Pencarian

Pusaka Negeri Tayli 13

Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id Bagian 13


itu bersembunyi. Kalau dia harus balik kembali untuk
mencari disekeliling tempat itu, tentu akan menunda
rencananya untuk membebaskan puteri Tayli.
"Ah, mungkin mereka telah dibawa olah anak buah
Gedung Hitam," akhirnya ia menarik kesimpulan lain.
Yang jelas Tio Hong Hui tentu sudah mati. Jika demikian
tentulah arah larinya nona itu juga menuju ke Gedung
Hitam. Sekali dayung dua tepian. Pikir Cu Jiang. Dan diapun
harus memenuhi janji dengan Ang Nio Cu untuk bertemu
di Gedung Hitam. Demikian setelah menimang-nimang,
akhirnya ia hentikan pengejarannya dan terus menuju ke
jalan besar yang mencapai ke arah Gedung Hitam.
Menjelang terang tanah dia sudah mencapai seratusan li.
Dia berhenti makan disebuah warung ditepi jalan. Dan dia
melihat tanda rahasia yang ditinggalkan Song Pek Liang.
Setelah makan, cepat2 dia melanjutkan perjalanan lagi.
Dia tak menghiraukan pakaiannya yang berlumur percikan
darah. Sepanjang jalan dia menurutkan tanda2 rahasia yang
ditinggalkan Song Pek Liang. Sebelum tiba di kota Tong-
yang, dia mengambil jalan kecil yang menuju ke kota
Wasan. Pada hari ketiga, tiba2 tanda rahasia itu tak tampak lagi.
Dia heran dan kaget. Apakah dia yang kehilangan jejak
atau memang Song Pek Liang yang mendapat bahaya "
Dia kembali ke tempat tanda rahasia yang terakhir dan
berusaha untuk menyelidiki sekitar tempat itu tetapi
hasilnya nihil. Dia bingung juga. Putusnya tanda rahasia itu hanya
dapat terjadi dalam dua Kemungkinan. Pertama, memang
jejak pemburuan itu hanya sampai ditempat situ. Orang
yang dikejar, berhenti disekitar tempat itu. Hanya letaknya
yang belum diketahui benar2.
Kedua, Song Pek Liang tertimpah bahaya sehingga tak
sempat meninggalkan tanda rahasia. Dan kemungkinan
kedua itu memang besar kemungkinannya. Karena kalau
hanya kehilangan jejak yang dikejar, tentulah Song Pek
Liang masih sempat meninggalkan pertandaan rahasia.
Setelah menimang-nimang, akhirnya Cu Jiang memutuskan untuk menyelidiki sekeliling tempat itu sampai
beberapa li. Jika tak berhasil, barulah dia akan menuju ke
gunung Kengsan. Sejam lamanya dia menyelidiki sampai seluas lima li dari
tempat tanda rahasia itu, tetap dia tak berhasil menemukan
sesuatu. Dia bingung dan kecewa.
Jika kongcu sudah dibawa ke Gedung Hitam untuk
menekan baginda Tayli supaya menebus dengan kitab
pusaka Giok kah-kim keng, itu memang dapat dimaklumi.
Gedung Hitam sudah lama sekali menginginkan kitab itu.
Diam2 Cu Jiang heran mengapa suhunya. Gong-gong-cu
mengijinkan kongcu pesiar ke daerah Tiong-goan padahal
tindakan itu berbahaya sekali bagi keselamatan kongcu.
Tetapi semuanya telah berlangsung. Tak ada lain pilihan
kecuali harus berusaha untuk mendapatkan kongcu
kembali. Jika dia hendak menghadang kawanan anak buah
Gedung Hitam yang membawa kongcu itu, dia harus
merahasiakan diri. Jika tidak, maka musuh tentu dapat mengetahuinya. Ah.
sayang mengapa tempo hari dia tak mau meminta beberapa
kedok muka dari si pencuri sakti Thian-put thau.
Akhirnya ia memutuskan untuk melanjutkan masuk ke
kota kecil disebelah muka. Dia hendak menyaru dan
membeli perlengkapan sebagai seorang pemburu. Mungkin
kalau ia bertindak hati2 musuh tentu sukar mengetahui.
Segera ia lari. Beberapa waktu kemudian tiba2 ia
menemukan pertandaan rahasia lagi dari Song Pek Liang.
Tanda rahasia itu menyatakan bahwa Song Pek Liang telah
dikepung olah jago2 sakti dari pihak Gedung Hitam.
Melihat tanda rahasia itu. jelas Song Pek Liang telah
membuatnya dalam keadaan terburu-buru sekali. Tetapi dia
tak memberi keterangan suatu apa tentang diri kongcu.
Sekarang dia harus menolong Song Pek Liang lebih dulu
baru nanti meminta keterangan tentang beradanya kongcu.
Disebelah depan tampak jalan besar. Terdapat beberapa
rumah petani. Sebelah kanan jalan terbentang tanah ladang
dan disebelah kiri sebuah hutan.
Cu Jiang tujukan langkah ke hutan itu. Kalau tak
berhasil menemukan apa2, barulah dia akan kembali lagi
menyusur jalan besar. Setelah menjelajahi hutan dan tak menemukan apa2, dia
terus hendak keluar lagi. Tiba2 ia melihat diatas tanah bukit
yang tak jauh dari hutan itu seperti tampak berkelebat
beberapa bayangan. Serentak timbullah semangatnya dan
terus saja dia melesat ketempat itu.
Tiba di tepi hutan, terpaksa ia harus menghela napas
panjang. Ternyata bayang2 itu bukan sosok manusia
melainkan batang pohon yang ditancapkan di punggung
bukit. Diatas dahan itu terpancang sehelai baju yang
berkibar2 dihembus angin.
Memandang dengan seksama, dilihatnya batang dahan
itu masih digantungi lagi dengan sebuah peti obat. Sudah
tentu dia terkejut sekali. Bukankah peti obat itu milik Song
Pek Liang ketika dia menyaru menjadi penjual obat tempo
hari " Ah, jelas Song Pek Liang tentu menderita bahaya.
Ia mengeliarkan pandang ke sekeliling dan kejutnya
makin hebat lagi. Tak berada jauh dari dahan itu. sebutir
kepala manusia menggeletak di tanah. Darah Cu Jiang
mendidih seketika. Song Pek Liang telah dibunuh musuh secara mengerikan
sekali. Dia dikubur berdiri sampai sebatas leher sehingga
kepalanya saja yang kelihatan di permukaan tanah.
"Bajingan2 itu harus kuhancur-leburkan semua!" teriak
Cu Jiang. Tetapi sekonyong-konyong terdengar suara bentakan
yang gemuruh. Asalnya diperkirakan seperti di sebelah
kanan bukit itu. Segera dia lari ke tempat itu.
Ternyata dugaannya memang benar. Di tempat itu
sedang berlangsung pertempuran yang seru. Dan yang
bertempur itu tak lain adalah Ang Nio Cu bersama Thian-
put thou. Ang Nio Cu berhadapan dengan seorang lelaki
tua kurus berjubah kuning emas. Ang Nio Cu menggunakan
pedang yang Cu Jiang berikan sebagai tanda perjodohan
kepada Ho Kiong Hwa yang lalu.
Baru pertama kali itu Cu Jiang melihat Ang Nio Cu
bertempur dengan menggunakan senjata. Dan dilihatnya
pula bahwa ilmu-pedang nona itu, mempunyai corak gaya
permainan yang istimewa. Lawannya, lelaki tua berjubah kening emas, juga
menggunakan pedang. Ilmu pedangnya hebat sekali.
Keduanya bertempur dengan seru sehingga sukar dibedakan
satu sama lain. Sedang Thian-put-thou seorang diri menghadapi empat
orang Pengawal Hitam dan seorang lelaki pertengahan
umur yang mengenakan pakaian seperti seorang thaubak
(kepala regu). Keadaan Thian-put-thou memang kurang menguntungkan. Dia hanya mengandalkan kelincahan ilmu
meringankan tubuh untuk menghindari serangan lawan.
Sementara ditanah tampak berserakan tujuh sosok
mayat. Lima diantaranya adalah kawanan Pengawal
Hitam. Jelas rombongan anak buah Gedung Hitam itu
tentulah yang membunuh Song Pek Liang. Mungkin juga
yang membawa kongcu. Cu Jiang tak menduga bahwa Ang Nio Cu dan Thian
put-thou akan muncul disitu dan bertempur dengan musuh.
Maka diapun terus melayang ke gelanggang dan...
Huak. . . huak . .. terdengar beberapa jeritan ngeri yang
menyeramkan dan kedua belah pihak yang bertempur itu
terkejut dan serempak berhenti
Kelima orang yang menjadi lawan Thian-put thou, sudah
ada tiga yang menggeletak, diantaranya yalah lelaki
setengah tua yang berpakaian sebagai thaubak.
"Adik kecil, bagus, engkau datang !" seru pencuri sakti
Thian put-thou. "Adik Jiang !" seru Ang Nio Cu.
"Toan-kiam-Jan-jin !" teriak lelaki tua yang mengenakan
jubah kuning emas dengan wajahnya pun serentak berobah
kaget. Sedang kedua Pengawal Hitam tampak pucat pasi.
Cu Jiang tak mau berkata apa2 terus berputar tubuh,
mencabut pedang dan menyerang. Kedua Pengawal Hitam
itu menjerit dan rubuh. Lalu menyerang lelaki tua berjubah
emas untuk menggantikan Ang Nio Cu.
"Adik Jiang, dia adalah wakil ketua dari Gedung
Hitam." seru Ang Nio Cu.
Lelaki tua berjubah kuning emas itu cepat melesat
melarikan diri. "Hai, mau lari ke mana engkau!" teriak Cu Jiang yang
dengan gunakan gerak Gong-gong-poh-hwat sudah menghadangnya dan terus menghantam.
Rupanya lelaki tua yang menjadi wakil ketua Gedung
Hitam itu sudah tak menghiraukan soal gengsi lagi. Dengan
gerak Keledai malas menggelinding-ke tanah, dan
menyambitkan senjata rahasia kearah Cu Jiang.
Serangan itu benar2 tak pernah di duga Cu Jiang.
Hantamannya tadi bahkan malah membantu lawan untuk
berguling ke tanah dan setelah melepaskan senjata rahasia,
terus menyelinap lenyap kedalam hutan.
Ang Nio Cu dan Thian-put-thou serempak loncat
mengejar. Cu Jiangpun marah dan terus menyerbu kedalam
hutan. Tetapi dalam beberapa kejab itu. ternyata lawan
sudah menghilang. Sesaat mereka bertiga berjumpa dalam
hutan, ketiganya-pun tertawa kecut.
Sambil banting2 kaki, Cu Jiang uring2an:
"Aku harus dapat mengejar orang itu . ."
"Menolong orang lebih penting," Thian-put-thou mencegah. "Mereka telah menculik puteri Tayli .. .. "
"Kutahu," Thian-put-thou mengangguk, "saat ini
mungkin sudah berada di Gedung Hitam ..."
"Mengapa begitu cepat?"
"Setiap pos, mereka berganti kuda, sudah tentu bisa
cepat." "Bagaimana lo-koko tahu?"
"Karena mendengar mereka secara tak sengaja telah
bercakap-cakap membocorkan hal itu."
"Lalu bagaimana tindakan kita ?"
"Kita berunding lagi."
"Kalian berdua mengapa dapat bersama ... "
"Bertemu di tengah jalan."
Cu Jiang berpaling kepada Ang Nio Cu: "Apakah taci
juga mengambil jalan pendek..."
"Ah, kita tolong orang dulu " kata Ang Nio Cu.
Mendengar itu Cu Jiang gelagapan. Ia baru teringat
tentang Song Pek Liang yang dikubur begitu kejam. Entah
dia masih hidup atau sudah mati. Cepat dia melesat dan
mengajak kedua orang itu "Tunggu dulu, tak perlu terburu-buru !" seru Thian-put-
thou. "Lo koko kenapa"!" Cu Jiang hentikan langkah.
"Itu sebuah jebakan, khusus menunggu engkau, maka
jangan gegabah !" "Jebakan ?" "Apakan engkau tak memperhatikan mengapa lawan
sengaja menunjukkan pertandaan itu secara menyolok
sekali. Tak lain hanya untuk memikat engkau. Untung
belum menolongnya, kalau tidak engkau tentu sudah
hancur lebur!" Mendengar itu berdetaklah hati Cu Jiang. "Apakah
mereka memasang obat peledak?" tanyanya.
"Ya !" "Keparat !" "Mari kita ke sana."
"Apakah Song Pek Liang masih hidup!"
"Mungkin belum mati."
Ketiga orang itu menuju ke tepi hutan dibawah bukit.
Memandang kepada kepala Song Pek Liang yang menonjol
di atas tanah, dada Cu Jiang serasa meledak.
Thian put-thou garuk2 telinga dan mukanya dan
bersungut-sungut. "Harus mencari akal untuk menghilangkan obat peledak itu."
"Bagaimana caranya ?" tanya Cu Jiang.
"Jika salah menyentuh bahan itu, akibatnya sukar
dilukiskan. Yang menjadi kesulitan, kita tak mengetahui
dimana letak mereka memendam obat pasang itu."
"Oh, tentu tak jauh dari tempat orang yang dikubur itu.
Mereka tentu memperhitungkan, begitu adik Jiang melihat
kawannya dikubur hidup-hidupan tentu akan buru2
menolongnya. Begitu mengejar kesitu, tentu segera akan
meledak," tiba2 Ang Nio Cu menyelutuk.
Thian-put-thou kerutkan alisnya yang putih: "Sayang
orang yang dikubur itu jalan darahnya telah ditutuk


Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sehingga tak dapat bicara. Kalau tidak, dia tentu dapat
memberi tahu." "Apakah dia masih dapat ditolong ?" tanya Cu Jiang
harap2 cemas. "Tentu saja masih, asal dapat menyingkirkan bahan
peledak itu." "Aneh, mengapa musuh dapat mengetahui diri saudara
Song . . . . " "Kudengar semua itu hasil tindakan mereka untuk
menekan si puteri manis itu sehingga rombongan pengawal
dari Tayli dan bahkan dirimu telah diketahui semua oleh
musuh." Cu Jiang tertawa hambar. "Tak apa, kita dapat membuat serangan secara terang-
terangan," serunya. "Tetapi engkau tentu tak sampai berpikir, bahwa apabila
peristiwa itu tersiar keluar, tentu akan menimbulkan banyak
kesulitan kepada kerajaan Tayli."
"Tetapi tiada lain jalan lagi. Setelah dapat membebaskan
kongcu, aku segera hendak mengantarkannya kembali ke
Tayli." "Itu memang benar."
"Sekarang apa daya kita untuk menolong Song Pak
Liang ?" gumam Cu Jiang dan ketika memandang kearah
Song Pek Liang, dilihatnya mata pengawal dari Tayli itu
sudah mengatup rapat. Cu Jiang serentak berseru
meneriaki: "Saudara Pek Liang!"
Rupanya pendengaran Song Pek Liang masih belum
hilang. Dia membuka mata. Sudah tentu Cu Jiang gembira
sekali karena hal itu menandakan bahwa dia masih hidup.
Bibir Song Pak Liang bergerak-gerak seperti hendak omong
tetapi tak dapat mengeluarkan suara.
Tiba2 Cu Jiang mendapat akal, serunya gembira: "Aku
menemukan akal!" Ang Nio Cu dan Thian-put-thou serempak lompat
menghampiri: "Bagaimana ?"
"Pandangan Pek Liang masih belum beku," kata Cu
Jiang. "hanya tak dapat berkata, dia menggunakan kerling
mata untuk menyampaikan maksud hatinya . . ."
"Saudara Pak Liang, apakah engkau dapat mendengar
omonganku " Jika dapat, harap engkau kicupkan mata !"
seru Cu Jiang. Eh, ternyata Pek Liang mengicupkan mata. Sudah tentu
Cu Jiang bertiga gembira sekali.
"Saudara Peh Liang, aku hendak bertanya. Jika engkau
mengiakan, tolong kicupkan mata. Apakah jalan darahmu
tertutuk?" seru Cu Jiang.
Pek Liang kicupkan mata. "Engkau terluka ?"
Kembali Pek Liang kicupkan mata.
Cu Jiang mengangguk lalu bertanya pula.
"Apakah mereka memasang obat peledak disamping
tempatmu?" Lagi2 Pek Liang kicupkan mata.
"Sekarang kami hendak mencari tempat obat peledak itu.
Apakah obat itu berada dalam lingkungan satu meter di
sekelilingmu ?" Pek Liang diam saja. "Dua meter ?" Tetap diam. "Tiga meter " ... Empat ... Lima meter " Satu tombak ?"
Namun Pek Liang tak memberi reaksi apa2.
"Apakah berada pada tubuhmu ?" akhirnya Cu Jiang
mendesak. Pek Liang mengangguk. Cu Jiang berpaling kepada Thian put thou tanyanya:
"Lo-koko, obat itu ada pada tubuhnya, bagaimana ?"
"Hanya dengan cara perlahan-lahan kita menggali untuk
mengeluarkan tubuhnya tetapi hal itu memang mengandung bahaya besar. Salah-salah obat meledak dan
tubuh hancur berkeping2."
Sejenak merenung Cu Jiang bertanya lagi:
"Saudara Pek Liang, kami hendak menyingkirkan obat
peledak itu. Lalu dari mana kita harus mulai bertindak"
Dari muka ?" "Dari belakang ?"
"Dari sebelah kiri ?"
Setelah berulang kali diam, akhirnya Pek Liang kicupkan
mata, menyatakan bahwa penggalian itu harus dilakukan
dari sebelah kiri. Cu Jiang segera minta Thian-put-thou dan Ang Nio Cu
supaya mundur karena ia hendak bertindak.
"Tidak," sahut Thian-put thou."seharusnya aku yang
turun tangan." "Tetapi lo-koko mengapa hendak menempuh bahaya."
"Adik kecil, tugasmu yang penting belum selesai. Musuh
besarmu belum dibalas dan engkau masih muda belia. Hari
depanmu masih gemilang. Sedangkan aku sudah seperti
pohon tua yang mendekati lapuk. Kalau harus mati itu
sudah wajar, tak ada yang perlu disalahkan. Tetapi itupun
hanya suatu kemungkinan karena belum tentu aku mati."
"Tidak, lo-koko ! Ini urusanku ..."
"Urusanmu apakah bukan urusanku Juga ?"
Cu Jiang tergerak hatinya. Ia terbaru mendengar
pernyataan lo-koko atau engkohnya yang tua itu.
"Lo koko, kecintaanmu terhadap diriku, sampai mati
pun takkan kulupakan. Tetapi dalam urusan ini, biarlah aku
saja yang turun tangan, harap kalian mundur . .. . "
"Tidak!" wajah Thian-put-thou berobah sarat, "bagaimanapun aku takkan menurut perintahmu !"
"Jika demikian biarlah aku saja agar kalian tidak saling
berebut." tiba2 Ang Nio Cu menyeletuk.
"Tidak layak !" seru Cu Jiang terkesiap.
"Mengapa ?" "Bagaimanapun alasan taci. tetapi engkau tak boleh
menerjang bahaya itu. Dan lagi penerus dari perguruan Hiat
ing bun terletak pada diri taci...."
"Seorang ksatrya rela mati untuk orang yang akrab
hubungannya dengan dia. Tak perlu harus memikirkan
segala alasan itu. Dan terus terang, aku sudah jemu dengan
kehidupan ini. Kalau bisa melakukan sesuatu yang
membahagiakan orang, hatiku sangat gembira . . ."
"Taci ..." "Adik Jiang, tetapi ini bukan perjalanan menuju ke
kematian!" kata Ang Nio Cu.
Tetapi Cu Jiang tak mau berbantah lagi. Sekonyong-
konyong tubuhnya melayang ke samping Song Pek Liang.
Sudah tentu Ang Nio Cu dan Thian-put-thou terkejut sekali
namun sudah tak keburu untuk mencegah.
"Hati-hati!" mereka hanya dapat memberi peringatan.
"Ya, tahu. Harap kalian beristirahat ke dalam hutan."
sahut Cu Jiang. Tampak wajah Song Pek Liang merah padam. Karena
tubuh tertanam di tanah, darah tak dapat mengalir lancar
sehingga terhenti di muka. Apabila tak lekas ditolong tentu
mati. DI samping itu rupanya Song Pek Liang tak
menghendaki Cu Jiang bertindak begitu. Sedikit kurang
hati2, tentu akan menyentuh obat pasang dan keduanya
temu akan hancur lebur. "Song-heng, jangan cemas, aku akan bertindak dengan
hati2." seru Cu Jiang lalu mencabut pedang kutung dan
mulai menggali. Diam2 sebenarnya hati Cu Jiang juga kebal
kebit. Dia tahu bahwa saat itu sedang menghadapi maut. Tak
berapa lama pakaiannyapun basah kuyup dengan keringat.
Napas memburu keras. Ang Nio Cu dan Thian-put-thou yang berada di hutan
juga tak kurang tegangnya.
Pelahan-lahan sudah tampak bahu dan rusuk kiri dari
Song Pek Liang. Cu Jiang berhenti menggali.
"Song heng, di mana obat itu letaknya " Dibawah
pinggangmu " "Kaki " Paha " . . . . Pantat.. ?"
Tetapi Song Pek Liang tetap pejamkan mata tak
menyahut. Sudah tentu Cu Jiang gugup. Terang kalau Song
Pek Liang itu pingsan. Cepat ia lanjutkan penggaliannya
dengan hati2. Akhirnya sampai ke perut.
Tiba2 ia mendapat pikiran. Ia hentikan penggalian lagi.
Pikirnya, ia hendak membuka Jalan darah Song Pek Liang
yang tertutuk itu agar dapat ditanya keterangan. Ia segera
meraba-raba tubuh Song Pek Liang tetapi tak berhasil
menamakan bagian yang tertutuk. Ia menyadari bahwa
musuh mempunyai ilmu tutuk yang istimewa. Terpaksa ia
hentikan usahanya. Saat itu ia mulai menggali lagi dan ketegangannyapun
makin memuncak. Mati atau hidup hanya tergantung dari
detik2 yang menentukan. "Adik kecil, bagaimana, keadaannya ?" teriak Thian-put-
thou. "Dia pingsan," Cu Jiang membesut keringat.
"Engkau menemukan apa saja?"
"Tidak menemukan apa2."
"Peti obat atau barang sejenis itu ?"
"Tidak!" "Engkau turun kemari, biar aku yang mengganti. Aku
lebih ahli dalam soal itu ...."
"Tidak !" Cu Jiang menolak.
Thian-put-thou dan Ang Nio Cu serempak ayunkan
tubuh melayang ke tempat Cu Jiang.
"Apa maksud kalian " Apakah hendak bersama-sama
mati?" tegur Cu Jiang dengan tegang.
"Engkau dan Ang Nio Cu cepat menyingkir, aku yang
menyelesaikannya !" kata Thian-put-thou dengan serius.
"Tidak !" Sekonyong-konyong dari gunduk atas bukit itu terdengar
suara tertawa dingin. Ketiga orang itu terkejut. Memandang
kearah suara tawa itu, tampak wakil ketua Gedung Hitam
sedang tegak berdiri dengan mencekal seutas tali.
Cu Jiang mendengus geram. Pada saat dia hendak
bergerak tiba2 wakil ketua Gedung Hitam Itu membentak:
"Jangan bergerak!"
"Apa engkau hendak mengantar Jiwa?" teriak Cu Jiang
marah. Wakil ketua Gedung Hitam itu tertawa mengekeh seraya
menggerak-gerakkan tali, serunya:
"Tali ini bersambung dengan sumbu obat peledak. Sekali
kutarik, kalian bertiga tentu hancur lebar!"
Cu Jiang bertiga menelan ludah. Jarak wakil ketua
Gedung Hitam dengan tempat mereka terpisah dua puluhan
tombak. Betapapun hebat ilmu ginkang seseorang, tetapi
tetap masih kalah cepat dengan gerakan menarik tali itu.
Cu Jiang rasakan dadanya seperti meledak. Dengan ilmu
langkah Gong gong-poh mungkin dia masih dapat terhindar
dari bahaya kehancuran. Tetapi Ang Nio Cu dan Thian put-
thou tentu hancur. Tak ada lain daya dari ketiga orang itu kecuali saling
bertukar pandang. "Li Ing Bo, apa maksudmu" " teriak Thian-put-thou.
Ternyata wakil ketua itu bernama Li Ing Bo. Dia
membalas dengan tawa gelak2, serunya:
"Kalian bertiga hendak kuantar naik ke akhirat!"
"Adik kecil, dengan kepandaianmu, mungkin engkau
dapat menghindar dan tempat ini . . . ," bisik Thian put
thou. "Lo koko menganggap aku ini orang apa?" Cu Jiang
memberingas. "Bukan begitu maksudku," kata Thian put thou, " perlu
apa kita bertiga harus mati" Bukankah masih ada seorang
yang kelak dapat membalaskan dendam darah ini?"
"Aku tak mau!" "Adik kecil, saat ini bukan saat main keras kerasan
kepala . . . . "Tidak! Kecuali kita bertiga sama2 ke luar!"
"Tak mungkin!" "Taci tentu dapat keluar juga," kata Cu Jiang kepada
Ang Nio Cu. "Hm, apakah lo kokomu ini juga tak mampu ?" dengus
Ang Nio Cu "Kalau kita bergerak keluar dan lingkungan tempat ini,
mungkin dapat selamat. Tetapi bagaimana dengan jiwa
saudara Pek Liang..."
"Kecuali menemaninya mati, memang sudah tak ada lain
jalan lagi." kata Ang Nio Cu.
"Kalian hendak memberi pesan terakhir apa saja ?" seru
Li Ing Bo dengan keras. "Orang she Li," teriak Cu Jiang dengan keras, "kalau aku
tak mati, kelak tentu akan kuratakan Gedung Hitam dan
takkan kutinggalkan seorangpun bahkan anjing dan ayam
pun akan kubunuh semua !"
"Heh, heh, heh, sayang engkau sudah mati dulu !"
Cu Jiang kebingungan faham. Tiba2 Thian put-thou
berkata dengan segera. "Kita tak boleh menunggu kematian
dengan cara begini. Harus lekas mengambil putusan !"
Tiba2 saat itu sesosok bayangan muncul disamping Li
Ing Bo. Hai jelas si Jelita Ki Ing, puteri dari Tay hiap-tiong-
goan Cukat Giok yang belum tahu asal usul dirinya dan
mengira kalau ketua Gedung Hitam itu ayahnya.
"Susiok, berikan tali itu kepadaku !" tiba2 si Jelita berkata
kepada Li Ing Bo. Dengan menyebut Li Ing Bo sebagai
susiok atau paman guru, mungkin Li Ing Bo ini juga adalah


Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seorang murid dari Sam Bok thian cun.
"Budak, lekas engkau menyingkir !" bentak Li Ing Bo.
"Tidak, aku hendak membalas dendam mamaku."
"Apakah kalau aku bukankah sama saja..."
"Aku hendak menghancurkan Toan-kiam-jan-jin dengan
tanganku sendiri ..."
Merah mata Cu Jiang mendengar itu. Tak tahu dia
bagaimana caranya untuk memberi penjelasan kepada nona
itu. Jika benar2 nona itu turun tangan, ah, akibatnya tentu
mengerikan. "Nona Ki Ing engkau bukan . . . ."
"Tutup mulutmu Toan kiam-Jan Jin ! Rasanya tak puas
hatiku kalau tak menghancurkan engkau dengan tanganku
sendiri !" Mendengar itu akhirnya mau juga Li Ing Bo memberikan
tali kepada Ki Ing. "Sayang tali itu terpendam dibawah tanah. Jika tidak
begitu, kita dapat memutuskannya," bisik Ang Nio Cu.
"Budak, mengapa tak lekas engkau tarik tali itu !" seru Li
Ing Bo. Cu Jiang terkejut dan serentak dia hendak berteriak lagi
memberi penjelasan kepada Ki Ing. Tetapi sekonyong-
konyong nona itu lemparkan tali dan berseru gopoh: "Lekas
kalian lari !" Sudah tentu Cu Jiang bertiga terlongong-longong
menyaksikan perbuatan yang tak terduga-duga itu. Adalah
Cu Jiang yang lebih dulu menyadari hal itu. Serentak dia
ayunkan tubuhnya seraya meneriaki kedua kawannya :
"Lekas lari !" Sesaat ketiga orang itu melesat pergi terdengarlah suara
orang menguak yang mengerikan sekali. Kemudian disusul
dengan ledakan yang dahsyat. Tanah dan keping2 batu
muncrat berhamburan ke udara.
Bahan peledak itu telah meledak.
Sebenarnya Cu Jiang terus hendak enjot tubuh ke tempat
Li Ing Bo tetapi ledakan Itu telah membuatnya tertegun di
tempat. Sebuah pemandangan yang mengerikan serentak
menusuk hatinya. Ki Ing mati dan Pek Liangpun hancur lebur. Tetapi pada
lain saat. Cu Jiang dapat melepaskan pikirannya dari
peristiwa itu dan cepat melambung ke atas bukit. Dia
hendak menghancurkan Li Ing Bo.
Tetapi wakil ketua dari Gedung Hitam itu sudah lenyap.
Yang tampak hanya si Jelita Ki Ing, menggeletak di tanah,
mata dan hidungnya mengucurkan darah.
Cu Jiang cepat lari menghampiri. Dilihatnya wajah nona
itu pucat seperti kertas, sinar matanya redup dan layu.
Tetapi napasnya belum putus. Jelita itu memandang Cu
Jiang, dari sudut bibirnya merekah senyum.
"Nona Beng Cu, Jangan kuatir, engkau tentu tertolong !"
"Apakah masih dapat ditolong ?" seru Thian-put thou
gugup. Ang Nio Cu memeriksa seluruh jalan darah tubuh nona
itu. Lama baru dia berkata dengan nada tegang: "Dia
menderita luka-dalam yang parah sekali, tetapi denyut
jantungnya masih baik, Dia terkena pukulan ganas yang
istimewa. Aku tak dapat menolongnya."
"Dia telah menyelamatkan kita bertiga, tidak bisa
membiarkan dia mati begitu saja!" seru Cu Jiang.
Thian-put-thou mengeluarkan beberapa butir pil dan
diberikan kepada Ang Nio Cu: "Untuk mempertahankan
jiwanya, baru nanti kita berusaha untuk mengobati."
Ang Nio Cu pun lalu menyusupkan pil itu ke dalam
mulut Ki Ing. "Ah, kenapa dia harus bertindak begitu ?" Thian-put-thou
menghela napas. "Mungkin tak dapat melupakan rasa asmaranya terhadap
adik Jiang." kata Ang Nio Cu.
Cu Jiang tertegun, memandangnya. Kemudian menengadah memandang kearah bukit, Ditempat Song Pek
Liang dikubur hidup hidup tadi, terbukalah sebuah lubang
seluas dua tiga tombak. Sedih hati Cu Jiang sehingga ia menitikkan airmata.
Diantara empat pengawal dari Tayli yang diperintah Gong-
gong-cu untuk mengikutinya ke Tionggoan, dua orang yaitu
Ong Kian dan Song Pak Liang telah mati. Bahkan kematian
Song Pek Liang itu sangat mengerikan.
Cu Jiang serentak melesat ke tempat bekas ledakan itu
tetapi tubuh Song Pek Liang sudah hancur lebur tak dapat
dikumpulkan lagi. Setelah berdoa memanjatkan arwah
Song Pek Liang agar mendapat tempat yang layak di
nirwana, Cu Jiang kembali ke tempat Ki Ing.
"Adik Jiang, satu-satunya yang dapat menolong nona ini
ialah Kui jiu-sin-Jin di gunung Busan."
Cu Jiang mengangguk. "Kecuali engkau sendiri, lain orang tak mungkin
diijinkan masuk ke lembah Mo jin-koh," kata Ang Nio Cu
pula. "Baik, akulah yang akan kesana."
"Benar, memang kecuali engkau tak ada lain orang yang
mampu melindungi nona itu. Dia harus beristirahat. Kalau
sampai terganggu dan menderita goncangan hati, dia tentu
binasa. Aku akan menemanimu kesana," kata Thian put-
thou. Kepada Ang Nio Cu, Cu Jiang mengatakan bahwa
apabila membawa Ki Ing ke Bu-san, perjalanan ke Keng san
tentu tertunda. "Sudah tentu menolong jiwa orang lebih penting."
sambut Ang Nio Cu. "Perjalanan ke Bu-san ini paling tidak tentu memakan
waktu setengah bulan. ai..."
"Aku ikut dan Ciok cianpwe tak perlu capek2 kesana."
"Celaka!" teriak Thian-put-thou, "kalau nganggur aku
tentu angot penyakitku, Lebih baik aku saja yang menemani
adik kecil ke sana !"
"Dia seorang gadis, kalian kaum lelaki bagaimana akan
merawatnya di sepanjang jalan nanti ?"
-oo0dw0oo- Jilid 22 Thian-put-thou terbeliak. Dia benar2 terpojok. Memang,
bagaimana mungkin kalau dua orang lelaki harus merawat
seorang gadis dalam perjalanan nanti.
"Lo-koko, terpaksa engkau yang tidak ikut !" Cu Jiang
tertawa. Thian-put-thou garuk2 kepalanya: "Ang Nio Cu tak
dapat menunjukkan diri secara terang-terangan. Dan
engkau, adik kecil, musuhmu tersebar dimana-mana. Boleh
dikata setiap jalanan engkau selalu terancam bahaya. Kalau
aku si tua ini ikut dalam perjalanan, tentu dapat diajak
berunding apabila menghadapi sesuatu bahaya !"
"Ya." akhirnya Cu Jiang menghela napas,"kalau begitu
kita harus pergi bertiga saja."
"Itulah yang tepat," Thian put-thou tertawa, "aku akan
menyewa kereta dulu baru nanti kita berangkat."
Dia terus lari turun. Ang Nio Cu segera mengangkat KI
Ing dibawa masuk ke hutan untuk menunggu kereta.
Sedang Cu Jiang masih tetap berjaga diatas gunduk tanah
untuk mengawasi apabila pihak Gedung Hitam hendak
melakukan serangan. Sejam kemudian Thian-put thou kembali dan membawa
mereka turun bukit. Ternyata dia sudah mempersiapkan
kereta Ang Nio Cu dan Ki Ing disuruh masuk, sedang Cu
Jiang dan Thian put-thou menyaru sebagai ayah dan anak
yang mengantar kereta. Karena naik kereta mereka terpaksa harus mengambil
jalan ke kota Hu-yang baru kemudian menuju ke barat.
Pada hari kedua menjelang petang, Poan toanio, Ki Sian
Hong dan Ko Kun muncul menyambut. Cu Jiang
menceritakan semua peristiwa yang telah terjadi. Ketiga
orang itu mengucurkan airmata mendengar nasib yang
diderita Song Pek Liang. Akhirnya diputuskan, Poan toanio bertiga supaya
menunggu dan bersembunyi sampai nanti Cu Jiang sudah
kembali dari Busan baru bergerak lagi untuk menolong
kongcu. Sebenarnya Cu Jiang memang cemas akan keselamatan
puteri Tayli itu, tetapi karena mengingat jiwa Ki Ing itu
perlu diselamatkan, terpaksa ia harus menunda dulu
rencananya untuk menggempur Gedung Hitam.
Mereka berpisah. Cu Jiang dan rombongannya
melanjutkan perjalanan lagi. Sepanjang perjalanan tak
terjadi suatu apa. Setelah tiba di Kui-ciu, mereka naik perahu dan setelah
tiba di daerah gunung, mereka menempuh perjalanan lagi
dengan jalan kaki. Selama perjalanan itu, Ang Nio Cu yang
bertugas merawat Ki Ing. Waktu mendaki gunung merekapun tak mengalami
kesukaran apa2. Dan kurang menggembirakan luka Ki Ing
atau namanya yang aseli Cukat Beng Cu, tak berobah
memburuk tetapi tetap begitu saja.
Keadaan di lembah Mo-Jin kok tetap seperti dulu.
Mereka berhenti di mulut lembah dan Cu Jiang lantas
berseru mohon menghadap pemilik lembah.
Tak berapa lama putera dari Kui-Jin sin-jin yakni Bun
Cong Beng keluar. Cu Jiang segera mengatakan maksud
kedatangannya. Sambil menjabat tangan Cu Jiang. Cong Beng berkata:
"Cu-heng, engkau tentu sudah tahu bagaimana perangai
ayahku yang aneh itu. Dia tak mau bertemu dengan
manusia, apalagi diminta mengobati seorang anak
perempuan. Tetapi karena yang minta Cu-heng, rasanya
tentu lain. Harap tunggu sebentar, aku hendak memberi
laporan kepada ayah."
"Sebenarnya memang berat rasa hatiku untuk mengganggu ayahmu tetapi apa boleh buat. Soal ini
memang penting sekali, harap Bun-heng dapat membantu."
"Ah. tentu," kata Cong Bang. "lalu bagaimana tentang
permintaan ayah tempo hari ...."
"Ah. syukur aku dapat melaksanakannya." kata Cu
Jiang. Setelah ia teringat akan peristiwa ketua Hoa-gwat-
bun Tiam Su Nio. Seperminum teh lamanya, Kui-jiu-sin-jin dan anaknya
keluar. Cu Jiang dan kawan-kawannya Bergegas menghaturkan hormat.. Memandang ke arah Thian-put-thou dan Ang Nio Cu,
Kui jiu sin jin berkata: "Karena urusanmu, aku tak dapat
mengatakan apa2 lagi."
Cu Jiang menjura dan menghaturkan terima kasih.
Kemudian memandang kepada Ki Ing, tabib sakti itu segera
suruh membawanya masuk. Ang Nio Cu meletakkan Ki Ing
di muka Kui-jiu-sin-jin. Kui jiu sin jin berjongkok dan memeriksa beberapa jenak
lalu berbangkit lagi, ujarnya:
"Telat setengah hari, tak mungkin ditolong!"
"Tolong tanya, lo cianpwe, dia terkena ilmu pukulan
apa?" "Coat bun ciang!"
"Coat ban ciang?" Cu Jiang mengulang.
"Ya. Ilmu pukulan itu amat beracun sekali. Khusus
untuk melukai urat2. Apabila terkena tiada dapat tertolong.
Beruntung aku masih dapat menolongnya."
"Mohon locianpwe suka menolongnya."
"Perlu beristirahat selama sepuluh hari baru dapat
sembuh." "Ini ...." "Dia seorang gadis, jika tinggal di dalam lembah, kurang
leluasa. Tetapi kalau tinggal di luar lembah dikuatirkan
terjadi hal2 yang tak diinginkan . . ."
"Apakah locianpwe mengijinkan kalau taciku ini
menyertainya tinggal dalam lembah?" tanya Cu Jiang.
Kui jiu sinjin kerutkan dahi, akhirnya dengan suara sarat
ia mengiakan. "Taci," berseru Cu Jiang kepada Ang Nio Cu, "apakah
taci tak keberatan?"
"Tidak." "Terimalah lebih dulu terima kasihku."
"Jangan berlebih-lebihan adik Cu." seru Ang Nio Cu.
"Cu-heng, mari kita masuk dan bercakap-cakap sambil
minum hidangan teh." kata Cong Heng.
"Maaf, Bun-heng, mungkin aku tak dapat memenuhi
permintaanmu." "Kenapa" Apakah Cu-heng tak mau masuk ke dalam
lembah?" "Aku masih mempunyai urusan penting yang belum
selesai. Selama sepuluh hari ini, biarlah kugunakan untuk
menyelesaikan hal itu."
"Urusan apa saja?"
"Aku hendak menuju ke markas besar perkumpulan
Thong thian kau di Pek teshia."
"Seorang diri?"
"Ya." "Tentu harus pergi?"
"Karena melakukan perintah suhu. Kalau tak lekas
dilaksanakan dikuatirkan akan timbul perobahan2 yang tak
diinginkan." "Ah, kalau begitu sungguh sayang sekali."


Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Maaf, biarlah lain kali saja aku pasti akan menemani
Bun heng." Setelah itu, Ang Nio Cu mengutarakan juga kekuatirannya tentang rencana Cu Jiang yang hendak
menuju ke markas besar Thong thian kau seorang diri.
"Menetapi kewajiban sebagai seorang ksatrya, tiada lain
jalan kecuali harus melaksanakan apa yang telah
disanggupkan." "Sepuluh hari kemudian, dimana kita akan bertemu?"
tanya Ang Nio Cu. "Bagaimana kalau di gunung Keng-san?" kata Cu Jiang.
"Thong thian kau merupakan sarang dari Iblis2 yang
ganas, apakah engkau .... tidak berbahaya seorang diri ke
sana?" "Jangan kuatir, taci, aku dapat menjaga diri dengan
hati2." "Jika memang begitu, baiklah, silahkan engkau
berangkat." akhirnya Ang Nio Cu melepas.
Tiba2 Kui jiu sinjin mau memberi nasehat kepada Cu
Jiang: "Nak, dunia persilatan itu penuh dengan Iblis yang jahat.
Hanya dengan mengandalkan kepandaian saja tak cukup.
Yang penting engkau harus berhati-hati dan waspada."
Cu Jiang menyatakan terima kasih sekali atas kebaikan
manusia aneh itu. "Silahkan berangkat, dan jangan kuatir, aku akan
berusaha untuk menolong nona itu, " kata Kui jiu-sin-jin.
Kemudian manusia aneh itu berpaling kearah Thian put
thou, serunya: "Apakah engkau suka menjadi tetamu dari
lembah ini?" Thian put thou tertawa gelak2, serunya: "Sudah tentu
aku senang sekali tetapi maaf, aku terpaksa harus
menemani adik kecil itu agar setiap waktu yang diperlukan
dapat memberi bantuan."
"Jika begitu, sampai jumpa dan selamat jalan." habis
berkata Kui jiu sin jin terus masuk ke dalam lembah. Ang
Nio Cu menggendong Ki Ing mengikuti masuk. Demikian
pula Bun Cong Beng. "Lo koko, apakah engkau hendak menemani aku?" tegur
Cu Jiang kepada Thian put thou.
"Jika engkau menolak, kita mengambil jalan sendiri-2
saja." "Ah, tidak, bukan begitu maksudku."
Begitulah keduanya segera menuruni gunung. Disepanjang jalan, mereka tak banyak bicara. Cu Jiang
terkenang akan semua peristiwa yang dialaminya di gunung
Bu-san dahulu. Diam2 ia menghela napas.
Thian-put thoa deliki mata: "Adik kecil jarang sekali
kudengar engkau menghela napas !"
Cu Jiang tertawa tawar: "Kata orang, dunia persilatan itu
merupakan laut bahaya. Setiap hari gelombang bahaya itu
bergolak dalam dua belas jam."
Thian-put thou gelengkan kepala. "Adik kecil, mengapa
tiba2 engkau menjadi dewasa ?"
"Hanya merasakan kesan2 selama ini saja."
"Benar, adik kecil. Ang Nio Cu yang begitu ngotot
hendak memperjodohkan engkau, tak terduga dia sendiri
jatuh cinta..." "Lo-koko tahu hal itu?"
"Ang Nio Cu sendiri yang mengatakan kepadaku."
"Hah !" "Adik kecil, apakah sampai sekarang engkau belum
pernah melihat wajah yang sebenarnya dari Ang Nio Cu ?"
"Belum." "Dia sangat memperhatikan sekali kepadamu. Ada
kalanya sampai berlebih-lebihan."
"Berlebih-lebihan ?"
"Ya. Orang yang diluar persoalan, tentu dapat melihat
jelas. Pada waktu aku seperjalanan dengan dia, paling
sedikit dia tentu menyebut namamu sampai sepuluh kali
dengan nada yang mesra. Sebagai sosok wanita yang
dianggap momok aneh oleh kaum persilatan, itulah dia
seorang wanita yang mengerikan. Tetapi tiap saat dia
menyebut namamu, sering terlepas kata2 keluhan yang
bernada pernyataan hatinya kepadamu. Sudah tentu hal itu
tak luput dari pengawasanku."
"Bagaimana menurut pengawasan lo-koko?"
"Dia sangat cinta kepadamu."
"Ah, benar2 suatu hal yang mengherankan. Mungkin
usianya terpaut lebih dari separoh umurku."
"Sukar di kata. Asmara itu memang ajaib. Kadang
memang sukar diukur dengan nalar biasa."
"Dalam kata-katanya dia pernah kelepasan omong," kata
Thian-put-thou pula. "Soal apa ?" "Dia menyatakan bahwa tiga kali dalam penitisan
perjodohan itu telah ditentukan, siapa tahu ternyata sampai
sekarang tetap hampa . ."
"Apakah dia bukan maksudkan Ho Kiong Hwa ?"
"Mungkin begitu tetapi mungkin bukan begitu. Karena
waktu mengatakan begitu dia hanya seorang diri, dan aku
secara kebetulan saja mendengarnya."
Cu Jiang mengangguk: "Biarlah begitu. Tetapi aku hanya
mempunyai perasaan menghormat jenasah orang tuaku."
Saat itu mereka sudah tiba dibawah bukit dan mendengar
suara orang bercakap-cakap.
"Peraturan perguruan tak boleh dirusak !"
Kemudian terdengar suara seorang wanita yang bernada
rawan: "Congkoan, karena urusan sudah begini, muridpun
taat pada perintah..."
Cu Jiang dan Thian put thou terkesiap. Setelah sejenak
bertukar pandang, keduanya pun segera menuju ke tempat
suara itu. Tampak ditengah hutan lebat, seorang dara yang cantik
tengah berlutut di tanah. Disamping tegak seorang pemuda
yang cakap dengan wajah membesi.
Tak berapa jauh dari tempat dara baju hijau itu. Juga
terdapat seorang dara yang dandanannya mirip seorang
puteri, mukanya memakai kain cadar.
Cu Jiang makin terkejut, Ia seperti kenal dengan mereka.
Agaknya dara2 dari istana Sie-li-kiong, Melihat kearah dara
baju hijau yang sedang berlutut itu. Cu Jiang segera makin
yakin bahwa dugaannya itu memang benar.
Dara itu tak lain adalah dara yang pernah diperintah Bu
san Sin-li untuk memikatnya masuk ke dalam istana Sin-li
kiong tempo hari. Apakah yang telah terjadi ditempat itu. Siapakah
pemuda pelajar yang cakap itu "
"Geng Siu Yin," seru dara istana itu, "karena engkau
telah berhianat melanggar peraturan perguruan, walaupun
aku kasihan kepadamu tetapi aku tak dapat berbuat apa2
lagi." Dara baju hijau yang disebut dengan nama Ceng Siu Yin
Itu. mengertek gigi lalu berseru:
"Congkoan, murid hendak mengajukan sebuah permohonan terakhir.. ."
"Apa ?" "Harap lepaskan dia !"
"Tidak bisa ! Tidak seharusnya engkau membawanya ke
atas gunung sehingga membocorkan rahasia perguruan
kita." "Congkoan, murid bersumpah bahwa dia tak tahu apa2."
"Yin-moay," tiba2 pemuda pelajar itu berteriak, "tak
perlu engkau mintakan ampun jiwaku. Jika engkau mati
akupun tak ingin hidup lagi !"
Cu Jiang dapat menduga tentang peristiwa itu. Tentulah
dara yang bersama Ceng Siu Yin itu telah diutus turun
gunung untuk melakukan sebuah tugas.
Dia berkenalan dengan pemuda itu. Tetapi menurut
peraturan istana Sin-li-kiong, setiap murid yang turun
gunung, lebih dulu harus minum pil beracun. Jika tidak
pulang pada waktunya, racun itu akan bekerja dan matilah
dia. Cu Jiang tahu hal itu atas keterangan Tang Yin dulu.
Dia lalu membawa kekasihnya naik gunung, jelas Siu
Yin telah melanggar peraturan Istana.
Dia harus menerima hukuman yang berat. Tetapi dia
merasa tergerak hatinya melihat tekad dari sepasang muda-
mudi yang telah memadu kasih itu.
Sejenak memandang kearah pemuda pelajar itu, kembali
dara istana itu berkata. "Siu Yin, bagaimana dengan hasil tugasmu untuk
melakukan penyelidikan itu ?"
"Toan-kiam-jan-jin tidak membawa pergi Tang Yin Yin."
sahut Siu Yin. Cu Jiang terkejut. Ternyata Siu Yin turun gunung itu
karena diperintah untuk menyelidiki jejaknya. Diam2 ia
menghela napas. Ternyata tindakannya untuk menolong
Yin Yin, menghapus racun dengan mustika Thian-ju cu
sehingga Yin Yin dapat lolos dari istana Sin-li-kiong, belum
diketahui oleh pihak Sin li kiong.
"Apakah engkau dapat menemukan mayatnya ?" tanya
dara istana itu pula. "Tidak." "Lalu bagaimana engkau dapat memastikan bahwa dia
tak dibawa pergi Toan-kiam-janjin ?"
"Karena selama kuselidiki, Toan-kiam-Jan-jin itu
kemana-mana hanya seorang diri saja."
"Adakan kemungkinan dia tak menyembunyikan Yin
Yin ?" "Murid telah menyelidiki ke desa tempat kelahiran Yin
Yin. Menurut keterangan orang desa di situ. memang pada
suatu hari pernah muncul seorang gadis. Dia mondar-
mandir di desa itu tetapi tak pernah bicara dengan orang.
Tak lama gadis itu terus bunuh diri dengan membuang diri
ke dalam sungai." Diam2 Cu Jiang mengangguk. Ia tahu bahwa peristiwa
itu hanya cerita yang dirangkai Yin Yin untuk menutupi
keadaannya. "Benarkah itu?"
"Benar." "Baik, lalu apakah engkau masih mempunyai pesan yang
hendak engkau tinggalkan lagi?"
"Harap lepaskan dia!"
"Soal itu tak bisa."
"Congkoan, dia tak berdosa apa2."
"Dirinya yang melakukan sendiri tak dapat menyesali
lain orang." Habis berkata dia berpaling kepada pemuda
pelajar itu, serunya: "Sebutir pil ini, dapat membantu engkau tak merasakan
penderitaan apa2. Jika dalam kehidupan di dunia kalian tak
dapat terangkap dalam perjodohan, kelak di akhirat tentu
kalian dapat melaksanakan perjodohan itu. Ingat, setengah
jam kemudian, segeralah kalian gali liang untuk tempat
peristirahatan kalian selama-lamanya!"
Habis berkata dia terus melemparkan pil itu yang
disambuti pemuda pelajar lalu tanpa ragu2 terus ditelannya.
"Engkoh Tio, aku berdosa kepadamu!" seru Siu Yin
dengan pilu. "Yin-moay, jika hidup tak dapat berkumpul biarlah kalau
mati kita berada dalam satu liang! " sahut pemuda itu.
Kedua anak muda itu tak mengucurkan air mata tetapi
derita perasaan hati mereka memang sangat mengibakan
sekali. Dara istana yang berpangkat congkoan atau pengurus
istana Sin-li-kiong itu berputar tubuh terus melesat lenyap.
Pemuda pelajar itu mengangkat tubuh Siu Yin dan
membelainya dengan pilu: "Adik Yin, besarkanlah hatimu. Ini memang sudah
takdir kita, kita harus menerimanya. Kelak dalam penitisan
yang akan datang, kita tentu dapat bersatu."
Rebahkan kepalanya di dada sang kekasih, Siu Yin
berkata sedih: "Engkoh Tio, akulah yang bersalah, tak
seharusnya aku... menerima cintamu."
"Yin-moay, aku tak menyesal karena harus mati. Dua
bulan kita berkumpul rasanya melebihi lain orang yang
berkumpul seumur hidup."
"Engkoh Tio, jika tahu keadaan bakal begini, dan aku . .
." "Yin moay, waktu setengah jam itu sangat singkat sekali.
Engkau lihat bagaimana keadaan tempat ini sebagai tempat
peristirahatan kita selama lamanya."
"Mari. . ." kedua sejoli itu bergandengan tangan dan
ayunkan langkah tinggalkan tempat itu.
Cu Jiang menghela napas. "Lo koko," kalanya, "cinta mereka benar2 sekokoh baja.
Pemuda itu sungguh hebat, dia memandang kematian
seperti pulang saja .. ."
"Aku tak mengerti maksudmu?"
Tiba2 Cu Jiang teringat akan janjinya kepada Bu-san Sin-
li bahwa dia takkan membocorkan rahasia istana Sin-li
kiong kepada siapapun juga. Maka kata2 yang sudah tiba
dimulutnya, ditelannya kembali.
"Mari kita ikuti mereka," akhirnya ia alihkan
pembicaraan. "Adik kecil, mereka menyebut-nyebut namamu dengan
dikaitkan peristiwa melarikan seorang murid," kata Thian-


Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

put-thou. "Itu hanya salah faham tetapi maaf, aku sudah berjanji
dan tak dapat memberitahu soal itu."
"Baik. Tetapi apa guna kita mengikuti kedua kekasih itu"
Apakah kita hendak melihat mereka mati ?"
Sejenak keliarkan pandang kesekeliling penjuru. Cu
Jiang berbisik-bisik: "Aku mempunyai akal untuk menolong
mereka." "Sungguh !" "Masakah aku bergurau."
Mereka terus mengikuti dan ternyata kedua pasangan itu
menuju ke gua batu yang pernah dipakai Thian-put thou
dan Cu Jiang tempo hari. "Memang tempat itu bagus sekali," kata Cu Jiang.
"Lalu bagaimana engkau hendak menolong mereka?"
tanya Thian-put-thou. "Lo koko jangan campur tangan, lihat sajalah nanti."
Tiba di mulut gua, tiba2 sepasang kekasih itu tahu kalau
ada orang datang. Mereka keluar dan menegur: "Siapa itu?"
"Aku, orang yang kebetulan jalan lewat gunung ini."
sahut Cu Jiang. Memang saat itu dia dan Thian put thou
menyaru menjadi orang biasa, kusir kereta.
"Engkoh Tio, suruh mereka pergi," seru Siu Yin dari
dalam. "Kuminta kalian segera pergi." kata pemuda pelajar itu
kepada Cu Jiang berdua. "Tetapi hari sudah tengah petang aku dan ayahku ini
butuh bermalam di gua ini. Sayang telah kalian diami, ini
...." "Maaf. terpaksa harus minta saudara berdua supaya cari
lain tempat saja." "Gunung ini banyak harimau dan serigala. Kalau tidak
tidur di tempat ini tentu berbahaya." bantah Cu Jiang.
Pemuda itu berpaling ke dalam, serunya:
"Yin-moay, memang nasib kita sial. Bahkan hendak
moksha saja kita tak dapat tempat yang tenang."
"Waktu sudah mendesak sekali. Ke mana lagi kita harus
cari tempat" Kita tutup pintu gua saja!"
Cu Jiang sengaja deliki mata dan berseru: "Tuan tadi
mengatakan moksha?" "Ya, apa engkau tahu artinya moksha itu?"
"Mungkin aku salah dengar . . ."
"Tidak, memang moksha!"
"Hm, pernah kudengar cerita paderi dari kuil di desaku
bahwa moksha itu artinya pulang ke Se-thian (akhirat).
Alam telah menciptakan hubungan yang sungguh tak
karuan, sungguh kacau. . ."
"Tak peduli keruan atau tidak keruan, silakan saudara
berdua pergi. Maaf, gua ini tak dapat kuberikan kepada lain
orang." "Tidak bisa! " Cu Jiang berkeras.
"Apa yang tidak bisa?"
"Bahwa tuan tadi mengatakan moksha, jelas tentu
mencari kematian. Ujar orang tua mengatakan melihat
kematian tidak menolong, berarti dosa . . ."
"Silakan pergi, aku tak mempunyai waktu untuk adu
lidah. Yin-moay, kita . . ."
"Tunggu dulu! Mengapa kalian, sedikitpun tak punya
rasa kemanusian?" "Apa maksudmu?"
"Kalau kalian memang hendak mencari kematian,
mengapa harus memilih segala macam cara. Mengapa
harus bersembunyi tak mau didekati orang" Kalau aku dan
ayahku sampai dimakan harimau, apakah aku takkan jadi
setan penasaran?" Wajah Siu Yin mulai pucat dan menjerit kesakitan yang
hebat, ia berseru tersendat-sendat: "Engkoh Tio . . . aku . . .
tak . . . kuat ..." Pemuda itu cepat memeluknya: "Yin-moay, mari kita ke
puncak di sebelah depan itu. Kita cari lain tempat dan
biarlah gua ini ditempati mereka."
"Baik." "Biar kupanggulmu, Yin-moay." kata pemuda itu terus
memeluk tubuh kekasihnya lalu dibawa lari. Melihat
gerakannya dia tentu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi
juga. Cu Jiang mengangguk. "Lo koko, hati budi pemuda itu
baik sekali." "Hm, jangan menyiksa orang, lekas engkau tolong
mereka!" Keduanya lalu melesat. Menjelang petang mereka tiba di
karang buntung. Sambil membopong kekasihnya, pemuda
itu selangkah demi selangkah menghampiri ke tepi karang.
"Tunggu, tunggu! " teriak Cu Jiang.
Pemuda itu terkejut dan berputar tubuh. Dia terkejut lalu
membentak keras2: "Oh, kiranya sahabat ini orang persilatan. Apa
maksudmu hendak mempermainkan aku?"
"Sekarang aku sudah sadar, Bahwa kalau melihat orang
menderita tak menolong, itu berdosa. Maka aku buru2
mengejar kemari, " Cu Jiang tertawa.
"Sahabat sengaja hendak mencari-cari alasan untuk
bertengkar?" kata pemuda itu dengan nada bengis.
"Betapapun buruknya tetapi hidup itu lebih baik dari
mati. Kalian masih muda, mengapa sependek itu pikiran
kalian?" Pemuda itu berputar tubuh dan lanjutkan langkah
menuju ke tepi karang buntung. Cu Jiang melesat
menghadangnya. "Kongcu, mengapa pikiran kongcu begitu gelap?"
serunya. Melihat gerakan Cu Jiang, pemuda itu terkejut, Siu Yin
yang masih dalam pondongannya makin tampak pucat,
keringatnya bercucuran deras. Rupanya dia tengah
menderita kesakitan hebat.
Cu Jiang mengangguk: "Rupanya nona itu menderita
keracunan yang bersifat pelahan bekerjanya."
Pemuda itu merentang mata dan berseru gemetar:
"Sahabat, engkau dapat mengetahui?"
"Tentu, " sahut Cu Jiang, "kalau tak tahu bagaimana
dapat mengatakan?" "Sahabat, apakah engkau dapat menolongnya?"
"Hm, soal ini bukan main-main."
"Sahabat, bukan hanya dia, aku sendiri pun termakan
racun ganas, tetapi..."
"Tetapi bagaimana ?"
"Katanya, racun itu tak dapat diohati siapapun juga."
"Bagaimana kalau kucobanya?" Pemuda itu memandang
Cu Jiang dengan pandang bersangsi. Wajah pemuda yang
biasa saja itu apakah mampu untuk menolongnya.
"Letakkan dia" tiba2 Cu Jiang berseru.
"Jika sahabat tak dapat menolongnya ?"
"Mudah. Engkau boleh lanjutkan keputusan untuk terjun
kebawah jurang itu."
"Kalau racun dalam tubuhku sudah bekerja sehingga aku
tak dapat berjalan?"
"Aku bersedia unjuk melakukan pesanmu apa saja."
"Benarkah itu ?"
"Ucapan seorang lelaki seperti kuda lepas dari kandang."
"Baik," pemuda itu segera meletakkan gadis kekasihnya.
Wajah pemuda itu sendiripun mulai berobah cahayanya.
Rupanya racun dalam dirinya juga sudah mulai bekerja.
"Engkoh Tio, apakah aku harus mengalami penderitaan
yang lebih lama lagi ?" gumam Sio Yin.
"Yin-moay, mungkin Tuhan bermurah hati untuk
menolong kita." Cu Jiang mengeluarkan mustika laba2 pemberian Bu-san
Sin li. Ia menjepitnya dengan kedua jari dan berseru:
"Kulumlah dalam mulut nona, tentu sembuh."
Sepasang mata Sin Yin yang sudah redup tiba2
membelalak lebar2 dan serentak timbullah pula tenaganya.
Dia bergeliat bangun seraya berseru gemetar:
"Mustika laba2 !"
"Nona kenal barang ini ?"
"Engkoh Tio, kita... ketolongan !" seru Siu-Yin dengan
kegembiraan yang meluap-luap.
"Benarkah Itu. Yin-moay " Oh, Tuhan terima kasih !"
Kemudaan Siu Yin memandang lekat2 pada wajah Cu
Jiang. Beberapa saat kemudian, dengan nada gemetar ia
berseru: "Bukankah anda ini Toan kiam jan-jin ?"
Cu Jiang mengangguk. Setiap orang persilatan tentu kenal akan nama Toan
kiam jan-jin. Maka menggigillah pemuda pelajar itu demi
mendengar nama itu. "Anda .. . anda ... Toan kiam Jan-Jin " Ah, sudah lama
aku mengagumi nama anda, sayang selama itu tak ada
rejeki untuk bertemu. Ah, maafkan kalau tadi aku berlaku
kurang hormat." "Sudahlah, rupanya kita dapat bertemu ini karena
memang berjodoh," kata Cu Jiang. Ia segera menyerahkan
mustika laba2 itu dan dengan tangan gemetar Siu Yin
menyambut lalu dimasukkan ke dalam mulut.
Hanya dalam beberapa jenak saja. wajahnya yang sudah
pucat itu, pelahan-lahan berobah merah segar lagi.
Beberapa saat kemudian Siu Yin dapat berdiri,
memuntahkan mustika itu dan disusupkan ke-mulut
kekasihnya. Setelah beberapa waktu, pemuda itu menyerahkan
kembali mustika kepada Cu Jiang. katanya: "Namaku Tio
Ki Hung, selama hidup aku pasti takkan melupakan budi
anda." "Ah, tak perlu saudara mengingat pertolongan sekecil
ini," kata Cu Jiang.
Diam2 ia memperhatikan sepasang kekasih yang penuh
kesetiaan itu. Ia tahu bahwa Siu Yin usianya sudah
setengah abad umurnya. Hanya karena mengandalkan obat
Giok-sik-leng-lu, maka dia dapat mempertahankan kecantikan seperti masa remaja.
Sedangkan Tio Ki Hong lebih kurang baru berumur dua
puluhan tahun. Apakah mereka memang sudah ditakdirkan
menjadi jodoh ataukah karena kekhilafan.
Bagaimana reaksi pemuda itu apabila mengetahui
keadaan Siu Yin yang sebenarnya"
Walaupun pikirannya berkata begitu tetapi Cu Jiang tak
mau mengatakan apa2. "Sauhiap, persoalan Tang Yin Yin yang meloloskan diri
dari Sin li kiong itu..."
"Dia mati secara mengenaskan sekali."
"Tidak, dia tidak mati."
"Apa" Dia tidak mati ?"
"Tidak, Dia masih hidup dengan selamat. Akulah yang
menolongnya dengan mustika ini."
"O, mengapa orang2 di desanya mengatakan kalau dia
bunuh diri ke dalam sungai."
"Dia memang pintar. Siasat itu kena sekali "
"Dimana dia sekarang?"
"Ah, aku sendiri tak tahu."
Saat itu hari sudah gelap, Cu Jiang menganjurkan supaya
kedua kekasih itu segera tinggalkan tempat itu. Demikian
setelah menghaturkan terima kasih, Tio Ki Hong dan Siu
Yin segera mohon diri. "Lo-koko, bagaimana kita sekarang ?" tanya Gu Jiang.
"Lanjutkan perjalanan lagi !" seru Thian-put thou.
Kedua orang itupun segera lari menuruni puncak dan
menuju ke jalan besar. Selama dalam perjalanan ia tak henti-hentinya Cu Jiang
menyatakan kecemasannya terhadap diri puteri Tayli.
"Adik, menurut pendapatku, untuk saat ini lebih baik
jangan engkau menuju ke Pek-te shia." tiba2 Thian put thou
berkata. "Mengapa?" "Segala persoalan itu ada urutan tingkatannya. Yang
mana harus cepat2 dikerjakan dan yang mana boleh
pelahan sedikit. Thong-thian-kau takkan pindah tempat
sedang keselamatan kongcu menguatirkan.
Lebih dulu harus menolong kongcu itu ke Gedung
Hitam. Dikuatirkan nanti timbul lain2 perobahan yang tak
kita inginkan." "Tetapi aku sudah berjanji dengan Ang Nio Cu . . ."
"Hm, bukankah kalian sudah saling berjanji akan
bertemu di gunung Keng-san" Bukankah hal itu takkan
terganggu?" Cu Jiang kerutkan kening merenung, Akhirnya Ia dapat
menyetujui pendapat Thian-put-thou untuk menuju ke
Keng-san. ^0dooow0^ Demikian pada hari itu mereka tiba di kota Kui-cia.
Setelah beristirahat makan di sebuah kedai di luar kota,
tiba2 Cu Jiang menanyakan apakah dalam kota Kui-cia itu
tak ada cabang perkumpulan Thong-thian-kau.
"Hm, ya." "Karena lo ko-ko pernah mencuri pil Hoa-tok tan dari
Ngo tok mo. tentulah lo koko paham keadaan markas
cabang itu." "Tentu." "Kurasa aku hendak menyelesaikan Iblis Ngo tok mo
sekalian." "Baik, karena engkau membekal mustika yang dapat
mengobati racun, maka dapatlah engkau menghadapinya."
Tiba2 jongos menghampiri dan berkata bisik2:
"Apakah tuan berdua tetamu dari lain daerah?"
"Ya, kenapa?" "Lebih baik tuan segera tinggalkan tempat ini."
"Mengapa?" "Kota ini sedang diserang wabah penyakit. Tiap hari
tentu jatuh korban."


Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apa " Wabah penyakit ?"
"Ya, mengerikan sekali. Warung inipun kami bersiap-
siap hendak menutupnya dalam dua tiga hari lagi."
"Terima kasih."
Setelah jongos pergi, Thian-put-thou kerutkan dahi,
katanya: "Aneh, aneh, ditempat ini tidak di serang banjir
atau kebakaran maupun peperangan, mengapa terjangkit
wabah penyakit menular ?"
"Lebih baik menyingkir saja daripada harus menerjang
bahaya," kata Cu Jiang.
"Tidak, disini tentu ada apa-apanya . ."
"Ada apanya " Apakah maksud lo ko-ko, wabah itu tidak
wajar dan buatan manusia ?"
"Benar, dalam dunia persilatan memang tak jarang hal
itu terjadi." "Tetapi apa tujuan orang hendak mencelakai jiwa
manusia yang tak berdosa ?"
"Mungkin jiwa, harta benda atau mungkin untuk sesaji
sembahyangan." Tiba2 diluar jalan tampak beratus-ratus rakyat, tua
muda, besar kecil, laki perempuan berjalan berduyun-duyun
dalam keadaan yang kacau balau.
"Apakah yang telah terjadi ?" Thian-put-thou memanggil
seorang jongos dan bertanya.
"Selain Malaekat-hidup yang hendak menyembuhkan
wabah penyakit itu, apa lagi.. .."
"Malaekat hidup ?"
"Ya." "Bisa mengobati wabah penyakit ?"
"Bukan saja bisa mengobati, pun dapat melindungi. Asal
orang mau minum air suci dari Malaekat-hidup itu,
Jiwanya tentu selamat."
"Dimana Malaekat hidup itu ?"
"O, di biara Sian-yu kwan lebih kurang sepuluh li dari
sini." "Bagaimana wajah Malaekat-hidup itu?"
"Ini .. . tak ada orang yang pernah melihatnya" Yang
minta air-jimat, cukup datang menghadap dan menyerahkan uang sembahyangan. Heh heh... tak mungkin
Malaekat-hidup itu akan menipu. Kabarnya pagi2 tadi
seorang bernama Ma Han Lim berasal dari kota. pura2
menyaru sebagai orang miskin yang hendak mohon air-
Jimat. Dia dikenali oleh Malaekat hidup dan seketika rubuh
mati..." "O. sudah berapa lama Malaikat hidup itu muncul ?"
"Rasanya belum lama."
"Baik," setelah membayar rekening, Cu Jiang dan Thian-
put thou segera melangkah keluar, Thian put-thou
mengajak Cu Jiang untuk menyaksikan keramaian itu.
"Apakah lo-koko hendak campur tangan?"
"Tidak belum semudah begitu. Kukira Malaekat hidup
itu tentulah perbuatan dari kaum Thong thian kau. Mereka
hendak memperdayai rakyat, mengumpulkan harta benda
dan pengikut ?" "Mungkinkah begitu ?" Cu Jiang menegas.
"Jangan lupa bahwa iblis Ngo-tok-mo itu seorang ahli
penyebar racun yang lihay."
"O," tiba2 Cu Jiang teringat. Keduanya segera ayunkan
langkah menuju ke biara Sian-yu-kwan. Dimuka biara itu
berkerumun penuh sesak dengan orang2. Suasananya
seperti pasar malam. Cu Jiang dan Thian-put-thou berhasil menyusup ke dekat
pintu biara. Di muka pintu dijaga empat orang imam yang
mencegah orang berdesak-desakan hendak masuk. Orang2
itu harus masuk satu persatu.
Setelah beberapa waktu menunggu akhirnya Cu Jiang
mendapat giliran masuk. Keempat imam itu memandangnya lalu menegur.
"Apa tidak membawa uang lilin?"
"Ada," kata Cu Jiang. Dia segera dipersilahkan masuk.
Cu Jiang ikut dalam urut-urutan orang yang masuk ke
dalam ruang besar. Sebuah meja sembahyangan yang besar,
diterangi dengan lilin yang terang benderang.
Orang yang hendak minta air mantra harus berlutut
memberi hormat lalu menyerahkan uang dan imam yang
menjaga di pinggir meja memberikan selembar kertas hu
(mantra) warna kuning. Menunggu hampir setengah jam, baru Cu Jiang bisa
berada nomor dua dari orang yang paling depan. Di
depannya itu seorang tua perut gendut, pakaian bagus. Dia
tampaknya tegang sekali. Cu Jiang hanya terpisah tiga
langkah dari orang tua gendut itu.
Begitu tiba di muka meja, orang itu terus berlutut dan
berkemak kemik memanjatkan doa: "Hamba Ut Toa Ki,
mohon dengan sangat agar Sin-sian (malaekat) menurunkan
belas kasihan untuk menyembuhkan lima orang keluarga
hamba yang sakit." Tiba2 dari balik tirai dibelakang meja terdengar suara
orang: "Ui Toa Ki. Sin-sian menitahkan agar engkau
menghaturkan seribu tail emas."
Orang itu gemetar dan berkata dengan tersendat-sendat :
"Hwat sin-sian .... hamba .... hamba tidak kaya ..."
"Ui Toa Ki, ini bukan jual beli yang boleh tawar
menawar. Apakah lima orang jiwa tak berharga seribu tail "
Apalagi itu suatu dana kebaikan untuk kepentingan orang
banyak." "Baik .. , baik . .. hamba baru membawa dua ratus...."
"Baik. sisanya boleh suruh orang mengantar kemari."
"Ya, ya," ia segera menyambuti beberapa lembar kertas
kuning, keringatnya bercucuran deras sekali. Rupanya ia
gemetar karena harus mengeluarkan biaya yang begitu
banyak. "Bakar kertas hu itu dan abunya terus telan saja. Segala
macam penyakit tentu hilang. Nah, pergilah!" seru orang
dibelakang kain tirai pula.
Setelah menyerahkan uang dua ratus tail, orang gendut
itupun terus merangkak keluar pintu samping.
Sekarang giliran Cu Jiang. Dia agak ragu-ragu tetapi
mengingat dia hendak menyelidiki, terpaksa ia lakukan juga
upacara itu. Berat rasa hatinya harus berlutut memberi
hormat kepada kain tirai.
Thian put thou tak tampak, entah menyelinap ke mana
saja. "Lekas, jangan mengganggu lain orang yang menunggu
giliran !" imam di pinggir meja berseru.
Cu Jiang terpaksa melakukan juga. Dia berkata: "Tecu
bernama Cu Jiang kebetulan lewat di desa ini, mohon Sin-
sian suka memberikan hu untuk menjaga wabah penyakit
itu." Habis berkata ia terus ulurkan tangan dimasukkan dalam
lubang diatas meja. Tetapi saat itu juga tangannya telah
disambut oleh sebuah tangan yang memancarkan tenaga-
dalam kuat. Dia terkejut dan mengakui bahwa apa yang diduga lo
koko Thian put thou memang benar. Malaikat-hidup itu
seorang jago silat yang berilmu tinggi.
Cu Jiangpun segera memancarkan tenaga-dalam untuk
bertahan. Ternyata orang didalam itu tidak lemah. Diapun
pancarkan tenaga dalam lebih hebat lagi. Cu Jiang
mendapat akal. Dia pura2 meringis kesakitan.
"Orang she Cu engkau terkena penyakit aneh. Bila
hendak mengobatimu. Masuk dari pintu samping sebelah
kanan !" "Engkau membawa uang lilin tidak ?" seru imam yang
menjaga disamping meja. "Berapa ?" "Sebutir mutiara."
"Baik, bangunlah !"
Tangan yang menjabat tangan Cu Jiang itupun
mengendor dan Cu Jiang segera berbangkit. Sejenak
merenung ia terus melangkah masuk pintu samping kanan.
Begitu tiba di ruang besar pandang matanya terbentur
pada pemandangan yang mengejutkan.
Ruang itu sekelilingnya ditutup dengan kain layar.
Malaikat Hidup itu juga tidak kelihatan berada di situ.
Hanya dua orang lelaki baju hitam memandang berkilat-
kilat ke arah Cu Jiang. Juga terdapat seorang imam yang
duduk bersila dengan mata menunduk.
Suasana dalam ruang itu sungguh menyeramkan. Salah
seorang dari kedua lelaki baju hitam segera menggapai ke
arah Cu Jiang. "Mari, ikut aku."
Cu Jiang mengangguk dan mengikutinya. Setelah
melintasi ruang besar itu, ia tiba di sebuah halaman besar
yang sunyi senyap, Setelah tiga kali melintasi halaman
barulah ia tiba di sebuah bangunan rumah yang dikelilingi
pagar tembok tinggi. Rupanya bangunan itu merupakan
tempat tinggal para Imam.
Setelah membawa masuk Cu Jiang, lelaki baju hitam itu
diam2 terus menyelinap pergi. Seorang lelaki tua Jubah
kuning, duduk dibagian yang tinggi dalam ruang bangunan
itu. Matanya berkilat-kilat memandang Cu Jiang sampai
beberapa saat. "Sahabat, kepandaianmu hebat juga" serunya. Cu Jiang
tertegun, serunya. "Kedatanganku kemari hendak meminta
hu." "Aku tahu." "Lalu mengapa aku diundang kemari?"
"Kasih tahu dulu nama perguruanmu!"
"Apa hubungan hal itu dengan pengobatan penyakitku ?"
"Jangan bertanya, engkau hanya wajib menjawab !"
"Aku tak mempunyai perguruan, kepandaianku berasal
dari keluargaku sendiri."
"Siapa ayahmu ?"
"Dahulu dia seorang piausu."
"Engkau berlatih dengan senjata apa ?"
"Pedang." "Bagus!" seru orang tua jubah kuning itu lalu meneriaki
orangnya. Seorang lelaki berpakaian hitam muncul dari
pintu samping dengan membawa pedang. Cu Jiang tak
mengerti apa yang akan terjadi.
"Cu Ing Jit. engkau boleh bertanding pedang dengan
dia." seru orang tua jubah kuning. Memang Cu Jiang
menggunakan nama Cu Ing Jit.
"Bertanding pedang " Mengapa harus begitu?" Cu Jiang
terkejut. "Jangan tanya !"
"Kedatanganku kemari bukan untuk bertanding ilmu
pedang," Cu Jiang membantah.
"Jangan banyak bicara !"
Akhirnya Cu Jiang memutuskan. Ia akan menurut saja
perintah orang. Ia ingin tahu apa saja tujuan mereka. Segera
ia menuju ketengah halaman. Lelaki baju hitam itupun
menyerahkan sebatang kepada Cu Jiang.
"Sahabat, engkau harus mengeluarkan seluruh kepandaianmu kalau tidak engkau tentu menyesal."
katanya. Memang Cu Jiang tak membawa pedang kutungnya.
Pedang kutung itu dibungkus kain dan dibawa Thian put-
thou. "Menyesal bagaimana?" tanya Cu
Jiang seraya menyambuti pedang. "Terluka atau mati, engkau sendiri yang menanggung
akibatnya." "Ini mengadu kepandaian atau bertanding dengan
taruhan jiwa?" "Kalau tak bertanding sungguh2, tentu tak dapat
diketahui kepandaianmu yang sesungguhnya!"
"Aku tak mengerti apakah maksudnya semua ini ?"
"Tak perlu tanya. Nanti engkau tahu sendiri, Itupun
kalau engkau masih hidup."
Cu Jiang kerutkan dahi. Ia benar2 tak mengerti apa
maksud orang itu. "Lekas cabut pedang !" seru orang itu.
Cu Jiang terpaksa menurut, Lelaki baju hitam itupun
segera menghunus pedangnya dan terus menaburkannya
dalam suatu gerak lingkaran yang menimbulkan tebaran
sinar pedang. "Sahabat, kita saling menyerang dalam tiga jurus !"
"Baik." "Awas, sambutlah. . ."
"Silahkan !" Lelaki baju hitam itu berubah merah wajahnya. Segera ia
menyerang dengan jurus yang ganas. Cu Jiang hanya
gunakan tiga bagian tenaganya untuk menghadapi.
Tring tring .. . pedang saling beradu dan kekuatan kedua
belah fihak ternyata berimbang.
"Kali ini harap hati2!" seru orang baju hitam itu seraya
menyerang dengan gerak yang cepat dan dahsyat. Ujung
pedang mengarah ketiga buah jalan darah didada Cu Jiang.
Kali ini Cu Jiang gunakan lima bagian tenaganya untuk
menangkis dan dapat mengimbangi.
"Sahabat," orang itu tertawa dingin. "engkau selalu
hanya bertahan. Serangan yang ketiga ini memastikan


Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hidup matimu. Waspadalah !"
Dalam berkata-kata itu pedangpun sudah meluncur
cepat. Tampaknya orang itu menggunakan seluruh
kepandaiannya untuk menyerang.
Terpaksa Cu Jiang gunakan delapan bagian tenaganya
untuk bertahan. Tring .. . pedang orang baju hitam itu terpental dan
orangnyapun tersurut mundur dua langkah.
"Sudah cukup ?"
"Sahabat, sekarang giliranmu yang menyerang !"
"Ah, tak usah."
"Tidak bisa." orang itu berkeras.
"Selama ini aku hanya menyerang cukup satu jurus saja."
"Apa engkau hanya mampu menyerang dalam satu jurus
saja ?" "Katakan begitu."
"Baik." Cu Jiang memutuskan, sebelum ia Jelas akan keadaan
orang, ia takkan menggunakan jurus yang ampuh. Ia akan
menggunakan delapan bagian tenaga dan setengah dari
Jurus Thian te-kiau-thay. Sekalipun begitu, perbawanya
masih tetap dahsyat. Tring .... orang itu mundur sampai beberapa langkah.
Ujung pedang Cu Jiang mengarah ke dada dan terus
membayanginya, terpisah hanya satu dim tetapi tidak
ditusukkan. Wajah orang itu berobah menyeramkan.
"Bagus, boleh masuk kemari !" seru orang tua berjubah
kuning. Cu Jiang hentikan serangannya dan mengembalikan
pedang kepada orang baju hitam itu.
"Ilmu pedangmu menarik sekali," orang tua jubah kuning
itu memuji. "Ah, jangan memuji."
"Engkau lulus ujian !"
"Lulus ujian " Apa artinya ?"
"Engkau akan diangkat sebagai pengawal dari perkumpulan kita!" "Tetapi kedatanganku kemari karena hendak minta obat.
bukan untuk melamar menjadi pengawal .. ."
"Engkau tak boleh menolak !"
Cu Jiang menyeringai heran lalu bertanya perkumpulan
apakah yang akan dimasukinya itu.
"Thong-thian kau!"
Mendengar itu benar2 Cu Jiang kagum akan ketajaman
mata Thian put-thau. Thian put thou dengan cepat dapat
menduga bahwa wabah penyakit di kota itu adalah buatan
dari kaum Thian-thong-kau hendak mengumpulkan dana
dan mencari pengikut. "Tong-thian kau ?" Cu Jiang pura2 terkejut.
"Ya. Perkumpulan Thong thian kau dalam waktu yang
tak lama lagi akan bergerak untuk menguasai dunia.
Sahabat, kesempatan yang engkau peroleh ini tak
sembarang orang bisa mendapatkan. Aku adalah hu-hwat
dari cabang Thong-thian-kau kota Kui-ciu, Engkau jelas
sekarang ?" "Tetapi, aku ... "
"Jangan banyak bicara ! Engkau tak dapat memilih lain."
"Jika aku tak ingin menjadi pengawal Thong thian-kau ?"
Orang tua jubah kuning itu bertepuk tangan dan pintu
samping terbuka. Diatas meja tampak beberapa butir kepala
manusia yang masih berlepotan darah.
"Seperti itulah !" serunya.
Melihat itu bergidiklah bulu roma Cu Jiang Seketika
hawa pembunuhan meluap-luap dalam dadanya. Tetapi dia
pura2 bersikap kaget, serunya:
"Aku . . . suka menerima . . . ."
Pintu itupun tertutup lagi. Kemudian lelaki tua berjubah
kuning itu segera memerintahkan orang berbaju hitam
supaya membawa Cu Jiang keluar menunggu perintah.
"Aku masih mempunyai seorang kawan yang datang
bersama, aku hendak memberitahu kepadanya dulu . ."
"Tidak boleh !"
"Ikut aku !" lelaki baju hitam itu melambai kepada Cu
Jiang. Dengan membawa sikap seperti enggan, Cu Jiang
mengikuti orang itu masuk ke dalam halaman samping.
Dalam ruang terdapat empat orang pemuda yang mengerut
dahi. Rupanya mereka juga terpilih menjadi pengawal
Thong-thian-kau. Melihat kedatangan Cu Jiang. merekapun
diam tak mengacuhkan. "Tunggulah disini, Jangan coba2 membuat rencana yang
tidak-tidak, tak ada orang yang mampu keluar dengan
masih bernyawa dari tempat ini" habis berkata lelaki baju
hitam itu terus ngeloyor pergi.
Kini kelima orang itu saling berpandangan tanpa
berkata-kata apa. Tak berapa lama, dari lain ruangan terdengar suara
orang dan gemerincing pedang lalu erang jeritan ngeri.
Tentulah seorang calon sedang diuji dan karena
kepandaiannya kurang lalu menemui kematian.
Seperminun teh lamanya, terdengar lagi suara pertempuran. Tetapi kali ini rupanya dengan adu pukulan,
tidak menggunakan pedang.
Setelah berhenti beberapa waktu, seorang lelaki tua kurus
berumur lebih kurang lima puluhan tahun, dibawa masuk
ke dalam ruang itu. Begitu melihat orang itu, diam2 Cu
Jiang bersorak dalam hati. Orang itu tak lain adalah lo-
kokonya yakni Thian put-thou. Dia telah lulus dari ujian.
Dengan langkah bergoyang gontai, Thian-put-thou
melangkah masuk. Setelah pengawal baju hitam itu pergi,
dia terus melangkah kedepan mata kepada Cu Jiang,
serunya: "Aku si tua ini sungguh masih punya rejeki besar.
Dalam umur yang begini tua, aku masih mendapat
kesempatan untuk mengangkat nama."
Keempat pemuda yang lebih dulu berada dalam ruang
itu tak menyahut. Thian-put-thou Ciok Yau Hong itu sudah berumur
delapan puluh tahun, rambutnya putih. Tetapi karena dia
menyaru, maka sukarlah orang mengenalinya.
"Ha, ha." Cu Jiang menyambut tawa gembira.
Thian-put-thou kerutkan alis lalu berkata dan menyerahkan bungkusan pedang kutung: "Adik kecil, inilah
barangmu !" "Terima kasih." Cu Jiang menyambutinya.
Beberapa waktu kemudian, masuklah lelaki jubah kuning
dengan dua orang pengawal baju hitam. Mereka
memandang rombongan enam orang yang berada dalam
ruang itu lalu berkata dengan nada sarat:
"Saudara2 telah mendapat kehormatan untuk menjadi
pengawal perkumpulan kami. Lebih dulu kami hendak
menghaturkan selamat. Kemudian akan membagikan tugas
menurut urutan kepandaian kalian.
Sekarang, beberapa pil ini dapat menambah tenaga dan
kekuatan, pemberian khusus dari Malaikat hidup sebagai
tanda menyambut kedatangan kalian."
Kedua pengawal baju hitam lalu maju dan membagikan
sebutir pil merah kepada setiap orang. Setelah menyambuti,
keempat pemuda itu tampak bersangsi untuk menelan.
"Jangan tak menghargakan kebaikan Hwat-sin-sian
(Malaekat hidup), makanlah!"
Setelah memberi kicupan ekor mata, Cu Jiang terus
menelan pil itu demikian pula Thian-put thou. Melihat itu
keempat pemuda itupun segera mengikuti.
Lelaki jubah kuning tertawa serunya: "Bagus, sebentar
lagi akan disalurkan hidangan, silakan nanti kalian
menikmati sepuas-puasnya, Malam ini kita nanti mengadakan pertemuan!"
"Bagus! Thian put-thou bertepuk tangan, sudah tiga
bulan aku si tua ini tak pernah makan enak dan sebulan tak
pernah minum arak!" Sejenak memandangnya lelaki jubah kuning itupun
segera meninggalkan ruang itu.
Menjelang petang, memang benar muncul orang yang
mengantar hidangan dan arak. Walaupun tak terdiri diri
masakan yang lezat tetapi juga cukup untuk membuat lidah
bergoyang. Saat itu keempat pemuda tadi sudah berobah
sikapnya. Mereka bicara dan tertawa. Wajahnya yang mengerut,
sudah lenyap. Thian-put thou juga seperti berobah adanya.
Diam2 Cu Jiang sudah mengulum katak mustika,
kemudian diam2 menaruhkan mustika itu ke dalam cawan
araknya dan lalu ditukarkan dengan cawan Thian-put thou.
Setelah minum, tak berapa lama tingkah laku Thian-put
thou sudah normal kembali. Tetapi dia tak mengetahui hal
itu. Menjelang tengah malam, dua orang pengawal baju
hitam muncul dan salah seorang berseru mengajak mereka
berangkat. Mereka keluar dan biara itu menyusur jalan menuju ke
barat. Setelah tiba ditempat yang sunyi. Cu Jiang baru turun
tangan menotok jalan darah kedua pengawal baju hitam itu.
"Hah, apa-apaan itu ?" keempat pemuda itu berteriak
kaget. Cu Jiang tak sempat memberi penjelasan lagi, dengan
cepat dia berkata: "Pil yang saudara telan tadi, mengandung racun.
Sekarang akan kuberi obat dan setelah itu silakan saudara
pergi !" Tanpa memberi kesempatan. Cu Jiang memaksa
keempat orang itu supaya mengulum katak-mustika.
Mereka menurut. Beberapa saat kemudian mereka seperti
sadar. "Mengapa tak lekas pergi!" bentak Thian-put thou.
Keempat pemuda itu memberi hormat lalu melesat pergi.
"Lo koko, kita tunggu dulu beberapa waktu lagi." bisik
Cu Jiang. "Apa maksudmu?"
"Tunggu mereka datang kemari hendak memberi
pertolongan kepada kedua orangnya ini..
"Apa tak kuatir kalau kita akan ketahuan ?"
"Tak apa, kalau secara gelap tak dapat kita harus
menempuh dengan cara yang terang-terangan. Silahkan lo
koko menyingkir dulu."
"Mengapa?" "Yang ku arah hanyalah si Iblis Ngo-tok-mo itu. Jika aku
bertindak seorang diri, tentu lebih leluasa !"
"Apakah engkau hendak membuang aku?"
"Ah, Jangan lo koko berpendapat begitu. Berbicara soal
pengetahuan dan pengalaman sudah tentu aku tak menang
dengan lo-koko. Hanya kali ini dalam menghadapi jago2
dari Kawanan iblis ..."
"Sudahlah, Jangan panjang lebar. Dimana kita nanti
akan berjumpa?" "Di warung kecil yang kemarin kita singgahi itu.
Disebelahnya terdapat sebuah penginapan, bagaimana
kalau kita bertemu di situ !"
"Sudah. Hati-hati saja di jalan."
"Terima kasih."
Habis memberi pesan Thian put thou terus berputar
tubuh dan melangkah pergi. Tapi belum berapa jauh sudah
kembali lagi. "Apakah lo koko hendak memberi pesan lagi?"
"Hampir saja aku melupakan sebuah urusan besar."
"Urusan apa." "Soal wabah penyakit itu. Sebenarnya itu merupakan
racun yang bekerjanya lambat. Perbuatan keji dari pihak
Thong-thian kau itu tentu dilakukan dengan cara diam2
menyebarkan racun dalam sumur2 rumah rakyat. Jika tak
memperoleh obat yang tepat tentu akan menimbulkan
bencana..." "Baiklah." "Kita bekerja secara terpisah..."
"Bagaimana tindakan lo koko?"
"Hi, hi, kerjaan lama. Malam ini aku hendak berziarah
ke biara Sin yu kwan, menjenguk si Malaekat hidup itu.
Mereka memberi hu, pada hal itu tentu dilumuri dengan
obat penawar racun. Di samping itu akan menggali tanah
baru." "Apa maksud lo-koko?"
"Menganjurkan supaya penduduk jangan menggunakan
air dari sumur tetapi membuat sumur baru atau
menggunakan air sungai. agar terhindar dari keracunan."
"Bagus !" "Sudahlah, pencuri tua akan mulai bekerja !" habis
berkata Thian put thou terus melesat sampai beberapa
tombak dan pada lain saat sudah lenyap dalam kegelapan.
Diam2 Cu Jiang kagum akan ilmu meringankan tubuh lo
kokonya itu. Kecuali tata langkah Gong-gong pon hwat,


Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rasanya dalam dunia persilatan tak ada lain ilmu yang
mampu menandingi gerakan Thian put-thou itu.
Beberapa waktu kemudian, tampak beberapa sosok
bayangan berlari-lari mendatangi. Yang di muka tak lain
adalah orang tua jubah kuning itu.
Cu Jiang serentak menyongsong dan berseru: "Laporan
kepada hu hwat, telah terjadi peristiwa besar."
Rombongan pendatang itu berhenti. Orang tua jubah
kuning memandang kedua pengawal baju hitam yang
menggeletak di tanah lalu berseru:
"Peristiwa apa ?"
"Kita menerima serangan gelap yang tak terduga-duga !"
"Dan orang2 itu kemana ?"
"Dibawa mereka !"
"Mengapa engkau tidak ikut dibawa?"
"Uh . .. hamba bukan kerbau. Dengan kepandaian yang
kumiliki, mereka tak mampu membawa aku."
"Apakah kedua orang itu mati?"
"Tidak, hanya ditutuk jalan-darahnya tetapi entah
dengan ilmu tutukan apa, aku tak mengerti."
"Siapa musuh yang menyerang itu?"
"Semua mengenakan pakaian hitam sampai mukanyapun tertutup kain hitam..."
"O, kutahu. Tentulah pihak Gedung Hitam hendak
mencari gara-gara." Orang tua jubah kuning itu terus memeriksa kedua anak
buahnya yang menggeletak di tanah itu. Tetapi sampai
beberapa saat dia tak berhasil apa2. Jelas diapun tak tahu
ilmu tutuk apa yang digunakan musuh untuk menutuk jalan
darah ke dua orang itu. Diam2 Cu Jiang geli. Memang dia mempergunakan ilmu
tutukan dari kitab Giok kah-simkeng. Tokoh-2 silat pada
umumnya tentu tak mengerti ilmu tutukan itu.
"Bawa mereka pulang ke markas !" teriak lelaki jubah
kuning dengan marah. Rombongan anak buahnya segera memanggul kedua
korban itu Kemudian mereka melanjutkan perjalanan
lagi,.Tak berapa lama tiba di sebuah pedesaan.
Setelah saling memberi sandi rahasia, mereka lalu
masuk. Lingkungan markas itu memang luas dan besar.
Sepanjang jalan terdapat pos2 penjagaan yang ketat.
Sampai jalan masuk tentu dijaga oleh pengawal. Cu Jiang
dibawa kesebuah ruang oleh seorang pengawal.
Dalam ruang itu beberapa anak buah tengah bergembira
ria, bersorak dan mabuk-mabukan sehingga mereka tak
mengacuhkan kedatangan Cu Jiang.
Cu Jiang duduk disebuah meja dekat jendela.
Dia tak mau membuang waktu. Keselamatan puteri
Tayli selalu membayangi benaknya. Urusan di tempat itu
harus selesai malam itu. Paling lambat sampai besok pagi.
Tiba2 seorang thau-bak atau kepala kelompok, muncul di
pintu dan melongok ke dalam.
"Ong San Ko. kalian berenam nanti menjelang tengah
malam harus pergi ke biara Sianyu-kwan untuk mengganti
penjagaan di sana !"
Ternyata kawanan anak buah yang berada dalam
ruangan itu tengah berjudi dan minum arak. Salah seorang
yang bermuka hitam mengangkat muka dan berseru:
"Li thaubak, apakah engkau yang memimpin kami?"
"Hm." "Siapakah yang menjadi Malaekat hidup besok pagi?"
"Song hu-hwat."
"Uh, sukar dilayani . .."
"Ong Sam Ho, jangan kuatir, lain orang malah mudah."
"Apa yang harus kita sediakan?"
"Mudah saja, bawakan seguci air yang sudah bertuliskan
huruf2 mantra." "Harus meminta kepada Song hu-hwat?"
"Tak usah, besok aku yang membawanya."
"Saudara2, mari kita lanjutkan permainan lagi sampai
puas," si wajah hitam itu berseru lalu memegang lagi
kartunya. Kemudian thaubak yang disebut orang she Li itu berseru
kepada Cu Jiang: "Thamcu memanggil, mari ikut aku!"
"Baik," Cu Jiang berbangkit lalu melangkah. Dia masih
membawa bungkusan pedang.
"Hai. bung, taruh saja barang itu disini. Tak ada orang
yang mau mencurinya."
"Tetapi ini . . . tak dapat terpisah dari aku."
"Apa berisi pusaka?"
"Hampir begitulah."
Salah seorang anak buah yang tengah bermain judi itu,
menyelutuk: "Kabarnya pendatang baru itu berkepandaian tinggi
sehingga Tio si su saja kalah . . ."
"Mungkin akan diberi jabatan yang keras. Karena
walaupun kepandaiannya tinggi tetapi orangnya dingin."
sambut Ong Sam Ho. Cu Jiang tertegun. Dipanggil oleh pimpinan tentu tak
boleh membawa bungkusan barang. Tetapi di mana dia
harus menaruh bungkusan pedang itu.
"Lekas apa engkau suruh thamcu menunggu sampai
lama?" teriak Li thaubak.
Karena belum mendapat akal, terpaksa Cu Jiang
membawa bungkusan pedangnya. Thaubak itu hanya
tertawa tapi tak berkata apa2.
Setelah melalui berlapis-lapis penjagaan, mereka tiba di
sebuah ruang besar yang diterangi dengan lampu besar.
"Anggauta yang baru itu telah menghadap." seru Li
thaubak. "Suruh masuk." Li thaubak melirik kepada Cu Jiang dan menyuruhnya
dia sendiri yang masuk. Cu Jiang mengangguk. Ia masuk
dan melangkah naik ke atas titian dan masuk ke dalam
ruang. Dalam ruang Itu terdapat sebuah meja besar,
rupanya sebagai tempat untuk memberi perintah.
Di belakang meja itu duduk seorang tua berjubah kuning
emas Matanya berkilat-kilat merah seperti mata ular
sehingga menimbulkan rasa seram. Pada kedua samping
meja terdapat delapan kursi dari kayu jati. Tetapi baru berisi
tiga orang lelaki tua dan seorang lelaki setengah tua
berjubah kuning. Cu Jiang menduga bahwa lelaki tua berjubah emas
duduk dibelakang meja pimpinan itu tentulah iblis Ngo tok-
mo. "Menghaturkan hormat kepada thamcu." begitu masuk
Cu Jiang memberi hormat kepada lelaki di meja pimpinan
itu. "Oh, engkau membawa apa itu?"
"Perlengkapan bekal."
Ngo tok mo mengerling memandang ke arah tiga lelaki
tua jubah hitam yang duduk di sebelah kanan.
"Ku congkoan !"
"Siap !" seru salah seorang lelaki jubah hitam itu.
"Sediakan semua persiapan dan tunggu perintah dari
thancu." "Di ruang Bu-thia," katanya pula.
"Baik." Ruang Bu-thia atau tempat berlatih silat saat itu terang
benderang. Di panggung telah hadir tokoh2 pimpinan yang
berada dalam ruang tadi. Di bawah panggung terbentang sebuah lapangan seluas
tiga tombak. Di sekeliling lapangan itu berjajar-jajar dua
puluhan orang busu atau jago silat, tua dan muda.
Cu Jiang ditempatkan di pintu masuk.
"Song huhwat !" seru Ngo-tok-mo.
Lelaki tua Jubah kuning berdiri dari tempat duduk dan
memberi hormat. "Siapa namanya?"
"Cu Ing Jit." "Kepandaiannya tergolong tingkat ke berapa?"
"Dalam ujian, dengan sebuah jurus dia dapat
mengalahkan Tio sisu, rupanya bisa digolongkan kelas
satu." "Kelas satu?" "Ya," "Suruh seorang busu kelas satu untuk bertanding dengan
dia ?" "Baik." Lelaki jubah kuning itu berpaling kearah busu yang
duduk pada Jajaran kedua dan berseru: "Kwee sisu, cobalah
dia barang sejurus !"
Seorang bu-su berumur lebih kurang 40an tahun segera
berbangkit dan mengiakan. Dia melangkah ke tengah
gelanggang, memberi hormat ke arah panggung lalu
berputar tubuh dan berdiri di samping.
"Cu Ing Jit, pilihlah senjata dan bertandinglah dengan
Kwee si-su !" Sebenarnya Cu Jiang sudah sebal tetapi apa boleh buat,
dia harus bersabar lagi. Tanpa menyahut ia terus
menghampiri rak senjata dan sembarangan saja mengambil
sebatang pedang lalu menuju ke gelanggang dan
berhadapan dengan jago yang bernama Tio si-su. Tangan
kirinya tetap mencekal bungkusan pedang kutung.
Orang she Tio itu kerutkan kening dan berseru :
"Letakkan bungkusanmu itu."
"Tak usah !" Cu Jiang tersenyum.
"Mengapa engkau begitu sombong ?"
"Bukan sombong tetapi aku memang selamanya hanya
menggunakan sebelah tangan saja."
"Kita bertandang sejurus saja."
"Silakan menyerang dulu!"
"Tidak, engkau yang mulai dulu"
"Si su adalah tokoh terkemuka dalam perkumpulan kita,
bagaimana aku berani berlaku kurang hormat"
"Jika begitu, siap2lah menyambut seranganku ini!"
pedang dileburkan dan berhamburan hawa dingin melanda
Cu Jiang. Jalan-darah yang penting diseluruh tubuh, dari
atas sampai bawah. terancam ujung pedang. Hebatnya
membuat orang leletkan lidah.
Saat itu Cu Jiang tak berani menunjukkan siapa dirinya.
Dia hanya menangkis. Terdengar dering pedang beradu dan
serangan Kwee si-su itu semua dapat ditangkisnya. Merah
padam muka jago she Kwee itu.
"Maaf. sekarang harap menyambut seranganku." seru Cu
Jiang. ia terus gunakan salah sebuah jurus dari ilmu pedang
Thian te kiau thay. Pedang menyerang datar dan lurus ke
muka tetapi Kwee si su kelabakan tak dapat menangkis dan
terpaksa mundur tiga langkah. Wajahnya menyeringai tak
sedap dipandang. Cu Jiang tak mau mengejar. Ia menarik pulang
pedangnya. "Cukup!" seru Ngo-tok-mo "persidangan dibubarkan,
tujuh hari kemudian akan diadakan pengangkatan jabatan
yang resmi." Selain bu su serempak berdiri dan memberi hormat. Ngo
tok mopun segera masuk kedalam pintu samping.
Sementara seorang bu-su lain mengantarkan Cu Jiang
kembali kedalam kamar peristirahatannya.
Keenam bu su yang berjudi tadi sudah selesai dan siap
menunggu perintah. Diatas meja terdapat sebuah botol,
tentulah berisi air hu atau mantra.
Tak berapa lama, Li thaubak bergegas datang dan
berkata: "Cu In Jit, kamar ini hanya tinggal engkau seorang,
silakan beristirahat, jangan pergi kemana-mana."
"Baik." Ketujuh orang itupun segera tinggalkan ruangan. Cu
Jiang menutup pintu dan memadamkan lampu lalu rebah di
ranjang. Dia memikir-mikir bagaimana tindakan yang akan
dilakukan. Saat itu sudah lewat tengah malam, suasana sunyi sekali.
Kecuali hanya terdengar derap langkah dari para peronda,
tak terdengar apa2 lagi. Cu Jiang memutuskan untuk bertindak. Ia berganti
pakaian dan mengenakan kain kerudung muka, membawa
pedang kutung. Setelah siap dalam penyamaran sebagai
Toan-kiam-jan-jin, dia terus ke luar.
Para peronda itu hanya anak buah biasa. Sudah tentu
mereka tak dapat mengetahui gerak-gerik Cu Jiang.
Gedung itu mempunyai banyak sekali ruangan sehingga
sukar untuk mencari tempat Ngo tok-mo. Dia menuju ke
sebuah ruang yang paling akhir sendiri lalu bersembunyi di
ujung yang gelap. Tiba2 sesosok bayangan masuk ke dalam ruang dan
berseru: "Hamba Lu Goan, mohon menghadap hun than-
ciang untuk menghaturkan laporan penting!"
Semangat Cu Jiang timbul seketika. Ternyata dia telah
menemukan ruang yang tepat.
Dari dalam ruang itu terdengar suara Ngo-tok-mo yang
menusuk telinga: "Soal penting apa?"
"Cong-than, memberitahukan sebuah peristiwa yang
penting!" "Katakan!" "Menurut laporan rahasia, puteri Tayli yang pesiar ke
Tiong goan telah ditawan oleh pihak Gedung Hitam. Dan
tokoh yang bernama Toan-kiam-jan-jin itu ternyata telah
menjabat pangkat sebagai Tin tian ciang-kun (jenderal
bhayangkara keraton) Tayli. Diapun murid dari Koksu
Gong gong-cu. Pimpinan mengumumkan, supaya setiap
ketua cabang menyelidiki tentang gerak gerik Toan kiam-
janjin. Kalau menemukannya tak boleh bergerak sendiri
tetapi harus cepat2 memberi laporan karena ketua hendak
turun tangan sendiri untuk membereskannya."
"Oh." seru Ngo tok-mo.
"Murid masih ada sebuah hal yang perlu murid


Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

haturkan." "Hal apa?" "Kedua anak buah kita yang tertutuk jalan-darahnya itu
tak dapat diobati sehingga binasa. Kamipun berhasil
menangkap lima anak buah Gedung Hitam dan setelah
kami paksa menelan pil Ok-tim-wan, mereka memberi
keterangan bahwa Gedung Hitam tak mempunyai jago2
unggul didaerah Kwi ciu. Gedung Hitam tak tahu menahu
tentang peristiwa itu."
"Lu ciangleng. bagaimana pendapatan sendiri ?"
"Kuanggap Cu Ing Jit yang baru saja kita terima menjadi
pengawal itu, mencurigakan . . ."
"Apa alasannya ?"
"Dari kelima calon yang hendak kita terima menjadi bu-
su. ternyata yang empat dapat meloloskan diri, hanya
tinggal dia seorang yang selamat. Dan pula menilik gerak
ilmu pedangnya seperti bukan berasal dari ilmu pedang
aliran Tionggoan. Dia masih belum mau menunjukkan
ilmu kepandaiannya yang sesungguhnya. Sebenarnya waktu
di biara Sian-yu-kwan dia sudah disuruh menelan pil In-
seng-wan, tetapi ternyata pikirannya masih sadar dan
tingkah lakunya juga tetap biasa .... "
"Hal itu aku memang sudah melihatnya. Kalau menurut
Lu ciangleng, bagaimana kita akan menyelesaikan orang
itu?" "Segera membuka sidang peradilan dan seluruh tong-cu
harus hadir." "Baik." Ciangleng atau pembawa amanat orang she Lu itu segera
bergegas keluar. Cu Jiang loncat ke luar dari tempat gelap.
Ia mendorong pintu ruang tengah tetapi ruang itu kosong.
Dia terus melangkah masuk.
"Siapa?" "Aku." "Engkau siapa?"
"Orang yang anda hendak cari itu!"
Ngo tok-mo segera membawa lampu keluar. Begitu
melihat siapa yang berada dalam ruang itu, dia berteriak
gentar: "Engkau Toan-kiam-jan jin?"
"Heh, heh, benar," Cu Jiang tertawa mengekeh, "silakan
engkau berteriak minta tolong atau memanggil bala bantuan
anak buahmu!" Ngo-tok-mo deliki mata. Ia menyulut lilin besar dalam
ruang itu kemudian mempersilakan tetamunya duduk.
"Tak usah," Cu Jiang menolak.
"Kita akan bercakap cakap."
"Tak perlu!" "Lalu apa maksudmu datang kemari?"
"Katakan saja, untuk menagih hutang darah dari rakyat!"
"Ha, ha. ha, ha ...."
"Hm, rupanya engkau tenang2 saja" "
Segulung bau harum bertebaran menyusup hidung. Cu
Jiang segera menyadari bahwa saat itu Ngo-tok-mo sedang
menebarkan racun harum. Tetapi dia tenang saja karena
mempunyai katak-mustika. "Toan kiam-jan-jin, engkau benar2 bernyali besar karena
berani menyusup masuk ke dalam markas ini. Entah
bagaimana engkau harus menderita kematian nanti."
"Mungkin kebalikannya, bukan aku tetapi engkau!"
"Mengapa engkau tak mencoba mengerahkan tenagamu?" "Apa maksudmu?"
"Ketahuilah, dalam lingkungan tempat kamar ku, penuh
dengan racun2 berbisa. Sekali melangkah kedalam
lingkaran daerah racun itu, dewapun pasti mati juga!
"Benarkah itu?"
"Engkau..." "Bagaimana kepandaianmu kalau dibanding dengan
nenek Teh-hun-pi-peh?"
Wajah Ngo tok-mo seketika berobah. Sesaat kemudian
dia menenangkan diri, mempersiapkan kedua tangan untuk
menjaga diri dengan ketat.
Cu Jiang harus memburu waktu. Dia tak mau tenaganya
diperas terlalu lama disitu. Dengan membentak keras, ia
terus ayunkan pedang kutung. Harus cepat2 dapat
membunuh iblis itu maka dia gunakan seluruh tenaganya.
Ngo tok-mo tak dapat menghindar mundur. Kanan
kiripun telah tertutup oleh sinar pedang. Tak ada lain jalan
kecuali harus mengadu jiwa. Maka diapun lancarkan
serangan balasan. Huak.... terdengar suara menguak ngeri, disusul dengan
darah menyembur. Tangan Ngo tok mo masih menuding
Cu Jiang dan mulut menganga seolah-olah ia tak puas harus
menemui keakhiran hidup seperti itu. Tetapi nasib sudah
digariskan. Dia tetap terkulai dan rubuh ke tanah.
Pada saat lawan melancarkan serangan balasan tadi, Cu
Jiang pun sudah mundur beberapa langkah. Darahnya
bergolak keras. Jeritan ngeri dari Ngo-tok-mo itu telah mengejutkan
kawanan peronda. Mereka segera memburu masuk ke
ruang itu. Cu Jiang membakar kain tirai dan kelambu.
Begitu terbit kebakaran, terompet pertandaan segera
berbunyi. Seluruh markas di makan api.
Sekali sudah turun tangan, Cu Jiang tak mau kepalang
tanggung. Dia terus melepas api untuk membakar markas.
Setelah seluruh markas menyala, barulah dia lari menuju ke
biara Sian-yu-kwan. Tetapi saat itu ternyata biara Sian-yu-kwan juga sedang
kacau balau tak keruan. Malaikat-hidup yang biasa
memberikan obat, hilang entah ke mana. Sedang seguci hu
yang baru saja diangkut ke biara itu juga lenyap.
Siapakah yang berani melakukan perbuatan itu"
Lelaki jubah kuning yang hendak mengganti giliran
sebagai Malaikat hidup, berjingkrak-jingkrak seperti
kebakaran jenggot. Dia memerintahkan seluruh anak buah
biara itu untuk mencari secara diam2 tak boleh menyiarkan.
Karena kalau hal itu sampai bocor, tentulah permainan
mereka akan ketahuan orang.
Tiba di biara Sian yu kwan. Cu Jiang melihat waktu
sudah hampir mendekati fajar. Dia terus menyelinap masuk
ke bagian belakang. "Siapa itu ?" Terdengar orang menegur dan terdengar pula suara
sosok tubuh yang jatuh ke tanah.
Lelaki jubah kuning lari memburu ke halaman. Sejenak
memandang ke empat penjuru, ia berseru bengis: "Sahabat
dari manakah yang berkunjung kemari?"
"Aku datang hendak menghadap Malaikat-hidup."
terdengar suara penyahutan dari arah tempat yang gelap.
Lelaki jubah kuning itu terkejut dan dengan gemetar ia
berseru pula: "Siapakah sahabat ini?"
Tiba2 dihadapannya muncul seorang yang mengenakan
kain kerudung muka. "Engkau . , . Toan kiam janjin" "
"Benar! " "Engkau . . , engkau . .. hendak mengapa?"
"Hendak menumpas kedosaanmu yang berani menyaru
menjadi Malaikat dan mencelakai rakyat!"
"Tolong . . !" teriak lelaki jubah kuning memanggil anak
buahnya. Beberapa anak buahnya segera berhamburan muncul.
Empat orang yang mengenakan pakaian seperti imam serta
busu terus menyerang Cu Jiang. Tetapi hampir serempak,
mereka menjerit ngeri dan rubuh.
Lelaki jubah kuning itu tahu akan kelihayan Toan-kiam
jan jin yang mampu mengalahkan nenek Toh-hun pipeh
atau guru dari gerombolan iblis Sip-pat-thian mo.
Maka pada saat keempat anak buahnya menyerang Cu
Jiang, diapun terus menyelinap pergi dan menghilang
dalam kegelapan. Tetapi ternyata Cu Jiang lebih gesit. Begitu tiba dalam
hutan di belakang biara, baru lelaki tua jubah kuning itu
menghela napas longgar dan hendak menyembunyikan diri,
tiba2 sesosok bayangan berkelebat dan:
"Malaikat-hidup, mau mengumpat kemana engkau?"
terdengar teriakan disertai munculnya Toan kiam jan jin di
hadapannya. Lelaki jubah kuning melongo seperti kehilangan
semangat. "Malaikat hidup, bagaimana kalau engkau bunuh diri
saja?" Cu Jiang tertawa dingin.
Tiba2 lelaki tua jubah kuning itu mengangkat kedua
tangannya dan menghantam. Karena gugup ketakutan, dia
telah menggunakan seluruh tenaganya.
"Hm, rupanya engkau mau membangkang! " Cu Jiang
menyelinap dan ayunkan tangan. Lelaki jubah kuning itu
mengaum, terhuyung-huyung beberapa langkah ke belakang
dan muntah darah. "Uh..." Cu Jiang memburu dan menutukkan jarinya.
Lelaki tua jubah kuning itupun rubuh.
Cu Jiang menjinjing tubuh orang itu, lari kembali ke
biara, menyingkap kain tirai dan mengikat lelaki jubah
kuning itu pada kursi. "Malaikat hidup, begitu hari terang, rakyat yang minta
air hu kepadamu itu akan memberi peradilan!"
"Toan kiam janjin, bunuhlah aku!" seru lelaki jubah
kuning itu. Cu Jiang menutuk jalan darah gagu di tenggorokan
orang itu, katanya: "Enak kalau engkau harus mati.
Masakah permainan tadi dari Thong thian kau tak ada
urusannya lagi?" Sepasang mata lelaki jubah kuning itu seperti mau pecah.
Dadanya diamuk amarah dan kembali dia muntah darah.
Tetapi ilmu kepandaiannya sudah dirusak dan mulutnya tak
dapat bicara, Tak ada lain jalan baginya kecuali hanya
pasrah nasib. Cu Jiang berdiri di muka ruang sambil mencekal pedang
kutung. Kawanan anak buah yang diperintah untuk
mencari gentong air hu yang hilang itu mulai kembali lagi
ke biara. Tetapi mereka telah disambut Cu jiang. Cu Jiang tak
mau membunuh, melainkan hanya merusak tenaga
kepandaian mereka. Hari baru saja fajar tetapi di luar pintu biara sudah
banyak orang yang berkerumun untuk minta air hu. Mereka
antri. Cu Jiang tertawa puas, lalu tinggalkan biara itu.
Begitu masuk kedalam biara, rakyat tentu akan mengetahui
peristiwa dalam biara itu.
Cu Jiang kembali menyamar seperti pemburu dan lari
keluar kota untuk menemui Thian put thou di rumah
penginapan. Ternyata Thian put thou memang sudah
menunggu. "Adik kecil, bagaimana keadaannya?"
"Rakyat akan menghakimi. Tetapi air hu itu .... "
"Oh. telah kuserahkan kepada pimpinan partai Kay pang
disini untuk membagi-bagikan kepada penduduk."
Keduanya lalu melanjutkan perjalanan. Hari itu mereka
tiba di sebuah kota kecil didaerah pegunungan. Dari situ
mulai memasuki gunung tempat markas Gedung Hitam.
Ternyata kota kecil disitu sudah dikuasai pihak Gedung
Hitam. Tiga empat kali mereka bertemu dengan orang2
Gedung Hitam yang bertanya tentang diri mereka.
Untung Thian-put thou banyak pengalaman. Dia dapat
memberi jawaban yang menghilangkan kecurigaan orang,
Menilik hal itu, jelas bahwa penjagaan Gedung Hitam tentu
luar biasa ketatnya. Mereka singgah disebuah rumah makan. Waktu makan.
Cu Jiang berbisik-bisik meminta agar Thian put thou tinggal
di kota itu. "Uh, engkau memang selalu hendak mencampakkan aku
saja ..." "Bukan begitu. Aku terlanjur bersumpah hendak
melakukan balas dendam itu dengan tanganku sendiri."
"Tetapi bukankah tujuanmu kemari karena hendak
menolong puteri dari Tayli itu ?"
"Melakukan pembalasan, sekalian untuk menolong
orang dan mungkin masih ada lain2 hal lagi."
"Apakah tenagaku tak engkau butuhkan ?"
"Tentu. Maka kuminta lo koko tinggal disini agar setiap
waktu yang diperlukan, dapat memberi bantuan kepadaku."
"Baiklah, toh percuma saja aku ngotot, engkau tentu tak
mau merobah pendirianmu."
Cu Jiang tertawa dan minta maaf karena selama ini
selalu suka membawa adat menuruti kemauannya sendiri.
Thian-put thou hanya tertawa dan mengajaknya
melanjutkan makan dan minum. Setelah selesai, mereka
lalu berpisah. Cu Jiang berangkat masuk ke gunung. Dia tak
mau mengambil jalan biasa melainkan melintas gunung dan
desa yang lebih dekat. Selain mempersingkat waktu, pun pos2 penjagaan
Gedung Hitam juga sukar untuk mengetahui.
Menjelang petang, tibalah dia di puncak yang terdapat
kuil gunung. Kuil itu dulu pernah dibuat tempat sau-pohcu
atau putera dari ketua Gedung Hitam, melarikan Ki Ing dan
hendak mencemarkan kehormatan nona itu.
Saat itu malam tiada rembulan, hanya bintang2
bertaburan di langit. Tiba2 Cu Jiang melihat tak berapa jauh
dari tempatnya berdiri, terdapat dua gunduk tanah kuburan.
Dia terkejut dan heran. Segera tempat itu dihampirinya. Ternyata tak ada batu
nisannya dan gundukan tanah itupun penuh ditumbuhi
dengan rumput tinggi. Dengan begitu tak dapat diketahui
siapakah yang dikubur didalam tanah itu.
Didepan tanah kuburan yang tak bernama itu terdapat
sebuah batu besar yang berbentuk seperti kerbau
mendekam. Dia naik keatas gunduk batu itu dan


Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menimang-nimang langkah selanjutnya. Dia lalu membuat
guratan tentang peta yang dibuai Ih Se lojin, paman
gurunya dahulu. Tindakan itu memang tepat sekali. Apabila terlambat,
dia tentu akan mengalami nasib yang mengerikan. Pada
saat jarinya merabah permukaan batu itu, ia seperti
merasakan batu itu terdapat guratan, serentak ia menghapus
pakis yang memenuhi batu itu.
Kini ia melihat jelas bahwa pada permukaan batu itu
terdapat dua buah guratan yang melukiskan sebuah topi
imam dan sebuah kopiah pendeta.
Apakah artinya itu "
Setelah merenung beberapa saat, tiba2 ia tersadar. Jelas
bahwa yang dikubur dalam dua buah gunduk tanah itu
tentulah kedua tokoh dari Bu-lim Sam-cu yakni Thian-hian
cu dan Go-leng-cu. Ternyata toa suhengnya, Ho Bun-cai, tak ingkar janji.
Dia benar2 mengubur jenazah kedua tokoh itu dengan
sebaik-baiknya. Dan agar tidak diketahui orang, maka dia
hanya membuat dua buah guratan gambar topi dan kopiah.
Penemuan itu hanya membuat hatinya sedih mengenangkan peristiwa2 yang telah lampau. Kedua tokoh
Bu-lim Sam-cu telah binasa demikian pula Ho Bau Cai, toa
suhengnya, pun mati dibunuh oleh Gedung Hitam.
Ia harus membalas semua dendam darah itu. ia tak tahu
bagaimana nanti kesudahan dari tindakannya menggempur
markas Gedung Hitam itu. Sekonyong-konyong terdengar suitan nyaring memecah
kesunyian. Cu Jiang menduga tentulah kawanan anak buah
Gedung Hitam yang sedang melakukan ronda.
Untuk sementara ia tak mau turun tangan dan akan
bersembunyi dulu. Ia segera melayang masuk kedalam
hutan dan bersembunyi di atas dahan sebuah pohon yang
lebat. Tepat pada saat itu muncul empat orang lelaki tua
bertubuh tinggi besar. Salah seorang rambutnya putih
mengkilap, Cu Jiang dapat melihat jelas bahwa kemungkinan besar keempat orang itu bukan dari Gedung
Hitam. Keempat orang itu tiba2 berhenti lalu duduk bersila
di muka gunduk kuburan. "Suhu, kapan kita mulai turun tangan ?" seru salah
seorang yang duduk di sebelah kanan kepada lelaki tua
berambut putih yang duduk ditanah.
"Setelah terang tanah !"
"Masih ada waktu."
"Kita bunuh dulu beberapa kelinci dan anak cucunya."
"Tetapi tidakkah hal itu akan membuat mereka tahu dan
memperkeras penjagaan ?"
"Ah. tak apa. Mereka hanya mengandalkan barisan Ho
thian-tin saja." Orang yang duduk di sebelah kiri berseru sinis: "Asal
Gedung Hitam sudah dibasmi dan Toan-kiam-janjin
menyerahkan batang kepalanya, perkumpulan kita tentu
akan menjadi yang dipertuan dalam dunia persilatan."
Cu Jiang terkejut. Kiranya beberapa orang itu adalah
tokoh2 terkemuka dari gerombolan Sip-pat-thian-mo.
Sungguh kebetulan sekali. Jika mereka menyebut kakek
berambut putih itu dengan panggilan suhu, bukankah kakek
itu tokoh iblis yang bernama Jui- beng-koh"
Barisan Ho-thian-tin merupakan salah satu dari ilmu
barisan Ki bun ceng coat. Dan ilmu ajaran Ki bun ceng coat
itu berasal dari perguruan Thay hi bun.
Mengapa mereka tahu akan nama barisan itu" Dan
mengapa pihak Gedung Hitam dapat menyusun barisan
semacam itu" Cu Jiang teringat bahwa toa-supeh (paman guru) pernah
menyuruh dia menyelidiki, siapakah orang yang dapat
menyusun barisan itu. Tiba2 salah seorang dari keempat lelaki tua itu berkata:
"Kali ini jika tak mengandalkan ilmu kepandaian merobah
muka dari Kiu-te (saudara yang kesembilan) sehingga dapat
menyusup kedalam Gedung Hitam tentu sukar untuk
mengetahui siapa yang menyusun barisan itu..."
Cu Jiang menimang. Kiu-te adik kesembilan tentulah
dimaksud Cian-bin Koay-mo atau Iblis-seribu muka yang
tercantum pada urutan ke sembilan dalam gerombolan Sip-
pat-thian-mo. Mengapa mereka hendak mencari orang yang menyusun
barisan itu " Apa maksudnya "
Cu Jiang segera memasang telinga untuk mendengarkan
pembicaraan mereka lebih lanjut.
"Lo pat, rupanya Thian memberkahi kita," kata lelaki
yang berada di sebelah kiri.
"Tetapi harus membantu diri sendiri dulu baru Thian
akan membantu kita." sahut orang tua berambut pulih.
"Lo-liok, yang paling menakutkan adalah si Toan kiam
jan-jin itu..." "Ji-ko," kata kawannya yang disebut Lo-liok atau
saudara yang keenam, "keadaan kita memang sudah
berantakan. Yang mati dan yang cacad. Dendam darah ini,
negeri Tayli harus membayar seratus kali lipat."
-oo0dw0oo- Jilid 23 Tamat Diam2 Cu Jiang menghitung-hitung. Gerombolan sip-
pat-thian-mo, selain tiga iblis yang saat itu berada disitu,
hanya tinggal dua lagi yaitu iblis nomor sembilan dan iblis
nomor satu. Kalau ia dapat membasmi empat iblis lagi.
kekuatan mereka tentu sudah rontok.
Tetapi dia tahu bahwa iblis tua yang berada disitu, tentu
sukar dihadapi. Tentu harus mencari aksi dan kesempatan
untuk menghancurkan mereka. Jika mereka sempat bersatu
dan melakukan pengeroyokan, akibatnya tentu sukar
dibayangkan. "Lo kiu datang"!" tiba2 lelaki tua di sebelah kiri berseru.
Dan serentak itu seorang lelaki tua berpakaian hitam
muncul dengan mencekal tangan seorang lelaki setengah
tua yang juga berbaju hitam.
Wajah lelaki setengah tua itu pucat lesi dan gemetar
ketakutan. Lelaki tua berambut putih berpaling dan menegur tajam:
"Bagaimana !" "Dia sudah melukis barisan itu."
"Boleh dipercaya?"
"Dia takut mati sekali !"
"Ha, ha, ha, ha..."
Cian bin koay-mo segera mengeluarkan segulung kertas,
katanya: "Inilah gambar barisan itu. Setiap lukisan empat
helai, harap suhu periksa."
Ia memberikan kepada iblis kedelapan yang berada dekat
dengan dia, kemudian iblis kedelapan itu memberikan
selembar kepada iblis tua berambut putih, sisanya dibagi-
bagikan setiap orang selembar.
Dalam tempat persembunyiannya, Cu Jiang memandang
dengan seksama kepada lelaki setengah tua yang tangannya
dicengkeram iblis Cian-bin koay-mo.
Tetapi ternyata dia tak kenal dengan orang itu, Menurut
pakaiannya, orang itu tentulah seorang tokoh Gedung
Hitam yang mempunyai kedudukan tinggi.
Keempat iblis itu memeriksa teliti gambar barisan.
Kemudian iblis ke sembilan atau cian-bin koay-mo (iblis
seribu muka) berkata: "Gambar itu sama dengan gambar yang dulu dia
serahkan. Agar tidak salah maka kusuruh dia membuat lagi
empat lembar..." "Waktu sudah hampir tiba, kita bekerja menurut rencana
semula!" kata iblis tua rambut putih.
Cianbin koay-mo segera menarik lelaki setengah tua itu
bersembunyi kearah ia datang tadi. Sedang ketiga iblis yang
lain lalu berpencaran. Terdengar suara genderang berbunyi tiga kali. Cu Jiang
makin tegang. Tak perlu diragukan lagi iblis tua berambut
putih itu tentulah iblis Jui bengkok atau si Genderang-
pelelap nyawa, guru dari kawanan Sip pat thian mo.
Suara kentungan itu ternyata bukan kentungan biasa
melainkan hamburan dari mulut iblis berambut putih itu.
Memang aneh dan dahsyat sekali nadanya sehingga anak
telinga hampir pecah di buatnya.
Diam2 Cu Jiang teringat akan pasangan dari iblis tua itu
yakni nenek Toh hun pi peh. Jika tidak karena ia memiliki
tenaga dalam yang kuat, tentulah dia sudah binasa digetar
suara harpa nenek itu. Diapun masih memikiri lelaki setengah tua yang
diringkus Cian bin koay mo itu. Orang itu rupanya tahu
akan rahasia barisan Ho thian tin ia harus membayangi
orang itu. Maka iapun segera menyelinap turun dari pohon dan
terus mengitar menuju kesamping mencari Cian-bin koay-
mo. Bagian belakang gunung itu merupakan sebuah tempat
yang turun naik seperti bentuk pelana kuda, puncak disitu
seolah2 bersambung dengan puncak yang lain seperti
bentuk punggung onta. Saat itu sudah menjelang tengah malam, Gelap sekali.
Karena sampai beberapa waktu tak dapat melihat bayangan
Cian bin koay-mo akhirnya Cu Jiang naik lagi ke puncak
gunung. Diatas puncak itu pohon2 tumbuh tinggi tetapi tak
berapa banyak. Dari jauh ia seperti melihat sosok bayangan
bergerak dibawah pohon. Hati2 sekali Cu Jiang menghampiri. Ternyata dibawah pohon itu memang terdapat Cian bin
koay-mo. Sedang lelaki setengah tua itu diikat dengan akar
pohon, rupanya jalan-darahnya telah ditutuk.
Cu Jiang membuka bungkusan dan menyisipkan pedang
kutung di pinggang. Dia tak mengenakan kerudung muka
dan tetap tak ganti pakaian.
"Tio-huhwat." seru Cian bin koay-mo dengan nada sinis.
"terpaksa menyiksamu satu malam ini. Kalau penghancuran barisan itu berjalan lancar, engkau boleh
bebas!" Kiranya lelaki setengah tua itu hu-hwat dari Gedung
Hitam. Tetapi mengapa dia dapat melukis barisan Ho thian-
tin " Waktu amat mendesak. Cu Jiang tak mau membuang
waktu. Dia terus muncul dan Cian-bin koay-mo pun cepat
dapat mengetahui. "Siapa ?" Ia berputar diri dan membentak.
"Seorang pejalan gunung." sahut Cu Jiang.
Melihat perwujudan Cu Jiang, rupanya Cian bin koay-
mo meremehkan, Dia terus melesat maju menghampiri dan
tertawa mengekeh: "Budak kecil, pulang saja ke rumah
nenekmu !" Secepat kilat. Cian-bin koay-mo mencengkeram. Begitu
hampir menyentuh dada. Cu Jiang terus menghantamnya.
Sudah tentu Cian-bin koay-mo tak mengira sama sekali.
Apalagi tenaga kepandaian Cu Jiang jauh lebih tinggi.
Seketika ia menjerit ngeri dan muntah darah.
"Bluk . . ." iblis itupun jatuh.
"Bangun !" bentak Cu Jiang.
Cian-bin koay-mo berbangkit dan memandang Cu Jiang
dengan bengis. "Budak, engkau .... siapa ?"
"Bukankah anda ini Cian-bin koay-mo ?" Cu Jiang balas
bertanya. "Bagaimana .... engkau tahu ?"
"Aku telah mengarungi empat penjuru dunia karena
hendak mencari engkau."
Cian bin koay-mo menyurut langkah.
"Siapa sebenarnya engkau !"
Pelahan-lahan Cu Jiang mencabut pedangnya.
"Toan-kiam-jan Jin!" Cian-bin koay-mo memekik kaget,
seraya terus loncat ke balik pohon. Tetapi Cu Jiang
gunakan tata-langkah Gong-gong-poh-hwat untuk mengejar
sehingga Cian-bin-koay-mo kabur matanya karena tak
dapat menentukan tempat posisi lawannya.
Cian bin koay-mo serasa bilang semangatnya ketika
melihat Cu Jiang seperti lenyap. Pukulan yang dideritanya
telah menyebabkan ia terluka parah.
Satu-satunya jalan yang paling selamat ialah harus lari.
Dengan menghimpun sisa tenaga, dia terus hendak
ayunkan tubuh.... "Berhenti!" tiba2 segulung tenaga telak mendorong
tubuhnya yang tengah melayang di udara itu terpental jatuh
ke tanah lagi. Dan tahu2 Toan-kiam-jan-jin sudah berada
dihadapannya. "Toan-kiam jan-Jin ... engkau hendak mengapakan
diriku ?" seru iblis itu menggigil.
Karena jejaknya sudah diketahui oleh kawanan Sip-pat-
thian mo, maka Cu Jiang memutuskan akan membasmi
kawanan iblis itu. Kalau tidak kelak tentu menimbulkan
bahaya besar bagi negeri Tayli.


Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bagaimana selera anda tentang alam pemandangan di
tempat ini?" serunya dingin.
Tubuh Cian-bin koay-mo gemetar. Tiba2 mulutnya
memekik aneh dan dengan menggunakan segenap sisa
tenaganya yang ada. ia hantamkan kedua tangannya kearah
Cu Jiang. Dia memang sudah kalap dan tak mau mati
begitu saja. Bum . . . Cu Jiang pun menyongsongkan kedua tangan
untuk mengadu kekerasan. Terdengar suara erang tertahan
dan tubuh Cian bin koay-mo sempoyongan lalu rubuh.
Setelah beberapa saat menggelepar meregang jiwa,
akhirnya tubuhnya pun kaku tak berkutik lagi.
Cu Jiang terkejut sekali ketika melihat wajah Cian-bin
koay-mo telah berubah menjadi lain perwujudan. Tetapi dia
tak sempat untuk menyelidiki hal itu dan terus lari kembali
ke tempatnya tadi. Dari puncak disebelah muka terdengar suara bentakan
keras bercampur dengan pekik jeritan ngeri. Rupanya
kawanan iblis itu sudah mulai mengganyang anak buah
Gedung Hitam. Biar mereka saling bunuh sendiri, Cu Jiang
tak mau menghiraukannya. Ketika melihat Cu Jiang, huhwat Gedung Hitam yang
diikat dengan akar pohon tadi. wajahnya berobah lesi. Cu
Jiang segera menghampiri.
"Siapakah nama anda ?" tegurnya.
"Lau Wi Han." "Asal dari ?" "Maaf tak dapat memberitahu."
Cu Jiang mendengus: "Apakah barisan Ho-thian tin itu
anda yang merencanakan?"
"Ya, benar." "Gambar barisan yang aseli, darimana anda mendapatkan ?" Hu-hwat Gedung Hitam itu deliki mata. Beberapa saat
kemudian baru dia berkata dengan suara tersendat:
"Ini ... ini .. . warisan keluargaku!"
"Apa katamu" Warisan dari keluarga?"
"Ya." "Siapa keluarga anda?"
"Ya . . . yalah keluarga Lau."
"Ilmu barisan keluarga Lau."
"Benar." "Dalam dunia persilatan Tionggoan, rasanya tak pernah
terdengar sebuah barisan dari keluarga Lau ..."
"Yang mengerti, belum pasti namanya akan termasyhur."
Cu Jiang menggeram marah: "Ketahuilah, Jika anda tak
mau bicara terus terang, aku tak menjamin keselamatan
jiwamu." "Memang keteranganku itu semua sungguh2!"
"Betul" Hm, rupanya kalau belum Melihat peti mati,
anda memang belum menangis . . . . " habis berkata Cu
Jiang hendak menutuk perut orang itu tetapi tiba2 dia
melihat jari tangan kanan orang itu hanya tiga. Jari telunjuk
dan jari tengah hilang. Seketika meluaplah bawa pembunuhan dalam benak Cu
Jiang. Dia batalkan tutukannya.
"Mengapa jari tangan anda hilang dua buah?" tegurnya
dengan mengertek gigi. Seketika wajah orang itu berkerenyutan tegang dan
membisu. "Bilang!" bentak Cu Jiang.
"Ini . . . apa kepentinganmu?"
"Apa engkau tetap tak mau bilang?"
"Tak . . . bisa memberitahu."
"Peristiwa berdarah di gunung Bu-leng san, apa engkau
masih berani menyangkal tak ikut campur?"
Wajah Lau Wi Hian makin ngeri.
"Toan kiam janjin . . . engkau . . . engkau benar putera
dari Dewa-pedang?" "Ya. " "Mengapa . . . engkau tahu?"
"Di tempat pertempuran itu terdapat kutungan jari."
"Tetapi . . . tetapi hal itu hanya secara kebetulan saja.
Aku . . . aku tak tahu ..."
Karena geram, Cu Jiang menutuk perut orang itu. Lau
Dewi Karang Samudera 1 Joko Sableng 34 Dewi Bunga Asmara Ratu Kembang Mayat 1
^