From Sumatra With Love 2
From Sumatra With Love Karya Esi Lahur Bagian 2
rendaman kaki raksasa, kenapa?" timpal Sandro.
"Gak keren amat. Masa tempat rendaman kaki" Sekalian aja bilang buat
merendam cucian," ujar Anty tak mau kalah.
"Eh, lo lihat Adi dan Nidya gak?" tanyaku setelah melihat sekeliling dan
tidak mendapati kedua makhluk itu.
"Gak tahu deh. Jangan-jangan mereka...," jawab Anty gak jelas.
"Kita cari yuk. Gue takut mereka kenapa-kenapa," ajak Lia.
"Gue sih bukan takut mereka kenapa-kenapa. Gue memang mau niat
ngintip mereka. Hehehe... Ayo!" jawabku.
"Bagus. Bagus. Teruskan investigasinya," kata Sandro.
"Ntar ceritain ya, mereka lagi ngapain," kata Anty yang tak mau beranjak
dari pinggir kolam. Kolam pemandiannya memang banyak. Beberapa ada yang tertutup pohon
rindang dan tanaman bunga. Aku dan Lia terus berjalan. Ke mana sih dua
anak itu" "Lo denger gak?" tanya Lia. Aku mengangguk. Kami berjalan mengendapendap menuju arah datangnya suara.
Benar. Adi dan Nidya sedang berduaan. Kami menguping mereka dari balik
semak-semak. Kalau ketahuan, bisa pecah perang nih. Tapi mau bagaimana
lagi" Rasa ingin tahu kami begitu besarnya sehingga kami senekat ini.
"Bukan salah gue dong kalau anak-anak jadi kesel sama lo," terdengar
suara Adi. "Kayaknya gue gak pernah minta ditemenin di kapal dan ke mana-mana
berdua deh. Bukannya itu mau lo sendiri?" tantang Nidya.
"Tapi, masa gue disalahin karena nemenin lo terus" Memangnya lo gak
seneng ya kalo kita jadian" Atau memang lo gak mau?" berondong Adi
dengan nada tinggi. "Bagaimana mau jadian" Buktinya, gue diserang anak-anak, lo gak bantuin
sama sekali. Malah diam dan asyik sendiri," ujar Nidya marah.
"Habis, gue mesti gimana dong" Bagaimana membelanya" Masa gara-gara
durian aja lo ngambek" Kan gak salah mereka bilang lo cengeng. Lo begiru
sih," kata Adi bingung.
"Begitu gimana" Kalau gak suka, ya sudah." Nidya langsung berdiri dan
pergi meninggalkan Adi yang sempat terbengong-bengong. Tak lama
kemudian Adi berdiri dan menarik tangan kanan Nidya. Tapi Nidya tidak
mau duduk lagi dan langsung pergi. Wuih, bener-bener kayak sinetron deh.
Tinggal kami yang kebingungan mencari kesempatan pergi agar tidak
ketahuan. Aku segera berdiri dan keluar dari semak. Lia juga. Kami
memasang wajah sok polos, lalu berjalan mendekati mereka. Seolah tidak
sengaja, kami berpapasan dengan Nidya yang tampangnya lusuh.
"Ke mana aja lo, Nid" Kami cari dari tadi kok gak ada?" tanyaku sembari
berharap dia tak melihat adegan aku dan Lia menyembul dari semak
barusan. "Muter-muter," jawab Nidya dengan wajah tak kalah panik.
"Ke kolam yuk! Kami juga nyari Adi nih, kan kita mau foto bareng berlatar
Gunung Sibayak," ujarku lagi dengan alasan yang dicari-cari.
"Gue juga gak lihat dia," kata Nidya.
Duilah, bohong tapi ketahuan. Kenapa juga dia mesti bohong ya" Lia
melirik ke arahku dengan wajah kesal. Mungkin dalam hati Lia merutuk,
"Dasar tukang bohong!"
"Mana ya Adi" Kok pakai acara ngilang segala" Kalau gak ada dia, kita
belum bisa foto bareng nih. Apa ke WC, ya?" kataku pura-pura bingung.
"Gak tahu," jawab Lia sementara Nidya diam aja. Pasti Adi mendengar suara
kami, tapi kenapa dia diam aja" Apakah takut ketahuan tadi habis
berduaan" Entahlah. Yang pasti aku dan Lia gak berani menengok ke
belakang. Takut malah mencurigakan.
Sampai di tempat ngumpul tadi, Anty, Klli, Krisna, dan Sandro masih asyik
merendam kaki sementara Mahmud ngobrol dengan Tante Arta yang
menjaga ransel kami. Tante Arta juga sudah membawa bekal makan siang
berupa ikan asin, mi goreng, telur ceplok, kerupuk udang, dan sambal.
Nasinya beli di kafetaria pemandian supaya hangat.
Kami sudah berkumpul untuk makan kecuali Adi, juga Anty yang masih
nongkrong di tepi kolam. Saat kami sedang mengambil makanan di piring
styrofoam, Anty menjerit-jerit sambil berdiri.
"Mati gue. Celana gue basah! Celana gue basah!" teriak Anty sambil berlari
ke arah kami. Lagi-lagi tuh anak jadi bahan tertawaan. Sudah tahu kolam
lagi diisi dan mulai meluber, bukannya buru-buru angkat kaki, eh dia malah
nangkring sambil bengong.
"Lo jerit-jerit, disangka dikejar komodo, tahu!" semprot Krisna.
"Yah... Gimana dong" Celana gue basah nih," sesal Anty sambil
menunjukkan bagian belakang celananya yang kuyup.
"Sudah tahu air luber, bukannya berdiri. Siapa suruh lo bengong-bengong"
Berkhayal jadi putri keraton di petirtaan, ya?" kata Sandro sinis seperti
biasanya. "Bukan ngayal. Gue memang putri keraton yang menyamar jadi rakyat
jelata," jawab Anty sewot.
"Kalau putri keraton seperti lo, lantas gue siapa" Tukang bubut keraton"
Pemelihara pusaka keraton" Kalau gue aja jabatannya begitu, bagaimana si
Mahmud?" tukas Krisna sambil melahap kerupuk udang.
"Apa ya jabatan terendah di keraton" Kacung kayaknya sudah maksimal
deh," tambahku. "Pembicaraan makin sadis nih," sela Lia geleng-geleng kepala. Tak ada lagi
yang menyahut. Adi datang dengan wajah tenang seolah tak terjadi apa-apa. Setelah
mengambil makan siang yang sudah disediakan Tante, Adi memilih duduk
di sebelah Anty, bukan di sisi Nidya yang sudah mulai terlihat bete lagi.
"Ty, lo sudah gak sabar ya pengen makan durian?" canda Adi pelan.
"Lo kok tahu sih" Memang lo bisa ya meramal hati gue?" Anty balik
bertanya dengan wajah pura-pura terkejut dan centil.
"Apa susahnya sih meramal wajah lo" Yang tergambar kan hanya makanan
melulu," semprot Mahmud.
"Mampus lo, Ty. Memang enak diledekin begitu?" ledek Krisna sementara
Anty hanya ngedumel soal celananya yang masih basah.
*** Perjalanan menuju Kabanjahe dilanjutkan. Kami sudah melintasi Brastagi.
Karena kekenyangan, mulut rasanya terkunci. Tidak ada saling ledek meski
Anty sibuk melipat handuk dan menjaga parsel supaya tidak jatuh ke dasar
angkot. Yang ada hanya suara mengiris ala Pance.
Akhirnya sampai juga di kebun Tante Arta. Uniknya, di dlam area kebun
rata-rata terdapat makam yang berukuran besar dan berhiaskan batu
marmer. Yang di kebun ini makam suami Tante Arta. Selagi Tante Arta, Egia,
dan Imam membersihkan makam, kami disuruh berkeliling. Pohon jeruknya
banyak, boleh langsung dipetik dan dimakan. Mmm, enak. Rasanya manis.
Selain jeruk, ada buah beri yang kami kumpulkan untuk dimakan di rumah
nanti. "Gue gak tahan lagi nih," keluh Anty ke Adi.
"Iya, gue juga," jawab Adi suntuk.
"Lo berdua kayak mau ngapain aja. Gara-gara durian sampai suntuk
begitu," kataku. Sepasang monster durian itu langsung meminta Imam membukakan pintu
angkot. Mereka mau menurunkan dua puluh durian itu ke kebun. Tidak ada
seorang pun dari kami yang tergerak untuk membantu karena mereka juga
terlihat kurang senang dibantu. Mungkin keduanya sudah berencana
menguasai durian-durian itu.
Begitu semua durian terampar di kebun, tanpa ba-bi-bu lagi mereka
langsung membukanya. Aku mengambil sebuah untuk dimakan bersama
Krisna, Kelly, Lia, dan Sandro. Mahmud lebih memilih menemani Nidya yang
tak bisa bersahabat dengan durian. Mereka berdua berjalan kembali ke
kebun jeruk. Tante Arta, Egia, dan Imam hanya tertawa-tawa melihat
kelakuan kami yang sedang menikmati durian, terutama Adi dan Anty yang
kalap. Kami makan durian dengan nikmat dan perlahan, tidak serakus Adi
dan Anty. Sandro memberi kode kepadaku agar melihat Mahmud yang
sedang mepet dengan Nidya sementara Adi masih kesurupan durian.
"Gila ya. Lo berdua benar-benar OD. Over Durian! Kami baru satu, kalian
sudah dua!" teriak Kelly.
"Sudah deh, jangan berisik. Nikmati aja!" kata Anty dengan pandangan
tetap fokus ke arah daging durian yang montok menguning.
"Enak banget, ya," puji Adi bolak-balik.
Kami benar-benar makan durian yang murah dan lezat dalam suasana
meriah sampe puas. Adi dan Anty terlihat berkonsentrasi penuh pada
santapan itu sampai-sampai tak memperhatikan kepergian Mahmud dan
Nidya ke tengah kebun. Terlupakan sudah derita Anty yang betisnya
sempat tertusuk-tusuk durian saat di angkot tadi.
Setelah dua puluh menit berkutat dengan durian, baru deh Anty tenang
dan gak resah lagi. "Rasanya mantap banget!"
"Puas lo?" tanya Sandro.
"Banget. Omong-omong, Nidya ke mana" Jangan-jangan sudah masuk
kuburan gara-gara gak tahan bau durian," kata Anty geli.
"Pergi dengan Mahmud," jawab Sandro.
Aku melirik Adi yang pura-pura tidak mendengar jawaban Sandro. Kini Adi
beralih mencicipi buah beri yang baru kami petik. Wajah Anty langsung
berubah penuh gosip. "Adi! Itu beri kan belum dicuci. Kok lo makan gitu aja" Ntar kalau sakit
perut jangan protes ya," kataku.
"Mending gue makan beri. Daripada lo" Omongin sakit perut melulu dari
kemarin," protes Adi cuek.
Huu... Habis makan durian, makan beri, nanti mules beneran baru meringis
deh. Mendengar kami ribut gak ada juntrungannya, Kelly mengajak kami ke sisi
lain kebun. Mungkin Kelly berharap kumpulan tanaman terong Belanda di
situ bisa meredam kegilaan yang baru saja terjadi di antara temantemannya yang selalu penuh kehebohan. Lia yang sedari awal sudah
terobsesi membuat jus terong Belanda sendiri dan berencana meminjam
blender Tante Arta langsung memetik terong-terong itu. Ternyata terong
Belanda yang ranum tergantung di bagian atas. Demi servis yang bagus,
Kelly sebagai saudara pemilik kebun ngebela-belain minta digendong Egia
agar bisa meraih buah di bagian atas.
"Bisa-bisa berkurang deh pemasukan Tante Arta gara-gara buahbuahannya kita panen duluan," kataku pelan.
"Sst... bayarannya kan setimpal. Dia kedatangan artis-artis ibukota seperti
kita," jawab Anty. "Iya, bener. Apalagi Imam. Kayaknya dia kagum benget melihat kami. Sudah
bagus dia bisa menahan diri gak minta foto bareng dan tanda tangam kita,"
imbuh Krisna. "Kalian pada kesambet setan apaan sih" Sudah, bantuin Lia bawa terong
Belanda tuh," kataku pada Krisna.
"Sa, gue denger-denger ya, sejak berangkat omongan lo kalau gak sakit
perut, yah kesambet atau kesurupan. Memang gak ada tema lain yang lebih
menarik?" kata Krisna gekeng-geleng kepala sambil membawa plastik besar
berisi terong Belanda. "Tambah lagi nih pembantu kita?" tanya Kelly usil.
"Kel, dia nih bukan pembantu, tapi asisten pribadi gue. Sebagai artis papan
atas, gue kan harus punya asisten pribadi," jawab Anty kenes.
"Artis apaan" Artis kebun terong" Lo jangan cerewet deh. Sudah, sana
jalan," usir Krisna.
Beramai-ramai kami berjalan meninggalkan kebun terong Belanda. Ketika
sampai di makam yang rindang tadi, Nidya dan Mahmud sudah menunggu.
Mereka asyik mengobrol dengan Egia. Karena Tante Arta mengajak pulang,
ya sudah, kami langsung naik ke angkot untuk kembali ke Medan.
Dalam perjalanan pulang ke Medan, Sandro mulai usil. "Makan teman lo,
Mud," ujarnya. "Makan teman gimana?" tanya Mahmud dengan wajah sok polos
sementara Nidya terus melihat ke arah luar.
"Sudah tahu Adi demen sama Nidya, kok malah lo ajak pergi berduaan saat
pesta durian tadi?" cecar Sandro sambil menatap tajam ke Mahmud yang
kelimpungan. "Cuma jalan-jalan melihat kebun jeruk," jawab Mahmud ragu.
"Kalau lo senang juga sama Nidya, bilang aja terus terang," kata Sandro lagi
dengan cuek. Wajah Mahmud langsung memerah, dia tak bisa menjawab. Mati kutu.
Apakah itu berarti dugaanku benar bahwa cowok lain yang naksir Nidya
dan membuat dia bimbang adalah Mahmud" Kalau benar begitu, jelas aja
Nidya pusing. Paling bagus memang tidak memilih di antara keduanya.
Tapi kalaupun harus memilih, lebih baik Nidya dengan Adi. Kalau Nidya
memang cewek yang malas, barulah Mahmud cocok menjadi pria pilihan.
Untuk mencairkan suasana yang rada tegang akibat ulah Sandro
memojokkan Mahmud, Krisna memamerkan hasil foto di kamera digitalnya.
Kebanyakan foto tidak ada Mahmud karena dia memilih mengabdikan diri
pada kami. *** Sekalipun sudah pukul sepuluh malam dan badan sudah kelelahan, mata
dan mulut kami tidak mau diajak kompromi. Cowok-cowok masih saja
nonton TV. Sedangkan kami para cewek asyik ngobrol di kamar. Apa lagi
yang dilakukan cewek ketika ngumpul kalau bukan bergosip"
Mulanya kami ngomongi Bu Ani, guru biologi yang super judes dan gak
kawin-kawin alias perawan tua. Ujung-ujungnya kami beralih
membicarakan geng saingan kami, Bella dkk, yang otaknya superkosong
plus menang dandan dan mejeng doang. Pasti mereka sebel banget kalau
tahu geng kami bisa jalan-jalan ke Sumatra.
"Gimana kalau mereka malah melecehkan kita?" tanya Lia.
"Melecehkan bagaimana?" aku balik bertanya.
"Mereka kan lebih tajir. Bisa aja mereka bilang kita norak, kenapa gak ke
Bali atau Lombok?" kata Lia.
"Tetap aja menang kita. Kita kan nabung, pakai uang sendiri. Kalau mereka,
ngemis ke orangtua. Kan yang tajir orangtuanya. Lebih hebat kita, kan?"
jawabku. "Bener tuh! Omong-omong, lo nyebut-nyebut soal nabung maksudnya
nyindir gue, ya?" ujar Kelly.
"Iya. Itu sebenarnya sindiran halus buat lo. Tahu gak, selama ini kita kan
menderita banget," keluhku bercanda.
"Siapa suruh mempercvayakan uang kalian ke gue?" Kelly balik protes.
"Tapi seru juga ya perjalanan kita. Pokoknya keren abis," tambah Anty.
"Lo gimana, Nid" Gigi lo berlubang" Kok dari tadi diam aja?" tanya Kelly
pada Nidya yang memang hanya diam.
"Gue baik-baik aja," jawab Nidya ogah-ogahan.
"Gue sih terus terang ya, kalau lo diam terus, suasana jadi gak enak. Kalau
lo ada masalah, cerita aja sama kami. Kan aneh, yang lain senang-senang,
ketawa-ketiwi, tapi lo malah diam aja. Jutek melulu," semprot Kelly keras.
"Masalah apa" Kalau gue ada masalah, kalian juga belum tentu bisa bantu
menyelesaikan. Paling-paling juga gosipin doang," jawab Nidya sinis.
"Ya sudah, Nid. Kalau lo gak mau cerita, terserah lo. Tapi sikap lo wajar aja
dong. Jangan sedih atau bete melulu. Yang lain kan jadi merasa gak enak
hati," tambahku sewot melihat sikap acuh tak acuh Nidya.
"Gue sih gampang aja. Kalo lo gak mau cerita, berarti lo gak menganggap
kami sahabat. Gimana kami gak ngegosipin lo kalau semua serba gak jelas
sehingga kami jadi menduga-duga?" Anty ikut menyerang Nidya.
"Terserah kalian deh," jawab Nidya.
"Memang terserah kami. Pokoknya lo jangan merusak suasana, ya," ancam
Kelly. "Daripada berantem mendingan tidur. Besok kan kita mau ke Danau Toba,"
kataku kesal. "Masa kita mau senang-senang, malah jadi perang mulut
begini?" Menyebalkan!! Bab 5 Truth or Dare" Hari keenam. Siang ini kami sudah berada di angkutan menuju Parapat. Kali ini kami naik
angkutan umum supaya kantong tidak jebol. Kami berencana makan siang
di sana. Selama perjalanan kami menggajal perut dengan camilan yang
lagi-lagi dibawa oleh Anty.
Di tengah lalu lintas yang padat, tahu-tahu dengan cueknya sopir angkot
kami menyetir di jalur yang berlawanan. Ternyata dia menghindari dua anak
From Sumatra With Love Karya Esi Lahur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gajah yang sedang melintas. Bayangkan, anak gajah diangon di jalan
protokol. Orang sini bener-bener cuek abis ya"
Tanpa direncanakan, posisi duduk kami di angkot terrnyata seru. Ada tiga
baris bangku yang semunaya menghadap ke depan. Mahmud, Nidya, dan
Adi duduk sebaris, tepat di depanku yang duduk paling belakang dan
berdampingan dengan Kelly, Lia, dan Anty. Di belakang sopir ada Krisna
dan Sandro bersama seorang ibu.
Gak tahu bagaimana cara Krisna melobi ibu tua itu, tahu-tahu kami
ditawarin rambvutan miliknya yang dibawa dalam satu keranjang penuh.
"Gak usah, Bu," kata Krisna malu-malu dan sok nolak.
"Tidak apa-apa. Makan saja, bagi teman-temanmu. Ayo, ini gratis. Dari
kebun Ibu sendiri," kata ibu itu setengah memaksa sambil menyerahkan
seikat rambutan ke Mahmud dan seikat lagi ke Krisna.
"Mud, bawa sini rambutannya," pinta Anty.
Mau tak mau Mahmud menyerahkan rambutannya tanpa sempat dicicipi
dulu. Tanpa merasa bersalah minus basa-basi Anty langsung menguasai
rambutan itu. Nidya dan Adi tak bersuara sedikit pun. Pasrah dengan
kesintingan temannya yang satu itu.
"Lo minta ke Krisna aja deh. Yang ini untuk cewek-cewek di belakang,"
perintah Kelly pada Mahmud yang lagi-lagi harus menurut.
Sambil memgunyah rambutan gratisan kami menikmati pemandangan
berupa hamparan sawah hijau. Walaupun tidak pakai pendingin, udara
dalam angkot terasa kondusif karena hujan deras. Adem dan bikin ngantuk.
Apalagi di jam-jam kritis yang tepat untuk tidur siang ini.
*** Karena berangkatnya kesiangan, kami sampai di Parapat sore. Sekalipun
sudah reda, hujan menbuat jalanan becek dan licin. Namun tak ada pilihan.
Kami harus turun dari angkot dan melanjutkan perjalanan di sepanjang
tempat penginapan dengan berjalan kaki.
Dasar jodoh. Baru berjalan sebentar, kami berhasil mendapat penginapan
yang tarifnya sesuai dengan bujet. Jadilah malam ini kami tidur di
penginapan Toba Jaya, sebuah vila dengan dua kamar tidur yang masingmasing dilengkapi kamar mandi.
"Selamat datang semua! Ini panti rehabilitasi kegilaan," kataku seolah
menyambut kedatangan para tamu yang sebenarnya teman-temanku
sendiri. "Oh, saya kira ini kebun binatang, Dok," Anty ikutan iseng.
"Kamu betul. Sebenarnya ini kebun binatang. Lihat, itu trenggiling, badak
Jawa, Babon...," kataku sambil menunjuk Kelly, Krisna dan Sandro yang
hanya bisa mengelus dada.
Aku dan Anty mengecek kamar mandi. Wah, enak. Airnya segar dan dingin
banget, langsung dari Danau Toba nih.
"Gue mau kasih tau ya. Katanya di sini ada kepercayaan tidak boleh bicara
kasar dan jahat. Kalau dilanggar, pas naik kapal menyeberang ke Pulau
Samosir, kapanya bisa terbalik atau mulut kita bisa monyong," kata Kelly
serius. "Beneran nih?" tanya Krisna tak yakin.
"Serius!" jawab Kelly.
"Memang pernah kejadian?" aku ikut bertanya.
"Belum sih, tapi sebaiknya jaga aja mulut kita," kata Kelly lagi.
"Kalau gak bisa berenang, jelas aja panik. Kalau bisa berenang, kenapa
mesti takut" Lagi pula gue gak pernah baca di koran ada kapal terbalik di
sini," bantahku. "Sudah deh. Lo nurut aja. Lo enak bisa berenang. Yang lain kan gak bisa.
Kalau kebalik beneran, gimana" Lo mau tanggung jawab?" kata Sandro
kepadaku. "Oke, oke. Terserahlah. Mulai sekarang kita jaga supaya percakapannya
manis-manis. Duhai, Anty, betapa cerdas otakmu dan begitu jelita rupamu,"
kataku pada Anty yang kebingungan dengan larangan bicara kasar itu.
"Ngaco lu! Eh, bakalan lucu nih. Nanti kalau WC-nya bau pesing, kita bilang
begini, 'Teman-temanku tercinta, betapa wangi WC ini, bagaikan semerbak
mawar'," tambah Anty konyol.
"Kenapa sih kalian cewek-cewek susah amat dikaih tahu?" akhirnya Adi
angkat bicara. "Ya sudahlah, kita ikuti aja. Toh gak ada ruginya juga," kata Lia mengambil
jalan tengah. "Kan ini panti rehabilitasi, suka-suka kami dong mau ngapain." Anty tak
mau kalah. "Kalian mau makan apa?" tanya Mahmud memotong candaan yang mulai
tak jelas itu. "Adanya apa?" Krisna bertanya balik.
"Mau beli jadi aja?" tanya Lia.
"Iya. Mendingan beli jadi di rumah makan Padang aja. Jadi Mahmud kan
bisa istirahat," Sandro memutuskan. Tumben nadanya bersahabat dengan
Mahmud. Takut kapal kebalik nih ye!
Karena tak jadi dipakai masak, Mahmud meletakkan tas berisi peralatan
masak koleksi pribadinya di dekat ranselnya. Aku tahu, di dalamnya ada
tabung gas sebesar tabung pilox, sutil kecil, rantang multifungsi yang bisa
jadi wajan, serta pisau lipat.
Sebagai ganti memasak, Mahmud minta waktu untuk membetulkan lampu
ruang tengah yang tidak bisa dinyalakan. "Kalau nanti gelap kan gak enak.
Mending sekarang gue benerin. Kalian kalau sudah lapar ganjel dulu
dengan biskuit," saran Mahmud.
Buset, baik bener nih orang. Sekedar sandiwara untuk cari muka ke Nidya
atau sungguhan tulus nih" batinku sewot.
Sembari menunggu Mahmud mereparasi lampu, kami makan bekal dari
Medan berupa dodol srikaya dan bika ambon di tempat tidur. Lumayan
untuk menahan rasa lapar. Setelah lima belas menit Mahmud mengutakatik kabel, simsalabim...! Lampu menyala benderang.
"Hebat lo, Mud. Berbenah bisa, montir jago, tukang listrik juga oke. Yang
belum terbukti cuma sebagai tukang kebun dan koki," pujiku takjub
terhadap keterampilan Mahmud.
"Kenapa lo masuk SMA sih" Kenapa gak milih sekolah kejuruan?" tanya
Kelly. "Gak ah, gue mau SMA aja," jawab Mahmud sambil membereskan alat
reparasi berupa tespen dan gunting kecil.
"Kejuruan apa, Kel" Dia kan serba bisa dan berbakat alam. Nanti gurunya
yang stres. Selama ini kan di SMA ada olimpiade fisika atau biologi, tapi ada
gak ya olimpiade kacung?" tanyaku sadis.
"Kacau lo, Sa!" Lia menimpali.
"Jaga mulut kalian tuh," Sandro mengingatkan dengan nada sok bijak. Aku
menjulurkan lidah ke arahnya dengan sewot.
"Udah beres, kan" Yuk kita makan!" ajak Lia agar aku dan Sandro tidak
keburu bertengkar. *** Hikmah sampai di Parapat kesorean serta atas nama pengiritan, makan
siang pun digabung dengan makan malam. Keputusan memilih restoran
Padang memang pilihan jenius karena nasinya bisa segunung. Kami bisa
balas dendam akibat absen makan siang.
Sambil makan Anty mulai nyerocos, "Jadwal kita padat ya. Jadi serasa artis."
"Iya, artis kuburan," jawab Kelly.
"Lulus SMA kita masuk jurusan pariwisata aja, terus bikin biro perjalanan.
Gimana" Kayaknya udah ada bibit-bibit kesuksesan. Anty jadi pemandu
wisata, Mahmud jadi tukang angkut koper sekaligus sopir," kataku.
"Gue bagian penjualan tiket, ya?" kata Krisna.
"Ngapain ditanggapi sih kegilaan mereka?" Sandro menegur Krisna.
"Idih... Sirik! Oke, lo bagian penjualan tiket tapi Adi jadi apaan" Kan dia
pendiam, bicara juga saat dia mau aja. Lo maunya di bagian apa, Di?" tanya
Anty. "Mm... Gue di bagian apa ya" Pengetikan aja deh," jawab Adi pelan.
.Mana ada bagian pengetikan" Itu kan udah dirangkap penjualan tiket,"
protesku. "Ampun deh, cewek-cewek cerewet banget sih?" amuk Sandro.
Kami terpaksa mengunci mulut daripada tukang teror itu melanjutkan
amukannya. Setelah kenyang makan, sekalipun suasananya agak gelap, kami paksakan
menyusuri tepian Danau Toba yang selama inui hanya kami kenal sebagai
sebuah noktah di peta buta. Saking gembiranya bisa kesampaian melihat
langsung Danau Toba setelah oerjalanan melelahkan dengan kapal edan
itu, kami saling melakukan tos bergantian.
"Sampai juga kita di sini," kata Lia gembira.
"Iya ya. Gak sia-sia gak mandi di kapak," tambah Krisna.
"Ayo, kita foto-foto," ajak Anty semangat.
"Heh, sinting lo kumat ya" Ngapain juga foto malam-malam" Kan gak
kelihatan apa-apa" Besok juga kita ke sini lagi. Kan mau nyebrang ke Pulau
Samosir," kata Krisna menanggapi keinginan Anty.
"Keren ya lampu pada menyala semua. Kerlap-kerlip," kata Anty sok
romantis. Padahal, sumpah deh, sinar lampu itu terasa kecil banget di area
Danau Toba yang luar biasa luas itu.
"Kalau lampu-lampunya rusak kan ada Mahmud. Tinggal dibenerin aja,"
jawabku empet. Memang Anty sering sok melankolis. Sudah bagus
matanya gak berkaca-kaca.
Puas memandangi Danau Toba di waktu malam, kami berjalan agak
perlahan karena jalan kembali ke penginapan agak menanjak. Angin
bertiup sepoi-sepoi dan terasa agak basah. Aku mulai merasa kedinginan.
Kenapa tadi tidak mengenakan kaus tangan panjang ya"
*** Sampai di penginapan Lia mengajak main Truth or Dare ala geng kami.
Semua mengangguk setuju. Lebih baik main daripada ngobrol yang
akhirnya bisa berakibat peperangan.
"Jangan yang aneh-aneh. Boleh kasih perintah konyol asal seputar kita. Dan
untuk yang berbohong, kalau nanti menjawab truth, kita sumpahin apa ya?"
tanya Lia. "Berat jodoh," jawabku asal.
"Itu sih hukuman seumur hidup. Yang sesaat aja, toh belum kejadian juga,"
ujar Adi. "Ya sudah, yang bohong kita sumpahin sial selama perjalanan. Gimana"
Setuju gak?" saran Kelly. Semua menyetujui.
"Yang bisa bertahanm sampai akhir berarti lolos dari permainan, ya"
Hitung-hitung sebagai hadih bagi sang juara," kata Adi. Yang lain
mengangguk. Cewek-cewek menuliskan perintah untuk "dare", sedangkan cowok-cowok
yang jumlahnya lebih sedikit menulis versi "truth". Semua kertas digulung
dan diletakkan terpisah. Setelah itu kami mulai main kartu domino. Yang
kalah harus mengambil dan membuka salah satu gulungan, kemudian
menjawab atau melakukan perintah yang tertulis.
Ups, jatuh korban pertama! Siapa lagi orangnya kalo bukan Anty" Ia
memilih "dare". Dengan takut-takut ia membuka gulungan kertas.
"Yaaahh... Mati gue!" teriaknya.
"Apaan sih" Baca dong!" Kami semua ingin tahu.
"Selamat merasakan dinginnya air Danau Toba. Lo harus mandi dan
keramas," baca Anty panik.
Kami semua tertawa ngakak. Anty mencoba menawar menjadi hanya
mencuci muka. Tapi semua menolak keras. Terpaksa dia mengambil
handuk, sabun mandi, dan sampo.
"Lo gak bisa bohong, karena kalau kulit lo gak keset dan rambut lo gak
basah kuyup plus wangi berarti lo bohong. Oke?" kata Kelly kejam.
Anty pun bergegas masuk kamar mandi, "Iya, iya, gue mandi nih. Biar wangi
kayak kuntilanak." "Siapa nih yang nulis" Lo ya, Li?" Krisna mencoba mEmbaca tulisan tangan
di kertas. Lia hanya senyum-senyum.
Sambil menunggu Anty menunjukkan "keberaniannya", kami melanjutkan
permainan. Di tengah-tengah permainan, Anty keluar dengan tubuh
menggigil. Semua terbahal melihat Anty yang langsung lari masuk kamar.
Tak lama dia keluar lagi sambil memakai jaket tebal dan selimut
penginapan yang tebal. "Itu selimut kan bau, Ty. Kayaknya udah lama gak dicuci deh," kataku jijik.
"Bodoh deh. Dingin banget. Biar deh panuan, yang penting gue sudah
terbebas dari permainan maut ini," kata Anty sumringah.
Korban kedua adalah Nidya yang memang bermain ogah-ogahan. Dia
memilih "dare". Mukanya langsung bingung begitu membaca tulisan dalam
gulungan. "Mudah saja. Ciumlah tangan lawan jenismu yang menurutmu
paling perhatian padamu." Suara Nidya terdengar lemas.
"Gila! Pas banget. Permainan ini kayaknya direstui penunggu Danau Toba,"
tanggap Sandro kocak. Adi terlihat tenang. Mahmud mesam-mesem.
"Memang siapa yang perhatian sama Nidya" Gue gak peduli," ujar Krisna
dengan wajah yang dibikin sok "biar pada tegang". Apalagi Nidya memang
terlihat bingung bin panik.
"Bingung amat lo, Nid. Cium tangan gue aja. Sini," kata Krisna
menyodorkan tangan kanan.
"Tunggu dulu. Ingat kutukan permainan ini. Kalau bohong dalam perjalanan
ini bisa sial terus," tegas Anty menakut-nakuti. Kali ini Anty berada di atas
angin karena sudah terbebas dari segala hukuman. Belum sempat Anty
menutup mulut, Nidya sudah mengambil tangan Mahmud dan
menciumnya cepat! "Cieeeh!" teriak kami menyoraki keduanya. Wajah Nidya dan Mahmud
langsung merah padam. "Seneng banget dong lo. Mud. Kacung naik pangkat," komentar Sandro
pedas. Mahmud hanya tertawa-tawa. Aku yakin, hati Mahmud pasti meledak-ledak
saking bahagia. Tapi, kenapa juga Nidya memilih Mahmud" Kalau aku,
daripada Mahmud mending Adi.
Adi diam saja. Dia tidak ikut bersorak, malah minta permainan segera
dilanjutkan. Nidya dan Anty sudah bebas dari keharusan bermain dan
sekarang boleh jadi penonton. Anty masuk ke kamar untuk mengembalikan
selimut karena lama-lama kepanasan juga.
Yang bermain tinggal tujuh orang. Kali ini aku yang kalah. Aku nekat
memilih "truth".
"Tunggu bentar! Berani juga lo milih truth?" kata Sandro terkesan
meremehkanku. "Lo mau milih 'truth' juga" Ya sudah, tunggu aja giliran lo," jawabku cuek
sambil memulai membaca. "Cium kedua pipi orang yang paling lo benci,"
kataku lemes. "Mampus lu!" Krisna tertawa geli.
"Cewek atau cowok nih" Kayaknya yang nulis Mahmud deh," ujarku sambil
menatap Mahmud tajam. "Tahu aja lo, Sa," kata Mahmud senang.
"Oke, kalau itu membuat lo gembira," kataku sambil mendekati Mahmud
dan mencium pipinya dengan cepat. Yang lain bersorak.
"Hebat lo, Mahmud. Dalam semalam dicium dua cewek. Yang satu cinta,
yang satu benci," kata Kelly ketawa ngakak. Mahmud hanya senyamsenyum tanpa kata.
"Kalau perintah tadi kena ke Anty, gue tahu siapa yang bakal dia cium,"
kataku. "Emang siapa?" tanya Lia penasaran.
"Tembok," jawabku asal-asalan.
Permainan dilanjutkan kembali. Krisna jadi cowok pertama yang harus
angkat kaki. "Kalau milih 'truth' kayaknya gak seru deh," katanya sambil mengambil dan
membuka gulungan kertas "dare". "Denger nih, gue bacain, ' Seperti apa
cowok atau cewek idaman lo dan adakah cewek di sini yang mendekati
standar lo"' Buset, siapa nih yang bikin pertanyaan?" ujar Krisna sambil
geleng-geleng kepala. "Silahkan pilih kelima cewek gila ini," goda Sandro.
"Cewek gila apaan" Kami kayak bidadari gini," bantahku.
"Bidadari di kuburan," jawab Sandro lagi.
"Gimana ya" Kalau fisik standarlah. Cakep kan relatif, tapi jelek mutlak.
Hehehe... Kalau bisa, pengennya yang rada montok gitu lho. Masih normal,
kan?" kata krisna sok tersipu.
"Suit, suiiit!" Semua bersorak gaduh.
"Jangan fisik aja dong, sifatnya bagaimana?" seru Adi.
"Lo kok nanya langsung" Penasaran banget!" Krisna balik bertanya sambil
From Sumatra With Love Karya Esi Lahur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tertawa. "Kan kalau gue tulis semua perranyaannya bisa kepanjangan," jawab Adi.
"Iya deh, gue jawab honestly. Pokoknya ceweknya harus penurut, gak
banyak macem, otak lumayan encer tapi berpendirian," jawab Krisna.
"Panjang amat kriteria lo. Inget ya, kita nih lagi main, bukannya lagi nyeleksi
kontes kecantukan," kata Kelly.
"Jadi siapa di sini yang menyerupai keinginan lo?" Anty ikutan bertanya.
"Yang pasti bukan lo," jawab Krisna cepat.
"Hahaha..." Kami tertawa terbahal-bahalk mendengar jawaban Krisna yang
meng-knock kecentilan Anty.
"Kasihan deh lo," celetuk Nidya.
"Biarin ah. Gue doain ntar lo kawin sama cewek kayak gue," rutuk Anty.
"Lo ngomong jadi melantur ke mana-mana sih. Samapi ke kawin segala.
Kita kan masih SMA," balasku.
"Siapa ya" Mungkin yang agak mendekati sifat ideal adalah Lia," jawab
Krisna dengan pipi bersemu.
"Cieeeeh...!" Teriak kami lagi. Lia hanya tersipu sambil mengucapkan
"terima kasih".
"Tunggu dulu! Tapi untuk fisik gue maunya kayak Clarissa," tambah Krisna
sambil mengedipkan mata ke arahku.
"Pokoknya, Sa, kalo sampai lo diperkosa, lo sudah tahu siapa kemungkinan
pelakunya," ujar Sandro geli.
"Li. Li, kalau gue jadi lo, gue sih tersinggung. Masa lo dipilih sifatnya doang,
itu kan sama aja lo jelek," kata Anty memanas-manasi Lia meskipun
maksudnya hanya bercanda.
"Gue gak bilang Lia jelek. Iya kan , Li?" Krisna membantah. Yang ditanya
hanya mengangguk-anggukan kepala dengan senyum yang agak
dipaksakan. "Masa Lia jelek" Gak ah. Gue kalau dikasih juga mau kok," kata Mahmud
mencoba mencairkan suasana dengan gaya genit.
"Tapi gue yang gak mau," jawab Lia cepat.
"Mampus lo. Mud," kata Kelly ngakak.
"Kasihan deh lo. Banyak kan yang sebal sama lo?" tambahku geli.
Permainan maut itu kembali dilanjutkan. Rupanya kalau tinggal jago-jago,
permainan malah berjalan lebih lama. Mereka pada kelamaan mikir. Dan
akhirnya Kelly lah yang terpental.
"Duh, nasib gue!" rutuk Kelly yang kebingungan memilih "truth" atau
"dare". "Masa' lo gak berani milih 'truth' sih?" pancingku.
"Iya, Kel. Gue aja berani, masa lo gak" Kan ini Sumatera Utara, wilayah
nenek moyang lo. Jangan bikin malu dong," Sandro memanas-manasi.
"Apa hubungannya sama nenek moyang gue?" Kelly balik bertanya dengan
geli. "Ya gak ada. Tapi gue pengen lo milih 'truth'," kata Sandro sambil
menyodorkan dua gulungan sisa "truth".
"Oke, oke. Gue jawab tantangan lo. Ini kan hanya permainan," kata Kelly
sambil mengambil salah satu gulungan. Dia membuka gulungan dan
membaca dalam hati agak lama, lalu terkekeh sendiri. "Apa komentar lo
tentang Mahmud" Kalo lo Mahmud, apa komentar lo tentang Nidya?"
"Wah, pertanyaan tendensius nih. Terlalu mengarah," komentarku.
"Yang nulis Adi nih. Kayaknya ada problem pribadi," goda Kelly pada Adi
yang hanya terdiam. "Sudah, jawab aja kalau berani," pancing Anty.
"Kayaknya malam ini Mahmud jadi bintang. Kok semua pertanyaan
mengarah ke dia ya?" Lia sampai heran.
"Lo diam aja, Nid! Bantuin dong, itu kan pria kesayangan lo," tambahku.
"Bantuin bagaimana" Bantu doa?" Nidya mencoba bercanda.
"Lo mau jawab gak sih" Kalau gak bisa, biar gue aja deh yang jawab atau
kita kolaborasi jadi Kelly featuring Sandro?" tekan Sandro bikin suasana
makin seru. "Ssst... Para fans harap tenang. Gue mau bicara dulu. Menurut gue,
Mahmud sebenarnya orang baik, cuma dia suka over acting. Memang
maksudnya baik, membantu kita. Tapi kayaknya ada udang di balik batu
deh," ujar Kelly. "Batu hancur, udangnya mati dong," tambahku.
"Sa, lo jangan garing deh," kata Sandro galak. Aku mencibir.
"Cuma segitu doang keberanian lo?" tantang Anty iseng.
"Tunggu dong, gue belum selesai. Lo pada ikutan komentar sih. Kayaknya
tampilan Mahmud yang sekarang bukan sifat dia yang sebenarnya deh. Bisa
gue bilang, Mahmud lagi ada maunya atau hanya cari perhatian. Tapi balik
ke awal, semestinya sih Mahmud a good guy," kata Kelly lagi.
"Kok ini layak curhat sih" Jangan-jangan lo naksir Mahmud, ya?" tanyaku
dengan memasang wajah semibego.
Mahmud tetap mesam-mesem. Tidak terlihat tersuinggung atau malu.
Memang wajah andalannya kan cengengesan begitu. Tidak pernah terlihat
ekspresi yang sesungguhnya.
"Omong-omong soal tampilan Mahmud yang bukan sebenarnya, menurut
lo dia lagi menyamar, gitu?" tanya Anty.
"Agar bisa mengubah kasta kacungnya jadi pangeran?" sambung Sandro.
"Berisik banget nih, gue kan mau mendengar pernyataan Kelly," protesku
kesal. "Puas dengan jawaban gue, Di?" Kelly bertanya pada Adi yang mestinya
puas dengan jawaban Kelly yang blak-blakan.
"Tuh, Nid, masa cowok tukang nyamar gitu lo sayang sih" Gue nih sudah
mengambil garis batas yang tebal. Setebal bibir Anty yang nyinyir. "Aku
mencoba membuat suasana agak cair karena wajah Nidya seperti tertekan
dan terlihat tak begitu menikmati permainan. Nidya hanya membalasku
dengan menjulurkan lidah. Adi sekilas melirik melihat ke arah Nidya.
"Ayo deh, kita teruskan. Masih ada tiga putaran lagi, kan?" ajak Adi
semangat. Kayaknya dia puas dengan jawaban Kelly.
Permainan cukup a lot. Sementara mereka main, Anty kusuruh mencabuti
alisku supaya rapi. "Bayar berapa lo nyuruh-nyuruh gue begini?" canda Anty.
"Eh, Ty, ibaratnya salon, punya lo sudah hampir tutup karena ngegosongin
rambut pelanggan waktu di-steam. Sudah bagus gue masih memberi
kepercayaan buat lo untuk merapikan alis gue. Kalau gak, salon lo udah
dibakar massa!" jawabku seenaknya.
"Sini deh gue beresin alis lo," kata Anty sementara aku rebahan di bantal.
Sambil merasakan pelayanan salon Anty, kupingku tetap memantau
keadaan permainan. Setelah agak lama, giliran Adi yang kalah.
Adi dengan perlahan membuka gulungan "dare". "Apaan lagi nih" Denger
ya, gue bacain, 'Pilih pasangan dan ajak berdansa semenit saja.' Wah!"
katanya pelan. "Ayo, cepetan pilih," kata Krisna senang.
"Mesti cewek, ya?" tanya Adi polos.
"Ya iyalah. Masa lo dansa sama cowok" Memangnya kita klub hombreng,
apa?" jawabku seru meski alisku sedang dicabuti Anty.
"Siapa dong" Terus dansanya gimana?" tanya Adi pasrah.
"Dansa biasa aja, Pak. Rumah dansa gue sudah buka nih, lo tinggal pilih
siapa yang mau lo ajak dansa," kataku seperti "mami" di rumah bordil.
"Mami, siapa ya yang harus kupilih?" Tiba-tiba Adi jadi genit dan malah
ngikik sendirian. "Ayo cepetan pilih! Keburu malam nih," kataku.
"Ih, Mami galak banget deh," kata Adi lagi.
"Di, lo kenapa sih" Kesambet, ya?" tanya Kelly sambil tertawa melihat
kelakuan Adi. "Ini kan improvisasi, Kel. Emangnya lo, kebiasaan main hajar sana hajar sini,"
protes Adi. "Gila! Gila!" teriak Sandro terbahak.
"Sudah deh, Di, jangan mengalihkan perhatian. Lo cepetan pilih partner
dansa aja," kata Krisna tertawa-tawa sambil geleng-geleng kepala.
"Eh, kalian pada gak ingat ya kalau kita gak boleh ngomong kasar" Kan
takut kapal kita kebalik lho," ujar Nidya yang mau gak mau ikut tertawa
melihat improvisasi Adi. "Iya, benar juga. Jangan-jangan besok kita pada siak, lagi," tambah Lia
panik. "Lo jangan merusak suasana dong. Memang kita ngomong apa sampai
kapal kita kebalik" Kapal bisa kebalik kalau keberatan penumpang, karam,
mesinnya rusak, atau kena ombak. Bukan karena kita ngomong sesuatu. Ini
zaman modern, bukan zaman purbakala!" semprotlu kesak sambil duduk.
Alisku sudah beres. Nidya langsung terdiam dan agak kesal melihatku. Tapi
aku cuek aja. "Mami, jangan marah-marah ah. Yang dimarahi pelanggan yang gak bayar
aja. Kalau saya kan selalu bayar di muka, Mi," Adi menggodaku.
"Ancur lo, Di," kata Kelly geli.
"Sudah deh, gue mau dansa sama Mami aja, gimana?" ajak Adi sambil
mengulurkan tangan kepadaku.
"Siip." Aku menyambut ajakan Adi. Lumayan nih bikin panas hati Nidya.
Pasti Mahnmud merasa di atas angin. Gue kerjain lo nanti, batinku.
"Siap ya. Satu, dua, tiga," kata Anty girang sambil menyalakan stopwatch di
ponselnya. Adi menggenggam tangan kiriku dengan tangan kanannya sementara
tangan kirinya memeluk pinggangku. Bodo amat. Malah kubikin mesra
sekalian supaya ada yang cemburu buta. Hihihi...
"Gak enak nih, gak ada lagunya sih," kata Adi.
"Gue nyanyiin lagu Pance deh," balas Krisna.
Aku dan Adi tetap bergerak pelan menunggu waktu berjalan hingga satu
menit. Yang lain menyanyi aneka lagu dan mengeluarkan celetukan. Aku
meletakkan kepala di pundak Adi yang hanya tertawa-tawa.
"Mesra, kan?" kataku. Tapi aku tak mau melihat wajah Adi ataupun Nidya.
"Gak gue sangka, ternyata Adi diam-diam ada hati dengan Clarissa," kata
Anty karena mendapat kesempatan mengolok-olokku.
"Jangan-jangan lo berdua sudah nikah siri, ya" Kan lagi tren nih. Atau ada
cinta berselimut dusta," tambah Kelly makin ngaco. Anty malah merekam
adeganku berdansa dengan Adi dengan kamera digital.
"Barang bukti nih. Kalau nanti ada yang naksir lo, Sa, gue tunjukkin gambar
ini. Bisa sih gue simpan, asal lo bayar. Pemerasan, gitu," kata Anty usil. Aku
hanya geleng-geleng kepala melihat kesintingannya.
"Kris, kok lo diam aja" Kepengen dansa sama gue juga?" tanyaku melihat
Krisna yang terbengong-bengong.
"Say, badannya jangan terlalu nempel dong. Gue sebagai penganggum lo
bisa sirik nih," jawab krisna cengar-cengir.
Satu menit pun berlalu. Semua bertepuk tangan ketika kami selesai dansa.
Setelah itu pemain yang tersisa kembali berkutat dengan kartu domino.
Kami yang sudah kalah hanya tiduran di sekitar nereka sambil ngemil.
"Kalian ngapain sih make jaket tebal begitu?" tanyaku.
"Kan dingin, Sa. Memang lo gak ngerasa?" Kelly balik bertanya dengan
heran. "Kayaknya urat perasa gue udah putus deh. Suhunya biasa aja. Kalau di luar
sih memang dingin banget," jawabku.
"Mi, anaknya yang bisa dipakai malam ini siapa?" goda Krisna padaku.
"Kalau lo homo, bisa ambil Mahmud. Tapi kalau hanya ingin pijat, bisa pakai
Anty. Dia tunanetra berijazah," jawabku.
"Eh, gue bukan orang buta bersertifikat," elak Anty dengan sok manja.
"Mana ada sih istilah orang buta bersertifikat" Yang benar tunanetra
berijazah!" kata Kelly ngakak.
"Lama-lama kita sakit perut beneran nih, dari tadi ketawa melulu," tambah
Mahmud. "Mumpung gue ingat. Mud, tolong siapkan susu cokelat untuk pemenang
kita," Krisna sok memerintah.
"Lo jangan merusak konsentrasi peserta kejuaraan dong! Kalau Mahmud
yang menang, siapa yang menyiapkan minum?" tanya Lia.
"Biarin dia siapin sendiri aja. Emang gue pikirin," jawab Krisna cuek.
Pemenang sudah hampir didapat. Lia tersingkir.
"Pilih 'dare' aja ah. Kan lebih aman," kata Lia. "Tunjuk siapa cewek paling
manja dan paling menyebalkan di sini."
"Buset. Permainan ini dari tadi kayaknya beraroma dendam kesumat,"
komentarku. "Biarin aja ah. Seru, kan" Pahit-manisnya berteman, ya terima aja," kata
Kelly. "Oke, Li, tunjukkan keberanianmu," ujar Krisna melihat Lia yang
kebingungan dan salah tingkah.
"Gak mungkin gue. Gue kan penyegar suasana," kata Anty pede.
"Pelengkap penderita maksudnya?" tambahku.
"Enak aja. Ratu wisata." Anty tak mau kalah.
"Tapi yang gue tunjuk jangan marah, ya. Gue hanya berusaha jujur meski ini
hanya permainan," kata Lia.
"Permainan bagaimana" Ini sudah pakai kutukan. Ingat, yang bohong bisa
sial selama perjalanan yang masih panjang ini. Siap lo?" Krisna menakutnakuti Lia.
Lia pun mengangguk dan mengarahkan telunjuk pada Nidya.
"Sori ya, Nid," kata Lia pelan.
"Kok gue?" tanya Nidya dengan wajah tidak terima.
"Sudah, penjelasannya belakangan aja. Kita terusin dulu mainnya.
Tanggung, tinggal satu babak nih," kata Krisna berusaha meredam
ketegangan yang timbul. "Sori, Nid. Tapi itu penilaian gue," jawab Lia jadi gak enak hati.
"Kacau, kacau. Ternyata di anatar kita aja banyak rahasia," komentar Sandro
sok bijak. "Sudahlah, sekarang selesaikan dulu duelnya. Majikan versus kacung," Anty
menambahi. "Heran, kok bisa gue sih?" Nidya masih tak puas juga.
Tidak ada lagi yang mau menjawab. Kartu sudah dimainkan. Hanya ada satu
orang yang bakal sekamat untuk tidak memilih dua gulungan "truth" yang
tersisa. Namanya juga pemenang, jadi tudak perlu mendapat hukuman
apapun. Kami yang nonton juga serius menyaksikan pertarungan yang kami
juluki "Perang Kasta". Wajah Sandro dan Mahmud begitu serius, malah bisa
dibilang tegang banget. Celetukan-celetuka pencair suasana pun hanya
ditanggapi dingin. Kami malah sempat dipelototin Sandro. Gawat,
mendingan diam saja deh. Dalam hening dan dingin malam di penginapan seputar Danau Toba
pertandingan terakhir terus berjalan. Kartu-kartu silih berganti dilepaskan
dari tangan. Tak diduga, yang memenangkan pertandingan adalah
Mahmud! Nidya tersenyum kecil sedangkan Sandro terus menyumpah.
"Setan bener-bener. Kok gue bisa kalah ya" Siapa nih yang bikin
pertanyaan?" rutuk Sandro sambil membuka gulungan. "Kapan mimpi
basah atau menstruasi pertama" Gimana rasanya?" ucap Sandro sambil
geleng-geleng kepala. "Seru nih," kata Anty semangat. "Lo nafsu banget sih?" Adi sampai heran
melihat Anty. "Garing ya, pertanyaan terakhir kayaknya antiklimaks. Mestinya pertanyaan
untuk Lia tadi belakangan jadi lebih seru," kataku ogah-ogahan.
"Gimana nih, mesti gue jawab gak?" Sandro bertanya.
"Sebenarnya kami sudah bosan. Tapi karena kayaknya lo pengen banget
curhat, ya okelah. Silahkan bicara, kami mendengar," tukas Anty.
"Dasar ko setan belang. Gue jawab nih. Mimpi basah kuyup pertama kali
kelas tujuh. Rasanya heran dan aneh," jawan Sandro tenang. "Bukannya
enak, ya?" potong Anty.
"Enak apaan" Kan gue jadi mikir, gue ngompol atau kenapa...," bantah
Sandro. "Kayak lo saja deh, waktu mens pertama, masa lo kesenangan" Pasti heran
ada darah apa nih. Ngaku aja deh kalian para cewek," tuding Krisna
membela Sandro. "So, that's it. Permainan kita sudah berakhur. Efek samping di luat
permainan ini di luar tanggung jawab penyelenggara," kata Kelly.
Habis itu kami langsung masuk kamar karena sudah kelelahan. Besok pagi
perjalanan masih panjang. Keliling Danau Toba lalu balik ke Medan.
Walaupun sudah minum vitamin, tetap saja mesti istirahat yang cukup. Kan
gak seru kalau di tengah perjalanan ada yang sakit.
Kulihat Nidya masih belum puas dengan hasil permainan tadi. Pasti ada
yang ingin dibicarakannya dengan Lia. Mungkin juga dengan aku atau
From Sumatra With Love Karya Esi Lahur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
malah kami semua. Tapi mau bagaimana lagi" Yang lain langsung berenang
di kasur. Mau gak mau Nidya harus menunggu besok dan mencari saat
yang tepat. Lagian, kenapa dipikirun banget sih" Kalau orang gak suka, ya
cuek aja. O what gitu lho!
Bab 6 Kejujuran di Toba Horee...!!! Kita di Danau Toba!" sorak Anty.
"Satu per satu kesampean nih. Rencana kita terlaksana," sambungku sambil
melakukan tos dengan Anty.
Ini hari ketujuh kami pergi bersama. Enak benar naik kapal penyeberangan
ke Pulau Samosir melintasi Danau Toba yang jernih. Karcis kapal bisa di beli
pulang-pergi sekaligus dan hanya lima ribu rupiah seorang. Jadi berangkat
naik kapal A, pulangnya boleh naik kapal B atau yang mana pun. Yang
penting ada tiket pp. Kapalnya bersih dan lumayan bagus. Tempat duduknya ada dua tingkat.
Kalau baru pertama kali ke sini sebaiknya pilih duduk di atas yang tanpa
atap dan tak terganggu tiang-tiang kapal sehingga bisa memandang ke
sekeliling kapal dengan bebas. Air danau terlihat bersih, putih kebirubiruan. Seperti semalam, anginnya dingin dan basah. Danau yang mahaluas
itu dikepung bukit hijau yang menjulang tinggi seperti pegunungan. Indah
sekali. Kami serasa berada di dalam pemandangan permai yang sering
terlihat di film-film luar negeri.
Kalau hari Minggu, kata Kelly, banyak yang berenang dan mandi-mandi di
tepi danau. Berenangnya gak boleh jauh-jauh, takut ada "sesuatu".
Yang pasti, pikiran kami yang sempat was-was karena "diracuni" Kelly di
awal kedatangan, tidak terbukti. Benar juga keyakinanku, pikiran dan
omongan yang ngaco tidak bakal membalikkan kapal. "Takhayul!"
sumpahku dalam hati. Rupanya di sini pun sama dengan kota-kota di Jawa. Di atas kapal ini pun
ada pengamen. Tiga anak lelaki yang masih usia SD menyanyikan lagu-lagu
daerah. Yang membedakan, suara mereka bagus banget! Kami sampai
bengong mendengarnya. "Gila nih! Jangan-jangan kalau ikut Indonesian Idol nisa juara," kata
Mahmud bengong. "Jelas dong. Memangnya ko! Ngomong aja sember. Gimana kalau nyanyi?"
timpal Kelly bangga. "Tapi suara lo kok gak beda jauh dengan Mahmud, Kel?" Nidya membela
Mahmud, sang pria baik hati versinya.
Aku dan Anty yang duduk bersebelahan langsung senggol-senggolan
pelan. Handphone-ku bergetar. Ada SMS masuk. Dari Sandro.
Makin seru aja neeeh. Aku membalasnya. Adi dikomporin aja. SMS Sandro masuk lagi. Wait n see. Ketiga anak Batak itu masih terus menyanyi. Penumpang bisa me-request
lagu-lagu lokal biarpun gak mengerti artinya. Rata-rata penumpang
menberikan uang seribuan dengan terkagum-kagum.
Sayangnya, saat menginjakkan kaki di Pulau Samosir kami gak bisa
berlama-lama. Itu karena dibatasi jadwal kapak. Bisa beda ceritanya andai
menyewa speedboat, jadwalnya terserah kita, tapi uangnya siap, bo" Nyewa
kapal sekencang itu kan gak murah.
Kami hanya sempat mengunjungi makam Raja Sidabutar dan berfoto-foto
di depan rumah adat yang rada mirip dengan yang ada di Taman Mini
Indonesia Indah. Lalu ada pertunjukkan Sigale-gale yang berbau mistis,
mirip Nini Thowok di Jawa. Kalau minat belanja, banyak kok yang jualan
suvenir. Malah suvenirnya ada yang bermerk Dagadu maupun H&R. Gak
lucu, kan" Kalau itu mah beli di Jawa aja. Gak usah jauh-jauh ke sini.
Karena jadwal kapal terakhir yang meninggalkan Pulau Samosir jam dua
siang, kami harus bergegas kembali ke tempat kapal. Ternyata kami dapat
kapal yang sama dengan saat berangkat.
"Jangan-jangan abangnya nge-fans sama gue," kata Anty pada Sandro
yang langsung meninggalkan Anty dengan tampang geli.
Waktu berangkat kami duduk di atas, pulangnya kami memilih duduk di
tingkat saty. Gara-gara duduk di sini kami jadi tahu tiga pengamen itu
ternyata analk nahkoda kapal ini. Jadi bapak dan anak bekerja bersamaan di
kapal yang sama. Krisna keluar dan berdiri di sisi kapal sambil berpegangan pada tangga.
Tiba-tiba dia teriak, "Topi gue!"
Topinya terbang dibawa angin. Jatuh di perairan Danau Toba nan jauh di
belakang. "Sialan! Anginnya kencang banget sih!" rutuk Krisna geram.
"Lagian lo ngapain sih mejeng di tangga situ?" tanya Kelly heran.
"Bukan mejeng, Kel. Gue kan mau menikmatui Danau Tiba sebelum balik ke
Medan," jawab Krisna bete.
"Ya sudahlah, cuma topi kok yang hilang. Yang penting kan lo gak ikutan
jatuh ke danau," Lia mencoba menengahi.
"Duilah, cewek pujaan Krisna menenangkan. Denger tuh, Kris," goda Anty.
"Krisna kan menuja sifatnya, bukan montoknya," tambah Adi jail.
"Gue tersanjung kok," sambungku cuek. "Sudahlah, Kris. Gak usah lo pikirin.
Oke, my boy?" "Oke, oke. Gue cuma kaget kok. Topi baru dipakai sekali bisa melayang
gitu. Tahu gitu gue pake ikat kepala kayak biasanya aja," kata Krisna
menatapku. "Topi doang kan yang hilang. Relain ajalah," ujarku lagi.
"Tuh kan. Montok memang lebih menang daripada kepribadian," ujar
Sandro. "Memang sifat gue kayak apa sih" Kayak iblis ya?" tanyaku pura-pura lugu
agar suasana makin seru dan lucu.
"Nah, itu lo udah punya jawabannya. Iblis mintok," tambah Sandro.
"Li, kalau gue jadi lo, gue bakal terpukul. Masa Krisna lebih mendengarkan
Clarissa daripada lo," Kelly ikut mengompori. Lia hanya tersenyum kecil.
Setibanya di dermaga Parapat kami memilih turun terakhir dari kapal.
Memang naik-turun kapal butuh kelincahan tersendiri, tapi Adi kebangetan.
Masa dia membiarkan dirinya turun sambil dibantu abang-abang yang ada
di sekitar kapal. Ih, jangan-jangan Adi disangka cewek! Tapi, kok Lia yang
cewek dan turun setelah Adi malah dicuekin si abang"
Tahu kami menertawakan dirinya, Adi membela diri, "Kan gue kasihan sama
abangnya. Dia sudah mengulurkan tangan, masa gue tepis?"
*** Setelah berjalan kaki kembali ke penginapan, kami mengemasi barangbarang dengan cepat. Karena persediaan camilan masih banyak, semua
setuju untuk makan di Medan yang lebih banyak ragamnya.
Kami pulkang naik bus Toba Ekspress yang seukuran metromini. Sandro,
Krisna, Anty, Kelly, dan aku duduk di bagian belakang. Sementara Adi dan
Lia duduk berdua. Begitu juga Nidya dan Mahmud.
"Kayaknya ada perselingkuhan nih," kataku dengan suara sengaja
dikeraskan begitu melihat komposisi duduk kami.
"Jujurlah padaku...bila kau tak lagi cinta... Tinggalkanlah aku..!ila tak ingin
bersama..." Krisna menyanyikan refrein lagu Radja.
"Diam!" seru Anty. "Emang lo kira suara lo semerdu apa?"
"Lo sewot aja. Ini kan lagu pengiring itu tuh," jawab Krisna sambil
memberikan kode dengan menaikkan alis, merujuk ke cinta segitiga antara
Adi, Nidya, dan Mahmud. "Pilih suara gue atau Pance?" tantang Krisna.
"Gak milih ah," sambar Kelly.
Hehe... Jangan-jangan Kelly sudah kepincut suara kondektur yang berdiri di
pintu belakang dekat kami dan bernyanyi-nyanyi sepanjang perjalanan jauh
ini. Kadang si kondektur menyelingi nyanyiannya dengan berpura-pura
ngomong di HP. Sempat juga dia berlagak sebagai Presenter TV. Suaranya
gak begitu kenceng sehingga hanya kami yang ada di bagian belakang
yang mendengar dan melihat kelakuan ajaibnya.
"Gawat nih, kondektur kita sakit jiwa," Kelly bisik-bisik ke Anty dengan
tampang pusing. "Gitu-gitu saudara sekampung lo tuh," jawabku ngikik. "Asal dia gak
gangguin kita, biarin aja," kata Sandro.
Parahnya nih, kondektur itu bersorak-sorak waktu bus kami berhasil
menyalip kendaraan lain padahal kami bersembilan histeris karena
menyalipnya di tikungan jalan yang sempit dan di sebelahnya jelas-jelas
ada jurang! Herannya, hanya kami yang heboh sementara penumpang lain
anteng saja, malah banyak yang ketiduran. Kayaknya mereka sudah terbiasa
dengan gaya menyetir seperti itu deh.
*** Hari kedelapan. Mmm...sudah seminggu lebih kami meninggalkan rumah. Setahuku belum
ada yang homesick, tapi gak tahu juga ya perasaan Nidya yang sepertinya
kurang enjoy dengan perjalanan ini. Yang lain sih makin semangat
melanjutkan perjalanan. Sayangnya hari ini kami batal ke rumah Sandro yang di Rumbai, Riau,
karena tidak dapat tiket bus untuk malam ini. Tiketnya untyk besok malam.
Jadi hari ini kami bakal garing. Di rumah saja. Paling hanya ke Medan Plaza
untuk makan. Maklum, harus irit uang. Apalagi perjalanan masih panjang.
Kelly sudah menawarkan supaya kami makan di rumah tantenya saja. Tapi
kalau terus_terusan kan malu juga.
Akibatnya semua bermalas-malasan dengan cara bangun siang. Mandi pun
setelah makan. Eh, salah. Ada kok yang sudah bangun dan mandi sejak
pagi. Siapa lagi kalau bukan Mahmud" Malah dia sudah pergi ke pasar naik
becak untuk beli lontong syur buat makan kami bersembilan. Gila, kan"
Terlepas dari niatnya cari muka pada Nidya dan balas budinya pada Krisna
yang sudah meminjamkan uang, kami harus berterimakasih pada teman
yang satu ini. Satu-satunya hiburan bersama adalah TV. Kami nonton TV ramai-ramai.
Apalagi yang ditonton kalau bukan MTV. Orang-orang dewasa kan
bilangnya kami generasi MTV. Habis ginana" Nonton acara berita, bosan.
Lihat sinetron, gak ada yang bermutu. Mending nonton saluran musik
walaupun MTV sekarang isinya bukan musik melulu.
"Tahu gitu gue bawa film bokep," keluh Krisna.
"Terus kalo lo bawa, yang cewek nonton apaan?" protes Kelly.
"Ikutan nonton dong. Memangnya cewek gak boleh nonton bokep"' timpal
Sandro. "Sori nih, daripada ngomongin bokep, gue mau ngomong dengan kalian
semua," sela Nidya dengan suara agak keras. Anty menyenggol paha
padaku. Sandro menatapku sekilas. Krisna melirik ke arah Kelly yang malah
menengok dengan wajah bingung ke Adi yang pura-pura gak mendengar.
Lia tetap mengarahkan mata ke televisi.
"Tolong dong, TV-nya dimatiin dulu," kata Nidya lagi dengan suara agak
dikeraskan. Lia dengan agak bete mematikan TV dan memegang-megang
remote. "Memang lo mau ngomong apa sih sampai kami gak boleh nonton TV?"
tanya Lia sewot. "Mahmud, lo di mana" Jangan nyuci piring melulu deh. Sini dulu lo!" teriak
Sandro sambil senyum-senyum.
Mahmud datang dengan tergopoh-gopoh. "Ada apa nih?"
"Ada apa, ada apa! Gara-gara lo nih jadi kacau begini," kata Kelly dengan
nada pura-pura marah. "Sudah deh, Kel, jangan bercanda. Langsung aja ya, gue merasa gak enak
hati dengan perjalanan kita. Kayaknya banyak masalah. Terus terang gue
kaget kemarin Lia nunjuk gue sebagai orang yang paling manja. Buat kalian
mungkin lucu dan bukan masalah, tapi buat gue mengesalkan," tukas Nidya
cepat, hampir tak menguasai emosi.
"Banyak masalah" Perasaan lo aja, kali. Gue sih asyik-asyik aja," jawabku.
"Iya, gue juga," tambah Anty.
"Gue malah senang bisa pulang kampung bareng kalian. Jadi ada
temennya," Kelly ikut menambhai. Sementara nbidya makin tersudut.
Apalagi Mahmud, cowok itu tidak akan beranoi bersuara untuk mendukung
Nidya. "Gue juga merasa seperti dihakimi karena gue gak mau terbuka soal Adi
dan cowok lain yang naksir gue," Nidya bikin pernyataan lagi. Suaranya
seperti mau menangis. "Ah, gak usah terbuka juga gue udah bisa menebak. Cowok yang naksir lo
Mahmud, kan?" tembak Sandro.
"Ngaku saja deh, Mud," tambah Krisna.
Mahmud salah tingkah begitu juga Nidya. Suasana jadi hening.
"Sudah deh, Nid. Jangan didramatisir. Mau lo bagaimana" Makanya gue
gak senang ada cinta-cintaan di antara kita. Jadinya malah gak enak semua
nih," kataku lagi. "Siapa yang mendramatisir" Gue kan hanya memberi penjelasan," bantah
Nidya ketus. "Sudah, sudah. Lo kan penasarannya sama gue. Memang lo manja. Kalau di
sekolah terserah deh. Tapi kalau lagi berpergian gini, direm dong manjanya.
Jangan malah menjadi-jadi," ujar Lia. Suasana malah jadi bertambah panas.
"Manja bagaimana" Gue memang mabuk laut, dan kalau Adu nemenin gur
terus, itu kan bukan salah gue. Kalau Mahmud juga mau ngurusin gue, gue
kan gak pernah minta," jawab Nidya tak mau kalah. Adi hanya diam
mematung sambil menunduk.
"Girls, tolong tenang dulu deh. Menurut gue Nidya ada benarnya, tapi Lia
juga gak salah," kata Sandro.
"Jelas Lia gak salah karena lo sebelnya kan sama Mahmud," potong Nidya
cepat. "Sudah, sudah, begini deh. Anggap aja permainan semlam itu gak ada.
Jangan berantem dong, kan gak enak. Perjalanan kita masih panjang lho,"
Krisna berusaha melerai. "Iya, mana berantemnya di rumah gue, lagi," keluh Kelly.
"Gue ambilin jus buah gimana" Biar hati kita pada mendingin." Aku
langsung berdiri dan melarikan diri dari perang mulut yang mulai pecah ini.
"Sudah deh, Nid, gak usah dimasukka ke hati. Lo sensi banget sih" Gue aja
dikatain bolot dan segala macem, ketawa-ketawa aja tuh." Dari dapur
terdengar suara Anty. "Mud, si Clarissa gak seneng sama lo tapoi lo biasa aja, kan?" Kelly
berusaha meyakinkan Nidya dengan memberi contoh hubunganku dengan
Mahmud. "Mana gue tahu kalau besok-besok Mahmud meracuni gue," sambungku
sambil membawa dua kotak gede jus jambu biji instan dari kulkas.
"Mending minun jus dulu deh."
Lia mengambil satu kotak jus dan mulai menuangkannya ke gelas kami
yang sudah ada di meja. "Gue sih biasa aja. Namanya juga Clarissa. Gak usah dimasukin ke hati.
Beneran, gue gak sakit hatiu meskipun sempat kesal juga sih," jawab
Mahmud pelan. "Tuh kan! Makanya biat apa lo sewot begitu, Nid" Bukannya lo berterima
kasih ada komentar jujur tentang ko, jadi lo bisa memperbaiki diri," kata
Anty sok bijak. "Oke. Semua membela Lia. Memang gue yang salah. Mengkin Lia kesal
sama gue karena dia belum ada yang naksir. Iya kan, Li?" Nidya bertanya
balik sambil memandang Lia dengan sinis.
"Lho, lho, lho, kok jadi melantur ke mana-mana sih?" tanyaku heran.
"Gue gak peduli ada yang naksir gue atau gak. Lagian itu kan bukan urusan
lo," jawab Lia tersinggung. "Gawat nih. Kalau begini terus, bisa berantakan perjalanan kita. Sudah deh,
pada baikan," Krisna lagi-lagi berusaha menengahi.
"Iya. Krisna aja yang ngaku menyukai dua cewek gak ada masalah. Lia dan
Clarissa malah kompak dan siap dimadu," Kelly berusaha mencairkan
suasana. Tapi tak ada yang ketawa karena hati Nidya kayaknya sudah panas
banget. "Nid, gue sih gampang aja ya. Kalau Lia menunjuk gue, gue gak bakal
peduli kok. Cuekin aja, lagi. Heran gue, kenapa lo sendi banget sih?"
tambahku heran. "Sudah puas belum, Nid" Apa masih mau lo perpanjang lagi masalah ini?"
tanya Krisna. "Sori deh kalau lo tersinggung. Tapi gue cuma ingin menjawab dengan
jujur kok," sambung Lia. "Terserah kalian aja lah," jawab Nidya lemas.
From Sumatra With Love Karya Esi Lahur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Eh, Di, lo jangan diam aja dong. Kasih kek kata sambutan atau petuah
penutup. Ngomong dong," kata Kelly sambil menggoyang-goyangkan
badan Adi yang kurus. "Gue" Ngomong apaan" Ngapain pakai penutup, kayak rapat RT aja.
Pokonya damai aja lah," kata Adi cengengesan.
Walaupun menggantung, pembicaraan diakhiri. TV dinyalakan lagi.
Bab 7 Pindah Provinsi Hari ini, hari kesembilan, kami sengaja menyimpan tenaga karena nanti
malam akan pergi menggunakan bus menuju Rumbai. Kami berusaha
mengabaikan rangkaian peristiwa yang tidak mengenakkan. Aku, Sandro,
Kelly, dan Krisna pergi naik becak membeli camilan untuk kami sendiri dan
oleh-oleh bagi keluarga Sandro di Riau. Yang lain menunggu di rumah.
Anty memilih gak ikut karena ingin memata-matai kegiatan Lia, Nidya,
Mahmud, dan Adi selama kami pergi. Mereka hanya nitip sirop terong
Belanda, sirop markisa, lapis legit, dan bika Ambon yang menjadi andalan
kota ini. Sayangnya, kami hanya bisa bawa oleh-oleh sirop ke Jakarta
karena kue-kuenya cepat basi.
"Tahu gak, tadi pagi gue kepleset di kamar mandi. Untung jatuhnya gak
kena kepala," cerita Krisna di becak.
"Jelas gue gak tahu. Kan gue gak mandi bareng lo," jawabku.
"Jangan gitu dong, Say," goda Krisna.
"Kok lo sial banget sih. Udah topi hilang, terus kepleset di kamar mandi,"
kata Kelly heran. "Mendingan gue sih daripada Nidya yang dipojokin melulu," jawab Krisna
sambil mengencangkan ikat kepalanya agar tidak bernasib sama seperti
topinya. "Jangan-jangan kutukan itu beneran, lagi. Lo bohong waktu main Truth or
Dare?" tanya Sandro.
"Bohong apaan" Masa lo percaya begituan sih" Emang gue aja yang lagi
apes. Mahmud juga sepanjang perjalanan apes gak ada habisnya karena
kita kata-katain melulu," jawab Krisna.
"Iya, benar. Kadang gue kasihan juga melihat Mahmud. Tapi dia tabah
banget ya," timpal Kelly.
"Ada SMS dari Anty nih. Gue bacain ya. 'Lia bikin kornet goreng. Adi
mengurung diri di kamar. Mahmud dan Nidya berduaan nonton TV. Gue
baca buku di sofa'," kataku.
"Huu... Belagu amat. Tumben Anty baca buku. Ah, paling juga dia lagi tidurtiduran," sela Sandro mengomentari kegiatan Anty.
"Dasar Mahmud. Giliran rumah sepi, dia gak kerja. Malah nonton TV
berduaan. Nyari kesempatan banget sih," komentarku.
"Asal dia gak berbuat mesum di rumah gue aja," tukas Kelly sewot.
"Gak bakalan. Kan ada Lia. Apa mau diamuk, mereka aneh-aneh berduaan?"
ujar Krisna menerangkan. Kami balik ke rumah ketika hari mulai siang. Kegiatan mereka belum
berubah dari yang dikabari Anty tadi. Kami mengoleh-olehi para penunggu
rumah manisan jambu biji besar yang sedap banget. Lia menawarkan
kornet buatannya. "Tambah jatuh cinta dong lo sama Lua. Kornet cinta," goda Kelly pada
Krisna. "Atau masih menang si montok?" tanya Anty. Krisna hanya diam sambil
tersenyum. "Li, lo gak ngeracuni gue, kan?" candaku sambil mencicipi makanan
buatannya. "Paling efeknya cuma mencret," jawab Lia sambil senyum-senyum.
"Nid, lo gak nyobain kornet buatan Lia?" Anty menawaru Nidya yang purapura tidak terjadi apa-apa dan terus menonton TV.
"Gak ah," jawab Nidya tanpa memalingkan wajah sedikit pun dari layar
kaca. "Syukur deh, jadi gak ada saingan," sambung Sandro tak acuh.
Mahmud berusaha netral dengan ikutan makan kornet ala Lia yang yang
ditaburi potongan keju. "Enak, Li. Enak. Pinter juga lo," kata Mahmud sambil
mengacungkan jempol. "Memangnya yang jago pembantu lo doang?" sambar Krisna.
*** Sambil menunggu malam datang yang berarti jam keberangkatan bus ke
Rumbai, kami menjadi anak-anak imut yang memilih tidur siang dengan
manis. Aktivitas ini terbukti ampuh untuk meredam pertengkaran lanjutan.
Paling-paling risikonya nanti malam kami bakal kesulitan tidur di bus.
Cewek-cewek tidur di kamar kecuali Anty yang memilih tidur di sofa
panjang dekat pintu depan. Sofa yang lain ditiduri Adi, sementara anakanak cowok tidur di kamar sambil diawali dengan baca-baca tabloid yang
bergambar cewek-cewek bahenol berpakaian seketemunya itu.
"Kelly, Kelly, anak-anak, halooo...!" Terdengar suara mamanya Kelly begitu
dekat memanggil-manggil. Mimpi atau beneran"
"Kelly, Kelly!" Sekarang mincul suara papanya.
"Wah, bonyok gue datang," seru Kelly langsung melompat dari tempat
tidur. Serempak kami juga bangun, antara sadar dan setengah mimpi.
Kelly berlari ke depan untuk membukakan pintu bagi kedua orangtuanya.
Kami buru-buru membangunkan Anti dan Adi dengan cara menggoyanggoyangkan badan mereka. Belum lagi keduanya bangun, pintu sudah
terbuka dan orangtua Kelly pun masuk. Adi yang tidur bertelanjang dada
langsung ngibrit sambil menutupi dada. Kacau, benar-benar kacau! Mana
rumah dalam keadaan porak-poranda karena keberadaan barang-barang
kami di sana-sini. Tanpa basa-basi, saking malunya, kami masuk kamar lagi.
"Tenang. Tenang. Kalian ngapain pada panik?" tanya Kelly sambil tertawatawa sewaktu masuk ke kamar cewek.
"Malu, Kel. Mana gue tidur di sofa, lagi," jawab Anty sambil membenamkan
wajah ke bantal. "Gue juga gak tahu kalau mereka mau datang. Katanya mereka mau mgasih
kejutan ke gue, gitu," jawab Kelly masih kegelian.
"Terus komentar mereka melihat kita gimana?" tanyaku.
"Ya ketawa-ketawa aja. Bokap gue nanya, kenapa itu kawan-kawanmu"
Takut?" cerita Kelly masih ketawa.
"Bagaimana nih" Kalau ada bonyok lo, nanti kita ke mana" Ngapain?" Lia
ikutan bingung. "Tenang saja. Jangan pada sakit jiwa gitu dong. Bokap gue malah ngajak
makan malam sebelum ke pul bus. Gimana?" tanya Kelly.
"Mau!" jawab Anty cepat.
"Lo kalau soal makanan memang cepat tanggap banget ya," tanggap Nidya
geleng-geleng kepala. "Kasih tahu anak-anak cowok biar jangan kebablasan tidur," saranku.
"Beres. Tapi kalian jangan mendekam di kamar begini dong. Memangnya
bonyok gue monster?" kata Kelly lagi.
"Ya sudah, buka aja pintunya," jawabku.
*** Orangtua Kelly memang gak galak. Hanya saja kami sudah terlanjur malu,
jadi gak pede lagi buat pasang aksi di depan mereka. Kami berangkat pukul
setengah tujuh malam menuju rumah makan. Matahari di Medan pada jam
segini sama dengan matahari jam lima sore di Jakarta. Masih terang.
Sewaktu akan berangkat ada kejadian lucu. Keempat anak cowok itu
ternyata lebih panik daripada kami, para cewek. Kami memakai baju santai,
tapi cowok-cowok itu pakai hem segala! Malah mereka pakai kaus kaki
yang dipasangkan dengan sandal gunung. Saking bingungnya, kaus kaki
Krisna tertukar dengan Sandro. Adi malah ngelempar-lempar kaus kaki gak
jelas juntrungannya. "Kalian kenapa kayak mau casting" Pakai baju rapi, lari sana, lari sini," teriak
Kelly heran. "Gak apalah, Kel. Kawannya mau rapi kok diledej," ujar papa Kelly.
"Oom... Tante...," sapa keempat cowok itu malu-malu dan salah tingkah.
Kami berangkat dengan dua mobil. Satu mobil milik papanya Kelly yang
selama ini dititipkan di rumah Egia dan satu lagi pinjam dari saudaranya
papa Kelly. Cewek-cewek ikut mobil yang disetir mamanya Kelly, dan
cowok-cowok ikut papanya Kelly.
Di rumah makan kami memesan makanan yang senada, mi Aceh. Mi Aceh
katanya terasa enak karena menggunakan ganja. Konon, daun ganja
memang merupakan bumbu masak. Tentu penggunaannya hanya dalam
jumlah sedikit, seperti daun salam. Benar atau tidak, mana kami tahu" Yang
pasti rasanya memamng lezat.
Acara makan sudah beres. Perpisahan dengan orangtua Kelly setelah
peristiwa memalukan tadi siang harus terjadi. Sekarang kami ada di bus
Rafika yang menuju Rumbai. Busnya berukuran sedang, nyaman, bersih,
dingin, dan... "Snack-nya enak!" jerit Anty yang duduk di sampingku ketika membuka
kotak makanan yang baru saja dibagikan petugas bus.
"Hus! Jangan kenceng-kenceng dong," semprotku.
"Sa, Sa, lo gak ngecek-ngecek ke belakang?" tanya Anty cuek.
"Kenapa gue! Biarin aja deh Pance berasyik-masyuk," jawabku pelan.
"Kasihan ya, Adi duduk sendirian," kata Anty lagi.
"Sendirian gimana" Ibu di sebelahnya lo anggap apa" Penampakan?" aku
balik bertanya. "Huuu... Kasihan, tahu! Pergi berduaan, di tengah perjalanan direbut.
Emang enak?" ujar Anty sambil cekikikan.
"Bukan direbut. Ceweknya aja yang kegatelan!" timpalku berbisik.
"Lo berdua cerewet banget sih?" protes Sandro yang duduk persis di
belakang kami sambil berdiri. Dia duduk dengan Krisna. Sejajar dengan
Mahmud dan Nidya yang duduk di belakang Lia dan Kelly.
"Bilang aja lo tertarik dengan percakapan kami," balasku melihat ke atas.
"Gue cium baru kapok lo!" sambar saandro sebal.
"Jangan horny di bus dong. Bisa jadi ada ulangan perselingkuhan nih," kata
Anty "Perselingkuhan apa?" tanyaku mengernyitkan dahi.
"Kan sebelumnya sudah ada cinta segitiga. Nah, sekarang Sandro udah
tahu Krisna merem-melek ngeliat lo, malah ngancam mau nyium lo," jawab
Anty lagi. "Bener-bener otak lo itu otak gosip," kataku. "Tempo hari lo bilang Bu Sumi
selingkuh dengan Pak Mardianto gara-gara lo melihar mereka berduaan di
bagian pakaian dalam di department store Pasar Baru. Gak tahunya apa" Bu
Santi juga ikutan mereka tapu lagi beli otak-otak. Untung beritanya belum
nyebar," rutukku. "Eh, itu mah kesalahan teknis," kilah Anty.
Bu Sumi, Bu Santi, dan Pak Mardianto guru sekolah kami. Waktu itu mereka
membeli baju hamil sebagai hadiah ulang tahun untuk Bu Kristi yang lagi
hamil. Ancur banget kan si Anty" Imajinasinya sih bagus untuk cerita fiksi,
tapi kalau dalam kehidupan nyata" Bisa-bisa dia dihajar massa!
"Sa, tadi lo lihat kan Mahmud carmuk banget?" tanya Anty berbisik.
"Iya. Rasanya pengen gue hajar habis-habisan deh," jawabku.
Tahu gak, saat pamitan dengan orangtua Kelly, dengan gaya abdi
dalemnya, Mahmud langsung mencium tangan mamanya Kelly! Kenapa gak
sekalian dia jalan sambil ya" Padahal Kelly saja yang anak kandung mereka
gak sampai sedramatis itu pamitannya. Cukup cium pipi kiri dan kanan.
"Jangan begitu, Sa. Menyiksa PRT itu berat hukumannya. Bisa masuk
koran," timpal Anty mulai keluar gilkanya.
"Siapa mau masuk koran?" tanya Sandro sambil kembali berdiri di belakang
kursi kami. "Lo nguping pembicaraan kami. Kangen sama kami, ya?" semprot Anty
sewot karena merasa kehilangan privasi.
"Bukannya nguping, cewek-cewek nyonyor. Suara kalian kenceng banget,
kayak deru bajaj," amuk Sandro yang langsung balik lagi duduk manis di
kursi. "Omong-omong, kalian ngapain pakai baju rapi gitu" Situ pada mau
ngelamar jadi pembantu di rumah Kelly atau...?" ejekku sambil gantian
berdiri menghadap ke belakang.
"Emang kenapa kalau kami rapi" Daripada kalian cewek-cewek, gak pernah
rapi. Berantakan melulu. Bener-bener deh," potong Sandro.
"Buat apa rapi" Yang penting gak ketinggalan tren," jawabku.
"tapi kalian suka kami, kan?" sergap Anty yang sekarang ikutan berdiri.
"Gubrak! Cewek-cewek sinting!" Sandro menyandarkan kepala seakan
menyerah. Aku dan Anty kembali duduk sambil tertawa pelan.
"Ty, kita lihat nanti di rumah Sandro, ngapain saja si Mahmud. Beneri-bener
pengen gue kerjain!" kataku pelan, khawatir rencanaku bocor.
"Setuju! Kalau kemarin dia nyuciin jins kita, nanti kita suruh ngapain ya?"
Anty balik bertanya dengan jail.
"Gak tahu. Pokoknya gue akan perbabu dia habis-habisan," tekadku.
Seperti biasa kami cerewet banget di perjalanan. Habis gimana dong" Kami
belum bisa tidur karena tadi pake tidur siang segala. Mana bawaannya mau
melek terus dan mulut gak bisa diam kayak lagi dicabein. Sudah begitu, TV
dalam bus ini gak dinyalakan. Kalau gak bisa nyetel TV, paling gak nyetek
VCD kenapa sih" Gak kreatif amat. Kalau begini, kami yang sengsara karena
sopir-sopirnya lagi-lagi nyetel kaset Pance Pondaag! Bukannya aku antipati
Pance, tapi lagu-lagunya itu lho, sudah gak nyambung dengan kuping ABG
kayak kami. Ketika malam semakin larut kami bisa tidur juga. Kasihan nasibku yang
duduk di sebelah Anty. Kakinya nendang ke mana-mana. Mungkin dalam
mimpinya dia lagi jadi si Buta dari Gua Hantu atau Nyi Blorong. Sejak di
kapal hingga numpang di rumah Kelly, teman-teman yang lain ogah tidur
di sebelahnya karena keliaran tidurnya. Hhh, pengen rasanya aku beli
pasungan untuk bocah tukang gosip itu. Aku lebih memaafkan mereka
yang tidurnya ngorok karena masiyh bisa kuanggap lagi tidur di kandang
Miss Piggy. *** Hari kesepuluh. Rumbai, Riau.
Pukul delapan pagi kami turun dari bus dengan sempoyongan karena
nyawa rasanya masih belum balik ke badan. Beruntunglah Nidya yang
menerima layanan first class dari Mahmud yang mengangkuti seluruh
barangnya. Kami langsung pindah ke dua mobil yang sudah menjemput. Yang satu
disopiri mamanya Sandro, lainnya sopir beneran.
Aku baru tahu di daerah Riau ternyata banyak kelapa sawit. Tanahnya agak
lembek dan berwarna putih-kuning, pasirnya agak kemerahan. Udaranya
panas dan kering banget. Pantas eumah Sandro pakai AC. Biar sejuk. Malah
begitu sampai di rumahnya kami langsung dipkasa makan nasi goreng
bakso yang lezat. Jus jeruk juga sudah disiapkan. Tinggal tuang dan teguk
saja. Kurang apa, hayo"
Tapi baru sekejap menginjakkan kaki di rumah Sandro, yang namanya
Mahmud langsung proaktif bertanya ke papanya Sandro, mengenai
barang-barang elektronik yang rusak agar bisa dia reparasi. Papanya
Sandro yang memang baru mau berangkat kerja setelah menyambut kami
menjelaskan bahwa perusahaan sudah menyediakan tenaga servis karena
sebagian besar barang dan perabotan yang ada di rumah merupakan aset
perusahaan yang boleh dipakai karyawan.
Tak putus asa dengan penjelasan papanya Sandro, Mahmud pergi ke
belakang, mencari tempat cucian.
"Eh, ada mesin cuci nih. Ada yang mau nitip cucian kotor?" tanya Mahmud
pada kami yang masih keasyikan nambah nasi goreng.
"Lho, Mahmud, kamu mau ngapain?" tanya mamanya Sandro bingung.
"Biarin aja, Ma. Dia memang sukanya kerja-kerja pembantu," jawab Sandro
asal-asalan. "Oh... Tapi kamu gak usah repot-repot lho. Sudah sana kalau mau istirahat.
Ada pembantu kok di sini." Mama sandro berusaha mencegah insting alami
Mahmud untuk bekerja kasar.
"Sudah, biarin aja, Tan. Memang dia hobinya beres-beres. Kalau rumah
tante nanti mengilap, ya jangan heran," celetuk Kelly sekenanya.
Begitulah. Seperti waktu di rumah Kelly, di sini pun Mahmud menyalurkan
obsesinya untuk mencuci baju dan jins kami sampai seember penuh. Kalau
duku dia mencuci denhan manual dengan papan penggilasan dan sikat,
sekarang dia beraksi dengan mesin cuci. Heran, Nidya kok gak malu ya
dengan kegiatan Mahmud yang seperti itu"
Terserahlah. Setelah makan kami memilih masuk ke kamar. Yang cewek
tidur di kamar atas lengkap dengan balkon sebagai daerah kekuasaan,
sedangkan cowok-cowok di kamar bawah. Habis berbenah, kami rebahan.
Tapi kamar di atas gak ber-AC. Mendingan tidur di luar kamar biar adem.
Anty mengikuti ideku. Gak tahu kenapa, kalau urusan kerja sama aku lebih
sreg sama Miss Telmi itu. Lucunya, Lia dan Nidya yang hubungannya lagi
agak korslet malah milih tidur di dalam sedangkan Kelly memutuskan untuk
From Sumatra With Love Karya Esi Lahur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bolak-balik. Bisa di dalam atau di luar kamar. Benar-benar sesuka kami deh.
Baru setengah jam enak-enakan rebahan, Adi, Sandro, dan krisna menyusul
ke atas. Mahmud masih asyik mencuci.
"Ngapain kalian ke sini" Kangen ya sama kami?" sodok Anty.
"Gak. Gue ngecek tembok rumah gue, ada yang retak gak gara-gara
kedatangan kalian," kata Sandro tak kalah bengis.
"Dasar!" jawab Anty keok.
"Kalian ngumpul di sini jadi kayak harem," sambung Krisna.
"Sudah deh, jangan cerewet. Mendingan susun rencana, hari ini mau
ngapain" Waktu kita kan gak banyak. Ingat, keuangan menipis," Kelly ikutan
nimbrung. "Di sini kurang ada yang menarik. Kalau ke Bukittinggi mau gak?" ajak
Sandro. "Ha" Bukannya lebih mahal?" tanyaku melotot.
"Tenang. Bokap gue yang nraktir. Mungkin dia kasihan melihat penampulan
kalian yang kayak musafir. Kita tinggal bayar uang bensin aja. Satu mobil
cukup, kan" Empat di belakang, empat di tengah, gue di depan," jelas
Sandro yang kayaknya sudah merencanakan ini di dalam otak jailnya.
"Yang nyetir siapa"' potong Lia.
"Ini baru mau gue omingin. Temen gue, namanya Rahmat. Dia orang
Minang tapi sekolah di sini sejak SMP. Sahabat gue dari SMP. Tapu gue ke
Jakarta, dia tetap di sini karena bokapnya punya usaha di sini," jawab
Sandro. "Ha" Dia punya SIM gak" Ntar kita masuk koran lagi, gara-gara kecebur
jurang," kata Anty repot sendiri.
"Ya pounya dong, bolot! Mana mau bokap gue minjemin mobil kalo
orangnya gak punya SIM?" bentak Sandro.
"Gue jan cuman nanya. Lebih baik mencegah daripada..." Anty membela
diri. "Lebih baik lo diam saja," potong Nidya cepat.
"Bisa ngomong juga lo" Gue kirain lidah lo udah kepotong," balas Anty
sadis. "Aduh... Kok jadi melantur ke mana-mana sih?" kata Adi kesal.
"Mampus! Emang enal disemprot Empu?" imbuh Krisna geli.
"Empu apaan?" tanya Lia.
"Dalam bayangan gue Adi kayak Empu Gandring. Senang menyendiri.
Sedikit bicara, banyak berpikir, sering menjamah. Hehehe...," jawab Krisna
iseng. "Garing banget lo, Kris," kataku sebal.
"Eh, omong-omong, kasihan bener ya Rahmat, temenan segitu lama sama
lo. Pasti dia bahagia banget tuh lo pergi ke Jakarta. Iya, kan" Ngaku aja deh,
Ndro," selidik Anty. Kami hanya bisa geleng-geleng kepala mendengar ide
yang sama sekali gak brilian itu.
"Jadi gini, besok kita berangkat pagi-pagi, nginap semlam di Bukittinggi,
dan lusa sore balik ke sini. Gimana" Oke?" papar Sandro tentang
rencananya sembari mengabaikan celoteh Anty yang gak mutu itu.
Kami hanya mengangguk-anggukkan kepala.
.Tambahan nih. Buat cewek-cewek, awas ya kalau gangguin Rahmat sampai
kelewat batas," ancam Sandro.
"Memang kenapa" Ganteng ya" Asyik, makanan nih," sorakku.
"Makanan, lagi. Emang lo kira dia kue moci" Pokoknya jangan kecentilan
deh," Sandro menegaskan ancamannya.
"Kenapa sih lo protektif banget" Lo bukan hombreng kan, sampe
ngelarang-larang begitu?" tanya Lia.
"Kenapa juga kalian cerewet banget" Nanya-nanya melulu. Memang gak
bisa ya tinggal menuruti aja?" semprot Sandro.
"Kata bu guru kita harus kritis. Jangan membeo doang," tambah Kelly
menjadi-jadi. "Iya. Malu bertanya sesat di kuburan. Salah sendiri. Eh, bukannya lo malah
senang hati kami tanya-tanya melulu supaya lo jadi kelihatan agak cerdas,
gitu?" tanyaku lagi bikin suasana tambah riuh.
"Terserah kalian deh, cewek-cewek. Semoga kalian bisa dapat cowok
berhati baja yang budek sehingga gak depresi karena kecerewetan kalian
yang lebih cepat daripada gerakan jarum mnesin jahit," Sandro
menyumpahi. "Oh, jadi sampingan lo selain sekolah jadi tukang jahit, ya?" kataku tak mau
berhenti. Sandro pun hanya geleng-geleng kepala seolah ingin menghajar
kami. Adi dan Krisna cengengesan melihat Sandro kewalahan menghadapi
kami. *** Hari ini kami berjalan-jalan di kompleks Caltex. Di Rumbai hanya ada
kantoe dan perumahan, kilang minyaknya di Duri. Sejauh yang kami lihat,
kompleks Caltex bagaikan kota di dalam kota. Segala kebutuhan hidup
tersedia di dalam kompleks dan dikhususkan bagi para pekerja dan
keluarganya, baik orang lokal maupuin ekspatriat.
Bayangin deh, ada beberapa toko dan minimarket dengan berbagai barang
kebutuhan sehari-hari, minuman, dan makanan, berupa produk lokal
maupun impor. Lantas ada sekolah Internasional, klinik yang mirip rumah
sakit kecil, gedung serba guna, bioskop, helipad, serta kluib kebugaran
yang berfasilitas lengkap. Nah, di klub inilah kami nongkrong. Tepatnya di
restoran kolam renang. Enak banget suasananya. Anak-anak bule kecil
sedang kursus privat renang.
"Lo gak ada yang pengen bisa berenang?" tanyaku pada kedelapan
temanku yang pasti bakal ngibrit kalao dipaksa masuk kolam renang.
Jangankan kolam dua meter, kolam semeter saja bisa pada terkencingkencing.
"Iya deh yang bisa renang, puas-puasin deh menghina kami," kata Kelly.
"Kalian juga gak ada iktikad baik mau belajar,' katakui sok pongah.
"Gue mau, tapoi kalau yang ngajarin lo, ogah ah. Ntar terjadi pelecehan
seksual, lagi. Gue gak mau jadi korban kebiadaban lo," timpal Adi yang
langsung disambut tawa riuh kami.
"Mana yang lebih biadab" Memutuskan hubungan secara sepihak dan
selingkuh dui depan mata atau...?" pancing Sandro mulai lagi.
"Ndro, plis deh. Jangan merusak suasana," kata Lia menghela napas.
"Merusak gimana" Emang ada ya di antara kita yang sebiadab itu?" Sandro
balik bertanya dengan wajah sok lugu.
Aku melirik nidya yang wajahnya langsung memerah kayak terong Belanda
busuk dan Mahmud yang pura-pura budek.
"Waduh! Kalung gue hilang nih," teriak Krisna.
"Kalung yang lo beli di Kampung Keling?" Tltanya Sandro.
"Iya. Tadi pas turun dari bus gue baru sadar. Masa ketinggalan di rumah
Kelly sih?" Krisna balik bertanya dengan heran.
"Ya sudahlah, gak usah lo tangisi. Kalung begitu doang," hibur Kelly.
Sehabis makan burger yang supermurah dan superenak karena restorannya
disubsidi Caltex, kami cabut ke lapangan softbol. Keren deh, kayak di film-
film Hollywood. Mumpung lapangannya kosong, kami langsung bergaya
habis-habisan dengan Mahmud sebagai seksi dokumentasi.
Kami puas-puasin berulah yang gila-gilaan di situ. Parahnya nih, Adi
berkhayal dirinya bikin home-run sehingga disoraki penonton. Dia bikin
victory lap dengan berlari keliling lapangan sambil melambai-lambaikan
tangan. Terdengar gemuruh suara dari mulutnya sendiri, "Yeeeahhh!!"
"Fatal juga ya akibat dikhianati," celetuk Lia pelan.
"Hoooii, Adi, ngapain di tengah lapangan gitu"!" teriak Kelly melihat
tingkah pola Adi yang gak wajar.
"Kenapa mengganggu kesenangan orang sih, Kel" Biarin aja dia begitu,
daripada nangis-nangis?" kata Anty tak kalah bengong melihat kelakuan
Adi yang biasanya tenang.
Nidya dan Mahmud asyik berduaan di bawah papan skor. Benar-benar
pasangan yang gak matching.
"Li, lo masih empet sama Nidya?" tanyaku.
"Kalo manjanya kumat sih terus terang pengen gue tabok," jawab Lia sadis.
Itu artinya dia sebal berat karena anak yang satu ini biasanya baik hati.
"Kita sidang lagi yuk, biar seru," ajak Anty.
"Apaan lagi topiknya?" tanyaku tertarik.
"Pengakuan hati Nidya. Apakah bener dia semudah itu melepas Adi demi
seorang kac...," jawab Anty semangat.
"Kalau gue lebih tertarik menyodok Krisna," kataku.
"Memang kenapa" Bukannya dia pemuja lo?" tanya Anty. Wajah Lia
langsung datar. "Masa dia sial melulu. Dari topi yang nyemplung di Danau Toba, kepleset di
kamar mandi, dan barusan kalungnya hilang. Ingat gak kutukan permainan
kita" Siapa yang bohong bisa sial selama perjalanan ini?" pancingku
menggelitik urat usil teman-temanku.
"Iya, benar juga. Tapi, dia bohong apaan?" tanya Kelly heran.
"Bagaimana kalau itu hanya kebetulan?" tambah Anty.
"Terus, bagaimana kalau ternyata dia berbohong" Seru kan, kalau kita bisa
membongkarnya?" ajakku lagi.
"Lo gak sakit hati kalau ternyata dia bohong dan lebih menyukai Sandro?"
tanya Anty terkikik. "Lho, bukannya mereka memang pasangan hombreng yang menyamar?"
jawabku melantur. "Kalau ternyata dia gak demen sama gue dan Lia, terus
malah sukanya sama Kelly, Nidya, atau lo seru, kan?" pancingku sambil
melirik Anty. Sejujurnya aku memang belum mau pacaran dulu. Cowok-cowok di sekolah
juga bulukan. Lagian orangtuaku bisa protes keras kalau aku pacaran lalu
belajarku jadi gak fokus. Mending ngejomblo aja dulu. Gak dosa, kan"
Paling hanya turun gengsi karena gak punya gandengan.
"Tapi kenapa Krisna mesti bohong kalau memang gak demen lo atau Lia?"
Kelly bertanya lagi. "Duilah, Non. Emangnya gue Krisna, sampai diinterogasi begini" Mungkin
dia gak berani menyebut nama Nidya karena takut terkesan pasaran. Terus
kalau dengan lo, Kel, dia khawatir lo hajar dan amuk. Nah, kalau Anty, dia
takut lo pingsan saking bahagianya. Kebayang kan repotnya kalau ada yang
pingsan" Mesti gotong-gotong ke ranjang, ngipas-ngipas, bikin teh manis,
ngolesin minyak kayu putih, dan...," kataku berargumentasi dengan
supernyinyir. "Cukuup! Oke, gue setuyju kita gerebek Krisna nanti malam," kata Anty.
"Terus, pasangan ajaib itu gimana?" tanya Lia masih penasaran. Kayaknya
Lia belum siap menghadapi kenyataan kalau ternyata Krisna ngaku gak
demen sama dia. "Satu paket aja. Obat pelangsing aja bisa beli paketan, masa nyidang orang
gak bisa," jawab Kelly semangat.
"Yuk balik ke rumah, perut gue mules nih," kataku sepet.
"Sa! Memang gak ada topik yang lebih sopan ya?" semprot Anty enek.
*** Malamnya semua ngebut membereskan barang yang mau dibawa
berkelana dua hari satu malam ke Sumatera Barat. Mama Sandri
menyediakan martabak Mesir dan sate Padang sebagai hidangan makan
malam. "Kerjaan kita selama pergi makan melulu, ya," komentarku.
"Iya. Kayak wisata kuliner," jawab Lia.
"Gagal deh diet gue," rutuk Anty.
"Belagu lo pakai diet segala. Badan lo emang udah kayak lontong, terima
aja. Lontong mana bisa jadi gitar Spanyol. Iya gak, Say?" goda Krisna
padaku. "Kalau perumpamaan, mana bisa wajah Mahmud yang bengep berubah
jadi wjah Nicholas Saputra atau minimal kayak gue," Sandro ikutan
menyodok. "Kenapa sih lo selalu memojokkan Mahmud?" tanya Nidya kesal.
"Siapa yang memojokkan" Itu kan fakta," jawab Sandro.
"Memangnya dia salah apa sama kalian?" desak Nidya lagi.
Wah, kayaknya serius nih. Mahmud ada di belakang, lagi menyetrika baju,
jadi gak tahu ada perang mulut begini.
"Ngapain sih lo ribut gitu" Lo gak tahu kita bercanda?" Kelly berusaha
menengahi. "Gue tahu, tapi kenapa Mahmud melulu yang kena" Memang kalian
sebagus apa sih?" sanggah Nidua geram.
"Lebih bagus daripada lo dan Mahmud." Sandro terpancing emosi.
"Sudah. Sudah. Gak usah diteruskan," Krisna berusaha menengahi.
"Gak bisa. Gue masih penasaran, kenapa Mahmud terus yanh diledek"
Karena dia ngutang Krisna" Katena dia membantu kalian terus" Bukannya
terima kasih, eh malah dikatain kacung," cerocos Nidya mengeluarkan
gumpalan perasaannya. "Ini gak lagi shooting sinetron, kan?" Aku mencoba mencairkan suasana.
"Kenapa sih yang diledek bukannya Adi, Anty, Lua, atau siapalah di antara
kita" Korbannya mesti mahmud." Protes Nidya makin menjadi. Matanya
mulai berkaca-kaca. "Begini deh, sekarang mau lo apa?" Kelly bertanya dengan ketus.
"Mau gue, jangan ada lagi yang menghina Mahmud. Gak susah, kan?" pinta
Nidya. "Cuma itu permintaan lo" Bilang aja dari tadi, gak usah ngomong ngalorngidul gitu," ucap Krisna sambil tertawa-tawa.
"Sudah deh. Kita bubaran aja. Tidur. Ingat ya, besok jam enam terng kita
cabut," komando Sandro.
"Lo janji mau ngenalin sahabat lo, siapa namanya" Rahmat?" Anty menagih
janji. "Besok pagi aja sekalian berangkat. Dia gak bisa datang. Dasar ganjen!"
jawab Sandro melotot. Serentak cewek-cewek langsung ke kamar atas. Terpaksa harus tidur kalau
tidak mau kesiangan. Batal deh menyidang Krisna gara-gara keributan kecil
barusan. Agak memalukan juga karena orangtua Sandro kayaknya
mendengar tapi mereka pura-pura gak tahu apa-apa dan memilih masuk
ke kamar tidur. Menyidang Krisna di Bukittinggi aja. Jalan masih panjang. Kalau besok
Krisna masih kena sial lagi, nah, itu cukup membuktikan bahwa dia
berbohong. Setuju" Bab 8 Sudah sebelas hari berlalu...
Kami bergantian mandii. Karena tidak sempat sarapan, mama Sandro
membawakan bekal seabrek. Ada roti isi meses, selai kacang, dan selai
stroberi, lalu hot dog, pisang goreng, bolu, lontong, serta sirop markisa
dingin dalam termos. Pokoknya kami gak khawatir kelaparan.
Selagi kami memasukkan barang-barang ke mobil, ada cowok keren
datang. Lebih keren daripada Sandro cs deh. Kulitnya putih, berlesung pipi,
dan berdagu belah. Mmm... Target menarik.
"Mat! Sini, Mat!" teriak Sandro gembira. Keduanya berbasa-basi sementara
kami hanya bisa lirak-lirik kayak penari kecak.
"Sini, gue kenalin. Ini Rahmat yang bakal nganterin kita. Ini temen-temen
gue dari Jakarta. Maklumi aja ya, mereka agak norak," kata Sandro jail.
"Biar norak tapi oke, kan?" imbuh Anty centil.
"Yang baru ngomong namanya Anty." Sandro berusaha mengendalikan diri
dan mengenalkan dengan ramah. Setelah itu berturut-turut kami
dikenalkan satu persatu. Barang-barang sudah masuk semua. Kami siap
meluncur. Kami duduk empet-empetan, kecuali si diktator Sandro dan Rahmat yang
berada paling depan. Bagian tengah ada aku, Anty, Kelly, dan Lia. Baris
akhie ada empat orang lain.
Mobil baru berjalan lima menit tapi Anty sudah mengeluh perut
keroncongan. "Nanti saja deh buka bekalnya. Kalau sudah keluar Rumbai atau Riau,"
tawar Sandro. Pasti dia dalam hati geregetan dengan Anty yang gak bisa
mengendalikan ususnya. Aku memberikan ponselku pada Anty yang sudah kutulisi di bagian pesan
tapi tidak ku kirim supaya irit. Hehehe...
Hrsnya Rahmat yg sklah ke Jakarta ya, bkn Sandro. Dr dpn ganteng, dr
smping memikat. Akhirnya ada pmndangan segar.
Anty, Kelly, dan Lia yang baru selesai membaca pesanku menganggukangguk setuju sambil cekikikan.
Sayang orangnya agak diam. Kt hrs jaim nih.
Aku membaca dan gantian mengetik. Aku segera menyerahkan ponselku ke
Anty lagi. Jaim gmna" Blm apa" aja lo udh mnta mkan. Bikin malu!!!
"Gue kan lapar banget, Sa," rintih Anty langsung.
From Sumatra With Love Karya Esi Lahur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sandro menengok. "Sabar dikit kenapa seeh," katanya kesal.
Begitu keluar Riau, Sandro memperbolehkan kami brunch. Banyak kelokan
yang dilewati Rahmat dengan sempurna. Jendela mobil dibuka karena AC
dimatikan. Selain menghemat solar, udara juga masih segar. Polusi gak
separah di Jakarta. Anginnya enak kok.
Anty minta pindah duduk di pinggir, persisi di belakang Rahmat. Katanya
supaya pemandangannya jelas. Anty nengok-nengok ke luar melihat
pemandangan dan sempat melihat ke belakang. Setelah itu dia senyamsenyum.
"Ngapain lo, Ty" Semyum mesum kayak gitu?" tanya Lia.
"Itu orang di mobil belakang kayak melambaikan tangan ke gue deh.
Mungkin mau kenalan," jawabnya kenes.
Aku inkut menengok ke belakang. Memang benar, dua cowok di mobil
boks belakang mengangkat tangan. Tapi bukan melambai, melainkan
menunjuk-nunjuk ke bawah. Mulut cowok itu komat-kamit. Aku berusaha
keras membaca gerakan mulutnya. "Kkeemm..pppees. Hei, ban kita
kempes!" teriakku baru sadar.
Spontan Rahmat memperlambat mobil dan mencari daerah yang agak luas
untuk membetulkan ban mobil. Begitu mobil berhenti Mahmud langsung
bergerak cepat mengeluarkan alat montir sederhana yang ada di dalam
mobil. Untung tak jauh dari tempat mobil dipinggirkan ada WC umum. Kami buruburu turun dan antre.
"Gila ya lo! Orang ngasih tahu ban kempes malah lo kira ngajak kenalan,"
kata Krisna geli. "Bisa saja setelah ngasih tahu ban kempes, mereka ngajak gue kenalan.
Kenapa sih lo kayaknya gak terima banget?" Anty tak mau kalah. "Bukannya
gak terima. Dasar ge-er! Untuk tadi si montok ngeliat ke belakang. Kalau
gak, kita udah kejebur ke jurang gara-gara kesintingan lo!" balas Krisna lagi.
"Mendingan ge-er daripada rendah diri, tahu?" Anty terus membalas.
Mungkin dia takut kehilangan muka di depan Rahmat yang sedari tadi
hanya tersenyum melihat kekonyolan kami. Duh, senyumnya itu lho! Maut.
"Sa, lo lihat gak tadi senyumnya?" bisik Kelly.
"Iya. Gue kan belum rabun," jawabku tak kalah pelan. "Gila ya, Kel, di
pedalaman kayak begini ada cowok sekeren gitu."
"Ancur lo!" imbuh Kelly geli.
"Masih lama kan benerin mobilnya?" tanya Anty dengan tampang panik.
"Emang kenapa" Lo mau makan lagi?" tanya Sandro sengit sambil
berjongkok di sisi mobil. Dia memperhatikan kerja Mahmud dan Rahmat
yang sedang mengganti ban.
"Gak. Kebalikannya, perut gue nih," jawab Anty lirih, takut kedengaran
Rahmat. "Apa" Lo mau boker"!" teriak Sandro keras sampai kami terbahak-bahak
semua. Muka Anty merah muda kayak kue mangkok dan langsung ngibrit
ke WC umum setelah sebelumnya mengambil tisu basah di dalam mobil.
Kerja keras Mahmud dan Rahmat yang dimandoro Sandro berhasil
gemilang. Ban baru sidah terpasang sempurna. Berarti mobil sudah beres.
Anty juga sudah keluar dari WC dengan wajah lega.
Tapi, eh, gak salah nih mataku" Adi masih duduk bersebelahan dengan
Nidya di bawah pohon. "Ada gencatan senjata nih," kataku. Semua menengok ke arahku dan aku
pun langsung mengarahkan pendangan ke bawah pohon. Semua
mengikuti arah mataku dengan cepat.
"Buset. Mahmud berjuan hidup dan mati untuk kita, eh mereka bukannya
ngebantuin malah asoy geboi di bawah pu'un," canda Sandro.
Tapi Adi dan Nidya tidak beranjak dan hanya tersenyum tipis. Mahmud
yang masih berkeringat ikut menengok ke arah pohon. Tanpa senyum dia
masuk ke dalam mobil dan mengambil segelas markisa dingin. Bakal
perang dunia ketiga nih! "Kalian bertiga kalau mau berantem, silahkan. Gue bagian perwasitan," kata
Hikmah Pedang Hijau 5 Jennings Si Iseng Karya Anthony Buckeridge Laba Laba Hitam 1
rendaman kaki raksasa, kenapa?" timpal Sandro.
"Gak keren amat. Masa tempat rendaman kaki" Sekalian aja bilang buat
merendam cucian," ujar Anty tak mau kalah.
"Eh, lo lihat Adi dan Nidya gak?" tanyaku setelah melihat sekeliling dan
tidak mendapati kedua makhluk itu.
"Gak tahu deh. Jangan-jangan mereka...," jawab Anty gak jelas.
"Kita cari yuk. Gue takut mereka kenapa-kenapa," ajak Lia.
"Gue sih bukan takut mereka kenapa-kenapa. Gue memang mau niat
ngintip mereka. Hehehe... Ayo!" jawabku.
"Bagus. Bagus. Teruskan investigasinya," kata Sandro.
"Ntar ceritain ya, mereka lagi ngapain," kata Anty yang tak mau beranjak
dari pinggir kolam. Kolam pemandiannya memang banyak. Beberapa ada yang tertutup pohon
rindang dan tanaman bunga. Aku dan Lia terus berjalan. Ke mana sih dua
anak itu" "Lo denger gak?" tanya Lia. Aku mengangguk. Kami berjalan mengendapendap menuju arah datangnya suara.
Benar. Adi dan Nidya sedang berduaan. Kami menguping mereka dari balik
semak-semak. Kalau ketahuan, bisa pecah perang nih. Tapi mau bagaimana
lagi" Rasa ingin tahu kami begitu besarnya sehingga kami senekat ini.
"Bukan salah gue dong kalau anak-anak jadi kesel sama lo," terdengar
suara Adi. "Kayaknya gue gak pernah minta ditemenin di kapal dan ke mana-mana
berdua deh. Bukannya itu mau lo sendiri?" tantang Nidya.
"Tapi, masa gue disalahin karena nemenin lo terus" Memangnya lo gak
seneng ya kalo kita jadian" Atau memang lo gak mau?" berondong Adi
dengan nada tinggi. "Bagaimana mau jadian" Buktinya, gue diserang anak-anak, lo gak bantuin
sama sekali. Malah diam dan asyik sendiri," ujar Nidya marah.
"Habis, gue mesti gimana dong" Bagaimana membelanya" Masa gara-gara
durian aja lo ngambek" Kan gak salah mereka bilang lo cengeng. Lo begiru
sih," kata Adi bingung.
"Begitu gimana" Kalau gak suka, ya sudah." Nidya langsung berdiri dan
pergi meninggalkan Adi yang sempat terbengong-bengong. Tak lama
kemudian Adi berdiri dan menarik tangan kanan Nidya. Tapi Nidya tidak
mau duduk lagi dan langsung pergi. Wuih, bener-bener kayak sinetron deh.
Tinggal kami yang kebingungan mencari kesempatan pergi agar tidak
ketahuan. Aku segera berdiri dan keluar dari semak. Lia juga. Kami
memasang wajah sok polos, lalu berjalan mendekati mereka. Seolah tidak
sengaja, kami berpapasan dengan Nidya yang tampangnya lusuh.
"Ke mana aja lo, Nid" Kami cari dari tadi kok gak ada?" tanyaku sembari
berharap dia tak melihat adegan aku dan Lia menyembul dari semak
barusan. "Muter-muter," jawab Nidya dengan wajah tak kalah panik.
"Ke kolam yuk! Kami juga nyari Adi nih, kan kita mau foto bareng berlatar
Gunung Sibayak," ujarku lagi dengan alasan yang dicari-cari.
"Gue juga gak lihat dia," kata Nidya.
Duilah, bohong tapi ketahuan. Kenapa juga dia mesti bohong ya" Lia
melirik ke arahku dengan wajah kesal. Mungkin dalam hati Lia merutuk,
"Dasar tukang bohong!"
"Mana ya Adi" Kok pakai acara ngilang segala" Kalau gak ada dia, kita
belum bisa foto bareng nih. Apa ke WC, ya?" kataku pura-pura bingung.
"Gak tahu," jawab Lia sementara Nidya diam aja. Pasti Adi mendengar suara
kami, tapi kenapa dia diam aja" Apakah takut ketahuan tadi habis
berduaan" Entahlah. Yang pasti aku dan Lia gak berani menengok ke
belakang. Takut malah mencurigakan.
Sampai di tempat ngumpul tadi, Anty, Klli, Krisna, dan Sandro masih asyik
merendam kaki sementara Mahmud ngobrol dengan Tante Arta yang
menjaga ransel kami. Tante Arta juga sudah membawa bekal makan siang
berupa ikan asin, mi goreng, telur ceplok, kerupuk udang, dan sambal.
Nasinya beli di kafetaria pemandian supaya hangat.
Kami sudah berkumpul untuk makan kecuali Adi, juga Anty yang masih
nongkrong di tepi kolam. Saat kami sedang mengambil makanan di piring
styrofoam, Anty menjerit-jerit sambil berdiri.
"Mati gue. Celana gue basah! Celana gue basah!" teriak Anty sambil berlari
ke arah kami. Lagi-lagi tuh anak jadi bahan tertawaan. Sudah tahu kolam
lagi diisi dan mulai meluber, bukannya buru-buru angkat kaki, eh dia malah
nangkring sambil bengong.
"Lo jerit-jerit, disangka dikejar komodo, tahu!" semprot Krisna.
"Yah... Gimana dong" Celana gue basah nih," sesal Anty sambil
menunjukkan bagian belakang celananya yang kuyup.
"Sudah tahu air luber, bukannya berdiri. Siapa suruh lo bengong-bengong"
Berkhayal jadi putri keraton di petirtaan, ya?" kata Sandro sinis seperti
biasanya. "Bukan ngayal. Gue memang putri keraton yang menyamar jadi rakyat
jelata," jawab Anty sewot.
"Kalau putri keraton seperti lo, lantas gue siapa" Tukang bubut keraton"
Pemelihara pusaka keraton" Kalau gue aja jabatannya begitu, bagaimana si
Mahmud?" tukas Krisna sambil melahap kerupuk udang.
"Apa ya jabatan terendah di keraton" Kacung kayaknya sudah maksimal
deh," tambahku. "Pembicaraan makin sadis nih," sela Lia geleng-geleng kepala. Tak ada lagi
yang menyahut. Adi datang dengan wajah tenang seolah tak terjadi apa-apa. Setelah
mengambil makan siang yang sudah disediakan Tante, Adi memilih duduk
di sebelah Anty, bukan di sisi Nidya yang sudah mulai terlihat bete lagi.
"Ty, lo sudah gak sabar ya pengen makan durian?" canda Adi pelan.
"Lo kok tahu sih" Memang lo bisa ya meramal hati gue?" Anty balik
bertanya dengan wajah pura-pura terkejut dan centil.
"Apa susahnya sih meramal wajah lo" Yang tergambar kan hanya makanan
melulu," semprot Mahmud.
"Mampus lo, Ty. Memang enak diledekin begitu?" ledek Krisna sementara
Anty hanya ngedumel soal celananya yang masih basah.
*** Perjalanan menuju Kabanjahe dilanjutkan. Kami sudah melintasi Brastagi.
Karena kekenyangan, mulut rasanya terkunci. Tidak ada saling ledek meski
Anty sibuk melipat handuk dan menjaga parsel supaya tidak jatuh ke dasar
angkot. Yang ada hanya suara mengiris ala Pance.
Akhirnya sampai juga di kebun Tante Arta. Uniknya, di dlam area kebun
rata-rata terdapat makam yang berukuran besar dan berhiaskan batu
marmer. Yang di kebun ini makam suami Tante Arta. Selagi Tante Arta, Egia,
dan Imam membersihkan makam, kami disuruh berkeliling. Pohon jeruknya
banyak, boleh langsung dipetik dan dimakan. Mmm, enak. Rasanya manis.
Selain jeruk, ada buah beri yang kami kumpulkan untuk dimakan di rumah
nanti. "Gue gak tahan lagi nih," keluh Anty ke Adi.
"Iya, gue juga," jawab Adi suntuk.
"Lo berdua kayak mau ngapain aja. Gara-gara durian sampai suntuk
begitu," kataku. Sepasang monster durian itu langsung meminta Imam membukakan pintu
angkot. Mereka mau menurunkan dua puluh durian itu ke kebun. Tidak ada
seorang pun dari kami yang tergerak untuk membantu karena mereka juga
terlihat kurang senang dibantu. Mungkin keduanya sudah berencana
menguasai durian-durian itu.
Begitu semua durian terampar di kebun, tanpa ba-bi-bu lagi mereka
langsung membukanya. Aku mengambil sebuah untuk dimakan bersama
Krisna, Kelly, Lia, dan Sandro. Mahmud lebih memilih menemani Nidya yang
tak bisa bersahabat dengan durian. Mereka berdua berjalan kembali ke
kebun jeruk. Tante Arta, Egia, dan Imam hanya tertawa-tawa melihat
kelakuan kami yang sedang menikmati durian, terutama Adi dan Anty yang
kalap. Kami makan durian dengan nikmat dan perlahan, tidak serakus Adi
dan Anty. Sandro memberi kode kepadaku agar melihat Mahmud yang
sedang mepet dengan Nidya sementara Adi masih kesurupan durian.
"Gila ya. Lo berdua benar-benar OD. Over Durian! Kami baru satu, kalian
sudah dua!" teriak Kelly.
"Sudah deh, jangan berisik. Nikmati aja!" kata Anty dengan pandangan
tetap fokus ke arah daging durian yang montok menguning.
"Enak banget, ya," puji Adi bolak-balik.
Kami benar-benar makan durian yang murah dan lezat dalam suasana
meriah sampe puas. Adi dan Anty terlihat berkonsentrasi penuh pada
santapan itu sampai-sampai tak memperhatikan kepergian Mahmud dan
Nidya ke tengah kebun. Terlupakan sudah derita Anty yang betisnya
sempat tertusuk-tusuk durian saat di angkot tadi.
Setelah dua puluh menit berkutat dengan durian, baru deh Anty tenang
dan gak resah lagi. "Rasanya mantap banget!"
"Puas lo?" tanya Sandro.
"Banget. Omong-omong, Nidya ke mana" Jangan-jangan sudah masuk
kuburan gara-gara gak tahan bau durian," kata Anty geli.
"Pergi dengan Mahmud," jawab Sandro.
Aku melirik Adi yang pura-pura tidak mendengar jawaban Sandro. Kini Adi
beralih mencicipi buah beri yang baru kami petik. Wajah Anty langsung
berubah penuh gosip. "Adi! Itu beri kan belum dicuci. Kok lo makan gitu aja" Ntar kalau sakit
perut jangan protes ya," kataku.
"Mending gue makan beri. Daripada lo" Omongin sakit perut melulu dari
kemarin," protes Adi cuek.
Huu... Habis makan durian, makan beri, nanti mules beneran baru meringis
deh. Mendengar kami ribut gak ada juntrungannya, Kelly mengajak kami ke sisi
lain kebun. Mungkin Kelly berharap kumpulan tanaman terong Belanda di
situ bisa meredam kegilaan yang baru saja terjadi di antara temantemannya yang selalu penuh kehebohan. Lia yang sedari awal sudah
terobsesi membuat jus terong Belanda sendiri dan berencana meminjam
blender Tante Arta langsung memetik terong-terong itu. Ternyata terong
Belanda yang ranum tergantung di bagian atas. Demi servis yang bagus,
Kelly sebagai saudara pemilik kebun ngebela-belain minta digendong Egia
agar bisa meraih buah di bagian atas.
"Bisa-bisa berkurang deh pemasukan Tante Arta gara-gara buahbuahannya kita panen duluan," kataku pelan.
"Sst... bayarannya kan setimpal. Dia kedatangan artis-artis ibukota seperti
kita," jawab Anty. "Iya, bener. Apalagi Imam. Kayaknya dia kagum benget melihat kami. Sudah
bagus dia bisa menahan diri gak minta foto bareng dan tanda tangam kita,"
imbuh Krisna. "Kalian pada kesambet setan apaan sih" Sudah, bantuin Lia bawa terong
Belanda tuh," kataku pada Krisna.
"Sa, gue denger-denger ya, sejak berangkat omongan lo kalau gak sakit
perut, yah kesambet atau kesurupan. Memang gak ada tema lain yang lebih
menarik?" kata Krisna gekeng-geleng kepala sambil membawa plastik besar
berisi terong Belanda. "Tambah lagi nih pembantu kita?" tanya Kelly usil.
"Kel, dia nih bukan pembantu, tapi asisten pribadi gue. Sebagai artis papan
atas, gue kan harus punya asisten pribadi," jawab Anty kenes.
"Artis apaan" Artis kebun terong" Lo jangan cerewet deh. Sudah, sana
jalan," usir Krisna.
Beramai-ramai kami berjalan meninggalkan kebun terong Belanda. Ketika
sampai di makam yang rindang tadi, Nidya dan Mahmud sudah menunggu.
Mereka asyik mengobrol dengan Egia. Karena Tante Arta mengajak pulang,
ya sudah, kami langsung naik ke angkot untuk kembali ke Medan.
Dalam perjalanan pulang ke Medan, Sandro mulai usil. "Makan teman lo,
Mud," ujarnya. "Makan teman gimana?" tanya Mahmud dengan wajah sok polos
sementara Nidya terus melihat ke arah luar.
"Sudah tahu Adi demen sama Nidya, kok malah lo ajak pergi berduaan saat
pesta durian tadi?" cecar Sandro sambil menatap tajam ke Mahmud yang
kelimpungan. "Cuma jalan-jalan melihat kebun jeruk," jawab Mahmud ragu.
"Kalau lo senang juga sama Nidya, bilang aja terus terang," kata Sandro lagi
dengan cuek. Wajah Mahmud langsung memerah, dia tak bisa menjawab. Mati kutu.
Apakah itu berarti dugaanku benar bahwa cowok lain yang naksir Nidya
dan membuat dia bimbang adalah Mahmud" Kalau benar begitu, jelas aja
Nidya pusing. Paling bagus memang tidak memilih di antara keduanya.
Tapi kalaupun harus memilih, lebih baik Nidya dengan Adi. Kalau Nidya
memang cewek yang malas, barulah Mahmud cocok menjadi pria pilihan.
Untuk mencairkan suasana yang rada tegang akibat ulah Sandro
memojokkan Mahmud, Krisna memamerkan hasil foto di kamera digitalnya.
Kebanyakan foto tidak ada Mahmud karena dia memilih mengabdikan diri
pada kami. *** Sekalipun sudah pukul sepuluh malam dan badan sudah kelelahan, mata
dan mulut kami tidak mau diajak kompromi. Cowok-cowok masih saja
nonton TV. Sedangkan kami para cewek asyik ngobrol di kamar. Apa lagi
yang dilakukan cewek ketika ngumpul kalau bukan bergosip"
Mulanya kami ngomongi Bu Ani, guru biologi yang super judes dan gak
kawin-kawin alias perawan tua. Ujung-ujungnya kami beralih
membicarakan geng saingan kami, Bella dkk, yang otaknya superkosong
plus menang dandan dan mejeng doang. Pasti mereka sebel banget kalau
tahu geng kami bisa jalan-jalan ke Sumatra.
"Gimana kalau mereka malah melecehkan kita?" tanya Lia.
"Melecehkan bagaimana?" aku balik bertanya.
"Mereka kan lebih tajir. Bisa aja mereka bilang kita norak, kenapa gak ke
Bali atau Lombok?" kata Lia.
"Tetap aja menang kita. Kita kan nabung, pakai uang sendiri. Kalau mereka,
ngemis ke orangtua. Kan yang tajir orangtuanya. Lebih hebat kita, kan?"
jawabku. "Bener tuh! Omong-omong, lo nyebut-nyebut soal nabung maksudnya
nyindir gue, ya?" ujar Kelly.
"Iya. Itu sebenarnya sindiran halus buat lo. Tahu gak, selama ini kita kan
menderita banget," keluhku bercanda.
"Siapa suruh mempercvayakan uang kalian ke gue?" Kelly balik protes.
"Tapi seru juga ya perjalanan kita. Pokoknya keren abis," tambah Anty.
"Lo gimana, Nid" Gigi lo berlubang" Kok dari tadi diam aja?" tanya Kelly
pada Nidya yang memang hanya diam.
"Gue baik-baik aja," jawab Nidya ogah-ogahan.
"Gue sih terus terang ya, kalau lo diam terus, suasana jadi gak enak. Kalau
lo ada masalah, cerita aja sama kami. Kan aneh, yang lain senang-senang,
ketawa-ketiwi, tapi lo malah diam aja. Jutek melulu," semprot Kelly keras.
"Masalah apa" Kalau gue ada masalah, kalian juga belum tentu bisa bantu
menyelesaikan. Paling-paling juga gosipin doang," jawab Nidya sinis.
"Ya sudah, Nid. Kalau lo gak mau cerita, terserah lo. Tapi sikap lo wajar aja
dong. Jangan sedih atau bete melulu. Yang lain kan jadi merasa gak enak
hati," tambahku sewot melihat sikap acuh tak acuh Nidya.
"Gue sih gampang aja. Kalo lo gak mau cerita, berarti lo gak menganggap
kami sahabat. Gimana kami gak ngegosipin lo kalau semua serba gak jelas
sehingga kami jadi menduga-duga?" Anty ikut menyerang Nidya.
"Terserah kalian deh," jawab Nidya.
"Memang terserah kami. Pokoknya lo jangan merusak suasana, ya," ancam
Kelly. "Daripada berantem mendingan tidur. Besok kan kita mau ke Danau Toba,"
kataku kesal. "Masa kita mau senang-senang, malah jadi perang mulut
begini?" Menyebalkan!! Bab 5 Truth or Dare" Hari keenam. Siang ini kami sudah berada di angkutan menuju Parapat. Kali ini kami naik
angkutan umum supaya kantong tidak jebol. Kami berencana makan siang
di sana. Selama perjalanan kami menggajal perut dengan camilan yang
lagi-lagi dibawa oleh Anty.
Di tengah lalu lintas yang padat, tahu-tahu dengan cueknya sopir angkot
kami menyetir di jalur yang berlawanan. Ternyata dia menghindari dua anak
From Sumatra With Love Karya Esi Lahur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gajah yang sedang melintas. Bayangkan, anak gajah diangon di jalan
protokol. Orang sini bener-bener cuek abis ya"
Tanpa direncanakan, posisi duduk kami di angkot terrnyata seru. Ada tiga
baris bangku yang semunaya menghadap ke depan. Mahmud, Nidya, dan
Adi duduk sebaris, tepat di depanku yang duduk paling belakang dan
berdampingan dengan Kelly, Lia, dan Anty. Di belakang sopir ada Krisna
dan Sandro bersama seorang ibu.
Gak tahu bagaimana cara Krisna melobi ibu tua itu, tahu-tahu kami
ditawarin rambvutan miliknya yang dibawa dalam satu keranjang penuh.
"Gak usah, Bu," kata Krisna malu-malu dan sok nolak.
"Tidak apa-apa. Makan saja, bagi teman-temanmu. Ayo, ini gratis. Dari
kebun Ibu sendiri," kata ibu itu setengah memaksa sambil menyerahkan
seikat rambutan ke Mahmud dan seikat lagi ke Krisna.
"Mud, bawa sini rambutannya," pinta Anty.
Mau tak mau Mahmud menyerahkan rambutannya tanpa sempat dicicipi
dulu. Tanpa merasa bersalah minus basa-basi Anty langsung menguasai
rambutan itu. Nidya dan Adi tak bersuara sedikit pun. Pasrah dengan
kesintingan temannya yang satu itu.
"Lo minta ke Krisna aja deh. Yang ini untuk cewek-cewek di belakang,"
perintah Kelly pada Mahmud yang lagi-lagi harus menurut.
Sambil memgunyah rambutan gratisan kami menikmati pemandangan
berupa hamparan sawah hijau. Walaupun tidak pakai pendingin, udara
dalam angkot terasa kondusif karena hujan deras. Adem dan bikin ngantuk.
Apalagi di jam-jam kritis yang tepat untuk tidur siang ini.
*** Karena berangkatnya kesiangan, kami sampai di Parapat sore. Sekalipun
sudah reda, hujan menbuat jalanan becek dan licin. Namun tak ada pilihan.
Kami harus turun dari angkot dan melanjutkan perjalanan di sepanjang
tempat penginapan dengan berjalan kaki.
Dasar jodoh. Baru berjalan sebentar, kami berhasil mendapat penginapan
yang tarifnya sesuai dengan bujet. Jadilah malam ini kami tidur di
penginapan Toba Jaya, sebuah vila dengan dua kamar tidur yang masingmasing dilengkapi kamar mandi.
"Selamat datang semua! Ini panti rehabilitasi kegilaan," kataku seolah
menyambut kedatangan para tamu yang sebenarnya teman-temanku
sendiri. "Oh, saya kira ini kebun binatang, Dok," Anty ikutan iseng.
"Kamu betul. Sebenarnya ini kebun binatang. Lihat, itu trenggiling, badak
Jawa, Babon...," kataku sambil menunjuk Kelly, Krisna dan Sandro yang
hanya bisa mengelus dada.
Aku dan Anty mengecek kamar mandi. Wah, enak. Airnya segar dan dingin
banget, langsung dari Danau Toba nih.
"Gue mau kasih tau ya. Katanya di sini ada kepercayaan tidak boleh bicara
kasar dan jahat. Kalau dilanggar, pas naik kapal menyeberang ke Pulau
Samosir, kapanya bisa terbalik atau mulut kita bisa monyong," kata Kelly
serius. "Beneran nih?" tanya Krisna tak yakin.
"Serius!" jawab Kelly.
"Memang pernah kejadian?" aku ikut bertanya.
"Belum sih, tapi sebaiknya jaga aja mulut kita," kata Kelly lagi.
"Kalau gak bisa berenang, jelas aja panik. Kalau bisa berenang, kenapa
mesti takut" Lagi pula gue gak pernah baca di koran ada kapal terbalik di
sini," bantahku. "Sudah deh. Lo nurut aja. Lo enak bisa berenang. Yang lain kan gak bisa.
Kalau kebalik beneran, gimana" Lo mau tanggung jawab?" kata Sandro
kepadaku. "Oke, oke. Terserahlah. Mulai sekarang kita jaga supaya percakapannya
manis-manis. Duhai, Anty, betapa cerdas otakmu dan begitu jelita rupamu,"
kataku pada Anty yang kebingungan dengan larangan bicara kasar itu.
"Ngaco lu! Eh, bakalan lucu nih. Nanti kalau WC-nya bau pesing, kita bilang
begini, 'Teman-temanku tercinta, betapa wangi WC ini, bagaikan semerbak
mawar'," tambah Anty konyol.
"Kenapa sih kalian cewek-cewek susah amat dikaih tahu?" akhirnya Adi
angkat bicara. "Ya sudahlah, kita ikuti aja. Toh gak ada ruginya juga," kata Lia mengambil
jalan tengah. "Kan ini panti rehabilitasi, suka-suka kami dong mau ngapain." Anty tak
mau kalah. "Kalian mau makan apa?" tanya Mahmud memotong candaan yang mulai
tak jelas itu. "Adanya apa?" Krisna bertanya balik.
"Mau beli jadi aja?" tanya Lia.
"Iya. Mendingan beli jadi di rumah makan Padang aja. Jadi Mahmud kan
bisa istirahat," Sandro memutuskan. Tumben nadanya bersahabat dengan
Mahmud. Takut kapal kebalik nih ye!
Karena tak jadi dipakai masak, Mahmud meletakkan tas berisi peralatan
masak koleksi pribadinya di dekat ranselnya. Aku tahu, di dalamnya ada
tabung gas sebesar tabung pilox, sutil kecil, rantang multifungsi yang bisa
jadi wajan, serta pisau lipat.
Sebagai ganti memasak, Mahmud minta waktu untuk membetulkan lampu
ruang tengah yang tidak bisa dinyalakan. "Kalau nanti gelap kan gak enak.
Mending sekarang gue benerin. Kalian kalau sudah lapar ganjel dulu
dengan biskuit," saran Mahmud.
Buset, baik bener nih orang. Sekedar sandiwara untuk cari muka ke Nidya
atau sungguhan tulus nih" batinku sewot.
Sembari menunggu Mahmud mereparasi lampu, kami makan bekal dari
Medan berupa dodol srikaya dan bika ambon di tempat tidur. Lumayan
untuk menahan rasa lapar. Setelah lima belas menit Mahmud mengutakatik kabel, simsalabim...! Lampu menyala benderang.
"Hebat lo, Mud. Berbenah bisa, montir jago, tukang listrik juga oke. Yang
belum terbukti cuma sebagai tukang kebun dan koki," pujiku takjub
terhadap keterampilan Mahmud.
"Kenapa lo masuk SMA sih" Kenapa gak milih sekolah kejuruan?" tanya
Kelly. "Gak ah, gue mau SMA aja," jawab Mahmud sambil membereskan alat
reparasi berupa tespen dan gunting kecil.
"Kejuruan apa, Kel" Dia kan serba bisa dan berbakat alam. Nanti gurunya
yang stres. Selama ini kan di SMA ada olimpiade fisika atau biologi, tapi ada
gak ya olimpiade kacung?" tanyaku sadis.
"Kacau lo, Sa!" Lia menimpali.
"Jaga mulut kalian tuh," Sandro mengingatkan dengan nada sok bijak. Aku
menjulurkan lidah ke arahnya dengan sewot.
"Udah beres, kan" Yuk kita makan!" ajak Lia agar aku dan Sandro tidak
keburu bertengkar. *** Hikmah sampai di Parapat kesorean serta atas nama pengiritan, makan
siang pun digabung dengan makan malam. Keputusan memilih restoran
Padang memang pilihan jenius karena nasinya bisa segunung. Kami bisa
balas dendam akibat absen makan siang.
Sambil makan Anty mulai nyerocos, "Jadwal kita padat ya. Jadi serasa artis."
"Iya, artis kuburan," jawab Kelly.
"Lulus SMA kita masuk jurusan pariwisata aja, terus bikin biro perjalanan.
Gimana" Kayaknya udah ada bibit-bibit kesuksesan. Anty jadi pemandu
wisata, Mahmud jadi tukang angkut koper sekaligus sopir," kataku.
"Gue bagian penjualan tiket, ya?" kata Krisna.
"Ngapain ditanggapi sih kegilaan mereka?" Sandro menegur Krisna.
"Idih... Sirik! Oke, lo bagian penjualan tiket tapi Adi jadi apaan" Kan dia
pendiam, bicara juga saat dia mau aja. Lo maunya di bagian apa, Di?" tanya
Anty. "Mm... Gue di bagian apa ya" Pengetikan aja deh," jawab Adi pelan.
.Mana ada bagian pengetikan" Itu kan udah dirangkap penjualan tiket,"
protesku. "Ampun deh, cewek-cewek cerewet banget sih?" amuk Sandro.
Kami terpaksa mengunci mulut daripada tukang teror itu melanjutkan
amukannya. Setelah kenyang makan, sekalipun suasananya agak gelap, kami paksakan
menyusuri tepian Danau Toba yang selama inui hanya kami kenal sebagai
sebuah noktah di peta buta. Saking gembiranya bisa kesampaian melihat
langsung Danau Toba setelah oerjalanan melelahkan dengan kapal edan
itu, kami saling melakukan tos bergantian.
"Sampai juga kita di sini," kata Lia gembira.
"Iya ya. Gak sia-sia gak mandi di kapak," tambah Krisna.
"Ayo, kita foto-foto," ajak Anty semangat.
"Heh, sinting lo kumat ya" Ngapain juga foto malam-malam" Kan gak
kelihatan apa-apa" Besok juga kita ke sini lagi. Kan mau nyebrang ke Pulau
Samosir," kata Krisna menanggapi keinginan Anty.
"Keren ya lampu pada menyala semua. Kerlap-kerlip," kata Anty sok
romantis. Padahal, sumpah deh, sinar lampu itu terasa kecil banget di area
Danau Toba yang luar biasa luas itu.
"Kalau lampu-lampunya rusak kan ada Mahmud. Tinggal dibenerin aja,"
jawabku empet. Memang Anty sering sok melankolis. Sudah bagus
matanya gak berkaca-kaca.
Puas memandangi Danau Toba di waktu malam, kami berjalan agak
perlahan karena jalan kembali ke penginapan agak menanjak. Angin
bertiup sepoi-sepoi dan terasa agak basah. Aku mulai merasa kedinginan.
Kenapa tadi tidak mengenakan kaus tangan panjang ya"
*** Sampai di penginapan Lia mengajak main Truth or Dare ala geng kami.
Semua mengangguk setuju. Lebih baik main daripada ngobrol yang
akhirnya bisa berakibat peperangan.
"Jangan yang aneh-aneh. Boleh kasih perintah konyol asal seputar kita. Dan
untuk yang berbohong, kalau nanti menjawab truth, kita sumpahin apa ya?"
tanya Lia. "Berat jodoh," jawabku asal.
"Itu sih hukuman seumur hidup. Yang sesaat aja, toh belum kejadian juga,"
ujar Adi. "Ya sudah, yang bohong kita sumpahin sial selama perjalanan. Gimana"
Setuju gak?" saran Kelly. Semua menyetujui.
"Yang bisa bertahanm sampai akhir berarti lolos dari permainan, ya"
Hitung-hitung sebagai hadih bagi sang juara," kata Adi. Yang lain
mengangguk. Cewek-cewek menuliskan perintah untuk "dare", sedangkan cowok-cowok
yang jumlahnya lebih sedikit menulis versi "truth". Semua kertas digulung
dan diletakkan terpisah. Setelah itu kami mulai main kartu domino. Yang
kalah harus mengambil dan membuka salah satu gulungan, kemudian
menjawab atau melakukan perintah yang tertulis.
Ups, jatuh korban pertama! Siapa lagi orangnya kalo bukan Anty" Ia
memilih "dare". Dengan takut-takut ia membuka gulungan kertas.
"Yaaahh... Mati gue!" teriaknya.
"Apaan sih" Baca dong!" Kami semua ingin tahu.
"Selamat merasakan dinginnya air Danau Toba. Lo harus mandi dan
keramas," baca Anty panik.
Kami semua tertawa ngakak. Anty mencoba menawar menjadi hanya
mencuci muka. Tapi semua menolak keras. Terpaksa dia mengambil
handuk, sabun mandi, dan sampo.
"Lo gak bisa bohong, karena kalau kulit lo gak keset dan rambut lo gak
basah kuyup plus wangi berarti lo bohong. Oke?" kata Kelly kejam.
Anty pun bergegas masuk kamar mandi, "Iya, iya, gue mandi nih. Biar wangi
kayak kuntilanak." "Siapa nih yang nulis" Lo ya, Li?" Krisna mencoba mEmbaca tulisan tangan
di kertas. Lia hanya senyum-senyum.
Sambil menunggu Anty menunjukkan "keberaniannya", kami melanjutkan
permainan. Di tengah-tengah permainan, Anty keluar dengan tubuh
menggigil. Semua terbahal melihat Anty yang langsung lari masuk kamar.
Tak lama dia keluar lagi sambil memakai jaket tebal dan selimut
penginapan yang tebal. "Itu selimut kan bau, Ty. Kayaknya udah lama gak dicuci deh," kataku jijik.
"Bodoh deh. Dingin banget. Biar deh panuan, yang penting gue sudah
terbebas dari permainan maut ini," kata Anty sumringah.
Korban kedua adalah Nidya yang memang bermain ogah-ogahan. Dia
memilih "dare". Mukanya langsung bingung begitu membaca tulisan dalam
gulungan. "Mudah saja. Ciumlah tangan lawan jenismu yang menurutmu
paling perhatian padamu." Suara Nidya terdengar lemas.
"Gila! Pas banget. Permainan ini kayaknya direstui penunggu Danau Toba,"
tanggap Sandro kocak. Adi terlihat tenang. Mahmud mesam-mesem.
"Memang siapa yang perhatian sama Nidya" Gue gak peduli," ujar Krisna
dengan wajah yang dibikin sok "biar pada tegang". Apalagi Nidya memang
terlihat bingung bin panik.
"Bingung amat lo, Nid. Cium tangan gue aja. Sini," kata Krisna
menyodorkan tangan kanan.
"Tunggu dulu. Ingat kutukan permainan ini. Kalau bohong dalam perjalanan
ini bisa sial terus," tegas Anty menakut-nakuti. Kali ini Anty berada di atas
angin karena sudah terbebas dari segala hukuman. Belum sempat Anty
menutup mulut, Nidya sudah mengambil tangan Mahmud dan
menciumnya cepat! "Cieeeh!" teriak kami menyoraki keduanya. Wajah Nidya dan Mahmud
langsung merah padam. "Seneng banget dong lo. Mud. Kacung naik pangkat," komentar Sandro
pedas. Mahmud hanya tertawa-tawa. Aku yakin, hati Mahmud pasti meledak-ledak
saking bahagia. Tapi, kenapa juga Nidya memilih Mahmud" Kalau aku,
daripada Mahmud mending Adi.
Adi diam saja. Dia tidak ikut bersorak, malah minta permainan segera
dilanjutkan. Nidya dan Anty sudah bebas dari keharusan bermain dan
sekarang boleh jadi penonton. Anty masuk ke kamar untuk mengembalikan
selimut karena lama-lama kepanasan juga.
Yang bermain tinggal tujuh orang. Kali ini aku yang kalah. Aku nekat
memilih "truth".
"Tunggu bentar! Berani juga lo milih truth?" kata Sandro terkesan
meremehkanku. "Lo mau milih 'truth' juga" Ya sudah, tunggu aja giliran lo," jawabku cuek
sambil memulai membaca. "Cium kedua pipi orang yang paling lo benci,"
kataku lemes. "Mampus lu!" Krisna tertawa geli.
"Cewek atau cowok nih" Kayaknya yang nulis Mahmud deh," ujarku sambil
menatap Mahmud tajam. "Tahu aja lo, Sa," kata Mahmud senang.
"Oke, kalau itu membuat lo gembira," kataku sambil mendekati Mahmud
dan mencium pipinya dengan cepat. Yang lain bersorak.
"Hebat lo, Mahmud. Dalam semalam dicium dua cewek. Yang satu cinta,
yang satu benci," kata Kelly ketawa ngakak. Mahmud hanya senyamsenyum tanpa kata.
"Kalau perintah tadi kena ke Anty, gue tahu siapa yang bakal dia cium,"
kataku. "Emang siapa?" tanya Lia penasaran.
"Tembok," jawabku asal-asalan.
Permainan dilanjutkan kembali. Krisna jadi cowok pertama yang harus
angkat kaki. "Kalau milih 'truth' kayaknya gak seru deh," katanya sambil mengambil dan
membuka gulungan kertas "dare". "Denger nih, gue bacain, ' Seperti apa
cowok atau cewek idaman lo dan adakah cewek di sini yang mendekati
standar lo"' Buset, siapa nih yang bikin pertanyaan?" ujar Krisna sambil
geleng-geleng kepala. "Silahkan pilih kelima cewek gila ini," goda Sandro.
"Cewek gila apaan" Kami kayak bidadari gini," bantahku.
"Bidadari di kuburan," jawab Sandro lagi.
"Gimana ya" Kalau fisik standarlah. Cakep kan relatif, tapi jelek mutlak.
Hehehe... Kalau bisa, pengennya yang rada montok gitu lho. Masih normal,
kan?" kata krisna sok tersipu.
"Suit, suiiit!" Semua bersorak gaduh.
"Jangan fisik aja dong, sifatnya bagaimana?" seru Adi.
"Lo kok nanya langsung" Penasaran banget!" Krisna balik bertanya sambil
From Sumatra With Love Karya Esi Lahur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tertawa. "Kan kalau gue tulis semua perranyaannya bisa kepanjangan," jawab Adi.
"Iya deh, gue jawab honestly. Pokoknya ceweknya harus penurut, gak
banyak macem, otak lumayan encer tapi berpendirian," jawab Krisna.
"Panjang amat kriteria lo. Inget ya, kita nih lagi main, bukannya lagi nyeleksi
kontes kecantukan," kata Kelly.
"Jadi siapa di sini yang menyerupai keinginan lo?" Anty ikutan bertanya.
"Yang pasti bukan lo," jawab Krisna cepat.
"Hahaha..." Kami tertawa terbahal-bahalk mendengar jawaban Krisna yang
meng-knock kecentilan Anty.
"Kasihan deh lo," celetuk Nidya.
"Biarin ah. Gue doain ntar lo kawin sama cewek kayak gue," rutuk Anty.
"Lo ngomong jadi melantur ke mana-mana sih. Samapi ke kawin segala.
Kita kan masih SMA," balasku.
"Siapa ya" Mungkin yang agak mendekati sifat ideal adalah Lia," jawab
Krisna dengan pipi bersemu.
"Cieeeeh...!" Teriak kami lagi. Lia hanya tersipu sambil mengucapkan
"terima kasih".
"Tunggu dulu! Tapi untuk fisik gue maunya kayak Clarissa," tambah Krisna
sambil mengedipkan mata ke arahku.
"Pokoknya, Sa, kalo sampai lo diperkosa, lo sudah tahu siapa kemungkinan
pelakunya," ujar Sandro geli.
"Li. Li, kalau gue jadi lo, gue sih tersinggung. Masa lo dipilih sifatnya doang,
itu kan sama aja lo jelek," kata Anty memanas-manasi Lia meskipun
maksudnya hanya bercanda.
"Gue gak bilang Lia jelek. Iya kan , Li?" Krisna membantah. Yang ditanya
hanya mengangguk-anggukan kepala dengan senyum yang agak
dipaksakan. "Masa Lia jelek" Gak ah. Gue kalau dikasih juga mau kok," kata Mahmud
mencoba mencairkan suasana dengan gaya genit.
"Tapi gue yang gak mau," jawab Lia cepat.
"Mampus lo. Mud," kata Kelly ngakak.
"Kasihan deh lo. Banyak kan yang sebal sama lo?" tambahku geli.
Permainan maut itu kembali dilanjutkan. Rupanya kalau tinggal jago-jago,
permainan malah berjalan lebih lama. Mereka pada kelamaan mikir. Dan
akhirnya Kelly lah yang terpental.
"Duh, nasib gue!" rutuk Kelly yang kebingungan memilih "truth" atau
"dare". "Masa' lo gak berani milih 'truth' sih?" pancingku.
"Iya, Kel. Gue aja berani, masa lo gak" Kan ini Sumatera Utara, wilayah
nenek moyang lo. Jangan bikin malu dong," Sandro memanas-manasi.
"Apa hubungannya sama nenek moyang gue?" Kelly balik bertanya dengan
geli. "Ya gak ada. Tapi gue pengen lo milih 'truth'," kata Sandro sambil
menyodorkan dua gulungan sisa "truth".
"Oke, oke. Gue jawab tantangan lo. Ini kan hanya permainan," kata Kelly
sambil mengambil salah satu gulungan. Dia membuka gulungan dan
membaca dalam hati agak lama, lalu terkekeh sendiri. "Apa komentar lo
tentang Mahmud" Kalo lo Mahmud, apa komentar lo tentang Nidya?"
"Wah, pertanyaan tendensius nih. Terlalu mengarah," komentarku.
"Yang nulis Adi nih. Kayaknya ada problem pribadi," goda Kelly pada Adi
yang hanya terdiam. "Sudah, jawab aja kalau berani," pancing Anty.
"Kayaknya malam ini Mahmud jadi bintang. Kok semua pertanyaan
mengarah ke dia ya?" Lia sampai heran.
"Lo diam aja, Nid! Bantuin dong, itu kan pria kesayangan lo," tambahku.
"Bantuin bagaimana" Bantu doa?" Nidya mencoba bercanda.
"Lo mau jawab gak sih" Kalau gak bisa, biar gue aja deh yang jawab atau
kita kolaborasi jadi Kelly featuring Sandro?" tekan Sandro bikin suasana
makin seru. "Ssst... Para fans harap tenang. Gue mau bicara dulu. Menurut gue,
Mahmud sebenarnya orang baik, cuma dia suka over acting. Memang
maksudnya baik, membantu kita. Tapi kayaknya ada udang di balik batu
deh," ujar Kelly. "Batu hancur, udangnya mati dong," tambahku.
"Sa, lo jangan garing deh," kata Sandro galak. Aku mencibir.
"Cuma segitu doang keberanian lo?" tantang Anty iseng.
"Tunggu dong, gue belum selesai. Lo pada ikutan komentar sih. Kayaknya
tampilan Mahmud yang sekarang bukan sifat dia yang sebenarnya deh. Bisa
gue bilang, Mahmud lagi ada maunya atau hanya cari perhatian. Tapi balik
ke awal, semestinya sih Mahmud a good guy," kata Kelly lagi.
"Kok ini layak curhat sih" Jangan-jangan lo naksir Mahmud, ya?" tanyaku
dengan memasang wajah semibego.
Mahmud tetap mesam-mesem. Tidak terlihat tersuinggung atau malu.
Memang wajah andalannya kan cengengesan begitu. Tidak pernah terlihat
ekspresi yang sesungguhnya.
"Omong-omong soal tampilan Mahmud yang bukan sebenarnya, menurut
lo dia lagi menyamar, gitu?" tanya Anty.
"Agar bisa mengubah kasta kacungnya jadi pangeran?" sambung Sandro.
"Berisik banget nih, gue kan mau mendengar pernyataan Kelly," protesku
kesal. "Puas dengan jawaban gue, Di?" Kelly bertanya pada Adi yang mestinya
puas dengan jawaban Kelly yang blak-blakan.
"Tuh, Nid, masa cowok tukang nyamar gitu lo sayang sih" Gue nih sudah
mengambil garis batas yang tebal. Setebal bibir Anty yang nyinyir. "Aku
mencoba membuat suasana agak cair karena wajah Nidya seperti tertekan
dan terlihat tak begitu menikmati permainan. Nidya hanya membalasku
dengan menjulurkan lidah. Adi sekilas melirik melihat ke arah Nidya.
"Ayo deh, kita teruskan. Masih ada tiga putaran lagi, kan?" ajak Adi
semangat. Kayaknya dia puas dengan jawaban Kelly.
Permainan cukup a lot. Sementara mereka main, Anty kusuruh mencabuti
alisku supaya rapi. "Bayar berapa lo nyuruh-nyuruh gue begini?" canda Anty.
"Eh, Ty, ibaratnya salon, punya lo sudah hampir tutup karena ngegosongin
rambut pelanggan waktu di-steam. Sudah bagus gue masih memberi
kepercayaan buat lo untuk merapikan alis gue. Kalau gak, salon lo udah
dibakar massa!" jawabku seenaknya.
"Sini deh gue beresin alis lo," kata Anty sementara aku rebahan di bantal.
Sambil merasakan pelayanan salon Anty, kupingku tetap memantau
keadaan permainan. Setelah agak lama, giliran Adi yang kalah.
Adi dengan perlahan membuka gulungan "dare". "Apaan lagi nih" Denger
ya, gue bacain, 'Pilih pasangan dan ajak berdansa semenit saja.' Wah!"
katanya pelan. "Ayo, cepetan pilih," kata Krisna senang.
"Mesti cewek, ya?" tanya Adi polos.
"Ya iyalah. Masa lo dansa sama cowok" Memangnya kita klub hombreng,
apa?" jawabku seru meski alisku sedang dicabuti Anty.
"Siapa dong" Terus dansanya gimana?" tanya Adi pasrah.
"Dansa biasa aja, Pak. Rumah dansa gue sudah buka nih, lo tinggal pilih
siapa yang mau lo ajak dansa," kataku seperti "mami" di rumah bordil.
"Mami, siapa ya yang harus kupilih?" Tiba-tiba Adi jadi genit dan malah
ngikik sendirian. "Ayo cepetan pilih! Keburu malam nih," kataku.
"Ih, Mami galak banget deh," kata Adi lagi.
"Di, lo kenapa sih" Kesambet, ya?" tanya Kelly sambil tertawa melihat
kelakuan Adi. "Ini kan improvisasi, Kel. Emangnya lo, kebiasaan main hajar sana hajar sini,"
protes Adi. "Gila! Gila!" teriak Sandro terbahak.
"Sudah deh, Di, jangan mengalihkan perhatian. Lo cepetan pilih partner
dansa aja," kata Krisna tertawa-tawa sambil geleng-geleng kepala.
"Eh, kalian pada gak ingat ya kalau kita gak boleh ngomong kasar" Kan
takut kapal kita kebalik lho," ujar Nidya yang mau gak mau ikut tertawa
melihat improvisasi Adi. "Iya, benar juga. Jangan-jangan besok kita pada siak, lagi," tambah Lia
panik. "Lo jangan merusak suasana dong. Memang kita ngomong apa sampai
kapal kita kebalik" Kapal bisa kebalik kalau keberatan penumpang, karam,
mesinnya rusak, atau kena ombak. Bukan karena kita ngomong sesuatu. Ini
zaman modern, bukan zaman purbakala!" semprotlu kesak sambil duduk.
Alisku sudah beres. Nidya langsung terdiam dan agak kesal melihatku. Tapi
aku cuek aja. "Mami, jangan marah-marah ah. Yang dimarahi pelanggan yang gak bayar
aja. Kalau saya kan selalu bayar di muka, Mi," Adi menggodaku.
"Ancur lo, Di," kata Kelly geli.
"Sudah deh, gue mau dansa sama Mami aja, gimana?" ajak Adi sambil
mengulurkan tangan kepadaku.
"Siip." Aku menyambut ajakan Adi. Lumayan nih bikin panas hati Nidya.
Pasti Mahnmud merasa di atas angin. Gue kerjain lo nanti, batinku.
"Siap ya. Satu, dua, tiga," kata Anty girang sambil menyalakan stopwatch di
ponselnya. Adi menggenggam tangan kiriku dengan tangan kanannya sementara
tangan kirinya memeluk pinggangku. Bodo amat. Malah kubikin mesra
sekalian supaya ada yang cemburu buta. Hihihi...
"Gak enak nih, gak ada lagunya sih," kata Adi.
"Gue nyanyiin lagu Pance deh," balas Krisna.
Aku dan Adi tetap bergerak pelan menunggu waktu berjalan hingga satu
menit. Yang lain menyanyi aneka lagu dan mengeluarkan celetukan. Aku
meletakkan kepala di pundak Adi yang hanya tertawa-tawa.
"Mesra, kan?" kataku. Tapi aku tak mau melihat wajah Adi ataupun Nidya.
"Gak gue sangka, ternyata Adi diam-diam ada hati dengan Clarissa," kata
Anty karena mendapat kesempatan mengolok-olokku.
"Jangan-jangan lo berdua sudah nikah siri, ya" Kan lagi tren nih. Atau ada
cinta berselimut dusta," tambah Kelly makin ngaco. Anty malah merekam
adeganku berdansa dengan Adi dengan kamera digital.
"Barang bukti nih. Kalau nanti ada yang naksir lo, Sa, gue tunjukkin gambar
ini. Bisa sih gue simpan, asal lo bayar. Pemerasan, gitu," kata Anty usil. Aku
hanya geleng-geleng kepala melihat kesintingannya.
"Kris, kok lo diam aja" Kepengen dansa sama gue juga?" tanyaku melihat
Krisna yang terbengong-bengong.
"Say, badannya jangan terlalu nempel dong. Gue sebagai penganggum lo
bisa sirik nih," jawab krisna cengar-cengir.
Satu menit pun berlalu. Semua bertepuk tangan ketika kami selesai dansa.
Setelah itu pemain yang tersisa kembali berkutat dengan kartu domino.
Kami yang sudah kalah hanya tiduran di sekitar nereka sambil ngemil.
"Kalian ngapain sih make jaket tebal begitu?" tanyaku.
"Kan dingin, Sa. Memang lo gak ngerasa?" Kelly balik bertanya dengan
heran. "Kayaknya urat perasa gue udah putus deh. Suhunya biasa aja. Kalau di luar
sih memang dingin banget," jawabku.
"Mi, anaknya yang bisa dipakai malam ini siapa?" goda Krisna padaku.
"Kalau lo homo, bisa ambil Mahmud. Tapi kalau hanya ingin pijat, bisa pakai
Anty. Dia tunanetra berijazah," jawabku.
"Eh, gue bukan orang buta bersertifikat," elak Anty dengan sok manja.
"Mana ada sih istilah orang buta bersertifikat" Yang benar tunanetra
berijazah!" kata Kelly ngakak.
"Lama-lama kita sakit perut beneran nih, dari tadi ketawa melulu," tambah
Mahmud. "Mumpung gue ingat. Mud, tolong siapkan susu cokelat untuk pemenang
kita," Krisna sok memerintah.
"Lo jangan merusak konsentrasi peserta kejuaraan dong! Kalau Mahmud
yang menang, siapa yang menyiapkan minum?" tanya Lia.
"Biarin dia siapin sendiri aja. Emang gue pikirin," jawab Krisna cuek.
Pemenang sudah hampir didapat. Lia tersingkir.
"Pilih 'dare' aja ah. Kan lebih aman," kata Lia. "Tunjuk siapa cewek paling
manja dan paling menyebalkan di sini."
"Buset. Permainan ini dari tadi kayaknya beraroma dendam kesumat,"
komentarku. "Biarin aja ah. Seru, kan" Pahit-manisnya berteman, ya terima aja," kata
Kelly. "Oke, Li, tunjukkan keberanianmu," ujar Krisna melihat Lia yang
kebingungan dan salah tingkah.
"Gak mungkin gue. Gue kan penyegar suasana," kata Anty pede.
"Pelengkap penderita maksudnya?" tambahku.
"Enak aja. Ratu wisata." Anty tak mau kalah.
"Tapi yang gue tunjuk jangan marah, ya. Gue hanya berusaha jujur meski ini
hanya permainan," kata Lia.
"Permainan bagaimana" Ini sudah pakai kutukan. Ingat, yang bohong bisa
sial selama perjalanan yang masih panjang ini. Siap lo?" Krisna menakutnakuti Lia.
Lia pun mengangguk dan mengarahkan telunjuk pada Nidya.
"Sori ya, Nid," kata Lia pelan.
"Kok gue?" tanya Nidya dengan wajah tidak terima.
"Sudah, penjelasannya belakangan aja. Kita terusin dulu mainnya.
Tanggung, tinggal satu babak nih," kata Krisna berusaha meredam
ketegangan yang timbul. "Sori, Nid. Tapi itu penilaian gue," jawab Lia jadi gak enak hati.
"Kacau, kacau. Ternyata di anatar kita aja banyak rahasia," komentar Sandro
sok bijak. "Sudahlah, sekarang selesaikan dulu duelnya. Majikan versus kacung," Anty
menambahi. "Heran, kok bisa gue sih?" Nidya masih tak puas juga.
Tidak ada lagi yang mau menjawab. Kartu sudah dimainkan. Hanya ada satu
orang yang bakal sekamat untuk tidak memilih dua gulungan "truth" yang
tersisa. Namanya juga pemenang, jadi tudak perlu mendapat hukuman
apapun. Kami yang nonton juga serius menyaksikan pertarungan yang kami
juluki "Perang Kasta". Wajah Sandro dan Mahmud begitu serius, malah bisa
dibilang tegang banget. Celetukan-celetuka pencair suasana pun hanya
ditanggapi dingin. Kami malah sempat dipelototin Sandro. Gawat,
mendingan diam saja deh. Dalam hening dan dingin malam di penginapan seputar Danau Toba
pertandingan terakhir terus berjalan. Kartu-kartu silih berganti dilepaskan
dari tangan. Tak diduga, yang memenangkan pertandingan adalah
Mahmud! Nidya tersenyum kecil sedangkan Sandro terus menyumpah.
"Setan bener-bener. Kok gue bisa kalah ya" Siapa nih yang bikin
pertanyaan?" rutuk Sandro sambil membuka gulungan. "Kapan mimpi
basah atau menstruasi pertama" Gimana rasanya?" ucap Sandro sambil
geleng-geleng kepala. "Seru nih," kata Anty semangat. "Lo nafsu banget sih?" Adi sampai heran
melihat Anty. "Garing ya, pertanyaan terakhir kayaknya antiklimaks. Mestinya pertanyaan
untuk Lia tadi belakangan jadi lebih seru," kataku ogah-ogahan.
"Gimana nih, mesti gue jawab gak?" Sandro bertanya.
"Sebenarnya kami sudah bosan. Tapi karena kayaknya lo pengen banget
curhat, ya okelah. Silahkan bicara, kami mendengar," tukas Anty.
"Dasar ko setan belang. Gue jawab nih. Mimpi basah kuyup pertama kali
kelas tujuh. Rasanya heran dan aneh," jawan Sandro tenang. "Bukannya
enak, ya?" potong Anty.
"Enak apaan" Kan gue jadi mikir, gue ngompol atau kenapa...," bantah
Sandro. "Kayak lo saja deh, waktu mens pertama, masa lo kesenangan" Pasti heran
ada darah apa nih. Ngaku aja deh kalian para cewek," tuding Krisna
membela Sandro. "So, that's it. Permainan kita sudah berakhur. Efek samping di luat
permainan ini di luar tanggung jawab penyelenggara," kata Kelly.
Habis itu kami langsung masuk kamar karena sudah kelelahan. Besok pagi
perjalanan masih panjang. Keliling Danau Toba lalu balik ke Medan.
Walaupun sudah minum vitamin, tetap saja mesti istirahat yang cukup. Kan
gak seru kalau di tengah perjalanan ada yang sakit.
Kulihat Nidya masih belum puas dengan hasil permainan tadi. Pasti ada
yang ingin dibicarakannya dengan Lia. Mungkin juga dengan aku atau
From Sumatra With Love Karya Esi Lahur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
malah kami semua. Tapi mau bagaimana lagi" Yang lain langsung berenang
di kasur. Mau gak mau Nidya harus menunggu besok dan mencari saat
yang tepat. Lagian, kenapa dipikirun banget sih" Kalau orang gak suka, ya
cuek aja. O what gitu lho!
Bab 6 Kejujuran di Toba Horee...!!! Kita di Danau Toba!" sorak Anty.
"Satu per satu kesampean nih. Rencana kita terlaksana," sambungku sambil
melakukan tos dengan Anty.
Ini hari ketujuh kami pergi bersama. Enak benar naik kapal penyeberangan
ke Pulau Samosir melintasi Danau Toba yang jernih. Karcis kapal bisa di beli
pulang-pergi sekaligus dan hanya lima ribu rupiah seorang. Jadi berangkat
naik kapal A, pulangnya boleh naik kapal B atau yang mana pun. Yang
penting ada tiket pp. Kapalnya bersih dan lumayan bagus. Tempat duduknya ada dua tingkat.
Kalau baru pertama kali ke sini sebaiknya pilih duduk di atas yang tanpa
atap dan tak terganggu tiang-tiang kapal sehingga bisa memandang ke
sekeliling kapal dengan bebas. Air danau terlihat bersih, putih kebirubiruan. Seperti semalam, anginnya dingin dan basah. Danau yang mahaluas
itu dikepung bukit hijau yang menjulang tinggi seperti pegunungan. Indah
sekali. Kami serasa berada di dalam pemandangan permai yang sering
terlihat di film-film luar negeri.
Kalau hari Minggu, kata Kelly, banyak yang berenang dan mandi-mandi di
tepi danau. Berenangnya gak boleh jauh-jauh, takut ada "sesuatu".
Yang pasti, pikiran kami yang sempat was-was karena "diracuni" Kelly di
awal kedatangan, tidak terbukti. Benar juga keyakinanku, pikiran dan
omongan yang ngaco tidak bakal membalikkan kapal. "Takhayul!"
sumpahku dalam hati. Rupanya di sini pun sama dengan kota-kota di Jawa. Di atas kapal ini pun
ada pengamen. Tiga anak lelaki yang masih usia SD menyanyikan lagu-lagu
daerah. Yang membedakan, suara mereka bagus banget! Kami sampai
bengong mendengarnya. "Gila nih! Jangan-jangan kalau ikut Indonesian Idol nisa juara," kata
Mahmud bengong. "Jelas dong. Memangnya ko! Ngomong aja sember. Gimana kalau nyanyi?"
timpal Kelly bangga. "Tapi suara lo kok gak beda jauh dengan Mahmud, Kel?" Nidya membela
Mahmud, sang pria baik hati versinya.
Aku dan Anty yang duduk bersebelahan langsung senggol-senggolan
pelan. Handphone-ku bergetar. Ada SMS masuk. Dari Sandro.
Makin seru aja neeeh. Aku membalasnya. Adi dikomporin aja. SMS Sandro masuk lagi. Wait n see. Ketiga anak Batak itu masih terus menyanyi. Penumpang bisa me-request
lagu-lagu lokal biarpun gak mengerti artinya. Rata-rata penumpang
menberikan uang seribuan dengan terkagum-kagum.
Sayangnya, saat menginjakkan kaki di Pulau Samosir kami gak bisa
berlama-lama. Itu karena dibatasi jadwal kapak. Bisa beda ceritanya andai
menyewa speedboat, jadwalnya terserah kita, tapi uangnya siap, bo" Nyewa
kapal sekencang itu kan gak murah.
Kami hanya sempat mengunjungi makam Raja Sidabutar dan berfoto-foto
di depan rumah adat yang rada mirip dengan yang ada di Taman Mini
Indonesia Indah. Lalu ada pertunjukkan Sigale-gale yang berbau mistis,
mirip Nini Thowok di Jawa. Kalau minat belanja, banyak kok yang jualan
suvenir. Malah suvenirnya ada yang bermerk Dagadu maupun H&R. Gak
lucu, kan" Kalau itu mah beli di Jawa aja. Gak usah jauh-jauh ke sini.
Karena jadwal kapal terakhir yang meninggalkan Pulau Samosir jam dua
siang, kami harus bergegas kembali ke tempat kapal. Ternyata kami dapat
kapal yang sama dengan saat berangkat.
"Jangan-jangan abangnya nge-fans sama gue," kata Anty pada Sandro
yang langsung meninggalkan Anty dengan tampang geli.
Waktu berangkat kami duduk di atas, pulangnya kami memilih duduk di
tingkat saty. Gara-gara duduk di sini kami jadi tahu tiga pengamen itu
ternyata analk nahkoda kapal ini. Jadi bapak dan anak bekerja bersamaan di
kapal yang sama. Krisna keluar dan berdiri di sisi kapal sambil berpegangan pada tangga.
Tiba-tiba dia teriak, "Topi gue!"
Topinya terbang dibawa angin. Jatuh di perairan Danau Toba nan jauh di
belakang. "Sialan! Anginnya kencang banget sih!" rutuk Krisna geram.
"Lagian lo ngapain sih mejeng di tangga situ?" tanya Kelly heran.
"Bukan mejeng, Kel. Gue kan mau menikmatui Danau Tiba sebelum balik ke
Medan," jawab Krisna bete.
"Ya sudahlah, cuma topi kok yang hilang. Yang penting kan lo gak ikutan
jatuh ke danau," Lia mencoba menengahi.
"Duilah, cewek pujaan Krisna menenangkan. Denger tuh, Kris," goda Anty.
"Krisna kan menuja sifatnya, bukan montoknya," tambah Adi jail.
"Gue tersanjung kok," sambungku cuek. "Sudahlah, Kris. Gak usah lo pikirin.
Oke, my boy?" "Oke, oke. Gue cuma kaget kok. Topi baru dipakai sekali bisa melayang
gitu. Tahu gitu gue pake ikat kepala kayak biasanya aja," kata Krisna
menatapku. "Topi doang kan yang hilang. Relain ajalah," ujarku lagi.
"Tuh kan. Montok memang lebih menang daripada kepribadian," ujar
Sandro. "Memang sifat gue kayak apa sih" Kayak iblis ya?" tanyaku pura-pura lugu
agar suasana makin seru dan lucu.
"Nah, itu lo udah punya jawabannya. Iblis mintok," tambah Sandro.
"Li, kalau gue jadi lo, gue bakal terpukul. Masa Krisna lebih mendengarkan
Clarissa daripada lo," Kelly ikut mengompori. Lia hanya tersenyum kecil.
Setibanya di dermaga Parapat kami memilih turun terakhir dari kapal.
Memang naik-turun kapal butuh kelincahan tersendiri, tapi Adi kebangetan.
Masa dia membiarkan dirinya turun sambil dibantu abang-abang yang ada
di sekitar kapal. Ih, jangan-jangan Adi disangka cewek! Tapi, kok Lia yang
cewek dan turun setelah Adi malah dicuekin si abang"
Tahu kami menertawakan dirinya, Adi membela diri, "Kan gue kasihan sama
abangnya. Dia sudah mengulurkan tangan, masa gue tepis?"
*** Setelah berjalan kaki kembali ke penginapan, kami mengemasi barangbarang dengan cepat. Karena persediaan camilan masih banyak, semua
setuju untuk makan di Medan yang lebih banyak ragamnya.
Kami pulkang naik bus Toba Ekspress yang seukuran metromini. Sandro,
Krisna, Anty, Kelly, dan aku duduk di bagian belakang. Sementara Adi dan
Lia duduk berdua. Begitu juga Nidya dan Mahmud.
"Kayaknya ada perselingkuhan nih," kataku dengan suara sengaja
dikeraskan begitu melihat komposisi duduk kami.
"Jujurlah padaku...bila kau tak lagi cinta... Tinggalkanlah aku..!ila tak ingin
bersama..." Krisna menyanyikan refrein lagu Radja.
"Diam!" seru Anty. "Emang lo kira suara lo semerdu apa?"
"Lo sewot aja. Ini kan lagu pengiring itu tuh," jawab Krisna sambil
memberikan kode dengan menaikkan alis, merujuk ke cinta segitiga antara
Adi, Nidya, dan Mahmud. "Pilih suara gue atau Pance?" tantang Krisna.
"Gak milih ah," sambar Kelly.
Hehe... Jangan-jangan Kelly sudah kepincut suara kondektur yang berdiri di
pintu belakang dekat kami dan bernyanyi-nyanyi sepanjang perjalanan jauh
ini. Kadang si kondektur menyelingi nyanyiannya dengan berpura-pura
ngomong di HP. Sempat juga dia berlagak sebagai Presenter TV. Suaranya
gak begitu kenceng sehingga hanya kami yang ada di bagian belakang
yang mendengar dan melihat kelakuan ajaibnya.
"Gawat nih, kondektur kita sakit jiwa," Kelly bisik-bisik ke Anty dengan
tampang pusing. "Gitu-gitu saudara sekampung lo tuh," jawabku ngikik. "Asal dia gak
gangguin kita, biarin aja," kata Sandro.
Parahnya nih, kondektur itu bersorak-sorak waktu bus kami berhasil
menyalip kendaraan lain padahal kami bersembilan histeris karena
menyalipnya di tikungan jalan yang sempit dan di sebelahnya jelas-jelas
ada jurang! Herannya, hanya kami yang heboh sementara penumpang lain
anteng saja, malah banyak yang ketiduran. Kayaknya mereka sudah terbiasa
dengan gaya menyetir seperti itu deh.
*** Hari kedelapan. Mmm...sudah seminggu lebih kami meninggalkan rumah. Setahuku belum
ada yang homesick, tapi gak tahu juga ya perasaan Nidya yang sepertinya
kurang enjoy dengan perjalanan ini. Yang lain sih makin semangat
melanjutkan perjalanan. Sayangnya hari ini kami batal ke rumah Sandro yang di Rumbai, Riau,
karena tidak dapat tiket bus untuk malam ini. Tiketnya untyk besok malam.
Jadi hari ini kami bakal garing. Di rumah saja. Paling hanya ke Medan Plaza
untuk makan. Maklum, harus irit uang. Apalagi perjalanan masih panjang.
Kelly sudah menawarkan supaya kami makan di rumah tantenya saja. Tapi
kalau terus_terusan kan malu juga.
Akibatnya semua bermalas-malasan dengan cara bangun siang. Mandi pun
setelah makan. Eh, salah. Ada kok yang sudah bangun dan mandi sejak
pagi. Siapa lagi kalau bukan Mahmud" Malah dia sudah pergi ke pasar naik
becak untuk beli lontong syur buat makan kami bersembilan. Gila, kan"
Terlepas dari niatnya cari muka pada Nidya dan balas budinya pada Krisna
yang sudah meminjamkan uang, kami harus berterimakasih pada teman
yang satu ini. Satu-satunya hiburan bersama adalah TV. Kami nonton TV ramai-ramai.
Apalagi yang ditonton kalau bukan MTV. Orang-orang dewasa kan
bilangnya kami generasi MTV. Habis ginana" Nonton acara berita, bosan.
Lihat sinetron, gak ada yang bermutu. Mending nonton saluran musik
walaupun MTV sekarang isinya bukan musik melulu.
"Tahu gitu gue bawa film bokep," keluh Krisna.
"Terus kalo lo bawa, yang cewek nonton apaan?" protes Kelly.
"Ikutan nonton dong. Memangnya cewek gak boleh nonton bokep"' timpal
Sandro. "Sori nih, daripada ngomongin bokep, gue mau ngomong dengan kalian
semua," sela Nidya dengan suara agak keras. Anty menyenggol paha
padaku. Sandro menatapku sekilas. Krisna melirik ke arah Kelly yang malah
menengok dengan wajah bingung ke Adi yang pura-pura gak mendengar.
Lia tetap mengarahkan mata ke televisi.
"Tolong dong, TV-nya dimatiin dulu," kata Nidya lagi dengan suara agak
dikeraskan. Lia dengan agak bete mematikan TV dan memegang-megang
remote. "Memang lo mau ngomong apa sih sampai kami gak boleh nonton TV?"
tanya Lia sewot. "Mahmud, lo di mana" Jangan nyuci piring melulu deh. Sini dulu lo!" teriak
Sandro sambil senyum-senyum.
Mahmud datang dengan tergopoh-gopoh. "Ada apa nih?"
"Ada apa, ada apa! Gara-gara lo nih jadi kacau begini," kata Kelly dengan
nada pura-pura marah. "Sudah deh, Kel, jangan bercanda. Langsung aja ya, gue merasa gak enak
hati dengan perjalanan kita. Kayaknya banyak masalah. Terus terang gue
kaget kemarin Lia nunjuk gue sebagai orang yang paling manja. Buat kalian
mungkin lucu dan bukan masalah, tapi buat gue mengesalkan," tukas Nidya
cepat, hampir tak menguasai emosi.
"Banyak masalah" Perasaan lo aja, kali. Gue sih asyik-asyik aja," jawabku.
"Iya, gue juga," tambah Anty.
"Gue malah senang bisa pulang kampung bareng kalian. Jadi ada
temennya," Kelly ikut menambhai. Sementara nbidya makin tersudut.
Apalagi Mahmud, cowok itu tidak akan beranoi bersuara untuk mendukung
Nidya. "Gue juga merasa seperti dihakimi karena gue gak mau terbuka soal Adi
dan cowok lain yang naksir gue," Nidya bikin pernyataan lagi. Suaranya
seperti mau menangis. "Ah, gak usah terbuka juga gue udah bisa menebak. Cowok yang naksir lo
Mahmud, kan?" tembak Sandro.
"Ngaku saja deh, Mud," tambah Krisna.
Mahmud salah tingkah begitu juga Nidya. Suasana jadi hening.
"Sudah deh, Nid. Jangan didramatisir. Mau lo bagaimana" Makanya gue
gak senang ada cinta-cintaan di antara kita. Jadinya malah gak enak semua
nih," kataku lagi. "Siapa yang mendramatisir" Gue kan hanya memberi penjelasan," bantah
Nidya ketus. "Sudah, sudah. Lo kan penasarannya sama gue. Memang lo manja. Kalau di
sekolah terserah deh. Tapi kalau lagi berpergian gini, direm dong manjanya.
Jangan malah menjadi-jadi," ujar Lia. Suasana malah jadi bertambah panas.
"Manja bagaimana" Gue memang mabuk laut, dan kalau Adu nemenin gur
terus, itu kan bukan salah gue. Kalau Mahmud juga mau ngurusin gue, gue
kan gak pernah minta," jawab Nidya tak mau kalah. Adi hanya diam
mematung sambil menunduk.
"Girls, tolong tenang dulu deh. Menurut gue Nidya ada benarnya, tapi Lia
juga gak salah," kata Sandro.
"Jelas Lia gak salah karena lo sebelnya kan sama Mahmud," potong Nidya
cepat. "Sudah, sudah, begini deh. Anggap aja permainan semlam itu gak ada.
Jangan berantem dong, kan gak enak. Perjalanan kita masih panjang lho,"
Krisna berusaha melerai. "Iya, mana berantemnya di rumah gue, lagi," keluh Kelly.
"Gue ambilin jus buah gimana" Biar hati kita pada mendingin." Aku
langsung berdiri dan melarikan diri dari perang mulut yang mulai pecah ini.
"Sudah deh, Nid, gak usah dimasukka ke hati. Lo sensi banget sih" Gue aja
dikatain bolot dan segala macem, ketawa-ketawa aja tuh." Dari dapur
terdengar suara Anty. "Mud, si Clarissa gak seneng sama lo tapoi lo biasa aja, kan?" Kelly
berusaha meyakinkan Nidya dengan memberi contoh hubunganku dengan
Mahmud. "Mana gue tahu kalau besok-besok Mahmud meracuni gue," sambungku
sambil membawa dua kotak gede jus jambu biji instan dari kulkas.
"Mending minun jus dulu deh."
Lia mengambil satu kotak jus dan mulai menuangkannya ke gelas kami
yang sudah ada di meja. "Gue sih biasa aja. Namanya juga Clarissa. Gak usah dimasukin ke hati.
Beneran, gue gak sakit hatiu meskipun sempat kesal juga sih," jawab
Mahmud pelan. "Tuh kan! Makanya biat apa lo sewot begitu, Nid" Bukannya lo berterima
kasih ada komentar jujur tentang ko, jadi lo bisa memperbaiki diri," kata
Anty sok bijak. "Oke. Semua membela Lia. Memang gue yang salah. Mengkin Lia kesal
sama gue karena dia belum ada yang naksir. Iya kan, Li?" Nidya bertanya
balik sambil memandang Lia dengan sinis.
"Lho, lho, lho, kok jadi melantur ke mana-mana sih?" tanyaku heran.
"Gue gak peduli ada yang naksir gue atau gak. Lagian itu kan bukan urusan
lo," jawab Lia tersinggung. "Gawat nih. Kalau begini terus, bisa berantakan perjalanan kita. Sudah deh,
pada baikan," Krisna lagi-lagi berusaha menengahi.
"Iya. Krisna aja yang ngaku menyukai dua cewek gak ada masalah. Lia dan
Clarissa malah kompak dan siap dimadu," Kelly berusaha mencairkan
suasana. Tapi tak ada yang ketawa karena hati Nidya kayaknya sudah panas
banget. "Nid, gue sih gampang aja ya. Kalau Lia menunjuk gue, gue gak bakal
peduli kok. Cuekin aja, lagi. Heran gue, kenapa lo sendi banget sih?"
tambahku heran. "Sudah puas belum, Nid" Apa masih mau lo perpanjang lagi masalah ini?"
tanya Krisna. "Sori deh kalau lo tersinggung. Tapi gue cuma ingin menjawab dengan
jujur kok," sambung Lia. "Terserah kalian aja lah," jawab Nidya lemas.
From Sumatra With Love Karya Esi Lahur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Eh, Di, lo jangan diam aja dong. Kasih kek kata sambutan atau petuah
penutup. Ngomong dong," kata Kelly sambil menggoyang-goyangkan
badan Adi yang kurus. "Gue" Ngomong apaan" Ngapain pakai penutup, kayak rapat RT aja.
Pokonya damai aja lah," kata Adi cengengesan.
Walaupun menggantung, pembicaraan diakhiri. TV dinyalakan lagi.
Bab 7 Pindah Provinsi Hari ini, hari kesembilan, kami sengaja menyimpan tenaga karena nanti
malam akan pergi menggunakan bus menuju Rumbai. Kami berusaha
mengabaikan rangkaian peristiwa yang tidak mengenakkan. Aku, Sandro,
Kelly, dan Krisna pergi naik becak membeli camilan untuk kami sendiri dan
oleh-oleh bagi keluarga Sandro di Riau. Yang lain menunggu di rumah.
Anty memilih gak ikut karena ingin memata-matai kegiatan Lia, Nidya,
Mahmud, dan Adi selama kami pergi. Mereka hanya nitip sirop terong
Belanda, sirop markisa, lapis legit, dan bika Ambon yang menjadi andalan
kota ini. Sayangnya, kami hanya bisa bawa oleh-oleh sirop ke Jakarta
karena kue-kuenya cepat basi.
"Tahu gak, tadi pagi gue kepleset di kamar mandi. Untung jatuhnya gak
kena kepala," cerita Krisna di becak.
"Jelas gue gak tahu. Kan gue gak mandi bareng lo," jawabku.
"Jangan gitu dong, Say," goda Krisna.
"Kok lo sial banget sih. Udah topi hilang, terus kepleset di kamar mandi,"
kata Kelly heran. "Mendingan gue sih daripada Nidya yang dipojokin melulu," jawab Krisna
sambil mengencangkan ikat kepalanya agar tidak bernasib sama seperti
topinya. "Jangan-jangan kutukan itu beneran, lagi. Lo bohong waktu main Truth or
Dare?" tanya Sandro.
"Bohong apaan" Masa lo percaya begituan sih" Emang gue aja yang lagi
apes. Mahmud juga sepanjang perjalanan apes gak ada habisnya karena
kita kata-katain melulu," jawab Krisna.
"Iya, benar. Kadang gue kasihan juga melihat Mahmud. Tapi dia tabah
banget ya," timpal Kelly.
"Ada SMS dari Anty nih. Gue bacain ya. 'Lia bikin kornet goreng. Adi
mengurung diri di kamar. Mahmud dan Nidya berduaan nonton TV. Gue
baca buku di sofa'," kataku.
"Huu... Belagu amat. Tumben Anty baca buku. Ah, paling juga dia lagi tidurtiduran," sela Sandro mengomentari kegiatan Anty.
"Dasar Mahmud. Giliran rumah sepi, dia gak kerja. Malah nonton TV
berduaan. Nyari kesempatan banget sih," komentarku.
"Asal dia gak berbuat mesum di rumah gue aja," tukas Kelly sewot.
"Gak bakalan. Kan ada Lia. Apa mau diamuk, mereka aneh-aneh berduaan?"
ujar Krisna menerangkan. Kami balik ke rumah ketika hari mulai siang. Kegiatan mereka belum
berubah dari yang dikabari Anty tadi. Kami mengoleh-olehi para penunggu
rumah manisan jambu biji besar yang sedap banget. Lia menawarkan
kornet buatannya. "Tambah jatuh cinta dong lo sama Lua. Kornet cinta," goda Kelly pada
Krisna. "Atau masih menang si montok?" tanya Anty. Krisna hanya diam sambil
tersenyum. "Li, lo gak ngeracuni gue, kan?" candaku sambil mencicipi makanan
buatannya. "Paling efeknya cuma mencret," jawab Lia sambil senyum-senyum.
"Nid, lo gak nyobain kornet buatan Lia?" Anty menawaru Nidya yang purapura tidak terjadi apa-apa dan terus menonton TV.
"Gak ah," jawab Nidya tanpa memalingkan wajah sedikit pun dari layar
kaca. "Syukur deh, jadi gak ada saingan," sambung Sandro tak acuh.
Mahmud berusaha netral dengan ikutan makan kornet ala Lia yang yang
ditaburi potongan keju. "Enak, Li. Enak. Pinter juga lo," kata Mahmud sambil
mengacungkan jempol. "Memangnya yang jago pembantu lo doang?" sambar Krisna.
*** Sambil menunggu malam datang yang berarti jam keberangkatan bus ke
Rumbai, kami menjadi anak-anak imut yang memilih tidur siang dengan
manis. Aktivitas ini terbukti ampuh untuk meredam pertengkaran lanjutan.
Paling-paling risikonya nanti malam kami bakal kesulitan tidur di bus.
Cewek-cewek tidur di kamar kecuali Anty yang memilih tidur di sofa
panjang dekat pintu depan. Sofa yang lain ditiduri Adi, sementara anakanak cowok tidur di kamar sambil diawali dengan baca-baca tabloid yang
bergambar cewek-cewek bahenol berpakaian seketemunya itu.
"Kelly, Kelly, anak-anak, halooo...!" Terdengar suara mamanya Kelly begitu
dekat memanggil-manggil. Mimpi atau beneran"
"Kelly, Kelly!" Sekarang mincul suara papanya.
"Wah, bonyok gue datang," seru Kelly langsung melompat dari tempat
tidur. Serempak kami juga bangun, antara sadar dan setengah mimpi.
Kelly berlari ke depan untuk membukakan pintu bagi kedua orangtuanya.
Kami buru-buru membangunkan Anti dan Adi dengan cara menggoyanggoyangkan badan mereka. Belum lagi keduanya bangun, pintu sudah
terbuka dan orangtua Kelly pun masuk. Adi yang tidur bertelanjang dada
langsung ngibrit sambil menutupi dada. Kacau, benar-benar kacau! Mana
rumah dalam keadaan porak-poranda karena keberadaan barang-barang
kami di sana-sini. Tanpa basa-basi, saking malunya, kami masuk kamar lagi.
"Tenang. Tenang. Kalian ngapain pada panik?" tanya Kelly sambil tertawatawa sewaktu masuk ke kamar cewek.
"Malu, Kel. Mana gue tidur di sofa, lagi," jawab Anty sambil membenamkan
wajah ke bantal. "Gue juga gak tahu kalau mereka mau datang. Katanya mereka mau mgasih
kejutan ke gue, gitu," jawab Kelly masih kegelian.
"Terus komentar mereka melihat kita gimana?" tanyaku.
"Ya ketawa-ketawa aja. Bokap gue nanya, kenapa itu kawan-kawanmu"
Takut?" cerita Kelly masih ketawa.
"Bagaimana nih" Kalau ada bonyok lo, nanti kita ke mana" Ngapain?" Lia
ikutan bingung. "Tenang saja. Jangan pada sakit jiwa gitu dong. Bokap gue malah ngajak
makan malam sebelum ke pul bus. Gimana?" tanya Kelly.
"Mau!" jawab Anty cepat.
"Lo kalau soal makanan memang cepat tanggap banget ya," tanggap Nidya
geleng-geleng kepala. "Kasih tahu anak-anak cowok biar jangan kebablasan tidur," saranku.
"Beres. Tapi kalian jangan mendekam di kamar begini dong. Memangnya
bonyok gue monster?" kata Kelly lagi.
"Ya sudah, buka aja pintunya," jawabku.
*** Orangtua Kelly memang gak galak. Hanya saja kami sudah terlanjur malu,
jadi gak pede lagi buat pasang aksi di depan mereka. Kami berangkat pukul
setengah tujuh malam menuju rumah makan. Matahari di Medan pada jam
segini sama dengan matahari jam lima sore di Jakarta. Masih terang.
Sewaktu akan berangkat ada kejadian lucu. Keempat anak cowok itu
ternyata lebih panik daripada kami, para cewek. Kami memakai baju santai,
tapi cowok-cowok itu pakai hem segala! Malah mereka pakai kaus kaki
yang dipasangkan dengan sandal gunung. Saking bingungnya, kaus kaki
Krisna tertukar dengan Sandro. Adi malah ngelempar-lempar kaus kaki gak
jelas juntrungannya. "Kalian kenapa kayak mau casting" Pakai baju rapi, lari sana, lari sini," teriak
Kelly heran. "Gak apalah, Kel. Kawannya mau rapi kok diledej," ujar papa Kelly.
"Oom... Tante...," sapa keempat cowok itu malu-malu dan salah tingkah.
Kami berangkat dengan dua mobil. Satu mobil milik papanya Kelly yang
selama ini dititipkan di rumah Egia dan satu lagi pinjam dari saudaranya
papa Kelly. Cewek-cewek ikut mobil yang disetir mamanya Kelly, dan
cowok-cowok ikut papanya Kelly.
Di rumah makan kami memesan makanan yang senada, mi Aceh. Mi Aceh
katanya terasa enak karena menggunakan ganja. Konon, daun ganja
memang merupakan bumbu masak. Tentu penggunaannya hanya dalam
jumlah sedikit, seperti daun salam. Benar atau tidak, mana kami tahu" Yang
pasti rasanya memamng lezat.
Acara makan sudah beres. Perpisahan dengan orangtua Kelly setelah
peristiwa memalukan tadi siang harus terjadi. Sekarang kami ada di bus
Rafika yang menuju Rumbai. Busnya berukuran sedang, nyaman, bersih,
dingin, dan... "Snack-nya enak!" jerit Anty yang duduk di sampingku ketika membuka
kotak makanan yang baru saja dibagikan petugas bus.
"Hus! Jangan kenceng-kenceng dong," semprotku.
"Sa, Sa, lo gak ngecek-ngecek ke belakang?" tanya Anty cuek.
"Kenapa gue! Biarin aja deh Pance berasyik-masyuk," jawabku pelan.
"Kasihan ya, Adi duduk sendirian," kata Anty lagi.
"Sendirian gimana" Ibu di sebelahnya lo anggap apa" Penampakan?" aku
balik bertanya. "Huuu... Kasihan, tahu! Pergi berduaan, di tengah perjalanan direbut.
Emang enak?" ujar Anty sambil cekikikan.
"Bukan direbut. Ceweknya aja yang kegatelan!" timpalku berbisik.
"Lo berdua cerewet banget sih?" protes Sandro yang duduk persis di
belakang kami sambil berdiri. Dia duduk dengan Krisna. Sejajar dengan
Mahmud dan Nidya yang duduk di belakang Lia dan Kelly.
"Bilang aja lo tertarik dengan percakapan kami," balasku melihat ke atas.
"Gue cium baru kapok lo!" sambar saandro sebal.
"Jangan horny di bus dong. Bisa jadi ada ulangan perselingkuhan nih," kata
Anty "Perselingkuhan apa?" tanyaku mengernyitkan dahi.
"Kan sebelumnya sudah ada cinta segitiga. Nah, sekarang Sandro udah
tahu Krisna merem-melek ngeliat lo, malah ngancam mau nyium lo," jawab
Anty lagi. "Bener-bener otak lo itu otak gosip," kataku. "Tempo hari lo bilang Bu Sumi
selingkuh dengan Pak Mardianto gara-gara lo melihar mereka berduaan di
bagian pakaian dalam di department store Pasar Baru. Gak tahunya apa" Bu
Santi juga ikutan mereka tapu lagi beli otak-otak. Untung beritanya belum
nyebar," rutukku. "Eh, itu mah kesalahan teknis," kilah Anty.
Bu Sumi, Bu Santi, dan Pak Mardianto guru sekolah kami. Waktu itu mereka
membeli baju hamil sebagai hadiah ulang tahun untuk Bu Kristi yang lagi
hamil. Ancur banget kan si Anty" Imajinasinya sih bagus untuk cerita fiksi,
tapi kalau dalam kehidupan nyata" Bisa-bisa dia dihajar massa!
"Sa, tadi lo lihat kan Mahmud carmuk banget?" tanya Anty berbisik.
"Iya. Rasanya pengen gue hajar habis-habisan deh," jawabku.
Tahu gak, saat pamitan dengan orangtua Kelly, dengan gaya abdi
dalemnya, Mahmud langsung mencium tangan mamanya Kelly! Kenapa gak
sekalian dia jalan sambil ya" Padahal Kelly saja yang anak kandung mereka
gak sampai sedramatis itu pamitannya. Cukup cium pipi kiri dan kanan.
"Jangan begitu, Sa. Menyiksa PRT itu berat hukumannya. Bisa masuk
koran," timpal Anty mulai keluar gilkanya.
"Siapa mau masuk koran?" tanya Sandro sambil kembali berdiri di belakang
kursi kami. "Lo nguping pembicaraan kami. Kangen sama kami, ya?" semprot Anty
sewot karena merasa kehilangan privasi.
"Bukannya nguping, cewek-cewek nyonyor. Suara kalian kenceng banget,
kayak deru bajaj," amuk Sandro yang langsung balik lagi duduk manis di
kursi. "Omong-omong, kalian ngapain pakai baju rapi gitu" Situ pada mau
ngelamar jadi pembantu di rumah Kelly atau...?" ejekku sambil gantian
berdiri menghadap ke belakang.
"Emang kenapa kalau kami rapi" Daripada kalian cewek-cewek, gak pernah
rapi. Berantakan melulu. Bener-bener deh," potong Sandro.
"Buat apa rapi" Yang penting gak ketinggalan tren," jawabku.
"tapi kalian suka kami, kan?" sergap Anty yang sekarang ikutan berdiri.
"Gubrak! Cewek-cewek sinting!" Sandro menyandarkan kepala seakan
menyerah. Aku dan Anty kembali duduk sambil tertawa pelan.
"Ty, kita lihat nanti di rumah Sandro, ngapain saja si Mahmud. Beneri-bener
pengen gue kerjain!" kataku pelan, khawatir rencanaku bocor.
"Setuju! Kalau kemarin dia nyuciin jins kita, nanti kita suruh ngapain ya?"
Anty balik bertanya dengan jail.
"Gak tahu. Pokoknya gue akan perbabu dia habis-habisan," tekadku.
Seperti biasa kami cerewet banget di perjalanan. Habis gimana dong" Kami
belum bisa tidur karena tadi pake tidur siang segala. Mana bawaannya mau
melek terus dan mulut gak bisa diam kayak lagi dicabein. Sudah begitu, TV
dalam bus ini gak dinyalakan. Kalau gak bisa nyetel TV, paling gak nyetek
VCD kenapa sih" Gak kreatif amat. Kalau begini, kami yang sengsara karena
sopir-sopirnya lagi-lagi nyetel kaset Pance Pondaag! Bukannya aku antipati
Pance, tapi lagu-lagunya itu lho, sudah gak nyambung dengan kuping ABG
kayak kami. Ketika malam semakin larut kami bisa tidur juga. Kasihan nasibku yang
duduk di sebelah Anty. Kakinya nendang ke mana-mana. Mungkin dalam
mimpinya dia lagi jadi si Buta dari Gua Hantu atau Nyi Blorong. Sejak di
kapal hingga numpang di rumah Kelly, teman-teman yang lain ogah tidur
di sebelahnya karena keliaran tidurnya. Hhh, pengen rasanya aku beli
pasungan untuk bocah tukang gosip itu. Aku lebih memaafkan mereka
yang tidurnya ngorok karena masiyh bisa kuanggap lagi tidur di kandang
Miss Piggy. *** Hari kesepuluh. Rumbai, Riau.
Pukul delapan pagi kami turun dari bus dengan sempoyongan karena
nyawa rasanya masih belum balik ke badan. Beruntunglah Nidya yang
menerima layanan first class dari Mahmud yang mengangkuti seluruh
barangnya. Kami langsung pindah ke dua mobil yang sudah menjemput. Yang satu
disopiri mamanya Sandro, lainnya sopir beneran.
Aku baru tahu di daerah Riau ternyata banyak kelapa sawit. Tanahnya agak
lembek dan berwarna putih-kuning, pasirnya agak kemerahan. Udaranya
panas dan kering banget. Pantas eumah Sandro pakai AC. Biar sejuk. Malah
begitu sampai di rumahnya kami langsung dipkasa makan nasi goreng
bakso yang lezat. Jus jeruk juga sudah disiapkan. Tinggal tuang dan teguk
saja. Kurang apa, hayo"
Tapi baru sekejap menginjakkan kaki di rumah Sandro, yang namanya
Mahmud langsung proaktif bertanya ke papanya Sandro, mengenai
barang-barang elektronik yang rusak agar bisa dia reparasi. Papanya
Sandro yang memang baru mau berangkat kerja setelah menyambut kami
menjelaskan bahwa perusahaan sudah menyediakan tenaga servis karena
sebagian besar barang dan perabotan yang ada di rumah merupakan aset
perusahaan yang boleh dipakai karyawan.
Tak putus asa dengan penjelasan papanya Sandro, Mahmud pergi ke
belakang, mencari tempat cucian.
"Eh, ada mesin cuci nih. Ada yang mau nitip cucian kotor?" tanya Mahmud
pada kami yang masih keasyikan nambah nasi goreng.
"Lho, Mahmud, kamu mau ngapain?" tanya mamanya Sandro bingung.
"Biarin aja, Ma. Dia memang sukanya kerja-kerja pembantu," jawab Sandro
asal-asalan. "Oh... Tapi kamu gak usah repot-repot lho. Sudah sana kalau mau istirahat.
Ada pembantu kok di sini." Mama sandro berusaha mencegah insting alami
Mahmud untuk bekerja kasar.
"Sudah, biarin aja, Tan. Memang dia hobinya beres-beres. Kalau rumah
tante nanti mengilap, ya jangan heran," celetuk Kelly sekenanya.
Begitulah. Seperti waktu di rumah Kelly, di sini pun Mahmud menyalurkan
obsesinya untuk mencuci baju dan jins kami sampai seember penuh. Kalau
duku dia mencuci denhan manual dengan papan penggilasan dan sikat,
sekarang dia beraksi dengan mesin cuci. Heran, Nidya kok gak malu ya
dengan kegiatan Mahmud yang seperti itu"
Terserahlah. Setelah makan kami memilih masuk ke kamar. Yang cewek
tidur di kamar atas lengkap dengan balkon sebagai daerah kekuasaan,
sedangkan cowok-cowok di kamar bawah. Habis berbenah, kami rebahan.
Tapi kamar di atas gak ber-AC. Mendingan tidur di luar kamar biar adem.
Anty mengikuti ideku. Gak tahu kenapa, kalau urusan kerja sama aku lebih
sreg sama Miss Telmi itu. Lucunya, Lia dan Nidya yang hubungannya lagi
agak korslet malah milih tidur di dalam sedangkan Kelly memutuskan untuk
From Sumatra With Love Karya Esi Lahur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bolak-balik. Bisa di dalam atau di luar kamar. Benar-benar sesuka kami deh.
Baru setengah jam enak-enakan rebahan, Adi, Sandro, dan krisna menyusul
ke atas. Mahmud masih asyik mencuci.
"Ngapain kalian ke sini" Kangen ya sama kami?" sodok Anty.
"Gak. Gue ngecek tembok rumah gue, ada yang retak gak gara-gara
kedatangan kalian," kata Sandro tak kalah bengis.
"Dasar!" jawab Anty keok.
"Kalian ngumpul di sini jadi kayak harem," sambung Krisna.
"Sudah deh, jangan cerewet. Mendingan susun rencana, hari ini mau
ngapain" Waktu kita kan gak banyak. Ingat, keuangan menipis," Kelly ikutan
nimbrung. "Di sini kurang ada yang menarik. Kalau ke Bukittinggi mau gak?" ajak
Sandro. "Ha" Bukannya lebih mahal?" tanyaku melotot.
"Tenang. Bokap gue yang nraktir. Mungkin dia kasihan melihat penampulan
kalian yang kayak musafir. Kita tinggal bayar uang bensin aja. Satu mobil
cukup, kan" Empat di belakang, empat di tengah, gue di depan," jelas
Sandro yang kayaknya sudah merencanakan ini di dalam otak jailnya.
"Yang nyetir siapa"' potong Lia.
"Ini baru mau gue omingin. Temen gue, namanya Rahmat. Dia orang
Minang tapi sekolah di sini sejak SMP. Sahabat gue dari SMP. Tapu gue ke
Jakarta, dia tetap di sini karena bokapnya punya usaha di sini," jawab
Sandro. "Ha" Dia punya SIM gak" Ntar kita masuk koran lagi, gara-gara kecebur
jurang," kata Anty repot sendiri.
"Ya pounya dong, bolot! Mana mau bokap gue minjemin mobil kalo
orangnya gak punya SIM?" bentak Sandro.
"Gue jan cuman nanya. Lebih baik mencegah daripada..." Anty membela
diri. "Lebih baik lo diam saja," potong Nidya cepat.
"Bisa ngomong juga lo" Gue kirain lidah lo udah kepotong," balas Anty
sadis. "Aduh... Kok jadi melantur ke mana-mana sih?" kata Adi kesal.
"Mampus! Emang enal disemprot Empu?" imbuh Krisna geli.
"Empu apaan?" tanya Lia.
"Dalam bayangan gue Adi kayak Empu Gandring. Senang menyendiri.
Sedikit bicara, banyak berpikir, sering menjamah. Hehehe...," jawab Krisna
iseng. "Garing banget lo, Kris," kataku sebal.
"Eh, omong-omong, kasihan bener ya Rahmat, temenan segitu lama sama
lo. Pasti dia bahagia banget tuh lo pergi ke Jakarta. Iya, kan" Ngaku aja deh,
Ndro," selidik Anty. Kami hanya bisa geleng-geleng kepala mendengar ide
yang sama sekali gak brilian itu.
"Jadi gini, besok kita berangkat pagi-pagi, nginap semlam di Bukittinggi,
dan lusa sore balik ke sini. Gimana" Oke?" papar Sandro tentang
rencananya sembari mengabaikan celoteh Anty yang gak mutu itu.
Kami hanya mengangguk-anggukkan kepala.
.Tambahan nih. Buat cewek-cewek, awas ya kalau gangguin Rahmat sampai
kelewat batas," ancam Sandro.
"Memang kenapa" Ganteng ya" Asyik, makanan nih," sorakku.
"Makanan, lagi. Emang lo kira dia kue moci" Pokoknya jangan kecentilan
deh," Sandro menegaskan ancamannya.
"Kenapa sih lo protektif banget" Lo bukan hombreng kan, sampe
ngelarang-larang begitu?" tanya Lia.
"Kenapa juga kalian cerewet banget" Nanya-nanya melulu. Memang gak
bisa ya tinggal menuruti aja?" semprot Sandro.
"Kata bu guru kita harus kritis. Jangan membeo doang," tambah Kelly
menjadi-jadi. "Iya. Malu bertanya sesat di kuburan. Salah sendiri. Eh, bukannya lo malah
senang hati kami tanya-tanya melulu supaya lo jadi kelihatan agak cerdas,
gitu?" tanyaku lagi bikin suasana tambah riuh.
"Terserah kalian deh, cewek-cewek. Semoga kalian bisa dapat cowok
berhati baja yang budek sehingga gak depresi karena kecerewetan kalian
yang lebih cepat daripada gerakan jarum mnesin jahit," Sandro
menyumpahi. "Oh, jadi sampingan lo selain sekolah jadi tukang jahit, ya?" kataku tak mau
berhenti. Sandro pun hanya geleng-geleng kepala seolah ingin menghajar
kami. Adi dan Krisna cengengesan melihat Sandro kewalahan menghadapi
kami. *** Hari ini kami berjalan-jalan di kompleks Caltex. Di Rumbai hanya ada
kantoe dan perumahan, kilang minyaknya di Duri. Sejauh yang kami lihat,
kompleks Caltex bagaikan kota di dalam kota. Segala kebutuhan hidup
tersedia di dalam kompleks dan dikhususkan bagi para pekerja dan
keluarganya, baik orang lokal maupuin ekspatriat.
Bayangin deh, ada beberapa toko dan minimarket dengan berbagai barang
kebutuhan sehari-hari, minuman, dan makanan, berupa produk lokal
maupun impor. Lantas ada sekolah Internasional, klinik yang mirip rumah
sakit kecil, gedung serba guna, bioskop, helipad, serta kluib kebugaran
yang berfasilitas lengkap. Nah, di klub inilah kami nongkrong. Tepatnya di
restoran kolam renang. Enak banget suasananya. Anak-anak bule kecil
sedang kursus privat renang.
"Lo gak ada yang pengen bisa berenang?" tanyaku pada kedelapan
temanku yang pasti bakal ngibrit kalao dipaksa masuk kolam renang.
Jangankan kolam dua meter, kolam semeter saja bisa pada terkencingkencing.
"Iya deh yang bisa renang, puas-puasin deh menghina kami," kata Kelly.
"Kalian juga gak ada iktikad baik mau belajar,' katakui sok pongah.
"Gue mau, tapoi kalau yang ngajarin lo, ogah ah. Ntar terjadi pelecehan
seksual, lagi. Gue gak mau jadi korban kebiadaban lo," timpal Adi yang
langsung disambut tawa riuh kami.
"Mana yang lebih biadab" Memutuskan hubungan secara sepihak dan
selingkuh dui depan mata atau...?" pancing Sandro mulai lagi.
"Ndro, plis deh. Jangan merusak suasana," kata Lia menghela napas.
"Merusak gimana" Emang ada ya di antara kita yang sebiadab itu?" Sandro
balik bertanya dengan wajah sok lugu.
Aku melirik nidya yang wajahnya langsung memerah kayak terong Belanda
busuk dan Mahmud yang pura-pura budek.
"Waduh! Kalung gue hilang nih," teriak Krisna.
"Kalung yang lo beli di Kampung Keling?" Tltanya Sandro.
"Iya. Tadi pas turun dari bus gue baru sadar. Masa ketinggalan di rumah
Kelly sih?" Krisna balik bertanya dengan heran.
"Ya sudahlah, gak usah lo tangisi. Kalung begitu doang," hibur Kelly.
Sehabis makan burger yang supermurah dan superenak karena restorannya
disubsidi Caltex, kami cabut ke lapangan softbol. Keren deh, kayak di film-
film Hollywood. Mumpung lapangannya kosong, kami langsung bergaya
habis-habisan dengan Mahmud sebagai seksi dokumentasi.
Kami puas-puasin berulah yang gila-gilaan di situ. Parahnya nih, Adi
berkhayal dirinya bikin home-run sehingga disoraki penonton. Dia bikin
victory lap dengan berlari keliling lapangan sambil melambai-lambaikan
tangan. Terdengar gemuruh suara dari mulutnya sendiri, "Yeeeahhh!!"
"Fatal juga ya akibat dikhianati," celetuk Lia pelan.
"Hoooii, Adi, ngapain di tengah lapangan gitu"!" teriak Kelly melihat
tingkah pola Adi yang gak wajar.
"Kenapa mengganggu kesenangan orang sih, Kel" Biarin aja dia begitu,
daripada nangis-nangis?" kata Anty tak kalah bengong melihat kelakuan
Adi yang biasanya tenang.
Nidya dan Mahmud asyik berduaan di bawah papan skor. Benar-benar
pasangan yang gak matching.
"Li, lo masih empet sama Nidya?" tanyaku.
"Kalo manjanya kumat sih terus terang pengen gue tabok," jawab Lia sadis.
Itu artinya dia sebal berat karena anak yang satu ini biasanya baik hati.
"Kita sidang lagi yuk, biar seru," ajak Anty.
"Apaan lagi topiknya?" tanyaku tertarik.
"Pengakuan hati Nidya. Apakah bener dia semudah itu melepas Adi demi
seorang kac...," jawab Anty semangat.
"Kalau gue lebih tertarik menyodok Krisna," kataku.
"Memang kenapa" Bukannya dia pemuja lo?" tanya Anty. Wajah Lia
langsung datar. "Masa dia sial melulu. Dari topi yang nyemplung di Danau Toba, kepleset di
kamar mandi, dan barusan kalungnya hilang. Ingat gak kutukan permainan
kita" Siapa yang bohong bisa sial selama perjalanan ini?" pancingku
menggelitik urat usil teman-temanku.
"Iya, benar juga. Tapi, dia bohong apaan?" tanya Kelly heran.
"Bagaimana kalau itu hanya kebetulan?" tambah Anty.
"Terus, bagaimana kalau ternyata dia berbohong" Seru kan, kalau kita bisa
membongkarnya?" ajakku lagi.
"Lo gak sakit hati kalau ternyata dia bohong dan lebih menyukai Sandro?"
tanya Anty terkikik. "Lho, bukannya mereka memang pasangan hombreng yang menyamar?"
jawabku melantur. "Kalau ternyata dia gak demen sama gue dan Lia, terus
malah sukanya sama Kelly, Nidya, atau lo seru, kan?" pancingku sambil
melirik Anty. Sejujurnya aku memang belum mau pacaran dulu. Cowok-cowok di sekolah
juga bulukan. Lagian orangtuaku bisa protes keras kalau aku pacaran lalu
belajarku jadi gak fokus. Mending ngejomblo aja dulu. Gak dosa, kan"
Paling hanya turun gengsi karena gak punya gandengan.
"Tapi kenapa Krisna mesti bohong kalau memang gak demen lo atau Lia?"
Kelly bertanya lagi. "Duilah, Non. Emangnya gue Krisna, sampai diinterogasi begini" Mungkin
dia gak berani menyebut nama Nidya karena takut terkesan pasaran. Terus
kalau dengan lo, Kel, dia khawatir lo hajar dan amuk. Nah, kalau Anty, dia
takut lo pingsan saking bahagianya. Kebayang kan repotnya kalau ada yang
pingsan" Mesti gotong-gotong ke ranjang, ngipas-ngipas, bikin teh manis,
ngolesin minyak kayu putih, dan...," kataku berargumentasi dengan
supernyinyir. "Cukuup! Oke, gue setuyju kita gerebek Krisna nanti malam," kata Anty.
"Terus, pasangan ajaib itu gimana?" tanya Lia masih penasaran. Kayaknya
Lia belum siap menghadapi kenyataan kalau ternyata Krisna ngaku gak
demen sama dia. "Satu paket aja. Obat pelangsing aja bisa beli paketan, masa nyidang orang
gak bisa," jawab Kelly semangat.
"Yuk balik ke rumah, perut gue mules nih," kataku sepet.
"Sa! Memang gak ada topik yang lebih sopan ya?" semprot Anty enek.
*** Malamnya semua ngebut membereskan barang yang mau dibawa
berkelana dua hari satu malam ke Sumatera Barat. Mama Sandri
menyediakan martabak Mesir dan sate Padang sebagai hidangan makan
malam. "Kerjaan kita selama pergi makan melulu, ya," komentarku.
"Iya. Kayak wisata kuliner," jawab Lia.
"Gagal deh diet gue," rutuk Anty.
"Belagu lo pakai diet segala. Badan lo emang udah kayak lontong, terima
aja. Lontong mana bisa jadi gitar Spanyol. Iya gak, Say?" goda Krisna
padaku. "Kalau perumpamaan, mana bisa wajah Mahmud yang bengep berubah
jadi wjah Nicholas Saputra atau minimal kayak gue," Sandro ikutan
menyodok. "Kenapa sih lo selalu memojokkan Mahmud?" tanya Nidya kesal.
"Siapa yang memojokkan" Itu kan fakta," jawab Sandro.
"Memangnya dia salah apa sama kalian?" desak Nidya lagi.
Wah, kayaknya serius nih. Mahmud ada di belakang, lagi menyetrika baju,
jadi gak tahu ada perang mulut begini.
"Ngapain sih lo ribut gitu" Lo gak tahu kita bercanda?" Kelly berusaha
menengahi. "Gue tahu, tapi kenapa Mahmud melulu yang kena" Memang kalian
sebagus apa sih?" sanggah Nidua geram.
"Lebih bagus daripada lo dan Mahmud." Sandro terpancing emosi.
"Sudah. Sudah. Gak usah diteruskan," Krisna berusaha menengahi.
"Gak bisa. Gue masih penasaran, kenapa Mahmud terus yanh diledek"
Karena dia ngutang Krisna" Katena dia membantu kalian terus" Bukannya
terima kasih, eh malah dikatain kacung," cerocos Nidya mengeluarkan
gumpalan perasaannya. "Ini gak lagi shooting sinetron, kan?" Aku mencoba mencairkan suasana.
"Kenapa sih yang diledek bukannya Adi, Anty, Lua, atau siapalah di antara
kita" Korbannya mesti mahmud." Protes Nidya makin menjadi. Matanya
mulai berkaca-kaca. "Begini deh, sekarang mau lo apa?" Kelly bertanya dengan ketus.
"Mau gue, jangan ada lagi yang menghina Mahmud. Gak susah, kan?" pinta
Nidya. "Cuma itu permintaan lo" Bilang aja dari tadi, gak usah ngomong ngalorngidul gitu," ucap Krisna sambil tertawa-tawa.
"Sudah deh. Kita bubaran aja. Tidur. Ingat ya, besok jam enam terng kita
cabut," komando Sandro.
"Lo janji mau ngenalin sahabat lo, siapa namanya" Rahmat?" Anty menagih
janji. "Besok pagi aja sekalian berangkat. Dia gak bisa datang. Dasar ganjen!"
jawab Sandro melotot. Serentak cewek-cewek langsung ke kamar atas. Terpaksa harus tidur kalau
tidak mau kesiangan. Batal deh menyidang Krisna gara-gara keributan kecil
barusan. Agak memalukan juga karena orangtua Sandro kayaknya
mendengar tapi mereka pura-pura gak tahu apa-apa dan memilih masuk
ke kamar tidur. Menyidang Krisna di Bukittinggi aja. Jalan masih panjang. Kalau besok
Krisna masih kena sial lagi, nah, itu cukup membuktikan bahwa dia
berbohong. Setuju" Bab 8 Sudah sebelas hari berlalu...
Kami bergantian mandii. Karena tidak sempat sarapan, mama Sandro
membawakan bekal seabrek. Ada roti isi meses, selai kacang, dan selai
stroberi, lalu hot dog, pisang goreng, bolu, lontong, serta sirop markisa
dingin dalam termos. Pokoknya kami gak khawatir kelaparan.
Selagi kami memasukkan barang-barang ke mobil, ada cowok keren
datang. Lebih keren daripada Sandro cs deh. Kulitnya putih, berlesung pipi,
dan berdagu belah. Mmm... Target menarik.
"Mat! Sini, Mat!" teriak Sandro gembira. Keduanya berbasa-basi sementara
kami hanya bisa lirak-lirik kayak penari kecak.
"Sini, gue kenalin. Ini Rahmat yang bakal nganterin kita. Ini temen-temen
gue dari Jakarta. Maklumi aja ya, mereka agak norak," kata Sandro jail.
"Biar norak tapi oke, kan?" imbuh Anty centil.
"Yang baru ngomong namanya Anty." Sandro berusaha mengendalikan diri
dan mengenalkan dengan ramah. Setelah itu berturut-turut kami
dikenalkan satu persatu. Barang-barang sudah masuk semua. Kami siap
meluncur. Kami duduk empet-empetan, kecuali si diktator Sandro dan Rahmat yang
berada paling depan. Bagian tengah ada aku, Anty, Kelly, dan Lia. Baris
akhie ada empat orang lain.
Mobil baru berjalan lima menit tapi Anty sudah mengeluh perut
keroncongan. "Nanti saja deh buka bekalnya. Kalau sudah keluar Rumbai atau Riau,"
tawar Sandro. Pasti dia dalam hati geregetan dengan Anty yang gak bisa
mengendalikan ususnya. Aku memberikan ponselku pada Anty yang sudah kutulisi di bagian pesan
tapi tidak ku kirim supaya irit. Hehehe...
Hrsnya Rahmat yg sklah ke Jakarta ya, bkn Sandro. Dr dpn ganteng, dr
smping memikat. Akhirnya ada pmndangan segar.
Anty, Kelly, dan Lia yang baru selesai membaca pesanku menganggukangguk setuju sambil cekikikan.
Sayang orangnya agak diam. Kt hrs jaim nih.
Aku membaca dan gantian mengetik. Aku segera menyerahkan ponselku ke
Anty lagi. Jaim gmna" Blm apa" aja lo udh mnta mkan. Bikin malu!!!
"Gue kan lapar banget, Sa," rintih Anty langsung.
From Sumatra With Love Karya Esi Lahur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sandro menengok. "Sabar dikit kenapa seeh," katanya kesal.
Begitu keluar Riau, Sandro memperbolehkan kami brunch. Banyak kelokan
yang dilewati Rahmat dengan sempurna. Jendela mobil dibuka karena AC
dimatikan. Selain menghemat solar, udara juga masih segar. Polusi gak
separah di Jakarta. Anginnya enak kok.
Anty minta pindah duduk di pinggir, persisi di belakang Rahmat. Katanya
supaya pemandangannya jelas. Anty nengok-nengok ke luar melihat
pemandangan dan sempat melihat ke belakang. Setelah itu dia senyamsenyum.
"Ngapain lo, Ty" Semyum mesum kayak gitu?" tanya Lia.
"Itu orang di mobil belakang kayak melambaikan tangan ke gue deh.
Mungkin mau kenalan," jawabnya kenes.
Aku inkut menengok ke belakang. Memang benar, dua cowok di mobil
boks belakang mengangkat tangan. Tapi bukan melambai, melainkan
menunjuk-nunjuk ke bawah. Mulut cowok itu komat-kamit. Aku berusaha
keras membaca gerakan mulutnya. "Kkeemm..pppees. Hei, ban kita
kempes!" teriakku baru sadar.
Spontan Rahmat memperlambat mobil dan mencari daerah yang agak luas
untuk membetulkan ban mobil. Begitu mobil berhenti Mahmud langsung
bergerak cepat mengeluarkan alat montir sederhana yang ada di dalam
mobil. Untung tak jauh dari tempat mobil dipinggirkan ada WC umum. Kami buruburu turun dan antre.
"Gila ya lo! Orang ngasih tahu ban kempes malah lo kira ngajak kenalan,"
kata Krisna geli. "Bisa saja setelah ngasih tahu ban kempes, mereka ngajak gue kenalan.
Kenapa sih lo kayaknya gak terima banget?" Anty tak mau kalah. "Bukannya
gak terima. Dasar ge-er! Untuk tadi si montok ngeliat ke belakang. Kalau
gak, kita udah kejebur ke jurang gara-gara kesintingan lo!" balas Krisna lagi.
"Mendingan ge-er daripada rendah diri, tahu?" Anty terus membalas.
Mungkin dia takut kehilangan muka di depan Rahmat yang sedari tadi
hanya tersenyum melihat kekonyolan kami. Duh, senyumnya itu lho! Maut.
"Sa, lo lihat gak tadi senyumnya?" bisik Kelly.
"Iya. Gue kan belum rabun," jawabku tak kalah pelan. "Gila ya, Kel, di
pedalaman kayak begini ada cowok sekeren gitu."
"Ancur lo!" imbuh Kelly geli.
"Masih lama kan benerin mobilnya?" tanya Anty dengan tampang panik.
"Emang kenapa" Lo mau makan lagi?" tanya Sandro sengit sambil
berjongkok di sisi mobil. Dia memperhatikan kerja Mahmud dan Rahmat
yang sedang mengganti ban.
"Gak. Kebalikannya, perut gue nih," jawab Anty lirih, takut kedengaran
Rahmat. "Apa" Lo mau boker"!" teriak Sandro keras sampai kami terbahak-bahak
semua. Muka Anty merah muda kayak kue mangkok dan langsung ngibrit
ke WC umum setelah sebelumnya mengambil tisu basah di dalam mobil.
Kerja keras Mahmud dan Rahmat yang dimandoro Sandro berhasil
gemilang. Ban baru sidah terpasang sempurna. Berarti mobil sudah beres.
Anty juga sudah keluar dari WC dengan wajah lega.
Tapi, eh, gak salah nih mataku" Adi masih duduk bersebelahan dengan
Nidya di bawah pohon. "Ada gencatan senjata nih," kataku. Semua menengok ke arahku dan aku
pun langsung mengarahkan pendangan ke bawah pohon. Semua
mengikuti arah mataku dengan cepat.
"Buset. Mahmud berjuan hidup dan mati untuk kita, eh mereka bukannya
ngebantuin malah asoy geboi di bawah pu'un," canda Sandro.
Tapi Adi dan Nidya tidak beranjak dan hanya tersenyum tipis. Mahmud
yang masih berkeringat ikut menengok ke arah pohon. Tanpa senyum dia
masuk ke dalam mobil dan mengambil segelas markisa dingin. Bakal
perang dunia ketiga nih! "Kalian bertiga kalau mau berantem, silahkan. Gue bagian perwasitan," kata
Hikmah Pedang Hijau 5 Jennings Si Iseng Karya Anthony Buckeridge Laba Laba Hitam 1