Pencarian

Misi Rahasia Sophie 2

7 Misi Rahasia Sophie Karya Aditia Yudis Bagian 2


Tak ada ucapan terima kasih dari Livia. Dia sama diamnya dgn Sophie. Mungkin kejadian ini tak
pernah disangkanya dan membuatnya shock. Sophie menghela napas ketika Mama dan Papa
duduk di hadapan mereka berdua. Keduanya memandang Sophie tak percaya. Sedangkan,
Marsya ikut-ikutan duduk di antara mereka, menatap semuanya dgn polos.
"Sophie, Mama percaya sama kamu. Mama selalu percaya sama kamu. Tapi ini balasan kamu
sama mama?" terdengar helaan napas berat dr mama. "Kamu cerita sama Mama kalau kamu ada
masalah." Perlahan, Sophie memberanikan diri membalas tatapan orang tuanya. Kesedihan dan
kekecewaan bercampur di sana. Hati Sophie sesak. Ditambah dgn efek rokok tadi, membuat
napasnya masih terasa tdk enak. Ingin sekali rasanya Sophie kembali ke tempat tidur dan
beristirahat. Akan tetapi, dia tak bisa lari dan harus menghadapi apa yg akan terjadi. Dia
melakukan ini semua untuk Livia. Bukan salah Livia kalau ingin mencoba. Livia hanya ingin
diperhatikan. "Mama tahu alasannya?" ujar Sophie dgn suara bergetar. Dia terdiam sejenak, memandang mata
kedua orang tuanya yg khawatir. "Sophie cuma mau nyoba apa yg belum pernah Sophie coba."
Mama terenyak, genggamannya dgn papa mengerat.
"Ini untuk yg pertama dan terakhir."
Suara berat papa seperti cambukan bagi hati Sophie. Dia tahu papa berusaha untuk tdk marah.
Papa bahkan tdk mau repot-repot memandangnya.
"Sekarang km masuk kamar" suruhnya.
Sophie bangkit, berjalan menuju kamar dgn kepala tertunduk. Livia mengikuti kakanya hingga
masuk ke kamar. "Denger apa kata papa tadi," Sophie menatap Livia. "Ini buat yg pertama dan terakhir."
Mereka berdua berdiri berhadapan. Sophie sedikit agak kesal kpd Livia, tetapi tdk ingin bersikap
sm dgn orang tuanya. Pandangan Livia kpdnya tdk berubah sekali, malah kekesalan itu terlihat
makin kental. Wajah adiknya itu merah padam sekarang.
Livia berkacak pinggang. "Lo pikir gue ke sini mau bilang terima kasih ke lo?" ujarnya sinis.
Diselamatkan oleh Sophie tdk membuatnya merasa tenang. Justru emosi dlm benak Livia
meledak-ledak. Semua itu sedari tadi tertahan karena harus menghadapi Papa dan Mama dulu.
Sophie terenyak, tdk menyangka seperti inilah respons dari Livia.
"Coba tadi, gue yg ke gap lagi ngerokok. Pasti gue abis dimaki Papa dan Mama. Tapi karena lo
yg ngerakok. Lo bisa lihat sendirikah. Mereka marah aja nggak!" ujar Livia, tdk keras, tetapi
penuh nada sindiran. Livia segera keluar dr kamar, membanting pintu didepan Sophie.
Bahu Sophie melorot. Matanya memerah. Dia tahu memang salah. Tetapi, kata-kata Livia benarbenar membuatnya merasa tertampar.
*** Dari jendela kamar, Marko bisa melihat siulet Sophie dan Livia. Dia tak berpaling dr sana,
hinggal tinggal Sophie seorang diri di kamar. Selama beberapa menit setelahnya, Marko masih
terus duduk di situ. Yg ditunggunya adalah sinyal morse dr Sophie, kalau-kalau gadis itu ingin
bersua kembali. Padahal mereka baru saja bertemu, tetapi Marko tdk bisa memungkiri sudah
ingin berjumpa lagi. Marko merebahkan diri di ranjang. Malam sudah kian larut, Sophie tdk mungkin mengiriminya
sinyal morse semalam ini. Dia menghela napas panjang. Berusaha mengusir peristiwa di rooftop
yg terus-terusan membayang di benaknya.
Makin keras dia berusaha melupakan, kian jelas wajah Sophie di lamuannya.
BAB 10 Sophie menunjuk ke arah luar. Sekarang dia akan menyamar sebagai reporter berita dr stasiun
televisi fiktif. Dia memberi kode kpd Marko untuk keluar menemui target misi ke empat. Marko
berjalan di belakang Sophie, menyiapkan kameranya.
Sophie sudah mencegat seorang penjual kopi keliling. "Selamat sore, Mas. Kami dari TV
Phieko," ujarnya dgn ramah dan senyum sumringah. Penjual kopi keliling yg blm terlalu tua itu
memandang Sophie dgn curiga dan heran.
"Stasiun televisi kami mengadakan acara berbagi," Sophie menjelaskan dgn sabar. "Kami sudah
lama mengamati Mas. Dan kami memutuskan kali ini, Mas adalah bintang tamu acara kami."
"Maksudnya gimana ya?" sahutnya dgn pandangan tdk mengerti. Penjual kopi tersebut merasa
tdk nyaman ditahan-tahan oleh Sophie.
"Kita akan rekam kegiatan, Mas. Siapa namanya?" jawab Sophie.
"Tarjo" "Setelah kami rekam kegiatan Mas Tarjo. Kita akan kasih bingkisan buat Mas Tarjo."
Tarjo membisu beberapa menit, tampaknya sedang mencerna penjelasan Sophie. "Saya harus
nangis-nangis gitu, Mbak?" tanyanya polos. "Seperti di tivi - tivi?"
Sophie menunggingkan senyum lagi. "Nggak perlu, Mas. Mas Tarjo beraktivitas aja seperti
biasa, nggak perlu akting. Kami nggak akan ganggu, hanya mau rekam saja."
"Tapi, Mbak," Tarjo menunduk.
"Kenapa mas?" "Saya nggak ingin masuk tivi kalau hanya untuk dikasihani. Saya nggak mau dikasihani karena
saya cacat." Sophie menelan ludah. Sekilas dia, dan Marko bertukar pandangan. Sophie tdk berhenti
membujuk, kursi roda yg mereka siapkan khusus untuk Mas Tarjo tdk boleh menjadi sia-sia.
*** Gerombolan cewek - cewek itu tertawa. Mereka mengerubungi salah satu teman yg sedang
memegang iPad. Di layarnya terputar sebuah video dgn judul 'Misi Rahasia Sophie #4'.
"Apa lucunya sih?" celetuk salah satu cewek berambut panjang dan bertampang judes. Dia
belum lupa ketika Sophie merekamnya di perpustakaan, sejak itu ketidaksekaanya terhadap
makin menjadi-jadi. "Lucu lah. Polos gitu. Semua yg di tivi kan bokis." cewek yg lain menanggapi.
"Lo nggak liat apa" Misi Sophie ini udah nggak lucu lagi. Dia itu ngeksplor orang cacat!"
serunya cewek judes, langsung merebut iPad dan menulis komen pedas untuk video tersebut.
*** "Nanti ulang tahun kamu, konsepnya yg ini aja." mama menunjukkan halaman sebuah majalh
kpd Sophie. Di atas meja, tersebar beberapa majalah remaja lain.
Perhatian Sophie teralih dr iPhone-nya. Dia memandangi mama tanpa menunjukkan sedikit saja
ketertarikan kpd majalah yg terbuka di pangkuan mama. "Ma, Sophie nggak mau ulang tahun
dirayain gini. Buang-buang duit. Mama, kan, lagi butuh uang."
"Umur kamu tujuh belas tahun. Sewaktu mama seumuran kamu, mama ngerayain di Musro. Itu
tempat gaul waktu mama muda. Mau mama liatin foto?" senyum mama melebar ketika
mengisahkan bagian nostalgia masa remajanya.
"nggak usahhh," tolak Sophie. "Mama kan udah sering cerita."
"Masa sih?" "Sophie sampai hafal. Mama pakai rok balon yg tren waktu itu. Ikat pinggang segede sabuk
engkong-engkong Betawi."
keduanya tertawa. "Mama mau setiap setik dlm hidup km berarti, Sophie." tawa mama sudah berhenti, sekarang
mama memandangi Sophie dalam-dalam.
Ruangan itu sunyi senyap. Sophie menghela napas. "Mama kok ngomong gitu. Setiap detik dlm
hidup Sophie jadi berarti karena ada mama"
Mama kembali menatap majalah yg sedang dibacanya. Apa yg Sophie omomngkan barusan
dianggapnya seperti angin lalu. "Biar mama rancang konsepnya sama Tante Tita. Dia dulu
mantan EO" "duitnya sayang, Ma. Mending buat adek," bujuk Sophie.
Terdengar suara pintu kamar terbuka. Sophie melihat Livia yg bersiap-siap akan keluar
apartemen. Adiknya itu berjalan dgn muka tertekuk ke arah Sophie dan mama. "Bahas pesta
ulang tahun lagi" Capek deh. Mending duitnya buat Livia. Sepatu Livia udah rusak tuh ma."
Livia mengeluh dan merengek sekaligus.
Mama menoleh kpd Livia. "Kamu nih selalu aja ngiri. Nanti kalau km ulang tahun ke tujuh
belas, pasti mama juga rayain!"
Livia mendengus, berjalan pergi meninggalkan mama dan Sophie dgn wajah kusut. Sophie
menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia mengamati ekspresi mama yg tampak menahan emosi.
Untuk meredakan perasaan mama, Sophie menyunggingkan senyumnya.
BAB 11 "Lah, si Mas Tarjo nggak pakai kursi rodanya."
Sophie tdk bisa menahan kekecewaanya. Pandangannya nanar kpd Mas Tarjoyg kembali
berjualan dgn tertatih - tatih. Hati Sophie pilu.
"Mungkin ditinggal di rumah," sahut Marko.
Tangan Sophie mengepal. Tatapannya belum berpaling dari Mas Tarjo. "Dia seharusnya make
kursi roda itu buat kerja. Biar kerjaannya lebih gampang."
Marko tidak menyahuti lagi. Dia mengarahkan mobilnya meninggalkan taman itu. Kabin mobil
menjadi sunyi. Sophie mengecek YouTube-nya selagi Marko nyetir.
"Ini orang-orang komen pada ngaco," ujar Sophie.
"Ya udah nggak usah dibacalah kalau gitu. Kalau lo udah taruh sesuatu di socmed kayak gini,
siapa aja boleh komen," bilang Marko.
"Gue kasih dia kursi roda, karena setiap pergi sekolah, gue ngeliat dia jualan kopi susah payah.
Dan sekarang komen orang-orang nggak ngenakin gini. Kursi rodanya juga nggak tahu
dikemanain." suara Sophie tercekat. Dia membuang pandangan ke luar jendela sambil menggigit
bibir. Apa yg dilakukannya selama ini bukanlah untuk dirinya sendiri. Sophie tdk menginginkan
menjadi bintang YouTube, tidak pula ingin punya banyak penonton untuk videonya. Ini semua
adalah sesuatu yg lebih personal. Dia kira tak akan ada yg peduli.
"Mungkin lo harus tanya lagi sama diri lo, semua ini buat apa" Jangan-jangan semua yg lo lakuin
ini sia-sia." Marko memotong lamuan Sophie.
Bahkan Marko tdk bisa mempercayainya. Sophie menoleh kpd Marko. Ekspresi datar cowok itu
kali ini ingin sekali membuat Sophie mengomelinya.
"Dia tuna daksa dan dia pantang menyerah." Sophie menjeda kalimatnya dan menarik napas
panjang. "Tapi mungkin lo bener, gue harus berentiin misi ini," ucapnya lirih.
"Yah, Soph, gue bercanda kali....."
Sophie menelan ludah, kembali menatap ke arah luar. Dadanya sesak. "Lo bener. Mungkin
semua yg gue lakuin ini sia-sia."
"Soph, gue tadi bercanda. Seriusan. Misi lo harus tetep jalan."
"Misi gue harus berenti sampai sini....."
**** "Happy Birthday to you! Happy birthday to you!"
Kamar Sophie mendadak terang benderang dan ramai. Lagu 'Happy Birthday to You'
membangunkan Sophie dari lelapnya. Sambil mengucek mata dan tersenyum, dia melihat Mama,
Papa, Livia dan Marsya sudah ada di kamarnya.
Mama langsung menghambur dan memeluk Sophie. Diikuti Papa, Marsya dan Livia. Sophie
menyunggingkan senyum untuk Livia sambil berpelukan.
"Makasih. Surprise ini aja, kan" Sophie beneran nggak mau ngerayain ultah Sophie lho, Ma."
"Iyaaa....." sahut mama, tersenyum. Dielusnya rambut Sophie.
Papa mendekat, menyorongkan kue ulang tahun yg sudah dihiasi lilin. "Tiup lilinya, Sophie."
"Make a wish!" ujar Livia.
Tatapn Sophie dan Livia bertemu, keduanya saling berbagi senyum. Sophie memejamkan mata.
Mengucapkan doa untuk seluruh orang-orang yg disayanginya agar terus bahagia. Meminta agar
waktunya dicukupkan untuk membahagiakan orang-orang di sekitarnya. Memdoakan mama.
Semuanya. Dan Marko. Perlahan kelopak mata Sophie menjauh. Kilauan lilin menyapa pandangannya. Semua di dalam
ruangan itu bertepuk tangan.
"Potong kuenya!"
"Malem-malem gini?" tanya Sophie. "Besok aja deh, Pa. Ngantuk nih."
"Sekarang aja. Pas umur kamu yg ketujuh belas, Sophie." bujuk papa.
"Ah, itu sih mau papa aja yg pengin makan cake!"
Sophie tertawa, mengambil pemotong dan mulai membelah cake itu.
"Nah, gitu dong," ujar Papa.
Seluruh orang yg ada di ruangan itu ikut tertawa bersama.
*** "Lo ngambil uang banyak banget. Buat apaan?" tanya Marko usai Sophie mengambil uang dari
ATM. dia melirik dompet Sophie yg menggembung penuh.
"Hari ini kan gue ulang tahun," kata Sophie meninggalkan galeri ATM. Marko mengikuti di
belakangnya. Langkah Marko terhenti. Dalam hati, dia mengomeli dirinya sendiri yg pelupa. "Eh, selamat
ulang tahun, ya. Sori lupa."
Sophie menoleh. "Ala, biasanya lo juga nggak pernah ngucapin. Pakai pura-pura nggak enak
lagi," semburnya. Marko berusaha menyusul langkah Sophie, tetapi yg dikejarnya malah berhenti. Sophie
mengernyit kesakitan sambil memegangi perutnya.
"Lo kenapa" Datang bulan lagi?" tanyanya agak cemas. Marko berdiri memandangi Sophie, tdk
tahu harus berbuat apa. Selama beberapa menit, Sophie masih di situ. Marko ragu-ragu ingin
menawarkan bantuan, lagi pula dia tdk benar-benar tahu apa yg harus ditawarkannya. Namun,
wajah Sophie makin lama kian pucat. "Lo sekarang mau ke mana" Pulang kan?"
Sophie meringis. Meraih tangan Marko. "He eh. Tapi nanti sore, gue mau ngerayain ulang tahun
gue dipanti asuhan. Lo ikut kan" Lo tega biarin gue sendiri ke sana" Gue lagi sakit perut nih,"
katanya berjalan tertatih.
Melihat kondisi Sophie sekarang, Marko tdk tega kalau dia harus meneruskan misi hari ini. "Iya,
iya. Tapi misi lo gimana?"
"Mau nemenin nggak?" tanya Sophie galak.
Marko menatap Sophie, tanpa harus bicara pun gadis itu sudah tahu apa jawabannya.
**** "Seharusnya lo ikut nenangin tuh anak. Bukannya malah ngetawain gue."
Mereka berdua sudah kembali ke mobil Marko setelah mengunjungi toko mainan dan pakaian
untuk membeli beberapa mainan dan juga jas hujan transparan. Tdk sengaja di toko pakaian tadi,
Sophie harus menghadapi anak kecil yg menangis.
"Gue nggak bakat ama anak kecil," kilah Marko.
"Harusnya dibiasain, ntar gimana kalau lo punya anak?" Sophie menunjuk Marko.
"Gue masih SMA kali. Ngapain aja gue mikirin anak. Emang lo udah mikirin punya anak" Pacar
aja belom punya......"
Sophie mendesah. "Anak kecil itu makhluk kedua, setelah yg cewek bikin bingung cowok. Nggak tahu maunya apa.
Dan sama-sama annoying." tambah Marko.
"Lo harus belajar ngadepin yg buat lo annoying."
**** Sophie dan Marko dikelilingi anak-anak kecil yg sangat antusias dan bersemangat. Ruangan itu
sendiri tdk terlalu besar, mereka semua berusaha bersikap baik. Sophie terus-terusan tersenyum
karena anak-anak yg menurutnya lucu itu. Di samping Sophie, Marko merekam dgn handycamnya. Semestinya tingkah pola anak-anak kecil itu yg diabadikannya, tetapi berkali-kali lensa
handycam-nya mengarah ke Sophie.
"Anak-anak, jangan berebutan gitu. Kak Sophie udh bungkusin satu-satu buat kalian. Semuanya
kebagian........" ibu pengurus panti memberi peringatan kpd semua anak yg mulai ribut dan
berdesakan. Ketika semua sedang berusaha untuk rapi, seorang anak berusia kira-kira empat
tahun berlari menyela kerumunan untuk meminta jatahnya. Dia berdiri di depan tumpukan
hadiah hingga ada anak panti lain yg mengambilkan bingkisan dgn label 'Arya'
"Arya bilang makasih ke Kak Sophie."
Bukannya berlari menuju Sophie, Arya malah mendekati Marko. Tahu-tahu anak kecil itu
memeluk kaki Marko yg memasang mimik kebingungan.
"Papa." sapanya meluncur dari bibir kecil Arya.
Serempak semua orang-orang di dalam ruangan tertawa.
"Arya, itu bukan Papa." ujar seorang pengurus panti.
Sophie dan Marko bertukar pandang. Senyum jahil menghiasi wajah Sophie.
"Adik-adik kita main di luar yuk!" ajak Sophie bersemangat, memimpin rombongan kecil itu ke
arah pintu keluar. "Ayo, kita keluar!" timpal staf panti sama antusianya.
Suasana langsung ramai. Anak-anak keluar dgn mulut penuh celoteh. Sophie menunggu hinggan
semua anak keluar, lalu menghampiri Marko.
"Papa," godanya terkikik.
Marko mendelik, bergegas keluar ruangan lebih dulu.
**** Dibantu petugas panti, Sophie menyiapkan alat-alat yg akan digunakan untuk bermain. Di depan
anak-anak yg sudah tdk sabar, Sophie mengeluarkan sebungkus balon yg belum di isi udara.
Anak-anak berteriak girang. Marko yg berdiri di pinggiran langsung memucat. Perlahan-lahan
dia menjauh dari situ. "Siapa yg mau balon"!" Sophie berteriak sambil mengerling pada Marko. Namun, jawaban anakanak langsung merebut perhatian Sophie lagi.
Mereka mengerumuni Sophie, berebutan mengambil balon. Sophie dan petugas panti mengisi
balon-balon pilihan anak-anak itu. Saat giliran Arya, Sophie melambaikan balon itu sambil
menatap Marko. "Komaarrr! Gantian dong!" serunya, membuat Marko segera menoleh. "Ini balon buat Arya."
Tidak sedikit pun Marko bergerak dari tempatnya. Dia cuma memandangi Sophie dgn tatapan yg
jelas-jelas menolak. Akhirnya, Sophie lah yg mendekati Marko duluan.
"Awas lo ya!" serunya, berusaha menghindar dr Sophie.
"Jangan ngomong kasar dong, Kak Marko! Ada anak kecil," Sophie terus menguber sahabatnya.
"Lo kan tahu gue fobia sama balon!" jeritnya, bergerak mundur dan menjauh.
Marko tak pernah menceritakan dgn lengkap tetntang fobia itu kpd Sophie. Hal itu seperti sebuah
rahasia yg kalau dibocorkan benar-benar gawat. Dulu Sophie masih sering bertanya, lamakelamaan dia bisa beradaptasi dgn ketakutan Marko kpd Balon. Trauma apa pun itu, Sophie rasa
Marko tdk benar-benar fobia.
Sophie berhenti mengejar Marko. Dia kembali ke tempat tabung gas dan memutuskan mengisi
balon milik Arya. Di hadapannya, Arya sudah kelihatan tdk sabar menerima balonnya. Matanya
bersinar senang, membuat hati Sophie diliputi kebahagiaan. Kalau berbagi ternyata
semenyenangkan ini. Sophie akan melakukan dr dulu tanpa harus menunggu misi-misi
rahasianya. "Anak kecil aja nggak takut sama balon!" teriak Sophie pd Marko ketika menyerahkan balon
untuk Arya. Marko menunjuk Sophie dr balik batang pohon. "Liat ntar ya, kalau gue tahu lo fobia apaan, gue
bakal bales!" katanya penuh dendam.
Sophie tergelak mendengar jawaban Marko. Kesal di paras Marko kian mengental. Bahkan
sampai-sampai dia lupa untuk terus merekam. Tetapi, Sophie tdk terlalu peduli, Sikap Marko itu


7 Misi Rahasia Sophie Karya Aditia Yudis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghiburnya juga. Dia merasa jahat sih, akan tetapi demi balon-balon ini dan....
Teriakan Arya memutus khayalan Sophie. Dia menoleh ke sumber suara. Tampak Arya yg bediri
terpana karena balon miliknya melayang terbang. Sekarang, balon itu tertahan di antara rantingranting pohon.
"Balon Arya ambiliiin!" anak itu menjerit dan meloncat-loncat. Dia memandang kpd semua
orang di sana. "Kakak amniliin ya sebentar." seorang petugas panti langsung sigap menanggapi permintaan
Arya. Anak kecil itu malah menggeleng. "Nggak mau. Maunya papa." ujarnya menunjuk Marko.
Marko menyeret kakinya mundur, bersembunyi di balik pohon. Ketika dia mengintip lagi dr
tempatnya, semua orang menatapnya. Arya pun masih menunjuknya. Dia menggaruk rambutnya
yg tdk gatal "Arya maunya lo yg ngambil," ujar Sophie tiba-tiba muncul di sebelah Marko.
"Ogah!" pada saat itu juga, tangis Arya langsung pecah. Seorang petugas panti berusaha mengambilkan,
namun membuat tangis anak kecil itu makin parah. Arya duduk di rerumputan, menangis seolah
tdk akan berhenti. Marko mendesah. Benar, kan apa yg dia bilang. Anak kecil memang menjengkelkan.
"Lo nggak lihat nangisnya sampai kayak gitu" Ayolah, Marko, lo kan cuma narik benangnya aja.
Nggak megang balonnya." bujuk Sophie.
Selama beberapa saat, Marko hanya membisu. Dia benar-benar tdk mau mengambil balon itu.
Kalau ada pilihan antara pergi ke medan perang atau memegang balon, Marko sangat akan
mengikuti tawaran pertama. Balon itu mengingatkan kpd pengalaman masa kecilnya.
Pengalaman memalukan sekaligus mengerikan yg hanya diketahui dirinya, mama, papa dan si
tukang balon. "Udah tunggu apalagi sih?" desak Sophie.
Tak jauh dr mereka, Arya menangis makin tak karuan. Seorang petugas panti sampai- sampai
bergegas menghampiri. Akhirnya, Marko dgn langkah bimbang maju pelan-pelan mendekati
pohon. Sophie berjalan mengikutinya. Sebelum menaiki pohon itu, dia menatap Sophie, seakanakan mereka akan diminta berpisah selamanya. Sungguh, Marko tdk pernah membayangkan
kemalangan yg lebih buruk dari pada ini.
"Naik aja, terus turun dan pegang talinya, Marko." suruh Sophie lembut. Senyumnya
mengembang dan matanya penuh binar.
Marko tahu tdk akan bisa mundur lagi. Dia menarik napas panjang dan berdoa. Keringat dingin
muncul di punggung dan pelipisnya. Tangannya pun terasa licin, semoga ketika memanjat hal itu
tdk menyebabkan apa-apa. Marko menarik napas panjang, menatap Sophie sebentar lagi, lalu
mulai naik. Bayangan-bayangan tentang masa lalunya berkelabat. Namun, ingatan akan senyum Sophie
berkali-kali menyeruak dan menghancurkan bayangan buruk itu. Marko terengah-engah, pohon
itu tidaklah tinggi. Tetapi balon menguras semua energinya. Ketika sudah dekat dgn balon,
Marko sempat diam beberapa menit. Antara mau dan tdk mau meraihnya. Tangis Arya sudah
agak mereda, dia menyemangati dari bawah dgn menyerukan 'papa' berulang-ulang. Sekilas,
Marko teringat pada masa kecilnya yg banyak dihabiskan dgn papa. Dulu mereka sering bermain
bola bersama dihalaman belakang rumah. Setelah bercerai, Mama membawa Marko tinggal di
apartemen. Sementara rumah papa ditempati bersama keluarga barunya.
Sapaan itu sebenarnya sangat mengganggu dan membuatnya risih. Satu-satunya jalan untuk
menghentikannya tentu saja dgn menyerahkan balon itu lagi kpd Arya. Meski gemeteran Marko
melakukan secepat yg dia bisa. Ujung tali balon itu pun terenggut. Dikeluarkannya ponsel dari
dalam saku, ujung tali Marko ikat disana. Dia menghela napas ketika melepaskan ponsel ke
bawah. Matanya tertutup ketika balon itu melewati dirinya. Perlahan balon itu ikut jatuh bersama
ponsel. Sorakan girang memanuhi telinganya.
Sekali lagi, Marko menhela napas. Amat lega.
**** "Sekali lagi lo ngerjain gue pakai balon......"
"Tadi kayaknya pas balon lewat deket lo, lo biasa aja. Biasanya kan udah histeris." potong
Sophie sambil mencepol rambut panjangnya.
Keduanya saling pandang. Marko menghabiskan minuman yg diberikan Sophie kepadanya.
Menandaskannya dalam sekali teguk saja. Pura-pura tdk memedulikan pernyataan Sophie. Tawa
kecil gadis itu meledak. Membuat Marko makin kesal tapi juga senang. Perasaan itu sungguh
membingungkan bagi Marko.
Di depan mereka, anak-anak sudah berkumpul kembali. Semuanya mengenakan jas hujan warnawarni. Benar-benar menggemaskan.
Sophie bangkit. "Kalian udah siap"!"
Pertanyaan itu di jawab dgn koor serempak. "Udaaah!"
Sophie mengambilkan sesuatu dr dalam tasnya. Sebuah jas hujan transparan warna biru tua untuk
Marko. Dia sendiri memegang jas hujan warna merah transparan. Marko menatap Sophie tdk
mengerti. "Buat apa" Mau main ujan-ujanan" Nggak mendung gini."
Jawaban Marko sontak disahuti dgn tawa anak-anak.
"Udah pakai cepet!" suruh Sophie, tdk sabar.
Marko memandang jengkel kpd anak-anak kecil yg tampaknya tahu lebih banyak daripada dia.
Dipakainya jas hujan itu, bersamaan dgn Sophie. Ketika mereka berdua sudah berpenampilan
sama dgn anak-anak lainnya, terdengar tepukan tangan. Marko nyengir hingga deretan giginya
yg rapi terlihat, membayangkan dirinya adalah pangeran dan Sophie menjadi putri, dan bocahbocahnya yg berderet itu adalah kurcaci-kurcaci.
Sophie membantu Marko memasang tripod dan mengecek arah lensa. Setelah di rasa pas, Sophie
memberi isyarat kps anak-anak untuk berjajar.
"Filmnya mulai sekarang ya," ujar Sophie, menekan tombol 'on'. Dia menarik tangan Marko
untuk ikut bergabung dgn anak-anak. Sophie menyeringai kecil ketika Marko kembali memasang
ekspresi sebal dan terkejut. Menurt Sophie, wajah Marko saat itu selalu terlihat cute.
Beberapa petugas panti membawakan banyak balon. Sophie mengeratkan genggaman tangannya
kpd Marko agar dia tdk lari. Anak-anak langsung berebutan mengambil bola balon dan saling
lempar. Suara gaduh tawa mengisi sore itu. Dan tawa itu kini diselingi jeritan-jeritan
mengejutkan. Ada cat di dalam balon! Setiap balon yg pecah akan mengeluarkan cat warnawarni, sesuai dgn isinya. Pemandangan di halaman itu kini menjadi kian berwarna, jas hujan
berbagi rona yg di nodai cat warna menyala.
Sophie memberi kode kpd anak-anak disekitarnya. Saat dia melepaskan tangan Marko dan
cowok itu berusaha lari. Anak-anak langsung menyerangnya dgn bola balon. Jas hujannya kini
penuh cat. Dia memandangi sengit pada anak-anak yg lari berhamburan. Mengambil bola balon
terdekat dan memboardir anak-anak itu dgn cara yg sama. Anak-anak tertawa senang, apalagi
kalau berhasil menghindar. Satu paling keras diantara itu semua adalah tawa Sophie.
Tawanya terhenti ketika merasakan ada balon yg mengenai tubuhnya. Noda cat ada di bagian jas
hujannya. Tdk jauh darinya seorang anak kecil terkiki geli.
"Aryaaa!" jerit Sophie
**** Cake di atas meja ditinggalkan Marsya begitu saja. Mama yg hendak mengembalikannya ke
kulkas, mendadak tertegun saat pandangannya jatuh ke arah lilin. Tujuh belas. Ketika dirinya
berumur tujuh belas tahun, dia adalah gadis yg penuh impian. Dia tak pernah memikirkan
bagaimana kalau tiba-tiba hidup mengambil kesempatannya meraih mimpi. Semua itu tdk
meleset, dia menjalani masa remaja yg amat menyenangkan, dia juga ingin Sophie merasakan
hal yg sama. Mama mengangkat ke dua lilin dgn tangannya. Matanya yg tadi bening, mendadak penuh air
mata. Dia tersentak saat ada yg menyentuh bahunya.
"Kamu lagi apa?" tanya papa.
Mama menatap papa. Matanya memerah. Dia ingin mengatakan sesuatu tapi kesulitan.
"Tahun sepan," Mama terbata. "Tahun depan, aku nggak tahu. Apakah aku masih bisa....."
Kalimat itu terputus saat papa merengkuh mama dalam pelukannya. Paras papa sama
nelangsanya. Seakan ada beban berat yg sama-sama mereka tanggung. Rahasia yg tak ingin
mereka bagi dgn anak-anak. Kepiluan yg seharusnya tak mereka tunjukkan di depan putriputrinya.
Mama menghapus air matanya ketika mendengar seseorang masuk ke dalam apartemen. Papa
melepas pelukannya, membisikkan kalau semua akan baik-baik saja kpd mama.
"Ma, Pa." Sophie tertegun, mengamati kedua orang tuanya. Meski sikap mereka biasa-biasa saja, dia tahu
kalau ada sesuatu yg terjadi antara mereka.
"Baru pulang" Gimana tadi acara ulang tahunnya?" tanya papa, membuyarkan lamuannya
Sophie. "Seru. Nanti Sophie liatin rekamannya ya," jawabnya, tersenyum tipis.
Mama pura-pura sibuk meletakan cake kembali ke dalam kulkas. Dia tak mau Sophie melihat
dgn air mata mengalir di pipi.
"Pa, aku ke kamar dulu ya. Ma...."
Mama menganggukan kepala, tanpa menatap Sophie. Dia menarik napas panjang. Berkali-kali
seolah-olah dia bisa berhenti bernapas kapan saja.
BAB 12 "Sophie mana, ya?" tanya Marko di depan kelas Sophie.
Pagi-pagi sesampainya di sekolah, kelas Sophie langsung menjadi tujuannya. Sejak kemarin
gadis itu tdk membalas pesannya. Janjian untuk berangkat bersama pun diabaikan. Marko
khawatir dia berbuat kesalahan hingga Sophie ngambek lagi, atau ada apa-apa yg menimpanya.
"Sophie nggak masuk." jawab murid itu.
Marko menarik kepalanya, menoleh kpd temen sekelas Sophie itu. "Hah" Kenapa" Izin?"
"Nggak tahu. Kayaknya gak ada kabar deh."
Marko mengurut pelipis, menggaruk bagian belakang kepalanya yg tdk gatal. Memandangi
murid itu sampai beberapa detik berlalu. Jawaban itu tdk memuaskannya, tetapi Marko tahu
lama-lama berdiri di situ juga tdk akan mencerahkannya. "Oke. Thanks."
Sambil berjalan ke kelas, dia berusaha menghubungi Sophie lagi. Akan tetapi situasinya tetap
sama, ponsel Sophie tdk bisa di hubungi. Pada jam istirahat, Marko kembali mencari-cari
Sophie. Sebenarnya pencariaanya bukan hanya atas dasar cemas, tetapi karena ada kejutan untuk
gadis itu. Hasilnya tetap nihil, mungkin Sophie memang tdk masuk hari ini.
Akhirnya, sepulang seklah, Marko memutuskan untuk mendatangi unit apartemen Sophie.
Marsya membukakan pintu untuknya dan memberi tahu kalau Sophie sedang sakit. Sophie.
Dilihatnya, Sophie sedang berbaring dan ada mama Sophie duduk di sebelahnya.
"Marko, masuk." ajak mama Sophie.
Marko mengangguk, mama bangun dari duduknya.
"Tante tinggal, ya." ujar mama, mengelus lengan Marko.
Marko tersenyum, mengangguk. "Iya, tante."
Marko menempati tempat yg tadi di duduki mama. Dia melepas topi bitu favoritnya dari kepala.
Pandangannya pada Sophie masih begitu ganjil. Ada perasaan yg tdk enak merambati hatinya.
Jangan-jangan ini karena misi mereka kemarin, Sophie terlalu capek dan akhirnya jatuh sakit.
Tetapi, bukan itu yg mengganggu pikirannya, sesuatu yg lain, perasaan kalau tdk semestinya
Sophie tdk terbaring di sana. Seharusnya, dia baik-baik saja.
"Lo sakit apaan?" tanya Marko, sesantai mungkin.
"Flu." jawab Sophie, suaranya parau.
Marko mengamati wajah oval Sophie yg begitu pucat. Mata hitamnya yg selalu penuh binar, kini
seakan melayu. Rambutnya berantakan dan tak terikat. Kadang, Marko seperti melihat perubahan
dalam diri Sophie, tetapi dia tak pernah benar-benar memerhatikannya. Lebih kurus mungkin.
Kalau begitu sakitnya, bisa jadi karena diet-dietan yg sering dijalani cewek-cewek.
"Sakit flu, tapi kok lo kayak kesakitan gitu. Nggak lagi dapet kan?" tanya Marko melihat Sophie
memegangi perutnya sambil meringis.
Sophie hanya tersenyum lemah. Tak punya banyak tenaga untuk menjawab Marko. Sebenarnya,
dia sama sekali tak ingin Marko tahu kalau dirinya sedang sakit. Akan tetapi, Marko kelihatan
berinisiatif sendiri datang ke sini dan menjenguk Sophie.
Marko mengambil handycamnya dari dalam tasnya. Senyumnya sumringah, seakan melebar dari
satu sisi wajah ke sisi yg lain.
"Lo liat ini deh," katanya, menggeser duduk hingga bersebelahan dgn Sophie.
Sophie mencondongkan tubuhnya. Di layar kamera, terlihat rekaman si penjual kopi keliling.
Diam-diam setelah ulang tahun Sophie, Marko mendatangi Mas Tarjo untuk menuntaskan
pertanyaan yg belum mereka tahu jawabannya.
"Kursi roda itu, digadaikan Mas Tarjo ke saudaranya. Uangnya buat biaya adiknya msih di
rumah sakit. Kalau ada uang juga bakal di tebus kok."
"Sssttt, gue lagi liat rekamannya nih," ujar Sophie.
"percuma, mas Tarjo ngomongnya panjang, tapi nggak jelas. Mending lo dengerin nomongan
gue." Marko mengambil kameranya lagi.
Sophie berusaha mempertahankannya, tetapi tenaga Marko lebih kuat. "Gue lagi lihat video hasil
rekaman lo, Komaaarrr! Kok direbut sih. Katanya mau jadi sutradara terkenal, sini, biar gue nilai
dulu bagus enggaknya video lo!"
Marko berdecak, mengangsurkan kembali handycam-nya.
"Nah gitu dong. Udah lanjutin cerita lo. Gue dengerin sambil nonton video." Sophie terkekeh.
"Dia makasih banget sama lo. Dan dia minta lo ngelanjutin misi-misi lo. Walau dia nggak ngeh
juga soal beginian. Lo mau kan ngelanjutin misi lo?"
Sophie tdk langsung menjawab. Pandangannya masih tertuju ke layar handycam. Tentu saja hasil
rekaman Marko jauh lebih bagus daripada yg pernah dibuat Sophie. Kalai sempat, mungkin nanti
Sophie akan minta tips-tips dari Marko bagaimana membuat video yg bagus. Video yg di
tontonya sudah selesai. Hati Sophie menghangat setelah tahu bagaimana kabar Mas Tarjo
sekarang. Setidaknya misi yg dijalankan tdk sia-sia.
"Kalau kita baekan, kita lanjut misi keenam," katanya, menatap Marko dan mengembalikan
handycam. Membicarakn misi membuat wajah Sophie agak bersinar.
"Hah" Misi kelimanya apaan?"
"Waktu lo ketakutan sama balon pas ulang tahun gue itu. Nah, itu misi kelima. Berbagi sama
anak panti asuhan." "Anjrit! Lo ngerjain gue ya"!"
"Sekali jalan, Komaarrr! Sekali dayung dua tiga pulau terlampaui!" Sophie cekikikan.
Beberapa saat kemudian Marko ikut bergabung dalam tawa Sophie. Mereka berdua mengingat
memori masing-masing tentang hari lalu. Tanpa sadar, Sophie mengarahkan tatapannya kpd
Marko. Ada kehangatan di dalam benaknya saat melihat Marko tertawa lepas seperti sekarang.
Sophie berharap itu akan jadi selamanya.
**** Marko tdk lama berada di apartemen Sophie. Karena dia ingin Sophie segera istirahat, akhirnya
Marko bergegas. Di koridor, dia malah bertemu dgn seseorang yg dikenalnya, Imel. Dengan
terpaksa, Marko pun menyapa gadis itu. Terlebih ketika pandangan Marko tersita pada keranjang
buah ditangan Imel. "Ini buat Sophie." katanya kale. Senyum teduh menghiasi wajah tirusnya.
Sophie memberi tahu Imel kalau dirinya sakit, dan tdk kepada Marko" Kening cowok itu
berkertut, kembali menatap paras Imel yg cantik. Terusan berwarna lembut yg dipakai Imel kian
menegaskan pipinya yg bersemu merah.
"Ok, oke." Keduanya berdiri canggung di lorong apartemen yg sepi itu. Pertanda, tiba-tiba kata itu terbesit
dalam otak Marko. Dia terkesiap. Sekarang, seolah-olah dunia mengatur untuk dirinya sering
melihat sosok gadis ini. "Gue....." "Gue....." Mereka terkejut, karena saling bicara bersamaan.
"Elo aja ngomong duluan," Imel menyilakan, senyum tipis muncul di bibirnya.
Apa yg Marko ingin sampaikan sudah terlupa. Marko mengacak rambut tebalnya hingga
berantakan. "Ngg... Gue balik dulu ya," katanya singkat tanpa menatap lawan bicaranya.
Imel menganggukan kepala. "Iya. Hati-hati ya, Ko."
Marko membalikan badan, meninggalkan Imel dgn langkah-langkah panjang. Di situ, Imel masih
berdiri, menatap kepergian cowok itu sekilas. Dia menghela napas. Lalu mulai berjalan pelanpelan. Dalam hatinya muncul keinginan untuk menengok ke belakang, pada sosok Marko yg
menjauh. Akan tetapi, dia tdk melakukannya.
BAB 13 "Beneran udah sembuh lo?" selidik Marko, menarik kursi di samping Sophie.
Perpustakaan itu sepi pada jam istirahat. Murid-murid lebih memilih untuk jajan bersama temantemannya dibanding berada di sini.
"Komaarrr! Ganggu aja sih" Gue lagi ngerjain tugas nih," keluh Sophie menggeser buru dari
depan matanya. Marko berdecak. Memandangi tumpukan buku di meja Sophie. Otaknya berputar, mencari cara
untuk menarik perhatian gadis itu. "Eh, waktu kemarin gue dari tempat lo, gue ketemu Imel."
Sophie mengangkat wajahnya, nyengir. "Tuh, kan apa gue bilang, alam suka ngasih pertanda."
"Ya jelaslah gue ketemu dia. Dia tinggal di apartemen ama lo. Lagian dia itu dateng ke tempat
lo," sangkal Marko dgn suara keras.
"Bisa diem nggak"! Ini perpus bukan mal!"
Marko dan Sophie saling tatap, cekikian. Terlebih ketika Marko melihat Sophie mengulang
kalimat si petugas perpustakaan tanpa suara. Tubuh Marko berguncang di kursinya, menahan
tawa. "Dia kok bisa tahu lo sakit" Lo deket ya sama dia?" tanya Marko curiga, dgn suara pelan.
Sophie memalingkan pandangan. Dia menghela napas. Huruf-huruf yg dibacanya seakan
berantakan karena pertanyaan itu. "Sepulang dari rumah sakit, gue ketemu Imel di lobi. Jadi, dia
tahu gue sakit. Lo kenapa sih" Lo cemburu gue punya temen selain lo" Atau, lo cemburu, gue
bisa deket sama Imel, sedangkan lo nggak?"
"Mulai deh bikin hipotesis dari imajinasi." sahut Marko dgn nada tinggi.
"Bisa diem nggak"! Ini perpus bukan mall!!"
Kali ini gantian Marko yg mengikuti kalimat itu tanpa suara. Gantian Sophie tak bisa
membendung tawanya. **** "Kamu mau pergi" Sophie, kamu kan baru aja drop."
Langkah Sophie terhenti, dia membenahi letak tas selempangnya, menoleh kpd mama. "Ma,
mama kan udah janji, kalau mama dan papa nggak akan melarang Sophie ngelakuin tujuh misi."
Mereka saling pandang. Sophie tdk tahan menatap mata mama lama-lama. Dia menggengam tali
tas selmpangnya dgn gelisah. Umurnya sudah tujuh belas tahun, tetapi dia selalu merasa
dianggap seperti anak kecil. Sophie bisa menjaga diri sendiri, ingin sekali dia rasanya
mengatakan itu kpd mama, tetapi tak kuasa menyakiti hati orang yg disayanginya itu.
"Mama memang udah janji, tapi mama nggak bisa liat kamu sakit seperti kemarin."
Sophie menghela napas. "Sophie janji kali ini akan jaga diri. Mama pasti akan ngerti kalau mama
ada diposisi Sophie." Sophie mendekati mama, mencium pipinya, "Sophie pergi ya, Ma." pamit
Sophie bergegas berlalu dr mama.
Sophie merasakan tangannya di genggam oleh mama. "Kamu hati-hati ya. Inget pesan dokter,


7 Misi Rahasia Sophie Karya Aditia Yudis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kamu nggak boleh terlalu capek."
"iya, ma." Sophie mengacungkan jempol, lalu berlalu dari mama.
Mungkin setelah ini, Sophie harus bicara kpd mama agar berhenti terlalu memperhatikan dirinya.
Masih ada Livia dan Marsya yg juga butuh kasih sayang. Tetapi sekarang tujuan Sophie adalah
apartemen Marko. Misi keenam sudah saatnya dijalankan.
"Hayo! Ngapain"!"
Kedatangan Sophie yg tiba-tiba membuat Marko langsung refleks menutup laptopnya.
"Kok langsung ditutup, bikin curiga aja." ujar Sophie kpd Marko.
"Ngapain lo kesini" Kan, katanya jam setengah delapan ketemu di lobi lo."
"Lo udah mandi kan" Gue buka ya lemarinya?" kata Sophie, mengamati Marko yg hanya
menggunakan kaos kucel dan celana pendek. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya seraya
mengelus dagu. "Heehh"!" Marko melotot. "Lo mau cari apa sih?"
"Gue nggak mau lo salah kostum," ujar Sophie menarik pintu lemari Marko.
"Sekarang kostum apa" Gue nggak mau lo dandanin macem-macem. Nggak ada ya pakai baju
cewek." "Siapa juga yg mau lo dandanin jadi cewek," kata Sophie, menelisik koleksi pakaian Marko yg
tergantung. Lumayan juga lemari cowok itu, cukup rapi. "Memangnya lo nyimpen baju cewek di
sini?" Sophie meraih jas suede dan kemeja lengan panjang. "Ini oke. Lo coba deh, ayo." Sophie
menyerahkan pakaian itu kpd Marko dan mendorong tubuh cowok itu agar beranjak dr depan
laptop. "Balik badan lo. Awas lo ngintip," ancam Marko sengit.
Marko melirik Sophie sekali lagi, memastikan kalau cewek itu sudah berbalik badan. Buru-buru
dia mengganti t-shirt yg dipakainya dgn pakaian pilihan Sophie. "Udah nih"
Sophie mengerutkan kening, matanya menyipit, seolah-olah ada yg salah pada Marko. Tanpa
berkomentar apa pun, Sophie kembali memilih-milih pakaian dr lemari. Kali ini jatuh pada jaket
wol dan kaus warna terang.
"Coba yang ini...."
Marko menuruti permintaan Sophie, lagi dan lagi. Tetapi, mata Sophie rupanya tdk mudah
terpuaskan. Padahal selama ini, Sophie tdk pernah protes dgn pilihan pakaiannya yg cuma itu-itu
aja. "Yang ini oke nih. Ini aja deh." katanya, mengambil baju dr tumpukan terbawah.
Marko terbelalak. "Sophie! Ini kan baju pertama yg lo pilih!" Marko tampak berang.
"Gimana gue mau yakin ini yg paling pas, kalau lo nggak nyoba yg lain." Sophie mengomel
lebih panjang sambil berkacak pinggang.
"Hadeehhh. Bener-bener ya, buang waktu. Pantesan cewek kalau shoping lama banget." ujarnya
misuh-misuh, saraya merenggut pakaian itu dr tangan Sophie.
Cewek itu tersenyum lebar, melipat tangannya di dada. "Nggak ada ya, istilah wasting time.
Cewek cuma meluangkan waktu 'lebih' buat urusan begini. Bukan buang waktu!"
"Kalau urusan cowok gitu juga" Dinilai bolak-balik baru mastiin yes yg ini."
"Buat urusan cowok. Cewek cuma perlu waktu beberapa menit buat scanning, ini cowok oke
atau nggak. Scanning itu masuk ke sini," ujar Sophie, menunjuk pelipisnya. ".....tapi, waktu yg
nentuin, buat masuk ke sini." telunjuknya berpindah ke arah dada. "Puas?"
Marko melepas baju yg dipakainya di depan Sophie.
"Tadi katanya nggak mau diintip! Nggak konsisten banget!" seru Sophie, menutup kedua
matanya dgn tangan. Pelan-pelan dia mundur menuju pintu.
"Gue belajar standar aja dr cewek, tiap hal punya aturan maen sendiri." oceh Marko.
Sophie meninggalkan Marko yg sedang memasang kancing kemejanya.
"Gue tunggu di luar!" katanya, menarik pintu sampai tertutup.
Diluar kamar, Sophie bertemu dgn mama Marko yg sedang bekerja. Dia berdiri, hilir mudik di
depan pintu Marko. Beberapa kali, Sophie melirik jam tangan merahnya. Masih ada cukup waktu
untuk sampai di tempat pertemuan tanpa terlambat.
Kehadiran Sophie rupanya membuat mama Marko sejenak mengalihkan diri dari pekerjaannya
yg tdk habis-habis. "Mana Marko-nya?"
"Lagi ganti baju tante."
Sejurus pertanyaan itu berlalu, Marko keluar dr kamar dgn pakaian pilihan Sophie.
Sophie mendesah. "Nggak rapi banget sih. Masukin dong itu." katanya, menunjuk kemeja Marko
yg dibiarkan di luar celana.
Marko ingin membantah, tetapi dia mengalah dan mengikuti mau Sophie. Mama Marko menatap
keduanya lekat-lekat. "kalian mau ke mana" Kok Marko rapi gitu, Sophie-nya nggak dandan?"
Sophie terkekeh. "Iya tante." balasnya, lalu melirik Marko, "Udah?"
Marko mengangguk. Sophie menggamit lengan Marko.
"Tante, kami berangkat dulu ya."
Mama Marko tersenyum kpd mereka berdua. Marko membalasnya dgn jengah. Meski tak bisa
dimungkiri, dia menyukai jAri-jemari Sophie di lengannya.
**** Marko dan Sophie berjalan beriringan di sebuah restoran yg lumayan mewah. Sampai di depan
pintu resto, Sophie berhenti berjalan.
"Sini kameranya gue yg pegang," kata Sophie, bossy.
"Kenapa bukan gue yg megang?"
"Sekarang lo jadi bagian dari misi rahasia ini."
"Gimana maksud lo?" tanya Marko, menggaruk bagian belakang kepalanya.
"Gue ngerancang ini buat seseorang dan lo terlibat di dalamnya. Gue ngadain date buat kalian
berdua." Sophie menarik tangan Marko mendekat ke pintu resto. Dia menunjuk ke satu arah. Seorang
gadis yg familier bagi mereka berdua duduk di meja tersebut. Gadis yg terlihat resah itu tdk
menyadari jika sedang diperhatikan. Marko mengentakkan tangannya dr genggaman Sophie, lalu
berbalik pergi. Sophie terkesiap, kaget dgn reaksi Marko. Dia menggigit bibir. Menatap sekali lagi ke arah Imel.
Dalam hati dia minta maaf kpd Imel karena harus membuatnya menunggu lama. Sophie pun
mengikuti Marko. Misinya tak boleh gagal di tengah jalan.
Langkah kaki Marko yg besar-besar, memaksa Sophie setengah berlari mengejarnya. Napasnya
kembang kempis. Efek sakit beberapa hari lalu belum sepenuhnya lenyap dr tubuhnya. Mukanya
mengernyit, menahan sakit. Kepalanya terasa berat. Dia sulit fokus terhadap jalanan di depannya,
sampai kakinya kehilangan keseimbangan dan membuatnya terjatuh.
Suara mengaduh dr belakang, menghentikan langkah Marko. Dia menoleh, menemukan Sophie
yg terduduk. Secepat kilat, Marko langsung menghampiri Sophie, membantunya untuk bangun.
Tangan Sophie begitu dingin. Mestinya memang dia tdk mengikuti mau gadis yg baru saja
sembuh dr sakitnya itu. "Sophie, gue nggak pernah tahu apa maksud dr misi-misi lo. Gue tanya dan lo gak pernah jawab.
Gue diem aja. Setelah itu, gue ngikutin apa aja mau lo. Sekarang, gue rasa wajar kalau gue nanya
ini ke lo." Marko menahan amarahnya. Dia masih memegangi lengan Sophie, takut2 kalau gadis itu jatuh
lagi. Pelan, dia melepaskan pegangannya.
"Gue nggak bisa jelasin sekarang." jawab Sophie lirih, menatap Marko, meminta pengertian.
Marko menelan ludah. "Kalau gitu, maaf. Gue nggak bisa bantu lo, Soph."
Sophie menggigit bibirnya lagi. Menarik napas panjang. "Lo harus liat polanya. Anggap ini tekateki. Tebakan. Games."
"Gue lagi nggak mau main tebak-tebakan." ujarnya ketus. Marko berjalan lagi, namun Sophie
dgn cetakan menangkap tangannya.
"Marko, please, jangan pergi." Sophie membisu sejenak. "Kasian Imel. Bayangin kalau Imel itu
gue. Harus nunggu seseorang, yg nggak jadi dateng." kata Sophie tercekat.
Marko tdk menanggapi, tdk juga berkelit dr Sophie. Pandangan mereka berserobok. Coba
membaca apa yg sebenarnya ada di balik tatapan satu sama lain. Keadaan itu sungguh ganjil,
mereka nyaris tak pernah bertengkar seperti ini.
"Please, Ko." Mata Sophie tampak amat memohon. Marko teringat janjinya. Teringat binar mata yg tak akan
pernah dibiarkannya redup.
Tidak juga malam ini. **** Suasana restoran itu amatlah romantis untuk berkencan. Pilihan Sophie memang tdk salah. Selain
Marko dan Imel, banyak pasangan lain yg memilih makan malam di tempat tersebut. Dukungan
suasana itu, tdk membuat Marko menjadi nyaman. Dia duduk kaku seperti patung, sementara
Imel tdk bisa menyembunyikan rasa bahagianya. Itu menebalkan kecantikan yg dimiliki Imel.
"Gue denger steak di sini enak." komentar Marko, saat membaca buku menu.
"Oh ya?" sahut Imel.
"Mau coba" Gue mau pesan wagyu steak."
"Hmm.... Boleh deh gue pesen yg sama. Gue medium well ya," katanya, menutup buku menu.
"Oke. Gimana kalau minumnya chardonnary?" tawar Marko, matanya masih tertuju ke buku di
tangannya. Sebisa mungkin dia menghindari kontak mata dgn Imel.
"Itu wine ya" Gue nggak minum wine." ujar Imel jujur.
Alis Marko terangkat. "Gue juga sih." akunya, meski memang pernah mencicipi beberapa kali di
restoran mamanya. Imel tersenyum. "Gue air mineral aja deh. Udah siap pesen?"
Imel mengangguk. Marko pun memanggil pelayan. Sambil menunggu pesanan mereka
mengobrol basa-basi. Dan Marko berharap sesi makan malam ini segera berakhir.
**** "Marko tunggu!"
Cowok itu tetap berjalan dan tdk mengindahkan panggilan untuknya. Sophie yg terengah-engah
berenti berjalan, memegangi perutnya yg nyeri. Dia tdk mungkin mengejar Marko dlm keadaan
seperti ini. Sophie terkekeh ketika sebuah ide melintas di benaknya. Dia melepas sepatunya.
Mengambil ancang-ancang melempar sambil menggigit bibir. Dalam hitungan tiga, sepatu itu
melayang, tepat mengenai sasaran.
Marko menoleh setelah merasakan ada yg menimpuk bahunya. Wajahnya makin mendung.
"Marko! Lo kacau ya! Mesen wagyu steak lagi! Trus pakai sok-sokan mau pesen wine! Mahal
tau! Lagian umur lo berapa"!" ujar Sophie, bicara lebih dulu sebelum Marko menyemprotnya
dgn sejumlah keluhan ini dan itu.
"Oh, jadi date ini bisa gue reimburse ke lo" Bagus deh. Tapi kalau nggak sanggup jangan
maksain! Biar gue yg bayar." katanya tanpa nada ramah sedikit pun.
"Lo yg makan, masak gue yg bayar! Lagian lo kenapa sih nggak nganterin Imel pulang."
katanya, masih dgn nada bercanda, seakan-akan tdk mengenali kejengkelan dlm sikap Marko.
"Gue nggak nge-date sama Imel! Ini semua cuma drama anak-anak yg lo sutradarain seenak lo
aja! Jadi, gue nggak punya kewajiban buat nganter dia pulang." seru Marko.
Sophie berjalan tertatih, menyadarkan diri ke mobil terdekat darinya. Tangannya masih
memegangi perut, namun Marko rupanya tdk menyadari.
"Gue udah ngikutin semua mau lo. Gue cuma minta satu hal sama lo."
"Apa?" "Jangan pernah libatin gue lagi sama reality show konyol lo ini. Lo cuma peduli sama viewr, like
dan komen mereka. Lo nggak pernah bener-bener peduli sama gue atau Imel."
Sophie tersentak. "Kata lo, cewek punya intuisi, dan sekarang gue rasa Imel tahu, gue nggak suka sama dia. Dan lo
tahu itu." Marko merasakan rahangnya yg gemeretak oleh amarah. Dia menunjuk Sophie. "Lo
ternyata nggak punya perasaan ya." ujarnya bengis, lalu berbalik pergi.
Bibir Sophie kelu mendengar tuduhan itu. Dia menyender lemah di mobil entah siapa. Dadanya
begitu sesak ketika melihat sosok Marko menjauh darinya. Perlahan sosok Marko semakin
buram. Air mata mengisi kelopak mata Sophie. Dia berusaha menahan, tetapi gagal.
Setelah sekian lama, bertekad untuk tdk menangisi apa pun, sekarang Sophie menyerah.
BAB 14 Setelah kejadian malam itu, Sophie dan Marko menjauh. Di sekolah, meski mereka beberapa kali
berpapasan, Marko selalu menghindari Sophie. Gadis itu sendiri tdk berusaha mencari Marko.
Mereka berdua bersikap seolah-olah orang asing yg tak pernah saling kenal.
Marko agak menyesali itu, tetapi tak mau membantu Sophie lagi, kecuali gadis itu memberi tahu
apa sebenarnya maksud dan tujuan dari misi-misinya. Tanpa Sophie, hari-hari Marko sepi. Dia
meminta liburan ke Thailand kepada mamanya, tetapi tdk diizinkan.
"Tahun ini kan kamu udah liburan ke luar. Lebih baik liburan ke tempat papa kamu. Dia nanyain
kamu." Marko menelan ludah, setelah sekian lama tdk mengungkit topik itu, mama mengucapkannya
lagi. "Ke Thailand ada paket murah ko," ujar Marko tak terpengaruh.
"Marko, kamu tahu mama mau buka cabang di Kemang. Yg nggak terlalu penting, nggak usah
dulu ya." Jawaban mama membuat Marko jengkel. Tetapi dia tdk bisa membantah karena mamalah yg
punya uang untuk membiayai liburannya.
"Biasanya liburan maen PS nggak bosen-bosen. Lagi pula nggak ada rencana sama Sophie?"
Nama itu menebalkan kekesalan Marko. Namun mama kelihatannya tdk mengerti kalau mereka
berdua sedang ada problem.
"Kalau gitu, Marko ke villa aja deh"
Tanpa menunggu persetujuan mama, Marko mengemasi barang-barangnya. Dia ingin
meninggalkan kamera dan laptop, tetapi malah kedua benda tersebut yg lebih dulu masuk ke
ransel. Daripada di minta untuk mengunjungi papa, lebih baik Marko menyendiri di villa puncak. Dulu
tempat itu sering mereka kunjungi ketika keluarganya masih lengkap. Setelah itu, mama selalu
terlalu sibuk bekerja sampai lupa untuk berlibur. Selalu saja, Marko diberikan kebebasan
memilih tempat berlibur sebagai kompensasi dari mama yg tdk bisa menemani.
Sebelum sampai ke vila, Marko mampir di sebuah kafe. Dia duduk sendirian dan membuka
laptopnya. Sejak tadi, dia tergoda untuk mengecek video ' Tujuh Misi Rahasia Sophie', namun
menahan diri. Sampai akhirnya, dia tak bisa membendung rasa penasarannya.
Matanya menyusuri komentar-komentar yg tertinggal disana.
Nobel aja. 13 jam yg lalu. Apa sih misi terakhir Sophie, penasaran euy.....
Dina Ayu. 14 jam yg lalu. Kapan uploadnnyahhhhhh misi ke tujuh gw tungguuuu.
Dion2008. 14 jam yg lalu. Fabulous. Keren abis.
Mira Sasmita. 14 jam yg lalu. Sophie jawab donggg. Di twitter juga gak jawab
Xtu567. 15 jam yg lalu. KATRO.
Cinderella Kesepian. 16 jam yg lalu. Ini series ya" Sukaaaaaaaa.
Tjitra Cantique.16 jam yg lalu. Pa bgsx ciiiihhh. Cakepan jg w dr sophie!
Seharusnya misi ketujuh sedang mereka kerjakan sekarang. Tetapi pertengkaran antara Marko
dan Sophie membuat segalanya tertunda. Tak apa, itu pelajaran untuk Sophie. Kalau memang
Sophie menganggap Marko sahabatnya, mestinya dia memberi tahu yg sebenarnya. Untuk apa
misi-misi itu. **** Di Jakarta, Sophie termangu di belakang jendela. Matanya mengarah kepada jendela favoritnya
yg kini tertutup tirai dan gelap. Sejak kemarin, ketika jendela itu tak lagi terbuka, Sophie
mengirimkan kode morse berkali-kali.
Panjang pendek. Pendek panjang. Pendek panjang. Pendek pendek panjang pendek.
M-A-A-F. Tak ada jawaban. Mungkin Marko tdk menerima kode itu. Atau, mungkin sederhana Marko tdk ingin
memaafkannya. BAB 15 "kalau begini, dulu harusnya aku nggak berhenti kerja!" Mama menghadap Papa sambil
mengacung-acungkan kertas berisi berbagai macam tagihan yg harus mereka lunasi.
"Ma, kamu jangan unkat-ungkit masalah itu!" Papa merebut kertas2 itu dan membantingnya di
meja. "Kenyataannya kama keteteran biayain hidup kita!" Seru mama lalu menutup wajahnya dgn
kedua tangan. Perdebatan itu terhenti sejenak karena papa melihat Livia yg tengah mengamati ke arah mereka.
Papa mengalihkan tatapan, menutup pintu balkon di belakangnya.
"Mana tahu kalau ada yg sakit, kalau biaya hidup......," suara papa memelan.
Livia membanting pintu kamar. Dia merebahkan diri ke ranjang dan menutupi kepalanya dgn
bantal hingga suara pertengkaran itu tak didengarnya lagi. Percecokan itu bukan hanya sekali dua
kali dipergokinya. Keluarga mereka dulunya tdk serapuh ini. Sekarang semenjak kejadian itu,
semua hal perlahan berubahj menjadi sensitif. Livia merasa terasing dalam keluarga. Sophie lagi,
dan terus-terusan Sophie. Bagi kedua orang tuanya, Livia bukan lah apa-apa. Dia merasa tdk
berarti. Dia berteriak, jeritannya teredam bantal. Selanjutnya dia bangkit sambil membanting bantalnya.
Dia mengacak tempat tidurnya, melampiaskan kemarahannya sambil membanting bonekaboneka Marsya. Rasanya sudah tdk tahan lagi dia berada di rumah ini.
Kemarahan dalam hati menyertai Livia saat memindahkan baju-bajunya kedalam ransel. Dia
memang tdk di harapkan di rumah ini, jadi sebaiknya dia angkat kaki saja. Livia menenteng
tasnya, berharap tak seorang pun melihatnya. Namun, Marsya yg sedang menonton televisi
menatapnya dgn heran. Livia tdk peduli. Dia akan pergi, tak ada yg bisa menghalangi.
"Kak Livia mau kemana?"
Livia mengabaikan pertanyaan itu, mempercepat langkahnya menuju pintu depan.
Marsya turun dr sofa, namun sosok Livia sudah hilang ditelan pintu. Anak kecil itu menoleh kpd
mama dan papa yg baru saja masuk keruangan. Wajah keduanya tampak merah dan enggan
menatap satu sama lain. "Ma," panggil Marsya, menengok ke arah pintu berharap kalau Livia akan berbalik pulang.
Mama tdk mengacuhkan panggilan anak bungsunya.
"Mama," ulang Marsya.
"Ada apa sih, Marsya"!" ujar mama agak keras, saat menuju kamar.
Marsya mundur, menundukan kepala.
"Dikit-dikit Mama! Dikit-dikit Mama! Mama lagi capek!" bentaknya.
Marsya ingin menangis. Dia tdk mengerti mengapa mama akhir-akhir ini sering memarihanya
dan Kak Livia. Tetapi, Marsya tetap harus mengatakan itu.
"Kak Livia," ujarnya pelan.
Mama dan papa menoleh pada Marsya yg ketakutan.
"Kak Livia tadi keluar bawa tas gede, Ma"
"Dia nggak bilang mau kemana?" tanya Papa kpd Marsya.
Marsya menggeleng. "Pa, gimana kalau Livia kabur?" mendadak mama diserang kepanikan.


7 Misi Rahasia Sophie Karya Aditia Yudis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Papa terperanjat. Dia teringat pandangan mata Livia belum lama tadi. Melihat kedua orang tua
bertengkar pastilah tdk mudah untuk remaja seusia Livia.
"Pa," panggil mama lemah.
"Ma, kamu telepon Livia. Papa cari di bawah!" perintah papa.
Sejurus, papa langsung beranjak dari ruang tengah dgn terburu-buru. Sementara itu, mama
mengambil ponselnya dan berkali-kali mencoba menghubungi Livia. Marsya duduk kembali di
sofa, mengamati kepanikan yg disebabkannya. Dia mencoba menonton televisi kembali,
sebenarnya dia ingin menangis, tetapi di tahannya sejak tadi.
Tidak lama kemudia, papa kembali dgn tangan kosong. "Udah nggak ada di bawah," katanya kpd
mama yg memeluk Marsya. "Aku telepon, hapenya juga nggak aktif."
"Livia tadi melihat kita bertengkar dari sini, Ma. Harusnya......"
"Papa selalu lempar kesalahan ke mama!"
Marsya menatap keduanya dgn pandangan horor. Papa tdk menjawab tuduhan papa, melainkan
memberi kode agar tdk ribut di depan Marsya.
"Papa akan cari Livia. Kontak semua teman Livia. Kabari papa begitu ada kabar."
Dari balik pintu kamarnya, Sophie melihat adegan itu.
**** Sophie duduk lemas di pinggir ranjang. Bulir-bulir air mata mengalir dr kelopaknya. Keadaan ini
tdk membuatnya merawa istimewa, tetapi orang2 disekitarnya selalu menganggapnya berbeda.
Awalnya, Sophie menikmati perhatian2 itu, lama kelamaan dia sendiri merasa risi. Dia
mengingat Livia dan Marsya, yg lebih membutuhkan kasih sayang dibanding dirinya. Waktu itu
rencananya untuk bicara kpd mama sudah terlaksana, tetapi mama selalu mengelak bahwa
kondisi Sophie memang butuh perhatian lebih. Mama melakukan itu karena menyayangi Sophie
dan mama meminta Sophie untuk tdk melarangnya melakukan semua itu. Tdk ada orang tua yg
ingin melihat anaknya pergi lebih dulu.
Tubuh Sophie gemeteran. Dalam hati dia terus-terusan berdoa agar Livia kembali tanpa kurang
suatu apa pun. Dadanya sesak dan sakit. Berkali2 dia mencoba memberi pengertian kpd Livia,
tetapi adiknya selalu mengelak. Selalu ada alasan untuk mengelit dr Sophie. Akhirnya, Sophie
sadar kalau Livia membuat jarak dan memang ingin menyingkirkan darinya.
..... Kalau ada Marko, Sophie bisa meminta tolong untuk ikut mencari Livia. Kondisinya sekarang
tdk memungkinan untuk berpergian seorang diri. Dia tdk berguna. Ketidakberdayaan itu yg
merangkai semua masalah ini.
Orang-orang seharusnya memang tdk perlu memedulikannya.
Sophie menarik napas panjang. Meraih ponsel dan coba ikut menghubungi Livia. Tetapi tak ada
satu pun panggilannya yg diangkat. Sophie memeriksa kontaknya, apakah memiliki nomor
teman Livia yg dikenalnya. Kalau ada, Sophie bisa meminta kpd mereka jika Livia
menghubungi, mereka harus memberi tahu keluarga Livia. Sophie menemukannya dan langsung
menelepon, menceritakan semuanya. Teman Livia itu, Jenny, berjanji untuk mengontak keluarga
Livia begitu tahu dimana gadis itu berada.
Satu-satunya cara yg bisa dilakukan Sophie dan dia berharap usahanya bisa membuahkan hasil.
Livia harus pulang. **** "Lo mau tinggal di mana?" tanya Jenny, teman satu kelas Livia itu, gelisah.
Mendadak Jenny mendapat pesan dr Livia untuk menemuinya di sebuah cafe. Livia mengatakan
butuh pertolongan, maka Jennya pun langsung menuju ke kafe tersebut. Dia tdk menyangka
masalah Livia adalah kabur dr rumah. Selama ini, Livia memang sering berkeluh kesah tentang
orang tuanya yg pilih kasih. Namun, dia tdk menyangka masalah Livia sebesar itu.
Jenny mengamati Livia yg memasang ekspresi sumpek dr tadi. Sejak datang, Livia sudah
mengomel tentang orang tuanya yg menyebalkan dan adiknya yg juga menjengkelkan. Jenny
hanya mendengarkan, paling juga sebentar lagi Livia akan mereda kemarahannya.
"Nggak tahu, Jen. Verni gue hubungin nggak nyambung-nyambung." Livia menyadarkan tubuh
sambil mengaduk minumannya. Keresahan temannya itu agaknya menular kepadanya. Sedari
tadi, Livia merasa was-was kalau saja melihat orang yg dikenalnya dan keluarganya di kafe ini.
Sebenarnya Livia merasa lapar sekali. Sejak pagi dia belum makan, makan malam dirumah pun
dia lewatkan. Sekarang seharusnya dia memsasukkan sesuatu ke perutnya kalau tdk mau sakit
maag-nya kumat. Tetapi, Livia malas sekali untuk mengunyah, ketegangan memenuhinya. Emosi
masih menguasainya, dia cuma ingin buru-buru pergi dr tempat ini. Dari beberapa teman yg
dihubunginya, cuma Jenny yg membalas dan bersedia menemui.
"Sorry ya, bukannya gue nolak lo nginep tempat gue. Kalau semalam dua malam sih, bokap
nyokap nggak curiga. Tapi kalau lebih dr itu. Mereka pasti nanyain....," ujar Jenny pelan, seperti
orang yg takut pembicaraanya dikuping oleh yg lainnya.
Kalimat Jenny terpotong mendadak. Dia mengangguk ke arah belakang Livia. Sejenak, Livia tdk
mengerti apa yg temannya lakukan, sampai dia menengok dan melihat papa.
"Sorry, Via, gue nggak bisa bohong sama nyokap dan kakak lo."
Livia menelan ludah. "Lo nggak bisa dipercaya banget sih"!" hardiknya. Matanya melotot kpd
teman yg tadi diyakininya bisa membantu itu. Tubuh Livia gemeteran menahan marah. Kalau
papa tdk di sini, dia ingin sekali menyiram muka Jenny dgn minuman di meja.
Jenny menundukkan kepala, menghindari kontak mata dgn Livia. Jantungnya berdetak kencang,
merasa ngeri karena kemarahan Livia yg lebih dr perkiraaan.
"Livia, teman kamu nggak salah. Kalau kamu ada masalah kamu bisa bicarakan dgn papa dan
mama, jangan minggat kayak gini."
Papa mengambil tas Livia yg tergeletak di samping kursi.
"Makasih ya, Jenny," Papa mengangguk kpd teman Livia.
"Sama-sama, Om." balasnya takut-takut.
Papa memberi isyarat kpd Livia untuk mengikutinya. Livia tak bergerak dr kursinya selama
beberapa saat. Hingga papa sekali lagi mengampirinya. Livia tdk mau diseret paksa oleh papa
dan akhirnya menuruti keinginan papa. Sebelum pergi, Livia menatap Jenny dgn penuh
kebencian. Semua berantakan. Hidupnya kacau balau.
Livia dan papa tak saling bicara hingga mobil mereka melaju dia atas jalan raya. Keduanya
duduk dgn kaku. Papa menghela napas, tak pernah membayangkan hal ini akan terjadi. Selama
ini, dia kira Livia hanya mencari-cari perhatian darinya atau mama, karena keduanya begitu
fokus kpd Sophie. Meski Livia memberontak, papa pikir anak keduanya itu sudah mengerti
situasi yg mereka hadapi bersama.
"Kenapa kamu pergi dr rumah?" tanya papa setenang mungkin.
"Ngapain sih papa tanya-tanya." jawabnya kesal.
Papa terdiam mendengar Livia. Dia menoleh kepala mengamati wajah anak perempuannya.
Rasanya blm lama ketika melihat Livia baru belajar berjalan, kini, anak perempuannya sudah
remaja. Betapa tahun demi tahun berjalan begitu cepat.
Papa dan Mama sedang sibuk2nya mempersiapkan biaya kuliah Sophie ketika musibah itu
melanda. Tak ada yg mengira sama sekali. Sampai tdk terasa uang tabungan mereka sedikit2
menipis untuk biaya berobat. Sampai sekarang, tak ada titik terang sampai kapan keluarga
mereka akan terus mengeluarkan biaya pengobatan. Oleh karena itu, Papa harus lebih keras
bekerja untuk mengumpulkan uang, bukan hanya untuk menutupi tabungan, tetapi juga untuk
sekolah Livia dan Marsya.
Kesibukan membuat papa jarang pulang tepat waktu. Komunikasi dgn Mama dan anak-anaknya
pun berkurang. Akibatnya, sering terjadi cekcok kecil dgn Mama. Sesungguhnya Papa tdk mau
itu terjadi. "Karena Papa sama Mama" Atau karena..... Kak Sophie?"
Livia terenyak. Dia membuang pandang ke jendela samping. Benaknya seolah dibebat oleh
perasaan yg selama ini dipendamnya sendiri. Matanya memanas.
"Kamu tahu, Papa dan Mama sayang kalian."
"Papa nggak perlu ngomong gitu!"
"Saat ini, kakak kamu butuh perhatian lebih. Kamu sama Marsya akan dapat perhatian dari Papa
dan Mama terus sampai kalian kuliah, menikah, punya anak, sampai kapan pun, Livia.
Sedangkan Kak Sophie....."
"Kalau aku yg ada di posisi kak Sophie, apa Papa dan Mama akan begitu?"
"Kamu ngomong apa, Livia" Kamu nggak akan begitu. Apa pun yg terjadi sama kamu, papa dan
mama pasti akan selalu menyayangi kamu."
"Kalau Livia mati besok.....," potong Livia.
"Livia!" hardik Papa. Emosi membuncah dalam dadanya.
"Livia cuma bingung, Pa. Livia takut kehilangan Kak Sophie. Mungkin dgn Livia membenci
Kak Sophie, semua akan lebih mudah." Livia mulai sesenggukan. Dia tdk tahan lagi
membendung semua rasa pilu itu. "Kalau Livia membenci Kak Sophie, mungkin Livia nggak
akan ngerasa terlalu kehilangan saat Kak Sophie harus pergi ninggalin kita...."
Tangis Livia pecah. "Maafin Papa, Livia. Maafin Papa."
**** Sophie mengucap syukur tanpa suara ketika mendengar suara Livia dr dalam kamar. Untungnya,
Livia mau kembali ke rumah ini. Hati Sophie diliputi kelegaan. Dia ingin beranjak keluar
bergabung dgn perayaan itu, tapi tubuhnya terasa lemas.
Sophie hampir tertidur ketika mendengar pintu kamarnya terkuak. Dari celah pintu, Sophie bisa
melihat Livia yg mengintip.
"Eh ngapain ngintip. Masuk aja, Livia."
Livia mendorong pintu lebih lebar, lalu melangkah masuk dgn salah tingkah. Sophie menggerser
tubuhnya sambil meringis menahan sakit. Dia menepuk sisi ranjangnya untuk Livia.
"Sini." Di samping Sophie, Livia ikut berbaring. Sophie tersenyum kpd Livia. Dia meredupkan lampu
kamar, hingga cahaya yg tersisa hanya dr luar jendela. Langit-langit di atas Sophie perlahan
bersinar. Bintang-bintang bermunculan.
"Kak Sophie selalu ngeliat bintang-bintang ini sebelum tidur. Nanti suatu hari, kamu yg pakai
kamar ini. Kamu boleh ganti semuanya, wallpaper-nya, perabotnya," Sophie berhenti sejenak.
"Tapi yg satu ini, jangan di ganti ya. Ini kakak pasang ketika sedih ditinggal kakek. Nenek
pernah cerita kalau seseorang meninggal dia bakal jadi bintang."
Sophie menunjuk bintang-bintang. Di kamarnya yg berwarna, justru bintang-bintang itulah yg
menjadi favorit Sophie. Bersama cahaya yg redup dalam gulita itu, Sophie menghayal banyak
hal. Sophie merindukan dan mendoakan banyak orang yg disayanginya. Sophie membisikan
rahasia-rahasianya. Merekalah yg tahu alasan sebenarnya mengapa Sophie menjalankan misimisinya.
Dia pernah bertanya-tanya, nanti jika dia pergi, masihkah bisa menatap bintang yg sama"
Setidaknya, agar dia tdk merasa kesepian. Bintang-bintang itu baginya adalah harapan, sekaligus
teman. Sophie masih ingin di sini, memandangi semua itu berlama-lama. Mayusun berbagai
rencana dan mimpi2 yg mungkin tak akan sempat diraihnya.
Bintang2 itu terlalu tinggi, tetapi mereka menyapanya dgn cahaya.
Sophie mengingat malamnya bersama Marko, saat mereka menghitung bintang. Andai saja,
Sophie masih punya waktu, dia ingin mengajak Marko ke Planetarium atau Observatorium
Boscha di Lembang. Sophie ingin melihat bintang yg lebih banyak dari pada di langit kamarnya
atau di langit Jakarta. Dia ingin menghitung sampai tak habis-habis.
Sophie merasakan air mata turun dr matanya. Dia mendengar embusan napas Livia.
"....biar kamu nggak lupa sama Kak Sophie," lanjutnya.
Livia langsung memeluk Sophie.
"Livia akan make kamar ini kalau Kakak kuliah. Kakak mau kuliah di Bandung, kan" Biar Livia
bisa main ke sana pas liburan."
Sophie menyunggingkan senyum yg tak bisa Livia lihat.
"Iya. Kamu harus sering-sering ngunjungi Kak Sophie. Biar kita bisa shopping berdua. Nanti kita
bisa belanja di Gedebage....."
"Gedebage" Apaan tuh" Baru denger."
Sophie tertawa kecil. "Please deh Livia. Taunuya cuma Dago dan Ciwalk aja sih. Fashion itu
bukan masalah tren. Tapi confident. Kita yg bikin apa yg kita pakai itu jadi fashion. Bukan
fashion yg bikin kita jadi fashionable. Unique is a heart of fashions. Not just a part of it."
"Ah, I get it."
"You get it" Really?" goda Sophie.
Mereka terus mengobrol dan sesekali cekikikan. Livia menceritakan tentang cowok yg
ditaksirnya di sekolah. Dia juga tahu tentang misi-misi Sophie dan selalu menonton video yg
sudah di unggah Sophie di YouTube. Livia meminta untuk misi selanjutnya dia bisa di ajak serta.
Livia terus bercerita tanpa menyadari sejak tadi Sophie memegangi perutnya menahan sakit.
Sampai, akhirnya erangan Sophie sampai di telinga Livia.
"Kak Sophie, Kak"! Kakak kenapa"!" ujarnya panik.
Livia langsung melompat dari tempat tidur, bergegas memberi tahu Papa dan Mama. Sophie
mendengar suara-suara melangkah ke kamarnya. Di anatara rasa sakit, dia masih mengenali
bintang-bintang di langitnya. Bintang-bintang yg berdansa di matanya.
BAB 16 Marko memutuskan pulang pagi itu juga. Entah mengapa, semalam dia terus-terusan memikirkan
Sophie. Mungkin seharusnya dia memang tdk marah kpd sahabatnya itu. Tinggal satu misi saja
dan semua berantakan. Marko hanya butuh sabar, karena Sophie pasti nanti akan membeberkan
semua yg Marko inginkan untuk tahu.
Sepanjang jalan berkelabat bayangan Sophie di benaknya. Seperti potongan-potongan film,
semua memori berputar dalam ingatan Marko. Senyum dan tawa Sophie menggema dalam
telinganya. Marko melihat bayangan Sophie merapikan rambut panjangnya. Ketika Sophie larut
dalam buku yg dibacanya. Ekspresi antusias setiap kali memulai misi. Dan kedua matanya yg
penuh binar, seakan-akan ada bintang yg tinggal di sana.
Marko menghela napas panjang. Ketika menoleh ke kursi penumpang di sisinya, dia
membayangkan Sophie disana, sibyk dgn iPhone-nya. Kemana pun Marko menatap, Sophie
terlihat. Dia seprti hantu yg tahu-tahu bergentayangan di sekitar Marko.
Di tengah perjalanan, matanya tertuju kpd sebuah billboard iklan. Tulisan di billboard itu sangat
sederhana, tetapi menyentak hati Marko.
"Love can't wait."
Marko mempercepat laju mobilnya ke arah Jakarta. Dia tdk sabar lagi untuk bertemu Sophie,
meminta maaf dan mengakui semuanya. Padahal, selama ini banyak kesempatan yg dipunyainya,
tetapi karena Marko terlalu pengecut dan takut jika Sophie menjauh setelah itu, akhirnya dia pun
urung melakukannya. Bersama Sophie sudah cukup membuatnya bahagia, tetapi menahan
perasaan dalam hati mengurangi kenikmatan itu.
Dia memakirkan mobilnya terburu-buru. Langsung melesat secepat yg dia bisa menuju tower
apartemen Sophie. Dia berjalan tergesa sepanjang lorong apartemen seakan-akan bakal
kehabisan waktu. Senyum kecilnya tersungging. Lorong yg dilewatinya sedari tadi penuh dgn
dirinya dan Sophie. Dia teringat ketika Sophie menjaili penghuni apartemen. Ketika Marko
menggelengkan kepalanya. Bayangan dan tawa Sophie langsung hilang.
Marko mengguguh pintu apartemen Sophie dgn tidak sabar. Berkali-kali dia mengetuk tetapi tak
ada jawaban dari dalam. Marko menghubungi ponsel Sophie, tetapi tidak tersambung. Ketika
Marko akan berlalu, pintu tersebit berayun. Seolah angin mendorongnya terbuka.
Pandangan Marko terarah kpd pintu yg terbuka. Haruskah dia masuk begitu saja" Kaki Marko
bergerak perlahan. Di ambang pintu, Marko terdiam lama. Ketika dia melangkah masuk, di
belakang pintu ada Livia.
Livia dgn air mata di pipinya.
Marko mencium ketidakberesan. Namun, dia memberanikan diri untuk bertanya. "Sophie-nya
ada?" Tangis Livia makin mengeras.
Tanpa memedulikan Livia, Marko langsung merangsak ke dalam. Dia melewati ruang tengah yg
kosong dan nyaris sunyi. Sunyi sepenuhnya, kalau saja tdk adak isak tangis yg terdengar dr dalam kamar Sophie.
Jantung Marko berdegup kencang. Dia menelan ludah. Apa yg sebenarnya terjadi" Kecemasan
menjalari seluruh tubuhnya. Langkahnya terasa berat dan kaku. Di kamar Sophie, Marko melihat
Papa dan Mama Sophie, serta Marsya. Di ranjang, Sophie terbaring seperti sedang tidur.
"Sophie kenapa" Om" Tante" Sophie kenapa?"
Sesaat tak ada yg menjawab. Marko maju lebih dekat, ke sisi tempat tidur Sophie.
"Sophie, Soph......," panggilnya tercekat.
Papa Sophie langsung merangkul Marko.
"Om, Sophie kenapa, Om" Sophie?" tanyanya bertubi-tubi. Marko tak percaya apa yg sedang
dilihatnya. Ini semua pasti hanya tipu muslihat Sophie. Sebentar lagi, Sophie akan meloncat
bangun di sudut ruangan. Marko memandangi Sophie lagi, tetapi tubuh itu tdk bergerak sama sekali. Pandangan Marko
beralih kpd Papa Sophie. Tanpa sepatah kata, Marko bisa tahu kalau itu semua bukanlah bagian
dr misi Sophie mengerjainya.
Dia akan berlari ke arah Sophie, namun papa Sophie menahan tubuhnya.
"Sophie! Sophieee!"
Tubuh Marko menggigil dalam pelukan papa Sophie. Di sisi jendela, Marko membiarkan air
matanya mengalir. Dia menatap ke arah seberang, yg dia tahu itu adalah jendela kamarnya.
Sekarang semua terlambat. Tak akan ada lagi kode-kode morse yg akan diterimanya.
Ada yg tercabut dari diri Marko detik itu juga. Sebagian dari didirnya. Kesadaran, mulai detik
ini. Sophie tak akan pernah berdiri lagi di balik jendela ini, seperti kemarin.....
Cinta tak bisa menunggu, begitu juga waktu.
**** "Kenapa tujuh bukan delapan?"
"Rahasia Komarrrrr! Rahasia!"
Pertanyaan itu terngiang dalam telinga Marko. Suara tangis lirih masih mengiringi pemakaman
Sophie. Marko berdiri di tepi liang, menatap jenazah Sophie yg pelan-pelan diturunkan. Dadanya
sesak, dia masih ingin menangis, tetapi tak ada lagi air mata yg keluar.
Selama ini, Marko terlalu menutup diri. Terlalu sibuk dgn dunianya sendiri dan selalu
menganggap Sophie serta misi2nya adalah sesuatu yg menyebalkan. Kalau saja, Marko lebih
awas kpd sekitarnya, mungkin semua tdk akan terlambat. Tak ada pertengkaran yg membuat
peprpisahan ini terasa makin menyakitkan.
Marko memikirkan sakitnya hati Sophie ketika kata-kata itu terucap dari bibirnya. Ditambah dgn
sakit fisik yg dideritanya. Marko pasti membuatnya menderita.
Sampai detik ini, Marko masih berharap, tiba-tiba ada yg menimpuk bahunya dari belakang. Lalu
nyengir lebar dan tertawa. Mereka belum sempat pergi ke Planetarium dan Observatorium
Boscha. Mereka belum menuntaskan misi ketujuh.
Marko berdiri gemeteran. Pelan-pelan tanah dijatuhkan di atas tubuh Sophie. Dia tdk ingin
melihat ini semua, tetapi Marko tetap bertahan untuk menatap Sophie terakhir kalinya.


7 Misi Rahasia Sophie Karya Aditia Yudis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dalam pikirannya, dua bintang bersinar. Bintang yg paling terang dibanding lainnya. Dua
bintang yg berbinar di mata Sophie.
**** Sore setelah pemakaman, Marko pergi ke rooftop seorang diri. Dia berdiri di sudut tempatnya
dan Sophie biasa menghabiskan senja. Di bawah sana, lampu-lampu mulai dinyalakan.
Kendaraan kian ramai memadati jalan.
Semua tak pernah sama. Marko mendengar derap langkah. Dia kira itu hanya halusinasinya saja. Saat Marko menoleh
memang ada seseorang di sana. Jantung Marco mencelus.
Seorang gadis berdiri di belakangnya.
Sophie. Tak ada sepatah kata tertukar dari keduanya selama beberapa saat. Angin mengembus
melambaikan rambut panjang gadis itu.
"Kak Marko," panggilnya.
Marko melihat mata Sophie yg berbinar. Nyaris mirip. Namun, bukan Sophie yg memilikinya
kali ini, dia adalah Livia. Marko tersadarkan ketika mendengar suaranya.
Marko tersenyum tipis. "Livia."
"Aku tahu pasti Kak Marko ada di sini."
"Ada apa, Livia?"
"Kak Marko nggak ingin dengar tentang hari-hari terakhir Kak Sophie?"
Tidak sekarang, tetapi Marko tak bisa mengucapkan itu. Hari-hari terakhir Sophie yg sudah
disia-siakan Marko begitu saja.
"Kak Sophie di treatment awal pas Kak Marko kabur dari rumah. Soalnya orang rumah pada
heran, kok Kak Marko nggak pernah jenguk sama sekali, kalian, kan, deket banget. Aku sempat
mau kasih tahu Kak Marko, tetapi di cegah Kak Sophie. Dia bilang nggak pengin nambahin
masalah Kak Marko dan nggak ingin bikin Kakak Sedih."
Marko tampak terpukul mendengar penjelasan Livia. Tangannya yg ada di dalam saku celana
terkepal kencang. Justru keputusan Sophie untuk tdk memberi tahunya, malah membuat Marko
begitu merana sekarang. Bagi Marko, Sophie adalah orang yg sangat mengerti dirinya. Meski
sering bawel dan kepo, dia sadar itu adalah cara Sophie untuk memancingnya bicara. Selama ini,
Marko nyaris selalu menyimpan semuanya sendiri, bahkan dari mamanya.
Marko mengalihkan pandangan, tempat ini begitu menyiksanya kini. Ke mana pun dia
menujukan tatapan, ada bayangan Sophie.
"Penyakitnya cepet banget. Tau-tau parah. Kata dokter, kanker pankreas memang indikasinya
nggak kentara, kayak sakit perut biasa. Terakhir-terakhir kakak udah nggak mau diteratment.
Cuma paliatif aja, minum obat untuk ngurangi rasa sakit, sampai....."
Livia tak sanggup meneruskan penjelasannya. Kata yg ingin di sampaikannya tertahan di rongga
mulut. Dia menundukkan kepala dan melihat surat di tangannya. Itulah tujuannya datang ke sini.
Surat untuk Marko. "Ini ada surat dari Kak Sophie." ujar Livia, menyerahkan sepucuk surat pada Marko.
Surat itu tetap berada di tangan Livia beberapa saat. Marko tdk menyangka Sophie meniggalkan
pesan. Marko mengambil surat itu, membukanya perlahan. Dia memunggungi Livia ketika
membaca. Tak ingin Livia menemukannya menangis karena surat itu.
Sejenak dia berurai air mata. Sekejap pula surat itu membuatnya tersenyum, bahkan tertawa. Dia
melipat lagi surat itu seusai membaca, lalu menghadap Livia yg keheranan.
"Kakak lo memang ajaib. Gue nggak bisa menebak pikirannya. Gue pikir surat ini......"
BAB 17 "Nama gue Marko. Gue asisten Sophie. Mungkin kalian pernah lihat gue di beberapa misi
Sophie. Gue cuma mau bilang, kalau Sophie udah 'pergi'."
Sophie from other space. "Pergi ke planet lain......, begitu dia ngistilahinnya," katanya lamat-lamat.
Marko tertawa kecil, lalu mendongak. Matanya memerah. Dia menarik napas panjang. Kata-kata
yg sudah disiapkan sejak semalam, menjadi berat untuk diucapkan. Sesak karena kehilangan itu
masih membelit dadanya. Sophie masih terlalu muda untuk pergi, tetapi tak ada yg tau berapa
lama umur seseorang. Tatapannya kembali ke layar laptop. Selama beberapa detik, Marko hanya tercenung. Pikirannya
mendadak kosong. Entah apa yg dikatakannya sebelum ini dan apa yg harus dilanjutkannya.
Sophie. Nama itu bergema dalam pendengarannya. Matanya tertuju kpd surat di atas meja. Kertasnya
sudah susut, Marko berkali-kali membacanya. Memikirikan tentang misi terakhir. Yang terberat.
Mungkin jika Sophie ada di sini, misi ini tidak akan sesulit bayangan Marko. Seorang diri tdk
akan menghalangi Marko melakukannya. Demi Sophie dan janjinya untuk misi ini, Marko tdk
akan mundur. Sophie akan menemaninya, meski hanya memori.
Sejenak kamarnya sunyi. Dia menoleh ke arah seberang, pada jendela yg terbuka. Seakan, Marko
melihat sosok Sophie sekelebat. Namun, sekejap jendela itu menjadi kosong. Kamar itu bukan
lagi milik Sophie. Tak ada lagi Sophie di sana.
Tangan Marko meraih surat yg diberikan Sophie, membacanya untuk kesekian kali. "Lewat surat
ini, Sophie ngasih tahu misi yg terakhir," ujarnya, mencoba tersenyum tegar dan melambaikan
surat itu ke kamera laptop. "Sophie pengin gue yg ngewakilin misi ketujuh. Memaafkan orang yg
pernah nyakitin kita."
**** Marko menghentikan mobilnya di depan sebuah rumah besar. Dia tidak langsung turun,
melainkan duduk diam begitu lama di dalam kabin. Kata hatinya berbisik, lebih baik kalau dia
melaju lagi. Beberapa kesalahan bukan untuk dimaafkan. Itu membuatnya gelisah. Jari-jemari
Marko mengetuk roda setir. Sebentar-sebentar dia menoleh ke arah rumah tersebut. Mobil
pemilik rumah ada di sana, sudah pasti orang yg dicarinya sedang tdk berpergian.
Ini adalah saat yg tepat untuk menuntaskan misi terakhir.
Kakinya seperti dibebani pemberat ketika diajak turun dari mobil. Marko meraba sakunya,
menemukan surat Sophie di sana. Dia mengembuskan napas panjang. Ragu-ragu dia mengetuk
pintunya. Tak lama, penjaga rumah membukakan pintu untuknya. Dia diberi tahu bahwa pemilik
rumah sedang ada di belakang. Marko mengikuti penjaga rumah ke halaman.
Semakin dekat ke halaman belakang, Marko bisa mendengar suara-suara yg dibencinya.
Lengkingan riang anak kecil itu adalah sakit hatinya. Namun, tekad Marko sudah bulat, dia tak
bisa lagi mundur. Sophie akan kecewa kalau dia melakukan itu. Di ambang pintu, Marko
menatap kpd dua orang yg sedang bermain bola. Dia sempat berniat pergi, tetapi sosoknya
keburu tertangkap oleh pandangan Papa. Mereka bertatapan. Marko menghela napas.
Ini adalah misi terakhir.
Marko melangkahkan kaki, mendekat kpd Papa dan adik tirinya, Oka. Papanya tertegun saat
Marko berdri di hadapannya, mengulurkan tangan. Dia mencoba tersenyum, meski otot-otot
wajahnya sulit diajak bekerja sama.
"Maafin, Marko, Pa."
Kalimat itu meluncur mulus darinya.
Papa tidak membalas ucapan itu, tertegun beberapa detik. Tatapannya yg tdk percaya, perlahan
meluruh melembut. Sorot mata itu, seperti ekspresi orangtua yg melihat anaknya pulang setelah
lama pergi. Senyum di wajah papa melebar, dan beliau langsung memeluk Marko. Ketika Papa
melepaskan rangkulannya, Marko melihat mata Papa yg berkaca-kaca.
"Papa nangis." Suara kecil itu menyadarkan mereka berdua bahwa ada Oka di sana.
Marko dan Papa memperhatikan Oka sambil tersenyum. Papa menghapus air mata yg tersisa di
sudut mata. Marko berlutut, tertawa kecil sambil memegangi tangan Oka. Anak kecil itu
memandang Marko dgn heran.
"Nama kakak siapa?" tanyanya polos.
Bagaimana bisa Marko membenci anak sekecil Oka yg bahkan tdk tahu apa yg sudah terjadi
dulu. Bukan Oka yg salah, Marko seharusnya tdk ikut menyalahkannya. Hanya saja, waktu itu,
Marko terlalu marah kpd siapa pun yg berhubungan dgn papa. Kedua mata hitam Oka menatap
lurus pada Marko, tanpa pernah tahu kalau Marko pernah begitu ingin menyingkirkannya.
"Nama aku, Marko. Marko Enrico Danunjaya." Marko melirik Papa ketika menyebutkan nama
akhirnya. Keduanya saling bertukar senyum.
Dari dalam rumah, muncul ibu tiri Marko. Oka langsung menyambutnya dgn ceria. "Mamaaa!!!
Ada Kakak Malco," seru Oka dengan suaranya yang cadel.
BAB 18 Marko berada di kamarnya yg remang. Sebuah lukisan menutupi area yg tadinya jendela. Dia
memandangi lukisan itu dgn hati nelangsa. Senternya tergeletak tak tersentuh selama berharihari. Dia rindu memainkan itu. Kadang-kadang, Marko membawa senter itu ke rooftop,
mengarahkannya ke langit. Mengantarkan kode pada bintang-bintang. Siapa tahu benar, kalau
setelah seseorang meninggal dia akan jadi bintang.
Dia beranjak dr tempat tidur, melepas lukisan itu. Mata Marko menjelajah lewat jendelanya,
berakhir pada jendela di seberang. Tangannya mendorong jendela hingga terbuka. Pada saat yg
sama ponselnya berbunyi. Ada sebuah SMS masuk.
Pesan yang membuatnya tercengang.
Marko bergegas turun ke lobi. Dia menunggu dgn gelisah. Kemudian, orang yg ditunggunya itu
pun datang. Marko langsung menghampiri gadis yg duduk di sofa lobi.
"Ada apa, Mal?" tanya Marko tanpa basaKbasi.
Gadis itu mengangkat wajah dari ponselnya. "Baru aja gue mau ngehubungin lo."
Marko duduk di depan Imel. Gadis itu tampak sekali sedang resah.
"Gue bingung harus mulai dari mana. Sebelum Sophie pergi, dia ngasih ini ke gue." Imel
menaruh sebuah CD ke atas meja. Di bagian depan CD terdapat coretan tangan Sophie yg Marko
kenal. Imel. Tower utara. 6B. "Sophie pengin, kita nonton bareng." lanjut Imel, menatap Marko gelisah.
"Lo ada urusan lain habis ini?"
Imel menggeleng. Marko bangkit berdidir, "Kalau gitu kita ke apartemen gue aja. Kita nonton disana."
"O-oke." balas Imel, mengikuti Marko.
Tak ada sepatah kata tertukar saat keduanya menuju ke apartemen Marko. Dia menyilakan Imel
agar senyaman mungkin berada di kamarnya. Marko juga menawari Imel minuman, tetapi Imel
menolaknya dgn halus. Mereka berdua duduk di depan laptop Marko. Pelan-pelan sebuah video
mulai terputar. Mulut keduanya sama-sam terkunci. Ada wajah yg begitu akrab bagi mereka
berdua di layar. "Hei, gue lagi ngintai seseorang. Mau tahu" Ikutin gue!"
video itu berisi adegan-adegan yg direkam Sophie seadanya. Awalnya video itu hanya
menampilkan keadaan sekitar apartemen, dari taman hingga area bersama. Lorong-lorong yg
sepi sampai rooftop yg tdk lagi Marko kunjungi. Setelah beberapa saat, mulailah muncul wajahwajah yg Marko kenali. Gadis Laundry dan Cowok Pelanggan, si remaja tanggung, Bian yg
menangis dan kedua orang tuanya, serta Oma Pingkan dan Imel.
Setelah itu, rekama itu lebih fokus mengenai Oma Pingkan. Entah bagaiman Sophie bisa
merekam pertengkaran orang tua Imel. Juga, Imel yg duduk kesepian di taman sambil membaca.
Kualitas rekaman itu tdk sebagus milik Marko. Gambarnya bergoyang-goyang dan sering kali
gelap. Sekarang Marko paham mengapa Sophie tahu Oma Pingkan di bawa ke panti jompo.
"Rekamannya macet?" tanya Imel, melihat layar yg gelap.
"ngGak," Marko menggeleng. "Gue rasa, Sophie masukin iPhone-nya ke saku baju, tanpa matiin
rekaman. Jadi gelap gini."
Marko mengatakan itu sambil tertawa pelan. Perasaan getir membuncah dalam hatinya. Imel
melirik perubahan ekspresi pada Marko, tetapi diam saja. Sebentar saja, mereka berdua sudah
kembali menonton video dari Sophie.
'gue akan bikin sesuatu' Video itu memperhatikan Sophie yg memgang spidol besar. Sebuah kertas manila membentang
dia atas pada dinding. Penuh semangat, Sophie menggerakan spidol itu di atas karton.
7 Misi Rahasia Sophie Misi satu: ngasih makan ke orang yg kurang beruntung.
Sophie tampak berpikir setelah itu. Dia menatap lama ke arah karton, sampai akhirnya bicara
seorang diri. 'Siapa ya mereka" Hmm... Pemulung, tukang sapu jalanan, hmm... Kayaknya oke. Terus lanjut
ke misi kedua' Tangan Sophie bergerak lagi. Marko dan Imel bisa membaca tulisan Sophie di layar.
Misi dua: balikin Oma ke rumahnya.
Ada yg berpusing dalam pikiran Marko saat menyaksikan rekaman itu. Sesuatu yg ingin sekali
diingatnya, tetapi tersisih oleh ingatan lain. Apa yg ingin diingat adalah kata-kata Sophie yg
pernah diucapkan kepadanya.
"Polanya, gue harus tahu polanya. Semua misi ini, kata Sophie ada polanya. Ini permainan, Mel.
Game. Tebak-tebakan. Semua ini adalah permainan Sophie....," katanya kepada diri sendiri.
Tangan Marko mengepal, dia membentur-benturkan ke atas meja perlahan. Marko mengacak
rambutnya sendiri, masih terus mencoba mengingatnya.
Tangan Marko mengepal, dia membentur-benturkan ke atas meja perlahan. Marko mengacak
rambutnya sendiri, masih terus mencoba mengingat.
Adegan-adegan dari misi yg sudah mereka jalankan berkelebat. Semuanya saling tindih. Seakan
semuanya berada dalam pikiran Marko. Hingga adegan saat Marko bertanya kpd Sophie:
mengapa tujuh, bukan delapan"
"Kenapa tujuh, bukan delapan?" Marko bergumam.
Tatapannya teralih ke jendela kamar Sophie. Pertanyaan itu terus berulang.
Imel menatap Marko dgn iba. Lalu, dia mengambil sesuatu dr dalam tas. Diangsurkan kotak itu
kpd Marko. "Sophie kasih ini ke gue. Bisa jadi itu jawaban yg lo cari-cari, atau kalaupun nggak, siapa tahu
bisa bantu lo nuntasin rasa penasaran."
Marko tertegun. Tanpa menunggu lama, Marko meraih kotak itu dan memeriksa isinya. Di
dalamnya CD-CD bertumpuk. Semua dijuduli dgn tulisan tangan Sophie. Ada beberapa benda
lain. Pernak-pernik favorit Sophie, termasuk jam tangan merah dan tiara yg pernah dipakai. Juga
sebuah buku. Marko membuka buku tersebut, ada selembar kertas terselip di dalamnya.
*** "Lo ke sini katanya mau belajar" Kok malah gambar-gambar nggak jelas gitu"!" ujar Marko,
melirik Sophie aksi mencorat-coret kertas gambar.
"Nah lo sendiri" Malah main PS!" balas Sophie.
Mereka berdua saling menatap sengit.
"Gue kan udah pinter. Kalau lo kan, ya gitu deh," ejek Marko, meleletkan lidahnya.
Sophie mendelik pada Marko. Dia mengacungkan ujung pensil kpd teman dekatnya itu. "Enak
aja! Nggak bisa fisika, bukan berarti gue bego, ya!"
Marko terbahak mendengar itu. Memang sih dari dulu Marko tdk perlu dibantah keenceran
otaknya. Meski tdk jadi juara kelas, nilai Marko selalu di atas rata2, berbeda dgn Sophie yg
biasa2. Hanya saja, Marko kadang terlalu malas untuk belajar, karena ada Sophie-lah, Marko
selalu ingat pada tugas-tugasnya. Meski mereka berbeda kelas, belajar bersama merupakan
sesuatu yg sering dilakukan. Terlebih kalau Sophie kesulitan dgn pelajaran hitungan seperti
sekarang. Sophie menatap kertas di hadapannya. Angka-angka di sana membuat berkunang-kunang. Dia
mengetuk-ngetukan pensil ke kepala. "Kenapa sih kita harus belajar fisika?" gumamnya,
mencorat-coret pensilnya dgn asal.
"Lo tanya aja sama yg bikin kurikulum," cetus Marko cuek.
Sophie tampak gemas. Rasanya ingin sekali menimpuk kepala cowok itu dgn buku. "Maksud
gue, kan setiap orang bakatnya berbeda-beda. Ada yg lemah di fisika, ada yg lemah di
matematika. Tapi mungkin dia bagus di bahasa, hmm.... Bagus di gambar. Kenapa nggak
difokusin sesuai bakat aja sih," jelas Sophie sesabar mungkin.
"Kalau orang yg jago bahasa, tapi nggak bisa matematika yg ada dia bakalan ditipu terus," ujar
Marko. Sophie bungkam. Benar apa yg dibilang Marko, tetapi itu tdk menjawab pertanyaannya. "Soal
itung-itungan itu matematika dasar. Menurut gue itu udah cukup. Ngapain juga belajar
matematika sampai botak kepala, akhirnya nggak kepakai juga. Segala macem differensial lah..."
"Bilang aja males, apa oon," potong Marko terkekeh.
"Otak kanan, otak kiri, Komaaarrr! Tiap orang kan, beda-beda," seru Sophie, melempar bola
kertas kepada Marko, yg ditangkap dgn tepat waktu.
"Nah kalau lo?" tembak Marko.
"Otak kanan gue yg lebih bersinar," Sophie menjawab tanpa ragu.
PS sudah kembali merebut perhatian Marko. Sophie duduk berpangku tangan mengamati
sahabatnya. Cowok itu sebenarnya tampangnya lumayan, bahkan beberapa teman sekelas Sophie
terang-terangan bertanya apakah Marko punya pasangan. Hanya saja, Marko terlalu tdk acuh
terhadap semua perhatian semua cewek2 itu. Dia selalu menghindar seolah cewek2 yg sudah
meluangkan waktu memperhatikannya itu adalah kutu pengganggu. Marko lebih senang
menekuni hobi dgn handycam-nya, serta game-game di PS-nya.
Selain itu, Marko sering kurang bersemangat dalam hal apa pun, membuat Sophie sering
gregetan. Sophie sering mengajak Marko untuk kumpul bersama teman-teman sekolah yg lain,
tetapi sering sekali menolak. Yg lebih parah, tiap kali mereka mengobrolkan kemana akan kuliah
setelah lulus sekolah, Marko selalu bilang malas memikirkannya. Sophie menggeleng-gelengkan
kepala sendiri. Daripada diejak terus oleh Marko, Sophie memikirkan ide lain. Dia tersenyum
lebar ketika mendapatkan ilham tersebut. "Jadi, gimana kalau pelajaran hari ini, kita main aja.
Main seberapa besar lo kenal temen dekat lo."
Marko mengernyit, menatap Sophie ogah2-an. Perlahan, Marko kembali berpaling ke PS-nya.
"Mainan apa tuh" Pasti gaje. Mendingan main PS deh, Soph."
"Ayo dong, Komaarrr! Pasti seru deh,nih!" katanya mengguncang-guncang lengan Marko. Dia
mengibas tangan Sophie, akibatnya stik PS ikut terlempar terpaksa berakhir tdk sesuai rencana.
"Ck, Soph, mati kan tuh pemain gue," ujarnya jengkel.
"Lo kan bisa main lagi lain kali!" Sophie masih menggoyang tubuh Marko. "Ayo dong. Kita kan
udah temenan lama." Tetapi, tatapan membujuk dari mata Sophie, susah untuk Marko tolak.
"Iya, iya. Lepasin ah!" ujar Marko, mengikuti Sophie ke meja.
Marko duduk di sebelah Sophie, mengamatinya menyobek kertas. Satu lembar diberikannya
untuk Marko, satu untuk dirinya sendiri. Sophie memainkan pensilnya, menunggu Marko
bersiap-siap. "Udah siap belum?"
"Udah, udah, bu guru!"
"Tulis tujuh sifat buruk temen lo. Itu berarti gue. Oke"!" Sophie menatap Marko seperti guru
mengajari muridnya. "Kita mulai dari sekarang!"
Marko mengernyit. "Buat apa sih?"
"Tulis aja, Komaarrr! Banyak tanya deh."
Dengan antusias, Sophie membuat daftar itu. Sementara Marko kertasnya tetap kosong selama
beberapa menit. Dia menggaruk-garukkan kepalanya yg tdk gatal. Matanya mengerling pada


7 Misi Rahasia Sophie Karya Aditia Yudis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sophie yg bersemangat. Entah sejak kapan, Marko selalu suka mengamati ekspresi Sophie
disituasi seperti sekarang.
Tak lama kemudian, Sophie mengangkat tangannya gembira.
"Selesai!" Marko masih menulis. Tdk banyak yg ditulisnya. Selama ini dia tdk pernah memikirkan sifat
buruk Sophie. Apa yg hadir pd Sophie adalah satu kesatuan, dia sudah maklum dgn semua sifat2
gadis itu. Sekarang, Marko harus menulis apa saja sifat buruk Sophie.
Ketika Marko meletakkan pulpen dan Sophie langsung menyerobot kertas itu.
"Hah"!" Sophie melotot. "Bawel, sotoy, kepo, nyebelin....."
Semua ditulis Marko dalam satu baris saja.
"Ih! Ketahuan nggak niat banget nih anak." Sophie mendelik. Menyorongkan kertas miliknya
kpd Marko. "Liat nih punya gue! Baca!"
Di kertas itu, tertulis dgn rapi daftar sifat buruk Marko.
Pemalas! Nggak peduli lingkungan! Gampang patah semangat. Cemen!
Nggak punya mimpi. Kacian deh.
Penakut numero uno. Ama balon aja takut!
Susah ngungkapin perasaan.
Tukang dendam! *** Kenapa tujuh, bukan delapan"
Pertanyaan itu terjawab sudah. Di tepian ranjang, Marko duduk menunduk. Selama ini dia tdk
menyadari jika Tujuh Misi Rahasia Sophie berasal dari sesuatu yg amat dekat dengannya.
"Tujuh Misi Rahasia Sophie... Berasal dari sini." Marko mengangsurkan kertas ditangannya kpd
Imel. "Dari tujuh sifat buruk gue." gumamnya dgn pandangan menerawang.
Imel menrima kertas itu dgn pandangan haru. Namun dia paham betapa terpukulnya Marko
sekarang. "Sophie ingin sebelum dia pergi, gue jadi orang.... Yg lebih baik."
Marko menahan tangis. Sesak di dadanya kembali lagi. Layar laptop sedang menampilkan
Sophie yg bicara sendiri.
'nggak salah kan, pilihan gue" Cuma Imel yg cocok buat orang sejellek dan senyebelin Marko.'
Adegan di dalam video berganti dgn adegan dr rekaman lain. Marko mengamati rekaman itu dgn
tatapan hampa. Itu adalah ketika Marko secara tdk sengaja bertemu dgn Imel di lobi apartemen
Marko. Ternyata semua sudah diatur Sophie.
'Sophie, ngapain sih ngajak ketemuan pagi-pagi" Ngapain juga ketemu di sini, bukan di tower
kita"' Suara Imel terdengar dr laptop. Imel memandangi video itu, sekarang dia mengerti.
'nggak apa-apa. Eh, lo tadi ketemu Marko, kan" Ciee.'
'ya ampun, Sophie. Ih! Marko menghadap ke arah jendela Sophie. Imel bergerak mendekatinya, meraih tangan Marko
dan menggemgamnya. Hatinya sama sesak dgn Marko. Tubuh Marko gemeteran. Kepalanya
merunduk. Beberapa detik kemudian, Marko tak bisa menahan bobolnya tangis dr matanya.
Seluruh badanya berguncang karena ledakan emosi. Perlahan, Imel mengelus rambut Marko. Air
mata ikut mengaliri pipinya. Dia Merengkuh Marko dalam pelukannya.
Sayup-sayup suara Sophie menyelinap di antara tangisnya. Suara yg akan Marko rindukan. Dan
binar mata seperti bintang yg tak akan pernah Marko lupakan.
'Bangun siang. Nggak mau capek. Manja! Trus lo tuh nggak peduli ama lingkungan, mau ada
orang yg ada masalah kek, sebodo amat! Egois! Dan yg bikin gue bete, lo nggak punya mimpi!
Trus lo tuh gampang patah semangat. Komaarrr! Lo nggak tahu betapa beruntungnya lo. Trus
berikutnya, hmm... Lo cemen! Ama balon aja takut! Susah ngungkapin perasaan lo. Kerjaanya
nyangkal melulu. Dan yg terakhir lo itu... Tukang dendam!
Marko, lo inget nggak pas kita di rooftop. Pas gue bilang, pada jam, menit dan detik yg sama,
belum tentu orang yg terjebak macet di bawah sana adalah orang yg sama. Seperti sekarang.
Mungkin saat lo nonton rekaman ini, pada jem, menit, detik yg sama, seperti kita waktu di
rooftop, lo lagi bersama orang lain. Seseorang yg mungkin akan jadi orang yg istimewa dalam
hidup lo. Selamat tinggal, Marko. Sampai jumpa lagi.'
Suara Sophie menghilang, video rekaman itu berakhir di ujung ucapan perpisahan.
EPILOG "Udah siap belum?"
"Sebentar, sebentar," Marko membungkuk, mengotak-atik kameranya di atas tripod. Dari lensa,
dia mengamati sosok Imel yg duduk dgn anggun di posisi yg biasa ditempati Sophie. Sofa biru
itu tdk berubah, kotak2 kayu yg bergelimpangan, payung pantai yg robrk, serta manekin bekas
semua masih ada di tempat itu. Hanya kurang satu sosok untuk menjadikannya lengkap, Sophie.
Senyum Imel meredakan lamunan Marko, dia ingat untuk menyetel posisi handycam hingga pas
mengarah ke sofa. Diam-diam Marko sudh merekam Imel lebih dulu. Beberapa menit kemudian,
barulah dia mengacungkan jempol, memberi isyrat jika rekaman akan di mulai. Imel menepuk
bagian sofa yg kosong di sebelahnya, menyuruh Marko untuk cepat duduk.
Keduanya saling pandang sejenak, lalu tawa mereka pecah.
"Oke," ujar Imel, matanya terarah ke kamera.
"Oke," Marko menyikut Imel pelan.
"Baiklah," Imel tersenyum lagi. "Kenalin, gue Imel. Dan kalian pasti tahu siapa yg disebelah gue
sekarang." dia menunjuk sosok yg duduk di sampingnya.
"Hai, gue Marko." sahut Marko, pandangannya berkeliling. Senyum tipis muncul dibibirnya.
"Kalian pasti udh kenal Marko sebagai asisten Sophie. Dan gue disini, sebagai asisten Marko."
katanya terkekeh. "Udah beberapa bulan sejak kita semua di tinggal Sophie. Di sini, gue dan
Marko, mau ngirim pesan untuk Sophie." Tawa pelan Imel menghilang, pandangannya
menyendu, seperti ada keharuan menyeruak dlm dirinya.
"Yep, siapa tahu di planetnya sekarang, ada internet yg bisa ngakses YouTube dr dunia ini,"
tambah Marko. Keduanya kembali bersitatap, sama2 tersenyum, tampak begitu kompak.
"Ini beberapa video yg gue buat bersama Imel," Marko meneruskan berbicara ke arah kamera.
"Semua di kompilasi di sini. Kalau kalian ngikutin Tujuh Rasia Misi Sophie, gue dan Imel harap
kalian bakal suka video ini. Terima kasih banget buat semua yg udh ngikutin semua video
Sophie dr awal. Juga buat semua yg udh ngasih komentar2. Itu berarti banget buat Sophie."
Marko terdiam sejenak, menarik napas panjang. Dia mengumpulkan kekuatan utk mengatakan
serangkaian pesan yg sudah di siapkan sejak kemarin. Jantungnya berdetak kencang saat
bibirnya perlahan mulai bergerak. Perasaan kehilangan kembali menderanya. Sesakit apa pun itu,
Marko tahu, tak akan membuat Sophie kembali. Bersama Imel, Marko belajar untuk mengenang
Sophie bukan untuk mengingat ketidakadilan karena Sophie harus pergi di usia teramat muda,
tetapi sebagai inspirasi. Sophie yg selalu bersemangat dan tak terduga adalah inspirasi bagi
Marko, juga mungkin bagi banyak orang lain. Kini, seperti itulah Marko mengingat Sophie,
bagian terhangat dari kenangan-kenangannya.
"Soph, kalau lo bisa lihat video ini. Kami semua berterima kasih karena lo udah menginspirasi
banget. Lo nggak boleh kesepian di sana. Tapi gue nggak yakin lo bakal kesepian sih. Lo kan
bawel dan sotoy. Rooftop ini juga udah nggak kesepian lagi, gue dan Imel sering main ke sini.
Tapi, tanpa lo, tentunya semua nggak akan pernah sama lagi," ujar Marko, terdengar tegar.
Imel dan Marko bertukar pandangan. Tak ada lagi canggung di sana, tak ada lagi kejengkelan
Marko kepada Imel, yg tersisa adalah kelembutan yg muncul dari kedua sorot mata itu. Tangan
Imel bergerak meraih jari-jari Marko.
"Kayaknya, kita bakal mulai sekarang aja untuk ngasih lihat videonya buat kalian semua. Happy
watching," ujar Imel, menggemggam jari-jari Marko kian erat.
*** Potongan video 1 memperlihatkan trotoar yg kosong. Tukang sapu, yg bisa dilihat di video 1
Sophie, tampak sedang menyapu jalanan. Dia bekerja dgn semangat meski hari masih gelap. Dari
kejauhan muncul seseorang yg membawa bungkusan besar. Orang itu berhenti didekat tukang
sapu & menyerahkan sebuah nasi bungkus. Senyum lebar menghiasi bibir si tukang sapu.
Video berganti dgn kemunculan Mas Tarjo, penjual kopi keliling. Dia menduduki kursi roda
pemberian Sophie. Kursi itu benar2 membantunya berjualan. Dia mengahmpiri satu demi satu
pembeli yg memanggilnya penuh semangat. Ketika Marko menghampiri Mas Tarjo dan
menceritakan apa yg terjadi kpd Sophie, pria itu keliatan terpukul. Dia mendoakan Sophie dan
berterima kasih atas kebaikan yg pernah diberikan.
Sekarang, video menampilkan koridor yg begitu akrab. Suara anak2 kecil terdengar dr berbagai
penjuru. Lalu, video menyorot pohon yg pernah Marko panjat untuk mengambil balon.
'Mereka nanyain lo, Soph,' suara Marko muncul di antara potongan video. 'Ketika gue bilang lo
udah pergi. Arya nangis paling keras. Tapi, Imel bawain dia balon. Habis itu, dia udah ketawa
lagi.' Terlihat Imel yg bermain dgn anak2 panti. Arya tampak lekat dgn gadis itu. Anak berumur empat
tahun itu juga masih menyapa Marko dgn panggilan Papa.
Selanjutnya, adegan dlm video berganti. Arya tampak malu2 saat ada sepasang suami-istri yg
akan mengadopsinya. Ibu pengurus panti kelihatan terharu ketika pertama kali Arya memeluk
kedua orangtua barunya. ......
Kemudian, aula panti yg meriah dan tampak ramai karena ada perayaan. Potongan video
selanjutnya, di ambil diam2 dr area bersama apartemen. Muncul gambar situasi kios laundry dan
seorang cewek yg menjaganya. Tdk lama, adegannya menjadi gadis laundry yg sedang bersiap-
siap untuk pergi bersama si cowok pelanggan. Senyum gadis itu amat lebar ketika menggantung
tulisan 'TUTUP' di pintu laundry. Masih dari area bersama, lensa kamera mentorot kpd remaja
tanggung yg sudah punya sasaran baru, bukan lagi si tante seksi. Cewek itu kelihatan malu-malu
saat si remaja tanggung mendekatinya. Di sisi lain kolam renang tampak meja panjang. Di situ
terlihat; Mama Sophie, Livia, Marsya dan Imel sedang menyiapkan meja. Tdk lama kemudian,
Mama Marko datang membawa makanan. Mereka menyambutnya. Berikutnya Oma Pingkan
datang bersama orang tua Imel. Marsya menyediakan kursi buat Oma. Mama Imel membantu
menyiapkan meja. Sementara yg lainnya mengipasi barberkyu yg sedang di panggangnya.
Sesekali, mereka melambaikan tangan ke arah kamera.
Sekarang gambar video tersebut lebih stabil. Terlihat, Marko dan Imel mendekati meja panjang.
Semua terlihat akrab. Meja telah siap, mereka duduk mengitari meja. Tapi masih ada tiga kursi
yg kosong. Tiga kursi tersebut ternyata disediakan untuk Bian dan kedua orang tuanya. Suasana
makin ramai. Marko dan Imel mendekati Bian. Mereka meminta Bian untuk memainkan
biolanya. Mereka makan sambil berbincang. Perlahan, tangan Imel menyentuh telapak tangan
Marko. Marko balas menggengamnya. Keduannya tersenyum.... 'Sophie , di mana pun lo
sekarang, gue selalu ngerasa lo merhatiin kami semua. Lo nggak akan pernah benar-benar pergi.
Lo selalu hidup di setiap ingatan, di setiap hati dr orang-orang yg pernah lo bantu. Semoga video
ini menghibur lo di sana. Kami selalu kangen sama lo, Sophie.' Layar video itu menggelap.
Muncul titik-titik cahaya dalam kegelapan. Kode Morse yg dibuat bersama oleh Marko dan Imel.
-.- .. - .- ... .- -.-- .- -. --. .-.. --- ... --- .--. ... .. . 'Kami sayang lo Sophie' Cahaya terakhir mengecil,
redup dan menghilang. Yg tersisa tinggal bintang-bintang di langit gelap.
Sumber: https://www.facebook.com/pages/Kumpulan-cerbungcerpen-dan-novelremaja/398889196838615"fref=photo
Gelang Naga Soka 1 Pendekar Rajawali Sakti 179 Patung Dewi Ratih Dendam Berkubang Darah 1
^