Pencarian

Badminton Freak 2

Badminton Freak Karya Stephanie Zen Bagian 2


pada Albert. Mungkin malah memasukkan cowok itu dalam blacklist orang-orang yang
berkunjung ke rumahku. Aku cuma bisa tersenyum lemah, dan berharap dalam hati semoga nanti sore Albert ada
urusan apalah yang membuatnya urung menjadikanku tahanan rumah di rumahku sendiri.
Dihukum SIALNYA lagi, Mama malah meyambut dengan riang-gembira-penuh-sukacita kedatangan
Albert ke rumah sore harinya.
Wah, Mama nanyanya kayak aku dan Albert masih umur lima tahun aja. Maun main di sini"
Yang bener aja! Dia ke sini buat menghukumku, Ma!
gaya anak manis. Aku menirukan gaya orang muntah di balik punggungnya. Mama, yang melihatku, langsung
melotot tajam. ng Tante yang enaknya Siaul, sekarang dia malah menjilat!
masuk dulu deh sama Fraya. Santai aja, anggap rumah sendiri, oke" Tante mau beresin tanamanAlbert tersenyum puas dan masuk ke rumahku. Aku tetap tinggal di kebun, tempat Mama
mengurus tanaman-tanaman kesayangannya sebelum kedatanganku dan Albert tadi.
menghilang ke dalam rumah.
Mama berhenti mengguntingi rantingas-remas jariku dengan jengkel.
Mama mencuci tangannya dari keran air di samping kebun, lalu membersihkan noda tanah di
hidungku. ku mengadu. bagian yang ini. Aku menimbang-nimbang dalam hati, apakah sebaiknya cerita ke Mama. Tapi karena tadi
aku sudah sedikit keceplosan, kayaknya aku nggak punya pilihan lain.
kepingin aku nonton dia. Tapi
kan kemarin ada semifinal Uber Cup juga, Ma, dan aku udah beli tiketnya... Dan Mama tahu
sendiri kan, gimana aku suka sama bulutangkis" Jadi aku... aku bohongin Albert. Aku pura-pura
sakit, supaya aku nggak perlu nonton Albert tanding. Aku bilang ke dia, bubar sekolah aku
Benar-benar melongo dengan mulut yang ternganga lebar.
besok, dan lusa. Dia juga rencana main di sini sampai malam, untuk ngawasin aku, biar aku
nggak kabur lagi Mama masih melongo menatapku, dan aku ketar-ketir juga menunggu reaksinya. Apa Mama
bakal membelaku ya" Atau justru makin memojokkan aku"
Waduh, aku baru tahu ternyata yang anak Mama itu Albert, bukan aku! Dan Mama
kalau dia sedang marah atau kesal.
ingin kamu support dia saat dia tanding, eh kamu
sama semifinal Uber Cup, aku pasti ikut nonton dan support dia, Ma. Tapi ini kan lain...
Thomas-Uber Cup itu turnamen internasional, cuma ada dua tahun sekali, dan belum tentu juga
Wah, kayaknya beneran salah nih curhat sama Mama!
cemberut, masih nggak habis pikir kenapa Mama justru lebih membela Albert daripada aku.
*** sudah stand by di depan TV
dengan muka ditekuk. Aku bisa mendengar riuh-rendah suara orang di belakangnya. Dia pasti
sudah di Istora. di ruang makan. Bonyok gue malah ngasih dia makan enak. Sial banget nggak
sekali nggak nyadar ada Albert di kelas. Gue juga nggak ngeliat dia masuk kelas gue. Mungkin
dia udah datang sebelum gue, kali ya" Atau dia masuk waktu gue lagi sibuk belajar fisika, jadi
nggak merhatiin" Kalau aja gue tahu dia ada di kelas, gue pasti bakal bilang ke lo... supaya kita
ngobrolNada suara Sharleen terdengar seperti dia benar-benar merasa bersalah, padahal itu sama
sekali bukan salahnya. -pa, Shar. Lagian bukan salah lo kok. Gue juga nggak ngeliat dia tadi pagi. Yah,
mungkin emang udah nasib gue ya, ketahuan bohong. Gue juga minta maaf nih, lo jadinya hari
-istrinya, jadi gue nonton bareng
Aku cemberut lagi. Rasanya kali ini aku kepingin jadi Hiro Nakamura di serial Heroes, biar aku
bisa men-teleport diriku ke Istora Senayan. Kalaupun ketahuan Albert, toh aku sudah keburu
berada di tempat lain, dia nggak mungkin bisa mengejarku.
Yeah, back to your real life, Fraya.
dengan Sharleen, dan ternyata di HP-ku ada SMS masuk.
From: Shendy-wartawan Shuttlers
Lo dmana" Kok nggak keliatan batang idungnya" Dtg ke istora kan"
Aku mengembuskan napas kesal. I wish.
To: Shendy-wartawan Shuttlers
Nggak. Gw dihukum sm cwo gw, nggk blh ke istora lg selama TUC.
From: Shendy-wartawan Shuttlers
Yg bnr" wah, ikut sedih dgrnya. Emg knp lo dihukum"
To: Shendy-wartawan Shuttlers
Soalnya kmrn gw ketahuan. Nasib " ngebohongin dia biar bs ke istora, trs td From: Shendy-wartawan Shuttlers
Astaga. Yasud, mg2 keadaan lo gak terlalu parah ya. C ya next
time. Huhuhuhu... aku jadi makin kepingin ada di Istora sekarang....
*** Albert benar-benar bawa sial hari ini!
Bukan hanya karena aku jadi ngak bisa nonton live di Istora, dan tiket semifinal yang sudah
kubeli jadi sia-sia, tapi juga karena tim Thomas Indonesia kalah dari Korea! Kalahnya 0-3 pula!
Aku benar-benar kesal sampai langsung masuk kamar begitu pertandingan selesai. Biar aja Albert
masih di luar sama keluargaku, toh dia sudah tahu pintu keluar rumah ini ada di mana. Dia bisa
pulang sendiri! Ihh... aku sebel banget sampai kepingin nangis rasanya. Kok bisa sih tim Thomas Indonesia
kalah dari Korea" Mana skornya telak banget. Aku masih nggak bisa percaya Indonesia bisa habis
dengan skor begitu. Padahal tim Thomas menargetkan juara.
Partai pertama waktu Sony Dwi Kuncoro melawan Park Sung Hwan, aku cukup optimis.
World rank Sony kan di atas Park. Sony memang kalah duluan di set pertama, tapi dia berhasil
memaksakan rubber set. Sayang, di set ketiga dia kalah lagi. Korea unggul duluan 1-0.
Partai kedua, Markis Kido/Hendra Setiawan, ganda putra nomor satu Indonesia dan dunia,
melawan Jung Jae Sung/Lee Yong Dae. Aku santai-santai aja, yakin Indonesia bakal bisa
menyamakan kedudukan. Eh, ternyata Lee Yong Dae bermain kayak orang kesetanan. Jumping
smash mulu, habis dicekokin ginseng kai ama pelatihnya! Indonesia kecolongan lagi, 2-0.
Partai ketiga. Taufik Hidayat melawan Lee Hyun Il. Aku makin ketar-ketir. Bukan apa-apa
sih, tapi belakangan ini grafik permainan Taufik memang lagi jelek-jeleknya. Dia seolah
kehilangan kelasnya sebagai peraih emas Olimpiade Athena tahun 2004 silam. Cara bermainnya
gampang ditebak, dan smash-smash-nya nggak setajam dulu lagi. Lee pun menang mudah dua set
langsung. Korea 3, Indonesia 0. Tamat sudah.
Mama sempat menatapku dengan pandangan nggak setuju, tapi aku sebodo amat. Daripada aku
tetap di ruang keluarga dan jadi meledak membabi buta saking kesalnya, kan lebih baik aku
ngamuk sendirian di kamar.
Huuhh... kesal kesal kesaaaalll!
Reality Bites PAGI ini aku sengaja bangun setengah jam lebih awal dari biasanya, dan buru-buru cabut ke
sekolah. Alasanku cuma satu: kabur sebelum Albert menjemputku ke rumah. Hih, tak usah ya!
Aku masih amat sangat jengkel gara-gara semua kejadian kemarin, dan aku nggak bisa
membayangkan skenario apa yang bakal terjadi kalau aku dan Albert berada dalam satu mobil
dalam kurun waktu setengah jam, dengan kondisi emosiku yang sekarang. Jangan-jangan nanti
aku kebablasan melakukan tindak kekerasan padanya.
Oke, aku tahu aku memang kedengaran norak banget, tapi kalau kamu jadi aku, kamu pasti
bisa ngerti deh. Memang sih, albert nggak punya andil langsung dalam kekalahan tim Thomas
Indonesia (salah satu hal yang memperparah kekesalanku padanya), tapi kan tetap aja... dia
membuatku nggak bisa nonton pertandingan itu secara live! Dan entah aku harus bersyukur atau
malah mengomel karena hari Minggu nanti aku nggak begitu menyesal bakal melewatkan partai
final Thomas Cup. Yah, secara Indonesia juga nggak akan main di sana gitu.
Tapi hari ini, hari ini! Hari ini tim Uber Indonesia bakal bertanding di final melawan China.
Dan kalau nanti aku masih dilarang ke Istora, aku ngak tahu deh harus gimana lagi. Mungkin
aku perlu mengadukan Albert ke Komnas HAM. Dia kan sudah melanggar hak asasiku untuk
melakukan hal yang kusukai.
Jadi pagi ini aku lebih memilih berangkot ria dengan puluhan anak SMa lainnya, daripada
naik mobil nyaman bersama pacarku yang menyebalkan. Rencana berjalan lancar, aku sudah
cabut dari rumah sebelum Albert muncul. Claudia sempat melirikku penuh tanda tanya waktu
aku berangkat sekolah dengan pamitan yang hanya berupa gumaman pada Papa dan Mama, tapi
kayaknya dia menelan kembali semua kata-katanya waktu melihat wajah judesku. Anak pintar,
dia tahu kapan waktunya untuk diam.
Dia juga baru datang. Adisty celingak-nyebut nama anak tengil itu"
-cengir menggodaku. Adisty mengangguk dan tersenyum maklum. Dia memang teman yang paling pengertian.
Sayang, masa-masa tenangku nggak berlangsung lama. Albert datang sepuluh menit
kemudian, dan dengan seenaknya dia langsung duduk di bangku Adisty. Mentang-mentang yang
punya lagi ke kantin, main duduk aja dia.
aku dong. Jadi aku nggak Albert menghela napas, aku bisa mendengarnya dengan jelas.
- Ih dasar! Pakai bawa-bawa Taufik Hidayat segala. Mana Albert agak nggak nyambung, lagi!
kan bukan salahku T dasar dodol. terdengar jengkel. childish Childish itu yang childish, tahu nggak" Menghukum aku dengan melarang aku ngelakuin hal yang paling
aku suka! Aku membuka mulutku, nyaris meneriakkan bahwa aku bilang begitu waktu itu karena
mengira hukumannya bakal berupa pemutusan hubungan antara aku dan Albert, tapi katakataku tertelan lagi. Nggak tahu kenapa. Mungkin dalam hatiku, aku merasa sayang juga kalau
harus mengakhiri hubunganku sama Albert yang sudah dua tahun ini. Atau aku nggak mau
benar-benar dianggap childish, seperti yang dibilang Albert tadi. Entahlah.
, tapi sebagai cowokku, aku
minta kamu ngertiin apa yang bener-bener aku suka. Aku juga nggak pernah ngelarang kamu
main basket, kan" Aku selalu bisa ngerti, bahkan kalau kamu nggak bisa jemput aku karena ada
latihan basket. Kenapa sekarang kamu minta aku nonton kamu tanding, saat kamu tahu ada
turnamen bulutangkis yang bener-
Albert melongo. Mungkin dia heran juga aku bisa ngoceh sepanjang itu. Aku tipe orang yang
identik dengan kalimat-kalimat pendek. Ngomong seperlunya saja, apalagi kalau lagi marah.
Tapi tadi aku sudah mengomel panjang kali lebar kali tinggi, pasti kedengarannya aneh banget.
Fiuh... udah deh, kalau udah begini, diskusinya nggak bakal selesai. Mau aku ngomong kayak
apa pun ke dia, ujung-ujungnya dia bakal menyalahkan aku juga.
Aku melongo, nggak mau menatap Albert. Thank God, dia nggak mengoceh lagi.
*** Aku dan Albert pertama ketemu saat MOS SMA kami, SMA Pembangunan. Di hari pertama,
waktu upacara sebelum MOS, aku menangkap basah dia ngeliatin aku. Lucu banget sih waktu
itu. Dia langsung salting begitu kulihatin balik.
Albert ganteng, jadi banyak cewek yang naksir dia. Dan seperti yang pernah kuceritakan
sebelumnya, aku juga nggak bisa dibilang jelek. Banyak juga cowok, termasuk kakak-kakak
senior pembimbing MOS, yang naksir aku. Sayangnya, hal itu kayaknya membuatku jadi terlihat
genit di depan para senior cewek. Yang bener aja, aku toh nggak pernah flirting sama mereka
(para senior cowok maksudku, bukan senior cewek). Aku sendiri juga bingung kenapa tiba-tiba
banyak senior cowok yang suka nyamperin aku di kelas saat jam istirahat.
Aku masih ingat banget kejadiannya, dulu ada senior bernama Frederick yang naksir aku.
Waktu itu Frederick termasuk deretan senior yang populer, dan semua cewek yang naksir dia
tiba-tiba aja jadi memusuhi aku. Termasuk Mischa, cewek senior judes yang sudah lama naksir
Frederic, tapi kayaknya nggak pernah dianggap.
Mischa dan gengnya mencegat aku satu siang sepulang sekolah, dan dia langsung mengatai
aku seenak udelnya. Aku sudah hampir mendamprat balik, waktu Albert tiba-tiba aja muncul,
dan mengatai Mischa dengan kata-kata yang tajam tapi sangat berkelas. Aku lupa apa tepatnya
kata-katanya waktu itu, pokoknya Mischa sampai speechless di hadapan Albert. Aku sendiri
bingung, apa kata-kata Albert itu spontan keluar dari mulutnya, atau dia sudah mengarangnya
sejak dia naksir aku, dan tahu aku dalam target sasaran Mischa. Entahlah.
Yang jelas, setelah itu Mischa dan senior mana pun nggak pernah lagi berani menggangguku.
Mungkin Mischa sudah menebar gosip ke anak-anak seangkatannya bahwa aku punya bodyguard
yang galak, kali ya" Dan setelah itu aku dan Albert jadi dekat, sampai akhirnya kami jadian. Aku
sayang banget sama Albert, biarpun setelah beberapa bulan kami jadian aku baru tahu dia
ternyata nggak begitu suka sama fanatismeku akan bulutangkis.
Sebelumnya, waktu SMP, aku pernah jadian sama cowok yang ikut ekskul bulutangkis bareng
aku, namanya Philip. Orangnya baik banget, dan tentu saja kami amat sangat nyambung
ngomongin bulutangkis. Aku dan Philip juga sering main bulutangkis bareng, dan dua tahun
berturut-turut selalu barengan nonton Indonesia Super Series di Istora. Kami pacaran dua tahun,
tapi selepas SMP Philip dikirim ortunya masuk senior high di Australia. Kami putus baik-baik
waktu itu, dan berjanji akan tetap in touch lewat SMS dan chatting, at least untuk ngomongin
bulutangkis, karena di Australia sana kan bulutangkis nggak populer, jadi Philip pasti nggak akan
punya teman diskusi bulutangkis di sana.
Sayangnya, aku sibuk dengan kegiatanku sendiri, dan mungkin Philip udah ketemu cewek
bule cantik di Aussie. Jadi setelah satu bulan SMS-an, chatting, dan kirim e-mail, kami mulai
menjauh satu sama lain. Dan aku jadian sama Albert.
Di awal jadian sama Albert, aku merasa menemukan pengganti Philip, soalnya dia kelihatan
cukup antusias kalau kuajak ngobrol soal bulutangkis. Tapi karena dia nggak ngerti banyak,
banyakan aku yang mengoceh tentang bulutangkis di depan dia. Aku sih senang-senang aja,
mengoceh tentang hal yang jadi obsesiku, sampai mulut berbusa pun nggak masalah. Tapi seperti
yang kubilang tadi, setelah beberapa bulan mungkin Albert jadi enek, dan dia mulai suka
mengalihkan pembicaraan kalau kuajak ngobrol soal bulutangkis. Itu sih nggak apa-apa. Tapi
sebalnya, dia mulai menjelek-jelekkan bulutangkis juga, dan selalu membanding-bandingkannya
dengan basket dan cheers. Aku sempat bingung waktu itu, karena awalnya kan aku
membayangkan Albert bakal seperti Philip, yang bisa jadi teman diskusi bulutangkis yang asyik.
Tapi akhirnya aku sadar, Albert bukan Philip, dan mungkin dulu dia antusias mendengar semua
ocehanku tentang bulutangkis karena waktu itu kami masih masa pedekate dan baru jadian, jadi
semuanya masih dibutakan cinta. Hm... kedengarannya jadi kayak lagu dangdut, tapi emang
kenyataannya gitu sih. Akhirnya aku mengambil jalan tengah. Aku nggak lagi ngomongin bulutangkis sama Albert,
kecuali dia yang mengungkit duluan (seringnya sih dalam konteks meremehkan dan
membanding-bandingkan). Cuma, nggak tahu kenapa, aku tetap bisa tahan kalau Albert ngoceh
segala macam tentang basket di depanku. Aku juga senang-senang aja kalau dia minta aku
menungguinya latihan basket, atau nonton dia tanding. Tapi kalau momennya bersamaan
dengan Thomas-Uber Cup seperti kemarin... harusnya dia tahu dong, mana yang bakal aku
pilih" *** Aku benar-benar nggak habis pikir. Setelah kujutekin habis-habisan kemarin, Albert tetap nekat
datang ke rumahku sore ini! Padahal aku udah ngarep dia kapok, sehingga aku bisa ngibrit ke
Istora nonton final Uber Cup. Tapi ternyata mimpiku buyar!
Biarpun kucuekin sepanjang perjalanan pulang, Albert santai aja. Sampai di rumahku, dia
main sama Lio, karena aku langsung ngumpet di kamar, ogah dekat-dekat Albert kalau nggak
terpaksa. Masih sebal! Untungnya, biarpun Mama sayang banget sama Albert, cowok itu tetap
nggak dikasih izin masuk ke kamarku. Atau mungkin Albert masih tahu sopan santun, nggak
tahu lagi deh. Yang jelas, aku baru keluar kamar jam enam sore, saat Uber Cup ditayangkan di TV. Albert
nggak duduk di sebelahku seperti kemarin, dia duduk di sofa pojok sambil memangku Lio.
Hmm... mungkin itu juga salah satu alasan kenapa aku masih pacaran sama Albert sampai saat
ini. Selain ortuku, Lio juga sayang banget sama Albert. Lio selalu nanyain kalau dia sudah lama
nggak melihat Albert (yang seringnya karena saat Albert mengantarku pulang sekolah, Lio lagi
bobo siang), dan setiap kali Albert datang Lio selalu jadi riang gembira, seolah Albert itu
Sinterklas. Pokoknya, mereka kompak banget lah. Entah pakai pelet apa si Albert.
Yeah, bagus sekali Claudia! Tengoklah ke sebelah kananmu, di sana tersedia jawaban kenapa
aku harus menghabiskan sore laknat ini di depan TV, sementara seharusnya aku bisa ada di
tempat pertandingan bulutangkis dengan atmosfer terdahsyat di dunia! Aku nggak mengada-ada.
kalau bukan teriakan IN-DO-NE-
pemain Indonesia yang memukul bola,
Indonesia sudah mendekati angka 21) dan fanatisme penonton yang hadir di sana setiap
diadakan turnamen bulutangkis.
Claudia kayaknya menyadari perubahan ekspresiku, plus mataku yang melotot garang pada
Albert di sofa pojok. Dia mengerling pada Albert, dan terlihat sedikit syok.
gossip queen. Claudia tahu Albert nggak begitu suka pada fanatismeku akan bulutangkis, tapi dia
belum tahu sekarang ini aku sedang dihukum. Albert kayaknya nggak bisa mendengar
pertanyaan Claudia, selain kaerna bisikannya yang masuk level gelombang infrasonik, Albert juga
tengah asyik mendengar celoteh Lio yang berisik itu.
Claudia melongo, dan langsung menoleh menatap Albert dengan gaya dramatis, sebelum
akhirnya menatapku lagi.

Badminton Freak Karya Stephanie Zen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

karena gue mendadak sakit. Padahal gue ngarang alasan gitu supaya bisa ngabur ke Istora. Jadi
dia nggak ngebolehin gue ke Istora lagi selama Thomas-Uber Cup ini. Dan untuk memastikan
Oh-my-God. -mangap tak percaya. udah mau Aku membetulkan letak posisi dudukku dengan bersemangat, demi melihat logo ThomasUber Cup yang nongol di TV. Tentu aja bakal hambar nonton cuma dari TV, tapi kalau cuma
ini yang bisa kudapat sekarang, at least aku harus berusaha menikmatinya, kan" Untung aja
Albert nggak sampai melarangku nonton dari TV juga. Awas aja kalau iya!
Presenter muncul di TV, bersama komentator pertandingan. Mereka membahas fenomena
tim Uber Indonesia yang berhasil menembus final, dan bagaimana riuhnya Istora sore ini.
Gegap-gempita, penuh sorak-sorai, berharap Indonesia mampu membuat kejutan lagi dengan
menaklukkan China. Aku memandang gambar penonton-penonton Istora yang sedang disorot
dengan mupeng. Oh, how I wish I was there!
Setelah dua kali jeda iklan yang membuatku makin dag-dig-dug nggak keruan, akhirnya
perwakilan kedua negara berjalan memasuki lapangan. Sebelum partai pertama, ada semacam sesi
perkenalan. Setiap pemain yang mewakili negaranya akan dipanggil namanya untuk kemudian
maju satu langkah dan melambai pada penonton.
Aku melotot ketika melihat sesuatu yang untk pada kontingen tim Uber Indonesia. Greysia
Polii, pemain ganda bertubuh mungil tapi punya power yang luar biasa itu, muncul dengan
menggunakan topi model tanduk, bak helm yang biasa dipakai bangsa Viking zaman dulu, tapi
topinya berwarna merah-putih. Nggak cuma itu, dia juga memakai bendera merah-putih sebagai
jubah. Bendera itu berkibar-kibar di punggungnya seperti jubah Superman saat dia berjalan.
Wow! Lucu banget! Aku jadi teringat aksi atraktif Greysia saat di semifinal melawan Jerman dua hari lalu.
Bagaimana dia bisa begitu ekspresif menunjukkan kegembiraannya, dan sekaligus memancing
rasa nasionalisme setiap penonton yang hadir. Sekarang pun dia melakukan hal yang sama, dan
penonton bersorak gembira saat melihat motivator mereka lagi.
Beberapa pemain China melongo tak percaya saat melihat penampilan Greysia, tapi itu tak
kubu China, mereka semua berwajah tegang sebelum memasuki lapangan. Walaupun kekuatan China
jelas masih selevel di atas Indonesia, pasti mereka tak berharap bertemu tim tuan rumah di
h kecemasan bahwa tim Uber Indonesia akan mampu mencuri kembali trofi yang sejak 1996 lepas ke negeri Tirai
Bambu itu. Tepuk tangan bergema sangat riuh ketika Greysia dipanggil namanya dan maju selangkah. Ia
melambaikan tangan dengan senyum mengembang lebar, membuat Lio, yang belum mengerti
bulutangkis sekalipun, jadi menatap layar TV dengan ketertarikan yang tak pernah kulihat
sebelumnya. Seolah ada magnet dalam sosok Greysia.
Seolah aku melihat DIRIKU di posisi yang sama dengannya.
Greysia hanya tiga tahun lebih tua dariku, tapi ia sudah mengikuti turnamen hingga keliling
dunia dengan membawa nama Indonesia. Dan sekarang ia berdiri di tempat yang luar biasa,
berhadapan dengan para penonon yang juga luar biasa, dalam kejuaraan beregu bulutangkis yang
paling bergengsi. Kalau saja dulu Mama mengizinkanku les bulutangkis, mungkin sekarang aku akan ada di tim
yang sama dengan Greysia... Mungkin aku juga aakn berdiri di tengah Istora, melambaikan
-ku... Aku menggeleng, berusaha mengusir bayangan itu. Ini tidak segampang yang aku bayangkan.
Memangnya hanya dengan les bulutangkis sejak umur enam tahun, aku akan bisa menembus
Pelatnas" Keep on dreaming, Fraya dear. Banyak pengorbanan yang pasti harus kutempuh jika
ingin berada di posisi yang sama dengan Greysia saat ini.
Tapi tetap saja, aku merasakan sakit dalam hatiku. Aku tak akan bisa mewujudkan mimpi
itu... Tahun-tahun di saat aku seharusnya berlatih keras dan mengikuti setiap kejuaraan junior
telah lewat, kuhabiskan hanya dengan menanti-nanti olahraga yang kucintai itu muncul di layar
TV. Berlatih sekeras apa pun aku sekarang ini, aku tak akan bisa seperti Greysia atau yang
lainnya... n lamunanku kontan buyar.
Ternyata aku melamun lumayan lama, karena sekarang di TV Maria Kristin dan Xie Xingfang
sudah melakukan pemanasan, bersiap untuk partai pertama di final Uber Cup ini.
Claudia. Dengan ekor mataku, aku bisa melihat Albert memperhatikanku dari sofa di pojok sana.
Aku membenarkan posisi dudukku di sofa, berusaha memusatkan perhatian ke TV lagi, tapi
lamunanku tadi ternyata masih mengusik. Aku nggak akan pernah bisa mewujudkan mimpiku
sekarang, sekeras apa pun aku berusaha. Satu-satunya yang kuinginkan hanyalah bisa memutar
kembali waktu... Tapi waktu tak pernah bisa kembali, ia justru melaju semakin cepat menuju masa depan, di
saat kau menginginkannya berhenti.
Aku menelan ludah, merasakan bola mataku memanas. Kenyataan itu menghantamku begitu
kuat, sampai rasanya aku sesak napas. Kenapa aku ini" Semua harapanku seolah hilang, karena
aku tahu mimpi terbesarku tak akan mampu teraih lagi. Tiba-tiba saja aku merasa tak peduli
diriku cantik, punya pacar ganteng dan populer, punya keluarga yang berkecukupan dan
harmonis... Apa artinya semua itu, jika mimpiku, cita-cita dan obsesiku telah melayang pergi,
dan tak ada satu pun yang bisa kulakukan untuk meraihnya lagi"
Aku mengerjap, berusaha menyedot kembali air mata yang tertampung di mataku, siap
meluncur turun. Belum pernah sebelumnya aku begitu berharap aku sendiri saja dan tak ada
seorang pun yang bisa melihatku, karena aku sedang benar-benar ingin meledak dalam tangis.
kecurigaan Claudia. Untunglah, dia termasuk anak yang cuek dan mmm... agak lemot. Jadi dia
percaya saja dengan bualanku.
Maria Kristin sudah bersiap main sekarang. Ia yang mendapat bola pertama. Wasit sedang
memberikan informasi sebelum pertandingan dimulai.
On my right, Xie Xingfang, China! On my left, Maria Kristin Yulianti, Indonesia! Yulianti
serve bergidik. Halusinasiku mulai menghadirkan kalimat yang
On my left, Fraya Aloysa Aku mengerjap sekali lagi, berusaha menelan halusinasi itu bulat-bulat. Itu nggak akan pernah
terjadi. Aku hanya menyakiti diriku sendiri dengan semua mimpi itu. Kenapa aku nggak
bersyukur saja dengan kondisiku saat ini" Aku toh bukannya anak yatim-piatu di Afrika yang
sedang kelaparan dan menunggu mati. Hidupku tak bisa dibilang buruk dengan
mengesampingkan fakta bahwa apa yang paling kuinginkan dalam hidupku justru tak bisa
kuwujudkan. Jadi atlet bulutangkis bukan hanya mimpi semu masa kecilku, yang meledak sesaat
lalu tenggelam. Aku seperti berkomitmen penuh padanya, ingin meraih tapi tanganku tak
sampai... Selama pertandingan Maria vs Xie Xingfang, aku lebih banyak melamun. Seperti yang sudah
diduga, Maria takluk. China memimpin 1-0.
Biasanya dalam kondisi Indonesia tertinggal seperti ini, aku sudah heboh sendiri. Sudah bawel
melontarkan saran-saran sok bijakku, bahwa Maria tadi seharusnya begini dan begitu. Tapi kali
ini aku diam. Mulutku terkunci, tapi batinku berperang.
Partai kedua ganda putri. Indonesia menurunkan Vita Marissa dan Lilyana Natsir, sementara
China diwakili oleh ganda terbaik mereka, sekaligus peringkat satu dunia saat ini, Yang Wei dan
Zhang Jiewen. Walaupun Vita/Lilyana hanya ranking tujuh dunia, secara skill mereka tak kalah dari
Yang/Zhang. Banyak penempatan bola dari Vita yang tak bisa dikembalikan pasangan China itu.
Mereka seolah mati langkah saat melihat shuttle cock mati di daerah permainan mereka. Sayang,
set pertama berakhir untuk keunggulan China, 21-15.
Claudia agak gelisah di belakangku. Sepertinya justru dia yang terbawa suasana pertandingan.
Beberapa kali dia mengomel karena bola yang dibiarkan keluar oleh Lilyana ternyata justru
masuk. Lio yang nggak ngerti apa-apa juga nggak mau kalah. Dia bersorak waktu Lilyana
berhasil melakukan smash tajam. Hanya Albert yang diam saja, juga aku.
-tiba nongol di ruang keluarga, dan duduk di sebelahku.
underestimate banget deh. Kalah sih kalah, Ma, tapi masa belum dua jam main
udah tamat 3biasanya Claudia jago nyahut kalau diajak ngobrol soal bulutangkis begini.
kalau Indonesia menang kan Aya teriak-teriak mulu. Kalau Indonesia kalah, Aya bakal duduk
langsung mengubah ekspresiku.
pan kaus Albert kuatkuat, seolah nggak mau dipisahkan darinya. Albert nyengir melihat tingkah adik bungsuku itu.
Lio dengan sayang. Aku memperhatikan dengan kaget. Mama kelihatan terharu mendengar katakata Albert. Ya ampun, Mama! Mellow abis deh!
Aku menelan ludah. Ini benar-benar gawat. Albert memang sudah mengambil hati Mama
sejuta persen! Pantas Mama lebih ngebelain Albert daripada aku, saat Mama tahu Albert
menghukumku dengan melarang aku nonton final Uber Cup di Istora!
Rubber seeeettt! Oh my God, rubber set! Rubber set, Aya,
Aku tersentak dari adegan melankolis antara Mama dan Albert di hadapanku, dan mendapati
Claudia sedang mencengkeram lengan bajuku, sekaligus menarik-nariknya dengan gembira. Dia
tadi bilang... rubber set"
Aku menoleh dengan kecepatan tinggi ke arah TV, di sana tampak Vita/Lilyana dan
Yang/Zhang bertukar tempat. Pertandingan belum berakhir, itu berarti... Vita/Lilyana merebut
set kedua" Aku melotot semampu yang dilakukan mata sipitku, dan melihat angka 21-15, 19-21 di layar
TV. Astaga! Indonesia berhasil merebut set kedua ini! Mereka nggak mengalah begitu saja. Kami
punya harapan untuk mencuri nilai dari partai ini.
Atmosfer tegang langsung melandaku. Set penentuan ini harus dimenangkan Indonesia.
Kalau China sampai menang lagi, bisa gawat. Mereka bakal unggul 2-0, dan rasanya mustahil
mengejar ketertinggalan dua partai dan berbalik menang, jika lawannya China. Apalagi, setelah
ini Adrianti Firdasari yang bakal bermain melawan Lu Lan. Bukannya aku meremehkan Firda,
tapi, astaga, yang bakal dia lawan itu Lu Lan! Ranking dua dunia, sementara Firda masih di luar
top 25. Akan sulit baginya, belum lagi ditambah beban mental gue-harus-menang yang bakal
diembannya jika Indonesia keburu tertinggal 2-0.
Set ketiga sudah dimulai. Nggak seperti sebelumnya, kali ini perhatianku terfokus penuh pada
layar TV. Beberapa kali aku memang merasakan hantaman realitas di dalam hatiku bahwa citacitaku sudah buyar, seperti yang kurasakan tadi, tapi aku berusaha mendorongnya ke bagian
belakang kepalaku. Nggak boleh cengeng dulu sekarang. Harus fokus nonton set ketiga!
Set penentuan ini berjalan cepat. Pasangan Indonesia mengeluarkan kemampuan terbaik
mereka agar bisa mencuri set sekaligus partai ini, tapi kubu China rupanya nggak mau kalah.
Mereka menyadari betapa bahayanya jika Indonesia mampu menyamakan kedudukan, dengan
posisi sebagai tuan rumah. Lebih aman bagi China jika mereka mengamankan set ini.
Kedua pasangan yang bermain ngotot itu membuatku lupa sejenak pada hantaman realitas
yang membuatku jadi orang yang nggak punya semangat hidup tadi. Ini benar-benar
pertandingan kelas dunia. Luar biasa! Aku sungguh idiot menyaksikannya hanya lewat TV,
padahal sebenarnya aku bisa nonton langsung di Istora. Kalau saja aku mau nekat menuruti saran
Adisty dengan memutuskan Albert, cowok itu pasti nggak punya hak apa pun lagi untuk
melarangku ke Istora... Pada poin-poin kritis di akhir pertandingan, aku melihat Adhyaksa Dault, Menteri Pemuda
dan Olahraga, disorot oleh kamera TV dalam posisi sedang berdoa. Kedua tangannya terangkat,
mulutnya berkomat-kamit, jelas sekali mengharapkan Indonesia diberi kemenangan. Aku ikutikutan berdoa di dalam hatiku, dan kali ini doa betulan, bukannya alasan kosong seperti yang
kusodorkan pada Claudia saat ia memergokiku melamun tadi.
Sayang, doaku dan Pak Adhyaksa nggak terkabul. China menutup set ketiga ini dengan 2116, sekaligus memastikan mereka unggul 2-0 dari Indonesia.
menepuk punggungku. Aku terlongong-longong. Ini beneran Claudia nih, yang ngomong begitu" Beneran adikku,
Miss-udahlah-pasti-Indonesia-kalah, yang superpesimis itu" Yang beberapa hari lalu bilang Sony
Dwi Kuncoro pasti kalah melawan Bonsak Ponsana, padahal saat itu baru set pertama"
Apa semalam adikku diculik alien (karena dianggap sangat tepat merepresentasikan sifat
pesimis manusia bumi, dan karena itu para alien ingin menelitinya), dan yang duduk di
sebelahku sekarang adalah alien yang sedang menyamar jadi Claudia"
Astaga. h ngomong kalah-kalah Wah, kayaknya bener-bener alien nih...
Uber nggak ya membuatku seolah tersengat listrik ribuan volt.
Albert mendadak menoleh, menatapku tajam.
u lo main bulutangkis jago. Kali aja kalau lo dulu beneran masuk klub,
sekarang lo bakal ada di Istora. Bukan nonton doang, tapi jadi pemain, kayak Lilyana Natsir,
Aku merasakan ribuan tinju di ulu hatiku. Apa Claudia sungguh-sungguh berpikir begitu,
atau dia hanya asal ngoceh" Kalau dia memang cuma ngoceh, kenapa yang diocehkannya bisa
persis sama dengan apa yang ada di otakku sekarang"
Kalau saja dulu Mama nggak melarangku masuk klub, mungkin saja...
sama Lilyana itu nggak segampang yang lo
juga, mungkin. Gue bisa dapat akses masuk gratis ke Istora waktu lo tanding, sekaligus bisa pamer sama tementemen gue kalau lo atlet bulutangkis top. Oh, biar mulutnya si Amelia bawel itu monyong kalau
dia tahu kakak gue lebih ngetop dari kakaknya! Tahu nggak, Aya, kakaknya Amelia itu kan cuma
masuk finalis model smapul, eh... gitu aja dia pamernya selangit. Sampai enek gue dengernya.
Beneran deh, seandainya aja lo masuk tim Uber, dia pasti nggak bisa pamer lagi sama gue, karena
kakaknya cuma beken tingkat nasional, sementara kakak gue tingkat internasional! Eh, atau
seandainya lo dulu nggak bikin kacau pemilihan model yang lo ikutin itu, gue yakin lo juga bisa
Albert, yang tadi melotot, sekarang terkikik geli di seberang sana.
Aku benar-benar bengong mendengarnya. Ya ampun, anak ini kenapa sih" Norak banget! Jadi
tadi dia menyinggung-nyinggung kalau-saja-aku-dulu-masuk-klub-dan-sekarang-tergabungdalam-tim-Uber itu hanya karena dia ingin bisa pamer sama temennya yang bernama Amelia itu"
menampilkan Firdasari dan Lu Lan yang berjalan memasuki lapangan. Aku nggak mungkin
melewatkannya hanya karena mendengar ocehan Claudia yang nggak jelas itu.
Set pertama dimulai, dan Lu Lan langsung menunjukkan kelasnya. Tapi di mataku, ia justru
terlihat nggak mengeluarkan seluruh kemampuannya. Mungkin dia menganggap enteng Firda,
jadi nggak perlu bertanding sekuat tenaga pun dia bakal menang.
Sayangnya, dugaanku benar. Lu Lan mencuri set pertama dengan mudah, 21-12. Tinggal
memenangkan satu set lagi, maka China akan mempertahankan Piala Uber di negeri mereka.
Aku perih mengingatnya. Mana set kedua Firda banyak melakukan kesalahan sendiri, juga
memberikan bola tanggung yang dengan enak di-smash oleh Lu Lan dan menghasilkan angka
baginya. Aku jadi jengkel. Mungkin kalau aku yang main, aku nggak akan membiarkan Lu Lan
mengecohku dengan bola-bolanya yang...
Aduh, Fraya, sadar dong, sadaaaarr! Ngomong apa kamu ini" Kamu kan cuma duduk di
depan TV, mudah bagimu buat bilang begini-begitu. Firda kan ada di bawah tekanan harus
menang, dan dia ditonton puluhan ribu orang! Nggak mudah berada dalam posisi seperti itu!
aku mengomeli diriku sendiri dalam hati.
Tapi akhirnya, aku tetap harus menerima Lu Lan merebut set kedua dengan angka yang lebih
mudah, 21-10, sekaligus menyudahi partai final ini dengan kemenangan untuk China. Lu Lan
hanya bertepuk tangan di atas kepalanya, lalu berpelukan singkat dengan pelatih dan rekan-rekan
senegaranya. Nggak ada atraksi heboh seperti yang dilakukan tim Uber Indonesia ketika kami
lolos ke final kemarin. Mungkin bagi China, mempertahankan Piala Uber adalah sesuatu yang
biasa, nggak perlu dirayakan dengan euforia berlebihan.
Aku bangkit dari sofa yang kududuki, nggak berminat lagi melihat pemberian medali ataupun
buket bunga kepada pemain-pemain China dan Indonesia. Atau melihat para pemain China
bergiliran memegang Piala Uber dengan wajah sumringah. Bukannya nggak bisa berbesar hati
menerima kekalahan, tapi sudah terlalu banyak kejengkelan yang berdesakan di kepalaku hari itu,
dan aku butuh mengeluarkannya kalau nggak mau jadi gila.
Aku masuk ke kamarku tanpa menggubris Albert, Claudia, Mama, atau siapa pun lagi. Di
kamar, aku membenamkan kepalaku dalam bantal dan menumpahkan tangisku di sana.
Kekesalan karena Albert melarangku pergi ke Istora, penyesalan karena dulu aku nggak terus
ngotot masuk klub bulutangkis sehingga kini aku harus menelan kenyataan bahwa cita-citaku
nggak mungkin teraih lagi, dan rasa sedih akibat kekalahan tim Uber Indonesia yang begitu telak
menumpuk jadi satu di dadaku, membuat air mataku mengalir deras.
Aku menangis sejadi-jadinya.
Gloomy Days HARI Minggu pagi, aku bangun dengan susah payah karena mataku lengket penuh air mata,
dan berusaha mengingat-ingat, kenapa aku merasa begitu merana"
Ah ya, aku ingat: 1. Tim Uber Indonesia kalah dari China.
2. Tim Thomas bahkan nggak masuk final.
3. Aku nggak diizinkan Albert nonton langsung di Istora.
4. Dan mulai hari ini aku harus hidup dengan kenyataan bahwa impian terbesarku nggak
akan pernah bisa terwujud, sekeras apa pun aku berusaha.
Selama sepuluh menit aku berbaring meringkuk di atas ranjang, dan merasakan permukaan
bantal yang lembap di bawah pipiku. Air mataku semalam belum kering rupanya. Dan aku
masih merasa begitu nelangsa...
Kenapa dulu Mama melarangku" Kenapa dulu aku menurut begitu saja tanpa menanyakan
alasannya pada Mama" Kenapa aku dulu begitu bodoh" Les bulutangkis toh bukan sesuatu yang
negatif, dan aku yakin ortuku sanggup membiayaiku mengikutinya. Fisikku juga kuat sejak kecil,
aku jarang sakit, dan nggak mudah capek, jadi Mama melarangku ikut les pasti bukan karena
alasan yang sama dengan alasan Tante Wenny untuk anak-anaknya.
Apakah karena Mama menganggap jadi atlet akan membuat masa depanku jadi nggak jelas"
Tapi apa yang bisa kita prediksi tentang masa depan" Sarjana-sarjana yang pintar saja sekarang
banyak yang menganggur. Jadi, sekolah dan kuliah yang benar bukan jaminan kita akan punya
masa depan yang jelas. Atau... Mama dulu mengira bulutangkis hanyalah kegemaran sesaatku saja, dan aku akan
bosan setelah beberapa waktu" Kenapa Mama nggak bisa melihat bahwa itu impianku" Aku toh
bukannya surut setelah dilarang ikut les waktu itu. Aku terus menggilai bulutangkis, ngejogrok di
depan TV setiap ada pertandingan, berharap aku bisa seperti pemain-pemain idolaku yang di TV
itu... Kenapa Mama nggak bisa melihatnya" Apakah impiannya lebih penting daripada
impianku" Apakah cita-citaku nggak membuatnya puas dan bahagia" Apa ia ingin membentukku
menjadi Fraya yang diinginkannya, bukannya membiarkan aku bertumbuh dengan impianku
sendiri" Aku nggak ingin marah sama Mama, dan aku yakin Mama pasti ingin yang terbaik untukku,
walau itu dilihat dengan sudut pandangnya sendiri, tapi tetap saja sekarang aku sangat menyesali
cita-citaku yang telah amblas itu.
Ya Tuhan, kalau saja aku bisa memutar waktu....
*** Seharian ini aku mengurung diri di kamar, hanya keluar untuk makan dan mandi. Orang rumah


Badminton Freak Karya Stephanie Zen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kelihatannya pergi semua, dan aku bersyukur karena punya keluarga yang sangat pengertian.
Mungkin mereka mengira aku masih kesal dengan kekalahan tim Uber Indonesia semalam, atau
mungkin dikira aku sedang ngambek sama Albert dan masih kesal, jadi aku dibiarkan begitu saja.
Aku memang lebih suka begini jika ada masalah, dibiarkan berpikir dengan tenang dan nggak
digerecoki segala macam pertanyaan. Nanti jika ingin cerita, aku bakal cerita sendiri. Papa,
Mama, dan Claudia juga menganut paham serupa. Kalau Lio sih aku belum tahu, kan dia masih
kecil. Masalah seberat apa sih yang bakal dipunya anak berumur lima tahun"
Aku meraih koran hari ini dari meja tamu, dan melihat foto tim Uber terpampang di halaman
depan, bersama ofisial dan seluruh pelatih mereka. Meskipun kalah, mereka tetap terlihat
gembira, karena prestasi yang mereka capai telah melampaui target. Sebelumnya, mereka hanya
ditarget sampai ke semifinal. Siapa yang menyangka mereka justru akan melangkah ke partai
puncak" Tapi melihat foto itu malah membuat hatiku makin pedih. Aku nggak akan pernah ada di
foto yang sama dengan mereka. Aku selamanya hanya akan jadi penggemar, padahal aku ingin
sekali bisa melakukan hal yang sama...
Dari kecil aku sudah menyadari aku punya rasa nasionalisme yang tinggi. Entah kenapa, tapi
setiap melakukan sesuatu, aku selalu berpikir aku ingin jadi anak yang berguna untuk bangsa dan
negara. Kedengarannya naif, dan mungkin lebay, tapi memang seperti itulah yang ada dalam
diriku sejak dulu. Mungkin aku memang seharusnya dilahirkan untuk jadi seorang atlet. Di
dalam diriku sudah tertanam skill, semangat pantang menyerah, rasa nasionalisme, dan keinginan
untuk main bulutangkis. Yang tidak kumiliki hanya kesempatan. Amblas begitu saja karena
larangan dari Mama saat aku berusia sepuluh tahun.
Aku meraih koran hari ini, dan beranjak ke teras rumah. Burung kenari peliharaan Papa
berkicau ribut di dalam sangkarnya. Aku biasanya suka bersiul memancing kicauan burungburung berwarna kuning cerah itu, tapi sekarang aku nyaris nggak punya niat untuk melakukannya. Aku nggak punya niat melakukan apapun, seolah semua semangat hidupku lenyap. Aku
orang yang hidup tanpa harapan dan cita-cita.
Aku ingat belum menyalakan HP, jadi aku masuk ke kamar untuk mengambil HP-ku, lalu
menyalakannya sambil duduk di kursi teras. Beberapa SMS mengalir masuk setelah aku
menyalakan HP, mulai dari Sharleen, Charles, Wilson, dan tentu saja Albert.
From: Albert R u alright" Nggak, Albert, aku sama sekali nggak baik-baik saja. Aku sudah kehilangan semangat hidup,
dan setiap kali mengerjap saja aku rasanya sudah akan menangis. Kenapa hidup ini cuma satu
kali" Kenapa jika kita menyesali sesuatu dan ingin mengubahnya, kita tak mampu" Kalau saja
manusia bisa memutar waktu...
Aku melamun, mencoba memperkirakan akan seperti apa diriku yang sekarang, jika saja aku
dulu diizinkan oleh Mama, atau mungkin memaksakan kemauanku, untuk masuk klub
bulutangkis dulu. Aku, seperti yang pernah dibilang Adisty, Claudia, Sharleen, Charles, Wilson, dan puluhan
orang lainnya, MUNGKIN akan berhasil menembus Pelatnas. Atau at least aku cukup
berprestasi untuk tingkat nasional. Dan kalau itu terjadi, tentu saja aku nggak akan bersekolah di
sekolahku yang sekarang. Aku akan masuk SMA khusus di Ragunan, tempat para atlet seumurku
bersekolah. Aku nggak akan mengenal Albert, apalagi jadian dengannya. Tapi nggak pa-pa, aku nggak
keberatan soal yang satu itu.
Aku juga pasti akan menghabiskan hariku dengan latihan dan terus latihan. Itu juga nggak
masalah, aku sanggup menghabiskan berapa jam pun di lapangan bulutangkis, selama aku belum
pingsan. Seandainya aku memang masuk Pelatnas, aku pasti setidaknya sudah menjejak sepuluh
negara-negara Asia, seperti Thailand, India, Singapura, Jepang, Taiwan, dan sebagainya, untuk
ikut turnamen bulutangkis. Dan mungkin karena itu aku akan jadi penyumbang terbesar koleksi
magnet kulkas mancanegara milik Mama.
Tapi yang terpenting... aku pasti sudah melakukan hal yang berguna untuk Indonesia.
Bukannya cuma jadi anak SMA yang kerjaannya tiap weekend nongkrong nggak jelas di mal,
belanja ini-itu, makan, nonton, dan pacaran.
Tidak apa-apa, aku hanya akan kehilangan teman-teman SMA-ku seandainya itu terjadi.
Memang susah membayangkan bakal seperti apa hidupku tanpa Adisty dan Sharleen, tapi yah...
mereka bakal baik-baik saja tanpa aku, kan" Akan ada Fraya-Fraya lainnya yang menggantikanku
menjadi sahabat mereka. Aku merasakan air mataku menetes lagi. Ya Tuhan, kalau bisa, ingin sekali kucabut perasaan
pedih ini. Ia menikam begitu dalam, sampai aku nyaris sesak napas karenanya. Tadinya aku
mengira, kalau cita-citaku nggak tercapai, ya sudahlah... Tapi aku nggak pernah menyangka, di
umur 18 tahun aku sudah akan menyesali jalan hidupku.
Sudah terlambat untuk mengejar semuanya, sudah nggak ada lagi harapan yang tersisa.
Kalaupun aku masuk klub sekarang, paling aku hanya akan jadi orang-orang yang sekadar main
bareng setiap sore di gedung klub, bukannya berlatih secara intensif dan pergi ke negara-negara
lain untuk bertanding membawa nama negara.
Aku sudah pernah bilang kan, jadi atlet bulutangkis itu seperti menandatangani kontrak
seumur hidup" Sekali melakukannya, akan susah bagimu untuk mengambil jalan lain.
Tapi jika ada kontrak seumur hidup yang harus kupilih, kontrak inilah yang ingin
kutandatangani. *** Jam setengah enam sore, aku sudah mandi dan duduk manis di depan TV, tapi posisi dudukku
kaku dan sorot mataku menerawang, seolah aku penderita stroke, dan yang bisa kulakukan
hanyalah menatap lurus ke depan. Hari ini, dan entah sampai berapa hari ke depan, tingkah
lakuku pasti akan seperti robot.
Aneh, rasanya ada yang kurang...
Aku menatap sekeliling, dan menyadari aku hanya duduk sendiri di ruang keluarga, sementara
kemarin ruangan ini penuh dengan Claudia, Lio, Mama, Papa, dan... Albert.
Oya, Albert! Kok dia belum datang" Apa dia nggak kepingin mengawasiku supaya aku nggak
ngibrit ke Istora" Hari ini kan final Piala Thomas...
Ah aku tahu, dia pasti nggak datang karena:
1. Final Piala Thomas hari ini akan mempertandingkan Korea vs China. Albert pasti
menduga aku nggak akan tertarik ke sana karena nggak ada Indonesia-nya. Jadi, karena aku
nggak ada niat ke sana, dia pun nggak perlu datang ke sini mengawasiku.
2. Dia mengira aksi dramatisku masuk kamar dan nggak keluar-keluar lagi setelah final Piala
Uber kemarin itu adalah semata-mata karena aku ngambek padanya, dan hari ini dia ogah
menerima perlakuan yang sama lagi, makanya nggak datang.
3. Albert takut aku masih marah padanya. Apalagi aku belum membalas SMS-nya tadi pagi.
Malas aja. Dan biasanya kalau aku lagi ngambek, dia memang membiarkan kepalaku dingin
dulu, nggak langsung menelepon atau merongrong dengan SMS lainnya.
4. Albert tahu diri, dan dia nyadar kehadirannya sekarang nggak kuharapkan.
Aku menghela napas. Nonton rame-rame memang kadang membuatku sebal karena jadi
bising dan aku nggak bisa menikmati pertandingan dengan fokus (apalagi kalau Claudia udah
Aku hampir saja memanggil Bi Munah, pembantu keluargaku, untuk menyuruhnya
menemaniku nonton bulutangkis di sini, tapi aku lalu teringat, jam segini pasti Bi Munah lagi
asyik-asyiknya nonton sinetron dangdut. Itu lhooo... sinetron Indonesia tapi yang dibumbui
nyanyian dan tarian ala film-film India. Plus nyaris semua pemainnya pakai wig dan suaranya diclubbing. Bi Munah tergila-gila banget sama sinetron semacam itu, dan tentu saja aku akan
seolah menyiksanya, jika merenggutnya dengan paksa dari menonton sinetron di TV belakang
hanya untuk menemaniku nonton bulutangkis di sini. Mungkin bagi Bi Munah, siksaan itu akan
sama beratnya seperti apa yang kurasakan saat Albert melarangku nonton Thomas-Uber Cup
langsung di Istora. Jadi, aku tetap membenamkan bokongku di sofa, dan menatap TV dengan setengah
melamun. Benar-benar masih sulit dipercaya, final Thomas Cup kali ini tanpa Indonesia.
Nonton China vs Korea terasa hambar, dan aku nggak minat mendukung dua-duanya. Mau
dukung Korea, aku masih kesal karena mereka yang mengalahkan tim Thomas Indonesia di
semifinal. Tapi mau dukung China pun aku ogah, karena tim Uber mereka juga kemarin
mengandaskan tim Uber Indonesia.
Memang, China sangat hebat di segi prestasi bulutangkisnya. Regenerasi pemain mereka juga
bagus sekali. Belum habis era pemain hebat yang satu, sudah muncul pelapisnya yang nggak
kalah tangguh. Dengar-dengar sih memang pelatihan para atlet bulutangkis di China sangat
keras. Aku malah pernah mendengar rumor bahwa setiap pagi para atlet bulutangkis China harus
berlari naik ke atas bukit sambil memanggul karung pasir untuk melatih fisik mereka. Yeah, gila
memang. Tapi itulah kenapa mereka sekarang bisa segitu sarat prestasi.
Just wondering, seandainya aku jadi atlet, apa aku bakal mendapat latihan sekeras itu juga ya"
Dan apa aku sanggup"
Ah, jadi mikirin itu lagi! Seharian ini pikiran itu sudah memburuku terus seperti hantu, dan
aku nggak bisa diam lima menit tanpa kepikiran hal itu lagi. Rasanya, sepanjang hari ini, jika aku
melakukan apa pun, aku tahu itu nggak bakal ngaruh pada mimpiku. Aku hanya akan terus
melalui hari-hari hidupku dengan rutinitas yang membosankan.
Bukannya aku nggak bersyukur pada Tuhan untuk hidupku, tapi... aku penasaran, apa yang
bakal terjadi dalam hidupku jika dulu aku memilih jalan yang berbeda dengan jalan yang kulalui
sekarang" Apa aku akan sukses mengejar mimpiku, atau justru malah putus asa di tengah jalan,
dan ujung-ujungnya balik jadi anak SMA seperti sekarang"
I never know. Layar TV sekarang menayangkan Park Sung Hwan dan Lin Dan yang mulai memasuki
lapangan. Senyum Lin Dan mengembang lebar sekali, seolah dia yakin 100% bakal membawa
kemenangan bagi timnya malam ini. Hanya opini pribadiku, tapi aku nggak begitu suka Lin
Dan. Tampangnya snob banget.
Dan Park Sung Hwan, ya ampun... dia kebalikan dari Lin Dan! Wajahnya selalu
menunjukkan ekspresi memelas pasrah, siap kalah, dan menyerah. Yah, tapi itu kan cuma
ekspresi wajahnya. Toh begitu-begitu juga dia yang mengalahkan Sony Dwi Kuncoro dua hari
lalu. Pertandingan berlangsung cepat. Park merebut set pertama, tapi Lin Dan membalasnya di set
kedua dan ketiga, sekaligus memastikan China unggul 1-0.
Partai kedua Korea menurunkan Lee Yong Dae/Jung Jae Sung, sementara China menurunkan
Cai Yun/ Fu Haifeng. Kayaknya Yong Dae dicekoki ginseng lagi oleh pelatihnya, jadi dia main
bak kesetanan. Korea unggul dua set langsung, menyamakan kedudukan menjadi 1-1.
Hari ini rasanya berlangsung begitu cepat. Baru kali ini aku nonton bulutangkis tanpa
jejeritan histeris di depan TV. Aku hanya duduk diam, kadang memperhatikan pertandingan
yang sedang berlangsung, kadang tenggelam dalam lamunanku sendiri.
Partai ketiga, China menurunkan Bao Chunlai, pebulutangkis China yang paling banyak
mempunyai penggemar di Indonesia karena wajah imutnya, sementara Korea menurunkan Lee
Hyun Il. Set pertama berjalan alot. Kejar-mengejar angka terus terjadi. Berkali-kali Bao match
point, tapi nggak berhasil menyelesaikannya. Lee terus berusaha mengimbangi dan memaksakan
deuce, tapi akhirnya Bao menutup set pertama dengan 28-26. Rekor angka tertinggi selama
Thomas-Uber Cup ini. Set kedua, Bao bermain lebih cerdik, dan menutup dengan mudah, 21-11. Kedudukan jadi 21 untuk China.
Berhubung belum ada yang merebut tiga partai, maka partai keempat dimainkan. Ganda
kedua China adalah Xie Zhongbo/Guo Zhengdong, sementara Korea diwakili oleh Lee Jae
Jin/Hwang Ji Man. Kedudukan unggul 2-1 ternyata membawa semangat sendiri bagi Xie/Guo. Mereka ingin
secepatnya menuntaskan permainan, sementara kualitas ganda kedua Korea tak sebaik ganda
pertama mereka. Walaupun Korea sempat memaksakan rubber set, tetap pada akhirnya China
mengambil partai ini, sekaligus memastikan Piala Thomas tetap di negeri mereka untuk dua
tahun ke depan. Yeah, bagus banget, piala Thomas dan Uber dikawinkan sekali lagi oleh China. Entah untuk
yang keberapa kalinya. Aku bangun dari sofa dan mematikan TV. Lagi-lagi aku malas nonton acara penyerahan piala
dan pengalungan medali. Dan entah kenapa, walau hari ini aku nggak melakukan kegiatan apa
pun (banyakan meringkuk di sofa dan ranjang doang), aku merasa capek luar biasa. Sepertinya
ada karung untuk latihan fisik para atlet bulutangkis China yang dibebankan di atas
punggungku. Aku masuk kamar, mematikan lampu, dan membenamkan diriku di ranjang lagi.
*** Kayaknya aku nggak pernah semalas ini pergi ke sekolah. Bahkan biasanya habis libur panjang
pun aku tetap semangat masuk sekolah. Kali ini benar-benar aneh, dan yah... aku tahu kenapa:
karena walaupun sekolah selalu digembar-gemborkan sebagai jalan untuk meraih masa depan
yang kita inginkan, itu nggak berlaku bagiku. Masa depan yang kuinginkan kan untuk jadi atlet
bulutangkis, dan sekolah sama sekali nggak membantuku mewujudkan mimpi itu.
Hidupku benar-benar menyedihkan. Tapi, jelas ortuku nggak bakal mengizinkanku bolos
sekolah hari ini. Dan karena Albert nggak datang menjemputku pagi ini (mungkin sekarang
ganti dia yang ngambek karena SMS-nya kemarin nggak kubalas"), aku terpaksa naik angkot ke
sekolah. Sampai di sekolah, aku menggelosor di mejaku. Tak bersemangat... tak bersemangat...
Good morning pemilik suara itu adalah Adisty.
Bad morning Aku masih menelungkupkan kepalaku di meja, nggak menjawab pertanyaan Adisty.
para artis yang akan bercerai saat ditanyai infotainment apa alasan mereka untuk bercerai.
Kali ini aku mengangkat lama, sementara lama-lama perbedaan gue dan Albert makin mencolok, dan chemistry di antara
kami m Oh no, jangan bilang perbedaan yang semakin mencolok itu adalah masalah lo tergila-gila
tergila-gila pada bulutangkis, Dis, gue terobsesi. Jadi atlet bulutangkis adalah impian terbesar dalam hidup
gue, dan Albert nggak bisa mengerti itu. Walaupun sekarang gue nggak bisa mewujudkan impian
gue itu, at least gue ingin kegilaan gue pada bulutangkis nggak diusik, tapi apa yang dilakukan
Albert" Dia ngelarang gue nonton live kejuaraan bulutangkis paling bergengsi sedunia yang
an itu sama aja dengan menyiksa gue... Gue lebih milih diputusin daripada dilarang nonton Thomas-Uber
Sebuah suara terdengar di belakangku, dan aku tahu, sekali lagi, aku telah membuka rahasia
isi hatiku sendiri. Albert berjalan mendekati bangkuku, sementara Adisty menatapku dengan ngeri.
fine Aku menatap Albert tanpa berkedip. Ini hal yang sangat kuinginkan beberapa hari lalu, tapi
sekarang saat ini terjadi, aku justru merasa biasa saja. Nggak senang, nggak sedih, aku hanya bisa
menatap Albert dalam diam.
know. Dan gue nggak pernah bisa
Aku masih tetap diam. selalu berusaha jadi cowok terbaik buat lo. Nyatanya, hanya karena gue ngelarang lo nonton ke
Istora, yang adalah sebagai hukuman atas kesalahan lo sendiri, lo nyuekin gue habis-habisan di
rumah. Masuk kamar dan nggak keluar-keluar lagi saat tim yang lo banggakan setengah mati
kalah. Please deh, Fraya,
Kali ini aku menatap Albert lebih tajam. Apa katanya tadi, dia berusaha jadi cowok yang
terbaik buatku" Nggak salah tuh" Kalau emang benar seperti itu yang dia lakukan, seharusnya
kan dia mengerti apa yang aku suka, bukannya malah melarang-larang aku dan selalu menyindir
hobiku, plus membanding-bandingkannya dengan cheers"
Albert menatapku galak, melemparkan tas sekolahnya ke bangkunya, lalu berjalan ke luar
kelas dengan marah. Adisty, yang tadi menjauh sedikit saat Albert masuk kelas, tergopoh-gopoh mendekatiku.
bertengkar sengit dan bilang enough-enough
larang terus sama dia. Paling nggak sekarang gue bebas main dan nonton bulutangkis kapan pun
gue suka, tanpa ada cowok tengik melarangabku seenak udel.
sementara aku kembali menelungkupkan kepala di atas meja.
Aku baru saja putus dengan cowok yang kupacari selama dua tahun, tapi sama sekali nggak
ada gejolak emosi dalam diriku.
Itu karena hatiku sudah sesak penuh perasaan putus asa karena aku nggak akan pernah meraih
cita-citaku, tak ada ruang untuk perasaan yang lain lagi.
*** Seminggu sudah berlalu sejak aku dan Albert putus. Anehnya, aku nggak merasakan perbedaan
yang berarti, cuma frekuensiku naik angkot saja yang meningkat, karena sekarang nggak ada
cowok yang mengantar-jemputku ke sekolah lagi. Yang lain rasanya biasa saja, dan aku masih
tetap seperti robot yang menjalani hidup dari hari ke hari tanpa semangat. Aku hidup hanya
karena saat bangun hari itu ternyata aku mendapati diriku masih bernapas.
Gosip menyebar di sekolahku sama cepatnya dengan koneksi Internet tercanggih, dan dalam
sekejap saja semua orang tahu aku dan Albert sudah putus. Dampaknya, sekarang banyak cewek
yang dengan sukarela menggosongkan kulit mereka dengan berjemur di lapangan, menonton
Albert main basket tiap jam istirahat. Beberapa teman cowokku juga mendadak sedikit ganjen
padaku, sok perhatian dan SMS-SMS nggak penting, tapi semuanya kucuekin.
Sekarang di bawah mataku ada lingkaran hitam besar, karena mendadak aku jadi susah tidur.
Itu karena setiap mau tidur, yang ada dalam bayanganku adalah: aku akan bangun besok pagi,
melakukan lagi rutinitas yang membosankan, dan sudah nggak punya lagi impian yang bisa
kukejar. Tapi, kebanyakan teman sekelasku dan fans-
-ku itu. Mereka mengarang cerita bahwa mataku sembap begini karena aku menangis setiap
malam setelah diputusin Albert.
Yeah, yang bener aja. Albert sendiri sekarang agak menghindariku. Kalau kebetulan kami berpapasan pun, dia
hanya diam dan langsung berlalu lagi. Yang aku syukuri, waktu ditanya beberapa orang tentang
apa alasannya memutuskan aku, Albert tutup mulut. Mungkin dia gengsi juga harus mengakui
bahwa di mataku dia kalah penting dibandingkan bulutangkis, dan karena itu sudah nggak tahan
lagi. Entahlah. Masalah dengan Albert dan teman-temanku selesai, tapi ternyata hal yang sama nggak terjadi
pada keluargaku. Sore itu, ketika aku pulang sekolah, Lio sudah menungguku di teras rumah. Dia baru selesai
mandi, dan aroma sabun bayinya harum sekali. Aku langsung menciuminya dengan gemas.
Aku langsung diam. Kenapa aku bisa lupa Lio cinta mati sama Albert" Sudah seminggu dia
nggak melihat Albert mengantarku pulang sekolah, pantas dia bertanya-tanya. Aduh, gimana ya
ngejelasin aku dan Albert udah putus"
Aku menggigit bibir. Biasanya kalau Albert mengantarku pulang, dia bakal mampir sebentar


Badminton Freak Karya Stephanie Zen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan mengajak Lio ke lapangan basket kompleks perumahanku yang nggak jauh dari sini. Dia
bakal menunjukkan kebolehannya sebagai kapten tim basket sekolah, dan Lio akan
menontonnya melakukan lemparan three point dengan mata membelalak terpesona. Setelah itu,
Albert bakal menggendong Lio di atas kepala dan menyuruh Lio memasukkan bola basket ke
dalam ring, membuat Lio merasa hebat juga karena bisa melakukan slam dunk.
Kenapa aku nggak memperhitungkan semua itu sewaktu putus dari Albert minggu lalu"
Lio menggeleng kuat- Albert! Oke, kayaknya aku memang benar-benar harus terus terang sama anak kecil ini.
Aku berdiri dan pindah duduk di kursi teras, lalu mengajak Lio bicara sambil menggenggam
tangannya. sedih yang nggak Aku memejamkan mataku. Ya ampuuuunn... gimana aku harus ngejelasin" Melihat tampang
sedih Lio sekarang aja aku rasanya sudah kepingin nangis.
-kira gitu, Lio. Kak Aya nakal, dan Kak Albert nggak mau berteman lagi sama
Lio menatapku dalam-dalam setelah aku mengucapkan kalimat itu. Aku sampai nggak
percaya anak lima tahun ternyata bisa melakukan hal semacam itu.
pedih. Mendadak, tangis Lio meledak. Ia melepaskan tangannya dari genggamanku, dan berlari
masuk ke rumah sambil memanggil-manggil Mama. Aku langsung merosot lemas di kursi.
Seminggu ini aku menghindar cerita pada Mama soal putusnya aku dan Albert, tapi kelihatannya
sebentar lagi aku harus menjelaskan juga.
Dugaanku benar. Nggak sampai lima menit kemudian, Mama muncul di teras dengan
tatapan menuntut penjelasan. Tangan kanan Mama menggandeng Lio yang masih menangis.
Oh no, not that calling-me-Fraya-thing again! Mama pasti bakal ngamuk!
teras. Mama melongo, sementara Lio, entah kenapa, menangis semakin keras. Seolah aku dan
Albert ini orangtuanya, dan kami bakal bercerai.
Ita dan memintanya membawa Lio yang sedang menangis masuk ke rumah. Itu tanda bahwa
Mama bakal bicara serius denganku.
-hal yang sewaktu baru jadian,
sepertinya bakal bisa kami atasi, tapi ternyata nggak segampang yang aku kira. Semuanya jadi
makin buruk belakangan ini, dan aku sama Albert juga makin sering berantem. Aku pikir, nggak
saat dia datang ke sini di hari final Thomas-
Aku menunggu Mama meledak marah, tapi ternyata Mama hanya diam selama beberapa
detik sebelum akhirnya bicara lagi.
-lama Lio bakal terbiasa, Ma. Mungkin
alau begitu. Mama sangat menyayangkan, tapi Mama percaya kamu sudah
Mama menepuk lenganku, lalu berjalan masuk ke rumah. Aku menekan punggungku ke kursi
teras dan memejamkan mata.
Ya, sekarang aku sudah besar. Aku tahu risiko dan konsekuensi dari setiap keputusan yang aku
buat. Kalau saja delapan tahun lalu aku juga tahu bahwa menyerah begitu saja pada larangan
Mama untuk masuk klub bulutangkis akan membuatku begini nelangsa di masa depan, pasti
dulu aku akan lebih berusaha membujuk Mama.
Alasan Mama Aku menenggak air mineralku banyak-banyak. Sharleen baru saja membabatku dua set
langsung, hal yang sangat jarang terjadi sebelumnya. Sebelum ini, kalaupun aku kalah dari
Sharleen, pasti kalahnya rubber set, dan dengan skor yang tipis. Tapi kali ini Sharleen begitu
mudah menjungkalkanku. bawah mata lo makin mirip
Aku refleks meraba pelupuk mata kananku, dan mengusapnya perlahan. Semalam tidurku
gelisah, dan aku terbangun jam empat subuh tanpa bisa tidur lagi. Jadi aku menyalakan
komputer dan mencari situs majalah Shuttlers, lalu membaca artikel-artikel hasil tulisan Shendy
yang berhasil kutemukan di sana. Shendy jenis jurnalis yang mampu memasukkan jiwa ke dalam
setiap tulisannya. Beberapa yang kubaca, seperti artikel tentang bagaimana Greysia Polii berjuang
menjadi atlet sampai seperti sekarang, ditulis dengan sangat bagus, sampai-sampai aku merinding
saat membacanya. Karena keasyikan browsing, aku sampai nggak sadar hari sudah pagi, dan aku
nggak boleh tidur lagi kalau memang nggak mau telat ke sekolah.
Aku menghela napas dan duduk bersila di lantai kayu sports hall tempat kami bermain.
Sharleen mengikutiku. Ekskul hari ini sudah selesai. Pak Richard dan sparring partner-ku yang
lain sudah pada pulang. Tadi aku dan Sharleen memang berniat main satu game sebelum pulang,
hal yang memang biasa kami lakukan. Jadi, sekarang hanya tinggal kami berdua di hall yang luas
ini. Aku mengernyit, tapi rupanya Sharleen nggak kelihatan sedang bercanda. Rupanya dia benarbenar mengira lingkaran hitam di bawah kedua mataku ini gara-gara aku patah hati diputusin
Albert. Well, padahal aku menangisinya pun nggak. Tapi siapa Nindy itu"
anyway. Gue dengar sekarang
am, tapi itu hanya karena aku nggak tahu harus berkomentar apa
lagi. Jadi sekarang Albert sudah mulai pedekate ke cewek lain" Baguslah. Dia sebenernya cowok
yang baik, kalau saja dia mau lebih mengerti rasa sukaku pada bulutangkis.
Aku menggigit bibir, dan menimbang-nimbang dalam hati. Apa Sharleen akan menertawaiku
kalau aku menceritakan padanya tentang obsesiku yang nggak kesampaian" Apa dia bakal
menganggapku konyol, dan bakal meledekku sepanjang masa"
Tapi mendadak aku sadar, kalau ada orang yang bisa mengerti perasaanku, Sharleen-lah
orangnya. Bukan Albert, Mama, Adisty, ataupun Claudia, tapi Sharleen. Kecintaannya pada
bulutangkis kan nggak jauh beda denganku.
I wish I could turn back the time
-cita dan impian terbesar dalam hidup gue, hanya karena nyokap
Sharleen diam sesaat, lalu mengerjap tak percaya karena mengerti apa yang kumaksud. Dulu
aku memang pernah cerita padanya tentang kegagalanku masuk klub bulutangkis karena
ditentang Mama. Sharleen tepat sasaran. Aku mengangguk. - dulu gue masuk klub, mungkin gue
Aku sesak napas saking gembiranya. Sharleen juga pernah merasakan hal seperti itu! Berarti
aku masih normal! perasaan gue. Tapi lama-lama gue seperti diingatkan, kalau gue bisa memutar waktu pun, nggak
ada yang men hebat" Gue tahu kemampuan gue, Fray, dan gue bukan jenis pemain yang luar biasa. Banyak
pemain di luar sana yang punya kualitas lebih baik, dan gue bukan orang yang siap menerima
kenyataan citaAku merasakan lidahku kelu.
ah itu lain ceritanya. Gue yakin dengan skill lo sekarang, lo pasti bisa menembus
Pelatnas. Masuk jajaran pemain hebat juga pastinya. Tapi Tuhan tahu yang terbaik buat kita
berdua, kan" Gue percaya apa pun yang gue terima sekarang, itu adalah yang terbaik, dan gue
berusaha menyukurinya, walaupun... yah... gue masih sering juga mupeng kalau lihat Maria
Kristin atau Lilyana Natsir di TV, hehehe... Aduh, kok jadi curhat mellow
Sharleen menjitaki kepalanya sendiri, tapi aku masih terpaku diam pada ekspresi dan posisiku
tadi. terima pemain dengan usia gue, usia kita sekarang, tapi sudah nggak ada lagi. Maksimal empat
belas tahun, and it was so long time ago when I was fourteen
Sudah terlambat. Sudah terlambat. Sudah terlambat...
-sama tahu kan, pemolesan atlet bulutangkis itu dimulai sejak kecil"
Ki Aku menelan ludah. Biarpun aku bisa menduga fakta ini, tapi mendapat kepastian tentangnya
benar-benar menyakitkan. Tadinya sempat ada harapan bodoh bahwa, mungkin saja, masih
belum terlambat bagiku untuk mengubah arah. Bahwa, mungkin saja, aku masih bisa meraih
cita-citaku karena ada klub yang bisa menerimaku jadi anggotanya dan menggemblengku...
bulutangkis seperti ini. Tapi lumayan lah, daripada n
Aku nggak menjawab, kugigit bibirku kuat-kuat. Mungkin benar kata Sharleen, kami masih
cukup beruntung bisa ikut ekskul bulutangkis, daripada nggak sama sekali, tapi aku tetap merasa
nggak puas. Seolah aku ini burung rajawali, tapi dipaksa menjadi anak ayam yang oke-oke saja
tinggal di kandang. Sharleen mengguncang-guncang badanku, dan aku kontan tersentak.
kemarin, -benar disadarkan gue kepingin jadi
sudah nggak ada kesempatan
lagi untuk jadi seperti mereka. Gue pikir, kenapa gue nggak berusaha menikmati hidup aja"
Kenapa gue harus memaksakan diri" Gue masih bisa menikmati bulutangkis, walau nggak terjun
Aku berusaha memahami kata-kata Sharleen, tapi nggak tahu kenapa, pikiranku seperti
-kata Sharleen Wiryono. Aku nggak mau semua
kalimat itu meresap ke dalam diriku. Aku masih belum bisa menerima bahwa aku sudah
kehilangan semua harapan....
*** Tanpa terasa, sudah tiga minggu aku dan Albert putus, dan hidupku makin terasa hampa.
Bukan, bukan gara-gara putusnya aku dan Albert, atau karena Albert sudah resmi jadian dengan
Nindy minggu lalu, tapi semata-mata karena aku hidup tanpa harapan dan impian lagi. Setiap
pagi aku hanya bangun dan melakukan rutinitas yang membosankan: mandi-berangkat-sekolahpulang sekolah-belajar-mandi-makan-tidur-bangun lagi, begitu terus setiap harinya. Hidupku
kosong seperti hidup Bella Swan setelah ditinggal Edward Cullen.
Lama-lama aku muak pada diriku sendiri. Sampai suatu hari aku ingat, sampai sekarang aku
belum tahu pasti apa alasan Mama melarangku masuk klub bulutangkis sewaktu aku kecil dulu.
Ya, sekarang aku sudah cukup besar. Mama pasti bisa menjelaskan alasannya, dan aku juga pasti
bisa memahaminya. Aku nggak mau kalau ternyata besok aku ketabrak angkot saat mau berangkat sekolah, aku
belum tahu apa alasan Mama melarangku masuk klub bulutangkis itu, bisa-bisa aku jadi arwah
penasaran karena masih ada urusanku yang belum selesai di dunia ini!
Mm... nggak segitunya sih... Tapi yah, pokoknya aku harus mencari tahu dari Mama saat ini
juga! Mama di mana ya sore-sore begini" Tadi sih waktu aku pulang sekolah...
Ah ya, pasti di kebun! Aku setengah berlari menuju kebun depan, dan ternyata dugaanku benar. Mama ada di sana,
sedang mengguntingi dedaunan kering dari tanaman-tanamannya yang memenuhi kebun.
-nimbang dalam hati. Apa aku serius mau
menanyakan hal ini ke Mama" Apa Mama bakal marah nanti" Karena aku meragukan apa yang
dipandangnya sebagai yang-dia-lakukan-demi-kebaikanku-sendiri"
bunganya. Duh! Salah sikon! Mama tuh paling nggak nyambung diajak ngomong kalau lagi
asyik berkebun. Bisasetelah memanggilnya tadi,
tapi tangannya masih asyik mengguntingi dedaunan kering.
Oke, now or never! Mama diam sejenak, tapi tangannya terus bekerja.
ya. Ngg... kayaknya bener deh, Mama nggak nyambung dengan pertanyaanku.
bilang Mama nggak Aku melongo selebar-lebarnya.
Aku meremas-remas tanganku dengan gelisah. Jangan-jangan habis ini Mama marah besar,
dan bakal melarangku ikut ekskul, atau nonton, atau suka lagi pada bulutangkis. Tapi aku harus
mencari tahu, apa alasan Mama dulu. Harus!
amu jadi atlet Aku mencelos, dan memutar kembali ingatanku ke saat itu. Aku, berumur sepuluh tahun,
minta Mama memasukkanku ke klub bulutangkis di dekat rumah. Mama bilang nggak boleh,
tanpa memberi alasan apa pun. Dan memang saat itu aku mau ujian kenaikan kelas...
Aku tersentak dari lamunanku, dan kembali ke masa sekarang. Mama berdiri di depanku,
menatapku lekat-lekat. nya waktu itu... setelah ujian, aku minta masuk klub,
setelah ujian selesai. Tapi waktu itu Mama kira kamu sudah hilang minat pada bulutangkis.
Aku terpaku di tempatku dengan mulut menganga lebar dan mata yang berulang kali
mengerjap. Jadi... itukah alasan Mama sebenarnya"
Hanya itu" Dan aku mengira, impianku sudah terkubur selamanya karena nggak mendapat restu
orangtuaku, padahal Mama melarangku masuk klub hanya karena aku memintanya sebelum
ujian kenaikan kelas"
Aku meraskaan dadaku sesak. Ini tidak benar. Rasanya aku akan lebih bisa menerima kalau
Mama bilang alasannya dulu adalah karena ia menganggap bulutangkis tidak akan memberikan
masa depan yang menjanjikan bagiku, atau karena Mama lebih suka aku jadi dokter, pengacara,
Impian terbesarku hancur hanya karena aku nggak mau meminta kejelasan pada Mama dulu.
Padahal kalau saja aku melakukannya, mungkin sekarang aku...
Aku tersentak, dan mengusir air mata yang menuruni pipiku secepat kubisa dengan tangan.
Dan aku berlari menghambur masuk ke kamarku, nggak keluar-keluar lagi biarpun Mama
memanggilku berulang kali.
*** Ketika akhirnya aku keluar dari kamar untuk mencari makan karena lambungku meraung-raung,
Mama sudah siap menginterogasiku. Tapi, sebelum Mama sempat menanyakan apa pun, aku
sudah berlari ke kulkas dan mengganyang donat J.Co yang kutemukan di sana dengan rakus.
ahal tadi Mama sudah panggil-panggil kamu untuk
Aku nggak menjawab, masih terus mengunyah donatku, merasakan potongan-potongan
kacang almond di lidahku.
Mama memberi isyarat supaya aku duduk di kursi pantry, dan aku tahu, itu berarti Mama
bakal mulai bicara serius denganku.
Nggak sampai satu menit, teh hangat sudah tersaji di hadapanku. Mama membuat es teh
untuk dirinya sendiri, dan mengambil sepotong donat lagi dari kulkas.
-basi, sebelum Mama mulai menginterogasiku. Entah
kenapa, aku merasa akan lebih baik kalau aku mengulur waktu pembicaraan ini sedikit. Mungkin
dengan begitu aku bisa lebih menenangkan diriku.
lagi. donat yang masih ada dalam mulutku dengan susah payah karena mendengar kalimat Mama itu.
tanpa semangat hidup... Aku tercekat. Rupanya Mama memperhatikan juga semua tingkah lakuku, padahal aku sudah
berusaha sebisa mungkin agar kelakuanku tidak terlihat aneh, dan agar aku tidak diinterogasi
begini. Tapi kayaknya kejadian tadi sore di kebun sudah menggagalkan segala usahaku untuk
berpura-pura normal. itulah yang melintas di otakku.
sama Albert. sore, kamu nangis gitu aja setelah nanya apa alasan Mama melarangmu masuk klub bulutangkis
dulu. Itu jelas nggak ada hubungannya sama Albert. Ada apa, Aya
Dan tanpa bisa dicegah lagi, aku menangis tersedu-sedu di hadapan Mama. Kenyataan bahwa
Mama bisa menebak apa yang sedang kurasakan, bahwa aku ada masalah dan berpura-pura aku
baik-baik saja, membuat tangisku pecah.
Mama memelukku tanpa mengatakan apa-apa, hanya membelai rambutku perlahan. Aku
seperti kembali ke masa kecilku. Di saat aku ketakutan karena ada hujan petir atau teringat filmfilm hantu di TV, aku selalu mencari Mama untuk minta dipeluk, dan setelah itu aku bakal
merasa aman dan tenang. Lalu aku menjelaskan masalahku pada Mama dengan tangis sesenggukan. Aku lega bisa
bercerita, tapi terselip juga rasa takut... jangan-jangan Mama kira aku bakal menyalahkannya,
karena memang bisa dibilang dialah yang membuat cita-citaku kandas begitu saja, walau aku
sama sekali nggak menyalahkannya.
Mama terdiam beberapa saat setelah aku selesai mengeluarkan unek-unekku, dan perasaanku
makin tak keruan. Apa jadinya kalau Mama marah padaku" Mama jenis orang yang jarang
marah, tapi sekalinya ngambek, ia akan sangat susah dibujuk dan diajak berdamai.
kamu kehilangan kesempatan untuk mewujudkan impian terbesarmu.
Mama terdiam lagi, dan sedetik kemudian aku melihat air mata mengalir turun di pipinya.
Aku syok, tapi tanganku refleks mengusap air mata di pipi Mama.
dan mau bertanya lebih jauh apa alasan Mama, semua ini juga nggak bakal terjadi. Tapi
-betul cinta sama bulutangkis, Mama pasti akan
membantumu mewujudkan cita-citamu. Tapi waktu itu kamu masih kecil, dan Mama kira kamu
-pa kok. Aku memang sedih, dan rasanya hampa banget sekarang
ini. Tapi aku tahu semua yang sudah terjadi sekarang adalah yang terbaik. Tuhan pasti punya
rencana lain yang lebih indah buat aku, Ma. Jadi Mama jangan menyalahkan diri Mama sendiri,
Mama mengangguk, dan aku merasa batinku perih. Kenapa aku ini" Kenapa aku jadi seperti
memojokkan Mama" Padahal ia sudah melakukan begitu banyak hal untukku sejak aku lahir.
Dan kalaupuns ekarang aku nggak bisa jadi atlet bulutangkis seperti yang kuinginkan,
memangnya kenapa" Aku toh masih punya kehidupan yang baik, keluarga yang utuh dan
berkecukupan, tubuh yang sehat, mungkins emua yang diinginkan cewek seumuranku. Kenapa
aku harus mengeluh" Lagi pula, jadi atlet mungkin nggak segampang dan seindah yang kubayangkan.
Indonesia Super Series 2008
SETELAH adegan curhat melodramatis yang terjadi antara aku dan Mama di pantry waktu itu,
rasa hampa di dalam diriku sedikit memudar. Bukan hilang seluruhnya, karena aku masih saja
suka cengeng mengingat cita-citaku yang nggak mungkin kuwujudkan lagi, tapi... time heals. Aku
sudah mulai bisa menerima kenyataan.
Sebagai kompensasi karena nggak mungkin lagi mengejar cita-citaku untuk menjadi atlet, aku
menenggelamkan diri dengan segala hal dan informasi tentang bulutangkis. Aku bergabung
dengan semua milis bulutangkis yang kutemui di Internet, juga dengan forum-forum pecinta
bulutangkis. Bukannya aku dulu nggak melakukan itu, tapi dulu aku sekadar join, lalu jadi
member pasif. Sekarang aku berusaha sebisaku jadi member yang aktif, termasuk ikut acara-acara
latihan bareng yang sering diadakan komunitas salah satu milis yang kuikuti.
Mama juga sekarang sangat mendukungku ikut kegiatan latihan-latihan seperti itu. Mungkin
sekarang ia ingin menyokongku masuk ke dunia yang kusukai itu, karena dulu ia tak
melakukannya. Bukan karena dulu ia tak mau, taip karena dulu Mama tak tahu aku serius soal
bulutangkis. Hebatnya lagi, Mama bahkan membelikanku raket baru, yang kuincar sejak dulu tapi belum
bisa kubeli karena harganya selangit. Raket itu Yonex ArcSaber 9


Badminton Freak Karya Stephanie Zen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

, yang biasa digunakan pemain-pemain sekelas Maria Kristin dan Xie Xingfang!
Aku nyaris nggak percaya waktu suatu siang sepulang sekolah aku menemukan bungkusan
berisi raket itu di atas tempat tidurku. Rupanya Mama diam-diam menyuruh Claudia
folder-folder di laptop-ku, tempat aku menyimpan banyak sekali foto dan informasi
tentang raket itu. Lalus etelah tahu raket apa yang sedang kuincar, Mama langsugn mencarinya
di toko perlengkapan olahraga, dan membelikannya untukku. Yes!
Kembali lagi ke kegiatan latihan bareng yang sering kuikuti sekarang ini. Jadi jagoan
bulutangkis di sekolah ternyata tak membuatku bisa memenangi sesi latihan yang diadakan dua
kali seminggu itu dengan mudah. Aku minim pengalaman, dan lawan-lawan yang pernah
kuhadapi paling hanya para sparring partner-ku di sekolah, sementara peserta-peserta lainnya
sudah sering berlatih bersama dan punya teknik permainan yang lebih matang. Ditambah lagi,
kebanyakan anggota latihan itu adalah bapak-bapak. Tapi mereka semua baik dan
memperlakukanku seperti anak sendiri, karena rupanya banyak juga yang memiliki anak
seumuranku. Tapi anak-anak mereka sebagian besar telah bergabung di klub bulutangkis sejak
kecil, malah banyak yang sekarang sudah ikut event-event ke luar negeri, dikirim oleh klub-klub
tempat mereka bernaung. Ada suatu kali aku iri sekali mendengar cerita Pak Yoso, yang anaknya dikirim mengikuti
International Challenge ke Paris oleh klub bulutangkis tempatnya bergabung, tapi aku
memendam rasa iri dan mupengku itu kuat-kuat. Baru setelah aku pulang dan sendirian di
kamar, aku tenggelam dalam tangis. Aku terus saja kepikiran, seandainya aku dulu masuk klub,
apakah aku bisa dikirim ikut turnamen-turnamen sampai ke luar negeri juga" Tapi aku tahu, itu
pemikiran yang bodoh. Nggak ada gunanya aku terus memikirkannya sekarang, toh itu nggak
bakal mengubah apa-apa. Hanya membuatku nggak bersyukur saja.
Tanpa kurasa, hari demi hari berlalu, dan tiba-tiba saja Djarum Indonesia Super Series sudah
di depan mata. Kali ini aku excited luar biasa menunggu event itu berlangsung, karena sekarang
sudah nggak ada lagi pacar bawel yang bakal mengomeliku jika aku tiap hari menyatroni Istora
untuk nonton bulutangkis. Dan Mama pun nggak akan cerewet lagi jika aku pulang malam garagara nonton bulutangkis. Mama malah memberiku uang jajan lebih supaya aku bisa beli tiket
kelas VIP untuk babak semifinal dan final. Horeeee!
*** Hari yang kutunggu-tunggu akhirnya datang juga. Aku berniat nonton Indonesia Super Series
ini mulai dari hari pertama. Pokoknya, aku nggak boleh kelewatan sedikit pun. Bakal menyesal
sampai nenek-nenek nanti!
Banyak orang yang baru akan nonton pertandingan kelas dunia saat sudah menginjak babak
semifinal atau final. Menurutku itu salah besar, apalagi kalau tujuan nontonnya adalah bisa
ketemu atlet-atlet terkenal untuk minta tanda tangan atau foto bareng. Di babak-babak puncak,
seperti semifinal dan final, biasanya pengamanan bagi atlet bakal sangat ketat, dan akan makin
susah menjangkaunya. Sementara kalau masih babak kualifikasi dan penyisihan, belum banyak
yang datang menonton, pengamanan pun jadi sedikit longgar. Kebanyakan atlet top yang sudah
selesai bertanding nggak langsung balik ke hotel, tapi tetap di Istora untuk menonton rekanrekan atau calon lawannya bertanding. Dan saat itulah mereka paling mudah untuk didekati!
Plus, mereka juga bakal bersikap super-ramah, karena sedang dalam suasana santai. Lain
ceritanya kalau mereka diburu saat akan bertanding di semifinal atau final. Jelas saat itu mereka
nggak akan menggubris, karena ingin fokus ke pertandingan penting yang bakal mereka hadapi.
Aku jenis pecinta bulutangkis yang nggak terlalu menggilai atlet-atletnya, lain dengan
Sharleen yang tergila-gila pada Simon Santoso dan Lee Yong Dae, pemain ganda putra Korea,
atau seperti si Wilson yang pecinta berat tunggal putri China, Zhu Lin. Aku menggilai
bulutangkis sebagai satu keseluruhan. Soalnya, menurutku nih ya, kalau kita menggilai atlet
tertentu, mungkin rasa suka kita pada bulutangkis bakal memudar jika si atlet pensiun atau
prestasinya mendadak jeblok. Itu sudah terbukti pada kasus Tante Sissy dan Tante Wenny
dengan Ricky Subagdja, hehe. Lain ceritanya kalau aku benar-benar suka pada bulutangkis.
Biarpun pemain-pemain lama pensiun dan muncul pemain-pemain baru, aku bakal tetap suka
bulutangkis. Bukannya aku nggak punya atlet favorit. Aku suka Lilyana Natsir, Maria Kristin,
dan Greysia Polii, tapi itu sebatas pemain favorit aja, karena aku suka gaya permainan mereka.
Aku tetap suka bulutangkis sebagai satu keseluruhan.
Hari pertama itu aku datang bareng Sharleen ke Istora. Wilson dan Charles beranggapan hari
ini belum akan seru karena masih babak kualifikasi, jadi mereka nggak ikut.
Aku dan Sharleen sampai di Istora jam dua siang, dan hanya tersisa beberapa pertandingan
yang bisa kami tonton, karena babak kualifikasinya sendiri sudah dimulai sejak jam sepuluh pagi
tadi. Pertandingan hari ini kebanyakan antar sesama pemain Indonesia yang memperebutkan
tiket ke babak utama. Banyak pemain yang bahkan harus bertanding dua kali hari ini, pada sesi
pagi dan sesi sore, karena meskipun peserta babak kualifikasi banyak, panitia hanya
menganggarkan satu hari saja untuk babak ini. Jadi kasihan juga sama pemain-pemain yang
bertanding dua kali dalam sehari itu. Tapi mereka memang dilatih untuk menjadi atlet andalan.
Stamina mereka benar-benar memungkinkan untuk bertanding dua kali sehari. Kalau aku sih
mungkin sudah teler. Hari kedua aku datang ke Istroa sambil, tentu saja, membawa tim penggembiraku. Kali ini
anggotanya lengkap, mulai dari Sharleen, Wilson, Charles, sampai Pak Richard pun ada. Dan
ada tambahan satu anggota lagi kali ini: Claudia. Aku nggak tahu pasti apa alasannya ikut. Dia
sih bilang kepingin ngerti tentang bulutangkis juga, tapi aku dapat bocoran dari Sharleen bahwa
Claudia ikut hari ini karena dia bernafsu sekali kepingin foto bareng Simon Santoso. Claudia
ingin memamerkan foto itu ke teman-temannya, terutama musuh abadinya, Amelia.
Ya ampun, anak itu... benar-benar anak yang aneh!
Berhubung turnamen ini diselenggarakan di negeri sendiri, yang berarti nggak perlu
mengeluarkan biaya transportasi dan akomodasi yang besar, Indonesia menurunkan banyak
sekali atletnya, termasuk para atlet nonpelatnas yang tergabung dalam salah satu klub
bulutangkis besar Indonesia, PB Djarum. Aku benar-benar senang, karena semakin banyak wakil
Indonesia, berarti semakin besar peluang Indonesia untuk juara! Nggak peduli deh pemain
Indonesia mana yang nantinya meraih gelar juara, yang penting orang Indonesia.
Aku sudah cukup pengalaman untuk nggak membeli tiket VIP untuk babak kualifikasi dan
penyisihan. Ngapain gitu lho, secara pas dua babak awal itu kan belum banyak penonton, jadi
yang beli tiket tribun pun bisa diam-diam duduk di bangku VIP karena nggak ada penjaga yang
mengawasi. Tapi hmm... kok tumben ya tiket babak kualifikasi dan penyisihan tahun ini dijual" Indonesia
Super Series tahun-tahun sebelumnya nggak pernah tuh menjual tiket kualifikasi dan penyisihan.
Tiket yang dijual baru tiket babak perempat final ke atas. Tapi mungkin ini karena pengaruh
Thomas-Uber Cup yang mahadahsyat kemarin, yang menghadirkan animo luar biasa, makanya
panitia menduga Indonesia Super Series kali ini pun bakal dijubeli penonton, hingga akan
menguntungkan kalau menjual tiket mulai babak-babak awal.
Aku baru saja mendaratkan bokongku di bangku Istora yang keras dan bersiap menonton
pertandingan antara Adrianti Firdasari dan Hwang Hye Youn dari Korea, waktu HP-ku
berbunyi. Ada SMS. From: Shendy-wartawan Shuttlers
Nonton Indo SS gak" Ato masih dihukum cwo lo"
Aku mesam-mesem membaca SMS itu. No way, Shen, gue sekarang udah nggak punya pacar
bawel yang bakal melarang-larang gue memuaskan kegilaan pada bulutangkis lagi!
To: Shendy-wartawan Shuttlers
Ntn dong! Gw udh pts sm cwo tengil itu, i"m free! :D Ini gw lg di
istora. Lo dmana, kok ga kliatan"
selesai membalas SMS Shendy. Tangannya menuding ke player area di seberang tempat kami
duduk. menoyor Claudia pelan. -goyangkannya dengan gaya
yang sangat menyebalkan. Persis gaya Lio minta dibelikan es krim kalau kami sedang di
supermarket. card nggak mendapatkan jawaban sesuai yang diharapkan dariku, Claudia beralih menanyai Sharleen.
Dasar anak rese! card bakal langsung manja semakin menjadi-jadi. Bikin aku bete setengah mati.
duduk-duduk di tribun. Nah, kita bisa nyamperin pas itu. Atau nanti deh gue minta tolong
temen gue yang ultimatumku. Aku melengos. Dasar, kalau ada maunya aja, baru deh dia muji-muji!
-sebut tadi. Aku membuka SMS yang baru masuk, dan ternyata benar dari Shendy.
From: Shendy-wartawan Shuttlers
Thank GOD! Hehehehehe. Gue di pinggir court 2 nih, kliatan gak"
Masih kerja, ntr ye ketemuan. Sharleen dll ikt ga"
To: Shendy-wartawan Shuttlers
Gpp, gw jg bersyukur kok :p hoo iya, beres deh. Ntr ya ktmuan.
Sharleen cs ikut kok. Ada adk gw jg nih. Dia ngebet pgn ft sm simon.
From: Shendy-wartawan Shuttlers
Blg ama ade lo, tgguin aja simon hbs main, ntr jg dia duduk di
tribun, samperin deh! ;) Atau kl bs, nanti gw bantu deh..
Aku menunjukkan SMS terakhir Shendy pada Claudia, yang langsung membuatnya
belingsatan kesenangan kayak orang kena serangan cacing kremi.
Yes, gue bakal foto sama Simon Santoso, yeeess
tinggi-tinggi, sampai beberapa penonton yang duduk di dekat kami menoleh. Ya ampun, anak
ini beneran bikin malu deh! Tahu begini, tadi nggak kubolehin ikut.
ikit campuran malu karena kami jadi bahan tontonan akibat tingkah konyol Claudia barusan.
maksudnya" Shar, maksudnya a
sekarang juga ikut cekikikan karena melihat wajah bingungnya.
dicekokin ginseng mulu sama pelatihnya. Indonesia Super Series kali ini dia nggak datang,
tawaku makin pecah. soalnya kali ini Korea cuma ngirim pemainClaudia ber-ria, sementara aku berteriak kesal karena melihat Firdasari baru saja kalah
dari Hwang Hye Youn di lapangan. Aduh! Hari ini saja sudah banyak sekali tunggal putri
Indonesia yang kalah. Mulai dari Maria Febe, Rosaria Yusfin Pungkasari, Maria Elfira, sampai
Firda. Mana nanti Maria Kristin bakal melawan Pia Zebadiah, yang berarti hanya akan ada satu
tunggal putri Indonesia yang tersisa di putara dua besok, hiks...
-lagi mengusikku. Dia nggak lihat
apa kalau aku lagi bete karena tunggal putri Indonesia sudah pada rontok semua" Masih mau
menggangguku dengan segala celotehan nggak pentingnya?""
Claudia menunjuk seorang cowok yang sedang bermain ganda putra di lapangan tiga, dan
tanpa perlu memutar otak pun aku sudah bisa memberikan jawabannya.
Aku memutar bola mataku dengan kesal. Claudia ini, dia sebenarnya datang ke sini mau
ngecengin cowok-cowok atlet yang bertanding ya" Sialan! Seharusnya aku bisa menebak
motivasinya itu sejak awal.
Semua cewek maniak bulutangkis seperti aku dan Sharleen pasti kenal nama Edward Satria,
salah satu pemain ganda putra paling hebat yang pernah dimiliki Indonesia periode tahun 2000an. Waktu itu Edward bersama pasangannya, Antonius Sujudi, menguasai hampir semua gelar
juara turnamen yang ada. Satu-satunya yang bisa menandingini mereka hanya ganda putra
Indonesia lainnya, Candra Wijaya/Tony Gunawan. Edward/Antonius berhasil menyabet tiga
gelar juara dunia berturut-turut, dan mungkin merekalah yang bakal menyabet emas di
Olimpiade Sydney 2000 kalau bukan karena cedera lutut parah yang dialami Antonius beberapa
minggu sebelum Olimpiade dihelat, yang membuat impian mereka untuk ikut dalam pesta
olahraga paling bergengsi sejagat itu kandas. Emas Olimpiade Sydney untuk ganda putra
akhirnya jatuh ke tangan kompatriot mereka, Candra/Tony.
Edward Satria dan Antonius Sujudi sekarang sudah pensiun, dan memilih karier sebagai
pelatih di Pelatnas Cipayung. Salah satu anak didik Edward adalah adik bungsunya sendiri,
Edgar, yang sedang bertanding sekarang ini.
Bukan rahasia lagi, dalam bulutangkis banyak kakak-beradik yang terjun bersama. Seperti
Indra, Candra, dan Rendra Wijaya. Juga Alan Budikusuma dan Johan Hadikusuma. Edward dan
Edgar Satria juga seperti itu, plus satu lagi saudara tengah mereka, Evelyn. Hanya saja, prestasi
Evelyn nggak berkembang seperti kakaknya, sehingga ia memutuskan berhenti di tengah jalan.
Sekarang yang tersisa hanya Edgar, dan dia pun belum menunjukkan prestasi berarti. Tapi aku
maklum, karena Edgar masih muda. Kalau nggak salah, satu-dua tahun di atasku, tapi di bawah
didikan kakaknya, aku berani bertaruh,
player one day. Cuma masalah waktu
aja. Aku memperhatikan permainan Edgar dan partnernya, Steven Hardono, yang sedang
melawan pasangan junior Malaysia yang nama di punggungnya tak bisa kulihat, karena
punggung mereka menghadap tribun seberang. Permainan Edgar/Steven mirip permainan
Markis Kido/Hendra Setiawan. Steven yang bertubuh pendek lebih aktif di garis belakang,
mengembalikan bola-bola tinggi dengan smash tajam, sementara Edgar yang tinggi justru
ditempatkan di depan net, untuk mematikan bola tanggung yang tak bisa dikembalikan dengan
sempurna oleh lawan akibat smash dari Steven.
Edgar/Steven bermain kompak, sampai-sampai aku terpesona meliahtnya. Seolah melihat
Pendekar Wanita Penyebar Bunga 15 Pendekar Naga Geni 23 Arca Ikan Biru Pahlawan Harapan 2
^