Pencarian

Niken Dan Pandu 2

Niken Dan Pandu Karya Ac Zzz Bagian 2


ciuman pada penonton dengan tangannya. Sambutan penonton begitu
meriah, semua tersepona oleh lagu-lagu Pandu tadi. Niken dari belakang
panggung lega sekali. Begitu Pandu sampai di belakang panggung, langsung dipeluknya.
"Terima kasih, Ndu, showmu bener-bener sudah menyelamatkan malam
ini. Aku nggak tau mesti bilang apa. Aku lega sekali." kata Niken sambil
berteriak-teriak histeris.
"Jangan senang-senang dulu. Aku musti ngomong sesuatu sama kamu.
Keluar yuk." ajak Pandu, yang walaupun senang dipeluk Niken harus
dengan berat melepasnya. "Ada apa sih, Ndu" Kamu boleh ngomong apa aja deh. Aku benerbener ngerasa bersyukur punya kamu."
"Lagu tadi" Aku sungguh-sungguh menyanyikannya." kata Pandu.
"Lalu" Maksudmu" Hmm.. Aku nggak ngerti maksud kamu." Wajah Niken
yang tak berdosa benar-benar menggambarkan kebingungan.
"Aku sayang kamu, Fei. Sebelum kamu protes, aku mesti bilang, aku
juga baru menyadarinya sejam yang lalu." kata Pandu mengungkapkan isi
hatinya. Nah, segalanya sudah terucap.
"Ndu, kamu mestinya kenal sifatku lebih dari ini. Kamu tau sendiri aku?"
"Aku tahu. Kamu sering bilang. Kamu nggak percaya sama yang namanya
cinta atau pacaran atau apapun sinonimnya, dan segala tetek bengeknya.
Aku sangat paham. Makanya aku juga baru nyadar sekarang, karena
mungkin aku nggak pernah berpikir ke situ juga. Tapi aku juga tau, orang
sebaik kamu layak dicintai, dan layak untuk berbahagia. Aku cuma ingin
dapat mencintaimu, dapat bikin kamu bahagia..."
"Stop, Pandu. Aku nggak mau denger lagi." kata Niken sambil
menutup kedua telinganya.
Pandu memegang kedua tangan Niken, menjauhkannya dari telinganya.
"Kamu harus mau dengar, Fei. Bahkan Jimmy pun bisa bilang, kamu
harus mau belajar mencintai. Membuka dirimu. Kamu berhak dan sangat
layak dicintai, Fei."
"Aku nggak bisa percaya sama diriku sendiri. Selama ini aku bisa jaga
diriku sendiri baik-baik. Cinta bakal merusak segalanya. Termasuk
persahabatan kita. Ayolah, Ndu, tarik kembali kata-katamu." pinta Niken
dengan memelas. "Aku bisa saja menarik kata-kataku. Tapi aku nggak bisa menipu diriku
sendiri, Fei. Aku cinta sama kamu. Maksudku cinta, adalah selamanya,
Fei. Aku belum pernah merasa seperti ini. Aku merasa seperti matihidupku ada di tanganmu sekarang."
Niken menengadah ke arah langit. Pandu jadi tahu apa yang ada di
otak kecil Niken sekarang.
"Kamu berpikir tentang kejadian buruk yang menimpa kakakmu" Kamu
harusnya tahu, aku bukan cowok semacam itu."
"Bagaimana aku bisa tahu" Aku yakin cici waktu itu juga mengira pacarnya
yang brengsek itu sangat mencintainya." Harus diakui Niken cukup kaget
karena Pandu sanggup membaca pikirannya.
"Baiklah. Bagaimana kalo aku berjanji nggak akan pernah
menyentuhmu. Aku nggak perlu itu untuk mengungkapkan cintaku, Fei.
Aku bilang ini dengan tulus hati. Kamu bisa percaya sama aku, Fei. Aku
nggak pernah mengecewakan kamu kan?"
"Kalo kamu butuh cinta, kenapa nggak ambil yang available saja. Ratna
misalnya." "Kamu nggak paham-paham juga, ya, Fei" Aku nggak cinta sama
Ratna. Aku cintanya sama kamu. Cinta itu nggak bisa dipaksain. Fei, aku
nggak minta kamu jawab sekarang. Aku tahu kamu belum siap, karena
kamu belum pernah mengenal apa itu cinta. Aku berharap, mungkin,
dengan melihat caraku mencintaimu, kamu bisa melihat bahwa ada cinta
yang suci, yang layak diperjuangkan. Aku cuma ingin kamu nggak
menolak aku sekarang ini."
"Aku nggak tau mesti bilang apa, Ndu. Kamu seharusnya nggak bilang
begini. Kamu merusak segala-galanya. Aku kira kamu temanku. Ternyata
kamu menusukku dari belakang dengan embel-embel cintamu." kata
Niken sambil berlari berlalu dari situ.
Pandu cuma bisa menggeleng-gelengkan kepalanya. Mengikuti Niken
saat ini juga percuma, dia yakin tidak akan bisa meyakinkan gadis yang
teramat keras kepala ini. Wulan yang baru mau menyelamati Niken atas
suksesnya acara mereka malam itu, melihat Niken berlari keluar jadi
mengurungkan niatnya. Dia menatap Pandu yang masih berdiri terpaku di
belakang panggung. Pasti ini ulah Pandu, pikirnya.
"Kamu apain dia, Ndu?" tuduh Wulan.
"Aku cuma berusaha jujur sama dia, kalo aku sayang sama dia?" kata
Pandu masih menatap Niken yang bayangannya semakin kecil menjauh.
"Kamu cinta sama Niken" Aduh, Ndu" kamu koq nambah-nambahin
masalah sih?" keluh Wulan. "Kamu udah pernah diceritain Niken tentang
kakaknya" Tentang niat perjodohannya?"
"Sudah, sudah. Sudah semua. Aku nggak bisa mencegah semua itu
terjadi, Wulan. Aku?"
"Seandainya Niken cinta sama kamu pun, dia nggak akan berani melawan
papanya. Papanya bisa shock kalo tau hal ini."
Pandu diam saja. Dia masih bingung. Bukan bingung akan perasaan
cintanya, itu dia sudah yakin. Bingung mesti berbuat apa. Musti bersikap
bagaimana terhadap Niken.
"Wulan, kamu pernah bilang, kamu nggak yakin Niken benar dalam
prinsipnya yang nggak mau menerima cinta. Aku benar-benar cinta sama
dia, Wulan. Boleh percaya boleh nggak, tapi aku belum pernah jatuh cinta,
dan belum pernah pacaran. Mungkin itu juga sebabnya dia nggak
bereaksi tadi, karena aku nggak tau bagaimana caranya merayu cewek"
Aku butuh bantuanmu?"
"Tunggu. Kamu bilang apa tadi" Kamu belum pernah pacaran?" tanya
Wulan berusaha mengoreksi.
"Kamu boleh tanya sama ibuku, sama siapa saja yang pernah kenal
aku. Aku belum pernah jatuh cinta. Persahabatanku sama Niken itu
hubungan terdekatku dengan seorang cewek. Itu juga lantaran aku nggak
sadar aku sudah jatuh cinta sama dia sejak awal jumpa. Sekarang aku
baru sadar, dan perasaan itu sungguh indah, tapi sangat menusuk, sakit
sekali. Apalagi kalau memikirkan dia bakal menjauhi aku. Oh, Wulan,
kamu harus bantu aku."
"Aku nggak tau mesti bantuin gimana. Niken itu orang yang susah di halhal seperti ini. Aku nggak bisa bantuin kamu sebelum aku yakin Niken
juga cinta sama kamu."
"Aku cuma butuh kamu bantuin aku untuk meyakinkan dia untuk mau
membuka dirinya. Kalau pada akhirnya terbukti bahwa dia nggak
mencintaiku, akan ada seorang cowok yang beruntung yang bisa
memilikinya, membahagiakan dia. Kamu percaya Niken layak
mendapatkan itu kan?"
"Iya sih. Baiklah. Aku nggak berani janji apa-apa, melihat kondisinya
seperti ini sekarang. Kata-katamu tu selalu meyakinkan. Aku nggak tahu
kenapa Niken nggak mau percaya sama kamu. Semoga saja kamu nggak
bohongin aku." "Aku nggak akan pernah main-main sama yang namanya cinta. Dosa kata
ibuku. Kamu bisa percaya deh sama aku tentang yang satu ini."
"Duh, Gusti, kamu punya banyak pilihan, kenapa juga hatimu mesti
memilih jatuh cinta sama orang yang sulit, Pandu?"
Pandu hanya bisa membisu. Campur aduk perasaannya saat ini.
Bahagia, karena baru saja menyadari perasaan hatinya. Berbunga-bunga,
penuh rasa cinta. Di saat yang sama juga merasa sedih, karena tidak bisa
mengungkapkan rasa sayangnya yang meluap-luap itu pada gadis yang
dicintainya. Juga bingung, karena mungkin rasa cintanya ini bakal
membuat gadis itu menderita.
Malam itu juga, Pandu menceritakan segala-galanya pada ibunya.
Ibunya sabar, diam mendengarkan. Di tengah-tengah keputusasaannya,
Pandu bahkan sempat menangis. Terakhir kali ibunya melihat Pandu
menangis waktu kelas 1 SD, waktu kakeknya meninggal. Pasti Pandu
sangat mencintai gadis ini.
"Ibu nggak heran kamu jatuh cinta sama Niken." kata ibunya
kemudian. "Ibu nggak keberatan, walaupun Niken bukan gadis Jawa?" tanya Pandu.
"Tentu saja nggak. Kamu sudah Ibu besarkan, Ibu didik dengan
pengertian bahwa semua manusia itu sama di mata Tuhan. Ibu bangga,
kamu bisa melihat jati diri Niken dari balik perbedaan kulitnya. Ibu pun
bisa melihat Niken sebagai seorang gadis yang teramat cantik, karena
kecantikan dari dalam dirinya."
"Bagaimana aku bisa yakin kalau ini benar-benar cinta, Bu" Bukan
sekadar perasaan sementara saja?" tanya Pandu.
"Itu kamu harus bisa merasakannya sendiri. Ibu nggak bisa menilai. Ibu
cuma bisa menyarankan, ikuti kata hatimu."
Ibunya lalu menghibur Pandu dengan bercerita tentang jaman ibu
pacaran sama bapak dulu, cerita-cerita cinta kakak-kakaknya, dengan
segala perjuangannya masing-masing. Dengan mendengarkan cerita
ibunya, Pandu jadi semakin yakin dia perlu memperjuangkan cintanya,
karena cinta itu hal yang paling mulia di dunia ini, yang layak untuk
dipertaruhkan. Hari Senin, tanggal 17. Anak-anak bersiap-siap untuk mengikuti
upacara bulanan yang selalu diadakan tiap tanggal 17. Niken tadi sudah
sampai sekolah jam setengah tujuh kurang, tapi lupa kalau hari ini
tanggal 17, jadi tadi tidak memakai seragam upacara. Lantas pulang lagi,
ngebut, ganti baju seragam lalu kembali ke sekolah lagi. Sampai sekolah
jam tujuh kurang lima menit, bertepatan dengan bel pertama masuk. Pintu
gerbang hampir saja ditutup. Niken cepat-cepat lari ke dalam kelas, untuk
menaruh tas sekolahnya. Dari jauh dilihatnya koridor sudah sepi, semua
anak sudah mulai berbaris di lapangan, rupanya. Setelah menaruh tasnya
dari luar jendela, dia berbalik ke arah lapangan. Dilihatnya Pandu baru
saja keluar dari WC putra. Berusaha menghindar, dia balik kanan, masuk
ke dalam kelas lagi. Rupanya Pandu cukup awas matanya. Maklum, mata
elang ini. "Fei," panggil Pandu cepat. "Untung ada kamu. Tolongin dong aku dari
tadi di WC berusaha pake dasi ini nggak bisa-bisa." kata Pandu dengan
nada putus asa. Niken ragu-ragu mendekat. Dia lalu tersenyum geli melihat dasi
Pandu yang kucel karena terlalu banyak dilipat-lipat.
"Kenapa nggak dipakai dari rumah dasinya" Kan bisa minta tolong
ibumu?" tanya Niken sambil menerima dasi dari tangan Pandu.
"Panas dong pake dasi dari rumah, apalagi aku naik sepeda." kilah
Pandu. Niken yang sedari kecil sering melihat papanya memakai dasi, ilmu
pasang dasi bukanlah hal yang baru untuknya.
Niken lalu menaikkan kerah baju Pandu. Sekilas, tak sengaja ditatapnya
wajah Pandu. Alisnya yang tebal, mata coklatnya benar-benar menawan.
"Aduh, kenapa jadi deg-degan begini, sih?" keluhnya dalam hati, lalu
memusatkan perhatiannya pada dasi yang menggantung di leher Pandu.
"Malu-maluin ah, cowok nggak bisa pakai dasi." kata Niken, matanya
masih tertumbu pada dasi Pandu.
"Emang cowok harus bisa pake dasi" Aku belum pernah ke acara di
mana aku harus pake dasi koq." bela Pandu.
"Nih" sudah jadi. Gimana" Bagus nggak?" tanya Niken sambil
merapikan hasil karyanya.
"Perfect. Makasih ya Fei. Oh ya" tentang kemarin?"
"Tolong jangan sebut-sebut tentang kemarin, Ndu. Please."
"Aku cuma mau minta maaf, kalau aku sudah sakiti hati kamu kemarin.
Tapi aku benar-benar serius, Fei." lanjutnya.
Niken diam saja, membeku.
"Keluar, yuk. Upacara sudah hampir mulai, tuh!" kata Pandu
mengingatkan. Selesai upacara, seisi sekolah jadi gempar karena Ratna kehilangan
gelang emasnya yang dia tinggal di laci mejanya. Bodoh benar Ratna, dia
memang sering menaruh barang-barang berharga di laci. Uang, gelang,
dan lain-lain. Kepala sekolah mengumumkan akan mengadakan penggeledahan
segera. Dari kelas satu sampai kelas tiga. Semua kelas akan digeledah
total sampai gelang Ratna ketemu.
Anak-anak berkumpul di depan kelasnya masing-masing. Niken
melihat Jimmy lewat. Jimmy yang juga melihatnya memandang Niken
dengan tampang licik. Niken mengernyitkan dahinya. Instingnya langsung
bekerja. "Pandu!" Niken memanggil Pandu yang berdiri tidak jauh dari situ.
"Perasaanku nggak enak. Bisa jadi ini adalah akal-akalannya Jimmy.
Coba cek tas kamu, Ndu." kata Niken mengajak Pandu masuk kelas, ke
arah meja mereka. Pandu mengecek seisi tasnya. Tidak ada apa-apa. Tak ada satupun
barang yang hilang, maupun barang yang mencurigakan.
"Cek ulang," perintah Niken. "Aku nggak mungkin salah." gumamnya.
"Pasti ada apa-apanya, nih."
Niken lalu melongok ke laci meja Pandu.
"Astaga, Pandu!"
Pandu terkejut, ikut melongok ke arah lacinya. Tidak cuma gelang Ratna
yang ada di situ. Uang dalam jumlah besar juga ada di situ. Pandu dan
Niken saling menatap, tidak percaya.
"Fei, aku nggak pernah?" kata Pandu bingung.
"Aku percaya. Kamu nggak akan mencuri. Sekarang bagaimana kita
menghapus bukti ini, dan cepat!" kata Niken panik.
"Ndu, pindahin semua uang ke laciku. Aku bisa mengaku itu uangku. Ayo
cepat." katanya. Good idea. Selesai memindahkan semua uang kertas itu ke laci
Niken, mereka baru nyadar.
"Gelangnya"!" kata mereka hampir bersamaan.
"Taruh di laciku aja, Ndu. Siapa tau mereka percaya bahwa itu gelangku."
kata Niken. "Nggak. Aku nggak akan lakukan itu. Terlalu beresiko, Fei." kata Pandu
sambil memegangi gelangnya.
"Lebih beresiko kalo ada di lacimu, Ndu. Ayo dong, berikan padaku."
"Jangan!" "Nggak usah berebut, serahkan pada saya." tiba-tiba Pak Yusril sudah
berada di ruang kelas. Seperti tercekik, mereka tak bisa berkata apa-apa. Pandu menyerahkan
gelang itu pada Pak Yusril dengan gemetaran.
"Kalian berdua, ikut saya ke kantor."
Dengan langkah lunglai dan kepala tertunduk, mereka berdua
mengikuti Pak Yusril ke kantor kepala sekolah.
"Niken, kamu tunggu di luar. Saya mau bicara dengan Pandu dulu."
Niken lalu duduk di kursi di luar kantor kepala sekolah dengan
cemas. Dari luar tidak terdengar apa-apa. Setidaknya Pandu tidak
dibentak-bentak, pikirnya. Kalau dibentak pasti terdengar dari luar
ruangan. "Kasihan Pandu. Jimmy kurang ajar," pikir Niken geram.
Setengah jam kemudian, pintu terbuka kembali.
"Pandu, kamu tunggu di luar. Niken, masuk."
Setelah menutup pintu, Niken duduk di depan meja Pak Yusril.
"Ceritakan apa yang kamu tahu." kata Pak Yusril.
"Ini semua ulah Jimmy, Pak. Dia yang memfitnah Pandu. Saya nggak
punya buktinya sekarang, tapi Pandu nggak bersalah."
"Benarkah itu" Kenapa Jimmy mau memfitnah Pandu?" tanya Pak Yusril.
"Karena Jimmy cemburu sama Pandu. Ceritanya panjang, Pak. Mereka
hari Sabtu kemarin berkelahi di lapangan parkir setelah pulang sekolah.
Ini pasti akal-akalannya Jimmy, Pak. Saya tidak mencuri gelang itu. Pandu
juga tidak mungkin."
"Aneh sekali." kata Pak Yusril kemudian. "Karena Pandu baru saja
mengakui semua perbuatannya."
"Apa"!" "Pandu bilang, kamu tidak ada sangkut pautnya dengan hal ini. Kamu
cuma berusaha menyadarkan dia bahwa mencuri itu salah. Dia yang
melakukan semua ini. Dia pun sama sekali tidak menyebut nama Jimmy.
Dia mencuri gelang itu waktu anak-anak sudah keluar semua ke lapangan
pagi tadi."

Niken Dan Pandu Karya Ac Zzz di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dia bohong, Pak. Saya bersama dia tadi sebelum upacara. Di kelas 2C.
Waktu saya masuk, dia dari WC putra, dan dia mengaku sudah lama di
WC karena nggak bisa pake dasi. Terus saya yang memakaikan dasinya.
Dia ke lapangan bersama saya, Pak."
"Kamu tahu hukuman apa yang harus saya berikan untuk pencuri?"
Pak Yusril bertanya lagi.
Niken menggeleng lemah. "Skors seminggu untuk pertama kali ketahuan. Kedua kali dikeluarkan."
jawab Pak Yusril tegas. "Pak, ini masalah serius. Saya belum pernah berbohong, terutama dalam
masalah kritis seperti ini. Saya tidak akan membela Pandu jika saya yakin
Pandu bersalah. Ini hampir ujian naik kelas, Pak. Kalau diskors, Pandu?"
"Pandu sudah mengakui perbuatannya, Niken. Kalau kamu bisa
menunjukkan bukti-bukti bahwa dia bukan pencurinya, saya bersedia
mencabut hukuman itu."
"Saya tahu Jimmy pencurinya. Tapi saya tidak punya bukti apa-apa
sekarang." kata Niken lemas.
"Saya tidak ada jalan lain, Niken. Hukuman Pandu mulai besok pagi.
Kalian berdua kembali ke kelas."
Di luar pintu, Niken melihat Pandu duduk tertunduk di kursi.
"Ndu, kenapa kamu bilang begitu sama Pak Yusril" Kenapa kamu
mengaku bersalah kalau kamu nggak berdosa?"
Pandu diam saja. Dia lalu melangkah menuju ke kelas.
"Pandu. Jawab dong. Kita bisa sama-sama mencari bukti bahwa
Jimmy pencurinya. Kamu nggak perlu mengakui sesuatu yang bukan
kesalahanmu." kata Niken sambil berusaha mengikuti langkah Pandu.
"Fei, dengar. Pikir dong. Kalau aku nggak akui ini, masalah ini bakal
diekspose besar-besaran. Besar kemungkinannya kamu ikut diskors. Kita
cuma bisa lebih hati-hati di lain waktu, jadi tidak terjebak seperti ini lagi.
Yang sudah terjadi ya sudah. Jimmy pasti sudah memikirkan segalagalanya. Bagaimana kamu bisa menemukan bukti bahwa dia yang
mencuri" Kamu nggak punya bukti apapun untuk memulai tuduhanmu.
Semua bukti mengarah ke aku. Ini jalan keluar terbaik, percayalah, Fei.
Jangan perpanjang masalah ini."
"Kamu bisa minta waktu untuk membuktikan ketidakbersalahanmu,
Ndu. Aku pasti akan bantu." cegah Niken.
"Berapa lama, Fei" Seminggu, sebulan, dua bulan" Pak Yusril tidak akan
setuju. Dia pasti menganggap aku pencuri yang berusaha melepaskan
diri dari hukuman, dan kamu berusaha menolong pelarianku. Sudahlah,
Fei. Lupakan saja." Niken terpana. Dari kata-kata Pandu, Niken bisa jelas menangkap
bahwa Pandu mengaku cuma dengan maksud untuk melindunginya.
Kenapa dia harus berbuat seperti itu"
"Ndu, tunggu!" kata Niken mengikuti Pandu. "Aku bisa melindungi
diriku sendiri. Aku nggak butuh pertolonganmu untuk membelaku, Ndu.
Kamu nggak perlu berkorban seperti ini."
"Fei, aku nggak akan bisa memaafkan diriku sendiri jika kamu sampai ikut
diskors. Aku melihat ini satu-satunya cara untuk melepaskan kamu dari
segala tuduhan. Sudahlah, Fei, kamu nggak akan pernah mengerti."
"Karena yang kamu bilang kemarin, karena kamu sayang sama aku?"
tanya Niken lagi. Pandu menatap wajah Niken lekat-lekat. Wajah yang begitu polos dan
tanpa dosa. Digenggamnya kedua lengan Niken dengan kedua
tangannya. "Aku pun nggak tahu, Fei, kenapa aku berbuat seperti ini. Kamu boleh
bilang aku gila. Memang kenyataannya begitu. Kamu satu-satunya cewek
yang bikin aku seperti ini, Fei. Aku mengerti kamu nggak mau tahu. Tapi
aku nggak akan pernah menyesali keputusanku ini. Suatu saat aku akan
membuatmu percaya, cinta suci itu ada, dan layak diperjuangkan."
Sesudah berkata-kata, Pandu cepat-cepat berlalu ke kelas. Niken
mengikutinya dengan langkah pelan-pelan di belakang. Ada perasaan
asing menyelimuti hatinya waktu Pandu ngomong tadi. Belum pernah ada
orang yang rela berkorban buat dia seperti ini. Dia dibesarkan di
lingkungan yang kurang toleransi, dimana tiap orang harus berjuang untuk
kepentingannya sendiri. Lingkungan yang memproteksi dirinya dari luar,
sehingga dia tak pernah merasa kecewa, tak pernah merasa kekurangan,
selalu berkecukupan, tapi di lain pihak haus akan kebebasan dan
kebahagiaan yang tidak pernah didapatnya dari pojok manapun di
rumahnya. Dalam waktu berbulan-bulan belakangan ini, Pandu secara
tidak langsung telah mengajarkannya untuk menghargai hal-hal kecil yang
menyentuh hatinya. Pandu telah mengenalkannya pada sisi lain di dunia
ini yang membuatnya bahagia. Pandu tadi bilang, dia satu-satunya cewek
yang bikin Pandu seperti itu, otak Niken menganalisa, Pandu juga satusatunya orang yang bikin Niken jadi seperti ini. Pandu yang baik, Pandu
yang ganteng, Pandu yang" mata elang"
Siang itu Niken mengajak Wulan main ke rumahnya, seperti biasanya.
Ngobrol-ngobrol di kamar, Wulan suka sekali membaca puisi-puisi Niken.
Terutama akhir-akhir ini, setelah kenal Pandu, Niken lebih sering menulis
puisi-puisi ringan yang riang, dibanding puisi-puisinya terdahulu yang
membuat orang sedih saja.
"Wulan, kamu sudah pernah jatuh cinta" Jatuh cinta tu rasanya
seperti apa sih?" tanya Niken.
"Kamu nggak pernah ngomong seperti ini, Nik. Tumben. Kesambet apa
sih?" Wulan balas bertanya.
Niken diam saja, tapi wajahnya memelas, seakan berkata, "Jawab
dong?" "Sama seperti kamu, aku juga belum pernah jatuh cinta. Naksir
sering, tapi jatuh cinta... sepertinya belum pernah. Kenapa sih tanyatanya?"
"Emang apa bedanya naksir sama jatuh cinta?" Niken tidak mau
menjawab, malah bertanya lagi.
"Blo"on benar ini anak. Naksir tu cuma sekadar suka karena dia ganteng,
atau karena salah satu kelebihan di dirinya. Biasanya ya karena ganteng
itu tadi. Misalnya, aku naksir Brad Pitt, gitu. Nggak berarti aku pengen
pacaran sama dia. Brad Pitt kayaknya contoh kejauhan deh. Misalnya Mas
Bayu, tetangga sebelah rumahku. Kalo ngeliat dia rasanya gimanaaa gitu.
Tapi ya cuma sebatas itu aja. Nggak ada niatan untuk menyayang atau
disayang sama dia." "Trus kalo cinta yang kayak gimana?"
"Reaksi orang terhadap cinta tu lain-lain, Nik. Ada yang nggak suka
makan, nggak bisa tidur, mikirin si jantung hati. Ada yang malah makan
terus, tidur juga pulas, karena mimpiin si jantung hati. Jadi aku nggak bisa
jelasin definisinya, karena terlalu abstrak dan tiap orang lain-lain
reaksinya." "Oke" Kasih contoh cinta jadi aku bisa ngerti dong." kata Niken.
"Banyak dong" Romeo and Juliet, yang paling terkenal. Mati demi
membela cinta. Cinta yang aku pernah rasakan adalah cinta ibuku. Aku
nggak pernah ketemu bapakku. Tapi ibu mencurahkan segala cintanya
pada aku dan adikku. Ibuku yang seorang diri menjadi ibu dan bapakku
sekaligus. Masih banyak contoh-contoh lain, Nik. Yang pasanganpasangan terkenal legendaris biasanya karena mereka mati tragis
membela cinta. Ya seperti Sam Pek dan Eng Tay, Roro Mendut dan
Pronocitro. Cinta yang paling terkenal, cinta Yesus yang rela mati
menebus dosa manusia, makhluk yang dicintainya."
"Hmm?" Niken cuma menggumam.
"Mereka terkenal karena seakan-akan mereka telah menjadi pahlawan
cinta. Memperjuangkan cinta mereka sampai titik darah terakhir.
Membuktikan bahwa cinta sejati itu benar-benar ada dan mereka nggak
segan-segan mempertaruhkan nyawa untuk memperolehnya."
"Jadi yang dialami kakakku, itu bukan cinta?" tanya Niken ragu-ragu.
"Menurutku itu cinta juga. Sepihak tapinya. Kakakmu benar-benar cinta
mati sama cowok itu, tapi si cowok bajingan itu cuma mempermainkan
dia aja. Kalo kamu mau cerita yang sebenarnya, kenapa nggak tanya saja
sama itu cowok" Dia kan saksi hidup. Kenapa kamu nggak tanya ke dia?"
Wulan menyarankan. "Kenapa aku nggak pernah mikir itu, Wulan" Pinter juga kamu." Niken
mengacungkan jempolnya. "Wulaaan?" kata Wulan sambil menepuk dadanya.
"Aku telfon dia sekarang yah?" kata Niken.
"Silahkan saja. Aku perlu keluar?" tanya Wulan.
"Nggak usah. Kamu di sini aja, kalo ngantuk tidur aja, Wulan." saran
Niken. "Aku ke kamar cici dulu, pasti nggak susah untuk menemukan
nomor telepon Edi." lanjutnya.
Memang tidak susah mencari nomer telepon Edi di kamar Tasya,
kakak Niken. Namanya jelas ada di address book Tasya, di baris nomor
satu, pula. Setelah mendapatkan nomer teleponnya, Niken balik lagi ke
kamarnya, lalu mengambil gagang telepon wireless di kamarnya.
"Hallo, bisa bicara dengan Edi?"
"Ya, ini Edi. Ini siapa yah?" tanya Edi. Jelas saja itu Edi, orang Niken
menelepon nomor telepon genggamnya.
"Namaku Niken." kata Niken. Dia ingin tahu apakah Edi mengenal
namanya. "Niken" adiknya Tasya?" tanya Edi. Halus sekali suaranya waktu
menyebut nama Tasya. "Betul." "Apa yang bisa aku bantu, Niken?" tanya Edi sopan. Niken tidak
menyangka Edi bisa sesopan ini. Terakhir kali bertemu Edi, dia tidak
seperti ini. Sombong sekali.
"Aku ingin keterangan darimu. Aku ingin tahu, apakah cici itu benar-benar
cinta sama kamu, dan apakah kamu nggak cinta sama cici, sampai dia
mati bunuh diri?" tanya Niken to the point.
"Tasya" dia sangat mencintai aku. Rasanya aku nggak akan
mungkin bisa menemukan orang yang mencintai aku seperti dia. Aku"
walaupun malu, aku harus mau mengakui, aku nggak menganggap
serius Tasya waktu itu. Aku terlalu bejat. Aku menganggap Tasya terlalu
naif, mengumbar kata-kata cinta. Aku sendiri nggak pernah mengerti apa
sebenarnya cinta, dan belum pernah merasakannya, sampai saat sudah
terlambat." kata Edi pelan.
"Lantas kenapa kamu bunuh dia secara nggak langsung" Dia hamil, Edi,
kamu tau kan?" tuding Niken emosi.
"Aku tahu. Aku memang benar-benar bajingan. Nggak seharusnya
aku mempermainkan cintanya. Aku yang memaksa dia untuk
menyerahkan kehormatannya padaku. Yang ada di kepalaku waktu itu
cuma kenikmatan seksual belaka, sementara dia mengira aku
mencintainya. Waktu aku tahu dia hamil, aku tahu nggak mungkin ada
orang lain yang bisa menghamili dia selain aku. Aku panik. Aku nggak
mau mengorbankan masa depanku. Tasya sendiri malah sudah siap
untuk menikah, dan lain-lain. Aku egois sekali. Aku usir dia dari rumahku,
aku nggak mau mengakui perbuatanku. Dia menangis memohon-mohon
malam itu." "Kamu nggak berperasaan, Edi."
"Benar. Aku memang jahat. Mungkin kamu nggak tau, tapi dia jatuh di
depan rumahku malam itu. Hujan deras. Dia keguguran. Aku bawa dia ke
rumah sakit. Ada sedikit perasaan lega waktu itu, mengetahui bahwa aku
nggak harus bertanggung-jawab?"
"Keguguran" Jadi kenapa dia bunuh diri?" Niken bingung.
"Dia sakit hati karena perlakuanku. Dia berkali-kali bilang dia
mencintaiku. Aku bilang, aku nggak sanggup mencintainya, apalagi
menikahinya. Aku sakiti perasaannya lagi. Aku bahkan bilang, aku hanya
mempermainkannya. Terakhir kali aku bertemu dia ya di rumah sakit itu.
Aku pergi, meninggalkan dia sendirian di kamar. Aku nggak tahu
bagaimana dia bisa pulang ke rumah malam itu. Naik taksi, mungkin."
Edi lalu melanjutkan, "Aku shock waktu mendengar Tasya bunuh diri. Aku
nggak menyangka dia benar-benar mencintaiku. Saat itu aku baru sadar
bahwa aku juga mencintainya. Tapi sudah terlambat. Aku sudah
mengecewakannya dengan keegoisanku. Sepeninggal Tasya, aku sama
sekali nggak pernah pacaran apalagi menyentuh cewek lagi. Aku selalu
ingat kekejamanku padanya. Di setiap cewek yang kutemui, aku bisa
melihat mata Tasya yang penuh cinta, yang kecewa, yang mau
mengorbankan segala-galanya untukku. Walaupun kamu bukan orang
yang tepat, aku ingin meminta maaf, Niken. Maaf aku merenggut
nyawanya. Aku seharusnya melindunginya, bukan melukainya." kata Edi
penuh rasa penyesalan. Niken jadi bingung. Dia nggak mengharapkan jawaban seperti ini dari
Edi. "Seandainya cici masih hidup sekarang, apa yang bakal kamu lakukan?"
tanya Niken kemudian. "Oh, Niken, seandainya saja aku dapat kesempatan kedua, aku akan
bilang bahwa aku juga mencintainya sepenuh hatiku, aku akan minta
ampun, telah menyakiti hatinya. Tau nggak, Niken" Aku hampir saja ikut
bunuh diri seminggu setelah Tasya dikubur, setelah aku menyadari
bahwa aku juga mencintainya. Terus kakakku yang menyadari ada yang
nggak beres, aku masuk terapi. Terapi itu benar-benar menolongku, lah.
Sekarang aku bisa hidup normal lagi. Aku sekarang banyak mendekatkan
diri pada Tuhan. Banyak orang yang datang padaku minta nasehat. Setiap
kali ada yang meminta nasehat tentang cinta, aku selalu mengatakan,
kesempatan itu datang hanya sekali. Renggut kesempatan itu dan jangan
lepaskan lagi." jawab Edi mantap.
"Edi, aku yakin cici bahagia di alam sana melihat kamu sudah
berubah. Cintanya juga telah kau balas. Rasanya kamu sudah cukup
meminta maaf. Sorry anggapanku tentang kamu selama ini begitu jelek."
"Wajar aja, Niken. Aku sangat mengerti, koq. Aku memang bajingan, bejat
dan tidak tahu diri. Semua kata-kata jelek lah. Cocok buat aku. Aku bahkan
nggak mengerti kenapa gadis semanis Tasya bisa mencintai bajingan
seperti aku. Aku benar-benar merasa beruntung pernah merasakan cinta
tulus Tasya." "Baiklah, Edi. Rasanya udah cukup keterangan yang aku perlukan dari
kamu." kata Niken lega.
"Niken, makasih kamu mau meneleponku. Aku sudah lama menunggu
kabar dari keluarga Tasya. Aku sudah lama ingin minta maaf. Pernah aku
datang ke rumahmu, belum sempat bilang apa-apa, sudah diusir satpam.
Kalo kamu butuh bantuanku, apa saja, aku pasti dengan senang hati
membantumu, Niken." janjinya.
"Nggak perlu, Edi. Kata-katamu tadi sudah sangat membantuku keluar
dari kepompongku. Terima kasih, Edi. Selamat siang."
Di kamarnya, Niken tidak bisa tidur malam itu. Dia sibuk memutar
otaknya, bagaimana cara membuktikan bahwa Jimmy-lah pelaku
pencurian gelang itu. Dia harus bisa membuktikan bahwa Pandu tidak
bersalah. Tapi bagaimana caranya"
Kalau Jimmy pelakunya, berarti Jimmy ada di kelas 1D pada saat
anak-anak sudah berkumpul di lapangan. Untuk balik lagi ke lapangan,
Jimmy harus melewati kelas 2C, di mana Pandu dan Niken berada
sebelum upacara mulai. Kapan dia menaruh gelang dan uang itu di laci
Pandu" Niken berpikir lagi, mereka adalah dua orang terakhir yang memasuki
lapangan, karena segera sesudah mereka masuk ke barisan, upacara
segera dimulai. Niken nggak memperhatikan apakah Jimmy ada di
lapangan waktu itu. Tapi yang jelas, Jimmy tidak mungkin sempat
mengambil gelang di kelas 1D, lantas ke kelas 2C, menaruh gelang dan
uang di laci Pandu, sebelum Niken masuk ke kelas 2C. Jam tujuh kurang
5 menit dia sampai sekolah. Anak-anak baru saja mulai berbaris karena
bel baru saja berbunyi. Kalau asumsinya betul, Jimmy pasti ada di kelas
1D waktu Niken menaruh tasnya. Waktu akan menaruh gelang dan uang
di laci Pandu, Jimmy pasti melihat Niken dan Pandu di kelas. Jadi dia
mengurungkan niatnya. Dia baru bisa menaruh uang itu setelah Niken
dan Pandu keluar dari kelas. Karena pintu besar ke arah lapangan dari
arah 2C ditutup segera sesudah Niken dan Pandu lewat, Jimmy harus
lewat pintu kecil samping kantin.
Bingo! Ya. Besok dia harus bertanya sama ibu yang jaga kantin, apa
dia melihat Jimmy lewat situ setelah upacara dimulai.
"Jadi ibu tidak melihat Jimmy, anak kelas 2A itu lewat sini?" tanya
Niken menegaskan. Ibu kantin menggeleng. Niken memutar otaknya lagi. Bagaimana
mungkin" Apa teorinya salah"


Niken Dan Pandu Karya Ac Zzz di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tolong diingat-ingat lagi, Bu. Ibu tahu Jimmy, yang tinggi, kulitnya
putih, kurus, sipit, kan?"
"Iya. Ibu sering lihat dia beli makanan di kantin."
"Dan dia nggak lewat sini kemarin pagi?"
"Endak." "Ibu yakin?" tanya Niken sekali lagi.
"Yakin. Mata ibu masih awas." Ibu kantin terlihat jengkel karena Niken
berkali-kali menanyakan hal yang sama.
"Sayang sekali. Ibu kenal Pandu" Pandu diskors gara-gara tingkah
Jimmy." keluh Niken.
"Pandu yang ganteng itu" Pandu yang pernah pidato di lapangan tentang
cinta itu" Dia anak yang baik sekali, satu-satunya anak yang sering beri
persenan, padahal ibu tahu dia bukan dari golongan orang kaya."
"Iya. Pandu yang ganteng itu." kata Niken tersenyum, ingat efek aksi
balas dendamnya. "Pandu, dia difitnah sama Jimmy, dijebak seakan-akan
dia mencuri gelang."
Ibu kantin menggeleng-geleng. "Astaga-naga" Anak sebaik Pandu tidak
mungkin mencuri gelang."
"Itu juga keyakinan saya, Bu. Saya tahu Pandu tidak bersalah. Tapi saya
nggak punya bukti untuk melepaskan Pandu dari hukumannya."
"Kalau Jimmy lewat sini, memangnya bisa membantu Pandu?"
"Bisa sekali. Karena itu berarti membuktikan teori saya bahwa Jimmy
terlambat mengikuti upacara, dan dia orang terakhir yang masuk lapangan
upacara dari arah gedung kelas. Padahal saya tau persis, Jimmy nggak
terlambat datang, malah dia datang pagi-pagi, karena saya papasan
dengan dia jam setengah tujuh kurang."
"Sebetulnya," Jimmy memang lewat sini?" kata ibu kantin raguragu.
"Dua kali malah. Dia lewat sekali, lalu balik lagi, memberi sejumlah uang,
lalu memaksa saya untuk berjanji tidak mengatakan kepada siapa-siapa
kalau dia datang terlambat. Katanya, dia bisa dihukum kepala sekolah
kalau ketahuan terlambat." lanjut ibu kantin.
"Jadi benar Bu" Jimmy betul-betul lewat sini?"
"Iya. Saya nggak berani bilang karena Jimmy sudah memberi banyak
uang. Seratus ribu rupiah." kata ibu kantin jujur.
Niken lalu merogoh sakunya. Dia cuma punya punya dua puluh ribu rupiah
hari itu. "Ini Bu?" kata Niken seraya memberikan uang itu pada ibu kantin.
"Jangan,?" ibu kantin menolak. "Saya cuma ingin menolong Pandu. Dia
anak baik. Tolong kalau ketemu Jimmy, kembalikan uang ini." kata ibu
kantin malah memberikan uang seratus ribu pada Niken.
"Jangan, Bu. Jimmy punya banyak uang di gudangnya. Saya ingin ibu
terima uang ini juga. Saya cuma bawa segini hari ini?"
Ibu kantin menatap mata Niken. Niken mengangguk-angguk.
"Salam buat Pandu kalau ketemu, yah" Semoga keterangan dari saya
membantu." "Saya usahakan, Bu."
Niken pagi itu juga menemui Pak Yusril. Setelah berbincang-bincang
lama sekali, memanggil ibu kantin segala, setelah ditimbang-timbang,
Pak Yusril akhirnya percaya bahwa Jimmy yang memfitnah Pandu, dan
Pandu tidak bersalah. Pagi itu juga Jimmy dipanggil Pak Yusril, dan
dipaksa mengaku. Rupanya karena bukti-bukti cukup kuat menuduhnya,
juga takut pada Pak Yusril, Jimmy mengakui perbuatannya. Surat skors
langsung keluar. Besok pagi Jimmy bakal memulai masa hukuman
skorsnya. Tiga minggu. Seminggu karena telah mencuri gelang Ratna,
seminggu karena memfitnah Pandu, dan seminggu lagi karena telah
menyuap ibu kantin untuk mengubur dosa-dosanya.
Niken tersenyum puas. Usaha detektif kecil-kecilannya berhasil
dengan gemilang. Surat pembatalan skors Pandu sudah ada di tangannya. Nanti siang dia
akan menyampaikannya sendiri ke rumah Pandu.
Seharian ini dia sama sekali tidak bisa konsentrasi ke pelajaran.
Apalagi kalau menyadari bangku kosong Pandu di sebelahnya. Jadi
kangen sama Pandu. Kangen celotehnya, candanya yang ceplas-ceplos.
Baru sehari Pandu tidak masuk sudah kangen. Bagaimana jadinya kalau
sampai seminggu. Bu Tanti yang lagi menjelaskan "Mitosis" nggak
menarik lagi buatnya. Lagu "Fallen" yang didengarnya tadi pagi di radio
terngiang-ngiang terus di telinganya.
I can"t believe it"
You"re a dream coming true
I can"t believe how I have fallen for you And I was not looking, was content to remain And it"s ironic To be back in the game You are the one who"s led me to the sun
You are the one who"s led me to the sun
How could I know that I was lost without you
And I want to tell you You control my brain And you should know that You are life in my veins "Niken!" suara Bu Tanti mengagetkannya.
"Ya Bu?" "Kamu belum menjawab pertanyaan saya."
"Mati aku!" seru Niken dalam hati. "Tanya apa sih dia, aku koq nggak
denger sama sekali?" bisik Niken ke Memed, yang duduk di depannya.
Memed nggak dengar-dengar.
"Maaf, Bu, saya tadi tidak mendengar, mohon diulangi lagi pertanyaannya."
akhirnya Niken harus mengakui ketuliannya.
"Saya tadi tanya, kamu sedang memikirkan sebelah kamu yang hilang
ya?" tanya Bu Tanti sambil tersenyum geli.
Sekelas langsung riuh-rendah. Waktu Bu Tanti tanya pertama kali tadi,
mereka sudah cekikikan. Eh, Niken malah pakai acara tanya lagi. Dua kali
ketawa, deh. Niken memang konyol.
Biarkan saja. Baru kali ini jatuh cinta, sih. Mohon maklum, saudarasaudara.
Pandu sedang suntuk sendirian di kamarnya. Acara radio tidak ada
yang menarik. Lagu-lagu yang diputar lagu cengeng semua. "Talk show
murahan yang sering diadakan beberapa stasiun radio benar-benar
membuat perut mulas", gerutu Pandu sambil mematikan radionya. Kamar
dikuncinya dari dalam. Ibunya sudah memanggil-manggil sejak setengah
jam yang lalu untuk makan siang, tapi dia selalu menjawab belum lapar.
Memang belum lapar, koq. Di ranjangnya tersebar foto-foto Niken. Iya. Foto Niken waktu acara
ulang tahun ibunya. Baru saja diafdruk, selesai kemarin sore. Ditatapnya
sekali lagi salah satu foto di mana Niken terlihat jelas. Niken dengan
senyumnya yang manis. Dia kelihatan feminin sekali. Semakin lama
melihat fotonya, dia semakin suka. Semakin batinnya tersiksa. "Aaaah, Fei
Fei" kenapa kamu begini mempesona?"
"Hey, suara apa itu?" pikir Pandu dalam hati. Ada yang bermain piano.
Seingat Pandu, di rumah ini tidak ada yang bisa main piano selain dirinya
sendiri. "Siapa pula yang main piano?" Tertarik, dia lalu keluar kamar,
menuju ke ruang tengah. Alangkah terkejutnya Pandu melihat Niken sedang asyik memainkan
jari-jemarinya yang lentik di piano usang miliknya. Niken pun mulai
menyanyi. I only see things black and white, never shades of grey
My eyes don"t work that way, no"
I can"t imagine fantasies, they never cross my mind
Could be why I"m lonely time to time
Only you, if only you could reach me now
Can you teach me how Teach me how to dream, help me make a wish
If I wish for you, will you make my wish come true"
I"m a stranger here, stranger than it may seem
Take me by the heart"
Teach me how to dream You lift me up and give me hope every single day
I never dream that I could feel this way
When I"m down I know where I"m gonna turn
Oh, I"ve got so much to learn"
When I turn out the light, I turn to you for my inspiration
As long as we"re together, you and me, we"re gonna dream forever"
Pandu menunggu dengan sabar sampai Niken selesai memainkan
seluruh lagu, baru dia mendekatinya. "Kamu" ngapain sih ke mari"
Katanya nggak boleh ke sini lagi?"
"Aku bilang mau ke rumah Wulan." jawab Niken. "Aku ada hal penting yang
harus aku katakan langsung padamu." Niken lalu menelan ludahnya.
"Pandu,... rasanya... aku.. juga sayang kamu..."
Pandu tidak semudah itu percaya kata-kata Niken. Dia tersenyum, lalu
menggeleng-geleng. "Jebakan apa lagi nih?" tanyanya.
"Lho" Bagaimana sih" Nih, aku bawa surat dari kepala sekolah. Surat
pembatalan skorsmu. Aku berhasil buktikan bahwa Jimmy biang
keladinya. Dia diskors tiga minggu, Ndu. Tiga minggu!" kata Niken
jingkrak-jingkrak kegirangan.
"Koq bisa?" Pandu masih terheran-heran sambil membaca surat
yang dibawa Niken. "Nikeeenn" detektif ulung" kata Niken bangga.
"Makasih Fei." kata Pandu kemudian.
"Tapi aku tidak mengharapkan terima kasih. Aku pengen kamu minta
maaf." kata Niken pasang tampang serius.
"Salah apa lagi aku sekarang?" tanya Pandu.
"Kamu sudah berikan perasaan asing yang aneh yang aku nggak pernah
rasakan sebelumnya. Aku nggak tau cara mengontrolnya."
"Kalau kamu bilang itu kesalahan, rasanya itu kesalahan bersama, Fei.
Kamu juga berikan perasaan yang sama duluan ke aku. Jadi aku nggak
perlu minta maaf, kecuali kamu minta maaf dulu ke aku." kata Pandu
tersenyum. "Aku takut, Ndu?" kata Niken sambil menundukkan kepalanya.
Pandu lalu lebih mendekat sampai bisa memegang dagu mungil Niken.
Diangkatnya wajah Niken pelan-pelan dengan tangannya.
"Yang kamu bilang tadi.. kamu... serius mencintaiku, Fei?"
Niken mengangguk pelan, berusaha menunduk lagi. Pandu cepat-cepat
mengangkat wajah Niken lagi.
"Kalau begitu kamu nggak perlu takut, Fei. Yang kita rasakan ini sesuatu
yang teramat indah. Aku nggak takut. Fei, apapun yang terjadi, aku nggak
akan pernah berhenti mencintaimu. Aku nggak akan pernah menyerah.
Percayalah." Niken menatap mata elang Pandu yang menyorot tegas. Ada
keteduhan di sana. Dia yakin, seandainya dia ditakdirkan untuk mencintai
satu orang saja di dunia ini, dia tidak akan pernah menyesal memilih
Pandu. "Aku percaya koq. Kalo nggak percaya, aku nggak mungkin datang kemari
hari ini. Oh iya, Ndu. Berhubung aku belum pernah jatuh cinta, bahkan
tadinya aku tidak pernah bermaksud untuk jatuh cinta, ini semua terjadi
begitu saja di luar kendaliku, pasti aku bakal berbuat banyak kesalahan.
Aku mungkin orang yang paling bodoh tentang hal-hal yang berkaitan
dengan perasaan. Kalo aku salah, tolong jangan marah, ya?"
Pandu tersenyum lebar. "Gadis bodoh. Aku juga belum pernah jatuh
cinta. Kita belajar sama-sama. Cuma satu langkah awal yang harus kamu
ingat. Jangan tutup pintu hatimu. Maka segalanya akan berjalan dengan
natural, asal kamu mengikuti kata hatimu."
"Ndu, kamu bisa jelasin, bagaimana aku bisa jatuh cinta sama
kamu?" tanya Niken. "Koq kamu malah tanya aku" Aku juga heran. Masuk akal buat aku untuk
jatuh cinta sama kamu. Tapi kamu jatuh cinta sama aku" Suatu hal yang
aku pikir tadinya impossible. Aku seperti mimpi saja."
"Hey" Kenapa masuk akal buat kamu untuk jatuh cinta sama aku, tapi
nggak buat aku?" tanya Niken heran.
"Karena kamu punya pendirian yang kukuh, bahwa seumur idup kamu gak
bakal jatuh cinta. Rasanya itu sudah harga mati yang gak bisa ditawartawar lagi. Sedangkan aku memang dari kecil punya impian untuk
menemukan cinta sejatiku. Seperti Sang Pangeran di cerita Cinderella."
"Yep. Salah satu cerita yang aku paling benci." kata Niken.
"Lho" Semua orang suka Cinderella. Baru kali ini aku denger ada orang
benci Cinderella. Emangnya kenapa?" Pandu menyatakan keheranannya.
"Keenakan pangerannya. Masa" dia boleh milih dari sekian banyak
cewek se-kerajaannya untuk dijadiin istri" Wah, kalo aku hidup di jaman
itu, pasti aku boikot nggak mau datang. Enak saja. Kayak mau beli baju
aja. Dicoba-coba dulu, dansa-dansa dulu. Makanya aku gak suka cerita
model-model seperti itu. Kayak cerita Ande-ande lumut. Wah. Itu juga
pelanggaran hak asasi wanita tuh!" Niken protes.
"Hmm" kalo aku pangerannya, dan kamu Cinderella-nya, biar kamu
boikot nggak mau datang pun aku akan cari kamu sampe dapat." kata
Pandu sambil ketawa. Mau tak mau Niken jadi tersipu-sipu mendengar
kalimat Pandu barusan. Lalu dia meneruskan, "Gini lho, moral cerita Cinderella itu, dari sekian
banyak cewek cantik yang bisa saja dipilih Pangeran, Pangeran cuma
milih Cinderella, atas dasar cinta. Hampir sama moral ceritanya dengan
Ande-ande Lumut." Pandu mencoba menjelaskan. Dia tidak terima begitu
saja cerita Cinderella-nya diprotes oleh Niken.
Niken masih kurang puas. "Ya, tapi kan nggak perlu pake cara seperti
itu. Lihat cerita Putri Salju. Pangerannya yang datang ke hutan, mencaricari Putri Salju, mencari cintanya. Itu baru namanya cinta sejati."
"Hmm" tapi kayaknya kamu lebih cocok jadi Cinderella." kata Pandu.
"Kenapa?" "Karena ukuran kaki kamu kecil sekali. Pangeran jadi mudah mencarimu."
kata Pandu sambil tertawa lepas.
"Tapi kamu nggak cocok tuh jadi pangerannya."
"Kenapa?" Pandu curiga, Niken pasti bermaksud membalas ejekannya.
"Karena kamu lebih cocok jadi tikus dapur. Nakal, usil, licik, bau lagi!"
Niken gantian yang tertawa terbahak-bahak.
"Tertawanya berhenti dulu..." Ibu Pandu menengahi. "Pandu belu
m makan siang tuh. Dari tadi disuruh makan jawabannya 'ogaaah' melulu"
lanjut Ibu Pandu. "Oh iya. Sampe lupa nggak tanya. Kalo belum makan, makan di sini saja,
Fei." kata Pandu menawarkan.
"Tapi Ibu cuma masak kering tempe lho?" Ibu Pandu setengah berbisik.
"Niken juga belum makan, sih. Niken tapi belum pernah makan kering
tempe. Sering dengar, tapi belum pernah makan."
"Kalau lapar ya makan saja dulu. Siapa tau suka." kata Ibu Pandu.
"Wah, Bu. Mestinya jangan ditawari. Niken itu apa-apa suka. Ngabisngabisi malah, kalo udah suka." ledek Pandu.
"Nggak papa diabisin kalo suka ya malah bagus" kata Ibu Pandu.
Niken cuma mesam-mesem sambil bilang terima kasih.
Setelah secicip, ternyata Niken suka sekali kering tempe. Entah
karena Ibu Pandu yang jago masak, atau karena memang pada dasarnya
Niken rakus, pokoknya yang jelas siang itu Niken makan kenyang.
"Pandu" tunggu dong!" teriak Ratna menyusul Pandu yang sedang
berjalan membarengi Niken ke kantin saat istirahat pertama.
Mereka berdua berhenti dan menoleh.
"Ada apa, Ratna?" tanya Pandu setelah dekat.
"Besok aku ada ulangan matematika lagi. Ulangan yang lalu aku dapet
jelek. Tolong dong, Pandu?" rengek Ratna manja.
"Sudah dua kali ulangan matematika ini kamu dapat jelek, Ratna. Aku
bukannya nggak mau menolong, tapi apa gunanya pertolonganku kalo
kamu tetap saja dapat nilai jelek?" tanya Pandu.
"Aku nggak punya orang lain yang sanggup membantu aku. Please?"
"Ratna, tujuan kamu minta tolong aku kan supaya dapet bagus, ya
kan" Aku sudah berusaha semampuku untuk mengajari kamu, tapi
nyatanya nggak ada hasilnya koq. Ini mungkin salahku, aku yang nggak


Niken Dan Pandu Karya Ac Zzz di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sanggup mengajari kamu, Ratna." jawab Pandu.
"Ayo, dong. Aku berjanji akan lebih berkonsentrasi. Bagaimana?"
"Kamu minta tolong Bu Lidya, guru matematika-mu, deh. Mungkin dia
punya solusi yang lebih baik buat kamu. Siapa tahu dia mau meluangkan
waktu untuk mengajari kamu?" saran Pandu.
"Nggak mau. Bu Lidya galak dan benci sama aku. Dia kasih nilai jelek
terus. Tolong aku, dong Pandu?" rengek Ratna lagi.
"Tolongin dia, lah, Ndu." jawab Niken yang jadi jengah melihat Ratna
merengek melulu. "Aku bukannya nggak mau menolong, Niken. Tapi aku merasa usahaku
bantuin dia selama ini nggak ada hasilnya." keluh Pandu.
Setelah diam sesaat, Pandu berkata lagi, "Aku ada jalan lain. Niken
juga pandai matematika. Siang ini kamu ada acara apa, Niken?" tanya
Pandu. "Hah?" Niken kaget. "Aku" ada acara apa yah" Aku ada extra badminton
di lapangan indoor belakang jam tiga sore. Emangnya kenapa?" tanya
Niken curiga. "Nah, aku juga ada basket jam tiga di lapangan luar. Kita kumpul di
rumahku, sekalian makan siang, jam setengah tiga semuanya harus
sudah kelar. Kamu pulang, aku sama Niken kembali ke sekolah.
Gimana?" "Ide jelek." kata Niken.
"Lho" Jelek gimana?" tanya Pandu.
"Aku harus pulang dulu." kata Niken. Aku kan nggak bisa latihan
badminton pake baju begini. Lagipula, raketku juga di rumah. Mau main
badminton pakai tangan kosong?" tanya Niken geli.
"Tuh, kan" Niken nggak bisa. Kamu saja, Ndu. Yaaa?" bujuk Ratna.
"Tunggu. Nik, kamu abis badminton ngapain?" tanya Pandu.
"Pulang." jawab Niken singkat.
"Ya tau, pulang. Maksudku ada acara apa gitu?"
"Gak ada acara apa-apa."
"Sama dong. Mau nge-date sama aku, Neng?" tanya Pandu becanda.
Niken tertawa kecil. Dasar Pandu usil.
Pandu melanjutkan, "Begini,... maksudku, Ratna bisa ke sekolah atau
ke rumahku, terserah dia, sesudah jam setengah enam. Kamu selesai
badminton jam 5 kan, Nik?"
Niken mengangguk. "Iya."
"Setuju, Ratna?" tawar Pandu.
"Baiklah. Aku nggak punya pilihan lain, kan?" tanya Ratna.
Pandu mengangguk. "Bu Lidya." Pandu lalu ketawa. Gimana nggak
ketawa melihat wajah Ratna seperti habis menggigit cabe rawit.
"Jadi nanti sore jam setengah enam aku ke rumahmu yah. Makasih
Pandu?" kata Ratna manja sambil nyelonong pergi.
Setelah Ratna berlalu, Niken memukul bahu Pandu.
"Apa-apaan sih, Ndu, mengajak aku ikut-ikutan mengajari si cengeng itu?"
tanya Niken. "Aku capek mengajari dia, Fei. Aku harus terus-menerus mengulang yang
aku ajarkan minggu-minggu sebelumnya. Begitu terus. Lumayan kalo dia
lantas mendapat nilai bagus, gitu, paling tidak kan aku jadi merasa
berjasa. Ini nggak. Jadi aku merasa buang-buang waktu saja."
"Sudah tahu begitu koq malah ajak-ajak aku." Niken merengut.
"Memangnya kamu nggak cemburu ngeliat Ratna seminggu sekali
datang ke rumahku" Frekuensinya lebih pasti dan lebih sering daripada
kamu ke rumahku lho?" goda Pandu.
"Nggak tuh." jawab Niken sambil mengambil segelas es teh manis di
meja kantin, lalu menyerahkan uang dua ratus perak ke ibu kantin sambil
tersenyum. "Masa nggak, sih" Gimana kalau nanti kamu nggak usah ikut ke rumahku,
nanti aku mau boncengin Ratna ke toko buku, beli buku matematika, trus
pulangnya beli es krim?" goda Pandu lagi. Masih kurang puas dia
rupanya. "Berani"!" ancam Niken sambil melotot.
"Sarana transportku cuma sepeda, jadi mau nggak mau aku harus
boncengin dia kalau mau ke toko buku. Beli es krim kan karena ada toko
es krim di sebelah toko buku."
Niken merengut lagi. "Kamu sungguh-sungguh mau ke toko buku?"
tanya Niken kemudian. Pandu tidak tahan lagi menahan tertawanya. "Nggak dong. Aku cuma
becanda, Fei. Kamu lucu deh."
Niken tambah cemberut. "Sorry" sorry?" kata Pandu masih menebar senyum-senyum nakalnya.
"Sebagai permintaan maaf, nanti sore setelah pulang badminton kita
mampir beli es krim sebelum pulang. Aku boncengin. Mau?"
Niken tersenyum lebar. Tentu saja dia mau.
* "Bagaimana tadi latihan badmintonnya?" tanya Pandu sambil
menuntun sepedanya. "Aku single lawan Yeni, menang. Double sama Jeremy, kalah tipis sama
Septi dan Komang. Aku emang nggak pernah sukses kalo suruh main
double. Apalagi kalo lawan cowoknya cepat kayak Komang. Komang jago
di double." keluh Niken.
"Pak Mahmud tadi melatih three-on-three. Lebih asyik daripada main
basket biasa. Lebih cepat." kata Pandu sambil mengelap keringatnya.
"Mobilku aku tinggal di sini saja yah?" tanya Niken.
"Iya. Nanti aku anterin kamu balik ke sini lagi dari rumahku. Paling jam
tujuh udah selesai." kata Pandu.
Sepanjang perjalanan dari sekolah ke kedai es krim mereka terus
mengobrol. "Kamu masih sering bikin puisi, Fei?" tanya Pandu.
"Iya. Tiap malam sebelum tidur."
"Memangnya kalau nggak bikin puisi nggak bisa tidur?"
"Bisa. Cuma seringnya belum mengantuk, jadi daripada nganggur ya bikin
puisi." "Kamu koq bisa yah bikin puisi gitu. Bagus-bagus lagi puisimu.
Setidaknya satu yang pernah aku baca itu. Aku dulu waktu di SMP pernah
disuruh bikin puisi sebagai salah satu tugas untuk pelajaran bahasa
Indonesia. Gagal total. Aku disuruh bikin puisi tentang pemandangan.
Berhubung waktu itu aku sedang di rumah saja, dan rumahku itu dekat
pasar, jadi pemandangan yang aku lihat ya pemandangan pasar. Seperti
ini nih kira-kira." "Pasar Bringharjo yang bau
Banyak sapi-sapi bau Daging-daging bau Laler hinggap di tempat-tempat bau
Tak heran rumahku jadi ikut bau"
Niken ketawa. Lucu sekali Pandu berteriak-teriak bau.
"Aku masih ingat betul ekspresi guru bahasa Indonesia-ku waktu itu. Bu
Rosiana. Aku langsung dikasih nilai lima. Untungnya cuma sekali itu aku
disuruh bikin puisi. Benar-benar perjuangan berat deh bikin satu puisi
seperti itu saja." "Aku bikin puisi tu cuma menulis apa yang terlintas di otak. Nggak harus
dengan kata-kata yang indah. Yang penting bermakna dalam." kata Niken.
"Fei, apa sih yang kamu nggak bisa" Kamu tuh apa-apa bisa. Aku
nggak bisa bikin puisi, nggak bisa njahit, nggak bisa masak. Kayaknya
kamu tuh segala bisa."
"Hmm" apa yah yang aku nggak bisa" Tadinya aku kirain aku nggak bisa
pacaran. Tapi kamu udah buktiin bahwa aku salah. Aku cuma nggak mau
nyoba aja." Niken berpikir sejenak.
"Kamu bisa berenang?" tanya Pandu.
"Bisa. Waktu kecil aku les berenang. Di rumah ada kolam renang. Harus
bisa renang, dong. Gimana kalau nggak sengaja kecebur?"
"Kamu bisa menggambar?"
"Nggak ahli kayak Pablo Picasso, tapi kalo cuma bikin wajah orang gitu
aja sih bisa." "Bisa masak?" "Masak yang dimasak pembantuku, aku bisa semua, karena kalo liburan
aku sering nganggur, jadi terus ke dapur, ngeliat mereka masak, terus ikut
bantu-bantuin. Masakan favoritku, sup bakso soun."
"Menjahit?" "Waktu SMP kan ada pelajaran menjahit. Tadinya ya nggak bisa. Terus
gara-gara harus bisa pas SMP itu, aku akhirnya bisa juga. Wulan yang
ngajari." "Ah" aku tahu yang kamu nggak bisa. Kamu bisa ngomong Jawa?"
Niken tersenyum. "Ampun ngenyek nggih, Mas. Kulo laer ing tanah Jawa,
kudu saged ngomong Jawa. Panjenengan saged nulis ngangge aksara
Jawa" (=Aku lahirnya di Jawa, harus bisa ngomong Jawa. Kamu bisa
nulis pakai huruf Jawa")" Aksen bahasa Jawa Niken pun walaupun agak
kaku tapi nggak begitu jelek.
Pandu tercengang. "Kamu bisa nulis Jawa juga" Trus apa dong yang nggak bisa?"
"Oh, ya. Aku nggak bisa ngganti ban serep mobilku. Pernah ban mobilku
bocor di sekolah, aku harus minta tolong bapak tukang parkir untuk
bantuin aku ganti ban serep."
"Kalau itu wajar lah karena kamu perempuan. Yang kamu nggak bisa, tapi
nggak membutuhkan tenaga cowok, apa dong?"
"Oh. Aku tahu. Tapi jangan diketawain yah. Aku nggak bisa dandan.
Sama sekali nggak bisa. Aku tahu hasil akhirnya harus seperti
bagaimana, tapi aku nggak tahu gimana caranya menuju ke hasil akhir itu.
Pernah aku coba iseng-iseng, waktu pesta ulang tahun mama, sekitar 2
tahun yang lalu. Pakai segala macam peralatan make-up mama. Corengmoreng persis pemain opera Cina. Putus asa, aku nggak pernah
berusaha mencoba lagi. Aku bahkan nggak punya satupun peralatan
make-up sendiri. Lipstik sekalipun."
"Memangnya Mama kamu nggak pernah ngajarin?"
"Nggak. Tapi Mama punya ide bagus. Tiap kali mau ke pesta yang butuh
make-up, aku ke salon. Masalah selesai, kan?"
"Wah. Aku nggak bisa bantuin kamu, deh. Aku bahkan nggak punya kakak
perempuan yang bisa aku tanyain. Ibu juga nggak pernah pake make-up.
Sorry deh." "Nggak masalah. Aku nggak merasa rendah diri koq. Seperti yang aku
bilang, aku sudah punya solusinya."
"Bagaimana kalau kamu nggak punya banyak duit, jadi nggak bisa ke
salon tiap kali mau ke pesta?"
"Nggak tiap pesta aku ke salon koq. Cuma kalau pesta besar-besaran.
Paling setahun satu-dua kali. Kalo aku emang dilahirkan di keluarga yang
lain, yang nggak punya banyak duit, pasti sekarang ini aku bisa dandan.
Memang nasibku harus begini, Ndu."
"Kamu koq kesannya merana karena punya banyak duit. Orang tu
biasanya sedih karena nggak punya duit. Kamu yang punya banyak duit
malah sedih." "Kenyataannya, aku selalu bisa menemukan jawaban dari "tapi
seandainya aku tidak kaya" setiap aku menemukan keberuntunganku
karena jadi anak orang kaya."
"Misalnya?" "Oke. Sebutkan keuntungan jadi orang kaya. Apa saja lah yang terlintas di
otakmu sekarang." "Kamu punya rumah besar dengan fasilitas yang komplit?"
"Rumah besar bener-bener bikin aku merasa kesepian. Fasilitas yang
komplit, itu memang membantu aku untuk melepaskan diri dari kesepian.
Kembali ke pertanyaan semula, seandainya, sendainya saja aku tidak
kaya, aku nggak butuh rumah besar, apalagi fasilitas yang komplit itu,
karena aku nggak bakal kesepian."
"Oke, oke. Kamu jadi sedih kan" Aku nggak pengen bikin kamu jadi
sedih." "Aku nggak sedih koq. Karena sekarang aku sudah ada kamu." kata Niken
sambil memeluk pinggang Pandu dari boncengannya.
Kebetulan dua detik kemudian, mereka pas sampai di depan rumah
Pandu. Ratna sudah menunggu di teras depan. Melihat Pandu dan Niken
berboncengan, apalagi pegangan Niken di pinggang Pandu begitu
kencang, hati Ratna terbakar api cemburu. Rupanya dia belum sempat
mendengar berita bahwa Pandu sudah jadian sama Niken. Cepat-cepat
dia keluar lagi, ke arah mobilnya, bermaksud ingin pulang.
"Lho, lho, lho" Ratna, kamu mau ke mana?" tanya Pandu heran.
"Pulang." jawab Ratna singkat.
"Sorry kita dateng terlambat. Tapi cuma telat lima menit saja koq." kata
Pandu bingung sambil melirik jam tangannya.
"Jadi kamu sekarang pacaran sama Niken?" tuding Ratna tanpa basabasi.
Walaupun heran akan reaksi Ratna, Pandu mengangguk-angguk.
"Niken, kamu tuh nggak boleh pacaran kan sama papa-mama kamu"
Mereka tahu kamu pacaran?" Ratna berbalik menuding Niken. Gosip yang
didengarnya cukup up-to-date juga ternyata.
"Ratna, kami belum lama pacaran koq. Baru dua minggu. Papamama Niken belum tahu tentang ini. Ratna, tolong jangan bikin garagara." Pandu yang menjawab.
"Aku nggak akan bikin gara-gara. Tapi lambat laun mereka pasti tahu.
Lagipula mereka berhak untuk tahu. Tapi sekarang aku mau pulang. Aku
nggak peduli mau dapet berapa ulangan matematika besok, tapi aku mau
pulang sekarang." Pandu cuma bisa mendesah menatap mobil Ratna yang melaju
terburu-buru. Dia lalu menggenggam jemari Niken. "Kamu nggak papa
kan, Fei?" Niken menggeleng. "Aku juga mau pulang, Ndu. Capek. Karena aku nggak
perlu ngelesin si Ratna, anterin aku balik ke sekolah dong?"
"Oke. Yuk naik." ajak Pandu. Dari suaranya sama sekali tidak terdengar
nada keberatan karena harus bolak-balik dari sekolah, ke rumahnya, lalu
balik lagi ke sekolah lagi tanpa istirahat.
"Kamu suka es krim vanilla ya, Fei?" tanya Pandu memecah
kesunyian. Niken dari rumahnya tadi sudah lima menit tak melontarkan
sepatah kata pun. "Nggak juga. Aku suka es krim apa aja kecuali strawberry. Cie Tasya cuma
suka mocha. Sampe bosan aku melihat es krim mocha di lemari es.
Besok hari ulang tahun Cie Tasya. Tadi pagi mama sudah beli es krim
mocha satu dus. Bunga matahari kesukaan cie Tasya juga sudah
dipesan. Aku yakin rumahku pasti sore ini sudah penuh bunga matahari.
Terutama kamar cie Tasya?"
"Ulang tahun yang keberapa, Fei?"
"Dua puluh satu."
Setelah diam lagi sejenak, Niken tiba-tiba berseru, "Oh, aku ingin
mengundang Edi, bekas pacar kak Tasya itu untuk datang ke rumah
besok!" "Hah?" Pandu jadi kaget. "Gila kamu, Fei" Kamu bercanda kan?"
"Nggak. Aku yakin sekali Edi sudah berubah, berubah menjadi cowok yang
diinginkan kak Tasya. Nanti sampai di rumah aku akan telepon dia."
Pandu menggeleng-gelengkan kepalanya. Cewek yang satu ini kalo
sudah ada maunya, susah diberitahu. Tapi kekeras-kepalaannya inilah
salah satu di antara jutaan sisi menarik Niken.
"Kalo terjadi perang gimana?" tanya Pandu berusaha menakut-nakuti.
"Ya biar aja. Sudah lama nggak ada perang di rumah. Biar ramai." ujar
Niken cuek. "Terserah kamu, lah. Asal kamu jangan undang aku aja."
"Kenapa" Takut nih ye" Mana bisa praktek siasat perang Sun Tzu kalo
nggak pernah maju ke medan perang?" ejek Niken.
"Tapi yang bakal terjadi besok di rumahmu itu bukan perang beneran.
Perang mulut. Idih! Aku nggak mau ikut campur lah."
"Bagaimana kalo aku undang" Masa" kamu menolak undanganku" Kamu
kan belum pernah masuk ke rumahku?" ledek Niken. Dia sebetulnya juga
tidak sungguh-sungguh berniat mengundang Pandu. Cari maut namanya.
"Aku akan datang kalau kamu undang. Kapan aja aku siap. Kamu kan
yang belum siap mengenalkan aku sebagai pacar ke keluargamu?"
Sebenarnya Pandu gentar juga, sih. Tapi nggak mau kalah, dong.
"Oke. You"re officially invited. Besok datang jam tujuh malam. Aku akan
suruh Edi jemput kamu."
Pandu langsung menghentikan sepedanya.


Niken Dan Pandu Karya Ac Zzz di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Serius nih?" tanyanya sambil memegang bahu Niken.
Niken mengangguk ragu. Pandu langsung menjitak kepalanya pelan.
"Jangan ngomong sesuatu yang kamu tahu bakal kamu sesali di
kemudian hari, Fei."
"Ndu, yang dibilang Ratna tadi benar juga. Cepat atau lambat papa-mama
pasti tahu. Teman-temannya banyak. Lebih baik tahu dari aku langsung,
daripada dari gosip orang lain." kata Niken.
"Kalau kamu memang siap, aku juga siap, Fei." kata Pandu yakin.
"Sungguh, Ndu" Bagaimana kalau kamu diusir lagi sama papa?"
"Diusir ya pulang, dong. Itu kan rumahnya dia. Aku bisa apa coba?"
"Aku pokoknya bakal belain kamu, Ndu. Aku nggak akan ijinkan papa
ngusir kamu lagi. Kamu bakal makan malam di rumahku. That"s final. Tapi
papaku bisa benar-benar kejam, kata-katanya bisa jadi begitu
menyakitkan. Aku takut kamu sakit hati, trus nggak mau ketemu aku lagi."
"Aku nggak akan menyerah kalau selama kamu nggak menyerah, Fei."
"Fei Fei!!" Suara itu terdengar begitu familiar di telinga Niken.
"Mama?"" Niken terkejut sekali melihat mamanya naik mobil BMW-nya
lewat di dekat sekolahnya. "Oh, tentu saja!" seru Niken dalam hati,
menyadari kebodohannya. "Salon mama kan dekat sini."
"Masuk ke mobil, sekarang!" bentak mama sambil membuka pintu mobil
dari dalam. "Ma, mobilku di lapangan parkir, tinggal dekat situ." kata Niken menunjuk
ke arah lapangan parkir. "Nanti biar diambil Pak Isyur. Pak Isyur, nanti ambil kunci mobil dari non
Niken." kata mama ke Pak Isyur, salah satu sopir keluarganya. "Ayo,
masuk." desak mama. Niken menatap wajah Pandu sekilas sebelum masuk ke mobil. Walaupun
wajah itu begitu diliputi ketegangan, tetap saja berusaha tersenyum untuk
membesarkan hati Niken tanpa berkata-kata.
Mama langsung membentak Niken begitu pintu mobil ditutup.
"Itu cowok yang diusir papa kapan hari ya?"
Niken mengangguk lemah. "Diadili lagi deh," pikirnya.
"Kamu sudah lupa, janji-janji sendiri nggak mau pacaran" Kamu apaapaan boncengan sama cowok dekil itu" Nggak tahu malu!"
"Namanya Pandu, Ma. Bukan cowok dekil." bela Niken.
"Kamu sudah lupa apa yang terjadi pada kakakmu?"
"Gimana bisa lupa, sih Ma" Tapi mama tau nggak, Edi pacar cici tu
sekarang sudah berubah jadi anak baik-baik, sejak cie Tasya meninggal.
Dia benar-benar berubah, Ma. Cinta Cie Tasya yang merubah Edi."
"Mau berubah kek, mau mati kek, mama nggak urusan. Penyesalannya
nggak bisa mengembalikan Tasya, kan?" jawab mama sinis.
"Ma, rasanya sudah waktunya kita maafin Edi. Edi memang salah besar
dulu. Tapi aku sangat berterima kasih sama Edi, karena dia sudah
membuka mataku, bahwa cinta itu memang ada. Cie Tasya benar-benar
cinta sama Edi, dan sekarang cintanya sudah bersemi."
"Sudah mulai bisa ngomong cinta-cintaan kamu sekarang, ya"
Lantas mau menasehati orang tua?"
"Bukan begitu maksud Fei Fei, Ma. Fei sayang banget sama Pandu. Fei
cuma pengen mama bisa ngerti. Percaya deh, Ma. Fei nggak akan berbuat
kesalahan yang sama seperti cici."
"Mestinya kamu sudah bisa mengerti sekarang, cinta itu nggak ada
gunanya. Lihat cicimu, lihat mama. Pokoknya kamu nggak boleh pacaran,
apalagi sama anak dekil itu."
"Kenapa memangnya koq terutama Pandu?" desak Niken.
"Dia bukan dari golongan kita, Fei Fei. Apa kamu tidak sadar" Kamu cuma
bakal menderita kalau sama dia. Tidak ada bibit, bebet ataupun bobot
yang bisa dipandang. Kamu bisa pilih cowok yang lebih baik, yang dari
golongan kita." "Golongan kita" Golongan apa yang mama maksud" Golongan yang
mendewakan materi" Golongan orang-orang berduit dan berdasi"
Golongan yang memandang rendah golongan lain karena merasa
golongannya yang terbaik" Atau cuma semata-mata karena Pandu orang
Jawa, Ma?" tanya Fei Fei emosi. Sudah lama dia ingin mengungkapkan
perasaan muaknya terhadap aksi penggolong-golongan ini.
"Fei Fei! Mama sudah cukup toleran membiarkan kamu bergaul dengan
Wulan anak pembantu itu. Seharusnya mama tahu, dia cuma membawa
dampak buruk buat kamu. Kamu sekarang berani melawan orang tua,
ya"!" Mereka terus perang mulut sampai depan garasi. Masuk ke rumah,
kebetulan ada Papa di rumah, sedang membaca koran di ruang tengah.
Maklum, besok ulang tahun Tasya. Biasanya Papa memang selalu ada di
rumah setiap hari ulang tahun Tasya. Tasya itu adalah anak kesayangan
Papa. Papa nggak pernah memarahi Tasya. Kesalahan apapun yang
Tasya buat, Papa selalu belain.
Mama langsung melapor tentang kejadian barusan. Papa langsung
naik pitam. "Seingat Papa, Papa sudah memperingatkan kamu untuk tidak dekatdekat sama cowok berandal itu." kata Papa. "Kamu sengaja mau
melawan orang tua ya"!" Papa membentak.
Niken tersentak kaget. "Dia bukan cowok berandal, Pa. Bukan juga cowok dekil, Ma. Namanya
Pandu. Fei sayang sama dia, Pa, Ma?"
"Sayang,.. sayang?" Memangnya anak sehijau kamu tahu arti kata
sayang?" tanya Papa sinis.
Niken jengkel sekali diperlakukan seperti ini. Seperti anak kecil saja.
Niken lalu menjawab, "Tentu saja tahu. Fei sudah besar, Pa. Tahu
mana yang benar, mana yang salah. Apapun arti kata sayang atau cinta
itu, Fei nggak pernah dapat dari Papa. Rasanya Papa yang perlu bertanya
pada diri sendiri, apa arti cinta itu. Cinta itu personal. Cinta berarti setia.
Nggak mungkin bisa yang tadinya cinta terus lama-lama nggak cinta.
Apalagi mencintai orang lain dan membuat orang yang dicintai luka. Fei
yakin itu bukan cinta, ya kan Pa?"
Papa geram. Ditamparnya pipi Niken.
"Kamu sudah berani mengkuliahi orang-tua, ya"!"
"Berani karena aku tahu aku benar. Selama ini aku diam saja, tidak
pernah berkomentar apalagi protes tentang Tante Mia, simpanan papa
yang sering kemari itu. Diam bukan berarti aku nggak bisa menilai.
Karena Papa nggak tahu apa artinya cinta, Papa nggak berhak melarang
atau menceramahi aku untuk nggak pacaran sama Pandu." kata Niken
sambil menangis lalu lari masuk kamarnya dan mengunci pintu dari
dalam. Perih sekali pipinya. Dia masuk kamar bukan cuma karena ingin
menangis, tapi juga karena mendengar sayup-sayup bunyi telepon di
kamarnya. "Fei?" Sudah bisa ditebaknya, Pandu.
Niken tidak bisa menjawab karena sibuk mengatur napasnya. Pandu bisa
mendengar isak tangis Niken lewat telepon.
"Sudah" cup" jangan menangis, sayang. Seperti habis digebukin saja,
Fei." kata Pandu berusaha bercanda untuk membuat Niken tertawa. Tapi
Niken malah tambah kencang menangisnya.
"Hey, Fei" Kamu nggak diapa-apain kan sama Mama kamu?" tanya Pandu
heran. Dia belum pernah mendengar Niken menangis seperti ini.
"Nggak." "Sungguh?" "Hmm" Cuma ditampar sama Papa. Sekali."
"Ya ampun?" Pandu mengelus dadanya. Kasihan sekali Fei Fei, katanya
dalam hati. "Fei," kalau kamu nggak kuat, kapan saja kamu boleh menyerah. Kamu
tinggal bilang terus terang. Aku sangat mengerti koq."
Niken menggeleng-gelengkan kepalanya. Tiba-tiba dia sadar, dengan
menggelengkan kepalanya, bagaimana Pandu bisa tahu" Dia lalu tertawa
sendiri. "Koq ketawa sih?" Pandu jadi tambah bingung.
"Nggak. Aku barusan geleng-geleng. Trus aku mikir, bagaimana kamu
bisa tahu kalo aku geleng-geleng, kalo aku nggak sambil ngomong?"
katanya geli. "Aku belum mau menyerah koq, Ndu. Doain semoga aku
bisa kuat ya, Ndu. Aku nggak ingin menyerah sampai kapanpun. Ingat
nggak, Ndu, aku pernah bilang, mau hepi itu susah buat aku. Butuh
banyak pengorbanan. Kamu juga mesti sabar, yah?"
"Fei, kamu pernah tanya, seperti apa sih tipe cewek idamanku.
Sekarang aku tahu. Yang persis seperti kamu, Fei. Semuanya yang ada di
dalam dirimu aku suka. Aku sanggup menunggu kamu selama apapun.
Untuk mendapatkan yang terbaik, orang mesti sabar."
Niken tersenyum puas. Lega sekali rasanya.
"Ndu, kamu tetap datang besok sore, yah" Aku belum sempat telepon
Edi, sih. Setelah ini nanti aku telfon dia."
"Kamu yang undang, aku pasti datang."
"Aku cuma pesan sekali lagi, kamu mesti ekstra sabar. Tadi saja di
depanku mama sudah ceramah tentang golongan. Besok sore bisa
tambah ganas, Ndu." "Aku heran gimana cewek sebaik kamu bisa lahir dari lingkungan rasialis
seperti itu. Kamu pasti anak pungut, Fei." goda Pandu.
"Iya. Anak keluarga Pandu."
"Huh. Kamu nggak mirip papa-mamaku sama sekali. Nggak mungkin, lah.
Lagipula, kalo kamu anak keluarga Pandu, berarti kita saudara, dong.
Mana boleh pacaran. Ngaco kamu, Fei!"
"Ya sudah deh. Aku mau telepon Edi. Jangan lupa berdoa malam ini. Kalo
perlu berdoa novena."
"Iya deh, nanti aku minta ibuku ikut berdoa. Biasanya doa ibuku tu selalu
terkabul." Niken lalu menutup teleponnya. Lalu menelepon Edi. Edi senang
sekali Niken mau mengundangnya datang untuk merayakan hari ulang
tahun Tasya. Niken sudah memperingatkan bahwa orangtuanya masih
menyimpan dendam kesumat padanya, dan Niken tidak akan
menyalahkan kalau Edi tidak bersedia datang. Edi sepertinya tidak perduli.
Dia berjanji datang besok sore, setelah menjemput Pandu.
Seraya meletakkan gagang telepon, Niken menatap cermin di
hadapannya. Pipinya masih merah. Dipegangnya pelan-pelan. "Aduh!"
Dia lalu menghempaskan tubuhnya ke ranjang empuknya.
Kelelahan, Niken ketiduran.
* Niken terbangun karena teleponnya berbunyi lagi.
"Hallo?" kata Niken sambil menoleh ke arah jam weker di sebelah
tempat tidurnya. Jam setengah dua belas malam.
"Fei!" Suara Pandu masih kedengaran segar-bugar.
"Ini sudah hampir tengah malam, yo. Kamu nggak bobok?" tanya Niken.
"Kangen. Aku lagi dengerin radio, dengerin lagu trus jadi inget kamu.
Sampe aku rekam di kaset lagunya. Nih dengerin?"
My heart is filled with so much love
And I need someone I can call my own
To fall in love that"s what everyone"s dreaming of
I hold this feeling, oh so strong
Life is too short to live alone without someone to call my own
I will care for you, you will care for me
Our love will live forever
Shower me with your love"
I close my eyes and pray all my wishes come true
Every night I go to sleep
Until you"re mine I"ll wait for you endlessly
Can"t you see Fairy tales, they do sometimes come true
If you believe, it could happen to you
Like the stars that shine, way up in the sky
Like the stars that shine, way up in the sky
Our love will live forever
"Fei, karena aku, kamu ditampar papa kamu. Aku janji, aku nggak
akan pernah sakitin kamu."
"Yah nggak sakitin tapi bangunin orang lagi tidur nyenyak." gerutu Niken.
"Aku gak bisa bobok" Inget kamu?"
"Lha aku udah bobok, nih."
"Mimpiin aku nggak?"
"Nggak." "Makanya aku telfon. Aku harus memastikan kamu mimpiin aku."
"Iya" iya" lagipula kamu koq tumben senang dengerin lagu melankolis
begini sih?" "Gara-gara kamu."
"Koq?" "Semenjak kenal kamu aku jadi suka dengerin lagu-lagu cengeng begini.
Cocok sama suasana hati. Nggak tau kenapa."
Niken cekikikan. "Sudah berdoa?" tanya Pandu.
"Oh, iya belum. Aku ketiduran setelah telepon Edi tadi. Besok sore kamu
bakal dijemput dia. Jadi siap-siap saja."
"Tuh kan.. untung kan aku telepon, mengingatkan kamu untuk berdoa.
Udah berdoa sana, trus bobok. Met bobok, sayang?"
"Centil ah sayang-sayangan segala." Niken tersipu malu.
"Memang sayang koq."
Dari pulang sekolah sampai sore ini, Pandu sibuk membongkar
lemari pakaiannya. Tidak puas, dia mengobrak-abrik lemari bapaknya
juga. Tujuannya cuma satu. Menemukan pakaian yang pantas untuk
dipakai ke rumah Niken malam ini. Sebetulnya banyak pilihan. Cuma
karena bingung dan senewen, rasanya dari tadi tidak ada yang pas.
Ibunya sampai ikut-ikutan pusing memilihkan ini-itu. Lebih pusing lagi
melihat kamarnya yang ikut berantakan. Kakak-kakaknya selama ini jatuh
cinta ya jatuh cinta, tapi tidak pakai acara membongkar seisi rumah
seperti ini. "Pras, ini bagus nih?" kata ibu menunjuk hem biru muda lengan panjang
dari timbunan celana-celana panjang.
"Nggak" jelek ah, Bu." Pandu menolak.
"Bagaimaina dengan yang ini?"
Pandu menoleh lagi. Hem batik biru lengan panjang yang ada di tangan
ibu itu keren juga. Tapi apakah cukup keren untuk acara malam ini"
Pandu menggeleng ragu. "Pras, sudahlah. Capek sudah ibu melihat kamu bongkar-bongkar
begini. Nanti pasti ibu juga yang beres-beres. Lagipula, Niken juga pasti
tidak menginginkan kamu datang sebagai orang lain. Tunjukkan jati
dirimu, Pras, jati diri yang dicintai Niken. Supaya papa-mamanya Niken
bisa melihat seperti apa Pandu yang diidolakan anaknya itu."
"Begitu ya, Bu" Jadi batik ini bagus ya, Bu?" tanya Pandu masih bingung.
Ibunya tersenyum. "Tentu saja. Itu yang ibu berusaha bilang dari satu jam
yang lalu." Lalu ibu meneruskan, "Ini sudah jam lima, lho. Kamu lebih baik
mandi dulu. Percuma pakai baju bagus-bagus kalo bau kecut."
"Oh, ya." Pandu lalu berdiri. Lututnya terasa kaku setelah hampir dua
jam penuh duduk di lantai. "Edi tadi telfon bilang mau jemput jam lima."
Sementara itu, di rumahnya, Niken pun sedari tadi mendekam di
kamarnya. Hatinya deg-degan. Sudah dari tadi deg-degannya. Semakin
mendekati jam tujuh, semakin kencang debar jantungnya. Sambil
menyisir rapi poni di dahinya, komat-kamit Niken melontarkan doa.
"Biarlah malam ini terjadi sesuai keinginanmu, Tuhan."
Jam tujuh kurang seperempat. Pelan-pelan Niken keluar kamarnya
setelah melongok terlebih dahulu. Merasa aman, dia lalu melangkah ke
ruang tengah. "Oma"!!" Begitu melihat neneknya di ruang tengah, Niken langsung lari
memeluk nenek tercintanya itu.
Oma Lilian itu mama-nya papa. Satu-satunya anggota keluarganya
yang bisa dikategorikan "manusiawi". Sayang sekali Oma kena stroke
tahun lalu, jadi sekarang dia harus menghabiskan sisa hidupnya di atas
kursi roda. Sayang sekali Oma ini terkenal dengan sikap keras kepalanya.
Sudah berkali-kali papa dan mama memaksa Oma untuk tinggal bersama
mereka, tapi Oma tidak pernah mau. Oma lebih suka tinggal di rumah
kecilnya di Kudus. Dan Oma bisa marah besar kalau ada yang
menyinggung-nyinggung untuk menjual saja rumah Kudus. Di surat
wasiatnya, Oma sudah menulis, rumahnya di Kudus itu sampai kapan


Niken Dan Pandu Karya Ac Zzz di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pun tidak boleh dijual. Nanti kalo Oma wafat, rumah itu boleh dipakai untuk
tujuan sosial. Pokoknya rumah itu tidak boleh dijual.
Di Kudus Oma punya taman bunga anggrek. Walaupun sekarang
sudah agak susah untuknya merawat bunga-bunga anggreknya, Oma
masih selalu menyempatkan diri merapikan tamannya setiap hari. Niken
sering ke Kudus kalau liburan. Daripada menganggur di rumah. Dari kecil
Niken selalu dekat dengan Omanya. Tasya juga dulu dekat sama Oma.
"Kapan datang, Oma?" tanya Niken.
"Tadi siang, dijemput papamu. Rumahmu hari ini semarak sekali, Fei Fei.
Kuning-kuning bunga matahari. Kamu juga memakai baju kuning-kuning.
Kamu memang manis?" kata Oma sambil mencubit pipi Niken dengan
sayang. "Oma, aku hari ini mengundang dua orang yang sangat dibenci papamama. Oma bantuin Fei Fei ya?" pinta Niken manja.
"Tergantung, siapa dulu orangnya."
Ragu-ragu, Niken cerita ke neneknya, "Orang yang pertama, namanya
Edi." "Edi yang pacarnya Tasya?" tanya Oma langsung bisa menebak.
Niken mengangguk. "Yang kedua?" tanya Oma.
"Oma koq nggak tanya, kenapa Niken mau mengundang Edi?" Niken
heran. Omanya tersenyum lebar. "Edi anak yang baik. Oma sering bertemu
dengannya di kuburan Tasya. Dia sering berlama-lama di situ. Kita sering
bicara dari hati ke hati. Bukannya kamu dulu yang benci sekali sama dia?"
tanya Oma. "Itu dulu. Sebelum Fei tau kalo Edi itu sudah berubah jadi orang yang baik.
Rasanya sudah waktunya kita memaafkannya."
"Bagus. Oma tidak pernah bilang sama kamu, karena Oma tahu kamu
dulu dendam kesumat sama dia. Oma bangga punya cucu seperti kamu,
Fei. Oke, sekarang siapa yang kedua?" tanya Omanya lagi.
Niken gantian yang tersenyum tersipu-sipu. Melihat gelagat, Oma
langsung menebak, "Pacar kamu ya?"
Lagi-lagi Niken cuma bisa mengangguk-angguk.
"Papa-mama tahu?" bisik Oma.
"Dua-dua sudah pernah melihat orangnya, sih. Namanya Pandu, Oma.
Pandu Prasetya." "Orang Jawa yah?" tanya Oma.
"Koq Oma tahu?" Niken mengkerutkan wajahnya. Oma hari ini seperti
tukang ramal saja. "Nebak aja, dari namanya. Trus gimana?"
"Ya Oma pasti tau lah cerita selanjutnya. Papa sama Mama nggak ada
yang setuju Fei pacaran sama Pandu. Padahal Fei sayang banget sama
Pandu. Pandu juga sayang sama Fei koq."
Oma tersenyum lagi. Agak aneh juga mendengar cucunya yang keras
kepala ini jatuh cinta. Pasalnya, Niken dari kecil selalu benci sama anak
laki-laki, apalagi anak laki-laki yang sok jagoan. Waktu kecil pun Niken
sering berkelahi dengan anak laki-laki. Berkali-kali Mamanya dipanggil
guru SD Niken. Ini mungkin salah satu sebab Papa lebih menyukai Tasya
yang pendiam dan tidak pernah membuat onar. Tapi dari kecil Oma bisa
melihat Niken itu orang yang kuat, dan selalu berpegang teguh pada
prinsipnya. Sayang sekali beda umur Tasya dan Niken cukup banyak,
empat tahun. Seandainya saja cuma beda setahun, misalnya, Niken pasti
bisa melindungi Tasya. Kekeras-kepalaannya sudah terkenal seantero
jagat. Niken paling benci ikut acara-acara keluarga. Oma pernah tanya
kenapa, dan jawabannya sangat memuaskan. Waktu itu Niken masih
berumur sepuluh tahun. Prestasinya di kelas sangat membanggakan, di
bidang apapun. Jawaban yang membuat Oma tertarik waktu itu, adalah
"Acara keluarga seperti ini cuma dijadikan ajang unjuk diri. Unjuk
keluarga. Ini lho aku yang terbaik. Anakku masuk ke sekolah favorit,
universitas favorit. Anakku menikah dengan konglomerat kelas kakap.
Memuakkan." Sejak saat itu, Oma tahu bahwa Niken itu punya pribadi yang
lain dari orang kebanyakan. Sungguh mengherankan mengingat Niken
dimanjakan dari bayi. "Kamu sudah pikirkan baik-baik, Fei?" tanya Oma.
Niken mengangguk tanpa ragu.
"Baiklah, kalau kamu memang mantap, Oma pasti dukung. Jadi
penasaran, seperti apa sih, orang yang berhasil mengambil hati cucuku
yang konon tidak pernah jatuh cinta ini?" goda Omanya.
Niken tertawa kecil. Senang sekali mendapat dukungan tulus dari Oma.
Lega sekali Niken, setidaknya dia masih punya Oma yang mau mengerti.
"Non, ada tamu buat non Fei Fei." lapor salah satu pembantu rumah
tangganya. Niken tersenyum menatap Omanya, lalu mendorong kursi rodanya ke arah
ruang tamu. Pandu melangkah ragu-ragu masuk ke ruang tamu dari pintu luar.
Rumah Niken benar-benar besar dan megah. Atau dengan kata lain,
mewah. Isi ruang tamu ini mungkin kalau dikalkulasi ada berpuluh-puluh
juta rupiah. Lampu kristal chandelier yang menggantung manis di tengahtengah ruang tamu dengan cahaya lampunya yang redup benar-benar
terlihat" mahal. Vas antik di pojok ruangan itu pasti harganya mahal
sekali. Ubinnya dari marmer, mengkilap, sampai-sampai Pandu bisa
melihat bayangan wajahnya sendiri di lantai. Kursi sofanya yang berwarna
hitam terlihat begitu empuk. Bisa tertidur kalau duduk di situ barang lima
menit. "Ndu!" sapaan ramah itu terdengar begitu melegakan di telinganya.
"Fei Fei" Ini buat kamu" Hadiah buat kamu karena hari ini kamu keliatan
cantik banget." kata Pandu sambil menyerahkan serangkaian bunga ke
tangan Niken. "Sudah sempat research dia rupanya," bisik Oma sambil menyenggol siku
Niken setelah melihat bunga yang diberikan Pandu itu lily putih.
Niken tersipu malu. Iya, bagaimana Pandu bisa tahu kalau dia suka bunga
lily putih" Pandu mendengar bisikan Oma tadi. Dia lalu ikut berbisik, "Aku dapat
bocoran dari Wulan."
Tapi dari mana dia tahu kalo Niken bakal terlihat cantik malam ini" Mudah
saja, Niken kan memang selalu terlihat cantik.
"Ndu, kenalin, ini Omaku. Oma, ini Pandu yang tadi Fei bilang."
Pandu lalu menjabat tangan Oma. Tangan Pandu dingin sekali. Maklum,
nervous, mau ketemu camer.
"Papa-mamanya Niken itu cuma manusia, bukan macan. Jadi kamu
nggak usah takut." saran Oma yang bisa mencium kegugupan Pandu.
Pandu mengangguk. "Dan ini Edi. Oma rupanya sudah kenal baik sama Edi. Ce-es malah."
gurau Niken. "Mari masuk." ajak Oma.
Niken lalu mendorong kembali kursi roda Oma masuk ke ruang tengah.
Rupanya Papa dan Mama sudah ada di ruang tengah.
"Ma, Pa, kenalkan ini Pandu?"
"Siapa yang suruh kamu undang dia" Dan cowok tengik itu?" kata Papa
sambil menunjuk ke arah Pandu dan Edi.
"Aku yang undang mereka." Oma menjawab dengan tegas. "Suka
atau tidak suka, hari ini mereka akan makan malam bersama kita. Kamu
berdua tinggal pilih. Makan malam dengan tampang cemberut seperti itu
sepanjang malam, atau berusaha untuk tersenyum sesekali."
"Tapi mam?" sahut Papa protes.
"Aku ingin makan malam dengan tenang. Jadi sebaiknya kalian jaga
kelakuan masing-masing." Oma memperingatkan sekali lagi.
Nggak punya pilihan lain, Papa cuma diam saja. "Cuma makan malam.
Sesudah itu aku nggak janji apa-apa." kata Papa kemudian.
"Kalau begitu ayo kita mulai makan sekarang." ajak Mama. Rasanya
Mama juga sudah tidak sabar menanti makan malam selesai.
Menu masakan malam ini masakan kesukaan Tasya semua. Sup
kepiting, bakmi goreng, kodok goreng mentega, dan bu yung hai. Melihat
sup kepiting di hadapannya, Edi jadi teringat Tasya. Dari tadi dia masih
belum bisa menghabiskan sendokan keduanya.
"Nggak suka sup kepitingnya, Edi?" tanya Niken.
"Suka" suka koq. Permisi, aku mau ngecek mobilku?" Alasan rendahan.
Semua orang juga tahu kalau Edi nggak betul-betul berniat ngecek
mobilnya. Niken baru saja mau beranjak mengikuti Edi, kalau saja Oma
nggak memperingatkan dengan tatapannya yang bilang "jangan". Oma
yang lalu memutar kursi rodanya menuju ke arah luar.
"Pura-pura saja." umpat Papa.
"Pa, ayolah. Masa" Papa nggak melihat perubahan Edi yang drastis" Dia
nggak lagi sombong seperti dulu. Edi yang sekarang benar-benar
simpatik. Bahkan Oma pun bilang begitu."
"Aku tidak tahu bagaimana caranya Oma bisa mendukung kamu, tapi
Mama tetap nggak bisa maafin Edi, dan sebelum kamu lebih jauh, lebih
baik kamu lupakan saja rencana pacaranmu itu." kata Mama.
"Tante, saya bisa mengerti sikap proteksi Tante dan Oom terhadap Fei
Fei. Menurut saya wajar saja, mengingat kejadian tragis yang menimpa
Tasya. Tapi Fei Fei bukan Tasya, dan saya juga bukan Edi. Fei Fei cewek
pertama, dan bukan tidak mungkin bakal jadi yang terakhir, yang saya
cintai. Yang kami perlukan saat ini cuma sedikit kelonggaran waktu untuk
membuktikan bahwa cinta kami layak untuk dihargai."
"Omong kosong!" Papa menggebrak meja makan. Niken kaget sekali.
Piring-piring di dekat Papa sampai ikut meloncat. Ikut kaget juga, mungkin.
"Kamu cuma ingin mengeruk kekayaan keluarga kami, kan" Karena Fei
Fei anak kami satu-satunya, dia ahli waris tunggal. Seperti mendapat
durian runtuh, kan?" ejek Papa dengan nada yang teramat sinis.
Pandu sudah siap dengan hinaan seperti itu. Bahkan tadi dia sudah
mempersiapkan diri untuk hinaan yang lebih jelek dari itu. Ini belum
seberapa. "Papa, sudah cukup!" Niken tidak terima Pandu diejek seperti itu.
"Saya nggak butuh kekayaan Niken. Saya yakin bisa berhasil dengan
usaha saya sendiri. Saya punya modal yang cukup untuk itu. Otak,
kemauan, dan kemampuan. Kalau memang membantu, saya bersedia
tanda tangan hitam di atas putih, menyatakan bahwa saya nggak akan
memperoleh duit sepeser pun dari Fei Fei, bahkan misalnya kami
menikah nanti, justru saya yang akan memberi uang pada Fei Fei, bukan
menerima. Bagaimana, Oom?" kata Pandu menawarkan, masih dengan
nada sopan. "Muluk-muluk." kata Papa. "Apa kerjaan ayahmu?" tanya Papa.
"Polisi." "Salah, saya sudah cek. Polisi rendahan, dengan gaji pas-pasan."
Pandu diam saja. Memang kenyataannya begitu. Mau apa"
"Kamu ke sekolah naik apa?" tanya Papa lagi.
"Sepeda." "Kalo sepeda rusak, naik apa?"
"Ya dibikin betul. Kalo tidak bisa ya jalan. Dianugerahi kaki sama Tuhan,
sayang kalau tidak digunakan."
"Fei Fei dari kecil selalu naik mobil ke mana-mana. Tidak pernah hidup
kekurangan. Kamu tidak akan bisa membahagiakan dia."
"Papa! Papa nggak tanya, apa selama ini Fei bahagia" Nggak pernah
hidup kekurangan bukan berarti bahagia, Pa!" protes Niken.
Pandu lalu menengahi, "Terlalu dini untuk menilai apakah saya bisa
membahagiakan Fei Fei apa nggak."
"Betul, Pa. Pandu itu termasuk orang pandai di sekolah. Nggak pernah
mengalami kesulitan di bidang studi apapun. Dia punya masa depan yang
cerah." kata Niken seperti orang jual jamu.
"Sekarang jawab pertanyaanku. Sesudah SMA, kamu mau
melanjutkan kuliah di mana?" tanya Papa lagi.
"Dari kecil saya ingin masuk ITB. Kalau bisa saya ingin mendapat
beasiswa untuk kuliah di sana, jadi tidak merepotkan ibu sama bapak."
jawab Pandu jujur. "Nah, Fei Fei itu bakal sekolah di luar negeri. Amerika." kata Papa.
"Oh ya"!" tanya Niken terkejut. "Siapa yang bilang" Koq aku malah belum
tahu" Apa aku nggak berhak untuk memutuskan di mana aku mau
kuliah?" Pertanyaan Niken keluar bertubi-tubi.
"Mama yang bilang. Kamu bakal masuk Universitas di Amerika. Titik." kata
Mama. "Nggak. Fei nggak mau. Apa enaknya kuliah di Amerika" Dari dulu Fei
nggak pernah mimpi ingin kuliah di luar negeri koq." Seperti biasanya,
Niken dan kemauannya yang keras.
"Ini demi masa depanmu, Fei." kata Mama lagi.
Niken cemberut. Segala sesuatu selalu sudah diputuskan tanpa
didiskusikan terlebih dahulu dengan yang bersangkutan. Dirinya!
"Kalau kamu memang mencintai Fei Fei, kamu mestinya mendukung
dia untuk kuliah di Amerika demi masa depannya." kata Papa kepada
Pandu. Pandu terdiam. Kata-kata Papa Niken ada benarnya. Apalagi kalau Niken
tidak mau kuliah di Amerika cuma karena demi dia. Tidak adil buat Niken.
Dia cewek yang cemerlang. Dia harus mendapat kesempatan meniti
karier setinggi mungkin. "Fei, yang dibilang papa kamu benar juga. Aku nggak berhak berdiri di
tengah jalan, menghalang-halangimu." Pandu lalu berdiri. "Selamat
malam. Terima kasih atas undangan makan malamnya. Selamat tinggal,
Niken." "Tunggu, Pandu?" Niken mengikuti Pandu yang sudah sampai di
ruang tamu. Merasa diacuhkan, Niken lalu memegang lengan Pandu.
"Ndu. Dengerin aku dulu, kenapa sih" Sampai dua menit yang lalu, aku
nggak tahu kalau aku bakal kuliah di Amerika. Nggak pernah ingin, nggak
pernah terpikir pula. Selama ini aku selalu memikirkan kuliah di UI. Ambil
kedokteran. Dari kecil aku cuma ingin jadi dokter. Kamu nggak berdiri di
tengah jalanku, Ndu. Kalau kamu pergi, kamu justru membawa pergi
impianku." "Fei, coba pikirkan. Aku nggak ingin suatu saat aku, atau kamu,
bertanya-tanya, seandainya saja waktu itu Niken kuliah di Amerika"."
"Aku nggak akan pernah begitu, dan nggak akan pernah membuat kamu
merasa seperti itu. Jujur saja aku nggak suka mendengar ide kuliah di
Amerika. Sama sekali nggak ingin. Sama sekali bukan karena kamu, juga.
Percaya deh, aku cukup keras kepala. Kamu pun tahu. Kalau aku memang
ingin kuliah di Amerika, nggak ada seorangpun atau apapun yang bisa
mencegahku." jawab Niken tegas.
"Fei, ini kesempatan bagus buat kamu, buat masa depan kamu. Aku
nggak mau jadi penghalang. Kamu bisa bilang nggak menyesal
sekarang, tapi nanti-nanti" Aku yang bakal menyesal, pasti. Menyesal
karena orang yang penuh bakat seperti kamu nggak berusaha sebisa
mungkin untuk mengembangkan kemampuanmu."
"Kenapa orang-orang selalu ingin memutuskan perkara untukku" Apa aku
nggak bisa mengambil keputusan sendiri" Apa orang lain, termasuk
kamu, tahu apa yang terbaik untukku?"
"Dalam hal ini, ya. Saat ini aku bisa melihat, kuliah di Amerika adalah yang
terbaik untukmu. Seandainya aku ada di posisimu sekarang, aku pasti
mengambil kesempatan itu tanpa pikir panjang. Sorry, Fei. Aku mesti
pulang sekarang. Terima kasih makan malamnya. Good night?"
Edi dan Oma rupanya mendengarkan percakapan barusan, karena
mereka tepat berada di luar ruang tamu.
"Aku antar, Pandu. Aku juga ingin pulang." kata Edi.
"Nggak usah, Edi. Aku nggak ingin mengacaukan kesempatanmu untuk
menjalin hubungan baik dengan keluarga Tasya."
"Aku sudah punya hubungan baik dengan Oma dan adiknya Tasya. Itu
sudah cukup buatku. Aku ternyata belum cukup kuat untuk melepas
Tasya." Jelas sekali Edi barusan menangis. Matanya merah.
"Ayolah, aku antar pulang sekarang." lanjut Edi lagi. "Permisi, Oma, Niken.
Sup kepitingnya enak sekali. Terima kasih sudah memberiku
kesempatan." "Selamat malam, Oma." kata Pandu berpamitan. "Senang sekali
ketemu Oma. Sekarang saya tahu dari mana Niken mendapat segala
kualitas baiknya." "Ndu,?" Niken nggak tau lagi mesti ngomong apa. Sepertinya Pandu


Niken Dan Pandu Karya Ac Zzz di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sudah yakin sekali pada keputusannya. Niken jadi berasa ingin menangis.
Cengeng sekali, kutuknya dalam hati. Niken lalu berlari ke kamarnya.
Pandu menoleh mendengar langkah lari Niken. Ditatapnya sampai
bayangan Niken menghilang.
"Fei Fei?" Oma mengetuk pintu kamar Niken. Niken sudah dua jam
tidak keluar kamar. Dari luar, terlihat lampu di kamarnya masih terangbenderang.
Niken mengusap air matanya yang sedari tadi mengalir terus tanpa
henti. "Tidak ada salahnya membuka pintu buat Oma", pikirnya.
Masih memeluk boneka Sylvester-nya yang besarnya setengah
badannya, Niken memutar kunci pintu kamarnya.
Begitu Oma masuk, buru-buru dikuncinya lagi pintu itu.
"Wah" kasihan tuh Sylvester jadi basah?" kata Oma berusaha
menghibur cucu tersayangnya itu saat melihat wajah Niken yang basah air
mata dan bibir mungilnya cemberut. Dari kecil kalau marah Niken selalu
memonyongkan bibirnya yang memang merah itu.
"Oma, mestinya aku tahu aku bakal sakit begini kalau jatuh cinta. Ini
semua salahku sendiri. Aku bodoh sekali."
"Yang Oma tahu, Pandu tadi pasti benar-benar sayang sama kamu.
Dia mau datang ke rumahmu walaupun tahu dia bakal dicaci-maki habishabisan. Itu berarti cintanya untukmu lebih berharga buatnya daripada
harga dirinya. Sesuatu yang untuk cowok biasanya sangat dia junjung
tinggi." Niken masih diam saja, memikirkan baik-baik kata-kata yang barusan
Oma bilang. Oma melanjutkan, "Dia bahkan rela melepaskan sesuatu yang sangat
berharga buat dia itu, cintanya, demi masa depanmu. Demi yang dia pikir
terbaik untukmu. Jadi dia pergi itu bukan karena dia berhenti mencintaimu,
tapi karena dia teramat sangat mencintaimu, Fei Fei. Kamu mestinya tidak
boleh bersedih." "Tapi Fei nggak pengen koq kuliah di luar negeri. Fei pengen masuk
fakultas kedokteran di UI. Fei kan juga sudah sering bilang sama Oma,
kan" Papa pasti juga tahu kalau selama ini mendengarkan apa yang
Niken katakan. Selama ini Fei berusaha keras susah-susah
mengumpulkan nilai-nilai bagus cuma untuk masuk UI. Katanya susah
banget masuk UI kalo nggak benar-benar siswa teladan. Fei nggak bisa
berubah arah begitu saja. Papa memang selalu begitu." Niken mengomel
panjang lebar. "Oma tahu. Dari dulu kamu selalu bilang ingin masuk FKUI. Papamu
mungkin nggak tahu, karena dia tidak pernah di rumah. Saran Oma, kamu
lakukan apa yang kamu inginkan. Ambil keputusan terbaik yang kamu
bisa, sesudah itu, jalani keputusan itu dengan sepenuh hati."
"Bagaimana dengan Pandu?"
"Oma lihat, Papa dan Mamamu benar-benar tidak setuju saat ini melihat
kamu dan Pandu pacaran. Selama kamu masih sama Pandu, Papamu
pasti berusaha untuk melepaskan kamu dari dia. Mungkin akibatnya akan
fatal. Terutama buat Pandu. Papamu bisa saja menghalalkan segala cara
untuk memisahkan kamu dan Pandu. Kamu mungkin bakal menyesal
kalau meneruskan hubungan kamu sama Pandu sekarang. Mungkin ini
yang terbaik. Kita lihat saja bagaimana nanti. Oma janji akan bantu kamu.
Kamu tenang saja." "Janji Oma?" "Ya, janji. Yang jelas nanti Oma akan lapor ke papamu bahwa kamu
sudah putus hubungan sama Pandu. Jadi keadaan aman terjamin dulu.
Oma belum punya ide sekarang ini bagaimana caranya membantumu.
Tapi pasti beres deh?"
Ada sedikit kelegaan di hati Niken.
"Lagipula," lanjut Oma lagi. "Oma lihat Pandu begitu mencintaimu. Rasa
sayang itu tidak bisa cepat hilang seperti ditiup angin. Kalau memang
jodoh nanti pasti kembali lagi."
"Fei juga sayang sama Pandu. Kenapa sih susah amat sudah samasama sayang tidak bisa bersatu?" keluh Niken.
Oma tersenyum sambil mengelus-elus rambut Niken.
"Mau denger cerita cinta Oma?"
Niken mengangguk, tertarik.
"Kamu tahu kan kalau Oma itu juga anak orang kaya, walaupun nggak
sekaya kamu sekarang?"
Niken bingung. "Tapi kata Papa, waktu Papa masih kecil, papa nggak
punya duit, makanya Papa bisa berhasil seperti sekarang ini karena
gemblengan dari Opa?"
"Iya. Tunggu dulu. Oma belum selesai cerita, kan. Baru saja dimulai. Oma
itu anak saudagar kaya di Pati. Opa itu cinta pertama Oma. Oma ketemu
dia tahun 1943, waktu Oma masih umur enam belas tahun. Dia anak
pengusaha saingan ayah Oma. Karena tahu bakal dilarang pacaran,
terutama karena waktu itu jarang orang pacaran. Oma bahkan sudah
dijodohkan sama anak seorang juragan beras yang kaya dari Juana."
"Wah" Oma pacaran juga, yah" Terus, bagaimana jadinya?" Niken
tambah tertarik. "Waktu itu jaman perang. Tiga tahun kami pacaran sembunyi-sembunyi,
tidak ada orang yang tahu. Tahun 1946, rumah dan pabrik ayah Opamu
yang memang letaknya bersebelahan, terbakar habis. Sejak saat itu, Oma
nggak pernah dengar lagi kabar Opa selama setahun lebih. Sementara
itu, Oma sudah hampir dinikahkan sama pria Juana itu. Mendadak
sebulan sebelum pesta pernikahan, Opamu muncul di rumah. Sehat
walafiat." "Lalu?" tanya Niken.
"Lalu, dia melamar Oma. Tentu saja tidak diperbolehkan. Apalagi
semua tahu kalau Opa-mu bukan lagi anak orang kaya, karena ayahnya
sudah bangkrut karena kebakaran itu. Opamu rupanya selama setahun
bekerja memeras keringat sampai bisa membeli rumah kecil di Kudus itu.
Baru dia berani melamar Oma. Oma tidak peduli tidak direstui orang tua,
besoknya Oma sama Opa menikah catatan sipil. Karena peristiwa itu,
Oma sama sekali tidak mendapat hak warisan keluarga. Oma tidak
peduli. Oma tidak butuh warisan."
"Ooh" pantesan Oma ngotot nggak mau jual rumah Kudus. Rupanya
rumah bersejarah, ya?"
"Jadi kamu dengar sendiri, Oma juga pernah mengalami seperti yang
kamu alami sekarang. Mencintai tapi tida memiliki. Oma bahkan tidak tahu
Opamu masih hidup selama setahun lebih. Tapi kami berdua samasama mencintai, jadi bisa bersatu lagi."
Niken nggak percaya ternyata Oma-nya ini punya kisah cinta yang seru.
"Melihat kamu sekarang, Fei, Oma jadi seperti melihat diri Oma
sendiri waktu Oma masih muda. Kamu mesti yakin sama keinginanmu
sendiri. Pasti kamu dapat jalan. Kamu boleh percaya deh kata-kata Oma.
Lihat Oma. Saksi hidup bahwa cinta itu ada."
"Terus cowok Juana itu bagaimana nasibnya, Oma?" tanya Niken geli.
"Oh, dia juga nggak betul-betul ingin menikahi Oma. Dia juga terpaksa koq
dijodohkan. Sesudah Oma menikah sama Opamu, dia pernah datang ke
rumah, berterima kasih."
"Wah, jadi pada jaman orang pada dijodohin, Oma sudah berani pacaran.
Oma pasti nakal sekali yah?" goda Niken. "Tapi Oma hebat deh, pacaran
backstreet 3 tahun nggak ketahuan. Oma top deh." kata Niken sambil
mengacungkan jempolnya. "Ada-ada saja kamu ini, Fei."
"Makasih ya Oma, Fei jadi terhibur abis denger cerita Oma. Sekarang
Oma pasti capek. Oma tidur sama Fei Fei ya malam ini. Biar Sylvester tidur
di lantai." "Kasian, sudah basah masih tidur di lantai lagi. Masuk angin dia nanti?"
gurau Oma. "Ndu!" panggil Wulan saat istirahat pertama.
"Kalau kamu mau mengkuliahi aku tentang Niken, urungkan saja niatmu,
Wulan. Aku lagi nggak mood." kata Pandu.
"Nggak. Aku ke sini disuruh Niken."
"Disuruh Niken" Kemana dia" Koq hari ini nggak masuk?" kata Pandu
sambil menunjuk kursi di sebelahnya.
"Dia masuk koq pagi-pagi tadi. Trus dipanggil Pak Yusril, katanya kita mau
ikut ambil bagian di acara festival di Universitas Diponegoro tahun ini,
kayaknya masih 10 bulan lagi sih. Bakal jadi acara besar-besaran,
kayaknya. Ini dia keluar, ke Undip, mengurus pendaftaran dan tetek
bengeknya. Aku cuma disuruh kasih ini ke kamu." kata Wulan sambil
menyodorkan sepucuk surat.
Wulan terus berdiri di depannya selama Pandu membaca yang ditulis
Niken. Rupanya bukan surat, tapi puisi.
Tangan-tangan kecil kita Berusaha menggapai dunia Bukan salah siapa-siapa Dunia tak tergenggam Melati di taman hati Akan terus bersemi Dengan sabar menanti Sentuhan lembut penuh kasih
Sepercik gerimis pemuas dahaga
Cukup untuk melati selamanya
Jika kita tak putus sabar
Di hari mendatang Dunia pasti "kan tergenggam
Tangan-tangan kecil kita "Apa katanya?" tanya Wulan.
"Kenapa?" tanya Pandu. "Dia bilang apa ke kamu?"
"Aku tahu semalam kamu diundang makan malam. Aku pernah diundang
makan malam, suasananya benar-benar nggak enak. Makanya
belakangan aku nggak pernah mau datang kalau ada papa-mamanya.
Kemarin kamu dibantai ya?"
"Nggak." jawab Pandu singkat. "Memangnya Niken bilang apa ke kamu?"
"Pagi tadi dia cerita panjang lebar tentang kisah cinta neneknya. Dengan
wajah ceria dia meyakinkanku bahwa cinta sejati itu bener-bener ada, dan
dia nggak akan berhenti sampai dia berhasil mendapatkannya kembali.
Aku sama sekali nggak ngerti maksudnya. Makanya aku tanya ke kamu
ini." "Dia" Wulan, aku juga jadi nggak mengerti sekarang." Pandu jadi
ikutan bingung. "Kemarin malam, aku sudah ucapkan selamat tinggal ke
dia. Koq sekarang?""
"Selamat tinggal" Maksudmu?"
"Gini deh. Kemarin, satu-satunya alesan yang berhasil membuat aku
pulang cuma karena Niken mau disekolahkan di luar negeri. Dan aku
merasa bakal jadi penghalang prestasi Niken kalau aku terus pacaran
sama dia. Jadi aku pulang, dan aku lepaskan dia. Semalaman aku nggak
bisa tidur. Aku bahkan menangis kemarin malam, karena nggak tahu aku
mesti sedih atau gembira."
"Kalau kemarin dia putus sama kamu, kenapa dia nggak keliatan seperti
orang habis putus?" tanya Wulan.
"Itu dia yang bikin aku bingung. Jangan-jangan dia nggak mengerti
maksudku. Tapi setahuku dia paham betul koq. Terakhir kali aku tinggal
juga nangis koq. Bukannya aku ingin dia menangis, tapi koq dia masih
bicara tentang cinta sih?" kata Pandu seakan-akan bertanya pada diri
sendiri. "Lantas, dia bilang apa di suratnya?" tanya Wulan tambah bingung.
"Bukan surat, tapi puisi. Nih, baca aja sendiri. Pasti tambah pusing seperti
aku setelah baca deh."
Wulan lalu membaca puisi yang ditulis Niken kemarin malam.
Dia lalu mengernyitkan dahinya. Alisnya naik turun.
"Ndu, sungguh tadi pagi dia itu kelihatan hepi koq. Puisinya juga nggak
menunjukkan tanda-tanda kesedihan. Sejak kenal kamu, puisi Niken
memang selalu bernada hepi. Tidak terkecuali yang ini. Eh, itu dia datang."
kata Wulan sambil menunjuk ke arah luar gerbang. Niken sedang berjalan
masuk membawa setumpuk map di tangannya.
"Gimana Nik?" tanya Wulan datang menghampiri Niken di luar kelas.
"Bagus, kita bisa ikutan di acara festival. Universitas dan sekolah dari luar
Jawa juga bakal ikut ambil bagian, lho. Pasti ramai nih. Temanya
"Generasi Muda dalam Pembangunan". Aku nggak tau kapan susunan
panitia harus final, tapi yang jelas nggak dalam waktu dekat ini lah. Karena
kan minggu depan udah mulai test kenaikan kelas." lapor Niken berapiapi.
"Maksudku bukan itu. Maksudku dia?" kata Wulan sambil menunjuk
ke arah Pandu. "Lha bagaimana" Udah kamu sampaikan yang aku pesan?" tanya Niken.
"Ya sudah. Makanya itu aku bingung."
"Ya sudah kalau sudah. Berarti sudah beres. Makasih ya Wulan." Niken
tersenyum. Wulan cuma menggeleng-gelengkan kepalanya. Niken nggak sempat
ngomong apa-apa ke Pandu karena bel sudah berbunyi.
Setelah bel pulang sekolah, Pandu tidak tahan lagi untuk tidak angkat
bicara. "Fei, kamu bisa tinggal di kelas sebentar?"
"Bisa saja. Apalagi kalo kamu nggak berdiri-berdiri begini kan aku juga
nggak bisa lewat." kata Niken geli.
"Kamu ini bagaimana, sih" Tersambar geledek tadi malam" Kena
amnesia?" "Kamu sudah baca yang aku tulis semalam?" tanya Niken seperti
nggak mendengar yang barusan Pandu bilang.
"Itu yang aku ingin ngomong." jawab Pandu.
"Sudah apa belum?" tanya Niken lagi.
"Sudah dong. Tapi aku nggak mengerti maksudmu. Lebih baik kamu
bicara pakai bahasa yang bisa aku mengerti saja, deh."
"Wah, nggak seru, dong, kalau aku mesti menjelaskan segala-galanya.
Apa tujuannya aku menulis puisi coba" Dianalisa sendiri lah?" kata
Niken geli, dan berusaha mengelak.
"Oke, nih aku baca lagi. Sekaligus aku berikan analisaku. Kalau salah
jangan marah ya, kamu tahu sendiri bakat puisiku minus."
"Mulai sana." Pandu membuka lagi kertas yang dilipat empat itu.
Tangan-tangan kecil kita Berusaha menggapai dunia Bukan salah siapa-siapa Dunia tak tergenggam "Kita itu maksudnya kamu sama aku kan?" tanya Pandu memastikan.
"Aduh pinteeeeeerrr" Kalau sudah besar mau jadi penerbang ya?" ledek
Niken. Pandu tersenyum geli. "Memang gila ini anak", batinnya.
"Kita, menggapai dunia, tapi dunia tak tergapai, bukan salah siapasiapa" Hmm" Kayaknya ini aku bisa menangkap. Kamu bilang, kemarin
kita putus tapi kamu nggak nyalahin siapa-siapa, gitu kan?"
"Kira-kira begitu intinya. Tapi nggak cuma itu. Tangan-tangan kecil kita,
kata "kecil" di situ menunjukkan fakta bahwa tangan kita masih terlalu kecil
untuk menggapai "dunia" saat ini."
"Jadi?" "Jadi, aku sayang kamu, kamu sayang aku. Tapi ada hal-hal lain yang di
luar jangkauan kita yang nggak memungkinkan kita untuk bersatu saat
ini." "Aku mengerti sekarang. Aku lanjutin ya?"
Melati di taman hati Akan terus bersemi Dengan sabar menanti Sentuhan lembut penuh kasih
"Awas kamu kalo tanya "Melati itu siapa?"!" ancam Niken.
"Nggak. Aku ngerti koq. Yang kamu maksudkan di sini cinta kan" Tapi
yang aku nggak mengerti adalah apa maksud kamu bilang sabar
menanti?" "Aduh" bener-bener blo"on deh. Perasaan aku menulis puisi itu pakai
bahasa Indonesia. Apa sebegitu susah dimengerti sih?"
"Oke-oke. Aku mikir lagi." kata Pandu sambil memutar otaknya. Payah,
seperti ujian bahasa Indonesia saja.
"Gabungin sekalian sama dua baris di bawahnya." kata Niken memberi
petunjuk. Sepercik gerimis pemuas dahaga
Cukup untuk melati selamanya


Niken Dan Pandu Karya Ac Zzz di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Nyerah deh, Fei. Aku sepertinya mengerti maksud kamu, tapi nggak
sesuai dengan kenyataan bahwa kita sekarang udah nggak pacaran."
"Kamu udah ada di arah yang bener. Kamu tadi bilang kamu mengerti
maksudku, apa yang kamu mengerti?"
"Kamu berusaha bilang, kamu bakal tetap sayang sama aku, dan mau
menungguku. Aku nggak ngerti dua baris selanjutnya, tapi itu kan kira-kira
intinya?" "Ah, susah deh main teka-teki sama kamu. Aku jelasin saja deh."
"Puji Tuhan!" kata Pandu menghela napas lega.
Niken tertawa. "Setelah kamu pulang, aku menangis terus. Aku nggak tau berapa
lama aku menangis, tapi sampe agak larut sih. Aku berusaha
menenangkan diri dengan menulis puisi, tapi nggak ada kata-kata yang
keluar. Semakin aku berusaha melupakan kesedihanku dengan
memikirkan sesuatu, semakin aku teringat kamu."
"Sejauh ini masih bisa aku mengerti, karena aku juga mengalami hal yang
sama. Lantas?" "Waktu itu aku memikirkan, betapa jelek nasibku, sangat ironis sekali.
Aku yang nggak pernah ingin jatuh cinta, yang tahu apa akibatnya kalau
aku jatuh cinta, akhirnya jatuh cinta juga, dan segera sesudah aku
memberikan hatiku, aku mengalami akibat yang aku sudah tahu
sebelumnya." "Fei" Maaf kalau aku melukaimu. Aku nggak pernah bermaksud seperti
itu. Aku benar-benar sayang sama kamu. Aku tahu kamu mungkin nggak
akan pernah percaya lagi sama aku abis kejadian semalam."
"Aku tahu itu. Aku baru sadar setelah Oma masuk. Justru karena
kamu sayang sama aku, maka kamu ambil keputusan semalam. Aku
sangat menghargai pengorbananmu, Ndu. Dan itu bukan membuat aku
jadi patah hati, tapi justru bangga, dan aku jadi tambah sayang sama
kamu." "Tapi aku nggak pengen kamu tambah sayang sama aku, karena kamu
bakal tambah kecewa dan susah melupakanku."
"Kamu nggak bisa mencegah itu. Aku sendiri juga nggak bisa. Kamu
tahu burung albatross nggak, Ndu?"
"Tahu. Yang tinggalnya di daerah dingin."
"Burung albatross itu seumur idup cuma satu pasangannya. Mereka
menunggu sampai menemukan pasangannya, trus abis itu hidup berdua
selama-lamanya. Sebelum yang cewek datang, yang cowok bikin sarang
Pedang Kiri 22 Animorphs - 35 Tawaran The Proposal Kitab Pusaka 12
^