Pencarian

Seribu Musim Mengejar 4

Seribu Musim Mengejar Bintang Karya Charon Bagian 4


Luki tersenyum pendek. "Begitulah Laura. Yang ada di pikirannya cuma makanan."
Niko penasaran. "Laura sangat suka makanan?"
Luki mendesah. "Laura seorang chef pasta. Kemanapun kami pergi, dia selalu mencoba makanan
terlebih dahulu." *("seharusnya aku sudah bisa menduganya,")* pikir Niko. "Aku ingin mencoba masakannya."
"Kau harus datang ke restoran Antonio kapan-kapan. Laura bekerja sebagai chef kepala disana,"
usul Luki. ("Terima kasih, Luki".)Niko tersenyum. "Aku pasti akan mencobanya."
*********************************
Laura berusaha menenangkan diri sambil mengambil beberapa makanan ke piringnya.
Tangannya masih gemetar. Saat mulai menyantap makanan, dia tidak bisa merasakan apa pun.
Matanys menatap kerumunan orang yang sedang melihat-lihat koleksi perhiasan Niko. Aneh,
pikirnya, dia tidak melihat Erika di mana-mana. Mungkin Erika tidak hadir hari ini. Seharusnya
Niko tidak mengatakan tentang gadis lain yang membantu mimpinya kepada wartawan. Kalau
Erika tahu, tentu Erika akan cemburu. Walaupun delapan tahun sudah berlalu, Laura masih
merasa bersalah karena tidak sengaja telah mendorong Erika dari tangga,sehingga Erika tidak
bisa jalan. Laura tahu perasaan itu. Ia mengalaminya juga dua tahun yang lalu. Benar-benar
menyakitkan. Laura tidak berencana untuk berada di pameran ini terlalu lama. Ia tidak ingin
mengambil risiko di kenali oleh orang lain. Terutama Erika.
Laura berkeliling dari satu perhiasan ke perhiasan yang lain. Ada beberapa yang dia kenali dari
karya Niko terdahulu. Matanya terpana saat melihat seuntai kalung yang memenangi perlombaan
bergengsi di luar negeri. Niko sudah menjadi perancang perhiasan yang sukses. Laura tidak
pernah meraagukan bahwa Niko akan sukses di bidang apa pun yang di gelutinya.
Tiba-tiba mata Laura terpaku pada sebentuk cincin di dalam lemari kaca. Laura mendekatinya.
Tangannya berusaha menyentuh lapisan kaca yang menutupi cincin tersebut.
Cincin bintang buatan Niko.
Delapan tahun lalu,Laura melihat rancangannya,kini ia bisa melihat karya nyatanya. Telapak
tangan Laura mendekati bibirnya. Matanya mulai berkaca-kaca. Ia terdiam tidak bergerak.
Begitulah Luki menemukan Laura. Terpana pada sebentuk cincin. Niko menyusul di
belakangnya. Luki mendekati Laura dan menyentuh pundaknya. Laura terperangah dan memandang Luki
dengan sedikit terperanjat. "Kau menyukai cincinnya?" Tanya Luki.
Laura tidak bisa menjawab.
"Niko," Luki beralih pada pria di belakangnya, "kelihatannya cincinmu ini membuat Laura
terpana. Aku ingin membelinya. Berapa harganya?"
Niko menggeleng. "Maaf cincin ini tidak dijual. Termasuk dalam koleksi pribadiku."
Luki sedikit kecewa. "Aku akan membayar berapapun harganya."
"Aku tidak akan menjualnya," Niko berkata perlahan. *("sampai kapanpun")*. "Ini perhiasan
pertama yang ku buat. Cincin ini punya nilai sentimental bagiku. Maaf, Luki."
Laura memandangi cincin bintang buatan Niko lagi. Ia hanya mendengar samar-samar
percakapan Niko dan Luki. Laura melihat tujuh bintang yang mengelilingi cincin tersebut. Di
salah satu bintang tersebut terdapat beberapa huruf. Laura menyipitkan matanya. Di tiga sudut
paling atas terdapat tiga huruf. A.L.A.
Laura tidak tahu arti inisial itu. Lalu tanpa sengaja dia melihat dua huruf lainnya di dua sudut
bawah. Ia tidak bisa menahan rasa kagetnya. Kalau di baca searah jarum jam dari sudut teratas,
huruf-huruf tersebut menjadi L.A.U.R.A. Namanya. Tanpa sadar Laura menjatuhkan tasnya.
Luki berbalik menghadap Laura. Laura tersadar. "Maaf," katanya. Ia bergegas mengambil semua
barang yang jatuh berserakan dari tasnya. Luki ikut membungkuk dan membantunya. Setelah
semua barangnya kembali ke tasnya, Laura memandang Luki. "Aku merasa tidak enak badan,
Luki. Aku ingin pulang sekarang."
Luki melihat wajah pucat Laura dan langsung menyetujui permintaannya. "Baiklah. Maaf, Niko.
Kami pulang dulu." Niko hendak menyentuh Laura,tapi Luki sudah menggandengnya pergi. Niko memandang
keduanya yang lenyap dari balik pintu. Niko melihat cincin bintangnya,senyumnya mengembang
perlahan. Laura sudah melihat cincinnya.
Saat hendak bergabung dengan tamu yang lain, Niko melihat selembar kertas yang tercecer di
lantai. Dia memungut kertas kecil tersebut. Mungkin tadi terjatuh dari tas Laura, pikirnya. Dia
membuka lipatannya. Dua kata tertulis disana. Ada beberapa huruf yang sedikit hilang, tapi Niko
masih bisa membaca dan mengenalinya. 'JANGAN MENYERAH'. Tulisannya sendiri.
Niko tersenyum tipis. Sudah selama ini,tapi Laura masih membawanya. Sama seperti dia masih
membawa buku sketsa pemberian Laura ke manapun dia berada. Laura masih menyukainya.
Pikiran itu membuat Niko gembira.
"Kau terlihat senang sekali," kata seseorang di belakangnya. Niko tersenyum melihat kedua
orang tuanya. Tangannya memasukkan kertas yang di pegangnya ke saku baju kemudian
memeluk papa dan mama. "Aku senang kalian datang," seru Niko gembira.
"Kami tidak akan melewatkannya." Mama menatap putranya dengan bangga. "Mama bangga
padamu." Niko melihat mama mengenakan kalung karya terbarunya.
"Teman-teman mama tidak henti-hentinya memuji perhiasan yang mama pakai. Mereka semua
cemburu karena mama punya perancang perhiasan sendiri."
Papa tertawa mendengar perkataan mama.
"Selamat, Niko," kata papa sambil menyalaminya.
"Terima kasih, pa." Semua pertentangan di antara Niko dan papa berakhir setelah Niko
memenangkan kontes Tiffany. Sejak saat itu, papa tidak lagi menyesalkan keputusan Niko
memilih karier di bidang perhiasan. Kini dia bangga putranya malah lebih tenar di bandingkan
dengan dirinya. ********************************
"Laura, telepon untukmu!" Teriak Maya kearah dapur restoran.
Hari masih pagi. Sebentar lagi restoran akan buka. Laura berjalan menuju ruang makan restoran.
"Dari siapa?" Tanya Laura pada Maya.
"Katanya dari Niko," kata Maya.
Hati Laura tersentak sekali. *("bagaimana Niko tahu aku bekerja di sini?")*
Laura memohon pada Maya untuk tidak menerima telepon selanjutnya dari orang yang sama.
Maya mengernyitkan dahi karena bingung. "Kenapa?" Tanyanya.
"Dia seseorang dari masa laluku yang tidak ingin aku ingat kembali," kata Laura. "Tolong bantu
aku ya,mbak." Lagi pula, Laura tidak mengerti mengapa Niko meneleponnya. Ia kira aksi pura-pura tidak
mengenalnya sudah cukup untuk membuat Niko tidak mendekatinya lagi. Bukankah dia sudah
punya Erika" Mengapa dia masih harus mengganggunya"
Maya melihat kegalauan sikap Laura dan mengangguk. "Aku akan mengatakan bahwa kau
sibuk." "Thanks, mbak." Laura kembali ke dapur.
Maya mengangkat telepon dan memberitahu Niko bahwa Laura sedang sibuk dan tidak bisa di
ganggu. Di ujung telepon, Niko sedikit kecewa. "Baiklah kalau begitu,nanti saya telepon lagi.
Terima kasih." Niko melihat situs Restoran Antonio dari komputernya. Sebuah restoran Italia di pinggiran kota.
Sudah berdiri selama lebih dari sepuluh tahun. Di kenal sebagai salah satu restoran Italia yang di
rekomendasi oleh para kritikus makanan. Niko melihat galeri foto di situs utama restoran.
Pandangannya jatuh pada gambar dapur restoran. Dia membayangkan Laura sedang bekerja di
sana dan tersenyum. Sore harinya, Niko menelepon lagi. Dia ditolak kembali. Kali ini dengan alasan Laura sudah
pulang. Esok harinya, Niko mencoba menelepon lebih awal. Jawabannya masih tetap sama. Laura sibuk.
Laura sudah pulang. Laura tidak berada di restoran. Atau Laura sedang rapat.
Pada hari ke empat Niko mengambil kesimpulan Laura tidak ingin menerima telepon darinya.
"Apakah Laura sibuk?" Tanyanya di telepon pada hari kelima. Dia ingin memastikan sekali lagi.
Suara di ujung telepon terdengar mendesah. "Saya tidak mau berbohong lagi." Katanya. "Maaf.
Tapi bisakah anda tidak menelepon ke sini lagi" Laura tidak ingin berbicara dengan anda."
Dugaan Niko benar. Laura tidak mau berbicara padanya. Laura ingin menghindarinya. "Baiklah.
Terima kasih atas perhatian anda selama ini," kata Niko sambil menutup teleponnya.
Niko menatap cincin bintang di mejanya. *("kalau Laura tidak mau menemuiku,aku yang akan
menemuinya")* tekadnya. *("masa penantian sudah berakhir. Aku tidak bisa menunggu lebih
lama lagi")*. Niko menelepon David. Tak berapa lama kemudian David datang ke kantornya.
"Kau memanggilku, Niko?" Tanyanya.
Niko mengangguk. "Aku butuh bantuanmu."
"Tentu," kata David.
Niko tersenyum lalu memjelaskan seperti apa bantuan yang di perlukannya.
BAB 25 Maya memastikan segala sesuatunya sudah sempurna. Meja untuk dua orang. Cahaya lilin di
sekeliling meja. Sekuntum mawar merah di tengah meja. Hari ini restorannya mendapat pesanan
pribadi. Ada seseorang yang menyewa seluruh restoran untuk jam makan malam. Maya sudah
sering melakukan hal yang serupa. Beberapa kali restorannya di sewa untuk acara pribadi
ataupun untuk acara lamaran.
Karena sang penyewa memesan untuk dua orang, Maya menyimpulkan malam ini akan ada acara
lamaran. Matanya menerawang.
"Apa yang mbak pikirkan?" Tanya Laura ketika memasuki restoran dan mendapati Maya sedang
tersenyum sendiri. "Aku memikirkan setiap lamaran pernikahan yang terjadi di restoran ini. Sangat romantis
rasanya jika seorang pria menyewa seluruh restoran dan meminta seorang wanita menikahinya.
Seandainya saja suamiku orang yang romantis." Maya mendesah.
Laura tersenyum. Ia sudah sering di undang makan malam bersama Maya dan keluarganya.
Roni,suami Maya,seorang pialang saham. Walaupun sudah menikah lama, mereka belum
dikaruniai keturunan. Itulah sebabnya Maya sudah menganggap Laura sebagai putrinya. Setelah
beberapa kali bertemu dengan Roni, Laura tahu pria itu bukan pria romantis. Tetapi tatapan
mereka,cara mereka menyentuh tangan satu sama lain, Laura melihat cinta yang besar di sana.
"Suami mbak memang bukan orang yang romantis," komentar Laura. "Tapi dia benar-benar
mencintai mbak. Kalau mbak mau,aku bisa memasak untuk mbak dan mas Roni besok malam.
Mbak tidak perlu menyewa restoran. Kapanpun mbak mau,restoran ini akan selalu tersedia untuk
mbak." Maya tersenyum. "Thanks, Laura. Kau tidak perlu melakaukannya. Tapi usulmu boleh juga.
Kapan-kapan aku akan berbicara pada Roni."
"Dan aku selalu siap memasak untuk kalian berdua." Laura melihat muka seniornya tersenyum
cerah. "Apakah menurutmu pengaturannya sudah sempurna?" Tanya Maya.
Laura melihat hasil kerja Maya. "Ya. Sangat sempurna. Aku yakin sang wanita pasti tidak akan
bisa menolak lamaran sang pria. Aku harus ke dapur untuk mempersiapkan bahan makanan."
Sejam berikutnya, Lauta sudah siap menerima pesanan. Maya masuk dengan wajah murung.
"Ada apa?" Tanya Laura bingung.
"Aku rasa sang pria sudah tercampakkan. Sang wanita tidak datang ke restoran." Maya
mendesah. "Dasar pria malang."
Laura ikut sedih. "Oh. Menyedihkan sekali."
Maya mengangguk setuju. "Tapi dia tetap memesan makanan."
"Aku akan memasak seenak mungkin. Semoga saja masakanku bisa menghiburnya. Apa
pesanannya?" Tanya Laura.
"Chicken spaghetti."
"Cuma itu?" Tanya Laura bingung.
"Iya. Aku juga sudah menyarankan menu lain,tapi pria itu cuma ingin chicken spaghetti."
"Tidak apa-apa. Aku akan tetap memasak chicken spaghetti yang enak."
Setengah jam kemudian Maya kembali ke dapur.
"Apakah ada masalah dengan spaghetinya?" Tanya Laura.
"Pria itu ingin menemui orang yang memasak makanannya."
Laura melepaskan celemeknya dan melangkah keluar dapur. "Oke. Aku akan menemuinya."
Laura mendorong pintu dapur. Langkahnya berhenti saat melihat pria yang duduk di meja
tengah. Pria itu berdiri lalu berjalan ke kursi di seberangnya. Dia menggeser kursi tersebut.
"Silahkan duduk,Laura," ujarnya.
Laura memandang sepasang mata cokelat yang memintanya untuk duduk. Niko. Dia yang telah
menyewa restoran Antonio. Laura menarik napas panjang. Cepat atau lambat ia harus
menghadapi Niko. Laura melangkah maju dan duduk di kursi.
Niko duduk di hadapannya.
"Rasa chicken spaghetti mu semakin lezat," komentar Niko.
"Menyewa restoran tempatku bekerja rasanya terlalu berlebihan,bukan?" Tanya Laura sedikit
kesal. Niko menghadapi Laura dengan tenang. "Aku sudah mencoba meneleponmu,tapi kau tidak
pernah menerimanya. Aku tidak tahu nomor telepon pribadimu. Ini satu-satunya cara agar aku
bisa bertemu denganmu tanpa gangguan."
Laura terdiam. "Jadi, kau sudah jadi seorang chef pasta sekarang." Kata Niko lagi sambil tersenyum.
"Dan kau sudah menjadi perancang perhiasan," balas Laura.
"Terima kasih,Laura. Terima kasih karena kau telah menyerahkan gambar rancangan
perhiasanku pada Julien. Kau telah membantuku mengejar impianku."
"Apakah itu alasanmu ingin berbicara denganku" Kalau begitu aku menerima ucapan terima
kasihmu," tegas Laura.
Niko menggeleng. "Bukan itu saja alasanku ingin berbicara denganmu. Aku juga ingin minta
maaf karena tidak memercayai perkataanmu. Erika mengatakan yang sebenarnya di hari wisuda."
Laura menatap Niko lurus-lurus. "Semua itu sudah menjadi bagian masa lalu, Niko. Aku
menerima permintaan maafmu. Apakah ada yang lain lagi?"
"Kenapa kau berpura-pura tidak mengenalku?" Tanya Niko langsung.
Laura memutuskan untuk tidak menjawabnya. "Bagaimana kabar Erika?"
Niko tersenyum. "Dia baik-baik saja. Sedang berbulan madu dengan suaminya ke Eropa."
"Erika sudah menikah?" Tanya Laura sedikit terkejut.
"Ya," kata Niko. "Dia seorang dokter sekarang. Suaminya juga dokter. Sekarang aku menyadari
bahwa aku tidak pernah mencintai Erika. Dan saat reuni, Erika berkata dia juga menyadari hal
yang sama." Berita yang disampaikan Niko membuat Laura terkejut.
"Di hari wisuda,aku mencarimu ke mana-mana, tapi kau sudah pergi. Aku mencoba menyusulmu
ke bandara tapi tidak bisa menemukanmu. Aku menelepon HP mu, tapi tidak aktif. Hari itu aku
menyadari bahwa aku menyukaimu, Laura. Sampai sekarang pun aku masih menyukaimu."
Napas Laura terhenti. Kedua tangannya gemetar di bawah meja. Tangan kanannya menyentuh
kaki kanan tempat lukanya berada. Delapan tahun yang lalu, betapa ingin Laura mendengar Niko
berkata bahwa dia menyukainya. Kini, delapan tahun kemudian, Laura mendengarnya. Hanya
saja sekarang sudah terlambat.
"Maaf. Aku rasa kau lebih baik pulang sekarang," kata Laura. Benaknya dengan cepat
memikirkan solusi agar Niko tidak menemuinya lagi. Akhirnya Laura berbohong. "Aku sudah
punya seseorang yang kusukai." Laura berharap Niko memercayainya.
Jawaban Niko mengejutkan. "Aku tahu," katanya perlahan. "Luki rafael. Tapi aku tidak akan
menyerah, Laura." Laura diam sejenak. Niko berasumsi Luki adalah pacarnya.
Tiba-tiba Niko mengeluarkan sebuah kotak cincin dan membukanya. Dia menyodorkan cincin
bintang yang dibuatnya ke hadapan Laura.
"Aku membuatnya enam tahun yang lalu. Aku membuatnya untukmu." Niko menatap mata
Laura sunguh-sungguh. Rasa sakit tak terpErikan merasuki hati Laura. Ia melihat cincin bintang di hadapannya,lalu
menatap Niko. Niko memandang Laura penuh harap. Dan Laura harus mematikan harapan
tersebut. Niko berhak mendapatkan seorang wanita yang lebih baik darinya. Walaupun hatinya
sakit, Laura menatap Niko dengan berani.
"Niko....," katanya perlahan, "apakah kau ingat perkataan pertama yang kauucapkan padaku saat
kita sekolah dulu?" "Tentu saja." Niko balas menatap Laura. "Bagaimana mungkin aku melupakannya" Saat itu kau
mengembalikan gambar cincin bintang buatanku dan aku bilang 'terima kasih'."
Laura menggeleng. "Kita bertemu satu tahun setengah sebelum itu. Kau menabrakku di taman
sekolah dan kau bilang 'ini bukumu'." Laura menyodorkan kembali kotak cincin bintang ke
hadapan Niko. "Aku tidak bisa menerima cincinmu, Niko."
Niko menatap Laura dengan bingung. Dia tidak bisa mengingat kejadian yang Laura utarakan.
Tapi dia tahu Laura mengatakan yang sebenarnya. "Kau tidak adil, Laura," protes Niko. "Aku
belum mengenalmu saat itu."
Laura berdiri dari kursinya. "Kau tidak pernah mengenalku,Niko."
Niko mengambil kotak cincin di depannya dan memasukkannya kembali ke saku bajunya.
"Baiklah, kali ini aku mengalah. Aku akan pergi. Tapi aku akan kembali lagi. Walaupun aku
tidak bisa mengingat pertemuan pertama kita, aku tahu kau menyukaiku. Kau menuliskannya di
buku tahunan sekolahku."
Laura terperangah. Melihat reaksi Laura, Niko tersenyum. "Apakah menurutmu selamanya aku tidak akan tahu
perasaanmu?" "Aku memang menyukaimu, tapi dulu," ujar Laura perlahan. "Sekarang pergilah."
"Kau bilang kau memaafkanku." Niko memandang Laura dengan sedih. "Setidaknya, biarkan
aku menjadi temanmu."
Laura menggeleng perlahan. "Kita tidak akan menjadi teman, Niko. Maaf. Ku mohon, pergilah."
*("aku harus kejam.")* kata Laura dalam hati. *("aku tidak punya pilihan lain ")*.
"Baiklah." Niko berbalik pergi. Suara denting lonceng terdengar, lalu di ikuti oleh bunyi pintu
tertutup. Laura jatuh terduduk. Maya menghampirinya dan menyentuh pundaknya.
"Kau mengenalnya,bukan?" Tanya Maya. "Pria yang selalu meneleponmu belakangan ini?"
Laura mengangguk. "Dia bagian dari masa lalu yang ingin ku lupakan."
"Kenapa kau tidak memulai hubungan baru dengannya?" Saran Maya. "Kelihatannya dia benarbenar menyukaimu."
Laura menatap Maya dengan sedih. "Bagaimana mungkin aku memulai hubungan dengannya,
kalau setiap aku melihatnya aku merasakan kesedihan yang mendalam" Lagi pula, dia berhak
mendapatkan seseorang yang lebih baik dariku."


Seribu Musim Mengejar Bintang Karya Charon di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau tidak menyukainya?" Maya meraih tangan Laura.
"Bagaimana perasaanku padanya tidaklah penting," Laura mengelak. "Aku hanya tahu bahwa dia
tidak akan bahagia bersamaku. Kaki berpisah tanpa sempat mengucapkan selamat tinggal. Kami
tidak pernah mendapatkan sebuah penyelesaian. Sekarang dia sudah mendapatkannya."
"Aku akan ada di sampingmu selalu kalau kau membutuhkanku." Maya menggenggam tangan
Laura. "Kau bisa menangis,kalau kau mau."
"Tidak." Laura menggeleng, lalu berdiri. "Aku sudah menangisi dirinya delapan tahun yang lalu.
Hubunganku dengannya sudah berakhir saat itu."
?"?"?"?"?"?""
Beberapa jam kemudian, Laura sudah berada di kamar tidurnya.Ia tidak bisa tidur. Sejak
kecelakaan yang menimpanya dua tahun lalu, dan pertama kali ia melihat luka di kakinya,
sesuatu dalam diri Laura ikut mati hari itu. Mungkin kemampuannya untuk mencintai seorang
pria. Laura berusaha memejamkan mata. Tapi kenangan-kenangan bersama Niko malah bermunculan.
Ia bangun dan berusaha menyibukkan diri memasak resep baru di dapurnya. Setelah kelelahan
memasak selama dua jam,hati Laura masih juga belum tenang. Kaki kanannya terasa sedikit
lelah. Ia duduk dan akhirnya tertidur di kursi ruang tamu. Pikiran terakhirnya sebelum tidur
adalah seorang pria dengan sepasang mata cokelat yang indah.
*********************************
"Dia datang lagi." Maya masuk ke dapur dan berbisik pada Laura.
Laura menghela napas panjang. Sudah seminggu berturut-turut Niko datang ke restorannya. Kali
ini sebagai salah satu pelanggan restoran, dan memesan menu yang lain dari waktu-ke waktu.
Laura tidak ingin menemuinya, jadi dia sama sekali tidak keluar dari dapur restoran. Bahkan
sampai Niko menjadi pengunjung terakhir pun Laura tidak keluar menemuinya.
Seharusnya Niko mengerti maksud Laura dan tidak menganggunya lagi. Tapi Niko seakan tidak
peduli dengan usaha Laura menghindar darinya. Para pelayan mulai menggosipkan hubungan
Niko dan Laura tanpa sepengetahuan Laura.
"Apakah mbak tidak bisa mengusirnya saja?" tanya Laura pada Maya pasrah.
"Aku tidak bisa mengusir pelanggan, kan?"
"Aku tahu," kata Laura cepat. "Aku hanya asal bicara. Dia benar-benar keras kepala."
"Aku mengagumi kegigihannya," kata Maya. "Dia sangat tampan juga. Kau yakin kau tidak mau
memilikinya?" Maya tersenyum pada Laura.
"Aku yakin. Sudah berakhir di antara aku dan dia." Mungkin Laura bisa mengajukan cuti
beberapa hari ke depan. Menghabiskan waktunya bersama mama dan papa, jauh dari Niko.
Kalau perlu,ia bisa berlibur lebih lama dan pergi ke kota lain, atau ke luar negeri, untuk
menghindari Niko. Ia tidak tahu bagaimana lagi menghadapi Niko yang terus mengejarnya.
Laura pulang paling akhir. Ia mengunci pintu restoran dan hendak berjalan pulang ketika ia
melihat Niko di depan restoran sedang berdiri bersandar di pintu mobilnya.
"Mau aku antar pulang?" tawar Niko sambil tersenyum.
"Tidak perlu," jawab Laura ketus. "Rumahku dekat."
Laura melangkah pergi melewati Niko. Dari belakangnya ia mendengar mesin mobil di
nyalakan. Mobil Niko melaju berdampingan dengan langkahnya. Laura melihat ke arah Niko
dengan kesal. Ketika ia berhenti melangkah, Niko juga menghentikan mobilnya. Laura tidak bisa
menyembunyikan kekesalannya dan menatap Niko dengan cemberut. Niko hanya tertawa
melihat tampang Laura. Sampai di depan rumahnya, Laura mengambil kunci pintu pagar dari tasnya. Mobil di
belakangnya berhenti. Suara langkah kaki mendekatinya. Kekesalan Laura sudah sampai
puncaknya."Sampai kapan kau mau mengikutiku terus?"
"Sampai kau bersedia menerimaku," jawab Niko sederhana.
"Aku sudah bilang aku punya pria yang kusukai."
"Kau belum menikah dengannya. Jadi aku masih punya kesempatan." Niko tersenyum penuh
rahasia. Dia mengantongi kertas bertuliskan "JANGAN MENYERAH" di saku bajunya. Setelah
tahu Laura selalu membawanya selama delapan tahun ini,Niko yakin Laura masih menyukainya.
"Aku tidak bisa menerimamu, Niko. Sampai kapan pun," katanya serius. " Hubungan di antara
kita sudah berakhir. Kenapa kau tidak bisa menerimanya?"
Niko hendak mengeluarkan kertas di sakunya, tapi Laura berkata lagi.
"Aku tidak mau menyakitimu, Niko. Tapi,bertemu denganmu benar-benar membuatku sedih.
Tidakkah kau ingin melihatku bahagia" Aku benar-benar menyukaimu delapan tahun yang lalu.
Ketika kita berpisah sebelum acara wisuda, aku benar-benar patah hati. Aku tidak bisa menjalani
hal itu lagi. Aku sudah mencoba melupakanmu selama delapan tahun ini. Sekarang aku memiliki
kehidupan baru, akhirnya aku mendapatkan kedamaian. Dan tiba-tiba kau muncul lagi. Aku
benar-benar memohon padamu. Tolong, jangan ganggu aku lagi!"
Niko berjalan mendekat. Matanya memandang Laura lurus-lurus. "Apakah kau sakit hati
sekarang" ketika melihatku?"
Laura mengangguk. "Apakah aku membuat hidupmu merana?" tanya Niko lagi.
Laura mengangguk lagi. Hati Niko dipenuhi kepedihan. "Ada satu hal yang paling ku sesali selama delapan tahun ini.
Aku tidak memercayaimu delapan tahun yang lalu. Aku berharap aku bisa memutarbalikkan
waktu dan memilih untuk memercayaimu, tapi tentu saja aku tidak bisa melakukannya. Aku
menghabiskan delapan tahun hidupku menyesalinya. Tapi aku juga menyadari selama delapan
tahun itu bahwa aku menyukaimu. Terus-menerus tanpa henti. Walaupun kau tidak di sisiku."
Laura menahan perasaan di hatinya. "Itu semua tidak mengubah apa pun, Niko. Aku bukanlah
Laura yabg kau kenal delapan tahun yang lalu. Tolong lepaskan aku. Jangan temui aku lagi."
"Apakah itu yang benar-benar kau inginkan?" tanya Niko dengan tatapan merana.
Laura menguatkan hatinya. "ya".
Niko menatap wajah Laura. Dia mengingat musim-musim yang sudah di laluinya di New York
dan Paris. Melihat dedaunan berubah warna setiap tahunnya. Bayangan Laura selalu
menghantuinya. Laura memasuki pagar rumahnya. "Jadi, kau akan melepaskanku,bukan?"
Niko mendekati Laura. "Aku akan melepaskanmu pergi..."
Laura merasa lega. Tapi kelegaan itu hanya sesaat.
"Hanya jika seribu musim sudah berlalu," lanjut Niko.
("Jangan lakukan ini padaku,Niko"), kata Laura dalam hati. Niko memandangnya tanpa
berkedip. ("dia tidak akan menyerah")."Kalau begitu,"ucap Laura, " aku akan menghabiskan
seribu musim berikutnya menolakmu dan mengusirmu pergi. Selamat tinggal, Niko."
Laura berlari memasuki rumahnya. Setelah merasa aman di balik pintu,ia menangis. Kakinya
terasa lemas. Ia terjatuh ke lantai.
Sementara itu,di luar rumah,Niko memandangi pintu rumah Laura lama sekali. Hatinya sangat
sakit. Laura berusaha sekuat mungkin untuk menjauhinya. Semakin dia mendekatinya, semakin
Laura menjauhinya. Niko memasuki mobilnya. Dia menyalakan mesin mobil dan pergi dari rumah Laura. Sepanjang
perjalanan,tatapan sedih Laura terbayang di benaknya. Niko tidak ingin Laura bersedih. Laura
belum melupakannya, dia yakin tentang yang satu ini. Dan walaupun Laura tidak
mengatakannya, Niko yakin Laura masih menyukainya. Pasti ada hal lain yang menyebabkan
Laura selalu memintanya pergi. Laura mengatakan dia menyukai seseorang. Luki Rafael. Niko
tidak mau menyerah darinya.
Niko tahu tidak sepantasnya di merebut kekasih pria lain. Tapi dia tidak bisa menipu perasaanya
sendiri. Lagi pula, Luki pernah mengatakan sewaktu Niko merancang cincin bintang pesanannya,
bahwa Laura yang meminta agar cincin tersebut berbentuk bintang. Kenapa Laura meminta
cincin bintang kalau bukan untuk mengingatkan Laura akan dirinya" Niko tahu Laura benarbenar terpesona dengan karya cincin bintangnya. Luki Rafael tidak tahu kenapa Laura meminta
cincin bintang darinya.Luki pasti tidak akan senang kalau tahu Laura memikirkan pria lain saat
meminta cincin tersebut darinya.
Niko tersenyum. ("Bagaimana mungkin aku melupakan Laura kalau Laura sendiri belum
melupakanku?") BAB 26 KEESOKAN harinya, Niko mengunjungi Restoran Antonio lagi. Maya yang menemuinya.
"Laura tidak masuk hari ini. Dia mengambil cuti," katanya. "Pulanglah."
"Sampai kapan?" tanya Niko penasaran.
Maya sedikit kasihan melihat Niko yang terus-menerus memperhatikan pintu dapur. Berharap
Laura keluar dari sana. Niko sudah menunggu selama berjam-jam.Akhirnya Maya bersimpati
dan mendekatinya untuk memberitahukan bahwa Laura tidak masuk. "Mungkin sampai minggu
depan." Maya menatap pria di depannya dengan simpati. "Pulanglah. Kembalilah minggu
depan." Niko membayar pesanannya dan keluar dari restorannya. Laura benar-benar menjauhinya. Niko
mengambil handphone nya. "Luki Rafael," kata suara diujung telepon.
"Luki,ini Niko," Niko menelepon dari balik kemudi. "kau ingat tentang tawaran kerja sama yang
pernah kau utarakan sewaktu kita pertama kali bertemu?"
"Ya.Tentu saja," jawab Luki.
Niko menatap kegelapan malam. "Aku menyetujui tawaranmu."
Luki terdengar senang. "Aku senang kau menyetujuinya."
"Kapan kita a kan bertemu untuk membahas soal kerja sama ini?" tanya Niko.
"Aku ada acara keluarga besok malam," kata Luki. "Bagaimana kalau sorenya saja" Di restoran
apartemen?" "Baiklah," kata Niko. "Sampai jumpa besok sore."
*************************
Keesokan sorenya, Luki bertemu Niko di restoran apartemen. "Jadi, apa yang membuatmu
berubah pikiran?" tanya Luki penasaran.
*(Laura)* Niko tersenyum. "Aku suka hotelmu. Aku sudah melihatnya. Aku bisa membuat
rancangan perhiasan khusus hotelmu. Aku juga ingin membuka cabang tokoku di hotelmu."
Luki menatap Niko tajam. "Kau benar-benar sudah memikirkannya."
"Tentu saja." "Kau punya dua toko di paris, satu di New York, dan sekarang di sini." Luki menjabarkan apa
yang diketahuinya tentang bisnis Niko. "Keuntunganmu tahun lalu meningkat sangat
tajam,bukan?" Luki tidak pernah berbisinis tanpa mengenal calon rekan bisnisnya.
Niko tersenyum. "Tapi tidak sampai setengah dari keuntungan yang di dapat Rafael Group bulan
ini." Luki tersenyum balik. Dia tahu dia berhadapan dengan orang yang tidak bisa di remehkan.
Seandainya Niko Fareli menjadi lawan bisnisnya, Luki pasti akan mendapatkan tantangan baru
yang menarik. Hal yang sudah lama tidak dia rasakan.Tapi bekerja sama dengan Niko pun
merupakan tantangan tersendiri. Luki merasa masih ada alasan lain kenapa Niko mau bekerja
sama dengannya. Rasanya tidak semudah itu Niko bisa berubah sikap. Bergabung dengan Rafael
Group ataupun tidak, Niko sudah sukses. Dia tidak perlu ketenaran lagi. Luki memutuskan untuk
tidak mengetahui alasan tersebut hari ini. Masih ada lain waktu.
"Aku akan mengajukan proposal kerja samanya minggu depan," kata Luki.
********************* Laura turun dari mobil pribadi papa di depan apartemen Luki. Hari ini hari ulang tahun
pernikahan orangtuanya. Ia datang untuk menjemput Luki makan malam bersama di rumah
orangtua mereka. Laura baru saja berbelanja. Sopir pribadi papa akan menjemput papa di
kantornya lalu kembali untuk menjemput Laura dan Luki di apartemen.
Laura masuk ke restoran apartemen,tempat Luki berjanji menunggunya. Laura melihat Luki.
Tapi ia juga melihat Niko bersamanya. Setelah berusaha mati-matian menghindari Niko, ia
malah bertemu lagi dengannya. Laura sudah mau pergi dari restoran, tapi Luki keburu
melihatnya. "Laura!" Luki memanggilnya.
Niko membalikkan badan dan melihat Laura. Dia tersenyum. Laura pasti tidak menyangka Luki
sedang bersamanya. Seperti biasa, melihat Laura dapat meredakan rasa rindunya setelah kemarin
tidak bertemu dengannya. "Duduklah." Luki menunjuk tempat duduk di sampingnya.
"Aku baru saja berbicara dengan Niko soal bisnis kerja sama. Kuharap kau tidak keberatan."
Laura duduk perlahan. "Tentu saja tidak."
"Aku sudah memesan kopi untukmu," kata Luki sambil melambaikan tangan pada salah seorang
pelayan di depan mereka. Niko menatap Laura dengan tajam. Laura menghindari tatapan Niko. Laura lupa bahwa Luki
tidak tahu tentang ketidaksukaannya terhadap kopi. Setelah kejadian di rumah sakit ketika Luki
membuatkan kopi untuknya. Luki memang tidak pernah membuatkan kopi lagi untuknya. Dan
Laura selalu memesan minuman terlebih dulu sebelum Luki memesankan untuknya.
Secangkir kopi tiba di depan Laura. Tangannya ragu untuk meraih cangkir tersebut. Ia tidak
mungkin berterus terang pada Luki sekarang. Terutama di hadapan Niko
"Kau tidak meminum kopimu?" tanya Luki heran
Laura mencoba tersenyum. "Aku akan meminumnya kalau sudah lebih dingin."
Hp Luki berbunyi. Luki mengangkat teleponnya. Setelah meminta maaf pada Niko dan Laura,
dia keluar dari restoran. Laura menunduk menatap kopinya.
"Dia tidak tahu kau tidak suka minum kopi," kata Niko kemudian. "Kau berpura-pura tidak
mengenalku. Apalagi yang kau sembunyikan darinya?"
Laura menatap Niko tajam. "Bukan urusanmu. Lagi pula, tidak penting apakah aku menyukai
kopi atau tidak. Kalau orang yang aku sukai membErikannya padaku, rasa menjadi tidak penting,
bukankah begitu?" Niko tidak menjawab. Laura mengangkat jemarinya dan mencoba menyentuh pegangan cangkirnya perlahan-lahan.
Saat tangannya sudah hampir menyentuh cangkir, sebuah tangan lain sudah mengambilnya dari
tangan Laura. Laura melihat Niko meminum kopi yang ada di cangkirnya. Lalu setelah selesai. Niko
mengembalikan cangkir tersebut ke depan Laura.
Dari belakang restoran,Luki memperhatikan hal itu dengan bingung.*(kenapa Laura membiarkan
Niko meminum kopinya")* Keheranannya makin menjadi-jadi ketika dia menutup teleponnya
dan kembali ke kursinya. "Kau sudah meminum habis kopimu?" tanya Luki,memancing jawaban
Laura. "Aku pesan satu cangkir lagi,ya?"
"Tidak usah," jawab Laura cepat. "Aku tidak haus lagi."
Jawaban Laura semakin membuat Luki kebingungan. Perlahan-lahan, tanpa sepengetahuan
keduanya, dia menatap Niko,lalu kembali ke Laura. Luki melihat Niko menatap Laura dengan
tatapan penuh kesedihan. *(Kenapa Niko menatap Laura seperti itu") tanya Luki dalam hati.
*(Laura juga seakan menghindari tatapan Niko. Aneh. Padahal mereka baru bertemu beberapa
kali.Atau...)* "Niko," kata Luki mengalihkan perhatian, "kau tidak pernah bercerita padaku bagaimana kau
bisa mengenal Julien Bardeux."
Niko melepaskan tatapannya dari Laura dan menatap Luki, senyumnya mengembang perlahan.
"Seorang gadis menunggu berjam-jam untuk menyerahkan hasil rancanganku pada Julien."
"Oh, benarkah?" Luki terlihat tertarik dengan cerita Niko. "Dia pasti gadis yang istimewa."
Niko menatap Laura. "Ya. Dia memang gadis yang istimewa." Laura mendongak perlahan dan
balas menatap Niko. "Cerita yang menarik." Ia memutuskan untuk memainkan peran purapuranya. "Mungkin suatu hari nanti aku bisa bertemu denganya."
Niko tertawa pendek. "Aku yakin kau bisa bertemu dengannya."
Telepon Luki berbunyi. Mobil pribadi papa sudah sampai di depan apartemen. Laura menarik
napas lega. Ia tidak tahu harus berapa lama lagi berpura-pura tidak mengenal Niko.
"Papa sudah ada di depan apartemen," kata Luki pada Laura. "Maaf,kami harus pergi dulu. Lain
kali kita ngobrol lagi."
Niko ikut berdiri mengantar kepergian Laura dan Luki. Dari dalam restoran dia melihat seorang
pria setengah baya berjas hitam tersenyum pada Laura,dan memeluknya. Niko pernah melihat
foto pria tersebut di koran bisnis beberapa hari yang lalu. Charles Rafael.Ayah Luki.
Kelihatannya hubungan Laura dengan Charles Rafael sangat baik. Niko merasakan sedikit
cemburu. Niko melihat Laura dan Luki serta Charles Rafael menaiki mobil hitam.
Niko menaiki lift apartemennya. Tampaknya makin hari Laura makin pandai menyembunyikan
perasaanya. Niko mengganti bajunya dan mengambil raket tenisnya. Selama satu jam berikutnya
dia tak henti-hentinya memukul bola tenis yang keluar dari mesin pelempar.
Napasnya terengah-engah. Tubuhnya penuh keringat. Rasa cemburu di hatinya mulai mereda.
Dia kini menyadari bahwa dia tidak hanya menyukai Laura, tapi juga mencintainya.
Niko memukul bola terakhir yang keluar dari mesin dengan sekuat tenaga. *(Saatnya berpurapura sudah berakhir)* Niko mengambil handuknya lalu berjalan keluar dari lapangan tenis
apartemennya. BAB 27 LUKI memperhatikan keluarganya makan bersama dengan perasaan bahagia. Dia ingin tinggal
dalam perasaan ini selamanya. Melihat papa dan mama tertawa gembira. Melihat Laura
tersenyum karena salah satu lelucon yang di ceritakan papa. Tapi ada satu masalah yang
mengganjal hatinya. Niko Fareli. Luki punya perasaan kuat bahwa Niko sudah mengenal Laura
sebelum dirinya. Ketika mengingat kembali pertemuan Laura dan Niko pertama kali di toko
perhiasan,Laura sedikit kalut. Luki semakin curiga ketika Laura membiarkan Niko meminum
kopi dari cangkirnya. Dan Laura tidak memberitahukan hal tersebut padanya.
Ketika Laura sedang mandi,Luki mendekati mama yang brrada di dapur mencuci piring.
"Mama tidak perlu mencuci piring. Biarkan saja salah satu pembantu yang melakukannya," ujar
Luki. Mama tertawa pada Luki. "Sepertinya mama tidak bisa menghentikan kebiasaan lama. Mama
sudah terbiasa melakukannya. Rasanya aneh kalau orang lain yang mengerjakannya. Lagi pula
mama senang mengerjakan hal ini. Mencuci piring keluarga sehabis makan. Rasanya
menyenangkan." Luki tersenyum. "Biar kubantu." Luki mengambil lap dan mulai mengeringkan piring dan gelas
yang sudah dicuci. "Ma,bolehkah aku bertanya tentang Laura?" tanya Luki.
Mama mematikan keran air. Tugas mencuci piringnya sudah selesai. "Tentu saja."
"Apakah Laura pernah menyukai seseorang selama ini?" tanya Luki langsung.
Mama mengerutkan kening. "Mengapa kau tiba-tiba menanyakan hal itu?"
Luki menutupi rasa penasarannya dengan senyuman. "Habis, aku tidak pernah melihat Laura
berpacaran. Jadi aku ingin tahu, apakah dia pernah menyukai seseorang sebrlumnya?"
Mama tersenyum mendengar pertanyaan Luki. "Laura terlalu memfokuskan hidupnya pada dunia
memasak. Tapi... Laura pernah menyukai seseorang,dulu sekali sewaktu masih sekolah."
Luki sudah menduganya. "Apakah mama tahu nama orang itu?" Penyelidikannya tentang masa
lalu Laura sedikit demi sedikit mendapat titik terang.
Mama menggeleng. "Mama tidak tahu namanya. Laura tidak pernah memberitahu. Dia menyukai
orang itu tapi orang tersebut sudah punya pacar. Jadi rasa suka Laura bertepuk sebelah tangan."
"Laura patah hati,bukan?" Luki sudah bisa menebak dengan benar sekarang.


Seribu Musim Mengejar Bintang Karya Charon di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mama mengangguk. "Iya. Dia terus-menerus mengejar orang itu. Bahkan berusaha masuk kelas
yang sama dengannya. Dia bilang tidak masalah baginya kalau orang itu tidak menjadi pacarnya.
Tapi dia ingin menjadi temannya dan mengenalnya. Suatu hari,Laura menangis berjam-jam. Dia
bilang dia sudah kehilangan orang itu. Mama tidak pernah melihatnya sesedih itu. Laura pasti
benar-benar menyukai orang tersebut."
"Laura tidak pernah bertemu dengan orang itu lagi sesudahnya?" tanya Luki.
"Mama tidak tahu," ungkap mama jujur. "Kami pindah kota sesudah Laura lulus ujian akhir."
Luki mengerti sekarang. "Mama,apakah mama ingat tempat sekolah Laura dulu?"
Mama mengangguk dan memberitahukan nama SMA Laura. Luki mengingatnya dalam hati.
******************************
Sepulangnya ke apartemen,Luki langsung membuka komputernya dan mencari semua informasi
tentang Niko Fareli. Terutama tentang masa lalunya,seperti tempat dia bersekolah. Ketika
melihat nama sekolah Niko sama dengan nama sekolah yang diberitahukan mama, Luki berpikir
keras. Laura dan Niko satu SMA. Luki mencari informasi lagi tentang SMA tersebut. Ia melihat
halaman alumni SMA tersebut. Alumni lulusan delapan tahun yang lalu. Nama Laura berada di
kelas yang sama dengan nama Niko.
Luki menarik napas panjang. Dia sudah menemukan benang merah hubungan Niko dan Laura.
Tetangga lantai bawahnya adalah pria yang pernah disukai Laura. Luki sekarang tahu segalanya.
Kemungkinan besar Niko Fareli sudah membuat Laura patah hati. Itulah sebabnya Laura selalu
menatap mata Niko dengan penuh kesedihan. Luki tidak akan tinggal diam membiarkan Laura
berlarut-larut dalam kesedihan. Jam dinding di apartemennya menunjukkan pukul satu dini hari.
Sudah terlalu malam untuk membangunkan tetangga lantai bawahnya. Luki akan membiarkan
Niko tidur nyaman malam ini. Tapi dalam beberapa jam berikutnya. Luki akan membuat Niko
Fareli tidak nyaman lagi.
****************************
Telepon di apartemennya berbunyi. Luki membuka matanya yang masih setengah mengantuk.
Dia melihat jam dinding di kamar tidurnya. Baru pukul 06.00. Luki baru bangun tidur selama
tiga jam. "Halo," katanya. Dia menguap dan berusaha menutupi dengan tangannya.
"Ini aku Niko".
Luki langsung terjaga. Dia memang berniat menghubungi Niko pagi ini, tapi ternyata Niko sudah
menghubunginya lebih dulu.
"Temui aku setengah jam lagi di restoran apartemen". Niko laly menutup teleponnya.
Luki menutup teleponnya juga dan bergegas ke kamar mandi.
Setengah jam kemudian, keduanya bertatap muka dengan serius di restoran apartemen.
"Apa yang mau kau bicarakan, Niko?" tanya Luki langsung tanpa basa basi.
Niko menatap Luki dengan tajam. "Aku tidak mau berpura-pura lagi".
"Apa maksudmu?" tanya Luki lagi.
"Aku sudah mengenal Laura sejak lama". Niko tidak mengalihkan pandangannya dari Luki
sedikit pun. "Aku tidak bisa berpura2 tidak mengenalnya di depanmu".
Luki melipat kedua tangannya di depan dada. "Aku sudah tahu".
Perkataan Luki membuat Niko terperangah. "kau sudah tahu?".
"Aku baru saja mengetahuinya kemarin" ucap Luki. Dia memandang pria di depannya dengan
tatapan dingin. "Laura memberitahu mu?" tanya Niko bingung. Dia tidak menyangka Laura akan memberitahu
Luki, apalagi setelah usaha kerasnya untuk berpura2 tdk mengenalnya.
Luki menggeleng. "Aku mengetahuinya sendiri. Kalian masuk ke sekolah yang sama. Kelas yang
sama" Saking terkejut, Niko juga merasa lega Luki mengetahui yanh sebenarnya. "Baguslah kalau
begitu. Aku memanggil mu kemari karna aku tidak akan menyerah untuk mendapatkan Laura".
Luki mengernyit keheranan. "Apa maksud mu" Bukankah hubunganmu dengan Laura sudah
berakhir?". Niko tertawa pendek. "Tidak. Hubungan ku dengannya takkan pernah berakhir. Aku datang
untuk memberimu peringatan. Aku tidak suka mengejar Laura secara diam-diam di belakangmu.
Itu bukan gayaku. Aku ingin kau tahu bahwa aku mengejar kekasih mu. Dan aku tidak akan
meminta maaf padamu untuk itu."
Luki bersandar di kursi. Matanya menatap Niko dengan sedikit bingung.
Kenapa Niko menganggap ku kekasih Laura" Tapi kebingungan tersebut hanya bertahan
sebentar. Niko tidak tahu bahwa Laura adikku.
Senyum Luki mengembang perlahan. Dia juga baru mengetahuinya dua tahun yang lalu.
Bagaimana sekarang Niko bisa tahu Luki memutuskan untuk tidak memberi tahu Niko yang
sebenarnya. Selain karna itu bukan urusan Niko, dia juga ingin tahu sejauh mana Niko akan
menantangnya. Luki selalu menyukai tantangan baru.
"Apakah menurut mu kau bisa merebut Laura dariku?" pancing nya. Senyum Niko mengembang
perlahan. "Ya. Aku pasti bisa mendapatkan Laura kembali. Dia tidak pernah melupakan ku."
Luki tersenyum singkat. "Apakah kau berkata begitu untuk membuatku cemburu?". Niko
menggeleng. "Aku berkata demikian karena itulah yang sebenarnya. Aku mencintai Laura. Kau
memang menyayanginya. Tapi... Kau tidak mencintainya". Luki menatap Niko dengan tidak
percaya. "Bagaimana mungkin kau bisa tahu aku tidak mencintai Laura?". Niko tersenyum tipis.
Lalu senyumnya melebar. "Sebenarnya aku tidak tahu. Tapi pertanyaanmu tadi telah
meyakinkanku. Kau tidak mencintainya".
"Apa?" tanya Luki semakin bingung. Niko tertawa ringan. "Aku baru saja mengatakan bahwa
aku mencintai Laura. Dan kau menjawab pertanyaanku dengan pertanyaan, bukan dengan
pukulan. Kau bahkan tidak menyadari aku telah mengatakan hal itu. Kalau kau benar-benar
mencintainya, kau sudah memukul wajahku saat aku mengatakan aku mencintainya."
Luki diam tidak berkutik. Dia tepah mendapat lawan yang sebanding. "Aku tidak akan
membiarkanmu mendapatkan Laura. Kau sudah membuatnya patah hati."
"Aku tahu". Tatapan Niko berubah sedih. "Itulah sebabnya aku tidak akan melakukam kesalahan
yang sama lagi." "Laura bahagia bersamaku," kata Luki kesal. "Kenapa kau bersikeras
merebutnya dariku" Bukankah kalau mencintainya kau akan membiarkan Laura bahagia"
Dengan siapapun?" Kini giliran Niko yang menatap Luki dengan dingin. "Laura tidak bahagia. Apakah kau tahu
Laura tidak menyukai kopi" Kopi membuat perutnya mual. Dia tidak bisa menolerirnya. Tapi
kemarin kau memintanya untuk meminum kopi yang kau pesan. Kau tidak bisa menjaganya.
Itulah sebabnya aku tidak akan menyerah mengejar Laura".
Luki syok mendengar penyataan Niko. Laura tidak pernah memberitahunya bahwa dia tidak bisa
minum kopi. Luki ingat ketika dia menyerahkan kopi buatannya di rumah sakit dan Laura
meminumnya tanpa ragu. Luki berhenti bernapas. Saat itu Laura berusaha menahan rasa tidak
sukanya hanya untuk membuat Luki senang. Luki jadi mikirkan hal apa lagi yang tidak
dikatakan Laura padanya. Selama ini dia berusaha membuat Laura bahagia, tapi apa yamg terjadi
malah sebaliknya. Laura yang berusaha membuat Luki bahagia. Luki tidak tahu adiknya tengah
menderita dibalik kebahagiaanya. Luki tidak pernah menyadari perasaan Laura sesudah
kecelakaan. Tentang bekas luka mengErikan di kakinya. Dan mengapa Laura tidak mau
membiarkan seorang pria pun mendekat.
"Aku rasa aku sudah mengutarakan maksudku dengan jelas." Niko berdiri, lalu pergi
meninggalkan Luki yang tampak di merana sendirian. Setelah Niko pergi, rasa bersalah Luki
kembali merayap ke hatinya. Luki menggenggam cangkir kopi di depannya erat-erat, sampai
tangannya gemetar sehingga cangkir tersebut jatuh dan pecah.
Pelayan di belakangnya terlihat khawatir dan menanyakan keadaan Luki. Tapi Luki tidak
menyadari apapun. Para pelayan lain membersihkan pecahan cangkir dan mengompres tangan
Luki dengan air dingin. Luki baru sadar ketika rasa dingin menyentuh telapak tangannya.
Tangannya tidak terasa sakit, padahal terdapat beberapa luka goresan. Dia membayangkan rasa
sakit yang dialami Laura. Rasa sakit di tangannya tidak ada artinya dibandingkan dengan apa
yang dirasakan Laura di kakinya. Adiknya memendam rasa sakit tanpa seorang pun tahu,
termasuk dirinya. Di kamar apartemennya, Luki memandangi Laura pada foto mejanya. Luki
sudah bisa menguasai rasa bersalahnya. Kini dia sungguh2 ingin membuat Laura bahagia.
Sebuah pesan masuk ke handphone nya. Luki melihat isinya. Dari Laura.
Aku membuat makan siang untukmu.
Aku sudah menaruhnya di meja kerjamu.
Jangan lupa makan, ya. Setelah membaca pesan itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Luki meneteskan air
mata. ******************************
Laura memutuskan untuk kembali bekerja setelah mengantar makan siang Luki. Ia sadar ia tidak
bisa berpisah dari pekerjaan nya terlalu lama. Walaupun cutinya masih tersisa beberapa hari,
Laura merindukan dapur restorannya. Jadi, sepulangnya dari kantor Luki, ia menuju Restoran
Antonio. Teman-temannya sedikit terkejut melihat kedatangannya. Mereka tahu seharusnya
Laura cuti. "Aku harus bilang apa...?" desah Laura. "Aku merindukan kalian. Aku tidak bisa berlama-lama
berpisah dengan kalian. Laura tersenyum melihat dapurnya. Masih bersih tanpa noda makanan. Hanya dia seorang diri
ditemani peralatan masaknya. Laura menutup mata dan membukanya kembali. Ia selalu bahagia
di dapur ini. Di tempat ini, ia bisa menjadi seorang chef yang membuat makanan lezat. Ia bisa
menjadi dirinya sendiri. Bukan wanita rapuh di hadapan Niko, atau adim yang menyembunyikan
kesengsaraan di hadapan Luki, ataupun putri yang merasa sedikit iri dengan kebahagiaan dan
kebersamaaan mama dan papa.
Laura berjalan mengelilingi dapur dengan perlahan. Saat ia hendak mengambil peralatan
masaknya, kaki kanannya tersandung kursi besi. Laura mengernyit kesakitan. Napasnya
terengah-engah. Ia bersandar pada meja sampat rasa sakit di kakinya mereda. Ia mencoba
mengatur napasnya. Laura mengambil obat dari tasnya dan langsung menelannya. Perlahan rasa
sakit di kakinya menghilang.
Laura berdiri perlahan, lalu mengambil celemek putih dari atas lemari dan mengenakannya.
Perasaan sedikit lega. Saat ia memasak makanan pertama hari itu, hatinya sudah kembali normal.
Aroma masakan di dapur menentramkan perasaannya.
BAB 28 Laura mengepel rembesan air hujan di kamar tidurnya. Tubuhnya kelelahan. Selama beberapa
hari ini hujan deras turun terus menerus. Rumah Laura, yang memang sudah bermasalah dengan
rembesan air hujan sejak lama, kini mencapai titik puncaknya. Genangan air membasahi lantai
kamar tidurnya. Tembok kamarnya terlihat menggelap terkena air hujan.
Laura menelpon tukang bangunan untuk memperbaiki atap yang bocor. Setelah tukang datang,
Laura malah harus kecewa. Tukang tersebut menjelaskan perlu waktu beberapa minggu untuk
memperbaiki atap dan mengecat kamar tidurnya. Laura tidak punya pilihan lain. Ia tidak
mungkin khawatir terus menerus setiap kali hujan deras turun. Ia menyuruh tukang tersebut
memperbaiki kamar tidur sekaligus ruangan lain yang terkena rembesan air.
Karena pasti tidak nyaman berada di rumah selama perbaikan belum selesai, Laura menelpon
Luki dan meminta izin untuk tinggal di apartemennya. Laura membuat keputusan tersebut karena
apartemen Luki lebih dekat ke tempat kerjanya dibandingkan rumah kedua orang tua nya.
Luki langsung menyetujuinya, dan menyuruh Laura mengepak pakaiannya. Dia akan datang
menjemput Laura sepulang kerja nanti malam. Saat akan menjemput Laura di restoran, Luki
bertemu Niko di lobi depan apartemen. Mereka tidak bertemu selama beberapa hari setelah
pembicaraan terakhir mereka. Luki sibuk dengan pekerjaaannya dan Niko sibuk dengan tokonya.
Ketika mereka bertemu kembali, ada perseteruan tersembunyi diantara keduanya.
"Niko," sapa Luki. "Aku belum mendengar masukan atas proposal kerja sama kita".
Niko sedikit heran. "Aku rasa kau tidak akan mau bekerja sama denganku setelah pertemuan kita
beberapa hari yang lalu". Luki tersenyum tipis. "Aku tidak akan mencampur urusan bisnis dan
pribadi. Kenapa aku melepaskan peluang bisnis bagus" Kecuali... Kau tidak sanggup menjadi
rekan bisnisku". "Tentu saja tidak," kata Niko percaya diri. "Aku tidak takut padamu. Aku akan mengkaji
proposal bisnis yang kau ajukan". "Oke". Luki berjalan melewati Niko, tapi lalu berbalik lagi.
"Tadi masalah bisnis. Untuk masalah pribadi, aku tidak akan membiarkan Laura bersedih. Kau
bilang Laura tidak bahagia bersamaku. Apakah Laura akan bahagia bersamamu" Aku
meragukannya". "Kenapa kau tidak biarkan Laura yang memilih sendiri nanti?" Niko tidak terpancing perkataan
Luki. Luki merasa kesal. "Laura sudah memilihku". Dia sengaja menyulut kemarahan Niko. Dia
tersenyum puas. "Aku akan menjemputnya malam ini. Mulai hari ini, dia tinggal bersamaku".
"Apa?" Niko tidak bisa menahan rasa terkejutnya. "Laura akan tinggal bersamamu?".
Luki sangat puas melihat tampang Niko saat ini. Wajahnya pucat pasi. "Kau kalah Niko. Aku
menang." Luki merasa Niko berhak menerima hal tersebut darinya. Dia sudah membuat Laura
patah hati. Mama bilang Laura menangis selama berjam-jam untuk Niko. Luki tidak tahu apa
yang Niko lakukan sampai Laura patah hati, tapi Laura pasti merasa hancur saat itu. Luki hanya
ingin Niko merasakan hal yang sama. Biar dia merasakan sakitnya patah hati.
Luki berjalan dengan santai ke pintu apartemen. "Aku tidak akan berhenti mengejarnya Luki"
kata Niko keras. Luki berbalik. "Laura bukanlah permainan untuk di menangkannya. Dia wanita
yang istimewa. Kau belum menikahinya. Jadi aku masih punya kesempatan untuk memenangkan
hatinya". Pintu lift membuka, Niko masuk ke lift. Luki mau tidak mau sedikit terkesan dengan kegigihan
Niko. Tidak aneh rasanya Laura menyukai Niko. Kalau Niko tidak membuat Laura patah hati,
dia bisa menjadi temannya. Tapi saat ini Niko bukan temannya.
*****************************
Satu setengah jam kemudian, Luki mengambil koper Laura dari tangan gadis itu. "Aku akan
tinggal sekitar dua minggu," kata Laura lagi sekeluarnya dari pintu mobil Luki. "aku tidak
mengganggu mu kan" Kau tidak punya pacar yang tinggal denganmu, bukan?". Luki tertawa
pendek. '' aku tidak punya pacar sekarang. Kau boleh tinggal di apartemenku se maumu."
"Baguslah kalau begitu," kata Laura. "Terima kasih, Luki, karena mengizinkanku tinggal di
apartemenmu untuk beberapa minggu ini". Luki tersenyum tulus. "Aku akan melakukan apa pun
untuk mu, kau tahu kan" Lagi pula kapan lagi aku punya pembantu gratisan yang sukarela
membersihkan apartemenku?".
Laura memukul lengan Luki perlahan. "Oh, jadi itu sebabnya kau mengizinkanku tinggal" Buat
jadi pembantu gratisan" Enak saja. Aku tidak mau membereskan barang-barangmu. Aku hanya
akan membereskan kamarku sendiri". "Hei" keluh Luki sambil cemberut. "Setidaknya bereskan
ruang tamuku ya," pintanya sambil memelas". "Baiklah" kata Laura.
Keduanya masuk ke lift sambil tertawa. Luki menceritakan lelucon dan Luara tertawa terpingkalpingkal. Tawa Laura terhenti ketika di lantai dua lift berhenti dan Niko bertemu di hadapannya.
Laura tahu ia mengambil risiko besar bertemu dengan Niko saat memutuskan untuk tinggal
sementara di apartemen Luki. Tetapi Laura tahu ia tidak bisa menghindari Niko selamanya. Ia
harus menghadapinya. Mungkin dengan seringnya mereka bertemu, lama-kelamaan kesedihan di
hati Laura bisa hilang, dan ia akan terbiasa melihat Niko tanpa harus teringat pada kenangan
mereka. Niko melihat Laura dan Luki sedang tertawa. Harinya benar-benar sakit. Dia mencoba mengusir
rasa sakitnya dengan menenangkan diri di spa, tapi ketika melihat keduanya saat ini, hati Niko
bergejolak lagi. Dia melihat Luki memegang koper Laura.
"Kau mau masuk Niko?" tanya Luki sambil tersenyum. Niko memasuki lift. Dia mencoba
menenangkan hatinya untuk yang kedua kalinya hari ini. Di dalam lift, ketiganya tidak berbicara.
Niko melihat bayangan Laura dan Luki dari pantulan Pintu lift di depannya. Dia melihat tangan
Laura menggenggam tangan Luki dengan erat.
Niko mengepalkan tangannya kuat-kuat. Mencoba menahan emosi. Matanya menatap nomor
lantai di panel atas untuk mengalihkan perhatian. Karena kalau tidak, dia sudah ingin menghajar
Luki di dalam lift. Pintu lift membuka di lantai empat belas. Niko keluar tanpa menoleh pada keduanya. Laura
akhirnya menghela napas lega setelah manahannya sejak Niko masuk ke lift.
"Apakah kau sudah berhasil membuatnya cemburu?" tanya Luki kepada Laura. Laura tidak
mengerti dengan pertanyaan Luki. "Apa maksudmu?".
"Aku tahu siapa Niko sebenarnya, Laura." Luki memutuskan untuk berterus terang pada Laura. "
kau pernah menyukainya sewaktu sekolah dulu." Laura memasuki apartemen Luki. Mengikuti
Luki yang sudah berjalan didepannya, "bagaimana kau tahu soal itu?". "Aku menyimpulkannya
sendiri." Luki memegang tangan Laura dan menyuruhnya duduk di kursi ruang tamu. "Sikapmu
benar-benar berbeda saat bersama Niko. Saat pertama kali kau bertemu dengannya di toko
perhiasan, kau terlihat lain. Tidak terlihat seperti biasnya. Aku tahu kau berpura-pura tidak
mengenalnya. Tapi, Laura, kau bukan seorang pembohong ulung semakin lama aku semakin
curiga kau sudah mengenal Niko sebelumnya. Aku bertanya pada mama tentang pria yang
pernah kau sukai. Lalu aku mengetahui semuanya."
"Maaf Luki" kata Laura sedih. "Aku tidak bermaksud menyembunyikannya darimu. Aku hanya
berusaha melupakan masa laluku." "Niko mengira aku kekasihmu" lanjut Luki. "Maaf. Aku tidak
pernah bilang kau kekasihku. Niko mengambil kesimpulan sendiri," Laura berusaha
menjelaskan. "Aku bisa membuat hidup Niko tidak nyaman," Luki mengusulkan. Laura langsung menggeleng.
"Jangan, Luki. Jangan lakukan apa-pun terhadapnya." "kenapa tidak" Dia benar-benar
menyakitimu bukan?" Luki menuntut penjelasan Laura. "Ya. Tapi itu semua sudah menjadi masa
laluku," jawab Laura.
"Jadi bagaimana perasaan mu padanya sekarang?" tanya Luki akhirnya. Laura tersenyum getir.
"Sejujurmya aku tidak tahu. Aku tidak mau memikirkan perasaanku padanya saat ini." Luki
melihat adiknya tampak tidak berdaya. Dia duduk di sebelah Laura dan merangkul bahunya.
"Kau bisa mengandalkanku Laura. Kau tidak harus menanggung perasaanmu sendiran lagi. Kau
punya aku. Kau bisa bicara padaku."
Laura menjatuhkan kepalanya ke bahu Luki. "Terima kasih, Luki". "Kau bisa datang padaku,
kapan pun kau merasa lelah." Luki tersenyum hangat. "Bahuku selalu bersedia untukmu. Hanya
saja...'' Luki membuat Laura tersenyum. "Jangan terlalu lama. Karena nanti bahuku kram". Laura
menarik kepalanya di bahu Luki dan menonjok perut Luki perlahan. Ia tertawa. Laura sungguhsungguh beruntung memiliki kakak yang bisa menghiburnya.
***********************************
Laura bertemu lagi dengan Niko sepulang dari restoran tiga hari kemudian. Kali ini mereka
bertemu saat sedang menunggu lift di apartemen. Keduanya masuk tanpa berkata-kata. Laura
berusaha tidak melihat Niko dan melupakan keberadaan Niko di sampingnya.
"Buku yang kau jatuhkan saat kita pertama kali bertemu..." Niko mengakhiri keheningan diantara
mereka, "buku fisikamu bukan?". Laura terdiam. Niko berbalik menghadap Laura. "Aku baru
saja mengingatnya lagu beberapa hari yang lalu." ditatapnya Laura tanpa berkedip. Laura
memutuskan untuk tidak berkomentar. Tapi ucapan Niko menyentuh hatinya. Niko mengingat
pertemuan pertama mereka di taman sekolah waktu itu.
Pintu lift membuka di lantai empat belas. Niko keluar dari lift sambil mendesah. Tiba-tiba
tangannnya menahan pintu lift sebelum menutup. Dia menatap Laura dengan lembut, tidak ada
kebencian di matanya.

Seribu Musim Mengejar Bintang Karya Charon di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Maaf," ucapnya perlahan. "Kau menyukaiku terlebih dahulu tanpa aku sadari. Tapi aku
berjanji... aku akan menyukaimu lebih lama dari pada kau menyukaiku." Niko melepaskan
tangannya dari pintu lift. Sebelum pintu pift tertutup, ia memberi seulas senyuman untuk Laura.
Ketika pintu lift terbuka di lantai berikutnya. Laura keluar dan terduduk di depan lift. Ia
menangis perlahan. Bagaimana mungkin ia bisa melupakan Niko setelah apa yang di katakan
pria itu tadi" Laura benar-benar takut dengan perasaannya. Berawal dari menyukainya, tidak bisa
melupakannya, dan kini mencintainya.
******************************************
Hari-hari berikutnya, Laura memaksa diri mengabaikan perasaannya. Ia menyibukkan diri
dengan pekerjaannya. Ia bekerja tanpa kenal lelah. Perbaikan rumahnya akan segera selesai. Tak
lama lagi ia sudah bisa kembali ke rumah.
Laura baru saja kembali dari acara belanjanya di supermarket. Saat membuka pintu apartemen
Luki, kaki kanannya tiba-tiba kram. Laura menjatuhkan belanjaanya. Ia menyeret kaki kanannya
perlahan dan berusaha duduk. Dikeluarkannya pil penahan sakitnya dari tas. Karena amat sangat
kesakitan, ia langsung menelan dua butir. Setelah itu ia berbaring di sofa ruang tamu. Tak lama
kemudian matanya terasa berat. Beberapa menit berikunya ia sudah tertidur di sofa.
*************************************
Niko hendak membunyikan bel apartemen Luki, saat melihat pintunya sudah terbuka. Pagi ini
dia sudah melihat proposal kerja sama yang diajukan Luki. Dia sudah membuat beberapa
perubahan dan akan mendiskusikannya dengan Luki di apartemennya.
Niko masuk ke apartemen Luki. "Luki?" katanya perlahan. Tak ada jawaban, tapu Niko melihat
Laura tertidur di sofa ruang tamu. Getaran di saku celananya membuat Niko mengambil ia
mengambil telepon genggamnya. Pesan masuj dari Luki.
Maaf. Hari ini pertemuannya batal. Ada masalah yang harus ku tangani di perusahaan. Aku akan
menghubungimu lagi. Luki. Niko membalas pesan masuk tersebut dengan singkat. Dia melihat kantong belanjaan di tengah
ruangan. Dia mengambilnya dan menaruh di meja dapur. Lalu tatapannya beralih pada Laura
yang tertidur di sofa. Niko berjalan mendekati Laura, lalu duduk di meja kayu ruang tamu. Ditatapnya lekat-lekat.
Laura tertidur dengan nyaman.
Niko tersenyum perlahan, tangannya merapikan rambut di kening Laura. Di telusurinya alis,
hidung, dan bibir Laura dengan telunjuknya. Tangan Niko bergerak turun dan menyentuh tangan
Laura. Sebentuk cincin bintang menghiasi jari tengah tangan kiri gadis itu. Cincin bintang
rancangannya. Niko menyentuh perlahan jemari Laura dengan jemarinya.
Niko memandangi Laura tertidur selama beberapa lama. Setelah itu ia membungkuk dan
mengecup kening Laura. "Semoga kau mimpi indah, Laura."
Niko keluar dari apartemen Luki dan menutup pintu apartemennya tanpa menimbulkan suara.
Niko tidak bisa menyembunyikan kebahagiaanya. Dia tertawa lebar selama mengemudikan
mobil ke toko perhiasan. BAB 29 Hari sudah mulai larut malam Luki pulang ke apartemen. Hatinya merasa lega. Dia menangani
masalah salah satu anak perusahaan Rafael dengan baik, dan papa memuji solusinya.
Ketika memasuki ruang apartemennya yang gelap, Luki sedikit bingung. Dia tahu hari ini Laura
tidak masuk kerja. Seharusnya Laura berada di apartemennya. Tapi kenapa lampu apartemennya
mati" Luki hendak menyalakan lampu ruang tamu saat melihat Laura tidur di sofa. Rupanya Laura
ketiduran. Luki mendekati Laura lalu mengangkatnya dari sofa dan menidurinya di kamar tidur
tamu. Luki hendak berbalik pergi ke kamarnya saat mendengar suara Laura mengigau.
"Niko..." katanya perlahan.
Luki terduduk di sisi ranjang Laura dan mendesah, "kau belum melupakannya, bukan?" Ujarnya
perlahan. "Aku rasa kau masih menyukainya."
Luki termenung. Dia berpikir keras. Dia tahu mengapa Laura tidak mau kembali pada Niko.
Sebagian karena rasa takut. Sebagian lagi karena Laura merasa tidak pantas berasa di sisi Niko.
Apalagi setelah kecelakaan yang dialami Laura. Gara-gara dirinya. Luki sudah berhenti
menyalahkan dirinya sendiri sejak lama. Laura telah memberinya kekuatan untuk mengatasi rasa
bersalahnya. Laura mengatakan Luki tidak bisa mengetahui dan mengendalikan apa yang terjadi
pada masa depan. Laura benar. Luki menatap adiknya yang sedang tidur. Sebuah ide muncul di benaknya. Dia
tersenyum pada Laura. ******************************************
Keesokan paginya, Laura membuka matanya perlahan. Ia melihat jam di meja kamar tidurnya.
Sudah jam delapan. Hal terakhir yang diingat Laura adalah kemarin sore saat ia menjatuhkan
belanjaannya. Luki pasti membawa nya ke kamar tidur. Laura tidak pernah tidur senyenyak ini.
Pasti karena obat antisakit yang diminumnya kemarin.
Laura bergegas mandi. Hari ini ia masuk kerja.
"Selamat pagi," sapa Luki dari ruang makan.
"Selamat pagi," balas Laura. "Kau tidak ke kantor?"
"Ini kan Sabtu," Luki mengingatkan.
"Oh iya." Laura menggeleng. "Aku sudah lupa hari ini hari apa. Aku harus pergi ke restoran".
Luki menggiring Laura ke ruang makan. "sarapan dulu. Baru pergi kerja."
"Tapi..." Luki menggeleng. "Tidak ada tapi-tapian. Kau harus sarapan sampai kenyang."
Laura mengalah. "Baiklah". Ia mulai mengambil roti panggang yang ada di meja makan dan
memakannya. Akibatnya, Laura terlambat sampai di restorannya. Tapi Antonio dan para staf memakluminya.
Restoran masih sepi saat Laura datang. Saat jam makan sianh, Laura sibuk bekerja di dapur.
Sesekali Antonio mengomeli dan menyeretnya keluar dari dapur untuk beristirahat.
Ketika Laura kembali ke apartemennya, hari sudah menjelang sore. Malam nanti restorannya
akan sibuk. Biasanya malam minggu memang malam yang paling sibuk.
Laura ingin beristirahat sejenak di apartemen melepas rasa penatnya. Dan setibanya disana ia
lihat Luki baru keluar dari kamar mandi.
"Kau tidak bepergian?" tanya Laura. Luki menggeleng. "aku baru saja bermain tenis di lapangan
bawah". "Malam ini aku pasti sibuk," kata Laura. "Kau tidak perlu menungguku pulang. Tidur saja
duluan. Aku pasti pulang malam sekali."
"Oke" kata Luki.
Laura mengambil susu dingin dari kulkas dan menawarinya pada Luki. Ketika Luki melihat
tangan kiri Laura, Luki bertanya, "Laura, kau tidak mengenakan cincinmu?"
Laura melihat jari tengah tangan kirinya. Ia tidak ingat kapan terakhir kali melepas cincin Luki
dari tangannya. Laura langsung berlari ke kamar mandi dan mengecek apakah cincinnya ada di
sana. Setelah keluar, ia berkata "aku mungkin meninggalkan cincinku di restoran. Biasanya aku
suka melepas cincinku kalau sedang mencuci tangan. Jangan khawatir Luki. Aku pasti
menemukannya kembali."
Luki tersenyum. "Aku yakin kau pasti menemukannya".
Dalam hati Laura sedikit panik. Ia benar-benar lupa kapan terakhir kali memakai cincinnya. Ia
memang sering melepas cincin tersebut kalau sedang mandi dan mencuci tangan. Kalau tidak ada
di apartemen, Laura yakin pasti ada di restoran.
BAB 30 Malamnya, di restoran, Laura Makin panik. Ia tidak bisa menemukan cincin Luki dimana-mana.
Ia sudah meminta tolong pada teman-teman kerjanya untuk mencarinya. Mereka mencari cincin
Laura di seluruh restoran. Tapi cincin tersebut tetap tidak ditemukan. Bahkan ada beberapa
pelayan yang mencari di jalanan luar restoran, tapi tetap tanpa hasil. "Aku tidak boleh
menghilangkan cincin uki," kata Laura panik pada Maya.
Maya berusaha menenangkannya. "Mungkin masih ada di apartemen
mencarinya di kamarmu?"
uki. Kau sudah Laura menggeleng. "Nah, tenangkan dirimu. Cincin pemberian uki pasti ada disana." Maya tersenyum.
Maya benar, Laura tidak boleh panik. Laura tahu cincin itu sangat berarti bagi Luki. Pemberian
pertamanya. Dan ia sudah berjanji akan mengenakannya setiap hari. Luki pasti sedih kalau ia
menghilangkannya. Tapi sekarang ia tidak bisa memikirkan hal itu. Ada banyak pesanan untuk
restorannya. Laura akan mencari cincinnya di kamar apartemen Luki. Ia yakin cincin itu pasti
ada di sana. Laura sampai ke apartemen Luki sekitar pukul satu dini hari. Ia lansung berlari menuju
kamarnya dan menyalakan lampu. Ia mencari-cari di setiap sudut kamar. Tapi cincin tersebut
tetap tidak ditemukan. Terakhir kali ia ingat masih mengenakannya saat berbelanja di
supermarket kemarin. Hatinya langsung lemas. Cincinnya pasti hilang di supermarket. Laura
tidak bisa menemukannya kembali. Ia benar-benar panik sekarang. Ia tidak tahu harus bilang apa
pada Luki kalau kakaknya itu tidak melihat cincin pemberiannya di jemari Laura. Luki pasti
kecewa. Hanya ada satu solusi. Laura membulatkan tekad dan bergegas menuju apartemen Niko. Setelah
satu dering tidak mendapat reaksi apa-apa, Laura menekannya sekali lagi.
********************* Niko terbangun dari tidurnya. Dia mendengar suara bel pintu. Dia mengambil HP-nya untuk
melihat jam. Pukul dua pagi. Dia menguap lebar. Bel pintu berbunyi lagi. Niko cepat-cepat turun
dari tempat tidur. Saat membuka pintu apartemen, dia masih setengah mengantuk. Awalnya dia tidak mempercayai
penglihatannya. Laura berdiri di depan pintu kamarnya.
"Laura?" bisiknya.
"Maaf." Laura tidak bisa menyembunyikan kepanikannya. "Aku tahu ini sudah malam sekali.
Kau pasti sudah tidur. Aku tidak tahu harus bagaimana. Maaf membangunkanmu, Niko."
Niko langsung tersadar penuh mendengar kepanikan dalam suara Laura. "Tidak apa-apa.
Masuklah. Ada apa?" Niko benar-benar khawatir.
Kedua jemari tangan Laura gemetar. Keringat dingin mengalir di keningnya. "Cincinku hilang."
"Apa?" tanya Niko bingung.
Laura menunjukan tangan kirinya, tempat cincin pemberian uki seharusnya berada. "Aku sudah
kehilangan cincin pemberian Luki. Aku sudah mencarinya di mana-mana. Di apartemen, di
restoran, tapi tetap tidak ditemukan. Aku tidak bisa kehilangan cincin Luki, Niko."
Niko mengerti sekarang. "Aku benar-benar minta maaf karena sudah mengganggu tidurmu. Aku tidak tahu harus kemana
lagi," kata Laura putus asa.
Niko meraih tangan Laura yang gemetaran. "Tenanglah, Laura. Aku akan membuat cincin yang
sama persis dengan yang dibErikan Luki. Aku akan mengerjakannya secepat mungkin. Kau tidak
usah khawatir." Niko tidak tega melihat Laura dilanda kepanikan dan kekhawatiran. Dia akan
melakukan apa pun untuk melenyapkan semua itu dari Laura.
Napas Laura mulai normal. "Aku akan membayarmu. Berapa pun yang kau inginkan."
Senyum Niko mengembang perlahan. "Kau tidak perlu membayarku."
"Tapi...," sanggah Laura.
Niko menggeleng. "Aku tidak mau kau membayarku. Aku akan membuat cincinnya secepat
mungkin dan membErikannya kepadamu."
"Terima kasih," bisik Laura perlahan. Ia menatap Niko. Keduanya terdiam sejenak. "Ehm...
kalau begitu aku pergi dulu. Kau bisa meneleponku kalau cincinnya sudah jadi. Aku akan
mengambilnya di tokomu."
Laura pergi meninggalkan apartemen Niko dengan tergesa-gesa.
Setelah kepergian Laura, Niko langsung berganti baju dan mengambil kunci mobilnya. Tak
berapa lama kemudian dia sampai di tokonya. Niko segera naik ke lantai tiga tempat ruang
kerjanya. Dia mulai mengerjakan cincin bintang untuk Laura.
Ketika David naik ke lantai atas enam jam kemudian, dia sedikit bingung melihat bosnya sedang
bekerja. "Kau datang pagi," katanya pada Niko.
"Aku tidak tidur semalaman." Niko meminum gelas kopi ketiganya hari itu untuk membuatnya
tetap terjaga. "Aku terlihat kelelahan," komentar David, lalu mendekati bosnya. Dia melihat cincin yang
sedang dikerjakan Niko. David mengenalinya. Dia membuat cincin yang sama beberapa waktu
yang lalu. "Kau membuat cincin bintang yang sama dengan yang kubuat?"
"Ya," jawab Niko.
"Apakah ada masalah dengan cincin buatanku?" tanya David bingung.
Niko menatap asistennya dan tersenyum. "Tidak ada masalah dengan cincinmu. Aku
membuatnya lagi karena wanita yang mengenakannya tidak sengaja menghilangkan cincinnya."
"Mau aku bantu?" tanya David.
Niko menggeleng. "Tidak apa-apa. Aku akan mengerjakannya sendiri. Kau bisa mengerjakan
tugasmu yang lain." "Baiklah." David meninggalkan Niko sendirian di ruang kerjanya. Kening David berkerut.
Akhir-akhir ini perilaku bosnya memang agak berbeda. Bosnya sering emmandangi cincin tujuh
bintang buatannya lama sekali. Pernah sekali, Niko tersenyum seharian di ruang kerjanya saat
tidak seorang pun memperhatikan. Tapi pernah juga bosnya itu murung seharian. David tidak
pernah meliahat emosi yang berubah-ubah dari Niko sebelumnya.
Objek kekhawatiran David sedang mengerjakan tahap akhir menempelkan berlian di tengahtengah bintang. Setelah selesai, Niko meneliti cincin berliannya lagi dengan kaca pembesar.
Memastikan berlian yanga da di cincin tersebut benar-benar sempurna. Lehernya kaku karena
seharian bekerja tanpa henti. Tapi Niko tidak keberatan sama sekali. Ini pertama kalinya Laura
meminta bantuannya. Niko akan melakukan apapun yang diminta Laura.
Niko melihat jam tangannya. Pukul 09.30. Dia memperkirakan jarak ke restoran Lura dapat
ditempuh dalam waktu satu jam. Dia tahu Laura menyuruhnya untuk meneleponnya kalau
cincinnya sudah selesai, tapi Niko memutuskan untuk membawanya sendiri.
Sekitar pukul sebelas, Niko tiba di restoran. Dia membuka pintu restoran. Seorang pelayan
menyapanya dan hendak mengantarkan Niko ke meja makan. Niko menggeleng. "Tidak, terima
kasih," kata Niko sambil meminta maaf. " aya kemari untuk menemui Laura."
Si pelayan mengangguk mengerti. Dia tahu Niko sering datang ke restoran karena Laura. " aya
akan memberitahu Laura kalau begitu."
"Tidak usah," sela Niko. " aya akan menemuinya langsung."
Niko berjalan ke arah dapur. Dari pintu kaca dapur dia melihat Laura sedang memasak spageti.
Mata Laura terpejam sesaat dan hidungnya menghirup aroma saus spageti. Lalu ia tersenyum
perlahan. Niko ikut tersenyum melihatnya. Tangannya menyentuh pintu kaca di depannya,
seakan-akan sedang menyentuh wajah Laura. Niko yakin dia tidak akan pernah bosan melihat
aura bekerja. Niko menarik napas panjang, lalu membuka pintu dapur. Laura menoleh untuk melihat siapa
yang datang ke dapurnya. "Niko!" serunya kaget.
Niko berjalan mendekati Laura. Dia meletakkan cincin bintang yang telah dibuatnya semalaman
di meja dapur. "Cincin bintangmu."
Laura mengambil kotak cincin dari atas meja. Ia membukanya, lalu mengambil cincin tersebut
dan mengenakannya di jari tengah tangan kirinya. Ia menelitinya sebentar. Tapi ia tahu, cincin
itu sama persis dengan kepunyaannya dulu.
"Kau seharusnya meneleponku," kata Laura.
"Tidak apa-apa," Niko menatap Laura dengan sendu. "Aku senang melakukannya."
"Niko....," ucap Laura tiba-tiba. "Aku minta maaf telah berpura-pura tidak mengenalmu. Aku
tidak bermaksud melakukannya. Maaf."
Niko tersenyum. "Kau tidak perlu meminta maaf, Laura."
"Kau sudah makan?" tanya Laura, sambil menahan degup jantungnya yang berpacu cepat. "Aku
bisa memasakkan sesuatu untukmu. Aku ingin membalas bantuanmu."
Niko belum makan seharian, tapi perutnya tidak terasa lapar setelah melihat Laura. "Bagaimana
kalau kau berhenti menjauhiku sebagai balasannya?"
Laura terdiam tidak bisa menjawab.
"Atau setidaknya bertemanlah denganku lagi," usul Niko lagi.
Laura mengangguk. "Baiklah. Kau bisa menjadi temanku." etelah apa yang Niko lakukan
untuknya, Laura merasa Niko berhak mendapatkan keinginannya.
Niko tertawa senang. "Benarkah" Terima kasih, Laura. Kau sudah membuatku benar-benar
bahagia hari ini." ebenarnya Niko ingin lebih dari sekedar teman, tapi setidaknya menjadi
teman Laura bisa menjadi awal hubungan mereka.
"Laura ada pesanan..." alah seorang pelayan menginterupsi percakapan Laura dan Niko.
Niko tersenyum. "Aku akan pergi sekarang. emoga pekerjaanmu lancar."
"Kau juga," balas Laura.
BAB 31 "Kau menemukan cincinnya." uki melihat cincin bintang pemberiannya di tangan kiri Laura
saat Laura pulang ke apartemen.
Laura menunjukan jemarinya sebentar pada uki. "Ya. Aku menemukannya di dapur restoran.
Aku pasti melepaskannya saat mencuci peralatan masakku."
uki tersenyum tipis. "Kau masih harus kembali ke restoran malam nanti?"
Laura mengangguk. "Kau pulang malam sekali kemarin. Bagaimana kalau malam ini kau pulang jangan terlalu
malam" Aku terlalu khawatir padamu. Mukamu terlihat sedikit pucat." uki memandang Laura
khawatir. "Baiklah," kata Laura. "Malam ini aku akan pulang lebih cepat."
"Kau bekerja terlalu keras," omel uki. "Bagaimana kalau bulan depan kita jalan-jalan
sekeluarga ke luar negeri" Kita belum pernah melakukannya."
Laura tertawa. "Kepalamu selalu penuh dengan ide aneh. Kalau kau dan Papa jalan-jalan, siapa
yang mengurus perusahaan?"
Luki cemberut. Laura mendekatkan wajahnya ke wajah uki. " ebenarnya usulmu bagus juga kok. Mungkin
tidak sekarang. ain kali saja. Bagaimana?"
uki tertawa. "Aku akan mengusulkannya pada Papa."
Laura terbangun dengan rasa sakit yang amat sangat di lutut kanannya. Tubuhnya berkeringat. Ia
meminum obat antisakitnya, tapi sepertinya efek obat itu hanya sementara. Laura tahu, pasti ada
masalah dengan kakinya. Di dalam kamar ia berusaha tidak berteriak kesakitan dan
membangunkan Luki. Laura perlu menemui Dokter Riswan.
Pagi harinya, ketika Laura bangun, Luki sudah berangkat ke akntor. Laura menelpon Dokter
Riswan untuk membuat janji temu. Sejam kemudian, Laura sudah berada di rumah sakit.
Laura tidak terlalu suka dengan bau rumah sakit, karena mengingatkannya pada kecelakaannya.
Dokter Riswan tersenyum ramah ketika Laura memasuki ruang prakteknya. Laura mulai


Seribu Musim Mengejar Bintang Karya Charon di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjelaskan rasa sakit di kakinya.
" udah berapa lama?" tanya Dokter Riswan.
" ekitar beberapa minggu, Dok. aya tidak tahu mulai pastinya kapan. Awalnya hanya merasa
kelelahan, lalu kram, dan sekarang obat antisakit hanya bisa meredakan sementara."
Dokter Riswan terlihat khawatir, dan memutuskan untuk memeriksa kaki kanan Laura secara
menyeluruh. Dua jam kemudian, Laura kembali ke ruang praktik untuk mendengarkan hasil
pemeriksaan kakinya. Saat melihat wajah Dokter Riswan yang murung, Laura berkesimpulan
bahwa hasil pemeriksaannya tidak bagus.
"Kakimu mengalami infeksi lagi." Dokter Riswan menatap Laura.
"Apakah sangat parah?" tanya Laura. Dalam hati, ia benar-benar putus asa mendengar penjelasan
itu. Dokter Riswan mengangguk. "Kau harus menjalani operasi lagi, Laura."
"Kapan?" tanya Laura lirih.
" ecepatnya. aya sarankan minggu ini. ebih cepat lebih baik. Kalau infeksinya sampai
menjalar kemana-mana, kondisi kakimu akan menjadi lebih parah, dan kau akan mengalami rasa
sakit yang luar biasa."
Laura tidak bisa bernafas. "Apakah dengan operasi, kaki saya bisa normal kembali?"
Dokter Riswan memperlihatkan hasil pemeriksaan kaki Laura dan memandangnya dengan
serius. " aya akan berusaha sekeras mungkin supaya operasi kakimu berhasil."
"Dan kalau operasinya tidak berhasil...?" ucap Laura perlahan. Air mata sudah menggenangi
matanya. "Kalau infeksinya sudah terlalu parah?"
Dokter Riswan terdiam. " aya akan kehilangan kaki saya, bukan?" Laura mencoba untuk menelan kenyataan pahit yang
akan ia terima. Dokter Riswan mendesah perlahan. " aya akan berusaha supaya itu tidak terjadi. Kau harus
optimis, Laura." Air mata mulai membasahi pipi Laura. Ia mengusapnya dengan cepat. "Tolong katakan yang
sebenarnya, Dokter."
Dokter Riswan menatap Laura dengan sedih. "Kalau memang infeksinya parah, saya terpaksa
mengamputasi kakimu. Tapi itu adalah jalan terakhir. Kakimu harus dioperasi secepatnya.
Karena kalau dibiarkan terlalu lama, kemungkinan infeksinya akan semakin parah. Saya akan
memberitahu ayahmu."
Laura menggeleng. "Jangan. Tolong jangan bilang pada Papa. Tidak hari ini."
"Laura, kau harus dioperasi secepatnya," Dokter Riswan bersikeras. "Keluargamu perlu tahu.
Kau butuh dukungan mereka untuk operasimu."
Laura berdiri dari kursinya. " aya tahu. Tapi jangan beritahu mereka hari ini. aya akan
memberitahu mereka besok. Setelah itu saya bersedia dioperasi. Tolong beri saya waktu. Saya
mohon, Dokter." Dokter Riswan mengangguk. "Baiklah. Tapi kalau besok kau tidak datang ke rumah sakit, saya
pasti akan menghubungi ayahmu. Saya tidak bisa menyimpan hal sepenting ini darinya. Dia
sudah menjadi teman baik saya sejak dua tahun lalu."
Laura mengangguk. Ia keluar dari rumah sakit dengan linglung. Ia terduduk di salah satu halte
bus. Tangannya menyentuh kaki kanannya. Mungkin hari ini hari terakhirnya ia bisa
menggunakan kaki kanannya. Laura menangis sejadi-jadinya. Ia tidak ingin kehilangan kaki
kanannya. Ia ingin berdiri dengan kedua kakinya di dapur dan melakukan pekerjaannya.
Setelah tangisnya mereda, Laura membasuh mukanya di toilet umum. Matanya masih sedikit
merah. Tapi ia tidak akan melewatkan hari ini dengan kesedihan. Ia akan melakukan
pekerjaannya di dapur restoran. Walaupun mungkin itu terakhir kalinya ia bisa berdiri dengan
kedua kakinya. BAB 32 Luki Rafael sedang berfikir keras di ruang kerjanya. Jam sudah menunjukan pukul 12.00.
Waktunya makan siang. Hatinya gelisah. Pikirannya dipenuhi wajah Laura. Dia masih belum
bisa memutuskan soal hubungan adiknya dengan Niko.
Luki tidak suka menunggu. Jarum panjang di kantornya menunjuk angka satu, lima menit sudah
berlalu. Luki berdiri dan berjalan keluar kantor. Dia memberitahu sekertarisnya bahawa dia akan
keluar kantor sampai sore untuk urusan pribadi.
Dalam perjalanan menuju apartemen, Luki mengirim SMS pada Niko.
Temui aku di lapangan tenis apartemen.
Bawa raket tenismu. SEKARANG.
Sejam kemudian, Niko melihat Luki sedang memukul bola dari mesin pelempar. Niko tidak tahu
mengapa Luki menyruhnya datang ke lapangan tenis tiba-tiba. Tapi dilihat dari pesannya,
sepertinya penting sekali.
"Kau datang." uki berhenti memukul bola dan mematikan mesin pelempar bola.
"Kau memintaku datang." Niko berjalan mendekati Luki.
"Kau bermain tenis, Niko?" uki memandang Niko dengan dingin.
"Kadang-kadang," jawab Niko. Dia masih belum mengerti kenapa Luki menyuruhnya datang
kemari. "Ayo lawan aku." uki tidak membiarkan Niko merespon dan mulai melakukan servis bola ke
arahnya. Niko secara refleks mengembalikan bola tenis yang dipukul Luki.
Keduanya terlibat permainan tenis selama beberapa waktu. Mereka tidak menghitung angka.
Makin lama pukulan Luki semakin keras. Niko semakin kewalahan mengembalikan bola Luki. Ia
merasakan sepertinya Luki marah padanya. Tapi tidak tahu tentang apa.
Bola uki mengenai lengan kirinya. "Argh!" teriak Niko.
uki berteriak dari seberang lapangan. "Apakah pukulanku menyakiti tanganmu?"
"Ya!" Niko balas berteriak.
"Bagus!" uki menyeringai. "Aku tidak menyesal melakukannya, karena aku melakukannya
untuk Laura. Pukulan itu karena kau telah membuatnya patah hati bertahun-tahun lalu."
Napas Niko terengah-engah. Keningnya berkeringat. Dia mengambil bola dan mulai melakukan
servis balik. "Kau perlu tahu sesuatu," katanya di sela-sela mengembalikan bola. "Gadis yang
membErikan karyaku pada Julien adalah Laura."
Luki kehilangan konsentrasinya akibat perkataan Niko. Bola pukulan Biko meleayang satu meter
di sebelah kirinya. "Laura mewujudkan impianku," lanjut Niko lagi sambil terengah-engah.
Luki memungut bola yang jatuh di belakangnya dan mulai membErikan pukulan balik pada
Niko. Kali ini Niko membalasnya sekuat tenaga dan mengenai perut Luki.
"Arrgh!" uki mengerang kesakitan memegangi perutnya.
Niko melempar raketnya dan mendekati uki. "Aku mencintainya," katanya keras. "Aku sudah
menyukainya selama delapan tahun walapun Laura tidak di sisiku. Dan ketika aku bertemu
kembali dengannya, perasaanku tidak berubah. Malah bertambah kuat. Aku mencintai Laura,
Luki." Luki juga melempar raketnya dan berdiri. Dia mendekati Niko. "Aku hanya perlu tahu seberapa
besar kau mencintainya. ekarang aku tahu."
Niko mengernyit keheranan. "Apa maksudmu?"
"Ada sesuatu yang perlu kau ketahui juga." uki menelan ludah. "Laura adalah adikku."
"Apa?" Niko tersentak kaget.
Luki mulai menceritakan awal pertemuannya dengan Laura sampai akhirnya mengetahui Laura
adalah adik tirinya. Di sebelahnya, Niko mendengar penjelasan Luki tanpa mengucapkan sepatah
kata pun. "Apakah kau mengerti sekarang?" tanya uki mengakhiri penjelasannya. " ebagai kakaknya,
aku menyerahkan Laura padamu. Aku ingin kau menjaganya seumur hidupmu. Tapi, kalau kau
menyakiti Laura sedikit saja, aku akan melakukan hal yang lebih parah dari sekedar luka lebam
di tangan kirimu." Tanpa menatap Luki, Niko langsung berbalik dan berlari keluar dari lapangan tenis.
Luki tersenyum. Dia yakin Niko pasti menemui Laura sekarang. Hatinya lega. Laura berhak
mendapatkan kebahagiaan. Tangan Luki merogoh saku celananya dan mengeluarkan sebentuk cincin. Cincin bintang yang
sengaja dia ambil dari tangan Laura beberapa hari yang lalu ketika Laura tertidur. Dia tahu Laura
pasti akan mencari Niko untuk membuatkan cincin yang baru. Kalau Niko benar-benar mencintai
Laura, dia tidak akan keberatan dengan bekas luka di kaki Laura. Luki memutuskan untuk tidak
memberitahu Niko tentang itu. Laura harus memberitahukannya sendiri pada Niko. "Raihlah
kebahagianmu, adik kecil," bisik uki sambil tersenyum.
BAB 33 Laura menarik napas perlahan. Ia mencoba mengenang setiap sudut dapur restorannya.
Pelanggan terakhir untuk sore hari itu telah pergi. Restoran telah tutup. Laura akan memberitahu
Antonio bahwa ia tidak bisa bekerja malam nanti. Ia akan memberitahukan soal operasi kakinya
pada keluarganya. Kakinya mulai terasa sakit lagi. Laura mengusapnya perlahan. Sebentar lagi, katanya pada
kakinya, bertahanlah sebentar lagi.
Laura keluar dari dapur. Ia melihat restorannya yang sepi. Di sana hanya tersisa beberapa
pelayan dan Maya. Laura akan memberitahu Maya setelah ia memberitahu orangtuanya. Maya
sudah seperti keluarganya. Ketika Laura akan memasuki kantor Antonio, pintu restorannya
terbuka. Laura berbalik dan melihat Niko terengah-engah menatapnya.
Hati Laura terasa sangat sakit. Aku tidak bisa menghadapinya sekarang, katanya dalam hati.
Niko langsung mendatangi Laura dan berdiri satu langkah di depannya. " uki kakakmu. Bukan
pacarmu." Para pelayan lain dan Maya langsung menyingkir, meninggalkan keduanya. Mereka pasti
menyadari apa pun yang hendak dibicarakan oleh Laura dan Niko, pasti bersifat pribadi.
"Aku tidak pernah mengatakan bahwa uki pacarku," jawab Laura tenang, berlawanan dengan
perasaanya yang tak karuan. "Kau berasumsi sendiri. Dari mana kau tahu tentang hal ini?"
" uki memberitahukannya sendiri padaku," kata Niko.
Laura seharusnya sudah bisa menebaknya. Kakaknya selalu melakukan apapun yang dia
inginkan. Tapi Laura tidak yakin kenapa Luki memutuskan untuk berterus terang pada Niko.
"Aku tidak bisa mengahadapimu sekarang, Niko," kata Laura sedih. "Tolong, pergilah."
Niko menggeleng. "Aku tidak akan pergi. Aku tidak akan meninggalkanmu lagi. Aku sudah
menyukaimu sejak lama. Delapan tahun di negeri berbeda. Tapi perasaanku tidak pernah
berubah. Wajahmu selalu membayangiku dimana pun aku berada."
Laura terharu mendengar pengakuan Niko. Tapi rasa sakit di kakinya menyadarkannya. Ia tidak
bisa berada di samping Niko. "Aku sudah melupakanmu, Niko. Kau hanya bagian dari masa
laluku." Laura berusaha mengatakannya sekejam mungkin.
Niko menggeleng tidak percaya. Dia mengambil selembar kertas dari sakunya dan
menunjukannya pada Laura. "Kau tidak pernah melupakanku. Aku menemukan kertas ini di
pameranku saat kau menjatuhkan tasmu. Kau selalu membawa kertas yang kubErikan padamu.
Sama seperti aku selalu membawa sketsa pemberianmu."
Dengan tangan satunya lagi Niko memperlihatkan buku sketsa pemberian Laura. Niko
menunjukkan halaman demi halaman gambar rancangannya pada Laura. Dimulai dari cincin
bintang yang pertama kali membuat Laura terkesan. "Aku selalu menggambar rancangan
terbaikku di buku sketsamu."
Laura menggenggam kedua tangannya sendiri sampai memerah. Ia berusaha menahan
perasaanya. "Berhenti, Niko," ucapnya meminta Niko berhenti memperlihatkan gambar
rancangannya. Niko berhenti dan menaruh buku sketsanya di meja makan terdekat. "Kenapa kau masih saja
menyangkal perasaanmu?"
Laura menggeleng. Walapun hatinya sakit mengatakan hal selanjutnya pada Niko, ia harus
mengatakannya. " Aku tidak menyukaimu, Niko." Aku mencintaimu, katanya dalam hati.
"Kau berbohong," sanggah Niko.
"Aku tidak berbohong." Laura menatap lurus ke bola mata Niko. Ia mengambil kertas kecil yang
sudah menemaninya selama delapan tahun dari tangan Niko dan merobeknya menjadi serpihan
kecil. "Hubungan kita sudah berakhir."
Niko menatap Laura dengan kesedihan mendalam di matanya. "Kenapa kau melakukannya?"
"Aku kan sudah bilang, aku tidak menyukaimu lagi," kata Laura dingin.
"Aku tidak mempercayainya." Niko menatap Laura sungguh-sungguh.
"Aku tidak peduli apakah kau mempercayainya atau tidak." Laura berpura-pura tidak peduli
perasaan Niko. ebih baik sakit sekarang daripada nanti. "Aku tidak menyukaimu. Aku ingin
kau pergi dan tidak menggangguku lagi."
"Bukankah kemarin kau setuju bila kita berteman" Kenapa sekarang sikapmu berubah drastis?"
Niko masih tidak mau menyerah.
Laura tertawa sinis. "Teman" Niko, kita tidak akan pernah bisa berteman. Akuilah, kau juga
tidak mengharapkanku sekadar menjadi temanmu, kan?"
Niko terdiam. "Kau bilang kau menyukaiku, bukan?" tanya Laura sambil menarik napas perlahan.
"Amat sangat," jawab Niko langsung.
Laura mencoba menenangkan hatinya dan berkata, "Kalau kau begitu menyukaiku, kau
seharusnya menghormati keinginanku."
"Itu satu-satunya keinginanmu yang tidak bisa kupenuhi," ucap Niko jujur.
" ihatlah aku. Tatap mataku." Laura memaksa dirinya menghilangkan semua perasaanya
terhadap Niko. "Aku memang pernah menyukaimu dulu. Amat sangat, seperti katamu. Tapi
sekarang, saat ini, aku tidak menyukaimu. Apakah menurutmu aku berbohong?"
Niko menatap Laura lama. Tatapan Laura tidak berubah, tetap dingin terhadapnya. Niko
menggeleng. "Tidak. Kau tidak bisa melakukan hal ini padaku." Niko tahu Laura bukanlah
seorang pembohong ulung. Tatapannya padanya saat ini benar-benar membuatnya patah hati.
"Pergilah, Niko," kata Laura perlahan. "Kau bisa menyukai wanita lain yang lebih baik dariku.
upakanlah aku. Karena aku sudah melupakanmu."
Niko tidak tahu harus mengatakan apa.
Laura membalikan badan. Ia tidak ingin Niko melihat air matanya.
Tiba-tiba Niko melingkarkan kedua tangannya di pinggang Laura. Memeluknya erat dengan
sepenuh hati. Laura terkejut dan berusaha melepaskan pelukan itu. "Niko..."
"Hanya satu menit," bisik Biko lembut. Pelukannya di tubuh Laura semakin erat. Bibirnya
menyentuh pelan telinga kanan Laura. "Berikan aku satu menit untuk memelukmu seperti ini,
lalu aku akan melepaskanmu."
Laura memejamkan mata. Dibiarkannya Niko memeluknya dari belakang. Ia bisa merasakan
hangat napas Niko di telinganya. Ia tidak tahu berapa lama lagi ia bisa bertahan. Untunglah Niko
tidak bisa melihat wajahnya saat ini. Kalau tidak, Niko pasti tahu bahwa ia sudah
membohonginya. Perlahan-lahan pelukan Niko mengendur. " elamat tinggal, Laura," katanya.
Laura mendengar langkah Niko menjauh darinya. Suara pintu restoran terbuka lalu tertutup.
Laura berbalik. Ia melihat punggung Niko. Tidak, bisiknya dalam hati, aku tidak bisa
membiarkannya pergi. Kakinya mulai melangkah, tangannya berusaha meraih punggung Niko dari balik pIntu. Rasa
sakit itu datang lagi, tapi kali ini Laura tidak bisa menahannya lagi. Punggung Niko semakin
lama semakin pudar. Seluruh tubuh Laura mulai terasa lemas. Ia jatuh ke lantai. Dan kegelapan
menyelimutinya. BAB 34 Niko tidak pernah merasakan rasa sakit seperti yang dia alami sekarang. Tangannya mencoba
membuka pintu mobilnya. Kenangan-kenangan bersama Laura bermunculan di benaknya. Niko
memandang dirinya sendiri di kaca jendela mobilnya. Lalu dia menyadari sesuatu. Dia bisa
meninggalkan mimpinya sebagagai perancang perhiasan walaupun dia akan menderita kalau
sampai melakukannya. Tapi dia tidak bisa meninggalkan Laura. Dia tidak akan mampu bertahan.
Kalau Laura tidak menyukainya, Niko akan membuat Laura menyukainya lagi.
Niko menyadari satu hal penting. Kalau harus memilih antara mimpinya dan Laura, dia tidak
akan ragu memilih Laura. Dengan tekad baru, Niko bergegas kembali ke restoran.
Niko kaget melihat kerumunan orang di tempat dia meninggalkan Laura sebelumnya. Lalu dia
melihat Laura tergeletak di lantai. "Minggir!" teriaknya pada seseorang di sebelah Laura.
Niko mengecek denyut nadi di leher Laura. Maih berdenyut, tapi sangat lemah. "Telepon
ambulans!" teriaknya pada Maya.
Maya langsung berlari menuju telepon.
"Laura, bangunlah," kata Niko panik sambil berusaha menepuk-nepuk kedua pipi gadis itu
perlahan untuk menyadarkannya. "Jangan lakukan ini padaku, Laura.... Bangunlah!"
"Ambulans sedang dalam perjalanan," kata Maya yang juga khawatir.
Niko sedikit lega mendengar pemberitahuan dari Maya. Tiba-tiba pandangannya terpaku pada
rembesan darah di bagian kaki kanan gaun Laura. Dengan cepat Niko menyibakkan gaun Laura
dan melihat luka panjang disana. Dari luka tersebut darah mengalir keluar. Niko mencari-cari
sesuatu. Dia bangkit berdiri dan mengambil serbet putih di meja makan, kemudian
mengikatkanya ke bagian kaki Laura yang berdarah untuk menghentikan pendarahan sementara.
Niko syok melihat kaki Laura yang berdarah dan bekas lukanya. Tatapannya menelusuri wajah
Laura. Ia bertanya-tanya dalam hati, sudah berapa lama Laura memiliki luka tersebut. Apakah
Laura pernah mengalami kecelakaan" Apa pun itu tampaknya luka itu cukup parah. Cukup parah
sampai Laura tidak berani mengatakannya.
Ketika mobil ambulans datang, Niko membiarkan petugas paramedis merawat Laura. Niko ikut
di mobil ambulans yang akan membawanya ke rumah sakit. Dia menelpon Luki dalam
perjalanan dan memberitahukan keadaan Laura.
Luki benar-benar kaget dan mengatakan akan ke rumah sakit secepatnya. Niko menggenggam
tangan Laura dengan khawatir. "Tolong, jangan tinggalkan aku, Laura...," bisiknya perlahan
BAB 35 Kedua tangan Niko gemetar tak terkendali. Segera setelah Laura masuk rumah sakit, seorang
dokter langsung membawanya ke ruang operasi. Tak lama kemudian, staf Restoran Antonio dan
keluarga Laura datang dengan muka yang sama pucatnya dengan Niko.
"Apa yang terjadi?" tanya uki gusar.
"Dokter sedang mempersiapkan operasi," jelas Niko. "Laura pingsan di restoran. Kakinya
berdarah. Dokter bilang padaku kakinya harus dioperasi."
Luki melihat bekas darah di pergelangan tangan Niko.
"Dokter Riswan melakukan operasi?" tanya uki lagi.
Niko mengangguk. Tadi seorang dokter ortopedi yang menangani kasus Laura mengenalkan
dirinya pada Niko. Mama dan papa Laura berpelukan menahan tangis di belakang Luki. Saat Dokter Riswan akan
memasuki ruang operasi, Charles Rafael menghentikannya.
"Apa yang terjadi pada putriku?" tanya Charles bingung. "Bukankah lukanya sudah sembuh?"
Dokter Riswan berkata terus terang, "Laura belum mengatakan padamu tentang luka infeksi
barunya?"

Seribu Musim Mengejar Bintang Karya Charon di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Charles menggeleng. "Dia tidak mengatakannya."
"Ah, dia memang bilang mau mengatakannya besok," kata Dokter Riswan. "Tapi aku harus
mengoperasi kakinya lagi sekarang, Charles."
Charles menggengam tangan Dokter Riswan. "Apakah kaki putriku baik-baik saja?"
"Aku tidak tahu," sahut Dokter Riswan. "Aku harus mengoperasinya dulu, baru bisa tahu sampai
dimana infeksinya menyebar. Aku akan mencoba untuk menyelamatkan kakinya. Tapi kalau
sudah terlalu parah, aku tidak punya pilihan lain selain mengamputasi kakinya."
Tubuh Helen langsung lemas. "Apa maksudnya, Dokter" Mengamputasi kakinya?"
Niko jatuh terduduk. "Laura akan kehilangan kakinya," dia yang menjawab pertanyaan Helen.
Dokter Riswan mengangguk.
"Tidak!" teriak Helen. "Laura tidak bisa kehilangan kakinya. Tolonglah, Dokter, selamatkan
kakinya." "Aku akan berusaha semampuku, Helen," Dokter Riswan berjanji. Dia benci harus membErikan
kabar buruk kepada keduanya. Tapi saat ini dia harus berkonsentrasi menyelamatkan kaki Laura.
"Aku akan menyelamatkan Laura."
Dokter Riswan setengah berlari menuju ruang operasi. Setelah Dokter Riswan masuk, lampu
kamar operasi menyala. Luki duduk di sebelah Niko.
"Kau mau menceritakan padaku, bagaimana kaki Laura bisa mendapatkan luka separah itu?"
tanya Niko pada Luki tanpa memandangnya.
Luki menghela napas panjang dan mulai menceritakan semuanya. Akhirnya Niko mengerti
mengapa Laura berusaha menjauhinya selama ini.
"Kau akan menjaga Laura, walau apa pun yang terjadi, kan?" tanya uki perlahan.
"Kau masih harus menanyakan hal itu padaku?" Niko memandang Luki dengan tajam. Luki
melihat kesungguhan di mata Niko. "Aku akan menjaga Laura, apa pun yang terjadi."
Luki tahu dia tidak salah memilih pendamping untuk adiknya. Hanya Niko Fareli yang bisa
membErikan kebahagiaan untuk Laura.
Mereka terdiam sesudahnya. Waktu terasa berjalan lambat. Sebagian staf restoran sudah pulang.
Hanya Antonio dan Maya yang tinggal. Keduanya ingin menunggui Laura sampai operasinya
selesai. Operasi berjalan sangat lama. Luki menyuruh kedua orangtuanya beristirahat terlebih dahulu,
dan berjanji akan memberitahu mereka begitu Laura keluar dari ruang operasi. Setelah dibujuk
berulang kali akhirnya keduanya beranjak pulang serta berjanji akan datang lagi dan menunggui
Laura seusai operasi. Waktu menunjukan pukul 03.00 ketika lampu kamar operasi dimatikan. Luki dan Niko langsung
bergegas mendekati pintu ruang operasi. Dokter Riswan keluar dari sana.
"Bagaimana, Dokter?" tanya Niko tidak sabar.
BAB 36 Dokter Riswan tersenyum. " aya bisa menyelamatkan kakinya."
Niko benar-benar merasa lega. Di belakangnya Luki juga merasakan hal yang sama.
"Tapi ada kemungkinan Laura tidak bisa berjalan dengan normal," kata Dokter Riswan. " aya
harus melihat perkembangan selanjutnya setelah operasi."
Luki dan Niko tidak peduli seandainya Laura tidak bisa berjalan normal seperti biasa. Yang
penting Laura masih bisa menggunakan kakinya. Kalaupun misalnya Laura harus kehilangan
kakinya, Niko tetap akan mencintainya. Tapi Laura pasti akan sedih. Untunglah hal itu tidak
terjadi. Para suster membawa Laura keluar. Niko melihat wajah Laura yang tertidur. Niko
menggenggam tangan Laura. "Kau akan baik-baik saja," ujarnya perlahan.
Luki segera menelepon kedua orangtuanya dan memberitahukan kabar baik yang baru
diterimanya. Saat Laura membuka mata, ia melihat Luki sedang menatapnya.
" udah waktunya kau bangun," ucap uki sambil tersenyum. "Kau sudah tidak sadarkan diri
selama dua hari." "Kakiku.....," ucap Laura perlahan.
"Kakimu baik-baik saja." uki tersenyum lagi. "Dokter Riswan berhasil menyelamatkannya."
Laura merasa sedikit lega. Ia melihat balutan putih di kaki kanannya. Ia benar-benar bahagia
kakinya bisa diselamatkan.
"Kau mau minum?" tanya uki.
Laura mengangguk. Luki mengangkat kepala Laura dengan hati-hati dan memberinya minum.
"Kau tidak terlihat seperti gelandangan kali ini," ucap Laura perlahan pada Luki.
uki tertawa. "Kau sudah bisa bercanda. Aku senang. Yah, kali ini bukan aku yang seperti
gelandangan. Tapi Niko benar-benar kusut. Dia menjagamu siang-malam tanpa henti. Barusan
saja aku baru bisa meyakinkannya untuk beristirahat."
Laura menggenggam tangan uki. "Aku tidak mau menemuinya."
uki berdecak. "Niko sudah tahu semuanya. Berhentilah membuatnya sengsara, Laura. Kau
hanya akan menyakiti dirimu sendiri."
"Kau tidak mengerti," sanggah Laura. "Aku tidak bisa menjadi bagian dari hidupnya."
Luki memutuskan untuk angkat tangan dalam masalah Laura dan Niko. "Aku rasa kau harus
mengatakan sendiri padanya tentang hal itu. Aku tidak mau mencampuri urusanmu dengannya
lagi. Tapi kau harus tahu, aku mendukungnya."
" ejak kapan kau mendukungnya?" tanya Laura curiga.
"Aku tidak akan memberitahumu." uki tersenyum penuh rahasia. "Kau menyukainya. Niko
menyukaimu. Kalian bersama selamanya. Sederhana sekali, bukan" Kau tidak perlu membuatnya
menjadi rumit." Laura menggeleng. "Tidak sesederhana itu."
"Kalau begitu kalian harus bicara," kata uki sambil menyentuh wajah Laura perlahan. "Kau
harus mengalahkan ketakutanmu. Kau mencintainya. Katakan itu padanya. Kau tidak perlu takut
lagi. Niko tidak akan meninggalkanmu walau apa pun yang terjadi."
Selama seminggu berikutnya, Laura berusaha menghindari pertemuan dengan Niko. Ia meminta
para suster untuk tidak mengizinkan Niko masuk ke kamarnya. Karena khawatir akan kesehatan
pasien, para suster akhirnya menuruti permintaan Laura. Niko hanya bisa menungguinya di luar
kamar. Pada minggu berikutnya, Niko sudah tidak bisa menahan kesabarannya lagi. Saat tidak
ada seorang pun yang menjaga Laura, Niko masuk ke kamar rawat Laura.
Laura terkejut melihat kehadiran Niko. Tapi kemudian ia menenangkan diri. Memang sudah
waktunya mereka bicara. "Duduklah, Niko," kata Laura.
Niko duduk di kursi sebelah ranjang Laura. "Kenapa kau tidak mau menemuiku?"
"Aku perlu menata kembali perasaanku," Laura berterus terang.
"Jadi..." Niko menatap Laura, "Bagaimana perasaanmu sekarang?"
"Aku lebih tenang sekarang," senyumnya mengembang perlahan. "Tapi... aku tetap tidak bisa
menerimamu, Niko." Niko mendesah, tampak putus asa. "Apa yang harus kulakukan supaya kau bisa melihat bahwa
aku tidak peduli apakah di kakimu ada bekas luka atau tidak" Apakah kau masih memiliki
kakimu atau tidak. Apakah kau selamanya akan cacat atau tidak. Kau terlihat sempurna di
mataku." "Aku tahu," jawab Laura tenang. "Tapi aku tidak bisa melihat diriku bersanding denganmu dan
menipu diriku sendiri bahwa aku terlihat sempurna."
Niko pindah duduk di ranjang Laura. "Aku mau tanya sesuatu..." Niko menatap mata Laura
dengan serius. "Kalau kakiku yang cacat, bukan kakimu, apakah kau akan meninggalkanku?"
Laura terdiam sesaat. "Pertanyaanmu tidak relevan. Kakimu tidak cacat," sanggahnya.
Niko tersenyum. "Tapi jawabannya tetap tidak, bukan" Kau tidak akan meninggalkanku. Aku
tidak akan meninggalkanmu juga. ampai kapan pun."
Laura mencoba metode lain untuk meyakinkan Niko supaya meninggalkannya. "Kau sudah
meraih semua impianmu. Hidupmu sudah sempurna. Kau tidak memerlukan kehadiranku dalam
hidupmu. Aku mau bertanya satu pertanyaan penting. Aku mau kau jujur padaku. Apakah... kau
akan memakai sebuah berlian cacat pada rancangan perhiasanmu?"
Niko mengerti kemana Laura ingin membawa pembicaraannya. Perlahan tangan Niko terangkat,
lalu meraih kalung yang melingkari lehernya. Dilepaskannya kalung tersebut. Kemudian dia
meraih tangan Laura dan meletakkan kalungnya di telapak tangan gadis itu.
Laura melihat seuntai kalung dengan sebuah berlian kecil. Keningnya berkerut keheranan.
"Kenapa kau memperlihatkan kalungmu kepadaku?"
Niko menatap Laura dengan lembut. "Berlian kecil di pinggiran besi itu adalah berlian yang
pertama kali kupotong. Aku melakukan satu kesalahan kecil. Kesalahan pertama dan satusatunya yang kubuat. Aku membuat berlian itu kehilangan cahayanya. Berapa kalipun aku
mencoba memperbaikinya, berlian itu tetap cacat selamanya. Sekarang, kau bertanya padaku
apakah aku akan memakai sebuah berlian cacat untuk perhiasanku" Jawabannya tentu saja tidak.
Berlian yang kau pegang itu tidak berharga pada perhiasan manapun. Tapi... bongkahan batu
kecil itu sangat berharga bagiku. Lebih daripada berlian manapun. Aku
selalu mengenakannya setiap hari. Hidupku tidak akan sempurna tanpa berlian cacat itu. Hidupku tidak akan sempurna
tanpa dirimu." Niko mencondongkan tubuhnya dan memegang wajah Laura dengan kedua tangannya. "Aku
mencintaimu. Aku mencintaimu, Laura. Dan aku tidak akan meninggalkanmu."
BAB 37 Pertahanan Laura langsung runtuh. Air matanya mengalir. Niko berusaha menghapus air mata
Laura dengan tangannya. "Beri aku kesempatan," katanya sambil menggenggam tangan Laura. "Untuk mencintaimu.
Menjagamu. Kalau kau tidak bisa mengatakan apa pun sekarang, tidak apa-apa. Aku akan
menunggumu. Sampai kau siap. Tapi aku ingin kau tahu, aku tidak akan meninggalkanmu,
Laura. Aku tidak akan menyerah untuk mengejarmu. Sampai kapan pun."
Laura membalas genggaman tangan Niko. " Kau bisa berhenti mengejarku mulai sekarang."
Niko tersenyum bahagia. Dia memeluk Laura spontan. Dari balik pintu kamar, Luki mendengar
seluruh percakapan mereka. Akhirnya dia bisa membErikan kebahagiaan untuk adiknya.
Niko melepaskan pelukannya. Tubuhnya tetap condong ke arah Laura. Dia menatap wajah Laura
lekat-lekat dan mulai menanyakan apa yang Laura inginkan.
"Ceritakan padaku tentang kehidupanmu setelah lulus MA. Dimana saja kau selama itu. Aku
ingin mengetahui semuanya." Pinta Laura.
Saat Niko menceritakan masa-masa kuliahnya di New York, kemudian masa kerjanya di Paris,
Laura tersenyum. Ia menatap pria yang dicintainya dengan lembut. Tidak ada lagi dinding tebal
yang memagari hatinya. Yang ada kini hanyalah cinta.
Laura 27 tahun. Laura Rafael memasuki ruang kerjanya dengan perasaan ringan. Ruangan itu bukan ruang kerja
biasa. Tidak ada meja kayu ataupun sekat-sekat disana. Tidak ada komputer. Tidak ada kertaskertas berserakan. Yang ada hanyalah beberapa meja besi panjang dan berbagai peralatan masak.
Mejanya bersih dari debu karena Laura memastikan hal itu setiap hari. Terdengar alunan lembut
dari permainan cello karya Bach dari earphone di telinganya. Lagu yang sesuai untuk mengawali
harinya. Sudah setahun sejak dirinya keluar dari rumah sakit, Niko selalu mendampinginya
selama terapi fisik yang melelahkan. Cinta Laura padanya tumbuh semakin kuat. Niko sama
sekali tidak keberatan dengan cara berjalan Laura yang timpang. Niko bilang, Laura terlihat
sempurna di matanya. Dan Laura mempercayai perkataannya. Niko membawa Laura
mengunjungi orangtuanya, kemudian giliran Laura yang mengenalkan Niko secara resmi pada
orangtuanya. Niko membawa Laura ke sekolah mereka dulu. Pergi ke pantai tempat mereka piknik semasa
remaja. Laura juga diajak menemui Erika yang sudah menikah dan menjadi dokter spesialis
kandungan. Keduanya memutuskan untuk melupakan masa lalu yang tidak mengenakkan
diantara mereka, dan memulai awal yang baru. Saat mau berpisah, Erika mengatakan pada Laura
bahwa ia senang sekali akhirnya Niko menemukan Laura.
Luki juga mengakui apa yang telah dia lakukan dengan cincin bintang pemberiannya. Dia telah
mengambilnya dengan sengaja dan membuat Laura menemui Niko untuk membuat yang baru.
Luki bilang saat itulah dia memutuskan untuk mendukung Niko. Ketika Luki ingin
mengembalikan cincin bintang tersebut, Laura menggeleng. Ia bilang ia sudah punya cincin yang
sama. Ia ingin Luki membErikan cincin tersebut pada wanita yang dicintainya suatu hari nanti.
Seperti biasa, Laura sangat menyukai suasana hening di dapurnya saat belum ada siapapun
kecuali dirinya. Mulutnya bersiul perlahan mengikuti alunan lembut lagunya. Malam ini Niko
akan mengajaknya makan malam. Laura sudah tidak sabar menantikan makan malam tersebut.
Tangan Laura meraih buku resep masakannya. Ia selalu memulai harinya dengan mencoba
membuat resep baru ataupun melihat resep-resep lama. Bukunya sudah hampir penuh dengan
tulisan resepnya. Saat membuka bukunya, sehelai kertas kecil jatuh dari sana. Laura meletakkan
buku resepnya dan membungkuk mengambil kertas tersebut.
Kertas berlipat empat. Laura membukanya.
Lihat ke belakang. Laura terpaku, lalu berbalik. Ia melihat Niko bersandar di depan pintu dapurnya. Laura tertawa
dan melepaskan earphone dari telinganya.
"Kau tidak bilang kau akan datang kesini," katanya mendekati Niko.
"Aku ingin mengejutkanmu," jawab Niko.
"Apakah ada masalah?" tanya Laura. "Kau mau membatalkan janji makan malam kita?"
"Tidak," jawab Niko cepat. "Aku datang kesini untuk hal yang lain."
"Apa itu?" tanya Laura sedikit bingung.
Niko mendekati Laura dan menunjukan cincin tujuh bintang karyanya. "Maukah kau menikah
denganku?" Laura tertegun. Ia melihat cincin itu, lalu menatap Niko. Laura tahu Niko serius dengan
perkataannya. Karena tidak mendengar jawaban Laura, Niko berkata lagi, "Tolong jangan membuatku
menunggu seribu musim sampai kau mengatakan ya."
Perlahan-lahan senyum Laura mengembang. "Bagaimana kalau menunggu satu musim saja?"
"Apakah kau..." Niko terlihat senang.
Laura mengangguk. "Ya. Aku mau menikah denganmu."
Niko langsung memeluknya. "Oh, Laura... kau baru saja membuatku menjadi pria paling bahagia
di dunia ini." Laura melepaskan pelukan Niko. "Aku juga bahagia. Aku mencintaimu, Niko."
Niko menatap Laura lekat-lekat. "Itu pertama kalinya kau mengatakan kau mencintaiku. Aku
senang kau mengatakannya padaku sekarang."
Laura sungguh tak sanggup berkata saat tangan kirinya diraih oleh Niko dan cincin bintang itu
disematkan di jari manisnya.
Laura memandangi tangan kirinya. Dua cincin bintang berada di sana. Keduanya karya Niko.
"Kau juga membuatku menjadi wanita paling bahagia hari ini..."
Selama beberapa saat keduanya saling tatap. Tanpa Laura sadari, tangan kiri Niko telah meraih
pinggangnya, dan tangan kanan pria itu membelai pipinya. Tangan Niko bergerak dengan
lembut, dan merengkuh kepala Laura hingga ujung hidung mereka bersentuhan.
Laura menutup mata. Dirasakannya bibir Niko mengecup keningnya, kedua alisnya, puncak
hidungnya. Dan sebelum Laura sempat berfikir, bibir Niko telah berlabuh di bibirnya. (aku rada
teu enak didieu -_-). Menciumnya dengan hangat dan lembut.
Setelah beberapa saat yang mereka sendiri tak tahu sudah berlangsung lama, bibir mereka
berpisah. (emang gak ada staf restoran yang ngintip gitu" Kan di dapur restoran. Arsh, maafmaaf).
"Laura, terima kasih karena kau bersedia berada di sisiku selamanya."
Laura tersenyum manis. "Aku akan selalu bersamamu sepanjang musim, Niko...."
-The End- Sumber: https://www.facebook.com/pages/Kumpulan-cerbungcerpen-dan-novelremaja/398889196838615"fref=photo
Asmara Dibalik Dendam 4 Pendekar Kelana Sakti 15 Pedang Ular Emas Istana Ular Emas 2
^