Pencarian

Panorama Jiwa 1

Panorama Jiwa Dan Pesona Dua Rembulan Karya Sutanto Ari Wibowo Bagian 1


i? ? Panorama Jiwa & Pesona Dua Rembulan
?Sutanto Ari Wibowo 2010 ii? ? Kata Pengantar ''Ketika cinta terbakar oleh amarah. Ketika amarah tersulut oleh dergama. Di saat itulah malaikat dan
iblis akan bertarung memperebutkan jiwa murnimu; mengelupas keimananmu atau meluruskan
jalanmu. Kau takkan percaya kalau kau harus memisahkannya dengan sebilah belati, yang tak hanya
akan membunuh jiwamu, tapi juga nyawamu...''
iii? ? Panorama Jiwa Dan Pesona Dua Rembulan
Cerpen karya: Sutanto Ari Wibowo
Akan kuiris lidah mereka dengan silet pelan-pelan! Akan kurobek
mulut mereka dengan belati yang sangat tajam! Akan kusumpal mulut
mereka dengan tinja dan menghantamnya keras-keras sampai gigi-giginya
rontok, ibu"! Malam ini hujan turun dengan begitu dahsyat menakutkan. Angin
menderu-deru , menampar wajahku yang muram waktu aku melihat dari
jendela. Ribut. Gayut. Kalut. Kelabu. Hanya kelibat dedaunan dan rantingranting pohon yang bereksplosi tajam ke dalam palung jiwaku yang sempat
beku dan jeri. Langit muram. Mendung hitam. Suram. Seperti suasana hatiku
saat ini. Seluruh fentilasi mendesau-desau seperti hembusan napasku yang
membelasut kasar. Sumbang. Subam. Luapan jiwaku yang terbakar.
Cerau air hujan yang berdembun di genting menimbulkan suatu
makna siksa yang perih dan getir yang berkepanjangan. Semakin aku
merasakannya, semakin terasa pula luka rabak dalam hatiku yang kian pedih
dan nyeri. Seperti disayat belati.
Kuacuhi panorama malam yang mencekam itu segera, karena lagi-lagi
mendengar isak tangis ibuku yang menderu hatiku ke arah dergama.
Hiks, hiks, hiks" "Mama, mama" Mama nangis lagi ya?" celoteh adikku satu-satunya
yang sangat kusayangi, menghambur ke dalam pangkuan ibuku.
"Tidak sayang, Mama tidak menangis. Air mata ini adalah air mata
bahagia?" Sepasang mata merah yang basah itu menatap malaikat kecil
terbengong-bengong dalam rengkuhannya.
"Bahagia?" tanya adikku polos.
1? ? "Iya, sayang. Karena kamu sangat sayang kepada Mama.." Satu ciuman
kasih sayang menyentuh di keningnya. Ibuku tetap menangis dan adikku
masih melongo melihatnya"adikku memanggil ibu dengan panggilan Mama,
sedangkan aku memanggil ibu dengan panggilan Ibu saja.
"Sayang?" Polos sekali ucapannya. Ya, adikku memang masih polos.
Baru berumur tiga tahunan.
Sebelum aku melihat wajah ibu yang hampir kehabisan kata-kata
untuk menjawabnya"walaupun raut itu sudah tampak sedari tadi"aku
menghampirinya dan langsung meletuskan sebuah pertanyaan.
"Ibu diracauin mereka lagi?"?" tanyaku penuh amarah. Tentunya
bukan kepada ibuku, mMelainkan kepada mereka.
Ibuku diam saja dan adikku menatapku dengan wajah polosnya.
"Bangsat!! Akan kuiris lidah kalian dengan silet pelan-pelan! Akan
kurobek mulut kalian dengan belati yang sangat tajam! Akan kusumpal mulut
kalian dengan tinja dan menghantamnya keras-keras sampai gigi-gigi kalian
rontok!!!" Amarahku menggebu dengan gerakan dada yang naik-turun.
"Kau tidak akan melakukannya kan?" Nada indah yang bergetar keluar
dari mulut ibuku, melebihi getaran tubuhku saat ini. Aku diam saja.
"Kau tidak akan melakukannya kalau ibu yang meminta kan, Satria?"
Kali ini lebih bergetar dari ucapan merdu sebelumnya. Aku makin membisu.
Aku tak tahu harus berbuat apa lagi kalau ibu sudah melantunkan iftah yang
sedemikian rupa. Ucapan ibu laksana air syurga yang mengguyur api syaitan
dalam hatiku, menjadikannya padam. Aku luluh. Lentuk oleh lentingan indah
dari bibir bidadari berambut melati itu.
"Kemarilah, Nak. Tidurlah kau di sampingku. Kau akan mengerti
setelah kuceritakan tentang kisah: kenapa Nabi Isa diangkat ke langit oleh
Tuhan, dan kenapa Yessus Kristus disalib oleh orang-orang. Kemarilah, Nak.
Tidurlah kau di sampingku?"
Langkahku pelan mendekatinya, seperti pelannya ibu menceritakan
kisah Nabi Isa dan Yessus Kristus itu ketika aku terbaring di sisinya dengan
2? ? naungan hangat sayap-sayapnya. Aku pun terbang ke dalam syurga mimpi
yang indah, larut dengan suara ibu yang merdu.
Di dalam mimpiku, aku melihat malaikat-malaikat kecil yang tertawa
riang, berlari-larian mengitari sebuah pohon besar yang sangat rindang.
Mereka saling berkejaran dengan gelak tawa yang bahagia. Beberapa
malaikat-malaikat lain dengan sayapnya yang berwarna putih keperakan
duduk-duduk di sebuah kursi, di kerindangan pohon besar itu dengan
perasaan damai sambil melantunkan kalimat-kalimat dan nyanyi-nyanyian
puji-pujian kepada Tuhan. Begitu merdu. Begitu indah dipandang mata.
Dengan perasaan takjub yang luar biasa aku merasuk ke dalam
keramaian para malaikat-malaikat kecil itu yang sedang asyik berlari-larian.
"Kakak siapa?" tanya salah satu malaikat kecil yang tiba-tiba menghampiriku dengan lugunya.
"Saya Satria?" Melugu pula jawabanku. Malaikat kecil itu tersenyum
manis dan langsung pergi tanpa meninggalkan sepatah kata pun untukku, dan
berlari-larian lagi bersama malaikat-malaikat kecil yang lainnya.
Kukitarkan pandanganku ke semua tempat.
Maka ketakjubanku pun sangat di ujung batas ketika menyaksikan
kepakan sayap-sayap bidadari yang beterbangan di udara, dengan pancaran
sinar dari bulu-bulunya yang gemilang, memendarkan semua warna-warni
pelangi yang adiwarna. Bidadari itu beterbangan ke sana-kemari menyebarkan kristal-kristal kecil yang berkilauan mirip putik-putik bunga
yang berwarna kuning keemasan. Tak hanya itu. Beberapa kristal kecil yang
berwarna kuning keemasan itu menghasilkan wangi yang sangat harum, dan
bila dipegang akan menjadi seberkas cahaya ungu yang kemudian akan
menjelma menjadi kupu-kupu dengan sayap-sayapnya yang berkilauan.
Begitu menakjupkan. Seperti di syurga saja.
Tapi tiba-tiba saja datang sesosok tubuh yang bercahaya rembulan,
mengepak-ngepakkan kedua sayap lebarnya yang serupa bunga mawar,
menghampiriku. Kemudian ia menyapaku dengan lantunan suara yang sangat
3? ? lembut, yang suara itu sudah tidak asing lagi bagi telingaku. "Satria, satria"
Kemarilah, Satria" Kemarilah, Satria?"
Kulihat lebih saksama bidadari itu. Ternyata, bidadari itu, itu adalah"
ibuku! "Ibuuuuu".!" Dengan hati berdebar langsung kupanggil ia.
"Satria, satria" Kemarilah, Satria" Kemarilah, Satria?" Bidadari
berambut melati itu masih mengepak-ngepakkan sayap-sayapnya yang
berkilauan. "Ibuuuuu"!" Kupanggil lagi ia. Kali ini dengan suara yang bergetar,
dan hati yang lebih berdebar dari sebelumnya.
"Satria, satria" Kemarilah, Satria" Kemarilah?"
"Ibuuuuu"! Kemarilah, Ibu! Satria ingin lebih dekat dengan Ibu!
Satria ingin merasakan kehangatan sayap-sayap Ibu! Ibuuuu"!"
"Satria" Kemarilah, Satria" Kemarilah, Nak?"
Tapi bidadari berambut melati itu semakin jauh. Sayap-sayap
pelanginya yang berkilauan semakin pudar.
"Satria" Kemarilah, Satria" Kemarilah?" Semakin samar suaranya.
Semakin jauh pula dariku.
"Ibuuuuu"! Jangan pergi, Bu! Jangan tinggalkan Satria sendirian!
Satria ingin lelap dalam kehangatan sayap-sayap ibu! Ibuuuu! Jangan
pergiiiiii"!" Tapi bidadari berambut melati itu semakin menjauh. Jauh sekali.
Hingga lenyap dari tangkapan mata.
"Ibuuuuu"! Jangan pergi, Bu"!" Dengan sekuat tenaga kukejar
bidadari berambut melati itu. Tapi tak bisa. Bidadari berambut melati itu lalu
menghilang, meninggalkan setitik cahaya yang berkerlip seperti bintang di
langit. "Ibuuuuuuuuuu?"..!!!"
Tiba-tiba aku terdusin dari mimpi yang indah itu. Seketika saja
pandanganku menujam kepada adik kecil kesayanganku yang menangis
4? ? tersedu-sedu sambil mengucek-ucek matanya yang merah basah di
sampingku. "Kenapa, Ga" Kenapa kamu menangis?" tanyaku lembut sambil
mengelus-elus kepala adikku yang mulus itu.
"Hiks" Mama, Kak! Mama" hiks"!"
"Kenapa Mama" Ada apa dengan Mama?"
"Hiks" Mama ditangkap orang-orang" hiks?"
Kurang ajar! Binatang-binatang tak tahu malu! Beraninya main
belakang! Awas kalian! Akan kurobek mulut kalian! Ancamku geram dalam
hati setelah berlalu dari adikku; mengambil belati dari dapur dan silet kecil
yang sangat tajam di atas meja belajarku yang biasa kugunakan untuk meraut
pensil yang patah. "Kakak mau kemana?" Malaikat itu bertanya dengan raut wajah resah.
Baru kali ini aku melihat wajah mungil adikku seperti itu. Ketakutan.
Maka dengan terpaksa sejumlah senyum pun harus kurekahkan,
karena aku tak mau membuat adikku semakin bertambah cemas dan
ketakutan. "Kakak keluar sebentar ya" Kakak mau mengajak ibu pulang."
"Gagah ikut, Kak!"
"Jangan, Gagah di rumah saja. Di luar banyak binatang-binatang
buasnya?" Akhirnya dengan sedikit rayuan gombal adikku pun mau mengerti.
Sesungging senyum hampa yang tadi kupaksakan langsung sirna ketika
hidungku sudah menghembuskan napas neraka, saat aku merasakan titik-titik
hujan menjatuhi ubun-ubunku yang mendidih di depan rumah.
Sesaat langkahku mengayun, hujan sudah menunjukkan kepuasannya.
Kristal-kristal dingin berwarna putih bening yang berjatuhan di atas kepalaku
perlahan menghilang, bersamaan menghilangnya pula kesabaranku selama
ini. Aku, Satria! Lahir di malam Jum"at Kliwon! Saat setan-setan dan iblisiblis bersuka ria menikmati segala sesajen yang dipersembahkan para
5? ? orangtua dan para leluhur di pohon-pohon besar yang keramat! Saat semua
cakar-cakar panjangnya menampari mukaku yang masih berlumuran darah!
Dan saat tawa mereka membahana ke seluruh penjuru dunia melihatku
menangis sesenggukan karena disiksanya" aku bersumpah! Akan kuiris lidah
mereka dengan silet pelan-pelan! Akan kurobek mulut mereka dengan belati
yang sangat tajam! Akan kusumpal mulut mereka dengan tinja dan
menghantamnya keras-keras sampai gigi-giginya rontok!!!
Selalu kuucapkan kalimat-kalimat iblis itu seiring langkah kakiku yang
telanjang bergetar. Sebilah belati di tangan kananku. Sebuah silet kecil di tangan kiriku.
Segunung api neraka membara di hatiku. Semuanya berbaur menjadi satu,
seakan menjelma menjadi satu kekuatan yang maha dahsyat dalam tubuhku.
"Akan kuiris lidah kalian dengan silet pelan-pelan! Akan kurobek
mulut kalian dengan belati yang sangat tajam! Akan kusumpal mulut kalian
dengan tinja dan menghantamnya keras-keras sampai gigi-gigi kalian rontok!"
Kulantunkan masih kalimat-kalimat terkutuk itu menemani langkah kakiku
yang semakin cepat. Dan kepanikan kaki-kakiku pun semakin merajalela, tatkala kedua
bola mataku melihat sebuah arak-arakan mirip arak-arakan penyalipan
Yessus Kristus, di sebuah tempat luas yang berduri. Mereka semua membawa
cambuk dengan sesekali meletuskan cambuk mereka yang bersuara perih,
kepada seseorang yang telah mereka ikat dalam salib besar itu.
Ohh, tidak! Bangsat! Ibuku! Ternyata ibuku yang mereka salib!!!
Kedua tangan lembut yang selalu membelai kepalaku dan adikku
mereka ikat kencang dalam bentangan salib raksasa, dengan luka kerat
menganga dimana-mana, yang sesekali bibir jelita itu melentingkan lenguhan
suara yang perih yang menyayat hati, tatkala cambuk itu dihunuskan.
Kedua tanganku pun semakin bergetar tak keruan. Pengangan sebilah
belati di tangan kananku dan sebuah silet kecil yang tajam di tangan kiriku
semakin kueratkan. Kencang. Seperti memegang tali kemudi kuda. Dadaku
serasa sesak. Sepat. Karena napas panas keluar-masuk tidak beraturan.
6? ? Seperti banteng yang sedang marah-marah. Seluruh tubuhku seperti terbakar
dan ubun-ubunku telah sampai pada titik didih yang paling panas.
Jahanam! Akan kuiris lidah kalian dengan siletku ini pelan-pelan!
Akan kurobek mulut kalian dengan belatiku ini yang sangat tajam! Lalu akan
kusumpal mulut kalian dengan tinjaku sampai penuh dan kuhantam kuatkuat rahang kalian sampai gigi-gigi kalian rontok! Sumpahku dalam hati.
Maka kuhampiri segera ritual arak-arakan itu. Kudekati mereka. Para
syaitan dan iblis-iblis laknat bercula satu yang mengiringi arak-arakan itu
masih saja menari-nari sambil melentingkan tawa sadis mereka yang
menusuk di kuping, dengan sesekali menghajar tubuh lemah ibuku yang
dipancang dalam salib hingga melenguhkan suara sakit yang teramat sakit.
Kristal-kristal cair yang berkaca dalam pengelihatanku seakan kembali
membeku dan tak sanggup lagi untuk mencair menjadi sebuah titik-titik indah
yang berkilauan di pipiku. Berang aku. Dendamku kepada mereka semakin
menganga. Tubuhku semakin menggempa dan seluruh pori-pori kulitku
seperti diperas, sehingga mengeluarkan titik-titik peluh yang licin dan bating,
membuat tanganku basah begitu pula belati dan silet kecil yang kupegang.
Kebah. Membuatku gegabah.
Langkahku semakin dekat dan dekat.
Para syaitan dan iblis bercula satu masih menyeringai sinis, menarinari belingkangan dan menyoraki keadaan ibuku yang begitu tragis dan
mengenaskan. Aku bertambah berang! Akan kuiris lidah kalian dengan silet pelan-pelan! Akan kurobek
mulut kalian dengan belati yang sangat tajam! Akan kusumpal mulut kalian
dengan tinja dan menghantamnya keras-keras sampai gigi-gigi kalian
rontok! Amarahku sangat membara. Seperti singa yang diganggu tidurnya. Aku
seperti menjadi api hitam yang sangat panas, yang akan membakar mulutmulut kotor binatang-binatang busuk itu sampai gosong.
Dan" dekat! 7? ? Di saat yang hampir saja aku menerkamkan sebilah belati di punggung
salah satu manusia biadab itu, tiba-tiba saja muncullah sesosok wanita
bersayap pelangi yang seluruh tubuhnya dipenuhi cahaya yang gemerlapan
dari bahu sebelah kananku. Ia berbisik-bisik pelan di telingaku.
"Jangan kau lakukan itu, Satria! Itu adalah perbuatan dosa! Dosa! Kau
tak layak melakukan itu!"


Panorama Jiwa Dan Pesona Dua Rembulan Karya Sutanto Ari Wibowo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Setelah munculnya sesosok wanita bersayap pelangi itu, tiba-tiba saja
muncullah jua sesosok laki-laki berambut api bercula emas dari bahu sebelah
kiriku. Ia juga berbisik-bisik di telingaku, tapi dengan nada yang lebih keras.
"Ayo, Satria! Lakukan itu! Terkam punggung manusia itu! Itu akan
sangat mengasyikkan, Satria!"
"Jangan lakukan itu, Satria! Dosa! Itu adalah perbuatan dosa!" bisik
wanita bersayap pelangi di kuping sebelah kananku lagi.
"Lakukan, Satria! Apa kau tidak mau menolong ibumu yang akan
dibunuh mereka"!!" bisik laki-laki berambut api bercula emas dari kuping
sebelah kiriku menghentak.
"Jangan, Satria! Kau akan menyesal! Kau akan menyesal setelah
melakukannya! Jangan, Satria!!"
"Jangan pedulikan omongan itu, Satria! Kau harus mendengarkan aku!
Terkam punggung manusia itu dengan belatimu! Apa kau tidak kasihan
dengan ibumu" Apa kau tidak kasihan melihat ibumu disiksa oleh manusiamanusia dungu itu" Ayo, Satria! Terkam punggung manusia itu sekarang!"
"Jangan dengarkan ocehan iblis itu, Satria! Dosa! Itu adalah perbuatan
dosa! Apa kau tidak kasihan kepada ibumu, kalau ibumu yang akan
menanggung dosa yang telah kau perbuat itu" Ayolah, Satria! Letakkan belati
dan silet itu segera!"
"Kau akan menyesal, Satria! Kau akan menyesal setelah ibumu mati
disalib oleh mereka!!!" Suara laki-laki berambut api bercula emas itu semakin
meledak-ledak di kupingku.
"Jangan, Satria! Jangan!" teriak wanita bersayap pelangi itu sangat
keras di kuping kananku. 8? ? "Lakukan, Satria! Lakukan! Maka kau akan kuberi syurga dalam cula
emasku ini"!" balas teriak laki-laki berambut api bercula emas di kuping
kiriku. "Jangan, Satria!"
"Lakukan, Satria!"
"Jangan!" "Lakukan!" "Jangan!" "Lakukan!" Menyeruak suara-suara gaib itu melewati kupingku dan menyusup ke
dalam hatiku yang semakin membuat kacau pikiranku. Apa yang harus aku
lakukan" Menghabisi nyawa binatang-binatang tak berperikemanusiaan itu
atau meletakkan sebilah belati dan silet kecil yang sangat tajam ini segera"
Batinku gamam. Hingga setelah perdebatan dalam hatiku memuncak, sesosok laki-laki
berambut api bercula emas yang disebut "iblis" oleh wanita bersayap pelangi
itu muncul dengan tubuh teramat besar, membawa tombak bermata tiga yang
disebut trisula. Dan dengan gerakan yang sangat cepat sekali trisula itu
dihunuskan ke lambung wanita bersayap pelangi itu, dan menghilanglah ia.
"Hahahahaha, sekarang lakukanlah apa yang menjadi niatmu tadi,
Satria! Bunuh manusia itu! Tancapkan sebilah belatimu itu di punggungnya,
dan robek-robek mulut-mulut kotor itu dengan silet kecilmu! Lakukanlah,
Satria! Lakukanlah"!" katanya dengan sopan.
Hatiku yang beku mencair, menguap, dan menyublim kembali menjadi
gumpalan-gumpalan emosi yang sangat mengangah. Marah! Aku seperti
sudah dikuasai syetan! Maka genggaman tanganku yang sempat melemah itu mengukuh
kembali, bersamaan dengan mengukuhnya niatku untuk menerkam punggung
manusia berperikebinatangan itu.
Akan kuiris lidah kalian dengan silet pelan-pelan! Akan kurobek mulut
kalian dengan belati yang sangat tajam! Lalu kusumpal mulut kalian dengan
9? ? tinja dan menghantamnya keras-keras sampai gigi-gigi kalian rontok! Seruak
batinku berang yang perlahan-lahan menghampiri punggung laki-laki itu,
yang letaknya strategis tepat di depanku.
Maka kuangkat sebilah belati yang sangat tajam di tangan kananku
dengan bergetar, dan siap menghajar punggung laki-laki itu dengan mata
belati yang lancip dan berkilat-kilat.
"Ayo, lekas lakukan itu, Satria! Kau akan puas melakukannya! Itu
adalah hal yang sangat menyenangkan!!!" Ketiga mata trisula yang dipegang
iblis berambut api bercula emas itu pun telah mengarah pula di punggung
manusia yang akan kuserang.
Kedua tanganku semakin bergetar dan basah. Pegangan tanganku
semakin kueratkan. Kuat! Tapi, di saat yang begitu menegangkan itu, tiba-tiba terdengarlah
suara lembut yang polos, yang melentukkan hatiku untuk bersegera
mengalihkan perhatian kepadanya, tanpa membutuhkan waktu lama.
"Kakak Satria, kakak Satria" Kakak jangan melakukan itu" Itu
perbuatan dosa, kakak Satria?"
Aku langsung melihat ke bawah. Dan betapa tercengangnya aku,
karena yang melantunkan suara yang polos itu adalah adikku sendiri, adikku
yang sangat kusayangi, Gagah. Astaga, kepada dia bisa sampai di sini, batinku
tak percaya. Adikku menarik-narik ujung bajuku yang basah karena kehujanan dan
keringetan dengan wajah polosnya.
"Kakak Satria, kakak Satria" Kakak tidak usah melakukan itu" Gagah
sudah membuatkan sesuatu buat mereka?"
Sesuatu" Batinku heran.
"Lihat itu, Kak! Lihat itu! Teriakkan pada manusia-manusia kejam itu
supaya melihatnya!" Dan aku pun sangat terkesima melihat sesuatu yang ditunjuk adikku
itu dengan jari-jari mungilnya.
10? ? Tampak sebuah panggung yang teramat luas, seperti panggung
pertunjukan opera, atau seperti gedung kesenian, dengan sebuah tirai lebar
yang menutupinya. "Ayo, Kak! Beritahu mereka! Teriakkan pada mereka segera!
Pertunjukan akan segera dimulai!" Baju basahku semakin ditarik-tarik dengan
kencangnya, seiring mengencangnya pula hatiku untuk meluapkan nafsu iblis
yang mengajakku untuk menancapkan sebilah belati di punggung laki-laki itu
dan melihat suatu pertunjukan apa yang akan ditampilkan dalam panggung
itu. Maka dengan suara yang lantang kuteriakkan segera pada mereka
seperti apa yang diinginkan adikku.
"Hai, Manusia-manusia dungu! Lihatlah ke sana! Kalian akan melihat
suatu pertunjukan yang sangat menakjubkan! Lihatlah, wahai Manusiamanusia bodoh! Lihatlah ke panggung itu!!!"
Semua mata kebencian yang mengiringi ritual arak-arakan penyaliban
ibuku pun akhirnya memandang nanap panggung itu dengan kebengisan
bercampur penasaran. Dan terbukalah tirai panggung yang amat lebar itu dengan sebuah
sinar yang memancar teramat terang dari dalam, berupa lampu-lampu
mercuri yang berjumlah puluhan. Semuanya terperangah melihat hal itu.
Begitu juga aku. Semuanya amat sangat terlongong-longong ketika pertunjukan itu
dimulai, ketika mengetahui sebuah adegan pertunjukan itu ternyata adalah
rekap adegan pencurian kalung berlian yang selama ini menjadi perseteruan
kami. Ya. Ibuku telah difitnah oleh mereka-mereka menjadi pelaku pencuri
kalung berlian itu, padahal bukan, dan belum terbukti. Munafik!
Dalam beberapa menit berikutnya kami masih menyaksikan pertunjukan itu dengan mata melotot tidak percaya. Dan seperti mau
meloncat keluar kedua bola mata ini, tatkala semuanya mengetahui siapa yang
mencuri kalung berlian itu, dari rekap adegan yang tampaknya menjadi
puncak acara pertunjukan itu. Ternyata" jahannam! Iblis! Iblislah yang
11? ? mencurinya! Iblis berambut api bercula emas yang tadi muncul di bahu kiriku!
Iblis itu ternyata! Bangsat! Batinku geram.
Dengan sigapnya aku pun langsung mencari-cari dimana keberadaan
iblis itu berada. "Iblis jahannam! Dimana kau iblis! Bangsat! Jangan
bersembunyi kalau kamu memang berjiwa iblis! Keluar kau"!!!"
Tapi iblis berambut api bercula emas itu menghilang entah kemana.
"Keluar kau, Iblis! Akan kuiris lidahmu dengan silet ini pelan-pelan!
Akan kurobek mulut besarmu itu dengan belati ini yang sangat tajam! Lalu
kusumpal mulut besarmu itu dengan tinjaku sampai penuh dan kuhantam
keras-keras sampai gigi-gigi taringmu rontok! Keluar kau, Iblis laknat
jahannam! Keluarlah! Hadapi aku! Hadapi aku kalau kau memang iblisnya
iblis!!!" Dan tiba-tiba saja melentinglah suara misterius yang keras dan
menakutkan, entah darimana. Suara itu sekeras nafiri, namun terasa berduri
dan penuh kepongahan. "Hahahaha, kau tidak akan bisa membunuhku, Satria! Kau tidak
akan bisa membunuhku! Karena aku telah bersembunyi di dalam tubuh
adikmu! Bunuhlah aku! Bunuhlah aku, Satria! Maka kau akan kehilangan
nyawa adikmu sendiri"!"
Iblis itu! "Bangsat! Keluar kau, Iblis! Keluar dari tubuh adikku sekarang juga!!!"
Sebilah belati dan silet kecil yang kugenggam bergetar hebat.
"Hahahaha, aku takkan keluar dari tubuh anak kecil ini sebelum kamu
menancapkan mata belatimu di dada anak ini?"
"Kakak, jangan pedulikan aku! Bunuhlah aku, Kak! Bunuhlah aku
sebelum terlambat?" "Gagah! Bicara apa kau" Aku takkan mungkin?"
"Kakak Satria" Iblis ini sudah menyatu dengan tubuhku" Jika aku
mati, iblis ini juga akan ikut mati" Ayo cepat, Kak! Bunuh aku sekarang juga!"
"Hahahaha" Ayo bunuh aku, Satria" Bunuh aku"!"
"Cepat, Kak! Aku sudah tidak kuat lagi!"
12? ? "Adik! Aku" aku tak bisa melakukannya padamu"!"
"Cepat bunuh aku, Kak! Tancapkan mata belatimu itu di dadaku!"
"Ayo bunuh aku, Satria! Bunuh aku! Maka anak manis ini nanti juga
akan mati bersamaku"!"
"Kakak Satria, jangan pedulikan aku" Cepat bunuh aku sebelum
terlambat!!!" "Tidaaaaaaaaakkkkk!!!!!!!!!! Iblis laknat! Keluar kau dari tubuh adikku
sekarang juga! Hadapi aku! Hadapi aku kalau kau memang iblis! Akan
kupancung lehermu sampai kepalamu pisah dari tubuhmu! Iblis laknat!!!"
"Hahahahaha, di sini sangat mengasyikkan Satria" Aku takkan
mungkin meninggalkan tubuh mungil ini begitu saja... Hahahaha?"
"Kakak! Kemarikan belati itu, Kak! Kemarikan!" Tangan mungil dan
bersih itu cepat sekali menggapai dan merebut belati yang sedang kupegang.
Aku sama sekali tidak menyadarinya kalau adikku bisa berbuat dengan
sebegitu cepatnya, padahal aku memegangnya dengan erat.
"Adik! Apa yang akan kamu lakukan?"?"
"Biar aku melakukannya sendiri, Kak. Biar aku melakukannya?"
"Tidak!!! Jangan lakukan itu, Gagah!!! Kamu bisa membunuh dirimu
sendiri!!!" "Selamat tinggal, Kakak Satria" Gagah sangat sayang pada kakak"
Kakak Satria adalah kakak yang baik?" Adikku tersenyum seperti malaikat
yang baru lahir. Tapi aku memandangnya dengan mata berkaca-kaca seolah
mataku mau pecah. "Jangan, Gagah" Jangan lakukan itu?" Aku menggeleng-gelengkan
kepala dengan urat leher yang kaku. Tapi tangan mungil adikku perlahanlahan bergerak ke atas, dan dalam hitungan detik belati yang sangat tajam itu
berayun ke bawah, ujungnya yang berkilat-kilat menembus ulu hati adikku
dengan tepat. Cleppppp!!!! Seolah kerasukan setan aku langsung berteriak keras sekali,
tenggorokanku serasa meledak seperti granat yang dilemparkan.
13? ? "TIDAAAAAAAAAKKKKKKKKKK!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!"
Aku langsung lemas. Kedua kakiku langsung terkulai di tanah.
Namun, dalam situasi yang menyakitkan itu, ada sebuah keganjilan
yang terjadi; alam semesta mengeluarkan cahaya kekuning-kuningan bagai
jutaan kunang-kunang, dan tiba-tiba saja melentinglah sebuah sinar yang
teramat menyilaukan menembus ke dalam jantung adikku, tepat ketika ujung
belati itu terhunus. Aku seolah menjadi buta. Aku tak bisa menyaksikan
kejadian apa yang sedang terjadi di depan sana.
Saat sinar yang teramat menyilaukan itu meredup, dalam pandangan
yang buram dan berbayang-bayang, kudapati tubuh adikku menghilang entah
kemana. Kucari-cari di tempat ia berdiri tadi, kesepuluh jariku meraba-raba
bumi yang terasa lembab dan dingin oleh lumpur dan air hujan, tapi tak
jua ketemu. Aku terus mencakari bumi. Manik mataku tak berkedip sama sekali. Kenyataan ini membuatku gugup, aku tak ingin kehilangan adikku
yang sangat kucinta, dan air mataku pun kembali merebak tatkala kusadari
kalau aku takkan bisa menemukannya lagi.
Dan, pada saat lututku tak sanggup lagi untuk menumpu tubuhku yang
terus bergerak melata di kulit bumi, dan iris mataku seolah robek karena
mengeluarkan air mata yang sangat banyak, tiba-tiba saja terdengarlah
bisikan-bisikan lembut yang memanggil-manggil namaku dengan perlahan.
"Kakak Satria, kakak Satria" Iblis itu sudah mati, Kak" Iblis itu telah
mati dibunuh Mama?" Kulihat tubuh adikku melayang-layang di udara dengan kepakan
sayap-sayapnya yang indah berkilauan bagai sayap malaikat yang kulihat
dalam alam mimpi tadi, bersama" tidak" bidadari berambut melati"
Ibuuuuu!!!! Aku ingin berteriak memanggilnya tapi tak ada suara yang kuhasilkan.
Tenggorokanku terasa perih, seolah ada duri yang menancap dan merobek
pita suara. Perasaanku terasa hancur, aku telah kehilangan segalanya, tak ada
lagi harapan untukku hidup di dunia ini lagi. Beruntung di saat aku
14? ? menggoyangkan tanganku yang perih akibat tergores bebatuan lintang yang
tersebar di lapangan penuh semak belukar itu, aku menyenggol ujung belati
yang dipakai adikku untuk bunuh diri tadi. Aku langsung mengambilnya, dan
tanpa mengedipkan mata aku langsung mengayunkan ujung belati itu,
menembus jantungku dengan manis. Detik selanjutnya aku sudah terkulai
dengan darah mengalir dari jantungku seperti air sungai, wajahku yang muram tersenyum bahagia menatap dua malaikat yang melayang di
langit bagai dua rembulan yang penuh pesona. Tiada kata-kata terakhir yang
dapat kuucapkan ketika aku menghembuskan napas terakhirku, kecuali;
"Aku" sayang" kalian?"
Cikarang, 27 Agustus 2007
Pkl. 05:15 PM

Panorama Jiwa Dan Pesona Dua Rembulan Karya Sutanto Ari Wibowo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kado untuk ibuku. Jangan bersedih ya, Bu! ? 15? ? Tengkorak Maut 29 Dyah Ratnawulan Karya Kho Ping Hoo Tusuk Kondai Pusaka 6
^