Pencarian

Dark Love 2

Dark Love Karya Ken Terate Bagian 2


orang yang sanggup melakukannya dua kali. Berarti nggak sakit-sakit banget kan" Dan mungkin
nggak seberbahaya yang aku dengar.
"Dia bilang yang melakukannya, maksudku praktik disana adalah dokter," lanjutnya.
"Temanku ini" nggak curiga kamu bertanya kayak gitu?" aku bertanya gugup.
"Kayaknya nggak. Aku bilang ada temanku yang butuh."
Benar-benar deh, kami udah kayak maling. Segalanya perlu ditutupi dengan kebohongan.
"Dia percaya?" "Nggak tahu. Tapi itu nggak penting. Yang penting dia nggak tahu siapa kamu. Dia nggak bakal
bocorin rahasia kita."
Kurasa dia benar. "Jadi kapan?" dia bertanya.
"Besok?" "Besok" Kamu yakin" Kamu siap?"
"Lebih cepat lebih bagus. Kurasa aku nggak akan pernah siap." Rasanya begitu nelangsa. Air
mataku nyaris bercucuran. Dia nggak tahu bila aku menundanya, tiap saat selama aku menanti,
aku akan cemas dan sakit. Jadi lebih baik cepat akhiri saja.
"Oke, kamu tahu aku selalu mendukungmu," katanya, "Biar aku yang urus."
Kalau dia disini, kami pasti sudah berpelukan.
Kamis, 15 Januari 2009 "Kemana aja sih?" Maria bersungut-sungut begitu aku sampai dikantin. "Tuh, pesanan lo udah
gue beliin daritadi."
"Thanks. Aku tadi balikin buku ke perpus dulu." Aku duduk berhadapan dengan Maria dan
langsung melahap bakso didepanku. Aku laper! Banget!
"Hoho, santai aja," Maria berseru melihat cara makanku yang mirip korban kelaparan Afrika.
Padahal ini baru istirahat pertama, tapi aku makan seperti makan siang.
Aneh juga ya, kok aku jadi rakus gini" Padahal beberapa hari sebelumnya aku masih nggak
doyan makan. Tadi malam aku makan nasi goring seporsi penuh. Tadi pagi aku makan sandwich
isi telur, lalu bubur kacang ijo, dan masih ikut menghabiskan cheese cake yang dibawa Yulia.
Kenapa sih aku ini" Kemarin-kemarin aku nggak doyan makan, sekarang rakus banget.
Ah, apapun itu nggak penting deh, karena nanti malam semua ini akan hilang. Besok pagi aku
nggak perlu mengkhawatirkan apapun.
"Nanti soremau jalan ke Semanggi. Ikut yuk," kata Maria.
"Ngapain?" "Cari kado buat Andra. Dia besok ulang tahun, kan?"
Ups! Aku sama sekali lupa. Akhir-akhir ini aku hanya memikirkan diriku, nggak sempat
memikirkan orang lain. "Maaf, aku nggak bisa," kataku.
"Kenapa" Elo ada acara" Hari ini elo nggak ada les kan?"
"Nggak sih, tapi aku ada janji."
Maria tampak kesal. "Janji sama siapa sih" Penting banget?"
"Iya, penting banget." Menyangkut hidup-mati seseorang. Secara harfiah! "Kakakku akan
datang," kataku akhirnya. Bohong makin gampang bagiku.
"Ajak aja sekalian. Ayolah, emangnya elo udah nyiapin kado buat Andra?"
"Belum." Aku menggeleng. "Kalau aku titip aja, boleh nggak?"
"Ih, nggak seru! Gue ngajak elo supaya ada yang dimintain pendapat." Maria merengut.
"Maaf, Mar, tapi aku benar-benar nggak bisa," kataku, lalu bangkit untuk memesan siomay.
Sorenya Inialah hari mengerikan itu. Itu yang aku ingat begitu aku bangun tadi. Kepalaku agak pusing
karena semalam aku dihantui mimpi buruk dan nyaris nggak bisa tidur. Tapi mungkin juga ini
hari menyenangkan. Besok semua ini akan hilang. Aku akan kembali menjadi Kirana yang dulu
lagi! Ceria, pintar dan bukan pembohong. Oke, dosa ini mungkin tak akan hilang, tapi
setidaknya, bila setelah ini aku bertobat, aku bisa bersih lagi kan" Tuhan Maha Pengampun,
bukan" Malam itu datang lebih cepat, meski aku sangat ingin menundanya.
"Kamu nggak takut kan?" My Prince bertanya lirih didalam taksi.
Aku menggeleng. Jelas aku bohong. Kurasa dia tahu, tapi tidak mendesak. Dia berpaling,
memandang keluar jendela.
"Kamu?" Dia tidak menjawab, mungkin tidak mendengar atau mungkin tidak lihai bohong separti aku. Ia
menatap lalu lintas yang bergerak perlahan. Malam ini aku memang sengaja naik taksi. Aku
tidak ingin ia mengendarai kendaraan disaat kami takut dan gugup begini. Alasanku yang lain,
aku takut orang lain tahu. Yah, siapa tahu ada orang yang mengenali pelat nomornya.
"Klinik" yang kami tuju lumayan jauh. Agak dipinggir kota. Bagiku itu lebih baik. Kemungkinan
bertemu orang yang kami kenal makin kecil.
Kurasa tangan My Prince meremas jari tanganku. Kami sama-sama membisu, tapi kami tahu apa
yang berkecamuk dibenak kami masing-masing. Apakah ini benar-benar aman" Yang berpraktik
dokter sungguhan kabarnya. Apa ada dokter sungguhan yang berpraktik sekotor ini" Apa
menyakitkan" Seberapa sakit" Apakah aku akan dibius" Bagaimana bila pembiusan itu
bermasalah" Apakah bayi itu akan benar-benar gugur" Bagaimana bila tidak" Dan malah cacat"
Apakah" aku" akan" selamat" Air mataku nyaris menetes memikirkannya.
Jangan pikirkan, Kirana. Jalani saja. Dua atau tiga jam lagi semua ini akan selesai, tidak akan
lama. "Kita sudah sampai, Na."
Oh, cepat sekali! Padahal aku sempat berharap perjalanan ini takkan berakhir. Saat aku turun,
baru kusadari kakiku gemetaran. Ini lebih menakutkan daripada yang kukira.
"Klinik" itu tersembunyi dibalik tembok tinggi. Dari luar aku bisa melihat rumah ini berlantai
dua, atau tiga, seperti rumah kebanyakan sebenarnya. Tapi mengingat apa yang terjadi
didalamnya, rumah ini sama mengerikannya dengan kamp Nazi.
My Prince meremas tanganku lebih kuat. "Kamu tidak apa-apa, Na?" Ia memeluk tubuhku yang
limbung. Aku mengangguk, menggigit bibirku erat. Aku tidak boleh menangis.
Ia membimbingku mendekati bangunan itu, lalu memencet bel. Seorang satpam membukakan
pintu gerbang. Mereka berdua bicara beberapa saat. Aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan.
Saat ini seluruh indraku tertutup. Tertutup oleh ketakutan.
Begitu masuk kedalam, suasana mengerikan itu makin terasa. Cahaya lampu yang remangremang sama sekali tidak menolong.
Seorang wanita menyilakan kami menunggu.
*** Tik. Tik. Tik. Penantian itu teramat menyiksa.
Seorang perempuan keluar dari satu ruangan, tampak lemah dan pucat, tertatih, nyaris tak bisa
berdiri tegak. Astaga, apakah dia" habis aborsi juga" Aku merinding. Perempuan itu berjalan
pelan dan keluar tanpa sekalipun mengangkat wajah. Gigiku gemeletuk.
Sing! Tiba-tiba tercium olehku bau anyir. Apakah memang ada bau darah disini" Atau itu cuma
imajinasiku saja" Mendadak aku merasa mual, pusing, dan lemas. Jadi aku duduk bersandar
dibahu My Prince. Ia memelukku tanpa sanggup mengatakan apa pun.
Kesunyian di klinik itu mendadak mencekik. Nafasku sesak. Aku" sekarat. Bayangan-bayangan
mengerikan berkelebat dibenakku dengan cepat. Darah, daging, jerit kesakitan. Kematian.
Tuhan! Tidak! Aku belum mau mati. Aku bahkan tidak sanggup menahan sakit.
MEMBAYANGKAN saja tak sanggup.
Mendadak tubuhku dingin. Aku menggigil.
Kini kesunyian itu begitu keras hingga bising. Aku menutup telinga. Apakah aku mendengar jerit
kesakitan" Apakah aku mendengar lengkingan tangis bayi. Ya Tuhan, aku tak sanggup
mendengarnya. Aku" tak tahan lagi. Sebelum aku sadari aku berlari.
"Kirana" kenapa?" My Prince mengejarku, mencekal tanganku dari belakang.
"Aku mual," kataku tersengal. Di mana" Aku di mana"
"Mbak, mau kemana?" Jadi tidak?" Kenapa?" Tidak apa-apa?" samar-samar aku
mendengar suara, entah suara siapa. Suara wanita. Mungkin si wanita penerima tamu tadi.
"Kami mau, eh, dia pusing," samar-samar aku mendengar suara My Prince. Makin samar karena
rasanya aku hamper pingsan saat ini.
Aku mencari pegangan dalam gelap. Dapat. Oh, tiang listrik. Terima kasih, kami sudah keluar
dari klinik itu. Ternyata aku tadi lari kejalan.
Air mata memenuhi mataku. "Aku nggak mau melakukannya," aku sesenggukan. My Prince
memelukku erat sampai nafasku terasa sesak.
"Tenang, nggak papa kalau kamu belum siap."
"Ya ampun, memangnya diapain sih?" Aku masih terisak-isak. "Dipijat, diurut, dibedah"
Diapakan"!" aku berteriak frustasi.
"Sttt." Kami sudah sampai dijalan di luar klinik iblis itu. Dan aku bersumpah, aku tidak akan kembali.
Jeritan itu masih terngiang-ngiang dikepalaku. Onggokan sprai berdarah itu masih
menghantuiku. "Kita bisa kembali kap?"
"Aku nggak mau kembali!" tukasku marah. Bisa-bisanya dia berfikir untuk mengirimku kembali
ke sini. Dia mau menyetorkan nyawaku"
"Kamu jahat, kamu mau membunuhku?" Aku memukul-mukulkan tanganku ketubuhnya. Ia
tidak menolak, tidak mengelak. Kami terus berjalan di jalan yang gelap. Aku terus marah-marah,
dan ia terus membisu. "Maaf, maafkan aku, Kirana," suaranya yang mendalam serasa menamparku. Aku terdiam
seketika. Kata-katanya seperti menyadarkanku. Siapa yang jahat" Apakah dia bersalah" Dia juga
sama tidak tahunya dengan aku. Bahkan dialah yang melakukan semua ini. Dia adalah orang
yang berusaha menyelesaikan masalah kami. Sementara aku Cuma bisa marah-marah tanpa
alasan, kecuali" ketakutan! Ya, pangkal semua ini adalah aku dan kepengecutanku, bukan"
"Maaf, Kirana. Katakana padaku, apa yang kamu mau?"
Aku terenyak. Aku yang menyakitkan dalam nada suaranya. Mungkin ia memang merasa
bersalah, tapi ia juga marah dan lelah. Dan itu karena sikapku yang kekanakan.
"Maaf," aku berkata lirih. Nggak seharusnya aku menimpakan semua kesalahan ini padanya.
"Bisakah kita pulang?"
Ia melepaskan pelukannya, berjalan mengikutiku, tapi tidak berkata apa-apa.
Masalahku, Teman-Temanku. Dan Lain-Lain
Jumat, 16 Januari 2009 Tidak ada SMS. Tidak ada telepon setelah kami berpisah malam itu, meski aku menelponnya
berkali-kali dan menimbuninya dengan balasan SMS. Esoknya kami juga tidak saling menyapa
di sekolah. Ketika bertemu, ia pura-pura tidak melihatku atau menganggapku tidak ada. Nggak
adil! Oke aku salah. Tapi seharusnya ia mengerti kalau aku ketakutan! Atau dia memang ingin
aku mati" Mana simpatinya" Mana pengertiannya"
Atau ia sudah lelah dengan semua ini" Memikirkan kemungkinan itu, jantungku mencelos.
Selama ini aku melihatnya sebagai laki-laki yang bertanggung jawab, tapi aku lupa bahwa ia
tetaplah seorang bocah. Remaja. Seberapa kuat ia bertahan" Ia pasti jenuh dan ingin lari.
Tengkukku jadi dingin menyadarinya. Ia bisa saja lari! Ia bisa saja tidak mengakui semua ini.
Toh tidak ada bukti kecuali aku melakukan tes DNA yang rasanya rumit dan buat apa"
Mungkin juga ia tidak mencintaiku lagi. Pikiran itu membuat tubuhku terasa tersiram air es.
Melihat reputasinya yang nyaris tak tercela, kurasa orang-orang bakal mempercayainya. Jadilah,
aku yang paling tertinggal sebagai cewek jalang hina-dina.
"Pagi, Kirana! Andra ingin mentraktir kita sepulang sekolah," kata Maria sambil meletakkan
tasnya dimeja. "Asyiikk," aku mencoba terlihat gembira.
"Hei, mata lo bengkak. Elo habis nangis ya?" Maria memandangku penuh selidik.
"Ngg" nggak," aku mengelak. "Tadi malam aku begadang."
"Yang bener?" Maria masih nggak percaya.
Aku mengangguk mantap. "Yakin" Elo bisa cerita ke gue kalau elo punya masalah."
Aku menghela nafas. Aku akan senang sekali menceritakan masalahku kepadanya kalau ini
Cuma masalah Papa tidak mengizinkan aku nonton konser Rihana. Tapi masalahku tidak
seremeh itu. Jadi maaf aja, sampai abad depan pun, aku nggak bakal cerita padanya.
"Nggak, nggak ada apa-apa kok, cuma biasalah, nggak bisa tidur."
Maria menatapku tak percaya, tapi sedetik kemudian ia memilih untuk tidak mendesakku. "Gue
mau ngasih kado T-shirt ke Andra," bisiknya bersemangat.
Oh, jadi karena itu Maria tidak lagi peduli dengan masalahku"
"Menurut elo terlalu" romantic nggak?" tanya Maria.
"Kaus apa yang akan kamu berikan?"
"T-shirt Damn I Love Indonesia. Warna hitam."
Sepertinya Maria tahu betul selera berpakaian Andra. Aku jadi bertanya-tanya, sejak kapan
Maria begitu memperhatikan Andra.
"Menurutku oke sih,"
"Dia nggak pernah merasa gue eh" punya feeling padanya kan?"
"Bukannya lebih bagus dia tahu?"
Maria tiba-tiba salah tingkah. "Gue rasa eh, belum saatnya."
Hah, sejak kapan Maria jadi pemalu kayak gini" Mungkinkah kali ini Maria benar-benar jatuh
cinta" You know, yang beneran jatuh hati, dan bukannya sekedar pengin punya cowok.
"Gue nggak mau Andra merasa terintimidasi atau menganggap gue agresif. T-shirt nggak terlalu
agresif kan?" Hah, benarkah Maria cemas" Capek supercuek itu" Sebersit perasaan tidak nyaman melandaku.
Ini Andra yang kita bicarakan.
"Lo sendiri mau ngasih apa?"
Aku menggeleng lemah. Aku belum membeli kado apapun untuk Andra. Yah, bagaimana lagi"
Semalam aku bertarung dengan maut, nyaris bertarung. Mana mungkin aku sempat memikirkan
kado ulang tahun untuk temanku" Meski temanku itu Andra" Cowok yang paling akrab
denganku. "Aku akan membelikannya komik," kataku kemudian. Tahun lalu Andra menghadiahi aku novel
New Moon. Andra tahu persis keinginanku. Selalu.
"Komik apa?" Kalau saja perhatianku tidak tercurah ke masalahku sendiri, tentu aku juga akan tahu komik apa
yang ia inginkan. Aku mengangkat bahu. "Dia boleh memilih."
"Komik ya" Harusnya gue tahu, Andra kan suka komik! Pasti deh dia lebih suka hadiah lo,"
Maria cemberut. Ya ampun, please deh, Maria cemburu lagi"
"Dia pasti suka hadiah dari kita semua. Oya, nanti jam berapa makan-makannya?" tanyaku.
"Sepulang sekolah. Pizza Hut."
*** Terus terang aku tidak ingin datang ke acara ulang tahun Andra. Ada perasaan malu yang
menggumpal didadaku. Entah bagaimana, aku merasa mereka semua mengetahui hal kotor yang
nyaris kulakukan semalam.
Aku juga enggan bertemu dengan cowok itu. Tahu kan" My Prince alias pacarku yang pengecut
itu! Tapi kalau aku tidak datang, mereka semua akan bertanya-tanya dan justru semakin
mencurigaiku. Aku sudah kehabisan akal untuk mengarang alasan.
Ketika akhirnya kami berempat berkumpul di Pizza Hut, aku merasa sedikit lega. Kelihatannya
semua baik-baik saja. Semua anggota Hi 4 tampak bahagia.
Maria langsung mengambil tempat disamping Andra. Ia membawa cake kecil ditancapi lilin
berbentuk angka 18. Ia justru yang lebih heboh dibanding yang ulang tahun. Ia sibuk mengatur
pesanan. Ia juga sibuk mencari korek api untuk menyalakan lilin. Ia yang paling bersemangat
memanggil waiter dan meminta semua orang untuk menyanyikan Happy Birthday. Padahal
Andra yang berulang tahun aja tidak sengebet itu.
"Ah, sudahlah, nggak usah pakai nyanyi segala. Norak." Andra menolak.
"Tapi harus make a wish dong," Maria mendesak. Ia sudah mendapatkan korek api dari salah
seorang waiter dan mulai menyalakan lilin. Andra memutar bola matanya, jelas bete.
"kenapa sih harus make a wish segala" Langsung makan aja kenapa" Gue udah laper nih!"
Andra lagi-lagi mengelak.
"Ya ampun, apa sih susahnya make a wish" Sayang nih kuenya kalau elo nggak make a wish,"
Maria merajuk. "Ye, siapa juga yang minta elo bawa kue?" Andra berkata seenaknya tanpa peduli pada Maria
yang sudah bersusah payah.
"Ayolah, Ndra, berdoa dihari ulang tahunmu nggak ada salahnya kan?" aku membujuk. Aku
capek melihat perdebatan mereka berdua.
"Oke," Andra langsung mengalah, "karena elo yang minta, Na." Maria melirik padaku. Apakah
itu lirikan sebal" Atau justru lirikan terima kasih"
Lilin diatas kue sudah menyala. Andra menangkupkan tangan. "Kalian sudah tahu kan kalau gue
pengin?" "Ssttt," Maria memotong. "Elo nggak boleh mengatakannya. Nanti bisa nggak terkabul lho!"
Andra melotot. "Siapa yang bilang?"
"Ya kata orang gitu." Kata Maria.
"Orang siapa?" Aduh, mulai lagi deh. "Banyak orang. Semua tahu aturannya gitu. Wish harus dirahasiakan," Maria ngotot.
"Terus kalau gue rahasiakan, harapan gue pasti terkabul gitu" Bahkan kalau gue pengin Ferarri?"
Andra masih belum puas. "Ya nggak gitu sih, tapi?" Maria kebingungan.
"Sudahlah, terserah kamu, Ndra," lagi-lagi aku yang terus melerai. Lagi-lagi Andra menurut.
"Oke, gue make awish, tapi kalian juga. Mari kita make a wish bersama."
Andra memejamkan mata. Kami mengikuti.
Semoga ia nggak marah lagi padaku, harapku dalam hati. Semoga bayi didalam tubuhku ini
hilang begitu saja. Oh, semoga tragedy ini Cuma mimpi.
"Amin," Andra mengumumkan. Kami membuka mata kembali. Astaga, tadi aku bahkan tidak
berharap supaya aku diterima di perguruan tinggi. Aku yakin teman-temanku berharap diterima
di perguruan tinggi pilihan mereka, kecuali mungkin Maria yang berharap Andra mau jadi
pacarnya. Jelas harapan Maria tak bakal terkabul, bahkan bila ia merahasiakan serapat mungkin.
"Tiup lilinnya, tiup lilinnya!" Maria mulai bernyanyi. Andra lagi-lagi melotot sebal. Beberapa
pengunjung mulai memperhatikan kami. Andra memang pemain band, tapi selain dipanggung,
dia nggak suka jadi pusat perhatian.
Andra cepat-cepat meniup lilin. Bukan karena ingin kurasa, tapi supaya Maria cepat diam.
Setelah lilinnya padam, lagi-lagi Maria yang bertepuk tangan heboh. Seolah-olah Andra baru
saja memenangkan Grammy Award dan bukannya meniup lilin diatas cake kecil.
"Happy birthday to tou, happy?"


Dark Love Karya Ken Terate di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Andra mengangkat tangan, menyuruh Maria diam. Benar-benar gerakan yang menyinggung.
"Yuk, makan!" Andra mencomot pizza yang sudah terhidang.
"Mari," Chacha mengambil sepotong garlic bread. Hari ini Chacha tampil cantik sekali. Dengan
rambut bergelombang yang diikat sebagian kebelakang, ia layaknya Barbie yang manis.
Kebetulan sekali ia duduk disamping Banyu. Atau, sama seperti Maria, ia juga sengaja
mendekati cowok yang ia taksir. Ups, emangnya Chacha naksir Banyu" Nggak kan" Mereka
Cuma belajar bersama kan" Ku dengar mereka sudah dua atau tiga kali belajar bareng dan aku
tidak mendengar apapun dari Banyu, jadi kurasa semua berjalan lancar.
"Kirana, lo mau makan apa?" Alvin bertanya. Ah, aku benar-benar lega mendengarnya. Suara
Alvin yang ramah langsung membuaku ceria. Aku tersenyum padanya. Alvin tetaplah Alvin
yang baik hati dan selalu peduli padaku.
"Elo mau spageti" Atau pizza?" tanyanya.
"Spageti, dikit saja," kataku.
"Gue ambilin," kata Alvin.
Benar-benar pria sejati! Setelah makan, tibalah saat membuka kado. Maria lagi-lagi paling semangat, seolah dialah yang
mendapat kado-kado itu dan bukan Andra. Sementara aku merasa berkecil hati, aku satu-satunya
orang yang tidak punya apapun untuk Andra saat ini.
"Buka puny ague dulu!" Maria berseru sambil mengacung-acungkan kadonya.
Andra memandangnya nggak nyaman, tapi tidak mendebat. Ia menerima kado dari Maria yang
dibungkus manis, pakai pita segala. Saat ini aku benar-benar kasihan pada Maria. Ia sudah
mengirim segala sinyal kepada Andra, tapi jelas Andra tidak berniat menangkap sinyal itu.
"Wow, thanks, Maria!" Andra tersenyum lebar saat menerima T-shirt belel itu dari Maria. "Pas
banget buat gue." Ia menempelkan T-shirt itu dibadannya.
"Wah, elo tahu ukuran tubuh Andra, Mar," Chacha mengedip menggoda. "Oke, next, ini dari gue
dan Banyu." APA" Chacha dan Banyu" Mereka sudah menjadi satu item saat ini" Aku memang penasaran
kado apa yang akan diberikan Banyu. Ia paling tidak punya diantara kami.
Kami kadang tidak tega membebani Banyu dengan kewajiban member kado kayak gini. Kami
juga maklum bila Banyu tidak mentraktir kami saat ulang tahun seperti anggota Hi 4 lainnya.
Tapi entah bagaimana Banyu selalu bisa memberi kami kado yang manis, meski tidak mahal. Ia
pernah memberiku buku harian yang cantik. Kotak pensil buatan sendiri untuk Chacha, dan pick
gitar buat Alvin. "Ini," Chacha menyerahkan bungkusan kado kecil buat Andra.
"Apa ini?" Andra membukanya tergesa. "Wow, makasih banget, Chacha, Banyu. Gue memang
butuh SD Card cadangan." Andra menimang kotak kecil yang terbungkus plastic itu.
"Delapan giga, bisa menyimpan lebih dari 400 foto," Chacha menerangkan.
"Gue tahu! Keren. Ini benar-benar gue butuhkan. Thanks banget guys," Andra bersemangat.
Chacha tersenyum. Banyu juga. Maria agak cemberut, tapi biar saja.
Aku memandang Chacha dan Banyu. Mereka serasi. Chacha baik banget mau membeli kado
bareng Banyu. Aku yakin iuran Chacha lebih besar atau malah ia membayar semuanya.
Alvin menghadiahi CD Jason Mraz yang langsung membuatnya girang. Ketika tiba giliranku,
aku memberinya selembar amplop.
"Selamat ulang tahun, Andra," Andra membaca keras-keras surat yang terselip didalamnya.
"Kamu berhak membeli dua buah komik yang bisa kamu pilih sendiri sebagai ungkapan
persahabatan. Oh, makasih banget, Kirana." Andra memandangku penuh rasa terima kasih.
"Banyak banget komik yang pengin gue beli. Yakin jatahnya cuma dua nih?" Andra tertawa.
"Gue bisa beli yang mahal lho."
"Aku tahu kamu bakal beli yang mahal, jadi Cuma ku jatah dua," sahutku.
Tawa kembali berderai. Sejenak aku begiu bahagia, berada ditengah-tengah teman-teman yang
menyenangkan. Aku bisa melupakan pengalaman traumatisku tadi malam. My Prince-ku juga
banyak tertawa sore ini. Hanya saja kalau kami bertatapan, tawanya menjadi samar dan
pandangan matanya mendadak muram.
Penjahat yang Jahat Kamis, 29 Januari 2009 SUDAH seminggu sejak peristiwa "mengerikan" itu, My Prince masih belum bicara padaku.
Jahat banget kan" Pengin benar aku melabraknya disekolah. Memaki-makinya didepan semua
orang. Mengatainya PENGECUT!
SMS ku tidak dibalas. Begitu juga telepon ku. Bila aku menghubunginya dengan nomor lain, dia
akan menjawab, tapi lalu dimatikan begitu tahu itu aku. JAHAT! Aku nggak ngerti kenapa dia
bisa berubah secepat itu. Apa salahku" Oke, aku salah. Tapi" itu bukan jenis kesalahan yang
menyebabkan aku harus diabaikan seperti ini kan"
Pengin banget aku berteriak didepan semua orang. Mengatainya pengecut! Agar semua orang
tahu dia yang sempurna sebenarnya punya kebusukan tersembunyi.
Akan mengerikan menjalani semua ini sendiri, tapi aku berani. Lagi pula masalahku sudah cukup
berat tanpa harus ditambahi debgan mengurusi cowok kekanak-kanakan kayak dia. Aku cuma
ingin kejelasan. Apakah kami putus" Atau kami masih mau melanjutkan hubungan ini" Asalkan
semua jelas, aku akan menjalaninya. Kurasa.
Hari ini sepulang sekolah, ia dan anggota Hi 4 lainnya ngeband di studio. Bagiku itu
menggelikan. Dia kayak pengin pamer bahwa dia bisa bersenang-senang meski kami sedang
punya masalah besar. Aku menolak ikut dengan alasan harus kedokter gigi. Yang lain sontak membujuk-bujuk aku
untuk ikut. Sementara ia hanya diam saja. Cuek abis. Mungkin ia malah senang aku tidak ikut. Ia
bisa bebas dariku. Aku tak peduli. Kalau dia bisa menganggapku nggak penting, aku juga bisa menganggapnya
nggak lebih dari kutu. Aku pulang dan belajar. Mengubur diriku dalam buku dan soal-soal. Saat belajar, aku merasa
lebih baik. Aku bisa melupakan kebrengsekan cowok itu.
Hebat! Malam ini aku bisa menyelesaikan berlembar-lembar soal. Saat aku cocokkan dengan
kunci jawaban, aku lebih girang. Jawabanku banyak yang benar!
Aku jadi lebih bersemangat. Akhir-akhir ini kesehatanku membaik. Aku tidak lagi pusing atau
mual. Aku tidak pernah muntah lagi. Sebagai gantinya, aku lebih sering merasa lapar. Ini bahaya,
karena aku tidak boleh menjadi gendut. Nanti orang-orang akan curiga. Aku juga tidak mau bayi
ini tumbuh. Kadang aku berfikir, bisakah aku berhenti makan hingga bayi ini mati tapi aku tetap
hidup" Pikiranku buyar saat HP dimeja belajarku berbunyi. Maria. "Hai, Mar."
"Hai, Kirana. Tadi latihannya seru lho?"
Aku mendengus. Maria menelponku kapan pun ia pengin ngobrol, nggak peduli obrolan itu
penting atau nggak buatku.
"Elo sih, nggak datang. Ada kejadian menarik lho?" katanya mencoba memancing.
"Oya" Apa?" delapan puluh persen kejadian yang diklaim menarik oleh Maria tidak menarik
minatku sama sekali, contohnya sale Hush Puppies.
"Hm, tau nggak, Chacha minta diajarin main drum sama Banyu."
Tuuuh kan, menariknya dimana coba" Aku juga pernah diajarin ngedrum oleh Banyu dan
diajarin main gitar oleh Alvin. Dipaksa main bas sama Andra. Biasa aja deh.
"Gila deh dua orang itu," Maria berceloteh dengan semangat.
"Gilanya di mana?"
"Masa sih elo nggak merhatiin" Kentara banget, lagi. Mereka lengket gitu lho akhir-akhir ini."
"Mereka kan belajar bareng, jadi wajarlah kalau dekat." Aku tahu Banyu bahkan dibayar untuk
mengajari Chacha, jadi semua murni professional. Bisa jadi pelajaran drum ini juga nggak gratis.
Cuma aku nggak mungkin mengatakan itu pada Maria. Banyu minta aku merahasiakannya. Hhh,
aku sudah capek dengan rahasia.
"Ah, itukan cuma alasan Chacha biar bisa pedekate sama Banyu. Gue tau kok dari caranya
memandang Banyu, caranya ngomong sama Banyu. Lenjeh abis. Taruhan deh, Chacha pasti
naksir Banyu!" Maria yakin sekali.
Dadaku berdesir mendengarnya. Dugaan itu pernah terlintas dalam pikiranku, tapi aku
menepisnya. Aku percaya pada Banyu. Tapi mendengar pernyataan Maria, keraguanku mulai
timbul. Aku merasa tidak nyaman. Aneh, kenapa aku harus merasa tidak nyaman" Banyu dan
Chacha berhak saling menyukaikan"
"Coba kamu liat gayanya waktu minta diajarin main drum. Wuih kedoknya aja minta diajarin
main drum, padahal sebenarnya cuma pengin duduk nempel-nempel. Dipeluk dari belakang.
Tangannya dipegang."
Aku kehilangan kata. Gambaran itu tercetak jelas dalam pikiranku. Punggung Chacha yang
menempel di dada Banyu. Jemari Banyu yang menggenggam pergelangan tangan Chacha.
Mungkin Banyu dengan leluasa juga bisa menikmati tungkai Chacha. Taruhan, Chacha pasti
pakai hot pants, pakaian kebesarannya.
"Tapi nggak papa deh kalau mereka pacaran. Baguslah. Toh kita hamper lulus juga. Perjanjian
itu nggak berguna lagi," lanjut Maria.
"Ye, kamu bilang gitu karena kamu sendiri naksir Andra kan?" Aku nggak tahan lagi. Maria bisa
benar-benar manipulative.
"Alah, nggak usah sok suci deh lo. Kayak elo nggak naksir Alvin aja."
Dadaku berdesir lagi. Dan tuduhan Maria itu" menusuk sekali. Bukan tuduhan soal Alvin, tapi
tuduhan sok suci. Maria benar, aku memang sok suci.
"Bukankah itu bagus" Gue sama Andra, elo sama Alvin, dan Chacha sama Banyu. Three hottest
dates of the year." Bleh.
"Ngomong-ngomong soal Andra," Maria berkata pelan setelah diam sejenak, "Sabtu besok kami
nge-date." "KENCAN" KAMU DAN ANDRA?" Aku nggak bisa menyembunyikan kekagetanku. "Yang
bener?" Ini nggak mungkin. Andra nggak mungkin naksir Maria. Beberapa hari yang lalu mereka masih
bertengkar. Andra kelihatan banget nggak suka sama Maria. Kenapa kini mereka justru akan
berkencan" Apakah manusia bisa berubah begitu cepat" Nyatanya bisa. Seperti pangeran
brengsek yang bisa berubah jadi iblis dalam sekejab itu.
"Iya. Andra ngajak gue."
"Kencan kayak apa?" desisku. Makan bareng" Ke toko buku" Aku tahu betul Andra suka pergi
ke toko buku. Andra bisa ngajak siapapun ke toko buku, bahkan neneknya. Jadi, pergi ketoko
buku bareng bukanlah definisi kencan versi Andra.
"Dia ngajak gue ketoko buku. Memanfaatkan voucher dari elo tempo hari."
Tuuuhh kan, bener. Ya ampun, mudah-mudahan Maria nggak ke GR-an.
"Terus setelah itu kami akan nonton."
Nonton" Ini diluar kebiasaan.
"Sama siapa?" tanyaku kelu.
"Kami berdua aja. Eh, elo mau ikut" Elo bisa bareng Alvin. Kita double date."
Mana mungkin aku ikut" Mana mungkin aku sanggup menyaksikan mereka kencan"
Ciuman itu" Biasa"
Selasa, 3 Februari 2009 AKU masih sulit mempercayai bahwa Andra kencan dengan Maria. Tapi kurasa aku harus
percaya. Kencan Maria dan Andra tidak berhenti sampai nonton film saja. Hari Minggu mereka
datang berdua saat kami ikut try out UN di Senayan, seperti mengumumkan status mereka
kepada seluruh pelajar DKI.
Hari Senin kemarin Andra mengantar Maria pulang dengan motornya. Pemandangan itu begitu
menggangguku. Mereka seolah mau pamer keseluruh dunia. Tapi memamerkan apa"
Siang ini aku dan Maria duduk-duduk dibangku taman sekolah menunggu jam les. Aku berusaha
mengerjakan beberapa soal modul. Tapi aku nggak bisa konsentrasi karena Maria terus dan terus
bicara. Tentang Andra, Andra, dan Andra lagi.
"Andra bla bla bla" terus dia bla bla" bla" bla" rasanya bla" bla" bla dan ciumannya oke
banget." APA! Serta-merta aku menjatuhkan pensilku. Mereka ciuman" Tunggu, Andra mencium Maria
atau Maria mencium Andra"
"Ciuman di mana?" tanyaku dengan jantung berdebar.
"Di bibir." Ya ampun. "Maksudku" di mana" lokasi" tempat kalian"," kata ku terbata-bata.
"Oh," Maria tersipu sejenak, lalu semangat lagi, "diruang ganti Centro."
HA" "Gue pura-pura mau beli baju. Terus pura-pura nyobain di kamar pas. Terus Andra ikut masuk
dan kami?" Oke! Stop! Aku tidak mau dengar terlalu jauh.
"Kamu pura-pura aja, kan" Maksudku pura-pura mencoba baju?"
"Hahaha, penginnya sih mencoba baju beneran, biar Andra bisa liat."
"Maria!" aku menegurnya keras. Bisa-bisanya Maria berpikir sejorok itu.
"Ah, memangnya kenapa sih" Cuma buka baju. Pengin aja godain Andra. Dia pernah liat gue
renang juga. Ingat kan, pas kita renang dirumah Alvin?"
Itu beda! Itu kan dikolam renang! Maria memang pakai bikini waktu itu. Tapi bikini kan bukan
bra. Yeah, yang benar saja. Cuma pengin godain Andra, katanya. Aku meragukannya. Pastilah Maria
yang menginginkannya. Dia tipe cewek penggoda.
"Tanpa begitu pun, Andra pasti mau mencium kamu kan?" sidirku tajam. Ada kepahitan yang
kurasakan. Ini nggak benar. Ini nggak mungkin.
Pipi Maria bersemu merah. Bukan karena malu kurasa, tapi karena bergairah. "Hehe, ciumannya
hot. Lebih hot daripada mantan-mantan gue."
Ha" "Sehebat itukah?" tanyaku gemetar. Maria mengangguk bersemangat. Ciuman dengan coeok
bukan sesuatu yang baru bagi Maria. Entah bibir siapa saja yang telah menempel dibibirnya,
menular segala macam bakteri dan penyakit. Herannya, Maria tampak biasa-biasa saja. Aku
membayangkan ciuman-ciumanku dengan My Prince. Nggak munafik, aku menikmatinya, meski
awalnya aku merasa jijik.
Mula-mula sih kami melakukannya karena penasaran, setidaknya AKU penasaran. Ya sih, tetap
menjijikkan. Terlalu basah, terlalu lengket. Dan yang ku bayangkan adalah penyakit hepatitis
yang bisa menular lewat air ludah. Ciuman jadi menyenangkan akhirnya, setelah aku terbiasa.
Tapi, setelah beberapa kali jadi nggak istimewa. Tetap saja aku tidak bisa membayangkan
berciuman dengan banyak cowok. Seperti Maria.
"Gimana ya kalau dia menciumku dibagian lain?" kata Maria sambil mengedip dan jantungku
seakan mencelos. "Maria!" kali ini justru wajahku yang memerah. Ya, aku sudah berbuat yang lebih gila dari
Maria. Astaga, aku bahkan sudah melakukan "itu", chapter paling akhir hubungan fisik. Tapi
mendengar detail ciuman orang lain, sama sekali berbeda. Kedengerannya menjijikkan banget
dan membuat kupingku panas. Aku nggak pengin mendengar "bagian lain" yang dimaksud
Maria. Jelas yang dimaksud Maria bukan pipi atau kening. Lagi pula ini Andra. Andra yang kami
bicarakan! Andra teman kami!
"Ya ampun, elo tuh kolot banget sih" Elo nggak pernah ciuman dengan pacar-pacar lo dulu?"
Pacar-pacar" Memangnya aku kayak Paris Hilton gitu" Yang bisa ganti pacar tiap kali mode
berganti" Aku bingung. Apakah aku harus bilang "nggak pernah" yang berarti mengakui kecupuanku, atau
"pernah" yang menunjukkan aku sama jalangnya dengan Maria.
"Ya, sium biasa aja," akhirnya aku menjawab, "di pipi." Mengatakan hal itu pun sudah membuat
wajahku terbakar. Malu dank arena muak dengan kebohonganku sendiri.
"Hihihi, beneran deh elo lugu banget. Sekali-sekali elo mesti rasain deh. Cobain dulu, sama
Alvin, misalnya." Astaga! Kali ini wajahku pasti sudah gosong kepanasan. Aku menunduk dan ini membuat Maria
makin ngakak. "Nggak ah!" aku spontan berseru. Lebih keras daripada yang kuniatkan. Hingga anak-anak yang
sedang berlalu-lalang didepan kami menoleh.
"Siapa yang mau ciuman sama dia?" Aku mati-matian menolak ide gila Maria.
"Apa salahnya" Alvin kan cakep."
"Dia cakep dan dia teman kita!"
"Terus apa salahnya" Teman juga bisa berciuman kan" Gue dan Andra juga" teman."
Kalimat Maria membuatku tersentak. "Kalian" nggak" pacaran?" Ini aku yang aneh atau
dunia di sekelilingku yang gila"
Maria menggeleng lemah. "Nggak. Andra nggak pernah bilang apa-apa. Maksud gue seperti I
love you atau Maukah kamu jadi pacarku. Tapi" whatever lah. Gue juga nggak peduli.
Hubungan tanpa status sekarang lagi ngetren kan?"
"Tapi kalian sudah kencan dan ciuman dan" kurasa itu berarti kalian pacaran."
"Nggak tahu lah. Gue pikir begitu, tapi gue nggak tahu apa yang dipikirkan Andra. Dia" nggak
kayak" pacar," kata Maria sambil menerawang.
"Nggak kayak pacar?" ganti aku yang heran. Mereka nonton berdua, pulang bersama, berciuman,
dan sebagainya. Kalau itu nggak kayak pacar, terus yang kayak pacar itu seperti apa"
"You know, nggak ada SMS remeh atau hadiah kecil. Kartu romantis. Kami jalan bareng,
terus" udah. Jalan lagi, udah lagi."
Ini semakin aneh. "Mungkin Andra cuma segan. Dia kan memang bukan tipe romantis," kataku, merasa wajib
menghibur Maria. Nggak tahu deh aku malah kasihan padanya.
"Andra mau kencan denganmu, berarti dia tertarik padamu. Tapi kamu tahu kan, cowok suka
susah mengungkapkan perasaannya dengan kata-kata."
"Begitu ya" Cowok-cowok gue yang dulu nggak segitunya. Yang paling cuek dan nggak
romantic pun minimal kirim SMS."
Yeah, aku lupa aku bicara dengan Maria. The Master of pacaran!
"Mar?" "Ya." "Apakah kalian nggak terlalu" cepat?" aku mengalihkan topik pembicaraan.
"Maksud lo?" Maria memandangku tak mengerti.
"Kamu dan Andra. Kalian kan baru deket beberapa hari saja?"
Aku pernah mendengar, tapi aku lupa dari siapa. Mungkin dari Mama atau dari salah satu
tanteku. Jangan berikan "semuanya" kepada pria. Taukan arti "semua yang kita miliki?" bila
sudah mendapatkan "semuanya", laki-laki tidak akan penasaran lagi dan akan pergi. Bahkan
ketika mereka bersumpah akan setia bila mendapatkan "semuanya" itu tadi. Itu semua cuma trik
laki-laki, supaya lita menyerahkan "semua yang kita miliki". Mereka akan mengobral janji,
melontarkan segala bujuk rayu, omong kosong. Tapi kenyataannya" begitu mendapatkan yang
mereka inginkan, kita akan ditinggal, dibuang. Alasan bisa dibuat. Tapi alasan yang sebenarnya,
itu tadi, mereka sudah mendapatkan "semuanya"!
Kini aku percaya itu benar. Aku sudah mengalaminya. Well, si brengsek (aku tak sudi


Dark Love Karya Ken Terate di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyebutnya My Prince lagi. Kini dia tidak lebih dari sekedar cowok bejat!) sudah mengabaikan
aku bukan" Saat aku sudah menyerahkan segalanya. Aku nggak beda dari ampas jus, yang
dibuang ketika semua sariku sudah terisap! Memang dia tidak membujuk rayu atau bagaimana.
Tidak ada tipu muslihat, paksaan, atau obat bius (andai saja begitu). Tapi akhirnya tetap saja: aku
terbuang! "Hm" nggak tahu deh, terlalu cepat atau nggak. Memang ada ukurannya" Gue rasa sih semua
alami saja," ujar Maria.
HAH! ALAMI SAJA" Itu juga yang aku rasakan! Semua terasa normal dan oke. Tapi nggak!
Nggak ada yang alami! "Elo pernah enggak sih penasaran seks itu rasanya kayak apa?"
APA" Rasanya aku mau pingsan mendengar pertanyaan Maria. Kata itu aku dengar di TV, aku
baca di majalah dan internet, tapi tidak sanggup aku ucapkan. S.e.k.s. rasanya terlalu vulgar dan
jorok. "Ng" nggak sih." Aku nggak pernah penasaran lagi maksudku.
"Masa sih" Kalau baca-baca dan liat film, kayaknya seks itu hebat banget."
"Hebat apanya?" cibirku. "Maria, nggak semuanya yang ditulis dan difilmkan itu nyata. Mereka
itu melebih-lebihkan!"
"Kayak elo tau aja," Maria membalas mencibirku. "Ciuman aja elo belum pernah."
Aku terdiam. Bagaimana aku bisa mengatakan pada Maria bahwa aku MEMANG TAHU" Aku
memang tahu bahwa manusia terlalu berlebihan memuja seks" Ya, itu menyenangkan. Tapi
nggak sedasyat itu! Bahkan rasanya" agak menyakitkan dan menjijikkan. Dan setelahnya
membuatku ketakutan dan merasa kotor.
"Kalau ciuman aja dasyat banget" apalagi seks!" Maria menggunakan kata itu lagi! Kok dia
tidak risi ya" "Udahlah, Mar!" tukasku. "Kamu nggak benar-benar berfikir akan melakukannya kan?"
Maria cuma mengedikkan bahu. "Nggak tahu. Kalau harus menunggu menikah, bukannya itu
masih terlalu lama" Itu pun kalau kita menikah. Kalau nggak?"
Aku kehilangan kata-kata. Yang mengherankan adalah aku tidak berniat menghalangi Maria.
Aku justru ingin dia melakukan "semuanya". Jahat memang. Dan itu membuatku ngeri. Tapi aku
tidak ingin menjadi satu-satunya pezina disini. Bila Maria "melakukannya", aku akan punya
sekutu sesame pendosa. Apalagi bila dia juga" hamil! Aku jahat, jahat sekali. Tapi aku tidak
bisa mengingkari perasaanku sendiri.
Antara Perasaan dan Janji
SORE ini kami berenam berkumpul di tepi lapangan basket sekolah. Alvin yang mengusulkan
pertemuan ini. Menurutnya sudah saatnya Hi 4 membicarakan perkara serius ini. Kami semua
sudah tahu apa yang dimaksud Alvin dengan perkara serius: hubungan Andra dengan Maria.
Lepas dari mereka pacaran resmi atau tidak, anggota Hi 4 menganggap mereka pacaran. Titik.
Dan itu artinya mereka melanggar kesepakatan. Bagi kami tidak ada istilah Teman Tapi Mesra.
Pilihannya: pacaran atau temenan. Itu aja.
"Perasaan kamu deh yang paling semangat waktu bikin perjanjian itu," Alvin menuding Andra.
"Nggak usah lebai deh, undang-undang aja bisa direvisi," Maria membela Andra. "Lagian kita
juga udah hamper lulus."
"Jadi maksudmu, sebaiknya peraturan itu dibatalkan?" Bany bertanya dengan tenang, seperti
biasa. "Ya kalau semua setuju. Lagi pula itu peraturan konyol, kan" Mana mungkin kita ngatur
perasaan?" Maria berapi-api.
Alvin menghela napas. "Dulu kita bikin perjanjian itu supaya Hi 4 nggak dicampuri tetek-bengek
urusan pacaran. Pas waktunya latihan, malah pacaran, misalnya. Repot lagi kalau yang lagi
pacaran bertengkar, semua anggota kecipratan getahnya kan?"
"Sekarang kita bahkan nggak pernah ngeband." Maria lagi-lagi nyolot. Ia benar, sejak kami naik
kelas 12, otomatis semua kegiatan "nggak penting" kami kurangi, termasuk ngeband. Terhitung
sejak naik kelas, kami tidak pernah pantas sama sekali.
"Bukan berarti kita bakal berhenti sama sekali, kan" Bisa aja kan setelah lulus kita main lagi"
Kenapa nggak" Bukankah itu keinginan kita" Nggak sekedar jadi band SMA" Kita pengin
rekaman dan bikin album." Alvin mengingatkan kami akan semua mimpi yang pernah kami
khayalkan. Aku ingat betapa manisnya kala itu. Aku akan menjadi manajer mereka. Dan Chacha
yang bergabung belakangan langsung berkhayal akan jadi produser album Hi 4.
"Yeah, kayak elo nggak bakal ke Sydney aja," Andra menyerang Alvin.
Alvin salah tingkah. "Itu baru rencana, oke" Dan kalau itu benar, Hi 4 bisa tetap berjalan tanpa
gue kan" Kalian bisa cari pengganti."
Terus terang aku mengagumi Alvin saat ini. Dia bijaksana banget.
"Hm, oke. Gampang kok cari pengganti lo. Kirana, Chacha, kalian berdua bisa main gitar kan?"
Andra berujar sinis. Wajah Alvin menggelap. Kami jadi resah.
"Gini aja deh, perjanjian itu kan dibuat berdasarkan kesepakatan," Banyu menengahi, "kalau
mau dibatalkan juga harus berdasarkan kesepakatan. Nah, pertanyaannya, kita sepakat nggak
nih?" Kami semua berpandangan, menebak-nebak apa yang dipikirkan masing-masing. Kalau kami
sepakat membatalkan aturan itu, rasanya kami semua jadi pecundang yang nggak mampu
menaati peraturan yang kami buat sendiri.
Beberapa saat tidak ada yang bersuara sampai kemudian Chacha bicara, "Gue nggak pengin kita
bertengkar gara-gara masalah ini. Tinggal sebentar lagi kita bareng-bareng di SMA."
Benar juga. Kenapa harus rebut-ribut di saat seperti ini"
"Nggak usah munafik deh lo berdua," tiba-tiba Maria nyolot lagi.
Chacha memucat, tapi matanya melotot. "Apa maksudnya tuh?"
"Memangnya elo sama Banyu ngapain aja?"
"Hah" Apa sih maksud lo?" Chacha berdiri, menentang Maria. Banyu langsung berdiri,
menenangkannya. "Kami berteman. Itu saja." Hanya kalimat itu yang butuh diucapkan Banyu dan Maria langsung
tertunduk. Kelegaan aneh menyiramku. Tidak ada yang istimewa di antara mereka. Sepintas
kulihat Chacha dan apakah benar aku melihat ada kekecewaan dan kesedihan di sana.
"Jangan membuat gossip nggak mutu," lanjut Banyu. "Kami hanya berteman, seperti aku
berteman denganmu, dengan kalian semua."
Maria membuang muka, tidak menyahut.
"Chacha benar," kata Andra di sela ketegangan. "Tinggal sebentar lagi, jadi kenapa mesti
diributkan" Toh gue juga nggak yakin Hi 4 bisa bertahan."
"Maksudmu?" Aku tak mengerti.
"Gue berencana kuliah di Jogja."
Hah" "APA?" sontak Maria berteriak. Andra memalingkan muka acuh tak acuh. "Kok elo nggak
bilang sih?" protes Maria. Aku melihatnya sebagai protes cewek pada cowoknya.
"Ini gue bilang."
Yeah, didepan semua orang dan membuat Maria tampak konyol.
"Tapi lo bilang lo akan kuliah di IKJ!"
"Gue berubah pikiran. Boleh kan" Lagian apa urusan lo kalau gue mau kuliah di Jogja?" sahut
Andra cuek. "Elo jahat!" Tiba-tiba Maria beranjak. Mukanya merah padam. Ia berbalik dan berlari
meninggalkan kami. Aku terpana, tapi langsung bangkit untuk mengejar Maria. Aku masih
sempat mendengar Alvin berujar, "Tuh kan, jadi rumit kalau ada yang pacaran!"
Lalu aku mendengar Andra menyahut, "Siapa yang pacaran?"
*** Aku mengejar Maria sampai belakang aula. Maria tidak begitu cepat berlari. Malah kesannya
melambat-lambat, meski ia mengentakkan kakinya keras-keras. Mungkin ia ingin Andra
mengejarnya. "Mar, tunggu! Please," aku meraih tangannya. Seperti sudah kuduga, ia menyentakkannya dan
terus berlari. "Maria!" Akhirnya dia berhenti setelah aku berhasil menahan bahunya. Kupeluk dia dan kulihat
air mata sudah menggenangi matanya.
Aku menuntunnya kedalam aula. Ada ruang kosong di belakang layar panggung. Mulanya Maria
menolak, tapi akhirnya ia menurut sambil terisak-isak. Kami duduk berdua di tangga panggung.
Aku biarkan dia mengatasi tangisnya. Aku biarkan hingga napasnya tak tersengal-sengal lagi.
"Kamu marah karena Andra akan kuliah di Jogja?" tanyaku setelah isaknya reda.
"Nggak!" "Terus?" "Gue cuma nggak suka dia nggak bilang ke gue. Memangnya selama ini kami ngapain" Aku ini
siapa?" Aku menghela napas. Bagaimana aku harus menjelaskan bahwa Andra sama sekali tidak
menganggap Maria pacarnya" Aku juga marah pada Andra. Tidak seharusnya dia
mempermainkan Maria. Ya ampun, mereka bahkan nonton berdua, pulang sekolah bersama, dan
astaga, mereka sudah berciuman!
"Dia sama sekali nggak menghargai gue," keluhnya. Aku mengangguk, membenarkannya sekali
ini. "Dia memang cowok brengsek, Andra itu," bisikku. Semua cowok memang brengsek.
Beruntunglah Maria. Paling nggak dia tidak hamil.
Malamnya Malam itu hujan turun deras. Aku mencium aroma khas tanah basah dan menghirup udara
dalam-dalam. Sudah Februari. Alangkah cepatnya waktu berlari. Dan semua justru tambah
kacau. Aku dan cowok itu masih belum berkomunikasi. Aku nggak mau menghubunginya. Aku
nggak mau mengemis-ngemis dan menjatuhkan harga diriku.
Maria memusuhi Andra. Alvin akan ke Australia dan Andra akan ke Jogja. Banyu dan Chacha
tidak ku mengerti. Aku dan cowokku tidak saling bicara. Apakah ada hal baik yang masih
tersisa" Kamis, lupa tanggal berapa
Huh, semuanya berjalan muram dan membosankan akhir-akhir ini. Hingga malam itu aku
merasakan sesuatu. Aku sedang belajar, lalu perutku seperti ditonjok dari dalam. Tapi nggak
sakit. Oh! Ya Tuhan. Apakah" ia bergerak" Tubuhku kontan membeku. Rasanya ada
bongkahan es yang mengunci seluruh tubuhku seketika.
Aku menunggu adanya gerakan lagi. Lama, tapi nggak ada apa-apa. Lalu, ada lagi, lebih halus
kali ini. Kuletakkan pensilku.
Untuk pertama kali aku mengakui kenyataan bahwa memang ada makhluk lain dalam tubuhku.
My Prince! (Mereka Tidak Tahu)
Sabtu, 7 Februari 2009 SABTU adalah hari yang menyenangkan. Kami hanya belajar sampai jam setengah sebelas.
Anak-anak kelas 10 dan 11 libur atau hanya datang buat ekskul. Kelas 12 harus mengikuti kelas
tambahan persiapan UN dan ujian masuk perguruan tinggi yang membuat bete. Tapi toh tidak
mengubah perasaanku terhadap hari Sabtu. Aku lebih mudah berbahagia pada hari Sabtu.
Kecuali Sabtu ini karena hari Sabtu ini Hi 4 berakhir.
Kami mengadakan pertemuan lagi setelah pelajaran tambahan selesai. Minus Maria. Ia tidak
masuk hari ini. Kepada guru ia bilang ia mengurus pendaftaran di sekolah fashion design.
Kepadaku ia mengaku tidak mau bertemu Andra.
Keputusan pertemuan ini adalah Hi 4 resmi membubarkan diri. Mengagetkan dan menyedihkan.
Tapi itulah keputusan kami. Bagaimana lagi, kata Andra, kami akan berpisah dan terpencarpencar setelah lulus. Alvin tampak keberatan, tapi kemudian dia berkata berkata toh Hi 4 dulu
dibentuk sebagai band sekolah. Jadi ketika sekolahnya bubar, wajar saja bila Hi 4 ikut bubar.
Banyu masih sama dengan sebelumnya, berpendapat bahwa band ini, seperti larangan pacaran,
dibuat berdasarkan kesepakatan. Kalau kini kami semua sepakat bubar ya sudah, tidak masalah.
Bukan berarti kami tidak bisa ngeband bareng lagi. Teetap bisa kok. Tapi tidak dibawah bendera
Hi 4. Tidak ada kewajiban lagi. Tidak ada aturan buat latihan bareng. Tidak ada iuran rutin atau
larangan pacaran. Kalau ada anggota yang mau bergabung dengan band lain, silahkan saja.
Aku menelpon Maria saat itu juga, dan tanggapannya adalah "Terserah." Kami anggap dia
setuju. Aku sebenarnya tidak setuju. Tapi aku cuma manajer. Manajer band tidak berguna bila
bandnya saja tidak eksis. Kalau mereka sudah sepakat membubarkan diri, aku tidak bisa berbuat
apa-apa. Hidup ini ironis ya. Saat akhirnya aturan tidak boleh pacaran itu terhapus, hubunganku dengan
cowok itu justru nggak jelas dan Maria bermusuhan dengan Andra.
Meski tidak tampak, aku yakin bubarnya Hi 4 membawa kesedihan bagi kami semua. Selama ini
kami disatukan oleh band itu. Sekarang setelah band itu bubar, persahabatan kami seakan ikut
lenyap juga. Alvin bilang tidak begitu. Kami akan terus bersahabat. Meski Hi 4 tidak ada, Andra, Alvin,
Banyu, Maria, Kirana, dan Chacha tetap ada kan" Percuma. Kata-kata Alvin tidak sanggup
menghiburku. Setelah pertemuan berakhir. Alvin mendekatiku dan berbisik, "Hei, rileks, ujian tinggal tiga
bulan lagi. Lebih baik kita konsen ke situ. Elo pengin mengungguli nilai gue kan?"
Aku tersenyum. Alvin juga sedih saat ini, aku tahu. Tapi dia berusaha menghiburku. "Thanks,
Vin." Dia memang cowok yang paling baik.
Tentu saja, di luar itu, kesedihanku lebih berat daripada kesedihan mereka semua. Mereka cuma
kehilangan "band" kan" Bukannya kehilangan seluruh masa depan. Mereka juga tidak
ditelantarkan oleh orang yang mereka sayangi kan"
Setelah kami bubar, aku bingung. Bila kami berkumpul, cowok "itu", mendadak jadi baik dan
perhatian. Di depan semua orang, ia bersikap manis padaku. Tapi dibelakang itu, ia berubah 180
derajat. Sikapnya asing dan ganjil. Bertatapan denganku saja dia tidak mau. Serius, komunikasi
kami benar-benar buntu. Kamis, 12 Februari 2009 Aku benci hari Kamis. Kamis benar-benar membuatku malas bangun dan melangkah ke sekolah.
Mau tau alasanku" Ada pelajarn olahraga di hari Kamis. Bukan, bukan aku benci olahraga.
Olahraga adalah kegemaranku. Di sekolah, olahraga adalah salah satu pelajaran favoritku. Dulu.
Sebelum ada "ini" didalam tubuhku.
Setelah "dia" ada dalam tubuhku, aku berusaha sebanyak mungkin membolos pelajaran olahraga.
Tubuhku bersikap aneh. Ia menolak diajak olahraga. Rasanya terlalu capek. Sekarang tambah
masalah lagi, tubuhku bermusuhan dengan kaus olahraga. Ketika melihat dicermin pagi ini, aku
mendadak shock dan ketakutan. Kaus itu ketat dibagian perut! Tentu saja, seharusnya aku tahu
ini akan terjadi, tapi aku tetap tak bisa percaya. Ini musibah. Seberapapun aku berusaha
mengempiskannya, perut itu tetap tak mau rata. Aku terpaksa memegangi kaus supaya tidak
menempel ditubuhku. Oh! Sepertinya lebih baik aku membolos saja. Tapi apa alasannya" Minggu lalu aku bilang aku
lagi mens, masa sekarang mens lagi" Beberapa minggu lalu, aku bilang aku sakit. Masa sekarang
sakit lagi" Bisa-bisa Bu Welas, guru olahragaku, curiga. Uf, kok aku jadi iri pada Jeni yang baru
saja jatuh dari motor dan kakinya digips" Ia boleh tidak mengikuti pelajaran olahraga sebulan
lebih. Susahnya lagi aku adalah anak rajin. Aku merasa berdosa besar bila membolos. Beda banget deh
dengan Maria yang menganggap membolos adalah hak asasi.
Jadi aku paksakan juga masuk lapangan pagi itu. Bila ada orang yang memperhatikan perutku,
yah" semoga mereka Cuma menganggap aku tambah gemuk. Come on, perut Nayla bahkan
lebih besar daripada perutku!
"Hari ini pelajaran olahraga terakhir untuk kalian!" Bu Welas mengumumkan begitu semua
cewek sudah masuk lapangan. Disekolahku cewek dan cowok berolahraga secara terpisah.
Asyiiikk!!! Semua bersorak. Sorakanku memang bukan yang paling keras, tapi jelas akulah yang
paling bahasia atas pengumuman ini.
"Mulai minggu depan, jam olahraga akan diganti try out."
Yes! Bagiku try out jelas jauh lebih menyenangkan, meski Maria mengeluh, "Yah, try out.
Mending sit up seratus kali."
"Tapi ingat, bulan depan ujian akhir olahraga. Nggak usah cemas, gampang kok. Selama kalian
bisa lari dan melempar bola, kalian pasti lulus." Bu Welas tersenyum. Aku merasa lebih enteng.
Pagi itu kami bermain basket. Kelompokku mendapatkan giliran kedua. Wow, rasanya aku jadi
bersemangat. Sejenak aku lupa keadaan tubuhku. Yang aku inginkan hanyalah berlari,
melompat, melempar bola. Aku tidak pernah merasa sesehat ini.
Tapi aku keliru. Di tengah pertandingan, mendadak aku merasakan sesuatu yang aneh. Aku
mendadak sangat letih. Tiba-tiba aku merasa susah bernafas. Aku berdiri mematung. Jangan,
jangan pingsan. Pandanganku berkunang-kunang. Dan sebelum aku sadari, aku terkulai.
Setelah itu "Kirana" Kirana?" Sayup-sayup aku mendengar namaku dipanggil. Aku membuka mata.
Semuanya terlihat kabur dan berputar. Oh, aku pusing sekali. Begitu aku mencoba bangkit, rasa
pusing itu kembali menyerang. Seolah bumi yang aku pijak berputar puluhan kali lebih cepat.
"Kirana kamu baik-baik saja?" Itu suara Bu Welas. Ia menepuk-nepuk pipiku. Aku mengangguk.
"kamu bisa dengar Ibu?"
Aku mengangguk lagi. "Kamu harus ke dokter."
Apa" Dokter" Nggak akan!
"Biar saya antar dia ke dokter, Bu."
Suara cowok! Suaranya! Itu suara My Prince. Pangeranku. Samar-samar kulihat ia berdiri
dibelakang Bu Welas. "Yakin?" Bu Welas bertanya padanya.
"Iya, saya dulu pernah ngantar Kirana waktu dia sakit. Saya tahu dokternya." Suara itu kembali
terdengar. Bagaimana ia bisa sampai kemari" Samar-samar aku juga melihat Maria dan beberapa
anak cewek lain. "Saya sudah memanggil taksi," lanjutnya. Akhirnya Bu Welas mengizinkan. Aku dituntun keluar
oleh Maria dan My Prince. Seseorang memberiku botol air mineral dan jaket. Lalu aku
mendengar cowok itu berkata pada Maria, setengah ngotot, "Udah, Mar. Biar aku aja. Sungguh.
Iya nggak papa. Nanti aku telepon."
Beberapa saat kemudian ku dengar pintu taksi ditutup dan cowok itu berkata, "Ke belakang
sekolah ini, Pak, muter aja jalan itu."
Ketika taksi sudah berjalan, ia membukakan botol air yang ku pegang dan menyuruhku minum.
Aku menurut. Rasanya aneh. Sudah berhari-hari kami tak saling bicara. Dan sekarang ia
memutuskan untuk muncul menjadi penyelamatku" Kalau aku tidak lemah, aku akan
menanyainya banyak hal. "Kamu nggak ingin ke dokter kan?" Aku mendengarnya bertanya. Aku menggeleng, masih
dengan mata terpejam. Ia tahu apa yang ku inginkan.
Hanya lima menit, kami sudah sampai di kos. Ia menuntunku menuju kamar. Aneh sekali berada
di kos ini Kamis pagi. Kos benar-benar sepi.
"Nanti barang-barangmu aku antarkan, sepulang sekolah."
Aku mengangguk. "Thanks." Aku ingin bertanya tentang banyak hal, tapi disaat yang sama aku
tak ingin bicara padanya.


Dark Love Karya Ken Terate di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kok kamu tahu aku pingsan?" Akhirnya itu yang kutanyakan, bukan "Kenapa kamu
mengabaikanku berhari-hari?"
"Kebetulan lewat. Dari lab fisika."
Kebetulan. Cuma kebetulan.
"Aku akan kembali ke sekolah. Kamu butuh sesuatu?" tanyanya.
Aku mengeleng. Aku butuh kamu sebenarnya. Tapi kamu tidak bisa memberikannya, bukan"
Ia duduk ditepi ranjang. "Jangan buat cemas lagi," ia menggenggam tanganku.
"Kamu" cemas?"
"Tentu saja aku cemas, Kirana?" Wow, sudah lama aku tidak mendengar ia menyebut namaku.
"Apakah tidak lebih kalau kamu" ke dokter?"
Saran macam itu" Ia tahu betul apa "penyakitku". Dokter juga akan tahu begitu melihatku! Aku
tidak mau ada orang lain tahu! Aku menggeleng kuat-kuat. Aku gigit bibirku supaya tidak
menangis. "Kirana," ia bangkit, "ambil keputusan. Kalau kamu ingin mempertahankan ini, jaga
kesehatanmu. Jaga kesehatan" anak" kita."
ANAK KITA" Kata-kata itu menghantamku bagai petir. Selama ini kami tidak pernah
mengucapkan itu. Kami mengubur semuan
ya. Menghibur diri kami bahwa ini semua akan
berlalu. Dan entah bagaimana semua akan baik-baik saja.
"Aku membaca" ibu ham" maksudku seseorang seperti kamu harus banyak mengonsumsi
asam folat, juga vitamin-vitamin yang lain. Ada susu khusus untuk" kamu tahu," ia terbatabata.
Kali ini aku menggigit kukuku. Aku benar-benar nervous. Haruskah aku melakukan semua itu"
Setelah susu kehamilan, apa lagi" Senam hammil" Kenapa nggak sekalian pakai daster dan
menempelkan tulisan di dadaku, "Aku 17 tahun dan HAMIL?"
Mudah saja dia mengatakan itu. Bukan dia yang menjalani semua ini. Bukan dia yang napasnya
sesak dan payudaranya membengkak. Bukan dia yang harus minum susu yang rasanya yuck.
"Tapi kalau kamu tidak mau melakukan semua itu" lebih baik" gugurkan saja, bukan?" Meski
suaranya pelan, aku bisa mendengarnya dengan jelas, termasuk bibirnya yang gemetar.
"Daripada ia lahir dan sakit-sakitan?"
Kali ini air mata benar-benar membasahi pipiku. Aku teringat malam mengerikan itu. Saat kami
ke klinik aborsi. Aku bahkan masih bisa mencium bau amisnya.
"Terserah kamu, kita bisa mencari klinik" yang lebih baik."
Apa ada hal seperti itu" Aborsi yang baik"
"Aku takut"," aku merintih.
Ia duduk dikursi dan meraih tanganku. "Kalau memang begitu, kita harus konsekuen, Na."
"Kita?" Aku tak bisa menahan kemarahanku. Kemana aja dia selama ini"
"Sori"," ia memalingkan muka, "kalau aku" menjauh dari kamu beberapa hari."
Menjauh" Dia nggak sekedar menjauh. Dia menghindar, melarikan diri.
"Aku butuh memikirkan semua ini."
"Seharusnya kamu bilang, biar aku nggak kayak orang tolol, bertanya-tanya kenapa kamu
mendadak aneh kayak gitu." Aku masih tak bisa menerima alasannya.
"Maaf. Aku juga ketakutan."
"Ketakutan?" "Sejak malam itu, aku dihantui mimpi buruk," dia tidak menatapku.
"Aku juga." "Aku merasa bersalah, Na."
"Bukan berarti kamu harus menjauhiku kan?"
"Memang nggak. Tapi aku" aku capek sekali, Na. Kayaknya nggak ada solusi. Kamu menolak
semua yang aku tawarkan. Aku nggak tahu lagi apa yang harus aku lakukan. Aku capek, dan"
kecewa." Ini adalah kalimat terpanjang yang ia ucapkan dalam beberapa hari terakhir. Uf, rasanya sudah
lama sekali kami tidak bicara seperti ini.
"Kadang aku berpikir kamu nggak perlu aku. Aku adalah masalah baru bagimu kan?"
"Nggak, itu nggak benar!" Air mataku makin tak terbendung. Bagaimana ia bisa berfikir seperti
itu" Aku nyaris tak punya siapa-siapa lagi dalam masalah ini.
"Tapi ini semua salahku kan" Andai aku tidak" andai kita tidak, maksudku" andai kita tidak
pernah?" Pertahananku runtuh. Aku mengerang dalam tangisku. Ia jadi nervous dan salah tingkah.
"Aku sudah menghancurkanmu, Na. Aku nggak pantas buatmu."
Nggak pantas" Bukankah itu jurus cowok kalau mau melarikan diri" Menyalahkan diri supaya
mudah pergi" "Kita udah sepakat" nggak" membahas" siapa yang bersalah kan?" tersedat aku
mengingatnya. "Nggak setelah malam itu. Aku benar-benar merasa bersalah. Aku telah membuat kamu
sengsara, dan mungkin membuat kamu" maksudku, kalau itu tidak berhasil, kamu bisa?"
"Shhhh?" Aku benar-benar tak mau membicarakannya. Terlalu mengerikan. Kami terdiam lagi.
Suara detak jarum jam dari bekerku sampai terdengar memekakkan.
"Lalu kita harus bagaimana?" tanyanya untuk kesekian kali. Ia menyusut air mata dan melepas
pelukannya. "Kita lihat saja nanti," kataku.
Ia terpekur. "Terserah kamu."
Keputusanku tidak muluk-muluk. Aku membiarkan semua mengalir mengikuti waktu. Yang
terjadi, terjadilah. Nyatanya sudah sekitar empat bulan, dan aku masih baik-baik saja kan" Aku
berpikir sederhana. Kalau aku tidak bisa membuat keputusan untuk diriku sendiri, serahkan saja
pada takdir untuk mengaturnya. Lebih gampang kan"
"Aku benar-benar harus kembali ke sekolah. Ada ulangan kimia setelah ini." Ia bangkit.
"Oke." Aku tidak ingin dia pergi, tapi aku tidak bisa menahannya. Orang-orang akan curiga bila
dia tidak kembali ke sekolah.
"Aku akan bilang kamu butuh istirahat," katanya sebelum akhirnya melambai dan keluar dari
kamar. Aku menghela napas. Kepalaku masih sedikit pusing, tapi nggak separah tadi. Secara mental aku
jauh lebih baik. Dan Hidup Terus Berlanjut
Minggu, 15 Februari 2009 Aku merenungkan opsiku kembali. Sehari setelah Valentine! Di saat pasangan lain masih
mengenang-ngenang kencan dan makan malam romantic mereka. Yeah, aku tak butuh makan
malam romantis. Dengan perut yang seperti ini, sebenarnya aku tak butuh makan malam sama
sekali. Oke, kayaknya adopsi bukan ide yang baik. Di film Juno, Juno memutuskan untuk menyerahkan
bayinya ketika ia masih hamil. Ia berkenalan dengan pasangan yang akan mengadopsi anaknya
jauh hari sebelum ia melahirkan. Ia bahkan mengunjungi pasangan itu dari waktu ke waktu
sampai ia sempat naksir pada lelaki yang akan mengadopsi anaknya. Jadi ia tahu banyak tentang
orang yang akan mengasuh anaknya nanti, memastikan mereka pasangan yang baik dan
sebagainya. Tapi aku nggak yakin itu bisa dilakukan disini. Ya ampun, bagaimana aku bisa menemukan
orangtua angkat ketika bahkan aku tidak bisa menunjukkan kehamilanku"
Itu terlalu rumit. Kembali kepada opsi pertama: aborsi. Kayaknya ini solusi yang paling masuk
akal sejauh ini. Mungkin tidak juga. Mengingat yang aku baca kemarin pagi. Maksudku aborsi mungkin masuk
akal, tapi juga MEMATIKAN. Tapi ya ampun, tersedak kacang pun bisa menyebabkan kematian
kan" Tapi aku masih nggak yakin itu benar. Maksudku, itu memang terjadi. Tapi hanya pada satu atau
dua orang saja kan" Kayaknya nggak deh. Aku tadi surfing di internet dan yang aku temukan sama sekali tidak
menolong. Google bilang sekitar delapan ribu wanita meninggal tiap tahun akibat aborsi. Google juga bilang
aborsi tetap bisa menyebabkan kematian, bahkan jika dilakukan dengan legal dan steril. Eh,
melahirkan juga bisa menyebabkan kematian sih. Astaga, tersedak pun bisa membuat orang
tewas, tapi kamu tahu maksudku kan"
Agak pahit aku menyadari bahwa aku tak punya pilihan lain kecuali melahirkan anak ini,
menikah, tidak kuliah, dan mungkin harus sambil bekerja sebagai SPG di mal! Di atas semua itu,
aku akan dibuang oleh orangtuaku, decemooh oleh tetangga-tetanggaku, dan kehilangan temantemanku (siapa yang mau hang out bareng cewek yang harus mengganti popok bayi setiap
beberapa menit sekali" Belum lagi menyusui. Ya ampun, benarkah aku juga harus menyusui
seperti sapi" Dan kambing")
Aku benar-benar tidak menyukai pilihan ini. Tapi pendosa memang tidak bisa memilih kan"
Aku menarik napas. Mencoba menenangkan diriku sendiri. Tak ada gunanya dipikirkan
sekarang. Lebih baik aku berlatih soal lagi. SIMAK, ujian masuk UI, akan diadakan dua minggu
lagi. Aku, Alvin, Chacha, Banyu sudah mendaftar. Di hari yang sama Andra akan mengikuti
ujian masuk UGM. Kalau tidak ingin tertinggal dari mereka, aku harus melupakan keadaanku
saat ini dan mengikuti apa yang mereka lakukan: belajar mati-matian.
Siangnya Hari ini akmi sekelas pergi ke kawasan Kota Tua, berfoto bersama untuk dipasang di buku
tahunan. Rasanya kami benar-benar jadi anak kelas 12. Seru banget. Kami berdandan abisabisan, berpose gila-gilaan, bercanda tanpa henti.
Kelas kami mengambil tema "tempo doeloe", kami berdandan ala zaman colonial. Ada yang
memakai surjan, ada yang memakai kebaya. Ada pula yang bergaya sebagai sinyo Belanda,
lengkap dengan topinya yang khas. Andra tentu saja jadi fotografer kami. Fotografer yang amat
serius, cerewet, dan perfeksionis. Berkali-kali dia minta kami mengulang bila dia menilai
cahayanya kurang pas, posenya kurang oke, atau ada anak yang bergerak pas dijepret.
Sementara Maria tentu saja jadi stylist kami semua. Dia dan Andra berusaha cuek dan
menjalankan tugas masing-masing dengan professional, meski tak saling bicara. Maria sangat
bergairah memilih kostum dan membubuhikan make up ke wajah kami. Dia juga menjadi
pengarah gaya. Benar-benar meriah. Kapan terakhir kali aku sesenang ini" Aku tidak ingat lagi.
Akuj dan Maria memilih menjadi noni Belanda. Aku suka dengan tema ini. Dengan gaun yang
panjang dan megar seperti ini, perutku bisa kusembunyikan.
Andra sangat suka denganku, atau eh, gayaku. Berkali-kali dia memotret ku sendirian. "Elo itu
camera face, tau nggak" Enak difoto. Elo bisa jadi model. Tapi model wajah aja, soalnya elo kan
bantet. Kurang seksi, lagi."
Nggak sopan deh. Sorenya aku, Maria, Andra, Tania dan Denis memilah-milah foto yang akan kami serahkan ke
panitia buku tahunan. Dengan memakai laptop Andra dan Denis, kami memilah foto dan
menuliskan komentar-komentar konyol. Beberapa anak sudah menyumbangkan ide. Kami
tinggal memanipulasinya saja. Nggak gampang, tapi mengasyikkan.
Aku tidak sabar melihat buku ini selesai dicetak. Buku tahunan! Hanya untuk siswa yang lulus
SMA. Termasuk aku. Tiba-tiba ada perasaan yang asing. Campuran antara bahagia, bersemangat,
tegang dan sedih. Ujian Kehidupan Minggu, 1 Maret 2009 Sesiap apa pun, aku merasa nervous ketika memasuki ruang ujian. Aku mendapat tempat ujian di
fakultas kedokteran UI. Kebetulan sekali. Ruang ini akan menjadi ruang kuliahku bila aku
diterima disini. Aku berdoa memohon ketenangan dan ingatan yang kuat.
Setelah pengawas menyatakan kami boleh memulai, ruangan mendadak sunyi sampai-sampai
bunyi detik jam dinding begitu memekakkan. Tapi beberapa saat kemudian, aku tak mendengar
apa pun. Aku tenggelam. Aku bisa mengerjakan sebagaian besar soal. Semua rumus datang ke otakku saat aku memanggil
mereka. Ada satu-dua soal yang sulit. Tapi berhubung aku sudah terbiasa ikut try out, aku cepatcepat melewatinya. Untung aku masih punya waktu untuk kembali mengerjakannya disaat-saat
terakhir. Seharian kami tes dan satu hal yang aku syukuri, aku baik-baik saja. Perutku tidak bertingkah,
kepalaku tidak pusing, dan aku tidak kelelahan atau lemas.
Ketika Mama menelpon menanyakan ujian itu, aku menjawab, "Oke. Nana sih merasa bisa
mengerjakannya." "Syukurlah. Mudah-mudahan kamu diterima."
"Hm, Nana nggak yakin deh, Ma. Saingannya kan banyak banget."
"Berdoa, Na. Kamu sudah berusaha, nggak ada lagi yang bisa kamu lakukan selain berdoa."
"Mama ikut berdoa doing," kataku, soalnya aku tak yakin doa pendosa sepertiku akan
dikabulkan. "Pasti. Kamu mau ikut tes dimana lagi, Na?"
"Tunggu yang UI ini dulu deh, Ma. Kalau nggak keterima, baru cari yang lain."
"Buat cadangan aja."
"Iya sih, tapi Nana mau focus UN dulu."
"Mama mengerti, yang penting lulus dulu."
Mama tidak mengerti. Aku malas mengikuti ujian di universitas lain karena aku bahkan tidak
yakin aku akan kuliah. Sabtu, 7 Maret 2009 Gawat-gawat-gawat. Gawat darurat tingkat 1! Mama dan Papa akan datang ke Jakarta. Pertama
karena aku tidak pernah pulang selama berminggu-minggu. Kedua, karena kebetulan ada
undangan pernikahan yang harus mereka hadiri di Jakarta.
Yang kulakukan pertama kali begitu mendengar rencana mereka adalah: mencari baju yang
paling longgar. Terima kasih untuk desainer mode, baju longgar ala gamis Timur Tengah sedang
trendi sekarang. Mama Papa mengajakku belanja dan makan di Plaza Semanggi. Andai tidak ketakutan, tentu aku
bisa menikmati semua ini. Tapi yang terjadi adalah aku tegang sepanjang waktu. Aku tidak
menunjukkan minat ketika Mama menawariku belanja sepatu atau baju. Untung bagiku, Papa
juga nggak begitu antusias belanja.
Aku lega ketika akhirnya Mama memutuskan untuk makan setelah jalan-jalan kira-kira sejam.
Akhirnya aku bisa rileks ketika kami duduk karena lebih mudah bagiku untuk menyembunyiakn
tubuhku. Perutku praktis tertutup meja.
"Kamu yakin nggak pengin beli baju" Anggap aja sebagai hadiah. Kamu kan sudah belajar keras
untuk ujian UI," Mama masih mendesakku.
"Ya, kan belum lolos, Ma," aku mengingatkan sekaligus mengelak. Aku memang merasa tes itu
tidak begitu sulit, tapi jangan-jangan banyak juga yang merasakan hal yang sama. Atau malah
merasa tes itu gampang banget.
"Kamu past lolos," kata Papa. "Rani yang seenaknya gitu aja bisa lolos."
Perasaanku saja atau Papa memang mengatakannya dengan getir sekaligus kesal"
"Tapi ya gitulah, kakakmu itu, nggak bisa bersyukur," sambung Papa.
"Udahlah, Pa," Mama kelihatan nggak nyaman. "Mau pesan apa nih?"
"Papa cuma mengingatkan supaya Kirana nggak seperti dia, Ma," kata Papa.
"Seperti apa?" aku bertanya, pura-pura tidak mengerti. Secara "resmi" aku memang tidak
seharusnya mengetahui apa yang terjadi diantara mereka.
"Sudahlah, Pa. Kamu mau pesan apa, Na?" Mama menyodorkan bukun menu. Aku tidak
menggubris. "Seperti apa" Kak Rani kan baik-baik saja," aku terus menuntut.
"Baik bagaimana" Kamu kan tahu dia keluar dari UI. Sudah susah-susah Papa membayar biaya
ini-itu." "Jadi ini cuma soal uang?"" tanyaku.
"Papa, kenapa sih masih dibahas?" Mama menukas jengkel.
"Nggak, bukan masalah uang. Tapi Rani mengorbankan masa depannya. Mau jadi apa dia nanti"
Dia sama sekali nggak menghargai orangtua," Papa melanjutkan. "Andai kamu tahu?"
Aku tahu, batinku. "Sudah!" Mama membentak. "Mama nggak suka membicarakan ini! Lagi pula Kirana jelas
bukan Rani. Sekarang cepat tentukan mau makan apa."
Aku dan Papa memilih tidak berkonflik dengan Mama. Kami memilih menu, kemudian makan
sambil mengobrolkan hal-hal yang nggak penting (siapa yang akan mencalonkan diri jadi
presiden di pemilu nanti, mal mana yang belum pernah kami kunjungi, rencana Papa untuk
menukar Avanza kami dengan mobil baru). Bleh, pembicaraan basa-basi.
Orang lain tidak akan melihat keanehan kami. Di mata mereka kami tampak seperti keluarga
normal yang baik-baik saja. Padahal semua ini palsu! Benar-benar palsu. Kak Rani tak bersama
kami. Ibarat foto, ada gambar yang hilang disini. Oke, memang Kak Rani sudah sering hilang
dari "foto" keluarga kami. Tapi seharusnya tidak begitu.
Saat akhirnya kami harus berpisah, Mama menciumku. Papa menepuk bahuku. "Belajar yang
baik, Kirana. Papa tahu Papa bisa mengandalkanmu."
Lalu Mama bilang, "Jaga kesehatan, Na."
Tiba-tiba ada sesuatu yang menusuk hatiku. Cara Papa memandangku. Begitu sayu sekaligus
penuh harap. Tiba-tiba aku sadar mereka begitu menyayangiku. Selalu memanjakanku.
Masalahnya, mereka juga sangat mengandalkanku, mengharapkanku jadi anak kebanggaan
mereka. Tidak pernah satu kali pun mereka mengecewakanku. Mereka pasti juga mengharapan
imbalan yang sama: Jangan pernah mengecewakan mereka.
Tersesat dan Hilang Kamis, 12 Maret 2009 Tak ada kejadian menarik akhir-akhir ini. Semua orang fokus ke UN, UN, dan UN. Rasanya ada
dementor disekitar kami yang mengisap hawa kesenangan. Kami lupa cara bergembira. Kami
bahkan tak peduli film apa yang sedang diputar dibioskop. Alvin dan Andra melewatkan konser
Jason Mraz-padahal mereka ngefans banget pada penyanyi satu itu. Parah banget. Aku bahkan
nggak membaca majalah remaja langgananku (biasanya langsung aku baca sampai habis begitu
datang). Maria sama saja. Ia kaya lupa kukunya tidak dicat atay ditempeli sesuatu berhari-hari.
Oya, bicara tentang Maria, hubungannya dengan Andra jadi kikuk sekarang. Aku tahu maria
terpuruk, tapi ia berusaha tampil cuek-khas Maria, nggak mau kelihatan kalah.....
Jumat, 13 Maret 2009 "Elo gemukan ya?" tiba-tiba saja Maria mengatakan itu. Kami sedang mengerjakan tugas biologi
di laboratorium dan Maria jadi partnerku.
"Agak," kataku berusaha tetap tenang meski sebenarnya kaget dan cemas. "Kalau stres aku
makan. Dan aku stres truz gara-gara UN."
di hari-hari yang lain, aku tidak akan mempedulikan ucapan Maria. Maria sangat peduli pada
penanampilan. Ia memperhatikan bentuk badan orang lain. Dan terutama bentuk badannya
sendiri. Ia benci pada orang-orang obesitas. Menurutnya mereka adalah orang-orang yang payah.
Mengendalikan diri sendiri saja nggak bisa. Tapi, ia juga benci pada orang yang terobsesi pada
diet. Ia muak pada cewek-cewek berbadan sekurus rantting. Mereka lebih parah, katanya, karena
itu berarti mereka sakit mental.
Jadi komentarnya tentang tubuhku biasa saja sebetulnya. Tapi, kali ini tak urung membuatku
gelisah.

Dark Love Karya Ken Terate di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Apakah perubahan tubuhku begitu kentara" Uh, kenapa sih aku lahir sebagai perempuan"
Kenapa perempuan mesti hamil" Oke, aku tahu kenapa. Tapi kenapa tubuh kami harus ikut
menanggungnya, mual, gatal-gatal, bengkak, keram kaki" Kenapa manusia tidak membelah diri
saja atau berkembang biak dengan spora seperti jamur yang sedang kuamati dibawah mikroskop.
Kini giliran Maria mengamati. Aku mundur dan duduk sedemikian rupa untuk menyembunyikan
perutku. Kudengar Maria mendesah panjang. "Ih, untung deh, bentar lagi gue nggak perlu
mengamati jamur kayak gini."
Ya kamu sangat beruntung. Maria.
Minggu, 15 Maret 2009 Kadang aku ingin semua ini segera berlalu. Maksudku ujian dan semuanya. Kalau ujian bisa
dipercepat dan dimulai besok, itu akan lebih baik. Somehow aku punya perasaan bila waktu
berjalan lebih cepat, mereka tidak akan menyadari apa yang terjadi padaku. Aku bakal seperti
pelari cepat dan berlari didepan mereka yang... sreeet... menghilang dalam sekejab, sebelum
mereka sempat memperhatikan perutku yang membuncit.
Disisi lain aku ingin waktu berjalan lebih lambat, kalau perlu berhenti. Aku belum siap
menghadapi UN. Aku takut menghadapi... Apa yang akan terjadi. Waktu membuat segalanya
jadi lebih buruk. Waktu membuat perutku makin besar. Waktu membuatku lebih dekat pada hari
UN, dan hal-hal mengerikan lain.
Tadi pagi Mama telepon. Menanyakan kenapa aku lagi-lagi tidak pulang ke Bekasi. Aku bilang
besok senin UAS akan dimulai. Aku nggak mau terlalu capek. Mama percaya saja. Entah mereka
yang terlalu naif atau memang aku sudah menjadi pembohong ulung.
Aku tidak bohong sepenuhnya. Mulai senin besok Ujian akhir olahraga akan dimulai. Kelasku
mendapat giliran hari kamis. Terus terang aku cemas sekali. Apakah aku akan bisa lompat jauh"
Apakah lari sprint aman untukku" Apakah mereka akan melihat sesuatu dibalik kaos olahragaku"
Rabu, 18 Maret 2009 Ugh, aku merasa letih banget. Kepalaku pusing sampai-sampai aku tak kuat menatap buku kimia.
Aku putuskan untuk minum teh hangat dan tidur cepat. Tapi baru tengah malam aku berhasil
terlelap. Aku bermimpi buruk. Tapi lupa apa.
Kamis, 19 Maret 2009 Benar-benar hari yang buruk untuk ujian olahraga. Subuh tadi hujan turun. Meski hujan sudah
reda pagi ini, lapangan terlanjur becek.
Kepalaku masih bermasalah, meski tidak sesakit tadi malam. Ya ampun, aku ini kenapa sih" Apa
aku sakit tifus" Ada temanku yang pernah sakit tifus dan ia bilang kepalanya terasa melayang
dan badannya lemas. Susahnya, aku tidak bisa periksa ke dokter. Bahkan kurasa dokter gigi pun
bisa tahu bahwa aku hamil, apalagi dokter umum!
Sialnya, ujian olahraga ini membuatku terpaksa masuk sekolah. Yeah, tak apalah, akan menjadi
olahraga terakhirku di SMA.
Segera setelah kami siap Bu Welas meminta kami melakukan pemanasan. Mata ujian pertama
adalah lari. Kami harus lari keliling lapangan lima kali secepat mungkin. Bu Welas siap dengan
stopwatchnya. Perutku sama sekali tidak membantu. Aku memang bukan pelari cepat, tapi jelas bukan yang
paling lambat. Namun hari ini, Vania yang bobotnya lebih dari tujuh puluh kilo pun bisa lari
lebih cepat daripada aku.
Baru satu putaran, aku sudah tersengal-sengal. Keram diulu hati mulai menyerang. Sakitnya
menusuk. Sampai-sampai lariku makin melambat, melambat dan akhirnya aku berjalan kaki.
Gila! Ini kan ujian, tapi aku tak kuat lagi. Rasanya pengin menangis.
"Kirana, kamu baik-baik saja?" Bu Welas menanyaiku saat aku melewatinya pada putaran
ketiga. Aku tersenyum, mengacungkan jempolku, seolah ini detik-detik terbaikku.
Tiga putaran terakhir serasa tidak pernah berakhir. Tapi akhirnya aku berhasil menyelesaikannya
meski tersaruk-saruk dan nyaris pingsan di akhir putaran. Aku langsung menepi untuk
mengakhiri pandangan Bu Welas. Bu Welas pasti kecewa padaku. Aku berlari lebih dari dua
puluh menit! Tapi bukan itu alasanku menghindarinya. Sejak tadi ia memandangku dengan aneh. Kayak
curiga, kayak prihatin, kayak cemas. Aku tidak tahu. Tapi aku merasa dia mengamatiku.
"Hei, elo baik-baik aja kan?" Maria menepuk pundakkudan membuat jantungku melonjak. Ia
mengulurkan sebotol air mineral. Aku cepat-cepat meneguknya.
"Iya, aku... Oke," sahutku. Cuma keras perut parah, sesak nafas, nyaris semaput, dan...baru saja
menjadi pecundang. Ujian berikutnya adalah lompat jauh. Aku tak sepenuhnya memahami apa yang terjadi. Aku
seperti melihat bayang-bayang. Ketika berdiri, aku bahkan tak merasa menginjak bumi.
Kepalaku berputar sampai aku merasa berhalusinasi.
Aku tahu Bu Welas memberi instruksi, tapi aku tidak bisa mendengar apa yang ia katakan. Lalu
aku bisa melihat satu per satu temanku lari dan melompat dibak pasir. Tapi rasanya mereka
begitu jauh. Kayak terbang.
"Kirana..." Bahkan suara Bu Welas yang memanggil namaku pun terasa datang dari dimensi lain.
Aku tak yakin apakah ini saatnya untuk lari dan melompat. Aku hanya menuruti instingku saja.
Aghhrrrhh! Jiwaku terasa meninggalkan badanku. Tapi aku harus berlari. Ayolah, sekali ini saja,
setelah itu aku bisa berhenti.
Kutahan rasa sakitku, kukerahkan seluruh sisa tenagaku, aku berlari, lalu melompat, lalu...
GELAP. Tak tahu kapan, dimana Rasanya aku tidur bertahun-tahun. Tapi anehnya aku bisa mengingat hal-hal yang baru saja
terjadi. Praktikum biologi dengan Maria, berangkat les bareng Alvin, telepon Mama.
Rasanya seperti melihat diriku sendiri bergerak dalam mimpi. Lalu dalam mimpi itu aku
menangis. Aku tidak tahu kenapa. Tapi aku memang merasa sedih, amat sangat sedih.
Lalu aku melihat cahaya, terang, tapi agak kabur karena air mata menghalangi pandanganku.
Aku bisa merasakannya. Mata basah. Aku benar-benar menangis. Bukan dalam mimpi.
"Kirana..." samar-samar aku mendengar namaku disebut, lalu kurasa seseorang menggenggam
tanganku. "Kamu nggak apa-apa, Nak?" kali ini aku merasakan dahiku diusap. Nak" Siapa yang
memanggilku "Nak?"
Aku membuka mata lebih lebar Bu Welas. Kenapa ia bisa sampai disini" Ini dimana" Lalu aku
melihat semuanya. Ranjang berseprai biru muda, tiang infus, tombol-tombol didinding, ini...
Rumah sakit. Samar-samar, ingatan itu mulai datang; ujian olahraga, tubuhku yang lemas... OH,
TIDAK! AKU TIDAK BOLEH BERADA DISINI. TIDAK MAU!
Reaksi pertamaku adalah lari. Kabur. Tapi sedetik kemudian aku sadar itu tidak mungkin.
Dengan infus dan entah apa lagi, aku praktis terikat.
Air mata berleleran. Aku terisak, pelan awalnya, lalu tersedu-sedu, hingga akhirnya tersengalsengal. Bu Welas memelukku. "Shhh, semuanya akan baik-baik saja."
Tidak! Tidak akan ada yang baik. Aku tidak tahu berapa lama aku menangis, tapi mestinya lama
sekali, karena mataku bengkak dan perih. Bongkahan tisu menggunung dimeja sampingku.
Kurasa, kalau akhirnya aku berhenti menangis, itu pasti karena air mataku habis.
Dunia Akan Tahu Masih tak ingat ini hari apa
"Kirana," Bu Welas duduk disamping tempat tidur. "Kamu tahu apa yang terjadi kan?"
Ya dan tidak. Aku tahu sesuatu yang buruk telah terjadi. Yang aku tidak tahu adalah seburuk
apa. "Kamu mengalami anemia dan tekanan darahmu terlalu tinggi. Keadaan yang sering terjadi pada
wanita hamil." Oh, tidak! Dia tahu! "Tapi tidak apa-apa, tidak parah. Sudah ditangani. Dokter bilang semuanya baik-baik saja."
Aku tak sanggup mengatakan apapun.
"Termasuk bayimu."
BAYIKU" Aku terbelalak. Ini bencana. Seluruh dunia sudah tahu. Kututup muka dengan kedua
belah tangan. Semua SUDAH BERAKHIR.
"Dua puluh lima minggu. Sehat, meski agak kecil." Aku hilang rasa.
"Kirana. Kita harus bicara. Kamu harus bicara."
Lidahku kelu. Mungkin siang, agak sore "Keluargamu" Ada yang tahu?"
Aku menggeleng, "Kirana. Ibu yakinkan hanya Ibu yang tahu masalah ini. Ibu yang mengantarmu kesini. Ibu
jamin. Sampai sekarang tidak ada yang tahu selain Ibu dan dokter. Tapo cepat atau lambat kamu
harus memberitahu orangtuamu. Kirana, ada yang ingin kamu katakan?"
Aku hanya bisa menunduk. "Kirana, Ibu tahu kamu bingung. Tapi kita harus menghadapi ini. Sekarang menurutmu, apa
yang harus kita lakukan" Ibu akan bantu."
Aku menggeleng lemah, masih menunduk.
"Baik, mungkin Ibu bisa menyarankan. Hubungi keluargamu."
Haruskah" Tid... tidak. Aku tak ingin menghubungi siapapun. Apalagi keluargaku!
Bu Welas menggenggam tanganku lagi. "Ibu tahu ini berat, tapi semua ada jalan keluarnya.
Jangan takut." Aku masih terdiam. Bibirku bergetar. Jangan taku" Justru itu satu-satunya yang kurasakan saat
ini. Ketakutan yang sangat parah.
"Tidak apa-apa bila kamu masih butuh waktu, ibu akan disini menunggumu. Kalau kamu sudah
memutuskan siapa yang akan kamu hubungi, bilang ya."
"Kak Rani." Tiba-tiba aku memutuskan. Aku tak tahu harus menyebut siapa. Aku terlalu takut
menghubungi Papa, terlalu malu menghubungi Mama. Kurasa Kak Rani akan mengerti, paling
tidak ia tidak akan kena serangan jantung.
"Kak Rani?" "Kakak saya," "Baik," Bu Welas beranjak. "Berapa nomornya?"
Aku menggeleng, tidak ingat.
"Tak apa, Ibu akan minta Maria mencari di HPmu. Didalam tasmu kan?"
Aku mengangguk. "Baik. Sekarang Ibu akan panggilkan dokter untukmu."
Oh, jangan! "Tidak apa-apa Kirana. Dokternya baik kok."
Ketika Bu Welas keluar, aku bisa merasakan dunia disekelilingku runtuh satu per satu.
Malamnya Kak Rani langsung mendekapku begitu melihatku. Lalu kurasa ia menangis dipundakku. Aku
jadi terbawa. Air mataku berderai kembali. Sudah lama kami tidak berpelukan seperti ini. Tapi
sama sekali tidak ada kejanggalan. Rasanya begitu wajar. Ini seperti waktu kami kecil dulu,
ketika belum ada iri dan cemburu.
"Kirana, aku bawakan semua pesananmu. Baju, piama, bantal kesukaanmu. Aku juga bawa
cokelat. Kamu suka cokelat kan" Kalau tidak, sebutkan apa yang kamu suka, nanti aku carikan."
Kak Rani membongkar tasnya. Dia bahkan tidak bergue elo.
Aku menggeleng. Aku tidak ingin apa-apa. Aku hanya ingin mimpi buruk ini berakhir.
"Aku berusaha datang kemari secepatnua begitu ditelepon... Ibu siapa" Gurumu."
"Bu Welas." "Kirana, kamu bikin aku cemas. Aku khawatir banget."
Aku jauh lebih cemas dan berlipat-lipat lebih khawatir.
"Sekarang gimana" Rasanya gimana" Dokter bilang apa?"
"Baik. Udah nggak sakit lagi. Aku harus menginap disini beberapa hari. Ada obat yang harus
kuminum, dan beberapa suntikan."
"Yang penting kamu baik," tukas Kak Rani. Ucapannya sama seperti Bu Welas. Padahal aku
sama sekali tidak baik. Bagaimana Kak Rani bisa tenang" Sementara ia tahu ini adalah masalah
besar. Ini hanya awal. Akhirnya pasti akan jauh lebih buruk.
"Kak...aku tidak tahu harus bilang apa pada Mama dan Papa," kataku.
"Itu urusanku. Tenang saja. Yang penting kamu harus cepat sehat."
"Tapi, Kak, mereka pasti marah besar." Air mataku bersembulan lagi.
"Hei, mereka juga marah padaku. Dengar, Kirana, kamu masih punya aku. Kalau mereka tidak
bisa menerima kamu, kita hidup berdua. Ya" Kamu mau kan hidup bersamaku?" Kak Rani
menepuk pipiku tersenyum kecil. Mau tak mau aku balas tersenyum. Ah, rencana yang indah,
tapi konyol. "Kirana," Kak Rani naik keranjang dan duduk disisiku, "siapa yang melakukannya padamu?"
Ah! Akhirnya. Betapa aku benci mendengarnya. Aku tahu pertanyaan itu pasti akan datang.
Kurasa Bu Welas pun ingin mengetahuinya daritadi. Tapi tidakkah mereka mengerti" Tidak ada
yang MELAKUKANNYA padaku. Kami melakukannya. KAMI.
"Aku nggak bisa bilang."
"Kenapa" Dia juga harus ikut bertanggung jawab, Na."
Aku menggigit bibir, menggeleng lagi.
"Kenapa Na" Hah, dia bukan suami orang kan?"
"Bukan," tukasku cepat.
"Terus kenapa" Apa ia seorang napi" Pecandu" Cowok yang nggak kamu kenal" Cowok yang
nggak mau bertanggung jawab" Kamu diperkosa?"
"Nggak. Dia baik kok. Dia mau tanggung jawab."
"Terus masalahnya apa" Papa Mama akan menanyakan itu."
"Kalau gitu, bilang saja dia cowok yang nggak aku kenal."
"Kirana...!!!" "Kak, please. Aku TIDAK MAU mengatakannya."
Kak Rani terdiam sejurus. Tapi lalu ia berkata, "Baiklah. Itu hakmu."
Sudah kuduga. Ia pasti mengerti.
Bu Welas melongok dari pintu lalu melangkah masuk. "Maria menelpon Ibu. Teman-teman ingin
menjenguk kamu. Bolehkah?"
Aku menghela napas. Aku tidak ingin bertemu seorang pun saat ini. "Mereka mencemaskanmu
dan berharap kamu lekas sembuh," kata Bu Welas lagi.
"Saya cuma mau ketemu Maria," kataku akhirnya.
"Yakin" Bagaimana dengan Andra dan teman-temanmu yang lain" Mereka juga ingin
menjengukmu." "Hanya Maria." Bu Welas mengangguk. "Ibu akan telepon dia. Oya, ibu akan meminta Maria membawakan
tasmu." Kira-kira satu jam kemudian
Bu Welas sudah pulang. Maria datang. Cepat sekali. Ia berbasa-basi dengan Kak Rani. Mereka
cepat akrab. Lalu Kak Rani pamit pulang. Ia harus ke Bekasi untuk mengabarkan tragedi ini pada
orangtua kami. Oh, aku benar-benar tak sanggup membayangkan apa yang akan terjadi.
"Titip Kirana bentar ya," kata Kak Rani sambil menepuk bahu Maria.
"Iya. Ati-ati kak."
Maria membawa segala macam barang seolah ia membawa titipan dari orang sekampung.
"Ini tas lo. HP dan dompet lo ada disitu. Ini bunga dari Alvin," katanya sambil meletakkan buket
bunga mawar dan lili dimeja.
"Andra meminjamkan iPod-nya. Supaya elo nggak bosan. Dan Chacha menitipkan ini."
Aku melirik. Sabun cair The Body Shop. Chacha banget.
"Terima kasih, kalian baik banget."
"Mereka kecewa banget nggak bisa ikut menjenguk elo. Kenapa sih Na?"
"Aku... belum... siap bertemu mereka."
Maria terdiam mendengar jawabanku. Kurasa ia mengerti.
"Ini novel dari Banyu. Ada suratnya. Dan ini dari gue. Lucu kan?" Maria mengeluarkan boneka
kucing berbulu lembut. Aku tak bisa menahan rasa haruku.
"Teman-teman yang lain nitipin ini." Maria menyerahkan satu kantong plastik. Ketika aku buka,
aku mendapatkan permen, cokelat, kartu ucapan, pembatas buku, kartu remi, pita, sampai gelang.
"Kirana... elo sakit apa sih sebenarnya?" tanya Maria sambil menata hadiah-hadiah tadi diatas
meja. "Apa yang terjadi?" aku balas bertanya. "Waktu ujian olahraga tadi?"
Maria memalingkan muka. Sepertinya ia juga enggan bercerita. "Elo pingsan. Waktu lompat
jauh." Itu saja" Aku memandang Maria, memintanya bercerita lagi. Ia salah tingkah hingga lagi-lagi
memalingkan muka. Tahulah aku, aku nggak bakal suka mendengar ceritanya, tapi aku berhak
tahu. Aku ingin tahu! "Elo pingsan dibak pasir."
Nggak penting. "Terus Bu Welas membawa lo kesini." Bagian itu aku sudah tahu.
"Ujiannya berhenti," Maria meneruskan.
Oh, aku tak percaya ini. Aku, siswi teladan, mengacaukan sebuah ujian.
"Lalu?" Tiba-tiba tenggorokanku terasa sangat kering. Aku tahu Maria teramat ingin mengatakan
sesuatu. Tapi tak sanggup melakukannya. Aku juga tidak akan sanggup mendengarnya. Matanya
berputar gelisah. "Kirana...," Maria berkata terbata-bata, "apa benar... elo... elo...?"
Aku memandangnya ciut, sementara ia menatapku takut.
"Yusti bilang elo... eh, perut lo seperti..."
"Seperti apa?" Tenggorokanku makin kering.
Maria menggeleng. "Nggak, nggak sih. Bu Welas bilang elo nggak apa-apa kok. Sakit biasa."
Aih, siapa yang percaya! "Gue sih yakin Yusti nggak benar! Gue kan sahabat lo!"
Bahkan Maria pun tak bisa menyembunyikan kebimbangannya.
"Gue tahu elo nggak mungkin seperti itu!"
"Seperti apa?" Maria menarik napas. "Elo jangan marah ya! Elo lagi sakit. Oke" Gue nggak mau elo stres.
Mulut Yusti emang kayak comberan! Nggak perlu didengerin."
"Emangnya Yusti bilang apa?"
Maria tampak bimbang. "Jangan dipikirin oke?"
"Dia bilang apa?"
Maria tertawa kecut. "Dia bilang elo hamil... hahaha... mana mungkin lah. Gue bilang ke mereka
ciuman aja elo nggak pernah. Jangan tersinggung, Na, gue nggak menghina elo atau gimana,
hanya saja elo kan emang culun... Sori elo nggak papa kan" Udah gue bilang, jangan dipikirin."
Maria menatapku yang duduk terpaku.
"Terus?" tanyaku.
"Yusti ngotot. Katanya dia tahu. Kakaknya tiga perempuan semua, sudah pernah hamil semua.
Tapi ini Yusti, Na. Yusti yang bilang dia pernah pacaran dengan Teuku Wisnu. Yusti yang
bilang dia pernah menang undian mobil, tapi akhirnya dia sumbangkan ke panitia. Dasar cewek


Dark Love Karya Ken Terate di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sinting." Maria memandangku. "Na, eh, elo nggak papa kan" Elo sakit?" Dia mulai panik.
Aku menggeleng. Maria jadi khawatir. "Maaf. Yang penting elo sembuh dulu, gosip itu biar gue yang tanganin."
Aku hanya bisa menggeleng, menggigit bibir dan menangis, tangisku yang kesepuluh ribu
selama tujuh jam terakhir.
"Itu benar," kataku lirih. Buat apa kupendam lagi" Mereka akhirnya akan tahu. Dan aku sudah
capek. Maria terkejap kaget, menatapku tak percaya. Ia berdiri gamang, lalu kemudian memelukku, ikut
menangis. Larut malam, jam dua belas lebih
Aku tidak bisa tidur. Maria sudah tidur lelap dikasur tambahan. Dia memaksa menginap meski
aku bilang nggak perlu. Aku nggak mau merepotkannya. Tapi untung dia memaksa, "Nggak
repot, nggak repot. Malah enak begini, gue nggak usah pulang," sehingga aku punya teman.
Setidaknya rumah sakit ini jadi nggak begitu mengerikan.
Tentu saja Maria menanyakan pertanyaan yang sama, siapa pelakunya. Ia pengin mendengar
cerita yang lebih detail. Tapi aku tak mau cerita. Jadi kami nonton TV sepanjang malam, sampai
ia tertidur. Mataku masih belum mampu terpejam, meski aku amat sangat ingin tidur agar bisa melupakan
kepahitan ini barang sejenak. Tapi susah sekali. Pikiranku dipenuhi pertanyaan, apakah Kak Rani
sudah bilang pada Mama Papa" Apa reaksi mereka" Apa mereka murka" Apakah mereka akan
membunuhku" Mataku tertumbuk pada buku diatas meja, novel Bilangan Fu karya Ayu Utami yang dititipkan
oleh Banyu. Ia selalu membaca novel-novel serius seperti itu. Yang anak-anak lain pun nggak
paham. Untung aku membaca semua jenis buku. Jadi untuk urusan novel serius, Banyu biasa
membahasnya denganku. Banyu bilang buku itu bagus. Aku meraihnya. Ketika aku membukanya, sepucuk surat jatuh
dipangkuanku. Oh ya, tadi Maria bilang Banyu menitipkan surat. Segera kurobek sampulnya.
Hai, Kirana, Kamu nggak bakal ngerti betapa cemasnya perasaanku ketika mendengarmu sakit. Rasanya jauh
lebih cemas dibanding aku sendiri yang sakit.
Please, berjanjilah padaku untuk cepat sembuh. Aku bakal kesepian tanpa kamu. Aku nggak
punya teman diskusi nih. Sebentar lagi UN. Aku mau bersaing denganmu.
Salam, Banyu. Surat yang sederhana, tapi sangat menyentuh perasaanku. Begitu khas Banyu. Aku bahkan bisa
mendengarnya mengatakan kalimat-kalimat itu dengan suaranya yang berat dan pelan. Ia tidak
pernah bicara banyak. Seolah tiap kata yang keluar dari bibirnya seperti harus dihemat dan
dipilih yang penting-penting saja.
Aku melipat kertas itu pelan-pelan dan menyimpannya kembali. Lalu aku mulai membuka novel
itu. Halaman satu, halaman dua...
Lalu tiba-tiba aku tersentak. Novel itu terenggut begitu saja dari genggamanku. Mataku terbuka
lebar. Oh, aku ketiduran, sekarang jam berapa" Aku dimana"
Brak! Novel tebal itu terenggut dan terbanting kelantai. Dan sebelum aku tahu siapa yang
melakukannya... Plakkk! Pipiku tertampar sedemikian keras.
"Dasar anjing!"
Tragedi Ya Tuhan! Apa yang terjadi" Masih belum tersadar spenuhnya, masih belum mengerti apa yang
sesungguhnya tengah terjadi, mataku menatap sosok itu dengan samar. Tinggi menjulang dan
menakutkan: Papa. Lalu disampingnya Mama menangis, meratap, menahan tangan Papa.
"Jangan, Pa, jangan..."
Kak Rani berlaku sama. Ia berdiri diantara ranjangku dan Papa. Menghalangi Papa sebisanya.
Maria terlonjak bangun dan berdiri gemetar disudut ruangan.
"Biar aku menghajarnya. Anak tidak tahu malu! Anjing!" Papa menyemburkan semuanya
dengan kasar. Tangannya mengepal, siap menyerangku lagi.
Jadi Kak Rani benar, pikirku pilu, Papa bisa menganjing-anjingkan kami.
"Pa, jangan, Pa!" Mama melolong-lolong. Sekarang seluruh dunia pasti mendengar apa yang
terjadi. Benar saja. Dua orang perawat langsung menghambur masuk. Kali ini semua orang
kecuali Maria memegangi Papa, mencegahnya untuk menjangkauku. Orang-orang itu menariknarik Papa keluar dari kamar, meski ia melawan sekuat tenaga. Aku merasa remuk, lalu hampa.
Bila Papa ingin membunuhku, silahkan saja. Aku juga nggak ngerti hidup ini buat apa.
Setelah Papa keluar, Maria melompat memelukku. Tanpa kusadari air mataku sudah mengalir
lagi. Pipiku masih nyeri. Telingaku berdenging. Tapi itu semua tidak lebih menyiksa daripada
nyeri yang kurasakan didalam. Begitu menyakitkan sampai napasku sesak.
Lama setelahnya entah lama entah tidak, aku kehilangan persepsi waktu Mama masuk. Maria
tahu diri. Ia cepat-cepat menyingkir keluar.
Langkah Mama rapuh, tapi terasa mengintimidasi. Setiap jengkalnya serasa menyeretku lebih
dekat pada kematian. Ia duduk ditepi ranjang. Ketika jari-jarinya tanpa sengaja menyentuh tanganku, aku merasa
tersengat dan secara refleks menarik diri. Air mataku masih terus mengalir. Saat aku melirik, aku
melihat mata Mama tidak beda dari mataku. Lembap dan bengkak.
Meski banyak sekali yang ingin kuungkapkan, tak sepatah kata pun bisa keluar. Sudah lama aku
mempersiapkan diri menghadapi ini. Aku selalu memikirkan saat-saat rahasiaku terbongkar.
Dimana, kapan, bagaiman kejadiannya. Aku sudah menduga Papa bakal kalap, Mama bakal
putus asa. Tapi aku tidak membayangkan, saat "itu" terjadi disini. Ditempat yang asing dan
berbau alkohol. Aku juga tidak menyangka Mama hanya akan duduk termenung. Seolah
pikirannya hilang entah kemana.
Lama kami berdiam. Aku tak berani memulai. Bukankah aku adalah terdakwa disini"
"Maafkan Mama..." Ucapan itu begitu lirih sampai aku nyaris tak percaya.
"Maafkan Mama..." Kalimat itu terulang lagi.
Rahasia Secret 1 Candika Dewi Penyebar Maut V I I Pusaka Rimba Hijau 1
^