Pencarian

Saraswati Si Gadis Sunyi 2

Saraswati Si Gadis Sunyi Karya A. A Navis Bagian 2


kedua kakak beradik itu. Aku mencoba melirik Busra, karena aku tidak takut bertatap
pandang dengannya. Dan ketika mata kami bertatapan, dia tersenyum. Aku mau
membalas senyumnya. Namun aku lebih suka menekurkan kepala saja.
Lama-lama aku merasa gelisah duduk di tengah mereka. Aku beranikan diriku berdiri.
Sambil lalu aku curi pandang kepada Bisri. Dia duduk terkapar di kursi sambil
menggigit kuku jarinya. Matanya menatap aneh kepadaku. Debaran jantungku
kembali memukul. Aku buru-buru ke belakang. Aku kira Bisri akan mengikuti.
Rupanya tidak. Ketika orang-orang itu hendak pergi setelah sore tiba, Bisri pun harus
pergi pula, barulah dia menemuiku di ruang belakang. Dipegangnya kedua tanganku
dengan kedua tangannya. Ditatapnya mataku. Sekali lagi terasa ada goncangan di
dadaku. Lebih keras terasanya. Angah dan Busra membiarkan keadaan itu menurut
semaunya waktu. Ketika Bisri melepas tanganku dan melangkah pergi, aku merasakan
hal yang tak terpahamkan berlalu dari diriku. Buru-buru aku ke kamarku. Duduk
tercenung di tepi ranjang. Sesuatu yang berlalu dari diriku meninggalkan nganga yang
lebar di rongga dadaku. Lama kemudian, kiraku, aku mengangkat kepalaku. Di depanku, dalam sebingkai
kaca, terpampang wajah seorang gadis cantik. Tapi sorot matanya seperti lelah. Bukan
lelah, melainkan kosong. Aku memicing. Ketika mataku menatap kaca itu lagi, gadis
cantik dalam bingkai kaca itu tidak lain daripada aku sendiri. Ya, aku sendiri. Aku
pun tercengang memandang wajahku sendiri. Seperti itu pula mata Bisri waktu
memandang aku tadi. Oh, bukan. Ia tidak tercengang, tapi terpesona. Mungkin lebih
dari itu, kiraku. Karena tatapannya menggoncangkan dadaku. Tiba-tiba seperti ada
bisikan dalam diriku, "Kalau kau masuk ke dalam diriku secara lembut, Bisri, aku
tidak akan lari." Besok paginya, ketika aku bangun, lebih dulu aku lihat almanak dinding. Aku tandai
dengan halus tanggal kemarin. Lalu aku hitung-hitung hari minggu sebulan
berikutnya. Dua puluh delapan hari yang akan datang, barulah Bisri akan pulang.
Alangkah lamanya. Boya jam yang bergoyang ke kiri dan ke kanan untuk menandai
perjalanan waktu ke waktu pun terasa lambat benar goyangannya. Aku menjadi alpa
pada tugas dan keadaan diriku. Kalau bukan Busra yang mengingatkan bahwa aku
harus pergi ke rumah Guru Andika yang kepalanya penuh uban itu, tentulah aku tidak
belajar. Busra juga yang mengingatkan aku pada waktu harus ke rumah Uni Ros
untuk belajar membuat rancangan jahitan. Aku terlalu sering melamun. Melamunkan
apa yang dilakukan Bisri terhadapku di dapur dulu. Tatapan matanya ketika dia akan
pergi. Melamunkan waktu yang berjalan lamban.
Menurut Busra, Bisri pergi belajar. Lama kemudian aku baru tahu bahwa Bisri pergi
belajar jadi tentara dengan baju seragam hijaunya itu. Namun aku tidak mengerti
mengapa dia mau jadi tentara. Aku tidak tahu apa gunanya tentara itu sebenarnya. Di
kota kecil Padang Panjang tempat aku tinggal, memang banyak aku melihat laki-laki
yang berbaju hijau seperti Bisri. Hilir mudik dengan senapan tersandang di bahu. Aku
tidak tahu dan tidak mengerti mengapa Bisri belajar menjadi seperti mereka yang hilir
mudik sambil menyandang senapan itu dengan meninggalkan sekolahnya sendiri.
Kalau jadi tentara itu bagus, mengapa Busra tidak belajar pula" Mengapa Busra lebih
suka bersekolah saja" Menjadi tentara, berarti berpisah dengan aku. Mengapa Bisri
lebih suka berpisah dengan aku" Begitu banyak pertanyaan bergumul dalam
pikiranku, Saudaraku Episode 17 Saraswati Si Gadis Dalam Sunyi
Aku akui sekarang, Saudaraku, bahwa aku tidak lagi aku seperti dulu. Buku dan
pensil tidak lagi menarik hatiku. Secara sembunyi-sembunyi aku membeli alat hias
seperti pemerah bibir dan penghitam alis. Kalau tidak ada siapa pun di rumah, aku
gunakan alat itu dengan berkaca di kamar yang aku kunci. Kemudian, setelah selesai
berhias, aku pandangi wajahku dengan nanap. Alat hias itu betul-betul menjadikan
aku cantik, Saudaraku. Jauh lebih cantik dari kebanyakan gadis-gadis lain. Cita biru
laut yang diberi Bisri telah aku jadikan baju seindah contoh dalam majalah mode yang
aku pinjam dari Uni Ros. Kalau Bisri pulang nanti, dengan baju itulah dia akan akan
aku sambut. Akan apa katanya nanti demi melihat aku begitu"
Menurut a1manak dinding, Bisri akan pulang hari itu. Pagi-pagi telah aku selesaikan
pekerjaanku lebih cepat dari hari biasa. Lalu aku mandi lebih lama dari biasanya pula.
Mulanya aku ingin mengenakan baju dari cita pemberian Bisri. Tapi kemudian aku
bimbang. Aku pikir, sebaiknya baju itu aku pakai setelah Bisri tiba. Memang begitu
lebih baik. Namun aku harus bersiap dengan menghias wajahku agar Bisri tidak
melihat wajahku yang biasa. Dia harus melihat wajahku yang mempesonanya. Lama
juga aku berhias sambil keasyikan melihat wajahku sendiri di kaca. Selesai berhias
aku berpakaian. Sungguh gila, Saudaraku. Tanpa kusadari aku mengenakan baju biru
laut yang mulanya tidak akan aku pakai.
Waktu berjalan terus. Aku berdiri di ambang pintu depan. Memandang ke jalan dari
mana Bisri biasa datang. Tapi Bisri tidak kelihatan. Aku turun ke halaman. Berdiri di
pintu pagar menanti kedatangannya. Namun dia tidak kelihatan. Sampai matahari
condong ke barat, Bisri tidak muncul. Aku pun lusuh. Hatiku luluh. Aku ingin
menangis. Aku tahan tangisku agar tidak lepas berderai karena siapa tahu dia muncul
ketika aku menangis, ketika hiasan wajahku porak-poranda. Lalu sore berganti senja.
Bisri tidak juga muncul. Aku tak mampu lagi menahan airmataku yang mendesakdesak untuk keluar. Aku lari ke kamarku. Aku hempaskan badanku dengan telengkup
ke ranjang. Tangisku tak terlerai lagi.
Lalu malam pun datang. Aku masih menelungkup. Airmataku telah kering. Tapi
isakan belum reda. Aku tidak mencoba berpikir atau mengingat apa-apa. Mungkin aku
lelah, batinku letih. Tiba-tiba terasa ada tangan pada bahuku. Lembut pegangnya.
Tangan siapa, tanya hatiku. Aku membalikkan badanku dengan harapan itu tangan
Bisri. Aku kecewa karena bukan Bisri, melainkan Busra yang menatap dengan
pandangan iba. Dan isak tangisku tak tertahankan. Tangan Busra meraba leher dan
keningku. Mungkin dia kira aku demam.
Kemudian Busra menarik bahuku lagi agar aku telentang. Dia tersenyum padaku. Lalu
diajukannya segelas air dan sebutir tablet. Dia kira aku betul-betul sakit. Mungkin aku
betul-betul sakit, pikirku. Aku bangun. Aku telan tablet itu dan aku minum air yang
suam-suam kuku itu. Enak sekali rasanya. Lalu Busra menyuruh aku berbaring lagi.
Aku diselimutinya, seperti Ayah menyelimuti aku semasa dia masih hidup. Aku kira
Busra akan meninggalkan aku segera. Rupanya tidak. Dia malah duduk di kalang
huluku. Dan dia tersenyum ramah padaku. Aku lihat mulutnya bergerak-gerak,
barangkali dia menanyakan sesuatu. Aku tidak dapat melihat bibirnya dengan jelas
karena dia duduk membelakangi lampu. Mungkin dia menanyakan apakah perasaanku
telah segar atau mungkin menanyakan kenapa aku menangis. Karena aku diam
dirapikannya selimut di kakiku dan bahuku. Dengan kehadiran Busra di sampingku,
aku merasa duniaku tidak lagi sesunyi tadi.
Aku betul-betul demam beberapa hari. Mulanya aku kira aku tidak demam, melainkan
perasaan hatiku yang runtuh. Aku hanya keluar bila hendak ke kamar mandi saja.
Pagi-pagi Busra senantiasa datang menjenguk aku sebelum dia ke sekolah. Di
tangannya ada tablet dan air teh segelas. Ketika dia tanya apakah aku mau makan, aku
hanya menggeleng. Lalu diambilnya nasi dengan telur mata sapi. Seleraku betul-betul
patah. Dia meninggikan bantalku. Lalu memaksaku dengan menyendokkan nasi ke
mulutku. Hari Sabtu berikutnya muncul lagi. Aku sudah mulai sembuh. Tapi aku tidak mau
dikecewakan seperti Sabtu yang lalu. Aku tetapkan saja dalam hatiku, bahwa Bisri
tidak muncul. Aku tidak memikirkan untuk berhias. Malah sebaliknya dari berharap,
aku menjadi benci pada segala-galanya sekarang. Aku lebih suka bersunyi, berlalai
dan tidak peduli. Telah seminggu aku tak mandi, tidak berganti baju. Buat apa, kalau
segala-galanya adalah kesia-siaan belaka" Tak ada gunanya segala yang telah aku
lakukan dan pelajari. Sesungguhnya segala-galanya adalah kehidupan yang pahit,
yang sakit, yang luluh. Aku merasa mual melihat jahitanku yang terbengkalai. Aku
merasa kecewa melihat buku pelajaranku. Aku ingin menjadi orang yang sejelekjeleknya sekarang, lalu lenyap ditelan bumi. Terasa sekali, Saudaraku, bahwa
kebahagiaan dan harapan adalah angan-angan kosong belaka. Ketika hari menjelang
senja, Busra telah kembali dari mengambil ternak, dia muncul lagi ke kamarku.
Selimut yang menutup badanku diungkainya. Aku ditariknya supaya berdiri lalu
diambilnya handukku, sabun dan sikat gigi. "Mandi," katanya.
Aku pura-pura tidak mengerti. Lalu diambilnya kertas dan pensil dan dia menulis:
"Mandi. Tukar baju. Kita pergi malam."
Tak mengerti aku apa yang dimaksudnya. Aku ingin tahu mau ke mana aku akan
dibawa. Sesungguhnya aku lebih ingin tinggal di rumah saja. Karena aku tidak
bergerak dari tempatku, tanganku dikepitnya. Lalu dijajarnya aku ke kamar mandi
seperti menjajarkan kambing yang bandel. Tak ada pilihan lain bagiku selain menuruti
perintahnya, kalau aku tidak sudi dimandikannya. Aku pun mandi. Alangkah segarnya
air yang menyiram tubuhku yang telah seminggu tidak kena air setetes pun. Setelah
mandi aku lihat pakaian Ibu, pakaian yang aku sulap dengan merombaknya agar pas
pada badanku. Di meja aku lihat lipstik, kuteks dan pensil alisku. Rupanya Busra telah
mengetahui tempat persembunyian alat riasku. Rupanya dia ingin aku secantik waktu
lalu. Sekarang aku berpikir-pikir, buat apa aku harus bersecantik itu jika bepergian
dengannya" Ke manakah aku akan dibawanya" Aku tidak ingin pergi. Maka aku tidak
mengenakan baju yang telah disediakannya, apalagi menghias diriku. Aku hanya
mengenakan pakaian rumah yang bersih saja. Kemudian Busra muncul lagi di
kamarku. Pandangan wajahnya demikian kecewa.
Tiba-tiba didekatinya aku dan dibukanya kancing bajuku.
Tentu saja aku tidak mau. Aku menyuruhnya keluar. Tapi dia tidak mau keluar begitu
saja sebelum yakin aku akan menukar pakaianku. Diajukannya padaku pakaian yang
disediakannya tadi. Setelah aku mengangguk, barulah dia keluar. Rupanya Busra tidak
percaya aku akan menukar pakaianku seperti yang diinginkannya, karena dia muncul
lagi tak lama kemudian. Waktu itu aku telah menukar pakaianku dan sedang menyisir
rambutku. Dia tersenyum senang kepadaku. Tapi sebelum dia keluar lagi dari
kamarku, dia tunjuk pensil alis dan lipstik di meja itu supaya aku gunakan. Aku hanya
mengangguk. Dalam hati aku tertanya-tanya, buat apa aku harus bersolek kalau
bepergian dengannya kali ini" Beberapa saat kemudian dia muncul lagi, waktu aku
sedang menghitamkan alisku. Melihat itu dia kembali lagi keluar sambil tertawa
senang. Ketika aku telah betul-betul selesai, dia pun muncul lagi. Hatinya senang
melihat aku telah mengikuti kehendaknya. Lalu aku ditariknya keluar kamar. Dia
bicara dengan Angah dan Angah mengangguk. Aku pun dibawa Busra keluar rumah.
Tapi ketika hendak keluar pintu depan, dia melihat kakiku. Aku belum bersepatu
waktu itu. Dia menyuruhku memakai sepatu. Semua sepatuku ternyata telah sempit.
Akhirnya aku hanya memakai sandal bekas Ibu punya
Episode 18 Saraswati Si Gadis Dalam Sunyi
Di luar rumah, kulihat bintang-bintang bersinar di langit. Banyak orang keluar rumah.
Semua menuju arah yang sama dengan kami, ke pusat kota. Rupanya aku dibawa ke
bioskop. Banyak orang di halaman bioskop itu. Semua memandang kami yang
berjalan pelan-pelan. Mereka berteguran dan bercakap-cakap sebentar. Di antara
mereka juga ada sekelompok gadis yang berhias lebih bagus, seperti hendak
mengalahkan yang lain. Busra juga memperkenalkan aku kepada beberapa temannya,
laki-laki maupun perempuan.
Dulu di Jakarta aku juga sering dibawa Ayah ke bioskop. Aku senang nonton film,
tapi yang sekali ini tidaklah menyenangkan hatiku, Saudaraku. Aku jadi perasa
semenjak sakit. Perasa karena kecewa sebab Bisri tidak muncul seperti yang aku
harapkan. Perasa karena menonton film yang menimbulkan kenang-kenangan kepada
semua keluargaku yang telah meninggal di Jakarta. Lagi pula, beberapa adegan film
itu sangat menusuk hatiku.
Ada adegan mobil jatuh masuk jurang. Ada juga adegan seorang laki-laki brewok
memaksakan ciuman kepada seorang gadis di dapur. Melihat adegan-adegan itu aku
ingin pulang. Aku merasa tersiksa sekali selama di dalam bioskop. Mengapa justru
film demikian yang diperlihatkan Busra kepadaku" Tapi aku enggan menganggu
kesenangan Busra. Menurut perasaanku, sejak menonton film itu aku jatuh sakit lagi. Malah kalau tidak
jatuh sakit, akulah yang menghendaki sakit itu jatuh padaku. Aku ingin sakit, tangisku
tersedu-sedu dalam hati. Dan tangisku kian menjadi-jadi. Adegan film itu betul-betul
melukai hatiku. Terutama perangai laki-laki brewok yang memaksakan ciuman secara
kasar dan memperkosa gadis itu. Aku jadi lesu. Semangat hidupku patah, selera
jiwaku menghambar. Busra sering memergoki aku sedang melamunkan hal-hal yang
mengecewakan hatiku. Dia senantiasa meletakkan tangannya ke bahuku, dan menatap
mataku dengan pandangan yang tak dapat aku tantang. Lalu dia menggeleng-geleng
lagi. Hari pun berganti hari. Tapi perasaan tak menentu masih tinggal dalam diriku. Aku
jadi enggan pergi ke rumah Guru Andika yang rambutnya telah putih semua itu untuk
belajar. Perhatianku kepada pelajaran sudah habis sama sekali. Busra senantiasa
mencoba mengajakku untuk belajar lagi. Aku hanya menggeleng terus. Dia pasti tahu
aku sedang diliputi duka. Tapi pasti dia tidak tahu apa sebabnya. Angah ikut campur
dengan membelikan aku sehelai kain untuk bajuku sendiri. Tapi itu pun tidak menarik
hatiku. Kain itu tergeletak saja di atas mesin jahit.
Kemudian aku dibawa Angah ke dokter. Tapi obat dokter itu tidak aku jamah. Malah
aku membuangnya. Aku ingin sakit. Dengan sakit itu aku ingin segala-galanya di
dalam diriku hancur luluh. Bila Angah tidak di rumah dan Busra ke sekolah,
perasaanku menjadi lebih bersatu dengan sunyi. Aku hanya berbaring di ranjangku
dengan kepala tergolek di bantal yang aku gandakan. Airmataku meleleh di pipi. Aku
menangisi kesedihanku sendiri.
Sekali hari, Angah pergi dan Busra ke sekolahnya pula. Aku bosan berbaring di
ranjangku. Aku ingin mengalai di kursi ruang tamu. Aku keluar dengan langkah lesu
dan semangat pudar. Waktu aku sedang di ruang tengah tertatih-tatih, tiba-tiba aku
lihat Bisri berada di ambang pintu. Dadaku berdebar kencang sekali, sehingga aku
merasa diriku akan betul-betul lumpuh. Dan ketika dia telah menampak aku, taklah
aku sadari apa yang terjadi. Aku telah tiba saja dalam pelukannya dan kepalaku
menyandar ke dadanya. Dan aku merasa betapa indah segala-galanya ketika aku
rasakan pelukan erat Bisri dan ciumannya di rambutku. Aku memagutnya kuat-kuat,
karena aku ingin hatiku masuk ke tubuhnya.
Lalu dia mengangkat mukaku hingga matanya jatuh ke dalam mataku. Dia tersenyum
dan aku pun tersenyum. Dan bahagia menyelusup berdesak-desakan ke dalam diriku.
Terasa jalarannya sampai ke ujung kakiku. Dan kemudian aku hanya mampu
memicingkan mata ketika dia mencium mataku, pipiku, kemudian bibirku. Meskipun
seluruh tubuhku bergetar kencang, aku tidak berontak seperti waktu di dapur dulu.
Aku biarkan dia dengan kemauannya. Aku mencoba menikmati perasaan cintanya,
seraya dalam hatiku aku memanggil-manggil namanya.
Sorenya Bisri pergi lagi. Aku ingin melepasnya dengan berduaan saja. Tapi waktu itu
Busra dan Angah pun di rumah. Kami mengantarnya bersama sampai ke pintu pagar.
Bisri menyalami semua orang. Aku pun disalaminya seraya menepuk-nepuk tanganku
di genggamannya. Aku cari matanya dengan pandangan penuh dambaan hati.
Kemudian dikeluarkannya sehelai kertas dari sakunya. Dikembangkannya di hadapan
mataku hingga aku tahu apa isinya. Pada kertas itu tertulis huruf besar-besar. "Kamu
tidak boleh sakit. Belajar terus. Bisri sayang Saraswati." Kemudian kertas itu
diberikannya padaku. Aku menyimpannya di dalam kutangku agar merasakan bahwa
dia senantiasa bersamaku, meski ke mana pun dia pergi.
Aku tidak berduka lagi, Saudaraku. Dunia sekitarku menari-nari. Awan di langit,
burung di ranting, rama-rama di rumpun bunga, saling berdansa seolah ikut
memeriahkan hatiku yang riang dan senang. Tapi kini Angah yang berduka. Busra
lebih banyak membisu. Mengapa" Tahukah mereka kalau aku dan Bisri telah saling
mencinta, tapi mereka tidak menyukainya" Mengapa mereka tidak suka" Apakah
karena aku seorang gadis bisu-tuli, lalu dipandang tak berharga, meskipun aku
termasuk keluarganya yang paling dekat" Oleh pikiran itu, nikmat bercintaan yang
baru saja mengelus hati memburam jiwaku kembali, Saudaraku.
Tapi aku tidak melihat pandangan kecewa pada mata Angah dan Busra jika mereka
memandang aku. Karena itu aku kira perubahan sikapnya semenjak Bisri pergi
bukanlah karena aku telah bercintaan dengan Bisri. Tapi karena apakah itu" Pada
suatu kesempatan aku mencoba menanyakannya pada Busra kenapa dia berubah
semenjak Bisri pergi. Aku tanyakan dengan bahasaku setelah lama berpikir-pikir apa
dan bagaimana aku mengucapkannya. Lalu aku tulis pada kertas. "Bisri pergi. Busra
sedih." Dia mengangguk. Tapi kenapa dia bermenung karena Bisri pergi" Ah, alangkah
susahnya menemukan cara bagaimana aku harus bertanya lebih lanjut, karena
perbendaharaan kata-kataku tidak cukup untuk menanyakannya. Lalu aku tanya lagi
setelah aku mencoba memilih kata apa yang tepat guna mengutarakan pikiranku.
"Bisri pergi buruk" Bisri pergi baik?"
Busra menulis pada kertas yang aku berikan. "Bisri pergi perang."
Tapi aku tidak tahu apa itu perang. Aku menggeleng-geleng. Busra pergi ke
kamarnya. Ketika keluar di tangannya ada majalah. Dia memperlihatkan tentara yang
bertempur di medan perang. Dan aku ingat sebuah film yang pernah aku tonton di
Jakarta bersama Ayah. Dan aku tahu, bahwa peperangan itu suatu kekejaman berlaga
dengan kekejaman. Perasaanku ngeri mendadak muncul di hatiku, karena tahu itulah
yang ditempuh Bisri selama kepergiannya. Dan itu berarti, Saudaraku, kalau Bisri
tidak membunuh tentulah akan terbunuh. Kalau dia terbunuh, itu artinya aku akan
kehilangan lagi. Kenapa aku harus kehilangan semua orang yang aku cintai. Mengapa
kekejaman-kekejaman dilakukan terus oleh manusia terhadap manusia lainnya.
Buaskah orang yang suka berperang" Siapakah lawan Bisri berperang" Tahukah Bisri
bahwa perang itu untuk saling membunuh" Kalau tahu, mengapa dia mau berperang"
Apakah yang akan diperolehnya di dalam perang itu" Adakah cinta setulus cintaku
akan didapatinya di sana" Apakah perang lebih nikmat daripada percintaan"
Episode 19 Saraswati Si Gadis Dalam Sunyi


Saraswati Si Gadis Sunyi Karya A. A Navis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tambah banyak aku berpikir, tambah tak mengertilah aku apa yang sebenarnya
diinginkan manusia datam kehidupannya. Kenapa Angah membiarkan anaknya pergi
berperang, karena perang itu untuk orang saling berbunuh-bunuhan" Kenapa Busra
tidak disuruh Angah untuk menjaga adiknya dalam peperangan itu agar jangan sampai
terbunuh" Sungguh aku tidak bisa mengerti. Dan bagaimanakah caranya aku
menanyakan masalah yang menjadi pikiranku ini" Pikiranku menjadi buncah,
Saudaraku. Kepadaku telah diperkenalkan cinta dan dicintai. Tapi datam tempo
secepat itu pula, kepadaku diperkenalkan hasrat saling ingin membunuh yang akan
menghancurkan cinta itu. Semenjak Bisri pergi dengan baju hijaunya, aku sering melihat dari jendela rumah
Angah banyak tentara hilir mudik dengan menyandang bedil di bahunya. Banyak
mobil lewat, penuh dengan orang-orang yang berbaju hijau. Tapi tak sekalipun aku
melihat wajah mereka yang seram. Bahkan mereka melambaikan tangan kepada setiap
orang. Ada mobil menarik meriam, ada senapang di bahu, tapi tak ada senjata yang
meletus. Sekali hari aku menjadi bingung, jalan-jalan tiba-tiba lengang. Tidak ada lagi tentara
yang lewat sambil melambai-lambaikan tangan. Tapi kemudian, setelah keadaan lama
menyepi, muncullah banyak mobil dengan jalannya yang kencang. Tentara di mobil
itu tidak melambaikan tangannya kepada kami. Mereka memandang dengan
bungkam. Semua wajah orang di kampung kami menjadi muram. Kota seperti mati.
Banyak rumah ditinggalkan kosong. Kalau masih ada orang, umumnya mereka itu
perempuan atau laki-laki tua dan anak-anak kecil. Busra tidak lagi ke sekolah. Namun
hampir setiap pagi ia keluar rumah seperti laki-laki lainnya. Pergi membawa pacul
dan sapu lidi. Lama kemudian aku baru tahu, Busra pergi bergotong-royong
membersihkan pasar, bendar atau jalan karena tidak ada lagi petugas yang mesti
melakukannya. Tak perlu lama aku harus bertanya-tanya pada diriku sendiri. Karena hari-hari
berikutnya aku telah merasakan macam apa akibat perang yang melanda kehidupan
kami. Tentara sudah mulai banyak hilir mudik dengan bedil di genggamannya.
Mereka yang berseragam hijau tapi tidak bersenjata meminta ayam kami yang gemukgemuk. Minta telurnya juga. Sehingga akhirnya semua ayam kami habis dimintai.
Busra dan Angah tidak pernah tertawa atau tersenyum lagi. Mereka lebih banyak
merenung di ruangan dekat kamarku.
Bisri tidak pula muncul-muncul. Sejak itu banyak sekali hal-hal yang tidak sedap
untuk dilihat, apalagi untuk diceritakan. Aku telah melihat orang-orang kampung
digebuki sampai babak-belur, bahkan mengeluarkan darah dari hidung dan mulutnya.
Mereka itu mengganggu perempuan yang lewat di jalan. Apakah Bisri juga bertingkah
seperti demikian setelah berseragam hijau" Menggebuki orang tua sampai babak
belur, menggoda anak-anak gadis yang ketemu di jalan" Kalau Bisri juga
melakukannya, sungguh, aku lebih suka mati daripada bertemu dia nanti. Tapi mereka
yang bersama Bisri tidak seorang pun yang berlaku tidak senonoh. Setidaknya aku
tidak pernah lihat. Tidak ada yang menggebuki orang kampung. Tidak pernah ada
seorang pun yang meminta ayam atau telur kepada kami. Mereka waktu itu lebih suka
tertawa atau melambai-lambaikan tangan dari mobil bila lewat. Tapi mereka yang
datang sekarang menakutkan aku.
Pada suatu hari datanglah mereka ramai-ramai ke rumah kami. Ada yang bersenjata,
ada yang tidak. Senjatanya siap tembak. Beberapa orang mengepung rumah kami di
halaman. Umumnya mereka tidak bersenjata. Salah seorang dari mereka aku kenal.
Dulu dia sering datang ke rumah. Dia kawan Busra. Yang bersenjata naik ke rumah.
Wajah mereka pitam ketika berbicara pada Angah dan Busra. Mereka menggeledah
isi rumah, sehingga semua terbusai-busai dari tempatnya, tak karuan. Salah seorang
memandangku dengan sinar mata yang mengecutkan hati. Gemetar aku karenanya.
Lalu dia mendekat. Tangannya diulurkan ke dadaku. Ketika aku mengelak dan hendak
menyingkir, aku didesaknya ke dinding. Sehingga aku tergencet dan menjerit-jerit.
Tiba-tiba saja dia melepaskan gencetannya. Temannya yang melihat peristiwa itu
tertawa terbahak-bahak. Dengan tiba-tiba pula tawa mereka berhenti. Dan aku lihat
Busra tergeletak di lantai. Aku tidak tahu kenapa. Salah seorang menginjak kepala
Busra dan yang lain menyepak pinggangnya. Angah menyerbu hendak mencegah
penganiayaan itu berlanjut. Tapi Angah pun terpental karena didorong dengan popor
senapang. Aku tidak tahan hati melihat peristiwa itu. Aku melompat dan memukulmukul orang yang menendang Busra. Lalu, aku tidak tahu apa yang kemudian terjadi,
karena semuanya tiba-tiba gelap.
Ketika aku tersadar, aku lihat beberapa perempuan tetangga di sekelilingku. Ternyata
aku terbaring di ranjang Angah. Sedang Angah di dipan bekas tempat aku tidur dulu.
Busra duduk di lantai, bersandar pada dinding. Dia tidak berbaju. Hampir sekujur
tubuh dan mukanya lebam-lebam dan berlumur obat luka yang merah warnanya.
Yang aku tidak habis pikir, mengapa orang-orang itu datang mengobrak-abrik rumah
kami, menendang Busra dan mendorong Angah dengan kasar" Mereka itu orang,
seperti kami. Manusia seperti kami. Bukan bangsa asing, melainkan bangsa seperti
kami. Tapi mengapa mereka berlaku kejam dan jahat, padahal kami tidak berbuat apa
pun terhadap mereka" Apakah mereka tidak tahu, bahwa Bisri tentara juga, yang
sepatutnya tidak berlaku ganas terhadap keluarga dari yang sama hijau bajunya"
Apakah mereka itu bukan teman Bisri" Kalau bukan teman Bisri, apakah mereka
lawan Bisri" Kalau lawan Bisri, untuk apa mereka berlawanan" Apakah mereka yang
sama berbaju hijau sudah saling berperang, perang seperti yang aku lihat dalam film
itu, yang mengisahkan tentara saling bunuh" Jika memang demikian, mampukah Bisri
menandingi mereka" Apakah Bisri menjadi sama ganasnya terhadap orang-orang
seperti kami" Akan bagaimanakah kehidupan ini apabila orang berseragam suka mengganasi
bangsanya sendiri" Buat apakah mereka itu sebenarnya" Jika Bisri juga jadi tentara,
apa yang jadi ditujunya" Jika dia jadi tentara untuk berperang, apakah dia berperang
melawan tentara bangsanya sendiri pula" Inilah malangnya orang seperti aku,
Saudaraku. Aku ingin tahu tentang segalanya, ingin menanyakan tentang banyak hal,
tapi aku tidak mampu mewujudkannya. Seandainya aku mampu menggunakan bahasa
yang sempurna, aku akan tahu juga, bahwa aku takkan dapat memahami apa dan
mengapa segalanya itu bisa terjadi. Aku hanya dapat merangka-rangka dalam pikiran
sendiri sampai batas tertentu yang aku namakan dinding hitam.
Semenjak peristiwa itu aku senantiasa ketakutan. Aku takut tinggal sendirian di
rumah. Takut sendirian tidur di kamarku. Aku merasa cemas setiap Busra tidak di
rumah. Malah aku pun takut, bila melihat orang-orang berbaju seragam itu lewat di
depan rumah. Bahkan aku merasa kehilangan nyawa apabila mereka memandangku.
Sekali waktu, Saudaraku, di kala aku menyapu halaman depan, seorang tentara lewat
dan memandangku dengan tawa. Sapu lidi di tanganku lepas karena kecut. Segera aku
lari ke belakang. Terus menemui Angah yang lagi di dapur. Tentara itu pun muncul.
Aku sembunyi ke balik badan Angah. Aku tak tahu apa yang dikatakan Angah
kepadanya, karena tak lama kemudian tentara itu pergi setelah mengangguk-angguk.
Mungkin Angah mengatakan aku gadis cacat yang bisu-tuli. Seperti halnya dulu, demi
mengetahui aku cacat mereka berhenti menggerayangi sambil tersipu-sipu
Episode 20 Saraswati Si Gadis Dalam Sunyi
Saudaraku, mungkin kau kira aku beruntung karena bisu-tuli itu, yang menyebabkan
laki-laki kehilangan selera untuk terus menggoda. Pada saat itu aku memang merasa
beruntung, Saudaraku. Akan tetapi ketika aku renung-renungkan kemudian, hatiku
malah kecut jadinya. Karena menurut pikiranku, mereka yang dapat semena-mena
memukul siapa pun, semena-m
ena menggerayangi tubuhku, segera saja berpaling
demi mengetahui aku gadis bisu-tuli. Laki-laki biasa yang tidak beringas, tentulah
akan lebih tidak mengacuhkan aku sama sekali. Namun ketika aku ingat perlakuan
Bisri di dapur dulu, aku pun bingung. Sama sekali tak terjangkau oleh pikiranku.
Saudaraku, setiap peristiwa datang dan pergi begitu saja secara tak terduga. Seperti
mendadak saja. Tak diketahui sebab musababnya lebih dahulu atau kemudiannya.
Mau bertanya tidak dapat, apalagi untuk memahaminya. Yang dapat aku pahami ialah
kejadian-kejadian. Seperti ayam berasal dari telur dan telur itu berasal dari ayam.
Telur melahirkan ayam kecil. Setelah ayam kecil jadi ayam besar, ayam besar itu
melahirkan telur. Tapi kenapa ayam melahirkan telur dulu dan kemudian telur itulah
yang melahirkan anak" Kenapa tidak sama dengan anjing atau kucing yang langsung
melahirkan anak" Seperti juga halnya dengan anjing dan kucing, manusia pun
langsung melahirkan anak. Tapi kenapa anak manusia ada yang lahir seperti aku yang
bisu-tuli" Atau seperti mereka ada yang jahat, ada yang baik. Engkau tentu dapat
segera memahaminya, karena engkau bisa bertanya dan ada orang yang bisa
menerangkannya. Tapi aku"
Pada suatu hari seorang perempuan datang menemui Angah. Meski tidak ada siapasiapa di rumah selain aku, Angah membawanya ke kamar. Lama juga mereka dalam
kamar itu. Ketika pergi, perempuan itu lewat pintu belakang. Lalu terus menyeberangi
bendar yang berair bila musim hujan. Aku bertanya-tanya pada diriku sendiri, kenapa
perempuan itu begitu. Tapi pagi besoknya selagi sinar matahari masih bersembunyi di balik bukit, aku
dibangunkan Angah. Aku dibawa Angah lewat pintu belakang dan terus melintasi
bendar yang berair bila musim hujan itu. Busra mengantar kami hanya sampai di situ.
Angah dan aku menyelusup ke sela-sela rumpun pisang. Masing-masing kami
menjinjing bungkusan pakaian dan beberapa bungkus nasi. Dalam kepalaku selalu
tertanya-tanya: hendak ke mana Angah membawa aku di pagi yang masih gelap itu"
Kemudian ketika sinar matahari mulai terang temaram kami sampai ke suatu sungai
yang airnya mengatir deras. Kami menyeberang dengan berpegang tangan.
Adakalanya melompati batu besar demi batu besar yang membelingkang. Ketika fajar
mulai menyingit kami telah sampai ke kaki bukit yang rimbun ditumbuhi rumpun
tebu. Melalui sela-sela rumpun tebu itu kami terus berjalan. Tidak seorang pun yang
kami jumpai sampai sepenggal matahari naik.
Orang pertama yang kami jumpai ialah beberapa anak muda yang seragam hijaunya
tidak lagi lengkap. Senapang tersandang di punggung. Aku segera berpegang erat ke
Angah oleh rasa takut demi melihat mereka. Tapi mereka bersikap ramah pada kami.
Pandangan mata mereka padaku meredakan ketakutanku. Kami dibawa ke pondok
yang beratap dan berdinding daun tebu dan puar. Tak ubahnya seperti kandang sapi
Mak Pekok di sebelah rumah kami layaknya. Di sana Angah ditanyai oleh seseorang
yang kelihatannya lebih tua dan mengenakan seragam yang lengkap dengan tanda
pangkatnya. Juga telah pudar warnanya. Aku tidak tahu apa yang dipercakapkan
Angah dengan mereka. Aku juga tidak tahu mengapa mereka yang tinggal di kota
berbeda sikapnya dengan tentara yang tinggal di pondok daun itu" Apakah disebabkan
perbedaan tempat hidup mereka" Kalau ya, mengapa"
Datam film yang pernah aku tonton dulu satu pasukan berperang dengan pasukan
yang lain. Apakah pasukan di kota saling berperang pula dengan tentara di desa ini"
Mengapa dan untuk apa" Jika yang di kota pada beringas kenapa mereka yang di
rumpun tebu itu ramah. Mengapa yang beringas berperang melawan yang ramah" Jika
yang ramah berperang melawan yang beringas masuk akal, menurutku. Karena, jika
misalnya aku bersenjata pula, pasti aku akan berperang melawan tentara yang tidak
senonoh terhadapku. Demikianlah dalam kepalaku lahir pertanyaan kacau-balau yang
tak kunjung dapat aku cari jawabnya. Dengan pikiran itulah aku berjalan mengikuti
Angah setelah meninggalkan pondok itu. Kami diantar oleh seorang tentara seusia
dengan Bisri. Saudaraku, lama kemudian aku baru tahu, bahwa yang berperang di masa itu ialah
tentara PRRI dengan tentara pemerintah. Kata Busra, kalau tentara pemerintah tidak
beringas, pastilah tentara PRRI akan cepat menyerah, karena peperangan itu tidak ada
gunanya. Akan tetapi karena pada diri tentara itu telah ditumbuhkan perasaan
membenci, mereka didorong menjadi beringas, meski kepada bangsa sendiri. Sangat
rumit aku cernakan, Saudaraku. Namun aku berdoa semoga tidak ada lagi peperangan
agar tidak ada lagi orang-orang yang beringas dan sewenang-wenang pada bangsanya
sendiri. Setelah menuruni dan mendaki beberapa lereng bukit, kami sampai ke sebuah
kampung. Waktu itu telah menjelang senja. Ada beberapa rumah beratap seng di situ.
Lebih kecil dari rumah Angah. Tapi banyak pondok-pondok berdinding kayu yang
dibangun secara kasar, beratap dedaunan. Banyak juga orang di sana. Beberapa di
antaranya perempuan. Pakaian mereka boleh dikatakan rada lusuh juga. Tidak banyak
yang berseragam hijau. Kami bermalam pada salah satu rumah yang beratap seng.
Seorang perempuan lebih muda dari Angah dan seorang anak perempuan yang sebaya
denganku bersikap ramah kepada kami.
Besoknya, pagi-pagi sekali kami berangkat lagi. Kami tidak lagi diiringi tentara
seperti kemarin. Mungkin karena perjalanan kami telah menjadi suatu rombongan
yang besar juga. Ada tiga orang perempuan selain kami yang menyertai. Dua di
antaranya ialah pedagang yang banyak membawa barang di kepalanya. Arah
perjalanan kami menuju utara. Aku tahu, karena matahari di pagi itu berada di sebelah
kanan kami. Kami berjalan menyusuri kaki bukit yang ditumbuhi hutan belukar. Jalan
yang kami tempuh sebetulnya bukan seruas jalan, melainkan semacam jalan rintisan
karena begitu sering dilalui. Pada suatu anak air, kami berhenti untuk mengaso dan
memanfaatkannya untuk berbagai keperluan. Segar rasanya merendamkan kaki yang
telah penat oleh perjalanan bagai tak henti-hentinya. Lama juga rasanya kami
berhenti. Waktu sedang merendam kaki, aku bertanya-tanya pada diriku, hendak ke
mana kami sebenarnya" Buat apa perjalanan sejauh ini" Ya, aku hanya dapat bertanya
pada diriku seorang. Dan diriku tak dapat menjawabnya.
Pada waktu matahari mulai condong jauh ke barat, kami berangkat lagi mengikuti
aliran anak air itu. Akhirnya kami sampai ke dataran yang dihampari sawah yang
menguning sampai ke kaki bukit lain. Beberapa kampung berpencaran seperti pulaupulau di tengah samudra. Masing-masing dihijaui oleh pohon-pohonan. Ternyata kami
tidak menuju salah satu kampung itu. Melainkan melintasi hamparan sawah tersebut
melalui pematang demi pematang. Hampir senja kami sampai ke ujung persawahan
yang luas itu. Persis di pertemuan dua kaki bukit yang tampak bagai awalnya sebuah
lembah, di sana ada lagi kampung. Kami bermalam di sebuah mesjid. Aku tidur
nyenyak sekali setelah makan perbekalan yang kami bawa.
Pagi-pagi ketika kami bersiap-siap hendak berangkat, tiba-tiba ada sesuatu yang
berdenyut-denyut mencapai isi kepalaku, sama seperti ketika seorang anak memukulmukul tiang listrik di dekatku. Denyutan itu banyak dan lama berturutan. Lama
kemudian baru aku tahu bahwa denyutan itu sama dengan bunyi letusan senapang.
Bunyi irulah yang menyebabkan seluruh anggota rombongan kami panik dan lari
kocar-kacir. Ada yang lari ke bukit di kanan. Ada yang lari menyusuri anak air yang
mengalir ke lembah itu. Aku pun mengikuti arah lari Angah. Kami tertarung-tarung
oleh belukar dan Angah berkali-kali terjatuh
Episode 21 Saraswati Si Gadis Dalam Sunyi
Ketika sampai di suatu lekuk bukit kami berhenti dengan napas terengah-engah. Ada
yang terduduk dan ada yang terbaring karena sangat kelelahan. Angah terbaring diam
di pangkal sebatang rumpun belukar. Rombongan kami tidak ada lagi separo dari
jumlahnya tadi. Aku merasa sangat haus dan ingin minum. Tapi tidak ada yang dapat
diminum karena semua perbekalan tertinggal di mesjid tempat kami bermalam. Kami
menuju anak air di sela bukit itu. Aku minum sepuas-puasnya. Kemudian aku
berbaring selelanya. Sambil berbaring pikiranku menerawang mempertanyakan apa
yang telah terjadi. Mengapa kami tiba-tiba lari di pagi itu. Hendak ke mana kami
sebenarnya" Ketika timbul dugaanku, bahwa Angah membawaku mencari Bisri yang
sudah sekian lama tak pulang karena perang itu, betapa ingin hatiku hendak
melanjutkan perjalanan. Rasanya lama juga aku sudah berbaring ketika seorang laki-laki dari rombongan
mendekati aku. Dia menarik aku ke tempat kami berkumpul tadi. Ketika kami sampai,
aku melihat mereka memandangku dengan mata yang tak aku pahami. Aku tidak
melihat Angah. Di mana Angah, tanyaku pada diri sendiri. Seorang perempuan
mendekati aku, lalu merangkul seraya membarut-barut punggungku. Aku tidak
mengerti mengapa aku mendapat perlakuan demikian. Sedangkan mataku terus
mencari-cari di mana Angah. Aku melepaskan rangkulan itu. Lalu menanyakan
Angah kepada semua orang di rombongan itu. Aku bersuara memanggil Angah, tapi
tak ada yang memahaminya.
Seorang laki-laki baya memegang tanganku. Seraya menepuk-nepuk punggung
tanganku dia seperti berbicara. Sedangkan pandang matanya seperti sayu. Pandang
mata itu, cara bicaranya mengingatkan aku pada waktu masih di Jakarta dulu ketika
orang-orang mengabarkan kecelakaan yang menimpa ayah bundaku. Tiba-tiba seperti
ada firasat merasuki aku, bahwa Angah pun telah tiada. Angah pergi karena daya
tahan usianya yang tua telah habis karena lari mendaki dan menuruni bukit tanpa
hentinya tadi. Aku menjerit-jerit menyeru Angah. Aku berlari sekitar tempat yang
sempit itu sambil terus menjerit-jerit memanggil Angah.
Kemudian, ya, kemudian sekali, setelah aku menjerit-jerit sambil berlari hilir-mudik
aku melihat seonggok tanah, yang panjangnya sepanjang tubuh manusia, ditutupi oleh
dedaunan dan ranting kayu. Aku serbu onggokan tanah itu, karena yakin di sana
jenazah Angah ditimbuni. Tapi laki-laki baya tadi segera mencegat dan memelukku
dengan kukuhnya. Aku meronta-ronta seraya terus menjerit-jerit lebih kuat lagi. Aku
tidak tahu berapa lama aku berlaku demikian, Saudaraku.
Lama kemudian, ya, lama kemudian, setelah aku memahami segala-galanya seperti
engkau, Saudaraku. Barulah aku tahu peristiwa apa yang telah menimpa Angah waktu
itu. Ketika kami akan berangkat, tiba-tiba ada tembakan gencar yang mengarah ke
kampung itu. Konon kampung itu adalah tempat teman-teman Pak Angah berkumpul.
Konon juga, banyak orang terbunuh waktu itu, Saudaraku.
Saudaraku, mengapa semalang ini benar nasib yang menimpa diriku. Adakah
kehidupan yang lebih jahat dan lebih pahit selain yang aku alami ini" Mengapa semua
orang yang menjadi pelindungku harus hilang dengan cara yang sengsara" Buat apa
segala derita hidup seperti ini ditimpakan kepadaku" Apa salahku maka hidupku harus
terdera" Jika segalanya ini merupakan cobaan, cobaan hidup apa lagi yang harus aku
jalani dan buat apa aku harus dicoba" Bukankah aku hanya seorang gadis bisu-tuli
yang harus bergantung hidup pada belas kasihan orang lain" Aku hanyalah seorang
penderita cacat, ya, seorang penderita hidup karena cacat yang aku bawa sejak lahir.
Mungkin ada orang lain yang sama menderitanya denganku, karena ditinggalkan oleh


Saraswati Si Gadis Sunyi Karya A. A Navis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

semua orang yang dikasihi dan mengasihinya. Namun mereka bukan penderita cacat.
Dengan segala kelengkapan jasmani yang dimiliki, mereka bisa berbuat untuk
mengatasi hidupnya, bahkan tampil sebagai manusia yang tinggi nilainya. Setidaktidaknya mereka masih bisa menyatakan perasaan, menyatakan kemauan dan
pikirannya. Mereka masih bisa mendengar apa yang dikatakan orang sebagai petunjuk
untuk hidup, sebagai hiburan dalam kedukaan. Sesungguhnya, betapapun penderitaan
orang lain itu, tidaklah akan lebih daripada yang aku derita. Sama pun tidak.
Pikiranku berpulun-pulun seperti benang kusut di dalam kedukaan dan tangis karena
perasaanku tak dapat aku ceritakan kepada seseorang. Dalam pikiran seperti itu,
dalam kedukaan yang tak terhibur, rombongan kami berangkat lagi meninggalkan
Angah yang dikubur di bawah dedauan busuk dan ranting tua kayu rimba di lereng
bukit. "Angah," kataku dalam hati ketika aku pamit, "tinggallah Angah dengan
tenang. Penderitaan telah berakhir bagi Angah. Relakanlah diri Angah sebagai
penebus derita lain yang bakal aku hadang di tengah-tengah hutan ini, di tengahtengah perang manusia sebangsa ini. Kalau penderitaan masih akan datang bagiku,
doakanlah aku, Angah."
Rombongan kami, meneruskan perjalanan lagi dengan terseok-seok karena keletihan,
kelaparan dan kehilangan kepercayaan diri. Kami mendaki bukit ilalang. Kemudian
menyusuri puncaknya ke arah timur. Angin yang bertiup membuat ilalang seperti
ombak di lautan, mengeringkan keringat di sekujur badanku, juga mengibas-ngibas
rokku yang robek. Aku ingin menahan kibasan rok itu, tapi aku tak berdaya lagi.
Kepalaku mulai berdenyut-denyut oleh sengatan sinar matahari. Aku kira, mungkin
aku tak akan mampu meneruskan perjalanan yang aku tak tahu ke mana tujuannya.
Tapi aku tidak mau mati, lalu jenazahku ditinggalkan di puncak bukit, dan mengering
karena sengatan matahari berkepanjangan.
Aku tidak mau mati terlantar seperti matinya Angah. Aku mau kalau aku mati, matiku
akan diketahui kuburnya. Supaya Bisri dapat ziarah setiap dia ingat padaku dan setiap
aku menyeru namanya dari kuburku. Jika dapat, aku mau mati setelah ketemu Bisri.
Supaya aku dapat menceritakan bagaimana Angah meninggal di lereng bukit berhutan
itu. Lebih dari itu aku ingin mati dalam pelukan Bisri. Pelukan cinta yang akan aku
bawa bersama rohku terbang ke awang-awang yang tinggi.
Menjelang sore, kami bertemu dengan rombongan yang sama terseoknya dengan
kami. Ada yang duduk mengalai sambil bersandar pada pohon, ada juga yang
tergeletak di dedaunan yang gugur di tanah. Di antara mereka ada beberapa anak
muda berbaju hijau lusuh. Senapang berada dekat masing-masing. Ketika mereka tahu
kami belum makan apa pun sedari pagi, beberapa orang melepaskan bungkusan nasi
dari pinggangnya. Nasi itu dibungkus dengan daun pisang yang telah disangai supaya
lentur. Padat sekali bungkusnya. Di dalamnya juga ada rebus daun singkong dan
sambal dari cabe muda yang hijau serta sepotong ikan sepat yang asin sekali rasanya.
Tapi aku tidak punya selera karena mulutku kering sehingga nasi itu pahit dan kersang
rasanya. Seorang anak muda berbaju hijau itu memberiku termos air. Aku mereguk air
itu sedikit demi sedikit. Tanpa setahuku isi termos itu habis aku minum. Dia tertawa
melihat aku begitu rakus, barangkali. Lalu aku tersipu malu. Kemudian aku merasa
wajahnya kukenal. Samar sekali. Kuduga dia adalah teman Bisri. Kalau benar dia
teman Bisri, di mana Bisri sekarang" Kenapa tidak bersamanya lagi, tanya hatiku.
Aku ingin tahu di mana Bisri. Ingin sekali. Tapi aku tidak dapat menanyakan karena
tidak tahu caranya. Kemudian aku pikir, hanya ilusi diriku yang membuatku merasa
kenal wajahnya, padahal sebenarnya tidak.
Episode 22 Saraswati Si Gadis Dalam Sunyi
Kami terpaksa tidur lagi malam itu di bawah naungan langit di lereng bukit itu.
Seseorang meminjamkan kain sarung kepadaku. Mungkin karena melihat kakiku
terbuka dibalik rok yang compang-camping. Kami tidur berbaur dan rapat berdesakan
untuk menghalau hawa dingin malam. Aku sulit tertidur karena pikiranku kepada
Bisri. Ada pikiran buruk merasuki pikiranku oleh ingatan setelah ketemu temannya,
karena Bisri tidak bersamanya. Mengapa mereka berpisah, sedangkan dulu sering
datang bersama ke rumah Angah"
Apakah Bisri tertangkap musuh atau mati dalam perang" Pertanyaan itu sangat
menggangguku, sehingga aku tersenak menahan tangis. Tangis oleh rasa kehilangan
seorang lagi sanak keluargaku. Tangis karena kehilangan Bisri yang aku rindukan
cintanya. Akhirnya aku terlelap juga rupanya. Tapi ketika aku bangun pagi rasa kecut di hatiku
timbul. Karena mengira akan ada lagi seseorang terbaring membujur tanpa nyawa,
kemudian dikubur dengan timbunan dedaun tua yang telah membusuk. Karena nyawa
pada waktu itu demikian rapuhnya, giliran siapa yang akan menemui akhir hidupnya
pagi itu" Aku mengedarkan pandanganku dari seseorang ke yang lain. Ternyata tidak
ada orang berduka. Juga tidak ada seseorang yang terbujur tanpa nyawa. Oh, alangkah
leganya hatiku. Semoga cukuplah sekian saja aku menemukan kematian yang
menusuk hati, Saudaraku. Rombongan kami dan rombongan mereka berjalan beriringan dengan tujuan yang
searah rupanya. Aku berjalan di tengah. Sarung yang semalam masih terus aku pakai
setelah disuruh oleh yang punya. Tidak tega dia melihat aku berjalan dengan rok yang
robek-robek. Tak lama perjalanan, kami bertemu dengan sepasukan prajurit yang
pakaiannya sama lusuhnya. Di antaranya ada yang sama usianya dengan Bisri. Dan
aku berharap di antara mereka ada yang mengenalku dan menceritakan kabar Bisri
padaku. Namun tak seorang pun yang mengenalku, meski mereka lama menatapku.
Aku kecewa. Lalu aku berteriak dalam hati: "Tidak adakah di kalian yang tahu di
mana Bisri?" Ketika salah seorang dari mereka mendekatiku sambil tertawa seperti seorang teman
yang lama tak ketemu, aku memalingkan muka. Karena aku takut oleh ilusiku sendiri
seperti sebelumnya. Ilusi yang ditimbulkan oleh harapan yang terlalu besat untu
bertemu Bisri. Dengan tangan kiri bahuku dipegangnya. Namun aku terus melengos.
Lalu kedua tangannya memegang bahuku dan menggoncangnya ketika aku masih tak
hendak menatapnya. Ketika menatapnya, telunjuknya mengetok-ngetok keningnya
lalu berganti menunjuk diriku. Itu dilakukannya berulang-ulang. Aku maklum
maksudnya, bahwa dia ingat padaku. Kemudian telunjuk mengarah ke keningku lalu
mengarah kepada dirinya. Tapi aku tidak ingat. Aku menggeleng. Kemudian dia
menunjuk dirinya, lalu memperagakan orang bermain gitar sambil bernyanyi.
Aku mulai ingat pada kunjungan teman-teman Bisri ke rumah Angah dulu. Ada
seseorang yang bermain gitar dan bernyanyi. Namun ingatanku tak dapat
menyamakan wajahnya, kalau memang dia adalah dia yang dulu itu. Dulu, temanteman Bisri yang datang berambut pendek seperti hampir botak. Pakaiannya rapi
dengan gesper ikat pinggang yang mengkilat. Tapi anak muda di hadapanku ini,
rambutnya seperti ijuk sapu yang terungkai. Kulit wajah yang gelap membaluti tulang
rahangnya yang kekar. Pakaiannya pun lusuh seperti berminggu tidak dicuci.
Meskipun demikian, aku gembira sekali bertemu dengan orang yang mengenalku.
Dan yang lebih penting lagi karena dia mengenal Bisri. Lalu aku berseru seperti
biasanya aku memanggil Bisri. "Bisri," kataku dengan bahasaku. Dia mengangguk.
Jadi dia memahami apa yang aku katakan.
Sekali lagi aku berseru menyebut nama Bisri. Dengan wajahnya yang cerah dia
menunjuk ke arah sekelompok pohon di suatu lekuk bukit. Jadi, aku sekarang berada
di suatu tempat yang tidak jauh dari tempat Bisri berdiam. Oh, Saudaraku, rasanya
maulah aku berlari menemuinya. Tapi kemudian terpikir olehku, kenapa Bisri tidak
bersama temannya ini" Sakitkah dia" Atau apa" Bagaimana caranya aku menanyakan
perihal Bisri" Namun aku coba juga menyebut nama Bisri berulang-ulang seraya
menggerak-gerakkan tanganku dengan maksud menanyakan bagaimana keadaannya.
Ternyata dia tidak memahami. Kelihatan wajahnya seperti bingung. Aku tidaklah
begitu kecewa. Karena aku sudah tahu, bahwa Bisri ada. Bahwa dia berada tidak jauh
dari tempatku sekarang. Dalam perjalanan selanjutnya, kami sering bertemu dengan banyak orang. Ada
prajurit dengan senjata di punggung, ada orang-orang dengan pakaian lebih bersih dan
ada juga pedagang. Di antara pedagang itu adalah perempuan yang meletakkan
bungkusan barang dagangannya di atas kepala. Ada pula di antara mereka yang
mengenal anggota rombongan kami. Mereka saling berangkulan. Berbicara dengan
wajah yang ceria. Ketika melihat orang-orang itu bertemu, pikiranku menjalar,
bagaimana jika nanti aku ketemu dengan Bisri" Akan dirangkulkah aku di hadapan
orang ramai. Ah, malu aku mengingatnya. Meski aku mengharapkan itu akan terjadi.
Aku dibawa ke sebuah rumah yang hampir sebesar rumah Angah. Rumah kayu
beratap seng. Dindingnya tidak dicat, melainkan seperti dilaburi minyak tanah.
Atapnya berkarat di sana-sini. Ada getaran di dadaku yang memberi tahu bahwa di
sanalah Bisri tinggal. Maulah rasanya aku berlari memasuki rumah itu, lalu
membenamkan diriku dalam pelukannya. Tapi itu hanya hasrat hati yang tak mungkin
aku lakukan. Seorang perempuan muncul di ambang pintu. Tergesa-gesa turun ke halaman. Lalu
menuntunku naik ke rumah, seperti menuntun orang sakit. Timbul curiga dalam
hatiku oleh perlakuannya itu. Adakah cerita duka baru yang akan aku temui lagi di
sini, tanya hatiku. Aku tatap mata perempuan yang baru pertama kali bertemu itu.
Matanya, seperti orang prihatin memandangku. Maka aku yakin ada berita duka
tersimpan dalam hatinya. Aku ingin berteriak agar segera mengatakan cerita duka itu.
Tapi sesudut hatiku mencegah, karena aku tidak ingin ada cerita duka lagi yang akan
aku temui. Aku diberi makan. Aku betul-betul kelaparan. Nasi di cambung itu baru saja disendok
dari periuk hingga uap panasnya masih mengepul-ngepul. Sepiring tumis bayam yang
hangat dan sepiring sambal cabe hijau yang diaduk dengan bawang dihidangkan. Tapi
aku kehilangan selera makan. Aku hanya minum teh manis yang airnya suam-suam
kuku. Kemudian aku dibawa perempuan itu. Aku kira dia membawa aku pergi mandi,
karena ia menyandang handuk, sabun serta beberapa helai pakaian. Aku memang
ingin sekali mandi. Sudah beberapa hari dalam perjalanan yang penuh sengsara itu
aku tidak pernah mandi. Oh, alangkah nikmatnya mandi di kali kecil itu, Saudaraku.
Aku lama berendam, bersabun dan berendam lagi. Badanku jadi segar rasanya. Hatiku
menjadi tenteram. Habis mandi diberinya aku sehelai baju dan kain sarung yang telah
agak tua. Lalu aku mencuci pakaianku yang telah robek di sana-sini. Kini perutku
benar-benar lapar. Aku pikir, apabila sampai di rumah lagi, nasi panas tadi akan habis
aku lahap Episode 23 Saraswati Si Gadis Dalam Sunyi
Malamnya banyak orang mendatangiku. Semuanya laki-laki. Mereka menyalamiku
dengan erat seraya menepuk-nepuk bahuku. Wajah mereka tidaklah mengandung
kedukaan dan pandangan mata mereka tidak memancarkan belas kasihan. Mereka
memandang ramah dengan senyum yang menyenangkan. Aku juga merasa senang
oleh perlakuan demikian. Mereka laki-laki semua. Ada yang muda, ada yang tua. Ada
yang botak, ada pula yang lebat brewoknya. Maka hatiku bolehlah merasa lapang
sebagai pertanda tidak ada berita buruk menyambut kami di desa terpencil itu. Mereka
tentu sudah tahu siapa aku dan siapa yang akan kami temui di pedalaman itu. Namun
sampai mataku terpicing ketika kepalaku sampai di bantal yang empuk pada
malamnya, aku masih tidak dapat menerka apakah yang berada di belakang
keramahan dan kehangatan sambutan itu. Adakah semua itu punya sangkut-paut
dengan Bisri atau Pak Angah" Di manakah Bisri sekarang" Di manakah Pak Angah"
Apakah mereka tidak berada di sekitar desa itu" Bepergian" Ke mana" Apakah sikap
mereka itu sebagai pernyataan ikut berduka secara lain agar aku tidak tenggelam
dalam kedukaan baru setelah sekian hari tersiksa dalam perjalanan itu"
Hari-hari berlalu. Aku tidak ingat sudah berapa lamanya itu. Hari-hari itu sangat
membosankan karena aku tidak punya pekerjaan apa pun. Malah aku merasa tersiksa
karena rinduku pada Bisri tidak kunjung terpenuhi. Setiap pagi aku bangun dengan
penuh harapan akan ketemu Bisri. Maka setiap malam, ketika kepala sudah di bantal
lagi, aku tindih rasa kecewaku dengan harapan baru bahwa besok Bisri pasti aku
jumpai. Setiap hari aku lebih suka tegak di ambang pintu depan memandang ke
kejauhan dari mana Bisri mungkin datang. Tapi hal itu ternyata sesuatu yang sia-sia.
Menanti adalah waktu yang paling mengesalkan, Saudaraku. Apalagi menanti
seseorang yang sangat dirindukan tapi tidak diketahui kapan datangnya. Apa yang
dapat aku lakukan untuk menggilas perasaan pada saat penantian yang maha panjang
itu" Hanya dengan kesabaran. Namun sampai di mana batas kesabaran itu bisa
bertahan pada diri orang yang tidak bisa berbuat apa-apa seperti aku ini" Seandainya
aku seperti engkau, Saudaraku, hari-hari kosong itu tentu saja bisa kuisi dengan
berkisah tentang pengalaman selama masa peperangan yang melanda kampung
halaman kita. Atau mendengar pengalaman orang lain yang mungkin lebih manis atau
mungkin juga lebih pahit.
Nasib perempuan-perempuan dalam rumah itu mungkin lebih buruk daripada nasibku,
tapi tampaknya hidup mereka lebih menyenangkan. Mereka bisa berbicara dengan
sesamanya. Mereka tahu untuk apa dan mengapa mereka di situ. Kalau sedang
menanti, mereka tahu sampai kapan dan berapa lamanya. Yang lebih indah lagi,
mereka tahu masa depan apa yang akan mereka temui nanti. Mereka bisa menganganangankan suatu kehidupan masa depan yang dapat dipegang. Tapi aku tidak bisa
mengangan-angankan masa depan bagaimanapun macamnya nanti. Masa depanku
tidak bisa bebas dari ketergantungan pada orang lain. Sekarang aku tidak punya siapa-
siapa tempat aku bergantung selain Bisri. Tapi aku tidak tahu di mana dia berada.
Kian lama kian terasa betapa sakitnya menjadi gadis bisu-tuli, Saudaraku.
Pada suatu senja muncullah ke rumah kami serombongan orang yang baru datang dari
perjalanan jauh. Banyak juga jumlah mereka. Di antaranya ada suatu keluarga,
seorang laki-laki yang rambutnya semua sudah putih, tapi belum setua Guru Andika,
istrinya yang berkacamata tebal dan seorang gadis sebayaku. Rambutnya hitam
lebam, berjalin dua dan ujungnya menjilat-jilat betisnya jika dia berjalan. Kalau dia
tersenyum kelihatan sebaris giginya yang putih kecil. Alis matanya tebal dan
melengkung seperti bulan sabit. Tak puas-puasnya aku memandangnya. Aku dan dia
akhirnya bersahabat. Kami senantiasa bersama ke tepi sungai untuk mandi atau
mencuci. Kami berjemur di sinar matahari atau berlalai-lalai di bawah lindungan
pohon sampai kain cucian kami kering. Di saat-saat seperti itu, dia selalu membaca
buku yang tebal. Banyak bagian pinggirnya yang dicoreng-moreng. Aku tidak tahu
buku apa itu. Tidak ada sepotong kata yang aku pahami. Bila di rumah, dengan
ayahnya dia sering membicarakan isi buku itu.
Di kala melihat dia dengan ayahnya asyik dengan buku itu aku teringat pada Busra.
Sedang apakah dia sekarang" Apa saja yang dilakukannya dalam kesendirian di
rumah" Tahukah dia kalau Angah telah tiada" Apa tentara yang dulu itu masih datang
mengeroyoknya lagi" Apakah ternak kami masih ada" Ingat pada Busra, aku ingat
pada kelalaianku sendiri karena selalu suka bermenung dan memikirkan hal-hal yang
tak terjangkau oleh otakku. Kenapa aku tidak mengulang pelajaran membaca agar
ketrampilanku bertambah dan agar waktu-waktu menanti bisa terisi dengan sesuatu
yang berguna" Sekali waktu aku mendekati gadis temanku itu selagi dia asyik membaca buku dengan
bersandar ke dinding dan melunjurkan kakinya yang panjang. Aku ambil pensilnya
yang terletak di lantai. Aku tulis namaku pada selembar kertas kecil. Aku peragakan
kepadanya seraya menunjuk dadaku. Tercengang dia memandangku. Lalu aku berikan
pensil kepadanya dan menunjuk dadanya pula. Dia mengerti, lalu menulis namanya di
bawah namaku. TATI. Aku mengangguk karena mengerti. Dia berbicara pada
perempuan yang duduk di dekat ambang pintu. Perempuan itu berdiri dan menghilang
ke arah dapur. Kemudian beberapa perempuan muncul dari dapur. Mereka seperti
berebut membaca namaku pada kertas tadi. Mereka sama memandang kagum padaku.
Oh, alangkah bangganya aku. Semenjak itu, aku mulai lagi belajar dengan asyiknya.
Kini guruku ayah Tati. Kepada ayah dan ibu Tati, telah aku minta agar menuliskan
namanya pada selembar kertas. Aku simak gerak bibir mereka ketika membaca apa
yang mereka tulis. Semenjak itu, kesibukan orang-orang di rumah itu bertambah dengan mengajar aku
menuliskan sesuatu nama benda dan kemudian membacanya. Aku menyimak gerak
bibir mereka. Kalau aku dapat membaca gerak bibir mereka dan menuliskannya
dengan benar, mereka bertepuk tangan gembira. Tentu saja tidak selalu yang aku tulis
itu benar ejaannya. Ada saja huruf yang tertinggal. Ayah Tati banyak membantuku
bila dia tidak kedatangan tamu. Tamu yang berdatangan silih berganti sepanjang hari.
Ayah Tati menerangkan kepada semua orang cara memberi pelajaran padaku.
Dengan menyibukkan diri demikian, kekesalan menanti kedatangan Bisri mulai dapat
aku atasi. Perempuan-perempuan di rumah itu pun dapat pula mengisi waktunya
dengan mengajak aku mengucapkan kata-kata. Memang tidak mudah belajar
memahami gerak bibir mereka, tapi aku bersemangat sekali. Mereka tidak bosanbosannya mengajarku sepanjang hari. Kalau di Padang Panjang dulu hanya Busra dan
Guru Andika saja yang dapat berbicara kepadaku, maka sekarang hampir semua orang
yang sering datang ke rumah itu. Kalau aku ketemu Busra dan Guru Andika nanti,
alangkah akan tercengangnya mereka.
Sekali hari, ketika aku sedang menyapu rumah, aku lihat Tati berlari ke halaman. Aku
ikuti dengan mataku ke arah dia berlari membawa wajahnya yang riang. Sekitar
rumah itu banyak pohon dan tumbuhan kacang rambat sehingga Tati luput dari
pandanganku. Aku menyelinap ke arah dia berlari tadi. Aku melihat Tati sedang
berpegangan tangan dengan seorang pemuda yang menyandang bedil di bahunya.
Mereka menuju ke arah kali. Lalu tangan mereka saling melingkar pinggang dan
kepala Tati bersandar ke bahu pemuda itu
Episode 24 Saraswati Si Gadis Dalam Sunyi
Aku ikut bahagia melihat kebahagiaan Tati bertemu pemuda pujaannya di hutan
pedalaman. Seandainya aku ketemu dengan Bisri, tentu aku akan sama bahagianya
dengan Tati. Tanganku akan melingkar pinggangnya, tangan Bisri melingkar
pinggangku. Kepalaku akan aku sandarkan ke bahu Bisri. Oh, alangkah nikmatnya
bertemu dengan orang yang dirindukan. Tapi mungkin juga aku tidak akan seperti
Tati dengan pacarnya. Mungkin aku akan tenggelam dalam pelukan Bisri dan tetap
demikian sampai waktu yang tak berujung. Mungkin saja aku hanya tegak terpaku di
depannya menahan tangis kerinduaan, kedukaan dan kesengsaraan yang tak
berimbang meletup demikian dahsyatnya. Bisri mungkin juga akan tegak terpaku


Saraswati Si Gadis Sunyi Karya A. A Navis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

karena tidak menyangka akan ketemu aku di sebuah desa di hutan belantara. Mungkin
juga dia akan memelukku sambil sama menikmati debaran jantung kami. Tapi
mungkin juga dia akan mencium seluruh wajahku lagi. Dengan kenangan seindah itu
aku kembali ke rumah dan menyapu lagi. Namun pikiranku tertumpah kepada
kebahagiaanku dan kebahagiaan yang tengah diregup Tati.
Menjelang senja, selagi aku duduk berlalai-lalai di batu di halaman rumah, muncullah
Tati dengan wajah cerahnya. Dia tersenyum riang padaku dan aku pun tersenyum
padanya. Akan tetapi senyumku tiba-tiba terhenyak demi menampak pemuda yang
melingkarkan tangan ke pinggang Tati waktu menuju ke kali tadi. Oh, Saudaraku,
tiba-tiba semuanya jadi gelap. Semua jadi galau dalam pikiranku dan gemuruh seperti
gempa pada jantungku. Semuanya jadi longsor dari gunung harapanku. Pemuda itu
tidak lain adalah Bisri! Dia tertegun demi melihatku. Ketika dia mendekati aku, aku
mengelak menjauhinya. Hatiku sakit. Aku membencinya sekarang. Tanganku
dipegangnya ketika aku hendak lari. Aku menggeletang untuk melepaskan diri. Tati
pun datang. Dia merangkulku. Tapi kini aku melihat dia bukan sebagai sahabatku
yang cantik, melainkan seperti pencuri yang terkutuk. Kenapa pula dia ikut-ikut
membujuk aku" Apakah dia tidak tahu bahwa Bisri adalah laki-laki yang aku
rindukan" Aku ingin mengatakan padanya bahwa aku telah dikhianati, kekasihku
telah dicuri. Aku ingin mengatakan padanya bahwa aku membenci dia, membenci
Bisri, bahkan membenci semuanya.
Malanglah nasibku, Saudaraku. Aku tak dapat mengatakan apa-apa tentang nasibku.
Aku hanya bisa menangisi diriku. Tangisku takkan terbujuk lagi. Aku lepaskan diriku
dari pegangan mereka. Aku berlari menjauhi mereka. Mereka mengejarku, tapi aku
tidak sudi berada di dekat mereka lagi. Aku lari terus. Terus. Lari membawa luka dan
duka. Aku kira mereka terus memburuku. Aku tidak mau menoleh ke belakang karena
aku tidak sudi melihat mereka lagi. Aku terus lari. Sungai kecil tempat kami biasa
mandi dan mencuci, aku seberangi dengan buru-buru, sehingga berkali-kali aku jatuh
tertelungkup dan seluruh pakaianku kuyup. Aku segera bangkit dan berlari lagi.
Ketika tiba di seberang aku menyusur ke hulu sungai itu, kemudian membelok ke
jalan kecil di sebelah kanan. Aku tidak peduli jalan itu ke arah mana.
Senja telah turun. Hampir sampai ke ujungnya. Namun aku terus-terusan berlari
menyelusuri jalan kecil yang berbelok-belok itu. Dalam lelah karena berlari masih aku
rasakan betapa pedihnya jeritan hatiku. Akhirnya aku sampai ke jalan yang bersibak
dua. Yang satu membelok ke kanan. Aku memilih jalan ke kanan dengan harapan
akan bertambah jauh lagi dari mereka. Bersamaan dengan gelap malam yang mulai
tiba, aku sampai di kaki bukit. Sebuah anak air membelintangi jalan setapak itu. Aku
menyusuri anak sungai ke arah hulunya.
Aku ingin mengaso dari keletihan yang sangat. Namun karena terpikirkan pada orangorang yang masih mencari, aku terus menelusuri anak air itu. Lalu bulan muncul dari
balik awan yang berarak tinggi. Sehingga aku dapat melihat serasah jatuh
menghalangi perjalananku. Percikan air yang halus jatuh menyiram tipis ke tubuh.
Nyaman sekali rasanya bagai penangkal kelelahan. Aku berbaring telentang. Kedua
belah tangan aku rentangkan.
Tiba-tiba aku tersadar. Aku lihat bulan telah berada jauh di sebelah yang lain. Dia
seperti memandang duka padaku. Aku tidak tahu, di mana aku dalam alam luas antara
bumi dan langit ini. Kini aku benar-benar merasa diri sendirian. Terpencil entah di
mana dan tidak tahu mau ke mana.
Waktu aku tersentak dari tidur pulas, malam telah berlalu. Badanku dielus-elus
percikan air sarasah, tapi aku terlalu penat untuk bangkit. Hanya mata kulayangkan ke
sekitar. Pada pohon yang daunnya tipis, beberapa ekor kera mencangkung. Anakanaknya melompat-lompat dari dahan ke dahan. Aku pun bangkit. Perasaan dan
pikiranku tak karuan lagi. Pakaianku telah compang-camping tergaet belukar. Banyak
luka di tubuhku dan luka itu mengangkut rasa nyeri. Lama aku tercenung tanpa
mampu berpikir dan mengenang apa pun juga. Air yang menghilir dengan kencang di
sela-sela batu demikian jernihnya aku pandang tanpa kesudahan. Tiba-tiba aku ingat
lagi Bisri dan Tati. Hatiku berteriak gusar, benci dan mendendam. Jangan-jangan
sekarang orang terus mencariku karena aku tak pulang semalam. Kalau mereka
menemuiku, mereka pasti membawaku kembali. Aku akan melihat kebahagiaan sejoli
yang telah mengkhianati harapanku. Aku segera berdiri lagi. Aku takkan kembali ke
bawah, karena aku tak suka berjumpa dengan mereka untuk selama-lamanya. Biar aku
mati di hutan belantara itu asal jangan ketemu mereka.
Aku memanjat tebing bukit yang curam sambil bergayut pada akar kayu-kayuan. Aku
harus memanjat bukit sampai ke puncaknya. Dan dari sana aku akan dapat melihat ke
arah mana aku akan pergi. Akhirnya aku tiba di pintu sarasah. Di situ airnya
tergenang, lalu dari hempangan batu air terjun jatuh ke bawah. Perasaanku agak
tenteram sedikit. Kalau mereka masih terus memburu, aku akan dapat melihat mereka
di bawah. Maka aku tidak perlu tergesa-gesa. Aku harus menyegarkan diri. Mandi dan
berendam selelanya di air yang jernih. Aku mulai membuka baju pelan-pelan agar
tidak bertambah robek. Akan tetapi tiba-tiba saja, ketika bajuku telah lepas semua, di
seberang anak sungai aku lihat seekor ular bergelung pada sebatang dahan dengan
kepala mengarah padaku. Sinar mata jahatnya bagai memukau. Tubuhku terasa kejang
seketika. Tapi aku tidak mau menjadi korban kejahatan matanya. Aku harus melawan.
Aku pungut segera semua pakaian, lalu lari menjauhinya. Aku panjat bukit sambil
berpegang pada akar-akar kayu. Memanjat dengan perasaan takut dan dengan pakaian
di bawah kepitan, sangatlah sulit. Tapi aku harus cepat berlalu dari situ. Sebuah dahan
yang kupijak tiba-tiba patah, aku hampir jatuh kalau tidak kuat berpegang pada dahan
yang lain. Aku terpaksa turun lagi untuk memungut pakaianku, karena aku tidak mau
berkelana di hutan tanpa pakaian sehelai pun. Untunglah pakaianku tersangkut pada
semak-semak, hingga aku tidak perlu jauh-jauh turun lagi. Tapi aku tidak mau
memikul risiko seperti itu lagi. Pakaian kukenakan, kemudian aku memanjat lagi
tanpa berhenti. Akhirnya sampai juga aku di suatu dataran sempit di pinggang bukit.
Sebelum duduk untuk melepaskan lelah, aku meneliti ke sekeliling dulu, apakah di
tempat itu tidak ada ular bersarang atau bahaya lain mengancam.
Oh, betapa leganya hatiku, Saudaraku. Di tempat itu aku lihat bekas manusia sampai
di situ. Ada daun pisang bekas bungkus nasi. Ada sisa bungkus rokok dan puntungnya
yang kelihatan masih baru. Semangatku seolah pulih dengan membawa kekuatan yanp
baru. Kelelahan pun lenyap. Aku menyusuri jalan setapak lain di lereng bukit itu.
Episode 25 Saraswati Si Gadis Dalam Sunyi
Kemudian aku menemukan sebuah gua yang rendah tapi cukup lebar. Nyata bagiku,
gua itu sering digunakan orang untuk beristirahat atau mungkin juga untuk tidur di
malam hari. Apakah yang ada di dalam gua itu, pikirku. Aku pun masuk ke dalamnya
sambil membungkuk-bungkuk. Gua itu basah oleh air yang menetes terus di
dindingnya. Tidak begitu gelap di dalamnya. Aku dapat melihat setiap pelosoknya
meskipun dengan samar-samar. Tambah ke dalam gua itu bertambah lebar dan tinggi.
Tak ada apa-apa yang aku temui selain bekas-bekas daun bungkus nasi, bungkus
rokok dan selongsong peluru. Tentu manusia sering tinggal atau bersembunyi di situ.
Aku terus memasuki gua itu lebih dalam lagi sambil meneliti lantainya, kalau-kalau
aku bisa menemukan sesuatu yang berguna bagiku. Tak sesuatu pun yang aku jumpai.
Lambat laun bagian ke ujung gua itu makin menyempit. Namun aku terus maju. Dan
kini keadaannya kian gelap karena biasan cahaya dari pintu gua itu tak menolong
keadaan di dalam. Tambah lama aku masuk ke dalam, tambah aku ragu untuk
meneruskan. Aku pikir aku lebih baik kembali saja.
Akan tetapi ketika aku sudah ingin kembali, aku lihat sebias cahaya pada sebuah
ceruk. Aku terus mendekati ceruk itu. Cahaya itu datang dari seberang mulut gua.
Aku pun tak ingin kembali. Aku maju terus. Dan kini lubang gua itu kian menyempit
juga. Aku tidak bisa lewat dengan menegakkan kepalaku. Aku membungkuk-bungkuk
terus menempuh gua itu. Dari lubang di seberang aku dapat melihat langit lagi. Maka
aku yakin aku akan sampai ke balik bukit itu tanpa perlu memanjat puncaknya. Keluar
dari mulut gua di seberang itu tidaklah mudah. Lantainya tidak lagi merupakan dasar
gua, melainkan merupakan rengkahan batu-batu. Aku melangkah dengan hati-hati
sambil berpijak pada tekukan-tekukan di kedua dinding gua yang telah menyempit
dengan mengangkangkan kakiku lebar-lebar. Akhirnya, aku sampai juga di mulut
seberang gua itu. Alam di bawah indah sekali. Sesayup mata memandang aku lihat persawahan
membentang sampai ke kaki gunung yang puncaknya diliputi awan. Kaki gunung itu
bersalaman dengan kaki gunung di sebelahnya yang puncaknya tidak berawan. Di
tengah-tengah persawahan yang luas itu, banyak kampung-kampung berserakan. Atap
seng rumah kelihatan di sela-sela pohon-pohon yang rindang dan pohon nyiur. Hari
sudah tinggi sekali dan aku tidak dapat melihat matahari yang berada di atas kepalaku,
karena kelindungan oleh bibir gua. Aku teliti setiap kampung-kampung yang terdekat.
Aku melihat petani-petani di sawah. Aku juga melihat kerbau, anak-anak, dan bendi
di jalan-jalan kampung-kampung itu.
Aku duduk dengan diam-diam. Angin meniup-meniup anak rambutku. Sekarang aku
merasakan diriku telah terbebas dari orang-orang yang mengejarku. Terbebas dari
peristiwa yang menyakitkan hati, yang melusuhkan perasaan dan memukul jantungku.
Kesakitan-kesakitan karena melarikan diri, keletihan memanjat bukit dan bergayut
pada akar dan dahan-dahan kayu seolah tidaklah berarti apa-apa setelah aku bebas
dari lingkungan orang yang kubenci.
Ah, kenapa aku mendustai diriku, Sahabatku. Jika aku ingat kepada Bisri lagi, betapa
kecewanya aku setelah mendambakannya dengan sepenuh pengharapan yang
bergelimang kesengsaraan. Aku mengaku bahwa aku menangis. Waktu aku duduk
sambil bersandar di mulut gua, aku pun sebenarnya menangis, Saudaraku. Kubiarkan
saja air mataku meleleh. Aku biarkan angan-anganku merayap ke segala yang
menyayat hati. Aku biarkan arus duka melanda lekuk-lekuk sanubariku, semaunya
sampai porak-poranda. Kemudian, duka itu akan membiarkanku menempuh hidup
tanpa air mata dan kedukaan.
Ketika dukaku telah mereda, dengan hati-hati aku bangkit, lalu menuruni bukit dan
meninggalkan batas hidup yang mengecewakan. Aku menyelatkan diriku menuruni
rengkahan batu-batu yang curam di mulut gua, hingga aku sampai di sebuah dataran
sempit. Aku menyelatkan badanku dengan bertumpu pada kakiku dan punggungku,
hingga kakiku luka-luka dan punggungku tergores. Pedih rasanya. Tiba-tiba aku
tergelincir. Tak ada pegangan pada batu-batu itu. Badanku terhempas. Untunglah
badanku terhempas ke belukar-belukar. Kalau tidak aku pasti terguling terus ke
bawahnya lagi. Aku tidak tahu sedalam apa tanah yang akan menyambut tubuhku.
Aku kira diriku pingsan. Ketika aku sadar, rasa sakit sekujur tubuhku tak terderitakan.
Tapi aku mau hidup terus. Jika aku harus mati, bukan waktu itulah saatnya. Bukan di
saat aku telah sampai ke seberang bukit yang menjadi batas kepiluan hati karena
cintaku dikhianati. Jikapun aku harus mati, aku minta hanya satu, jangan tak ada
orang yang tahu aku telah mati. Tapi, ya, untuk apakah sebenarnya orang perlu tahu
kalau aku mati" Agar orang bisa menyampaikan berita kematianku kepada Bisri" Lalu
Bisri merasa terbebas dari rasa khianatnya padaku"
Aku bangkit lagi dan mencoba menuruni bukit yang terjal dengan berpegangan pada
akar-akar kayu. Pakaianku bertambah koyak juga. Sepotong-sepotong kainnya
tertinggal pada ranting-ranting yang menyangkutnya. Akhirnya aku tiba juga di kaki
bukit. Dinding bukit telah lebih melandai. Pohon-pohon tumbuh berdesakan di
tanahnya. Sekujur tubuhku tidak bertenaga lagi. Aku berbaring terkapar di rerumputan
di bawah sebatang pohon. Aku kembangkan tanganku dan aku picingkan mataku. Aku
ingin melepaskan semua kepegalan dan kelelahan. Aku merasa perutku lapar sekali,
aku haus dan nyeri-nyeri menusuki seluruh kulitku, pada lututku, pahaku dan
punggungku. Aku kira secara berangsur-angsur aku akan mencapai kematianku.
Beginilah rupanya setiap orang yang akan mati, pikirku. Terkapar tak berdaya, haus,
lapar dan nyeri seluruh tubuhnya. Dan lambat laun segalanya lenyap.
Ajalku belum sampai, Saudaraku. Aku kembali siuman dengan perlahan-lahan. Mulamula semua mengabur dan berputar-putar di sekitarku. Lalu aku memicing lagi untuk
beberapa lama. Kemudian aku kembangkan lagi mataku, alam sekitarku masih
mengabur juga. Aku memicing lagi selelanya. Demikianlah aku lakukan berulangulang. Ketika telah merasa lebih baik, aku heran mendapati diriku terbaring di atas
dipan beralaskan tikar. Di manakah aku berada sekarang" Di rumah siapakah ini"
Kepalaku kembali nanar. Aku picingkan lagi mataku. Ketika membuka mataku lagi,
setelah rasa pusing hilang aku lihat beberapa orang di sekitarku. Seseorang tampaknya
bertanya kepadaku. Rupanya mereka tidak tahu bahwa aku tidak bisa mendengar
suara mereka. Aku menggelengkan kepala sebagai isyarat bahwa aku tidak memahami
mereka. Kepalaku terasa nanar lagi dan aku terpaksa memicing pula.
Lambat-lambat aku nyalangkan mataku lagi, orang-orang itu tidak bertanya lagi.
Mereka kini mengamatiku. Aku pandangi wajah mereka satu per satu. Apakah aku
betul-betul akan mati sekarang, karena pandangan orang-orang itu demikian aneh
tampaknya" Aku picingkan lagi mataku. Perasaan nyeri di seluruh tubuhku terasa
menghentak-hentak lagi. Aku meraha bagian badanku yang terasa amat nyeri.
Rupanya pakaianku telah dilepas mereka semua dan aku diselubungi dengan sepotong
kain tua. Kenapa bajuku dilepas orang" Aku kaget dan aku mau duduk, tapi kepalaku
menghentak-hentak lagi. Sekitarku serasa bergoyang-goyang seperti layang-layang
putus. Ketika aku siuman lagi, seorang perempuan duduk di kalang huluku. Dia memandang
ramah kepadaku. Aku memang lapar sekali. Aku diberi kuah sayur yang masih panas.
Aku mencicipi lambat-lambat. Enak sekali rasanya.
Episode 26 Saraswati Si Gadis Dalam Sunyi
Aku tidak tahu sudah berapa lama aku berbaring di situ. Tapi secara berangsur aku
mulai sembuh. Tubuhku telah dikenakan baju lain. Dan aku tahu kini kenapa aku
ditelanjangi beberapa waktu yang lalu. Rupanya luka sekujur tubuhku diolesi dengan
obat. Namun aku tidak tahu, di mana sebenarnya aku berada. Rumah siapakah rumah
ini" Tak seorang pun dari mereka yang aku kenal. Mereka itu orang-orang desa yang
sederhana. Semua mereka rupanya telah tahu bahwa aku gadis yang bisu-tuli. Dan
karenanya mereka tidak berusaha lagi untuk berbicara denganku. Mereka tentu ingin
mengetahui segala-galanya tentang diriku. Dan aku tentu ingin juga mengatakan siapa
aku dan bagaimana aku bisa terpasah ke tempat mereka. Tapi keinginan seorang bisu
untuk berbicara hanya tinggal sebagai keinginan belaka.
Demikian banyak kesukaran yang telah aku alami dengan berbagai macam bentuk dan
sifatnya, namun rupanya ajalku belum tiba. Aku terus hidup. Tapi buat apa aku mesti
hidup terus" Kalau aku sudah harus mati, barangkli satu-satunya kesempatan untuk itu
ialah ketika aku terkapar sendirian di bawah serumpun belukar itu. Tapi rupanya
belum ditakdirkan aku mati, karena ada orang yang menemukanku, membawa dan
merawatku sampai sembuh. Aku merenung-renungkan kesukaran demi kesukaran
yang aku lalui. Adakah kesukaran yang lebih pahit dari kesukaran yang aku alami
semenjak kehilangan Ayah dan Ibu" Kalau amsih ada, aku harus menempuhnya
dengan perkasa. Dan jika tidak ada lagi kesukaran itu, aku harus menempuh hidupku
sebagai manusia, yang meski bisu-tuli bisa juga berguna memberi arti bagi kehidupan
orang lain. Kalau tidak demikian, tentu aku akan tetap mejadi gadis bisu-tuli yang
selalu akan membebani orang lain. Akan menjadi orang suruhan, babu atau tukang
cuci. Sedang keluargaku sendiri, seperti Angah, hanya mampu memberi aku hidup
sebagai penggembala kambing dan Bisri secara gampang membunuh harapan-harapan
yang diberikannya kepadaku. Karena aku cuma seorang gadis yang tak lebih berarti
dari seorang bisu-tuli yang hanya cocok untuk menggembala kambing mereka.
Ayah dan ibuku serta sauadaraku telah mati oleh suatu kecelakaan. Beragam
kecelakaan yang menimpaku semenjak mereka mati, namun aku masih hidup.
Karenanya aku harus hidup. Hidup yang berarti. Aku harus hidup sebagai gadis yang
berarti meski bisu-tuli. Agar arwah ayah dan ibuku akan merasa bahagia di langit.
Aku pun harus menjadi gadis bisu-tuli yang berarti, agar Bisri sadar bahwa aku
bukanlah gadis bisu-tuli sembarangan. Aku harus mampu mengalahkan kecantikan
Tati dengan kehidupanku yang baru yang mempunyai nilai-nilai yang tinggi. Dengan
demikian dendamku terhadapnya dapat aku puaskan. Aku tahu pikiranku ini gila. Tapi
kegilaan ini tak ingin aku hapus begitu saja. Kehidupan yang sesakit hidupku, harus
menjadi pelajaran bagi hidupku yang akan datang. Menangisi kedukaan dan kesakitan
hidup yang lalu, hanyalah akan menyakiti diri sendiri, Saudaraku.
Dan pada suatu pagi, ketika beberapa orang laki-laki sedang minum kopi dan makan
ubi rebus, telingaku menangkap sesuatu rentetan letusan yang lama sekali. Bunyinya
halus, tapi menusuk-nusuk telingaku rasanya. Semua orang secara serentak
berhamburan ke luar. Aku, ketika itu sedang di dapur bersama perempuan yang
memberiku kuah sayur dulu. Perempuan itu segera lari seraya menyeret tanganku ke
luar dari dapur. Tapi belum sempat keluar dia roboh di ambang pintu. Tangannya
menekan dadanya dan disela-sela jarinya kulihat darah membersit. Kakinya
membanting-banting di lantai. Aku cepat merahapinya dan meletakkan kepalanya di
pangkuanku. Kemudian kakinya berhenti membanting-banting dan tangan yang
memegang dadanya terlepas ke samping. Mulutnya membuka, bola matanya yang
hitam membalik naik ke atas. Dia mati di pangkuanku, Saudaraku. Aku ingin
menangisinya. Tapi aku tidak dapat menangis lagi waktu itu. Aku hanya terpana
memandang darah yang telah berhenti mengalir dan wajahnya yang membeku.
Kemudian seorang yang berseragam loreng datang dan mengacungkan bedilnya
kepadaku. Dari atas rumah muncullah yang lain, juga mengacungkan bedilnya
kepadaku. Melihat itu aku tidak berbuat apa-apa. Merekalah yang telah menembaknembak, dan mereka akan menembakku pula. Aku menanti peluru-peluru menembus
bagian-bagian tubuhku. Aku tidak berpikir dan tidak mengenang apa pun juga.
Mungkin di telingaku akan tertangkap bunyi letusan sayup-sayup dan kemudian aku
akan roboh berlumuran darah. Tapi ternyata bukan peluru yang membentur kepalaku,
Saudaraku, melainkan pangkal bedil yang dihantamkan ke kepalaku, hingga aku
terjerongkang. Aku berteriak-teriak dan memaki-maki. Kepalaku berdarah dan
darahnya mengalir menutupi mataku. Segera kututup kepalaku dengan tanganku
sambil terus memaki-maki mereka. Dan aku tahu, bahwa orang yang bersenjata ini
sama dengan mereka yang memukulku di rumah dulu. Meski bukan orangnya, tapi
pasukannya. Mungkin karena mereka tahu aku bisu-tuli dan tidak bisa mereka tanyai,
aku pun ditinggalkan. Tapi aku tidak berani beranjak sedikit pun dari tempatku
terduduk. Sungguh aku tidak menangis, Saudaraku. Ketika aku duduk membeku di
tempat itu, hanya satu yang aku ingat, Saudaraku, bahwa perang sangat kejam dan
jahat. Kalau kau punya anak kelak, punya cucu nantinya, cegahlah mereka berperang.


Saraswati Si Gadis Sunyi Karya A. A Navis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sekurang-kurangnya cegah mereka menghasut perang. Apalagi perang sesama bangsa
sendiri. Karena perang juga akan menghancurkan semua orang yang tidak ikut
berperang. Perang tidak mempunyai mata yang jernih, sama seperti peluru yang
digunakannya. Tak seorang pun muncul setelah beberapa waktu peristiwa itu berlalu. Air di periuk
yang dimasak tadi kukira telah dingin lagi, karena api di tungkunya telah padam.
Mayat perempuan di ambang pintu itu tergeletak dengan mulut menganga, seperti
melolongkan nasibnya yang ditimpa kekejaman perang. Lalat merubungi lukanya.
Darahnya yang merah telah menghitam. Mayat itu sudah harus dipindahkan ke tempat
yang layak. Aku harus mencari bantuan. Aku naik ke rumah. Semuanya centang
perenang. Gelas dan piring sarapan pagi tergeletak dan pecah-pecah di lantai. Kamarkamar porak poranda isinya. Kasur terbusai oleh tusukan pisau. Kain-kain dalam
lemari tertumpah ruah ke lantai. Aku pun turun ke tangga depan. Di halaman
kujumpai lagi dua mayat laki-laki yang tadi sarapan di rumah. Yang seorang
tengkurap. Aku melewati kedua mayat itu dengan perasaan ngeri. Adakah korbankorban lainnya" Aku mencari-cari dengan mataku, tapi tak kutemui mayat lain. Tapi
ke manakah orang-orang lain" Kalau mereka masih hidup, tentu mereka sudah
kembali lagi. Berlima orang mereka pagi tadi. Kalau mereka sudah mati, di manakah
mayatnya tergeletak" Tidak adakah orang-orang desa lainnya di tempat itu" Memang
rumah kami agak terpencil sedikit dari rumah-rumah lainnya di desa itu. Maka aku
menyusuri jalan kecil yang menuju tengah ke desa. Alangkah lengangnya. Tidak ada
seorang pun. Hanya ayam dan itik aku temui. Seekor kerbau dan tiga kambing pun
telah mati. Empat buah rumah yang bergandeng rapat hangus terbakar. Asapnya
masih mengepul dari bawah abu puingnya.
Seekor kucing merenungi rumah yang terbakar itu dari atas batu. Di dekat itu aku lihat
seorang wanita, duduk bersandar pada pohon manggis. Aku mendekatinya.
Perempuan itu telah menjadi mayat. Darah telah menghitam pada kebayanya. Dan di
sampingnya seorang bayi kecil tertidur. Ya, memang bayi itu tertidur, dia tidak mati.
Aku tidak mau mengganggunya, meski perasaan iba mendera-dera hatiku. Aku segera
berlalu mencari orang-orang untuk meminta bantuan.
Episode 27 Saraswati Si Gadis Dalam Sunyi
Akhirnya aku sampai ke ujung dataran. Jalan sekarang menurun. Kalau jalan itu aku
tempuh terus, akan sampai ke desa yang lebih ramai. Di sana ada pasar kecil dan
kantor kepala desa. Lebih dari sejam perjalanan ke desa sana. Mungkin di sana
banyak orang. Ketika aku hendak menuruni jalan itu, di bawah sana aku melihat
seseorang berjalan mendaki jalan yang akan kutempuh. Orang itu memakai topi
pandan yang telah lusuh dan memakai tongkat. Orang itu melihatku ketika dia
mendongakkan kepalanya. Dia mulai berjalan lebih cepat setelah aku melambailambaikan tanganku. Menjelang dia mendekat aku mulai berpikir bagaimana aku
harus mengatakan bahwa di rumah ada mayat tergeletak dan seorang bayi perlu
pertolongan. Orang itu kian dekat juga.
Dan, Saudaraku, ketika dia mengangkat kepalanya lagi, aku mengenal orang itu dan
dia pun berlari ke arahku. Di tengah pendakian itu kami bertemu dan aku tenggelam
dalam tangannya. Aku menangis tersedu sambil memeluknya kuat-kuat. Tak ingin
aku melepaskannya dan lebih tak ingin aku hidup sebatang kara. Banyak sekali yang
ingin aku katakan padanya dan lebih banyak lagi yang aku harapkan darinya. Tapi itu
tak bisa kuucapkan, Saudaraku. Aku hanya mampu menyebut namanya di dalam
hatiku: "Busra. Busra. Busra." Lainnya tak dapat aku ucapkan.
Ketika pelukan kami saling melonggar, mata kami bertatapan. Aku lihat air matanya
tergenang. Dan aku kembali merebahkan kepalaku ke dadanya sambil mempererat
pelukanku. Kemudian dia menjarakkan kepalaku dari dadanya. Sehelai kertas
diperlihatkannya padaku. Rupanya ia yakin akan menemui aku, telah disiapkannya
apa yang ingin dikatakannya padaku. Tidak banyak isi kertas itu. Isinya tak lain
hanya: "Aku cari engkau."
Sekali lagi aku memeluknya, Saudaraku. Kini aku betul-betul tak ingin
melepaskannya untuk selama-lamanya. Tak ingin, Saudaraku. Tak lama kemudian
orang-orang pun muncul dari bawah pendakian itu. Bala bantuan telah tiba.
Dan ketika aku menulis kisahku ini, aku telah belajar menulis dan membaca pada
Pusat Rehabilitasi yang dirintis Dr. Suharso di Solo. Sebetulnya itu semacam rumah
sakit untuk korban perang yang menderita cacat tubuh. Terutama bagi tentara yang
kehilangan kaki atau tangan. Di sana mereka diberi tangan atau kaki palsu dan dilatih
untuk menggunakannya. Jadi, bukan untuk tempat pendidikan orang bisu-tuli seperti
aku. Karena itu akulah satu-satunya orang bisu-tuli yang dididik di sana. Hampir
empat tahun lamanya. Aku kira, aku salah masuk ke sana. Namun demikian, aku
diterima atas usaha Kapten Hendro teman sekolah ayahku. Aku ketemu dia ketika aku
dan Busra ditahan sekembali kami dari pedalaman.
Namun kadang-kadang, Saudaraku, selama tinggal bersama penderita cacat akibat
perang itu aku putar perjalanan hidupku sendiri, aku pun seorang korban perang juga,
Saudaraku. Ayah, Ibu dan saudara-saudaraku mati oleh akibat perang juga. Angah,
kakak ayahku, dan Pak Angah juga. Aku tidak tahu di mana mereka dikuburkan. Aku
sendiri sebenarnya juga seorang korban perang. Meski tidak kehilangan nyawa, aku
kehilangan nyawa orang-orang yang aku kasihi.
Selama hidup dalam perang, di samping melihat banyak kesengsaraan, aku juga
melihat banyak korban yang mati, yang luka, banyak rumah yang hangus dan hancur.
Jika aku kenang itu semua, terasa sekali betapa dunia ini begitu kelabu, begitu gelap.
Kenangan itu selalu mengusik sanubariku, Saudaraku.
Tapi di atas segala-galanya, hatiku merasa begitu perih oleh kehilangan cinta. Cintaku
yang pertama. Mungkin banyak orang mengalami kasih tak sampai. Tapi aku,
mengalami kasih pertama yang dikhianati. Ada luka yang menganga demikian dalam
pada kenanganku. Luka itu memang tidak membunuh, tapi bekas luka itu masih terasa
sakitnya. Dengan segala ketegaran hati aku selalu berusaha membuangnya jauh-jauh
dari dalam diriku. Kadang-kadang aku merasa beruntung juga karena tuli telingaku,
sehingga aku tidak mendengar nama Bisri diucapkan orang. Namun sekali-sekali
timbul juga tanya-tanya pada diriku: di mana dia sekarang.
Aku belajar menulis dan membaca. Membaca tulisan dan juga membaca gerak bibir
orang yang berbicara. Namun aku kesulitan belajar berbicara. Kata pelatih, aku
terlambat belajar berbicara, sehingga lidahku kaku dan suaraku sangat sengau. Orang
akan sulit memahami apa yang aku katakan. Menurutnya, aku lebih baik belajar
bicara menggunakan tangan. Tapi, selain tidak ada guru, juga perlu ada orang yang
pandai menerjemahkannya. Belajar menulis dan membaca tidaklah begitu berat. Yang
berat ialah mengenal arti setiap kata dan makna dari kalimat yang merangkai katakata itu.
Kemahiran menulis diperlancar oleh keasyikan saling berkirim surat dengan Busra.
Bahasa surat Busra sederhana dan gamblang. Dia selalu mencoba menyesuaikan
bahasanya dengan bahasaku, sehingga aku mudah memahaminya. Sedikit demi sedikit
dia pun memperbaiki bahasaku dalam surat-surat yang aku kirim kepadanya, yaitu
dengan menempatkan awalan dan akhiran. Yang menarik dalam surat-suratnya ialah
tentang kegiatannya dan keadaan kota Padang Panjang, terutama tentang orang-orang
yang aku kenal, hingga aku merasa berada di sana.
Katanya, dia tidak melanjutkan sekolahnya. Dia sudah harus menghidupi dirinya
sendiri dan membangun masa depannya. Pelajaran sekolah tidak ada sangkut-pautnya
dengan apa yang diusahakannya. Katanya, dia mulai lagi beternak ayam. Ayam ras
yang petelur dan pedaging. Lebih tiga ratus ekor jumlahnya. Juga dia beternak
kambing. Tapi tidak digembalakan seperti dulu. Kandang kambing itu bertingkat dua.
Makanannya dia ambil dari sisa sayur yang tidak terjual di pasar. Kulit pisang pun
bagus untuk makanan kambing. Ilmu peternakan banyak diperolehnya dari buku-buku
dan bertanya pada sesama peternak. Katanya juga, hasil usahanya dapat menghidupi
lima sampai delapan orang.
Aku gembira membaca kalimat itu. Tapi karena kalimat itu diberi garis di bawahnya,
aku ulang-ulang membacanya. Ingin tahu aku apa yang sesungguhnya dimauinya
dalam kalimat bergaris itu. Aku ingin menanyakannya dalam surat balasanku. Tapi
ketika menulis surat balasan aku batalkan menanyakannya. Aku tidak tahu, kenapa
aku batal menanyakannya, Saudaraku.
Saudaraku, pernah sekali surat Busra mengabarkan perihal Bisri yang telah
menyelesaikan kuliahnya pada sebuah akademi di Jakarta. Terus terang aku
sampaikan padamu, sekali-sekali aku teringat juga padanya dan ingin tahu bagaimana
keadaannya. Secepatnya aku buang ingatan itu. Tapi ketika aku baca nama Bisri
dalam surat Busra, aku remas-remas surat itu. Lalu aku bakar. Itulah satu-satunya
surat Busra yang tidak aku simpan dalam kotak khusus. Dan surat Busra yang itu
tidak aku balas. Dalam susulan suratnya yang tak aku balas itu, dia menyatakan betapa khawatirnya
dia karena aku tidak membalas suratnya. Setiap hari dia menunggu pak pos lewat.
Dan setiap pak pos lewat tapi tidak membawa suratku, sangat kecewalah hatinya.
"Syukurlah kalau kau tidak sempat membalas suratku oleh karena kesibukan. Tapi
seandainya engkau sakit, aku sangat cemas."
Episode 28 Saraswati Si Gadis Dalam Sunyi
"Ya, aku memang sakit. Sakit hati oleh suratmu menulis nama Bisri. Bisri yang ingin
aku lupakan," kataku dalam hati. "Aku tidak peduli dia. Aku hanya peduli engkau."
Rupanya Busra maklum mengapa aku tidak membalas suratnya. Karena sejak itu
tidak pernah lagi ia menulis tentang Bisri.
Memang banyak kesibukanku. Di samping belajar membaca dan menulis, aku pun
belajar menjahit berbagai mode pakaian perempuan. Seperti yang ditulis Busra,
pandai membaca dan menulis saja tidak akan membantu keperluan hidup. Setiap
orang harus mampu mendirikan hidupnya sendiri. Tidak ada jenis pekerjaan membaca
dan menulis setiap hari kalau tidak memiliki kepandaian yang khusus. Pekerjaan
membaca dan menulis hanyalah bagi mereka yang melakukan studi ilmu pengetahuan
yang tinggi. Keperluan membaca dan menulis bagi orang biasa ialah untuk mengisi
perbendaharaan batin. Orang yang tidak biasa membaca, pandangan hidupnya kerdil.
Sedangkan untuk hidup orang memerlukan keterampilan tangan.
Memang ada benarnya, Saudaraku, kemauan membaca dan menulis bagi aku yang
bisu-tuli tidak sebesar ketika aku ingin tahu kata-kata yang tertulis pada kertas-kertas
yang aku jumpai dulu. Keperluan membaca bagiku hanya untuk mengetahui apa yang
ingin aku ketahui. Yang ingin aku ketahui tidaklah banyak. Cukup untuk mengetahui
hal-hal yang berguna dalam hidupku sehari-hari atau sebagai pengisi waktu senggang.
Membaca koran bagiku tidak ubahnya seperti racun yang menimbulkan kenangkenangan pahit masa lalu karena sebagian besar isinya ialah berita-berita kejahatan
dan kekacauan hidup manusia. Isi majalah atau buku sulit aku cernakan, karena tidak
terjangkau oleh perbendaharaan pengetahuanku. Misalnya, apa arti dan faedah musik
dan penyanyi bagiku. Arti telekomunikasi. Arti pidato pemimpin.
Namun membaca surat Busra dan menulis surat kepadanya telah menjadi bagian dari
hidupku. Kalau surat Busra datang, berhari-hari dan berulang-ulang aku baca. Kalau
suratnya lambat tiba, aku gelisah sekali. Hidup seperti tidak ada gunanya. Bagaimana
nanti, jika Busra tidak lagi berkirim surat padaku" Misalnya apabila dia punya
kesibukan dan minat yang lain. Umpamanya bila dia punya istri dan anak-anak yang
jadi mainan hatinya. Apa" Busra punya istri dan dapat anak dari istrinya itu" Oh, itu
tidak boleh terjadi, Saudaraku. Kalau itu terjadi, tidak ada lagi seorang pun tempat
hatiku terpaut. Kau ingat Bisri" Ketika ia bertemu Tati, ia lupa padaku, pada cintaku
dan pada cintanya sendiri.
Lalu Busra hadir dalam kenanganku. Terkenang akan segala yang ada pada dirinya,
segala perlakuannya terhadapku. Ketika di pemakaman, ketika di rumahnya, ketika
merawatku setelah aku terdampar dalam kemelut perang. Pokoknya segala-galanya.
Dalam mengenang-ngenangnya aku baca lagi surat-suratnya. Ketika mataku terpaut
pada kalimat yang bergaris di bawahnya: "Sekarang usahaku dapat menghidupi lima
sampai delapan orang," aku tersentak. Aku tiba-tiba memahami maksudnya yang
tersirat. Bahwa dia telah siap hidup bersamaku.
Lalu aku kirim telegram kepadanya supaya cepat sampai. "Busra. Aku mau pulang."
Enam hari kemudian tiba telegram balasannya. Isinya: "Tunggu. Aku akan jemput
kau. " Ketika aku menyelesaikan surat ini, aku sedang menunggu Busra, Saudaraku.
Episode 25 Saraswati Si Gadis Dalam Sunyi
Kemudian aku menemukan sebuah gua yang rendah tapi cukup lebar. Nyata bagiku,
gua itu sering digunakan orang untuk beristirahat atau mungkin juga untuk tidur di
malam hari. Apakah yang ada di dalam gua itu, pikirku. Aku pun masuk ke dalamnya
sambil membungkuk-bungkuk. Gua itu basah oleh air yang menetes terus di
dindingnya. Tidak begitu gelap di dalamnya. Aku dapat melihat setiap pelosoknya
meskipun dengan samar-samar. Tambah ke dalam gua itu bertambah lebar dan tinggi.
Tak ada apa-apa yang aku temui selain bekas-bekas daun bungkus nasi, bungkus
rokok dan selongsong peluru. Tentu manusia sering tinggal atau bersembunyi di situ.
Aku terus memasuki gua itu lebih dalam lagi sambil meneliti lantainya, kalau-kalau
aku bisa menemukan sesuatu yang berguna bagiku. Tak sesuatu pun yang aku jumpai.
Lambat laun bagian ke ujung gua itu makin menyempit. Namun aku terus maju. Dan
kini keadaannya kian gelap karena biasan cahaya dari pintu gua itu tak menolong
keadaan di dalam. Tambah lama aku masuk ke dalam, tambah aku ragu untuk
meneruskan. Aku pikir aku lebih baik kembali saja.
Akan tetapi ketika aku sudah ingin kembali, aku lihat sebias cahaya pada sebuah
ceruk. Aku terus mendekati ceruk itu. Cahaya itu datang dari seberang mulut gua.
Aku pun tak ingin kembali. Aku maju terus. Dan kini lubang gua itu kian menyempit
juga. Aku tidak bisa lewat dengan menegakkan kepalaku. Aku membungkuk-bungkuk
terus menempuh gua itu. Dari lubang di seberang aku dapat melihat langit lagi. Maka
aku yakin aku akan sampai ke balik bukit itu tanpa perlu memanjat puncaknya. Keluar
dari mulut gua di seberang itu tidaklah mudah. Lantainya tidak lagi merupakan dasar
gua, melainkan merupakan rengkahan batu-batu. Aku melangkah dengan hati-hati
sambil berpijak pada tekukan-tekukan di kedua dinding gua yang telah menyempit
dengan mengangkangkan kakiku lebar-lebar. Akhirnya, aku sampai juga di mulut
seberang gua itu. Alam di bawah indah sekali. Sesayup mata memandang aku lihat persawahan
membentang sampai ke kaki gunung yang puncaknya diliputi awan. Kaki gunung itu
bersalaman dengan kaki gunung di sebelahnya yang puncaknya tidak berawan. Di
tengah-tengah persawahan yang luas itu, banyak kampung-kampung berserakan. Atap
seng rumah kelihatan di sela-sela pohon-pohon yang rindang dan pohon nyiur. Hari
sudah tinggi sekali dan aku tidak dapat melihat matahari yang berada di atas kepalaku,
karena kelindungan oleh bibir gua. Aku teliti setiap kampung-kampung yang terdekat.
Aku melihat petani-petani di sawah. Aku juga melihat kerbau, anak-anak, dan bendi
di jalan-jalan kampung-kampung itu.
Aku duduk dengan diam-diam. Angin meniup-meniup anak rambutku. Sekarang aku
merasakan diriku telah terbebas dari orang-orang yang mengejarku. Terbebas dari
peristiwa yang menyakitkan hati, yang melusuhkan perasaan dan memukul jantungku.
Kesakitan-kesakitan karena melarikan diri, keletihan memanjat bukit dan bergayut
pada akar dan dahan-dahan kayu seolah tidaklah berarti apa-apa setelah aku bebas
dari lingkungan orang yang kubenci.
Ah, kenapa aku mendustai diriku, Sahabatku. Jika aku ingat kepada Bisri lagi, betapa
kecewanya aku setelah mendambakannya dengan sepenuh pengharapan yang
bergelimang kesengsaraan. Aku mengaku bahwa aku menangis. Waktu aku duduk
sambil bersandar di mulut gua, aku pun sebenarnya menangis, Saudaraku. Kubiarkan
saja air mataku meleleh. Aku biarkan angan-anganku merayap ke segala yang
menyayat hati. Aku biarkan arus duka melanda lekuk-lekuk sanubariku, semaunya
sampai porak-poranda. Kemudian, duka itu akan membiarkanku menempuh hidup
tanpa air mata dan kedukaan.
Ketika dukaku telah mereda, dengan hati-hati aku bangkit, lalu menuruni bukit dan
meninggalkan batas hidup yang mengecewakan. Aku menyelatkan diriku menuruni
rengkahan batu-batu yang curam di mulut gua, hingga aku sampai di sebuah dataran
sempit. Aku menyelatkan badanku dengan bertumpu pada kakiku dan punggungku,
hingga kakiku luka-luka dan punggungku tergores. Pedih rasanya. Tiba-tiba aku
tergelincir. Tak ada pegangan pada batu-batu itu. Badanku terhempas. Untunglah
badanku terhempas ke belukar-belukar. Kalau tidak aku pasti terguling terus ke
bawahnya lagi. Aku tidak tahu sedalam apa tanah yang akan menyambut tubuhku.
Aku kira diriku pingsan. Ketika aku sadar, rasa sakit sekujur tubuhku tak terderitakan.
Tapi aku mau hidup terus. Jika aku harus mati, bukan waktu itulah saatnya. Bukan di
saat aku telah sampai ke seberang bukit yang menjadi batas kepiluan hati karena
cintaku dikhianati. Jikapun aku harus mati, aku minta hanya satu, jangan tak ada
orang yang tahu aku telah mati. Tapi, ya, untuk apakah sebenarnya orang perlu tahu
kalau aku mati" Agar orang bisa menyampaikan berita kematianku kepada Bisri" Lalu
Bisri merasa terbebas dari rasa khianatnya padaku"
Aku bangkit lagi dan mencoba menuruni bukit yang terjal dengan berpegangan pada
akar-akar kayu. Pakaianku bertambah koyak juga. Sepotong-sepotong kainnya
tertinggal pada ranting-ranting yang menyangkutnya. Akhirnya aku tiba juga di kaki
bukit. Dinding bukit telah lebih melandai. Pohon-pohon tumbuh berdesakan di
tanahnya. Sekujur tubuhku tidak bertenaga lagi. Aku berbaring terkapar di rerumputan
di bawah sebatang pohon. Aku kembangkan tanganku dan aku picingkan mataku. Aku
ingin melepaskan semua kepegalan dan kelelahan. Aku merasa perutku lapar sekali,
aku haus dan nyeri-nyeri menusuki seluruh kulitku, pada lututku, pahaku dan
punggungku. Aku kira secara berangsur-angsur aku akan mencapai kematianku.
Beginilah rupanya setiap orang yang akan mati, pikirku. Terkapar tak berdaya, haus,
lapar dan nyeri seluruh tubuhnya. Dan lambat laun segalanya lenyap.
Ajalku belum sampai, Saudaraku. Aku kembali siuman dengan perlahan-lahan. Mulamula semua mengabur dan berputar-putar di sekitarku. Lalu aku memicing lagi untuk
beberapa lama. Kemudian aku kembangkan lagi mataku, alam sekitarku masih
mengabur juga. Aku memicing lagi selelanya. Demikianlah aku lakukan berulangulang. Ketika telah merasa lebih baik, aku heran mendapati diriku terbaring di atas
dipan beralaskan tikar. Di manakah aku berada sekarang" Di rumah siapakah ini"
Kepalaku kembali nanar. Aku picingkan lagi mataku. Ketika membuka mataku lagi,
setelah rasa pusing hilang aku lihat beberapa orang di sekitarku. Seseorang tampaknya
bertanya kepadaku. Rupanya mereka tidak tahu bahwa aku tidak bisa mendengar
suara mereka. Aku menggelengkan kepala sebagai isyarat bahwa aku tidak memahami


Saraswati Si Gadis Sunyi Karya A. A Navis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka. Kepalaku terasa nanar lagi dan aku terpaksa memicing pula.
Lambat-lambat aku nyalangkan mataku lagi, orang-orang itu tidak bertanya lagi.
Mereka kini mengamatiku. Aku pandangi wajah mereka satu per satu. Apakah aku
betul-betul akan mati sekarang, karena pandangan orang-orang itu demikian aneh
tampaknya" Aku picingkan lagi mataku. Perasaan nyeri di seluruh tubuhku terasa
menghentak-hentak lagi. Aku meraha bagian badanku yang terasa amat nyeri.
Rupanya pakaianku telah dilepas mereka semua dan aku diselubungi dengan sepotong
kain tua. Kenapa bajuku dilepas orang" Aku kaget dan aku mau duduk, tapi kepalaku
menghentak-hentak lagi. Sekitarku serasa bergoyang-goyang seperti layang-layang
putus. Ketika aku siuman lagi, seorang perempuan duduk di kalang huluku. Dia memandang
ramah kepadaku. Aku memang lapar sekali. Aku diberi kuah sayur yang masih panas.
Aku mencicipi lambat-lambat. Enak sekali rasanya.
Episode 26 Saraswati Si Gadis Dalam Sunyi
Aku tidak tahu sudah berapa lama aku berbaring di situ. Tapi secara berangsur aku
mulai sembuh. Tubuhku telah dikenakan baju lain. Dan aku tahu kini kenapa aku
ditelanjangi beberapa waktu yang lalu. Rupanya luka sekujur tubuhku diolesi dengan
obat. Namun aku tidak tahu, di mana sebenarnya aku berada. Rumah siapakah rumah
ini" Tak seorang pun dari mereka yang aku kenal. Mereka itu orang-orang desa yang
sederhana. Semua mereka rupanya telah tahu bahwa aku gadis yang bisu-tuli. Dan
karenanya mereka tidak berusaha lagi untuk berbicara denganku. Mereka tentu ingin
mengetahui segala-galanya tentang diriku. Dan aku tentu ingin juga mengatakan siapa
aku dan bagaimana aku bisa terpasah ke tempat mereka. Tapi keinginan seorang bisu
untuk berbicara hanya tinggal sebagai keinginan belaka.
Demikian banyak kesukaran yang telah aku alami dengan berbagai macam bentuk dan
sifatnya, namun rupanya ajalku belum tiba. Aku terus hidup. Tapi buat apa aku mesti
hidup terus" Kalau aku sudah harus mati, barangkli satu-satunya kesempatan untuk itu
ialah ketika aku terkapar sendirian di bawah serumpun belukar itu. Tapi rupanya
belum ditakdirkan aku mati, karena ada orang yang menemukanku, membawa dan
merawatku sampai sembuh. Aku merenung-renungkan kesukaran demi kesukaran
yang aku lalui. Adakah kesukaran yang lebih pahit dari kesukaran yang aku alami
semenjak kehilangan Ayah dan Ibu" Kalau amsih ada, aku harus menempuhnya
dengan perkasa. Dan jika tidak ada lagi kesukaran itu, aku harus menempuh hidupku
sebagai manusia, yang meski bisu-tuli bisa juga berguna memberi arti bagi kehidupan
orang lain. Kalau tidak demikian, tentu aku akan tetap mejadi gadis bisu-tuli yang
selalu akan membebani orang lain. Akan menjadi orang suruhan, babu atau tukang
cuci. Sedang keluargaku sendiri, seperti Angah, hanya mampu memberi aku hidup
sebagai penggembala kambing dan Bisri secara gampang membunuh harapan-harapan
yang diberikannya kepadaku. Karena aku cuma seorang gadis yang tak lebih berarti
dari seorang bisu-tuli yang hanya cocok untuk menggembala kambing mereka.
Ayah dan ibuku serta sauadaraku telah mati oleh suatu kecelakaan. Beragam
kecelakaan yang menimpaku semenjak mereka mati, namun aku masih hidup.
Karenanya aku harus hidup. Hidup yang berarti. Aku harus hidup sebagai gadis yang
berarti meski bisu-tuli. Agar arwah ayah dan ibuku
akan merasa bahagia di langit.
Aku pun harus menjadi gadis bisu-tuli yang berarti, agar Bisri sadar bahwa aku
bukanlah gadis bisu-tuli sembarangan. Aku harus mampu mengalahkan kecantikan
Tati dengan kehidupanku yang baru yang mempunyai nilai-nilai yang tinggi. Dengan
demikian dendamku terhadapnya dapat aku puaskan. Aku tahu pikiranku ini gila. Tapi
kegilaan ini tak ingin aku hapus begitu saja. Kehidupan yang sesakit hidupku, harus
menjadi pelajaran bagi hidupku yang akan datang. Menangisi kedukaan dan kesakitan
hidup yang lalu, hanyalah akan menyakiti diri sendiri, Saudaraku.
Dan pada suatu pagi, ketika beberapa orang laki-laki sedang minum kopi dan makan
ubi rebus, telingaku menangkap sesuatu rentetan letusan yang lama sekali. Bunyinya
halus, tapi menusuk-nusuk telingaku rasanya. Semua orang secara serentak
berhamburan ke luar. Aku, ketika itu sedang di dapur bersama perempuan yang
memberiku kuah sayur dulu. Perempuan itu segera lari seraya menyeret tanganku ke
luar dari dapur. Tapi belum sempat keluar dia roboh di ambang pintu. Tangannya
menekan dadanya dan disela-sela jarinya kulihat darah membersit. Kakinya
membanting-banting di lantai. Aku cepat merahapinya dan meletakkan kepalanya di
pangkuanku. Kemudian kakinya berhenti membanting-banting dan tangan yang
memegang dadanya terlepas ke samping. Mulutnya membuka, bola matanya yang
hitam membalik naik ke atas. Dia mati di pangkuanku, Saudaraku. Aku ingin
menangisinya. Tapi aku tidak dapat menangis lagi waktu itu. Aku hanya terpana
memandang darah yang telah berhenti mengalir dan wajahnya yang membeku.
Kemudian seorang yang berseragam loreng datang dan mengacungkan bedilnya
kepadaku. Dari atas rumah muncullah yang lain, juga mengacungkan bedilnya
kepadaku. Melihat itu aku tidak berbuat apa-apa. Merekalah yang telah menembaknembak, dan mereka akan menembakku pula. Aku menanti peluru-peluru menembus
bagian-bagian tubuhku. Aku tidak berpikir dan tidak mengenang apa pun juga.
Mungkin di telingaku akan tertangkap bunyi letusan sayup-sayup dan kemudian aku
akan roboh berlumuran darah. Tapi ternyata bukan peluru yang membentur kepalaku,
Saudaraku, melainkan pangkal bedil yang dihantamkan ke kepalaku, hingga aku
terjerongkang. Aku berteriak-teriak dan memaki-maki. Kepalaku berdarah dan
darahnya mengalir menutupi mataku. Segera kututup kepalaku dengan tanganku
sambil terus memaki-maki mereka. Dan aku tahu, bahwa orang yang bersenjata ini
sama dengan mereka yang memukulku di rumah dulu. Meski bukan orangnya, tapi
pasukannya. Mungkin karena mereka tahu aku bisu-tuli dan tidak bisa mereka tanyai,
aku pun ditinggalkan. Tapi aku tidak berani beranjak sedikit pun dari tempatku
terduduk. Sungguh aku tidak menangis, Saudaraku. Ketika aku duduk membeku di
tempat itu, hanya satu yang aku ingat, Saudaraku, bahwa perang sangat kejam dan
jahat. Kalau kau punya anak kelak, punya cucu nantinya, cegahlah mereka berperang.
Sekurang-kurangnya cegah mereka menghasut perang. Apalagi perang sesama bangsa
sendiri. Karena perang juga akan menghancurkan semua orang yang tidak ikut
berperang. Perang tidak mempunyai mata yang jernih, sama seperti peluru yang
digunakannya. Tak seorang pun muncul setelah beberapa waktu peristiwa itu berlalu. Air di periuk
yang dimasak tadi kukira telah dingin lagi, karena api di tungkunya telah padam.
Mayat perempuan di ambang pintu itu tergeletak dengan mulut menganga, seperti
melolongkan nasibnya yang ditimpa kekejaman perang. Lalat merubungi lukanya.
Darahnya yang merah telah menghitam. Mayat itu sudah harus dipindahkan ke tempat
yang layak. Aku harus mencari bantuan. Aku naik ke rumah. Semuanya centang
perenang. Gelas dan piring sarapan pagi tergeletak dan pecah-pecah di lantai. Kamarkamar porak poranda isinya. Kasur terbusai oleh tusukan pisau. Kain-kain dalam
lemari tertumpah ruah ke lantai. Aku pun turun ke tangga depan. Di halaman
kujumpai lagi dua mayat laki-laki yang tadi sarapan di rumah. Yang seorang
tengkurap. Aku melewati kedua mayat itu dengan perasaan ngeri. Adakah korbankorban lainnya" Aku mencari-cari dengan mataku, tapi tak kutemui mayat lain. Tapi
ke manakah orang-orang lain" Kalau mereka masih hidup, tentu mereka sudah
kembali lagi. Berlima orang mereka pagi tadi. Kalau mereka sudah mati, di manakah
mayatnya tergeletak" Tidak adakah orang-orang desa lainnya di tempat itu" Memang
rumah kami agak terpencil sedikit dari rumah-rumah lainnya di desa itu. Maka aku
menyusuri jalan kecil yang menuju tengah ke desa. Alangkah lengangnya. Tidak ada
seorang pun. Hanya ayam dan itik aku temui. Seekor kerbau dan tiga kambing pun
telah mati. Empat buah rumah yang bergandeng rapat hangus terbakar. Asapnya
masih mengepul dari bawah abu puingnya.
Seekor kucing merenungi rumah yang terbakar itu dari atas batu. Di dekat itu aku lihat
seorang wanita, duduk bersandar pada pohon manggis. Aku mendekatinya.
Perempuan itu telah menjadi mayat. Darah telah menghitam pada kebayanya. Dan di
sampingnya seorang bayi kecil tertidur. Ya, memang bayi itu tertidur, dia tidak mati.
Aku tidak mau mengganggunya, meski perasaan iba mendera-dera hatiku. Aku segera
berlalu mencari orang-orang untuk meminta bantuan
Episode 27 Saraswati Si Gadis Dalam Sunyi
Akhirnya aku sampai ke ujung dataran. Jalan sekarang menurun. Kalau jalan itu aku
tempuh terus, akan sampai ke desa yang lebih ramai. Di sana ada pasar kecil dan
kantor kepala desa. Lebih dari sejam perjalanan ke desa sana. Mungkin di sana
banyak orang. Ketika aku hendak menuruni jalan itu, di bawah sana aku melihat
seseorang berjalan mendaki jalan yang akan kutempuh. Orang itu memakai topi
pandan yang telah lusuh dan memakai tongkat. Orang itu melihatku ketika dia
mendongakkan kepalanya. Dia mulai berjalan lebih cepat setelah aku melambailambaikan tanganku. Menjelang dia mendekat aku mulai berpikir bagaimana aku
harus mengatakan bahwa di rumah ada mayat tergeletak dan seorang bayi perlu
pertolongan. Orang itu kian dekat juga.
Dan, Saudaraku, ketika dia mengangkat kepalanya lagi, aku mengenal orang itu dan
dia pun berlari ke arahku. Di tengah pendakian itu kami bertemu dan aku tenggelam
dalam tangannya. Aku menangis tersedu sambil memeluknya kuat-kuat. Tak ingin
aku melepaskannya dan lebih tak ingin aku hidup sebatang kara. Banyak sekali yang
ingin aku katakan padanya dan lebih banyak lagi yang aku harapkan darinya. Tapi itu
tak bisa kuucapkan, Saudaraku. Aku hanya mampu menyebut namanya di dalam
hatiku: "Busra. Busra. Busra." Lainnya tak dapat aku ucapkan.
Ketika pelukan kami saling melonggar, mata kami bertatapan. Aku lihat air matanya
tergenang. Dan aku kembali merebahkan kepalaku ke dadanya sambil mempererat
pelukanku. Kemudian dia menjarakkan kepalaku dari dadanya. Sehelai kertas
diperlihatkannya padaku. Rupanya ia yakin akan menemui aku, telah disiapkannya
apa yang ingin dikatakannya padaku. Tidak banyak isi kertas itu. Isinya tak lain
hanya: "Aku cari engkau."
Sekali lagi aku memeluknya, Saudaraku. Kini aku betul-betul tak ingin
melepaskannya untuk selama-lamanya. Tak ingin, Saudaraku. Tak lama kemudian
orang-orang pun muncul dari bawah pendakian itu. Bala bantuan telah tiba.
Dan ketika aku menulis kisahku ini, aku telah belajar menulis dan membaca pada
Pusat Rehabilitasi yang dirintis Dr. Suharso di Solo. Sebetulnya itu semacam rumah
sakit untuk korban perang yang menderita cacat tubuh. Terutama bagi tentara yang
kehilangan kaki atau tangan. Di sana mereka diberi tangan atau kaki palsu dan dilatih
untuk menggunakannya. Jadi, bukan untuk tempat pendidikan orang bisu-tuli seperti
aku. Karena itu akulah satu-satunya orang bisu-tuli yang dididik di sana. Hampir
empat tahun lamanya. Aku kira, aku salah masuk ke sana. Namun demikian, aku
diterima atas usaha Kapten Hendro teman sekolah ayahku. Aku ketemu dia ketika aku
dan Busra ditahan sekembali kami dari pedalaman.
Namun kadang-kadang, Saudaraku, selama tinggal bersama penderita cacat akibat
perang itu aku putar perjalanan hidupku sendiri, aku pun seorang korban perang juga,
Saudaraku. Ayah, Ibu dan saudara-saudaraku mati oleh akibat perang juga. Angah,
kakak ayahku, dan Pak Angah juga. Aku tidak tahu di mana mereka dikuburkan. Aku
sendiri sebenarnya juga seorang korban perang. Meski tidak kehilangan nyawa, aku
kehilangan nyawa orang-orang yang aku kasihi.
Selama hidup dalam perang, di samping melihat banyak kesengsaraan, aku juga
melihat banyak korban yang mati, yang luka, banyak rumah yang hangus dan hancur.
Jika aku kenang itu semua, terasa sekali betapa dunia ini begitu kelabu, begitu gelap.
Kenangan itu selalu mengusik sanubariku, Saudaraku.
Tapi di atas segala-galanya, hatiku merasa begitu perih oleh kehilangan cinta. Cintaku
yang pertama. Mungkin banyak orang mengalami kasih tak sampai. Tapi aku,
mengalami kasih pertama yang dikhianati. Ada luka yang menganga demikian dalam
pada kenanganku. Luka itu memang tidak membunuh, tapi bekas luka itu masih terasa
sakitnya. Dengan segala ketegaran hati aku selalu berusaha membuangnya jauh-jauh
dari dalam diriku. Kadang-kadang aku merasa beruntung juga karena tuli telingaku,
sehingga aku tidak mendengar nama Bisri diucapkan orang. Namun sekali-sekali
timbul juga tanya-tanya pada diriku: di mana dia sekarang.
Aku belajar menulis dan membaca. Membaca tulisan dan juga membaca gerak bibir
orang yang berbicara. Namun aku kesulitan belajar berbicara. Kata pelatih, aku
terlambat belajar berbicara, sehingga lidahku kaku dan suaraku sangat sengau. Orang
akan sulit memahami apa yang aku katakan. Menurutnya, aku lebih baik belajar
bicara menggunakan tangan. Tapi, selain tidak ada guru, juga perlu ada orang yang
pandai menerjemahkannya. Belajar menulis dan membaca tidaklah begitu berat. Yang
berat ialah mengenal arti setiap kata dan makna dari kalimat yang merangkai katakata itu.
Kemahiran menulis diperlancar oleh keasyikan saling berkirim surat dengan Busra.
Bahasa surat Busra sederhana dan gamblang. Dia selalu mencoba menyesuaikan
bahasanya dengan bahasaku, sehingga aku mudah memahaminya. Sedikit demi sedikit
dia pun memperbaiki bahasaku dalam surat-surat yang aku kirim kepadanya, yaitu
dengan menempatkan awalan dan akhiran. Yang menarik dalam surat-suratnya ialah
tentang kegiatannya dan keadaan kota Padang Panjang, terutama tentang orang-orang
yang aku kenal, hingga aku merasa berada di sana.
Katanya, dia tidak melanjutkan sekolahnya. Dia sudah harus menghidupi dirinya
sendiri dan membangun masa depannya. Pelajaran sekolah tidak ada sangkut-pautnya
dengan apa yang diusahakannya. Katanya, dia mulai lagi beternak ayam. Ayam ras
yang petelur dan pedaging. Lebih tiga ratus ekor jumlahnya. Juga dia beternak
kambing. Tapi tidak digembalakan seperti dulu. Kandang kambing itu bertingkat dua.
Makanannya dia ambil dari sisa sayur yang tidak terjual di pasar. Kulit pisang pun
bagus untuk makanan kambing. Ilmu peternakan banyak diperolehnya dari buku-buku
dan bertanya pada sesama peternak. Katanya juga, hasil usahanya dapat menghidupi
lima sampai delapan orang.
Aku gembira membaca kalimat itu. Tapi karena kalimat itu diberi garis di bawahnya,
aku ulang-ulang membacanya. Ingin tahu aku apa yang sesungguhnya dimauinya
dalam kalimat bergaris itu. Aku ingin menanyakannya dalam surat balasanku. Tapi
ketika menulis surat balasan aku batalkan menanyakannya. Aku tidak tahu, kenapa
aku batal menanyakannya, Saudaraku.
Saudaraku, pernah sekali surat Busra mengabarkan perihal Bisri yang telah
menyelesaikan kuliahnya pada sebuah akademi di Jakarta. Terus terang aku
sampaikan padamu, sekali-sekali aku teringat juga padanya dan ingin tahu bagaimana
keadaannya. Secepatnya aku buang ingatan itu. Tapi ketika aku baca nama Bisri
dalam surat Busra, aku remas-remas surat itu. Lalu aku bakar. Itulah satu-satunya
surat Busra yang tidak aku simpan dalam kotak khusus. Dan surat Busra yang itu
tidak aku balas. Dalam susulan suratnya yang tak aku balas itu, dia menyatakan betapa khawatirnya
dia karena aku tidak membalas suratnya. Setiap hari dia menunggu pak pos lewat.
Dan setiap pak pos lewat tapi tidak membawa suratku, sangat kecewalah hatinya.
"Syukurlah kalau kau tidak sempat membalas suratku oleh karena kesibukan. Tapi
seandainya engkau sakit, aku sangat cemas.
Episode 28 Saraswati Si Gadis Dalam Sunyi
"Ya, aku memang sakit. Sakit hati oleh suratmu menulis nama Bisri. Bisri yang ingin
aku lupakan," kataku dalam hati. "Aku tidak peduli dia. Aku hanya peduli engkau."
Rupanya Busra maklum mengapa aku tidak membalas suratnya. Karena sejak itu
tidak pernah lagi ia menulis tentang Bisri.
Memang banyak kesibukanku. Di samping belajar membaca dan menulis, aku pun
belajar menjahit berbagai mode pakaian perempuan. Seperti yang ditulis Busra,
pandai membaca dan menulis saja tidak akan membantu keperluan hidup. Setiap
orang harus mampu mendirikan hidupnya sendiri. Tidak ada jenis pekerjaan membaca
dan menulis setiap hari kalau tidak memiliki kepandaian yang khusus. Pekerjaan
membaca dan menulis hanyalah bagi mereka yang melakukan studi ilmu pengetahuan
yang tinggi. Keperluan membaca dan menulis bagi orang biasa ialah untuk mengisi
perbendaharaan batin. Orang yang tidak biasa membaca, pandangan hidupnya kerdil.
Sedangkan untuk hidup orang memerlukan keterampilan tangan.
Memang ada benarnya, Saudaraku, kemauan membaca dan menulis bagi aku yang
bisu-tuli tidak sebesar ketika aku ingin tahu kata-kata yang tertulis pada kertas-kertas
yang aku jumpai dulu. Keperluan membaca bagiku hanya untuk mengetahui apa yang
ingin aku ketahui. Yang ingin aku ketahui tidaklah banyak. Cukup untuk mengetahui
hal-hal yang berguna dalam hidupku sehari-hari atau sebagai pengisi waktu senggang.
Membaca koran bagiku tidak ubahnya seperti racun yang menimbulkan kenangkenangan pahit masa lalu karena sebagian besar isinya ialah berita-berita kejahatan
dan kekacauan hidup manusia. Isi majalah atau buku sulit aku cernakan, karena tidak
terjangkau oleh perbendaharaan pengetahuanku. Misalnya, apa arti dan faedah musik
dan penyanyi bagiku. Arti telekomunikasi. Arti pidato pemimpin.
Namun membaca surat Busra dan menulis surat kepadanya telah menjadi bagian dari
hidupku. Kalau surat Busra datang, berhari-hari dan berulang-ulang aku baca. Kalau
suratnya lambat tiba, aku gelisah sekali. Hidup seperti tidak ada gunanya. Bagaimana
nanti, jika Busra tidak lagi berkirim surat padaku" Misalnya apabila dia punya
kesibukan dan minat yang lain. Umpamanya bila dia punya istri dan anak-anak yang
jadi mainan hatinya. Apa" Busra punya istri dan dapat anak dari istrinya itu" Oh, itu
tidak boleh terjadi, Saudaraku. Kalau itu terjadi, tidak ada lagi seorang pun tempat
hatiku terpaut. Kau ingat Bisri" Ketika ia bertemu Tati, ia lupa padaku, pada cintaku
dan pada cintanya sendiri.
Lalu Busra hadir dalam kenanganku. Terkenang akan segala yang ada pada dirinya,
segala perlakuannya terhadapku. Ketika di pemakaman, ketika di rumahnya, ketika
merawatku setelah aku terdampar dalam kemelut perang. Pokoknya segala-galanya.
Dalam mengenang-ngenangnya aku baca lagi surat-suratnya. Ketika mataku terpaut
pada kalimat yang bergaris di bawahnya: "Sekarang usahaku dapat menghidupi lima
sampai delapan orang," aku tersentak. Aku tiba-tiba memahami maksudnya yang
tersirat. Bahwa dia telah siap hidup bersamaku.
Lalu aku kirim telegram kepadanya supaya cepat sampai. "Busra. Aku mau pulang."
Enam hari kemudian tiba telegram balasannya. Isinya: "Tunggu. Aku akan jemput
kau. " Ketika aku menyelesaikan surat ini, aku sedang menunggu Busra, Saudaraku.
Tamat

Saraswati Si Gadis Sunyi Karya A. A Navis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kemelut Blambangan 8 Pendekar Slebor 25 Sengketa Di Gunung Merbabu Cowok Misterius 1
^