil bercanda memukul pantat Emma.
"Aku sudah mengatakan itu sekali, dan aku akan mengatakannya
lagi. Bahwa mulutmu adalah masalah."
Emma menggeliat keluar dari pelukan Aidan. "Aku akan mandi.
Mau bergabung denganku?"
"Kau bahkan tidak perlu meminta."
*** Pack N Play: tempat bermain atau tempat tidur khusus untuk bayi yang bisa
dipindah-pindahkan. Knight in Shining Armor: ksatria berbaju baja yang bisa menyelamatkan dia dari
kehidupannya yang membosankan. Braves: tim bisbol di Atlanta
Bab 22 Pukul tiga lewat sedikit dini hari, suara tangisan Mason
membangunkan Emma. Dia mendorong Aidan yang meringkuk di
atas tubuhnya. "Bangun, Aidan."
"Hmm?" "Mason menangis."
Aidan mengerang lalu berguling darinya. Saat Emma sedang
memakai jubahnya, Mason menjeritdengan nada tinggi. "Ya Tuhan,
anak itu memiliki paru-paru yang kuat," kata Aidan sebelum
menutup kepalanya dengan bantal.
Emma bergegas menujubox bayi Pack N Play. "Shh, tidak apa-apa,
sayang," gumamnya sambil mengangkat Mason. Jeritannya sedikit
mereda, tapi dia masih terus menangis.
Suara Aidan teredam dari bawah bantal. "Em, maukah kau
membawa dirinya dan teriakannya ke tempat lain?"
Kemarahan membakar pada diri Emma. Berani-beraninya Aidan
memperlakukan dirinya seperti itu" Dia menggeser Mason ke
bahunya, lalu menggunakan tangannya yang bebas untuk memukul
punggung telanjang Aidan dengan keras.
Aidan mengempaskan bantal lalu melotot ke arahnya. "Kenapa sih
kau memukulku?" "Kenapa kau bertingkah seperti bajingan berkulit tebal?"
"Karena aku kecapaian terlalu banyak pekerjaan, mengalami jet-lag,
dan hanya ingin tidur," Dia menggeram.
Emma menggelengkan kepalanya. "Perilakumu malam ini benarbenar membuatku
berpikir tentang sesuatu."
Aidan bangkit dari tempat tidur dan menggosok-gosokan matanya.
"Apa yang kau keluhkan sekarang?"
"Apakah ini yang akan terjadi dengan bayi kita" Kau hanya
memikirkan dirimu sendiri, membenci bayi ini ketika kita sedang
bersama atau melakukan seks, dan yang lebih buruk lagi, kau
membuatku seperti orangtua tunggal padahal kau di dalam ruangan
yang sama denganku."
Aidan menyentakkan selimutnya sambil memutar bola matanya.
"Oke. Aku akan mengisi botol sialannya. Apa itu membuatmu
senang?" "Mungkin," jawabnya. Meskipun Aidan telanjang bulat keluar dari
kamar sambil menghentakkan kakinya, Emma tersenyum karena
omelannya cukup mempengaruhi Aidan untuk bertindak. Setiap
pertempuran kecil, kemenangan selalu berada dipihak Emma.
Perlahan dia duduk di kursi goyang sambil mengusap punggung
Mason. "Tunggu sayang. Om Aidan akan mengambilkan botol
susumu." Kata-kata Emma tak banyak berpengaruh pada Mason, dan saat
Aidan kembali, wajah Mason merah padam, mendengus dengan
amarah karena kelaparan, dan menggerak-gerakkan tangan dan
kakinya. "Sialan, cowok Kecil, tenanglah," kata Aidan, menyerahkan botol
pada Emma. "Terima kasih," katanya, sambil tersenyum. "Sepertinya sifat
pemarah sudah terbentuk di keluarga Fitzgerald," renungnya, saat
mulut Mason menempel pada botolnya.
"Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan," jawab Aidan sambil
menyeringai. Dia ambruk kembali ke tempat tidur. "Dia jelas
mendapatkannya dari ayah-nya yang brengsek - si brengsek yang
menghamili Megan lalu melarikan diri."
"Benar-benar brengsek. Bahkan berpikir bisameninggalkan malaikat
seperti Mason atau kekasih seperti Megan," jawab Emma. Dia
menggoyang kursi goyang maju mundur saat Mason menghisap
susunyadengan rakussampai habis. "Kau lapar, kan?" Tanyanya
sambil menempatkan Mason di bahu dan membuatnya bersendawa.
Emma memeluk Mason di dadanya, lalu memberinya dot. Setelah ia
mulai bersenandung dengan lembut, Emma melihat efek itu yang


The Propotition The Propotition 1 Karya Katie Ashley di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membuat Mason menjadi tenang. Lalu ketika dia mulai bernyanyi
dengan lembut, mata Mason semakin berat dan akhirnya tertidur
pulas. Ketika Emma berdiri untuk menempatkan Mason kembali ke boxnya, dia kaget saat
melihat Aidan sedang bersandar pada satu
sikunya, sedang menatapnya. Hanya dengan sedikit cahaya dari
lorong, Emma tidak tahu apakah itu nafsu atau cinta yang membakar
matanya. "Apa?" Bisiknya, pelan-pelan meletakkan Mason di tempat tidurnya.
"Aku belum pernah mendengar kau bernyanyi sebelumnya."
"Oh itu." Dia menundukkan kepalanya, mencoba untuk melawan
rasa malu yang menusuk kulitnya. Dia menyelimuti Mason.
"Suaramu benar-benar merdu."
Emma mengalihkan pandangannyadari Mason ke arah Aidan dengan
kaget. "Benarkah?"
"Seperti malaikat." Aidan menarik tangan Emma ke tempat tidur.
"Maksudku, kau memang pernah bilang kau bernyanyi di gereja dan
di bar, tapi aku tidak tahu kalau suaramu semerdu itu."
"Kau hanya bersikap baik."
"Dan kapan aku pernah melakukan itu?" Aidan menggumam, dengan
senyum licik. Emma tertawa. "Oke, aku rasa kau benar tentang yang satu itu."
Bibir Aidan menyusuri sepanjang tulang selangkanya sebelum ia
menatap ke arahnya. "Aku serius, Em. Suaramu benar-benar
menakjubkan." "Terima kasih." Emma menempelkan bibirnya ke bibir Aidan.
"Kapanpun kau menginginkan aku bernyanyi supaya kau bisa tidur,
aku akan melakukannya."
"Aku suka itu."
Emma menempelkan tubuhnya pada Aidan, membenamkan
wajahnya di lekukan lengannya. "Aku benar-benar benci kamu harus
pergi lagi." "Aku juga," gumamnya.
Emma berdebat dengan dirinya sendiri sebelum mengajukan
pertanyaan berikutnya. "Aku tahu kita sepakat bahwa kita berdua
menginginkan 'lebih', tapi apa kau pernahmencari tahu apa artinya
itu untukmu?" Jari-jari Aidan, sedang mengusappelan-pelan melingkar di atas
kulitnyalangsung membeku di tulang belikat Emma. "Tidak terlalu.
Apa kau sudah tahu?"
Menopangkan dagunyadi dada Aidan, Emma menatapnya. "Aku
harap itu berarti setidaknya hubungan monogami."
"Tentu saja." Aidan mengerutkan alis ke arahnya. "Kau tahu aku
belum pernah bersama orang lain sejak aku mengajukan proposisi itu
padamu malam itu di O'Malley."
"Aku tahu. Hanya saja-"
"Kau takut karena masa laluku, aku mungkin tidak bisa berhubungan
monogami?" "Ya," bisiknya.
Aidan menghela napas. "Aku mengerti mengapa kau merasa seperti
itu, Em. Tapi aku serius ketika aku bilang aku ingin mencoba 'lebih'
denganmu. Aku tidak bisa memberi jaminan apapun, tapi setidaknya
aku ingin mencoba. Aku menyukaimu. Aku suka menghabiskan
waktu denganmu, bahkan di luar kamar tidur."
Emma tahu apa yang di tawarkan Aidan sudah terlalu besar bagi diri
Aidan sendiri. Rasanya seperti bukan apa-apa bagi Emma, namun
bagaimanapun juga, dia bukan seorang wanita yang takut
berkomitmen. Fakta bahwa Aidan tidak melakukan tur seks eksotis
di India atau tidur dengan seseorang di kantor Delhi berarti dia
berusaha untuk jujur. Emma menatap matanya. "Aku bisa
menerimanya." "Dan aku menganggap kau tidak berhubungan dengan orang lain,
kan?" Emma tidak bisa mencegah dengusan menghina yang keluar dari
bibirnya. "Apa kau harus menayakan itu" Selain itu, terakhir kali aku
periksa,kau tidak bisa menempatkan kehamilanku dalam daftar 100
besar di Maxim Hot."
Aidan memutar bola matanya. "Kau mulai merendahkan daya tarik
seksmu lagi. Kau selalu tidak menyadari efek yang kau miliki
terhadap pria lain."
"Ya benar." "Kau bahkan tidak sadar pada malam itu saat aku kembali dari India
lalu melihatmu di O'Malley's, aku hampir terlibat perkelahian di bar
dengan semua pria yang mengerling padamu."
"Benarkah?" Tanya Emma.
"Bagaimana caraku agar bisa membuatmu percaya betapa sialan
seksinya kamu?" Emma menunjuk perutnya yang membuncit. "Menurutmu ini seksi?"
"Aku tidak peduli perutmu buncit atau tidak, Em. Kau sendirilah
yang membuat dirimu terlihat seksi, bukan tubuhmu. Bahkan bukan
karena penampilanmu yang lezat saat memakai lingerie tadi. Tapi
karena caramu menggoyangkan pinggul dan menggoyangkan
pantatmu dihadapanku, aku tahu itu akan membuatku gila, atau
caramu menghisapku benar-benar membuatku putus asa."
Panas menjalar di pipi Emma dan kehangatan berdenyut melalui
pembuluh darahnya saat mendengarketulusan dari kata-kata yang di
ucapkannya. "Jadi kau akan tetap menginginkan aku walaupun aku
hamil sembilan bulan, mungkin kelebihan berat badan tiga puluh
pound, dan membengkak seperti balon udara Goodyear?"
Aidan terkekeh. "Ya, aku tetap menginginkanmu."
"Hmm, kita lihat saja nanti."
Ketika Emma bersiap untuk tidur, Aidan bertanya, "Jadi definisi kita
tentang 'lebih' hanyalah tidak berkencan orang lain?"
"Aku pikir itu awal yang cukup bagus. Iya kan?" Walaupun
sebenarnya dia menginginkan segalanya dan 'lebih' dengan Aidan,
tapi dia tidak ingin membuatnya ketakutan. Dia pikir cara terbaik
yaitu melanjutkan hubungan secara perlahan-lahan dahulu lalu
membawanya melangkah ke hal yang lebih besar seperti tinggal
bersama atau bahkan sesuatu yang ia harapkan dan impikan, yaitu
pernikahan. "Aku juga berpikir seperti itu. Maksudku, kita sudah menghabiskan
seluruh waktu kita bersama-sama. Tidak perlu berkencan dengan
orang lain." "Aku setuju." "Jadi kita baik-baik saja dengan 'lebih' kita itu?" Tanya Aidan.
Meskipun dia ingin berteriak, menjerit, dan mencerca bahwa dia
benci definisi mereka tentang 'lebih', ia hanya tersenyum. "Ya, kita
baik-baik saja." *** Bab 23 Dua bulan kemudian Berendam di bathtub berukuran besar, Emma mengamati kakinya
yang bengkak dengan perasaan jijik. Dia pikir dia tidak harus
menghadapi efek samping dari ketidak-menarikannya terutama saat
kehamilannya sampai sejauh ini. Tapi saat kehamilannya meningkat
dari trimester pertama ke trimester kedua, kakinya perlahan-lahan
mulai berubah setiap hari. Sejak dia menghabiskan sebagian besar
waktunya bersama mereka melakukan beberapa kali presentasi untuk
iklan, kakinya menjadi lebih buruk daripada biasanya.
Beau bermalas-malasan dilantai didepan bak mandi dengan sedikit
mendengkur. Karena kepergian Aidan keluar kota setiap dua minggu
sekali sebagai Vice President, Beau menjadi seperti anjing Emma
daripada anjing Aidan. Dia menjemputnya dari Doggy Daycare dan
Beau membantu dia melewati malam sendirian tanpa Aidan dengan
tidur disampingnya. Emma baru saja menghangatkan airnya kembali untuk berendam
lebih lama ketika Beau mengangkat kepalanya. Setelah
menggonggong, dia berlari kearah pintu kamar mandi. "Oh, aku
yakin Daddy telah kembali dari New York," katanya. Saat Beau
menggoyangkan seluruh tubuhnya dan menggoyang-goyangkan
ekornya kesana kemari, mau tak mau Emma berbagi kegembiraan
dengan Beau. "Em" "Suara teriakan Aidan terdengar dari arah lorong.
"Di bak berendam," Sahut Emma.
Dia membuka pintu dan tersenyum lebar pada Emma. "Hey sayang!"
Beau menyalak di kaki Aidan saat Aidan melewatinya menuju
bathtub. Dia memberikan Emma ciuman yang lama sebelum
mengalihkan perhatiannya pada Beau.
"Bagaimana perjalananmu?" Tanya Emma, saat Aidan menggaruk
telinga Beau. Aidan mengerang. "Sama sialnya seperti biasa."
Emma mengerutkan hidungnya. "Yang berarti sama sialnya seperti
biasa saat kau akan meninggalkan aku lagi untuk minggu depan,
kan?" "Sayangnya iya. Aku kira itulah mengapa mereka mengajiku dangan
bayaran yang besar." Dia menatap busa yang menutupi tubuh Emma.
"Apa ini tidak terlalu dini untuk berendam?"
Emma tertawa dan mengeluarkan satu kakinya keluar dari air. "Aku
kira juga seperti itu, tapi kupikir dengan berendam sebentar
membuat bengkak kakiku seperti badut karena hamil ini akan
mengempis." Berlutut ke bawah, Aidan mengambil satu kaki Emma dengan
tangannya dan mencium punggung kakinya. "Aku akan memijatmu
ketika kau keluar dari sini."
Emma mengangkat alisnya kearah Aidan. "Uh-huh, dan apa yang
kau inginkan sebagai imbalan untuk pijatanmu itu?"
Aidan tertawa. "Siapa yang berkata aku menginginkan imbalan"
Kakinya ibu bayiku bengkak, jadi aku merasa bertanggung jawab
untuk membuatnya menjadi lebih baik."
Emma menyeringai. "Airnya masih hangat. Kamu bisa bergabung
denganku." Seketika itu jari Aidan membuka kancing kemejanya. "Kamu tidak
perlu bertanya dua kalipadaku."
Emma menatap dengan penuh kagum saat Aidan menanggalkan
bajunya. Setiap kali dia pergi, membuat Emma merindukannya dan
sangat mendambakan Aidan. Setelah masuk kedalam bathtub, Aidan
melingkarkan tangannya ke Emma, menariknya ke pangkuannya.
Aidan mengejutkan Emma saat dia menciumnya dengan lembut,
bukannya ciuman kelaparan penuh dengan gairah seperti yang biasa
dia lakukan. Tentu saja, ketika dia menggerakkan jemarinya sampai
punggung Emma, halitu membuatnya bergidik penuh dengan
antisipasi. "Apakah kamu ingin mengatakan apa yang ada dipikiranmu?" Tanya
Aidan "Huh?" Aidan tertawa kecil. "Kamu merasa sedikit tegang, hanya itu saja."
"Hari ini aku begitu stres di kantor." Emma berbohong.
"Dan apa lagi?" Lanjut Aidan.
"Baiklah. Ada sesuatu yang ingin akutanyakan padamu."
"Oke, katakan."
"Ini tentang perjalanan bisnismu selanjutnya?" Tanya Emma.
"Hmm?" Gumamnya, menyisirkan jemarinya di rambut Emma yang
basah. "Apa kamu punya rencana pada akhir pekan setelah kau kembali?"
"Belum tahu, kenapa?"
Emma tahu waktunya sekarang atau tidak sama sekali untuk
berbicara padanya yang berpotensi bisa meledak. Tentu saja dua
bulan telah berlalu dimana mereka menghabiskan lebih banyak
waktu bersama-sama. Aidan tetap pada pendiriannya untuk memiliki
hubungan monogami, bahkan sejauh ini dia berbicara dengan Emma
menggunakan skype saat larut malam ketika ia pergi keluar kota.
Hampir setiap malam saat dia tidak pergi keluar kota, Emma tidur
dirumah Aidan atau Aidan tidur di rumahnya. Tapi mereka masih
tidak melangkah ke tingkat komitmen yang Emma inginkan, mereka
juga belum mengatakan kata "C" yang begitu Emma dambakan
untuk didengarkannya. "Well, ada acara *Barn Dance tahunan keluargaku di pegunungan.
Mereka keluarga dari ibuku."
Aidan mencibir. "Dan apa sebenarnya Barn Dance itu?"
"Tepatnya seperti. Band-nya sepupuku yang memainkan musik,
orang-orang berdansa, mereka biasanya membuat BBQ sendiri...dan
dibawah sinar rembulan." Emma tersenyum saat melihat mata Aidan
yang terbuka lebar. "Intinya, acara ini semacam reuni keluarga. Aku
berencana untuk pergi hari sabtu sore dan kembali minggu sore. Aku
akan sangat senang jika kamu ikut denganku. Kakek dan nenekku
ingin sekali bertemu denganmu."
Aidan tersenyum. "Oke."
"Benarkah?" Teriak Emma, tidak bisa menyembunyikan
kekagetannya. Aidan mengangguk. "Kamu telah menderita saat bertemu dengan
seluruh keluargaku. Aku seharusnya membayar kebaikan itu. Lapi
pula, aku selalu menyukai pergi kepegunungan. Kita bahkan bisa
mengajak Beau." Emma tertawa. "Oh, dia akan berada di surga para anjing di rumah
kakek dan nenekku. Mereka memiliki sekitar tiga puluh hektar tanah
dan juga sebuah kolam."
"Kedengarannya menakjubkan untuk lebih dari sekedar Beau."
Emma masih tidak bisa menyembunyikan perasaannya saat melihat
kegembiraan Aidan tentang pertemuan dengan keluarganya. "Jadi
aku bisa mengatakan pada Grammy kita akan datang?"
"Tentu, Aku tidak ingin melewatkannya dalam hidupku."
*** *Barn Dance: acara social gathering di pedesaan, sering diadakan di gudang,
dengan musik dan dansa terdiri dari empat pasangan yang membentuk formasi persegi
Bab 24 Aidan memasukkan pakaian terakhirnya lalu menutup ritsleting
kopernya. Ia mendengus dengan frustrasi ketika telepon
genggamnya bergetar di sakunya. Karena ia sudah terlambat untuk
menjemput Emma, dia tidak ingin ada gangguan lagi. Untungnya, ia
tahu itu bukan dari Emma yang ingin tahu dimana dirinya berada
sekarang, karena nada deringnya tidak familiar bukan dari telepon
Emma. "Halo?" Suaranyasangat keras dari seseorang yang agak mabuk terdengar di
jalur telepon. "Fitzy, di mana sih kamu Man" Seluruh geng kita
sudah berada di O'Malley menunggu permintaan maaf sialanmu!"
Ternyata Blake, teman baiknya. Aidan benar-benar lupa untuk
memberitahu dia dan teman-teman kantornya yang lain bahwa ia
tidak akan bisa berkumpul lagi seperti biasanya setiap hari Sabtu.
"Maaf Dude, aku akan pergi ke luar kota dengan Em."
"Kau bersama Emma lagi?" ejeknya, suaranya mengalahkan
kegaduhan dari kerumunan orang banyak di latar belakangnya.
"Ya, kami akan mengunjungi keluarganya di pegunungan. Acara
Barn Dance atau sesuatu sialan semacam itu."
"Persetan, Man. Kau menghabiskan seluruh waktumu dengan dia
sekarang. Belum lagi kau akan memiliki seorang anak. Kau mungkin
juga telah terjebak pada vaginanya."
"Ya, menghabiskan banyak waktu bercintadengan seorang wanita
yang cantik, berambut merah menyala benar-benar membuatku
seperti seorang pecundang!" Jawab Aidan, sambil tertawa kecil.


The Propotition The Propotition 1 Karya Katie Ashley di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Blake mendengus. "Kau tak tahu bahwa kau telah menginjak pasir
hisap sialan itu. Aku yakin, rasanya menyenangkan sekarang, tapi
tunggu saja. Emma tidak bodoh. Dia sedang mengencangkan
jeratannya, dan kau terlalu kacau untuk menyadarinya."
"Jangan mengatakan hal omong kosong seperti itu tentang Emma,"
geram Aidan. "Aku bukan satu-satunya orang yang mengatakan hal seperti itu,
Fitzy. Seluruh geng kita khawatir tentang dirimu. Dan jangan
mengatakan kami tidak tahu apa yang sedang kita bicarakan. Tiga
orang dari kita telah bercerai, ingat?"
Aidan memindahkan teleponnya ke telinga yang lainnya. Dia tidak
menyukai perubahan dari pembicaraan ini. Dia juga tidak suka nada
bicara Blake atau kemungkinan ada kebenaran dalam kata-katanya.
"Geng teman-teman terbaikku membicarakan diriku di belakang
punggungku sendiri."
"Yeah, well, hanya saja ingat kata-kataku. Jika kau tidak segera
cepat memutuskannya,kau pasti ingin mendengarkan kami suatu hari
nanti." "Hentikan omong kosongmu, Blake!" Teriak Aidan sebelum
menutup telepon. Dia memasukkan telepon genggamnya kembali ke
sakunya. Dia pikir siapa sih Blake" Emma tidak memaksanya untuk
melakukan apapun. Tidak ada wanita yang pernah ataupun akan bisa
memaksanya. Aidan bersama Emma karena ia menikmati apa yang
sedang mereka jalani. Tidak ada yang salah dengan itu. Aidan
memberikan sama seperti yang ia inginkan, dan Emma tidak
memaksakan kemauan apapun pada Aidan.
Memikirkan teman-temannya yang sedang minum dan berbicara
yang tidak-tidak tentang Emma, dia tidak tahan untuk bergumam,
"Idiot brengsek." Dia meraih kopernya dan bersiul pada Beau. "Ayo,
boy. Mari kita pergi dari sini."
Dengan senang hati Beau mematuhi, dan masuk ke dalam mobil,
ketika di dalam, Aidan melihat Beau menggeliat. Mengetahui ia
terlambat, Aidan melaju di sepanjang jalanan antar kota lalu melesat
ke jalanan yang sudah terasa akrab menuju rumah Emma. Dia
sampai di depan rumahnya jam tiga lewat sedikit. Dia mengabaikan
nada dering SMS di sakunya karena dia yakin itu dari Emma.
Sebaliknya, ia melompat keluar. Beau mulai mendorong ke depan,
tapi Aidan menggeleng. "Tetap tinggal di situ, boy."
Setelah berlari sampai di depan pintu, ia menekan bel. "Pintunya
tidak dikunci!" Seru Emma.
Saat ia mendorong pintu, ia melihat koper dan tas Emma sudah
berada di lantai ruang depan. Dia mendengar suara gemerisik dari
arah dapur. "Maaf, aku sedikit terlambat. Beau butuh waktu lama
untuk buang air kecil," katanya dengan bohong. Aidan merasa tidak
perlu untuk menceritakan salah satu temannya yang brengsek telah
membuatnya terlambat dibanding membuang isi kandung kemihnya
Beau. "Kau tidak meninggalkan Beau di rumah, kan?"
Aidan tertawa. "Tidak, dia sangat marah di dalam mobil. Aku
bersumpah ia mengenali rumahmu."
Suara cekikikan genit Emma terdengar kembali oleh Aidan. "Anjing
yang malang. Dia gelisah terus dirumah beberapa bulan terakhir.
Aku membawakan dia tulang di tasku untuk menenangkannya
selama perjalanan. Tapi mungkin kita harus berhenti sesekali untuk
membiarkannya buang air kecil." Emma mendesah tampak frustrasi.
"Siapa yang aku bodohi" Aku yang mungkin ingin berhenti untuk
buang air kecil daripada Beau!"
Emma datang keluar dari arah sudut ruangan, dan hati Aidan serasa
berhenti berdetak. Setiap kali Aidan melihatnya setelah pulang dari
luar kota, Emma seperti mengambil seluruh napasnya. Dia
mengenakan gaun hijau zamrud dengan tali tipis seperti spaghetti.
Dengan pinggiran gaunnya yang jatuh tepat di bawah lutut. Belahan
dadanya karena kehamilannya menjadi lebih besar dan terlihat
menonjol di cup korsetnya. Tapi sepatu bot koboi coklat itu
membuat Aidan berpikir lain.
Ketika Emma terburu-buru melewatinya untuk melemparkan sesuatu
ke dalam kopernya, Aidan mengulurkan tangan dan menarik Emma
kearah dirinya. "Sialan, kau terlihat sangat seksi."
Alis Emma berkerut saat ia melihat dirinya sendiri. "Serius?"
Aidan menjilati bibirnya sendiri dan mengangguk.
"Ini adalah salah satu dari beberapa gaun yang masih bisa aku
kenakan. Aku pikir mungkin sudah saatnya aku menyerah dan
membeli beberapa baju hamil."
Jari-jari Aidan ditempatkan di atas perut Emma yang mulai
membesar, menyentuh dengan lembut di atas gaunnyayang berbahan
tipis. "Untuk usia kehamilan yang sudah menginjak empat setengah
bulan, kau bahkan hampir tidak terlihat sedang hamil."
Emma meniup sehelai rambut liar yang menutupi wajahnya.
"Katakan itu kepada ritsletingku."
"Dan sepatu boot itu?"
"Oh, ini membantuku supaya tetap ingat daerah asalku. Aku
memakainya sepanjang waktu ketika aku tinggal di pegunungan."
Aidan menyeringai. "Aku menyukainya...banyak sekali." Sambil
memiringkan kepalanya, Aidan memberinya senyuman terbaik yang
menandakan seperti 'Aku ingin melahapmu'.
Emma menggoyang-goyangkan jarinya ke arahnya. "Oh tidak.
Jangan berpikir ke arah sana."
"Sayang, aku hampir tidak melihatmu, apalagi menyentuhmu,
seminggu ini. Aku hampir meledak!"
"Kita harus segera berangkat. Sekarang sudah jam tiga
lewat,"protesnya. "Apa salahnya dengan mengambil jalan sedikit memutar?" Sebelum
Emma bisa membantahnya lagi, Aidan melumat bibir Emma,
lidahnya yang hangat menyapu ke dalam mulut Emma. Aidan
melingkarkan satu lengannya di pinggang Emma, menarik Emma
menempel ke tubuhnya. Emma mulai menggeliat menjauh ketika
Aidan menekankan ereksi ke dirinya. "Jangan membuatku bertemu
dengan kakek-nenekmu dalam keadaan mengeras."
Emma menyeringai padanya dan mulai menggeliat keluar dari
pelukannya. "Ini adalah perjalanan yang panjang. Aku yakin kau
akan mendingin pada saat itu."
Dengan mendengus karena frustrasi, Aidan memperketat salah satu
tangannya di pinggang Emma. Lalu tangannya yang lain diselipkan
ke satu tali tipis di bahu Emma, kemudian mendorongnya kebawah
dan memperlihatkan payudara Emma. Saat Aidan meremasnya, ibu
jarinya menyentuh bolak-balik melintasi puting Emma yang semakin
mengeras. Ketika Aidan mendengar Emma menarik napasnya
dengan keras, ia menggoda dengan mencubit puncak payudara
Emma. Tampaknya trik yang dilakukan Aidan membuatgairahEmma
tiba-tiba melonjak. Dia membawa bibirnya ke bibir Aidan sambil
melengkungkan tubuhnya kearah Aidan.
Aidan menjilati Emma dari dagu hingga telinganya. "Aku sangat
menginginkanmu, Emma," gumamnya. Ketika Aidan memegang
dagu Emma diantara jari-jarinya dan memiringkan kepalanya ke
belakang, Emma menatapnya dengan mata yang sendu.
"Kalau begitu bawalah aku" gumamnya.
Menciumnya lagi, tangan Aidan meluncur di bawah gaunnya. Emma
mengerang di dalam mulut Aidan ketika jari-jari Aidan menemukan
panas diantara kedua kaki Emma. Aidan membelai Emma diatas
celana dalamnya sampai ia bisa merasakan kelembaban akibat gairah
Emma yang menembus celana dalamnya.Lalu ia menyelipkan jarijarinya untuk masuk
ke dalam diri Emma -menjaga irama yang sama
antara lidahnya dengan jari-jarinya. Emma menarik bibirnya dari
Aidan, napasnya terengah-engah. "Mmm, Aidan...ya, Tuhan! Aidan!
Ya!" Teriaknya, sambil memejamkan matanya saat Aidan
membawanya ke tepi jurang.
Emma merintih ketika jari-jari Aidan meluncur keluar dari dirinya.
Tangan Aidan kemudian menurunkan celana dalam Emma sampai ke
lutut Emma. Dia membawa tangan Emma ke selangkangannya.
Emma mengulurkan tangan lalu meraba-raba ke arah kancing
kemudian ritsleting celana jins Aidan. Setelah Emma membebaskan
ereksi Aidan, Emma membelainya dengan kuat dan cepat, ia
menggeseknyadengan menggunakan tetesan precum-nya.
Aidan menghela napas panjang kemudian menyingkirkan tangan
Emma. "Sudah, cukup," gumamnya dengan suara tegang.
Aidan mundur ke sofa, mendorong celana dan pakaian dalamnya
keluar dari pinggulnya. Dia menarik tangan Emma, menyentak ke
arahnya. Mereka berdua runtuh diatas sofa dengan Emma yang
sudah bergairah mengangkangi dirinya. Setelah mengarahkan
dirinya masuk kedalam diri Emma, ia mulai menggerakkan pinggul
Emma melawan dirinya. Dengan cepat, Aidan menghujamkan
dirinya masuk dan keluar dari diri Emma saat Emma membungkuk
menciumnya. Emma tidak bertahan lama sebelum ia datang ke
tepian lagi. Meskipun Aidan sudah cukup dekat, dia tidak ingin datang. Rasanya
tidak ada yang lebih baik selain membuat dirinya terkubur jauh di
dalam diri Emma. Aidan terus menaikkan pinggulnya dan
menurunkan kemaluannya dengan keras. Aidan mendongakkan
kepalanya ke belakang dan memejamkan matanya saat sensasi
dengan intens bergulir pada dirinya. Akhirnya, ketika ia pikir, ia
tidak bisa menahannya lagi, ia menyerah dan orgasme membanjiri
dirinya. *** Saat Aidan merengkuh tubuh Emma ke dadanya, Emma menutupi
matanya dengan tangannya dan mengerang. "Ada apa?" Tanya
Aidan. "Aku tidak percaya bahwa aku baru saja membiarkan kamu
mengacaukan otakku tepat sebelum aku akan bertemu dengan
kakek-nenekku." Suara tawa Aidan meluncur di bibirnya. "Aku minta maaf karena aku
memang bajingan terangsang yang tak bisa menahan diri. Tapi jika
kita benar-benar jujur?", ini lebih mengarah ke salahmu daripada
salahku." Emma tersentak. "Dan kenapa ini menjadi salahku?"
Aidan mengedipkan mata kepadanya. "Kau hanya begitu terlihat
sialan seksi dengan memakai gaun dan sepatu bot koboi itu."
"Kau sangat tidak masuk akal," katanyadengan gusar. Diam-diam,
Emma merasa lebih dari senang ketika mendengar Aidan
menyebutnya seksi dan tidak mampu menjaga tangannya dari tubuh
Emma. Semakin besar yang Emma dapatkan, dia merasa semakin
kurang disukai. Tapi kemudian Aidan membuatnya merasa cantik
pada saat Aidan pertama kali mengajukan proposisi di O'Malley.
Aidan mencium lehernya sementara tangannyamengelus naik turun
di punggung Emma. "Sialan, aku merindukanmu," gumam Aidan di
leher Emma. "Merindukan aku atau seks?" Tanya Emma, mengulangi pertanyaan
familiarnya. "Setelah sekian lama, apakah kita masih berkutat ke masalah itu?"
Geram Aidan. "Kamu. Aku sialanmerindukanmu, oke?"
Emma menarik diri lalu tersenyum pada Aidan. "Oh, Aidan, kau
begitu romantis. Membisikkan kata-kata yang paling manis
kepadaku!" Mata Aidan melebar, tapi kemudian ia tertawa. "Maaf, sepertinya
itubenar-benarbukan romantis, huh?"
"Aku menghargaiperasaan seperti itu. Aku merindukanmu, juga,"
Emma menjalankan jari-jarinya mengacak-acak rambut Aidan dan
tersenyum. "Meskipun hal ini membuat kita bersatu, terkadang aku
sangat membenci pekerjaanmu."
"Aku setuju denganmu," gerutu Aidan.
"Kau pikir kau masih tetap bepergian seperti ini ketika bayi kita
sudah lahir?" "Aku berharap hal itu akan berkurang nantinya." Aidan memberikan
ciuman ringan di rahang Emma. "Mereka pikir mereka
bisamemanfaatkan dan menyalahgunakan aku karena aku seorang
bujangan. Mungkin seharusnyaakumemberitahu mereka kalau aku
akan menjadi seorang ayah, dan mereka akan melepaskan aku."
Emma menegang. "Maksudmu kau belum memberitahu siapapun di
departemenmu tentang bayi ini?"
"Tidak persis seperti itu...Maksudku, teman-temanku di luar dan
teman-teman kerjaku sudah tahu hal itu." Dia menyeringai.
"Menghabiskan waktu denganmu agaknya telah memotong acara
minum bir sampai mabuk yang biasa kami lakukan di O'Malley, dan
mereka benar-benar tidaksenang tentang hal ini."
Sebuah dengusan frustrasi lolos dari bibir Emma. Menarik dirinya
menjauh dari pangkuan Aidan, ia menarik kembali celana dalamnya
keatas melewati pahanya dan merapikan kembali gaunnya.
"Apa yang salah?"
"Kau serius harus menanyakanhal itu?"
Dia meringis. "Kau marah karena aku belum memberitahu atasanku
tentang bayi kita." "Tentu saja aku marah!" Emma mendengus, melangkah ke seberang
ruangan kearah kopernya. Aidan bangkit dari sofa dan memakai celananya. "Em, tunggu,
bisakah kau mendengarkan aku terlebih dahulu?"
Emma berbalik. "Apakah ini ketika kau bilang bahwa kau menyesal
dan kau hanya tidak berpikir untuk menyebutkan hal itu" Entah
bagaimana faktanya kau akan menjadi seorang ayah dalam waktu
kurang dari lima bulan cukup membuatmu lupa?"
Dia mengangkat tangannya untuk membela diri. "Dengar, aku benarbenar minta maaf.
Aku benar-benarsudahgila di kantor selama dua
bulan terakhir dan kita telah berhubungan menjadi lebih dari sekedar
pasangan. Aku hampir tidak berada di kantor sini selama seminggu
penuh. Aku berjanji padamu bahwa aku tidak dengan sengaja
menipu tentang dirimu ataupun bayi kita. Aku bersumpah."
Ketika Emma menyadari ketulusan dari suara Aidan, Emma
mendesah. "Maafkan aku. Seharusnya aku tidak panik seperti itu.
Hormon-hormon bodoh ini membuat diriku terkadang benar-benar
tidak rasional." "Tidak, kau benar kau boleh marah kepadaku. Ini tidak seperti aku
yang seharusnya memperkenalkan dirimu kepada teman-temanku
atau memberitahu mereka bahwa kita telah resmi berhubungan."
Emma merasakan seperti ada aliran listrik di ruangan ini. Apakah
Aidan benar-benar berbicara tentang membuat sesuatu yang lebih
resmi diantara mereka" Apakah itu mungkinberarti hidup bersama"
Seperti sebuah lompatan besar mengingat mereka bahkan belum
mengucapkan kata "C". Itu fakta bukannya Emma tidak sangat
mencintai Aidan. Tapi Emma terlalu khawatir karena hal itu akan
meyebabkan Aidan ketakutan dan akhirnya pergi. Sepanjang
hubungan mereka seperti sebuah balon yang rapuh, Emma takut itu
akan meletus setiap saat.
Aidan mengangkat alisnya dan bertanya pada Emma. "Jadi, kita
baik-baik saja kan?"
Emma tersenyum. "Kita baik-baik saja."
"Baiklah kalau begitu. Ayo kita segera pergi dari kota ini!"Kata
Aidan, sambil meraih koper Emma.
Emma menghela napas dalam-dalam dan mencoba mempersiapkan
diri secara mental dan emosional untuk apa yang akan mereka
hadapi nanti. *** Bab 25

The Propotition The Propotition 1 Karya Katie Ashley di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ketika Beau melihat Emma datang menyusuri jalan, dia mulai
menggonggong dan mengibas-ngibaskan ekornya. Kepalanya keluar
dari jendela di kursi belakang ketika Emma memutari mobil.
"Apa kau merindukan aku sweet boy?" Dia menempel di pintu dan
merengek dengan apresiatif. "Aw, aku juga merindukanmu!" Ia
memberikan tatapan menjijikkan dari balik bahunya kearah Aidan.
"Kau tidak seharusnya meninggalkan dia di mobil selama ini!"
"Semua jendela dibuka." Aidan menunjukke tubuh Beau yang
sedang menggeliat. "Lihatlah, dia benar-benar baik-baik saja."
"Kupikir begitu," gumam Emma, sambil menggaruk bagian
belakang telinga Beau. "Kau terlalu memanjakannya," renung Aidan, memasukkan koper
Emma di kursi belakang. "Tidak." "Oh, benarkah" Setiap kali aku sampai di pintu, ia mulai mencarimu.
Dia kurang peduli padaku sekarang. Belum lagi, ia berharap
berbaring di sekitar sofa dan ingin makan sisa makanan di piringku."
Emma tersipu. "Oops." Segera ia meluncur masuk duduk di jok
mobil, Beau mencondongkan tubuhnya melewati sandaran
kepalalalu menjilati pipinya. "Apa kau siap membuang debu kota
yang menempel di bulumu?" tanya Emma, sambil menepuk kepala
anjing jenis Labrador Retriever itu. Dia mengibas-ngibaskan
ekornya dan menjilati Emma lagi. "Ya, aku pikir dia sudah siap."
Aidan mendengus saat ia mengendari kendaraannya keluar dari
jalanan masuk rumah. "Begitu ia melihat tempat terbuka yang luas,
ia mungkin tidak akan pernah ingin kembali."
Setelah Aidan mengarah ke luar 75 North, mereka mulai menikmati
perjalanan luar kota. Dengan latar belakang perkotaan yang mulai
menghilang memasuki pepohonan dan padang rumput seperti
kilauan samar-samar sebuah batu zamrud. Semakin mereka
mendekati pegunungan, udara sejuk terasa berputar- putar di
sekeliling mereka. Sebersit rindu kampung halaman bergema di dalam diri Emma
ketika mereka berkendara di sepanjang jalanan yang tidak asing
baginya. Emma telah menghabiskan seluruh masa kecilnya di
pegunungan sampai ia masuk ke perguruan tinggi di Atlanta. Ada
bagian yang sangat besar dalam dirinya yang ingin sekali kembali ke
sini, terutama ketika itu menyangkut untuk membesarkan bayinya.
Ketika mereka mendekati tanah milik kakek-neneknya, ia
mencondongkan tubuhnya ke depan dari kursinya. "Oke, kau harus
belok ke kanan pada kotak surat warna hitam itu."
Aidan berpaling dengan heran kepadanya, "Ke jalananyang
berkerikil itu?" "Yap." Setelah mereka memutariduabelokan, mereka sampai di lapangan
terbuka. Rumah dan lumbung kakek-neneknya berada dilereng bukit.
Aidan berpaling padanya dengan mata melebar ketika melihat
banyaknya mobil dan orang-orang yang berkerumun di sekitarnya.
"Ini semua keluargamu?"
Emma mengangguk. " Biasanya ada sekitar limapuluh orang atau
lebih. Pada saat acara barn dance dimulai malam ini, itu akan
menjadi sekitar seratus orang." Emma mengamati ekspresi skeptis di
wajahnya. "Kau yakin kau mau melakukan ini?"
"Tentu, aku akan baik-baik saja selama tidak ada seorangpun yang
ingin menendang bokongku karena menghamilimu."
Emma tertawa. "Sebagian keluargaku menerima kehamilanku.
Kakekku dan beberapa pamanku mungkin akan membuatmu tidak
nyaman." Emma ragu-ragu sebelum melepaskan satu bom yang siap
meledak kepadanya. "Um, karena kita belum menikah, jangan
merencanakan untuk berbagi kamar tidur malam ini."
"Maaf?" Emma meringis. "Kakek-nenekku sangat kuno. Mereka tidak akan
membiarkan kita tidur di tempat tidur yang sama jika kita belum
menikah." "Meskipun kau sedang hamil anakku?"
"Ya." Aidan menghela napas keras. "Untungnya aku sudah
mendapatkannya sebelum kita pergi. Waktu akan terasa sangat lama,
akhir pekan yang panjang." Dia tertawa ketika Emma memukul
lengannya pura-pura marah.
"Ayo. Mari kita hadapi regu tembak." Kata Emma sambil
menyeringai. "Luar biasa," Aidan mengerang ketika ia keluar dari mobil. Ia
menjepit tali kekang di leher Beau dan membiarkan anjing berjenis
Labrador Retriever itu menggeliat keluar dari kursi belakang.
Aroma lezat tercium Emma, dan perutnya berbunyi. Dia sangat
bersyukur mualnya telah lewat karena dia tidak menginginkan hal
lain selain *Brunswick stew buatan neneknya.
"Apakah itu BBQ buatan sendiri yang kucium?" tanya Aidan.
"Ya. Semuanya dibuat sendiri dari pie apel sampai *moonshine."
"Sial, aku pikir aku akan mati dan pergi ke surga. Well, sebenarnya
tidak demikian pada bagian tentang moonshine."
Emma tertawa. " Semoga saja pamanku tidak memaksa kamu untuk
minum beberapa gelas bir buatan sendiriitu. Mereka pasti
menginginkan kamu untuk membuktikan kejantananmu."
Aidan membuka mulutnya untuk memprotes, tapi suara seorang
wanita memotongnya. "Emma!" jeritnya sambil menepuk tangannya.
Emma bahkan tidak perlu berbalik untuk mengenali suaranya. Hanya
mendengar suara itu bergema di sekitarnya mengelilingi tubuhnya
dengan tebalnya cinta yang menyelimuti dirinya. Membalikkan
badan, ia melihat neneknya melangkah ke arahnya.
Mulai dari tatanan rambut perak model bob yang menggoda dan
celemek usang motif kotak-kotak merah putih yang ia kenakan
terikat kuat di atas gaunnya. Grammy tampaknya tidak bertambah
tua atau berubah. Dia bagaikan mercusuar yang terus menerus
menuntunnya menghadapi badai yang Emma hadapi dengan
mengandalkan seluruh hidupnya memberikan cinta, dukungan dan
kekuatan. Wajah Grammy bersinar seperti kembang api Empat Juli. "Anakku
yang cantik!" serunya, menarik Emma ke dalam pelukannya yang
kuat. Meremasnya erat-erat, dia berkata, "Aku sangat
merindukanmu, sayang."
"Aku juga merindukanmu, Grammy."
Ia menarik diri dan tersenyum. "Kau harus mulai datang ke sini lebih
dari dua kali sebulan. Kakekmu dan aku merasa sangat kesepian
karenamu." Emma tertawa. "Kita berbicara setiap hari. Apakah aku benar-benar
perlu datang lebih sering?"
"Ya, tentu saja. Terutama ketika bayinya lahir." Ia mengulurkan
tangan untuk menyentuh lembut perut Emma yang membesar.
"Lihatlah seberapa besar perutmu."
"Ceritakan padaku tentang itu. Tidak ada satupun pakaianku yang
muat." "Well, anggap saja dirimu beruntung perutmu tidak langsung
membesar. Ibumu harus memiliki pakaian hamil di bulan kedua
kehamilanmu." Emma tersenyum pada kenangan tentang ibunya, menertawakan
bagaimana perut ibunya praktis terlihat membesar sejak terjadi
pembuahan. "Jadi, bagaimana perasaanmu?" tanya Grammy, alisnya berkerut
karena khawatir. "Lebih baik. Syukurlah sekarang morning sickness sudah berhenti
setelah aku melewati trimester pertama. Aku akan tahu apa yang
kualami minggu depan. Aku melakukan USG untuk mengetahui
jenis kelamin lebih awal."
Wajah berseri-seri Grammy semakin cerah. "Hebat. Tentu saja, aku
masih mengatakan kau mengandung seorang anak laki-laki."
Emma melirik Aidan dan menyeringai. "Itu akan membuat ayah
Aidan sangat senang mendengar kau mengatakan begitu. Ia
bersumpah sejak aku bertemu dengannya, katanya bayi ini laki-laki."
Grammy mengalihkan pandangan intens mata hijaunya pada Aidan."
Jadi pasti inilah Mr. Fitzgerald pria tampan dan gagah yang kau ajak
bersamamu?" Kedua pipi Emma memerah karena pujian neneknya dan bagaimana
caranya ia akan memperkenalkannya. "Ya, ini Aidan. Dia adalah...."
"Pendonor sperma?" Tanya Grammy.
Aidan terkekeh. "Ya, tapi dengan cara lebih dari satu kali."
Grammy mencengkeram perutnya dan dua kali lipat lebih keras
selama tertawa. Ketika tawanya mereda, ia mengulurkan tangannya
pada Aidan. "Well, kemarilah dan beri aku pelukan. Mr pendonor
sperma." Emma menyaksikan dengan takjub ketika Aidan bersedia memeluk
Grammy. Ia tidak percaya betapa mudahnya Aidan sepertinya bisa
berinteraksi dengan keluarganya, mengingat bagaimana dia begitu
panik ketika Emma bertemu dengan keponakannya dan Patrick.
Menepuk punggung Aidan, Grammy berkata "Kami sangat sangat
senang kau berada di sini bersama kami untuk akhir pekan. Aku
harap kau akan menikmatinya."
Aidan memberinya senyum yang mempesona. "Terima kasih,
ma'am. Saya senang berada di sini."
Grammy menggoyangkan satu jari padanya, "Sebagai ayah dari bayi
Em, ada sesuatu yang harus kukatakan tentang sesuatu."
Emma mengigit bibir bawahnya dan memandangkhawatir ke arah
neneknya dan Aidan. Dadanya terasa sesak karena ketakutan pada
apa yang mungkin Grammy katakan pada Aidan. Jika itu adalah
sesuatu seperti panggilan telepon pagi itu dan kunjungan pertamanya
ke rumah kakek-neneknya tentang kehamilannya yang di luar nikah,
Aidan pasti akan mendapat tegurankeras.
"Ya, ma'am?" tanya Aidan ramah, mau tidak mau Emma
memperhatikan bagaimana Aidan bolak balik menjentikkan tali Beau
karena sangat gugup. "Memiliki seorang anak sendiri tentu saja bukan apa yang aku dan
suamiku inginkan untuk Emma. Kami lebih suka dia sudah memiliki
seorang suami lalu memiliki anak." Ia menggelengkan kepalanya
dengan sedih. "Suatu saat, ia akan mengalaminya. Tapi hidup tidak
cukup adil untuk Em. Dia layak menerima semua kebahagiaan di
dunia, dan aku tahu tidak ada yang akan membuatnya lebih bahagia
dibandingkan pada akhirnya impiannya sebagai seorang ibu menjadi
nyata. Air mata memenuhi mata Emma saat merasakan cinta yang luar
biasa dan kebenaran dalam kata-kata neneknya. Ketika Emma berani
melihat kearah Aidan, dia tersenyum. "Aku sangat setuju sekali
denganmu, Mrs. Anderson. Saya sangat bersyukur sayabisa
membantu membuat impian Emma menjadi kenyataan."
Grammy menangkup dagu Emma dan tersenyum. "Kau benar-benar
bersinar, sayang. Aku tidak berpikir aku pernah melihat matamu
begitu bersinar bahkan sebelum ibumu meninggal."
"Oh, terima kasih." Jawab Emma, sambil menghapus air matanya.
Grammy menepuk lengan Aidan. "Jadi untuk semua ini, aku hanya
ingin berterima kasih padamu yang telah membuat Emma begitu
bahagia dan tentu saja keluarganya juga."
"Sama-sama, Mrs. Anderson."
"Tolong panggil aku Virginia." Kemudian dia berkata saat melihat
beberapa wanita membawa panci makanan ke lumbung. "Oh sayang,
aku pergi selama satu menit, dan orang-orang mengambil
kesempatan itu untuk melakukan semuanya. Aku sebaiknya pergi
untuk memastikan makan malam tidak menjadi berantakan!"
Setelah dia berada diluar dari pendengaran, Aidan menghela napas
dengan keras. "Well, tentu saja hal itu tidak terduga."
"Sambutan hangat?"
Sambil menggelengkan kepala, Aidan melingkarkan lengannya di
pinggang Emma. "Tidak, aku tidak menyadari aku menjadi semacam
pahlawan karena menghamilimu. Bukankah mereka biasanya
mengambil senapan setelah kau sampai di daerah ini?"
Emma tertawa "Anggap saja hal seperti itu akan jauh berbeda jika
kita masih remaja." Ia menarik kepalanya untuk menoleh pada
Aidan. "Tentu saja, aku sangat meragukan si Aidan remaja akan
meluangkan waktu untukku."
"Kau tidak pernah tahu. Aku akan sangat tertarik padamu dan
mencuri perhatianmu."
Emma menyikutnya dengan bercanda. "Lalu kakek dan omku akan
menembak barangmu yang paling berharga itu."
Aidan terkekeh. "Pasti bisa menjadi suatu tragedi."
"Oh, ya, kau tidak akan bisa membuatku hamil nantinya."
renungnya. Aidan menempelkan bibirnya ke telinga Emma, yang membuatnya
bergidik. "Atau membuatmu orgasme sampai berulang kali."
"Aidan!" dia menjerit, mendorongnya menjauh.
Aidan menertawakan melihat kemarahannya. "Kau tahu kalau aku
memang benar." Seseorang dengan suara menderu menyela mereka. "Emmie Lou,
kemarilah dan berikan aku pelukan!"
Ia memutar matanya tapi tersenyum sendiri. "Sementara Grammy
mungkin seperti sepotong kue, Granddaddy mungkin akan menjadi
menjengkelkan tentang semua ini," katanya pada Aidan. Ia
merasakan Aidan sedikit tegang ketika dia mengikutinya menuju
seorang pria berambut perak yang berdiri dengan memakai jeans
yang sudah memudar. "Granddaddy, kapan kau akan menyadari
kalau aku agak terlalu tua untuk nama panggilan seperti itu?"
Dia menyeringai. "Omong kosong. Kau akan selalu menjadi baby
girl-ku dan Emmie Lou kecilku!"
Emma memeluknya dengan erat, memejamkan matanya, sangat puas
ketika aroma akrab peppermint dan rempah tua tercium oleh
hidungnya "Aku merindukanmu."
Dia mendorong bahu Emma dan memiringkan alis tebalnya yang
sudah berwarna keperakan pada Emma "Sudah dua minggu, Baby
girl! Aku hampir mengirimkan anak-anak ke kota untuk
memeriksamu." "Maafkan aku, tapi ada sesuatu yang sedikit gila akhir-akhir ini." Ia
menyadari tatapan kakeknya tidak lagi terfokus pada dirinya.
Sebaliknya, kakeknya menatap bingung pada Aidan. "Oh,
Granddaddy, aku ingin kau bertemu dengan seseorang." Meraih
tangan Aidan, ia menariknya ke depan. Saat melihat jari-jari mereka
saling terkait, ekspresi menyenangkan di wajah kakeknya langsung
menguap, menjadirasa cemas, dan digantikan oleh satu kemarahan
yang terselubung. Emma tidak bisa membantu saat memperhatikan
dahi Aidan telah dipenuhi oleh butiran keringat, bukan karena panas,
namun dari tatapan intens Granddaddy-nya. "Ini adalah Aidan
Fitzgerald. Dia adalah ayah dari bayiku." Emma tersenyum pada
Aidan. "Dan ini adalah kakekku, Earl."
"Senang bertemu dengan anda, sir." Kata Aidan, suaranya sedikit
bergetar. Earl menggeser kunyahan tembakaunya dan menatap tangan Aidan.
Dengan enggan ia menyalaminya. "Senang bertemu denganmu."
"Emma!" seseorang memanggil. Ketika ia berpaling sekilas melalui
bahunya, sepupunya Dave melambaikan tangan padanya.
"Sebentar. Aku akan kembali.
*** Brunswick stew: sup yang terbuat dari sayuran dan biasanya dua daging (ayam dan
tupai)

The Propotition The Propotition 1 Karya Katie Ashley di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

moonshine: wiski hasil penyulingan dari jagung
Bab 26 Dengan enggan Aidan melepaskan tangan Emma. Terus terang, dia
ingin menjadi seorang banci tulen lalu mengejar Emma. Tinggal
dengan pria tua ini adalah hal terakhir yang dia inginkan di dunia.
Kakinya bergerak-gerak tidak nyaman, sambil menyeka keringatnya
yang berkilau di wajahnya dengan punggung tangannya.
Earl meludahkan air liur yang bercampur dengan tembakau. "Jadi
kau berencana tetap bersamanya setelah bayinya lahir?"
"Ya, sir." "Kau akan membantu membesarkannya?"
"Well, kami belum membicarakannya. "Ketika ekspresi Earl semakin
gelap, Aidan cepat-cepat menambahkan, "Tapi sejujurnya saya akan
mencoba." Mata Sang Earl menyipit. "Bagaimana tentang menikahinya?"
Aidan merasa seperti ditendang tepat di bolanya. Dia berjuang untuk
bernapas. Sial, jika aku sampai salah menjawab pertanyaan ini, pria
ini benar-benar akan membunuhku. Mulutnya menjadi kering, dia
menjilati bibirnya. Apakah di sini semakin gelap, atau aku yang akan
jatuh pingsan" "Nak, kau tidak menjawab pertanyaanku. Apakah kau akan menikahi
Emmie Lou-ku atau tidak?"
"Granddaddy!" Teriak Emma, matanya melebar karena ketakutan.
Aidan mendesah lega, sejenak ia bisa lolos dari kesulitan.
"Ada apa sayang" Ini pertanyaan yang jujur."
Emma merona sampai merah dari pipi sampai turunke lehernya.
Bahkan bahunya yang telanjang pun juga memerah. "Tidak. Aidan
dan aku merasa nyaman dengan pengaturan yang kami miliki. Jika
kami siap mengubahnya, kami akan memberitahumu, tapi untuk
sampai kesana, kami tidak ingin mendapat tekanan apapun, oke?"
Ketika tatapannya melintas ke arah Aidan untuk melihat apakah dia
setuju dengan jawabannya, Aidan mengangguk.
Earl mencium puncak kepala Emma. "Baik, Baby Girl. Aku tidak
akan membicarakannya lagi." Dia memberi Aidan tatapan membara
dan jijik sebelum meninggalkan mereka.
"Dia hanya mengacaukanmu," kata Emma. Ketika Aidan tidak
menjawab, Emma mengulurkan tangan lalu mengusap lengannya.
"Kau tidak takut sekali padanya, kan?"
Aidan melirik kebelakang ke arah Earl. Dia sedang dikelilingi
keempat cucunya, duduk sambil menyerut sebuah batang kayu. Mata
pisau goloknya berkilauan di bawah sinar matahari membuat Aidan
bergidik. "Tentu saja! Aku tahu ia tampak seperti seorang kakek
agak manis, tapi pria itu bisa menghabisiku hanya dengan tangan
kosong jika dia mau. Dan aku yakin paman dan sepupumu tidak
keberatan membantunya untuk menguburku dengan kuburan yang
dangkal." Sudut bibir Emma ketarik ke atas. "Kau bercanda?"
Aidan mendengus. "Terus terang, aku agak takut tidur malam ini,
aku khawatir dia mungkin akan menyelinap ke kamarku dan
memotong penisku karena telah membuatmu hamil."
"Sekarang hal itu akan membuatmu kehilangan dengan tragis, kan?"
"Oh ya, tentu saja."
Emma tertawa. "Hal ini bukan hanya karena aku adalah anak dari
putri satu-satunya atau cucunya atau tipikal seorang kakek/ayah
yang melindungiku dari Big Bad Wolf alias pria yang mencuri
moralitasku." Ekspresi geli Emma berubah menjadi gelap. "Dia
menerima kehamilanku sedikit lebih sulit daripada Grammy karena
dia orang yang sangat kuno. Menjadi seorang *diaken di gereja, dia
tidak akan pernah bisa menerima aku membawa seorang 'bajingan',
untuk diumumkan pada dunia."
Aidan menarik napas tajam lalu menyipitkan matanya. "Dia benarbenar mengatakan
itu padamu?" "Bukan dengan istilah yang persis seperti itu, tapi iya."
"Itu cara berpikir sialan tentang cucunya yang hebat."
"Ya, well, ayahmu juga merasakan hal yang sama. Ingat bagaimana
dia ingin memberi nama bayi ini dengan namanya?"
"Ya benar," Aidan menyerah.
Dentang lonceng menyela mereka. Aidan berbalik dan melihat
Virginia memegang lonceng sapi tua. Dia menyeringai. "Ayo
semuanya! Waktunya makan malam!"Teriaknya sambil menunjuk ke
arah gudang. "Lapar?" Tanya Emma.
"Sangat kelaparan." Dia menyeringai lalu membungkus lengannya di
bahu Emma. "Aku cukup berselera sore ini."
Mulut Emma ternganga sebelum ia menyikut pinggang Aidan. "Kau
sangat mengerikan!" "Kau tahu kau mencintaiku," godanya.
Ketika Emma sedikit menegang, Aidan tahu bahwa ia telah
mengatakan sesuatu yang salah. Kata-katanya memiliki konotasi
berbeda dari apa yang dia maksudkan. Dengan cepat, Aidan
mencoba memperbaikinya. "Maksudku, apakah tidak ada yang jatuh
cinta pada orang brengsek bermulut cabul yang selalu mencari
sindiran berbau seksual dalam kehidupan ini, kan?"
"Tepat sekali," jawab Emma sambil nyengir.
Aidan tidak bisa menutup mulutnya ketika mereka sampai gudang.
Penampilan luarnya yang sederhana cukup menipu ketika melihat
bagian dalam gudang. Semua kandang dikeluarkan sehingga tampak
menjadi satu ruangan yang sangat besar. Di sana ada sepuluh sampai
dua puluh meja bundar yang dikelilingi kursi lipat. Di tengah
ruangan, sebuah panggung kayu kecil berdiri dimana beberapa orang
sedang menyetel alat musik mereka.
"Cukup keren, kan?" Tanya Emma.
"Aku tidak tahu bagaimana kalian melakukan ini dengan sungguhsungguh."
"Yep. Bahkan di belakang juga terdapat dapur kecil. "Emma tertawa
melihat ekspresi yang bisa dikatakan sedang kebingungan di wajah
Aidan. "Dengan keluarga semakin bertambah banyak yang aku
miliki, kami membutuhkan tempat dimana kami semua bisa
berkumpul bersama." "Ya Tuhan, aku bahkan tidak mengenal orang-orang ini, apalagi
kalau harus berhubungan dengan mereka," gumam Aidan, saat
Emma mengarahkannya menuju meja makanan.
"Percaya padaku, pada saat malam berakhir, mereka akan
menganggapmu keluarga. Aku senang berpikir kalau kita sebagai
keluarga di *My Big Fat Greek Wedding, kecuali fakta bahwa kita
orang Selatan." Aidan tidak yakin apakah ini benar-benar buruk. Semua orang begitu
ramah dan bersahabat padanya - bahkan terhadap dirinya yang
secara teknis telah menjadi seorang bajingan yang menghamili
Emma tanpa menikahinya. Setelah piringnya dipenuhi makanan BBQ bersama pria yang sangat
lezat disebelahnya, Emma membawanya ke sebuah meja kosong.
Ketika Aidan menggigit sandwichnya, dia mengerang. "Oh. Ya.
Tuhan. Ini sangat lezat!"
Emma tersenyum. "Grammy membuat sausnya dengan resepnya
sendiri." "Benarkah" Dia bisa menjualnya dalam bentuk botol. Rasanya ini
sepuluh kali lebih enak daripada seluruh restoran BBQ di Atlanta."
"Kau harus mengatakan itu padanya. Itu akan membuatnya senang."
"Dengan senang hati."
Seorang pria tua bergabung di meja mereka. "Kursi ini sudah ada
yang menempati, Em?"
"Belum, Paman Pete. Kami khusus menyisihkannya untukmu dan
Bibi Ella." Pete tersenyum lebar pada Emma sebelum memeluknya. Aidan mau
tak mau menikmati efek yang Emma miliki terhadap semua orang di
sini. Dia selalu membuat setiap orang di Atlanta terpesona, tapi ada
sesuatu yang membuatnya hampir seperti malaikat di sini.
Semakin banyak orang memadati dalam gudang, dan band mulai
bermain. Aidan baru saja menghabiskan piring kedua BBQ-nya dan
sedang ragu-ragu apakah ia akan mengambil piring ketiga ketika
Earl melenggang ke arahnya. Aidan mengamati botol kaca berisi
cairan bening di tangan Earl dengan waspada.
"Pernahkah kau memiliki bir buatan sendiri, Orang Kota?"
Tanyanya. "Granddaddy, namanya Aidan," desis Emma.
"Maaf.Apa kau pernah memiliki bir buatan sendiri, Aidan?"
"Belum, Sir, saya tidak percaya kalau saya memiliki."
Earl menyodorkan botol kaca itu. "Kenapa kau tidak mencoba
sedikit?" "Apakah itu pertanyaan yang menjebak, Sir?"
"Apa maksudmu?"
Aidan menarik napas dengan susah payah sebelum ia berbicara.
"Well, hanya saja Emma bercerita anda seorang yang sangat religius,
jadi saya tidak bisa membayangkan anda akan minum banyak. Jika
saya menerimanya, anda akan berpikir saya seorang pemabuk yang
tidak layak untuk teman kencan cucu anda. Di sisi lain, jika anda
ternyata menikmati minum sesekali dan saya menolaknya, maka
anda akan menganggap saya orang kota yang bertingkah laku seperti
wanita. Benarkan?" Earl menatap Aidan ke bawah. Akhirnya, senyum lebar pecah di
wajahnya. Dia menepuk punggung Aidan dengan sungguh-sungguh.
"Aku suka caramu berpikir." Tanpa mengalihkan tatapannya pada
Aidan, ia membawa botol itu ke bibirnya lalu meneguknya agak
banyak. "Sedikit tegukan penyemangat tidak akan menyakiti siapa
pun." Aidan tertawa saat mengambil moonshine dari Earl. Saat cairan itu
masuk ke mulutnya, rasa terbakar seperti ada api yang menyiksa
tenggorokannya dan mengalir ke perutnya. Dengan penuh harap Earl
terus mengawasinya, Aidan berusaha keras mencegah matanya
berair dan dorongan tersedak dan batuk. "Minuman yang enak,"
jawabnya berusaha sejantan mungkin. Aidan segera mengembalikan
botol tersebut sebelum Earl mengharapkannya untuk minum lagi.
Sambil tertawa, Earl beralih menatap Emma. "Bagaimanapun juga
mungkin dia seorang pelindung, Emmie Lou."
Emma melebarkan matanya begitu Earl meninggalkan mereka. "Aku
tidak percaya kau berhasil mengalahkan dirinya, apalagi sangat
cepat. Travis butuh waktu yang lama agar tidak mendapat tatapan
kematian 24 jam selama seminggu, padahal kami sudah saling
mengenal selama hidup kami."
Aidan menyeringai padanya. "Setelah semua yang kita lalui, aku
tidak percaya kau meragukan kemampuanku mempesona untuk
meluluhkan kakekmu." Dia membungkuk lalu berbisik di telinganya.
"Jangan lupa setiap kali aku berhasil mempesona celanamu lepas
darimu." Sambil bercanda, Emma mendorongnya kebelakang. "Kau
sepertinya lupa saat pertama kali kau mencoba bermain sebagai
*McDreamy untuk mencari pasangan seksual denganku pada Pesta
Natal, dan waktu itu aku benar-benar sangat yakin berkata tidak."
Aidan terkekeh. "Benar. Itu penolakan terburuk dalam hidupku."
"Aku tidak percaya."
"Percayalah, sayang. Memang itulah kenyataannya."
Emma tidak bisa menyembunyikan rasa terkejut di wajahnya. Lalu
ia mengubah topik pembicaraan, dia berkata, "Maukah kau
mengambilkan makanan penutup untuk kita berdua?"
Dia mengangkat alisnya. "Masih lapar?"
Emma tertawa. "Tanya pada pria yang sudah menghabiskan dua
piring BBQ dan satu punyaku."
"Baiklah. Aku akan mengambilkan kamu sesuatu yang manis."
Emma mencium pipinya. "Bayi ini dan aku berterima kasih untuk
itu." "Ya, ya. Kau akan menyusui karena semua itu sangat berguna di
masa, kan?" "Benar sekali," jawabnya.
Sambil tertawa, Aidan bangkit dari kursinya. "Ada sesuatu spesifik
yang kau inginkan?" "Mungkin mengambil sedikit dari setiap makanan yang tersedia."
Dia membungkuk sedikit memberi hormat pada Emma. "Ya,
ma'am." Setelah mengambil makanan penutup dalam jumlah besar, Aidan
kembali menuju meja dengan dua piring terisi penuh makanan.
Ketika ia sampai di sana, Emma sedang menggendong bayi mungil
dalam pelukannya sambil mengobrol dengan pasangan muda. "Oh,
Aidan, ini sepupuku Stacy dan Mark." Dia lalu menunduk menatap
bayi di pelukannya dan senyum lebar tampak di wajahnya. "Dan
bayi ini namanya sama denganku, Emma Kate."
"Kau bercanda."
Stacy tersenyum. "Well, Emma Katherine adalah nama nenekbuyut
kami, tapi aku tidak bisa membayangkan orang yang lebih manis
untuk menamai bayiku setelah Em."
"Aku juga," jawab Aidan, mengedip pada Emma.
"Ayolah, sayang, lebih baik kita pergi mencari piring sebelum semua
makanan habis," saran Mark.
Ketika Stacy hendak meraih bayi, Emma menggelengkan kepalanya.
"Aku bisa mengawasinya sementara kalian makan."
"Sungguh?" "Tentu saja. Ini akan menjadi latihan yang bagus."
Mark tertawa. "Wow, aku tidak pernah berpikir kami bebas makan
tanpa bayi selama enam minggu ini sejak Emma Kate lahir."
"Terima kasih, Em," jawab Stacy.
Aidan duduk di samping Emma saat Mark dan Stacy meninggalkan
mereka. Tampaknya selera makan Emma telah menguap dengan
munculnya bayi ini. Jadi Aidan mulai makan kue yang ada di piring
itu sementara Emma asyik menggoda si bayi. "Dia cantik ya?"
Tanyanya. Aidan mengalihkan pandangannya ke bayi yang berbalut warna pink
dari kepala sampai kaki. "Dia hampir secantik orang yang senama
dengannya." Emma tertawa. "Kau ini perayu, ya?"
Ketika Aidan merasa kekenyangan makan kue yang manis itu, ia
mendorong piringnya menjauh. Emma membungkuk, membawa
bayi itu kearahnya. "Ingin menggendongnya sebentar?"
"Jadi kau bisa makan?"
"Tidak, aku hanya berpikir kali ini kau mungkin ingin memeluk
gadis kecil ini. Kau hanya memiliki keponakan laki-laki yang masih
kecil." Aidan menatap Emma Kate dengan hati-hati. Dia begitu kecil dan
rapuh dibandingkan dengan badan Mason yang besar. Entah
bagaimanapun dia takut akan mematahkannya. "Serius, Em, aku
tidak tahu apa-apa tentang gadis kecil."
"Dan kita bisa dengan mudah memiliki seorang gadis." Kemudian
dia menyerahkan Emma Kate pada Aidan. Dengan enggan, Aidan
meletakkannya di lekuk lengannya. Matanya bergetar terbuka, dan
Emma Kate menatapnya. Wajahnya mulai mengerut, tampaknya dia
akan menjerit setiap saat.
"Sial! Aku membuatnya jengkel!" Keluh Aidan.
Emma tertawa. "Tidak, kau belum membuatnya jengkel. Coba
sedikit mengayun-ayunkannya lalu masukkan dot ke mulutnya."
Aidan meraba-raba ke alas dada bayi itu dimana dotnya
menggantung di sana. Ketika Emma Kate membuka mulutnya untuk
menangis, Aidan segera memasukkan dot ke mulutnya, ia mulai


The Propotition The Propotition 1 Karya Katie Ashley di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghisap dotnya dan mulai tenang. Dia menggoyang-goyangkan
lengannya bolak-balik, dan dalam beberapa menit, mata Emma Kate
menjadi berat. Ketika akhirnya dia tertidur, Aidan melirik Emma.
Aidan tidak bisa menahan senyum bangga yang membentang di
wajahnya. "Kau benar-benar alami," jawab Emma.
"Aku tidak tahu tentang itu."
Mark dan Stacy kembali ke meja dengan makanan mereka. "Bagus
untukmu, sobat. Kau tahu, untuk mempersiapkan masa depan," kata
Mark, sambil menunjuk Emma Kate yang ada di dalam pelukan
Aidan. "Aku hampir tidak pernah berada di sekitar anak-anak
sebelum aku punya bayi sendiri."
"Yah, aku beruntung punya banyak keponakan laki dan perempuan."
Dia menggeser Emma Kate dalam pelukannya. "Dari mereka aku
cukup tahu tentang popok yang sudah kotor dan aku cukup yakin
popoknya sekarang basah kuyup."
Mark mengerang. "Hebat."
Emma bangkit dari kursinya. "Tidak, tidak. Aku yang akan pergi
mengganti popoknya." Aidan dengan senang hati menyerahkan bayi
itu sebelum melirik ke bawah untuk mengecek apakah dia juga
basah. Stacy menyerahkan tas popok pada Emma sambil menyeringai. "Kau
memang terbaik, sepupu."
"Bukan masalah."
Saat Aidan menyaksikan Emma pergi menjauh, sebuah tawa keras
pecah di telinganya. "Hei, tampan, aku Mary. Apa kau mau
berdansa?" Aidan berbalik dan melihat seorang gadis - seorang gadis yang
sangat cantik, tapi masih remaja, tersenyum padanya. "Um, aku rasa
tidak." Bibir merah ruby-nya cemberut. "Kenapa tidak?"
"Pertama, aku di sini dengan Emma, dan kedua, aku pikir aku agak
terlalu tua untukmu."
"Aku sembilan belas. Selain itu, Emma adalah sepupuku. Dia tidak
akan keberatan." Aidan melawan dorongan untuk berkata Mana mungkin dia tidak
keberatan! Bahkan saat masa kehamilannya, dalam diri Emma bisa
menjadi seekor kucing liar untuk menjatuhkan Mary hingga tidak
bangun sampai Selasa depan karena menggodanya. Dengan napas
putus asa, ia mengangkat tangannya. "Dengar, sungguh
menyenangkan kau memintaku, tapi aku harus mengatakan tidak."
Emma datang kembali pada saat yang tepat dengan bayi itu. Dia
mengamati mereka berdua sebelum bicara. "Ada apa?"
"Aku ingin berdansa dengan Aidan, tapi dia tidak mau," Mary
mengaku. Aidan mengertakkan giginya. "Dan aku dengan jelas mengatakan
kepadanya bahwa aku di sini denganmu."
"Sekali dansa sebentar tidak ada salahnya."Kemudian Emma
mengangkat kepalanya ke arah Aidan - dan memberinya senyuman
paling manis yang tampak menyebalkan. "Aku tidak keberatan, jika
kau mau." Oh tidak, Emma tidak hanya menjual dirinya pada sepupunya yang
bernafsu. Dia tahu Emma juga memiliki beberapa motif tersembunyi
dibalik tindakannya. Ini merupakan salah satu cara agar mereka
tidak seperti pasangan resmi - untuk menggambarkan bahwa Aidan
belum terikat. Mungkin seperti itu motifnya atau mungkin dia yang
terlalu paranoid. "Oke," gumamnya, seketika Mary menyentak tangannya lalu
menyeretnya ke lantai dansa. Untung saja lagunya berirama cepat,
sehingga Aidan tidak dipaksa untuk menempelkan tubuhnya pada
Mary. Dia tidak tahu dansa apa yang cocok untuk musik dengan
irama seperti itu, dan begitu dia melihat ekspresi terhibur di wajah
Emma, dia tahu dia telah mempermalukan dirinya sendiri. Aidan
akan membalasnya jika itu hal terakhir yang harus dia lakukan.
Begitu dansa mereka berakhir, dia terpaksa tersenyum. "Terima
kasih, Mary." "Kapan saja, seksi," jawabnya, memukul pantat Aidan. Dia
mengedipkan mata padanya sebelum bergegas pergi untuk
bergabung dengan serombongan gadis di sudut ruangan.
"Apa-apaan itu tadi?" Gumam Aidan pelan.
"Masih ingin berdansa, tampan?" Tanya Emma.
"Mengingat sepupumu yang baru sajamenganiaya pantatku, aku
benar-benar tidak berminat."
Emma tertawa. "Oh ayolah" Aku ingin berdansa dengan priaku."
Musik berubah dari hentakan irama cepat menjadi balada yang
manis. Dengan enggan Aidan membiarkan Emma memeluknya.
"Aku menyesal kau telah dianiaya," kata Emma, menatap ke
arahnya. Aidan mendengus. "Terserah. Aku tidak percaya kau mengumpankan
aku seperti itu padanya. Aku pikir kau akan menjadi seekor kucing
betina siap bertarung saat kau melihat kami mengobrol."
Emma memutar bola matanya. "Aku tidak secemburu itu."
"Benarkah?" Dia menyeringai. "Selain itu, ketika aku mengganti popok Emma
Kate, aku mendengar beberapa gadis bertaruh bahwa Mary tidak
punya nyali untuk berdansa denganmu. Kupikir aku harus
membiarkannya menang telak malam ini."
Kepala Aidan mendongak ke belakang dan tertawa. "Aku tidak
percaya mereka melakukan hal itu."
"Kenapa tidak" Kau pria tua dan masih tampan." Emma memeluk
tubuh Aidan dengan erat. "Kalau kembali ke masa lalu, aku bahkan
mungkin akan membayar uang sedikit agar bisa berdansa
denganmu." Bibir Aidan menciumi lehernya. "Sayang, aku milikmu kapan saja,
di mana saja secara gratis."
"Hmm, aku mungkin seharusnya mengambil kesempatan itu,"
jawabnya. Setelah berdansa dengan lagu pelan yang lain, mereka kembali ke
tempat duduk saat band yang tampil akan beristirahat. Sang vokalis,
yang Emma perkenalkan bernama Dave, mengambil mikrofon.
"Karena seluruh teman dan keluarga berada di sini, saya hanya ingin
mengambil waktu sejenak untuk membuat pengumuman besar.
Kemarin, saya bertanya pada Laurel, wanita yang aku cintai untuk
menghabiskan sisa hidupku dengannya, untuk menikah denganku,
dan dia bilang ya!"Kata Dave.
Sementara kerumunan orang-orang meledak berteriak,bersorak sorai
dan bersiul, Aidan merasa Emma menegang di sampingnya.
Meskipun wajahnya tersenyum berseri-seri, Aidan tahu berita
pertunangan sepupunya telah mengganggunya. Tidak butuh waktu
lama baginya untuk memahami alasannya. Aidan tahu meskipun
Emma bahagia karena akan memiliki bayi, ia tetap menginginkan
apayang Laurel miliki - cinta, komitmen, dan berlian yang
berkilauan di jarinya. Aidan bertanya-tanya apakah dia bisa memberi
Emma hal seperti itu atau apa Emma hanya buang-buang waktu
karena percaya Aidan akan melakukan hal seperti itu.
"Sekarang, aku ingin istirahat beberapa menit dan berdansa dengan
tunangan tercintaku." Tatapannya mencari-cari diantara kerumunan
lalu berhenti di meja mereka. "Em, maukah kau kemari dan
melakukan kehormatan ini?"
Jika sebelumnya Emma tegang, sekarang dia benar-benar kaku
karena tawaran bernyanyi. "Tidak, tidak, tidak! Aku sudah terlalu
lama tidak bernyanyi."
"Itu tidak benar. Kau menghibur Mason dan aku dengar suaramu
yang merdu beberapa bulan yang lalu,"bantah Aidan.
Emma memberinya tatapan membunuh. "Aku pikir ada perbedaan
besar antara bernyanyi untuk menidurkan bayi di dalam kamar
tidurku secara pribadi dibandingkan gudang yang penuh dengan
orang!" Desisnya lirih. Dia lalu menggelengkan kepalanya pada
Dave. "Sungguh, aku tidak bisa."
Seorang wanita tinggi, pirang dan berkaki panjang datang
menghampiri mereka dari belakang. Tidak butuh waktu lama bagi
Aidan untuk menyimpulkan bahwa dia adalah Laurel. "Oh please,
Emma, nyanyikan Cowboy Take Me Away! Kau menyanyikan itu
saat Dave dan aku bertemu!"
Aidan mendekatkan bibirnya ke telinga Emma. "Pergilah. Kau tahu
kau bisa membuat mereka terpesona meski kau hanya bernyanyi di
kamar mandi." Emma tersentak menjauh untuk menatapnya, terkejut, mulutnya
membentuk huruf O sempurna. "Sungguh?"
Aidan mengangguk. "Oke, oke, aku akan melakukannya."
Sorakan lain muncul dari kerumunan ketika Emma bangkit dari
kursinya. Saat ia naik ke panggung, Aidan mencondongkan tubuh ke
depan di kursinya. Dia tidak sabar melihatnya tampil.
Emma mengambil mikrofon dengan tangan gemetar dari stand-nya.
Dia berdeham beberapa kali sebelum berbicara. "Kupikir kalian
semua tahu aku belum pernah bernyanyi secara profesional selama
Keturunan Pendekar 5 Dewa Arak 59 Titipan Berdarah Candi Murca 4
^