Pencarian

Dia Tanpa Aku 1

Dia Tanpa Aku Karya Esti Kinasih Bagian 1


Bab 1 Panas matahari siang ini sebenarnya bisa membuat cucian basah di jemuran
kering dalam sekejap. Tapi Andika mengiyakan saja ajakan Ronald untuk
melihat Citra. Cewek itu sudah diincar Ronald sejak dua bulan lalu. Sayangnya,
Citra masih kelas tiga SMP, jadi Ronald belum mau PDKT. Ia menunggu Citra
masuk SMA. Karena belum bisa PDKT itulah, selama ini Ronald hanya melihat Citra dari
jauh. Melihat, memperhatikan, mengamati. Kadang Ronald "mengantar"
cewek itu pulang. Mengantar dalam tanda kutip karena Citra tidak pernah tahu
ada cowok yang terkadang ikut naik bus yang ditumpanginya hanya karena
ingin melihatnya lebih lama.
Setiap kali habis nongkrong di sekolah Citra, besoknya pasti Ronald akan
bercerita panjang-lebar. Dan sering banget ceritanya itu nggak penting. Nggak
penting untuk orang yang ia paksa untuk mendengarkan. Dalam hal ini, Andika.
Misalnya.. "Citra itu manis banget, Dik. Mirip-mirip artis korea yang namanya Jang
Nara." "Jang Nara?" Andika mengerutkan kening. "Yang mana ya?"
Meskipun petunjuk paling krusial yang bisa menggambarkan betapa
manisnya Citra ternyata tidak diketahui Andika, itu tidak menghalangi Ronald
terus menceritakan cewek gebetannya itu.
"Tu cewek kalo pake baju olahraga, cakep banget, Dik. Seksi. Imut!" puji
Ronald suatu hari dengan mata berbinar-binar.
"Imut apa seksi?" tanya Andika.
"Seksinya imut. Bukan seksi menggoda, gitu. Pokoknya manis deh. Sumpah!"
"Imut, seksi, apa manis nih" Yang jelas dong informasinya."
"Imut! Seksi! Manis!" tandas Ronald.
Info nggak penting lainnya"
"Citra kalo lagi keringatan, trus rambutnya berantakan, cakeeep banget!"
Lainya lagi, masih nggak penting juga..
"Kemarin dia olahraga pake biru-biru. Kaus biru sama celana pendek biru.
Ternyata cewek kalo pake biru, jadi keliatan cakep ya?"
Tapi pernah juga ada info yang penting. Penting untuk bahan renungan
Andika, bahwa jika suatu saat nanti dirinya jatuh cinta, ada kemungkinan akan
jadi gila juga, seperti sahabatnya itu. Isi infonya sendiri sih masih tetap nggak
penting. "Namanya Citra Devi. Kelas tiga SMP. Pelajaran yang paling disenengin
biologi sama matematika. Warna favorit: biru. Olahraga favorit: nggak ada. Jadi
kalo lagi jam olahraga, tu cewek lebih sering nongkrong-nongkrong atau
ngisengin temen-temennya. Gue pernah merhatiin, main basketnya parah
banget. Main volinya kacau, dan main bulutangkisnya asal. Satu-satunya
olahraga yang dia jago cuma lari. Tu cewek cepet banget larinya. Apa karena
dia suka ngisengin orang ya" Jadi kudu bisa lari cepet biar nggak dijitakin ramerame."
Sejenak Ronald berhenti membaca catatannya. Ia tertawa geli.
"Makanan favorit, kalo yang berat: siomay sama bakso. Kalo yang enteng:
bakwan sama tahu isi. Sama kayak gue!" serunya kemudian dengan girang.
"Berarti kami jodoh!"
Andika mendengkus. "Cuma sama-sama seneng bakwan sama tahu isi aja
kok jodoh," gerutunya.
Tapi Ronald tidak peduli. Ia teruskan membaca catatannya.
"Kalo lagi belajar, senangnya sambil dengerin radio. Kalo nggak dengerin
radio, dia jadi ngantuk. Genre film yang dia senengin: roman komedi. Dia benci
banget film horor. Dia penggila komik Jepang. Dia pernah ngefans sama
Peterpan, tapi sekarang udah nggak lagi sejak Nidji muncul. Dia juga pernah
ngefans berat sama Aa Gym. Katanya, suara Aa tuh teduh. Bikin hati tenang.
Tapi sekarang, nggak deh. Makasih. Karena ternyata Aa penganut poligami.
Makanya Citra punya cita-cita pengin jadi menteri HAM atau menteri
pemberdayaan perempuan, biar punya kuasa bikin undang-undang agar suami
yang kawin lagi dipenjara aja."
Kepala Ronald menyembul dari sisi kertas yang sedang dibacanya, yang
selama ini menghalangi mukanya dari pandangan Andika.
"Feminis radikal. Gawat juga!" Ronald tertawa geli.
Andika ternganga. "Gimana caranya lo bisa dapat informasi-informasi itu?"
tanyanya takjub. "Pokoknya gue tau," jawab Ronald pendek.
Banyak lagi info nggak penting tentang Citra yang selalu disampaikan Ronald
kepada Andika, yang terpaksa terus menyimak atas nama persahabatan.
Masalahnya adalah, saat detik-detik menjelang Citra tamat SMP ini, frekuensi
pengamatan Ronald semakin tinggi, dan frekuensi berceritanya semakin tinggi
lagi. Bahkan Ronald sama sekali tak peduli cerita itu baru saja diceritakannya
tadi pagi. Panjang-lebar pula.
"Ini rerun-nya," katanya kalem, sebodo amat sama tampang bete Andika.
Andika tahu Ronald merasa punya alasan kuat untuk memaksanya
mendengarkan semua cerita tentang Citra, karena alasan itu pernah
dikatakannya. "Elo belum pernah tahu anaknya sih. Coba kalo lo udah tau, pasti lo ngerti
kenapa gue suka banget sama dia dan selalu pengin cerita tentang dia."
"Udah. Lo kan punya foto-fotonya. Biasa aja tuh."
"Kesannya pasti beda kalo lo udah ngeliat langsung."
Ronald memang menyimpan banyak foto Citra yang di shoot-nya secara
diam-diam. Untung foto-foto itu cuma disimpannya di kamar, nggak dibawabawa. Karena menurut Andika, bawa-bawa foto cewek yang kita taksir atau
kita incer tapi masih belum ketahuan tu cewek naksir juga apa nggak, cuma
berlaku kalo kita ngincer artis. Jadi kalo ternyata ntar di tolak, ya biasa aja.
Nggak malu-maluin. Makanya Andika berharap banget Ronald mengajaknya dalam pengamatan
Citra berikutnya. Supaya besok-besok kalau Ronald bercerita tentang Citra do
berapi-api dan bermenit-menit, dirinya tidak perlu mendengarkan keseluruhan
cerita. Cukup dua-tiga kalimat, kemudian bisa langsung di-cut "Gue udah
tauuu!" Harapan Andika terkabul pagi ini. Mendadak Ronald mengajak sahabat
sekaligus teman sebangkunya itu menemaninya melihat Citra.
"Mau!" Andika langsung menjawab dengan nada sepeti akan diajak liburan
gratis ke Bali. "Semangat amat sih lo?" Ronald jadi agak heran.
"Gue jadi penasaran. Kayak apa sih tu cewek" Soalnya elo ceritanya heboh
melulu," Andika menjawab sambil menyeringai lebar.
Begitu bel pulang berbunyi, mengabaikan panas matahari yang sudah
dijelaskan di awal cerita -bisa mengeringkan cucian basah dalam sekejapkeduanya segera meninggalkan sekolah. Ronald takut Citra keburu pulang,
karena mereka masih harus naik bus kira-kira lima belas menit untuk sampai di
sekolah cewek itu. Turun dari bus, Ronald langsung mengajak Andika ke taman yang ada di
depan sekolah Citra. Tidak berapa lama terdengar bunyi bel disusul siswa-siswa
berhamburan keluar dari pintu-pintu kelas. Ronald langsung gelisah. Lehernya
terjulur panjang. Sepasang matanya bergerak cepat, mencari-cari.
Tapi, sampai kerumunan cowok-cewek berseragam putih-biru itu berkurang,
terus berkurang, dan hingga akhirnya habis sama sekali ditelan bajaj, mobil
jemputan, mobil pribadi, atau menghilang di ujung-ujung jalan di kiri-kanan,
orang yang mereka tunggu-tunggu tidak kelihatan sama sekali. Muka Ronald
yang tadinya cerah langsung mendung pekat.
"Kok dia nggak ada, ya" Jangan-jangan nggak masuk."
Suaranya yang penuh semangat, berisik karena nggak berhenti ngoceh, kini
mendadak lemah. Jadi begitu kecewa. Begitu sedih, begitu gelisah, begitu
muram. Jadi patah semangat. Sebentar-sebentar Ronald menarik napas
panjang, bolak-balik mendecakkan lidah, bikin Andika menahan tawa.
"Ada pelajaran tambahan, Kali" Anak kelas tiga biasanya kan gitu?"
hiburnya. "Oh, iya, iya." mendung di wajah Ronald seketika tersapu bersih. Wajah itu
jadi berseri-seri lagi. Andika jadi menyesal sudah melontarkan kalimat itu, karena sampai satu
jam kemudian Citra masih belum juga kelihatan. Sementara panas matahari
yang teriknya bisa bikin kulit gosong itu kegarangannya belum juga berkurang.
Namun Ronald tetap segar bugar. Tatapannya masih tertuju lurus-lurus ke
bangunan sekolah di depannya. Masih penuh semangat dan harapan bisa
melihat cewek gebetannya. Sementara di sebelahnya, Andika nyaris kering
karena bete dan dehidrasi akut. Akhirnya cowok itu tidak sanggup lagi.
"Kita di sini sampai kapan nih" Ntar malem apa besok pagi?"
Ronald menoleh kaget. Langsung di rasakannya aura bete yang melingkupi
Andika sangat berbeda dengan aura cinta yang dirasakannya dari bangunan
sekolah di depannya. Ronald menyeringai, merasa bersalah karena telah
melupakan orang yang sedari tadi sudah menemaninya.
"Satu jam lagi deh. Kalo sampe satu jam lagi Citra belum nongol juga, berarti
dia emang nggak masuk."
"Satu jam lagi, ya?" Andika mengerutkan keningnya dalam-dalam. Pura-pura
berpikir. "Oke deh. Kayaknya pas."
"Apanya yang pas?" Ronald menatap sahabatnya itu dengan pandangan
heran. "Tingkat ke-"kisut"-annya," jawab Andika enteng. Ia mengatakan itu sambil
senyum-senyum. Senyum sumir, singkat dan nggak jelas. "Karena satu jam lagi
kayaknya gue bakalan sekering mumi-mumi firaun Mesir kuno. Kalo lo tanya ke
orang yang lewat siapa yang mati duluan, gue apa firaun-firaun itu, pasti nggak
ada yang bisa jawab. Malah bisa jadi mereka nyangka yang ada di Mesir sana
itu muminya Ramses II, sementara yang di sebelah lo ini nih, muminya Ramses
I." Sejenak Ronald ternganga, lalu tertawa geli.
"Bilang aja haus, gitu. Ribet amat sampe pake ke Mesir segala."
"Lagian, elo tuh emang nggak tau terima kasih banget, ya" Udah minta
ditemenin nyatronin gebetan pas panas abis kayak gini, gue dianggurin, lagi.
Nggak dijajanin sama sekali. Beliin es apa kek gitu. Biar gue nggak garing. Gue
udah dehidrasi banget nih."
"Iya, iya. Sori, Dik." Ronald merogoh saku kemeja sekolahnya.
Dikeluarkannya selembar lima ribuan lalu diberikannya pada Andika. "Nih."
Muka Andika jadi agak cerah. Ia bangkit berdiri dan segera berjalan menuju
warung makan. Tak lama ia kembali membawa dua kantong plastik berisi es
teh manis dan seplastik gorengan. Diulurkannya es teh bagian Ronald.
Karena perut sudah terisi dan adanya penangkal ancaman kekeringan,
Andika jadi tenang. Namun sampai batas waktu yang ditentukan Ronald sudah
habis, Citra belum juga kelihatan. Kali ini sepertinya dugaan Ronald benar. Citra
tidak masuk. Jam pulang sekolah sudah lama lewat dan tidak ada lagi siswa
yang keluar dari sekolah itu. Muka Ronald langsung mendung lagi. Lebih pekat
daripada tadi. "Bener kan dia nggak masuk"," desahnya berat.
"Ya udah kalo gitu. Yuk, balik. Udah sore nih." Andika bangkit berdiri.
Dikibas-kibaskannya kaus olahraga yang sejak tadi ia gunakan untuk alas
duduk. Ronald mengikuti dengan ogah-ogahan.
"Kenapa tuh anak nggak masuk, ya" Jangan-jangan sakit?" desahnya,
suaranya begitu sarat dengan kecemasan.
"Mudah-mudahan aja nggak. Paling dia kecapekan gara-gara belajar diforsir.
Yuk, balik." Andika merangkul bahu Ronald lalu memaksa sahabatnya itu pergi
dari situ. ***** Karena kemarin tidak berhasil melihat Citra, siang nanti Ronald berniat kembali
lagi ke sekolah cewek itu.
"Gue takut dia sakit," katanya. Bukan suaranya aja yang cemas, ekspresi
wajahnya juga. Seakan-akan mereka sudah saling kenal dan akrab pula. Andika
jadi menahan seringai geli yang sudah hampir tercetak di bibirnya.
"Biarin ajalah. Sakit juga ada ortunya ini."
"Emang kalo ada ortunya, trus gue nggak boleh kuatir, gitu?"
"Kuatir juga percuma. Orang kerjaan lo selama ini cuma ngeliatin doang."
Ronald jadi meringis. "Iya sih. Tapi bolehkan gue nguatirin dia" Ntar ikut lagi nggak, Dik?"
"Ikut deh. Jadi penasaran."
Namun sesaat menjelang bel pulang berbunyi, mendadak turun hujan lebat.
"Jadi nggak, Ron" Ujan nih," bisik Andika, sambil tetap menyalin materi
pelajaran biologi ke buku catatannya.
"Jadi dong!" tandas Ronald juga sambil berbisik.
Dan begitu bel pulang berbunyi, beberapa gelintir siswa nekat menerobos
lebatnya hujan, termasuk Ronald dan Andika. Keduanya berlari cepat menuju
halte tidak jauh dari sekolah. Tapi ternyata hujan lebat tidak turun terlalu lama.
Ketika mereka turun di halte dekat sekolah Citra, hujan benar-benar sudah
berhenti. Menyisakan udara sejuk dan bau tanah basah.
Keduanya bergegas menuju taman di seberang sekolah Citra. Belum lama
keduanya berdua di depan pagar taman, terdengar bunyi bel dari gedung
sekolah Citra. Tak lama pintu-pintu kelas terbuka dan siswa-siswi berseragam
putih-biru berhamburan keluar dari sana. Kerumunan siswa itu kemudian
terhenti di trotoar depan sekolah. Hujan lebat tadi hanya sebentar, tapi cukup
membuat sisi jalan di depan sekolah Citra tergenang air.
Sebagian anak memilih jalan memutar, menghindari genangan. Sementara
sebagian lagi memilih menyusuri genangan itu dengan perlahan dan hati-hati,
di tempat yang paling dangkal.
Tiba-tiba orang yang mereka tunggu-tunggu sejak kemarin muncul.
Menyeruak di antara kerumunan. Ronald terpana. Sesaat ia cuma bisa
menatap Citra lurus-lurus, tanpa bicara.
Rambut Citra yang sedikit melewati bahu diikat ekor kuda. Ikatan yang asalasalan sehingga beberapa helai rambut terjun di pelipis dan tengkuknya.
Wajahnya juga seperti yang sering dilihat Ronald. Sedang tersenyum lebar atau
tertawa. "Itu anaknya!" seru Ronald tertahan. Ditepuknya lengan Andika.
"Mana?" Andika langsung celingukan mencari-cari. "Yang rambutnya
dikuncir berantakan itu?"
"Iya. Gimana" Manis, kan?"
"Iya, manis," Andika terpaksa mengakui.
"Iya, kan?" sepasang mata Ronald yang terus menatap Citra semakin
berbinar. "Tapi beda ya, sama yang di foto-foto" Berarti dia nggak fotogenik."
"Ah, nggak penting!" tandas Ronald. "Gue malah lebih seneng pose-pose
yang natural gitu. Nggak dibikin-bikin, nggak pake dandan-dandan dulu. Foto
cewek-cewek yang pada di close up itu tuh, sama aslinya bisa beda jauh
banget, tau! Menipu!" sambil bicara Ronald buru-buru mengeluarkan kamera
digital dari dalam tas. "Ambil foto lagi?" Andika menatapnya heran. "Bukannya sudah satu amplop
cokelat" Penuh, lagi!"
"Ekspresi yang ini belum ada," jawab Ronald sambil menempatksn sasaran
bidik ke dalam frame. Andika geleng-geleng kepala.
Ronald menekan tombol kecil pada kamera digitalnya dua kali, kemudian
dengan puas memandangi hasilnya. Dimasukkannya kembali kamera itu ke tas,
dan perhatiannya segera kembali pada Citra.
"Tapi kayaknya tuh anak bandel, ya?" celetuk Andika.
"Iya, emang." Ronald terkekeh geli. "Nggak bandel sih. Cuma seneng
ngisengin orang. Kayaknya gue udah pernah cerita deh."
Baru saja kalimat Ronald selesai, Citra yang tadi berjalan tenang sambil
mengobrol dan tertawa-tawa bersama teman-temannya, dengan gerakan tibatiba dan tak terduga, melompat ke genangan air hujan di depan trotoar
sekolah. Seketika terdengar jeritan-jeritan keras, bersamaan dengan air kotor
bewarna kecoklatan yang memercik ke segala arah. Mendarat di baju seragam,
rok, sweater, tas dan semua benda yang berada tepat dijalur cipratannya.
"CITRA! INI BAJU MASIH MAU GUE PAKE SEKALI LAGI BESOK, TAU!"
"CITRA! GUE BISA ABIS DIOMELIN NYOKAP NIH!"
"CITRA! INI SERAGAM BARU BELI!!!"
Namun, jeritan-jeritan marah teman-temannya itu malah membuat Citra
tertawa geli, suaranya keras pula. Melihat itu Ronald jadi tertawa terbahakbahak. Ia memandang citra dan ulah nakalnya dengan sorot yang semakin jelas
memperlihatkan perasaannya.
"Lucu banget kan tu anak?" katanya pada Andika di sela tawa.
"Iseng banget, kali!" Andika geleng-geleng kepala. Tapi akhirnya dia juga
tidak bisa menahan tawa saat kemarahan teman-teman Citra malah membuat
keisengan Citra semakin menjadi-jadi.
Masih di atas genangan air kotor yang tadi dicipratkannya ke arah temantemannya, Citra kemudian berjoget-joget dalam berbagai macam gaya. Temantemannya semakin kesal dan akhirnya berusaha menangkapnya.
"Kita tangkep tuh si Citra, trus suruh dia yang nyuci. Enak aja!" seru salah
seorang anak. Citra langsung menghentikan pertunjukan jogetnya dan
melarikan diri. "Kejar! Kejar si Citra!"


Dia Tanpa Aku Karya Esti Kinasih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tangkep! Kurang ajar! Dasar tukang iseng!"
Citra lari pontang-panting, tapi tetap sambil tertawa-tawa geli.
Dibelakangnya, teman-temannya segera mengejar. Sambil tetap ribut
menjerit-jerit. "Yuk, Dik!" Tiba-tiba Ronald menepuk bahu Andika, kemudian berlari cepat,
berusaha menjejeri Citra yang berlari di sisi seberang jalan. Andika sesaat
terlongo, tapi kemudian segera mengejar.
Dengan mudah Ronald menyusul dan berada di depan Citra. Ketika jalan itu
menikung, Ronald berlari menyeberang. Dibelakangnya, Andika berlari
mengikuti sambil terbingung-bingung.
Begitu sampai di seberang jalan, Ronald menghentikan larinya. Dengan
napas terengah dia berdiri menunggu. Jantungnya berdetak keras. Bukan saja
karena habis berlari, tapi juga karena satu tindakan yang sebentar lagi akan dia
lakukan. Tak lama Citra muncul di tikungan. Dan begitu cewek itu melintas di
depannya ". "Citra!" Citra menghentikan larinya dengan kaget. Dipandangnya Ronald dengan
heran. "Ngumpet di balik pohon, cepet!" Ronald menunjuk salah satu pohon
peneduh jalan di belakangnya. Citra tidak bergerak. Ditatapnya cowok
berseragam SMA di depannya itu dengan heran, aneh, bingung, dan curiga.
Citra tak tahu Ronald sedang setengah mati menekan rasa gugupnya.
"Kamu tadi isengnya kelewatan banget. Temen-temen kamu kayaknya
marah beneran. Kalo sampe ketangkep, kamu bisa"," Ronald menyeringai
lucu. "dilelepin di kubangan air kotor yang kamu cipratin tadi deh kayaknya."
Suara teman-temannya yang terus menjeritkan namanya membuat Citra
tidak bisa lama-lama berpikir.
"Cepet!" desak Ronald. "Nanti keburu mereka nongol!"
Setelah menengok ke arah tikungan di belakangnya dan sadar temantemannya sebentar lagi muncul, akhirnya Citra menuruti saran Ronald. Ia
bersembunyi di balik pohon yang tadi ditunjuk Ronald.
Andika yang tiba belakangan urung menyatakan keherannya karena
penjelasannya sudah ada di depan mata.
"Bantuin gue nutupin dia, Dik!" seru Ronald begitu sahabatnya itu muncul.
Tanpa bertanya lagi, Andika langsung menurut.
Dengan posisi berdiri yang tidak begitu kentara kalau sedang
menyembunyikan Citra, Ronald dan Andika berdiri mengapit pohon tersebut.
Di balik pohon, Citra meringkuk dalam-dalam sambil tertawa geli.
"Kalo ngumpet jangan ketawa," tegur Ronald pelan. "Percuma dilindungin."
"Iya. Iya. Maaf." Citra berusaha menghentikan tawanya.
"Begitu nanti temen-temen kamu sudah lewat, siap-siap lari balik ke arah
semula, ya. Kamu kan pulangnya naik bus, harus ke halte."
"Oke!" jawab Citra dan ia tertawa-tawa geli lagi.
"Jangan ketawa!" desis Ronald.
"Iya. Maaf. Nggak tahan sih." Cewek itu menutup mulut dengan telapak
tangan. Andika menyaksikan peristiwa itu dengan senyum.
Tak lama teman-teman Citra muncul, masih dengan seruan-seruan kesal dan
marah. "Itu, anaknya lari ke sana!" tunjuk Ronald ke ujung jalan di sebelah kanan.
"Terima kasih, Kak!" cewek-cewek itu mengucapkan terima kasih nyaris
bersamaan, kemudian berlari ke arah yang di tunjuk Ronald.
Setelah menunggu beberapa detik, ronald memberikan komando, "Citra,
buruan lari!" Diapit Ronald dan Andika di kiri-kanan, Citra berlari ke arah semula. Mereka
berlari secepat dan sehening mungkin. Tapi cewek itu tidak berhasil menahan
tawanya. Ditengah napas yang tersengal-sengal, ia tertawa geli.
Sampai di halte, baru ketiganya berhenti berlari. Citra membungkukkan
tubuh, antara kehabisan tenaga karena berlari cepat dan sakit perut karena
terus tertawa. Setelah napasnya kembali normal, cewek itu menegakkan
kembali tubuhnya. Ditatapnya dua cowok asing yang telah menolongnya.
"Makasih, ya."katanya, dengan senyum geli yang siap berubah jadi tawa.
Ronald dan Andika mengangguk hampir bersamaan.
"Kok kalian tau nama saya Citra?"
"Ya taulah. Jeritan temen-temen kamu kenceng kayak gitu," jawab Ronald,
membuat tawa Citra kembali berderai.
"Tapi sebenarnya kalo hari ini selamat juga percuma. Pasti besok saya
bonyok dijitakin rame-rame," katanya, membuat Ronald dan Andika ikut
tertawa. "Oke deh. Makasih banget ya. Saya duluan, soalnya busnya udah
dateng." Citra menunjuk bus yang rutenya melewati rumahnya, yang sedang
menuju halte tempat mereka berdiri.
"Oke." Ronald mengangguk.
"Eh, iya. Nama kamu siapa?"
Ronald langsung salah tingkah.
"Ng". Ronald," ucapnya, dengan suara mendadak pelan.
"Siapa?" "Ronald!" Andika yang mengulangi.
"Oh?" Citra mengangguk. "Kalo kamu?" sepasang matanya lalu menatap
Andika. "Andika." "Oke deh, Ronald, Andika. Duluan ya. Sekali lagi, tengkiu banget. Daaah."
Citra melambaikan tangan lalu menghampiri pintu depan bus. Tawa gelinya
kembali muncul. Kedua cowok itu membalas lambaiannya, jadi tidak bisa
menahan senyum geli juga.
Ronald melepas kepergian Citra dengan senyum dan tatap sayang.
Ditunggunya sampai bus itu benar-banar hilang di ujung jalan, baru diajaknya
Andika menyeberang, menunggu bus mereka sendiri di halte seberang.
"Kayaknya lo sekarang udah bisa PDKT deh."
"Nggak ah. Dia masih SMP. Lagian dia udah mau UAN. Kasihan. Nanti gue
bisa ganggu konsentrasi belajarnya."
"Nunggu dia SMA masih lama, lagi. Masih beberapa bulan lagi."
"Nggak apa-apa. Daripada macarin anak SMP. Masih di bawah umur.
Mending gue tunggu dia sampe pake putih abu-abu!"
BAB 2 Lima belas menit sebelum jam pertama di mulai, Andika melangkah masuk
dengan tenang. Namun langkah tenangnya itu segera menjadi tergopoh-gopoh
saat dilihatnya Ronald sedang menunduk dengan muka serius.
"Emang hari ini ada PR, ya" Perasaan nggak ada deh," tanyanya panik.
"Emang nggak," jawab Ronald santai.
"Trus, lo ngerjain apaan tuh?" tunjuk Andika dengan dagu ke arah coretancoretan angka yang dibuat Ronald di atas lembaran bukunya.
"Oh, ini"," Ronald menyeringai, agak mencurigakan. Ditariknya Andika
sampai terduduk, lalu dirangkulnya bahu sahabatnya. "Mulai hari ini jajanin
gue ya, Dik. Soalnya gue mau nabung nih. Buat beli kaus sama jins baru.
Sebentar lagi kan Citra lulus SMP. Berarti gue udah bisa nemuin dia," ucap
Ronald dengan mata berbinar.
"Waaah"," Andika geleng-geleng kepala. "Kayaknya nggak asyik nih."
"Buat sementara doang. Ortu gue lagi bokek, soalnya adik gue, Reinald, mau
masuk SMA. Gue nggak tega minta duit buat beli kaus sama celana baru. Buat
PDKT sama cewek, lagi. Ya" Please dong. Kita kan cs-an. Selama ini kalo lo
nggak bisa ulangan matematika atau fisika, kan selalu gue bantuin. Sekarang
gantian dong. Okeee?"
Andika mati kutu. Di dua mata pelajaran itu hidup-matinya memang
tergantung pada Ronald. "Ngancemnya pas banget lo, ya" Mentang-mentang gue bolot matematika
sama fisika." "Lo nggak bolot kok," jawab Ronald kalem. "Cuma rada bego aja. Diterangin
berkali-kali nggak ngerti-ngerti juga. Bikin orang emosi. Jujur aja, tiap abis
nerangin matematika ato fisika ke elo, gue bawaannya selalu pengen cekek elo
sampe mati." Andika ternganga, membuat Ronald seketika tertawa terbahak-bahak.
"Maaf. Maaf. Bercanda. Oke" Traktir gue, ya?" Ronald mengetatkan
rangkulannya. Andika berdecak. Dilematis. Nggak di tolong, sudah lama mereka berdua
sahabatan. Sejak SMP. Ini bukan sama sekali masalah kebegoannya di bidang
matematika atau fisika. Kalau ikut bimbel sampai overdosis, bisa dipastikan
dirinya akan berubah bisa cinta banget sama dua pelajaran biadab itu, garagara sakaw.
Tapi kalau ia menolong Ronald, dirinya bakalan bangkrut nih. Uang sakunya
tidak mungkin cukup untuk sebulan. Soalnya Ronald makannya kuat banget.
Pengalaman kemarin-kemarin kalau makan berdua, Ronald selalu nambah.
"Ya nggak tiap harilah gue minta traktirnya. Kejam banget." Ronald seperti
bisa membaca isi kepala Andika. Andika langsung lega.
"Oooh, kalau nggak setia hari sih nggak apa-apa." Andika tersenyum lebar
dan balas merangkul Ronald. "Oke!"
***** Piringnya sudah hampir kosong saat mendadak muncul ide yang menurut
Ronald sangat brilian. Mulutnya sontak berhenti mengunyah, otaknya berputar
cepat. "Ide T-O-P!" serunya kemudian dengan riang. Cepat-cepat dihabiskannya
nasi dipiringnya. Dengan pipi yang masih menggembung, cowok itu
menyendokkan lagi nasi penuh-penuh ke piringnya. Empat orang yang selalu
sarapan bersamanya, kedua orangtua dan kedua adiknya, menata ternganga.
"Nambah?" tanya Reinald takjub. "Tadi aja udah sepiring penuh."
"Sekalian makan siang," jawab Ronald sambil mengunyah penuh semangat.
Terdorong rasa gembira karena telah menemukan satu cara lagi untuk
berhemat. Dengan sarapan banyak-banyak, berarti di sekolah ia tidak perlu
jajan. Dan yang paling penting, tidak perlu mengancam Andika untuk
mentraktirnya. Selesai sarapan plus makan siang, Ronald pamit pada orangtua dan kedua
adiknya, lalu berjalan ke halte bus tidak jauh dari rumah. Masih semangat
dengan ide barunya yang -kalau sukses selama dua minggu- bisa membeli kaus
keren yang diincernya waktu itu.
Bus yang ditunggunya datang. Ronald melompat naik dan segera menuju
salah satu bangku kosong di deret paling belakang. Dengan nyaman
disandarkannya punggung. Tak lama ia mulai merasakan dampak makan
siangnya yang dirapel bareng sarapan tadi" dan sepertinya sama sekali tidak TO-P. Ia jadi ngantuk banget!
Tidak seperti biasanya, udara pagi Jakarta yang masih sejuk, yang mengalir
lewat jendela-jendela bus yang terbuka, memperparah kantuk Ronald.
Posisinya di bangku kosong di deret paling belakang, paling kanan dekat
jendela, membuatnya tidak merasakan desakan para penumpang yang berdiri
di lorong bus. Kantuknya jadi semakin parah. Akhirnya Ronald menyerah. Ia
tertidur pulas, dan baru tersadar tiap kali keningnya nyaris terbentur bangku di
depannya. Cowok itu tidak kebablasan, karena sang kondektur sudah hafal dengan
salah satu penumpang langganannya itu. Jadi dengan ikhlas dia tidak berteriak
di pintu, tapi langsung di dekat kuping Ronald. Ronald terlonjak bangun.
Kepalanya sampai kejedot jendela.
"Udah sampe," kata si kondektur kalem.
Ronald menatap keluar jendela sesaat, lalu buru-buru berdiri, sambil
mengusap-usap keningnya yang sedang dalam proses benjol.
"Makasih, Bang. Makasih."
"Iye. Tapi ongkosnya bayar dulu dong."
"Emang belom?" Langkah buru-buru Ronald kontan terhenti.
"Ya, belomlah. Orang begitu naik lo langsung tidur."
Sambil mengernyitkan kening karena tidak yakin belum bayar ongkos,
Ronald merogoh saku dan mengeluarkan selembar seribuan. Kemudian dia
melompat turun sambil sekali lagi mengucapkan terima kasih.
Dalam perjalanan dari halte ke sekolah yang berjarak kira-kira 200 meter,
Ronald tidak henti-hentinya menguap. Sampai cowok itu jadi jengkel sendiri.
Sampai di kelas, Andika kaget melihat penampilannya.
"Gila, lecek amat lo?"
"Semalem gue begadang. Belajar buat ujian kenaikan kelas."
"Masih lama, juga."
"Justru karena masih lama. Kalau belajarnya udah deket-deket, pinter kagak,
yang ada malah panik. Lo tau nggak" Semalem gue belajar sampe subuh!"
Ronald bercerita dengan nada pongah.
"Ck" ck" ck" kereeen," Andika berdecak. Dia menggeleng-gelengkan
kepala dengan terkagum-kagum. Namun sedetik kemudian ekspresi kagum itu
lenyap. "Bo"ong. Kayak gue nggak tau lo aja. Lo mana pernah begadang kalo
besoknya nggak ada ulangan ato ujian."
"Hehehe?" Ronald meringis lebar. "Iya ding, bo"ong. Gue sarapan dua
piring. Di bus jadi ngantuk banget. Trus ketiduran sampe halte. Untung
dibangunin kondektur. "
"Gila! Ngapain juga lo sarapan sampe kalap gitu?"
"Ya biar kenyangnya bisa sampe sore. Jadi gue kan nggak perlu jajan, ato
ngancem lo buat jajanin gue."
"Lo dapet teori dari mana kalo sarapan dua piring kenyangnya bisa sampe
sore?" "Beruang. Kan kalo mau musim dingin, beruang makannya gila-gilaan. Trus
abis itu mereka nggak makan-makan sampe berbulan-bulan."
"Beruang tuh abis makan molor, bukan belajar!"
"Itu dia. Makanya gue sekarang juga mau molor, sumpah ngantuk banget,
Dik! Gue mau numpang tidur di markas PMR. Satu jam pelajaran doang. Kalo
ada yang tanya, tolong bilang gue sakit. Oke?"
"Jelas nggak okelah!"
"Tolong dooong. Sumpah, gue ngantuk banget. Di kelas juga percuma. Gue
nggak bakalan bisa konsen."
Ronald menepuk-nepuk bahu sahabatnya dengan satu tangan, sementara
tangan yang lain menutupi mulutnya yang menguap lebar-lebar. Begitu
kuapnya selesai, cowok itu berdiri dan berjalan keluar kelas sambil mengusap
matanya yang berair. Terpaksa Andika menuruti permintaan itu. Namun ia tahu, akan cukup sulit
meyakinkan teman-teman sekelas, apa lagi guru, bahwa Ronald sakit. Karena
selama ini cowok itu selalu terlihat sehat dan kelebihan energi.
***** Setelah lewat dari seminggu, urusan traktir- mentraktir itu mulai tidak oke lagi.
Andika terancam bangkrut. Uang saku bulanannya menipis dengan cepat. Akhir
bulan masih sepuluh hari lagi, tapi sisa uang sakunya mungkin hanya bisa untuk
bertahan dua atau tiga hari lagi.
Ronald ngomongnya nggak tiap hari minta traktir, tapi langsung jadi tiap hari
begitu tahu harga kaus dan jins yang diincernya ternyata lumayan mahal. Ia
sama sekali tidak mau memilih yang lain. Katanya kaus sama jins itu udah "gue
banget". Suatu siang, saat jam istirahat pertama, Andika terpaksa mengumumkan
kebangkrutannya, tentu saja kepada satu-satunya penyebab dirinya sampai
hafiz bangkrut begitu. "Gue udah nggak punya duit lagi nih, Ron. Tinggal buat tiga hari doang, kali.
Gue bangkrut gara-gara elo makannya kayak tukang becak. Emangnya nggak
bisa ya, makan lo dikurangi dikit?"
Ronald sama sekali tidak nampak kaget. Ia sudah menduga, dan sebenarnya
sejak awal ia sudah merasa tak enak dan tak tega. Tapi benar-benar baru
kemarin dia mendapatkan solusi. Melihat tampang Andika yang keruh karena
terancam bakalan berada di bawah garis kemiskinan, sifat jail Ronald langsung
kumat. "Wah, nggak bisa, Dik," jawabnya enteng. "Makanya bodi gue tinggi dan
atletis, kan" Dan selalu sehat. Soalnya makan gue banyak," sambungnya
dengan memasang ekspresi tidak bersalah. Andika mendesah kesal.
"Yah" kalo lo makannya emang kudu banyak, lauknya jangan pake ayam
atau ikan dong. Tempe sama tahu aja, gitu."
"Tapi gue kan milih ayamnya yang paling kecil. Ikannya juga kecil."
"Biar kecil tetep aja judulnya ayam dan ikan. Dan semurah-murahnya ayam
dan ikan, tetap aja mahal, tau! Nggak bakalan seharga tempe atau tahu. Jadi
sekarang yang mesti lo latih adalah, gimana caranya dengan tempe atau tahu
satu biji, plus sayur sama sambel, lo bisa ngabisin nasi sepiring."
"Jelas nggak mungkinlah. Itu sih gila. Komposisi menu kayak gitu nggak
memenuhi standar kesehatan banget. Kurang bergizi!"
"Ngomong gizi jangan sama gue. Sama emak lo sana!" seru Andika dongkol
banget. Saking dongkolnya, ia sampai tidak sadar bahwa Ronald sedang
setengah mati menahan seringai geli yang hampir saja tercetak di bibirnya.
"Iya sih, emang." Ronald memunculkan tampang bersalah. Andika yang tidak
tahu bahwa itu ekspresi yang sudah di atur, langsung merasa dirinya jahat.
Kesannya, sama sobat sendiri kok segitu itung-itungannya.


Dia Tanpa Aku Karya Esti Kinasih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jadi gimana dong?" tanya Andika dengan suara melunak.
Ronald tidak menjawab. Cowok itu pura-pura berpikir keras, seakan-akan
mengatakan dalam bahasa hening bahwa di mana pun di seluruh dunia,
kelaparan adalah satu masalah yang sangat serius.
Dan kelaparan di sekolah jelas merupakan masalah yang jauh lebih serius,
karena dapat berakibat fatal. Pertama, jelas jadi nggak bisa konsentrasi penuh
ke pelajaran. Akibat yang kedua malah lebih gawat. Nggak bisa konsentrasi ke
cewek, karena gimana mau traktif cewek, kalau traktir perut sendiri aja nggak
mampu. "Gimana kalo mulai besok kita makan sepiring berdua" Biar hemat."
"Idiiih! Nggak! Nggak!" Andika langsung menolak mentah-mentah usul
Ronald yang hina banget itu. "Elo sih enak. Gebetan lo, si Citra itu, nggak satu
sekolah. Jadi dia nggak bakal tau kalo lo lagi miskin. Nah kalo gue gimana" Gue
lagi ngincer anak kelas satu nih. Kalo dia tau gue melarat, belom sempat PDKT
pasti tu cewek udah keburu kabur."
"Makan sepiring berdua di kantin kesannya emang keliatannya
mengenaskan banget sih. Bisa-bisa bakalan jadi jomblo sampe lulus-lulusan."
ucap Ronald, masih dengan tampang belagak mikir, padahal itu sudah
kenyataan yang sangat jelas. Andika jadi ingin sekali menjitaki kepala sobatnya
itu. "Nah, itu lo tau! Kenapa juga lo ngusulin yang kayak gitu?"
"Namanya juga usul. Nggak kudu setuju, lagi."
"Jadi sekarang gimana niiih?" Andika memandang Ronald dengan tatapan
yang membuat Ronald jadi tidak tega untuk meneruskan godaannya. Cowok itu
menyeringai. "Sori banget gue udah nyusahin elo, Dik." Ia merangkul Andika. "Oke deh.
Hari ini terakhir gue minta traktir. Mulai besok nggak lagi."
"Bukan. Bukan gitu, Ron." Andika langsung merasa tidak enak. "Maksud gue,
jangan tiap hari nraktirnya. Trus, lauknya juga jangan yang mahal-mahal. Mahal
boleh, tapi jangan tiap hari. Gitu loh."
"Nggak. Hari ini terakhir. Mulai besok lo nggak perlu keluar duit buat makan
lagi. Gue yang tanggung."
"Maksud lo?" Andika tidak mengerti.
"Gue dapet ide baru. Lo liat aja besok. Yuk, kita ke kantin. Gue laper banget
nih. Lauknya kalo nggak tempe, tahu ya" Oke. No problem!"
Masih sambil merangkul erat bahu Andika, Ronald membawa sahabatnya
yang kelihatan sangat bingung itu ke kantin.
***** Besoknya Andika menunggu kedatangan Ronald dengan tidak sabar. Ia
penasaran, seperti apa ide Ronald itu. Apakah benar-benar bisa
menyelamatkan mereka berdua dari ancaman penurunan kasta.
Bukan apa-apa. Ini masalah serius. Tidak ada bencana yang lebih besar bagi
kaum cowok selain dijadikan pilihan terakhir oleh para cewek karena terjadi
bencana berskala besar. Misalnya, pemanasan global yang menenggelamkan
benua dan pulau-pulau, berikut cowok-cowok oke penghuninya. Atau senjata
nuklir milik negara anu meledak, menyebabkan semua cowok-cowok potensial
lenyap, dan yang tersisa tinggal cowok-cowok yang nggak menjanjikan tapi
yah, apa boleh buat. Daripada nggak ada.
Ronald muncul saat Andika sudah nyaris senewen. Soalnya sebentar lagi bel
masuk dan bangku di sebelahnya masih juga kosong. Begitu melihat raut
cemas Andika, Ronald langsung menghampiri dengan langkah panjang.
"Sori, Dik. Ada masalah sedikit di rumah. Tapi akhirnya semua lancar. Sesuai
rencana." "Ya udah. Cepet ceritain kayak gimana tu rencana."
"Nggak bisa sekarang. Udah mau bel nih. Ntar aja jam istirahat."
Jam istirahat pertama, Ronald mengajak Andika ke area sekolah yang sepi.
Area itu adalah gedung lama yang udah dikosongkan, yang sebentar lagi akan
dirobohkan dan sebagai gantinya akan didirikan bangunan baru. Ronald
memakai tas pinggang, tidak biasa-biasanya.
"Gue bawa bekal dari rumah. Lontong." katanya, setelah mereka
menemukan tempat untuk duduk. Dikeluarkannya sebuah tas kresek hitam
berisi lontong dari tas pinggangnya, lalu diberikannya pada Andika. Cowok itu
mengambil satu lalu membuka daun pisang pembungkusnya.
"Kok nggak ada isinya?" tanya Andika setelah merasakan satu gigitan.
"Kan gue bilang lontong. Bukan arem-arem. Ya nggak ada isinyalah."
"Mana enak, lagi" Makan nasi doang gini. Emang agak-agak gurih sih, Tapu
tetep aja judulnya makan nasi doang."
"Sebentar. Sabar dikit kenapa?" Ronald kembali merogoh tas pinggangnya
lalu mengeluarkan satu lagi tas kresek hitam. Isinya beberapa potong bakwan.
"Tu lontong dimakannya pake ini. Enak nih. Ada udangnya. Coba deh.
Bahkan yang di kantin mah lewat!"
"Makan beginian doang, ngapain sih mesti ke tempat sepi begini?"
"Gue bawanya pas, bego. Cuma buat elo sama gue. Ntar kalo ada yang minta
trus nggak kita kasih, pasti kita dibilang pelit. Kalo dikasih, perut nggak
kenyang. Buntutnya, cari makan lagi di kantin. Lo masih punya duit nggak, buat
traktir gue?" "Nggak," jawab Andika cepat.
"Makanya nih bekal cuma buat kita sendiri. Nggak bisa dibagi-bagi."
"Iya deh. Apa kata elo lah," kata Andika. "Mana bakwannya" Bagi dong."
Sambil mengobrol, keduanya lalu menikmati jatah masing-masing.
"Gimana" Enak, kan" Kenyang, lagi." kata Ronald. Setelah semua lontong
dan bakwan jatah istirahat pertama habis, dikumpulkannya daun-daun pisang
pembungkus lontong, lalu ia masukkan ke kantong kresek kosong.
"Iya, enak." Andika mengangguk. "Besok bawa lagi, ya?"
"Ya iyalah. Mau nggak mau. Emang ada pilihan lain selain bawa bekal dari
rumah?" Andika menyeringai. "Jadi ini yang lo maksud "rencana?" Bawa bekal dari rumah, gitu?"
"Yo"i! Berhubung ini hari pertama, jadi tadi persiapannya masih kacau."
Selesai makan, kedua anak itu duduk-duduk sejenak, baru kemudian kembali
ke kelas. Andika harus mengakui, ide Ronald kali ini oke juga. Mereka bisa
makan kenyang tanpa harus keluar duit. Besoknya mereka mencari tempat
yang agak sepi lagi, dan melahap bekal mereka yang -maaf saja- tidak bisa
dibagi-bagi itu. Pak Hidayat, salah seorang guru, ternyata memergoki keduanya tanpa
sengaja. Beliau langsung curiga melihat dua anak didiknya berada di area
sekolah yang agak sunyi. Salah satu anak selalu membawa tas pinggang, dan
apabila temannya datang, anak tersebut mengeluarkan sesuatu dari tas
pinggangnya dengan hati-hati.
Bermula dari ketidaksengajaan itu, Pak Hidayat jadi curiga dan berniat
mengintai keduanya. Karena judulnya saja "mengintai" -berarti dilakukan dari
jarak jauh- tentu saja Pak Hidayat tidak bisa mengetahui dengan pasti apa yang
sebenernya terjadi. Setelah pengintaian yang keempat, Pak Hidayat dengan yakin menyimpulkan
kedua muridnya itu telah melakukan transaksi barang haram alias narkoba!
Memang, yang dilihatnya kemudian kedua anak itu memakan sesuatu dengan
lahap, sambil ngobrol dan tertawa-tawa, tapi Pak Hidayat yakin itu cuma
kamuflase. Agar orang tidak curiga, tentu saja mereka harus menutupinya
dengan aktivitas yang wajar.
Suatu siang, saat istirahat pertama, Ronald dan Andika kembali menempati
salah satu pos mereka di area sekolah yang lumayan sunyi. Keduanya sedang
membicarakan rencana penggantian menu dengan sangat serius. Setelah
empat hari berturut-turut makan lontong sama bakwan udang, keduanya
mulai bosan. Ronald baru saja menceritakan bahwa Bi Minah, pembantunya itu, jago bikin
pizza mie dan tahu isi. Kedua menu itu sama-sama bisa bikin perut kenyang.
Sekarang Ronald dan Andika sedang mendiskusikan enaknya besok makan
pizza mie atau tahu isi. Tidak lama kemudian, keduanya mencapai kata
sepakat. "Oke, mulai besok, tahu isi. Tahunya yang putih gede, biar kenyang." Ronald
membuka tas pinggangnya. Diambilnya lontong dan bakwan udang dari dalam
plastik, lalu diberikannya pada Andika. "Ini hari terakhir kita makan lontong
pake bahwan." Namun baru dua kunyahan, Pak Hidayat mendadak muncul di hadapan
mereka dengan tampang garang.
"Kalian berdua ikut saya ke kantor kepala sekolah!" katanya galak. Ronald
dan Andika melongo bingung. Mulut mereka berhenti mengunyah.
"Ayo, cepat!" bentak Pak Hidayat.
"Sekarang, Pak?" tanya Ronald.
"Iya, sekarang!" jawab Pak Hidayat dengan bentakan yang semakin keras,
karena marah melihat sikap santai kedua anak itu.
Ronald dan Andika saling pandang sesaat. Keduanya lalu bangkit berdiri dan
dengan tampang bingung mengikuti langkah Pak Hidayat. Mulut mereka masih
mengunyah lontong, tangan mereka masih memegang bakwan.
Sampai ditujuan, Pak Jusuf -sang kepala sekolah- menyambut kedatangan
Ronald dan Andika dengan wajah dingin. Rupanya beliau telah diberitahu
perihal dugaan transaksi narkoba yang dilakukan kedua anak muridnya itu.
Setelah menanyakan nama dan kelas, Pak Jusuf langsung ke persoalan.
"Apa yang kalian komsumsi atau perjual-belikan?" tanyanya tajam.
"Lontong, Pak," jawab Ronald polos. "Sama bakwan udang."
Wajah dingin Pak Jusuf langsung terlihat marah.
"Kalian denger ya!" ucapnya penuh tekanan. "Lebih baik kalian bicara terus
terang. Sekarang! Sebelum berita ini tersebar dan membuat malu sekolah!"
Kening Ronald sontak berkerut rapat. Ia tampak tersinggung.
"Emangnya kami berdua kenapa sih, Pak" Mentang-mentang tampang kami
pas-pasan, nggak ganteng, trus dibilang bikin malu sekolah. Itukan nggak adil.
Orang dari sana dikasihnya udah begini kok."
Salah satu yang membuat Andika salut sama Ronald, ya ini nih. Kalau merasa
tidak bersalah, Ronald tidak peduli siapa yang ada di depan mukanya.
"Saya tidak bercanda!" bentak Pak Kepsek sambil memukul meja. Andika
sedikit memucat, namun Ronald tetap tenang.
"Sama, Pak. Kami juga nggak bercanda. Kami nggak tau nih kenapa kita di
panggil ke sini." Melihat ketenangan Ronald, kemarahan Pak Kepsek sedikit mereda.
"Apa itu di dalam tas kamu?" tanyanya.
"Lontong, Pak. Sama dengan yang saya makan bareng teman saya tadi."
"Lontong apa" Lontong ganja" Lontong shabu-shabu" Putaw" Inex?"
Ronald dan Andika ternganga. Sesaat keduanya saling pandang.
"Kok bapak kejem banget sih, nuduh kami transaksi narkoba. Di sekolah
pula, pak?" ucap Ronald, dengan nada tersinggung yang tidak disembunyikan.
"Kalu kenapa kalian berdua senang menyendiri begitu?"
"Ya makan, Pak. Namanya juga jam istirahat. Lontong sama bakwan udang.
Itu bekal yang saya bawa dari rumah. Sumpah, pak! Lontongnya dibikin dari
beras. Bukan dari ganja, sabhu-shabu, atau saudara-saudaranya itu. Boro-boro
buat beli narkoba, buat jajan di kantin aja kami nggak mampu."
"Kalau cuma untuk makan, kenapa harus di tempat tersembunyi kayak
begitu?" "Ya kan malu, Pak. Masa bawa bekal dari rumah" Kayak anak TK aja. Apalagi
kalau sampai ketahuan cewek-cewek. Bisa nggak bakalan laku nih kami berdua.
Lagian kalo makannya nggak ngumpet atau di tempat yang sepi, nanti pasti
dimintain temen-temen. Kan mau nggak mau kami terpaksa bagi-bagi. Masa
mau dimakan sendiri" Dan kalo dibagi-bagi, mana bisa kenyang?"
Ronald mengeluarkan kedua jenis makanan itu dari dalam tas pinggangnya,
lalu meletakkan di meja pak Jusuf. Kepala sekolah itu tampak terkejut, apalagi
Pak Hidayat. "Bapak mau" Enak deh. Coba aja. Pasti bapak setuju kalo saya bilang lontong
bikinan pembantu saya ini enak banget. Standar hotel berbintang. Kalo bapak
mau pesan juga bisa. Buat di bawa pulang. Misalnya buat arisan istri bapak,
gitu?" Ronald jadi berpromosi. Sama sekali tidak is pedulikan isyarat yang di
lemparkan Andika dengan kesal. Malu-maluin aja, dagang lontong sama
bakwan di kantor Kepsek! Ronald tidak peduli. Ia lagi butuh banget duit. Jadi, peluang bisnis sekecil apa
pun akan dimanfaatkannya semaksimal mungkin. Pak kepsek memang
memesan lontong dan bakwan udang, untuk dimakan bersama para guru
besok. Pasti karena rasa bersalah. Pak Hidayat juga ikut memesan, untuk
dibawa pulang. Kalau yang ini jelas lebih dari merasa bersalah. Merasa
berdosa! Kedua lelaki dewasa itu kemudian meminta maaf, dan masalah itu clear.
Ronald dan Andika mohon diri. Ronald tak lupa meninggalkan dua buah
lontong dan dua potong bakwan. Buat tester, katanya.
Pak Jusuf dan Pak Hidayat melepaskan kepergian kedua anak itu dengan
senyum. Senyum geli sekaligus salut.
BAB 3 Akan selalu ada jalan keluar untuk setiap permasalah. Pasti. Karena Tuhan
telah mengaturnya seperti itu. Dan jalan keluar yang disediakan Tuhan agar
Ronald bisa membeli kaus dan celana jins yang diincarnya, yang sebenarnya
terlalu mahal untuk ukuran uang sakunya dan akan memerlukan waktu
menabung cukup lama, adalah berjualan lontong dan bakwan.
Promosi yang bermula dari tuduhan transaksi narkoba diruang kepsek itu
lalu menjalar ke ruang guru.
Tapi hanya sampai di situ. Ronald tidak melayani pembelian dari kalangan
murid. Lontong dan bakwan dagangannya hanya untuk kepsek, para guru,
karyawan administrasi, dan lain-lain yang non murid. Biar eksklusif. Alasan
sebenarnya sih biar bisa dijual lebih mahal.
Namun, meski Ronald menganggap dagangannya eksklusif, tentu saja gelar
yang kemudian di dapatkannya sama sekali tidak ekslusif. "Ronald tukang
lontong", bukannya "Ahli kuliner Bidang Pengolahan Beras", atau julukan lain
yang kedengaran keren di kuping.
Andika lega banget tidak ikut kebagian gelar. Soalnya ia tidak tahu
bagaimana cara menghilangkan aib itu kalau sampai dirinya ikut kebagian
predikat juga. Misalnya: "Asisten Tukang Lontong"
Tetapi Robald cuek. Jelaslah. Soalnya Citra, cewek gebetannya, nggak satu
sekolah. Jadi aman. Lagi pula menurut Ronald gelar, "Tukang Lontong"
termasuk positif kok. Ketimbang "Tukang Nyontek", "Tukang Cabut", "Tukang
Tawuran", apalagi "Tukang Ngembat Duit SPP". Yang terakhir ini jangan sampe
deh. Jangan sampe ketauan siapa-siapa, maksudnya.
Suatu pagi Ronald berjalan masuk kelas dengan wajah gembira.
"Woi, Dika. Sini!" Andika yang sedang duduk bersama beberapa cowok di
deretan bangku paling belakang segera bangkit. Cowok itu menghampiri.
"Apa?" tanyanya sambil duduk di sebelah Ronald.
"Ntar temenin gue, ya" Gue mau beli kaus sama jins yang gue incer itu."
Seketika ekspresi muka Andika tampak aneh. Cowok itu menghela napas.
"Sori nih, bukannya mau matahin semangat lo. Lo yakin, tu kaus sama jins
masih ada" Lo ngeliatnya kan udah lama. Udah sebulan lebih, mau dua bulan
malah." "Masih!" Ronald mengangguk yakin. "Gue udah pesen sama mbak yang jaga
konter. Pasti gue beli! Cuma duitnya belom ada. Dan dia udah janji mau
nyimpenin." "Oh, gitu," Andika masih sangsi. "Mbak-mbak itu yang jaga konter apa yang
punya konter sih?" "Pokoknya pasti masih ada deh!" tandas Ronald. Tetap sangat yakin.
"Yaaa?" Andika mengedikkan bahu. "Oke deh kalo lo emang yakin."
"Yakin!" Ronald menepuk bahu sahabatnya. "Ntar lo gue traktir. Oke?"
Seharian itu Ronald begitu gembira dan kelihatan berbeda. Di setiap mata
pelajaran, ia jadi tertib dan tekun. Mencatat dengan rajin dan menyimak
penjelasan guru dengan serius. Dan di jam-jam pelajaran yang bikin boring,
Ronald juga tidak lagi berpartisipasi membuat kelas ingar-bingar.
Pokoknya hari ini Ronald manis banget. Tipe pelajar ideal idaman semua
guru di seluruh dunia, tapi tipe teman yang paling disebelin semua murid yang
duduk di deretan bangku paling belakang, atau murid yang alergi terhadap
suasana kelas yang tertib dan tenang.
"Ron, elo kok nggak asyik sih hari ini?" tanya Ical saat jam istirahat kedua.
"Maksud lo?" tanya Ronald tanpa menoleh. Sibuk memasukan refill ke
dalam pensil mekaniknya. "Anak-anak di belakang pada dendam, gara-gara minggu kemarin Pak Cokro
ngasih ulangan mendadak lagi. Mentang-mentang sebentar lagi mau ujian
kenaikan kelas, bentar-bentar ulangan mendadak. Jadi tadi kita pada sepakat
mau break belajar matematika dulu hari ini. Caranya, Jimmy mau pura-pura
kejang-kejang. Kayak epilepsi deh gitu. Trus yang lainnya belagak terkesima,


Dia Tanpa Aku Karya Esti Kinasih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nggak tau kudu ngapain. Nah, lo kan paling jago tuh bikin muka panik yang
keliatan natural banget."
"Sialan!" Ronald tertawa. "Gue pasti deh kebagian akting panik yang kudu
bisa bikin pak Cokro sama cewek-cewek sekelas jadi pada ikutan panik. Gitu,
kan?" "Tepat!" Ical menjetikkan jari lalu tertawa terkekeh-kekeh.
"Nah, Andika bertugas ngehalingin Pak Cokro atau siapa pun keluar kelas
mencari bantuan. Caranya terserah. Nggak usah lama-lama. Lima belas menit
aja. Paling lama dua puluh menit deh. Pak Cokro kan kalo kaget ilangnya lama
tuh. Pasti abis itu dia jadi nggak konsen ngajar, trus paling kita cuma disuruh
nyatet-nyatet doang sampe bel. Tapi rencana ini bakalan gagal kalau kalian
nggak kompak. Padahal, kami udah ngebayangin, pasti bakalan seru
buuuanget!" "Eh, tu guru pagi-pagi udah berangkat dari rumah. Bela-belain desakdesakan di kereta api cuma buat ngajar murid-murid bego kayak elo-elo yang
duduk di belakang. Untuk guru-guru di sini, meningkatkan prestasi kalian tuh
berbanding lurus dengan resiko terkena stroke atau serangan jantung, tau
nggak?" kata Ronald kalem.
Ical kontan ternganga. Sementara Andika tertawa terbahak-bahak. Ronald
menoleh dan tersenyum geli melihat ekspresi muka Ical.
"Sori, Cal. Bercanda. Bercanda. Gue lagi nggak mood iseng hari ini. Besok
aja, ya" Bilangin anak-anak di belakang, sori gitu. Oke" Jangan cemberut gitu
dong. Percuma, lo nggak bakalan gue cium."
"Ih, jijik!" jawab Ical. Ia balik badan lalu berjalan keluar kelas. Ronald dan
Andika tertawa-tawa geli.
Begitu bel pulang berbunyi, keduanya segera pergi. Sampai di mal, Ronald
langsung menuju konter yang dulu pernah didatanginya. Pramuniaga konter
ternyata masih mengenali. Ia langsung menyambut kedatangan Ronald dengan
senyum lebar. "Mau ambil kaus sama jinsnya, ya?" tanyanya.
"Iya," Ronald mengangguk. "Masih ada kan, Mbak?" sambungnya penuh
harap. "Masih. Kan udah janji mau disimpenin." Pramuniaga itu berjalan menuju
lemari kecil yang terdiri atas beberapa laci. Dibukanya salah satu laci dan
dikeluarkannya sebuah tas plastik dari sana. Kemudian ia kembali ke depan
Ronald dan menyodorkan tas plastik itu. Ronald menerimanya lalu menoleh ke
Andika dan mengacungkan jempol kirinya.
"T-O-P kan mbak ini?"
Ronald terharu saat melihat struk yang menempel di tas plastik itu. Mba
pramuniaga itu ternyata telah membelikannya lebih dulu kedua benda yang
sangat diinginkan Ronald itu. Sepertinya dua benda itu sudah dibayar pada hari
Ronald datang tanpa cukup uang beberapa minggu lalu.
"Coba kalo saya punya kakak kaya mbak, pasti saya bahagia banget deh."
puji Ronald sungguh-sungguh. Andika langsung membantah dengan
menggerakan telapak tangan kanannya kuat-kuat.
"Jangan, Mbak. Ibunya aja sering bilang nyesel banget udah ngelahirin dia."
Ronald tertawa. Dimasukkannya tas plastik itu ke tasnya.
"Nggak dicoba dulu?" tanya Andika.
Ronald menggeleng. "Udah waktu itu. Keren banget. Iya kan, Mbak?"
"Banget!" Mba pramuniaga itu mengangguk sambil tertawa kecil. Ronald
mengeluarkan sebuah plastik berisi beberapa potong bakwan udang dan
lontong, yang memang sengaja disisihkannya untuk mba yang baik banget ini.
"Ini buat Mbak." Ia ulurkan plastik itu bersama sejumlah uang sebesar yang
tertera di struk. Mba pramuniaga menerima dengan mata berbinar.
"Waaah, makasih ya?"
"Iya, sama-sama. Saya makasih juga. Kami balik dulu ya, Mbak. Sekali lagi,
thanks banget. Sumpah, Mbak orangnya asyik banget!"
Ronald melambaikan tangan yang langsung dibalas pramuniaga itu. Diikuti
Andika, ia lalu balik badan dan meninggalkan konter pakaian itu.
"Mbak itu emang baik banget," Andika mengangguk setuju. "Gue tadi sampe
terharu, pas tau dia beliin dulu kaus sama jins yang lo incer itu. Eh, jadi traktir
nggak nih?" "Jadi dong!" tagas Ronald. "Tapi jangan yang mahal-mahal, ya?"
sambungnya. Kemudian ia menarik napas panjang-panjang dan
mengembuskannya kuat-kuat. Terlihat sangat lega. "Sekarang gue bisa konsen
belajar buat ujian kenaikan kelas!"
***** Malamnya, selesai belajar, Ronald mencoba kaus dan jins barunya. Cowok itu
berdiri di depan cermin besar di pintu lemari pakaiannya. Berputar ke kiri
kemudian ke kanan. Kemudian ke kiri lagi. Lalu ke kanan lagi. Dan setelah
berputar kanan-kiri berkali-kali, ia lalu berdiam diri. Dipandaginya refleksi
dirinya di cermin dengan puas. Ketika adiknya yang hanya berselisih umur dua
tahun, Reinald, memasuki kamar tidur mereka, Ronald langsung
menyambutnya dengan pertanyaan.
"Gimana penampilan gue, Ren?" tanyanya.
Reinald mengamati kakaknya. "Oke. Keren. Kayaknya tuh kaus mahal. Jinsnya
juga. Iya?" "Jelaslah. Gue sampe nggak jajan. Bawa makanan ke sekolah, abis itu malah
jualan." Katanya Kalau itu sih orang satu rumah juga tau! gerutu Reinald dalam hati. "Buat si
Citra aja sampe segitunya."
Ronald tidak peduli. Setelah sekali lagi memandangi pantulan dirinya sampai
benar-benar puas, ia melepas kaus dan celana jins barunya, lalu dengan sangat
hati-hati menggantung keduanya di dalam lemari.
BAB 4 Di sekolah Reinald, tahun ajaran baru.
Tadinya Reinald pikir cewek yang sedang berjalan bersama ibunya itu cuma
mirip dengan cewek di foto-foto di dalam laci Ronald. Tapi setelah seorang
siswa menjeritkan nama cewek itu, lalu cewek itu menoleh kaget dan
keduanya saling berlari mendekat serta berpelukan erat sambil tertawa-tawa,
keraguan Reinald segera tersingkir.
Cewek itu memang Citra! Tanpa disadari, Reinald berdiri diam mengamatinya. Foto dengan realita
ternyata bisa berbeda. Cewek itu lucu. Bisa dilihat dari caranya berbicara,
gerak-geriknya, ekspresi muka, bahasa tubuh. Dia juga lincah dan gampang
tertawa. Dan kalau sedang tertawa, kedua matanya membentuk sudut
karakter usil dan jail pemiliknya.
"Manis," gumam Reinald tanpa sadar. Pinter juga si Ronald.
Begitu sampai rumah, Reinald langsung mencari Ronald, si pemuja Citra
yang membabi buta itu. Ia mendapati kakaknya sedang duduk bersila di
tempat tidur. Mukanya tampak kesal.
"Ron, dia satu sekolah sama gue," lapor Reinald.
"Udah tau!" jawab Ronald ketus.
"Kenapa sih lo" Bi Minah masak kacang panjang lagi?"
Ronald memang benci kacang panjang, dan selalu kesal kalau menemukan
sayuran itu di meja makan.
"Kenapa sih dia satu sekolah sama elo" Kenapa nggak masuk sekolah gue?"
Ternyata itu masalahnya! "Jangan ke gue dong protesnya. Mana gue tau?" ucap Renald sambil
melempar tasnya ke kasur Ronald. Sang kakak sontak berteriak kesal.
"Kenapa sih lo kalo ngelempar tas selalu ke kasur gue" Kenapa nggak ke
kasur lo sendiri?" tas itu pun melayang dari kasur Ronald. Reinald buru-buru
menangkapnya. Sambil tertawa geli diletakkannya tas itu di kasurnya sendiri.
"Dia manis, ya" Beda sama fotonya."
"Betul, kaaan?" Tampang keruh Robald langsung berubah cerah. Tapu
sedetik kemudian berubah menjadi tegang. Kalau Reinald bisa langsung sadar
kalau Citra itu manis, berarti cowok-cowok lain juga dong!
"Wah, gawat!" desis Ronald, langsung panik. Ia melompat dari tempat tidur
dan bergegas menghampiri Reinald yang sedang berganti baju. "Ren, tolong
jagain dia, ya" Jangan sampe ditaksir cowok lain."
"Gimana caranya" Gue kenal dia juga nggak. Lo aja nggak kenal dia."
"Ya elo kenalan trus jagain dia," usul Ronald. Usul yang aneh banget.
"Besok kan MOS. Tiga hari. Kalo ada yang naksir dia ya kudu nunggu MOSnya kelar dululah," Reinald beralasan.
"Itukan kalo yang naksir anak baru. Kalo senior sih lain. Nanti kalo dia
disuruh macem-macem sama senior kalian, yang nggak masuk akal gitu,
mengada-ngada, lo belain dia, ya?"
"Hah!?" Reinald menatap kakaknya dengan mata terbelalak. "Nggak mau.
Gila, apa" Ntar gue yang bonyok, lagi."
"Nanti gue traktir deh."
"Setiap gue abis dibonyokin, lo mau traktir, gitu?" Reinald mengangkat
kedua alisnya tinggi-tinggi saking takjubnya. Ronald kakak yang kejam banget
ternyata. Ikhlas adiknya bonyok -bonyok demi cewek gebetannya nggak
kenapa-napa. "Bonyoknya paling segimana sih" Nggak bakalan kaya di IPDN."
"IPDN itu sampai mati, tau! Bukan cuma bonyok-bonyok."
"Nah, itu maksud gue!" Ronald menjentikkan jari. "Nggak sampe mati ini!"
Reinald ternganga. "Elo tu kelewatan ya!" ucapnya ketus. Jadi dongkol sungguhan. "Sebodo
amat si Citra mau diapain besok di MOS. Bukan urusan gue!"
Dengan kesal Reinald berjalan ke arah lemari bajunya, mencari-cari kaus
rumah. Ronald membuntuti sambil menyeringai. Ia tahu permintaannya tadi
irrationan. Impossible. Tapi ia tidak tega membayangkan Citra-nya yang manis
dan lucu itu dibentak-bentak lalu diperintah melakukan ini-itu yang nggak jelas.
"Sori, sori. Bercanda," katanya. Dirangkulnya bahu adiknya.
"Ah, gue tau lo serius," jawab Reinald.
"Bonyoknya nggaklah. Ya udah. Tolong jagain dia aja, ya?"
"Caranya?" "Hmm?" Ronald terdiam. Sampai mereka tiba di ruang makan, Reinald
membuka tudung saji lalu mengamati lauk yang ada di meja, mengambil piring
kosong, menyendokkan nasi dan siap makan siang, Ronald masih saja diam.
Masih terus menempeli Reinald karena sepertinya ia tidak sadar satu
tangannya masih merangkul bahu adiknya.
"Nggak bisa jawab kan lo?" Reinald meliriknya.
"Ini gue lagi mikir."
"Bisa nggak lo mikirnya jangan sambil ngerangkul gue gini" Gue mau makan
nih." Ronald tersadar. "Sori." Dilepaskannya rangkulannya dari bahu Reinald, kemudian ditariknya
satu kursi. Tapi sampai Reinald selesai makan, Ronald masih juga belum
menemukan cara. Akhirnya ia pasrah.
Reinald tertawa tanpa suara. Ia berdiri sambil menggeleng-gelengkan
kepala. "Kelakuan lo tu norak, tau nggak?" katanya sambil membawa piring
kotor ke dapur. ***** MOS hari pertama selesai. Reinald melangkah ke luar gerbang sekolah barunya
dengan tubuh penat. Salah seorang senior, anak kelas tiga, sepertinya
terobsesi jadi tentara. Sedikit-sedikit ia memerintahkan anak-anak baru, yang
cowok pastinya, untuk push-up. Lari-lari keliling lapangan atau naik-turun
tangga, loncat-loncat dan jalan jongkok.
Langkah lelah Reinald yang lambat terhenti ketika didengarnya namanya
dipanggil. Surprise, di depannya Ronald sedang duduk di atas motor yang
diparkirnya di trotoar samping sekolah.
"Gue jemput elo nih. Kakak yang baik kan gue?" kata Ronald tersenyum
lebar. "Dikerjain apa aja lo, sampe lecek banget gitu?"
"Nggak usah dibahas. Nggak penting," jawab Reinald malas.
"Citra mana?" kepala Ronald celingukan mencari-cari.
"Nggak tau. Nggak sempet ngurusin dia. Motor siapa nih?"
"Andika. Baru. Tuker tambah sama yang lama. Tapi tadi Citra masuk, kan?"
"Ya masuklah. Emangnya kepengin dibantai besok, hari ini nggak masuk"
Kayak gitu kok ngomongnya mau jemput gue. Bilang aja mau liat Citra."
"Ya dua-duanya deh."
Ronald tampak kecewa karena tidak berhasil menemukan Citra. Kepalanya
masih terus menoleh ke segala arah, mencari-cari. Sekolah sudah mulai
lengang, jadi kemungkinan Citra masih ada juga sangat kecil.
"Udah deh. Besok kan masih ada hari. Gue capek banget nih. Besok kudu
dateng pagi-pagi lagi. Buruan balik yuk, Ron."
Dengan berat hati Ronald menyalakan mesin motor, lalu meninggalkan tempat
itu. Besok siangnya Reinald mendapati Ronald sedang menunggu di tempat yang
sama. Tapu kali ini wajahnya begitu ceria. Pasti dia sudah bertemu, atau paling
tidak, melihat Citra. Dan dugaan Reinald benar.
"Lucu ya dia, pake pita warna-warni gitu. Ngegemesin. Tapi kasian. Keliatan
capek banget dia tadi. Diapain sih sama anak-anak kelas dua sama tiga?" muka
sumringah Ronald seketika berganti dengan ekspresi marah.
"Mana gue tau! Orang nggak satu kelompok. Lo udah ngomong sama dia"
Maksud gue, udah kenalan?"
"Ntar aja, kalo dia udah pake putih abu-abu. Lagian nyokapnya udah dateng
duluan, jadi gimana gue mau kenalan" Yuk, ah. Balik. Besok gue nggak jemput
ya. Udah hari terakhir, kan?"
"Lo nggak pengin ngeliat Citra lagi?" tanya Reinald sambil duduk di
boncengan. "Tadi udah. Ya penting gue udah tau tampangnya pas lagi MOS. Lucu."
Ronald tertawa kecil, terdengar begitu bahagia. Dihidupkannya mesin motor.
Dan sepanjang jalan Reinald terpaksa menabahkan diri mendengar celotehan
abangnya tentang Citra, yang benar-benar baru berakhir setelah motor masuk
halaman rumah. ***** Hari ketiga, MOS berakhir. Kegiatan itu selesai sore hari. Jauh lebih lama
daripada dua hari sebelumnya. Meskipun jauh lebih meletihkan daripada harihari sebelumnya, para murid baru merasa lega. Soalnya, dengan berakhirnya
MOS, kegiatan yang sering tidak jelas manfaatnya dan bisa dibilang "versi
SMA"-nya IPDN itu berakhir sudah.
Sebelum pulang mereka berebut melihat papan pengumuman untuk
mengetahui di kelas mana mereka akan mulai belajar senin nanti. Kedua alis
Reinald terangkat tinggi saat ternyata ia dan Citra sekelas.
"Wah, bakalan repot nih!" desisnya. Susah terbayang di matanya, dirinya
bakal jadi kurir. Menyampaikan pesan atau titipan Ronald untuk Citra. Bakal
jadi bodyguard, untuk menjaga Citra selama di sekolah. Bakal jadi spion, untuk
mengawasi apa saja yang dilakukan Citra selama di sekolah, atau siapa-siapa
saja cowok yang naksir. Dan lain-lain yang bikin repot, ribet, dan bikin susah.
Bukti pertama bahwa sekelas dengan Citra akan bikin susah, langsung
dirasakan Reinald begitu memasuki halaman rumah. Ronald sudah menunggu
di teras dengan muka keruh dan kedua tangan terlipat di depan dada.
"Kok bisa sih dia sekelas sama elo?" protesnya keras.
Ronald menatap abangnya itu dengan takjub. Gila, info apa pun tentang
Citra, dia langsung tau! "Yah, berarti dia emang nggak jodoh sama elo, jodohnya sama gue," jawab
Reinald cuek. Ronald langsung melotot. "Apa lo bilang!?" tanyanya tajam. Dibuntutinya
langkah Reinald ke dalam.
"Lo aneh deh. Mana gue tau sih, bakalan sekelas sama dia" Emangnya gue
yang ngatur" Udah, ah. Gue capek banget nih. Mau makan trus tidur.
Ronald menghentikan langkah. Tidak lagi membuntuti dan mengeluarkan
suara. Ia hanya menatap adiknya yang berjalan masuk kamar. Ia tahu itu sama
sekali bukan salah Reinald. Itu di luar kuasa Reinald juga. Tapi ia kesaaaal".!!
Ia yang memperhatikan Citra selama berbulan-bulan. Menjaganya dari jauh
berbulan-bulan. Nahan kangen berbulan-bulan. Menunggu berbulan-bulan.
Berharap berbulan-bulan. Kenapa Citra nggak masuk ke SMA-nya" Atau paling nggak, masuk SMA-SMA
yang lokasinya dekat dengan SMA-nya" Kenapa malah satu SMA dengan
Reinald" Satu kelas pula!
BAB 5 Di luar masih gelap gulita saat mata Ronald mendadak terbuka. Meskipun
baru beberapa detik terbangun, kesadarannya langsung pulih.
Akhirnya hari ini tiba juga. Hari akhirnya Citra berseragam SMA!
Kedua mata Ronald berbinar. Senyumnya merekah lebar. Ia melompat
bangun. Dilihatnya Reinald masih meringkuk pulas. Ronald segera
menghampiri. Kedua tangannya sudah terjulur, siap membangunkan adiknya
itu saat matanya tidak sengaja menatap tajam. Masih setengah jam lagi
sebelum jam beker itu berdering.
Ia urungkan niatnya. Cowok itu berjalan mondar-mandir di kamar yang


Dia Tanpa Aku Karya Esti Kinasih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

remang-remang itu. Gelisah. Di sibaknya gorden. Di luar masih gelap gulita.
Kembali dia berjalan mondar-mandir. Hatinya semakin gelisah. Semakin tidak
sabar. Semakin bergemuruh. Dan semakin terasa ingin meledak.
Ia ingin Reinald bangun secepatnya. Mandi secepatnya. Sarapan secepatnya.
Lalu berangkat ke sekolah secepatnya. Supaya dirinya juga bisa mendapatkan
kepastian bahwa Citra memang sudah memakai seragam putih abu-abu.
SECEPATNYA!!! Kembali Ronald berjalan mondar-mandir. Berusaha keras untuk bersabar.
Satu menit kemudian dia menyerah. Dihampirinya Reinald yang masih tertidur
pulas, lalu diguncang-guncangnya tubuh adiknya itu kuat-kuat.
"Ren, bangun! Woi, Reinald! Bangun!" serunya.
Reinald bangun tergeragap dan langsung melompat dari tempat tidur.
Guncangan tangan Ronald membuatnya kaget. Sesuatu langsung muncul di
dalam pikirannya: pasti telah terjadi sesuatu yang buruk.
"Ada apa!" Ada apa!?" tanyanya panik. Dihidupkannya lampu yang terang.
"Sekolah. Cepetan mandi," kata Ronald tak sabar.
"Hah!?" Reinald menatap kakaknya dengan mulut ternganga.
"Cepetan mandi sana. Lo kan kudu sekolah."
"Maksud gue, ngapain tadi lo bangunin gue kayak gitu?"
Ronald menyeringai. Terlihat agak tidak enak.
"Sori deh. Kaget, ya" Gue bangunin lo supaya lo nggak telat."
"Bukan kaget lagi, tau! Gue pikir ada kebakaran atau gempa bumi," gerutu
Reinald kesal. "Kalo nggak ada apa-apa, bangunin orang kira-kira dong."
sedetik kemudian Reinald menatap kakaknya dangan pandangan curiga. "itu
doang alasannya?" "Iya. Ini hari pertama lo pake seragam SMA, gitu loh!" seru Ronald.
Ditatapnya adiknya dengan mata terbelalak lebar. "Lo akan memasuki tiga
tahun masa paling indah dan paling heboh dalam hidup lo. Masa nggak
semangat sih?" "Siapa bilang gue nggak semangat" Tapi bukan berarti subuh-subuh gue
udah sampe sekolah, kan?" Reinald balik badan, siap tidur lagi.
"Eh!" Eh!?" Ronald langsung menarik adiknya menjauhi tempat tidur. "Udah
pagi nih!" "Masih dua puluh menit lagi!" tunjuk Reinald ke jam beker di meja.
"Nggak! Nggak! Bangun!" Dengan paksa Ronald menyeret adiknya ke luar
kamar. Cepat-cepat ia menutup pintu kamar lalu berdiri menghadang Reinald.
Melihat peluang untuk bisa masuk kembali ke kamar benar-benar sudah
tidak ada lagi, akhirnya Reinald menyerah. Sambil berjalan menuju salah satu
kursi makan, ia menguap lebar-lebar dan berhenti sebentar untuk mengulet.
"Cepet mandi sana!" perintah Ronald saat dilihatnya adiknya itu duduk.
"Bentar. Mata gue belum benar-benar melek. Lo mau gue kelelep di bak
mandi?" "Ya jangan dong." jawab Ronald langsung. "Jangan hari ini. Besok-besok aja.
Hari ini penting banget soalnya."
"Sialan!" gerutu Reinald.
Ronald menyeringai lalu terkekeh geli.
Setelah kantuknya agak berkurang, Reinald bangkit berdiri, bersamaan
dengan terdengarnya dering jam beker dari dalam kamar. Ronald membuka
pintu yang dari tadi dijaganya. Kemudian masuk kamar untuk mematikan beker
tersebut. "Ambilin anduk gue!" seru Reinald. "Siap, Bos!" langsung terdengar sahutan
Ronald. Ia muncul dengan handuk yang diminta dan memberikannya pada
Reinald. Begitu selesai mandi dan kembali ke kamar, Reinald mendapati segala
sesuatunya telah disiapkan Ronald di atas tempat tidurnya. Mulai dari baju
seragam, kaus kaki, sampai pakaian dalam!
Tempat tidurnya bahkan sudah tertata rapi. Di lantai, didekat salah satu kaki
ranjang, Reinald melihat sepatunya juga telah ready to use.
"Penjilat banget sih lo," ucapnya. Sama sekali tidak bersedia mengucapkan
terima kasih, karena semua yang dilakukan Ronald memang jelas-jelas tidak
tulus. Ada maunya! "Hehehe." Ronald cuma tertawa-tawa. Setelah menyambar handuk dari
senderan kursi, ia berjalan keluar kamar. "Sekarang gantian gue yang mandi.
Tapi sebelumnya gue mau memastikan sarapan lo udah tersedia di meja."
Reinald menatap abangnya yang berjalan keluar kamar sambil berbicara
penuh semangat itu. Ia jadi tidak bisa menahan senyum saat kakaknya itu telah
hilang dari pandangan. Bertengkar, terkadang berkelahi hebat, bercanda, berebut komik, berteriak
saling menyalahkan gara-gara kamar yang sering berantakan, berbagi cerita
bahkan rahasia dan banyak hal lagi yang mereka lakukan bersama-sama sejak
kanak-kanak. Reinald benar-benar mensyukuri keberadaan kakaknya itu.
Hari ini Reinald melanggar kebiasaan. Ia sarapan tanpa mengenakan baju.
Hanya berselimut handuk. Ia tidak ingin seragam SMA-nya bau nasi goreng,
apalagi terkena butiran nasi atau bumbu berminyak. Sama sekali tidak
dihiraukannya omelan ibunya dan teguran ayahnya yang jelas-jelas juga
setengah hati. Kedua orangtuanya itu bisa mengerti.
Selesai sarapan Reinald buru-buru masuk kamar untuk bersiap-siap. Tepat
seperti apa yang dikatakan Ronald, hari ini ia benar-benar bersemangat. Amat
bersemangat. Hari ini hari pertamanya mengenakan seragam SMA. Serangan SMA! Putih
abu-abu! Setelah berpakaian lengkap, Reinald menghampiri cermin besar di pintu
lemari pakaiannya. Langkahnya perlahan, sambil menahan napas pula. Dan
begitu sampai di sana, seketika Reinald berdiri mematung. Ia menatap
terkesima pada refleksi pertamanya sebagai anak SMA. Sorot terpana dan tak
percaya terpancar jelas di kedua matanya. Juga perasaan bangga dan percaya
diri. Bersemangat menghadapi hal-hal baru yang "katanya" berawal di SMA,
dan perasaan-perasaan lain yang tak bisa diucapkan.
"Kereeen. Jadi keliatan udah gede!" Ronald melangkah masuk kamar sambil
mengacungkan jari jempolnya. Reinald meliriknya.
"Tinggi lo sama gue cuma beda dua sentian, tau!"
"Tapi waktu itu lo kan masih SMP. Sekarang kita nggak masalah lagi jalan
berdua pake seragam, soalnya kita udah sama-sama gede. Kemaren-kemaren
mah gue malu jalan sama anak SMP. Masih kecil, meskipun tinggi lo hampir
nyaingin gue." "Cerewet lo, ah!" dengus Reinald. "Buruan, mau ngomong apa" Lo nyusul
gue ke kamar pasti karena ada yang mau diomongin, kan?"
"Tauuu aja." Ronald nyengir lebar. Dihampirinya Reinald yang sekarang
sibuk menyiapkan buku-buku dan alat tulis. "Kalo dia udah pake putih abu-abu
juga, kasih tau gue, ya?" pinta Ronald dengan penuh harap.
Reinald menatap kakaknya dengan kedua alis terangkat dan mulut sedikit
ternganga. "Elo bego, ya" Kalo gue udah pake putih abu-abu, ya jelas dia juga
sama, lagi." "Iya sih." Ronald mengangguk lalu menyeringai malu. "Ya, gue nggak
percaya aja akhirnya dia pake putih abu-abu. Gila, gue nungguinnya lama
banget." kemudian dia berseru keras, "Akhirnya penantian gue selesailah
sudah!!!" "Gue juga ikut seneng, Ron. Sumpah! Akhirnya penderitaan gue yang kudu
dengerin cerita lo yang itu-itu melulu, juga selesai sudah!!!" ucap Reinald
sungguh-sungguh. Ronald tercengang, tapi hanya sesaat. Kemudian ia tertawa terkekeh-kekeh.
"Salamin buat dia, ya?" pintanya penuh harap.
"Hmm"," Reinald cuma bergumam, sibuk memasukkan buku-buku
pelajaran ke tas ranselnya.
"Ya, Ren. Salamin buat dia, ya?" ulang Ronald.
"Iya," jawab Reinald sambil melangkah ke luar kamar.
Ronald langsung membuntuti langkah adiknya. "Bilang sama dia, salam dari
Ronald, gitu. Ya?" pinta Ronald lagi, dengan nada semakin penuh harap.
"Iyaaa," jawab Reinald menahan sabar. "Tadi kuping gue juga udah denger,"
sungutnya. Kemudian dia hentikan langkahnya di tangga teras. "Ada pesen lagi,
nggak" Gue udah mau jalan nih."
"Nggak. Nggak. Itu aja." Ronald menggeleng cepat. "Sampein aja salam gue
buat Citra. Jangan sampe nggak. Salam sayang, gitu. Sama salam kangen."
"Kacangan, tau! Norak!" cela Reinald. "Gue malu nyampeinnya."
Ronald menyeringai, lalu tertawa pelan. "Iya deh. Salam aja. Nggak pake
sayang sama kangen."
"Ya udah. Gue jalan dulu, ya?"
"Oke. Ati-ati di jalan ya, Ren."
"Tumben?" "Ya kan kalo nggak ati-ati, lo bisa ketabrak mobil. Terus mati. Kalo lo mati,
nggak ada yang nyampein salam gue buat Citra dong."
Reinald ternganga. Ronald tertawa melihatnya. Dengan wajah bahagia
dilepasnya kepergain adiknya. Namun saat Reinald sudah hampir memcapai
pintu pagar, Ronald berubah pikiran. Buru-buru dikejarnya adiknya itu.
"Eh, jangan deng, Ren! Jangan! Jangan!" serunya. Reinald menghentikan
langkah. Ia menoleh dan mengerutkan kening. Ronald yang sudah berada di
hadapan adiknya menggeleng kuat-kuat. "Nggak jadi. Gue sendiri aja. Lo nggak
usah bilang apa-apa ke dia."
"Gimana sih" Jadi nyalamin apa nggak nih?"
"Nggak. Nggak. Gue sendiri aja. Pokoknya lo jangan nyebut-nyebut nama
gue. Ntar gue mau dateng sendiri ke rumahnya. Kasih tau aja dia udah pake
putih abu-abu apa belom, trus keliatannya jadi gimana. Udah itu aja."
Reinald mengangkat bahu. "Ya udah. Gue jalan dulu. Ntar telat, lagi. Cuma gara-gara elo lagi nggak
jelas." "Iya. Iya. Sori. Gih sana berangkat."
"Giliran udah nggak titip salam, nggak bilang ati-ati lagi." gerutu Reinald
sambil balik badan. Ronald tertawa geli. "Ati-ati di jalan ya!?" serunya karena Reinald udah
hilang di balik pagar. "Telat!" langsung terdengar seruan balik Reinald.
Kembali Ronald tertawa geli. Kemudian ia balik badan dan berjalan masuk
rumah dengan senyum sumringah.
**** Reinald tiba di sekolah masih pagi sekali, tapi ternyata kelas sudah ramai.
Semangat itu sepertinya menghinggapi semua anak baru. Wajah-wajah itu
adalah sebagian dari wajah-wajah yang kemarin dikenalnya selama MOS.
Nama-nama mereka pun masih sama. Namun Reinald nyaris tidak mengenali.
Hanya karena mereka semua telah berseragam putih abu-abu!
Reinald takjub. Bukan cuma anak kecil di kamarnya yang sekarang sudah
menghilang. Semuanya anak ingusan yang kamis kemarin masih berkeliaran di
lapangan sekolah, sekarang juga sudah tidak ada lagi.
Semuanya wajah yang sedang menuju kedewasaan. Yang harus berpikir duatiga kali sebelum berlari-lari atau melompat-lompat di lapangan, atau pas jam
olahraga. Reinald terduduk diam di kursi yang dipilihnya. Menatap seisi kelas dengan
mata melebar. Terpukau. Sampai kemudian dilihatnya Citra melangkah
memasuki kelas. Kembali Reinald takjub.
Itu anak kecil yang ditaksir kakaknya mati-matian. Namun pagi ini Citra
bukan anak kecil lagi. Dia sudah jadi cewek yang pantas untuk didatangi setiap
malam minggu. Yang sudah pantas digandeng tanpa harus merasa malu.
Reinald jadi ingat bahwa Ronald saat ini sedang menunggu informasinya.
Citra dalam seragam SMA. Reinald jadi ingin balas dendam atas ulah Ronald
yang membangunkannya setengah jam lebih awal subuh tadi.
Dibiarkannya sang kakak menunggu. Biar dia senewen. Biar dia blingsatan.
Biar dia jadi emosi sampai serasa mau gila. Reinald tersenyum sendiri
membayangkan keadaan Ronald saat ini. Dan dugaannya memang tepat.
Ronald sedang gelisah. Amat sangat gelisah!
***** Ronald meletakan ponselnya di meja, lalu memandangi benda itu dengan
intensitas tinggi. Seolah-olah benda itu datang jauh dari angkasa luar dan baru
diterimanya dari alien tadi malam. Teman-teman sekelas Ronald terheranheran melihat tingkahnya, dan jadi ikut-ikutan. Bergantian mereka
menundukkan kepala rendah-rendah, memperhatikan ponsel cowok itu,
sambil mengajukan pertanyaan yang sama.
"Lo lagi ngeliatin apaan sih?"
Ronald mendongakkan kepala sambil mendesah kesal untuk yang ke sekian
kalinya. "Bisa nggak sih elo-elo pada nggak gangguin gue?"
"Siapa yang gangguin sih" Orang cuma nanya. Lo lagi ngeliatin apaan" Dari
tadi serius banget," kata seorang temannya.
"Oh, gue tau!" seru yang lain. "Ronald lagi nunggu kiriman gambar atau
rekaman porno!" "Wuiiih, asyik! Ntar forward ke gue ya, Ron!"
"Gue jugaaa!" Langsung terdengar seruan riuh dan antusias. Seruan anak-anak cowok
pastinya. Sementara para cewek menatap Ronald dengan pandangan jijik.
Fariz, salah seorang teman sekelas Ronald, segera memberikan pembelaan.
Meskipun dengan kalimat yang rada menghina, tetap saja judulnya sudah
membela. "Nggak mungkinlah dia terima gambar. Orang HP-nya aja HP konvensional
gitu. Mana bisa buat terima yang canggih-canggih."
Ronald menatap Fariz dengan sorot mata berterima kasih, tapi juga dongkol
dan agak tersinggung karena ponselnya dibilang konvensional. Memang iya sih.
Tapi kan nggak perlu diumumkan terang-terangan begitu.
"Tengkyu, Riz, untuk pembelaan lo yang pait banget," katanya.
Fariz mengangguk sambil menyeringai geli. Sementara Andika terawa tanpa
suara. Dengan berat hati, terpaksa Ronald mengubah ringtone ponselnya ke posisi
silent, karena sebentar lagi pelajaran akan dimulai. Dan sepanjang pelajaran
pertama dan seterusnya, ia gelisah luar biasa. Kegelisahan pekat yang benarbenar membuat dadanya sesak dan jadi ingin teriak-teriak.
Penjelasan dari setiap guru lewat begitu saja. Tidak tersangkut di kepala.
Setiap uraian pelajaran yang ditulis para guru di papan tulis, dicatatnya asalasalan. Dan begitu bel istirahat pertama berbunyi, Ronald langsung
mengeluarkan ponselnya dari dalam tas, berharap di layarnya tertera
pemberitahuan bahwa ada SMS masuk. Missed call, tidak mungkin, karena
Reinald pasti juga sedang belajar.
Dan betapa kecewanya Ronald saat mendapati layar ponselnya tidak
menampakkan apa-apa. Sama sekali tidak ada SMS yang masuk! Dengan geram
akhirnya dia mengontak adiknya.
"Kok elo nggak ngontak-ngontak gue sih" Gue tunggu-tunggu, juga!"
serunya begitu Reinald mengangkat telepon.
"Emang sekarang, ya?" Reinald berlaga bego. "Gue kirain laporannya di
rumah." "Sekarang, tauuu!" deru Ronald jengkel. "Malah harusnya tadi pagi. Begitu
lo sampe sekolah, begitu lo ngeliat dia, langsung lapor ke gue! Lo nggak tau,
gue udah hampir sinting gara-gara nunggini telepon dari lo!"
"Kalo lo marah-marah, nggak gue kasih tau nih," ancam Reinald.
Ronald langsung tersentak. "Ya jangan dong, iya deh. Sori"," buru-buru dia
minta maaf dan intonasi suaranya melunak. "Jadi, dia gimana" Udah pake
putih abu-abu juga?"
Di seberang Reinald tertawa geli tanpa suara mendengar perubahan dratis
sikap kakaknya. "Dasar bego, lo! Ya jelas dia pake putih abu-abu jugalah"."
Seketika mata Ronald terbelalak.
"Trus" Trus" Dia keliatan gimana?" tanyanya antusias, dan tanpa sadar ia
menahan napas. "Jadi keliatan agak dewasa. Nggak keliatan kayak anak-anak lagi."
"Bener!?" seru Ronald tanpa sadar. "Pasti keliatan tambah cakep deh!"
"Iya, jadi tambah manis." Reinald mengiyakan dan itu memang harus diakui.
"Trus" Trus?"
"Trus apa lagi" Lo kan cuma minta info itu doang. Katanya lo mau langsung
nemuin dia nanti?" "Oh, iya, ya?" Ronald tersadar. "Ya udah deh. Thanks banget, Ren. Lo emang
my best-best brother!"
"Ya jelaslah. Emangnya lo punya sodara cowok yang lain, apa?"
Ronald meringis geli. Diucapkannya terima kasih sekali lagi, kemudian
ditutupnya telepon. "Thanks banget ya, Ren, brother."
"He-eh." Reinald menutup ponselnya sambil tersenyum kecil. Ia ikut bahagia
mendengar kakaknya kedengarannya begitu bahagia.
Setelah mendapatkan kabar itu, Ronald jadi tenang, sekaligus tak sabar


Dia Tanpa Aku Karya Esti Kinasih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menunggu jam sekolah usai. Nanti malam dia akan melaksanakan rencana
yang telah disusunnya selama berbulan-bulan, yang dinantikannya sungguhsungguh dengan segenap kesabaran.
Ia akan mendatangi rumah Citra. Langsung di hari pertama cewek itu
mengenakan seregam SMA. Ia akan muncul dihadapan cewek itu. Utuh, jelas,
nyata, dan gamblang. Dan Ronald akan mengatakan semuanya. Keseluruhan
cerita. Pengamatannya, penantiannya, dan harapannya. Dan akan dimintanya
Citra agar bersedia jadi ceweknya.
Seharian itu Ronald sangat ceria. Begitu gembira. Terlihat bahagia. Banyak
tertawa. Sedikit-sedikit tersenyum. Di mata Ronald, semuanya jadi terasa
menyenangkan. Siapa bilang diomelin guru di depan kelas gara-gara nggak bisa
menjawab soal-soal memalukan" Biasa-biasa aja tuh. Yang penting budek.
Itu yang terjadi pada jam biologi. Bu Endang sudah berpesan bahwa dia akan
mengulangi semua materi pelajaran di kelas dua dalam bentuk rentetan
pertanyaan esai. Bahkan juga materi kelas satu. Materi kelas satu" Siapa juga
yang masih ingat! Ternyata rentetan pertanyaan itu benar-benar rentetan. Sampai-sampai
tidak ada ruang kosong yang tersisa di papan tulis. Seluruh hitam itu isinya
cuma pertanyaan dan pertanyaan.
Dan nasib tidak berpihak kepada Ronald. Ia terkena giliran pertama. Dengan
marah Bu Endang memanggilnya ke depan kelas, karena tidak satu pun
rentetan pertanyaan itu yang bisa dijawab Ronald. Bahkan soal yang paling
sederhana. Sebenarnya Ronald bukan tidak bisa menjawab. Hanya saja ia tidak ingin hari
romantis dan terindah dalam hidupnya ini jadi rusak. Ia ingin hari ini berjalan
sempurna, dan berakhir dengan kebahagian dan keindahan yang juga
sempurna. Ia tak ingin kalimat-kalimat romantis yang sudah disiapkannya untuk
diungkapkan pada Citra nanti, tergeser dari dalam kepalanya gara-gara
anatomi manusia, hewan, dan para tumbuhan itu. Masih ada hari esok buat
biologi! Karena itu, Ronald diam saja saat Bu Endang mengomel panjang-lebar di
depan mukanya. "Tuh anak kok bahagia ya, diomelin di depan kelas gitu?" kata Andri heran,
yang juga mewakili keheranan teman-teman lainnya.
Masih ada lagi perubahan Ronald yang membuat teman-teman sekelasnya
semakin bertanya-tanya, terutama yang cewek-cewek. Selama ini Ronald selalu
menganggap cewek selalu membesar-besarkan masalah, atau hobi membuat
hal-hal yang bukan masalah menjadi masalah. Bahwa cewek itu makhluk
irasional, yang berpikir dengan cara serumit mungkin, ribet, cengeng, nggak
jelas, moody, dan lain-lain. Sekarang Ronald justru menganggap semua
"keanehan" cewek itu sebagai sesuatu yang unik.
Cowok yang biasanya paling malas kalau melihat segerombolan cewek
sedang bergosip itu sekarang juga menganggapnya sebagai sesuatu yang unik
dari dunia cewek. Selama ini kalau mendengar cewek-cewek sekelasnya saling
curhat, Ronald sering merecoki dengan komentar-komentar: "Begitu aja jadi
masalah." Atau" "Soal kecil gitu aja dimasalahin. Buang-buang energi dan
waktu aja." Atau yang paling sering membuat para cewek itu kesal: "Dasar
cewek! Nggak logis. Senengnya nyakitin diri sendiri!"
Namun hari ini berbeda. Mendadak Ronald jadi penuh empati. Begitu penuh
belas kasih. Begitu perhatian. Begitu lembut. Dan begitu bijaksana.
Cewek-cewek sekelas yang biasanya dongkol banget kalau Ronald ikut
nimbrung dalam kerumunan mereka, dan langsung mengusir cowok itu jauhjauh, kali ini terkesima. Terpukau. Takjub dengan pendapat dan advis-advisnya
yang begitu bijaksana. Begitu penuh pengertian dan begitu paham akan dunia
cewek. "Okay, ladies"." Ronald tersenyum lembut pada cewek-cewek di
sekelilingnya. "Kalo ntar ada masalah lagi, cerita aja sama gue. Kali aja gue bisa
bantu cari solusinya. Oke?" kemudian dia bangkit berdiri. Ditinggalkannya
kerumunan teman sekelasnya itu, yang menatap kepergiannya dengan mulut
terngaga. Bukan hanya teman-temen sekelasnya, para guru pun dibuat terheran-heran
dengan perubahan sikap Ronald itu.
Pak Aryo, guru fisika yang hobi banget membawa tumpukan kertas
fotokopian berisi soal-soal ciptaannya untuk dibagikan ke para murid, kali ini
tidak perlu membawa tumpukan fotokopian itu. Ronald yang membawakan,
dan dia datang ke ruang guru khusus untuk itu!
Sementara Bu Anti, guru bahasa inggris yang cantik dan bersuara lembut,
masih lajang pula, yang kerap jadi bahan godaan murid-muridnya dengan
belagak tidak mendengar saat beliau mengabsen, kali ini boleh merasa lega.
Ronald yang melakukan tugas itu.
Berdiri di depan kelas, Ronald mengabsen temannya satu per satu. Dengan
suara volume yang bisa terdengar sampai ke Bogor. Cowok-cowok bengal, yang
duduk di deret paling belakang, terpaksa mengacungkan tangan. Tentu saja
dengan kesal, karena Ronald sudah menyebabkan meraka kehilangan
kesempatan menggoda guru cantik yang lembut itu.
Dan masih banyak lagi perubahan Ronald yang menakjubkan. Tapi
perubahannya yang terakhir membuat Pak Agus, guru sejarah yang jatah
mengajarnya di 2 x 45 menti terakhir, kesal. Bel pulang masih lima belas menit
lagi, tapi Ronald sudah sibuk membereskan buku dan alat tulisnya. Dengan
cuek pula, alias mencolok. Hingga beberapa teman sekelasnya ikut-ikutan,
segera beres-beres pula. Maklum, penyakit malas memang lebih cepat
menular ketimbang penyakit rajin.
"Kamu mau ke mana, kok sudah beres-beres?" tanya Pak Agus heran.
"Pulang, Pak. Kan sebentar lagi bel," Ronald menjawab kalem.
"Masih lima belas menit lagi belnya."
"Ya kan nggak apa-apa saya beres-beresnya sekarang. Jadi nanti begitu bel
bisa lansung pulang. Bapak sekarang pasti tinggal menjelaskan aja, kan" Udah
nggak ada lagi yang harus dicatet, kan" Soalnya sudah tinggal lima belas menit
lagi, pak." Ronald bicara dengan nada memohon. Hampir semua teman sekelasnya
menahan senyum. Sisa waktu tinggal lima belas menit lagi, sementara
pembicaraan kedua orang itu hampir menghabiskan sepuluh menit sendiri.
Akhirnya, baru lima menit Pak Agus memulai kembali penjelasannya, bel
pulang sudah berbunyi. Dengan kesal beliau terpaksa mengakhiri pelajarannya.
"Gara-gara kamu, bab hari ini jadi nggak selesai."
"Maaf, Pak. Abis saya ada urusan penting banget hari ini. Harus cepet-cepet
pulang." Ronald meringis.
**** Begitu Pak Agus keluar kelas, Ronald langsung berdiri dan cepat-cepat keluar
kelas. Tergopoh-gopoh Andika mengikuti langkah cepat Ronald.
"Mau ke mana sih biru-buru banget" Ntar malam lo jadi ke rumah Citra,
kan?" "Iya. Tapi kan kudu nyiapin dari sekarang, lagi. Gue mau mampir ke toko
bunga dulu. Memastikan karangan bunga yang mereka bikin sesuai sama
permintaan gue. Trus, kaus sama jins baru itu, mau gue setrika lagi. Biar benarbenar licin dan rapi."
"Emang sama Bi Minah belum disetrika?"
"Nggak. Mau gue setrika sendiri!" tandas Ronald. "Untuk urusan satu ini gue
nggak mau campur tangan orang lain."
"Ih, segitunya." Andika geleng-geleng kepala.
"Abis itu gue mau tidur sebentar. Biar ntar malam penampilan gue jadi
segar." Ronald mendesah. Puas dengan urutan persiapan yang telah
disusunnya. "Eh, ntar malam gue ikut ya, Ron?"
"Jangan dong! Ganggu aja."
"Ikut nganter aja. Nggak ikut ngebuntuti elo sampe rumah Citra. Gila, apa"
Gue juga tau diri, lagi. Lagian gue juga bisa ngebayangin, pasti bakalan norak
abis!" "Sialan!" Ronald mendengus. "Maksud lo, ntar lo nggak turun dari taksi,
gitu?" "Iya. Gue langsung balik. Ya" Gue boleh ikut, ya?"
Andika meminta dengan penuh harap. Entah kenapa, ingin sekali terlibat
dalam hari terpenting Ronald ini. Ingin ikut merasakan ketegangan dan
kecemasan sahabatnya. Dan seandainya semua berjalan lancar, ia juga ingin
ikut merasakan kebahagiaan Ronald.
"Trus, ongkos taksi baliknya siapa yang bayar?" Ronald langsung cemas.
"Ya guelah. Takut amat sih. Gue tau lo miskin. Udah tau nggak punya duit,
pake beli buket bunga segala. Yang lumayan mahal, lagi. Miskin tapi belagu."
"Ini bukan masalah miskin atau kaya, tau! Tapi image!" Ronald menyeringai.
"Kesan pertama kudu yang bagus-bagus dulu yang dikasih liat."
"Trus ntar balik dari rumah Citra, lo pake taksi lagi, gitu?"
"Mau nggak mau. Makanya gue nggak bisa bayarin taksi lo balik nanti."
"Iya. Kan gue udah bilang tadi. Gue bayar sendiri."
Selain buket bunga dan yang lainnya, soal taksi juga sudah masuk dalam
rencana yang disusun Ronald. Karena mau nembak gebetan yang udah lama
jadi incaran, plus akan mengenakan kaus dan celana jins baru, masih ditambah
akan membawa sebuket bunga yang harganya mahal pula, mau tidak mau
dirinya harus naik taksi. Tidak mungkin menggunakan bus, angkutan umum
yang selama ini jadi sobat karibnya, karena bisa merusak image.
Sementara bajaj juga mesti dilupakan. Karena selain suara mesinnya nggak
merdu banget, bodi depannya yang monyong itu juga nggak matching dengan
buket bunga cantik yang dibawanya.
Begitu sampai rumah, Ronald langsung melepas baju seragamnya. Hanya
dengan bercelana pendek, cowok itu segera menuju meja makan. Tidak seperti
biasanya, kali ini Ronald langsung melahap masakan yang sudah disiapkan Bi
Minah di atas meja. Tidak ada komentar atau protes lantaran masakan yang
terhidang tidak sesuai dengan seleranya. Karena kali ini ada hal yang jauh lebih
penting daripada makan, yang harus dilakukannya dengan segera. Yaitu,
menyetrika! Tukang sayur langganan hari ini tidak lewat. Terpaksa Bi Minah manfaatkan
bahan-bahan yang ada di kulkas. Dan satu-satunya sayuran yang ada di dalam
kulkas adalah jenis yang paling dibenci Ronald. Kacang panjang!
Makanya Bi Minah, pembantu yang sudah lama ikut keluarga itu, mengawasi
dengan perasaan waswas saat Ronald membuka tudung saji. Di kepalanya
langsung terngiang-ngiang ucapan Ronald tiap kali ada masakan kacang
panjang di meja makan : "Udah jelas-jelas sayuran, kok maksa ngaku-ngaku
kacang?" Makanya Bi Minah jadi heran melihat Ronald makan dengan lahap.
"Itu kan oseng kacang panjang, Mas. Kok tumben doyan?"
Seketika Ronald berhenti mengunyah. Diperhatikannya sayur di piringnya.
"Wah, iya ya!" serunya, baru tersadar. "Ah, udalah. Ternyata rasanya lumayan
juga kok." sambungnya cuek, lalu meneruskan makannya dengan lahap.
Tinggal Bi Minah menatapnya semakin bingung. Begitu selesai makan,
Ronald langsung mengambil kaus dan jins barunya dari kamar dan
membawanya ke tempat menyetrika di belakang.
Reinald tiba di rumah satu jam kemudian, dan takjub melihat kakaknya yang
sedang menyetrika sendiri bajunya, dengan ekspresi sangat serius pula.
Dengan penuh minat, Reinald langsung menghampiri.
"Duileeeh. Nyetrikanya serius amat sih?" godanya. Ronald tidak
mengacuhkan. "Setrikain baju gue juga dong. Bi Minah kayaknya lagi repot.
Nggak tega mau minta tolong."
"Ya udah. Mana sini!" Ronald mengangguk ringan.
Mata Reinald kontan terbelalak. Tidak menduga.
"Serius nih?" "Serius. Mana bajunya" Bawa ke sini. Trus ntar mau digosongin bagian
mananya" Depan" Belakang" Atau tangannya dua-duanya?"
Reinald tidak jadi gembira.
"Kirain serius."
"Gue kakak lo. Tau nggak sih, nyuruh orang yang lebih tua itu nggak sopan?"
"Nggak. Kalo nyuruh orang tua, baru nggak sopan." Reinald menggeleng
bego, lalu tertawa geli saat sang kakak meliriknya tajam.
Kelar menyetrika, sesuai urutan rencana, jadwal Ronald berikutnya adalah
tidur sebenar. Biar kalau bangun nanti badan jadi fresh.
"Jangan ganggu ya. Jangan kenceng-kenceng nyetel DVD-nya," pesanannya
pada Reinald, yang memang biasa melewatkan istirahat pulang sekolah kalau
tidak dengan membaca komik, ya dengan memutar DVD. Film atau musik.
"Okeee. Sleep well, ya."
Ronald hanya tidur sebentar, itu juga gelisah. Berkali-kali dia mengubah
posisi atau menarik napas panjang. Berkali-kali dia juga bergumam dalam
tidurnya. Kalau tadi ia berpesan agar jangan diganggu, justru Reinald yang
terganggu. Tapi dia tidak tega membangunkan, sampai akhirnya Ronald
terbangun dengan sendirinya.
"Gimana tidurnya?"
"Aduh. Gue gelisah banget. Jadi ngimpi yang nggak jelas gitu, Ren."
"Lo tidur sambil mikir sih."
"Iya, kali ya?" Ronald turun dari tempat tidur lalu meregangkan badan.
"Udah". pasrah aja. Diterima ya syukur"," Reinald mengangkat kedua
alisnya, "kalo ditolak ya udah, mau gimana lagi?"
"Iya sih. Ya udah deh, gue mau mandi." Ronald meraih handuknya.
Tidak seperti biasanya, kali ini Ronald juga menghabiskan waktu sangat lama
di kamar mandi. Sampai Reina, adik bungsunya, yang sudah tiga kali bolakbalik, terpaksa mengetuk pintunya.
"Mas Ronald kok lama sih" Pingsan, ya?"
"Iya," dari dalam terdengar jawaban Ronald sambil tertawa.
"Buruan dooong! Yang mau ke kamar mandi banyak nih."
"Kamar mandi belakang emang kenapa sih?"
"Nggak enak. Lagian Bi Minah lagi nyuci. Makanya cepetaaan!"
"Iya. Iya. Cerewet!"
Selesai mandi, dilanjutkan dengan dandan. Ini juga makan wak-tu lama.
Reinald memperhatikan abangnya sambil sesekali geleng-geleng kepala atau
menahan senyum geli. Aneh banget soalnya. Selama ini, kalau mau keluar
rumah, Ronald jarang menyisir. Paling-paling rambut pendeknya itu cuma dia
rapikan dengan tangan. Sekarang" Sudah lima menit cowok itu berdiri di depan cermin, menyisir
rambut dengan berbagai macam cara, tapi masih belum puas juga. Ronald baru
berhenti menyisir setelah sadar, mau disisir sampai besok pagi juga hasilnya
sama. Begonya, setelah menyisir rapi rambutnya, Ronald baru ngeh kalau dia
belum pake baju. Alias persiapannya salah urutan. Terpaksa ia ikhlaskan
rambutnya jadi berantakan lagi saat dipakainya kaus barunya.
Lucunya, walaupun sudah yakin penampilannya oke dan keren dalam
balutan kaus dan jins baru, tetap saja pada hari "H" ini Ronald kehilangan
keyakinan itu. Ia terus berkutat di depan cermin sampai lama untuk
mendapatkan keyakinan itu kembali.
Setelah itu ia menyisir rambut lagi. Dan lama lagi. Terakhir, ia memakai
sepatu. Ronald menarik keluar sepatu ketsnya dari bawah tempat tidur.
Reinald sempat terkesima, karena sepatu kets abangnya yang biasanya dekil
itu sekarang jadi bling-bling. Pasti Ronald menyikatnya sampe setengah
mampus tuh, gumam Reinald.
Setelah rambut oke, baju oke, sepatu juga oke, berikutnya adalah parfum.
Ronald menyemprotkan parfum kesayangannya. Seketika aroma wangi
memenuhi kamar. Akhirnya selesailah sudah semua persiapan. Ronald
menatap refleksi dirinya di cermin untuk yang terakhir kali.
"Sip. Oke," desahnya puas. Ditariknya napas panjang-panjang. Lega banget.
"Akhirnya!" Reinald ikut menarik napas lega. "Cuma ngeliatin lo dandan aja
gue udah capek banget."
Ronald menatap adiknya lewat cermin lalu menyeringai.
"Ntar kalo lo naksir cewek untuk pertama kali, lo juga akan kayak gue gini.
Jadi nggak waras. Sinting!"
"Nggak bakalan!" tandas Reinald yakin.
"Taruhan!" tandas Ronald balik, lebih yakin.
Acara terakhir sebelum pergi, Ronald pamit pada seisi rumah. Ditambah lagi,
ia juga meminta doa restu. Lagi-lagi di luar kebiasaan. Biasanya Ronald akan
langsung berjalan ke arah pintu, menoleh dan melambaikan tangan sabil
berseru, "Berangkat ya! Daaah, semuanya." kali ini Ronald benar-benar pamit.
Bahkan Raina pun dia pamiti dan mintai doa restu.
"Mas Ronald pergi dulu ya, Rin. Doain Mas semoga sukses, ya?"
"Sukses apaan?" tanya Raina bingung.
"Pokoknya sukses deh."
"Iya deh. Semoga sukses," jawab Raina malas-malasan, karena dia benarbenar tidak mengerti. Lagi pula, bagi Raina, urusan Ronald itu nggak penting.
Ronald merogoh salah satu kantong celana panjangnya, lalu mengeluarkan
selembar lima ribuan. "Nih, buat jajan."
Dia ulurkan uang itu pada Raina. Mata adik bungsunya yang masih duduk di


Dia Tanpa Aku Karya Esti Kinasih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kelas tiga SD itu berbinar-binar. Raina langsung mengulangi doanya. Kali ini
dangan penuh semangat. "Semoga sukses ya, Mas Ronald!" Dipeluknya sang
kakak dengan kedua tangan, lalu diberinya cipika-cipiki.
Ronald menyeringai geli. Ia menyambut pelukan dan ciuman itu. Reinald
menyaksikan adegan itu juga dengan senyum geli. Namun, ada rasa haru yang
kemudian muncul. Apa yang terjadi di depan matanya itu sangat indah.
Membuat dada jadi merasa hangat.
Setelah itu Ronald pamit pada Bi Minah, tentu saja plus minta doa restunya.
Mama mereka, yang biasanya sudah pulang kerja saat jam sekolah anakanaknya, tumben-tumbenan kali ini pulang sore hari. Ia ditelepon Ronald, juga
dipamiti dan dimintai doa. Kalau ini penting banget. Soalnya doa ibu biasanya
manjur. "Sukses apa sih, Ron?" tanya mamanya heran.
"Ya pokoknya doain Ronald sukses aja deh, Ma." Ronald tidak mau
menjelaskan. Dia hanya tertawa malu.
"Iya deh. Sukses ya," ucap mamanya sambil tersenyum geli di seberang
sana. Ia bisa mendengar tawa malu anak lelakinya. Selain itu, diam-diam ia
memang mengikuti perkembangan anak sulungnya itu akhir-akhir ini.
"Makasih banyak, Ma."
Belum lama Ronald menutup telepon, terdengar suara klakson. Taksi sudah
datang. Ia segera menghampiri satu-satunya orang yang belum dipamiti di
rumah. Reinald. Dipeluknya adik cowoknya itu erat-erat. Tubuh Reinald sempat
menegang, karena sama sekali tidak mengira. Namun kemudian dibalasnya
pelukan kakaknya itu. "Thanks banget ya, Ren. Doain gue sukses, ya?"
"Pastilah." Ronald melangkah meninggalkan rumah. Sebelum hilang di balik pagar, ia
menoleh, tersenyum dan melambaikan tangan pada kedua adiknya yang
melepas kepergiannya. Andika ternyata sudah membuka pintu belakang taksi untuk Ronald. Sambil
tersenyum, Andika mempersilahkan sahabatnya itu naik.
"Silakan," ucapnya khidmat.
"Terima kasih. Terima kasih," Ronald menjawab khidmat pula. Andika
tertawa geli. Andika duduk di depan, di samping sopir, karena buket bunga yang nanti
akan mereka ambil dipastikan akan menghabiskan sisa rupaing di jok belakang.
Setelah mengambil buket bunga, sepanjang jalan bisa dibilang Ronald nyaris
tidak mengeluarkan suara. Ia sibuk gelisah. Sibuk gugup. Sibuk menghela
napas. Sibuk menggigit bibir. Sibuk melihat ke luar jendela. Dan sibuk
Pedang Sakti Tongkat Mustika 3 Dewa Arak 89 Tombak Panca Warna Tangan Berbisa 18
^