The Truth About Forever 4
The Truth About Forever Karya Orizuka Bagian 4
utang budi sama lo. Jadi, mending lo bilang aja gue harus bayar pake apa. Apa pun gue lakuin."
Saat setetes air mata jatuh di pipinya, Kana segera menyekanya. Dia tidak tahu lagi harus
bagaimana menghadapi Yogas. Sekarang, dia sangat membenci Yogas dengan segala sikap
menyebalkannya itu. "Gas, kalo kamu bener-bener pengen bayar, bayar dengan perubahan sikapmu," kata Kana tegas.
"Mulai sekarang, jangan pernah lakuin ini lagi sama aku. Jangan pernah ngomong hal-hal kasar
lagi sama aku. Itu bayarannya. Bisa?"
Yogas menatap Kana lama. Kana membalasnya dengan berani. Yogas kemudian terkekeh,
membuat Kana bingung. "Lo pinter banget ya," kata Yogas, masih tertawa pelan. Dia berhenti tertawa dan menatap Kana
tajam. "Lo pinter banget akting. Harusnya lo jadi artis bukan penulis."
Kana menatap Yogas tak percaya sementara Yogas bergerak ke kamar. Sebelum Yogas masuk
ke kamarnya, dia menoleh pada Kana yang masih membatu.
"Akting lo bikin gue hampir percaya. Gue salut sama lo," katanya, lalu masuk dengan
membanting pintu. Kana masih terdiam untuk beberapa lama, sampai akhirnya air matanya kembali menetes dan
kakinya tak kuat untuk menopangnya. Dia jatuh terduduk di depan kamarnya dengan air mata
mengalir deras. Tadi, Kana tak bisa membalas perkataan Yogas, karena dia tahu Yogas benar. Selama ini, Kana
begitu munafik di depan Yogas, mengatakan hal-hal yang baik, padahal hatinya masih ragu.
Orang seperti Kana tidak layak untuk menemani Yogas.
Bukan salah Yogas kalau dia menganggap kebaikan Kana selama ini hanyalah akting. Kana tahu
betul akan hal itu, tetapi dia tidak tahu apa yang membuatnya sesakit ini.
I'll do Anything Lian melirik Kana cemas yang sedari tadi hanya menerawang dengan mata sembap dan tidak
memperhatikan kelas. Lian yakin ini lagi-lagi soal tetangganya itu, tetapi kalau dia bertanya,
pasti Kana akan menangis di tengah kelas.
Lian meraih tangan Kana yang dingin, kemudian menggenggamnya. Dia tahu, sahabatnya itu
pasti sudah mengalami banyak hal menyedihkan dengan Yogas. Lian tidak ingin itu terjadi,
karena Kana baru dua puluh tahun dan tidak layak mengalami hal-hal seperti itu. Umur segini,
Kana harusnya sedang menikmati masa-masa pacaran pertamanya dengan cowok keren, baik dan
normal. Lian menghela napas. Bukan salah Yogas kalau dia mengidap penyakit. Atau memang salahnya,
karena ini HIV. Entahlah, Lian sama sekali tidak tahu apa-apa soal Yogas. Masalahnya adalah,
sahabatnya ini sudah terlibat begitu jauh dengan cowok itu dan dia bisa benar-benar hancur kalau
terus-terusan begini. Sampai sekarang, Lian tidak habis pikir, kenapa orang yang pertama membuat Kana jatuh cinta
harus orang seperti Yogas. Kenapa takdir spertinya begitu kejam pada Kana.
Tiba-tiba, Lian tersentak dan menatap Kana lagi. Dia memang tidak ingin Kana sakit hati karena
Yogas, tetapi dia juga tidak ingin melihat sahabatnya seperti sekarang ini.
"Kan..." kata Lian pelan membuat Kana menoleh lemah. Matanya masih merah. "Kamu... kamu
tahu kenapa kamu bisa ketemu sama Yogas?"
Kana menatap Lian. "Mungkin... takdir?"
"Tepat," Lian mempererat genggamannya pada Kana. "Apa kamu gak pernah berpikir kalo
Tuhan punya maksud tertentu dengan mempertemukan kalian?"
Kana menatap Lian lekat-lekat, berusaha menebak jalan pikirannya.
"Tuhan mungkin berpikir... kalau kamu adalah satu-satunya orang yang sanggup bertahan untuk
Yogas. Makanya, dia mempertemukan Yogas sama kamu," lanjut Lian membuat Kana ingin
menangis lagi. "Karena tahu kamu pasti bisa bertahan, makanya Dia mempertemukan kalian.
Makanya... jangan menyerah!"
Lian tidak percaya dia bisa mengatakan ini pada sahabatnya. Dia pasti sudah gila karena
mendukung hubungan Kana dengan Yogas. Namun, bagaimanapun, Lian tahu Kana pasti
menyukai Yogas dan sudah sangat berkorban demi perasaannya itu. Lian tidak mau melihat
Kana menyesali cinta pertamanya.
Sekarang, Kana sudah menangis tak terkendali. Tubuhnya terguncang, menangisi kebodohannya
karena sudah ragu pada perasaannya sendiri. Inilah yang semalam membuatnya sangat sakit hati.
Yogas sudah menganggap perasaannya hanya akting.
*** Sudah berjam-jam Kana duduk di atas kasurnya sambil memeluk guling dengan mata
menerawang. Dia sudah banyak berpikir dan sudah sampai pada keputusannya. Dia tak akan
menyesali keputusannya itu, apa pun yang akan terjadi.
Kana melirik jam. Sudah pukul sebelas malam, dan Yogas belum pulang juga. Kana bangkit,
membuka pintunya, lalu mellirik kamar Yogas yang masih gelap. Kana menghela napas, lalu
bergerak ke kamar mandi. Langkah Kana terhenti saat dia melihat pintu tingkap ke lantai tiga terbuka lebar. Mungkinkah
itu Yogas" Kana menatap pintu itu ragu, lalu bergerak naik diam-diam dan mengintip ke lantai
tiga. Yogas tampak sedang berbaring di lantai, matanya menatap langit malam. Kana merasa
jantungnya berdegup kencang dan sekujur tubuhnya dingin saat melihat sosok itu. Kana
memberanikan diri untuk membuka pintu dan mendatanginya.
Yogas menoleh dan begitu mendapati Kana di pintu, dia langsung bangkiut. Setelah
membersihkan celananya dia bergerak, bermaksud turun. Dia sama sekali tidak ingin berduaduaan lagi dengan Kana setelah semua yang terjadi.
"Tunggu, Gas," kata Kana membuat Yogas menatapnya. Kana balas menatapnya ragu selama
beberapa saat. "Apa?" tanya Yogas ketus. "Ada yang mau dibicarain" Karena gue gak ada.
"Ada," jawab kjana. Sekarang, hatinya sidah mantap. Dia tidak akan mundur lagi.
Yogas mengernyit, tidak mengerti apa bahan pembuat hati Kana. Setelah dikata-katai macammacam, dia tetap saja mau berbicara dengan Yogas.
"Apa?" tanya Yogas lagi, tak berminat.
"Aku... suka sama kamu," ujar Kana tegas membuat Yogas melongo. "Walaupun dulu kamu
pernah bilang jangan suka sama kamu, sudah terlambat. Aku sudah suka sama kamu."
Yogas tak bisa berkata apa pun. Menggerakkan satu syarafnya pun dia tak sanggup. Yogas hanya
bisa menatap kana tak percaya. Matanya sudah berair karena belum berkedip sejak Kana selesai
bicara. "Ini bukan akting, Gas. Aku jujur. Mungkin, kemaren aku pernah ragu, tapi sekarang aku udah
yakin kalo aku suka sama kamu," kata Kana lagi, membuat kepala Yogas sakit. "Mulai sekarang,
sesakit apa pun, seberat apa pun, aku bakal tetep..."
"Tolong jangan ngomong sesuatu yang gak bertanggung jawab," potong Yogas geram.
Rahangnya mengeras. "Jangan ngomong hal-hal yang gak bisa lo pertanggungjawabin."
"Aku." "Apa lo sadar dengan omongan lo, hah?" bentak Yogas menbuat Kana terdiam. "Lo sadar lo
udah bikin diri lo masuk ke dalam masalah apa?"
"Aku... sadar..."
"Gak! Lo gak sadar!" sahut Yogas. "Denger, ini bukan masalah kecil! Suka atau apa pun itu, itu
gak bisa menolong!" "Tapi, Gas, aku bener-bener sayang sama kamu..."
Yogas menatap cewek di depannya nanar.
"Kalo lo sayang, terus lo mau apa" Nemenin gue sampe gue mati?" tanya Yogas membuat Kana
terdiam. "Lo siap dengan hujatan orang-orang nanti" Lo siap kehilangan masa depan lo demi
gue?" Kana menatap Yogas. Sesaat, dia ragu, tetapi dia tidak akan mundur.
"Aku siap!" sahut Kana tegas.
"Diam!" bentak Yogas frustasi. "Jangan ngomong seenaknya! Lo sama sekali gak tahu apa-apa!
Gue udah gak sanggup nahan beban gue sendiri, jangan tambahin beban gue dengan perasaan
lo!" Kana menatap yogas lagi, air matanya sudah mengalir. Yogas sendiri sudah pucat.
"Kita bisa bagi beban kita, Gas," jawab Kana, sebisa mungkin berusaha untuk tidak terisak.
Yogas terdiam untuk beberapa saat.
"Denger," kata Yogas, emosinya sudah reda. "Lo masih muda. Lo sehat. Lo punya masa depan.
Jadi, tolong jangan hancurin itu semua demi perasaan lo sama orang yang gak berharga kayak
gue. Gue sama sekali gak sebanding sama masa depan lo. Apa lo bisa ngerti?"
Kana sudah terisak. Yogas sebisa mungkin menatap apa saja selain Kana.
"Perasaan lo ke gue itu... cuma sementara. Lo cuma simpati," kata Yogas lagi. "Gue minta sama
lo, tolong jangan pernah ngomong hal-hal yang kayak gini lagi. Gue... capek."
Yogas kemudian berbalik, bermaksud turun. Namu, tiba-tina, tangannya dicengkeram oleh Kana.
Detik berikutnya, tangan Kana sudah memeluk Yogas dari belakang. Lagi-lagi, yogas membatu,
tak bisa menggerakkan satu pun anggota tubuhnya.
"Gas... Aku ngerti gimana perasaan kamu. Aku tahu kamu pasti gak mau ngerepotin orang lain.
Tapi, aku sudah bikin keputusan, Gas!" kata Kana di antara isakannya. "Gas... Kamu tahu kenapa
kita ketemu?" Yogas tak bisa menjawab. Seluruh syarafnya dimatikan oleh dua tangan yang melingkari
pinggangnya. "Karena ini takdir kita, Gas," kata Kana pelan. Dia mempererat pelukannya pada Yogas yang
masih bergeming. "Jadi, jangan menghindar lagi."
Ada jeda beberapa lama sampai akhirnya Yogas tersadar dari alam khayalnya yang indah. Yogas
menghela napas. "Gue... gak pernah percaya takdir," katanya dingin. Dia melepaskan tangan Kana, lalu bergerak
menuju pintu tanpa sekali pun menoleh ke belakang lagi.
Kana terduduk lemas di lantai semen yang dingin, terisak hebat sampai dadanya terasa sakit.
Kana tidak pernah menyangka mencintai ternyata sesakit ini.
*** "Takdir ... itu kejam ya," kata Yogas dengan mata menerawang.
Eno meliriknya simpati. Dia tahu, apa pun yang terjadi semalam bukanlah hal yang bagus, dilihat
dari ekspres Yogas yang seperti sudah mau mati.
Saat ini, mereka sedang berada di kost Eno karena hari ini Eno libur bekerja dan kuliah.
Semalam, Yogas tiba-tiba muncul di depan kamarnya dan langsung pingsan karena berlari dari
kost-nya. Sekarang setelah siuman, dia seperti mayat hidup.
'Udah tahu gue sekarat, masih aja diketemuin sama cewek itu," Yogas meracau dengan suara
serak, masih menatap langit-langit kamar Eno.
Eno menghela napas. Tentu saja, soal cewek itu. Cewek bernama Kana yang selama beberapa
minggu ini sudah banyak membantu Yogas. Cewek yang mungkin saja disayangi Yogas.
"Ternyata gue masih kurang cobaan," kata Yogas lagi.
"Emangnya, sekarang apa lagi, Gas?" tanya Eno hati-hati.
"Dia bilang dia suka sama gue," ujar Yogas membuat mata Eno melebar. "Dia bilang, dia siap
kehilangan masa depannya demi gue. Dia bilang semua hal yang mau gue denger."
Eno menatap sahabatnya yang tampaknya sudah tak berdaya itu. Yogas masih menatap langitlangit, rahangnya sudah mengeras.
"Kalau begini terus... Dia bisa bikin gue gak mau mati. Dia bisa bikin gue maruk mau hidup,"
lanjutnya. "Kalo gitu, hidup, Gas," balas Eno.
"No, gue mau hidup," ujar Yogas, air matanya sudah mengalir. "Gue gak mau mati. Tapi, gue
bisa apa" Gue udah divonis, No. Dan gue gak bisa melihat dia menderita nantinya."
Eno mengalihkan pandangan, tidak ingin melihat air mata sahabatnya.
"Gue gak bisa egois. Cukup gue aja yang menderita," lajut Yogas dengan suara tercekat. "Dari
awal, pertemuan gue sama dia itu kesalahan."
Yogas menarik napas dan menghelanya pelan.
"Tapi, sebenernya, lo juga suka sama dia kan, Gas?" tanya Eno membuat Yogas terdiam sesaat.
"Kalo suka... terus apa?" kaYogas sambil memijat dahinya.
Eno tahu, itu hanya cara untuk mneyembunyikan air mata yang terus menerus mengalir. Eno
merasa tidak bisa berbuat apa-apa untuk membantunya. Yogas sudah terlalu jauh untuk digapai.
*** Kana mendengar ketukan pintu di kamarnya, tetapi dia menolak untuk bangun. Dia tahu itu
tantenya yang memanggilnya untuk makan malam. Kana sama sekali tidak punya nafsi makan
setelah kejadian semalam. Sepanjang malan, Kana hanya menangis dan sekarang matanya sudah
bengkak. Sekarang, Kana nyaris tidak punya air mata lagi untuk menangisi Yogas. Kana hanya menatap
dinding di depannya, pikirannya penuh oleh kejadian semalam. Kana tidak tahu apa Yogas ada di
kamarnya atau sudah pergi lagi.
Kalau teringat pada kata-kata Yogas kemarin, Kana segera menangis lagi. Kana tahu benar
Yogas hanya berusaha melindunginya dengan mengatakan hal-hal kejam. Yogas tidak peernah
berniat buruk. Namun, bagaimana pun, Kana sudah menyukai Yogas apa adanya. Kana malah
ingin menemani Yogas menjalani hari demi hari, dan Kana sudah berjanji tidak akan ada
penyesalan. Kana menarik napas dan menghelanya mantap. Apa pun yang terjadi, dia tidak akan melepaskan
Yogas. Kana akan selalu ada untuk Yogas walaupun Yogas setengah mati menolak.
Kana tersenyum memikirkan tampang cemberut Yogas, kemudian jatuh tertidur.
*** Keesokan paginya, Kana bangun dengan semangat baru. Kata-kata kejam Yogas kemarin sudah
dilupakannya. Dia bertekad untuk memulai usahanya lagi hari ini.
Kana menatap cermin, matanya tampak sudah baikan setelah tidur semalam. Sekarang, yang
Kana rasakan hanyalah lapar sejak semalam dia belum makan. Kana cepat-cepat membuka pintu,
dan Yogas tiba-tiba lewat.
Yogas dan Kana saling tatap sampai akhirnya Yogas melengos menuju kamarnya. Kana
tersenyum simpul. "Abis dari mana, Gas?" tanya Kana riang membuat Yogas menoleh dengan
tampang bloon, seperti tidak percaya Kana masih baik-baik saja dan bisa menyapanya seperti itu.
Sebenarnya, Kana mau tertawa melihat ekspresi Yogas, tetapi ditahannya.
"Kenapa?" tanya Kana sambil nyengir. "Aku cantik, ya?"
Tampang Yogas jadi tambah bloon setelah mendengar kata-kata Kana. Masih dalam keadaan
syok berat, Yogas membuka pintu kamarnya dan masuk, meninggalkan Kana yang cengengesan
di luar. Yogas melepas jumpernya, lalu melemparnya ke kasur. Dia mengambdan meminumnya
sementara otaknya terus berpikir keras, bertanya-tanya mengapa Kana bisa sweriang itu setelah
kejadian dua malam lalu. Yogas terduduk di kasur, tetapi masih belum menemukan jawabannya. Cewek itu terlalu sukar
untuk ditebak. *** "Yogaaaaas! Makan malam!" seru Kana membuat mata Yogas terbuka.
Yogas masih sedikit mengantuk setelah tadi tertidir selama beberapa jam. Kamarnya masih gelap
gulita. Yogas bergerak sedikit, tetapi menolak untuk bangun.
"Yoooogaaaas!!" seru Kana lagi membuat Yogas batal memejamkan matanya. Yogas mengerjapngerjapkan mata, berusaha mengumpulkan setengah nyawanya yang masih hilang. Dia bersandar
pada tembok sementara Kana mengetuk pintu kamarnya lagi.
"Yogas, aku tahu kau ada di dalam. Buka, atau aku dobrak nih," ancam Kana membaut Yogas
menatap ke arah pintu. Dari jendela, tampak bayangan Kana yang sedang berkacak pinggang.
Sambil menghela napas, Yogas menyalakan lampu di jam tangannya sehingga empat angka
digital tertera do dana. 20:11. Berarti Yogas sudah ketiduran empat jam.
Yogas menggaruk kepalanya, pandangannya tertuju pada bayangan Kana yang masih setia
berdiri di depan kamarnya. Pikirannya melayang pada kejadian dua malam lalu, saat cewek itu
menyatakan perasaannya padanya. Perasaan yang akn diterima Yogas dengan senang hati kalai
saja dia tidak memliki penyakit mematikan seperti ini.
Yogas benar-benar tidak mengerti Kana. Cewek itu masih saja mendekatinya walaupun sudah
ditolak. Kenapa cewek itu masih bisa seceria ini"
"Gas" Gas" Kamu pingsan ya?" seru Kana dari luar, menyangka Yogas pingsan karena tidak
kunjung membuka pintu. "Aku panggilin Mas Ono biar didobrak ya!"
Yogas segera menyeret tubuhnya ke pintu walaupun kepalanya pusing. Dia tidak mau ada acara
pendobrakan atau apa pun itu. Yogas membuka pintu dan mendapati Kana sedang nyengir di
depannya. Yogas menatapnya tidak suka.
"Akhirnya... keluar juga," kata Kana dengan cengiran puas.
"Mau apa?" tanya Yogas, sadar telah dibohongi.
"Ni." Kana menyodorkan kotak makanan. "Tetangga selametan rumah baru, terus kita-kita pada
dikasih deh. Ini jatah kamu."
Yogas melirik kotak makanan itu. Kalau Yogas menerimanya, berarti semuanya akan terulang
lagi. Semuanya akan kembali ke awal. Yogas segera berpikir keras, sementara kana menatapnya
maklum. "Gue gak laper,' Kana menirukan intonasi dan mimik cuek Yogas yang biasanya. "Gue gak
butuh. Udah gue bilang, jangan peduliin gue."
Yogas menatap Kana tanpa ekspresi sementara Kana terkekeh. Kana menepuk bahu Yogas dan
menatapnya serius. "Aku tahu, Gas. Tapi, aku peduli sama kamu, dan kamu gak punya hak untuk ngelarang aku,"
ujar kana sungguh-sungguh. "Mau kamu tolak aku berapa kali, keputusanku sama. Aku bakal
tetep suka sama kamu."Yogas mengeraskan rahangnya. Tanpa banyak omong, dia memegang
tangan Kana yang tadi ada di bahunya dan menggenggamnya. Kana menatap Yogas tak percaya.
Yogas menarik Kana dan berderap ke lantai atas.
Kana hanya pasrah mengikutinya dengan hati berdebar. Kaki Kana lemas sejalan dengan
menguatnya genggaman Yogas di tangannya. Tangan Yogas begitu besar dan hangat. Kana mau
melakukan apa saja asal tangan itu tidak melepas tangannya.
Sesampainya di lantai tiga, Yogas melepas tangan Kana. Kana menatap punggung Yogas yang
lebar, benar-benar tidak menyangka akhirnya Yogas akan menyambut perasaannya.
"Gas..." "Lo tahu, kayaknya gue gak bisa bohong lebih lama lagi sama lo," kata Yogas membuat Kana
tidak jadi bicara. Kana mengernyit, tidak mengerti maksud perkataan Yogas. "Ada yang belum
lo tahu tentang gue."
"Apa?" tanya Kana.
Yogas berbalik, lalu menatap Kana dengan tatapan yang tidak pernah dilihatnya sebelumnya.
Tatapan ini begitu ramah, tetapi juga menyiratkan kesedihan.
"Gue gak tega liat lo terus-terusan begini,ujar Yogas lagi. "Jadi, sekarang gue bakal jujur sama
lo." Kana menatap Yogas yang tampak sangat serius. Cowok itu sekarang berjalan ke pagar pembatas
dan bersandar di sana. Kana mengikutinya dalam diam.
"Lo tahu kan, kenapa gue bisa kena HIV?" tanya Yogas membuat Kana mengangguk.
"Tapi, itu sudah bukan masalah, Gas. Itu kan sudah masa lalu," jawab Kana cepat. Yogas
menatap Kana dan mendesah.
The Truth About Forever Karya Orizuka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Lo juga tahu, kenapa gue di sini?" tanya Yogas lagi.
"Ng... karena kamu nyari cewek kamu," jawab Kana ragu sementara Yogas menghela napas.
"Cewek, ya..." katanya sambil menatap langit, lalu beralih pada Kana. "Denger, apa yang
bakalan lo denger ini mungkin bisa bikin lo kaget. Lo udah siap?"
Kana menatap Yogas bingung. Saat ini, Yogas benar-benar menakutkan. Kana punya firasat dia
tidak ingin mendengar apa pun. Namun, sebelum dia sempat biacara, Yogas sudah
mendahuluinya. "Gue di sini emang nyari orang yang nularin gue penyakit ini," kata Yogas, matanya tidak
menghindari mata Kana. "Tapi, sayangnya, orangnya bukan cewek."
Mata Kana melebar mendengar perkataan Yogas. Tangan dan kakinya langsung terasa dingin.
Kana tidak ingin mempercayainya.
"Jadi, lo tahu sendiri kan kesimpulannya?"" kata Yogas hati-hati. "Gue sebenernya..."
"NGGAAKK!" seru Kana tiba-tiba. Tangannya menutup kedua telinganya rapat-rapat. Kotak
makanan yang tadi dibawanya sudah jatuh, isinya berhamburan di lantai.
Yogas menatap Kana putus asa. Kana sekarang sudah gemetar, tidak ingin mendengar lebih
lanjut. Yogas mendekati Kana dan memegang kedua tangannya, tetapi cewek itu bersikeras
menutup kedua telinganya.
"Denger..." kata Yogas lembut sementara Kana menggeleng-geleng. "Denger, maafin gue. Tapi,
mungkin ini kesalahan gue, karena dari awal gue gak jujur sama lo."
Kana masih menolak untuk menatap Yogas.
"Kamu... bohong, kan?" ujar kana lambat-lambat. Dia mengangkat pandangannya dari lantai dan
menatap Yogas lekat. "Kamu bohong, iya, kan" Ini cuma salah satu cara kamu lagi supaya aku
berhenti suka sama kamu, iya kan?"
Yogas menatap Kana yang matanya sudah berair, lalu menghela napas.
"Gue gak bohong..."
"BOHONG!" seru Kana histeris. "Kamu kejam, Gas! Kenapa kamu ngelakuin segala cara buat
ngejauhin aku dari kamu?"
Selama beberapa saat, Yogas tak bersuara, bingung menghadapi cewek mungil yang tampak
rapuh di depannya. Yogas mengeluarkan selembar foto yang sudah kusut dari saku celananya
dan mengukurkannya pada Kana. Awalnya, Kana tak mau menerima, tetapi akhirnya dia
memegangnya juga meskipun dengan tangan yang gemetar.
Kana tertegun melihat foto itu. Di sana, Yogas sedang dirangkul oleh seorang cowok yang kirakira sebayanya. Mereka memakai seragam SMA. Di dalam foto itu, Yogas tampak ceria, dengan
senyum lebar yang tak pernah dilihat Kana.
"Namanya Joe," jelas Yogas tanpa diminta. "Dia sekelas sama gue waktu SMA."
Kana memberanikan diri menatap Yogas meskipun air matanya sudah mengalir. Dia ingin
bertanya, tetapi lidahnya kelu.
"Gimana kisah gue sama dia, lo gak harus tahu. Tapi, sekarang lo tau kan, kenapa. Gue gak bisa
nerima lo?" Yogas menatap Kana dengan senyum lemah. "Gue bener-bener gak bisa ngeliat lo
sedih lagi." Kana sudah jatuh terduduk sambil terisak. Dia benar-benar tidak menyangka kalau alasan Yogas
selama ini tidak mau menerimanya adalah karena Yogas seorang gay.
Yogas menghampiri Kana dan berjongkok di depannya.
"Lo jijik sama gue sekarang?" tanya Yoas, tetapi Kana tak lengsung menjawab. Yogas menghela
napas. "Tapi, gue berhak menrima itu. Disukain sama cewek sebaik lo, gue bener-bener
bersyukur. Sekarang, kalo lo jijik sama gue, ini hukuman buat gue karena selama ini udah bikin
lo nangis." Isakan Kana semakin keras. Dadanya benar-benar sakit karena pengakuan Yogas. Kalau selama
ini Yogas tidak mau menerrimanya karena Yogas takut merepotkan, Kana bisa menerima.
Namun, kalo Yogas adalah seorang gay" Kana terlalu takut untuk menerima kenyataan itu,
karena dengan demikian, Yogas sudah tidak mungkin lagi untuk diraih.
Yogas menatap cewek yang seluruh badannya berguncang itu. Yogas ingin sekali mendekapnya
untuk menenangkannya, tetapi Yogas harus menahan semua keinginannya itu.
"Kalo lo mau gue pergi, sekarang juga gue pergi dari sini, kata Yogas lagi, membuat kana
mendongak. Gue gak akan ganggu lo lagi."
Kana, yang belum sanggup bicara, tiba-tiba meraih kaus Yogas. Yogas menatap Kana yang
menggeleng lemah. "Bukan salah kamu," ujar Kana di sela-sela isakannya. "Jangan pergi."
Yogas menarik cewek itu dan menariknya ke pelukannya. Yogas mendekap cewek itu erat
sementara Kana terus terisak. Sekarang, Yogas benar-benar ingin waktu berhenti.
"Gas..." kata Kana. "Kalo kamu bilang kamu bohong sekarang, aku masih bisa maafin kamu."
Seketika Yogas kembaldarnya. Dia melepaskan Kana dan menatap mata cewek itu dalam-dalam.
"Maaf," kata Yogas menbuat Kana kembali terisak. "Tapi, gue seneng bisa ketemu orang kayak
lo. Suatu saat lo pati bisa ketemu sama orang yang jauh lebih baik dari gue."
Kana masih terisak sampai akhirnya Yogas memgang kedua pipi Kana dan menghapus air
matanya. Yogas menatap mata Kana dalam-dalam.
"Kana," kata Yogas membuat mata Kana melebar tak perccaya. "Maaf. Dan, terima kasih."
Setelah mengatakannya, Yogas berdiri dan bergerak turun sementara Kana masih terpaku. Kana
memgang pipinya sendiri, mencoba untuk merasakan kembali kehangatan tangan Yogas. Kana
kemudian terisak lagi, setelah suara Yogas saat memanggil namanya untuk pertama kalinya
bergaung di kepalanya. Kenyataan ini terlalu menyakitkan.
*** Eno sedang mengetik skripsinya saat terdengar suara ketuka keras di pintu. Eno melirik jam.
Sepuluh lebih sepuluh. Heran, eno menghampiri pintu dan membukanya. Yogas segera masuk
dengan terburu-buru. Napasnya tersengal, sama seperti kemarin malam.
"Gas" Sekarang kenapa lagi?" tanya Eno bingung sementara Yogas mondar-mandir seperti orang
linglung. "Untuk sementara ini beres," gumam Yogas kalut.
Eno menatapnya cemas. "Gas" Apanya yang beres?"
"Untuk sementara ini, gak usah cari kost dulu," kata Yogas lagi, lalu memgang kedua bahu Eno.
"Sekarang, kita fokusin buat nyari Joe dulu."
"Kenapa sih?" tanya Eno, gerah sendiri melihat kelakuan sahabatnya yang persis seperti orang
tidak waras. "Kenapa gak jadi pindah kost" Lo apain cewek itu sampe dia nyerah?"
"Gak penting," Yogas menjambak-jambak rambutnya sendiri. "Sekarang..."
"Gas, liat gue!" Eno menarik kaus Yogas sehingga Yogas mau tidak mau menghadap temannya
itu. "Gak mungkin gak penting kalo kelakuan lo jadi aneh begini!"
Yogas menatap Eno kesal. Dia melepaskan I dari cengkeraman Eno.
"Udahlah, No, yang penting udah beres," ujar Yogas lalu mengangguk-angguk sendiri. "Besok
kampus mana ya..." Eno membalik tubuh Yogas dan memukulnya tepat di pelipis hingga terjatuh. Yogas mengerang
kesakitan sambil menatap temannya itu garang.
"Apa maksud lo, No?" seru yogas tak terima.
"Lo udah sinting, Gas!" sahut Eno emosi.
"Gue bukan sinting, No, geu penyakitan!" Yogas balas menyahut, lalu tertawa sendiri. Eno
menggeleng tak percaya. Dia menarik kaus Yogas dan meninju wajahnya sekali lagi. Bibir
Yogas sekarang sobek. Darah mengalir dari bibir Yogas, tetapi Yogas tak melakukan apa pun. Tinjuan Eno yang
terakhir sudah membuatnya sadar.
"Apa gas?" tanya Eno geram. "Apa yang lo bilang sama dia?"
"Gue bilang kalo gue gay," jawab Yogas membuat cengkeram Eno pada kausnya lepas. "Gue
udah bikin dia percaya kalo gue nyari Joe gara-gara dia nularin gue HIV lewat hubungan seks."
Eno mundur perlahan mendengar cerita Yogas. Dia tidak bisa mempercayai pendengarannya.
"Tapi, kenapa...," katanya tercekat. "Kenapa lo harus berbuat sejauh ini?"
Yogas terkekeh, dia meraih tisu gulung di dekatnya dan mengelap darah yang sudah mengalir ke
dagunya. "Tapi, gue berhasil, kan" Dengan begini, dia gak bakal ngedeketin gue lagi," kata Yogas. "Dia
udah. Nyerah. Sekarang gue bebas dari masalah gak penting ini."
"Gak penting, ya?" ulang Eno. "Lo sampe mau gila begini, dan lo masih bilang ini bukan
masalah penting?" Yogas terdiam sejenak, lalu menatap Eno garang. Tanpa diduga Eno, Yogas tiba-tiba bangkit dan
menyerbu Eno. Eno berhasil kena bogem mentahnya sampai terpelanting.
"Terus lo mau gue gimana, No?" sahut Yogas kalap. "Selama ini, gue cerita ini itu sama lo, lo
masih belum ngerti juga, hah" Kalo gue bakal mati dan dia bakal menderita?""
Eno bangun, dia blas meninju perut Yogas.
"Lo mau mati kan, Gas?" seru Eno sementara Yogas menunduk menahan sakit. Eno kemudian
mendorongnya hingga Yogas terjatuh. "Lo mau mati, kan?" Mati sekarang aja lo, Gas!!"
Yogas menatap Eno sengit, tak bisa bangun karena tadi Eno meninjunya tepat di ulu hati.
"Mati sekarang atau nanti, sama aja Gas, dia bakal sama menderitanya!" sahut Eno lagi. "Tapi,
seenggaknya kalo lo jujur sama dia sekarang, dia bisa bahagia bareng lo walaupun cuma
sebentar!" Yogas menatap Eno lagi. "No, coba lo ngerti perasaan gue," kata Yogas pelan, emosinya sudah reda. "Gue bukannya gak
pernah mikirin ini. Tiap malem kepla gue mau pecah mikirin ini, tapi gue akhirnya tetep sampe
pada satu kesimpulan, dia gak boleh menghabiskan waktu sama orang kayak gue walaupun
sebentar." Yogas membetulkan duduknya sementara Eno masih bergeming.
"Kalo gue hentiin sekarang, dia pasti bisa nemu pengganti gue," kata Yogas. "Ntar juga dia lupa
sama gue." Eno menghela napas kesal, tak tahu harus mengatakan apa lagi pada orang keras kepala seperti
Yogas. "Lo pikir gimana perasaan gue ngeliat dia nangis?" kata Yogas lagi, membuat Eno tertegun.
Sementara Eno masih terus menatapnya nanar, Yogas mengeluarkan korek, lalu membakar tisutiu penuh darahnya tadi di asbak. Setelah tisu itu habis terbakar, Yogas membaringkan tubuhnya.
Eno duduk di depannya, matanya lepas dari abu sisa tisu dan beralih kepada Yogas.
"Lo... baik-baik aja, Gas?" tanya Eno kemudian.
"Cuma sakit sedikit," kata Yogas sambil nyengir walaupun tahu betul kalo Eno tidak
menanyakan luka luarnya. "Lo gak bakal nyesel sama keputusan lo ini?" tanya Eno lagi, membuat cengiran di wajah Yogas
lenyap. "Mungkin," jawab Yogas, terdengar tidak yakin. "Tapi untuk sekarang, cuma ini yang bisa gue
lakuin untuk dia. Gue bakal lakuin apa aja supaya dia gak berurusan lagi sama gue. Apa aja."
"Lo orang paling keras kepala yang pernah gue kenal," kata Eno. "Kalo gue jadi lo, gue mungkin
gak akan sekuat lo. Gue mungkin gak bakal ngelepas orang yang sayang sama gue. Gue rasa,
sekarang gue tahu kenapa gue gak bisa ngerti jalan pikiran lo."
Yogas tidak bertanya lebih lanjut, tangannya sudah mengepal keras.
"Ini karena lo orang baik," kata Eno lagi. "Gue kesel, kenapa semua ini harus terjadi sama lo.
Dari semua orang yang gue kenal, lo orang paling berhak buat bahagia."
Yogas terdiam, sementara Eno sudah menjambak-jambak rambutnya kesal. Yogas tahu Eno
sedang menyesali kejadian enam tahun lalu, saat Eno tak bisa melakukan apa pun untuk
menyelamatkannya. "No, lo gak usah nyalahin diri lo sendiri," jawab Yogas kemudian.
"Maaf, Gas," ujar Eno. Air matanya sudah menitik, tetapi Yogas pura-pura tak melihatnya. "Gue
bener-bener minta maaf."
Yogas tak menjawab karena dia sendiri sedang susah payah untuk tidak menangis. Sekarang,
Yogas juga menyesal sudah memberitahu Eno soal penyakitnya. Dia pikir, Eno satu-satunya
orang yang cukup kuat untuk menerimanya. Ternyata, bahkan Eno pun tidak sanggup.
Seharusnya, dari awal Yogas tidak meminta bantuan pada siapa pun. Seharusnya, memang dari
awal Yogas hidup sendiri.
Another Lie Kana menatap langit-langit kamarnya hampa. Semalaman, dia tidak bisa tidur lagi, belum bisa
menerima kenyataan bahwa Yogas adalah seorang gay. Kana masih sulit mempercayainya. Kana
setengah mati berharap Yogas hanya berbohong, tetapi yang Kana lihat kemarin terlalu
meyakinkan. Bahkan, Yogas memanggil namanya dan memeluknya.
Kana terduduk lemah. Kana merasa terlalu lemah dengan semua ini, tetapi Kana tidak pernah
menyesal telah menyukai Yogas. Sampai sekarang pun, Kana masih menyukai Yogas walaupun
Yogas tidak mungkin menyukainya.
Kana tidak tahu harus melakukan apa dan bersikapa bagaimana di depan Yogas. Kana tidak jijik
padanya karena dia seorang gay, tetapi Kana terlalu menyukainya sampai tidak mampu
menatapnya. Kana membentur-benturkan kepalanya ke lututnya, berharap bahwa semalam tidak pernah terjadi
apa-apa. Mendadak semua kenangannya bersama Yogas terputar di otaknya. Kana benar-benar
tidak mau percaya. Tiba-tiba ponsel Kana berdering. Lia meneleponnya. Kana cepat mengangkatnya.
"Kan" Kamu kok gak kuliah?" seru Lian dari seberang. "Kenapa, Kan" Kamu sakit?"Belum
sempat menjawab, Kana sudah keburu terisak.
"Kana" Kamu kenapa" Ada apa?" tanya Lian panik sementara isakan Kana semakin menjadijadi.
"Lian..." gumam Kana, dan selanjutnya cerita semalam mengalir seperti air bah. Di ujung sana,
Lian terdiam, tak bisa berkata apa-apa.
"Dia... gay?" kata Lian lambat-lambat, tak percaya. Kana semakin terisak. "Kan! Kamu tunggu
ya! Aku langsung ke kost-mu sekarang!"
Lian memutuskan sambungan sementara Kana kembali tersuruk di antara bantal-bantalnya.
*** Lian sekarang sudah berada di kost Kana, memegang tangannya erat-erat. Lian benar-benar tidak
habis pikir dengan cobaan yang dialami Kana tanpa berkesudahan. Sudah cukup Yogas adalah
seorang HIV positif, sekarang ditanbah kenyataan bahwa Yogas menderita penyakit itu gara-gara
hubungan sesama jenis. Lian jadi semakin menyesal kenapa kemarin-kemarin dia malah
memberi semangat pada sahabatnya itu.
"Kan... Maafin aku, ya," sesal Lian membuat kana menatapnya.
"Kenapa, Li" Emang kamu salah apa?" tanya Kana dengan suara serak.
"Karena kemarin aku sudah bilang yang gak-gak. Soal takdir itu," jawab Lian hati-hati. Kana
tersenyum menatap sahabatnya itu.
"Gak apa-apa, Li. Bukan salah kamu," balas Kana pelan.
Lian menatap Kana lama. Lian tahu kesedihan Kana hanya dengan melihatnuya. Hati Kana
sudah hancur, tetapi gadis itu berusaha mati-matian untuk tegar.
"Terus... kamu mau gimana?" tanya Lian.
Kana terdiam sejenak, lalu tersenyum dengan sisa-sisa kekuatannya.
"Aku gak bisa ngejauhin dia, Li. Perasaanku masih sama, bahkan setelah tahu dia gay. Aku gak
bisa lantas benci sama dia," ujar Kana lirih.
"Jangan maksain diri, Kan," kata Lian. "Dia pasti ngerti."
Kana menggeleng. "Aku mau nemenin dia sampe dia pergi. Itu sudah keputusanku."
Lian menatap Kana sedih. "Tapi, Kan, dia bisa aja nyakitin kamu lagi," katanya membuat kana
menggeleng. "Li, apa lagi yang tersisa buat disakitin?" Kana tersenyun getir. "Dia gak mungkin suka sama
aku. Tapi, aku gak pernah nyesal pernah suka sama dia. Dia... sedikit banyak sudah ngasih aku
pelajaran. Dia sangat menghargai orang lain sampe dia mau hidup sendirian. Itu yang bikin aku
gak bisa ninggalin dia."
Lian menatap Kana, matanya masih menyiratkan ketidakpercayaan. Sebenarnya, Lian ingin
berteriak pada Kana agar tidak. Erhubungan lagi dengan Yogas. Kana menghela napas melihat
kekhawatiran Lian. "Li, di luar dia HIV positif dan seorang gay, dia butuh seseorang. Kita semua butuh seseorang,"
kata Kana. "Tapi, kenapa harus kamu, Kan?" tanya Lian lagi membuat kana tersenyum lembut.
"Mungkin karena ini takdir. Seperti yang kamu bilang," jawab Kana membuat Lian terkesiap.
Kana sudah mengambil keputusan. Kana tidak akan menjauhi Yogas. Kana akan menerima
Yogas apa adanya walaupun itu berarti cinta Kana tidak akan terbalas. Kana akan berusaja
semampunya untuk mendukung Yogas.
Lian mempererat genggamannya pada tangan Kana, mengangumi kekuatan hati sahabatnya itu.
Kana juga sudah tidak menangis lagi. Dia berjanji dalam hati untuk menjadi lebih kuat, agar bisa
menemani Yogas tanpa membebaninya.
*** Yogas menatap josong langit penuh bintang di atasnya. Pikiran Yogas melayang ke mana-mana,
dari kenangan masa SMA-nya sampai kejadian beberapa malam lalu saat dia mengaku gay pada
Kana. Dan, sekarang, wajah sedih Kana memnuhi kepalanya.
Mendadak, terdengar suara seperti pintu yang ditendang paksa. Yogas menoleh dan mendapati
Kana sudah berdiri di sana dengan kedua tangan memegang mug yang mengepul. Di wajahnya,
terpasang cengiran nakal.
Yogas menatapnya nanar. Cewek itu masih saja mau mencarinya, bahkan setelah tahu dia gay.
Kali ini, Yogas benar-benar tak habis pikir. Yogas menyerah untuk mengerti cewek yang satu
ini. Kana menghampiri Yogas, lalu duduk di sebelahnya. Dia menyodorkan mug plastik berisi susu
coklat pada Yogas. Yogas menerimanya dan mengangguk kecil sambil mengucapkan terima
kasih. "Wah, bintangnya lagi banyak, ya?" ujar Kana sambil mendongak. Yogas tak mejawabnya. Dia
urapurabuk menyeruput susu cokelatnya. Kana menatap Yogas.
"Giman, Gas, udah ketemu?" tanya Kana membuat Yogas menatapnya heran. "Joe. Udah ketemu
belum?" Yogas melotot mendengar pertanyaan Kana. Yogas sama sekali tidak menyangka Kana akan
membahas masalah ini dengannya. Dia pikir Kana akan jijik padanya dan menghindar, tapi
perkiraannya salah. Cewek ini ternyata benar-benar ingin mencampuri hidupnya.
"Belum," jawab Yogas setelah terdiam beberapa detik. Kana mengangguk-angguk.
"Eh Gas, aku punya ide bagus," kata Kana membuat Yogas kembali menatapnya. "Gimana kalo
aku bantuin nyari di kampusku" Aku bakal tanya-tanyain di semua jurusan. Gimana?"
Yogas hampir saja menganga. Dia bahkan sudah melakukannya, tetapi untungnya Kana sibuk
menghirup susu cokelatnya, jadi tidak sempat menyadarinya. Yogas mengatupkan mulutnya.
Gelas di tangannya sudah hampir remuk.
Yogas tidak tahu mengapa dia bisa sebegini kesal, tetapi perkataan Kana barusan membuat
darahnya naik ke kepala. Bisa-bisanya cewek itu mengatakan akan membantu Yogas mencari
Joe, padahal kemarin-kemarin dia bilang sayang dan sebagainya.
"Kenapa lo ngelakuin ini?" tanya Yogas kemudian, membuat Kana menatapnya. Yogas balas
menatap Kana tajam. "Kenapa lo mau ngebantu gue?"
"Gas, dulu aku pernah bilang kan, kalo aku mau nemenin kamu?" Kana berkata lembut.
The Truth About Forever Karya Orizuka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sekarang, mungkin kita udah gak bisa bersama, tapi aku tetap mau bantu kamu. Sebagai teman.
Boleh, kan?" Yogas mengalihkan pandangannya dari Kana. Tentu saja. Perasaan Kana kemarin memang cuma
simpati, makanya sekarang dia sudah melupakannya dan memutuskan untuk membantunya.
Yogas menertawai kebodohannnya sendiri dalam hati. Sekarang, Yogas hanya harus berhati-hati
untuk tidak terbawa oleh perasaannya sendiri. Yogas harus meneruskan perannya.
"Gas," ujar Kana membuat Yogas menoleh. "Jangan khawatirin perasaanku. Aku pasti bisa baikbaik saja."
Mata Yogas melebar setelah mendengar perkataan Kana. Pikiran Yogas ternyata salah besar.
Cewek itu masih menyukainya, hanya saja dia berusaha untuk kelihatan tegar. Perasaan Kana
untuknya ternyata tulus. Hati Yogas terasa sakit mengetahui ini. Tidak seharusnya dia berbohong
pada cewek ini, tetapi Yogas tak mau mengambil resiko. Menyelamatkan Kana dari masa depan
suram bersamanya adalah tugas utamnaya sekarang.
"Boleh aja," kta Yogas akhirnya, kemudian tersenyum pada Kana. "Thanks ya. Lo udah baik
banget sama gue selama ini."
Kana bals tersenyum, lalu mengangguk. Kalau saja Yogas tidak bisa menahan diri, dia pasti
sudah menangis di depan Kana. Yogas mengalihkan pandangannya, sebisa mungkin tidak
melihat cewek itu. "Gas, karena sekarang kita temen, kamu bisa kan cerita sama aku?" tanya Kana ceria. Kana tak
mau terlihat sedih di ddepan Yogas.
"Hm, cerita apa ya?" kata Yogas. "Gimana kalo... Si kancil?"
Kana tertawa lepas mendengar gurauan Yogas, tetapi di dalam hatinya dia sedih baru kali ini
Yogas mau bercanda dengannya. Yogas sendiri menolak untuk melirik Kana.
Selama beberapa saat, Kana dan Yogas sama-sama terdiam, sibuk dengan pikiran masingmasing. Kana tiba-tiba bergidik.
"Kamu gak kedinginan, Gas?" tanya Kana.
"Gak," jawab Yogas.
"Aku kedinginan nih. Aku turun duluan ya?" Kana bangkit dan membersihkan celananya, lalu
bergerak ke pintu. "Kana," panggil Yogas membuat Kana menoleh. Yogas mengangkat mug plastik yang
dipegangya. "Ini, makasih ya."
Kana mengangguk, lalu meneruskan berjalan. Beberapa langkah kemudian, dia kembali
menoleh. "Gas," kata Kana membuat Yogas menatapnya. "Kalo ada apa-apa, kamu boleh cerita sama aku.
Kalo aku bisa, aku pasti bantu kamu."
"Oke. Thanks ya," kata Yogas, dan Kana menghilang di balik pintu.
Yogas menatap pintu itu lama dan setelah yakin Kana sudah tidak ada di sana, air matanya mulai
mengalir tanpa bisa dihentikannya. Dari sekian banyak penderitaan yang pernah dilaluinya,
inilah yang paling menyakitkan. Sebelumnya, Yogas sudah parah menerima penyakitnya dan
siap mati, tetapi semenjak bertemu Kana, Yogas menjadi sangat marah pada Tuhan.
"Kenapa..." gumam Yogas geram. Matanya menatap langit yang berbintang. "Kenapa harus
dipertemukan sama dia kalau harus dipisahin lagi?"
Gelas di tangan Yogas sudah remuk, isinya tumpah. Tangannya terkepal keras dan gemetar
hebat. Dia menunduk, dan tetesan air matanya dengan segera membasahi lantai semen yang
dingin. *** Kana tersaruk menuju kamarnya. Air mata sudah menetes di pipinya. Dia masuk dan menutup
pintu, lalu merosot ke lantai.
Ternyata, perasaan Kana terhadap Yogas masih sama besarnya seperti sebelum Yogas berkata
dia gay. Kana masih belum bisa sepenuhnya merelakan Yogas. Kana masih saja berharap Yogas
akan berkata bahwa dia bohong soal perkataannya itu.
Namun, kemudian Kana tersadar. Sekarang sudah tidak ada gunanya lagi terusterusa memikirkan
itu. Kana harus mengesampingkan perasaannya untuk membantu Yogas. Yogas membutuhkan
teman, dan hal itulah yang akan dilakukan Kana. Kana akan menjadi kuat untuk menolong
Yogas. Kana menghapus air matanya, dan tanpa sengaja dia melirik komputernya. Tiba-tiba, dia
mendapatkan ide. Kana menyalakan komputernya, lalu mulai mengetik.
*** Yogas menyalakan korek api dan membakar rokok yang sudah terselip di bibirnya. Dia mengisap
rokok itu, dan mengembusakan kepulan asap putih. Hari ini, Yogas sedang mencari Joe di
Universitas Negeri Yogyakarta Fakultas Olahraga. Namun, tampaknya orang itu tidak berkuliah
di sini. Yogas menghela napas, lalu membuka handycam-nya. Di dalam handycam-nya itu, terdapat
kaset yang selalu dihindarinya. Kaset dengan judul "Anyer 2000". Yogas menggigit bibirnya
ragu, tetapi dinyalakannya juga handycam itu.
Mata Yogas terasa panas karena tidak berkedip saat menonton film yang terputar di sana.
Rahangya mengeras. Mungkin seharusnya dia tidak pernah menonton film ini lagi. Mungkin
seharusnya Yogas membuangnya.
Film ini mengingatkan pada semua hal yang telah hilang darinya. Keluarganya. Sahabatnya.
Kekasihnya. Mimpinya. Hidupnya.
Setetes air jatuh di layar handycam itu. Tetes air yang berasal dari mata Yogas.
*** Kana mengendarai Varionya tanpa semangat. Tadi di dekat kampus, dia hampir menabrak
seseorang karena melamun. Barusan di dekat kost-nya, dia juga hampir menabrak Ono yang baru
pulang dari warung. Kana mematikan mesiornya dan mendorongnya masuk ke garasi. Dia membuka helm dan
menyangkutkannya di spion tanpa semangat. Ono menatap wajah Kana yang kusut.
"Ngopo, Kan?" tanyanya bingung.
"Ra popo, Mas," jawab Kana lesu sambil naik ke tingkat dua.
Tadi di kampus, Kana mencari orang yang sedang dicari Yogas selama ini, Joe. Namun, tak
satupun dari orang-orang yang ditanyainya bernama Joe, ataupun mengenalnya. Kana merasa tak
akan pernah menemukan oramg itu kalau caranya seperti ini.
Kana menghela napas lagi, lalu menggeleng-geleng. Kana akan melakukan apa pun untuk
membantu Yogas, tak peduli yang sedang dicarinya itu pasangan sejenis atau siapapun. Kana
mengangguk semangat, tak mau terlihat sedih di depan Yogas. Ketika sampai di lantai dua, Kana
terpaku melihat seorang cewek yang sedang berdiri di depan kamar Yogas. Cewek itu menoleh
dengan wajah cemas, lalu tersenyum dan mengangguk pada Kana. Kana balas mengangguk, tapi
masih heran. "Halo," sapa cewek itu ramah. "Ng... Kamu kost di sini?"
"Iya," jawab Kana. Ekspresi cewek itu segera berubah ceria. Kana mengamati cewek yang cantik
dan semampai itu. "Kamu... kenal sama Yogas?" tanya cewek itu lagi.
"Kenal. Itu kamar dia," jawab Kana lagi, tapi entah mengapa firasatnya terhadap cewek ini tidak
bagus. Cewek itu sendiri masih tersenyum penuh semangat. " Dia lagi keluar ya?"
"Mungkin," jawab Kana. "Kamu... siapa ya?"
Ketika cewek itu akan baru mejawab, terdengar suara orang sedang menaiki tangga. Yogas
muncul dari tangga dengan wajah lelah. Dia sedang memijati lehernya dan segera terpaku saat
melihat sosok cewek di depan kamarnya.
Yogas serasa tidak bisa melakukan apa-apa, baik bernapas maupun bergerak, saat melihat cewek
itu. Cewek itu sendiri mekap mulut, lalu berlari ke arah Yogas dan memluknya erat. Yogas
terlalu kaget sampai tidak bisa menghindari.
"Yogas!" sahut cewek itu, air matanya mengalir. "Aku pikir aku gak bakal ketemu sama kamu
lagi!" "Wu... lan...?" gumam Yogas, masih terlalu terkejut. Wulan mempererat pelukannya.
"Gas, maafin aku, Gas. $aafin aku. Aku janji gak bakal ninggalin kamu lagi..." Wulan sudah
terisak. "Aku nyesel udah ninggalin kamu. Maafin aku, Gas..."
Yogas merasa seluruh tubuhnya membeku, termasuk lidahnya. Dia sama sekali tidak menyangka
Wulan akan menyusulnya dan meminta maaf. Yogas berusaha mengambil napas, dan saat itulah,
dia menyadari keberadaan Kana yang sedang menatapnya marah.
Kedua tangan Kana gemetar di samping pahanya. Kana sangat marah sampai ingin meninju
Yogas di tempat, tetapi tidak dilakukannya. Entah mengapa, Kana hanya bisa terdiam menonton
adegan romantis si pembohong Yogas dan mungkin pacarnya.
Yogas balas menatap Kana sambil berpikir keras sementara Wulan masih terisak di pelukannya.
Yogas akhirnya balas memluk Wulan, membuat Kana memalingkan pandangannya.
Yogas berusaha untuk tidak melihat bagaimana Kana menangis. Yogas juga menahan segala
keinginannya untuk menahan Kana saat cewek itu melewatinya dan berderap turun. Yang
sekarang Yogas pikirkan hanyalah, bagaimana Kana bisa menjauhinya, apa pun caranya.
*** "Apa kabar, Gas?" tanya Wulan.
Yogas mengisap rokonya, lalu mengembuskanya sekarang. Sekarang, mereka ada di lantai tiga.
wulan menatap punggung Yogas yang tampak jauh lebih kurus dari yang pernah diingatnya.
"Begitu aja," jawab Yogas pendek. "Jadi tahu dari mana alamat ini?"
"Aku nelepon Eno, terus aku ancem dia. Akhirnya, dia ngasih tahu alamat kamu," kata Wulan.
Yogas mendengus. Tentu saja, Eno. Hanya Eno satu-satunya orang yang tahu di mana Yogas
tinggal. "Terus ngapain ke sini?" tanya Yogas lagi.
"Aku... maafin aku, Gas," kata Wulan pelan. "Dulu, kita masih muda. Dulu, aku gak pernah
berpikir kalo aku bakal sangat kehilangan kamu."Yogas tak berkomentar. Dia menatap langit
yang berwarna kemerahan. Angin Yogya yang sejuk membawa wangi bunga kenanga yang
ditanam ibu kost di taman bawah. Mendadak, Yogas merasa melankolis.
"Gas, aku bener-bener bodoh udah ninggalin kamu," kata Wulan lagi. "Sekarang, aku sadar kalo
aku..." "Lan, kamu udah bener," potong Yogas membuat Wulan menatapnya. "Kamu dulu udah
membuat keputusan yang benar, ninggalin aku. Jangan mikir macem-macem lagi. Aku udah gak
apa-apa kok." "Tapi Gas, aku masih sa..."
"Lan, kalo memang kamu masih sayang sama aku, tolong bantu aku. Kamu ngerti, kan?" desak
Yogas, kemudian duduk di samping Wulan.
"Gas..." "Lan, aku udah maafin kamu," kata Yogas. "Dulu mungkin aku gak bisa terima alasan kamu
ninggalin aku, tapi, sekarang aku udah ngerelain kamu."
Wulan menatap Yogas yang menolak menatapnya balik. Air mata Wulan sudah jatuh.
"Gas, beneran kamu mau maafin aku?" tanya Wulan. Yogas mengangguk, lalu menepuk kepala
Wulan, membuat cewek itu langsung terisak.
"Jangan nangis dong," Yogas mengacak rambut Wulan. "Thanks ya, udah dateng ke sini."
Wulan mengangguk di sela-sela tangisannya. Wulan benar-benar menyesal telah meninggalkan
Yogas dulu. Sampai sekarang Wulan masih tak mengerti, kenapa Tuhan memilih Yogas untuk
menerima penyakit ini, penyakit yang merenggut semua kebahagiaannya.
"Gas..." kata Wulan sambil menatap Yogas. "Jangan cari dia lagi."
Yogas menatap Wulan sebentar, lalu mengalihakn pandangannya. "Gak bisa, Lan. Aku harus
cari dia sampe ketemu. Setelah itu, aku gak peduli."
"Gas, kamu harus peduli! Kamu masih punya mamamu, kamu masih punya aku! Jangan cari Joe
lagi, Gas, aku mohon!" seru Wulan sambil menarik tangan Yogas.
"Lan, sampe sekarang, dia yang membuat aku tetep hidup. Gak ada siapa pun yang bisa
menghentikan aku," ujar Yogas tegas. "Karena dia, aku kena penyakit sialan ini. Kamu ngerti,
kan?" Wulan menatap khawatir Yogas yang tampak emosi. "Gas, janji sam aku, jangan ngelakuin halhal bodoh. Janji, Gas."
"Lan, kalo soal yang satu ini, aku gak bisa ngejanjiin apa pun," balas Yogas keras kepala.
"Thanks karena udah mikirin aku."
Wulan terisak lagi, memikirkan Yogas yang sudah berada jauh di luar jangkauannya. Eno
memang sudah memperingatkannya, tetapi dia tidak menyangka Yogas akan jadi seperti ini.
Benar-benar bukan Yogas yang dulu pernah dikenalnya.
"Lan," kata Yogas kemudian. "Jangan pernah mikirin aku lagi. Kamu juga harus nerusin hidup
kamu. Kamu udah punya cowok, kan?"
Wulan menyeka air matanya sambil melirik Yogas marah.
Yogas nyengir. "Yah, masa sih, kamu jomblo terus selama enam tahun."
"Hatiku sakit banget lho denger kamu ngomong begitu," tukas Wulan membuat cengiran Yogas
lenyap. "Denger kamu bisa naya-naya begitu sama aku seolah kamu udah bener-bener mgelupain
aku, hati aku sakit banget."
Yogas terdiam. "Sori," katanya kemudian.
Wulan mengamati Yogas yang sudah kemblai menatap lurus. "Gas," kata Wulan. "Kamu... suka
cewek itu, ya?" Yogas menoleh pada Wulan yang tampak serius, lalu segera mengalihkan pandangannya. Tak
lama kemudian, Yogas mengangguk. Wulan menghela napas.
"Udah aku kira," kata Wulan. "Apa dia... udah tahu?"
Yogas mengangguk lagi. "Dari awal dia udah tahu dan dia bisa terima," kata Yogas membuat
Wulan mengangguk-angguk. "Aku kagum sama dia," ujar Wulan, matanya menerawang. "Aku dulu... bodoh, ya?"
"Lan," tegur Yogas membuat Wulan tersenyum pahit.
"Gas, aku bener-bener minta maaf," kata Wulan lagi. "Aku tahu ini mungkin udah sangat
terlambat, tapi kapan pun kamu ngebutuhin aku, aku gak akan lari lagi."
Yogas menatap wulan lama, lalu tersenyum tulus. "Thanks."
Mereka kemudian menghabiskan petang itu dalam diam.
*** Kana melangkahkan kakinya menuju tangga, berharap kalau Yogas tidak ada. Mata Kana sudah
bengkak karena terlalu banyak menangis di kost Lian tadi, dan Yogas adalah makhluk terakhir
yang mau dilihatnya. Ketika Kana muncul dari tangga, Yogas baru kembali dari kamar mandi dengan handuk
tersampir di bahunya. Kana menatap Yogas marah, lalu berderap menuju kamarnya. Yogas
menatap Kana yang tampak enggan menatapnya balik.
"Jadi, itu yang namanya Joe, ya?" sindir Kana sebelum masuk kamar, tak tahan untuk bertanya.
Yogas malah bersandar di dinding sambil memandang Kana malas. "Namanya Wulan."
Jawaban Yogas membuat Kana melotot. Kana mengambil sepatu dan melempar Yogas dengan
sepatu itu. Yogas bahkan tidak mengelak dan membiarkan dadanya terpukul. Air mata Kana
sekarang sudah jatuh lagi.
"Kamu kejam! Aku bahkan gak mau tahu namanya!" sahut Kana emosi. Yogas hanya
menatapnya datar. Sementara Kana berusaha untuk menenangkan diri, Yogas mengambil sepatu yang tadi dilempar
Kana dan meletakkannya kembali ke rak sepatu. Dia lalu menghela napas, berusaha menatap ke
arah lain selain Kana yang masih menatapnya marah.
"Kenapa sih, kamu bohong terus?" tanya Kana lagi, hampir menjerit. "Kenapa kamu harus
sekejam ini sama aku" Kenapa, Gas?"
"Sori," kata Yogas membuat alis mata Kana terangkat tinggi. "Gue gak bermaksud nyakitin..."
"Gak bermaksud?" teriak Kana tak percaya. "Gak bermaksud kamu bilang" Kamu make segala
cara buat ngejauhin aku dari kamu!"
Yogas terdiam, sementara Kana sudah memukul-mukul dadanya sambil terisak.
"Kenapa kamu harus bilang kamu gay?" Kenapa kamu seneng banget nyakitin aku?"" seru Kana
lagi. "Kalo kemau memang segitu gak sukanya sama aku, kenapa gak bilang terus terang?""
"Gue gak suka sama lo!" sahut Yogas membuat Kana terdiam danberhenti memukulinya. Yogas
menatap Kana serius. "Lo mau gue bilang itu, kan" Gue bilang sekarang, gue gak suka sama lo.
Gue udah kasih peringatan ke lo dari awal, kan" Tapi, lo tetep mau tahu urusan gue. Gue gak
tahu lagi gimana caranya supaya lo ngejauh dari gue, dan terus terang aja gue gak tega ngomong
langsung kalo gue gak suka sama cewek desa kayak lo!"
Yogas tersengal setelah mengatakan semua itu pada Kana. Kana hanya menatap Yogas tanpa
berkedip, membuat air matanya mengalir semakin deras.
"Gas," ujar Kana kemudian. "Kamu bisa lebih kejam lagi dari ini?"
Yogas terdiam menatap Kana yang sudah gemetar hebat.
"Sori, Kan. Tapi, Wulan adalah satu-satunya cewek buat gue. Dari dulu sampe sekarang, cuma
dia yang ada di hati gue. Gak akan ada yang bisa ngegantiin dia," kata Yogas mmembuat kana
tersenyum miris. "Gas... Bisa kamu sekalian bunuh aku?" kata Kana getir. "Kenapa Gas... Kenapa kamu dateng ke
sini" Kenapa?" Kenapa aku bisa kenal sama kamu?""
Kana berderap menuju kamarnya, bergerak masuk dan membanting pintunya. Yogas menatapnya
tanpa bisa berbuat banyak. Misi berhasil. Sekarang yang harus Yogas lakukan adalah pergi
secepatnya dari kost ini.
The Truth Revealed Kana memandang kosong dinding di depannya. Bekas-bekas air mata yang sudah mengering
tampak di pipinya. Lagi-lagi Kana tidak tidur semalaman, menyesali kebodohannya karena
sudah sekian lama dipermainkan oleh Yogas.
Tidak masalah kalau Yogas mengatakan tidak menyukai Kana sejak awal. Tetapi, Yogas
mengatakan hal-hal kejam yang sudah menyakiti hati Kana. Bahkan, Kana tidak tahu apakah
bisa memaafkan Yogas setelah ini.
Terdengar suara pintu ditutup dari arah kamar Yogas. Kana mellirik jam yang ada di meja
komputer. Delapan lebih lima belas. Yogas pasti akan berangkat untuk mencari Joe, orang yang
katanya sedang dicarinya entah karena apa. Kana pikir Yogas pasti berbohong lagi. Yogas selalu
berbohong padanya, seorang gadis desa yang lugu dan mangsa empuk untuk dipermainkan.
Kana sudah tidak mau tahu lagi. Kana sudah tidak mau peduli lagi.
*** Yogas menatap Eno yang sudah tergeletak di depannya dengan mulutpenuh darah. Yogas baru
saja memberinya serangan fajar, setelah apa yang dilakukannya kemarin. Yogas sama sekali
tidak pernah menyangka Eno akan berbuat segoblok itu dengan memberitahu Wulan tempat
tinggalnya. Yogas berjongkok dan mencengkeram kaus Eno. Eno membalas tatapan marah Yogas tanpa
ekspresi. "Bangun lo," kata Yogas geram. "Apa yang membuat lo berpikir kalo lo berhak ngaih tahu
dimana gue ke Wulan?"
"Dia mau minta maaf sama lo," kata Eno susah payah. "Dia nyesel udah ninggalin lo."
"Gue udah bilang kan, gue gak mau berurusan lagi sama dia! Lo bebal atau dungu sih, No" Udah
bagus dia ngejauhin gue!" sahut Yogas kalap. "Kenapa lo ngasih tahu dia?"
"Karena dia ngancem mau bunuh diri!" sahut Eno membuat Yogas terdiam. "Ya, dia semenyesal
itu, Gas. Dia bener-bener nyesal udah ninggalin lo!"
The Truth About Forever Karya Orizuka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Lo tempe bangets ih, No! Gak mungkin dia mau bunuh diri gitu aja!" sahut Yogas lagi. "Eno
mendorong Yogas sampai Yogas terbanting. Eno terduduk dan menatap Yogas sengit.
"Menurut gue Gas, lo yang tempe! Yang lo tahu cuma ngehindari dari semua masalah!" Eno
menyeka darah yang sudah mengalir ke dagunya. "Kalo lo gak mau Wulan balik, seenggaknya lo
bisa maafin dia supaya dia bisa nerusin hidupnya, kan?"
Yogas terdiam, lalu menyandarkan dirinya ke tembok.
"Gue udah ngelakuin itu. Gue udah maafin dia," kata Yogas pelan. "Gue udah gak ada masalah
sama dia, tapi yang jadi masalah sekarang adalah cewek itu."
Eno menatapa Yogas, selah tak pernah meikirkan kemungkinan itu.
"Cewek itu ngeliat Wulan, dan semua alibi gue ajadi hancur" Yogas melirik Eno tajam. "Semua
karena lo." "Terus... dia gimana?" tanya Eno hati-hati.
"Yah, intinya, sekarang dia benci sama gue. Mungkin dia gak mau liat gue lagi. Dan karena itu,
gue harus cepat-cepat pindah kost," kata Yogas.
"Sori, Gas," ujar Eno menyesal.
"Gak perlu minta maaf," tandas Yogas. "Sori, gue udah mukul lo. Tapi, lo emang pantas dapat
pukulan itu, karena lo gak ngomong lagi sama gue."
Eno mengelus pipinya yang tadi ditonjok Yogas, lalu menatap Yogas yang tampak melamun.
"Lo... gak apa-apa, Gas?" tanya Eno cemas.
"Gue cuma udah ngerasa keterlaluan ama dia, No," Yogas mendesah sambil menjambak
rambutnya sendiri. "Semua omongan gue kemaren kayaknya keterlaluan. Kalo dia nampar gue
atau gimana, gue bisa terima. Tapi..."
"Tapi...?" Eno ingin tahu.
"Tapi, dia cuma bilang, bisa kamu sekalian bunuh aku" Dan bagi gue itu lebih dari sekedar
tamparan," ujar Yogas, matanya menerawang. "Baru kali ini gue nyesel kenal sama seseorang,
selain Joe." Eno tahu dengan pasti maksud kata-kata Yogas. Yogas pasti sedang berharap tidak pernah
mengenal cewek itu sehingga tidak akan berpisah dengannya.
*** Kana memutuskan untuk keluar dari kamar karena Yogas pasti sudah tidak ada di kamarnya.
Kana membuka pintu dan terperanjat saat mendapati Wulan di depan pintu kamar Yogas,
bermaksud mengetuk pintu. Wulan menoleh, lalu tersenyum pada Kana yang tidak sempat
membalasnya karena terlalu terkejut.
"Halo," sapa Wulan ramah. Kana membalasnya dengan anggukan. "Yogas ada?"
"Gak tahu ya,", dengan suara yang bukan miliknya. "Coba diketok aja."
Kana berjalan melewati Wulan untuk ke kamar mandi. Wulan memperhatikan Kana sampai dia
menghilang di balik pintu kamar mandi.
Tak berapa lama, Kana keluar dan terlonjak kaget karena Wulan sudah ada di depan pintu kamar
mandi. Wulan tersenyum lagi pada Kana.
"Kana, kan" Kita ngobrol sebentar, yuk?" ajak Wulan membuat Kana menganga. Namun,
akhirnya dia mengikuti Wulan naik ke lantai tiga.
Kana menatap punggung Wulan yang bahkan terlihat sempurna. Kana tidak heran kalau Yogas
meti-matian menolaknya karena Kana sama sekali berbeda dengan Wulan. Wulan tipe gadis kota
yang anggun dan menarik, bukannya gadis desa banya banyak omong dan bodoh sepertinya.
"Kenalkan, aku Wulan," Wulan membuka pembicaraan. Dia mengulurkan tangannya, yang
disambut bingung oleh Kana. "Aku rasa kamu udah tahu siapa aku dari Yogas."
"Yah, kurang lebih," balas Kana kaku. Dia tidak mau mengatakan kalau Wulan adalah satusatunya cewek di hati Yogas.
"Kamu. suka sama Yogas?" tanya Wulan membuat kana bengong lagi. Kana tidak langsung
menjawab pertanyaan itu. Dia tertunduk, merasa malu sudah berpikiran untuk menyukai Yogas
yang sudah punya pacar secantik Wulan
"Aku..." Kana kehilangan kata-kata.
"Aku tahu kok," ujar Wulan sambil tersenyum. "Hh... Yogas sebenarnya beruntung ya punya
orang-orang yang suka ama dia."
Selama beberapa saat, Wulan dan Kana sama-sama terdiam. Kana sedang menerka-nerka apa
Wulan marah karena kana menyukai pacarnya, tetapi wajah Wulan tidak menunjukkan demikian.
"Kana, kamu tahu, kenapa Yogas bisa punya penyakit ini?" tanya Wulan kemudian.
"Aku gak tahu lagi mana alasan yang bener," jawab Kana getir. "Yogas sdudah terlalu banyak
berbohong sama aku. Aku gak tahu lagi."
Wulan menatap Kana yang tampak menahan tangis.
"Kayaknya Yogas masih ngerahasiain soal ini sama kamu ya," kata Wulan membuat kana
menatapnya. "Mungkin dia berbohong untuk melindungi kamu."
"Melindungi" Dia nyakitin aku terus!" sanggah Kana dengan suara serak. Sejenak dia menyesal
karena sudah berteriak. "Maaf!"
Wulan tersenyum menatap gadis ringkih di depannya yang sudah membuat Yogas jatuh cinta.
"Kan, kamu tahu seseorang bernama Joe?" tnaya Wulan lagi membuat kana mendengus.
"Ya, tokoh rekaannya Yogas," ujar Kana skeptis.
"Buka rekaan, dia memang benar ada." Jawaban Wulan membuat Kana menatapnya tak percaya.
"Joe itu dulu sahabatnya Yogas."
Wulan mengambil napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan sementara Kana tak
melepas pandangannya. "Enam tahun yang lalu, aku, Yogas, Joe, dan satu orang lagi bernama Eno, sahabatan. Kami
sekelas dari kelas satu sampe tiga. Kami udah gak terpisahkan, ke mana-mana selalu bareng."
Wulan memulai ceritanya. "Kami semua punya cita-cita, kecuali Joe. Dia ini pengacau. Selalu
aja bikin keributan dan sama sekali gak punya visi buat masa depan."
"Joe paling akrab sama Yogas, karena mereka berdua udah kenal dari SD. Dengan Yogas, Joe
gak pernah macem-macem. Mereka udh kayak kakak-adik. Kamu tahu cita-cita Yogas?" tanya
Wulan membuat Kana menggeleng. "Sutradara. Yogas pengen banget jadi sutradara, sampai rela
menghabiskan tabungannya untuk bveli kaset dan bikin film kecil-kecilan yang pemainnya kamikami ini."
"Suatu hari, entah kenapa, Joe jadi agak berubah. Dia jadi cenderung pemarah, bahkan ke Yogas
sekalipun. Kadang, dia marahin Yogas kalo Yogas terlalu banyak bergaul sama anak-anak ekskul
film. Dan, akhirnya, peristiwa itu terjadi," kata Wulan. Dia berhenti sejenak, lalu menarik napas.
"Yogas diajak Joe ketemu sama temen-temennya yang preman sekolah kami. Mereka adalah
murid-murid drop out sekolah kami. Entah gimana Joe bida berteman dengan mereka. Saat itu
mereka sedang berada di bawah pengaruh alkohol dan obata-obatan," kata Wulan, suaranya
sudah serak. "Mereka nyuruh Joe untuk nyuntik Yogas dengan suntikan bekas pakai."
Mata Kana melebar, tak percaya dengan cerita Wulan. Air mata Wulan sendiri sudah mengalir.
"Joe yang takut sama mereka ngelakuin yang mereka minta. Setelah itu, Yogas gak cerita lagi.
Dia takut sama Joe dan selalu ngehindar kalo ketemu di sekolah. Waktu itu, aku sama Eno gak
tahu apa-apa," lanjut Wulan. "Suatu saat, Joe dipuindah sekolah sam orangtuanya karena
ketahuan ngobat. Yogas jadi ceria lagi, dia bikin filn lagi. Tapi, beberapa bulab kemudian, dia
kena kecelakaan yang cukup parah, yang menbuat dia harus masuk rumah sakit. Dari sana, baru
ketahuan kalo ada HIV di darah Yogas."
"Saat itu yang tahu cuma orang tuanya dan aku. Aku kebetulan ada di rumah sakit saat dokter
ngasih vonis itu. Waktu itu, aku masih anak-anak, aku maih terlalu ngeri dengan kata-kata HIV.
Setelah tahu Yogas punya virus itu, aku langsung menjauh," kata Wulan sambil terisak. "Bukan
cuma aku, tapi kedua orangtuanya juga menjauh. Mereka seperti aku, malu dan takut karena
penyakit itu. Eno yang gak tahu apa-apa memang gak menjauh, tapi Yogas yang malah
ngejauhin dia." Wulan menatap Kana yang juga sudah terisak. Kana sama sekali tidak tahu kejadian sebenarnya
seperti ini. Kana sama sekali tidak tahu bahwa penderitaan Yogas jauh lebih besar dari yang
dibayangkannya. "Kana, kamu jangan membenci Yogas karena berusaha ngejauhin kamu," kata Wulan lagi. "Dia
cuma gak ingin kamu kena imbasnya juga. Dia balik sikap dia yang kasar itu, dia sebenarnya
takut, Kan." Kana menangis lebih keras. Dadanya sampai sakit. Wulan mengelus-elus punggungnya.
"Kana, aku kagum sama kamu," katanya. "Aku pengecut ini gak pantas untuk ada di samping
Yogas. Dia saat semua orang ngejauhin Yogas, kamu ada untuk doa. Aku benar-benar malu
sama kamu, Kan." "Hah" Maksud kamu?" Kana bertanya di sela-sela isakannya, bingung karena kata-kata Wulan.
Bukankah Wulan adalah kekasih Yogas"
"Aku yakin, sekarang cuma kamu yang bisa jadi kekuatan buat Yogas. Cuma kamu yang bisa
menghentikan Yogas," kata Wulan.
"Menghentikannya dari apa?" tanya Kana lagi.
"Kan," kata Wulan dengan tatapan serou. "Jkamu tahu alasan Yogas datang ke sini" Kamu tahu
alasan Yogas mau ketemu sama hJoe lagi?"
Kana menggeleng, tetapi rasanya dia bisa menebak jawabannya.
"Dia mau ngebunuh Joe, Kan." Ucapan Wulan membuat Kana menekap mulutnya sendiri. "Dia
udah gak peduli lagi tentang apa yang akan terjadi setelah itu. Dia mau ngebunuh Joe karena
udah merusak hidupnya."
Kana tak bisa berkata-kata. Tangan dan kakinya dingin mendengar kata-kata Wulan. Kana
langusng teringat pada sebilah belati yang pernah dia temukan di dalam ransel Yogas. Ternyata,
untuk itu dia membawa belati itu. Untuk membunuh Joe.
"Kenapa?" tanya Kana dengan suara tercekat.
"Dia ngerasa udah gak ada gunanya lagi dia hidup," jawab Wulan lemah. "Aku udah gak punya
hak apa pun lagi untuk menahan dia, Kan, karena dulu aku udah ninggalin dia. Sekarang, cuma
kamu yang bisa." Kana menatap Wulan tak percaya. Yogas kemarin bilang hanya Wulan cewek satu-satunya di
hatinya, tetapi kalau Wulan saja tidak bisa enahan Yogas, bagaimana Kana bisa melakukannya.
"Lan, dia gak suka sama aku. Dia benci sama aku. Gimana aku bisa nahan dia?" tanya Kana
membuat Wulan tersennyum.
"Dia bilang begitu ya?" kata Wulan. "Ini tips buat kamu, Kan. Mulai sekarang, apa pun yang dia
bilang, maknai sebaliknya. Kamu tahu sendiri, Kan, Yogas tukang bohong?" Jadi, mulai
sekarang, jangan anggap serius kata-katanya."
"Dia... bohong lagi?"" tanya Kana dengan suara serak, dan akhirnya menangis lagi, tetapi lebih
karena bahagia. Ini artinya Yogas kemarin sudah berbohong sdaat mengatakan bahwa Wulan
adalah cewek satu-satunya, juga saat dia mengatakan kalau dia membenci Kana.
"Kana," kata Wulan lagi. "Aku percayain Yogas sama kmu, ya" Karena kalo sama kamu, aku
bisa ngerelain Yogas."
Kana menatap Wulan lagi. Wulan tersenyum sedih.
"Aku gak pernah cukup baik buat dia, Kan. Aku pergi ketakutan waktu dia ngebutuhin aku, dan
baru sadar bertahun-tahun kemudian. Aku baru cukup kuat untuk nenerima kenyataan setelah
bertahun-tahun kemudian. Aku bener-bener gak sebanding sama kamu," ujar Wulan lagi sambil
menatap Kana dalam-dalam. "Kana, aku mohon, tolong jangan jauhin Yogas apa pun yang
terjadi. Satu-satunya kesempatan Yogas buat bahagia adalah kamu."
Kana memandang langit yang berwsarna biru cerah. Wajah Yogas segera terbayang di benaknya
sementara Wulan terus berbicara.
"Kamu tahu kenapa Yohgas selama ini membohongi kamu" Itu karena Yogas gak ingin kamu
mencintainya, karena kalau sampai itu terjadi, dia harus siap kehilangan kamu lagi suatu saat
nanti. Kamu ngerti kan, Kan" Dia cuma takut kehilangan kamu."
Kana langusng terisak lagi. Pikiran Kana jadi benar-benar kacau setelah mendengar kebenaran
dari mulut Wulan. Selama ini, Yogas selalu membohongi Kana supaya Kana selalu menjauhinya.
Yogas bahkan melakukan apa pun supaya Kana membencinya. Ternyata, alasannya adalah
karena dia takut akan kehilangan Kana."
"Kana, kamu bisa kan menjawab kekhawatirannya itu?" tanya Wulan, tetapi Kana tak bisa
menjawabnya. Kana tidak harus menjawab dan Wulan pun pasti sudah tahu jawabannya. Wulan menghela
napas lega. Kalau ada satu orang yang bisa mengembalikan Yogas seperti dulu, gadis inilah
orangnnya. *** Yogas memasang sebuah kaset di handycam-nya. Saat itu, Yogas sedang sendirian di kamar Eno
karena dia sedang bekerja. Yogas memperhatikan orang-orang yang ada di layar handycam-nya.
Film yang sedang ditontonnya adalah sebuah film pendek yang dibuat Yogas di Anyer tahun
2000 lalu. Film yang tadinya akan dimasukkan ke lomba film indie. Film yang dibuat dengan
segenap hati dan dibintangi oleh orang-orang yang paling didayanginya.
Yogas menatap Eno, Joe, Wulan, ayah, dan ibunya d layar handycam-nya. Baru kali ini, Yogas
memberanikan diri untuk menoonton lagi film ini dari awal sampai akhir. Sebelumnya, Yogas
bermaksud untuk melupakannnya karena menonton film ini membuatnya teringat lagi pada
orang+orang yang sudah menjauhinya karena penyakit yang dideritanya.
Wajah joe, si pemeran utama, tiba-tiba muncul sendirian di layar. Yogas menatap sosok kurus
berwajah kutu itu, dan tanpa terasa tangannya sudah terkepal. Dia adalah orang yang membuat
semua kehidupanyya hancur berantakan. Ingatan Yogas tiba-tiba terlempar ke masa silam, enam
tahun yang lalu. *** "Gas, pulang sekolah kita ke belakang kantin dulu ya," kata joe sambil mnghampiri Yogas yang
sedang berkutat dengan handycaminya.
"Ngapain?" tanya Yogas tanpa menoleh.
"Gue mau ketemu sama temen lama gue, dia mau kasihg gue sesuatu," kata Joe lagi sambil
mengamati video yang sedang ditonton Yogas. "Ya ampun. Another documentary?"
Yogas hanya mengendikkan bahu, matanya masih tertancap ke video dukemneter yang baru
diseledaikannya. "Apa yang mau dia kasih" Another blue film?" sindir Yogas membuat Joe terkekeh.
"Bukan. Ini sesuatu yang lebih daripada itu," Joe mencondongkan dirinya pada Yogas. "Lo harus
coba juga." Yogas menatap Joe tanpa ekspresi. Dia tahu kalau itu menyangkut Joe, pasti semuanya
berhubungan dengan cewek.
"Oke. Asala jangan lama-lama, karena gue harus transfer ini video. Gue ngejer deadline nih,"
Yogas akhirnnya menyanggupi.
"Siap, Bos. Dasar maniak film," cela Joe sambil terkekeh.
"Calon sutradar," ralat Yogas, dan Joe tergelak lebih hebat.
"Serius Joe, siapa sih yang lo tunggu?" tanya Yogas setelah menunggu selama satu jam di
belakang kantin sekolah yang sepi.
"Temen lama gue," jawab Joe, sekarang tampak gelisah. Yogas memperhatikannya bingung.
Tak lama kemudian, beberapa orang bertubuh besar dan bertato di sana-sini muncul. Sejenak
Yogas merasa mereka tidak mungkin teman lama yang dimaksud Joe, tapi saat kawanan itu
mendekati Joe, mendadak Yogas merasa takut. Yogas tidak tahu sejak kapaan Joe bergaul
dengan orang-orang seperti itu.
"Oi, Joe! Apa kabar lo?" sahut salah seorang dari nereka yang di wajahnya terhias codet. Yogas
bisa membaui alkohol dari jarak tiga meter.
"Baik. Mana barangnya?" kata Joe cepat.
"Sabar dong man," laki-laki codet melirik Yogas yang mundur teratur. "Wah, siapa nih" Temen
lo" Calon pelanggan baru?"
"Bukan," Joe menahan laki"aki itu yang sekarang sedang berjalan sempoyongan ke arah Yogas.
"Dia cuma temen gue."
"Temen ya?" laki-laki itu terkekh, lalu menarik Joe ke pinggiran, dan membisikinya sesuatu.
Yogas tak bisa mendengar mereka.
Tak lama kemudian, kawanan itu mendekati Yogas. Bau alkohol menguar hebat dari tubuh
mereka. Joe menatap Yogas takut-takut, dan itulah, Yogas tahu kalau sesuatu yang buruk akan
terjadi. Yogas baru akan kabur saat beberapa tangan menahannya. Yogas langusng meronta
sekuat tenaga, tapi kawanan itu jauh lebih besar darinya.
"LEPASIN GUE!!" sahut Yogas sekuat tenaga sambil berusaha melepaskan diri dari
cengkeraman dua orang besar yang ada di samoingnya. Namun, cengkeraman mereka malah
bertambah kuat. "DIEM LO!!" Seseorang bernapas busuk di depan Yogas balas menyahut. Seseorang yang
berdagu kasar menonjoknya dengan sekuat tenaga dan membuat pelipisnya berdarah.
"MAU APA LO!!" sahut Yogas lagi. Dia melirik Joe, sahabatnya yang ada tepat di belakang
lelaki yang tadi memukulnya. Ekspresi aneh, sama sekali tak dapat Yogas tebak. "Joe, apa
maksud lo, hah?" "Gas, gak sakit kok,"Joe berkata sambil membawa sebuah subtikan ke arah Yogas. Mata Yogas
membesar. "Cuma sekali doang, gak bikin ketagihan kok."
"Joe! Lo apa-apaan! Buang!" seru Yogas, tapi Joe seperti tidak punya pilihan. Laki-laki di codet
di belakangnya tampak sedang mengancamnya.
Kawanan itu terkekh saat Joe menghampiri Yogas yang sudah tak bisa berkutik lagi. Joe
membuka tutup suntikan itu, lalu salah seorang dari kawanan itu memberikan lengan kiri Yogas
yang sudah menegang karena kerasnya perlawanan Yogas.
"Sori, Gas," kata Joe, lalu dengan mata menatap lurus mata Yogas, Joe menusukkan suntikan itu
ke lengannya. Yogas sudah tak merasakan sakit. Dia hanya melihat mata sahabatnya dengan tatapan marah,
bertanya-tanya apa yang menbuatnya melakukan itu.
*** Yogas mencengkeram lengan kirinya kuat. Sudah sekian kama jenangan itu menjadi mimpi
buruk Yogas. Kejadian itu sudah berlalu sekitar enam tahun, tetapi rasa panas yang menjalar di
lengan Yogas masih terasa sampai sekarang. Yogas juga tidak bisa melupakan tatapan aneh Joe
saat dia menyuntikkan obat terlarang itu ke lengan Yogas.
Bukan, bukan obat terlaragnya yang membuat Yogas hancur. Obat tu emang berpengaruh sedikit
, tetapi Yogas berhasil melaluinya. Suntikan itulah yang membuat seluruh kehidupannya hancur.
Suntikan yang berasal entah dari mana dan membawa virus yang akan menjadi penyebab
kematiannya. Yogas menghantamkan kepalnya ke lantai, rahangnya mengeras. Bagaimanapun, dia harus
menemukan Joe untuk balas dendam. Karena kejadian itu, Yogas sudah tidak punya tujuan hidup
lagi. Kejadian itu juga yang membawanya pada seorang Kana, dan memaksanya untuk berpisah
u dia terpaksa dia nerima gue, No."
Eno menatap Yogas, paham dengan perasaannya.
"Beberapa waktu lalu, dia bilang dia mau nemenin gue. Tapi, sekarang setelah di sadar kalo dia
gak cukup kuat buat ngelakuin itu, dia malah ngerasa bertanggung jawab," kata Yogas. "Gue gak
bisa ngeliat dia susah payah merhatiin gue."
"Karena itu, gue mau pindah secepatnya. Karena udah terlalu bwerat setiap hari ketemu dia,"
kata Yogas lagi, matanya menerawang hampa. "Udah terlalu berat.
Eno menatap temannya itu lama. "Gas, menurut gue lo selesain masalah sama dia dulu. Jangan
main kabur. Kalo ternyata omongan lo sekarang cuma sugesti lo, lo bakalan nyesel karena udah
The Truth About Forever Karya Orizuka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kehilangan orang yang peduli sama lo."
"No, kalo pun emang bener gitu, itu memang resiko gue. Dari awal harusnya gue gak pernah
mulai," sanggah Yogas.
"Oke. Itu resiko lo. Tapi, apa lo berpikir sama buat dia" Kalo ternyata dia bener-bener peduli
sama lo dan lo tiba-tiba pergi begitu aja?" tanya Eno lagi. Yogas terdiam sebentar, tampak
berpikir. "Kalo gitu, suatu saat dia pasto bersyukur karena gak jadi mengalami masa-masa suram bareng
gue," kata Yogas lagi, menutup pembicaraan.
Eno pun tak bisa berkata apa-apa lagi.
*** Sudah beberapa hari ini, Yogas selalu menghindari Kana. Dia selalu bangun dan berangkat lebih
pagi, dia juga pulang larut malam di saat kana sudah tidur. Yogas benar-benar tidak ingin
bertemu dengannya. Kana sendiri bukannya tidak sadar. Dia sadar betul Yogas sedang menghindarinya. Sekarang
sudah pukul sepuluh malam, dan Yogas belum juga pulang. Kana melirik kamar Yogas yang
masih gelap. Kana menghela napas, tidak mengetahui penyebab Yogas kembali menjadi pemarah. Saat Kana
berbalik, dia mendapati Yogas yang sedang naik tangga. Yogas langsung membatu melihat kana
di depan kamarnya. Hari ini, dia salah perkiraan. Biasanya pukul segini Kana sedang sibuk
menulis atau malah sudah tidur.
"Hei. Ke mana aja beberapa hari ini?" tanya Kana sambil nyengir. Yogas menatapnya lama, lalu
meneruskan perjalanannya ke kamar tanpa menjawab. "Kamu sibuk ngapain sih, Gas" Ada
temen ya di sini?" Yogas melewati Kana tanpa banyak bicara. Dia mengeluarkan kunci dari saku celana dan
membuka pintu kamarnya sementara Kana masih berdiri di belakangnya, menunggu jawaban.
Yogas menghela napas lalu berbalik.
"Nih," Yogas mengeluarkan uang serarus ribuan dari dompetnya dan menyodorkannya pada
Kana. "Duit laundry, bubur, obat, sama apalah yang kemaren itu. Gue gak suka ngutang."
Kana hanya bisa bengong sambil memegang uang itu. Sementara Yogas mengernyit.
"Kenapa" Kurang?" tanya Yogas sambil kembalai mengorek dompetnya, tetapi tangannya segera
dicengkeram Kana. Yogas menatap cewek itu yang seperti sudah akan menangis.
"Gak perlu," kata kana dengan suara tercekat. Dia menyurukkan uang itu ke tangan Yogas. "Aku
gak ngerasa diutangin, kok."
"Tapi, gue ngersa ngutang. Lo mau gue bayar apa kalo gak mau duit?" tanya Yogas membuat
kana melongo. "Aku... Aku gak mau dibayar pake apa pun," kata Kana lagi, lalu menggigit bibirnya untuk
menahan tangis. "Oh" Kemaren lo bilang gue harus bayar," kata Yogas lagi.
"Kemaren, aku cuma bercanda," kata Kana. "Kamu gak harus bayar apa pun."
"Denger ya," kata Yogas mendekati Kana dan menatapnya tajam. "Apa lo ngerasa lo dewi
penyelamat" Mau nambah pahal dengan nolongin gue, gitu ya" Tapi, gimana ya, gue gak mau
utang budi sama lo. Jadi, mending lo bilang aja gue harus bayar pake apa. Apa pun gue lakuin."
Saat setetes air mata jatuh di pipinya, Kana segera menyekanya. Dia tidak tahu lagi harus
bagaimana menghadapi Yogas. Sekarang, dia sangat membenci Yogas dengan segala sikap
menyebalkannya itu. "Gas, kalo kamu bener-bener pengen bayar, bayar dengan perubahan sikapmu," kata Kana tegas.
"Mulai sekarang, jangan pernah lakuin ini lagi sama aku. Jangan pernah ngomong hal-hal kasar
lagi sama aku. Itu bayarannya. Bisa?"
Yogas menatap Kana lama. Kana membalasnya dengan berani. Yogas kemudian terkekeh,
membuat Kana bingung. "Lo pinter banget ya," kata Yogas, masih tertawa pelan. Dia berhenti tertawa dan menatap Kana
tajam. "Lo pinter banget akting. Harusnya lo jadi artis bukan penulis."
Kana menatap Yogas tak percaya sementara Yogas bergerak ke kamar. Sebelum Yogas masuk
ke kamarnya, dia menoleh pada Kana yang masih membatu.
"Akting lo bikin gue hampir percaya. Gue salut sama lo," katanya, lalu masuk dengan
membanting pintu. Kana masih terdiam untuk beberapa lama, sampai akhirnya air matanya kembali menetes dan
kakinya tak kuat untuk menopangnya. Dia jatuh terduduk di depan kamarnya dengan air mata
mengalir deras. Tadi, Kana tak bisa membalas perkataan Yogas, karena dia tahu Yogas benar. Selama ini, Kana
begitu munafik di depan Yogas, mengatakan hal-hal yang baik, padahal hatinya masih ragu.
Orang seperti Kana tidak layak untuk menemani Yogas.
Bukan salah Yogas kalau dia menganggap kebaikan Kana selama ini hanyalah akting. Kana tahu
betul akan hal itu, tetapi dia tidak tahu apa yang membuatnya sesakit ini.
I'll do Anything Lian melirik Kana cemas yang sedari tadi hanya menerawang dengan mata sembap dan tidak
memperhatikan kelas. Lian yakin ini lagi-lagi soal tetangganya itu, tetapi kalau dia bertanya,
pasti Kana akan menangis di tengah kelas.
Lian meraih tangan Kana yang dingin, kemudian menggenggamnya. Dia tahu, sahabatnya itu
pasti sudah mengalami banyak hal menyedihkan dengan Yogas. Lian tidak ingin itu terjadi,
karena Kana baru dua puluh tahun dan tidak layak mengalami hal-hal seperti itu. Umur segini,
Kana harusnya sedang menikmati masa-masa pacaran pertamanya dengan cowok keren, baik dan
normal. Lian menghela napas. Bukan salah Yogas kalau dia mengidap penyakit. Atau memang salahnya,
karena ini HIV. Entahlah, Lian sama sekali tidak tahu apa-apa soal Yogas. Masalahnya adalah,
sahabatnya ini sudah terlibat begitu jauh dengan cowok itu dan dia bisa benar-benar hancur kalau
terus-terusan begini. Sampai sekarang, Lian tidak habis pikir, kenapa orang yang pertama membuat Kana jatuh cinta
harus orang seperti Yogas. Kenapa takdir spertinya begitu kejam pada Kana.
Tiba-tiba, Lian tersentak dan menatap Kana lagi. Dia memang tidak ingin Kana sakit hati karena
Yogas, tetapi dia juga tidak ingin melihat sahabatnya seperti sekarang ini.
"Kan..." kata Lian pelan membuat Kana menoleh lemah. Matanya masih merah. "Kamu... kamu
tahu kenapa kamu bisa ketemu sama Yogas?"
Kana menatap Lian. "Mungkin... takdir?"
"Tepat," Lian mempererat genggamannya pada Kana. "Apa kamu gak pernah berpikir kalo
Tuhan punya maksud tertentu dengan mempertemukan kalian?"
Kana menatap Lian lekat-lekat, berusaha menebak jalan pikirannya.
"Tuhan mungkin berpikir... kalau kamu adalah satu-satunya orang yang sanggup bertahan untuk
Yogas. Makanya, dia mempertemukan Yogas sama kamu," lanjut Lian membuat Kana ingin
menangis lagi. "Karena tahu kamu pasti bisa bertahan, makanya Dia mempertemukan kalian.
Makanya... jangan menyerah!"
Lian tidak percaya dia bisa mengatakan ini pada sahabatnya. Dia pasti sudah gila karena
mendukung hubungan Kana dengan Yogas. Namun, bagaimanapun, Lian tahu Kana pasti
menyukai Yogas dan sudah sangat berkorban demi perasaannya itu. Lian tidak mau melihat
Kana menyesali cinta pertamanya.
Sekarang, Kana sudah menangis tak terkendali. Tubuhnya terguncang, menangisi kebodohannya
karena sudah ragu pada perasaannya sendiri. Inilah yang semalam membuatnya sangat sakit hati.
Yogas sudah menganggap perasaannya hanya akting.
*** Sudah berjam-jam Kana duduk di atas kasurnya sambil memeluk guling dengan mata
menerawang. Dia sudah banyak berpikir dan sudah sampai pada keputusannya. Dia tak akan
menyesali keputusannya itu, apa pun yang akan terjadi.
Kana melirik jam. Sudah pukul sebelas malam, dan Yogas belum pulang juga. Kana bangkit,
membuka pintunya, lalu mellirik kamar Yogas yang masih gelap. Kana menghela napas, lalu
bergerak ke kamar mandi. Langkah Kana terhenti saat dia melihat pintu tingkap ke lantai tiga terbuka lebar. Mungkinkah
itu Yogas" Kana menatap pintu itu ragu, lalu bergerak naik diam-diam dan mengintip ke lantai
tiga. Yogas tampak sedang berbaring di lantai, matanya menatap langit malam. Kana merasa
jantungnya berdegup kencang dan sekujur tubuhnya dingin saat melihat sosok itu. Kana
memberanikan diri untuk membuka pintu dan mendatanginya.
Yogas menoleh dan begitu mendapati Kana di pintu, dia langsung bangkiut. Setelah
membersihkan celananya dia bergerak, bermaksud turun. Dia sama sekali tidak ingin berduaduaan lagi dengan Kana setelah semua yang terjadi.
"Tunggu, Gas," kata Kana membuat Yogas menatapnya. Kana balas menatapnya ragu selama
beberapa saat. "Apa?" tanya Yogas ketus. "Ada yang mau dibicarain" Karena gue gak ada.
"Ada," jawab kjana. Sekarang, hatinya sidah mantap. Dia tidak akan mundur lagi.
Yogas mengernyit, tidak mengerti apa bahan pembuat hati Kana. Setelah dikata-katai macammacam, dia tetap saja mau berbicara dengan Yogas.
"Apa?" tanya Yogas lagi, tak berminat.
"Aku... suka sama kamu," ujar Kana tegas membuat Yogas melongo. "Walaupun dulu kamu
pernah bilang jangan suka sama kamu, sudah terlambat. Aku sudah suka sama kamu."
Yogas tak bisa berkata apa pun. Menggerakkan satu syarafnya pun dia tak sanggup. Yogas hanya
bisa menatap kana tak percaya. Matanya sudah berair karena belum berkedip sejak Kana selesai
bicara. "Ini bukan akting, Gas. Aku jujur. Mungkin, kemaren aku pernah ragu, tapi sekarang aku udah
yakin kalo aku suka sama kamu," kata Kana lagi, membuat kepala Yogas sakit. "Mulai sekarang,
sesakit apa pun, seberat apa pun, aku bakal tetep..."
"Tolong jangan ngomong sesuatu yang gak bertanggung jawab," potong Yogas geram.
Rahangnya mengeras. "Jangan ngomong hal-hal yang gak bisa lo pertanggungjawabin."
"Aku." "Apa lo sadar dengan omongan lo, hah?" bentak Yogas menbuat Kana terdiam. "Lo sadar lo
udah bikin diri lo masuk ke dalam masalah apa?"
"Aku... sadar..."
"Gak! Lo gak sadar!" sahut Yogas. "Denger, ini bukan masalah kecil! Suka atau apa pun itu, itu
gak bisa menolong!" "Tapi, Gas, aku bener-bener sayang sama kamu..."
Yogas menatap cewek di depannya nanar.
"Kalo lo sayang, terus lo mau apa" Nemenin gue sampe gue mati?" tanya Yogas membuat Kana
terdiam. "Lo siap dengan hujatan orang-orang nanti" Lo siap kehilangan masa depan lo demi
gue?" Kana menatap Yogas. Sesaat, dia ragu, tetapi dia tidak akan mundur.
"Aku siap!" sahut Kana tegas.
"Diam!" bentak Yogas frustasi. "Jangan ngomong seenaknya! Lo sama sekali gak tahu apa-apa!
Gue udah gak sanggup nahan beban gue sendiri, jangan tambahin beban gue dengan perasaan
lo!" Kana menatap yogas lagi, air matanya sudah mengalir. Yogas sendiri sudah pucat.
"Kita bisa bagi beban kita, Gas," jawab Kana, sebisa mungkin berusaha untuk tidak terisak.
Yogas terdiam untuk beberapa saat.
"Denger," kata Yogas, emosinya sudah reda. "Lo masih muda. Lo sehat. Lo punya masa depan.
Jadi, tolong jangan hancurin itu semua demi perasaan lo sama orang yang gak berharga kayak
gue. Gue sama sekali gak sebanding sama masa depan lo. Apa lo bisa ngerti?"
Kana sudah terisak. Yogas sebisa mungkin menatap apa saja selain Kana.
"Perasaan lo ke gue itu... cuma sementara. Lo cuma simpati," kata Yogas lagi. "Gue minta sama
lo, tolong jangan pernah ngomong hal-hal yang kayak gini lagi. Gue... capek."
Yogas kemudian berbalik, bermaksud turun. Namu, tiba-tina, tangannya dicengkeram oleh Kana.
Detik berikutnya, tangan Kana sudah memeluk Yogas dari belakang. Lagi-lagi, yogas membatu,
tak bisa menggerakkan satu pun anggota tubuhnya.
"Gas... Aku ngerti gimana perasaan kamu. Aku tahu kamu pasti gak mau ngerepotin orang lain.
Tapi, aku sudah bikin keputusan, Gas!" kata Kana di antara isakannya. "Gas... Kamu tahu kenapa
kita ketemu?" Yogas tak bisa menjawab. Seluruh syarafnya dimatikan oleh dua tangan yang melingkari
pinggangnya. "Karena ini takdir kita, Gas," kata Kana pelan. Dia mempererat pelukannya pada Yogas yang
masih bergeming. "Jadi, jangan menghindar lagi."
Ada jeda beberapa lama sampai akhirnya Yogas tersadar dari alam khayalnya yang indah. Yogas
menghela napas. "Gue... gak pernah percaya takdir," katanya dingin. Dia melepaskan tangan Kana, lalu bergerak
menuju pintu tanpa sekali pun menoleh ke belakang lagi.
Kana terduduk lemas di lantai semen yang dingin, terisak hebat sampai dadanya terasa sakit.
Kana tidak pernah menyangka mencintai ternyata sesakit ini.
*** "Takdir ... itu kejam ya," kata Yogas dengan mata menerawang.
Eno meliriknya simpati. Dia tahu, apa pun yang terjadi semalam bukanlah hal yang bagus, dilihat
dari ekspres Yogas yang seperti sudah mau mati.
Saat ini, mereka sedang berada di kost Eno karena hari ini Eno libur bekerja dan kuliah.
Semalam, Yogas tiba-tiba muncul di depan kamarnya dan langsung pingsan karena berlari dari
kost-nya. Sekarang setelah siuman, dia seperti mayat hidup.
'Udah tahu gue sekarat, masih aja diketemuin sama cewek itu," Yogas meracau dengan suara
serak, masih menatap langit-langit kamar Eno.
Eno menghela napas. Tentu saja, soal cewek itu. Cewek bernama Kana yang selama beberapa
minggu ini sudah banyak membantu Yogas. Cewek yang mungkin saja disayangi Yogas.
"Ternyata gue masih kurang cobaan," kata Yogas lagi.
"Emangnya, sekarang apa lagi, Gas?" tanya Eno hati-hati.
"Dia bilang dia suka sama gue," ujar Yogas membuat mata Eno melebar. "Dia bilang, dia siap
kehilangan masa depannya demi gue. Dia bilang semua hal yang mau gue denger."
Eno menatap sahabatnya yang tampaknya sudah tak berdaya itu. Yogas masih menatap langitlangit, rahangnya sudah mengeras.
"Kalau begini terus... Dia bisa bikin gue gak mau mati. Dia bisa bikin gue maruk mau hidup,"
lanjutnya. "Kalo gitu, hidup, Gas," balas Eno.
"No, gue mau hidup," ujar Yogas, air matanya sudah mengalir. "Gue gak mau mati. Tapi, gue
bisa apa" Gue udah divonis, No. Dan gue gak bisa melihat dia menderita nantinya."
Eno mengalihkan pandangan, tidak ingin melihat air mata sahabatnya.
"Gue gak bisa egois. Cukup gue aja yang menderita," lajut Yogas dengan suara tercekat. "Dari
awal, pertemuan gue sama dia itu kesalahan."
Yogas menarik napas dan menghelanya pelan.
"Tapi, sebenernya, lo juga suka sama dia kan, Gas?" tanya Eno membuat Yogas terdiam sesaat.
"Kalo suka... terus apa?" kaYogas sambil memijat dahinya.
Eno tahu, itu hanya cara untuk mneyembunyikan air mata yang terus menerus mengalir. Eno
merasa tidak bisa berbuat apa-apa untuk membantunya. Yogas sudah terlalu jauh untuk digapai.
*** Kana mendengar ketukan pintu di kamarnya, tetapi dia menolak untuk bangun. Dia tahu itu
tantenya yang memanggilnya untuk makan malam. Kana sama sekali tidak punya nafsi makan
setelah kejadian semalam. Sepanjang malan, Kana hanya menangis dan sekarang matanya sudah
bengkak. Sekarang, Kana nyaris tidak punya air mata lagi untuk menangisi Yogas. Kana hanya menatap
dinding di depannya, pikirannya penuh oleh kejadian semalam. Kana tidak tahu apa Yogas ada di
kamarnya atau sudah pergi lagi.
Kalau teringat pada kata-kata Yogas kemarin, Kana segera menangis lagi. Kana tahu benar
Yogas hanya berusaha melindunginya dengan mengatakan hal-hal kejam. Yogas tidak peernah
berniat buruk. Namun, bagaimana pun, Kana sudah menyukai Yogas apa adanya. Kana malah
ingin menemani Yogas menjalani hari demi hari, dan Kana sudah berjanji tidak akan ada
penyesalan. Kana menarik napas dan menghelanya mantap. Apa pun yang terjadi, dia tidak akan melepaskan
Yogas. Kana akan selalu ada untuk Yogas walaupun Yogas setengah mati menolak.
Kana tersenyum memikirkan tampang cemberut Yogas, kemudian jatuh tertidur.
*** Keesokan paginya, Kana bangun dengan semangat baru. Kata-kata kejam Yogas kemarin sudah
dilupakannya. Dia bertekad untuk memulai usahanya lagi hari ini.
Kana menatap cermin, matanya tampak sudah baikan setelah tidur semalam. Sekarang, yang
Kana rasakan hanyalah lapar sejak semalam dia belum makan. Kana cepat-cepat membuka pintu,
dan Yogas tiba-tiba lewat.
Yogas dan Kana saling tatap sampai akhirnya Yogas melengos menuju kamarnya. Kana
tersenyum simpul. "Abis dari mana, Gas?" tanya Kana riang membuat Yogas menoleh dengan
tampang bloon, seperti tidak percaya Kana masih baik-baik saja dan bisa menyapanya seperti itu.
Sebenarnya, Kana mau tertawa melihat ekspresi Yogas, tetapi ditahannya.
"Kenapa?" tanya Kana sambil nyengir. "Aku cantik, ya?"
Tampang Yogas jadi tambah bloon setelah mendengar kata-kata Kana. Masih dalam keadaan
syok berat, Yogas membuka pintu kamarnya dan masuk, meninggalkan Kana yang cengengesan
di luar. Yogas melepas jumpernya, lalu melemparnya ke kasur. Dia mengambdan meminumnya
sementara otaknya terus berpikir keras, bertanya-tanya mengapa Kana bisa sweriang itu setelah
kejadian dua malam lalu. Yogas terduduk di kasur, tetapi masih belum menemukan jawabannya. Cewek itu terlalu sukar
untuk ditebak. *** "Yogaaaaas! Makan malam!" seru Kana membuat mata Yogas terbuka.
Yogas masih sedikit mengantuk setelah tadi tertidir selama beberapa jam. Kamarnya masih gelap
gulita. Yogas bergerak sedikit, tetapi menolak untuk bangun.
"Yoooogaaaas!!" seru Kana lagi membuat Yogas batal memejamkan matanya. Yogas mengerjapngerjapkan mata, berusaha mengumpulkan setengah nyawanya yang masih hilang. Dia bersandar
pada tembok sementara Kana mengetuk pintu kamarnya lagi.
"Yogas, aku tahu kau ada di dalam. Buka, atau aku dobrak nih," ancam Kana membaut Yogas
menatap ke arah pintu. Dari jendela, tampak bayangan Kana yang sedang berkacak pinggang.
Sambil menghela napas, Yogas menyalakan lampu di jam tangannya sehingga empat angka
digital tertera do dana. 20:11. Berarti Yogas sudah ketiduran empat jam.
Yogas menggaruk kepalanya, pandangannya tertuju pada bayangan Kana yang masih setia
berdiri di depan kamarnya. Pikirannya melayang pada kejadian dua malam lalu, saat cewek itu
menyatakan perasaannya padanya. Perasaan yang akn diterima Yogas dengan senang hati kalai
saja dia tidak memliki penyakit mematikan seperti ini.
Yogas benar-benar tidak mengerti Kana. Cewek itu masih saja mendekatinya walaupun sudah
ditolak. Kenapa cewek itu masih bisa seceria ini"
The Truth About Forever Karya Orizuka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Gas" Gas" Kamu pingsan ya?" seru Kana dari luar, menyangka Yogas pingsan karena tidak
kunjung membuka pintu. "Aku panggilin Mas Ono biar didobrak ya!"
Yogas segera menyeret tubuhnya ke pintu walaupun kepalanya pusing. Dia tidak mau ada acara
pendobrakan atau apa pun itu. Yogas membuka pintu dan mendapati Kana sedang nyengir di
depannya. Yogas menatapnya tidak suka.
"Akhirnya... keluar juga," kata Kana dengan cengiran puas.
"Mau apa?" tanya Yogas, sadar telah dibohongi.
"Ni." Kana menyodorkan kotak makanan. "Tetangga selametan rumah baru, terus kita-kita pada
dikasih deh. Ini jatah kamu."
Yogas melirik kotak makanan itu. Kalau Yogas menerimanya, berarti semuanya akan terulang
lagi. Semuanya akan kembali ke awal. Yogas segera berpikir keras, sementara kana menatapnya
maklum. "Gue gak laper,' Kana menirukan intonasi dan mimik cuek Yogas yang biasanya. "Gue gak
butuh. Udah gue bilang, jangan peduliin gue."
Yogas menatap Kana tanpa ekspresi sementara Kana terkekeh. Kana menepuk bahu Yogas dan
menatapnya serius. "Aku tahu, Gas. Tapi, aku peduli sama kamu, dan kamu gak punya hak untuk ngelarang aku,"
ujar kana sungguh-sungguh. "Mau kamu tolak aku berapa kali, keputusanku sama. Aku bakal
tetep suka sama kamu."Yogas mengeraskan rahangnya. Tanpa banyak omong, dia memegang
tangan Kana yang tadi ada di bahunya dan menggenggamnya. Kana menatap Yogas tak percaya.
Yogas menarik Kana dan berderap ke lantai atas.
Kana hanya pasrah mengikutinya dengan hati berdebar. Kaki Kana lemas sejalan dengan
menguatnya genggaman Yogas di tangannya. Tangan Yogas begitu besar dan hangat. Kana mau
melakukan apa saja asal tangan itu tidak melepas tangannya.
Sesampainya di lantai tiga, Yogas melepas tangan Kana. Kana menatap punggung Yogas yang
lebar, benar-benar tidak menyangka akhirnya Yogas akan menyambut perasaannya.
"Gas..." "Lo tahu, kayaknya gue gak bisa bohong lebih lama lagi sama lo," kata Yogas membuat Kana
tidak jadi bicara. Kana mengernyit, tidak mengerti maksud perkataan Yogas. "Ada yang belum
lo tahu tentang gue."
"Apa?" tanya Kana.
Yogas berbalik, lalu menatap Kana dengan tatapan yang tidak pernah dilihatnya sebelumnya.
Tatapan ini begitu ramah, tetapi juga menyiratkan kesedihan.
"Gue gak tega liat lo terus-terusan begini,ujar Yogas lagi. "Jadi, sekarang gue bakal jujur sama
lo." Kana menatap Yogas yang tampak sangat serius. Cowok itu sekarang berjalan ke pagar pembatas
dan bersandar di sana. Kana mengikutinya dalam diam.
"Lo tahu kan, kenapa gue bisa kena HIV?" tanya Yogas membuat Kana mengangguk.
"Tapi, itu sudah bukan masalah, Gas. Itu kan sudah masa lalu," jawab Kana cepat. Yogas
menatap Kana dan mendesah.
"Lo juga tahu, kenapa gue di sini?" tanya Yogas lagi.
"Ng... karena kamu nyari cewek kamu," jawab Kana ragu sementara Yogas menghela napas.
"Cewek, ya..." katanya sambil menatap langit, lalu beralih pada Kana. "Denger, apa yang
bakalan lo denger ini mungkin bisa bikin lo kaget. Lo udah siap?"
Kana menatap Yogas bingung. Saat ini, Yogas benar-benar menakutkan. Kana punya firasat dia
tidak ingin mendengar apa pun. Namun, sebelum dia sempat biacara, Yogas sudah
mendahuluinya. "Gue di sini emang nyari orang yang nularin gue penyakit ini," kata Yogas, matanya tidak
menghindari mata Kana. "Tapi, sayangnya, orangnya bukan cewek."
Mata Kana melebar mendengar perkataan Yogas. Tangan dan kakinya langsung terasa dingin.
Kana tidak ingin mempercayainya.
"Jadi, lo tahu sendiri kan kesimpulannya?"" kata Yogas hati-hati. "Gue sebenernya..."
"NGGAAKK!" seru Kana tiba-tiba. Tangannya menutup kedua telinganya rapat-rapat. Kotak
makanan yang tadi dibawanya sudah jatuh, isinya berhamburan di lantai.
Yogas menatap Kana putus asa. Kana sekarang sudah gemetar, tidak ingin mendengar lebih
lanjut. Yogas mendekati Kana dan memegang kedua tangannya, tetapi cewek itu bersikeras
menutup kedua telinganya.
"Denger..." kata Yogas lembut sementara Kana menggeleng-geleng. "Denger, maafin gue. Tapi,
mungkin ini kesalahan gue, karena dari awal gue gak jujur sama lo."
Kana masih menolak untuk menatap Yogas.
"Kamu... bohong, kan?" ujar kana lambat-lambat. Dia mengangkat pandangannya dari lantai dan
menatap Yogas lekat. "Kamu bohong, iya, kan" Ini cuma salah satu cara kamu lagi supaya aku
berhenti suka sama kamu, iya kan?"
Yogas menatap Kana yang matanya sudah berair, lalu menghela napas.
"Gue gak bohong..."
"BOHONG!" seru Kana histeris. "Kamu kejam, Gas! Kenapa kamu ngelakuin segala cara buat
ngejauhin aku dari kamu?"
Selama beberapa saat, Yogas tak bersuara, bingung menghadapi cewek mungil yang tampak
rapuh di depannya. Yogas mengeluarkan selembar foto yang sudah kusut dari saku celananya
dan mengukurkannya pada Kana. Awalnya, Kana tak mau menerima, tetapi akhirnya dia
memegangnya juga meskipun dengan tangan yang gemetar.
Kana tertegun melihat foto itu. Di sana, Yogas sedang dirangkul oleh seorang cowok yang kirakira sebayanya. Mereka memakai seragam SMA. Di dalam foto itu, Yogas tampak ceria, dengan
senyum lebar yang tak pernah dilihat Kana.
"Namanya Joe," jelas Yogas tanpa diminta. "Dia sekelas sama gue waktu SMA."
Kana memberanikan diri menatap Yogas meskipun air matanya sudah mengalir. Dia ingin
bertanya, tetapi lidahnya kelu.
"Gimana kisah gue sama dia, lo gak harus tahu. Tapi, sekarang lo tau kan, kenapa. Gue gak bisa
nerima lo?" Yogas menatap Kana dengan senyum lemah. "Gue bener-bener gak bisa ngeliat lo
sedih lagi." Kana sudah jatuh terduduk sambil terisak. Dia benar-benar tidak menyangka kalau alasan Yogas
selama ini tidak mau menerimanya adalah karena Yogas seorang gay.
Yogas menghampiri Kana dan berjongkok di depannya.
"Lo jijik sama gue sekarang?" tanya Yoas, tetapi Kana tak lengsung menjawab. Yogas menghela
napas. "Tapi, gue berhak menrima itu. Disukain sama cewek sebaik lo, gue bener-bener
bersyukur. Sekarang, kalo lo jijik sama gue, ini hukuman buat gue karena selama ini udah bikin
lo nangis." Isakan Kana semakin keras. Dadanya benar-benar sakit karena pengakuan Yogas. Kalau selama
ini Yogas tidak mau menerrimanya karena Yogas takut merepotkan, Kana bisa menerima.
Namun, kalo Yogas adalah seorang gay" Kana terlalu takut untuk menerima kenyataan itu,
karena dengan demikian, Yogas sudah tidak mungkin lagi untuk diraih.
Yogas menatap cewek yang seluruh badannya berguncang itu. Yogas ingin sekali mendekapnya
untuk menenangkannya, tetapi Yogas harus menahan semua keinginannya itu.
"Kalo lo mau gue pergi, sekarang juga gue pergi dari sini, kata Yogas lagi, membuat kana
mendongak. Gue gak akan ganggu lo lagi."
Kana, yang belum sanggup bicara, tiba-tiba meraih kaus Yogas. Yogas menatap Kana yang
menggeleng lemah. "Bukan salah kamu," ujar Kana di sela-sela isakannya. "Jangan pergi."
Yogas menarik cewek itu dan menariknya ke pelukannya. Yogas mendekap cewek itu erat
sementara Kana terus terisak. Sekarang, Yogas benar-benar ingin waktu berhenti.
"Gas..." kata Kana. "Kalo kamu bilang kamu bohong sekarang, aku masih bisa maafin kamu."
Seketika Yogas kembaldarnya. Dia melepaskan Kana dan menatap mata cewek itu dalam-dalam.
"Maaf," kata Yogas menbuat Kana kembali terisak. "Tapi, gue seneng bisa ketemu orang kayak
lo. Suatu saat lo pati bisa ketemu sama orang yang jauh lebih baik dari gue."
Kana masih terisak sampai akhirnya Yogas memgang kedua pipi Kana dan menghapus air
matanya. Yogas menatap mata Kana dalam-dalam.
"Kana," kata Yogas membuat mata Kana melebar tak perccaya. "Maaf. Dan, terima kasih."
Setelah mengatakannya, Yogas berdiri dan bergerak turun sementara Kana masih terpaku. Kana
memgang pipinya sendiri, mencoba untuk merasakan kembali kehangatan tangan Yogas. Kana
kemudian terisak lagi, setelah suara Yogas saat memanggil namanya untuk pertama kalinya
bergaung di kepalanya. Kenyataan ini terlalu menyakitkan.
*** Eno sedang mengetik skripsinya saat terdengar suara ketuka keras di pintu. Eno melirik jam.
Sepuluh lebih sepuluh. Heran, eno menghampiri pintu dan membukanya. Yogas segera masuk
dengan terburu-buru. Napasnya tersengal, sama seperti kemarin malam.
"Gas" Sekarang kenapa lagi?" tanya Eno bingung sementara Yogas mondar-mandir seperti orang
linglung. "Untuk sementara ini beres," gumam Yogas kalut.
Eno menatapnya cemas. "Gas" Apanya yang beres?"
"Untuk sementara ini, gak usah cari kost dulu," kata Yogas lagi, lalu memgang kedua bahu Eno.
"Sekarang, kita fokusin buat nyari Joe dulu."
"Kenapa sih?" tanya Eno, gerah sendiri melihat kelakuan sahabatnya yang persis seperti orang
tidak waras. "Kenapa gak jadi pindah kost" Lo apain cewek itu sampe dia nyerah?"
"Gak penting," Yogas menjambak-jambak rambutnya sendiri. "Sekarang..."
"Gas, liat gue!" Eno menarik kaus Yogas sehingga Yogas mau tidak mau menghadap temannya
itu. "Gak mungkin gak penting kalo kelakuan lo jadi aneh begini!"
Yogas menatap Eno kesal. Dia melepaskan I dari cengkeraman Eno.
"Udahlah, No, yang penting udah beres," ujar Yogas lalu mengangguk-angguk sendiri. "Besok
kampus mana ya..." Eno membalik tubuh Yogas dan memukulnya tepat di pelipis hingga terjatuh. Yogas mengerang
kesakitan sambil menatap temannya itu garang.
"Apa maksud lo, No?" seru yogas tak terima.
"Lo udah sinting, Gas!" sahut Eno emosi.
"Gue bukan sinting, No, geu penyakitan!" Yogas balas menyahut, lalu tertawa sendiri. Eno
menggeleng tak percaya. Dia menarik kaus Yogas dan meninju wajahnya sekali lagi. Bibir
Yogas sekarang sobek. Darah mengalir dari bibir Yogas, tetapi Yogas tak melakukan apa pun. Tinjuan Eno yang
terakhir sudah membuatnya sadar.
"Apa gas?" tanya Eno geram. "Apa yang lo bilang sama dia?"
"Gue bilang kalo gue gay," jawab Yogas membuat cengkeram Eno pada kausnya lepas. "Gue
udah bikin dia percaya kalo gue nyari Joe gara-gara dia nularin gue HIV lewat hubungan seks."
Eno mundur perlahan mendengar cerita Yogas. Dia tidak bisa mempercayai pendengarannya.
"Tapi, kenapa...," katanya tercekat. "Kenapa lo harus berbuat sejauh ini?"
Yogas terkekeh, dia meraih tisu gulung di dekatnya dan mengelap darah yang sudah mengalir ke
dagunya. "Tapi, gue berhasil, kan" Dengan begini, dia gak bakal ngedeketin gue lagi," kata Yogas. "Dia
udah. Nyerah. Sekarang gue bebas dari masalah gak penting ini."
"Gak penting, ya?" ulang Eno. "Lo sampe mau gila begini, dan lo masih bilang ini bukan
masalah penting?" Yogas terdiam sejenak, lalu menatap Eno garang. Tanpa diduga Eno, Yogas tiba-tiba bangkit dan
menyerbu Eno. Eno berhasil kena bogem mentahnya sampai terpelanting.
Antara Budi Dan Cinta 5 Pembakaran Kuil Thian Lok Si Karya Kho Ping Hoo Dendam Pendekar Gila 2
utang budi sama lo. Jadi, mending lo bilang aja gue harus bayar pake apa. Apa pun gue lakuin."
Saat setetes air mata jatuh di pipinya, Kana segera menyekanya. Dia tidak tahu lagi harus
bagaimana menghadapi Yogas. Sekarang, dia sangat membenci Yogas dengan segala sikap
menyebalkannya itu. "Gas, kalo kamu bener-bener pengen bayar, bayar dengan perubahan sikapmu," kata Kana tegas.
"Mulai sekarang, jangan pernah lakuin ini lagi sama aku. Jangan pernah ngomong hal-hal kasar
lagi sama aku. Itu bayarannya. Bisa?"
Yogas menatap Kana lama. Kana membalasnya dengan berani. Yogas kemudian terkekeh,
membuat Kana bingung. "Lo pinter banget ya," kata Yogas, masih tertawa pelan. Dia berhenti tertawa dan menatap Kana
tajam. "Lo pinter banget akting. Harusnya lo jadi artis bukan penulis."
Kana menatap Yogas tak percaya sementara Yogas bergerak ke kamar. Sebelum Yogas masuk
ke kamarnya, dia menoleh pada Kana yang masih membatu.
"Akting lo bikin gue hampir percaya. Gue salut sama lo," katanya, lalu masuk dengan
membanting pintu. Kana masih terdiam untuk beberapa lama, sampai akhirnya air matanya kembali menetes dan
kakinya tak kuat untuk menopangnya. Dia jatuh terduduk di depan kamarnya dengan air mata
mengalir deras. Tadi, Kana tak bisa membalas perkataan Yogas, karena dia tahu Yogas benar. Selama ini, Kana
begitu munafik di depan Yogas, mengatakan hal-hal yang baik, padahal hatinya masih ragu.
Orang seperti Kana tidak layak untuk menemani Yogas.
Bukan salah Yogas kalau dia menganggap kebaikan Kana selama ini hanyalah akting. Kana tahu
betul akan hal itu, tetapi dia tidak tahu apa yang membuatnya sesakit ini.
I'll do Anything Lian melirik Kana cemas yang sedari tadi hanya menerawang dengan mata sembap dan tidak
memperhatikan kelas. Lian yakin ini lagi-lagi soal tetangganya itu, tetapi kalau dia bertanya,
pasti Kana akan menangis di tengah kelas.
Lian meraih tangan Kana yang dingin, kemudian menggenggamnya. Dia tahu, sahabatnya itu
pasti sudah mengalami banyak hal menyedihkan dengan Yogas. Lian tidak ingin itu terjadi,
karena Kana baru dua puluh tahun dan tidak layak mengalami hal-hal seperti itu. Umur segini,
Kana harusnya sedang menikmati masa-masa pacaran pertamanya dengan cowok keren, baik dan
normal. Lian menghela napas. Bukan salah Yogas kalau dia mengidap penyakit. Atau memang salahnya,
karena ini HIV. Entahlah, Lian sama sekali tidak tahu apa-apa soal Yogas. Masalahnya adalah,
sahabatnya ini sudah terlibat begitu jauh dengan cowok itu dan dia bisa benar-benar hancur kalau
terus-terusan begini. Sampai sekarang, Lian tidak habis pikir, kenapa orang yang pertama membuat Kana jatuh cinta
harus orang seperti Yogas. Kenapa takdir spertinya begitu kejam pada Kana.
Tiba-tiba, Lian tersentak dan menatap Kana lagi. Dia memang tidak ingin Kana sakit hati karena
Yogas, tetapi dia juga tidak ingin melihat sahabatnya seperti sekarang ini.
"Kan..." kata Lian pelan membuat Kana menoleh lemah. Matanya masih merah. "Kamu... kamu
tahu kenapa kamu bisa ketemu sama Yogas?"
Kana menatap Lian. "Mungkin... takdir?"
"Tepat," Lian mempererat genggamannya pada Kana. "Apa kamu gak pernah berpikir kalo
Tuhan punya maksud tertentu dengan mempertemukan kalian?"
Kana menatap Lian lekat-lekat, berusaha menebak jalan pikirannya.
"Tuhan mungkin berpikir... kalau kamu adalah satu-satunya orang yang sanggup bertahan untuk
Yogas. Makanya, dia mempertemukan Yogas sama kamu," lanjut Lian membuat Kana ingin
menangis lagi. "Karena tahu kamu pasti bisa bertahan, makanya Dia mempertemukan kalian.
Makanya... jangan menyerah!"
Lian tidak percaya dia bisa mengatakan ini pada sahabatnya. Dia pasti sudah gila karena
mendukung hubungan Kana dengan Yogas. Namun, bagaimanapun, Lian tahu Kana pasti
menyukai Yogas dan sudah sangat berkorban demi perasaannya itu. Lian tidak mau melihat
Kana menyesali cinta pertamanya.
Sekarang, Kana sudah menangis tak terkendali. Tubuhnya terguncang, menangisi kebodohannya
karena sudah ragu pada perasaannya sendiri. Inilah yang semalam membuatnya sangat sakit hati.
Yogas sudah menganggap perasaannya hanya akting.
*** Sudah berjam-jam Kana duduk di atas kasurnya sambil memeluk guling dengan mata
menerawang. Dia sudah banyak berpikir dan sudah sampai pada keputusannya. Dia tak akan
menyesali keputusannya itu, apa pun yang akan terjadi.
Kana melirik jam. Sudah pukul sebelas malam, dan Yogas belum pulang juga. Kana bangkit,
membuka pintunya, lalu mellirik kamar Yogas yang masih gelap. Kana menghela napas, lalu
bergerak ke kamar mandi. Langkah Kana terhenti saat dia melihat pintu tingkap ke lantai tiga terbuka lebar. Mungkinkah
itu Yogas" Kana menatap pintu itu ragu, lalu bergerak naik diam-diam dan mengintip ke lantai
tiga. Yogas tampak sedang berbaring di lantai, matanya menatap langit malam. Kana merasa
jantungnya berdegup kencang dan sekujur tubuhnya dingin saat melihat sosok itu. Kana
memberanikan diri untuk membuka pintu dan mendatanginya.
Yogas menoleh dan begitu mendapati Kana di pintu, dia langsung bangkiut. Setelah
membersihkan celananya dia bergerak, bermaksud turun. Dia sama sekali tidak ingin berduaduaan lagi dengan Kana setelah semua yang terjadi.
"Tunggu, Gas," kata Kana membuat Yogas menatapnya. Kana balas menatapnya ragu selama
beberapa saat. "Apa?" tanya Yogas ketus. "Ada yang mau dibicarain" Karena gue gak ada.
"Ada," jawab kjana. Sekarang, hatinya sidah mantap. Dia tidak akan mundur lagi.
Yogas mengernyit, tidak mengerti apa bahan pembuat hati Kana. Setelah dikata-katai macammacam, dia tetap saja mau berbicara dengan Yogas.
"Apa?" tanya Yogas lagi, tak berminat.
"Aku... suka sama kamu," ujar Kana tegas membuat Yogas melongo. "Walaupun dulu kamu
pernah bilang jangan suka sama kamu, sudah terlambat. Aku sudah suka sama kamu."
Yogas tak bisa berkata apa pun. Menggerakkan satu syarafnya pun dia tak sanggup. Yogas hanya
bisa menatap kana tak percaya. Matanya sudah berair karena belum berkedip sejak Kana selesai
bicara. "Ini bukan akting, Gas. Aku jujur. Mungkin, kemaren aku pernah ragu, tapi sekarang aku udah
yakin kalo aku suka sama kamu," kata Kana lagi, membuat kepala Yogas sakit. "Mulai sekarang,
sesakit apa pun, seberat apa pun, aku bakal tetep..."
"Tolong jangan ngomong sesuatu yang gak bertanggung jawab," potong Yogas geram.
Rahangnya mengeras. "Jangan ngomong hal-hal yang gak bisa lo pertanggungjawabin."
"Aku." "Apa lo sadar dengan omongan lo, hah?" bentak Yogas menbuat Kana terdiam. "Lo sadar lo
udah bikin diri lo masuk ke dalam masalah apa?"
"Aku... sadar..."
"Gak! Lo gak sadar!" sahut Yogas. "Denger, ini bukan masalah kecil! Suka atau apa pun itu, itu
gak bisa menolong!" "Tapi, Gas, aku bener-bener sayang sama kamu..."
Yogas menatap cewek di depannya nanar.
"Kalo lo sayang, terus lo mau apa" Nemenin gue sampe gue mati?" tanya Yogas membuat Kana
terdiam. "Lo siap dengan hujatan orang-orang nanti" Lo siap kehilangan masa depan lo demi
gue?" Kana menatap Yogas. Sesaat, dia ragu, tetapi dia tidak akan mundur.
"Aku siap!" sahut Kana tegas.
"Diam!" bentak Yogas frustasi. "Jangan ngomong seenaknya! Lo sama sekali gak tahu apa-apa!
Gue udah gak sanggup nahan beban gue sendiri, jangan tambahin beban gue dengan perasaan
lo!" Kana menatap yogas lagi, air matanya sudah mengalir. Yogas sendiri sudah pucat.
"Kita bisa bagi beban kita, Gas," jawab Kana, sebisa mungkin berusaha untuk tidak terisak.
Yogas terdiam untuk beberapa saat.
"Denger," kata Yogas, emosinya sudah reda. "Lo masih muda. Lo sehat. Lo punya masa depan.
Jadi, tolong jangan hancurin itu semua demi perasaan lo sama orang yang gak berharga kayak
gue. Gue sama sekali gak sebanding sama masa depan lo. Apa lo bisa ngerti?"
Kana sudah terisak. Yogas sebisa mungkin menatap apa saja selain Kana.
"Perasaan lo ke gue itu... cuma sementara. Lo cuma simpati," kata Yogas lagi. "Gue minta sama
lo, tolong jangan pernah ngomong hal-hal yang kayak gini lagi. Gue... capek."
Yogas kemudian berbalik, bermaksud turun. Namu, tiba-tina, tangannya dicengkeram oleh Kana.
Detik berikutnya, tangan Kana sudah memeluk Yogas dari belakang. Lagi-lagi, yogas membatu,
tak bisa menggerakkan satu pun anggota tubuhnya.
"Gas... Aku ngerti gimana perasaan kamu. Aku tahu kamu pasti gak mau ngerepotin orang lain.
Tapi, aku sudah bikin keputusan, Gas!" kata Kana di antara isakannya. "Gas... Kamu tahu kenapa
kita ketemu?" Yogas tak bisa menjawab. Seluruh syarafnya dimatikan oleh dua tangan yang melingkari
pinggangnya. "Karena ini takdir kita, Gas," kata Kana pelan. Dia mempererat pelukannya pada Yogas yang
masih bergeming. "Jadi, jangan menghindar lagi."
Ada jeda beberapa lama sampai akhirnya Yogas tersadar dari alam khayalnya yang indah. Yogas
menghela napas. "Gue... gak pernah percaya takdir," katanya dingin. Dia melepaskan tangan Kana, lalu bergerak
menuju pintu tanpa sekali pun menoleh ke belakang lagi.
Kana terduduk lemas di lantai semen yang dingin, terisak hebat sampai dadanya terasa sakit.
Kana tidak pernah menyangka mencintai ternyata sesakit ini.
*** "Takdir ... itu kejam ya," kata Yogas dengan mata menerawang.
Eno meliriknya simpati. Dia tahu, apa pun yang terjadi semalam bukanlah hal yang bagus, dilihat
dari ekspres Yogas yang seperti sudah mau mati.
Saat ini, mereka sedang berada di kost Eno karena hari ini Eno libur bekerja dan kuliah.
Semalam, Yogas tiba-tiba muncul di depan kamarnya dan langsung pingsan karena berlari dari
kost-nya. Sekarang setelah siuman, dia seperti mayat hidup.
'Udah tahu gue sekarat, masih aja diketemuin sama cewek itu," Yogas meracau dengan suara
serak, masih menatap langit-langit kamar Eno.
Eno menghela napas. Tentu saja, soal cewek itu. Cewek bernama Kana yang selama beberapa
minggu ini sudah banyak membantu Yogas. Cewek yang mungkin saja disayangi Yogas.
"Ternyata gue masih kurang cobaan," kata Yogas lagi.
"Emangnya, sekarang apa lagi, Gas?" tanya Eno hati-hati.
"Dia bilang dia suka sama gue," ujar Yogas membuat mata Eno melebar. "Dia bilang, dia siap
kehilangan masa depannya demi gue. Dia bilang semua hal yang mau gue denger."
Eno menatap sahabatnya yang tampaknya sudah tak berdaya itu. Yogas masih menatap langitlangit, rahangnya sudah mengeras.
"Kalau begini terus... Dia bisa bikin gue gak mau mati. Dia bisa bikin gue maruk mau hidup,"
lanjutnya. "Kalo gitu, hidup, Gas," balas Eno.
"No, gue mau hidup," ujar Yogas, air matanya sudah mengalir. "Gue gak mau mati. Tapi, gue
bisa apa" Gue udah divonis, No. Dan gue gak bisa melihat dia menderita nantinya."
Eno mengalihkan pandangan, tidak ingin melihat air mata sahabatnya.
"Gue gak bisa egois. Cukup gue aja yang menderita," lajut Yogas dengan suara tercekat. "Dari
awal, pertemuan gue sama dia itu kesalahan."
Yogas menarik napas dan menghelanya pelan.
"Tapi, sebenernya, lo juga suka sama dia kan, Gas?" tanya Eno membuat Yogas terdiam sesaat.
"Kalo suka... terus apa?" kaYogas sambil memijat dahinya.
Eno tahu, itu hanya cara untuk mneyembunyikan air mata yang terus menerus mengalir. Eno
merasa tidak bisa berbuat apa-apa untuk membantunya. Yogas sudah terlalu jauh untuk digapai.
*** Kana mendengar ketukan pintu di kamarnya, tetapi dia menolak untuk bangun. Dia tahu itu
tantenya yang memanggilnya untuk makan malam. Kana sama sekali tidak punya nafsi makan
setelah kejadian semalam. Sepanjang malan, Kana hanya menangis dan sekarang matanya sudah
bengkak. Sekarang, Kana nyaris tidak punya air mata lagi untuk menangisi Yogas. Kana hanya menatap
dinding di depannya, pikirannya penuh oleh kejadian semalam. Kana tidak tahu apa Yogas ada di
kamarnya atau sudah pergi lagi.
Kalau teringat pada kata-kata Yogas kemarin, Kana segera menangis lagi. Kana tahu benar
Yogas hanya berusaha melindunginya dengan mengatakan hal-hal kejam. Yogas tidak peernah
berniat buruk. Namun, bagaimana pun, Kana sudah menyukai Yogas apa adanya. Kana malah
ingin menemani Yogas menjalani hari demi hari, dan Kana sudah berjanji tidak akan ada
penyesalan. Kana menarik napas dan menghelanya mantap. Apa pun yang terjadi, dia tidak akan melepaskan
Yogas. Kana akan selalu ada untuk Yogas walaupun Yogas setengah mati menolak.
Kana tersenyum memikirkan tampang cemberut Yogas, kemudian jatuh tertidur.
*** Keesokan paginya, Kana bangun dengan semangat baru. Kata-kata kejam Yogas kemarin sudah
dilupakannya. Dia bertekad untuk memulai usahanya lagi hari ini.
Kana menatap cermin, matanya tampak sudah baikan setelah tidur semalam. Sekarang, yang
Kana rasakan hanyalah lapar sejak semalam dia belum makan. Kana cepat-cepat membuka pintu,
dan Yogas tiba-tiba lewat.
Yogas dan Kana saling tatap sampai akhirnya Yogas melengos menuju kamarnya. Kana
tersenyum simpul. "Abis dari mana, Gas?" tanya Kana riang membuat Yogas menoleh dengan
tampang bloon, seperti tidak percaya Kana masih baik-baik saja dan bisa menyapanya seperti itu.
Sebenarnya, Kana mau tertawa melihat ekspresi Yogas, tetapi ditahannya.
"Kenapa?" tanya Kana sambil nyengir. "Aku cantik, ya?"
Tampang Yogas jadi tambah bloon setelah mendengar kata-kata Kana. Masih dalam keadaan
syok berat, Yogas membuka pintu kamarnya dan masuk, meninggalkan Kana yang cengengesan
di luar. Yogas melepas jumpernya, lalu melemparnya ke kasur. Dia mengambdan meminumnya
sementara otaknya terus berpikir keras, bertanya-tanya mengapa Kana bisa sweriang itu setelah
kejadian dua malam lalu. Yogas terduduk di kasur, tetapi masih belum menemukan jawabannya. Cewek itu terlalu sukar
untuk ditebak. *** "Yogaaaaas! Makan malam!" seru Kana membuat mata Yogas terbuka.
Yogas masih sedikit mengantuk setelah tadi tertidir selama beberapa jam. Kamarnya masih gelap
gulita. Yogas bergerak sedikit, tetapi menolak untuk bangun.
"Yoooogaaaas!!" seru Kana lagi membuat Yogas batal memejamkan matanya. Yogas mengerjapngerjapkan mata, berusaha mengumpulkan setengah nyawanya yang masih hilang. Dia bersandar
pada tembok sementara Kana mengetuk pintu kamarnya lagi.
"Yogas, aku tahu kau ada di dalam. Buka, atau aku dobrak nih," ancam Kana membaut Yogas
menatap ke arah pintu. Dari jendela, tampak bayangan Kana yang sedang berkacak pinggang.
Sambil menghela napas, Yogas menyalakan lampu di jam tangannya sehingga empat angka
digital tertera do dana. 20:11. Berarti Yogas sudah ketiduran empat jam.
Yogas menggaruk kepalanya, pandangannya tertuju pada bayangan Kana yang masih setia
berdiri di depan kamarnya. Pikirannya melayang pada kejadian dua malam lalu, saat cewek itu
menyatakan perasaannya padanya. Perasaan yang akn diterima Yogas dengan senang hati kalai
saja dia tidak memliki penyakit mematikan seperti ini.
Yogas benar-benar tidak mengerti Kana. Cewek itu masih saja mendekatinya walaupun sudah
ditolak. Kenapa cewek itu masih bisa seceria ini"
"Gas" Gas" Kamu pingsan ya?" seru Kana dari luar, menyangka Yogas pingsan karena tidak
kunjung membuka pintu. "Aku panggilin Mas Ono biar didobrak ya!"
Yogas segera menyeret tubuhnya ke pintu walaupun kepalanya pusing. Dia tidak mau ada acara
pendobrakan atau apa pun itu. Yogas membuka pintu dan mendapati Kana sedang nyengir di
depannya. Yogas menatapnya tidak suka.
"Akhirnya... keluar juga," kata Kana dengan cengiran puas.
"Mau apa?" tanya Yogas, sadar telah dibohongi.
"Ni." Kana menyodorkan kotak makanan. "Tetangga selametan rumah baru, terus kita-kita pada
dikasih deh. Ini jatah kamu."
Yogas melirik kotak makanan itu. Kalau Yogas menerimanya, berarti semuanya akan terulang
lagi. Semuanya akan kembali ke awal. Yogas segera berpikir keras, sementara kana menatapnya
maklum. "Gue gak laper,' Kana menirukan intonasi dan mimik cuek Yogas yang biasanya. "Gue gak
butuh. Udah gue bilang, jangan peduliin gue."
Yogas menatap Kana tanpa ekspresi sementara Kana terkekeh. Kana menepuk bahu Yogas dan
menatapnya serius. "Aku tahu, Gas. Tapi, aku peduli sama kamu, dan kamu gak punya hak untuk ngelarang aku,"
ujar kana sungguh-sungguh. "Mau kamu tolak aku berapa kali, keputusanku sama. Aku bakal
tetep suka sama kamu."Yogas mengeraskan rahangnya. Tanpa banyak omong, dia memegang
tangan Kana yang tadi ada di bahunya dan menggenggamnya. Kana menatap Yogas tak percaya.
Yogas menarik Kana dan berderap ke lantai atas.
Kana hanya pasrah mengikutinya dengan hati berdebar. Kaki Kana lemas sejalan dengan
menguatnya genggaman Yogas di tangannya. Tangan Yogas begitu besar dan hangat. Kana mau
melakukan apa saja asal tangan itu tidak melepas tangannya.
Sesampainya di lantai tiga, Yogas melepas tangan Kana. Kana menatap punggung Yogas yang
lebar, benar-benar tidak menyangka akhirnya Yogas akan menyambut perasaannya.
"Gas..." "Lo tahu, kayaknya gue gak bisa bohong lebih lama lagi sama lo," kata Yogas membuat Kana
tidak jadi bicara. Kana mengernyit, tidak mengerti maksud perkataan Yogas. "Ada yang belum
lo tahu tentang gue."
"Apa?" tanya Kana.
Yogas berbalik, lalu menatap Kana dengan tatapan yang tidak pernah dilihatnya sebelumnya.
Tatapan ini begitu ramah, tetapi juga menyiratkan kesedihan.
"Gue gak tega liat lo terus-terusan begini,ujar Yogas lagi. "Jadi, sekarang gue bakal jujur sama
lo." Kana menatap Yogas yang tampak sangat serius. Cowok itu sekarang berjalan ke pagar pembatas
dan bersandar di sana. Kana mengikutinya dalam diam.
"Lo tahu kan, kenapa gue bisa kena HIV?" tanya Yogas membuat Kana mengangguk.
"Tapi, itu sudah bukan masalah, Gas. Itu kan sudah masa lalu," jawab Kana cepat. Yogas
menatap Kana dan mendesah.
The Truth About Forever Karya Orizuka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Lo juga tahu, kenapa gue di sini?" tanya Yogas lagi.
"Ng... karena kamu nyari cewek kamu," jawab Kana ragu sementara Yogas menghela napas.
"Cewek, ya..." katanya sambil menatap langit, lalu beralih pada Kana. "Denger, apa yang
bakalan lo denger ini mungkin bisa bikin lo kaget. Lo udah siap?"
Kana menatap Yogas bingung. Saat ini, Yogas benar-benar menakutkan. Kana punya firasat dia
tidak ingin mendengar apa pun. Namun, sebelum dia sempat biacara, Yogas sudah
mendahuluinya. "Gue di sini emang nyari orang yang nularin gue penyakit ini," kata Yogas, matanya tidak
menghindari mata Kana. "Tapi, sayangnya, orangnya bukan cewek."
Mata Kana melebar mendengar perkataan Yogas. Tangan dan kakinya langsung terasa dingin.
Kana tidak ingin mempercayainya.
"Jadi, lo tahu sendiri kan kesimpulannya?"" kata Yogas hati-hati. "Gue sebenernya..."
"NGGAAKK!" seru Kana tiba-tiba. Tangannya menutup kedua telinganya rapat-rapat. Kotak
makanan yang tadi dibawanya sudah jatuh, isinya berhamburan di lantai.
Yogas menatap Kana putus asa. Kana sekarang sudah gemetar, tidak ingin mendengar lebih
lanjut. Yogas mendekati Kana dan memegang kedua tangannya, tetapi cewek itu bersikeras
menutup kedua telinganya.
"Denger..." kata Yogas lembut sementara Kana menggeleng-geleng. "Denger, maafin gue. Tapi,
mungkin ini kesalahan gue, karena dari awal gue gak jujur sama lo."
Kana masih menolak untuk menatap Yogas.
"Kamu... bohong, kan?" ujar kana lambat-lambat. Dia mengangkat pandangannya dari lantai dan
menatap Yogas lekat. "Kamu bohong, iya, kan" Ini cuma salah satu cara kamu lagi supaya aku
berhenti suka sama kamu, iya kan?"
Yogas menatap Kana yang matanya sudah berair, lalu menghela napas.
"Gue gak bohong..."
"BOHONG!" seru Kana histeris. "Kamu kejam, Gas! Kenapa kamu ngelakuin segala cara buat
ngejauhin aku dari kamu?"
Selama beberapa saat, Yogas tak bersuara, bingung menghadapi cewek mungil yang tampak
rapuh di depannya. Yogas mengeluarkan selembar foto yang sudah kusut dari saku celananya
dan mengukurkannya pada Kana. Awalnya, Kana tak mau menerima, tetapi akhirnya dia
memegangnya juga meskipun dengan tangan yang gemetar.
Kana tertegun melihat foto itu. Di sana, Yogas sedang dirangkul oleh seorang cowok yang kirakira sebayanya. Mereka memakai seragam SMA. Di dalam foto itu, Yogas tampak ceria, dengan
senyum lebar yang tak pernah dilihat Kana.
"Namanya Joe," jelas Yogas tanpa diminta. "Dia sekelas sama gue waktu SMA."
Kana memberanikan diri menatap Yogas meskipun air matanya sudah mengalir. Dia ingin
bertanya, tetapi lidahnya kelu.
"Gimana kisah gue sama dia, lo gak harus tahu. Tapi, sekarang lo tau kan, kenapa. Gue gak bisa
nerima lo?" Yogas menatap Kana dengan senyum lemah. "Gue bener-bener gak bisa ngeliat lo
sedih lagi." Kana sudah jatuh terduduk sambil terisak. Dia benar-benar tidak menyangka kalau alasan Yogas
selama ini tidak mau menerimanya adalah karena Yogas seorang gay.
Yogas menghampiri Kana dan berjongkok di depannya.
"Lo jijik sama gue sekarang?" tanya Yoas, tetapi Kana tak lengsung menjawab. Yogas menghela
napas. "Tapi, gue berhak menrima itu. Disukain sama cewek sebaik lo, gue bener-bener
bersyukur. Sekarang, kalo lo jijik sama gue, ini hukuman buat gue karena selama ini udah bikin
lo nangis." Isakan Kana semakin keras. Dadanya benar-benar sakit karena pengakuan Yogas. Kalau selama
ini Yogas tidak mau menerrimanya karena Yogas takut merepotkan, Kana bisa menerima.
Namun, kalo Yogas adalah seorang gay" Kana terlalu takut untuk menerima kenyataan itu,
karena dengan demikian, Yogas sudah tidak mungkin lagi untuk diraih.
Yogas menatap cewek yang seluruh badannya berguncang itu. Yogas ingin sekali mendekapnya
untuk menenangkannya, tetapi Yogas harus menahan semua keinginannya itu.
"Kalo lo mau gue pergi, sekarang juga gue pergi dari sini, kata Yogas lagi, membuat kana
mendongak. Gue gak akan ganggu lo lagi."
Kana, yang belum sanggup bicara, tiba-tiba meraih kaus Yogas. Yogas menatap Kana yang
menggeleng lemah. "Bukan salah kamu," ujar Kana di sela-sela isakannya. "Jangan pergi."
Yogas menarik cewek itu dan menariknya ke pelukannya. Yogas mendekap cewek itu erat
sementara Kana terus terisak. Sekarang, Yogas benar-benar ingin waktu berhenti.
"Gas..." kata Kana. "Kalo kamu bilang kamu bohong sekarang, aku masih bisa maafin kamu."
Seketika Yogas kembaldarnya. Dia melepaskan Kana dan menatap mata cewek itu dalam-dalam.
"Maaf," kata Yogas menbuat Kana kembali terisak. "Tapi, gue seneng bisa ketemu orang kayak
lo. Suatu saat lo pati bisa ketemu sama orang yang jauh lebih baik dari gue."
Kana masih terisak sampai akhirnya Yogas memgang kedua pipi Kana dan menghapus air
matanya. Yogas menatap mata Kana dalam-dalam.
"Kana," kata Yogas membuat mata Kana melebar tak perccaya. "Maaf. Dan, terima kasih."
Setelah mengatakannya, Yogas berdiri dan bergerak turun sementara Kana masih terpaku. Kana
memgang pipinya sendiri, mencoba untuk merasakan kembali kehangatan tangan Yogas. Kana
kemudian terisak lagi, setelah suara Yogas saat memanggil namanya untuk pertama kalinya
bergaung di kepalanya. Kenyataan ini terlalu menyakitkan.
*** Eno sedang mengetik skripsinya saat terdengar suara ketuka keras di pintu. Eno melirik jam.
Sepuluh lebih sepuluh. Heran, eno menghampiri pintu dan membukanya. Yogas segera masuk
dengan terburu-buru. Napasnya tersengal, sama seperti kemarin malam.
"Gas" Sekarang kenapa lagi?" tanya Eno bingung sementara Yogas mondar-mandir seperti orang
linglung. "Untuk sementara ini beres," gumam Yogas kalut.
Eno menatapnya cemas. "Gas" Apanya yang beres?"
"Untuk sementara ini, gak usah cari kost dulu," kata Yogas lagi, lalu memgang kedua bahu Eno.
"Sekarang, kita fokusin buat nyari Joe dulu."
"Kenapa sih?" tanya Eno, gerah sendiri melihat kelakuan sahabatnya yang persis seperti orang
tidak waras. "Kenapa gak jadi pindah kost" Lo apain cewek itu sampe dia nyerah?"
"Gak penting," Yogas menjambak-jambak rambutnya sendiri. "Sekarang..."
"Gas, liat gue!" Eno menarik kaus Yogas sehingga Yogas mau tidak mau menghadap temannya
itu. "Gak mungkin gak penting kalo kelakuan lo jadi aneh begini!"
Yogas menatap Eno kesal. Dia melepaskan I dari cengkeraman Eno.
"Udahlah, No, yang penting udah beres," ujar Yogas lalu mengangguk-angguk sendiri. "Besok
kampus mana ya..." Eno membalik tubuh Yogas dan memukulnya tepat di pelipis hingga terjatuh. Yogas mengerang
kesakitan sambil menatap temannya itu garang.
"Apa maksud lo, No?" seru yogas tak terima.
"Lo udah sinting, Gas!" sahut Eno emosi.
"Gue bukan sinting, No, geu penyakitan!" Yogas balas menyahut, lalu tertawa sendiri. Eno
menggeleng tak percaya. Dia menarik kaus Yogas dan meninju wajahnya sekali lagi. Bibir
Yogas sekarang sobek. Darah mengalir dari bibir Yogas, tetapi Yogas tak melakukan apa pun. Tinjuan Eno yang
terakhir sudah membuatnya sadar.
"Apa gas?" tanya Eno geram. "Apa yang lo bilang sama dia?"
"Gue bilang kalo gue gay," jawab Yogas membuat cengkeram Eno pada kausnya lepas. "Gue
udah bikin dia percaya kalo gue nyari Joe gara-gara dia nularin gue HIV lewat hubungan seks."
Eno mundur perlahan mendengar cerita Yogas. Dia tidak bisa mempercayai pendengarannya.
"Tapi, kenapa...," katanya tercekat. "Kenapa lo harus berbuat sejauh ini?"
Yogas terkekeh, dia meraih tisu gulung di dekatnya dan mengelap darah yang sudah mengalir ke
dagunya. "Tapi, gue berhasil, kan" Dengan begini, dia gak bakal ngedeketin gue lagi," kata Yogas. "Dia
udah. Nyerah. Sekarang gue bebas dari masalah gak penting ini."
"Gak penting, ya?" ulang Eno. "Lo sampe mau gila begini, dan lo masih bilang ini bukan
masalah penting?" Yogas terdiam sejenak, lalu menatap Eno garang. Tanpa diduga Eno, Yogas tiba-tiba bangkit dan
menyerbu Eno. Eno berhasil kena bogem mentahnya sampai terpelanting.
"Terus lo mau gue gimana, No?" sahut Yogas kalap. "Selama ini, gue cerita ini itu sama lo, lo
masih belum ngerti juga, hah" Kalo gue bakal mati dan dia bakal menderita?""
Eno bangun, dia blas meninju perut Yogas.
"Lo mau mati kan, Gas?" seru Eno sementara Yogas menunduk menahan sakit. Eno kemudian
mendorongnya hingga Yogas terjatuh. "Lo mau mati, kan?" Mati sekarang aja lo, Gas!!"
Yogas menatap Eno sengit, tak bisa bangun karena tadi Eno meninjunya tepat di ulu hati.
"Mati sekarang atau nanti, sama aja Gas, dia bakal sama menderitanya!" sahut Eno lagi. "Tapi,
seenggaknya kalo lo jujur sama dia sekarang, dia bisa bahagia bareng lo walaupun cuma
sebentar!" Yogas menatap Eno lagi. "No, coba lo ngerti perasaan gue," kata Yogas pelan, emosinya sudah reda. "Gue bukannya gak
pernah mikirin ini. Tiap malem kepla gue mau pecah mikirin ini, tapi gue akhirnya tetep sampe
pada satu kesimpulan, dia gak boleh menghabiskan waktu sama orang kayak gue walaupun
sebentar." Yogas membetulkan duduknya sementara Eno masih bergeming.
"Kalo gue hentiin sekarang, dia pasti bisa nemu pengganti gue," kata Yogas. "Ntar juga dia lupa
sama gue." Eno menghela napas kesal, tak tahu harus mengatakan apa lagi pada orang keras kepala seperti
Yogas. "Lo pikir gimana perasaan gue ngeliat dia nangis?" kata Yogas lagi, membuat Eno tertegun.
Sementara Eno masih terus menatapnya nanar, Yogas mengeluarkan korek, lalu membakar tisutiu penuh darahnya tadi di asbak. Setelah tisu itu habis terbakar, Yogas membaringkan tubuhnya.
Eno duduk di depannya, matanya lepas dari abu sisa tisu dan beralih kepada Yogas.
"Lo... baik-baik aja, Gas?" tanya Eno kemudian.
"Cuma sakit sedikit," kata Yogas sambil nyengir walaupun tahu betul kalo Eno tidak
menanyakan luka luarnya. "Lo gak bakal nyesel sama keputusan lo ini?" tanya Eno lagi, membuat cengiran di wajah Yogas
lenyap. "Mungkin," jawab Yogas, terdengar tidak yakin. "Tapi untuk sekarang, cuma ini yang bisa gue
lakuin untuk dia. Gue bakal lakuin apa aja supaya dia gak berurusan lagi sama gue. Apa aja."
"Lo orang paling keras kepala yang pernah gue kenal," kata Eno. "Kalo gue jadi lo, gue mungkin
gak akan sekuat lo. Gue mungkin gak bakal ngelepas orang yang sayang sama gue. Gue rasa,
sekarang gue tahu kenapa gue gak bisa ngerti jalan pikiran lo."
Yogas tidak bertanya lebih lanjut, tangannya sudah mengepal keras.
"Ini karena lo orang baik," kata Eno lagi. "Gue kesel, kenapa semua ini harus terjadi sama lo.
Dari semua orang yang gue kenal, lo orang paling berhak buat bahagia."
Yogas terdiam, sementara Eno sudah menjambak-jambak rambutnya kesal. Yogas tahu Eno
sedang menyesali kejadian enam tahun lalu, saat Eno tak bisa melakukan apa pun untuk
menyelamatkannya. "No, lo gak usah nyalahin diri lo sendiri," jawab Yogas kemudian.
"Maaf, Gas," ujar Eno. Air matanya sudah menitik, tetapi Yogas pura-pura tak melihatnya. "Gue
bener-bener minta maaf."
Yogas tak menjawab karena dia sendiri sedang susah payah untuk tidak menangis. Sekarang,
Yogas juga menyesal sudah memberitahu Eno soal penyakitnya. Dia pikir, Eno satu-satunya
orang yang cukup kuat untuk menerimanya. Ternyata, bahkan Eno pun tidak sanggup.
Seharusnya, dari awal Yogas tidak meminta bantuan pada siapa pun. Seharusnya, memang dari
awal Yogas hidup sendiri.
Another Lie Kana menatap langit-langit kamarnya hampa. Semalaman, dia tidak bisa tidur lagi, belum bisa
menerima kenyataan bahwa Yogas adalah seorang gay. Kana masih sulit mempercayainya. Kana
setengah mati berharap Yogas hanya berbohong, tetapi yang Kana lihat kemarin terlalu
meyakinkan. Bahkan, Yogas memanggil namanya dan memeluknya.
Kana terduduk lemah. Kana merasa terlalu lemah dengan semua ini, tetapi Kana tidak pernah
menyesal telah menyukai Yogas. Sampai sekarang pun, Kana masih menyukai Yogas walaupun
Yogas tidak mungkin menyukainya.
Kana tidak tahu harus melakukan apa dan bersikapa bagaimana di depan Yogas. Kana tidak jijik
padanya karena dia seorang gay, tetapi Kana terlalu menyukainya sampai tidak mampu
menatapnya. Kana membentur-benturkan kepalanya ke lututnya, berharap bahwa semalam tidak pernah terjadi
apa-apa. Mendadak semua kenangannya bersama Yogas terputar di otaknya. Kana benar-benar
tidak mau percaya. Tiba-tiba ponsel Kana berdering. Lia meneleponnya. Kana cepat mengangkatnya.
"Kan" Kamu kok gak kuliah?" seru Lian dari seberang. "Kenapa, Kan" Kamu sakit?"Belum
sempat menjawab, Kana sudah keburu terisak.
"Kana" Kamu kenapa" Ada apa?" tanya Lian panik sementara isakan Kana semakin menjadijadi.
"Lian..." gumam Kana, dan selanjutnya cerita semalam mengalir seperti air bah. Di ujung sana,
Lian terdiam, tak bisa berkata apa-apa.
"Dia... gay?" kata Lian lambat-lambat, tak percaya. Kana semakin terisak. "Kan! Kamu tunggu
ya! Aku langsung ke kost-mu sekarang!"
Lian memutuskan sambungan sementara Kana kembali tersuruk di antara bantal-bantalnya.
*** Lian sekarang sudah berada di kost Kana, memegang tangannya erat-erat. Lian benar-benar tidak
habis pikir dengan cobaan yang dialami Kana tanpa berkesudahan. Sudah cukup Yogas adalah
seorang HIV positif, sekarang ditanbah kenyataan bahwa Yogas menderita penyakit itu gara-gara
hubungan sesama jenis. Lian jadi semakin menyesal kenapa kemarin-kemarin dia malah
memberi semangat pada sahabatnya itu.
"Kan... Maafin aku, ya," sesal Lian membuat kana menatapnya.
"Kenapa, Li" Emang kamu salah apa?" tanya Kana dengan suara serak.
"Karena kemarin aku sudah bilang yang gak-gak. Soal takdir itu," jawab Lian hati-hati. Kana
tersenyum menatap sahabatnya itu.
"Gak apa-apa, Li. Bukan salah kamu," balas Kana pelan.
Lian menatap Kana lama. Lian tahu kesedihan Kana hanya dengan melihatnuya. Hati Kana
sudah hancur, tetapi gadis itu berusaha mati-matian untuk tegar.
"Terus... kamu mau gimana?" tanya Lian.
Kana terdiam sejenak, lalu tersenyum dengan sisa-sisa kekuatannya.
"Aku gak bisa ngejauhin dia, Li. Perasaanku masih sama, bahkan setelah tahu dia gay. Aku gak
bisa lantas benci sama dia," ujar Kana lirih.
"Jangan maksain diri, Kan," kata Lian. "Dia pasti ngerti."
Kana menggeleng. "Aku mau nemenin dia sampe dia pergi. Itu sudah keputusanku."
Lian menatap Kana sedih. "Tapi, Kan, dia bisa aja nyakitin kamu lagi," katanya membuat kana
menggeleng. "Li, apa lagi yang tersisa buat disakitin?" Kana tersenyun getir. "Dia gak mungkin suka sama
aku. Tapi, aku gak pernah nyesal pernah suka sama dia. Dia... sedikit banyak sudah ngasih aku
pelajaran. Dia sangat menghargai orang lain sampe dia mau hidup sendirian. Itu yang bikin aku
gak bisa ninggalin dia."
Lian menatap Kana, matanya masih menyiratkan ketidakpercayaan. Sebenarnya, Lian ingin
berteriak pada Kana agar tidak. Erhubungan lagi dengan Yogas. Kana menghela napas melihat
kekhawatiran Lian. "Li, di luar dia HIV positif dan seorang gay, dia butuh seseorang. Kita semua butuh seseorang,"
kata Kana. "Tapi, kenapa harus kamu, Kan?" tanya Lian lagi membuat kana tersenyum lembut.
"Mungkin karena ini takdir. Seperti yang kamu bilang," jawab Kana membuat Lian terkesiap.
Kana sudah mengambil keputusan. Kana tidak akan menjauhi Yogas. Kana akan menerima
Yogas apa adanya walaupun itu berarti cinta Kana tidak akan terbalas. Kana akan berusaja
semampunya untuk mendukung Yogas.
Lian mempererat genggamannya pada tangan Kana, mengangumi kekuatan hati sahabatnya itu.
Kana juga sudah tidak menangis lagi. Dia berjanji dalam hati untuk menjadi lebih kuat, agar bisa
menemani Yogas tanpa membebaninya.
*** Yogas menatap josong langit penuh bintang di atasnya. Pikiran Yogas melayang ke mana-mana,
dari kenangan masa SMA-nya sampai kejadian beberapa malam lalu saat dia mengaku gay pada
Kana. Dan, sekarang, wajah sedih Kana memnuhi kepalanya.
Mendadak, terdengar suara seperti pintu yang ditendang paksa. Yogas menoleh dan mendapati
Kana sudah berdiri di sana dengan kedua tangan memegang mug yang mengepul. Di wajahnya,
terpasang cengiran nakal.
Yogas menatapnya nanar. Cewek itu masih saja mau mencarinya, bahkan setelah tahu dia gay.
Kali ini, Yogas benar-benar tak habis pikir. Yogas menyerah untuk mengerti cewek yang satu
ini. Kana menghampiri Yogas, lalu duduk di sebelahnya. Dia menyodorkan mug plastik berisi susu
coklat pada Yogas. Yogas menerimanya dan mengangguk kecil sambil mengucapkan terima
kasih. "Wah, bintangnya lagi banyak, ya?" ujar Kana sambil mendongak. Yogas tak mejawabnya. Dia
urapurabuk menyeruput susu cokelatnya. Kana menatap Yogas.
"Giman, Gas, udah ketemu?" tanya Kana membuat Yogas menatapnya heran. "Joe. Udah ketemu
belum?" Yogas melotot mendengar pertanyaan Kana. Yogas sama sekali tidak menyangka Kana akan
membahas masalah ini dengannya. Dia pikir Kana akan jijik padanya dan menghindar, tapi
perkiraannya salah. Cewek ini ternyata benar-benar ingin mencampuri hidupnya.
"Belum," jawab Yogas setelah terdiam beberapa detik. Kana mengangguk-angguk.
"Eh Gas, aku punya ide bagus," kata Kana membuat Yogas kembali menatapnya. "Gimana kalo
aku bantuin nyari di kampusku" Aku bakal tanya-tanyain di semua jurusan. Gimana?"
Yogas hampir saja menganga. Dia bahkan sudah melakukannya, tetapi untungnya Kana sibuk
menghirup susu cokelatnya, jadi tidak sempat menyadarinya. Yogas mengatupkan mulutnya.
Gelas di tangannya sudah hampir remuk.
Yogas tidak tahu mengapa dia bisa sebegini kesal, tetapi perkataan Kana barusan membuat
darahnya naik ke kepala. Bisa-bisanya cewek itu mengatakan akan membantu Yogas mencari
Joe, padahal kemarin-kemarin dia bilang sayang dan sebagainya.
"Kenapa lo ngelakuin ini?" tanya Yogas kemudian, membuat Kana menatapnya. Yogas balas
menatap Kana tajam. "Kenapa lo mau ngebantu gue?"
"Gas, dulu aku pernah bilang kan, kalo aku mau nemenin kamu?" Kana berkata lembut.
The Truth About Forever Karya Orizuka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sekarang, mungkin kita udah gak bisa bersama, tapi aku tetap mau bantu kamu. Sebagai teman.
Boleh, kan?" Yogas mengalihkan pandangannya dari Kana. Tentu saja. Perasaan Kana kemarin memang cuma
simpati, makanya sekarang dia sudah melupakannya dan memutuskan untuk membantunya.
Yogas menertawai kebodohannnya sendiri dalam hati. Sekarang, Yogas hanya harus berhati-hati
untuk tidak terbawa oleh perasaannya sendiri. Yogas harus meneruskan perannya.
"Gas," ujar Kana membuat Yogas menoleh. "Jangan khawatirin perasaanku. Aku pasti bisa baikbaik saja."
Mata Yogas melebar setelah mendengar perkataan Kana. Pikiran Yogas ternyata salah besar.
Cewek itu masih menyukainya, hanya saja dia berusaha untuk kelihatan tegar. Perasaan Kana
untuknya ternyata tulus. Hati Yogas terasa sakit mengetahui ini. Tidak seharusnya dia berbohong
pada cewek ini, tetapi Yogas tak mau mengambil resiko. Menyelamatkan Kana dari masa depan
suram bersamanya adalah tugas utamnaya sekarang.
"Boleh aja," kta Yogas akhirnya, kemudian tersenyum pada Kana. "Thanks ya. Lo udah baik
banget sama gue selama ini."
Kana bals tersenyum, lalu mengangguk. Kalau saja Yogas tidak bisa menahan diri, dia pasti
sudah menangis di depan Kana. Yogas mengalihkan pandangannya, sebisa mungkin tidak
melihat cewek itu. "Gas, karena sekarang kita temen, kamu bisa kan cerita sama aku?" tanya Kana ceria. Kana tak
mau terlihat sedih di ddepan Yogas.
"Hm, cerita apa ya?" kata Yogas. "Gimana kalo... Si kancil?"
Kana tertawa lepas mendengar gurauan Yogas, tetapi di dalam hatinya dia sedih baru kali ini
Yogas mau bercanda dengannya. Yogas sendiri menolak untuk melirik Kana.
Selama beberapa saat, Kana dan Yogas sama-sama terdiam, sibuk dengan pikiran masingmasing. Kana tiba-tiba bergidik.
"Kamu gak kedinginan, Gas?" tanya Kana.
"Gak," jawab Yogas.
"Aku kedinginan nih. Aku turun duluan ya?" Kana bangkit dan membersihkan celananya, lalu
bergerak ke pintu. "Kana," panggil Yogas membuat Kana menoleh. Yogas mengangkat mug plastik yang
dipegangya. "Ini, makasih ya."
Kana mengangguk, lalu meneruskan berjalan. Beberapa langkah kemudian, dia kembali
menoleh. "Gas," kata Kana membuat Yogas menatapnya. "Kalo ada apa-apa, kamu boleh cerita sama aku.
Kalo aku bisa, aku pasti bantu kamu."
"Oke. Thanks ya," kata Yogas, dan Kana menghilang di balik pintu.
Yogas menatap pintu itu lama dan setelah yakin Kana sudah tidak ada di sana, air matanya mulai
mengalir tanpa bisa dihentikannya. Dari sekian banyak penderitaan yang pernah dilaluinya,
inilah yang paling menyakitkan. Sebelumnya, Yogas sudah parah menerima penyakitnya dan
siap mati, tetapi semenjak bertemu Kana, Yogas menjadi sangat marah pada Tuhan.
"Kenapa..." gumam Yogas geram. Matanya menatap langit yang berbintang. "Kenapa harus
dipertemukan sama dia kalau harus dipisahin lagi?"
Gelas di tangan Yogas sudah remuk, isinya tumpah. Tangannya terkepal keras dan gemetar
hebat. Dia menunduk, dan tetesan air matanya dengan segera membasahi lantai semen yang
dingin. *** Kana tersaruk menuju kamarnya. Air mata sudah menetes di pipinya. Dia masuk dan menutup
pintu, lalu merosot ke lantai.
Ternyata, perasaan Kana terhadap Yogas masih sama besarnya seperti sebelum Yogas berkata
dia gay. Kana masih belum bisa sepenuhnya merelakan Yogas. Kana masih saja berharap Yogas
akan berkata bahwa dia bohong soal perkataannya itu.
Namun, kemudian Kana tersadar. Sekarang sudah tidak ada gunanya lagi terusterusa memikirkan
itu. Kana harus mengesampingkan perasaannya untuk membantu Yogas. Yogas membutuhkan
teman, dan hal itulah yang akan dilakukan Kana. Kana akan menjadi kuat untuk menolong
Yogas. Kana menghapus air matanya, dan tanpa sengaja dia melirik komputernya. Tiba-tiba, dia
mendapatkan ide. Kana menyalakan komputernya, lalu mulai mengetik.
*** Yogas menyalakan korek api dan membakar rokok yang sudah terselip di bibirnya. Dia mengisap
rokok itu, dan mengembusakan kepulan asap putih. Hari ini, Yogas sedang mencari Joe di
Universitas Negeri Yogyakarta Fakultas Olahraga. Namun, tampaknya orang itu tidak berkuliah
di sini. Yogas menghela napas, lalu membuka handycam-nya. Di dalam handycam-nya itu, terdapat
kaset yang selalu dihindarinya. Kaset dengan judul "Anyer 2000". Yogas menggigit bibirnya
ragu, tetapi dinyalakannya juga handycam itu.
Mata Yogas terasa panas karena tidak berkedip saat menonton film yang terputar di sana.
Rahangya mengeras. Mungkin seharusnya dia tidak pernah menonton film ini lagi. Mungkin
seharusnya Yogas membuangnya.
Film ini mengingatkan pada semua hal yang telah hilang darinya. Keluarganya. Sahabatnya.
Kekasihnya. Mimpinya. Hidupnya.
Setetes air jatuh di layar handycam itu. Tetes air yang berasal dari mata Yogas.
*** Kana mengendarai Varionya tanpa semangat. Tadi di dekat kampus, dia hampir menabrak
seseorang karena melamun. Barusan di dekat kost-nya, dia juga hampir menabrak Ono yang baru
pulang dari warung. Kana mematikan mesiornya dan mendorongnya masuk ke garasi. Dia membuka helm dan
menyangkutkannya di spion tanpa semangat. Ono menatap wajah Kana yang kusut.
"Ngopo, Kan?" tanyanya bingung.
"Ra popo, Mas," jawab Kana lesu sambil naik ke tingkat dua.
Tadi di kampus, Kana mencari orang yang sedang dicari Yogas selama ini, Joe. Namun, tak
satupun dari orang-orang yang ditanyainya bernama Joe, ataupun mengenalnya. Kana merasa tak
akan pernah menemukan oramg itu kalau caranya seperti ini.
Kana menghela napas lagi, lalu menggeleng-geleng. Kana akan melakukan apa pun untuk
membantu Yogas, tak peduli yang sedang dicarinya itu pasangan sejenis atau siapapun. Kana
mengangguk semangat, tak mau terlihat sedih di depan Yogas. Ketika sampai di lantai dua, Kana
terpaku melihat seorang cewek yang sedang berdiri di depan kamar Yogas. Cewek itu menoleh
dengan wajah cemas, lalu tersenyum dan mengangguk pada Kana. Kana balas mengangguk, tapi
masih heran. "Halo," sapa cewek itu ramah. "Ng... Kamu kost di sini?"
"Iya," jawab Kana. Ekspresi cewek itu segera berubah ceria. Kana mengamati cewek yang cantik
dan semampai itu. "Kamu... kenal sama Yogas?" tanya cewek itu lagi.
"Kenal. Itu kamar dia," jawab Kana lagi, tapi entah mengapa firasatnya terhadap cewek ini tidak
bagus. Cewek itu sendiri masih tersenyum penuh semangat. " Dia lagi keluar ya?"
"Mungkin," jawab Kana. "Kamu... siapa ya?"
Ketika cewek itu akan baru mejawab, terdengar suara orang sedang menaiki tangga. Yogas
muncul dari tangga dengan wajah lelah. Dia sedang memijati lehernya dan segera terpaku saat
melihat sosok cewek di depan kamarnya.
Yogas serasa tidak bisa melakukan apa-apa, baik bernapas maupun bergerak, saat melihat cewek
itu. Cewek itu sendiri mekap mulut, lalu berlari ke arah Yogas dan memluknya erat. Yogas
terlalu kaget sampai tidak bisa menghindari.
"Yogas!" sahut cewek itu, air matanya mengalir. "Aku pikir aku gak bakal ketemu sama kamu
lagi!" "Wu... lan...?" gumam Yogas, masih terlalu terkejut. Wulan mempererat pelukannya.
"Gas, maafin aku, Gas. $aafin aku. Aku janji gak bakal ninggalin kamu lagi..." Wulan sudah
terisak. "Aku nyesel udah ninggalin kamu. Maafin aku, Gas..."
Yogas merasa seluruh tubuhnya membeku, termasuk lidahnya. Dia sama sekali tidak menyangka
Wulan akan menyusulnya dan meminta maaf. Yogas berusaha mengambil napas, dan saat itulah,
dia menyadari keberadaan Kana yang sedang menatapnya marah.
Kedua tangan Kana gemetar di samping pahanya. Kana sangat marah sampai ingin meninju
Yogas di tempat, tetapi tidak dilakukannya. Entah mengapa, Kana hanya bisa terdiam menonton
adegan romantis si pembohong Yogas dan mungkin pacarnya.
Yogas balas menatap Kana sambil berpikir keras sementara Wulan masih terisak di pelukannya.
Yogas akhirnya balas memluk Wulan, membuat Kana memalingkan pandangannya.
Yogas berusaha untuk tidak melihat bagaimana Kana menangis. Yogas juga menahan segala
keinginannya untuk menahan Kana saat cewek itu melewatinya dan berderap turun. Yang
sekarang Yogas pikirkan hanyalah, bagaimana Kana bisa menjauhinya, apa pun caranya.
*** "Apa kabar, Gas?" tanya Wulan.
Yogas mengisap rokonya, lalu mengembuskanya sekarang. Sekarang, mereka ada di lantai tiga.
wulan menatap punggung Yogas yang tampak jauh lebih kurus dari yang pernah diingatnya.
"Begitu aja," jawab Yogas pendek. "Jadi tahu dari mana alamat ini?"
"Aku nelepon Eno, terus aku ancem dia. Akhirnya, dia ngasih tahu alamat kamu," kata Wulan.
Yogas mendengus. Tentu saja, Eno. Hanya Eno satu-satunya orang yang tahu di mana Yogas
tinggal. "Terus ngapain ke sini?" tanya Yogas lagi.
"Aku... maafin aku, Gas," kata Wulan pelan. "Dulu, kita masih muda. Dulu, aku gak pernah
berpikir kalo aku bakal sangat kehilangan kamu."Yogas tak berkomentar. Dia menatap langit
yang berwarna kemerahan. Angin Yogya yang sejuk membawa wangi bunga kenanga yang
ditanam ibu kost di taman bawah. Mendadak, Yogas merasa melankolis.
"Gas, aku bener-bener bodoh udah ninggalin kamu," kata Wulan lagi. "Sekarang, aku sadar kalo
aku..." "Lan, kamu udah bener," potong Yogas membuat Wulan menatapnya. "Kamu dulu udah
membuat keputusan yang benar, ninggalin aku. Jangan mikir macem-macem lagi. Aku udah gak
apa-apa kok." "Tapi Gas, aku masih sa..."
"Lan, kalo memang kamu masih sayang sama aku, tolong bantu aku. Kamu ngerti, kan?" desak
Yogas, kemudian duduk di samping Wulan.
"Gas..." "Lan, aku udah maafin kamu," kata Yogas. "Dulu mungkin aku gak bisa terima alasan kamu
ninggalin aku, tapi, sekarang aku udah ngerelain kamu."
Wulan menatap Yogas yang menolak menatapnya balik. Air mata Wulan sudah jatuh.
"Gas, beneran kamu mau maafin aku?" tanya Wulan. Yogas mengangguk, lalu menepuk kepala
Wulan, membuat cewek itu langsung terisak.
"Jangan nangis dong," Yogas mengacak rambut Wulan. "Thanks ya, udah dateng ke sini."
Wulan mengangguk di sela-sela tangisannya. Wulan benar-benar menyesal telah meninggalkan
Yogas dulu. Sampai sekarang Wulan masih tak mengerti, kenapa Tuhan memilih Yogas untuk
menerima penyakit ini, penyakit yang merenggut semua kebahagiaannya.
"Gas..." kata Wulan sambil menatap Yogas. "Jangan cari dia lagi."
Yogas menatap Wulan sebentar, lalu mengalihakn pandangannya. "Gak bisa, Lan. Aku harus
cari dia sampe ketemu. Setelah itu, aku gak peduli."
"Gas, kamu harus peduli! Kamu masih punya mamamu, kamu masih punya aku! Jangan cari Joe
lagi, Gas, aku mohon!" seru Wulan sambil menarik tangan Yogas.
"Lan, sampe sekarang, dia yang membuat aku tetep hidup. Gak ada siapa pun yang bisa
menghentikan aku," ujar Yogas tegas. "Karena dia, aku kena penyakit sialan ini. Kamu ngerti,
kan?" Wulan menatap khawatir Yogas yang tampak emosi. "Gas, janji sam aku, jangan ngelakuin halhal bodoh. Janji, Gas."
"Lan, kalo soal yang satu ini, aku gak bisa ngejanjiin apa pun," balas Yogas keras kepala.
"Thanks karena udah mikirin aku."
Wulan terisak lagi, memikirkan Yogas yang sudah berada jauh di luar jangkauannya. Eno
memang sudah memperingatkannya, tetapi dia tidak menyangka Yogas akan jadi seperti ini.
Benar-benar bukan Yogas yang dulu pernah dikenalnya.
"Lan," kata Yogas kemudian. "Jangan pernah mikirin aku lagi. Kamu juga harus nerusin hidup
kamu. Kamu udah punya cowok, kan?"
Wulan menyeka air matanya sambil melirik Yogas marah.
Yogas nyengir. "Yah, masa sih, kamu jomblo terus selama enam tahun."
"Hatiku sakit banget lho denger kamu ngomong begitu," tukas Wulan membuat cengiran Yogas
lenyap. "Denger kamu bisa naya-naya begitu sama aku seolah kamu udah bener-bener mgelupain
aku, hati aku sakit banget."
Yogas terdiam. "Sori," katanya kemudian.
Wulan mengamati Yogas yang sudah kemblai menatap lurus. "Gas," kata Wulan. "Kamu... suka
cewek itu, ya?" Yogas menoleh pada Wulan yang tampak serius, lalu segera mengalihkan pandangannya. Tak
lama kemudian, Yogas mengangguk. Wulan menghela napas.
"Udah aku kira," kata Wulan. "Apa dia... udah tahu?"
Yogas mengangguk lagi. "Dari awal dia udah tahu dan dia bisa terima," kata Yogas membuat
Wulan mengangguk-angguk. "Aku kagum sama dia," ujar Wulan, matanya menerawang. "Aku dulu... bodoh, ya?"
"Lan," tegur Yogas membuat Wulan tersenyum pahit.
"Gas, aku bener-bener minta maaf," kata Wulan lagi. "Aku tahu ini mungkin udah sangat
terlambat, tapi kapan pun kamu ngebutuhin aku, aku gak akan lari lagi."
Yogas menatap wulan lama, lalu tersenyum tulus. "Thanks."
Mereka kemudian menghabiskan petang itu dalam diam.
*** Kana melangkahkan kakinya menuju tangga, berharap kalau Yogas tidak ada. Mata Kana sudah
bengkak karena terlalu banyak menangis di kost Lian tadi, dan Yogas adalah makhluk terakhir
yang mau dilihatnya. Ketika Kana muncul dari tangga, Yogas baru kembali dari kamar mandi dengan handuk
tersampir di bahunya. Kana menatap Yogas marah, lalu berderap menuju kamarnya. Yogas
menatap Kana yang tampak enggan menatapnya balik.
"Jadi, itu yang namanya Joe, ya?" sindir Kana sebelum masuk kamar, tak tahan untuk bertanya.
Yogas malah bersandar di dinding sambil memandang Kana malas. "Namanya Wulan."
Jawaban Yogas membuat Kana melotot. Kana mengambil sepatu dan melempar Yogas dengan
sepatu itu. Yogas bahkan tidak mengelak dan membiarkan dadanya terpukul. Air mata Kana
sekarang sudah jatuh lagi.
"Kamu kejam! Aku bahkan gak mau tahu namanya!" sahut Kana emosi. Yogas hanya
menatapnya datar. Sementara Kana berusaha untuk menenangkan diri, Yogas mengambil sepatu yang tadi dilempar
Kana dan meletakkannya kembali ke rak sepatu. Dia lalu menghela napas, berusaha menatap ke
arah lain selain Kana yang masih menatapnya marah.
"Kenapa sih, kamu bohong terus?" tanya Kana lagi, hampir menjerit. "Kenapa kamu harus
sekejam ini sama aku" Kenapa, Gas?"
"Sori," kata Yogas membuat alis mata Kana terangkat tinggi. "Gue gak bermaksud nyakitin..."
"Gak bermaksud?" teriak Kana tak percaya. "Gak bermaksud kamu bilang" Kamu make segala
cara buat ngejauhin aku dari kamu!"
Yogas terdiam, sementara Kana sudah memukul-mukul dadanya sambil terisak.
"Kenapa kamu harus bilang kamu gay?" Kenapa kamu seneng banget nyakitin aku?"" seru Kana
lagi. "Kalo kemau memang segitu gak sukanya sama aku, kenapa gak bilang terus terang?""
"Gue gak suka sama lo!" sahut Yogas membuat Kana terdiam danberhenti memukulinya. Yogas
menatap Kana serius. "Lo mau gue bilang itu, kan" Gue bilang sekarang, gue gak suka sama lo.
Gue udah kasih peringatan ke lo dari awal, kan" Tapi, lo tetep mau tahu urusan gue. Gue gak
tahu lagi gimana caranya supaya lo ngejauh dari gue, dan terus terang aja gue gak tega ngomong
langsung kalo gue gak suka sama cewek desa kayak lo!"
Yogas tersengal setelah mengatakan semua itu pada Kana. Kana hanya menatap Yogas tanpa
berkedip, membuat air matanya mengalir semakin deras.
"Gas," ujar Kana kemudian. "Kamu bisa lebih kejam lagi dari ini?"
Yogas terdiam menatap Kana yang sudah gemetar hebat.
"Sori, Kan. Tapi, Wulan adalah satu-satunya cewek buat gue. Dari dulu sampe sekarang, cuma
dia yang ada di hati gue. Gak akan ada yang bisa ngegantiin dia," kata Yogas mmembuat kana
tersenyum miris. "Gas... Bisa kamu sekalian bunuh aku?" kata Kana getir. "Kenapa Gas... Kenapa kamu dateng ke
sini" Kenapa?" Kenapa aku bisa kenal sama kamu?""
Kana berderap menuju kamarnya, bergerak masuk dan membanting pintunya. Yogas menatapnya
tanpa bisa berbuat banyak. Misi berhasil. Sekarang yang harus Yogas lakukan adalah pergi
secepatnya dari kost ini.
The Truth Revealed Kana memandang kosong dinding di depannya. Bekas-bekas air mata yang sudah mengering
tampak di pipinya. Lagi-lagi Kana tidak tidur semalaman, menyesali kebodohannya karena
sudah sekian lama dipermainkan oleh Yogas.
Tidak masalah kalau Yogas mengatakan tidak menyukai Kana sejak awal. Tetapi, Yogas
mengatakan hal-hal kejam yang sudah menyakiti hati Kana. Bahkan, Kana tidak tahu apakah
bisa memaafkan Yogas setelah ini.
Terdengar suara pintu ditutup dari arah kamar Yogas. Kana mellirik jam yang ada di meja
komputer. Delapan lebih lima belas. Yogas pasti akan berangkat untuk mencari Joe, orang yang
katanya sedang dicarinya entah karena apa. Kana pikir Yogas pasti berbohong lagi. Yogas selalu
berbohong padanya, seorang gadis desa yang lugu dan mangsa empuk untuk dipermainkan.
Kana sudah tidak mau tahu lagi. Kana sudah tidak mau peduli lagi.
*** Yogas menatap Eno yang sudah tergeletak di depannya dengan mulutpenuh darah. Yogas baru
saja memberinya serangan fajar, setelah apa yang dilakukannya kemarin. Yogas sama sekali
tidak pernah menyangka Eno akan berbuat segoblok itu dengan memberitahu Wulan tempat
tinggalnya. Yogas berjongkok dan mencengkeram kaus Eno. Eno membalas tatapan marah Yogas tanpa
ekspresi. "Bangun lo," kata Yogas geram. "Apa yang membuat lo berpikir kalo lo berhak ngaih tahu
dimana gue ke Wulan?"
"Dia mau minta maaf sama lo," kata Eno susah payah. "Dia nyesel udah ninggalin lo."
"Gue udah bilang kan, gue gak mau berurusan lagi sama dia! Lo bebal atau dungu sih, No" Udah
bagus dia ngejauhin gue!" sahut Yogas kalap. "Kenapa lo ngasih tahu dia?"
"Karena dia ngancem mau bunuh diri!" sahut Eno membuat Yogas terdiam. "Ya, dia semenyesal
itu, Gas. Dia bener-bener nyesal udah ninggalin lo!"
The Truth About Forever Karya Orizuka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Lo tempe bangets ih, No! Gak mungkin dia mau bunuh diri gitu aja!" sahut Yogas lagi. "Eno
mendorong Yogas sampai Yogas terbanting. Eno terduduk dan menatap Yogas sengit.
"Menurut gue Gas, lo yang tempe! Yang lo tahu cuma ngehindari dari semua masalah!" Eno
menyeka darah yang sudah mengalir ke dagunya. "Kalo lo gak mau Wulan balik, seenggaknya lo
bisa maafin dia supaya dia bisa nerusin hidupnya, kan?"
Yogas terdiam, lalu menyandarkan dirinya ke tembok.
"Gue udah ngelakuin itu. Gue udah maafin dia," kata Yogas pelan. "Gue udah gak ada masalah
sama dia, tapi yang jadi masalah sekarang adalah cewek itu."
Eno menatapa Yogas, selah tak pernah meikirkan kemungkinan itu.
"Cewek itu ngeliat Wulan, dan semua alibi gue ajadi hancur" Yogas melirik Eno tajam. "Semua
karena lo." "Terus... dia gimana?" tanya Eno hati-hati.
"Yah, intinya, sekarang dia benci sama gue. Mungkin dia gak mau liat gue lagi. Dan karena itu,
gue harus cepat-cepat pindah kost," kata Yogas.
"Sori, Gas," ujar Eno menyesal.
"Gak perlu minta maaf," tandas Yogas. "Sori, gue udah mukul lo. Tapi, lo emang pantas dapat
pukulan itu, karena lo gak ngomong lagi sama gue."
Eno mengelus pipinya yang tadi ditonjok Yogas, lalu menatap Yogas yang tampak melamun.
"Lo... gak apa-apa, Gas?" tanya Eno cemas.
"Gue cuma udah ngerasa keterlaluan ama dia, No," Yogas mendesah sambil menjambak
rambutnya sendiri. "Semua omongan gue kemaren kayaknya keterlaluan. Kalo dia nampar gue
atau gimana, gue bisa terima. Tapi..."
"Tapi...?" Eno ingin tahu.
"Tapi, dia cuma bilang, bisa kamu sekalian bunuh aku" Dan bagi gue itu lebih dari sekedar
tamparan," ujar Yogas, matanya menerawang. "Baru kali ini gue nyesel kenal sama seseorang,
selain Joe." Eno tahu dengan pasti maksud kata-kata Yogas. Yogas pasti sedang berharap tidak pernah
mengenal cewek itu sehingga tidak akan berpisah dengannya.
*** Kana memutuskan untuk keluar dari kamar karena Yogas pasti sudah tidak ada di kamarnya.
Kana membuka pintu dan terperanjat saat mendapati Wulan di depan pintu kamar Yogas,
bermaksud mengetuk pintu. Wulan menoleh, lalu tersenyum pada Kana yang tidak sempat
membalasnya karena terlalu terkejut.
"Halo," sapa Wulan ramah. Kana membalasnya dengan anggukan. "Yogas ada?"
"Gak tahu ya,", dengan suara yang bukan miliknya. "Coba diketok aja."
Kana berjalan melewati Wulan untuk ke kamar mandi. Wulan memperhatikan Kana sampai dia
menghilang di balik pintu kamar mandi.
Tak berapa lama, Kana keluar dan terlonjak kaget karena Wulan sudah ada di depan pintu kamar
mandi. Wulan tersenyum lagi pada Kana.
"Kana, kan" Kita ngobrol sebentar, yuk?" ajak Wulan membuat Kana menganga. Namun,
akhirnya dia mengikuti Wulan naik ke lantai tiga.
Kana menatap punggung Wulan yang bahkan terlihat sempurna. Kana tidak heran kalau Yogas
meti-matian menolaknya karena Kana sama sekali berbeda dengan Wulan. Wulan tipe gadis kota
yang anggun dan menarik, bukannya gadis desa banya banyak omong dan bodoh sepertinya.
"Kenalkan, aku Wulan," Wulan membuka pembicaraan. Dia mengulurkan tangannya, yang
disambut bingung oleh Kana. "Aku rasa kamu udah tahu siapa aku dari Yogas."
"Yah, kurang lebih," balas Kana kaku. Dia tidak mau mengatakan kalau Wulan adalah satusatunya cewek di hati Yogas.
"Kamu. suka sama Yogas?" tanya Wulan membuat kana bengong lagi. Kana tidak langsung
menjawab pertanyaan itu. Dia tertunduk, merasa malu sudah berpikiran untuk menyukai Yogas
yang sudah punya pacar secantik Wulan
"Aku..." Kana kehilangan kata-kata.
"Aku tahu kok," ujar Wulan sambil tersenyum. "Hh... Yogas sebenarnya beruntung ya punya
orang-orang yang suka ama dia."
Selama beberapa saat, Wulan dan Kana sama-sama terdiam. Kana sedang menerka-nerka apa
Wulan marah karena kana menyukai pacarnya, tetapi wajah Wulan tidak menunjukkan demikian.
"Kana, kamu tahu, kenapa Yogas bisa punya penyakit ini?" tanya Wulan kemudian.
"Aku gak tahu lagi mana alasan yang bener," jawab Kana getir. "Yogas sdudah terlalu banyak
berbohong sama aku. Aku gak tahu lagi."
Wulan menatap Kana yang tampak menahan tangis.
"Kayaknya Yogas masih ngerahasiain soal ini sama kamu ya," kata Wulan membuat kana
menatapnya. "Mungkin dia berbohong untuk melindungi kamu."
"Melindungi" Dia nyakitin aku terus!" sanggah Kana dengan suara serak. Sejenak dia menyesal
karena sudah berteriak. "Maaf!"
Wulan tersenyum menatap gadis ringkih di depannya yang sudah membuat Yogas jatuh cinta.
"Kan, kamu tahu seseorang bernama Joe?" tnaya Wulan lagi membuat kana mendengus.
"Ya, tokoh rekaannya Yogas," ujar Kana skeptis.
"Buka rekaan, dia memang benar ada." Jawaban Wulan membuat Kana menatapnya tak percaya.
"Joe itu dulu sahabatnya Yogas."
Wulan mengambil napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan sementara Kana tak
melepas pandangannya. "Enam tahun yang lalu, aku, Yogas, Joe, dan satu orang lagi bernama Eno, sahabatan. Kami
sekelas dari kelas satu sampe tiga. Kami udah gak terpisahkan, ke mana-mana selalu bareng."
Wulan memulai ceritanya. "Kami semua punya cita-cita, kecuali Joe. Dia ini pengacau. Selalu
aja bikin keributan dan sama sekali gak punya visi buat masa depan."
"Joe paling akrab sama Yogas, karena mereka berdua udah kenal dari SD. Dengan Yogas, Joe
gak pernah macem-macem. Mereka udh kayak kakak-adik. Kamu tahu cita-cita Yogas?" tanya
Wulan membuat Kana menggeleng. "Sutradara. Yogas pengen banget jadi sutradara, sampai rela
menghabiskan tabungannya untuk bveli kaset dan bikin film kecil-kecilan yang pemainnya kamikami ini."
"Suatu hari, entah kenapa, Joe jadi agak berubah. Dia jadi cenderung pemarah, bahkan ke Yogas
sekalipun. Kadang, dia marahin Yogas kalo Yogas terlalu banyak bergaul sama anak-anak ekskul
film. Dan, akhirnya, peristiwa itu terjadi," kata Wulan. Dia berhenti sejenak, lalu menarik napas.
"Yogas diajak Joe ketemu sama temen-temennya yang preman sekolah kami. Mereka adalah
murid-murid drop out sekolah kami. Entah gimana Joe bida berteman dengan mereka. Saat itu
mereka sedang berada di bawah pengaruh alkohol dan obata-obatan," kata Wulan, suaranya
sudah serak. "Mereka nyuruh Joe untuk nyuntik Yogas dengan suntikan bekas pakai."
Mata Kana melebar, tak percaya dengan cerita Wulan. Air mata Wulan sendiri sudah mengalir.
"Joe yang takut sama mereka ngelakuin yang mereka minta. Setelah itu, Yogas gak cerita lagi.
Dia takut sama Joe dan selalu ngehindar kalo ketemu di sekolah. Waktu itu, aku sama Eno gak
tahu apa-apa," lanjut Wulan. "Suatu saat, Joe dipuindah sekolah sam orangtuanya karena
ketahuan ngobat. Yogas jadi ceria lagi, dia bikin filn lagi. Tapi, beberapa bulab kemudian, dia
kena kecelakaan yang cukup parah, yang menbuat dia harus masuk rumah sakit. Dari sana, baru
ketahuan kalo ada HIV di darah Yogas."
"Saat itu yang tahu cuma orang tuanya dan aku. Aku kebetulan ada di rumah sakit saat dokter
ngasih vonis itu. Waktu itu, aku masih anak-anak, aku maih terlalu ngeri dengan kata-kata HIV.
Setelah tahu Yogas punya virus itu, aku langsung menjauh," kata Wulan sambil terisak. "Bukan
cuma aku, tapi kedua orangtuanya juga menjauh. Mereka seperti aku, malu dan takut karena
penyakit itu. Eno yang gak tahu apa-apa memang gak menjauh, tapi Yogas yang malah
ngejauhin dia." Wulan menatap Kana yang juga sudah terisak. Kana sama sekali tidak tahu kejadian sebenarnya
seperti ini. Kana sama sekali tidak tahu bahwa penderitaan Yogas jauh lebih besar dari yang
dibayangkannya. "Kana, kamu jangan membenci Yogas karena berusaha ngejauhin kamu," kata Wulan lagi. "Dia
cuma gak ingin kamu kena imbasnya juga. Dia balik sikap dia yang kasar itu, dia sebenarnya
takut, Kan." Kana menangis lebih keras. Dadanya sampai sakit. Wulan mengelus-elus punggungnya.
"Kana, aku kagum sama kamu," katanya. "Aku pengecut ini gak pantas untuk ada di samping
Yogas. Dia saat semua orang ngejauhin Yogas, kamu ada untuk doa. Aku benar-benar malu
sama kamu, Kan." "Hah" Maksud kamu?" Kana bertanya di sela-sela isakannya, bingung karena kata-kata Wulan.
Bukankah Wulan adalah kekasih Yogas"
"Aku yakin, sekarang cuma kamu yang bisa jadi kekuatan buat Yogas. Cuma kamu yang bisa
menghentikan Yogas," kata Wulan.
"Menghentikannya dari apa?" tanya Kana lagi.
"Kan," kata Wulan dengan tatapan serou. "Jkamu tahu alasan Yogas datang ke sini" Kamu tahu
alasan Yogas mau ketemu sama hJoe lagi?"
Kana menggeleng, tetapi rasanya dia bisa menebak jawabannya.
"Dia mau ngebunuh Joe, Kan." Ucapan Wulan membuat Kana menekap mulutnya sendiri. "Dia
udah gak peduli lagi tentang apa yang akan terjadi setelah itu. Dia mau ngebunuh Joe karena
udah merusak hidupnya."
Kana tak bisa berkata-kata. Tangan dan kakinya dingin mendengar kata-kata Wulan. Kana
langusng teringat pada sebilah belati yang pernah dia temukan di dalam ransel Yogas. Ternyata,
untuk itu dia membawa belati itu. Untuk membunuh Joe.
"Kenapa?" tanya Kana dengan suara tercekat.
"Dia ngerasa udah gak ada gunanya lagi dia hidup," jawab Wulan lemah. "Aku udah gak punya
hak apa pun lagi untuk menahan dia, Kan, karena dulu aku udah ninggalin dia. Sekarang, cuma
kamu yang bisa." Kana menatap Wulan tak percaya. Yogas kemarin bilang hanya Wulan cewek satu-satunya di
hatinya, tetapi kalau Wulan saja tidak bisa enahan Yogas, bagaimana Kana bisa melakukannya.
"Lan, dia gak suka sama aku. Dia benci sama aku. Gimana aku bisa nahan dia?" tanya Kana
membuat Wulan tersennyum.
"Dia bilang begitu ya?" kata Wulan. "Ini tips buat kamu, Kan. Mulai sekarang, apa pun yang dia
bilang, maknai sebaliknya. Kamu tahu sendiri, Kan, Yogas tukang bohong?" Jadi, mulai
sekarang, jangan anggap serius kata-katanya."
"Dia... bohong lagi?"" tanya Kana dengan suara serak, dan akhirnya menangis lagi, tetapi lebih
karena bahagia. Ini artinya Yogas kemarin sudah berbohong sdaat mengatakan bahwa Wulan
adalah cewek satu-satunya, juga saat dia mengatakan kalau dia membenci Kana.
"Kana," kata Wulan lagi. "Aku percayain Yogas sama kmu, ya" Karena kalo sama kamu, aku
bisa ngerelain Yogas."
Kana menatap Wulan lagi. Wulan tersenyum sedih.
"Aku gak pernah cukup baik buat dia, Kan. Aku pergi ketakutan waktu dia ngebutuhin aku, dan
baru sadar bertahun-tahun kemudian. Aku baru cukup kuat untuk nenerima kenyataan setelah
bertahun-tahun kemudian. Aku bener-bener gak sebanding sama kamu," ujar Wulan lagi sambil
menatap Kana dalam-dalam. "Kana, aku mohon, tolong jangan jauhin Yogas apa pun yang
terjadi. Satu-satunya kesempatan Yogas buat bahagia adalah kamu."
Kana memandang langit yang berwsarna biru cerah. Wajah Yogas segera terbayang di benaknya
sementara Wulan terus berbicara.
"Kamu tahu kenapa Yohgas selama ini membohongi kamu" Itu karena Yogas gak ingin kamu
mencintainya, karena kalau sampai itu terjadi, dia harus siap kehilangan kamu lagi suatu saat
nanti. Kamu ngerti kan, Kan" Dia cuma takut kehilangan kamu."
Kana langusng terisak lagi. Pikiran Kana jadi benar-benar kacau setelah mendengar kebenaran
dari mulut Wulan. Selama ini, Yogas selalu membohongi Kana supaya Kana selalu menjauhinya.
Yogas bahkan melakukan apa pun supaya Kana membencinya. Ternyata, alasannya adalah
karena dia takut akan kehilangan Kana."
"Kana, kamu bisa kan menjawab kekhawatirannya itu?" tanya Wulan, tetapi Kana tak bisa
menjawabnya. Kana tidak harus menjawab dan Wulan pun pasti sudah tahu jawabannya. Wulan menghela
napas lega. Kalau ada satu orang yang bisa mengembalikan Yogas seperti dulu, gadis inilah
orangnnya. *** Yogas memasang sebuah kaset di handycam-nya. Saat itu, Yogas sedang sendirian di kamar Eno
karena dia sedang bekerja. Yogas memperhatikan orang-orang yang ada di layar handycam-nya.
Film yang sedang ditontonnya adalah sebuah film pendek yang dibuat Yogas di Anyer tahun
2000 lalu. Film yang tadinya akan dimasukkan ke lomba film indie. Film yang dibuat dengan
segenap hati dan dibintangi oleh orang-orang yang paling didayanginya.
Yogas menatap Eno, Joe, Wulan, ayah, dan ibunya d layar handycam-nya. Baru kali ini, Yogas
memberanikan diri untuk menoonton lagi film ini dari awal sampai akhir. Sebelumnya, Yogas
bermaksud untuk melupakannnya karena menonton film ini membuatnya teringat lagi pada
orang+orang yang sudah menjauhinya karena penyakit yang dideritanya.
Wajah joe, si pemeran utama, tiba-tiba muncul sendirian di layar. Yogas menatap sosok kurus
berwajah kutu itu, dan tanpa terasa tangannya sudah terkepal. Dia adalah orang yang membuat
semua kehidupanyya hancur berantakan. Ingatan Yogas tiba-tiba terlempar ke masa silam, enam
tahun yang lalu. *** "Gas, pulang sekolah kita ke belakang kantin dulu ya," kata joe sambil mnghampiri Yogas yang
sedang berkutat dengan handycaminya.
"Ngapain?" tanya Yogas tanpa menoleh.
"Gue mau ketemu sama temen lama gue, dia mau kasihg gue sesuatu," kata Joe lagi sambil
mengamati video yang sedang ditonton Yogas. "Ya ampun. Another documentary?"
Yogas hanya mengendikkan bahu, matanya masih tertancap ke video dukemneter yang baru
diseledaikannya. "Apa yang mau dia kasih" Another blue film?" sindir Yogas membuat Joe terkekeh.
"Bukan. Ini sesuatu yang lebih daripada itu," Joe mencondongkan dirinya pada Yogas. "Lo harus
coba juga." Yogas menatap Joe tanpa ekspresi. Dia tahu kalau itu menyangkut Joe, pasti semuanya
berhubungan dengan cewek.
"Oke. Asala jangan lama-lama, karena gue harus transfer ini video. Gue ngejer deadline nih,"
Yogas akhirnnya menyanggupi.
"Siap, Bos. Dasar maniak film," cela Joe sambil terkekeh.
"Calon sutradar," ralat Yogas, dan Joe tergelak lebih hebat.
"Serius Joe, siapa sih yang lo tunggu?" tanya Yogas setelah menunggu selama satu jam di
belakang kantin sekolah yang sepi.
"Temen lama gue," jawab Joe, sekarang tampak gelisah. Yogas memperhatikannya bingung.
Tak lama kemudian, beberapa orang bertubuh besar dan bertato di sana-sini muncul. Sejenak
Yogas merasa mereka tidak mungkin teman lama yang dimaksud Joe, tapi saat kawanan itu
mendekati Joe, mendadak Yogas merasa takut. Yogas tidak tahu sejak kapaan Joe bergaul
dengan orang-orang seperti itu.
"Oi, Joe! Apa kabar lo?" sahut salah seorang dari nereka yang di wajahnya terhias codet. Yogas
bisa membaui alkohol dari jarak tiga meter.
"Baik. Mana barangnya?" kata Joe cepat.
"Sabar dong man," laki-laki codet melirik Yogas yang mundur teratur. "Wah, siapa nih" Temen
lo" Calon pelanggan baru?"
"Bukan," Joe menahan laki"aki itu yang sekarang sedang berjalan sempoyongan ke arah Yogas.
"Dia cuma temen gue."
"Temen ya?" laki-laki itu terkekh, lalu menarik Joe ke pinggiran, dan membisikinya sesuatu.
Yogas tak bisa mendengar mereka.
Tak lama kemudian, kawanan itu mendekati Yogas. Bau alkohol menguar hebat dari tubuh
mereka. Joe menatap Yogas takut-takut, dan itulah, Yogas tahu kalau sesuatu yang buruk akan
terjadi. Yogas baru akan kabur saat beberapa tangan menahannya. Yogas langusng meronta
sekuat tenaga, tapi kawanan itu jauh lebih besar darinya.
"LEPASIN GUE!!" sahut Yogas sekuat tenaga sambil berusaha melepaskan diri dari
cengkeraman dua orang besar yang ada di samoingnya. Namun, cengkeraman mereka malah
bertambah kuat. "DIEM LO!!" Seseorang bernapas busuk di depan Yogas balas menyahut. Seseorang yang
berdagu kasar menonjoknya dengan sekuat tenaga dan membuat pelipisnya berdarah.
"MAU APA LO!!" sahut Yogas lagi. Dia melirik Joe, sahabatnya yang ada tepat di belakang
lelaki yang tadi memukulnya. Ekspresi aneh, sama sekali tak dapat Yogas tebak. "Joe, apa
maksud lo, hah?" "Gas, gak sakit kok,"Joe berkata sambil membawa sebuah subtikan ke arah Yogas. Mata Yogas
membesar. "Cuma sekali doang, gak bikin ketagihan kok."
"Joe! Lo apa-apaan! Buang!" seru Yogas, tapi Joe seperti tidak punya pilihan. Laki-laki di codet
di belakangnya tampak sedang mengancamnya.
Kawanan itu terkekh saat Joe menghampiri Yogas yang sudah tak bisa berkutik lagi. Joe
membuka tutup suntikan itu, lalu salah seorang dari kawanan itu memberikan lengan kiri Yogas
yang sudah menegang karena kerasnya perlawanan Yogas.
"Sori, Gas," kata Joe, lalu dengan mata menatap lurus mata Yogas, Joe menusukkan suntikan itu
ke lengannya. Yogas sudah tak merasakan sakit. Dia hanya melihat mata sahabatnya dengan tatapan marah,
bertanya-tanya apa yang menbuatnya melakukan itu.
*** Yogas mencengkeram lengan kirinya kuat. Sudah sekian kama jenangan itu menjadi mimpi
buruk Yogas. Kejadian itu sudah berlalu sekitar enam tahun, tetapi rasa panas yang menjalar di
lengan Yogas masih terasa sampai sekarang. Yogas juga tidak bisa melupakan tatapan aneh Joe
saat dia menyuntikkan obat terlarang itu ke lengan Yogas.
Bukan, bukan obat terlaragnya yang membuat Yogas hancur. Obat tu emang berpengaruh sedikit
, tetapi Yogas berhasil melaluinya. Suntikan itulah yang membuat seluruh kehidupannya hancur.
Suntikan yang berasal entah dari mana dan membawa virus yang akan menjadi penyebab
kematiannya. Yogas menghantamkan kepalnya ke lantai, rahangnya mengeras. Bagaimanapun, dia harus
menemukan Joe untuk balas dendam. Karena kejadian itu, Yogas sudah tidak punya tujuan hidup
lagi. Kejadian itu juga yang membawanya pada seorang Kana, dan memaksanya untuk berpisah
u dia terpaksa dia nerima gue, No."
Eno menatap Yogas, paham dengan perasaannya.
"Beberapa waktu lalu, dia bilang dia mau nemenin gue. Tapi, sekarang setelah di sadar kalo dia
gak cukup kuat buat ngelakuin itu, dia malah ngerasa bertanggung jawab," kata Yogas. "Gue gak
bisa ngeliat dia susah payah merhatiin gue."
"Karena itu, gue mau pindah secepatnya. Karena udah terlalu bwerat setiap hari ketemu dia,"
kata Yogas lagi, matanya menerawang hampa. "Udah terlalu berat.
Eno menatap temannya itu lama. "Gas, menurut gue lo selesain masalah sama dia dulu. Jangan
main kabur. Kalo ternyata omongan lo sekarang cuma sugesti lo, lo bakalan nyesel karena udah
The Truth About Forever Karya Orizuka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kehilangan orang yang peduli sama lo."
"No, kalo pun emang bener gitu, itu memang resiko gue. Dari awal harusnya gue gak pernah
mulai," sanggah Yogas.
"Oke. Itu resiko lo. Tapi, apa lo berpikir sama buat dia" Kalo ternyata dia bener-bener peduli
sama lo dan lo tiba-tiba pergi begitu aja?" tanya Eno lagi. Yogas terdiam sebentar, tampak
berpikir. "Kalo gitu, suatu saat dia pasto bersyukur karena gak jadi mengalami masa-masa suram bareng
gue," kata Yogas lagi, menutup pembicaraan.
Eno pun tak bisa berkata apa-apa lagi.
*** Sudah beberapa hari ini, Yogas selalu menghindari Kana. Dia selalu bangun dan berangkat lebih
pagi, dia juga pulang larut malam di saat kana sudah tidur. Yogas benar-benar tidak ingin
bertemu dengannya. Kana sendiri bukannya tidak sadar. Dia sadar betul Yogas sedang menghindarinya. Sekarang
sudah pukul sepuluh malam, dan Yogas belum juga pulang. Kana melirik kamar Yogas yang
masih gelap. Kana menghela napas, tidak mengetahui penyebab Yogas kembali menjadi pemarah. Saat Kana
berbalik, dia mendapati Yogas yang sedang naik tangga. Yogas langsung membatu melihat kana
di depan kamarnya. Hari ini, dia salah perkiraan. Biasanya pukul segini Kana sedang sibuk
menulis atau malah sudah tidur.
"Hei. Ke mana aja beberapa hari ini?" tanya Kana sambil nyengir. Yogas menatapnya lama, lalu
meneruskan perjalanannya ke kamar tanpa menjawab. "Kamu sibuk ngapain sih, Gas" Ada
temen ya di sini?" Yogas melewati Kana tanpa banyak bicara. Dia mengeluarkan kunci dari saku celana dan
membuka pintu kamarnya sementara Kana masih berdiri di belakangnya, menunggu jawaban.
Yogas menghela napas lalu berbalik.
"Nih," Yogas mengeluarkan uang serarus ribuan dari dompetnya dan menyodorkannya pada
Kana. "Duit laundry, bubur, obat, sama apalah yang kemaren itu. Gue gak suka ngutang."
Kana hanya bisa bengong sambil memegang uang itu. Sementara Yogas mengernyit.
"Kenapa" Kurang?" tanya Yogas sambil kembalai mengorek dompetnya, tetapi tangannya segera
dicengkeram Kana. Yogas menatap cewek itu yang seperti sudah akan menangis.
"Gak perlu," kata kana dengan suara tercekat. Dia menyurukkan uang itu ke tangan Yogas. "Aku
gak ngerasa diutangin, kok."
"Tapi, gue ngersa ngutang. Lo mau gue bayar apa kalo gak mau duit?" tanya Yogas membuat
kana melongo. "Aku... Aku gak mau dibayar pake apa pun," kata Kana lagi, lalu menggigit bibirnya untuk
menahan tangis. "Oh" Kemaren lo bilang gue harus bayar," kata Yogas lagi.
"Kemaren, aku cuma bercanda," kata Kana. "Kamu gak harus bayar apa pun."
"Denger ya," kata Yogas mendekati Kana dan menatapnya tajam. "Apa lo ngerasa lo dewi
penyelamat" Mau nambah pahal dengan nolongin gue, gitu ya" Tapi, gimana ya, gue gak mau
utang budi sama lo. Jadi, mending lo bilang aja gue harus bayar pake apa. Apa pun gue lakuin."
Saat setetes air mata jatuh di pipinya, Kana segera menyekanya. Dia tidak tahu lagi harus
bagaimana menghadapi Yogas. Sekarang, dia sangat membenci Yogas dengan segala sikap
menyebalkannya itu. "Gas, kalo kamu bener-bener pengen bayar, bayar dengan perubahan sikapmu," kata Kana tegas.
"Mulai sekarang, jangan pernah lakuin ini lagi sama aku. Jangan pernah ngomong hal-hal kasar
lagi sama aku. Itu bayarannya. Bisa?"
Yogas menatap Kana lama. Kana membalasnya dengan berani. Yogas kemudian terkekeh,
membuat Kana bingung. "Lo pinter banget ya," kata Yogas, masih tertawa pelan. Dia berhenti tertawa dan menatap Kana
tajam. "Lo pinter banget akting. Harusnya lo jadi artis bukan penulis."
Kana menatap Yogas tak percaya sementara Yogas bergerak ke kamar. Sebelum Yogas masuk
ke kamarnya, dia menoleh pada Kana yang masih membatu.
"Akting lo bikin gue hampir percaya. Gue salut sama lo," katanya, lalu masuk dengan
membanting pintu. Kana masih terdiam untuk beberapa lama, sampai akhirnya air matanya kembali menetes dan
kakinya tak kuat untuk menopangnya. Dia jatuh terduduk di depan kamarnya dengan air mata
mengalir deras. Tadi, Kana tak bisa membalas perkataan Yogas, karena dia tahu Yogas benar. Selama ini, Kana
begitu munafik di depan Yogas, mengatakan hal-hal yang baik, padahal hatinya masih ragu.
Orang seperti Kana tidak layak untuk menemani Yogas.
Bukan salah Yogas kalau dia menganggap kebaikan Kana selama ini hanyalah akting. Kana tahu
betul akan hal itu, tetapi dia tidak tahu apa yang membuatnya sesakit ini.
I'll do Anything Lian melirik Kana cemas yang sedari tadi hanya menerawang dengan mata sembap dan tidak
memperhatikan kelas. Lian yakin ini lagi-lagi soal tetangganya itu, tetapi kalau dia bertanya,
pasti Kana akan menangis di tengah kelas.
Lian meraih tangan Kana yang dingin, kemudian menggenggamnya. Dia tahu, sahabatnya itu
pasti sudah mengalami banyak hal menyedihkan dengan Yogas. Lian tidak ingin itu terjadi,
karena Kana baru dua puluh tahun dan tidak layak mengalami hal-hal seperti itu. Umur segini,
Kana harusnya sedang menikmati masa-masa pacaran pertamanya dengan cowok keren, baik dan
normal. Lian menghela napas. Bukan salah Yogas kalau dia mengidap penyakit. Atau memang salahnya,
karena ini HIV. Entahlah, Lian sama sekali tidak tahu apa-apa soal Yogas. Masalahnya adalah,
sahabatnya ini sudah terlibat begitu jauh dengan cowok itu dan dia bisa benar-benar hancur kalau
terus-terusan begini. Sampai sekarang, Lian tidak habis pikir, kenapa orang yang pertama membuat Kana jatuh cinta
harus orang seperti Yogas. Kenapa takdir spertinya begitu kejam pada Kana.
Tiba-tiba, Lian tersentak dan menatap Kana lagi. Dia memang tidak ingin Kana sakit hati karena
Yogas, tetapi dia juga tidak ingin melihat sahabatnya seperti sekarang ini.
"Kan..." kata Lian pelan membuat Kana menoleh lemah. Matanya masih merah. "Kamu... kamu
tahu kenapa kamu bisa ketemu sama Yogas?"
Kana menatap Lian. "Mungkin... takdir?"
"Tepat," Lian mempererat genggamannya pada Kana. "Apa kamu gak pernah berpikir kalo
Tuhan punya maksud tertentu dengan mempertemukan kalian?"
Kana menatap Lian lekat-lekat, berusaha menebak jalan pikirannya.
"Tuhan mungkin berpikir... kalau kamu adalah satu-satunya orang yang sanggup bertahan untuk
Yogas. Makanya, dia mempertemukan Yogas sama kamu," lanjut Lian membuat Kana ingin
menangis lagi. "Karena tahu kamu pasti bisa bertahan, makanya Dia mempertemukan kalian.
Makanya... jangan menyerah!"
Lian tidak percaya dia bisa mengatakan ini pada sahabatnya. Dia pasti sudah gila karena
mendukung hubungan Kana dengan Yogas. Namun, bagaimanapun, Lian tahu Kana pasti
menyukai Yogas dan sudah sangat berkorban demi perasaannya itu. Lian tidak mau melihat
Kana menyesali cinta pertamanya.
Sekarang, Kana sudah menangis tak terkendali. Tubuhnya terguncang, menangisi kebodohannya
karena sudah ragu pada perasaannya sendiri. Inilah yang semalam membuatnya sangat sakit hati.
Yogas sudah menganggap perasaannya hanya akting.
*** Sudah berjam-jam Kana duduk di atas kasurnya sambil memeluk guling dengan mata
menerawang. Dia sudah banyak berpikir dan sudah sampai pada keputusannya. Dia tak akan
menyesali keputusannya itu, apa pun yang akan terjadi.
Kana melirik jam. Sudah pukul sebelas malam, dan Yogas belum pulang juga. Kana bangkit,
membuka pintunya, lalu mellirik kamar Yogas yang masih gelap. Kana menghela napas, lalu
bergerak ke kamar mandi. Langkah Kana terhenti saat dia melihat pintu tingkap ke lantai tiga terbuka lebar. Mungkinkah
itu Yogas" Kana menatap pintu itu ragu, lalu bergerak naik diam-diam dan mengintip ke lantai
tiga. Yogas tampak sedang berbaring di lantai, matanya menatap langit malam. Kana merasa
jantungnya berdegup kencang dan sekujur tubuhnya dingin saat melihat sosok itu. Kana
memberanikan diri untuk membuka pintu dan mendatanginya.
Yogas menoleh dan begitu mendapati Kana di pintu, dia langsung bangkiut. Setelah
membersihkan celananya dia bergerak, bermaksud turun. Dia sama sekali tidak ingin berduaduaan lagi dengan Kana setelah semua yang terjadi.
"Tunggu, Gas," kata Kana membuat Yogas menatapnya. Kana balas menatapnya ragu selama
beberapa saat. "Apa?" tanya Yogas ketus. "Ada yang mau dibicarain" Karena gue gak ada.
"Ada," jawab kjana. Sekarang, hatinya sidah mantap. Dia tidak akan mundur lagi.
Yogas mengernyit, tidak mengerti apa bahan pembuat hati Kana. Setelah dikata-katai macammacam, dia tetap saja mau berbicara dengan Yogas.
"Apa?" tanya Yogas lagi, tak berminat.
"Aku... suka sama kamu," ujar Kana tegas membuat Yogas melongo. "Walaupun dulu kamu
pernah bilang jangan suka sama kamu, sudah terlambat. Aku sudah suka sama kamu."
Yogas tak bisa berkata apa pun. Menggerakkan satu syarafnya pun dia tak sanggup. Yogas hanya
bisa menatap kana tak percaya. Matanya sudah berair karena belum berkedip sejak Kana selesai
bicara. "Ini bukan akting, Gas. Aku jujur. Mungkin, kemaren aku pernah ragu, tapi sekarang aku udah
yakin kalo aku suka sama kamu," kata Kana lagi, membuat kepala Yogas sakit. "Mulai sekarang,
sesakit apa pun, seberat apa pun, aku bakal tetep..."
"Tolong jangan ngomong sesuatu yang gak bertanggung jawab," potong Yogas geram.
Rahangnya mengeras. "Jangan ngomong hal-hal yang gak bisa lo pertanggungjawabin."
"Aku." "Apa lo sadar dengan omongan lo, hah?" bentak Yogas menbuat Kana terdiam. "Lo sadar lo
udah bikin diri lo masuk ke dalam masalah apa?"
"Aku... sadar..."
"Gak! Lo gak sadar!" sahut Yogas. "Denger, ini bukan masalah kecil! Suka atau apa pun itu, itu
gak bisa menolong!" "Tapi, Gas, aku bener-bener sayang sama kamu..."
Yogas menatap cewek di depannya nanar.
"Kalo lo sayang, terus lo mau apa" Nemenin gue sampe gue mati?" tanya Yogas membuat Kana
terdiam. "Lo siap dengan hujatan orang-orang nanti" Lo siap kehilangan masa depan lo demi
gue?" Kana menatap Yogas. Sesaat, dia ragu, tetapi dia tidak akan mundur.
"Aku siap!" sahut Kana tegas.
"Diam!" bentak Yogas frustasi. "Jangan ngomong seenaknya! Lo sama sekali gak tahu apa-apa!
Gue udah gak sanggup nahan beban gue sendiri, jangan tambahin beban gue dengan perasaan
lo!" Kana menatap yogas lagi, air matanya sudah mengalir. Yogas sendiri sudah pucat.
"Kita bisa bagi beban kita, Gas," jawab Kana, sebisa mungkin berusaha untuk tidak terisak.
Yogas terdiam untuk beberapa saat.
"Denger," kata Yogas, emosinya sudah reda. "Lo masih muda. Lo sehat. Lo punya masa depan.
Jadi, tolong jangan hancurin itu semua demi perasaan lo sama orang yang gak berharga kayak
gue. Gue sama sekali gak sebanding sama masa depan lo. Apa lo bisa ngerti?"
Kana sudah terisak. Yogas sebisa mungkin menatap apa saja selain Kana.
"Perasaan lo ke gue itu... cuma sementara. Lo cuma simpati," kata Yogas lagi. "Gue minta sama
lo, tolong jangan pernah ngomong hal-hal yang kayak gini lagi. Gue... capek."
Yogas kemudian berbalik, bermaksud turun. Namu, tiba-tina, tangannya dicengkeram oleh Kana.
Detik berikutnya, tangan Kana sudah memeluk Yogas dari belakang. Lagi-lagi, yogas membatu,
tak bisa menggerakkan satu pun anggota tubuhnya.
"Gas... Aku ngerti gimana perasaan kamu. Aku tahu kamu pasti gak mau ngerepotin orang lain.
Tapi, aku sudah bikin keputusan, Gas!" kata Kana di antara isakannya. "Gas... Kamu tahu kenapa
kita ketemu?" Yogas tak bisa menjawab. Seluruh syarafnya dimatikan oleh dua tangan yang melingkari
pinggangnya. "Karena ini takdir kita, Gas," kata Kana pelan. Dia mempererat pelukannya pada Yogas yang
masih bergeming. "Jadi, jangan menghindar lagi."
Ada jeda beberapa lama sampai akhirnya Yogas tersadar dari alam khayalnya yang indah. Yogas
menghela napas. "Gue... gak pernah percaya takdir," katanya dingin. Dia melepaskan tangan Kana, lalu bergerak
menuju pintu tanpa sekali pun menoleh ke belakang lagi.
Kana terduduk lemas di lantai semen yang dingin, terisak hebat sampai dadanya terasa sakit.
Kana tidak pernah menyangka mencintai ternyata sesakit ini.
*** "Takdir ... itu kejam ya," kata Yogas dengan mata menerawang.
Eno meliriknya simpati. Dia tahu, apa pun yang terjadi semalam bukanlah hal yang bagus, dilihat
dari ekspres Yogas yang seperti sudah mau mati.
Saat ini, mereka sedang berada di kost Eno karena hari ini Eno libur bekerja dan kuliah.
Semalam, Yogas tiba-tiba muncul di depan kamarnya dan langsung pingsan karena berlari dari
kost-nya. Sekarang setelah siuman, dia seperti mayat hidup.
'Udah tahu gue sekarat, masih aja diketemuin sama cewek itu," Yogas meracau dengan suara
serak, masih menatap langit-langit kamar Eno.
Eno menghela napas. Tentu saja, soal cewek itu. Cewek bernama Kana yang selama beberapa
minggu ini sudah banyak membantu Yogas. Cewek yang mungkin saja disayangi Yogas.
"Ternyata gue masih kurang cobaan," kata Yogas lagi.
"Emangnya, sekarang apa lagi, Gas?" tanya Eno hati-hati.
"Dia bilang dia suka sama gue," ujar Yogas membuat mata Eno melebar. "Dia bilang, dia siap
kehilangan masa depannya demi gue. Dia bilang semua hal yang mau gue denger."
Eno menatap sahabatnya yang tampaknya sudah tak berdaya itu. Yogas masih menatap langitlangit, rahangnya sudah mengeras.
"Kalau begini terus... Dia bisa bikin gue gak mau mati. Dia bisa bikin gue maruk mau hidup,"
lanjutnya. "Kalo gitu, hidup, Gas," balas Eno.
"No, gue mau hidup," ujar Yogas, air matanya sudah mengalir. "Gue gak mau mati. Tapi, gue
bisa apa" Gue udah divonis, No. Dan gue gak bisa melihat dia menderita nantinya."
Eno mengalihkan pandangan, tidak ingin melihat air mata sahabatnya.
"Gue gak bisa egois. Cukup gue aja yang menderita," lajut Yogas dengan suara tercekat. "Dari
awal, pertemuan gue sama dia itu kesalahan."
Yogas menarik napas dan menghelanya pelan.
"Tapi, sebenernya, lo juga suka sama dia kan, Gas?" tanya Eno membuat Yogas terdiam sesaat.
"Kalo suka... terus apa?" kaYogas sambil memijat dahinya.
Eno tahu, itu hanya cara untuk mneyembunyikan air mata yang terus menerus mengalir. Eno
merasa tidak bisa berbuat apa-apa untuk membantunya. Yogas sudah terlalu jauh untuk digapai.
*** Kana mendengar ketukan pintu di kamarnya, tetapi dia menolak untuk bangun. Dia tahu itu
tantenya yang memanggilnya untuk makan malam. Kana sama sekali tidak punya nafsi makan
setelah kejadian semalam. Sepanjang malan, Kana hanya menangis dan sekarang matanya sudah
bengkak. Sekarang, Kana nyaris tidak punya air mata lagi untuk menangisi Yogas. Kana hanya menatap
dinding di depannya, pikirannya penuh oleh kejadian semalam. Kana tidak tahu apa Yogas ada di
kamarnya atau sudah pergi lagi.
Kalau teringat pada kata-kata Yogas kemarin, Kana segera menangis lagi. Kana tahu benar
Yogas hanya berusaha melindunginya dengan mengatakan hal-hal kejam. Yogas tidak peernah
berniat buruk. Namun, bagaimana pun, Kana sudah menyukai Yogas apa adanya. Kana malah
ingin menemani Yogas menjalani hari demi hari, dan Kana sudah berjanji tidak akan ada
penyesalan. Kana menarik napas dan menghelanya mantap. Apa pun yang terjadi, dia tidak akan melepaskan
Yogas. Kana akan selalu ada untuk Yogas walaupun Yogas setengah mati menolak.
Kana tersenyum memikirkan tampang cemberut Yogas, kemudian jatuh tertidur.
*** Keesokan paginya, Kana bangun dengan semangat baru. Kata-kata kejam Yogas kemarin sudah
dilupakannya. Dia bertekad untuk memulai usahanya lagi hari ini.
Kana menatap cermin, matanya tampak sudah baikan setelah tidur semalam. Sekarang, yang
Kana rasakan hanyalah lapar sejak semalam dia belum makan. Kana cepat-cepat membuka pintu,
dan Yogas tiba-tiba lewat.
Yogas dan Kana saling tatap sampai akhirnya Yogas melengos menuju kamarnya. Kana
tersenyum simpul. "Abis dari mana, Gas?" tanya Kana riang membuat Yogas menoleh dengan
tampang bloon, seperti tidak percaya Kana masih baik-baik saja dan bisa menyapanya seperti itu.
Sebenarnya, Kana mau tertawa melihat ekspresi Yogas, tetapi ditahannya.
"Kenapa?" tanya Kana sambil nyengir. "Aku cantik, ya?"
Tampang Yogas jadi tambah bloon setelah mendengar kata-kata Kana. Masih dalam keadaan
syok berat, Yogas membuka pintu kamarnya dan masuk, meninggalkan Kana yang cengengesan
di luar. Yogas melepas jumpernya, lalu melemparnya ke kasur. Dia mengambdan meminumnya
sementara otaknya terus berpikir keras, bertanya-tanya mengapa Kana bisa sweriang itu setelah
kejadian dua malam lalu. Yogas terduduk di kasur, tetapi masih belum menemukan jawabannya. Cewek itu terlalu sukar
untuk ditebak. *** "Yogaaaaas! Makan malam!" seru Kana membuat mata Yogas terbuka.
Yogas masih sedikit mengantuk setelah tadi tertidir selama beberapa jam. Kamarnya masih gelap
gulita. Yogas bergerak sedikit, tetapi menolak untuk bangun.
"Yoooogaaaas!!" seru Kana lagi membuat Yogas batal memejamkan matanya. Yogas mengerjapngerjapkan mata, berusaha mengumpulkan setengah nyawanya yang masih hilang. Dia bersandar
pada tembok sementara Kana mengetuk pintu kamarnya lagi.
"Yogas, aku tahu kau ada di dalam. Buka, atau aku dobrak nih," ancam Kana membaut Yogas
menatap ke arah pintu. Dari jendela, tampak bayangan Kana yang sedang berkacak pinggang.
Sambil menghela napas, Yogas menyalakan lampu di jam tangannya sehingga empat angka
digital tertera do dana. 20:11. Berarti Yogas sudah ketiduran empat jam.
Yogas menggaruk kepalanya, pandangannya tertuju pada bayangan Kana yang masih setia
berdiri di depan kamarnya. Pikirannya melayang pada kejadian dua malam lalu, saat cewek itu
menyatakan perasaannya padanya. Perasaan yang akn diterima Yogas dengan senang hati kalai
saja dia tidak memliki penyakit mematikan seperti ini.
Yogas benar-benar tidak mengerti Kana. Cewek itu masih saja mendekatinya walaupun sudah
ditolak. Kenapa cewek itu masih bisa seceria ini"
The Truth About Forever Karya Orizuka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Gas" Gas" Kamu pingsan ya?" seru Kana dari luar, menyangka Yogas pingsan karena tidak
kunjung membuka pintu. "Aku panggilin Mas Ono biar didobrak ya!"
Yogas segera menyeret tubuhnya ke pintu walaupun kepalanya pusing. Dia tidak mau ada acara
pendobrakan atau apa pun itu. Yogas membuka pintu dan mendapati Kana sedang nyengir di
depannya. Yogas menatapnya tidak suka.
"Akhirnya... keluar juga," kata Kana dengan cengiran puas.
"Mau apa?" tanya Yogas, sadar telah dibohongi.
"Ni." Kana menyodorkan kotak makanan. "Tetangga selametan rumah baru, terus kita-kita pada
dikasih deh. Ini jatah kamu."
Yogas melirik kotak makanan itu. Kalau Yogas menerimanya, berarti semuanya akan terulang
lagi. Semuanya akan kembali ke awal. Yogas segera berpikir keras, sementara kana menatapnya
maklum. "Gue gak laper,' Kana menirukan intonasi dan mimik cuek Yogas yang biasanya. "Gue gak
butuh. Udah gue bilang, jangan peduliin gue."
Yogas menatap Kana tanpa ekspresi sementara Kana terkekeh. Kana menepuk bahu Yogas dan
menatapnya serius. "Aku tahu, Gas. Tapi, aku peduli sama kamu, dan kamu gak punya hak untuk ngelarang aku,"
ujar kana sungguh-sungguh. "Mau kamu tolak aku berapa kali, keputusanku sama. Aku bakal
tetep suka sama kamu."Yogas mengeraskan rahangnya. Tanpa banyak omong, dia memegang
tangan Kana yang tadi ada di bahunya dan menggenggamnya. Kana menatap Yogas tak percaya.
Yogas menarik Kana dan berderap ke lantai atas.
Kana hanya pasrah mengikutinya dengan hati berdebar. Kaki Kana lemas sejalan dengan
menguatnya genggaman Yogas di tangannya. Tangan Yogas begitu besar dan hangat. Kana mau
melakukan apa saja asal tangan itu tidak melepas tangannya.
Sesampainya di lantai tiga, Yogas melepas tangan Kana. Kana menatap punggung Yogas yang
lebar, benar-benar tidak menyangka akhirnya Yogas akan menyambut perasaannya.
"Gas..." "Lo tahu, kayaknya gue gak bisa bohong lebih lama lagi sama lo," kata Yogas membuat Kana
tidak jadi bicara. Kana mengernyit, tidak mengerti maksud perkataan Yogas. "Ada yang belum
lo tahu tentang gue."
"Apa?" tanya Kana.
Yogas berbalik, lalu menatap Kana dengan tatapan yang tidak pernah dilihatnya sebelumnya.
Tatapan ini begitu ramah, tetapi juga menyiratkan kesedihan.
"Gue gak tega liat lo terus-terusan begini,ujar Yogas lagi. "Jadi, sekarang gue bakal jujur sama
lo." Kana menatap Yogas yang tampak sangat serius. Cowok itu sekarang berjalan ke pagar pembatas
dan bersandar di sana. Kana mengikutinya dalam diam.
"Lo tahu kan, kenapa gue bisa kena HIV?" tanya Yogas membuat Kana mengangguk.
"Tapi, itu sudah bukan masalah, Gas. Itu kan sudah masa lalu," jawab Kana cepat. Yogas
menatap Kana dan mendesah.
"Lo juga tahu, kenapa gue di sini?" tanya Yogas lagi.
"Ng... karena kamu nyari cewek kamu," jawab Kana ragu sementara Yogas menghela napas.
"Cewek, ya..." katanya sambil menatap langit, lalu beralih pada Kana. "Denger, apa yang
bakalan lo denger ini mungkin bisa bikin lo kaget. Lo udah siap?"
Kana menatap Yogas bingung. Saat ini, Yogas benar-benar menakutkan. Kana punya firasat dia
tidak ingin mendengar apa pun. Namun, sebelum dia sempat biacara, Yogas sudah
mendahuluinya. "Gue di sini emang nyari orang yang nularin gue penyakit ini," kata Yogas, matanya tidak
menghindari mata Kana. "Tapi, sayangnya, orangnya bukan cewek."
Mata Kana melebar mendengar perkataan Yogas. Tangan dan kakinya langsung terasa dingin.
Kana tidak ingin mempercayainya.
"Jadi, lo tahu sendiri kan kesimpulannya?"" kata Yogas hati-hati. "Gue sebenernya..."
"NGGAAKK!" seru Kana tiba-tiba. Tangannya menutup kedua telinganya rapat-rapat. Kotak
makanan yang tadi dibawanya sudah jatuh, isinya berhamburan di lantai.
Yogas menatap Kana putus asa. Kana sekarang sudah gemetar, tidak ingin mendengar lebih
lanjut. Yogas mendekati Kana dan memegang kedua tangannya, tetapi cewek itu bersikeras
menutup kedua telinganya.
"Denger..." kata Yogas lembut sementara Kana menggeleng-geleng. "Denger, maafin gue. Tapi,
mungkin ini kesalahan gue, karena dari awal gue gak jujur sama lo."
Kana masih menolak untuk menatap Yogas.
"Kamu... bohong, kan?" ujar kana lambat-lambat. Dia mengangkat pandangannya dari lantai dan
menatap Yogas lekat. "Kamu bohong, iya, kan" Ini cuma salah satu cara kamu lagi supaya aku
berhenti suka sama kamu, iya kan?"
Yogas menatap Kana yang matanya sudah berair, lalu menghela napas.
"Gue gak bohong..."
"BOHONG!" seru Kana histeris. "Kamu kejam, Gas! Kenapa kamu ngelakuin segala cara buat
ngejauhin aku dari kamu?"
Selama beberapa saat, Yogas tak bersuara, bingung menghadapi cewek mungil yang tampak
rapuh di depannya. Yogas mengeluarkan selembar foto yang sudah kusut dari saku celananya
dan mengukurkannya pada Kana. Awalnya, Kana tak mau menerima, tetapi akhirnya dia
memegangnya juga meskipun dengan tangan yang gemetar.
Kana tertegun melihat foto itu. Di sana, Yogas sedang dirangkul oleh seorang cowok yang kirakira sebayanya. Mereka memakai seragam SMA. Di dalam foto itu, Yogas tampak ceria, dengan
senyum lebar yang tak pernah dilihat Kana.
"Namanya Joe," jelas Yogas tanpa diminta. "Dia sekelas sama gue waktu SMA."
Kana memberanikan diri menatap Yogas meskipun air matanya sudah mengalir. Dia ingin
bertanya, tetapi lidahnya kelu.
"Gimana kisah gue sama dia, lo gak harus tahu. Tapi, sekarang lo tau kan, kenapa. Gue gak bisa
nerima lo?" Yogas menatap Kana dengan senyum lemah. "Gue bener-bener gak bisa ngeliat lo
sedih lagi." Kana sudah jatuh terduduk sambil terisak. Dia benar-benar tidak menyangka kalau alasan Yogas
selama ini tidak mau menerimanya adalah karena Yogas seorang gay.
Yogas menghampiri Kana dan berjongkok di depannya.
"Lo jijik sama gue sekarang?" tanya Yoas, tetapi Kana tak lengsung menjawab. Yogas menghela
napas. "Tapi, gue berhak menrima itu. Disukain sama cewek sebaik lo, gue bener-bener
bersyukur. Sekarang, kalo lo jijik sama gue, ini hukuman buat gue karena selama ini udah bikin
lo nangis." Isakan Kana semakin keras. Dadanya benar-benar sakit karena pengakuan Yogas. Kalau selama
ini Yogas tidak mau menerrimanya karena Yogas takut merepotkan, Kana bisa menerima.
Namun, kalo Yogas adalah seorang gay" Kana terlalu takut untuk menerima kenyataan itu,
karena dengan demikian, Yogas sudah tidak mungkin lagi untuk diraih.
Yogas menatap cewek yang seluruh badannya berguncang itu. Yogas ingin sekali mendekapnya
untuk menenangkannya, tetapi Yogas harus menahan semua keinginannya itu.
"Kalo lo mau gue pergi, sekarang juga gue pergi dari sini, kata Yogas lagi, membuat kana
mendongak. Gue gak akan ganggu lo lagi."
Kana, yang belum sanggup bicara, tiba-tiba meraih kaus Yogas. Yogas menatap Kana yang
menggeleng lemah. "Bukan salah kamu," ujar Kana di sela-sela isakannya. "Jangan pergi."
Yogas menarik cewek itu dan menariknya ke pelukannya. Yogas mendekap cewek itu erat
sementara Kana terus terisak. Sekarang, Yogas benar-benar ingin waktu berhenti.
"Gas..." kata Kana. "Kalo kamu bilang kamu bohong sekarang, aku masih bisa maafin kamu."
Seketika Yogas kembaldarnya. Dia melepaskan Kana dan menatap mata cewek itu dalam-dalam.
"Maaf," kata Yogas menbuat Kana kembali terisak. "Tapi, gue seneng bisa ketemu orang kayak
lo. Suatu saat lo pati bisa ketemu sama orang yang jauh lebih baik dari gue."
Kana masih terisak sampai akhirnya Yogas memgang kedua pipi Kana dan menghapus air
matanya. Yogas menatap mata Kana dalam-dalam.
"Kana," kata Yogas membuat mata Kana melebar tak perccaya. "Maaf. Dan, terima kasih."
Setelah mengatakannya, Yogas berdiri dan bergerak turun sementara Kana masih terpaku. Kana
memgang pipinya sendiri, mencoba untuk merasakan kembali kehangatan tangan Yogas. Kana
kemudian terisak lagi, setelah suara Yogas saat memanggil namanya untuk pertama kalinya
bergaung di kepalanya. Kenyataan ini terlalu menyakitkan.
*** Eno sedang mengetik skripsinya saat terdengar suara ketuka keras di pintu. Eno melirik jam.
Sepuluh lebih sepuluh. Heran, eno menghampiri pintu dan membukanya. Yogas segera masuk
dengan terburu-buru. Napasnya tersengal, sama seperti kemarin malam.
"Gas" Sekarang kenapa lagi?" tanya Eno bingung sementara Yogas mondar-mandir seperti orang
linglung. "Untuk sementara ini beres," gumam Yogas kalut.
Eno menatapnya cemas. "Gas" Apanya yang beres?"
"Untuk sementara ini, gak usah cari kost dulu," kata Yogas lagi, lalu memgang kedua bahu Eno.
"Sekarang, kita fokusin buat nyari Joe dulu."
"Kenapa sih?" tanya Eno, gerah sendiri melihat kelakuan sahabatnya yang persis seperti orang
tidak waras. "Kenapa gak jadi pindah kost" Lo apain cewek itu sampe dia nyerah?"
"Gak penting," Yogas menjambak-jambak rambutnya sendiri. "Sekarang..."
"Gas, liat gue!" Eno menarik kaus Yogas sehingga Yogas mau tidak mau menghadap temannya
itu. "Gak mungkin gak penting kalo kelakuan lo jadi aneh begini!"
Yogas menatap Eno kesal. Dia melepaskan I dari cengkeraman Eno.
"Udahlah, No, yang penting udah beres," ujar Yogas lalu mengangguk-angguk sendiri. "Besok
kampus mana ya..." Eno membalik tubuh Yogas dan memukulnya tepat di pelipis hingga terjatuh. Yogas mengerang
kesakitan sambil menatap temannya itu garang.
"Apa maksud lo, No?" seru yogas tak terima.
"Lo udah sinting, Gas!" sahut Eno emosi.
"Gue bukan sinting, No, geu penyakitan!" Yogas balas menyahut, lalu tertawa sendiri. Eno
menggeleng tak percaya. Dia menarik kaus Yogas dan meninju wajahnya sekali lagi. Bibir
Yogas sekarang sobek. Darah mengalir dari bibir Yogas, tetapi Yogas tak melakukan apa pun. Tinjuan Eno yang
terakhir sudah membuatnya sadar.
"Apa gas?" tanya Eno geram. "Apa yang lo bilang sama dia?"
"Gue bilang kalo gue gay," jawab Yogas membuat cengkeram Eno pada kausnya lepas. "Gue
udah bikin dia percaya kalo gue nyari Joe gara-gara dia nularin gue HIV lewat hubungan seks."
Eno mundur perlahan mendengar cerita Yogas. Dia tidak bisa mempercayai pendengarannya.
"Tapi, kenapa...," katanya tercekat. "Kenapa lo harus berbuat sejauh ini?"
Yogas terkekeh, dia meraih tisu gulung di dekatnya dan mengelap darah yang sudah mengalir ke
dagunya. "Tapi, gue berhasil, kan" Dengan begini, dia gak bakal ngedeketin gue lagi," kata Yogas. "Dia
udah. Nyerah. Sekarang gue bebas dari masalah gak penting ini."
"Gak penting, ya?" ulang Eno. "Lo sampe mau gila begini, dan lo masih bilang ini bukan
masalah penting?" Yogas terdiam sejenak, lalu menatap Eno garang. Tanpa diduga Eno, Yogas tiba-tiba bangkit dan
menyerbu Eno. Eno berhasil kena bogem mentahnya sampai terpelanting.
Antara Budi Dan Cinta 5 Pembakaran Kuil Thian Lok Si Karya Kho Ping Hoo Dendam Pendekar Gila 2