Pencarian

I For You 1

I For You Karya Orizuka Bagian 1


BAB 1 Tell me, princess, now when did you last let your heart decide"
[Peabo Bryson ft Regina Belle"A Whole New World]
Sebuah Audi A6 putih mengilap berbelok anggun ke pelataran parkir SMA
Pelita Kita dan berhenti tepat di samping pos satpam. Seorang anak laki-laki
berusia 17 tahun berbadan tegap dan berwajah tampan keluar dari pintu
pengemudi. Ia bergegas membukakan pintu untuk anak perempuan cantik
bermata hazel yang tadi duduk di sampingnya.
Benjamin Andrews, laki-laki itu, baru menekan kunci remote mobil ketika
Princessa Setiawan melambaikan tangan.
"Tunggu, sweaterku."
Benji mengangguk, kembali menekan kunci supaya Cessa bisa mengambil
sweater dari punggung jok.
"Udah?" tanyanya. Cessa mengangguk sembari mengenakan sweater
kashmir hangat berwarna pink lembut. Benji mengunci mobil, lalu mulai
melangkah masuk ke halaman sekolah, diikuti Cessa.
Beberapa anak yang berjalan di koridor menatap mereka dengan kagum.
Cessa dan Benji merupakan pasangan paling fenomenal di sekolah ini. Cessa
adalah anak seorang direktur perusahaan tekstil ternama yang memiliki
beberapa cabang di luar negeri. Darah Prancis yang mengaliri tubuhnya
membuat ia seperti boneka: matanya hazel, rambutnya cokelat, tubuhnya
tinggi dan langsing, kulitnya pun putih mulus walaupun tampak pucat.
Sementara itu, Benji adalah anak pemilik perusahaan kelapa sawit, sahabat
ayah Cessa. Ayahnya yang berkebangsaan Amerika membuatnya memiliki fitur
mirip dengan Cessa, hanya saja matanya hitam, mengikuti mata ibunya yang
orang Jawa asli. Cessa dan Benji sudah dinobatkan menjadi pasangan sejak masuk sekolah
ini. Mereka selalu datang bersama, pulang bersama, dan selalu ada di kelas
yang sama selama dua tahun termasuk tahun ini, saat mereka naik ke kelas 12.
Mereka adalah pasangan yang 'terlalu indah untuk menjadi kenyataan', tetapi
mereka benar-benar nyata. Hanya dengan melihat mereka, orang-orang bisa
terpukau, lalu bermimpi bisa memiliki pasangan sesempurna itu juga.
"Ben, ada yang aneh di mukaku?"
Benji hanya tersenyum saat mendengar pertanyaan Cessa. Seumur hidup,
mereka mengenyam pendidikan dari guru-guru berkualitas yang dipanggil oleh
para orangtua mereka ke rumah. Tak sekalipun mereka pernah menginjakkan
kaki ke tempat bernama sekolah. Hingga 2 tahun lalu, setelah menonton High
School Musical, Cessa mendadak minta untuk masuk sekolah formal. Benji"
kurang lebih"sudah terbiasa dengan segala perhatian dari warga sekolah,
tetapi Cessa tampaknya belum.
Kecuali kenyataan kalau mereka menjadi pusat perhatian, Benji cukup
menyukai sekolah ini. Selain memiliki cukup banyak prestasi, bangunan sekolah
ini sangat nyaman. Alih-alih bertingkat dan megah, gedung sekolah mereka
terdiri dari beberapa bangunan utama yang tertata rapi dan dikelilingi pohonpohon menghijau. Sangat nyaman dan tentunya, aman.
Benji berhenti untuk mengikat tali sepatunya yang lepas dan membiarkan
Cessa berjalan duluan. Ia sedang memperhatikan langkah kecil-kecil Cessa saat
melihat seorang anak laki-laki sedang berlari dengan kecepatan penuh ke arah
mereka, tampak dikejar oleh temannya. Dalam waktu sepersekian detik, Benji
bergerak pindah ke samping Cessa, membiarkan dirinya sendiri tertabrak anak
laki-laki tadi. "Eh sori sori!" seru anak itu sekenanya, lalu segera menghilang ke koridor
lain."Kamu nggak apa-apa?" tanya Benji kepada Cessa yang segera
mengangguk. Sementara itu, semua anak perempuan yang menyaksikan
adegan tadi memekik tertahan, terpesona pada perlakuan manis Benji dan
kenyataan bahwa ia melakukannya dengan sangat natural hingga nyaris terasa
wajar. Benji sendiri menganggapnya refleks: kakinya sudah bergerak, bahkan
sebelum otaknya memerintahkan.
Tak berapa lama, Cessa dan Benji sampai di kelas baru mereka, XII IPA 2.
Benji membuka pintu kelas dan membiarkan Cessa masuk terlebih dahulu.
Tindakannya itu kembali membuat semua anak perempuan menahan pekikan.
Menyadarinya, Benji tetap menahan pintu. Anak-anak perempuan itu pun
segera masuk sambil bersemu-semu, beberapa murid kelas lain malah
terhipnotis ikut masuk. Cessa tak melihat itu semua dan mulai memandang sekeliling. Hampir
semua teman sekelasnya sudah datang dan duduk di bangku masing-masing.
Sambil menghela napas, Cessa menatap sehelai kertas di tangannya. Kertas
pembagian tempat duduk. Sebenarnya, Cessa tak menyukai ide pembagian tempat duduk oleh sekolah
ini. Ia ingin bisa bebas memilih tempat duduknya sendiri. Ia ingin duduk di
samping jendela, supaya bisa menatap awan saat pelajaran Matematika
membuatnya pusing atau PKn, membuatnya mengantuk. Namun, ketentuan
sekolah harus membuyarkan rencana indahnya.
Suasana kelas yang tadinya riuh rendah khas situasi awal masuk sekolah,
segera senyap saat Cessa melangkah lebih jauh ke dalam kelas. Semua orang
sibuk berbisik, menentukan apakah sekelas dengan Cessa merupakan anugerah
atau malah bencana. Anugerah karena ia begitu cantik dan memiliki pangeran
superganteng bernama Benji, atau bencana karena ia begitu sombong hingga
tak pernah repot-repot untuk bicara selain kepada pangerannya itu.
Langkah Cessa terhenti di samping sebuah bangku yang terletak persis di
tengah kelas. Bangku di tengah-tengah berarti pusat dari kelas tersebut. Cessa
tak pernah suka jadi pusat perhatian.
Cessa melirik Benji yang sudah berjalan tenang ke bangku yang terletak di
samping jendela. Cessa segera menatapnya penuh rasa iri sementara Benji
hanya nyengir bersalah, tetapi tidak bisa berbuat apa pun. Walaupun samasama tak mengerti mengapa tahun ini bangku mereka tak berdekatan, masalah
penentuan bangku adalah peraturan sekolah yang tidak bisa diganggu gugat.
Sambil mendesah, Cessa meletakkan tas di bangku bermaksud duduk.
Namun, ia mendadak mengurungkan niatnya saat melihat seorang anak lakilaki yang duduk di bangku belakangnya. Anak itu sedang asyik membaca buku.
Bel penanda tahun ajaran baru bahkan belum berbunyi, ia sudah membaca
buku setebal kamus John Echols. Atau mungkin itu memang kamus John
Echols"Selama beberapa saat, Cessa termangu menatap pemandangan tak
biasa itu. Si anak laki-laki akhirnya menyadari kehadiran Cessa. Ia mendongka,
lalu menatap Cessa seolah bertanya 'apa yang sedang kau lihat'.
Cessa mengerjap saat pandangannya bertemu dengan anak itu. Walaupun
sekolah ini tidak terbilang elite, Cessa tak pernah melihat anak sesederhana
itu. Atau mungkin tidak pernah memberi perhatian lebih pada siapa pun,
terutama dengan penampilan seperti anak laki-laki itu.
Pandangan Cessa lantas beralih pada ransel yang terbuka dan terisi bukubuku tebal lainnya. Ujung-ujung ransel itu sobek karena beban yang
dibawanya. Ingatan Cessa terbang pada kenangan yang tak ingin diingatnya.
Cessa bahkan bergeming saat bel tanda masuk sekolah berdering nyaring.
"Selamat pagi, Anak-anak!"
Suara Herman, guru Biologi, menggema di kelas. Alih-alih duduk, Cessa
bersikeras menatap anak laki-laki tadi.
Herman mengernyit saat melihat pemandangan itu. "Princessa" Kenapa
tidak duduk?" Tanpa menoleh, Cessa berkata, "Pak, saya mau tukeran bangku."
"Lho, kenapa?" Herman bertanya lagi, lalu melirik anak laki-laki yang sedang
ditatap Cessa. "Memangnya ada apa dengan Surya?"
Cessa menoleh kepada Herman, lalu kembali menatap anak yang ternyata
bernama Surya itu. "Saya nggak mau duduk dekat orang miskin."
Semua orang yang mendengar kata-kata Cessa sekarang menganga, kecuali
subjek yang bersangkutan. Surya sekarang menatap Cessa setajam yang ia bisa,
tetapi anak perempuan itu tampak tidak menyadari perkataannya sendiri.
"Lho, kok bicaranya seperti itu?" Herman berusaha mencairkan suasana saat
semua anak mulai berkasak-kusuk hebat. "Surya ini kan, teman kamu, Cessa."
"Teman?" Cessa menelengkan kepala. "Tapi, saya nggak punya teman,
apalagi seperti dia."
Herman terpaku mendengar jawaban Cessa. Ia menoleh menatap Surya
yang tampak kesal dan dari tadi belum bereaksi sama sekali. "Surya ini
penerima beasiswa, Cessa..."
"Oh. Jadi, lo pintar?" Cessa kembali menatap Surya dengan kedua mata
bulatnya. "Lo bermanfaat bagi sekolah ini?"
"Mungkin. Apa urusan lo?"
Suara Surya yang berat dan sedingin es membuat semua orang bergidik.
Cessa bahkan terdiam selama beberapa detik."Orang kayak lo nggak
seharusnya sombong," seloroh Cessa, segera mencairkan es tadi. "Lo pasti
seorang genius." Surya merasakan dahinya berkedut. Ia memang sudah lama mendengar
tentang Princessa dan segala sifat ketuanputriannya. Namun, baru kali ini ia
berkonfrontasi langsung. Sekarang, ia jadi percaya pada semua kabar burung
itu. "Sudah, sudah." Herman kembali mencoba menengahi. "Mau kaya mau
miskin, semua sama saja. Semua sekolah disini untuk satu tujuan, mencapai
cita-cita kalian. Sekarang, ayo semua duduk. Kita mulai pelajarannya."
Cessa menatap Surya selama beberapa saat sebelum akhirnya duduk, lalu
melempar pandangan kepada Benji yang hanya mengedikkan bahu. Selama
tujuh belas tahun hidupnya, hanya satu kenyataan yang Cessa ketahui soal
orang miskin. Mereka tak berguna. BAB 2 Mistakes don't mean a thing,
if you don't regret them.
[Silverchair" The Greatest View]
"Oh, Benjamin. Sudah sarapan?"
Benji mengangkat kepala dan mendapati Dirga Setiawan, ayah Cessa, sedang
menuruni tangga. Pria berusia pertengahan empat puluh itu tampak gagah
seperti biasanya walaupun uban sudah bermunculan dari rambutnya yang
setengah rontok. Kepandaian dan keuletan membuatnya tampak sepuluh
tahun lebih tua, tetapi Benji sangat mengidolakannya. Hanya beliau yang bisa
memanggil nama lengkapnya tanpa terdengar canggung.
"Belum, Om." Benji menyunggingkan senyum malu-malu. Kedua
orangtuanya sedang melakukan perjalanan bisnis ke Madagaskar, dan ia tak
suka sarapan sendirian di meja yang lebih panjang dari meja pingpong.
Dirga balas tersenyum, kerutan dalam menghiasi pinggir bibirnya. "Ayo,
sarapan sama-sama." Benji mengangguk, lalu mengambil tempat duduk di samping Dirga. Benji
selalu suka sarapan bersama keluarga Setiawan karena keluarganya sendiri
jarang berkumpul. Sedari kecil, Benji memang biasa dititipkan di sini. Dirga
sudah seperti ayahnya sendiri.
"Bagaimana tahun ajaran baru?" Dirga memulai pembicaraan sementara
para pelayan menyiapkan sandwich. "Nggak terjadi apa-apa sama Princessa di
kelas baru?" "Nggak ada apa-apa kok, Om. Semua aman terkendali." Benji menggeser
gelas dan pelayan dengan tangkas mengisi gelas itu dengan susu murni. Benji
teringat sesuatu. "Tapi...,"
Dirga urung menggigit sandwich-nya. "Tapi?"
"Ah, enggak kok, Om. Di kelas kami ada satu anak namanya Surya. Dia... dari
keluarga yang kurang mampu."
Dirga mengangguk-angguk mendengar laporan Benji. Benji sudah sangat
terbiasa melaporkan segala sesuatu yang berkaitan dengan Cessa. Bahkan, hal
itu seperti sudah menjadi kewajiban bagi Benji selama tujuh belas tahun
hidupnya. "Oh ya" Kalian sekelas?" Dirga tampak berpikir, sandwich-nya dikembalikan
ke atas piring. Ia ingat sekolah itu memang memiliki beberapa anak kurang
mampu. "Rose tidak bilang apa-apa."
Rose adalah kepala sekolah SMA Pelita Kita sekaligus teman baik Dirga. Saat
Cessa merengek ingin masuk sekolah formal, Dirga setengah mati menolak,
tetapi akhirnya ia menyanggupi dengan syarat mereka harus masuk sekolah
Pelita Kita. Selain ia bisa menitipkan Cessa, sekolah itu pun dekat dari rumah.
"Pagi." Suara Cessa menyadarkan Dirga dan Benji. Anak perempuan itu
menghampiri mereka dengan wajah cerah, tasnya dipegang oleh salah satu
pelayan. Cessa mencium pipi kanan Dirga, lalu segera duduk di depan Benji. "Pagi,
Ben." "Pagi," balas Benji, senang melihat Cessa memulai hari dengan ceria.
Hannah Montana yang mereka tonton semalam ternyata berpengaruh baik
baginya. "Lagi ngobrol apa?" tanya Cessa. Seorang pelayan menyendok bubur bayi
rasa kacang hijau"sarapan favorit Cessa"ke mangkuknya. Karena tak
langsung menjawab, Cessa memicing ayahnya dan Benji. "Ngomongin aku,
ya?" Dirga tersenyum. "Jelas, dong. Perempuan cantik begini, sayang kalo nggak
diomongin." Bibir Cessa mengerucut sementara Benji hanya terkekeh mendengar
gurauan Dirga. Cessa menyendok buburnya dengan semangat.
"Ben, hari ini ada olahraga, ya?" tanya Cessa, membuat Benji mengangguk.
"Hm... berarti harus bawa iPad ke kelas. Udah nggak ada senior ini, jadi nggak
ada yang bisa nyita."
Sudut bibir Cessa terangkat, teringat kejadian beberapa bulan lalu saat
seniornya menyita iPad yang ia mainkan di jam olahraga. Sekarang, setelah
para seniornya lulus, Cessa tak perlu khawatir lagi.
Benji sendiri tersenyum dengan alasan berbeda. Ia tahu kalau senior mereka
itu menyita iPad Cessa supaya bisa berkenalan dengannya, bukan karena
benda itu dilarang di sekolah. Namun, senior itu harus gigit jari saat Cessa tak
memintanya balik, malah membeli yang baru. Senior itu pun mengembalikan
iPad-nya melalui Benji, yang sekarang tersimpan manis di laci meja belajarnya.
"Kalau ada apa-apa di sekolah, kasih tahu Ayah ya, Sayang," kata Dirga
sambil memperhatikan putri kesayangannya sibuk menyuap bubur ke mulut.
Cessa mengangguk. "Ayah nggak usah khawatir. Lagian, walaupun Cessa ga
bilang, Benji pasti laporan, kan?"
Benji meringis menaggapi kata-kata Cessa, lalu ikut menggigit sandwich-nya.
***** Saat ini, semua anak XII IPA 2 sudah berada di luar kelas untuk mengikuti
pelajaran olahraga. Semuanya asyik mengobrol di tengah lapangan basket
sambil menunggu guru, kecuali Cessa dan Benji. Mereka duduk di bangku
taman pinggir lapangan, asyik menatap layar iPad yang Cessa pegang. Bahkan,
Cessa tak tampak repot-repot mengenakan seragam olahraga.
Surya yang sedang melemaskan otot kaki tanpa sengaja melihat
pemandangan itu dan menggeleng tak habis pikir. Orang kaya seperti mereka
benar-benar angkuh dan menyebalkan. Ingatan tentang kejadian kemarin
segera membuat Surya sakit kepala. Seumur hidupnya, baru kali itu ia merasa
sangat terhina. "Si Cessa dari kelas sepuluh nggak pernah ikut olahraga, lho."
Walaupun tak berniat mendengarkan, Surya bisa mendengar suara Sasha,
teman sekelasnya, yang rupanya sedang dalam mode menggosip dengan
Friska. "Sok tuan putri banget, kan?" lanjut Sasha dengan nada penuh rasa iri.
"Tapi... emang dia putri, kan?" Friska menimpali, membuat Sasha
mendeliknya. Friska segera mengedik. "Namanya aja Princessa. Kalo lagaknya
nggak kayak putri, baru gue heran."
"Iya, sih." Sasha kembali menatap Cessa. "Nasibnya bagus banget, ya. Lahir
di keluarga kaya, cantik, punya pangeran seganteng itu..."
"Makanya, kalo jadi dia, gue juga pasti sombong." Friska menyudahi obrolan
itu dengan kesimpulan yang menurut Surya ngawur. Bella dari Beauty and the
Beast adalah seorang putri, tetapi ia tidak sombong. Begitu pula Putri Aurora,
Putri Yasmin, Putri Fiona... Namun, Surya lantas tersadar, kalau semua putri
jelita nan baik itu hanya ada dalam kartun dan buku cerita anak-anak.
Omar, guru olahraga mereka, sudah berjalan menuju lapangan basket.
Tubuhnya yang tinggi besar dan tangan yang dipenuhi bulu membuatnya
sangat kentara di antara para murid. Benji segera bergabung dengan anakanak lain di tengah lapangan.
"Oke, guys." Omar membuka mulut begitu sampai di depan anak-anak
muridnya. "Baris yang rapi."
Anak-anak segera melakukan perintah Omar, termasuk Benji yang melipir di
barisan paling belakang. Laki-laki pertengahan tiga puluh itu bisa jadi sangat
galak kalau mood-nya tidak baik. Benji ingat Omar pernah menyuruh para
senior mereka lari keliling lapangan tiga puluh kali setelah cintanya ditolak oleh
Miss Beckett, guru bahasa Inggris mereka yang seksi.
"Hari ini, kita akan melakukan lari baton. Tapi, sebelumnya, ayo pemanasan


I For You Karya Orizuka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dulu, berpasangan." Perkataan Omar segera membuat anak-anak sibuk mencari pasangan. Benji
sendiri tidak punya ide harus berpasangan dengan siapa"pasangan
potensialnya tidak ikut olahraga"jadi ia menoleh ke kiri dan mendapati Surya
sedang menatap ke sekeliling. Detik berikutnya, pandangan mereka bertemu.
Entah mengapa Benji merasakan aura yang tidak biasa dari anak laki-laki itu.
"Ben! Pasangan sama gue, ya!!"
Suara Sasha menyadarkan Benji. Anak perempuan itu sekarang sudah
berada di antaranya dan Surya, menatapnya penuh harap. Di belakang Sasha,
beberapa anak perempuan lain berbaris, seperti mengantre kalau-kalau Benji
menolaknya. Beberapa terang-terangan menyikut Surya hingga anak laki-laki
itu harus menyingkir dengan wajah masam.
"Gue..." Benji melirik Surya yang sedang menatap antrean dengan
pandangan tak habis pikir. "Udah sama Surya."
Anak-anak perempuan itu serentak menoleh kepada Surya yang bengong.
Tanpa sepengetahuan Benji, mereka kompak memberikan semacam kode
melalui ekspresi wajah kepada Surya, seolah menyuruhnya uuntuk menolak
Benji. Surya sendiri hanya mengangkat bahu.
"Ayo! Semua pemanasan!" seru Omar, membuat anak-anak perempuan itu
segera membubarkan diri dan pasrah berpegangan dengan temannya masingmasing.
Surya menatap Benji tak suka, tetapi tak berkomentar apa-apa dan mulai
menggelar matras yang dibagikan oleh Samir, ketua kelas. Dalam diam, Surya
dan Benji mulai meregangkan otot masing-masing.
"Mau lo dulu, apa gue dulu?" tanya Surya setelah beres dengan otot tangan
dan kaki. Ia menunjuk matras.
"Lo dulu aja." Benji mempersilakan Surya untuk duluan meregangkan
punggung. Tanpa basa-basi, Surya segera duduk dan meluruskan kaki. Ia membungkuk
ke depan, dan Benji membantu menekan punggungnya. Setelah selesai, Surya
gantian membantu Benji. Pemanasan seperti ini adalah hal wajib di sekolah
Pelita Kita setiap hendak melakukan olahraga macam apa pun, termasuk
sekadar senam poco-poco. Usai melakukan pemanasan, Benji dan Surya duduk di atas matras,
menunggu teman-temannya yangg lain. Benji melirik Surya yang seperti ingin
semua cepat berlalu. Olahraga pasti bukan pelajaran favoritnya.
"Soal kemaren...," Benji akhirnya membuka mulut, membuat Surya
menoleh, "maafin Cessa, ya. Dia nggak bermaksud jelek."
Surya memicingkan mata kepada Benji, lalu melirik Cessa yang masih
terpaku pada iPad-nya di kejauhan. Surya kembali menatap Benji. "Kenapa lo
yang minta maaf?" "Itu..." Benji mendadak bingung. "Karena dia nggak akan minta maaf. Dia
nggak tahu di mana letak kesalahannya."
Surya mendengus. "Trus, apa gunanya lo minta maaf sama gue?"
Perkataan Surya membuat Benji terkesiap. Anak laki-laki itu benar.
Walaupun Benji minta maaf atas nama Cessa, tetap saja Cessa tidak menyesal.
Akhirnya, Benji mengedikkan bahu. "Gue juga nggak tahu, tapi gue harap
kata-kata dia kemarin nggak lo masukin ke hati. Dia orangnya cuma... terus
terang."Surya mengangguk-angguk skeptis. "Oke, kalo gitu sampaikan rasa
terima kasih gue karena dia udah berbaik hati berterus terang mengingatkan
kalo gue orang miskin."
Surya bangkit saat Omar berseru untuk menyuruh para siswa kembali
berbaris. Benji menatap punggung Surya, lalu menghela napas.
Tidak semua permintaan maaf harus diterima.
BAB 3 When pride builds me up till I can't see my soul,
will you break down these walls and pull me through"
[Angela Zhang" Journey]
"Datang, datang."
Di kelas sepuluh atau sebelas, kata-kata itu biasanya disebut saat ada guru
yang datang. Namun, di kelas dua belas ini, Surya cukup yakin kata-kata itu
ditujukan kepada pasangan Cessa dan Benji. Surya menggeleng pelan, tak habis
pikir dengan kelakuan anak-anak kaya ini.
Dari sudut mata, Surya bisa melihat Benji menahan pintu untuk Cessa yang
melenggang masuk. Surya berusaha untuk kembali berkonsentrasi pada buku
Biologi saat harum lembut sampo Cessa memenuhi udara di sekitar hidungnya.
Cessa sendiri tidak langsung duduk dan menyempatkan diri untuk
memperhatikan Surya penuh minat. "Murid genius memang beda, ya."
Walaupun tak ingin, Surya mendongak juga, menatap sepasang mata hazel
yang tampak berbinar itu. Mungkin kata-kata Benji kemarin ada benarnya.
Mungkin Cessa hanya seorang anak perempuan kaya yang berkata apa adanya
tanpa memikirkan perasaan lawan bicaranya, tetapi tidak bermaksud buruk.
"Gue bukan genius," tandas Surya. Ia tidak pernah merasa genius. Ia
mendapatkan semua prestasi ini dengan kerja keras.
Cessa mengerjap. "Lalu, kenapa kamu belajar sebelum kelas mulai" Apa
supaya terlihat genius?"
Dalam hati, Surya merancang umpatan paling sopan yang bisa ia lontarkan
pada anak perempuan sok bangsawan itu. Mungkin Benji salah. Mungkin anak
perempuan ini benar-benar ingin menghinanya dengan cara paling polos yang
ia bisa. "Lo?" "Pagi anak-anak!" Suara Herman memotong kata-kata Surya. Tampak tidak
ambil pusing, Cessa duduk tenang di bangkunya. Setelah meletakkan buku-
buku ke atas meja, Herman menepuk tangan. "OK! Sekarang, tutup buku
kalian!" Semua anak mengernyit heran. Cessa malah belum membuka tas sama
sekali, mejanya masih bersih.
"Kita adakan pop quiz!" seru Herman lagi, membuat sebagian anak menjerit
kaget dan sisanya pasrah menerima nasib. "Tenaaaang... Kuis ini sudah pernah
kalian pelajari di kelas sebelas, Bapak hanya mau mereview!"
"Nggak usah aja, Paaak..." erang Syahrul, seorang murid yang duduk di
belakang Benji. "Bapak cuma ingin tahu, sejauh mana kalian mengingat pelajaran kelas
sebelas." Herman berusaha menenangkan anak muridnya. "Pertanyaannya
gampang-gampang, kok!"
Riuh penuh kecemasan terus menggema, rupanya anak-anak sama sekali
tidak merasa perkataan Herman menenangkan. Herman sampai harus
mengetukkan spidol pada papan tulis untuk kembali mendapat perhatian
mereka. Sekarang, kelas sudah cukup tenang, tetapi semua menghindari
pandangannya. Semua, kecuali Cessa yang menatapnya lurus dan Surya yang
menatapnya menantang. Herman mengenal mereka dari kelas sepuluh. Satu
adalah anak orang kaya yang terlalu naif hingga kadang tak tahu sopan santun,
satunya lagi adalah anak kurang mampu yang penuh ambisi hingga bersedia
melakukan yang ia bisa untuk mencapai sesuatu.
"Baiklah, Surya." Herman memutuskan. Setidaknya anak-anak bisa
mencontoh sesuatu dari anak laki-laki ini. "Apakah kamu masih ingat, ada
berapa jaringan pada tumbuhan?"
Semua anak segera berkasak-kusuk hebat, mencocokkan jawaban satu sama
lain atau sekadar mengeluh tidak tahu. Namun, Herman bisa melihat Surya
tetap tenang di bangkunya, sudut bibirnya sedikit terangkat ke atas seolah
meremehkan. Herman sudah terlalu terbiasa dengan ekspresi itu hingga tak
pernah mengambil hati. "Dua. Jaringan meristem dan jaringan dewasa," jawab Surya setenang
permukaan danau. Semua anak memandangnya kagum, lalu menyadari kalau
mereka punya dewa Biologi"dan mungkin beberapa mata pelajaran lainnya
juga. "Benar sekali. Bagus!" Herman bertepuk tangan sendirian. "Nah, sekarang...
siapa ya?" Seperti yang sudah ia tebak, semua anak sekarang kembali pura-pura sibuk
dan menghindari tatapannya. Semua, kecuali... dua orang tadi.
Herman menghela napas. "Yak, Princessa."
Semua kepala sekarang terputar ke arah Cessa yang masih menatap Herman
datar. Herman sendiri tidak yakin pada kemampuan anak perempuan itu.
Walaupun Cessa diberi kelebihan dengan kecantikan dan kekayaan, otaknya
biasa-biasa saja. Malah, cenderung kurang. Kalau saja ia mau belajar lebih giat,
mungkin ia tidak akan mendapat ranking 27 dari 30 murid kelas sebelasnya
tahun lalu. "Rangsang pada hewan disalurkan melalu?" Herman mencoba-coba dengan
pertanyaan yang mudah, berharap Cessa ingat.
Namun, tatapan anak perempuan itu nyaris kosong, tampak benar-benar tak
punya ide. Setelah dua menit berlalu dan mulutnya tak kunjung membuka,
anak-anak mulai ramai berbisik. Benji pun hanya bisa menatapnya cemas dari
jauh, tak bisa memberinya kode apa pun karena Cessa hanya menutup lurus.
Cessa sendiri benar-benar tak ingat. Rangsang pada hewan" Apa mereka
belajar soal hewan di kelas sebelas?"Saraf."
Cessa seperti bisa mendengar suara dari dalam kepalanya, tetapi ia tak
yakin. Suaranya tidak berat, bahkan suara dalam kepalanya sekalipun. Lalu,
yang barusan itu apa"
"Saraf." Kali ini, Cessa mendengar lebih jelas. Suara itu bukan berasal dari dalam,
melainkan belakang kepalanya. Itu suara Surya.
Walaupun sama sekali tak tahu alasannya, Cessa membuka mulut. "Saraf?"
Tak tahu menahu soal bisikan Surya, Herman langsung melongo. Seketika,
hatinya seperti dipenuhi bunga. Ia bahagia karena Cessa mampu mengingat
soal itu walaupun membutuhkan waktu yang cukup lama.
"BENAR SEKALI!!" pekiknya, membuat Dahlia, anak perempuan yang duduk
persis di depannya, berjengit kaget.
Cessa menoleh ke belakang. Namun, Surya sedang bertopang dagu dan
menatap ke arah lain, seolah tidak mau mengakui bahwa barusan ia
membantu Cessa. "Mungkin kamu nggak begitu buruk," seloroh Cessa.
Surya menoleh, merasa salah dengar. "Ha?"
"Untuk ukuran orang miskin, kamu boleh juga." Cessa memperjelas katakata sebelumnya, membuat darah Surya segera naik ke kepala. Namun,
sebelum ia sempat membalas, anak perempuan itu sudah kembali menatap ke
depan. Surya menatap geram rambut cokelat Cessa. "Bilang 'terima kasih' apa
susahnya, sih?" Namun, Cessa tidak mendengar karena ia sibuk memperhatikan Herman
yang memutuskan tidak meneruskan kuis. Herman melakukannya dengan
anggapan semua anak pasti masih ingat pelajaran kelas sebelas karena Cessa
saja ingat. "Jadi! Untuk semester ini, selain belajar seperti biasa, kita akan praktikum
juga." Herman membuka buku agendanya. "Akan ada empat praktikum, dan
semuanya akan dilakukan berpasangan. Bapak akan mengumumkan
pasangannya sekarang!"
Kelas kembali riuh, tetapi kali ini terasa berbeda. Semua menjadi
bersemangat dan berharap bisa dipasangkan dengan orang yang mereka
inginkan. Sudah tentu, nomor urut pertama bagi para anak perempuan adalah
Benji, dan Cessa bagi para anak laki-laki. Namun, mereka juga sadar kalau Benji
dan Cessa tak pernah terpisah dalam tugas macam apa pun. Seketika, perasaan
mereka jadi rumit hanya karena pembagian tugas Biologi.
Surya sendiri sama sekali tak ambil pusing dengan pembagian ini. Ia mau
berpasangan dengan siapa saja selain anak perempuan yang duduk di
depannya ini. Peluangnya adalah satu banding dua puluh sembilan, jadi hanya
kebetulan tidak lucu yang bisa membuatnya berpasangan dengan Cessa.
"Baiklah. Untuk pasangan pertama, ..." Herman melirik Cessa dan Benji
bergantian. "Benjamin dan Sasha."
Benji sudah akan mengangguk saat menyadari sesuatu. "Eh?"
Di sisi lain kelas, sama sekali tak berusaha menahan perasaannya, Sasha
berteriak kegirangan. Teman-temannya ikut menjerit, antara takjub dan iri. Di
tengah kehebohan itu, Cessa melemparkan pandangan bingung kepada Benji.
Selama mereka bersekolah di sini, mereka selalu satu kelompok. Mengapa
tidak kali ini" "Kenapa, Pak?" tanya Benji kepada Herman, sangat mengerti arti tatapan
Cessa. "Begini, Benji. Kalian sudah terlalu sering bersama-sama. Ada baiknya kali ini
berpisah supaya bisa bersosialisasi dan bekerja sama dengan yang lain."
Herman membetulkan letak kacamata, menahan diri untuk tidak mengatakan
alasan yang sebenarnya: bahwa Cessa membutuhkan sosok seorang pandai
seperti Surya untuk membimbingnya belajar, bukan orang yang rankingnya
hanya tiga tempat di atas anak perempuan itu.
"Tapi?" "Bapak mengerti." Herman memotong protes Benji. "Tapi, kalian akan tetap
berada di lab yang sama, kelas yang sama. Tidak akan terpisah jauh. Tidak apaapa kan, sekali-sekali?"
Benji melirik Cessa yang mengangkat bahu. Perkataan Herman ada
benarnya. Mereka hanya akan terpisah kelompok, tetapi tetap berada di
lingkungan yang sama. Selama Cessa ada di jarak pandangnya, maka semuanya
pasti akan baik-baik saja.
"Oke, Pak." Benji akhirnya menyanggupi, membuat Sasha nyaris pingsan di
bangkunya. Herman mengangguk sambil tersenyum, lega karena akhirnya bisa
memisahkan dua anak yang seperti sepasang sandal itu. Sebagai wali kelas, ia
merasa bertanggung jawab pada kemampuan akademis Benji dan Cessa. Ia
yakin, dengan cara ini bisa membantu mereka.
Setelah kelas cukup tenang, Herman kembali menyebut beberapa pasangan
lain. Sementara itu, di tempat duduknya, Surya mulai berkeringat dingin. Dari
tadi, namanya belum disebut juga. Peluangnya sekarang hanya tinggal satu per
sepuluh. Apakah... "Pasangan selanjutnya, Princessa dan Surya."
Surya hampir mengumpat, tetapi ia tak melakukannya. Ia memilih untuk
menatap sengit kepala cokelat Cessa yang tampak bergeming. Pasti anak
perempuan itu sedang melongo lagi dengan mata bulat seperti yang sudahsudah.
"Kenapa?" Surya mengangkat alis saat mendengar suara Cessa. Detik berikutnya, ia
mendengus geli, merasa pertanyaan itu lebih cocok ditanyakan oleh dirinya
sendiri. "Ya... karena ini undian, Cessa." Herman segera beralasan. "Jadi, bukan
Bapak yang menentukan."
"Undian?" tanya Cessa lagi, setengah takjub. "Jadi maksud Bapak, dari dua
puluh sembilan anak yang ada di kelas ini... yang terpilih bareng sama saya...
anak ini?" Dahi Surya segera berkedut saat mendengar kata 'terpilih' dan 'anak ini'.
Bukan Surya yang tadi tidak tahu melalui apa rangsangan pada hewan
disalurkan. "Benar sekali," jawab Herman mantap. "Jadi, kamu harus menerimanya."
Sekali lagi, Cessa menoleh ke belakang. Kali ini, Surya menatapnya balik
dengan tatapan setajam silet. Namun, tentu saja Cessa tak merasa. Anak
perempuan itu malah mengedikkan bahu.
"Mau gimana lagi." Cessa berkomentar, lalu kembali menatap ke depan.
Sekali lagi, Surya harus menelan kekesalannya. Mungkin harus beberapa kali
lagi karena semester ini baru dimulai, dan masih ada semester berikutnya.
Benar-benar kebetulan yang tidak lucu.
BAB 4 Just like the deep and shallow expectations between us.
Perhaps, it's all misunderstanding.
[Fahrenheit"Misunderstanding]
"Kakak dipasangin sama Princessa?"
Bulan berlari ke ruang tamu untuk menatap Surya tak percaya,
meninggalkan tempe yang tengah digorengnya. Mulutnya separuh terbuka.
Informasi yang barusan kakaknya sampaikan begitu mengejutkan hingga
hampir tak bisa dipercaya oleh akalnya.
"Awas gosong." Surya menggumam, matanya tetap tertantap pada buku
sejarah. Bulan tampak tak peduli. "Kakak beneran sekelompok sama Princessa"
Princessa yang ITU?"
Tak lagi bisa fokus, Surya mendongak dan menatap Bulan dengan mata
menyipit. "Memang ada Princessa yang lain" Udah, sana lanjutin gorengnya.
Ntar telat, lagi." Masih belum percaya, Bulan kembali ke dapur sambil menggeleng-geleng.
"Nggak bisa dipercaya, dan dia mau, gitu?"
"Hei," tegur Surya, tidak terima. Bahkan, adiknya berkata seperti itu"


I For You Karya Orizuka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Maksudku, bukannya Cessa itu selalu sama Benji" Kenapa kali ini mereka
mau dipisahin?" Bulan bertanya-tanya sambil meniriskan tempe yang sudah
berwarna kecoklatan. "Nggak usah dipikirin." Surya memasukkan bukuya ke ransel, lalu melirik
keranjang di depannya yang penuh oleh roti. "Ini kenapa jadi banyak?"
"Oh, stok yang kemarin habis dan masih banyak yang tanya, jadi Bu Kelly
pesan seratus." Bulan muncul sambil membawa sepiring tempe dan tahu, lalu
duduk di samping Surya. Surya mengangguk-angguk, lalu memperhatikan Bulan yang sekarang
sedang menyendok nasi ke piringnya. Sudah setahun ini, Bulan menyetok roti
buatan Pak Ale, tetangga mereka, ke kantin sekolah. Memang hasilnya tidak
seberapa, tetapi bisa untuk membantu membayar kontrakan dan Bulan bisa
sedikit menabung keperluan-keperluan mendadak. Surya tidak pernah
bertanya, tetapi ia yakin jumlahnya sudah lebih dari cukup untuk membeli
sebuah ponsel canggih, yang omong-omong, tidak dianggap penting oleh
adiknya itu. Surya menerima piring dari Bulan, mengambil dua potong tempe dan tahu,
lalu mulai menyuapkannya ke mulut. Dulu, ia pernah melarang Bulan berjualan
roti. Status mereka sebagai anak-anak penerima beasiswa sudah cukup untuk
menjadi bahan ejekan, ditambah lagi titel penjual roti. Namun, Bulan tidak
ambil pusing. Dia melakukannya dengan senang hati, demi menghemat uang
peninggalan orangtuanya yang sudah berkurang.
Untuk anak perempuan seusianya, Bulan benar-benar dewasa. Ia sama
sekali tidak menangis saat kedua orangtua mereka tewas dalam sebuah
kecelakaan lalu lintas tiga tahun lalu. Tidak pula marah saat si penabrak dengan
angkuhnya menganggap bisa membayar lunas semuanya dengan menanggung
hidup mereka hingga SMA. Tiga tahun lalu, orang yang menabrak orantua mereka mendaftarkan
mereka ke sekolah Pelita Kita. Surya dan Bulan pun menerima beasiswa silang,
biaya sekolah mereka disubsidi oleh siswa-siswa yang mampu. Walaupun
demikian, mereka menolak sejumlah uang tanggungan yang diberikan si
penabrak. Selama hampir dua tahun setelah tragedi itu, Bulan dan Surya tinggal di
rumah paman dan bibinya"satu-satunya keluarga yang mau merawat mereka.
Meskipun tak pernah mengatakannya secara langsung, Surya dan Bulan tahu
paman dan bibinya merasa kesulitan merasa kesulitan membesarkan lima
anaknya sendiri. Tidak mau menyusahkan lebih lama, Surya dan Bulan pun
memutuskan untuk mengontrak rumah mungil dan tinggal berdua saja. Kalau
saja orangtua mereka tahu pentingnya asuransi, mungkin mereka bisa hidup
dengan lebih baik. Mendadak, Surya merasa susah menelan. Nasinya seperti tersangkut di
tenggorokan. Mengapa ia harus mengingat semua ini"
"Kenapa, Kak?" tanya Bulan, menyadarkan Surya.
"Ah, nggak." Surya meraih gelas, lalu meneguk isinya untuk membantu
mendorong makanan ke lambungnya. "Pulang sekolah, kamu latihan?"
"Nggak." Bulan menggeleng. "Aku udah bilang sama pelatih untuk latihan
sebelum masuk sama pas istirahat aja."
Surya manggut-manggut. Walaupun Bulan setahun lebih muda darinya,
adiknya itu benar-benar membanggakan. Selain cantik dan berprestasi dalam
olahraga, ia pun disukai semua orang. Tidak seperti Surya yang lebih suka
menyendiri, Bulan sangat supel hingga ia memiliki banyak teman. Ia bisa
membuat teman-temannya tak peduli status sosialnya, malah membantunya
dalam berbagai hal. Itu satu-satunya hal yang tak bisa Surya pelajari, dan ia
menyerah melakukannya semenjak kedua orangtuanya meninggal.
Sekarang, mereka mungkin orang tidak mampu. Namun, satu hal yang Surya
tahu, ia bisa mengubah nasibnya dengan caranya sendiri. Surya akan
menunjukkan kepada orang-orang kaya itu, bahwa hidup bukan sekedar
tentang uang. Bahwa ia akan mengalahkan mereka dengan cara yang lebih
bermartabat. Dan, itu adalah kerja keras.
***** "Semua sudah bersama pasangan masing-masing?"
Semua anak menjawab riuh dari samping pasangannya masing-masing,
kecuali Cessa, Surya, dan Benji. Cessa dan Surya hanya duduk diam dan
berjarak sambil menatap lurus ke arah Herman dengan ekspresi berbeda,
sedangkan Benji mengawasi Cessa dengan konsentrasi penuh.
"Yak!" Herman berusaha tak memedulikan tiga anak itu. "Percobaan kali ini
adalah menumbuhkan kecambah!"
Dahi Cessa sedikit berkerut saat mendengar kalimat Herman.
"Menumbuhkan kecambah!"
Surya meliriknya, tetapi tak ambil pusing. Ia berusaha untuk fokus pada
perintah Herman selanjutnya. Bagaimanapun, ia harus menjadi yang terbaik
dalam percobaan ini. Ia harus menjadi yang terbaik dalam apapun.
"Tujuan dari percobaan ini adalah menguji pengaruh faktor-faktor
lingkungan terhadap pertumbuhan tanaman. Ada beberapa faktor dan kalian
akan mengerjakannya sesuai dengan kertas yang Bapak sudah bagikan di meja
kalian." Surya meraih kertas yang ditindih oleh pot kecil, lalu membacanya. Mereka
mendapat bagian untuk menguji pengaruh faktor cahaya. Surya segera
mendengus. Gurunya itu pasti bercanda. Ini terlalu mudah.
"Kalian bisa mulai menanam sekarang. Perhatikan baik-baik perintah yang
ada pada kertas petunjuk kalian!" Herman menyahut sementara semua anak
sudah mulai bekerja. Surya menghempaskan kertas tadi ke atas meja. Dari empat percobaan yang
ada, mengapa mereka harus mendapat yang paling mudah" Mengapa tidak
faktor suhu atau nutrisi"
"Gue suka makan bubur bayi rasa kacang hijau," kata Cessa tiba-tiba,
matanya berbinar-binar menatap beberapa butir kacang hijau yang tenggelam
di dasar gelas. "Bubur... bayi?" Surya menggaruk tengkuk, merasa salah dengar. Di antara
kebingungannya, ia bisa menangkap bayangan Benji yang masih mengawasi
mereka. Menurut Surya, anak laki-laki itu benar-benar berlebihan. Bahkan,
Surya masih menjaga jarak sejauh satu meter dari Cessa.
"Terus" Mereka mau diapain?" tanya Cessa, menyadarkan Surya.
"Ditanam, lah." Surya akhirnya bangkit dari bangku dan mengambil salah
satu pot untuk diisi tanah sementara Cessa memperhatikannya. Setelah
beberapa saat diperhatikan, Surya meliriknya. "Lo nggak bantuin?"
Cessa menatapnya bingung. "Bantuin apa?"
Dahi Surya berkedut. "Ya bantuin nanam. Ada dua pot yang harus diisi. Lo
baca kertas petunjuknya gak si?"
"Maaf, gue nggak bisa," potong Cessa nyaris terdengar tanpa dosa. "Gue
nggak pernah megang tanah. Kalo ada serangga atau benda tajam gimana?"
Surya tahu ia sudah melongo, jadi satu-satunya kata yang bisa keluar dari
mulutnya adalah, "Ha?"
"Tapi, gue bakal memperhatikan lo, kok," lanjut Cessa dengan mata
berbinar. "Nggak perlu," sambar Surya keki, lalu menyalurkan rasa kesalnya dengan
mengisi tanah banyak-banyak ke dalam pot.
Cessa sepertinya tidak sadar dan malah kembali menatap biji kacang hijau
penuh semangat. "Kira-kira nanti tumbuhnya seperti apa, ya?"
Alih-alih menjawab, Surya hanya menatap Cessa tak habis pikir. Sekali lagi, ia
bisa melihat Benji dari sudut matanya, anak laki-laki itu sudah kembali
menatap mereka ingin tahu. Surya balas menatapnya sengir, lalu menghampiri
Cessa. Hilang sudah kesabarannya.
"Denger ya. Lo jangan pernah ikut campur dalam urusan praktikum ini."
Mata Cessa membulat. "Maksudnya?"
"Sekarang, gue ngerti kenapa Pak Herman masangin gue sama lo." Surya
mengetuk dahi Cessa dengan telunjuknya yang belepotan tanah. "Sisi lo bagian
ini nggak tertolong."
Cessa menelengkan kepala, masih belum paham. Namun, Surya tak akan
membiarkan dirinya tertipu oleh kepolosan anak perempuan itu.
"Jangan pernah nyentuh apa pun selama praktikum. Yang harus lakuin cuma
duduk manis. Ngerti?" jelas Surya, membuat Cessa mengerjap. Surya lantas
melirik Benji yang sudah berdiri, menatap dirinya tajam. "Dan, tolong bilangin
sama pacar lo itu supaya berhenti bersikap berlebihan. Enek gue liatnya."
Cessa menoleh kepada Benji yang balas menatapnya cemas. Cessa
melempar senyum, meyakinkan bahwa ia baik-baik saja. Ia kembali menatap
Surya yang sudah mulai mengisi pot keduanya.
"Lo marah karena gue nggak bisa bantu?" tanya Cessa, membuat Surya
menghela napas. "Oke, lo nggak ngerti Biologi, tapi lo ngerti Bahasa Indonesia, kan?" Surya
balik bertanya. "Lo tahu kan perbedaan antara "nggak bisa" sama "nggak
mau?"" "Gue mau, kok." Cessa menatap ragu tanah yang dipegang Surya. "Tapi, gue
nggak bisa." "Terserah." Surya menggelengkan kepala, tak ingin mendengar lagi.
Orang kaya memang menyebalkan. Namun, Surya bersyukur ada hal yang
selamanya tidak bisa dibeli dengan uang.
Anak perempuan di sebelahnya ini baru saja membuktikannya.
BAB 5 You came along just like a song,
and brighten my day. [Barry Manillow"Can't Smile without You]
Cessa menatap kecambah sepanjang sepuluh sentimeter yang bermunculan
pada pot yang terpapar matahari. Ini hari keempat, dan kecambah-kecambah
itu tumbuh dengan baik. Cessa benar-benar merasa takjub saat melihatnya,
sekaligus terharu. Padahal bukan ia yang menanamnya.
"Ayo, tumbuh lebih tinggi lagi," gumam Cessa penuh harap. Ia lantas
mengelus sebuah kardus tempat pot satunya lagi berada. "Kalian juga ya,
semangat!" Dari belakang, Benji memperhatikannya dengan seulas senyum. Selama
beberapa hari ini, Cessa begitu ceria. Menanam kacang hijau dan melihatnya
tumbuh ternyata benar-benar menjadi pengalaman baru bagi anak perempuan
itu. Selama ini , ia tidak pernah memperhatikan apa pun saat praktikum dan
menyerahkan semuanya kepada Benji, terutama saat membedah katak dan
ikan. "Ben, punya kelompok kamu di mana?" tanya Cessa, menyadarkan Benji.
"Di dekat kelas," jawab Benji sambil melempar senyum pada beberapa
junior yang lewat. Mereka sedang berada di taman depan perpustakaan, tempat Surya
memutuskan untuk meletakkan kedua pot miliknya dan Cessa. Cessa sendiri
belum pernah ke sini sebelumnya, jadi ia merasa takjub saat melihat taman
milik sekolah yang penuh akan apotek hidup dan beberapa spesies burung.
Cessa menggamit lengan Benji. "Ayo, kita lihat punya kalian."
Benji mengangguk, lalu mulai melangkah bersama Cessa. Baru beberapa
meter berjalan, Surya muncul dari koridor sebelah. Matanya menatap Benji
dan Cessa dengan pandangan tak suka. Benji sendiri jadi tak menyukai anak
laki-laki itu karena kejadian tempo hari di laboratorium. Benji tak suka caranya
mengetuk kepala Cessa, seolah mengatai anak perempuan itu otak udang.
Cessa mungkin tak sadar, namun Benji tak akan pernah memberi tahunya.
Cessa sendiri tampak lebih tertarik pada buku yang dipegang Surya.
"Sepuluh sentimeter!" serunya, membuat Surya dan Benji mengernyit
bersamaan. Cessa menunjuk buku Surya. "Lo mau nyatet pertumbuhannya,
kan" Gue barusan lihat, sepuluh sentimeter!"
Surya menatapnya sangsi. "Terima kasih. Tapi, gue mau hitung sendiri."
Benji segera menahan Surya yang hendak melewati mereka. "Lo nggak
denger" Dia udah hitung. Harus lo hitung sendiri?"
Sambil mendesah, Surya melirik Cessa yang tampak bingung. "Gue lihat dia
nggak bawa penggaris. Gue nggak suka perkiraan. Gue mau ukuran yang pasti."
Setelah menepis tangan Benji, Surya melanjutkan langkahnya menuju pot
kecambah. Benji menatapnya sebal, lupa bahwa Cessa ada di sampingnya.
"Kamu nggak apa-apa?" tanya Benji, takut hati anak perempuan itu terluka
karena perkataan Surya tadi.
"Nggak apa-apa. Kemarin dia bilang, aku nggak boleh ikut campur. Aku juga
yang salah," katanya, tak terlihat sedih atau tersinggung. "Yuk, kita lihat
kecambah kelompok kamu aja!"
Benji mengangguk. Terkadang, ia makan hati dengan sifat Cessa yang begitu
lurus dan seperti tak pernah berpikir. Namun, di saat-saat seperti ini, ia
bersyukur Cessa memiliki sifat itu. Malah, Benji berharap Cessa tetap seperti
ini sampai kapan pun. Karena dengan begitu, semuanya akan tetap terkendali.
Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
Setidaknya, untuk saat ini.
***** Cessa menatap sketsa truffle skirt di bukunya, lalu tersenyum puas. Di waktu
luang, hanya tiga hal yang gemar ia lakukan ; menonton Disney Channel,
bermain game, dan membuat sketsa pakaian. Cessa tumbuh dengan melihat
ibunya mendesain pakaian. Saat umurnya baru tujuh tahun, Cessa bisa meniru
desain pakaian ibunya. Sekarang, saat ibunya telah tiada, Cessa hanya bisa
membuat pakaian yang terlintas di benaknya. Walaupun tidak seunik dan
seglamor karya ibunya, Cessa pernah dipuji oleh Andreas Artha"desainer
ternama sahabat ibunya. Menurut Andreas, desain karya Cessa segar dan ia
seperti berlian yang belum diasah. Andreas juga bilang, Cessa bisa lebih hebat
dari ibunya kalau ia mau. Namun, Cessa tidak percaya. Bagi Cessa, ibunya,
Karenina Setiawan, adalah desainer hebat yang tidak akan bisa dikalahkan oleh
siapa pun. Selain karyanya sudah mendunia, beliau adalah wanita
berkepribadian hangat yang membuatnya dikagumi oleh semua orang.
Kemampuan berbisnisnya pun patut diacungi jempol. Cessa merasa tak punya
nyali bahkan untuk sekadar menyamainya.
Tanpa sadar, Cessa mengelus tenggorok karena merasa sangat haus. Ia lupa
membawatumbler-nya. Biasanya, Benji yang akan mengambil tumbler itu
untuknya, namun beberapa menit yang lalu, Benji melesat ke toilet dan belum
kembali. Cessa menutup buku sketsa dan bangkit, bermasksud mengambilnya
sendiri ke kelas. Cessa menatap anak-anak itu iri. Terkadang, Cessa ingin bermain sebebas itu
tanpa takut terluka. Namun, ia tahu itu tidak mungkin. Benji tak akan
mengizinkannya. Ayahnya pun bisa marah besar kalau hal itu sampai terjadi.
Cessa masih menerawang ke arah lapangan saat sebuah bola oranye tahutahu masuk ke pandangannya dengan kecepatan maksimal.
"AWAS!!!" Sayup-sayup Cessa mendengar suara Benji. Namun, ia sama sekali tidak bisa
bergerak. Kalaupun ia mau, sudah terlambat. Bola itu hanya tinggal berjarak
beberapa senti saja dari matanya. Sepersekian detik setelah Cessa menutup
mata, badannya tahu-tahu terasa terdorong ke belakang hingga membentur
tembok. Cessa pun merosot ke lantai tanpa tahu apa yang terjadi.
Perlahan, Cessa membuka mata. Yang pertama kali ia lihat adalah matahari
yang bersinar terik. Selanjutnya, ia melihat punggung seseorang yang
menutupi matahari itu dan membentuk bayangan hingga meneduhinya.
"Sori, Bro! Nggak sengaja!" Seorang anak laki-laki berseru dari lapangan,
rupanya tadi mengoper bola ke arah
teman yang tidak siap. "Boleh lo lempar balik?"
Pemilik punggung itu menunduk, memungut bola yang tadi mengenainya
dan melemparnya kembali ke lapangan.
Dari sela-sela cahaya matahari yang menyilaukan, Cessa sepertinya
mengenali siapa pemilik punggung itu.
Surya menoleh sedikit. Profil sampingnya tertimpa cahaya matahari,
membentuk siluet yang tajam sekaligus terasa hangat.
"Lo nggak ap?" "CESSA!!" Pertanyaan Surya terpotong oleh teriakan Benji. Seperti dalam film, anak
laki-laki itu berlari kencang dan berlutut di samping Cessa.
"Kamu nggak apa-apa" Nggak kena" Nggak ada yang sakit?"
Masih terpesona kepada Surya, Cessa menggeleng pelan. Surya sendiri
tampak terlalu sibuk untuk menatap Benji. Tak memedulikan Benji yang sibuk
mengecek keadaannya, tatapan Cessa masih melekat kepada Surya yang
memungut bukunya dan melangkah pergi.
"Surya!" seru Cessa, membuat langkah Surya terhenti.
Surya menoleh, lalu menatap Cessa yang masih terduduk di lantai.
Perlahan, sudut bibir Cessa terangkat. "Terima kasih."
Selama beberapa detik, Surya terdiam, tidak menyangka kata-kata itu akan
keluar dari mulut Cessa. Cessa sendiri masih tersenyum lebar, dan entah
mengapa itu malah membuat Surya merasa terbebani.


I For You Karya Orizuka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Surya menggaruk tengkuk. "Nggak masalah," katanya singkat, lalu segera
melangkah pergi. Cessa menatap punggung Surya yang menjauh. Untuk yang pertama kalinya
ia merasakan sesuatu yang asing menelusup ke hatinya. Hal yang tidak pernah
ia rasakan sebelumnya. "Cess, kamu beneran nggak apa-apa" Nggak ada yang sakit?" tanya Benji
lagi. Namun, Cessa seolah tak berada di sana. Benji mengikuti arah pandang anak
perempuan itu. Ia menatap Surya yang menghilang di balik koridor, lalu
kembali kepada Cessa yang masih seperti orang linglung. Skenario terburuk
yang pernah Benji pikirkan dua tahun lalu mungkin sedang terjadi.
Cessa merasakan sesuatu lain pada laki-laki selain dirinya. Tetapi, bukan itu
yang mengganggu pikirannya.
Ada hal lain yang jauh lebih penting.
***** Benji menatap langit-langit kamar Cessa yang berkerlip indah, lalu melirik ke
arah ranjang. Anak perempuan itu sudah tertidur lelap. Benji benar-benar lega
karena Cessa tidak mengalami cedera berarti karena kejadian tadi siang.
Sambil menghela napas, Benji memutar kursi belajar Cessa menghadap meja
dan memperhatikan beberapa pigura yang terpajang di sana. Ada foto Cessa
dengan kedua orangtuanya, Cessa dengan ibunya, dan beberapa foto Cessa
dengan dirirnya. Benji menggapai salah satu foto mereka saat bayi, lalu
menatapnya kosong. Tujuh belas tahun lalu, di sebuah rumah sakit, mereka bertemu untuk yang
pertama kalinya. Lahir hanya berbeda beberapa minggu dan memiliki
kemiripan yang nyaris tidak bisa dipercaya membuat mereka merasa terlahir
untuk satu sama lain. Cessa terlahir sebagai seorang putri, sementara Benji
terlahir untuk melindunginya dari segala ancaman dan marabahaya. Namun,
apakah semua itu termasuk dari cinta"
Selama ini, Benji hanya mengenal satu perempuan saja, jadi ia tidak pernah
tahu apa rasanya cinta. Namun, dari film-film yang sering ia tonton, jatuh cinta
adalah perasaan saat hanya dengan melihat seseorang saja, ia bisa berdebardebar. Apakah Cessa mengalami hal seperti itu tadi siang"
Sebenarnya, Benji sudah memikirkan ini semenjak mereka masuk ke sekolah
formal. Cessa mungkin akan menyukai orang lain, tetapi karakternya yang
dianggap sombong membuat orang-orang terlalu segan untuk mengenalnya
lebih jauh. Benji yang selalu ada di sampingnya pun membuat kesempatan itu
mengecil drastis. Jika strategi ini terus dijalankan, maka Cessa harusnya tidak
akan jatuh cinta pada siapa pun.
Namun, pembagian kelompok Biologi kemarin mengacaukan segalanya.
Surya jadi bisa masuk ke radius aman, cukup dekat untuk bisa memecah
gelembung kasat mata yang melindungi Cessa hingga membuat Cessa bisa
melihat dunia selain miliknya dan Benji.
Benji kembali menghela napas. Mungkin ini salahnya sendiri. Mungkin
seharusnya ia tidak menyanggupi saat Herman memisahkan mereka. Mungkin
mereka memang tidak boleh terpisahkan.
"Benjamin?" Benji terlonjak dari kursi saat mendenga sebuah suara. Dari pintu, Dirga
muncul dengan senyum lelah. Benji segera meletakkan pigura ke meja dan
bangkit. "Maaf, mengagetkan." Dirga melangkah masuk, duduk d samping Cessa dan
mengelus rambutnya lembut.
"Gimana Princessa?"
"Cessa nggak apa-apa, Om, cuma kaget." Benji segera menahan diri untuk
tidak bicara soal Surya. "Maaf, Om.
Tadi saya sedang ke toilet saat Cessa hampir kena bola. Saya lalai."
Dirga mengangguk-angguk, lalu menatap Benji. "Om percaya sama kamu,
Benjamin. Kamu pasti bisa belajar dari kesalahan."
Benji balas menatapnya nanar. "Ya, Om."
"Itu baru seorang pangeran." Dirga tersenyum, lalu kembali mengelus
rambut Cessa. "Pangeran memang bertugas menjaga putrinya."
Benji meneguk ludah. "Ya, Om."
Walaupun ingin menyangkal, Benji menyadari bahwa suaranya terdengar
seperti robot. Seluruh tubuhnya pun terasa kaku. Apa makhluk bertitel
pangeran itu sebenarnya adalah robot"
Dan, apa robot bisa jatuh cinta"
BAB 6 When I looked up, radiance filled the sky, without fading.
If only we could have been like the sun, shining all the time.
[L'arc~en~Ciel"Hitomi no Jyuunin]
Cessa mempercepat langkahnya menuju kelas. Hari ini, matahari bersinar
begitu cerah, secerah perasaannya. Sementara itu, Benji menatapnya cemas
dari belakang. Biasanya, Cessa tak pernah berjalan di depannya seperti sedang
ikut dalam lomba jalan cepat.
"Jangan buru-buru gitu, Cess. Nanti capek," tegur Benji sambil memperlebar
langkah. Tampaknya, Cessa tidak mendengar karena ia justru semakin cepat dan
memperlebar jarak mereka hingga dua meter. Benji menggeleng tak habis
pikir, lalu mengejar dan menggapai lengan anak perempuan itu,
menghentikannya dari hal yang bisa membahayakan.
Cessa menoleh, lalu menatap Benji yang menggenggam lengannya.
"Jangan jalan cepat-cepat," tegur Benji lagi.
"Oh, aku kecepetan, ya?" tanya Cessa, tak sadar kalau ia melakukan itu.
Yang ia tahu, ia sudah tak sabar untuk bertemu seseorang.
Benji melepas tangan Cessa, lalu kembali melangkah sambil sesekali
meliriknya, kalau-kalau anak itu mulai ngebut lagi. Benji tahu pasti apa yang
membuat Cessa begitu. Belum sempat Benji menggapai kenop pintu kelas, Cessa sudah
membukanya dan masuk lebih dulu. Anak perempuan itu melangkah mantap
menuju bangkunya. Seperti biasa, Surya tampak tenang di bangkunya,
membaca buku entah apa. Cessa menghentikan langkah di depan meja Surya, lalu memperhatikannya
lekat. Jika sebelumnya ia hanya memperhatikan baju dan ranselnya yang lusuh,
kali ini matanya menyusuri rambut Surya yang tebal dan sedikit kecoklatannya
yang terbakar matahari. Mata Surya menangkap sepatu putih milik Cessa di sebelah mejanya. Ia
mendongak, lalu mengernyit mendapati Cessa berdiri di hadapannya.
Sebelumnya, Cessa memang pernah memperhatikannya seperti ini, tetapi
tidak dengan senyuman itu. Surya jadi menyadari anak perempuan itu
mempunyai dua lesung pipi yang sangat dalam. Seolah ia belum cukup cantik
saja. "Lihat apa?" Surya membuka mulut, gerah dilihat lama-lama seperti ini. Di
sekeliling mereka, anak-anak pun sudah berbisik seru.
"Selamat pagi," sapa Cessa manis, begitu manis hingga membuat mulut
Surya"dan semua anak lain"terbuka lebar.
Selama beberapa saat, Surya hanya melongo tanpa berkedip. Cessa masih
menatapnya dengan senyuman, menunggu jawaban saat Surya bisa
mendengar suara gugup yang keluar dari mulutnya sendiri. "Pagi...."
Mungkin Surya behalusinasi, tetapi ia seperti bisa melihat semburat merah
muda di pipi Cessa sebelum anak perempuan itu melepas tas dan duduk di
bangkunya sendiri. Mendadak, Surya merasa seperti gunung es yang ditembak
oleh laser. Meleleh begitu saja oleh seulas senyum dan sapaan "selamat pagi".
Sementara itu, Cessa berusaha mengendalikan perasaannya sendiri. Ia
masih tidak tahu mengapa ia merasa sangat senang bisa bertemu dengan
Surya setlah kejadian kemarin. Dadanya terasa hangat saat melihat sosok anak
laki-laki itu. Rasanya, seperti sedang melihat matahari.
***** Cessa menatap kecambah yang tumbuh begitu baik di hari ketujuh.
Panjangnya sudah dua belas senti, dan kali ini Cessa membawa penggaris
supaya yakin. Cessa baru akan menulis data itu pada bukunya saat melihat
Surya yang sedang berjalan di koridor depan perpustakaan. Menyangka Surya
akan meneliti kecambah, Cessa bangkit dan melambai. Namun, anak laki-laki
itu tak melihatnya, malah menghilang di balik pintu perpustakaan.
"Hah?" gumam Cessa bingung. Pada saat jam istirahat, ia memang jarang
melihat Surya di kelas, lapangan basket, maupun di kantin. Ternyata, selama
ini, jika tak tampak, Surya berada di perpustakaan. Harusnya Cessa tahu.
Benji, yang sedang sibuk mengajak main burung parkit milik sekolah,
menatap Cessa bingung. "Kenapa, Cess?"
Cessa masih menatap pintu perpustakaan. "Ben, aku mau ke perpus."
"Hah" Ngapain?" tanya Benji. Seumur-umur, mereka tidak pernah
menginjakkan kaki ke sana. Selain tidak biasa membaca, mereka berdua alergi
debu. Cessa menoleh, lalu tersenyum dengan mata bulat berbinar. "Aku mau baca
buku!" Sebelum sempat dicegah, Cessa sudah menyusuri jalan setapak menuju
perpustakaan. Benji menghela napas, lalu mengikutinya dalam diam, entah
bagaimana ia bisa menebak alasan anak perempuan itu, tetapi ia tak berniat
melakukan apa pun untuk mencegahnya.
Cessa mendorong pintu perpustakaan yang berat karena terbuat dari kayu
jati kokoh, lalu melongokkan kepala dan menganga saat melihat isinya. Selain
memiliki langit-langit yang tinggi, perpustakaan itu sangat luas dengan jendelajendela besar. Cahaya matahari menelusup masuk melalui celah dedaunan,
menerangi meja-meja baca yang tersebar di seluruh penjuru dan rak-rak buku
raksasa yang berjejer rapi. Cessa baru tahu sekolahnya memiliki perpustakaan
seindah ini. Saat melihatnya, ia seperti sedang berada di dunia lain.
Di belakangnya, Benji pun mengeluarkan ekspresi serupa. Ia memang
pernah mendengar soal perpustakaan sekolahnya yang mendapat
penghargaan perpustakaan sekolah dengan koleksi terlengkap, tetapi ia tidak
pernah benar-benar membuktikannya.
"Ayo, masuk." Cessa dan Benji tersadar saat mendengar suara ramah dari balik pintu.
Seorang wanita berusia empat puluhan menatap hangat dari balik
kacamatanya. Di dadanya, tersemat tanda pengenal bertuliskan "Tety
Karnilawati" dan nomor induk pegawai. Sambil mengangguk, Cessa melangkah
masuk. Entah mengapa dadanya terasa berdebar saat masuk ke ruangan yang
sejuk, sekaligus terasa hangat itu. Beberapa anak tampak serius membaca di
meja tengah, tak menyadari siapa yang hadir di depan pintu.
"Silakan cari buku yang kalian mau." Tety tersenyum, lalu menghilang di
balik konternya yang dipenuhi buku. Seorang anak perempuan kelas sepuluh
tampak sedang menyortir buku-buku di rak dorong"tak jauh dari sana. Anakanak kelas sepuluh memang mendapatkan piket bergilir di perpustakaan,
tetapi tentu saja Cessa dan Benji tidak pernah melakukannya.
Benji baru melangkah satu meter saat ia mendadak bersin. Cessa membalik
badan, lalu menatapnya cemas.
"Ben?" gumam Cessa, membuat anak kelas sepuluh tadi mengangkat kepala
dan segera membekap mulut, hampir memekik saat melihat Benji berdiri di
hadapannya. Tadi pagi, ia mengeluh pada semua orang soal piketnya yang
membosankan dan betapa ia ingin bolos, tetapi sekarang ia tak lagi menyesal.
Melakukan piket ini mungkin keputusan terbaik yang pernah ia ambil seumur
hidupnya. Benji menggosok hidung. "Sori Cess, aku tunggu di luar aja ya."
Cessa mengangguk kasihan. Benji memang paling tidak tahan pada debu dari
buku-buku lapuk. Sebenarnya Cessa juga sama, tetapi tidak sesensitif Benji.
Selama ia tidak menyentuh buku-buku itu, tidak akan ada masalah.
Sambil terus menggosok hidung, Benji kembali melangkah ke pintu. Anak
perempuan kelas sepuluh tadi menatapnya penuh harap, jadi Benji
memberinya seulas senyum sebelum keluar.
Sekarang, Cessa berdiri canggung di depan meja konter, tidak tahu mau
melakukan apa. Cessa menatap anak tadi, yang sudah kembali pura-pura sibuk
dengan bukunya. Anak perempuan itu pernah mendengar kabar burung
tentang Cessa, bahwa orang yang berani mengganggu Benji akan berakhir naas
di tangan orang suruhan ayah Cessa, jadi ia tidak mau mengambil risiko.
Cessa menatap bingung anak itu, lalu memutuskan untuk tak peduli padanya
dan mengedarkan pandangan ke sekeliling. Surya tidak terlihat di mana pun.
Apa mungkin tadi ia salah lihat"
Cessa baru akan berbalik saat tahu-tahu melihat Surya muncul dari salah
satu rak sambil membawa buku. Cessa melangkah ke arahnya dengan riang.
Surya sudah duduk di salah satu meja berisi dua anak perempuan kelas
sebelas. Tanpa bersuara, Cessa menarik bangku di sebelah Surya dan duduk. Ia
memperhatikan Surya yang tampak tenggelam dengan bukunya. Anak yang
duduk persis di depan Cessa sedang membetulkan kacamata saat akhirnya
menyadari kehadiran Cessa. Anak itu melepas kacamata, mengucek-ucek mata,
mengenakannya lagi, lalu melongo. Teman di sebelahnya melirik heran, lalu
mengikuti arah pandangnya dan bergabung dengan kekagetan yang sama. Tak
pernah sekalipun mereka menyangka akan bisa duduk di depan legenda
sekolah ini di dalam perpustakaan.
Tak sadar dengan kekagetan di depannya, Cessa malah mengintip bahu
Surya. Anak laki-laki itu rupanya sedang membaca buku biografi Isaac Newton.
Cessa menopang dagu dengan tangan kanan dan kembali memusatkan
perhatiannya kepada Surya.
Memperhatikan garis wajah seseorang dalam jarak sedekat ini adalah
pengalaman baru bagi Cessa. Ia tak pernah benar-benar memperhatikan profil
seseorang kecuali mungkin Benji. Walaupun Benji masih jauh lebih tampan dari
Surya, Cessa merasa lebih bersemangat saat melihat anak ini. setelah Surya
melindunginya dari lemparan bola basket kemarin, Cessa jadi ingin tahu lebih
banyak tentangnya. Kejadian itu pun membuat Cessa tahu bahwa anak
sederhana seperti Surya, ternyata bisa melindunginya juga.
Surya sendiri tenggelam dalam sejarah hidup Isaac Newton dan baru
mengangkat kepala saat hendak melihat waktu di jam dinding. Ia masih punya
waktu sepuluh menit sebelum jam pelajaran berikutnya dimulai. Surya
mengangguk-angguk pelan, dan baru mau kembali membaca saat mendapati
dua anak perempuan di depannya seperti terhipnotis sesuatu. Heran, Surya
menoleh ke kanannya dan akhirnya tahu apa yang membuat mereka begitu.
Entah bagaimana, Cessa ada di sampingnya, menatapnya lekat sambil
tersenyum. Figur cantiknya yang tertimpa cahaya matahari membuatnya
berkilau dan nyaris tak bisa diterima akal. Mata hazel-nya pun terlihat begitu
jelas hingga terasa membebani siapa pun yang melihatnya.
"Hai," sapa Cessa, bisa mendengar getar dalam suaranya sendiri.
Surya tidak menjawab. Bukan karena tidak mau, tetapi lebih karena tidak
bisa. Surya masih mencoba mencerna kehadiran anak itu di sini, di tempat
persembunyian anak-anak geeksepertinya, menatapnya manis dengan
senyuman itu lagi. Seolah menyerangnya terang-terangan tanpa bisa ditangkis.
Tak urung dijawab, senyuman Cessa memudar. Apa Surya tidak suka
melihatnya di sini" "Ngapain lo di sini?" Itu kalimat pertama yang berhasil meluncur dari mulut
Surya setelah bisa mengendalikan diri.
Senyum Cessa kembali merekah. "Nggak ngapa-ngapain. Gue tadi liat lo
masuk, jadi gue ikutan."
Walaupun tak paham dengan alasannya, Surya mengangguk-angguk. Detik
berikutnya, ia menyadari sesuatu. Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling,
berusaha memindai perpustakaan itu untuk mencari seseorang.
"Dia mana?" tanya Surya setelah tak menemukan orang yang dimaksud.
Cessa hanya menelengkan kepala, jadi Surya berdeham. "Pangeran lo yang
lebay itu." "Oh, Benji?" tanya Cessa, membuat dua anak perempuan di depannya
memekik tertahan. "Dia nunggu di luar. Alergi debu."
Surya kembali mengangguk-angguk, sepintas bisa melihat bahu dua anak
perempuan di depannya melorot. Yakin tak bisa melanjutkan membaca, Surya
melirik lagi Cessa yang sedang memandang kagum ke luar jendela. Tak tampak
satu buku pun di meja anak perempuan itu selain buku tulis.
"Ini perpustakaan, tempat orang baca buku," sindir Surya, membuat Cessa
menoleh. "Lo nggak baca buku?"
"Gue nggak bisa baca buku, terutama yang udah lama-lama begitu." Cessa
mengedikkan dagu pada buku Isaac Newton yang sudah menguning. "Gue juga
alergi debu." Surya mendengus. Anak perempuan ini memang cantik dan segalanya,
tetapi kadang-kadang Surya melupakan kenyataan bahwa anak itu juga
seorang putri dari negeri antah berantah yang memiliki segudang alasan
mengapa ia tak sama dengan orang biasa.
"Terus kenapa lo masih di sini?" tanya Surya lagi, sekarang sudah benarbenar kembali ke akal sehat.
Cessa menatap Surya lama. "Karena lo masih di sini."


I For You Karya Orizuka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Selama beberapa saat Surya terdiam, tak menyangka jawaban itu yang akan
keluar dari mulut Cessa. Tidak tahu bagaimana harus menanggapinya, Surya
membuang muka. Namun, sepertinya itu pun keputusan yang salah karena
sekarang ia mendapat tatapan takjub dari dua anak perempuan yang sedari
tadi mengikuti perkembangan obrolannya.
"Di sini ternyata enak, ya," komentar Cessa, membuat semua orang kembali
menatapnya. Cessa menatap Surya lagi, matanya penuh binar. "Lo selalu di sini
tiap istirahat?" "Begitulah." Surya memaksakan diri untuk melihat ke arah lain, tetapi tak
bisa. Cessa kembali memamerkan dua lesung pipinya yang cantik. "Kalo gitu,
mulai sekarang gue juga ke sini, ah."
Cessa sama sekali tidak menyadari perubahan ekspresi Surya maupun dua
anak perempuan di depannya. Yang Cessa tahu, mulai sekarang, setiap jam
istirahat ia akan punya kegiatan lain selain menggambar dan bermain iPad di
bangku taman. Kegiatan yang jauh lebih menyenangkan.
BAB 7 Somewhere over the rainbow, skies are blue.
And the dreams that you dare to dream,
really do come true. [Judy Garland"Over The Rainbow]
Surya melirik ke samping, tempat Cessa tampak sedang asyik menggambar
pada buku sketsanya. Rambutnya yang cokelat dan halus tergerai menutupi
wajahnya, membuat Surya mati-matian menahan keinginan untuk
menyelipkan rambut itu ke belakang telinganya.
Sudah beberapa hari ini Cessa menepati janji yang ia buat sendiri untuk
menghabiskan jam istirahat di perpustakaan. Sebenarnya, Surya merasa risih
setiap kali anak perempuan itu memperhatikannya. Namun, pada saat-saat
seperti ini, saat ia sibuk dalam dunianya sendiri, anak perempuan itu selalu
terlihat menyenangkan. Surya jadi bisa gantian memperhatikannya.
Dua anak perempuan yang biasanya duduk di depannya sekarang entah ke
mana. Surya menebak mereka sedang pura-pura berdiskusi soal Biologi di
taman depan perpustakaan sambil mencuri-curi pandang ke arah Benji yang
mengajak ngobrol burung parkit atau kenari.
Semenjak Cessa ada di sini, Surya tak pernah lagi bisa berkonsentrasi pada
bukunya. Ketika ia sudah mulai bisa mencerna satu paragraf, satu gerakan
remeh dari anak perempuan itu membuat fokusnya buyar begitu saja.
Sekarang, Surya sedang mencoba metode baru untuk berkonsentrasi. Ia
berusaha menghipnotis dirinya sendiri, bahwa ia sedang berada di atas rakit di
tengah lautan. Tak ada siapapun, hanya ia, dan bukunya, dan laus terbentang.
Surya menarik napas panjang, tetapi alih-alih aroma laut, ia malah mencium
aroma sampo Cessa. Surya bangkit, tak tahan lagi. Ia harus mencari tempat baru kalau tidak mau
berakhir gila. "Mau ke mana?" tanya Cessa bingung.
"Nyari buku lain," dusta Surya. Terakhir kali saat ia hendak mencari tempat
baru, Cessa mengikutinya. Jadi sekarang, ia harus berbohong supaya bisa lepas
dari anak perempuan itu. Menyangka Surya akan kembali, Cessa mengangguk dan meneruskan sketsa
gaun malamnya. Ia berharap sketsa gaun itu bisa selesai sebelum hari ulang
tahun ibunya. Selama ini, Cessa selalu menghadiahi beliau dengan sketsasketsa miliknya.
Surya sendiri sudah buru-buru melangkah ka rak paling belakang, menjauhi
keramaian"kalau beberapa gelintir orang bisa dibilang ramai. Rak paling
belakang adalah buku-buku yang berisi tentang politik dan demokrasi. Tak ada
seorang pun mau ke sana walaupun hanya sekedar lewat.
Sambil menghela napas lega, Surya duduk di lantai yang sejuk. Bukannya ia
tidak suka berada di samping Cessa, tetapi entah mengapa rasanya berat.
Seperti sedang berusaha menentang badai. Seperti melakukan hal yang tidak
seharusnya dilakukan. Surya ada di sekolah ini bukan untuk bermain-main. Ia ada di sini hanya
untuk satu tujuan : membuktikan pada mereka semua bahwa orang miskin
tidak untuk diremehkan. Surya tidak akan membiarkan penghalang mana pun
muncul di jalannya. Dan, itu termasuk Cessa. ***** Lagi-lagi Benji harus berurusan dengan Piko, parkit milik sekolah. Benji tidak
punya pilihan lain. Sudah beberapa hari ini Cessa memilih untuk
menghabisakan waktu istirahatnya di dalam perpustakaan"yang bagi Benji
terasa seperti neraka. Walaupun Benji masih sedikit kesal kepada Surya, akhirakhir ini anak laki-laki itu tidak lagi galak.
Meskipun ingin, Benji tidak bisa pergi jauh-jauh dari perpustakaan itu. Ia
harus selalu berada cukup dekat dengan Cessa. Dan, itu berarti radius sepuluh
meter. Atau, dua puluh meter"
Benji mulai melakukan hitung-hitungan dalam otaknya. Saat pelajaran
olahraga kemarin, ia berhasil menyelesaikan trek seratus meter dalam waktu
tiga belas detik saja. Jadi, kalau jaraknya dua puluh meter, berarti ia hanya
membutuhkan tiga detik untuk sampai ke samping Cessa"
Sama sekali melupakan segala rintangan yang mungkin menghambatnya
dalam dua puluh meter itu, Benji seperti mendapat pencerahan. Ia bisa
berjarak dua puluh meter dan sampai di samping Cessa dalam waktu beberapa
detik saja. Benji lantas menatap kantin yang berada tak jauh dari sana. Ia bisa membeli
minuman atau apa pun dan kembali secepat kilat kalau Cessa
membutuhkannya. Mantap dengan keputusannya, Benji mengeluarkan ponsel
dari saku dan mengetik pesan singkat untuk Cessa.
Cess, kalo ada masalah, telepon ya. Aku di kantin.
Setelah menekan tombol kirim, Benji melangkah ke kantin, tak sadar
beberapa anak perempuan mengikutinya. Selama ini, Benji harus selalu berada
di samping Cessa. Bukannya ia tak suka, tetapi ia jadi jarang memiliki waktu
untuk dirinya sendiri. Kini, saat Cessa sedang di dalam perpustakaan yang
relatif aman, Benji bisa bernapas dengan lega.
Benji tersenyum kepada Kelly, ibu penjaga kantin yang sudah lama
dikenalnya. Wanita pertengahan empat puluhan itu menoleh ke kanan dan kiri,
seolah mencari seseorang.
"Cessa mana?" tanyanya, heran melihat Benji tampak santai-santai saja.
Biasanya, kalaupun ke kantin sendiri, Benji selalu terlihat terburu-buru, seperti
tak ingin meninggalkan Cessa terlalu lama.
"Di perpustakaan, Bu," jawab Benji sopan, membuat Kelly menganggukangguk walaupun masih bingung mengapa Benji tidak berada di perpustakaan
juga. Benji baru mau mengambil air mineral saat menyadari sesuatu. Tanpa
banyak bicara, ia segera melompat masuk ke kantin, membuka lemari
pendingin dan menatap tegang ke suatu arah. Perutnya terasa seperti dipenuhi
es batu. Sementara itu, Kelly menatapnya bingung dari belakang.
"Bu, ada yang buka-buka ini?" Benji menunjuk tumbler berwarna hitam
pekat di dalam lemari pendingin yang ia titipkan kepada Kelly sejak lama.
Kelly tersenyum gugup. "Tadi, ada anak kelas sepuluh yang hampir buka,
tapi saya langsung cegah. Sesuai permintaanmu dulu."
Benji menarik tumbler itu ke luar, lalu membuka tutupnya tak sabar.
Semuanya memang masih ada di sana tanpa kurang suatu apa pun. Namun
tetap saja, sangat mengkhawatirkan melihat tumbler itu berpindah tempat.
Dulu, Benji meletakannya di rak paling atas, tetapi tadi berpindah di rak dua.
"Saya tadi repot melayani anak-anak, jadi saya nggak tahu ada anak yang
buka lemari es." Kelly beralasan. "Maaf ya, Ben."
Benji menutup tumbler itu rapat-rapat, berusaha tersenyum walaupun kaku.
"Nggak apa-apa kok, Bu."
Kelly mengangguk, lalu kembali sibuk dengan kuitansinya. Benji mengambil
kesempatan itu untuk menata isi lemari pendingin. Ia meletakkan tumbler tadi
di pojok belakang, lalu menutupinya dengan belasan botol minuman soda.
Mendadak, ia merasa beruntung memutuskan untuk ke kantin.
"Bu, sudah laku berapa rotinya?"
Benji baru menutup lemari pendingin saat mendengar suara anak
perempuan. Tatapannya beradu dengan seorang anak perempuan sederhana
yang berdiri di depan keranjang roti. Mata anak perempuan itu terbelalak
seperti sedang melihat hantu.
Terlalu terkejut melihat Benji di dalam kantin, Bulan tak sengaja menyenggol
keranjang sehingga rotinya jatuh berhamburan ke lantai. Bulan segera
memungut roti-roti tersebut, mengutuk dalam hati karena sudah bersikap
norak. Saat sedang mengembalikan roti-roti ke dalam keranjang, Bulan melihat
sepasang tangan lain ikut membantunya. Perlahan, Bulan mengangkat kepala,
tidak berani berharap. Namun, Benji memang sudah berjongkok di depannya,
memungut roti satu-persatu. Sadar Bulan berhenti memungut, Benji ikut
mengangkat kepala. Ia lantas menatap Bulan bingung.
"Ng-nggak usah repot-repot, Kak." Bulan merebut roti dari tangan Benji, lalu
segera bangkit dan meletakkan keranjang roti itu kembali ke meja. Entah
mengapa bayangan Benji memegang roti murah terasa aneh di matanya.
Benji sendiri tak tahu apa masalahnya, jadi ia hanya berdiri dan mengambil
air mineralnya tanpa banyak bicara.
"Kamu ini, ceroboh juga ternyata." Kelly terkekeh melihat kelakuan Bulan.
"Rotinya sudah laku empat puluh tujuh. Lumayan, kan?"
Bulan mengangguk sambil tersenyum, lalu iseng melirik Benji yang ternyata
masih menatapnya ingin tahu. Senyum Bulan langsung lenyap, digantikan oleh
seringai kaku pada Kelly yang tampak bingung.
Entah mengapa, Benji merasa anak perempuan di depannya ini sangat
familier. Wajahnya, nada suaranya, kesederhanaannya... begitu
mengingatkannya pada seseorang. Sambil menenggak air mineral, ia masih
terus memperhatikan Bulan.
"Bulan!" Seorang anak perempuan berseru dari kejauhan, membuat Bulan
menengok. "Lo dipanggil Pak Yusuf!"
"Oke!" Bulan balas berseru, lalu kembali menatap Kelly. "Saya pergi dulu ya,
Bu, titip rotinya." "Bulan?" Benji tahu-tahu bergumam, membuat Bulan dan Kelly menoleh
berbarengan padanya"Bulan tampak luar biasa syok. Tak menyadarinya, Benji
malah menatap Bulan lebih lekat, berusaha menyatukan potongan puzzle
dalam otaknya. "Lo... adiknya Surya?"
Bulan mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya mengangguk. "Kenapa,
Kak?" Benji tersenyum simpul. "Mirip sekali."
"Masa?" Bulan menyelipkan rambut ke belakang telinga, gugup. Walaupun
ia sering dibilang mirip dengan Surya, kenyataan bahwa Benji yang
mengatakannya terlalu sulit dipercaya.
Tiba-tiba, bel penanda masuk kelas berbunyi nyaring. Benji segera menutup
botol air mineral, harus segera kembali ke perpustakaan untuk menjemput
Cessa. Setelah meninggalkan selembar uang sepuluh ribu, Benji melangkah ke
luar kantin. "Nama yang bagus," kata Benji saat melewati Bulan, lalu segera melangkah
pergi. Bulan hanya bisa menatap punggung Benji yang semakin kecil, lalu
menyadari bahwa ia baru saja bicara dengan orang yang selama ini ia kagumi.
Orang yang selama ini hanya bisa ia impkan, tanpa bisa disentuh. Sekarang,
Bulan merasa seperti sedang terbang ke awang-awang.
"Bulan." Bulan menengok, lalu menatap Kelly yang tersenyum simpati.
"Benji itu anak yang baik," katanya, membuat Bulan semakin jatuh ke bumi.
"Kamu tahu kan...."
"Saya tahu, Bu." Bulan memotong kata-kata Kelly, lalu kembali menatap
kantin yang sudah kosong. "Saya tahu."
Ia tahu, sampai kapan pun, ia hanya bisa memimpikan Benji.
*** Bel pulang sekolah berbunyi nyaring. Semua anak serempak bersorak
gembira, melepas penat selama pelajaran PKn pada jam terakhir tadi. Cessa
sedang meregangkan tangan yang terasa kaku saat seseorang menyenggolnya.
Ia menoleh, lalu mendapati Surya berdiri di sampingnya, sudah memanggul
ransel. Senyum Cessa langsung terkembang. "Langsung pulang?"
Surya mengangguk singkat, lalu meneruskan langkah menuju pintu sebelum
Cessa sempat bertanya lagi. Cessa hanya menatap punggungnya, tidak
mengerti mengapa anak laki-laki itu seperti menghindarinya. Tadi, saat di
perpustakaan, Surya pun menghilang dan meninggalkannya begitu saja.
"Ayo, Cess." Suara Benji menyadarkan Cessa. Cessa mengangguk, lalu meraih tas dan
mengikuti Benji ke luar kelas. Seperti biasa, Benji berjalan di depannya,
membentuk tameng pertahanan terhadap gelombang anak-anak girang yang
baru pulang sekolah. Cessa pun selalu menggenggam kemeja Benji erat supaya
tidak terbawa anak-anak yang persis kawanan banteng itu.
Mereka baru berhasil keluar koridor kelas dua belas saat Cessa melihat
sosok Surya, berjalan ke luar koridor kantin bersama seorang anak perempuan
yang tak pernah dilihatnya. Perasaan aneh menelusup ke dalam hatinya,
membuat langkahnya terhenti dan pegangannya terlepas dari kemeja Benji.
Benji, yang tidak merasakan pegangan Cessa, ikut berhenti dan membalik
badan. Ia mengernyit, lalu menghampiri anak perempuan itu. "Kenapa, Cess?"
Alih-alih menjawab, Cessa malah menatap kosong ke suatu arah. Benji
mengikuti arah pandangnya. Surya dan Bulan tampak sedang berjalan ke arah
mereka, asyik membahas sesuatu. Surya membawa keranjang roti Bulan yang
sudah kosong. Surya dan Bulan baru menyadari kehadiran Benji dan Cessa saat mereka
sudah berjarak beberapa meter saja dari satu sama lain. Surya dan Bulan
berhenti melangkah, lalu balas menatap Benji dan Cessa bingung.
"Siapa...?" Cessa menanyakannya sambil menatap Bulan yang segera salah
tingkah. Karena Bulan tak langsung menjawab, Cessa mengalihkan
pandangannya kepada Surya, seperti meminta penjelasan.
Surya sendiri balas menatap Cessa bingung, lalu melirik Benji yang tampak
lebih tertarik pada adiknya. Sebenarnya, Surya tak harus menjawab pertanyaan
itu. Namun, entah mengapa, mendengar nada suara Cessa membuatnya jadi
merasa harus menjawabnya. Rasanya seperti seorang tuan putri sudah
bertitah, dan ia sebagai jelata harus menjawabnya.
"Adik gue," jawab Surya akhirnya, membuat mata hazel Cessa melebar.
Cessa kembali memperhatikan Bulan, tetapi kali ini dengan ekspresi kaget.
"Adik?" Bulan buru-buru nyengir gugup, sudut matanya mengawasi Benji yang masih
menatapnya. "Aku Bulan. Adiknya Kak Surya."
"Halo," sapa Cessa, terdengar jauh lebih hangat. Ia lantas menatap Surya.
"Lo nggak pernah cerita kalo punya adik."
"Kenapa juga gue harus cerita...?" gumam Surya tak habis pikir, tetapi Cessa
sudah kembali menatap Bulan.
"Namanya bagus sekali." Cessa berkata ceria, membuat Bulan melirik Benji
yang tersenyum. "Surya dan Bulan."
"Rembulan, sebenarnya," ralat Bulan, membuat Cessa semakin kagum.
"Surya dan Rembulan!" Cessa memekik, lalu menatap Benji. "Bagus ya,
Ben?" Benji menyambut kehebohan Cessa dengan baik sementara Surya dan Bulan
saling lirik, tidak paham dengan selera anak-anak orang kaya. Apa bagusnya
nama Surya dan Rembulan dibanding Princessa dan Benjamin"
"Selama ini, kita selalu iri sama orang-orang yang namanya Idonesia
banget." Benji seperti bisa memahami kebingungan Surya dan Bulan. "Nama
kami nggak terdengar enak sama lidah Indonesia."
Surya segera mengangguk-angguk, dalam hati mencibir. Ternyata, itu
alasannya. Nama mereka terlalu bagus untuk disebut lidah-lidah kampungan
yang menyebut Princessa sebagai Prin-chess-a bukannya Prin-se-sa. Atau
Benjamin bukannya Behn-juh-min. Sebentar saja, kepala Surya terasa pening.
"Ayo Lan, kita harus pulang," ajak Surya, tak tahan lagi.
"Itu apa?" tanya Cessa, mengurungkan niat Surya untuk pergi. Cessa
menunjuk keranjang yang dibawa Surya.
"Untuk apa?" "Keranjang roti. Setiap hari, kami nitip roti ke Ibu Kelly." Bulan membantu
Surya menjawab karena sepertinya kakaknya itu tidak tampak berminat. Cessa
hanya mengangguk-angguk. "Kayaknya berat," gumam Cessa, matanya masih tertancap pada keranjang
itu. Detik berikutnya, ia seperti mendapat pencerahan. Ia menoleh kepada


I For You Karya Orizuka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Benji. "Ben! Kita anter mereka pulang aja, gimana?"
"Nggak usah!" potong Surya sebelum Benji sempat menyanggupi. Baik Benji
maupun Cessa sekarang menatapnya bingung.
"Kenapa?" tanya Cessa.
Surya mengangkat keranjangnya dengan satu tangan. "Nggak berat, oke"
Ayo, Lan." Tanpa mengindahkan Cessa yang menatapnya kecewa, Surya melangkah
pergi. Bulan menatap Cessa dan Benji ragu, lalu menangguk minta diri dan
mengekor kakaknya. Cessa menatap punggung Surya dan Bulan hingga mereka menghilang di
balik gerbang, lalu menghela napas. Lagi-lagi Surya seperti menghindarinya.
Apa ia sudah melakukan kesalahan"
Cessa sama sekali tak mengerti.
BAB 8 If you walk out on me, I'm walking after you. [Foo Figthers"Walking after You]
Surya sedang membaca tentang pemerintahan zaman Orde Baru pada buku
Sejarahnya saat tahu-tahu kelasnya menjadi heboh. Karena sudah terlalu biasa
dengan kehebohan itu"pertanda bahwa Cessa dan Benji datang"Surya tetap
berkonsentrasi pada bukunya. Ia ingin tahu bagaimana buku ini menjelaskan
zaman penuh kekacauan itu.
Kehebohan itu biasanya hanya berlangsung satu-dua menit, tetapi kali ini,
sudah hampir lima menit anak-anak masih terus berbisik seru. Surya menekan
telinganya yang terasa geli oleh dengung yang disebabkan anak-anak itu.
Tepat pada saat itu, Surya mendapati sepasang sepatu putih yang
dikenalnya berada di samping meja. Surya mengangkat kepala. Cessa sudah
berdiri di sampingnya, tampak kesal dengan kedua tangan terlipat di depan
dada. Surya balas menatapnya bingung. Ada apa dengan anak itu, pagi-pagi
begini" "Kenapa?" Cessa membuka mulut, bertanya hal yang ingin Surya tanyakan.
"Kok menghindar terus?"
Surya melongo. "Ha?"
"Kemarin, waktu di perpus, lo ninggalin gue. Pulang sekolah, lo nggak mau
kita anter. Kenapa?" tanya Cessa membuat Surya kehilangan kata-kata.
Surya meneguk ludah, lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling. Anak-anak
sudah menatap mereka tak percaya, sebagian melirik Benji simpati. Surya
sendiri tak tahu harus bagaimana menanggapi keterusterangan Cessa.
Surya membuka mulut walaupun tak yakin mau berkata apa. "Gue...."
"Normalnya, lo senang kan bisa dianter sama mobil mewah?" tanya Cessa.
"Kenapa lo tolak?"
"Cessa." Benji segera menegur, tetapi terlambat. Surya keburu mendengar.
Surya benar-benar kagum dengan bakat Cessa. Anak perempuan itu bisa
dengan mudah membawa perasaannya naik ke awang-awang, dan dengan
mudah pula membuat darahnya naik ke kepala. Surya menatap Cessa hingga
matanya panas. Anak perempuan itu masih bersikeras terlihat kesal. Apa
haknya terlihat kesal"
"Lo bener-bener, ya...," gumam Surya geram.
Tangan Cessa sekarang sudah turun, tatapannya melunak. "Gue kan... cuma
mau pulang bareng lo. Kenapa nggak boleh?"
Semua orang yang mendengar Cessa segera melongo, terutama Surya dan
Benji. Tak bisa mencerna semua ini, Surya menoleh kepada Benji, meminta
penjelasan. Alih-alih tampak keberatan atau marah, Benji hanya balas menatap
Surya bingung. "Heei ada apa ini" Ayo, duduk! Nggak dengar bel?"
Herman muncul dari pintu, heran melihat anak-anak yang masih berdiri dan
menatap ke suatu titik di tengah kelas sambil berkasak-kusuk. Walaupun bisa
menebak siapa yang menjadi pusat perhatian, tetap saja ia tak habis pikir
dengan reaksi anak-anak lain yang lebih heboh dari biasanya.
Cessa masih menolak untuk melepas tatapannya dari Surya sebelum
mendapatkan jawaban yang memuaskan. Surya sendiri tampak serbasalah, tak
tahu harus menjawab apa. "Princessa" Ada masalah apa?" Herman akhirnya turun tangan, tak ingin jam
pelajarannya berubah jadi drama.
Bisa melihat Herman yang sedang berjalan ke arah mereka, Surya kembali
melirik Cessa yang masih bersikeras cemberut. "Ya, udah," gumam Surya
akhirnya, malas kalau harus menjelaskan duduk permasalahannya pada
gurunya itu. Cessa memicing. "Iya udah apa?"
Surya balas menatapnya sebal selama beberapa saat, lantas mendecak. "Iya,
pulang bareng." Wajah Cessa berubah cerah segera setelah mendengar jawaban Surya. Saat
Herman sampai ke sampingnya, ia sudah berbalik dan duduk manis di bangku.
Herman menatap heran Cessa yang tersenyum-senyum, lalu beralih kepada
Surya yang sebaliknya, berwajah masam. Sementara itu, semua anak mulai
duduk di bangku masing-masing walaupun masih berbisik seru.
Herman menggeleng-gelengkan kepala melihat kelakuan murid-muridnya
itu, lalu kembali ke depan kelas sambil menyesali keputusannya. Harusnya, ia
tidak menyatukan dua anak itu dalam kelompok Biologi.
Dua anak itu terlalu berbeda untuk disatukan.
***** "Bulan!" Cessa melambaikan tangan begitu melihat Bulan keluar dari koridor kantin
bersama Surya yang membawa keranjang roti. Bulan tampak senang melihat
Cessa dan Benji, tetapi Surya sebaliknya. Setelah kejadian di kelas tadi pagi, ia
jadi bulan-bulanan anak-anak satu sekolah. Semua orang membicarakannya,
termasuk anak-anak di perpustakaan yang biasanya tidak pernah ter-update
gosip. "Ayo, kita pulang bareng, naik mobil Benji," ajak Cessa.
Bulan melirik Benji yang sedang menatapnya, lalu segera mengalihkan
pandangan. "Nggak apa-apa nih, Kak?"
"Nggak apa-apa," jawab Cessa dan Benji serempak sementara Surya
menatap mereka tak suka. Bulan sendiri hanya nyengir kaku"pertanyaan tadi
dimaksudkan untuk kakaknya sendiri.
Bulan melirik Surya. "Kak?"
"Gue mau beli buku dulu." Surya menjawab. "Kalian pulang duluan aja."
"Beli buku?" ulang Cessa. "Di mana" Bareng aja."
"Berlawanan arah," tandas Surya. "Mending kalian duluan aja."
Surya menyerahkan keranjang roti kepada Bulan, lalu mulai melangkah
pergi. Cessa segera menatap Benji.
"Ben, aku ikut Surya beli buku ya!" seru Cessa membuat langkah Surya
terhenti. "Kamu anter Bulan pulang. Ya" Ya?"
Tanpa pikir panjang, Benji segera menggeleng. "Nggak bisa, Cessa."
"Naik taksi, kok!" seru Cessa, tampak keras kepala. "Nggak lama-lama!"
Benji lantas menatap Surya dari ujung kepala hingga ujung kaki, seolah
menilai. Detik berikutnya Benji kembali menggeleng. "Nggak bisa."
"Ben, please..." Cessa memohon. "Sekali ini aja."
Benji menghela napas, otak dan hatinya berperang habis-habisan. Cessa
sepertinya sangat ingin pergi bersama Surya. Namun, Surya sepertinya tidak
bisa menjaga Cessa. Anak laki-laki itu terlalu cuek untuk melakukannya.
"Anu... boleh nggak, gue diikutin dalam pembicaraan ini?" Surya tahu-tahu
membuka mulut, membuat semua orang menatapnya. "Kenapa harus kalian
yang ambil keputusan" Gue mau beli buku sendiri."
Cessa segera cemberut. "Lo kan, bilang mau pulang bareng."
"Ya, itu..." Surya langsung mati kutu. "Kan, pulang. Ini kan, beli buku."
"Abis itu pulang, kan?" desak Cessa, lalu kembali menatap Benji memohon.
"Ya, Ben" Ntar kamu tunggu aku di rumahnya Surya. Ya" Kalo ada apa-apa, aku
langsung telepon." Surya mendengus, lagi-lagi merasa harus menuruti titah tuan putri.
Sementara itu, sang pangeran masih terus menatapnya dengan penuh
penilaian. "Oke." Benji akhirnya menyanggupi, tetapi segera memberi Surya tatapan
tajam. "Lo harus benar-benar jaga Cessa. Setelah beli buku langsung pulang."
Surya memutar bola mata begitu Cessa bersorak girang. Terlalu malas untuk
menanggapi, Surya membalik badan dan mulai melangkah. Cessa melambai
kepada Benji dan Bulan, lalu segera mengekor Surya.
Benji menatap khawatir punggung Surya dan Cessa. Entah apa yang
membuatnya menyanggupi permintaan Cessa yang penuh risiko itu. Surya
adalah orang baru, dan ia sama sekali tidak tahu bagaimana cara menjaga
Cessa. Namun, membiarkan Cessa stress karena permintaannya tidak dituruti
juga bukan pilihan. Terakhir kali itu terjadi, Cessa jatuh sakit selama
berminggu-minggu. Jadi sekarang, Benji hanya harus memercayai Surya.
Benji menghela napas, lalu mendadak menyadari kalau Bulan ada di
sampingnya, menatapnya bingung. Benji buru-buru meraih keranjang di tangan
Bulan. "Yuk?" ajaknya, lalu mulai melangkah menuju gerbang sekolah dengan
kepala penuh kekhawatiran kepada Cessa.
Sementara itu, Bulan mengikutinya dalam diam, sama-sama sibuk berpikir.
Jika Benji terlihat begitu berat melepaskan Cessa untuk bersama Surya,
mengapa ia melakukannya"
Namun, Bulan berusaha tidak memikirkannya lebih lanjut. Apa pun
masalahnya, itu bukan urusannya. Yang ia harus lakukan sekarang adalah,
berusaha ada dalam satu mobil dengan Benji tanpa membiarkan dirinya sendiri
lepas kendali. Pangeran itu tidak boleh tahu perasaannya.
***** "Ini... toko bukunya?"
Cessa turun dari taksi dan mengikuti Surya dengan penuh ketakjuban. Saat
Surya mengatakan hendak membeli buku, Cessa berpikir tentang sebuah toko
buku di tengah kota yang luas dan bertingkat, bukannya lapak-lapak becek di
samping terminal seperti ini.
"Ini namanya pasar buku Senen. Buku-buku yang dijual adalah buku bekas,"
jelas Surya sambil melangkah masuk ke salah satu lapak, mengamati bukubuku yang terpajang.
Cessa mengangguk-angguk sambil menatap tumpukan komik bekas yang
menggunung. Kalau Benji ikut ke sini, mungkin ia bisa bersin-bersin sampai dua
hari. Takut akan kemungkinan itu, Cessa mundur teratur dan memperhatikan
Surya dari luar lapak. Surya sendiri sudah tidak peduli lagi kepada Cessa dan tenggelam di dalam
lautan buku, mencari buku yang dimaksud. Ia penasaran pada sejarah Orde
Baru, jadi ia mencari buku-buku terbitan lama mengenai pemerintahan
tersebut. Ia ingin tahu perbedaan cerita dulu dengan sekarang.
Selama hampir lima belas menit, Cessa menunggu Surya di luar lapak sambil
memperhatikan sekitar. Ia sibuk mengamati para pedagang buku, penjual tas,
penjual makanan, kondektur bus dan para pengamen bekerja keras. Jadi,
rupanya seperti ini orang-orang miskin berusaha"
Ingatan Cessa melayang pada seseorang yang meninggalkannya belasan
tahun lalu. Tidak bisakah orang itu bekerja seperti ini demi dirinya" Mengapa
orang itu meninggalkannya dengan alasan kemiskinan"
Seorang ibu yang tampak lusuh mendekati Cessa sambil menggendong bayi.
Cessa memperhatikan mereka, matanya mendadak panas.
"Mbak, minta sedekahnya...," gumam ibu itu lirih.
Cessa menatap bayi dalam gendongan ibu itu nanar. "Ini... anak Ibu?"
Ibu itu mengernyit, seperti tersinggung. Nada suaranya berubah normal.
"Iya, Mbak. Memang anak siapa lagi?"
"Ibu... nggak ninggalin dia walaupun ibu miskin?" tanya Cessa lagi, membuat
tangan ibu itu turun, mulutnya ternganga.
"Kalau nggak mau ngasih ya udah, Mbak! Nggak usah pake ngejek!" seru Ibu
itu mengagetkan Cessa , lalu berderap pergi. "Dasar orang kaya!"
Cessa terpaku, tak bisa berkata-kata. Surya muncul dari lautan buku,
mendengar semua percakapan tadi. Cessa masih bergeming walaupun semua
orang sekarang sudah menatapnya sinis. Walaupun ingin, Surya tak tahu
bagaimana harus menghibur Cessa karena begitulah karakter anak itu. Ia
begitu berterus terang hingga kadang terasa tidak sopan. Tak pernah berpikir
sebelum bicara. Mungkin memang seharusnya ada orang yang menegurnya
dengan keras, dan orang yang berhak adalah ibu tadi.
Walaupun demikian, Surya tetap tidak tega melihat Cessa berdiri dalam
diam dengan tatapan kosong, seperti nyaris menangis. Jadi, Surya
menunjukkan buku lusuh yang ditemukannya pada si penjual.
"Sepuluh ribu," katanya dengan logat batak.
Surya segera merogoh kocek dan mengeluarkan selembar uang sepuluh
ribu, sudah tidak berniat menawar lagi. Setelah itu, Surya melangkah ke luar
toko dan menarik tangan Cessa pergi dari situ.
Cessa patuh mengikuti Surya menuju jalan besar. Terik matahari menyengat
kulitnya hingga kepalanya terasa sedikit pening. Benji pasti akan memarahinya.
"Udah beli bukunya" Ayo, panggil taksi," ajak Cessa sambil menyetop
sebuah taksi yang lewat. Walaupun enggan, Surya mengikuti Cessa masuk ke taksi yang sejuk. Seumur
hidup, Surya hanya pernah naik taksi dua kali. Sekali saat ia dan Cessa tadi ke
sini, sekali lagi terjadi tiga tahun lalu, saat ia dan Benji harus ke rumah sakit
bagitu mendengar kabar kedua orangtua mereka mengalami kecelakaan.
Taksi ini membawanya kepada kenangan yang tidak ingin diingatnya. Ia
masih ingat dengan bagaimana perasaannya saat itu : setengah mati berharap
kedua orangtuanya setidaknya masih hidup, namun di sisi lain, entah
bagaimana tahu kalau mereka sudah tiada. Saat itu, tak satupun dari Surya dan
Bulan yang membuka mulut, dan itu adalah tiga puluh menit terpanjang dalam
hidup mereka. Surya memejamkan mata, berusaha mengusir kenangan itu dari benaknya.
Karena setelah itu, kenangan lain yang lebih pahit akan muncul, saat ia
bertemu dengan si penabrak, yang menawarkan sejumlah uang untuk
menebus dosanya. Orang yang sampai kapan pun tak akan bisa Surya lupakan,
yang membuat Surya membenci mereka yang berpikir uang bisa membeli
segalanya. Tanpa sadar, geraham Surya sudah merapat, tangannya pun terkepal keras.
Naik taksi ini mengingatkannya pada banyak hal. Seharusnya, ia tidak menuruti
Cessa dan naik angkutan umum seperti biasa. Sebagai laki-laki, harusnya ia
punya pendirian. "Lo kenapa?" Suara Cessa yang lembut membuyarkan lamunan. Suya menoleh, lalu
mendapati mata bulat Cessa hanya berjarak tiga puluh senti dari matanya.
Surya segera mengalihkan pandangan, dan tepat pada saat itulah, ia melihat
angka pada argo taksi. "Hm?" gumam Surya sambil mencondongkan badan ke depan, takut salah
lihat. Namun, argo itu memang menunjukkan angka yang tidak masuk akal.
Surya lantas mengedarkan pandangan ke sekeliling dan terperangah.
"Kita di mana, nih?"
Mereka memang sedang berada di daerah yang tidak dikenal Surya. Surya
segera menoleh kepada Cessa, tetapi anak perempuan itu mengedikkan bahu,
sepertinya tidak tahu-menahu. Surya mendecak, lalu menghela napas. Sopir
taksi ini rupanya sedang menipu dengan membawa mereka berkeliling.
Surya menepuk pundak sang sopir. "Pak, berhenti di sini."
Cessa melotot, lalu menatap sekeliling. "Di sini?"
Walaupun tampak enggan, sang sopir akhirnya menghentikan taksi di sisi
Danau Sunter. Surya membayarnya dan segera keluar diikuti Cessa yang masih
tampak bingung. "Surya, ini di mana?" tanya Cessa sambil menatap danau yang keruh.
"Rumahmu di dekat sini?"
"Masih jauh." Surya menjawab tak acuh sambil memperhatikan angkot yang
lewat, berusaha membuat rute perjalanan dalam otaknya.
Cessa mengalihkan pandangan dari danau yang berwarna cokelat untuk
menatap Surya. "Masih jauh" Terus kenapa kita berhenti di sini?"
Surya terdiam sebentar, lalu menyetop sabuah angkot. "Gue nggak suka
naik taksi." "Tapi...," Cessa menggigit bibir, teringat janjinya kepada Benji. Namun, Surya
sudah menatapnya tajam dari samping angkot.
"Lo mau naik, nggak?" tanyanya.
Cessa menatap ragu angkot yang sudah penuh karat itu, lalu akhirnya
mengangguk pelan dan masuk ke angkot yang sudah berisi empat orang.
Semuanya segera menatapnya takjub, terpesona oleh segala fitur yang
dimilikinya. Surya duduk di depan Cessa, otaknya sibuk memikirkan angkot apa yang


I For You Karya Orizuka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pusaka Negeri Tayli 13 Pendekar Mabuk 033 Kitab Lorong Zaman Kemelut Di Ujung Ruyung Emas 5
^