Niken Dan Pandu 3
Niken Dan Pandu Karya Ac Zzz Bagian 3
dulu, terus memanggil ceweknya untuk datang, untuk tinggal di sarang
yang baru saja dia buat. Bahkan bila terbang berdua pun, harmonis sekali.
Kalau yang satu berubah arah 10 derajat, yang satu mengikuti arahnya,
seperti dua garis sejajar di angkasa."
Pandu masih diam saja mendengarkan Niken ngomong dengan
matanya yang berbinar-binar.
"Aku pengen seperti burung albatross itu. Aku sudah menemukan cinta
sejatiku. Aku nggak perlu harus memilikinya sekarang, kalau sekarang
memang bukan waktu yang tepat. Aku mau menunggu sampai saat yang
tepat itu datang. Sampai kita bisa bersama lagi."
"Jadi kamu nggak bermaksud ngelupain aku?" tanya Pandu.
Niken menggeleng. "Sama sekali nggak. Baca bait selanjutnya."
Pandu menurut. Jika kita tak putus sabar
Di hari mendatang Dunia pasti "kan tergenggam
Tangan-tangan kecil kita "Kamu bilang, suatu saat nanti kita pasti bersama lagi, begitu?"
"Tepatnya, aku cuma ingin bilang, aku akan terus mencintaimu. Kamu
sudah berhasil menunjukkan padaku betapa kamu sayang aku. Tangantangan kita tetap kecil, nggak berubah. Tapi dengan kesabaran, suatu saat
nanti pasti kita bisa raih apa yang kita mau."
"Kamu mau terus mencintaiku sampai kapan" Bagaimana kalau kita
nggak akan pernah punya kesempatan untuk bersama lagi?"
"Seperti burung albatross tadi, selamanya. Kalau aku nggak punya
kesempatan untuk bersama lagi, setidaknya aku sudah puas sudah
menemukan cinta sejatiku."
Pandu tertegun. Dia tidak menyangka Niken sekuat ini.
"Fei, kamu pernah bilang, kamu bakal jadi orang yang terbodoh dalam
masalah cinta" Kamu salah, Fei. Aku belum pernah denger orang bilang
begini. Di film-film sekalipun. Baiklah kalau kamu memang yakin. Aku pun
akan menyimpan segala rasa cintaku untukmu selamanya. Kamu baru
saja memberikan aku kekuatan untuk itu."
"Nah, sudah mengerti, kan" Aku boleh pulang sekarang" Nanti orangorang mengira kita pacaran lho?" goda Niken.
"Oh ya" Kita nggak mau itu terjadi. Ya kan?" kata Pandu yang berdiri
bersandarkan meja sambil mengedipkan sebelah matanya.
"Fei?" kata Pandu pelan waktu Niken lewat di hadapannya.
"Apa lagi?" tanya Niken.
Pandu lalu dengan sigap meletakkan tangan kanannya di punggung
Niken dan mendorong punggung Niken ke arahnya. Kurang dari sedetik
kemudian, wajah Niken sudah berhadap-hadapan dengannya. Ditatapnya
lekat-lekat sepasang mata yang membuatnya jatuh cinta itu. Lalu pelanpelan Pandu mendekatkan bibirnya ke pipi Niken. Niken sama sekali
nggak bisa bergerak atau berkata apapun. Dia cuma bisa memejamkan
matanya sambil tersenyum. Sebuah ciuman manis yang menggetarkan
hati. Ciuman pertama buat keduanya.
Niken masih memejamkan matanya waktu Pandu menarik kembali
bibirnya dari pipi Niken tiga detik kemudian. Dia baru membuka matanya
saat Pandu memegang dagunya.
"Sayang sekali kamu tadi nggak bisa merasakan gimana rasanya
dicium kamu." kata Niken kemudian sambil tersenyum manis.
Niken lalu pelan-pelan mencium pipi kanan Pandu sambil agak jinjit. Bibir
mungilnya sudah mendaratkan ciuman tipis yang di pipi Pandu terasa
hangat dan lembut. "Aku yakin nggak semanis ciuman kamu barusan." jawab Pandu
setelah Niken selesai. "Aku kan cuma menirukan yang kamu lakukan. Pembalasan namanya."
jawab Niken. "Nah, sekarang, kalau ada yang melihat kita, pasti kita benar-benar
dikira pacaran." kata Pandu tersenyum lebar.
"Oh ya, lupa. Terus bagaimana, dong?"
"Ya kamu pulang dong, cepetan kabur sana." kata Pandu sambil ketawa.
"Oke, aku pulang dulu yah, my friend." kata Niken tersenyum, lalu mencium
pipi Pandu yang kiri, lalu berkata "Yang sebelah sini iri nanti."
Niken baru saja membalikkan badannya saat Pandu menariknya
kembali. "Bilang aja kamu minta dicium lagi." katanya. Niken ketawa.
Pandu lalu mencium pipinya lagi. Kali ini sedikit lebih lama dari yang tadi.
"Ndu, kita ini jadinya pacaran lagi apa nggak sih?" tanya Niken.
"Nggak. Kita cuma saling cinta."
Kuyakin dalam hatiku kau satu yang ku perlu
Kurasa hanya dirimu yang membuatku rindu
Bila saat nanti kau milikku,
Kuyakin cintamu takkan terbagi takkan berpaling
Karena ku tahu engkau begitu"
Hingga ku pasti menunggu selama apapun itu
Demi cinta yang kurasakan, yang hanyalah kepadamu
Percayalah ku sungguh-sungguh mengatakan semua
Yakinkan hatimu kau milikku
Karena ku tahu engkau begitu"
* Selama berbulan-bulan, Niken dan Pandu sama-sama sabar
memendam impian mereka untuk bersama. Sekarang mereka telah naik
ke kelas tiga. Seharusnya anak kelas tiga tidak boleh punya
menghabiskan banyak waktu di luar pelajaran, termasuk kegiatan
organisasi sekalipun. Walaupun begitu, Niken mendapat sedikit
dispensasi, karena dia jadi ketua panitia acara festival akbar di
Universitas Diponegoro. Lagipula nilai-nilai Niken tidak sedikitpun
terpengaruh dengan kegiatan-kegiatan ekstranya. Waktu naik kelas yang
lalu, Niken meraih ranking pertama, Pandu cuma terpaut tipis di
belakangnya, ranking dua. Acara puncak festival kali ini adalah pawai
bunga. Peserta festival harus mendekor kendaraan berangkaikan bunga.
Acara-acara lain yang berlangsung selama seminggu penuh itu antara
lain lomba memasak, lomba matematika, fisika, kimia, komputer, lomba
band, acapella, adu-debat, dan masih banyak lagi.
Festivalnya tinggal dua hari lagi. Semua sudah siap. Rancangan
dekor untuk kendaraan bunga juga sudah siap. Kendaraan bunga harus
didekor di lapangan pada satu hari sebelum hari terakhir festival, karena
pawai bunganya di hari terakhir festival, maklum acara puncak.
Ujian kelulusan nasional tinggal tiga bulan lagi. Menjelang ujian,
hampir setiap hari ada test atau ulangan. Sebagai persiapan ujian.
Sampai rasanya sudah hafal semua bahan pelajaran dari kelas satu
sampai kelas tiga. Untung sekali kegiatan di sekolah begitu banyak
menyita waktu Niken dan Pandu sehari-hari, jadi keduanya sama-sama
tidak begitu memikirkan masalah mereka. Papa dan Mama pun sepertinya
percaya akan kata-kata Oma, sehingga sama sekali tidak pernah
menyinggung-nyinggung nama Pandu lagi.
Niken bahkan menurut saja mengisi formulir-formulir pendaftaran
untuk berbagai universitas di Amerika. Namun tekadnya sudah bulat, dia
cuma ingin masuk fakultas kedokteran di Universitas Indonesia, di
Jakarta. Pandu pun tidak tahu rencana Niken ini, karena Niken yakin,
seandainya dia bilang ke Pandu, Pandu pasti akan memaksa-maksa dia
lagi untuk ke Amerika saja. Niken merasa keputusan yang diambilnya ini
adalah yang terbaik, dan tanpa desakan atau paksaan pihak manapun.
Keberadaan Pandu pun tidak masuk dalam pertimbangannya dalam
mengambil keputusan. Ini adalah impiannya dari kecil, dan siapapun tidak
bisa menghalanginya. Sore ini adalah latihan terakhir buat band yang akan tampil, termasuk
band dadakan yang dibentuk Pandu dan kawan-kawan khusus buat acara
festival kali ini. Niken sebagai ketua panitia harus melihat seluruh acara latihan terakhir,
termasuk band Pandu ini. Ada tiga band yang akan tampil dari SMA Antonius.
Niken kali ini tidak mengambil bagian sama sekali di lomba band, karena
dia lebih ingin berkonsentrasi di lomba kimianya. Lagipula dia tidak punya
banyak waktu untuk latihan, karena mengorganisasi seluruh acara festival
benar-benar sudah menyita banyak waktunya. Belum lagi harus belajar
untuk ujian. Hari ini Niken bisa lebih relaks, karena tugasnya hari ini cuma
menonton latihan terakhir. Banyak sekali anak-anak yang supportif hadir
sore ini, terutama karena mereka ingin melihat band sekolah mereka
sebelum tampil di lomba. Pandu sengaja tidak membentuk band dengan
keyboad, karena dia sendiri juga tidak punya banyak waktu untuk latihan.
Pandu sebenarnya juga tidak ingin ikut andil di band, karena dia juga
mengikuti lomba matematika dan adu-argumentasi. Tapi akhirnya setelah
dipaksa-paksa, dia mau jadi vokalis utama.
Niken yang duduk di baris paling depan tak bisa melepaskan
perhatiannya dari Pandu di panggung theatre yang terlihat manis sekali.
Kocak sekali gaya Pandu di panggung, sesuai dengan lagu yang
dinyanyikannya. Sambil terus menyanyi, Pandu berjalan turun panggung ke arah
Niken, lalu menyanyi di depannya, sambil menyambut tangan kanan Niken
sambil tersenyum. Niken malu sekali, apalagi anak-anak yang lain
bersorak-sorai semua. Dasar Pandu tidak tahu malu. Pandu terus
menyanyi sambil menarik tangan Niken untuk berdiri. Niken menggelenggeleng sambil melotot. Tapi karena didorong-dorong teman-teman kirikanan dan belakangnya, mau tak mau Niken berdiri juga. Pandu
menuntunnya sampai kira-kira dua langkah dari kursi tempat Niken duduk.
Niken jadi geli melihat Pandu yang menyanyi tepat di hadapannya sambil
menggoyang-goyangkan pinggulnya.
Anak-anak spontan tepuk tangan dan bersuit-suit setelah Pandu
selesai menyanyi. Niken kembali duduk. Mukanya merah padam karena
malu. Untung sekali lagu Pandu tadi mengakhiri acara latihan terakhir
band sore ini. Jadi anak-anak lalu bubar jalan.
"Kamu payah tadi, Ndu?" kata Niken setelah agak sepi.
"Payah bagaimana" Jelek nyanyinya?"
"Bagus koq nyanyinya. Tapi nanti kita dikirain pacaran lagi?"
"Nggak lah" Kamu nggak sadar kamu satu-satunya cewek yang duduk di
baris paling depan tadi" Tenang saja" Mereka pasti nggak curiga."
"Sudah siap lomba matematikanya, Ndu?" tanya Niken.
"Yah mau dipersiapkan seperti apa lagi" Hampir tiap hari ada ulangan
matematika. Itu sudah bisa dibuat persiapan kan" Kamu sendiri
bagaimana?" "Aku ditraining terus sama Bu Ndari di lab kimia. Lombanya kan teori dan
praktek. Teori sih jauh lebih mudah daripada praktek. Tapi sepertinya aku
sudah cukup menguasai bahan lah" Waktu ujian praktikum kimia
kemarin aku dapat nilai bagus koq."
"Iya, aku juga denger. Selamet yah. Aku denger kamu dapet nilai tertinggi
seangkatan buat ujian praktikum kimia sekaligus biologi. Yang kimia
terutama, kamu nomer satu, sementara nomer duanya nilainya lumayan
jauh di bawahmu. Aku doain semoga sukses lah lombanya."
"Lomba argumentasimu tiap hari ya, Ndu?"
"Iya, soalnya pesertanya banyak, dan pake sistem gugur. Lumayan degdegan juga, soalnya topiknya bakal ditentukan saat session itu, dan juga
diundi pro atau kontranya. Semoga aja nggak dapet bahan yang aneh-
aneh. Aku sudah rajin baca koran dan dengerin berita di teve setiap hari
sih." "Wah, dengerin berita akhir-akhir ini justru bikin aku deg-degan.
Bagaimana tidak" Demo di mana-mana. Suasananya tambah hari
tambah panas deh. Untung Semarang nggak pernah ada demo yang pake
acara bakar-bakaran. Kantor papa yang di Solo kena korban bakarbakaran massal lho."
"Oh ya" Fei" aku juga jadi kuatir, karena target mereka tuh terutama
orang keturunan Cina. Kamu jelas-jelas kelihatan kalo keturunan Cina.
Aku takut kalau?" "Heh" jangan ngomong yang nggak-nggak, dong. Aku bisa jaga diri
sendiri. Kamu tahu nggak kalo aku bisa karate" Nggak ahli sih, tapi
pernah belajar sama Opa waktu kecil."
"Kamu belajar karate waktu kecil" Kamu nakal ya waktu kecil?" tanya
Pandu heran. "Wah, nakal sekali. Lawanku cowok berbadan besar-besar. Semakin
besar badannya, apalagi yang gendut-gendut, semakin aku tertarik untuk
menjatuhkan. Tapi aku nggak asal bertarung. Aku cuma melawan kalo
dilawan duluan. Itu prinsip yang diajarkan Opa."
"Hah" Kamu jago berkelahi?"
"Pertamanya nggak. Aku masih inget, waktu itu di SD ada anak cowok
sombong sekali, dia selalu iri karena aku dapat nilai bagus. Terus suatu
hari, buku catatanku yang di meja disobek-sobek sama dia. Aku marah,
tapi nggak bisa apa-apa karena dia berbadan besar. Trus aku lapor sama
Opa. Lalu aku diajari karate itu tadi."
"Trus besoknya kamu pukuli dia?" tanya Pandu tertarik akan cerita Niken
yang seru. "Wah, nggak. Aku kan sudah janji sama Opa untuk nggak memulai
perkelahian. Kira-kira seminggu setelah kejadian buku sobek itu, dia
mengganggu salah satu teman cewekku sampai temanku menangis.
Trus aku belain temanku itu. Trus dia tantang aku. Ya aku jawab
tantangannya. Trus udah deh, berkelahi, ditonton anak banyak. Ada rasa
puas waktu it u karena aku berhasil bikin biru matanya."
"Kamu menakutkan juga ya, Fei. Aku aja waktu SD nggak pernah
berkelahi." "Aku sering sekali. Tiap sehabis berkelahi aku pasti masuk ruang guru.
Dinasehati untuk tidak berkelahi. Aku nggak pernah merasa bersalah
karena aku nggak pernah yang memulai. Mama pasti marah-marah abis
itu karena dia jadi sering dipanggil guru." kata Niken mengenang masa
kecilnya yang heboh. "Trus kapan kamu berhenti berkelahi?"
"Sampai semua anak cowok sombong yang di sekolah satu-satu sudah
bertarung denganku, dan semua kapok untuk memulai lagi. Akhirnya
keadaan aman dan damai." kata Niken sambil tertawa terbahak-bahak.
"Kamu pasti ditakuti cowok-cowok di sekolahmu yah?"" tanya Pandu geli.
Kalimat Niken tadi berkesan seakan-akan Niken seorang pahlawan
pembela kebenaran dan keadilan.
"Kira-kira begitulah."
"Cicimu juga jago berkelahi?" tanya Pandu.
"Nggak. Cici tu pendiam. Kalem sekali dari kecil. Bisa jadi waktu dilahirkan
nggak menangis juga. Kalo nggak disapa nggak akan bicara duluan.
Pemalu sekali. Papa selalu bilang, koq aku nggak bisa seperti cici. Aku
selalu saja buat onar. Bikin malu keluarga. Pokoknya aku sama cici tu
bertolak belakang sekali, lah. Cici nggak begitu pandai di sekolah.
Kasihan sekali dia dari kecil hari-harinya penuh acara les."
"Memangnya kamu nggak?"
"Nggak. Aku dari kecil suka memberontak. Aku nggak mau les kalo
merasa nggak ada gunanya. Aku lebih suka belajar sendiri. Akhirnya aku
cuma les Inggris dari kecil, karena aku merasa butuh seorang guru untuk
latihan conversation. Selebihnya aku les bidang-bidang yang aku sukai,
termasuk renang, piano, saxophone, nge-drum, dan lain-lain. Itu pun aku
daftar-daftar sendiri di sekolah musik. Tadinya mama cuma suruh aku les
piano di sekolah musik. Trus setelah itu aku yang daftar-daftar sendiri."
"Aku nggak pernah les piano, lho?" kata Pandu mengaku.
"Trus kamu bisa canggih main piano dari mana?" tanya Niken keheranan.
"Waktu masih kecil di Yogya, aku tetanggaan sama Mas Baron
Kanginan." "Baron Kanginan yang pemain piano klasik yang sering main di konser
nasional itu?" tanya Niken kaget.
"Iya. Waktu aku kecil dulu, Mas Baron belum ngetop. Dia cuma ikut
ngeband kecil-kecilan di kampusnya. Aku sering mendengar dan melihat
dia main piano dari jendela kamarku yang berhadap-hadapan dengan
kamarnya. Suatu hari dia memanggilku. Trus dia menawari aku untuk
mengajari aku main piano. Tentu saja aku mau sekali."
"Wah" beruntung amat kamu bisa diajari langsung sama Baron
Kanginan. Pantas saja kamu punya gaya main piano yang lain dari orang
kebanyakan. Baron Kanginan kan unik sekali."
"Piano yang di rumah itu juga pemberian Mas Baron sebelum dia
pindah ke Jakarta. Dia bilang waktu itu dapat tawaran konser. Dia nggak
Niken Dan Pandu Karya Ac Zzz di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bakal sanggup memindah piano seberat itu ke Jakarta, makanya dia
hadiahkan ke aku." "Kamu masih sering kontak sama dia?"
"Masih. Kadang-kadang dia masih kangen Yogya, terus ya menginap di
rumahku. Sejak pindah ke Semarang, aku belum pernah bertemu dia lagi.
Tapi dia tahu koq kalau kita pindah Semarang. Dia kan hampir seumur
sama kak Darmawan yang di Jakarta. Mereka masih sering kumpulkumpul katanya."
Niken cuma manggut-manggut.
"Manggut-manggut seperti burung pelatuk saja kamu, Fei. Sudah sore
lho. Nanti kamu dicariin mama kamu, lho?" kata Pandu mengingatkan.
"Aku musti di sini sampai anak-anak perlengkapan selesai memindahkan
alat-alat ke gudang."
"Biar aku aja. Nanti aku laporan ke kamu. Kamu capek kan dari tadi siang
belum pulang rumah?"
"Nggak. Ini tanggung jawabku, Ndu. Mana bisa aku serahkan ke kamu?"
"Ya sudah. Aku temani." Pandu yakin tidak akan bisa melawan kehendak
tuan putrinya ini. "Niken, kunci gudangnya kamu yang tanggung jawab, kan?" tanya
Rudi. "Iya. Sudah selesai semua ya?"
"Sudah barusan. Anak-anak sudah pada mau pulang. Ini kuncinya. Aku
pulang duluan ya?" kata Rudi sambil menyerahkan kunci ke Niken.
"Iya. Makasih ya Rud." kata Niken sambil memutar-mutar kunci itu di
jarinya. "Fei, ikut aku yuk?"
"Mau ngapain?" "Ikut aja?" kata Pandu sambil menggandeng tangan Niken.
"Iya," iya?" kata Niken sambil melepaskan gandengan Pandu, takut ada
orang yang melihat, lalu mengikuti langkah Pandu.
Rupanya Pandu berjalan menuju ruang musik lewat belakang.
Lalu dia duduk di kursi piano. Pelan-pelan dibukanya penutup piano itu.
"Besok kamu ulang tahun kan?"
Niken mengangguk. Tujuh belas tahun. Sudah sebulan ini dia bertengkar
dengan Papa karena menolak merayakan ulang tahunnya secara besarbesaran seperti anak-anak gadis yang lain. Akhirnya Papa nggak bisa
apa-apa karena Niken mengancam untuk nggak akan datang kalau Papa
nekad mengadakan pesta apapun untuknya. Niken cuma ingin makan di
rumah saja, mengundang Oma dari Kudus.
"Besok hari Minggu, kita mungkin nggak bakal sempet ketemu. Aku
ingin ngasih kado hari ini. Boleh kan?"
Niken mengangguk lagi. Pandu lalu mulai sibuk dengan pianonya. Mendengar intro lagu yang
sangat dikenalnya, Niken lalu ikut duduk di kursi piano yang memang
cukup panjang untuk buat berdua itu. Tangan kanannya ikut memainkan
variasi melodi. Pandu lalu menyanyi. Niken tidak ikut menyanyi karena
suaranya tidak pas dengan tangga suara yang dipilih Pandu. Terlalu
rendah untuknya. Dia lebih suka menikmati suara empuk Pandu sambil
ikut iseng memainkan piano bagian kanan. Tangan kanan dan kiri Pandu
begitu lincah di atas piano. Pasti dia sudah latihan dahulu. Susah
memainkan lagu Guns "n Roses ini dengan piano, lebih gampang
memainkannya dengan gitar.
Shed a tear "cause I"m missin" you
I"m still alright to smile
Girl, I think about you every day now
Was a time when I wasn"t sure
But you set my mind at ease
There is no doubt you"re in my heart now
Said, woman, take it slow, it"ll work itself out fine
All we need is just a little patience
Said, sugar, make it slow and we come together fine
All we need is just a little patience
I sit here on the stairs "cause I"d rather be alone
If I can"t have you right now, I"ll wait, dear
Sometimes I get so tensed but I can"t speed up the time
Sometimes I get so tensed but I can"t speed up the time
But you know, love, there"s one more thing to consider
Said, woman, take it slow and things will be just fine
You and I"ll just use a little patience
Said, sugar, take the time "cause the lights are shining bright
You and I"ve got what it takes to make it"
"Makasih Ndu?" kata Niken saat Pandu selesai memainkan seluruh
lagu. "Ini hadiah ulang tahun terindah yang aku terima."
"Tunggu. Aku masih punya satu lagi." kata Pandu. "Copot sepatumu."
Walaupun keheranan, Niken menurut juga, lalu mencopot sepatunya.
"Kaos kakinya juga."
"Kamu mau apa sih, Ndu?" tanya Niken heran.
Pandu yang tidak sabar lalu berlutut di bawah kaki Niken, sambil
mencopot kaos kaki Niken sendiri.
Lalu dia merogoh saku celananya, sebentuk cincin ada di tangannya.
Niken masih tak mengerti.
Pandu lalu memakaikan cincin itu di jari telunjuk kaki Niken.
"Oh..!" Niken terpekik. "Toe ring?" kata Niken setelah mengerti.
"Kalau aku kasih cincin di tangan kan aneh, kita kan nggak pacaran.
Makanya aku kasih cincin buat kaki aja. Orang-orang juga jarang melihiat.
Jadi nggak akan ada yang tanya." kata Pandu menjelaskan.
"Makasih sekali lagi, Ndu" Nggak akan aku copot dari jari kakiku." kata
Niken. "Selamat ulang tahun, Fei Fei." kata Pandu sambil mencium pipi kiri
Niken. Ini ketiga kalinya Pandu mencium pipi Niken. Dua kali waktu di
kelas 2C. Niken masih belum lupa bagaimana rasanya yang pertama dan
kedua dulu. Niken memejamkan kedua matanya. Rasanya persis sama
seperti yang kali ketiga ini.
Pandu masih menatap wajah Niken yang begitu halus. Mata Niken
masih terpejam erat. Wajahnya terlihat begitu polos. Pandu baru raguragu ingin mencium bibir mungil Niken, saat Niken membuka matanya.
Sadar bahwa Pandu hendak menciumnya, Niken malah mencium Pandu
duluan. Walaupun agak kaget, Pandu pun balas menciumnya.
Sepuluh detik kemudian, Pandu melepaskan ciumannya.
"Fei," Kamu nggak perlu menciumku untuk bilang kamu sayang aku. Aku
juga nggak harus. Maksudku, jangan merasa terpaksa karena kamu takut
aku nanti bilang kamu nggak sayang aku kalau kamu nggak mau cium
aku. Aku akui aku tadi memang ingin mencium kamu, tapi aku takut kamu
bakal bereaksi lain."
"Terpaksa" Koq kamu bisa bilang begitu?"
"Kamu kan tadinya anti cowok, lagipula aku waktu itu pernah menawarkan
untuk nggak pernah menyentuhmu. Ini berarti aku melanggar tawaranku
sendiri." "Apa aku pernah menerima tawaranmu itu, Ndu" Kamu nggak melanggar
apa-apa koq. Lagipula yang kita lakukan sekarang ini cuma
mengungkapkan rasa sayang kita satu sama lain. Dan aku tahu kita
berdua sama-sama tahu batas-batas koq. Aku tapi benar-benar
menikmati perasaan dicium kamu. Rasanya damai, dan aku seperti lupa
segalanya. Bahkan lupa bahwa sekarang ini kita nggak berstatus
pacaran." "Jadi kamu suka?"
"Ah, sudah diam, sekarang cium aku lagi. Nanti kamu bakal tahu sendiri
aku suka apa nggak."
Dan Pandu pun melakukan apa yang Niken bilang.
* Perhaps I had a wicked childhood
Perhaps I had a miserable youth
But somewherein my wicked, miserable past
There must"ve been a moment of truth
For here you are, standing here, loving me
Whether or not you should
So, somewhere in my youth or childhood
I must have done something good
Nothing comes from nothing
Nothing ever could So, somewhere in my youth or childhood
I must have done something good"
Ini hari ulang tahun Niken. Tapi Niken sibuk mengepak pakaian dan
barang-barangnya ke koper sambil marah-marah. Ada apa gerangan"
Oma pun tak kuasa menahan Niken untuk tidak pergi. Niken sudah
membulatkan tekadnya untuk tinggal di rumah lamanya, yang memang
tidak dijual karena biasanya disewakan. Tapi kebetulan sudah dua bulan
ini tidak ada yang menempati.
Kembali ke persoalan mengapa Niken marah. Pasalnya, Papa baru
saja mengumumkan akan menikahi Tante Mia. Itu sama sekali tidak
berarti menceraikan Mama. Jadi Tante Mia mulai hari ini bakal tinggal di
rumah. Niken marah besar. Satu, ini semua terjadi secara tiba-tiba. Tidak
ada yang merencanakan Tante Mia bakal tinggal di rumah ini sampai hari
kemarin. Kedua, waktu ditanya Tante Mia bakal tidur di kamar mana, Papa
juga masih bingung. Jawabnya, mungkin di kamar Tasya. Apa-apaan" Hal
yang paling menjengkelkan, Papa tahu betul Niken benci setengah mati
sama Tante Mia. Apakah Papa nggak bisa cari hari lain yang lebih pantas
untuk mengumumkan berita seperti ini, mengingat ini hari ulang
tahunnya" "Fei Fei, ayolah jangan marah-marah begitu?" bujuk mamanya. Oma
masih menghalang-halangi di pintu dengan kursi rodanya.
"Ma, mama juga mestinya marah dong. Sejak kapan mama kehilangan
semangat untuk mempertahankan keluarga ini" Kenapa mama seperti
menyerah begitu saja" Apa sih istimewanya Tante Mia" Biasanya yang Fei
denger tu oom-oom serong sama cewek-cewek ABG, atau tante-tante
yang lebih muda. Tante Mia cuma beda umur 2 tahun sama Mama. Malah
Tante Mia tu keliatan lebih tua dari Mama. Fei benar-benar nggak
mengerti." Niken masih mengomel sambil terus memindahkan barangbarangnya dari lemari ke koper.
"Ceritanya panjang, Fei." Oma yang jawab. "Oma akan ceritakan
semuanya kalau kamu berjanji untuk tinggal."
Niken berpikir sejenak sambil menatap omanya. "Oma, sebenarnya
Fei nggak sungguh-sungguh ingin tahu. Fei sudah muak. Papa mau
berbuat apa saja aku sudah nggak peduli lagi." katanya kemudian sambil
terus mengepak pakaiannya ke dua buah kopernya.
"Fei, seandainya saja kamu anak laki-laki?" keluh mamanya pelan.
Niken tersentak. "Memangnya kenapa, Ma?" katanya, menghentikan
proses memasuk-masukkan barang-barangnya.
"Cerita singkatnya begini. Sesudah kamu lahir, mamamu sempat
keguguran sekali. Sesudah itu dokter bilang, mamamu sudah tidak
mungkin bisa punya anak lagi. Papamu kecewa sekali karena dia sangat
menginginkan anak laki-laki untuk meneruskan usahanya." kata Omanya
menjelaskan. "Terus memangnya kenapa?" tanya Niken lagi, mengulangi
pertanyaannya. "Lalu Papamu jengkel, sering uring-uringan dan mulai jarang pulang.
Ternyata dia diam-diam menikahi Tante Mia, karena yakin kalau terus
terang sama Mama, Mama pasti tidak setuju. Kejadian ini sudah bertahuntahun yang lalu. Kamu bahkan sudah punya adik laki-laki sekitar tiga tahun
lebih muda, Fei." lanjut Mama. "Mama pun baru tahu sekitar lima tahun
yang lalu, saat semuanya sudah terlambat." kata Mamanya
menambahkan. "Papa begitu pandai menyimpan kebusukannya." kata Niken geram.
"Ayolah, Mama. Ikut aku pergi dari rumah ini. Rumah ini bakal terasa asing
dengan adanya Tante Mia di sini."
"Nggak bisa begitu, Fei. Biar bagaimanapun Papamu itu suami
Mama. Mama harus tetap tinggal di sini." kata Mama.
"Walaupun Papa sudah mengkhianati Mama seperti ini?" tanya Niken.
Mama mengangguk pelan. Niken menggeleng-gelengkan kepalanya. "Ma, tapi Fei Fei harus pergi.
Rumah ini sudah bukan rumah Fei lagi. Kalau boleh, Fei untuk sementara
ingin tinggal di rumah Jalan Kenanga. Boleh, Ma" Kalau nggak boleh, Fei
akan ke rumah Wulan."
"Fei, Mama butuh kamu di sini. Cuma kamu satu-satunya yang Mama
miliki saat ini." Niken lalu memeluk mamanya. Ini pelukan pertamanya setelah sekian
lama. Niken sudah lupa kapan terakhir dipeluk atau memeluk mamanya.
Mungkin waktu masih kecil dulu.
"Ma, Mama tahu sendiri Fei orangnya seperti apa. Setiap hari bisa
bentrok sama Tante Mia kalau Fei di sini. Suasana bakal tambah kacau.
Buat Fei Fei apalagi. Bentar lagi udah mau ujian. Fei harus pergi." jawab
Niken mantap. "Baiklah. Kamu benar juga. Mama jadi ingat, rumah di Jalan Kenanga
itu atas nama Mama. Nanti Mama akan ke notaris, menghibahkan rumah
itu ke kamu. Mama takut kalau rumah itu bakal dipindahtangankan secara
paksa ke Tante Mia sebagai cara Papamu untuk memaksamu pulang."
"Terserah mama. Pokoknya Fei butuh tempat tinggal sampai lulus SMA
nanti. Dan Fei nggak mau tinggal di rumah ini."
"Pamit sama Papa dulu, Fei?" saran Omanya sewaktu Niken sudah
siap akan berangkat. "Males ah?" jawab Niken ogah-ogahan.
"Ayolah, Fei. Bilang saja nanti sesudah ujian kamu pulang kemari lagi.
Nanti Mama yang jelaskan ke Papa, supaya Papa nggak marah sama
kamu." bujuk Mama. Dengan wajah cemberut, Niken akhirnya setuju untuk berpamitan
dengan Papa. "Fei pergi dulu untuk sementara ya, Pa. Sampai kelar ujian nanti."
"Baiklah," kata Papa mengijinkan. "Tante Mia koq nggak dipamitin?" tanya
Papa melihat Niken langsung nyelonong pergi.
Niken pura-pura tidak dengar, dan berjalan menuju garasi. Dibukanya
bagasi mobilnya. Kedua koper besar-besar itu ditaruhnya di bagasi. Lalu
cepat-cepat menstater mobilnya pergi.
Hari keenam festival akbar. Besok pemenang lomba selama festival
akan diumumkan. Sore ini banyak sekali anak-anak di lapangan dan
gedung kampus Universitas Diponegoro, mempersiapkan acara puncak
besok. Kontingen dari masing-masing sekolah sibuk mendekor
kendaraan bunganya masing-masing. Kampus universitas jadi bau
wangi. Macam-macam bunga ada di situ. Jadi walaupun lelah, semua
kelihatan bersemangat. Terutama Niken. Di hari ketiga, dia lolos ke babak
praktek lomba kimia. Entah bagaimana nanti hasil akhirnya, tapi
menurutnya sendiri sih lumayan. Pandu tidak berhasil lolos masuk final
adu debat, tapi kelihatannya dia bakal sukses di lomba matematika tingkat
SMA. Keduanya sama-sama menjadi anggota pendekor kendaraan bunga
buat pawai besok. Sayang sekali Niken tidak sempat melihat Pandu
manggung saat lomba band kemarin lusa, karena bertepatan waktunya
dengan babak praktek lomba kimianya.
"Niken!!" Niken menoleh mendengar ada yang memanggil namanya. Jimmy
rupanya. Lari-lari dari jauh menghampirinya.
Spontan Niken berdiri. "Ada apa, Jimmy" Koq kamu kayak dikejar-kejar setan begitu?" tanya
Niken. "Pucat sekali mukamu, Jim," kata Wulan yang duduk di sebelah Niken.
Jimmy lalu menarik Niken agak menjauh dari kerumunan anak-anak.
Pandu yang kebetulan melihat ikut mendekat.
"Niken, aku baru saja ditelepon Mama. Kompleks rumah kita di
Kinanti diserbu massa demonstran. Mama sempat lari lewat belakang.
Waktu lewat rumahmu, katanya rumahmu sudah dibakar massa. Mama
pesan aku untuk memberitahu kamu untuk jangan pulang ke rumah."
Jimmy memaksudkan rumah gedongan Niken yang memang satu
kompleks dengan rumah tinggal Jimmy.
Niken kaget sekali mendengar berita buruk Jimmy. Gunting yang
dipegangnya jatuh ke tanah. Untung tidak mengenai kakinya.
"Sudah, gitu dulu yah. Aku diajak mengungsi ke Bali sama Mama. Aku
mau ke airport ketemu Mama sekarang. Bye Niken?" kata Jimmy lalu
Niken Dan Pandu Karya Ac Zzz di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
cepat-cepat lari. Niken masih terbengong-bengong menatap Jimmy dari kejauhan.
Galau sekali hatinya. Lalu dia mulai berjalan menuju arah Jimmy lari.
"Hey, mau ke mana kamu, Fei?" cegah Pandu sambil meraih lengan
Niken. Langkah Niken terhenti.
"Aku mau ke Kinanti, Ndu."
"Ngapain ke sana" Jimmy spesial kemari bilang kamu jangan ke sana
koq, kamu malah mau ke sana, gimana sih?"
"Mama, Oma, Papa, semua ada di sana, Ndu. Aku harus ke sana." jawab
Niken emosi. "Trus kamu kalo ke sana lantas bisa apa, Fei" Mau cari mati?" balas
Pandu ikutan emosi. "Lalu bagaimana dong" Aku nggak bisa diam saja di sini, kan"!"
"Tunggu sampai keadaan tenang, nanti aku temani kamu ke sana.
Gimana?" Pandu berusaha menyarankan.
"Nanti-nanti bisa terlambat." Niken masih ngotot.
"Kamu bahkan nggak tau apa mereka berhasil melarikan diri sebelum
demonstran masuk. Kamu kan yang bilang sendiri Papa-Mamamu jarang
di rumah" Omamu mungkin sekarang sudah ada di Kudus. Kamu nggak
tau kan" Yang penting kamu tenang dulu. Kalo sudah tenang kan bisa
berpikir jernih?" Pandu belum selesai ngomong saat tiba-tiba saja mereka dikagetkan
oleh suara tembakan. Spontan anak-anak yang berdiri termasuk Pandu
dan Niken langsung tiarap di tanah. Suara tembakan itu terus dar-der-dor
berkali-kali. Keras sekali. Pasti sumbernya tidak jauh dari sini.
"Ada apa ini, Ndu?" tanya Niken bingung.
"Entahlah." Sebentar kemudian mereka mendengar suara ibu-ibu, mungkin salah
satu dosen di kampus itu, dari atas podium, "Anak-anak, lari semua, lari
selamatkan diri masing-masing"!" Suaranya terhenti bersamaan dengan
bunyi dor yang keras. Dikomando begitu, semua anak-anak di lapangan lari menuju pintu
gerbang. Tapi ternyata justru massa demonstran ada di pintu gerbang,
siap masuk ke arah dalam. Semua lalu lari terbirit-birit masuk kembali ke
lapangan, tanpa tahu arah.
"Ayo Fei, ikut aku!" ajak Pandu sambil menggandeng tangan Niken.
Mereka lalu lari ke arah pintu gerbang parkir belakang, satu-satunya pintu
keluar lain yang Pandu tahu, karena dia selalu masuk lewat situ dengan
sepedanya. Mereka sudah hampir sampai ke pintu gerbang saat mereka mendengar
suara lantang yang menyuruh semua tiarap. Pandu dan Niken samasama tidak mempedulikannya.
Tiba-tiba lengan Niken dicekal dari samping.
"Mau lari ke mana, nona manis?" Suara laki-laki bertubuh tegap yang
membawa gobang itu sungguh sangat menyeramkan.
"Dia mau lari lewat pintu belakang." jawab Pandu dengan nada galak.
Niken bingung menatap wajah Pandu. Pandu pura-pura tidak tahu Niken
menatapnya. "Untung saya menangkapnya." lanjut Pandu lagi.
"Baiklah. Bawa dia ke bangsal utama tempat semua gadis-gadis."
suruh laki-laki itu. "Dia cantik, kamu beruntung sekali", kata laki-laki garang itu mengedipkan
matanya ke arah Pandu. Pandu lalu mencekal lengan Niken, balik kanan, lalu membawanya
menuju ke bangsal. "Apa-apaan, Ndu?" bisik Niken.
"Sssh" Diam saja. Aku akan pikirkan bagaimana caranya
menyelamatkan kamu. Sepertinya aku aman di sini." kata Pandu.
"Hey, terus jalan, jangan berhenti." seru laki-laki itu galak melihat
Pandu dan Niken berjalan pelan-pelan.
"Fei, di hitungan ke tiga, kamu lari ke arah pintu gerbang belakang itu.
Kayaknya yang jaga cuma si galak itu. Aku pasti bisa lari dari sini.
Percayalah." bisik Pandu.
"Kamu bermaksud ingin berkelahi dengan si galak itu, lebih baik jangan.
Jangan nekad, Ndu. Apa yang membuat kamu mengira kamu bakal
menang melawan dia?" jawab Niken balas berbisik.
"Sudahlah, ini bukan waktu yang tepat untuk berdebat. Lakukan saja apa
yang aku bilang tadi. Kita nggak punya banyak waktu, dan nggak punya
pilihan lain. Oke?" "Baiklah." "Satu, dua, tiga!"
Niken cepat-cepat balik kanan lalu lari menuju ke arah pintu gerbang.
Pandu pelan-pelan lari, pura-pura mengejarnya. Di luar dugaannya,
ternyata lumayan banyak penjaga di pintu gerbang belakang. Tidak cuma
satu si galak itu. "Berhenti!" teriak Pandu. Salah seorang penjaga menangkap Niken.
Pandu lalu menghampirinya lagi.
"Terima kasih. Dia akan saya bawa ke bangsal sekarang." kata Pandu
sambil membawa Niken kembali. Untung tidak ada yang curiga. Mereka
pasti mengira Niken ingin melarikan diri dan Pandu mengejarnya.
"Fei, banyak sekali orang di sini. Rasanya kita nggak mungkin bisa lari
dari tempat ini." bisik Pandu dengan nada kuatir setelah agak jauh dari
pintu gerbang. "Ndu, selamatkan saja dirimu. Pergi dari sini sebelum mereka tahu
bahwa kamu bukan salah satu dari mereka. Jangan berusaha
menyelamatkanku. Aku yakin aku bakal baik-baik saja." Niken balas
berbisik. Baik Niken maupun Pandu tahu bahwa kata-kata Niken tadi
sama sekali tidak berdasar pada kenyataan.
Semakin dekat ke arah bangsal, suasana semakin terasa
mencekam. Jeritan terdengar menggaung dari arah dalam bangsal. Hati
Pandu terasa tersayat-sayat mendengarnya, terutama memikirkan bahwa
salah satu dari jeritan itu mungkin saja bakal keluar dari mulut Niken.
"Fei, aku akan tetap tinggal di sini. Akan aku pikirkan bagaimana cara
menyelamatkanmu. Jangan putus harapan, ya?" katanya sambil
mengantar Niken masuk ke dalam bangsal.
Niken terpekik saat pintu bangsal terbuka. "Ndu, aku takut?" bisiknya
sambil menyembunyikan kepalanya di dada Pandu. Pandu merasa
bersalah karena tak berdaya, tak bisa berbuat apa-apa. Dilihatnya
sekeliling. Di bangsal kotor itu banyak baju-baju kotor berserakan,
berlumuran darah. Banyak mayat gadis-gadis telanjang, sepertinya
mereka habis diperkosa, lalu dibunuh. Ada banyak juga yang masih hidup,
tapi melihat kondisi mereka, sepertinya mereka lebih memilih mati.
"Fei, aku nggak sanggup meninggalkan kamu di sini. Kita keluar
sama-sama, atau mati sama-sama. Aku nggak akan keluar tanpa kamu."
Niken masih tak bisa berkata apa-apa. Yang dilihatnya barusan adalah
pemandangan yang paling mengerikan dalam sejarah hidupnya. Jauh
melebihi adegan film-film horor sekalipun. Ini begitu nyata, begitu dekat di
pelupuk mata. "Aku ada akal. Ikut aku." kata Pandu tiba-tiba, sambil menarik lengan
Niken untuk bergerak menjauhi tempat mengerikan itu. Niken yang
kepalanya masih sempoyongan karena shock cuma bisa mengikuti
Pandu yang menggandeng tangannya.
Sambil berjalan, Pandu berbisik menjelaskan, "Aku ingat waktu lomba
debat, dari jendela ruang kelas yang dibuat debat aku bisa melihat jalan
ke luar. Dan ruang kelas itu kalo nggak salah, nggak jauh dari bangsal ini.
Kita mungkin bisa keluar lewat jendela. Ayo!" Setengah berlari, setengah
berjingkat-jingkat, Niken mengikuti langkah Pandu. Mereka tak ingin gerakgerik mereka terdengar siapapun, karena itu berarti "skak-mat".
"Sial! Ruangannya dikunci!" keluh Pandu saat sampai di depan ruang
kelas itu. Dipukulnya daun pintu ruangan itu dengan kesal.
"Minggir, Fei." katanya kemudian.
Niken mundur selangkah. Pandu berlutut, lalu membenturkan sikunya di kaca pintu bawah. Kaca
gelas itu langsung berhamburan. Suara pecahnya kaca begitu keras, pasti
menarik perhatian orang. "Cepat masuk!" Pandu membantu Niken masuk lewat pintu kaca yang
sekarang sudah pecah bagian bawahnya. "Lekas buka jendelanya" kata
Pandu saat Niken sudah masuk ke dalam ruang kelas.
Pandu lalu masuk juga ke dalam ruang kelas itu, sementara Niken
membuka jendela untuk keluar dari tempat berdarah itu.
Jantung mereka berdebar kencang karena mereka dapat mendengar
dengan jelas ada suara langkah kaki yang semakin lama semakin keras.
"Loncat, Fei! Keluar! Sekarang!" kata Pandu sambil setengah mengangkat
tubuh Niken, membantunya untuk memanjat keluar dari jendela.
Akhirnya Niken berhasil menjejakkan kembali kakinya ke tanah, di luar
kelas. Dari kaca jendela dia bisa melihat sesosok bayangan yang menuju ke
arah kelas. "Awas, Ndu! Ayo cepat!" buru Niken sambil menggapai-gapaikan
tangannya ke arah Pandu. "Lari Fei, pergi ke rumahku. Di sana kamu aman. Aku temui kamu di
rumah. Bilang ibu untuk jangan kuatir." kata Pandu.
Niken cepat-cepat lari. Semenit kemudian dia dikagetkan oleh suara
tembakan. Datangnya dari arah ruang kelas. Langkah larinya terhenti. Tapi
kemudian dia lari lagi karena melihat ada orang yang keluar dari jendela
kelas, siap untuk mengejarnya. Kebetulan Niken menemukan sepeda
yang tergeletak di tengah jalan. Diraihnya sepeda itu cepat-cepat, lalu
dikayuhnya sekuat tenaga.
* Sesampainya di rumah Pandu, Niken mengetuk-ngetuk pintu pagar
dengan tidak sabar. Ibu Pandu yang membuka pintu.
"Oh Niken, ayo masuk. Pandu tidak ada di rumah?" katanya sambil
membuka pintu. "Niken tahu. Niken baru saja bersama Pandu?" jawab Niken. Nafasnya
masih tak teratur. Jantungnya masih berdegup dengan kencang.
"Ibu nggak dengar ada ramai-ramai di kampus Undip?"
"Masya Allah" Kamu nggak apa-apa, Niken?" tanya Ibu Pandu.
"Pandu yang menolong saya keluar. Katanya saya disuruh kemari, karena
saya lebih aman di sini. Dia juga menyuruh saya untuk menyampaikan ke
ibu untuk jangan kuatir. Tapi saya pun nggak tahu apakah Pandu bisa
selamat apa nggak. Mestinya saya nggak menuruti kata-katanya untuk lari
duluan." kata Niken menyesal, sambil terisak.
Ibu Pandu lalu memeluk Niken. Niken menangis di pelukan Ibu
Pandu. Rasanya seluruh tenaganya sudah habis terkuras. Tak sanggup
lagi untuk berbuat apa-apa.
"Kamu tenang saja dulu di sini. Ibu yakin, kalau Pandu bilang dia akan
baik-baik saja, maka dia akan baik-baik saja."
Tangis Niken makin keras. Dia teringat suara tembakan terakhir yang
didengarnya tadi. Tapi dia menurut saja waktu ibu Pandu menuntunnya
masuk ke dalam. Sebelum sampai di dalam rumah, Niken pingsan.
* Waktu membuka matanya lagi, Niken terperanjat melihat Pandu
duduk di kursi di dekatnya.
"Sudah sadar, Fei?" tanya Pandu sambil tersenyum manis.
"Koq kamu sudah ada di sini?" tanya Niken heran.
"Kenapa" Kirain aku sudah mati ya?" gurau Pandu.
"Nggak lucu ah, ngomong seperti itu." Niken cemberut.
"Gini lho ceritanya. Persis sesudah kamu pergi, ada dua orang yang
masuk ke kelas. Seorang bermaksud menembakku, seorang berusaha
melompat jendela untuk mengejarmu. Tapi sebelum dia sempat
menembakku, salah seorang anggota aparat polisi sudah ada di depan
pintu, menembak orang yang hendak menembakku tadi. Yang melompat
jendela akhirnya terkejar setelah beberapa meter, tapi kamu sudah jauh."
"Tanganmu nggak papa, Ndu?" tanya Niken setelah melihat siku
Pandu dibalut perban. "Nggak papa, koq. Cuma agak perih kena pecahan kaca aja."
Niken lalu diam saja. Lega sekali rasanya Pandu selamat.
"Kenapa lagi" Kecewa yah aku nggak mati?" kata Pandu bercanda lagi.
"Aku sudah bilang, nggak lucu guyonan seperti ini. Apalagi tadi kita
memang benar-benar sudah hampir mati."
"Maaf, maaf. Tapi asyik juga melihat kamu tiduran di ranjangku
begini." kata Pandu dengan matanya yang nakal.
"Sialan." kata Niken lalu duduk di ranjang.
"Kamu tahu nggak kita itu beruntung banget" Nggak banyak orang
yang selamat dari peristiwa di kampus tadi siang. Korban nyawa banyak
sekali. Untunglah Wulan juga selamat. Aku tadi ketemu dia waktu petugas
kesehatan membalut lukaku. Dia kena luka bakar, karena sembunyi di
salah satu kendaraan bunga buat pawai. Tadinya sih aman-aman saja,
sampai saat-saat terakhir ada yang berusaha menyulut api di semua
kendaraan bunga. Tapi dia nggak papa koq. Sekarang sudah pulang ke
rumah." "Syukurlah." kata Niken.
Pandu tiba-tiba teringat akan sesuatu. "Oh ya, aku juga punya kabar
tentang keluargamu, Fei."
"Bagaimana, Ndu" Apa mereka selamat?"
"Menurut keterangan dari Bapak, tak ada satu orangpun yang berhasil
selamat keluar dari rumahmu sebelum rumahmu dibakar habis. Tapi
Omamu sudah berhasil dihubungi, dia baik-baik saja di Kudus."
"Bagaimana dengan Mama dan Papa?" tanya Niken.
"Fei, kamu mesti tabah?"
"Kamu nggak bercanda, Ndu?"
Pandu menggeleng lemah. Niken langsung meledak tangisnya. Pandu
mendekat, lalu membiarkan Niken menangis tersedu-sedu di pundaknya.
"Mereka nggak pernah ada di rumah. Kenapa juga mereka mesti ada di
rumah saat kejadian naas itu?" kata Niken penuh sesal di sela-sela isak
tangisnya. "Kata Oma, kalau situasi sudah membaik, dia akan datang ke Semarang.
Tapi sementara kamu tinggal di sini dulu." kata Pandu.
"Aku pulang ke Kenanga saja, Ndu. Nggak enak ah tinggal di sini.
Ngerepotin." "Jangan aneh-aneh kamu. Kalau terjadi apa-apa lagi gimana" Kamu
sendirian di sana" Yang bener aja." kata Pandu tidak setuju. "Tadi Ibu juga
menawari kalau kamu mau tinggal di sini sementara, sampai situasi
benar-benar aman. Aku bisa tidur di depan teve. Aku kadang-kadang tidur
di situ koq." "Baiklah. Melihat kamu ngotot begini kayaknya aku nggak punya
pilihan lain kecuali melarikan diri dari rumahmu, dan rasanya aku belum
cukup sinting." kata Niken. "Tapi aku butuh barang-barang dari rumahku.
Baju, seragam sekolah, dan lain-lain. Kenanga aman nggak sih?" tanya
Niken. "Demonstrasi siang tadi nggak merembet sampai daerah Kenanga koq.
Gampang, nanti pas Bapak mau dinas sore, sekitar satu jam lagi, kita
bisa dianter ke rumahmu naik mobil, pulangnya naik mobil kamu.
Gimana?" Niken mengangguk setuju. Benar-benar hari yang melelahkan.
* Sekitar sebulan setelah hari naas itu, suasana di kota Semarang
kembali normal. Acara puncak, pawai kendaraan bunga itu tentu saja
dibatalkan. Para pemenang lomba diumumkan lewat surat kabar. Sayang
sekali acara akhir yang seharusnya mengakhiri sepekan kompetisi yang
bagus itu harus menjadi hari kelabu yang penuh duka. Bunga-bunga yang
masih segar tidak lagi dijadikan untuk ajang pamer, melainkan untuk
mengubur jazad para korban. Yang lebih ironis lagi, sebagian besar para
pembuat onar hari itu masih belum berhasil ditangkap pihak yang
berwajib, dan sepertinya kasus ini akan ditutup begitu saja karena terlalu
banyak tersangka yang buron, dan terlalu susah untuk membuktikan
keterlibatan masing-masing dalam peristiwa berdarah itu.
Niken mendapat tempat kedua di lomba kimia, sedangkan Pandu
menang lomba matematika. Rasanya menang lomba kali ini sama sekali
tidak ada artinya mengingat kenangan pahit yang sampai sekarang masih
Niken Dan Pandu Karya Ac Zzz di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terus menghantui mimpi Niken di malam hari.
Niken sudah kembali ke rumahnya di Kenanga. Oma sejak minggu
lalu datang ke Semarang karena dijadwalkan besok sore untuk ikut hadir
dalam pembacaan warisan keluarga Tjakrawibawa. Lumayan sejak ada
Oma, Niken jadi tidak merasa kesepian. Lamunannya selalu melayang ke
papa-mama, juga cici-nya. Rasa nelangsa karena rasanya sudah tidak
punya siapa-siapa lagi, kecuali Oma tersayangnya.
"Niken, lihat siapa yang datang..." suara manis Oma membuyarkan
lamunannya. Pandu melongokkan wajahnya yang kocak dari belakang punggung Oma.
Niken tersenyum. Anak ini memang selalu tahu cara membuat orang
senang, batinnya. "Yuk ke teras belakang aja." ajak Niken.
"Kangen tidur di ranjangku nggak?" tanya Pandu iseng.
"Nggak. Ranjang kamu bau." jawab Niken seenaknya.
Pandu melongo. Membelalakkan matanya lebar-lebar. "Bau apa?"
tanyanya kemudian. "Bau... apa ya" Susah menjelaskannya." Niken pura-pura berpikir.
"Ya kalau begitu kamu perlu sering tidur di situ untuk melenyapkan
baunya. Mulai besok, bagaimana?" tantang Pandu.
"Boleh..." Niken tidak pernah takut menerima tantangan.
"Oh.." lanjutnya, "Nggak bisa, Ndu. Besok ada hal penting yang harus aku
lakukan." "Hal penting?" Pandu mengernyitkan dahinya.
"Iya. Pembacaan warisan. Aku sebetulnya sama sekali nggak tertarik
untuk datang. Pengacara Papa, Pak Suyudi itu yang memaksa semua
orang yang tercantum namanya di dalam daftar warisan harus datang."
"Kenapa kamu nggak mau datang?" tanya Pandu lagi.
Niken diam saja. Dia juga tidak tahu jawabannya. Malas" Seharusnya
tidak. Ini mungkin kewajiban terakhir yang harus dilakukannya sebagai
anak papanya. Masih sakit hati" Sakit hati apa" Semua itu sudah jauh dari
benaknya. Tidak perlu diusir juga sudah pergi sendiri. Yang ada sekarang
hanya perasaan bersalah, karena selama ini sebagai anak dia merasa
tidak pernah dekat dengan papa maupun mamanya. Tidak sempat
menunjukkan pengabdiannya sebagai anak. Dan sekarang sudah
terlambat. Seakan tahu yang dipikirkan Niken, Pandu menepuk-nepuk punggung
Niken dengan halus. Tanpa sadar air mata Niken mengalir ke pipi.
"Sudahlah Fei. Kamu pasti mikir, aku ini arogan sekali ya" Tadi kamu
sudah bisa tertawa-tawa. Sekarang aku datang, kamu malah nangis. Aku
memang nggak berguna. Sssh.. sudah.. jangan menangis lagi."
Niken masih sesenggukan. Kalau sudah menangis begini jadi susah
berkata-kata. "Fei," kata Pandu sambil masih menepuk-nepuk punggung Niken. "Papi
dan mami kamu pasti juga merasa bersalah meninggalkan kamu
sendirian seperti ini. Jangan menambah rasa bersalah mereka dengan
terus-menerus larut dalam kesedihanmu. Kamu musti bangkit. Kamu
musti kuat." Niken mendongakkan kepalanya. Ditatapnya wajah Pandu yang duduk di
sampingnya. Pandangan mata Pandu begitu teduh, begitu nyaman.
Seolah menghipnotisnya dengan kata-kata "Semuanya akan baik-baik
saja." Pelan-pelan isaknya berhenti.
"Lagipula, seperti yang aku sudah bilang dari dulu-dulu, kamu masih
ada aku. Selamanya. Kamu usir aku sekalipun, aku akan tetap setia
menjagamu. Aku nggak akan ke mana-mana."
Tersenyum, Niken memeluk Pandu. Hangat sekali rasanya dalam pelukan
Pandu. Kalau kata-kata Pandu tadi benar, dunianya bakal sempurna
sekali, selamanya. "Memangnya kamu kira aku mau ke mana?" tanya Niken blo'on.
"Nggak tahu. Tapi aku harap juga nggak kemana-mana." sahut Pandu.
"Gimana kalau aku mau pipis" Kan musti ke WC. Masa' suruh di sini
terus?" Niken tambah menjadi-jadi pura-pura blo'onnya.
"Niken!!!!" Niken yang sekarang sudah hafal, kalau Pandu memanggilnya
'Fei' itu berarti situasi biasa dan aman-aman saja. Kalau dia panggil
"Niken", itu berarti situasi sudah memanas.
"Kamu nakal ya" Sebentar nangis, sebentar godain. Minta dicium
apa?" kata Pandu sambil memegang dagu Niken dan memonyongkan
mulutnya. "Hus Pandu..." kata Niken menyingkirkan tangan Pandu dari dagunya,
walaupun dengan setengah hati. "Ingat status kita sekarang apa" Aku
bukan pacarmu. Nggak boleh cium-cium!"
"Memangnya kenapa?" tanya Pandu. Setelah menepiskan tangan Niken,
dipegangnya lagi dagu mungil itu. "Nggak ada yang tahu ini. Selama
nggak ada yang lihat, kita aman kan?" lanjutnya dengan nada nakal.
"Kan ada.." "Oma?" Belum sempat Niken menjawab, Pandu sudah menyahut. "Oma
kan merestui kita. Dia senang malah kalau kita jadian."
"Pandu!!!" Gantian Niken yang teriak. Ternyata Pandu itu cepat sekali
geraknya. Terutama kalo soal mencuri ciuman. Secepat kilat bibirnya
sudah menyentuh bibir Niken. Di luar dugaannya, Niken spontan
menjauhkan tubuhnya. "Jangan, Ndu." sahut Niken tertunduk.
"Kenapa?" tanya Pandu hati-hati.
"Aku nggak tahu." Niken menggeleng-gelengkan kepalanya yang kelihatan
berat sekali itu. "Jangan bohong." sahut Pandu. Diangkatnya dagu Niken supaya dia bisa
menatap wajahnya. "Kalaupun kita nggak pacaran, kita bersahabat. Kamu
kan bisa bilang apa saja yang kamu mau. Jangan kuatir aku nggak akan
tersinggung." Niken terdiam. "Sungguh, Pandu. Aku juga masih belum tahu jelas perasaanku. Yang
jelas, semenjak papa-mama meninggal, aku jadi sering berpikir, aku ini
anak yang nggak berbakti. Kalau aku bisa memutar ulang kejadian hari itu,
aku mungkin akan berkata lain."
"Semuanya sudah ..."
"Aku belum selesai." Sebelum Pandu selesai bicara, Niken sudah
memotongnya. "Aku mungkin akan berkata: Papa, Fei akan belajar mencintai Tante Mia
seperti keluarga sendiri, kalau itu yang Papa mau. Fei akan pergi ke
Amerika kalau itu yang papa mau..."
"Fei nggak akan lagi ketemu Pandu kalau itu yang papa mau?" sahut
Pandu menebak arah jalan otak Niken.
Niken sudah akan menundukkan kepalanya kalau saja Pandu tidak
menahan dagu Niken dengan tangannya.
Keduanya sama-sama tidak berkata apa-apa sesudah itu. Niken tidak
bisa berkata apa-apa karena jujur saja memang kata-kata Pandu itu
persis yang akan dia katakan. Walaupun dia tahu untuk melupakan
Pandu, akan membutuhkan seluruh masa kehidupannya di dunia ini.
Pertemuan mereka begitu singkat, kurang lebih setahun, tapi sudah
menorehkan makna yang sangat tajam di hatinya.
Sedangkan Pandu, dia masih terkejut akan kata-kata Niken tadi. Dia
tak menyangka Niken sanggup bilang begitu. Walaupun memang secara
de facto selama ini mereka tidak pernah pacaran, tapi dia tahu persis
Niken sayang dia, dan Niken pun sudah paham betul akan perasaannya.
Selama ini yang menjadi kendala hanya orang tua Niken yang tidak
menyetujui hubungan mereka. Setelah melalui berbagai peristiwa,
sekarang justru setelah orang tuanya meninggal, Niken malah berubah
arah. "Benar-benar memusingkan!" batin Pandu.
"Aku sudah bilang, aku nggak tahu. Kamu yang memaksa." kata Niken
kemudian, setelah keduanya terdiam beberapa lama.
Pandu tidak menjawab. Dilepaskannya dagu Niken, dan beranjak pergi.
"Ndu!" panggil Niken sambil mengikutinya. "Jangan pergi dulu. Aku
ingin tahu apa yang kau pikirkan."
"Aku yakin kamu sudah tahu persis apa yang kupikirkan. Aku pulang dulu."
jawab Pandu singkat, dan meninggalkan Niken sendirian di ruang tengah.
Limbung, Niken terduduk di kursi. Pikirannya kembali melayang ke papamamanya. Peristiwa setragis ini, biasanya cuma ada di tv, batinnya
berteriak, "Aku pasti berdosa besar sampai dihukum seperti ini!"
"Wulan, ada yang nyari tuh!" ibu Wulan mengetuk kamarnya. Wulan
yang sedang mengerjakan soal-soal kimia sambil mendengarkan radio,
jadi bingung. "Siapa, Bu" Malam-malam begini?"
"Cowok. Ganteng. Cepet temuin sana." goda ibunya.
"Oooh.. Kamu toh, Pandu! Ada apa malam-malam mencariku?"
Walaupun Wulan lega yang mencarinya ternyata cuma Pandu, heran juga
melihat Pandu ada di rumahnya malam ini.
"Lagi bingung, nih." kata Pandu sambil menggaruk-garuk kepalanya yang
tidak gatal. "Bingung apa" Ujian kimia besok ya" Mustinya kamu ke rumah Niken, dia
kan yang jago kimia." tebak Wulan.
"Aku bahkan tidak bisa konsentrasi untuk belajar. Ini lebih serius dari ujian
kimia." jawab Pandu masih dengan tampang bingungnya.
"Lalu?" "Kamu sering ngobrol sama dia akhir-akhir ini?" tanya Pandu.
"Semenjak EBTANAS mulai awal minggu ini sih nggak. Memangnya ada
apa" Niken kenapa?"
"Dia nggak papa, kayaknya. Aku nggak tahu. Dia sepertinya paling ahli
bikin orang patah hati." jawab Pandu dengan nada sinis.
"Patah hati" Aduh,... ada apa pula ini" Setahuku Niken bukan tipe orang
yang suka menyakiti hati orang. Lagipula, terakhir aku cek, dia bukannya
masih cinta mati sama kamu?"
"Terakhir aku ketemu dia, dia bilang ga mau ketemu aku lagi tuh." keluh
Pandu. "Ha" Kenapa dia bisa berubah drastis begitu?"
Pandu mengangkat bahunya. Pandangan matanya kosong menatap
ke arah pintu depan. Wulan menggoyang-goyangkan tangannya persis di
depan wajah Pandu. "Malah melamun!" ujarnya kemudian.
Pandu tersontak kaget. "Sorry.." Cuma itu saja yang terucap dari bibirnya,
lalu seakan-akan hendak kembali lagi ke lamunannya.
"Jadi tujuan kamu kemari cuma mau melamun" Kalau begitu aku
tinggal masuk ya, masih banyak soal-soal kimia yang masih ingin aku
kerjakan," desak Wulan, dengan harapan dengan begitu Pandu akan
mengatakan apa sebenarnya tujuan dia ke rumahnya malam ini.
"Aku nggak tahu lagi musti berbuat apa, Wulan." Pandu mendesah
panjang. "Sepertinya dia sudah nggak butuh seorang Pandu lagi. Rasanya
aku ini hanya beban untuknya. Seolah-olah hubunganku dengannya
adalah dosa yang menyebabkan terenggutnya nyawa orang-tuanya."
"Astaga, Pandu! Koq kamu bisa berpikiran buruk seperti ini sih" Dapat
dari mana pikiran sejelek ini?"
"Dari Niken. Dia sendiri yang bilang..."
"Nggak mungkin. Nggak mungkin Niken bilang begitu. Nggak mung..."
Pandu menyela, "Aku juga nggak akan percaya kalau nggak
mendengarnya sendiri, Wulan. Sungguh, ini kata-kata Niken sendiri."
Wulan terdiam. "Memang akhir-akhir ini Niken terlalu larut dalam
kesedihannya," pikirnya dalam hati.
"Ndu.." kata Wulan setelah berpikir beberapa saat. "Orang yang sedang
galau pikirannya seperti Niken ini, omongannya sering yang nggak-nggak.
Ditelan mentah-mentah dulu lah, Pandu. Beri dia waktu. Aku saja nggak
bisa membayangkan bagaimana rasanya ditinggal kedua orang tua
sekaligus. Aku masih ada ibuku. Di saat-saat seperti ini, dia butuh kamu
sebagai tiang sandaran, Ndu. Cobalah untuk menahan emosi. Aku yakin
Niken sama sekali tidak bermaksud menyakiti perasaanmu."
Menghadapi wajah putus-asa Pandu, Wulan jadi tidak yakin lagi akan
yang kata-kata yang baru saja diucapkannya sendiri. Rasanya terlalu berat
untuk membiarkan Pandu sakit hati seperti ini terus-terusan. Tapi di lain
pihak dia juga yakin Niken pasti merasakan hal yang sama.
Pelan-pelan Pandu mencerna kata-kata Wulan yang masih terngiangngiang di telinganya. Direkam dan diputarnya di otak perlahan-lahan,
berkali-kali. Wulan masih terdiam, tidak berani mengganggu Pandu
bahasa tubuhnya seperti orang yang sedang khusuk bermeditasi.
"Baiklah Wulan. Aku permisi pulang dulu." kata Pandu sambil berdiri.
"Lho?" ujar Wulan bingung.
"Oh ya, terima kasih. Rasanya kata-katamu itu pas sekali. Aku mungkin
tadi cuma butuh orang untuk menyadarkanku akan hal ini." kata Pandu
kemudian. "Ooh..." Wulan menghela napas lega. "Syukurlah kalau aku tadi
mengatakan hal yang benar." batinnya.
"Terima kasih sekali lagi, Wulan. Maaf sudah mengganggu jam
belajarmu." "Jangan sungkan-sungkan begitu, Ndu. Aku yakin kalau aku punya
masalah kamu pasti juga akan meluangkan waktumu untuk menolongku
sebisamu, kan?" Pandu mengangguk sambil tersenyum. Semakin lega Wulan melihat
senyum di wajah Pandu. Setelah Pandu lenyap dari pandangannya, Wulan mengutuki sahabatnya
itu dalam hati "Aduh Niken! Ada apa denganmu kali ini"!"
Sudah lima menit Niken menunggu di dalam ruangan ber-AC ini. Ada
seorang anak laki-laki seumurnya yang dari tadi menatapnya dengan
penuh rasa benci. "Siapa sih itu, Oma" Koq pandangan matanya nggak enak begitu?"
bisik Niken ke Oma yang duduk di sebelahnya.
"Itu anak Papamu sama Tante Mia. Anak yang paling besar. Ada dua lagi
adiknya, perempuan semua. Kayaknya tidak dijadwalkan untuk hadir,
karena dianggap masih terlalu kecil."
Niken lalu berpikir sebentar, lalu melangkahkan kakinya dan duduk di
sebelah anak laki-laki itu.
"Hallo, siapa namamu?" tanya Niken ramah.
Anak laki-laki itu diam saja. Tidak berniat sama sekali untuk menjawab,
malah melengos. Tidak putus asa, Niken pindah ke kursi sebelah satunya. "Namaku Niken.
Keluargaku biasa panggil aku Fei Fei. Kamu boleh panggil aku apa aja."
kata Niken sambil menyodorkan tangannya untuk berkenalan.
Diliriknya Oma yang memperhatikannya terus. Niken lalu tersenyum.
Melihat senyum Niken yang begitu ramah, akhirnya anak itu membuka
mulutnya. "Namaku Hendri. Keluargaku biasa panggil aku Hendri. Kamu boleh
panggil aku Hendri."
"Kocak juga kamu rupanya." kata Niken tersenyum lebar.
"Aku sebenarnya ingin menemuimu setelah pemakaman sebulan yang
lalu." lanjut Niken. "Tapi kamu sepertinya menghindariku terus. Enggak
jadi deh akhirnya. Aku cuma ingin mengucapkan bela sungkawa karena
kamu kehilangan kedua orangtuamu, sama seperti aku. Cuma aku yang
bisa mengerti persis bagaimana perasaanmu, harus kehilangan kedua
orang-tuamu." "Kamu nggak tau gimana rasanya. Aku nggak pernah dekat sama
Mami apalagi Papi. Aku nggak begitu sedih koq."
"Kalau begitu aku benar-benar tahu persis perasaanmu. Karena aku juga
nggak pernah dekat sama Papa Mama. Tapi aku tetap saja sedih,
terutama kalau mengingat kata terakhir yang aku ucapkan pada Papa
adalah selamat tinggal untuk sementara. Menyesal sekali kata terakhir itu
aku ucapkan dengan penuh kebencian, lebih tepatnya kekecewaan. Lebih
menyesal lagi karena aku tidak sempat berbaikan kembali. Aku yakin
kamu pasti merasa hal yang sama, ya kan?"
"Aku dari awal memang nggak suka rencana Mami mau tinggal di
Semarang. Makanya aku nggak ikut ke Semarang. Mami duluan yang ke
Semarang. Rencananya sesudah naik kelas nanti aku bakal dipindah ke
Semarang. Aku masih ngotot nggak mau. Sejak Mami pergi dari Malang,
aku sama sekali nggak mau ngomong sama Mami. Aku masih marah."
"Dan waktu kamu dengar kejadian naas itu, rasanya menyesal sekali
kamu nggak sempat minta maaf sama Mami kan" Banyak hal yang aku
sesali, Hendri. Aku bahkan menyesal tidak memberikan kesempatan buat
diriku sendiri untuk lebih mengenal Tante Mia. Aku benci sekali sama
Niken Dan Pandu Karya Ac Zzz di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tante Mia karena telah menghancurkan keharmonisan rumah tangga
keluargaku. Walaupun aku juga sadar, keharmonisan itu pasti sebetulnya
sudah hancur sebelum ada Tante Mia."
"Kamu tahu" Aku juga benci sama Papi, setelah tahu bahwa ternyata
Papi itu punya istri pertama. Aku baru tahu nggak lama sebelum Mami
mau pindah ke Semarang. Sejak itu aku benci Papi dan segala sesuatu
yang berbau Tjakrawibawa, termasuk kamu, saat aku mendengar bahwa
Papi punya anak perempuan dengan istri pertamanya. Rasanya
kebencianku itu nggak beralasan. Maafin aku, ya. Eh, aku boleh panggil
kamu cici?" tanya Hendri, yang ternyata memanggil papa Niken "papi".
Niken heran. Kenapa Hendri mau manggil dia cici" Baru saja dia
akan bertanya "Kenapa?" sebelum akhirnya sadar bahwa status Hendri itu
termasuk adiknya. "Telat mikir. Bodoh sekali".
"Tentu saja boleh. Belum pernah ada yang memanggilku cici
sebelum ini." "Hendri, dengerin aku. Seandainya Papa mewariskan apapun
padaku, aku akan berikan padamu. Aku nggak butuh apapun dari Papa.
Rumah di Jalan Kenanga itu punya Mama, dan kebetulan sudah jadi hak
milikku. Itu sudah lebih dari cukup buatku."
"Cie, aku juga baru mau mengatakan hal yang sama. Aku nggak ingin
pindah dari Malang. Di Malang aku tinggal sama Oma dan Opa dari Mami.
Uang tabungan Mami cukup-cukup sekali buat menghidupi seratus anak.
Jadi aku bermaksud menolak warisan apapun dari Papi. Jangan berikan
padaku. Aku nggak mau."
"Nah lho" bagaimana ini?" tanya Niken bingung.
"Dilihat aja nanti. Belum tentu diwarisi juga." kata Hendri tersenyum.
Niken jadi teringat Omanya yang duduk sendirian. Niken lalu berjalan
ke arah Oma, mendorong kursi rodanya jadi Oma bisa duduk di sebelah
Hendri juga. "Oma, ini Hendri." kata Niken mengenalkan.
"Bagaimana sih kamu, Fei" Oma tuh sudah kenal. Tadi Oma juga sudah
bilang?" kata Oma geli.
"Oh, iya. Lupa." kata Niken sambil menepuk dahinya.
Kebetulan yang dijadwalkan untuk hadir sudah hadir semua. Lalu
acara pembacaan warisan dimulai. Dimulai dari warisan Papa, lalu
Mama, lalu Tante Mia. Seperti dugaan Niken, semua milik Mama
diwariskan untuknya, kecuali rumah tinggalnya di Kebumen yang memang
sudah dihuni oleh Oom Yongki, adik mama. Mobil BMW yang memang
diatasnamakan Mama, jadi milik Niken. Juga harta benda Mama di bank
termasuk deposito, tabungan dan simpanan emas. Niken bahkan tidak
tahu bahwa Mama memegang polis asuransi jiwa, jadi Niken sebagai ahli
waris mamanya mendapat hak penuh atas asuransi jiwanya.
Semua harta millik Tante Mia tidak semua diwariskan ke Hendri,
melainkan dibagi tiga. Sesudah adik-adiknya besar, baru mereka berhak
mendapatkan warisannya masing-masing. Tapi sepertiganya langsung
diberikan pada Hendri. Termasuk dua rumah di Surabaya dan beberapa
mobil mewah. Sampai saat pembacaan warisan Papa, tidak ada satupun orang
yang protes. Papa mewariskan banyak hal ke banyak orang. Sepertinya seluruh
keluarganya mendapat jatah yang adil. Untuk adik-adiknya, untuk Oma,
bahkan teman-temannya. Barang-barang yang diwariskan termasuk
saham-saham miliknya, tanah di beberapa tempat termasuk
apartemennya yang di Jakarta, uang, dan masih banyak lagi barang kecilkecil yang sayangnya sudah hangus bersama terbakarnya rumah Kinanti.
Untuk Niken, Papa memberikan rumah Kinanti, yang sekarang tinggal
berharga tanah. Papa lebih banyak memberikan warisannya pada Hendri,
termasuk uang tabungan pribadinya, karena dia anak laki-laki satusatunya. Niken merasa lega. Dia sudah punya rencana bagus untuk
memanfaatkan warisan Papa. Tanah Kinanti akan dia jual dan uangnya
akan dia gunakan untuk menolong korban demonstran di hari naas itu.
Walaupun uang mungkin tidak akan cukup untuk melupakan dan
menebus kejadian naas itu, tapi pasti sedikit banyak akan membantu
meringankan beban banyak orang.
Warisan Mama yang jumlahnya tidak sebanyak warisan Papa, akan
digunakannya untuk membiayai kuliah kedokterannya sampai selesai.
Beres, kan" Segera setelah selesai pembacaan warisan, Hendri langsung maju ke
depan dan berbisik-bisik pada bapak Notaris. Setelah itu dia duduk
kembali. "Kenapa, Hen?" tanya Niken.
"Aku ingin mewariskan warisan Papa itu untuk dibagi rata buat kedua
adikku setelah besar nanti. Biar mereka nanti yang memutuskan
kegunaan warisan Papa itu." kata Hendri.
"Benar-benar ironis?" gumam Oma.
"Maksud Oma?" tanya Niken.
"Papamu itu dari muda ingin punya anak laki-laki untuk diwarisi kalau dia
sudah meninggal. Sesudah dia tidak ada, anak laki-laki satu-satunya
malah tidak mau diwarisi. Apa bukan ironis namanya?"
"Warisan Papi untuk kamu mau diapain, cie?" tanya Hendri.
"Oh, aku sudah putuskan untuk menghabiskan semuanya untuk korban
demonstran waktu lalu. Rasanya lebih tepat untuk itu." kata Niken.
"Oma bangga sekali punya cucu-cucu seperti kalian. Hendri, kamu harus
mengajari adik-adikmu supaya bisa seperti kamu." kata Oma sambil
memeluk kedua cucunya. Sabtu kemarin adalah hari terakhir ujian nasional. Hari ini hari Senin.
Murid-murid kelas tiga terlihat begitu ogah-ogahan datang ke sekolah.
Bahkan daftar murid terlambat hari ini mendadak berlipat ganda dari harihari biasanya. Sepertinya energi mereka sudah terkuras habis minggu
lalu. Beberapa anak bahkan tak terlihat batang hidungnya. Gedung kelas
tiga terpisah dari gedung induk SMA Antonius. Hari ini murid-murid
diharuskan datang karena ada acara kerja bakti membersihkan kampus
selama tiga hari berturut-turut. Dari tadi pagi anak-anak kelas tiga terlihat
menggerutu sambil mengutuki orang-orang yang bertanggungjawab atas
ide gila kerja bakti ini. Untunglah tak satupun dari mereka yang
mengetahui siapa otak dibalik ide gila tersebut. Kalau sampai ada yang
tahu, pasti saat ini orang tersebut sudah lari pontang-panting dikejar-kejar
anak seangkatan. Atau mungkin juga tidak. Tak terlihat ada satupun anak
yang mempunyai energi cadangan untuk mengejar kambing sekalipun.
Kecuali Pandu. Anak itu dari tadi sibuk mondar-mandir dari ruang
soundsystem ke ruang musik. Kegiatan anehnya ini luput dari perhatian
semua orang, karena semua anak sedang sibuk, atau pura-pura sibuk
bekerja bakti membersihkan ruang-ruang kelas.
Tiba-tiba.... "Test... test.. Dengar semua suara saya?" Suara Pandu terdengar dari
seluruh loudspeaker yang ada di gedung kelas tiga, yang memang
biasanya digunakan untuk pengumuman.
Kegiatan kerja bakti jadi mendadak berhenti total. Mendengarkan
pengumuman jauh lebih menarik daripada kerja bakti. Beberapa anak
berdoa komat-kamit agar pengumuman itu akan berbunyi "Anak-anak
kelas tiga boleh pulang sekarang".
"Rekan-rekan Antonians, hari ini saya Pandu, dengan seijin kepala
sekolah, akan menjadi radio DJ dadakan untuk menemani teman-teman
yang sedang sibuk bekerja bakti dengan alunan musik. Maaf untuk
sementara tidak bisa menerima request lagu, berhubung kompilasi lagu
yang ada saat ini sangat terbatas jumlahnya. Akan tetapi jangan kuatir,
selera teman-teman pasti terpenuhi. Di sini saya sudah sedia tembangtembang instrumental, jazz, pop, rock, klasik, dan dangdut. Lagu pertama
yang akan saya putar ini adalah rekaman suara saya sendiri. Jangan
takut, cuma satu lagu ini saja yang belum dirilis ke publik. Saya harus
mengucapkan terima kasih pada Mas Baron Kanginan yang mengiringi
lagu ini dengan alunan pianonya, juga membantu merekam ke kaset.
Lagu ini saya persembahkan untuk orang yang selama ini memenuhi otak
dan hati saya, meski waktu mengerjakan soal-soal ujian. Fei, lagu ini buat
kamu.." Niken yang sedang berdiri di atas meja membersihkan kaca jendela,
tersontak kaget. Walaupun tidak ada anak yang tahu 'Fei' itu namanya, tapi
dia tahu. Dua tiga detik setelah Pandu selesai berbicara, jantung Niken
berdebar keras berusaha menduga-duga lagu apa kiranya yang akan
dimainkan anak nekad ini. Begitu Niken mendengar intronya yang
dimainkan dengan piano, Niken tercenung. Lagu ini lagu kesayangan
papanya! Dan sangat dikenalnya.. Tapi... bagaimana mungkin... Pandu
kan tidak bisa bahasa...?"
mo ming wo jiu xi huan ni
mo ming wo jiu xi huan ni
shen shen de ai shang ni mei you li you mei you yuan yin
mo ming wo jiu xi huan ni
shen shen de ai shang ni cong jian dao ni de na yi tian qi
ni zhi dao wo zai deng ni ma
ni ru guo zhen de zai hu wo
you zen hui rang wu jing de ye pei wo du guo
ni zhi dao wo zai deng ni ma
ni ru guo zhen de zai hu wo
you zen hui rang wo hua zhe shou zai feng zhong chan dou
mo ming wo jiu xi huan ni
shen shen de ai shang ni zai hei ye li qing ting ni de sheng yin
Walaupun semenjak kecil Niken biasa mendengar papa-mamanya
bercakap-cakap dalam bahasa Mandarin, Niken tidak pernah benar-benar
berusaha belajar dan mengerti artinya. Butuh konsentrasi penuh untuk
menghayati lirik lagu tersebut dan memahami maksudnya. Sulit, tapi
bukan di luar jangkauan kemampuannya.
Aku tak mengerti mengapa kusuka kamu
mencintaimu sedalam dalamnya
tanpa alasan, tanpa sebab
Aku tak mengerti mengapa kusuka kamu
mencintaimu sedalam dalamnya
Sejak hari pertama ku berjumpa denganmu
Tahukah kau, aku menantikanmu
Jika kau memang peduli padaku
bagaimana bisa kau biarkan malam tak berujung menemaniku
Tahukah kamu, aku menantikanmu
Jika kau memang peduli padaku
bagaimana bisa kau biarkan tanganku gemetar mengayuh di tengah2
angin Aku tak mengerti mengapa kusuka kamu
mencintaimu sedalam dalamnya
di kegelapan malam kudengar suaramu
Campur aduk perasaannya saat ini. Niken jadi menyadari betapa
kangen dirinya untuk dipeluk papanya. Meskipun Niken tak pernah merasa
dekat secara pribadi dengan papanya, papanya tetap papanya. Niken tak
menyangka bahkan suara papanya pun masih dapat diingatnya dengan
jelas. Suara serak dan batuk-batuknya di pagi hari, siulan dan senandung
kecil papanya dari dalam kamar mandi tiap pagi dan sore bila suasana
hatinya sedang enak. Mamanya sebaliknya bersuara sumbang dan tidak
bisa mengikuti ritme, tidak hobi menyanyi seperti papanya. Sewaktu kecil,
Niken pernah melihat mamanya berdiri terpaku di depan kamar mandi
selagi papanya menyanyi-nyanyi kecil di "studio mini"nya itu. Seperti apa
wajah mama waktu itu jadi tergambar jelas di ingatannya sekarang. Wajah
yang mendambakan kehangatan dan memimpikan lagu-lagu yang
dinyanyikan suaminya itu ditujukan untuknya. Niken baru menyadari
sekarang bahwa sejauh-jauhnya hatinya dari orang-tuanya, banyak hal
dari mereka yang secara tidak langsung berimbas besar di dirinya. Heran
bercampur bangga pada dirinya sendiri karena dia sanggup mengingat
hal-hal kecil seperti itu, hanya dengan mendengarkan sebuah lagu yang
dinyanyikan oleh Pandu. "Pandu!" serunya dalam hati. Bahkan beberapa
saat dalam lamunannya tadi dia lupa bahwa suara yang sedang
mengalun lembut dari loudspeaker murahan itu adalah suara yang paling
dikangeninya saat ini. "Terima kasih, Pandu?" batinnya lagi. Tak disadarinya air matanya
mengalir pelan di pipinya. Didengarkannya lagi lagu itu dengan sepenuh
hatinya dengan mata berkaca-kaca. "Pandu pasti sudah latihan matimatian sebelumnya", pikirnya. Pasti sulit menyanyikan lagu ini dengan
lafal yang benar, terutama buat orang seperti Pandu yang sama sekali
tidak bisa mengucapkan sepatah katapun dalam bahasa Mandarin. Entah
dia belajar dari siapa. Yang jelas bukan darinya. Niken pasrah,
membiarkan perasaannya larut dibuai oleh lagu romantis Pandu.
Perasaan yang sudah lama ditekan dan dihalang-halanginya untuk
muncul ke permukaan, kali ini dibiarkannya lepas, liar tanpa kontrol. Dan
harus diakuinya, perasaan ini indah dan sangat memanjakan dirinya.
Sendirian di dalam ruang soundsystem, Pandu memejamkan
matanya untuk menenangkan debar jantungnya. "Kira-kira Niken sedang
apa sekarang, ya?" Jantungnya yang berdegup keras ini bukan karena
grogi suaranya terdengar di seluruh pelosok gedung kelas tiga, tapi
karena lagu ini adalah cerminan murni dari suara hatinya yang
menginginkan hanya seorang. Niken. Dia sudah membayangkan
kemungkinan terburuknya. Niken tambah benci padanya dan tak ingin
mengenalnya lagi. Sepertinya itu resiko yang harus diambilnya, untuk
membuat gadis bodoh yang amat dicintainya itu mengerti akan
perasaannya. Bahwa dia tidak akan gentar mencintai Niken sampai
kapanpun, sampai Niken berhenti mencintainya sekalipun. Tapi tentu saja
dia mengharapkan reaksi positif dari Niken. Tidak harus sekarang,
asalkan suatu saat dalam masa hidupnya.
Larut dalam lamunannya, Pandu tak menyadari lagu itu sudah selesai
sekitar semenit yang lalu. Keheningan itu memecahkan lamunannya.
Cepat-cepat memencet tombol "stop" untuk menghentikan putaran
kasetnya, Pandu mulai bercuap-cuap lagi.
"Demikianlah maestro yang memang karyanya sudah tak asing lagi di
telinga rekan-rekan sekalian. Maksud saya tentunya Mas Baron Kanginan.
Malu sebenarnya suara saya diiringi Mas Baron. Tapi apa boleh buat,
untuk menyanyikan lagu dalam bahasa asing saja sudah sulit, apalagi
latihan pianonya. Untung ada Mas Baron yang mau membantu. Maaf tadi
sunyi senyap setelah lagu selesai. Maklum DJ masih belum profesional.
Baiklah! Tanpa panjang lebar lagi, saya putar lagu kedua, ini Aerosmith,
Crazy...." Tangan Pandu sibuk menempatkan kaset pada slotnya, lalu
menekan tombol "play".
Niken sudah lama berdiri di luar ruang soundsystem sambil
mengetuk-ngetuk pintu kayu itu. Sepertinya suara di dalam soundsystem
terlalu keras sehingga ketukannya tak terdengar oleh Pandu. Tak sabar,
digedornya pintu itu dengan kedua tinju tangannya. Mendengar gedoran
pintu, Pandu meloncat dari kursinya dan membuka pintu.
Begitu pintu terbuka, Niken langsung memberikan senyumannya yang
terlebar untuk Pandu. Seperti terhipnotis, Pandu pun ikut tersenyum lebar.
Ketika dua detik kemudian senyum lebar Niken yang manis berubah
menjadi tertawa kecil, Pandu tergelitik untuk bertanya "Koq malah
tertawa?" "Habis kamu lucu sekali." sahut Niken masih tergelak.
"Lucu bagaimana?" Pandu mengerutkan alisnya.
"Ya yang tadi itu. Kamu lucu bisa nyanyi lagu mandarin segala. Dari
semua kegilaanmu selama ini, rasanya yang kali ini bisa meraih
penghargaan tertinggi. Ngomong-ngomong, aku boleh masuk nggak?"
tanya Niken sambil melirik ke dalam ruang soundsystem.
Setelah dipersilahkan masuk dan Pandu menutup pintunya kembali,
Niken menatap Pandu yang masih menyandarkan punggungnya di pintu.
Membaca wajah Pandu yang penuh tanda tanya, Niken tersenyum lagi,
berusaha menghapus kegugupan dari wajah Pandu. Tapi ternyata tak
semudah itu melenyapkan ketegangan itu hanya dengan sebuah
senyuman. "Bagus tadi lagunya, Ndu" Suara Niken memecah kesunyian.
"Terima kasih, Fei. Tapi kita berdua sama-sama tahu, bukan tanggapan
seperti itu yang ingin kudengar darimu."
"Kamu tahu arti lagu tadi?" Pertanyaan bodoh, Niken! serunya dalam hati.
Pandu melongo. "Tentu saja aku tahu arti lagu itu luar kepala. Buat apa
Niken Dan Pandu Karya Ac Zzz di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
aku nyanyi kalau nggak tahu artinya?"
"Maaf,.. Bukan itu sebenarnya yang hendak aku katakan. Entah kenapa
yang keluar di mulut jadi lain.." keluh Niken.
Perhatian Pandu mendadak terpusat ke arah putaran kasetnya.
Mengikuti arah pandangan Pandu, Niken hendak mengingatkan Pandu
bahwa lagu Aerosmith ini sebentar lagi selesai. Pandu langsung
mengetahui apa yang hendak Niken katakan. "Tenang saja. Kaset itu
isinya lagu-lagu kompilasi. Biarkan saja berputar sampai habis. Sekarang
aku lebih tertarik ingin mendengar apa yang ingin kau katakan."
"Kamu tahu" Lagu tadi... Papa sering mendendangkannya..."
Deg! Sesaat Pandu limbung mendengar kata-kata Niken. Tanggapan
Niken ini jauh di luar dugaannya.
"Fei..." Pandu mendekat. "Sama sekali aku tak bermaksud mengkorek
lukamu..." "Kamu selalu begitu. Tidak pernah membiarkan aku selesai bicara. Aku
juga tidak bilang kamu mengkorek luka, koq."
Pandu membisu. Dibiarkannya Niken menyelesaikan kata-katanya kali ini.
"Mendengarkan lagumu tadi, aku jadi menyadari dua hal penting.
Pertama, bahwa Papa dan Mama justru sekarang malah tambah dekat di
hatiku. Aku bukan anak yang tak berbakti. Sampai kapanpun mereka tetap
papa-mamaku, yang memang jauh dari sempurna. Seperti aku pun yang
tak sempurna. Tapi aku harus menemukan jati diriku sendiri, kemauanku
sendiri. Aku tak pernah ingin hidup di bawah bayang-bayang mereka
selama mereka hidup, dan aku tidak ingin memulainya sekarang."
Wajah Pandu berubah cerah. Di luar perkiraannya, lagu tadi sudah
menyelamatkannya lebih dari yang dia harapkan.
"Yang kedua?" tanya Pandu kemudian.
"Aku jadi menyadari betapa sulit mengenyahkanmu dari hidupku. Apapun
yang kulakukan, sepertinya tak membuatmu menjauhiku. Justru
sebaliknya. Benar-benar mengesalkan!"
Pandu menatap mata bening Niken. Rasanya tak salah bila dia
menyimpulkan bahwa di situ ditemukannya penyesalan, kepercayaan dan
harapan. Penyesalan akan keraguan dan sikapnya sendiri, kepercayaan
akan cinta Pandu, dan harapan akan kebahagiaannya bersama Pandu.
Ditemukannya pula jawaban atas semua pertanyaannya.
Secara refleks, Pandu menarik pinggang Niken ke arahnya bak penari
salsa. Ingin rasanya memeluk dan mencium Niken saat itu juga. Untung
dia ingat ini di ruang sound system, di sekolah, pada jam pelajaran pula.
Bisa berabe kalau sampai ada orang tahu. Mereka bisa dikeluarkan dari
sekolah sebelum hasil ujian diumumkan!
Dengan berat hati dilepaskannya pinggang Niken dari pegangannya.
"Sebetulnya aku datang kemari cuma ingin berkomentar satu hal. Kenapa
jadi berlarut-larut dan melenceng dari tujuan awal begini?" Niken
menepuk dahinya. "Komentar apa?" tanya Pandu tertarik.
"Di kegelapan malam kamu sering mendengar suaraku?" tanya Niken
sambil tertawa keras sekali. "Menakutkan sekali! Kalau aku jadi kamu, aku
akan bawa-bawa pisau dapur tiap mau tidur! Kamu kira aku tuyul"!"
"Mari masuk Niken. Pandu lagi tidur siang tuh. Katanya capek setelah
tiga hari kerja bakti di sekolah. Dibangunkan saja. Sudah jam setengah
lima sore ini." kata Ibu Pandu saat melihat Niken datang.
"Hei, bangun, jangan ngorok terus!" kata Niken, mengagetkan Pandu
yang sedang tidur dengan pulas.
Niken lalu menyalakan lampu kamar Pandu.
"Kamu kejam deh. Masih pegal-pegal nih!" Pandu mengomel. Sepertinya
dia belum betul-betul bangun.
"Jalan-jalan yuk." ajak Niken.
"Malas ah?" kata Pandu bersiap-siap mau bobok lagi.
Niken cepat-cepat menarik bantalnya. Buk! Kepala Pandu membentur
kasur. "Apa-apaan sih kamu, Fei" Aku ngantuk nih?" kata Pandu sambil
memohon-mohon Niken untuk mengembalikan bantalnya.
"Ayo lah" aku sudah sampai di sini masa" diusir sih" Cuaca di luar cerah
tuh. Ayo keluar yuk?" ajak Niken lagi.
"Ah, kamu memang kalo udah ada maunya?" Pandu mengomel sambil
beranjak berdiri. "Oke, aku mandi dulu, kamu baca-baca majalah tuh" lanjut Pandu sambil
menunjuk tumpukan majalah di lemari bukunya.
Setelah Pandu keluar kamar, Niken mengamati kamar Pandu dengan
cermat. Nggak banyak berubah sejak terakhir dia kemari. Kamar kecil
Pandu ini nggak begitu rapi, tapi nggak acak-acakan. Paling mejanya aja
yang penuh buku, sampai nggak ada tempat lagi untuk menulis. Wajar
saja karena baru saja selesai musim ujian. Tapi diluar itu semuanya rapi.
Tidak ada pakaian kotor di lantai, tidak ada makanan atau minuman di
kamarnya. Eh, ada juga foto Niken di meja kecil dekat tempat tidurnya.
Niken tersenyum sambil menyambar salah satu majalah yang tadi
ditunjuk Pandu. "Kamu keluar dulu, gih." kata Pandu mengagetkan Niken.
"Kamu koq kilat mandinya?" tanya Niken.
"Ya ini udah selesai. Sekarang aku mesti ganti baju. Makanya kamu keluar
dulu deh." kata Pandu sambil mengusir-usir Niken keluar dari kamarnya.
Tadi dia lupa membawa pakaiannya ke kamar mandi, seperti biasanya,
jadi sekarang dia cuma membalutkan handuk di pinggangnya. Rambutnya
basah habis keramas. Diam-diam Niken mengamati Pandu yang bertelanjang dada. Seksi
juga, berotot lagi. "Hihi?" Niken tertawa dalam hati.
"Eh" cepetan dong. Kamu koq malah bengong?" kata Pandu lagi.
"Iya iyaa" Galak amat! Ini aku keluar." kata Niken keluar kamar sambil
masih tertawa-tawa. Begitu Pandu keluar kamar, Niken yang tak sabar langsung
menggandengnya keluar rumah.
"Pamitan sama ibumu, cepat. Aku tadi sudah."
Sambil jalan, karena masih ditarik-tarik dengan paksa oleh Niken, Pandu
berpamitan "Bye Bu" doakan aku kembali utuh ya?" gurau Pandu.
Habisnya Niken seperti menarik-narik kambing ke balai penyembelihan
binatang. "Ada apa sih?" tanya Pandu saat mereka sudah ada di mobil Niken.
"Nih" baca nih?" kata Niken menunjukkan sepucuk surat berkop
Universitas Indonesia. Pandu lalu membaca surat itu dengan cermat. Sampai di alinea terakhir,
dia lalu tersenyum. "Wah" selamat, Fei, kamu lolos PPKB! Nggak usah ikut UMPTN! Hebat.
Jarang lho orang yang lulus PPKB buat FKUI!" kata Pandu berteriak-teriak.
"Makanya itu aku pengen merayakan hari bersejarah ini. Catat, ini tanggal
15 Mei." "Nggak cuma kamu lho yang lolos PPKB." kata Pandu serius.
"Siapa lagi?" tanya Niken.
"Aku." kata Pandu sambil menunjuk dirinya sendiri.
"Kamu" Yang benar, Ndu?" tanya Niken nggak percaya.
"Eh, nggak percaya. Aku juga baru mendapat suratnya kemarin. Mau aku
ambilkan di rumah?" tanya Pandu. "Aku malah mendapat keringanan uang
SPP untuk tahun pertama dari Depdikbud. Nanti tahun kedua tergantung
evaluasi prestasiku di tahun pertama di ITB, begitu katanya."
"Wah" selamat yah" Ini betul-betul perlu dirayakan. Kamu mau ke
mana" Ada ide?" tanya Niken.
"Kamu kan yang dari tadi teriak-teriak ingin jalan-jalan. Aku kirain kamu
sudah ada rencana mau ke mana?" tanya Pandu geli.
"Aku kan cuma tanya kamu ingin ke mana. Siapa tahu kamu punya ide
lebih baik. Kan baik aku menawarkan, kan" Kalo nggak ada ide ya aku
kembali ke rencanaku semula."
"Memangnya menurut rencana jahatmu semula kamu mau ke mana?"
"Jahat" Ada deh?" kata Niken sambil mengedipkan sebelah matanya.
"Oke lah. Aku ikut saja." kata Pandu lalu memejamkan matanya.
"Sialan, kamu malah bobok lagi" Dasar tukang ngorok!" Niken mulai
mengomel lagi. "Memangnya aku tadi ngorok?" tanya Pandu serius.
"Wah, keras sekali?" kata Niken sambil tertawa geli.
"Seriusss?"!" tanya Pandu lagi.
"Serius!" jawab Niken ikut-ikutan pasang tampang serius.
Pandu lalu diam saja. Malu, dong.
"Memangnya kenapa sih kalo ngorok?" tanya Niken.
"Nggak enak saja. Selama ini kan aku bobok sendirian, jadi ngorok juga
nggak masalah. Tapi misalnya aku menginap di tempat orang, atau kalau
udah kawin nanti, kan kasihan istriku kalau aku ngorok setiap malam.
Bisa nggak bisa bobok dia."
Niken tambah kencang ketawanya.
"Culun sekali kamu, Ndu. Kamu pasti tadi capek aja, jadi mengorok.
Waktu sebulan aku di rumahmu aku kadang-kadang keluar kamar ambil
minum, kamu juga tenang-tenang saja koq tidurnya. Lagipula, kurasa kau
butuh istri yang seperti aku?" kata Niken sambil tersenyum.
"Kenapa?" "Begitu kepalaku menempel bantal, aku pasti langsung tertidur. Makanya
sebelum menyentuh bantal aku pasti bikin puisi dulu. Kalo nggak bisabisa batal nggak bikin puisi melulu setiap hari."
"Tapi bagaimana bisa kawin sama kamu" Kita pacaran saja nggak?"
kata Pandu. "Lho" Kita tu nggak pacaran tho?" tanya Niken bengong.
"Bagaimana sih" Kan kamu dulu yang bilang nggak mau pacaran dulu."
"Lha trus yang kemarin di ruang soundsystem, kamu kira aku ngapain?"
"Kamu kan cuma datang mengomentari laguku..."
"Ah, Pandu, kamu emang bodoh sekali! Kamu nggak mau ya pacaran
sama aku?" "Lho" Apa aku pernah bilang nggak mau" Aku justru yang selama ini
bilang cinta ! Ingat laguku kemarin lusa ?"
Niken lalu terdiam. Pas dia lagi mau berbicara sepatah kata, kebetulan
Pandu juga mau mengatakan sesuatu.
"Kamu duluan, deh." kata Niken sambil mengganti persneleng empat.
"Nggak. Kamu saja duluan."
"Aku sudah nggak punya siapa-siapa lagi kecuali kamu, Ndu. Akhir-akhir
ini aku sering merasa kesepian banget di rumah. Jadi inget cici, mama,
papa. Aku merasa beruntung masih punya kamu. Rasanya Tuhan
mengirimkan kamu pada saat yang tepat?"
"Fei" awas sepeda motor!" teriak Pandu. Niken kaget. Rupanya dia tak
sadar melamun. "Kamu melamun ya?" tanya Pandu setelah Niken meminggirkan mobilnya.
Niken menggaruk-garuk kepalanya yang nggak gatal.
"Bahaya nich" Kamu berhenti dulu lah kalo mau ngobrol. Atau aku yang
nyetir ya" Kamu mau ke mana sih?" usul Pandu.
"Yah sudah, kita berhenti di sini dulu aja. Mumpung di bawah pohon
rindang. Angin semilir lagi. Wah. Seandainya aku bawa buku puisiku, bisa
bikin puisi nih?" gumam Niken melantur.
"Fei, kamu pakai parfum ya?" tanya Pandu.
"Nggak." kata Niken sambil mencium-cium bajunya. "Kenapa
memangnya?" "Wangi." "Wangi" Swear deh aku nggak pake parfum."
"Nah kan,... kamu nggak bisa bilang kita selama ini pacaran, karena aku
saja nggak tahu bahwa tanpa parfum tu kamu wangi sekali. Aku baru tahu
sekarang. Dan aku suka sekali. Aku ingin tahu hal-hal kecil seperti ini yang
aku belum tahu. Misalnya, apa film kesukaanmu, apa makanan
kesukaanmu, siapa cinta pertamamu, dan bahkan kamu belum sempat
menjawab pertanyaanku yang dulu, siapa tokoh idolamu selain Sun Tzu."
"Aku juga nggak tahu banyak tentang kamu di hal-hal yang kecil
seperti itu, rasanya kita cuma perlu lebih banyak meluangkan waktu
berdua. Seperti sekarang ini. Atau seperti waktu di dalam ruang
soundsystem. Bicara dari hati ke hati. Itu kan yang namanya pacaran"
Tapi, kalo kamu cuma ingin tahu aja, film kesukaanku "Gone with the
wind", makanan favoritku bakmi, tokoh idolaku selain Sun Tzu adalah cici,
dan cinta pertamaku, tentu saja kamu. Pakai acara tanya segala."
"Memangnya kamu nggak pernah naksir siapa-siapa sebelum aku?"
tanya Pandu. "Nggak." Niken menggeleng mantap. "Kamu pernah naksir cewek ya?"
tanya Niken. Pandu mengangguk. "Bu Fani, guruku waktu SD kelas dua."
"Hah"! Guru SD" Ah, kamu yang benar saja?"
"Bener! Bu Fani tu sabaaarrr sekali. Aku inget aku sempat sering datang
ke sekolah pagi-pagi sekali, sengaja cuma ingin membersihkan kelas,
demi ingin mendapat pujian Bu Fani sewaktu dia masuk ke kelas. Tapi
cuma sebentar saja sih naksirnya, karena terus aku tahu Bu Fani sudah
punya suami. Kalau aku ingat-ingat lagi, bodoh sekali aku. Seandainya
saja waktu itu dia belum punya suami, trus memangnya aku bisa apa"
Akunya masih anak kelas 2 SD!"
"Wah" kamu centil juga ya kelas 2 SD sudah pakai acara naksirnaksiran segala" Aku waktu SD kan masih benci sekali sama semua
cowok di sekolahku".
"Masa" nggak pernah ada satupun orang yang kamu kagumi, Fei" Seperti
Bu Fani-ku gitu?" Niken berpikir sebentar. "Nggak. Kamu yang pertama kali bikin aku seperti
ini." jawabnya mantap.
"Kamu nggak kebera tan pacaran sama aku, Fei?"
"Memangnya kenapa, Ndu?"
"Kamu nggak pernah merasa, sering kali pas aku boncengin kamu naik
sepeda, atau kita jalan-jalan berdua, selalu saja dapat tatapan aneh dari
orang-orang" Mereka seperti melihat ikan pacaran sama burung, yang
nggak punya tempat di mana-mana untuk bersama. Ikannya nggak bisa
tinggal di udara, burung nggak bisa tinggal di air."
"Jadi kamu merasa nggak nyaman jalan sama aku?" tanya Niken.
"Bukan begitu maksudku."
"Lalu?" Pandu bingung mesti menjawab bagaimana tanpa menyinggung
perasaan Niken. Memang nyata-nyata perbedaan kulit mereka begitu
jelas. "Baiklah, Ndu. Aku mengerti." kata Niken sambil hendak menstater
mobilnya lagi. "Lho, tunggu dulu." kata Pandu merebut kunci mobil dari tangan Niken.
"Sabar dong, non. Aku masih bingung mau ngomong apa."
"Kenapa mesti bingung" Tinggal ngomong saja. Bilang saja, Fei, aku
nggak nyaman pacaran sama kamu." Niken cemberut.
"Aku nggak bisa bilang begitu karena aku belum pernah benar-benar
pacaran sama kamu. Lagian aku sudah bilang, bukan begitu maksudku.
Aku cuma pengen kamu jujur sama aku. Kalo aku jawab duluan, apa aku
merasa nyaman, kalau kamu merasa nggak nyaman, nantinya kamu
nggak enak bilang terang-terangan, karena aku sudah duluan bilang
nggak papa." "Jadi kamu nggak papa?"
"Pandangan orang-orang itu sesuatu yang nggak bisa dihindari, kemana
pun kita pergi. Aku sih selalu merasa nyaman, karena aku tahu persis
cewek yang aku boncengin atau yang jalan bareng aku ini manis sekali,
dan orang-orang itu cuma iri karena nggak bisa boncengin atau jalan
bareng cewek semanis kamu."
"Ah, gombal!" Jawaban Pandu tadi cukup untuk membuat pipi Niken
panas karena malu. "Lho" Kamu tadi kan tanya, tuh sudah aku jawab. Koq malah aku dibilang
gombal, ya sudah deh."
"Jadi menurutmu aku ini manis?" tanya Niken lagi. Rupanya masih belum
puas dipuji dia. Ingin pipinya tambah merah.
"Memangnya nggak pernah ada orang yang bilang kamu itu manis
sekali?" tanya Pandu.
Niken menggeleng. "Yah sekarang aku kasih tahu. Waktu pertama kali aku melihatmu, dengan
tampangmu yang sok judes di kelas waktu itu, kamu sudah keliatan
Niken Dan Pandu Karya Ac Zzz di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
manis. Makin aku mengenalmu, kamu terlihat semakin manis di mataku."
"Ngomong-ngomong soal mata, pertama kali lihat kamu di kelas waktu itu,
satu-satunya yang menarik perhatianku cuma matamu. Wulan waktu itu
bilang mata kamu tajam kayak mata elang. Lalu aku perhatikan, memang
iya. Sorot matamu tajam sekali, tapi kalau kamu memandangku terlihat
begitu lembut." "Koq setelah itu kamu sering panggil aku mata jangkrik" Memangnya
matanya jangkrik seperti mata elang?"
"Naaaah" aku nggak mau mengakui kalo matamu tu yang terindah yang
pernah aku lihat. Terutama sama Wulan. Gengsi dong."
"Jadi kamu juga cuek dengan pandangan aneh orang-orang itu?"
"Aku sudah biasa koq. Kalo jalan-jalan sama Wulan juga begitu. Kalau
lagi iseng, aku kagetin mereka, "Ngapain lihat-lihat"!" Lagipula mereka
pasti melihat kita begitu serasi, Ndu, makanya mereka seperti itu. Mereka
iri melihat pundakmu yang pas sekali buat kepalaku. Juga tanganku yang
pas sekali melingkar di pinggangmu kalau kamu boncengin." kata Niken
tersenyum. "Fei, diinget-inget yah, ini tanggal 15 Mei, tanggal yang bersejarah.
Karena mulai hari ini, Fei Fei resmi jadi calon istri Pandu."
"Apa"! Calon istri"!"
"Nggak mau?" "Aaa" aku" Tapi?" Niken gelagapan.
Pandu ketawa sekeras-kerasnya. Niken jadi bingung. Dipukul-pukulnya
pundak Pandu. "Awas kamu ya Ndu. Kamu mempermainkan aku!"
"Nggak, aku nggak akan pernah mempermainkan kamu. Aku serius koq.
Aku pacaran cuma ingin sekali. Kamu sudah pas sekali buatku, Fei. Kamu
bahkan jauh lebih bagus dari kriteria cewek yang selama ini aku
dambakan. Aku nggak ingin kehilangan kamu." kata Pandu sambil
menepiskan poni di dahi Niken.
"Aku bersyukur kamu masuk dalam hidupku, Ndu. Kamu
memperkenalkan sisi lain di diriku yang aku sendiri tadinya nggak kenal.
Kalau nggak ada kamu, mungkin aku bener-bener bakal kawin sama si
Jimmy. Aku nggak akan dapat kesempatan untuk mengenal apa itu cinta,
dan betapa indahnya saat-saat bersamamu seperti ini."
"Bagus kalau begini..." kata Pandu lagi. "Malam-malam nanti aku
nggak akan lagi dengar suara tuyul!" goda Pandu teringat akan komentar
sadis Niken kemarin lusa.
Niken tersenyum. "Kamu yang tuyul, perampok!"
"Koq bisa?" "Merampok semua isi hatiku. Nggak tersisa sedikitpun. Padahal waktu
pertama kali aku lihat kamu tuh kesannya kamu cowok playboy, yang
punya banyak cewek di mana-mana."
"Hah" Playboy" Jadi aku punya tampang playboy?"
"Iya." "Huh. Tampang ganteng-ganteng begini dibilang tampang playboy."
"Lha" justru karena ganteng itu?"
"Jadi kamu setuju dong kalo aku ganteng?" goda Pandu.
"Nggak tau, ah. Kamu suka sekali memutar-balikkan kata-kataku."
"Ya sudah deh kalo emang aku punya tampang playboy. Tapi aku
nggak lho. Kamu saja beruntung bisa jadi pacar pertamaku lho. Dan yang
terakhir, I hope?" "Oke, sudah cukup rayuan gombalnya. Sekarang aku harus ngebut
karena kalau tidak kita akan terlambat." kata Niken sambil menstater
mobilnya lagi setelah merebut kunci kontaknya dari tangan Pandu.
"Mau ke mana sih kita?"
"Sudah aku bilang, liat saja nanti."
Ternyata tadi Niken mengajak Pandu ke gereja. Misa Sabtu sore. Adaada saja Niken. Pakai acara rahasia-rahasiaan segala tadi. Cuma mau ke
gereja saja. "Mau ke mana nih" Sekarang aku nggak ada rencana mau ke mana-
mana lagi. Mau makan di mana?" tanya Niken.
"Kamu mau ke gereja saja pake mengedipkan mata segala. Dasar. Aku
kirain mau ke mana. Pantas kamu rapi sekali. Untung aku juga pakai baju
rapi." Pandu setengah mengomel.
"Ya kalo kamu tadi aku liat nggak pakai baju yang rapi ya aku suruh ganti
lagi dong. Ayo nih, ke kiri atau ke kanan" Mau ke mana kita?" kata Niken
sampai di ujung Jalan Pemuda.
"Makan nasi goreng babat suka?" tanya Pandu.
"Suka dong" tapi mampir ke Kenanga yah, aku mau ganti sandal saja.
Nggak enak pakai sepatu begini. Panas."
Pandu mengangguk. Sambil membuka pintu rumahnya, Niken berkata, "Kamu duduk di
sofa ruang tengah sana. Empuk."
"Fei, aku boleh pinjam telfonnya?" tanya Pandu.
"Boleh aja. Itu wireless di meja." tunjuk Niken. "Aku tinggal masuk kamar
dulu ya?" lanjut Niken.
"Sudah selesai telefonnya?" kata Niken saat keluar kamar lagi.
"Sudah. Makasih ya."
"Dengerin radio saja ya, bosan aku dengerin CD kamu." pinta Pandu
waktu mereka sudah di mobil lagi.
"Bagus juga, ini Boss FM jam segini biasanya adanya acara kuis. Aku
sering iseng ikutan jawab sendiri, tapi nggak pernah ikutan telefon. Males.
Aku bisa diledekin anak-anak Boss kalo salah jawab."
?" Acara kuis hari ini kita tunda lima menit, karena permintaan dari
sohib karib kita. Niken, kalo kamu dengerin, yang satu ini buat kamu."
"Hah" Koq bisa begini?" batin Niken bingung sambil mengeraskan
volume radionya. "Itu suara Mbak Merlina. Biasanya dia kan nggak
memandu acara kuis. Lagian apa-apaan kasih salam ke aku, tumben
amat" Koq tahu bisa kalo aku bakal dengerin radio malam ini?"
Dia langsung sadar. "Pasti Pandu!" katanya sambil menatap wajah cowok
yang duduk di sampingnya itu.
Pandu sedang asyik menikmati lagu "Nothing else matters"-nya Metallica
itu sambil ikut nyanyi. "Hey," kata Niken sambil menguncang-guncangkan tubuh Pandu. "Ini
kerjaan kamu yah?" tuduhnya.
"Yee" ge-er amat. Yang namanya Niken kan nggak cuma kamu. Tapi ini
lagu bagus, jangan dipindah channelnya." kata Pandu.
Niken mengerutkan keningnya. "Kalau bukan Pandu, lalu siapa" Yah
mungkin saja Niken yang lain", pikirnya.
So close no matter how far
Couldn"t be much more from the heart
Forever trusting who we are
And nothing else matters Never opened myself this way
Life is ours, we live it our way
All these words I don"t just say
And nothing else matters " "Niken sayang," Suara Pandu muncul dari radio!, pekik Niken dalam
hati. Nah! Dia lalu menatap tajam mata Pandu yang tersenyum-senyum
aneh. "Inget waktu aku proklamasi cinta di tengah lapangan, kira-kira
setahun yang lalu" Aku masih menyimpan kertasnya. Sekarang aku akan
proklamasi sekali lagi, kali ini aku serius, dan ini untukmu. Oh, ya. Lagu
Metallica yang di background ini juga requestku."
Yayangku," Paras wajahmu, gerak-gerikmu, selalu terbayang di mataku.
Kamu membuat aku gelisah tiap malam, tidak bisa tidur. Aku jadi nggak
doyan makan gara-gara mikirin kamu.
Yayangku yang manis, aku cinta kamu. Aku tidak akan pernah berhenti
mencintaimu. Aku nggak tau mesti gimana kalo aku nggak lihat wajahmu barang sehari
saja. Kau begitu lincah, senyummu begitu menggoda.
Suaramu, indah bagaikan tiupan angin malam.
Akan aku lakukan apa saja untuk mendapatkan cintamu.
Jangan buat aku patah hati. Terimalah segala rasa cintaku.
Yang sangat mencintaimu, selamanya.
Pandu. Niken masih ternganga. Masih belum hilang shocknya.
"Niken, kita dari Boss FM, mau ngucapin selamat. Pandu sayang
sekali sama kamu. Mbak Merlin sampai terharu waktu dia telepon
barusan, minta suaranya direkam per telepon." terdengar suara Mbak
Merlina dari radio. "Buat Pandu, good luck! You"ve inspired all of us in
Boss FM radio station! Oke, kita nggak mau bikin para penggemar kuis
menunggu-nunggu lebih lama lagi. Kuis malam hari ini?"
"I love you, Fei, and nothing else matters." kata Pandu. Kali ini nggak
dari dalam radio. Pandu mengecilkan volume radio.
"Gila kamu, Ndu." Cuma itu yang bisa keluar dari mulutnya.
Pandu diam saja, sambil memainkan jari-jemari Niken.
"Kenapa mesti lewat radio?" tanya Niken kemudian.
"Aku pasti nggak sanggup lah ngomong langsung di depanmu. Pasti
kamu ketawa keras-keras sebelum aku selesai."
"Tahu nggak, aku tadi kaget setengah mati waktu denger suara kamu di
radio, Ndu. Kamu memang sinting."
"Aku cuma mau bilang, aku cinta sekali sama kamu. Kamu sudah
merubah definisi kata "cantik" di duniaku. Karena hanya kamu yang cantik
di mataku." Pandu baru akan mencium pipi Niken, waktu suara Mbak Merlina
mengagetkan mereka berdua.
"Hallo Niken, Pandu, kalo kalian masih di situ, selamat menikmati malam
yang indah ini. Lagu ini milik kalian. Nggak gangguin lagi deh... Selamat
malam?" From my youngest years to this moment here
I"ve never seen such a lovely queen
From the skies above to the deepest love
I"ve never felt crazy like this before
Paint my love, you should paint my love
It"s the picture of a thousand sunsets
It"s the freedom of a thousand doves
Baby, you should paint my love"
"Aku jadi pengen bikin puisi, Ndu." kata Niken habis Pandu
menciumnya. "Ya bikin saja." kata Pandu.
"Bikin gimana" Aku nggak punya bolpen dan kertas."
"Ngomong saja. Seperti deklamasi gitu."
"Nggak ah." Niken menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Ayo lah. Buat aku ini." bujuk Pandu.
"Baiklah." kata Niken akhirnya.
Hati ini Ingin jadi milikmu Pahami tiap bilik sanubarimu
Jiwa ini Ingin berkelana, mengembara bersamamu
Jalan seiiring alunan langkahmu
Diri ini Ingin jadi permaisurimu Bertahta membangun dinasti yang agung di istanamu
Cinta ini Ingin selamanya kuberikan untukmu
Menembus segala ruang dan waktu
Untukmu Pandu, Pahlawanku, kekasih hatiku,
Mata Elang ku. *** THE END!!!!!!!! Pendekar Penyebar Maut 14 Satria Gendeng 05 Perempuan Pengumpul Bangkai Pisau Terbang Li 3
dulu, terus memanggil ceweknya untuk datang, untuk tinggal di sarang
yang baru saja dia buat. Bahkan bila terbang berdua pun, harmonis sekali.
Kalau yang satu berubah arah 10 derajat, yang satu mengikuti arahnya,
seperti dua garis sejajar di angkasa."
Pandu masih diam saja mendengarkan Niken ngomong dengan
matanya yang berbinar-binar.
"Aku pengen seperti burung albatross itu. Aku sudah menemukan cinta
sejatiku. Aku nggak perlu harus memilikinya sekarang, kalau sekarang
memang bukan waktu yang tepat. Aku mau menunggu sampai saat yang
tepat itu datang. Sampai kita bisa bersama lagi."
"Jadi kamu nggak bermaksud ngelupain aku?" tanya Pandu.
Niken menggeleng. "Sama sekali nggak. Baca bait selanjutnya."
Pandu menurut. Jika kita tak putus sabar
Di hari mendatang Dunia pasti "kan tergenggam
Tangan-tangan kecil kita "Kamu bilang, suatu saat nanti kita pasti bersama lagi, begitu?"
"Tepatnya, aku cuma ingin bilang, aku akan terus mencintaimu. Kamu
sudah berhasil menunjukkan padaku betapa kamu sayang aku. Tangantangan kita tetap kecil, nggak berubah. Tapi dengan kesabaran, suatu saat
nanti pasti kita bisa raih apa yang kita mau."
"Kamu mau terus mencintaiku sampai kapan" Bagaimana kalau kita
nggak akan pernah punya kesempatan untuk bersama lagi?"
"Seperti burung albatross tadi, selamanya. Kalau aku nggak punya
kesempatan untuk bersama lagi, setidaknya aku sudah puas sudah
menemukan cinta sejatiku."
Pandu tertegun. Dia tidak menyangka Niken sekuat ini.
"Fei, kamu pernah bilang, kamu bakal jadi orang yang terbodoh dalam
masalah cinta" Kamu salah, Fei. Aku belum pernah denger orang bilang
begini. Di film-film sekalipun. Baiklah kalau kamu memang yakin. Aku pun
akan menyimpan segala rasa cintaku untukmu selamanya. Kamu baru
saja memberikan aku kekuatan untuk itu."
"Nah, sudah mengerti, kan" Aku boleh pulang sekarang" Nanti orangorang mengira kita pacaran lho?" goda Niken.
"Oh ya" Kita nggak mau itu terjadi. Ya kan?" kata Pandu yang berdiri
bersandarkan meja sambil mengedipkan sebelah matanya.
"Fei?" kata Pandu pelan waktu Niken lewat di hadapannya.
"Apa lagi?" tanya Niken.
Pandu lalu dengan sigap meletakkan tangan kanannya di punggung
Niken dan mendorong punggung Niken ke arahnya. Kurang dari sedetik
kemudian, wajah Niken sudah berhadap-hadapan dengannya. Ditatapnya
lekat-lekat sepasang mata yang membuatnya jatuh cinta itu. Lalu pelanpelan Pandu mendekatkan bibirnya ke pipi Niken. Niken sama sekali
nggak bisa bergerak atau berkata apapun. Dia cuma bisa memejamkan
matanya sambil tersenyum. Sebuah ciuman manis yang menggetarkan
hati. Ciuman pertama buat keduanya.
Niken masih memejamkan matanya waktu Pandu menarik kembali
bibirnya dari pipi Niken tiga detik kemudian. Dia baru membuka matanya
saat Pandu memegang dagunya.
"Sayang sekali kamu tadi nggak bisa merasakan gimana rasanya
dicium kamu." kata Niken kemudian sambil tersenyum manis.
Niken lalu pelan-pelan mencium pipi kanan Pandu sambil agak jinjit. Bibir
mungilnya sudah mendaratkan ciuman tipis yang di pipi Pandu terasa
hangat dan lembut. "Aku yakin nggak semanis ciuman kamu barusan." jawab Pandu
setelah Niken selesai. "Aku kan cuma menirukan yang kamu lakukan. Pembalasan namanya."
jawab Niken. "Nah, sekarang, kalau ada yang melihat kita, pasti kita benar-benar
dikira pacaran." kata Pandu tersenyum lebar.
"Oh ya, lupa. Terus bagaimana, dong?"
"Ya kamu pulang dong, cepetan kabur sana." kata Pandu sambil ketawa.
"Oke, aku pulang dulu yah, my friend." kata Niken tersenyum, lalu mencium
pipi Pandu yang kiri, lalu berkata "Yang sebelah sini iri nanti."
Niken baru saja membalikkan badannya saat Pandu menariknya
kembali. "Bilang aja kamu minta dicium lagi." katanya. Niken ketawa.
Pandu lalu mencium pipinya lagi. Kali ini sedikit lebih lama dari yang tadi.
"Ndu, kita ini jadinya pacaran lagi apa nggak sih?" tanya Niken.
"Nggak. Kita cuma saling cinta."
Kuyakin dalam hatiku kau satu yang ku perlu
Kurasa hanya dirimu yang membuatku rindu
Bila saat nanti kau milikku,
Kuyakin cintamu takkan terbagi takkan berpaling
Karena ku tahu engkau begitu"
Hingga ku pasti menunggu selama apapun itu
Demi cinta yang kurasakan, yang hanyalah kepadamu
Percayalah ku sungguh-sungguh mengatakan semua
Yakinkan hatimu kau milikku
Karena ku tahu engkau begitu"
* Selama berbulan-bulan, Niken dan Pandu sama-sama sabar
memendam impian mereka untuk bersama. Sekarang mereka telah naik
ke kelas tiga. Seharusnya anak kelas tiga tidak boleh punya
menghabiskan banyak waktu di luar pelajaran, termasuk kegiatan
organisasi sekalipun. Walaupun begitu, Niken mendapat sedikit
dispensasi, karena dia jadi ketua panitia acara festival akbar di
Universitas Diponegoro. Lagipula nilai-nilai Niken tidak sedikitpun
terpengaruh dengan kegiatan-kegiatan ekstranya. Waktu naik kelas yang
lalu, Niken meraih ranking pertama, Pandu cuma terpaut tipis di
belakangnya, ranking dua. Acara puncak festival kali ini adalah pawai
bunga. Peserta festival harus mendekor kendaraan berangkaikan bunga.
Acara-acara lain yang berlangsung selama seminggu penuh itu antara
lain lomba memasak, lomba matematika, fisika, kimia, komputer, lomba
band, acapella, adu-debat, dan masih banyak lagi.
Festivalnya tinggal dua hari lagi. Semua sudah siap. Rancangan
dekor untuk kendaraan bunga juga sudah siap. Kendaraan bunga harus
didekor di lapangan pada satu hari sebelum hari terakhir festival, karena
pawai bunganya di hari terakhir festival, maklum acara puncak.
Ujian kelulusan nasional tinggal tiga bulan lagi. Menjelang ujian,
hampir setiap hari ada test atau ulangan. Sebagai persiapan ujian.
Sampai rasanya sudah hafal semua bahan pelajaran dari kelas satu
sampai kelas tiga. Untung sekali kegiatan di sekolah begitu banyak
menyita waktu Niken dan Pandu sehari-hari, jadi keduanya sama-sama
tidak begitu memikirkan masalah mereka. Papa dan Mama pun sepertinya
percaya akan kata-kata Oma, sehingga sama sekali tidak pernah
menyinggung-nyinggung nama Pandu lagi.
Niken bahkan menurut saja mengisi formulir-formulir pendaftaran
untuk berbagai universitas di Amerika. Namun tekadnya sudah bulat, dia
cuma ingin masuk fakultas kedokteran di Universitas Indonesia, di
Jakarta. Pandu pun tidak tahu rencana Niken ini, karena Niken yakin,
seandainya dia bilang ke Pandu, Pandu pasti akan memaksa-maksa dia
lagi untuk ke Amerika saja. Niken merasa keputusan yang diambilnya ini
adalah yang terbaik, dan tanpa desakan atau paksaan pihak manapun.
Keberadaan Pandu pun tidak masuk dalam pertimbangannya dalam
mengambil keputusan. Ini adalah impiannya dari kecil, dan siapapun tidak
bisa menghalanginya. Sore ini adalah latihan terakhir buat band yang akan tampil, termasuk
band dadakan yang dibentuk Pandu dan kawan-kawan khusus buat acara
festival kali ini. Niken sebagai ketua panitia harus melihat seluruh acara latihan terakhir,
termasuk band Pandu ini. Ada tiga band yang akan tampil dari SMA Antonius.
Niken kali ini tidak mengambil bagian sama sekali di lomba band, karena
dia lebih ingin berkonsentrasi di lomba kimianya. Lagipula dia tidak punya
banyak waktu untuk latihan, karena mengorganisasi seluruh acara festival
benar-benar sudah menyita banyak waktunya. Belum lagi harus belajar
untuk ujian. Hari ini Niken bisa lebih relaks, karena tugasnya hari ini cuma
menonton latihan terakhir. Banyak sekali anak-anak yang supportif hadir
sore ini, terutama karena mereka ingin melihat band sekolah mereka
sebelum tampil di lomba. Pandu sengaja tidak membentuk band dengan
keyboad, karena dia sendiri juga tidak punya banyak waktu untuk latihan.
Pandu sebenarnya juga tidak ingin ikut andil di band, karena dia juga
mengikuti lomba matematika dan adu-argumentasi. Tapi akhirnya setelah
dipaksa-paksa, dia mau jadi vokalis utama.
Niken yang duduk di baris paling depan tak bisa melepaskan
perhatiannya dari Pandu di panggung theatre yang terlihat manis sekali.
Kocak sekali gaya Pandu di panggung, sesuai dengan lagu yang
dinyanyikannya. Sambil terus menyanyi, Pandu berjalan turun panggung ke arah
Niken, lalu menyanyi di depannya, sambil menyambut tangan kanan Niken
sambil tersenyum. Niken malu sekali, apalagi anak-anak yang lain
bersorak-sorai semua. Dasar Pandu tidak tahu malu. Pandu terus
menyanyi sambil menarik tangan Niken untuk berdiri. Niken menggelenggeleng sambil melotot. Tapi karena didorong-dorong teman-teman kirikanan dan belakangnya, mau tak mau Niken berdiri juga. Pandu
menuntunnya sampai kira-kira dua langkah dari kursi tempat Niken duduk.
Niken jadi geli melihat Pandu yang menyanyi tepat di hadapannya sambil
menggoyang-goyangkan pinggulnya.
Anak-anak spontan tepuk tangan dan bersuit-suit setelah Pandu
selesai menyanyi. Niken kembali duduk. Mukanya merah padam karena
malu. Untung sekali lagu Pandu tadi mengakhiri acara latihan terakhir
band sore ini. Jadi anak-anak lalu bubar jalan.
"Kamu payah tadi, Ndu?" kata Niken setelah agak sepi.
"Payah bagaimana" Jelek nyanyinya?"
"Bagus koq nyanyinya. Tapi nanti kita dikirain pacaran lagi?"
"Nggak lah" Kamu nggak sadar kamu satu-satunya cewek yang duduk di
baris paling depan tadi" Tenang saja" Mereka pasti nggak curiga."
"Sudah siap lomba matematikanya, Ndu?" tanya Niken.
"Yah mau dipersiapkan seperti apa lagi" Hampir tiap hari ada ulangan
matematika. Itu sudah bisa dibuat persiapan kan" Kamu sendiri
bagaimana?" "Aku ditraining terus sama Bu Ndari di lab kimia. Lombanya kan teori dan
praktek. Teori sih jauh lebih mudah daripada praktek. Tapi sepertinya aku
sudah cukup menguasai bahan lah" Waktu ujian praktikum kimia
kemarin aku dapat nilai bagus koq."
"Iya, aku juga denger. Selamet yah. Aku denger kamu dapet nilai tertinggi
seangkatan buat ujian praktikum kimia sekaligus biologi. Yang kimia
terutama, kamu nomer satu, sementara nomer duanya nilainya lumayan
jauh di bawahmu. Aku doain semoga sukses lah lombanya."
"Lomba argumentasimu tiap hari ya, Ndu?"
"Iya, soalnya pesertanya banyak, dan pake sistem gugur. Lumayan degdegan juga, soalnya topiknya bakal ditentukan saat session itu, dan juga
diundi pro atau kontranya. Semoga aja nggak dapet bahan yang aneh-
aneh. Aku sudah rajin baca koran dan dengerin berita di teve setiap hari
sih." "Wah, dengerin berita akhir-akhir ini justru bikin aku deg-degan.
Bagaimana tidak" Demo di mana-mana. Suasananya tambah hari
tambah panas deh. Untung Semarang nggak pernah ada demo yang pake
acara bakar-bakaran. Kantor papa yang di Solo kena korban bakarbakaran massal lho."
"Oh ya" Fei" aku juga jadi kuatir, karena target mereka tuh terutama
orang keturunan Cina. Kamu jelas-jelas kelihatan kalo keturunan Cina.
Aku takut kalau?" "Heh" jangan ngomong yang nggak-nggak, dong. Aku bisa jaga diri
sendiri. Kamu tahu nggak kalo aku bisa karate" Nggak ahli sih, tapi
pernah belajar sama Opa waktu kecil."
"Kamu belajar karate waktu kecil" Kamu nakal ya waktu kecil?" tanya
Pandu heran. "Wah, nakal sekali. Lawanku cowok berbadan besar-besar. Semakin
besar badannya, apalagi yang gendut-gendut, semakin aku tertarik untuk
menjatuhkan. Tapi aku nggak asal bertarung. Aku cuma melawan kalo
dilawan duluan. Itu prinsip yang diajarkan Opa."
"Hah" Kamu jago berkelahi?"
"Pertamanya nggak. Aku masih inget, waktu itu di SD ada anak cowok
sombong sekali, dia selalu iri karena aku dapat nilai bagus. Terus suatu
hari, buku catatanku yang di meja disobek-sobek sama dia. Aku marah,
tapi nggak bisa apa-apa karena dia berbadan besar. Trus aku lapor sama
Opa. Lalu aku diajari karate itu tadi."
"Trus besoknya kamu pukuli dia?" tanya Pandu tertarik akan cerita Niken
yang seru. "Wah, nggak. Aku kan sudah janji sama Opa untuk nggak memulai
perkelahian. Kira-kira seminggu setelah kejadian buku sobek itu, dia
mengganggu salah satu teman cewekku sampai temanku menangis.
Trus aku belain temanku itu. Trus dia tantang aku. Ya aku jawab
tantangannya. Trus udah deh, berkelahi, ditonton anak banyak. Ada rasa
puas waktu it u karena aku berhasil bikin biru matanya."
"Kamu menakutkan juga ya, Fei. Aku aja waktu SD nggak pernah
berkelahi." "Aku sering sekali. Tiap sehabis berkelahi aku pasti masuk ruang guru.
Dinasehati untuk tidak berkelahi. Aku nggak pernah merasa bersalah
karena aku nggak pernah yang memulai. Mama pasti marah-marah abis
itu karena dia jadi sering dipanggil guru." kata Niken mengenang masa
kecilnya yang heboh. "Trus kapan kamu berhenti berkelahi?"
"Sampai semua anak cowok sombong yang di sekolah satu-satu sudah
bertarung denganku, dan semua kapok untuk memulai lagi. Akhirnya
keadaan aman dan damai." kata Niken sambil tertawa terbahak-bahak.
"Kamu pasti ditakuti cowok-cowok di sekolahmu yah?"" tanya Pandu geli.
Kalimat Niken tadi berkesan seakan-akan Niken seorang pahlawan
pembela kebenaran dan keadilan.
"Kira-kira begitulah."
"Cicimu juga jago berkelahi?" tanya Pandu.
"Nggak. Cici tu pendiam. Kalem sekali dari kecil. Bisa jadi waktu dilahirkan
nggak menangis juga. Kalo nggak disapa nggak akan bicara duluan.
Pemalu sekali. Papa selalu bilang, koq aku nggak bisa seperti cici. Aku
selalu saja buat onar. Bikin malu keluarga. Pokoknya aku sama cici tu
bertolak belakang sekali, lah. Cici nggak begitu pandai di sekolah.
Kasihan sekali dia dari kecil hari-harinya penuh acara les."
"Memangnya kamu nggak?"
"Nggak. Aku dari kecil suka memberontak. Aku nggak mau les kalo
merasa nggak ada gunanya. Aku lebih suka belajar sendiri. Akhirnya aku
cuma les Inggris dari kecil, karena aku merasa butuh seorang guru untuk
latihan conversation. Selebihnya aku les bidang-bidang yang aku sukai,
termasuk renang, piano, saxophone, nge-drum, dan lain-lain. Itu pun aku
daftar-daftar sendiri di sekolah musik. Tadinya mama cuma suruh aku les
piano di sekolah musik. Trus setelah itu aku yang daftar-daftar sendiri."
"Aku nggak pernah les piano, lho?" kata Pandu mengaku.
"Trus kamu bisa canggih main piano dari mana?" tanya Niken keheranan.
"Waktu masih kecil di Yogya, aku tetanggaan sama Mas Baron
Kanginan." "Baron Kanginan yang pemain piano klasik yang sering main di konser
nasional itu?" tanya Niken kaget.
"Iya. Waktu aku kecil dulu, Mas Baron belum ngetop. Dia cuma ikut
ngeband kecil-kecilan di kampusnya. Aku sering mendengar dan melihat
dia main piano dari jendela kamarku yang berhadap-hadapan dengan
kamarnya. Suatu hari dia memanggilku. Trus dia menawari aku untuk
mengajari aku main piano. Tentu saja aku mau sekali."
"Wah" beruntung amat kamu bisa diajari langsung sama Baron
Kanginan. Pantas saja kamu punya gaya main piano yang lain dari orang
kebanyakan. Baron Kanginan kan unik sekali."
"Piano yang di rumah itu juga pemberian Mas Baron sebelum dia
pindah ke Jakarta. Dia bilang waktu itu dapat tawaran konser. Dia nggak
Niken Dan Pandu Karya Ac Zzz di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bakal sanggup memindah piano seberat itu ke Jakarta, makanya dia
hadiahkan ke aku." "Kamu masih sering kontak sama dia?"
"Masih. Kadang-kadang dia masih kangen Yogya, terus ya menginap di
rumahku. Sejak pindah ke Semarang, aku belum pernah bertemu dia lagi.
Tapi dia tahu koq kalau kita pindah Semarang. Dia kan hampir seumur
sama kak Darmawan yang di Jakarta. Mereka masih sering kumpulkumpul katanya."
Niken cuma manggut-manggut.
"Manggut-manggut seperti burung pelatuk saja kamu, Fei. Sudah sore
lho. Nanti kamu dicariin mama kamu, lho?" kata Pandu mengingatkan.
"Aku musti di sini sampai anak-anak perlengkapan selesai memindahkan
alat-alat ke gudang."
"Biar aku aja. Nanti aku laporan ke kamu. Kamu capek kan dari tadi siang
belum pulang rumah?"
"Nggak. Ini tanggung jawabku, Ndu. Mana bisa aku serahkan ke kamu?"
"Ya sudah. Aku temani." Pandu yakin tidak akan bisa melawan kehendak
tuan putrinya ini. "Niken, kunci gudangnya kamu yang tanggung jawab, kan?" tanya
Rudi. "Iya. Sudah selesai semua ya?"
"Sudah barusan. Anak-anak sudah pada mau pulang. Ini kuncinya. Aku
pulang duluan ya?" kata Rudi sambil menyerahkan kunci ke Niken.
"Iya. Makasih ya Rud." kata Niken sambil memutar-mutar kunci itu di
jarinya. "Fei, ikut aku yuk?"
"Mau ngapain?" "Ikut aja?" kata Pandu sambil menggandeng tangan Niken.
"Iya," iya?" kata Niken sambil melepaskan gandengan Pandu, takut ada
orang yang melihat, lalu mengikuti langkah Pandu.
Rupanya Pandu berjalan menuju ruang musik lewat belakang.
Lalu dia duduk di kursi piano. Pelan-pelan dibukanya penutup piano itu.
"Besok kamu ulang tahun kan?"
Niken mengangguk. Tujuh belas tahun. Sudah sebulan ini dia bertengkar
dengan Papa karena menolak merayakan ulang tahunnya secara besarbesaran seperti anak-anak gadis yang lain. Akhirnya Papa nggak bisa
apa-apa karena Niken mengancam untuk nggak akan datang kalau Papa
nekad mengadakan pesta apapun untuknya. Niken cuma ingin makan di
rumah saja, mengundang Oma dari Kudus.
"Besok hari Minggu, kita mungkin nggak bakal sempet ketemu. Aku
ingin ngasih kado hari ini. Boleh kan?"
Niken mengangguk lagi. Pandu lalu mulai sibuk dengan pianonya. Mendengar intro lagu yang
sangat dikenalnya, Niken lalu ikut duduk di kursi piano yang memang
cukup panjang untuk buat berdua itu. Tangan kanannya ikut memainkan
variasi melodi. Pandu lalu menyanyi. Niken tidak ikut menyanyi karena
suaranya tidak pas dengan tangga suara yang dipilih Pandu. Terlalu
rendah untuknya. Dia lebih suka menikmati suara empuk Pandu sambil
ikut iseng memainkan piano bagian kanan. Tangan kanan dan kiri Pandu
begitu lincah di atas piano. Pasti dia sudah latihan dahulu. Susah
memainkan lagu Guns "n Roses ini dengan piano, lebih gampang
memainkannya dengan gitar.
Shed a tear "cause I"m missin" you
I"m still alright to smile
Girl, I think about you every day now
Was a time when I wasn"t sure
But you set my mind at ease
There is no doubt you"re in my heart now
Said, woman, take it slow, it"ll work itself out fine
All we need is just a little patience
Said, sugar, make it slow and we come together fine
All we need is just a little patience
I sit here on the stairs "cause I"d rather be alone
If I can"t have you right now, I"ll wait, dear
Sometimes I get so tensed but I can"t speed up the time
Sometimes I get so tensed but I can"t speed up the time
But you know, love, there"s one more thing to consider
Said, woman, take it slow and things will be just fine
You and I"ll just use a little patience
Said, sugar, take the time "cause the lights are shining bright
You and I"ve got what it takes to make it"
"Makasih Ndu?" kata Niken saat Pandu selesai memainkan seluruh
lagu. "Ini hadiah ulang tahun terindah yang aku terima."
"Tunggu. Aku masih punya satu lagi." kata Pandu. "Copot sepatumu."
Walaupun keheranan, Niken menurut juga, lalu mencopot sepatunya.
"Kaos kakinya juga."
"Kamu mau apa sih, Ndu?" tanya Niken heran.
Pandu yang tidak sabar lalu berlutut di bawah kaki Niken, sambil
mencopot kaos kaki Niken sendiri.
Lalu dia merogoh saku celananya, sebentuk cincin ada di tangannya.
Niken masih tak mengerti.
Pandu lalu memakaikan cincin itu di jari telunjuk kaki Niken.
"Oh..!" Niken terpekik. "Toe ring?" kata Niken setelah mengerti.
"Kalau aku kasih cincin di tangan kan aneh, kita kan nggak pacaran.
Makanya aku kasih cincin buat kaki aja. Orang-orang juga jarang melihiat.
Jadi nggak akan ada yang tanya." kata Pandu menjelaskan.
"Makasih sekali lagi, Ndu" Nggak akan aku copot dari jari kakiku." kata
Niken. "Selamat ulang tahun, Fei Fei." kata Pandu sambil mencium pipi kiri
Niken. Ini ketiga kalinya Pandu mencium pipi Niken. Dua kali waktu di
kelas 2C. Niken masih belum lupa bagaimana rasanya yang pertama dan
kedua dulu. Niken memejamkan kedua matanya. Rasanya persis sama
seperti yang kali ketiga ini.
Pandu masih menatap wajah Niken yang begitu halus. Mata Niken
masih terpejam erat. Wajahnya terlihat begitu polos. Pandu baru raguragu ingin mencium bibir mungil Niken, saat Niken membuka matanya.
Sadar bahwa Pandu hendak menciumnya, Niken malah mencium Pandu
duluan. Walaupun agak kaget, Pandu pun balas menciumnya.
Sepuluh detik kemudian, Pandu melepaskan ciumannya.
"Fei," Kamu nggak perlu menciumku untuk bilang kamu sayang aku. Aku
juga nggak harus. Maksudku, jangan merasa terpaksa karena kamu takut
aku nanti bilang kamu nggak sayang aku kalau kamu nggak mau cium
aku. Aku akui aku tadi memang ingin mencium kamu, tapi aku takut kamu
bakal bereaksi lain."
"Terpaksa" Koq kamu bisa bilang begitu?"
"Kamu kan tadinya anti cowok, lagipula aku waktu itu pernah menawarkan
untuk nggak pernah menyentuhmu. Ini berarti aku melanggar tawaranku
sendiri." "Apa aku pernah menerima tawaranmu itu, Ndu" Kamu nggak melanggar
apa-apa koq. Lagipula yang kita lakukan sekarang ini cuma
mengungkapkan rasa sayang kita satu sama lain. Dan aku tahu kita
berdua sama-sama tahu batas-batas koq. Aku tapi benar-benar
menikmati perasaan dicium kamu. Rasanya damai, dan aku seperti lupa
segalanya. Bahkan lupa bahwa sekarang ini kita nggak berstatus
pacaran." "Jadi kamu suka?"
"Ah, sudah diam, sekarang cium aku lagi. Nanti kamu bakal tahu sendiri
aku suka apa nggak."
Dan Pandu pun melakukan apa yang Niken bilang.
* Perhaps I had a wicked childhood
Perhaps I had a miserable youth
But somewherein my wicked, miserable past
There must"ve been a moment of truth
For here you are, standing here, loving me
Whether or not you should
So, somewhere in my youth or childhood
I must have done something good
Nothing comes from nothing
Nothing ever could So, somewhere in my youth or childhood
I must have done something good"
Ini hari ulang tahun Niken. Tapi Niken sibuk mengepak pakaian dan
barang-barangnya ke koper sambil marah-marah. Ada apa gerangan"
Oma pun tak kuasa menahan Niken untuk tidak pergi. Niken sudah
membulatkan tekadnya untuk tinggal di rumah lamanya, yang memang
tidak dijual karena biasanya disewakan. Tapi kebetulan sudah dua bulan
ini tidak ada yang menempati.
Kembali ke persoalan mengapa Niken marah. Pasalnya, Papa baru
saja mengumumkan akan menikahi Tante Mia. Itu sama sekali tidak
berarti menceraikan Mama. Jadi Tante Mia mulai hari ini bakal tinggal di
rumah. Niken marah besar. Satu, ini semua terjadi secara tiba-tiba. Tidak
ada yang merencanakan Tante Mia bakal tinggal di rumah ini sampai hari
kemarin. Kedua, waktu ditanya Tante Mia bakal tidur di kamar mana, Papa
juga masih bingung. Jawabnya, mungkin di kamar Tasya. Apa-apaan" Hal
yang paling menjengkelkan, Papa tahu betul Niken benci setengah mati
sama Tante Mia. Apakah Papa nggak bisa cari hari lain yang lebih pantas
untuk mengumumkan berita seperti ini, mengingat ini hari ulang
tahunnya" "Fei Fei, ayolah jangan marah-marah begitu?" bujuk mamanya. Oma
masih menghalang-halangi di pintu dengan kursi rodanya.
"Ma, mama juga mestinya marah dong. Sejak kapan mama kehilangan
semangat untuk mempertahankan keluarga ini" Kenapa mama seperti
menyerah begitu saja" Apa sih istimewanya Tante Mia" Biasanya yang Fei
denger tu oom-oom serong sama cewek-cewek ABG, atau tante-tante
yang lebih muda. Tante Mia cuma beda umur 2 tahun sama Mama. Malah
Tante Mia tu keliatan lebih tua dari Mama. Fei benar-benar nggak
mengerti." Niken masih mengomel sambil terus memindahkan barangbarangnya dari lemari ke koper.
"Ceritanya panjang, Fei." Oma yang jawab. "Oma akan ceritakan
semuanya kalau kamu berjanji untuk tinggal."
Niken berpikir sejenak sambil menatap omanya. "Oma, sebenarnya
Fei nggak sungguh-sungguh ingin tahu. Fei sudah muak. Papa mau
berbuat apa saja aku sudah nggak peduli lagi." katanya kemudian sambil
terus mengepak pakaiannya ke dua buah kopernya.
"Fei, seandainya saja kamu anak laki-laki?" keluh mamanya pelan.
Niken tersentak. "Memangnya kenapa, Ma?" katanya, menghentikan
proses memasuk-masukkan barang-barangnya.
"Cerita singkatnya begini. Sesudah kamu lahir, mamamu sempat
keguguran sekali. Sesudah itu dokter bilang, mamamu sudah tidak
mungkin bisa punya anak lagi. Papamu kecewa sekali karena dia sangat
menginginkan anak laki-laki untuk meneruskan usahanya." kata Omanya
menjelaskan. "Terus memangnya kenapa?" tanya Niken lagi, mengulangi
pertanyaannya. "Lalu Papamu jengkel, sering uring-uringan dan mulai jarang pulang.
Ternyata dia diam-diam menikahi Tante Mia, karena yakin kalau terus
terang sama Mama, Mama pasti tidak setuju. Kejadian ini sudah bertahuntahun yang lalu. Kamu bahkan sudah punya adik laki-laki sekitar tiga tahun
lebih muda, Fei." lanjut Mama. "Mama pun baru tahu sekitar lima tahun
yang lalu, saat semuanya sudah terlambat." kata Mamanya
menambahkan. "Papa begitu pandai menyimpan kebusukannya." kata Niken geram.
"Ayolah, Mama. Ikut aku pergi dari rumah ini. Rumah ini bakal terasa asing
dengan adanya Tante Mia di sini."
"Nggak bisa begitu, Fei. Biar bagaimanapun Papamu itu suami
Mama. Mama harus tetap tinggal di sini." kata Mama.
"Walaupun Papa sudah mengkhianati Mama seperti ini?" tanya Niken.
Mama mengangguk pelan. Niken menggeleng-gelengkan kepalanya. "Ma, tapi Fei Fei harus pergi.
Rumah ini sudah bukan rumah Fei lagi. Kalau boleh, Fei untuk sementara
ingin tinggal di rumah Jalan Kenanga. Boleh, Ma" Kalau nggak boleh, Fei
akan ke rumah Wulan."
"Fei, Mama butuh kamu di sini. Cuma kamu satu-satunya yang Mama
miliki saat ini." Niken lalu memeluk mamanya. Ini pelukan pertamanya setelah sekian
lama. Niken sudah lupa kapan terakhir dipeluk atau memeluk mamanya.
Mungkin waktu masih kecil dulu.
"Ma, Mama tahu sendiri Fei orangnya seperti apa. Setiap hari bisa
bentrok sama Tante Mia kalau Fei di sini. Suasana bakal tambah kacau.
Buat Fei Fei apalagi. Bentar lagi udah mau ujian. Fei harus pergi." jawab
Niken mantap. "Baiklah. Kamu benar juga. Mama jadi ingat, rumah di Jalan Kenanga
itu atas nama Mama. Nanti Mama akan ke notaris, menghibahkan rumah
itu ke kamu. Mama takut kalau rumah itu bakal dipindahtangankan secara
paksa ke Tante Mia sebagai cara Papamu untuk memaksamu pulang."
"Terserah mama. Pokoknya Fei butuh tempat tinggal sampai lulus SMA
nanti. Dan Fei nggak mau tinggal di rumah ini."
"Pamit sama Papa dulu, Fei?" saran Omanya sewaktu Niken sudah
siap akan berangkat. "Males ah?" jawab Niken ogah-ogahan.
"Ayolah, Fei. Bilang saja nanti sesudah ujian kamu pulang kemari lagi.
Nanti Mama yang jelaskan ke Papa, supaya Papa nggak marah sama
kamu." bujuk Mama. Dengan wajah cemberut, Niken akhirnya setuju untuk berpamitan
dengan Papa. "Fei pergi dulu untuk sementara ya, Pa. Sampai kelar ujian nanti."
"Baiklah," kata Papa mengijinkan. "Tante Mia koq nggak dipamitin?" tanya
Papa melihat Niken langsung nyelonong pergi.
Niken pura-pura tidak dengar, dan berjalan menuju garasi. Dibukanya
bagasi mobilnya. Kedua koper besar-besar itu ditaruhnya di bagasi. Lalu
cepat-cepat menstater mobilnya pergi.
Hari keenam festival akbar. Besok pemenang lomba selama festival
akan diumumkan. Sore ini banyak sekali anak-anak di lapangan dan
gedung kampus Universitas Diponegoro, mempersiapkan acara puncak
besok. Kontingen dari masing-masing sekolah sibuk mendekor
kendaraan bunganya masing-masing. Kampus universitas jadi bau
wangi. Macam-macam bunga ada di situ. Jadi walaupun lelah, semua
kelihatan bersemangat. Terutama Niken. Di hari ketiga, dia lolos ke babak
praktek lomba kimia. Entah bagaimana nanti hasil akhirnya, tapi
menurutnya sendiri sih lumayan. Pandu tidak berhasil lolos masuk final
adu debat, tapi kelihatannya dia bakal sukses di lomba matematika tingkat
SMA. Keduanya sama-sama menjadi anggota pendekor kendaraan bunga
buat pawai besok. Sayang sekali Niken tidak sempat melihat Pandu
manggung saat lomba band kemarin lusa, karena bertepatan waktunya
dengan babak praktek lomba kimianya.
"Niken!!" Niken menoleh mendengar ada yang memanggil namanya. Jimmy
rupanya. Lari-lari dari jauh menghampirinya.
Spontan Niken berdiri. "Ada apa, Jimmy" Koq kamu kayak dikejar-kejar setan begitu?" tanya
Niken. "Pucat sekali mukamu, Jim," kata Wulan yang duduk di sebelah Niken.
Jimmy lalu menarik Niken agak menjauh dari kerumunan anak-anak.
Pandu yang kebetulan melihat ikut mendekat.
"Niken, aku baru saja ditelepon Mama. Kompleks rumah kita di
Kinanti diserbu massa demonstran. Mama sempat lari lewat belakang.
Waktu lewat rumahmu, katanya rumahmu sudah dibakar massa. Mama
pesan aku untuk memberitahu kamu untuk jangan pulang ke rumah."
Jimmy memaksudkan rumah gedongan Niken yang memang satu
kompleks dengan rumah tinggal Jimmy.
Niken kaget sekali mendengar berita buruk Jimmy. Gunting yang
dipegangnya jatuh ke tanah. Untung tidak mengenai kakinya.
"Sudah, gitu dulu yah. Aku diajak mengungsi ke Bali sama Mama. Aku
mau ke airport ketemu Mama sekarang. Bye Niken?" kata Jimmy lalu
Niken Dan Pandu Karya Ac Zzz di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
cepat-cepat lari. Niken masih terbengong-bengong menatap Jimmy dari kejauhan.
Galau sekali hatinya. Lalu dia mulai berjalan menuju arah Jimmy lari.
"Hey, mau ke mana kamu, Fei?" cegah Pandu sambil meraih lengan
Niken. Langkah Niken terhenti.
"Aku mau ke Kinanti, Ndu."
"Ngapain ke sana" Jimmy spesial kemari bilang kamu jangan ke sana
koq, kamu malah mau ke sana, gimana sih?"
"Mama, Oma, Papa, semua ada di sana, Ndu. Aku harus ke sana." jawab
Niken emosi. "Trus kamu kalo ke sana lantas bisa apa, Fei" Mau cari mati?" balas
Pandu ikutan emosi. "Lalu bagaimana dong" Aku nggak bisa diam saja di sini, kan"!"
"Tunggu sampai keadaan tenang, nanti aku temani kamu ke sana.
Gimana?" Pandu berusaha menyarankan.
"Nanti-nanti bisa terlambat." Niken masih ngotot.
"Kamu bahkan nggak tau apa mereka berhasil melarikan diri sebelum
demonstran masuk. Kamu kan yang bilang sendiri Papa-Mamamu jarang
di rumah" Omamu mungkin sekarang sudah ada di Kudus. Kamu nggak
tau kan" Yang penting kamu tenang dulu. Kalo sudah tenang kan bisa
berpikir jernih?" Pandu belum selesai ngomong saat tiba-tiba saja mereka dikagetkan
oleh suara tembakan. Spontan anak-anak yang berdiri termasuk Pandu
dan Niken langsung tiarap di tanah. Suara tembakan itu terus dar-der-dor
berkali-kali. Keras sekali. Pasti sumbernya tidak jauh dari sini.
"Ada apa ini, Ndu?" tanya Niken bingung.
"Entahlah." Sebentar kemudian mereka mendengar suara ibu-ibu, mungkin salah
satu dosen di kampus itu, dari atas podium, "Anak-anak, lari semua, lari
selamatkan diri masing-masing"!" Suaranya terhenti bersamaan dengan
bunyi dor yang keras. Dikomando begitu, semua anak-anak di lapangan lari menuju pintu
gerbang. Tapi ternyata justru massa demonstran ada di pintu gerbang,
siap masuk ke arah dalam. Semua lalu lari terbirit-birit masuk kembali ke
lapangan, tanpa tahu arah.
"Ayo Fei, ikut aku!" ajak Pandu sambil menggandeng tangan Niken.
Mereka lalu lari ke arah pintu gerbang parkir belakang, satu-satunya pintu
keluar lain yang Pandu tahu, karena dia selalu masuk lewat situ dengan
sepedanya. Mereka sudah hampir sampai ke pintu gerbang saat mereka mendengar
suara lantang yang menyuruh semua tiarap. Pandu dan Niken samasama tidak mempedulikannya.
Tiba-tiba lengan Niken dicekal dari samping.
"Mau lari ke mana, nona manis?" Suara laki-laki bertubuh tegap yang
membawa gobang itu sungguh sangat menyeramkan.
"Dia mau lari lewat pintu belakang." jawab Pandu dengan nada galak.
Niken bingung menatap wajah Pandu. Pandu pura-pura tidak tahu Niken
menatapnya. "Untung saya menangkapnya." lanjut Pandu lagi.
"Baiklah. Bawa dia ke bangsal utama tempat semua gadis-gadis."
suruh laki-laki itu. "Dia cantik, kamu beruntung sekali", kata laki-laki garang itu mengedipkan
matanya ke arah Pandu. Pandu lalu mencekal lengan Niken, balik kanan, lalu membawanya
menuju ke bangsal. "Apa-apaan, Ndu?" bisik Niken.
"Sssh" Diam saja. Aku akan pikirkan bagaimana caranya
menyelamatkan kamu. Sepertinya aku aman di sini." kata Pandu.
"Hey, terus jalan, jangan berhenti." seru laki-laki itu galak melihat
Pandu dan Niken berjalan pelan-pelan.
"Fei, di hitungan ke tiga, kamu lari ke arah pintu gerbang belakang itu.
Kayaknya yang jaga cuma si galak itu. Aku pasti bisa lari dari sini.
Percayalah." bisik Pandu.
"Kamu bermaksud ingin berkelahi dengan si galak itu, lebih baik jangan.
Jangan nekad, Ndu. Apa yang membuat kamu mengira kamu bakal
menang melawan dia?" jawab Niken balas berbisik.
"Sudahlah, ini bukan waktu yang tepat untuk berdebat. Lakukan saja apa
yang aku bilang tadi. Kita nggak punya banyak waktu, dan nggak punya
pilihan lain. Oke?" "Baiklah." "Satu, dua, tiga!"
Niken cepat-cepat balik kanan lalu lari menuju ke arah pintu gerbang.
Pandu pelan-pelan lari, pura-pura mengejarnya. Di luar dugaannya,
ternyata lumayan banyak penjaga di pintu gerbang belakang. Tidak cuma
satu si galak itu. "Berhenti!" teriak Pandu. Salah seorang penjaga menangkap Niken.
Pandu lalu menghampirinya lagi.
"Terima kasih. Dia akan saya bawa ke bangsal sekarang." kata Pandu
sambil membawa Niken kembali. Untung tidak ada yang curiga. Mereka
pasti mengira Niken ingin melarikan diri dan Pandu mengejarnya.
"Fei, banyak sekali orang di sini. Rasanya kita nggak mungkin bisa lari
dari tempat ini." bisik Pandu dengan nada kuatir setelah agak jauh dari
pintu gerbang. "Ndu, selamatkan saja dirimu. Pergi dari sini sebelum mereka tahu
bahwa kamu bukan salah satu dari mereka. Jangan berusaha
menyelamatkanku. Aku yakin aku bakal baik-baik saja." Niken balas
berbisik. Baik Niken maupun Pandu tahu bahwa kata-kata Niken tadi
sama sekali tidak berdasar pada kenyataan.
Semakin dekat ke arah bangsal, suasana semakin terasa
mencekam. Jeritan terdengar menggaung dari arah dalam bangsal. Hati
Pandu terasa tersayat-sayat mendengarnya, terutama memikirkan bahwa
salah satu dari jeritan itu mungkin saja bakal keluar dari mulut Niken.
"Fei, aku akan tetap tinggal di sini. Akan aku pikirkan bagaimana cara
menyelamatkanmu. Jangan putus harapan, ya?" katanya sambil
mengantar Niken masuk ke dalam bangsal.
Niken terpekik saat pintu bangsal terbuka. "Ndu, aku takut?" bisiknya
sambil menyembunyikan kepalanya di dada Pandu. Pandu merasa
bersalah karena tak berdaya, tak bisa berbuat apa-apa. Dilihatnya
sekeliling. Di bangsal kotor itu banyak baju-baju kotor berserakan,
berlumuran darah. Banyak mayat gadis-gadis telanjang, sepertinya
mereka habis diperkosa, lalu dibunuh. Ada banyak juga yang masih hidup,
tapi melihat kondisi mereka, sepertinya mereka lebih memilih mati.
"Fei, aku nggak sanggup meninggalkan kamu di sini. Kita keluar
sama-sama, atau mati sama-sama. Aku nggak akan keluar tanpa kamu."
Niken masih tak bisa berkata apa-apa. Yang dilihatnya barusan adalah
pemandangan yang paling mengerikan dalam sejarah hidupnya. Jauh
melebihi adegan film-film horor sekalipun. Ini begitu nyata, begitu dekat di
pelupuk mata. "Aku ada akal. Ikut aku." kata Pandu tiba-tiba, sambil menarik lengan
Niken untuk bergerak menjauhi tempat mengerikan itu. Niken yang
kepalanya masih sempoyongan karena shock cuma bisa mengikuti
Pandu yang menggandeng tangannya.
Sambil berjalan, Pandu berbisik menjelaskan, "Aku ingat waktu lomba
debat, dari jendela ruang kelas yang dibuat debat aku bisa melihat jalan
ke luar. Dan ruang kelas itu kalo nggak salah, nggak jauh dari bangsal ini.
Kita mungkin bisa keluar lewat jendela. Ayo!" Setengah berlari, setengah
berjingkat-jingkat, Niken mengikuti langkah Pandu. Mereka tak ingin gerakgerik mereka terdengar siapapun, karena itu berarti "skak-mat".
"Sial! Ruangannya dikunci!" keluh Pandu saat sampai di depan ruang
kelas itu. Dipukulnya daun pintu ruangan itu dengan kesal.
"Minggir, Fei." katanya kemudian.
Niken mundur selangkah. Pandu berlutut, lalu membenturkan sikunya di kaca pintu bawah. Kaca
gelas itu langsung berhamburan. Suara pecahnya kaca begitu keras, pasti
menarik perhatian orang. "Cepat masuk!" Pandu membantu Niken masuk lewat pintu kaca yang
sekarang sudah pecah bagian bawahnya. "Lekas buka jendelanya" kata
Pandu saat Niken sudah masuk ke dalam ruang kelas.
Pandu lalu masuk juga ke dalam ruang kelas itu, sementara Niken
membuka jendela untuk keluar dari tempat berdarah itu.
Jantung mereka berdebar kencang karena mereka dapat mendengar
dengan jelas ada suara langkah kaki yang semakin lama semakin keras.
"Loncat, Fei! Keluar! Sekarang!" kata Pandu sambil setengah mengangkat
tubuh Niken, membantunya untuk memanjat keluar dari jendela.
Akhirnya Niken berhasil menjejakkan kembali kakinya ke tanah, di luar
kelas. Dari kaca jendela dia bisa melihat sesosok bayangan yang menuju ke
arah kelas. "Awas, Ndu! Ayo cepat!" buru Niken sambil menggapai-gapaikan
tangannya ke arah Pandu. "Lari Fei, pergi ke rumahku. Di sana kamu aman. Aku temui kamu di
rumah. Bilang ibu untuk jangan kuatir." kata Pandu.
Niken cepat-cepat lari. Semenit kemudian dia dikagetkan oleh suara
tembakan. Datangnya dari arah ruang kelas. Langkah larinya terhenti. Tapi
kemudian dia lari lagi karena melihat ada orang yang keluar dari jendela
kelas, siap untuk mengejarnya. Kebetulan Niken menemukan sepeda
yang tergeletak di tengah jalan. Diraihnya sepeda itu cepat-cepat, lalu
dikayuhnya sekuat tenaga.
* Sesampainya di rumah Pandu, Niken mengetuk-ngetuk pintu pagar
dengan tidak sabar. Ibu Pandu yang membuka pintu.
"Oh Niken, ayo masuk. Pandu tidak ada di rumah?" katanya sambil
membuka pintu. "Niken tahu. Niken baru saja bersama Pandu?" jawab Niken. Nafasnya
masih tak teratur. Jantungnya masih berdegup dengan kencang.
"Ibu nggak dengar ada ramai-ramai di kampus Undip?"
"Masya Allah" Kamu nggak apa-apa, Niken?" tanya Ibu Pandu.
"Pandu yang menolong saya keluar. Katanya saya disuruh kemari, karena
saya lebih aman di sini. Dia juga menyuruh saya untuk menyampaikan ke
ibu untuk jangan kuatir. Tapi saya pun nggak tahu apakah Pandu bisa
selamat apa nggak. Mestinya saya nggak menuruti kata-katanya untuk lari
duluan." kata Niken menyesal, sambil terisak.
Ibu Pandu lalu memeluk Niken. Niken menangis di pelukan Ibu
Pandu. Rasanya seluruh tenaganya sudah habis terkuras. Tak sanggup
lagi untuk berbuat apa-apa.
"Kamu tenang saja dulu di sini. Ibu yakin, kalau Pandu bilang dia akan
baik-baik saja, maka dia akan baik-baik saja."
Tangis Niken makin keras. Dia teringat suara tembakan terakhir yang
didengarnya tadi. Tapi dia menurut saja waktu ibu Pandu menuntunnya
masuk ke dalam. Sebelum sampai di dalam rumah, Niken pingsan.
* Waktu membuka matanya lagi, Niken terperanjat melihat Pandu
duduk di kursi di dekatnya.
"Sudah sadar, Fei?" tanya Pandu sambil tersenyum manis.
"Koq kamu sudah ada di sini?" tanya Niken heran.
"Kenapa" Kirain aku sudah mati ya?" gurau Pandu.
"Nggak lucu ah, ngomong seperti itu." Niken cemberut.
"Gini lho ceritanya. Persis sesudah kamu pergi, ada dua orang yang
masuk ke kelas. Seorang bermaksud menembakku, seorang berusaha
melompat jendela untuk mengejarmu. Tapi sebelum dia sempat
menembakku, salah seorang anggota aparat polisi sudah ada di depan
pintu, menembak orang yang hendak menembakku tadi. Yang melompat
jendela akhirnya terkejar setelah beberapa meter, tapi kamu sudah jauh."
"Tanganmu nggak papa, Ndu?" tanya Niken setelah melihat siku
Pandu dibalut perban. "Nggak papa, koq. Cuma agak perih kena pecahan kaca aja."
Niken lalu diam saja. Lega sekali rasanya Pandu selamat.
"Kenapa lagi" Kecewa yah aku nggak mati?" kata Pandu bercanda lagi.
"Aku sudah bilang, nggak lucu guyonan seperti ini. Apalagi tadi kita
memang benar-benar sudah hampir mati."
"Maaf, maaf. Tapi asyik juga melihat kamu tiduran di ranjangku
begini." kata Pandu dengan matanya yang nakal.
"Sialan." kata Niken lalu duduk di ranjang.
"Kamu tahu nggak kita itu beruntung banget" Nggak banyak orang
yang selamat dari peristiwa di kampus tadi siang. Korban nyawa banyak
sekali. Untunglah Wulan juga selamat. Aku tadi ketemu dia waktu petugas
kesehatan membalut lukaku. Dia kena luka bakar, karena sembunyi di
salah satu kendaraan bunga buat pawai. Tadinya sih aman-aman saja,
sampai saat-saat terakhir ada yang berusaha menyulut api di semua
kendaraan bunga. Tapi dia nggak papa koq. Sekarang sudah pulang ke
rumah." "Syukurlah." kata Niken.
Pandu tiba-tiba teringat akan sesuatu. "Oh ya, aku juga punya kabar
tentang keluargamu, Fei."
"Bagaimana, Ndu" Apa mereka selamat?"
"Menurut keterangan dari Bapak, tak ada satu orangpun yang berhasil
selamat keluar dari rumahmu sebelum rumahmu dibakar habis. Tapi
Omamu sudah berhasil dihubungi, dia baik-baik saja di Kudus."
"Bagaimana dengan Mama dan Papa?" tanya Niken.
"Fei, kamu mesti tabah?"
"Kamu nggak bercanda, Ndu?"
Pandu menggeleng lemah. Niken langsung meledak tangisnya. Pandu
mendekat, lalu membiarkan Niken menangis tersedu-sedu di pundaknya.
"Mereka nggak pernah ada di rumah. Kenapa juga mereka mesti ada di
rumah saat kejadian naas itu?" kata Niken penuh sesal di sela-sela isak
tangisnya. "Kata Oma, kalau situasi sudah membaik, dia akan datang ke Semarang.
Tapi sementara kamu tinggal di sini dulu." kata Pandu.
"Aku pulang ke Kenanga saja, Ndu. Nggak enak ah tinggal di sini.
Ngerepotin." "Jangan aneh-aneh kamu. Kalau terjadi apa-apa lagi gimana" Kamu
sendirian di sana" Yang bener aja." kata Pandu tidak setuju. "Tadi Ibu juga
menawari kalau kamu mau tinggal di sini sementara, sampai situasi
benar-benar aman. Aku bisa tidur di depan teve. Aku kadang-kadang tidur
di situ koq." "Baiklah. Melihat kamu ngotot begini kayaknya aku nggak punya
pilihan lain kecuali melarikan diri dari rumahmu, dan rasanya aku belum
cukup sinting." kata Niken. "Tapi aku butuh barang-barang dari rumahku.
Baju, seragam sekolah, dan lain-lain. Kenanga aman nggak sih?" tanya
Niken. "Demonstrasi siang tadi nggak merembet sampai daerah Kenanga koq.
Gampang, nanti pas Bapak mau dinas sore, sekitar satu jam lagi, kita
bisa dianter ke rumahmu naik mobil, pulangnya naik mobil kamu.
Gimana?" Niken mengangguk setuju. Benar-benar hari yang melelahkan.
* Sekitar sebulan setelah hari naas itu, suasana di kota Semarang
kembali normal. Acara puncak, pawai kendaraan bunga itu tentu saja
dibatalkan. Para pemenang lomba diumumkan lewat surat kabar. Sayang
sekali acara akhir yang seharusnya mengakhiri sepekan kompetisi yang
bagus itu harus menjadi hari kelabu yang penuh duka. Bunga-bunga yang
masih segar tidak lagi dijadikan untuk ajang pamer, melainkan untuk
mengubur jazad para korban. Yang lebih ironis lagi, sebagian besar para
pembuat onar hari itu masih belum berhasil ditangkap pihak yang
berwajib, dan sepertinya kasus ini akan ditutup begitu saja karena terlalu
banyak tersangka yang buron, dan terlalu susah untuk membuktikan
keterlibatan masing-masing dalam peristiwa berdarah itu.
Niken mendapat tempat kedua di lomba kimia, sedangkan Pandu
menang lomba matematika. Rasanya menang lomba kali ini sama sekali
tidak ada artinya mengingat kenangan pahit yang sampai sekarang masih
Niken Dan Pandu Karya Ac Zzz di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terus menghantui mimpi Niken di malam hari.
Niken sudah kembali ke rumahnya di Kenanga. Oma sejak minggu
lalu datang ke Semarang karena dijadwalkan besok sore untuk ikut hadir
dalam pembacaan warisan keluarga Tjakrawibawa. Lumayan sejak ada
Oma, Niken jadi tidak merasa kesepian. Lamunannya selalu melayang ke
papa-mama, juga cici-nya. Rasa nelangsa karena rasanya sudah tidak
punya siapa-siapa lagi, kecuali Oma tersayangnya.
"Niken, lihat siapa yang datang..." suara manis Oma membuyarkan
lamunannya. Pandu melongokkan wajahnya yang kocak dari belakang punggung Oma.
Niken tersenyum. Anak ini memang selalu tahu cara membuat orang
senang, batinnya. "Yuk ke teras belakang aja." ajak Niken.
"Kangen tidur di ranjangku nggak?" tanya Pandu iseng.
"Nggak. Ranjang kamu bau." jawab Niken seenaknya.
Pandu melongo. Membelalakkan matanya lebar-lebar. "Bau apa?"
tanyanya kemudian. "Bau... apa ya" Susah menjelaskannya." Niken pura-pura berpikir.
"Ya kalau begitu kamu perlu sering tidur di situ untuk melenyapkan
baunya. Mulai besok, bagaimana?" tantang Pandu.
"Boleh..." Niken tidak pernah takut menerima tantangan.
"Oh.." lanjutnya, "Nggak bisa, Ndu. Besok ada hal penting yang harus aku
lakukan." "Hal penting?" Pandu mengernyitkan dahinya.
"Iya. Pembacaan warisan. Aku sebetulnya sama sekali nggak tertarik
untuk datang. Pengacara Papa, Pak Suyudi itu yang memaksa semua
orang yang tercantum namanya di dalam daftar warisan harus datang."
"Kenapa kamu nggak mau datang?" tanya Pandu lagi.
Niken diam saja. Dia juga tidak tahu jawabannya. Malas" Seharusnya
tidak. Ini mungkin kewajiban terakhir yang harus dilakukannya sebagai
anak papanya. Masih sakit hati" Sakit hati apa" Semua itu sudah jauh dari
benaknya. Tidak perlu diusir juga sudah pergi sendiri. Yang ada sekarang
hanya perasaan bersalah, karena selama ini sebagai anak dia merasa
tidak pernah dekat dengan papa maupun mamanya. Tidak sempat
menunjukkan pengabdiannya sebagai anak. Dan sekarang sudah
terlambat. Seakan tahu yang dipikirkan Niken, Pandu menepuk-nepuk punggung
Niken dengan halus. Tanpa sadar air mata Niken mengalir ke pipi.
"Sudahlah Fei. Kamu pasti mikir, aku ini arogan sekali ya" Tadi kamu
sudah bisa tertawa-tawa. Sekarang aku datang, kamu malah nangis. Aku
memang nggak berguna. Sssh.. sudah.. jangan menangis lagi."
Niken masih sesenggukan. Kalau sudah menangis begini jadi susah
berkata-kata. "Fei," kata Pandu sambil masih menepuk-nepuk punggung Niken. "Papi
dan mami kamu pasti juga merasa bersalah meninggalkan kamu
sendirian seperti ini. Jangan menambah rasa bersalah mereka dengan
terus-menerus larut dalam kesedihanmu. Kamu musti bangkit. Kamu
musti kuat." Niken mendongakkan kepalanya. Ditatapnya wajah Pandu yang duduk di
sampingnya. Pandangan mata Pandu begitu teduh, begitu nyaman.
Seolah menghipnotisnya dengan kata-kata "Semuanya akan baik-baik
saja." Pelan-pelan isaknya berhenti.
"Lagipula, seperti yang aku sudah bilang dari dulu-dulu, kamu masih
ada aku. Selamanya. Kamu usir aku sekalipun, aku akan tetap setia
menjagamu. Aku nggak akan ke mana-mana."
Tersenyum, Niken memeluk Pandu. Hangat sekali rasanya dalam pelukan
Pandu. Kalau kata-kata Pandu tadi benar, dunianya bakal sempurna
sekali, selamanya. "Memangnya kamu kira aku mau ke mana?" tanya Niken blo'on.
"Nggak tahu. Tapi aku harap juga nggak kemana-mana." sahut Pandu.
"Gimana kalau aku mau pipis" Kan musti ke WC. Masa' suruh di sini
terus?" Niken tambah menjadi-jadi pura-pura blo'onnya.
"Niken!!!!" Niken yang sekarang sudah hafal, kalau Pandu memanggilnya
'Fei' itu berarti situasi biasa dan aman-aman saja. Kalau dia panggil
"Niken", itu berarti situasi sudah memanas.
"Kamu nakal ya" Sebentar nangis, sebentar godain. Minta dicium
apa?" kata Pandu sambil memegang dagu Niken dan memonyongkan
mulutnya. "Hus Pandu..." kata Niken menyingkirkan tangan Pandu dari dagunya,
walaupun dengan setengah hati. "Ingat status kita sekarang apa" Aku
bukan pacarmu. Nggak boleh cium-cium!"
"Memangnya kenapa?" tanya Pandu. Setelah menepiskan tangan Niken,
dipegangnya lagi dagu mungil itu. "Nggak ada yang tahu ini. Selama
nggak ada yang lihat, kita aman kan?" lanjutnya dengan nada nakal.
"Kan ada.." "Oma?" Belum sempat Niken menjawab, Pandu sudah menyahut. "Oma
kan merestui kita. Dia senang malah kalau kita jadian."
"Pandu!!!" Gantian Niken yang teriak. Ternyata Pandu itu cepat sekali
geraknya. Terutama kalo soal mencuri ciuman. Secepat kilat bibirnya
sudah menyentuh bibir Niken. Di luar dugaannya, Niken spontan
menjauhkan tubuhnya. "Jangan, Ndu." sahut Niken tertunduk.
"Kenapa?" tanya Pandu hati-hati.
"Aku nggak tahu." Niken menggeleng-gelengkan kepalanya yang kelihatan
berat sekali itu. "Jangan bohong." sahut Pandu. Diangkatnya dagu Niken supaya dia bisa
menatap wajahnya. "Kalaupun kita nggak pacaran, kita bersahabat. Kamu
kan bisa bilang apa saja yang kamu mau. Jangan kuatir aku nggak akan
tersinggung." Niken terdiam. "Sungguh, Pandu. Aku juga masih belum tahu jelas perasaanku. Yang
jelas, semenjak papa-mama meninggal, aku jadi sering berpikir, aku ini
anak yang nggak berbakti. Kalau aku bisa memutar ulang kejadian hari itu,
aku mungkin akan berkata lain."
"Semuanya sudah ..."
"Aku belum selesai." Sebelum Pandu selesai bicara, Niken sudah
memotongnya. "Aku mungkin akan berkata: Papa, Fei akan belajar mencintai Tante Mia
seperti keluarga sendiri, kalau itu yang Papa mau. Fei akan pergi ke
Amerika kalau itu yang papa mau..."
"Fei nggak akan lagi ketemu Pandu kalau itu yang papa mau?" sahut
Pandu menebak arah jalan otak Niken.
Niken sudah akan menundukkan kepalanya kalau saja Pandu tidak
menahan dagu Niken dengan tangannya.
Keduanya sama-sama tidak berkata apa-apa sesudah itu. Niken tidak
bisa berkata apa-apa karena jujur saja memang kata-kata Pandu itu
persis yang akan dia katakan. Walaupun dia tahu untuk melupakan
Pandu, akan membutuhkan seluruh masa kehidupannya di dunia ini.
Pertemuan mereka begitu singkat, kurang lebih setahun, tapi sudah
menorehkan makna yang sangat tajam di hatinya.
Sedangkan Pandu, dia masih terkejut akan kata-kata Niken tadi. Dia
tak menyangka Niken sanggup bilang begitu. Walaupun memang secara
de facto selama ini mereka tidak pernah pacaran, tapi dia tahu persis
Niken sayang dia, dan Niken pun sudah paham betul akan perasaannya.
Selama ini yang menjadi kendala hanya orang tua Niken yang tidak
menyetujui hubungan mereka. Setelah melalui berbagai peristiwa,
sekarang justru setelah orang tuanya meninggal, Niken malah berubah
arah. "Benar-benar memusingkan!" batin Pandu.
"Aku sudah bilang, aku nggak tahu. Kamu yang memaksa." kata Niken
kemudian, setelah keduanya terdiam beberapa lama.
Pandu tidak menjawab. Dilepaskannya dagu Niken, dan beranjak pergi.
"Ndu!" panggil Niken sambil mengikutinya. "Jangan pergi dulu. Aku
ingin tahu apa yang kau pikirkan."
"Aku yakin kamu sudah tahu persis apa yang kupikirkan. Aku pulang dulu."
jawab Pandu singkat, dan meninggalkan Niken sendirian di ruang tengah.
Limbung, Niken terduduk di kursi. Pikirannya kembali melayang ke papamamanya. Peristiwa setragis ini, biasanya cuma ada di tv, batinnya
berteriak, "Aku pasti berdosa besar sampai dihukum seperti ini!"
"Wulan, ada yang nyari tuh!" ibu Wulan mengetuk kamarnya. Wulan
yang sedang mengerjakan soal-soal kimia sambil mendengarkan radio,
jadi bingung. "Siapa, Bu" Malam-malam begini?"
"Cowok. Ganteng. Cepet temuin sana." goda ibunya.
"Oooh.. Kamu toh, Pandu! Ada apa malam-malam mencariku?"
Walaupun Wulan lega yang mencarinya ternyata cuma Pandu, heran juga
melihat Pandu ada di rumahnya malam ini.
"Lagi bingung, nih." kata Pandu sambil menggaruk-garuk kepalanya yang
tidak gatal. "Bingung apa" Ujian kimia besok ya" Mustinya kamu ke rumah Niken, dia
kan yang jago kimia." tebak Wulan.
"Aku bahkan tidak bisa konsentrasi untuk belajar. Ini lebih serius dari ujian
kimia." jawab Pandu masih dengan tampang bingungnya.
"Lalu?" "Kamu sering ngobrol sama dia akhir-akhir ini?" tanya Pandu.
"Semenjak EBTANAS mulai awal minggu ini sih nggak. Memangnya ada
apa" Niken kenapa?"
"Dia nggak papa, kayaknya. Aku nggak tahu. Dia sepertinya paling ahli
bikin orang patah hati." jawab Pandu dengan nada sinis.
"Patah hati" Aduh,... ada apa pula ini" Setahuku Niken bukan tipe orang
yang suka menyakiti hati orang. Lagipula, terakhir aku cek, dia bukannya
masih cinta mati sama kamu?"
"Terakhir aku ketemu dia, dia bilang ga mau ketemu aku lagi tuh." keluh
Pandu. "Ha" Kenapa dia bisa berubah drastis begitu?"
Pandu mengangkat bahunya. Pandangan matanya kosong menatap
ke arah pintu depan. Wulan menggoyang-goyangkan tangannya persis di
depan wajah Pandu. "Malah melamun!" ujarnya kemudian.
Pandu tersontak kaget. "Sorry.." Cuma itu saja yang terucap dari bibirnya,
lalu seakan-akan hendak kembali lagi ke lamunannya.
"Jadi tujuan kamu kemari cuma mau melamun" Kalau begitu aku
tinggal masuk ya, masih banyak soal-soal kimia yang masih ingin aku
kerjakan," desak Wulan, dengan harapan dengan begitu Pandu akan
mengatakan apa sebenarnya tujuan dia ke rumahnya malam ini.
"Aku nggak tahu lagi musti berbuat apa, Wulan." Pandu mendesah
panjang. "Sepertinya dia sudah nggak butuh seorang Pandu lagi. Rasanya
aku ini hanya beban untuknya. Seolah-olah hubunganku dengannya
adalah dosa yang menyebabkan terenggutnya nyawa orang-tuanya."
"Astaga, Pandu! Koq kamu bisa berpikiran buruk seperti ini sih" Dapat
dari mana pikiran sejelek ini?"
"Dari Niken. Dia sendiri yang bilang..."
"Nggak mungkin. Nggak mungkin Niken bilang begitu. Nggak mung..."
Pandu menyela, "Aku juga nggak akan percaya kalau nggak
mendengarnya sendiri, Wulan. Sungguh, ini kata-kata Niken sendiri."
Wulan terdiam. "Memang akhir-akhir ini Niken terlalu larut dalam
kesedihannya," pikirnya dalam hati.
"Ndu.." kata Wulan setelah berpikir beberapa saat. "Orang yang sedang
galau pikirannya seperti Niken ini, omongannya sering yang nggak-nggak.
Ditelan mentah-mentah dulu lah, Pandu. Beri dia waktu. Aku saja nggak
bisa membayangkan bagaimana rasanya ditinggal kedua orang tua
sekaligus. Aku masih ada ibuku. Di saat-saat seperti ini, dia butuh kamu
sebagai tiang sandaran, Ndu. Cobalah untuk menahan emosi. Aku yakin
Niken sama sekali tidak bermaksud menyakiti perasaanmu."
Menghadapi wajah putus-asa Pandu, Wulan jadi tidak yakin lagi akan
yang kata-kata yang baru saja diucapkannya sendiri. Rasanya terlalu berat
untuk membiarkan Pandu sakit hati seperti ini terus-terusan. Tapi di lain
pihak dia juga yakin Niken pasti merasakan hal yang sama.
Pelan-pelan Pandu mencerna kata-kata Wulan yang masih terngiangngiang di telinganya. Direkam dan diputarnya di otak perlahan-lahan,
berkali-kali. Wulan masih terdiam, tidak berani mengganggu Pandu
bahasa tubuhnya seperti orang yang sedang khusuk bermeditasi.
"Baiklah Wulan. Aku permisi pulang dulu." kata Pandu sambil berdiri.
"Lho?" ujar Wulan bingung.
"Oh ya, terima kasih. Rasanya kata-katamu itu pas sekali. Aku mungkin
tadi cuma butuh orang untuk menyadarkanku akan hal ini." kata Pandu
kemudian. "Ooh..." Wulan menghela napas lega. "Syukurlah kalau aku tadi
mengatakan hal yang benar." batinnya.
"Terima kasih sekali lagi, Wulan. Maaf sudah mengganggu jam
belajarmu." "Jangan sungkan-sungkan begitu, Ndu. Aku yakin kalau aku punya
masalah kamu pasti juga akan meluangkan waktumu untuk menolongku
sebisamu, kan?" Pandu mengangguk sambil tersenyum. Semakin lega Wulan melihat
senyum di wajah Pandu. Setelah Pandu lenyap dari pandangannya, Wulan mengutuki sahabatnya
itu dalam hati "Aduh Niken! Ada apa denganmu kali ini"!"
Sudah lima menit Niken menunggu di dalam ruangan ber-AC ini. Ada
seorang anak laki-laki seumurnya yang dari tadi menatapnya dengan
penuh rasa benci. "Siapa sih itu, Oma" Koq pandangan matanya nggak enak begitu?"
bisik Niken ke Oma yang duduk di sebelahnya.
"Itu anak Papamu sama Tante Mia. Anak yang paling besar. Ada dua lagi
adiknya, perempuan semua. Kayaknya tidak dijadwalkan untuk hadir,
karena dianggap masih terlalu kecil."
Niken lalu berpikir sebentar, lalu melangkahkan kakinya dan duduk di
sebelah anak laki-laki itu.
"Hallo, siapa namamu?" tanya Niken ramah.
Anak laki-laki itu diam saja. Tidak berniat sama sekali untuk menjawab,
malah melengos. Tidak putus asa, Niken pindah ke kursi sebelah satunya. "Namaku Niken.
Keluargaku biasa panggil aku Fei Fei. Kamu boleh panggil aku apa aja."
kata Niken sambil menyodorkan tangannya untuk berkenalan.
Diliriknya Oma yang memperhatikannya terus. Niken lalu tersenyum.
Melihat senyum Niken yang begitu ramah, akhirnya anak itu membuka
mulutnya. "Namaku Hendri. Keluargaku biasa panggil aku Hendri. Kamu boleh
panggil aku Hendri."
"Kocak juga kamu rupanya." kata Niken tersenyum lebar.
"Aku sebenarnya ingin menemuimu setelah pemakaman sebulan yang
lalu." lanjut Niken. "Tapi kamu sepertinya menghindariku terus. Enggak
jadi deh akhirnya. Aku cuma ingin mengucapkan bela sungkawa karena
kamu kehilangan kedua orangtuamu, sama seperti aku. Cuma aku yang
bisa mengerti persis bagaimana perasaanmu, harus kehilangan kedua
orang-tuamu." "Kamu nggak tau gimana rasanya. Aku nggak pernah dekat sama
Mami apalagi Papi. Aku nggak begitu sedih koq."
"Kalau begitu aku benar-benar tahu persis perasaanmu. Karena aku juga
nggak pernah dekat sama Papa Mama. Tapi aku tetap saja sedih,
terutama kalau mengingat kata terakhir yang aku ucapkan pada Papa
adalah selamat tinggal untuk sementara. Menyesal sekali kata terakhir itu
aku ucapkan dengan penuh kebencian, lebih tepatnya kekecewaan. Lebih
menyesal lagi karena aku tidak sempat berbaikan kembali. Aku yakin
kamu pasti merasa hal yang sama, ya kan?"
"Aku dari awal memang nggak suka rencana Mami mau tinggal di
Semarang. Makanya aku nggak ikut ke Semarang. Mami duluan yang ke
Semarang. Rencananya sesudah naik kelas nanti aku bakal dipindah ke
Semarang. Aku masih ngotot nggak mau. Sejak Mami pergi dari Malang,
aku sama sekali nggak mau ngomong sama Mami. Aku masih marah."
"Dan waktu kamu dengar kejadian naas itu, rasanya menyesal sekali
kamu nggak sempat minta maaf sama Mami kan" Banyak hal yang aku
sesali, Hendri. Aku bahkan menyesal tidak memberikan kesempatan buat
diriku sendiri untuk lebih mengenal Tante Mia. Aku benci sekali sama
Niken Dan Pandu Karya Ac Zzz di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tante Mia karena telah menghancurkan keharmonisan rumah tangga
keluargaku. Walaupun aku juga sadar, keharmonisan itu pasti sebetulnya
sudah hancur sebelum ada Tante Mia."
"Kamu tahu" Aku juga benci sama Papi, setelah tahu bahwa ternyata
Papi itu punya istri pertama. Aku baru tahu nggak lama sebelum Mami
mau pindah ke Semarang. Sejak itu aku benci Papi dan segala sesuatu
yang berbau Tjakrawibawa, termasuk kamu, saat aku mendengar bahwa
Papi punya anak perempuan dengan istri pertamanya. Rasanya
kebencianku itu nggak beralasan. Maafin aku, ya. Eh, aku boleh panggil
kamu cici?" tanya Hendri, yang ternyata memanggil papa Niken "papi".
Niken heran. Kenapa Hendri mau manggil dia cici" Baru saja dia
akan bertanya "Kenapa?" sebelum akhirnya sadar bahwa status Hendri itu
termasuk adiknya. "Telat mikir. Bodoh sekali".
"Tentu saja boleh. Belum pernah ada yang memanggilku cici
sebelum ini." "Hendri, dengerin aku. Seandainya Papa mewariskan apapun
padaku, aku akan berikan padamu. Aku nggak butuh apapun dari Papa.
Rumah di Jalan Kenanga itu punya Mama, dan kebetulan sudah jadi hak
milikku. Itu sudah lebih dari cukup buatku."
"Cie, aku juga baru mau mengatakan hal yang sama. Aku nggak ingin
pindah dari Malang. Di Malang aku tinggal sama Oma dan Opa dari Mami.
Uang tabungan Mami cukup-cukup sekali buat menghidupi seratus anak.
Jadi aku bermaksud menolak warisan apapun dari Papi. Jangan berikan
padaku. Aku nggak mau."
"Nah lho" bagaimana ini?" tanya Niken bingung.
"Dilihat aja nanti. Belum tentu diwarisi juga." kata Hendri tersenyum.
Niken jadi teringat Omanya yang duduk sendirian. Niken lalu berjalan
ke arah Oma, mendorong kursi rodanya jadi Oma bisa duduk di sebelah
Hendri juga. "Oma, ini Hendri." kata Niken mengenalkan.
"Bagaimana sih kamu, Fei" Oma tuh sudah kenal. Tadi Oma juga sudah
bilang?" kata Oma geli.
"Oh, iya. Lupa." kata Niken sambil menepuk dahinya.
Kebetulan yang dijadwalkan untuk hadir sudah hadir semua. Lalu
acara pembacaan warisan dimulai. Dimulai dari warisan Papa, lalu
Mama, lalu Tante Mia. Seperti dugaan Niken, semua milik Mama
diwariskan untuknya, kecuali rumah tinggalnya di Kebumen yang memang
sudah dihuni oleh Oom Yongki, adik mama. Mobil BMW yang memang
diatasnamakan Mama, jadi milik Niken. Juga harta benda Mama di bank
termasuk deposito, tabungan dan simpanan emas. Niken bahkan tidak
tahu bahwa Mama memegang polis asuransi jiwa, jadi Niken sebagai ahli
waris mamanya mendapat hak penuh atas asuransi jiwanya.
Semua harta millik Tante Mia tidak semua diwariskan ke Hendri,
melainkan dibagi tiga. Sesudah adik-adiknya besar, baru mereka berhak
mendapatkan warisannya masing-masing. Tapi sepertiganya langsung
diberikan pada Hendri. Termasuk dua rumah di Surabaya dan beberapa
mobil mewah. Sampai saat pembacaan warisan Papa, tidak ada satupun orang
yang protes. Papa mewariskan banyak hal ke banyak orang. Sepertinya seluruh
keluarganya mendapat jatah yang adil. Untuk adik-adiknya, untuk Oma,
bahkan teman-temannya. Barang-barang yang diwariskan termasuk
saham-saham miliknya, tanah di beberapa tempat termasuk
apartemennya yang di Jakarta, uang, dan masih banyak lagi barang kecilkecil yang sayangnya sudah hangus bersama terbakarnya rumah Kinanti.
Untuk Niken, Papa memberikan rumah Kinanti, yang sekarang tinggal
berharga tanah. Papa lebih banyak memberikan warisannya pada Hendri,
termasuk uang tabungan pribadinya, karena dia anak laki-laki satusatunya. Niken merasa lega. Dia sudah punya rencana bagus untuk
memanfaatkan warisan Papa. Tanah Kinanti akan dia jual dan uangnya
akan dia gunakan untuk menolong korban demonstran di hari naas itu.
Walaupun uang mungkin tidak akan cukup untuk melupakan dan
menebus kejadian naas itu, tapi pasti sedikit banyak akan membantu
meringankan beban banyak orang.
Warisan Mama yang jumlahnya tidak sebanyak warisan Papa, akan
digunakannya untuk membiayai kuliah kedokterannya sampai selesai.
Beres, kan" Segera setelah selesai pembacaan warisan, Hendri langsung maju ke
depan dan berbisik-bisik pada bapak Notaris. Setelah itu dia duduk
kembali. "Kenapa, Hen?" tanya Niken.
"Aku ingin mewariskan warisan Papa itu untuk dibagi rata buat kedua
adikku setelah besar nanti. Biar mereka nanti yang memutuskan
kegunaan warisan Papa itu." kata Hendri.
"Benar-benar ironis?" gumam Oma.
"Maksud Oma?" tanya Niken.
"Papamu itu dari muda ingin punya anak laki-laki untuk diwarisi kalau dia
sudah meninggal. Sesudah dia tidak ada, anak laki-laki satu-satunya
malah tidak mau diwarisi. Apa bukan ironis namanya?"
"Warisan Papi untuk kamu mau diapain, cie?" tanya Hendri.
"Oh, aku sudah putuskan untuk menghabiskan semuanya untuk korban
demonstran waktu lalu. Rasanya lebih tepat untuk itu." kata Niken.
"Oma bangga sekali punya cucu-cucu seperti kalian. Hendri, kamu harus
mengajari adik-adikmu supaya bisa seperti kamu." kata Oma sambil
memeluk kedua cucunya. Sabtu kemarin adalah hari terakhir ujian nasional. Hari ini hari Senin.
Murid-murid kelas tiga terlihat begitu ogah-ogahan datang ke sekolah.
Bahkan daftar murid terlambat hari ini mendadak berlipat ganda dari harihari biasanya. Sepertinya energi mereka sudah terkuras habis minggu
lalu. Beberapa anak bahkan tak terlihat batang hidungnya. Gedung kelas
tiga terpisah dari gedung induk SMA Antonius. Hari ini murid-murid
diharuskan datang karena ada acara kerja bakti membersihkan kampus
selama tiga hari berturut-turut. Dari tadi pagi anak-anak kelas tiga terlihat
menggerutu sambil mengutuki orang-orang yang bertanggungjawab atas
ide gila kerja bakti ini. Untunglah tak satupun dari mereka yang
mengetahui siapa otak dibalik ide gila tersebut. Kalau sampai ada yang
tahu, pasti saat ini orang tersebut sudah lari pontang-panting dikejar-kejar
anak seangkatan. Atau mungkin juga tidak. Tak terlihat ada satupun anak
yang mempunyai energi cadangan untuk mengejar kambing sekalipun.
Kecuali Pandu. Anak itu dari tadi sibuk mondar-mandir dari ruang
soundsystem ke ruang musik. Kegiatan anehnya ini luput dari perhatian
semua orang, karena semua anak sedang sibuk, atau pura-pura sibuk
bekerja bakti membersihkan ruang-ruang kelas.
Tiba-tiba.... "Test... test.. Dengar semua suara saya?" Suara Pandu terdengar dari
seluruh loudspeaker yang ada di gedung kelas tiga, yang memang
biasanya digunakan untuk pengumuman.
Kegiatan kerja bakti jadi mendadak berhenti total. Mendengarkan
pengumuman jauh lebih menarik daripada kerja bakti. Beberapa anak
berdoa komat-kamit agar pengumuman itu akan berbunyi "Anak-anak
kelas tiga boleh pulang sekarang".
"Rekan-rekan Antonians, hari ini saya Pandu, dengan seijin kepala
sekolah, akan menjadi radio DJ dadakan untuk menemani teman-teman
yang sedang sibuk bekerja bakti dengan alunan musik. Maaf untuk
sementara tidak bisa menerima request lagu, berhubung kompilasi lagu
yang ada saat ini sangat terbatas jumlahnya. Akan tetapi jangan kuatir,
selera teman-teman pasti terpenuhi. Di sini saya sudah sedia tembangtembang instrumental, jazz, pop, rock, klasik, dan dangdut. Lagu pertama
yang akan saya putar ini adalah rekaman suara saya sendiri. Jangan
takut, cuma satu lagu ini saja yang belum dirilis ke publik. Saya harus
mengucapkan terima kasih pada Mas Baron Kanginan yang mengiringi
lagu ini dengan alunan pianonya, juga membantu merekam ke kaset.
Lagu ini saya persembahkan untuk orang yang selama ini memenuhi otak
dan hati saya, meski waktu mengerjakan soal-soal ujian. Fei, lagu ini buat
kamu.." Niken yang sedang berdiri di atas meja membersihkan kaca jendela,
tersontak kaget. Walaupun tidak ada anak yang tahu 'Fei' itu namanya, tapi
dia tahu. Dua tiga detik setelah Pandu selesai berbicara, jantung Niken
berdebar keras berusaha menduga-duga lagu apa kiranya yang akan
dimainkan anak nekad ini. Begitu Niken mendengar intronya yang
dimainkan dengan piano, Niken tercenung. Lagu ini lagu kesayangan
papanya! Dan sangat dikenalnya.. Tapi... bagaimana mungkin... Pandu
kan tidak bisa bahasa...?"
mo ming wo jiu xi huan ni
mo ming wo jiu xi huan ni
shen shen de ai shang ni mei you li you mei you yuan yin
mo ming wo jiu xi huan ni
shen shen de ai shang ni cong jian dao ni de na yi tian qi
ni zhi dao wo zai deng ni ma
ni ru guo zhen de zai hu wo
you zen hui rang wu jing de ye pei wo du guo
ni zhi dao wo zai deng ni ma
ni ru guo zhen de zai hu wo
you zen hui rang wo hua zhe shou zai feng zhong chan dou
mo ming wo jiu xi huan ni
shen shen de ai shang ni zai hei ye li qing ting ni de sheng yin
Walaupun semenjak kecil Niken biasa mendengar papa-mamanya
bercakap-cakap dalam bahasa Mandarin, Niken tidak pernah benar-benar
berusaha belajar dan mengerti artinya. Butuh konsentrasi penuh untuk
menghayati lirik lagu tersebut dan memahami maksudnya. Sulit, tapi
bukan di luar jangkauan kemampuannya.
Aku tak mengerti mengapa kusuka kamu
mencintaimu sedalam dalamnya
tanpa alasan, tanpa sebab
Aku tak mengerti mengapa kusuka kamu
mencintaimu sedalam dalamnya
Sejak hari pertama ku berjumpa denganmu
Tahukah kau, aku menantikanmu
Jika kau memang peduli padaku
bagaimana bisa kau biarkan malam tak berujung menemaniku
Tahukah kamu, aku menantikanmu
Jika kau memang peduli padaku
bagaimana bisa kau biarkan tanganku gemetar mengayuh di tengah2
angin Aku tak mengerti mengapa kusuka kamu
mencintaimu sedalam dalamnya
di kegelapan malam kudengar suaramu
Campur aduk perasaannya saat ini. Niken jadi menyadari betapa
kangen dirinya untuk dipeluk papanya. Meskipun Niken tak pernah merasa
dekat secara pribadi dengan papanya, papanya tetap papanya. Niken tak
menyangka bahkan suara papanya pun masih dapat diingatnya dengan
jelas. Suara serak dan batuk-batuknya di pagi hari, siulan dan senandung
kecil papanya dari dalam kamar mandi tiap pagi dan sore bila suasana
hatinya sedang enak. Mamanya sebaliknya bersuara sumbang dan tidak
bisa mengikuti ritme, tidak hobi menyanyi seperti papanya. Sewaktu kecil,
Niken pernah melihat mamanya berdiri terpaku di depan kamar mandi
selagi papanya menyanyi-nyanyi kecil di "studio mini"nya itu. Seperti apa
wajah mama waktu itu jadi tergambar jelas di ingatannya sekarang. Wajah
yang mendambakan kehangatan dan memimpikan lagu-lagu yang
dinyanyikan suaminya itu ditujukan untuknya. Niken baru menyadari
sekarang bahwa sejauh-jauhnya hatinya dari orang-tuanya, banyak hal
dari mereka yang secara tidak langsung berimbas besar di dirinya. Heran
bercampur bangga pada dirinya sendiri karena dia sanggup mengingat
hal-hal kecil seperti itu, hanya dengan mendengarkan sebuah lagu yang
dinyanyikan oleh Pandu. "Pandu!" serunya dalam hati. Bahkan beberapa
saat dalam lamunannya tadi dia lupa bahwa suara yang sedang
mengalun lembut dari loudspeaker murahan itu adalah suara yang paling
dikangeninya saat ini. "Terima kasih, Pandu?" batinnya lagi. Tak disadarinya air matanya
mengalir pelan di pipinya. Didengarkannya lagi lagu itu dengan sepenuh
hatinya dengan mata berkaca-kaca. "Pandu pasti sudah latihan matimatian sebelumnya", pikirnya. Pasti sulit menyanyikan lagu ini dengan
lafal yang benar, terutama buat orang seperti Pandu yang sama sekali
tidak bisa mengucapkan sepatah katapun dalam bahasa Mandarin. Entah
dia belajar dari siapa. Yang jelas bukan darinya. Niken pasrah,
membiarkan perasaannya larut dibuai oleh lagu romantis Pandu.
Perasaan yang sudah lama ditekan dan dihalang-halanginya untuk
muncul ke permukaan, kali ini dibiarkannya lepas, liar tanpa kontrol. Dan
harus diakuinya, perasaan ini indah dan sangat memanjakan dirinya.
Sendirian di dalam ruang soundsystem, Pandu memejamkan
matanya untuk menenangkan debar jantungnya. "Kira-kira Niken sedang
apa sekarang, ya?" Jantungnya yang berdegup keras ini bukan karena
grogi suaranya terdengar di seluruh pelosok gedung kelas tiga, tapi
karena lagu ini adalah cerminan murni dari suara hatinya yang
menginginkan hanya seorang. Niken. Dia sudah membayangkan
kemungkinan terburuknya. Niken tambah benci padanya dan tak ingin
mengenalnya lagi. Sepertinya itu resiko yang harus diambilnya, untuk
membuat gadis bodoh yang amat dicintainya itu mengerti akan
perasaannya. Bahwa dia tidak akan gentar mencintai Niken sampai
kapanpun, sampai Niken berhenti mencintainya sekalipun. Tapi tentu saja
dia mengharapkan reaksi positif dari Niken. Tidak harus sekarang,
asalkan suatu saat dalam masa hidupnya.
Larut dalam lamunannya, Pandu tak menyadari lagu itu sudah selesai
sekitar semenit yang lalu. Keheningan itu memecahkan lamunannya.
Cepat-cepat memencet tombol "stop" untuk menghentikan putaran
kasetnya, Pandu mulai bercuap-cuap lagi.
"Demikianlah maestro yang memang karyanya sudah tak asing lagi di
telinga rekan-rekan sekalian. Maksud saya tentunya Mas Baron Kanginan.
Malu sebenarnya suara saya diiringi Mas Baron. Tapi apa boleh buat,
untuk menyanyikan lagu dalam bahasa asing saja sudah sulit, apalagi
latihan pianonya. Untung ada Mas Baron yang mau membantu. Maaf tadi
sunyi senyap setelah lagu selesai. Maklum DJ masih belum profesional.
Baiklah! Tanpa panjang lebar lagi, saya putar lagu kedua, ini Aerosmith,
Crazy...." Tangan Pandu sibuk menempatkan kaset pada slotnya, lalu
menekan tombol "play".
Niken sudah lama berdiri di luar ruang soundsystem sambil
mengetuk-ngetuk pintu kayu itu. Sepertinya suara di dalam soundsystem
terlalu keras sehingga ketukannya tak terdengar oleh Pandu. Tak sabar,
digedornya pintu itu dengan kedua tinju tangannya. Mendengar gedoran
pintu, Pandu meloncat dari kursinya dan membuka pintu.
Begitu pintu terbuka, Niken langsung memberikan senyumannya yang
terlebar untuk Pandu. Seperti terhipnotis, Pandu pun ikut tersenyum lebar.
Ketika dua detik kemudian senyum lebar Niken yang manis berubah
menjadi tertawa kecil, Pandu tergelitik untuk bertanya "Koq malah
tertawa?" "Habis kamu lucu sekali." sahut Niken masih tergelak.
"Lucu bagaimana?" Pandu mengerutkan alisnya.
"Ya yang tadi itu. Kamu lucu bisa nyanyi lagu mandarin segala. Dari
semua kegilaanmu selama ini, rasanya yang kali ini bisa meraih
penghargaan tertinggi. Ngomong-ngomong, aku boleh masuk nggak?"
tanya Niken sambil melirik ke dalam ruang soundsystem.
Setelah dipersilahkan masuk dan Pandu menutup pintunya kembali,
Niken menatap Pandu yang masih menyandarkan punggungnya di pintu.
Membaca wajah Pandu yang penuh tanda tanya, Niken tersenyum lagi,
berusaha menghapus kegugupan dari wajah Pandu. Tapi ternyata tak
semudah itu melenyapkan ketegangan itu hanya dengan sebuah
senyuman. "Bagus tadi lagunya, Ndu" Suara Niken memecah kesunyian.
"Terima kasih, Fei. Tapi kita berdua sama-sama tahu, bukan tanggapan
seperti itu yang ingin kudengar darimu."
"Kamu tahu arti lagu tadi?" Pertanyaan bodoh, Niken! serunya dalam hati.
Pandu melongo. "Tentu saja aku tahu arti lagu itu luar kepala. Buat apa
Niken Dan Pandu Karya Ac Zzz di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
aku nyanyi kalau nggak tahu artinya?"
"Maaf,.. Bukan itu sebenarnya yang hendak aku katakan. Entah kenapa
yang keluar di mulut jadi lain.." keluh Niken.
Perhatian Pandu mendadak terpusat ke arah putaran kasetnya.
Mengikuti arah pandangan Pandu, Niken hendak mengingatkan Pandu
bahwa lagu Aerosmith ini sebentar lagi selesai. Pandu langsung
mengetahui apa yang hendak Niken katakan. "Tenang saja. Kaset itu
isinya lagu-lagu kompilasi. Biarkan saja berputar sampai habis. Sekarang
aku lebih tertarik ingin mendengar apa yang ingin kau katakan."
"Kamu tahu" Lagu tadi... Papa sering mendendangkannya..."
Deg! Sesaat Pandu limbung mendengar kata-kata Niken. Tanggapan
Niken ini jauh di luar dugaannya.
"Fei..." Pandu mendekat. "Sama sekali aku tak bermaksud mengkorek
lukamu..." "Kamu selalu begitu. Tidak pernah membiarkan aku selesai bicara. Aku
juga tidak bilang kamu mengkorek luka, koq."
Pandu membisu. Dibiarkannya Niken menyelesaikan kata-katanya kali ini.
"Mendengarkan lagumu tadi, aku jadi menyadari dua hal penting.
Pertama, bahwa Papa dan Mama justru sekarang malah tambah dekat di
hatiku. Aku bukan anak yang tak berbakti. Sampai kapanpun mereka tetap
papa-mamaku, yang memang jauh dari sempurna. Seperti aku pun yang
tak sempurna. Tapi aku harus menemukan jati diriku sendiri, kemauanku
sendiri. Aku tak pernah ingin hidup di bawah bayang-bayang mereka
selama mereka hidup, dan aku tidak ingin memulainya sekarang."
Wajah Pandu berubah cerah. Di luar perkiraannya, lagu tadi sudah
menyelamatkannya lebih dari yang dia harapkan.
"Yang kedua?" tanya Pandu kemudian.
"Aku jadi menyadari betapa sulit mengenyahkanmu dari hidupku. Apapun
yang kulakukan, sepertinya tak membuatmu menjauhiku. Justru
sebaliknya. Benar-benar mengesalkan!"
Pandu menatap mata bening Niken. Rasanya tak salah bila dia
menyimpulkan bahwa di situ ditemukannya penyesalan, kepercayaan dan
harapan. Penyesalan akan keraguan dan sikapnya sendiri, kepercayaan
akan cinta Pandu, dan harapan akan kebahagiaannya bersama Pandu.
Ditemukannya pula jawaban atas semua pertanyaannya.
Secara refleks, Pandu menarik pinggang Niken ke arahnya bak penari
salsa. Ingin rasanya memeluk dan mencium Niken saat itu juga. Untung
dia ingat ini di ruang sound system, di sekolah, pada jam pelajaran pula.
Bisa berabe kalau sampai ada orang tahu. Mereka bisa dikeluarkan dari
sekolah sebelum hasil ujian diumumkan!
Dengan berat hati dilepaskannya pinggang Niken dari pegangannya.
"Sebetulnya aku datang kemari cuma ingin berkomentar satu hal. Kenapa
jadi berlarut-larut dan melenceng dari tujuan awal begini?" Niken
menepuk dahinya. "Komentar apa?" tanya Pandu tertarik.
"Di kegelapan malam kamu sering mendengar suaraku?" tanya Niken
sambil tertawa keras sekali. "Menakutkan sekali! Kalau aku jadi kamu, aku
akan bawa-bawa pisau dapur tiap mau tidur! Kamu kira aku tuyul"!"
"Mari masuk Niken. Pandu lagi tidur siang tuh. Katanya capek setelah
tiga hari kerja bakti di sekolah. Dibangunkan saja. Sudah jam setengah
lima sore ini." kata Ibu Pandu saat melihat Niken datang.
"Hei, bangun, jangan ngorok terus!" kata Niken, mengagetkan Pandu
yang sedang tidur dengan pulas.
Niken lalu menyalakan lampu kamar Pandu.
"Kamu kejam deh. Masih pegal-pegal nih!" Pandu mengomel. Sepertinya
dia belum betul-betul bangun.
"Jalan-jalan yuk." ajak Niken.
"Malas ah?" kata Pandu bersiap-siap mau bobok lagi.
Niken cepat-cepat menarik bantalnya. Buk! Kepala Pandu membentur
kasur. "Apa-apaan sih kamu, Fei" Aku ngantuk nih?" kata Pandu sambil
memohon-mohon Niken untuk mengembalikan bantalnya.
"Ayo lah" aku sudah sampai di sini masa" diusir sih" Cuaca di luar cerah
tuh. Ayo keluar yuk?" ajak Niken lagi.
"Ah, kamu memang kalo udah ada maunya?" Pandu mengomel sambil
beranjak berdiri. "Oke, aku mandi dulu, kamu baca-baca majalah tuh" lanjut Pandu sambil
menunjuk tumpukan majalah di lemari bukunya.
Setelah Pandu keluar kamar, Niken mengamati kamar Pandu dengan
cermat. Nggak banyak berubah sejak terakhir dia kemari. Kamar kecil
Pandu ini nggak begitu rapi, tapi nggak acak-acakan. Paling mejanya aja
yang penuh buku, sampai nggak ada tempat lagi untuk menulis. Wajar
saja karena baru saja selesai musim ujian. Tapi diluar itu semuanya rapi.
Tidak ada pakaian kotor di lantai, tidak ada makanan atau minuman di
kamarnya. Eh, ada juga foto Niken di meja kecil dekat tempat tidurnya.
Niken tersenyum sambil menyambar salah satu majalah yang tadi
ditunjuk Pandu. "Kamu keluar dulu, gih." kata Pandu mengagetkan Niken.
"Kamu koq kilat mandinya?" tanya Niken.
"Ya ini udah selesai. Sekarang aku mesti ganti baju. Makanya kamu keluar
dulu deh." kata Pandu sambil mengusir-usir Niken keluar dari kamarnya.
Tadi dia lupa membawa pakaiannya ke kamar mandi, seperti biasanya,
jadi sekarang dia cuma membalutkan handuk di pinggangnya. Rambutnya
basah habis keramas. Diam-diam Niken mengamati Pandu yang bertelanjang dada. Seksi
juga, berotot lagi. "Hihi?" Niken tertawa dalam hati.
"Eh" cepetan dong. Kamu koq malah bengong?" kata Pandu lagi.
"Iya iyaa" Galak amat! Ini aku keluar." kata Niken keluar kamar sambil
masih tertawa-tawa. Begitu Pandu keluar kamar, Niken yang tak sabar langsung
menggandengnya keluar rumah.
"Pamitan sama ibumu, cepat. Aku tadi sudah."
Sambil jalan, karena masih ditarik-tarik dengan paksa oleh Niken, Pandu
berpamitan "Bye Bu" doakan aku kembali utuh ya?" gurau Pandu.
Habisnya Niken seperti menarik-narik kambing ke balai penyembelihan
binatang. "Ada apa sih?" tanya Pandu saat mereka sudah ada di mobil Niken.
"Nih" baca nih?" kata Niken menunjukkan sepucuk surat berkop
Universitas Indonesia. Pandu lalu membaca surat itu dengan cermat. Sampai di alinea terakhir,
dia lalu tersenyum. "Wah" selamat, Fei, kamu lolos PPKB! Nggak usah ikut UMPTN! Hebat.
Jarang lho orang yang lulus PPKB buat FKUI!" kata Pandu berteriak-teriak.
"Makanya itu aku pengen merayakan hari bersejarah ini. Catat, ini tanggal
15 Mei." "Nggak cuma kamu lho yang lolos PPKB." kata Pandu serius.
"Siapa lagi?" tanya Niken.
"Aku." kata Pandu sambil menunjuk dirinya sendiri.
"Kamu" Yang benar, Ndu?" tanya Niken nggak percaya.
"Eh, nggak percaya. Aku juga baru mendapat suratnya kemarin. Mau aku
ambilkan di rumah?" tanya Pandu. "Aku malah mendapat keringanan uang
SPP untuk tahun pertama dari Depdikbud. Nanti tahun kedua tergantung
evaluasi prestasiku di tahun pertama di ITB, begitu katanya."
"Wah" selamat yah" Ini betul-betul perlu dirayakan. Kamu mau ke
mana" Ada ide?" tanya Niken.
"Kamu kan yang dari tadi teriak-teriak ingin jalan-jalan. Aku kirain kamu
sudah ada rencana mau ke mana?" tanya Pandu geli.
"Aku kan cuma tanya kamu ingin ke mana. Siapa tahu kamu punya ide
lebih baik. Kan baik aku menawarkan, kan" Kalo nggak ada ide ya aku
kembali ke rencanaku semula."
"Memangnya menurut rencana jahatmu semula kamu mau ke mana?"
"Jahat" Ada deh?" kata Niken sambil mengedipkan sebelah matanya.
"Oke lah. Aku ikut saja." kata Pandu lalu memejamkan matanya.
"Sialan, kamu malah bobok lagi" Dasar tukang ngorok!" Niken mulai
mengomel lagi. "Memangnya aku tadi ngorok?" tanya Pandu serius.
"Wah, keras sekali?" kata Niken sambil tertawa geli.
"Seriusss?"!" tanya Pandu lagi.
"Serius!" jawab Niken ikut-ikutan pasang tampang serius.
Pandu lalu diam saja. Malu, dong.
"Memangnya kenapa sih kalo ngorok?" tanya Niken.
"Nggak enak saja. Selama ini kan aku bobok sendirian, jadi ngorok juga
nggak masalah. Tapi misalnya aku menginap di tempat orang, atau kalau
udah kawin nanti, kan kasihan istriku kalau aku ngorok setiap malam.
Bisa nggak bisa bobok dia."
Niken tambah kencang ketawanya.
"Culun sekali kamu, Ndu. Kamu pasti tadi capek aja, jadi mengorok.
Waktu sebulan aku di rumahmu aku kadang-kadang keluar kamar ambil
minum, kamu juga tenang-tenang saja koq tidurnya. Lagipula, kurasa kau
butuh istri yang seperti aku?" kata Niken sambil tersenyum.
"Kenapa?" "Begitu kepalaku menempel bantal, aku pasti langsung tertidur. Makanya
sebelum menyentuh bantal aku pasti bikin puisi dulu. Kalo nggak bisabisa batal nggak bikin puisi melulu setiap hari."
"Tapi bagaimana bisa kawin sama kamu" Kita pacaran saja nggak?"
kata Pandu. "Lho" Kita tu nggak pacaran tho?" tanya Niken bengong.
"Bagaimana sih" Kan kamu dulu yang bilang nggak mau pacaran dulu."
"Lha trus yang kemarin di ruang soundsystem, kamu kira aku ngapain?"
"Kamu kan cuma datang mengomentari laguku..."
"Ah, Pandu, kamu emang bodoh sekali! Kamu nggak mau ya pacaran
sama aku?" "Lho" Apa aku pernah bilang nggak mau" Aku justru yang selama ini
bilang cinta ! Ingat laguku kemarin lusa ?"
Niken lalu terdiam. Pas dia lagi mau berbicara sepatah kata, kebetulan
Pandu juga mau mengatakan sesuatu.
"Kamu duluan, deh." kata Niken sambil mengganti persneleng empat.
"Nggak. Kamu saja duluan."
"Aku sudah nggak punya siapa-siapa lagi kecuali kamu, Ndu. Akhir-akhir
ini aku sering merasa kesepian banget di rumah. Jadi inget cici, mama,
papa. Aku merasa beruntung masih punya kamu. Rasanya Tuhan
mengirimkan kamu pada saat yang tepat?"
"Fei" awas sepeda motor!" teriak Pandu. Niken kaget. Rupanya dia tak
sadar melamun. "Kamu melamun ya?" tanya Pandu setelah Niken meminggirkan mobilnya.
Niken menggaruk-garuk kepalanya yang nggak gatal.
"Bahaya nich" Kamu berhenti dulu lah kalo mau ngobrol. Atau aku yang
nyetir ya" Kamu mau ke mana sih?" usul Pandu.
"Yah sudah, kita berhenti di sini dulu aja. Mumpung di bawah pohon
rindang. Angin semilir lagi. Wah. Seandainya aku bawa buku puisiku, bisa
bikin puisi nih?" gumam Niken melantur.
"Fei, kamu pakai parfum ya?" tanya Pandu.
"Nggak." kata Niken sambil mencium-cium bajunya. "Kenapa
memangnya?" "Wangi." "Wangi" Swear deh aku nggak pake parfum."
"Nah kan,... kamu nggak bisa bilang kita selama ini pacaran, karena aku
saja nggak tahu bahwa tanpa parfum tu kamu wangi sekali. Aku baru tahu
sekarang. Dan aku suka sekali. Aku ingin tahu hal-hal kecil seperti ini yang
aku belum tahu. Misalnya, apa film kesukaanmu, apa makanan
kesukaanmu, siapa cinta pertamamu, dan bahkan kamu belum sempat
menjawab pertanyaanku yang dulu, siapa tokoh idolamu selain Sun Tzu."
"Aku juga nggak tahu banyak tentang kamu di hal-hal yang kecil
seperti itu, rasanya kita cuma perlu lebih banyak meluangkan waktu
berdua. Seperti sekarang ini. Atau seperti waktu di dalam ruang
soundsystem. Bicara dari hati ke hati. Itu kan yang namanya pacaran"
Tapi, kalo kamu cuma ingin tahu aja, film kesukaanku "Gone with the
wind", makanan favoritku bakmi, tokoh idolaku selain Sun Tzu adalah cici,
dan cinta pertamaku, tentu saja kamu. Pakai acara tanya segala."
"Memangnya kamu nggak pernah naksir siapa-siapa sebelum aku?"
tanya Pandu. "Nggak." Niken menggeleng mantap. "Kamu pernah naksir cewek ya?"
tanya Niken. Pandu mengangguk. "Bu Fani, guruku waktu SD kelas dua."
"Hah"! Guru SD" Ah, kamu yang benar saja?"
"Bener! Bu Fani tu sabaaarrr sekali. Aku inget aku sempat sering datang
ke sekolah pagi-pagi sekali, sengaja cuma ingin membersihkan kelas,
demi ingin mendapat pujian Bu Fani sewaktu dia masuk ke kelas. Tapi
cuma sebentar saja sih naksirnya, karena terus aku tahu Bu Fani sudah
punya suami. Kalau aku ingat-ingat lagi, bodoh sekali aku. Seandainya
saja waktu itu dia belum punya suami, trus memangnya aku bisa apa"
Akunya masih anak kelas 2 SD!"
"Wah" kamu centil juga ya kelas 2 SD sudah pakai acara naksirnaksiran segala" Aku waktu SD kan masih benci sekali sama semua
cowok di sekolahku".
"Masa" nggak pernah ada satupun orang yang kamu kagumi, Fei" Seperti
Bu Fani-ku gitu?" Niken berpikir sebentar. "Nggak. Kamu yang pertama kali bikin aku seperti
ini." jawabnya mantap.
"Kamu nggak kebera tan pacaran sama aku, Fei?"
"Memangnya kenapa, Ndu?"
"Kamu nggak pernah merasa, sering kali pas aku boncengin kamu naik
sepeda, atau kita jalan-jalan berdua, selalu saja dapat tatapan aneh dari
orang-orang" Mereka seperti melihat ikan pacaran sama burung, yang
nggak punya tempat di mana-mana untuk bersama. Ikannya nggak bisa
tinggal di udara, burung nggak bisa tinggal di air."
"Jadi kamu merasa nggak nyaman jalan sama aku?" tanya Niken.
"Bukan begitu maksudku."
"Lalu?" Pandu bingung mesti menjawab bagaimana tanpa menyinggung
perasaan Niken. Memang nyata-nyata perbedaan kulit mereka begitu
jelas. "Baiklah, Ndu. Aku mengerti." kata Niken sambil hendak menstater
mobilnya lagi. "Lho, tunggu dulu." kata Pandu merebut kunci mobil dari tangan Niken.
"Sabar dong, non. Aku masih bingung mau ngomong apa."
"Kenapa mesti bingung" Tinggal ngomong saja. Bilang saja, Fei, aku
nggak nyaman pacaran sama kamu." Niken cemberut.
"Aku nggak bisa bilang begitu karena aku belum pernah benar-benar
pacaran sama kamu. Lagian aku sudah bilang, bukan begitu maksudku.
Aku cuma pengen kamu jujur sama aku. Kalo aku jawab duluan, apa aku
merasa nyaman, kalau kamu merasa nggak nyaman, nantinya kamu
nggak enak bilang terang-terangan, karena aku sudah duluan bilang
nggak papa." "Jadi kamu nggak papa?"
"Pandangan orang-orang itu sesuatu yang nggak bisa dihindari, kemana
pun kita pergi. Aku sih selalu merasa nyaman, karena aku tahu persis
cewek yang aku boncengin atau yang jalan bareng aku ini manis sekali,
dan orang-orang itu cuma iri karena nggak bisa boncengin atau jalan
bareng cewek semanis kamu."
"Ah, gombal!" Jawaban Pandu tadi cukup untuk membuat pipi Niken
panas karena malu. "Lho" Kamu tadi kan tanya, tuh sudah aku jawab. Koq malah aku dibilang
gombal, ya sudah deh."
"Jadi menurutmu aku ini manis?" tanya Niken lagi. Rupanya masih belum
puas dipuji dia. Ingin pipinya tambah merah.
"Memangnya nggak pernah ada orang yang bilang kamu itu manis
sekali?" tanya Pandu.
Niken menggeleng. "Yah sekarang aku kasih tahu. Waktu pertama kali aku melihatmu, dengan
tampangmu yang sok judes di kelas waktu itu, kamu sudah keliatan
Niken Dan Pandu Karya Ac Zzz di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
manis. Makin aku mengenalmu, kamu terlihat semakin manis di mataku."
"Ngomong-ngomong soal mata, pertama kali lihat kamu di kelas waktu itu,
satu-satunya yang menarik perhatianku cuma matamu. Wulan waktu itu
bilang mata kamu tajam kayak mata elang. Lalu aku perhatikan, memang
iya. Sorot matamu tajam sekali, tapi kalau kamu memandangku terlihat
begitu lembut." "Koq setelah itu kamu sering panggil aku mata jangkrik" Memangnya
matanya jangkrik seperti mata elang?"
"Naaaah" aku nggak mau mengakui kalo matamu tu yang terindah yang
pernah aku lihat. Terutama sama Wulan. Gengsi dong."
"Jadi kamu juga cuek dengan pandangan aneh orang-orang itu?"
"Aku sudah biasa koq. Kalo jalan-jalan sama Wulan juga begitu. Kalau
lagi iseng, aku kagetin mereka, "Ngapain lihat-lihat"!" Lagipula mereka
pasti melihat kita begitu serasi, Ndu, makanya mereka seperti itu. Mereka
iri melihat pundakmu yang pas sekali buat kepalaku. Juga tanganku yang
pas sekali melingkar di pinggangmu kalau kamu boncengin." kata Niken
tersenyum. "Fei, diinget-inget yah, ini tanggal 15 Mei, tanggal yang bersejarah.
Karena mulai hari ini, Fei Fei resmi jadi calon istri Pandu."
"Apa"! Calon istri"!"
"Nggak mau?" "Aaa" aku" Tapi?" Niken gelagapan.
Pandu ketawa sekeras-kerasnya. Niken jadi bingung. Dipukul-pukulnya
pundak Pandu. "Awas kamu ya Ndu. Kamu mempermainkan aku!"
"Nggak, aku nggak akan pernah mempermainkan kamu. Aku serius koq.
Aku pacaran cuma ingin sekali. Kamu sudah pas sekali buatku, Fei. Kamu
bahkan jauh lebih bagus dari kriteria cewek yang selama ini aku
dambakan. Aku nggak ingin kehilangan kamu." kata Pandu sambil
menepiskan poni di dahi Niken.
"Aku bersyukur kamu masuk dalam hidupku, Ndu. Kamu
memperkenalkan sisi lain di diriku yang aku sendiri tadinya nggak kenal.
Kalau nggak ada kamu, mungkin aku bener-bener bakal kawin sama si
Jimmy. Aku nggak akan dapat kesempatan untuk mengenal apa itu cinta,
dan betapa indahnya saat-saat bersamamu seperti ini."
"Bagus kalau begini..." kata Pandu lagi. "Malam-malam nanti aku
nggak akan lagi dengar suara tuyul!" goda Pandu teringat akan komentar
sadis Niken kemarin lusa.
Niken tersenyum. "Kamu yang tuyul, perampok!"
"Koq bisa?" "Merampok semua isi hatiku. Nggak tersisa sedikitpun. Padahal waktu
pertama kali aku lihat kamu tuh kesannya kamu cowok playboy, yang
punya banyak cewek di mana-mana."
"Hah" Playboy" Jadi aku punya tampang playboy?"
"Iya." "Huh. Tampang ganteng-ganteng begini dibilang tampang playboy."
"Lha" justru karena ganteng itu?"
"Jadi kamu setuju dong kalo aku ganteng?" goda Pandu.
"Nggak tau, ah. Kamu suka sekali memutar-balikkan kata-kataku."
"Ya sudah deh kalo emang aku punya tampang playboy. Tapi aku
nggak lho. Kamu saja beruntung bisa jadi pacar pertamaku lho. Dan yang
terakhir, I hope?" "Oke, sudah cukup rayuan gombalnya. Sekarang aku harus ngebut
karena kalau tidak kita akan terlambat." kata Niken sambil menstater
mobilnya lagi setelah merebut kunci kontaknya dari tangan Pandu.
"Mau ke mana sih kita?"
"Sudah aku bilang, liat saja nanti."
Ternyata tadi Niken mengajak Pandu ke gereja. Misa Sabtu sore. Adaada saja Niken. Pakai acara rahasia-rahasiaan segala tadi. Cuma mau ke
gereja saja. "Mau ke mana nih" Sekarang aku nggak ada rencana mau ke mana-
mana lagi. Mau makan di mana?" tanya Niken.
"Kamu mau ke gereja saja pake mengedipkan mata segala. Dasar. Aku
kirain mau ke mana. Pantas kamu rapi sekali. Untung aku juga pakai baju
rapi." Pandu setengah mengomel.
"Ya kalo kamu tadi aku liat nggak pakai baju yang rapi ya aku suruh ganti
lagi dong. Ayo nih, ke kiri atau ke kanan" Mau ke mana kita?" kata Niken
sampai di ujung Jalan Pemuda.
"Makan nasi goreng babat suka?" tanya Pandu.
"Suka dong" tapi mampir ke Kenanga yah, aku mau ganti sandal saja.
Nggak enak pakai sepatu begini. Panas."
Pandu mengangguk. Sambil membuka pintu rumahnya, Niken berkata, "Kamu duduk di
sofa ruang tengah sana. Empuk."
"Fei, aku boleh pinjam telfonnya?" tanya Pandu.
"Boleh aja. Itu wireless di meja." tunjuk Niken. "Aku tinggal masuk kamar
dulu ya?" lanjut Niken.
"Sudah selesai telefonnya?" kata Niken saat keluar kamar lagi.
"Sudah. Makasih ya."
"Dengerin radio saja ya, bosan aku dengerin CD kamu." pinta Pandu
waktu mereka sudah di mobil lagi.
"Bagus juga, ini Boss FM jam segini biasanya adanya acara kuis. Aku
sering iseng ikutan jawab sendiri, tapi nggak pernah ikutan telefon. Males.
Aku bisa diledekin anak-anak Boss kalo salah jawab."
?" Acara kuis hari ini kita tunda lima menit, karena permintaan dari
sohib karib kita. Niken, kalo kamu dengerin, yang satu ini buat kamu."
"Hah" Koq bisa begini?" batin Niken bingung sambil mengeraskan
volume radionya. "Itu suara Mbak Merlina. Biasanya dia kan nggak
memandu acara kuis. Lagian apa-apaan kasih salam ke aku, tumben
amat" Koq tahu bisa kalo aku bakal dengerin radio malam ini?"
Dia langsung sadar. "Pasti Pandu!" katanya sambil menatap wajah cowok
yang duduk di sampingnya itu.
Pandu sedang asyik menikmati lagu "Nothing else matters"-nya Metallica
itu sambil ikut nyanyi. "Hey," kata Niken sambil menguncang-guncangkan tubuh Pandu. "Ini
kerjaan kamu yah?" tuduhnya.
"Yee" ge-er amat. Yang namanya Niken kan nggak cuma kamu. Tapi ini
lagu bagus, jangan dipindah channelnya." kata Pandu.
Niken mengerutkan keningnya. "Kalau bukan Pandu, lalu siapa" Yah
mungkin saja Niken yang lain", pikirnya.
So close no matter how far
Couldn"t be much more from the heart
Forever trusting who we are
And nothing else matters Never opened myself this way
Life is ours, we live it our way
All these words I don"t just say
And nothing else matters " "Niken sayang," Suara Pandu muncul dari radio!, pekik Niken dalam
hati. Nah! Dia lalu menatap tajam mata Pandu yang tersenyum-senyum
aneh. "Inget waktu aku proklamasi cinta di tengah lapangan, kira-kira
setahun yang lalu" Aku masih menyimpan kertasnya. Sekarang aku akan
proklamasi sekali lagi, kali ini aku serius, dan ini untukmu. Oh, ya. Lagu
Metallica yang di background ini juga requestku."
Yayangku," Paras wajahmu, gerak-gerikmu, selalu terbayang di mataku.
Kamu membuat aku gelisah tiap malam, tidak bisa tidur. Aku jadi nggak
doyan makan gara-gara mikirin kamu.
Yayangku yang manis, aku cinta kamu. Aku tidak akan pernah berhenti
mencintaimu. Aku nggak tau mesti gimana kalo aku nggak lihat wajahmu barang sehari
saja. Kau begitu lincah, senyummu begitu menggoda.
Suaramu, indah bagaikan tiupan angin malam.
Akan aku lakukan apa saja untuk mendapatkan cintamu.
Jangan buat aku patah hati. Terimalah segala rasa cintaku.
Yang sangat mencintaimu, selamanya.
Pandu. Niken masih ternganga. Masih belum hilang shocknya.
"Niken, kita dari Boss FM, mau ngucapin selamat. Pandu sayang
sekali sama kamu. Mbak Merlin sampai terharu waktu dia telepon
barusan, minta suaranya direkam per telepon." terdengar suara Mbak
Merlina dari radio. "Buat Pandu, good luck! You"ve inspired all of us in
Boss FM radio station! Oke, kita nggak mau bikin para penggemar kuis
menunggu-nunggu lebih lama lagi. Kuis malam hari ini?"
"I love you, Fei, and nothing else matters." kata Pandu. Kali ini nggak
dari dalam radio. Pandu mengecilkan volume radio.
"Gila kamu, Ndu." Cuma itu yang bisa keluar dari mulutnya.
Pandu diam saja, sambil memainkan jari-jemari Niken.
"Kenapa mesti lewat radio?" tanya Niken kemudian.
"Aku pasti nggak sanggup lah ngomong langsung di depanmu. Pasti
kamu ketawa keras-keras sebelum aku selesai."
"Tahu nggak, aku tadi kaget setengah mati waktu denger suara kamu di
radio, Ndu. Kamu memang sinting."
"Aku cuma mau bilang, aku cinta sekali sama kamu. Kamu sudah
merubah definisi kata "cantik" di duniaku. Karena hanya kamu yang cantik
di mataku." Pandu baru akan mencium pipi Niken, waktu suara Mbak Merlina
mengagetkan mereka berdua.
"Hallo Niken, Pandu, kalo kalian masih di situ, selamat menikmati malam
yang indah ini. Lagu ini milik kalian. Nggak gangguin lagi deh... Selamat
malam?" From my youngest years to this moment here
I"ve never seen such a lovely queen
From the skies above to the deepest love
I"ve never felt crazy like this before
Paint my love, you should paint my love
It"s the picture of a thousand sunsets
It"s the freedom of a thousand doves
Baby, you should paint my love"
"Aku jadi pengen bikin puisi, Ndu." kata Niken habis Pandu
menciumnya. "Ya bikin saja." kata Pandu.
"Bikin gimana" Aku nggak punya bolpen dan kertas."
"Ngomong saja. Seperti deklamasi gitu."
"Nggak ah." Niken menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Ayo lah. Buat aku ini." bujuk Pandu.
"Baiklah." kata Niken akhirnya.
Hati ini Ingin jadi milikmu Pahami tiap bilik sanubarimu
Jiwa ini Ingin berkelana, mengembara bersamamu
Jalan seiiring alunan langkahmu
Diri ini Ingin jadi permaisurimu Bertahta membangun dinasti yang agung di istanamu
Cinta ini Ingin selamanya kuberikan untukmu
Menembus segala ruang dan waktu
Untukmu Pandu, Pahlawanku, kekasih hatiku,
Mata Elang ku. *** THE END!!!!!!!! Pendekar Penyebar Maut 14 Satria Gendeng 05 Perempuan Pengumpul Bangkai Pisau Terbang Li 3