Dia Tanpa Aku 2
Dia Tanpa Aku Karya Esti Kinasih Bagian 2
memegangi buket bunganya agar tidak rusak karena guncangan taksi. Andika,
yang sesekali menatapnya lewat kaca spion dalam, jadi tersenyum geli. Sampai
akhirnya mereka tiba ditujuan.
Taksi berhenti di tepi jalan. Namun Ronald tidak bergerak. Tetap duduk di
tempatnya. Hanya menatap lurus-lurus ke seberang jalan, ke satu jalan kecil di
sana, tempat penantian panjangnya yang menguras banyak emosi itu akan
berakhir. Dengan penerimaan atau" penolakan.
Karena Roland tetap juga tidak bergerak, akhirnya Andika turun dari taksi
lebih dulu. Perlahan dibukanya pintu di sebelah Ronald.
"Hai, kawan," tegurnya halus. "sudah sampai."
Ronald mendongak. Dia mengangguk, lalu menarik napas dalam-dalam dan
mengembuskannya kuat-kuat. Dengan hati-hati diulurkannya buket bunga
yang sedari tadi dipeganginya kepada Andika. Tanpa sadar, Andika juga
menerimanya dengan sangat hati-hati. Kemudian Ronald turun dari taksi.
"Rambut gue gimana" Nggak berantakan, kan?" tanyanya cemas.
"Nggak," Andika menggeleng. "Lagian lo malah lebih keren kalo rambut lo
berantakan." "Belakang kaus gue lecek, nggak?"
"Nggak. Gimana bisa lecek kalo duduk lo nggak yandar ke jok" Sibuk
megangin kembang. Tenang aja. Penampilan lo udah oke banget kok. Kalo gue
cewek, gue pasti udah naksir elo!" ucap Andika sungguh-sungguh.
Ronald tertawa lebar tanpa suara. Ditepuknya satu bahu Andika.
"Thanks banget, Dik," ucapnya, dengan ketulusan yang terlihat jelas dalam
suara dan cara menatap sahabatnya itu. Andika jadi terharu.
"It"s okay," Andika tersenyum lebar. Diserahkannya buket bunga itu pada
Ronald, kemudian ganti ditepuknya bahu sahabatnya itu. "Mudah-mudahan
sukses. Gue pengin liat elo bahagia."
Sesaat mereka bertatapan. Kemudian Ronald balik badan dan berjalan
menjauh sambil tersenyum lebar dan melambaikan tangan.
"Good luck!" seru Andika.
Ronald menoleh, kembali tersenyum lebar. Kemudian ia acungkan jempol
kirinya. Andika membalas. Ia acungkan kedua jempolnya. Sambil tersenyum,
terus ditatapnya tubuh Ronald yang menjauh.
Bisa dirasakannya kegugupan sahabatnya itu. Kegelisahannya.
Kecemasannya. Ketakutannya. Seluruhnya memuncak di hari ini, setelah
penantian yang begitu panjang, yang tidak bisa dirasakan Andika, bahwa itu
tidak akan lama lagi. Tidak akan lama". Semua rasa itu telah menghilangkan konsentrasi dan kewaspadaan Ronald
terhadap apa pun di sekelilingnya. Fokus pada tujuan, ia benar-benar
tenggelam dalam semua rasa yang telah mengepungnya begitu lama itu.
Tidak dipedulikannya hal lain. Tidak dirasakannya "sesuatu" datang. Tidak
juga Andika. Yang masih mengiringi Ronald dengan tatapan mata. Tidak
dirasakannya "sesuatu" itu bergerak semakin dekat.
Tidak juga pengemudi sedan itu, yang memanfaatkan kelengangan jalan
dengan langsung menambah kecepatan. Sama sekali tidak diduganya bahwa
seseorang akan muncul begitu saja dari antara mobil-mobil yang terparkir di
pinggir jalan. Seseorang yang sibuk membawa buket bunga besar kemudian
menyeberang tanpa menoleh kiri-kanan.
Dan "sesuatu" itu kemudian melakukan tugasnya. Rem berdecit sia-sia!
Semua bisa mendengar kerasnya bunyi hantaman itu. Logam yang beradu
dengan daging dan tulang. Hanya beberapa detik. Tidak ada yang bisa
dilakukan. Orang-orang hanya bisa tersentak. Terkesima. Menatap dengan
mata terbelalak dan mulut ternganga.
Tubuh itu rebah. Tanpa sedikit pun suara. Darah mengalir. Buket bunga itu
terlepas dari tangan. Terlempar. Menghantam aspal jalan dengan keras. Rebah
dan" patah! Namun satu kuncup tertinggal. Tergenggam erat dalam jemari Ronald.
Mawar putih. Warna tanpa warna, hingga segala macam warna yang
diinginkan bisa diimpikan.
Andika berlari seperti kesetanan. Sesaat sebelum tubuh Ronald
menghantam kerasnya aspal jalan, ia menangkap tubuh itu dan memeluknya
kuat-kuat. Namun sekuat apa pun pelukan, tidak bisa menghalangi kematian.
Andika duduk bersimpuh di tengah jalan, dengan Ronald dalam pelukan.
Sepasang mata yang tadi menatapnya dengan sarat kecemasan namun begitu
hidup dalam nyala semangat dan harapan, kini telah tertutup.
"Sesuatu" itu telah selesai melakukan tugasnya. H.C. Andersen pernah
menyebutkan namanya. Elmaut!
BAB 6 BANGKU itu telah kosong. Sia-sia Andika terus menatap ke ambang pintu. Sahabatnya takkan pernah
datang. Sia-sia dia berusaha menipu diri dengan menganggap realita itu adalah
bagian dari mimpi. Namun di saat ia terjaga, saat mata itu telah terbuka, mimpi
itu tidak berakhir. Di bangkunya, Andika duduk mematung seperti orang yang tak sadarkan diri.
Terjatuh dalam mimpi yang takkan berakhir itu. Mulai hari ini ia akan duduk
sendiri. Ronald sudah pergi, takkan pernah bisa ditemukan walaupun betapa
keras Andika mencari. Tinggal dalam kenangan. Hanya dalam ingatan.
Semua tawa dan pertengkaran. Semua lelucon dan keisengan konyol. Semua
cerita dan rahasia. Semua dukungan dan pengertian. Sampai kesedihan ini
akhirnya hilang. Sampai kekosongan ini berangsur-angsur tersembuhkan.
Andika mengatupkan rahangnya kuat-kuat. Berusaha keras agar sakit dan
sesak di dadanya tidak meledak keluar.
"Gue duduk sini ya, Dik?" Ical tiba-tiba saja sudah berada di samping meja.
Andika mendongak kaget. "Gue duduk sini, ya?" Ical mengulangi
permintaannya. Seketika Andika menolak.
"Nggak. Jangan! Biarin aja ini bangku kosong!"
Sesaat Ical menatap Andika, kemudian kembali ke bangkunya sendiri tanpa
bicara apa-apa lagi. Ia tidak berusaha untuk memaksa. Begitu juga temanteman sekelas yang lain. Mereka biarkan Andika tenggelam dalam
kesedihannya. Karena, meskipun rasa itu juga dialami seisi sekelas, Andika
merasakannya jauh lebih pekat dan lebih dalam. Karena dia dan Ronald sudah
bersama-sama sejak mereka bertemu di tahun pertama SMP dulu.
Menjelang bel pelajaran pertama berbunyi, Andika justru meninggalkan
kelas. Tidak satu pun teman-temannya berusaha menghalangi. Tapi sebelum
pergi ia sempat berpesan. "Gue minta jangan ada yang duduk di bangkunya
Ronald!" ucapnya dingin. Dengan wajah kaku dan kedua rahang mengeras, ia
melangkah keluar kelas, menuju sisa-sisa bangunan lama yang masih berdiri.
Andika kemudian memasuki salah satu ruangan.
Dipandanginya ruangan yang dulu pernah menjadi ruang kelas itu. Kini
ruangan ini kosong, berdebu, lengang, dan ditinggalkan. Tetapi dulu ruangan
ini pasti penuh siswa yang kini sudah bergelar alumni dan entah tersebar di
mana saja. Pasti banyak sekali kenangan di ruangan ini. Milik para alumnus itu. Berapa
banyak dari mereka yang pernah tertangkap menyontek di ruangan ini" Berapa
banyak yang telah kena marah guru" Berapa banyak yang pernah naksir teman
sekelasnya sendiri" Seberapa konyol keisengan-keisengan yang pernah mereka
lakukan" Seberapa riuh dan ingar-bingar keributan yang pernah mereka
ciptakan" Dan kenangan yang ditinggalkan Ronald di ruangan ini adalah hari pertama
ketika anak itu terpaksa harus membawa bekal makanan ke sekolah. Lontong
dan bakwan udang. Yang dikeluarkannya dari dalam tas pinggang sambil
berpromosi, bahwa judulnya memang "bakwan", makanan rakyat, tapi rasa
dan kualitasnya standar hotel berbintang.
Jadi, meskipun mereka berdua tidak bisa jajan di kantin dan terpaksa
kembali ke zaman TK -membawa bekal dari rumah- itu sama sekali bukan
kondisi yang tragis atau mengenaskan.
Ada sebentuk senyum muncul di mata sedih Andika yang menerawang.
Namun kenangan-kenangan itu kemudian membuatnya tidak sanggup lagi
menahan kepedihan. Karena tak mungkin berteriak, akhirnya Andika
melepaskan rasa sesaknya dengan meninju dinding, kemudian menendang
keras-keras meja-kursi rusak yang ditumpuk di salah satu sisi ruang.
Tendangan itu menyebabkan kursi yang ditumpuk paling atas jatuh
berdebam. Salah satu kaki kursi yang sudah rusak seketika patah. Andika
meraih kusri itu dan mematahkan ketiga kakinya yang lain. Dibantingnya
patahan-patahan kaki kursi itu kuat-kuat ke lantai.
Cowok itu mengamuk diluar kesadaran, dan baru berhenti setelah benarbenar lelah dan kedua kaki-tangannya terasa sakit. Tubuhnya kemudian
meluruh lunglai. Jatuh terduduk di lantai. Sama sekali tidak peduli dengan
tebalnya debu dan kotoran.
Ke mana perginya orang-orang yang sudah meninggal" desis hatinya perih.
Tanya yang tanpa jawab. Atau bisa jadi justru punya begitu banyak jawaban.
Hingga akhirnya percuma saja ditanyakan. Karena hanya akan membingungkan
hingga akhirnya berujung dengan "lagi-lagi" tanpa jawaban.
Kepala Andika tertunduk dalam. Susah payah ia menelan ludah. Tangis yang
mati-matian ditahan membuat tenggorokannya sakit. Dengan letih ia
menyandarkan tubuh dan kepalanya ke dinding. Perlahan kedua matanya
terpejam. Dalam kegelapan, ia paksakan hatinya untuk berhenti bertanya ke mana
perginya orang-orang yang sudah meninggal. Namun gagal, karena sederet
pertanyaan baru kemudian justru bermunculan.
Tidakkah mereka, orang-orang yang sudah "pergi" itu, juga merasakan
kepedihan yang sama" Apakah meraka juga tetap mengingat dan menyimpan
semua kenangan" Senyum terakhir orang-orang yang mereka tinggalkan.
Pelukan terakhir. Tawa terakhir. Percakapan, pertengkaran, kemarahan,
kesedihan. Canda dan tangis.
Apakah mereka juga berusaha menembus bagian yang terputus itu"
Berusaha menggapai kembali orang-orang yang mereka cinta. Berusaha bicara.
Sama seperti orang-orang yang masih hidup, yang mereka tinggalkan,
berusaha terus "mencari" dan "menghidupkan kembali" mereka yang telah
pergi. Dengan segala cara.
Pertanyaan-pertanyaan tak terjawab lainnya, yang luruh bersama air mata,
akhirnya membuat Andika jatuh tertidur.
Cowok itu baru muncul kembali di kelas setelah jam istirahat pertama
berakhir. Melihat kedua matanya yang agak memerah dan baju seragamnya
yang kotor, tidak satu pun teman sekelasnya sampai hati untuk bertanya.
Begitu juga para guru, ketika mereka mendapati Andika lebih banyak
melamun daripada menyimak pelajaran. Beberapa guru menegurnya dengan
lembut. Beberapa membiarkan. Mereka memahami.
Tanya yang sama juga menekan dada Reinald sebelum Ronald dimakamkan.
Ketika tubuh sang kakak yang terbujur kaku dan diam dalam peti mati itu
masih bisa ditatapnya. Masih bisa disentuh dan diraba. Ketika dirinya sudah
letih menangis. Ketika telah terhenti semua histeria dan reaksi gila. Pertanyaan
itu pun muncul. Ke mana perginya jiwa-jiwa yang lepas dari badan"
Satu tanya tanpa jawaban.
**** Kematian Ronlad diumumkan pihak sekolah Reinald dengan pengeras suara.
Namun karena baru satu hari bersama-sama dalam satu kelas, belum begitu
saling kenal, hanya segelintir teman sekelas Reinald yang datang melayat.
Citra tidak datang. Sempat timbul kemarahan dalam hati Reinald saat
sampai malam menjelang larut, cewek itu tidak juga kelihatan. Bahkan
keesokan harinya, saat Ronald dimakamkan, Citra tetap tidak datang.
"Dia yang matiin kakak gue, dan dia nggak dateng!" desisnya berang.
"Kurang ajar tu cewek!"
Andika, yang duduk di sebelahnya, menepuk bahu Reinald pelan.
"Citra nggak kenal Ronald," bisiknya. "Jadi lo nggak bisa nyalahin dia."
"Katanya waktu itu udah sempet kenalan?"
"Udah lama banget. Gue nggak yakin Citra masih inget."
Dua hari kemudian, ketika Reinald kembali masuk sekolah, teman-teman
sekelas yang tidak datang melayat satu per satu mendatangi Reinald untuk
mengucapkan belasungkawa. Ketika Citra mendatanginya, tanpa sadar raut
wajah Reinald mengeras. Ia masih marah karena cewek itu tidak datang untuk
melihat Ronald terakhir kali, sebelum tubuhnya disatukan dengan bumi.
Citra, yang bisa melihat kemarahan Reinald dengan jelas, dengan rasa
bersalah menerangkan penyebab dirinya tidak datang.
"Maaf, bukannya gue nggak mau dateng. Tapi temen-temen yang gue
tanyain pada nggak tau alamat rumah lo. Gue telepon HP lo berkali-kali, tapi
nggak aktif." Amarah Reinald sedikit meluruh. Malas berkali-kali menjawab pertanyaan
seputar kematian Ronald, Reinald mematikan ponselnya, bahkan sampai pagi
ini. "Nanti pulang sekolah lo ke rumah gue ya. Mau, ya?" tanyanya. Reinald
buru-buru menyambung kalimatnya melihat Citra ragu. "Sebentaaar aja. Nanti
pulangnya gue anter."
Citra tidak sampai hati menolak. Meskipun dalam hati dia bingung, kenapa
hanya dirinya yang diminta Reinald untuk ke rumahnya. Sementara temanteman sekelas yang lain tidak.
Sepanjang perjalan, keheningan mendominasi di dalam taksi. Citra merasa
canggung, juga bingung. Sementara Reinald tenggelam dalam pikirannya
sendiri. Ia tidak lupa dengan cewek yang duduk di sebelahnya. Hanya sama
sekali tidak ingin mengajaknya bicara.
Ronald tewas di jalan raya gara-gara cewek satu ini. Semua orang bilang itu
takdir yang tragis. Tapi bagi Reinald, itu sama sekali bukan tragis. Tapi konyol!
Sia-sia! Karena rumahnya masih agak rame dengan kedatangan saudara dan para
tetangga, Reinald membawa Citra ke teras samping.
"Mau minum apa?" tanyanya. Nada suaranya tetap dingin.
"Apa aja. Nggak usah juga nggak apa-apa," jawab Citra pelan. Reinald
berjalan ke dalam. Tak lama ia muncul dengan segelas sirop dingin dan sebuah
foto berbingkai. "Ini kakak gue, yang meninggal dua hari lalu." Reinald mengulurkan foto
Ronald. Citra menerimanya, lagi-lagi dengan bingung.
"Kejadiannya ternyata di jalan raya di depan gang rumah gue," ucap Citra
pelan. "Gue sama sekali nggak nyangka kalo itu kakak lo. Tetangga-tetangga
gue sih banyak yang keluar, ke jalan. Tapi gue nggak berani."
"Dia meninggal di tempat kejadian," ucap Reinald dengan nada yang tibatiba jadi getas. Rasa ingin menyalahkan Citra atas peristiwa itu kembali muncul.
Citra jadi bingung harus bagaimana. Akhirnya ia menunduk, memperhatikan
foto Ronald. Melihat itu, kemarahan Reinald menguap. Berganti dengan rasa
penasaran. Dengan tatap tajam, diperhatikannya wajah tertunduk Citra.
"Kakak lo nggak mirip elo, Ren," ucap Citra sambil mengembalikan foto itu
dengan gerakan terburu-buru. Bukan apa-apa. Bulu kuduknya merinding.
Kakak Reinald itu, dari fotonya jelas orangnya asyik banget. Kayaknya kocak
dan suka iseng. Matanya bandel. Tapi dia sudah meninggal"
Lagi pula gue nggak kenal, Citra berkata dalam hati.
Reinald menerima foto Ronald yang diulurkan Citra. Perasaannya campur
aduk mendapati kenyataan bahwa ternyata Citra memang tidak mengenal
Ronald. "Dia mirip adik gue, Raina. Di antara kami bertiga, cuma gue yang mukanya
beda." "Oooh." Citra mengangguk-angguk. Kemudian dengan perasaan tidak enak,
ia mohon diri. "Mmm" gue pamit ya, Ren. Nggak apa-apa, nggak usah dianter.
Gue bisa pulang sendiri."
Reinald menggeleng tegas.
"Tadi gue udah janji mau nganter lo pulang, kan" Bentar gue ganti baju
dulu." Begitu Reinald menghilang ke dalam, Citra menarik napas panjang. Di luar
suasana duka di rumah ini, dia merasa ada suasana yang lain. Yang aneh. Yang
beda. Tak lama Reinald kembali, sudah berganti dengan T-shirt dan celana jins.
Namun bukan itu yang membuat Citra semakin merasakan adanya suasana
yang aneh itu. Melainkan buket bunga ditangan Reinald, juga ekspresi
mukanya yang kelam. Reinald meletakan buket bunga yang sudah mulai layu itu di meja, persis di
depan Citra. Dengan bingung Citra menatapnya. Yang pasti, buket bunga itu
tadinya bagus. Kemudian mungkin membentur atau terbentur sesuatu, atau
jatuh, karena beberapa tangkainya patah dan berusaha ditegakkan kembali
dengan selotip. Sesaat Reinald menatap Citra tanpa bicara. Sorot matanya yang pekat
dengan kesedihan membuat Citra tak tega bertanya.
Dia Tanpa Aku Karya Esti Kinasih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Gue minta, mohon malah, please banget, Cit, tolong lo terima buket bunga
itu. Dan jangan tanya apa-apa. Nanti kalo gue udah siap, gue akan cerita," ucap
Reinald lirih. Citra mengangguk. Reinald terlihat lega."Yuk, gue anter pulang."
Keduanya kembali menempuh perjalan yang dibalut keheningan total. Untuk
Reinald, perjalanan kalu ini membuatnya emosional. Pergi ke tempat saat-saat
terakhir hidup Ronald. Dan Reinald benar-benar tidak sanggup meneruskan.
Menjelang taksi berbelok ke ruas jalan tempat Ronald tewas terkapar, cowok
itu minta taksi berhenti. Dadanya sakit, dia tidak sanggup lagi menahan.
"Stop di sini sebentar, Pak!" suaranya bergetar. "Gue turun di sini, Cit.
Berani kan, sendirian" Udah deket kok."
Belum sempat Citra menjawab, Reinald sudah membuka pintu di
sebelahnya. Setelah meletakan beberapa lembar uang sebesar jumlah argo
berikut tip di kursi depan yang kosong, cowok itu segera turun.
"Lho, kok" Ren?" kalimat Citra tidak sempat selesai, karena Reinald sudah
menutup pintu dan berjalan pergi tanpa menoleh lagi. Citra menatap
kepergian cowok itu dengan kening berkerut, kemudian membuat sopir taksi
melanjutkan perjalanan. Di sisa perjalanan yang tinggal sepuluh menit itu, Citra
tepekur menatap buket bunga cacat dipangkuanya. Bingung. Tidak mengerti.
**** Malamnya Reinald menelpon Andika.
"Gue tunjukin foto Ronald ke Citra tadi sore."
"Trus?" "Kayaknya dia nggak inget pernah kenalan."
"Ya wajarlah. Cuma satu kali mereka pernah sama-sama. Udah lama banget
pula." "Tapi gue nggak rela. Dia harus tau!"
Di seberang, Andika menghela napas.
"Trus kalo dia udah tau, lo mau apa" Biar dia merasa bersalah, gitu" Padahal
dia sama sekali nggak salah."
Reinald terdiam. "Pokoknya dia harus tau!" ucapnya kemudian. Final!
***** Ketika kemudian diawasinya Citra tanpa kentara namun dengan kesiagaan
setara sipir penjara, Reinald sadar, ini kemarahan"tidak terima dan keinginan
untuk menyalahkan cewek itu atas kematian kakaknya.
Citra harus mengenal Ronald. Tidak bisa tidak! Harus!!!
Andika berusaha memberikan pengertian bahwa itu sama sekali bukan
kesalahan Citra. Sedikit pun cewek itu tidak bersalah. Tidak ada yang bisa
disalahkan atas peristiwa tragis itu. Bahkan pengemudi sedan itu pun tidak
bersalah. Namun Reinald tidak mau mendengar. Pembicaraan mereka kemudian
berubah menjadi tarik urat sengit.
"Si Citra itu nggak kenal Ronald, Ren!"
"Ronald sering nongkrongin SMP-nya, kan" Masa tu cewek masih nggak
kenal juga" Nggak mungkin! Pasti dia cuma lupa!"
"Ronald nongkrongnya di luar, bukan di dalem sekolahkan!"
"Mau di luar atau di dalem, Ronald itu bukan laler. Dia orang, manusia. Jadi,
nggak mungkin kalo nggak keliatan!"
"Elo tau" Di depan sekolahnya Citra itu ada taman. Banyak orang dagang di
situ. Jadi banyak orang nongkrong tiap hari. Mana mungkin tuh cewek
merhatiin?" "Jumlah orang yang nongkrong di taman itu sebanyak jumlah orang yang lagi
demo, nggak" Atau sebanyak suporter persija yang baru pulang nonton bola?"
Reinald tetap ngotot. "Si Citra itu nggak bisa disalahin, Ren!" bentak Andika, mulai putus ada
menghadapi kekeraskepalaan Reinald.
"Dia salah!" Reinald balas membentak. "Meskipun nggak sadar, nggak
sengaja, dia salah!" tandasnya. "Udah deh. Nggak usah ikut campur. Yang
meninggal bukan kakak lo!"
"Apa lo bilang!?" Andika berang. Tapi tak lama kemudian, suara Andika
melunak. Ia sadar saat ini Reinald sedang labil.
"Ren, denger ya" Gue sebangku sama kakak lo udah hampir enam taun! Dari
hari pertama kami masuk SMP. Lo sekarang sekamar sendirian. Gue semeja
sendirian. Biasa ada orang yang lo ajak berantem. Gue juga begitu. Biasanya
ada kepala yang bisa gue jitakin begitu sampe sekolah. Sekarang nggak ada
lagi." Kemudian, tanpa sadar Andika jadi emosional. Suaranya mulai bergetar.
"Kalo gue lagi bete di kelas, pengin cabut, biasanya ada orang yang matimatian ngotot ke guru. Bilang kalo gue sebenernya lagi sakit parah, dam
menurut petunjuk dokter, meskipun di sekolah kudu tetep sering-sering
istirahat. Lebih sering istirahat lebih bagus. Ada orang yang mati-matian
belagak nggak tau di mana gue nongkrong kalo lagi cabut. Sekarang tu orang
sudah nggak ada lagi, Ren. Jadi bukan cuma elo yang sedih. Gue juga sedih.
Gue juga ngerasa ditinggal. Malah gue ngerasa bersalah, karena gue yang
ngedukung perburuan kakak lo. Ngikutin setiap perkembangannya. Dengerin
semua ceritanya." Rentetan kalimat panjang Andika itu tanpa sadar telah membuat Reinald
terbungkam. Saat Andika menarik napas. Panjang dan dalam. Kemudian ia
melanjutkan dengan nada berat"
"Balik ke masalah Citra. Oke kalo lo tetep ngotot, mau dia tau soal kelak lo.
Tapi nggak perlu sampe dia harus tau semuanya," sesaat Andika terdiam.
"Kasian." **** Setelah pembicaraan dengan Andika lewat telepon itu, Reinald duduk tepekur
di depan meja belajar Ronald. Dipandanginya secarik kertas yang ditempelkan
Ronald berbulan-bulan yang lalu di dinding di depannya.
Di kertas itu, bersebelahan dengan kertas berisi ke-16 formula tense bahasa
Inggris, semua data tentang Citra tertulis lengkap.
Tempat tinggal lahir, golongan darah, alamat rumah, hobi, warna favorit,
pelajaran favorit, makanan dan minuman favorit, acara teve favorit, lagu dan
group band favorit, sampai binatang peliharaan favorit. Paragraf-paragraf
seterusnya berisi tentang data-data Citra yang lebih spesifik lagi. Uraian
karakternya panjang dan rinci. Usil, jail, periang, gampang ketawa, bawel, dstdst.
Uraian fisik Citra juga tercatat lengkap. Tinggi badan sedang, kulit langsat,
rambut hitam agak bergelombang. Punya poni. Mata bulat, bola matanya
berwarna cokelat tua. Kalau ketawa sepasang mata itu berbinar-binar dan
membentuk sudut yang memperlihatkan dengan jelas karakter usil dan iseng
pemiliknya. Dst-dst. Reinald kemudian menarik salah satu laci meja, tempat Ronald menyimpan
setumpuk foto Citra yang di-shoot dari kejauhan. Karena sasaran bidik tidak
menyadari, seluruh pose cewek itu terlihat natural. Alami.
Reinald menutup kembali laci itu dengan empasan keras. Kedua rahangnya
mengatup rapat. Kesepuluh jarinya bertaut kuat.
Kedua mata Reinald meredup. Kembali ditatapnya tulisan tangan Ronald
tentang Citra. Perlahan kelopak matanya menutup. Beberapa saat ia tetap
dalam posisi itu. Duduk diam dengan kedua mata terpejam dan rahang
terkatup. Dadanya turun-naik dengan cepat.
Sudahlah! Sudahlah! SUDAHLAH!!! Itu takdir! Nasib! Garis hidup! Suratan! Dan hak Tuhan, yang sama sekali
tidak boleh dipertanyakan!
Ada begitu banyak kata untuk peristiwa itu. Untuk cara Ronald
meninggalkan keluarga dan semua temannya. Namun tetap, kemarahan
Reinald tidak berkurang. Tidak bisa keluar! Tidak bisa hilang! Tidak bisa dilupakan! Kemarahan ini"
tidak bisa dienyahkan!!! Tidak ada cara lain. Satu-satunya cara, Citra harus menerima kemarahan ini.
Mau cewek itu tidak mengerti atau bahkan tidak tahu, Reinald tidak peduli!
Mata Reinald terbuka mendadak. Cowok itu menarik napas dan
mengembuskannya kuat-kuat. Setelah mengambil keputusan itu, hatinya
langsung terasa lega. Seakan telah mendapatkan legitimasi untuk
memperlakukan Citra sepeti keinginannya.
***** Keesokan paginya, untuk pertama kalinya sejak kematian Ronald, Reinald
berangkat ke sekolah dengan perasaan ringan karena ada seseorang yang bisa
dijadikannya sebagai sasaran untuk melampiaskan semua kesesakan.
Cowok itu sama sekali tidak menyadari bahwa tindakannya menyalahkan
Citra dan mengharuskan cewek itu "mempertanggung jawabkan
perbuatannya" sebenarnya adalah caranya untuk menyembuhkan dirinya
sendiri. Karena Reinald sebenarnya membutuhkan sandaran untuk mengatasi
rasa kehilangan itu. Sesuatu atau seseorang, yang akan mengingatkannya pada
sang kakak. Atau bahkan bagian dari sang kakak.
Dan Citra memenuhi keduanya.
Begitu sampai kelas, Reinald langsung menghampiri Citra dan duduk di
depannya. "Lo tau nggak kalo kakak gue itu satu-satunya saudara cowok yang gue
punya!?" tanyanya, dengan intonasi yang langsung terasa getas.
"Mmm". iya," Citra menjawab dengan jeda cukup lama. "Lo udah pernah
cerita, waktu gue ke rumah lo itu."
"Bagus kalo udah tau," tandas Reinald. Kemudian cowok itu berdiri dan
pergi begitu saja. Meninggalkan Citra terbengong-bengong sendirian.
Namun cewek itu segera memaklumi. Reinald baru saja kehilangan
kakaknya. Jadi kesimpulan Citra untuk keanehan Reinald tadi" tu cowok masih
sedih. Besoknya terjadi lagi. Begitu datang, Reinald langsung menghampiri Citra
dan menjulangkan tubuh di depannya.
"Buket bunga yang waktu itu gue kasih, masih lo simpen?" tanyanya, dengan
intonasi suara persis seperti kemarin. Getas. Tajam.
Sambil mengerut kening, Citra mengangguk. "Masih."
"Bagus! Awas kalo sampe gue denger lo berani buang tu buket bunga!"
Setelah melontarkan ancaman itu, Reinald langsung pergi. Kerutan di kening
Citra semakin rapat. Dengan bingung terus dipandanginya Reinald sampai
cowok itu duduk di bangkunya. Citra memang masih menyimpan buket bunga
itu, walaupun sekarang sudah layu dan mengering, hanya karena satu alasan:
aneh! Dan hari ini keanehan itu terbukti. Sudah lebih dari seminggu yang lalu ia
terima buket bunga itu, sekarang ia ditanya buket bunga itu masih ada atau
nggak. Aneh banget, kan"
Kesimpulan Citra atas keanehan Reinald di hari kedua ini: pasti tu cowok
nggak sempet sarapan dan sekarang udah terlalu mepet buat turun ke kantin.
Jadi sekarang si Reinald itu lagi kelaperan, makanya jadi emosi membabi buta
gitu. Besoknya, Reinald baru menghampiri Citra saat istirahat kedua, karena baru
saat itulah Citra benar-benar sedang sendirian. Begitu melihat Reinald datang
menghampiri dengan ekspresi dingin, Citra langsung tahu bakalan mendapat
pertanyaan aneh lagi. "Kalo lo diperhatiin orang, meskipun diem-diem, meskipun tu orang berbaur
diantara kerumunan, kira-kira lo akan merasa, nggak?"
Bener, kan" Citra lansung kesal.
"Ng" nggak deh kayaknya." pertanyaan itu juga dijawabnya dengan sopan,
meskipun sambil menahan dongkol.
"Kalo tu orang merhatiinya hampir setiap hari?" kejar Reinald.
"Ooh, kalo tiap hari sih pasti akan terasa, lah. Meskipun sedikit."
"Pasti terasa, ya" Meskipun sedikit." Reinald menegaskan jawaban Citra.
"Oke!" ia mengangguk. Lalu seperti kemarin-kemarin, ia pergi begitu saja.
Karena kelas mereka baru saja belajar matematika selama empat jam
pelajaran, full tanpa jeda, dicekoki rumus-rumus dan angka-angka, Citra
mengambil keputusan bahwa" Reinald mabok! Dan itu juga berarti, tu cowok
IQnya dibawah rata-rata alias kurang cerdas. Karena baru belajar matematika 2
x 45 menit aja langsung ngaco.
Besoknya Reinald kembali mendatangi Citra. Dengan pertanyaan aneh yang
lain lagi. Begitu juga besoknya dan besoknya. Sampai pada akhirnya, hari ini,
Citra kehabisan stok kesabarannya. Pertanyaan Reinald dinilainya sudah
kelewatan. Bukan cuma makin aneh, tapi juga mulai menganggu banget.
"Lo udah punya cowok?" Reinald mengajukan pertanyaan yang sangat
sensitif itu, tetap dengan tampang dingin.
"Hah!?" Citra ternganga. Mata bulatnya yang memandang Reinald terbelalak
maksimal. "Belom," jawabnya kemudian dengan polos, saking kagetnya.
"Bagus!" Reinald mengangguk puas. "Lo jangan punya cowok dulu ya.
Daripada ntar tu cowok gue gamparin!"
Kemudian seperti biasa, Reinald pergi begitu saja. Citra mengikuti
kepergiannya dengan mata yang perlahan mulai menyipit. Marah!
Begitu sampai di rumah, Citra buru-buru ganti baju kemudian makan siang.
Selesai makan siang, cewek itu mengurung diri di kamar. Mamanya
memperhatikan keanehan anaknya itu dengan heran, namun memilih untuk
tidak mengusik, karena biasanya nanti Citra akan bercerita dengan sendirinya.
Di kamarnya, Citra tidur telentang di tempat tidur. Kedua matanya
menerawang menatap langit-langit. Ia sibuk berpikir bagaimana cara
membalas keanehan Reinald.
Ia sama sekali tidak tertarik memikirkan penyebab keanehan cowok itu.
Jangan-jangan memang Reinald orangnya aneh. Kalaupun tadinya bukan orang
aneh terus sekarang jadi aneh, itu sama sekali bukan urusannya.
Karena tidak juga menemukan ide, akhirnya Citra menemui mamanya dan
menceritakan masalah yang sedang dihadapinya.
"Yah, dia masih sedih mungkin. Kakaknya kan baru meninggal."
"Trus apa hubungannya sama aku?"
"Mama juga bingung. Kamu tanya dia dong. Tapi tanyanya pelan-pelan. Baikbaik. Kalo perlu kamu ajak makan. Trakir dia di mana, gitu."
"Iiiih, rugi banget! Mama kok tumben sih sarannya nggak oke banget?"
"Lho, nggak oke gimana" Justru karena kamu nggak tau masalahnya,
makanya kamu tanya dia baik-baik. Perlakukan dia baik-baik juga. Siapa tau
kamu nggak sengaja udah bikin salah sama dia. Bisa aja, kan?"
"Aku salah apa sama dia, Ma" Jadi temen selekas juga belom ada sebulan."
"Makanya tanya baik-naik. Ngeyel! Nggak ada ruginya ngalah sedikit.
Lagipula pasti ada alasan kuat kenapa dia, siapa namanya tadi" Reinald" Aneh
begitu." Citra terdiam. Tapi tampak jelas ia tidak setuju saran mamanya itu. Kalau
harus menanyakan akar permasalahannya ke Reinald, ia setuju. Tapi sambil
nraktir" No way! Bisa nahan diri untuk nggak menganiaya tu cowok aja udah
bagus banget. Besoknya Citra bersiap-siap menunggu kedatangan Reinald. Cewek itu
duduk di bangkunya tegak-tegak. Sebelum Reinald sempat marah-marah nanti,
ia akan marah-marah duluan.
Enak aja, tiap hari dapet omelan. Salahnya apa nggak dikasih tau. Apalagi
masalahnya. Gelap! Kalo abis diomelin trus ditraktir atau dikasih duit sih nggak
apa-apa, gerutu Citra dalam hati.
Citra tidak perlu menunggu terlalu lama. Dua menit kemudian Reinald
muncul di ambang pintu kelas. Citra langsung bersiap-siap. Namun ternyata
Reinald langsung melangkah ke bangkunya sendiri. Jangankan menghampiri
Citra, menoleh ke arah cewek itu pun tidak.
Lho" Citra menatap heran. Bingung terhadap ketidakbiasaan Reinald itu.
Tapi ia tetap menunggunya. Paling-paling nanti jam istirahat pertama atau
kedua. Citra menunggu penuh keyakinan.
Tapi ternyata Reinald tetap tidak menemuinya. Sampai bel pulang berbunyi,
Citra masih menunggu, masih belum kehilangan semangat untuk ganti marahmarah. Tapi kemudian dilihatnya Reinald berjalan ke luar kelas bersama
cowok-cowok yang duduk di deretan bangku paling belakang. Lagi-lagi tanpa
menoleh sedikit pun. Kurang ajar! desis Citra berang. Giliran gue siap perang, dia malah mundur!
Sebenarnya Reinald bukan mundur. Ia hanya kehabisan stok intimidasi.
Lagipula yang terpenting baginya adalah Citra nggak punya cowok. Jangan
sampai punya cowok. Jadi, selama dilihatnya cewek itu masih sendirian, Reinald memutuskan tidak
perlu marah-marah atau bersikap galak setiap hari.
BAB 7 BESOKNYA, Citra menunggu kedatangan Reinald dengan sengaja duduk di
bangku cowok itu, di barisan kedua belakang. Dengan begitu tu cowok nggak
bisa cuek pagi. Enak banget dia, pas mau dilabrak balik malah pura-pura cuek.
Curang banget! Ketika muncul, Reinald kaget banget mendapati bangkunya sudah
berpenghuni. Ia surprise begitu tahu siapa tang sedang menghuni bangkunya
itu. Dengan langkah cepat dan kening berkerut, dihampirinya Citra. Sementara
Citra segera bersiap-siap begitu dilihatnya Reinald muncul di ambang pintu,
Dia Tanpa Aku Karya Esti Kinasih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dan langsung menyambut cowok itu dengan kata-kata ketus.
"Kemaren kenapa lo nggak marah-marah" Lupa" Apa udah bosen?"
"Itu pertanyaan buat gue?" tanya Reinald, kembali merasa surprise. Soalnya
sampai terakhir kali ia marah-marah dua hari lalu, reaksi Citra cuma bingung
atau diam. Kalaupun mengeluarkan suara, pilihan kata dan intonasi suaranya
begitu hati-hati. "Iya, elo! Orang yang sekarang bangkunya lagi gue dudukin!" jawab Citra.
Semua rasa yang ditahannya selama berhari-hari muncul sekaligus. Marah,
kesal, dongkol, heran. Terlihat jelas dari ekspresi muka dan cara kedua
matanya menatap Reinald. Namun Citra juga berusaha agar tidak satu pun
teman sekelasnya menyadari pertengkaran mereka. Ia segera mengubah air
muka dan memunculkan senyum manis instan tiap kali seseorang mendekat
atau melewati mereka berdua.
"Berdiri cepet! Pindah ke bangku lo sendiri sana!" perintah Reinald.
Citra jadi tambah marah. "Nggak mau. Gue mau duduk di sini!" jawabnya.
Sesaat Reinald tercengang dengan jawaban kasar dan ketus itu.
"Gitu ya" oke, nggak masalah," ucap Reinald enteng. Cowok itu lalu sedikit
membungkukkan sedikit tubuhnya, melongok laci meja Roni. Dilihatnya teman
sebangkunya itu udah datang karena tasnya ada. Reinald lalu mengeluarkan
ponsel dari saku celana. "Ron, kayaknya lo harus pindah. Soalnya ada yang pengin semeja sama gue."
Tidak berapa lama Roni datang. Melangkah masuk kelas dengan ekspresi
kesal. "Siapa yang mau duduk di bangku gue!?" tanyanya.
"Gue. Soalnya bangku gue ada yang nempatin," jawab Reinald.
"Siapa?" "Tuh." Reinald menunjuk Citra dengan dagu.
"Elo, Cit?" kekesalan Roni seketika menghilang. Ditatapnya Citra yang
terbingung-bingung dengan mata melebar dan alis terangkat tinggi.
"Iya, dia!" Reinald yang menjawab.
"Serius lo mau duduk di belakang" Di sini nggak ada cewek lho."
"Serius!" lagi-lagi Reinald yang menjawab. "Udah dari tadi dia duduk di
bangku gue. Gue suruh pergi, nggak mau. Terpaksa gue duduk di bangku lo,
Ron. Dan elo"," Reinald tersenyum, "terpaksa duduk sama cewek-cewek." Ia
menunjuk tempat duduk Citra, di baris kedua dari depan, dengan pandangan
mata. Selain baris terdepan, baris kedua juga dihindari para cowok.
Roni sudah akan menolak mentah-mentah, tapi kemudian tatapan Reinald
membuatnya ingat akan sesuatu. Sesuatu yang beberapa kali dibicarakan
dengan Reinald, yang awalnya rahasia tapi kemudian Roni mengatakannya
terus terang. Sesuatu yang ditahannya mati-matian, bingung akan terus maju
atau tidak, dalam tanda tanya besar akan kemungkinan sang topik
pembicaraan masih sendirian atau sudah"
Ya, Roni naksir Loni, teman semeja Citra!
"Oke!" Roni langsung menyetujui pertukaran bangku itu. Mukanya
mendadak sumringah. Berseri-seri. Gila, ini dream come true banget!
"Sekarang kan pindahnya?" tanyanya penuh semangat, sambil menarik keluar
ranselnya dari laci meja.
"Iya, sekarang," Reinald menjawab sambil tersenyum geli. "Sekalian bawain
ke sini tasnya Citra, ya."
"Oke!" Roni melangkah menuju bangku barunya dengan girang. Sementara
Citra mengikuti renteten kejadian itu dengan agak-agak nggak sadar. Soalnya
ini benar-benar di luar dugaannya. Begitu juga Loni. Cewek itu kaget banget
karena mendadak sebangku sama cowok, yang datang dengan wajah bahagia
pula. "Elo yang dateng ke sini ya, Cit. Bukan gue yang ngundang, apalagi ngajak.
Jadi kalo lo ntar kenapa-kenapa, gue nggak tanggung jawab."
Peringatan pertama itu diucapkan Reinald dengan tenang. Cowok itu
memasukkan ranselnya ke laci kemudian duduk di sebelah Citra, di bangku
Roni yang baru ditinggalkan pemilik sahnya. Citra jadi mengernyitkan kening
mendengar itu. "Kenapa-kenapa gimana maksudnya?"
"Di belakang sini nggak ada cewek. Semua cewek ngumpulnya di barisan
tengah sama depan. Jadi kalo ntar lo digodain, diisengin, dijailin, jangan
ngambek apalagi nangis, ya" Gue paling males sama cewek-cewek kayak gitu."
Mulai terlihat keragu-raguan di muka Citra.
"Jadi gue kasih tau dari sekarang. Jangan dikira kalo lo duduk di tempat gue,
trus gue bakalan peduli atau harus peduli kalo lo kenapa-kenapa!" tandas
Reinald. Wah, kayaknya gawat nih! desis Citra dalam hati.
"Cit, lo duduk di belakang sekarang?" tanya Loni. Kedua matanya menatap
Citra lebar-lebar. "Iiih. Di situ kan serem. Isinya perampok sama penyamun
doang." Kalimat Loni itu membuat Citra menoleh ke Reinald. Cowok itu mengangkat
kedua alisnya tinggi-tinggi. Tersenyum tipis tapi penuh kemenangan.
"Cit, bener sekarang lo duduk di belakang?" tanya Loni lagi. "Kok nggak
bilang-bilang sih" Jadi kita udah nggak sebangku lagi nih?" Ada nada kesal
dalam suaranya. Juga sedih dan tersinggung.
Citra sudah akan bangkit berdiri dan kembali ke bangkunya, tapi Reinald
menangkap pergelangan tangannya dan menahan geraknya. Peristiwa itu tidak
terlihat oleh Loni dan Roni karena terhalang meja.
"Lo yang dateng ke sini, kan?" Reinald berbisik tajam. "Jangan pergi
seenaknya!" Citra menoleh dan tertegun. Wajah Reinald" Ia melihat kemarahan di sana.
Kemarahan dan kebencian. Dan genggaman tangan cowok itu di pergelangan
tangannya benar-benar kuat hingga terasa menyakitan.
"Jangan seenaknya!" sekali lagi Reinald mendesis tajam, tatapannya
menghunjam lurus ke kedua bola mata Citra. Tapi saat ia menoleh ke Loni,
semua ekspresi itu lenyap. Berganti senyum dan wajah ramah.
"Iya, Lon. Sekarang Citra duduk sama gue. Biar ada cewek di belakang sini.
Jadi nggak garing-garing amat. Roni duduk sama elo. Biar di situ juga nggak
garing-garing amat. Ada cowok kerennya gitu."
Cowok keren" Loni langsung menoleh ke cowok di sebelahnya. Seketika Roni
menampilkan senyum yang -menurut cowok itu- paling manis. Juga ekspresi
muka yang menurutnya paling ganteng dan paling charming.
"Ron, mana tas Citra" Bara ke sini dong. Kok jadi lupa sih?" tanya Reinald.
"Oh, iya!" Roni menepuk kening. "Iya nih, jadi lupa!" Dikeluarkannya tas
Citra, yang terdesak oleh ranselnya, dari dalam laci. Kemudian Roni
menghampiri Reinald dan Citra dengan seringai malu dibibirnya. "Iya, sori lupa.
Soalnya gue lagi bahagia banget. Tengkyu ya, Cit." Ia menyerahkan tas itu
kepada pemiliknya. Lalu buru-buru kembali ke tempat duduk barunya.
Citra memerhatikan tingkah Roni dengan bingung. Ia menoleh ke Reinald
dengan pandang bertanya. "Roni udah naksir Loni dari MOS kemaren," ucap Reinald tak acuh.
"Oh!" Citra tercengang.
***** Dua deret bangku paling belakang itu isinya memang cowok doang. Dan cowok
deret belakang yang pertama kali menyadari ada member baru, cewek pula,
adalah Ian. Dari Ian-lah Citra menerima ucapan selamat datang yang pertama,
dalam bentuk ungkapan keheranan.
"Eh, ada Citra" Sekarang lo duduk di belakang, Cit" Kereeen! Ini baru cewek
pemberani!" Ucapan selamat datang dengan intonasi keheranan yang persis sama
bertubi-tubi di terima Citra lima menit menjelang bel masuk. "Eh, ada Citra" Lo
sekarang duduk di sini, Cit?" ucap para cowok itu sambil menuju bangku
masing-masing. Tapi ucapan welcome dari Derry agak mengundang kecemasan. "Eh, ada
Citra" Lo duduk di belakang sekarang, Cit" Asyiiik, sekarang di belakang ada
ceweknya!" Citra menatap muka sumringah Derry. Kenapa ya, tu cowok seneng banget
gitu" batinnya bingung. Dan seharian itu Citra jadi bahan godaan cowok-cowok
deret belakang. Sampai sejauh ini godaan-godaan itu bentuknya masih verbal
dan dilakukan saat pergantian jam pelajaran. Bentuk godaan verbalnya juga
masih yang basi-basi. "Citra rumahnya di mana" Kasih tau dong."
"Iya dong. Biar kita bisa main. Boleh kan kapan-kapan main ke rumah?"
"Citra udah punya cowok, belom?"
"Citra rambutnya bagus deh. Pake sampo apa sih?"
Godaan yang dilemparkan Derry malah jadul banget. Kayaknya sudah ada
zaman bokap-nyokap anak-anak itu masih pada ABG. Bahkan mungkin sudah
ada sejak para ABG di zaman penjajahan Belanda.
"Citraaa. Citraaa. Dipanggilin kok diam aja" Citra sombong atau budek sih?"
Citra mendesis geram. Sumpah, basi banget. Asli jayus. Tapi tetep aja
nyebelin. Cowok-cowok itu tertawa geli begitu Citra menoleh dan menatap mereka
dengan muka cemberut. Reinald, yang duduk di sebelah Citra, ternyata benarbenar tidak peduli. Ia mengikuti peristiwa itu dengan senyum, bahkan ikut
tertawa. Sementara Roni kebagian godaan:
"Cieeeh, yang sekarang duduk sama cewek. Langsung lupa deh sama-sama
yang di belakang sini!" seru Didot disaat kelas kosong karena pergantian
pelajaran. Roni menoleh kebelakang lalu menyeringai lebar-lebar. Kemudian
tanpa rasa malu, ia mengatakan bahwa itu takdir. Karena akhirnya dia bisa
duduk semeja dengan Loni, cewek yang langsung dia sukai begitu melihatnya
pertama kali di MOS kemarin. Masih kata Roni, mereka berdua kayaknya udah
jodoh, soalnya nama mereka mirip. Cuma beda satu huruf.
"Toni, kaliii?" kata Ian. "Salah lo!"
"Loni, man!" ralat Roni langsung. "Sumpah, Loni. Bukan Toni! Tragis amat
nasib gue, jodohan sama si Toni!" saat melihat teman-temannya tertawa,
termasuk si Toni, Roni menegaskan sekali lagi, "LONI!."
Loni ternganga! Ya jelaslah. Kalau cowok naksir cewek atau sebaliknya, kan
harus ngomong dulu sama orang yang ditaksir, baru setelah itu buat
pengumuman. Bukan begini, langsung diumumkan besar-besaran. Orang yang
ditaksir sama orang yang mendengarkan pengumuman jadi sama kagetnya.
Teman-teman sekelas lainnya tadinya bingung saat mendadak Citra pindah
ke belakang. Mereka lansung berasumsi Citra naksir Reinald dan pingin dekatdekat cowok itu, atau Reinald naksir Citra tapi malas duduk di depan, jadi Citra
yang disuruh pindah. Tapi sekarang mereka mengerti bahwa Citra pindah ke
belakang karena Roni naksir Loni. Lini nggak mau disuruh pindah, jadi terpaksa
Citra yang pindah. Begitu.
Tapi lalu muncul asumsi baru. Citra nggak akan mungkin mau pindah kalau
sama sekali nggak ada feeling sama Reinald. Jadi pasti Citra juga naksir Reinald!
Jadi kesimpulannya -ajaib banget opini ini bisa terbentuk di benak setiap
kepala tanpa melalui musyawarah mufakat sebelumnya- perpindahan itu
terjadi karena Roni naksir Loni, dan Citra naksir Reinald!
Jadi ruwet! Tidak ada kesempatan bagi Citra kembali ke bangkunya, karena Roni
bercokol di sana seakan cowok itu bagian dari bangku itu sendiri. Sepertinya
dia sedang mempersiapkan rohnya jadi penunggu tetap bangku itu, kalau nanti
mendadak mati. Roni sama sekali tidak pergi!
Dua kali jam istirahat, Reinald yang membelikan Roni makanan. Setelah
mengenyangkan perutnya sendiri di kantin, cowok itu kembali ke kelas dengan
membawa pesanan mantan teman sebangkunya itu.
Hal yang sama juga dilakukan Citra. Jam istirahat pertama ia tetap
nongkrong di kelas, berharap Roni akan beranjak ke kantin. Tapi cowok itu
tidak bergerak sedikit pun. Untuk meredam perut laparnya, Citra titip somay
pada Loni, plus air mineral.
Di jam istirahat kedua, menyadari Roni tidak akan meninggalkan bangku
barunya, akhirnya Citra keluar kelas menuju kantin.
"Makan tu bangku!" desisnya ketika melewati Roni, cowok itu tertawa geli.
Sampai kantin, Citra memesan semangkuk es campur lalu mencari tempat
kosong. Ia tidak ingin bergabung dengan siapa pun karena sedang malas bicara.
Tapi baru saja ia akan duduk, terdengar panggilan Loni. Mantan teman
sebangkunya itu sedang menyantap bakso. Sendiri.
"Lo makan sendirian?" tanya Citra sambil meletakan mangkuk es campurnya
di depan Loni. "Iyalah!" Loni menjawab kesal. "Lo kira gue mau bilang apa kalo ditanyatanya soal Roni" Sarap tu cowok. Kok bisa mendadak ada kejadian begini sih,
Cit?" "Aduh, nggak tau deh, Lon. Gue juga bingung. Ya gara-gara si Reinald aneh
gitu, makanya gue tunggu dia di bangkunya tadi pagi. Cuma pengin minta
penjelasan. Eh, jadi duduk sebangku."
"Nggak bisa balik lagi?"
"Lo liat sendiri, si Roni nggak ninggalin bangku gue sama sekali. Kalau dia
mau ke toilet, pas jam pelajaran, kan ada guru. Jadi Nggak mungkib gue
serobot lagi tuh bangku."
"Iya sih?" Loni mengangguk. "Besok lo dateng pagi-pagi aja."
"Gue juga udah mikir gitu." Citra mengaduk es campurnya. "Makan tuh
bakso. Keburu dingin."
Keduanya lalu terdiam. Menikmati bakso dan es campur tanpa
mengeluarkan suara lagi. ***** Siang itu dua manusia pulang ke rumah masing-masing dalam kebingungan
yang sama. Kok bisa ya, mereka tiba-tiba jadi teman sebangku" Teman
sebangku yang ke depannya bakalan kisruh. Bakalan runyam. Dan dipastikan
bakalan bikin omosi. Turun dari bus, Citra berjalan menuju rumahnya dalam keadaan setengah
sadar. Ia sama sekali tak menyangka tindakannya menduduki bangku Reinald,
supaya keanehan cowok itu yang bikin kesal cepat mendapatkan penjelasan,
malah berakibat mereka jadi duduk sebangku begini. Dan ternyata, selain
aneh, Reinald juga galak banget.
Citra menarik napas lalu mengembuskannya kuat-kuat. Terpaksa besok ia
datang ke sekolah pagi-pagi banget untuk merebut kembali bangkunya dari
Roni. Cuma itu satu-satunya cara agar cukup hari ini dirinya sebangku dengan
Reinald. Cukup hari ini! Di saat yang sama, ditempat berbeda, begitu turun dari bus Reinald berjalan
ke rumah dalam kondisi setengah sadar. Tiba-tiba saja ia sebangku dengan
Citra, cewek yang sangat ingin ia maki-maki sampai rasa sesak di dadanya
berkurang. Atau kalau itu telalu kejam, akan digantinya dengan memeluk
cewek itu sampai semua tulang-tulangnya patah.
Yang jelas, Citra harus tetap jomblo sampai ia mengizinkan cewek itu punya
pacar. Untuk satu hal ini Reinald merasa perlu mengatakannya secara lisan,
dengan kata-kata tang jelas dan gamblang, agar tidak alasan bagi Citra untuk
berlagak tidak paham. Reinald tidak mau menunggu. Ia langsung menegaskan soal itu tadi, dihari
mendadak Citra hagi teman sebangkunya.
"Inget ya, Citra. Lo jangan berani-berani punya cowok tanpa izin gue!"
Citra kontan ternganga. "Bokap gue, yang ngasih gue duit jajan aja nggak ngelarang kok."
"Itu urusan bokap lo. Yang jelas gue ngelarang!"
Waaaah, sakit jiwa nih orang! desis Citra dalam hati. Tapi ia berusaha tidak
membantah lagi. Bukan karena takut, tapi kalau ia tetap ngotot protes, dijamin
mereka berdua akan saling teriak dan saling bentak. Males banget belombelom udah punya musuh.
Besoknya, Citra tiba di sekolah pagi sekali, untuk merebut bangkunya
kembali. Tapi ternyata ada yang datang lebih pagi lagi. Di bangku barunya, Roni
menyambut kedatangan Citra dengan senyum geli yang segera berubah jadi
tawa terkekeh. Citra tercengang mendapati kenyataan itu. Dihampirinya Roni
dengan langkah-langkah cepat.
"Elo nginep ya" Masa jam segini udah sampe sekolah?" tanyanya.
"Nah elo juga, jam segini udah sampe sekolah," balas Roni.
"Elo pasti disuruh Reinald datang pagi-pagi. Iya, kan?"
"Nggak. Gue sendiri yang mau."
"Bohong!" "Iya. Gue udah tau lo hari ini pasti bakalan dateng pagi-pagi. Makanya gue
dateng pagi-pagi juga."
Kalimat itu membuat Citra jadi cemberut. Roni ketawa geli melihatnya.
"Kan elo sendiri yang kemaren sukarela pindah ke belakang" Berarti ini udah
bukan bangku lo lagi, Cit."
"Siapa bilang" Reinald aja tuh yang maksa."
"Ya kalo gitu kita tunggu Reinald aja. Nanti kita tanya dia, boleh nggak lo
balik ke bangku lo lagi. Kalo gue sih mau aja pindah ke belakang lagi, asal Loni
pindah juga." "Itu mah sama aja, lagi. Tetep aja judulnya gue semeja sama Reinald. Kenapa
sih mesti nunggu tuh orang dateng" Lo takut dimarahin ya?"
Dia Tanpa Aku Karya Esti Kinasih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bukan. Itu sih nggak masalah. Gue takut dipeluk trus dicium! Hiiiyyy!" ucap
Roni dengan ekspresi sungguh-sungguh. Kembali ia ketawa geli ketika
dilihatnya Citra makin cemberut. Cewek itu sudah akan menjatuhkan diri ke
bangku Loni, tapi Roni buru-buru menghalangi dengan meletakan kedua
telapak tanganya di sana.
"Eh! Eh! Ini bangkunya yayang gue."
Yayang" Ih, cuih cuih cuih! Citra menatap Roni dengan ekspresi agak-agak
gimana gitu, mendengar satu kata itu.
"Gue mau nungguin Loni," Citra beralasan.
"Ya nunggunya di bangku lo sendiri dong sana. Jangan di sini, ntar kalo udah
duduk, jangan-jangan lo nggak mau pindah lagi."
"Rese!" desis Citra.
Gagal! Citra berjalan ke bangku barunya tanpa semangat. Percuma gue bangun
sebelum subuh! gerutunya dongkol. Reinald ternyata juga punya pikiran yang
sama. Roni memengikuti langkah Citra dengan tatapan dan senyum geli. Ia tidak
tahu ada masalah apa antara Reinald dan Citra. Reinald tidak mau bercerita
banyak. Reinald cuma bilang, ada vendetta yang harus dikelarin sama si Citra.
Yang pasti, Roni memang melihat Reinald benar-benar marah sama Citra.
Tak lama Reinald datang. Cowok itu berjalan masuk kelas sambil menatap
Roni sekilas. Dari seringai geli Roni yang menyambutnya, Reinald tahu
dugaannya kemarin benar. Tapi tidak perlu melihat tanda yang diberikan Roni
pun jawabannya sudah terpampang jelas.
Di bangku barunya, Citra duduk tegak dengan kedua tangan terlipat di
depan dada. Tampangnya marah. Begitu Reinald muncul di pintu kelas, Citra
sudah langsung menatapnya tajam-tajam, dan terus mengikuti langkah cowok
itu. Begitu Reinald tiba di samping meja, Citra langsung menyambutnya dengan
pertanyaan. "Lo pasti nyuruh Roni dateng pagi-pagi, kan" Supaya gue nggak bisa balik ke
bangku gue. Iya, kan?"
Reinald tidak langsung menjawab. Dengan tenang ia memasukan dulu
ranselnya ke laci. Kemudian cowok itu duduk di bangkunya, di sebelah Citra,
baru kemudian ia menoleh. Ditatapnya Citra tepat di manik mata.
"Iya!" Reinald menjawab tandas. "Kenapa" Mau protes?" tantangnya
kemudian. Tampang marah Citra seketika berkurang. Reinald mengubah posisi
duduknya jadi benar-benar menghadap Citra.
"Gue kasih tau rencana gue, ya. Gue udah minta Roni dateng pagi-pagi
sampe hari sabtu nanti. Setelah itu terserah dia. Jadi lo baru bisa balik ke
bangku lo lagi hari senin. Tapi itu pun lo bisa duduk di sana lagi paling-paling
cuma selama gue belom dateng. Begitu gue udah dateng, lo akan gue seret
balik ke sini"."
Ekspresi marah di muka Citra sekarang benar-benar hilang. Berganti dengan
ketercengangan. Tadinya Reinald mau menyudahi kalimatnya, tapi ekspresi
citra membuatnya ingin meneruskan.
"Lo pasti mau tanya kenapa. Iya, kan?"
Citra mengangguk. Saking tercengangnya, ia sampai lupa dengan niatnya
mau marah-marah. Reinald tersenyum tipis.
"Pertama, lo akan menganggu usaha PDKT temen gue. Itu juga bakalan bikin
gue marah, Cit. Kedua, lo yang dateng ke sini. Jadi lo nggak bisa pergi
seenaknya!" Setelah menyelesaikan kalimatnya dan puas karena Citra tidak bisa
memb antah, baru Reinald mengubah posisi duduknya. Citra bukan saja tidak
bisa membantah, tidak bisa bicara lagi malah. Spechlees! Karena itu, selama
beberapa saat cewek itu hanya mampu memandang Reinald yang mulai sibuk
mengeluarkan alat tulis dan buku-buku untuk jam pelajaran pertama. Tapi
ketika ketercengangannya sudah hilang, Citra tidak bisa menahan diri untuk
tidak bertanya. "Kenapa sih lo suka marah-marah?"
Reinald tidak menjawab. Sibuk memeriksa kembali PR biologi yang baru
dikerjaannya subuh-subuh tadi. Citra menunggu beberapa saat. Ketika Reinald
tidak juga menjawab, ia ulangi pertanyaannya.
"Hei! Halo" Halo! Kenapa sih lo suka marah-marah?"
Baru Reinald menoleh dan sorot matanya langsung tidak menyenangkan.
"Gue lagi ngecek PR nih, Cit. Jangan ganggu. Ntar gue marah."
"Ya itu maksud gue. Kenapa lo doyan banget marah sih" Duit jajan lo dikit,
ya" Atau lo sebenernya anak pungut, jadi di rumah teraniaya. Disuruh kerja
melulu. Kayak Cinderella. Soalnya gue masih inget, lo bilang muka kakak sama
adik lo mirip. Muka lo doang yang beda. Jadi bisa aja lo ini sebenernya anak
pungut. Jadinya teraniaya, dalam tanda kutip lho. Kurang kasih sayang gitu.
Dan kerena di rumah lo nggak berani protes, jadi lo marah-marahnya ke gue.
Iya, kan" Pasti begitu!" Citra menyerocos panjang dan diakhiri dengan
mengambil kesimpulan. Reinald meletakan bolpoinnya dengan geram.
"Pagi-Pagi udah bikin fitnah!" Ia menoleh sambil mendesis. Mulai marah.
"Kalo tiba-tiba gue marah-marah, mending lo terima. Dengerin aja. Nggak usah
nanya macem-macem. Apalagi balik marah-marah!"
"Kok gitu" Enak aja. Mana bisa begitu?"
"Supaya gue nggak tambah marah, tau!" bentak Reinald. Belum-belum
sudah marah-marah. Wah!" Citra tercengang.
"Yang namanya marah atau kesel, pasti ada alasannya, tau! Ntar lo keselnya
sama orang lain, trus gue yang kena, lagi!"
"Nggak. Kalo gue marah-marah, udah pasti itu gara-gara elo. Jadi mending
terima aja. Jangan tanya-tanya lagi. Jadi gue nggak tambah marah!"
Citra dan Reinald tidak menyadari bahwa sebentar lagi bel masuk berbunyi
dan semua penghuni kelas sudah menempati bangku masing-masing, jadi seisi
kelas menyaksikan pertengkaran mereka.
Dan pertengkaran terbuka itu jelas merupakan tontonan menarik sebelum
dua jam pelajaran biologi disusul dua jam pelajaran kimia yang bisa bikin
rambut ngejagrik. Citra sibuk melotot dan setengah mati berusaha agar kejengkelannya tidak
meledak. Sementara itu Reinald juga sibuk menahan diri agar kemarahan dan
kebenciannya pada Citra yang sudah dalam bentuk lahar, mendidih, dan
merah, tidak menggelegak keluar.
Mereka baru berhenti bersitegang setelah menyadari suasana kelas yang
hening. Senyap. Keduanya lalu menatap berkeliling dan mendapati semua
mata sedang tertuju lurus-lurus ke arah mereka berdua. Penuh perhatian dan
ketertarikan. "Apa liat-liaaaat!?" seru Reinald. "Seneng ya liat orang berantem?"
Seruan Reinald itu membuat semua teman sekelasnya, terutama yang
cowok, menyeringai lebar. Sementara yang cewek-cewek memberikan
beragam reaksi. Ada yang tertawa kecil, ada yang senyum-senyum, tapi ada
juga yang geleng-geleng kepala dengan ekspresi yang seolah mengatakan,
"Nggak tau malu banget sih berantem di kelas!"
**** Besoknya, Citra sudah tidak berusaha lagi datang ke sekolah pagi-pagi. Begitu
tiba di kelas, cewek itu langsung menuju bangku barunya. Sepertinya ia sudah
bisa menerima takdirnya, yaitu duduk di belakang. Sambil berjalan menuju
bangkunya, Citra menarik napas panjang-panjang.
"Home sweet home"," desahnya pelan, lalu menjatuhkan diri di sana.
Dikeluarkannya ponsel dari tas dan dicarinya nama Loni dari daftar kontak.
"Lon, lo di mana?"
"Koperasi. Bolpoin gue abis. Kenapa?"
"Pinjem PR matematik dong. Nyontek nomer delapan sama sepuluh doang.
Susah banget." "Di tas. Ambil sendiri gih."
"Oke. Tengkyu, ya!"
"Eh! Eh! Citra. Tunggu dulu!"
Citra batal akan mematikan ponselnya.
"Apa?" "Lo jangan berantem kayak kemaren lagi, ya" Malu-maluin banget, tau!"
"Bukan gue yang cari gara-gara. Reinald tuh!" Citra langsung bete. "Udah,
ah. Jangan diingeitin. Bikin broken morning aja. Gimana perkembangan lo
sama si Roni?" "Jangan diingeitin. Bikin broken morning aja!" ganti Loni yang jadi bete.
Keduanya tertawa. Citra mematikan ponselnya lalu bangkit berdiri dan
berjalan ke bangku Loni. Dikeluarkannya buku PR matematika Loni dari tasnya.
Dan saat didapatinya Roni mengamati dengan pandang curiga, Citra
langsung berkata, "Gue udah izin sama Loni. Ntar lo tanya dia aja kalo nggak
percaya." kemudian segera kembali ke bangkunya.
Ketika datang, Reinald melihat Citra sedang menunduk serius di bangkunya.
Pasti PR matematika, gumamnya dalam hati. Tiba-tiba saja Reinald merasa
senang, karena ada alasan untuk memarahi cewek itu.
"Ngerjain PR tuh di rumah. Bukan di sekolah," tegurnya tajam. "Ngapain aja
lo di rumah semalem?"
Citra mendongak dan kaget mendapati Reinald sudah ada di samping meja.
Ia juga kesal karena cowok itu baru datang langsung marah-marah. Citra sudah
hendak membuka mulut, mau balik marah-marah, tapi batal. Bukan saja
karena pagi-pagi marah-marah bikin jauh dari rezeki, tapi juga bikin dia jadi
nggak selesai menyalin PR.
"Urus aja urusan lo sendiri deh!" jawab Citra ketus.
Reinald tidak peduli. "PR siapa yuh yang lo sontek" Banyakan salahnya
daripada benernya." Citra diam, tidak bereaksi, sibuk menyalin. Reinald melanjutkan
kecamannya. "Lo kalo nyontek nggak pernah sambil mikir ya?"
Baru Citra terusik. Ia berhenti menulis. Ditariknya napas panjang lalu
diembuskannya dengan kesal.
"Lo tau definisi nyontek nggak sih?" Ditatapnya Reinald. "Nyontek itu
sinonimnya nyalin. Menyalin itu artinya menduplikasi, atau membuat sesuatu
yang persis sama. Jadi jelas nggak perlu pake mikir, tau!" sepasang mata Citra
menatap Reinald tepat di manik mata. "Rese!"
Mata Reinald sontak berkilat.
"Kayaknya gue udah pernah ngomong deh. Kalo gue lagi marah, terima aja.
Jangan tanya-tanya apalagi balik marah. Ntar gue jadi tambah marah!" intonasi
suara Reinald mulai naik.
"Alasannya!" Orang marah tuh pasti ada alasannya!"
"Nggak perlu alasan kalo udah menyangkut elo!"
"Emang gue kenapa?"
"Karena elo selalu bikin gue pengin marah!"
"Alasannya!" Orang marah tuh pasti ada alasannya, tau!"
"Nggak perlu alasan kalo udah menyangkut elo!"
Balik lagi. Lingkaran setan, kayaknya.
Apaan tuh begitu" Citra menggerutu dalam hati.
"Bukan elo aja, gue juga bisa marah!"
"Gue bisa jadi tukang jagal, Citra!" bentak Reinald.
"Lo kira gue takut sama elo!?" Citra tidak mau kalah, ganti membentak.
"Nggak sama sekali!"
Pertengkaran memanas! Padahal saat ini jarum jam menunjukan angka sepuluh menit menjelang bel
masuk berbunyi. Dan pada jam segitu biasanya isi kelas sudah lengkap.
Sebagian menunggu bel di dalam kelas, sebagian lagi di koridor. Dan
pertengkaran yang memanas itu jelas merupakan tontonan yang asyik banget,
sebelum delapan jam pelajaran yang bikin boooring.
"Cepet! Cepet! Beli cemilan!" seru Ian. "Nggak asyik nih kalo nggak sambil
ngemil!" "Patungan, oi! Patungan! Ceceng-ceceng!" seru Derry sambil mengeluarkan
selembar seribuan dari kantongnya sendiri. Kemudian ia berkeliling di antara
cowok-cowok untuk meminta seribu per orang.
"Buruaaaan! Sebelum pertunjukan dramanya kelar nih!" seru ia tak sabar.
Derry berlari ke luar kelas menuju kantin. Sementara itu Didot, yang belum
masuk kelas, cepat-cepat meraih tasnya. Dikeluarkannya keripik singkong dari
sana. Seplastik gede! "Gue ada nih!" serunya. "Ini sebenernya buat ntar, jam kosong. Tapi nggak
apa-apa, ntar beli lagi!" Ia melempar keripik singkong ke Ian. Ian
menangkapnya dengan sigap kemudian berteriak keras.
"DERRY, WOOOIIII! NGGAK JADI! UDAH ADA!!!"
Derry yang sudah berlari sampai melewati kelas sebelah, cepat-cepat balik
lagi dan langsung bergabung dengan teman-temannya yang sudah asyik
menikmati pertengkaran Reinald-Citra.
Kubu cowok berada di pihak Citra, bukan Reinald. Iyalah". Ngapain juga
belain sesama cowok" Rugi!
Sementara yang cewek-cewek menyaksikan kejadian itu dengan ekspresi
bingung. Ada tanda tanya besar di kepala mereka. Baru jadian kok berantem
melulu" Nggak ada mesra-mesranya. Berantemnya di kelas, lagi. Nggak peduli
banyak orang, lagi. Teriak-teriak, lagi! Namun kemudian muncul tanda tanya
baru. Kali ini sampai terlontar dari muluk salah satu cewek.
"Emang mereka udah jadian, ya" Apa baru PDKT" Baru PDKT aja
berantemnya udah parah gitu, apalagi kalo udah jadian" Bunuh-bunuhan,
kali!" Sementara para cowok pendukung Citra, tidak peduli dan sama sekali tidak
ingin tahu alasan di balik pertengkaran itu. Yang penting ada tontonan seru.
Dengan riuh mereka memberikan support untuk Citra. Dan tak lupa, sambil
ngemil keripik. "Lawan aja, Cit!" seru Ian. "Ntar kalo lo kalah, gue belain!"
"Iya. Hajar aja si Reinald, babe!" teriak Didot.
"Kalo Reinald mukul, pukul balik, Cit!" teriak Toni.
"Kalian teriaknya jangan kenceng-kencang dong! Jadi nggak kedengeran
nih!" teriak Derry, dengan volume suara mengalahkan teman-temannya.
"Nah elo, sendirinya juga teriak. Paling kenceng malah!" Kepala Derry
kemudian dijitakin dari segala arah. Sambil meringis, cowok itu cepat-cepat
melindungi kepalanya dengan kedua tangan.
Dari bangku mereka, Roni dan Loni menyaksikan pertengkaran Citra dan
Reinald dengan mulut ternganga. Reinald tidak pernah cerita dan Citra juga
tidak bilang apa-apa sebelumnya. Jadi keduanya benar-benar tidak tahu,
persoalan apa sebenarnya yang terjadi di antara mantan teman-teman
sebangku mereka itu. Bel masuk berbunyi dan tidak ada satu pun yang menyadari. Teriakan riuh
dan kasak-kusuk itu baru berhenti setelah sseseorang dari kelas sebelah
mendatangi kelas mereka lalu berteriak di pintu.
"UDAH BEL, WOOOI! JANGAN BERISIK! MAU PADA BELAJAR NGGAK
SIHHH!?" Kelas langsung hening. Semua bergegas kembali ke bangku masing-masing.
Reinald dan Citra juga menghentikan pertengkaran mereka. Sesaat keduanya
saling tatap dengan sorot kesal, dongkol, marah, benci, juga malu karena
sudah jadi objek tontonan seisi kelas.
"Aduh, leher gue seret nih!" Ian terbatuk-batuk. "Ada minum nggak?"
Setelah berhenti teriak-teriak memberikan support, baru cowok-cowok itu
sadar kalau tenggorokan mereka kering. Semuanya lalu ribut mencari minum.
"Lo gimana sih, Dot" Bawa keripik nggak bawa minum. Se-ret niiih!"
semuanya lalu menyalahkan Didot. Tidak ada cara lain, cowok-cowok suporter
Citra terpaksa menahan haus sampai jam istirahat pertama nanti.
"Ssst! Bu ning dateng!" seru Rinda, yang duduk dekat pintu.
Kelas langsung hening. Semua duduk manis dibangku masing-masing. Tanpa
sadar, Reinald dan Citra duduk di ujung bangku masing-masing, berusaha
sejauh-jauhnya menjaga jarak. Namun dua kali pertengkaran terbuka itu
kemudian memunculkan asumsi baru seputar perpindahan bangku tersebut.
Roni pindah ke bangku Citra karena naksir Loni. Itu udah pasti, karena cowok
itu sudah mengumumkan perasaanya. Dan meskipun sudah duduk sebangku,
seisi kelas tahu status mereka masih PDKT. Dari pihak Roni, pastinya.
Sementara Loni sendiri, sepertinya cewek itu sedang berusaha (dengan
sangat keras) menerima kondisi itu, dan berusaha menjalaninya dengan ikhlas.
Karena sudah tidak ada lagi bangku kosong di kelas, maka pilihan Loni memang
cuma dua: tabah atau nggak sekolah!
Asumsi berikutnya adalah Citra pindah ke bangku Reinald karena dia naksir
cowok itu. Tapi sayangnya Reinald sama sekali nggak naksir Citra. Makanya tu
cowok jadi galak sama Citra. Citra jadi balik galak juga, karena dia frustasi dan
Dia Tanpa Aku Karya Esti Kinasih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
patah hati. Nah, makin ruwet, kan"
BAB 8 BEGITU bel istirahat berbunyi, cowok-cowok suporter Citra langsung melejit
keluar dari kelas menuju kantin. Cari minum. Mereka berlarian begitu saja.
Sementara cewek-cewek teman sekelas berjalan keluar sambil menatap Citra
sesaat. Citra jadi kesal.
"Apa sih liat-liat" Berantemnya udah kelar, juga!" gerutunya.
Citra melirik orang di sebelahnya, masih dengan rasa marah. Kemudian dia
berdiri dan berjalan ke luar kelas. Ketika melewati Loni, ditepuknya lengan
temannya itu. "Ke kantin yuk!"
Loni memasukkan buku-bukunya Ke laci, bangkit berdiri, lalu mengejar Citra.
Sambil membereskan buku-bukunya, Reinald mengikuti Citra dengan
pandangan mata. Sementara Roni, begitu kedua cewek itu hilang dibalik
tembok kelas sebelah, segera bangkit berdiri dan menghampiri Reinald dengan
langkah cepat. "Sebenernya ada masalah apa sih antara lo sama Citra?" tanyanya sambil
menjatuhkan diri di sebelah Reinald. "Berantem kok sampe kayak gitu."
"Udah, nggak usah tanya-tanya deh." Reinald berdecak malas. "Yuk, ke
kantin. Gue laper." "Citra juga lagi ke kantin. Bisa-bisa ntar lo berdua berantem lagi di sana."
"Ya kalo dia cari gara-gara lagi"," Reinald bangkit berdiri, "apa boleh buat!"
**** Di depan salah satu meja panjang di kantin, Citra dan Loni duduk
berhadapan. Masing-masing dengan sepiring gado-gado dan segelas es teh
manis. "Sebenernya lo ada apa sih sama Reinald" Berantem sampe kayak gitu." Loni
membuka percakapan dengan topik yang membuat kekesalan Citra jadi
berkelanjutan. "Aduuuuuh, ck!" Citra mengeluh. "Elo tu ya. Kalau gue tau masalahnya, gue
nggak akan teriak-teriak kayak tadi pagi, lagi."
"Masa sih lo nggak tau masalahnya" Kalo ngeliat tadi pagi Reinald marahnya
sampe kayak gitu, kayaknya masalahnya serius, Cit."
"Nggak tau, ah." Citra menggeleng, lalu memerhatikan gado-gado di
piringnya. "Tadi kayaknya gue udah bilang sama ibu itu nggak pake tempe
deh," katanya, lalu mulai memisahkan potongan-potong
an kecil tempe dari gado-gadonya.
"Lo tanya deh, Cit, sama Reinald, apa sih masalahnya?"
"Udah. Tadi pagi itu gue kan tanya, trus jadinya berantem kayak gitu."
"Baik-baik nanyanya."
"Udah, Loniiii?" Citra menghela napas lalu mengembuskannya kuat-kuat. Ia
memandang Loni, capek dan putus asa. "Tadi pagi itu gue nanyanya udah baikbaik. Kemaren juga gitu. Lo kira gue nanyanya baru tadi trus langsung maen
bentak-bentak, gitu" Nggak, lagi. Udah deh, nggak usah dibahas. Bikin gue jadi
nggak nafsu nih. Atau gini aja, kalo lo penasaran, lo aja gih yang nanya. Ntar
kasih tau gue." "Nggak mungkin gue yang nanya, lagi." Akhirnya Loni menyudahi
pembicaraan itu dan mulai menyantap gado-gadonya.
"Lagian juga kalo lo mau dapet jawaban, kayaknya nanyanya kudu pake
gebukan kasur," kata Citra sambil mengunyah. Loni jadi ketawa. Namun tawa
itu langsung langsung lenyap begitu dilihatnya Reinald dan Roni memasuki
kantin. "Dia ke sini, Cit. Si Reinald," bisik Loni, langsung jadi tegang. Tapi Citra tetap
santai dan sama sekali tidak menoleh ke arah pintu kantin.
"Ya iyalah. Mau nggak mau dia ke sini. Nggak mungkin dia ke kantinnya anak
kelas dua, apalagi kelas tiga."
Begitu melihat Citra dan Loni, Roni langsung mengajak Reinald duduk di
depan meja panjang yang paling dekat dengan pintu. "Ren, kita duduk sini aja.
Lo mau makan apa" Gue pesenin."
"Gue mau duduk di situ," tunjuknya dengan dagu ke sebuah meja panjang
yang berjarak dua meja dari meja tempat Citra makan. Dari meja itu, Reinald
bisa leluasa memerhatikan Citra. "Gue somay aja. Nggak pake kentang, ya.
Minumnya es teh tawar."
Roni langsung melesat ke sisi kanan kantin, tempat konter-konter makanan
terletak berjajar. Tak lama ia kembali sambil membawa pesanan Reinald dan
pesanannya sendiri. Diambilnya tempat di depan Reinald. Tapi begitu ia
menyadari ke mana sepasang mata temannya itu tertuju, ia segara berdiri dan
pindah posisi. "Ngapain lo pindah?" tanya Reinald.
"Pencegahan," jawsb Roni tandas. "Dari cara lo ngeliatin Citra, kayaknya
kejadian tadi pagi di kelas bakalan terulang di sini," sambungnya.
Reinald tidak membantah. Dalam hati ia justru membenarkan apa yang
diucapkan Roni. "Lo sengaja duduk sini biar bisa ngeliatin dia, kan?"
"Iya," Reinald terus terang.
"Kenapa sih" Dia duduk di sebelah lo, kan" Masih kurang?" saking herannya,
Roni sampai menatap Reinald dangan kening berkerut rapat.
"Karena dia duduk di sebelah gue, jadi gue nggak bisa ngeliatin. Lain kalo dia
duduk di depan gue," Reinald menjawab santai, lalu mulai menyuapkan
potongan somay ke mulutnya.
Sementara itu Loni, yang juga cemas kalau-kalau pertengkaran Reinald-Citra
bakalan berlanjut di kantin, mengajak Citra buru-buru kembali ke kelas. Citra
setuju karena tidak bisa makan dengan tenang di bawah tatap tajam Reinald
yang sebentar-sebentar terarah padanya.
Tanpa menghabiskan gado-gado di piring masing-masing, keduanya berdiri
dan bergegas berjalan ke luar kantin. Di ambang pintu, tanpa sadar Loni
menoleh ke kedua cowok itu. Di saat bersamaan Roni juga tengah menatap
mereka. Cowok itu tersenyum tipis, memandang Loni dengan sorot berterima
kasih. Sesaat Loni terkesima. Ini pertama kalinya ia melihat Roni dalam ekspresi
serius begitu. Nggak norak dan geblek seperti biasanya. Cowok itu jadi
kelihatan berbeda. Lain sama sekali. Dengan kikuk dibalasnya senyum itu.
Begitu kedua cewek itu sudah hilang, Roni mengembalikan tatapannya pada
Reinald, yang sedang menikmati somaynya dengan santai, tapi jelas tahu
bahwa Citra sudah pergi. "Gue balik ke bangku gue, ya" Kasian Citra duduk di belakang gitu. Nggak
ada temennya. Pasti bakalan jadi korban iseng anak-anak belakang pula."
"Kan ada gue?" kata Reinald tenang. "Boleh aja sih kalo lo pengin balik. Tapi
duduk bertiga, ya" Dan si Citra harus di tengah."
Mata Roni membulat lebar. Tapi ia tidak juga mengeluarkan suara, saking
bingungnya mau ngomong apa.
Reinald jadi tertawa. "spechlees lo, ya?" tanyanya dengan nada geli. Tapi
kemudian ia menggeleng kuat dan berkata tegas, jelas tidak ingin dibantah
sama sekali. "Jangan! Gue mau dia duduk di sebelah gue."
"Biar bisa berantem terus, gitu?"
"Ya!" Reinald tersenyum lebar dan memainkan alisnya sesaat, sambil
memandang muka bingung Roni. "Dan elo nggak usah tanya-tanya sebabnya.
Nggak bakal gue jawab. Nggak sekarang-sekarang. Soalnya gue nggak bakalan
bisa cerita tanpa emosi, tanpa marah-marah. Dan kalo lo tetep maksa gue
untuk cerita juga, bisa-bisa abis cerita, gue bisa menyerang si Citra lebih
ganas!" Roni ternganga. *** Begitu sampai rumah, Reinald langsung masuk kamar dan berdiri di depan
tempat tidur Ronald. "Tadi pagi cewek lo gue marahin, gue bentak-bentak. Sampe gue puas!"
Setelah mengatakan itu, Reinald berganti baju. Disambarnya salah satu
komik dari rak koleksi komiknya lalu berjalan di keluar kamar. Sambil tiduran di
ruang tamu, Reinald membaca komik itu sampai jatuh tertidur.
Namun malam harinya, setelah mengerjakan PR untuk besok dengan
konsentrasi yang cuma setengah, Reinald duduk tercenung di depan meja
belajar Ronald. Kalau mau berpikir tanpa menyertakan emosi, dan terus terang
mau mengakui, sebenarnya jawabannya jelas.
Hanya puas sesaat. Hanya melegakan sementara. Setelah itu semuanya
kembali seperti semula. Tidak ada yang berubah. Tetap sedih. Tetap sesak.
Tetap kosong. Tetap terasa Ronald sudah tidak ada. Dan tetap kesepian begitu
hanya sendirian di kamar begini. Kecuali kalau saat ini juga dikontaknya Citra
lalu kembali dibentak-bentaknya cewek itu seperti tadi pagi.
Dangan mata nanar Reinald menatap sepotong kertas yang dulu
ditempelkan Ronald di dinding di depannya. Barisan kalimat itu, tulisan tangan
Ronald, madih bisa terbaca, walaupun tampak kabur karena Reinald membaca
dengan pikiran menerawang. Kalimat-kalimat tentang Citra. Hanya tentang
cewek itu. Sebenarnya ingin sekali dilepasnya kertas itu dari dinding. Tapi tidak tega,
kerana kertas itu usaha Ronald selama berbulan-bulan. Karena kertas itu
adalah kegembiraannya selama berbulan-bulan juga. Sekaligus kecemasannya.
Kegelisahannya. Ketidaksabarannya.
Yang pasti, kertas itu kenangan Reinald dan seluruh isi rumah ini pada bulanbulan terakhir hidup Ronald. Cuma selembar kertas yang disobek dari buku
tulis sekolah, tapi sangat berharga bagi sang kakak saat dia masih hidup. Dan
kini sangat berharga untuk orang-orang yang dia tinggalkan.
"Suka banget warna biru," desis Reinald pelan, membaca salah satu poin di
kertas itu dalam keadaan setengah sadar.
"Usil banget. Tukang ngisengin orang." Reinald membaca poin di bawahnya.
Poin yang lain" Kalau ada yang marah-marah karena udah jadi korban keisengannya, Citra
suka njulingin mata. Bikin tuh orang ditambah marah lagi.
Poin yang lain lagi"
Bego olahraga. Nggak ada satu pun olahraga yang dia bisa. Kecuali lari atau
kabur. Karena biasanya kalo abis ngisengin orang, dia suka dikejar-kejar.
Poin yang lainnya lagi"
Kalo ngiket rambut nggak pernah rapi. Asal keiket. Tapi dengan rambut
yang keiket asal-asalan gitu, berantakan, dia jadi tambah manis. Cakep!
"Masa?" Reinald tertawa mendengus. Tidak yakin dan sama sekali tidak
percaya dengan kebenaran kalimat-kalimat itu. Terutama yang terakhir.
Namun tak lama tawanya menghilang. Cowok itu kemudian menghela napas
dalam-dalam. Tercenung dalam keterdiaman yang lama.
*** Di saat yang sama, di kamarnya, Citra juga sedang duduk dalam diam.
Tercenung dalam. Tapi untuknya, tidak ada yang perlu di pikirkan tentang
Reinald. Sama sekali. Percuma saja, ia nggak akan dapat jawabannya. Yang ada
malah jadi emosi lagi kalau ingat kejadian tadi pagi.
Yang sedang dipikirkan Citra dengan serius saat ini adalah, gimana caranya
agar ia bisa nyaman duduk di deretan belakang yang sama sekali nggak ada
ceweknya itu. Ditambah sebelahan sama cowok stres yang kayaknya bakalan
sakit jiwa beneran. Tapi, sampai matanya meredup, karena kantuk, Citra tidak
juga mendapatkan ide. Udah deh. Liat gimana situasinya aja nanti, putusnya kemudian. Ia bangkit
berdiri sambil menguap lebar-lebar sambil menuju. Tempat tidurnya,
menjatuhkan diri di sana, dan tak lama kemudian ia jatuh terlelap.
*** Keesokan paginya, sambil menyiapkan diri berangkat ke sekolah, Citra
meneruskan berpikir soal semalam. Ketika akhirnya cewek itu membuka pintu
rumah, siap berangkat ke sekolah, ia telah mengambil satu keputusan.
"Cuekin aja si Reinald. Daripada gue ketularan sarap!"
Meskipun begitu, belajar dari pengalaman kemarin, Citra telah menyiapkan
langkah pencegahan. Semua PR untuk hari ini telah ia kerjakan. Jadi Reinald
tidak bisa lagi mengatakan, "Ngerjain PR tuh di rumah, bukan di sekolah.
Ngapain aja lo di rumah semalem?"
Citra juga telah menyiapkan langkah pencegahan tambahan, kalau-kalau
langkah pertama tidak berhasil. Ia sengaja berangkat ke sekolah dalam waktu
yang benar-benar mepet. Yang kira-kira nanti sampai sekolah udah mau bel.
"Kalau perlu kurang semenit dari bel. Jadi tuh orang nggak punya
kesempatan buat ngomel," katanya, ngomong sendiri sambil berjalan dengan
langkah cepat ke halte bus.
Akibat berangkat terlalu mepet itu, jarum jam sudah menunjukan tujuh
kurang lima saat bus yang ditumpanginya sampai ditujuan. Susah payah Citra
menyeruak di antara para penumpang yang menyesaki perut bus, resiko kalau
berangkat siang, dan berusaha mencapai pintu bus secepat mungkin.
Begitu berhasil mencapai pintu, Citra langsung melompat turun dan berlari
secepat-cepatnya menuju sekolah. Cewek itu sampai di ambang pintu kelas
dalam keadaan mandi keringat dan napas terengah. Dan tepat seperti
dugaannya, waktu sudah menujukkan jam tujuh kurang satu menit!
Sambil mengatur napas, Citra cepat-cepat berjalan ke bangkunya dan
langsung mengempaskan tubuhnya di sana. Capek. Selain habis berlari, selama
di bus dia juga terus berdiri, nggak dapat duduk.
"Baru dateng jam segini!?" Reinald menyambut kedatangan Citra dengan
teguran galak. "Lo kira emang bisa, belajar dalam kondisi keringetan begitu"
Pasti tadi dari halte ke sini lari. Iya, kan" Lo berangkat dari rumah jam berapa
sih" Besok berangkat lebih pagi dong!"
Citra terkesima. Bibirnya sampai melongo. "Gue udah ngerjain PR di rumah,"
lapornya. Akibat ketersimaan itu, Citra mendadak jadi polos dan bego.
"Bagus!" ucap Reinald singkat.
Tak lama kemudian Citra tersadar. Ngapain juga gue lapor ke dia kalo udah
ngerjain PR, ya" desisnya dalam hati. Emang apa urusannya" Gue mau dateng
jam berapa kek, terserah gue, kan"
Tapi baru saja Citra membuka mulut, mau balik marah-marah, bel masuk
sudah berbunyi. Terpaksa cewek itu mengatupkan kembali mulutnya. Dalam
hati ia bertekad, nanti jam istirahat pertama akan ia balas. Tapi tekad baru itu
hanya bertahan sepuluh menit. Citra segera teringat kembali tekad awalnya
yang ia putuskan saat berangkat sekolah tadi: Cuekin aja si Reinald!
Kemudian ia memutuskan dalam hati, kali ini dengan niat bulat. Ya, cuekin
aja! Soalnya kalo nggak gitu, kayaknya bakalan panjang urusannya. Sekarang
aja, selagi masalahnya masih benar-benar gelap dan status mereka juga masih
teman baru, mereka udah bentak-bentakan sampe parah banget gitu. Gimana
nanti" Ih, serem! Citra bergidik tanpa sadar.
"Kenapa?" bisik Reinald tajam. Lamunan Citra memang tertangkap jelas
olehnya, karena seisi kelas saat ini sedang sibuk mencatat dan cuma Citra satusatunya yang sibuk menggigit ujung bolpoinnya. Dengan serius pula.
"Ketahuan nggak nyatet, bisa abis lo diomelin"," bidik Reinald lagi. Jenis
bisikan yang merupakan volume minimalis dari bentakan.
Citra cemberut. Tapi tidak berusaha membantah. Iyalah. Meladeni orang gila
di saat kelas sedang sunyi senyap begini berarti dirinya sama nggak warasnya.
Dangan senyum puas tertahan, Reinald melirik cewek di sebelahnya. Citra
mencatat dengan bibir cemberut maju beberapa senti. Reinald jadi semangat
menunggu jam istirahat pertama. Karena ia yakin, pertengkaran mereka akan
berlanjut. Jadi bisa dibentak-bentak dan dimarahinya Citra seperti kemarin.
Tapi kali ini, ia tidak ingin pertengkaran mereka terlalu terbuka. Tidak perlu
terlalu heboh. Yang penting bisa membuat hatinya lega. Puas. Tidak peduli
meskipun cuma sesaat. Reinald tidak tahu Citra sudah tidak ingin lagi bertengkar. Sama sekali.
Karena itu, saat bel istirahat pertama berbunyi dan Reinald langsung
mengubah posisi duduknya jadi benar-banar menghadap ke arahnya, Citra
sudah tahu cowok itu pasti mau ngomel lagi. Dan dugaannya seratus persen
tepat! "Lo nggak punya beker, ya" Kok bisa telat banget kayak tadi!?" pacing
Reinald. Citra langsung bersyukur. Meskipun intonasi suara Reinald tinggi, volumenya
sama sekali tidak tinggi. Jadi tidak sampai mengundang perhatian temanteman sekelas. Dan sesuai tekadnya, Citra memilih diam. Sebenarnya ia pingin
langsung kabur ke kantin, tapi Loni ada urusan sama anak kelas sebelah.
"Pasti lo nggak sempet sarapan," lanjut Reinald. Tetap dengan nada
menusuk. Citra tetap diam. Dimasukkannya buku-buku pelajaran di atas meja ke dalam
tasnya. Reinald tidak memedulikan kebungkaman Citra. Justru ada perasaan
senang karena Citra tidak membantah kata-katanya.
"Emang bisa ya, belajar dalam kondisi perut laper dan badan keringetan"
Gue jamin nggak!" Citra tidak tahan lagi, tapi tetap tidak ingin buka mulut. Dan Reinald tetap
meneruskan kalimatnya. Cowok itu semakin senang. Tanpa ia sadari, perasaan
senang itu muncul karena ia dalam keadaan benar-banar dapat melupakan
kesedihannya, bukan karena sedang memarahi Citra.
"Lo bangun kesiangan karena semalem ngerjain PR, ya?" ucap Reinald lagi,
Dia Tanpa Aku Karya Esti Kinasih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lalu tertawa geli. "Gue jadi nggak tau mendingan yang mana. Lo datang nggak
telat tapi begitu sampe sekolahan langsung nyontek PR, atau lo ngerjain PR di
rumah tapi jadi dateng telat"," Reinald terdiam sejenak, kemudian
meneruskan kalimatnya dengan anda yang kembali tajam. "Menurut gue duaduanya nggak bener!"
Niat banget sih nih cowok ngomelnya! desisnya Citra dalam hati. Akhirnya ia
memutuskan untuk cepat-cepat pergi. Daripada kesabarannya habis lalu ia
langgar tekadnya dan akhirnya mereka saling bentak dan saling teriak seperti
kemarin pagi. Citra menoleh ke arah Reinald dengan gerakan tiba-tiba, dan sikap garang
Reinald sontak menghilang. Cowok itu menatap pemandangan di depannya
dalam ketersentakan hebat.
Citra menjulingkan kedua matanya!
Hanya itu". Ya, hanya itu" tapi itulah yang ditulis Ronald! Itulah yang
ditinggalkannya dalam catatan!
Citra berdiri lalu berlari ke luar kelas. Ia tidak memedulikan ekspresi kaget di
wajah Reinald. Tidak memedulikan kondisi Reinald yang mendadak berubah
jadi arca hidup. Sendirian di kelas yang terasa lengang, mendadak Reinald merasa di tempat
yang asing. Rasa lega sesaat yang tadi dirasakannya saat memarahi Citra tadi
kini juga hilang. Sampai menjelang bel pulang, Reinald masih mencoba memancing
kemarahan Citra. Mencoba membuat cewek itu merespons setiap kata-kata
tajamnya. Tapi Citra benar-benar melaksanakan tekadnya, sama sekali tidak
mengacuhkan Reinald dan semua pancingannya.
Cukup di kelas aja gue sebangku sama dia. Gue nggak mau menemani dia
sampe ke rumah sakit jiwa gara-gara barengan gila! desis Citra dalam hati.
Citra lebih memusatkan perhatiannya pada cowok-cowok yang duduk di
belakang. Mana yang asyik diajak temenan, mana yang mendingan say hello
doang. Hari ini ia juga tahu ternyata cowok-cowok itu asyik-asyik.
Sesaat sebelum istirahat kedua berakhir, Ian, Didot, Toni dan semua cowok
yang duduk di deretan paling belakang, kompakan menyembunyikan buku
catatan Bahasa Indonesia Toto, yang duduk di deretan yang sama dengan
Citra. "Iseng aja," kata Ian, sang pencetus ide.
Citra yang baru saja balik dari kantin tidak sengaja mendengarkan perkataan
Ian itu dan langsung tertarik.
Pelajaran apa pun, kalau itu ada di dua jam tarakhir, selalu memerlukan
kemauan yang lebih keras. Tekad yang lebih kuat dan semangat yang lebih
membaja. Kedengarannya memang hiperbolis, tapi itu kenyataan. Fakta. Boleh
tanya sama semua pelajar yang masuk pagi pulang siang. SMP maupun SMA.
Dijamin nggak ada yang masih fresh di jam-jam itu. Kalaupun ada, cuma
sebagian keciiil. Mungkin di jam pelajaran sebelumnya dia sukses cabut, atau
berhasil mikir tanpa ketahuan.
Jam setengah satu siang, saat matahari sedang terik-teriknya, saat kerja otak
sudah menurun tajam karena belajar sejak jam tujuh pagi, wajar kalau niat
iseng Ian itu langsung mendapat sambutan antusias. Bisa hahahihi -minimal
nyengir lebar selama sepuluh menit sebelum memulai belajar lagi sampai tepat
jam dua siang- jelas merupakan anugerah terindah.
Karena masih jam istirahat, kelas nyaris kosong, dengan leluasa Ian menarik
keluar tas Toto dati dalam laci lalu mengeluarkan buku cetak Bahasa Indonesia
dari sana. Dilemparnya buku itu ke Derry, yang menangkapnya dengan sigap
dan langsung menyembunyikannya di dalam laci.
Toto ternyata langsung tahu. Begitu membuka tas hendak menyiapkan
buku-buku dan mendapati buku cetak Bahasa Indonesia-nya raib, ia sudah bisa
menebak oknumnya pasti anak-anak yang duduk di bangku deretan paling
belakang. Cuma ia tidak tahu pasti siapa pelakunya. Cowok itu kemudian
berdiri dan bertolak pinggang.
"Siapa yang ngumpetin buku gue" Elo, Yan?"
"Nggaaaaak!" Ian menggeleng kuat-kuat.
"Elo, Ton?" pandangan Toto beralih ke Toni. Kedua matanya mulai melotot.
"Nggaaaaak!" Toni membeo jawaban Ian, juga sambil menggelengkan
kepala kuat-kuat. "Nggaaak!" belum ditanya, Didot sudah menjawab. Teman semejanya,
Derry, jadi tetawa geli. Citra. yang menyaksikan jalannya peristiwa itu sejak awal jadi terkikik juga,
semenatara sebagian teman-teman yang lain tidak menyadari peristiwa itu.
Toto mulai gusar. "Mana buku gue" Balikin cepet! Bentar lagi Bu Lis dateng nih!"
"Emangnya siapa sih yang ngumpetin buku lo" Jangan asal nuduh dong,"
kata Derry. Sampai Bu Lis memasuki ruangan, tetap tidak ada satu pun yang
mau mengaku. "Buku gue, woi! Buruan! Bu Lis udah dateng tuh!" seru Toto dengan suara
tertahan. Cowok-Cowok yang duduk di deretan paling belakang itu tetap tidak ada
yang mau mengaku. Mereka memandangi Toto sambil senyum-senyum. Didot
malah memeletkan lidahnya.
Toto jadi semakin kesal. Akhirnya cowok itu mengempaskan tubuh ke
bangkunya lalu berseru lantang, tepat di saat Bu Lis akan membuka mulut
untuk meminta murid-muridnya membuka buku.
"BUUUU"! BUKU SAYA DIUMPETIN SAMA ANAK-ANAK BELAKANG".!!!!"
Cowok-cowok di deretan paling belakang kontan tercengang, kemudian
tertawa gelak-gelak. Seisi kelas ikut tertawa. Semua mata menatap ke arah
Toto dengan penuh minat. "Toto tukang ngadu! Jangan ditemenin!" seru Derry, ikut mengimbangi
tingkah Toto yang kayak anak SD.
"BUUUU! KATA DERRY SAYA TUKANG NGADU, TRUS NGGAK BOLEH
DITEMENIN!!!" seru Toto lagi.
Seisi kelas tertawa lagi. Tapi tawa mereka kali ini terdengar berbeda. Mata
mereka juga memandang Toto dengan sorot berbeda, sedikit menerawang.
Bila dipastikan, sebagian besar murid kelas itu jadi ingat waktu zaman-zaman
SD dulu. Ngadu ke guru gara-gara buku, bolpoin, atau barang-barang mereka
yang lain disembunyikan teman dan nggak ada satu pun yang mengaku telah
melakukan. "Apa sih kalian ini?" Bu Lis memandang ke belakang dengan kening
berkerut. "Kayak anak SD aja. Kembalikan buku Toto. Kita akan memulai
pelajaran. Jangan buang-buang waktu!"
Derry mengeluarkan buku cetak Bahasa Indonesia milik Toto dari dalam laci
mejanya. Diopernya buku itu pada Didot, yang kemudian memberikannya pada
Toto. "Toto tukang ngadu!" katanya.
"Biarin, wee!" Toto menyambar bukunya dari tangan Didot lalu menjulurkan
lidahnya. Citra terkekeh. Ia teringat teman-teman dan hari-harinya di SMP dulu.
Kejadian itu membuatnya merasa lega. Berarti musibah yang dialaminya cuma
satu: sebangku dengan Reinald. Lainnya nggak ada. Malah kayaknya duduk di
belakang, bareng cowok-cowok iseng tadi, bakalan bikin hari-harinya di
sekolah jadi seru. Karena itu -setelah pelajaran Bahasa Indonesia usai dan Bu
Lis berjalan ke luar kelas- Citra tidak peduli saat didengarnya Reinald bicara
dengan nada tajam. "Jangan tidur malem-malem, jadi besok nggak telat kayak tadi!"
Citra menjawab dengan menghadapkan mukanya ke arah Reinald lalu
menjulingkan kedua matanya. Kemudian cewek itu bangkit berdiri dan berjalan
ke luar kelas dengan langkah cepat.
Reinald mengikuti kepergian Citra dengan pandangan mata. Sikap garangnya
langsung hilang. Kembali ia merasakan itu. Perasaan asing yang tidak
dikenalnya, namun membuatnya gelisah.
BAB 9 KEESOKAN harinya, dengan berbagai cara Reinald berusaha memancing
kemarahan Citra. Minimal membuat cewek itu kesal dan akhirnya mau buka
mulut. Sering alasan kemarahan Reinald itu seakan dicari-cari, tapi Citra
berusaha keras menahan diri tidak terpancing.
Sabar, sabar. Orang sabar disayang Tuhan, katanya dalam hati saat Reinald
menegurnya tajam hanya gara-gara ia menggigiti tutup bolpoinnya.
Sabar, sabar. Orang sabar disayang Tuhan, Citra berkata lagi dalam hati saat
Reinald menegurnya ditengah pelajaran sejarah. Merasa bosan, cewek itu
mengabaikan penjelasan guru di depan dan memilih sibuk mencoreti buku
catatannya. Jelas Reinald langsung memanfaatkan peluang itu. Ditegurnya Citra dengan
kata-kata tajam -tentu saja berupa bisikan karena kelas sedang hening dan
guru sedang menjelaskan di depan. Cowok itu mengakhiri tegurannya dengan
memerintahkan Citra untuk menyimak pelajaran dan mencatat apa yang ada di
papan tulis. Daripada omelan Reinald ada bagian keduanya, Citra memilih menuruti
perintah itu. Tentu saja dengan tidak lupa menggumamkan kalimat andalannya
dalam hati: Orang sabar disayang Tuhan. Amin! Amin! Amin!
Tidak sampai satu jam kemudian, di tengah pelajaran kimia, kembali Citra
harus mengumandangkan kalimat andalannya itu dalam hati. Reinald
memarahinya dengan suara pelan, karena mengira Citra sedang bengong saat
jam pelajaran. Walaupun kelihatannya tidak peduli, tak urung Citra
menggerutu juga. Nih cowok nggak bisa bedain orang bengong sama orang
yang lagi mikir sih! Secara keseluruhan, hasil akhir untuk hari ini -meskipun mati-matian
menahan marah- Citra sukses menahan diri dari semua pancingan Reinald dan
tidak satu pun teman-teman sekelas mereka menyadari bahwa di antara
Reinald dan Citra sedang terjadi peristiwa "anjing menggonggong, kafilah masa
bodo". Begitu bel pulang berbunyi, Citra menarik napas lega. Dibereskannya buku
dan alat tulisnya lalu segera kabur. Cewek itu pulang ke rumah dengan
perasaan lega dan tanpa beban. Semua kejengkelan dan kekesalannya lenyap
begitu ia kabur dari sebelah Reinald dan memutuskan takkan memikirkan
keanehan cowok itu. Justru Reinald yang semakin emosi. Dengan geram, ditatapnya Citra yang
berjalan keluar kelas dengan langkah cepat. Sambil membereskan buku dan
alat tulisnya, serta sesekali membalas lambaian tangan teman sekelas, Reinald
bertekad besok harus bisa memaksa Citra membuka mulut dan merespons
semua tindakannya. Di saat Citra bisa pulang dengan perasaan lega, Reinald justru sebaliknya.
Lagi-lagi ia merasakan suasana asing yang membuatnya gelisah.
Keesokan harinya, Reinald berangkat sekolah dengan tekad "harus bisa
membuat Citra buka mulut". Harus! Kebetulan hari ini ada mata pelajaran
olahraga di jam pertama dan kedua. Jadi ada banyak kesempatan memaksa
Citra menghadapi dirinya tanpa menarik perhatian teman-teman sekelas.
Setelah mengganti seragam dengan kaus olahraga dan celana pendek,
Reinald turun ke lapangan bersama cowok-cowok sekelas lainnya. Otaknya
berpikir keras, mencari cara agar tekadnya bisa terlaksana. Semakin cepat
semakin baik. Tapi belum lagi cara itu ditemukan, Reinald keburu mematung di tengah
anak tangga. Ia berhenti melangkah dan berdiri dengan tatapan tertuju luruslurus ke satu titik di lapangan.
Kalo ngiket rambut nggak pernah rapi. Asal keiket. Tapi itu malah bikin dia
jadi tambah manis. Salah satu poin dalam catatan yang ditinggalkan Ronald, kini ada di depan
mata. Menghantam Reinald dangan keras dan membuatnya kembali
mengalami perasaan asing itu.
Dengan kedua rahang terkatup rapat, Reinald menghampiri Citra yang
sedang berada di lapangan voli bersama cewek-cewek sekelas lainnya. Tanpa
bicara, ditariknya karet pengikat kucir rambut Citra sampai terlepas sehingga
rambut cewek itu terurai.
Citra menoleh kaget. Reinald menyambut tatapan kaget itu dengan harapan
akan keluarnya protes dari mulut Citra, minimal gerutuan, sehingga ada alasan
bagi dirinya untuk terus menyerang cewek itu dengan kata-kata. Namun Citra
tidak mengeluarkan suara sedikit pun. Bukan saja karena cewek itu ingat
dengan tekadnya sendiri untuk tidak terpancing, tapi juga karena kaget dengan
tindakan Reinald itu. Beberapa detik terlewat, dan Reinald merutuk dalam hati saat sadar Citra
tetap bungkam. Akhirnya ia meraih satu tangan Citra dan meletakkan karet
pengikat rambut itu di telapaknya. Kemudian Reinald balik badan dan pergi
begitu saja. Citra hanya bisa menatap dengan mulut ternganga. Begitu juga temanteman sekelas yang menyaksikan itu. Ketika kesadarannya telah kembali, Citra
menggerutu dalam hati sambil mengikat kembali rambutnya. Tetap dengan
gaya khasnya. Asal mengikat. Berantakan.
"Ayo, lanjut! Giliran gue yang serve, kan?" serunya ke arah teman-temannya
yang masih berdiri diam, terpesona dengan kejadian tadi. Mereka tersadar.
Keenam cewek yang jadi tim lawan Citra segera bergeser jauh-jauh ke luar
lapangan. "Kok pada mencar!?" seru Citra heran.
"Elo kan biasa, Cit. Lapangannya di mana, serve-nya ntar ke mana!" seru
Indah. Citra terkikik. Sejak SMP, Citra memang terkenal bego olahraga. Kecuali lari.
Apalagi kalau olahraga itu berbentuk kerja sama tim, seperti basket atau voli.
Teman-teman yang kebagian satu tim dengan Citra biasanya langsung patah
semangat. "Yaah, ada Citra. Pasti kalah deh"," ucap mereka setiap kali selesai
dilakukan pembentukan tim. Seterusnya yang biasanya akan terdengar adalah
seruan-seruan yang seperti saat ini sedang dilontarkan teman-temannya.
"Citra jangan disuruh serve deh. Bolanya ke mana-mana!"
"Netnya dinaekin aja deh. Atau diturunin aja sampai menempel di tanah.
Citra nih, kalo nggak bolanya nabrak net, pasti lewat kolong."
Itu kalau voli. Kalau basket biasanya"
"Bolanya ditendang aja, Cit. Abis lo kalo drible ngaco."
"Khusus buat Citra, kalo dia bisa ngelempar bola sampe setinggi tiga
perempat tiang, anggap aja tuh bola hampir masuk ring. Minimal kena bibirnya
ring deh." Citra sih cuma ketawa-ketawa mendengarnya, soalnya sudah biasa. Namun
di sisi lain lapangan, seseorang sama sekali tidak mengganggap itu sebagai
sesuatu yang lucu. Justru sebaliknya.
Reinald berdiri mematung. Kembali dirasakannya sensasi asing yang
menggelisahkannya. Hanya dalam waktu kurang dari sepuluh menit, satu poin
lagi dalam catatan yang ditinggalkan Ronald, ada di depannya.
Bego olahraga. Nggak ada satu pun olahraga yang dia bisa. Kecuali lari atau
kabur. Dengan geram kembali dihampirinya Citra. Ada satu cara agar cewek itu
tidak menjadi cewek yang disebutkan Ronald dalam catatannya itu.
"Sori! Sori! Break sebentar, yaaa!?" seru Reinald, sambil mengangkat kedua
tangannya membentuk huruf T dan tersenyum lebar. Reinald memasuki
lapangan. Cewek-cewek itu seketika menghentikan permainan. Tidak peduli
dengan tatapan teman-temannya, Reinald menghampiri Citra. Tanpa bicara,
dirapikannya ikatan rambut Citra. Benar-benar rapi, sampai tidak ada satu helai
rambut pun yang tidak terikat kecuali poni.
"Kalo ngiket rambut yang bener!" Reinald menegur tajam dan dengan
ekspresi galak. Reinald sangat berharap Citra mau buka mulut. Ia tidak lagi berminat
memperpanjang pertengkaran mereka seperti kemarin-kemarin. Ia hanya ingin
Citra bicara. Namun Citra tetap bungkam. Meskipun dari ekspresi wajahnya jelas terlihat
cewek itu benar-benar kesal, juga malu. Ini di lapangan, dan yang olahraga
bukan cuma kelas mereka doang. Bikin malu aja!
Sementara itu teman-teman mereka menyaksikan adegan itu dengan
ternganga dan pandangan bertanya. Tapi mereka juga harus mengakui, untuk
pasangan tukang berantem model Reinald sama Citra, sumpah, tadi itu adegan
yang romantis abis! Tidak ada satu pun yang tahu bahwa alasan Reinald melakukan itu adalah
karena Citra melancarkan aksi diam, juga karena kali ini Reinald sadar
usahanya kembali galal. Setelah sekali lagi meyakinkan ikatan rambut cewek itu benar-benar rapi,
Reinald berbisik di telinga Citra dan mengancam pelan, "Kalo lo nggak mau gue
dateng terus ngiket rambut lo lagi, jangan dilepas!" ancamnya pelan.
Kemudian dia balik badan, "Oke, silakan lanjut!" serunya sambil meninggalkan
lapangan. "Bego olahraga"-nya Citra memang hopelees. Tidak bisa dibenahi saat ini
juga. Tapi paling tidak, ikatan rambutnya kini rapi. Jadi ini bukan Citra yang
dilihat Ronald.
Dia Tanpa Aku Karya Esti Kinasih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
*** Sekali lagi kali ini Citra pulang dengan perasan lega dan tanpa beban. Ternyata
kalau nggak ditanggepin dan nggak dipikirin memang nggak bikin emosi ya"
Katanya dalam hati. Cewek itu berjalan menuju halte dengan langkah ringan.
Sementara Reinald justru semakin emosi, dan tambah emosi lagi saat melihat
Citra berdiri diantara kerumunan siswa yang sedang menunggu bus di halte.
Lewat sudut mata, Citra juga mengetahui kehadiran Reinald. Cewek itu
bersyukur banget karena bus yang ditanggungnya sudah datang. Jadi ia bisa
selamat. Begitu bus berhenti di hadapan,Citra buru-buru naik dan menghilang
di dalam perut kendaraan umum yang sarat penumpang itu.
"Kurang ajar tuh cewek! Sialan!" Reinald memaki pelan. Tetapi begitu bus
yang ditumpangi Citra melaju pergi, entah kenapa lagi-lagi Reinald merasakan
itu" rasa asing yang selalu membuatnya gelisah.
Kegelisahan itu ternyata bertahan. Menemaninya selama perjalanan pulang.
Menyertainya saat menyantap makan siang, hingga Reinald nyaris tidak
merasakan apa yang sedang disantapnya.
Menjelang malam, kegelisahan itu membuat Reinald semakin kacau dan
meledak tepat di saat hari tengah gelap. Dan Reinald terenyak.
Kini ia tahu pasti apa yang membuatnya gelisah belakangan ini. Karena Citra
sudah tidak lagi mengeluarkan suara. Karena cewek itu benar-benar bungkam.
Karena cewek itu terang-terangan bersikap seakan ia tak terlihat, seakan ia tak
ada. Kini Reinald juga yakin, perasaan asing yang merambati hatinya belakangan
ini, karena Citra telah membuatnya berdiri di tempat yang sama seperti
Ronald! Menempatkannya di luar lingkaran. Hanya bisa melihat. Hanya bisa
mengawasi. Dan hanya bisa diam.
Kemudian Reinald menyadari dirinya mulai dikecam ketakutan. Ketakutan
yang ternyata membuat kemarahannya menyurut sampai benar-benar ke titik
terendah, dan akhirnya hilang.
Tidak bisa! Reinald menggeleng kuat tanpa sadar. Citra tidak bisa
menempatkan gue di tempat yang sama seperti Ronald, pikir Reinald. Ronald
sudah pergi. Dia sudah tidak ada lagi.
*** Keesokan harinya Reinald berangkat sekolah kembali dengan tekad harus bisa
Si Tangan Sakti 1 Kutukan Jason Kisah Seri Misteri Friday The 13 Karya Eric Morse Si Bayangan Iblis 3
memegangi buket bunganya agar tidak rusak karena guncangan taksi. Andika,
yang sesekali menatapnya lewat kaca spion dalam, jadi tersenyum geli. Sampai
akhirnya mereka tiba ditujuan.
Taksi berhenti di tepi jalan. Namun Ronald tidak bergerak. Tetap duduk di
tempatnya. Hanya menatap lurus-lurus ke seberang jalan, ke satu jalan kecil di
sana, tempat penantian panjangnya yang menguras banyak emosi itu akan
berakhir. Dengan penerimaan atau" penolakan.
Karena Roland tetap juga tidak bergerak, akhirnya Andika turun dari taksi
lebih dulu. Perlahan dibukanya pintu di sebelah Ronald.
"Hai, kawan," tegurnya halus. "sudah sampai."
Ronald mendongak. Dia mengangguk, lalu menarik napas dalam-dalam dan
mengembuskannya kuat-kuat. Dengan hati-hati diulurkannya buket bunga
yang sedari tadi dipeganginya kepada Andika. Tanpa sadar, Andika juga
menerimanya dengan sangat hati-hati. Kemudian Ronald turun dari taksi.
"Rambut gue gimana" Nggak berantakan, kan?" tanyanya cemas.
"Nggak," Andika menggeleng. "Lagian lo malah lebih keren kalo rambut lo
berantakan." "Belakang kaus gue lecek, nggak?"
"Nggak. Gimana bisa lecek kalo duduk lo nggak yandar ke jok" Sibuk
megangin kembang. Tenang aja. Penampilan lo udah oke banget kok. Kalo gue
cewek, gue pasti udah naksir elo!" ucap Andika sungguh-sungguh.
Ronald tertawa lebar tanpa suara. Ditepuknya satu bahu Andika.
"Thanks banget, Dik," ucapnya, dengan ketulusan yang terlihat jelas dalam
suara dan cara menatap sahabatnya itu. Andika jadi terharu.
"It"s okay," Andika tersenyum lebar. Diserahkannya buket bunga itu pada
Ronald, kemudian ganti ditepuknya bahu sahabatnya itu. "Mudah-mudahan
sukses. Gue pengin liat elo bahagia."
Sesaat mereka bertatapan. Kemudian Ronald balik badan dan berjalan
menjauh sambil tersenyum lebar dan melambaikan tangan.
"Good luck!" seru Andika.
Ronald menoleh, kembali tersenyum lebar. Kemudian ia acungkan jempol
kirinya. Andika membalas. Ia acungkan kedua jempolnya. Sambil tersenyum,
terus ditatapnya tubuh Ronald yang menjauh.
Bisa dirasakannya kegugupan sahabatnya itu. Kegelisahannya.
Kecemasannya. Ketakutannya. Seluruhnya memuncak di hari ini, setelah
penantian yang begitu panjang, yang tidak bisa dirasakan Andika, bahwa itu
tidak akan lama lagi. Tidak akan lama". Semua rasa itu telah menghilangkan konsentrasi dan kewaspadaan Ronald
terhadap apa pun di sekelilingnya. Fokus pada tujuan, ia benar-benar
tenggelam dalam semua rasa yang telah mengepungnya begitu lama itu.
Tidak dipedulikannya hal lain. Tidak dirasakannya "sesuatu" datang. Tidak
juga Andika. Yang masih mengiringi Ronald dengan tatapan mata. Tidak
dirasakannya "sesuatu" itu bergerak semakin dekat.
Tidak juga pengemudi sedan itu, yang memanfaatkan kelengangan jalan
dengan langsung menambah kecepatan. Sama sekali tidak diduganya bahwa
seseorang akan muncul begitu saja dari antara mobil-mobil yang terparkir di
pinggir jalan. Seseorang yang sibuk membawa buket bunga besar kemudian
menyeberang tanpa menoleh kiri-kanan.
Dan "sesuatu" itu kemudian melakukan tugasnya. Rem berdecit sia-sia!
Semua bisa mendengar kerasnya bunyi hantaman itu. Logam yang beradu
dengan daging dan tulang. Hanya beberapa detik. Tidak ada yang bisa
dilakukan. Orang-orang hanya bisa tersentak. Terkesima. Menatap dengan
mata terbelalak dan mulut ternganga.
Tubuh itu rebah. Tanpa sedikit pun suara. Darah mengalir. Buket bunga itu
terlepas dari tangan. Terlempar. Menghantam aspal jalan dengan keras. Rebah
dan" patah! Namun satu kuncup tertinggal. Tergenggam erat dalam jemari Ronald.
Mawar putih. Warna tanpa warna, hingga segala macam warna yang
diinginkan bisa diimpikan.
Andika berlari seperti kesetanan. Sesaat sebelum tubuh Ronald
menghantam kerasnya aspal jalan, ia menangkap tubuh itu dan memeluknya
kuat-kuat. Namun sekuat apa pun pelukan, tidak bisa menghalangi kematian.
Andika duduk bersimpuh di tengah jalan, dengan Ronald dalam pelukan.
Sepasang mata yang tadi menatapnya dengan sarat kecemasan namun begitu
hidup dalam nyala semangat dan harapan, kini telah tertutup.
"Sesuatu" itu telah selesai melakukan tugasnya. H.C. Andersen pernah
menyebutkan namanya. Elmaut!
BAB 6 BANGKU itu telah kosong. Sia-sia Andika terus menatap ke ambang pintu. Sahabatnya takkan pernah
datang. Sia-sia dia berusaha menipu diri dengan menganggap realita itu adalah
bagian dari mimpi. Namun di saat ia terjaga, saat mata itu telah terbuka, mimpi
itu tidak berakhir. Di bangkunya, Andika duduk mematung seperti orang yang tak sadarkan diri.
Terjatuh dalam mimpi yang takkan berakhir itu. Mulai hari ini ia akan duduk
sendiri. Ronald sudah pergi, takkan pernah bisa ditemukan walaupun betapa
keras Andika mencari. Tinggal dalam kenangan. Hanya dalam ingatan.
Semua tawa dan pertengkaran. Semua lelucon dan keisengan konyol. Semua
cerita dan rahasia. Semua dukungan dan pengertian. Sampai kesedihan ini
akhirnya hilang. Sampai kekosongan ini berangsur-angsur tersembuhkan.
Andika mengatupkan rahangnya kuat-kuat. Berusaha keras agar sakit dan
sesak di dadanya tidak meledak keluar.
"Gue duduk sini ya, Dik?" Ical tiba-tiba saja sudah berada di samping meja.
Andika mendongak kaget. "Gue duduk sini, ya?" Ical mengulangi
permintaannya. Seketika Andika menolak.
"Nggak. Jangan! Biarin aja ini bangku kosong!"
Sesaat Ical menatap Andika, kemudian kembali ke bangkunya sendiri tanpa
bicara apa-apa lagi. Ia tidak berusaha untuk memaksa. Begitu juga temanteman sekelas yang lain. Mereka biarkan Andika tenggelam dalam
kesedihannya. Karena, meskipun rasa itu juga dialami seisi sekelas, Andika
merasakannya jauh lebih pekat dan lebih dalam. Karena dia dan Ronald sudah
bersama-sama sejak mereka bertemu di tahun pertama SMP dulu.
Menjelang bel pelajaran pertama berbunyi, Andika justru meninggalkan
kelas. Tidak satu pun teman-temannya berusaha menghalangi. Tapi sebelum
pergi ia sempat berpesan. "Gue minta jangan ada yang duduk di bangkunya
Ronald!" ucapnya dingin. Dengan wajah kaku dan kedua rahang mengeras, ia
melangkah keluar kelas, menuju sisa-sisa bangunan lama yang masih berdiri.
Andika kemudian memasuki salah satu ruangan.
Dipandanginya ruangan yang dulu pernah menjadi ruang kelas itu. Kini
ruangan ini kosong, berdebu, lengang, dan ditinggalkan. Tetapi dulu ruangan
ini pasti penuh siswa yang kini sudah bergelar alumni dan entah tersebar di
mana saja. Pasti banyak sekali kenangan di ruangan ini. Milik para alumnus itu. Berapa
banyak dari mereka yang pernah tertangkap menyontek di ruangan ini" Berapa
banyak yang telah kena marah guru" Berapa banyak yang pernah naksir teman
sekelasnya sendiri" Seberapa konyol keisengan-keisengan yang pernah mereka
lakukan" Seberapa riuh dan ingar-bingar keributan yang pernah mereka
ciptakan" Dan kenangan yang ditinggalkan Ronald di ruangan ini adalah hari pertama
ketika anak itu terpaksa harus membawa bekal makanan ke sekolah. Lontong
dan bakwan udang. Yang dikeluarkannya dari dalam tas pinggang sambil
berpromosi, bahwa judulnya memang "bakwan", makanan rakyat, tapi rasa
dan kualitasnya standar hotel berbintang.
Jadi, meskipun mereka berdua tidak bisa jajan di kantin dan terpaksa
kembali ke zaman TK -membawa bekal dari rumah- itu sama sekali bukan
kondisi yang tragis atau mengenaskan.
Ada sebentuk senyum muncul di mata sedih Andika yang menerawang.
Namun kenangan-kenangan itu kemudian membuatnya tidak sanggup lagi
menahan kepedihan. Karena tak mungkin berteriak, akhirnya Andika
melepaskan rasa sesaknya dengan meninju dinding, kemudian menendang
keras-keras meja-kursi rusak yang ditumpuk di salah satu sisi ruang.
Tendangan itu menyebabkan kursi yang ditumpuk paling atas jatuh
berdebam. Salah satu kaki kursi yang sudah rusak seketika patah. Andika
meraih kusri itu dan mematahkan ketiga kakinya yang lain. Dibantingnya
patahan-patahan kaki kursi itu kuat-kuat ke lantai.
Cowok itu mengamuk diluar kesadaran, dan baru berhenti setelah benarbenar lelah dan kedua kaki-tangannya terasa sakit. Tubuhnya kemudian
meluruh lunglai. Jatuh terduduk di lantai. Sama sekali tidak peduli dengan
tebalnya debu dan kotoran.
Ke mana perginya orang-orang yang sudah meninggal" desis hatinya perih.
Tanya yang tanpa jawab. Atau bisa jadi justru punya begitu banyak jawaban.
Hingga akhirnya percuma saja ditanyakan. Karena hanya akan membingungkan
hingga akhirnya berujung dengan "lagi-lagi" tanpa jawaban.
Kepala Andika tertunduk dalam. Susah payah ia menelan ludah. Tangis yang
mati-matian ditahan membuat tenggorokannya sakit. Dengan letih ia
menyandarkan tubuh dan kepalanya ke dinding. Perlahan kedua matanya
terpejam. Dalam kegelapan, ia paksakan hatinya untuk berhenti bertanya ke mana
perginya orang-orang yang sudah meninggal. Namun gagal, karena sederet
pertanyaan baru kemudian justru bermunculan.
Tidakkah mereka, orang-orang yang sudah "pergi" itu, juga merasakan
kepedihan yang sama" Apakah meraka juga tetap mengingat dan menyimpan
semua kenangan" Senyum terakhir orang-orang yang mereka tinggalkan.
Pelukan terakhir. Tawa terakhir. Percakapan, pertengkaran, kemarahan,
kesedihan. Canda dan tangis.
Apakah mereka juga berusaha menembus bagian yang terputus itu"
Berusaha menggapai kembali orang-orang yang mereka cinta. Berusaha bicara.
Sama seperti orang-orang yang masih hidup, yang mereka tinggalkan,
berusaha terus "mencari" dan "menghidupkan kembali" mereka yang telah
pergi. Dengan segala cara.
Pertanyaan-pertanyaan tak terjawab lainnya, yang luruh bersama air mata,
akhirnya membuat Andika jatuh tertidur.
Cowok itu baru muncul kembali di kelas setelah jam istirahat pertama
berakhir. Melihat kedua matanya yang agak memerah dan baju seragamnya
yang kotor, tidak satu pun teman sekelasnya sampai hati untuk bertanya.
Begitu juga para guru, ketika mereka mendapati Andika lebih banyak
melamun daripada menyimak pelajaran. Beberapa guru menegurnya dengan
lembut. Beberapa membiarkan. Mereka memahami.
Tanya yang sama juga menekan dada Reinald sebelum Ronald dimakamkan.
Ketika tubuh sang kakak yang terbujur kaku dan diam dalam peti mati itu
masih bisa ditatapnya. Masih bisa disentuh dan diraba. Ketika dirinya sudah
letih menangis. Ketika telah terhenti semua histeria dan reaksi gila. Pertanyaan
itu pun muncul. Ke mana perginya jiwa-jiwa yang lepas dari badan"
Satu tanya tanpa jawaban.
**** Kematian Ronlad diumumkan pihak sekolah Reinald dengan pengeras suara.
Namun karena baru satu hari bersama-sama dalam satu kelas, belum begitu
saling kenal, hanya segelintir teman sekelas Reinald yang datang melayat.
Citra tidak datang. Sempat timbul kemarahan dalam hati Reinald saat
sampai malam menjelang larut, cewek itu tidak juga kelihatan. Bahkan
keesokan harinya, saat Ronald dimakamkan, Citra tetap tidak datang.
"Dia yang matiin kakak gue, dan dia nggak dateng!" desisnya berang.
"Kurang ajar tu cewek!"
Andika, yang duduk di sebelahnya, menepuk bahu Reinald pelan.
"Citra nggak kenal Ronald," bisiknya. "Jadi lo nggak bisa nyalahin dia."
"Katanya waktu itu udah sempet kenalan?"
"Udah lama banget. Gue nggak yakin Citra masih inget."
Dua hari kemudian, ketika Reinald kembali masuk sekolah, teman-teman
sekelas yang tidak datang melayat satu per satu mendatangi Reinald untuk
mengucapkan belasungkawa. Ketika Citra mendatanginya, tanpa sadar raut
wajah Reinald mengeras. Ia masih marah karena cewek itu tidak datang untuk
melihat Ronald terakhir kali, sebelum tubuhnya disatukan dengan bumi.
Citra, yang bisa melihat kemarahan Reinald dengan jelas, dengan rasa
bersalah menerangkan penyebab dirinya tidak datang.
"Maaf, bukannya gue nggak mau dateng. Tapi temen-temen yang gue
tanyain pada nggak tau alamat rumah lo. Gue telepon HP lo berkali-kali, tapi
nggak aktif." Amarah Reinald sedikit meluruh. Malas berkali-kali menjawab pertanyaan
seputar kematian Ronald, Reinald mematikan ponselnya, bahkan sampai pagi
ini. "Nanti pulang sekolah lo ke rumah gue ya. Mau, ya?" tanyanya. Reinald
buru-buru menyambung kalimatnya melihat Citra ragu. "Sebentaaar aja. Nanti
pulangnya gue anter."
Citra tidak sampai hati menolak. Meskipun dalam hati dia bingung, kenapa
hanya dirinya yang diminta Reinald untuk ke rumahnya. Sementara temanteman sekelas yang lain tidak.
Sepanjang perjalan, keheningan mendominasi di dalam taksi. Citra merasa
canggung, juga bingung. Sementara Reinald tenggelam dalam pikirannya
sendiri. Ia tidak lupa dengan cewek yang duduk di sebelahnya. Hanya sama
sekali tidak ingin mengajaknya bicara.
Ronald tewas di jalan raya gara-gara cewek satu ini. Semua orang bilang itu
takdir yang tragis. Tapi bagi Reinald, itu sama sekali bukan tragis. Tapi konyol!
Sia-sia! Karena rumahnya masih agak rame dengan kedatangan saudara dan para
tetangga, Reinald membawa Citra ke teras samping.
"Mau minum apa?" tanyanya. Nada suaranya tetap dingin.
"Apa aja. Nggak usah juga nggak apa-apa," jawab Citra pelan. Reinald
berjalan ke dalam. Tak lama ia muncul dengan segelas sirop dingin dan sebuah
foto berbingkai. "Ini kakak gue, yang meninggal dua hari lalu." Reinald mengulurkan foto
Ronald. Citra menerimanya, lagi-lagi dengan bingung.
"Kejadiannya ternyata di jalan raya di depan gang rumah gue," ucap Citra
pelan. "Gue sama sekali nggak nyangka kalo itu kakak lo. Tetangga-tetangga
gue sih banyak yang keluar, ke jalan. Tapi gue nggak berani."
"Dia meninggal di tempat kejadian," ucap Reinald dengan nada yang tibatiba jadi getas. Rasa ingin menyalahkan Citra atas peristiwa itu kembali muncul.
Citra jadi bingung harus bagaimana. Akhirnya ia menunduk, memperhatikan
foto Ronald. Melihat itu, kemarahan Reinald menguap. Berganti dengan rasa
penasaran. Dengan tatap tajam, diperhatikannya wajah tertunduk Citra.
"Kakak lo nggak mirip elo, Ren," ucap Citra sambil mengembalikan foto itu
dengan gerakan terburu-buru. Bukan apa-apa. Bulu kuduknya merinding.
Kakak Reinald itu, dari fotonya jelas orangnya asyik banget. Kayaknya kocak
dan suka iseng. Matanya bandel. Tapi dia sudah meninggal"
Lagi pula gue nggak kenal, Citra berkata dalam hati.
Reinald menerima foto Ronald yang diulurkan Citra. Perasaannya campur
aduk mendapati kenyataan bahwa ternyata Citra memang tidak mengenal
Ronald. "Dia mirip adik gue, Raina. Di antara kami bertiga, cuma gue yang mukanya
beda." "Oooh." Citra mengangguk-angguk. Kemudian dengan perasaan tidak enak,
ia mohon diri. "Mmm" gue pamit ya, Ren. Nggak apa-apa, nggak usah dianter.
Gue bisa pulang sendiri."
Reinald menggeleng tegas.
"Tadi gue udah janji mau nganter lo pulang, kan" Bentar gue ganti baju
dulu." Begitu Reinald menghilang ke dalam, Citra menarik napas panjang. Di luar
suasana duka di rumah ini, dia merasa ada suasana yang lain. Yang aneh. Yang
beda. Tak lama Reinald kembali, sudah berganti dengan T-shirt dan celana jins.
Namun bukan itu yang membuat Citra semakin merasakan adanya suasana
yang aneh itu. Melainkan buket bunga ditangan Reinald, juga ekspresi
mukanya yang kelam. Reinald meletakan buket bunga yang sudah mulai layu itu di meja, persis di
depan Citra. Dengan bingung Citra menatapnya. Yang pasti, buket bunga itu
tadinya bagus. Kemudian mungkin membentur atau terbentur sesuatu, atau
jatuh, karena beberapa tangkainya patah dan berusaha ditegakkan kembali
dengan selotip. Sesaat Reinald menatap Citra tanpa bicara. Sorot matanya yang pekat
dengan kesedihan membuat Citra tak tega bertanya.
Dia Tanpa Aku Karya Esti Kinasih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Gue minta, mohon malah, please banget, Cit, tolong lo terima buket bunga
itu. Dan jangan tanya apa-apa. Nanti kalo gue udah siap, gue akan cerita," ucap
Reinald lirih. Citra mengangguk. Reinald terlihat lega."Yuk, gue anter pulang."
Keduanya kembali menempuh perjalan yang dibalut keheningan total. Untuk
Reinald, perjalanan kalu ini membuatnya emosional. Pergi ke tempat saat-saat
terakhir hidup Ronald. Dan Reinald benar-benar tidak sanggup meneruskan.
Menjelang taksi berbelok ke ruas jalan tempat Ronald tewas terkapar, cowok
itu minta taksi berhenti. Dadanya sakit, dia tidak sanggup lagi menahan.
"Stop di sini sebentar, Pak!" suaranya bergetar. "Gue turun di sini, Cit.
Berani kan, sendirian" Udah deket kok."
Belum sempat Citra menjawab, Reinald sudah membuka pintu di
sebelahnya. Setelah meletakan beberapa lembar uang sebesar jumlah argo
berikut tip di kursi depan yang kosong, cowok itu segera turun.
"Lho, kok" Ren?" kalimat Citra tidak sempat selesai, karena Reinald sudah
menutup pintu dan berjalan pergi tanpa menoleh lagi. Citra menatap
kepergian cowok itu dengan kening berkerut, kemudian membuat sopir taksi
melanjutkan perjalanan. Di sisa perjalanan yang tinggal sepuluh menit itu, Citra
tepekur menatap buket bunga cacat dipangkuanya. Bingung. Tidak mengerti.
**** Malamnya Reinald menelpon Andika.
"Gue tunjukin foto Ronald ke Citra tadi sore."
"Trus?" "Kayaknya dia nggak inget pernah kenalan."
"Ya wajarlah. Cuma satu kali mereka pernah sama-sama. Udah lama banget
pula." "Tapi gue nggak rela. Dia harus tau!"
Di seberang, Andika menghela napas.
"Trus kalo dia udah tau, lo mau apa" Biar dia merasa bersalah, gitu" Padahal
dia sama sekali nggak salah."
Reinald terdiam. "Pokoknya dia harus tau!" ucapnya kemudian. Final!
***** Ketika kemudian diawasinya Citra tanpa kentara namun dengan kesiagaan
setara sipir penjara, Reinald sadar, ini kemarahan"tidak terima dan keinginan
untuk menyalahkan cewek itu atas kematian kakaknya.
Citra harus mengenal Ronald. Tidak bisa tidak! Harus!!!
Andika berusaha memberikan pengertian bahwa itu sama sekali bukan
kesalahan Citra. Sedikit pun cewek itu tidak bersalah. Tidak ada yang bisa
disalahkan atas peristiwa tragis itu. Bahkan pengemudi sedan itu pun tidak
bersalah. Namun Reinald tidak mau mendengar. Pembicaraan mereka kemudian
berubah menjadi tarik urat sengit.
"Si Citra itu nggak kenal Ronald, Ren!"
"Ronald sering nongkrongin SMP-nya, kan" Masa tu cewek masih nggak
kenal juga" Nggak mungkin! Pasti dia cuma lupa!"
"Ronald nongkrongnya di luar, bukan di dalem sekolahkan!"
"Mau di luar atau di dalem, Ronald itu bukan laler. Dia orang, manusia. Jadi,
nggak mungkin kalo nggak keliatan!"
"Elo tau" Di depan sekolahnya Citra itu ada taman. Banyak orang dagang di
situ. Jadi banyak orang nongkrong tiap hari. Mana mungkin tuh cewek
merhatiin?" "Jumlah orang yang nongkrong di taman itu sebanyak jumlah orang yang lagi
demo, nggak" Atau sebanyak suporter persija yang baru pulang nonton bola?"
Reinald tetap ngotot. "Si Citra itu nggak bisa disalahin, Ren!" bentak Andika, mulai putus ada
menghadapi kekeraskepalaan Reinald.
"Dia salah!" Reinald balas membentak. "Meskipun nggak sadar, nggak
sengaja, dia salah!" tandasnya. "Udah deh. Nggak usah ikut campur. Yang
meninggal bukan kakak lo!"
"Apa lo bilang!?" Andika berang. Tapi tak lama kemudian, suara Andika
melunak. Ia sadar saat ini Reinald sedang labil.
"Ren, denger ya" Gue sebangku sama kakak lo udah hampir enam taun! Dari
hari pertama kami masuk SMP. Lo sekarang sekamar sendirian. Gue semeja
sendirian. Biasa ada orang yang lo ajak berantem. Gue juga begitu. Biasanya
ada kepala yang bisa gue jitakin begitu sampe sekolah. Sekarang nggak ada
lagi." Kemudian, tanpa sadar Andika jadi emosional. Suaranya mulai bergetar.
"Kalo gue lagi bete di kelas, pengin cabut, biasanya ada orang yang matimatian ngotot ke guru. Bilang kalo gue sebenernya lagi sakit parah, dam
menurut petunjuk dokter, meskipun di sekolah kudu tetep sering-sering
istirahat. Lebih sering istirahat lebih bagus. Ada orang yang mati-matian
belagak nggak tau di mana gue nongkrong kalo lagi cabut. Sekarang tu orang
sudah nggak ada lagi, Ren. Jadi bukan cuma elo yang sedih. Gue juga sedih.
Gue juga ngerasa ditinggal. Malah gue ngerasa bersalah, karena gue yang
ngedukung perburuan kakak lo. Ngikutin setiap perkembangannya. Dengerin
semua ceritanya." Rentetan kalimat panjang Andika itu tanpa sadar telah membuat Reinald
terbungkam. Saat Andika menarik napas. Panjang dan dalam. Kemudian ia
melanjutkan dengan nada berat"
"Balik ke masalah Citra. Oke kalo lo tetep ngotot, mau dia tau soal kelak lo.
Tapi nggak perlu sampe dia harus tau semuanya," sesaat Andika terdiam.
"Kasian." **** Setelah pembicaraan dengan Andika lewat telepon itu, Reinald duduk tepekur
di depan meja belajar Ronald. Dipandanginya secarik kertas yang ditempelkan
Ronald berbulan-bulan yang lalu di dinding di depannya.
Di kertas itu, bersebelahan dengan kertas berisi ke-16 formula tense bahasa
Inggris, semua data tentang Citra tertulis lengkap.
Tempat tinggal lahir, golongan darah, alamat rumah, hobi, warna favorit,
pelajaran favorit, makanan dan minuman favorit, acara teve favorit, lagu dan
group band favorit, sampai binatang peliharaan favorit. Paragraf-paragraf
seterusnya berisi tentang data-data Citra yang lebih spesifik lagi. Uraian
karakternya panjang dan rinci. Usil, jail, periang, gampang ketawa, bawel, dstdst.
Uraian fisik Citra juga tercatat lengkap. Tinggi badan sedang, kulit langsat,
rambut hitam agak bergelombang. Punya poni. Mata bulat, bola matanya
berwarna cokelat tua. Kalau ketawa sepasang mata itu berbinar-binar dan
membentuk sudut yang memperlihatkan dengan jelas karakter usil dan iseng
pemiliknya. Dst-dst. Reinald kemudian menarik salah satu laci meja, tempat Ronald menyimpan
setumpuk foto Citra yang di-shoot dari kejauhan. Karena sasaran bidik tidak
menyadari, seluruh pose cewek itu terlihat natural. Alami.
Reinald menutup kembali laci itu dengan empasan keras. Kedua rahangnya
mengatup rapat. Kesepuluh jarinya bertaut kuat.
Kedua mata Reinald meredup. Kembali ditatapnya tulisan tangan Ronald
tentang Citra. Perlahan kelopak matanya menutup. Beberapa saat ia tetap
dalam posisi itu. Duduk diam dengan kedua mata terpejam dan rahang
terkatup. Dadanya turun-naik dengan cepat.
Sudahlah! Sudahlah! SUDAHLAH!!! Itu takdir! Nasib! Garis hidup! Suratan! Dan hak Tuhan, yang sama sekali
tidak boleh dipertanyakan!
Ada begitu banyak kata untuk peristiwa itu. Untuk cara Ronald
meninggalkan keluarga dan semua temannya. Namun tetap, kemarahan
Reinald tidak berkurang. Tidak bisa keluar! Tidak bisa hilang! Tidak bisa dilupakan! Kemarahan ini"
tidak bisa dienyahkan!!! Tidak ada cara lain. Satu-satunya cara, Citra harus menerima kemarahan ini.
Mau cewek itu tidak mengerti atau bahkan tidak tahu, Reinald tidak peduli!
Mata Reinald terbuka mendadak. Cowok itu menarik napas dan
mengembuskannya kuat-kuat. Setelah mengambil keputusan itu, hatinya
langsung terasa lega. Seakan telah mendapatkan legitimasi untuk
memperlakukan Citra sepeti keinginannya.
***** Keesokan paginya, untuk pertama kalinya sejak kematian Ronald, Reinald
berangkat ke sekolah dengan perasaan ringan karena ada seseorang yang bisa
dijadikannya sebagai sasaran untuk melampiaskan semua kesesakan.
Cowok itu sama sekali tidak menyadari bahwa tindakannya menyalahkan
Citra dan mengharuskan cewek itu "mempertanggung jawabkan
perbuatannya" sebenarnya adalah caranya untuk menyembuhkan dirinya
sendiri. Karena Reinald sebenarnya membutuhkan sandaran untuk mengatasi
rasa kehilangan itu. Sesuatu atau seseorang, yang akan mengingatkannya pada
sang kakak. Atau bahkan bagian dari sang kakak.
Dan Citra memenuhi keduanya.
Begitu sampai kelas, Reinald langsung menghampiri Citra dan duduk di
depannya. "Lo tau nggak kalo kakak gue itu satu-satunya saudara cowok yang gue
punya!?" tanyanya, dengan intonasi yang langsung terasa getas.
"Mmm". iya," Citra menjawab dengan jeda cukup lama. "Lo udah pernah
cerita, waktu gue ke rumah lo itu."
"Bagus kalo udah tau," tandas Reinald. Kemudian cowok itu berdiri dan
pergi begitu saja. Meninggalkan Citra terbengong-bengong sendirian.
Namun cewek itu segera memaklumi. Reinald baru saja kehilangan
kakaknya. Jadi kesimpulan Citra untuk keanehan Reinald tadi" tu cowok masih
sedih. Besoknya terjadi lagi. Begitu datang, Reinald langsung menghampiri Citra
dan menjulangkan tubuh di depannya.
"Buket bunga yang waktu itu gue kasih, masih lo simpen?" tanyanya, dengan
intonasi suara persis seperti kemarin. Getas. Tajam.
Sambil mengerut kening, Citra mengangguk. "Masih."
"Bagus! Awas kalo sampe gue denger lo berani buang tu buket bunga!"
Setelah melontarkan ancaman itu, Reinald langsung pergi. Kerutan di kening
Citra semakin rapat. Dengan bingung terus dipandanginya Reinald sampai
cowok itu duduk di bangkunya. Citra memang masih menyimpan buket bunga
itu, walaupun sekarang sudah layu dan mengering, hanya karena satu alasan:
aneh! Dan hari ini keanehan itu terbukti. Sudah lebih dari seminggu yang lalu ia
terima buket bunga itu, sekarang ia ditanya buket bunga itu masih ada atau
nggak. Aneh banget, kan"
Kesimpulan Citra atas keanehan Reinald di hari kedua ini: pasti tu cowok
nggak sempet sarapan dan sekarang udah terlalu mepet buat turun ke kantin.
Jadi sekarang si Reinald itu lagi kelaperan, makanya jadi emosi membabi buta
gitu. Besoknya, Reinald baru menghampiri Citra saat istirahat kedua, karena baru
saat itulah Citra benar-benar sedang sendirian. Begitu melihat Reinald datang
menghampiri dengan ekspresi dingin, Citra langsung tahu bakalan mendapat
pertanyaan aneh lagi. "Kalo lo diperhatiin orang, meskipun diem-diem, meskipun tu orang berbaur
diantara kerumunan, kira-kira lo akan merasa, nggak?"
Bener, kan" Citra lansung kesal.
"Ng" nggak deh kayaknya." pertanyaan itu juga dijawabnya dengan sopan,
meskipun sambil menahan dongkol.
"Kalo tu orang merhatiinya hampir setiap hari?" kejar Reinald.
"Ooh, kalo tiap hari sih pasti akan terasa, lah. Meskipun sedikit."
"Pasti terasa, ya" Meskipun sedikit." Reinald menegaskan jawaban Citra.
"Oke!" ia mengangguk. Lalu seperti kemarin-kemarin, ia pergi begitu saja.
Karena kelas mereka baru saja belajar matematika selama empat jam
pelajaran, full tanpa jeda, dicekoki rumus-rumus dan angka-angka, Citra
mengambil keputusan bahwa" Reinald mabok! Dan itu juga berarti, tu cowok
IQnya dibawah rata-rata alias kurang cerdas. Karena baru belajar matematika 2
x 45 menit aja langsung ngaco.
Besoknya Reinald kembali mendatangi Citra. Dengan pertanyaan aneh yang
lain lagi. Begitu juga besoknya dan besoknya. Sampai pada akhirnya, hari ini,
Citra kehabisan stok kesabarannya. Pertanyaan Reinald dinilainya sudah
kelewatan. Bukan cuma makin aneh, tapi juga mulai menganggu banget.
"Lo udah punya cowok?" Reinald mengajukan pertanyaan yang sangat
sensitif itu, tetap dengan tampang dingin.
"Hah!?" Citra ternganga. Mata bulatnya yang memandang Reinald terbelalak
maksimal. "Belom," jawabnya kemudian dengan polos, saking kagetnya.
"Bagus!" Reinald mengangguk puas. "Lo jangan punya cowok dulu ya.
Daripada ntar tu cowok gue gamparin!"
Kemudian seperti biasa, Reinald pergi begitu saja. Citra mengikuti
kepergiannya dengan mata yang perlahan mulai menyipit. Marah!
Begitu sampai di rumah, Citra buru-buru ganti baju kemudian makan siang.
Selesai makan siang, cewek itu mengurung diri di kamar. Mamanya
memperhatikan keanehan anaknya itu dengan heran, namun memilih untuk
tidak mengusik, karena biasanya nanti Citra akan bercerita dengan sendirinya.
Di kamarnya, Citra tidur telentang di tempat tidur. Kedua matanya
menerawang menatap langit-langit. Ia sibuk berpikir bagaimana cara
membalas keanehan Reinald.
Ia sama sekali tidak tertarik memikirkan penyebab keanehan cowok itu.
Jangan-jangan memang Reinald orangnya aneh. Kalaupun tadinya bukan orang
aneh terus sekarang jadi aneh, itu sama sekali bukan urusannya.
Karena tidak juga menemukan ide, akhirnya Citra menemui mamanya dan
menceritakan masalah yang sedang dihadapinya.
"Yah, dia masih sedih mungkin. Kakaknya kan baru meninggal."
"Trus apa hubungannya sama aku?"
"Mama juga bingung. Kamu tanya dia dong. Tapi tanyanya pelan-pelan. Baikbaik. Kalo perlu kamu ajak makan. Trakir dia di mana, gitu."
"Iiiih, rugi banget! Mama kok tumben sih sarannya nggak oke banget?"
"Lho, nggak oke gimana" Justru karena kamu nggak tau masalahnya,
makanya kamu tanya dia baik-baik. Perlakukan dia baik-baik juga. Siapa tau
kamu nggak sengaja udah bikin salah sama dia. Bisa aja, kan?"
"Aku salah apa sama dia, Ma" Jadi temen selekas juga belom ada sebulan."
"Makanya tanya baik-naik. Ngeyel! Nggak ada ruginya ngalah sedikit.
Lagipula pasti ada alasan kuat kenapa dia, siapa namanya tadi" Reinald" Aneh
begitu." Citra terdiam. Tapi tampak jelas ia tidak setuju saran mamanya itu. Kalau
harus menanyakan akar permasalahannya ke Reinald, ia setuju. Tapi sambil
nraktir" No way! Bisa nahan diri untuk nggak menganiaya tu cowok aja udah
bagus banget. Besoknya Citra bersiap-siap menunggu kedatangan Reinald. Cewek itu
duduk di bangkunya tegak-tegak. Sebelum Reinald sempat marah-marah nanti,
ia akan marah-marah duluan.
Enak aja, tiap hari dapet omelan. Salahnya apa nggak dikasih tau. Apalagi
masalahnya. Gelap! Kalo abis diomelin trus ditraktir atau dikasih duit sih nggak
apa-apa, gerutu Citra dalam hati.
Citra tidak perlu menunggu terlalu lama. Dua menit kemudian Reinald
muncul di ambang pintu kelas. Citra langsung bersiap-siap. Namun ternyata
Reinald langsung melangkah ke bangkunya sendiri. Jangankan menghampiri
Citra, menoleh ke arah cewek itu pun tidak.
Lho" Citra menatap heran. Bingung terhadap ketidakbiasaan Reinald itu.
Tapi ia tetap menunggunya. Paling-paling nanti jam istirahat pertama atau
kedua. Citra menunggu penuh keyakinan.
Tapi ternyata Reinald tetap tidak menemuinya. Sampai bel pulang berbunyi,
Citra masih menunggu, masih belum kehilangan semangat untuk ganti marahmarah. Tapi kemudian dilihatnya Reinald berjalan ke luar kelas bersama
cowok-cowok yang duduk di deretan bangku paling belakang. Lagi-lagi tanpa
menoleh sedikit pun. Kurang ajar! desis Citra berang. Giliran gue siap perang, dia malah mundur!
Sebenarnya Reinald bukan mundur. Ia hanya kehabisan stok intimidasi.
Lagipula yang terpenting baginya adalah Citra nggak punya cowok. Jangan
sampai punya cowok. Jadi, selama dilihatnya cewek itu masih sendirian, Reinald memutuskan tidak
perlu marah-marah atau bersikap galak setiap hari.
BAB 7 BESOKNYA, Citra menunggu kedatangan Reinald dengan sengaja duduk di
bangku cowok itu, di barisan kedua belakang. Dengan begitu tu cowok nggak
bisa cuek pagi. Enak banget dia, pas mau dilabrak balik malah pura-pura cuek.
Curang banget! Ketika muncul, Reinald kaget banget mendapati bangkunya sudah
berpenghuni. Ia surprise begitu tahu siapa tang sedang menghuni bangkunya
itu. Dengan langkah cepat dan kening berkerut, dihampirinya Citra. Sementara
Citra segera bersiap-siap begitu dilihatnya Reinald muncul di ambang pintu,
Dia Tanpa Aku Karya Esti Kinasih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dan langsung menyambut cowok itu dengan kata-kata ketus.
"Kemaren kenapa lo nggak marah-marah" Lupa" Apa udah bosen?"
"Itu pertanyaan buat gue?" tanya Reinald, kembali merasa surprise. Soalnya
sampai terakhir kali ia marah-marah dua hari lalu, reaksi Citra cuma bingung
atau diam. Kalaupun mengeluarkan suara, pilihan kata dan intonasi suaranya
begitu hati-hati. "Iya, elo! Orang yang sekarang bangkunya lagi gue dudukin!" jawab Citra.
Semua rasa yang ditahannya selama berhari-hari muncul sekaligus. Marah,
kesal, dongkol, heran. Terlihat jelas dari ekspresi muka dan cara kedua
matanya menatap Reinald. Namun Citra juga berusaha agar tidak satu pun
teman sekelasnya menyadari pertengkaran mereka. Ia segera mengubah air
muka dan memunculkan senyum manis instan tiap kali seseorang mendekat
atau melewati mereka berdua.
"Berdiri cepet! Pindah ke bangku lo sendiri sana!" perintah Reinald.
Citra jadi tambah marah. "Nggak mau. Gue mau duduk di sini!" jawabnya.
Sesaat Reinald tercengang dengan jawaban kasar dan ketus itu.
"Gitu ya" oke, nggak masalah," ucap Reinald enteng. Cowok itu lalu sedikit
membungkukkan sedikit tubuhnya, melongok laci meja Roni. Dilihatnya teman
sebangkunya itu udah datang karena tasnya ada. Reinald lalu mengeluarkan
ponsel dari saku celana. "Ron, kayaknya lo harus pindah. Soalnya ada yang pengin semeja sama gue."
Tidak berapa lama Roni datang. Melangkah masuk kelas dengan ekspresi
kesal. "Siapa yang mau duduk di bangku gue!?" tanyanya.
"Gue. Soalnya bangku gue ada yang nempatin," jawab Reinald.
"Siapa?" "Tuh." Reinald menunjuk Citra dengan dagu.
"Elo, Cit?" kekesalan Roni seketika menghilang. Ditatapnya Citra yang
terbingung-bingung dengan mata melebar dan alis terangkat tinggi.
"Iya, dia!" Reinald yang menjawab.
"Serius lo mau duduk di belakang" Di sini nggak ada cewek lho."
"Serius!" lagi-lagi Reinald yang menjawab. "Udah dari tadi dia duduk di
bangku gue. Gue suruh pergi, nggak mau. Terpaksa gue duduk di bangku lo,
Ron. Dan elo"," Reinald tersenyum, "terpaksa duduk sama cewek-cewek." Ia
menunjuk tempat duduk Citra, di baris kedua dari depan, dengan pandangan
mata. Selain baris terdepan, baris kedua juga dihindari para cowok.
Roni sudah akan menolak mentah-mentah, tapi kemudian tatapan Reinald
membuatnya ingat akan sesuatu. Sesuatu yang beberapa kali dibicarakan
dengan Reinald, yang awalnya rahasia tapi kemudian Roni mengatakannya
terus terang. Sesuatu yang ditahannya mati-matian, bingung akan terus maju
atau tidak, dalam tanda tanya besar akan kemungkinan sang topik
pembicaraan masih sendirian atau sudah"
Ya, Roni naksir Loni, teman semeja Citra!
"Oke!" Roni langsung menyetujui pertukaran bangku itu. Mukanya
mendadak sumringah. Berseri-seri. Gila, ini dream come true banget!
"Sekarang kan pindahnya?" tanyanya penuh semangat, sambil menarik keluar
ranselnya dari laci meja.
"Iya, sekarang," Reinald menjawab sambil tersenyum geli. "Sekalian bawain
ke sini tasnya Citra, ya."
"Oke!" Roni melangkah menuju bangku barunya dengan girang. Sementara
Citra mengikuti renteten kejadian itu dengan agak-agak nggak sadar. Soalnya
ini benar-benar di luar dugaannya. Begitu juga Loni. Cewek itu kaget banget
karena mendadak sebangku sama cowok, yang datang dengan wajah bahagia
pula. "Elo yang dateng ke sini ya, Cit. Bukan gue yang ngundang, apalagi ngajak.
Jadi kalo lo ntar kenapa-kenapa, gue nggak tanggung jawab."
Peringatan pertama itu diucapkan Reinald dengan tenang. Cowok itu
memasukkan ranselnya ke laci kemudian duduk di sebelah Citra, di bangku
Roni yang baru ditinggalkan pemilik sahnya. Citra jadi mengernyitkan kening
mendengar itu. "Kenapa-kenapa gimana maksudnya?"
"Di belakang sini nggak ada cewek. Semua cewek ngumpulnya di barisan
tengah sama depan. Jadi kalo ntar lo digodain, diisengin, dijailin, jangan
ngambek apalagi nangis, ya" Gue paling males sama cewek-cewek kayak gitu."
Mulai terlihat keragu-raguan di muka Citra.
"Jadi gue kasih tau dari sekarang. Jangan dikira kalo lo duduk di tempat gue,
trus gue bakalan peduli atau harus peduli kalo lo kenapa-kenapa!" tandas
Reinald. Wah, kayaknya gawat nih! desis Citra dalam hati.
"Cit, lo duduk di belakang sekarang?" tanya Loni. Kedua matanya menatap
Citra lebar-lebar. "Iiih. Di situ kan serem. Isinya perampok sama penyamun
doang." Kalimat Loni itu membuat Citra menoleh ke Reinald. Cowok itu mengangkat
kedua alisnya tinggi-tinggi. Tersenyum tipis tapi penuh kemenangan.
"Cit, bener sekarang lo duduk di belakang?" tanya Loni lagi. "Kok nggak
bilang-bilang sih" Jadi kita udah nggak sebangku lagi nih?" Ada nada kesal
dalam suaranya. Juga sedih dan tersinggung.
Citra sudah akan bangkit berdiri dan kembali ke bangkunya, tapi Reinald
menangkap pergelangan tangannya dan menahan geraknya. Peristiwa itu tidak
terlihat oleh Loni dan Roni karena terhalang meja.
"Lo yang dateng ke sini, kan?" Reinald berbisik tajam. "Jangan pergi
seenaknya!" Citra menoleh dan tertegun. Wajah Reinald" Ia melihat kemarahan di sana.
Kemarahan dan kebencian. Dan genggaman tangan cowok itu di pergelangan
tangannya benar-benar kuat hingga terasa menyakitan.
"Jangan seenaknya!" sekali lagi Reinald mendesis tajam, tatapannya
menghunjam lurus ke kedua bola mata Citra. Tapi saat ia menoleh ke Loni,
semua ekspresi itu lenyap. Berganti senyum dan wajah ramah.
"Iya, Lon. Sekarang Citra duduk sama gue. Biar ada cewek di belakang sini.
Jadi nggak garing-garing amat. Roni duduk sama elo. Biar di situ juga nggak
garing-garing amat. Ada cowok kerennya gitu."
Cowok keren" Loni langsung menoleh ke cowok di sebelahnya. Seketika Roni
menampilkan senyum yang -menurut cowok itu- paling manis. Juga ekspresi
muka yang menurutnya paling ganteng dan paling charming.
"Ron, mana tas Citra" Bara ke sini dong. Kok jadi lupa sih?" tanya Reinald.
"Oh, iya!" Roni menepuk kening. "Iya nih, jadi lupa!" Dikeluarkannya tas
Citra, yang terdesak oleh ranselnya, dari dalam laci. Kemudian Roni
menghampiri Reinald dan Citra dengan seringai malu dibibirnya. "Iya, sori lupa.
Soalnya gue lagi bahagia banget. Tengkyu ya, Cit." Ia menyerahkan tas itu
kepada pemiliknya. Lalu buru-buru kembali ke tempat duduk barunya.
Citra memerhatikan tingkah Roni dengan bingung. Ia menoleh ke Reinald
dengan pandang bertanya. "Roni udah naksir Loni dari MOS kemaren," ucap Reinald tak acuh.
"Oh!" Citra tercengang.
***** Dua deret bangku paling belakang itu isinya memang cowok doang. Dan cowok
deret belakang yang pertama kali menyadari ada member baru, cewek pula,
adalah Ian. Dari Ian-lah Citra menerima ucapan selamat datang yang pertama,
dalam bentuk ungkapan keheranan.
"Eh, ada Citra" Sekarang lo duduk di belakang, Cit" Kereeen! Ini baru cewek
pemberani!" Ucapan selamat datang dengan intonasi keheranan yang persis sama
bertubi-tubi di terima Citra lima menit menjelang bel masuk. "Eh, ada Citra" Lo
sekarang duduk di sini, Cit?" ucap para cowok itu sambil menuju bangku
masing-masing. Tapi ucapan welcome dari Derry agak mengundang kecemasan. "Eh, ada
Citra" Lo duduk di belakang sekarang, Cit" Asyiiik, sekarang di belakang ada
ceweknya!" Citra menatap muka sumringah Derry. Kenapa ya, tu cowok seneng banget
gitu" batinnya bingung. Dan seharian itu Citra jadi bahan godaan cowok-cowok
deret belakang. Sampai sejauh ini godaan-godaan itu bentuknya masih verbal
dan dilakukan saat pergantian jam pelajaran. Bentuk godaan verbalnya juga
masih yang basi-basi. "Citra rumahnya di mana" Kasih tau dong."
"Iya dong. Biar kita bisa main. Boleh kan kapan-kapan main ke rumah?"
"Citra udah punya cowok, belom?"
"Citra rambutnya bagus deh. Pake sampo apa sih?"
Godaan yang dilemparkan Derry malah jadul banget. Kayaknya sudah ada
zaman bokap-nyokap anak-anak itu masih pada ABG. Bahkan mungkin sudah
ada sejak para ABG di zaman penjajahan Belanda.
"Citraaa. Citraaa. Dipanggilin kok diam aja" Citra sombong atau budek sih?"
Citra mendesis geram. Sumpah, basi banget. Asli jayus. Tapi tetep aja
nyebelin. Cowok-cowok itu tertawa geli begitu Citra menoleh dan menatap mereka
dengan muka cemberut. Reinald, yang duduk di sebelah Citra, ternyata benarbenar tidak peduli. Ia mengikuti peristiwa itu dengan senyum, bahkan ikut
tertawa. Sementara Roni kebagian godaan:
"Cieeeh, yang sekarang duduk sama cewek. Langsung lupa deh sama-sama
yang di belakang sini!" seru Didot disaat kelas kosong karena pergantian
pelajaran. Roni menoleh kebelakang lalu menyeringai lebar-lebar. Kemudian
tanpa rasa malu, ia mengatakan bahwa itu takdir. Karena akhirnya dia bisa
duduk semeja dengan Loni, cewek yang langsung dia sukai begitu melihatnya
pertama kali di MOS kemarin. Masih kata Roni, mereka berdua kayaknya udah
jodoh, soalnya nama mereka mirip. Cuma beda satu huruf.
"Toni, kaliii?" kata Ian. "Salah lo!"
"Loni, man!" ralat Roni langsung. "Sumpah, Loni. Bukan Toni! Tragis amat
nasib gue, jodohan sama si Toni!" saat melihat teman-temannya tertawa,
termasuk si Toni, Roni menegaskan sekali lagi, "LONI!."
Loni ternganga! Ya jelaslah. Kalau cowok naksir cewek atau sebaliknya, kan
harus ngomong dulu sama orang yang ditaksir, baru setelah itu buat
pengumuman. Bukan begini, langsung diumumkan besar-besaran. Orang yang
ditaksir sama orang yang mendengarkan pengumuman jadi sama kagetnya.
Teman-teman sekelas lainnya tadinya bingung saat mendadak Citra pindah
ke belakang. Mereka lansung berasumsi Citra naksir Reinald dan pingin dekatdekat cowok itu, atau Reinald naksir Citra tapi malas duduk di depan, jadi Citra
yang disuruh pindah. Tapi sekarang mereka mengerti bahwa Citra pindah ke
belakang karena Roni naksir Loni. Lini nggak mau disuruh pindah, jadi terpaksa
Citra yang pindah. Begitu.
Tapi lalu muncul asumsi baru. Citra nggak akan mungkin mau pindah kalau
sama sekali nggak ada feeling sama Reinald. Jadi pasti Citra juga naksir Reinald!
Jadi kesimpulannya -ajaib banget opini ini bisa terbentuk di benak setiap
kepala tanpa melalui musyawarah mufakat sebelumnya- perpindahan itu
terjadi karena Roni naksir Loni, dan Citra naksir Reinald!
Jadi ruwet! Tidak ada kesempatan bagi Citra kembali ke bangkunya, karena Roni
bercokol di sana seakan cowok itu bagian dari bangku itu sendiri. Sepertinya
dia sedang mempersiapkan rohnya jadi penunggu tetap bangku itu, kalau nanti
mendadak mati. Roni sama sekali tidak pergi!
Dua kali jam istirahat, Reinald yang membelikan Roni makanan. Setelah
mengenyangkan perutnya sendiri di kantin, cowok itu kembali ke kelas dengan
membawa pesanan mantan teman sebangkunya itu.
Hal yang sama juga dilakukan Citra. Jam istirahat pertama ia tetap
nongkrong di kelas, berharap Roni akan beranjak ke kantin. Tapi cowok itu
tidak bergerak sedikit pun. Untuk meredam perut laparnya, Citra titip somay
pada Loni, plus air mineral.
Di jam istirahat kedua, menyadari Roni tidak akan meninggalkan bangku
barunya, akhirnya Citra keluar kelas menuju kantin.
"Makan tu bangku!" desisnya ketika melewati Roni, cowok itu tertawa geli.
Sampai kantin, Citra memesan semangkuk es campur lalu mencari tempat
kosong. Ia tidak ingin bergabung dengan siapa pun karena sedang malas bicara.
Tapi baru saja ia akan duduk, terdengar panggilan Loni. Mantan teman
sebangkunya itu sedang menyantap bakso. Sendiri.
"Lo makan sendirian?" tanya Citra sambil meletakan mangkuk es campurnya
di depan Loni. "Iyalah!" Loni menjawab kesal. "Lo kira gue mau bilang apa kalo ditanyatanya soal Roni" Sarap tu cowok. Kok bisa mendadak ada kejadian begini sih,
Cit?" "Aduh, nggak tau deh, Lon. Gue juga bingung. Ya gara-gara si Reinald aneh
gitu, makanya gue tunggu dia di bangkunya tadi pagi. Cuma pengin minta
penjelasan. Eh, jadi duduk sebangku."
"Nggak bisa balik lagi?"
"Lo liat sendiri, si Roni nggak ninggalin bangku gue sama sekali. Kalau dia
mau ke toilet, pas jam pelajaran, kan ada guru. Jadi Nggak mungkib gue
serobot lagi tuh bangku."
"Iya sih?" Loni mengangguk. "Besok lo dateng pagi-pagi aja."
"Gue juga udah mikir gitu." Citra mengaduk es campurnya. "Makan tuh
bakso. Keburu dingin."
Keduanya lalu terdiam. Menikmati bakso dan es campur tanpa
mengeluarkan suara lagi. ***** Siang itu dua manusia pulang ke rumah masing-masing dalam kebingungan
yang sama. Kok bisa ya, mereka tiba-tiba jadi teman sebangku" Teman
sebangku yang ke depannya bakalan kisruh. Bakalan runyam. Dan dipastikan
bakalan bikin omosi. Turun dari bus, Citra berjalan menuju rumahnya dalam keadaan setengah
sadar. Ia sama sekali tak menyangka tindakannya menduduki bangku Reinald,
supaya keanehan cowok itu yang bikin kesal cepat mendapatkan penjelasan,
malah berakibat mereka jadi duduk sebangku begini. Dan ternyata, selain
aneh, Reinald juga galak banget.
Citra menarik napas lalu mengembuskannya kuat-kuat. Terpaksa besok ia
datang ke sekolah pagi-pagi banget untuk merebut kembali bangkunya dari
Roni. Cuma itu satu-satunya cara agar cukup hari ini dirinya sebangku dengan
Reinald. Cukup hari ini! Di saat yang sama, ditempat berbeda, begitu turun dari bus Reinald berjalan
ke rumah dalam kondisi setengah sadar. Tiba-tiba saja ia sebangku dengan
Citra, cewek yang sangat ingin ia maki-maki sampai rasa sesak di dadanya
berkurang. Atau kalau itu telalu kejam, akan digantinya dengan memeluk
cewek itu sampai semua tulang-tulangnya patah.
Yang jelas, Citra harus tetap jomblo sampai ia mengizinkan cewek itu punya
pacar. Untuk satu hal ini Reinald merasa perlu mengatakannya secara lisan,
dengan kata-kata tang jelas dan gamblang, agar tidak alasan bagi Citra untuk
berlagak tidak paham. Reinald tidak mau menunggu. Ia langsung menegaskan soal itu tadi, dihari
mendadak Citra hagi teman sebangkunya.
"Inget ya, Citra. Lo jangan berani-berani punya cowok tanpa izin gue!"
Citra kontan ternganga. "Bokap gue, yang ngasih gue duit jajan aja nggak ngelarang kok."
"Itu urusan bokap lo. Yang jelas gue ngelarang!"
Waaaah, sakit jiwa nih orang! desis Citra dalam hati. Tapi ia berusaha tidak
membantah lagi. Bukan karena takut, tapi kalau ia tetap ngotot protes, dijamin
mereka berdua akan saling teriak dan saling bentak. Males banget belombelom udah punya musuh.
Besoknya, Citra tiba di sekolah pagi sekali, untuk merebut bangkunya
kembali. Tapi ternyata ada yang datang lebih pagi lagi. Di bangku barunya, Roni
menyambut kedatangan Citra dengan senyum geli yang segera berubah jadi
tawa terkekeh. Citra tercengang mendapati kenyataan itu. Dihampirinya Roni
dengan langkah-langkah cepat.
"Elo nginep ya" Masa jam segini udah sampe sekolah?" tanyanya.
"Nah elo juga, jam segini udah sampe sekolah," balas Roni.
"Elo pasti disuruh Reinald datang pagi-pagi. Iya, kan?"
"Nggak. Gue sendiri yang mau."
"Bohong!" "Iya. Gue udah tau lo hari ini pasti bakalan dateng pagi-pagi. Makanya gue
dateng pagi-pagi juga."
Kalimat itu membuat Citra jadi cemberut. Roni ketawa geli melihatnya.
"Kan elo sendiri yang kemaren sukarela pindah ke belakang" Berarti ini udah
bukan bangku lo lagi, Cit."
"Siapa bilang" Reinald aja tuh yang maksa."
"Ya kalo gitu kita tunggu Reinald aja. Nanti kita tanya dia, boleh nggak lo
balik ke bangku lo lagi. Kalo gue sih mau aja pindah ke belakang lagi, asal Loni
pindah juga." "Itu mah sama aja, lagi. Tetep aja judulnya gue semeja sama Reinald. Kenapa
sih mesti nunggu tuh orang dateng" Lo takut dimarahin ya?"
Dia Tanpa Aku Karya Esti Kinasih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bukan. Itu sih nggak masalah. Gue takut dipeluk trus dicium! Hiiiyyy!" ucap
Roni dengan ekspresi sungguh-sungguh. Kembali ia ketawa geli ketika
dilihatnya Citra makin cemberut. Cewek itu sudah akan menjatuhkan diri ke
bangku Loni, tapi Roni buru-buru menghalangi dengan meletakan kedua
telapak tanganya di sana.
"Eh! Eh! Ini bangkunya yayang gue."
Yayang" Ih, cuih cuih cuih! Citra menatap Roni dengan ekspresi agak-agak
gimana gitu, mendengar satu kata itu.
"Gue mau nungguin Loni," Citra beralasan.
"Ya nunggunya di bangku lo sendiri dong sana. Jangan di sini, ntar kalo udah
duduk, jangan-jangan lo nggak mau pindah lagi."
"Rese!" desis Citra.
Gagal! Citra berjalan ke bangku barunya tanpa semangat. Percuma gue bangun
sebelum subuh! gerutunya dongkol. Reinald ternyata juga punya pikiran yang
sama. Roni memengikuti langkah Citra dengan tatapan dan senyum geli. Ia tidak
tahu ada masalah apa antara Reinald dan Citra. Reinald tidak mau bercerita
banyak. Reinald cuma bilang, ada vendetta yang harus dikelarin sama si Citra.
Yang pasti, Roni memang melihat Reinald benar-benar marah sama Citra.
Tak lama Reinald datang. Cowok itu berjalan masuk kelas sambil menatap
Roni sekilas. Dari seringai geli Roni yang menyambutnya, Reinald tahu
dugaannya kemarin benar. Tapi tidak perlu melihat tanda yang diberikan Roni
pun jawabannya sudah terpampang jelas.
Di bangku barunya, Citra duduk tegak dengan kedua tangan terlipat di
depan dada. Tampangnya marah. Begitu Reinald muncul di pintu kelas, Citra
sudah langsung menatapnya tajam-tajam, dan terus mengikuti langkah cowok
itu. Begitu Reinald tiba di samping meja, Citra langsung menyambutnya dengan
pertanyaan. "Lo pasti nyuruh Roni dateng pagi-pagi, kan" Supaya gue nggak bisa balik ke
bangku gue. Iya, kan?"
Reinald tidak langsung menjawab. Dengan tenang ia memasukan dulu
ranselnya ke laci. Kemudian cowok itu duduk di bangkunya, di sebelah Citra,
baru kemudian ia menoleh. Ditatapnya Citra tepat di manik mata.
"Iya!" Reinald menjawab tandas. "Kenapa" Mau protes?" tantangnya
kemudian. Tampang marah Citra seketika berkurang. Reinald mengubah posisi
duduknya jadi benar-benar menghadap Citra.
"Gue kasih tau rencana gue, ya. Gue udah minta Roni dateng pagi-pagi
sampe hari sabtu nanti. Setelah itu terserah dia. Jadi lo baru bisa balik ke
bangku lo lagi hari senin. Tapi itu pun lo bisa duduk di sana lagi paling-paling
cuma selama gue belom dateng. Begitu gue udah dateng, lo akan gue seret
balik ke sini"."
Ekspresi marah di muka Citra sekarang benar-benar hilang. Berganti dengan
ketercengangan. Tadinya Reinald mau menyudahi kalimatnya, tapi ekspresi
citra membuatnya ingin meneruskan.
"Lo pasti mau tanya kenapa. Iya, kan?"
Citra mengangguk. Saking tercengangnya, ia sampai lupa dengan niatnya
mau marah-marah. Reinald tersenyum tipis.
"Pertama, lo akan menganggu usaha PDKT temen gue. Itu juga bakalan bikin
gue marah, Cit. Kedua, lo yang dateng ke sini. Jadi lo nggak bisa pergi
seenaknya!" Setelah menyelesaikan kalimatnya dan puas karena Citra tidak bisa
memb antah, baru Reinald mengubah posisi duduknya. Citra bukan saja tidak
bisa membantah, tidak bisa bicara lagi malah. Spechlees! Karena itu, selama
beberapa saat cewek itu hanya mampu memandang Reinald yang mulai sibuk
mengeluarkan alat tulis dan buku-buku untuk jam pelajaran pertama. Tapi
ketika ketercengangannya sudah hilang, Citra tidak bisa menahan diri untuk
tidak bertanya. "Kenapa sih lo suka marah-marah?"
Reinald tidak menjawab. Sibuk memeriksa kembali PR biologi yang baru
dikerjaannya subuh-subuh tadi. Citra menunggu beberapa saat. Ketika Reinald
tidak juga menjawab, ia ulangi pertanyaannya.
"Hei! Halo" Halo! Kenapa sih lo suka marah-marah?"
Baru Reinald menoleh dan sorot matanya langsung tidak menyenangkan.
"Gue lagi ngecek PR nih, Cit. Jangan ganggu. Ntar gue marah."
"Ya itu maksud gue. Kenapa lo doyan banget marah sih" Duit jajan lo dikit,
ya" Atau lo sebenernya anak pungut, jadi di rumah teraniaya. Disuruh kerja
melulu. Kayak Cinderella. Soalnya gue masih inget, lo bilang muka kakak sama
adik lo mirip. Muka lo doang yang beda. Jadi bisa aja lo ini sebenernya anak
pungut. Jadinya teraniaya, dalam tanda kutip lho. Kurang kasih sayang gitu.
Dan kerena di rumah lo nggak berani protes, jadi lo marah-marahnya ke gue.
Iya, kan" Pasti begitu!" Citra menyerocos panjang dan diakhiri dengan
mengambil kesimpulan. Reinald meletakan bolpoinnya dengan geram.
"Pagi-Pagi udah bikin fitnah!" Ia menoleh sambil mendesis. Mulai marah.
"Kalo tiba-tiba gue marah-marah, mending lo terima. Dengerin aja. Nggak usah
nanya macem-macem. Apalagi balik marah-marah!"
"Kok gitu" Enak aja. Mana bisa begitu?"
"Supaya gue nggak tambah marah, tau!" bentak Reinald. Belum-belum
sudah marah-marah. Wah!" Citra tercengang.
"Yang namanya marah atau kesel, pasti ada alasannya, tau! Ntar lo keselnya
sama orang lain, trus gue yang kena, lagi!"
"Nggak. Kalo gue marah-marah, udah pasti itu gara-gara elo. Jadi mending
terima aja. Jangan tanya-tanya lagi. Jadi gue nggak tambah marah!"
Citra dan Reinald tidak menyadari bahwa sebentar lagi bel masuk berbunyi
dan semua penghuni kelas sudah menempati bangku masing-masing, jadi seisi
kelas menyaksikan pertengkaran mereka.
Dan pertengkaran terbuka itu jelas merupakan tontonan menarik sebelum
dua jam pelajaran biologi disusul dua jam pelajaran kimia yang bisa bikin
rambut ngejagrik. Citra sibuk melotot dan setengah mati berusaha agar kejengkelannya tidak
meledak. Sementara itu Reinald juga sibuk menahan diri agar kemarahan dan
kebenciannya pada Citra yang sudah dalam bentuk lahar, mendidih, dan
merah, tidak menggelegak keluar.
Mereka baru berhenti bersitegang setelah menyadari suasana kelas yang
hening. Senyap. Keduanya lalu menatap berkeliling dan mendapati semua
mata sedang tertuju lurus-lurus ke arah mereka berdua. Penuh perhatian dan
ketertarikan. "Apa liat-liaaaat!?" seru Reinald. "Seneng ya liat orang berantem?"
Seruan Reinald itu membuat semua teman sekelasnya, terutama yang
cowok, menyeringai lebar. Sementara yang cewek-cewek memberikan
beragam reaksi. Ada yang tertawa kecil, ada yang senyum-senyum, tapi ada
juga yang geleng-geleng kepala dengan ekspresi yang seolah mengatakan,
"Nggak tau malu banget sih berantem di kelas!"
**** Besoknya, Citra sudah tidak berusaha lagi datang ke sekolah pagi-pagi. Begitu
tiba di kelas, cewek itu langsung menuju bangku barunya. Sepertinya ia sudah
bisa menerima takdirnya, yaitu duduk di belakang. Sambil berjalan menuju
bangkunya, Citra menarik napas panjang-panjang.
"Home sweet home"," desahnya pelan, lalu menjatuhkan diri di sana.
Dikeluarkannya ponsel dari tas dan dicarinya nama Loni dari daftar kontak.
"Lon, lo di mana?"
"Koperasi. Bolpoin gue abis. Kenapa?"
"Pinjem PR matematik dong. Nyontek nomer delapan sama sepuluh doang.
Susah banget." "Di tas. Ambil sendiri gih."
"Oke. Tengkyu, ya!"
"Eh! Eh! Citra. Tunggu dulu!"
Citra batal akan mematikan ponselnya.
"Apa?" "Lo jangan berantem kayak kemaren lagi, ya" Malu-maluin banget, tau!"
"Bukan gue yang cari gara-gara. Reinald tuh!" Citra langsung bete. "Udah,
ah. Jangan diingeitin. Bikin broken morning aja. Gimana perkembangan lo
sama si Roni?" "Jangan diingeitin. Bikin broken morning aja!" ganti Loni yang jadi bete.
Keduanya tertawa. Citra mematikan ponselnya lalu bangkit berdiri dan
berjalan ke bangku Loni. Dikeluarkannya buku PR matematika Loni dari tasnya.
Dan saat didapatinya Roni mengamati dengan pandang curiga, Citra
langsung berkata, "Gue udah izin sama Loni. Ntar lo tanya dia aja kalo nggak
percaya." kemudian segera kembali ke bangkunya.
Ketika datang, Reinald melihat Citra sedang menunduk serius di bangkunya.
Pasti PR matematika, gumamnya dalam hati. Tiba-tiba saja Reinald merasa
senang, karena ada alasan untuk memarahi cewek itu.
"Ngerjain PR tuh di rumah. Bukan di sekolah," tegurnya tajam. "Ngapain aja
lo di rumah semalem?"
Citra mendongak dan kaget mendapati Reinald sudah ada di samping meja.
Ia juga kesal karena cowok itu baru datang langsung marah-marah. Citra sudah
hendak membuka mulut, mau balik marah-marah, tapi batal. Bukan saja
karena pagi-pagi marah-marah bikin jauh dari rezeki, tapi juga bikin dia jadi
nggak selesai menyalin PR.
"Urus aja urusan lo sendiri deh!" jawab Citra ketus.
Reinald tidak peduli. "PR siapa yuh yang lo sontek" Banyakan salahnya
daripada benernya." Citra diam, tidak bereaksi, sibuk menyalin. Reinald melanjutkan
kecamannya. "Lo kalo nyontek nggak pernah sambil mikir ya?"
Baru Citra terusik. Ia berhenti menulis. Ditariknya napas panjang lalu
diembuskannya dengan kesal.
"Lo tau definisi nyontek nggak sih?" Ditatapnya Reinald. "Nyontek itu
sinonimnya nyalin. Menyalin itu artinya menduplikasi, atau membuat sesuatu
yang persis sama. Jadi jelas nggak perlu pake mikir, tau!" sepasang mata Citra
menatap Reinald tepat di manik mata. "Rese!"
Mata Reinald sontak berkilat.
"Kayaknya gue udah pernah ngomong deh. Kalo gue lagi marah, terima aja.
Jangan tanya-tanya apalagi balik marah. Ntar gue jadi tambah marah!" intonasi
suara Reinald mulai naik.
"Alasannya!" Orang marah tuh pasti ada alasannya!"
"Nggak perlu alasan kalo udah menyangkut elo!"
"Emang gue kenapa?"
"Karena elo selalu bikin gue pengin marah!"
"Alasannya!" Orang marah tuh pasti ada alasannya, tau!"
"Nggak perlu alasan kalo udah menyangkut elo!"
Balik lagi. Lingkaran setan, kayaknya.
Apaan tuh begitu" Citra menggerutu dalam hati.
"Bukan elo aja, gue juga bisa marah!"
"Gue bisa jadi tukang jagal, Citra!" bentak Reinald.
"Lo kira gue takut sama elo!?" Citra tidak mau kalah, ganti membentak.
"Nggak sama sekali!"
Pertengkaran memanas! Padahal saat ini jarum jam menunjukan angka sepuluh menit menjelang bel
masuk berbunyi. Dan pada jam segitu biasanya isi kelas sudah lengkap.
Sebagian menunggu bel di dalam kelas, sebagian lagi di koridor. Dan
pertengkaran yang memanas itu jelas merupakan tontonan yang asyik banget,
sebelum delapan jam pelajaran yang bikin boooring.
"Cepet! Cepet! Beli cemilan!" seru Ian. "Nggak asyik nih kalo nggak sambil
ngemil!" "Patungan, oi! Patungan! Ceceng-ceceng!" seru Derry sambil mengeluarkan
selembar seribuan dari kantongnya sendiri. Kemudian ia berkeliling di antara
cowok-cowok untuk meminta seribu per orang.
"Buruaaaan! Sebelum pertunjukan dramanya kelar nih!" seru ia tak sabar.
Derry berlari ke luar kelas menuju kantin. Sementara itu Didot, yang belum
masuk kelas, cepat-cepat meraih tasnya. Dikeluarkannya keripik singkong dari
sana. Seplastik gede! "Gue ada nih!" serunya. "Ini sebenernya buat ntar, jam kosong. Tapi nggak
apa-apa, ntar beli lagi!" Ia melempar keripik singkong ke Ian. Ian
menangkapnya dengan sigap kemudian berteriak keras.
"DERRY, WOOOIIII! NGGAK JADI! UDAH ADA!!!"
Derry yang sudah berlari sampai melewati kelas sebelah, cepat-cepat balik
lagi dan langsung bergabung dengan teman-temannya yang sudah asyik
menikmati pertengkaran Reinald-Citra.
Kubu cowok berada di pihak Citra, bukan Reinald. Iyalah". Ngapain juga
belain sesama cowok" Rugi!
Sementara yang cewek-cewek menyaksikan kejadian itu dengan ekspresi
bingung. Ada tanda tanya besar di kepala mereka. Baru jadian kok berantem
melulu" Nggak ada mesra-mesranya. Berantemnya di kelas, lagi. Nggak peduli
banyak orang, lagi. Teriak-teriak, lagi! Namun kemudian muncul tanda tanya
baru. Kali ini sampai terlontar dari muluk salah satu cewek.
"Emang mereka udah jadian, ya" Apa baru PDKT" Baru PDKT aja
berantemnya udah parah gitu, apalagi kalo udah jadian" Bunuh-bunuhan,
kali!" Sementara para cowok pendukung Citra, tidak peduli dan sama sekali tidak
ingin tahu alasan di balik pertengkaran itu. Yang penting ada tontonan seru.
Dengan riuh mereka memberikan support untuk Citra. Dan tak lupa, sambil
ngemil keripik. "Lawan aja, Cit!" seru Ian. "Ntar kalo lo kalah, gue belain!"
"Iya. Hajar aja si Reinald, babe!" teriak Didot.
"Kalo Reinald mukul, pukul balik, Cit!" teriak Toni.
"Kalian teriaknya jangan kenceng-kencang dong! Jadi nggak kedengeran
nih!" teriak Derry, dengan volume suara mengalahkan teman-temannya.
"Nah elo, sendirinya juga teriak. Paling kenceng malah!" Kepala Derry
kemudian dijitakin dari segala arah. Sambil meringis, cowok itu cepat-cepat
melindungi kepalanya dengan kedua tangan.
Dari bangku mereka, Roni dan Loni menyaksikan pertengkaran Citra dan
Reinald dengan mulut ternganga. Reinald tidak pernah cerita dan Citra juga
tidak bilang apa-apa sebelumnya. Jadi keduanya benar-benar tidak tahu,
persoalan apa sebenarnya yang terjadi di antara mantan teman-teman
sebangku mereka itu. Bel masuk berbunyi dan tidak ada satu pun yang menyadari. Teriakan riuh
dan kasak-kusuk itu baru berhenti setelah sseseorang dari kelas sebelah
mendatangi kelas mereka lalu berteriak di pintu.
"UDAH BEL, WOOOI! JANGAN BERISIK! MAU PADA BELAJAR NGGAK
SIHHH!?" Kelas langsung hening. Semua bergegas kembali ke bangku masing-masing.
Reinald dan Citra juga menghentikan pertengkaran mereka. Sesaat keduanya
saling tatap dengan sorot kesal, dongkol, marah, benci, juga malu karena
sudah jadi objek tontonan seisi kelas.
"Aduh, leher gue seret nih!" Ian terbatuk-batuk. "Ada minum nggak?"
Setelah berhenti teriak-teriak memberikan support, baru cowok-cowok itu
sadar kalau tenggorokan mereka kering. Semuanya lalu ribut mencari minum.
"Lo gimana sih, Dot" Bawa keripik nggak bawa minum. Se-ret niiih!"
semuanya lalu menyalahkan Didot. Tidak ada cara lain, cowok-cowok suporter
Citra terpaksa menahan haus sampai jam istirahat pertama nanti.
"Ssst! Bu ning dateng!" seru Rinda, yang duduk dekat pintu.
Kelas langsung hening. Semua duduk manis dibangku masing-masing. Tanpa
sadar, Reinald dan Citra duduk di ujung bangku masing-masing, berusaha
sejauh-jauhnya menjaga jarak. Namun dua kali pertengkaran terbuka itu
kemudian memunculkan asumsi baru seputar perpindahan bangku tersebut.
Roni pindah ke bangku Citra karena naksir Loni. Itu udah pasti, karena cowok
itu sudah mengumumkan perasaanya. Dan meskipun sudah duduk sebangku,
seisi kelas tahu status mereka masih PDKT. Dari pihak Roni, pastinya.
Sementara Loni sendiri, sepertinya cewek itu sedang berusaha (dengan
sangat keras) menerima kondisi itu, dan berusaha menjalaninya dengan ikhlas.
Karena sudah tidak ada lagi bangku kosong di kelas, maka pilihan Loni memang
cuma dua: tabah atau nggak sekolah!
Asumsi berikutnya adalah Citra pindah ke bangku Reinald karena dia naksir
cowok itu. Tapi sayangnya Reinald sama sekali nggak naksir Citra. Makanya tu
cowok jadi galak sama Citra. Citra jadi balik galak juga, karena dia frustasi dan
Dia Tanpa Aku Karya Esti Kinasih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
patah hati. Nah, makin ruwet, kan"
BAB 8 BEGITU bel istirahat berbunyi, cowok-cowok suporter Citra langsung melejit
keluar dari kelas menuju kantin. Cari minum. Mereka berlarian begitu saja.
Sementara cewek-cewek teman sekelas berjalan keluar sambil menatap Citra
sesaat. Citra jadi kesal.
"Apa sih liat-liat" Berantemnya udah kelar, juga!" gerutunya.
Citra melirik orang di sebelahnya, masih dengan rasa marah. Kemudian dia
berdiri dan berjalan ke luar kelas. Ketika melewati Loni, ditepuknya lengan
temannya itu. "Ke kantin yuk!"
Loni memasukkan buku-bukunya Ke laci, bangkit berdiri, lalu mengejar Citra.
Sambil membereskan buku-bukunya, Reinald mengikuti Citra dengan
pandangan mata. Sementara Roni, begitu kedua cewek itu hilang dibalik
tembok kelas sebelah, segera bangkit berdiri dan menghampiri Reinald dengan
langkah cepat. "Sebenernya ada masalah apa sih antara lo sama Citra?" tanyanya sambil
menjatuhkan diri di sebelah Reinald. "Berantem kok sampe kayak gitu."
"Udah, nggak usah tanya-tanya deh." Reinald berdecak malas. "Yuk, ke
kantin. Gue laper." "Citra juga lagi ke kantin. Bisa-bisa ntar lo berdua berantem lagi di sana."
"Ya kalo dia cari gara-gara lagi"," Reinald bangkit berdiri, "apa boleh buat!"
**** Di depan salah satu meja panjang di kantin, Citra dan Loni duduk
berhadapan. Masing-masing dengan sepiring gado-gado dan segelas es teh
manis. "Sebenernya lo ada apa sih sama Reinald" Berantem sampe kayak gitu." Loni
membuka percakapan dengan topik yang membuat kekesalan Citra jadi
berkelanjutan. "Aduuuuuh, ck!" Citra mengeluh. "Elo tu ya. Kalau gue tau masalahnya, gue
nggak akan teriak-teriak kayak tadi pagi, lagi."
"Masa sih lo nggak tau masalahnya" Kalo ngeliat tadi pagi Reinald marahnya
sampe kayak gitu, kayaknya masalahnya serius, Cit."
"Nggak tau, ah." Citra menggeleng, lalu memerhatikan gado-gado di
piringnya. "Tadi kayaknya gue udah bilang sama ibu itu nggak pake tempe
deh," katanya, lalu mulai memisahkan potongan-potong
an kecil tempe dari gado-gadonya.
"Lo tanya deh, Cit, sama Reinald, apa sih masalahnya?"
"Udah. Tadi pagi itu gue kan tanya, trus jadinya berantem kayak gitu."
"Baik-baik nanyanya."
"Udah, Loniiii?" Citra menghela napas lalu mengembuskannya kuat-kuat. Ia
memandang Loni, capek dan putus asa. "Tadi pagi itu gue nanyanya udah baikbaik. Kemaren juga gitu. Lo kira gue nanyanya baru tadi trus langsung maen
bentak-bentak, gitu" Nggak, lagi. Udah deh, nggak usah dibahas. Bikin gue jadi
nggak nafsu nih. Atau gini aja, kalo lo penasaran, lo aja gih yang nanya. Ntar
kasih tau gue." "Nggak mungkin gue yang nanya, lagi." Akhirnya Loni menyudahi
pembicaraan itu dan mulai menyantap gado-gadonya.
"Lagian juga kalo lo mau dapet jawaban, kayaknya nanyanya kudu pake
gebukan kasur," kata Citra sambil mengunyah. Loni jadi ketawa. Namun tawa
itu langsung langsung lenyap begitu dilihatnya Reinald dan Roni memasuki
kantin. "Dia ke sini, Cit. Si Reinald," bisik Loni, langsung jadi tegang. Tapi Citra tetap
santai dan sama sekali tidak menoleh ke arah pintu kantin.
"Ya iyalah. Mau nggak mau dia ke sini. Nggak mungkin dia ke kantinnya anak
kelas dua, apalagi kelas tiga."
Begitu melihat Citra dan Loni, Roni langsung mengajak Reinald duduk di
depan meja panjang yang paling dekat dengan pintu. "Ren, kita duduk sini aja.
Lo mau makan apa" Gue pesenin."
"Gue mau duduk di situ," tunjuknya dengan dagu ke sebuah meja panjang
yang berjarak dua meja dari meja tempat Citra makan. Dari meja itu, Reinald
bisa leluasa memerhatikan Citra. "Gue somay aja. Nggak pake kentang, ya.
Minumnya es teh tawar."
Roni langsung melesat ke sisi kanan kantin, tempat konter-konter makanan
terletak berjajar. Tak lama ia kembali sambil membawa pesanan Reinald dan
pesanannya sendiri. Diambilnya tempat di depan Reinald. Tapi begitu ia
menyadari ke mana sepasang mata temannya itu tertuju, ia segara berdiri dan
pindah posisi. "Ngapain lo pindah?" tanya Reinald.
"Pencegahan," jawsb Roni tandas. "Dari cara lo ngeliatin Citra, kayaknya
kejadian tadi pagi di kelas bakalan terulang di sini," sambungnya.
Reinald tidak membantah. Dalam hati ia justru membenarkan apa yang
diucapkan Roni. "Lo sengaja duduk sini biar bisa ngeliatin dia, kan?"
"Iya," Reinald terus terang.
"Kenapa sih" Dia duduk di sebelah lo, kan" Masih kurang?" saking herannya,
Roni sampai menatap Reinald dangan kening berkerut rapat.
"Karena dia duduk di sebelah gue, jadi gue nggak bisa ngeliatin. Lain kalo dia
duduk di depan gue," Reinald menjawab santai, lalu mulai menyuapkan
potongan somay ke mulutnya.
Sementara itu Loni, yang juga cemas kalau-kalau pertengkaran Reinald-Citra
bakalan berlanjut di kantin, mengajak Citra buru-buru kembali ke kelas. Citra
setuju karena tidak bisa makan dengan tenang di bawah tatap tajam Reinald
yang sebentar-sebentar terarah padanya.
Tanpa menghabiskan gado-gado di piring masing-masing, keduanya berdiri
dan bergegas berjalan ke luar kantin. Di ambang pintu, tanpa sadar Loni
menoleh ke kedua cowok itu. Di saat bersamaan Roni juga tengah menatap
mereka. Cowok itu tersenyum tipis, memandang Loni dengan sorot berterima
kasih. Sesaat Loni terkesima. Ini pertama kalinya ia melihat Roni dalam ekspresi
serius begitu. Nggak norak dan geblek seperti biasanya. Cowok itu jadi
kelihatan berbeda. Lain sama sekali. Dengan kikuk dibalasnya senyum itu.
Begitu kedua cewek itu sudah hilang, Roni mengembalikan tatapannya pada
Reinald, yang sedang menikmati somaynya dengan santai, tapi jelas tahu
bahwa Citra sudah pergi. "Gue balik ke bangku gue, ya" Kasian Citra duduk di belakang gitu. Nggak
ada temennya. Pasti bakalan jadi korban iseng anak-anak belakang pula."
"Kan ada gue?" kata Reinald tenang. "Boleh aja sih kalo lo pengin balik. Tapi
duduk bertiga, ya" Dan si Citra harus di tengah."
Mata Roni membulat lebar. Tapi ia tidak juga mengeluarkan suara, saking
bingungnya mau ngomong apa.
Reinald jadi tertawa. "spechlees lo, ya?" tanyanya dengan nada geli. Tapi
kemudian ia menggeleng kuat dan berkata tegas, jelas tidak ingin dibantah
sama sekali. "Jangan! Gue mau dia duduk di sebelah gue."
"Biar bisa berantem terus, gitu?"
"Ya!" Reinald tersenyum lebar dan memainkan alisnya sesaat, sambil
memandang muka bingung Roni. "Dan elo nggak usah tanya-tanya sebabnya.
Nggak bakal gue jawab. Nggak sekarang-sekarang. Soalnya gue nggak bakalan
bisa cerita tanpa emosi, tanpa marah-marah. Dan kalo lo tetep maksa gue
untuk cerita juga, bisa-bisa abis cerita, gue bisa menyerang si Citra lebih
ganas!" Roni ternganga. *** Begitu sampai rumah, Reinald langsung masuk kamar dan berdiri di depan
tempat tidur Ronald. "Tadi pagi cewek lo gue marahin, gue bentak-bentak. Sampe gue puas!"
Setelah mengatakan itu, Reinald berganti baju. Disambarnya salah satu
komik dari rak koleksi komiknya lalu berjalan di keluar kamar. Sambil tiduran di
ruang tamu, Reinald membaca komik itu sampai jatuh tertidur.
Namun malam harinya, setelah mengerjakan PR untuk besok dengan
konsentrasi yang cuma setengah, Reinald duduk tercenung di depan meja
belajar Ronald. Kalau mau berpikir tanpa menyertakan emosi, dan terus terang
mau mengakui, sebenarnya jawabannya jelas.
Hanya puas sesaat. Hanya melegakan sementara. Setelah itu semuanya
kembali seperti semula. Tidak ada yang berubah. Tetap sedih. Tetap sesak.
Tetap kosong. Tetap terasa Ronald sudah tidak ada. Dan tetap kesepian begitu
hanya sendirian di kamar begini. Kecuali kalau saat ini juga dikontaknya Citra
lalu kembali dibentak-bentaknya cewek itu seperti tadi pagi.
Dangan mata nanar Reinald menatap sepotong kertas yang dulu
ditempelkan Ronald di dinding di depannya. Barisan kalimat itu, tulisan tangan
Ronald, madih bisa terbaca, walaupun tampak kabur karena Reinald membaca
dengan pikiran menerawang. Kalimat-kalimat tentang Citra. Hanya tentang
cewek itu. Sebenarnya ingin sekali dilepasnya kertas itu dari dinding. Tapi tidak tega,
kerana kertas itu usaha Ronald selama berbulan-bulan. Karena kertas itu
adalah kegembiraannya selama berbulan-bulan juga. Sekaligus kecemasannya.
Kegelisahannya. Ketidaksabarannya.
Yang pasti, kertas itu kenangan Reinald dan seluruh isi rumah ini pada bulanbulan terakhir hidup Ronald. Cuma selembar kertas yang disobek dari buku
tulis sekolah, tapi sangat berharga bagi sang kakak saat dia masih hidup. Dan
kini sangat berharga untuk orang-orang yang dia tinggalkan.
"Suka banget warna biru," desis Reinald pelan, membaca salah satu poin di
kertas itu dalam keadaan setengah sadar.
"Usil banget. Tukang ngisengin orang." Reinald membaca poin di bawahnya.
Poin yang lain" Kalau ada yang marah-marah karena udah jadi korban keisengannya, Citra
suka njulingin mata. Bikin tuh orang ditambah marah lagi.
Poin yang lain lagi"
Bego olahraga. Nggak ada satu pun olahraga yang dia bisa. Kecuali lari atau
kabur. Karena biasanya kalo abis ngisengin orang, dia suka dikejar-kejar.
Poin yang lainnya lagi"
Kalo ngiket rambut nggak pernah rapi. Asal keiket. Tapi dengan rambut
yang keiket asal-asalan gitu, berantakan, dia jadi tambah manis. Cakep!
"Masa?" Reinald tertawa mendengus. Tidak yakin dan sama sekali tidak
percaya dengan kebenaran kalimat-kalimat itu. Terutama yang terakhir.
Namun tak lama tawanya menghilang. Cowok itu kemudian menghela napas
dalam-dalam. Tercenung dalam keterdiaman yang lama.
*** Di saat yang sama, di kamarnya, Citra juga sedang duduk dalam diam.
Tercenung dalam. Tapi untuknya, tidak ada yang perlu di pikirkan tentang
Reinald. Sama sekali. Percuma saja, ia nggak akan dapat jawabannya. Yang ada
malah jadi emosi lagi kalau ingat kejadian tadi pagi.
Yang sedang dipikirkan Citra dengan serius saat ini adalah, gimana caranya
agar ia bisa nyaman duduk di deretan belakang yang sama sekali nggak ada
ceweknya itu. Ditambah sebelahan sama cowok stres yang kayaknya bakalan
sakit jiwa beneran. Tapi, sampai matanya meredup, karena kantuk, Citra tidak
juga mendapatkan ide. Udah deh. Liat gimana situasinya aja nanti, putusnya kemudian. Ia bangkit
berdiri sambil menguap lebar-lebar sambil menuju. Tempat tidurnya,
menjatuhkan diri di sana, dan tak lama kemudian ia jatuh terlelap.
*** Keesokan paginya, sambil menyiapkan diri berangkat ke sekolah, Citra
meneruskan berpikir soal semalam. Ketika akhirnya cewek itu membuka pintu
rumah, siap berangkat ke sekolah, ia telah mengambil satu keputusan.
"Cuekin aja si Reinald. Daripada gue ketularan sarap!"
Meskipun begitu, belajar dari pengalaman kemarin, Citra telah menyiapkan
langkah pencegahan. Semua PR untuk hari ini telah ia kerjakan. Jadi Reinald
tidak bisa lagi mengatakan, "Ngerjain PR tuh di rumah, bukan di sekolah.
Ngapain aja lo di rumah semalem?"
Citra juga telah menyiapkan langkah pencegahan tambahan, kalau-kalau
langkah pertama tidak berhasil. Ia sengaja berangkat ke sekolah dalam waktu
yang benar-benar mepet. Yang kira-kira nanti sampai sekolah udah mau bel.
"Kalau perlu kurang semenit dari bel. Jadi tuh orang nggak punya
kesempatan buat ngomel," katanya, ngomong sendiri sambil berjalan dengan
langkah cepat ke halte bus.
Akibat berangkat terlalu mepet itu, jarum jam sudah menunjukan tujuh
kurang lima saat bus yang ditumpanginya sampai ditujuan. Susah payah Citra
menyeruak di antara para penumpang yang menyesaki perut bus, resiko kalau
berangkat siang, dan berusaha mencapai pintu bus secepat mungkin.
Begitu berhasil mencapai pintu, Citra langsung melompat turun dan berlari
secepat-cepatnya menuju sekolah. Cewek itu sampai di ambang pintu kelas
dalam keadaan mandi keringat dan napas terengah. Dan tepat seperti
dugaannya, waktu sudah menujukkan jam tujuh kurang satu menit!
Sambil mengatur napas, Citra cepat-cepat berjalan ke bangkunya dan
langsung mengempaskan tubuhnya di sana. Capek. Selain habis berlari, selama
di bus dia juga terus berdiri, nggak dapat duduk.
"Baru dateng jam segini!?" Reinald menyambut kedatangan Citra dengan
teguran galak. "Lo kira emang bisa, belajar dalam kondisi keringetan begitu"
Pasti tadi dari halte ke sini lari. Iya, kan" Lo berangkat dari rumah jam berapa
sih" Besok berangkat lebih pagi dong!"
Citra terkesima. Bibirnya sampai melongo. "Gue udah ngerjain PR di rumah,"
lapornya. Akibat ketersimaan itu, Citra mendadak jadi polos dan bego.
"Bagus!" ucap Reinald singkat.
Tak lama kemudian Citra tersadar. Ngapain juga gue lapor ke dia kalo udah
ngerjain PR, ya" desisnya dalam hati. Emang apa urusannya" Gue mau dateng
jam berapa kek, terserah gue, kan"
Tapi baru saja Citra membuka mulut, mau balik marah-marah, bel masuk
sudah berbunyi. Terpaksa cewek itu mengatupkan kembali mulutnya. Dalam
hati ia bertekad, nanti jam istirahat pertama akan ia balas. Tapi tekad baru itu
hanya bertahan sepuluh menit. Citra segera teringat kembali tekad awalnya
yang ia putuskan saat berangkat sekolah tadi: Cuekin aja si Reinald!
Kemudian ia memutuskan dalam hati, kali ini dengan niat bulat. Ya, cuekin
aja! Soalnya kalo nggak gitu, kayaknya bakalan panjang urusannya. Sekarang
aja, selagi masalahnya masih benar-benar gelap dan status mereka juga masih
teman baru, mereka udah bentak-bentakan sampe parah banget gitu. Gimana
nanti" Ih, serem! Citra bergidik tanpa sadar.
"Kenapa?" bisik Reinald tajam. Lamunan Citra memang tertangkap jelas
olehnya, karena seisi kelas saat ini sedang sibuk mencatat dan cuma Citra satusatunya yang sibuk menggigit ujung bolpoinnya. Dengan serius pula.
"Ketahuan nggak nyatet, bisa abis lo diomelin"," bidik Reinald lagi. Jenis
bisikan yang merupakan volume minimalis dari bentakan.
Citra cemberut. Tapi tidak berusaha membantah. Iyalah. Meladeni orang gila
di saat kelas sedang sunyi senyap begini berarti dirinya sama nggak warasnya.
Dangan senyum puas tertahan, Reinald melirik cewek di sebelahnya. Citra
mencatat dengan bibir cemberut maju beberapa senti. Reinald jadi semangat
menunggu jam istirahat pertama. Karena ia yakin, pertengkaran mereka akan
berlanjut. Jadi bisa dibentak-bentak dan dimarahinya Citra seperti kemarin.
Tapi kali ini, ia tidak ingin pertengkaran mereka terlalu terbuka. Tidak perlu
terlalu heboh. Yang penting bisa membuat hatinya lega. Puas. Tidak peduli
meskipun cuma sesaat. Reinald tidak tahu Citra sudah tidak ingin lagi bertengkar. Sama sekali.
Karena itu, saat bel istirahat pertama berbunyi dan Reinald langsung
mengubah posisi duduknya jadi benar-banar menghadap ke arahnya, Citra
sudah tahu cowok itu pasti mau ngomel lagi. Dan dugaannya seratus persen
tepat! "Lo nggak punya beker, ya" Kok bisa telat banget kayak tadi!?" pacing
Reinald. Citra langsung bersyukur. Meskipun intonasi suara Reinald tinggi, volumenya
sama sekali tidak tinggi. Jadi tidak sampai mengundang perhatian temanteman sekelas. Dan sesuai tekadnya, Citra memilih diam. Sebenarnya ia pingin
langsung kabur ke kantin, tapi Loni ada urusan sama anak kelas sebelah.
"Pasti lo nggak sempet sarapan," lanjut Reinald. Tetap dengan nada
menusuk. Citra tetap diam. Dimasukkannya buku-buku pelajaran di atas meja ke dalam
tasnya. Reinald tidak memedulikan kebungkaman Citra. Justru ada perasaan
senang karena Citra tidak membantah kata-katanya.
"Emang bisa ya, belajar dalam kondisi perut laper dan badan keringetan"
Gue jamin nggak!" Citra tidak tahan lagi, tapi tetap tidak ingin buka mulut. Dan Reinald tetap
meneruskan kalimatnya. Cowok itu semakin senang. Tanpa ia sadari, perasaan
senang itu muncul karena ia dalam keadaan benar-banar dapat melupakan
kesedihannya, bukan karena sedang memarahi Citra.
"Lo bangun kesiangan karena semalem ngerjain PR, ya?" ucap Reinald lagi,
Dia Tanpa Aku Karya Esti Kinasih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lalu tertawa geli. "Gue jadi nggak tau mendingan yang mana. Lo datang nggak
telat tapi begitu sampe sekolahan langsung nyontek PR, atau lo ngerjain PR di
rumah tapi jadi dateng telat"," Reinald terdiam sejenak, kemudian
meneruskan kalimatnya dengan anda yang kembali tajam. "Menurut gue duaduanya nggak bener!"
Niat banget sih nih cowok ngomelnya! desisnya Citra dalam hati. Akhirnya ia
memutuskan untuk cepat-cepat pergi. Daripada kesabarannya habis lalu ia
langgar tekadnya dan akhirnya mereka saling bentak dan saling teriak seperti
kemarin pagi. Citra menoleh ke arah Reinald dengan gerakan tiba-tiba, dan sikap garang
Reinald sontak menghilang. Cowok itu menatap pemandangan di depannya
dalam ketersentakan hebat.
Citra menjulingkan kedua matanya!
Hanya itu". Ya, hanya itu" tapi itulah yang ditulis Ronald! Itulah yang
ditinggalkannya dalam catatan!
Citra berdiri lalu berlari ke luar kelas. Ia tidak memedulikan ekspresi kaget di
wajah Reinald. Tidak memedulikan kondisi Reinald yang mendadak berubah
jadi arca hidup. Sendirian di kelas yang terasa lengang, mendadak Reinald merasa di tempat
yang asing. Rasa lega sesaat yang tadi dirasakannya saat memarahi Citra tadi
kini juga hilang. Sampai menjelang bel pulang, Reinald masih mencoba memancing
kemarahan Citra. Mencoba membuat cewek itu merespons setiap kata-kata
tajamnya. Tapi Citra benar-benar melaksanakan tekadnya, sama sekali tidak
mengacuhkan Reinald dan semua pancingannya.
Cukup di kelas aja gue sebangku sama dia. Gue nggak mau menemani dia
sampe ke rumah sakit jiwa gara-gara barengan gila! desis Citra dalam hati.
Citra lebih memusatkan perhatiannya pada cowok-cowok yang duduk di
belakang. Mana yang asyik diajak temenan, mana yang mendingan say hello
doang. Hari ini ia juga tahu ternyata cowok-cowok itu asyik-asyik.
Sesaat sebelum istirahat kedua berakhir, Ian, Didot, Toni dan semua cowok
yang duduk di deretan paling belakang, kompakan menyembunyikan buku
catatan Bahasa Indonesia Toto, yang duduk di deretan yang sama dengan
Citra. "Iseng aja," kata Ian, sang pencetus ide.
Citra yang baru saja balik dari kantin tidak sengaja mendengarkan perkataan
Ian itu dan langsung tertarik.
Pelajaran apa pun, kalau itu ada di dua jam tarakhir, selalu memerlukan
kemauan yang lebih keras. Tekad yang lebih kuat dan semangat yang lebih
membaja. Kedengarannya memang hiperbolis, tapi itu kenyataan. Fakta. Boleh
tanya sama semua pelajar yang masuk pagi pulang siang. SMP maupun SMA.
Dijamin nggak ada yang masih fresh di jam-jam itu. Kalaupun ada, cuma
sebagian keciiil. Mungkin di jam pelajaran sebelumnya dia sukses cabut, atau
berhasil mikir tanpa ketahuan.
Jam setengah satu siang, saat matahari sedang terik-teriknya, saat kerja otak
sudah menurun tajam karena belajar sejak jam tujuh pagi, wajar kalau niat
iseng Ian itu langsung mendapat sambutan antusias. Bisa hahahihi -minimal
nyengir lebar selama sepuluh menit sebelum memulai belajar lagi sampai tepat
jam dua siang- jelas merupakan anugerah terindah.
Karena masih jam istirahat, kelas nyaris kosong, dengan leluasa Ian menarik
keluar tas Toto dati dalam laci lalu mengeluarkan buku cetak Bahasa Indonesia
dari sana. Dilemparnya buku itu ke Derry, yang menangkapnya dengan sigap
dan langsung menyembunyikannya di dalam laci.
Toto ternyata langsung tahu. Begitu membuka tas hendak menyiapkan
buku-buku dan mendapati buku cetak Bahasa Indonesia-nya raib, ia sudah bisa
menebak oknumnya pasti anak-anak yang duduk di bangku deretan paling
belakang. Cuma ia tidak tahu pasti siapa pelakunya. Cowok itu kemudian
berdiri dan bertolak pinggang.
"Siapa yang ngumpetin buku gue" Elo, Yan?"
"Nggaaaaak!" Ian menggeleng kuat-kuat.
"Elo, Ton?" pandangan Toto beralih ke Toni. Kedua matanya mulai melotot.
"Nggaaaaak!" Toni membeo jawaban Ian, juga sambil menggelengkan
kepala kuat-kuat. "Nggaaak!" belum ditanya, Didot sudah menjawab. Teman semejanya,
Derry, jadi tetawa geli. Citra. yang menyaksikan jalannya peristiwa itu sejak awal jadi terkikik juga,
semenatara sebagian teman-teman yang lain tidak menyadari peristiwa itu.
Toto mulai gusar. "Mana buku gue" Balikin cepet! Bentar lagi Bu Lis dateng nih!"
"Emangnya siapa sih yang ngumpetin buku lo" Jangan asal nuduh dong,"
kata Derry. Sampai Bu Lis memasuki ruangan, tetap tidak ada satu pun yang
mau mengaku. "Buku gue, woi! Buruan! Bu Lis udah dateng tuh!" seru Toto dengan suara
tertahan. Cowok-Cowok yang duduk di deretan paling belakang itu tetap tidak ada
yang mau mengaku. Mereka memandangi Toto sambil senyum-senyum. Didot
malah memeletkan lidahnya.
Toto jadi semakin kesal. Akhirnya cowok itu mengempaskan tubuh ke
bangkunya lalu berseru lantang, tepat di saat Bu Lis akan membuka mulut
untuk meminta murid-muridnya membuka buku.
"BUUUU"! BUKU SAYA DIUMPETIN SAMA ANAK-ANAK BELAKANG".!!!!"
Cowok-cowok di deretan paling belakang kontan tercengang, kemudian
tertawa gelak-gelak. Seisi kelas ikut tertawa. Semua mata menatap ke arah
Toto dengan penuh minat. "Toto tukang ngadu! Jangan ditemenin!" seru Derry, ikut mengimbangi
tingkah Toto yang kayak anak SD.
"BUUUU! KATA DERRY SAYA TUKANG NGADU, TRUS NGGAK BOLEH
DITEMENIN!!!" seru Toto lagi.
Seisi kelas tertawa lagi. Tapi tawa mereka kali ini terdengar berbeda. Mata
mereka juga memandang Toto dengan sorot berbeda, sedikit menerawang.
Bila dipastikan, sebagian besar murid kelas itu jadi ingat waktu zaman-zaman
SD dulu. Ngadu ke guru gara-gara buku, bolpoin, atau barang-barang mereka
yang lain disembunyikan teman dan nggak ada satu pun yang mengaku telah
melakukan. "Apa sih kalian ini?" Bu Lis memandang ke belakang dengan kening
berkerut. "Kayak anak SD aja. Kembalikan buku Toto. Kita akan memulai
pelajaran. Jangan buang-buang waktu!"
Derry mengeluarkan buku cetak Bahasa Indonesia milik Toto dari dalam laci
mejanya. Diopernya buku itu pada Didot, yang kemudian memberikannya pada
Toto. "Toto tukang ngadu!" katanya.
"Biarin, wee!" Toto menyambar bukunya dari tangan Didot lalu menjulurkan
lidahnya. Citra terkekeh. Ia teringat teman-teman dan hari-harinya di SMP dulu.
Kejadian itu membuatnya merasa lega. Berarti musibah yang dialaminya cuma
satu: sebangku dengan Reinald. Lainnya nggak ada. Malah kayaknya duduk di
belakang, bareng cowok-cowok iseng tadi, bakalan bikin hari-harinya di
sekolah jadi seru. Karena itu -setelah pelajaran Bahasa Indonesia usai dan Bu
Lis berjalan ke luar kelas- Citra tidak peduli saat didengarnya Reinald bicara
dengan nada tajam. "Jangan tidur malem-malem, jadi besok nggak telat kayak tadi!"
Citra menjawab dengan menghadapkan mukanya ke arah Reinald lalu
menjulingkan kedua matanya. Kemudian cewek itu bangkit berdiri dan berjalan
ke luar kelas dengan langkah cepat.
Reinald mengikuti kepergian Citra dengan pandangan mata. Sikap garangnya
langsung hilang. Kembali ia merasakan itu. Perasaan asing yang tidak
dikenalnya, namun membuatnya gelisah.
BAB 9 KEESOKAN harinya, dengan berbagai cara Reinald berusaha memancing
kemarahan Citra. Minimal membuat cewek itu kesal dan akhirnya mau buka
mulut. Sering alasan kemarahan Reinald itu seakan dicari-cari, tapi Citra
berusaha keras menahan diri tidak terpancing.
Sabar, sabar. Orang sabar disayang Tuhan, katanya dalam hati saat Reinald
menegurnya tajam hanya gara-gara ia menggigiti tutup bolpoinnya.
Sabar, sabar. Orang sabar disayang Tuhan, Citra berkata lagi dalam hati saat
Reinald menegurnya ditengah pelajaran sejarah. Merasa bosan, cewek itu
mengabaikan penjelasan guru di depan dan memilih sibuk mencoreti buku
catatannya. Jelas Reinald langsung memanfaatkan peluang itu. Ditegurnya Citra dengan
kata-kata tajam -tentu saja berupa bisikan karena kelas sedang hening dan
guru sedang menjelaskan di depan. Cowok itu mengakhiri tegurannya dengan
memerintahkan Citra untuk menyimak pelajaran dan mencatat apa yang ada di
papan tulis. Daripada omelan Reinald ada bagian keduanya, Citra memilih menuruti
perintah itu. Tentu saja dengan tidak lupa menggumamkan kalimat andalannya
dalam hati: Orang sabar disayang Tuhan. Amin! Amin! Amin!
Tidak sampai satu jam kemudian, di tengah pelajaran kimia, kembali Citra
harus mengumandangkan kalimat andalannya itu dalam hati. Reinald
memarahinya dengan suara pelan, karena mengira Citra sedang bengong saat
jam pelajaran. Walaupun kelihatannya tidak peduli, tak urung Citra
menggerutu juga. Nih cowok nggak bisa bedain orang bengong sama orang
yang lagi mikir sih! Secara keseluruhan, hasil akhir untuk hari ini -meskipun mati-matian
menahan marah- Citra sukses menahan diri dari semua pancingan Reinald dan
tidak satu pun teman-teman sekelas mereka menyadari bahwa di antara
Reinald dan Citra sedang terjadi peristiwa "anjing menggonggong, kafilah masa
bodo". Begitu bel pulang berbunyi, Citra menarik napas lega. Dibereskannya buku
dan alat tulisnya lalu segera kabur. Cewek itu pulang ke rumah dengan
perasaan lega dan tanpa beban. Semua kejengkelan dan kekesalannya lenyap
begitu ia kabur dari sebelah Reinald dan memutuskan takkan memikirkan
keanehan cowok itu. Justru Reinald yang semakin emosi. Dengan geram, ditatapnya Citra yang
berjalan keluar kelas dengan langkah cepat. Sambil membereskan buku dan
alat tulisnya, serta sesekali membalas lambaian tangan teman sekelas, Reinald
bertekad besok harus bisa memaksa Citra membuka mulut dan merespons
semua tindakannya. Di saat Citra bisa pulang dengan perasaan lega, Reinald justru sebaliknya.
Lagi-lagi ia merasakan suasana asing yang membuatnya gelisah.
Keesokan harinya, Reinald berangkat sekolah dengan tekad "harus bisa
membuat Citra buka mulut". Harus! Kebetulan hari ini ada mata pelajaran
olahraga di jam pertama dan kedua. Jadi ada banyak kesempatan memaksa
Citra menghadapi dirinya tanpa menarik perhatian teman-teman sekelas.
Setelah mengganti seragam dengan kaus olahraga dan celana pendek,
Reinald turun ke lapangan bersama cowok-cowok sekelas lainnya. Otaknya
berpikir keras, mencari cara agar tekadnya bisa terlaksana. Semakin cepat
semakin baik. Tapi belum lagi cara itu ditemukan, Reinald keburu mematung di tengah
anak tangga. Ia berhenti melangkah dan berdiri dengan tatapan tertuju luruslurus ke satu titik di lapangan.
Kalo ngiket rambut nggak pernah rapi. Asal keiket. Tapi itu malah bikin dia
jadi tambah manis. Salah satu poin dalam catatan yang ditinggalkan Ronald, kini ada di depan
mata. Menghantam Reinald dangan keras dan membuatnya kembali
mengalami perasaan asing itu.
Dengan kedua rahang terkatup rapat, Reinald menghampiri Citra yang
sedang berada di lapangan voli bersama cewek-cewek sekelas lainnya. Tanpa
bicara, ditariknya karet pengikat kucir rambut Citra sampai terlepas sehingga
rambut cewek itu terurai.
Citra menoleh kaget. Reinald menyambut tatapan kaget itu dengan harapan
akan keluarnya protes dari mulut Citra, minimal gerutuan, sehingga ada alasan
bagi dirinya untuk terus menyerang cewek itu dengan kata-kata. Namun Citra
tidak mengeluarkan suara sedikit pun. Bukan saja karena cewek itu ingat
dengan tekadnya sendiri untuk tidak terpancing, tapi juga karena kaget dengan
tindakan Reinald itu. Beberapa detik terlewat, dan Reinald merutuk dalam hati saat sadar Citra
tetap bungkam. Akhirnya ia meraih satu tangan Citra dan meletakkan karet
pengikat rambut itu di telapaknya. Kemudian Reinald balik badan dan pergi
begitu saja. Citra hanya bisa menatap dengan mulut ternganga. Begitu juga temanteman sekelas yang menyaksikan itu. Ketika kesadarannya telah kembali, Citra
menggerutu dalam hati sambil mengikat kembali rambutnya. Tetap dengan
gaya khasnya. Asal mengikat. Berantakan.
"Ayo, lanjut! Giliran gue yang serve, kan?" serunya ke arah teman-temannya
yang masih berdiri diam, terpesona dengan kejadian tadi. Mereka tersadar.
Keenam cewek yang jadi tim lawan Citra segera bergeser jauh-jauh ke luar
lapangan. "Kok pada mencar!?" seru Citra heran.
"Elo kan biasa, Cit. Lapangannya di mana, serve-nya ntar ke mana!" seru
Indah. Citra terkikik. Sejak SMP, Citra memang terkenal bego olahraga. Kecuali lari.
Apalagi kalau olahraga itu berbentuk kerja sama tim, seperti basket atau voli.
Teman-teman yang kebagian satu tim dengan Citra biasanya langsung patah
semangat. "Yaah, ada Citra. Pasti kalah deh"," ucap mereka setiap kali selesai
dilakukan pembentukan tim. Seterusnya yang biasanya akan terdengar adalah
seruan-seruan yang seperti saat ini sedang dilontarkan teman-temannya.
"Citra jangan disuruh serve deh. Bolanya ke mana-mana!"
"Netnya dinaekin aja deh. Atau diturunin aja sampai menempel di tanah.
Citra nih, kalo nggak bolanya nabrak net, pasti lewat kolong."
Itu kalau voli. Kalau basket biasanya"
"Bolanya ditendang aja, Cit. Abis lo kalo drible ngaco."
"Khusus buat Citra, kalo dia bisa ngelempar bola sampe setinggi tiga
perempat tiang, anggap aja tuh bola hampir masuk ring. Minimal kena bibirnya
ring deh." Citra sih cuma ketawa-ketawa mendengarnya, soalnya sudah biasa. Namun
di sisi lain lapangan, seseorang sama sekali tidak mengganggap itu sebagai
sesuatu yang lucu. Justru sebaliknya.
Reinald berdiri mematung. Kembali dirasakannya sensasi asing yang
menggelisahkannya. Hanya dalam waktu kurang dari sepuluh menit, satu poin
lagi dalam catatan yang ditinggalkan Ronald, ada di depannya.
Bego olahraga. Nggak ada satu pun olahraga yang dia bisa. Kecuali lari atau
kabur. Dengan geram kembali dihampirinya Citra. Ada satu cara agar cewek itu
tidak menjadi cewek yang disebutkan Ronald dalam catatannya itu.
"Sori! Sori! Break sebentar, yaaa!?" seru Reinald, sambil mengangkat kedua
tangannya membentuk huruf T dan tersenyum lebar. Reinald memasuki
lapangan. Cewek-cewek itu seketika menghentikan permainan. Tidak peduli
dengan tatapan teman-temannya, Reinald menghampiri Citra. Tanpa bicara,
dirapikannya ikatan rambut Citra. Benar-benar rapi, sampai tidak ada satu helai
rambut pun yang tidak terikat kecuali poni.
"Kalo ngiket rambut yang bener!" Reinald menegur tajam dan dengan
ekspresi galak. Reinald sangat berharap Citra mau buka mulut. Ia tidak lagi berminat
memperpanjang pertengkaran mereka seperti kemarin-kemarin. Ia hanya ingin
Citra bicara. Namun Citra tetap bungkam. Meskipun dari ekspresi wajahnya jelas terlihat
cewek itu benar-benar kesal, juga malu. Ini di lapangan, dan yang olahraga
bukan cuma kelas mereka doang. Bikin malu aja!
Sementara itu teman-teman mereka menyaksikan adegan itu dengan
ternganga dan pandangan bertanya. Tapi mereka juga harus mengakui, untuk
pasangan tukang berantem model Reinald sama Citra, sumpah, tadi itu adegan
yang romantis abis! Tidak ada satu pun yang tahu bahwa alasan Reinald melakukan itu adalah
karena Citra melancarkan aksi diam, juga karena kali ini Reinald sadar
usahanya kembali galal. Setelah sekali lagi meyakinkan ikatan rambut cewek itu benar-benar rapi,
Reinald berbisik di telinga Citra dan mengancam pelan, "Kalo lo nggak mau gue
dateng terus ngiket rambut lo lagi, jangan dilepas!" ancamnya pelan.
Kemudian dia balik badan, "Oke, silakan lanjut!" serunya sambil meninggalkan
lapangan. "Bego olahraga"-nya Citra memang hopelees. Tidak bisa dibenahi saat ini
juga. Tapi paling tidak, ikatan rambutnya kini rapi. Jadi ini bukan Citra yang
dilihat Ronald.
Dia Tanpa Aku Karya Esti Kinasih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
*** Sekali lagi kali ini Citra pulang dengan perasan lega dan tanpa beban. Ternyata
kalau nggak ditanggepin dan nggak dipikirin memang nggak bikin emosi ya"
Katanya dalam hati. Cewek itu berjalan menuju halte dengan langkah ringan.
Sementara Reinald justru semakin emosi, dan tambah emosi lagi saat melihat
Citra berdiri diantara kerumunan siswa yang sedang menunggu bus di halte.
Lewat sudut mata, Citra juga mengetahui kehadiran Reinald. Cewek itu
bersyukur banget karena bus yang ditanggungnya sudah datang. Jadi ia bisa
selamat. Begitu bus berhenti di hadapan,Citra buru-buru naik dan menghilang
di dalam perut kendaraan umum yang sarat penumpang itu.
"Kurang ajar tuh cewek! Sialan!" Reinald memaki pelan. Tetapi begitu bus
yang ditumpangi Citra melaju pergi, entah kenapa lagi-lagi Reinald merasakan
itu" rasa asing yang selalu membuatnya gelisah.
Kegelisahan itu ternyata bertahan. Menemaninya selama perjalanan pulang.
Menyertainya saat menyantap makan siang, hingga Reinald nyaris tidak
merasakan apa yang sedang disantapnya.
Menjelang malam, kegelisahan itu membuat Reinald semakin kacau dan
meledak tepat di saat hari tengah gelap. Dan Reinald terenyak.
Kini ia tahu pasti apa yang membuatnya gelisah belakangan ini. Karena Citra
sudah tidak lagi mengeluarkan suara. Karena cewek itu benar-benar bungkam.
Karena cewek itu terang-terangan bersikap seakan ia tak terlihat, seakan ia tak
ada. Kini Reinald juga yakin, perasaan asing yang merambati hatinya belakangan
ini, karena Citra telah membuatnya berdiri di tempat yang sama seperti
Ronald! Menempatkannya di luar lingkaran. Hanya bisa melihat. Hanya bisa
mengawasi. Dan hanya bisa diam.
Kemudian Reinald menyadari dirinya mulai dikecam ketakutan. Ketakutan
yang ternyata membuat kemarahannya menyurut sampai benar-benar ke titik
terendah, dan akhirnya hilang.
Tidak bisa! Reinald menggeleng kuat tanpa sadar. Citra tidak bisa
menempatkan gue di tempat yang sama seperti Ronald, pikir Reinald. Ronald
sudah pergi. Dia sudah tidak ada lagi.
*** Keesokan harinya Reinald berangkat sekolah kembali dengan tekad harus bisa
Si Tangan Sakti 1 Kutukan Jason Kisah Seri Misteri Friday The 13 Karya Eric Morse Si Bayangan Iblis 3