Pencarian

Pendekar Pedang Dari Bu-tong 8

Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng Bagian 8


sana pun tidak boleh?"
"Aku sendiripun tidak kenal dengan para hwesio yang menghuni
di kuil Siau-lim-si, hanya saja karena ada seorang Totiang titip aku
untuk menyelesaikan urusan pribadinya...."
Sementara dia sedang mempertimbangkan perlu tidak berterus
terang kepada sobat barunya ini, Tonghong Liang sudah menukas
lebih dulu sambil tertawa terbahak bahak, "Hahahaha.... aku mah
tidak punya waktu untuk ikut mencampuri urusan pribadimu, masa
kau sudah lupa, semenjak berjumpa hari pertama, bukankah sudah
kukatakan, kau tidak mencampuri urusanku, akupun tidak
mencampuri urusanmu" Karena itu dalam hal apa pun kalau kau
suka mengatakan, katakan saja, kalau tidak suka mengatakan, tak
perlu dikatakan. Tentu saja terkecuali sewaktu kutemukan titik
kelemahan sewaktu bertanding pedang, biar kau tidak ingin
kukatakan pun, aku tetap akan menyampaikan."
"Aaaah, memang lebih baik begitu!" seru Lan Giok-keng
kegirangan. Sepanjang perjalanan mereka berdua berbincang bincang dengan
penuh keriangan, dalam kesempatan ini Tonghong Liang
menceritakan pula pengetahuan umum tentang dunia persilatan
serta kebiasaan dan peraturan yang harus diketahui, tentu saja Lan
Giok-keng menerimanya dengan suka cita, banyak manfaat yang
berhasil diraihnya selama ini.
Seusai makan siang di sebuah kota kecil, kembali mereka
meneruskan perjalanan, kali ini mereka memasuki jalan pegunungan
yang berliku liku, mendaki serta curam.
Kecuali mereka berdua, nyaris sepanjang perjalanan tidak
dijumpai orang lain, tapi mereka tidak ambil perduli, sembari
meneruskan perjalanan mereka kembali membicarakan masalah
ilmu pedang. Tanpa terasa matahari kembali sudah condong ke langit barat,
angin berhembus sepoi-sepoi, dedaunan kering berguguran ke atas
tanah. Mendadak Tonghong Liang menghentikan pembicaraan, dia
seperti sedang mendengarkan sesuatu.
Waktu itu Lan Giok-keng hanya mendengar suara angin serta
suara daun kering yang berguguran, dia sangat keheranan: apa
anehnya dengan suara angin dan guguran daun"
Tiba tiba Tonghong Liang berkata, "Saudara cilik, aku pernah
bilang kalau kita tidak usah saling mencampuri urusan pribadi, tapi
dalam masalah yang akan kita hadapi sekarang, terpaksa aku harus
mencampurinya." "Masalah apa?" "Sebentar bila kita bertemu dengan seseorang, apapun yang
orang itu bicarakan denganmu lebih baik tidak usah digubris, biar
segala sesuatunya aku yang mewakilimu menjawab."
"Siapakah orang itu?"
"Aku rasa kau tidak bakal kenal dengan orang ini."
"Berarti urusan sama sekali tidak menyangkut aku, bila ingin kau
urus, akupun tidak akan ambil perduli."
Biarpun dia menjawab santai, padahal di hati kecilnya merasa
sangat keheranan. Dia tahu kungfu yang dimiliki Tonghong Liang
sangat tangguh, masa dia pun masih takut dengan seseorang"
Mengapa dia berpesan wanti-wanti dengan wajah serius, seolah
kalau dia salah bicara bisa mengakibatkan datangnya bencana dan
musibah" Belum habis ingatan itu melintas, terdengar suara cekikikan yang
merdu bergema memecahkan keheningan, disusul munculnya orang
itu. Ternyata dia adalah seorang wanita.
"Ngo-nio, urusan apa yang membuatmu nampak begitu
gembira?" sapa Tonghong Liang.
"Tentu saja gembira, karena dapat bertemu kau lagi! Tonghong
Liang, kenapa sampai hari ini kau masih berada disini?"
Ternyata perempuan ini tidak lain adalah si lebah hijau Siang
Ngo-nio yang baru kabur dari gunung Bu-tong.
Tonghong Liang tidak menanggapi pertanyaan itu, sebaliknya
malah bertanya, "Kenapa pula kau pun masih berada disini?"
Siang Ngo-nio tidak langsung menjawab, dia melirik Lan Giokkeng
sekejap dan tegurnya, "Saudara cilik ini adalah...."
"Ucapanmu tepat sekali!" tukas Tonghong Liang sambil tertawa,
"dia memang saudara cilikku."
"Omong kosong, dari mana datangnya saudara?"
"Dia sute ku. Bukankah sute pun sama seperti saudara?"
"Waah, aneh jadinya. Selama ini belum pernah kudengar kalau
Siang Thian-beng masih mempunyai seorang murid lagi."
Dengan menirukan gaya perempuan itu, ujar Tonghong Liang
pula, "Aneh jadinya, sepertinya aku pun belum pernah mendengar
kalau antara kau dengan guruku adalah....
adalah...." "Adalah apa?" "Hiiihhihihi.... adalah pacar gelapnya?"
"Kurangajar, kau berani mempermainkan lo-nio?" umpat Siang
Ngo-nio gusar. "Kalau bukan pacar gelap guruku, memang guru-ku harus lapor
kepadamu bila menerima murid lainnya?"
"Kurangajar, aku sedang bicara serius...."
"Aku pun tidak sedang bergurau denganmu!" balas Tonghong
Liang. Siang Ngo-nio jadi naik pitam, bentaknya, "Tampaknya kalau
tidak kuberi sedikit kelihayan, kau tidak akan...."
Sekonyong-konyong dia memutar tubuh dan langsung menerkam
ke arah Lan Giok-keng. Padahal sewaktu mengucapkan perkataan itu, nada suaranya
jelas tertuju kepada Tonghong Liang, siapa sangka sasaran yang
diserang justru adalah Lan Giok-keng.
Namun Tonghong Liang sudah menduga ke situ. "Ji-hong-si-pit
(bagai ditutup seperti merapat), Liong-yu-sin-ciu (naga melompati
jeram dalam)!!" Baru saja Siang Ngo-nio menggerakkan tubuhnya, Tonghong
Liang telah meneriakkan nama ke dua jurus itu terlebih dulu.
Dia sedang mengingatkan Lan Giok-keng agar menggunakan
kedua jurus itu untuk menghadapi Siang Ngo-nio.
Reaksi yang dilakukan Lan Giok-keng cukup cepat, tapi
seandainya tidak diingatkan orang lain dan secara tiba-tiba harus
menghadapi datangnya ancaman, belum tentu dia sanggup
melakukan tindak pencegahan dengan menggunakan gerakan yang
paling baik. Sudah tujuh hari Lan Giok-keng berlatih silat dengan pemuda itu,
begitu mendengar nama jurus yang disebutkan, tanpa ragu dia
segera menggunakannya. Suara benturan nyaring berkumandang berulang kali, begitu
cepat datangnya serangan, begitu cepat pula serangan itu berlalu,
tatkala ujung kaki Lan Giok-keng menginjak kembali ke atas tanah,
Siang Ngo-nio sudah balik kembali ke posisinya semula, bukan saja
senjata golok panjang dan golok pendeknya sudah disarungkan
kembali, bahkan sedang mengawasinya sambil tertawa.
Kehebatan ilmu meringankan tubuh yang dimiliki perempuan itu
sungguh luar biasa, selama ini boleh dibilang Lan Giok-keng belum
pernah menjumpainya, begitu cepat dia mencabut senjata,
menyerang kemudian menyarungkan kembali goloknya hingga
susah dilukiskan dengan kata-kata.
Dalam waktu singkat senjata kedua belah pihak telah saling
membentur hampir tujuh, delapan kali, atau lebih tegasnya. Di saat
yang amat singkat inilah waktu Lan Giok-keng mengeluarkan jurus
pertamanya, Ji-hong-si-pit.
Ketika melancarkan jurus kedua, naga melompati jeram dalam,
tubuhnya sudah melompat sejajar ke tengah udara kemudian
melancarkan tusukan kilat.
Namun begitu cepatnya Siang Ngo-nio bergerak, di saat
pedangnya mulai melepaskan tusukan ke bawah, tubuh lawan
sudah keburu bergerak lewat, jangan lagi melukainya, menyentuh
ujung baju lawan pun tidak sempat.
Bahkan bersamaan waktu ketika tubuhnya melambung ke udara,
dia seolah merasakan golok pendek milik Siang Ngo-nio sempat
menyambar lewat persis melalui dasar telapak sepatunya.
Cepat dia lepas sepatunya untuk diperiksa, benar saja, dijumpai
lumpur yang melekat di dasar sepatunya kini sudah tersayat mata
golok hingga bersih. Dengan perasaan terperanjat bocah itu segera berpikir, "Coba
kalau aku tidak menggunakan jurus naga melompati jeram dalam,
niscaya separuh kakiku sudah terbabat kutung oleh sabetan
goloknya!" Tampaknya Siang Ngo-nio dapat menebak suara hatinya, sambil
tertawa cekikikan serunya, "Kau tidak perlu kuatir, kalau sampai
sepatumu rusak gara gara seranganku tadi, pasti akan kuganti
dengan sepasang yang lebih baru. Eeei adik kecil, berapa usiamu
tahun ini" Lima belas atau enam belas" Usiamu masih kelewat
ingusan, biar sudah mendapat petunjuk Suhengmu, ke dua jurus
serangan tadi tentu sempat menyusahkan dirimu bukan!"
Pujian itu kontan saja membuat paras muka Lan Giok-keng
berubah jadi merah jengah. Dia masih ingat pesan dari Tonghong
Liang, apa pun yang dikatakan Siang Ngo-nio tidak satu pun yang
diladeni. Kembali Siang Ngo-nio bertanya, "Kalau kau adalah adik
seperguruan Tonghong Liang, kenapa dalam permainan pedangmu
terselip jurus serangan dari Bu-tong-pay?"
Lan Giok-keng semakin keheranan, pikirnya, "Ternyata tindakan
yang dia lakukan tadi hanya bermaksud mencari tahu aliran silatku,
tapi heran, kenapa dia pun mengerti tentang ilmu pedang Bu-tongpay?"
Sementara dia masih berpikir, Siang Ngo-nio telah menegur,
"Hey, apakah sute mu bisu?"
"Tentu saja dia tidak bisu, hanya kurang senang berbicara,"
sahut Tonghong Liang. Bicara sampai disitu, mendadak dia mencabut pedangnya sambil
berkata kepada Lan Giok-keng, "Kedua jurus serangan yang kau
gunakan tadi cukup bagus, tapi kurang begitu sempurna, perhatikan
baik-baik!" Dengan cepat dia gunakan dua jurus Ji-hong-si-pit serta jurus
naga melompati jeram dalam.
Begitu indah kedua gerakan itu dimainkan Tonghong Liang,
membuat Lan Giok-keng mau tidak mau harus mengaguminya.
"Coba kalau aku pun bisa menggunakan kedua jurus itu sebagus
ini, dengan gerakan Ji-hong-si-pit aku pasti dapat merebut sepasang
goloknya, kemudian dengan gerakan naga melompati jeram dalam,
tusukan-ku dari tengah udara tidak bakalan bisa membuatnya
sempat berkelit," demikian dia berpikir.
Tiba tiba terdengar Siang Ngo-nio tertawa terkekeh kekeh.
"Hahahaha.... Siau-liang, kau sedang menggertakku?"
"Tidak berani, aku hanya membantu sute ku memberi
penjelasan, sekarang kau tentu mengerti bukan" Jangan salah
menuduh ilmu pedangku sebagai aliran Bu-tong-pay."
"Aaah, benar, memang aku yang pelupa," kata Siang Ngo-nio
sambil tertawa, "aku lupa kalau Sucouw mu pernah bertarung
melawan Ciangbunjin Bu-tong-pay pada tiga puluh enam tahun
berselang. Tapi dengan kecerdasanmu sekarang, rasanya
kemampuanmu masih jauh diatas kemampuan Sucouwmu."
"Terima kasih kau telah menempelkan emas diwajahku," kata
Tonghong Liang hambar, "berhubung Sucouw kami pernah bertukar
pikiran dengan Bu-siang Cinjin tentang ilmu pedang, maka dalam
jurus pedang ciptaannya kemudian, dia telah melebur dan
menyisipkan juga inti sari dari ilmu pedang Bu-tong-pay. Dengan
kecerdasan dan kehebatan dia orang tua, bukan intisari Bu-tong-pay
saja yang terserap, intisari kekuatan partai lain pun tercakup di
dalamnya." "Tapi ada satu hal aku merasa kurang jelas, tolong kau
menjelaskannya kepadaku."
"Katakan!" sahut Tonghong Liang dengan kening berkerut. Katakata
itu jelas kalau diutarakan dengan sangat terpaksa.
"Menurut apa yang kuketahui, biarpun Suhumu sudah berhasil
mencapai puncak kesempurnaan, namun permainan ilmu
pedangnya belum mencapai taraf yang diharapan Sucouwmu.
bahkan bicara soal tingkat kesempurnaan, kau masih jauh diatas
kemampuan gurumu. Sebagai contoh dua gerakan yang barusan
kau gunakan, belum tentu gurumu sendiri bisa melakukan sebagus
itu, boleh tahu apa sebabnya begitu?"
"Aku tidak berani mengatakan kalau diriku telah mencapai
puncak kesempurnaan, tapi kalau soal perubahan jurus pedang,
mungkin saja aku lebih tahu sedikit. Mengapa bisa begitu, aku rasa
tanpa dijelaskan pun seharusnya kau mengerti sendiri."
Dari nada pembicaraan itu, jelas dia mengisyaratkan kalau dirinya
merasa berat hati untuk menjelaskan masalah itu.
Tapi entah Siang Ngo-nio benar-benar tidak mengerti atau
berlagak bodoh, perempuan itu tetap mendesak lebih jauh, "Kalau
tidak kau katakan, darimana aku bisa tahu?"
"Sederhana sekali. Karena aku memperoleh kesempatan yang
lebih banyak ketimbang Sucouw untuk bertarung melawan jago jago
Bu-tong-pay dan memoles diri."
Dalam pendengaran Siang Ngo-nio, kata "jago jago" Bu-tong-pay
bukanlah Bu-siang Cinjin atau Bu-si Tojin, dalam bayangannya
paling banter jagoan yang pernah dijumpai hanya berasal dari
angkatan "put" seperti Put-ji atau Put-po. Maka pikirnya, "Dia sama
sekali tidak kuat, pemuda ini tahu kalau dia pernah menantang duel
jagoan Bu-tong-pay, meski bocah itu bukan adik seperguruannya,
aku rasa diapun bukanlah orang yang sedang kucari-cari sekarang."
Ternyata tujuannya mengorek keterangan hingga sejelasjelasnya
tidak lain ingin menyelidiki asal usul Lan Giok-keng.
Namun perkataan itu dalam pendengaran Lan Giok-keng justru
bermaksa lain lagi. Pikirnya pula, "Perkataan Tonghong Toako
kelewatan, masa aku pun dianggapnya sebagai jagoan dari Bu-tongpay?"
Kemudian pikirnya lebih jauh, "Ternyata perguruannya masih
punya sedikit hubungan dengan perguruanku, tapi kenapa selama
ini tidak pernah menjelaskan" Mengapa dia bersikap begitu" Atau
mungkin hingga kini dia masih belum menganggapku sebagai
sahabatnya?" Dia hanya merasa Tonghong Liang adalah seorang tokoh yang
penuh diselimuti teka teki, sementara perempuan yang bernama
Siang Ngo-nio ini justru diliputi keanehan.
Walaupun Siang Ngo-nio belum berani memastikan identitas Lan
Giok-keng, namun terhadap ucapan Tonghong Liang dia justru
setengah percaya setengah tidak, ujarnya kemudian sambil
tersenyum, "Kalau begitu bukan saja kau lebih cerdas dari-pada
Sucouwmu, bahkan jauh lebih beruntung."
Tonghong Liang hanya mendengus tanpa menjawab.
Kembali Siang Ngo-nio mendesak, "Sewaktu melihat kau turun
gunung waktu itu rasanya kau hanya seorang diri, sejak kapan dan
dimana kau bertemu dengan sute mu ini?"
Habis sudah kesabaran Tonghong Liang, sambil menarik muka
tegurnya, "Ngo-nio, bagaimanapun kau adalah seorang jago silat
kawakan, akupun ingin mengajukan satu pertanyaan kepadamu."


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bagus, katakan saja?"
"Persoalan yang tidak seharusnya diketahui, lebih baik jangan
mencari tahu dari orang lain. Bukankah dalam dunia persilatan
berlaku pantangan ini?"
"Betul!" "Bagus, kalau begitu silahkan!"
Berubah paras muka Siang Ngo-nio, sambil tertawa paksa
tegurnya, "Siau-liang-ji, apa-apaan kau ini" Mau mengusirku"
Hmmm, jangan lagi kau, gurumu sendiripun tidak berani bersikap
begitu kurangajar kepadaku!"
"Kalau Suhu punya hubungan denganmu, itu mah urusan Suhu.
Kalau aku jadi orang, tidak bakal sudi memberi muka kepada siapa
pun dan aku pun tidak bakal melakukan perbuatan yang tidak ingin
kulakukan. Kalau kau tersinggung dan marah atas kekurangajaranku,
silahkan saja adukan kejadian ini kepada guruku."
"Bila kau enggan bicara, tentu saja aku tidak akan memaksamu,
Cuma...." "Cuma kenapa?" tukas Tonghong Liang, "sekarang sudah tidak
ada lagi Cuma, pembicaraan telah berakhir sampai disini!"
"Boleh saja pembicaraanmu berakhir sampai di sini, sayang
pembicaraanku belum berakhir," kata Siang Ngo-nio sambil tertawa.
"Kalau begitu carilah orang yang suka berbicara denganmu!"
"Hahahaha.... tepat sekali, memang perkataan ini yang hendak
kau bicarakan denganku!"
"Apa yang hendak kubicarakan denganmu?" tanya Tonghong
Liang melengak. "Masa secepat itu kau telah melupakannya" Begitu aku datang
tadi, kaupun bertanya kepadaku, mengapa sampai sekarang masih
berada disini, nah sekarang aku hendak memberitahukan hal ini
kepadamu." "Sekarang aku sudah tidak ingin tahu lagi."
"Mau mendengarkan atau tidak, itu urusanmu, sementara mau
kusampaikan atau tidak, itu urusanku. Memandang pada
hubunganku dengan gurumu yang cukup akrab, karena toh sudah
kau tanyakan, maka sudah sepantasnya kalau kujawab."
"Baiklah, kau lebih banyak tahu tentang apa yang tabu dalam
dunia persilatan, bila kau senang untuk mengatakannya, katakan
saja." Maksud dari perkataan itu, bila kau sampai mengucapkan
perkataan yang tidak menguntungkan, jangan salahkan kalau aku
bertindak tanpa sungkan sungkan.
"Kau tidak usah kuatir, aku hanya membicarakan urusan yang
menyangkut diriku. Aaaai, kali ini aku benar-benar sial, sewaktu
bertarung melawan seorang Tokouw di bukit Bu-tong, dia
menggunakan selembar bulu hudtimnya menyerang jalan darahku
tepat di saat dia terhajar sebatang jarum lebah hijauku. Sudah
berhari hari aku mengobati luka itu, namun hingga kini belum
berhasil menghancurkannya. Inilah penyebab kenapa hingga hari ini
aku masih berada disini. Hey, Siau-liang-ji, kau begitu menguasai
ilmu pedang Bu-tong-pay, tahukah kau siapakah Tokouw yang
sanggup memainkan ilmu pedangnya dengan menggunakan senjata
hudtim?" "Darimana aku bisa tahu para Tokouw yang hidup di gunung Butong?"
Kali ini dia bicara sejujurnya, di saat naik ke gunung Bu-tong
untuk menantang duel, walaupun Put-hui Suthay ikut hadir di arena
namun sama sekali tidak tampilkan diri, lagipula diapun tidak pernah
bertarung melawannya, bagaimana mungkin dia bisa mengenali
satu per satu anggota Bu-tong-pay yang jumlahnya mencapai
ratusan orang itu" Namun dia tidak tahu, berbeda dengan Lan Giok-keng, dia
mengetahui hal ini dengan jelas sekali.
Semakin didengar Lan Giok-keng merasa semakin terperanjat,
pikirnya, "Bukankah Tokouw yang dia katakan adalah guru ciriku?"
Dia memang tidak tahu permainan seperti apa jarum yang
disebut lebah hijau itu, namun dia cukup tahu kalau tenaga dalam
yang dimiliki Put-hui Tokouw sudah mencapai tingkatan yang hebat,
dengan dasar tenaga dalam sehebat itu semestinya tidak sampai
terjadi sesuatu dengan dirinya.
"Hmmm, entah apa maksud dan tujuan perem-puan itu
mendatangi gunung Bu-tong bahkan mengajak Put-hui Suthay
bertarung" Tapi sudah jelas dia bukan manusia baik-baik, tidak
heran kalau Tonghong Toako tidak sudi meladeni pertanyaannya,"
begitu dia berpikir. Darimana bocah ini bisa tahu kalau kejadian yang lebih
mengejutkan masih berada di belakang.
Terdengar Siang Ngo-nio melanjutkan kembali perkataannya,
"Mungkin saja kau tidak kenali Tokouw itu, tapi pasti mengenali
orang yang bernama Lan Kau-san bukan?"
"Heran, kenapa perempuan inipun kenal dengan ayahku?"
dengan perasaan terperanjat Lan Giok-keng berpikir.
"Siapakah Lan kau-san itu?" tanya Tonghong Liang.
Terhadap semua rahasia Siang Ngo-nio dia memang mengetahui
cukup banyak, namun pengetahu-annya tidak terlalu mendetil.
Apalagi masalah ayah angkat Lan Giok-keng yang bernama Lan
Kau-san, dia benar benar tidak tahu.
Meski di hati kecilnya dia muak dengan ulah Siang Ngo-nio yang
bertanya terus menerus, tapi melihat sikap perempuan itu, yang
sama sekali tidak menying-gung urusan tantangan duelnya di bukit
Bu-tong, dia tahu kalau perempuan itu sudah tahu akan apa yang
'tabu' dibicarakan, oleh sebab itulah mau tidak mau dia pun
memberi muka kepadanya. "Lan Kau-san adalah seorang petani sayur di gunung Bu-tong,"
Siang Ngo-nio menjelaskan.
"Ngo-nio, rupanya kau sedang iseng sekali," tukas Tonghong
Liang mendongkol, "kusangka orang yang kau tanyakan adalah
seorang tokoh kenamaan?"
"Walaupun Lan Kau-san bukan seorang tokoh silat yang punya
nama besar, tapi dia mempunyai seorang sahabat yang mempunyai
asal usul terkenal, tentunya kau tahu bukan dengan murid terakhir
Bu-siang Cinjin, bakal Ciangbunjin Bu-tong-pay yang akan datang?"
Bouw Ciong-long yang memangku jabatan sebagai Ciangbunjin
Bu-tong-pay, terjadi setelah Tonghong Liang turun gunung, oleh
sebab itu baik Tonghong Liang maupun Lan Giok-keng sama sekali
tidak mengetahui akan kejadian itu.
Namun setelah Siang Ngo-nio menyinggung tentang orang ini,
tentu saja Tonghong Liang tidak bisa mengelak dengan mengatakan
tidak kenal, maka ujarnya kemudian, "Oooh, kau maksudkan Put-ji
Totiang" Kalau toh dia sahabat orang she-Lan itu, lantas kenapa?"
"Lan Kau-san mempunyai seorang anak, padahal anak itu bukan
putra kandungnya, Put-ji yang minta tolong dia untuk
memeliharanya," ujar Siang Ngo-nio lebih lanjut.
Lan Giok-keng sangat terkejut, pikirnya, "Waah, kali ini dia mulai
menyinggung tentang diriku. Hmmm, mungkirtkahkah rumor yang
beredar selama ini benar?"
Sementara dia masih berpikir, Tonghong Liang telah bertanya,
"Kalau memang benar, lantas kenapa?"
"Tidak apa-apa. Sebab Put-ji kuatir dikemudian hari bocah itu
tahu tentang asal usulnya sendiri, dia telah membunuh Lan Kau-san
suami istri untuk membungkam mulutnya. Justru karena hari itu
secara kebetulan aku melihat kejadian ini, maka...."
Belum selesai ia bicara, ?Lan Giok-keng telah berteriak duluan,
"Kau omong kosong!"
Terbongkar sudah identitasnya!
Secepat sambaran petir Siang Ngo-nio mencengkeram
pergelangan tangannya, sambil tertawa dingin ejeknya, "Darimana
kau tahu kalau aku sedang omong kosong?"
Serangannya kelewat cepat, ketika Tonghong Liang ingin
memberi pertolongan, keadaan sudah terlambat.
"Lepaskan dia!" bentak Tonghong Liang.
"Dia toh bukan sute mu, kenapa harus membantunya?"
"Tidak perduli siapakah dia, aku minta lepaskan dia!"
"Mungkin kau belum tahu siapakah dia, tapi aku tahu dengan
jelas, dia adalah Keng Giok-keng!"
"Omong kosong, aku tidak bermarga Keng!" teriak Lan Giok-keng
nyaring, meski tubuhnya tidak mampu bergerak namun suaranya
tetap keras. Siang Ngo-nio tertawa tergelak.
"Hahahahaha.... ternyata begitu minim sekali pengetahuanmu
tentang dirimu sendiri. Bila kau ingin mengetahui lebih banyak, ikuti
saja denganku. Kau boleh memanggilku ibu angkat."
Sejak awal Lan Giok-keng memang sudah merasa kalau asal
usulnya penuh kecurigaan. Cicinya minta dia jangan percaya semua
rumor. Tapi isu yang beredar justru menempel dan mengusik
ketenangan hidupnya bagai hantu gentayangan. Bila ada seseorang
yang bisa dipercaya, mau menceritakan keadaan sesungguhnya,
betapa bahagianya dia! Tapi perempuan ini" Dapatkah dia dipercaya" Sampai mati pun
dia tidak sudi mengaku perempuan ini sebagai ibu angkatnya.
"Omong kosong, aku tidak bakal percaya dengan omongan
setanmu! Siluman perempuan macam kau juga ingin jadi ibu
angkatku" Huuh, jangan bermimpi di siang hari bolong! Cepat
lepaskan aku, lepaskan, lepaskan aku!" jerit Lan Giok-keng.
Siang Ngo-nio tertawa terkekeh kekeh.
"Andai setan dapat bicara, bagimu mungkin hanya omongan
setan baru perkataan yang sebenarnya. Orang yang masih hidup
tidak bakalan mau bicara jujur denganmu, tentu saja kecuali aku.
Huuuh, kau berani maki aku sebagai perempuan siluman"
Makianmu agak kelewatan, tapi tidak bakalan membuatku marah.
Sebab pada dasarnya aku memang bukan perempuan baik-baik.
Tapi akupun perlu beritahu kepadamu, bapak angkatmu pun bukan
orang baik-baik, dibandingkan kebusukanku, dia tidak kalah jauh.
Jadi kalau aku tidak pantas jadi ibu angkatmu, dia lebih lebih tidak
pantas jadi bapak angkatmu!"
"Kalau mau lepaskan, lekaskan segera, kalau ingin bunuh aku,
bunuh segera, aku melarangmu menfitnah orang semaunya sendiri!"
teriak Lan Giok-keng gusar.
"Sudah kau dengar, aku minta kau bebaskan dia!" bentak
Tonghong Liang pula, "aku sudah meminta untuk ketiga kalinya,
kalau kau tetap membangkang, jangan salahkan kalau aku tidak
sungkan-sungkan lagi!"
Siang Ngo-nio segera mencabut keluar sebatang jarum beracun,
ujung jarum membiaskan sinar kebiruan yang menggidikkan, sambil
diarahkan jalan darah Toa-hui-hiat di tulang punggung Lan Giokkeng,
ancamnya, "Kalau kau berani bergerak, akan kuhujamkan
jarum lebah hijau ini ke jalan darahnya!"
"Baguslah, kalau kau sampai mencelakai dia, aku segera akan
membunuhmu! Percayakah kau aku mempunyai kemampuan untuk
membunuhmu?" "Aku percaya. Tapi aku harap kau pun percaya dengan
perkataanku!" "Perkataan apa?"
"Kau sangka aku ingin mencelakainya" Kalau begitu kau keliru
besar!" "Kalau bukan ingin mencelakainya, lantas buat apa kau
menangkapnya?" "Aku sama sekali tidak ingin mencelakainya, bagiku, dia sangat
berguna. Oleh karena itu kau tidak perlu kuatir, jangan lagi
mencelakai, mau melindungi keselamatan jiwanya pun aku bakal
kerepotan." "Apa kegunaannya?"
"Makin sedikit mengetahui rahasia orang lain semakin baik,
inipun salah satu pantangan yang berlaku dalam dunia persilatan!"
"Bagus, sudahlah kalau kau enggan bicara. Tapi aku pun
mempunyai satu kebaikan untukmu, mau barter denganku?"
"Kebaikan apa?"
"Aku dapat melumat bulu hudtim yang mengeram dalam
tubuhmu, agar kau tidak usah tersiksa sepanjang masa."
"Huuuh, kalau kebaikan semacam itu mah kurang menarik, toh
orang lain pun bisa membantuku."
"Betul, Tong Ji-sianseng pun dapat membantumu, tapi aku kuatir
kau tidak akan berani memberitahukan kepadanya sebab musabab
terlukanya dirimu?" "Mungkin saja berani, mungkin juga tidak. Aku sendiripun tidak
tahu. Pokoknya aku lebih suka tersiksa daripada menyerahkan
bocah ini ke tanganmu."
"Kebaikan apa yang kau inginkan?"
"Aku menginginkan seorang suami yang cakep, kau bisa
mencarikan buat aku?"
"Aku tidak bisa memberi, tapi aku sanggup mencabut nyawamu!"
"Kau bisa saja mencabut nyawaku, orang lainpun dapat
mencabut nyawamu. Lagipula, kau harus kehilang an dulu selembar
nyawa bocah ini!" "Benar, mungkin saja Tong Ji-sianseng memiliki kemampuan
untuk membunuhku. Tapi bila kulaporkan semua pembicaraanmu
tadi kepadanya, belum tentu dia akan membunuhku."
"Hmnm, aku tidak sudi kau ancam, itu berarti aku sudah siap
menghadapi segala resiko, sekalipun kau tetap akan beritahu
kepadanya," habis berkata diapun beranjak pergi.
"Hey, masih ada peluang untuk dirundingkan lagi?"
"Kalau transaksi sudah menemui jalan buntu, buat apa aku tetap
tinggal disini?" sahut Siang Ngo-nio sambil tertawa.
"Toako," tiba tiba Lan Giok-keng berteriak, "kau tidak perlu
memikirkan aku lagi. Biar harus kehilangan nyawapun aku tidak
bakal sudi terjatuh ke tangan wanita siluman ini."
"Baiklah," kata Tonghong Liang kemudian, "aku akan ijinkan kau
untuk membawanya pergi, tapi sebelum itu aku ingin bicara sepatah
dua. patah kata lebih dulu dengannya."
"Kalau ingin berkentut, cepat lepaskan!" Tiba-tiba Tonghong
Liang melancarkan sebuah pukulan menghantam tubuh Lan Giokkeng,
yang digunakan adalah ilmu pukulan Li-gu-coan-kang,
rupanya dia hendak menggunakan jalan pintas dengan melancarkan
serangan kilat untuk meloloskan diri dari cengkeraman Siang Ngonio.
Dia sudah tidak dapat berpikir lain sehingga terpaksa harus
menempuh bahaya ini. Sayang pertaruhan yang dia lakukan hanya berhasil setengah.
Walaupun tubuh Siang Ngo-nio berhasil digetarkan hingga
cengkeramannya atas tubuh Lan Giok-keng terlepas, namun jarum
lebah hijau nya sudah keburu menancap masuk ke dalam jalan
darah Toa-wi-hiat di punggungnya.
Sambil melompat mundur sejauh tiga depa lebih jengek Siang
Ngo-nio sambil tertawa dingin, "Bila kau memang tidak merasa
sayang dengan nyawa Lan Giok-keng, ayoh bunuhlah aku!"
Tonghong Liang sama sekali tidak bicara, cepat dia memukul
punggung Lan Giok-keng, jarum lebah hijau itu segera melejit keluar
dari dalam tubuhnya. Jarum lebah hijau adalah senjata rahasia yang amat beracun,
siapa pun akan tewas begitu menyentuhnya, namun Tonghong
Liang tidak takut dengan racun tersebut, malah dipegangnya jarum
beracun itu dengan tangan telanjang.
Melihat itu Siang Ngo-nio tertawa terkekeh-kekeh, ejeknya,


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jarum lebah hijau memang telah kau cabut keluar, sayangnya
hanya aku seorang yang memiliki obat pemunah racun jarum lebah
hijau." "Serahkan obat pemunah itu kepadaku!" bentak Tonghong Liang
nyaring. "Kecuali kau serahkan kembali bocah itu kepada-ku, kalau tidak
gunakanlah nyawaku sebagai ganti nyawanya!"
"Kau sangka aku benar-benar tidak mampu mendapatkan obat
pemunahmu?" "Menurut pendapatku, biar kau membunuh mati diriku pun tetap
tak akan berhasil," sahut Siang Ngo-nio lagi sambil tertawa, "karena
disaku ku paling tidak terdapat puluhan jenis obat racun dan
pemunahnya, bila sampai salah mengambil, nyawa bocah itu pasti
akan lenyap. Kau berani menyerempet bahaya ini?"
"Lihat saja nanti!"
Sementara pembicaraan berlangsung, telapak tangan kanannya
telah ditempelkan di punggung Lan Giok-keng, kemudian ujarnya
lagi, "Saudara cilik, cepat kumpulkan tenaga murnimu untuk
melindungi detak jantung. Berapa lama kau bisa bertahan,
berusahalah untuk bertahan terus. Jika kau sampai mati, aku akan
balaskan dendam atas kematian-mu itu!"
Telapak tangannya yang menempel dipunggung Lan Giok-keng
sama sekali tak berhenti sedetikpun untuk menyalurkan tenaga
murninya. "Kau benar benar ingin bertarung melawanku?" seru Siang Ngonio
sambil tertawa, walaupun lagaknya seolah sama sekali tidak
kuatir,. padahal hati kecilnya mulai gugup dan ketakutan.
"Hmm, kau tidak memberi muka kepadaku, kenapa aku harus
bersikap sungkan terhadap dirimu?"
Baru selesai dia bicara, tubuhnya sudah melambung ke udara
dan mengejar Siang Ngo-nio.
Sebetulnya ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Siang Ngo-nio
tidak kalah dari lawannya. Semisal dia ingin melarikan diri,
seharusnya sejak tadi sudah lolos dari tempat itu. Sayang dia masih
ragu untuk melakukannya, gara-gara keraguan ini akhirnya seluruh
tubuhnya malah terkurung di bawah kepungan cahaya pedang
Tonghong Liang. Dengan gerakan cepat Siang Ngo-nio meloloskan sepasang
goloknya, "Criiing.... criiiing....!" terdengar dua kali dentingan
nyaring, tahu-tahu sepasang goloknya sudah tinggal gagangnya.
Dalam keadaan begini, Siang Ngo-nio jadi nekad, bentaknya,
"Baiklah, kalau ingin bunuh aku, bunuhlah!"
Tonghong Liang sama sekali tidak bicara, namun jurus serangan
yang dilancarkan sama sekali tidak melambat, cahaya pedang yang
berlapis seolah berkembang mengelilingi sekujur tubuh perempuan
itu. Siang Ngo-nio merasakan sekujur tubuhnya seolah disayat hawa
dingin, begitu ngeri dan seramnya sampai bulu kuduk pada bangun
berdiri, hingga dia belum tahu apa yang hendak dilakukan
Tonghong Liang terhadap dirinya.
Tapi dia benar-benar kuatir dengan ulah lawannya, andaikata
wajahnya diberi tambahan beberapa sayatan pedang saja hingga
membuat tampangnya berubah jelek, hal ini pasti akan lebih
menyiksa hatinya dari pada dibunuh mati.
Dia memang tidak takut mati, namun sangat kuatir bila
Tonghong Liang mempermainkan dirinya.
Kini hawa pedang dari Tonghong Liang telah menyelimuti seluruh
tubuhnya, keadaan dirinya saat ini tidak ubahnya seperti lalat
kehilangan kepala, menumbuk secara ngawur kesana kemari.
Siang Ngo-nio terkejut bercampur tercengang. Sebagaimana
diketahui, dia pernah bertarung melawan Put-hui Tokouw, sebagai
seorang jagoan yang luar biasa dari Bu-tong-pay pun Put-hui
Tokouw hanya bisa memaksakan hasil seri ketika melawan dirinya,
hal ini menunjukkan kalau kungfu mereka berdua hampir seimbang.
Justru karena itu, dalam anggapannya kendatipun dia bukan
lawan tanding Tonghong Liang, paling tidak dengan kemampuannya
masih sanggup bertarung dua, tiga ratus jurus melawan pemuda
itu. Siapa sangka baru beberapa gebrakan, dia sudah terjebak dalam
posisi yang begitu mengenaskan, dengan perasaan terkejut
bercampur keheranan dia pun berpikir, "Kenapa ilmu pedang yang
dimiliki bajingan ini sedemikian hebatnya" Rasanya keampuhan dia
sudah jauh melampuai gurunya" Gurunya bergelar Rasul pedang,
seharusnya kemampuan silatnya tidak kalah dengan jagoan nomor
wahid dari Bu-tong-pay, kalau benar bajingan ini lebih tangguh dari
gurunya, kenapa saat berada di Bu-tong-san dia justru menderita
kekalahan?" Mana dia tahu kalau ilmu pedang Tonghong Liang justru
mengalami kemajuan pesat dalam beberapa hari belakangan.
Kini dia benar-benar keteter hebat, jangankan melancarkan
serangan balasan, ingin melepaskan diri dari kurungan cahaya
pedang Tonghong Liang pun dia tidak mampu, bahkan seandainya
mampu pun dia tidak berani melakukannya. Sebab dia sadar kalau
tenaga dalamnya masih bukan tandingan lawan, andai serangan
bokongannya gagal, besar kemungkinan hal ini bisa menyebabkan
senjata makan tuan, mencelakai diri sendiri.
Siapa tahu walaupun dia tidak berani melepaskan senjata rahasia
beracunnya untuk menyergap Tonghong Liang namun dia sendiri
sulit untuk lolos dari sergapan jarum beracun tersebut.
Sementara cahaya pedang milik Tonghong Liang mengepung
seluruh tubuhnya, pemuda itu menyentilkan pula jarum beracun
yang berhasil dicabut keluar dari tubuh Lan Giok-keng itu, begitu
dihembus, jarum beracun pun seakan jadi 'hidup', bagaikan
bayangan setan saja mengikuti dan menempel terus di sisi tubuh
Siang Ngo-nio. Kaget bercampur panik Siang Ngo-nio berusaha menghindarkan
diri, sayang dia kalah cepat, tahu-tahu...."Craaat!" jarum beracun
yang mengejar tubuhnya itu sudah menghajar tubuhnya dan
menghujam di atas dadanya.
Lan Giok-keng walaupun terkena racun, tapi berhubung dia
mengatur napas sambil duduk bersila, maka daya kerja racunnya
sangat lambat, berbeda dengan Siang Ngo-nio yang harus bertarung
terus kendati pun sudah terhajar jarum beracun.
Dalam waktu singkat dia merasakan rasa gatal sudah menjalar
disekujur tubuh, bukan saja amat tersiksa bahkan hawa racun mulai
menyerang jantungnya, lambat laun pandangan matanya mulai
gelap dan kabur. Sekonyong-konyong dia merasakan kulit tubuhnya tersambar
oleh angin dingin, diikuti suara pakaian yang dikoyak koyak babatan
ujung pedang...."Triiing!"
sebuah botol porselen terjatuh ke tanah, menyusul
kemudian...."Blukkk!" sebuah kotak ikut jatuh pula ke tanah.
Rupanya Tonghong Liang dengan menggunakan ilmu pedangnya
yang maha cepat telah mengoyak pakaian perempuan itu hingga
robek beberapa puluh bagian, membuat botol, kotak, bambu kecil
dan semua benda yang tersimpan dalam sakunya berserakan diatas
tanah. Sambil tertawa dingin Tonghong Liang segera berseru, "Cepat
ambilkan obat pemunah, kalau berani berbohong, hal ini sama
artinya mencelakai dirimu sendiri!"
Setelah keadaan berkembang jadi begini, tentu saja Siang Ngonio
tidak berani banyak bicara lagi, terpaksa dia melakukan sesuai
dengan apa yang diperintahkan.
Diambilnya obat pemunah dari atas tanah kemudian diangsurkan
dengan hormat. Tonghong Liang segera menyambar obat pemunah itu lalu
menginjak sisa barang yang berserakan di tanah hingga hancur
berantakan dan terbenam dalam lumpur.
Menyaksikan hal ini diam-diam, Siang Ngo-nio merasa
terperanjat, dia bersyukur karena tidak mengambil obat palsu untuk
membohongi lawannya. Obat pemunah itu terdiri dari dua bungkus, tanpa ditanya Siang
Ngo-nio segera memberi penjelasan, "Yang merah itu obat di
makan, sementara yang putih dibubuhkan diseputar luka."
Tonghong Liang membagi setengah untuk perempuan itu dan
menyaksikan hingga dia menelannya, kemudian baru memberikan
sisa yang lain untuk Lan Giok-keng. Kemudian dia melepaskan jubah
yang dikenakan dan dilemparkan ke arah Siang Ngo-nio sembari
mengulapkan tangannya berulang kali.
Waktu itu, pakaian yang dikenakan Siang Ngo-nio sudah robekrobek
oleh bacokan pedang lawan, bukan saja terdapat tujuh,
delapan belas tempat yang robek bahkan kulit tubuhnya yang putih
halus pun sudah terpampang di depan mata, sekalipun dia adalah
wanita jalang, tidak urung merasa malu juga waktu itu, begitu
mengenakan jubah milik Tonghong Liang, dia langsung kabur
terbirit birit. Lan Giok-keng kontan tertawa geli hingga mengeluarkan air
mata, serunya, "Toako, perbuatanmu kali ini benar-benar hebat
sekali!" Karena baru saja menelan obat pemunah dan obat tersebut
belum mulai bekerja, begitu tertawa kontan hawa murninya
membuyar, dadanya yang terluka pun langsung terasa sakit lagi.
Mendadak terdengar suara tertawa Siang Ngo-nio berkumandang
datang dari kejauhan, diikuti kemudian terdengar dia berseru, "Lan
Giok-keng, dasar bocah tolol, kau sangka Tonghong Liang benarbenar
orang baik" Dia membantumu lantaran dia ingin mencuri ilmu
pedangmu. Hehehehe.... inginkah kau mengetahui identitasnya yang
sebenarnya" Sejak dari Sucouwnya, mereka dengan pihak Bu-tongpay
sudah terjalin dendam kesumat selama tiga generasi!"
Jarum lebah hijau adalah senjata rahasia andalan Siang Ngo-nio,
dia pula yang membuat sendiri obat pemunahnya, cara pengobatan
yang dilakukan boleh dibilang tidak ada yang mampu
mengunggulinya, oleh sebab itu sehabis menelan obat pemunah
dan mengatur pernapasan, tidak lama kemudian obat pemunah itu
sudah mulai bekerja dan menyebar ke seluruh tubuh, kemampuan
ilmu meringankan tubuhnya pun segera pulih kembali seperti sedia
kala. Dia sudah menduga, Tonghong Liang pasti akan berjaga-jaga di
samping Lan Giok-keng hingga tak mungkin ada waktu untuk
melakukan pengejaran, lagi pula ilmu meringankan tubuhnya sudah
pulih kini, biar dikejar pun dia yakin tidak bakalan sanggup
menyusulnya. Karena itulah selesai berteriak, dia baru melanjutkan kembali
perjalanannya. Tentu saja Lan Giok-keng tidak bakal percaya dengan
perkataannya, kembali dia berpikir, "Selama tukar pikiran dengan
Tonghong Toako, banyak manfaat yang berhasil kuraih, keadaan
seperti ini tidak bisa dikatakan membohongi aku. Tapi.... apa pula
yang dimaksud dendam kesumat tiga generasi" Hmm, aku tidak
boleh percaya dengan perkataan perempuan siluman itu."
Kelihatannya Tonghong Liang dapat menebak suara hatinya,
sambil tersenyum ujarnya, "Saudara cilik, percayakah kau dengan
perkataan permpuan siluman itu?"
"Toako, kau sangka aku adalah bocah berusia tiga tahun" Apalagi
baru saja aku tertusuk sebatang jarum beracunnya, mana munkin
aku bisa percaya dengan omongan setannya!"
"Bagus, kalau tidak percaya, tidak usah berpikir yang bukanbukan.
Sekarang duduk bersila, atur napas dan usir semua sisa
racun dari tubuh. Setelah sembuh nanti, akan kuceritakan semua
hal yang ingin kau ketahui."
Lan Giok-keng segera menuruti nasehat saudaranya dan duduk
bersemedi, dengan Sim-hoat tenaga dalam ajaran langsung dari Busiang
Cinjin, begitu pikiran lain dibuang, tanpa terasa diapun masuk
dalam kondisi lupa akan segalanya.
Sambil berjaga disisinya, pikiran Tonghong Liang merasa sangat
kalut, pikirnya, "Apa yang dikatakan Siang Ngo-nio memang benar,
aku memang sedang membohongi bocah polos ini. Ehmmm, dia
begitu menaruh kepercayaan kepada-ku, sebaliknya aku justru
membohonginya, apakah tindakan ku ini bukan sangat
memalukan?" "Tapi.... bukankah aku pun telah membantunya?"
"Hmmm, kau tidak lebih hanya mencari alasan untuk
membohonginya, dengan bakat serta kecerdasan otaknya, biar tidak
kau bantu pun cepat atau lambat dia bakal memahami dengan
sendirinya." Perasaan Tonghong Liang bergelombang tidak menentu, pikirnya
lebih jauh, "Aku bukan hanya membohongi ilmu pedangnya, juga
menipu persahabatannya. Tapi bila aku menceritakan keadaan yang
sesungguhnya, bagaimana mungkin cita-cita Sucouw bisa terpenuhi
dan pengharapan Suhu tidak sia-sia?"
Perlu diketahui, Sucouwnya adalah Hian Tin-cu yang tempo hari
menderita kekalahan di tangan Bu-siang Cinjin, pengharapan Hian
Tin-cu adalah keturunan nya di kemudian hari sanggup
mengalahkan Bu-tong-pay di bidang ilmu pedang.
Murid Hian ti-cu, Siang Thian-beng walaupun berhasil tampil
sebagai seorang jago pedang yang hebat, bahkan berhasil meraih
julukan sebagai Rasul pedang dalam dunia persilatan, namun dia
sadar kalau kemungkinan menang baginya masih tipis, itulah
sebabnya dia perintahkan muridnya, Tonghong Liang untuk
mewakili dirinya naik ke bukit Bu-tong sambil melakukan
penyelidikan. Sebelum berangkat, Tonghong Liang minta wejangan dari
gurunya, waktu itu Siang Thian-beng pun berkata, "Bila ilmu pedang
Hui-eng-kiam-hoat yang telah kubenahi semua titik kelemahannya,
masih tetap tidak mampu menandingi kehebatan ilmu pedang aliran
Bu-tong, terpaksa semua pengharapanku tertumpu diatas
pundakmu. Usiamu jauh lebih muda ketimbang aku, bakatmu pun
jauh lebih baik, biar kalah bukan masalah, asal kau dapat
memahami keadaan sendiri maupun keadaan lawan, coba
berlatihlah delapan sampai sepuluh tahun lagi, bila perlu berlatihlah
dua puluh tahun, tiga puluh tahun lagi. Aku yakin suatu hari kau
pasti dapat mewujudkan pengharapan Sucouw mu itu!"
Terbayang kembali wejangan dari gurunya, lalu menyaksikan
pula Lan Giok-keng yang sedang duduk bersemedi, dalam hati
kecilnya dia menghela napas panjang, pikirnya, "Sekalipun bakatku
jauh lebih bagus ketimbang bakat guru, hal ini tidak ada gunanya,
bakat yang dimiliki Lan Giok-keng jauh melebihi diriku, kecuali aku
membunuhnya sekarang juga, kalau tidak sepanjang masa rasanya
aku tetap bukan tandingannya!"
Tentu saja dia bukan bersungguh hati ingin membunuh Lan Giokkeng,
namun ingatan yang melintas lewat dalam benaknya cukup
membuat perasaan hatinya bergidik.
"Perbuatanku membohongi ilmu pedangnya pun sudah
kelewatan, masa masih mempunyai ingatan seperti ini" Aaai,
padahal aku tidak berniat mengalahkan Lan Giok-keng, yang
kuharapkan justru bisa mengalahkan Bouw Ciong-long, agar
perasaan hatiku amat puas. Sekarang dia sudah menjadi
Ciangbunjin Bu-tong-pay dengan gelar Bu-beng, asal aku mampu
membalas dendam atas hadiah sebuah tusukan pedangnya, paling


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak rasa sakit hati Sucouw dimasa lalu pun dapat terlampiaskan."
Sementara pikirannya sedang terombang-ambing oleh kekalutan,
mendadak terdengar seseorang membentak dengan suara dingin
dan tajam, 'Tonghong Liang, besar amat nyalimu! Berani benar kau
larikan murid Bu-tong-pay kami!"
Bersamaan dengan menggemanya suara bentakan, tahu-tahu
dihadapannya telah muncul salah satu dari tianglo Bu-tong-pay, Busi
Tojin! Ketika melihat Lan Giok-keng sedang duduk bersila tanpa
bergerak, Bu-si Tojin segera menyangka bocah itu kalau bukan
sudah terkena obat pemabuk, jalan darahnya tentu sudah ditotok
Tonghong Liang. "Kau salah paham!" buru-buru Tonghong Liang menyangkal.
Sayangnya Bu-si Tojin hanya percaya dengan apa yang terlihat di
depan mata dan tidak sabar mendengarkan pembelaannya, sambil
tertawa dingin dia loloskan pedangnya dan membentak, "Salah
paham" Apakah Lan Giok-keng secara rela dan iklas bersedia
menjadi tawananmu?" "Dia bukan tertotok jalan darahnya, melainkan sudah terkena
racun...." Belum selesai perkataan itu diucapkan, sebuah tusukan maut
telah dilancarkan Bu-si Tojin, bentaknya, "Sudah kuduga, Siang
Ngo-nio pasti satu komplotan denganmu, hmmm, percuma kau
berdalih macam-macam, hari ini aku tidak bakalan melepaskan
dirimu!" Sebagai seorang pemuda tinggi hari, Tonghong Liang segera
menyambut tantangan itu, sahutnya, "Baiklah, ketika berada di
gunung Bu-tong tempo hari, kita belum sempat bertarung.
Mumpung hari ini ada kesempatan, mari kita selesaikan pertarungan
di antara kita berdua."
Sambil menjawab secara beruntun dia membalas dengan tiga
jurus serangan, semua serangannya dilancarkan dengan keras
melawan keras, sama sekali tidak ada kesan mengalah.
Diam diam Bu-si Tojin terkesiap, pikirnya, "Sungguh tidak nyana
baru saja berpisah sepuluh hari, kelihatannya ilmu pedang yang
dimiliki bocah ini telah mengalami kemajuan pesat!"
Langsung dia mengeluarkan jurus pamungkas, dengan jurus
Thian-sin-to-kwa (Jagad raya berjungkir balik) secara beruntun
melepaskan dua bacokan kilat.
Cepat Tonghong Liang memutar tubuh menggeser satu lingkaran
busur, lalu dengan gerakan setengah menyerang setengah
bertahan, bagai terkaman elang dia punahkan ke tujuh jurus
serangan berantai dari Bu-si Tojin itu.
Menyaksikan permainan jurus lawannya, Bu-si Tojin semakin
tercengang, pikirnya, "Aneh, mengapa dibalik permainan jurus
pedang elang terbangnya bisa mengandung inti sari ilmu pedang
Thay-kek-kiam-hoat?"
Waktu itu Lan Giok-keng masih duduk bersemedi sambil
mengobati luka, dalam keadaan lupa segala tiba tiba dia dikejutkan
oleh suara beradunya senjata di sisi tubuhnya.
Baru membuka mata, dia menyaksikan batu pasir beterbangan,
hawa pedang bayangan manusia saling menyambar kian kemari,
setelah diamati beberapa saat dia baru dapat melihat dengan jelas
kalau Tonghong Liang sedang bertarung melawan Bu-si Tojin.
Dengan perasaan terperanjat bocah itu segera menjerit, "Susiokcouw...."
Di saat dia memanggil nama kakek gurunya, Bu-si Tojin telah
melancarkan tiga belas jurus serangan, sedemikian cepatnya gerak
serangan inti hingga sukar dilukiskan dengan perkataan. Coba kalau
dalam sepuluh hari terakhir Lan Giok-keng tidak peroleh kemajuan
pesat, jangan lagi memahami rahasia jurus dibalik pertarungan itu,
mungkin untuk melihat jelas wajah lawan pun tidak sanggup.
Serangan yang dilancarkan Bu-si Tojin benar-benar cepat bagai
sambaran petir, namun Tonghong Liang pun tidak lemah,
menghadapi ke tiga belas jurus serangan dari tosu itu, dia hanya
mundur sejauh tujuh langkah, setiap mundur selangkah dia berhasil
memusnahkan satu bagian kekuatan serangan Bu-si Tojin.
Bukan begitu saja, dia bahkan sama sekali tidak mengambil sikap
bertahan, dibalik bertahan dia sisipkan jurus serangan, perputaran
pedangnya meski sekilas tidak nampak mengandung gerakan jurus
apapun, namun dibalik kesemuanya itu justru tersembunyi
perubahan yang tidak terhingga.
Lan Giok-keng sendiri meski sudah tujuh hari berlatih dengannya,
saat ini dia hanya bisa melihat tiga bagian saja.
Begitu kesemsemnya Lan Giok-keng mengikuti jalannya
pertarungan hingga tanpa terasa dia lupa untuk melanjutkan katakatanya.
Secara beruntun Tonghong Liang mundur sejauh tujuh langkah,
ketika mundur langkah yang terakhir, sisa kekuatan yang dimiliki
Bu-si Tojin tinggal tiga bagian. Saat itulah sambil menghembuskan
napas teriak Tonghong Liang, "Saudara cilik, kau tidak usah
mengurusi aku, Susiok-couw mu tidak bakalan mampu
membunuhku!" Dari nada suara Lan Giok-keng sewaktu berbicara, Bu-si Tojin
tahu kalau bocah itu meski belum pulih kembali namun keselamatan
jiwanya tidak terancam. Dengan perasaan lega diapun berkata, "Anak Keng, lanjutkan
pengobatanmu, biar aku yang mengusir bajingan ini!"
Nada pembicaraannya tidak jauh berbeda seperti apa yang
dikatakan Tonghong Liang barusan. Dari pembicaraan itu bisa
disimpulkan bahwa dia tidak yakin mampu menghabisi nyawa
Tonghong Liang, karena itu digunakan istilah "mengusir".
"Ingin mengusirku" Heheheh.... tidak segampang kalau
berbicara!" jengek Tonghong Liang sambil tertawa dingin.
Bu-si Tojin mendengus, tubuhnya mendadak melambung ke
udara, cahaya pedang menyebar makin luas dan membabat miring
ke samping, inilah jurus andalannya Pek-hok-liang-ci (Bangau putih
pentangkan sayap). Lan Giok-keng yang ikut menyaksikan jadi gembira bercampur
terkejut, pikirnya, "Ternyata apa yang kupelajari dulu keliru besar.
Tapi sama sekali tidak kusangka perubahan yang kulakukan atas
jurus pek-hong-liang-ci itu ada kemirip-an dan kesamaan dengan
gerakan yang digunakan Susiok-couw sekarang. Hanya bedanya dia
lebih cepat gerakannya dan lebih ganas, entah butuh berapa tahun
lagi bila aku ingin mencapai tingkatan seperti itu?"
Yang membuatnya terkejut adalah, "Jurus serangan dari Susiokcouw
begitu hebat, mungkinkah Tonghong Toako berhasil
menghindarkan diri?"
Baru saja ingatan itu melintas, jawaban telah muncul di depan
mata. "Breeet!" terdengar suara robekan bergema, pakaian yang
dikenakan Tonghong Liang telah tersayat hingga robek, namun
bagaimanapun juga dia berhasil meloloskan diri dari maut.
Dengan perasaan terkesiap Tonghong Liang berpekik dalam hati,
"Syukur berhasil, coba kalau aku tidak hapal lebih dulu dengan
perubahan jurus pedang ini dari permainan Lan Giok-keng, mungkin
sekarang aku sudah terluka parah."
Bu-si Tojin sendiripun tidak menyangka kalau pihak lawan
berhasil menghindari serangannya tanpa terluka. Berhasil diatas
angin, dia meneter lebih lanjut, serangkaian serangan kembali
dilancarkan. Tonghong Liang mundur berulang kali, katanya tiba-tiba sambil
tertawa, "Kau harus saksikan juga kehebatanku!"
Mendadak tubuhnya melambung ke udara, dengan gerakan Yancu-
hoan-sin (Burung belibis membalikkan tubuh) dia lancarkan
serangan balasan, lalu gerakannya disambung dengan jurus Pekhok-
liang-ci pula. Hanya saja gerakan Bangau putih pentangkan sayap yang dia
mainkan sedikit berbeda dengan jurus Bangau putih pentangkan
sayap yang dimainkan Bu-si Tojin, dia telah meleburkan jurus
pedang elang terbangnya ke dalam jurus serangan itu.
Kalau Lan Giok-keng segera dapat melihat dengan jelas, berbeda
dengan Bu-si Tojin, dia nampak ragu bercampur sangsi.
Namun keadaan yang dihadapi sekarang tidak memberi waktu
kepadanya untuk berpikir panjang, dalam kagetnya dia lancarkan
lagi sebuahserangan dengan jurus Twie-cong-kan-gwat (Mendorong
jendela memandang rembulan).
"Traaanggg....!" di tengah benturan nyaring, Bu-si Tojin mundur
dua langkah, pedangnya gumpil sebagian. Ternyata gempuran
Tonghong Liang yang dilancarkan dari tengah udara ini memiliki
kekuatan yang jauh lebih besar dari serangannya.
Dengan perasaan terperanjat Lan Giok-keng menjerit keras,
"Tonghong Toako...."
Belum selesai dia berkata, terdengar Bu-si Tojin telah
membentak nyaring, "Rasakan juga kehebatanku!"
Sambil merangsek maju, pedangnya ditarik lalu membabat cepat
ke depan, babatan itu selain ganas pun amat telengas!
Kedahsyatannya bagai halilintar yang membelah kegelapan malam!
Tonghong Liang menjerit keras, dengan kepala di bawah kaki
diatas dia melompat sejauh tiga depa lebih, ketika hampir
mendekati permukaan dia baru berjumpalitan untuk berdiri.
Sekalipun tidak sampai terluka, tidak urung peluh sebesar kacang
kedelai sempat bercucuran membasahi jidatnya.
Rupanya kendatipun jurus Pek-hok-liang-ci yang dirubah olehnya
sangat garang dan dahsyat, namun jurus berikut yang dilontarkan
justru tidak dapat mempertahankan kesinambungan yang menjadi
inti dari ilmu pedang tersebut, otomatis dia telah melanggar
pantangan terbesar dari ajaran Thay-kek-kiam-hoat.
Bagaimana pun juga Bu-si Tojin adalah jago pedang nomor
wahid dari partai Bu-tong, dia segera menangkap peluang emas ini
dengan sebaik-baiknya. Walau begitu, dia pun sama sekali tidak menyangka kalau ilmu
pedang elang terbang milik Tonghong Liang bisa memutar balik
tubuh di tengah udara. Lan Giok-keng benar-benar tercekat hatinya, buru-buru dia
berteriak keras, "Susiok-couw, tahan, dia adalah sahabatku!"
"Apa" Dia adalah sahabatmu?" tanya Bu-si Tojin melengak.
Waktu itu paras muka Tonghong Liang tampak pucat pias bagai
mayat, mendadak ujarnya, "Saudara cilik, kau keliru besar, aku
bukan sahabat mu, akupun tidak pantas menjadi sahabatmu!"
"Toako, kau...." jerit Lan Giok-keng.
Tonghong Liang tidak menggubris, kepada Bu-si Tojin kembali
ujarnya, "Bu-si Totiang, ilmu pedangmu jauh lebih hebat daripada
kepandaianku, tidak perlu kau repot-repot mengusirku, biarlah aku
pergi sendiri!" Dalam waktu singkat bayangan tubuhnya sudah lenyap dari
pandangan mata. Menanti Tonghong Liang telah berlalu, Bu-si Tojin baru berpaling,
bertanya dengan wajah kebingungan, "Keng-ji, sebenarnya apa
yang telah terjadi?"
"Aku bicara sejujurnya, bukan saja dia adalah sahabatku, bahkan
masih terhitung tuan penolongku."
Bu-si Tojin semakin tercengang, "Bukankah kau terluka oleh
jarum beracun milik Siang Ngo-nio?"
"Benar, perempuan silumanitu bernama Siang Ngo-nio, aku
terkena sebatang jarum beracunnya, konon jarum itu bernama
jarum lebah hijau." "Kalau begitu mereka justru telah bersekongkel untuk
mencelakaimu, bagaimana mungkin bisa kau katakan sebagai tuan
penolong?" "Tonghong Toako lah yang mengusir perempuan siluman itu,
malah obat pemunah untuk jarum lebah hijau diperolehnya setelah
dirampas dengan paksa."
Bu-si Tojin menggelengkan kepalanya berulang kali, katanya,
"Anak Keng, kau sudah terjerumus ke dalam perangkap mereka.
Padahal kedua orang itu memang satu komplotan. Yang satu jadi
orang baik, yang lain jadi orang jahat. Kau yang minim pengalaman
sudah tertipu mentah mentah."
"Tidak mungkin, sewaktu melakukan perjalanan bersama
Tonghong Toako, akulah yang memilih jalan ini. Bagaimana
mungkin perempuan siluman itu bisa meramal kejadian
sebelumnya" Lagipula untuk mendapatkan obat pemunah itu,
Tonghong Toako telah mengerahkan segenap kemampuan yang
dimilikinya. Perempuan siluman itu dihajar habis-habisan olehnya
bahkan mengenaskan sekali keadaannya, aku rasa, tidak mungkin
mereka bersekongkol hanya untuk bermain sandiwara
dihadapanku." "Apakah jarum beracun itu sudah dicabut keluar?" tanya Bu-si
Tojin kemudian agak ragu.
"Tonghong Toako telah membantuku untuk mencabutnya
keluar." "Baiklah, kalau begitu sementara waktu jangan bicara dulu, kita
bicarakan setelah sisa racun bersih dari tubuhmu."
Tenaga dalam yang dimilikinya meski bukan terhitung nomor
satu dalam partai Bu-tong, namun kesempurnaannya cukup bisa
diandalkan. Sesudah menelan obat pemunah itu, sebenarnya racun
yang mengeram ditubuh Lan Giok-keng sudah punah tujuh, delapan
bagian. Begitu Bu-si Tojin menempelkan tangannya menyalurkan
tenaga murni ke dalam tubuh nya, tidak selang beberapa saat
kemudian seluruh racun yang masih tersisa telah terpunahkan.
"Sejak kapan kau bergabung bersamanya?" tanya Bu-si Tojin
kemudian. "Sudah tujuh hari."
"Selama tujuh hari, apa yang kalian lakukan?"
"Berlatih pedang bersamanya."
"Baiklah, kalau begitu coba mainkan sekali lagi ilmu pedang yang
berhasil kau latih."
Tanpa banyak bicara Lan Giok-keng segera memainkan seluruh
ilmu pedang yang berhasil dilatihnya selama beberapa hari ini.
Semakin menonton, Bu-si Tojin kelihatan makin terperanjat
bercampur keheranan. "Harap Susiok-couw sudi memberi petunjuk," kata Lan Giok-keng
kemudian seusai memainkan Thay-kek-kiam-hoat.
Bu-si Tojin tertawa getir.
"Aku sendiripun tidak tahu bagaimana harus memberi petunjuk
kepadamu," katanya. "Apakah cara berlatihku salah besar?" tanya Lan Giok-keng
terkesiap. "Bukan salah, tapi terlalu baik."
"Susiok-couw, kau sedang bergurau denganku?"
"Diwaktu biasa aku memang suka bergurau dengan angkatan
muda, tapi kali ini sedikitpun tidak berniat bergurau," kata Bu-si
Tojin dengan wajah serius, "terus terang saja kukatakan, walaupun
permainan pedangmu belum bisa dikatakan sempurna dan mulus,
bahkan ada beberapa jurus masih terdapat titik kelemahan namun
sudah mengandung makna sebenarnya dari aliran pedang partai
kita. Malah kehebatan dalam beberapa jurus justru sudah jauh
diatas kemampuan ilmu pedangku!"
Terkejut bercampur gembira Lan Giok-keng segera berseru,
"Terima kasih banyak atas pujian Susiok-couw, bersediakah Susiokcouw
memberi petunjuk dan pembetulan atas beberapa titik
kelemahan yang kumiliki?"
Bu-si Tojin menggelengkan kepalanya berulang kali, sahutnya,


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bukannya aku enggan memberi petunjuk kepadamu, adalah
dikarenakan ilmu pedangmu berhasil kau kuasai dengan
pemahaman sendiri, asal kau ikuti terus jalan pemikiran semula
untuk menemukan titik kelemah an itu dan tiada hentinya
melakukan pembetulan, dapat dipastikan ilmu pedangmu
dikemudian hari pasti dapat mencapai tingkatan yang paling tinggi,
bahkan keberhasilanmu pasti akan jauh di atas kemampuanku
sekarang. Bila kini kuberi petunjuk, hal ini malah sebaliknya akan
membelenggu kebebasanmu, siapa tahu dikemudian hari malah
akan mengurangi dan memperlemah keberhasilanmu."
Lan Giok-keng termangu-mangu beberapa saat lamanya,
kemudian dia berpikir, "Ternyata nada pembicaraan Susiok-couw
tidak jauh berbeda dengan apa yang dikatakan Tonghong Toako.
Biarpun penggunaan katanya berbeda namun maksudnya setali tiga
uang." Tampaknya Bu-si Tojin sendiri pun dicekam perasaan kaget
bercampur ragu, tanyanya, "Baru sepuluh hari turun gunung, kau
telah berhasil memperoleh pemahaman sebanyak itu?"
Lan Giok-keng tidak berani berbohong, jawabnya terus terang,
"Bila cucu murid bisa peroleh kemajuan, menurut pandanganku
pertama karena cucu murid memperoleh kiam-koat dan Sim-hoat
tenaga dalam warisan Ciangbun Sucouw, kedua karena Tonghong
Toako selalu mengajak aku bertanding pedang."
Mendengar sampai disini Bu-si Tojin menghela napas panjang,
katanya, "Ternyata dugaanku tidak keliru, kau sudah ditipu pemuda
itu habis-habisan!" "Sekali pun dalam bertanding pedang melawanku, dia berhasil
juga mempelajari ilmu pedang aliran kita, tapi.... bukankah akupun
berhasil meraih lebih banyak manfaat" Aku rasa.... aku rasa
kejadian seperti ini tidak bisa dibilang menipu bukan?"
"Tahukah kau siapakah Tonghong Liang itu?"
Mendengar nada ucapan Susiok-couw nya makin lama semakin
keras, teringat pula perkataan yang diucapkan sejak bertemu
Tonghong Liang pertama kali tadi, Lan Giok-keng segera merasakan
hatinya bergetar keras. Serunya cepat, "Jangan-jangan dia adalah
musuh besar perguruan kita?"
"Aku sendiripun tidak tahu bagaimana harus menjelaskan.
Mungkin dia belum tergolong musuh besar, tapi keinginannya yang
paling utama adalah mengalahkan ilmu pedang perguruan kita, jadi
kalau dibilang dia adalah musuh besar kita, rasanya tuduhan inipun
tidak berlebihan." "Susiok-couw, darimana kau bisa tahu akan hal ini?"
"Hari ke dua setelah kau turun gunung, dia telah mendatangi Butong-
san dan menantang berduel. Gurumu serta Put-po Supek
semuanya kalah di tangannya."
"Tapi Suhu dan Supek tidak sampai terluka bukan?" tanya Lan
Giok-keng terperanjat. "Terluka mah tidak. Kelihatannya tujuan dia yang utama adalah
mengalahkan jago-jago Bu-tong-pay saja."
Diam-diam Lan Giok-keng menghembuskan napas lega, katanya,
"Cucu murid mempunyai satu pemikiran, hanya tidak tahu
pemikiranku ini benar atau tidak...."
"Coba katakan."
"Selama beberapa hari ini bertanding pedang melawan Tonghong
Toako, walaupun setiap kali kalah darinya, tapi setiap setelah
kekalahan aku justru peroleh manfaat...."
"Hmm, mungkin manfaat yang dia peroleh justru jauh lebih
banyak ketimbang dirimu," dengus Bu-si Tojin memotong
pembicaraannya. "Terlepas siapa yang berhasil mendapat manfaat lebih banyak,
yang jelas semua orang memperoleh manfaat dan keuntungan. Oleh
sebab itu menurut pandanganku, untuk menempuh jalur ilmu silat,
masih diperlukan banyak kerja sama dan saling membantu....
jika orang dari lain perguruan saling bertanding, kelebihan dan
kekurangan masing-masing pihak akan segera terlihat, aku merasa
justru manfaat yang bisa diraih pun jauh lebih banyak ketimbang
bertanding dengan orang sendiri."
Bu-si Tojin menghela napas panjang.
"Ketika Tonghong Liang naik gunung waktu itu, Ciangbunjin pun
pernah berkata begitu kepada kami semua. Dia bilang bila suatu
negara tidak berhadapan dengan musuh dari luar, lama-kelamaan
dia akan jadi lemah dan tumbang sendiri. Ucapan ini cocok juga bila
kita terapkan dalam kancah dunia persilatan. Justru ketika ada
jagoan tangguh menantang perang kepada kita, maka kejadian ini
justru merupakan pecut yang memaksa kita untuk berlatih lebih
tekun." "Aaah, perkataan dari Ciangbun Sucouw jauh lebih gamblang
daripada perkataanku tadi!"
"Sebagian besar umat persilatan punya pandangan untuk
membatasi diskusi diantara kalangan sendiri dan melarang orang
untuk melangkah keluar. Hal semacam ini harus diakui sebagai
penyakit yang sudah menahun. Anak Keng, tidak kusangka dengan
usia semuda dirimu ternyata pandanganmu jauh lebih luas."
"Kalau begitu kau tidak menyalahkan Tonghong Toako bukan?"
seru Lan Giok-keng kegirangan.
Sekilas perasaan bimbang melintas di wajah Bu-si Tojin, selang
beberapa saat kemudian dia baru berkata, "Bila muncul karena niat
baik, mengajak kami berdiskusi dan saling memoles diri, tentu saja
keinginannya akan kami terima dengan senang hati. Tapi dia
mempunyai maksud lain, dia berniat menjatuhkan perguruan Butong-
pay. Masalah ini sudah menyangkut nama baik serta harga diri
perguruan, tentu saja kami tidak akan membiarkan dia berbuat
begitu." "Kenapa dia ingin menjatuhkan perguruan kita?" tanya Lan Giokkeng
tercengang. "Tentu saja ada penyebabnya, jauh pada tiga puluh enam tahun
berselang, Sucouw nya pernah menderita kekalahan di tangan Busiang
Cinjin." Peristiwa ini sudah pernah didengar Lan Giok-keng dari mulut
Siang Ngo-nio, kini setelah mendapat ketegasan dari Susiok-couw
nya, dia merasa sedih sekali.
Yang membuatnya sedih bukan karena masalah ini, melainkan
karena sikap Tonghong Liang yang telah mengelabuhi dirinya.
Pikir Lan Giok-keng, "Untung saja hari itu Tonghong Toako tidak
sampai melukai orang, coba kalau dia sampai melukai gihu, di saat
kami bersua muka lagi nanti mungkin aku akan menganggapnya
sebagai musuh bebuyutan."
Berpikir sampai disitu, diapun berkata, "Kalau Suhu dan Supek
hanya menderita kekalahan saja mah tidak jadi masalah, asal ada
orang bisa menangkan dia, itu sudah cukup. Susiok-couw, bukankah
barusan kaupun berhasil mengungguli dirinya."
"Tapi kemenanganku nyaris sekali!" sahut Bu-si Tojin sambil
tertawa getir. Mendadak seperti teringat akan sesuatu, Lan Giok-keng kembali
berkata, "Kalau didengar dari pembicaraan Tonghong Toako tadi,
dia bilang saat mendaki gunung Bu-tong tempo hari, dia tidak
sampai bertarung melawan Bu-si tianglo, sementara Ciangbun
Sucouw pun sedang sakit, lantas siapa yang berhasil mengalahkan
dia?" "Aaai, kalau dibicarakan benar-benar nyaris, untung hari itu Bouw
Ciong-long kebetulan datang berkunjung sehingga nama baik
perguruan tidak sampai ternoda. Coba kalau bukan begitu, biar aku
bisa mengungguli dirinya pun paling tidak harus bertarung ratusan
gebrakan. Padahal dia adalah seorang Boanpwee, kalau aku sebagai
seorang tianglo harus menangkan dia setelah bertarung ratusan
jurus, kemenangan ini jelas bukan kemenangan yang gemilang."
"Siapa itu Bouw Ciong-long?"
"Bukankah kau pernah bertemu Bouw It-yu" Bouw Ciong-long
adalah ayah Bouw It-yu, sebenarnya diapun termasuk pemimpin
dari murid-murid preman, orang menyebutnya Tiong-ciu Tayhiap.
Dia hanya membutuhkan tiga gebrakan sebelum berhasil merobek
kulit muka Tonghong Liang!"
"Merobek kulit mukanya?" tanya Lan Giok-keng tertegun.
"Tentu saja bukan kulit muka beneran," jelas Bu-si Tojin sambil
tertawa, "yang dirobek adalah topeng kulit manusia yang dia
kenakan." Sekarang Lan Giok-keng baru mengerti, pikirnya, "Ternyata
jagoan lihay Bu-tong-pay yang disebut Tonghong Toako dan Siang
Ngo-nio adalah Bouw-tayhiap itu."
"Bouw-tayhiap sekarang telah menjadi pendeta," kata Bu-si Tojin
lagi, "kini dia mempunyai gelar sebagai Bu-beng Cinjin."
"Cinjin" Seingatku hanya Ciangbunjin seorang yang boleh
menggunakan gelar Cinjin?" seru Lan Giok-keng tercengang.
"Benar, Bu-beng Cinjin adalah Ciangbunjin baru perguruan kita."
"Jadi Ciangbun Sucouw telah menyerahkan kedudukannya
kepada dia?" tanya Lan Giok-keng lagi terperanjat.
"Aku memang ingin memberitahukan persoalan ini kepadamu,
kau tidak usah sedih, hari itu Sucouw mu sudah berpulang ke langit
barat." Mendengar berita duka ini Lan Giok-keng tidak kuasa menahan
rasa sedihnya lagi, dengan air mata meleleh katanya, "Padahal
sewaktu Sucouw memerintahkan aku turun gunung, beliau masih
kelihatan baik-baik. Sungguh tidak disangka hanya selang sehari...."
"Ciangbun Cinjin berangkat ke langit barat sesaat sesudah
pengganti Ciangbun Cinjin berhasil meraih kemenangan. Usianya
telah melampaui delapan puluh tahun, diapun gembira karena
sudah peroleh penerusnya, jadi tidak heran kalau kepergiannya
diiringi senyuman. Anak Keng, aku ingin bertanya lagi kepadamu,
apa rencanamu selanjutnya" Apakah mau balik ke gunung atau
tidak?" "Pikiranku saat ini sangat kalut, semestinya aku harus pulang
gunung...." "Pikiranmu kalut" Kenapa?"
"Rasanya tidak ada salahnya kalau kujelaskan pesan Sucouw
kepada Susiok-couw," pikir Lan Giok-keng dalam hati. Maka diapun
berkata, "Sewaktu akan turun gunung, Ciangbun Sucouw pernah
berpesan, apa pun yang bakal terjadi diatas gunung, beliau minta
aku tidak usah mengurusinya."
Mendengar itu Bu-si Tojin pun berpikir, "Waktu itu Ciangbun
Suheng sudah tahu kalau saat ajalnya hampir tiba, dia telah
menitahkan anak Keng untuk turun gunung, bahkan merahasiakan
hal ini kepada Put-ji, jelas dibalik kesemuanya itu pasti ada alasan
lain." Berpikir begitu maka ujarnya, "Sebagai seorang yang berbakti,
kau harus patuh pada ajaran dan perkataan orang tua, begitu pula
terhadap Suhu maupun Sucouw mu. Kalau memang Sucouw sudah
berpesan begitu, lebih baik untuk sementara waktu jangan kembali
ke gunung. Lalu kau hendak ke mana sekarang?"
"Sucouw suruh aku pergi ke Siau-lim-si dan menjumpai seorang
hwesio. Hanya saja, urusan ini...."
Dari mimik mukanya Bu-si Tojin tahu kalau dia ada kesulitan
yang susah diutarakan, maka katanya sambil tertawa, "Apakah
Sucouw suruh kau jangan menceritakan kejadian ini kepada siapa
pun?" Melihat Lan Giok-keng manggut-manggut, diapun berkata lagi,
"Kalau begitu tidak terkecuali terhadap diriku. Sebagai seorang
pesilat, kau memang pantas berkelana dalam dunia persilatan untuk
melatih diri, dengan kepandaianmu sekarang, aku jadi lebih lega bila
kau akan berkunjung ke Siau-lim-si. Kalau begitu berangkat-lah."
"Terima kasih banyak atas petunjuk Susiok-couw," Lan Giok-keng
menjura memberi hormat. Baru saja akan berpamitan, tiba-tiba Bu-si Tojin berseru lagi,
"Tunggu sebentar anak Keng!"
"Susiok-couw ada perintah apa lagi?"
Setelah berpikir beberapa saat, ujar Bu-si Tojin, "Tahun ini kau
telah menginjak usia enam belas tahun, aku rasa ada beberapa
persoalan yang sudah sepantasnya kau ketahui."
"Apakah masalah yang menyangkut diriku?" tanya Lan Giok-keng
dengan perasaan tercekat.
"Masalah besar yang manyangkut perguruan kita. Walaupun Butong-
pay dan Siau-lim-pay dipandang orang sebagai tonggak ilmu
silat di dunia persilatan, namun selama belasan tahun terakhir ada
begitu banyak tokoh penting dalam perguruan yang dibunuh orang
secara aneh dan membingungkan, hingga kini belum ada satu kasus
pembunuhan pun yang berhasil dibongkar."
"Haaah, ada kejadian seperti ini?"
"Pernah mendengar seseorang yang bernama Ho Ki-bu?"
Lan Giok-keng menggeleng. "Siapakah dia?" tanyanya.
"Dia adalah murid preman dari perguruan kita, dua puluh tahun
berselang bersama Bouw Ciong-long mereka berdua disebut
pendekar-pendekar Bu-tong-pay. Kalau Bouw Ciong-long disebut
orang sebagai Tiong-ciu Tayhiap maka Ho Ki-bu disebut orang
sebagai Ji-ouw Tayhiap. Orang itu bukan lain adalah guru preman
ayah angkatmu." "Aneh, kenapa gihu belum pernah menyinggung masalah ini
denganku?" "Ho Ki-bu merupakan orang pertama yang mati terbunuh pada
enam belas tahun berselang, karena peristiwa ini menyangkut
urusan besar partai maka selama enam belas tahun hanya dilakukan
pelacakan secara diam-diam, tidak pernah diumumkan secara luas.
Mungkin saja gihu mu tidak menceritakan hal ini lantaran usiamu
masih kecil, mungkin dia baru akan bercerita setelah kau menginjak
dewasa nanti." Ternyata walaupun Bu-si Tojin belum mengetahui asal-usul Lan
Giok-keng yang sebenarnya, namun dari perintah Bu-siang Cinjin
yang menyuruhnya turun gunung secara rahasia, kemudian dari
peristiwa Siang Ngo-nio yang berusaha menculiknya, dia tahu kalau
dibalik kesemuanya itu pasti terdapat hal yang penuh kemisteriusan.
Oleh sebab itulah dia putuskan untuk memberitahukan rahasia ini
kepadanya. Dalam terkejut bercampur herannya kembali Lan Giok-keng
berpikir, "Ternyata aku masih memiliki seorang Sucouw dari
golongan preman, dia tewas pada enam belas tahun berselang"
Bukankah akupun lahir pada tahun itu?"
Cepat tanyanya, "Kalau dibilang Ho Tayhiap adalah orang
pertama yang dibunuh, lalu sepanjang masa ini apakah ada orang
lain yang mati terbunuh juga" Siapa yang terbunuh lagi?"
Bu-si Tojin menghela napas panjang.
"Putri tunggal Ho Ki-bu serta seorang muridnya juga tewas
dibunuh orang!" Sebagaimana diketahui, Keng King-si "salah terbunuh" ditangan
Put-ji, sedang Ho Giok-yan tewas karena bunuh diri. Sebetulnya Busi
Tojin mengetahui akan hal ini, tapi berhubung masalahnya belum
jelas (apakah Keng King-si seorang penghianat" Atau karena mati
dibunuh pengkhianat" Atau Put-ji yang terjebak siasat musuh")
terpaksa untuk sementara waktu Bu-si Tojin tetap
merahasiakannya. Kembali Lan Giok-keng tertegun.
"Murid Ho Tayhiap" Bukankah dia adalah saudara seperguruan
ayah angkatku" Kenapa gihu tidak pernah menyinggung masalah


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ini?" "Peristiwa ini merupakan kejadian yang amat memilukan hati
ayah angkatmu, selama enam belas tahun terakhir dia memang
selalu berusaha menghindari pembicaraan tentang masalah ini."
"Lantas Supek yang terbunuh itu...."
"Dia bukan Supekmu melainkan susiokmu. Ho Tayhiap
mempunyai dua orang murid, gihu mu adalah murid pertama
sedang murid kedua yang terbunuh bernama Keng King-si."
"Dia dari marga Keng?" seru Lan Giok-keng terperanjat.
"Kau pernah mendengar nama orang ini" Apa yang tidak beres?"
"Ooh tidak. Aku hanya kurang jelas mendengarnya tadi, jadi
bertanya kembali. Oya. Apakah Keng Susiok meninggal dalam usia
yang sangat muda?" "Benar, sewaktu meninggal dia baru berusia dua puluhan tahun
dan belum menikah." Perlu diketahui, walaupun dia pernah mendengar juga tentang
kaburnya Keng King-si bersama Ho Giok-yan, namun berhubung
masalah ini menyangkut masalah "moral", maka dia segan untuk
menceritakan kepada kaum Boanpwee.
Diam-diam Lan Giok-keng menghembuskan napas lega, pikirnya,
"Tampaknya aku kelewat banyak curiga, tapi mengapa tanpa hujan
tanpa angin perempuan siluman itu memanggilku sebagai Keng
Giok-keng?" Terdengar Bu-si Tojin berkata lebih jauh, "Masih ada seorang
tokoh penting lagi yang tewas pada hari itu, dia adalah ketua para
tianglo perguruan kita, Bu-kek Totiang."
Secara ringkas dia pun menceritakan semua kejadian dimulai dari
Bu-kek tianglo mati terbunuh sampai murid pertama Bu-siang Cinjin,
Put-coat yang dicelakai orang. Kisah ini justru dia bercerita lebih
banyak ketimbang urusan yang menyangkut Keng King-si dan Ho
Giok-yan. Tapi bagi Lan Giok-keng, entah mengapa dia justru berharap
dapat mendengar lebih banyak kejadian yang menyangkut "Keng
susiok"nya. Tapi Bu-si Tojin sama sekali tidak memenuhi harapannya,
terakhir dia hanya berkata, "Aku sengaja menceritakan semua
rahasia ini dengan harapan agar kau lebih waspada dan hati-hati,
karena perguruan kita sedang berhadapan dengan seorang musuh
yang sangat lihay, orang itu bagaikan manusia tanpa wujud yang
tidak diketahui sedang bersembunyi dimana?"
Berbicara sampai disitu, diapun berpisah dengan Lan Giok-keng.
Mengawasi bayangan punggung Susiok-couwnya yang menjauh,
tiba-tiba sekilas perasaan bimbang melintas dalam benaknya.
Ooo)*(ooO BAB VII Tali perjodohan yang susah terurai.
Lan Giok-keng bimbang dan murung karena teka teki yang
menyelubungi asal usulnya, dia pun murung karena baru saja
kehilangan seorang "sahabat" seperti Tonghong Liang.
Dengan perasaan duka pikirnya, "Pasti tanpa sebab Sucouw
suruh aku mendatangi kuil Siau-lim-si dan bertemu dengan seorang
hwesio yang bernama Hwee-ko, jangan-jangan hwesio itu
mengetahui asal usulku?"
Berpikir begitu, untuk sementara waktu dia pun buang jauh jauh
semua kemurungan dan berangkat seorang diri menuju ke kuil Siaulim.
Tentu saja dia tidak bakal tahu kalau masih ada seseorang lain
yang perasaan hatinya jauh lebih sedih ketimbang dirinya.
Orang itu tidak lain adalah Siang Ngo-nio yang baru saja diusir
oleh Tonghong Liang. Terhadap penghinaan yang diterima dari
Tonghong Liang, bukan saja dia merasa amat sedih bahkan merasa
malu bercampur menyesal. Setelah melalui sebuah tanah perbukitan dan baru saja akan
bertukar pakaian dalam di sebuah hutan yang lebat, mendadak
terdengar seseorang mengumpat dengan penuh amarah,
"Perempuan busuk, bagus sekali perbuatanmu!"
Dengan perasaan terkesiap Siang Ngo-nio mendongakkan kepala,
tahu-tahu orang itu sudah muncul persis dihadapannya.
Cepat cepat Siang Ngo-nio memperlihatkan wajah sedih, dengan
air mata bercucuran isaknya, "Ji-ya, tahukah kau aku sangat
berharap kau bisa membalaskan sakit hatiku" Kenapa sebelum tahu
masalah, datang datang kau sudah mengumpatku?"
Ternyata orang itu tidak lain adalah kekasih gelapnya, orang
kedua dari keluarga Tong yang tersohor sebagai jagoan senjata
rahasia nomor wahid di kolong langit, orang persilatan
memanggilnya "Tong ji-sian-seng" sementara nama aslinya adalah
Tong Tiong-san. Tong Tiong-san segera mendengus.
"Hmmm, balas dendam" Ulahmu selama ini sudah cukup
membuat aku kehilangan muka."
Pakaian yang digunakan untuk menutup bagian tubuhnya
sekarang masih merupakan baju luar milik Tonghong Liang,
walaupun bagian atas tubuhnya sudah terlindung, namun tidak bisa
menutupi pakaian bagian bawahnya yang terkoyak-koyak.
Sambil menangis sedih kembali Siang Ngo-nio berseru, "Aku
sudah dihina orang habis habisan, bukannya kau membelai diriku,
sekarang malah memakiku.... tahukah kau siapa yang telah
mempermalukan aku" Dia bukan lain adalah murid sahabatmu Siang
Thian-beng, si cecunguk muda Tonghong Liang!"
"Hmm, jangan lagi aku tidak sanggup menghadapi gurunya,
sekalipun mampu pun aku tidak bakalan mencari gara-gara karena
persoalanmu." Kontan Siang Ngo-nio tertawa dingin.
"Sungguh tidak disangka kau sebagai jago senjata rahasia nomor
wahid di kolong langit juga takut dengan nama besar gurunya, si
Rasul pedang!" "Takut Rasul pedang atau tidak, itu urusanku sendiri!" Tong
Tiong-san balas tertawa dingin, "aku ingin bertanya, mengapa
Tonghong Liang mempermalukan dirimu" Pasti ada penyebabnya
bukan!" "Soal ini.... soal ini.... panjang untuk diceritakan...."
"Panjang untuk diceritakan" Kalau begitu aku ingin bertanya satu
hal lebih dulu, mau apa kau datang ke bukit Bu-tong?"
"Ji-ya, kau jangan percaya omongan iseng orang lain!" seru
Siang Ngo-nio terkesiap, "aku hanya secara kebetulan lewat di
gunung Bu-tong dan iseng ingin berpesiar."
"Hmmm, kalau tidak pernah berbuat sesuatu yang merugikan
aku, darimana kau bisa tahu kalau aku mendengar dari cerita
orang" Toh aku belum bertanya apa-apa kepadamu?"
"Karena.... karena aku tidak pernah melihat kau semarah ini,
kau.... kau pasti...."
"Tidak usah ambil perduli apa yang kupikirkan, ceritakan saja
semua yang telah kau lakukan!"
"Aku benar-benar tidak melakukan apa-apa!" suara Siang Ngonio
kedengaran mulai gemetar.
"Jadi kau tidak mau bicara" Baiklah, kalau begitu aku akan
mewakilimu untuk menjawab, kau naik ke bukit Bu-tong karena
ingin menjumpai kekasih gelap-mu!"
"Darimana datangnya kekasih gelap?" jerit Siang Ngo-nio keras
keras, 'bukankah selama banyak tahun aku selalu mengikutimu,
jangan percaya...." "Hmm, orang ini sudah menjalin hubungan gelap denganmu
sejak delapan belas tahun berselang, kau sangka aku tidak tahu
apa-apa" Hmm, masih ingin mengelabuhiku?"
"Darimana kau mendengar fitnahan seperti itu" Aku malah tidak
tahu siapa yang kau maksud?"
"Kau tidak tahu" Kau paksa aku untuk menyebut namanya" Baik,
kalau begitu akan kukatakan! Dia adalah murid pertama Ji-ouw-
Tayhiap Ho Ki-bu yang bernama Ko Ceng-kim, enam belas tahun
berselang dia sudah menjadi murid penutup Bu-siang Cinjin dengan
gelar Put-ji. Dengan segala akal muslihat kau merampas bocah itu,
bukankah karena dia adalah anak jadahmu bersamanya?"
Semakin bicara hatinya semakin jengkel, akhirnya tidak tahan
lagi dia tampar wajah Siang Ngo-nio keras keras.
Siang Ngo-nio bergulingan diatas tanah, dengan rambut terurai
kalut dia bangun terduduk sambil menjerit, "Tong Tiong-san, aku ini
apamu?" "Perempuan rendah yang tidak tahu malu, kau benar-benar tidak
punya malu, apa maksudmu bertanya begitu?" hardik Tong Tiongsan.
Tiba-tiba Siang Ngo-nio mendongakkan kepala dan tertawa
kalap, teriaknya, "Aku tidak tamu malu" Aku hina" Lantas aku mau
tanya, apakah aku adalah istri, resmimu" Aku pernah memohon
kepadamu untuk menerimaku sebagai budak atau gundik, tapi kau
tidak pernah membiarkan aku masuk ke lingkungan keluargamu!
Aku tidak lebih hanya mainanmu! Kenapa aku harus menjaga
kesucian demi dirimu" Jangan lagi aku tidak punya kekasih, biar ada
pun kau tidak berhak mengurusi diriku! Bukankah kau sendiri pun
sering main perempuan diluaran?"
"Tutup mulut, perempuan rendah! Makin bicara semakin ngawur,
kau sangka aku tidak berani membunuhmu?"
"Bunuh saja diriku! Sudah sekian tahun aku mengikutimu, kalau
senang kau datang menjengukku, kalau tidak senang aku
disingkirkan begitu saja. Status belum didapat, tersiksa batin setiap
saat! Sungguh mengenaskan diriku ini, bukan saja harus menuruti
semua kemauanmu, masih kuatir tidak bisa menyenangkan hatimu.
Aku sudah bosan, sudah cukup menderita. Baiklah, cepat bunuh
aku! Ayoh.... ayoh cepat, kenapa tidak kau bunuh diriku!"
Menghadapi ulah perempuan itu, lama kelamaan Tong Tiong-san
dibuat kelabakan sendiri, sekalipun timbul penyesalan di hati namun
dia enggan kehilangan gengsi, segera bentaknya, "Kau sudah gila"
Siapa suruh kau membuat ulah?"
"Betul, aku memang sudah gila! Biar kau tidak membunuhku pun
aku sendiri sudah tidak ingin hidup!"
Tiba-tiba perempuan itu mencabut keluar sebatang jarum lebah
hijau dan langsung dihujamkan kearah tenggorokan sendiri.
Secepat kilat Tong Tiong-san menyentilkan jari tengahnya,
segulung angin tajam meluncur lewat, tahu-tahu jarum lebah hijau
itu sudah mencelat dari genggam annya.
"Aku melarangmu bunuh diri!" hardiknya.
Menggunakan kesempatan itu Siang Ngo-nio segera menubruk ke
dalam pelukannya dan berseru sambil menangis, "Ji-ya, kenapa kau
tidak membayangkan kebaikan yang selama ini kuberikan
kepadamu, waktu diserahkan ke tanganmu aku masih seorang gadis
perawan, sudah dua puluh tahun lebih aku melayani dirimu. Masa
sekarang hanya gara-gara mendengarkan hasutan orang, kau lantas
memaki dan memukulku, kalau begini caranya buat apa aku hidup
terus di dunia ini?"
"Baik, aku tidak akan memukulmu, tidak akan memakimu, tapi
kau harus bicara jujur!"
"Mati pun tidak takut, kenapa aku musti takut bicara
sesungguhnya. Betul, aku memang pernah berkenalan dengan Ko
Ceng-kim, dia pun nampaknya menaruh hati kepadaku, tapi kami
hanya sekedar berkenalan kemudian berpisah, diantara kami berdua
tidak pernah terjalin hubungan asmara ataupun hubungan gelap.
Coba bayangkan, seandainya dia benar benar kekasih gelapku,
mengapa selama enam belas tahun bermukim di gunung Bu-tong,
aku tidak pernah pergi menjenguknya" Kedatanganku kali ini di
gunung Bu-tong pun sama sekali tidak pergi menjumpainya. Aku
tahu di gunung Bu-tong kau pun punya teman, kalau tidak percaya,
tanyakan saja kepada mereka."
Tentu saja Tong Tiong-san tidak akan percaya kalau semua yang
dikatakan adalah ucapan sejujurnya, tapi diapun tahu kalau
perempuan tersebut untuk baru kali ini naik ke gunung Bu-tong.
Lagipula sudah banyak tahun Tong Tiong-san memeliharanya
sebagai kekasih gelap, sejujurnya diapun tidak tega untuk
membunuhnya. Tapi demi menjaga muka, apa salahnya kalau
menganggap perkataan bohongnya sebagai kata yang jujur"
Melihat dia hanya termenung tanpa bicara, kembali Siang Ngonio
berkata, "Sedangkan mengenai bocah itu.... betul, bocah itu
memang anak jadah, tapi bukan anak jadahku melainkan anak hasil
hubungan gelap Sumoy dari Ko Ceng-kim. Bila kau tidak percaya,
tanyakan saja kepada Bouw Ciong-long."
"Dari mana kau tahu kalau Bouw Ciong-long mengetahui akan
urusan ini?" "Kalau putranya saja sudah tahu, masa bapaknya tidak tahu.
Hanya saja, menurut apa yang kuketahui, rasanya kaupun hanya
pernah kenal dengan Bouw Ciong-long, mungkin dengan putranya
hanya pernah bersua di saat dia masih kecil bukan?"
"Bouw Ciong-long hanya berputra satu, dia bernama It-yu.
Perkataanmu memang tidak salah, aku pernah bertemunya satu kali
pada saat dua puluh tahun berselang, waktu itu dia masih seorang
bocah yang sering enggan memakai celana. Tapi darimana kau tahu
kalau Bouw It-yu pun mengetahui kejadian ini?"
"Di saat aku mendaki gunung Bu-tong hari itu, kebetulan Bouw
It-yu sedang turun gunung, ada seorang tosu menghantarnya
sampai dipunggung bukit. Begitu melihat mereka, aku pun segera
menyembunyikan diri. Mereka tidak melihat kehadiranku. Persoalan
inipun secara tidak sengaja berhasil kucuri dengar dari pembicaraan
mereka berdua." Apa yang dikatakan kali ini memang kejadian yang
sesungguhnya, hari itu tosu yang menghantar Bouw It-yu turun
gunung adalah Put-pay, murid pertama Bu-liang Tojin. Hanya saja
dia keliru besar kalau mengatakan Bouw It-yu tidak mengetahui
kehadirannya. Mendengar semua penuturannya disertai bukti, tanpa terasa
Tong Tiong-san mulai percaya beberapa bagian.
Siang Ngo-nio memang cerdas dan cekatan, dia pandai melihat
perubahan wajah orang. Sadar kalau kekasihnya telah berubah
pikiran, memanfaatkan peluang itu segera ujarnya manja, "Siapa
yang telah menciptakan isu tidak benar ini, kau harus beritahu
kepadaku...." "Sebetulnya tidak bisa dibilang isu tanpa dasar, orang itupun
mengaku sudah lama berkenalan dengan Ko Ceng-kim."
"Tapi isu busuk itu mengatakan kalau aku telah melahirkan anak
dengannya, kalau tidak kau tuntut pembenaran atas berita ini,
bagaimana mungkin aku punya muka untuk berkelana lagi?"
Pikiran Tong Tiong-san sangat kalut, ujarnya kemudian dengan
nada hambar, "Yaa sudahlah kalau kau tidak berbuat, kenapa musti
diselidiki lagi?" "Ooh, jadi kau masih menaruh curiga kepadaku" Hmm, tidak, aku
tetap menuntut kau untuk menyelidiki persoalan ini hingga tuntas."
"Sudah, sudahlah, aku percaya kepadamu, jangan ribut lagi!"
"Sudah jelas kau sedang mengintrogasi diriku, hmmm! Kalau
tidak diselidiki hingga tuntas, sampai nanti pun kau tetap akan
menaruh curiga kepadaku."
"Kepada siapa aku musti selidiki?"
"Aduh, coba lihat, dasar tidak punya perasaan!" seru Siang Ngonio
makin manja, "masa baru saja aku katakan, kau sudah
melupakannya. Tanya saja dengan sobat lamamu, Bouw Ciong-long.
Kalau putranya saja tahu asal usul bocah itu, siapa tahu dia tahu
lebih banyak lagi!"

Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Diam-diam Tong Tiong-san keheranan juga, pikirnya,
"Seharusnya menggunakan kesempatan ini dia menyelesaikan
urusan sampai disini, kenapa masih mencari kesulitan buat diri
sendiri?" Setelah tertawa getir, ujarnya, "Tahukah kau, Tiong-ciu Tayhiap
Bouw Ciong-long sekarang telah berubah jadi Ciangbunjin baru
partai Bu-tong dengan gelar Bu-beng Cinjin!"
"Bukankah semakin kebetulan" Sekali tepuk dua lalat, anggap
saja kedatanganmu untuk menyampaikan selamat kepada sobat
lama." "Sekarang pihak Bu-tong-pay sedang mengincar nyawamu, untuk
menghindari mereka pun sudah kerepotan, masa kau malah
menyuruh aku menemui Ciangbunjin Bu-tong-pay!"
"Justru karena aku telah mendatangi bukit Bu-tong, maka kau
semakin wajid bantu aku untuk berkunjung ke sana, paling tidak
untuk mengurai kesalah pahaman ini."
"Salah paham" Aku sendiripun tidak tahu apa yang sudah kau
lakukan, bagaimana memberi penjelasan" Sudahlah, kau tidak usah
mencari masalah, terus terang kusampaikan satu kabar untukmu,
Bu-si Tojin dari Bu-tong-pay sedang mencarimu untuk membikin
perhitungan! Lagipula aku dengar, andai gagal bertemu kau, dia
akan datang mencariku, semisal sudah berada disisiku maka dia
akan minta aku serahkan dirimu!"
"Jadi kau takut dengan Bu-si si tosu hidung kerbau itu?"
"Bukannya takut, tapi dalam kenyataan keluarga Tong memang
tidak sanggup mengungguli kekuatan Bu-tong-pay!"
"Hmm, kalau kudengar dari nada pembicaraanmu, semoga kau
tidak beranggapan kalau kesemuanya ini hanya salah paham,
bagaimana pun kau tetap percaya dengan semua perkataan dan
omongan setan mereka!"
"Aku masih belum mendengar tuduhan apapun dari mereka, pun
tidak tahu apakah perkataan mereka omongan setan atau bukan.
Paling tidak seharusnya kau sendiri tahu bukan apa yang telah kau
lakukan selama ini!"
"Aku sama sekali tidak tahu dalam hal apa aku telah menyalahi
pihak Bu-tong-pay, mendengar dari pembicaraanmu, meski belum
menerima tuntutan apapun dari mereka, paling tidak sudah
mendengar isu atau rumor tentang soal ini bukan?"
"Soal ini...." Biarpun dia tidak tahu secara jelas perselisihan apa yang terjalin
antara Siang Ngo-nio dengan pihak Bu-tong-pay, namun kabar
angin memang telah didengarnya.
"Ji-ya, kau masih mencurigai aku" Kenapa tidak kau lanjutkan?"
desak Siang Ngo-nio. Mendadak Tong Tiong-san membentak keras, "Aku bukan saja
menaruh curiga kepadamu, dasar perempuan sundal, berani benar
kau catut namaku untuk berbuat onar, aku tidak dapat mengampuni
jiwamu lagi!" Siang Ngo-nio nyaris tidak percaya dengan pendengaran sendiri,
sebenarnya dia mengira bujuk rayuannya berhasil meluluhkan hati
Tong Tiong-san, siapa sangka secara tiba-tiba dia berubah pikiran.
Baru saja dia menemukan mimik muka Tong Tiong-san sedikit
agak aneh, tahu-tahu sebuah pukulan dahsyat telah menghantam
tubuhnya. Pada saat itulah terdengar seseorang berteriak keras, "Tong jisianseng,
tahan!" Sayang pada saat itulah Siang Ngo-nio sudah menjerit keras dan
roboh terjungkal ke tanah.
Ternyata orang yang barusan muncul tidak lain adalah Bu-si
Tojin, orang kedua dalam deretan tianglo partai Bu-tong.
Menyaksikan keadaan perempuan itu, Bu-si Tojin berseru kaget,
"Aaah, sayang, sayang!"
Sambil menarik wajah kata Tong Tiong-san, "Bu-si toheng, aku
sudah membunuh perempuan siluman ini, kenapa kau berteriak
sayang" Apakah kau pun ada hubungan dengannya?"
"Tong ji-sianseng, masa kau mengajak pinto bergurau tentang
soal begini, siapa pun tahu kalau dia adalah kekasih simpananmu."
Tong Tiong-san menghela napas. "Kita adalah sobat lama,
rasanya tidak perlu merahasiakan masalah ini denganmu. Dua puluh
tahun berselang, aku telah terpikat oleh siluman perempuan ini,
betul, aku pernah hidup bareng dia selama jangka waktu tertentu.
Sungguh tidak nyana hingga sekarang dia masih berani berulah
dengan mencatut namaku. Aku dengar secara diam-diam dia telah
mendaki Bu-tong-pay bahkan melukai Put-hui Suthay dengan jarum
lebah hijaunya, apa benar ada kejadian seperti ini?"
"Memang benar. Tapi.... hanya saja...."
"Coba lihat, dia begitu berani melakukan kesemuanya ini, masa
aku harus mengampuninya?" tukas Tong Tiong-san cepat, "itulah
sebabnya aku khusus datang mencarinya dan menghajar mampus
perempuan ini! Tapi aku tidak habis mengerti, kenapa kau masih
mohonkan pengampunan baginya?"
Bu-si Tojin gelengkan kepalanya berulang kali, katanya, "Tong jisianseng,
kau kelewat gegabah. Mengapa tidak menghukumnya
setelah menunggu kedatanganku?"
"Ooh, jadi kau menyalahkan aku lantara aku telah membunuh
musuh kalian?" teriak Tong Tiong-san sambil mendelik, "kau
seharusnya memahami tabiatku, jelek-jelek begitu paling tidak dia
pernah menjadi orangku, andai mau dihukum mati pun sepantasnya
aku yang melakukan, aku tidak ingin dia dihukum orang lain."
Memang kejadian ini sama seperti "membersihkan perguruan"
dimana orang luar dilarang mencampuri, setiap orang persilatan
pasti mengetahui akan peraturan ini.
"Pinto tidak berniat mencampuri urusan pribadimu, hanya
saja...." "Hanya saja kenapa, cepat katakan!"
"Terus terang kedatanganku mencari Siang Ngo-nio bukanlah
dikarenakan masalah dia melukai Put-hui Tokou dengan jarum lebah
hijaunya!" "Lalu karena masalah apa?"
"Selama belasan tahun terakhir, secara beruntun partai kami
telah dilanda kasus pembunuhan yang misterius, kami curiga
peristiwa berdarah ini mempunyai keterkaitan dengan Siang Ngonio."
"Peristiwa pembunuhan yang mana?"
"Ketua tianglo partai kami Bu-kek Totiang, Ji-ouw Tayhiap Ho Kibu
dari kaum preman, Suhengku Ting Hun-hok, keponakan muridku
Put-coat, hampir semuanya tewas secara misterius."
Bu-si Tojin hanya menyebutkan beberapa nama tokoh kenamaan
saja. Sementara yang lain seperti Keng King-si, Ho Giok-yan,
pelayan tua dari keluarga Ho, hampir tidak disinggungnya sama
sekali. Diam diam Tong Tiong-san merasa terperanjat, pikirnya,
"Ternyata kabar berita yang tersiar selama ini memang benar
adanya." Maka diapun berkata, "Apa yang kau ceritakan benar-benar
susah dipercaya siapa pun, semua nama yang kau sebut boleh
dibilang merupakan jago jago andalan partaimu, sehebat apapun
kepandaian yang dimiliki Siang Ngo-nio, rasanya tidak mungkin dia
mampu mencelakai mereka."
"Yang kumaksudkan adalah masalah ini ada "hubungan" dengan
dirinya, bukan menuduh semua kasus pembunuhan itu merupakan
hasil karyanya seorang, tapi dalam kasus kematian keponakan
muridku Put-coat, dengan jelas terbukti bahwa dia terkena sebatang
jarum lebah hijau setelah terluka lebih dulu oleh tenaga pukulan.
Oleh karena itu kami berharap dari pengakuannya bisa diketahui
siapa dalang pembunuhan itu dan siapa pula yang terlibat."
Berlagak seolah baru memahami maksudnya, Tong Tiong-san
berseru, "Oooh, rupanya kau minta aku mengampuni jiwanya
karena ingin melacak kejadian ini, apa mau dikata akupun tidak tahu
kalau dia terlibat dalam begitu banyak kasus pembunuhan."
"Aaaai, mungkin saja diantara sekian banyak kasus pembunuhan,
ada yang menyangkut dirinya, ada pula yang tidak tersangkut, tapi
dari mulutnya siapa tahu bisa dilacak sedikit petunjuk atau
keterangan yang bermanfaat."
"Sayang kedatanganmu terlambat selangkah, dalam gusarnya
tadi aku telah menghajarnya hingga mampus."
Tiba-tiba Bu-si Tojin berjalan menghampiri tubuh Siang Ngo-nio
yang terkapar ditanah. "Mau apa kau?" tegur Tong Tiong-san.
"Aku ingin memeriksanya apakah masih ter-tolong" Tun-yangwan
milik partai kami tidak kalah kemanjurannya dibandingkan Siauhuan-
wan dari Siau-lim-pay, siapa tahu aku bisa memperpanjang
umurnya." "Hmm, jadi kau tidak percaya kalau aku telah membunuhnya?"
jengek Tong Tiong-san dingin.
"Pinto tidak bermaksud begitu, aku hanya ingin berusaha
semaksimal mungkin."
"Hmm, kalau kuhalangi niatmu ini, pasti akan kau anggap akupun
ikut terlibat. Baiklah, periksa saja dengan seksama."
Bu-si Tojin tertawa terbahak-bahak.
"Hahahaha.... perkataan Tong ji-sianseng kelewat serius, kalau
begitu maafkan kecerobohanku."
Dengan julukannya sebagai Bu-si (tiada napsu), tentu saja dalam
pikirannya sudah tidak dipengaruhi oleh napsu birahi, dalam
pandangan matanya laki atau perempuan tidak ada bedanya.
Dia menghampiri Siang Ngo-nio dan membopong tubuhnya,
terasa tubuh perempuan itu sudah mulai kaku, ketika diperiksa
dengus napasnya terasa napas telah berhenti (Gb 8).
Tapi anehnya secara lamat lamat dia mengendus selapis bau
harum yang amat tipis. Biarpun dalam partai Bu-tong dia bukan tersohor karena
kehebatan tenaga dalamnya, namun sebagai seorang tianglo,
kehebatan tenaga dalamnya boleh dibilang tidak lemah. Tapi begitu
mengendus bau harum itu, tiba tiba napasnya terasa sesak, kepala
terasa pusing dan matanya sedikit berkunang.
Terdengar Tong Tiong-san berkata dengan nada dingin, "Mau
Siau-huan-wan atau Tun-yang-wan, aku rasa tidak nanti
kemanjurannya mampu memunahkan penga ruh bubuk Toan-hunleng-
hiang-san (bubuk harum pemutus sukma) bikinan keluarga
Tong ku bukan?" Bubuk harum Toan-hun-leng-hiang-san merupakan salah satu
diantara tujuh racun andalan keluarga Tong, barang siapa terendus
bau bubuk pemutus sukma ini, dia bakal keracunan dan tidak ada
obat pemunahnya. Tentu saja kecuali terhadap orang yang memiliki tenaga dalam
sempurna dan sebelumnya sudah tahan napas untuk menghindar,
kalau tidak, biar memiliki tenaga dalam hebat pun, asal bubuk itu
sampai masuk ke dalam mulut, niscaya tubuh seseorang tidak akan
kuasa menahan diri. Dengan terkesiap seru Bu-si Tojin, "Jadi kau paksa dia untuk
menelan racun?" "Jelek-jelek begitu dia pernah menjadi kekasihku, aku harus
memberi keutuhan bagi mayatnya," kata Tong Ji-sianseng sambil
menarik muka, "bila kugunakan serangan berat untuk
membunuhnya, paling tidak isi otaknya bakal berhamburan.
Tentunya kau tidak berharap aku menggunakan cara sekeji ini
terhadap dirinya bukan?"
"Bukankah tadi kau bilang kalu dia mati karena terkena
pukulanmu?" pikir Bu-si Tojin dalam hati.
Rupanya Tong Tiong-san dapat membaca suara hatinya, cepat
dia berkata lagi, "Pukulan yang tadi kugunakan untuk memusnahkan
tenaga dalamnya, dengan begitu dia dapat mati lebih cepat. Bu-si
Toheng, sayang sewaktu berteriak tadi keadaan sudah terlambat,
kalau tidak mungkin aku masih bisa membiarkan dia hidup setengah
jam lagi." Biarpun Bu-si Tojin masih agak curiga, namun kenyataan sudah
terpampang di depan mata, Siang Ngo-nio memang sudah putus
nyawa. Sebagai seorang jago kawakan dari dunia persilatan,
matinya seseorang atau hanya pura-pura mati tidak bakal bisa
membohongi sepasang matanya.
"Sekarang kau sudah percaya bukan kalau dia telah mati?" tanya
Tong Tiong-san dingin. Terpaksa Bu-si Tojin manggut-manggut.
Sambil mendengus kembali ujar Tong Tiong-san, "Kau memiliki
kemampuan untuk menghidupkannya kembali?"
"Tentu saja tidak punya," Bu-si Tojin tertawa getir.
"Lalu kenapa tubuhnya masih kau gendong?"
Bu-si Tojin segera tersadar kembali akan kekhilafannya, tanpa
terasa dia jadi tersipu sipu, terpaksa tubuh Siang Ngo-nio buru-buru
diletakkan kembali. Dengan wajah dingin membeku Tong Tiong-san menyambut
tubuh Siang Ngo-nio, kemudian ujarnya ketus, "Bu-si Totiang,
dipersilahkan!" Setelah membopong tubuh Siang Ngo-nio, paras muka Tong
Tiong-san kelihatan sangat berduka, sambil memandang kejauhan
gumamnya, "Ngo-nio, kau jangan salahkan aku berhati keji, tapi aku
berjanji akan memberikan pemakaman yang terbaik untukmu."
Selama ini Siang Ngo-nio adalah kekasih gelapnya, tentu saja dia
tidak ingin membiarkan tubuh perempuan itu terlantar di tengah
hutan. Dalam keadaan begini Bu-si Tojin tidak berani menyakiti hatinya
lagi, pikirnya, "Walaupun titik terang ini terputus sampai disini, toh
Siang Ngo-nio telah mati, paling tidak dendam sakit hati Put-coat
sutit pun sudah terbalaskan. Lebih baik aku segera kembali ke bukit
untuk melaporkan kejadian ini kepada Ciangbun Suheng."
Tong Tiong-san telah berlalu dari situ, di tengah hutan yang lebat
dia baringkan kembali tubuh Siang Ngo-nio di atas tanah, sekilas
perasaan bangga dan puas terlintas di wajahnya.
Tiba-tiba gumamnya sambil tertawa tergelak, "Hahahaha....
sungguh tidak disangka Tianglo dari Bu-tong-pay, Bu-si Tojin pun
berhasil kukelabuhi!"
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar seseorang berkata pula
sambil tertawa, "Tong locianpwee, siautit khusus datang
mengucapkan selamat kepadamu, siasatmu kali ini benar benar luar
biasa!" "Setan cilik, ternyata sejak tadi kau sudah menungguku disini,
apakah datang untuk minta uang jasa?"
Orang yang muncul dihadapannya adalah seorang pemuda
berusia dua puluh tahunan, dia bukan lain adalah Bouw It-yu, putra
Bu-beng Cinjin yang baru menjabat sebagai Ciangbunjin Bu-tongpay.
"Tidak berani, tidak berani," ucap Bouw It-yu sambil tertawa,
"justru dikemudian hari boanpwee masih butuh banyak dukungan
dari locianpwee." "Ternyata perkataanmu tidak salah," ujar Tong Tiong-san dengan
kening berkerut, "Bu-si Tojin benar benar datang meminta orang,
tapi kedatangannya begitu cepat, mungkin atas petunjuk darimu
bukan?" Bouw It-yu tertawa lebar.
"Daripada urusan ini terlambat diselesaikan, kan lebih baik diurai
lebih cepat" Aku memang berharap Bu-si susiok menyaksikan
dengan mata kepala sendiri atas 'kematian' Siang Ngo-nio, dengan


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

begitu dia baru mau kembali dengan perasaan lega."
"Mengapa kau harus membantuku?"
"Terus terang, semuanya ini atas perintah dari ayahku."
"Kini ayahmu sudah menjadi Ciangbunjin Bu-tong-pay, sementara
Ngo-nio sudah dianggap musuh bebuyut an Bu-tong-pay, kenapa
pula dia perintahkan kau untuk berbuat begini?"
"Ayahku bilang, biar tidak memandang wajah pendeta, kita harus
menghormati wajah sang Budha, bagaimanapun Siang Ngo-nio
sudah terhitung setengah anggota keluarga Tong, jadi apakah dia
tersangkut atau tidak dalam beberapa kasus pembunuhan itu,
ayahku memutuskan untuk tidak menuntutnya lagi."
Sesungguhnya Tong Tiong-san termasuk orang yang tinggi hati,
perkataan dari Bouw It-yu itu justru telah memuaskan perasaan
gengsi dan harga dirinya, segera pikirnya, "Ternyata dia pun takut
mengikat tali permusuhan dengan aku."
Berpikir begitu, maka segera ujarnya, "Wah, kalau begitu
pemberian dari ayahmu terhitung besar sekali, aku kuatir tidak
dapat membalasnya. Namun akupun mempunyai watak yang aneh,
bila merasa berhutang kepada seseorang, aku pasti akan berusaha
keras untuk membayarnya. Bantuan apa yang kau butuhkan dariku"
Cepat katakan!" "Aaah, mana berani boanpwee menuntut balasan, hanya ada
satu masalah kecil rasanya perlu cianpwee ketahui."
"Soal apa" Cepat katakan!"
"Dalam partai kami terdapat seorang murid kecil yang bernama
Lan Giok-keng, apakah cianpwee mengetahui jejaknya?"
Rupanya setelah bertemu Tong Tiong-san pertama kali tadi, tidak
lama kemudian dia bertemu Bu-si Tojin. Setelah bertemu Bu-si
Tojin, dia pun memutar jalan dan balik bersua lagi dengan Tong
Tiong-san. Karena itulah dia belum tahu kalau Bu-si Tojin secara
kebetulan telah bertemu dengan Lan Giok-keng.
Agak tertegun Tong Tiong-san sesudah mendengar ucapan itu,
katanya, "Sebagian besar murid partai anda dari angkatan "Put" saja
tidak banyak yang kukenal, kenapa kau anggap aku pasti
mengetahui jejak seorang murid kecil kalian?"
"Karena murid kecil ini sedikit agak berbeda."
"Bagaimana bedanya?"
"Karena dialah orang yang sedang dicari-cari kekasih
kesayanganmu," sahut Bouw It-yu dengan senyum tidak senyum.
Seolah baru sadar Tong Tiong-san segera berseru, "Oooh,
rupanya kau minta aku menanyakan persoalan ini darinya. Cuma...."
"Aku yakin kau tidak perlu memakai tenaga besar, untuk
menghidupkan kembali dirinya, bukan?" sela Bouw It-yu sambil
tertawa. Sesungguhnya Tong Tiong-san tIDak ingin Siang Ngo-nio secepat
itu 'hidup' kembali, tapi karena sudah berjanji duluan, mau tidak
mau dia harus membantu 'permintaan kecil' dari Bouw It-yuitu.
Ujarnya kemudian, "Baik, boleh saja aku segera menyadarkan dia
kembali. Tapi sebelum itu, kau harus menjawab dulu sebuah
pertanyaanku." "Katakan cianpwee."
"Siapakah orang tua keponakan muridmu itu?"
"Ayahnya bernama Lan kau-san, dia adalah seorang penanam
sayur di bukit Bu-tong. Tentang siapa ibunya, aku sendiripun kurang
begitu jelas." "Yang kutanyakan adalah siapa orang tua kandungnya?"
Bouw It-yu agak tertegun.
"Cianpwee," serunya, "darimana kau bisa tahu akan persoalan
ini?" "Kau tidak usah tahu. Yang ingin kuketahui adalah setengah
persoalan yang lain."
Sambil merendahkan suaranya Bouw It-yu pun berbisik, "Aku
dengar dia adalah putra dari putri kesayangan Ji-ouw Tayhiap Ho Kibu!"
"Lantas siapa ayahnya?"
"Wah kalau masalah ini aku kurang begitu jelas. Mungkin harus
kita tanyakan secara langsung kepada nona Ho."
Padahal dia mempunyai alasan lain dan enggan menyebutkan
nama Keng King-si. Diam-diam Tong Tiong-san menghembuskan napas lega,
pikirnya, "Baguslah asal bukan anak gelap dari Siang Ngo-nio."
Kembali tanyanya, "Karena masalah apa murid kecilmu itu kabur
turun gunung?" "Bukan kabur atas kemauan sendiri, tapi Bu-siang Cinjin sebelum
meninggal dunia memerintahkan dia turun gunung."
"Kenapa?" "Aku kurang begitu jelas. Tapi ada satu hal yang pasti, bocah itu
adalah kesayangan Sucouw semasa hidupnya."
"Oooh, rupanya begitu," sementara di hati kecilnya Tong Tiongsan
berpikir, "Walaupun cara ini tidak terhitung cara yang hebat,
namun dalam situasi yang dia hadapi, cara yang dilakukan memang
terhitung sebuah cara untuk melindungi diri sendiri."
Rupanya dia mengira Siang Ngo-nio ingin menangkap murid kecil
itu sebagai sandera karena perselisihannya dengan Bu-tong-pay
hingga bocah itu digunakan untuk melindungi keselamatan sendiri.
Karena berpikir begitu, rasa curiganya terhadap Siang Ngo-nio
pun kembali berkurang banyak.
"Baik, akan kubantu menanyakan persoalan ini. Tapi jangan
beritahu kepadanya kalau kita pernah bertemu."
Sambil berkata Tong Tiong-san mengambil keluar sebatang
jarum perak yang lembut dan panjang lalu ditusukkan ke jalan
darah Tay-yang-hiat di kening Siang Ngo-nio.
Tidak selang beberapa saat kemudian terdengar Siang Ngo-nio
mulai bernapas kembali. Kembali Tong Tiong-san menyentilkan semacam bubuk dari balik
kukunya ke dalam lubang hidung Siang Ngo-nio. Diiringi suara
bersin yang berulang kali, perempuan itupun tersadar kembali.
Ternyata bubuk yang digunakan Tong Tiong-san tadi bukanlah
bubuk pemabok Toan-hun-leng-hiang-san, melainkan sejenis obat
pemabuk yang mempunyai bau hampir mirip dengan bubuk racun
itu, khasiatnya dapat menghentikan detak jantung orang dan
selama dua belas jam dapat membuat orang itu berada dalam
kondisi mati. Ketika membuka kembali matanya, Siang Ngo-nio sama sekali
tidak menggubris Bouw It-yu yang berdiri dihadapannya, kepada
Tong Tiong-san serunya manja, "Ji-ya, kau benar-benar berhati keji,
apa kesalahanku terhadapmu, kenapa kau ingin membunuh diriku?"
"Dasar, ditolong malah tidak kenal terima kasih, kau benar-benar
menuduh orang semaunya. Tahukah kau, tindakan yang kulakukan
justru demi menyelamatkan nyawamu. Baru saja Bu-si Tojin datang
kemari, coba kalau bukan lantaran dia melihat dirimu sudah mati,
mungkin saat ini kau sudah ditangkap dan dibawa balik ke Bu-tongsan."
"Lantas bagaimana selanjutnya?"
"Sejak kini, dalam dunia persilatan sudah tidak ada lagi yang
bernama Lebah hijau Siang Ngo-nio," ucap Tong Tiong-san sambil
tertawa, "yang ada sekarang adalah Ngo-nio milik Tong Tiong-san.
Akan ku-sembunyikan dirimu di suatu tempat rahasia, asal kau tidak
muncul dan berkelana lagi dalam dunia persilatan, orang-orang Butong-
pay pasti percaya kalau kau sudah mati."
"Bagus, jadi kau minta separuh hidupku dilewatkan di tempat
yang tidak ada cahayanya!" teriak Siang Ngo-nio cemberut.
"Biarpun sedikit menyiksa dirimu, tapi kaupun tidak usah kuatir
ada orang mencari gara-gara lagi, justru ini menguntungkan
bagimu!" Kini Siang Ngo-nio baru mengalihkan pandangannya ke wajah
Bouw It-yu, ujarnya kemudian, "Kalau aku tidak salah ingat,
bukankah kau adalah kongcu dari ketua baru Bu-tong-pay?"
"Biarpun dia murid Bu-tong-pay, namun justru merupakan tuan
penolongmu," sela Tong Tiong-san sambil tertawa.
"Apa maksud perkataan ini?"
"Dialah yang secara diam-diam beritahu kepadaku kalau Bu-si
Tojin datang mencarimu. Siasat pura-pura mati tidak lain adalah
siasat yang kurancang bersamanya."
"Ooh, kalau begitu perencanaan kalian atas keselamatanku
benar-benar amat sempurna."
"Aaah, boanpwee hanya melaksanakan perintah ayahku," kata
Bouw It-yu. "Ooh, rupanya atas kemauan ayahmu. Kalau begitu aku tidak
perlu berterima kasih kepadamu."
"Ngo-nio!" bentak Tong Tiong-san tiba tiba, "kenapa kau berkata
begitu?" "Memangnya aku salah bicara" Kalau aku mau menuruti
rencananya, biarpun nyawaku dapat diselamat kan, namun Bouw
Ciong-long pun dapat terlepas dari kerepotan!"
Ketika mengucapkan kata 'kerepotan' sinar matanya
memancarkan keanehan. "Ngo-nio, makin bicara kau semakin tidak karuan!" kembali Tong
Tiong-san membentak gusar.
"Apa yang dikatakan Ngo-nio memang kenyataan," sela Bouw Ityu
cepat sambil tersenyum rikuh, "ayahku memang tidak ingin
menambah kerepotan lagi."
Darimana dia tahu kalau 'kerepotan' yang dimaksud Siang Ngonio
sesungguhnya tidak sama dengan 'kerepotan' yang terlintas
dalam benaknya. "Bouw kongcu," kata Siang Ngo-nio kemudian, "silahkan kembali
dan beritahu ayahmu, katakan kalau aku meski enggan menerima
kebaikan hatinya, namun bersedia melakukan transaksi secara adil.
Apa yang diinginkan ayahmu" Katakan saja!" Bouw It-yu tertawa.
"Ngo-nio memang tidak malu menjadi seorang jago kawakan.
Betul, ayahku memang ada permintaan, mohon Ngo-nio bersedia
melepaskan keponakan murid-ku Lan Giok-keng."
"Sejak hari ini aku sudah dalam status 'mati', orang yang sudah
'mati' mana mungkin bisa menyulitkan anggota partai Bu-tong lagi"
Aku yakin ayahmu pasti mempunyai permintaan lain bukan, sebab
kalau tidak, dalam transaksi ini dialah yang berada dipihak
dirugikan." "Dugaan Ngo-nio memang hebat. Benar, ayahku ingin tahu kabar
berita tentang Lan Giok-keng. Bila Ngo-nio mengetahui jejaknya...."
"Sebetulnya aku tidak tahu," sela Siang Ngo-nio, "tapi secara
tidak sengaja aku sempat mencuri dengar pembicaraan antara Lan
Giok-keng dengan Tonghong Liang. Kelihatannya transaksi kita kali
ini akan berjalan sukses."
Setelah berhenti sebentar, tambahnya, "Kalau didengar dari
pembicaraan mereka, kelihatannya keponakan muridmu hendak
menuju ke kuil Siau-lim-si."
"Terima kasih Ngo-nio. Terima kasih Tong locianpwee."
"Ucapan ini seharusnya terbalik," kata Tong Tiong-san,
"sepantasnya akulah yang harus berterima kasih kepada kalian
berdua. Sampaikan salamku kepada ayahmu."
Sepeninggal Bouw It-yu, Tong Tiong-san baru menggerutu,
"Ngo-nio, tampaknya aku kelewat memanjakan dirimu hingga
ulahmu semakin menjadi. Kali ini nyaris kau kehilangan nyawamu,
kenapa sampai sekarang masih begitu temperamen dan menuruti
watak sendiri?" Siang Ngo-nio tertawa manja.
"Aku ikut gembira karena Bouw Ciong-long ternyata takut juga
denganmu! Tapi terus terang saja, kalau kau merasa salah kelewat
manjakan aku, sekarang bunuhlah diriku...."
"Aaai, kalau sekarang mana aku tega untuk membunuhmu?"
biarpun dia sempat dibuat uring-uringan, namun akhirnya ganjalan
dihatinya dapat terurai juga, hal ini membuat Tong Tiong-san
merasa sangat lega. . Ooo)*(ooO Saat itu Bouw It-yu seorang diri sedang melakukan perjalanan
menuju ke kuil Siau-lim-si.
Perasaan hatinya justru kebalikan dengan Tong Tiong-san, kalau
Tong Tiong-san merasa sangat lega, justru Bouw It-yu merasa
kecurigaannya semakin bertambah.
Sikap angkuh Siang Ngo-nio, mimik mukanya yang menunjukkan
perasaan tidak kuatir atau takut, kembali muncul dalam benaknya.
Tanpa terasa dia berpikir, "Aneh, mengapa ayah bersikap begitu
longgar terhadap perempuan siluman ini, apa benar dia takut atau
jeri terhadap Tong ji-sianseng" Sikap semacam ini berbeda sekali
dengan sikap ayah di waktu biasa!"
"Mungkinkah hanya demi transaksi itu" Sekalipun nasib Giokkeng
sudah menyangkut kejayaan dan lemahnya perguruan, kalau
hanya ingin mencari tahu kabar beritanya toh ayah tidak perlu
sampai bersikap begitu longgar dengan melepaskan pembunuh Putcoat
Suheng....?" Peristiwa ini benar-benar membuatnya bingung dan tidak habis
mengerti. Walau begitu, dia cukup tahu alasan ayahnya mengapa begitu
'menaruh perhatian' terhadap nasib Lan Giok-keng.
Hari kedua setelah Lan Giok-keng turun gunung, yaitu pada
Pertikaian Tokoh Tokoh Persilatan 9 Elang Pemburu Karya Gu Long Misteri Pulau Neraka 4
^