Pencarian

Bidadari Pulau Penyu 1

Pengemis Binal 27 Bidadari Pulau Penyu Bagian 1


BIDADARI PULAU PENYU Serial Pengemis Binal
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Pengolah cerita oleh S. Pranowo
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Serial Pengemis Binal
dalam episode: Bidadari Pulau Penyu
128 hal. https://www.facebook.com
/DuniaAbuKeisel
1 Bocah perempuan dua belas tahunan ini
berjalan dengan langkah gontai. Seperti sumber
air yang tak pernah kering, butiran mutiara bening terus bergulir dari kedua
sudut matanya. Hawa amarah, kesal, rasa kehilangan, dan duka lara
bercampur aduk membuat sesak jalan napasnya.
Hatinya terasa pedih perih teriris-iris.
"Kak Suro... Kak Suro...,"' desis si bocah
yang tak lain Narita, putri Raja Angin Barat.
Narita amat marah dan kesal kepada ayahnya yang telah tega melemparkan tubuh si
Pengemis Binal Suropati dengan ilmu -Tangan Langit'. Hanya amarah dan kesal itu
membuat Narita nekat melanggar larangan ayahnya. Dia keluar
dari Lembah Makam Pelangi. Tak peduli ayahnya
akan menjadi murka. Tak peduli ayahnya akan
menjatuhkan hukuman berat. Yang ada dalam
ingatan Narita hanyalah Suropati. Suropati yang
telah membinasakan Sepasang Racun Api. Suropati yang tak marah manakala dia
tampar. Suropati yang bisa mengerti segala kesedihan yang
tengah dirasakannya.
Dalam pandangan Narita, Suropati adalah
sosok pemuda yang amat baik. Walau baru berjumpa, Suropati telah menjadi bagian
yang begitu dekat di hatinya. Wajar. Karena selama bertahuntahun tinggal di Lembah Makam
Pelangi yang sepi
sunyi, Narita tak pernah berjumpa dengan orang
yang bisa mengerti perasaannya. Perasaan seo-
rang bocah yang masih membutuhkan banyak
perhatian dan kasih sayang.
Namun..., Suropati yang baik hati harus
bernasib malang. Seperti orang-orang lainnya
yang berani masuk ke Lembah Makam Pelangi,
dia juga diadili dengan peraturan yang dibuat
sendiri oleh Raja Angin Barat. Suropati harus mati. Dan, Suropati pun sama
sekali tak berdaya
melawan kehebatan ilmu 'Tangan Langit'. Dalam
jepitan jemari tangan Raja Angin Barat yang telah
membesar puluhan kali dari ukuran normal, tubuhnya dilemparkan tanpa mampu
berbuat apaapa. (Agar lebih jelas, silakan baca serial Pengemis Binal dalam
episode: "Sepasang Racun Api").
Melihat tubuh Suropati yang terlontar bagai sebutir kerikil melayang di angkasa
luas, Narita tak mampu menahan gejolak perasaannya. Kesedihan menghantam, dan
sungguh-sungguh
membuatnya merasa sangat kehilangan. Hingga
tanpa mempedulikan ayahnya lagi, Narita berlarilari menyusuri lereng gunung,
memasuki jurang
dan lembah, membuka dan menyibak semak belukar. Namun karena tenaga lemparan
Raja Angin Barat begitu kuat luar biasa tubuh Suropati tak
dapat ditemukannya.
Gelap malam telah mengguyur seluruh
permukaan tanah manakala Narita menghentikan
langkah di depan sebuah kuil bobrok. Wajahnya
pucat pasi seperti tak berdarah lagi. Bocah perempuan itu nyaris pingsan karena
terlalu banyak mengeluarkan tenaga.
Dengan langkah terseok-seok, Narita me-
masuki kuil. Beberapa kali mulutnya mendesis,
menyebut nama Pengemis Binal. Namun, hanya
desau angin malam yang menyahuti.
Narita terus melangkah seraya menajamkan penglihatan. Suasana di dalam kuil
sunyi senyap. Walau sudah tidak terurus lagi, keadaan
kuil masih cukup layak untuk dijadikan tempat
bermalam. Mengingat dirinya yang sudah sedemikian payah, segera Narita mencari
tempat untuk berbaring. Tanpa pikir panjang lagi, dia memilih
sebuah tempat di kolong meja pemujaan.
Teringat akan ajaran ayahnya, Narita tidak
langsung membaringkan tubuh untuk tidur. Dia
duduk bersila dengan sikap semadi. Diaturnya jalan napas sedemikian rupa untuk
memulihkan tenaganya yang terkuras
Sementara, di luar sang candra dalam bulatan penuh bagai melempar senyum ke arah
bintang-bintang yang terus mengedipinya. Cahaya
kuning tembaga menyiram, membuat temaram
wajah malam. Kesunyian terusik tatkala dua sosok tubuh berjalan mendekati kuil
sambil bercakap-cakap. Yang satu seorang lelaki berperawakan sedang. Rambutnya
dikuncir dan diikat dengan sehelai saputangan merah. Pakaian yang dikenakannya
ketat ringkas hijau. Satunya lagi seorang wanita berparas cantik. Rambutnya
digelung ke atas dengan hiasan beberapa tusuk konde
emas. Tubuhnya yang sintal terbungkus pakaian
kuning-merah mencolok mata.
"Kita telah diperintah oleh sang pemimpin
agar datang ke pesanggrahan tengah malam nan-
ti. Kira-kira ada urusan apa itu, Kekasihku?" ujar
si wanita ketika kakinya melewati pintu kuil.
"Sebenarnya, yang diperintah itu bukan
hanya kita. Tapi semuanya. Semua anggota pesanggrahan. Termasuk empat duta yang
mengepalai wilayah selatan, utara, barat, dan timur,"
sambut si lelaki.
"Kelihatannya memang ada sesuatu yang
penting, yang harus dirundingkan bersama...."
"Ya, begitulah...."
"Kau tahu urusan apa itu, Kekasihku?"
Lelaki berkuncir tidak segera menjawab.
Dia sibuk mengumpulkan ranting kering yang
berserakan di lantai kuil. Setelah membuat perapian, lelaki ini memeluk erat
tubuh kekasihnya
seraya mendaratkan ciuman. Si wanita menggelinjang manakala merasakan sentuhan
hangat di bibirnya. Karena ada sesuatu, yang mengganggu
pikirannya, dia berusaha menghindar dari ciuman
berikutnya. "Kenapa?" tanya lelaki berkuncir yang merasa sang kekasih tak mau melayani
hasrat hatinya.
"Tengah malam nanti kita harus ke pesanggrahan. Pikiranku jadi tidak enak.
Janganjangan di antara kita ada yang berbuat salah...,"
kilah si wanita.
"Kekhawatiranmu sama sekali tak beralasan, Manisku. Sang pemimpin memanggil kita
semua bukan karena kita berbuat salah. Tapi karena...."
Mendengar ucapan kekasihnya yang meng-
gantung, si wanita mengerutkan kening. Terdorong rasa tak sabar, wanita cantik
bertubuh sintal ini mendesak
"Karena apa" Segeralah kau jelaskan agar
aku tak penasaran,"
Si lelaki tersenyum. Dikecupnya kening si
wanita, lalu berkata, "Yang akan dibicarakan oleh
sang pemimpin ada hubungannya dengan seorang
pemuda gembel bernama Suropati."
"Bocah konyol bergelar Pengemis Binal
itu?" "Ya."
"Kau yakin?"
Si lelaki kembali tersenyum. "Kau tak perlu
khawatir, Manisku. Kita semua tidak ada yang
berbuat salah. Sang pemimpin tak akan menjatuhkan hukuman kepada siapa pun. Oleh
karena itu, hilangkan segala pikiran buruk di benakmu.
Kita bisa menggunakan sisa waktu ini untuk..."
Tangan kiri lelaki berkuncir meraih pinggang kekasihnya. Sementara, tangan
kanannya langsung meraba-raba daerah di sekitar dada.
Kembali si wanita menggelinjang, Apalagi setelah
bibirnya dilumat dengan ciuman panas. Tapi ketika ciuman lelaki berkuncir pindah
ke lehernya yang jenjang, si wanita berkelit
"Jangan...," tolaknya.
"Kenapa?" tanya si lelaki, heran. Tidak biasanya si wanita berlaku seperti ini.
Biasanya si wanitalah yang merengek-rengek meminta si lelaki untuk menuruti hasrat hatinya
yang selalu bergelora bagai kuda binal yang tak pernah puas.
Si wanita diam. Keningnya berkerut rapat.
"Apa lagi yang kau pikirkan, Manisku Dewi
Asmara" Bila kita sudah berada di Pesanggrahan
Pelangi, mana sang pemimpin mau memberi kesempatan kepada kita untuk berdua-
duaan?" "Aku tahu itu. Tapi cobalah kau jelaskan
dulu, kenapa sang pemimpin harus membicarakan seorang bocah konyol macam
Suropati?"
Narita yang berada di ruangan sebelah dalam tersentak mendengar nama Pengemis
Binal disebut beberapa kali. Karena tertarik untuk
mengikuti arah pembicaraan dua orang yang berada di ruangan depan, Narita
menggagalkan semadinya. Dia pasang telinga lebar-lebar. Tetap
duduk diam di kolong meja pemujaan.
"Manisku Dewi Asmara..., " sebut lelaki
berkuncir, penuh kemesraan. "Kemungkinan besar kehadiran Suropati di Negeri
Pasir Luhur ini
dianggap berbahaya oleh sang pemimpin. Bukankah kita telah tahu bila pemuda
gembel itu diundang Putri Impian ke Istana Langit. Apa lagi maksud Putri Impian
kalau tidak untuk meminta bantuan. Lagi pula, Suropati pun telah berani menotok
dan menyiksa Iblis Mata-Satu. Oleh karena
itulah sang pemimpin memandang perlu untuk
membicarakan urusan ini...."
"Kekasihku Dewa Cinta...," sebut Dewi Asmara. Suaranya terdengar bergetar karena
terbawa perasaannya yang tak enak. "Tadi siang, kita
menyaksikan dengan mata kepala sendiri, Suropati sama sekali tak berdaya
menghadapi Raja
Angin Barat. Tubuhnya dilemparkan tanpa mam-
pu berbuat apa-apa. Dia pasti sudah mati dengan
tubuh hancur lebur.... Kecuali, kalau dia punya
kesaktian yang bisa disejajarkan dengan dewa.
Tapi, kukira itu tidak mungkin. Kalau dia punya
kesaktian sejajar dengan dewa, bagaimana dia bisa begitu mudah dilumpuhkan oleh
Raja Angin Barat?" "Kau tidak salah, Manisku...," sambut Dewa Cinta. "Suropati memang tidak sehebat
dewa, tapi nasib baik masih setia mengikutinya. Seseorang telah menyelamatkan jiwa
pemuda gembel itu." "Dari mana kau tahu?"
"Apakah kau lupa bila aku punya ilmu
'Pelacak Jejak', Manisku" Dengan ilmu itu aku bisa mendengar getaran tubuh
seseorang dari jarak
ratusan bahkan ribuan tombak. Sampai saat ini,
aku masih mendengar getaran tubuh Suropati.
Berarti dia masih, hidup."
Dewi Asmara mengangguk-angguk, tanda
mengerti. Tapi, segera wanita cantik ini mengajukan pertanyaan lagi.
"Kekasihku, tahukah kau siapa yang telah
menyelamatkan bocah konyol itu?"
"Dari getaran yang kudengar dan kurasakan, sang penolong itu bertubuh cacat.
Kedua tangannya buntung dan dia sudah berusia lanjut."
"Peramal Buntung?" tebak Dewi Asmara.
"Tepat! Aku juga menduga dia," tegas Dewa
Cinta. "Bila kita melaporkan kejadian ini kepada
sang pemimpin, kita bisa mendapat nama baik.
Dan, ada kemungkinan kita juga akan mendapatkan sesuatu sebagai hadiah,..."
"Tidak," kepala Dewa Cinta menggeleng.
"Sang pemimpin mengundang seluruh anak
buahnya untuk membicarakan Suropati, tentu
karena dia sudah tahu bila Suropati masih hidup."
"Hmmm..... Kenapa sang pemimpin begitu
takut kepada Suropati" Apakah karena bocah konyol itu memiliki sesuatu yang bias
membahayakan sang pemimpin dalam meraih cita-citanya?"
Dewa Cinta mengangkat bahu. "Aku tak
tahu," katanya. "Tapi, kita tak perlu menghabiskan waktu dengan membicarakan
pemuda gembel yang sok jago itu. Ada baiknya bila kita....
Hmmm...." Dewi Asmara dapat menangkap isyarat mata yang dilempar kekasihnya. Berlainan
dengan tadi, wanita cantik ini tampak pasrah manakala
Dewa Cinta memeluk tubuhnya seraya mendaratkan ciuman ganas. Dia pun menurut
saja ketika dibaringkan ke lantai kuil yang dingin.
"Malam ini kau kelihatan cantik sekali,
Manisku...," ujar Dewa Cinta.
"Hmmm...."
Dewa Cinta mendaratkan ciuman-ciuman
panas menggelora. Tak sabaran jemari tangannya
membuka kancing baju sang kekasih. Lalu, dia
benamkan wajahnya ke belahan dada yang diapit
dua bulatan kenyal halus mulus. Dewi Asmara
menggelinjang merasakan urat-urat darahnya
yang menggeletar.
Di ruangan sebelah dalam, Narita tak mendengar lagi percakapan Dewa Cinta dan
Dewi Asmara. Yang dapat didengarnya kini hanyalah dengus napas memburu dan suara
merintih-rintih.


Pengemis Binal 27 Bidadari Pulau Penyu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Narita tak tahu apa yang tengah diperbuat oleh
Dewa Cinta dan Dewi Asmara. Dia pun tak berani
menebak. Otaknya sedang sibuk memikirkan
makna percakapan yang baru saja dia dengar.
"Aku senang karena Kak Suro masih hidup," kata Narita dalam hati. "Tapi, kenapa
kedua orang itu sepertinya tak suka terhadap Kak Suro"
Dari, siapa orang yang mereka sebut sebagai sang
pemimpin" Sudah jelas bila mereka adalah orangorang Pesanggrahan Pelangi. Kalau
begitu, yang mereka sebut sebagai sang pemimpin itu pasti Siluman Ragakaca...."
Kening Narita berkerut rapat. Bocah perempuan ini tengah berpikir keras.
"Aku tahu Pesanggrahan Pelangi adalah
tempat bernaung orang-orang jahat. Beberapa
kali Lembah Makam Pelangi didatangi orangorang yang mengaku utusan Siluman
Ragakaca. Mereka membujuk Ayah agar mau menjadi pengikutnya. Tapi, Ayah selalu menolak.
Ayah yang keras kepala dan sangat teguh memegang pendirian
tak mungkin bergabung dengan orang jahat. Semua utusan Siluman Ragakaca yang
berani masuk ke Lembah Makam Pelangi pasti mati dibunuh Ayah. Tapi...."
Kerut di kening Narita makin rapat. Dia
memeras otaknya untuk berpikir lebih keras. Tak
dia pedulikan lagi suara-suara aneh yang terdengar dari ruangan depan.
"Bagaimana dua orang yang berada di
ruangan depan itu tahu Ayah telah melemparkan
tubuh Kak Suro keluar dari Lembah Makam Pelangi" Mungkinkah mereka memang
ditugaskan Siluman Raga kaca untuk mengintai segala gerakgerik Ayah" Mereka pasti punya
tujuan tak baik.
Orang-orang Pesanggrahan Pelangi memang pantas dibinasakan!"
Mengikuti pikiran di benaknya, Narita beranjak dari kolong meja pemujaan.
Didikan keras ayahnya, Raja Angin Barat, telah membuat Narita
tak mengenal rasa takut. Walau usia Narita belum lewat dua belas tahun, tapi dia
telah sering membunuh orang.
Semua orang yang berani masuk ke Lembah Makam Pelangi harus dibunuh. Dan, Narita
telah melaksanakan aturan yang dibuat ayahnya
itu dengan baik, kecuali pada Suropati. Karena
didikan ayahnya juga, Narita jadi sangat benci
terhadap orang-orang Pesanggrahan Pelangi. Maka tanpa pikir panjang lagi, Narita
bermaksud membunuh Dewa Cinta dan Dewi Asmara. Tapi
sebelum dia bangkit berdiri, terdengar suara wanita mengeluh dari ruangan depan.
Karena masih ingin tahu apa yang hendak diperbincangkan, Narita menunda keinginannya.
"Uh...! Sudahlah!" sentak Dewi Asmara, berusaha merenggangkan tubuhnya dari
pelukan Dewa Cinta. "Kau kenapa" Aku belum selesai!"
"Sudahlah! Pikiranku tak enak lagi!"
Dewi Asmara mendorong tubuh Dewa Cinta
yang masih berusaha untuk dapat melepas hasrat
hatinya yang bergelora. Mendapat tolakan yang
sedikit kasar dari sang kekasih, Dewa Cinta mendelikkan mata. Tapi melihat sorot
mata Dewi Asmara yang benar-benar menyiratkan kekhawatiran, Dewa Cinta berusaha
meredam hasrat hatinya yang menyentak-nyentak.
"Ada apa, Manisku...?"' tanya Dewa Cinta,
merangkak bangkit dari atas tubuh kekasihnya.
Dewi Asmara menarik napas panjang. Jemari tangannya yang lentik cepat membenahi
pakaian yang dia kenakan. Sementara, Dewa Cinta
menatapnya dengan bola mata melotot besar. Lelaki berkuncir ini sadar bila tak
mungkin lagi mendaki sampai ke puncak kenikmatan. Dewi
Asmara telah menyudahi permainan.
"Kau kenapa, Manisku?" Dewa Cinta bertanya lagi. Suaranya dingin bergetar karena
memendam rasa kecewa.
"Aku khawatir akan terjadi sesuatu yang
tidak kita inginkan. Jangan-jangan...," Dewi Asmara tak melanjutkan kalimatnya.
Wanita cantik ini menatap wajah Dewa Cinta lekat-lekat, seperti
meminta perlindungan.
"Apa lagi yang mengusik pikiranmu, Manisku?"
"Bocah konyol itu."
"Suropati?"
Kepala Dewi Asmara mengangguk lemah.
Dewa Cinta menatap dengan alis bertaut.
"Jangan-jangan kehadiran bocah konyol itu
adalah awal malapetaka... " ujar Dewi Asmara lirih, seperti menggumam.
"Kenapa kau takut, Manisku?" sahut Dewa
Cinta, heran. "Bukankah kita sudah dapat mengukur sampai di mana ketinggian
ilmunya?" "Aku tahu, tapi.... Kau ingat-bagaimana dia
dengan mudah membinasakan Sepasang Racun
Api?" "Dia memang punya ilmu pukulan hebat.
Tapi, itu bukan jaminan bahwa dia akan dapat
menciptakan malapetaka bagi kita. Kau tahu sendiri bukan ilmu pukulan pemuda
gembel itu tak mampu melawan ilmu 'Tangan Langit' Raja Angin
Barat?" ''Bukan itu yang mengganggu pikiranku...."
"Lalu, apa?"
"Ketika Suropati membinasakan Sepasang
Racun Api, kita melihatnya dengan jelas dan sadar. Kita tahu bila Sepasang Racun
Api juga orang bawahan sang pemimpin seperti kita. Tapi,
kenapa kita tidak turun tangan untuk membantu
mereka" Kenapa kita cuma diam melihat dua
orang teman dibunuh orang" Tidakkah ini akan
membuat murka sang pemimpin?"
Dewa Cinta menghela napas panjang. Lelaki berkuncir ini bisa mengerti jalan
pikiran Dewi Asmara. Benaknya turut kusut kini. Getar kekhawatiran terasa pula di lubuk hati.
"Ya..., kita memang telah berlaku tidak benar. Tapi, kita tidak bisa disalahkan
begitu saja...," ujar Dewa Cinta kemudian.
"Maksudmu?" tanya Dewi Asmara, tak
mengerti. "Setiap orang yang menjadi anggota Pesanggrahan Pelangi mendapat tugas yang
berbeda dari sang pemimpin. Tugas kita hanyalah mengintai gerak-gerik Raja Angin Barat
di Lembah Makam Pelangi. Kalau sampai Sepasang Racun Api
mendapat celaka dalam melaksanakan tugasnya,
itu bukan urusan kita."
"Tapi..., Sepasang Racun Api mati dibunuh
orang di depan mata kita. Sementara, kita tak
berbuat apa-apa. Bagaimana kalau sang pemimpin meminta penjelasan?"
Dewa Cinta diam. Pikirannya kusut. Hatinya kalut. Apa yang dikhawatirkan oleh
Dewi Asmara kini dirasakannya juga. Sementara, Dewi
Asmara pun semakin digeluti rasa takut. Apalagi
setelah melihat wajah kekasihnya yang turut memucat,
"Kenapa baru sekarang kau katakan hal
ini?" sentak Dewa Cinta, seperti menyalahkan
Dewi Asmara. "Pada mulanya aku juga berpikiran sama
denganmu. Setiap anggota Pesanggrahan Pelangi
mempunyai tugas berbeda. Kenapa mesti mencampuri urusan orang lain" Tapi, aku
punya pikiran lain setelah memasuki kuil ini. Rasa khawatir
dan takut itu muncul setelah aku berada di kuil
ini. Kau jangan salahkan aku!" ujar Dewi Asmara,
setengah membentak.
Paras Dewa Cinta mengelam tiba-tiba. Dia
mengepal jemari tangan dengan gigi bertaut rapat.
Matanya nanar memandang perapian yang hampir padam. Dia tahu bila waktu tengah
malam hampir tiba. Itu berarti dia harus segera menghadap Siluman Ragakaca di
Pesanggrahan Pelangi.
"Kalau tahu begini, tak akan kubiarkan
ada orang menolong pemuda gembel itu!" geram
Dewa Cinta. "Mestinya kucabik-cabik tubuh Suropati! Selain untuk membalas
kematian Sepasang Racun Api, juga untuk menyelamatkan diriku sendiri."
Mendadak, dari ruangan kuil sebelah dalam berkelebat sesosok bayangan dibarengi
teriakan, ''Kau tak akan pernah mampu mencabikcabik tubuh Kak Suro! Karena, riwayatmu akan
kututup sampai di sini!"
Dewa Cinta dan Dewi Asmara melonjak kaget. Mereka sama-sama tak menduga bila di
dalam kuil ada orang lain. Lebih kaget lagi Dewa
Cinta. Bagaimana mungkin dia bisa tak mendengar getaran tubuh orang lain di
dalam kuil"
Sosok yang baru muncul hanyalah seorang
bocah perempuan dua belas tahunan. Mengenakan pakaian hijau yang dihiasi renda-
renda sulaman berupa bunga aneka warna. Di kepalanya
terdapat dua pita kupu-kupu, mengikat rambutnya yang hitam panjang.
"Narita...!" desis Dewi Asmara.
"Ya! Aku memang Narita. Aku mewakili
ayahku untuk menghukum mati orang-orang jahat macam kalian!" ujar si bocah yang
tak lain Narita, putri Raja Angin Barat.
Melihat keberanian si bocah, Dewi Asmara
terkesiap. Demikian pula Dewa Cinta. Mereka tahu benar bila ancaman Narita
bukanlah bualan
kosong. Dewa Cinta dan Dewi Asmara pernah melihat Narita membunuh orang beberapa
kali di Lembah Makam Pelangi. Dari situlah mereka dapat mengukur ketinggian ilmu putri
Raja Angin Barat ini. "Hmmm.... Bocah ini mempunyai ilmu meringankan tubuh yang hebat. Ilmu 'Tangan
Langit'-nya pun hampir mencapai taraf sempurna.
Ada baiknya bila aku serang terlebih dahulu...,''
pikir Dewa Cinta
"Kalian adalah orang-orang Pesanggrahan
Pelangi yang sangat kejam dan berhati busuk! Kalian harus menyusul kematian
Sepasang Racun Api!" ancam Narita.
Bocah perempuan ini benar-benar ingin
melaksanakan ancamannya. Karena tahu orangorang Pesanggrahan Pelangi berilmu
tinggi, dia segera mengeluarkan ilmu ajaran ayahnya yang
terhebat. Ilmu 'Tangan Langit'! Namun, keberanian Narita tanpa disertai
perhitungan yang matang. Sampai di mana pun ketinggian ilmunya,
dia tentu kalah pengalaman dengan Dewa Cinta
dan Dewi Asmara.
Selagi dia memutar-mutar kedua tangannya di depan dada untuk mengetrapkan ilmu
'Tangan Langit', Dewa Cinta telah mengirim serangan dengan menghentakkan telapak
tangannya yang telah dialiri tenaga dalam.
"Heah..,!"
Wesss...! Narita terkejut mendengar suara menderu
ganas menuju ke arahnya. Tahu ada serangkum
angin pukulan yang cukup berbahaya, Narita
mempercepat putaran kedua tangannya. Putaran
yang disertai pengerahan tenaga dalam tingkat
tinggi menimbulkan tiupan angin kencang. Akibatnya, dua kekuatan bentrok. Timbul
suara ledakan keras. Sebagian atap kuil runtuh. Dinding
kuil pun retak di sana sini.
Dewa Cinta mendelikkan mata melihat kekuatan tenaga dalam Narita. Sebelum
perapian padam, dia pun masih sempat melihat kedua tangan Narita yang membesar beberapa
kali dari ukuran normal. Seperti dapat membaca pikiran Dewa Cinta, tiba-tiba Dewi Asmara memekik parau.
Kedua tangannya menghentak ke depan. Sekali lagi serangkum angin pukulan meluruk.
Narita mendengus dingin. Kedua tangannya yang telah
membesar dikibaskan. Kembali ledakan keras
terdengar memekakkan gendang telinga. Sebagian
atap kuil runtuh lagi. Dinding yang telah retakretak kini turut runtuh. Suara
hiruk-pikuk yang
sangat gaduh memecah belah kesunyian malam.
Pada saat inilah, di mana pandangan masih tertutup reruntuhan kuil, Dewa Cinta
berkelebat. Narita yang tak lagi melindungi dirinya
dengan ilmu 'Penghilang Tanda Kehidupan' dapat
diketahui dengan mudah di mana dia berada. Sekejap mata kemudian, Narita tak
mampu berge- rak. Kedua tangannya mengecil lagi. Tubuhnya
kaku kejang akibat totokan yang dilancarkan oleh
Dewa Cinta. "Ha ha ha...!" Dewa Cinta tertawa puas.
"Bocah ingusan macam kau mana dapat membunuh Dewa-Dewi Kayangan!"
"Apakah aku harus membunuh dia, Kekasihku?" tanya Dewi Asmara dengan sikap manja
merayu. Wanita ini bangga melihat kehebatan
sang kekasih, "Uts! Kita tidak boleh mengulang perbuatan
bodoh. Kita telah salah karena membiarkan Sepasang Racun Api dibunuh Suropati.
Tapi. kini kita
akan menebus kesalahan itu. Sang pemimpin
akan senang melihat putri Raja Angin Barat kita
hadapkan ke Pesanggrahan Pelangi."
"Sebuah gagasan yang jitu!"
Terbawa luapan rasa gembira, Dewi Asmara memeluk tubuh Dewa Cinta. Dilumatnya
bibir sang kekasih dengan hasrat menggebu-gebu. Sementara, Dewa Cinta membalasnya
dengan rabaan-rabaan yang mampu membuat seluruh urat
darah Dewi Asmara bergeletar tak karuan. Untuk
beberapa lama, jiwa Dewa-Dewi Kayangan ini melayang-layang di surga kenikmatan.
"Jahanam! Lepaskan aku!" hardik Narita
Namun, suaranya segera lenyap tertindih dengus
napas dan rintihan panjang penuh nafsu.
*** 2 Manakala mentari pagi menyapa hangat,
bunga-bunga bakung mekar tersenyum dalam belaian sang bayu. Butiran embun
bergulir dari pucuk-pucuk daun, teriring gemulai halimun yang
membubung untuk segera lenyap dari pandangan. Terusik kicau burung yang
menyambut bergantinya hari, seorang remaja tampan membuka
mata dan menyelesaikan semadinya. Butiran embun bercampur keringat membasahi
pakaiannya yang penuh tambalan. Dia si Pengemis Binal Suropati.


Pengemis Binal 27 Bidadari Pulau Penyu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Cukup lama Tuan Muda bersemadi. Kukira Tuan Muda telah dapat mengatasi luka
dalam. Untung lemparan 'Tangan Langit' Raja Angin Barat tidak sampai membuat pecah
urat-urat darah
Tuan Muda...," ujar seorang kakek buntung berompi dan bercelana kuning yang
setia menunggui Suropati bersemadi. Kakek berkumis dan berjenggot panjang ini
mengenakan ikat kepala yang
terbuat dari besetan kulit pohon kasar berduri.
"Terima kasih, Kek...," ucap Pengemis Binal, tulus. "Entah akan jadi apa tubuhku
ini seandainya Kakek tidak memberikan pertolongan."
"Ah! Tuan Muda jangan membesarbesarkan pertolonganku yang tidak ada artinya...,"
sambut kakek berompi kuning yang tak
lain Peramal Buntung. "Bukankah yang kulakukan sudah menjadi kewajibanku?"
"Kakek, jangan memanggilku dengan sebutan 'tuan muda'. Aku yang miskin papa ini
jadi tak enak hati." ,
"Itu tak menjadi apa, Tuan Muda. Karena,
aku harus menepati janji untuk menjadi budak
pengiring Tuan Muda seumur hidup."
Suropati menatap sejenak wajah Peramal
Buntung, lalu menggaruk kepalanya yang tak
gatal. Ada yang tak bisa dia mengerti dari sikap
Peramal Buntung. Tempo hari, waktu Peramal
Buntung bertaruh dengan Dewa Peramal yang
mengunggulkan dirinya, dia tak bermaksud melayani dengan sungguh-sungguh. Tapi,
Peramal Buntung yang kalah bertaruh benar-benar menepati janjinya. Tentu saja Suropati
jadi tak enak hati karena Peramal Buntung, seorang tokoh tua
yang cukup punya nama di Negeri Pasir Luhur,
harus menjadi budak pengiringnya seumur hidup.
(Tentang pertaruhan antara Peramal Buntung
dengan Dewa Peramal bisa disimak pada serial
Pengemis Binal dalam episode: "Sepasang Racun
Api"). "Aku heran dan sungguh tak habis mengerti, kenapa Raja Angin Barat membuat
aturan sepihak di Lembah Makam Pelangi" Kenapa pula
dia mendidik putrinya dengan pengertian yang salah?" ujar Pengemis Binal
kemudian, lirih dan
hampir tak terdengar.
"Raja Angin Barat adalah salah satu tokoh
pilih tanding di Negeri Pasir Luhur ini. Dia terkenal dengan ilmu 'Tangan
Langit'-nya yang dahsyat luar biasa. Dia juga terkenal sebagai tokoh
yang amat teguh dalam pendirian, keras kepala
namun arif bijaksana," tutur Peramal Buntung
tanpa diminta. "Aneh!" seru Suropati. "Kalau Raja Angin
Barat adalah orang yang arif bijaksana, kenapa
dia membuat aturan gila" Apa untungnya bagi dia
dengan membunuh semua orang yang berani masuk ke Lembah Makam Pelangi" Narita
putrinya pun telah dijejali pengertian-pengertian yang salah. Hingga, dalam diri Narita
timbul satu anggapan bahwa membunuh orang adalah perbuatan
yang biasa. Tak sedikit pun terkandung dalam pikiran Narita bila membunuh adalah
perbuatan dosa..." "Raja Angin Barat menanamkan pengertian
seperti itu kepada putrinya bukan tak ada sebabnya. Rasa sedih yang dalam bisa
membuat batin terpukul. Dan, itu bisa mengguncangkan jiwa.
Akibat keguncangan jiwa, terkadang pikiran dan
perilaku jadi tak terkendali lagi...."
"Maksud Kakek, Raja Angin Barat mengalami keguncangan jiwa yang menyebabkan
dirinya tak sadar terhadap apa-apa yang telah diperbuatnya?"
"Begitulah. Sekitar dua puluh tahun yang
lalu, Raja Angin Barat mempunyai seorang murid
perempuan bernama Maharani. Tuhan menakdirkan mereka untuk menjadi sepasang
suami-istri. Dalam diri mereka tumbuh benih-benih cinta, walau ketika itu usia Raja Angin
Barat telah menginjak kepala lima, sementara Maharani baru berusia tujuh belas
tahun. Ibarat sekuntum bunga,
Maharani baru mekar berkembang...."
"Lalu, kenapa Jiwa Raja Angin Barat jadi
terguncang" Apakah karena ditinggal mati Maharani yang sangat dicintainya?"
"Ya. Kejadiannya sekitar dua belas tahun
yang lalu. Waktu itu Maharani tengah mengandung delapan bulan. Seorang wanita
yang sedang mengandung sebenarnya tak baik melatih tenaga
dalam. Raja Angin Barat tahu benar akan hal itu.
Tapi, Maharani punya sifat keras kepala. Peringatan Raja Angin Barat sama sekali
tak dia pedulikan. Hingga, terjadilah peristiwa yang amat menyedihkan hati Raja
Angin Barat itu. Di sebuah
lembah, yang kemudian disebut sebagai Lembah
Makam Pelangi, saat Maharani bersemadi untuk
meningkatkan kekuatan tenaga dalam, datang seseorang yang mempunyai dendam
kesumat terhadap Raja Angin Barat..."
"Siapa nama orang itu?"
"Namanya aku tak tahu. Dia terkenal dengan julukan Hakim Neraka."
"Hakim Neraka" Sungguh sebuah julukan
yang sangat menggidikkan...."
"Kedatangan Hakim Neraka adalah untuk
melampiaskan dendam kesumatnya terhadap Raja. Angin Barat. Tapi, waktu itu Raja
Angin Barat tidak berada di lembah. Hakim Neraka yang beringasan gampang naik darah. Tak
berjumpa dengan Raja Angin Barat, dia punya pikiran untuk menjadikan Maharani sebagai
sandera. Maharani yang tengah bersemadi ditotoknya. Hakim
Neraka sebenarnya sama sekali tak menduga bila
totokannya akan mengakibatkan kematian Maharani. Kalau saja Maharani tak
bersemadi untuk
meningkatkan kekuatan tenaga dalam, totokan
Hakim Neraka hanya akan membuat lumpuh sementara. Tapi karena dia tengah
mengandung, di mana dalam perutnya terdapat janin yang bernyawa, totokan Hakim Neraka membuat
Maharani 'Salah Api'. Beberapa urat darahnya pecah, dan
mengakibatkan kematian...."
Pengemis Binal mengangguk-angguk mendengar cerita Peramal Buntung. Dari gurunya,
mendiang Periang Bertangan Lembut, remaja
tampan ini juga pernah mendengar istilah 'Salah
Api'. Bila seseorang yang tengah bersemadi mengalami 'Salah Api', dia bisa mati,
atau paling tidak, kedua tangan dan kakinya menjadi lumpuh.
"Setelah menotok Maharani, Hakim Neraka
terkejut luar biasa. Apalagi setelah mengetahui
Maharani tengah hamil tua. Timbul rasa sesal dalam diri Hakim Neraka. Mungkin
karena penyesalannya itulah dia mengundurkan diri dari rimba
persilatan. Sampai sekarang, Hakim Neraka tak
terdengar kabar beritanya lagi."
"Lalu, apa yang dilakukan Raja Angin Barat
setelah mengetahui istrinya mati dibunuh orang?"
"Dari jejak-jejak di lembah dan bekas totokan di tubuh Maharani, Raja Angin
Barat yang berpengalaman luas tahu bila si pembunuh adalah Hakim Neraka. Namun, Raja Angin
Barat harus melupakan dulu urusannya dengan Hakim
Neraka. Nyawa bayi yang berada di kandungan
Maharani lebih penting. Dengan susah payah,
dan mencurahkan segenap tenaga. Raja Angin
Barat dapat menyelamatkan nyawa anaknya. Setelah membangun Makam Pelangi untuk
mengenang Maharani, Raja Angin Barat ke luar lembah.
Dengan membawa bayinya, dia berusaha menemukan Hakim Neraka. Tapi, hanya rasa
kecewa yang didapatkannya. Hakim Neraka tak dapat ditemukan. Pembunuh Maharani itu
benar-benar lenyap bagai ditelan bumi. Lalu, Raja Angin Barat
kembali ke Lembah Makam Pelangi, dan hilanglah
dia dari percaturan rimba persilatan...."
"Anak Raja Angin Barat itu pasti Narita"
"Tepat. Tokoh-tokoh tua di Negeri Pasir Luhur ini sebagian besar tahu cerita
tentang perjalanan hidup Raja Angin Barat....''
"Kasihan sekali Narita...," desah Pengemis
Binal. "Dia harus hidup bersama seorang ayah
yang kurang waras...."
"Jangan salah mengerti, Tuan Muda," sahut Peramal Buntung. "Raja Angin Barat
tidak gila. Hanya karena desakan rasa benci terhadap
Hakim Neraka, dia sampai membuat aturan sepihak di Lembah Makam Pelangi."
"Tapi, Narita yang masih lugu pun harus
menanggung akibatnya. Otaknya telah dijejali
pengertian yang salah. Sungguh patut disayangkan. Sebenarnya, Narita adalah
seorang anak yang baik. Mudah-mudahan ketika dewasa nanti,
dia bisa membenahi pengertian-pengertian yang
salah dalam dirinya...."
"Ya..., ya! Kalau membantu tenaga tak dapat, kita memang cuma bisa membantu
dengan doa." Pengemis Binal menarik napas panjang.
Badannya terasa segar, sesegar udara pagi yang
cerah. Ditatapnya bongkahan batu yang bertebaran. Ditatapnya langit biru yang
memayungi mentari. Mendadak, ingatan pemimpin Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti ini melayang ke Istana
Langit. Di sanalah Ratu Istana Dalam yang bernama Putri Impian memberikan
Mustika Batu Merpati. Tapi, batu mustika itu lenyap dilarikan
orang ketika jatuh dari mulut Suropati usai digunakan untuk mendatangi tempat
kediaman Sepasang Racun Api.
"Kek, apakah kau kenal dengan seorang
wanita berambut putih dan mengenakan penutup
kepala dari emas mirip mahkota raja?" tanya Pengemis Binal, menyebut ciri-ciri
orang yang telah
melarikan Mustika Batu Merpati.
Kening Peramal Buntung berkerut. Setelah
memutar otak beberapa saat, dia berkata, "Mungkin yang Tuan Muda maksud adalah
Bidadari Pulau Penyu."
"Apakah dia biasa mengenakan pakaian ketat warna merah kuning?"
"Ya. Dia kakak kandung Dewi Asmara. Mereka sama-sama menyukai warna merah dan
kuning." "Dewi Asmara..,?" gumam Suropati. "Aku
banyak mendengar nama tokoh di Negeri Pasir
Luhur ini, tapi tak satu pun yang kukenal"
"Kenapa Tuan Muda menanyakan Bidadari
Pulau Penyu?" tanya Peramal Buntung. "Apakah
Tuan Muda punya urusan dengannya?"
"Hanya urusan kecil yang tak seberapa
penting," ujar Pengemis Binal tak berterus terang.
"Tapi, aku harus menjumpai Bidadari Pulau
Penyu secepat mungkin. Bisakah Kakek memberitahukan di mana wanita itu berdiam
diri?" "Pulau Penyu. Bidadari Pulau Penyu menjadi seorang ratu kecil di pulau itu,"
sahut Peramal Buntung. "Kalau Tuan Muda bermaksud mendatanginya, dengan senang
hati aku akan menemani. Namun sebelumnya Tuan Muda kuingatkan, Bidadari Pulau
Penyu punya sifat jahat
dan kejam. Yang lebih penting lagi, dia suka
mempermainkan pemuda-pemuda tampan. Tuan
Muda harus hati-hati..."
"Jangan khawatir, Kek. Aku cukup dewasa
untuk dapat menjaga diri sendiri," sambut Pengemis Binal sambil menyungging
senyum. Mengetahui Bidadari Pulau Penyu suka mempermainkan pemuda-pemuda tampan,
semakin besar hasrat hatinya untuk segera menemui wanita itu.
"Dari sini, untuk menuju ke Pulau Penyu
akan memakan waktu setengah hari perjalanan
kuda. Apakah kita akan berangkat sekarang,
Tuan Muda?" ujar Peramal Buntung, berlaku sebagai seorang budak pengiring yang
baik. Tak mau menanyakan tujuan Suropati yang sebenarnya.
Namun sebelum dua anak manusia ini beranjak dari tempat masing-masing, lamat-
lamat terdengar suara tempurung kelapa membentur
benda keras. Tok! Tok! Tok! Kemudian, disusul kelebatan sesosok
bayangan yang menimbulkan tiupan angin kencang. Di lain kejap, Pengemis Binal
dan Peramal Buntung melihat seorang kakek tak punya mata
telah berdiri di hadapan mereka. Kakek yang baru
muncul bertubuh kurus kering, mengenakan pakaian dekil compang-camping. Dua buah
belahan tempurung kelapa hitam mengkilat melekat di kedua telapak kakinya.
"Kakek Dewa Peramal...," sapa Pengemis
Binal. "Ya. Aku memang Dewa Peramal...," sambut kakek buta, Dewa Peramal. "Kalau tak
salah aku menerka, yang berdiri di hadapanku bukankah bocah bagus si Pengemis Binal
Suropati dan sahabat baikku Peramal Buntung?"
"Tak salah kau menerka, sahabatku Dewa
Peramal," sahut Peramal Buntung. "Aku memang
Peramal Buntung dan yang berdiri di sebelah kananku adalah Suropati.... Kau
datang dengan berlari secepat angin. Kau datang dengan alis bertaut. Apakah kau
tengah mengkhawatirkan sesuatu, sahabatku Dewa Peramal?"
"Hmmm.... Aku tahu kalian telah membuat
kesepakatan. Aku tahu kalian telah bersiap diri
untuk pergi ke suatu tempat. Bukan aku ingin
mencampuri urusan kalian. Tapi, tidaklah salah
kalau aku bertanya karena aku tak punya maksud buruk. Ke manakah kalian hendak
pergi?" Mendengar nada bicara Peramal Buntung
dan Dewa Peramal, perut Suropati jadi sakit ka-
rena menahan tawa. Nada ucapan mereka seperti
melantunkan sebuah syair saja. Karena tak mau
menyinggung perasaan kedua tokoh tua ini, Suropati menahan tawa sebisa mungkin.
"Sungguh tajam kau punya naluri, sahabatku Dewa Peramal," puji Peramal Buntung.
"Kami memang hendak pergi ke suatu tempat.
Tempat yang cukup berbahaya. Tapi, kau tak perlu khawatir. Aku dan Tuan Muda
Suropati cukup bisa menjaga diri."
"Hmmm...," Dewa Peramal memalingkan
kepala ke kanan. Kerut di keningnya makin merapat.
"Sahabatku Peramal Buntung, kalau boleh
aku yang buruk rupa ini tahu, ke manakah kau


Pengemis Binal 27 Bidadari Pulau Penyu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan tuan mudamu ini hendak pergi?"
"Aku dan Kakek Peramal Buntung hendak
pergi ke Pulau Penyu, Kek," Suropati yang menjawab.
"Pulau Penyu?" kejut Dewa Peramal "Bukankah itu tempat kediaman Bidadari Pulau
Penyu?" "Ya. Memangnya ada apa?" tanya Peramal
Buntung. "Tak ada apa-apa. Aku hanya sekadar bertanya," jawab Dewa Peramal
Setelah memalingkan kepala ke kiri dan ke
kanan, kakek buta ini mengeluarkan sebuah
bonggol akar berwarna putih berkilat dari balik
bajunya. "Akar Kayangan...," desis Peramal Buntung. Melihat benda di tangan Dewa Peramal
yang bernama Akar Kayangan, Pengemis Binal gelenggeleng kepala. Namun, remaja tampan
ini segera sadar bila benda yang dipegang Dewa Peramal
memang pantas diberi nama Akar Kayangan.
Bonggol akar itu pernah menyelamatkan jiwa Putri Ayu Jelita dari serangan 'Racun
Pencair Raga' yang sangat mematikan.
"Untuk apa kau tunjukkan akar ajaib itu,
sahabatku Dewa Peramal?" tanya Peramal Buntung yang melihat Dewa Peramal
menimangnimang Akar Kayangan.
Dewa Peramal tak menjawab. Wajahnya diluruskan ke depan seraya menyodorkan Akar
Kayangan ke hadapan Suropati. Tentu saja Suropati tak tahu maksud Dewa Peramal.
Untuk beberapa lama, remaja tampan ini hanya menatap wujud Akar Kayangan tanpa
berbuat apa-apa.
"Terimalah...," kata Dewa Peramal tiba-tiba.
"Apa" Akar ajaib itu kau berikan kepadaku" Kau
sadar apa yang kau lakukan, Kek?" ujar Pengemis
Binal, tak percaya.
"Jangan salah mengerti, Bocah Bagus," sahut Dewa Peramal sambil menyungging
senyum. "Akar yang berkhasiat ampuh untuk melawan segala jenis racun ini bukan kuberikan
kepadamu. Aku hanya meminjamkannya."
"Untuk apa?"
"Sudahlah. Kau terima saja. Pada saatnya
nanti, kau pasti mengerti."
Melihat kesungguhan Dewa Peramal, akhirnya Pengemis Binal menerima Akar Kayangan
yang kemudian disimpannya di balik baju. Se-
mentara, Peramal Buntung terlihat menganggukanggukkan kepala. Firasat kakek
berompi kuning ini mengatakan bila Akar Kayangan kelak benarbenar akan dibutuhkan oleh Pengemis
Binal. "Bocah bagus...," sebut Dewa Peramal "Aku
tahu di balik ketampanan wajahmu, juga menyimpan kehalusan budi.... Aku yang
buruk rupa ini mempunyai beberapa perkataan yang mungkin
kurang enak didengar, tapi alangkah baiknya bila
kau mau mendengarnya, Bocah Bagus...."
"Saya yang bodoh dan kurang pengalaman
tentu saja bersedia mendengar semua perkataan
Kakek Dewa Peramal yang bijaksana...," sambut
Pengemis Binal, membungkuk hormat.
Dewa Peramal memalingkan wajah ke kanan. Perlahan kaki kanannya terangkat, lalu
dihentakkan ke tanah tiga kali.
Tok! Tok! Tok! "Walau usiamu belum seberapa, tapi kau
punya wawasan cukup luas. Sulit mencari orang
seperti dirimu, Bocah Bagus," ujar Dewa Peramal,
wajahnya tetap berpaling ke kanan. "Kau mempunyai bayangan rontok kembang yang
mengandung banyak pertalian asmara, cinta, dan sifat
welas asih. Tapi..., getaran tubuhmu menyiratkan
pertumpahan darah. Seumur hidupmu, kau akan
banyak melakukan pembunuhan. Kuharap apa
pun yang kau lakukan berada di jalan kebenaran
dengan menjunjung tinggi nilai keadilan...."
Pengemis Binal menggaruk kepalanya
mendengar ucapan Dewa Peramal. Sementara,
Peramal Buntung bungkam seribu bahasa. Dia
tahu bila ucapan Dewa Peramal sama dengan apa
yang dirasakannya.
"Pada saat ini, getaran tubuhmu menyiratkan begitu banyak kesulitan. Aku
merasakan getaran lain, yang terus berputar di atas kepalamu. Mungkin... getaran itu
banyak mengandung
marabahaya," lanjut Dewa Peramal. "Namun,
dengan kehalusan budi dan sifat welas asih yang
kau miliki, akan banyak orang yang menawarkan
persahabatan. Pada saatnya nanti, mereka akan
memberikan pertolongan kepadamu. Tapi, sungguh suatu hal yang bijaksana apabila
kau selalu berhati-hati dalam berpikir untuk mengambil keputusan, terlebih lagi dalam
berlaku dan bertindak."
Di ujung kalimatnya, Dewa Peramal menggedrukkan lagi kaki kanannya yang diberi
alas tempurung kelapa. Tok! Tok! Tok! Di lain kejap,
Dewa Peramal membalikkan badan, lalu berkelebat lenyap dari pandangan Pengemis
Binal dan Peramal Buntung.
"Terima kasih, Kek...!" seru Pengemis Binal
Peramal Buntung menarik napas panjang.
Ditatapnya mentari yang telah beranjak naik. "Kita berangkat sekarang, Tuan
Muda?" tawarnya
kepada Pengemis Binal.
"Berangkat" Berangkat ke mana?" tanya
Pengemis Binal sambil nyengir kuda.
"Lho, katanya Tuan Muda mau ke Pulau
Penyu. " "Ooo.... Ya, ya! Aku harus menemui Bidadari Pulau Penyu secepatnya!"
*** Kakek kate berperut gendut ini menyelinap
dari balik bongkahan-bongkahan batu besar
mengikuti langkah kaki Suropati dan Peramal
Buntung. Gerakan tubuhnya segesit burung walet
walau dia memanggul sebuah genderang yang lebih besar dari tubuhnya sendiri.
Kakek kate yang
tinggi tubuhnya menyamai anak-anak sepuluh
tahunan ini mengenakan pakaian ketat merah hitam. Kepalanya yang gundul dikait
dengan sehelai kain berwarna kuning. Kakinya diberi alas sepatu
yang terbuat dari kulit kerbau.
"Tepat dugaanku! Mereka menuju ke selatan. Kalau mereka sudah menginjakkan kaki
di tanah berbatu-batu, barulah aku bertindak...,"
kata hati si kakek kate.
Kakek yang wajahnya tak ditumbuhi kumis
ataupun jenggot ini terus berkelebat dari balik
bongkahan batu yang satu ke bongkahan batu
yang lain. Genderang besar yang dipanggulnya
sama sekali tak mengganggu gerakannya.
Mata kakek kate ini berkilat aneh ketika
melihat Suropati dan Peramal Buntung berlari di
atas tanah yang tertutup bebatuan. "Saatnya aku
bertindak," katanya dalam hati.
Sigap sekali dia meloncat dari balik batu
besar. Setelah bersalto tiga kali di udara, dia
mendarat di atas lempengan batu besar. Genderang yang telah diletakkan di depan
kaki segera disentilnya. Walau pelan tapi sanggup menimbul-
kan suara menggeletar keras. Suropati dan Peramal Buntung yang berada sekitar
tiga puluh tombak di depan tampak terkejut dan menghentikan langkah kaki mereka.
"Hakim Neraka yang menjatuhkan hukuman mati bagi si Pengemis Binal Suropati!"
pekik si kakek kate. Kedua tangannya mencabut tongkat pemukul yang terselip di ikat
pinggangnya. Dan, genderang segera bergetar keras karena dipukul berkali-kali.
Dung! Blang! Dung! Blang!
"Seseorang telah menyerang kita, Kek...,"
cetus Pengemis Binal ketika merasakan telinganya pekak akibat mendengar irama
aneh yang ditimbulkan oleh pukulan genderang si kakek
kate. Peramal Buntung tak menyahuti. Dia merasakan hal yang sama dengan Pengemis
Binal. Satu tarikan napas kemudian, Pengemis Binal
dan Peramal Buntung menggembor keras. Sekujur tubuh mereka terasa sakit bagai
dipukulpukul puluhan tangan yang tak tampak. Jantung
mereka pun berdegup lebih kencang, membuat
dada sesak. Akibatnya, jalan darah jadi kacau!
"Hiahhh...!"
Pengemis Binal dan Peramal Buntung memekik bersamaan. Segera mereka mengerahkan
hawa sakti untuk membentengi diri dari serangan
irama genderang. Sambil bersedekap dan terus
mengerahkan hawa sakti, mereka memutar tubuh
untuk mengetahui siapa yang telah menyerang.
Namun... bersamaan dengan irama gende-
rang yang bertambah cepat, batu-batu yang berserakan di tanah tampak terangkat,
lalu berhamburan ke arah Pengemis Binal dan Peramal Buntung!
Terpaksa Pengemis Binal dan Peramal
Buntung berloncatan ke sana sini untuk menghindari serbuan batu. Karena hujan
batu bertambah banyak, kedua orang ini jadi kerepotan. Beberapa kali Pengemis
Binal terlihat memukul
hancur bongkahan batu yang menyerbu. Sementara, Peramal Buntung menggeram-geram
bagai harimau di puncak kemarahan. Peramal Buntung
benar-benar kerepotan karena memiliki keterbatasan sebagai orang cacat yang tak
punya tangan. Tapi sebagai manusia yang dikaruniai akal budi,
tentu saja Peramal Buntung tak mau pasrah menerima kematian. Kedua kakinya
menyambarnyambar. Rentetan ledakan terus membahana di
angkasa manakala bongkahan bongkahan batu
pecah berkeping-keping tertimpa tendangan Peramal Buntung. Namun karena hujan
batu tidak juga habis, Peramal Buntung jadi kewalahan. Sementara, irama pukulan genderang
terus berkumandang, hingga benar-benar dapat mengacaukan detak jantung dan
aliran darah Peramal Buntung.
Keadaan Suropati tak berbeda jauh. Butirbutir peluh bertetesan dari kening
remaja tampan ini. Bajunya pun telah basah kuyup karena keringat. Serangan irama genderang
saja sudah cukup merepotkan, apalagi ditambah hujan batu
yang seperti tak ada habisnya.
Merasa bila jiwanya sendiri berikut jiwa Peramal Buntung telah berada di ambang
pintu akhirat, Pengemis Binal mengalirkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya ke
tangan kanan, Tanpa pikir panjang, pemimpin Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti ini berkelebat ke arah Peramal
Buntung untuk memberikan perlindungan.
"Diam di tempatmu, Kek!" Mendengar seruan Suropati, Peramal Buntung kontan
terpaku. Pada saat inilah, tubuh Peramal Buntung disambar oleh Suropati. Setelah
meruntuhkan beberapa
bongkahan batu, sambil memeluk tubuh Peramal
Buntung dengan tangan kiri, Suropati berkelebat
memutar cepat sekali. Hingga, tubuhnya berubah
jadi bayang-bayang yang hampir tak dapat dilihat
Dan... Blarrr...! Blarrr...! Blarrr...!
Terdengar ledakan keras susul menyusul.
Bongkahan batu berpentalan ke berbagai
penjuru dalam keadaan hancur berkeping-keping,
dan selapis salju merah menebar ke mana-mana.
Hawa jadi dingin menusuk tulang. Hujan batu
terhenti. Irama pukulan genderang berhenti pula.
Agaknya ketika berkelebat memutar tadi, Pengemis Binal telah mengeluarkan ilmu
pukulan 'Salju Merah' yang didapat dari Nyai Catur Asta.
"Ha ha ha...!" kakek kate pemukul genderang tertawa bergelak. "Hebat! Sungguh
hebat kau, Anak Muda! Umurmu belum seberapa, tapi
kau memiliki ilmu pukulan yang sanggup melawan serangan 'Genderang Maut'-ku!
Tapi, kau jangan keburu senang karena aku... ha ha ha...
aku akan... ha ha ha...!"
Suropati dan Peramal Buntung sama-sama
mengerutkan kening melihat si kakek kate yang
sedang tertawa panjang mirip orang gila. Tibatiba, mata Peramal Buntung
terbelalak ketika
mengenali siapa kakek kate itu sebenarnya.
"Hakim Neraka...!" desis Peramal Buntung.
"Hakim Neraka?" kejut Pengemis Binal.
Hati Suropati diliputi rasa heran karena
baru saja Peramal Buntung bercerita bahwa Hakim Neraka telah lama menghilang
dari rimba persilatan, tapi karena tiba-tiba tokoh itu muncul,
bahkan hendak menjatuhkan tangan maut.
Tanpa berkedip Suropati menatap sosok
Hakim Neraka yang berdiri sekitar tiga puluh
tombak dari hadapannya. "Hei, Kek! Benarkah
kau orang yang bergelar Hakim Neraka?" serunya
untuk mendapat kepastian. "Dan, kenapa kau
hendak membunuh kami berdua" Padahal, kami
tak punya urusan sama sekali denganmu!"
"Ha ha ha...!" si kakek kate tertawa bergelak lagi. "Ya! Aku memang Hakim
Neraka! Jangan terkejut melihat aku datang dengan tujuan membunuhmu, Anak Muda! Jika sahabat
tuamu yang bergelar Peramal Buntung itu turut mati, hatiku
akan bertambah senang! Ha ha ha...!" Usai tertawa. Hakim Neraka menyentil
genderangnya. Ketika timbul suara menggelegar keras, dia berteriak
lantang, "Hakim Neraka menjatuhkan hukuman
mati bagi si Pengemis Binal Suropati!"
Tongkat pemukul di tangan Hakim Neraka
berkelebatan. Irama pukulan genderang yang
sanggup mengacaukan aliran darah pun muncul
lagi. Bahkan, kali ini terdengar lebih keras karena
Hakim Neraka benar-benar mengerahkan seluruh
kemampuan ilmu pukulan 'Genderang Maut'-nya!


Pengemis Binal 27 Bidadari Pulau Penyu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dung! Blang! Dung! Blang!
Menyadari bila bahaya yang lebih hebat
akan segera mengancam jiwanya, Pengemis Binal
berkelebat ke depan, berusaha menghentikan pukulan genderang Hakim Neraka!
"Jangan...!" cegah Peramal Buntung dengan sebuah teriakan keras.
Terlambat! Tubuh Pengemis Binal telah
melesat cepat ke arah Hakim Neraka dengan satu
tendangan yang dimaksudkan untuk membuat
hancur badan genderang. Bersamaan dengan ini.
Hakim Neraka tertawa bergelak. Tangan kanannya memukul genderang lebih keras!
Blangngng...! "Aaa...!"
Gema suara genderang sanggup melontarkan tiga bongkah batu besar yang tergeletak
di kanan kiri Hakim Neraka. Sementara, tubuh Pengemis Binal terpental balik seperti
membentur dinding baja yang amat kuat. Ketika masih melayang di udara, tiga bongkahan batu
besar meluruk deras ke arahnya!
"Celaka!" seru Peramal Buntung.
Bergegas kakek berompi kuning ini berkelebat ke depan, memapaki tiga bongkah
batu yang hendak meremukkan tubuh Suropati!
Blar! Blar! Blar!
Terdengar ledakan keras tiga kali. Dengan
satu tendangan melingkar, Peramal Buntung berhasil menghancurkan tiga bongkah
batu yang masih melayang di udara. Namun kakek cacat ini
terkesiap ketika melihat tubuh Pengemis Binal jatuh berdebam di tanah dan
terguling-guling lebih
dari sepuluh tombak jauhnya!
"Tuan Muda! Kau jangan mati dulu! Raja
Angin Barat akan segera datang!" teriak Peramal
Buntung yang tiba-tiba mendapat gagasan bagus
untuk menghentikan kebiadaban Hakim Neraka.
Usaha Peramal Buntung agaknya berhasil.
Di tempat lain, wajah Hakim Neraka tampak memucat. Tubuhnya menggigil dengan
bola mata berputar-putar seperti sedang dilanda rasa takut
hebat. Serta-merta kedua tangannya berhenti
memukul genderang.
"Hukuman mati ditangguhkan dulu!" seru
Hakim Neraka seraya menyambar genderangnya,
lalu berkelebat lenyap membawa perasaan giris.
*** "Kau tak apa-apa, Tuan Muda?" tanya Peramal Buntung melihat Suropati duduk
bersimpuh sambil memegangi punggungnya.
"Tak apa-apa, hanya punggungku terasa
agak nyeri," sahut Suropati.
Terbawa rasa khawatir, Peramal Buntung
memperhatikan keadaan Pengemis Binal lebih
seksama. Dan, dia pun menarik napas lega setelah dapat memastikan bila Pengemis
Binal memang tak menderita cedera parah. Ketika mem-
bentur gema genderang Hakim Neraka tadi, Suropati membentengi tubuhnya dengan
tenaga dalam. Walau terpental dan jatuh bergulingan, dia
tak mendapat luka yang berarti.
"Kenapa kakek kate itu lari terbirit-birit setelah mendengar teriakanmu, Kek?"
tanya Suropati yang sempat melihat kepergian Hakim Neraka.
"Sengaja aku menyerukan Raja Angin Barat akan datang ke tempat ini karena aku
menduga Hakim Neraka punya dosa besar yang membuatnya takut bertemu dengan
pemilik Lembah Makam Pelangi itu," jawab Peramal Buntung.
"Ya..., ya! Aku bisa mengerti. Hakim Neraka
telah membunuh istri Raja Angin Barat yang bernama Maharani. Karena memendam
rasa bersalah, Hakim Neraka menyembunyikan diri selama
bertahun-tahun!" tegas Pengemis Binal. "Tapi...,
aku jadi heran. Kenapa tiba-tiba dia muncul dan
menginginkan kematianku?"
Peramal Buntung diam, tak dapat menjawab pertanyaan Suropati. Sementara,
Suropati tampak garuk-garuk kepala seraya berkata, "Ah!
Kenapa memikirkan orang tak waras macam kakek kate itu! Aku punya urusan yang
lebih penting. Aku harus menemui Bidadari Pulau Penyu
hari ini juga!"
*** 3 Pulau Penyu terletak di ujung selatan Negeri Pasir Luhur. Tak lebih dari sebuah
pulau kecil yang dipenuhi semak belukar, berada di tengah-tengah telaga berair
keruh namun cukup lebar. Dari pinggir telaga, untuk mencapai Pulau
Penyu harus menempuh jarak sekitar tiga ratus
tombak. Ketika Suropati dan Peramal Buntung
sampai di tempat ini, mentari tepat memayung di
atas kepala. Tidak ada perahu atau orang lain
yang mereka lihat. Hanya kesunyian yang menyambut mereka.
"Kenapa diam saja, Kek?" tanya Pengemis
Binal yang melihat Peramal Buntung hanya berdiri diam tanpa berbuat apa-apa.
"Kita menunggu Pengantar Tamu," jawab
Peramal Buntung, tetap memandang lurus ke
arah Pulau Penyu.
''Kenapa mesti menunggu" Kita bisa menyeberang sendiri, bukan"
"Tak mungkin...," desis Peramal Buntung,
kepalanya menggeleng-geleng.
Dengan kening berkerut, Suropati menatap
wajah Peramal Buntung yang berdiri di sisi kirinya. "Kukira kita bisa
menyeberangi telaga ini
dengan menggunakan ilmu meringankan tubuh."
Peramal Buntung balas menatap. Bibirnya
menyungging senyum. "Ilmu meringankan tubuh"
Bagaimana caranya?"
Mendengar ucapan Peramal Buntung, Su-
ropati jadi heran. Bagi seorang tokoh silat jajaran
atas, menyeberangi telaga ataupun sungai dengan
menggunakan ilmu meringankan tubuh bukanlah
sesuatu yang aneh. Kenapa Peramal Buntung
masih bertanya" Suropati sudah dapat mengukur
kemampuan Peramal Buntung. Kalau cuma menyeberangi telaga selebar tiga ratus
tombak bukan pekerjaan yang sulit baginya. Apakah Peramal Buntung meragukan
kemampuan Suropati"
"Ha ha ha...!" Peramal Buntung tertawa
bergelak melihat Pengemis Binal terus mengerutkan kening sambil garuk-garuk
kepala. "Aku
dapat membaca jalan pikiranmu, Tuan Muda...,"
katanya, penuh keyakinan. "Hanya burung dan
binatang lainnya yang mampu terbang saja, yang
sanggup menyeberangi telaga ini. Atau mungkin,
manusia setengah dewa yang dapat menempuh
jarak tiga ratus tombak dengan satu kali loncatan."
"Kita memang tak dapat menempuh jarak
tiga ratus tombak dengan satu kali loncatan. Tapi, kita bisa melemparkan
ranting-ranting kering
ke permukaan telaga untuk digunakan sebagai pijakan," sahut Pengemis Binal,
mengutarakan gagasannya.
"Tak mungkin."
"Kenapa?"
Peramal Buntung tak menjawab. Dia memungut selembar daun kering yang tergeletak
di tanah dengan menggunakan jari-jari kakinya. Lalu dengan disertai sedikit
pengerahan tenaga dalam, daun kering itu dilemparkan ke tengah tela-
ga. Pengemis Binal melihat perbuatan Peramal
Buntung dengan alis bertaut. Remaja tampan ini
tak tahu apa maksud perbuatan Peramal Buntung. Namun tiba-tiba, Pengemis Binal
melonjak kaget. Daun kering yang dilemparkan Peramal
Buntung hanya sanggup mengambang di permukaan telaga selama satu kejap mata.
Seperti ada tenaga yang menyedot dari bawah, daun kering
itu tenggelam dan lenyap di dalam air telaga yang
keruh! "Selembar daun kering tentu lebih ringan
dari sebatang ranting kering. Kalau daun kering
saja tenggelam, apalagi ranting kering," ujar Peramal Buntung.
"Kenapa bisa begitu?" tanya Pengemis Binal
yang mulai mengerti bila air telaga mempunyai
satu keanehan "Air telaga yang mengitari Pulau Penyu ini
mempunyai sebuah daya hisap yang timbul dari
dasar telaga. Orang-orang di sini menyebutnya
sebagai Tenaga Ganda Bumi. Sampai di mana
pun ketinggian ilmu meringankan tubuh seseorang, bila orang itu meloncat dengan
ketinggian kurang dari satu depa dari permukaan telaga,
maka seluruh kemampuan ilmu meringankan tubuhnya akan lenyap. Dia akan tenggelam
tanpa dapat berbuat apa-apa lagi."
Mendengar penjelasan Peramal Buntung,
Pengemis Binal garuk-garuk kepala. Tentu saja
remaja tampan yang kadang suka berperilaku
aneh-aneh ini tak mau percaya begitu saja. Untuk
menguji kebenaran Peramal Buntung, dia berjongkok seraya mengacungkan telapak
tangan kanannya ke permukaan telaga. Dan..., remaja
tampan ini terkejut setengah mati ketika tangannya terhisap, lalu masuk ke dalam
air sampai sebatas siku!
Hampir saja Suropati tercebur kalau saja
dia tidak cepat mengatur keseimbangan tubuhnya. Dengan mengerahkan tenaga dalam,
barulah pemimpin Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti
ini dapat menarik pergelangan tangannya kembali.
"Luar biasa...! Luar biasa...!" desis Pengemis Binal sambil menggeleng-gelengkan
kepala. Selagi remaja tampan ini terjerat dalam.
rasa heran bercampur kagum, tiba-tiba Peramal
Buntung berseru, "Awas...!"
Dari pinggir telaga di Pulau Penyu, Suropati melihat sebuah benda putih berkilat
meluncur deras ke arahnya. Senjata rahasia! Maka secepat
kilat, Suropati meloncat untuk menghindar dari
ancaman maut. Zing...! Tep...! Pengemis Binal menoleh ke samping kiri.
Dilihatnya Peramal Buntung yang tengah mengangkat telapak kaki kanannya sejajar
dengan kepala. Sebuah belati tipis tampak terjepit di selasela jari kaki Peramal
Buntung. Rupanya, Peramal Buntung telah menangkap senjata rahasia yang
dilempar orang dari Pulau Penyu.
"Ambillah...," kata Peramal Buntung seraya
memutar kakinya ke hadapan Pengemis Binal.
Di lain kejap, Suropati telah membuka secarik kertas yang semula melekat di
gagang belati. Di kertas itu terdapat tulisan yang dibuat dengan
tinta merah. Berbunyi: Bidadari Pulau Penyu tidak
menerima tamu! Kalau masih sayang dengan
nyawa, segera tinggalkan tempat ini!
Setelah Peramal Buntung turut membaca
tulisan itu, dia menatap lurus ke arah Pulau
Penyu. Namun, tidak terlihat seorang pun manusia di sana. Yang tampak hanyalah
pohon-pohon yang dikitari semak belukar
"Apakah Bidadari Pulau Penyu yang telah
menyambitkan belati ini, Kek?" tanya Pengemis
Binal. "Walau dia menolak untuk menerima tamu,
aku tetap akan mendatangi Pulau Penyu."
"Jangan sembrono! Kalau Bidadari Pulau
Penyu menolak kedatangan kita, maka sampai
kapan pun kita tak akan dapat menginjakkan kaki di Pulau Penyu. Tapi..., Tuan
Muda tak perlu khawatir. Masih ada kemungkinan Bidadari Pulau
Penyu mau menerima kedatangan kita. Karena,
yang menyambitkan belati peringatan tadi bukan
dia sendiri."
"Siapa?"
"Kalau tidak salah aku menduga, dia tentu
orang yang disebut sebagai Pengantar Tamu."
Usai berkata, tiba-tiba Peramal Buntung
mengangkat kaki kirinya. Berkelebat cepat sekali.
Secarik kertas yang berada di tangan Pengemis
Binal tahu-tahu telah berpindah ke jepitan jarijari kaki kiri Peramal Buntung.
Pengemis Binal cuma menatap sambil garuk-garuk kepala ketika Peramal Buntung
menjatuhkan diri ke tanah. Tampak kemudian, kuku
jempol kaki kanan Peramal Buntung yang berujung lancip bergerak-gerak di atas
kertas yang masih terjepit di sela-sela jari kaki kirinya. Di lain
kejap, permukaan kertas itu telah berlubanglubang. Dan, deretan lubang-lubang
kecil itu menyusun barisan huruf yang berbunyi:
Yang datang berkunjung adalah Peramal
Buntung bersama seorang pemuda tampan. Sampaikan salam kami kepada Bidadari
Pulau Penyu. Kening Pengemis Binal berkerut rapat ketika kertas itu diserahkan kepadanya.
"Karena Bidadari Pulau Penyu suka kepada pemuda tampan, agaknya kau ingin
menggunakan aku sebagai umpan, Kek...," tegurnya. "Tapi, tak jadi apa.
Memang aku yang bermaksud menemui orang itu.
Mudah-mudahan dia seorang gadis sintal berwajah cantik. He he he...."
Sejalan dengan pikiran Peramal Buntung,
usai tertawa terkekeh-kekeh Suropati melekatkan
kertas di tangannya ke gagang belati. Lalu, disambitkannya dengan disertai
beberapa bagian tenaga dalam. Seperti anak panah lepas dari busur,
pisau itu melesat cepat menuju ke tempat asalnya
di Pulau Penyu.
Setelah menunggu beberapa tarikan napas,
sebuah perahu hitam tampak meluncur dari Pulau Penyu. Anehnya, jalan perahu itu
tidak lurus. Berkelok-kelok. Bahkan terlihat menyimpang jauh
ke kanan, lalu ke kiri lagi, meluncur deras sebentar, kemudian menyimpang lagi.
"Luncuran perahu itu mengikuti jalan rahasia. Hanya Bidadari Pulau Penyu dan
beberapa Orang kepercayaannya saja yang tahu jalan rahasia itu. Orang lain jangan harap
dapat menyeberangi telaga ini dengan selamat," jelas Peramal
Buntung. Ketika jarak perahu hitam tinggal lima puluh tombak dari hadapan Peramal Buntung


Pengemis Binal 27 Bidadari Pulau Penyu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan Pengemis Binal, dapat dilihat bila badan perahu
itu terbuat dari kulit kerbau yang telah dikeringkan. Sementara, seorang pemuda
tampan bertubuh kekar berada di dalamnya. Dia mengenakan
pakaian kuning bergaris coklat yang terbuat dari
bahan mahal. Di bahu kanannya bertengger seekor burung merpati berbulu kelabu.
Pengemis Binal nyengir kuda seraya garukgaruk kepala manakala perahu kulit
kerbau didayung membelok ke kanan. Lalu, menepi cukup
jauh dari tempatnya berdiri. Perahu itu tentu
mengikuti jalan rahasia, pikir Pengemis Binal.
"Kita ke sana!" ajak Peramal Buntung.
Bergegas Pengemis Binal mengikuti langkah kaki Peramal Buntung. Namun, kehadiran
mereka hanya disambut tatap mata menyelidik
dari pemuda yang masih berada di dalam perahu.
"Kaukah Peramal Buntung itu?" tanya si
pemuda. "Ya," jawab Peramal Buntung.
"Pulau Penyu jarang sekali dijamah orang.
Lagi pula, Bidadari Pulau Penyu tak suka menerima kedatangan orang luar di Pulau
Penyu. Untuk apa kau datang kemari, Pak Tua?"
"Ha ha ha...!" Peramal Buntung tertawa
bergelak. "Ucapanmu amat ketus dan kasar sekali, Anak Muda. Bolehlah aku menahan
diri karena kau hanya menjalankan tugas. Aku, Peramal
Buntung, adalah kenalan lama majikanmu. Aku
datang kemari untuk mengantar Tuan Muda-ku
ini. Tentu saja ada urusan penting yang akan dibicarakan dengan majikanmu itu."
Pemuda bertubuh kekar yang disebut sebagai Pengantar Tamu menatap lekat wajah
Pengemis Binal. Lalu dengan suara berat, dia bertanya, "Siapa namamu" Kalau
punya gelar, sebutkan!"
"Hmmm.... Benar kata Kakek Peramal Buntung. Ucapanmu memang ketus dan kasar
sekali, Sahabat," ujar Pengemis Binal. "Kalau memang
untuk dapat bertemu dengan Bidadari Pulau
Penyu harus menyebut nama berikut gelar, tak
jadi apa. Aku bernama Suropati. Teman-temanku
suka memberi gelar Pengemis Binal."
Di ujung kalimat Pengemis Binal, si Pengantar Tamu mengambil secarik kertas dan
sebuah alat tulis dari saku bajunya. Setelah kertas
itu ditulisi suatu pesan, pemuda kekar ini mengikatkannya di kaki merpati
kelabu. Burung peliharaan yang tampak sudah sangat terlatih itu segera terbang
ke Pulau Penyu. Tidak seberapa lama
kemudian, dia sudah kembali hinggap di bahu
kanan Pengantar Tamu.
Setelah membaca jawaban pesan di kertas
yang terikat di kaki merpati kelabu, Pengantar
Tamu berkata, "Bidadari Pulau Penyu cukup memandang muka kalian. Tapi, kalian
jangan jadi besar kepala, apalagi berbuat yang tidak-tidak.
Kalau mau selamat, turutilah aturan yang berlaku di Pulau Penyu."
Hati Peramal Buntung dan Pengemis Binal
mendongkol mendengar ucapan Pengantar Tamu
yang tampak sangat meremehkan. Tapi, mereka
menurut saja ketika Pengantar Tamu mengajak
untuk segera naik perahu.
Tanpa berkata apa-apa lagi Pengantar Tamu mendayung perahu, menempuh jalan
rahasia yang berkelok-kelok, menyimpang ke kanan maupun ke kiri.
"Anak Muda...," sebut Peramal Buntung ketika perahu telah berada di tengah
telaga. "Aku
tahu sebenarnya hatimu baik. Sayang sekali, kau
telah terperangkap dalam kubangan lumpur
yang...." "Aku tak butuh nasihat!" potong Pengantar
Tamu, keras membentak.
"Hmmm.... Jangan salah mengerti, Anak
Muda. Aku bukan menasihatimu. Aku sekadar
mengutarakan isi hatiku. Tak ada buruknya jika
kau mau mendengarkan...."
Pengantar Tamu tak menyahuti, Kedua
tangannya terus bergerak mendayung. Luncuran
perahu terasa makin cepat.
"Aku melihat bayang-bayang aneh di atas
kepalamu, Anak Muda," lanjut Peramal Buntung.
"Bayang-bayang itu berupa nisan kubur. Ada
baiknya jika kau berhati-hati, Anak Muda. Tinggalkan perbuatan yang kotor dan
hina selagi masih punya kesempatan..."
Pengantar Tamu tetap diam. Namun, diamdiam hati pemuda ini bergetar mendengar
ucapan Peramal Buntung. Walau tidak mengatakan secara langsung, tapi ucapan Peramal
Buntung jelas menyiratkan bahwa usia Pengantar Tamu tak
panjang lagi. Sementara Pengantar Tamu terus mengayuh dayung dengan hati bergetar, Pengemis
Binal memperhatikan permukaan telaga yang dilewati perahu.
Pengemis Binal tak memperhatikan ucapan
Peramal Buntung karena dia larut dengan pikirannya sendiri.
"Perahu yang kutumpangi ini tidak terhisap
masuk ke dasar telaga karena mengikuti jalan rahasia. Suatu rahasia pasti ada
kunci pembukanya. Aku harus tahu kunci pembuka jalan rahasia di telaga ini."
Mengikuti pikiran di benaknya, Pengemis
Binal mengatupkan kelopak matanya seraya
menghimpun kekuatan batin. Dengan mengetrapkan ilmu 'Mata Awas', remaja tampan
ini berusaha melihat kedalaman telaga. Dan..., Pengemis Binal bersorak girang
dalam hati. Pandangan
matanya mampu menembus air telaga yang keruh. Hingga, terlihat olehnya tonggak-
tonggak kayu yang berdiri menancap di dasar telaga. Dia
pun tahu bila jalan yang ditempuh perahu mengi-
kuti tonggak-tonggak kayu
"Hmmm.... Anak buah Bidadari Pulau
Penyu ini tentu memiliki ilmu 'Mata Awas' atau
ilmu semacamnya seperti yang kumiliki. Kalau tidak, mana mungkin dia dapat
melihat tonggaktonggak kayu di dalam air telaga yang keruh?" kata hati Pengemis
Binal. "Tapi, siapa yang menancapkan tonggak-tonggak kayu itu" Sungguh suatu
pekerjaan yang amat sulit dan berbahaya
membuat jalan rahasia di air telaga yang mempunyai daya isap cukup kuat ini.
Kalau si pembuat
jalan rahasia ini adalah Bidadari Pulau Penyu
sendiri, dia pasti seorang tokoh sakti yang berilmu sangat tinggi. Hmmm.....
Walau begitu, aku
akan tetap memaksanya untuk menyerahkan
Mustika Batu Merpati kepadaku. Dia seorang
pencuri! Akulah yang berhak memiliki batu mustika pemberian Putri Impian itu."
Sewaktu Pengemis Binal berkata-kata dengan suara hatinya sendiri, perahu telah
menepi. Setelah bahunya disenggol Peramal Buntung, barulah Pengemis Binal sadar bila
telah sampai di
Pulau Penyu. Suropati jadi heran. Tanah yang dipijaknya
bernama Pulau Penyu, tapi tak seekor penyu pun
yang terlihat. Pinggiran pulau hanya diseraki
bongkahan batu yang separoh bagiannya menancap di tanah. Bagian yang menyembul
ke permukaan tanah berwarna hitam kehijauan dan berbentuk bundar sedikit
lonjong. Dilihat sekilas
memang mirip penyu. Mungkin karena banyak
diseraki batu mirip penyu itulah pulau ini dina-
makan Pulau Penyu.
"Ha ha ha...!" Peramal Buntung tertawa terpingkal-pingkal ketika melihat empat
orang pemuda muncul dari balik pepohonan.
Penampilan empat orang pemuda itu memang cukup menggelikan. Tubuh mereka
samasama kekar, tapi hanya mengenakan cawat yang
terbuat dari kain berwarna merah mencolok. Di
dada mereka terdapat rajah yang menyatu dengan
kulit. Masing-masing berbunyi: Piaraan 1, Piaraan
2, Piaraan 3 dan Piaraan 4. Lebih lucu lagi, rambut mereka yang panjang digelung
ke atas mirip gelungan wanita. Bahkan dihiasi tiga batang tusuk konde emas!
"Ha ha ha...!" Suropati tak dapat menahan
tawa pula. "Sungguh malang nasibku hari ini. Datang ke Pulau Penyu dengan
harapan berjumpa
dengan seorang gadis cantik, eh, malah berjumpa
dengan empat lelaki banci..."
"Tutup mulutmu!" bentak Pengantar Tamu., "Jangan menghina orang-orang penghuni
pulau ini. Sekali lagi kubilang, kalau ingin selamat, jaga mulutmu dari jangan
berbuat yang tidak-tidak!"
"Ya..., ya! Aku memang harus menjaga mulut. Biar tak ada lalat masuk! Aku juga
tak akan berbuat yang tidak-tidak. Tapi, akan berbuat ya...
ya... ya...!"
Kata 'ya' diucapkan Suropati dengan nada
melenggak-lenggok. Melihat sikap konyol Suropati, Peramal Buntung kontan tertawa
lagi. Sementara, Pengantar Tamu mendengus gusar seraya
melayangkan telapak tangan kanannya.
"Eit...!"
Wut...! Dengan merundukkan tubuh, Pengemis
Binal terhindar dari tamparan Pengantar Tamu
yang mengarah mulut. Namun, segera Pengemis
Binal menyadari kesalahannya ketika mendengar
geram kemarahan Pengantar Tamu.
"Ya..., ya! Aku memang salah, Sahabat.
Maafkan...," ucap Pengemis Binal, penuh kesan
kehormatan. Pengantar Tamu menatap wajah Pengemis
Binal dengan sinar mata berkilat-kilat. Namun,
pemuda ini tidak berbuat apa-apa. Setelah meredam hawa amarahnya, dia berkata,
"Segera ikuti
Laskar Penyambut itu!"
Kontan perut Pengemis Binal terasa mual
karena menahan tawa. Laskar Penyambut" Yang
ditunjuk Pengantar Tamu hanya empat orang lelaki, kenapa disebut laskar"
Bukankah istilah
laskar hanya digunakan untuk menyebut sekelompok pasukan yang berjumlah puluhan
atau ratusan bahkan ribuan orang"
Ketika Pengemis Binal menoleh, dilihatnya
Peramal Buntung yang mengatupkan bibir kuatkuat dengan tulang rahang menonjol.
Agaknya, Peramal Buntung juga tengah menahan tawa.
"Silakan, naik ke tandu, Tuan...," ujar pemuda yang dadanya ditulisi Piaraan 1.
Pengemis Binal dan Peramal Buntung saling pandang sejenak. Rasa geli sama-sama
menggelitik hati mereka. Tapi mengingat bahwa mereka
berada di tanah orang, mereka pun sadar bila harus mengikuti aturan yang berlaku
walau terlihat aneh dan menggelikan.
Setelah Pengemis Binal dan Peramal Buntung duduk di dalam tandu yang dibawa oleh
empat pemuda bercawat, Pengantar Tamu tampak
mengangkat perahu kulit kerbaunya, lalu dibawa
berkelebat masuk ke tengah pulau yang penuh
semak belukar. Sementara, empat pemuda bercawat langsung memanggul tandu yang
ditempati Pengemis Binal dati Peramal Buntung.
*** 4 Begitu turun dari tandu, sebuah pemandangan menggelikan kembali menggelitik hati
Pengemis Binal dan Peramal Buntung. Di atas
pintu bangunan megah mirip istana terpampang
papan nama yang terbuat dari belahan batu hitam yang dipahat rapi. Papan nama
itu berbunyi: Graha Kenikmatan.
"Silakan Tuan berdua mengikuti Laskar
Pemuas...," ujar salah seorang dari Laskar Penyambut yang dadanya ditulisi
Piaraan 1. Usai berkata, pemuda yang rambutnya digelung ini menyelinap ke samping Graha
Kenikmatan. Ketiga temannya sesama penggotong tandu segera mengikuti. Pengemis
Binal dan Peramal
Buntung tak begitu memperhatikan mereka lagi.
Kedua tamu ini tengah menatap heran bercampur
geli pada delapan pemuda yang berdiri di kanan
kiri pintu Graha Kenikmatan. Tubuh mereka sama-sama kekar dan berwajah tampan.
Seperti Laskar Penyambut, mereka juga hanya mengenakan cawat, tapi berwarna kuning.
Rambut mereka dikepang dua. Sementara, di dada mereka masing-masing terdapat rajah yang
menyatu dengan kulit pula. Berbunyi: Penghibur 1, Penghibur 2,
Penghibur 3, sampai dengan Penghibur 8.
"Apakah Bidadari Pulau Penyu berotak
sinting" Kenapa memberi nama tempat tinggal
dan anak buahnya dengan nama-nama yang
menggelikan?" kata hati Suropati dalam rasa heran. "Sungguh nama-nama yang amat
menggelikan! Pengantar Tamu" Laskar Penyambut" Laskar
Pemuas" Dan, kukira aku pun akan segera diantar untuk memasuki Graha Kenikmatan.
Benarkah istana itu menjanjikan kenikmatan" Kenikmatan macam apa?"
"Silakan Tuan berdua ikut kami...," ujar
pemuda yang dadanya ditulisi Penghibur 1 seraya
menyilakan Pengemis Binal dan Peramal Buntung
untuk segera memasuki Graha Kenikmatan.
Bagai kerbau dicocok hidungnya, Pengemis
Binal dan Peramal Buntung menurut saja ketika
digiring melewati lorong-lorong panjang di dalam
Graha Kenikmatan. Hawa di setiap lorong terasa
sejuk dan menyegarkan. Dinding-dindingnya senantiasa dihiasi lukisan pemuda-
pemuda kekar yang hanya menggunakan cawat merah atau kuning. Di sepanjang perjalanan Pengemis
Binal cu- ma cengar-cengir sambil menggaruk kepalanya
yang tak gatal. Sementara, kening Peramal Buntung berkerut terus dan tak henti-
hentinya menarik napas panjang serta mendehem-dehem yang
tak karuan maknanya.
Setelah melewati lorong yang dihiasi lampu-lampu berkerudung warna-warni,
sampailah Pengemis Binal dan Peramal Buntung di sebuah
ruangan lebar yang dindingnya dipenuhi lukisan
dua orang anak manusia berlainan jenis yang sedang berkasih-kasihan. Tiga buah
lampu gantung memberikan cahaya biru remang-remang. Pengemis Binal dan Peramal Buntung agak
canggung ketika menapakkan kaki di lantai ruangan yang


Pengemis Binal 27 Bidadari Pulau Penyu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dilapisi permadani merah.
Pengemis Binal garuk-garuk kepala ketika
menoleh ke belakang. Delapan pemuda yang disebut sebagai Laskar Pemuas sudah tak
tampak lagi batang hidung mereka. Rupanya, tugas mereka hanya mengantarkan Pengemis
Binal dan Peramal Buntung sampai di ruangan remangremang ini.
"Selamat datang.... Selamat datang...," seru
seorang wanita yang duduk di tengah ruangan.
"Sungguh merupakan satu penghormatan yang
agung, sahabat lamaku Peramal Buntung bersedia datang ke Graha Kenikmatan ini.
Hmmm.... Kedatangan Tuan Peramal rupanya bersama seorang sahabat pula. Tak dapat
digambarkan lagi
betapa gembira hati Bidadari Pulau Penyu menerima kedatangan Tuan Muda Suropati
yang bergelar Pengemis Binal. Silakan.... Silakan..."
"Jangan mengagungkan orang secara berlebihan, Putih...," tegur Peramal Buntung.
"Apalagi bila kata-kata yang kau ucapkan hanya manis
di bibir saja. Aku pribadi tak punya urusan denganmu. Kedatanganku ini hanya
untuk mengantarkan Tuan Muda-ku ini."
Mendengar ucapan Peramal Buntung yang
terdengar kaku, si wanita berusaha tersenyum.
Setelah berdiri dari tempat duduknya, dia membungkukkan badan seraya berkata,
"Silakan....
Silakan duduk..... Amatlah tak enak berkata-kata
sambil berdiri, sementara tempat duduk telah tersedia...."
Usai berkata, si wanita duduk kembali di
tempatnya. Pengemis Binal segera mengikuti
langkah kaki Peramal Buntung. Ketika telah mengambil tempat duduk, Pengemis
Binal dapat melihat lebih jelas bagaimana rupa si pemilik Graha
Kenikmatan yang tak lain Bidadari Pulau Penyu.
Berbeda dengan julukannya, Bidadari Pulau Penyu mempunyai rambut berwarna putih,
padahal usianya belum seberapa tua. Sekitar tiga
puluh tahun. Di kepalanya bertengger sebuah
mahkota emas. Wajahnya cantik dan bibirnya
yang merah basah selalu menyungging senyum.
Tubuhnya padat berisi dengan buah dada montok
yang terlihat menonjol di balik baju merahnya.
"Tuan Suropati yang terhormat...," sebut
Bidadari Pulau Penyu. "Sebelum Tuan menyampaikan maksud kedatangan Tuan, tak ada
jeleknya bila saya memperkenalkan diri. Semasa kecil
aku bernama Melati Putih tapi setelah aku men-
jadi dewasa, orang-orang menyebutku sebagai Bidadari Pulau Penyu. Tentu Tuan
bisa memakluminya karena rambut saya memang berwarna putih... Tentu Tuan sudah
tahu pula bila istana ini
bernama Graha Kenikmatan. Sepuluh tahun lamanya saya bersusah payah mewujudkan
sebuah impian. Hingga, terbangunlah sebuah istana yang
dikelilingi pepohonan yang senantiasa menjadikan hawa sejuk segar. Seorang
pemuda tampan seperti Tuan Suropati bolehlah datang ke Graha
Kenikmatan sesuka hati...."
"Tak perlu berkata banyak-banyak, Tuan
Putri Bidadari...," sahut Pengemis Binal dengan
sebutan konyol. "Aku tidak akan lama tinggal di
tempat ini. Ketika aku mendatangi tempat kediaman 'Sepasang Racun Api, aku
kehilangan sebuah batu berwarna hijau. Dan, aku melihat..."
"Ya... ya! Saya tahu ke mana arah bicara
Tuan," potong Bidadari Pulau Penyu. "Saya tahu
kedatangan Tuan ke Graha Kenikmatan ini untuk
membicarakan sesuatu hal yang penting. Tapi ketahuilah, Tuan Suropati, sudah
menjadi aturan di
Graha Kenikmatan ini bila kedatangan seorang
tamu harus dijamu terlebih dahulu. Setelah itu,
barulah sang tamu mengutarakan maksud kedatangannya."
Usai berkata, Bidadari Pulau Penyu menepukkan telapak tangannya. Suropati hendak
berkata sesuatu, tapi senyum manis yang dilempar
Bidadari Pulau Penyu membuatnya mengurungkan niat. Sementara, Peramal Buntung
tampak duduk tenang di tempatnya. Tak lama kemudian,
seorang pemuda tampan yang hanya mengenakan
cawat masuk ke ruangan, membawa nampan berisi sebuah poci besar bergambar naga
dan tiga gelas yang terbuat dari emas berukir. Ketika si
pemuda meletakkan nampan yang dibawanya ke
meja, Suropati tertawa geli dalam hati melihat
dada si pemuda yang ditulisi Kekasih 1
"Apakah pemuda ini salah seorang kekasih
Bidadari Pulau Penyu?" tanya Suropati dalam hati. "Kalau pemuda ini disebut
sebagai Kekasih 1,
tentu ada Kekasih 2, 3, dan seterusnya. Kalau di
sini ada yang disebut sebagai kekasih, lalu apa
tugas delapan pemuda yang dadanya ditulisi
Penghibur 1 sampai Penghibur 8 tadi" Apakah
mereka bertugas menghibur Bidadari Pulau
Penyu dalam melepas nafsu birahinya, tapi lewat
cara yang berlainan dengan pemuda yang disebut
sebagai kekasih" Hmmm.... Dari tatapan matanya, aku tahu bila Bidadari Pulau
Penyu memang seorang wanita yang punya nafsu besar
Jangan-jangan...."
Kata hati Pengemis Binal tak berlanjut karena Bidadari Pulau Penyu telah
menyodorkan gelas berisi anggur kepadanya. Sementara, di bahu
kanan Peramal Buntung terdapat gelas berisi
anggur pula. Gelas itu seperti direkatkan dengan
perekat yang amat kuat. Hingga walau badan Peramal Buntung bergoyang-goyang,
gelas di bahu kanannya tak jatuh atau terguling.
"Mari... mari kita minum sebagai ungkapan
rasa gembira...."
Bidadari Pulau Penyu menyulangi Penge-
mis Binal dan Peramal Buntung. Lalu, anggur di
gelasnya dia tenggak sampai tandas.
Karena tuan rumah telah mengawali, Pengemis Binal dan Peramal Buntung tidak enak
kalau tidak ikut minum. Segelas anggur merah beraroma harum segera pindah ke
lambung Pengemis Binal. Demikian pula Peramal Buntung. Usai
minum, kakek yang tak punya tangan ini membungkuk sedikit. Gelas yang melekat di
bahu kanannya, yang semula diletakkan oleh Bidadari
Tembang Tantangan 15 Dewa Arak 59 Titipan Berdarah Memburu Manusia Harimau 4
^