Misi Rahasia Sophie 1
7 Misi Rahasia Sophie Karya Aditia Yudis Bagian 1
BAB 1 TING! Denting lift disusul derap langkah kaki memecah keheningan di lorong apartemen. Mudah untuk
tersesat disana jika pintu2 itu tdk bernomor. Namun, hal itu tidak berlaku untuk Sophie dan
Marko. Gadis berkulit putih itu berjalan tergesa di depan Marko yg sedang mengutak-atik
handycam di tangannya. "Komarrrr! Ayo cepetan!" Sophie memandang sebal kepada Marko. Kalau saja lorong itu tidak
sepi, Sophie yakin Marko sudah menabrak orang berkali-kali. "bisa keilangan momen nih
kita....." bukanyya merespons, Marko malah berhenti. Seluruh perhatiannya tertuju pd layar handycam.
Sophie yg sdh beberapa langkah di depan Marko pun melakukan hal yg sama. Dia mengerling
kpd Marko, agak jengkel. Namun kemudian, senyum kecil muncul di sudut bibirnya. Pelan-pelan
dia menggeser posisi tubuh, nyaris tak bersuara. Kini, Sophie berada di depan salah satu pintu
unit apartemen. Lirikannya kembali tertuju kpd Marko yg masih sibuk sendiri. Sophie mendesah,
alisnya terangkat, lalu dgn cepat dia mengetuk pintu di hadapannya. Selanjutnya, tanpa
menunggu Marko, dia melesat lari sambil terkikik.
Marko menyadari ulah Sophie setelah beberapa detik. Mata cokelatnya melotot kpd Sophie yg
sudah berlalu. Tanpa pikir panjang, dia pun mengambil langkah seribu. Pintu unit apartemen itu
masih tertutup saat dia berhasil menyusul Sophie. Keduanya melewati tikungan lorong dgn suara
tawa Sophie yg menggema. "gue nggak akan minjemin teropong gue buat loe ngintai hari ini," ujar Marko saat mereka
mendaki tangga darurat menuju rooftop. Kejengkelan masih mengisi parasnya, terbukti dengan
ekspresi cemberut yg ditampilkan.
"ihh, Marko, gitu aja ngambek," sahut Sophie, tawanya blm habis.
"biarin, biar loe tersiksa. Hukuman kayak gini paling pas buat stalker kayak elo."
perkataan itu membekukan kaki Sophie. Bibirnya mengerucut, tangannya terlipat ke dad.
Senyum yg tadi, lenyap begitu saja. Matanya menyipit, menyiratkan geram kpd Marko yg dgn
cueknya melewatinya. "Markoooooo!!!" serunya keki.
Sophie mengejar Marko sampai ke puncak tangga. Angin sore menyapanya, mengurai
rambutnya yg hitam panjang. baginya udara di atas sini terasa lebih segar dibanding di area
bersama, membuat Sophie betah. Langit sudah mulai berubah warna menjadi kekuningan.
Sophie melihat Marko sudah lebih dulu menuju salah satu sudut rooftop. Tempat favorit mereka.
Cuma sudut biasa sih, tetapi dari sana kehidupan dibawah terlihat begitu jelas.
Mereka berdiri bersebelahan. Sophie melongok ke arah area bersama - kolam renang besar yg
sisinya dideret kursi2 santai. Lalu agak jauh, terdapat deretan toko-mini market, binatu, hingga
toko interior dan perabot. Dia menumpukan tangannya di pinggir rooftpo, merasakan angin yg
berdesir. Matanya mengamati ke bawah sampai mendengar Marko berdecak.
"gue bukan stalker! Gue pengamat! Tolong bedain ya!" omel Sophie. Tatapan setingkat lebih
sengit dibanding di tangga tadi.
Marko hanya mengangakat bahu dan mengabaikan Sophie. Dia mengambil teropong,
mengarahkan pd area yg Sophie perhatikan. Fahinya berkerut-kerut, alisnya naik sebelah.
"ckckck.... Wew....."
sophie memfokuskan pandangan ke bawah. Ada dua orang di bawah sana, yg dia kenali sebagai
gadis yg bekerja di laundry dan cowok yg jadi pelanggannya. Dia menoleh kpd Marko lagi yg
tdk menunjukan tanda2 akan melepaskan teropongnya.
"mereka ngapain, sih?" tanya Sophie, mencoba merebut atensi Marko lagi. Bibirnya mengerucut
karena dia masih saja diabaika. Dia beruaha merebut teropong, tetapi Marko segera menepis
tangan Sophie. "Marko pinjem dong teropongnya." sekarang dia meminta dgn memelas. Dia
benar2 ingin tahu apa yg sedang terjadi di bawah sana. Sudah beberapa hari terakhir pasangan itu
menarik perhatiannya. Marko hanya melirik Sophie sejenak, lalu kembali sibuk sendiri.
"pleaseeeee....."
sophie mengadahkan tangan. Kemudian, tanpa sepatah kata pun, Marko mengangsurkan
teropong kpd Sophie. Seringai lebar muncul di bibir gadis itu. Matanya berbinar, saking
bersinarnya cukup memperlihatkan isi hatinya yg senang. Sophie menggeser Marko sedikit,
mengambil posisi paling pas utk mengamati. Dia berharap bisa punya alat curi dengar sekaligus,
sehingga bisa mengetahui apa yg orang2 itu bicarakan.
Selama beberapa saat, Marko hanya diam mengamati Sophie. Gantian dia yg tdk diacuhkan
karena Sophie sibuk dgn pengamatannya. Ketika Sophie mulau membuat dialog2 sendiri, Marko
tersadar ada handycam di tanganya. Dia menyalakan dan mengatur handycam itu, lalu mulai
merekam Sophie. pandangan Sophie menangkap gerak-gerik kedua orang itu. Mereka saling bicara dgn ekspresi yg
kini terlihat begitu jelas berkat teropong Marko. Si Gadis Laundry yg malu-malu dan melambatlambatkan memeriksa pakaian2 si Cowok Pelanggan. Sepertinya mereka membicarakan jersey
Manchester United milik si cowok. Seluruh obrolan itu berakhir ketika si Cowok pelanggan
berbalik pergi. Gadis laundry menatapnya nanar sambil memegangi salah satu pakaian si cowok
pelanggan. Bibirnya bergerak mengucapkan sesuatu yg Sophie coba tebak.
Tapi aku akan berusaha suka.....
"....apapun yg kamu suka," lanjut Sophie.
"hmmm.... Mulai deh imajinasinya ke mana-mana" cibir Marko.
Sophie melirik Marko. 'Komarrr, makanya punya imajinasi dikit knp sih?" Biar lo bisa ngeliat
sesuatu dari sudut yg berbeda.'
"untung cuma sedikit orang kayak lo. Kalau banyak pemimpi kaya loe, dunia bakalan absurd
banget," timpal Marko. Dia menghentikan rekamannya. Lalu dgn tiba-tiba merebut teropongnya.
Mendapat perlakuan tdk terduga itu, Sophie hanya meringis. Dia berusaha menggondol teropong
itu lagi. Tetapi, Marko lebih gesit berkelit.
"nih, gue bakal liatin lo sesuatu yg real....." katanya, memindai keadaan di area bersama. Sore
itu, area bersama tdk terlalu ramai. Marko mengamati satu-satu dari sepasang anak muda yg
melintas hingga OB yg berjalan tergesa. Lensa teropongnya berhenti pada sepasang remaja lakilaki yg berdiam di tempatagak tersembunyi. Dahi Marko berkenyit, ada yg tdk beres dgn anak
itu. Hanya dgn menggeser arah pandangannya sedikit, Marko menemukan penyebab ketidak beresan
remaja tsbt: tante yg baru saja menceburkan diri ke kolam renang.
Marko terkekeh tanpa suara, menunjuk ke arah kedua sosok tsbt. "lo mw denger percakapan
batin mereka?" tawanya nyengir lebar.
Sophie mencebik, tetapi tdk membantah.
"Anjrit! Kim Kadarshian kok disini sih?" marko seolah menirukan suara si remaja cowok.
Kemudian menyambungnya dgn suara melengking bak tante-tante. "Ihh, brondong nggak ada
sopan santunnya! Ngeliat sampai mangap!"
"Nggak lucu. Jorok tau," potong Sophie, mengambil paksa teropong.
Marko menoleh kpd Sophie. Matanya membulat. "itu diaolog yg paling real. Dunia ini nggak
semanis dan seromantis seperti didalam imajoinasi lo, Sophie."
sophie membuang pandangan. Ada sesuatu yg dicari-carinya dibawah sana, tetapi tak bisa
ditemukannya. "Balik, yuk. Tuh Cewek Laundry ama si cowok nggak ada kemajuan kan," ujar Marko
memasang tampang bosan. Dia memberi isyarat ke Sophie utk mengembalikan teropong. Sophie
bergeming. Sambil berdecak, Marko angkat kaki dari situ.
Sophie mendesah, menyadari Marko pergi. Dia akhirnya, meninggalkan pos pengamatan mereka
dgn hasil nihil. Apa yg ingin diketahui hari ini malah tak bisa ditemukan. Berbagai pertanyaan
menyesaki kepalanya. Namun, semua itu tertahan dipikirannya, tak satu pun terlontar kpd Marko
yg tdk peduli itu. Keduanya berpisah dgn santai. Sophie melangkah keluar lift. Marko tetap dgn sikap
menyebalkannya. Kadang-kadang Sophie sering merutuki Marko dalam hati bagaimana bisa
bertahan dgn sifat super cueknya itu. Dan mungkin pertanyaan terbesar adalah mengapa Sophie
bisa bertahan dgn cowok itu. Saat pintu lift terbuka, Sophie melangkah keluar seraya
melambaikan tangan sekenannya. Hingga pintu lift tertutup pandangan Marko terus menetap pd
sosok Sophie, tanpa gadis itu sadari sama sekali.
*** Sophie mendorong pintu unit apartemennya. Dia tdk mengharap di sambut kesunyian karena yg
seperti itu nyatanya jarang ada di sini. Seruan melengking dari Livia dan Marsya menyapa
pendengarannya saat itu juga.
"Acara kayak gitu kok ditonton, sih"! ganti, ah. Lo streaming aja, kan, bisa!"
Sophie menggeleng-geleng kepala melihat ulah kedua adiknya yg berebut remote televisa. Livia
yg berumur lebih tua dari pada Marsya tentu menjadi pemenang pertengkaran itu. Sekarang, di
layar televisi sudah tampil band rock favoritnya, L'Arc en Ciel. Perdebatan itu terhenti sebentar,
digantikan musik rock, sampai Marsya tdk tahan untuk protes.
"Ahh, kak! Mending kalau ngerti bahasa Jepang. Berisik tau!!!" Marsya memandangi Livia
garang. Parasnya asam seperti habis kebanyakan makan jeruk masam.
"Dari pada lo. Sinetron abege ditonton! Harusnya lo nonton Cartoon Network! Masih piyik
juga!" Livia membalas tak kalah pedas.
Kalau mereka ditaruh di ring tinju, pasti sdh pukul-pukulan sekarang. Tetapi jelas mama tdk
akan setuju dgn ide itu. Ruang tengah dan ruang makan yg tak bersekat, membuat Sophie jg tahu
mamanya sedang ada di dapur. Makan malam sedang disiapkan. Sementara itu, papanya ada di
balkon apartemen, duduk sambil membaca dng tabletnya. Mama berhebti sejenak, mengamati
kedua putrinya yg masih tak mau saling mengalah.
"Livia, ngalah dong sama adeknya," ujarnya dari ruang makan. Pandangan mama dan Sophie
saling bertemu sesaat. Sophie tersenyum tipis, tahu sehabis ini mama akan ganti berteriak
kepadanya. Dia sudah akan berjingkat ke kamar saat seruan Mama terdengar. Selalu begini
setiap kali terjadi dan kedua adeknya itu hampir setiap hari tdk pernah berhenti bertengkar.
"Sophie, kamu ke mana aja! Itu adik kamu, Sophie. Pisahin. Sophie!"
Sophie menghela napas panjang dan berjalan menuju kedua adeknya. Dgn enteng dan tanpa
perlawanan, dia mengambil remote. Kedua adiknya hanya melongo melihat Sophie yg mendadak
menginterupsi mereka. Dia akrab dgn ekspresi kedua adiknya, sebelum mereka melakukan
perlawanan balik, secepat mungkin dia menyambar bantal dan melemparkannya ke Marsya.
Mata Marsya, anak delapan tahun itu, terbelalak sesaat setelah bantal mengenai tubuhnya.
Dengan sikap dia melakukan pembalasan, mengarahkan bantal kpd Sophie, tapi malah
menimpuk Livia. Tanpa menyiakan-nyiakan waktu, Livia langsung tdk terima dan melakukan
hal yg sama. Sekejap saja ruang tengah itu sudah ribut oleh sahut-sahutan suara tiga anak
perempuan. Namun, tak ada lagi muka kesal, yg ada hanya tawa.
*** Makan malam kali ini dlm formasi lengkap. Sebenarnya nyaris selalu seperti itu setiap malam.
Bagi keluarga Sophie, hadir dalam makan malam keluarga adalah kewajiban. Mama
mengambilkan nasi dan lauk utk suami serta semua anaknya dgn porsi yg sudah diingatnya di
luar kepala. "Ma, aku kan nggak suka bawang!" protes Livia, menatap aneh sayuran di piringnya.
"Bawang kok nggak suka," celetuk Sophie.
"Ma, Kak Sophie tuh." Livia kembali memanyunkan bibir.
Marsya hanya tertawa hingga makanan yg dikunyahnya muncrat tanpa menyadari Papa
mengambil lauk dari piringnya.
"Marsya, kamu jorok banget sih. Maaa!" seru Sophie.
Mendadak makan malam yg tadinya sepi itu menjadi penuh keributan, "Bisa nggak sih kalian
sehari aja nggak ribut dan teriak kayak gitu!" mama memandangi ketiga anaknya satu per satu.
Meski Mama terlihat kesal, dia tdk pernah benar-benar marah kpd putri-putrinya.
"Yah, Maa, ayam Marsya kok ilang"!"
Sophie dan Livia cekikikan bersama. Marsya langsung menyadari kalau ayam di piringnya sdh
berpindah ke papa. Mama menggeleng-gelengkan kepala melihat ulah anggota keluarganya.
Senyumnya mengembang halus, mengamati Marsya yg sedang mengomeli Papa. Sophie dan
Livia yg tertawa lepas. Kalau saja yg seperti ini bisa bertahan selamanya.
*** Sophie duduk di pinggiran ranjang. Dia merebahkan diri sejenak, menatap langit-langit yg
ditempeli stiker berbentuk bintang yg dapat menyala dalam gelap. Sophie memang menyukai
bintang2 karena cerita masa kecil dari neneknya. Kisah yg didapatnya ketika kakeknya
meninggal-mereka yg pergia akan menjadi bintang. Sejak saat itu, Sophie yg dekat dgn kakeknya
memutuskan untuk memasang stiker tersebut. Jadi, setiap kali rindu kpd kakek, Sophie bisa
memandangi bintang-bintang itu.
Dia amat menyukai kamar ini. Mama mengizinkannya untuk mendekornya sendiri. Beberapa
barang dikamar ini dibelinya bersama Marko, mesti cowok itu selalu berpendapat terlalu girly,
terlalu colorful, dan temanya kurang jelas. Ada lampu-lampu kecil tergantung dekat jendela.
Lemari penuh buku. Sederet miniatur pot bunga favorit Sophie bertengger di rak-rak yg
menempel di dinding. Tadinya, ada beberapa mug hias dgn lukisan balon-balon kecil, tetapi
karena Marko dgn keras protes keberadaan benda dgn pola yg dibencinya itu, akhirnya Sophie
menyimpannya. Berbagai motif dan warna, dia pilih untuk menghiasi kamarnya. Semua saling
tabrak mengesankan kemeriahan kamar itu.
Bukankah seperti itu hidup seharusnya, ramai dan penuh harapan"
Akan tetapi, pada saat ini, cuma sepi yg menemani Sophie. Raungan Livia dan Marsya sudah
berhenti. Mama dan Papa yg mungkin masih bercakap-cakap, tak terdengar sampai kamarnya.
Sophie menghela nafas. Hari ini dia tidak terlalu banya beraktivitas, tapi rasanya lelah sekali.
Kesunyian kamar ono membuat letihnya terasa berlipat-lipat.
Sophie bangkit, membuka jendela. Dari sini, dia bisa melihat tower-tower lain yg terletak di satu
kompleks apartemen. Satu tower yg terdekat dengannya adalah tempat Marko tinggal. Entah
kebetulan atau bagaiman, jendela mereka terletak bersebrangan. Namun, Sophie sanganat
menyukai dan mensyukuri kebetulan itu. Dia tidak ingin tahu alasan apa yg ada di balik itu
semua. Lampu kamar Marko sudah menyala. Berarti cowok itu sudah ada di kamarnya sekarang dan
pasti sedang menekuri laptop, teman akrabnya, selain Sophie. Seringai menghiasi wajah Sophie
ketika menjauh dari jendela dan meraih senter yg selalu dia letakan di tempat yg sama. Sophie
meredupkan lampu dan mulai menyalakan senternya ke arah kamar Marko.
Kode morse. Sophie sangat bangga bisa menguasai kode morse. Dulu saat sekolah dasar hingga menegah,
Sophie memang aktif mengikuti pramuka. Sampai sekarang, hafalan tentang kode morse itu
masih lekat di ingatan Sophie. Dia bahkan memaksa Marko utk mempelajarinya, sehingga
mereka dapat berkomunikasi secara rahasia. Seperti sekarang dan hampir selalu mereka lakukan,
lewat cahaya senter. 'ngapain"' rupanya kode Sophie langsung terbaca oleh Marko, karena dia segera mendapat jawaban.
Panjang panjang pendek, G. Pendek panjang, A. Panjang pendek, N. Kode pertama terulang lagi.
Sophie mendesah, dgn cepet bisa menebak apa yg mau Marko sampaikan.
'Ganggu aja.' BAB 2 TEEEETTT!! TEETTT! Sophie ikut menghambur keluar dari kelas. Dia menyapa beberapa teman sekelas sebelum
beranjak seorang diri ke taman belakang. Semalam dia menonton beberapa video di youtube,
memilih video-video random untuk di lihat. Banyak orang yg dengan percaya diri berbagi tip,
menceritakan keseharian serta pengalaman, sampai berbagai rahasia. Rahasia tidak lagi menjadi
rahasia ketika sudah di ceritakan ke khayalak, kan" Namun, si pembuat video tampak biasa-biasa
saja dan memang sengaja membuat video untuk menyebarkannya.
Ide itu menyelip di benak Sophie, menduplikasi dirinya seperti virus. Sepanjang pelajaran tadi,
Sophie tdk sabar untuk mencoba membuat videonya sendiri. Laptopnya sudah menyala. Sophie
juga sudah bersiap merekam penampilannya. Tidak, dia tdk ingin bernyanyi lipsync aneh. Tidak
juga berniat memamerkan bakat bernyanyi, karena bakat itu memang tdk ada padanya. Dia
mungkin akan berbagi tip atau kalau nanti sudah kepikiran sesuatu yg menarik, Sophie akan
langsung melakukannya. Berbagi sesuatu yg menginspirasi. Kapan lagi kalau bukan sekarang"
Sophie menyisir rambutnya dgn jemari tangan kiri. Peralatan tulisnya berserakan di sisi laptop
bersama kertas-kertas yg di jepit jadi satu. Ada juga beberapa hiasan rambiut tergeletak di sana.
Sekali lagi, Sophie meneliti semua persiapannya. Dia tak mau ada kekurangan ketika sudah
memulai rekaman. Dia menarik napas panjang sebelum mengklik tombol rekaman di laptopnya.
"Tips of the day. Kadang-kadang habis pulang sekolah gini, kita suka sebel karena rambut kita
lepek. Tapi jangan khawatir, kita bisa mengakalinya dengan ini."
Sophie mencomot salah satu karet berwarna dan mengikat rambutnya. Lalu, menjumput klip
kertas lucu dan warna-warni. Dengan itu, dia menata rambutnya, menjepit bagian samping agar
tdk berantakan. Wajah Sophie dihiasi senyum lebar. Dia senang melihat dirinya sendiri tdk gagal di percobaan
pertamanya. "Tadaa! Dengan memakai barang yg ada disekitar kita, bisa bikin keliatan fresh dgn cepat. Good
luck ya, girl...." Sophie menghela napas, mematikan rekamannya. Dia mengulang lagi video yg baru saja di
buatnya. Memutuskan kalau itu cukup lumayan dan tdk perlu editing lagi untuk bisa di unggah
ke youtube. Cengiran lebar muncul di paras Sophie. Sambil menyenandungkan lagu, dia bersiapsiap mengunggah videonya ke situs populer tersebut.
Suara ranting terinjak membuat perhatian Sophie teralih. Dia menengok ke asal suara dan
melihat Marko yg mengarahkan handycam kepadanya.
"Lo tuh ya. Selalu aja ngerekam gue waktu gue belum siap." Sophie bersungut-sungut ketika
Marko mendekat dan tetap merekam. "Apus nggak"!" ancamnya.
Marko menjauhkan handycam. Memandang Sophie gemas. Tanpa di minta dua kali, dia
langsung menghentikan rekamannya.
"Apus!" pinta Sophie sambil memukul ujung topi bisbol biru kesayangannya Marko hingga
terlepas dari kepalanya. "Bawel." Marko melengos memungut topinya, lalu duduk di sebelah Sophie.
"Komarrr! gue nggak mau kelihatan jelek di kamera lo," pinta Sophie memberi Marko tatapan
merajuk yg biasanya selalu bisa meluluhkan kecuekan cowok itu.
Marko mencibir. "Siapa juga yg bakal upload video lo" Gue kan bukan lo," katanya. "Lo tau
semua orang yg posting-posting video itu, cuma punya dua kemungkinan; pertama, mereka
nggak ada kerjaan. Kedua, mereka benar-benar megalomania. Satu tingkat di atas narsis. Dan
dalam pikiran mereka cuma....." Marko terdiam sejenak, menatap Sophie yg memandang kesal
tapi penuh ingin tahu. "....is all about me," ujarnya dengan nada lebih keras dan nggak mengejek.
Raut wajah Sophie langsung berubah drastis. Senyum riang karena videonya berhasil langsung
pupus oleh kata-kata pedas Marko. "Jadi, menurut lo, gue orang yg cuma peduli sama diri gue
sendiri"!" "Gue nggak bilang gitu," sahut Marko, tanpa melihat Sophie, dan seolah-olah hanya peduli dgn
handycamnya di tangannya.
7 Misi Rahasia Sophie Karya Aditia Yudis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sophie membereskan barang-barangnya dgn cepat. Wajahnya memerah. Dia kelihatan seperti
orang yg sedang menahan tangis. Tasnya dipakai cepat-cepat, kemudian tanpa pemberitahuan,
kabur begitu saja dari Marko.
"Loh kok lo marah?" Marko kaget dgn aksi Sophie. "Ada yg mau gue liatin nih."
"Bodoh!" Sophie enggan menatap Marko.
"Soph, lo pasti suka," ujar Marko dgn nada datar.
Sophie menelan ludah. Sikapnya ternyata tdk juga membuat Marko sadar. "Gue juga males basabasi sama orang yg selalu nge-judge orang lain. Ngerasa dirinya paling benar!"
keduanya bersemuka. Sejenak tak ada kata-kata yg tertukar. Pandangan mata Sophie mengusik
Marko. "Sophie, gue minta maaf," katanya pelan, setelah beberapa saat saling bisu.
"Basi!" seru Sophie, yg kemudian berbalik dan lari menjauh.
Marko terpaku di tempatnya, melihat sosok yg sangat dikenalnya itu berlalu. Tangannya
menggenggam handycam makin erat. Di situ, dia menyesali kata-kata yg keluar dari mulutnya.
Kalu saja, dia bisa mengendalikan sedikit saja sikapnua yg terlampau cuek itu, mungkin mereka
tak akan bertengkar. Marko pikir bersikap tdk peduli adalah cara untuk melindungi diri sendiri,
sekarang sia tahu kalau itu tdk selamanya benar.
Handycam di tangan Marko masih memutar video yg akan ditunjukkannya kpd Sophie. Gadis
Laundry dan Cowok Pelanggan. Keduanya salah tingkah, sampai tangan Cowok Pelanggan
terulur. Marko langsung memutuskan untuk menyudahi video itu.
*** Marko memutuskan pergi ke mal untuk menghilangkan pikiran tentang Sophie. Dia mengunjungi
toko buku favorit yg biasa didatanginya bersama Sophie juga. Tidak lama Marko berada di toko
buku tersebut. Ketika keluar dari sana, Marko melihat satu sosok yg sangat dikenalnya. Di antara
ratusan mal di ibu kota, mengapa Marko bisa sampai bertemu dgn orang itu di sini"
Langkah Marko melambat. Dia ingin sekali memutar arah, tetapi pandangannya terkait kpd
sosok-sosok itu--keluarga kecil yg tamapak begitu bahagia. Anak kecil yg berjalan di sisi lakilaki dewasa, di samping mereka ada seorang perempuan yg terlihat cantik dan lembut. Sungguh,
kalau Marko tak mengetahui siapa sebenarnya mereka--dia akan langsung memberi cap keluarga
ideal. Semua itu omong kosong. Kini, Marko benar-benar mematung disana. Tangan terkepal.
Wajahnya yg biasa cuek, kini terlihat makin kaku seperti arca. Dia tdk menyukai situasi ini dan
ingin beranjak. Akan tetapi, sesaat kemudian Marko menuyadari malah memilih mengikuti
mereka. Ketiganya berhenti di depan sebuah toko mainan. Anak kecil dalam gendongan pria itu, Oka,
menunjuk mainan di etalase atas. Si pria langsung berinisiatif menggendong Oka. Tawa mereka
berderai penuh antusias mengamati deretan mainan. Marko menelan ludah, tak suka ada di situ.
Si pria itu kemudian berbisik kpd Oka yg ditanggapi dengan anggukan bersemangat. Pria itu
tampak gemas dgn Oka dan memberi kecupan di pipu. Semestinya, Marko tak usah membuntuti
mereka. Sungguh konyol kian benci kpd sesuatu, makin besar keingintahuan tentang hal itu.
Ketiganya kini masuk ke dalam toko mainan, lenyap dari pandangan Marko. Rahangnya
mengeras, genggaman tanganya kebas. Kalau Sophie ada di sini, pasti dia sudah mengajak pergi.
Marko melewati toko mainan itu dgn langkah cepat. Berusaha untuk tdk melirik. Di dalam
kepalanya kelebatan ingatan tentang papa berhamburan seperti foto-foto yg terbang di tiup angin.
Suasana hati Marko tdk membaik sesampainya di apartemen. Tempat tinggalnya selalu sepi,
hanya dia dan mama yg menempatinya. Seperti biasa, mama sedang duduk di depan PC. pastinya
sedang mengurusi bisnis restoran dan kafe miliknya. Terlebih mama akan segera membuka
cabang baru. Apartemennya ini sungguh berbeda dgn milik Sophie. Disana, Marko, selalu merasakan
kehangatan. Sementara di tempat ini, meski furniturnya berkelas, didominasi warna gelapdan
aksen kulit, tidaklah memancarkan nuansa rasa yg sam. Mamanya selalu sibuk, sisanya adalah
kesunyian yg jadi teman baik Marko.
Mama melihat Marko yg masuk ke ruangan. "Marko, tadi papa kamu telepon. Weekend ini
jangan lupa ketempat papa kamu."
langkah Marko terhenti, pandangannya menyipit. Atmosfer hatinya yg berantakan karena
peristiwa di mal tadi, menjadi kian amburadul. "Kenapa sih aku harus kesana"!" sahutnya agak
membentak. Mama terkesiap, agak terkejut dgn nada suara Marko. "Pengadilan yg mutusin begitu. Bukan
Mama." Marko menelan ludah. "aku nggak mau."
"Kamu harus mau! Kalu kamu nggak kesana, nanti papa dan keluarganya mengira mama yg
ngelarang kamu ketemu papa kamu."
"Biarin aja. Mama kok mikirin banget sih," Marko menanggapi dgn males dan menunjukan
ketidaksukaanya dgn terang-terangan.
"Biar bagaimanapun dia papa kamu, Marko," mama mencoba lebih lunak.
Marko dan mama saling pandang. Kelebatan kejadian di mal tadi kembali membayang.
Bercampur baur dgn ingatan saat mama dan papa berpisah dulu. Dia tak pernah bisa melupakan
itu. Seharusnya, mama tdk boleh memaksakan kehendaknya seperti sekarang.
"Walau diem-diem dia selingkuh, terus ninggalin mama?" suara Marko meninggi.
Mama tersentak. "Kamu mulai berani ya ngajarin mam?" mata yg biasanya bening itu kini
melotot pd Marko. "Besok, kamu harus ke tempat papa kamu. Harus!"
setelah itu, mama langsung kembali menghadap PC. kembalai melanjutkan pekerjaanya seakanakan kejadian barusan tdk pernah terjadi. Seolah-olah Marko tak ada di ditu. Bagi mama
percakapan barusan adalah harga mati. Selama beberapa saat Marko masih berdiri di tempat yg
sama. Pandangannya setajam belati kpd mama. Dia tak bisa menahan diri untuk melakukan itu.
Apa yg terjadi kpd papa dan mama terus tinggal dalam ingatan Marko. Rahangnya mengencang.
Air mukanya kian keruh. Lebih baik kalau Marko segera pergi dari tempatnya itu. Sekarang juga.
BAB 3 "Lihat Marko, nggak?"
Sophie asal bertanya ke murid yg dia tahusebagai teman sekelas Marko. Dia melongok ke dalam
kelas, tetapi tak menemukan keberadaan Marko.
"Markp nggak masuk?"
Pandangan Sophie masih terarah kpd murid itu, seakan-akan dia memberi jawaban yg tdk benar.
Sophie menengok ke dalam lagi, Marko masih tetap tak ada.
"Oh, makasih ya."
Dari dalam saku, Sophie mengeluarkan ponselnya. Dia mencoba menghubungi Marko lagi.
Sedari tadi, dia sudah mencoba, tetapi tak satu pun panggilannya yg di terima. Tidak biasanya
Marko seperti ini. Mau tidak mau, Sophie merasakan kekhawatirannya menebal dalam benaknya.
Apakah Marko marah dgn kejadian kemarin" Sophie memang tersinggung dgn kata-katanya
Marko, tetapi dia tdk bermaksud bermusuhan selamanya, apalagi samapai mengusir Marko dari
kehidupannya. Dia mencoba mencari ke taman belakang, kantin, perpustakaan, seluruh sekolah, namun hasilnya
nihil. Murid tadi memang tdk bohong. Mobil Marko pun sama kali tdk terlihat di parkiran
sekolah. Haruskah Sophie bertanya ke mama Marko" Namun Sophie mengurungkannya. Kalau
ada hal yg membuat Marko uring-uringan seperti ini, Sophie tahu betul apa penyebabnya.
Sophie memutuskan untuk menunggu. Marko pasti kembali.
*** Ponsel Marko terus-terusan berdering. Selama itu juga, Marko tdk mengacuhkan semua telepon
masuk itu. Dia kembali berkonsentrasi ke jalanan di depannya. Hanya Sophie yg peduli. Entah
sudah berapa kali gadis itu menghubunginya. Harusnya Sophie mengerti kalau dia sekarang tdk
ingin diganggu. Samapai, akhirnya penelepon lain masuk ke ponsel Marko. Nasibnya sama saja
dng Sophie, Marko abaikan. Tetapi, panggilan itu yg membuat Markop memutuskan
menonaktifkan ponselnya. Panggilan dari rumah. Mama pasti akan memaksanya lagi untuk bertemu dgn papa. Sayangnya Mama tdk akan bisa
melakukan itu. Maeko terlalu jauh untuk dipaksa. Mobilnya sudah bergulir memasuki Kota
Bandung. *** Sophie menghabiskan sore di rooftop. Dia masih menunggu Marko,, tetapi tak kunjung datang
juga. Setiap kali muncul bunyi berderak, dia menoleh ke arah pintu darurat. Namun, pintu itu
tetap pada posisinya. Tak berayun. Tdk juga memunculkan sikap Marko dari sana.
Sophie manarik nafas panjang. Angin sore menampat wajahnya. Tempat ini tdk begitu
menyenangkan didatangi seorang diri. Dia tdk ingin menikmati rooftop ini sendirian selamanya.
Masrko meski begitu cuek, setidaknya selalu mau menjadi pendengar yg baik bagi Sophie.
Dia mencondongkan tubuh kepembatas. Tanpa teropng milik Marko, sia-sia mengamati orangorangdi bawah sana dari sini. Hanya sosok-sosok bergerak kesana kemari tanpa Sophie bisa
melihat jelas apa yg mereka lakukan. Beberapa hari terakhir Sophie membangun sebuah rencana.
Tetapi, tanpa Marko semua itu akan sia-sia saja. Dia ingin berbagi rencana tersebut tetapi Marko
tak jelas dimana rimbanya.
Berkali-kali Sophie menghela nafas. Dia menegakkan tubuh. Pandangannya berkeliling ke
rooftop itu. Kesunyian itu membuat perasaannya sendu. Sophie membenahi rambut yg
berantakan karena angin. Tatapannya tertuju kpd sofa biru lusuh beserta payung besar yg koyak.
Ada juga kotak-kotak kayu yg entah siapa yg meletakanya. Mungkin menurut yg membuangnya
benda-benda itu terlalu sayang kalau dijejalkan ke tempat sampah. Namun, di atas sini bendabenda tersebut di sia-siakan pemiliknya. Menurut Sophie benda-benda itu masih bisa digunakan,
tetapi sdh diabaikan begitu saja. Waktu memang tdk bisa bohong. Benda-benda itu pasti
dipensiunkan karena sudah berumur. Setidaknya benda-benda itu sudah pernah memberikan
manfaat kpd pemiliknya. Iba membuncah dalam Sophie.
BAB 4 Perasaan melankolis itu terbawa hingga hari-hari selanjutnya. Ini hari ke tiga Marko tdk tampak
batang hidungnya. Apa susauhnya sih, memberi kabar. Katanya mereka teman baik, tetapi tiap
kali Marko merasa marah,dia tak pernah membaginya dgn Sophie.
Ponsel Marko bisa dihubungi, tetapi telepon dr Sophie, tdk juga diangkat. Sophie sendiri sudah
menghubungi mama Marko, yg didapat dr beliau adalah kabar kalau Marko baik-baik saja.
Meski kpd beliaupun, Marko tdk mau memberi tahu dimana dia berada. Bagaimana bisa Marko
baik-baik saja kalau dgn mamanya, sekolah, dan Sophie saja, cowok itu tdk bisa peduli. Sophie
berdecak kesal. Rencana yg disiampakannya memang harus segera dijalankan. Setelah benarbenar memikirkannya, Sophie tahu rencana itu tak bisa berjalan tanpa ada Marko.
Sophie berjalan di koridor sekolah dgn kepala tertunduk. Sepanjang malam Sophie berdoa agar
cowok itu baik-baik saja. Ya, Marko sahabat terdekatnya, tak bisa dia bayangkan kalau harus
kehilangan Marko duluan. Tiba-tiba saja ada uang koin yg menggelinding ke arah kakai Sophie. Pandangannya tertuju kpd
koin yg berhenti di dekat sepatunya, selama beberapa saat mengamati benda itu. Kemudian,
Sophie mendongak saat merasa ada yg mendekatinya.
Mata Sophie tertuju pada topi biru yg begitu akrab. Ada kelegaan luar biasa mengalir didalam
hatinya. Sungguh Sophie ingin tersenyum, tetapi seluruh tubuhnya kaku. Kehadiran sosok tinggi
di depanya itu mengejutkan. Marko berdiri di hadapannya, berjarak beberapa langkah saja.
Senyum jail tersungging di bibirnya yg tipis. Selanjutnya, Sophie hanya termangu. Rasanya ingin
mengomeli Marko, tetapi melihat cowok itu kembali sudah cukup membuatnya bersyukur.
Mereka berdua duduk berdampingan di taman belakang. Senyum di bibir keduanya sudah
menguap. Tinggal kecanggungan yg ada di antara mereka berdua. Saophie merasa salah sudah
marah kpd Markop waktu itu. Keduanya tetap bertahan sama-sama sunyi. Sophie
menggoyangkan kakinya pelan-pelan, sambil mengamati jarum panjang di jam tangan merah
kesayangannya. Marko memperhatikannya. Diam di anatara mereka ini sesungguhnya membuat
Marko merasa sangat tdk nyaman.
"Lo ke mana aja sih beberapa hari ini?"
"Nyari imajinasi. Kan kata loe, gue nggak punya imajinasi," seloroh Marko.
"Nggak lucu," sahut Sophie. Dia tahu Marko bermaksud bercanda dan mencairkan kebekuan
antara mereka. Namun saat ini, bukanlah waktu yg tepat. Kecemasan Sophie tdk bisa ditebus dgn
semudah itu. Awalnya Sophie ingin marah, tetapi dia tak kuasa melakukan itu. Dia hanya tak
ingin Marko pergi lagi. "Lo marah ya sama gue?"
"Gue marah sama lo, terus kabur gitu?" Marko menyeringai. "Ge er banget lo ya."
"Syukur deh kalau bukan karena gue." Sophie menghela nafas, mengamati wajah Marko dari
samping. "Terus karena apa dong?" Sophie memberi jeda pada pertanyaannya, mengumpulkan
keberanian untuk mengutarakan itu. "Nyokap lo" Atau bokap?"
seperti yg sudah Sophie kira, air muka Marko langsung berubah.
"Ahh. Nggak usah dibahas deh, Males." kilah Marko.
"Tapi lo nggak bisa kayak gini. Ngambek, terus kabur. Gi mana kalau lo nggak naik kelas. Masih
untung nggak di keluarin gara-gara bolos."
Di ujung kalimat Sophie, Marko langsung bangkit beridiri. Raut mukanya mendung. Lalu begitu
saja dia meninggalkan Sophie.
*** Sophie meneropong ke bawah. Marko selonjoran di sofa, di bawah payung besar. Dia kelihatan
begitu nyaman dalam posisi sekarang. Terlebih karena udara sore yg sudah sejuk dan sinar
matahari yg tak lagi begitu terik. Marko membatin, harusnya dari dulu barang-barang ini ada di
sini. Beberapa hari saja dia tak mendatangi tempat ini, sofa dan payung besar sudah
menggantikannya. "Lo dapat barang-barang ini dari mana?"
"Kafe bawah tutup. Barang-barangnya di buangin." jawab Sophie tanpa menatap Marko.
Sophie beranjak dari pinggiran rooftop, duduk di ujung sofa. Suasana hati Marko tampaknya
sudah lebih baik sekarang. Sophie teringat rencananya yg tertahan untuk disampaikan. Dia
melirik Marko yg memandangi langit. Namun, selama beberapa menit, di juga ikut diam,
memainkan teropongnya di tangan.
"Lo pernah bilang kalau orang-orang yg upload video itu egois. Mereka cuma mikirin diri
sendiri." Sophie mengerling, Marko sudah memasang ekspresi favoriynya--yg sebenarnya datar
saja, tanpa antusiasme. Dia tdk memedulikan itu, rencana ini harus terlaksana apa pun tanggapan
Marko. Sejenak dihela napas panjang, lalu kembali melanjutkan. "Gue akan bantah omongon lo
itu, dengan lakuin tujuh misi rahasia Sophie. Lo mau bantu gue kan?"
Marko menatap Sophie. "Tentang apa tuh misi?"
"Jangan banyak tanya deh. Lo lakuin apa aja yg gue minta. Kayak di film-film spionase gitu."
Sophie mengedip kpd Marko. "Jagoannya mana tau sih misinya apa. Pokoknya jalanin aja. Ntar
juga tahu." tak ada sahutan dari Marko. Kemudian caranya memandang Sophie berubah, matanya menyipit.
"Kenapa tujuh bukan delapan" Lo kan suka angka delapan?"
Sejenak Sophie membisu. "Itu pertanyaan atau bukan" Kalau pertanyaan nggak bakal gue
jawab!" Marko berdecak, mengalihkan tatapan. "Oke. Okeee......" dia menegakkan tubuh. Sekarang
keduanya duduk berdampingan. Selama kepergiannya, dia menyadari kalau merindukan tempat
ini. Merindukan melihat langit senja yg berubah warna perlahan. Marko menoleh kpd Sophie,
lalu tersenyum. BAB 5 PING! PING! PING! Marko menggeliat, setengah terpejam meraba-raba mencari BB-nya. Pesan dari Sophie datang
sepagi ini. Dia ingin melanjutkan tidurnya lagi, tetapi ingat kalau punya janji. Dengan malas,
Marko membuka pesan itu. Misi Rahasia Sophie #1. Ke lobby sekarang!
Bunyi 'ping' berulang lagi. Marko menutupi kepalanya dgn bantal, tetapi bunyi itu seakan bisa
menyusup dari mana-mana. Akhirnya, Marko menyerah, melihat jam bekernya. Sungguh, dia
masih sangat mengantuk dan ingin menikmati hari liburnya. Pantas saja, sekarang masih pukul
tiga pagi. Setengah sadar, Marko membalas.
Masih tidur! Besok libur. Jam 9 aja!
Dia kembali menarik selimut. Denting yg sama terdengar lagi. Kalau bulan Sophie, Marko sudah
akan melempar BB-nya ke ujung ruangan agar berhenti berbunyi.
Sekarang! Atau lo gue pecat dari misi ini! Buruannnn! Ping! Ping! Ping!
Arggghhh. Penuh keterpaksaan, Marko menyeret tubuhnya turun dari ranjang. Lain kali, dia akan
pikiri-pikir untuk berjanji.
Mata Marko yg digelayuti kantuk langsung terbelalak saat melihat penampilan Sophie di loby.
Rambutnya di gelung dan di atas kepalanya bertengger tiara kecil. Aksesoris yg sama sekali tdk
serasi dgn pakaian olah raga ngejreng yg membalut tubuhnya.
"Mau joging kemana" Jam segini bisa dikira maling," ujar Marko takjub sekaligus menahan
tawa. Sophie yg bisa membaca raut Marko, langsung menjawab. "Jangan banyak nanya!" katanya sok
bossy. Tanpa memberi perintah terlebih dahulu, Sophie langsung berjalan. Marko mengikuti Marko
seperti seorang pengawal yg patuh pada putri yg dijaganya. Sepanjang jalan, Marko tak protes
dan mengikuti arah yg diberikan Sophie. Semangat menya-nyala yg keluar dari Sophie tak ingin
Marko lunturkan dgn sikap menyebalkannya. Meskipun merasa misi ini aneh, Marko berusaha
maklum. Dengan begitu, mungkin dia bisa memasuki alam imajinasi Sophie yg biasanya tak
terjangkau olehnya. Terlebih, mata Sophie yg penuh binar, sangat Marko sayangkan jika sampai
meredup. Sejak dulu, dia sangat menyukai binar itu.
Kalau harapan bisa dilihat, seperti itulah nyalanya.
*** Pasar pagi menjadi tujuan pertama mereka. Marko mengikuti Sophie yg berjalan tanpa merasa
risih dgn keadaan pasar. Tempat ini sudah penuh manusia, padahal langit masih gelap. Orangorang yg bangun sepagi ini pastilah luar biasa. Padahal menjelang subuh adalah waktu tidur
ternikmat, menurut Marko. Dia merasa beruntung tdk perlu bangun sepagi ini seperti orangorang diseluruh pasar untuk bekerja.
Mereka berdua berhenti di salah satu lapak. Marko melihat Sophie menyapa ibu paruh baya yg
menunggu lapak, lalu menyerahkan bon pemesanan.
"Ibu pesanan saya sudah siap, kan?"
ibu penjual kue basah mengamati nota, lalu mengecek pesanan yg sudah tersedia. Sebuah plastik
besar diambilnya dari kolong lapak. Sekantong plastik kue basah itu kini sudah berpindah tangan
ke Sophie. "Makasih ya bu," ujar Sophie santun. Kemudian dia berpaling. "Marko, angkatin dong."
Marko langsung menuruti permintaan Sophie. Senyum manis Sophie berikan kpd Marko yg pagi
ini tdk banyak mengomel. Dia mengangkat iPhone-nya lagi, meneruskan rekaman. Marko yg
sedang mengangkat dan kini menjinjing plasti penuh kue basah pun tak luput dari video itu.
Dari pasar ppagi, keduanya meneruskan perjalanan. Jalan raya yg pd jam biasa selalu padat, kini
lengang sama sekali. Sophie menatap ke luar, pada pinggiran jalan yg masih diterangi lampu
jalan. "Stop! Berhenti, Ko! Berhenti!"
Marko menghentikan mobilnya. Dia menatap Sophie heran. Namun, Sophie sudah sibuk dgn
iPhohe-nya. Sophie memberinya isyarat untuk diam dan ditegaskan lagi dgn ucapan.
"Jangan ngomong lo ya"
Marko mengikuti arah pandang Sophie. Dia tahu siapa yg Sophie perhatikan.
'Kalian lihat tukang sapu itu" Saat kalian semua mungkin masih tidur, ada orang yg sudah nyari
7 Misi Rahasia Sophie Karya Aditia Yudis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
rezeki di jalanan kayak bapak itu.'
Rekaman itu selesai. Sophie dan Marko saling berpandangan.
"Turun yuk. Kali ini lo yg ngerekam ya"
Tanpa menunggu jawaban dari Marko, Sophie sudah mendorong pintu mobil dan turun. Marko
bergegas mengambil handycam-nya yg terletak di jok belakang. Sebelu berakhir, Sophie kembali
memberi kode kpd Marko agar tdk bicara. Dia juga menyodori aba-aba utk Marko saat rekaman
harus mulai. Sophie mengangkat jempolnya, tanda Marko mesti mulai merekam. Di layar handycam, Marko
mengamati Sophie yg berlari-lari kecil di tempat sambil melakukan pemanasan dan peregangan
otot. Sikapnya seolah-olah seseorang yg berniat joging. Kemudian, dgn cepat Sophie mengambil
sesuatu dr tas selempanganya. Marko tahu apa itu, salah satu bungkusan dr plastik kue basah yg
baru saja mereka ambil dr pasar tadi. Rasa penasaran makin mengisi benak Marko. Dia tdk
mengalihkan tatapannya sama sekali dr layar.
Seolah sudah melakukan berkali-kali Sophie dgn cekatan mendekati bak sampah dan
menggantungkan bungkusan berpita cantik itu di peganganya. Bibir Marco mengerucut. Jadi,
itulah misi pertama Sophie. Perlahan, bentuk bibir Marko berubah menjadi lengkungan manis.
Sophie memang tak terduga, bahkan setelah sekian tahun mereka menjalin pertemanan.
Tanpa Marko sadari, tahu-tahu gadis itu sudah ada di depannya. Kemunculan wajah Sophie di
layar kamera mengagetkannya.
"Hai, kira-kira apa ya, yg ada di pikiran tuh bapak kalau sadar ada makanan tergantung di situ."
Sophie nyengir, melirik kearah tukang sapu lagi. "Wow, ada makanan. Dari siapa ya" Janganjangan dari peri......" kalimat itu diakhiri kikik tawa dari Sophie.
Marko menarik wajahnya menjauh dr ujung lensa. Kini, keduanya mengamati tukang sapu yg
tengah membuka bingkisan itu. Ekspresi terkejut terpancar jelas dr wajah si tukang sapu.
Senyum melebar di wajahnya ketika melihat isi bingkisan itu. Bibirnya bergerak, mengucapkan
syukur. Sophie dan Marko bertukar senyuman.
"Ayo, Ko kita ke lokasi berikutnya. Udah, matiin rekamannya." ujar Sophie menepuk punggung
Marko. Petualangan mereka pagi itu masih berlanjut. Mereka mampir ke pos palang kereta api untuk
memberi bingkisan rahasia bagi penjaga palang pintu. Lalu, di sebuah jalanan perumahan,
bingkisan cantik itu jadi hak seorang pemulung. Marko merekam ekspresi si pemulung yg
tampak senang menerima bingkisan rahasia. Tanpa Marko sadari dia ikut tersenyum. Si
pemulung masih celingak-celinguk mencari tahu siapa yg mungkin menghadiahkan itu. Di
dekatnya hanya ada seorang cewek yg sedang senam. Saat si pemulung menengok lagi, cewek
itu sudah menghilang begitu saja.
"Apa sih maksud misi lo" Lo mw pamer kalau bagi-bagi makanan" Memang lagi kampanye"
Ada ya miss-missan yg pakai kampanye?" Marko memberondong Sophie dgn pertanyaan ketika
mereka melangkah di atas trotoar jalan perumahan.
"Komarrrr! Kok miss-miss-an sih"!" seru Sophie gemas.
"Itu kepalanya pake gituan?" telunjuk Marko terarah ke kepala Sophie, pada tiara yg menghiasi
rambut cewek itu. Tangan Sophie bergerak-gerak, mengepal dan membuka. "Ini peri!" katanya, menyentuh tiara.
"Lagian gue mau nunjukin aja. Banyak orang yg pagi buta gini udah kerja. Emangnya lo.....,"
sindir Sophie, menyeringai kecil.
Marko mengarahkan handycam-nya. Mengfokuskan kpd Sophie yg sedang terkekeh.
"Tapi beneran. Gila akting lo pura-pura senam tadi. Lo emang pantes masuk nominasi oscar."
Marko nyengir lebar. "And Oscar goes to.... Sophie!" serunya lalu kabur dari Sophie.
"Komarrrr!!!" Sophie mengejar Marko gregetan. Sementara itu, Marko berlari mundur untuk bisa terus
merekam Sophie. Saat Sophie hampir berhasil meraihnya, dia tak peduli lagi dgn video yg
sedang dibuatnya, lari sekencang-kencangnya.
Pelarian Marko tiba-tiba terhenti. Matanya menangkap sosok tukang balon yg sedang melintas
ke arah mereka. Seketika itu juga dia langsung balik badan dan lari kearah berlawanan. Sophie
tertawa terpingkal-pingkal melihat itu. Paras Marko pucat seolah baru saja bertemu dgn makhluk
halus. Keduanya berlarian sepanjang trotoar sepagi ini--sesuatu yg sebelumnya tak pernah mereka
lakukan. BAB 6 "Lo yakin kita pakai kostum beginian?"
Bulir-bulir keringat bercucuran di pelipis Marko. Ekspresi bosan kentara di wajahnya. Dia
memandangi Sophie dalam kostum kelinci lengkap berwarna abu-abu di bangku penumpang.
Lalu, mengamati dirinya sendiri, yg menggunakan kostum beruang.
"Kalau lo sih pantes. Gigi lo aja kayak gigi kelinci," celetuk Marko. Dia masih tdk percaya harus
berkostum seperti ini.menggelikan. Ini adalah sesuatu yg tak pernah terbayangkan harus terjadi
seumur hidupnya. "Lo juga pantes!" Sophie menunjuk Marko.
"Kita nunggu apa sih" Masih lama?" tanya Marko.
Sophie tdk menjawab. Pandangannya mengikuti gerak seorang perempuan cantik dlm pakaian
kantoran yg menggunakan sepatu hak tinggi. Umur perempuan itu kira-kira sama dgn orangtua
mereka. Dia sedang berjalan menuju mobilnya.
Marko menoleh kpd Sophie penuh tanda tanya. Matanya ikut mengamati perempuan yg sekarang
sudah masuk ke mobilnya itu.
"Marko, cepet ikutin tuh mobil" Sophie memukul bahu Marko. "Ayo, cepetannn!!!" ujarnya tdk
sabaran. Sesigap mungkin Marko langsung menjalankan mobilnya, mengikuti perintah Sophie. Sepanjang
jalan, Sophie tdk mau memberi tahu Marko siapa sebenarnya perempuan itu dan kemana tujuan
mereka. Kepada Marko, Sophie mengaku tdk tahu tujuan akhir mereka, tetapi jelas dia tahu
identitas yg sedang mereka ikuti.
Marko berusaha menjaga jarak antara mobilnya dengan target mereka. Itu dilakukan agar si
perempuan tdk curiga. Dia sekarang merasa sedang bermain detektif-detektifan. Lumayan seru
juga, batinya. Beberapa kali, dia hampir kehilangan mobil yg sedang diikuti, tetapi dgn cekatan,
Marko bisa menemukan mobil itu lagi. Tanpa mereka duga, mobil tersebut membelok ke sebuah
bangunan. Rumah Jompo Lestari. Marko menghentikan mobilnya di depan pagar panti. Dia menoleh kpd Sophie yg sudah
menurunkan kaca jendela. Kepala Sophie celingukan ke sana kemari. Marko coba mencari tahu
apa yg Sophie ingin ketahui. Menurutnya, perangai Sophie itu sungguh mencurigakan.
"Kita ke sini mau nyuliktuh nenek" Lo mau masuk tivi gara-gara nyulik nenek-nenek dari panti
jompo?" Marko berdeham menirukan gaya bicara penyiar berita. "Dua orang berkostum binatang
nyulik nenek-nenek dari panti jompo....."
Sophie mendelik. "Komarrr!!! Diam dulu kenapa, sih"!"
Marko menutup mulut sejak saat itu. Cukup lama mereka menunggu di sana. Seluruh badan
Marko sudah bermandikan keringat. Tetapi, dia tdk mengeluh karena tahu Sophie tdk akan
menanggapinya. Akhirnya, Sophie kembali mengajaknya bicara ketika melihat mobil perempuan
tadi keluar dari panti jompo. Begitu mobil itu berlalau, Sophie langsung menyuruh Marko untuk
turun dari mobil. Selama beberapa saat, Marko tetap bertahan di dalam mobil. Dia tdk pernah membayangkan
muncul didepan banyak orang dgn kostum seperti ini. Meski kali ini di depan orang-orang
jompo, tetap saja Marko merasa jaim. Sophie kembali memelototinya sambil berkacak pinggang.
Marko pun menyerah dan keluar dari mobil.
Sore itu, koridor di dalam bangunan tersebut tdk terlalu ramai. Namun, kostum yg melekat di
tubuh mereka mau tdk mau menarik perhatian semua mata. Kedatangan mereka di cegat oleh
seorang perawat. Marko pikir mereka akan diusir, tetapi belum sempat di perawat bicara, Sophie
sudah menyerobot duluan. "Mbak, kamarnya oma Pingkan di mana ya?" tanya Sophie dgn mantap.
Marko tdk tahu dari mana Sophie bisa mendapatkan nama orang yg mereka cari. Oma pingkan
itu siapa, dia pun tdk punya bayangan sama sekali. Sekali lagi, dia mengakui Sophie yg benarbenar penuh kejutan. Pelan-pelan dia merasa penasaran juga dgn misi kedua Sophie ini.
"Kami 'pembawa pesan' cucu oma." Sophie tersenyum lebar kpd perawat di depan mereka.
Sesaat perawat itu memandang keduanya dgn tatapan aneh. Ada sedikit rasa curiga, namun,
karena Sophie yg sangat percaya diri, kelihatannya perawat itu percaya.
"Oh, kamarnya yg di pojok sana," si perawat menunjuk salah satu koridor, "Tapi, sore begini,
oma-oma biasanya kumpul di taman dekat situ," telunjuknya mengarah ke arah taman yg terlihat
oleh Sophie dan Marko. Sophie tersenyum lebar. "Makasih ya, mbak."
mereka berdua segera berlalu dari depan perawat. Orang-orang masih memperhatikan mereka.
Sophie cuek dan nyaman-nyaman saja. Sementara itu, Marko merasa risi. Ke mana kemampuan
tdk pedulinya ketika dibutuhkan seperti sekarang ini"
Sophie meneliti kumpulan oma-oma ditengah taman. Tidak butuh waktu lama baginya
mengenali oma Pingkan, seseorang yg dicarinya sejak beberapa waktu lalu. Beliau tdk banyak
berubah, namun Sophie bisa melihat wajahnya yg suram. Sophie menghela napas, menengok pd
Marko yg memasang ekspresi angkuh. Dia menowel bahu Marko, memberi isyarat kalau mereka
akan menuju ke kerumunan oma-oma. Marko mengernyit dahi, tetapi Sophie tdk membutuhkan
jawaban dr cowok itu. Dia maju duluan dan amat sangat yakin kalau Marko akan mengikutinya.
Seluruh perhatian oma-opa tertuju kpd mereka berdua. Sophie merasa agak grogi, meskipun
kostum itu sudah menyembunyikan penampilannya yg asli. Marko berdiri di sebelahnya, tampak
jauh lebih bauk dari pada Sophie. Dia mengucapkan doa di dalam hati sesingkat mungkin agar
semua berjalan lancar. Kalau berantakan, Marko pasti akan mengomel setelah ini. Bahaya kalau
dia sampai ngambek dan tdk mau membantu Sophie menjalankan sisa misi yg ada.
"Haloo semua!" Sophie melambai kpd seluruh penonton. Dia menelan ludah. Entah mengapa
tiba-tiba dia merasa haus. Tetapi, tdk ada waktu untuk kembali dan minum terlebih dahulu.
Misinya sudah menunggu untuk diselesaikan. "Nama saya Sophie kelinci. Ini adalah Marko, si
beruang Pemalas," katanya menunjuk Marko yg diam seperti patung. "Kami adalah sahabat.
Dalam dunia kami, kelinci tdk takut sama beruang."
Sophie terus bicara untuk mengatasi kegugupannya. Dia berusaha menarik perhatian, akan tetapi
kerumunan manula itu memberi Sophie pandangan bosan. Beberapa diantara mereka malah
sudah ada yg bicara sendiri. Marko menoleh kpd Sophie dan merasa jengah. Lain kali, Sophie
harus bicara tentang rencananya sehingga mereka bisa menyusun event yg lebih seru. Marko
sendiri merasa bosan mendengar cerocosan Sophie itu.
Marko meraba saku kostumnya. Ponselnya ada disana. Tiba-tiba ide itu muncul begitu saja.
Sophie melirik galak ketika Marko mengeluarkan ponselnya. Sejurus kemudian terdengar suara
musik 'harlem shake'. "oma, Opa! Shake it!" Marko mengangkat tangan. Mulai bergoyang sendirian. Walaupun sadar
kini seluruh pandangan para manula itu ke arahnya, Marko tdk peduli. Dia terus berjoget sampai
salah satu opa gaul mengikuti.
Pandangan mata Marko bertemu Sophie. Dibalik kostum beruang. Marko tdk bisa menahan
cengirannya. Sophie kini, ikutan menari 'harlem shake'. Taman yg tadinya sepi itu, sekarang riuh
rendah oleh sekelompok manula yg berjoget bersama.
*** "Tahnks udah nyelamatin gue....."
"Dari drama garing lo," sambung Marko, bersandar kelelahan di jok mobil.
Sophie melirik kesal Marko sebal. Sebenarnya dia senang karena Marko punya inisiatif, tetapi
sahutannya barusan benar-benar tdk menyenangkan. Terlebih, sekarang perut Sophie terasa sakit
lagi. Mungkin dia letih dan dehidrasi sejak tadi.
"Lo kenapa?" Ternyata ekspresi kesakitan Sophie tertangkap mata Marko.
Sophie tersenyum lemah. "Biasa. Cewek. Jalan, Maaarrr"
Selama beberapa detik tatapan Marko tdk berpaling dr Sophie. Sebernya dia khawatir, biasanya
Sophie tdk pernah mengeluh sakit ketika datang bulan. Akan tetapi, Marko tahu banyak temantemannya yg memang sering sakit perut saat menstruasi. Mungkin, benar itu yg terjadi kpd
Sophie. Marko tersenyum, lalu menjalankan mobilnya. Dia harus segera mengantar Sophie ke
rumah agar bisa istirahat. Petualangan kali ini, lebih menguras tenaga dibanding misi pertama.
Meski begitu, hati Marko merasa bersuka cita. Tawa dan ekspresi bahagia para manula tadi
menular kepadanya. Meski dia tak bisa mengindahkan perasaan iba melihat mereka semua.
Bukankah semestinya para manula itu ada dirumah bersama keluarga" Miris rasanya sampai
harus dijaga dan dihibur oleh orang lain seperti tadi.
Sesampainya di apartemen, Sophie bersikeras sudah merasa baik-baik saja. Marko memaksanya
mengantar ke atas. Permintaan Marko ditolak mentah-mentah dan kini keduanya duduk di sofa
loby apartemen tower Sophie. Marko tdk tahu apa tujuan mereka duduk di situ. Sophie sibuk dgn
iPhone-nya sementara dia duduk setengah melorot sambil mendengarkan musik lewat earphone.
Dari tempat mereka duduk sekarang, dia bisa melihat orang yg keluar masuk lift. Beberapa
wajah cukupakrab di mata Marko, sisanya blm pernah dilihatnya sama sekali.
Pintu lift terbuka lagi. Ada seorang gadis cantik keluar dr sana. Rambutnya panjang sepunggung
agak kecokelatan. Kakinya yg jenjang melangkah anggun. Matanya begitu teduh. Tatapan Marko
tdk berpaling barang sejenak. Sosok yg ini blm pernah diketahuinya sepanjang tinggal di
kompleks apartemen. Bagaimana anda bisa ada makhluk seperti itu yg luput dr Marko"
Sophie menarik earphone dr telinga Marko. Kemudian bangkit berdiri dan penuh semangat
mencegat gadis itu. Marko masih duduk, tdk paham dgn ulah Sophie. Kalau Sophie kenal gadis
itu, mengapa Marko tak pernah tahu dan berbagi cerita.
Gadis itu kebingungan dgn Sophie yg memblokir jalannya. Keduanya berpandangan, saling
tersenyum canggung. "Hai, sorry ganggu. Lo cucunya oma Pingkan kan?"
Gadis itu memandang menyelidik kpd Sophie. Sebelum gadis itu meminta untuk pergi, Sophie
langsung mengatakan ingin bicara kepadanya tentang Oma Pingkan. Awalnya, gadis itu keliatan
ragu. Sophie meyakinkan kalau pembicaraan itu penting dan tdk akan lama. Gadis itu pun setuju,
keduanya keluar ke area bersama. Marko mengikuti dibelakang mereka, menjaga jarak. Masih
bertanya-tanya bagaimana Sophie bisa mengetahui tentang gadis itu.
"Papa sama mama nitipin oma ke panri hmm.... Biar oma ada temannya. Ada yg ngurus juga.
Kalau dirumah siapa yg ngurus oma" Papa-mama kerja. Sore gue baru balik ke apartemen,"
beber Imel kpd Sophie. Tanpa ragu Sophie menyerahkan iPhone-nya kpd Imel. Sebuah video bermain dilayarnya.
Rekaman yg dibuatnya sore tadi bersama Marko. Imel tampak begitu serius melihat rekaman itu.
"Kok lo bisa.....," ujarnya terkejut, menekapkan tangan ke mulutnya. Cahaya matanya yg teduh,
langsung berubah menjadi sendu. Jelas sekali ada yg tdk beres dan coba disembunyikan oleh
Imel. "Gue ngerekamnya tadi, habis.... Hmmm... Gue sama Marko ngadain atraksi disana."
Imel menghela napas panjang, memandang Sophie dgn tatapan pilu. Dia kembali menekuni
video itu, bahkan mengulangnya. Pandangan Sophie tdk sengaja bertemu Marko yg duduk agak
terpisah dr mereka. Desah napas Imel terdengar ketika video itu selesai diputar. Penyesalan dan
kesedihan mewarnai raut wajahnya yg ayu. Sophie menggigit bibir, teringat misi keduanya yg
sudah setengah jalan. Dia harus terus maju. Air muka Imel sekarang membuat Sophie yakin
bahwa gadis itu akan setuju dgn misi ini.
"Tiga puluh tahun lagi, saat lo udh nikah dan punya anak. Apa lo bakal masukkin papa-mama lo
ke panri jompo?" Sophie melontarkan kalimat yg barusan terlintas di kepanya.
Imel tercekat. Rasa hangat memenuhi kelopak mata Imel., pandangannya memburam. Bayangan
oma serta papa dan mama bermain di kepalanya, membuat dadanya terasa sesak.
Sophie balas memandang Imel. Mata gadis itu sudah dgn jujur memperlihatkan apa yg
bergejolak dlm hatinya. *** Tubuh Sophie terasa benar-benar penat sesampainya di apartemen. Dia mengempaskan badanya
ke sofa. Suara adik-adiknya tak terdengar. Seluruh ruangan itu sepi.
"Kamu ke mana aja. Sampai jam segini....."
Pertanyaan mama mengejutkan Sophie. Mama mengambil majalah di atas meja dan ikut duduk
disamping Sophie. Dia balas tatapan mama dgn perasaan tdk enak. Sekarang memang sudah
lewat jam malam yg ditentukan mama.
"Jalan sama Marko, ma." jawab Sophie jujur.
Mama kenal baik dgn Marko. Bersama Marko adalah alasan terbaik untuk tdk dimarahi kalau
Sophie berpergian hingga larut malam. Kali ini, alasan Marko tdk menghapus kekhawatiran yg
terpancar di wajah mama. "Kok sepi. Pada kemana, ma?" tanya Sophie, mengalihkan perhatian mama.
Mama mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. "Papa nganterin adek buat tugas
prakaryanya." Tepat saat mama mengakhiri jawabannya, pintu apartemen terbuka lagi. Livia dgn cueknya
masuk. Tanpa memedulikan keberadaan mama dan Sophie, remaja itu langsung menuju
kamarnya. "Livia! Kamu dari mana?" Mama berseru sebelum Livia masuk kamar. "Jam berapa ini?"
Livia mengabaikan pertanyaan mama.
"Livia, mama tanya sama kamu."
Livia bersecak, berhenti sebelum mendorong pintu kamarnya. Selalu saja apa yg dilakukannya
salah di mata mama. "Mama kenapa marah-0marah"! Livia cuma main sama Jenny dan Verni! Livia" Livia berbalik,
menghadap mama dengan cemberutnya. Kejengkelan tergambar jelas di wajahnya. Matanya
menatap kesal kpd Sophie dan Mama. "Kak Sophie juga barusan pulang, kan"! Livia liat tadi di
lobi. Cuma beda semenit aja, dimarahin!" serunya.
Mama teranyak mendapatkan reaksi sekeras itu dr Livia. Remaja itu bergegas membanting pintu.
Sophie menarik napas panjang menatap kejadian itu. Dia berpaling kpd mama yg masih menatap
ke arah pintu kamar Livia. Hatinya terasa pedih. Sejak kapan Livia bersikap seperti itu" Livia yg
dulu Sophie kenal adalah anak perempuan yg manis. Sophie jelas mengakui Livia lebih cantik
darinya, tetapi dia tak pernahj iri. Mereka dulu akrab, tetapi perlahan-lahan keabraban itu luntur.
Semestinya mama tdk perlu berteriak kpd Livia. Seharusnya, mama bisa bersikpa biasa-biasa
saja, baik kpd Sophie maupun Livia.
Sophie meraih tangan mama, menggenggamnya. Perhatian mama kembali teralih kpd Sophie,
mata perempuan itu terlihat sendu. "Biasa, ma, abege. Ntar gedean dikit Livia juga ngerti kok,"
dia berusaha menghibur mama. Sebelum masuk ke kamar, Sophie menyempatkan memeluk
mama. Keduanya sama-sama mencoba tersenyum.
BAB 7 "Makin lama makin banyak aja orang yg nyampah di YouTube!" komentar cewek berambut
panjang dgn judes. "Yah, namanya juga usaha," cewek lain menyahut penuh sindiran. Matanya melirik ke arah rak
buku yg tak jauh dari mereka. "Lo tau nggak, narsisi itu eksis yg tertunda," katanya dengan suara
dikeras-keraskan, kalimat itu disambut tawa dari kedua cewek. Dengan sengaja salah satu dari
mereka mengeraskan volume iPad ditangannya. Suara dr rekaman 'Misi Rahasia Sophie #1'
7 Misi Rahasia Sophie Karya Aditia Yudis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
meramaikan perpustakaan yg mestinya sepi itu.
"Bisa diam nggak"! Ini perpus, bukan mal!"
seruan petugas perpustakaan itu langsung mendiamkan gerombolan cewek yg mengomentari
misi Sophie. Mereka tahu kalau Sophie ada di ruangan itu bersama mereka. Teguran petugas
perpustakaan itu membuat mereka kesal. Sophie menggeleng-gelengkan kepalanya dari balik
rak, mengamati kekasaran mereka saat membuka lembaran-lembaran buku.
"Kalau nggak karena tugas, males banget gue ke sini! Tampangnya sama semua, kayak buku
cetak!" Gerombolan itu terkikik lagi. Sophie berdecak, menatap mereka dgn pandangan sebal. Gara-gara
itu, dia malah mendapatkan ide. Bibirnya langsung membentuk cengiran, sembari dia mengambil
iPhone dr dalam saku. Dia celingak-celinguk terlebih dahulu, memastikan tak ada orang lain yg
memperhatikannya. Sophie berdeham dan mulai merekam dirinya sendiri.
"Di sekolah ini ada dua spesies yg paling dominan. Anak mal dan anak perpus. Anak perpus
sangat nyaman dgn habitatnya. Tapi jangan salah, mereka juga menikmati hangout ke mal. Tapi
anak mal hanya di mal mereka merasa eksis. Tapi diluar habitatnya, mereka sering mati kutu.
Dan asal tau aja, semua juga bisa nikmatin ke mal. So, who's the really somekind of aliens
people" You'll know the answer is....."
Sophie menyadari dia sudah ketahuan. Buru-buru dia menghentikan rekamannya saat salah satu
cewek dr gerombolan itu menghampiri.
"Rese banget sih lo!" bentak si cewek judes berambut panjang tanpa basa-basi.
Alis Sophie terangkat. Sebenarnya dia agak kaget bisa kepergok. Tetapi, dia tdk takut dgn
cewek-cewek jutek itu. Sophie bersedekap dan balas menatap si cewek jutek tidak kalah galak.
"Kalau lo mau cari upload-annya di YouTube, jangan lo googling 'Misi Rahasia Sophie'. Lo
ketik aja: 'anak perpus versus anak mall'." Sophie melengos. Sebelum kelompok jutek itu
menanggapi kata-katanya, dia segera membereskan buku-bukunya dan melangkah pergi seolah
tdk terjadi apa-apa. "Mau ke mana lo"!" seruan cewek tukang sindir ditimpali anggota gerombolan lainnya.
Keributan itu kembali memancing si petugas perpustakaan melayangkan teguran yg sama.
Seluruh gerombolan itu langsung bungkam. Beberapa siswa yg ada disekitar mereka malah
terkikik geli. Sophie berjalan sambil tersenyum penuh kemenangan.
*** Kepuasan karena sudah mengerjai cewek-cewek rese diperpustakaan tadi terbawa ketika Sophie
bercerita kpd Marko. "Trus udah lo upload video mereka?" tanya Marko penasaran.
"Gue nggak mau nyampah di YouTube," timpal Sophie nyengir.
Keduanya duduk2 di taman sore itu, menunggu seseorang yg akan datang. Tidak lama setelah
itu, orang yg mereka tunggu, Imel, datang juga. Sophie menatap Marko dgn pandangan
menyelidik. Entahlah, dia merasa tatapan Marko ke Imel jauh berbeda dgn tiap kali Marko
melihat kepadanya. Apakah mungkin karena Imel begitu cantik dan mempesona, sementara
Sophie biasa-biasa saja" Sophie tersenyum kecil. Dia sendiri sudah lama tdk menemukan Marko
memandang seseorang seperti itu seolah-olah menginginkan utk dirinya sendiri.
"Hei, maaf baru aja balik." Imel duduk diantara Marko dan Sophie. "Gimana" Udah siap
semuanya?" tanya Imel kpd Sophie dan Marko.
Senyum manis tersungging dibibir Imel untuk kedua teman barunya. Setelah pertemuan mereka
beberapa hari lalu, ketiganya menyusun rencana untuk memberitahukan keinginan oma pingkan
kpd orang tua Imel. Sementara Sophie menemui oma pingkan untuk ngobrol ini itu, Imel
mencari waktu yg tepat agar rencana tsbt berjalan lancar.
Sophie mengacungkan jempol dan mengangguk. Sekilas, Sophie memergoki keduanya saling
pandang sesaat. Wajah Marko tak berekspresi sama sekali. Bisa jadi Marko mencoba bersikap
seperti biasa, tanpa menunjukkan ketertarikannya. Waktu akan menjawabnya nanti. Sophie
menyikut Marko, membuat cowok itu terlonjak. Marko menatap Sophie sengit, seakan baru saja
dia merusak momen indah cowok itu.
Ketiganya menuju apartemen Imel. Interior tempat itu berkelas, mengingatkan Sophie pd
apartemen Marko. Suasanya dingin, mungkin karena semua penghuninya sibuk. Sophie mengerti
bagaimana oma pingkan jelas merasa kesepian di sini. Akan tetapi, keputusan untuk
memasukkan oma pingkan ke panti jompo juga bukanlah sesuatu yg lebih baik.
Sophie mengganti pakaiannya dikamar Imel. Ruangan itu begitu rapi dan anggun tdk seperti
kamarnya sendiri yg meriah dan berwarna. Cewek-cewek anggun dan kalem seperti ini mungkin
akan cocok dgn Marko. Dia mengamati kolase foto dikamar Imel. Ternyata cewek itu suka
memotret. Masih nyambunglah dgn hobi Marko. Belum lagi ditambah koleksi film-film yg ada d
rak, membuat Sophie yakin kegiatan favorit Imel lainnya adalah menonton. Semakin banyak saja
kecocokan antara Marko dan Imel. Sophie tersenyum sendiri, mematut diri di depan cermin dgn
wearpack yg membungkus seluruh tubuhnya. Terakhir, Sophie menggelung rambutnya dan
memakai topi. Dia menjauh dr cermin dan segera kembali keruang tengah.
"Jadi ini seragamnya?" sahut Imel.
Sophie berkacak pinggang layaknya model. "Yes ma'am. Ini seragam mandor tukang. Gitu sih yg
gue lihata di fil-film. Ya, tapi gue modif dikitlah, biar nggak kucel-kucel amat."
Marko mentusul keluar dr kamar mandi beberapa saat kemudian. Ditubuhnya melekat wearpack
yg sama. Parasnya tampak jengkel karena Sophie tdk memberi tahunya apa-apa tentang ini.
Sophie tertawa melihat Marko, disahuti oleh Imel. Dia melemparkan topi kpd Marko dan
memberi isyarat untuk segera memakainya.
"Biasanya bentar lagi mereka balik, kita siap-siap aja." ujar Imel.
Marko memandangi Sophie, menunggu instruksi. Sophie kembali mengacungkan kedua
jempolnya ke Imel. "Sekarang kita ngapain nih?" tanya Marko.
"Tunggu sebentar," ujar Sophie, yg tak lama kembali sambil mengangkat-angkat kotak yg
kelihatan berat. Marko punya kotak yg mirip, isinya alat-alat pertukangan sederhana. Sementara yg ini, Sophie
tak mau memberitahukan. Bahkan membawa membantunya saja, tdk diperbolehkan. Kemudian,
seolah-olah itu adalah kotak harta, Sophie membukanya penuh khidmat. Dia berjongkok dan
mendorong penutupnya. Marko kembali bersebelahan dgn Imel, memandang ingin tahu.
Kota itu terbuka, isinya sama seperti yg ada dipikiran Marko. Sophie nyengir kpd kedua
temannya, menyerahkan sebuah meteran didnding kpd Marko.
"Mari nekerja!" ujarnya penuh semangat, memukul-mukuli dinding yg ditutupi wallpaper yg
bermotif klasik warna coklat muda itu.
Sophie langsung mengarahkan Marko untuk mengukur dgn meteran dinding didepan kamr papa
dan mama Imel. Ujung meteran ditarik oleh Sophie hingga keruang makan. Disaat mereka asyik
melakukan pengukuran, tiba-tiba terdengar pintu yg terbuka. Sophie dan Marko berpandangan,
Imel menatap keduanya. Tanpa sepatah kata, mereka tahu siapa yg datang.
"Apa-apaan ini?" serua mama Imel dgn pandangan terkejut.
Pertanyaan itu mengandung luapan emosi yg tinggi. Papa Imel juga memandang Sophie dan
Marko dgn curiga. Selama beberapa saat semua orang yg ada diruangan itu sunyi senyap.
"Aku manggil tukang, Ma, buat bikin pegangan kayu dari kamar mama sama papa sampai ruang
makan." Imel langsung menengahi situasi yg tegang itu.
"Kamu mau bikin wallpaper mama rusak"!" bentak mama Imel.
Sophie berakting memaku patongan kayu ke wallpaper cantik itu. Usaha Sophie langsung
membuat mama Imel paNik. "Heh, kamu! Jangan asal maku!" mama Imel memelototi Sophie. Mukanya yg putih, memerah
karena marah. Sophie menarik palunya menjau, menundukkan kepala. Mendekat kpd Marko. Dia tahu ini akan
terjadi, hanya saja menghadapi kemarahan orangtua memang tdk pernah mudah.
Papa Imel mendekati meraka. Memandangi satu persatu dgn sorot tdk terlalu ramah. "Mel, ada
apa sebenarnya" Mereka bukan tukang kan?"
Imel memandangi papa dan mama bergantian. "Imel, cuma mau siap-siap aja, kalau nanti papa
mama tua, Imel nggak akan ngusir papa mama." ujarnya pelan.
"Kamu ngomong apa sih, Mel. Mama nggak ngerti," sahut mama emosional.
Papa memandangi Imel penuh arti.
"Pegangan kayu itu sengaja Imel pasang sampai ruang makan, buat pegangan mama dan papa,
kalau mama sama papa tua nanti," Jelas Imel, yg membuat ruangan itu kembali sepenuhnya
hening. Selanjutnya Imel menjelaskan kpd mama dan papa tentang Sophie dan Marko. Semua tentang
oma Pingkan. Cerita Sophie membuat papa dan mama kelihatan terusik dan tdk nyaman. Namun
mereka tdk percaya dan terus membantah, hingga Marko pun memperlihatkan rekaman yg
mereka buat hari lalu. Tak ada seorang pun yg berbicara dlm ruangan itu. Semua mata tertuju kpd video yg diputar.
Terdengar suara musik dan keriuhan hari itu di panti jompo. Kemudian disisi video, suara musik
itu berganti dgn intonasi pilu seorang oma. Sophie menggit bibibr, teringat ketika mengobrol dgn
oma pingkan. Mata oma pingkan yg berpendar ketika menceritakan Imel. Lalu, senyum bahagia ketika
mengisahkan pertemuan kedua orangtua Imel hingga akhirnya menikah. Sophie menahan
keharuan selama ini. Dia tdk habis pikir mengapa orangtua Imel tega mengirimkan seseorang yg
penuh kasih sayang dan kelembutan seperti Oma Pingkan ke panti jompo.
'Oma kangen sama cucu oma. Setiap pulang sekolah, dia lagsung cari oma.' suara oma Pingkan
terdengar diruangan itu. Kesedihan tdk bisa di sembunyikan dari sana. 'oma tahu, kalau oma
nyusahin anak dan cucu oma. Tapi jangan hukum oma di sini. Oma janji nggak akan nyusahin
lagi. Tapi oma nggak mau tinggal di sini.'
Video itu selesai di putar, tetapi tak seorang pun berkata-kata. Sophie mendengar mama Imel
menghela napas berkali-kali.
"Nanti lantai apartemen ini akan Imel ganti sama lantai yg bertekstur nggak licin kayak gini biar
papa dan mama nggak kepleset. Karena itu kan, alasan mama sama papa ngirim oma pingkan ke
panti jompo" Nggak bisa jaga diri. Ngerepotin....." kalimat Imel nyaris menghilang di ujungnya.
Papa dan mama Imel saling pandang. Mereka diam seribu bahasa, tetapi kemudian mama Imel
langsung menghambur memeluk Imel, di susul papa. Tangis lirih keluar dr mama Imel.
Sophie melihat mata Imel yg berkaca-kaca. Dia pun merasakan hal yg sama, sesak dalam dada.
Ada orang-orang yg ingin tinggal tetapi malah diminta untuk pergi. Sophie tdk ingin pergi,
apalagi berpisah dgn mama dan papa. Dia juga berjanji kpd dirinya sendiri tdk akan melakukan
seperti apa yg terjadi kpd oma Pingkan. Diasingkan.
*** Imel memberi tahu Marko dan Sophie kalau mereka akan menjemput Oma Pingkan pd suatu
sore. Marko sudah menyiapkan kameranya. Dari posisi strategis, Marko mulai merekam saat
Imel mendekati Oma. Tak ada yg bisa membantah betapa bahagianya oma melihat cucunya. Air
mukanya langsung segar, tawanya begitu hidup. Mereka berpelukan beberapa saat, hingga Mama
dan Papa Imel melangkah mendekat.
"Kita akan pulang oma,"
Oma memandang Imel tak percaya. Pelukannya mengendur, tetapi tangannya tak lepas
menggegam Imel. Pelan Imel mengangguk, tersenyum meyakinkan. Tatapan oma pingkan
beralih kpd mama dan papa Imel. Semburat senyum oma tak luntur kpd keduanya. Pandangan
seorang ibu yg rindu sekali kpd anak-anaknya. Tak ada kemarahan yg keluar, Oma Pingkan
memang sedih, tetapi dia tak bisa marah. Bagaimanapun Oma Pingkan menyayangi anak dan
cucunya. Papa Imel memeluk lebih dulu. Dia membisikkan sesuatu yg tak bisa Marko dengar, mungkin
permintaan maaf. Karena setelah itu tangis pecah. Hal itu membuat benak Marko memanas.
Mestinya dia lebih menghargai kehadiran mamanya sekarang. Sekarang, gantian mama Imel yg
merangkul Oma Pingkan. Tangisnya tak terkendali. Ketika pelukan mereka terlepas, oma
Pingkan menyeka air mata dr pipi Mama Imel.
Marko mendengar desah napas Sophie. Disampingnya, Sophie sejak tadi terhanyut dlm suasana
haru reuni keluarga itu. Mereka berdua bersemuka. Sophie tersenyum tipis.
"Suatu hari, kita semua akan tua, seperti Opa dan Oma kita." pandanga Sophie tertuju kpd pohon
di taman yg daun-daunya berguguran oleh angin. Salah satu dr daun tesebut jatuh ke tangan
Sophie. "Daun tua ini, nggak mau jatuh jauh-jauh dr pohonnya. Seperti Oma dan Opa kita,
mereka tentu akan lebih bahagia ada ditengah keluarga mereka. Bukan jauh dr keluarganya. Apa
pun alasannya." Marko sudah mematikan rekamannya, dia beranjak dr Sophie. Tanpa protes, Sophie mengikuti
sahabatnya, melenggang di antara koridor rumah jompo yg sepi. Misi kedua ini berakhir haru
serta bahagia. Sophie berharap tdk gugur secepat daun-daun tadi. Masih ada lima misi yang
harus di selesaikan. *** "Udah berapa viewer-nya?" tanya Marko ketika Sophie menutup laptopnya.
Setelah pulang dr panti jompo, mereka memutuskan untuk bersantai di rooftop. Sebenarnya
Marko ingin mengajak Sophie merayakan kerberhasilan misi kedua mereka, tetapi Sophie
menolak. Lagi pula, rooftop ini tdk terlalu buruk sih. Semua ide berawal dr sini, dan kalau
mereka memutuskan merayakan di sini mamang sudah sepatutnya seperti itu.
"Viewer-nya dua ratus lima puluh tujuh. Like-nya lima belas. Yang unlike empat orang."
"Not bad," komentar Marko. Dia menoleh kpd Sophie yg pandangannya menerawang ke langit.
Angin menggoyangkan rambutnya. Entah apa yg ada di pikiran Sophie sekarang. Selesainya misi
ke dua ini tdk membuatnya benar-benar terlihat senang. Kalau saja, Marko bisa membaca isi
hatinya. Sekarang pasti Marko sudah bisa menghibur Sophie agar tak sendu lagi.
"Lo kecewa?" Sophie menatap Marko sambil merapikan helaian rambutnya yg berterbangan. "Nggak. Gue kan
nggak ngejar viewer, berapa yg nge-like atau respons yg muji. Karena bukan itu big plan-nya."
"Emang big plan lo apa?" tanya Marko. Dia sungguh-sungguh ingin tahu karena sejak awal
Sophie memang tdk menceritakan apa-apa. Bahkan pertanyaan kenapa tujuh misi, bukan delapan
seperti angka kesukaannya, juga tak terjawab. Sementara itu, tujuh adalah angka favorit Marko
dan sering dianggapnya angka keberuntungan, sesuai dgn tanggal lahirnya. Berapa banyak pun
misi yg Sophie ingin jalankan, Marko ragu bisa menolak untuk membantunya. Dia sudah
terlanjur berjanji. Namun, bukan janji yg memberatkannya, melainkan ketidaktegaan
membiarkan Sophie menjalankan ini sendiri. Pasti tdk akan sesukses kalau mereka berduet
mewujudkan semua rencana. Mereka adalah tim yg kompak, kalau Marko boleh memuji.
Sophie tersenyum sambil memandang Marko. Tatapan keduanya bertemu. Pandangan mata
Sophie tak berbinar terang seperti biasa. Seakan ada yg memenuhi pikirannya, tetapi tak ingin
dibagi dgn Marko. "Imel apa kabar?"
Marko tersentak. "Kok lo nanya gue?"
Sophie mengeluarkan cengiran khasnya. "Kali aja tau. Atau jangan-jangan lo diem-diem udh
BBM-an," godanya dgn telunjuk terarah kpd Marko.
"Lo pernah liat gue minta PIN sama dia?" balas Marko judes.
"Emang gue mantau lo dua puluh empat jam?"
Marko berdecak. Dia mengalihkan tatapan dari Sophie. Imel memang cantik. Tapi, bukan berarti
Marko harus mendadak meminta kontaknya begitu saja.
"Lo nggak nyoba ajak dia nge-date?" selidik Sophie lagi.
"Apaan sih lo," balasnya agak kasar.
"Cewek tuh punya intuisi. Bahkan bisa ngeliat cewek lain suka atau nggak sama cowok." Sophie
terdiam sejenak. "Dan gue yakin, Imel suka sama lo."
Marko menengok, dahinya mengernyit. Matanya memancarkan ketidakpercayaan atas kata-kata
Sophie. "Berarti cewek tahu dong, kalau ada cowok yg suka sama dia. Walau tuh cowok nggak
pernah ngomong?" Sophie tersenyum lembut dan menganggukan kepala. Senyum itu membuat Marko urung
mendebat jawaban Sophie. Mata Sophie kembali penuh binar. Cahaya yg Marko lihat setiap kali
dia punya sesuatu yg besar dan harus dikerjakan. Sophie memergoki Marko mengamatinya,
tetapi hanya tersenyum. "Jadi, ajak Imel nge-date nggak" kalau nggak, juga nggak apa-apa sih. Tapi yg jelas alam akan
ngasih 'pertanda'." Sophie menyeringai. "Pokoknya kita lhat aja nanti," katanya memukul pelan
bahu Marko. Marko membisu. Tdk tahu bagaimana harus percaya. Kalau alam dgn mudah memberi pertanda,
mungkin tak perlu saling bicara ketika mengungkapkan rasa cinta. Namun, itu hampir mustahil,
kan" Hampir semua perempuan ingin diakui.
BAB 8 Pertemuan Marko & Imel pagi tu tidaklah disengaja. Mereka bertukar sapa singkat sebelum
Marko berjalan cepat menuju mobilnya yg terparkir. Sophie tdk berangkat bersamanya, bahkan
tdk juga dapat dihubungi. Sesampainya disekolah, Marko langsung mencari-cari Sophie.
"Lo ke mana aja sih" Gue telepon nggak aktif. Ya udah gue tinggal aja."
"Sorry, tadi gue berangkat bareng papa. Nggak sempat ngabarin lo."
Marko memandangi Sophie, menadadak bayangan Imel melintas dan ingin menceritakan tentang
pertemuannya itu kpd Sophie. Tetapi kalau dia bercerita maka teori Sophie tentang "pertanda
dari alam" itu akan makin menguat.
"Kenapa lo" Muka lo aneh banget."
"Nggak apa-apa kok," Marko berusaha bersikap biasa-biasa aja. Pikiran tentang pertanda itu
berpusing dalam kepalanya.
Namun, satu bukti tidaklah cukup. Mereka tinggal di kompleks apartemen yg sama, besar
kemungkinannya untuk berjumpa. Selama ini Marko tdk pernah melihat Imel. Setelah
perkenalannya, rasan ya dia jadi lebih sering berpapasan dgn gadis itu. Namun, Marko tdk pernah
berpikir kalau itu sebuah pertanda.
Itu pasti imajinasi Sophie aja.
*** Lantunan biola itu begitu merdu. Konsentrasi Marko terpecah antara mendengarkan dan harus
merekam objek yg diminta Sophie. Dia melebarkan pintu sedikit agar lebih leluasa. Ruangan itu
penuh anak-anak yg masing-masing memegang alat musik. Beberapa diantara siap berlatih,
sisanya sedang berkemas untuk pergi dari situ. Ada orang dewasa disana, pelatih anak-anak
tersebut, yg memberikan perintah agar selain anggota orkestra diminta untuk keluar ruangan.
"Namanya Bian," ujar Sophie. "Gue akan ngembaliin kepercayaan diri dia."
Anak perempuan berambut panjang sebahu yg namanya disebut Sophie barusan berjalan di
depan Marko. Langkahnya terjaga dekat dinding, pandangannya mengarah ke depan, tangannya
meraba-raba seakan tembok itu adalah penuntunnya. Marko merasa ada yg aneh dgn tatapan
anak itu. Sampai akhirnya Bian sampai ke sebuah pintu, dia meraba-raba untuk menemukan
kenopnya. Bian berhenti, memutar kenop, lalu mendorong pintu dan masuk ke dalam ruangan.
"Anak itu kayaknya fine-fine aja. Nggak ada masalah." Marko mengarahkan handycam-nya
lewat kisi-kisi jendela. "Dia sih nggak masalah. Tempat ini yg bermasalah sama dia." balas Sophie, ikut mengintip.
"bermasalah gimana?" tanya Marko berbisik.
7 Misi Rahasia Sophie Karya Aditia Yudis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Lo nggak perhatiin kalau Bian itu punya masalah penglihatan?"
Marko mengangguk, ternyata apa yg dilihatnya tadi benar. Tetapi jawaban Sophie belum
membuatnya mengerti. Perhatian Marko teralih saat Bian mulai menggesek biolanya. Suaranya
terdengar hingga koridor tempat Sophie dan Marko mengintip. Marko akui permainan biola Bian
memanglah merdu. Setelah cukup merekam pernainan biola Bian, keduanya keluar dr tempat kursus musik tersebut.
Sophie terus-terusan diam. Pandar matanya meredup, seakan ada pikiran yg mengganggunya.
Marko menjajari langkahnya.
"Jadi apa masalahnya" Jangan bilang masalah," todong Marko.
Sophie menatap Marko tdk sabar.
"Makin buruk penglihatannya, bikin dia nggak bisa baca partitur, Komaaarrrr!! Jelas dia nggak
akan bisa untuk ikut orkestra. Padahal, sejak kecil dia udah belajar biola."
"Dia sakit?" Sophie mengangguk. Marko menoleh ke koridor yg kosong.
"Sekarang Bian masih bersikeras buat terus dateng untuk latihan. Tapi ya gitu, staf di sini lamalama nggak mau mengistimewakan Bian. Mereka nggak bisa jaga Bian lebih dr anak-anak lain.
Kasian anak itu." "Lo kok bisa tahu sedetail itu sih?" tanya Marko.
"Dia kan tinggal satu kompleks apartemen sama kita, Komaaarrr! Mamanya Bian tuh temen
nyokap gue, makanya gue bisa tau."
"Terus lo mau ngapain" Maksa konduktor buat masang nih anak?"
Sophie menoleh, terusik oleh pertanyaan Marko. Dia memandangi mata cowok itu sejenak.
Rencana yg ada di kepalanya itu tak akan berjalan tanpa bantuan Marko.
"Gue mau Bian nggak patah semangat. Beethoven aja bisa jadi komposer meski tuli, kenapa
Bian nggak bisa jadi pemain biola"! Sebelum Bian bener-bener kehilangan penglihatannya gue
pengin ngasih momen ke dia. Biar dia tahu kalau pelajaran biolannya selama ini nggak sia-sia
dan memang memukau." Sophie tiba-tiba berhenti berjalan dan menghadap Marko. Matanya
berkilat-kilat, seakan ada rencana besar terbayang di benaknya. "Gue mau Bian konser tunggal."
Marko melongo, tetapi sama sekali tdk mengalihkan tatapannya dr Sophie. Mengadakan konser
tunggla itu bukanlah misi sederhana.
"Di resto nyokap lo," tambahnya, berkacak pinggang.
Langkah Marko terhenti. Sophie sudh kembali berjalan.
"Kenapa harus di resto nyokap gue"!" protes Marko. Ekspresinya kentara sekali tdk setuju. "Bian
kan anak temen nyokap lo!"
"Lo pikir, gue punya duit buat bikin konser di resto?" balas Sophie galak. "Jalan satu-satunya ya
konser di resto nyokap lo lah. Bisa gratis," katanya, mengedip centil. Sophie memasang tatapan
membujuknya kpd Marko. Marko berdecak. "Sophie, lo kan tau nyokap tuh gmana," kilahnya.
Sekarang keduanya berhadap-hadapan. Wajah Sophie agak sedikit cemberut karena Marko
terlalu banyak protes. "Ayolah, Komaaarrr! Bantu wujudin mimpinya Bian. Lagian knp dengan
nyokap lo" Setahu gue, nyokap lo baik-baik aja. Cuma agak workaholic. Dikit....." Sophie
tersenyum. Dia mengadahkan tangan kpd Marko. "Please."
Marko menghela napas. Tidak menjawab apa-apa. Sophie menepuk bahu Marko dan
mengacungkan jempol. Marko sadar dia tidak akan pernah bisa menolak permintaan Sophie dan
gadis itu tahu benar bagaimana memanfaatkannya.
*** Marko sempat menunda-nunda mengatakan rencana itu kpd Mama karena malas
mendiskusikannya. Dia jelas tahu permintaan itu tdk akan begitu saja dikabulkan Mama.
Kekhawatiran terbesar Marko adalah mamanya akan kembali menagih janji untuk bertemu papa.
Maka dari itu, selain menghindar dr mama, Marko juga agak menghilang dr Sophie. Sayangnya,
sejago apapun dia bersembunyi dr Sophie, gadis itu tetap bisa menemukannya.
Lagi pula, misi-misi ini terlalu aneh. Meskipun Marko masih keberatan untuk melakukannya,
menjalankan misi-misi Sophie ini sangat berbeda dgn kebiasaan sehari-hari.
Setiap hari, Sophie makin gencar mendesak dan menagih janji Marko yg akan bilang ke mama
tentang konser Bian. Sampai akhirnya Marko kehabisan alasan untuk itu dan Sophie hampir
ngambek, serta menguliahinya tentang waktu yg relatif untuk setiap orang. Tdk ada yg tahu
berapa lama seseorang akan tinggal. Tdk akan tahu seberapa berharga seseorang sampai dia
pergi. Seperti yg Marko alami dgn papa.
Marko pun menyerah. "Ma," sapa Marko, menghampiri mama yg dudul bersila di sofa.
Sekarang atau tdk sama sekali.
"Hmm...." mama Marko mengenali gerak-gerik aneh dr anak lelakinya itu. Dia melepas
kacamata, menatap Marko. Marko menggaruk rambutnya yg tdk gatal. "Kira-kira mama ngizinin nggak, kalau ada kenalan
Marko yg mau perform di resto mama?"
"Tergantung. Temen kamu itu oke atau nggak."
"Oke kok, ma. Aku udh liat. Dia keren banget main biolanya."
Mama Marko terdiam sejenak. Sedari tadi dia berpikir kalau Marko akan menyampaikan sesuatu
yg sangat gawat atau meminta sesuatu. Jarang sekali mereka berdua bicara seperti ini. Biasanya
di apartemen, Marko lebih sering mengurung di kamar, sementara dia menyibukkan diri dgn
pekerjaan. "Kalau begitu boleh."
Senyum Marko mengembang. "Asal kamu mw ketemu papa kamu," tambahnya.
Marko tersentak, menjauh dr sofa. Tatapannya berubah menjadi tdk enak kpd mama.
Sebelum Marko membantah, mama mengambil kesempatan bicara terlebih dulu. "Apa berat
banget untuk kamu sekadar bertemu dgn papa kamu?"
Mulut Marko terkunci. Dia masih memandang mama tak percaya. Dalam pikirannya berkecamuk
ngambeknya Sophie kalau dia sampai gagal membujuk mama. Bertemu papa bukan perkara
besar, meski dia benci melihat istri baru serta anak mereka. Marko masih belum bisa menerima
perlakuan papa meninggalkan mama. Perempuan yg sekarang menjadi istri papa adalah perusak
segalanya. Meskipun sikapnya baik terhadap Marko, bagi Marko perempuan itu tetaplah
bencana. Marko menghela napas. Demi Bian. Demi Sophie. "Aku akan menemui papa. Pasti. Tapi nggak
sekarang. Nggak tahu kapa."
Mama Marko tdk menyangka jawaban dr anak lelakinya itu. Kali ini demi teman yg tidak mama
Marko tahu, anak lelakinya mau mengalah. Siapa pun yg membujuk Marko mengutarakan
permintaannya malam ini pastilah seseorang yg istimewa.
"Terima kasih, Marko," ujar mama. Tersenyum.
Marko membalas. Dia lupa kapan terakhir kalinya melihat mama tersenyum untuknya. Hari ini,
Marko mendapatkannya lagi.
*** Setelah mendapat restu dr mama Marko, Sophie langsung menyusun rencana. Bersama Marko,
Sophie mengunjungi apartemen Bian. Mereka menceritakan kpd orangtua Bian tentang rencana
konser Bian di restoran milik mama Marko. Kedua orangtua Bian awalnya tdk percaya, tetapi
Sophie berhasil meyakinkan kalau semua ini mereka lakukan untuk Bian. Orangtua Bian bahkan
menyanggupi akan membantu untuk mendatangkan tamu-tamu yg akan menghadiri konser Bian.
Kegembiraan Sophie menjalar kpd Marko. Dia bahkan melupakan keberatannya untuk ketemu
papa. Mereka langsung mengontak orangtua Bian untuk memberitahukan kabar tersebut. Marko
juga mengajak Sophie bertemu mamanya agar bisa mendiskusikan detail pertunjukan. Kisah
Bian yg diceritakan oleh Sophie malah membuat mama Marko mendukung penuh misi ketiga
mereka. Kian dekat dgn hari pertunjukan, akhirnya Marko & Sophie mengajak Bian utk mengadakan
latihan diresto Mama Marko. Karena orangtua Bian tdk bisa menemani, mereka pun pergi
bertiga. Selama ini, Bian tdk banyak bicara dgn Sophie apalagi Marko. Semua komunikasi,
Sophie sampaikan lewat orangtua Bian. Di dalam mobil sekarang pun, Bian terus menutup
mulut, dia hanya menjawab pertanyaan dgn gelengan & anggukan. Dulu, seingat Sophie, Bian
tdk murung seperti ini. "Bian harus semangat dong, udah deket sama hari konser nih," Sophie menyemangati. "Jangan
kayak kak Marko yg malas melulu."
Marko yg sedang menyetir mendelik pd Sophie. Bian hanya tersenyum tipis.
"Bian belom makan ya" Diem aja dari tadi. Nanti kita makan dulu deh sebelum latihan." tanya
Marko. "Udah, kak," jawab Bian pelan.
Sophie & Marko saling pandang.
"Kalau gitu, Bian harus semangat ya!" sahut Marko.
Alis Sophie terangkat, tumben-tumbenan Marko mau menyemangati orang seperti barusan.
Marko yg selama ini Sophie kenal adalah cowok paling cuek sedunia. Namun, jauh di lubuk hati,
Sophie senang dengan perubahan yg terjadi kpd Marko itu.
"Iya, Bian kalau ada apa-apa cerita aja sama kak Sophie, oke?"
Bian mengangguk & tersenyum.
Restoran mama Marko tdk terlalu ramai sore itu. Marko menyiapkan sound system yg digunakan
untuk pertunjukan, sementara Sophie merekam persiapan tersebut. Bian tampak nyaman di dekat
Marko, mereka saling bicara beberapa patah kata.
Ketika latihan di mulai, Mama Marko bergabung bersama mereka untuk menonton. Bian tampak
begitu menghayati latihannya. Dia memainkan lagu-lagu yg sudah fasih digeseknya. Tidak hanya
mereka bertiga yg terpukau sore itu, beberapa pengunjung lain yg kebetulan berada di situ juga
terlihat senang dgn pertunjukan Bian. Beberapa tepuk tangan mengiringi Bian ketika selesai
bermain. Sore itu, senyum Bian terlihat lebih lebar daripada biasanya.
Selesai berlatih, ketiganya menikmati makanan sambil mengobrol. Bian masih malu-malu, tetapi
Sophie meyakinkan bahwa permainan Bian luar biasa dan mengesankan. Bian akan kelihatan
keren di hari pertunjukannya nanti.
*** Malam pertunjukan itu akhirnya datang juga.
Bian sudah siap dgn biolanya di atas panggung. Air mukanya tampak tenang. Biolanya dipegang
erat-erata. Ini, Bian juga tampak manis dgn gaun putihnya. Rambutnya di gelung cantik dan
Sophie meminjamkan tiara miliknya. Andai saja dia bisa melihatnya. Di samping panggung kecil
itu, orang tua Bian saling berpegangan tangan. Kecemasan terlihat di wajah mereka, bercampur
dgn antusiasme untuk melihat penampilan anak mereka malam ini.
"Belum mulai, kan?" tanya Sophie kepada Marko yg sedang menyiapkan handycam-nya.
Sesaat pandangan Marko terpaku kpd Sophie. Malam ini, bukan hanya Bian yg tampil berbeda.
Sophie mengganti t-shirt dan jeans-nya dgn gaun malam yg begitu anggun. Di bawah penerangan
restoran yg redup, binar mata gadis itu tampak benderang. Saat itu, ada yg menggeliat dalam
perut Marko. Sesuatu yg membuatnya merasa jengah kian lama memandangi Sophie.
"Belum kok," katanya mengalihkan tatapan.
"Kok lo masih di sini sih" Masa ngerekam Bian dari samping gini." Sophie mendorong Marko
pelan. Marko mengerling kpd Sophie, lalu beranjak ke depan panggung. Sekarang tinggal lampu
panggung yg menyala terang. Marko mengarahkan kpd Sophie. Ketika lantunan biola Bian
terdengar, handycam-nya sudah merekam objek yg seharusnya. Di tengah-tengah permainan,
Marko juga merekam penonton dr meja ke meja. Banyak tamu yg menikmati permainan biola
Bian. Datang juga rombongan keluarga Sophie, guru disekolah musik Bian, sampai yg paling tdk
di duga Marko, yaitu Imel. Gadis itu tampak cantik dgn gaun selutut dan rambut panjang
tergerai. Marko kehilangan hitungan waktu berapa lama dia memandangi gadis itu, sampai
pandangan mereka bertemu. Imel menyunggingkan senyumnya. Marko membalas senyum gadis
itu. Di salah satu meja, Marko melihat mamanya, yg tersenyum dan melambaikan tangan. Marko
membalas senyuman mama. Lalu, dia terus menggerakan handycam-nya, sampai kembali lagi
kpd Sophie. Gadis itu sedang merekam dirinya sendiri dgn latar belakang Bian yg bermain biola. Marko
terpana. Dia menurunkan handycam-nya, mengamti Sophie secara langsung. Tak lama
kemudian, permainan biola Bian pun selesai. Marko tersadar. Handycam-nya kembali merekam
reaksi orang-orang yg berdiri dan bertepuk tangan. Bian pasti sangat senang sekarang. Papa dan
mama Bian terlihat amak bersuka cita. Sementara Marko sendiri merasakan kehangatan dalam
hatinya. Entah karena misi ketiga ini akhirnya berhasil / karena Sophie yg tampak luar biasa
malam ini. Bian turun dr panggung & disambut oleh orangtuanya. Sophie ikur mendekat. Marko bergegas
merapat & merekam adegan ini. Sophie membungkuk, memeluk Bian. Memberikan pujian.
Marko melihat sekilas Sophie menghapus air matanya saat Bian mengucapkan terima kasih. Dia
melepaskan rangkulannya."Bian inget pesan kak Sophie?" Bian tersenyum dan mengangguk.
'mimpi harus dikejar' BAB 9 "Kamar ini bukan kamar bayi. Sekalian aja lo tidur di boks bayi!"
"Kamar ini bukan kamar kak Livia aja! Tapi juga kamar aku!"
Sophie melihat kedua adiknya yg sama-sama memegang bantal. Pandangan mereka saling sengit.
Sebentar lagi, Sophie yakin mereka akan saling pukul. Kondisi kamar mereka berantakan.
Boneka-boneka Marsya berserakan, seperti habis di acak-acak. Sophie menggeleng-gelengkan
kepala. Dia memegangi birai pintu, kelelahan setelah seharian beraktivitas.
"Garfield sama snowy nggak pernah akur ya," celetuknya.
Sophie mengangkat alis, meninggalkan mereka berdua. Tak ada gunanya didiamkan, pasti akan
berantem lagi. "Gue bukan Garfield!" Livia melolong dr kamar.
"Aku bukan snowyyy!" Marsya menyahuti juga.
Lalu keduanya saling pandang dan menyadari kalau mereka menyetujui ledekan Sophie. Sedetik
kemudian, mereka langsung saling melempar bantal. Hingga akhirnya, Livia keluar dari kamar
dan membanting pintu. Livia mendekati mama di dapur. Sejenak dia mengamati mama yg sedang mengangkat kue dr
oven. Livia menarik kursi meja makan dan mendudukinya dgn wajah merengut.
"Ma! Livia nggak mau sekamar sm Marsya!"
"Terus kamu mau tidur dmana" Ruang tamu?" sahut mama, masih mengurusi kue-nya.
"Ih, mama gitu deh. Aku tuh udah gede, Ma! Masa sekamar sama anak kecil yg hobinya
ngomong sama boneka! Dasar autis!"
mama memandangi Livia. Rautnya berubah tegas. "Kamu kalau ngomong jangan sembarangan,
Livia. Autis itu bukan untuk bercandaan. Sepupu kamu mengidap autis, Tante Tita pasti sedih
kalau dengar kamu ngomong begitu"
"Habisnya...... Ihh......."
mama menata kue di atas piring, tidak mengacuhkan keluhan Livia.
"Sophie, sini, sayang," panggil mama kpd Sophie yg berada di kamar.
Paras Livia kian keruh ketika nama Sophie di sebut. Dia tdk bisa menahan diri untuk
mengeluarkan unek-uneknya saat melihat Sophie berjalan ke ruang makan. "Enak banget sih jadi
kak Sophie. Sekamar sendirian! Kalau aku aja nggak adil! Aku cuma beda dua tahun sama kak
Sophie! Tapi malah sekamar sama Marsya yg rese!" Livia kian uring-uringan.
"Livia, Marsya itu adik kamu. Jangan begitu. Dari tadi ngomongnya kasar terus!" mama
menghardik Livia. "Kalau kamu mau kamar kakak, ambil aja." ujar Sophie. "Biar kakak yg sekamar sama Marsya."
Marsya yg baru saja keluar dr kamar, langsung berlari senang ke arah Sophie. "Asyik! Beneran
kak"! Nanti kita bisa main boneka bareng, kak!" Marsya memeluk Sophie.
"Nggak ada. Livia kamu kan tahu, kamu bisa makai kamar Kak Sophie kalau dia udah kuliah. Itu
pun kalau kak Sophie kos," Mama menegaskan.
"Uh!" Livia menjambaki rambutnya sendiri.
"Kalau nggak, Kak Livia aja yg kos" celetuk Marsya.
Livia melotot mendangar kata-kata Marsya. Dia nyaris saja memukul Marsya, kalau tidak anak
perempuan itu lari dan bersembunyi di belakang tubuh mama.
"Selalu aja Kak Sophie yg dibelain! Bete!" serunya, Livia mendorong kursinya dgn keras. Dia
meninggalkan ruang makan dgn bersungut-sungut. Selanjutnya, terdengar suara keras pintu yg
dibanting. Sophie menghela napas. Menoleh kepada Mama. Namun apa yang dilihatnya pa da mata Mama
justru membuat Sophie merasa kian sedih dan terluka.
*** "lo nggak bosan ya. Liat pemandangan kayak gitu. Cuma lampu-lampu sebagian dr mobil
macet." Marko dan Sophie berdiri di tepian rooftop. Sejak tiba di atas, mereka tdk berpindah dr tempat
ini. Sophie bahkan tdk memalingkan tatapan dr jalan penuh lampu di bawah. Marko
menemaninya, tanpa sepatah kata sampai akhirnya dia tdk bisa menahan komentarnya barusan.
Ajakan Sophie sesudah makan malam tadi sudah cukup mengagetkan . Mereka jarang menuju
rooftop malam seperti ini. Selain karena udara dingin, penerangan di sini juga seadanya saja.
"Enggaklah. Kan, jam segini," Sophie mengecek jam tangan merahnya. "Jam delapan, menit tiga
puluh lima, detik kedua belas di hari ini, sama kemarin, dan besok, orang-orang yg ada di bawah
sana belum tentu orang yg sama."
"Pasti ada yg sanalah. Kalau pulangnya memang biasa jam segini," Marko mengeluarkan
argumennya. "Itu kan menurut lo. Semua hal lo anggep sama. Nggak ada lagi, orang yg lewat tuh lampu
merah, tiap hari pada jam, menti, detik yg sama." ujar Sophie dgn suara mengawang. Matanya
memang tertuju ke bawah, tetapi pikirannya entak ke mana.
Marko menghela napas. "Mulai deh, main sama dunianya sendiri." komentar Marko malas.
Sejurus, dia berbalik dan beranjak meninggalkan Sophie sendiri di tepi rooftop, membiarkan
gadis itu larut dalam lamuannya yg tak bisa Marko masuki.
Dia berjalan ke sisi lain dari rooftop, mengamati barang-barang tak terpakai yg kian banyak
tertumpuk di sana. Memangnya rooftop ini tempat pembuangan sampah ya. Lagi pula, kenapa
orang-orang menaruh ke atas kalau bisa di buang ke tempat lain. Marko mendekat dan menarik
beberapa barang. Kursi dan meja plastik, keranjang, agak di bawah barang-barang itu. Marko
menyingkirkan beberapa barang hingga tersedia tempat yg agak lapang. Dia mengeluarkan
sesuatu dr dalam tasnya. Entah dr mana ide ini muncul, tetapi Marko begitu saja melakukannya
ketika menerima ajakan Sophie tadi.
"Sophie, sini!" panggil Marko menggelar terpal. Lalu, berbaring di atasnya. Begini kan, lumayan
enak dibanding kalau harus berdiri terus.
"Udah, tidur sini. Nggak bakal gue apa-apain." katanya, menepuk-nepuk sisi terpal yg kosong.
Sophie memandangnya dgn tatapan aneh.
Namun, Sophie kemudian duduk bersila di samping Marko. "Gue sih nggak curiga lo mau
ngapa-ngapain. Cuma aneh aja, lo ada ide untuk tiduran di rooftop kayak gini," ujarnya, menatap
7 Misi Rahasia Sophie Karya Aditia Yudis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
langit. Marko hanya meringis. Sophie pun merebahkan dirinya di sisi Marko. Pandangan keduanya
terarah ke atas dunia yg sedang gelap sekarang.
"Lo mau jelasin gue soal bintang-bintang?" tanya Sophie setelah beberapa saat mereka saling
diam. "Heh?" Marko menoleh. "Nggak."
"Kirain." Marko tampak memikirkan sesuatu. "Kita itung aja yuk. Ada berapa banyak bintangnya."
Telunjuk mereka berdua bergerak ke arah langit.
"Tiga dua......."
"Tiga empat......"
Hitungan mereka bersahut-sahutan.
"Tiga dua, Komaaarrr! Coba itung lagi deh," seru Sophie, memukul bahu Marko pelan.
Marko berdecak, tetapi menghitung ulang kembali.
"Tuh, kan, tiga dua!"
"Tiga empat," Marko tetap pada pendiriannya. Dia menengok ke arah Sophie. Pada saat yg sama,
Sophie juga melihat kearahnya. Marko menelan ludah. Pelan tapi pasti detak jantungnya
mengencang. "Dua lagi mana?" tanya Sophie.
Pandangan Marko terpaku pd sepasang mata itu. Binarnya mengalahkan semua cahaya di rooftop
ini. Pendar yg tak pernah Marko inginkan untuk padam. Dia menarik napas panjang. Marko
menunjuk mata Sophie. "Tiga, tiga, tiga empat."
"Ah! Komar! Gombal banget sih!" seru Sophie, menendang kaki Marko. Dia membuang wajah.
Kalau di sini tidak gelap mungkin Marko bisa melihat mekanya yg memerah.
Sophie menggelitik Marko untuk membalas keisengannya. Cowok itu langsung melompat berdiri
dan berlari. Sophie pun mengejarnya. Mereka berlarian di atas rooftop, meninggalkan terpal yg
pelan-pelan diusik angin. Ketika anginnya kian kencang terpal tipis itu tak mampu bertahan dan
akhirnya melayang. "Terpalnya!" seru Sophie ketika angin menerbangkan terpal mereka.
Wajah Marko langsung tegang. Sekarang mereka ganti mengejar terpal yg terbang. Setelah
berusaha dan memanjat kursi, akhirnya Marko berhasil menangkapnya. Namun karena angin
terlalu besar, terpal itu malah menutupi mereka berdua. Terpal itu berkibar dan keduanya saling
berpandangan. Keduanya sama-sama di bawah keremangan terpal yg menyelimuti seluruh tubuh
mereka. Marko sudah sering melihat paras oval di depannya berkali-kali tapa, sedekat sekarang
dia tak ingat pernah begini. Meski redup, mata Sophie bersinar, jelas ada yg menaruh bintang di
sana. Marko menelan ludah, merasakan jantungnya berdetak aktif. Dia bisa mengendus aroma
parfum Sophie yg mengingatkannya kpd stroberi. Ada yg meronta-ronta dalam perutnya,
membuatnya ingin makin dekat dgn Sophie. Sesuatu yg tak bisa ditahannya lebih lama.
Sophie membeku di tempatnya. Sadar meski Marko sahabatnya, momen ini terlalu mengejutkan
baginya. Ini seperti dalam film-film drama yg sering ditonton bersama Mama. Pelan-pelan dia
denyut jantungnya yg makin cepat. Pandangan Marko tertuju kepadanya, Sophie pun tdk
berpaling. Sophie menyukai sepasang mata Marko yg cokelat gelapa di bawah alis tebal, mata yg
penuh rahasia. Untungnya tempat itu berpenerangan temaram, hingga Marko tdk bisa melihat
wajah Sophie yg memerah. Sophie menunduk. Menggigit bibirnya.
Marko tertenyak. Dengan cepat dia menarik terpal itu hingga jatu ke bawah dan segera
melipatnya. Keduanya langsung membuat jarak satu sama lain.
"Kalau gue nggak kenal lo. Gue pikir tadi lo lagi flirting ama gue!" omel Sophie, tanpa menatap
Marko. Dia tdk ingin Marko menemukan tersipu karena kejadian tadi. Pastilah cowok itu akan
punya bahan olok-olok sepanjang minggu kalau sampai tahu.
Marko tdk peduli ocehan Sophie. Jantungnya masih berdegup tak karuan, dia mencoba melipat
terpal serapi mungkin. Namun tuduhan flirting itu membuat hatinya tersentak. Marko berusaha
untuk tdk menatap Sophie, cemas Kalau Sophie bisa membaca apa yg sebenarnya ada di hati
Marko sekarang. Sophie meninggalkan Marko dan kembali ke pinggiran rooftop. Mata Marko mengamati
punggung gadis itu. Senyum perlahan terbit di wajahnya. Dia menarik napas panjang. Mengelus
dadanya sendiri. Dia sempat terdiam lama dan mengamti Sophie dan menghampirinya lagi.
"Misi rahasia lo, sebenarnya buat apa sih?" tanya Marko, mengalihkan pembicaraan. Dia
memandang ke bawah, menerka-nerka apa yg sesungguhnya diperhatikan Sophie.
"Kan gue udah bilang. Rahasia," jawabnya terkekeh.
"Sampai kapan" Sampai misinya selesai?"
Sophie mengangkat bahu. "Nggak tahu sampai kapan. Yg jelas misi ini bukan tentang gue......"
Mereka bertatapn. Marko teringat pertanyaan yg dulu belum di jawab oleh Sophie 'kenapa tujuh
bukan delapan"'. Dalam hitungan detik, Marko melihat kilasan sedih di mata Sophie. Namun,
ketika Marko coba mengamatinya lebih jelas, hal itu sudah menguap. Karena kini senyum lebar
memenuhi bibirnya. *** Sophie berjalan di lorong yg sepi. Terdengar suara batuk yg sepertinya familier. Dia menoleh ke
sekeliling, melangkah mendekat ke sumber suara.
"Livia?" panggilnya, ragu-ragu.
Sosok tubuh itu berbalik. Tentu saja Sophie tdk mungkin salah mengenali adiknya. Namun
bukan itu yg mengejutkannya, melainkan benda di tangan Livia.
"Kamu ngerokok"!" sahutnya keras.
Livia melongos, sama sekali tdk tampak takut dgn Sophie. Dia malah mengisap rokoknya sekali
lagi. Kelihatan sekali untuk terkesan menikmati di depan Sophie. Malah, dia meniupkan asapnya
ke arah kakaknya, berharap bisa mengusir Sophie pergi.
"Kamu mau diamuk Mama sama Papa"!" Sophie menggertak adiknya yg kelihatan tenangtenang saja.
Livia mengibaskan tangan Sophie. "Udah deh, kak!" serunya hendak beranjak tetapi dihalanghalangi.
Kakak beradik itu beradu panjang. Livia memandangnya sengit penuh benci. Sophie tdk mau
pergi dr situ, meski sikap Livia mengusik dan melukai hatinya. Dia tdk tahu harus marah atau
prihatin. Seumur hidup dia sendiri tdk pernah tergoda untuk mencoba rokok. Sophie menggigit
bibir. "Mulai kapan kamu diem-diem ngerokok"!" tanyanya lagi, berusaha tegas. Meski sebenarnya tak
tega. "Bukan urusan lo!" bentak Livia.
Sophie gemetar. Dia memegangi dinding. Sorot mata Livia yg bengis, membuatnya tak tahan
menatap lama-lama. Apa semua ini salahnya" Dia tdk pernah meminta untuk diistimewakan.
Livia hendak berlalu dr depannya, namun Sopjie keburu menyadarinya. Dengan sigap menarik
tangan Livia. Adiknya kembali berkelit, membuat Sophie nyaris jatuh. Tetapi, dia kembali
mengajar Livia. Hampir saja Sophie menabrak adiknya, ketika Livia tahu-tahu mundur,
membalikkan badan dgn wajah pucat.
"Ada Papa," katanya dgn suara tertahan.
Jantung Sophie mencelus. Dia tdk melepaskan tangannya dr Livia, malah menggenggamnya kian
erat. Dia menengok ke belokan lorong. Letak belokan agak jauh dr mereka. Mereka bisa saja lari
ke sana, tetapi tdk akan cukup. Papa pasti melihat keberadaan mereka berdua.
"Livia." Sophie dan Livia membeku di posisi masing-masing saat terdengar panggilan papa. Sejenak
kemudian, Livia langsung berubah panik. Dia berusaha menyembunyikan rokok yg masih
menyala di tangannya ke kotak rokok. Tetapi aksinya malah membuat kotak rokok itu jatuh
kelantai dan beberapa isinya berhamburan. Sophie memberikan pandangan sama cemasnya. Dia
segera membantu Livia memungut kotak isi rokok. Sampai terlintas sebuah ide di kepalanya.
Mungkin semua ini memang salahnya, tetapi situasi Sophie kelihatannya bisa menjadi jalan
keluar utk mereka berdua. Sekali lagi, mereka berdua saling pandang.
"Mana rokoknya"!" Sophie mengulurkan tangan ke Livia. "Cepetan," desaknya karena Livia
hanya memandanginya bengong dan bingung.
Tanpa pikir panjang Livia memberikan bungkus rokok di tangannya.
"Koreknya?" Livia menyerahkan koreknya dgn ragu, tetapi dgn cepat disambar Sophie. Selanjutnya, Sophie
tergesa menyalakan pematik. Sayangnya pematik itu tdk kunjung menyala.
"Nyalain dong!" suruhnya panik.
Kali ini Livia dgn sigap melakukannya, membakar rokok yg tadi ada di tangan Sophie. Sedetik
kemudian, rokok itu sudah berpindah, terdelip di jari-jemari Sophie. Dia memandang Livia dr
balik asap yg mengepul tipis. Pelan, Sophie mengisapnya. Rasanya sungguh tdk enak dan
membuatnya sesak napas. Dia langsung batuk-batuk, namun mencobanya lagi.
Pada saat itu sosok papa muncul. Sophie menarik rokok menjauh dari bibirnya. Seluruh paruparunya seakan diisi asap. Dia menarik napas dalam-dalam. Namun, kehadiran Papa membuat
Sophie merasa dunia bakal runtuh dibawah kakinya. Tubuhnya menggigil. Seumur hidup, Sophie
hampir tdk pernah melkukan hal-hal yg dilarang orang tuanya. Dia mundur, menempelkan
punggungnya ke dinding. Tatapn Papa menajam ketika melihat rokok di tangan Sophie. "Apa-apaan kamu, Sophie"!" tanya
papa dgn amarah tertahan. Rautnya mengeras, sudah lama Sophie tdk melihat papa semarah itu.
Ketiganya mematung, hingga kebisuan itu diakhiri oleh batuk-batuk Sophie.
"Pa," Sophie pura-pura terkejut karena ketahuan. Dia menyembunyikan tangannya yg memegang
rokok ke belakang tubuhnya. Tetapi, itu jelas hal yg sia-sia karena papa sudah keburu melihat.
Papa meraih kotak rokok serta rokok yg masih menyala dr tangan Sophie. Beliau menarik napas
panjang, menggelengkan kepalanya. Sorot matanya terlihat kecewa, sekaligus sedih. "Kalian
berdua ikut papa sekarang" perintah papa.
Sophie dan Livia bertukar pandang, lalu dia berjalan lebih dulu mengikuti papa. Di belakang
Sophie, Livia berjalan dgn paras masam. Diruang tengah, papa menyuruh Sophie dan Livia
duduk, sementara Papa memanggil Mama.
Tokoh Dari Masa Silam 2 Animorphs - 8 Ax Membalas Dendam Iblis Pemanggil Roh 2
BAB 1 TING! Denting lift disusul derap langkah kaki memecah keheningan di lorong apartemen. Mudah untuk
tersesat disana jika pintu2 itu tdk bernomor. Namun, hal itu tidak berlaku untuk Sophie dan
Marko. Gadis berkulit putih itu berjalan tergesa di depan Marko yg sedang mengutak-atik
handycam di tangannya. "Komarrrr! Ayo cepetan!" Sophie memandang sebal kepada Marko. Kalau saja lorong itu tidak
sepi, Sophie yakin Marko sudah menabrak orang berkali-kali. "bisa keilangan momen nih
kita....." bukanyya merespons, Marko malah berhenti. Seluruh perhatiannya tertuju pd layar handycam.
Sophie yg sdh beberapa langkah di depan Marko pun melakukan hal yg sama. Dia mengerling
kpd Marko, agak jengkel. Namun kemudian, senyum kecil muncul di sudut bibirnya. Pelan-pelan
dia menggeser posisi tubuh, nyaris tak bersuara. Kini, Sophie berada di depan salah satu pintu
unit apartemen. Lirikannya kembali tertuju kpd Marko yg masih sibuk sendiri. Sophie mendesah,
alisnya terangkat, lalu dgn cepat dia mengetuk pintu di hadapannya. Selanjutnya, tanpa
menunggu Marko, dia melesat lari sambil terkikik.
Marko menyadari ulah Sophie setelah beberapa detik. Mata cokelatnya melotot kpd Sophie yg
sudah berlalu. Tanpa pikir panjang, dia pun mengambil langkah seribu. Pintu unit apartemen itu
masih tertutup saat dia berhasil menyusul Sophie. Keduanya melewati tikungan lorong dgn suara
tawa Sophie yg menggema. "gue nggak akan minjemin teropong gue buat loe ngintai hari ini," ujar Marko saat mereka
mendaki tangga darurat menuju rooftop. Kejengkelan masih mengisi parasnya, terbukti dengan
ekspresi cemberut yg ditampilkan.
"ihh, Marko, gitu aja ngambek," sahut Sophie, tawanya blm habis.
"biarin, biar loe tersiksa. Hukuman kayak gini paling pas buat stalker kayak elo."
perkataan itu membekukan kaki Sophie. Bibirnya mengerucut, tangannya terlipat ke dad.
Senyum yg tadi, lenyap begitu saja. Matanya menyipit, menyiratkan geram kpd Marko yg dgn
cueknya melewatinya. "Markoooooo!!!" serunya keki.
Sophie mengejar Marko sampai ke puncak tangga. Angin sore menyapanya, mengurai
rambutnya yg hitam panjang. baginya udara di atas sini terasa lebih segar dibanding di area
bersama, membuat Sophie betah. Langit sudah mulai berubah warna menjadi kekuningan.
Sophie melihat Marko sudah lebih dulu menuju salah satu sudut rooftop. Tempat favorit mereka.
Cuma sudut biasa sih, tetapi dari sana kehidupan dibawah terlihat begitu jelas.
Mereka berdiri bersebelahan. Sophie melongok ke arah area bersama - kolam renang besar yg
sisinya dideret kursi2 santai. Lalu agak jauh, terdapat deretan toko-mini market, binatu, hingga
toko interior dan perabot. Dia menumpukan tangannya di pinggir rooftpo, merasakan angin yg
berdesir. Matanya mengamati ke bawah sampai mendengar Marko berdecak.
"gue bukan stalker! Gue pengamat! Tolong bedain ya!" omel Sophie. Tatapan setingkat lebih
sengit dibanding di tangga tadi.
Marko hanya mengangakat bahu dan mengabaikan Sophie. Dia mengambil teropong,
mengarahkan pd area yg Sophie perhatikan. Fahinya berkerut-kerut, alisnya naik sebelah.
"ckckck.... Wew....."
sophie memfokuskan pandangan ke bawah. Ada dua orang di bawah sana, yg dia kenali sebagai
gadis yg bekerja di laundry dan cowok yg jadi pelanggannya. Dia menoleh kpd Marko lagi yg
tdk menunjukan tanda2 akan melepaskan teropongnya.
"mereka ngapain, sih?" tanya Sophie, mencoba merebut atensi Marko lagi. Bibirnya mengerucut
karena dia masih saja diabaika. Dia beruaha merebut teropong, tetapi Marko segera menepis
tangan Sophie. "Marko pinjem dong teropongnya." sekarang dia meminta dgn memelas. Dia
benar2 ingin tahu apa yg sedang terjadi di bawah sana. Sudah beberapa hari terakhir pasangan itu
menarik perhatiannya. Marko hanya melirik Sophie sejenak, lalu kembali sibuk sendiri.
"pleaseeeee....."
sophie mengadahkan tangan. Kemudian, tanpa sepatah kata pun, Marko mengangsurkan
teropong kpd Sophie. Seringai lebar muncul di bibir gadis itu. Matanya berbinar, saking
bersinarnya cukup memperlihatkan isi hatinya yg senang. Sophie menggeser Marko sedikit,
mengambil posisi paling pas utk mengamati. Dia berharap bisa punya alat curi dengar sekaligus,
sehingga bisa mengetahui apa yg orang2 itu bicarakan.
Selama beberapa saat, Marko hanya diam mengamati Sophie. Gantian dia yg tdk diacuhkan
karena Sophie sibuk dgn pengamatannya. Ketika Sophie mulau membuat dialog2 sendiri, Marko
tersadar ada handycam di tanganya. Dia menyalakan dan mengatur handycam itu, lalu mulai
merekam Sophie. pandangan Sophie menangkap gerak-gerik kedua orang itu. Mereka saling bicara dgn ekspresi yg
kini terlihat begitu jelas berkat teropong Marko. Si Gadis Laundry yg malu-malu dan melambatlambatkan memeriksa pakaian2 si Cowok Pelanggan. Sepertinya mereka membicarakan jersey
Manchester United milik si cowok. Seluruh obrolan itu berakhir ketika si Cowok pelanggan
berbalik pergi. Gadis laundry menatapnya nanar sambil memegangi salah satu pakaian si cowok
pelanggan. Bibirnya bergerak mengucapkan sesuatu yg Sophie coba tebak.
Tapi aku akan berusaha suka.....
"....apapun yg kamu suka," lanjut Sophie.
"hmmm.... Mulai deh imajinasinya ke mana-mana" cibir Marko.
Sophie melirik Marko. 'Komarrr, makanya punya imajinasi dikit knp sih?" Biar lo bisa ngeliat
sesuatu dari sudut yg berbeda.'
"untung cuma sedikit orang kayak lo. Kalau banyak pemimpi kaya loe, dunia bakalan absurd
banget," timpal Marko. Dia menghentikan rekamannya. Lalu dgn tiba-tiba merebut teropongnya.
Mendapat perlakuan tdk terduga itu, Sophie hanya meringis. Dia berusaha menggondol teropong
itu lagi. Tetapi, Marko lebih gesit berkelit.
"nih, gue bakal liatin lo sesuatu yg real....." katanya, memindai keadaan di area bersama. Sore
itu, area bersama tdk terlalu ramai. Marko mengamati satu-satu dari sepasang anak muda yg
melintas hingga OB yg berjalan tergesa. Lensa teropongnya berhenti pada sepasang remaja lakilaki yg berdiam di tempatagak tersembunyi. Dahi Marko berkenyit, ada yg tdk beres dgn anak
itu. Hanya dgn menggeser arah pandangannya sedikit, Marko menemukan penyebab ketidak beresan
remaja tsbt: tante yg baru saja menceburkan diri ke kolam renang.
Marko terkekeh tanpa suara, menunjuk ke arah kedua sosok tsbt. "lo mw denger percakapan
batin mereka?" tawanya nyengir lebar.
Sophie mencebik, tetapi tdk membantah.
"Anjrit! Kim Kadarshian kok disini sih?" marko seolah menirukan suara si remaja cowok.
Kemudian menyambungnya dgn suara melengking bak tante-tante. "Ihh, brondong nggak ada
sopan santunnya! Ngeliat sampai mangap!"
"Nggak lucu. Jorok tau," potong Sophie, mengambil paksa teropong.
Marko menoleh kpd Sophie. Matanya membulat. "itu diaolog yg paling real. Dunia ini nggak
semanis dan seromantis seperti didalam imajoinasi lo, Sophie."
sophie membuang pandangan. Ada sesuatu yg dicari-carinya dibawah sana, tetapi tak bisa
ditemukannya. "Balik, yuk. Tuh Cewek Laundry ama si cowok nggak ada kemajuan kan," ujar Marko
memasang tampang bosan. Dia memberi isyarat ke Sophie utk mengembalikan teropong. Sophie
bergeming. Sambil berdecak, Marko angkat kaki dari situ.
Sophie mendesah, menyadari Marko pergi. Dia akhirnya, meninggalkan pos pengamatan mereka
dgn hasil nihil. Apa yg ingin diketahui hari ini malah tak bisa ditemukan. Berbagai pertanyaan
menyesaki kepalanya. Namun, semua itu tertahan dipikirannya, tak satu pun terlontar kpd Marko
yg tdk peduli itu. Keduanya berpisah dgn santai. Sophie melangkah keluar lift. Marko tetap dgn sikap
menyebalkannya. Kadang-kadang Sophie sering merutuki Marko dalam hati bagaimana bisa
bertahan dgn sifat super cueknya itu. Dan mungkin pertanyaan terbesar adalah mengapa Sophie
bisa bertahan dgn cowok itu. Saat pintu lift terbuka, Sophie melangkah keluar seraya
melambaikan tangan sekenannya. Hingga pintu lift tertutup pandangan Marko terus menetap pd
sosok Sophie, tanpa gadis itu sadari sama sekali.
*** Sophie mendorong pintu unit apartemennya. Dia tdk mengharap di sambut kesunyian karena yg
seperti itu nyatanya jarang ada di sini. Seruan melengking dari Livia dan Marsya menyapa
pendengarannya saat itu juga.
"Acara kayak gitu kok ditonton, sih"! ganti, ah. Lo streaming aja, kan, bisa!"
Sophie menggeleng-geleng kepala melihat ulah kedua adiknya yg berebut remote televisa. Livia
yg berumur lebih tua dari pada Marsya tentu menjadi pemenang pertengkaran itu. Sekarang, di
layar televisi sudah tampil band rock favoritnya, L'Arc en Ciel. Perdebatan itu terhenti sebentar,
digantikan musik rock, sampai Marsya tdk tahan untuk protes.
"Ahh, kak! Mending kalau ngerti bahasa Jepang. Berisik tau!!!" Marsya memandangi Livia
garang. Parasnya asam seperti habis kebanyakan makan jeruk masam.
"Dari pada lo. Sinetron abege ditonton! Harusnya lo nonton Cartoon Network! Masih piyik
juga!" Livia membalas tak kalah pedas.
Kalau mereka ditaruh di ring tinju, pasti sdh pukul-pukulan sekarang. Tetapi jelas mama tdk
akan setuju dgn ide itu. Ruang tengah dan ruang makan yg tak bersekat, membuat Sophie jg tahu
mamanya sedang ada di dapur. Makan malam sedang disiapkan. Sementara itu, papanya ada di
balkon apartemen, duduk sambil membaca dng tabletnya. Mama berhebti sejenak, mengamati
kedua putrinya yg masih tak mau saling mengalah.
"Livia, ngalah dong sama adeknya," ujarnya dari ruang makan. Pandangan mama dan Sophie
saling bertemu sesaat. Sophie tersenyum tipis, tahu sehabis ini mama akan ganti berteriak
kepadanya. Dia sudah akan berjingkat ke kamar saat seruan Mama terdengar. Selalu begini
setiap kali terjadi dan kedua adeknya itu hampir setiap hari tdk pernah berhenti bertengkar.
"Sophie, kamu ke mana aja! Itu adik kamu, Sophie. Pisahin. Sophie!"
Sophie menghela napas panjang dan berjalan menuju kedua adeknya. Dgn enteng dan tanpa
perlawanan, dia mengambil remote. Kedua adiknya hanya melongo melihat Sophie yg mendadak
menginterupsi mereka. Dia akrab dgn ekspresi kedua adiknya, sebelum mereka melakukan
perlawanan balik, secepat mungkin dia menyambar bantal dan melemparkannya ke Marsya.
Mata Marsya, anak delapan tahun itu, terbelalak sesaat setelah bantal mengenai tubuhnya.
Dengan sikap dia melakukan pembalasan, mengarahkan bantal kpd Sophie, tapi malah
menimpuk Livia. Tanpa menyiakan-nyiakan waktu, Livia langsung tdk terima dan melakukan
hal yg sama. Sekejap saja ruang tengah itu sudah ribut oleh sahut-sahutan suara tiga anak
perempuan. Namun, tak ada lagi muka kesal, yg ada hanya tawa.
*** Makan malam kali ini dlm formasi lengkap. Sebenarnya nyaris selalu seperti itu setiap malam.
Bagi keluarga Sophie, hadir dalam makan malam keluarga adalah kewajiban. Mama
mengambilkan nasi dan lauk utk suami serta semua anaknya dgn porsi yg sudah diingatnya di
luar kepala. "Ma, aku kan nggak suka bawang!" protes Livia, menatap aneh sayuran di piringnya.
"Bawang kok nggak suka," celetuk Sophie.
"Ma, Kak Sophie tuh." Livia kembali memanyunkan bibir.
Marsya hanya tertawa hingga makanan yg dikunyahnya muncrat tanpa menyadari Papa
mengambil lauk dari piringnya.
"Marsya, kamu jorok banget sih. Maaa!" seru Sophie.
Mendadak makan malam yg tadinya sepi itu menjadi penuh keributan, "Bisa nggak sih kalian
sehari aja nggak ribut dan teriak kayak gitu!" mama memandangi ketiga anaknya satu per satu.
Meski Mama terlihat kesal, dia tdk pernah benar-benar marah kpd putri-putrinya.
"Yah, Maa, ayam Marsya kok ilang"!"
Sophie dan Livia cekikikan bersama. Marsya langsung menyadari kalau ayam di piringnya sdh
berpindah ke papa. Mama menggeleng-gelengkan kepala melihat ulah anggota keluarganya.
Senyumnya mengembang halus, mengamati Marsya yg sedang mengomeli Papa. Sophie dan
Livia yg tertawa lepas. Kalau saja yg seperti ini bisa bertahan selamanya.
*** Sophie duduk di pinggiran ranjang. Dia merebahkan diri sejenak, menatap langit-langit yg
ditempeli stiker berbentuk bintang yg dapat menyala dalam gelap. Sophie memang menyukai
bintang2 karena cerita masa kecil dari neneknya. Kisah yg didapatnya ketika kakeknya
meninggal-mereka yg pergia akan menjadi bintang. Sejak saat itu, Sophie yg dekat dgn kakeknya
memutuskan untuk memasang stiker tersebut. Jadi, setiap kali rindu kpd kakek, Sophie bisa
memandangi bintang-bintang itu.
Dia amat menyukai kamar ini. Mama mengizinkannya untuk mendekornya sendiri. Beberapa
barang dikamar ini dibelinya bersama Marko, mesti cowok itu selalu berpendapat terlalu girly,
terlalu colorful, dan temanya kurang jelas. Ada lampu-lampu kecil tergantung dekat jendela.
Lemari penuh buku. Sederet miniatur pot bunga favorit Sophie bertengger di rak-rak yg
menempel di dinding. Tadinya, ada beberapa mug hias dgn lukisan balon-balon kecil, tetapi
karena Marko dgn keras protes keberadaan benda dgn pola yg dibencinya itu, akhirnya Sophie
menyimpannya. Berbagai motif dan warna, dia pilih untuk menghiasi kamarnya. Semua saling
tabrak mengesankan kemeriahan kamar itu.
Bukankah seperti itu hidup seharusnya, ramai dan penuh harapan"
Akan tetapi, pada saat ini, cuma sepi yg menemani Sophie. Raungan Livia dan Marsya sudah
berhenti. Mama dan Papa yg mungkin masih bercakap-cakap, tak terdengar sampai kamarnya.
Sophie menghela nafas. Hari ini dia tidak terlalu banya beraktivitas, tapi rasanya lelah sekali.
Kesunyian kamar ono membuat letihnya terasa berlipat-lipat.
Sophie bangkit, membuka jendela. Dari sini, dia bisa melihat tower-tower lain yg terletak di satu
kompleks apartemen. Satu tower yg terdekat dengannya adalah tempat Marko tinggal. Entah
kebetulan atau bagaiman, jendela mereka terletak bersebrangan. Namun, Sophie sanganat
menyukai dan mensyukuri kebetulan itu. Dia tidak ingin tahu alasan apa yg ada di balik itu
semua. Lampu kamar Marko sudah menyala. Berarti cowok itu sudah ada di kamarnya sekarang dan
pasti sedang menekuri laptop, teman akrabnya, selain Sophie. Seringai menghiasi wajah Sophie
ketika menjauh dari jendela dan meraih senter yg selalu dia letakan di tempat yg sama. Sophie
meredupkan lampu dan mulai menyalakan senternya ke arah kamar Marko.
Kode morse. Sophie sangat bangga bisa menguasai kode morse. Dulu saat sekolah dasar hingga menegah,
Sophie memang aktif mengikuti pramuka. Sampai sekarang, hafalan tentang kode morse itu
masih lekat di ingatan Sophie. Dia bahkan memaksa Marko utk mempelajarinya, sehingga
mereka dapat berkomunikasi secara rahasia. Seperti sekarang dan hampir selalu mereka lakukan,
lewat cahaya senter. 'ngapain"' rupanya kode Sophie langsung terbaca oleh Marko, karena dia segera mendapat jawaban.
Panjang panjang pendek, G. Pendek panjang, A. Panjang pendek, N. Kode pertama terulang lagi.
Sophie mendesah, dgn cepet bisa menebak apa yg mau Marko sampaikan.
'Ganggu aja.' BAB 2 TEEEETTT!! TEETTT! Sophie ikut menghambur keluar dari kelas. Dia menyapa beberapa teman sekelas sebelum
beranjak seorang diri ke taman belakang. Semalam dia menonton beberapa video di youtube,
memilih video-video random untuk di lihat. Banyak orang yg dengan percaya diri berbagi tip,
menceritakan keseharian serta pengalaman, sampai berbagai rahasia. Rahasia tidak lagi menjadi
rahasia ketika sudah di ceritakan ke khayalak, kan" Namun, si pembuat video tampak biasa-biasa
saja dan memang sengaja membuat video untuk menyebarkannya.
Ide itu menyelip di benak Sophie, menduplikasi dirinya seperti virus. Sepanjang pelajaran tadi,
Sophie tdk sabar untuk mencoba membuat videonya sendiri. Laptopnya sudah menyala. Sophie
juga sudah bersiap merekam penampilannya. Tidak, dia tdk ingin bernyanyi lipsync aneh. Tidak
juga berniat memamerkan bakat bernyanyi, karena bakat itu memang tdk ada padanya. Dia
mungkin akan berbagi tip atau kalau nanti sudah kepikiran sesuatu yg menarik, Sophie akan
langsung melakukannya. Berbagi sesuatu yg menginspirasi. Kapan lagi kalau bukan sekarang"
Sophie menyisir rambutnya dgn jemari tangan kiri. Peralatan tulisnya berserakan di sisi laptop
bersama kertas-kertas yg di jepit jadi satu. Ada juga beberapa hiasan rambiut tergeletak di sana.
Sekali lagi, Sophie meneliti semua persiapannya. Dia tak mau ada kekurangan ketika sudah
memulai rekaman. Dia menarik napas panjang sebelum mengklik tombol rekaman di laptopnya.
"Tips of the day. Kadang-kadang habis pulang sekolah gini, kita suka sebel karena rambut kita
lepek. Tapi jangan khawatir, kita bisa mengakalinya dengan ini."
Sophie mencomot salah satu karet berwarna dan mengikat rambutnya. Lalu, menjumput klip
kertas lucu dan warna-warni. Dengan itu, dia menata rambutnya, menjepit bagian samping agar
tdk berantakan. Wajah Sophie dihiasi senyum lebar. Dia senang melihat dirinya sendiri tdk gagal di percobaan
pertamanya. "Tadaa! Dengan memakai barang yg ada disekitar kita, bisa bikin keliatan fresh dgn cepat. Good
luck ya, girl...." Sophie menghela napas, mematikan rekamannya. Dia mengulang lagi video yg baru saja di
buatnya. Memutuskan kalau itu cukup lumayan dan tdk perlu editing lagi untuk bisa di unggah
ke youtube. Cengiran lebar muncul di paras Sophie. Sambil menyenandungkan lagu, dia bersiapsiap mengunggah videonya ke situs populer tersebut.
Suara ranting terinjak membuat perhatian Sophie teralih. Dia menengok ke asal suara dan
melihat Marko yg mengarahkan handycam kepadanya.
"Lo tuh ya. Selalu aja ngerekam gue waktu gue belum siap." Sophie bersungut-sungut ketika
Marko mendekat dan tetap merekam. "Apus nggak"!" ancamnya.
Marko menjauhkan handycam. Memandang Sophie gemas. Tanpa di minta dua kali, dia
langsung menghentikan rekamannya.
"Apus!" pinta Sophie sambil memukul ujung topi bisbol biru kesayangannya Marko hingga
terlepas dari kepalanya. "Bawel." Marko melengos memungut topinya, lalu duduk di sebelah Sophie.
"Komarrr! gue nggak mau kelihatan jelek di kamera lo," pinta Sophie memberi Marko tatapan
merajuk yg biasanya selalu bisa meluluhkan kecuekan cowok itu.
Marko mencibir. "Siapa juga yg bakal upload video lo" Gue kan bukan lo," katanya. "Lo tau
semua orang yg posting-posting video itu, cuma punya dua kemungkinan; pertama, mereka
nggak ada kerjaan. Kedua, mereka benar-benar megalomania. Satu tingkat di atas narsis. Dan
dalam pikiran mereka cuma....." Marko terdiam sejenak, menatap Sophie yg memandang kesal
tapi penuh ingin tahu. "....is all about me," ujarnya dengan nada lebih keras dan nggak mengejek.
Raut wajah Sophie langsung berubah drastis. Senyum riang karena videonya berhasil langsung
pupus oleh kata-kata pedas Marko. "Jadi, menurut lo, gue orang yg cuma peduli sama diri gue
sendiri"!" "Gue nggak bilang gitu," sahut Marko, tanpa melihat Sophie, dan seolah-olah hanya peduli dgn
handycamnya di tangannya.
7 Misi Rahasia Sophie Karya Aditia Yudis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sophie membereskan barang-barangnya dgn cepat. Wajahnya memerah. Dia kelihatan seperti
orang yg sedang menahan tangis. Tasnya dipakai cepat-cepat, kemudian tanpa pemberitahuan,
kabur begitu saja dari Marko.
"Loh kok lo marah?" Marko kaget dgn aksi Sophie. "Ada yg mau gue liatin nih."
"Bodoh!" Sophie enggan menatap Marko.
"Soph, lo pasti suka," ujar Marko dgn nada datar.
Sophie menelan ludah. Sikapnya ternyata tdk juga membuat Marko sadar. "Gue juga males basabasi sama orang yg selalu nge-judge orang lain. Ngerasa dirinya paling benar!"
keduanya bersemuka. Sejenak tak ada kata-kata yg tertukar. Pandangan mata Sophie mengusik
Marko. "Sophie, gue minta maaf," katanya pelan, setelah beberapa saat saling bisu.
"Basi!" seru Sophie, yg kemudian berbalik dan lari menjauh.
Marko terpaku di tempatnya, melihat sosok yg sangat dikenalnya itu berlalu. Tangannya
menggenggam handycam makin erat. Di situ, dia menyesali kata-kata yg keluar dari mulutnya.
Kalu saja, dia bisa mengendalikan sedikit saja sikapnua yg terlampau cuek itu, mungkin mereka
tak akan bertengkar. Marko pikir bersikap tdk peduli adalah cara untuk melindungi diri sendiri,
sekarang sia tahu kalau itu tdk selamanya benar.
Handycam di tangan Marko masih memutar video yg akan ditunjukkannya kpd Sophie. Gadis
Laundry dan Cowok Pelanggan. Keduanya salah tingkah, sampai tangan Cowok Pelanggan
terulur. Marko langsung memutuskan untuk menyudahi video itu.
*** Marko memutuskan pergi ke mal untuk menghilangkan pikiran tentang Sophie. Dia mengunjungi
toko buku favorit yg biasa didatanginya bersama Sophie juga. Tidak lama Marko berada di toko
buku tersebut. Ketika keluar dari sana, Marko melihat satu sosok yg sangat dikenalnya. Di antara
ratusan mal di ibu kota, mengapa Marko bisa sampai bertemu dgn orang itu di sini"
Langkah Marko melambat. Dia ingin sekali memutar arah, tetapi pandangannya terkait kpd
sosok-sosok itu--keluarga kecil yg tamapak begitu bahagia. Anak kecil yg berjalan di sisi lakilaki dewasa, di samping mereka ada seorang perempuan yg terlihat cantik dan lembut. Sungguh,
kalau Marko tak mengetahui siapa sebenarnya mereka--dia akan langsung memberi cap keluarga
ideal. Semua itu omong kosong. Kini, Marko benar-benar mematung disana. Tangan terkepal.
Wajahnya yg biasa cuek, kini terlihat makin kaku seperti arca. Dia tdk menyukai situasi ini dan
ingin beranjak. Akan tetapi, sesaat kemudian Marko menuyadari malah memilih mengikuti
mereka. Ketiganya berhenti di depan sebuah toko mainan. Anak kecil dalam gendongan pria itu, Oka,
menunjuk mainan di etalase atas. Si pria langsung berinisiatif menggendong Oka. Tawa mereka
berderai penuh antusias mengamati deretan mainan. Marko menelan ludah, tak suka ada di situ.
Si pria itu kemudian berbisik kpd Oka yg ditanggapi dengan anggukan bersemangat. Pria itu
tampak gemas dgn Oka dan memberi kecupan di pipu. Semestinya, Marko tak usah membuntuti
mereka. Sungguh konyol kian benci kpd sesuatu, makin besar keingintahuan tentang hal itu.
Ketiganya kini masuk ke dalam toko mainan, lenyap dari pandangan Marko. Rahangnya
mengeras, genggaman tanganya kebas. Kalau Sophie ada di sini, pasti dia sudah mengajak pergi.
Marko melewati toko mainan itu dgn langkah cepat. Berusaha untuk tdk melirik. Di dalam
kepalanya kelebatan ingatan tentang papa berhamburan seperti foto-foto yg terbang di tiup angin.
Suasana hati Marko tdk membaik sesampainya di apartemen. Tempat tinggalnya selalu sepi,
hanya dia dan mama yg menempatinya. Seperti biasa, mama sedang duduk di depan PC. pastinya
sedang mengurusi bisnis restoran dan kafe miliknya. Terlebih mama akan segera membuka
cabang baru. Apartemennya ini sungguh berbeda dgn milik Sophie. Disana, Marko, selalu merasakan
kehangatan. Sementara di tempat ini, meski furniturnya berkelas, didominasi warna gelapdan
aksen kulit, tidaklah memancarkan nuansa rasa yg sam. Mamanya selalu sibuk, sisanya adalah
kesunyian yg jadi teman baik Marko.
Mama melihat Marko yg masuk ke ruangan. "Marko, tadi papa kamu telepon. Weekend ini
jangan lupa ketempat papa kamu."
langkah Marko terhenti, pandangannya menyipit. Atmosfer hatinya yg berantakan karena
peristiwa di mal tadi, menjadi kian amburadul. "Kenapa sih aku harus kesana"!" sahutnya agak
membentak. Mama terkesiap, agak terkejut dgn nada suara Marko. "Pengadilan yg mutusin begitu. Bukan
Mama." Marko menelan ludah. "aku nggak mau."
"Kamu harus mau! Kalu kamu nggak kesana, nanti papa dan keluarganya mengira mama yg
ngelarang kamu ketemu papa kamu."
"Biarin aja. Mama kok mikirin banget sih," Marko menanggapi dgn males dan menunjukan
ketidaksukaanya dgn terang-terangan.
"Biar bagaimanapun dia papa kamu, Marko," mama mencoba lebih lunak.
Marko dan mama saling pandang. Kelebatan kejadian di mal tadi kembali membayang.
Bercampur baur dgn ingatan saat mama dan papa berpisah dulu. Dia tak pernah bisa melupakan
itu. Seharusnya, mama tdk boleh memaksakan kehendaknya seperti sekarang.
"Walau diem-diem dia selingkuh, terus ninggalin mama?" suara Marko meninggi.
Mama tersentak. "Kamu mulai berani ya ngajarin mam?" mata yg biasanya bening itu kini
melotot pd Marko. "Besok, kamu harus ke tempat papa kamu. Harus!"
setelah itu, mama langsung kembali menghadap PC. kembalai melanjutkan pekerjaanya seakanakan kejadian barusan tdk pernah terjadi. Seolah-olah Marko tak ada di ditu. Bagi mama
percakapan barusan adalah harga mati. Selama beberapa saat Marko masih berdiri di tempat yg
sama. Pandangannya setajam belati kpd mama. Dia tak bisa menahan diri untuk melakukan itu.
Apa yg terjadi kpd papa dan mama terus tinggal dalam ingatan Marko. Rahangnya mengencang.
Air mukanya kian keruh. Lebih baik kalau Marko segera pergi dari tempatnya itu. Sekarang juga.
BAB 3 "Lihat Marko, nggak?"
Sophie asal bertanya ke murid yg dia tahusebagai teman sekelas Marko. Dia melongok ke dalam
kelas, tetapi tak menemukan keberadaan Marko.
"Markp nggak masuk?"
Pandangan Sophie masih terarah kpd murid itu, seakan-akan dia memberi jawaban yg tdk benar.
Sophie menengok ke dalam lagi, Marko masih tetap tak ada.
"Oh, makasih ya."
Dari dalam saku, Sophie mengeluarkan ponselnya. Dia mencoba menghubungi Marko lagi.
Sedari tadi, dia sudah mencoba, tetapi tak satu pun panggilannya yg di terima. Tidak biasanya
Marko seperti ini. Mau tidak mau, Sophie merasakan kekhawatirannya menebal dalam benaknya.
Apakah Marko marah dgn kejadian kemarin" Sophie memang tersinggung dgn kata-katanya
Marko, tetapi dia tdk bermaksud bermusuhan selamanya, apalagi samapai mengusir Marko dari
kehidupannya. Dia mencoba mencari ke taman belakang, kantin, perpustakaan, seluruh sekolah, namun hasilnya
nihil. Murid tadi memang tdk bohong. Mobil Marko pun sama kali tdk terlihat di parkiran
sekolah. Haruskah Sophie bertanya ke mama Marko" Namun Sophie mengurungkannya. Kalau
ada hal yg membuat Marko uring-uringan seperti ini, Sophie tahu betul apa penyebabnya.
Sophie memutuskan untuk menunggu. Marko pasti kembali.
*** Ponsel Marko terus-terusan berdering. Selama itu juga, Marko tdk mengacuhkan semua telepon
masuk itu. Dia kembali berkonsentrasi ke jalanan di depannya. Hanya Sophie yg peduli. Entah
sudah berapa kali gadis itu menghubunginya. Harusnya Sophie mengerti kalau dia sekarang tdk
ingin diganggu. Samapai, akhirnya penelepon lain masuk ke ponsel Marko. Nasibnya sama saja
dng Sophie, Marko abaikan. Tetapi, panggilan itu yg membuat Markop memutuskan
menonaktifkan ponselnya. Panggilan dari rumah. Mama pasti akan memaksanya lagi untuk bertemu dgn papa. Sayangnya Mama tdk akan bisa
melakukan itu. Maeko terlalu jauh untuk dipaksa. Mobilnya sudah bergulir memasuki Kota
Bandung. *** Sophie menghabiskan sore di rooftop. Dia masih menunggu Marko,, tetapi tak kunjung datang
juga. Setiap kali muncul bunyi berderak, dia menoleh ke arah pintu darurat. Namun, pintu itu
tetap pada posisinya. Tak berayun. Tdk juga memunculkan sikap Marko dari sana.
Sophie manarik nafas panjang. Angin sore menampat wajahnya. Tempat ini tdk begitu
menyenangkan didatangi seorang diri. Dia tdk ingin menikmati rooftop ini sendirian selamanya.
Masrko meski begitu cuek, setidaknya selalu mau menjadi pendengar yg baik bagi Sophie.
Dia mencondongkan tubuh kepembatas. Tanpa teropng milik Marko, sia-sia mengamati orangorangdi bawah sana dari sini. Hanya sosok-sosok bergerak kesana kemari tanpa Sophie bisa
melihat jelas apa yg mereka lakukan. Beberapa hari terakhir Sophie membangun sebuah rencana.
Tetapi, tanpa Marko semua itu akan sia-sia saja. Dia ingin berbagi rencana tersebut tetapi Marko
tak jelas dimana rimbanya.
Berkali-kali Sophie menghela nafas. Dia menegakkan tubuh. Pandangannya berkeliling ke
rooftop itu. Kesunyian itu membuat perasaannya sendu. Sophie membenahi rambut yg
berantakan karena angin. Tatapannya tertuju kpd sofa biru lusuh beserta payung besar yg koyak.
Ada juga kotak-kotak kayu yg entah siapa yg meletakanya. Mungkin menurut yg membuangnya
benda-benda itu terlalu sayang kalau dijejalkan ke tempat sampah. Namun, di atas sini bendabenda tersebut di sia-siakan pemiliknya. Menurut Sophie benda-benda itu masih bisa digunakan,
tetapi sdh diabaikan begitu saja. Waktu memang tdk bisa bohong. Benda-benda itu pasti
dipensiunkan karena sudah berumur. Setidaknya benda-benda itu sudah pernah memberikan
manfaat kpd pemiliknya. Iba membuncah dalam Sophie.
BAB 4 Perasaan melankolis itu terbawa hingga hari-hari selanjutnya. Ini hari ke tiga Marko tdk tampak
batang hidungnya. Apa susauhnya sih, memberi kabar. Katanya mereka teman baik, tetapi tiap
kali Marko merasa marah,dia tak pernah membaginya dgn Sophie.
Ponsel Marko bisa dihubungi, tetapi telepon dr Sophie, tdk juga diangkat. Sophie sendiri sudah
menghubungi mama Marko, yg didapat dr beliau adalah kabar kalau Marko baik-baik saja.
Meski kpd beliaupun, Marko tdk mau memberi tahu dimana dia berada. Bagaimana bisa Marko
baik-baik saja kalau dgn mamanya, sekolah, dan Sophie saja, cowok itu tdk bisa peduli. Sophie
berdecak kesal. Rencana yg disiampakannya memang harus segera dijalankan. Setelah benarbenar memikirkannya, Sophie tahu rencana itu tak bisa berjalan tanpa ada Marko.
Sophie berjalan di koridor sekolah dgn kepala tertunduk. Sepanjang malam Sophie berdoa agar
cowok itu baik-baik saja. Ya, Marko sahabat terdekatnya, tak bisa dia bayangkan kalau harus
kehilangan Marko duluan. Tiba-tiba saja ada uang koin yg menggelinding ke arah kakai Sophie. Pandangannya tertuju kpd
koin yg berhenti di dekat sepatunya, selama beberapa saat mengamati benda itu. Kemudian,
Sophie mendongak saat merasa ada yg mendekatinya.
Mata Sophie tertuju pada topi biru yg begitu akrab. Ada kelegaan luar biasa mengalir didalam
hatinya. Sungguh Sophie ingin tersenyum, tetapi seluruh tubuhnya kaku. Kehadiran sosok tinggi
di depanya itu mengejutkan. Marko berdiri di hadapannya, berjarak beberapa langkah saja.
Senyum jail tersungging di bibirnya yg tipis. Selanjutnya, Sophie hanya termangu. Rasanya ingin
mengomeli Marko, tetapi melihat cowok itu kembali sudah cukup membuatnya bersyukur.
Mereka berdua duduk berdampingan di taman belakang. Senyum di bibir keduanya sudah
menguap. Tinggal kecanggungan yg ada di antara mereka berdua. Saophie merasa salah sudah
marah kpd Markop waktu itu. Keduanya tetap bertahan sama-sama sunyi. Sophie
menggoyangkan kakinya pelan-pelan, sambil mengamati jarum panjang di jam tangan merah
kesayangannya. Marko memperhatikannya. Diam di anatara mereka ini sesungguhnya membuat
Marko merasa sangat tdk nyaman.
"Lo ke mana aja sih beberapa hari ini?"
"Nyari imajinasi. Kan kata loe, gue nggak punya imajinasi," seloroh Marko.
"Nggak lucu," sahut Sophie. Dia tahu Marko bermaksud bercanda dan mencairkan kebekuan
antara mereka. Namun saat ini, bukanlah waktu yg tepat. Kecemasan Sophie tdk bisa ditebus dgn
semudah itu. Awalnya Sophie ingin marah, tetapi dia tak kuasa melakukan itu. Dia hanya tak
ingin Marko pergi lagi. "Lo marah ya sama gue?"
"Gue marah sama lo, terus kabur gitu?" Marko menyeringai. "Ge er banget lo ya."
"Syukur deh kalau bukan karena gue." Sophie menghela nafas, mengamati wajah Marko dari
samping. "Terus karena apa dong?" Sophie memberi jeda pada pertanyaannya, mengumpulkan
keberanian untuk mengutarakan itu. "Nyokap lo" Atau bokap?"
seperti yg sudah Sophie kira, air muka Marko langsung berubah.
"Ahh. Nggak usah dibahas deh, Males." kilah Marko.
"Tapi lo nggak bisa kayak gini. Ngambek, terus kabur. Gi mana kalau lo nggak naik kelas. Masih
untung nggak di keluarin gara-gara bolos."
Di ujung kalimat Sophie, Marko langsung bangkit beridiri. Raut mukanya mendung. Lalu begitu
saja dia meninggalkan Sophie.
*** Sophie meneropong ke bawah. Marko selonjoran di sofa, di bawah payung besar. Dia kelihatan
begitu nyaman dalam posisi sekarang. Terlebih karena udara sore yg sudah sejuk dan sinar
matahari yg tak lagi begitu terik. Marko membatin, harusnya dari dulu barang-barang ini ada di
sini. Beberapa hari saja dia tak mendatangi tempat ini, sofa dan payung besar sudah
menggantikannya. "Lo dapat barang-barang ini dari mana?"
"Kafe bawah tutup. Barang-barangnya di buangin." jawab Sophie tanpa menatap Marko.
Sophie beranjak dari pinggiran rooftop, duduk di ujung sofa. Suasana hati Marko tampaknya
sudah lebih baik sekarang. Sophie teringat rencananya yg tertahan untuk disampaikan. Dia
melirik Marko yg memandangi langit. Namun, selama beberapa menit, di juga ikut diam,
memainkan teropongnya di tangan.
"Lo pernah bilang kalau orang-orang yg upload video itu egois. Mereka cuma mikirin diri
sendiri." Sophie mengerling, Marko sudah memasang ekspresi favoriynya--yg sebenarnya datar
saja, tanpa antusiasme. Dia tdk memedulikan itu, rencana ini harus terlaksana apa pun tanggapan
Marko. Sejenak dihela napas panjang, lalu kembali melanjutkan. "Gue akan bantah omongon lo
itu, dengan lakuin tujuh misi rahasia Sophie. Lo mau bantu gue kan?"
Marko menatap Sophie. "Tentang apa tuh misi?"
"Jangan banyak tanya deh. Lo lakuin apa aja yg gue minta. Kayak di film-film spionase gitu."
Sophie mengedip kpd Marko. "Jagoannya mana tau sih misinya apa. Pokoknya jalanin aja. Ntar
juga tahu." tak ada sahutan dari Marko. Kemudian caranya memandang Sophie berubah, matanya menyipit.
"Kenapa tujuh bukan delapan" Lo kan suka angka delapan?"
Sejenak Sophie membisu. "Itu pertanyaan atau bukan" Kalau pertanyaan nggak bakal gue
jawab!" Marko berdecak, mengalihkan tatapan. "Oke. Okeee......" dia menegakkan tubuh. Sekarang
keduanya duduk berdampingan. Selama kepergiannya, dia menyadari kalau merindukan tempat
ini. Merindukan melihat langit senja yg berubah warna perlahan. Marko menoleh kpd Sophie,
lalu tersenyum. BAB 5 PING! PING! PING! Marko menggeliat, setengah terpejam meraba-raba mencari BB-nya. Pesan dari Sophie datang
sepagi ini. Dia ingin melanjutkan tidurnya lagi, tetapi ingat kalau punya janji. Dengan malas,
Marko membuka pesan itu. Misi Rahasia Sophie #1. Ke lobby sekarang!
Bunyi 'ping' berulang lagi. Marko menutupi kepalanya dgn bantal, tetapi bunyi itu seakan bisa
menyusup dari mana-mana. Akhirnya, Marko menyerah, melihat jam bekernya. Sungguh, dia
masih sangat mengantuk dan ingin menikmati hari liburnya. Pantas saja, sekarang masih pukul
tiga pagi. Setengah sadar, Marko membalas.
Masih tidur! Besok libur. Jam 9 aja!
Dia kembali menarik selimut. Denting yg sama terdengar lagi. Kalau bulan Sophie, Marko sudah
akan melempar BB-nya ke ujung ruangan agar berhenti berbunyi.
Sekarang! Atau lo gue pecat dari misi ini! Buruannnn! Ping! Ping! Ping!
Arggghhh. Penuh keterpaksaan, Marko menyeret tubuhnya turun dari ranjang. Lain kali, dia akan
pikiri-pikir untuk berjanji.
Mata Marko yg digelayuti kantuk langsung terbelalak saat melihat penampilan Sophie di loby.
Rambutnya di gelung dan di atas kepalanya bertengger tiara kecil. Aksesoris yg sama sekali tdk
serasi dgn pakaian olah raga ngejreng yg membalut tubuhnya.
"Mau joging kemana" Jam segini bisa dikira maling," ujar Marko takjub sekaligus menahan
tawa. Sophie yg bisa membaca raut Marko, langsung menjawab. "Jangan banyak nanya!" katanya sok
bossy. Tanpa memberi perintah terlebih dahulu, Sophie langsung berjalan. Marko mengikuti Marko
seperti seorang pengawal yg patuh pada putri yg dijaganya. Sepanjang jalan, Marko tak protes
dan mengikuti arah yg diberikan Sophie. Semangat menya-nyala yg keluar dari Sophie tak ingin
Marko lunturkan dgn sikap menyebalkannya. Meskipun merasa misi ini aneh, Marko berusaha
maklum. Dengan begitu, mungkin dia bisa memasuki alam imajinasi Sophie yg biasanya tak
terjangkau olehnya. Terlebih, mata Sophie yg penuh binar, sangat Marko sayangkan jika sampai
meredup. Sejak dulu, dia sangat menyukai binar itu.
Kalau harapan bisa dilihat, seperti itulah nyalanya.
*** Pasar pagi menjadi tujuan pertama mereka. Marko mengikuti Sophie yg berjalan tanpa merasa
risih dgn keadaan pasar. Tempat ini sudah penuh manusia, padahal langit masih gelap. Orangorang yg bangun sepagi ini pastilah luar biasa. Padahal menjelang subuh adalah waktu tidur
ternikmat, menurut Marko. Dia merasa beruntung tdk perlu bangun sepagi ini seperti orangorang diseluruh pasar untuk bekerja.
Mereka berdua berhenti di salah satu lapak. Marko melihat Sophie menyapa ibu paruh baya yg
menunggu lapak, lalu menyerahkan bon pemesanan.
"Ibu pesanan saya sudah siap, kan?"
ibu penjual kue basah mengamati nota, lalu mengecek pesanan yg sudah tersedia. Sebuah plastik
besar diambilnya dari kolong lapak. Sekantong plastik kue basah itu kini sudah berpindah tangan
ke Sophie. "Makasih ya bu," ujar Sophie santun. Kemudian dia berpaling. "Marko, angkatin dong."
Marko langsung menuruti permintaan Sophie. Senyum manis Sophie berikan kpd Marko yg pagi
ini tdk banyak mengomel. Dia mengangkat iPhone-nya lagi, meneruskan rekaman. Marko yg
sedang mengangkat dan kini menjinjing plasti penuh kue basah pun tak luput dari video itu.
Dari pasar ppagi, keduanya meneruskan perjalanan. Jalan raya yg pd jam biasa selalu padat, kini
lengang sama sekali. Sophie menatap ke luar, pada pinggiran jalan yg masih diterangi lampu
jalan. "Stop! Berhenti, Ko! Berhenti!"
Marko menghentikan mobilnya. Dia menatap Sophie heran. Namun, Sophie sudah sibuk dgn
iPhohe-nya. Sophie memberinya isyarat untuk diam dan ditegaskan lagi dgn ucapan.
"Jangan ngomong lo ya"
Marko mengikuti arah pandang Sophie. Dia tahu siapa yg Sophie perhatikan.
'Kalian lihat tukang sapu itu" Saat kalian semua mungkin masih tidur, ada orang yg sudah nyari
7 Misi Rahasia Sophie Karya Aditia Yudis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
rezeki di jalanan kayak bapak itu.'
Rekaman itu selesai. Sophie dan Marko saling berpandangan.
"Turun yuk. Kali ini lo yg ngerekam ya"
Tanpa menunggu jawaban dari Marko, Sophie sudah mendorong pintu mobil dan turun. Marko
bergegas mengambil handycam-nya yg terletak di jok belakang. Sebelu berakhir, Sophie kembali
memberi kode kpd Marko agar tdk bicara. Dia juga menyodori aba-aba utk Marko saat rekaman
harus mulai. Sophie mengangkat jempolnya, tanda Marko mesti mulai merekam. Di layar handycam, Marko
mengamati Sophie yg berlari-lari kecil di tempat sambil melakukan pemanasan dan peregangan
otot. Sikapnya seolah-olah seseorang yg berniat joging. Kemudian, dgn cepat Sophie mengambil
sesuatu dr tas selempanganya. Marko tahu apa itu, salah satu bungkusan dr plastik kue basah yg
baru saja mereka ambil dr pasar tadi. Rasa penasaran makin mengisi benak Marko. Dia tdk
mengalihkan tatapannya sama sekali dr layar.
Seolah sudah melakukan berkali-kali Sophie dgn cekatan mendekati bak sampah dan
menggantungkan bungkusan berpita cantik itu di peganganya. Bibir Marco mengerucut. Jadi,
itulah misi pertama Sophie. Perlahan, bentuk bibir Marko berubah menjadi lengkungan manis.
Sophie memang tak terduga, bahkan setelah sekian tahun mereka menjalin pertemanan.
Tanpa Marko sadari, tahu-tahu gadis itu sudah ada di depannya. Kemunculan wajah Sophie di
layar kamera mengagetkannya.
"Hai, kira-kira apa ya, yg ada di pikiran tuh bapak kalau sadar ada makanan tergantung di situ."
Sophie nyengir, melirik kearah tukang sapu lagi. "Wow, ada makanan. Dari siapa ya" Janganjangan dari peri......" kalimat itu diakhiri kikik tawa dari Sophie.
Marko menarik wajahnya menjauh dr ujung lensa. Kini, keduanya mengamati tukang sapu yg
tengah membuka bingkisan itu. Ekspresi terkejut terpancar jelas dr wajah si tukang sapu.
Senyum melebar di wajahnya ketika melihat isi bingkisan itu. Bibirnya bergerak, mengucapkan
syukur. Sophie dan Marko bertukar senyuman.
"Ayo, Ko kita ke lokasi berikutnya. Udah, matiin rekamannya." ujar Sophie menepuk punggung
Marko. Petualangan mereka pagi itu masih berlanjut. Mereka mampir ke pos palang kereta api untuk
memberi bingkisan rahasia bagi penjaga palang pintu. Lalu, di sebuah jalanan perumahan,
bingkisan cantik itu jadi hak seorang pemulung. Marko merekam ekspresi si pemulung yg
tampak senang menerima bingkisan rahasia. Tanpa Marko sadari dia ikut tersenyum. Si
pemulung masih celingak-celinguk mencari tahu siapa yg mungkin menghadiahkan itu. Di
dekatnya hanya ada seorang cewek yg sedang senam. Saat si pemulung menengok lagi, cewek
itu sudah menghilang begitu saja.
"Apa sih maksud misi lo" Lo mw pamer kalau bagi-bagi makanan" Memang lagi kampanye"
Ada ya miss-missan yg pakai kampanye?" Marko memberondong Sophie dgn pertanyaan ketika
mereka melangkah di atas trotoar jalan perumahan.
"Komarrrr! Kok miss-miss-an sih"!" seru Sophie gemas.
"Itu kepalanya pake gituan?" telunjuk Marko terarah ke kepala Sophie, pada tiara yg menghiasi
rambut cewek itu. Tangan Sophie bergerak-gerak, mengepal dan membuka. "Ini peri!" katanya, menyentuh tiara.
"Lagian gue mau nunjukin aja. Banyak orang yg pagi buta gini udah kerja. Emangnya lo.....,"
sindir Sophie, menyeringai kecil.
Marko mengarahkan handycam-nya. Mengfokuskan kpd Sophie yg sedang terkekeh.
"Tapi beneran. Gila akting lo pura-pura senam tadi. Lo emang pantes masuk nominasi oscar."
Marko nyengir lebar. "And Oscar goes to.... Sophie!" serunya lalu kabur dari Sophie.
"Komarrrr!!!" Sophie mengejar Marko gregetan. Sementara itu, Marko berlari mundur untuk bisa terus
merekam Sophie. Saat Sophie hampir berhasil meraihnya, dia tak peduli lagi dgn video yg
sedang dibuatnya, lari sekencang-kencangnya.
Pelarian Marko tiba-tiba terhenti. Matanya menangkap sosok tukang balon yg sedang melintas
ke arah mereka. Seketika itu juga dia langsung balik badan dan lari kearah berlawanan. Sophie
tertawa terpingkal-pingkal melihat itu. Paras Marko pucat seolah baru saja bertemu dgn makhluk
halus. Keduanya berlarian sepanjang trotoar sepagi ini--sesuatu yg sebelumnya tak pernah mereka
lakukan. BAB 6 "Lo yakin kita pakai kostum beginian?"
Bulir-bulir keringat bercucuran di pelipis Marko. Ekspresi bosan kentara di wajahnya. Dia
memandangi Sophie dalam kostum kelinci lengkap berwarna abu-abu di bangku penumpang.
Lalu, mengamati dirinya sendiri, yg menggunakan kostum beruang.
"Kalau lo sih pantes. Gigi lo aja kayak gigi kelinci," celetuk Marko. Dia masih tdk percaya harus
berkostum seperti ini.menggelikan. Ini adalah sesuatu yg tak pernah terbayangkan harus terjadi
seumur hidupnya. "Lo juga pantes!" Sophie menunjuk Marko.
"Kita nunggu apa sih" Masih lama?" tanya Marko.
Sophie tdk menjawab. Pandangannya mengikuti gerak seorang perempuan cantik dlm pakaian
kantoran yg menggunakan sepatu hak tinggi. Umur perempuan itu kira-kira sama dgn orangtua
mereka. Dia sedang berjalan menuju mobilnya.
Marko menoleh kpd Sophie penuh tanda tanya. Matanya ikut mengamati perempuan yg sekarang
sudah masuk ke mobilnya itu.
"Marko, cepet ikutin tuh mobil" Sophie memukul bahu Marko. "Ayo, cepetannn!!!" ujarnya tdk
sabaran. Sesigap mungkin Marko langsung menjalankan mobilnya, mengikuti perintah Sophie. Sepanjang
jalan, Sophie tdk mau memberi tahu Marko siapa sebenarnya perempuan itu dan kemana tujuan
mereka. Kepada Marko, Sophie mengaku tdk tahu tujuan akhir mereka, tetapi jelas dia tahu
identitas yg sedang mereka ikuti.
Marko berusaha menjaga jarak antara mobilnya dengan target mereka. Itu dilakukan agar si
perempuan tdk curiga. Dia sekarang merasa sedang bermain detektif-detektifan. Lumayan seru
juga, batinya. Beberapa kali, dia hampir kehilangan mobil yg sedang diikuti, tetapi dgn cekatan,
Marko bisa menemukan mobil itu lagi. Tanpa mereka duga, mobil tersebut membelok ke sebuah
bangunan. Rumah Jompo Lestari. Marko menghentikan mobilnya di depan pagar panti. Dia menoleh kpd Sophie yg sudah
menurunkan kaca jendela. Kepala Sophie celingukan ke sana kemari. Marko coba mencari tahu
apa yg Sophie ingin ketahui. Menurutnya, perangai Sophie itu sungguh mencurigakan.
"Kita ke sini mau nyuliktuh nenek" Lo mau masuk tivi gara-gara nyulik nenek-nenek dari panti
jompo?" Marko berdeham menirukan gaya bicara penyiar berita. "Dua orang berkostum binatang
nyulik nenek-nenek dari panti jompo....."
Sophie mendelik. "Komarrr!!! Diam dulu kenapa, sih"!"
Marko menutup mulut sejak saat itu. Cukup lama mereka menunggu di sana. Seluruh badan
Marko sudah bermandikan keringat. Tetapi, dia tdk mengeluh karena tahu Sophie tdk akan
menanggapinya. Akhirnya, Sophie kembali mengajaknya bicara ketika melihat mobil perempuan
tadi keluar dari panti jompo. Begitu mobil itu berlalau, Sophie langsung menyuruh Marko untuk
turun dari mobil. Selama beberapa saat, Marko tetap bertahan di dalam mobil. Dia tdk pernah membayangkan
muncul didepan banyak orang dgn kostum seperti ini. Meski kali ini di depan orang-orang
jompo, tetap saja Marko merasa jaim. Sophie kembali memelototinya sambil berkacak pinggang.
Marko pun menyerah dan keluar dari mobil.
Sore itu, koridor di dalam bangunan tersebut tdk terlalu ramai. Namun, kostum yg melekat di
tubuh mereka mau tdk mau menarik perhatian semua mata. Kedatangan mereka di cegat oleh
seorang perawat. Marko pikir mereka akan diusir, tetapi belum sempat di perawat bicara, Sophie
sudah menyerobot duluan. "Mbak, kamarnya oma Pingkan di mana ya?" tanya Sophie dgn mantap.
Marko tdk tahu dari mana Sophie bisa mendapatkan nama orang yg mereka cari. Oma pingkan
itu siapa, dia pun tdk punya bayangan sama sekali. Sekali lagi, dia mengakui Sophie yg benarbenar penuh kejutan. Pelan-pelan dia merasa penasaran juga dgn misi kedua Sophie ini.
"Kami 'pembawa pesan' cucu oma." Sophie tersenyum lebar kpd perawat di depan mereka.
Sesaat perawat itu memandang keduanya dgn tatapan aneh. Ada sedikit rasa curiga, namun,
karena Sophie yg sangat percaya diri, kelihatannya perawat itu percaya.
"Oh, kamarnya yg di pojok sana," si perawat menunjuk salah satu koridor, "Tapi, sore begini,
oma-oma biasanya kumpul di taman dekat situ," telunjuknya mengarah ke arah taman yg terlihat
oleh Sophie dan Marko. Sophie tersenyum lebar. "Makasih ya, mbak."
mereka berdua segera berlalu dari depan perawat. Orang-orang masih memperhatikan mereka.
Sophie cuek dan nyaman-nyaman saja. Sementara itu, Marko merasa risi. Ke mana kemampuan
tdk pedulinya ketika dibutuhkan seperti sekarang ini"
Sophie meneliti kumpulan oma-oma ditengah taman. Tidak butuh waktu lama baginya
mengenali oma Pingkan, seseorang yg dicarinya sejak beberapa waktu lalu. Beliau tdk banyak
berubah, namun Sophie bisa melihat wajahnya yg suram. Sophie menghela napas, menengok pd
Marko yg memasang ekspresi angkuh. Dia menowel bahu Marko, memberi isyarat kalau mereka
akan menuju ke kerumunan oma-oma. Marko mengernyit dahi, tetapi Sophie tdk membutuhkan
jawaban dr cowok itu. Dia maju duluan dan amat sangat yakin kalau Marko akan mengikutinya.
Seluruh perhatian oma-opa tertuju kpd mereka berdua. Sophie merasa agak grogi, meskipun
kostum itu sudah menyembunyikan penampilannya yg asli. Marko berdiri di sebelahnya, tampak
jauh lebih bauk dari pada Sophie. Dia mengucapkan doa di dalam hati sesingkat mungkin agar
semua berjalan lancar. Kalau berantakan, Marko pasti akan mengomel setelah ini. Bahaya kalau
dia sampai ngambek dan tdk mau membantu Sophie menjalankan sisa misi yg ada.
"Haloo semua!" Sophie melambai kpd seluruh penonton. Dia menelan ludah. Entah mengapa
tiba-tiba dia merasa haus. Tetapi, tdk ada waktu untuk kembali dan minum terlebih dahulu.
Misinya sudah menunggu untuk diselesaikan. "Nama saya Sophie kelinci. Ini adalah Marko, si
beruang Pemalas," katanya menunjuk Marko yg diam seperti patung. "Kami adalah sahabat.
Dalam dunia kami, kelinci tdk takut sama beruang."
Sophie terus bicara untuk mengatasi kegugupannya. Dia berusaha menarik perhatian, akan tetapi
kerumunan manula itu memberi Sophie pandangan bosan. Beberapa diantara mereka malah
sudah ada yg bicara sendiri. Marko menoleh kpd Sophie dan merasa jengah. Lain kali, Sophie
harus bicara tentang rencananya sehingga mereka bisa menyusun event yg lebih seru. Marko
sendiri merasa bosan mendengar cerocosan Sophie itu.
Marko meraba saku kostumnya. Ponselnya ada disana. Tiba-tiba ide itu muncul begitu saja.
Sophie melirik galak ketika Marko mengeluarkan ponselnya. Sejurus kemudian terdengar suara
musik 'harlem shake'. "oma, Opa! Shake it!" Marko mengangkat tangan. Mulai bergoyang sendirian. Walaupun sadar
kini seluruh pandangan para manula itu ke arahnya, Marko tdk peduli. Dia terus berjoget sampai
salah satu opa gaul mengikuti.
Pandangan mata Marko bertemu Sophie. Dibalik kostum beruang. Marko tdk bisa menahan
cengirannya. Sophie kini, ikutan menari 'harlem shake'. Taman yg tadinya sepi itu, sekarang riuh
rendah oleh sekelompok manula yg berjoget bersama.
*** "Tahnks udah nyelamatin gue....."
"Dari drama garing lo," sambung Marko, bersandar kelelahan di jok mobil.
Sophie melirik kesal Marko sebal. Sebenarnya dia senang karena Marko punya inisiatif, tetapi
sahutannya barusan benar-benar tdk menyenangkan. Terlebih, sekarang perut Sophie terasa sakit
lagi. Mungkin dia letih dan dehidrasi sejak tadi.
"Lo kenapa?" Ternyata ekspresi kesakitan Sophie tertangkap mata Marko.
Sophie tersenyum lemah. "Biasa. Cewek. Jalan, Maaarrr"
Selama beberapa detik tatapan Marko tdk berpaling dr Sophie. Sebernya dia khawatir, biasanya
Sophie tdk pernah mengeluh sakit ketika datang bulan. Akan tetapi, Marko tahu banyak temantemannya yg memang sering sakit perut saat menstruasi. Mungkin, benar itu yg terjadi kpd
Sophie. Marko tersenyum, lalu menjalankan mobilnya. Dia harus segera mengantar Sophie ke
rumah agar bisa istirahat. Petualangan kali ini, lebih menguras tenaga dibanding misi pertama.
Meski begitu, hati Marko merasa bersuka cita. Tawa dan ekspresi bahagia para manula tadi
menular kepadanya. Meski dia tak bisa mengindahkan perasaan iba melihat mereka semua.
Bukankah semestinya para manula itu ada dirumah bersama keluarga" Miris rasanya sampai
harus dijaga dan dihibur oleh orang lain seperti tadi.
Sesampainya di apartemen, Sophie bersikeras sudah merasa baik-baik saja. Marko memaksanya
mengantar ke atas. Permintaan Marko ditolak mentah-mentah dan kini keduanya duduk di sofa
loby apartemen tower Sophie. Marko tdk tahu apa tujuan mereka duduk di situ. Sophie sibuk dgn
iPhone-nya sementara dia duduk setengah melorot sambil mendengarkan musik lewat earphone.
Dari tempat mereka duduk sekarang, dia bisa melihat orang yg keluar masuk lift. Beberapa
wajah cukupakrab di mata Marko, sisanya blm pernah dilihatnya sama sekali.
Pintu lift terbuka lagi. Ada seorang gadis cantik keluar dr sana. Rambutnya panjang sepunggung
agak kecokelatan. Kakinya yg jenjang melangkah anggun. Matanya begitu teduh. Tatapan Marko
tdk berpaling barang sejenak. Sosok yg ini blm pernah diketahuinya sepanjang tinggal di
kompleks apartemen. Bagaimana anda bisa ada makhluk seperti itu yg luput dr Marko"
Sophie menarik earphone dr telinga Marko. Kemudian bangkit berdiri dan penuh semangat
mencegat gadis itu. Marko masih duduk, tdk paham dgn ulah Sophie. Kalau Sophie kenal gadis
itu, mengapa Marko tak pernah tahu dan berbagi cerita.
Gadis itu kebingungan dgn Sophie yg memblokir jalannya. Keduanya berpandangan, saling
tersenyum canggung. "Hai, sorry ganggu. Lo cucunya oma Pingkan kan?"
Gadis itu memandang menyelidik kpd Sophie. Sebelum gadis itu meminta untuk pergi, Sophie
langsung mengatakan ingin bicara kepadanya tentang Oma Pingkan. Awalnya, gadis itu keliatan
ragu. Sophie meyakinkan kalau pembicaraan itu penting dan tdk akan lama. Gadis itu pun setuju,
keduanya keluar ke area bersama. Marko mengikuti dibelakang mereka, menjaga jarak. Masih
bertanya-tanya bagaimana Sophie bisa mengetahui tentang gadis itu.
"Papa sama mama nitipin oma ke panri hmm.... Biar oma ada temannya. Ada yg ngurus juga.
Kalau dirumah siapa yg ngurus oma" Papa-mama kerja. Sore gue baru balik ke apartemen,"
beber Imel kpd Sophie. Tanpa ragu Sophie menyerahkan iPhone-nya kpd Imel. Sebuah video bermain dilayarnya.
Rekaman yg dibuatnya sore tadi bersama Marko. Imel tampak begitu serius melihat rekaman itu.
"Kok lo bisa.....," ujarnya terkejut, menekapkan tangan ke mulutnya. Cahaya matanya yg teduh,
langsung berubah menjadi sendu. Jelas sekali ada yg tdk beres dan coba disembunyikan oleh
Imel. "Gue ngerekamnya tadi, habis.... Hmmm... Gue sama Marko ngadain atraksi disana."
Imel menghela napas panjang, memandang Sophie dgn tatapan pilu. Dia kembali menekuni
video itu, bahkan mengulangnya. Pandangan Sophie tdk sengaja bertemu Marko yg duduk agak
terpisah dr mereka. Desah napas Imel terdengar ketika video itu selesai diputar. Penyesalan dan
kesedihan mewarnai raut wajahnya yg ayu. Sophie menggigit bibir, teringat misi keduanya yg
sudah setengah jalan. Dia harus terus maju. Air muka Imel sekarang membuat Sophie yakin
bahwa gadis itu akan setuju dgn misi ini.
"Tiga puluh tahun lagi, saat lo udh nikah dan punya anak. Apa lo bakal masukkin papa-mama lo
ke panri jompo?" Sophie melontarkan kalimat yg barusan terlintas di kepanya.
Imel tercekat. Rasa hangat memenuhi kelopak mata Imel., pandangannya memburam. Bayangan
oma serta papa dan mama bermain di kepalanya, membuat dadanya terasa sesak.
Sophie balas memandang Imel. Mata gadis itu sudah dgn jujur memperlihatkan apa yg
bergejolak dlm hatinya. *** Tubuh Sophie terasa benar-benar penat sesampainya di apartemen. Dia mengempaskan badanya
ke sofa. Suara adik-adiknya tak terdengar. Seluruh ruangan itu sepi.
"Kamu ke mana aja. Sampai jam segini....."
Pertanyaan mama mengejutkan Sophie. Mama mengambil majalah di atas meja dan ikut duduk
disamping Sophie. Dia balas tatapan mama dgn perasaan tdk enak. Sekarang memang sudah
lewat jam malam yg ditentukan mama.
"Jalan sama Marko, ma." jawab Sophie jujur.
Mama kenal baik dgn Marko. Bersama Marko adalah alasan terbaik untuk tdk dimarahi kalau
Sophie berpergian hingga larut malam. Kali ini, alasan Marko tdk menghapus kekhawatiran yg
terpancar di wajah mama. "Kok sepi. Pada kemana, ma?" tanya Sophie, mengalihkan perhatian mama.
Mama mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. "Papa nganterin adek buat tugas
prakaryanya." Tepat saat mama mengakhiri jawabannya, pintu apartemen terbuka lagi. Livia dgn cueknya
masuk. Tanpa memedulikan keberadaan mama dan Sophie, remaja itu langsung menuju
kamarnya. "Livia! Kamu dari mana?" Mama berseru sebelum Livia masuk kamar. "Jam berapa ini?"
Livia mengabaikan pertanyaan mama.
"Livia, mama tanya sama kamu."
Livia bersecak, berhenti sebelum mendorong pintu kamarnya. Selalu saja apa yg dilakukannya
salah di mata mama. "Mama kenapa marah-0marah"! Livia cuma main sama Jenny dan Verni! Livia" Livia berbalik,
menghadap mama dengan cemberutnya. Kejengkelan tergambar jelas di wajahnya. Matanya
menatap kesal kpd Sophie dan Mama. "Kak Sophie juga barusan pulang, kan"! Livia liat tadi di
lobi. Cuma beda semenit aja, dimarahin!" serunya.
Mama teranyak mendapatkan reaksi sekeras itu dr Livia. Remaja itu bergegas membanting pintu.
Sophie menarik napas panjang menatap kejadian itu. Dia berpaling kpd mama yg masih menatap
ke arah pintu kamar Livia. Hatinya terasa pedih. Sejak kapan Livia bersikap seperti itu" Livia yg
dulu Sophie kenal adalah anak perempuan yg manis. Sophie jelas mengakui Livia lebih cantik
darinya, tetapi dia tak pernahj iri. Mereka dulu akrab, tetapi perlahan-lahan keabraban itu luntur.
Semestinya mama tdk perlu berteriak kpd Livia. Seharusnya, mama bisa bersikpa biasa-biasa
saja, baik kpd Sophie maupun Livia.
Sophie meraih tangan mama, menggenggamnya. Perhatian mama kembali teralih kpd Sophie,
mata perempuan itu terlihat sendu. "Biasa, ma, abege. Ntar gedean dikit Livia juga ngerti kok,"
dia berusaha menghibur mama. Sebelum masuk ke kamar, Sophie menyempatkan memeluk
mama. Keduanya sama-sama mencoba tersenyum.
BAB 7 "Makin lama makin banyak aja orang yg nyampah di YouTube!" komentar cewek berambut
panjang dgn judes. "Yah, namanya juga usaha," cewek lain menyahut penuh sindiran. Matanya melirik ke arah rak
buku yg tak jauh dari mereka. "Lo tau nggak, narsisi itu eksis yg tertunda," katanya dengan suara
dikeras-keraskan, kalimat itu disambut tawa dari kedua cewek. Dengan sengaja salah satu dari
mereka mengeraskan volume iPad ditangannya. Suara dr rekaman 'Misi Rahasia Sophie #1'
7 Misi Rahasia Sophie Karya Aditia Yudis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
meramaikan perpustakaan yg mestinya sepi itu.
"Bisa diam nggak"! Ini perpus, bukan mal!"
seruan petugas perpustakaan itu langsung mendiamkan gerombolan cewek yg mengomentari
misi Sophie. Mereka tahu kalau Sophie ada di ruangan itu bersama mereka. Teguran petugas
perpustakaan itu membuat mereka kesal. Sophie menggeleng-gelengkan kepalanya dari balik
rak, mengamati kekasaran mereka saat membuka lembaran-lembaran buku.
"Kalau nggak karena tugas, males banget gue ke sini! Tampangnya sama semua, kayak buku
cetak!" Gerombolan itu terkikik lagi. Sophie berdecak, menatap mereka dgn pandangan sebal. Gara-gara
itu, dia malah mendapatkan ide. Bibirnya langsung membentuk cengiran, sembari dia mengambil
iPhone dr dalam saku. Dia celingak-celinguk terlebih dahulu, memastikan tak ada orang lain yg
memperhatikannya. Sophie berdeham dan mulai merekam dirinya sendiri.
"Di sekolah ini ada dua spesies yg paling dominan. Anak mal dan anak perpus. Anak perpus
sangat nyaman dgn habitatnya. Tapi jangan salah, mereka juga menikmati hangout ke mal. Tapi
anak mal hanya di mal mereka merasa eksis. Tapi diluar habitatnya, mereka sering mati kutu.
Dan asal tau aja, semua juga bisa nikmatin ke mal. So, who's the really somekind of aliens
people" You'll know the answer is....."
Sophie menyadari dia sudah ketahuan. Buru-buru dia menghentikan rekamannya saat salah satu
cewek dr gerombolan itu menghampiri.
"Rese banget sih lo!" bentak si cewek judes berambut panjang tanpa basa-basi.
Alis Sophie terangkat. Sebenarnya dia agak kaget bisa kepergok. Tetapi, dia tdk takut dgn
cewek-cewek jutek itu. Sophie bersedekap dan balas menatap si cewek jutek tidak kalah galak.
"Kalau lo mau cari upload-annya di YouTube, jangan lo googling 'Misi Rahasia Sophie'. Lo
ketik aja: 'anak perpus versus anak mall'." Sophie melengos. Sebelum kelompok jutek itu
menanggapi kata-katanya, dia segera membereskan buku-bukunya dan melangkah pergi seolah
tdk terjadi apa-apa. "Mau ke mana lo"!" seruan cewek tukang sindir ditimpali anggota gerombolan lainnya.
Keributan itu kembali memancing si petugas perpustakaan melayangkan teguran yg sama.
Seluruh gerombolan itu langsung bungkam. Beberapa siswa yg ada disekitar mereka malah
terkikik geli. Sophie berjalan sambil tersenyum penuh kemenangan.
*** Kepuasan karena sudah mengerjai cewek-cewek rese diperpustakaan tadi terbawa ketika Sophie
bercerita kpd Marko. "Trus udah lo upload video mereka?" tanya Marko penasaran.
"Gue nggak mau nyampah di YouTube," timpal Sophie nyengir.
Keduanya duduk2 di taman sore itu, menunggu seseorang yg akan datang. Tidak lama setelah
itu, orang yg mereka tunggu, Imel, datang juga. Sophie menatap Marko dgn pandangan
menyelidik. Entahlah, dia merasa tatapan Marko ke Imel jauh berbeda dgn tiap kali Marko
melihat kepadanya. Apakah mungkin karena Imel begitu cantik dan mempesona, sementara
Sophie biasa-biasa saja" Sophie tersenyum kecil. Dia sendiri sudah lama tdk menemukan Marko
memandang seseorang seperti itu seolah-olah menginginkan utk dirinya sendiri.
"Hei, maaf baru aja balik." Imel duduk diantara Marko dan Sophie. "Gimana" Udah siap
semuanya?" tanya Imel kpd Sophie dan Marko.
Senyum manis tersungging dibibir Imel untuk kedua teman barunya. Setelah pertemuan mereka
beberapa hari lalu, ketiganya menyusun rencana untuk memberitahukan keinginan oma pingkan
kpd orang tua Imel. Sementara Sophie menemui oma pingkan untuk ngobrol ini itu, Imel
mencari waktu yg tepat agar rencana tsbt berjalan lancar.
Sophie mengacungkan jempol dan mengangguk. Sekilas, Sophie memergoki keduanya saling
pandang sesaat. Wajah Marko tak berekspresi sama sekali. Bisa jadi Marko mencoba bersikap
seperti biasa, tanpa menunjukkan ketertarikannya. Waktu akan menjawabnya nanti. Sophie
menyikut Marko, membuat cowok itu terlonjak. Marko menatap Sophie sengit, seakan baru saja
dia merusak momen indah cowok itu.
Ketiganya menuju apartemen Imel. Interior tempat itu berkelas, mengingatkan Sophie pd
apartemen Marko. Suasanya dingin, mungkin karena semua penghuninya sibuk. Sophie mengerti
bagaimana oma pingkan jelas merasa kesepian di sini. Akan tetapi, keputusan untuk
memasukkan oma pingkan ke panti jompo juga bukanlah sesuatu yg lebih baik.
Sophie mengganti pakaiannya dikamar Imel. Ruangan itu begitu rapi dan anggun tdk seperti
kamarnya sendiri yg meriah dan berwarna. Cewek-cewek anggun dan kalem seperti ini mungkin
akan cocok dgn Marko. Dia mengamati kolase foto dikamar Imel. Ternyata cewek itu suka
memotret. Masih nyambunglah dgn hobi Marko. Belum lagi ditambah koleksi film-film yg ada d
rak, membuat Sophie yakin kegiatan favorit Imel lainnya adalah menonton. Semakin banyak saja
kecocokan antara Marko dan Imel. Sophie tersenyum sendiri, mematut diri di depan cermin dgn
wearpack yg membungkus seluruh tubuhnya. Terakhir, Sophie menggelung rambutnya dan
memakai topi. Dia menjauh dr cermin dan segera kembali keruang tengah.
"Jadi ini seragamnya?" sahut Imel.
Sophie berkacak pinggang layaknya model. "Yes ma'am. Ini seragam mandor tukang. Gitu sih yg
gue lihata di fil-film. Ya, tapi gue modif dikitlah, biar nggak kucel-kucel amat."
Marko mentusul keluar dr kamar mandi beberapa saat kemudian. Ditubuhnya melekat wearpack
yg sama. Parasnya tampak jengkel karena Sophie tdk memberi tahunya apa-apa tentang ini.
Sophie tertawa melihat Marko, disahuti oleh Imel. Dia melemparkan topi kpd Marko dan
memberi isyarat untuk segera memakainya.
"Biasanya bentar lagi mereka balik, kita siap-siap aja." ujar Imel.
Marko memandangi Sophie, menunggu instruksi. Sophie kembali mengacungkan kedua
jempolnya ke Imel. "Sekarang kita ngapain nih?" tanya Marko.
"Tunggu sebentar," ujar Sophie, yg tak lama kembali sambil mengangkat-angkat kotak yg
kelihatan berat. Marko punya kotak yg mirip, isinya alat-alat pertukangan sederhana. Sementara yg ini, Sophie
tak mau memberitahukan. Bahkan membawa membantunya saja, tdk diperbolehkan. Kemudian,
seolah-olah itu adalah kotak harta, Sophie membukanya penuh khidmat. Dia berjongkok dan
mendorong penutupnya. Marko kembali bersebelahan dgn Imel, memandang ingin tahu.
Kota itu terbuka, isinya sama seperti yg ada dipikiran Marko. Sophie nyengir kpd kedua
temannya, menyerahkan sebuah meteran didnding kpd Marko.
"Mari nekerja!" ujarnya penuh semangat, memukul-mukuli dinding yg ditutupi wallpaper yg
bermotif klasik warna coklat muda itu.
Sophie langsung mengarahkan Marko untuk mengukur dgn meteran dinding didepan kamr papa
dan mama Imel. Ujung meteran ditarik oleh Sophie hingga keruang makan. Disaat mereka asyik
melakukan pengukuran, tiba-tiba terdengar pintu yg terbuka. Sophie dan Marko berpandangan,
Imel menatap keduanya. Tanpa sepatah kata, mereka tahu siapa yg datang.
"Apa-apaan ini?" serua mama Imel dgn pandangan terkejut.
Pertanyaan itu mengandung luapan emosi yg tinggi. Papa Imel juga memandang Sophie dan
Marko dgn curiga. Selama beberapa saat semua orang yg ada diruangan itu sunyi senyap.
"Aku manggil tukang, Ma, buat bikin pegangan kayu dari kamar mama sama papa sampai ruang
makan." Imel langsung menengahi situasi yg tegang itu.
"Kamu mau bikin wallpaper mama rusak"!" bentak mama Imel.
Sophie berakting memaku patongan kayu ke wallpaper cantik itu. Usaha Sophie langsung
membuat mama Imel paNik. "Heh, kamu! Jangan asal maku!" mama Imel memelototi Sophie. Mukanya yg putih, memerah
karena marah. Sophie menarik palunya menjau, menundukkan kepala. Mendekat kpd Marko. Dia tahu ini akan
terjadi, hanya saja menghadapi kemarahan orangtua memang tdk pernah mudah.
Papa Imel mendekati meraka. Memandangi satu persatu dgn sorot tdk terlalu ramah. "Mel, ada
apa sebenarnya" Mereka bukan tukang kan?"
Imel memandangi papa dan mama bergantian. "Imel, cuma mau siap-siap aja, kalau nanti papa
mama tua, Imel nggak akan ngusir papa mama." ujarnya pelan.
"Kamu ngomong apa sih, Mel. Mama nggak ngerti," sahut mama emosional.
Papa memandangi Imel penuh arti.
"Pegangan kayu itu sengaja Imel pasang sampai ruang makan, buat pegangan mama dan papa,
kalau mama sama papa tua nanti," Jelas Imel, yg membuat ruangan itu kembali sepenuhnya
hening. Selanjutnya Imel menjelaskan kpd mama dan papa tentang Sophie dan Marko. Semua tentang
oma Pingkan. Cerita Sophie membuat papa dan mama kelihatan terusik dan tdk nyaman. Namun
mereka tdk percaya dan terus membantah, hingga Marko pun memperlihatkan rekaman yg
mereka buat hari lalu. Tak ada seorang pun yg berbicara dlm ruangan itu. Semua mata tertuju kpd video yg diputar.
Terdengar suara musik dan keriuhan hari itu di panti jompo. Kemudian disisi video, suara musik
itu berganti dgn intonasi pilu seorang oma. Sophie menggit bibibr, teringat ketika mengobrol dgn
oma pingkan. Mata oma pingkan yg berpendar ketika menceritakan Imel. Lalu, senyum bahagia ketika
mengisahkan pertemuan kedua orangtua Imel hingga akhirnya menikah. Sophie menahan
keharuan selama ini. Dia tdk habis pikir mengapa orangtua Imel tega mengirimkan seseorang yg
penuh kasih sayang dan kelembutan seperti Oma Pingkan ke panti jompo.
'Oma kangen sama cucu oma. Setiap pulang sekolah, dia lagsung cari oma.' suara oma Pingkan
terdengar diruangan itu. Kesedihan tdk bisa di sembunyikan dari sana. 'oma tahu, kalau oma
nyusahin anak dan cucu oma. Tapi jangan hukum oma di sini. Oma janji nggak akan nyusahin
lagi. Tapi oma nggak mau tinggal di sini.'
Video itu selesai di putar, tetapi tak seorang pun berkata-kata. Sophie mendengar mama Imel
menghela napas berkali-kali.
"Nanti lantai apartemen ini akan Imel ganti sama lantai yg bertekstur nggak licin kayak gini biar
papa dan mama nggak kepleset. Karena itu kan, alasan mama sama papa ngirim oma pingkan ke
panti jompo" Nggak bisa jaga diri. Ngerepotin....." kalimat Imel nyaris menghilang di ujungnya.
Papa dan mama Imel saling pandang. Mereka diam seribu bahasa, tetapi kemudian mama Imel
langsung menghambur memeluk Imel, di susul papa. Tangis lirih keluar dr mama Imel.
Sophie melihat mata Imel yg berkaca-kaca. Dia pun merasakan hal yg sama, sesak dalam dada.
Ada orang-orang yg ingin tinggal tetapi malah diminta untuk pergi. Sophie tdk ingin pergi,
apalagi berpisah dgn mama dan papa. Dia juga berjanji kpd dirinya sendiri tdk akan melakukan
seperti apa yg terjadi kpd oma Pingkan. Diasingkan.
*** Imel memberi tahu Marko dan Sophie kalau mereka akan menjemput Oma Pingkan pd suatu
sore. Marko sudah menyiapkan kameranya. Dari posisi strategis, Marko mulai merekam saat
Imel mendekati Oma. Tak ada yg bisa membantah betapa bahagianya oma melihat cucunya. Air
mukanya langsung segar, tawanya begitu hidup. Mereka berpelukan beberapa saat, hingga Mama
dan Papa Imel melangkah mendekat.
"Kita akan pulang oma,"
Oma memandang Imel tak percaya. Pelukannya mengendur, tetapi tangannya tak lepas
menggegam Imel. Pelan Imel mengangguk, tersenyum meyakinkan. Tatapan oma pingkan
beralih kpd mama dan papa Imel. Semburat senyum oma tak luntur kpd keduanya. Pandangan
seorang ibu yg rindu sekali kpd anak-anaknya. Tak ada kemarahan yg keluar, Oma Pingkan
memang sedih, tetapi dia tak bisa marah. Bagaimanapun Oma Pingkan menyayangi anak dan
cucunya. Papa Imel memeluk lebih dulu. Dia membisikkan sesuatu yg tak bisa Marko dengar, mungkin
permintaan maaf. Karena setelah itu tangis pecah. Hal itu membuat benak Marko memanas.
Mestinya dia lebih menghargai kehadiran mamanya sekarang. Sekarang, gantian mama Imel yg
merangkul Oma Pingkan. Tangisnya tak terkendali. Ketika pelukan mereka terlepas, oma
Pingkan menyeka air mata dr pipi Mama Imel.
Marko mendengar desah napas Sophie. Disampingnya, Sophie sejak tadi terhanyut dlm suasana
haru reuni keluarga itu. Mereka berdua bersemuka. Sophie tersenyum tipis.
"Suatu hari, kita semua akan tua, seperti Opa dan Oma kita." pandanga Sophie tertuju kpd pohon
di taman yg daun-daunya berguguran oleh angin. Salah satu dr daun tesebut jatuh ke tangan
Sophie. "Daun tua ini, nggak mau jatuh jauh-jauh dr pohonnya. Seperti Oma dan Opa kita,
mereka tentu akan lebih bahagia ada ditengah keluarga mereka. Bukan jauh dr keluarganya. Apa
pun alasannya." Marko sudah mematikan rekamannya, dia beranjak dr Sophie. Tanpa protes, Sophie mengikuti
sahabatnya, melenggang di antara koridor rumah jompo yg sepi. Misi kedua ini berakhir haru
serta bahagia. Sophie berharap tdk gugur secepat daun-daun tadi. Masih ada lima misi yang
harus di selesaikan. *** "Udah berapa viewer-nya?" tanya Marko ketika Sophie menutup laptopnya.
Setelah pulang dr panti jompo, mereka memutuskan untuk bersantai di rooftop. Sebenarnya
Marko ingin mengajak Sophie merayakan kerberhasilan misi kedua mereka, tetapi Sophie
menolak. Lagi pula, rooftop ini tdk terlalu buruk sih. Semua ide berawal dr sini, dan kalau
mereka memutuskan merayakan di sini mamang sudah sepatutnya seperti itu.
"Viewer-nya dua ratus lima puluh tujuh. Like-nya lima belas. Yang unlike empat orang."
"Not bad," komentar Marko. Dia menoleh kpd Sophie yg pandangannya menerawang ke langit.
Angin menggoyangkan rambutnya. Entah apa yg ada di pikiran Sophie sekarang. Selesainya misi
ke dua ini tdk membuatnya benar-benar terlihat senang. Kalau saja, Marko bisa membaca isi
hatinya. Sekarang pasti Marko sudah bisa menghibur Sophie agar tak sendu lagi.
"Lo kecewa?" Sophie menatap Marko sambil merapikan helaian rambutnya yg berterbangan. "Nggak. Gue kan
nggak ngejar viewer, berapa yg nge-like atau respons yg muji. Karena bukan itu big plan-nya."
"Emang big plan lo apa?" tanya Marko. Dia sungguh-sungguh ingin tahu karena sejak awal
Sophie memang tdk menceritakan apa-apa. Bahkan pertanyaan kenapa tujuh misi, bukan delapan
seperti angka kesukaannya, juga tak terjawab. Sementara itu, tujuh adalah angka favorit Marko
dan sering dianggapnya angka keberuntungan, sesuai dgn tanggal lahirnya. Berapa banyak pun
misi yg Sophie ingin jalankan, Marko ragu bisa menolak untuk membantunya. Dia sudah
terlanjur berjanji. Namun, bukan janji yg memberatkannya, melainkan ketidaktegaan
membiarkan Sophie menjalankan ini sendiri. Pasti tdk akan sesukses kalau mereka berduet
mewujudkan semua rencana. Mereka adalah tim yg kompak, kalau Marko boleh memuji.
Sophie tersenyum sambil memandang Marko. Tatapan keduanya bertemu. Pandangan mata
Sophie tak berbinar terang seperti biasa. Seakan ada yg memenuhi pikirannya, tetapi tak ingin
dibagi dgn Marko. "Imel apa kabar?"
Marko tersentak. "Kok lo nanya gue?"
Sophie mengeluarkan cengiran khasnya. "Kali aja tau. Atau jangan-jangan lo diem-diem udh
BBM-an," godanya dgn telunjuk terarah kpd Marko.
"Lo pernah liat gue minta PIN sama dia?" balas Marko judes.
"Emang gue mantau lo dua puluh empat jam?"
Marko berdecak. Dia mengalihkan tatapan dari Sophie. Imel memang cantik. Tapi, bukan berarti
Marko harus mendadak meminta kontaknya begitu saja.
"Lo nggak nyoba ajak dia nge-date?" selidik Sophie lagi.
"Apaan sih lo," balasnya agak kasar.
"Cewek tuh punya intuisi. Bahkan bisa ngeliat cewek lain suka atau nggak sama cowok." Sophie
terdiam sejenak. "Dan gue yakin, Imel suka sama lo."
Marko menengok, dahinya mengernyit. Matanya memancarkan ketidakpercayaan atas kata-kata
Sophie. "Berarti cewek tahu dong, kalau ada cowok yg suka sama dia. Walau tuh cowok nggak
pernah ngomong?" Sophie tersenyum lembut dan menganggukan kepala. Senyum itu membuat Marko urung
mendebat jawaban Sophie. Mata Sophie kembali penuh binar. Cahaya yg Marko lihat setiap kali
dia punya sesuatu yg besar dan harus dikerjakan. Sophie memergoki Marko mengamatinya,
tetapi hanya tersenyum. "Jadi, ajak Imel nge-date nggak" kalau nggak, juga nggak apa-apa sih. Tapi yg jelas alam akan
ngasih 'pertanda'." Sophie menyeringai. "Pokoknya kita lhat aja nanti," katanya memukul pelan
bahu Marko. Marko membisu. Tdk tahu bagaimana harus percaya. Kalau alam dgn mudah memberi pertanda,
mungkin tak perlu saling bicara ketika mengungkapkan rasa cinta. Namun, itu hampir mustahil,
kan" Hampir semua perempuan ingin diakui.
BAB 8 Pertemuan Marko & Imel pagi tu tidaklah disengaja. Mereka bertukar sapa singkat sebelum
Marko berjalan cepat menuju mobilnya yg terparkir. Sophie tdk berangkat bersamanya, bahkan
tdk juga dapat dihubungi. Sesampainya disekolah, Marko langsung mencari-cari Sophie.
"Lo ke mana aja sih" Gue telepon nggak aktif. Ya udah gue tinggal aja."
"Sorry, tadi gue berangkat bareng papa. Nggak sempat ngabarin lo."
Marko memandangi Sophie, menadadak bayangan Imel melintas dan ingin menceritakan tentang
pertemuannya itu kpd Sophie. Tetapi kalau dia bercerita maka teori Sophie tentang "pertanda
dari alam" itu akan makin menguat.
"Kenapa lo" Muka lo aneh banget."
"Nggak apa-apa kok," Marko berusaha bersikap biasa-biasa aja. Pikiran tentang pertanda itu
berpusing dalam kepalanya.
Namun, satu bukti tidaklah cukup. Mereka tinggal di kompleks apartemen yg sama, besar
kemungkinannya untuk berjumpa. Selama ini Marko tdk pernah melihat Imel. Setelah
perkenalannya, rasan ya dia jadi lebih sering berpapasan dgn gadis itu. Namun, Marko tdk pernah
berpikir kalau itu sebuah pertanda.
Itu pasti imajinasi Sophie aja.
*** Lantunan biola itu begitu merdu. Konsentrasi Marko terpecah antara mendengarkan dan harus
merekam objek yg diminta Sophie. Dia melebarkan pintu sedikit agar lebih leluasa. Ruangan itu
penuh anak-anak yg masing-masing memegang alat musik. Beberapa diantara siap berlatih,
sisanya sedang berkemas untuk pergi dari situ. Ada orang dewasa disana, pelatih anak-anak
tersebut, yg memberikan perintah agar selain anggota orkestra diminta untuk keluar ruangan.
"Namanya Bian," ujar Sophie. "Gue akan ngembaliin kepercayaan diri dia."
Anak perempuan berambut panjang sebahu yg namanya disebut Sophie barusan berjalan di
depan Marko. Langkahnya terjaga dekat dinding, pandangannya mengarah ke depan, tangannya
meraba-raba seakan tembok itu adalah penuntunnya. Marko merasa ada yg aneh dgn tatapan
anak itu. Sampai akhirnya Bian sampai ke sebuah pintu, dia meraba-raba untuk menemukan
kenopnya. Bian berhenti, memutar kenop, lalu mendorong pintu dan masuk ke dalam ruangan.
"Anak itu kayaknya fine-fine aja. Nggak ada masalah." Marko mengarahkan handycam-nya
lewat kisi-kisi jendela. "Dia sih nggak masalah. Tempat ini yg bermasalah sama dia." balas Sophie, ikut mengintip.
"bermasalah gimana?" tanya Marko berbisik.
7 Misi Rahasia Sophie Karya Aditia Yudis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Lo nggak perhatiin kalau Bian itu punya masalah penglihatan?"
Marko mengangguk, ternyata apa yg dilihatnya tadi benar. Tetapi jawaban Sophie belum
membuatnya mengerti. Perhatian Marko teralih saat Bian mulai menggesek biolanya. Suaranya
terdengar hingga koridor tempat Sophie dan Marko mengintip. Marko akui permainan biola Bian
memanglah merdu. Setelah cukup merekam pernainan biola Bian, keduanya keluar dr tempat kursus musik tersebut.
Sophie terus-terusan diam. Pandar matanya meredup, seakan ada pikiran yg mengganggunya.
Marko menjajari langkahnya.
"Jadi apa masalahnya" Jangan bilang masalah," todong Marko.
Sophie menatap Marko tdk sabar.
"Makin buruk penglihatannya, bikin dia nggak bisa baca partitur, Komaaarrrr!! Jelas dia nggak
akan bisa untuk ikut orkestra. Padahal, sejak kecil dia udah belajar biola."
"Dia sakit?" Sophie mengangguk. Marko menoleh ke koridor yg kosong.
"Sekarang Bian masih bersikeras buat terus dateng untuk latihan. Tapi ya gitu, staf di sini lamalama nggak mau mengistimewakan Bian. Mereka nggak bisa jaga Bian lebih dr anak-anak lain.
Kasian anak itu." "Lo kok bisa tahu sedetail itu sih?" tanya Marko.
"Dia kan tinggal satu kompleks apartemen sama kita, Komaaarrr! Mamanya Bian tuh temen
nyokap gue, makanya gue bisa tau."
"Terus lo mau ngapain" Maksa konduktor buat masang nih anak?"
Sophie menoleh, terusik oleh pertanyaan Marko. Dia memandangi mata cowok itu sejenak.
Rencana yg ada di kepalanya itu tak akan berjalan tanpa bantuan Marko.
"Gue mau Bian nggak patah semangat. Beethoven aja bisa jadi komposer meski tuli, kenapa
Bian nggak bisa jadi pemain biola"! Sebelum Bian bener-bener kehilangan penglihatannya gue
pengin ngasih momen ke dia. Biar dia tahu kalau pelajaran biolannya selama ini nggak sia-sia
dan memang memukau." Sophie tiba-tiba berhenti berjalan dan menghadap Marko. Matanya
berkilat-kilat, seakan ada rencana besar terbayang di benaknya. "Gue mau Bian konser tunggal."
Marko melongo, tetapi sama sekali tdk mengalihkan tatapannya dr Sophie. Mengadakan konser
tunggla itu bukanlah misi sederhana.
"Di resto nyokap lo," tambahnya, berkacak pinggang.
Langkah Marko terhenti. Sophie sudh kembali berjalan.
"Kenapa harus di resto nyokap gue"!" protes Marko. Ekspresinya kentara sekali tdk setuju. "Bian
kan anak temen nyokap lo!"
"Lo pikir, gue punya duit buat bikin konser di resto?" balas Sophie galak. "Jalan satu-satunya ya
konser di resto nyokap lo lah. Bisa gratis," katanya, mengedip centil. Sophie memasang tatapan
membujuknya kpd Marko. Marko berdecak. "Sophie, lo kan tau nyokap tuh gmana," kilahnya.
Sekarang keduanya berhadap-hadapan. Wajah Sophie agak sedikit cemberut karena Marko
terlalu banyak protes. "Ayolah, Komaaarrr! Bantu wujudin mimpinya Bian. Lagian knp dengan
nyokap lo" Setahu gue, nyokap lo baik-baik aja. Cuma agak workaholic. Dikit....." Sophie
tersenyum. Dia mengadahkan tangan kpd Marko. "Please."
Marko menghela napas. Tidak menjawab apa-apa. Sophie menepuk bahu Marko dan
mengacungkan jempol. Marko sadar dia tidak akan pernah bisa menolak permintaan Sophie dan
gadis itu tahu benar bagaimana memanfaatkannya.
*** Marko sempat menunda-nunda mengatakan rencana itu kpd Mama karena malas
mendiskusikannya. Dia jelas tahu permintaan itu tdk akan begitu saja dikabulkan Mama.
Kekhawatiran terbesar Marko adalah mamanya akan kembali menagih janji untuk bertemu papa.
Maka dari itu, selain menghindar dr mama, Marko juga agak menghilang dr Sophie. Sayangnya,
sejago apapun dia bersembunyi dr Sophie, gadis itu tetap bisa menemukannya.
Lagi pula, misi-misi ini terlalu aneh. Meskipun Marko masih keberatan untuk melakukannya,
menjalankan misi-misi Sophie ini sangat berbeda dgn kebiasaan sehari-hari.
Setiap hari, Sophie makin gencar mendesak dan menagih janji Marko yg akan bilang ke mama
tentang konser Bian. Sampai akhirnya Marko kehabisan alasan untuk itu dan Sophie hampir
ngambek, serta menguliahinya tentang waktu yg relatif untuk setiap orang. Tdk ada yg tahu
berapa lama seseorang akan tinggal. Tdk akan tahu seberapa berharga seseorang sampai dia
pergi. Seperti yg Marko alami dgn papa.
Marko pun menyerah. "Ma," sapa Marko, menghampiri mama yg dudul bersila di sofa.
Sekarang atau tdk sama sekali.
"Hmm...." mama Marko mengenali gerak-gerik aneh dr anak lelakinya itu. Dia melepas
kacamata, menatap Marko. Marko menggaruk rambutnya yg tdk gatal. "Kira-kira mama ngizinin nggak, kalau ada kenalan
Marko yg mau perform di resto mama?"
"Tergantung. Temen kamu itu oke atau nggak."
"Oke kok, ma. Aku udh liat. Dia keren banget main biolanya."
Mama Marko terdiam sejenak. Sedari tadi dia berpikir kalau Marko akan menyampaikan sesuatu
yg sangat gawat atau meminta sesuatu. Jarang sekali mereka berdua bicara seperti ini. Biasanya
di apartemen, Marko lebih sering mengurung di kamar, sementara dia menyibukkan diri dgn
pekerjaan. "Kalau begitu boleh."
Senyum Marko mengembang. "Asal kamu mw ketemu papa kamu," tambahnya.
Marko tersentak, menjauh dr sofa. Tatapannya berubah menjadi tdk enak kpd mama.
Sebelum Marko membantah, mama mengambil kesempatan bicara terlebih dulu. "Apa berat
banget untuk kamu sekadar bertemu dgn papa kamu?"
Mulut Marko terkunci. Dia masih memandang mama tak percaya. Dalam pikirannya berkecamuk
ngambeknya Sophie kalau dia sampai gagal membujuk mama. Bertemu papa bukan perkara
besar, meski dia benci melihat istri baru serta anak mereka. Marko masih belum bisa menerima
perlakuan papa meninggalkan mama. Perempuan yg sekarang menjadi istri papa adalah perusak
segalanya. Meskipun sikapnya baik terhadap Marko, bagi Marko perempuan itu tetaplah
bencana. Marko menghela napas. Demi Bian. Demi Sophie. "Aku akan menemui papa. Pasti. Tapi nggak
sekarang. Nggak tahu kapa."
Mama Marko tdk menyangka jawaban dr anak lelakinya itu. Kali ini demi teman yg tidak mama
Marko tahu, anak lelakinya mau mengalah. Siapa pun yg membujuk Marko mengutarakan
permintaannya malam ini pastilah seseorang yg istimewa.
"Terima kasih, Marko," ujar mama. Tersenyum.
Marko membalas. Dia lupa kapan terakhir kalinya melihat mama tersenyum untuknya. Hari ini,
Marko mendapatkannya lagi.
*** Setelah mendapat restu dr mama Marko, Sophie langsung menyusun rencana. Bersama Marko,
Sophie mengunjungi apartemen Bian. Mereka menceritakan kpd orangtua Bian tentang rencana
konser Bian di restoran milik mama Marko. Kedua orangtua Bian awalnya tdk percaya, tetapi
Sophie berhasil meyakinkan kalau semua ini mereka lakukan untuk Bian. Orangtua Bian bahkan
menyanggupi akan membantu untuk mendatangkan tamu-tamu yg akan menghadiri konser Bian.
Kegembiraan Sophie menjalar kpd Marko. Dia bahkan melupakan keberatannya untuk ketemu
papa. Mereka langsung mengontak orangtua Bian untuk memberitahukan kabar tersebut. Marko
juga mengajak Sophie bertemu mamanya agar bisa mendiskusikan detail pertunjukan. Kisah
Bian yg diceritakan oleh Sophie malah membuat mama Marko mendukung penuh misi ketiga
mereka. Kian dekat dgn hari pertunjukan, akhirnya Marko & Sophie mengajak Bian utk mengadakan
latihan diresto Mama Marko. Karena orangtua Bian tdk bisa menemani, mereka pun pergi
bertiga. Selama ini, Bian tdk banyak bicara dgn Sophie apalagi Marko. Semua komunikasi,
Sophie sampaikan lewat orangtua Bian. Di dalam mobil sekarang pun, Bian terus menutup
mulut, dia hanya menjawab pertanyaan dgn gelengan & anggukan. Dulu, seingat Sophie, Bian
tdk murung seperti ini. "Bian harus semangat dong, udah deket sama hari konser nih," Sophie menyemangati. "Jangan
kayak kak Marko yg malas melulu."
Marko yg sedang menyetir mendelik pd Sophie. Bian hanya tersenyum tipis.
"Bian belom makan ya" Diem aja dari tadi. Nanti kita makan dulu deh sebelum latihan." tanya
Marko. "Udah, kak," jawab Bian pelan.
Sophie & Marko saling pandang.
"Kalau gitu, Bian harus semangat ya!" sahut Marko.
Alis Sophie terangkat, tumben-tumbenan Marko mau menyemangati orang seperti barusan.
Marko yg selama ini Sophie kenal adalah cowok paling cuek sedunia. Namun, jauh di lubuk hati,
Sophie senang dengan perubahan yg terjadi kpd Marko itu.
"Iya, Bian kalau ada apa-apa cerita aja sama kak Sophie, oke?"
Bian mengangguk & tersenyum.
Restoran mama Marko tdk terlalu ramai sore itu. Marko menyiapkan sound system yg digunakan
untuk pertunjukan, sementara Sophie merekam persiapan tersebut. Bian tampak nyaman di dekat
Marko, mereka saling bicara beberapa patah kata.
Ketika latihan di mulai, Mama Marko bergabung bersama mereka untuk menonton. Bian tampak
begitu menghayati latihannya. Dia memainkan lagu-lagu yg sudah fasih digeseknya. Tidak hanya
mereka bertiga yg terpukau sore itu, beberapa pengunjung lain yg kebetulan berada di situ juga
terlihat senang dgn pertunjukan Bian. Beberapa tepuk tangan mengiringi Bian ketika selesai
bermain. Sore itu, senyum Bian terlihat lebih lebar daripada biasanya.
Selesai berlatih, ketiganya menikmati makanan sambil mengobrol. Bian masih malu-malu, tetapi
Sophie meyakinkan bahwa permainan Bian luar biasa dan mengesankan. Bian akan kelihatan
keren di hari pertunjukannya nanti.
*** Malam pertunjukan itu akhirnya datang juga.
Bian sudah siap dgn biolanya di atas panggung. Air mukanya tampak tenang. Biolanya dipegang
erat-erata. Ini, Bian juga tampak manis dgn gaun putihnya. Rambutnya di gelung cantik dan
Sophie meminjamkan tiara miliknya. Andai saja dia bisa melihatnya. Di samping panggung kecil
itu, orang tua Bian saling berpegangan tangan. Kecemasan terlihat di wajah mereka, bercampur
dgn antusiasme untuk melihat penampilan anak mereka malam ini.
"Belum mulai, kan?" tanya Sophie kepada Marko yg sedang menyiapkan handycam-nya.
Sesaat pandangan Marko terpaku kpd Sophie. Malam ini, bukan hanya Bian yg tampil berbeda.
Sophie mengganti t-shirt dan jeans-nya dgn gaun malam yg begitu anggun. Di bawah penerangan
restoran yg redup, binar mata gadis itu tampak benderang. Saat itu, ada yg menggeliat dalam
perut Marko. Sesuatu yg membuatnya merasa jengah kian lama memandangi Sophie.
"Belum kok," katanya mengalihkan tatapan.
"Kok lo masih di sini sih" Masa ngerekam Bian dari samping gini." Sophie mendorong Marko
pelan. Marko mengerling kpd Sophie, lalu beranjak ke depan panggung. Sekarang tinggal lampu
panggung yg menyala terang. Marko mengarahkan kpd Sophie. Ketika lantunan biola Bian
terdengar, handycam-nya sudah merekam objek yg seharusnya. Di tengah-tengah permainan,
Marko juga merekam penonton dr meja ke meja. Banyak tamu yg menikmati permainan biola
Bian. Datang juga rombongan keluarga Sophie, guru disekolah musik Bian, sampai yg paling tdk
di duga Marko, yaitu Imel. Gadis itu tampak cantik dgn gaun selutut dan rambut panjang
tergerai. Marko kehilangan hitungan waktu berapa lama dia memandangi gadis itu, sampai
pandangan mereka bertemu. Imel menyunggingkan senyumnya. Marko membalas senyum gadis
itu. Di salah satu meja, Marko melihat mamanya, yg tersenyum dan melambaikan tangan. Marko
membalas senyuman mama. Lalu, dia terus menggerakan handycam-nya, sampai kembali lagi
kpd Sophie. Gadis itu sedang merekam dirinya sendiri dgn latar belakang Bian yg bermain biola. Marko
terpana. Dia menurunkan handycam-nya, mengamti Sophie secara langsung. Tak lama
kemudian, permainan biola Bian pun selesai. Marko tersadar. Handycam-nya kembali merekam
reaksi orang-orang yg berdiri dan bertepuk tangan. Bian pasti sangat senang sekarang. Papa dan
mama Bian terlihat amak bersuka cita. Sementara Marko sendiri merasakan kehangatan dalam
hatinya. Entah karena misi ketiga ini akhirnya berhasil / karena Sophie yg tampak luar biasa
malam ini. Bian turun dr panggung & disambut oleh orangtuanya. Sophie ikur mendekat. Marko bergegas
merapat & merekam adegan ini. Sophie membungkuk, memeluk Bian. Memberikan pujian.
Marko melihat sekilas Sophie menghapus air matanya saat Bian mengucapkan terima kasih. Dia
melepaskan rangkulannya."Bian inget pesan kak Sophie?" Bian tersenyum dan mengangguk.
'mimpi harus dikejar' BAB 9 "Kamar ini bukan kamar bayi. Sekalian aja lo tidur di boks bayi!"
"Kamar ini bukan kamar kak Livia aja! Tapi juga kamar aku!"
Sophie melihat kedua adiknya yg sama-sama memegang bantal. Pandangan mereka saling sengit.
Sebentar lagi, Sophie yakin mereka akan saling pukul. Kondisi kamar mereka berantakan.
Boneka-boneka Marsya berserakan, seperti habis di acak-acak. Sophie menggeleng-gelengkan
kepala. Dia memegangi birai pintu, kelelahan setelah seharian beraktivitas.
"Garfield sama snowy nggak pernah akur ya," celetuknya.
Sophie mengangkat alis, meninggalkan mereka berdua. Tak ada gunanya didiamkan, pasti akan
berantem lagi. "Gue bukan Garfield!" Livia melolong dr kamar.
"Aku bukan snowyyy!" Marsya menyahuti juga.
Lalu keduanya saling pandang dan menyadari kalau mereka menyetujui ledekan Sophie. Sedetik
kemudian, mereka langsung saling melempar bantal. Hingga akhirnya, Livia keluar dari kamar
dan membanting pintu. Livia mendekati mama di dapur. Sejenak dia mengamati mama yg sedang mengangkat kue dr
oven. Livia menarik kursi meja makan dan mendudukinya dgn wajah merengut.
"Ma! Livia nggak mau sekamar sm Marsya!"
"Terus kamu mau tidur dmana" Ruang tamu?" sahut mama, masih mengurusi kue-nya.
"Ih, mama gitu deh. Aku tuh udah gede, Ma! Masa sekamar sama anak kecil yg hobinya
ngomong sama boneka! Dasar autis!"
mama memandangi Livia. Rautnya berubah tegas. "Kamu kalau ngomong jangan sembarangan,
Livia. Autis itu bukan untuk bercandaan. Sepupu kamu mengidap autis, Tante Tita pasti sedih
kalau dengar kamu ngomong begitu"
"Habisnya...... Ihh......."
mama menata kue di atas piring, tidak mengacuhkan keluhan Livia.
"Sophie, sini, sayang," panggil mama kpd Sophie yg berada di kamar.
Paras Livia kian keruh ketika nama Sophie di sebut. Dia tdk bisa menahan diri untuk
mengeluarkan unek-uneknya saat melihat Sophie berjalan ke ruang makan. "Enak banget sih jadi
kak Sophie. Sekamar sendirian! Kalau aku aja nggak adil! Aku cuma beda dua tahun sama kak
Sophie! Tapi malah sekamar sama Marsya yg rese!" Livia kian uring-uringan.
"Livia, Marsya itu adik kamu. Jangan begitu. Dari tadi ngomongnya kasar terus!" mama
menghardik Livia. "Kalau kamu mau kamar kakak, ambil aja." ujar Sophie. "Biar kakak yg sekamar sama Marsya."
Marsya yg baru saja keluar dr kamar, langsung berlari senang ke arah Sophie. "Asyik! Beneran
kak"! Nanti kita bisa main boneka bareng, kak!" Marsya memeluk Sophie.
"Nggak ada. Livia kamu kan tahu, kamu bisa makai kamar Kak Sophie kalau dia udah kuliah. Itu
pun kalau kak Sophie kos," Mama menegaskan.
"Uh!" Livia menjambaki rambutnya sendiri.
"Kalau nggak, Kak Livia aja yg kos" celetuk Marsya.
Livia melotot mendangar kata-kata Marsya. Dia nyaris saja memukul Marsya, kalau tidak anak
perempuan itu lari dan bersembunyi di belakang tubuh mama.
"Selalu aja Kak Sophie yg dibelain! Bete!" serunya, Livia mendorong kursinya dgn keras. Dia
meninggalkan ruang makan dgn bersungut-sungut. Selanjutnya, terdengar suara keras pintu yg
dibanting. Sophie menghela napas. Menoleh kepada Mama. Namun apa yang dilihatnya pa da mata Mama
justru membuat Sophie merasa kian sedih dan terluka.
*** "lo nggak bosan ya. Liat pemandangan kayak gitu. Cuma lampu-lampu sebagian dr mobil
macet." Marko dan Sophie berdiri di tepian rooftop. Sejak tiba di atas, mereka tdk berpindah dr tempat
ini. Sophie bahkan tdk memalingkan tatapan dr jalan penuh lampu di bawah. Marko
menemaninya, tanpa sepatah kata sampai akhirnya dia tdk bisa menahan komentarnya barusan.
Ajakan Sophie sesudah makan malam tadi sudah cukup mengagetkan . Mereka jarang menuju
rooftop malam seperti ini. Selain karena udara dingin, penerangan di sini juga seadanya saja.
"Enggaklah. Kan, jam segini," Sophie mengecek jam tangan merahnya. "Jam delapan, menit tiga
puluh lima, detik kedua belas di hari ini, sama kemarin, dan besok, orang-orang yg ada di bawah
sana belum tentu orang yg sama."
"Pasti ada yg sanalah. Kalau pulangnya memang biasa jam segini," Marko mengeluarkan
argumennya. "Itu kan menurut lo. Semua hal lo anggep sama. Nggak ada lagi, orang yg lewat tuh lampu
merah, tiap hari pada jam, menti, detik yg sama." ujar Sophie dgn suara mengawang. Matanya
memang tertuju ke bawah, tetapi pikirannya entak ke mana.
Marko menghela napas. "Mulai deh, main sama dunianya sendiri." komentar Marko malas.
Sejurus, dia berbalik dan beranjak meninggalkan Sophie sendiri di tepi rooftop, membiarkan
gadis itu larut dalam lamuannya yg tak bisa Marko masuki.
Dia berjalan ke sisi lain dari rooftop, mengamati barang-barang tak terpakai yg kian banyak
tertumpuk di sana. Memangnya rooftop ini tempat pembuangan sampah ya. Lagi pula, kenapa
orang-orang menaruh ke atas kalau bisa di buang ke tempat lain. Marko mendekat dan menarik
beberapa barang. Kursi dan meja plastik, keranjang, agak di bawah barang-barang itu. Marko
menyingkirkan beberapa barang hingga tersedia tempat yg agak lapang. Dia mengeluarkan
sesuatu dr dalam tasnya. Entah dr mana ide ini muncul, tetapi Marko begitu saja melakukannya
ketika menerima ajakan Sophie tadi.
"Sophie, sini!" panggil Marko menggelar terpal. Lalu, berbaring di atasnya. Begini kan, lumayan
enak dibanding kalau harus berdiri terus.
"Udah, tidur sini. Nggak bakal gue apa-apain." katanya, menepuk-nepuk sisi terpal yg kosong.
Sophie memandangnya dgn tatapan aneh.
Namun, Sophie kemudian duduk bersila di samping Marko. "Gue sih nggak curiga lo mau
ngapa-ngapain. Cuma aneh aja, lo ada ide untuk tiduran di rooftop kayak gini," ujarnya, menatap
7 Misi Rahasia Sophie Karya Aditia Yudis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
langit. Marko hanya meringis. Sophie pun merebahkan dirinya di sisi Marko. Pandangan keduanya
terarah ke atas dunia yg sedang gelap sekarang.
"Lo mau jelasin gue soal bintang-bintang?" tanya Sophie setelah beberapa saat mereka saling
diam. "Heh?" Marko menoleh. "Nggak."
"Kirain." Marko tampak memikirkan sesuatu. "Kita itung aja yuk. Ada berapa banyak bintangnya."
Telunjuk mereka berdua bergerak ke arah langit.
"Tiga dua......."
"Tiga empat......"
Hitungan mereka bersahut-sahutan.
"Tiga dua, Komaaarrr! Coba itung lagi deh," seru Sophie, memukul bahu Marko pelan.
Marko berdecak, tetapi menghitung ulang kembali.
"Tuh, kan, tiga dua!"
"Tiga empat," Marko tetap pada pendiriannya. Dia menengok ke arah Sophie. Pada saat yg sama,
Sophie juga melihat kearahnya. Marko menelan ludah. Pelan tapi pasti detak jantungnya
mengencang. "Dua lagi mana?" tanya Sophie.
Pandangan Marko terpaku pd sepasang mata itu. Binarnya mengalahkan semua cahaya di rooftop
ini. Pendar yg tak pernah Marko inginkan untuk padam. Dia menarik napas panjang. Marko
menunjuk mata Sophie. "Tiga, tiga, tiga empat."
"Ah! Komar! Gombal banget sih!" seru Sophie, menendang kaki Marko. Dia membuang wajah.
Kalau di sini tidak gelap mungkin Marko bisa melihat mekanya yg memerah.
Sophie menggelitik Marko untuk membalas keisengannya. Cowok itu langsung melompat berdiri
dan berlari. Sophie pun mengejarnya. Mereka berlarian di atas rooftop, meninggalkan terpal yg
pelan-pelan diusik angin. Ketika anginnya kian kencang terpal tipis itu tak mampu bertahan dan
akhirnya melayang. "Terpalnya!" seru Sophie ketika angin menerbangkan terpal mereka.
Wajah Marko langsung tegang. Sekarang mereka ganti mengejar terpal yg terbang. Setelah
berusaha dan memanjat kursi, akhirnya Marko berhasil menangkapnya. Namun karena angin
terlalu besar, terpal itu malah menutupi mereka berdua. Terpal itu berkibar dan keduanya saling
berpandangan. Keduanya sama-sama di bawah keremangan terpal yg menyelimuti seluruh tubuh
mereka. Marko sudah sering melihat paras oval di depannya berkali-kali tapa, sedekat sekarang
dia tak ingat pernah begini. Meski redup, mata Sophie bersinar, jelas ada yg menaruh bintang di
sana. Marko menelan ludah, merasakan jantungnya berdetak aktif. Dia bisa mengendus aroma
parfum Sophie yg mengingatkannya kpd stroberi. Ada yg meronta-ronta dalam perutnya,
membuatnya ingin makin dekat dgn Sophie. Sesuatu yg tak bisa ditahannya lebih lama.
Sophie membeku di tempatnya. Sadar meski Marko sahabatnya, momen ini terlalu mengejutkan
baginya. Ini seperti dalam film-film drama yg sering ditonton bersama Mama. Pelan-pelan dia
denyut jantungnya yg makin cepat. Pandangan Marko tertuju kepadanya, Sophie pun tdk
berpaling. Sophie menyukai sepasang mata Marko yg cokelat gelapa di bawah alis tebal, mata yg
penuh rahasia. Untungnya tempat itu berpenerangan temaram, hingga Marko tdk bisa melihat
wajah Sophie yg memerah. Sophie menunduk. Menggigit bibirnya.
Marko tertenyak. Dengan cepat dia menarik terpal itu hingga jatu ke bawah dan segera
melipatnya. Keduanya langsung membuat jarak satu sama lain.
"Kalau gue nggak kenal lo. Gue pikir tadi lo lagi flirting ama gue!" omel Sophie, tanpa menatap
Marko. Dia tdk ingin Marko menemukan tersipu karena kejadian tadi. Pastilah cowok itu akan
punya bahan olok-olok sepanjang minggu kalau sampai tahu.
Marko tdk peduli ocehan Sophie. Jantungnya masih berdegup tak karuan, dia mencoba melipat
terpal serapi mungkin. Namun tuduhan flirting itu membuat hatinya tersentak. Marko berusaha
untuk tdk menatap Sophie, cemas Kalau Sophie bisa membaca apa yg sebenarnya ada di hati
Marko sekarang. Sophie meninggalkan Marko dan kembali ke pinggiran rooftop. Mata Marko mengamati
punggung gadis itu. Senyum perlahan terbit di wajahnya. Dia menarik napas panjang. Mengelus
dadanya sendiri. Dia sempat terdiam lama dan mengamti Sophie dan menghampirinya lagi.
"Misi rahasia lo, sebenarnya buat apa sih?" tanya Marko, mengalihkan pembicaraan. Dia
memandang ke bawah, menerka-nerka apa yg sesungguhnya diperhatikan Sophie.
"Kan gue udah bilang. Rahasia," jawabnya terkekeh.
"Sampai kapan" Sampai misinya selesai?"
Sophie mengangkat bahu. "Nggak tahu sampai kapan. Yg jelas misi ini bukan tentang gue......"
Mereka bertatapn. Marko teringat pertanyaan yg dulu belum di jawab oleh Sophie 'kenapa tujuh
bukan delapan"'. Dalam hitungan detik, Marko melihat kilasan sedih di mata Sophie. Namun,
ketika Marko coba mengamatinya lebih jelas, hal itu sudah menguap. Karena kini senyum lebar
memenuhi bibirnya. *** Sophie berjalan di lorong yg sepi. Terdengar suara batuk yg sepertinya familier. Dia menoleh ke
sekeliling, melangkah mendekat ke sumber suara.
"Livia?" panggilnya, ragu-ragu.
Sosok tubuh itu berbalik. Tentu saja Sophie tdk mungkin salah mengenali adiknya. Namun
bukan itu yg mengejutkannya, melainkan benda di tangan Livia.
"Kamu ngerokok"!" sahutnya keras.
Livia melongos, sama sekali tdk tampak takut dgn Sophie. Dia malah mengisap rokoknya sekali
lagi. Kelihatan sekali untuk terkesan menikmati di depan Sophie. Malah, dia meniupkan asapnya
ke arah kakaknya, berharap bisa mengusir Sophie pergi.
"Kamu mau diamuk Mama sama Papa"!" Sophie menggertak adiknya yg kelihatan tenangtenang saja.
Livia mengibaskan tangan Sophie. "Udah deh, kak!" serunya hendak beranjak tetapi dihalanghalangi.
Kakak beradik itu beradu panjang. Livia memandangnya sengit penuh benci. Sophie tdk mau
pergi dr situ, meski sikap Livia mengusik dan melukai hatinya. Dia tdk tahu harus marah atau
prihatin. Seumur hidup dia sendiri tdk pernah tergoda untuk mencoba rokok. Sophie menggigit
bibir. "Mulai kapan kamu diem-diem ngerokok"!" tanyanya lagi, berusaha tegas. Meski sebenarnya tak
tega. "Bukan urusan lo!" bentak Livia.
Sophie gemetar. Dia memegangi dinding. Sorot mata Livia yg bengis, membuatnya tak tahan
menatap lama-lama. Apa semua ini salahnya" Dia tdk pernah meminta untuk diistimewakan.
Livia hendak berlalu dr depannya, namun Sopjie keburu menyadarinya. Dengan sigap menarik
tangan Livia. Adiknya kembali berkelit, membuat Sophie nyaris jatuh. Tetapi, dia kembali
mengajar Livia. Hampir saja Sophie menabrak adiknya, ketika Livia tahu-tahu mundur,
membalikkan badan dgn wajah pucat.
"Ada Papa," katanya dgn suara tertahan.
Jantung Sophie mencelus. Dia tdk melepaskan tangannya dr Livia, malah menggenggamnya kian
erat. Dia menengok ke belokan lorong. Letak belokan agak jauh dr mereka. Mereka bisa saja lari
ke sana, tetapi tdk akan cukup. Papa pasti melihat keberadaan mereka berdua.
"Livia." Sophie dan Livia membeku di posisi masing-masing saat terdengar panggilan papa. Sejenak
kemudian, Livia langsung berubah panik. Dia berusaha menyembunyikan rokok yg masih
menyala di tangannya ke kotak rokok. Tetapi aksinya malah membuat kotak rokok itu jatuh
kelantai dan beberapa isinya berhamburan. Sophie memberikan pandangan sama cemasnya. Dia
segera membantu Livia memungut kotak isi rokok. Sampai terlintas sebuah ide di kepalanya.
Mungkin semua ini memang salahnya, tetapi situasi Sophie kelihatannya bisa menjadi jalan
keluar utk mereka berdua. Sekali lagi, mereka berdua saling pandang.
"Mana rokoknya"!" Sophie mengulurkan tangan ke Livia. "Cepetan," desaknya karena Livia
hanya memandanginya bengong dan bingung.
Tanpa pikir panjang Livia memberikan bungkus rokok di tangannya.
"Koreknya?" Livia menyerahkan koreknya dgn ragu, tetapi dgn cepat disambar Sophie. Selanjutnya, Sophie
tergesa menyalakan pematik. Sayangnya pematik itu tdk kunjung menyala.
"Nyalain dong!" suruhnya panik.
Kali ini Livia dgn sigap melakukannya, membakar rokok yg tadi ada di tangan Sophie. Sedetik
kemudian, rokok itu sudah berpindah, terdelip di jari-jemari Sophie. Dia memandang Livia dr
balik asap yg mengepul tipis. Pelan, Sophie mengisapnya. Rasanya sungguh tdk enak dan
membuatnya sesak napas. Dia langsung batuk-batuk, namun mencobanya lagi.
Pada saat itu sosok papa muncul. Sophie menarik rokok menjauh dari bibirnya. Seluruh paruparunya seakan diisi asap. Dia menarik napas dalam-dalam. Namun, kehadiran Papa membuat
Sophie merasa dunia bakal runtuh dibawah kakinya. Tubuhnya menggigil. Seumur hidup, Sophie
hampir tdk pernah melkukan hal-hal yg dilarang orang tuanya. Dia mundur, menempelkan
punggungnya ke dinding. Tatapn Papa menajam ketika melihat rokok di tangan Sophie. "Apa-apaan kamu, Sophie"!" tanya
papa dgn amarah tertahan. Rautnya mengeras, sudah lama Sophie tdk melihat papa semarah itu.
Ketiganya mematung, hingga kebisuan itu diakhiri oleh batuk-batuk Sophie.
"Pa," Sophie pura-pura terkejut karena ketahuan. Dia menyembunyikan tangannya yg memegang
rokok ke belakang tubuhnya. Tetapi, itu jelas hal yg sia-sia karena papa sudah keburu melihat.
Papa meraih kotak rokok serta rokok yg masih menyala dr tangan Sophie. Beliau menarik napas
panjang, menggelengkan kepalanya. Sorot matanya terlihat kecewa, sekaligus sedih. "Kalian
berdua ikut papa sekarang" perintah papa.
Sophie dan Livia bertukar pandang, lalu dia berjalan lebih dulu mengikuti papa. Di belakang
Sophie, Livia berjalan dgn paras masam. Diruang tengah, papa menyuruh Sophie dan Livia
duduk, sementara Papa memanggil Mama.
Tokoh Dari Masa Silam 2 Animorphs - 8 Ax Membalas Dendam Iblis Pemanggil Roh 2