Pencarian

The Truth About Forever 3

The Truth About Forever Karya Orizuka Bagian 3


banguntidur. Wajahnya pucat dan berkeringat. "Apa?"
"Kamu gak kenapa-napa, kan?" tanya Kana khawatir.
Yogas berdecak kesal, tampak sebal sudah diganggu.
"Kalo gak ada perlu lagi, gue mau tidur," kata Yogas dan sementara Kana memeperhatikan
wajahnya, dia menutup pintu.
Kana menghela napas, lalu pergi. Ketika dia baru berjalan beberapa langkah, terdengar suara
gaduh dari kamar Yogas. Kana segera kembali dan membuka pintu kamar Yogas, lalu
mendapatinya sudah tergeletak di lantai. Tubuh cowok itu tampak menggigil.
"Gas!" Kana berseru panik, lalu terduduk di sampingnya. Dia memegang dahi Yogas dan terkejut
oleh suhunya yang sangat tinggi. Kana menoleh ke kanan dan ke kiri panik, lalu menepuk-nepuk
pipi Yogas yang panas. "Gas! Naik ke kasur ya!"
Kana membantu Yogas untuk naik ke kasur. Tubuh Yogas sangat berat, juga panas. Bajunya
sudah basah bermandikan keringat dingin. Setelah Yogas terbaring di kasur, Kana segera
membuka baju Yogas yang basah dan mencari-cari baju bersih. Namun, yang dia temukan hanya
setumpuk baju kotor yang belum dicuci. Kana melesat le kamarnuya sendiri, mengaduk lemari
dan menemukan sweter milik ayahnya, setelah itu memakaikannya pada Yogas.
"Gas, tunggu bentar ya, aku ambil es batu dulu," kata Kana pada yogas yang hanya bisa
bergumam. Kana segera turun ke rumah tantenya. Tantenya heran melihat Kana yang terburu-buru
mengambil es batu dari dalam kulkas.
"Kan" Buat apoa es batu?" tanyanya.
"Itu, Buli, si yogas..." Kana terdiam, teringat pada Yogas yang pasti tidak ingin ibu kost tahu soal
penyakitnya. "Si Yogas...?" tanya tantenya penasaran.
"Si Yogas... mau bikin es teh!" sahut Kana cepat, lalu segera kembali secepat mungkin ke atas.
Yogas masih menggigil dan dia mulai meracau.
Setelah mengisi baskom dengan air dan es batu, Kana mengambik saputangan handuk. Tak lupa,
dia juga mengambil selimut miliknya dan memakaikannya ke tubuh Yogas.
Yogas berhasil membuka matanya sedikit, sadar kalau Kana ada di sampingnya. Walaupun
berkunang-kunang, yogas masih bisa melihat Kana yang sedang memras saputangan. Saat Kana
hendak meletakkannya ke dahi Yogas, Yogas menepisnya.
"Pergi.., jangan peduliin gue," gumam Yogas, tetapi Kana tidak peduli. Dia mengambil
saputangan yang jatuh, lalu berusaha menempelkannya ke dahi Yogas. Yogas bersikeras tidk
mau. "Gas!" sahut Kana marah. "Jangan pikir aku bego ya! Aku tahu penyakit kamu gak akan menular
kalo cuma begini!" Yogas berhenti berusaha dan membiarkan Kana mengompres dahinya. Kana menghela napas.
"Sori. Gak bermaksud teriak-teriak," Kana membetulkan selimut Yogas. "Kamu kok bisa panas
begini sih?" Kana mengedarkan pandangannya kekamar Yogas, dan menemukan seonggok baju basah di
pojokan. Kana mendelik pada Yogas.
"Kan, sudah aku bilang bawa payung," kana mengomel sambil mengambil kompres di dahi
Yogas. Dia mencelupkannya ke baskom, memerasnya, lalu meletakkannya kembali, tetapi kali
ini kompres itu jatuh di mata Yogas. Yogas meringis kedinginan dan Kana seperti pura-pura
tidak melihatnya. Yogas membenahi sendiri letak kompresnya sambil melirik Kana yang masih kelihatan sebal.
"Cari penyakit sendiri," kata Kana pendek, kemudian bangkit. Yogas sama sekali tak punya
tenaga untuk bertanya kemana dia mau pergi. Sebelum menghilang di pintu, Kana menoleh.
"Mau ambil obat," katanya, lalu pergi.
Yogas menatap langit-langit yang tampak berbayang. Alangkah baiknya kalau Kana mau terus
menemaninya seperti ini. Yogas tidak akan protes walaupun dimarahi seperti tadi seumur
hidupnya. Yogas menurunkan kompres itu ke matanya, siapa tahu air matanya keluar lagi. Beberapa menit
kemudian, Kana kembali dengan berbagai jenis obat di tangannya. Kana duduk di samping
Yogas sambil mengamati ibat-obat itu.
"Hm, yang mana ya?" gumamnya membuat Yogas mengintip dan menatapnya ngeri. Bisa saja
cewek itu memberinya obat untuk diare. "Yang ini aja, deh."
Kana membuka kemasan salah satu obat, lalu menyodorkannya pada Yogas yang tampak
enggan. Seperti tidak mau tahu, Kana mengambilk sebotol air mineral dan membantu Yogas
untuk minum. Yogas sendiri akhirnya tidak bisa menolak dan pasrah saja menelan pil berwearna
putih itu. Setelah Yogas berhasil meminum obat penurun demam, Kana membetulkan selimut Yogas dan
mengganti kompresnya. Kana kemudian menengok ke sekeliling seolah mencari sesuatu.
"Gas" Obat kamu mana" Udah diminum belum?" tanya Kana membuat Yogas memejamkan
mata, berpura-pura tidur. "Gas" Kamu udah ke ruamh sakit?"
Kana melirik Yogas yang tampaknya sudah tertidur, lalu menghela napas. Setelah mengganti
kompres sekali lagi, Kana bangkit dan bergerak keluar kamar. Saat itulah Yogas membuka mata
dan menatap langit-langit.
Obat. Rumah sakit. Duahal yang tidak mungkin bisa membantunya. Yogas tak mau repot-repot
pergi ke rumah sakit hanya untuk ditolak. Sudah cukup semua penolakan yang pernah
dialaminya. Yogas melirik pintu yang sudah tertutup, bertanya-tanya apa Kana akan datang lagi walaupun
yogas sadar, dia sudah menyakiti dirinya sendiri lagi dengan harapan ini.
*** Kana mengaduk bubur dalam panci dengan pandangan ksong. Pikirannya melayang pada Yogas
yang sekarang sedang terbaring demam di kamarnya. Dia pasti kehujanan, dan karena daya
tubuhnya rendah, dia mudah kena sakit.
Kana juga berpikir soal obat yang waktu itu sudah remuk di tangan Yogas. Apa yogas sudah ke
ruamh sakit lagi untuk meminta obat" Kalau belum, apa Yogas baik-baik saja tanpa obat itu"
"Kan, kamu ngapain" Buburnya hangus tuh!" sahut tantenya, menyadarkan Kana.
Kana segera mematikan kompir, lalu mengangkat panci itu dan menuang isinya ke dalam
mangkuk. Tantenya mengamatinya penuh minat.
"Tumben kamu masak bubur malem-malem gini," komentarnya membuat Kana gelagapan.
"Ng, lagi pengen aja," kata Kana cepat, lalu segera pergi membawa bubur itu naik ke kamar
Yogas tanpa memperdulikan tatapan curiga tantenya.
Kana membuka pintu kamar Yogas, lalu duduk di sampingnya. Yogas masih tampak tertidur.
Kana mengganti kompres, kemudian menepuk-nepuk pelan pipi Yogas. Panasnya ternyata sudah
mulai turun. "Gas," kata Kana membuat Yogas membuka mata. Dia memang sempat tertidur sebentar. Yogas
menoleh lemas. "Makan dulu. Udah kubuatin bubur."
Yogas menatap mangkuk di tangan Kana tanpa minat.
"Kamu kan harus minum obat, jadi makandulu," kata Kana lagi.
Yogas membuang muka. "Gak perlu."
"Gak boleh!" sahut Kana tegas. "Kamu harus makan, ntar gak sembuh-sembuh!"
Yogas tidak berkomentar dan malah menatap langit-langit. Kana mendesah dan sekali lagi
menatap sekeliling, memindai kamr itu.
"Ngomng-ngomong, mana obatnya?" tanya Kana.
"Habis," jawab Yogas sekenanya.
"Ya udah kalo habis, tapi yang penting sekarang kamu harus makan," kata Kana sambil
membantu Yogas membetulkan duduknya. Karena lemas, Yogas jadi tak punya kekuatan untuk
mencegahnya. "Gue gak mau," tolak Yogas begitu Kana menyodorkan sesendok bubur padanya. Yogas melirik
bubur itu malas. "Keliatannya gak enak."
Kana menganga sebal, tetapi kemudian teringat pada kejadian saat Yogas menolak makanan dari
tentenya. Mungkin ini soal peralatan makan.
"Ng, setelah kamu makan, aku buang deh mangkuk sama sendoknya. Itu kalo kamu takut
kenapa-napa," kata Kana hati-hati.
Yogas menatapnya tajam. "Bukannya itu punya tante lo?"
"Yah, ntar aku bilang sama dia. Atau aku ganti," kata Kana tak sabar. "Yang penting, sekarang
makan dulu." Setelah mendengar usul iti, Yogas mulai menerima sesuap demi sesuap bubur yang ada di
mangkuk. "Enak,kan?" goda Kana begitu bibur di mangkuk tinggal tersisa sedikit.
"Di mana-mana rasa bubur ya gitu aja," gumam Yogas membuat cengiran Kana hilang. Kana
berdecak dan mengendikkan bahu.
"Yah, kali udah begini artinya kamu udah sembuh," kana meletakkan mangkuk dan
menyodorkan air minum untuk Yogas. Sementara Yogas minun, Kana melirik mangkuk dan
sendok. "Gas, aku cuci aja ya mangkuknya?"
"Beli baru aja. Duitnya ambil di dompet gue," kata Yogas tegas.
Kana mengamati Yogas. "Gas, bukannya kamu yang paling tahu kalau virus HIV gak menular
lewat liur" Kenapa sih..."
"Gue gak mau ambil resiko," potong Yogas kembali merebahkan tubuhnya. Kepalanya masih
terasa pusing. "Jangan lupa dibuang. Atau kalo perlu, dipecahin dulu," tambah Yogas lalu
memejamkan mata, berusaha tidur.
"Sakit ya, Gas?" tanya Kana.
"Pusing doang," jawab Yogas sambil menjambak rambutnya.
"Sakit ya, setiap kali kamu menghindari orang?" tanya Kana lagi, membuat Yogas membuka
mata. "Sakit, kan" Jadi, kenapa gak berhenti berusaha sekuat tenaga" Orang-orang yang benerbener peduli ama kamu pasti maklum kok."
Yogas menatap langit-langit kamarnya, memikirkan kemungkinan itu. Detik berikutnya dia
mendengus pelan, karena tidak ada orang-orang yang benar-benar peduli padanya.
"Udahlah. Gue mau tidur," Yogas kembali memejamkan matanya. Kana menatap Yogas lama,
lalu mengganti kompresnya.
"Istirahat ya, Gas, besok pagi aku ke sini lagi."
Setelah mengatakannya, Kana bangkit sambil membawa mangkuk bubur. Yogas segera
menempatkan kompres ke matanya begitu Kana keluar dari kamarnya, tetapi kompres itu tidak
bisa menghentikan aliran air matanya.
Aren't you scared" Pagi-pagi sekali, Kana sudah keluar dari kamarnya untuk menengok Yogas. Yogas ternyata
masih terlelap. Kana memegang dahi Yogas, ternyata panasnya udah turun walaupun masih
sedikit hangat. Kana menghela napas lega, lalu memperhatikan sekelilingnya.
Saat Kana melihat tumpukan pakaian kotor di pojokan, dia mendapat ide. Kana segera keluar
dari kamar yogas, menyiapkan ember besar di kamar mandi, lalu memboyong semua pakaian
kotor Yogas dan mencelupkannya di ember itu.
Sementara pakaian direndam, Kana membersihkan kamar Yogas. Dia membuang semua botolbotol air minum, lalu menyapu lantainya. Kana melakukan semuanya dalam diam, takut
membangunkan Yogas. Begitu melihat ransel Yogas yang sudah kosong, Kana mendelik pada Yogas yang masih
mendengkur. "Dasar pemeles. Jadi, gak punya baju lagi, kan," katanya, lalu melanjutkan menyapu plastikplastik kemasan makanan ringan.
"Lo... Ngapain?" tanya Yogas lemah, yang ternyata terbangun karena kesibukan Kana.
"Gak liat" Nyapu dong," jawab Kana cuek sambil terus menyapu.
Yogas menatap Kana lama, lalu merasa tenggorokannya kering. Yogas menggapai botol air
mineral di sampingnya, tetapi karena terlalu lemah, tangannya tak sampai. Tahu-tahu Kana
mengambil botol itu dan menyondorkannya pada Yogas. Ketika tangan Yogas terulur, Kana
menariknya lagi. "Aku gak denger kata 'tolong'," goda Kana sambil nyengir jail.
Yogas menatapnya sebel, kemudian kembali berbaring. "Gak jadi."
"Ya udah," kata Kana, sengaja meletakkan botol itu di atas meja yang jauh dari jangkauan
Yogas. Yogas sendiri menatap sengit Kana yang malah bersiul-siul.
"Tolong," kata Yogas akhirnya.
Kana menoleh, cengirannya semakin lebar. Dia mengambil botol itu dan menyerahkannya pda
Yogas. "Gimana, udah baikan?" tanya Kana sementara Yogas minum. "Masih pusing?"
"Lumayan," yogas kembali merebahkan kepalanya yang maih terasa sedikit pusing. Tubuhnya
juga masih terasa lemas. Kana mengangguk-angguk, lalu melanjutkan nyapu. Yogas melirik ke arah suatu sudut yang
tampak berbeda dari biasanya. Matanya membesar saat menyadari setumpuk pakaian kotornya
sudah hilang dari sana. "Loh... ke mana baju-baju gue?" tanya Yogas bingung.
"Aku cuci. Kamu gak sadar ya, kamu udah gak punya baju lagi" Dasar jorok," semprot Kana.
"Dan, kalo kamu mau tahu, baju yang sekarang kamu pake itu punyaku. Nanti kalo udah sembuh
harus dicuci terus dibalikin."
Yogas mengamati baju yang sedang dipakainya. Dia baru sadar kalau itu memang bukan
miliknya. Dia kembali memperhatikan Kana yang sekarang sedang membereskan meja.
"Lo... gak takut?" tanya Yogas yang membuat Kana menoleh. Dia tersenyum.
"Kenapa harus takut?" balas Kana sambil bangkit. "Aku cuci bajumu dulu ya. Inget, ntar kamu
harus bayar ongkos laundry. Kamu memang sakit, tapi bukan berarti kamu istimewa."
Kana keluar kamar yogas sambil bersenandung sementara Yogas menatap langit-langit
kamarnya. Baru kali ini dia diperlakukan seperti ini semenjak dia mengidap penyakitnya.
Kamu memang sakit, tapi bukan berarti kamu istimewa.
Yogas tersenyum. Seandainya saja semua orang seperti Kana.
*** Setelah selesai mencuci pakaian Yogas yang minta ampun banyaknya, Kana segera berangkat
kuliah. Yogas membuatnya lupa kalau dia memiliki tugas presentasi. Untung saja, dia sampai di
kampus tepat waktu. Sebelum berangkat tadi, Kana sudah menyiapkan makanan untuk Yogas dengan menggunakan
piring kertas. Kana sengaja membeli dua lusin supaya tidak lagi membuang-buang mangkuk
beling. Saat ini, Kana sedang makan di kantin, karena setelah ini dia masih memiliki satu kelas lagi.
Kana tidak sadar kalau sedari tadi Lian memperhatikannya.
"Kan?" panggil Lian, tetapi Kana sibuk berpikir menu apa yang akan dia masak untuk Yogas
nanti malam. "Kana?"
"Hm?" Kana bergumam tanpa menoleh.
"Kana!" sahut Lian sambil mengguncang tubuh Kana.
Kana akhirnya tersadar. "Kenapa sih, Li?"
"Dari tadi aku panggilin gak dijawab!" sahut Lian kesal.
"Oh, sori deh," kata kana menyesal. Dia terlalu sibuk dengan pikirannya sampai melupakan
kehadiran Lian. "Kenapa,Li?"
"Ng... itu," kata Lian hati-hati. "Apa benar... Yogas HIV positif?"
Kana menatap Lian lama. Kana memang belum sempat membicarakan hal ini dengan Lian. Dan,
sekarang Kana ragu apa harus berterus terang dengan Lian. Tetapi sepertinya, Lian cukup
memiliki pikiran yang terbuka.
Perlahan, Kana mengangguk. Lian tampak menahan napanya.
"Terus, gimana?" tanya Lian lagi.
"Hm, sampe saat ini sih dia gak kenapa-kenapa. Cuma semalem dia demam gara-gara
kehujanan..." "Bukan itu," potong Lian membuat Kana mengenyit. "Gimana dengan. Kamu" Apa kamu gak
takut?" Kana terdiam sejenak, lalu tersenyum.
"Awalnya sih aku memang takut. Tapi, Li, rasa takutku gak seberapa dibandingkan rasa sakit
hati dia," kata Kana. "Dia sendirian, Li."
"Jadi, kamu cuma kasihan?" tanya Lian lagi, membuat Kana lagi-lagi terdiam.
"Kalo dibilang kasihan..." Kana tak meneruskan kata-katanya, berpikir.
"Kalo dibilang kasihan?" cecar Lian. Ketika Kana tak kunjung menjawab, Lian menghela napas.
"Kamu suka sama dia, Kan?"
Kana juga tidak langsung menjawab pertanyaan ini. Lian memegang tangan Kana, menatapnya
dalam-dalam. "Kan, apa kamu sudah siap sama semua resikonya" Kalo kamu suka sama dia, itu berarti kamu
harus siap ada disamping dia terus! Kalo ternyata kamu cuma kasihan sama dia, kamu jangan
kasih dia harapan!" kata Lian membuat Kana menatapnya nanar. "Kan, mungkin ini kedengeran
kejam, tapi kata-kata dia waktu itu bukan cuma bohong. Kalian memang gak punya masa depan.
Kamu tahu sendiri orang dengan HIV bisa gimana nantinya."
"Aku... aku sayang ama dia, Li," kata Kana akhirnya, air matanya sudah jatuh.
"Kan, sayang aja gak cukup. Sekarang, mungkin dia keliatan baik-baik saja. Tapi, apa kamu gak
mikir, gimana dia lima tahun mendatang" Kalo ternyata nanti kamu gak kuat dan ninggalin dia di
masa itu, apa kamu pikir dia gak bakal lebih menderita dari sekarang?" tanya Lian lagi membuat
Kana terisak. Lian menggenggam tangan Kana erat. "Kan, kalo kamu gak yakin, jangan terusin. Jangan bareng
dia karena kasihan. Aku yakin dia juga gak mau kamu kasihani. Ya, Kan?"
Kana masih terisak. Dadanya sakit memikirkan kebenaran dari kata-kata Lian.
*** Kana terduduk lemas di depan monitor warnet. Dia menggerakkan mouse dan membuka situs
mesin pencari. Dengan tangan gemetar, dia mengetik kata kunci 'penyakit HIV', dan hasil yang
keluar ribuan. Kana mengklik salah satu link dan membaca atikel yang muncul.
Air mata Kana jatuh tetes demi tetes seiring dengan banyaknya artikel yang dibacanya. Ratairata
orang dengn HiV hanya memiliki waktu sepuluh tahun sebelum berkembang menjadi penyakit
AIDS. Setelah itu, pengidap penyakit itu akan mengalami penurunan berart badan, diare
berketerusan, dan berbagai penyakit lain. Pada tahap ini, penyakit ringan sekalipun dapat
mengancam nyawa penderita AIDS.
Kana menekap mulutnya saat melihat gambar seorang penderita AIDS tahap akhir yang ada di
salah satu laman berita. Orang itu tampak mengenaskan dengan hanya tulang berbalut kulit yang
dipenuhi bercak merah. Dan, orang ini hanya berusia dua puluh tahun saja.
Sampai saat ini, belum ditemukan penyembuh bagi penderita AIDS. Yang ada hanya obat untuk
menghambat penyebaran virus dan menurunkan jumlahnya. Kana menemukan info tentang obat
yang diminum Yogas, tetapi ternyata obat itu harus diminum secara teratur karena kalau tidak
virus akan dengan mudah menajdi resisten. Todak diminum sekali saja, pengobatan harus
diulang dengan peningkatan dosis peminuman.
Kana teringat pada Yogas yang tampak tidak peduli pada obatnya yang sudah habis. Kalau
begini, tubuh Yogas akan jadi resisten. Yogas bahkan tidak berminat lagi untuk pergi ke rumah
sakit dan meminta obat lagi.


The Truth About Forever Karya Orizuka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mata Kana tiba-tiba membesar saat membaca artikel tentang pengakuan salah satu orang dengan
AIDS yang ditolak di sebuah rumah sakit karena alasan yang tidak dapat diterima akal. Rumah
sakit tersebut menganggap penderita AIDS sebagai kuman yang dapat mengotori rumah sakit itu.
Sekarang, Kana tahu mengapa Yogas enggan pergi ke rumah sakit. Mungkin dia sudah
kehilangan kepercayaan pada pihak rumah sakit karena pernah ditolak, walaupun tidak semua
pihak rumah sakit melakukannya.
Kana menatap tangannya sendiri yang gemetar semakin hebat. Dia tidak pernah menyangka
kalau hidup akan membawanya menemukan seorang Yogas. Dan, sekarang Kana tidak tahu
harus berbuat apa. *** Saat Kana berjalan hampa di depan kamarnya, dia melirik kamar Yogas yang tampak sudah
terang. Yogas mungkin sudah cukup kuat untuk menyalakan lampu. Kana mengetuk kamar
yogas, kemudian melangkah masuk walaupun Yogas tidak menjawab. Yogas ternyata masih
terbaring di kasurnya, tidur. Kana menghela napas, teriingat pada jemuran yang masih
tergantung di lantai atas. Kana segera naik untuk mengambil jemuran.
Kana mengambil pakaian Yogas yang sudah kering sambil melamun. Pikirannya melayang pada
kata-kata Lian tadi siang. Kana menatap sweter-sweter Yogas yang ada di pelukannya, lalu
terduduk sambil memeluk sweter itu erat-erat. Air matanya sudah mengalir.
Kana benar-benar tidak tahu harus melakukan apa untuk Yogas.
Kana sedang mebalik-balik baju Yogas ketika Yogas terbangun. Dia memaksakan diri untuk
duduk, lalu menatap Kana. Kana balas menatapnya sambil tersenyum. Yogas tidak balas
tersenyum. Dia memperhatikan mata Kana yang sembap.
"Udahlah. Lo gak usah bantu-bantu gue lagi," kata Yogas. "Gak usah ngerasa bertanggung
jawab." Kana terdiam sejenak, lalu tertawa pelan. "Kamu ngomong apaan sih, Gas?" katanya sambil
terus membalik baju. "Mata lo. Lo pasti nyesel udah kenal gue, kan?" tanya Yogas lagi.
"Oh, ini ya?" Kana mengucek matanya. "Aku kurang tidur. Kamu sih nyusahin aja."
Yogas tak berkomentar. Dia mengamati Kana yang seperti menghindari pandangannya.
Kana sendiri tertawa kecil, kemudian bangkit. "Aku ambil setrika dulu," katanya, lalu segera
keluar kamar Yogas dan masuk ke kamarnya sendiri. Sesampainya di kamar, dia langsung jatuh
terduduk dan kembali menangis.
Kana mersa seperti orang jahat. Kana sudah berbohong pada Yogas dengan mengatakan dia tidak
takut. Kana sudah memutuskan untuk menemani Yogas. Pada akhirnya, Kana masih ragu, tetapi
dia tidak tega mengatakan yang sebenarnya pada Yogas.
Kana terisak, menyesali dirinya yang tidak bisa tegar. Kana tidak sadar, kalau Yogas ada di luar
kamarnya, mendengar setiap isakaannya.
Yogas tersenyum miris. Dia tahu ini akan terjadi. Dia tahu tidak akan ada orang yang tahan
dengannya. Dari awal, dia sudah tahu, tetapi dia menolak untuk menerimanya. Setengah mati,
dia berharap Kana adalah orang yang akan menyelamatkannya, tetapi ternyata pikirannya salah.
Tidak ada satu pun yang bisa menyelamatkannya.
*** Pukul setengah tujuh pagi, Kana membuka pintu kamarnya dan segera melirik pintu kamar
Yogas. Semalam, ketika Kana akan kembali menyetrika baju-baju Yogas, kamar itu sudah gelap
dan pintunya dikunci. Setelah menghela naps, Kana mengunci pintu kamarnya dan bergerak turun. Hari ini dia ada
kuliah pagi. Begitu sampai di bawah, Ono terlihat sedang bersenam-senam pagi.
"Kuliah, Kan?" tanya Ono, dan Kana hanya menjawabnya dengan anggukan lemah. Ono
mengernyit. "Ya ampun, kalian ini. Pada lemes-lemes banget tho. Tadi pagi si Yogas juga begitu.
Ditanyain malah ngeloyor saja kayak mayat hidup."
Mata kana membulat mendengar kata-kata ono. "Yogas sudah pergi?"
"Iya, setengah jam yang lalu," jawab Ono. "Dia kok akhir-akhir ini tambah aneh, yo" Mana gak
pernah makan bareng lagi."
Kana sudah tak mendengar kata-kata Ono. Dia mengeluarkan motor, lalu segera meluncur ke
jalan, meninggalkan Ono yang marah-marah karena lagi-lagi merasa diabaikan.
*** "Ke mana aja lo, gas?" tanya Eno begitu melihat Yogas yang sudah menunggunya di cafetaria.
Yogas tak menjawab, jadi Eno menatapnya bingung dan duduk di depannya. "Gas" Kenapa lo?"
"No, gue berpikir buat pindah kost," kata Yogas membuat Eno bengong. Namun, detik
berikutnya dia maklum. "Kenapa, udah semakin serius?" tanya Eno.
"Dia udah tau soal penyakit gue," kata Yogas membuat mata Eno melebar.
"Terus" Dia ngejauhin lo?" tanya Eno hati-hati. Yogas menggeleng.
"Lebih gampang kalo begitu," Yogas memainkan kemasan air mineral gelas yang ada di
tangannya. Air wajahnya mengeruh. "Ini malah sebaliknya."
Eno terdiam mendengar kata-kata Yogas. Dia sama sekali tidak percaya akan pendengarannya.
"Dia gak ngejauhin lo" Jadi, dia nerima lo?" tanya Eno lagi.
"Nerima..." Yogas bergumam, lalu tertawa miris. "Tepatnya dia kasihan sama gue. Dia pikir dia
cukup kuat buat ngebantu gue."
"Tapi...?" kata Eno.
"Tapi, dia sama aja dengan yang lain. Dia gak kuat. Gue denger dia nangis di kamarnya," Yogas
mengambil jeda sejenak. "Gue... gue gak ma
u lama, tak mengerti akan perkataannya, tetapi entah mengapa tak punya
keinginan untuk bertanya lebih jauh. Kana memiliki firasat, kalaupun bertanya, jawaban Yogas
akan lebih menyakitkan. One Second of Happiness "'Kita gak punya masa depan' katanya."
"Hah?" Lian menatap Kana yang tampak menerawang. Akhir-akhir ini sahabatnya itu selalu
seperti ini. "Maksudnya?"
Kana mengangkat bahu, lalu menyeruput jus mangganya tanpa semangat. "Andai saja aku tahu."
"Kalian toh belum tentu kawin, bkan" Jadi, apa maksudnya ngomong begitu?" tanya Lian lagi.
"Masa depan apa sih yang dia maksud?"
Kana meletakkan pipinya ke meja kantin, lalu mendesah, Lian menatap sahabatnya itu khawatir.
"Kan, kalo pendapatku sih kamu jangan terlibat terlalu jauh sama dia. Aku punya firasat dia agak
berbahaya," kata Lian membuat Kana mendongak.
"Berbahay?" tanya Kana.
"Sebelum semuanya serius, berhenti saja berharap dari dia, Kan. Kalo emang dia cowok baikbaik, dia gak akan bersikap bunglon gak jelas ke kamuyak gini," kata Lian lagi.
Kalau mau jujur, Kana merasakan hal yang sama dengan Lian. Kata-kata Yogas kemarin sama
saja dengan menolak Kana mentah-mentah. Namun, setelah mereka pulang dari pantai, Yogas
tidak bersikap dingin, malah cenderung bersahabat. Dari awal, Yogas seperti sedang
mempermainkan perasaan Kana.
"Kayaknya kamu bener, Li," ujar Kana akhirnya. Kana tidak mau salah mengartikan sikap
hangat Yogas lagi. Kana merasakan tangan Lian meremas bahunya. Lian sendiri tahu, kalau benar Kana menyukai
alien aneh ini, berarti ini adalah cinta pertama Kana. Lian tidak mau cinta pertama sahabatnya
jatuh pada orang yang salah.
*** "Ada apa, No?" tanya Yogas antusias begitu bertemu dengan Eno di cafetaria. Semalam, Eno
mengajaknya bertemu. "Dia udah ketemu?"
"Bukan itu," kata Eno, tampak ragu.
Yogas sendiri terlihat bingung. "Jadi, ada apa?"
"Duduk dulu deh," Eno mengendikkan dagu ke kursi di depannya dan Yogas menurut. Eno lalu
mencondongkan wajahnya ke arah Yogas. "Seharusnya, gue yang tanya ada apa. Sebenernya lo
serius gak sih nyari dia?"
Yogas mengernyit. "Maksud lo apa, No?"
Eno mendesah, lalu menatap Yogas serius. "Gas, gue kemarin liat lo lewat di depan tempat kerja
gue. Naek motor, sama cewek. Gue pikir lo ke sini mau nyari dia."
Yogas mengerjap-ngerjapkan matanya beberapa kali dan akhirnya tersadar Eno sedang
membicarakan Kana. "No! Gue serius nyari dia!" sahut yogas panas. "Kalo kemaren lo liat gue, itu karena pikiran gue
udah butek banget, makanya gue ke pantai buat nenangi diri."
"Sama cewek?" tanya Eno curiga. Yogas berdecak.
"Cewek itu anak kost gue. Gue minjem motor dia, tanpa gue sadari dia udah ngikut gue. Dia
takut motornya kenapa-kenapa," Yogas menjelaskan, tapi Eno tampak masih belum percaya.
"No, lo harus percaya ama gue. Gue gak punya waktu untuk yang laen."
"Sebaiknya begitu," kata Eno lagi. "Denger, Gas, gue bener-bener mau bantu lo. Tapi, kalo lo
sendiri senang-senang..."
"No, gue gak pernah kepikiran mau senang-senang," kata Yogas tegas. "Setelah gue dapet dia,
gue bakal pergi dari sini."
Eno menghela napas, tampak sudah menyesal karena tak mempercayai Yogas. Dia mengamati
Yogas yang tampak emosi. "Sori Gas, kalo gue udah marah-marah gak jelas. Tapi, kalo dipikirpikir, lo butuh waktu senggang juga. Jangan selalu mikirin dia."
"Gue gak butuh waktu senggang," tukas Yogas pendek.
"Soal cewek itu juga, mungkin ada bagusnya juga kalo lo jalan sama dia," kata Eno lagi. Yogas
menatapnya tak percaya. "Lo gila ya, No" Gue udah gak ada niat buat begituan! Lo pikir gue masih punya hak buat
begituan?" sahut Yogas berang.
"Bener juga. Sori," sesal Eno. "Kalo lo mau egois dikit, mungkin lo dulunya gak melepas
Wulan." Ekspresi wajah yogas mengeras saat Eno menyebut nama itu. Nama yang sudah sekian lama
dikubburnya rapat-rapay di dalam hatinya.
"Jangan pernbah sebut nama dia lagi," ucap yogas dingin.
"Oke. Sori," kata Eno, dan setelah itu, tak ada satu pun yang berbicara lagi.
*** Yogas berjalan gontai menuju kost-nya yang suram. Ono dan Agus sedang tidak ada, dan rumah
ibu kost juga tampak sepi. Yogas naik tangga dan orang yang paling tidak ingin ditemuinya
malah sedang berjalan ke arahnya. Di tangannya, terdapat mug yang mengepul.
"Dari mana" Kok jam segini baru pulang?" tanya Kana, tetapi begitu melihat rambut dan wajah
yogas yang basah karena kehujanan, dia buru-buru masuk ke kamarnya. Tak lama kemudian, dia
keluar dengan handuk dan mengelap wajah dan rambut Yogas. "Kok gak bawa payung sih" Ntar
pilek lho!" Yogas menatap Kana yang tampak khawatir, lalu menepis tangan cewek itu. Handuk yang
dipegang Kana jatuh ke lantai. Kana menatap Yogas heran. Yogas balas menatapnya dingin.
"Jangan peduliin gue," kata yogas dengan rahang yang mengeras. "Jangan bersikap baik sama
gue." "Kenapa?" tanya Kana.
"Gue bilang jangan, ya jangan!!" sahut Yogas membuat Kana terlonjak. "Jangan tanya apa-apa
lagi lagi gue, lo ngerti" Urusin aja kehidupan lo sendiri!"
Yogas berjalan melewati Kana yang bergeming. Dia berusaha membuka pintunya yang terkunci.
Dicari-carinya kunci di balik bajunyay yang basah dengan tak sabar.
"Dasar jelek," kata Kana pelan, membuat Yogas menoleh padanya. Kana menatap Yogas dengan
mata nyalang. "Kalo lagi begini, aku bilang kamu lagi jelek."
"Hah?" kata Yogas tak mengerti.
"Mood kamu. Selalu berubah-ubah dan gak bisa ditebak. Hari ini kamu marah-marah, besok
kamu baik. Selalu aja bilang, 'Jangan peduliin gue', tapi nanti ngomong hal-hal baik sebagai
penggantinya," kata Kana, air matanya sudah menggenang. "Gak bisakah kamu milih salah
satu?" Yogas menatap Kana nanar.
"Tadinya aku mau ngertiin sikap aneh kamu ini, tapi aku sama sekali gak ngerti!" sahut Kana.
"Gak ada yang nyuruh lo ngertiin gue," tandas Yogas. "Tolong jangan ngomong hal-hal yang
ngerepotin." Kana menatap Yogas tak percaya sementara Yogas menemukan kuncinya dan masuk ke kamar.
Yogas melempar ranselnya, lalu membanting tubuhnya ke kasur. Pikirannya berkecamuk hebat.
Tiba-tiba dia teringat pada perkataan Eno tadi siang. Kalo saja Yogas mau sedikit egois, dia tidak
akan melepaskan Wulan. Namun, yogas sudah melepaskan Wulan. Sekarang, Yogas tidak berminat pada percintaan
macam apa pun lagi. Kalaupun berminat, dia tetap tidak berhak. Yogas tidak menyesali nasibnya
itu. Yang Yogas sesalkan, kenapa dia tidak menjauhi Kana sejak awal. Yogas sudah
meremehkannya. Tiba-tiba Yogas mendengar suara pintu sebelah ditutup. Dia menghela napas, lalu membuka
layar handycam-nya dan menonton video yang direkamnya di pantai kemarin. Yogas menatap
layar kosong yang menampilkan Kana sedang berlari-lari gembira, lalu menutupnya.
Masa bersenang-senang sudah berakhir.
*** Kana bangun dengan mata sembap. Semalam, dia menangis karena kata-kata kejam Yogas. Kana
menatap cermin, bermaksud mengompres kedua matanya dengan timun dingin. Mungkin
tantenya punya. Kana tidak bisa ke kampus dengan mata seperti ini.
Kana membuka pintu kamarnya, bersamaan dengan Yogas. Saat Kana menoleh, tatapannya
langsung bertemu dengan Yogas. Kana terdiam selama beberapa detik, kemudian segera
menutup wajahnya, sadar kalo dia mungkin sudah terlihat seperti panda.
Namun, Yogas sudah keburu melihat mata Kana, dan tidak tahan melihatnya lama-lama. Yogas
menutup pintu kamar, menguncinya, lalu memakai sepatu tanpa banyak bicara. Kana mengintip
dari sela-sela jarinya. "Mau..." Kana terdiam, tak meneruskan kata-katanya. Dia sebenarnya mau bertanya Yogas mau
ke mana, tetapi tak jadi melakukannya.
Yogas hanya menghela napas dan melewati Kana tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Dia
tidak mau mengulangi kesalahan yang sama. Kemarin, cewek itu menyuruhnya memilih dan
seharusnya dia tahu mana yang sudah dipilih Yogas. Yogas sebisa mungkin akan menjauhinya.
Kana menatap punggung Yogas yang perlaha menjauh dan akhirnya menghilang di balik tangga.
Kana tahu Yogas tak akan pernah bersikap baik padanya lagi.
*** Saat ini, Yogas berada di depan Fakultas Ilmu Budaya UGM. Matanya sibuk mencari-cari orang
yang sedang dicarinya. Walaupun begitu, pikirannya melayang ke mana-mana.
Yogas tak tahu harus berbicara apa pada Kana yang matanya sembap seperti itu. Yogas merasa
dirinya tak pantas untuk ditangisi. Namun, mungkin kata-katanya semalam sudah keterlaluan.
Mendadak, Eno muncul di depannya. Yogas ternganga melihatnya.
"Ngapain lo di sini?" tanyanya.
"Lo lupa ya, gue kuliah di sini!" sahut Eno, lalu terkekeh. "Yang ngapain tuh lo! Kalo mau nyari
dia, dia gak ada di sini. Gue udah cek satu persatu nama mahasiswa di sini."
"Oh," kata yogas, merasa bodoh karena lupa Eno berkuliah di sastra Inggris. "Sori, gue lupa."
"Ngomong-ngomong, kenapa tamoang lo?" Eno tiba-tiba menyadari sesuatu. "Apa yang sakit?"
"Ngomong apaan lo?" Yogas nyengir. "Gue baik-baik aja."
"Syukur deh. Tapi kenapa muka lo ruwet banget" Oh gue tahu. Pasti ada hubungannya sama
cewek anak kost lo itu," tebak Eno, tapi yogas tak segera menjawab. "Bener, kan?"
"Kayaknya dia suka ama gue, No," Yogas berdecak. "Nyusahin aja."
"Dari awal, lo harusnya jauhin dia," kata eno. "Kecuali, kalo lo juga punya perasaan sama ke
dia." "Gue... gue gak bisa punya perasaan sama siapa pun, No," kata Yogas setelah berpikir selama
beberapa saat. "Gas, lo tahu gak jatuh cinta itu apa?" tanya Eno, membuat Yogas mengernyit. "Artinya, lo jatuh
ke dalam cinta tanpa sengaja. Jadi, walaupun lo gak mau jatuh, lo bakalan tetep jatuh."
Yogas terdiam sejenak mendengar kata-kata Eno, kemudian tertawa miris.
"No, lo gak ngerti juga ya" Gue gak bisa jatuh cinta, atau apapun itu, sama siapa pun. Gue gak
bisa mentingin perasaan gue sendiri. Jadi tolong berhenti ngomong kosong kayak yang tadi itu,"
kata Yogas. Dia mengeluarkan rokoj dan menyalakannya dengan tak sabar.
Eno menatap temannya itu kasihan. Karena walaupun ingin, yogas tak bisa lagi merasakan
kebahagiaan walaupun cuma sedikit.
*** Lagi-lagi, Yogas pulang tanpa hasil, tetapi kali ini dia tak mempermasalahkannya. Langkahnya
terhenti di tangga, teringat wajah sembap Kana tadi pagi. Sebenarnya Yogas tidak ingin pulang
ke kost karena bisa bertemu dengan cewek itu, tetapi dia tak punya pilihan lain karena di luar
hujan dan Eno harus bekerja. Yogas menggigit bibirnya ragu.
"Mau sampe kapan di situ" Ngehalangin jalan nih," kata seseorang di belakangnya membuat
Yogas terkejut. Yogas menoleh dan ternyata Kana. Kepalanya terbungkus handuk dan wajahnya
tampaknya sudah baik-baik saja.
"Oh," yogas menyadari kalau dia masih menghalangi jalan, lalu berjalan naik. Kana
mengikutinya dari belakang. Yogas melirik cewek itu.
"Keran di sini lagi macet, gak tahu kenapa. Jadi, kalo mau mandi, nebeng aja di Bulik. Dia juga
gak di rumah, lagi ke tempat nmertuanya," Kana menjelaskan tanpa duminta. Yogas hanya
menggumam tak jelas untuk menanggapinya sambik menatap kana heran.
Kana balas menatap Yogas, kemudian menghela napas.
"Kenapa" Kamu berharap aku masih sedih?" tanya Kana menbuat Yogas segera mengalihkan
pandangannya dan sibuk mencari kunci. Kana menghela napas lagi. "Aku orangnya sensitif. Jadi,
lain kali jangan ngomong sekejam itu."
Yogas mengernyit sementara Kana melangkah masuk ke kamarnya sambil tersenyum jail. Yogas
menggeleng-gelengkan kepalanya bingung, kemudian masuk ke kamarnya. Setelah melempar
ranselnya ke kasur, Yogas membuka sweternya. Beberapa detik kemudian, terdengar suara lagu
mengalun dari kamar Kana, disusul oleh suara cempreng yang memekakkan telinga. Yogas
terkekeh pelan sambil duduk bersandar pada dinding yang membatasi kamarnya dan Kana.
Apa pun mantra yang dipakai cewek ini, jelas-jelas Yogas tidak bisa menghindarinya. Namun,
sesakit apa pun, Yogas harus bisa menangkalnya. Mereka tidak punya masa deoan. Setidaknya,
Yogas yang tidak punya. *** Kana sedang menyapu gang depan kamarnya saat Yogas keluar kamar dengan wajah bangun
tidur dan rambut acak-acakan. Kana menatap sosok itu lekat-lekat. Semalam, Kana sudah
memutuskan untuk mencoba mengerti sikap bunglon Yogas. Mungkin, Yogas punya masalah
sehingga membuatnya cepat naik darah. Kalau sudah begitu, Kana akan mendiamkannya untuk
beberapa saat, lalu mengajaknya ngobrol lagi kalau dia sudah tenang. Selama ini, yang terjadi
seperti itu, jadi Kana tak perlu khawatir berlebihan.
Yogas menoleh, menatap Kana dengan mata setengah tertutup.
"Lo liatin gue selama apa pun gue juga gak bakal naksir sama lo," kata Yogas kejam, berhasil


The Truth About Forever Karya Orizuka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membuat Kana menganga. "Eh! Ntar kena karma tahu rasa!" Kana menyahut sebal, tapi Yogas malah menguap lebar sambil
berjalan ke kamar mandi. Begitu Yogas menghilang di balik pintu kamar mandi, Kana tersenyum. Memang, beginilah
harusnya menghadapi seorang Yogas. Kana sedang bersiul senang sambil masuk ke kamar
dengan melompat-lompat heboh saat tak sengaja menabrak sebuah rak buku. Dia kehilangan
keseimbangan. Tangannya menggapai mencari pegangan, tetapi malah memegang rak buku
gantung yang segera patah karena tak kuat menahan beban tubuhnya. Rak itu jatuh
bergedebukan. Kepala Kana malah sempat tertimpa kamu Jonh Echols dan patahan rak.
"Aduuhhh..." rintihnya sambil memijat kakinya yang terseleo.
Yogas ternyata udah ada sudah ada di depan kamar Kana. Bukannya menolong, dia malah
menatao Kana datar. "Kurang bego apa sih," komentarnya dengan wajah mengejek, lalu segera menghilang.
"Kurang ajaar!" sahut Kana sambil melemparinya buku, tetapi yogas sudah keburu masuk
kamarnya sendiri. Setelah berhasil menyingkirkan patahan rak dari kakinya, Kana merangkak dan memberekan
buku-bukunya. Kana menatap sedih rak gantungnya yang sudah tergeletak di lantai. Tiba-tiba,
sesuatu yang hangat mengalir dari dahi Kana. Kana menyeka dahinya sembarangan, lalu terpaku
melihat cairan merah pekat di punggung tangannya. Kana bengong sebentar, kemudian berteriak
histeris. Di kamar sebelah, Yogas menghela napas tak habis pikir. Apa lagis sih yang dilakukan cewek
itu" Yogas menutup telinganya dengan headphone, lalu menyetel volume iPod-nya keras-keras
sambil merapikan kaset-kaset yang bertebaran di kasurnya.
Tahu-tahu, Yogas merasaka getaran. Tadinya, yogas berpikir kalau itu gempa bumi, tetapi
getaran itu halus dan hanya sebentar dan sepertinya berasal dari kamar sebelah. Yogas melirik
dinding sebelahnya, melepas headphone-nya, lalu beranjak untuk menegur cewek itu karena
sudah terlalu berisik. Yogas membuka kamarnay dan bergerak ke kamar Kana.
"Oi, lo berisik amat..." Yogas tak jadi meneruskan kalimatnya begitu melihat Kana yan sudah
terbaring di lantai di antara buku-buku dan patahan rak. Yogas segera menghampiri Kana dan
menggoncang-goncang tubuh cewek itu.
"Woi! Woi! Lo kenapa?" sahut yogas panik. Dia membalik tubuh Kana, lalu terkejut saat melihat
dahi Kana yang sudah berdarah. Yogas menepuk-nepuk pipi kanan. "Woi! Sadar!"
Setelah akhirnya menyadari kalau kana tidak akan bangun dalam waktu dekat, Yogas segera
mencari kain untuk menutupi luka Kana. Dia menggendong Kana dan membawanya ke bawah.
Ono yang sedang memperbaiki motor menatap yogas bingung.
"Gas" Ngopo?" sahutnya.
"Ketimpa rak buku," jawab Yogas cepat. "Rumah sakit yang deket di mana ya?"
"Sardjito! Wis, tak anter! Sik, aku ambil kunci motor!" sahut Ono sambil buru-buru masuk
kamar dan keluar dengan memegang kunci motor. "Kamu nyusul wae pake motornya Kana!
Sana cepat ambil kuncinya!" Yogas mengangguk, mendudukkan Kana di motor Ono, lalu segera
naik untuk mengambil kunci motor Kana. Beberapa deti kemudian, dia sudah menyusul dan
mengikuti Ono dari belakang sambil mengawasi kalau Kana terjatuh. Ono memegang Kana
dengan satu tangan dan berjalan pelan agar dia tidak terjatuh.
Sesampainya di rumah sakit Dr. Sardjito, Kana segera masuk UGD dan menerima perawatan.
Ono dan Yogas menunggu di luar. Yogas menatap kausnya yang terkena darah Kana.
"Anaknya memang agak ceroboh," kata ono membuat yogas menoleh. "Jadi, tolong sekalian
dijaga ya." Yogas tak menanggapi, juga tak bertanya maksud kata-kata Ono. Dia hanya terdiam sambil
menatap pintu UGD, berharap tidak terjadi sesuatu yang serius pada Kana. Tak berapa lama,
pintu UGD terbuka dan Kana berjingkat keluar dengan dahi diplester. Yogas dan Ono samasama bengong.
"Kata dokter, aku pingsan karena terlalu syok ngeliat darah," katanya malu-malu. "Sori ya,
ngerepotin." Kana tertawa penuh bersalah sementara Ono menghela napas lega. Yogas sendiri langsung
berdiri. "Kalo gitu, ayo pulang," katanya pendek sambil berjalan mendahului mereka.
Kana menatap punggung Yogas sebal, lalu melirik kakinya yang juga diperban.
"Sakit, lho," gumam Kana. Ono yang mendengarnya tersenyum geli, lalu menepuk kepalanya.
"Ayo, aku bantu," katanya sambil mengalungkan lengan Kana ke lehernya dan membantunya
berjalan. *** Yogas menatap langit-langit kamarnya hampa. Kejadian tadi benar-benar membuatnya pusing.
Kenapa dia harus sepanik itu pada cewek yang baru dikenalnya" Kenapa setiap Yogas mau
menjauh ada saja yang terjadi"
Tahu-tahu terdengar suara berisik dari kamar sebelah. Yogas melirik dinding di sebelahnya
sebal. Kali ini apa"
Yogas baru mau memejamkan matanya ketika suara-suara itu malah terdengar semakin keras dan
mulain mengganggu. Setelah berdecak kesal, Yogas bangkit dan melangkah keluar kamar. Dia
mendapati Kana sedang berjongkok di depan kamarnya dengan palu di tangan. Di depannya, ada
rak buku yang patah, dan paku-paku yang berserakan.
Yogas mengernyit heran. Kana menoleh sebentar, kemudian kembalu mencoba untuk
menyatukan bagian yang patah di raknya. Kana mengetukkan palu kuat-kuat dan seketika
pangkuknya bengkok. "Gak bisa besok aja ya" Berisik nih," kata Yogas sambil menggaruk tengkuk.
"Aku gak bisa tidur kalo ada yang belum selesai kayak gini. Lagian, kamarku jadi berantakan
sama buku," ujar Kana sambil kembali mencoba memaku pakunya, tetapi lagi-lagi tidak berhasil.
Yogas menatap Kana yang sedang mencoba lagi. Karena tidak tahan, Yogas merebut palu dari
tangan Kana kemudian berjongkok di sebelahnya. Kana menatap Yogas takjub. Yogas sendiri
mencoba untuk tidak memperdulikannya. Dia mengambil paku, lalu mulai memakunya dengan
mudah. "Hm, ternyata baik juga ya," puji Kana membuat Yogas hampir memaku jarinya sendiri.
"Supaya cepet selesai. Atau gue yang gak bisa tidur," kelit Yogas. Kana mengangguk-angguk
dengan senyum jail. "Yang tadi siang, makasih ya," ujar Kana kemudian.
"Bukan apa-apa," balas Yogas sambil cepat-cepat mengambil paku, berharap rak itu cepat
selesai. "Tapi pingsannya gak penting. Lo pikir lo enteng?"
Kana terkekeh pelan. "Aku emang punya fobia sama darah. Dua tahun yang lalu, aku liat gimana
papa-mamaku berdarah-darah. Sejak itu, aku jadi takut liat darah," jelas Kana membuat Yogas
terdiam sejenak. Dia melanjutkan memaku.
"Tadi, kamu khawatir kan sama aku?" lanjut Kana membuat palu Yogas terhenti di udara. "Kata
Ma Ono muka kamu pucet banget waktu ngangkat aku. Seneng, deh."
Yogas tak berkomentar apa pun menghadapi cengiran Kana. Dia mengetuk-ngetuk paku cepatcepat. Yogas takut kalau sedikit lebih lama saja bersama cewek ini, dia akan mulai berharap
untuk mendapatkan sedikit kebahagiaan.
"Ayo ngaku deh, Gas, waktu kamu liat aku tadi, kamu pasti panik berat, kan" Kamu pasti nyesel
udah ngejek-ngejek aku sebelumnya," kata Kana lagi. "Makanya jangan suka ketawa di atas
penderitaan orang lain..."
Mungkin sedikit waktu saja boleh. Yogas melirik Kana yang sedang mengamati perban di
kakinya. Rambutnya yang tebal dan bergelombang menutupi pipinya, membuat Yogas ingin
menyelipkannya ke telinganya. Mungkin, Yogas bisa menghabiskan waktu bersama gadis ini
walau pun sebentar saja. "Kakiku udah kayak kena penyakit gajah lho, Gas. Gede banget, biru-biru lagi. Tapi enaknya,
jadi ada alasan untuk gak ke kampus deh..."
Semua beban Yogas terangkat saat bersama gadis ini, seakan Yogas baik-baik aja. Kalau gadis
ini begitu sulit dijauhi, kenapa Yogas tidak membiarkannya saja" Kenapa harus bersusah payah
menjauhinya" "Gas?" tanya Kana membuat Yogas tersadar. Kana mengangguk-angguk, mata bulatnya
mengerling jenaka. "Nah ya, kena karma, kan?"
Salah tingkah, Yogas buru-buru mengetuk paku yang dipegangnya, tetapi justru ibun jarinya
yang terpukul. Yogas segera meringis kesakitan.
"Ya ampun Gas!" seru Kana panik. "Kamu gak apa-apa, kan?"
Yogas menggeleng cepat, tetapi ibu jarinya sudah mengeluarkan darah. Wajah Kana langsung
berubah pucat. "Aku cari tisu dulu!" sahut Kana lalu segera masuk ke kamar dengan langkah pincang. Tak
berapa lama, dia keluar membawa tisu. Yogas segera menggunakannya untuk mengehntikan
pendarahan. "Ng, aku cari plester ya!" ujar Kana lagi.
Kana segera masuk ke kamarnya lagi untuk mencari plester. Yogas menekan tisu itu sambil
menahan perih di ibu jarinya. Darah dengan cepat merembes di tisu itu, dan saat itulah Yogas
tersadar. Tubuh Yogas tiba-tiba membeku. Jari-jari tangannya terasa dingin. Matanya terpancang
pada tisu yang sudah berwarna merah.
"Gas, ini plesternya. Sini, aku pasang..."
Yogas menepis tangan Kana yang akan menempel plester. Kana menatap bingung Yogas yang
menbatu dan berkeringat dingin.
"Gas" Kenapa..."
Yogas bangkit mendadak, lalu berderap ke kamarnya tanpa sepatah kata pun. Dia masuk ke
kamarnya, meninggalkan Kana yang masih bingung. Yogas mengunci pintu kamarnya,
kemudian merosot ke lantau.
Memang tidak bisa. Sebentar saja tidak bisa. Sedetik pun tidak boleh. Yogas tidak ditakdirkan
untuk mendapatkan kebahagiaan macam apa pun.
Yogas menatap tisu di tangannya nanar. Dengan tangan yang gemetar, dia mengambil korek apa
dari saku, menyalakannya, lalu membakar tisu itu. Air mata Yogas tiba-tiba menetes, menyadari
bahwa seharusnya dia tak pernah berharap
What if... "Pusing deh, punya tetangga kayak si Yogas," komentar Lian setelah mendengar cerita Kana.
Saat ini Lian sedang berada di kost Kana, menengoknya karena tadi bolos kuliah.
Kana mengangguk setuju sambil membuka balutan perban di kakinya yang sudag tampak kotor.
Dia menghela napas. "Padahal aku pikir akhirnya dia udah agak baik," Kana mendesah. "Ternyata, tetep selabil yang
kemaren-kemaren." "Kira-kira, apa ya masalahnya?" tanya Lian tiba-tiba. "Kabur dari rumah" Ayahnya selingkuh"
Atau, cweknya diambil orang?"
Kana mendelik, tidak setuju pada kemungkinan-kemungkinan yang dikatakan Lian. Lian sendri
terkekeh. "Apa pun masalahnya, kayaknya berat banget," desah Kana. Lian berhenti tertawa dan
mengamatinya. "Tapi, Kan, kalo suatu saat kamu tahu masalah dia, apa kamu masih mau nemenin dia?" tanya
Lian tiba-tiba membuat Kana menatapnya. "Kalo ternyata masalahnya benar-benar berat dan
kamu gak bisa berbuat apa-apa untuk membantunya, kamu masih mau bareng dia?"
Kana terdiam sebentar, tetapi kemudian memukul Lian. "Kamu apa-apaan sih, Li" Jangan nakutnakutin gitu dong!" serunya membuat Lian tertawa.
"Kamu serius banget sih, bikin aku jadi pengen ngegodain!" seru Lian sambil bangkir untuk
bermain game di komputer. "Eh, ada Zuma, kan?"
Tak berapa lama, Lian sudah asyuk bermain Zuma," sementara Kana memikirkan kata-katanya.
Bagaimana kalau yang dikatakan sahabatnya itu benar" Bagaimana kalau masalah Yogas
ternyata melebihi perkiraan Kana"
Kana ingin membantu Yogas semampunya, tetapi Yogas bahkan hampir tak pernah mengatakan
apa pun tentang dirinya sendiri. Mungkin Yogas tak bisa mempercayai siapa pun. Namun, Kana
yakin Yogas bisa mempercayainya.
Kana akan membuatnya percaya.
*** Yogas melangkahkan kakinya pulang ke kost. Dia melirik rumah ibu kost yang masih gelap.
Sepertinya penghuninya masih pergi. Ono dan Agus juga tidak tampak di mana pun. Yogas
melirik ke atas, dan kamar Kana juga tampak gelap. Yogas menghela napas lega. Dia tidak mau
bertemu cewek itu setelah kejadian semalam.
Saat Yogas memutar kuncinya, dia berubah pikiran. Entah mengapa dia ingin mencari angin
dulu. Dia bergerak ke tangga dan naik ke lantai tiga.
Yogas terpaku saat melihat Kana sedang bersandar pada pembatas pagar. Dia tidak menyangka
cewek itu akan ada di sini, jadi dia segera beranjak pergi sebelum terlihat. Namun, tahu-tahu
Kana menoleh dan menangkap basah Yogas yang baru mau turun.
"Gas!" panggil Kana ceria membuat Yogas tak sengaja menoleh. "Sini!"
Yogas menatapnya malas, berbalik, dan berniat untuk turun. Sebelum dia sempat melangkahkan
kaki, Kana menarik tangannya dan membawanya ke pagar pembatas. Kana lalu menunjuk ke
langit yang sedang bertaburan bintang.
"Liat, Gas! Barusan ada bintang jatuh!" sahut Kana girang. Yogas menatap arah yang ditunjuk
Kana, tetapi tak melihat apa pun yang jatuh. "Ditungguin sebentar aja, pasti ada lagi yang jatuh!"
"Kemungkinan satu banding sejuta," kata Yogas pendek sambil melepaskan diri dari pegangan
Kana. "Heh" Masa sih?" tanya kana tak percaya.
"Mana gue tahu, memang gue astronot," balas Yogas, lalu beranjak pergi.
"Yeee... kalo gitu gak usah sok tahu!" Kana menarik Yogas lagi.
"Apa sih?" seru Yogas sambil melepaskan tangan Kana.
"Tungguin Gas, siapa tahu ada lagi! Kayak di Meteor Garden tuh, kan suka ada hujan meteor!"
sahut Kana berapi-api. Yogas menatapnya sebal, tetapi akhirnya menatap langut juga.
"Tahu gak apa permintaanku tadi?" tanya Kana, tapi Yogas tak berniat menjawab. "Aku minta,
apa pun permasalahan kamu, biar cepet selesai. Aku kurang baik apa tuh, malah ngegodain orang
lain?" "Gak ada yang minta," tukas Yogas sekenanya.
"Kamu ngerasa ngutang gak?" tanya Kana.
"Gak juga," jawab Yogas membuat Kana mendelik.
"Dasar gak tahu diri, udah didoain juga," balas Kana. "Kalo kalu ngerasa ngutang, kamu harus
tungguin satu bintang jatuh lagi, terus doain yang baik-baik buat aku!"
Yogas hampir mendengus karena menganggap itu sebuah permintaan bodoh. Ketika Yogas akan
berkomentar, sebuah bintang jatuh terlihat di kejauhan. Mata Yogas melebar tak percaya.
"Gas! Gas! Bintang jatuh lagi! Ayo cepet minta sesuatu!" Kana menggoncang-goncang Yogas
yang masih bengong. Setelah beberapa lama, Yogas tak juga berbicara. Kana menatapnya
bingung. "Gas" Kamu minta apa?"
"Minta supaya cewek bawel ini gak nyampurin urusan orang lagi!" Yogas menatap Kana,
kemudian dia beranjak pergi.
"Kenapa sih kamu segitunya gak percaya sama aku?" tanya Kana membuat langkah Yogas
terhennti. "Kenapa kamu tertutup banget?"
"Karena lo bukan siapa-siapa," Yogas berbalik dan kembali menatap Kana tajam. "Dan, karena
lo bukan siapa-siapa, gue gak harus nyeritain apa pun sama lo. Bukannya gue udah bilang dari
awal, jangan nyampurin urusan gue" Kenapa lo harus keras kepala sih?"
"Tapi..." "Apa susahnya sih, ninggalin gue sendirian" Kalo lo sepeduli itu sama gue, tolong hargai privasi
gue. Gue gak suka ada cewek bawel nyampurin urusan gue," tandas Yogas, lalu bergerak turun
tanpa menunggu reaksi Kana.
Yogas melangkah tanpa kesadaran ke kamarnya, lalu menjatuhkan dirinya ke kasur. Bukan,
bukan Yogas tidak mempercayai Kana. Hanya saja, dia tidak ingin Kana tahu apa yang
sebenarnya terjadi padannya. Kalau Kana tahu, Kana mungkin saja akan menghindarinya, seperti
semua orang. Dan entah kenapa, Yogas tidak menginginkan itu terjadi.
Ternyata sangat susah hidup tanpa ketamakan. Dalam keadaan gini, Yogas masih saja
mengharapkan keajaiban yang dia tahu tak akan terjadi. Tak ada yang bisa Yogas lakukan untuk
menyelamatkan diri, tetapi setidaknya dia bisa menyelamatkan Kana wlaupun dengan cara
menyakitkan. Yogas menatap botol yang tergeletak di depannya. Botol yang sudah sekian lama tidak
disentuhnnya. Botol yang berisi sisa hidupnya.
*** "No, gue harus cepat-cepat nemuin dia."
Eno menatap yogas heran. Tak pernah dilihatnya Yogas seniat itu. Mungkin Yogas sempat
sangat bertekad saat awal-awal datang ke Yogya, tetapi akhir-akhir ini dia tak begitu
memikirkannya. Baru sekarang Yogas bertingkah seperti ini lagi.
Yogas sendiri memandang sekeliling dengan gelisah, mengamati setiap wajah yang muncul di
cafetaria. Makanannya tidak tersentuh, padahal seharian ini mereka berputar-putar di kamous
tekhnik. "Gue harus cepet-cepet pindah dari kost itu," kata Yogas lagi, membuat Eno menemukan
permasalahannya. "Cewek itu ya?" kata Eno paham. "Lo awal-awal mikir kalo lo gak mungkin jatuh cinta sama dia,
tapi kenyataannya lo jatuh cinta?"
Yogas tak menjawab. Dia malah menatap ke arah lain.
"Pokoknya, gue harus cepet-cepet nemuin dia. Kalo perlu, gue jabani datang ke setiap kost di
kota ini," kata Yogas lagi. Eno menatapnya simpati.
"Kasih tahu aja cewek itu soal maslah ini, Gas," usul eno membuat Yogas menatapnya marah.
"Kalo dia malah ngehindarin lo, bukannya malah bagus" Masalah lo yang uitu terselesaikan,
kan" Lo gak perlu buru-buru pindah dari sana, kan?"
Yogas terdiam, memikirkan kata-kata Eno. Sepertinya itu sebuah usulan yang bagus. Dengan
demikian, cewek itu akan menjauh dengan sendirinya. Tetapi...
"Tapi, lo gak bisa karena lo gak mau dia ngejauhin lo," kata Eno seolah bisa membaca pikiran
Yogas. Yogas menatapnya tajam. "Lo gak mau dia tahu. Iya, kan?"
"Gue bakal kasih tau dia pulang nanti," sanggah Yogas cepat. "Malah bagus kalo dia ngejauhin
gue. Usul lo bagus."
Eno menatap Yogas yang meremas-remas gelas plastik air mineral. Eno bisa melihat kekalutan
pikiran Yogas dari raut wajahnya. Lagi-lagi, Yogas harus melakukan sesuatu yang bisa
menghancurkannya, seperti enam tahun lalu.
"Jangan maksain diri, Gas," kata Eno, tetapi yogas tak nmendengar. Dia sudah membulatkan
tekadnya untuk memberi tahu Kana, apa pun konsekunsinya.
*** Sudah sepuluh menit, Kana menatap ragu pintu kamar Yogas. Tantenya baru saja pulang dari
rumah mertuanya di Klaten dan dia membawa banyak makanan. Kana disuruh untuk memanggil
Yogas supaya makan bersama.
Tangan Kana tak bisa begerak untuk mengetuk pintu Yogas. Dia masih teringat perkataan Yigas
semalam. Kana tak mau Yogas marah lagi padanya karena dianggapnya sudah menyampuri
urusannya dengan mengajaknya makan.


The Truth About Forever Karya Orizuka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tahu-tahu, Kana mendapat ide. Dia menulis sebuah memo dan bermaksud menempelkannya di
pintu. Namun, begitu tangannya menempel pada pintu, pintu itu terbuka sendir. Kana terlonjak.
"Maaf! Pintunya kebuka sendiri, sumpah!" seru Kana cepat, takut Yogas mengamuk. Namun, tak
ada jawaban apa pun dari dalam.
Penasaran, Kana melongok ke kamar. Kamar itu ternyata kosong. Tumben sekali Yogas lupa
mengunci pintu kamarnya. Tanpa disadarinya, Kana sudah berada di dalam kamar itu.
"Ya ampun!" seru Kana begitu melihat keadan kamar yang sudah seperti tempat penampunngan
sampah itu. "Jorok banget sih."
Kana cepat-cepat mengambil kantung plastik besar, lalu memunguti cup-cup mie dan botol-botol
air mineral yang berserakan di lantai. Setelah itu, dia mengambil sapu dan mulai membersihkan
kamr Yogas. Saat sedang menyapu lantai, mata Kana tertumbuk pada kasur yang kelihatan
menyedihkan karena tidak diberi seprai.
"Ya ampun," gumamnya tak habis pikir. "Gak gatel-gatel apa."
Tanpa banyak berpikir lagi, Kana segera mengambil seprai dari lemarinya dan memasangkannya
ke kasur Yogas. Kana sempat geli sendiri saat melihat seprai pink bergambar Barbie itu
terpasang di sana, tetapi Kana tidak punya seprai lain lagi.
Setelah seprai terpasang, Kana menghela napas dan lanjut membersihkan kamar. Dia melihat
ransel Yogas yang isinya berhamburan ke mana-mana, lalu memutuskan untuk
membereskannya. Mata Kana membesar saat menemukan sebuah benda sepanjang lima belas
sentu terbungkus kulit hitam. Kana membukanya, lalu terperanjat begitu tahu dia sedang
memegang sebuah belati yang terlihat sangat tajam. Kana buru-buru meletakkannya kembali ke
ransel. Mungkin Yogas membawanya untuk perlindungan diri.
Selesai membereskan ransel, Kana kembali menyapu. Saat dia menyapu kolong meja, sebuah
botol berguling dan menggelinding ke dekat kakinya. Kana memungut botol itu, lalu
mengamatinya. "AZT," baca Kana lambat-lambat. "Apaan sih ini?"
Sebuah tangan tahu-tahu merebut botol itu dari tangan Kana. Kana menoleh cepat, dan
mendapati Yogas di sampingnya dengan ekspresi yang tidak dapat ditebak.
"Eh, Gas. Sori, tadi kamarmu gak kekunci, jadi sekalian aku bersihin," kata Kana sambil nyengir
bersalah. "Ng, itu obat apaan sih" Kamu sakit?"
"Keluar," kata Yogas lambat-lambat.
"Sori..." "KELUAR!" sahut Yogas membuat Kana terlonjak kaget. Urat-urat di dahi Yogas menyembul,
rahangnya mengeras, dan bool obat di tangannya sudah remuk.
Kana menatap Yogas takut, lalu segera berlari keluar kamar. Yogas segera membanting pintu,
menguncinya, lalu memukulnya keras-keras. Setelah itu, dia merosot ke lantai. Tangannya yang
gemetar menjambak rambutnya keras-keras.
Kenapa harus marah" Kenapa dia harus marah melihat Kana mengetahui rahasianya" Bukankah
itu tadi tujuannya, untuk memberitahu Kana" Tetapi, kenapoa sekarang dia malah tidak ingin
Kana mengetahui apa pun"
Kenapa Yogas menjadi setakut ini untuk ditinggalkan?"
*** Kana menatap bingung dinding kamarnya yang bersebelahan dengan kamar Yogas. Dia merasa
bersalah karena lagi-lagi telah mencampuri kehidupan cowok itu. Kana ingin meminta maaf,
tetapi kelihatannya dengan keadaan seperti bini Yogas tak akan bisa diajak berbicara.
Kenapa Yogas semarah itu" Tanpa disadarinya, Kana memeluk lengannya sendiri. Tadi Yogas
kelihatan menakutkan. Kana nyaris tak mengenali sosoknya yang seketika berubah menjadi
monster yang menyeramkan.
Kana meletakkan satu tangannya di dinding itu, seolah bisa merasakan kepedihan yogas
melaluinya. Kana tidak tahu apa yang terjadi dengan Yogas, tetapi dia punya perasaan kalau
Yogas sangat membutuhkan bantuan.
Yang akan Kana berika kalau saja Yogas tidak menolaknya.
*** Pagi ini Yogas memutuskan untuk keluar kamar dan membuat kopi, setelah semalaman tidak
bisa tidur. Sebelum sempat keluar, Yogas memastikan kalau Kana tidak terlihat di mana pun.
Setelah situasi dirasa cukup aman, dia bergerak ke dapur. Baru berjalan beberapa langkah, Kana
keluar dari kamar mandi dan mereka sedang berhadapan.
"Sori!" seru Kana begitu Yogas mau menghindar. "Sori aku udah nyampurin urusan kamu lagi!
Aku gak sengaja ngeberesin kamar kamu!"
Yogas terpaku menatap Kana di depannya yang kelihatan salah tingkah. Yogas tak mengerti.
Bukankah seharusnya cewek ini menjauhinya seperti rencana"
"Gas, kamu marah banget ya" Sori!" sahut Kana lagi sambil mengatupkan kedua tangannya.
Yogas sendiri masih belum bisa berkata apa-apa. Secercah harapan tahu-tahu muncul di dalam
hatinya. Namun, tiba-tiba Yogas sadar kalau Kana mungkin belum tahu persis pa masalahnya. Dia hanya
belum tahu. Yogas tertawa miris. Bodoh benar tadi dia, berharap kalau Kana mau menerimanya
setelah mengetahui kenyataan itu. Cepat atau lambat Kana akan tahu, dan pada saat itulah, Kana
akan benar-benar meninggalkan dirinya.
"Gas?" tanya Kana, bingung melihat Yogas yang malah tertawa. Yogas akhirnya menatap Kana
dingin. "Gue udah bener-bener bosen memperingatkan lo untuk jangan pernah ganggu gue lagi," kata
Yogas. "Tapi, tunggu aja sebentar lagi, lo pasti bakal berhenti ngegangguin gue."
Tanpa menunggu reaksi Kana, yogas bergerak melewati Kana.
"Eh" Emangnya kenapa?" tanya Kana tak mengerti.
Yogas tak menjawab dan menghilang ke kamar mandi. Kana menatapnya bingung, kemudian
teringat kalau dia punya alasan kelas pagi itu dan buru-buru masuk kamar.
*** "Oke, dari cerita kamu, makin ke sini Yogas makin aneh," komentar Lian saat Kana
menceritakan kejadiana aneh kemarin padanya. Mereka sedang memakai akses internet yang ada
di lobi jurusan Hubungan Internasional.
Kana menganggukk setuju sambil mengetikkan alamat forum tempat dia biasa meminta pendapat
soal karyanya. Selama ini proses pengerjaan novel miliknya sangat lambat. Mungkin, dia bisa
meminta bantuan pada senior-senior yang sudah banyak menerbitkan buku.
"Tapi, kata kamu kemaren kamu nemu obat" Apa dia sakit?" tanya Lian lagi membuat Kana
teringat pada botol obat yang ditemukannya.
"Mungkin juga," kata Kana, jarinya mengetik salah satu web mesin pencaru. Setelah lamannya
terbuka, dia memasukkan kata kunci AZT dan menekan enter.
Berpuluh-puluh ribu hasil muncul, dan Kana mengklik salah satunya. Mendadak, tangan Kana
terasa kaku. Tubuhnya serasa mati rasa saat membaca artikel yang baru dibukanya.
"Kan" Kenapa?" tanya Lian setelah melihat wajah kana berubah pucat pasi dengan mata
terpancang ke layar. Lian menatap monitor yang dilihat Kana tadi, lalu menganga. "Kan, gak
mungkin, kan..." Kana jatuh terduduk di depan komputer. Kakinya lemas dan seluruh tubuhnya gemetar. Kana
mendongak untuk menatap layar lagi, berharap kata-kata yang tadi dibacanya salah.
AZT adalah obat antiretroviral untuk HIV positif.
*** Kana memasukkan motornya ke garasi, kemudian berjalan ke arah tangga seperti zombie. Dia
tidak bisa merasakan apa pun semenjak siang tadi. Kana menatap tangga di depannya dengan
mata menerawang, tak yakin harus menemui Yogas dengan wajah seperti apa.
Perlahan, Kana menaiki tangga, tidak ingin bertemu Yogas dulu. Namun, harapannya tidak
terkabul karena tepat saat Kana akan membuka pintu, Yogas keluar dari kamarnya dengan
handuk tersampir di bahunya.
Kana hampir lupoa bernapas saat melihat Yogas. Mata kana terasa panas karena tidak kunjung
berkedip, menatap sosok tegap di depannya itu. Hampuir tidak ada keanehan dari seorang Yogas
kecuali ribuan virus yang mengalir dalam darahnya.
Yogas balas menatap kana bingung, tapu akhirnya menghela napas.
"Lo udah tahu ya?" Yogas terkekeh sinis. "Sekarang, lo nyesel udah pernah bantu gue" Gue udah
pernah bilang kan..."
"Kenapa?" tanya Kana dengan napas tercekat membuat Yogas menatapnya lagi.
"Kenapa apa?" tanya Yogas datar
"Kenapa... kamu bisa dapat openyakit ini?" tanya Kana lagi, air matanya hampuir jatuh.
Yogas tak langsung menjawab pertanyaan Kana. Dia menatap Kana lama, lalu mengalihkan
pandangannya. "Hubungan seks," jawab Yogas singkat karena sibuk menahan tangis yogas sendiri sebisa
mungkin tidak melihat ke arahnya.
"Sekarang, lo pasti bisa gak ganggu gue lagi," kata Yogas sambil bergerak ke kamar mandi.
Kepalanya berdenyut menyakitkan dan harus dibanjur air.
Yogas harus pura-pura tidak tahu kalau Kana terduduk lemas di depan kamarnya sambil
menangis. Setelah menutup pintu kamar mandi, Yogas memukul tembok keras-keras, kemudian
terduduk di lantai sambil menjambak rambutnya.
Yogas sudah tahu hari ini akan datang dan dia sudah mempersiapkan diri. Namun, tetap saja,
rasa sakit di hatinya mengalahkan semua pertahanan yang sudah susah payah dibangunnya.
Berbagai 'kalau saja' sekarang berkelabat di benak Yogas. Kalau saja dia tidak pernah datang ke
kost ini. Kalau saja sejak awal dia menjauhi Kana.
Kalau saja dia tidak pernah terlahirkan.
Does it hurt" Hari minggu. Langit Yogya sedang tidak bersahabat. Sudah hampir dua jam, kana duduk di
depan monitornya tanpa melakukan apa-apa. Tangannya terkulai lemas di keyboard sehingga
memunculkan huruf-huruf acak di tengah karyanya.
Semalam, Kana tidak bisa tidur. Dia hanya memandangi dinding kamarnya yang berbatasan
dengan kamar Yogas, bertanya-tanya apa Yogas juga tidak bisa tidur sepertinya.
AIDS. Jelas bukan penyakit yang sembarangan. Penyakit ini telah membunuh ribuan remaja
indonesia, bahkan jutaan remaja dunia. Penyakit yang membunuh secara perlahan. Penyakit yang
sampai sekarang masih belum ditemukan obatnya.
Membayangkannya saja membuat Kana merinding. Kana tidak pernah mengira masalah Yogas
akan seberat ini. Kana jadi teringat kata-kata Lian beberapa hari yang lalu.
"Kalo ternyata masalahanya benar-benar berat dan kamu gak bisa berbuat apa-apa untuk
ngebantu dia, kamu masih mau bareng dia?"
Saat itu, Kana tak menjawab, karena Kana takut hal itu benar-benar terjadi. Dan, sekarang, Kana
benar-benar takut Kana bukanlah cewek baik seperti yang ada di sinetron-sinetron, yang tegar menemani
kekasihnya yang sakit sampai akhir hayatnya. Seperti kebanyakan orang, Kana juga merasakan
ketakutan yang luar biasa saat mengetahui Yogas adlah penderita HIV. Kana tak yakin bisa
berbuat sesuatu dengan dirinya yang sekarang ini.
Kana menatap tangannya yang gemetar, lalu memgangnya. Ternyata dia memang takut. Kana
mengulurkan tangan bermaksud mengambil gelas, tetapi secara tak sengaja mengenai pinggiran
gelas yang sudah pecah. Kana meringis kesakitan saat mengetahui bahwa jarinya terluka.
Ketika Kana akan mengisap jarinya yang berdarah, dia terkesiap. Pikirannya melayang ke
kejadian beberapa hari lalu, saat jari Yogas juga berdarah karena terpalu dan dia menolak untuk
diplester. Setelah itu, pikiran Kana melayang lagi ke kejadian-kejadian saat Yogas beberpa kali
menolak makanan dan saat mereka di pantai.
"Kita gak punya masa depan."
Mata Kana menerawang. Darah di jarinya sudah menetes ke lantai, tetapi dia tidak peduli.
*** Yogas menatap atap rumah-rumah di depannya kosong. Pencariannya hari ini nol lagi. Padahal,
Yogas sangat bernapsu untuk cepat-cepat menyelesaikan masalahnya dan pergi dari kota ini.
Yogas melirik langit yang berwarna kemerahan. Satu hari lagi dari beberapa tahun sisa hidupnya
sudah dilalui. Yogas bertanya-tanya masih berapa lama lagi dia dapat melihat matahari terbenam
seperti ini. Tiba-tiba, yogas teringat pada kejadian kemarin, Kana akhirnya mengetahui penyakit yang
diidapnya. Reaksi Kana sama saja seperti reaksi orang lain. Sekarang, Yogas tidak akan heran
kalau Kana menghindarinya. Sepagian ini saja, Kana tidak keluar dari kamarnya.
Yogas memang kecewa tetapi dia tidak bisa mengharapkan lebih. Kana hanya menangis dan
tidak berteriak histeris saja sudah cukup untuknya. Lagi pula, Yogas memang tidak berhak untuk
kecewa. Yogas mendesah, lalu berbaring di lantai. Tak berapa lama, Yogas seperti mendengar suara
langkah kaki. Berharap setengah mati itu Kana, Yogas menoleh. Ternyata, emang Kana. Yogas
langsung mengalihkan pandangannya. Dia tidak boleh berharap yang macam-macam lagi.
"Dingin lho," kata kana sambil mendekatu yogas. Yogas duduk, lalu mengebas-ngebaskan
tangannya yang berdebu. "Kenapa lo ke sini?" tanya Yogas singkat tanpa menoleh.
"Mau nemenin, siapa tahu kamu kesepian," jawab Kana, membuat Yogas mendengus.
"Gak usah maksain diri jadi malaikat," Yogas berkata skeptik. "Lebih baik lo gak usah deketdeket ama gue."
Kana menatap punggung Yogas yang benar-benar tampak kesepian. Tadi pagi, Kana sudah
membulatkan tekadnya untuk tetap mendukung Yogas, karena Kana tahu, Yogas selama ini
melindunginya. Sikap Yogas yang keras dan tertutup itu semata-mata hanya supaya Kana tidak
bergaul dengan orang penyakitan sepertinya.
"Apa kamu gak kesepian?" tanya Kana. "Kamu memutuskan hidup sendiri dan gak membina
hubungan baik sama orang. Apa gak kesepian?"
"Kesepian gue juga gak peduli. Gue udah biasa sendiri," tandas Yogas.
Kana masih menatap punggung Yogas. Kalau yogas mau egois, Yogas bisa aja tetap bergaul
dengan semua temannya dan orang lain, dan tetap menyembunyikan penyakitnya. Namun, Yogas
malah melakukan sebaliknya.
"Kenapa?" tanya Kana lagi. "Kenapa kamu begitu?"
Yogas terdiam lama. "Gue gak mau ada yang nangisin gue kalo gue mati," kata Yogas pelan.
"Semakin sedikit semakin bagus."
Kana tertegun sejenak mendengar jawaban Yogas, lalu tersenyum.
"Ternyata kamu baik banget ya,"bujar Kana membuat Yogas menoleh sedikit. "Kamu masih
mentingin orang lain."
Yogas tak berkomentar. Dia hanya terdiam sambil menatap langit yang sudah gelap.
"Karena kamu gak mau orang-orang yang kamu sayangin berurusan sama kamu, kamu sengaja
ngehindarin mereka, ya, kan?" tanya Kana lagi. "Karena itu, kamu memilih sendirian, ya, kan?"
Yogas masih terdiam. Tangannya sudah terkepal keras hingga buku-buku jarinya memutih.
Tahu-tahu, sepasang tangan sudah melingkar di lehernya. Ternyata Kana sudah duduk dan
memeluknya dari belakang.
"Punya penyakit bukan berarti kamu gak bisa bahagia," kata Kana yang terdengar merdu di
telinga Yogas. "Kalo gak ada yang nemeni kamu, aku yang bakal nemenin."
Yogas tidak berusaha melepaskan tangan Kana. Tangan itu begitu hangat, sampai-sampai Yogas
tidak mau melepasnya. Yogas mau menggenggam kebahagiaan ini walau cuma beberapa detik.
Tanpa terasa air mata sudah mengalir dari mata Yogas.
"Sakit," gumam Yogas di antara isakan lirihnya membuat Kana menitikkan air mata dan
memeluk Yogas lebih erat.
Kana tahu benar di bagian mana Yogas merasa sakit. Dari seluruh bagian tubuhnya, pasti bagian
hatinyalah yang paling terasa sakit.
Bagian yang selama ini sudah dikorbankannuya.
*** Yogas melewati malam dengan menatap langit-langit kamarnya yang sudah kecokelatan. Dia
sama sekali tidak bisa tidur, stelah menangis untuk yang pertama kalinya di depan orang. Pada
saat Yogas divonis positif HIV, dia tidak menangis. Pada saat ibunya menangis sejadi-jadinya,
Yogas juga tidak menangis. Pada saat ayahnya pergi dari rumah karena malu memiliki anak
berpenyakit mengerikan spertinya, dia juga tidak menangis.
Mungkin semalam adalah akumulasi dari segala kesedihan yang Yogas alami selama enam tahun
terakhir. Yogas tahu cepat atau lambat dia akan meledak, tetapi dia tidak pernah menyangka
harus bersama orang yang baru dikenalnya. Kenapa malah orang yang hampur tidak dikenalnya
yang mau memeluknya dan membiarkannya menangis.
Yogas teringat ibunya. Saat divonis positif HIV, Yogas tidak sempat menangis karena ibunya
sudah menangis duluan. Setelah itu, perlakuan ibunya tidak sama lagi. Dia sangat hati-hati dalam
menyentuhnya dan sangat hati-hati dalam memberinya makan. Bahkan, ibunya memberi
peralatan makan khusus, dan dia mencuci pakaian Yogas secara terpisah. Yogas seperti alien di
dalam rumahnya sendiri. Betapapun dokter meyakinkan ibunya kalau penyakit Yogas tak akan
menular dengan cara-cara sperti itu, ibunya tidak mau mendengarkan.
Saat ayahnya pergi, ibunya depresi berat. Berhari-hari dia menangis tanpa memperdulika Yogas.
Yogas jadi tak punya waktu untuk memikirkan masalahnya sendiri. Yang dia pikirkan hanyalah
bagaimana ibunya bisa bahagia. Karen itu, yogas sering menghabiskan waktunya di luar untuk
menyepi, berharap dengan cara yang tak seberapa itu ibunya jadi lebih tenang.
Semalam, ketika Kana memeluknya, Yogas tak bisa menolak. Sudah terlalu lama semenjak
seseorang memeluknya seperti itu. Semalam, sisi egoisnya sudah menang. Dia tidak
memperdulikan apa pun, dan berharap malam itu tak pernah berakhir.
Namun, sekarang malanya sudah berakhir. Yogas tak bisa menerima kebaikan Kana hanya untuk
kepentingannya. Dia sadar kalau Kana hanya kasihan padanya. Kana kasihan karena Yogas
sendirian, dan akan mati sendirian pula.
Secercah harapan yang tumbuh pada hati Yogas saat kana tidak ragu memeluknya harus
dibunuhnya. Gadis itu memang tidak takut padanya dan masih bersikap sama seperti sebelum
mengetahui penyakitnya, namun Yogas juga sadar Kana hanya ingin menemaninya, tidak lebih.
Yogas bangkit dari tempat tidurnya, memutuskan untuk berangkat sepagi mungkin supaya tidak
bertemu dengan Kana. Sangat sulit baginya untuk bertemu dengan gadis itu setelah kejadian
semalam. Yogas membuka pintu kamarnya dan pada sAat yang bersamaan, pintu kamar Kana juga
terbuka. Yogas langusng mengumpat dalam hatinya.
Kana yang baru keluar kamar menoleh dan menatap Yogas yang tampak membeku di depan
kamarnya. Kana menelengkan kepalanya.
"Kenapa?" tanya Kana membuat Yogas tersadar. Yogas buru-buru mengunci pibtunya, lalu
bergerak cepat ke tangga. Kana mengamatinya dan teringat sesuatu.
"Gas! Bawa payung, ntar kehujanan lho!" sahutnya, tetapi Yogas sepeti tak mendengar.
Kana menatap punggung Yogas yang menghilang dibtangga, lalu tersenyum. Ternyata, Yogas
masih sama seperti hari-hari sebelumnya. Ini akan jadi tugas yang sulit buat Kana, tetapi Kana
tak akan menyerah *** Yogas memandang kosong bangunan berwarna putih abu-abu di depannya, Fakultas Psikologi
UGM. Dia tidak benar-benar melihat siapa yang lewat karena otaknya masih terus memutar


The Truth About Forever Karya Orizuka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kejadian semalam. Suara musik berdentum-dentum melalui headphone besar yang tergantung di
lehernya. Sepasang kekasih lewat di depan Yogas, membuatnya may tak mau memanang mereka dengan
sedikit perasaan iri. Alangkah baiknya jika Yogas tak memiliki penyakit apa pun. Di unurnya
yang sekarang ini, dia pasti juga bisa merasakan kebahagiaan seperti pasangan itu.
Namun, tak ada gunanya berandai-andai. Yogas sudah kepalang memiliki virus mematikan yang
mengalir dalam darahnya. Sekarang, dia hanya harus menyelesaikan urusannya dan setelah itu,
Yogas tak peduli lagi mau hidup dengan cara apa.
Yogas membetulkan headphone-nya, dan tanpa sengaja, dia menyentuh bagian belakang
telinganya. Yogas merasakan ada sesuatu yang tidak biasa. Dia menyentuh sebuah benjolan tepat
dibbelakang telinga yang seingatnya tak pernah dimilikinya.
Tangan Yogas langsung terlulai lemas. Pandangannya kosong. Beberapa detik kemudian, dia
terkekeh pelan. Benar. Ini sudah hampir enam tahun semenjak dia divonis menderita HIV. Tentu
saja, dia akan mengalami perubahan pada tubuhnya.
Yogas seharusnya bisa menerima ini, tetapi entah kenapa sebagian dari dirinya menolak. Selama
enam tahun ini, dia hampir tidak merasakan keanehan apa pun. Yogas merasa nyaris sehat. Dan,
sekarang, setelah kelenjar getah beningnya membengkak, dia baru sadar kalau dia benar-benar
sakit. Setitik air hujan jatuh di punggung tangan Yogas. Tak lama kemudian, hujan turun semakin
deras, tetapi Yogas belum beranjak dari tempatnya. Dia malah menengadahkan kepalanya,
berharap hujan bisa membawa pergi semua virus yang ada pada tubuhnya.
Juga membawa pergi semua air maya dan kesedihannya.
*** Kana menggeliat, lalu menggapai weker yang ada di sampingnya. Dia terduduk kaget saat
membaca jarum jam itu. Pukul sembilan lebih sepuluh menit. Kana mengucek matanya,
pandangannya tertumbuk pada dinding yang membatasi kamarnya dengan kamar Yogas.
Kana bangun dan bergerak membuka pintu. Ternyat, di luar hujan. Kana menengok ke arah
kamar yogas yang masih gelap, lalu menghela napas. Mungkin Yogas kehujanan di jalan, jadi
menunggu hujan reda. Kana baru akan bergerak ke kamar mandi ketika dia mendengarkan suara-suara dari arah kamar
Yogas. Kana berhnti melangkah, lalu menatap kamar Yogas. Mungkinkah ada tikus"
Kana memegang kenop pintu, tetapi dia segera menggeleng. Terakhir kali Kana masuk, Yogas
sangat marah. Dia tak mau dimarahi lagi. Namun, beberapa detik kemudian, suara itu muncul
lagi. Kali ini terdengar seperti suara igauan.
"Gas?" panggil Kana, tetap tidak ada sahutan. Kana mengetuk pintu Yogas. Karena tak kunjung
ada jawaban Kana mengetuk lebih keras. "Gas" Kamu ada di dalem?"
Lampu kamar Yogas tiba-tiba menyala, dan detuk berikutnya Yogas membuka pintu dengan
kasar. Wajahnya tampak pucat. Juga marah.
"Berisik! Apaan sih?" serunya. Kana menatap Yogas lekat-lekat. Tampaknya Yogas bukan baru
banguntidur. Wajahnya pucat dan berkeringat. "Apa?"
"Kamu gak kenapa-napa, kan?" tanya Kana khawatir.
Yogas berdecak kesal, tampak sebal sudah diganggu.
"Kalo gak ada perlu lagi, gue mau tidur," kata Yogas dan sementara Kana memeperhatikan
wajahnya, dia menutup pintu.
Kana menghela napas, lalu pergi. Ketika dia baru berjalan beberapa langkah, terdengar suara
gaduh dari kamar Yogas. Kana segera kembali dan membuka pintu kamar Yogas, lalu
mendapatinya sudah tergeletak di lantai. Tubuh cowok itu tampak menggigil.
"Gas!" Kana berseru panik, lalu terduduk di sampingnya. Dia memegang dahi Yogas dan terkejut
oleh suhunya yang sangat tinggi. Kana menoleh ke kanan dan ke kiri panik, lalu menepuk-nepuk
pipi Yogas yang panas. "Gas! Naik ke kasur ya!"
Kana membantu Yogas untuk naik ke kasur. Tubuh Yogas sangat berat, juga panas. Bajunya
sudah basah bermandikan keringat dingin. Setelah Yogas terbaring di kasur, Kana segera
membuka baju Yogas yang basah dan mencari-cari baju bersih. Namun, yang dia temukan hanya
setumpuk baju kotor yang belum dicuci. Kana melesat le kamarnuya sendiri, mengaduk lemari
dan menemukan sweter milik ayahnya, setelah itu memakaikannya pada Yogas.
"Gas, tunggu bentar ya, aku ambil es batu dulu," kata Kana pada yogas yang hanya bisa
bergumam. Kana segera turun ke rumah tantenya. Tantenya heran melihat Kana yang terburu-buru
mengambil es batu dari dalam kulkas.
"Kan" Buat apoa es batu?" tanyanya.
"Itu, Buli, si yogas..." Kana terdiam, teringat pada Yogas yang pasti tidak ingin ibu kost tahu soal
penyakitnya. "Si Yogas...?" tanya tantenya penasaran.
"Si Yogas... mau bikin es teh!" sahut Kana cepat, lalu segera kembali secepat mungkin ke atas.
Yogas masih menggigil dan dia mulai meracau.
Setelah mengisi baskom dengan air dan es batu, Kana mengambik saputangan handuk. Tak lupa,
dia juga mengambil selimut miliknya dan memakaikannya ke tubuh Yogas.
Yogas berhasil membuka matanya sedikit, sadar kalau Kana ada di sampingnya. Walaupun
berkunang-kunang, yogas masih bisa melihat Kana yang sedang memras saputangan. Saat Kana
hendak meletakkannya ke dahi Yogas, Yogas menepisnya.
"Pergi.., jangan peduliin gue," gumam Yogas, tetapi Kana tidak peduli. Dia mengambil
saputangan yang jatuh, lalu berusaha menempelkannya ke dahi Yogas. Yogas bersikeras tidk
mau. "Gas!" sahut Kana marah. "Jangan pikir aku bego ya! Aku tahu penyakit kamu gak akan menular
kalo cuma begini!" Yogas berhenti berusaha dan membiarkan Kana mengompres dahinya. Kana menghela napas.
"Sori. Gak bermaksud teriak-teriak," Kana membetulkan selimut Yogas. "Kamu kok bisa panas
begini sih?" Kana mengedarkan pandangannya kekamar Yogas, dan menemukan seonggok baju basah di
pojokan. Kana mendelik pada Yogas.
"Kan, sudah aku bilang bawa payung," kana mengomel sambil mengambil kompres di dahi
Yogas. Dia mencelupkannya ke baskom, memerasnya, lalu meletakkannya kembali, tetapi kali
ini kompres itu jatuh di mata Yogas. Yogas meringis kedinginan dan Kana seperti pura-pura
tidak melihatnya. Yogas membenahi sendiri letak kompresnya sambil melirik Kana yang masih kelihatan sebal.
"Cari penyakit sendiri," kata Kana pendek, kemudian bangkit. Yogas sama sekali tak punya
tenaga untuk bertanya kemana dia mau pergi. Sebelum menghilang di pintu, Kana menoleh.
"Mau ambil obat," katanya, lalu pergi.
Yogas menatap langit-langit yang tampak berbayang. Alangkah baiknya kalau Kana mau terus
menemaninya seperti ini. Yogas tidak akan protes walaupun dimarahi seperti tadi seumur
hidupnya. Yogas menurunkan kompres itu ke matanya, siapa tahu air matanya keluar lagi. Beberapa menit
kemudian, Kana kembali dengan berbagai jenis obat di tangannya. Kana duduk di samping
Yogas sambil mengamati ibat-obat itu.
"Hm, yang mana ya?" gumamnya membuat Yogas mengintip dan menatapnya ngeri. Bisa saja
cewek itu memberinya obat untuk diare. "Yang ini aja, deh."
Kana membuka kemasan salah satu obat, lalu menyodorkannya pada Yogas yang tampak
enggan. Seperti tidak mau tahu, Kana mengambilk sebotol air mineral dan membantu Yogas
untuk minum. Yogas sendiri akhirnya tidak bisa menolak dan pasrah saja menelan pil berwearna
putih itu. Setelah Yogas berhasil meminum obat penurun demam, Kana membetulkan selimut Yogas dan
mengganti kompresnya. Kana kemudian menengok ke sekeliling seolah mencari sesuatu.
"Gas" Obat kamu mana" Udah diminum belum?" tanya Kana membuat Yogas memejamkan
mata, berpura-pura tidur. "Gas" Kamu udah ke ruamh sakit?"
Kana melirik Yogas yang tampaknya sudah tertidur, lalu menghela napas. Setelah mengganti
kompres sekali lagi, Kana bangkit dan bergerak keluar kamar. Saat itulah Yogas membuka mata
dan menatap langit-langit.
Obat. Rumah sakit. Duahal yang tidak mungkin bisa membantunya. Yogas tak mau repot-repot
pergi ke rumah sakit hanya untuk ditolak. Sudah cukup semua penolakan yang pernah
dialaminya. Yogas melirik pintu yang sudah tertutup, bertanya-tanya apa Kana akan datang lagi walaupun
yogas sadar, dia sudah menyakiti dirinya sendiri lagi dengan harapan ini.
*** Kana mengaduk bubur dalam panci dengan pandangan ksong. Pikirannya melayang pada Yogas
yang sekarang sedang terbaring demam di kamarnya. Dia pasti kehujanan, dan karena daya
tubuhnya rendah, dia mudah kena sakit.
Kana juga berpikir soal obat yang waktu itu sudah remuk di tangan Yogas. Apa yogas sudah ke
ruamh sakit lagi untuk meminta obat" Kalau belum, apa Yogas baik-baik saja tanpa obat itu"
"Kan, kamu ngapain" Buburnya hangus tuh!" sahut tantenya, menyadarkan Kana.
Kana segera mematikan kompir, lalu mengangkat panci itu dan menuang isinya ke dalam
mangkuk. Tantenya mengamatinya penuh minat.
"Tumben kamu masak bubur malem-malem gini," komentarnya membuat Kana gelagapan.
"Ng, lagi pengen aja," kata Kana cepat, lalu segera pergi membawa bubur itu naik ke kamar
Yogas tanpa memperdulikan tatapan curiga tantenya.
Kana membuka pintu kamar Yogas, lalu duduk di sampingnya. Yogas masih tampak tertidur.
Kana mengganti kompres, kemudian menepuk-nepuk pelan pipi Yogas. Panasnya ternyata sudah
mulai turun. "Gas," kata Kana membuat Yogas membuka mata. Dia memang sempat tertidur sebentar. Yogas
menoleh lemas. "Makan dulu. Udah kubuatin bubur."
Yogas menatap mangkuk di tangan Kana tanpa minat.
"Kamu kan harus minum obat, jadi makandulu," kata Kana lagi.
Yogas membuang muka. "Gak perlu."
"Gak boleh!" sahut Kana tegas. "Kamu harus makan, ntar gak sembuh-sembuh!"
Yogas tidak berkomentar dan malah menatap langit-langit. Kana mendesah dan sekali lagi
menatap sekeliling, memindai kamr itu.
"Ngomng-ngomong, mana obatnya?" tanya Kana.
"Habis," jawab Yogas sekenanya.
"Ya udah kalo habis, tapi yang penting sekarang kamu harus makan," kata Kana sambil
membantu Yogas membetulkan duduknya. Karena lemas, Yogas jadi tak punya kekuatan untuk
mencegahnya. "Gue gak mau," tolak Yogas begitu Kana menyodorkan sesendok bubur padanya. Yogas melirik
bubur itu malas. "Keliatannya gak enak."
Kana menganga sebal, tetapi kemudian teringat pada kejadian saat Yogas menolak makanan dari
tentenya. Mungkin ini soal peralatan makan.
"Ng, setelah kamu makan, aku buang deh mangkuk sama sendoknya. Itu kalo kamu takut
kenapa-napa," kata Kana hati-hati.
Yogas menatapnya tajam. "Bukannya itu punya tante lo?"
"Yah, ntar aku bilang sama dia. Atau aku ganti," kata Kana tak sabar. "Yang penting, sekarang
makan dulu." Setelah mendengar usul iti, Yogas mulai menerima sesuap demi sesuap bubur yang ada di
mangkuk. "Enak,kan?" goda Kana begitu bibur di mangkuk tinggal tersisa sedikit.
"Di mana-mana rasa bubur ya gitu aja," gumam Yogas membuat cengiran Kana hilang. Kana
berdecak dan mengendikkan bahu.
"Yah, kali udah begini artinya kamu udah sembuh," kana meletakkan mangkuk dan
menyodorkan air minum untuk Yogas. Sementara Yogas minun, Kana melirik mangkuk dan
sendok. "Gas, aku cuci aja ya mangkuknya?"
"Beli baru aja. Duitnya ambil di dompet gue," kata Yogas tegas.
Kana mengamati Yogas. "Gas, bukannya kamu yang paling tahu kalau virus HIV gak menular
lewat liur" Kenapa sih..."
"Gue gak mau ambil resiko," potong Yogas kembali merebahkan tubuhnya. Kepalanya masih
terasa pusing. "Jangan lupa dibuang. Atau kalo perlu, dipecahin dulu," tambah Yogas lalu
memejamkan mata, berusaha tidur.
"Sakit ya, Gas?" tanya Kana.
"Pusing doang," jawab Yogas sambil menjambak rambutnya.
"Sakit ya, setiap kali kamu menghindari orang?" tanya Kana lagi, membuat Yogas membuka
mata. "Sakit, kan" Jadi, kenapa gak berhenti berusaha sekuat tenaga" Orang-orang yang benerbener peduli ama kamu pasti maklum kok."
Yogas menatap langit-langit kamarnya, memikirkan kemungkinan itu. Detik berikutnya dia
mendengus pelan, karena tidak ada orang-orang yang benar-benar peduli padanya.
"Udahlah. Gue mau tidur," Yogas kembali memejamkan matanya. Kana menatap Yogas lama,
lalu mengganti kompresnya.
"Istirahat ya, Gas, besok pagi aku ke sini lagi."
Setelah mengatakannya, Kana bangkit sambil membawa mangkuk bubur. Yogas segera
menempatkan kompres ke matanya begitu Kana keluar dari kamarnya, tetapi kompres itu tidak
bisa menghentikan aliran air matanya.
Aren't you scared" Pagi-pagi sekali, Kana sudah keluar dari kamarnya untuk menengok Yogas. Yogas ternyata
masih terlelap. Kana memegang dahi Yogas, ternyata panasnya udah turun walaupun masih
sedikit hangat. Kana menghela napas lega, lalu memperhatikan sekelilingnya.
Saat Kana melihat tumpukan pakaian kotor di pojokan, dia mendapat ide. Kana segera keluar
dari kamar yogas, menyiapkan ember besar di kamar mandi, lalu memboyong semua pakaian
kotor Yogas dan mencelupkannya di ember itu.
Sementara pakaian direndam, Kana membersihkan kamar Yogas. Dia membuang semua botolbotol air minum, lalu menyapu lantainya. Kana melakukan semuanya dalam diam, takut
membangunkan Yogas. Begitu melihat ransel Yogas yang sudah kosong, Kana mendelik pada Yogas yang masih
mendengkur. "Dasar pemeles. Jadi, gak punya baju lagi, kan," katanya, lalu melanjutkan menyapu plastikplastik kemasan makanan ringan.
"Lo... Ngapain?" tanya Yogas lemah, yang ternyata terbangun karena kesibukan Kana.
"Gak liat" Nyapu dong," jawab Kana cuek sambil terus menyapu.
Yogas menatap Kana lama, lalu merasa tenggorokannya kering. Yogas menggapai botol air
mineral di sampingnya, tetapi karena terlalu lemah, tangannya tak sampai. Tahu-tahu Kana
mengambil botol itu dan menyondorkannya pada Yogas. Ketika tangan Yogas terulur, Kana
menariknya lagi. "Aku gak denger kata 'tolong'," goda Kana sambil nyengir jail.
Yogas menatapnya sebel, kemudian kembali berbaring. "Gak jadi."
"Ya udah," kata Kana, sengaja meletakkan botol itu di atas meja yang jauh dari jangkauan
Yogas. Yogas sendiri menatap sengit Kana yang malah bersiul-siul.
"Tolong," kata Yogas akhirnya.
Kana menoleh, cengirannya semakin lebar. Dia mengambil botol itu dan menyerahkannya pda
Yogas. "Gimana, udah baikan?" tanya Kana sementara Yogas minum. "Masih pusing?"
"Lumayan," yogas kembali merebahkan kepalanya yang maih terasa sedikit pusing. Tubuhnya
juga masih terasa lemas. Kana mengangguk-angguk, lalu melanjutkan nyapu. Yogas melirik ke arah suatu sudut yang
tampak berbeda dari biasanya. Matanya membesar saat menyadari setumpuk pakaian kotornya
sudah hilang dari sana. "Loh... ke mana baju-baju gue?" tanya Yogas bingung.
"Aku cuci. Kamu gak sadar ya, kamu udah gak punya baju lagi" Dasar jorok," semprot Kana.
"Dan, kalo kamu mau tahu, baju yang sekarang kamu pake itu punyaku. Nanti kalo udah sembuh
harus dicuci terus dibalikin."
Yogas mengamati baju yang sedang dipakainya. Dia baru sadar kalau itu memang bukan
miliknya. Dia kembali memperhatikan Kana yang sekarang sedang membereskan meja.
"Lo... gak takut?" tanya Yogas yang membuat Kana menoleh. Dia tersenyum.
"Kenapa harus takut?" balas Kana sambil bangkit. "Aku cuci bajumu dulu ya. Inget, ntar kamu
harus bayar ongkos laundry. Kamu memang sakit, tapi bukan berarti kamu istimewa."
Kana keluar kamar yogas sambil bersenandung sementara Yogas menatap langit-langit
kamarnya. Baru kali ini dia diperlakukan seperti ini semenjak dia mengidap penyakitnya.
Kamu memang sakit, tapi bukan berarti kamu istimewa.
Yogas tersenyum. Seandainya saja semua orang seperti Kana.
*** Setelah selesai mencuci pakaian Yogas yang minta ampun banyaknya, Kana segera berangkat
kuliah. Yogas membuatnya lupa kalau dia memiliki tugas presentasi. Untung saja, dia sampai di
kampus tepat waktu. Sebelum berangkat tadi, Kana sudah menyiapkan makanan untuk Yogas dengan menggunakan
piring kertas. Kana sengaja membeli dua lusin supaya tidak lagi membuang-buang mangkuk
beling. Saat ini, Kana sedang makan di kantin, karena setelah ini dia masih memiliki satu kelas lagi.
Kana tidak sadar kalau sedari tadi Lian memperhatikannya.
"Kan?" panggil Lian, tetapi Kana sibuk berpikir menu apa yang akan dia masak untuk Yogas
nanti malam. "Kana?"
"Hm?" Kana bergumam tanpa menoleh.
"Kana!" sahut Lian sambil mengguncang tubuh Kana.
Kana akhirnya tersadar. "Kenapa sih, Li?"
"Dari tadi aku panggilin gak dijawab!" sahut Lian kesal.
"Oh, sori deh," kata kana menyesal. Dia terlalu sibuk dengan pikirannya sampai melupakan
kehadiran Lian. "Kenapa,Li?"
"Ng... itu," kata Lian hati-hati. "Apa benar... Yogas HIV positif?"
Kana menatap Lian lama. Kana memang belum sempat membicarakan hal ini dengan Lian. Dan,
sekarang Kana ragu apa harus berterus terang dengan Lian. Tetapi sepertinya, Lian cukup
memiliki pikiran yang terbuka.
Perlahan, Kana mengangguk. Lian tampak menahan napanya.
"Terus, gimana?" tanya Lian lagi.
"Hm, sampe saat ini sih dia gak kenapa-kenapa. Cuma semalem dia demam gara-gara
kehujanan..." "Bukan itu," potong Lian membuat Kana mengenyit. "Gimana dengan. Kamu" Apa kamu gak
takut?" Kana terdiam sejenak, lalu tersenyum.
"Awalnya sih aku memang takut. Tapi, Li, rasa takutku gak seberapa dibandingkan rasa sakit
hati dia," kata Kana. "Dia sendirian, Li."
"Jadi, kamu cuma kasihan?" tanya Lian lagi, membuat Kana lagi-lagi terdiam.


The Truth About Forever Karya Orizuka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kalo dibilang kasihan..." Kana tak meneruskan kata-katanya, berpikir.
"Kalo dibilang kasihan?" cecar Lian. Ketika Kana tak kunjung menjawab, Lian menghela napas.
"Kamu suka sama dia, Kan?"
Kana juga tidak langsung menjawab pertanyaan ini. Lian memegang tangan Kana, menatapnya
dalam-dalam. "Kan, apa kamu sudah siap sama semua resikonya" Kalo kamu suka sama dia, itu berarti kamu
harus siap ada disamping dia terus! Kalo ternyata kamu cuma kasihan sama dia, kamu jangan
kasih dia harapan!" kata Lian membuat Kana menatapnya nanar. "Kan, mungkin ini kedengeran
kejam, tapi kata-kata dia waktu itu bukan cuma bohong. Kalian memang gak punya masa depan.
Kamu tahu sendiri orang dengan HIV bisa gimana nantinya."
"Aku... aku sayang ama dia, Li," kata Kana akhirnya, air matanya sudah jatuh.
"Kan, sayang aja gak cukup. Sekarang, mungkin dia keliatan baik-baik saja. Tapi, apa kamu gak
mikir, gimana dia lima tahun mendatang" Kalo ternyata nanti kamu gak kuat dan ninggalin dia di
masa itu, apa kamu pikir dia gak bakal lebih menderita dari sekarang?" tanya Lian lagi membuat
Kana terisak. Lian menggenggam tangan Kana erat. "Kan, kalo kamu gak yakin, jangan terusin. Jangan bareng
dia karena kasihan. Aku yakin dia juga gak mau kamu kasihani. Ya, Kan?"
Kana masih terisak. Dadanya sakit memikirkan kebenaran dari kata-kata Lian.
*** Kana terduduk lemas di depan monitor warnet. Dia menggerakkan mouse dan membuka situs
mesin pencari. Dengan tangan gemetar, dia mengetik kata kunci 'penyakit HIV', dan hasil yang
keluar ribuan. Kana mengklik salah satu link dan membaca atikel yang muncul.
Air mata Kana jatuh tetes demi tetes seiring dengan banyaknya artikel yang dibacanya. Ratairata
orang dengn HiV hanya memiliki waktu sepuluh tahun sebelum berkembang menjadi penyakit
AIDS. Setelah itu, pengidap penyakit itu akan mengalami penurunan berart badan, diare
berketerusan, dan berbagai penyakit lain. Pada tahap ini, penyakit ringan sekalipun dapat
mengancam nyawa penderita AIDS.
Kana menekap mulutnya saat melihat gambar seorang penderita AIDS tahap akhir yang ada di
salah satu laman berita. Orang itu tampak mengenaskan dengan hanya tulang berbalut kulit yang
dipenuhi bercak merah. Dan, orang ini hanya berusia dua puluh tahun saja.
Sampai saat ini, belum ditemukan penyembuh bagi penderita AIDS. Yang ada hanya obat untuk
menghambat penyebaran virus dan menurunkan jumlahnya. Kana menemukan info tentang obat
yang diminum Yogas, tetapi ternyata obat itu harus diminum secara teratur karena kalau tidak
virus akan dengan mudah menajdi resisten. Todak diminum sekali saja, pengobatan harus
diulang dengan peningkatan dosis peminuman.
Kana teringat pada Yogas yang tampak tidak peduli pada obatnya yang sudah habis. Kalau
begini, tubuh Yogas akan jadi resisten. Yogas bahkan tidak berminat lagi untuk pergi ke rumah
sakit dan meminta obat lagi.
Mata Kana tiba-tiba membesar saat membaca artikel tentang pengakuan salah satu orang dengan
AIDS yang ditolak di sebuah rumah sakit karena alasan yang tidak dapat diterima akal. Rumah
sakit tersebut menganggap penderita AIDS sebagai kuman yang dapat mengotori rumah sakit itu.
Sekarang, Kana tahu mengapa Yogas enggan pergi ke rumah sakit. Mungkin dia sudah
kehilangan kepercayaan pada pihak rumah sakit karena pernah ditolak, walaupun tidak semua
pihak rumah sakit melakukannya.
Kana menatap tangannya sendiri yang gemetar semakin hebat. Dia tidak pernah menyangka
kalau hidup akan membawanya menemukan seorang Yogas. Dan, sekarang Kana tidak tahu
harus berbuat apa. *** Saat Kana berjalan hampa di depan kamarnya, dia melirik kamar Yogas yang tampak sudah
terang. Yogas mungkin sudah cukup kuat untuk menyalakan lampu. Kana mengetuk kamar
yogas, kemudian melangkah masuk walaupun Yogas tidak menjawab. Yogas ternyata masih
terbaring di kasurnya, tidur. Kana menghela napas, teriingat pada jemuran yang masih
tergantung di lantai atas. Kana segera naik untuk mengambil jemuran.
Kana mengambil pakaian Yogas yang sudah kering sambil melamun. Pikirannya melayang pada
kata-kata Lian tadi siang. Kana menatap sweter-sweter Yogas yang ada di pelukannya, lalu
terduduk sambil memeluk sweter itu erat-erat. Air matanya sudah mengalir.
Kana benar-benar tidak tahu harus melakukan apa untuk Yogas.
Kana sedang mebalik-balik baju Yogas ketika Yogas terbangun. Dia memaksakan diri untuk
duduk, lalu menatap Kana. Kana balas menatapnya sambil tersenyum. Yogas tidak balas
tersenyum. Dia memperhatikan mata Kana yang sembap.
"Udahlah. Lo gak usah bantu-bantu gue lagi," kata Yogas. "Gak usah ngerasa bertanggung
jawab." Kana terdiam sejenak, lalu tertawa pelan. "Kamu ngomong apaan sih, Gas?" katanya sambil
terus membalik baju. "Mata lo. Lo pasti nyesel udah kenal gue, kan?" tanya Yogas lagi.
"Oh, ini ya?" Kana mengucek matanya. "Aku kurang tidur. Kamu sih nyusahin aja."
Yogas tak berkomentar. Dia mengamati Kana yang seperti menghindari pandangannya.
Kana sendiri tertawa kecil, kemudian bangkit. "Aku ambil setrika dulu," katanya, lalu segera
keluar kamar Yogas dan masuk ke kamarnya sendiri. Sesampainya di kamar, dia langsung jatuh
terduduk dan kembali menangis.
Kana mersa seperti orang jahat. Kana sudah berbohong pada Yogas dengan mengatakan dia tidak
takut. Kana sudah memutuskan untuk menemani Yogas. Pada akhirnya, Kana masih ragu, tetapi
dia tidak tega mengatakan yang sebenarnya pada Yogas.
Kana terisak, menyesali dirinya yang tidak bisa tegar. Kana tidak sadar, kalau Yogas ada di luar
kamarnya, mendengar setiap isakaannya.
Yogas tersenyum miris. Dia tahu ini akan terjadi. Dia tahu tidak akan ada orang yang tahan
dengannya. Dari awal, dia sudah tahu, tetapi dia menolak untuk menerimanya. Setengah mati,
dia berharap Kana adalah orang yang akan menyelamatkannya, tetapi ternyata pikirannya salah.
Tidak ada satu pun yang bisa menyelamatkannya.
*** Pukul setengah tujuh pagi, Kana membuka pintu kamarnya dan segera melirik pintu kamar
Yogas. Semalam, ketika Kana akan kembali menyetrika baju-baju Yogas, kamar itu sudah gelap
dan pintunya dikunci. Setelah menghela naps, Kana mengunci pintu kamarnya dan bergerak turun. Hari ini dia ada
kuliah pagi. Begitu sampai di bawah, Ono terlihat sedang bersenam-senam pagi.
"Kuliah, Kan?" tanya Ono, dan Kana hanya menjawabnya dengan anggukan lemah. Ono
mengernyit. "Ya ampun, kalian ini. Pada lemes-lemes banget tho. Tadi pagi si Yogas juga begitu.
Ditanyain malah ngeloyor saja kayak mayat hidup."
Mata kana membulat mendengar kata-kata ono. "Yogas sudah pergi?"
"Iya, setengah jam yang lalu," jawab Ono. "Dia kok akhir-akhir ini tambah aneh, yo" Mana gak
pernah makan bareng lagi."
Kana sudah tak mendengar kata-kata Ono. Dia mengeluarkan motor, lalu segera meluncur ke
jalan, meninggalkan Ono yang marah-marah karena lagi-lagi merasa diabaikan.
*** "Ke mana aja lo, gas?" tanya Eno begitu melihat Yogas yang sudah menunggunya di cafetaria.
Yogas tak menjawab, jadi Eno menatapnya bingung dan duduk di depannya. "Gas" Kenapa lo?"
"No, gue berpikir buat pindah kost," kata Yogas membuat Eno bengong. Namun, detik
berikutnya dia maklum. "Kenapa, udah semakin serius?" tanya Eno.
"Dia udah tau soal penyakit gue," kata Yogas membuat mata Eno melebar.
"Terus" Dia ngejauhin lo?" tanya Eno hati-hati. Yogas menggeleng.
"Lebih gampang kalo begitu," Yogas memainkan kemasan air mineral gelas yang ada di
tangannya. Air wajahnya mengeruh. "Ini malah sebaliknya."
Eno terdiam mendengar kata-kata Yogas. Dia sama sekali tidak percaya akan pendengarannya.
"Dia gak ngejauhin lo" Jadi, dia nerima lo?" tanya Eno lagi.
"Nerima..." Yogas bergumam, lalu tertawa miris. "Tepatnya dia kasihan sama gue. Dia pikir dia
cukup kuat buat ngebantu gue."
"Tapi...?" kata Eno.
"Tapi, dia sama aja dengan yang lain. Dia gak kuat. Gue denger dia nangis di kamarnya," Yogas
mengambil jeda sejenak. "Gue... gue gak ma
u dia terpaksa dia nerima gue, No."
Eno menatap Yogas, paham dengan perasaannya.
"Beberapa waktu lalu, dia bilang dia mau nemenin gue. Tapi, sekarang setelah di sadar kalo dia
gak cukup kuat buat ngelakuin itu, dia malah ngerasa bertanggung jawab," kata Yogas. "Gue gak
bisa ngeliat dia susah payah merhatiin gue."
"Karena itu, gue mau pindah secepatnya. Karena udah terlalu bwerat setiap hari ketemu dia,"
kata Yogas lagi, matanya menerawang hampa. "Udah terlalu berat.
Eno menatap temannya itu lama. "Gas, menurut gue lo selesain masalah sama dia dulu. Jangan
main kabur. Kalo ternyata omongan lo sekarang cuma sugesti lo, lo bakalan nyesel karena udah
kehilangan orang yang peduli sama lo."
"No, kalo pun emang bener gitu, itu memang resiko gue. Dari awal harusnya gue gak pernah
mulai," sanggah Yogas.
"Oke. Itu resiko lo. Tapi, apa lo berpikir sama buat dia" Kalo ternyata dia bener-bener peduli
sama lo dan lo tiba-tiba pergi begitu aja?" tanya Eno lagi. Yogas terdiam sebentar, tampak
berpikir. "Kalo gitu, suatu saat dia pasto bersyukur karena gak jadi mengalami masa-masa suram bareng
gue," kata Yogas lagi, menutup pembicaraan.
Eno pun tak bisa berkata apa-apa lagi.
*** Sudah beberapa hari ini, Yogas selalu menghindari Kana. Dia selalu bangun dan berangkat lebih
pagi, dia juga pulang larut malam di saat kana sudah tidur. Yogas benar-benar tidak ingin
bertemu dengannya. Kana sendiri bukannya tidak sadar. Dia sadar betul Yogas sedang menghindarinya. Sekarang
sudah pukul sepuluh malam, dan Yogas belum juga pulang. Kana melirik kamar Yogas yang
masih gelap. Kana menghela napas, tidak mengetahui penyebab Yogas kembali menjadi pemarah. Saat Kana
berbalik, dia mendapati Yogas yang sedang naik tangga. Yogas langsung membatu melihat kana
di depan kamarnya. Hari ini, dia salah perkiraan. Biasanya pukul segini Kana sedang sibuk
menulis atau malah sudah tidur.
"Hei. Ke mana aja beberapa hari ini?" tanya Kana sambil nyengir. Yogas menatapnya lama, lalu
meneruskan perjalanannya ke kamar tanpa menjawab. "Kamu sibuk ngapain sih, Gas" Ada
temen ya di sini?" Yogas melewati Kana tanpa banyak bicara. Dia mengeluarkan kunci dari saku celana dan
membuka pintu kamarnya sementara Kana masih berdiri di belakangnya, menunggu jawaban.
Yogas menghela napas lalu berbalik.
"Nih," Yogas mengeluarkan uang serarus ribuan dari dompetnya dan menyodorkannya pada
Kana. "Duit laundry, bubur, obat, sama apalah yang kemaren itu. Gue gak suka ngutang."
Kana hanya bisa bengong sambil memegang uang itu. Sementara Yogas mengernyit.
"Kenapa" Kurang?" tanya Yogas sambil kembalai mengorek dompetnya, tetapi tangannya segera
dicengkeram Kana. Yogas menatap cewek itu yang seperti sudah akan menangis.
"Gak perlu," kata kana dengan suara tercekat. Dia menyurukkan uang itu ke tangan Yogas. "Aku
gak ngerasa diutangin, kok."
"Tapi, gue ngersa ngutang. Lo mau gue bayar apa kalo gak mau duit?" tanya Yogas membuat
kana melongo. "Aku... Aku gak mau dibayar pake apa pun," kata Kana lagi, lalu menggigit bibirnya untuk
menahan tangis. "Oh" Kemaren lo bilang gue harus bayar," kata Yogas lagi.
"Kemaren, aku cuma bercanda," kata Kana. "Kamu gak harus bayar apa pun."
"Denger ya," kata Yogas mendekati Kana dan menatapnya tajam. "Apa lo ngerasa lo dewi
penyelamat" Mau nambah pahal dengan nolongin gue, gitu ya" Tapi, gimana ya, gue gak mau
Pedang Angin Berbisik 15 Si Bayangan Iblis Karya Kho Ping Hoo Istana Pulau Es 8
^