Pencarian

Crash Into You 4

Crash Into You Karya Aliazalea Bagian 4


buta akan kecacatannya. Mungkin Dara tidak bisa melihat ini, tapi dia sudah menerima karmanya
dengan belum pernah memiliki hubungan serius dengan laki-laki semenjak SMP. Akhirnya aku
memutuskan untuk tidak menghiraukan komentar Dara.
"Pokoknya nanti kalau lo ketemu sama Elang, lo jelasin saja ke dia kalau lo mau mulai casual dulu,
supaya dia nggak salah sangka," ucap Jana sambil memberikan senyuman penuh dengan dukungan
padaku. Aku baru akan protes lagi ketika Adri memotongku, "Lo coba saja dulu, Nad. Kalau misalnya nanti nggak
cocok, lo kan nggak rugi apa-apa."
Akhirnya aku mengangguk, menyetujui rencana itu. Aku tidak tahu apakah aku baru saja setuju untuk
menyelam sambil minum air atau malah sudah jatuh tertimpa tangga" Aku bahkan tidak tahu apakah
dua peribahasa itu tepat untuk menggambarkan situasiku. Aku rasa aku akan tahu dalam waktu dekat ini.
Bab 15 6 Maret Aggghhh". Bisa nggak sih cowok itu jadi normal dan ngomong jelas-jelas apa yang ada di pikirkan
mereka" Gue kan sudah dewasa, gue bisa terima kok kalau misalnya dia bilang dia memang nggak suka
sama gue. Mesipun itu mungkin akan ngebunuh gue, tapi gue tetap bisa terima kalau itu memang
kenyataannya. *** Bertekad untuk melupakan Kafka sepenuhnya, aku membuka pikiranku lebar-lebar ketika bertemu
dengan Elang yang ternyata memang segala sesuatu yang telah digembar-gemborkan oleh Jana. Dan
kalau saja kepalaku tidak masih terpaku pada Kafka, maka aku pasti akan merasa tersanjung oleh
perhatian yang diberikan Elang padaku. Lain dengan Kafka yang memang sudah memiliki sejarah
denganku, bersama Elang aku mulai dari angka nol. Keuntungannya adalah bahwa aku memulai
lembaran baru yang masih putih bersih tanpa ada memori trauma atau persepsi apa pun mengenainya.
Sisi negatifnya adalah bahwa karena aku tidak mengenalnya sama sekali, maka aku harus melakukan
tahap penjajakan yang cukup lama.
Pada kencan pertama, pada dasarnya kami hanya membicarakan tentang Kafka dan usahaku untuk
melupakannya. Elang dengan rela dan sabar mendengarkan ceritaku, dan tanpa di minta dia langsung
berkata bahwa dia mengerti kalau misalnya aku memerlukan waktu untuk sendiri dulu. Tersentuh pada
kesensitifannya, aku langsung mengajaknya untuk kencan yang kedua. Hal ini terus berlanjut sehingga
tahu-tahu aku sudah menghabiskan setiap akhir mingguku dengan Elang selama sebulan terakhir ini.
Meskipun begitu, Kafka masih tetap ada di dalam pikiranku, walaupun sudah tidak sesering dulu lagi.
Aku kini bahkan bisa pergi bertemu dengan Karin tanpa harus waswas dia akan menyebutkan nama
Kafka di hadapanku atau bahkan bertemu dengan Kafka sekalian. Aku tidak tahu penjelasan apa yang
dikatakan oleh Kafka kepada Karin ketika dia hampir memergoki kami di Onwer"s Box kelabnya itu,
tetapi klienku itu sama sekali tidak pernah menyinggung perkara tersebut. Awalnya aku tidak tahu
apakah aku seharusnya merasa lega dengan keadaan ini atau justru kecewa. Tapi setelah setiap kali
mencoba mengingat betapa beruntungnya aku dengan kecuekan Karin dan akhirnya justru merasa kesal,
maka aku menyimpulkan bahwa kekecewaanlah yang kurasakan karena Kafka jelas-jelas tidak pernah
menceritakan tentang sejarahku dengannya pada adiknya itu.
Menginjak bulan april aku sudah mulai merasa sedikit nyaman dengan kehidupan keseharianku yang
baru dan bebas dari Kafka. Janji kencan dengan Elang hari sabtu" Beres. Kesehatan jantung Papa sehat
dan stabil. Website setiap klien di bawah naunganku" So far belum ada yang mengeluh kepada bosku
dan mengatakan bahwa aku tidak kompeten. Cekcok dengan rekan kerjaku tanpa ada alasan yang jelas"
Hanya satu kali dan itu pun tidak di depan semua orang dan menurutku hanya bisa dikategorikan
sebagai diskusi karena perbedaan pendapat yang akhirnya bisa terselesaikan dengan damai. Berapa kali
Kafka terlintas di dalam pikiranku" Hanya sekitar sepuluh kali setiap hari yang merupakan kemajuan
pesat kalau mengingat bahwa Kafka selalu muncul di dalam pikiranku setiap lima menit selama bulan
Januari hingga Februari. Dan mudah-mudahan pada akhir minggu ini aku sudah bisa menurunkan angka
itu menjadi satu digit saja. Kini setidak-tidaknya rasa sakit yang menyerang jantungku kalau tiba-tiba
teringat akan Kafka sudah tidak separah dulu lagi.
Karena sudah melakukan kesalahan yang cukup fatal dengan Kafka, aku berusaha sebisa mungkin untuk
menguah tatacara pendekatanku dengan Elang dengan melakukan segala sesuatu yang tidak kulakukan
ketika dengan Kafka dan tidak melakukan hal-hal yang kulakukan dengan Kafka. Intinya aku kembali
sembunyi dibalik topengku sebagai orang yang ramah, tapi kini aku mencoba mebuat diriku mengerti
bahwa sifat ramahku bukanlah topeng melainkan wajahku yang sebenarnya. Awalnya aku merasa agak
canggung, tapi semakin hari aku semakin yakin bahwa sobat-sobatku benar. Inilah diriku yang
sebenarnya. Nadia yang ramah, sopan, penuh perhatian, baik, dan penyayang. Setelah berpikir-pikir lagi,
aku menyadari bahwa tingkah lakuku kalau sudah berurusan dengan Kafka adalah suatu pengecualian
yang harus kuabaikan. Dan sepertinya usaha pengabaianku cukup berhasil karena hubunganku dengan
Elang tidak ada mirip-miripnya dengan hubunganku dengan Kafka. Hingga kini Elang masih tetap sopan
dan tidak pernah menyebutkan satu kata pun yang menyerempet urusan pakaian dalam, dia bahkan
belum pernah memberiku ciuman atau menggandeng tanganku tanpa seizinku. Yang jelas dia belum
pernah melihatku bertingkah laku liar seperti melakukan aksi striptease karena mabuk berat.
Dengan Elang aku kembali kepada pola pendekatanku dengan semua pacarku yang terdahulu, yaitu pola
yang terasa nyaman dan terbukti efektif karena tidak ada dari mereka yang pernah pergi
meninggalkanku tanpa ada kabar berita. Dan kusadari bahwa inilah jenis hubungan yang kuperlukan.
Sesuatu yang meskipun kelihatan membosankan tetapi aman. Jenis hubungan saat kalau aku mau aku
bisa menarik diriku kapan saja tanpa ada penyesalan yang mendalam. Tetapi lain dengan sebelumsebelumnya, kini aku merasa bersalah kepada Elang karena telah membuatnya percaya bahwa
perasaanku padanya lebih dalam daripada yang kini kurasakan. Selama enam minggu belakangan ini aku
sudah mencoba untuk meyakinkan diriku bahwa perasaan tidak enak yang kualami setiap kali keluar
dengan Elang lambat-laun akan hilang setelah aku sudah mulai terbiasa dengannya. Tapi kini aku tahu
bahwa perasaan tidak enak itu tidak akan pernah pergi selama hubungan kami masih di dasari alasan
yang salah, dan aku tahu bahwa aku harus segera mengakhiri sandiwara ini sebelum betul-betul
menyakiti seorang laki-laki sebaik Elang.
*** Ketika bulan Mei tiba, aku sudah siap untuk mengakhiri hubunganku dengan Elang, tetapi sebelumnya
aku harus melalui mala mini terlebih dahulu. Seminggu yang lalu sebuah undangan datang dari Empire
dengan tanda tangan ketiga pemiliknya. Kelab itu akan merayakan ulang tahunnya yang pertama. Kali ini
aku memutuskan untuk pergi bukan karena paksaan dari bosku, tetapi karena ingin membutikan kepada
diriku sendiri bahwa keputusanku mengakhiri hubungan dengan Elang bukan Karena aku masih
menyimpan rasa untuk Kafka. Dan aku yakin bahwa cara terbaik untuk melakukannya adalah dengan
pergi ke acara ini dengan harapan bahwa aku akan bertemu dengan Kafka dan aku tidak akan merasakan
apa-apa. Tidak ada rasa seperti ada yang menusuk jantungku dengan pisau, memasukkan gumpalan
kapas ke dalam mulutku sehingga aku tidak bisa bernapas, atau sesuatu yang terbang-terbang di dalam
perutku. Aku TIDAK AKAN merasakan apa-apa.
Tepat pukul delapan malam Elang menjemputku dari rumah kosku untuk menuju Empire. Selama
perjalanan yang memakan waktu satu jam itu, keringat dingin mulai membasahi cheongsam yang
kukenakan. Dan sepertinya perayaan ulang tahun Empire ini akan lebih meriah dariapada acara Tahun
Baru karena pelataran parkir sudah superpadat sehingga memerlukan waktu setengah jam untuk
mendapatkan tempat parkir. Seakan-akan itu belum cukup, di hadapan pintu masuk kelab, karpet merah
terbentang dan di penuhi artis Indonesia yang sedang berpose untuk diambil fotonya atau menjawab
pertanyaan para reporter. Intinya acara ulang tahun kelab ini kelihatannya akan lebih meriah daripada
malam penganugerahan Piala Citra atau malam final Indonesia Idol. Aku yang masih terkesima dengan
pemandangan di hadapanku hanya bisa terdiam dan memerintahkan kakiku untuk tetap bergerak.
Elang yang sepertinya lebih bisa memahami keadaanku di sekelilingnya, tidak melepaskan genggaman
tangannya dan menuntunku melalui karpet merah itu, menuju pintu masuk. Selama berjalan, tidak
hentinya aku mendengar para reporter berteriak untuk meminta salah satu artis agar berpose untuk
mereka, bunyi klik". Klik" klik", dan merasakan kerlipan blitz kamera mereka. Ketika kami sampai di
pintu masuk kelab, dapat kurasakan bagian belakang cheongsam-ku sudah basah kuyup. Aku mencoba
meyakinkan diriku sendiri bahwa keadaan fisikku ini disebabkan cuaca Jakarta yang sangat ekstrem
akhir-akhir ini, tetapi keyakinan ini amblas ketika aku baru mengambil satu langkah memasuki Empire
dan berhadapan langsung dengan sumber kepanikanku. Dia mengenakan satu set jas berwarna hitam,
berikut rompinya, dibawahnya dia mengenakan kemeja berwarna putih dengan cuff-links berwarna
emas, tanpa dasi. Seakan-akan apa yang dia kenakan belum cukup untuk membuatku ingin menendang
diriku sendiri, kepala hampir plontos ala David Beckham-nya membuat langkahku terhenti di tempat.
Aku hanya bisa menatapnya dengan mulut terbuka.
Selama ini aku menyangka bahwa Kafka itu looks good, tetapi malam ini". OH, MY GOD". Dia
membawa kata "good" ke level yang lebih tinggi lagi. Seperti kalau melihat Oreo brownies, aku ingin
melarikan lidahku untuk merasakannya. Merasakan seluruh tubuhnya, dari ujung rambut hingga ujung
kaki, sebelum kemudian mengambil sendok, memakannya sedikit demi sedikit untuk betul-betul
menikmatinya dan mengucapkan kata "mmmhhh" ketika rasa brownies itu menyentuh lidahku dan
meleleh di dalam mulutku.
Elang yang menyadari bahwa aku sedang bengong segera mengikuti arah mataku dan berkata, "Ahh,
jadi ini yang namanya Kafka."
Mendengar kata-kata itu aku langsung menelan ludah sebelum menoleh dan melihat Elang sedang
tersenyum penuh pengertian. Ohhh". Aku memang tidak berhak untuk berdiri di sebelah orang sebaik
Elang. Dengan perasaan bersalah aku mengangguk. Untungnya kemudian seorang staf Empire atau
mungkin staf event organizer acara ini yang mengenakan pakaian serba-hitam meminta kami untuk
terus melangkah maju agar tidak membuat macet aliran tamu yang datang, sehingga aku tersadar
kembali dari shock-ku. Seperi merasakan kehadiranku, Kafka menoleh dan mata kami bertemu. Tanpa
ada seutas rambut pun yang menutupi matanya, untuk pertama kalinya aku menerima efek penuh dari
tatapan matanya yang teduh itu. Sekilas aku seperti melihat semua perasaan yang tidak terkatakan
olehnya. Percampuran antara pertanyaan, harapan, kekecewaan, dan kemarahan, semua perasaan yang
juga kurasakan ketika melihatnya. Tapi lebih dari apapun, tatapannya itu menyulutkan rasa untukku.
Dan meskipun rasa itu tidak dalam, tetapi aku lebih memilih ekspresi seperti ini daripada perlakuan
dinginnya padaku. Tapi kemudian tatapan Kafka beralih kepada Elang yang berdiri di sampingku dan ketika tatapan itu
kembali kepadaku, ekspresinya sudah berganti menjadi sesuatu yang hanya bisa kugambarkan sebagai
kekosongan, seperti seseorang yang tidak mampu merasakan apa-apa, bahkan cintaku yang sudah
meluap-luap sampai-sampai hanya melihatnya lagi saja setelah tiga bulan ini membuatku sesak napas.
Dan pada detik itu aku menyadari bahwa kedatanganku ke Empire malam ini adalah kesalahan paling
fatal yang pernah kulakukan sepanjang hidupku. Kenapa aku melakukan ini pada diriku sendiri" Masih
mengharapkan mimpi yang jelas-jelas tidak akan pernah menjadi kenyataan. Kalau saja tanganku tidak
sedang digenggam erat oleh Elang. Aku mungkin sudah lari keluar kelab itu seperti sedang dikejar setan.
Dan ternyata itulah yang kuperlakukan untuk mengatasi situasi yang ada di hadapanku. Aku lebih rela
mati daripada menunjukkan kepada Kafka bahwa dia sudah menyakitiku dengan tidak menghiraukanku
sehingga membuat takut berhadapan dengannya. Kutarik napas dalam-dalam dan bersiap-siap untuk
melambaikan tangan kepada Kafka ketika tiba-tiba Karin muncul di hadapanku dan menutupi Kafka dari
pandanganku. "Nadia, you made it," ucap Karin antusias sambil memeluk dan mencium pipi kiri daan kananku dengan
mengatakan "muah" setiap kali pipi kami bertemu.
Aku membalas pelukan dan ciuman itu tetapi terlalu mengahargai harga diriku untuk mengikuti ciuman
ala Tyra Banks dan memutuskan untuk merapatkan bibirku dan tidak mengatakan "muah". Karin lalu
berlanjut dengan memintaku untuk berputar dihadapannya agar dia bisa betul-betul menilai pakaian,
sepatu, dan aksesori yang kukenakan malam itu. Dia kemudian tersenyum dan aku yakin bahwa
penampilanku memenuhi standarnya.
"And who"s this?" Tanya Karin sambil dengan tidak sopannya menatapn Elang dari ujung rambut hingga
ujung kaki. Kini giliran Elang yang menerima tatapan kritis Karin.
Sebelum aku bisa membuka mulut, elang sudah berkata, "Elang. Date Nadia untuk malam ini," sambil
mengulurkan tangannya, siap menjabat tanga Karin.
Date-ku ini tidak kelihatan risi sama sekali di bawah tatapan Karin. Dan memang tidak memiliki alasan
untuk merasa risi. Sejujurnya, setelah Kafka mungkin Elang adalah laki-laki nonselebriti yang
mendapatkan paling banyak perhatian, tidak hanya dari perempuan, tapi juga beberapa laki-laki di
Empire malam itu. Salah satu lengkungan alis Karin yang sempurna itu naik beberapa derajat ketika
mendengar penjelasan elang tentang statusnya, yang membuatku bertanya-tanya kenapa dia
kelihatannya tidak menyetujui hubunganku dengan Elang. Dan kenapa aku harus peduli tentang
perasaan klienku ini terhadap Elang" Toh aku tidak perlu persetujuannya untuk nge-date dengan siapa
pun yang aku mau. Ketika aku mulai khawatir bahwa Karin akan menolak untuk menjabat tangan dateku, dia mengulurkan tangan dan menjabat tangan Elang dengan singkat. Aku tahu bahwa Elang
menyadari bahwa Karin sedang memberikan perlakuan dingin padanya, karena tanda-tanda yang
diberikan oleh Karin tidak bisa dikatakan halus, tetapi tidak sekali pun senyuman yang menghiasi wajah
Elang menghilang. Untuk mengalihkan perhatian Karin dari Elang, aku membuka topic baru.
"Omong-omong sejak kapan Empire ganti dekor?" ucapku sambil manatap sekelilingku yang kelihatan
cukup terang sehingga aku bisa melihat sebuah panggung cukup besar yang terletak di sudut kelab, dan
di atasnya ada beberapa TV flat-screen.
Kusadari bahwa musik yang terlantun dari speaker adalah lagu Aerosmith, bukan jenis musik yang biasa
di dengar oleh pengunjung Empire, belum lagi musik itu dipasang dengan volume yang cukup rendah,
sehingga aku bisa berbicara dengan Karin tanpa harus berteriak. Sebulan yang lalu ketika aku bertemu
dengan Karin untuk membahas informasi apa yang ingin di iklankan di website Empira tentang perayaan
ulang tahun ini, klienku itu berkelakuan seperti dia sedang menyimpan rahasia Negara dan tidak
mengatakan padaku apa yang dia rencanakan. Dia hanya memintaku untuk menambahkan kata-kata
"COME AND CELEBRATE OUR 1st ANNIVERSARY. DOOR OPENS AT 8 PM" dengan huruf Arial Black
berwarna merah darah dan efek Ease In. kata-kata inilah yang pertama kali menyambut setiap orang
yang membuka website Empire.
"ini ide Maya untuk anniversary Empire," jelas Karin dengan mata berbinar-binar. Ketika melihat tatapan
bingungku, dia menambahkan, "Karaoke Night" dengan antusias.
Mulutku hanya bisa membentuk huruf O tanpa mengeluarkan suara. Aku sedang mencoba untuk
memutuskan apakah ini adalah ide paling brilian yang pernah dikeluarkan oleh seseorang atau justru
paling tidak masuk akal. Aku belum pernah mendengar konsep clubbing yang digabungkan dengan
karaoke, dan aku tidak yakin bahwa kedua konsep ini BISA digabungk.
"So what do you think?" pertanyaan Karin membuyarkan jalan pikiranku.
"Uhm" idenya agak beda dari biasanya," jawabku hati-hati, padahal yang sebetulnya ingin aku katakana
adalah, "Lady, are you crazy?"
"Yesss" I know. Isn"t it brilliant?"
Aku hanya mengangguk karena bukannya aku bisa mengatakan hal yang bertolak belakang dengan
pendapat klienku yang kelihatan lebih antusias daripada anak kecil ketika bertemu dengan Santa Claus
untuk pertama kali. Selama sepuluh menit ke depan Karin menyempatkan diri untuk menjelaskan
konsep Karaoke Night itu dengan panjang-lebar. Meskipun tatapanku mengarah pada wajah Karin,
tetapi pikiranku sudah melayang entah ke mana. Mungkin ini perasaanku saja, tetapi aku bisa
merasakan tatapan Kafka padaku, membelai kulitku sehingga membuat bulu-bulu di tanganku berdiri.
Tetapi aku menolak untuk berjinjit dan melihat ke belakang Karin untuk memastikan apakah Kafka masih
berdiri di sana atau tidak. Setelah Karin selesai dengan penjelasannya dan meninggalkan aku berdua
dengan Elang. Kafka sudah tidak kelihatan di mana pun. Dan seharusnya aku bisa mengembuskan napas
lega, tetapi perutku justru terasa seperti sedang diikat dengan simpul jangkar.
"Jadi itu adik kafka?" Tanya Elang padaku. Aku cukup terkejut Elang masih ingat tentang Karin, seingatku
hanya menyebutkan namanya satu kali, yaitu ketika kencan kami yang pertama. Aku pun mengangguk
dan Elang tidak mengatakan apa-apa lagi.
Selama dua jam kemudian, setelah mendengar pidato terima kasih yang diucapkan oleh Maya (Akhirnya
aku bisa juga melihat pemilik Empire yang satu lagi. Yang aku tidak tahu adalah bahwa Maya ini adalah
Maya Saputra, salah satu pengarang lagu paling top Indonesia), aku mendengar dua puluh persen
populasi pengunjung Empire malam itu menampilkan bakat mereka di atas panggung dengan
menyanyikan berbagai macam lagu. Mulai dari Baby Got Back hingga The Thong Song, dari selamanya
cinta milik Yana Julio hingga kau dan aku-nya nidji, banyak dari mereka memiliki suara yang lumayan,
terutama beberapa artis sinetron yang sama sekali tidak kusangka bisa menyanyi, tapi banyak juga dari
orang-orang itu tidak bisa membedakan kunci G dengan kunci F, atau A minor dengan A mayor.
Meskipun begitu, para pengunjung Empire kelihatan antusias dengan hiburan ini dan terus meneriakkan
dukungan mereka, bahkan nge-dance dengan lagu apa pun yang dipilih oleh si pemegang mic saat itu.
Sejujurnya aku menikmati malam itu lebih daripada yang ingin kuakui. Aku tidak bisa ingat terakhir kali
aku tertawa hingga pipiku sakit dan leherku serak. Tawaku semakin menjadi ketika melihat cara Elang
nge-dance ala Mansyur s. tidak peduli bahwa lagu yang sedang dinyanyikan adalah hip-hop, rock,
ataupun pop. Tapi di antara semua tawaku, pikiranku tidak bisa jauh dari Kafka, terutama ketika tanpa
kusadari atau kuinginkan tubuhku sudah bereaksi terhadap Kafka. Beberapa kali aku merasakan
embusan angin dingin pada tengkukku dan membuatku bergidik sebelum kemudian kulihat bahwa Kafka
sedang memperhatikanku dari seberang ruangan sambil menyipitkan mata. Rompi hitam yang
dikenakannya sudah ditanggalkan kancingnya dan dia menggenggam gelas pendek, yang aku yakin isinya
bukan es teh, di tangan kanannya. Dia kelihatan seperti bos mafia yang sedang marah.
Awalnya aku bertanya-tanya kenapa dia tidak turun ke lantai seperti Maya dan Karin yang kelihatan
sedang bersosialisasi dengan para pengunjung dan menikmati suasana riuh-rendah Empire malam itu,
tapi setelah dua jam dan melihat wajah Kafka tidak berganti ekspresi, aku yakin bahwa dia sedang
berusaha untuk menakut-nakutiku dengan tatapannya. Sekali lagi aku menolak memberinya keputusan
itu. Aku tahu detik ketika tatapan Kafka tidak lagi terpaku padaku, itulah ketika kurasakan darah mulai
mengalir di sekujur tubuhku dan aku bisa bernapas lagi, tetapi kutolehkan kepalaku juga, hanya untuk
memastikan. Yep" Kafka sudah menghilang entah ke mana. Dan aku seharusnya merasa lega, tetapi
tidak ada kata-kata yang bisa menggambarkan apa yang kurasakan saat itu. Untuk menghapus
kebingunganku, aku member tahu Elang bahwa aku haus dan perlu minum dan Elang menuntunku ke
salah satu sofa sebelum melambaikan tangan untuk memanggil salah satu staf Empire dan memesan
minum. Aku sedang menghirup Mojito-ku dan merasakan alcohol di dalam minuman itu melonggarkan ototototku, ketika lagu Timbaland berakhir dan kulihat Karin naik ke panggung dan mengambil alih mic.
"Hei, semua. Are you all having fun?" Tanya Karin yang disambut teriakan "yeah" dan tepuk tangan
semua orang. "I just would like to thank all of you for coming tonight and celebrating Empire"s first year,"
lanjut Karin sambil tersenyum.
"Minggu ini nggak Cuma Empire yang ulang tahun, tapi juga Kafka, kakak gue tercinta yang as you know
owns one-third of this club." Ucapan Karin ini disambut teriakan selamat ulang tahun dari beberapa
orang. Aku hanya bisa terdiam dan secara reflex mulai celingukan mencari Kafka. Rupanya Kafka Taurus
bintangnya. Kusimpan informasi itu baik-baik untuk ditarik kembali jika perlu.
"Mas Kafka" Where are you?" Karin lalu juga celingukan untuk mencari keberadaan kakaknya itu, dan
tidak lama kemudian sebuah spotlight sudah bersinar kepada Kafka yang sedang menyandarkan tubuh
dengan santai pada sebuah pilar, disebelahnya menempel seorang wanita cantik dan seksi dengan
pakaian superminim. Aku harus menelan ludah ketika menyadari kerongkonganku terasa kering dan perutku terasa mual.
Kecemburuan yang tidak tergambarkan sedang menyerangku, siapakah wanita itu" Apakah ini wanita
yang sama yang memintanya untuk kembali ke tempat tidur ketika aku menelepon Kafka berbulanbulan yang lalu" Kenapa dia harus menempel kepada Kafka seperti perangko" Apakah ini pacar Kafka"
Apakah mereka intim"
"Jadi gimana kalau kita sama-sama nyanyi lagu Happy Brithday untuk kakak gue ini?" daan seperti
sedang berada di dalam kelas kesenian, semua orang mulai menyanyikan lagu itu. Aku harus menarik
napas berkali-kali untuk mengusir kunang-kunang yang mulai menghiasi penglihatanku.
"Happy birthday to you". Happy birthday to you" happy birthday dear kafkaaa". Happy birthday too".
Youuu?" Kulihat Kafka tersenyum dan memberikan ciuman mesra kepada wanita seksi, cantik, tinggi, langsing


Crash Into You Karya Aliazalea di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang berdiri di sampingnya itu, daan aku tidak bisa melihat apa-apa lagi setelah itu selain kemarahanku
pada laki-laki satu ini, yang kelihatannya memang betul-betul berniat untuk mengobrak-abrik
perasaanku. Tiba-tiba Kafka sudah berada di atas panggung dan sedang memeluk Karin. Dia kemudian
mengambil mic yang disodorkan adiknya itu dan mengucapkan terima kasihnya kepada semua orang.
Ketika dia mengembalikan mic itu, Karin berkata, "Satu hal yang kalian nggak tahu tentang kakak gue ini
adalah bahwa dia jago ngasih orang lapdance."
Kata-kata ini langsung disambut riuh-rendah dari semua orang. Beberapa wanita bahkan berani
berteriak, "Give me some lapdance, baby." Yang langsung disambut elu-elu dari banyak wanita yang lain.
Sepertinya mereka semua tidak peduli bahwa "pacar" Kafka (aku menyimpulkan bahwa perempuan
yang tadi menempel pada Kafka adalah pacarnya, dari cara Kafka menciumnya sebelum naik ke
panggung) berada di dalam kelab daan bisa mendengar komentar mereka itu. Untungnya kunangkunang di mataku sudah menghilang dan aku bisa memfokuskan perhatian pada keadaan di sekelilingku
lagi. Kudengar teriakan. "Lapdance, lapDANCE, LAPDANCE," dengan volume yang semakin lama semakin keras.kafka kelihatan
sudah siap untuk membunuh Karin yang sedang tertawa terbahak-bahak, tapi tidak lama kemudian
Kafka pun mulai tertawa dengan wajah yang memerah sambil menggeleng-geleng. Dia kelihatan malu
dengan segala perhatian yang tertuju padanya. Dan meskipun aku sedang marah sekali pada laki-laki ini
tapi aku tetap tidak bisa mengalihkan perhatianku dari wajahnya. Bugger him.
Lalu dia mengambil mic yang dipegang oleh Karin dan berkata, "Although I would love to give someone a
lapdance tonighy, but I can"t," kata-kata ini disambut suara kekecewaan banyak wanita.
Kemudian kulihat Karin membisikkan sesuatu pada telinga Kafka. Mic yang digenggamannya sudah
diturunkan ketika percakapan ini berlangsung sehingga tidak ada yang bisa mendengar apa yang
dibisikkan Karin kepada kakaknya, tapi sepertinya itu sesuatu yang cukup memalukan kalau dilihat dari
gelengan kepala kafka yang antusias. Tapi ketika dari gerak bibirnya sepertinya Karin sedang memohon
padanya, kafka akhirnya menyerah dan mengembuskan napas sebelum mengangkat mic itu lagi.
"Karena mala mini gue nggak bisa ngasih orang lapdance, sebagai gantinya adik gue minta supaya gue
nyanyi karaoke saja," ucapnya. Karin langsung bertepuk gembira, diikuti semua pengunjung Empire.
Kuletakkan gelas Mojito ke atas meja di hadapanku daan kulipat tanganku di depan dada, menunggu
dengan penuh antisipasi. Semua pengunjung Empire langsung bersorak ketika Kafka berjalan menuju Art, DJ bule dari Aussie yang
kini sudah di kontrak secara permanen oleh Karin semenjak Tahun Baru, dan mulai berdiskusi.
"Lagu apa yang dia bakalan pilih kira-kira?" bisik Elang padaku. Aku hampir saja meloncat dari kursiku
ketika mendengar suaranya. Aku sudah lupa bahwa Elang adalah date-ku malam ini dan dia sedang
duduk di sampingku. "Asal itu bukan lagu rap dan ngomongin tentang ukuran bokong perempuan sih aku nggak keberatan,"
balasku sambil tertawa garing, mencoba untuk menutupi rasa bersalahku karena sudah tidak
menghiraukannya. Untungnya Elang melihat humor dari kata-kataku dan tertawa.
"Okay, everyone, so our boy has picked a classic. I don"t know whether he will be able to hit those high
notes, but I guess we will find out soon enough. So give it up for Kafka, a men who is so brave and so
sure of his masculinity that he chose to sing this particular song."
Sekali lagi semua orang langsung tertawa ketika mendengar komentar Art ini. Aku pun jadi bertanyatanya, lagu apa yang akan dinyanyikan oleh Kafka" Aku mencoba mengingat-ingat lagu-lagu lama yang
memiliki nada-nada tinggi. Mmmmhhhh".. semua lagunya Steven Tyler dan Sting selalu bernada tinggi.
Tapi dua artis laki-laki itu cukup sukses untuk menjaga maskulinitas mereka meskipun pada dasarnya
suara mereka terdengar seperti suara perempuan.
"Gue pilih lagu ini karena gue memang suka band ini." Ketika mengatakan ini mata Kafka sedang
menyapu ruangan mencari sesuatu atau mungkin seseorang. Aku menyangka bahwa dia sedang mencari
"pacar-nya" itu, tapi kemudian tatapannya jatuh padaku dan dia tidak mengedipkan mata. Entah kenapa
tapi tatapannya tiba-tiba membuatku was-was. "Although, dulu gue lebih milih disambar petir atau
dipotong lehernya dripada ngakuin itu." Lanjutnya dan tersenyum". Padaku. Bukan senyuman isengnya,
tetapi suatu senyuman yang biasanya diberikan oleh laki-laki kalau mereka tahu mereka salah, dan
berharap bahwa kesalahan itu akan dimaafkan. Kepalaku langsung berputar dan berputar. Nggak
nggak". Dia nggak mungkin akan nyanyiin lagu mereka. Dia benci band itu. Tapi kemudian ketakutanku
menjadi kenyataan ketika kudengar intro lagu favoritku terlantung dari speaker dan kafka mulai
menyanyi dengan nada yang cukup intune dengan Jordan Knight.
I know I hurt you, that"s the last thing I meant to do sometimes I can be caraless and blind, can you
forgive the fool that I"ve been"
Bab 16 5 April Gue nggak berhak ngedapatin dia. Gue sudah bohong sama dia. Dia terlalu baik untuk gue. Gue nggak
bisa sama-sama dia lagi. *** MENDENGAR kata-kata itu keluar dari mulut Kafka yang kini sedang menatapku dalam, seakan-akan
hanya ada aku dan dia di dalam ruangan itu, bukannya 250 orang yang kini sedang meneriakkan
dukungan mereka sambil tertawa karena mereka tidak percaya bahwa seorang laki-laki semaskulin
Kafka akan menyanyikan lagu NKOTB, membuatku terdiam dengan mulut ternganga tidak bisa berkatakata. Perasaan galau, campur aduk antara rasa marah dan luluh. Kenapa dia harus menyanyikan lagu
yang kata-katanya pada dasarnya memohon agar aku tidak pergi meninggalkannya" Kenapa dia harus
melakukan aksi sedramatis ini hanya untuk meminta maaf" Apa dia tidak bisa mengatakan kata maaf
seperti orang-orang pada umumnya" Kemudian pertanyaan lain mulai muncul di kepalaku. Kenapa dia
harus melakukan hal ini sekarang dan tidak tiga jam yang lalu ketika aku melihatnya di pintu masuk
kelab atau ketika aku sedang nge-dance dengan Elang" Kemudian aku ingat tatapan matanya ketika
melihat Elang dan aku tahu kenapa dia melakukan hal ini.
Dia sengaja memilih lagu itu karena dia tahu bahwa inilah satu-satunya cara untuk membuatku mengerti
tentang perasaannya padaku. Dan aku memang mengerti, aku mengerti bahwa dia benar-benar belum
puas untuk menyiksaku dengan membuatku jatuh cinta padanya sebelum kemudian meninggalkanku
begitu saja. Dia tidak suka melihatku senang dan tertawa dengan Elang, seorang laki-laki yang jelas-jelas
menyukaiku apa adanya, lima bulan setelah "dibuang" oleh Kafka. Dan setelah dua puluh tahun ini dia
masih menilai NKOTB bukan sebagai band yang bonafide tetapi hanya sebagai bahan tertawaan belaka.
Untuk pertama kalinya, lagu NKOTB tidak bisa membawa ketenangan, melainkan kemarahan di dalam
diriku. Buru-buru aku berdiri dari kursi sofa untuk mencegah agar kepalaku tidak meledak karena
kemarahan yang kurasakan. Hampir saja aku menumpahkan Mojito-ku ketika kakiku tidak sengaja
menabrak meja. Kurasakan tangan seseorang menyentuh lenganku dan ketika aku menoleh kulihat
Elang sedang menatapku bingung. Dia juga sudah berdiri dari sofa.
"Lang, aku minta maaf, tapi aku harus pergi dari sini sekarang juga," ucapku. Kata-kataku seolah
tumpah-tindih dengan cepat, dan dalam hati aku bertanya-tanya apakah Elang mengerti apa yang baru
kukatakan. "Kenapa, Nad?" Tanya Elang agak bingung, tetapi ketika dia melihat wajahku yang kemungkinan besar
kelihatan pucat, dia langsung terlihat khawatir.
"Aku" aku" aku harus keluar dari sini," balasku dan mencoba mengedipkan mataku berkali-kali untuk
mengusir tusukan-tusukan jarum yang sudah menyerangnya. Andaikan saja aku tipe orang yang bisa
melakukan kekerasan kalau sedang marah, maka mungkin aku sudah melempar gelas Mojito-ku ke arah
Kafka dan adu fisik saat itu juga, tapi tentu saja aku tipe perempuan yang malah justru akan menangis
kalau sedang marah atau kesal, sehingga kelihatan lemah dan cengeng.
"I"II go with you," ucap Elang, tetapi buru-buru kugelengkan kepalaku dan berkata. "Nggak" nggak apaapa. Aku Cuma perlu ke toilet," jelasku dan tanpa menunggu balasan darinya aku langsung pergi
meninggalkan Elang. Kudengar Kafka menyentuh nada falsetto dan semua orang bertepuk tangan dan berteriak gembira. Aku
tahu bahwa masih ada sekitar tiga puluh detik lagi sebelum lagu itu berakhir. Bukannya menuju ke toilet
seperti yang kukatakan kepada Elang, kulangkahkan kakiku menuju pintu keluar. Aku harus bisa menarik
napas lagi ketika sudah berada di luar kelab dan menghirup udara malam Jakarta. Suasana di luar kelab
kelihatan cukup kosong, hanya ada beberapa staf Empire yang seliweran, tidak ada reporter dengan
kamera. Thank you, God. Aku berjalan ke arah kanan, mencoba mencari area tempat aku bisa
menenangkan diriku dengan damai. Sedetik kemudian aku tahu kenapa tidak banya orang yang berlalulalang, hujan rintik-rintik mulai turun. Andaikan saja aku membawa mobilku, maka aku bisa bersembunyi
di dalamnya untuk beberapa menit sehingga aku bisa mengontrol kedua tanganku yang sudah
gemeteran tidak terkendali. Aku melihat kilat dan bunyi gemuruh yang menyusul, tetapi aku tidak peduli
dan mulai berjalan di bawah hujan. Aku tidak tahu ke mana aku akan pergi, yang aku tahu adalah aku
harus menjauh dari situ untuk beberapa menit sampai kulitku tidak terasa seperti sedang dibakar,
jantungku tidak lagi meronta-ronta tidak keruan, dan pikiranku jernih kembali. Kulirik jam tanganku yang
sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Iya, sudah waktunya bagiku untuk pulang ke rumah, mandi
dengan air hangat, berbaring di atas tempat tidurku yang nyaman, dan menangis sepuasnya. Entah
kenapa tapi meskipun mataku terasa pedas, tetapi tidak air mata yang keluar. Aku pun berbelok ke kiri,
bermaksud untuk mengambil satu putaran gedung Empire sebelum berteduh. Aku tahu bahwa Elang
pasti sedang mencariku, aku berjanji untuk menjelaskan semuanya padanya malam ini juga. Pelataran
parkir kelihatan sepi tapi cukup terang. Kemudian kudengar langkah kaki di belakangku dan kutarik
napasku dalam-dalam, siap untuk meminta Elang agar mengantarku pulang, tetapi ketika kuputar
tubuhku yang kutemui adalah Kafka yang sedang menatapku dengan mata seperti orang yang sudah
kehilangan akal sehatnya.
Meskipun aku tahu dan yakin bahwa Kafka tidak akan pernah main tangan dengan perempuan, tapi ada
sesuatu pada tatapan matanya itu yang membuatku ragu. Untuk pertama kalinya aku takut bahwa dia
akan melakukan kekerasan fisik padaku karena kecemburuan yang telah membutakan matanya. Dalam
hati aku langsung tertawa ketika mencapai kesimpulan ini. Orang hanya bisa melakukan "crime of
passion" karena mereka cemburu, kecemburuan hanya akan timbul kalau ada rasa cinta, dan aku tahu
bahwa kata cinta adalah hal terakhir yang ada di pikiran Kafka tentangku saat ini. Saat itu aku tahu
bahwa Kafka tidak akan menyakitiku.
"Ngapain kamu di sini?" tanyaku dengan suara yang agak bergetar. Kata-kata itu tidak terdengar sekasar
dan setidak sopan yang kuinginkan. Untung saja ada kilat dan gemuruh yang datang pada saat itu
sehingga membuat kata-kataku terdengar lebih mengancam.
"Nyariin kamu," jawab Kafka pendek sambil mengambil satu langkah mendekatiku.
"Buat apa" Belum puas kamu gangguin aku" Masih mau"," aku belum selesai dengan omonganku ketika
Kafka memotong. "Dia pacar kamu?" tanyanya dengan nada yang terdengar agak putus asa.
"Hah?" "Laki-laki yang sama kamu terus sepanjang malam. Dia pacar kamu?"
Kurasakan hujan mulai turun dengan lebih deras dan aku tahu bahwa aku harus berteduh kalau tidak
mau basah kuyup. Kukepalkan kedua tanganku, kutegakkan tulang belakangku, kuangkat daguku, dan
menatapnya dari ujung hidungku. "Itu bukan urusan kamu," ucapku tajam. Aku bersyukur bahwa
suaraku sudah tidak bergetar lagi, dan aku mengambil langkah untuk melewatinya. Tapi langkahku
terhenti oleh tangan Kafka yang mencengkeram sikuku dengan cukup kuat, berusaha memutar tubuhku
agar menghadapnya. Dan aku tidak tahu apa yang terjadi, tetapi sentuhannya itu menyulut sesuatu".
Sesuatu yang buruk di dalam diriku yang sudah aku coba pendam, yaitu keinginanku untuk melukai dia
seperti dia telah melukai aku. Tanpa kusadari aku berteriak, "Don"t touch me," sambil berusaha
membebaskan lenganku dari cengkeraman itu.
Tapi Kafka seperti tidak mendengarku atau menolak untuk mendengar karena dia justru mengeratkan
cengkeramannya dan berkata, "Nadia, stop it. What are you doing?"
Dan pada saat itu langit terbuka dan hujan turun dengan deras. "Laki-laki sialan. Kadal sakit jiwa. Lepasin
aku," teriakku lagi. Tubuhku sudah menggeliat mencoba melepaskan diri dan detik berikutnya Kafka
sudah memeluk pinggangku dari belakang dan menarikku ke dalam pelukannya sehingga punggungku
menempel pada dadanya dan kakiku tidak lagi menyentuh aspal. Dengan sekuat tenaga aku berontak.
Aku mencoba menendangnya, tetapi dengan posisiku yang terbalik, kakiku hanya bisa menendang angin.
Kuangkat kedua tanganku ke belakang dan mencoba mencakar wajahnya, tetapi sepertinya Kafka sudah
mengantisipasi itu dengan memindahkan kedua tangannya dari pinggangku sebelum kemudian
memaksa turun kedua lenganku dan menguncinya dengan melingkarkan kedua lengannya pada dadaku.
"Stop it, woman," bentak Kafka. Aku tidak menghiraukan bentakannya dan tetap mencoba melepaskan
diri. Aku tidak peduli rambutku yang malam itu aku konde dan ditusuk dengan dua sumpit logam di
bagian kiri dan kanan sudah terurai sehingga kini menempel pada pipiku. Aku yakin bahwa make-up-ku
sudah luntur disapu air mata (ya" air mata pengkhianat itu memutuskan untuk keluar sekarang, di saat
yang paling tidak tepat) dan hujan, dengan garis-garis hitam bekas mascara di mana-mana. Aku bahkan
tidak peduli bahwa cheongsam yang menempel pada kulitku karena basah kini sudah naik dan belahan
kakinya berada di pinggang bukan lagi dipaha.
"You asshole" aggghhh". Buat apa kamu nyanyi lagu itu" Dari dulu sampai sekarang kamu nggak
pernah berhenti gangguin aku," sepatu kananku melayang. Aku mendengar Kafka menggeramkan
sesuatu yang terdengar seperti, "calm down," tapi aku tidak berhenti meronta-ronta untuk memastikan.
"Belum puas kamu ngegantungin aku berbulan-bulan sebelum ninggalin aku tanpa ada penjelasan apaapa?" kini giliran sepatu kiriku yang melayang, dan sekali lagi kudengar Kafka mengatakan sesuatu yang
tidak jelas. "Apa kamu mau bikin aku ngerasa lebih murah daripada yang sudah aku rasain sekarang"
Kamu ambil hatiku terus kamu injak-injak."
Kudengar bunyi kraaa"k yang cukup keras dan tahu bahwa aku baru saja merobek sesuatu,
kemungkinan besar adalah cheongsam-ku. "Kamu bikin aku cinta sama kamu, tapi kamu Cuma mainin
aku. Aku nggak pernah mau lihat kamu lagi. Sekarang lepasin aku." Aku sudah berteriak seperti orang
gila. Tidak peduli bahwa aku sudah menumpahkan perasaanku terhadap Kafka, juga tidak peduli kalau
ada orang yang bisa mendengarnya, tapi tentu saja tidak ada yang bisa mendengar teriakanku di antara
suara hujan lebat dan gemuruh Guntur.
"NADIAAA! BERHENTI SEKARANG JUGA SEBELUM KAMU NGELUKAIN DIRI KAMU SENDIRI," bentakan
Kafka kali ini membuatku terdiam dan berhenti meronta-ronta. Napasku terengah-engah dan tanpa
kusadari hampir semua otot pada tubuhku mulai kejang, bahkan ada yang kram.
Aku merasakan sentuhan rahang Kafka pada pelipis sebelum dia berkata dengan pelan dan pasti, "Untuk
ngejawab pertanyaan kamu yang pertama, aku nyanyi lagu itu buat kamu, untuk minta maaf, bukan
untuk ngeganggu kamu," meskipun aku ingin mencacinya, tetapi aku masih terlalu lelah untuk berkata-
kata. "Kedua, aku nggak pernah ngegantung kamu, tapi aku memang berhenti kontak kamu lagi. Aku
Cuma menghormati permintaan kamu." Aku menggeram kesal tapi tidak punya energy untuk melakukan
lebih dari itu. "Ketiga, aku menghargai kamu, apalagi hati kamu lebih dari apa pun"
Tiba-tiba Kafka melepaskanku. Aku terjatuh sambil terpekik kecil, "Aduhhh." Untungnya aku tak beralas
kaki lagi, jadi lebih bisa menjaga keseimbangan sehingga tidak jatuh tersungkur. Kutarik napas dalamdalam sebelum kemudian memutar tubuhku untuk menatapnya. Kafka menatapku dengan mata agak
kuyu. Dadanya naik-turun dan aku tahu bahwa seperti juga aku, dia sudah kehabisan napas mencoba
untuk mengontrol kemarahanku. Garis bibirnya kelihatan lurus, seakan-akan dia sedang bersusah payah
menahan diri untuk tidak mengatakan yang sebetulnya ingin dia katakana. Kemudian dia menutup mata
beberapa detik dan ketika dia membuka matanya lagi dan melihatku, dia harus mengedipkan matanya
berkali-kali, seakan-akan dia tidak percaya apa yang sedang dilihatnya. Tindak-tanduknya" reaksinya
atas kata-kataku" kata-kata yang diucapkannya". Semua tentangnya malam ini membuatku bingung
dan waswas. Ada sesuatu yang salah dengan semua ini, tetapi aku tidak tahu.
"Kafka, are you okay?" tanyaku dan tanpa kusadari aku sudah mengambil beberapa langkah
mendekatinya. "Kamu serius?" pertanyaan Kafka yang tidak masuk akal itu membuatku terhenti dan menatapnya
bingung. "Apa kamu betul-betul cinta sama aku?" lanjutnya ketika aku tidak mengatakan apa-apa.
Oh, shit! Apa yang harus kukatakan" Aku tidak akan mungkin bisa mengiyakan pertanyaan itu sekarang"
setelah pikiranku sudah sedikit jernih dan tidak semarah tadi.
Melihat keraguanku Kafka berkata lagi, "Aku dengar apa yang kamu omongin dan kamu nggak bisa narik
itu kembali." Double shit! Aku harus lari. Aggghhh" aku tidak akan pernah bisa menunjukkan mukaku lagi di
hadapannya, kini dia sudah tahu perasaanku terhadapnya. Nadia" ambil satu langkah mundur" putar
tubuh lo". Dan lari. Sekarang juga sebelum semuanya terlambat. Oh" tapi aku tahu bahwa meskipun
aku lari, Kafka akan menemukanku, di mana pun itu. Aku tidak tahu bagaimana aku bisa tahu ini karena
ini tidak masuk akal, tetapi sepertinya ada sesuatu yang telah mengikatku dengan Kafka, suatu kekuatan
alam yang sangat mendasar, sehingga kami akan selalu menarik satu sama lainnya. Seperti sisi positif
dan negative magnet. Kututup mataku dan kuangkat wajahku ke langit. Kuembuskan napasku dan pada
detik itu aku menyerah. Betul-betul menyerah dan mengaku kalah dalam permainan ini. Tuhan, kalau ini
rasanya untuk betul-betul jatuh cinta dengan laki-laki seperti Kafka, ambil saja kembali semuanya. SEMUA-NYA. Aku tidak mau satu titik pun dari semua ini.
Aku menunggu adanya suatu tanda atau suara dari atas tapi aku hanya mendengar dan merasakan
tetesan hujan mengenai wajahku. Satu dua tiga empat" satu dua tiga empat" satu dua tiga empat" aku
menghitung setiap tetesan itu. Andaikan hidup sebegini mudahnya untuk ditebak dan dicari polanya.
Aku seharusnya sudah menggigil kedinginan, tapi tubuhku terasa panas. Aku tidak tahu berapa lama aku
berdiri dalam posisi itu, tapi kemudian kurasakan sentuhan pada pipi kiri dan kananku dan kubuka
mataku. Tatapan mata Kafka yang teduh menyambutku. "Kalau kamu nggak bisa ngucapin kata-kata itu,
aku yang akan ucapin," ucap Kafka perlahan.
Otomatis kugelengkan kepalaku lemah, mencoba untuk mengusir apa pun yang akan aku dengar. Nggak.
Aku nggak perlu mendengar kata-kata cintaku dilempar kembali ke mukaku. Aku tidak perlu mendengar
bahwa dia merasa tersanjung dan berterima kasih karena aku sudah mencintainya, tetapi dia tidak
merasakan hal yang sama. "I love you, Nad-Nad. Dari dulu sampai sekarang?"
"Jangan, Kaf." Potongku sambil tetap menggeleng. Hancur sudah semuanya. Dia sudah mengambil
segala-galanya dariku, aku sudah tidak mampu merasakan apa-apa lagi.
"Jangan apa, Nad?" Tanya Kafka lembut. Dia kini harus menekuk lututnya agar matanya bisa sejajar
dengan mataku. Tanpa sepatu berhak, kepalaku hanya mencapai bahunya.
"Sekarang bukan waktunya untuk bercanda. Ini semua nggak lucu," aku tersedak dan hampir tidak bisa
mengeluarkan kata-kata itu.
Tiba-tiba Kafka mencengkeram kedua lenganku bagian atas dn mengguncangkan tubuhku seperti aku ini
boneka. "Kamu mau tahu apa yang nggak lucu?" teriaknya. "Aku sudah suka sama kamu dari waktu aku
umur sepuluh tahun, tapi aku tahu kalau anak sepintar dan sebaik kamu nggak akan mau sama anak
sebandel aku" Dan karena kamu selalu nyuekin aku, sehari-hari aku bisanya Cuma ngegangguin kamu
dan bikin kamu marah atau nangis supaya aku dapat perhatian kamu! Aku selalu ngerasa kayak orang
paling jahat satu dunia ini setiap kali aku ngisengin kamu, tapi aku selalu bilang ke diriku sendiri suatu
hari nanti aku akan bisa minta maaf. Tapi sebelum itu kesampaian, kamu sudah ngilang. Dan selama dua
puluh tahun ini aku ngebawa rasa bersalahku ke mana pun aku pergi."
"Kamu nggak?" Kata-kataku terhenti karena tatapan tajam Kafka. Rupanya dia belum selesai. "Dan tahu-tahu beberapa
bulan yang lalu kamu muncul di hadapan aku dan aku kayak dikasih kesempatan kedua sama Tuhan
untuk memperbaiki semua kesalahan yang pernah aku buat ke kamu, tapi sekali lagi aku belum sempat
minta maaf sebelum kamu lari ngibrit dari hadapan aku. Saat itu aku pikir kalau aku sudah kehilangan
semua kesempatan untuk memperbaiki semua ini, tapi tiba-tiba kamu muncul lagi di ruang praktik aku
dan aku tahu bahwa aku atau kamu nggak akan bisa menghindar lagi dari satu sama lain sampai masalah
kita selesai." Aku tersentak ketika mendengar kalimat Kafka yang terakhir, yang pada dasarnya meneriakkan apa yang
hanya ada di dalam pikiranku kembali padaku. Kusadari bahwa hujan sudah mulai reda karena Kafka
tidak perlu berteriak-teriak lagi dan aku bisa mendengar semua kata-katanya dengan jelas. Dia
melepaskanku dan mundur beberapa langkah. Lalu dia menutup matanya sambil mengangkat kedua
tangannya untuk memijat pelipisnya seperti orang yang sudah terserang migraine atau orang yang
sangat tersiksa dengan segala beban hidup yang sudah ditumpahkan padanya. Aku tidak tahu apa yang
harus kuperbuat, tapi yang jelas aku tidak tega melihatnya seperti ini. Tidak ada seorang pun yang
berhak untuk kelihatan sebegini tersiksanya, apa pun kesalahan mereka. Aku ingin memeluknya dan
mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja, bahwa dia tidak perlu memberikan penjelasan apa "
apa padaku sekarang, tetapi kenyataannya adalah aku tidak bisa menggerakkan otot-ototku sama sekali
karena menunggu apa yang akan keluar dari mulutnya selanjutnya. Aku tidak bisa menahan diriku untuk
berharap.

Crash Into You Karya Aliazalea di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Matanya masih tertutup ketika kudengar suaranya lagi. "Selama ini aku pikir masalah kita itu Cuma rasa
bersalah aku ke kamu tapi setelah aku betul-betul kenal kamu, aku tahu itu Cuma sebagian kecil dari
masalah kita," dia menurunkan kedua tangannya sebelum membuka mata dan tepat menatapku.
"Waktu aku ngelihat kamu nangis di rumah sakit pas papa kamu kena serangan jantung, aku akhirnya
sadar semua yang aku rasakan tentang kamu itu bukan rasa suka atau bersalah, tapi cinya. Aku cinta
sama kamu. Kamu masih pintar, masih baik, masih bisa adu mulut sama aku, pokoknya kamu masih
seperti dulu, tapi yang aku nggak pernah sangka dari kamu adalah you can wrap me in your little finger"
so tight and I don"t even mind it," lanjutnya. "Dan aku coba, Nad, sumpah aku sudah coba untuk
nunjukin ke kamu perasaan aku, tapi buntutnya seperti biasa aku Cuma bisa gangguin kamu lagi.
Kebiasaan lama susah hilangnya." Kafka terlihat meringis ketika mengatakannya.
Aku belum sempat mencerna semua kata-katanya ketika dia sudah melanjutkan, "Tapi kamu tahu apa
yang paling nggak lucu lagi?" tanyanya dan aku tahu bahwa pertanyaan ini retoris, tapi aku tetap
menggeleng. "Waktu kita mulai SMS-an dan satu hari aku bangun dan aku nggak sabar untuk SMS kamu, Cuma untuk
Tanya kabar kamu. And let me tell you, aku benci SMS, terima apalagi ngirim, tapi aku bela-belain
karena kamu jelas-jelas nggak mau ngomong sama aku langsung dan itu satu-satunya cara supaya aku
tetap bisa kontak kamu. Saat itu aku sadar seberapa kalau aku ini cinta mati sama kamu yang hanya bisa
ngelihat aku kayak aku ini?" Kafka berhenti sesaat dan kelihatan mengalami masalah untuk keluar
dengan suatu perumpamaan yang tepat. Dia kelihatan menggemaskan ketika melakukannya, dia
mungkin sudah akan menginjak umur tiga puluh, tapi mentalnya tidak akan bisa lebih dewasa daripada
anak berumur sepuluh tahun, dan aku tidak keberatan bahkan merasa terhibur akan hal itu. Pada detik
itu aku tahu bahwa aku tidak lagi peduli apa yang akan dia katakana atau lakukan karena apa pun itu
tidak akan bisa membuatku tidak lagi mencintainya atau lebih mencintainya daripada pada detik itu.
"Nyamuk," tiba-tiba Kafka berteriak dan membuyarkan jalan pikiranku. "Iya" kamu ngelihatin aku kayak
nyamuk yang Cuma bisa ganggu kamu saja. Dan aku sama sekali nggak bisa nyalahin kamu karena kamu
memang punya hak untuk bertingkah laku kayak gitu," lanjutnya.
Kemudian Kafka maju beberapa langkah dan meraih kedua tanganku. "Maafin aku, Nad, atas
semuanya" kalau kamu masih nggak percaya aku mohon kamu kasih aku kesempatan untuk ngbuktiin
kalau aku betul-betul serius sama kamu. Aku tahu aku suka nggak stabil, tapi kamu jenis perempuan
yang tahu cara ngatasin itu. Kamu tahu cara nge-handle aku. Aku nggak tahu sejauh mana hubungan
kamu sama laki-laki yang datang sama kamu mala mini, apa dia teman, date, pacar, calon suami" aku
nggak peduli". Please, Nadia"."
Satu-satunya yang keluar dari mulutku adalah "Why?"
"Because I love you" so much I can"t think straight, dan aku nggak pernah bisa, nggak akan pernah bisa
dan nggak akan rela ngelihat kamu sama laki-laki lain."
Oh, my God. Untuk kategori "shit", kata-kata Kafka baru saja mendudukkanku pada posisi "trple
espresso venti shit," dia telah melewati "Oh, shit", "double shit". Bahkan "Holy shit". Bagaimana
mungkin dia bisa melakukan ini" Dia telah membuatku semenjak menc
intainya, aku bahkan tidak tahu
bahwa hal itu bisa terjadi. Segala sesuatu mulai terasa tidak nyata di sekelilingku. Apa aku sedang
bermimpi" Aku menahan diri untuk tidak mencubit diriku sendiri. Akhirnya aku hanya bisa mengerutkan
dahiku dalam usaha untuk tetap bersentuhan dengan dunia nyata. Aku tidak bisa meragukan ketulusan
dan keseriusan kata-katanya itu, semuanya terlihat pada tatapan matanya, tetapi ini semua terlalu
banyak untuk dicerna dan ditelan dalam satu percakapan.
Lalu akal sehatku mulai bekerja dan pertanyaan-pertanyaan mulai timbul. Salah satunya adalah,
"Bagaimana dia bisa menjelaskan pertanyaan cintanya padaku padahal masih punya hubungan intim
dengan perempuan lain?"
"Kamu nggak bisa minta ini semua dari aku kalau kamu sendiri masih punya perempuan lain yang
nempel sama kamu kayak perangko," aku bahkan tidak tahu bahwa aku sudah mengucapkan apa yang
terlintas di dalam pikiranku sampai aku mendengar suara Kafka.
"Aku minta maaf soal malam ini, aku Cuma ngelakuin itu untuk bikin kamu jealous. Dan aku tahu kalau
itu goblok, childish, dan kemungkinan besar aku sudah nyakitin hati perempuan lain untuk ngedapatin
hati kamu, tapi itu satu-satunya ide yang keluar waktu aku lihat kamu sama laki-laki lain malam ini. I was
jealous and" and" that will not happen again, I promise," balas Kafka sambil meremas kedua tanganku
untuk meyakinkanku. Wajahnya menatapku dengan penuh harap dan aku pun mengembuskan napasku.
"Elang, cowok yang kamu lihat sama-sama aku mala mini, dia bukan pacar aku. Kami sudah sering keluar
selama sebulan ini, dan aku memang suka sama dia sebagai teman, tapi itu saja," ucapku pelan.
"Really?" Kafka terdengar tidak percaya.
"Really," jawabku.
"Apa ada orang lain lagi yang sekarang dekat sama kamu?" Tanya Kafka
Kugelengkan kepalaku. "Kamu?" tanyaku.
"Apa perlu kamu Tanya?" balas Kafka dan kelihatan tersinggung.
Aku terdiam sesaat sebelum menyuarakan pertanyaanku selanjutnya. "Siapa perempuan yang ada sama
kamu beberapa bulan yang lalu waktu aku telepon kamu?" aku benar-benar berminta untuk
mengemukakan segala pernyataan yang aku perkirakan akan menimbulkan masalah "kepercayaan"
kalau masih dibiarkan tidak terjawab.
Kafka buru-buru membantah, "Kapan kamu telepon aku" Kamu nggak pernah telepon"," lalu dia
terdiam sebelum berkata, "Ooohhh" mamaku maksud kamu?"
"Mama kamu?" teriakku terkejut. Aku menyangka bahwa dia akan berkata bahwa itu temannya, mantan
pacarnya, atau bahkan pacarnya, tapi aku tidak pernah memperkirakan jawaban ini.
"Memang nya kamu pikir itu siapa?" ketika melihatku tidak bereaksi Kafka menjelaskan, "Weekend itu
aku ngerasa benar-benar nggak enak badan, jadi aku pergi ke rumah orangtuaku suapaya ada yang bisa
ngurusin aku, soalnya aku Cuma tinggal sendiri dirumahku, jadi agak ribet kalau misalnya aku perlu pergi
ke dokter." Melihatku masih tidak bereaksi Kafka melanjutkan. "Mamaku sudah bilang untuk jangan
kerja weekend itu, tapi kamu telepon dan aku pikir ada emergency, makannya aku angkat."
Oke, penjelasannya cukup masuk akal, tetapi itu tidak menjelaskan suara ciuman yang aku dengar.
"Memangnya kamu selalu sebegitu mesranya ya sama mama kamu?" tanyaku, maju terus pantang
mundur. "Hah?" Kafka kelihatan bingung sekali dan aku tidak menyalahkannya.
"Di telepon" aku dengar suara ciuman," jelasku.
"Ooohhh," ucap Kafka lalu dia kelihatan tersipu-sipu sebelum melanjutkan, "itu kebiasaan waktu kecil.
Kalau aku lagi sakit, Mama bakalan cium keningku dan aku balas dengan nyium pipinya. Itu ritual supaya
cepat sembuh yang kebawa sampai sekarang."
Ya ampuuunnnn". Ternyata aku benar, mentalitas Kafka tidak berkembang seiring dengan
pertumbuhan tubuhnya. Aku jadi curiga jangan-jangan dia masih perlu minum susu sebelum tidur atau
lebih parah lagi, dia masih ngemut jempolnya kalau tidur. Tidak tahu apakah aku harus merasa kesal
atau tertawa, akhirnya aku memutuskan untuk menggeleng. Kok bisa sih aku jatuh cinta sama laki-laki
seperti ini" Seseorang yang mengungkapkan kata cinta dengan menjambak rambutku, mengata-ngatai
selera musikku, sebelum akhirnya menerorku melalui SMS. Ini semua tidak masuk akal. Tapi ketika aku
ingat bahwa dialah yang sudah menjagaku ketika aku mabuk, menenangkanku ketika aku menangis,
memastikan agar jantung papaku tetap dalam keadaan baik, bahkan menawarkan bantuannya dalam
urusan saham orangtuaku yang amblas, maka aku tidak lagi bertanya-tanya. Jana pernah bilang
kepadaku bahwa cinta itu terkadang tidak masuk akal karena rasa ini bersangkut dengan hati dan
perasaan bukan akal sehat. Sebagai orang yang selalu mengandalkan logika daripada hati, aku tidak
pernah memahami kata-kata itu, hingga sekarang.
"Aku SMS dan telepon kamu berkali-kali setelah Tahun Baru, tapi kamu nggak pernah balas," ucapku
pelan. "You did?" Kafka kelihatan ragu. "Jujur, aku nggak oernah terima telepon atau SMS dari kamu, kalau aku
tahu aku pasti sudah kontak kamu. Well". Kalau aku bisa ngedapatin nomor kamu lagi. HP-ku crash
selepas Tahun Baru jadi semua informasi di dalamnya hilang, termasuk nomor kamu. Aku bawa HP ke
service center dan HP-ku ditahan hampir sebulan di sana, tapi mereka tetap nggak bisa ngebetulin.
Akhirnya aku harus ganti HP dan nomor."
Aku hanya terdiam dan menunggu entah apa.
"Aku nggak tahu caranya untuk minta nomor kamu dari mama kamu, karena kamu sendiri bilang bahwa
kamu nggak mau aku kontak kamu lagi," lanjutnya dengan cepat. Kemudian, "Aku sudah kasih nomorku
yang baru ke mama kamu dan kakak kamu."
Aku tahu bahwa aku tidak perlu memastikan kebenaran dari penjelasan Kafka ini kepada kakakku dan
mamaku, aku tahu bahwa dia mengaatakan yang sebenarnya. Bagaimana mungkin aku bisa sebodoh ini
selama ini dengan tidak memperhitungkan kemungkinan bahwa HP Kafka crash sehingga tidak bisa
menghubungiku" Ah" cinta itu memang buta. Semuanya hanya masalah miskomunikasi yang berakhir
dengan membuatku berspekulasi yang tidak-tidak tentangnya. Ingin rasanya aku membunuh kakakku
dan mamaku sekalian. Kalau saja mereka memberikan nomor Kafka yang baru padaku dari dulu-dulu,
maka aku bisa menghindari perasaan patah hati yang sudah menyalahkan mereka karena kemungkinan
besar mereka menyangka bahwa aku sudah tahu pergantian nomor ini lebih dulu daripada mereka. Toh
Kafka seharusnya adalah temanku.
"Tapi kenapa kamu nggak minta nomor telepon aku waktu ketemu aku bulan Februari" Kamu nyuekin
aku dan bahkan nggak mau mandang aku sama sekali sepanjang pertemuan," omelku.
"Itu karena selama dua bulan aku sudah coba untuk ngehapus kamu dari pikiranku, tapi waktu aku lihat
kamu lagi"," Kafka terdengar tersedak, sebelum melanjutkan, "Kamu nggak tahu seberapa susahnya
aku nahan diri untuk nggak memohon supaya kamu mau ngomong sama aku lagi."
"Tapi aku memang mau ngomong sama kamu. Aku kangen sama semua SMS gila kamu dan humor kamu
yang terkadang bikin aku bingung antara mau mukulin kamu sama martil atau tertawa sekencangkencangnya. Aku kangen sama kamu, Kaf,"
Kafka tidak perlu membalas kata-kataku untuk tahu bagaimana perasaannya terhadapku. Dia hanya
menarikku ke dalam pelukannya dan memelukku seakan-akan dia tidak akan melepaskanku sampai lima
puluh tahun lagi. Oh, Kafka, dengannya aku yakin hidupku tidak akan pernah membosankan karena dia
akan memastikan bahwa aku tetap terhibur dengan segala keanehannya, dan aku" aku akan menimati
setiap detiknya. Ya". Aku bisa hidup seperti ini. Tiba-tiba tubuhku terasa dingin. Awalnya aku sangka
bahwa itu Cuma perasaanku saja, efek dari sadarnya aku akan seberapa dalamnya aku mencintainya dan
dia mencintaiku, tetapi tiba-tiba tanganku sudah mati rasa, gigiku bergemeletuk, dan tubuhku menggigil,
aku tahu bahwa aku betul-betul kedinginan.
"Sekarang kamu sudah tahu perasaan aku ke kamu," samar-samar kudengar suara Kafka. "Apa kamu ada
sesuatu yang kamu mau bilang ke aku?" ketika aku tidak juga mengatakan apa-apa dia melepaskan
pelukannya untuk menatapku, "Nadia?"
Aku hanya bisa menatapnya dan menatapnya" dan menatapnya lagi. "A" ahhh" I"m"," aku mencoba
untuk berkata-kata, tetapi tidak ada sepatah kata pun yang keluar karena lidahku beku.
"I"m cold," ucapku akhirnya dan untuk seperempat detik aku kehingan penglihatanku. Tenggorokanku
terasa kering dan kepalaku mulai pusing dan aku tahu bahwa besok aku tidak akan bisa bangun dari
tempat tidur karena flu. "Oh God. I"m an idiot," teriak Kafka sebelum buru-buru menanggalkan jasnya dan menyampirkannya
pada bahuku, lalu memelukku dengan erat sambil mengusap-usap punggungku. Kehangatan langsung
menyelimutiku. Ingin rasanya kuangkat kedua tangan untuk memeluk tubuhnya yang besar, hangat, dan
terasa aman itu, tapi aku terlalu kedinginan untuk melakukan itu semua.
Bab 17 5 Mei Apakah semuanya sudah betul-betul selesai" Gue masih nggak bisa percaya akhirnya semua jadi begini.
Ahhh" kepala gue berat, hidung dan tenggorokan gue gatal, dan badan gue sakit semua. Tapi kalau
diminta, so pasti gue akan melakukan ini semua lagi.
*** Andai saja kisah cintaku dan Kafka bisa berakhir dengan romantic seperti di cerita dongeng " Cinderella,
Snow White, atau Ariel si putrid duyung. Bahkan Fiona pun mendapatkan cerita romantisnya dengan
diselamatkan oleh Shrek dari istana yang dijaga seekor naga dengan semburan apinya. Dan di satu sisi
memang aku menemukan pengeranku, tapi tidak seromantis itu. Kenyataannya adalah bahwa malam di
Empire itu diakhiri dengan kemunculan Elang yang ketika melihatku berada di dalam pelukan Kafka
Cuma berkata, "Jadi kamu di sini rupanya." Sebelum kemudian dengan santai memperkenalkan dirinya
kepada Kafka. Aku hanya perlu menggerakkan kepalaku ke kanan agar bisa melihat wajah Elang,
sebelum Kafka mengeratkan pelukannya. Seperti juga kedua kakakku, dia akan jadi tipe laki-laki
superposesif terhadapku, dan untuk pertama kalinya aku tidak keberatan.
Kusadari bahwa kedua laki-laki itu sedang menilai satu sama lain dengan satu tatapan singkat yang
meliputi ujung rambut hingga ujung kaki. Aku tidak bisa melihat ekspresi wajah Kafka Karena wajahku
masih terkubur di depan kemejanya, tapi aku bisa melihat ekspresi wajah Elang yang kini kusadari
sebetulnya jauh lebih ganteng daripada Kafka, yang jauh dari kata bersahabat. Aku cukup terkejut ketika
mereka bisa bertukar salam, bahkan berjabat tangan tanpa salah satu dari mereka atau bahkan
keduanya berakhir dengan babak belur. Ahhh" sepertinya mimpiku tidak akan pernah jadi kenyataan.
Aku bukanlah perempuan yang haus darah, tetapi perempuan pada umumnya menyukai hal-hal
romantic. Dan tidak ada yang lebih romantic daripada melihat dua orang laki-laki HOT, yaitu Elang dan
Kafka, memperebutkan cinta seorang wanita biasa, di dalam situasi ini berarti aku.
Dan keterkejutanku belum berakhir sampai di situ, karena kemudian kudengar suara Elang bertanya,
"Nadia, kenapa , man?"
Dan Kafka menjawab, "Kedinginan habis kehujanan."
Lalu suara Elang lagi, "Kalau dia yang kehujanan, kenapa lo juga basah?"
"Soalnya gue juga kehujanan, sama seperti Nadia," jawab Kafka
"Lo berdua masa kecil kurang bahagia apa sampai main hujan-hujanan segala?" balas Elang
Kemudian mereka terdiam sejenak dan kupikir inilah saatnya Kafka akan meninju Elang. YESS! Akhirnya
aku bisa melihat dua laki-laki berantem karena aku. Tapi aku hanya berakhir kecewa ketika kudengar
mereka berdua mulai tertawa terbahak-bahak. Ugh" aku nggak pernah ngerti humornya laki-laki, dan
andai saja bibirku tidak beku, aku mungkin sudah menyuarakan kekesalanku. Kucoba untuk menjauh
dari dada Kafka yang meskipun hangat tetapi karena dilapisi pakaian basah tidak cukup untuk mencegah
jari-jari tanganku yang mulai mati rasa. Aku perlu selimut agar tidak kedinginan lagi. Aku ingin berteriak
kepada mereka untuk segera menyelesaikan percakapan ini, tapi mereka terlalu sibuk menikmati
aktivitas "male bonding" untuk memedulikanku.
"Kebetulan lo nyebut-nyebut urusan masa kecil. Gue nggak tahu kalau Nadia, tapi kalau gue" Masa kecil
gue bahagia banget karena gue sudah kenal sama dia," ucap Kafka dan meskipun aku tahu bahwa kata-
katanya terdengar seperti diambil dari suatu roman picisa, tetapi aku tetap meleleh juga ketika
mendengarnya. "Heh" sekarang gue ngerti kenapa Nadia cinta mati sama elo. Soalnya biar kata gue bertapa seminggu
di Bromo, gue nggak bakalan bisa punya ilham untuk ngeluarin kata-kata yang baru lo omongin tentang
dia," Elang mengucapkan ini sambil tertawa terkekeh-kekeh dan kurasakan tubuh Kafka menegak dan
perlukannya melonggar sedikit. Aku tidak perlu melihat wajahnya untuk tahu bahwa dia sedang
tersenyum lebar. Bugger it. Sepertinya kini aku tidak perlu lagi mengatakan betapa cintanya aku pada Kafka kepada Kafka,
karena dia sudah mendengarnya dari Elang. Seperti mengetahui bahwa dia telah melewati suatu garis
yang seharusnya tidak ia lewati, Elang berkata, "Aaa" omong-omong lo yang mau bawa dia pulang apa
gue?" "Ya guelah," jawab Kafka dengan agak sedikit ganas, yang membuat Elang mundur selangkah sambil
mengangkat kedua tanganya tanda menyerah.
"Kalau gitu, gue usulin supaya elo bawa dia pulang sekarang soalnya bibirnya sudah biru," kata Elang
sambil menunjuk kepadaku.
God bless this bloke, dia benar-benar orang baik. Dihadapkan dengan gata santai Elang, Kafka sepertinya
tidak tahu apa yang harus dia perbuat, akhirnya dia hanya berkata, "Oh" right," sebelum kemudian
mulai menuntunku pergi. Pada detik ini rasa kantuk menyerangku dengan tiba-tiba dan aku bersusahpayah untuk tetap membuka mataku. Ohhh" kayaknya enak kalau aku bisa tidur sekarang. Sebentar
lagi" sebentar lagi aku sudah bisa mengganti cheongsam yang basah ini dengan piama kesayanganku,
merangkak ke atas tempat tidurku yang supernyaman, dan tidur dengan nyenyak sampai lusa. Dengan
begitu kupertintahkan kedua kakiku untuk tetap berjalan.
"Dan mungkin lo mau langsung bawa dia ke mobil supaya orang nggak bertanya-tanya kalau nanti lihat
dia basah kuyup begitu. Oh ya, sekalian nih lo bawa tas Nadia, tadi ketinggalan di dalam." Langkahku
dan Kafka terhenti untuk meraih tas tanganku yang disodorkan oleh Elang, lalu mengambil beberapa
langkah menjauhi Elang, tapi sebelum jauh dia berhenti dan memutar tubuhnya.
"Thanks, man," ucap Kafka.
"Partiin lo betul-betul jaga dia soalnya kalau nggak nanti lo bakal disamperin sama Jana, sobatnya Nadia.
Dan gue bilangin saja ke elo. Lo nggak mau sampai itu kejadian," balas Elang.
Mendengar pernyataan Elang aku jadi bertanya-tanya. Apa yang dilakukan Jana sampai dia takut sama
sobatku yang setahuku tidak pernah meninggikan suaranya itu. Tapi sebelum aku bisa mendalami lagi
permasalahan ini, Kafka sudah setangah menuntun dan setengah menggendongku menuju mobil yang
diparkir di area VIP, tidak jauh dari situ. Tanpa peduli bahwa aku akan membasahi kursi mobilnya yang
untungnya berlapiskan kulit, Kafka langsung mendudukkanku di kursi penumpang sebelum buru-buru
menuju kursi pengemudi. Dia baru saja menstarter mobilnya ketika kulihat Elang berlari-lari ke arah
kami sambil menenteng sepatuku. Kafka menurunkan jendela untuk mengambil sepatu itu sebelum
meletakkannya di kursi belakang, kemudian dia langsung tancap gas.
*** Aku terbangun oleh sinar terang yang menyinari wajahku. Kepalaku berat, seperti ada yang memukulnya
dengan martil berkali-kali. Kufokuskan mataku untuk melihat ke sekelilingku dan menyadari bahwa
perabot yang ada di kamar itu bukan milikku. Segala sesuatunya kelihatan terlalu antic dan kuno. Dan
untuk satu detik aku bertanya-tanya apakah aku sedang bermimpi. Suatu mimpi saat aku sudah
dilempar ke era tahun 1800-an. Tapi rasa sakit pada kepalaku mengingatkan bahwa ini semua nyata,
bukan mimpi. Tiba-tiba perasaan d?j? vu menyerangku. NOT AGAIN! Teriakku dalam hati. Secepat
tanganku yang terasa kaku bisa bergerak, kuangkat selimut yang menutupi tubuhku dan mengintip ke
bawah. Phewww,,, tubuhku ditutupi oleh kaus kedodoran berwarna hitam.
Kutarik napas dalam-dalam dan mencium bau aneh, seperti kayu cendana. Terakhir kali aku mencium
bau seperti ini adalah ketika pemakaman kakekku hampir dua puluh tahun yang lalu, beberapa bulan
sebelum aku pindah ke Jakarta. Beliau disemayamkan di rumah duka di Makassar selama dua hari untuk
menunggu agar semua keluarga bisa berkumpul. Aku tidak pernah suka akan bau itu, karena selalu
mengingatkanku akan wajah kakekku yang tertidur di dalam peti. Wajahnya agak membiru dan sedikit
bengkak, efek dari serangan jantung yang mengakhiri hidupnya. Yang jelas wajah itu terlihat sangat tidak
natural dan sedikit mengerikan untuk dilihat oleh anak berumur sepuluh tahun. Aku tidak tahu kenapa
Mama bersikeras agar aku mencium jasad kakekku untuk yang terakhir kalinya sebelum kemudian peti
itu ditutup. Kututup mataku rapat-rapat dan mendekatkan bibirku pada kening kakek. Kuingat bahwa
kulitnya terasa dingin di bawah sentuhan bibirku.
Kutarik napasku sekali lagi untuk memastikan bahwa indra penciumanku tidak sedang kacau, dan sekali
lagi bau kayu cendana menyambutku. Bloody brilliant, sekarang aku akan memiliki beberapa mimpi
buruk karena memoriku sudah terpicu bau ini. Di mana sih aku" Tiba-tiba kudengar pintu terbuka dan
wajah seorang wanita bule setengah baya yang kelihatan khawatir, muncul di hadapanku. Dia mendekat
kemudian meletakkan telapak tangannya ke keningku dan berkata, "Sudah turun panasnya."
Siapa pula wanita bule yang sekarang sedang berbicara dengan bahasa Indonesia superfasih ini"
Sebelum aku bisa mengutarakan pertanyaanku, dia sudah menghilang dan aku mendengar bunyi pintu
ditutup dan sekali lagi aku seorang diri di dalam kamar itu. Dengan susah payah kuangkat kepalaku.
"Owww," ucapku pelan.
Kudengar pintu kamar sekali lagi dibuka dan langkah berat yang agak terburu-buru terdengar
mendekatiku. "Nad?" Aku tidak perlu melihat wajahnya untuk tahu pemilik suara itu. Dua tangan besar
dan kuat memintaku untuk kembali berbaring. Kalau tidak sedang merasa terlalu lelah bercampur
bingung, mungkin aku sudah melakukan perlawanan, tapi aku hanya merelakan tubuhku untuk kembali


Crash Into You Karya Aliazalea di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dibaringkan dan ditutupi selimut. Kurasakan kasur di sebelah kananku agak menurun di bawah beban
berat, disusul dengan tangan Kafka yang melingkari pinggangku sebelum tubuhnya dengan sangat
berhati-hati menyelimuti tubuhku dari belakang. Kurasakan kehangatan tubuhnya pada punggungku.
"Tidur saja dulu lagi, nanti aku bangunin satu jam lagi untuk minum obat," bisiknya dan mencium
rambutku sambil berkata sesuatu yang terdengar seperti "I love you", dan aku pun tertidur lagi.
Kafka memang membangunkanku lagi untuk memintaku makan bubur yang sudah disediakan agar bisa
minum obat. Dan dalam situasi lain aku kemungkinan akan protes, tetapi kali ini aku hanya pasrah ketika
Kafka mulai menyuapiku. Dia sama sekali tidak terlihat tidak sabaran dengan kunyahan pelanku. Sembari
aku mengunyah dia berkata, "Sori ya kalau aku bawa kamu ke rumah orangtuaku, soalnya ini yang paling
dekat dari Empire dan aku nggak mau ambil risiko kalau kamu harus lebih lama lagi pakai baju yang
basah. Suhu badan kamu sekarang memang sudah turun, tapi tadi malam kamu demam cukup tinggi."
Aku hanya diam saja mendengar penjelasan Kafka. "Apa kamu ada janji sama orang hari ini?" lanjutnya.
Sekarang hari Minggu, bukan hari kerja. Jadi paling yang meneleponku adalah sobat-sobatku atau
keluargaku. Kugelengkan kepalaku.
"Apa kamu mau HP kamu?" Tanya Kafka lagi sambil terus menyuapiku.
Sekali lagi kugelengkan kepalaku dan Kafka pun mengangguk.
"Kamu nggak marah, kan, kalau aku bawa kamu ke sini" Soalnya aku nggak tahu alamat rumah kamu."
Kuanggukan kepalaku tanda mengerti, tetapi Kafka kelihatan terkejut dan bertanya, "Kamu marah?"
dengan nada khawatir. Kugelengkan kepalaku dan mencoba untuk tersenyum dan Kafka kelihatan mengembuskan napas lega.
"Oh ya, hanya sebagai informasi, bukan aku yang ganti baju kamu, tapi mamaku. Jadi kamu nggak usah
khawatir, aku nggak lihat apa-apa kok tadi malam," lanjutnya sambil menunjuk kaus yang kukenakan.
Kenapa dia kellihatan sangat ketakutan" Apa dia takut aku akan marah karena sekali lagi dia
membawaku ke tempat asing bukannya ke kamar hotelku atau rumahku" Aku sudah tidak punya tenaga
untuk marah. Aku malahan merasa berterima kasih karena dia sekali lagi sudah menjagaku tanpa
diminta. Aku hanya bisa memaksa lima suapan masuk ke dalam perutku sebelum aku merasa terlalu
lelah untuk mengunyah. Kafka lalu menyodorkan obat yang harus kuminum sebelum membiarkanku
tidur lagi. Setelah itu aku tenggelam di antara alam mimpi dan sadar. Beberapa kali aku dibangunkan
untuk makan sesuap bubur dan minum obat, tapi aku terlalu teler dan hanya melakukan itu semua
secara reflex, sebelum kemudian tewas lagi. Aku tidak tahu sudah berapa lama aku dalam keadaan
setengah sadar, ketika kurasakan usapan lembut pada bahuku.
"Sweetheart, can you wake up" You need to drink your medicine?" ucap suara lembut yang sangat
keibuan. Kubuka mataku pelan-pelan dan melihat wajah ibu bule yang aku temui sebelumnya, sedang tersenyum
padaku. Mengingat-ingat penjelasan Kafka padaku sebelumnya, aku bertanya-tanya apakah ini mama
Kafka. Aku tidak pernah berpikir bahwa Kafka itu blasteran. Well" itu menjelaskan kenapa kulitnya putih
bersih, rambutnya yang kadang kelihatan ada merahnya kalau dibawah sinar lampu, dan matanya yang
ada hijaunya. Itu juga menjelaskan bentuk tubuh Karin yang superbongsor.
Aku mencoba untuk duduk, tetapi badanku terasa kaku dan agak lengket. Tanpa kusadari kaus yang
kukenakan sudah basah Karena keringat. Lalu kusadari bahwa kini kaus yang kukenakan berwarna putih,
bukan hitam lagi. Aku rupanya sudah terlalu teler untuk menyadari proses pergantian kaus ini. Mama
Kafka (aku memutuskan bahwa wanita bule ini memanglah mama Kafka) membantuku untuk duduk
dengan meletakkan beberapa buah bantal di belakang punggungku.
"Bisa makan?" tanyanya dan duduk di sampingku di atas tempat tidur.
Aku mengangguk, lalu tanpa ancang-ancang dia berkata, "Sayaaa," dan dia menyodorkan suapan bubur
padaku. Waduhhh! Aku merasa seperti masih SD dengan perlakuan seperti ini. Aku bahkan tidak ingat
kapan terakhir kali mamaku menyuapiku. Aku sudah terlalu lama hidup mandiri sehingga lupa rasanya
untuk dimanjakan seperti ini. Kehangatan yang tiba-tiba menyelimuti tubuhku menandakan bahwa aku
sebetulnya merindukan perlakuan seperti ini.
Kubuka mulutku dan menelan suapan pertama yang disusul suapan kedua dan ketiga dengan cepat.
Tanpa kusangka-sangka ternyata aku lapar. Tentu saja aku lapar, inilah pertama kali otot-otot mulutku
tidak terlalu lelah untuk mengunyah dan perutku bisa menerima makanan lagi dalam waktu" mmmhhh
apa sekarang masih hari minggu atau sudah berganti ke hari senin" Setelah bubur satu piring itu ludes
dan meminum obat yang disodorkan oleh mama Kafka, kusandarkan kembali kepalaku ke bantal.
Kepalaku sudah tidak pusing lagi dan meskipun tubuhku masih terasa lemas, tetapi otot-ototku tidak
sesakit sebelumnya. Kufokuskan mataku pada jam dinding di kamar itu, jam sepuluh kurang lima menit.
Pagi kalau dilihat dari sinar matahari yang masuk melalu jendela.
"Sebelum Kafka pergi tadi dia titip pesan ke Tante untuk mastiin supaya kamu istirahat di sini sampai dia
pulang nanti jam lima. Dia harus pergi karena ada praktik," ucap mama Kafka.
Benar saja, ternyata hari ini sudah hari senin. Hal pertama yang aku ingat adalah bahwa aku harus
menelepon Adri untuk mengucapkan selamat ulang tahun. Hal kedua adalah bahwa aku harus mandi.
Aku bahkan tidak berani menarik napas karena khawatir bau badanku yang kini menempel di tubuhku
telah menodai selimut yang kugunakan. Kupaksa tubuhku untuk duduk dan mencoba untuk berdiri.
"Lho, ini mau ke mana?" teriak mama Kafka panic dan langsung menopang tubuhku dengan bahunya.
Aku hanya mengeluarkan kata, "mandi", sebelum mama Kafka menuntunku ke kamar mandi di dalam
kamar tidur itu. "Bisa sendiri?" tanyanya lagi dan aku mengangguk. Meskipun kelihatan agak ragu tapi setelah
menunjukkan letak handuk dan kimono katun yang bisa kugunakan, dia kemudian menutup pintu kamar
mandi dan meninggalkanku sendiri.
Setengah jam kemudian aku keluar dari kamar mandi dan berbau seperti Kafka. Kutemukan satu set
pakaian bersih di atas tempat tidur yang sudah dibereskan dengan rapi, berikut celana dalam dan bra
yang kukenakan dua hari yang lalu. Tetapi tidak ada siapa-siapa di dalam kamar itu selain aku. Pelanpelan kukenakan pakaian itu dan bertanya-tanya milik siapakah kaus yang kukenakan kali ini. Kucoba
untuk mencari hair-dryer agar bisa mengeringkan rambutku yang basah, tetapi aku tidak
menemukannya di mana-mana. Aku baru menyadari bahwa kamar tersebut pasti adalah kamar laki-laki
kalau dilihat dari segala sesuatunya. Mulai dari warna cat hingga bedcover, mulai dari brand shampoo
hingga parfum yang ada di kamar mandi. Parahnya lagi, aku curiga bahwa ini adalah kamar tidur Kafka.
Aku baru saja akan mengintip ke dalam lemari pakaian untuk mengumpulkan bukti lebih lanjut yang
akan mengonfirmasikan kecurigaan, ketika pintu kamar sekali lagi dibuka tanpa diketuk dan Karin
melangkah masuk. Tangannya kemudian menyodorkan sebuah telepon wireless padaku.
"Mas Kafka," ucapnya pendek. Ekspresinya tidak terbaca.
Secara reflex kuraih telepon itu. "Halo," ucapku dengan agak sedikit ragu sambil memperhatikan Karin
dari sudut mataku. Gadis itu sudah mengambil singgasana di atas tempat tidur.
"Mamaku bilang kamu sudah bangun," kudengar suara Kafka dan tiba-tiba kurasakan seperti ada kupukupu di dalam perutku.
"I-iya," balasku sedikit tergagap.
Untungnya Kafka sepertinya tidak mendengar kegagapanku dan lanjut bertanya, "Gimana kamu rasanya"
Masih pusing?" "Nggak. Sudah nggak pusing."
"Sudah minum obat?"
"Sudah." "Jangan banyak gerak dulu kalau belum kuat. Kalau perlu aa-apa minta saja sama mamaku."
Yeah right. Like that ever gonna happen. Memangnya dia pikir aku sebegitu kurang ajarnyakah sampai
mau mengeksploitasi kebaikan yang sudah aku terima" Kalau bisa sebetulnya aku ingin bilang terima
kasih sebanyak-banyaknya kepada mamanya dan menelepon taksi untuk membawaku pulang ke rumah
kosku sekarang juga. Tapi aku tahu bahwa Kafka melakukan ini karena khawatir dan meskipun itu
membuatku sedikit jengkel tetapi harus kuakui bahwa tingkah lakunya sweet juga.
"Aku sudah nggak apa-apa kok. Ini baru selesai mandi," jelasku akhirnya.
"Sendiri?" Kafka terdengar terkejut.
"Ya iyalah, memangnya sama siapa" balasku dengan nada lebih keras daripada yang kurencanakan.
Kulihat alis Karin naik beberapa derajat sambil menatapku.
Kafka malah tertawa cekikikan mendengarku sebelum berkata lagi, "Nanti malam mandi lagi?"
Kutarik napas dalam-dalam untuk mengontrol emosiku sebelum mengatakan, "Kayaknya sih gitu"
Memangnya kenapa?" "Tungguin aku pulang, aku juga mau mandi nanti malam?"
Butuh beberapa detik sebelum aku menyadari makna kata-katanya itu dan ketika aku memahaminya
aku langsung berteriak, "Kafka, kamu sudah gila!" dan meledek lah tawa kafka di telepon. Kalau saja dia
berada di hadapanku aku mungkin sudah mencekiknya. Senang banget sih ini orang gangguin aku,
omelku dalam hati. Sedetik kemudian aku baru sadar bahwa Karin ada bersamaku di dalam kamar, dan
dia sedang menggeleng-geleng. Oh great, benar-benar bakalan di pecat deh gue sekarang jadi web
designer Empire karena sudah memaki-maki klien. Sambil mengangkat jari telunjukku sebagai tanda
permisi aku masuk ke kamar mandi dan menutup pintunya.
"Nad?" kudengar suara Kafka diantara tawanya.
"Kaf, bisa nggak sih kamu nggak gangguin aku untuk satu hari saja?" desisku.
"Ya nggak bisalah," jawab Kafka tanpa ragu-ragu seakan-akan ini adalah permintaan yang paling tidak
masuk akal yang pernah dia dengar. Aku menahan diri untuk tidak menggeram.
"Kenapa nggak bisa?" aku mulai melangkah bolak-balik dari shower ke toilet
"Karena aku cinta sama kamu, of course," balas Kafka dengan lancarnya.Seakan-akan itu adalah
penjelasan paling masuk akal yang bisa diberikan oleh siapa pun.
Aku bisa membayangkannya sedang memutar bola matanya dengan tidak sabaran. "Oh," ucapku
terkejut sehingga langkahku terhenti. Crikey. He is smooth, very smooth. Dihapadan dengan pernyataan
seperti ini aku mau ngomong apa,coba" Dia sekarang rupanya sudah tahu bahwa satu-satunya cara
untuk membuatku berhenti ngomel adalah dengan mengucapkan kalimat "Aku cinta kamu."
"Nad?" "Ya?" "Aku nanti pulang jam lima. Jangan pergi ke mana-mana, tungu sampai aku datang, oke?"
WHATT! Dia mau aku nunggu sampai dia balik" Sudah gila, kali. Aku perlu pulang, mandi, dan ganti
pakaian. Aku tidak bisa bertemu Kafka dengan tampang seperti ini. Seperti orang yang baru bangun
tidur. Rambut sedikit acak-acakan, kulit yang kelihatan kering tanpa sentuhan lotion dan tanpa make-up.
"Omong-omong Karin masih ada di situ nggak?"
"Oh" uhm" sebentar ya," ucapku dan siap untuk keluar dari kamar mandi ketika kata-kata Kafka
selanjutnya membuat langkahku terhenti.
"I love you, Nad-Nad," ucap Kafka
Aku terdiam beberapa detik sebelum dengan agak tergagap membalas, "Lo-love you too."
"I know," balasnya.
"Aggghhh". Ego kamu ini?"
"Selangit," potong Kafka. "Yes, I know. Kamu sudah pernah bilang begitu ke aku," lanjutnya
"Are we moving too fast dengan semua I love you stuff?" tanyaku sedikit ragu.
"No, definitely not. It"s about a goddamn time," balas Kafka antusias.
"Oh, okay then," ucapku pasrah. Buat apa lagi aku mengingkari hatiku yang jelas-jelas memang
mencintai laki-laki satu ini"
"Okay then," mau tidak mau aku tertawa mendengar balasan Kafka ini.
"Sebentar ya aku panggilin Karin."
Kulongokkan kepalaku keluar dari kamar mandi dan menemukan Karin terbaring terlentang di atas
tempat tidurku" err". Maksudku tempat tidur Kafka yang tadi aku tiduri. Buru-buru kuserahkan gagang
telepon itu padanya. Karin mengambil gagang telepon itu dariku sambil tersenyum. "Hellooo," ucapnya dengan ceria. Setelah
itu aku hanya mendengarnya mengucapkan "oh", "oke", "iya", dan "no problem". Selama percakapan
sepanjang lima menit itu berlangsung, aku mengelilingi kamar itu untuk mencari tasku. Aku
menemukannya tergeletak di atas peti hitam yang di sandarkan pada kaki tempat tidur. Kukeluarkan HPku untuk memeriksa pesan-pesan di dalam mailbox-ku, tetapi kutemukan bahwa HP-ku mati total
kehabisan baterai. Kemudian kudengar Karin mengakhiri pembicaraan itu dan menutup telepon.
"Bisa tolong bantuin gue?" pintaku
"Sure. Mas Kafka bilang untuk bantu Mbak sebisa mungkin," ucap Karin dan langsung melangkah turun
dari tempat tidur. Aku tidak menghiraukan Karin yang kini memanggilku dengan Mbak bukannya "elo", seperti biasanya
dan berkata, "Bisa tolong teleponin taksi?"
"Where are you going?"
"Pulang," jawabku singkat.
"Apa ada emergency?"
"Nggak ada, tapi gue harus pulang," jelasku. Ketika kulihat keraguan di mata Karin, aku menegaskan,
"Sudah waktunya gue pulang."
Karin menggeleng. "Mas Kafka bilang Mbak sebaiknya tunggu sampai dia datang. Nanti dia yang antar
Mbak pulang." Kutatap mata Karin, mencoba membaca gelagatnya, tapi kelihatannya dia betul-betul serius menuruti
permintaan Kafka. Akhirnya aku mengaku kalah dan mengempaskan diriku ke atas tempat tidur.
Bab 18 1 Juni Gue nggak bisa ngegambarin apa yang gue rasain sekarang. Gue nggak nyangka bahwa gue bisa
sebahagia ini, apalagi karena alasan utamanya adalah dia. Dia bisa terima gue apa adanya. Dia cinta
sama gue dan dia Cuma minta supaya gue bisa mencintai dia balik. Itu saja. Gila nggak sih"
*** Ternyata Karin cukup menyenangkan juga orangnya kalau aku tidak menghiraukan gaya bicara Paris
Hiltonnya, dan tanpa terasa aku sudah menghabiskan siang itu dengannya. Aktivitas "female bonding"
kami diawali dengan Karin meminjamkan hair-dryer-nya jad aku bisa mengeringkan rambutku. Lalu dia
memberi tur keliling rumah orangtuanya yang cukup besar dan penuh dengan perabot antic itu.
Terkadang aku merasa seperti sedang berada di dalam museum, tapi satu hal yang menurutku unik dari
rumah ini adalah bahwa hampir setiap dinding dan meja dihiasi oleh foto yang memberikan kehangatan
dan rasa kekeluargaan pada rumah tersebut.
Karin menunjukkan foto Kafka waktu SD dengan topi Mickey Mouse. Kafka kelihatan sangat bahagia di
foto itu. Dia kemudian menunjukkan beberapa foto Kafka lagi dari dia SD hingga kuliah. Satu dinding
ruang tamu dipenuhi foto anggota keluarga itu sedang mengenakan toga dengan berbagai warna dan
aksesori sesuai dengan universitas masing-masing. Kemudian kami menuju halaman belakang untuk
makan siang dan aku sempat mengucapkan terima kasih kepada mama Kafka karena sudah mengurusku
selama aku sakit. Aku tidak bertemu muka dengan papa Kafka yang menurut Karin sedang berada di
kantor, tapi aku melihat fotonya. Papa Kafkaa kelihatan sangat menakutkan karena tubuhnya yang tinggi
besar dengan kumis ala Pak Raden. Aku bersyukur bahwa aku tidak usah bertemu dengnnya saat itu.
Selama makan siang mama Kafkaa memastikan bahwa aku tidak kurang makan dengan mengatakan,
"Tambah lagi, Nadia," setiap lima menit sekali. Aku merasa agak canggung dengan segala perhatian ini.
Dan kalau beliau tidak sedang sibuk untuk membuatku merasa seperti ratu untuk sehari, dia menatapku
sambil tersenyum penuh arti. Okay, this is slightly creepy. Aku merasa seperti dia tahu sesuatu
tentangku yang aku tidak mau dia tahu. Untung saja kemudian makan iang itu berakhir dan Karin
mengusulkan agar kami mengurung diri di dalam kamar Kafka, jadi aku bisa bernapas kembali. Dan di
atas tempat tidurlah Kafka menemukanku beberapa jam kemudian sedang cekikikan dengan Karin
sambil menonton serial TV friends.
Hari ini dia mengenakan kemeja biru muda dan celana hitam, tanpa dasi. Aku bisa melihat kaus putih
pada belahan segitiga tempat dia mmbiarkan kancing paling atas kemejanya terbuka. Tanpa ragu-ragu
Kafka langsung berjalan menghampiriku dan duduk di sampingku. Perlahan-lahan dia membelai untaian
rambutku dan mnyelitkannya di belakang daun telingaku. Entah kenapa, tapi aku merasa agak canggung
bertemu muka dengannya. "Better?" Tanya Kafka.
Pertanyaan Kafka ini mungkin terdengar simple, seakan-akan dia hanya menanyakan kesehatan fisikku,
tapi aku tahu bahwa itu bukanlah maksud pertanyaannya. Dia bertanya apakah aku merindukannya dan
bahwa aku kini merasa lebih baik karena dia sudah datang. Dan sejujurnya, itulah yang aku rasakan.
Pada detik itu aku tahu bahwa aku tidak harus merasa canggung dengannya.
Aku mengangguk tanpa menyadarinya. Kemudian kudengar suara Karin mengatakan, "Awww". That is
so sweet." Dan wajahku langsung memerah. Aku sudah lupa bahwa Karin masih ada bersama kami.
Kafka hanya tertawa mendengar komentar ini dan mendekatkan dirinya padaku di atas tempat tidur.
Lutut Kafka bersentuhan dengan pahaku. Dan wajahku sudah seperti tomat. Entah kenapa tetapi tibatiba aku merasa canggung dan agak malu, padahal dia belum ngapa-ngapain aku dan aku yakin bahwa
dia tidak berencana untuk ngapa-ngapain aku, tidak ketika adik perempuannya berada di dalam ruangan
yang sama dengan kami. Ingin rasanya aku menampar diriku sendiri karena semua kekonyolan ini, tapi
aku harus puas dengan hanya menggeser badanku agar tidak ada bagian tubuhku yang menyentuh
tubuhnya lagi. Kafka mengerling melihat tindakanku, tetapi dia tidak mengatakan apa-apa.
"I"II leave you two lovebirds alone," ucap Karin dan merangkak turun dari tempat tidur.
"You don"t have to leave," nada suaraku terdengar lebih tinggi daripada yang kurencanakan, tapi Karin
hanya tersenyum dan menutup pintu dibelakangnya.
"Aku suka lihat kamu begini. Santai dan nggak pakai make-up. Natural," ucap Kafka sambil melarikan
jari-jarinya pada pipiku.
Kali ini aku membiarkannya menyentuhku, aku merasa nyaman dengan sentuhan itu. "Kamu cocok pakai
kaus aku." Lanjutnya sambil menunjuk dadaku.
"Ini kaus sudah belel banget kok masih disimpan sih?" balasku sambil menarik ujung kaus yang
menutupi separo pahaku. Kafka tertawa mendengar pertanyaanku. "Itu kaus vintage, aku beli waktu nonton konser U2 di London.
Konser pertama yang tiketnya aku beli dari gaji pertama tahun residensi aku."
"Jadi ada nilai sentimentilnya dong." Aku langsung merasa tidak enak. "Apa kamu mau aku lepas?"
Sekali lagi Kafka tertawa. "Kecuali kalau kamu nggak keberatan aku ngelihat kamu naked lagi, aku
saranin sih kamu tetap pakai kaus itu. Aku nggak keberatan kok selama yang makai kaus itu kamu,"
"Oh," itu saja yang mampu kuucapkan
Kafka mengasihaniku yang tidak bisa berkata-kata dengan bertanya, "Kamu ngapain saja hari ini?" dan
berdiri dari tempat tidur untuk kemudian melepaskan kemejanya
Sambil memperhatikan gerakannya aku menjawab, "Mmmhhh". Dipaksa makan siang sama mama
kamu, nonton TV seharian sama Karin, teruuuussss" oh ya, aku lihat foto kamu yang pakai topi Mickey
Mouse.kamu kelihatan innocent banget. Aku yakin orang nggak bakalan nyangka kelakuan kamu kayak
anak setan." Kafka terkekeh mendengar komentarku dan lanjut menanggalkan kaus putihnya sebelum kemudian
membuka pintu lemari. Karena dia sedang membelakangiku, aku hanya bisa melihat gerakan otot-otot
kuat pada punggungnya. Aku tersenyum pada diriku sendiri dan menyandarkan punggungku pada
kepala tempat tidur sambil menikmati pemandangan ini..
Kafka memutar tubuhnya untuk menghadapku dan sambil mengenakan sebuah kaus polo putih dia
bertanya, "kamu perlu pulang buru-buru?"
"Kalau kamu nggak keberatan, aku mau pulang sekarang," ucapku.
"Gimana kalau kamu makan malam bareng keluargaku dulu sebelum aku anter pulang?"
"Makan malam sama keluarga kamu?" teriakku.
Kafka mengangguk. "Kamu nggak keberatan, kan?"
"Tapi" tapi" aku nggak punya pakaian yang rapi," protesku.
"Kamu nggak usah dandan Cuma untuk makan malam sama keluarga aku. Apa yang kamu pakai
sekarang cukup kok."
"Tapi" kaf, apa yang mereka bakal pikir tentang aku?"
"Oh" tentang itu. Mamaku suka sama kamu."
"Tapi?" "Nadia" aku ini cinta sama kamu dan kamu cinta sama aku?"
Aku sudah siap memprotes kata-katanya ketika Kafka memotongku, "And if it"s alright with you, aku
mau semua orang tahu tentang itu. Kita bisa mulai dengan ngasih tahu ke keluargaku, habis itu ke


Crash Into You Karya Aliazalea di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keluarga kamu. Dengan begitu mungkin kakak-kakak kamu bisa berhenti ngelihat aku kayak mereka siap
untuk ngebakar aku hidup-hidup."
Aku tertawa mendengar penjelasan Kafka.
"So, shall we?" Tanya Kafka yang sudah mengulurkan tangannya dan menunggu.
Tanpa berpikir lagi aku pun meraihnya dan kami berjalan keluar dari kamar sambil bergandengan tangan.
"Kaf," ucapku pelan.
"Ya?" "I love you," ucapku sejelas mungkin.
"Good," jawab Kafka pendek. Oke, aku sebetulnya mengharapkan balasan yang lebih panjang dan lebih
romantic daripada itu, karena adalah kejadian yang cukup langka bagiku untuk mengucapkan kata-kata
itu secara langsung atas kemauanku sendiri, tapi itu tidak menghalangiku untuk menerima balasanya
dengan sukacita. *** Aku selalu menyangka bahwa memiliki seorang pacar itu lebih baik daripada single, tapi kini aku harus
akui bahwa punya pacar itu tidak ada bandingannya dengan memiliki suami. Menjadi seorang nyonya
ada keuntungan dan kerugiannya. Keuntungannya adalah bahwa pertama, aku bisa bercinta kapan saja
dan di mana saja aku mau; kedua, aku tidak perlu lagi ngekos karena kini aku tinggal di rumah Kafka,
maka dengan begitu aku bisa lebih banyak menabung; dan ketiga, ada satu orang lagi, selain keluarga
dekat dan sobat-sobatku, yang menerimaku apa adanya tanpa pernah mengeluh.
Kerugiannya adalah pertama, bahwa Kafka mempunyai hak untuk meminta kami untuk bercinta kapan
saja dan di mana saja dia mau; kedua, aku dan Kafka harus duduk bersama-sama dan merencanakan
pengeluaran bulanan dan tahunan kami karena menurut Kafka dia tidak tahu bagaimana aku mengatur
keuanganku sebelum kami menikah sampai aku tidak punya tabungan sepeser pun; dan ketiga, karena
Kafka menerimaku apa adanya, maka aku pun harus menerimanya apa adanya. Berikut kebiasaankebiasaan jeleknya yang mengompletkan rumah kami dengan segala peralatan elektronik yang
menurutnya akan memudahkan kehidupan keseharian kami berdua, tapi menurutku hanya digunakan
sebagai alasan untuk menutupi kemalasannya. Seperti mesin cuci pakaian yang bisa mencuci. Menakar
pelembut, dan mengeringkan pakaian satu kali jalan, sebuah dishwaher, lemari es dengan mesin
pembuat esnya sekalian, bahkan vacuum cleaner yang wireless dan bisa berjalan sendiri.
Dan aku bahkan tidak bisa marah padanya karena setiap kali aku mau menyuarakan protesku dia
berkata, "You know I love you, right?"
Dan aku menjawab, "Of course I do, but"," dan sebelum aku bisa melanjutkan argumentasiku, dia sudah
memotong. "Kamu tahu nggak kamu makin cantik kalau sudah siap marah kayak sekarang," ucapnya dan mau tidak
mau aku akan tersipu-sipu meskipun aku tetap akan berusaha untuk mengerlingkan mataku dan
kelihatan marah. Aku masih harus mencoba untuk mmbiasakan diri untuk membiasakan diri setiap kali
Kafka mengatakan bahwa aku cantik. Pertama kali aku mendengarnya aku langsung lari mencari cermin
dan mematutkan wajahku di sana selama sepuluh menit. Aku mengharapkan bahwa aku akan melihat
adanya suatu perubahan yang sangat drastic pada wajahku, yang menyebabkan kafka mengatakan hal
itu, tetapi wajahku terlihat sama saja. Meskipun aku akui bahwa kini wajahku kelihatan lebih cerah dan
mataku lebih bersinar mungkin karena rasa bahagia yang meluap-luap dan tidak bisa kututupi. Akhirnya
karena kesal setiap kali melihatku tidak menghiraukan pujiannya itu, Kafka menggeretku untuk berdiri di
depan cermin, di sana dia menunjukkan segala sesuatu yang dia sukai tentang wajahku dan tubuhku.
Kini aku mencoba menerima pujian itu dengan tangan terbuka.
"Kamu ingat kamu masih utang satu hal sama aku." Tanpa kusadari Kafka sudah berdiri di hadapanku
dan kedekatannya membuatku tidak bisa bernapas. Aku bertanya-tanya kapankah aku akan berhenti
merasa seperti ini setiap kali dia dekat. Dan aku curiga bahwa jawabannya adalah sampai aku mati.
"Apa?" Kami sudah menikah selama tiga bulan dan ini baru pertama kalinya Kafka menyinggung tentang janji itu.
Aku berpura-pura bego. "Maksud kamu soal bikin aku hamil" tanyaku dengan muka tidak bersalah dan
berjalan menjauhinya. Kafka mengerutkan keningnya sesaat sebelum berkata, "Itu memang penting dan aku niat untuk bikin
kamu hamil sebelum akhir tahun ini. Tapi yang aku maksud bukan itu."
Ku sebetulnya sudah ingin tertawa, bukan saja karena melihat ekspresi wajahnya yang sekali lagi
mengingatkanku kenapa aku menikah dengannya, tetapi juga tanpa sepengetahuannya haidku bulan ini
telat dan bahwa kemungkinan besar aku hamil. Lain dengan perkiraan kedua kakakku yang aku yakin
pasti bertaruh bahwa aku akan sudah hamil sebelum menikah dengan Kafka. Kurasa aku dan Kafka
berhasil mengecewakan mereka. Kami berjanji untuk tidak melakukannya hingga kami menikah. Hal ini
untuk memastikan bahwa alasan kami ingin menikah bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan jasmani,
tetapi karena kami memang mencintai dan menikmati kehadiran satu sama lain.
Aku sebetulnya memang berniat untuk memberitahu Kafka tentang kondisiku hari ini, tetapi aku sedang
menunggu waktu yang tepat.
"Coba kamu certain lagi ke aku, mungkin aku bisa ingat," balasku, kembali kepada topic pembahasan.
Kafka kelihatan kesal untuk beberapa detik, tetapi kemudian dia mengatur ekspresi wajahnya sebelum
berkata, "Kamu ingat tiga hari sebelum kita nikah dan aku nyulik kamu dari rumah orangtua kamu untuk
pergi ke rumahku dan kita sibuk ngomongin rencana hidup kita?"
"Ngomongin?" candaku. Seingatku kami hanya menghabiskan sekitar tiga puluh menit membahas topic
itu sebelum kemudian tangan dan bibir Kafka sibuk menelusuri bibirku. Kalau saja Kak Viktor tidak
menelepon Kafka untuk menanyakan keberadaanku pada jam tiga pagi ketika mamaku sadar bahwa
kamarku kosong, aku mungkin sudah menginap dirumah Kafka dan melanggar janji kami berdua.
"Oke" ngomongin sedikit," lanjut Kafka sambil meringis. Ketika melihat wajahku yang masih pura-pura
bego Kafka berkata dengan putus asa, "Kamu ngerti kan maksud aku?"
Aku tersenyum dan mengangguk
"Karena aku nggak yakin aku bisa."
Kafka kelihatan mengerutkan keningnya sambil bertolak pinggang sebelum kemudian tanpa aba-aba dia
mulai menggelitiki pinggangku. Pada malam pernikahan kami, dia mengetahui tentang kelemahanku ini
dan selalu menggunakannya sebagai senjata untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. Kafka baru
berhenti mengelitikiku setelah aku minta ampun dan berjanji akan menepati janji.
"Oke, aku akan minta naik jabatan hari senin, dan kalau mereka masih nggak ngasih juga, aku bakalan
berhenti kerja dan buka perusahaan sendiri," ucapku
Semenjak kami resmi berpacaran sekitar setahun yang lalu, Kafka pada dasarnya sudah mencoba untuk
membujukku agar menuntut kenaikan jabatan dari bosku, dan kalau itu tidak berhasil, meninggalkan
perusahaan tempatku bekerja yang menurutnya sama sekali tidak menghargai bakat yang kumiliki.
Tetapi aku selalu ragu dan mengatakan bahwa aku akan melakukannya setelah kami menikah. Namun,
aku sudah menunda keputusan ini selama lebih dari dua bulan dan berniat untuk menundanya lagi.
Kafka mungkin percaya akan kemampuanku, tetapi aku sendiri masih bertanya-tanya apakah aku akan
bisa melakukannya. Meskipun begitu, aku tahu bahwa aku harus berani mengambil keputusan ini karena
kalau tidak, aku tidak akan bisa betul-betul berkembang.
"That"s my girl." Kafka langsung memelukku. Aku pun membalas pelukannya sambil mengembuskan
napas penuh kepuasaan. Kafka, dia akan selalu bisa membuatku merasa tenang dan aman di dalam
pelukannya. Dia akan selalu mendukungku untuk melakukan hal apa saja yang aku mau.
"Aku hamil," bisikku.
Reaksi Kafka membuatku tertawa terbahak-bahak. Aku memang sudah tahu bahwa Kafka terkadang
sering bertingkah laku seperti anak umur sepuluh tahun, tapi apa yang dilakukannya ketika mendengar
berita ini membuatku bertanya-tanya apa jangan-jangan dia lebih seperti anak umur lima tahun
daripada sepuluh tahun. Dia melompat-lompat dan berteriak-teriak seperti orang gila sebelum
kemudian menarikku dari tempat tidur dan memelukku sambil mengucapkan terima kasih kepadaku dan
kepada Tuhan berkali-kali.
EPILOG "Angkat tangan kanan, sekarang tangan kiri. Good job," samar-samar kudengar suara Kafka. Aku sedang
duduk di depan laptop-ku di ruang makan sementara kafka sibuk memandikan Adam, anakku yang
kemarin baru merayakan ulang tahunnya yang pertama. Aku tidak tahu kenapa tapi Kafka suka sekali
berbicara dengan Adam sambil memandikannya, seakan-akan anakku itu bisa mengerti apa yang
ayahnya katakana. Ini adalah rutinitas weekend kami saat kafka mengambil alih semua kewajiban
sebagai orangtua dan meringankan bebanku selama dua hari agar aku bisa menyelesaikan hal-hal yang
sempat terbengkalai karena harus mendahulukan tugasku sebagai seorang ibu.
Beberapa bulan sebelum Adam lahir, aku mendapatkan kenaikan jabatan, tetapi aku belum bisa betulbetul menikmati ruangan pribadiku karena sudah harus mengambil cuti hamil. Awalnya aku sebetulnya
berencana untuk kembali bekerja secepatnya, tetapi kemudian aku menyadari bahwa aku tidak akan
bisa bekerja sebagai senior web designer full-time dengan jamnya yang tidak menentu sambil mengurus
bayi. Akhirnya aku memutuskan untuk berhenti bekerja dari perusahaan itu dan kini aku dengan
beberapa teman senior web designer lainnya sedang berencana untuk membuka agensi baru yang
meskipun kecil tetapi jam dan beban kerjanya bisa dinegoisasikan. Kafka memberiku dukungan penuh
atas rencanaku ini dengan menjadikan Empire dan beberapa perusahaan milik teman-temannya dan
teman-teman Karin sebagai klien pertamaku. Awalnya aku merasa ragu atas keputusan Kafka ini karena
aku merasa seperti sudah mencuri klien dari perusahaan lamaku, tetapi menurut Kafka ini legal-legal
saja. Selama masa kehamilanku aku sebetulnya agak khawatir bahwa aku dan kafka tidak ajan bisa menjadi
sepasang orangtua yang baik, bukan saja karena gaya hidup kami yang terlalu sibuk, tapi juga kurangnya
pengalaman kami bergaul dengan balita, sehingga kami sama sekali tidak tahu apa yang harus diperbuat
jika mendengar anak kecil menangis. Mamaku menjelaskan bahwa insting sebagai orangtua akan datang
dengan sendirinya, dan sepertinya hal itu terbukti pada Kafka yang langsung menerjuni perannya
sebagai seorang ayah tanpa ragu-ragu. Tapi aku" Sampai sekarang saja aku masih agak takut untuk
memandikan Adam, sehingga tugas tersebut biasanya jatuh ke tangan baby-sitter atau Kafka kalau
suamiku itu memang sedang ada dirumah, contohnya seperti hari ini.
"Nad, sudah nih. Mau kamu yang pakaiin baju apa aku?" teriak Kafka dari dalam kamar mandi. Dan aku
pun beranjak dari kursiku menuju kamar mandi. Kugendong Adam masuk ke kamar tidurnya untuk
dibedaki dan dipakaikan baju. Aku selalu suka aroma kamar ini yang merupakan campuran antara bedak
bayi dan minyak telon. Kafka hanya berdiri di depan pintu dan memperhatikan kami sambil tersenyum.
Tubuhnya yang besar itu kelihatan aneh berada di dalam kamar bayi, belum lagi karena handuk kecil
dengan gambar Winnie the Pooh milik Adam yang tersampir di bahu kanannya. Tapi dia tidak kelihatan
risi sama sekali dengan penampilannya yang kelihatan lebih feminism dan kebapakan. Dia bahkan
kelihatan bahagia dan pusa. Aku tidak bisa menyalahkannya karena aku juga merasakan hal yang sama.
TAMAT Pendekar Pedang Dari Bu Tong 8 Goosebumps - 6 Gara-gara Cermin Ajaib Adik Tiri Stepsister 1
^