Pencarian

Vila Toedjoeh Tjemara 1

Vila Toedjoeh Tjemara Karya Donatus A. Nugroho Bagian 1


TOEDJOEH TJEMARA D o n a t u s A . N u g r o h o
Katakan saja dengan cinta
VILA TOEDJOEH TJEMARA Penulis: Donatus A. Nugroho Ilustrator: Dyotami Febriani Penyunting naskah: Benny Rhamdani Penyunting ilustrasi: Andi Yudha Asfandiyar Desain sampul: Andi Y. A. dan Dyotami F.
Desain isi: Andi Y. A. dan Bunga Melati Layout sampul dan seting isi: KemasBuku Hak cipta dilindungi undang-undang All rights reserved Cetakan I, Maret 2006 Diterbitkan oleh Penerbit Cinta Jin. Cinambo No. 137 Cisaranten Wetan, Bandung 40294 Telp. (022) 7834315-Faks. (022) 7834316 e-mail: penerbitcinta@yahoo.com
e n i i i t ClNTA Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)
A. Nugroho, Donatus Vila Toedjoeh Tjemara/Donatus A. Nugrohoj penyunting, Benny Rhamdani.?Cet. 1.?Bandung: Cinta, 2006.
172 him.: ilus.; 17 cm. (Novel).
ISBN 979-3800-28-3 I. Judul. II. Rhamdani, Benny. 813
Didistribusikan oleh: Mizan Media Utama (MMU) Jin. Cinambo (Cisaranten Wetan) No. 146
Ujungberung, Bandung 40294 Telp. (022) 7815500-Faks. (022) 7802288 e-mail: mizanmu@bdg.centrin.net.id
DAFTAR ISI Sarang Hantu " 9 Sepasang Sepatu " 27 Hantu Piano " 47 Hantu Siang Hari " 67 BONUS:
Sketsa Bulan " 89 Sarang Hantu Sabtu, pukul 20.34 WIB "
HUJAN masih lebat. Air tercurah dari langit yang gelap pekat, seolah nggak bakal ber henti. VW Kodok itu berjalan bagai pelari ma-raton yang nyaris kehabisan napas, tersendat di jalan yang licin dan mendaki.
Gilas-yang berada di belakang kemudi berkali-kali mengeluh dan memaki kecil. Sudah puluhan kali pula ia berdoa dalam hati, semoga mobil selamat sampai atas.
Di sebuah tikungan, kembali mobil antik berwarna hijau terang itu terbatuk. Mungkin karena jalan yang terlalu mendaki, mungkin pula karena tanda-tanda mau ngadat, terlalu lama dipacu menempuh ratusan kilometer.
"Bisa kamu atasi, Gil?" tanya Reinhard yang duduk di samping. Sementara di belakang, Wanda, Rosa, dan Ham yang duduk berhimpitan tertidur sejak mobil meninggalkan batas kota Solo.
"Gila nih, hujan! Kali aja koilnya kemasukan air, atau platina kelewat rapat," sahut Gilas sok tahu. Ia sebenarnya sama sekali nggak paham dengan seluk-beluk mesin mobil. "Masih berapa jauh lagi?"
"Entahlah." "Katanya, kamu pernah ke sini dua kali!" geretu Gilas.
Reinhard, yang biasa dipanggil Re, menggaruk-garuk kepala yang sama sekali nggak gatal. "Iya, tapi udah empat tahun lalu. Lagian, gelapnya min-ta ampun. Hati-hati!"
Hampir saja mobil keluar dari tikungan. Dan di depan, sebuah jurang menganga.
"Mendingan nggak usah kamu ajak ngomong, deh!" gerutu Gilas lagi.
"Lho" Siapa yang mulai?" "Berapa jauh lagi?"
"Tuh, kan" Kamu yang mulai ngajak ngomong!" Di sebuah tikungan tajam, lampu mobil menyoroti papan penunjuk jarak. Tawangmangu tinggal enam kilometer lagi. Gilas menghela na-pas lega, namun mobil kembali terbatuk.
"Tahan, Gil! Tahan! Tinggal sedikit lagi!" Tapi mobil tua itu makin sering terbatuk, memaksa Gilas harus pandai-pandai mengombinasikan gas, kopling dan gigi persneling, agar mesin nggak mati dan mobil bisa mundur dan masuk jurang!
"Udah sampai, ya?" Ham ngomong males-malesan karena terganggu tidurnya. "Dengkur elo yang nyampe!" "Ya udah, gue tidur lagi, aaah "."
"Hantu belang! Bangunin yang lain. Tuh, dua cewek doyan molor, emangnya Sleeping Beauty?" potong Re kesal. "Kita udah masuk ke tempat tujuan."
"Horeee "! Tapi kok, gini" Kok, masih hujan" Kok, gelap" Lalu, gimana acara kita?"
"Bisa sampai di atas aja udah syukur, masih mikirin soal acara!" Gilas lagi-lagi menggerutu.
Mobil udah memasuki Tawangmangu, melewati tikungan terakhir dan melewati pasar yang udah sepi. Andai nggak hujan, barangkali tempat ini masih ramai. Apalagi di malam Minggu. Justru biasanya Sabtu dan Minggu rame banget. Sayang, cuaca nggak bersahabat.
"Ke mana kita, Re?" tanya Gilas sedikit lega karena mobilnya bisa nyampe tujuan.
"Tunggu! Dulu, kami nginep di vila yang murah. Tikungan di depan, belok kiri, lewat depan Kantor Pos " jalan terus!"
Namun ketika mobil telah melewati depan kantor pos, tiba-tiba mesinnya mati. Dengan sedikit mengumpat, Gilas membiarkan mobil itu menggelinding karena jalan memang agak menurun, lalu akhirnya berhenti sama sekali.
"Akhirnya sampai juga!" Gilas berteriak marah. Dicobanya menstarter berkali-kali, namun mobil itu tetap ngadat. "Bangun-bangun!"
Re keluar duluan dari mobil, kemudian disusul Ham. Keduanya yang tahu keadaan, segera mendorong mobil itu untuk menghidupkan mesinnya lagi. Sekali dua kali, dan tetap nggak berhasil.
"Kurangi beban!" seru Gilas.
Wanda dan Rosa yang masih terlelap dalam mimpi, terpaksa dibangunin dan disuruh turun.
"Sudah sampai, ya?" tanya Wanda sambil mengucek-ngucek matanya.
"Mobil ngadat!"
"Aduh!" pekik Rosa buru-buru turun. "Tapi, kita udah nyampe Tawangmangu." "Kok, nggak dingin banget!" "Karena gerimis, kan" Kalo cuaca cerah, justru udaranya lebih dingin."
Hujan agak reda dan menyisakan gerimis, tapi tak urung Wanda sama Rosa menaikkan jumpernya untuk melindungi kepala dari air hujan.
"Bantu dorong, dong. Jangan ngoceh melulu!" perintah Gilas sambil tetap berusaha menghidupkan kembali mesin mobil.
Wanda dan Rosa ternyata bukan cewek manja yang nggak mau ngeluarin tenaga. Keduanya ngebantuin Ham dan Re mendorong mobil. Tapi, mobil tetap nggak mau hidup. "Nyerah, deh," kata Gilas yang keluar dari mobil. "Kayaknya kita butuh bengkel." Semua memutar kepala, memandang sekeliling. Rosa yang pertama kali mengeluarkan se-ru-an tertahan. Mereka baru sadar betapa sepinya tempat itu. Hanya ada hutan pinus di kiri-kanan, suasana amat sunyi dan gelap.
"Tawangmangu kayak gini?" tanya Rosa dengan suara bergetar.
"Tau, nih. Tadi Re yang minta belok ke kiri. Eh,
Re, mana vila yang kamu maksud?"
"Tadi " tadi, dulu "." Re menggaruk-garuk kepala dengan bingung. "Kayaknya bener, kok. Tapi
"Mana ada vila atau hotel di tempat kayak gini" Ini sih, lebih mirip sarang setan!" kalimat Ham disusul jeritan kesakitan.
Wanda yang dari tadi diam, memukul punggungnya amat keras. "Jangan ngomong yang nggak-nggak, ah! Kita mulai ngeri, nih!"
Gilas memandang ke sekeliling sekali lagi. Benar-benar sepi dan mencekam. Sementara gerimis telah berhenti, digantikan oleh tiupan angin di-ngin yang menggoyang-goyangkan pucuk-pucuk pohon pinus.
Dingin dan gelap. "Kita kembali ke kota aja, deh," kata Rosa. "Iya, tapi mobil ngadat begini, mana bisa?" tanya Gilas. "Jadi?"
Semua saling pandang dengan cemas.
Re berinisiatif mengambil lampu senter dari daybag-nya, lalu mulai membuka kap mesin, menyoroti mesin mobil itu tanpa ada sesuatu yang bisa diperbuatnya. Nggak seorang pun di an-tara mereka yang ngerti banget soal mesin.
Selagi Gilas dan Re meneliti mesin, Wanda sama Rosa kembali masuk ke mobil, Ham dengan gagah berani berjalan ke depan.
"Tunggu, kali aja ada sesuatu di depan sana!"
"Cari orang yang ngerti mesin!" teriak Gilas.
Padahal, dalam hatinya ragu ada orang di tempat sesunyi ini. Tapi, nggak ada pilihan lain kecuali nunggu Ham. Untuk memutar mobil dan mendorongnya kembali ke arah pasar yang masih lumayan ramai, jelas nggak mungkin. Jalannya nanjak banget, nggak mungkin mobil bisa kedorong.
Gilas dan Re masuk ke mobil, lalu menghidupkan tape. Irama death metal dari Sepultura memenuhi mobil.
Rosa menjerit kesal. "Uuuh udah suasana kayak gini, masih juga nyetel lagu-lagu setan!"
"Daripada sepi," sahut Re. Matanya lurus ke depan, menunggu Ham. Lalu, ia memandang ke samping kiri. Jurang yang nggak begitu dalam, hutan pinus yang pekat. Nun jauh di bawah sana, tampak kelap-kelip lampu kota Solo. Langit gelap nggak berbintang. Untung nggak ada kabut, karena hujan telah mengusirnya.
"Jalan-jalan " ke kafe " makan sate kelinci gumam Gilas.
"Mandi air anget!" tambah Rosa.
"Nggak taunya " kayak gini!"
Mereka berempat sama-sama membisu dengan pikiran menerawang. Sejak berangkat dari Jakarta dini hari tadi, mereka terlanjur punya bayangan yang serbaenak. Acara liburan yang mengasyikkan. Tamasya ke Tawangmangu, menikmati udara dingin pegunungan, menyaksikan air terjun yang indah, dan hari-hari penuh kebebasan. Apalagi kali ini berlibur dengan membawa mobil sendiri. Gilas baru
saja mendapat hadiah dari papinya, sebuah VW Kodok antik yang lama ia impikan. Dan sebagai ungkapan kegembiraan, ia mengajak empat sobatnya pergi sama-sama.
Semula, Gilas merencanakan sekadar pergi ke Puncak dua atau tiga hari. Tapi, Re mengusulkan ke Tawangmangu, sebuah objek wisata menarik di dekat kota Solo. Re udah pernah ke Tawangmangu dan mau jadi pemandu wisata.
Semua akhirnya setuju, karena jauh hari sebelumnya, Re udah cerita tentang udara dingin, air terjun, kolam renang, vila yang murah, dan yang amat menarik buat Ham adalah calon bonsai yang katanya harganya lumayan murah.
Yang sama sekali nggak dibayangin adalah hujan dan mobil ngadat!
"Hoiii "!!!" teriak Ham.
Gilas menghidupkan lampu besar dan menyoroti Ham yang muncul dari arah depan. Jaketnya yang kedodoran berkibar tertiup angin.
Ham mendekat dengan napas terengah, kayaknya abis lari-lari.
"Gimana?" tanya Rosa dan Wanda hampir bersamaan.
"Sepi. Tapi di depan ada vila. Kita ke sana aja, deh! Soalnya, itu vila yang paling deket dari tempat ini. Soal besok pagi kita pindah tempat, nggak apa-apa, kalo emang nggak cocok. Oke, nggak?"
"Lalu, gimana bisa sampai ke sana?" tanya Re.
"Dorong mobil, dong! Tapi nggak jauh. Cuma di balik tikungan itu!"
Rosa dan Wanda saling pandang. Sial." Acara diawali dengan mendorong mobil!
Beruntung, jalan agak menurun sehingga mereka nggak perlu menguras seluruh tenaga mendorong mobil. Vila yang dimaksud Ham ternyata nggak jauh, hanya tiga ratus meter dari tempat mobil berhenti.
Sementara itu, suara guruh terdengar dan gerimis mulai turun lagi.
Di depan vila itu, semua mata memandang ke arah yang sama. Ada sebuah papan nama yang amat kusam dengan tulisan-tulisan yang nggak begitu jelas, sekadar nunjukin kalo vila itu buat umum. Tapi yang lebih menarik perhatian adalah vila itu sendiri.
Sebuah bangunan yang tua banget. Ada pagar besi tinggi yang membatasi halaman vila yang cukup luas dengan jalan raya. Pintu pagar tertutup rapat. Baik lampu di halaman, penerang papan nama maupun lampu di teras vila semuanya tampak redup. Vila itu tampaknya sudah ratusan tahun berdiri. Tampak kuno dan kurang terawat. Sebuah bangunan berarsitektur Belanda. Mestinya seluruh dinding itu bercat putih. Namun karena kurang terawat, semua dinding menjadi berwarna kusam. Di atas teras yang disangga empat tiang bundar itu, di dinding bagian atas, terdapat tulisan dinding yang masih cukup jelas terbaca:
DE TOEDJOEH TJEMARA - ANNO 1889.
Vila itu dibangun tahun 1889. Udah seratus tahun lebih!
"Vila Toedjoeh Tjemara Re mendesis.
"Ini penginapan yang dulu pernah kamu pakai?" tanya Ham.
Re menggeleng. "Ini " ini sih, lebih mirip sarang vampir," Rosa menggumam dan secara refleks ia berpelukan dengan Wanda. Mendadak bulu tengkuk kedua cewek itu berdiri. Suasana vila benar-benar mencekam. Redup, sepi, dan mengesankan misteri.
"Mendingan kita cari tempat lain, daripada "."
"Mendorong mobil lagi" Kita nggak punya pilihan lain. Hujan tampaknya bakal deras lagi!" potong Gilas yang turun dari mobil. "Besok pagi aja kita cari tempat lain yang lebih cocok. Pokoknya, kita harus segera mendapat kamar yang hangat, minuman yang hangat, dan tidur sampai pagi. Kalian sih, enak. Aku capek nih, seharian nyopir terus!"
Ham yang lebih dulu mendekati pintu pagar yang cukup tinggi dan membukanya, karena pin-tu itu memang nggak terkunci. Yang lain nggak bisa mencegah, kecuali berjalan mengikuti langkah Ham.
"Ngeri, Ros," bisik Wanda pada Rosa. Padahal, Rosa sendiri udah puluhan kali berdoa dalam hati untuk menenangkan diri.
"Kita tidur sekamar aja, deh!" usul Wanda. "Ngeri " kayak mau masuk sarang hantu. "Mudah-mudahan ada penghuninya yang ramah. Kamar yang bersih dan terang. Ada televisinya, nggak" Mendingan kita berlima nonton teve sampai pagi!"
Hingga mereka berlima berdiri di depan pintu utama, nggak ada tanda-tanda seseorang
menyambut kedatangan mereka. Mungkin karena penghuni vila ini udah kedinginan dan sama sekali nggak membayangkan bakal ada tamu yang hendak bermalam. Siapa yang mau datang kalo suasana seburuk ini"
Re dan Ham mencari-cari bel pintu, namun nggak juga menemukannya. Terpaksa mereka mengetuk pintu berkali-kali, namun nggak ada tanda-tanda pintu segera terbuka.
Diketuk lagi makin keras. Semenit berlalu, dan masih sunyi.
"Mungkin kosong," kata Rosa agak senang. Artinya, mereka harus mencari tempat lain. Penginapan yang lebih "hidup" suasananya. Tapi, harapan itu kembali sirna ketika petir menyambar dengan suara yang sangat keras. Guruh bersahut-sahutan, kemudian hujan yang lebat telah tercurah dari langit yang gelap pekat.
Gilas menggedor pintu sangat keras dengan kepalan tangannya.
"Kulo nuwun Gilas mengucapkan salam.
Petir menyambar, sedetik menerangi halaman vila.
"Li " lihat!" Re berkata terbata-bata sambil menunjuk ke halaman.
"Apa?" tanya Rosa dan Wanda tersentak. Mereka berlima memandang satu arah yang ditunjuk Re. Cuma halaman yang gelap.
"Ada apa?" tanya Ham berusaha tenang. Diam-diam, ia merasa bertanggung jawab karena memilih tempat ini, walau terpaksa. "Ada " ada batu nisan di sana!"
"Wuuuaaa "!!!"
Mendengar ucapan Re, mereka berlima sangat ketakutan. Bahkan, Wanda nggak bisa menyembunyikan kakinya yang gemetaran, dan berdiri go-yah.
"Kuburan?" "Jangan mengada-ada, Re!" kata Ham. "Jangan nakut-nakutin, ah!"
"Sungguh, aku " aku melihatnya di sana!"
"Ah, gelap begini. Pasti cuma batu besar yang menyerupai
"Hm, benar juga."
"Kita pindah tempat aja, deh! Biar aku sendiri yang mendorong mobil itu sendirian, kalau kalian keberatan," kata Rosa.
Rosa selesai bicara, mendadak pintu besar itu terbuka. Gerakan pintu itu disertai suara berderit engsel pintu.
"Hantuuu "!" Wanda menjerit dan yang lain mundur beberapa langkah.
Pintu terbuka dan di ambang pintu besar itu berdiri seorang laki-laki tua berpakaian serba hitam. Ketika ia berjalan keluar dan berhenti tepat di bawah lampu, tampaklah sosoknya dengan jelas. Wajah yang keriput, tubuh yang agak bungkuk dan sepasang mata yang berkilat, memandang kelima anak muda di depannya dengan teliti.
"Selamat malam," sapa Ham dengan santun.
"Ada yang bisa saya bantu?" Terdengar suara parau milik orang tua itu. Sangat parau, seperti orang sakit batuk parah.
Gilas yang nggak terkejut lagi, berdiri di depan teman-temannya.
"Selamat malam, Pak. Kami dari Jakarta. Mobil kami mogok dan kami bermaksud menginap di sini semalam."
"Masuklah kalian," kata orang tua itu dengan nada ramah, namun tanpa senyum. "Saya pengurus vila ini. Akan saya siapkan kamar dan air panas buat kalian. Kalian semua kedinginan."
Dengan ragu-ragu, Ham dan Re mendahului masuk.
"Tunggu!" "Ada apa, Gil?"
"Mobilnya gimana?"
"Tidak bisa jalan sama sekali?" tanya Pak Tua
itu. "Bisa, tapi harus didorong," jawab Gilas tanpa maksud melucu. Tapi, Pak Tua itu terkekeh sebentar dan membuat semua jadi lega. Ternyata, Si Wajah Seram ini bisa juga tertawa.
"Siapa yang pegang kemudi?"
"Semua bisa, kecuali "."
"Saya sih, ogah naik mobil tua!" Ham memotong cepat untuk membela diri. Cuma Ham yang nggak bisa nyetir mobil.
"Kalian berempat masuk saja dan duduk dulu di ruang tengah. Seorang pegang kemudi dan saya mendorong mobil itu masuk halaman. Supaya tenang dan aman, meskipun di tempat ini nggak pernah ada pencuri."
"Siapa sih, yang mau masuk tempat ini?" Ups,
Rosa kelepasan dan langsung mendekap mulutnya.
Orang tua itu melirik Rosa dan mata mereka beradu beberapa detik.
"Masa Bapak mau dorong mobil sendiri?" Gilas yang menyadari suasana jadi kurang enak, berusaha mengalihkan.
"Oooh " cuma mobil kecil, kan?"
"Kok, tahu?" tanya Re dengan kening berkerut.
Orang tua itu tampak gelagapan. "Cuma menduga. Biasanya, anak-anak seusia kalian lebih suka bawa sedan. Betul" Ayolah, tua-tua begini dulunya saya bekas " eh, masih cukup kuat, kok."
Gilas mendahului berlari menerjang hujan, disusul Pak Tua.
"Vila yang aneh, penghuninya juga aneh," gumam Rosa sepeninggal Gilas.
Mereka berempat berada di ruang tengah yang amat lebar untuk ukuran rumah tinggal biasa. Ternyata, suasana di dalam tidaklah seseram di luar. Ruang lebar dengan dinding-dinding yang tampak kokoh itu bercat putih bersih. Beberapa lukisan tua menghiasi dinding dan terasa amat serasi. Lukisan-lukisan bergaya Picasso. Ada sebuah tungku perapian yang menyala dari kayu cemara. Di kiri-kanan perapian itu, terdapat sepasang lorong yang agaknya menuju kamar-kamar yang disewakan.
Bersih dan terasa hangat.
"Ini sih, lumayan," kata Wanda. Wajahnya berangsur berseri. Semula, ia membayangkan ruangan yang pengap dan kotor. Bau debu dan
suasana yang mengerikan. Tapi, dugaannya meleset. "Cu-rna seram dari luar. Kalo sewanya murah, boleh juga kita tetap di sini sampai nanti."
"Tapi, di tempat lain mungkin lebih bagus lagi," kata Rosa. Ia masih belum bisa meng-hi-langkan bayangan tatapan Pak Tua tadi.
"Hotel berbintang" Mana cukup uangnya?" Wanda mencibir.
"Udah, udah. Nanti kita omongin sama Pak Tua itu. Kalau emang murah, bolehlah."
"Tanyain juga soal batu nisan di halaman!" Re memotong ucapan Ham.
"Hus! Kamu cuma salah lihat. Kalau bener ada, pasti kita udah melihatnya waktu melewatinya."
"Tapi ?"" "Udah, jangan ngomongin itu lagi! Mendingan kalian bantu Gilas nurunin barang-barang. Tuh, kayaknya mereka udah datang."
Baru aja Rosa ngomong, pintu terbuka dan Gilas muncul sambil geleng-geleng.
"Luar biasa! Pak Tua itu bener-bener kuat. Mendorong mobil sendirian!"
Semua saling pandang, lalu memandang orang tua itu. Yang dipandang cuma tersenyum tipis sampil menyeka air yang membasahi rambutnya yang nyaris berwarna putih semuanya.
"Ayo, kita turunin barang-barang!"
"Tapi "," Re ragu.
"Semua udah aku omongin sama Pak Lenggono. Bukan begitu, Pak?"
"Iya. Soal bayaran nggak masalah. Tempat ini
dikuasakan sepenuhnya pada saya," sahut Pak Tua.
"Jadi, Bapak seorang diri di tempat sebesar ini" Lalu, pemiliknya di mana?"
"Re! Jangan cerewet kamu. Kita turunin barang-barang dan melihat kamar kita. Kasihan Rosa dan Wanda. Mereka capek, tuh!" Gilas sok bijaksana.
"Eh, duit kita cukup, nggak?" Kata Ham malu-malu memandang Pak Lenggono. "Sori, Pak. Mak-lum, kami cuma punya duit pas-pasan."
"Cuma seratus ribu untuk satu kamar, nggak terlalu mahal, kan?" kata Pak Lenggono.
Gilas tersenyum, sementara keempat temannya lega.
"Murah," bisik Rosa pada Wanda. "Padahal, kita cuma butuh dua kamar, kan?"
Pak Lenggono sendiri ikut membantu menurunkan barang-barang yang nggak terlalu banyak dari mobil, kemudian menyerahkan kunci kamar kepada Gilas.
"Kamar kalian berdampingan. Nomor tiga dan empat. Silakan memilih sendiri." "Kamar yang lain?" "Itu saja!"
Ham tercekat. Ia sama sekali nggak menyangka akan menerima jawaban sekeras itu dari Pak Lenggono.
"Sebenarnya, saya mau sekamar sama Wanda."
Ham menerima jitakan keras dari Wanda. "Huh, nggak sudi aku!"
"Kita di kamar nomor tiga, kalian di sebelahnya," kata Rosa yang beranjak lebih dulu.
Mereka diantar Pak Lenggono menuju kamar, melalui semacam lorong di sebelah kiri perapian. Lorong itu cukup panjang, sekitar lima belas meter panjangnya. Kamar demi kamar berderet di sisi kiri dan kanan berjumlah enam kamar. Kata Pak Lenggono, di lorong kanan nggak ada kamar-kamar, tapi cuma semacam aula dan ruang baca.
"Dulu berupa kamar juga. Karena sepi tamu, lantas diubah menjadi perpustakaan."
"Kalau dirawat bisa sangat menarik, Pak," ucap Rosa hati-hati.
"Perlu biaya banyak, Non. Uangnya dari mana?"
"Pemiliknya orang kaya, kan?"
Pak Lenggono membisu. Ternyata, kamar nomor tiga dan nomor empat letaknya bukan bersebelahan, melainkan ber-seberangan. Dua kamar itu tepat berada di ujung lorong.
Re berdiri terpaku di depan pintu kamar nomor tiga dan mengamati nomor yang tertera di pintu.
"Kamar nomor tiga belas ?""
Mendengar desisan itu, Gilas ikut mendekat. Sepintas memang tampak nomor tiga, tapi jika diamati, ternyata ada bekas angka satu di depan angka tiga tersebut.
"Oh, dulunya memang kamar tiga belas. Dulu, waktu kamar yang di sebelah sana belum berubah jadi perpustakaan. Sekarang kamarnya tinggal enam. Kenapa?"
"Nggak, nggak apa-apa, Pak. Cuma angka," kata Gilas cepat.
"Kalian percaya takhayul angka tiga belas pembawa sial, ya?" "Nggak!"
"Tapi, kami pilih kamar nomor empat belas, eh nomor empat. Gitu ya, Ros?" Wanda menyela.
"Ya. Tapi, apa nggak sebaiknya kita pilih kamar sebelah?"
"Aduh Non, cuma dua kamar ini yang sempat saya rapikan." Nggak ada yang memerhatikan waktu ngomong gitu, Pak Lenggono tampak gelisah. Berdirinya tampak tegak, tapi cuma beberapa detik, lalu kembali bungkuk.
Gilas menyerahkan anak kunci dengan gantungan nomor empat pada Wanda, lalu membuka kamar nomor tiga. Tapi baru saja pintu itu terkuak, tiba-tiba sebuah benda hitam berkelebat cepat, menerobos pintu yang terbuka.
"Tolooong "!" Gilas menjerit, disusul jeritan kaget keempat temannya. Mereka saling pandang dengan wajah pucat.
"Ah " itu cuma kalong. Biasanya memang ada kelelawar yang masuk ke kamar lewat ventilasi di sebelah sana. Cuma kelelawar besar."
"Kelelewar ?""
Sepasang Sepatu Pukul 22.30 " JAM dinding besar di ruang depan berdentang sekali, tanda pertengahan jam. Suaranya terdengar sangat keras, memecah kesunyian.
"Jam brengsek! Bikin kaget aja! Kalo jam dua belas nanti, bayangin sendiri gimana berisiknya. Kalo dipasang di perumahan, bisa-bisa tetangga sebelah melempar batu!" sungut Ham sambil meng-gulung pita kaset dengan ujung spidol.
Re yang lagi mengepas headphone di telinganya, nggak bereaksi. Gilas asyik membuat catatan di buku sakunya.
"Gimana acara besok pagi?" Re melepaskan headphone. Ia nyesel nggak sempet ngambil kaset-kaset lagu pop yang ada di mobil. Sekarang, yang ada cuma beberapa kaset death meta/. Lagu-lagu berbau setan yang sama sekali bukan pengantar tidur yang nyaman.
"Urusan besok dipikirin besok. Vang penting,
sekarang tidur." Gilas melemparkan catatannya dan meraih selimut. Ia merasa sekujur tubuhnya pegel-pegel. Capek dan ngantuk, karena Gilas kebagian nyetir paling lama.
Ham segera mengikuti jejak Gilas, berlindung dalam satu selimut dengan Gilas. Re pun melompat ke ranjang sebelah.
Di luar hujan deras lagi, tapi justru agak mengusir udara dingin Tawangmangu. Tiga cowok yang sama-sama didera lelah itu hampir berhasil memejamkan matanya, ketika tiba-tiba terdengar suara berisik dari luar kamar. Gilas yang merasa terusik, segera menyodok perut Ham.
"Apaan, tuh?" tanya Gilas setengah berbisik. Re melompat duduk dan menegaskan pendengarannya.
"Suara langkah kaki," desis Ham.
Suara itu sebentar nggak terdengar, kemudian terdengar lagi. Suara ketukan sepatu yang beradu dengan lantai.
Tak-tok-tak-tok! Bunyi sepatu itu, anehnya, seperti hanya berada di depan pintu. Seperti orang melakukan jalan di tempat.
"Siapa?" bisik Gilas. Entah mengapa, tengkuknya terasa lebih dingin dari semula. Bulu kuduknya berdiri.
Gilas nggak memerhatikan kalo Re juga mengalami hal yang sama. Hanya Ham yang tampak le-bih tenang. Pelan-pelan, Ham turun dari atas ranjang.
"Apa sih, maunya Pak Tua itu?" sungut Ham. Ia mendekati pintu dan berkata, "Ya" Ada apa, Pak?"
Tak terdengar sahutan, namun bunyi ketukan suara itu makin keras, seolah sengaja makin dikeraskan.
"Sialan!" umpat Ham. Ia mulai jengkel karena merasa dipermainkan. Dengan kasar, ia memutar anak kunci dan membuka pintu.
Ham udah mau marah-marah sama pengganggu itu. Tapi, mulutnya yang udah terlanjur terbuka, tiba-tiba makin terbuka lebar. Ham ternganga ketika menyadari di luar kamar nggak ada siapa pun. Matanya terpaku pada sebuah benda yang tergolek di depan pintu. Sepasang sepatu! Nggak sadar, Ham berjalan mundur dan menabrak Re yang ikut-ikutan melongok ke luar.
"Ssss " sepat " sepatuuu "." Ham terbata-bata setelah dalam sekejap sebelumnya lidahnya kelu. Ham bukan cowok penakut. Ia menyukai petualangan-petualangan yang
mendebarkan misalnya menjelajah hutan, mendaki gunung atau merambah pedalaman. Ia sudah sering mengalami peristiwa-peristiwa yang luar biasa. Tapi, kali ini ia menyadari lututnya bergetar keras. Dadanya berdegup lima kali lebih kencang dari biasanya.
"Ooo cuma sepatu." Re yang telah berdiri di ambang pintu mencibirkan bibirnya. Tapi tiba-tiba, ia seperti tersadar. "Hantu sepatu!!!" Mendadak Re melompat ke atas ranjang dan melindungi wajahnya dengan bantal. Re meringkuk
de-ngan tubuh mengigil. "Hantu sepatu?" Ham dan Gilas saling pandang dan melotot. Keduanya sama-sama bergerak mundur. Beberapa saat, Ham seperti tersihir, lalu ketika akal sehatnya berangsur pulih, Ham mengatupkan bibirnya dan kembali ke ambang pintu.
Ia berjongkok dan meraih sepatu itu. Diamatinya dengan saksama. Sepasang sepatu yang cukup aneh. Sepatu pantofel dari bahan kulit berwarna hitam. Melihat modelnya, bisa ditebak usia sepatu itu cukup tua. Dan, yang paling menarik perhatian Ham adalah ukuran sepatu tersebut. Sangat besar untuk ukuran kaki orang Indonesia. Ukuran sepatu dewasa di Indonesia berkisar antara 39 sampai 43. Tapi, sepatu yang Ham amati jelas melebihi ukuran tersebut.
"Aneh," desis Ham. "Aneh!" Ulang Ham lebih keras ditujukan pada kedua sahabatnya yang berhasil menenangkan diri. "Kalian yakin mendengarkan langkah kaki, kan" Suara orang berjalan di depan pintu ini?"
Gilas dan Re mengangguk. "Ada apa, sih"!"
Ketiganya menoleh, kemudian melotot. Tiba-tiba, di ambang pintu kamar itu telah berdiri sesosok serbaputih. Pakaian serbaputih dari ujung kaki sampai leher. Rambut panjang hitam dan dibiarkan lepas terurai awut-awutan. Dan, raut wajahnya juga putih rata!
"Kuntilanak!" Re menubruk Gilas, lalu keduanya berangkulan erat.
Ham berdiri terpaku dan mendadak kebelet pipis.
"Ada apa, sih" Ribut amat!" hardik sosok serbaputih.
Mulut Ham berhenti komat-kamit, mengeluarkan kalimat-kalimat pengusir setan dan hantu ajaran kakeknya, namun kuntilanak itu tetap berdiri di ambang pintu. Ham memelototkan matanya.
"Ya Allah, Rosa?"?"
Sosok serbaputih itu tertawa ngikik.
"Kalian ngapain, sih?"
"Aduh Rosa, kamu ini gimana, sih" Masa malam-malam gini dandanannya kayak kuntilanak!"
"Lho, apa anehnya" Aku pakai baju tidur. Putih warna favoritku, kok. Pakai kaus kaki tebel, biar nggak kedinginan."
"Tapi, wajahmu?"
"Ini masker wajah, tolol! Kupakai tiap tidur!"
Ham menarik napas untuk meredakan debar jantungnya. Ia menoleh memerhatikan Re dan Gilas yang masih saling dekap. Lalu, Ham tertawa geli. Rosa dikira kuntilanak!
"Siapa yang mau pacaran sama kuntilanak cantik?"
"Kamu keterlaluan, Ros!" sungut Gilas sambil menghela tubuh Re.
"Aku sama sekali nggak bermaksud menakut-nakuti kalian. Aku malah terganggu sama keributan kalian tadi. Ada apa, sih?"
Ham tampak berpikir keras, dan berkata, "Kamu udah bisa tidur?"
"Hampir." "Wanda?" "Idem. Tuh, masih melototin gameboy."


Vila Toedjoeh Tjemara Karya Donatus A. Nugroho di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kalian, lempar-lemparan sepatu?" potong Re.
"Kamu mendengar suara ketukan sepatu, nggak?"
"Nggak!" "Yang bener?" "Kok, ngotot, sih?"
"Suara itu cukup keras."
"Nggak denger! Emangnya apaan?"
Ham, Gilas, dan Re saling pandang. Sebelum Gilas dan Re sempat berbicara, Ham mendahului.
"Nggak ada apa-apa, kok. Kita emang lagi lempar-lemparan sepatu. Hehehe
"Dasar kurang kerjaan!" sungut Rosa, lalu kembali masuk ke kamarnya.
Sepeninggal Rosa, ketiganya saling pandang. Ham mondar-mandir di kamar. Keningnya terlipat, matanya menyipit tanda berpikir keras.
"Sepatu ?" Sepatu siapa" Kalo ada yang berjalan di depan pintu kamar, lalu buat apa meninggalkan sepatu itu" Lagian siapa" Pak Lenggono?"
"Dia sengaja menakut-nakuti kita," kata Re. "Buat apa" Nggak masuk akal. Sebagai tuan rumah, mestinya ia akan berusaha membuat kita nyaman dan kerasan di sini."
"Sebaiknya kita tidur," Gilas nyeletuk.
"Kalo bukan Pak Lenggono, lalu ulah siapa" Sepertinya nggak ada orang lain di vila ini," Ham masih bergumam, seperti bicara pada diri sendiri.
"Sebaiknya kita tidur!"
Gilas melompat ke atas kasur dan menyelimuti sekujur tubuhnya.
"KAMU ke mana aja, sih?"
Gilas meringis. Keempat temannya tampak seger habis mandi, dan mengitari meja makan, menyantap nasi goreng.
"Jalan-jalan." Gilas menyeret sebuah kursi dan mengambil jatah sarapan paginya. "Asyik sekali daerah ini. Aku tadi jalan-jalan sampai lapangan tenis di bawah sana. Kalian rugi nggak bangun pagi. Di Jakarta, mana bisa kita menyentuh kabut?"
"Cuma itu?" tanya Ham dengan mulut penuh.
"Nanyain nggak, ada bengkel mobil di sekitar sini" Atau setidaknya, seorang montir." Gilas menggeleng.
"Paling nggak, kita harus menemukan toko spare part. Aku udah memeriksa mobil. Platina harus diganti. Sial! Harusnya, aku memeriksanya sebelum berangkat kemarin."
"Lebih sial lagi, di kota kecil ini sama sekali nggak ada toko onderdil mobil. Lagi pula, agak susah nyari spare part VW!"
Rosa dan Wanda ngeluh. "Harus turun ke Solo."
"Dan mengajak seorang montir ke sini?" tanya
Gilas. "Saya bisa!" Semua menoleh ke arah suara itu. Pak Lenggono berdiri di bawah lukisan ayam bergaya Picasso. "Benar, Pak?"
Pak Lenggono nggak menjawab. Hanya, mukanya menunjukkan ekspresi kurang senang. Bibirnya melengkung ke bawah dan dalam pandangan Ham, orang tua itu mendadak terlihat makin bungkuk. Ham bergidik. Pak Lenggono batuk dua kali, lalu berlalu dari ruang makan itu.
Ham menjawil lengan Gilas.
"Nggak ada orang lain di vila ini. Pak Bungkuk seram itu hanya seorang diri di tempat ini."
"Kamu menyelidikinya?" Re menyeletuk.
"Aku nanya ke dia."
"Juga soal suara sepatu itu?"
"Nggak. Aku nggak mau dianggap mengada-ada. Tapi, tadi waktu keluar kamar, sepatu itu udah nggak ada di depan pintu. Padahal semalam masih ada, kan?"
"Disingkirkan orang tua itu?"
Ham mengangkat bahu. "Aku benar-benar heran. Ulah siapa, ya" Lalu, apa pula maksudnya."
"Yang namanya hantu, cuma pengin bikin kita takut!" kata Gilas kesal. Ucapannya ternyata di dengar Rosa dan Wanda yang segera memandang tiga cowok itu bergantian.
"Kalian ngomong apaan, sih?" tanya Wanda.
"Hantu sepatu!"
Gilas meringis waktu Ham menginjak kakinya cukup keras. Gilas keceplosan, padahal semalam ia sepakat nggak akan ngomongin soal sepatu itu sama Rosa dan Wanda. Daripada menakut-nakuti mereka.
Tapi, Rosa dan Wanda jadi penasaran baget, apalagi melihat reaksi Ham. Keduanya lantas men-desak, akhirnya Ham terpaksa menceritakan apa yang mereka alami semalam.
"Mungkin kami salah dengar. Atau mungkin Pak Lenggono meronda. Kalian nggak usah khawatir."
"Pokoknya, kita harus segera pindah dari tempat serem ini! Jangan-jangan, nanti kita akan mengalami peristiwa lain yang lebih menyeramkan. Kita mau refreshing, dan bukan mau menyelidiki misteri rumah hantu, kan?" Rosa mulai mengigil.
"Lalu, mobil kita?"
"Salah seorang dari kalian turun ke Solo sekarang juga! Begitu mobil oke, kita cabut," usul Wanda.
"Siapa yang mau ke Solo?"
"Aku mau!" Re mengangkat tangannya. "Asal ditemani Wanda "."
"Maunya!" Wanda mencibir. Wanda dan yang lainnya tau kalo Re udah lama naksir cewek berlesung pipi itu. Cuma, selama ini Wanda memang belum ngasih lampu hijau sama sekali. Wanda hanya pengin sobatan sama Re. Menurut Wanda, kekompakan lima sekawan ini jangan jadi berantakan hanya karena ada yang jadian.
"Biar aku aja," kata Gilas yang merasa bertanggung jawab atas mobilnya.
"Percuma. Hari Minggu gini, pasti toko-toko pada tutup. Apa nggak lebih baik besok pagi aja?" suara Pak Lenggono terdengar tiba-tiba.
Ham mengumpat dalam hati. Orang tua itu sepertinya seiaiu nyeionong. Apakah hobinya emang nguping dan memata-matai" Tapi, kali ini omongannya benar dan bisa diterima.
"Oh, terima kasih, Pak."
Pak Lenggono menarik kepalanya yang semula tersembul di balik pintu.
"Wei/, kalau gitu, kita habisin aja hari ini dengan suka-suka. Kita datang ke sini kan, buat senang-senang!" kata Rosa yang duluan ninggalin meja makan.
Semua sepakat, lantas nyiapin kebutuhan masing-masing. Re yang punya hobi fotografi, menenteng kamera lengkap dengan tripodnya. Wanda dan Rosa mengemasi pakaian renangnya. Sementara Gilas, masih asyik memilih kaset-kaset, Ham menyelipkan sebilah belati di balik bajunya yang selalu kedodoran. Masing-masing punya rencana.
"Nanti kamu kufoto, ya?" Re menggoda Wanda.
Wanda mencibir. "Mendingan kamu nyewa kuda buat keliling. Pasti deh, banyak objek menarik buat kamu foto."
"Usul yang bagus. Apalagi kalau berkudanya sama kamu."
"Siapa yang mau ikut sama aku?" tawar Ham. "Pasti ke hutan."
"Di kepalanya cuma ada bonsai dan bonsai,"
sahut Rosa. "Aku ikut kamu, Ham," kata Re yang membayangkan menemukan sasaran kamera di hutan dan bukit-bukit di sana.
Setelah semua siap, mereka lantas keluar dari vila. Tapi di halaman vila, mereka dihentikan oleh sebuah pemandangan.
"Pergi! Pergi dari sini!" Pak Lenggono berteriak marah sambil menuding-nuding seorang cewek di depannya.
Cewek itu berjalan mundur dengan muka pucat, tampak ketakutan sekali. Seekor anjing besar berbulu cokelat milik cewek itu menggonggong keras, menyalaki Pak Lenggono.
"Diam Niko! Kita pergi dari tempat ini!" Cewek itu lalu berlari meninggalkan halaman vila, diikuti oleh anjingnya.
"Cantik desis Ham, yang dibenarkan Re dan Gilas.
"Dasar cowok! Tuh, mata nggak boleh lihat muka bagus," sungut Rosa.
Mata Ham masih terpaku mengikuti langkah tergesa cewek itu. Keningnya terlipat. Ada apa" Kenapa Si Bungkuk begitu kasar sama cewek can-tik itu"
"Ayo!" Ajakan Re memaksa Ham menyimpan banyak tanda tanya di kepalanya.
HAM dan Re berjalan terpisah dari ketiga temannya. Tujuan Ham adalah ke daerah perbukitan itu. Menurut perkiraan Ham, di antara rimbunnya hutan pinus di bukit itu, pastilah terdapat calon-calon bonsai yang bisa diambil. Setidaknya, satu atau dua bibit tanaman langka yang menarik untuk dibonsai. Ham pecinta tanaman bonsai dan pohon-pohon langka. Dua sasaran itulah yang kini diburunya. Nggak heran kalo Ham sengaja nyiapin sebilah belati sebagai alat berburunya.
Keduanya begitu bersemangat melangkah. Pagi belum berlalu dan udara masih begitu segar. Saat memasuki perkampungan, Re dengan gaya seorang fotografer profesional, mulai beraksi membidikkan kemeranya. Segala yang menarik, menjadi sasarannya. Rumah, serumpun mawar merah, sampai bocah-bocah di pancuran.
"Hemat film kamu, Re! Kita punya objek paling menarik abad ini!" Ham menjawil lengan Re.
"Bonsai lagi?" "No.1 Yang ini sejuta kali lebih cantik."
Re mengikuti arah pandangan Ham, dan tanpa dikomando lagi, ia menggerakkan zoom-nya. Di atas bukit itu, di halaman sebuah rumah, seorang cewek tengah duduk termangu di atas sebuah batu besar. Cewek yang tadi diusir Pak Lenggono!
Dua-tiga kali Re menjepretkan kameranya.
"Nggak ada salahnya kita kenalan sama makhluk cantik itu."
"Akur!" Keduanya lantas mendaki jalan tanah yang
menyerupai tangga menuju rumah cewek itu. Hampir sampai, keduanya memperlambat langkah. "Niko!"
Belum sempat Ham dan Re berpikir banyak, terdengar salak anjing. Lalu, seekor anjing besar berbulu cokelat berlari ke arah keduanya dari dalam rumah. Re cepat sekali berlari ke belakang tubuh Ham.
Ham mencoba tenang, meskipun anjing itu berada di depannya dengan mulut terbuka memperlihatkan gigi-giginya yang runcing.
"Hayaaa "!!!" Tiba-tiba Ham berteriak keras, membuat anjing itu lari menjauh. Ham tertawa puas. "Anjingmu cuma menang di babak awal, tapi kalah oleh gertakan!"
Mata cewek itu menyipit memandang keduanya. "Kalian mau apa" Wartawan" Wartawan kriminal?"
Ham dan Re saling pandang sebentar.
"Sori, kami cuma turis lokal. Kebetulan kami mau menuju bukit sana dan melihat kamu. Sori kalau kamu terganggu," kata Ham dengan san-tun. "Bukankah kalian ini "T"
"Betul!" potong Re sambil keluar dari balik punggung Ham. "Kami tamu yang menginap di Vila Toedjoeh Tjemara. Tadi kita ketemu di vila. Kalau nggak salah "."
"Maksudnya, kami tadi lihat kamu di vila, tepatnya di halaman vila. Makanya, kami berani menegurmu. Kamu terganggu?"
Cewek itu menggerakkan kepalanya dengan gelisah. Matanya memandang Ham dan Re
bergantian. "Kalian diam-diam memfotoku, ya?"
"Salah. Bukan kami, tepatnya Re yang memotretmu."
Cewek itu tersenyum malu-malu, menyadari kelucuan cara bicara Ham. Dan reaksi itu membuat Ham berbesar hati.
"Cowok selonongan ini namanya Re, sedangkan aku Ham. Kamu?"
Dengan ragu-ragu, cewek itu berdiri dan menyambut uluran tangan Ham. Agak terbata, ia menyebutkan namanya, "Ran " ti."
"Kami dari Jakarta dan baru semalam tiba di tempat ini. Maunya sih, menikmati liburan dengan nyaman, tapi nggak taunya malah keduluan dapet sial."
"Sial?" Ham bersorak dalam hati melihat betapa terkejutnya cewek itu. Lagi-lagi strateginya ngena. "Mobil kami mogok, lalu mau nggak mau harus nginap di vila hantu!"
Re diam-diam memuji cara Ham. Temannya yang satu ini memang paling lihai menarik perhatian.
"Vila hantu?" Kening Ranti berkerut.
"Iya, semalam kami diganggu penampakan. Hantu sepatu!" Kata Re dengan penuh semangat, karena mendapat angin. Lalu, tanpa diminta dan nggak peduli isyarat mata Ham, Re menceritakan kejadian semalam.
"Aneh," desis Ranti. Ia menggigit bibir bawahnya, lalu matanya sedikit menyipit.
Ham juga menggigit bibir bawahnya saking gemas. Ranti memang manis. Wajahnya yang polos, khas cewek kampung, makin menarik dengan ekspresinya
saat ini. "Dulu, aku sering tidur di rumah besar itu, tapi nggak pernah sekali pun ngalamin hal yang aneh-aneh."
"Kamu tinggal di sini, kan" Ini rumah orangtua kamu?" tanya Ham.
Ranti mengangguk. "Saat ini, orangtuaku lagi ke luar kota. Seminggu di Yogya."
"Lalu, kenapa Ranti memotong cepat, "Aku kenal sama pemilik vila itu."
"Siapa" Tinggal di mana?"
"Namanya Herman, Herman Van Dern, orang Belanda. Dulu, beliau seorang pekerja sosial. Yayasannya, sebuah LSM di Negeri Kincir Angin itu, nugasin dia ke sebuah perkampungan kumuh di Semarang. Lalu setelah tugasnya selesai, beliau pulang ke Belanda, kemudian balik lagi ke Indonesia. Beliau memilih menetap di Indonesia dan membeli vila kuno itu. Orangnya sangat baik dan menganggap aku sebagai anaknya, karena ia nggak punya siapa-siapa. Beliau hidup sendirian. Darinya aku belajar main piano dan bahasa Belanda."
"Lalu, sekarang" Ia masih tinggal di Toedjoeh Tjemara?"
Ranti diam, matanya menatap jauh. Menerawang memandang barisan pohon pinus di kejauhan.
"Hei, kenapa?" Re menjepretkan kamera ke Ranti, membuat cewek itu tersipu-sipu.
"Inilah anehnya. Udah sebulan lebih, aku nggak pernah menjumpainya di vila. Juga pagi hari, karena
biasanya kami bertemu di pasar. Be-liau rutin membeli sayur-sayuran sendiri ke pasar sekalian joging setiap pagi. Lalu anehnya lagi, tiap kali aku mau masuk ke vila itu, Pak Lenggono selalu marah-marah dan mengusirku!"
Ham dan Re saling pandang.
"Kalian mau ke mana?"
"Ke hutan. Temanku yang satu ini penggemar berat bonsai."
"Percuma. Kalian nggak bakalan dapat apa-apa di hutan itu. Terlalu banyak bonsai yang diangkut ke kota. Kalau mau, aku bisa antar kalian ke perajin bonsai di dekat sini."
"Ogah! Aku mau yang alami," potong Ham. "Pokoknya, aku ingin ke hutan itu. Entah ada hasilnya atau nggak." "Aku ikut."
Ham melengak, nyaris nggak percaya sama yang didengernya. "Nanti kamu capek," kata Ham dengan mata menaruh iba. Padahal, hatinya bersorak-sorai. Siapa yang nggak suka ditemani cewek semanis Ranti" Ini sih, namanya pucuk dicinta u f am tiba f
"Kita lihat siapa yang lebih dulu mengeluh." Ranti tersenyum simpul. "Aku sering banget ke hutan sana."
"Nyari kayu bakar?" ejek Re. Namun, Ranti lagi-lagi hanya tersenyum.
Akhirnya, ketiganya berjalan beriringan menyusuri jalan setapak yang mendaki menuju hutan.
"Kamu bisa cepet akrab sama orang yang baru kenal?" tanya Ham agak hati-hati, setelah mereka
sempat memperkenalkan diri lebih banyak lagi.
"Kalian bukan cowok jahat, kan" Gimana suasana di dalam vila sekarang ini?"
Ham akhirnya mengerti. Ada maksud tertentu yang dikehendaki Ranti.
"Kalian masih tinggal di sini" Maksudku menginap di vila itu?"
"Rasanya nggak. Besok kalo mobil kami udah oke, kami akan pindah tempat. Suasana di vila itu kurang nyaman. Itu aja udah bikin bulu kudukku merinding. Lalu, peristiwa semalam. Juga misteriusnya sikap Pak Lenggono. Kadang ia be-gitu baik, tapi kadang mencurigakan. Sebenernya, dia itu siapa?"
"Dia cuma jongos di vila itu. Pelayan. Dia yang mengurus vila sejak puluhan tahun silam, ketika Opa Herman membelinya dari pemilik la-ma. Ia menangani semuanya, dari memelihara kebersihan sampai keuangan hasil tamu yang menginap." "Nggak begitu ramai, kan?"
"Dulunya lumayan. Cuma, sekarang tersaingi hotel-hotel yang lebih modern. Orang kan, suka yang meriah."
"Ya, vila itu lebih mirip sarang hantu," kata Re yang lebih berkonsentrasi dengan suasana alam yang dilewatinya.
"Hantu?" gumam Ranti.
"Hantu sepatu raksasa!"
"Sepatu raksasa?"
"Sepatu itu jelas bukan ukuran kaki kita." "Apakah itu sepasang sepatu kulit berwarna hitam yang tingginya semata kaki?" tanya Ranti
dengan antusias. "Rasanya iya." Ham mencoba mengingat-ingat.
"Tunggu! Ada garis di hak sepatu itu" Baja putih?" Ranti makin antusias.
"Entahlah," Ham tampak mengingat-ingat lagi, lalu setelah itu, "Entahlah. Terus-terang, waktu itu aku agak gugup."
Ranti menghela napas panjang. "Sayang kalian kurang ingat itu. Tapi, menurut perkiraanku, sepatu yang kamu bilang sepatu raksasa itu pasti sepatu milik Opa Herman. Ukuran kaki orang Eropa."
Re membidikkan kameranya ke arah Ranti lagi, namun cewek itu tampaknya nggak peduli lagi. Sambil melangkahkan kakinya, ia bergumam, "Aneh, aneh, aneh! Opa menghilang, Pak Tua itu mendadak galak, lalu kalian melihat sepatu raksasa. Aneh!"
"Kapan terakhir kamu ketemu sama Opa Herman?" tanya Ham.
"Aku lupa persisnya. Tapi " udah sebulan lebih."
"Masih ingat hal-hal yang terjadi waktu itu?"
"Nggak ada yang istimewa. Opa menunjukkan partitur Simfoni Nomor Delapan dan menyuruhku untuk mempelajarinya."
"Bethoven?" sela Re, sok tahu.
"Bukan. Fuller."
"Fuller" Ooo Re mengangguk-angguk paham, padahal sebenarnya ia sama sekali bingung. "Lalu?"
"Lupa! Nggak ada yang aneh."
Tanpa terasa, mereka udah nyampe di bukit hutan pinus itu. Udara terasa dingin dan kabut perlahan turun. Meskipun udara dingin, Ham dan Re
berkeringat, sementara Ranti justru tampak masih segar dan bersemangat. Ham diam-diam kagum sama cewek manis itu.
"Semua cewek di sini sekuat kamu?"
"Aneh!" Ranti mendesis. Matanya menyipit.
Ham mengeluh dalam hati, karena pujiannya ternyata nggak didengar.
Oke, oke! Di mana bonsai-bonsai itu?" Ham memandang ke sekeliling. Pohon-pohon pinus menjulang tinggi, sementara di bawahnya, bebatuan sebesar anak kambing berserakan di antara rumput setinggi mata kaki. Rumput yang basah. Nggak ada yang istimewa bagi Ham.
"Sudah kubilang tadi. Nggak ada bonsai lagi di sini. Lihat! Bahkan, pohon yang kecil-kecil pun udah nggak ada lagi. Dicabuti dan dibonsaikan secara paksa. Dulu, banyak banget cemara udang di antara pohon-pohon ini. Cemara udang bagus banget buat bonsai."
Ham mengeluh kecewa. "Di rumahku ada sebatang mundu yang setengah bonsai."
Mundu" Tanaman itu termasuk langka!"
Kupelihara sejak aku masih SMP."
Kamu mau menjualnya padaku?"
Kuhadiahkan ke kamu."
Jangan bercanda!" Nggak! Tapi, ada syaratnya."
Apa?" Mumpung kalian masih tinggal di vila itu, maukah kalian menyelidiki ke mana hilangnya Opa Herman.
Rasanya, nggak mungkin nggak ada apa-apanya. Opa selalu bilang padaku tiap kali mau pergi jauh. Mau?"
"Mau!" Ham setengah menjerit. Belum-belum, ia udah ngebayangin bakal memiliki pohon mundu yang langka itu. Apa susahnya nanyain soat Opa Herman sama Pak Lenggono, pikir Ham.
"Aku sih, diem aja, kecuali ada imbalan khusus untukku juga," Re bersungut.
"Kuperbolehkan kamu memotretku sepuasmu," Ranti menahan senyum.
"Emangnya, kamu foto model"! Kalau hadiahnya kamu sih, aku mau!"
Ranti menendang dengkul Re dengan ujung sandal jepitnya. Re meringis, sementara Ranti mulai tersenyum lagi.
"Mau terus di sini, atau "."
Hantu Piano Minggu, 14-45 " KETIKA Ham dan Re sampai di Vila Toedjoeh Tjemara, vila itu tampak sepi dan lengang. Belum ada tanda-tanda kalau Gilas, Rosa, dan Wanda sudah kembali dari acara renang dan jalan-jalannya. Pintu utama vila terbuka lebar, namun Pak Lenggono belum tampak.
"Pada ke mana anak-anak itu?" tanya Re. "Biarin aja mereka suka-suka. Aku malah bersyukur mereka belum kembali. Selagi mereka belum pulang, kita punya kesempatan untuk bergerak sendiri di vila ini, tanpa membuat mereka, terutama Rosa dan Wanda jadi khawatir."
"Jadi" Kamu serius sama tawaran Ranti?" Ham mengangguk mantap. "Dasar gila bonsai!"
"Bukan cuma karena bonsai. Bagiku, Ranti lebih menarik dari sejuta batang tanaman langka!"
Re terkekeh. Ham bukan cowok yang nggak
menarik, tapi ia cukup sial karena sampai sekarang belum pernah sekali pun punya cewek. Ya, apa salahnya kalau dia mendapatkan cewek semanis Ranti pada masa liburannya kali ini.
"Dari mana saja, Tuan-tuan muda?" Re merasa jantungnya hampir melompat ketika tahu-tahu sebuah tangan menepuk pundaknya dari belakang.
"Ya, Allah! Pak Lenggono selalu aja bikin jantung saya copot!"
Pak Lenggono memperlihatkan deretan giginya yang nggak lagi utuh. Ia tampak sangat tua dengan tubuhnya yang sedikit bungkuk.
"Enaknya jalan-jalan ke hutan ditemani Ranti
Re hampir saja menjerit karena tanpa sepengetahuan Pak Lenggono, Ham menyodok punggungnya dari belakang. Re baru sadar udah keceplosan.
"Bisa berantakan rencanaku," bisik Ham yang hanya bisa didengar oleh Re. "Ranti?"
Ham mengeluh dalam hati. Pak Lenggono ternyata amat tertarik mendengar nama itu.
"Apa yang dibicarakan orang itu?"
Ham bergidik. Ia dapat merasakan perubahan mimik Pak Lenggono yang sekarang nggak ramah sama sekali.
"Dia jahat!" "Jahat?" Lagi-lagi, Ham menyesalkan cara Re. Ia terlalu tergesa-gesa dan nggak bisa menahan diri untuk
menekan perasaannya. Dan Ham merasa semuanya nggak bisa diperbaiki lagi. Rencana terpaksa dipercepat.
"Maaf, sepertinya Bapak kurang menyukai dia" Apakah dia suka mengganggu" Atau Bapak hanya nggak suka sama anjingnya?"
"Anak itu jahat sekali. Kelakuannya buruk." Usai berkata begitu, Pak Lenggono hendak berlalu dari ruang tengah itu, tapi Ham buru-buru menghadangnya.
"Kalau saya boleh tahu "."
"Sebaiknya kalian menjauhinya."
"Kenapa, sih?" Re ikut-ikutan menghadang. Pak Lenggono tampak gusar dan menghalau tubuh Ham. "Ia suka mencuri."
Ham dan Re saling pandang, lalu bengong.
"Terakhir, ia mencuri sendok emas dari dapurku!"
Lalu, Pak Lenggono meninggalkan mereka begitu saja. Ham dan Re yang masih saling pandang dengan kening berkerut.
"Sial kamu, Ham. Cewek yang mau kamu tolong itu ternyata bukan cewek baik-baik. Pantas saja Pak Lenggono nggak suka sama dia. Berapa harga sebuah sendok emas yang antik" Pasti mahal sekali. Udah deh, lupain aja cewek manis itu. Mentalnya nggak baik."
Kening Ham masih berkerut. "Tunggu! Nggak baik kalo kita cepat menjatuhkan vonis hanya dengan mendengar keterangan sepihak."
"Wah, kamu mulai kerasukan roh detektif!"
"Jangan bersikap nggak adil! Kamu sadar nggak,
sejak kita datang, Pak Lenggono sendiri udah amat mencurigakan" Sifatnya seperti sering berubah. Juga bungkuknya! Pokoknya, aku punya firasat nggak enak sama orang tua itu!"
Ham menggamit Re dan mengajaknya masuk ke kamar. Sesampainya di kamar, Ham menutup pintu dan menguncinya.
"Kamu ingat misteri hilangnya sepeda Tia di sekolah dulu" Sepeda gunungnya yang mahal itu?" Re mencibir. "Dan, kamu yang berhasil menemukan kembali sepeda itu" Iya, kan?"
"Ya ampun! Kamu masih inget peristiwa yang
itu!" Sebenarnya dalam hati Re, cukup mengagumi sahabatnya yang satu ini. Terkadang logikanya sangat bagus dan pemikirannya sering tepat.
"Pasti ada apa-apa di vila ini. Ada sebuah misteri yang menantangku. Kamu jangan lupa soal sepatu semalam."
"Ah, cuma ulah orang tua itu!"
"Oke. Tapi buat apa dia seiseng itu" Hanya untuk menakut-nakuti tamunya supaya nggak kerasan di sini" Itu amat mustahil. Kedatangan kita adalah rezeki buatnya."
"Salah! Rezeki yang punya vila ini!"
"Lalu, di mana dia?" Sepertinya kening Ham makin terlipat. "Tuan Herman?"
"Kita tanya aja langsung sama Pak Lenggono. Kayaknya, kita cukup pantas kalo nanyain tuan rumah, pemilik vila ini."
Ham menepuk pundak Re. "Kali ini, aku setuju
sama pendapatmu." Tanpa berkata apa-apa lagi, Ham melompat turun dari tempat tidurnya dan keluar dari kamar. Bersamaan dengan itu, suara guruh menggelegar disusul oleh kilatan-kilatan petir. Langit mendadak muram dan gerimis mulai turun, kemudian hujan makin deras.
Ham berjalan menyusuri lorong menuju dapur, dan berharap menemukan Pak Lenggono di dapur. Ternyata dapur itu kosong. Artinya, Pak Lenggono belum terlalu lama meninggalkan dapur. Ham lantas keluar dari dapur dan berjalan ke arah ki-ri. Di-erkirakan ia akan menemukan kamar Pak Lenggono. Akhirnya, Ham berdiri di depan sebuah kamar berukuran kecil yang sepantasnya ditempati oleh seorang pembantu. Dengan hati-hati, Ham mengetuk pintu itu.
Tak terdengar sahutan. Ham mengetuk lagi berkali-kali dan lebih keras. Tetap saja nggak ada reaksi. Ham celingukan ke kiri dan ke kanan, lalu tangannya terulur menyentuh handle pintu. Memutarnya ke kiri. Ham agak tercekat karena pintu itu ternyata nggak terkunci.
"Pak ?"" Ham mengkuakkan pintu itu.
Kosong. "Pak ?"" Mata Ham cepat sekali meneliti isi kamar itu. Hanya sebuah kamar berukuran dua kali tiga meter. Hanya ada sebuah tempat tidur kecil dengan kasur yang sudah amat tipis. Sebuah meja dengan setumpuk buku tua dan sebilah pedang panjang.
Sebilah pedang telanjang tergolek di kasur tua
itu! Dada Ham mendadak serasa dipukuli. Berdegup amat kencang. Pedang tua itu seperti pedang milik tentara koloni Belanda yang sering Ham saksikan di film-film perjuangan. Buat apa orang tua itu nyimpen sebilah pedang telanjang di atas tempat tidurnya" Kalau itu koleksinya, bukankah sebaiknya ia menyimpan di tempat yang lebih tersembunyi"
"Mau apa"!"
Rasanya mau pingsan, tahu-tahu Pak Lenggono ada di belakang Ham. Tubuhnya lurus kaku, matanya melotot.
Ham berusaha menenangkan diri. Dihelanya napas panjang lalu dengan amat tenang ia tersenyum pada Pak Lenggono.
"Maaf. Saya kira Pak Lenggono ada di kamar. Boleh saya minta air panas" Teman saya kedinginan dan ingin minum air panas."
"Kopi?" tanya Pak Lenggono ketus.
"Air putih aja. Asal panas."
"Nanti saya antar ke kamar! Tapi tolong, jangan lagi membuka kamar tanpa seizin saya!"
Ham pura-pura nggak mendengar kata-kata itu. Ia segera meninggalkan Pak Lenggono yang mengawasi punggungnya. Ham merasa seolah punggungnya ditancapi sebilah pedang tua. Baru beberapa langkah, Ham menoleh.
"Di mana Tuan Herman?"
"Kamu, eh, Tuan Muda kenal namanya?"
"Semua orang di kota ini sepertinya kenal dia."
"Tuan sedang pergi ke luar kota." "Sejak kapan?"
"Ada urusan apa" Semua urusan di sini, saya yang menanganinya. Tuan besar pergi sejak tiga hari lalu."


Vila Toedjoeh Tjemara Karya Donatus A. Nugroho di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ooo, ya sudah. Saya cuma ingin tahu, kok. Kalau nggak salah, saya dulu pernah mengikuti kegiatannya di Semarang."
Mata Pak Lenggono bergerak-gerak. Gelisah. Dan Ham lantas benar-benar meninggalkannya.
HUJAN makin deras, sementara Gilas dan yang lainnya belum juga kembali ke vila. Mungkin ketiganya terhalang hujan.
Re asyik dengan irama keras lewat walkmannya.
Ham tiduran dengan posisi telentang. Matanya terbuka dan kerut di keningnya menampakkan ia tengah berpikir keras. Sesekali diliriknya Re yang bersenandung nggak keruan, lalu dengan gemas, Ham mencopot headphone dari telinga Re.
"Dengar! Kata Pak Lenggono, Tuan Herman pergi sejak tiga hari yang lalu. Kata Ranti, ia udah nggak melihat Opa Herman sejak sebulan lewat. Siapa yang benar?"
"Yang manis dan bisa dipacari!" "Sialan!"
"Apa untungnya Pak Lenggono membohongi kita?"
"Apa pula untungnya Ranti membohongi kita?"
"Dia bukan cewek baik-baik."
"Itu kata orang tua itu!"
"Lupain aja! Besok, kita pindah dari vila ini."
"Sialan!" "Kenapa, sih" Sewot amat?"
Ham meniup-niup dan bangun dari tidurnya. "Sialan! Ada air bocor, pas masuk mulutku!"
Re mendongak ke atas dan terkekeh. Pada plafon yang warna putihnya nggak lagi terang itu, tampak air menetes.
"Hujan begini deras dan kita kebagian atap bocor!" Ham dengan bersungut mengambil gelas kosong dan meletakkannya tepat pada jatuhnya tetesan air itu.
"Panggil Pak Tua itu, atau kita terpaksa tidur di kolam air"!"
Re sudah bergerak ke luar kamar. Beberapa saat, Ham sendirian sambil memerhatikan tetesan air yang makin besar. Nggak lama lagi, gelas akan dipenuhi air hujan.
Re telah datang dengan wajah kecewa. "Nggak ada!"
"Busyet! Kamu udah nyari ke kamarnya?" "Udah, pakai teriak-teriak segala." "Cari sekali lagi!"
Suara guruh menggelegar, hujan makin menggila. Suara percikan air yang menimpa jendela kaca makin keras.
"Percuma. Kita geser aja dipan ini."
Keduanya dengan terpaksa menggeser posisi tempat tidur itu supaya terhindar dari dari tetesan air.
"Lama-lama, kamar ini bisa jadi kolam renang." Re menadahi tetesan air dengan tangannya. "Pasti ada genteng yang tersingkap atau pecah di atas
sana. Di mana sih, Pak Tua itu?"
"Kita harus minta potongan harga untuk ka-ar bocor ini. Lalu, sekarang gimana?"
"Naik ke atas plafon, atau membetulkan genteng."
"Hah"!" "Atau naik ke genteng dari luar?"
"Itu lebih gila lagi!" Ham menatap sengit.
"Yah, hitung-hitung berbuat amal dan siapa tahu nanti kita benar-benar dapat diskon. Paling tidak, Pak Lenggono akan makin manis sama kita karena kita berbuat baik."
Ham merentangkan kedua tangannya. "Oke, oke. Dari mana kita memperbaikinya?"
"Dari lorong. Di sudut atas kanan ada plafon yang bisa dibuka untuk memeriksa atap. Kamu bisa naik dengan meletakkan kursi di atas meja di sudut itu."
"Kok, aku" Kamu?" "Oke, kita undi?"
Keduanya melakukan suitan dan ternyata Ham kalah.
"Good luck!" Re benar. Di posisi sudut lorong memang ada sebuah plafon yang bisa dibuka untuk masuk ke atap. Dan nggak terlalu sulit bagi Ham untuk meletakkan kursi di atas meja tepat di posisi itu dan membuka plafon. Re menunggu di bawah sambil memberikan instruksi.
Ham menggeser selembar plafon. Seketika bau pengap menerpa hidungnya.
"Dikira-kira aja di mana posisi kamar kita."
"Diam! Ambil lampu senter di ranselku!"
Dengan patuh, Re mengambilkan lampu senter mungil itu dan menyerahkan pada Ham. Dengan tangkas, Ham telah berhasil berada di atas plafon.
"Gelapnya minta ampun. Dan pengapnya "." Ham bersin dua kali. Ia juga disibukkan oleh sarang laba-laba.
"Siapa tahu ada harta karun di atas situ. Ambil aja rezeki sebagai upah tanganmu yang ringan." "Paling juga kotoran tikus!" Ham menggerutu.
Di tempat gelap itu, Ham mulai menggerak-gerakkan senternya. Matanya mencari posisi kamar. "Hati-hati jangan menginjak eternit. Bisa ambrol!"
"Cerewet banget, sih! Coba aja tadi kamu yang naik. Wah, benar juga. Ada genteng yang melorot!" Ham menjadi lega karena ada cahaya di sebuah tempat. Cahaya yang berasal dari luar. Bisa dipastikan bahwa tepat di bawah genteng yang melorot itu pasti adalah kamarnya.
Tiba-tiba, senter Ham berhenti bergerak. Ia menyoroti kakinya yang menginjak sesuatu. Diamati benda itu lebih tajam. Didekatkannya lampu senternya untuk menyoroti benda itu.
Sebuah gulungan kertas terbungkus plastik bening.
Ham memungutnya begitu saja dan menyelipkan di saku jins-nya. Lalu dengan mudah, ia menuju genteng yang melorot dan membenarkannya. Beres sudah.
"Mau harta karun?" tanya Ham sesampainya di
bawah. "Kotoran tikus" Buat kamu aja!"
"Ayo, kita kembalikan semuanya! Sepertinya, kita nggak pernah mengusik apa pun. Lalu, kita ke kamar."
Ham memandang ke sekeliling dan memastikan nggak ada seorang pun yang mengawasi mereka, lalu kembali ke kamar.
Di dalam kamar, Ham membuka bungkusan plastik yang ditemukannya dengan terburu-buru. Re mengawasi tanpa berkedip. Selembar kertas berisi tulisan tangan dengan tinta hitam. "Testamen!" jerit Ham.
Re memburu dan hendak merebut kertas itu, namun Ham berkelit dengan gesit. Mulutnya berkomat-kamit membaca tulisan itu dalam hati. "Surat wasiat?"
"Iya," Ham berkata lirih. Dihempaskannya tubuh ke kasur sambil menyerahkan selembar kertas itu pada Re. Re membacanya dengan cepat. Setelah selesai, mereka saling pandang dengan Ham. "Ranti gumam Re.
"Ya. Surat wasiat dari Herman. Herman Van Dern. Di sini tertulis seluruh harta benda atas beliau diwariskan pada Ranti Gumilar anak Truno Wijoyo jika beliau sudah meninggal dunia." "Ranti adalah pewaris tunggal harta Tuan Herman!" Re berdecak kagum. "Kertas ini sah!" "Lalu ?""
"Lalu, kenapa surat sepenting ini ada di atas
plafon" Harusnya, surat wasiat ini disimpan di tempat yang lebih aman dan terawat. Nilainya bisa ratusan juta rupiah! Tanah pekarangan, vila dan segala yang ada di dalamnya! Ranti kaya raya!"
"Jika Opa Herman sudah meninggal," tukas Re.
"Betul." "Ada apa ini?" "Oke, kita telusuri dari awal."
"Ya. Kita datang, hujan, mobil ngadat."
"Bego! Pak Lenggono yang aneh, tuan rumah yang nggak ada, Ranti menerima perlakuan buruk Pak Lenggono, dituduh mencuri
"Tepatnya begini. Ada konflik antara Ranti dan Pak Lenggono!"
"Herman menghilang tanpa kita mengerti sejak kapan pastinya. Dan jangan lupa soal hantu sepatu. Testamen yang tersimpan nggak pada tempatnya!" "Misterius!"
"Kamu ingat peristiwa hilangnya sepeda Tia dulu?" "Selesai karena kebetulan?" Ham meringis.
"Ya. Bolehlah kalo ada kebetulan dalam setiap peristiwa. Kita udah mulai merasakan kebetulan itu. Kebetulan ada genteng melorot."
"Kita selesaikan kebetulan yang lain?"
"Kamu pasti mau. Yang lain?"
"Gilas, Rosa, dan Wanda akan kita bujuk. Kita tunggu mereka datang dan kita paparkan semua ini."
"Bagus! Pak Lenggono nggak boleh tau soal genteng melorot dan maksud baik kita ngebetulin genteng."
SUASANA hampir gelap dan hujan telah reda ketika Gilas, Rosa, dan Wanda sampai di vila menjumpai Ham dan Re yang tidur nggak terlalu lelap. Dan, keributan kecil mereka mampu mem-bangunkan Ham dan Re.
Gilas begitu riuh menceritakan keasyikannya, sementara Rosa sibuk mengeringkan rambutnya yang basah.
Kata Re, "Kita punya tugas!"
"Bagi-bagi tugas mengurus mobil?" tukas Gilas.
"Mandilah dulu. Baumu udah kayak kambing nggak mandi delapan tahun!"
Pukul 18.50, kelima sekawan itu telah berkumpul di kamar tiga sambil menikmati camilan dan kopi hangat yang disiapkan Pak Lenggono.
Rapat kecil yang semula hendak dimulai sebelum makan malam itu, terpaksa ditangguhkan setelah makan malam, karena menurut perasaan Ham, Pak Lenggono yang entah kapan datangnya itu sepertinya selalu mengawasi setiap gerak-gerik mereka.
Sekarang, Ham punya alasan nyuruh Pak Lenggono memanggil tukang pijat dengan alasan Rosa kecapekan setelah berjalan mendaki menuju air terjun.
Sepeninggal Pak Lenggono, Ham merasa lebih leluasa untuk mengungkapkan semua keanehan yang dialaminya bersama Re.
Ham dan Re bergantian menceritakan mulai dari pertemuan mereka dengan Ranti hingga secara nggak sengaja menemukan surat wasiat Herman Van Dern.
"Lalu, apa rencana kalian" Aku ngeri ada yang aneh-aneh lagi di vila ini," Rosa berkata dengan suara tergetar.
Wanda nggak sadar memeluk dengkulnya lebih erat. Entah mengapa, tengkuknya terasa dingin. "Mau detektif-detektifan lagi, Ham?" Ham meringis. "Dengan bantuan kalian. Kalau kalian mau!"
"Aku ogah! Kita ke sini buat rekreasi. Bukan detektif-detektifan!" Rosa memotong.
"Ya. Pokoknya mobil beres dan kita segera pindah penginapan. Selesai!" kata Wanda pula. Ham dan Re saling pandang, sementara Gilas bersikap nggak acuh saja.
"Gilas?" "Aku setuju kita nggak usah macam-macam ngurusin orang lain. Serahkan saja testamen itu pada Pak Lenggono atau kembalikan ke tempatnya."
Ham mengeluh kecil. Wajahnya menampakkan kekecewaan. Semula, ia udah ngebayangin petualangan yang seru melebihi sekadar piknik dan menikmati udara sejuk pegunungan.
"Oke, deh. Kalian bertiga menang. Tapi, jangan salahin aku kalo selama kita nunggu mobil beres,
aku berniat menyelidiki misteri ini sendirian."
"Berdua sama aku, Ham. Kita udah mengawalinya berdua." Re memukul pundak sahabatnya.
"Thanks, Re. Kita berdua. Dan kalian bertiga, nggak keberatan kalo kalian hanya melakukan gerakan tutup mulut, kan?"
Gilas, Rosa, dan Wanda mengangguk bareng.
"Besok, aku yang pergi ke Solo buat urusan mobil," kata Gilas berinisiatif.
"Bagus! Dan lebih bagus lagi kalo kamu bisa membujuk Pak Lenggono ikut ke Solo. Katanya, ia paham seluk beluk mesin mobil. Bisa, Gil?"
"Ill try." MALAM cukup larut. Ham yang tidur nggak nyenyak karena kepalanya terisi begitu banyak pikiran, segera terbangun waktu mendengar pintu kamar terbuka. Setengah terpicing, ia melihat Rosa dan Wanda memasuki kamarnya.
"Kok, tumben lengkap?" tanya Wanda heran. "Ada apa, sih" Mau bobo di sini sama Abang, ya?" "Idiiih, sembarangan!"
"Ada apa, sih" Udah malem, nih!" Gilas menggerutu sambil membenarkan posisi selimut tebalnya.
"Kamu tidur dari tadi, Las" Nggak main piano?" tanya Rosa.
"Boro-boro main piano! Nih, jari-jariku udah
pada kaku kedinginan! Jangan ganggu, ah!"
"Lalu, siapa yang memainkan piano" Satu atau dua lagu yang indah." Rosa memandang Wanda mencari dukungan. Yang dipandang memberi anggukan.
"Tuan Herman?" desis Ham.
"Sayang, sekarang udah nggak terdengar lagi. Swear, kukira Gilas yang memainkannya. Iya, Wan?"
Sekali lagi, Wanda mengangguk.
"Itu "!" Gilas mengangkat tangannya memberi isyarat diam.
Semua yang terjaga terdiam. Memang benar. Sayup-sayup, terdengar denting piano. Ham men-jejak kaki Re.
"Ada apa" Kok, pada ngumpul di sini?"
"Suara piano, Re!"
Re menajamkan pendengarannya.
Gilas mengerutkan keningnya. Tangannya bergerak mengetuk-ngetuk mengikuti irama piano.
"Jangan bilang aku sok tahu. Tapi rasanya, ini " ini Simfoni Nomor Delapan-nya
"Fuller?" sela Re.
"Kok, kamu mendadak ngerti musik klasik?" Gilas yang merasa paling jago urusan musik, menatap heran ke arah Re.
Re menyeringai. "Siapa yang mau kenalan sama pemilik vila ini?" Ham bergerak meraih jaketnya.
Re dan Gilas tanpa dikomando melakukan gerakan yang sama. Ketiganya bergegas ke luar kamar menuju suara piano. Sampai di luar kamar
dan mendekati ruang tengah, Ham meletakkan telunjuknya di bibir. Di ruang itu, Pak Lenggono tidur di kursi malas. Dengkurnya yang cukup keras berirama seperti bunyi lokomotif. Ham, Re, dan Gilas berjalan mengendap melewati orang tua itu. Suara piano makin jelas terdengar.
"Dari perpustakaan," bisik Ham.
"Kok, tau?" "Cuma nebak." Dengan nyaris nggak bersuara lagi, ketiganya menuju perpustakaan. Ketiganya berdiri di depan pintu yang tertutup. Piano masih menyuarakan sebuah lagu klasik, yang mungkin hanya Gilas yang bisa memahaminya.
Ham memandang kedua sahabatnya meminta persetujuan, lalu dengan hati-hati ia mengetuk pintu. Lagu itu terhenti sesaat, kemudian terdengar lagi. Pintu nggak juga dibuka.
Ham terpaksa membuka pintu yang ternyata nggak terkunci. Mulut ketiganya terbuka lebar bersamaan dengan terkuaknya pintu itu. Suara piano berhenti dan ruangan itu kosong, nggak ada seorang pun!
Jantung ketiganya seperti copot.
Hanya ada piano yang terbuka. Sebuah grand piano yang amat tua. Tiga buah lemari buku yang dipenuhi oleh buku tebal. Selembar partitur tergolek di lantai marmer. Itu saja.
"Anybody " eh, ada orang di sini?" suara Ham nyaris seperti tertelan lagi.
"Halooo ?"" Gilas ikut menyapa.
Tak terdengar suara, tak terdengar sahutan. "Sesss " sss " semalam hantu sepatu dan malam ini "." Gilas saling pandang dengan Re. Matanya menggelepar ngeri. "Hantu piano!"
"Jangan berisik!" bentak Ham dalam bisikan. Ia lebih cepat bisa menguasai diri, meskipun hatinya cukup gentar menjumpai kelengangan ini. Ham masih sempat mengucapkan mantra pengusir setan.
Gilas dan Re berjalan mundur sampai merapat ke tembok dengan lutut gemetar. Tapi, Ham justru bergerak maju memasuki ruang lebar itu. Dengan bibir terkatup repat, Ham mendekati piano itu disaksikan Re dan Gilas dari kejauhan.
Ham menyentuh kayu piano itu, lalu mencoba sebuah tuts secara asal-asalan. Mungkin so atau fa. Matanya meneliti piano tua yang masih amat bagus. Sayang, ada debu di sana-sini dan ada su-dut yang lecet politurnya. Mungkin terbentur atau kejatuhan sesuatu.
Mata Ham bergerak lagi meneliti isi ruangan. Ruang ini hanya memiliki sebuah pintu. Jika tadi ada yang memainkan piano, iaiu sekarang di mana" Dalam sebuah film horor, Ham pernah menyaksikan lemari besar yang berfungsi ganda sebagai pintu.
Ham menyentuh debu di lantai dan berusaha menemukan sebuah jejak yang tertinggal di lantai. Nggak ada hasilnya, ia segera memastikan bahwa semua lemari hanya berfungsi sebagai lemari. Nggak ada tanda-tanda geseran.
Lalu, ke mana perginya orang yang memainkan piano tadi" Siapakah dia" Hantu!
Hantu Siang Hari Senin, 09.20 " W Kodok hijau terang itu terbuka kap mesinnya. Gilas dan Pak Lenggono memeriksa spare part
yang terpaksa harus diganti. Ternyata Gilas sangat pandai mengambil hati orang tua itu, sehingga dengan sukarela membantu memeriksa mobil dan menemani membeli platina ke Solo. Dari caranya mengutak-ngatik mesin, Gilas percaya bahwa Pak Lenggono cukup ahli menangani mobilnya, sehingga Gilas merasa nggak perlu lagi membawa montir dari Solo.
Sementara itu, di kamar masing-masing, Ham dan Re menyusun rencana, sedangkan Rosa dan Wanda masih kasak-kusuk tentang piano "ajaib" yang didengarnya dari mulut Ham. Hantu piano itu makin menguatkan maksud Rosa dan Wanda untuk segera pindah dari Vila Toedjoeh Tjemara.
"Mendingan tidur di gubuk derita, asal tanpa
hantu." "Untung bukan hantu jahat yang mengganggu kita," sahut Rosa membesarkan hatinya. Ham dan Re berencana mendatangi Ranti setelah Gilas dan Pak Lenggono pergi ke Solo. Sebelum ngasih tau tentang testamen itu pada Ranti, Ham merasa harus tahu lebih banyak.
Ketika Pak Lenggono selesai memeriksa kondisi mobil, lalu berangkat ke terminal bus bersama Gilas, mulailah Ham menjalankan rencananya. Re ditemani Rosa pergi ke bukit menjemput Ranti. Ham percaya sepenuhnya kalo Re akan mampu membujuk cewek itu datang ke vila.
Kini, di vila tinggal Ham bareng Wanda.
"Berarti, sore nanti kita udah pindah, ya" Lalu, menikmati malam tanpa hantu," kata Wanda.
Ham membisu. Di kepalanya tersusun banyak rencana.
"Mumpung rumah ini kosong, sebaiknya kita menyelidikinya!"
Wanda nggak punya pilihan lain selain mengekor langkah Ham. Semua kamar yang nggak terkunci ditengok Ham, namun nggak ada sesuatu yang menarik dan mencurigakan. Ketika memasuki perpustakaan, Wanda tampak ragu-ragu dan Ham terpaksa setengah menyeretnya.
"Ini piano yang semalam berbunyi." Ham sekali lagi mencoba menggeser-geser semua lemari, tapi nggak berhasil. Lemari buku itu terlalu berat untuk dapat digeser seorang diri maupun dengan bantuan Wanda. Ham memeriksa sekali lagi. "Nah, nggak ada
pintu rahasia, kan" Lalu, ke mana perginya pemain piano itu?"
"Ke alam kelam!" Wanda meraba tengkuknya yang meremang. Ia mulai gemetaran.
"Tenang. Nggak ada hantu di siang hari." "Ih, emangnya?"
Ham mendekati piano besar itu dan menelitinya. Kali ini, ia merasa jauh lebih leluasa. "Sempurna. Sayang ada cacatnya di sini!" Ham menunjuk sudut piano yang terluka itu. "Sepertinya pernah terbentur benda keras. Eh, Wanda " ke sini!"
Wanda mendekat. "Ini apa" Ini bukannya darah yang telah mengering?"
"Ada-ada aja! Jangan yang ngeri-ngeri, ah!" Wanda nggak sadar berjalan mundur tiga langkah.
Mata Ham menyipit. Dibasahinya telunjuk tangannya dengan air ludah, lalu ditorehkan ke noda cokelat kehitaman di sudut piano itu.
"Mungkin darah. Huh"!"
Sebenarnya, Ham masih ingin meneliti isi ruangan itu, namun Wanda buru-buru menarik tangannya mengajak keluar. Melintasi dapur, Ham berbelok ke arah kamar Pak Lenggono. Diperiksanya pintu kamar itu. Terkunci. Ham kecewa. Sebenarnya, ia sangat ingin memeriksa isi kamar Pak Tua itu. Adakah yang lebih menarik daripada sebilah pedang panjang "
Ham meneruskan penyelidikannya. Diperiksanya laci-laci meja yang bisa dibuka, lalu tumpukan buku dan majalah bekas, tak ketinggalan isi lemari es
sampai lemari peralatan dapur. Ham ingat perkataan Pak Lenggono bahwa Ranti pernah mencuri sendok emas di tempat ini. Cuma itu. Nggak ada satu pun yang menarik perhatian Ham.
Tapi, noda di sudut piano yang teriuka itu" Benarkah darah yang teiah mengering"
Di luar, terdengar gonggongan anjing dan keributan kecil. Ham tersenyum kecil. Itu pasti Ranti bareng Niko, anjingnya. Setengah berlari, Ham keluar disusul Wanda. Wanda penasaran banget melihat Ranti.
Ranti tengah berjongkok menenangkan anjingnya. Dielusnya kepala anjing itu sambil dibisik-bisiki, entah dengan kalimat apa. Anjing itu masih tampak gelisah meskipun nggak ribut lagi.
"Anjingmu itu lumayan kuper, ya?" Ranti menoleh dan melempar senyum tipis pada Ham. Ia tampak manis sekali pagi ini, pake celana bermuda dan berkaus ketat, ia nggak beda sama cewek remaja pada umumnya.
"Biasanya ia sangat penurut. Tapi baru saja masuk halaman vila ini, ia mulai gelisah. Entah kenapa. Gimana?"
Ham terbatuk sambil memandang Re. Re menggoyangkan tangannya pertanda ia belum mengatakan apa-apa pada Ranti.
"Kamu pernah mencuri sendok di vila ini?"
Ranti berdiri cepat dan melotot ke arah Ham. Re cuma menggeleng-geleng. Ia sendiri nggak menyangka Ham akan sepolos itu melemparkan tuduhan.
"Kamu" Kamu!" Ranti menunjuk Ham dengan
sengit. "Sebuah sendok emas yang antik?"
"Pasti ini ulah orang tua busuk itu. Entah apa alasannya. Hei, kamu boleh ikut-ikutan menuduhku! Tapi asal kalian tahu, orangtuaku cukup kaya. Kalo nggak percaya, kuajak kalian ke kebun cengkih kami yang berhektar-hektar atau kebun sayur di bukit barat sana! Mencuri sendok emas" Huh, nggak usah mencuri, kalo aku mau, Opa Herman akan memberikan apa saja yang aku mau. Jangankan sendok emas, piano tua
itu pun pernah mau dihadiahkan padaku!" Ranti berkata sengit. Air mukanya memerah.
Ham tersenyum lega. "Sori. Aku percaya. Kamu cewek yang jujur. Lupakan dulu soal kebun cengkih dan kebun sayurmu. Sebenarnya, kapan Opa Herman mulai menghilang" Pak Tua itu bilang, tuannya pergi tiga hari yang lalu."
"Bohong! Nggak mungkin! Opa menghilang udah sebulan lebih. Aku udah meriksa catatan harianku. Terakhir, aku ketemu Opa tanggal dua belas, tiga puluh empat hari yang lalu!"
"Gimana sama Simfoni Nomor Delapan" Hanya Opa Herman yang mahir memainkannya?"
"Siapa lagi yang bisa memainkannya" Maksudku di tempat ini?"
"Orang tua tukang fitnah itu, mungkin. Ia cukup cerdas."
"Nggak mungkin! Semalam, Pak Lenggono
jelas-jelas mendengkur di ruang tengah!" sela Re.
"Tunggu! Apa maksudnya?" Ranti memandang Re. Matanya berangsur berubah dari sinar kemarahan menjadi keheranan.
"Semalam, terdengar Simfoni Nomor Delapan. Piano itu!"
Mulut Ranti terbuka. Matanya terbelalak. "Opa?"
"Itu pekerjaan hantu!" sungut Wanda.
"Hah" Pasti Opa ada di dalam. Tapi, kenapa nggak pernah muncul" Ayo, kita selidiki! Jangan-jangan, Opa sakit dan bersembunyi!"
Sebelum Ranti dan yang lain sempat berbuat banyak, tiba-tiba Niko menyalak keras, dan rantai pengikatnya lepas dari tangan Ranti. Tanpa bisa dicegah, anjing kampung itu berlari ke samping kiri vila, menuju arah belakang vila.
"Niko! Kembali!"
Merasa percuma dengan teriakannya, Ranti cepat-cepat berlari mengejar anjingnya.
"Jangan macam-macam di sini! Pak Tua itu bisa menggorok lehermu!"
"Aneh juga anjing itu." Lalu, Ham ikut mengejar diikuti oleh yang lain. Semua berlari searah dengan larinya Niko.
Anjing itu akhirnya berhenti di belakang vila. Dulu, tempat ini pasti taman yang cukup bagus dengan rerimbunan mawar, namun saat ini tampak kurang terurus. Ada kolam ikan kecil yang airnya berwarna kehijauan. Kotor dan menjadi sarang nyamuk.
Niko menyalak-nyalak keras dan kaki depannya menggaruk-garuk tanah di depannya. Ham yang telah sampai paling awal di dekat anjing itu, mendadak berseru cukup keras.
"Hentikan anjingmu, Ranti!"
"Cukup, Niko! Cukup!"
"Kubunuh anjingmu kalo sampe merusak pohon ini!" Ham berseru kalap.
Ranti dan Wanda merandek melihat Ham yang mendadak seperti kerasukan setan, namun Re dan Rosa segera paham ketika melihat apa yang terjadi di tanah itu.
"Setan bonsai sialan!" gerutu Re.
Akhirnya, walau dengan susah payah, Ranti berhasil memegang tali pengikat Niko dan menenangkan anjingnya yang masih juga beringas. Sedangkan Ham, jongkok di depan pohon kecil.
"Bonsai! Bonsai pohon serut!" teriak Ham. "Tapi aneh, gimana mungkin ada bonsai di tempat ini?"
"Apa anehnya" Di gunung emang banyak bonsai, kan" Kamu sendiri bilang begitu!" kata Re.
"Tolol! Tanah di sini amat subur, lalu gimana mungkin bisa tercipta bonsai" Mestinya, pohon ini jadi besar."
"Mungkin saja, kalau di bawah situ adalah batu atau tanah yang membatu," kata Ranti pelan.
Ham memandang Ranti. "Kamu bener. Pasti ada batu di bawah sini. Ini jelas bonsai. Benar-benar kerdil sempurna." Mata Ham berbinar.
Re, Rosa, dan Wanda menghela napas panjang menyaksikan semangat Ham.
"Anjingmu kamu latih untuk menemukan bonsai" Tunggu dulu! Aku jadi penasaran dengan pohon ini. Nggak mungkin bisa tumbuh sekerdil ini di tanah yang subur. Tunggu, kuambil pisauku! Aku ingin menelitinya. Kalo perlu, aku mau membelinya dari Pak Lenggono."
"Semua yang di sini milik Opa!" Ranti berteriak ketus.
"Oke-oke!" Ham meringis dan berlari ke dalam kamar untuk mengambil belatinya. Sesampainya di luar lagi, Ranti masih sibuk menenangkan anjingnya.
"Jangan macam-macam, Niko. Kamu kalah!" Ham mengacungkan belatinya ke arah anjing itu.
Niko menyalak dan memandang marah pada
Ham. "Anak itu benar-benar lupa diri kalo lihat bonsai. Dasar!" gerutu Rosa.
HATI-HATI Ham mulai mengorek tanah di sekitar pohon kerdil itu dengan belatinya. Ia nggak ingin ketajaman pisaunya melukai batang pohon itu atau memotong akar-akarnya yang penting.
Hampir lima menit berkutat dengan belatinya, Ham kemudian berseru, "Batu"!"
Niko menggeram keras, lalu menyalak lagi.
"Diam, Niko! Kita angkat batunya."
Semua hanya nonton Ham yang semangat
memeriksa pohon kerdil itu.
"Astaga! Ini sih, pot semen!"
Re mendekat diikuti oleh Wanda dan Rosa yang nggak kalah penasarannya.
"Pantas aja. Potnya tertimbun tanah," keluh Ham. Ia kecewa karena ternyata ada pot di bawah tanah. Sama sekali bukan batu alam atau tanah yang keras.
"Siapa yang mengubur pot bonsai ini" Kampungan! Bisa rusak dong, pohon langka dan sebagus ini! Re, bantu aku ngangkat pot ini. Ayo!"
"Alaaa " cuma segitu?"
"Nanti pohonnya rusak, bego!"
Re terpaksa mengalah lagi. Ham memegang satu sisi dan Re memegang sisi sebelahnya. Bersamaan dengan terangkatnya pohon kerdil di dalam pot itu, Ranti nggak mampu lagi menahan Niko yang bergerak menerjang. Bukan ke arah pohon yang terangkat, tetapi ke lubang bekas pot yang terpendam itu.
Niko menggeram dengan suara yang amat menakutkan. Tahu-tahu mulutnya merenggut plastik bekas tempat pupuk yang robek-robek oleh gigitannya.
Re yang berdiri paling dekat dengan lubang itu, mendadak memencet hidungnya. Ham dan yang lain segera melakukan hal yang sama. Hidung mereka mencium bau amat busuk. Bau busuk yang berasal dari lubang di tanah itu!
"Uaaah "!" Rosa mendekap mulutnya. Hampir saja ia muntah-muntah. Wanda lebih dulu berlari
menjauh, sementara Ranti masih menutup hidungnya dan menendang perut anjingnya, membuat anjing itu kesakitan dan berlari jauh.
"Bangkai apa yang dipendam di sini?" Ham mengambil sapu tangan dari saku celananya yang melilitkannya di muka untuk menutup hidungnya. Setelah itu dengan menguatkan perasaannya, Ham menyingkapkan plastik yang telah robek-robek itu dengan sebatang ranting kayu yang cukup kuat. Susah payah dan dengan bantuan Re, akhirnya plastik itu tersingkap juga memperlihatkan sesuatu di bawahnya.
Dendam Naga Merah 2 Pendekar Kelana Karya Kho Ping Hoo Cinta Tiga Ratu 1
^