Pencarian

Mata Elang 6

Mata Elang Karya Hey Sephia Bagian 6


Niken tidak sempat mengerem langkah larinya. Ia menabrak punggung Sadu yang berhenti
mendadak. Masih terbawa momentum, badannya lalu terpental ke belakang. Sadu tidak tahu
Niken akan jatuh, sementara Niken juga tidak tahu bagaimana sampai kedua tangan Dion
yang sigap berhasil menyelamatkannya sebelum tubuhnya menyentuh tanah.
"Tubuhmu ringan sekali." kata Dion, masih belum melepaskan tangan kanannya yang ada di
kepala Niken maupun tangan kirinya yang di pinggang Niken. Saat itu Niken juga masih
menyandarkan hampir keseluruhan berat badannya pada kedua tangan Dion. Saat itu Niken
juga tidak mengerti maksud kata "ringan sekali" itu apakah pujian atau sindiran.
Sadu otomatis membalikkan badannya saat Dion menangkap Niken tadi. Ia melihat sinar aneh
di mata Dion, seperti melihat sisi Dion yang lain yang tak pernah dilihatnya sebelum ini. Dion
yang ia kenal tidak pernah menolong orang tanpa pamrih. Tindakannya selalu penuh maksud,
baik terselubung maupun nyata. Saat Dion menolong Niken tadi walaupun cuma masalah
sepele, ia jelas terlihat begitu tulus ingin menolong.
Pemandangan yang dilihat oleh Sadu saat ini sungguh aneh. Yang satu kakaknya, yang satu
wanita yang dicintainya, walaupun bukan miliknya. Harus diakui mereka berdua terlihat sangat
serasi. Keserasian yang unik. Dion yang putih, tinggi dan atletis, dengan Niken yang juga
putih, tapi mungil dan terlihat sangat kecil dibandingkan Dion. Kalau dilihat sekelibatan, Niken
terlihat tak berdaya dan Dion terlihat sangat melindunginya. Kalau Dion mau, membunuh
Niken mungkin mudah sekali seperti memelintir semut. Tapi kalau ditilik lebih lanjut lagi, Niken
justru terlihat seperti semut ganas yang siap menggigit. Tangan kekar yang sanggup
memelintir si semut ini justru nampak kalah tak berdaya di hadapan si semut.
Sadu membayangkan dirinya adalah Dion yang sedang memegang Niken, karena bentuk
tubuhnya memang mirip Dion. "Rupanya seperti ini kalau aku bersebelahan dengan Niken," ia
menggumam dalam hati. Ia lalu berharap Dion tidak cepat-cepat melepaskan Niken, karena
pemandangan itu dilihatnya begitu memabukkan. Bagaikan melihat dirinya sendiri yang
sedang memeluk Niken. Sekaligus pada saat yang bersamaan ia juga ingin Dion cepat-cepat
melepaskan Niken karena didera cemburu.
Tidak terlihat ada tanda-tanda Dion akan segera melepaskan Niken. Rupanya seperti Sadu,
Dion juga menikmati pemandangan indah yang sedang dialaminya, dan tidak ingin segera
keluar dari perasaan itu.
Dion teringat waktu masih kecil kalau hari panas ia sering mencuri-curi menceburkan diri ke
dalam bak mandi. Walaupun sudah berkali-kali dilarang dan dimarahi ibunya, tapi tetap saja
dilakukannya. Ia tahu salah, tapi berendam di dalam bak mandi sungguh mengasyikkan, ia tak
pernah berusaha menahan diri untuk tidak melakukannya. Justru karena dilarang itu juga
menambah keasyikannya. Ada kenikmatan tambahan karena tahu tidak boleh. Perasaan yang
dirasakannya saat ini hampir sama seperti waktu menceburkan diri ke dalam bak, hanya ini
seribu kali lebih indah. Mungkin kalau menceburkan diri berdua dengan Niken ke dalam bak
mandi, perasaannya akan sama seperti sekarang.
Sementara itu di pihak lain, Niken adalah satu-satunya orang yang bisa menganalisa kejadian
ini dengan akal sehat, karena dialah yang tidak dipengaruhi ataupun dibutakan oleh cinta. Ia
bisa berpikir dengan jernih. Kejadian kali ini membuatnya percaya kuat bahwa Dion tertarik
padanya. Entah seberapa tertarik, itu akan dapat dibuktikannya sendiri nanti. Yang jelas ia
harus bisa memanfaatkan keadaan ini sebaik-baiknya karena ini adalah tiket menuju
keberhasilan rencananya. Itulah sebabnya Niken juga tidak berusaha melepaskan diri. Hari lain dan dengan orang lain,
Sadu sekalipun, pasti ia akan cepat-cepat menarik dirinya dan melepaskan diri. Kali ini lain.
Tiba-tiba Niken merasa dirinya sudah berubah. Begitu manipulatif, begitu kejam. Kenapa dia
bisa berubah jadi begini" Mungkinkah karena itu Pandu tidak menginginkannya lagi"
Mungkinkah Pandu melihat perubahan besar dalam dirinya, sehingga Pandu tidak
mengenalinya lagi" Memikirkan hal itu, hatinya bergolak.
Niken tidak menyadari bahwa sebetulnya hatinya sama sekali tidak berubah. Setidaknya
sampai sekarang masih belum. Bahkan dalam pelukan orang lain sekalipun, yang ada di
otaknya cuma nama Pandu. Sadulah yang akhirnya pertama kali membongkar adegan yang seperti sudah berlangsung
seperti keabadian. Lama-lama kecemburuannya berhasil membunuh perasaannya yang satu
lagi itu. Ia menarik tangan Niken dan mengikuti gerakan itu, Dion otomatis melepaskan kedua
tangannya. "Lain kali kalau lari sama lihat jalan." kata Dion yang setelah "kembali ke alam nyata" jadi
kikuk, tidak tahu musti berkata apa untuk menyembunyikan kekikukkannya. Ia tidak ingin
Niken ataupun Sadu membongkar kelemahannya. Dion tidak sadar bahwa sudah terlambat
untuk menyembunyikan itu semua karena sudah sejak tadi Niken memperhatikannya.
"Ada apa kamu kemari?" tanya Sadu langsung pada pokok permasalahannya. Ia tidak suka
melihat kakaknya masuk ke dalam "sarang"nya. Seharusnya ia menyadari betapa Dion juga
tidak suka Sadu yang selama ini sering mencampuri dan mengganggu urusannya, bahkan
berusaha membuat cemar namanya.
"Aku kemari mencarimu. Ada yang penting ingin kubicarakan." Dion serius menatap Sadu. Ia
lalu menatap Niken, mengisyaratkan bahwa yang akan dibicarakannya adalah rahasia, dan
tidak ingin Niken mengetahuinya. Sadu juga menyadari maksud isyarat Dion itu, dan Sadu
juga tidak ingin Niken mengetahuinya kalau hal itu benar adalah rahasia. Biasanya yang
dibicarakan oleh Dion tidak layak untuk diketahui orang biasa. Apalagi yang rahasia.
"Maaf Niken. Kamu jalan duluan, deh. Nanti aku susul." ujar Sadu.
Niken mengangguk. Walaupun ini menguak rasa ingin tahunya, tapi ia berusaha menahan diri.
"Aku tunggu di depan sana, ya?" Niken menunjuk ke arah pintu gerbang.
Senyuman manis Dion dan anggukan Sadu mengantar Niken pergi. Setelah Niken berlalu,
cepat-cepat Dion mengajak Sadu duduk di bawah pohon yang rindang.
"Kamu tahu siapa Niken?" tanya Dion cepat.
Sadu tidak mengerti maksud Dion bertanya seperti itu. Ia tidak langsung menjawab.
"Maksudku, apa kamu tahu Niken sudah punya pacar, pacar lain selain kamu?"
Deg! Dari mana Dion tahu", pikir Sadu. Memang sulit menyembunyikan sesuatu dari kakaknya
yang mahatahu ini. "Tahu. Namanya Pandu. Dari SMA mereka pacaran. Tapi sekarang sudah putus." jawab Sadu
tegas. "Yakin sudah putus?" tanya Dion dengan nada menyelidik.
"Kalau kamu tidak percaya, tanya sendiri ke orangnya." Sadu menunjuk Niken yang berdiri
agak jauh bersandar di pintu gerbang.
"Jangan kuatir, aku pasti akan tanya dia juga. Aku ingin tahu jawabanmu dulu," Dion
membatin. Ia sudah cukup heran mendengar Niken punya pacar di Bandung. Ia mencium
ketidakberesan. Tapi tadi dilihatnya mereka berdua berkejaran dan bercanda, sepertinya
dugaannya keliru. "Mau aku panggilkan dia?" tanya Sadu lagi.
Dijawab dengan anggukan, Sadu lalu berteriak memanggil nama Niken. Niken berlari-lari kecil
menghampiri mereka. "Ini, rupanya Dion ingin menanyakan..."
Belum sempat Sadu menyelesaikan kata-katanya, Dion sudah mendahului berkata, "Siapa
Pandu" Apa hubunganmu dengannya?"
Niken terkejut, tapi dengan cekatan ia berhasil menyembunyikan keterkejutannya itu dengan
baik. "Seseorang yang sangat berarti bagiku. Yang membentuk kepribadianku. Karena dia lah aku
menjadi aku yang sekarang. Kalau bukan karena dia, mungkin aku tidak akan pernah
mengenal yang namanya cinta." Lancar sekali kata-katanya saat menjelaskan siapa Pandu.
Karena itu adalah kata-kata jujur yang keluar langsung dari dalam hatinya.
"Masih mencintainya?" tanya Dion menegaskan. Lucu sekali, bahkan Sadu tidak pernah
menanyakan hal ini padanya, malah Dion yang sekarang menanyakannya. Cara Dion
menanyakannya juga membuat Niken semakin yakin bahwa Dion menyukai dirinya.
Niken tersenyum pahit. "Meskipun aku mencintainya setengah mati juga tidak berhasil
membuatnya kembali padaku." Dari tadi yang dikatakannya tidak ada yang bohong. Dion pun
bisa merasakan bahwa semua yang dikatakan oleh Niken itu benar adanya. Dia cukup ahli
dalam menilai seseorang sedang membohonginya atau tidak.
"Jadi sekarang kamu benar-benar mencintai... mencintai Sadu?" tanya Dion. Ingin sekali ia
mengganti nama Sadu di kalimat itu dengan namanya sendiri. Tapi kalau itu dia sudah tahu
jawabannya adalah tidak. "Apa Niken perlu mengulang kotbahnya tentang berlian?" tanya Sadu berusaha ingin
menjawab pertanyaan untuk Niken. Dia tahu Niken sebetulnya tidak suka berbohong. Kalau
menjawab mencintainya, berarti Niken berbohong. Ia tahu Niken tidak mencintainya. Yang
dicintainya adalah Pandu.
"Aku tidak bertanya padamu." kata Dion. Ia merasa Sadu sengaja mengatakan hal itu untuk
mengingatkannya kembali bagaimana ia sangat terpikat dengan "berlian" itu.
Niken cukup bingung menjawab pertanyaan sesimpel itu. Kalau harus menjawab jujur, jelas
jawabannya adalah tidak. Tapi tentu saja ia tak bisa mengatakan tidak. Terkilas jawaban
terbaik menurut otaknya yang bekerja dengan keras.
"Kalau saja Sadu lebih mencintaiku daripada mencintai pelajarannya, tentu aku tidak akan
sesedih ini." Sadu sangat terperanjat mendengar jawaban Niken yang sangat di luar dugaannya. Walaupun
tidak mengerti arah yang dituju Niken, ia merasa Niken adalah kawan dan bukan lawan, jadi ia
bertekad untuk terus mendukung apapun yang dikatakan oleh Niken.
Sepertinya Dion juga tidak menduga jawaban Niken akan seperti itu. Ia baru saja akan
menyerah pada kenyataan bahwa Niken adalah milik adiknya seorang. Kenapa sekarang
seperti ada jendela yang terbuka saat pintu ditutup"
Dion lalu menatap ke arah Sadu, yang wajahnya tidak menyiratkan keterkejutan. Dion tetap
percaya Niken berkata fakta.
"Apa maksudnya?" Dion masih menatap Sadu, mencoba mendapat jawaban dari pihak lain,
sambil mengendus-endus apakah ada kebohongan.
"Benar. Aku memang bersalah, tidak pernah memperhatikannya, menganggap remeh dirinya.
Boleh dibilang aku lebih mencintai studi dan karir daripada dia."
Dalam hati Niken berpekik dengan girang. Kata-kata Sadu tadi cuma sekedar mengulangi
pernyataannya, hanya sedikit berubah dari kata-kata awalnya. Karena Sadu tidak mengetahui
maksud ucapan Niken, Sadu hanya bisa mengartikan, merubah dan mempermak kata-kata
Niken supaya menjadi tidak sama persis tapi keluar dari mulutnya sendiri.
Niken tersenyum dan sekilas menganggukkan kepalanya untuk memberi tanda pada Sadu
bahwa ia menyetujui pilihan kata-katanya. Dion tidak melihatnya karena masih memandang
wajah Sadu. "Kamu tidak mencintainya?" tegas Dion lagi.
Sadu semakin bingung. Hatinya terus meneriakkan bahwa ia sangat mencintai Niken, tapi
sepertinya ia harus meredamnya.
Sambil menatap Niken yang sedari tadi juga terus menatapnya, Sadu berkata, "Bohong kalau
aku bilang tidak mencintainya. Tapi aku harus merelakan dia untuk meraih kebahagiaannya
sendiri, karena sepertinya aku tidak bisa memberikan kebahagiaan padanya."
Bingo! Sadu memang cerdas, puji Niken dalam hati. Tidak mungkin Dion tidak mempercayai
kata-katanya sekarang. "Kalau kamu tidak mencintainya, bolehkah aku mencintainya?" tanya Dion pelan.
Mendengar itu, Niken dan Sadu sama-sama terkejut. Meskipun Niken sedari tadi sudah dapat
menebak bahwa Dion menyukainya, ia tidak menyangka Dion akan begitu berterus-terang
seperti itu. Apalagi Sadu. Keduanya lalu berbalik memandang Dion dengan wajah yang penuh
tanda tanya. "Benar," D ion mengaku. Ia bahkan mengaku pada hatinya sendiri kali ini. "Aku tertarik pada
Niken. Seumur-umur belum pernah ada seorang wanita yang membuatku seperti ini. Akan
tetapi, aku tidak akan meneruskannya kalau kau melarangku."
"Aku" Melarangmu" Punya hak apa aku melarangmu" Lagipula, kalau aku melarangmu,
apakah kau lantas benar-benar tidak akan mencintai Niken" Sejak kapan kau mendengarkan
kata-kataku?" Pertanyaan Sadu yang bertubi-tubi dikeluarkannya dengan nada sinis.
"Aku tahu. Selama ini sikapku sangat buruk, maafkan aku. Aku selalu merasa kau adik kecil
yang berusaha merusak semua rencanaku. Tapi kau mempunyai sesuatu,... " Dion menelan
ludahnya. "... seseorang... yang sangat aku inginkan. Kalau kamu mengijinkan, aku akan
sangat berterima kasih, dan aku akan berubah." Dion terlihat sungguh-sungguh berjanji.
Bahkan Niken pun percaya Dion tulus, terlihat tulus mencintainya.
"Hallo?"Niken menengahi. "Kenapa dari tadi tidak ada yang menanyakan padaku" Apakah aku
ini terlihat seperti barang yang bisa diperjual-belikan?"
Kedua pria itu terdiam, masing-masing tenggelam dalam pergelutannya.
Dion lebih bisa berani menghadapi Sadu daripada menghadapi Niken. Ia tidak berani
mengatakan pada Niken bahwa ia mencintainya. Ia takut akan dihadapkan pada kenyataan
bahwa Niken hanya mencintai adiknya seorang dan hatinya akan hancur berkeping-keping
mendengarnya. Sementara Sadu mulai paham akan maksud Niken. Tapi ia sebetulnya sangat tidak menyetujui
niatan Niken untuk bermain api seperti ini. Kalau salah langkah ketiganya bisa hangus.
Ketiganya, Niken, Dion dan dirinya.
"Lupakan saja kata-kataku tadi. Hapus saja, hapus." Dion akhirnya membuka suara. Rasa
takutnya membuatnya mengatakan demikian. Ia tidak ingin tambah merusak hubungannya
dengan sang adik yang sudah sulit diselamatkan lagi, sementara ia juga tidak ingin ditolak
mentah-mentah oleh Niken. Harga dirinya adalah hal yang sangat penting bagi dirinya.
"Aku pulang dulu," Dion lalu menambahkan, "Jangan lukai dia."
Niken dan Sadu masih melongo saja saat Dion beranjak pergi dari bawah pohon yang rindang
itu. Begitu bayangan Dion sudah tak terlihat lagi, Sadu cepat-cepat mencurahkan seluruh
kebingungannya dengan satu kalimat, "Apa maksudmu tadi, Niken?"
"Maksudmu, kenapa aku tiba-tiba ingin "putus" sama pacar gelapku?" Niken bertanya dengan
nada geli. Ia masih belum lupa bahwa cowok di depannya ini masih berhutang pukulan di
pantatnya. Tidak menjawab, tidak mengangguk maupun menggeleng, Sadu hanya terus memandangi
Niken dengan wajah yang meminta keterangan lebih lanjut.
"Karena aku yakin Dion menyukaiku. Kesempatan emas ini tidak akan aku biarkan berlalu
begitu saja. Apa kau juga tidak merasa bahwa Dion menyukaiku?"
Sadu merengut. "Terang-terangan dia menyukaimu. Dia bahkan bilang dia mencintaimu tadi."
"Aku menyadarinya sebelum dia mengatakannya" Niken membela diri. "Kau tetap akan
mendukungku, kan?" tanya Niken.
Wajah Sadu masih menampakkan ketidaksenangannya. "Lihat-lihat dulu," katanya kemudian.
"Berani"!" Niken sigap sekali tangannya sudah mendarat di bokong Sadu.
"Plaakk!" Sadu mendelik. Niken spontan tertawa. Sebelum Niken berhasil mendaratkan ceplesan satu
lagi, Sadu cepat-cepat lari sambil berteriak minta ampun.
* Tidak sulit bagi Niken untuk membuat Sadu mau mendukungnya kembali. Niken hanya tinggal
berjanji untuk belajar terus selama dua minggu ini sampai semua ujian selesai.
Maka dari itu Niken benar-benar giat membaca dan belajar selama dua minggu ini. Dia bahkan
sering pulang larut malam setelah seharian mengeram diri di perpustakaan, membaca bukubuku acuan yang tidak dimilikinya. Dia yakin ujian-ujiannya kali ini telah dilaluinya dengan
gemilang. Bahkan ujian Patologi Anatomi yang dilaluinya dengan curang itu pun sepertinya
tidak menimbulkan kecurigaan dari pihak Universitas. Permohonan Sadu untuk mendapat ujian
ulang juga sudah dikabulkan. Dia hanya mendapat tambahan satu tes praktikum minggu
depan, selain tentu saja mengulang ujian teori itu dengan soal-soal baru.
Mikrobiologi adalah ujian terakhir siang tadi. Sesiangan tadi Niken sudah merayakan
"kebebasannya" dengan teman-teman sekelasnya yang tadi ikut ujian Mikrobiologi, termasuk
Sadu. Sadu sekarang sering ikut Niken kalau ada acara kumpul-kumpul. Tadinya dia sama
sekali tidak peduli untuk bersosialisasi, tapi sekarang sedikit demi sedikit temannya di kampus
sudah bertambah berkat Niken. Pelan-pelan ia kembali menjadi Sadu yang dulu, yang periang
dan ceria. Belum sepenuhnya, tapi sudah terlihat tanda-tanda kesembuhan.
Baru jam setengah tujuh malam. Niken sudah mendapat nomor telepon Dion dan juga ijin dari
Sadu untuk menelepon kakaknya itu. Niken sudah dari tadi menekan nomor-nomor itu di
keypad handphonenya, tapi sudah hampir dua menit, ia masih belum memencet tombol OK.
Merayu cowok belum pernah menjadi sisi kuatnya. Sosialisasi, pelajaran, sport, adalah hal-hal
yang bukan merupakan masalah bagi Niken. Sebelum mengenal Pandu, dia bahkan tidak
menyukai topik percintaan. Saat berpacaran dengan Pandu, ia baru menyadari bahwa berbagi
kelelahan dan kegembiraan itu adalah hal yang sangat mengasyikkan, terutama dengan orang
yang dicintai. Tapi kalau disuruh mendekati pria, kalau tidak ada hal yang berhubungan
dengan pelajaran atau urusan band atau kepentingan lain, rasanya aneh sekali baginya.
Tapi ini juga penting, pikirnya. Niken percaya kalau ia melakukan sesuatu dengan sungguhsungguh, pasti hasilnya akan baik.
"Sekaranglah saatnya untuk belajar, Niken!" katanya dalam hati menyemangati diri sendiri.
Niken berdoa komat-kamit dan mengharap Wulan di alam sana akan melindungi dirinya, lalu
memencet tombol OK. "Hallo?" Dion sudah menjawab teleponnya. Suaranya di telepon lembut sekali seperti kasur
busa yang empuk. Sangat berbeda dengan suara Sadu yang serak dan garang.
"Dion?" tanya Niken. Menelepon handphone Dion, apa mungkin yang menerima adalah Sadu"
Pertanyaan bodoh tapi sepertinya dalam hubungan perteleponan adalah hal yang biasa.
"Betul, saya bicara dengan siapa, ya?" tanya Dion yang tidak mengenali nomor yang
meneleponnya. Dia juga masih belum begitu mengingat suara Niken.
"Ini Niken." jawab Niken singkat. Jujur saja jantungnya berdegup keras, semua kata-kata yang
sudah disusun rapi di otaknya buyar. Saat ini dia sedang mengutuki dirinya sendiri yang tidak
menulis kata-kata yang sudah direncanakannya tadi.
"Niken" Niken yang... temannya Sadu?" Pelan sekali suara Dion saat mengatakan "teman".
"Betul sekali. Kamu kenal berapa Niken memangnya?"
Dion tertawa. Ia terkejut sekaligus senang sekali ditelepon oleh Niken. Mungkin umpannya
waktu itu sudah dimakan oleh sang ikan, pikirnya.
"Nggak banyak, mungkin sepuluh atau lima-belas," jawab Dion sekenanya. "Ada perlu apa
meneleponku, manis?" tanyanya dengan nada rayuan.
"Hari ini adalah hari terakhirku ujian. Aku ingin pergi merayakannya, tapi teman-teman yang
ada di daftar nomor telepon di handphoneku sedang pergi atau sibuk. Aku ingat pernah
menanyakan nomor teleponmu, jadi aku meneleponmu."
"Bagaimana dengan Sadu?" tanya Dion.
"Apalagi dia. Di malam minggu begini dia lebih suka berdiam di perpustakaan, belajar. Sepi
katanya kalau perpustakaan di malam minggu, dia lebih bisa serius belajar." Niken tahu Dion


Mata Elang Karya Hey Sephia di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pasti akan menanyakan tentang Sadu, jadi tadi dia sudah berunding dengan Sadu untuk
memberikan jawaban yang tepat.
"Kau sedang sibuk?" tanya Niken lagi. Ia berharap Dion tidak menolak ajakannya. Pertama kali
mengajak keluar cowok dan ditolak akan membawa dampak negatif pada percaya dirinya.
"Untukmu, aku pasti akan meluangkan waktuku," jawaban Dion begitu enak didengar. Kalau
saja Niken tidak memasang tembok beton besar di hatinya, pasti sudah leleh mendengar
ucapan yang begitu manis.
"Kalau gitu kita ketemu satu jam lagi di arena bowling Plaza Senayan?"
"Aku belum makan," kata Dion. Ia sebetulnya tidak begitu suka didikte begitu, tapi jarang
ditemuinya ada wanita yang berani mendiktenya seperti itu, jadi ia tidak begitu keberatan.
"Bagaimana kalau kita makan dulu, steak suka?"
"Suka. Aku juga belum makan, koq. Tapi aku juga ingin main bowling. Makan di sana saja ya,
jangan jauh-jauh." "Baiklah, aku jemput saja. Minta alamat dong," kata Dion sambil mengambil pulpen.
Niken tidak ingin membantah. Rencana awalnya adalah bertemu di Plaza Senayan. Tapi ia
melihat tidak ada jeleknya dijemput dari kostnya, maka ia pun mendiktekan alamat kostnya.
* "Kamu nggak capek-capeknya membuatku surprised," kata Dion setelah selesai makan.
Mereka berdua sedang mengantri membeli frozen yoghurt. Saat makan berdua tadi ia merasa
Niken sangat sederhana tapi mempesona. Cahaya dari matanya bersinar-sinar saat ia
menjelaskan suatu hal yang disukainya. Tak ada satu detikpun pembicaraannya dengan Niken
yang membosankan. Semuanya sangat menyenangkan dan menarik hati. Dion bisa
memastikan Niken adalah gadis yang cerdas dan terpelajar, tapi sekaligus anggun dan sopan.
Gayanya begitu natural dan sama sekali tak terlihat berusaha untuk mendekatinya.
Dion sudah sangat terbiasa melihat wanita-wanita yang menyerahkan diri begitu saja padanya,
melihat Niken yang penuh energi dan memberi jarak justru lebih menarik baginya.
"Apa maksudmu?"
"Gadis mungil sepertimu bisa makan full baby back ribs, dengan kentang goreng dan salad.
Semua kau lalap habis, dan sekarang masih mau makan frozen yoghurt?"
Niken cuma tersenyum meringis memperlihatkan gigi-giginya yang berbaris rapi.
Mereka lalu asyik main bowling. Dalam sesi ini pun hati Dion tak henti-hentinya memberikan
pujian pada gadis yang ada di sisinya malam ini. Ia tidak pernah begini bersemangat saat
main bowling, atau main apapun, seks sekalipun. Bagi Dion ini lebih menggairahkan daripada
seks. Sungguh. Dion sering sengaja melemparkan bola dengan asal, karena dengan begitu ia selalu berhasil
memancing Niken untuk meledakkan tawa renyahnya. Niken lalu akan melangkah mengambil
bola bowling dengan gayanya seperti peragawati di atas catwalk, sambil mencibir ke arahnya.
Dion suka sekali melihatnya, tidak bosan-bosan.
Bisa ditebak karena sikap Dion yang demikian, akhirnya setelah main tiga game, ketigatiganya dimenangkan dengan mudah oleh Niken. Niken lalu mengejeknya dengan mengatakan
bahwa dia tidak pernah menang melawan laki-laki sebelumnya. Bahkan mengatai Dion lebih
lemah dari perempuan. Dion tersenyum dalam hati, "Kalau ia melihat kekuatanku, pasti
terkejut." Niken sendiri tidak menyangka akan bisa menikmati malam itu. Ia mengira malam ini akan
seperti menjalankan tugas, tapi Dion ternyata sangat ramah dan menyenangkan. Sesekali
Dion mengumbar rayuannya, yang membuat bulu kuduknya merinding, tapi secara mayoritas
dinilainya malam ini sangat menyenangkan.
* "Yah, sudah sampai di depan kostmu." Suara Dion terdengar begitu kecewa akan berpisah
dengan Niken. Niken tersenyum sambil memegang gagang pintu siap-siap akan melangkah keluar dari mobil.
Dion lalu menambahkan, "Aku senang sekali malam ini. Terima kasih. Aku sudah lupa kapan
aku segembira ini." "Aku justru yang mau berterima kasih. Malam yang indah. Terima kasih kau mau menemaniku
malam ini." balas Niken. Ia ingin berkesan sopan dan menghargai.
Dion lalu mendesah sambil berkata, "Semoga akan ada kesempatan lain bagi kita untuk
bersenang-senang seperti ini. Oh, sungguh aku sangat menyukaimu, Niken."
Niken melepas pegangannya dari gagang pintu, tidak jadi keluar.
"Begini saja." kata Niken setelah diam beberapa saat. Ia menoleh ke arah Dion dan
memandangnya lekat-lekat."Kalau kau memang serius, aku akan mempertimbangkannya."
"Aku tidak pernah tidak serius..."
"Tunggu.." potong Niken. "Aku belum selesai bicara. Kalau kau berhasil menemukan jawaban
dari teka-tekiku, baru kau boleh bicara lagi tentang ini."
Niken lalu mengungkapkan teka-tekinya sebelum akhirnya turun dari mobil meninggalkan Dion
termangu-mangu. Aku adalah dua ditambah dua
Aku dingin, aku hangat Sah dan tidak sah Kewajiban atau kesalahan Kadang dijual sebagai barang berharga
Tak berarti setelah pembelian
Anugerah yang luar biasa Akhir yang tak terelakkan
Dan mungkin juga menyenangkan
Bila didapat hasil paksaan
Apakah aku" * :: Sequel (Mata Elang) : Chapter 8
Matahari bersinar dengan terik, memberikan panasnya tanpa ampun bagi siapapun di belahan
bumi yang beruntung ini, termasuk bagi berjubel orang di pelataran UI yang sedang mengeluelukan band mereka yang pentas siang ini. Tapi sepertinya mereka tak ada yang protes. Niken
dengan senang hati mengiyakan waktu anak-anak band memintanya menjadi guest-drummer
untuk pentas sehari ini. Toh dia juga sudah tidak ada kerjaan. Seperti para penonton,
peluhnya ikut menari-nari dari pelipis turun sampai ke dagunya. Rambutnya juga basah kuyub
sebelum akhirnya diikatnya ke atas. Dia senang mendengar banyak orang masih meneriakkan
namanya, menambah semangat baginya untuk memukul drum. Betapa ia rindu suasana
seperti ini, di mana ia bisa lepas tanpa memikirkan apapun, hanya beat lagu yang ada di
otaknya. Kalau sudah begini, berjam-jam pun ia rela main drum sampai tangan-tangan
mungilnya kepayahan. Ia tidak habis pikir kenapa orang-orang bisa sampai kecanduan minum
obat sampai teler, karena pasti efek yang diberikan drumnya ini lebih hebat daripada efek
narkoba. Tadi waktu gantian ngedrumnya, ia sempat mengecek hpnya dan ada puluhan sms dari Dion
menanyakan keberadaannya, juga satu sms dari Sadu yang mengatakan bahwa Dion
mencarinya dan menyuruhnya untuk berhati-hati. Sadu juga bilang akan menontonnya siang
ini. Teringat akan sms-nya, Niken lalu mencari-cari Sadu di antara penonton. Tentu tidak begitu
sulit menemukannya menilik badan Sadu yang tergolong tinggi. Hanya satu yang menyulitkan,
Sadu tidak suka memakai baju berwarna cerah dan menyolok, jadi dengan baju hitam dan
celana hitamnya seperti biasanya, Sadu akan tenggelam seperti bayangan saja di antara
penonton segini banyak. Setelah mencari-cari beberapa lama, akhirnya ditemukannya juga Sadu, yang ternyata sedang
nangkring di atas pohon. Tepat dugaannya, ia mengenakan baju dan celana hitam,
mengingatkan Niken pada rekan-rekan kerja Sinterklas. Niken lalu melambaikan tangannya
untuk memberi isyarat pada Sadu bahwa ia tahu di mana dia berada. Sadu juga membalas
lambaiannya, lalu turun dari pohon dan berjalan ke arah panggung. Niken menunggu sampai
lagu selesai, lalu memberikan sticknya pada drummer penggantinya, memberi hormat dan
melempar ciuman pada penonton untuk kesekian kalinya, lalu turun lewat belakang panggung.
"Hoi, aku di sini!" teriak Sadu sambil melambaikan tangannya lagi.
Niken tersenyum, dengan riang ia berlari-lari kecil ke arah Sadu.
"Hebat kamu, kalau tahu kamu sehebat ini, aku nggak akan menyuruhmu berhenti," puji
Sadu. Ia belum pernah menonton Niken manggung sebelumnya, acara-acara seperti inilah
yang biasanya selalu dihindarinya.
Tersenyum lebar, Niken mempertontonkan gigi-giginya yang berbaris dengan rapi.
Sadu lalu menambahkan, "Sudah berjam-jam kamu memukul drum, apa gak loyo itu tangan?"
Lalu Sadu mengangkat kedua tangan Niken dengan kedua tangannya memegang pergelangan
tangan Niken. "Ini duniaku yang lain, di sinilah aku merasa nyaman. Tanganku masih kuat beberapa jam
lagi." "Sorry... aku telah merenggut kenyamanan dan dunia ini darimu," ujar Sadu sambil
melepaskan tangan Niken. "Nggak papa," kata Niken, menggeleng-gelengkan kepalanya. "Jujur saja saat itu aku sudah
jenuh karena dunia itu sudah merenggut duniaku yang lain. Seperti ini lebih baik, aku jadi
lebih bisa menghargai dan menikmatinya," lalu teriaknya kemudian dengan menghela napas
dan memejamkan matanya ke arah langit, "Oh, aku sangat senang sekali hari ini!"
Bisa terlihat adrenalinnya masih tinggi setelah bernyanyi dan memukul drum berjam-jam, dan
perkataannya tadi seperti meletupkan puncak adrenalinnya itu.
Sekitar dua-tiga detik kemudian, sebelum Niken sempat membuka matanya kembali, saat ia
masih menikmati letupan perasaannya, ia merasakan hangat di bibirnya. Seseorang sudah
mencium bibirnya. Kaget, tapi harus diakuinya ciuman itu dirasakannya begitu hangat dan
lembut. Ketika membuka matanya, ia semakin kaget karena ia menemukan Dion yang sedang
menciumnya. Mata Dion terpejam, tangannya merengkuh pinggang dan punggung Niken,
khusuk sekali. Niken terkejut juga melihat sikap Dion yang mendadak seperti ini, tapi ia lalu paham kenapa
Dion begini. Di tengah-tengah puncak adrenalin dan keterkejutannya, ia pun membalas
ciuman Dion. Tak sempat berkata apa-apa, Sadu bahkan tak tahu dari mana arah datangnya Dion, tiba-tiba
saja sudah muncul di hadapan Niken dan langsung menciumnya. Bahkan dia yang adiknya
sendiri pun tidak disapanya. Lebih heran lagi karena melihat Niken yang bukannya meronta
malah mengijinkan. Setelah beberapa saat berlalu, Dion melepaskan pagutannya dari bibir Niken, tapi kedua
tangannya masih berparkir di pinggang Niken.
"Betulkah jawabanku?"
Niken tersenyum dan mengangguk.
"Argh! Kau membuatku gila berhari-hari. Aku tak bisa tidur, kata-kata itu terngiang-ngiang di
telingaku sepanjang hari." Dion lalu melafalkan teka-teki Niken, kata per kata, tanpa dikurangi
ataupun ditambahi sedikitpun.
Aku adalah dua ditambah dua
Aku dingin, aku hangat Sah dan tidak sah Kewajiban atau kesalahan Kadang dijual sebagai barang berharga
Tak berarti setelah pembelian
Anugerah yang luar biasa Akhir yang tak terelakkan
Dan mungkin juga menyenangkan
Bila didapat hasil paksaan
Apakah aku" "Aku merasa bodoh sekali setelah menemukan jawabannya. Seharusnya aku bisa menebaknya
begitu cepat karena itu bukan hal yang asing bagiku. Tadi pagi waktu aku menyadari
jawabannya, aku sedang berendam di kamar mandi sambil memikirkanmu. Aku cepat-cepat
keluar bahkan hampir lupa memakai pakaian, dan berusaha menemukanmu untuk
memberikan jawabannya." Dion bercerita panjang lebar. Hari-harinya sejak bertemu Niken
waktu itu memang dilaluinya dengan penuh kekacauan, otaknya seperti tak ada isi lain kecuali
teka-teki yang dilontarkan oleh Niken. Jangankan dua ditambah dua, satu ditambah satu pun
dia mungkin tak tahu jawabannya.
"Ciuman. Sesimpel itu, aku memang begitu bodoh!" lanjutnya. "Setelah tahu jawabannya, aku
malah bertambah gila. Aku berulang kali meneleponmu dan Sadu, aku pergi ke kostmu untuk
menemuimu. Katanya kau sudah pergi sejak pagi. Aku bahkan sudah menyuruh anak buahku
untuk mencari tahu alamatmu di Semarang, siapa tau kau pulang ke sana. Waktu akhirnya
aku tahu kau ada di sini, aku sempat melihatmu dari jauh, kamu sedang berada di atas
pentas. Aku sudah lupa di mana aku memarkir mobilku, karena aku cuma ingat langsung lari
ke arahmu." Dion hampir tak mengambil nafas saat bercerita tadi. Ia lalu menghela napas
panjang. "Akhirnya aku menemukanmu. My God, Niken, aku nggak akan melepaskanmu lagi!"
Detik itu pula Niken merasa kedua kakinya sudah masuk ke dalam kubangan kerbau, dan akan
sulit buatnya untuk keluar dari kubangan itu tanpa kotoran di tubuhnya.
* Sejak peristiwa ciuman di pelataran UI itu, Niken secara resmi sudah menjadi pacar Dion. Dion
dengan bangga selalu membawanya ke mana-mana, baik ke acara penting seperti pembukaan
sebuah hotel bintang lima, ataupun hanya untuk menemaninya minum-minum di club. Niken
jadi terbiasa bertemu dengan "tamu-tamu" Dion.
Banyak trik-trik yang diajarkan oleh Sadu dahulu, juga diulang oleh Dion. Dion sangat
menyayanginya, ia tak akan membiarkan seorang pun berani mengganggu Niken, jadi Niken
merasa cukup aman. Trik-trik seperti "habiskan minumanmu sebelum turun ke lantai dansa,
atau kalau tidak bisa, setidaknya pesan minuman baru setelah dari lantai dansa, dan jangan
meminum dari gelas yang sama", atau "jangan mencampur minuman, kalau malam itu kau
minum bir, ya minum bir saja, jangan dicampur dengan yang lain". Dan masih banyak lagi
yang selalu diingat-ingat oleh Niken di belakang otaknya.
Hampir sebulan berlalu, peranan Niken dalam hidup Dion semakin besar. Berulang kali Dion
menyatakan niatnya untuk meninggalkan dunia gelapnya, yang selalu dijawab Niken dengan
senyuman. Dion terlihat sangat sungguh-sungguh, tapi Niken tidak tahu harus menjawab
bagaimana. Ia cuma ingin cepat menyelesaikan rencana balas dendamnya, dan kembali ke
kehidupan normalnya, maksudnya, sebelum ia bertemu dengan Dion.
Terhadap Niken, sikap Dion boleh dibilang sangat sopan. Niken mendengar banyak cerita dari
teman-teman dan anak buah Dion yang mengatakan bahwa mereka sangat heran melihat
Dion yang berubah sejak mengenal Niken. Mereka lebih heran lagi waktu tahu bahwa Niken
tidak tinggal di "rumah hijau" " sebutan mereka pada rumah Dion yang sekelilingnya memang
berpagar tanaman tinggi. Dion cuma tertawa waktu ada yang menyindirnya sudah tidak doyan seks lagi, karena
memang cuma itu tujuannya mengenal cewek sebelumnya. Sesudah manis sepah dibuang.
Sepenuh hati ia menunjukkan pada Niken bahwa dia tidak bermaksud seperti dengan gadisgadis yang sudah-sudah. Niken tahu itu, tapi ia masih saja memasang pagar beton yang
begitu tinggi, saingan tingginya dengan pagar tanaman di sekeliling rumah Dion yang megah
itu. Di lubuk hatinya, ia sudah mencap Dion sebagai orang yang berbahaya dan sebersitpun
masih tak ada niatan di hatinya untuk mencintai orang seperti Dion.
Sikap Niken itu pun dapat dirasakan oleh Dion. Sikap yang menghindar saat ia berusaha
berbuat lebih lanjut dari sekedar mencium. Bahkan Niken tidak mengijinkannya berlama-lama
mencium bibirnya. Dion menduga Niken masih tidak mempercayainya, dan ia sadar dengan
reputasi seperti miliknya, wajar bagi Niken untuk membuat batas seperti itu. Ia tidak marah
justru menghormati sikap Niken yang demikian. Sementara itu ia terus berusaha menunjukkan
pada Niken bahwa ia bisa dipercaya dan bahunya selalu ada untuk sandaran Niken. Tapi
semakin Dion terlihat berusaha, semakin Niken merasa bingung. Makin lama ia mengenal
Dion, ia makin merasa Dion seperti anak kecil yang polos dan tak berdosa, yang terperangkap
mainannya sendiri dan berusaha mati-matian untuk keluar demi dirinya. Ia sama sekali tidak
melihat Dion seperti setan yang diceritakan oleh Sadu. Kadang-kadang terkilas niatan di
hatinya untuk menyudahi semua ini dan melupakan semuanya, tapi hatinya berontak tiap kali
terbayang wajah lugu Wulan yang tergolek tak berdaya. Lagipula tidak sulit untuk
mendapatkan recharge energi untuk membenci Dion. Dia tinggal menghubungi Sadu, yang
selalu dapat diandalkan di bidang ini.
Niken juga masih sering memikirkan Pandu. Pandu sama sekali tidak pernah meneleponnya,
tapi melalui bekas teman SMAnya ia selalu mencari kabar tentang Pandu. Katanya Pandu
sekarang aktif sekali di kegiatan mahasiswa, bahkan dicalonkan untuk menjadi ketua dewan
mahasiswa. Mendengar itu, Niken lega, karena sepertinya hidup Pandu setelah kehilangannya
juga tidak menjadi lebih buruk.
Menilik hidupnya sendiri pasca Pandu, juga tidak terlalu mengenaskan. Niken tak tahu harus
merasa bangga atau malu pada dirinya sendiri. Bangga karena bisa terus hidup dengan normal
tanpa Pandu atau malu karena hal yang sama.
Dua minggu lagi kuliah akan mulai lagi. Walaupun jadwal semester depan belum keluar
semua, tapi Niken sudah bisa membau hawa tugas panjang yang menantinya.
Sebetulnya Niken ingin sekali pulang ke Semarang menengok Omanya karena sudah lama ia
tidak bertemu Oma, satu-satunya keluarganya yang tersisa. Oma sekarang sudah pindah ke
Semarang, karena menjagai adik-adik tirinya yang juga pindah dari Malang setahun yang lalu.
Tapi kalau bertemu Oma, pasti Oma akan menanyakan tentang Pandu, dan ia tak tahu harus
menjawab bagaimana. Haruskah ia mengatakan ia sudah putus dengan Pandu, kalau iya, apa
sebabnya" Ya, apa sebabnya" Kalau mengatakan hal yang sebenarnya dan menceritakan
tentang Dion, pasti Oma akan kuatir sekali.
Niken terpaku memandangi halaman terakhir diarinya. Akhir-akhir ini ia jarang menulis di situ,
karena paranoid orang lain akan membacanya. Ia hanya sering menggambar-gambar apa
yang dirasakannya. Seperti kemarin, setelah sorenya dicium oleh Dion, ia menggambar tulang
anjing yang membusuk terkubur di tanah. Hanya ia yang tahu bahwa tulang anjing itu adalah
dirinya, sebagai barang yang sangat diinginkan oleh anjing, tapi terkubur di tanah dan tak
tahu kapan akan berhasil ditemukan dan digigit oleh si anjing. Akankah nanti si anjing marah
karena menemukan tulangnya sudah menjadi busuk"
Hari ini ia menggambar elang. Elang yang mengepakkan sayapnya lebar-lebar dengan
matanya yang indah dan cemerlang. Elang itu tentu saja melambangkan Pandu, Pandu yang
sangat dirindukannya. Ia masih terus memandangi gambar elang yang baru saja selesai dibuatnya, ketika kemudian
didengarnya suara ketukan dari luar pintu kamarnya.
"Pandu"! Ada apa kamu kemari?" Walaupun hati Niken girang, otaknya memberi signal
terkejut ke seluruh organ tubuhnya.
"Aku sendiri juga heran kenapa aku akhirnya kemari." Walaupun Niken geli melihat Pandu
bengong di depan pintu, tapi ia mempersilahkan Pandu juga untuk masuk dan duduk. Pandu
duduk di kursi meja belajar Niken.


Mata Elang Karya Hey Sephia di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku butuh bantuanmu."
"O ya" Bantuan seperti apa?"
"Cuma kau yang bisa membantuku."
"Jangan berbelit-belit seperti ini, kau tahu dengan begitu cuma akan membuatku penasaran."
"Baiklah. Begini," kata Pandu meneruskan. "Sebenarnya aku mau pulang ke Semarang, besok
hari Minggu kak Adit mau merit. Tapi..."
"Tapi?" tanya Niken tidak sabar. Pandu terlihat aneh sekali hari ini.
Pandangan Pandu lalu tertumbuk pada gambar elang di buku harian Niken. Niken baru sadar
belum menutup buku hariannya hanya setelah melihat Pandu menatap ke arah buku harian
itu. Niken cepat-cepat menutup buku keramatnya itu dan mengambilnya dari atas meja dan
mendekapnya erat-erat di depan dadanya.
Cuma sekilas saja melihatnya, tapi Pandu langsung tanggap bahwa Niken sedang memikirkan
dirinya. Kalau Niken menggambar burung yang lain, mungkin dia tidak akan berpikir begitu.
Tapi karena yang digambar adalah elang, tidak mungkin elang itu berarti orang lain. Untung
Niken cukup bisa menggambar, jadi gambar elangnya tidak mirip ayam, tapi benar-benar mirip
elang. Kecuali itu adalah ayam yang sedang menyaru jadi elang. Yang jelas hanya dengan
melihat gambaran itu, Pandu jadi punya kekuatan dan kepercayaan diri untuk melanjutkan
kata-katanya. "Tapi aku belum bilang sama keluargaku kalau aku sudah putus sama kamu, dan aku juga
belum siap untuk bilang saat ini. Sorry Niken, aku tahu ini bodoh sekali, tapi aku sungguh..."
"Jadi kau ingin memintaku untuk ikut bersamamu ke Semarang untuk hadir di pesta
perkawinan kak Adit?" Niken menyela dengan nada girang. Tentu saja dia mau. Tidak usah
ditanya alasannya pun ia akan mau.
Pandu mengangguk. "Aku tahu kau pasti menganggapku bodoh sekali," katanya hendak
mengulangi kalimat sebelumnya yang belum selesai sudah dipotong oleh Niken. "Tapi pasti
pertanyaannya jadi macam-macam, "Kenapa kamu putus sama Niken?" saja udah pasti
membuatku bingung menjawabnya."
Niken lalu mengambil tas dari bawah ranjang dan kemudian sibuk mengisi tas itu dengan
baju-bajunya. "Niken" Kamu ngapain?" tanya Pandu bingung.
"Packing! Kita berangkat secepatnya," jawab Niken sambil terus sibuk memilah-pilih bajunya.
"Pergi ke mana?" tanya Pandu dengan nada yang bertambah bingung.
"Ke Semarang, sayang! Bukannya kamu bilang mau ke Semarang?"
Pandu jadi ingat gadisnya ini memang sering membuatnya surprise, dan betapa ia kangen
surprise-surprise kecil yang dilakukan Niken tanpa disadarinya. Ia mengira akan sulit
membujuk Niken untuk ikut pulang ke Semarang, apalagi berpose di sana sebagai pacarnya
dan berakting untuk menunjukkan bahwa hubungan mereka baik-baik saja, tapi ternyata
tanpa membantah Niken langsung menyetujuinya. Malah bersemangat sekali langsung ingin
pulang. "Mana yang lebih bagus" Rok pink kembang-kembang, atau merah, atau yang hitam ini?"
tanya Niken yang lalu melemparkan rok-rok itu ke atas ranjangnya.
Pandu memandangi rok-rok itu, sambil bolak-balik memandang Niken, seperti ahli fashion
yang sedang akan memberikan penilaiannya.
"Yang hitam jelas jangan. Kayak mau ke pemakaman aja. Yang kembang-kembang... bagus,
tapi rasanya pernah kau pakai di acara keluarga sebelumnya. Yang merah perfect deh, cocok
banget buat kamu, dan aku belum pernah melihatmu pakai baju itu."
Niken lalu melipat rok merah itu dengan hati-hati dan memasukkannya ke dalam tas.
"Siap!" Tidak ada dua menit packing, Niken sudah siap dengan semangat empat-lima.
"Jujur aja aku nggak menyangka bakal semudah ini membujukmu," kata Pandu kemudian.
"Tenang, aku nggak semudah itu," kata Niken. "Kau juga harus menemaniku ketemu Oma."
"Jadi... Oma juga belum tahu...?"
Niken menggeleng sambil tertawa cekikikan.
Berdua mereka lalu berjalan ke halte bus sampai stasiun Gambir naik kereta yang membawa
mereka ke Semarang. * "Kamu jangan mau pergi lantas pergi, dong!" Dion kesal saat menelepon Niken karena tidak
menemukannya di kost. Saat itu kereta sudah hampir sampai di Semarang.
"Sorry, aku pikir kau tidak akan melarang, aku sudah kangen sekali ingin bertemu Oma. Juga
ada undangan kawinan. Besok Senin aku sudah pulang lagi, koq." Niken bahkan tidak ingat
untuk menelepon Dion terlebih dahulu.
Dion cemberut. Ia baru saja membeli mobil baru. Maserati Spyder GT. Ia ingin membawa
Niken jalan-jalan naik mobil barunya ini. Tak tahunya Niken malah sudah pergi ke Semarang.
"Undangan kawin kenapa tidak mengajakku?" Dion masih merajuk.
"Aku ingin berdua saja dengan Oma. Kita sudah bersama terus hampir setiap hari akhir-akhir
ini." Niken berusaha memberi alasan, tapi akhirnya dia menyadari bahwa jalan terbaik untuk
keluar dari masalah ini adalah dengan merayu Dion. "Ayolah, nanti aku belikan oleh-oleh
cemilan enak dari Semarang."
"Duh!", seru Niken pada dirinya sendiri. "Apa tidak ada rayuan yang lebih bagus selain
makanan?" Diliriknya Pandu yang duduk di depannya, yang sedang tersenyum. Waktu ia mengucapkan
kata-kata yang barusan, ia bisa mendengar Pandu terkikik tertahan. Untung tidak keras, dan
Niken bisa memastikan Dion tidak mendengarnya.
"Janji" Belikan aku bandeng presto, lumpia, dan wingko babat. Dan yang lain-lain yang enakenak?" tanya Dion masih dengan nada merajuk.
"So pasti. Nanti aku belikan pia kemuning juga." Niken geli, rupanya rayuan makanannya
cukup jitu. Mungkin memang benar orang bilang jalan ke hati pria adalah melalui perutnya.
"Baiklah kalau begitu," Dion akhirnya menyerah. "Sepertinya aku harus menemukan kegiatan
lain tanpamu kali ini. Telpon aku tiap hari, ok?"
Setelah menutup teleponnya, Niken langsung menendang tulang kering Pandu. "Sudah berani
ngetawain aku yah?" katanya galak.
"Ha ha, dari dulu juga berani," ujar Pandu. Rupanya ia tidak pernah takut pada kegalakan
Niken yang jelas pura-pura itu.
Niken kembali menendang tulang kering Pandu di daerah yang sama.
Pandu mengaduh keras. Kali ini Niken benar-benar menendangnya dengan sekuat tenaga, dan
itu berarti pasti nanti akan benjol tulang keringnya ini. Minimal membiru.
"Ampun deh. Kamu tambah galak aja, Fei."
Pandu terkejut dia masih memanggil Niken "Fei". Niken juga terhenyak saat mendengarnya,
tapi ia pura-pura tidak mendengar.
"Itu tadi Sadu?" tanya Pandu mencoba mengalihkan pembicaraan supaya tidak membahas
kecerobohannya memanggil Niken dengan panggilan kesayangan barusan.
"Bukan." Pandu heran. Kalau bukan Sadu lantas siapa lagi" Ia menunggu sesaat kalau-kalau Niken akan
meneruskan atau menjelaskan lebih lanjut. Tidak ada tanda-tanda seperti itu.
"Lalu siapa?" Pandu tidak sabar lagi ingin mendapatkan kejelasan dari Niken.
"Dion." Lagi-lagi jawaban yang singkat.
"Dion?" Pandu memikirkan nama itu sejenak. "Dion yang kakaknya Sadu?" tanyanya
terperanjat setelah menyadari siapa yang dimaksud Niken.
"Ternyata ingatanmu masih oke juga," Niken cuma menjawab pertanyaan Pandu dengan
sindiran. "Serius nih, kamu pacaran sama Dion" Dion Sahara?" tanya Pandu memastikan. Ia masih tidak
percaya Niken segila itu.
Niken tidak suka pada nada yang digunakan oleh Pandu. Seakan dia manusia bodoh yang
tidak mengerti benar dan salah.
"Rasanya aku tidak perlu menjelaskan padamu. Kamu itu siapaku?" Niken terkejut sendiri
mendengar kata-katanya yang begitu pahit. Ia yakin hati Pandu pasti tertusuk mendengar ini.
Sedetik kemudian ia menyesal telah mengatakan hal itu, tapi yang sudah dikatakannya tak
bisa ditelan kembali. Benar, Pandu juga tidak menyangka Niken akan berkata seperti itu. Ia mengira walaupun
statusnya sudah bukan pacar Niken, tapi ia masih tetap orang terdekat Niken yang masih
berhak mencampuri urusan dalam negerinya.
"Maaf, aku tidak tahu aku sudah melanggar batas. Mungkin karena aku belum biasa..." kata
Pandu berusaha menjernihkan suasana.
Mereka lalu tidak berkata apa-apa lagi satu sama lain sampai di Stasiun Poncol di Semarang.
Niken tidak bisa menolak keinginan ayah Pandu yang datang menjemput mereka untuk
mengantarnya pulang. Niken sudah berusaha bersikap sesopan mungkin pada ayah Pandu,
mungkin bahkan lebih sopan dari biasanya, tapi Niken bisa menebak ayah Pandu pasti dapat
mengira mereka berdua sedang bertengkar karena sama sekali tidak melontarkan satu kata
pun pada yang lain. Niken sedang tidak mood untuk memperbaiki sikapnya dan dalam hal ini
dia bisa jadi sangat keras kepala.
Sementara Pandu tidak berkata apa-apa karena cuma tidak ingin mereka sampai bertengkar di
depan ayahnya. Ia juga sudah biasa dengan sikap Niken yang kekanak-kanakan seperti ini.
Pandu tahu, dengan beberapa kalimat manis biasanya Niken pasti akan takluk dan hilang
kesalnya. Tapi ia juga sedang tidak mood untuk berkata apapun, terutama karena merasa
tersingkir dari hidup Niken.
* Besoknya, sekitar jam sembilan pagi, Pandu sudah menongolkan diri di depan rumah Niken. Ia
sudah bertekad untuk menghilangkan kekakuan yang terjadi kemarin.
Niken sendiri yang membukakan pintu depan. Semalam hatinya juga sudah nyaman hanya
dengan tidur bersama nenek tersayangnya. Tidak banyak yang mereka perbincangkan, tapi
hanya dengan berada di situ ia sudah bisa melepas semua rindu dan lelahnya.
"Masih marah?" tanya Pandu.
"Aku kira kamu yang marah," balas Niken sambil tersenyum. Niken tidak tahu betapa leganya
Pandu melihat senyuman Niken pagi itu.
"Mana pernah aku bisa berlama-lama marah sama kamu?" Pandu rupanya masih belum
terbiasa untuk tidak melontarkan godaan-godaan ringannya. Tapi Niken cuek saja. Hatinya
pun jingkrak-jingkrak kegirangan melihat Pandu hari ini.
"Ke rumahku, yuk," ajak Pandu. "Kukenalkan dengan calon istri kak Adit. Cantik lho."
"Aku yakin pasti cantik. Kak Adit juga ganteng begitu."
"Gantengan mana yah sama adiknya?"
"Gantengan dia, tapi centilan kamu." Niken tergelak. Ia sampai lupa Pandu masih berdiri di
depan pintu pagar, belum masuk ke dalam.
"O ya, kamu nggak mau bertemu Oma dulu?"
"Oh, hampir lupa, aku juga punya tugas, ya?" Pandu mengedipkan sebelah matanya, lalu
masuk. Pandu selalu senang ngobrol dengan Oma, ia merasa Oma seperti orang tua yang
terperangkap di masa mudanya. Wajah dan tubuhnya memang menunjukkan tanda-tanda
penuaan, tapi hati, gairah dan semangatnya masih tetap seperti anak muda. Pandu juga
mengundang Oma juga adik-adik tiri Niken untuk datang semua pada pesta perkawinan
kakaknya, yang sudah jelas disanggupi dengan senang oleh Oma.
Di tempat lain, di rumah Pandu siang itu, seperti biasanya Niken bergaul dengan akrab dan
leluasa dengan keluarga Pandu yang sudah dianggapnya sebagai ekstensi dari keluarganya
sendiri. Niken dan Pandu juga habis-habisan digodai oleh keluarga Pandu saat ayah Pandu
menceritakan bagaimana mereka berdua kemarin marahan saat datang di Semarang. Keluarga
Pandu bergantian membujuk mereka untuk mengatakan perihal apa yang membuat mereka
bertengkar kemarin, tapi Pandu dan Niken cuma saling tersenyum dan saling memandang
penuh arti, yang justru membuat keluarga Pandu jadi tambah semangat menggodai mereka.
"Betul katamu, Ndu, calon istri kakakmu memang cantik sekali," ujar Niken saat Pandu
mengantarnya pulang. "Itu belum seberapa. Aku kenal cewek yang lebih cakep dari dia." kata Pandu berlagak tak
peduli. "Ya, aku tahu. Aku kan?" kata Niken dengan gaya pedenya.
Pandu tertawa terbahak-bahak sampai air liurnya muncrat ke dashboard.
"Jijik ah, nih lihat, ke mana-mana." Niken lalu mengambil tissue dari tas kecilnya dan
mengelap dashboard yang sudah menjadi tumbal tawa Pandu barusan.
"Apa aku memang sebegitu gampang ditebak?"
Niken mengangguk. Memang ia merasa tidak pernah kesulitan menebak yang dipikirkan
Pandu. Kecuali saat Pandu datang ke Jakarta yang terakhir kali itu.
"Tapi aku justru senang kalau kau bisa mudah menebak hatiku."
Beberapa saat kemudian, Pandu melanjutkan, "Tahu nggak, sejak putus denganmu, aku jadi
tahu lebih banyak apa artinya cinta."
Niken diam saja. Sejak putus dengan Pandu, ia justru pacaran dengan orang yang dibencinya,
jadi apa itu cinta rasanya justru menjadi definisi yang buram buatnya.
Pandu meneruskan lagi, "Cinta bagiku, adalah mengetahui aku tetap merasakan hal yang
sama dengan atau tanpa status pacar. Aku tetap sayang, dan kadarnya tidak berkurang
sedikitpun." "Kamu pasti ingin tahu apakah aku juga merasakan hal yang sama, ya kan?" Niken bisa
menebak arah pembicaraan Pandu.
"Aku berharap aku tidak bertepuk sebelah tangan. Tapi aku memang ingin tahu."
"Kalau pertanyanmu adalah apakah aku masih mencintaimu, jawabannya adalah iya. Nggak
ada orang lain yang kucintai selain kamu. Tapi jika lalu kamu bertanya apakah aku mau
pacaran lagi denganmu dan mengembalikan status kita, jawabannya, aku nggak tau."
Melihat Pandu cuma menatapnya tanpa berkedip, Niken lalu berkata lagi, "Statusku sekarang
adalah pacar Dion. Sekalipun aku nggak mencintainya, tapi aku harus menyelesaikan ini dulu,
dan sebelum selesai, aku nggak bisa kalau kamu menginginkanku untuk melepaskannya. Bila
kamu menganggap aku nggak tulus mencintaimu gara-gara ini, ya itu pandanganmu. Aku
nggak bisa bilang apa-apa."
"Kalau begitu, berjanjilah dua hal padaku." kata Pandu tahu ia tak dapat membelokkan
kekerasan hati Niken. "Anggap saja aku sudah berjanji." kata Niken sungguh-sungguh.
"Berjanjilah untuk selalu berhati-hati. Dan berjanjilah untuk datang padaku kalau kau
membutuhkan pertolongan."
"Kamu percaya aku cinta kamu?" tanya Niken.
"Aku percaya kamu cinta aku, nggak lebih sedikit dari cintaku padamu."
* Begitulah selama di Semarang, walaupun tidak dengan status pacaran, mereka tetap pergi
berdua ke mana-mana, bahkan sekali naik sepeda waktu Niken mau mencari oleh-oleh buat
Dion. Dalam hati mereka masing-masing merasa bersyukur karena masih diberi kesempatan
untuk bersama. Kalau ditanya jujur, mereka sama-sama tidak tahu bagaimana harus memberi
definisi hubungan mereka saat ini. Pacaran bukan, teman lebih. Niken sempat berpuitis
mengolok-olok hubungan mereka sebagai "belahan jiwa yang terpisah", yang dibalas Pandu
dengan jitakan lembut di jidatnya.
Pandu juga pulang ke Bandung lewat Jakarta. Akan banyak menimbulkan pertanyaan bila
Pandu langsung pulang ke Bandung dan Niken ke Jakarta. Untuk menghindari pertanyaanpertanyaan yang tidak perlu, mereka sepakat untuk naik kereta barengan dari Semarang ke
Jakarta, baru Pandu melanjutkan naik kereta dari Jakarta ke Bandung. Tapi karena di Stasiun
Gambir Niken dijemput oleh Dion, Pandu hanya bisa menyaksikan Niken pergi dari jauh.
Sore itu Dion menjemput Niken dengan Maserati anyarnya yang berwarna biru tua mengkilap.
Dion mengira Niken berpekik senang karena menyukai mobil barunya, tapi sebetulnya itu
karena Niken merasa rencananya sebentar lagi akan dapat terlaksana. Niken tahu sebagian
besar uang untuk membeli mobil ini pastilah didapat dari uang muka yang diberikan oleh
pembeli kelas kakap yang dari Medan. Berarti transfer uang muka itu sudah diterima.
Walaupun masih belum ditetapkan tanggal dan jamnya, minggu depan adalah serahterimanya. Niken masih ingat dengan jelas pembicaraan Dion di telepon dengan encik Medan
itu. Satu transaksi dengan encik Medan itu sama artinya dengan tidak usah bertransaksi lagi
selama setahun. Menurut penuturan Dion, encik itu jarang menghubunginya, tapi sekali
transaksi selalu dalam jumlah besar. Ini baru akan pertama kali encik itu bertransaksi
dengannya. Dulu seharusnya sudah pernah akan jadi transaksi dengan si encik, dan jumlahnya
pun hampir sama dengan yang kali ini, tapi karena satu atau lain hal, menurut Dion adalah
karena kompetisi, pesanan itu dibatalkan.
Setiap kali ada berita baru, baik dirasanya penting atau tidak penting, Niken selalu
mengkonfirmasikan dengan Sadu. Tak terkecuali hal ini. Sadu bilang, dia ingat memang dulu
encik itu pernah akan membeli barang dari Dion, tapi waktu menyelidiki untuk menjebak Dion,
mata-mata encik itu mengetahui jejaknya. Karena itulah encik itu tidak jadi memesan karena
mengira Sadu adalah antek polisi.
Niken dan Sadu sudah menyusun rencana rapi untuk menyingkap jaringan Dion dengan
menggunakan kesempatan ini. Kalau sudah ditetapkan hari dan waktunya, Sadu akan
menghubungi temannya yang ada di dalam badan kepolisian untuk mempersiapkan segala
sesuatunya. Niken merasa akhir petualangannya sudah dekat. Ia sudah tidak sabar lagi ingin
mencicipi arak kemenangannya.
Tapi di lain pihak, karena Dion mendapatkan banyak uang kali ini, ia membanjiri Niken dengan
hadiah dan perhatiannya. Yang paling penting, Dion jadi punya lebih banyak waktu untuk
dihabiskannya dengan Niken. Hal ini membuat Niken semakin merasakan sisi baik Dion. Niken
sadar, kalau dia adalah dirinya yang biasanya, tanpa benteng tinggi di hatinya itu, mungkin
saat ini sudah luluh pada semua kebaikan Dion.
* "Mau ke mana lagi kita hari ini" Kemarin sudah main di kebun binatang mengunjungi nenek
moyang seharian, masih belum puas?" tanya Niken siang itu.
"Aku ingin mengajakmu ke tempat yang aku sering ceritakan. Ke tempat anak-anak manis
itu." Tempat anak-anak manis itu adalah sebuah yayasan sosial.
Kalau hatinya sedang senang, Dion suka membagi kesenangannya itu dengan orang lain. Dion
memberikan separuh dari uang muka yang diterimanya pada sebuah yayasan sosial yang
mengurus hydrocephalus. Ia bahkan punya seorang anak asuh yang tinggal di sini.
Begitu masuk di rumah yayasan itu, Dion disambut dengan senyuman dan sambutan yang
begitu ramah. Di tempat ini, Dion dikenal bukan sebagai Dion yang mengerikan dan penuh
duri, tapi sebaliknya sebagai sosok kakak malaikat yang dinanti-nantikan oleh teman-teman
kecinya itu. Sebagai seorang yang ditraining sebagai calon dokter, Niken tahu tidak ada obat untuk
menyembuhkan penyakit mereka, jalan satu-satunya adalah operasi, yang membutuhkan dana
sangat besar. Bantuan moril dan materiil dari orang-orang seperti Dion ini memang tepat
sekali, itulah yang mereka perlukan.
Berada di tempat seperti itu, Niken tak kuasa untuk tidak menitikkan air mata. Ia pun melihat


Mata Elang Karya Hey Sephia di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dion dalam situasi yang sama. Saat menemani anak-anak itu bermain, dilihatnya Dion sesekali
mengusap air mata dari ujung matanya sebelum sempat meluncur ke pipinya. Semula saat
mendengar cerita-cerita Dion mengenai anak-anak hydrocephalus itu, Niken mengira itu
semua hanya untuk mengambil hatinya. Tapi Niken melihat ketulusan hati Dion bukan tipuan.
Dion bukan orang yang tidak berhati nurani, justru sebaliknya ia punya banyak kasih sayang
yang meluap-luap. Dion selalu muluk-muluk bilang cintanya pada Niken seluas lautan, tapi
jelas cintanya pada Niken hanya sepersekian cinta tulus Dion pada anak-anak malang ini.
Spontan hati Niken berteriak. Sebesar apapun kesalahan Dion di masa lalu, apa bukan
Tuhanlah yang berhak menghukumnya, apa sebenarnya haknya untuk menilai Dion hanya dari
satu kesalahan yang diperbuatnya" Bagi anak-anak di yayasan ini, Dion adalah pahlawan yang
dielu-elukan. Adilkah dia merenggut Dion dari mereka yang sangat membutuhkan" Egoiskah
dirinya" Dan benteng di hati Niken itu sudah mulai rusak parah.
:: Sequel (Mata Elang) : Chapter 9
"Nggak bisa!" Sadu berulang kali meneriakkan kedua kata itu ketika Niken berusaha untuk
meyakinkannya bahwa Dion tidak seburuk yang mereka kira, dan bahwa Niken tidak berniat
untuk melanjutkan rencana semula.
"Bagian mana dari penjelasanku yang nggak kamu mengerti?" Niken sudah lelah berargumen
dengan orang kolot di depannya ini. Dia sudah berusaha menerangkan panjang lebar dengan
memberikan contoh-contoh hal dilakukan oleh Dion yang yang dirasakan menyentuh hatinya,
tapi Sadu, yang justru adalah adik kandung Dion, malah sama sekali tidak bergeming. Semula
Niken mengira Sadu akan menurut saja kalau Niken berkata cukup sudah. Tidak semudah itu.
"Kamu sudah terpedaya olehnya, Niken. Inilah hebatnya Dion," Sadu mencibir. Ia tidak habis
pikir bagaimana Niken yang tadinya berapi-api sekarang berbalik bersahabat dengan musuh
besarnya. Musuh besar yang juga kakaknya sendiri. Orang bilang persaudaraan melebihi
segalanya, darah lebih kental daripada air dan minyak, tapi api kebencian sudah membakar
habis darah sama yang mengalir di tubuhnya.
Tapi kalau Niken sudah memutuskan, maka tidak ada yang bisa merubah pikirannya. Sadu
mustinya juga tahu jelas tentang hal ini, karena dari beberapa bulan belakangan ini ia sudah
mengenal Niken dari jarak dekat.
Benar saja, Niken tetap bersikukuh pada pendiriannya. "Aku tahu aku keras kepala, tapi aku
tahu mana yang benar dan mana yang salah. Mungkin Dion memang memperdayaiku, tapi itu
bukan urusanku. Orang dewasa adalah yang mau menyadari kesalahannya dan
memperbaikinya. Dion juga sangat menyayangimu, cobalah untuk memaafkannya." Sekali lagi
Niken berusaha untuk mengulangi argumennya dengan gaya persuasif, sedari tadi gaya
apapun juga sudah dicobanya.
"Bagian mana dari kata "tidak" yang nggak kamu mengerti?" tanya Sadu mengulang perkataan
Niken sebelum ini. Rupanya dalam hal kekolotan, Sadu tidak kalah dibanding Niken. Dari tadi keduanya samasama ngotot, tidak ada yang mau mengalah.
"Terserah kau lah." Niken mengangkat bahu sambil mendesah. Ia harus mengakui
kekeraskepalaan lawannya sejajar dengan dirinya. Kalau diterus-teruskan, pasti bisa saling
jambak saling terkam layaknya macan kumbang yang berebut buruan.
"Ya, memang ini terserah aku," ujar Sadu yang lalu mendekat ke arah Niken. Sadu
mengangkat telunjuknya sejajar dengan hidung Niken lalu berkata, "Sedari awal aku sudah
bilang, ini bukan tentang kamu. Ini tentang aku dan dendamku. Bukan aku yang
membantumu, tapi kau yang membantuku. Kalau kamu sudah nggak mau membantuku, ya
sudah, kau cukup memberitahuku. Tapi jangan menyuruhku untuk mengikuti kemauanmu.
Tekadku sudah bulat sebelum aku bertemu denganmu."
Terperangah, Niken lalu berkata, "Jadi kamu akan tetap meneruskan ini tanpaku?"
Sadu mengangguk mantap. Anggukan itu bagaikan angin puyuh yang menerpa hati Niken,
membawa pergi semua hormat dan respeknya pada sosok di depannya ini. Anggukan yang
penuh kebencian dan dendam yang mendalam. Ia cuma sebuah pion di permainan catur
antara Sadu dan Dion. "Kita lihat siapa yang menang di akhir permainan ini. Kamu tinggal pilih mau memihak mana.
Pihak yang menang, atau yang kalah. Aku sarankan kau tetap pada rencana semula, di
pihakku, kamu tahu Dion sudah berada di posisi kalah."
Memang rencana mereka sudah sempurna, ibaratnya tinggal memencet tombol off, maka Dion
akan mati, seperti sesudah acara TV usai. Besok malam adalah saatnya.
"Jangan, jangan Sadu. Kau akan menyesal." Satu-satunya yang belum dicoba Niken adalah
memohon. Tapi itu pun tidak dihiraukan oleh Sadu.
"Sebaiknya kau jangan mengacaukan rencanaku. Kau tidak ingin meneruskannya, persetan
denganmu. Tapi kau tidak boleh memihak Dion dan berbalik melawanku. Aku peringatkan,
jangan coba-coba." Dari nada suaranya, peringatan itu lebih tepat dikatakan ancaman.
Terus terang saat itu Niken bingung. Ia seperti terjepit di tengah-tengah dan tidak bisa keluar.
Kalau memihak Sadu seperti rencana semula, berarti berlawanan dengan hati nuraninya. Kalau
berbalik melawan Sadu, berarti ia membenarkan perbuatan salah Dion. Kalau diam saja dan
tidak melakukan apa-apa, ia tetap merasa bertanggung jawab atas situasi saat ini. Lalu ia
harus bagaimana" "Kau dengar kataku?" tanya Sadu berusaha meyakinkan Niken. Telunjuknya masih mengacung
tepat di depan hidung Niken.
Niken menatap telunjuk Sadu di depan hidungnya itu. Pelan-pelan ia lalu menengadah
menatap wajah pemilik telunjuk itu. Ditatapnya lekat-lekat mata Sadu yang menatap balik
padanya. Tiba-tiba seluruh bulu-bulu halus di tubuhnya bergidik. Dengan pakaiannya yang
serba hitam, Sadu terlihat begitu menakutkan. Terutama dengan pandangan mata yang
seperti itu, Niken jadi heran pada dirinya sendiri kenapa selama ini tidak pernah melihatnya.
Mungkin insting awalnya tentang Sadu memang benar.
"Jangan mengancamku," Niken menepiskan telunjuk itu dari hadapannya. "Coba saja
hancurkan aku. Tidak akan semudah itu, Sadu. Kau akan hancur bersamaku."
* Baru hari ini Niken merasa sulit sekali menghubungi Dion. Memang Niken tahu Dion sibuk
sekali mempersiapkan pengiriman barang, tapi biasanya ia selalu punya waktu untuk Niken.
Dari tadi pagi Niken sudah bolak-balik menelepon Dion, bahkan mencoba mencarinya di rumah
hijau, tapi yang dicari tidak kelihatan batang hidungnya juga. Biasanya susah sekali menyuruh
Dion untuk enyah dari hadapannya, sekarang mau menemuinya saja sudah seharian tidak
bisa. Handphonenya tidak aktif.
"Pikir dong Niken, di mana kira-kira dia sekarang?" keluhnya setelah keseribu kalinya gagal
mencoba menelepon handphone Dion. Ia lalu menghempaskan kepalanya ke stir mobilnya
yang masih diparkir di depan rumah hijau. Ia sudah menunggu beberapa jam di dalam rumah
tanpa hasil maka Niken bermaksud menyelusuri kota mencari Dion. Sudah sore, Sadu pasti
juga sudah bersiap-siap. Sambil menstater mobilnya, pelan-pelan Niken berpikir. Ia sudah ke dua club yang biasa jadi
tempat mangkal Dion, dan sudah berpesan pada orang-orang di sana kalau melihat Dion
segera menyuruhnya untuk menghubungi Niken. Ia juga sudah menelepon club-club lain dan
berpesan hal yang sama. Berarti Dion tidak ada di sana. Lalu di mana" Ia mencoba memutar
kembali sebulan lebih kebersamaannya dengan Dion. Kemana saja Dion pernah membawanya.
Sepertinya tidak ada yang terlewatkan. Semua club sudah dihubunginya. Semua hotel...
semua... Hotel" Niken jadi teringat hotel kumuh di mana ia melihat Dion pertama kalinya. Sadu yang
membawanya ke situ. Selama ini Dion tidak pernah mengajaknya ke sana. Ya, tempat apa itu"
Niken berpikir. Dion tidak pernah berbisnis di sana. Tapi kenapa Sadu bisa tahu tempat itu"
Walaupun bayangan tempat itu sangat mengerikan di ingatan Niken, ia merasa harus
memeriksa tempat itu untuk melihat apakah Dion ada di sana. Ia harus berhasil menghubungi
Dion sebelum Sadu mendahuluinya.
Sambil ngebut, ia berusaha memutar rekaman di otaknya perjalanan menuju ke hotel kumuh
itu. Tidak begitu jelas tapi ia terus berusaha. Setiap bundaran, setiap persimpangan, setiap
tikungan, diingatnya dengan sungguh-sungguh. Kurang dari sejam, ia sudah berada di tempat
itu. Tanpa peta, tanpa petunjuk arah. Semua ada di otaknya.
"Sel-sel otak yang handal," katanya pada diri sendiri. Ia bersyukur atas ingatannya yang bisa
diandalkan pada saat-saat penting seperti ini.
Serta merta Niken ingat harus memutar ke belakang gedung dan masuk dari pintu belakang,
maka tanpa berpikir dua kali ia langsung melakukannya. Pintu belakang itu seperti dulu, tidak
dikunci. Niken pelan-pelan membuka pintu itu dan melongokkan kepalanya ke dalam. Sepi sekali, lebih
sepi dari kuburan. Ia lalu berjingkat-jingkat masuk.
Saat Niken datang dengan Sadu dulu, hari masih siang, jadi banyak sinar dari luar yang masuk
ke dalam. Sekarang sudah sore menjelang malam, sinar dari luar sangat minimal dan di dalam
sama sekali tidak ada lampu yang menyala, Niken jadi tidak bisa melihat dengan jelas.
Spontan ia berjalan dengan satu tangan rambatan di dinding.
"Tolol sekali, kenapa aku tidak membawa pisau atau gunting. Kalau sampai ada apa-apa
bagaimana aku bisa membela diri?" Niken tiba-tiba menyadari ketidaksiapannya. Tapi ia punya
satu senjata. Ia tahu semua rencana Sadu, jadi ia bisa selalu satu langkah di depannya.
Sebetulnya ada satu hal yang membuatnya heran. Ia tahu proses pengiriman barang akan
dilaksanakan di gudang milik Dion di dekat pelabuhan, tapi ia tadi sudah ke sana, dan Dion
tidak ada di sana, barang-barangnya juga tidak ada di sana.
Suara tikus berlarian di dekat kakinya mengagetkan Niken. Tak sadar ia memekik tertahan.
"Niken! Kamu ngapain ke sini?" Suara Dion terdengar kaget. Niken melongok. Dion ada di
lantai atas sambil membawa senter. Rupanya ia mendengar suara dari lantai bawah dan
memeriksanya. "Kenapa aku kesini" Tentu saja mencarimu," gerutu Niken sambil cepat-cepat berjalan ke arah
lantai atas. "Handphonemu rusak, ya" Susah sekali mencarimu sejak pagi tadi." Niken melampiaskan
semua kekhawatiran dan ketakutannya dalam dua kalimat tadi. Ia merasa lega sekali sudah
menemukan Dion. "Handphoneku hilang. Aku juga tidak tahu ada di mana."
"Lalu kenapa kau ada di sini, nggak di pelabuhan?" tanya Niken.
"Semalam si encik menelepon, ia merasa pelabuhan tidak aman, lalu menyuruhku mencari
tempat lain. Karena handphoneku hilang, aku memutuskan untuk memakai tempat ini karena
tempat ini ada teleponnya."
"Oh, rupanya begitu." kata Niken manggut-manggut. Tiba-tiba terbersit di pikirannya. Semua
ini terlalu kebetulan. Mendadak handphone Dion hilang, dan mendadak si encik merubah
tempat. Ia lalu menatap Dion yang berdiri tegap di depannya.
"Kamu sendirian?" tanya Niken sambil melihat ke sekeliling.
"Aku ditemani ini." kata Dion sambil memperlihatkan pistol di sakunya. "Jangan kuatir, aku
cukup berpengalaman. Encik juga berjanji akan membawa banyak anak buah, segalanya akan
beres. Aku cuma tinggal mengawasi saja."
"Bodoh, kenapa kamu tidak membawa banyak orang." keluh Niken. Kalau ia ada di pihak
Sadu, tentu saja ia akan senang mendengar kenyataan ini. Tapi kali ini tidak.
"Kamu masih belum menjawab kenapa kamu kemari, kenapa kau mencariku?"
Niken melirik ke arah arlojinya. Ia tidak punya banyak waktu. Ia harus menjelaskan semuanya
dalam waktu yang singkat.
"Dengarkan aku baik-baik." ujar Niken kemudian. Ia bersandar pada pegangan tangga yang
terbuat dari kayu yang sudah terlihat agak lapuk. "Sadu sedang dalam perjalanan kemari.
Kemungkinan besar dengan polisi. Aku tidak tahu lagi apa yang akan dilakukannya. Sebaiknya
kita pergi dari sini sekarang juga."
"Apa maksudmu?" Dion terperanjat mendengar penuturan Niken.
"Sudah tidak ada waktu lagi untuk menjelaskan, ayo cepat pergi." ajak Niken menggamit
lengan Dion dan mengajaknya turun.
Dion menepiskan tangan Niken. "Dan meninggalkan semua di sini" Kau kira aku bodoh?"
"Kau justru lebih bodoh kalau tidak pergi sekarang. Apalah artinya uang, Dion, percayalah
padaku. Nanti aku akan jelaskan semuanya, sekarang yang penting kita cepat pergi dari
tempat ini." "Aku nggak akan pergi sebelum kau menjelaskan semuanya padaku." Kepalanya ternyata tidak
kalah keras dengan adiknya.
Sia-sia saja Niken berusaha untuk menyeret Dion dengan menarik-narik lengan Dion.
Sesentipun tidak bergeming.
"Baiklah. Kau menang. Kau memang keras kepala. Persis seperti adikmu." Niken menarik
napasnya dan menghembuskannya kembali keras-keras.
"Aku tahu rencana Sadu, karena aku tadinya sepihak dengannya. Semua ini adalah jebakan,
Dion. Kau bisa dekat denganku karena itu memang rencanaku. Rencanaku untuk
menghancurkanmu. Tapi aku..." Belum selesai Niken bercerita, ia melihat mata Dion berubah
membelalak seperti melihat hantu, dan Niken merasakan tangan kekar Dion menggapai dan
memeluk tubuh mungilnya. Dor! Dor! Dua tembakan terdengar memekakkan telinga Niken. Tubuh Dion mengejang sesaat lalu
menunduk dan menyeret tubuh Niken masuk ke dalam salah satu kamar di lantai atas. Niken
terseret-seret tak sanggup mengikuti langkah Dion yang cepat dan lebar-lebar.
Dion menutup pintu kamar itu dan menguncinya. Ia lalu melempar meja yang ada di tengah
ruangan untuk menahan pintu itu.
Niken terpekik ketika melihat darah mengucur dari punggung Dion di dekat daerah dekat
bahunya saat Dion sedang meletakkan meja itu di dekat pintu.
"Kau kena?" tanya Niken mendekati Dion.
"Kenapa Niken" Kenapa kau begitu membenciku?" tanya Dion terpuruk bersandarkan dinding.
Ia lalu menjatuhkan dirinya terduduk di lantai.
Melihat kondisi Dion sekarang, Niken tidak tahan lagi untuk tidak menangis.
"Maafkan aku, Dion. Aku nggak tahu harus bilang apa selain maaf." katanya di sela-sela isak
tangisnya. "Kenapa harus kau" Kenapa kau sangat membenciku?" Dion mengulang pertanyaannya yang
masih belum terjawab itu.
Niken menelan ludahnya. Ia harus menceritakan semuanya.
"Kau ingat pertama kali bertemu denganku?" tanya Niken.
"Waktu di pesta perkawinan sepupuku?"
"Bukan. Di tempat ini. Di kamar ini."
"Di... di sini?"
Niken heran, rupanya Dion tidak pernah benar-benar mengenalinya sebagai gadis yang dibawa
oleh Sadu siang itu kemari. Pantas saja selama ini ia tidak pernah merasakan sepercikpun
kecurigaan Dion terhadapnya.
"Aku teman Wulan. Siang itu Sadu membawaku kemari dan aku mendapatinya sudah
meninggal. Di sini. Di tempat ini. Tidak ingat?"
"Wulan siapa?" tanya Dion lagi.
"Wulan yang meninggal di tempat ini. Kamu nggak amnesia kan?" Niken jadi tambah heran
Dion berlagak tak tahu apa-apa. Jelas-jelas waktu itu Niken melihat Dion di sini.
"Aku benar-benar tak tahu Wulan yang mana. Kalau kau maksud gadis yang meninggal di sini
waktu itu, aku tidak mengenalnya."
Gantian Niken yang terperanjat mendengar kata-kata Dion.
"Apa maksudmu kau tidak mengenalnya?"
"Dia menelepon sebelum kemari. Katanya ia punya informasi untukku. Tapi begitu sampai di
sini, tak lama ia pingsan dan koma. Kondisinya sudah payah waktu itu. Waktu kau datang itu
dia baru saja meninggal. Aku memang tidak memanggil ambulans karena bermaksud menjaga
kerahasiaan tempat ini. Rupanya dia temanmu?"
"Kau tidak mungkin tidak mengenalnya. Kau yang menjemput dia dari rumah sakit, kan?"
tuduh Niken. "Rumah sakit" Jadi dia memang sakit" Lalu kenapa kau menyalahkanku atas kematiannya?"
Niken makin bingung atas jawaban Dion yang sama sekali tidak nyambung.
Pembicaraan keduanya lalu terhenti karena dikejutkan oleh suara orang berusaha mendobrak
pintu dari luar kamar. "Sadu!" teriak Niken dari dalam kamar menerka orang yang berada di luar kamar. "Kalau kau
cuma ingin melaporkan Dion pada polisi, laporkan saja. Kenapa musti melukainya?"
"Siapa bilang aku bermaksud melaporkannya pada polisi" Aku cuma ingin melenyapkannya."
Ternyata betul Sadu, dan ia terus berusaha mendobrak pintu dengan paksa.
Di tengah-tengah kepanikannya, Niken mengambil handphone di saku celananya. Dengan
cepat ditekannya speed-dial nomer 1. Pada saat yang bersamaan pintu sudah berhasil
didobrak dari luar. "Buang pistol itu, atau kutembak dia!" Sadu mengarahkan pistol itu ke arah kepala Niken, dan
menyuruh Dion untuk mengenyahkan pistol yang digenggamnya. Spontan Niken mengangkat
kedua tangannya melihat pistol yang diarahkan padanya.
Melihat keadaan sudah tidak memungkinkan lagi untuk tawar-menawar, Dion menyerah. Ia
meletakkan pistol itu dan menendangnya ke ujung ruangan arah dalam, jauh darinya, juga
jauh dari Sadu. "Kau, buang handphone itu, jangan coba-coba, aku sudah peringatkan."
Seperti Dion, Niken tidak punya pilihan lain selain meletakkan handphone itu ke lantai dan
meluncurkan handphone itu dengan kakinya searah dengan pistol milik Dion tadi.
"Sadu, lepaskan Niken. Kau boleh lakukan apa saja padaku, terserah padamu." kata Dion.
"Aku memang tidak bermaksud mencelakakan Niken. Ia sudah begitu baik membantuku
sampai terjadi hari ini. Kau begitu tolol sangat mempercayainya. Sejak ada Niken di sisimu,
kau justru bertambah bodoh. Kau jadi tidak awas lagi, memudahkanku untuk
menyingkirkanmu." "Aku tahu kau begitu membenciku. Kau adalah adikku, tapi kau sangat membenciku.
Sebenarnya apa salahku padamu...?" Dion lalu meringis, menahan rasa ngilu di punggungnya.
Sadu cuma menatap Dion dengan pandangan benci. Dion lalu melanjutkan sambil menatap
Niken, "Dia pasti menceritakan tentang apa yang terjadi pada adik perempuanku, kakak Sadu.
Yang temanku memperkosanya. Aku sering mendengar cerita itu beredar di luaran. Sungguh
aku tidak tahu menahu soal ini. Yang aku tahu cuma gara-gara itu aku diusir dari rumah."
"Tentu saja kau tidak tahu-menahu. Semua itu adalah perbuatanku. Kamu hanyalah seekor
kambing hitam." "Aku sudah bisa menebaknya. Aku tahu kau sejak dulu membenciku walaupun aku tak tahu
mengapa. Yang aku tak habis pikir, bagaimana kau bisa membuat Niken juga membenciku?"
"Sebenarnya itu hanya kebetulan. Kebetulan Niken mengenal Wulan. Kebetulan keadaannya
seperti itu. Aku tinggal membumbuinya saja."
Niken masih tidak mempercayai pendengarannya. Ia tidak percaya Sadu ternyata begitu
manipulatif, semua hal yang diketahuinya tentang Dion ternyata hanya karangannya saja.


Mata Elang Karya Hey Sephia di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Wulan adalah anak buahku. Aku juga tidak tahu bagaimana sampai kau mengira Wulan
adalah anak buah Dion. Ia bermaksud "menyeberang" ke arah Dion, maka sebelum terlambat
aku sudah menyuruh anak-anak untuk mengerjainya."
"Tapi mengapa Dion yang menjemput Wulan dari rumah sakit?" Niken masih bingung dengan
kenyataan yang saling bertentangan.
"Oh, itu yang membuatmu mengira Wulan adalah anak buah Dion?" kata Sadu manggutmanggut. Rupanya ia hanya punya satu misteri di balik semua ini, dan sekarang sudah
terjawab. Sementara di otak Niken dan Dion banyak misteri yang masih belum terjawab.
"Aku tidak pernah menjemput seorang Wulan dari rumah sakit. Wulan ini siapa sih?" sanggah
Dion kemudian. Ia berpikir cukup lama sampai akhirnya berkata begitu. Ia memastikan pada
dirinya sendiri bahwa ia sungguh tidak pernah mengenal Wulan yang disebut-sebut ini.
"Akulah yang menjemput Wulan saat itu. Apa di rumah sakit itu tidak ada yang bilang bahwa
yang menjemput Wulan itu naik sepeda motor?"
Ah, iya! Kenapa Niken tidak pernah menanyakan naik apa orang yang menjemput Wulan saat
itu. Mungkin karena waktu itu ia mengira itu bukan hal yang penting.
Niken menatap ke arah Dion yang dari wajahnya terlihat masih bengong dan belum bisa
mencerna apa yang sedang terjadi.
"Wulan adalah sahabatku. Boleh dibilang satu-satunya sahabatku. Aku membencimu karena
mengira kau penyebab kematiannya. Rupanya itu pun aku salah. Ini cuma karena Sadu
memakai KTPmu untuk menjemput Wulan dari rumah sakit. Betapa bodohnya aku!"
"Kau cukup pintar, Niken." puji Sadu. "Aku bahkan belum menjelaskan semuanya, kau sudah
mengerti." Masih banyak pertanyaan yang belum terjawab di kepala Dion. "Kalau kau memang begitu
membenciku, kenapa kau kemari hari ini untuk memperingatkanku?"
"Aku berubah pikiran. Aku sudah lama tidak membencimu. Sejak mengenalmu, aku merasa
sulit sekali untuk membencimu meskipun aku sudah berusaha sekuat tenaga. Sepertinya
instingku selalu mengatakan bahwa kau adalah orang yang baik. Nakal tapi baik." Niken
berusaha memberikan senyumnya yang termanis. Ia tidak bermaksud membuat Dion
memaafkannya dengan senyuman itu, ia hanya ingin sekali memberikan senyum manisnya itu
untuk sedikit mengobati lara Dion.
Otomatis Dion juga ikut tersenyum. Sekejap tadi ia merasa sakitnya hilang.
Sadu yang melihat dua orang yang saling tersenyum, langsung berteriak, "Cukup! Muak aku
melihat kalian berdua. Kau tahu" Inilah yang membuatku membencimu!"
"Ini apa" Apa yang membuatmu benci?" Dion menoleh ke arah Sadu lagi.
"Kau begitu mudah membuat orang menyukaimu. Dari kecil kau begitu nakal, tapi ayah dan
ibu tetap menyayangimu. Mereka lebih menyayangimu dan tidak pernah menghiraukanku.
Nilai-nilaimu tidak pernah bagus, kau pulang sekolah selalu dengan baju robek-robek karena
berkelahi, tapi pacarmu segudang dan ayah-ibu tetap lebih menyayangimu ketimbang aku
yang selalu mendapatkan nilai bagus dan tidak pernah membuat masalah. Saat kau mulai
menyelami dunia hitam, mereka semua juga menutup sebelah mata. Saat aku yang
melakukannya, semua kalang kabut dan membenciku."
"Kau" Kau rupanya...?"
"Ya..." Sadu berbalik memandang Niken. "Aku sama bejatnya dengan Dion di bidang ini.
Hanya kau yang tidak tahu. Dion adalah sainganku. Kalau tidak ada dia, akulah raja di sini.
Hanya saja ia begitu mudah mendapatkan bisnis kiri-kanan, aku dibuatnya kewalahan dan
kehilangan pelanggan. Aku semakin membencinya dan bertekad menghancurkannya."
"Pantas saja kau tidak berniat melaporkannya pada polisi, karena kau juga takut kejahatanmu
terungkap." Niken merangkum apa yang dimengertinya.
"Kau memang pintar, manis." Sadu lalu mendekati Niken dan meletakkan pistol dingin itu
tepat di pipi Niken. Dengan mengerahkan seluruh keberaniannya, Niken menepiskan pistol itu dari pipinya. Ia
merasa Sadu tidak akan menembakkan pistol itu. Setidaknya tidak sekarang.
"Kalau begitu," ujar Niken menganalisa lagi. "Encik itu adalah kau."
Sadu tersenyum lebar. Ia merasa puas akan hasil kerjanya. Ia tidak peduli Niken membongkar
rahasianya. Toh semuanya sudah terjadi. Semuanya sudah terlambat. Ia justru senang Niken
mengatakan hal itu. Seakan memuji kepintarannya mengatur strategi.
"Dan..." lanjut Niken lagi. "Kau yang mencuri handphone Dion. Kau sengaja membuatku tak
bisa menghubungi Dion seharian. Kalau aku tidak salah terka, pasti kau juga sebetulnya
sengaja membuat putus hubunganku dengan Pandu. Kau hebat sekali, Sadu." Niken menepuk
tangannya. Terdengar nada sindiran pada tiap tepukannya.
"Kakakmu ini terlihat badung tapi sebetulnya hatinya baik. Tapi kau... kau dari luar terlihat
jahat. Insting pertamaku mengatakan kau bukan orang baik. Aku bahkan menyamakan kau
dengan drakula. Lalu kau pura-pura menjadi orang baik. Kau berhasil menipuku. Sayang sekali
kau tidak memiliki secuilpun kebaikan yang Dion miliki. Instingku memang benar. Tidak
seharusnya aku mempercayaimu. Kau cuma orang jahat yang terlihat jahat tapi berpura-pura
baik." "Ha ha ha...." Sadu tertawa terbahak-bahak. Tertawanya seperti dipaksakan. Getir tapi
memang kenyataannya begitu. "Aku akan menganggap ini sebagai pujian. Sudah, aku sudah
cukup terhibur. Sekarang kembali pada tujuan semula."
Sadu berbalik lalu mendekat ke arah Dion yang masih duduk di lantai. Dengan cepat Sadu
mengacungkan pistol yang sedari tadi sudah siap tembak itu di atas batok kepala Dion.
"Aku ingin kau memohon padaku."
"Tidak akan." Dion menggeleng.
"Peluru ini akan menembus otakmu."
"Aku tidak peduli. Mati di tanganmu adalah kehormatan. Aku bisa tunjukkan pada ayah dan
ibu bahwa aku bersih. Mereka sudah membela anak yang salah. Aku sudah tidak sabar ingin
bertemu mereka dan melaporkan semua kejahatanmu."
"Kau...!!!" Sadu terlihat jengkel mendengar kata-kata Dion barusan. "Baik! Sampaikan salamku
pada mereka berdua!"
"Tunggu!!!!" seru Niken membuat kedua kakak-beradik itu memandang ke arah Niken.
"Statusku sekarang ini adalah pacarnya. Aku ingin mengucapkan selamat tinggal." katanya
kemudian. "Hah! Lucu sekali! Kau masih menyebut diri sebagai pacarnya. Bukankah kau sudah mengaku
tidak mencintainya, bahkan membencinya?" sindir Sadu.
Sementara itu Dion masih tidak berkata apa-apa, cuma menatap ke arah Niken.
"Aku tidak membencinya. Aku membencinya karena kau, dan aku menyesal. Aku memang
tidak mencintainya, tapi aku sangat menyayanginya dan aku tahu dia sangat menyayangiku.
Aku minta waktu, beberapa menit saja. Kau berhutang ini padaku. Setidaknya, setelah semua
yang kau lakukan padaku."
"Baiklah," kata Sadu mengalah. Ia memang merasa bersalah telah memanfaatkan dan menipu
Niken. Kalau bisa menghapus sedikit dosanya, maka ia tidak keberatan untuk memberikan
sedikit waktu saja. Ia lalu mundur sekitar lima langkah memberi jarak supaya Niken bisa bercakap-cakap dengan
Dion. "Sakit?" tanya Niken jongkok di hadapan Dion, membelakangi Sadu. Ia lalu menengok ke arah
punggung Dion, dengan takut-takut memegang luka di punggung Dion.
Dion mengangguk. "Aku sudah mengerti kenapa kau tadinya membenciku, dan bahwa kau
sekarang sudah tidak lagi membenciku. Tapi aku masih belum mengerti kenapa kau tidak bisa
mencintaiku." "Karena hatiku sudah lama menjadi milik orang lain..."
"Kalau... seandainya saja hatimu adalah milikmu sendiri dan bukan milik orang lain, apakah
kau akan mencintaiku?"
Niken berpikir cukup lama. "Ini pertanyaan yang sulit." katanya sambil berusaha tersenyum.
"Tapi aku akan mencoba untuk menjawabnya."
Niken lalu duduk bersila, masih tetap menghadap Dion. Jongkok lama-lama membuat betisnya
berasa mau kram. "Kalau aku tidak pernah mencintai Pandu..." Niken lalu cepat-cepat menyambung, "Pandu
adalah orang yang memiliki hatiku."
Dion tersenyum. "Kalau itu aku sudah tahu. Bukankah aku pernah menanyakan padamu?"
"Oh iya." Niken teringat kejadian waktu ia menabrak Sadu sesudah ujian itu. "Kalau aku tidak
mencintainya, aku mungkin sudah mati. Kalaupun hidup, aku akan menjadi orang yang sangat
tidak menyenangkan. Aku adalah aku yang seperti ini karena dia. Aku yakin, seandainya aku
tidak pernah mencintai Pandu, kau sama sekali tidak akan tertarik padaku."
Dion terdiam. Bukan jawaban seperti ini yang dipikirkannya. Ia mengira kemungkinan jawaban
dari pertanyaannya tadi hanya "iya" atau "tidak". Mana tahu ada jawaban aneh seperti itu.
Niken tapi meneruskan kata-katanya. "Tapi kalau kau menanyakan, kalau aku sudah tidak
mencintai Pandu, apakah aku bisa mencintaimu, jawabannya adalah iya. Sangat mungkin
sekali, dan banyak sekali alasannya."
Mata Dion berbinar-binar. Sejak tertembak tadi matanya terlihat sayu sekali, baru sekarang
Niken bisa melihat sinar lagi di mata Dion.
"Benarkah" Kau tidak bohong?" Seperti anak kecil Dion mencoba meyakinkan dirinya sendiri.
Niken mengangguk-angguk dengan yakin. "Kau begitu baik padaku, juga pada anak-anak di
yayasan itu, kebaikanmu itu sudah menyentuh hatiku. Kau juga begitu setia. Aku tahu
sejarahmu dengan wanita, tapi sesuatu mengatakan padaku bahwa kalau aku bersamamu,
kau hanya akan memandangku saja selamanya. Kau juga begitu tulus dan begitu mencintaiku.
Aku tidak akan tidak bisa tidak mencintaimu."
Dion bingung menghitung ada berapa kata "begitu" dan berapa kata "tidak" yang dilontarkan
Niken barusan. Ia tidak begitu jelas, tapi ia tahu Niken bersungguh-sungguh, dan itu sudah
lebih dari cukup untuknya.
"Sudah cukup, kesabaranku sudah habis. Cinta-cinta melulu yang dibicarakan. Sungguh
memuakkan melihat kalian berdua sepanjang hari." Sadu bergerak mendekati mereka lagi
dengan membawa pistol yang ujungnya mengarah ke depan.
Tapi Niken masih tidak beranjak untuk berdiri, ia tetap duduk bersila menghadap arah Dion.
"Minggir." Pistol itu masih mengarah ke arah depan, ke arah Dion, tapi pinggirnya menyentuh
pelipis Niken yang duduknya membelakangi Sadu.
Niken tidak bereaksi. Dion memelototinya. "Minggir, Niken. Kamu jangan nekad."
"Kau memang pintar, Sadu. Kau menggunakan aku, orang yang dicintai oleh Dion, untuk
mengancamnya menjatuhkan pistolnya. Kau tahu ia tidak akan melawan kalau melihat aku
dalam bahaya. Tapi aku juga tahu siapa orang yang paling kau sayangi dan mungkin bisa
membuatmu menjatuhkan pistol itu."
Sadu tidak berkata apa-apa. Ia tak tahu ke mana tujuan Niken, tapi diam adalah yang terbaik
saat ini. " Kakak perempuan dan keponakanmu. Kau sangat menyayanginya kan" Dari nadamu bicara
setiap membicarakan mereka, aku tahu kau pedih karena penderitaan mereka. Tadinya aku
mengira kau pedih karena sangat membenci Dion dan ingin membalaskan dendam bagi
mereka, tapi sekarang aku tahu kau pedih karena kau merasa sangat berdosa. Apapun
alasannya, kau sangat mencintai mereka. Karena itu aku sudah mengamankan mereka. Kalau
sampai terjadi apa-apa padaku, aku jamin mereka tidak akan selamat."
"Kau bohong! Kau cuma menggertakku!"
Niken menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia masih membelakangi Sadu. Sadu lalu
menggoyang-goyangkan bahu Niken. "Kau bohong kan?"
"Kalau tidak percaya telepon saja ke rumahmu."
"Kau!!! Sialan kau, Niken!!!" Sadu mengarahkan pistol itu ke arah Niken.
"Hati-hati, jangan sampai menembus batok kepalaku. Kalau cuma lecet, mungkin aku masih
bisa memaafkanmu." "Aku tidak peduli!!" seru Sadu kemudian. Karena jengkel ia lalu menembak dinding di
belakang Dion. Dor! Cat kering dan rontokan batu bata menimpa kepala Dion.
Niken kaget. Ia tidak menyangka Sadu akan tetap menembak.
"Tadinya aku tidak ingin membunuhmu, tapi sekarang kau sungguh membuatku kesal.
Sungguh berani! Kau harus menemani Dion ke neraka!"
Di saat-saat kritis, Dion menendang lutut Niken sekuat tenaga untuk menggeser tubuh Niken.
Niken mengaduh dan kehilangan keseimbangannya karena kaki Dion seperti pengungkit yang
berusaha menciduknya ke arah lain.
Dor! Sadu sudah melepaskan tembakannya lagi, kali ini tepat menembus kepala Dion. Darah
segar mengalir dari dahinya yang berlubang.
Niken terpekik kaget, ia meneriakkan dan memanggil nama Dion berulang-ulang. Air matanya
bercucuran di pipi, tak kalah derasnya dengan darah yang mengalir dari kepala Dion.
"Kau bukan manusia!" Niken lalu bersimpuh dan menegakkan kembali tubuh Dion yang
tergolek lunglai. Gerakan Dion yang terakhir tadi memberinya ide untuk mengulanginya untuk Sadu. Ia
menyepak kaki Sadu yang masih berdiri. Tak ayal Sadu terjengkang dan pistolnya lepas dari
genggamannya. Pada saat Sadu berusaha mengambil pistol itu kembali dan hendak berdiri, ruangan itu sudah
penuh dengan aparat polisi yang menyuruhnya untuk angkat tangan menyerah.
* "Kau tidak apa-apa, Niken?" Aditya, kakak Pandu lah yang pertama kali mengangkat tubuhnya
untuk berdiri. Niken cuma menggeleng. Aditya lalu mengisyaratkan pada petugas paramedis
untuk memeriksa Niken dan Dion.
Niken pasrah saja dan tidak mengucapkan sepatah katapun. Ia masih shock karena kejadian
barusan. "Pandu sedang dalam perjalanan kemari. Aku akan mengantarmu pulang, oke, Niken?"
Mendengar suara Aditya lagi, Niken menjawab dengan anggukan.
* Aditya masih terus menemani Niken yang sedari tadi cuma duduk di kamarnya, ia baru pergi
setelah Pandu datang. Begitu Pandu melihat Niken, ia tidak berkata apa-apa langsung
memeluknya. Niken lalu menangis sepuasnya di dalam pelukan Pandu.
"Aku bodoh sekali, Pandu. Bodoh sekali!"
"Aku juga bodoh. Tapi bodoh-bodoh begini kita toh selamat karena kita banyak pintarnya dari
bodohnya." Niken mengangkat wajahnya untuk menatap Pandu.
"Kau tak tahu betapa aku kaget mendengar telepon aneh itu. Aku langsung tahu kau sedang
dalam bahaya, cepat-cepat aku menelepon kantor kak Adit di Jakarta. Ia langsung
menyuruhku mengaktifkan Conference call, dan semua percakapanmu dengan Dion dan Sadu
tadi semua ada dalam kaset rekaman di kantor kak Adit."
"Hah?" Niken terkejut. Ia bahkan tidak sadar teleponnya sudah tersambung saat dilemparkan
di ujung ruangan. "Kata kak Adit, itu cukup untuk memasukkan Sadu ke dalam penjara. Teleponmu sangat
bagus, Niken, semua pembicaraanmu dapat kudengar dengan jelas. Aku kuatir sekali.
Untunglah kau selamat. Tapi aku perlu tahu sesuatu, kakak Sadu, kau sembunyikan di mana
dia?" "Kakak Sadu" Aku sama sekali tidak tahu di mana dia. Mustinya ada di rumahnya. Aku tadi
cuma menggertaknya saja."
Pandu melongo. Ia tidak tahu Niken dapat keberanian dari mana menggertak seperti itu.
"Sekali lagi kau jadi dewa penyelamatku." Niken kembali memeluk Pandu. "Kalau tidak ada
kamu, aku sudah mati dua kali."
"Hus, jangan lagi bicara kematian. Menyadari betapa tipis jarak antara kau dengan kematian
hari ini, aku jadi tahu bahwa aku nggak sanggup kehilangan kamu. Aku nggak tahu apa yang
harus aku lakukan kalau sampai nggak ada kamu. Jadi kau harus berjanji akan mengijinkan
aku mati duluan. Jangan sampai kau mati mendahuluiku."
"Katanya nggak mau bicara tentang kematian" Malah kamu yang mengulang-ulang kata mati."
Niken menggerutu. "Janji dulu dong..."
"Janji! Tapi kamu juga harus janji nggak boleh mati sebelum kita punya cucu banyak."
Pandu tersenyum lebar. "Kalau mau punya cucu berarti harus punya anak. Kalau mau punya
anak berarti harus..."
"O, harus dong!" Niken mengerjap-kerjapkan matanya penuh arti. Cepat sekali dia sudah lupa
akan kepedihannya. Sosok yang berdiri di depannya ini sungguh penuh daya magis yang
keberadaannya membawa kebahagiaan tak terhingga.
Sebelum Niken menyadarinya, Pandu sudah mencium bibirnya. Lama sekali.
Saat Pandu menghentikan kegiatannya, Niken mendadak teringat sesuatu.
"Telepon interlokal Jakarta-Bandung lama begitu, nanti siapa yang bayar?"
Pandu cuma menjawabnya dengan ciuman. Yang lebih lama dari yang barusan.
* Bidadari Pulau Penyu 1 Pendekar Naga Geni 16 Pembalasan Rikma Rembyak Kasih Diantara Remaja 13
^