From Sumatra With Love 3
From Sumatra With Love Karya Esi Lahur Bagian 3
Krisna yang harus kembali duduk dengan Mahmud, Nidya, dan Adi begitu
masuk ke mobil. Ketiganya tidak ada yang tertawa. Semua berwajah datar.
Perjalanan dilanjutkan. Untung tape mobil rusak, jadi cowok-cowok gila
gagal menyetel kaset mereka yang gak ada nadanya. Kami hanya
mendengarkan radio. "Orang rumah pada nyariin gak?" tanyaku pada semua teman.
"Gue gak ada SMS dari rumah tuh," jawab Anty cuek.
"Itu sih gak heran. Lo kan memang anak durhaka," sambung Kelly tertawa.
Rahmat ikutan tertawa. Ih, senyumnya bikin lemes. Kami yang duduk di
tengah saling bersenggolan.
"Nyokap gue bilang, kalau bisa jangan lebih dari dua minggu," kata Lia.
"Mana bisa, Li" Lebih sehari-dua hari gak apa-apa, kan" Tiket balik aja
belum kita beli," ujar Sandro.
"Sesekali pergi lama kan gak apa-apa, Li. Emang lo mau dipasung?" tanya
Krisna. "Cieeh...betapa perhatiannya. Mau lamaran atau pernikahan dini?" goda
Anty menjadi-jadi. "Eh, ini rambut siapa yang rontok di sandaran kursi?" tanya Adi sambil
mengambil beberapa helai rambut. "Dari warnanya yang semicokelat dan
panjangnya, jelas ini rambut Miss Bolot," kata Nidya.
Mampus lu, Ty. Emamng enak diledekin Nidya, batinku geli.
"Mana?" Kelly menjulurkan tangan ke belakang, meminta helai rambut ke
Adi. "Iya nih, rambut lo pada rontok tuh," Lia ikut mengamati rambut di tangan
Kelly. "Ty, ini sih bukan pernikahan dini, tapi kebotakan dini," ledekku. Lagi-lagi
Rahmat tertawa. Semua tertawa melihat Anty kebingungan. Rahmat
melihatnya dari spion sambil tersenyum. Anty langsung salah tingkah.
"Udha boker di tengah perjalanan, ketombean, rambut rontok, duh...,"
gumam Adi sambil ngedumel.
Hoahaha!! Kami terbahak-bahak, antar geli mendengar komentar Adi dan
senang melihat Anty gak berkutik.
*** Kami makan siang di Lembah Harau yang memiliki tujuh air terjun. Melihat
pemandangan begitu bagus sudah jelas kegiatan kami adalah berfoto
bareng. Kali ini Mahmud ikut karena Rahmat berinisiatif memotret.
"Mud, lo ngapain sih" Kaihan kan Rahmat sudah capek bawa mobi, eh
masih disuruh motret," sembur Anty.
"Tahu tuh. Mendingan juga Rahmat yang difoto," aku menberi dukungan
moral pada Anty. Biar saja Nidya cemberut, memang kenyataannya
Mahmud gak fotogenik kok. Hore! Rahmat ikutan foto bersama kami.
Di Lembah Harau pengunjung bisa manjat tebing. Tapi gak ada satu pun
dari kami yang berminat. Makanya kami melanjutkan berjalan kaki,
menjelajahi permainan dan pemandangan lain. Nah, kalau yang satu ini
memang patut dicoba oleh setiap irang. Echo spot. Ada satu titik yang
sudah ditentukan untu tempat berteriak, kemudian suara kita akan
bergema ke sekeliling lembah yang luas.
"Coba saja," saran Rahmat.
"Kacuuuung!" teriak Sandro yang langsung diikuti gema
"kacung...cung...cung...cung..."
"Lucu nih. Coba ah. Anty buluk!" teriakku.
"Ngaco lo," protes Anty di sela-sela gema suara "buluk...luk...luk...luk..."
Puas mengubek-ubek Lembah Haray, kami melanjutkan perjalanan lagi.
Entah karena perut sudah kekenyangan atau efek karena bangun kepagian,
kami mulai mengantu. Suasana di mobil sunyi-sepi karena tidak ada yang
berminat berkicau. Satu-satunya suara yang kemudian terdengar hanyalah
ucapan Rahmat sewaktu mulaik kebingungan menentukan arah ke
Bukittinggi. "Arah mana ya, Ndro" Aku agak lupa."
Bersamaan dengan itu di radio terdengar lagu dalam bahasa Minang yang
syairmya mengenai arah dan letak geografis kota-kota di Sumatera barat.
Untuk Rahmat cepat ngeh dan untung juga dia sebagai coeok Minang
masih ingat bahasa asalnya jadi kami gak tersesat. Mmm...sudah keren,
cerdas lagi. Coba dia yang sekolah bareng kami di Jakarta, bukannya
Sandro yang mulutnya kayak cacing dicabein.
*** Menjelang sore kami check-in di Hotel Gadang, Bukittinggi. Kali ini
rombongan dibagi dalam tiga kamar. Pertama, Sandro, Krisna, dan Rahmat.
Diseberangnya aku, Anty, dan Lia. Terakhir, Kelly, Nidya, Adi, dan Mahmud.
"Masa gue sekamar dengan korban perselingkuhan," keluh Kelly.
"Habis gimana dong?" tanya Sandro.
"Kalau Krisna di kamar itu, gue mau deh. Lagian, Li, lo kenapa gak mau sih?"
tanya Kelly kepada Lia yang sejak awal menolak sekamar dengan Adi,
Mahmud, dan Nidya. Masalahnya, di hotel ini bolehnya sekamar maksimal
empat orang, itu pun harus dengan dua ekstra bed. Kalau boleh lebih sih,
kami maunya pesan dua kamar saja.
"Plis deh, Kel, gue gak mau," kata Lia memelas. Kelly jadi gak tega.
"Kalau gitu gue ganti sekamar dengan Rahmat dan Adi. Lo dengan siapa
aja, Sa?" tanya Sandro.
"Lia dan Anty," jawabku.
"Sisanya dengan gue, ya. Mahmud lo kan dengan Nidya. Gue berasyikmasyuk dengan Kelly deh," canda Krisna.
"Pokoknya gue mohon tolong jaga kelakuan masing-masing. Gue gak mau
ada apa-apa. Kelly dan Nidya tidur berdua. Lo dan mahmud di extra bed,"
tegas Sandro yang tagu-tahu mengangkat diri jadi kepala keluarga kami.
"Memangnya lo pikir gue mau ngapain sih?" tanya Nidya sewot.
"Bukannya gue nuduh ya, tapi kalau ada setan lewat lantas kalian berbuat
mesum, lo mau tanggung jawab?" Sandro balik bertanya dengan ketus.
"Gue gak sekamar dengan Mahmud juga gak apa-apa," jawab Nidya. Aku
yang berdiri di belakang Nidya memberi kode menolak ke Sandro. Aku
emoh sekamar dengan Nidya yang manja, persis kata Lia.
"Sudahlah, gak usah diperpanjang. Gue kan hanya minta jaga kelakuan kita
semua. Yuk, masuk kamar yang sudah ditentukan!" kata Sandro.
Di kamar, masing-masing istirahat. Mmm...enaknya bisa meregangkan otot
di kasur empuk dan kamar yang dingin. Kami dapat lantai yang ada balkon
untuk bersantai dan bisa langsung memandang ke jalan raya. Tapi nanti
sajalah ke balkonnya, sekarang rebahan dulu dan bergosip. Tuh kan, belum
apa-apa Anty sudah nyerocos.
"Nidya kenapa sih" Ajaib banget kelakuannya, padahal kalau di sekolah gak
begitu-begitu amat," kata Anty heran.
"Mana gue tahu" Memang gue emaknya," jawabku sambil memejamkan
mata. "Kata orang, kalau kita bepergian dalam waktu yang lama, sifat asli setiap
orang bisa ketahuan," kata Lia.
"Asli gimana" Gue aslinya memang sadis, semau gue, gak ada yang gue
tutupui," jawabku tertarik dengan tema barusan. "Anty juga tetap bolot, gak
ada perubahan yang mencolok dari kelakuannya."
"Kan gak semua orang kayak lo, Neng," balas Lia.
"Lantas mau kita apain lagi nih"' tanya Anty yang sudah mati rasa dijuluki
"bolot". "Satu+satu dong. Krisna aja belum beres. Kalau dia sial lagi hari nih, itu
baru topik yang menarik. Kutukan danau toba!" kataku meyakinkan.
*** Pasti yang paling butuh istirahat tuh Rahmat. Kalau kami sih rasanya udah
cukup deh. Makanya begitu merasa bosan ngendon di kamar, kami menuju
kursi di balkon yang nyaman. Yang lain pada ngapain ya" Eh, baru saja
mikir begitu, Krisna dan Kelly sudah ikut bergabung.
"Gila lo! Ninggalin mereka berdua" Bisa honeymoon tuh mereka!" jeritku.
"Gak. Kalian tenang saja. Kami sudah bilang kamar jangan dikunci. Kalau
sampai mereka ngunci, gue ngamuk!" jamin Krisna.
"Ngapain aja mereka di kamar?" tanya Anty.
"Masih biasa aja sih," jawab Krisna lagi sambil berjalan ke arah pagar
balkon. "Biasa gimana?"
"Nidya langsung kumat manjanya. Gue sih merasa dia bukannya seneng
sama Mahmud, tapi pengen dilayani doang. Mahmud saja yang kege-eran
setangah hidup," papar Kelly bagaikan Bu Ratih, guru konseling di sekolah.
"Sumpe lo" Jadi maksud lo, hatinya masih buat si cowok bisu itu?"
sambarku. "Adi" Kayaknya begitu," jawab Kelly lagi.
"Heh, cewek-cewek, kalian demen banget sih ngegosipin orang?" sela
Krisna dari arah balkon. "Halah... Gak usah sok cool deh. Pasti lo juga seneng dengernya. Ini
ibaratnya latihan onvestigasi awal. Kalau yang begini aja lo gak bisa
memecahkan, gimana mau kasusu besar?" jawab Anty tak mau kalah.
"Lagian nih, Kris, ini bukan gosip. Ini fakta!" tegasku.
"Oke, oke. Gue ikut kalian, tapi masa Mahmud...eh, Pance segitu
gobloknya" Bisa aja Nidya ada hati, tapi sedikit banget." Krisna tertawa
gelisendirian. Heran, perasaan gak lucu-lucu amat.
"Kalian gak ada yang mau ngecek ke kamar?" tanya Lia agak senewen.
"Tenang saja, Li. Kalau ada apa-apa, kita hajar ramai-ramai. Musuhin, suruh
pulang, tinggalin," Kelly menenangkan.
Adi, Sandro, dan Rahmat muncul dengan wajah segar.
"Lengkap nih kit... Lho, kemana pasangan itu?" tanya Sandro bengong ke
arah Krisna. "Di kamar," jawab Kelly tenang.
"Edan lo semua! Yakin lo ninggalin mereka berdua di kamar?" Kata Sandro
lagi sambil menarik napas panjang. Kayaknya otaknya lagi butek banget.
"Ya udah, gue panggil deh." Kelly beranjak bangun menuju kamar. Belum
ada dua menit dia balik sambil berlari. "Kamarnya dikunci!" seru Kelly
heboh. Sontak kami semua lari menuju kamar itu. Pintu masih belum bisa
dibuka. Sandro menggedor. Pintu terbuka.
Mahmud keluar sambil tersenyum. "Sori. Kamarnya gue kunci. Takut ada
yang masuk kamar kan malah serem."
"Tadi kan udah gue bilang jangan dikunci!" bentak Krisna gusar. Kami
semua masuk ke kamar dan menutupnya.
"Kalian pada mau ngapain" Emangnya gue ngapain sampai dugerebek
begini?" kata Nidya setengah berteriak.
"Gue kan tdi bilang jangan dikunci," balas Kelly.
"Memangnya gue mau ngapain" ML sama Mahmud" Gue capek, tahu gak"
Capek karena perjalanan jauh, capek karena perlakuan kalian ke gue!"
Nidya makin emosi. "Kalo orang lain dalam posisi lo, pasti lo juga bakal khawatir seperti kami
kok. Dan itu kami lakukan bukan karena kami benci sama kalian, tapi karena
kami peduli dan gak mau hal buruk terjadi. Kita kan bukan malaikat,
monyong!" Sandro menyemprot dengan bengis. Kayaknya kesabarannya
lada luntur. "Sudah, Ndro. Sabar," Rahmat berusaha menenangkan sahabat lamanya itu.
"Gue mestu nagapain supaya kalian gak apada curiga?" tantang Nidya.
"Terserah lo. Lo mau ML kek, mau hamil di luar nikah kek, bukan urusan
kami! Kenapa sih lo gak kompak kayak cewek-cewek yang lain" Kalo lo
pengen diistimewain, jangan ikut!" umpat Sandro sambil keluar dari kamar.
Rahmat dan Krisna mengikuti keluar.
Nidya menangis. Kami bingung mau berbuat apa. Tiba-tiba Adi
mendekatunya. "Nid, udah jangan nangis. Yang lain keluar dulu deh. Gue
mau ngoming bentar sama dia." Adi menatap kami seolah meyakinkan tak
akan terjadi sesuatu jika mereka duitinggal berdua. Kami menuju pintu. Tapi
Mahmud berlagak berbenah.
"Mud, lo juga kekuar dulu," kata Adi tegas.
Tanpa membantah Mahmud langsung ngintil keluar bersama kami. Rasanya
aku belum pernah melihat Adi berkata setegas itu.
"Gimana?" tanya Krisna yang melihat Mahmud datang belakangan dengan
muka lesu. Kami kembali berkumpul di balkon tadi.
"Adi mau ngomong berdua dengan Nidya. Tunggu aja deh," jawab Lia
pelan. "Masih marah, Ndro?" tanyaku memilih duduk di sebelah Sandro.
"Sa, gue kesal banget sama Nidya. Kenapa si tuh bicah?" jawab Sandro
pelan. Mahmud berdiri di balkon melihat pemandangan persis kayak orang
mau bunuh diri. Kami memperhatikan gerak-geriknya sambil terkikik.
Kenapa lagi tuh makhluk jadi ikutan melankolis gitu"
"Cuekin aja. Over acting," bisik Anty pelan banget.
"Perasaan di sekolah gak begitu-begitu amat. Emang dia suka menyemenye, tapi kolokannya menjadi-jadi banget, kayak memanfaatkan orang
aja," kata Sandro masih belum puas menumpahkan unek-unek.
"Sudahlah, Ndro. Sudah," Lia berusaha meredam. Kami merasa gak enak
hati, terutama karena ada Rahmat yang gak ngerti apa-apa.
"Sori ya, Mat. Jadi agak kacau gini peejalanannya." Kata Sandro tak kalah
lemas. "Ah, gak apa-apa kok. Seru juga kayak nonton sinetron, hehehe...," tanggap
Rahmat sambil tertawa geli. Duh, lesung pipinya. Pasti semua cewek yang di
sini menelan ludah melihat senyum yang bikin perasaan adem itu.
"Gals, gue tahu yang ada dalam pikiran kalianl kata Krisna sambil gelenggeleng kepala. Brengsek. Rupanya Krisna menyadari juga hati kami pada
resah gara-gara Rahmat. "Gak apa kan kita ninggalin mereka berdua?" Lia berusaha memastikan
supaya jangan ada keributan baru yang akan terjadi lagi.
"Kalo Adi, gue percaya." Jawab Sandro.
"Kalo yang lain?" pancing Anty. Tapi Sandro tak terpancing. Mungkin
Mahmud mendengar. Dia berjalan menuju kami dengan wajah supersuntuk.
"Sori. Gue mau menjelaskan," kata Mahmud mulai bicara dengan lemah.
"Tadi gue dan Nidya gak ngapa-ngapain. Sumpah. Gue ngunci pintu karena
disuruh Nidya." "Duh, baru sekali ini aku mendengar suara Mahmud yang begitu lemah,
tidak seperti saat dia ingin berbenah. Biasanya dia ceria. Kasihan sih, tapi
juga nyebelin karena bikin suasana jadi kacau. Sandro diam saja, begitu
juga Krisna. "Jadi, lo lebih mendengarkan Nidya daripada permintaan kami" Emang
permintaan Nidya gak salah, tapi lo juga tahu alasan kami minta jangan
dikunci. Lo pasti ngerti!" kata Kelly supergalak karena merasa gak dianggap.
"Kenapa sih, Mahmud" Kenapa lo aneh banget?" tanya Anty tak mau kalah.
"Masa gara-gara cewek, kelakuan lo berubah banget?" Kelly menambahi
lagi. "Mm, gimana ya" Gue juga gak tahu gimana awalnya, tiba-tiba saja Nidya
sering ngedeketin gue, terus minta tolong ini-itu. Tahu-tahu deket aja,"
cerita Mahmud yang gak mau harus buka mulut daripada dibantau kami
karena merusak suasana. "Lo yakin Nidya deketin ko karena demen, bukan mau memanfaatkan
kelakuan lo yang ringan tangan dan multitalented itu?" Krisna gak tahan
ikut nimbrung setelah bisa meramau emosinya yang ikut meleduk kayak
kawah Gunung Merapi. "Yah, gue gak tahu. Gue sih...terserah dia. Uka beneran atau hanya
dimanfaatkan, yang penting gue sudah memberikan yang terbaik. Lagi pula
dia pernah bilang sayang sama gue," jawab Mahmud lagi persis kayak
orang diinterogasi. Bener-bener kayak sinetron nih. Bersamaan dengan kalimat terakhir
Mahmud, Nidya dan Adi muncul. Aje gile! Muka Mahmud langung kayak
jus jambu biji merah. Adi dan Nidya juga tak kalah syok. Tampang mereka
juga agak terpukul dengan pernyataan Mahmud.
"Begini deh, lo mau kita ngobrol untuk menyelesaikan masalah ini atau
langsung cabut aja" Gue udah muak, pusing, enek karena masalah ini," kata
Sandro dengan tampang apriori.
"Ayo, kita cabut saja. Sayang kan, sudah sampai di ini waktunya malah
terbuang percuma," Adi menjawab dengan cepat.
"Oke. Sekarang kita muter-muter Bukittinggi, nanti agak malam kita ke Jam
Gadang. Bagaimana, Bos?" tanya Rahmat dengan suara yang menyejukkan.
"Atur aja, Mat," jawab Sandro berusaha sedikit tersenyum.
Kami memang langsung berangkat, tapi komposisi duduk di mobil,
ibaratnya lagu, sudah diaransemen. Di tengah, aku, Lia, Kelly, dan Krisna. Di
belakang, Anty merelakan diri untyuk menjadi penengah dengan posisi
berselang seling. Nidya, Adi, Anty, dan Mahmud.
Sore begini cuaca cukup adem dan jalanan sepi karena memang tak banyak
mobil yang lewat. Tak banyak yang bicara dalam mobil. Yang ramai cuma
penyiar radio di dalam mobil yang berkoar-koar sok asyik.
From Sumatra With Love Karya Esi Lahur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Di sini ada mal gak ya?" tanya Anty berusaha memecah keheningan
dengan pertanyaan konyol. Kami gak menjawab karena memang gak tahu.
Belum ada yang pernah ke sini kecuali... Rahmat.
"Gak ada. Kalau mau yang enak, lebih baik kamu borong keripik sanjai yang
banyak," jawab Rahmat ramah sambul melihat ke kaca spion. Anty
gelagapan karena pemuda idamannya menjawab langsung pertanyaannya.
"Oh, keripik sanjai yang enak itu ya" Iya nih, mau beli yang banyak. Bisa
sekarang?" Anty langsung menguasai diri dan memberikan pertanyaan
yang untungnya cukup cerdas.
"Kalau sekarang gak bisa. Lebih baik besok saja sekalian pulang ke Rumbai.
Gak apa-apa, kan?" Rahmat balik bertanya dengan suara merdu. Anty, Anty,
bisa bener lo! "Besok juga gak apa-apa deh," jawab Anty centil. Krisna langsung berlagak
batuk dengan volume kencang.
"Heh, batuk sinetron lo! Ntar bengek beneran baru kapok lo." Anty
meradang, tapi dalam hati pasti bahagia.
"Kayaknya ada yang hatinya berbunga-bunga, dipenuhi bunga bangkai
nih," selaku geli. "Awas lo, Sa!" rutuk Anty.
*** Jam Gadang sudah kami nikmati, sate padang ala Bukittinggi juga sudah
kami lahap. Sekarang saatnya tidur lelap. Badan lelah tapi mata gak mau
merem juga. Pembagian kamar tidur gak ada yang berubah, namun
menurut Kelly dalam SMS-nya barusan, Mahmud dan Nidya malah tak
bertegur sapa sama sekali.
"Kok jadi kacau begini ya perjalanan kita?" Lia memulai curhat.
"Ah, biasa aja. Jangan dimasukin hati deh. Cepat atau lambat, seperti lo
bilang, kalo pergi rame-rame pasti ada kejadian begini," jawabku
membatasi curhatnya. "Tapi yang tadi sore itu memang seru. Cinta memang bikin buta. Buktinya si
Mahmud. Nidya hanya kasih perhatian seimprit, dia udah keblinger kayak
dicucuk cula badak," Anty nimbrung juga.
"Kacay juga Nidya, mental anak mami banget. Makanya Adi kesal kali
karena Nidya manas-manasin Adi dengan deket-deket sama Mahmud.
Mahmud memang target yang paling mudah dibanding Sandro yang
bengis atau Krisna yang keji," aku mencoba menganalisis.
"Jahat banget lo! Emangnya kita gerombolan narapidana?" balas Lia.
"Tapi semua kan masih dugaan. Gara-gara tadi sore kita jadi gagal
menyidang Krisna dan hari ini dia juga gak mengalami kesialan." Anty
berusaha mengingat-ingat semua kejadian yang menimpa Krisna hari ini.
"Masih sebel sama Nidya, Li?" tanyaku sambil membenamkan diri dalam
selimut yang tebal. "Sekarang masih. Kalau dia berubah, ya gue kurangi juga kesebelan gue.
Gak ngerti gue kenapa dia kekanak-kanakkan gitu. Moron!" rutuk Lia.
"Sudah, sudah, tidur. Jangan ngomongin yang jelek-jelek deh, nanti bisa
mimpi buruk. Semoga gue mimpi indah. Mimpiin Rahmat," harap Anty
dengan tatapan berbinar campur berair karena menguap melulu.
Hari yang panjang. Super melelahkan lahir-batin. Semoga besok ada
keajaiban yang bisa bikin kami kompak lagi, paling tidak seperti waktu
berangkat. *** Klining...klining...klining... Suara keliningan sapi berbunyi ramai di dalam
mobil. Itu suvenir gantungan kunci, salah satu belanjaan kami yang dibeli di
pasar di sekitar Jam Gadang.
Tadi pagi setelah sarapan kami langsung check out dari hotel. Waktu kami
tak banyak. Malam ini kami balik sehingga besok pagi tiba di Rumbai.
Besok sore kami beli tiket bus malam untuk pulang lusa. Nada homesick
sudah mulai terdengar. Tapi sebelum ngomongin besok, jalani dulu hari
kedua belas ini. Aku benar-benar berharap tidak ada keributan lagi.
Memang awalnya seru sih, tapi lama-lama menyebalkan. Niat kami jalanjalan kan untuk senang-senang, bukan untuk terapi kejiwaan!
Karena terburu-buru kami gak mampir, melainkan hanya melewati Ngarai
Sianok yang indah itu. Kami singgah di Benteng Fort de Kock, lalu jalan kaki
menyeberang jembatan Lilampek. Tapi tunggu dulu!
"Kris, sandal lo ketinggalan, ya" Kok sandal jepit hotel lo embat?" tanyaku
yang berjalan bersebelahan dengan Krisna di atas jembatan Lilampek
setelah berfoto-foto seperti biasa.
"Semalem tali sandal gunung gue putus. Emang udah uzur sih, tapi kenapa
putusnya pas di sini ya?" cerita Krisna datar.
"Sekarang sandal lo di mana" Dibuang"' tanyaku sok berempati.
"Dibuanglah. Disimpan juga gak bisa. Biar deh, nanti pulang dari sini gue
malah bisa beli yang baru, hehehe...," jawabnya menghibur diri.
Tuh kan! Berarti kemarin dia sial lagi. Tapi hari ini kami gak mungkin
menginterogasi dia karena jadwal "biro perjalanan maut" ini begitu padat.
Aku mulai yakin Krisna memang berbohong.
Ternyata di seberang benteng ada kebun binatang mini dan miniatur
rumah gadang. Kirain mau melihat apaan. Kalau hanya binatang, di Jakarta
malah lebih lengkap. Tapi Sandro terkesan banget saat melihat harimau,
buaya, dan beruang. "Maaf ya, gue bukannya mau mengganggu kesenangan kalian melihat
rekan seperjuangan yang lagi dikerangkeng. Kalau kalian pengen lihat lebih
dekat, bisa ke kebun binatang Ragunan atau ke Taman Safari. Gimana?"
kataku dalam nada superlembut namun tersenyum geram.
"Iya, Non. Ini juga kita mau berangkat," jawab Sandro tidak marah, tapi
malah mau ngakak. "Ke mana?" tanya Lia.
"Istana Pagaruyung," jawab Rahmat sambil, lagi-lagi, memamerkan lesung
pipinya. "Ty, kayaknya Tuhan mengirimkan dia supaya otak kita gak butek
menghadapi cowok-cowok barbar dan gak mutu, ya," bisikku pada Anty.
"Setuju!" teriak Anty.
"Setuju, setuju, setuju apaan" Lo kira kita lagi rapat RT?" semprot Sandro
kesal karena kena muncratan Anty.
"Hari yang cerah begini, lo jangan galak-galak dong. Itu namanya in-ti-mida-si," Kelly mencegah keributan sambil mengajak semua masuk mobil
dengan komposisi duduk seperti kemarin malam.
"Gue mau intimnya, tapi dasinya gue kasih ke Adi. Gimana, Bro" Terima gak
dasi gue?" jawab Sandro.
Dasar Aldi telmi, dia malah bengong. "Dasi apaan" Emangnya masuk Istana
Pagaruyung mesti make dasi?" tanya Adi bego. Kami semua terbahak.
Setelah agak lama, baru deh Adi tertawa.
*** Istana Pagaruyung memang keren. Tapi kami kurang bisa menikmati,
karena selain arsitektur yang cantik dan ukiran yang indah, bagian
dalamnya biasa aja. Selain itu, karena musim liburan, pengunjungnya pun
ramai. Saking ramainya tidak ada petugas yang memedulikan tau melarang
anak-anak menendang-nendang bola di dalam istana.
"Mana sih ortunya" Memang gak bisa dibilangin apa anaknya?" Krisna
ngedumel melihat keriuhan anak-anak itu. Pasti di dalam lubuk hatinya
yang terdalam dia mau menghajar, minimal memarahi anak-anak itu biar
kapok. Halaman istana itu kan luas banget, mainnya di luar saja.
Dari istana kami berencana menuju Danau Maninjau. Tapi waktu mau
keluar parkir, kami ketiban maslah lagi. Rahmat sudah membayar seribu ke
tukang parkir yang berseragam resmi. Eh, tahu-tahu ada tukang parkir lain
yang minta uang sepuluh ribu karena katanya dia sudah menjaga mobil
kami. Kami jelas menolak. Sandro yang duduk di depan bilang sudah bayar,
Rahmat juga sudah menolak dalam bahasa setempat. Tapi preman buluk
itu memaksa. Rahmat nekat mengegas mobil dan ngebut meninggalkan
lapangan parkir sementara preman tadi kaget dan hanya bissa
menyumpah-nyumpah. Melihat aksi taktis Rahmat, tanpa sadar cewekcewek bersorak dan memberi tepuk tangan meriah.
"Heh, kalian pada kenapa sih?" protes Krisna empet.
"Kenapa" Sirik, ya" Sewot nih yee," timpal Kelly tertawa-tawa.
"Udah bagus kami gak pake standing ovation," sambungku geli.
"Standing ovation apaan sih?" tanya Anty sambil nyengir.
"Yahj, itulah kalau kita tidak berada dalam level IQ yang setara," celaku
sadis. Rahmat terkikik. "Emang enak diketawain Rahmat?" Sandro ikut menambahi dengan wajah
puas. "Jadi, standing ovation apaan dong?" rengek Anty.
Melihat semangat belajar Anty yang tinggi, Lia pun tak sampai hati. "Itu lho,
penonton tepuk tangan sambil berdiri ramai-ramai. Kayak di piala Oscar,"
jawab lia sikat dan padat kayak ngisi esai ulangan.
"Kalau sendirian berarti bukan, ya?" Anty memastikan.
"Kalau sendirian ya tepuk tangan biasa. Udah" Puas, lo?" sambungku judes.
"Pernah lihat penyerahan Piala Oscar gak" Atau tontonan favorit lo cuma
lenongan" Pasti besok 17-an lo mau praktik standing ovation di RT lo, kan"
Ngaku aja deh," serbu Krisna.
Anty tak menjawab berondongan cercaan Krisna yang lebih menyakitkan
daripada tembakan timah panas. Anty hanya membalasnya dengan
mencibir. Perjalanan menuju Danau Maninjau masih panjang. Kata rahmat, kami akan
melewati Kelok Sembilan dan Kelok 44. Itu berarti nyetirnya harus
superawas dan para penumpang haru bersiap-siap supaya jangan sampai
muntah. Benar saja. Kelokannya tajam-tajam dan ada batu yang bertuliskan nomor
kelokan. "Ada yang punya plastik kosong gak?" tanya Adi.
"Emang kenapa" Lo mau muntah?" tanya Anty cepat dan panik karena dia
duduk tepat di sebelah Adi.
"Bukan. Nidya mau muntah," jawab Adi pelan.
Dalam hati aku merutuk. Teman-teman yang lain juga mungkin kesal. Minta
sendiri memangnya gak bisa ya, pakai nyuruh-nyuruh Adi segala. Dasar
cemen. Ujuk-ujuk Mahmud memberikan plastik dari dalam tasnya. Mau gak
mau Adi dan nidya menerimanya karena yang lain gak ada yang
menggerakkan tangan untuk mencari plastik.
Tiba-tiba Krisna nyeletuk, "Tokcer juga lo, Mud. Baru kemarin sore,
sekarang ydah jadi."
Rahmat langsung tertawa geli. Kami yang tadinya bingung mau ketawa
atau diam jadi mendapat kesempatan tertawa tapi tanpa komentar apapun.
Sungguh, aku gak berani melihat wajah Mahmud dan Nidya yang pasti
malu. Danau Maninjau belum terlihat, eh kami malah mencium semerbak bau
bensin. Apakah ada masalah dengan mobil kami"
"Mobil depan kali tuh, kan udah rongsokan," tuduh Kelly. Memang bener.
Mobil boks di depan kami bukan hanya kotor, tapi lebih tepat kumuh
banget. Untungnya Rahmat gak gegabah dan berhenti dulu di parkiran hotel yang
ada di dekat situ. Gak tahunya memang mobil kami yang berasap dan
remnya blong. "Tadi memang sudah terasa gak enak, tapi aku kira perasaanku saja," kata
Rahmat sambil memandang mesin mobil yang asapnya mengepul.
"Ah, gak apa-apa kok," kata cewek-cewek, minus Nidya, nyaris bersamaan.
Sambil mengelus dada Sandro menyahut, "Dasar cewek-cewek kesambet.
Coba kalo gue yang bikin salah, pasti sudah kalian kutuk habis."
"Sirik tanda tak mampu. Tapi keluhan pria sarat tragedi kayak lo akan kami
pertimbangkan," kata Anty sok.
Sebenarnya Sandro mau membalas, tapi karena melihat Rahmat terkiki, dia
hanya bisa menarik napas panjang sekali. Mahmud kembali tampil menjadi
bintang. Dia segera mengecek mesin mobil. Tahu ah! Aku gak ngerti. Adi
juga asyik berduaan dengan Nidya di bawah pohon yang ada di lapangan
parkir itu. Krisna hanya bengong, gak tahu mau membantu apa. Sandro dan Rahmat
sok sibuk jadi asisten Mahmud.
"Kris, daripada bengong kayak penunggu rumah gadang, mendingan lo ke
sini deh, gabungan sama kami," ajak Kelly. Mau gak mau Krisna bergabung
dengan kami yang berda di emperan lapangan parkir.
"Kalian gak nemenin Nidya" Lama-lama kasihan juga lho," kata Krisna
pelan. "Kasihan itu awal dari cinta," jawabku tak acuh.
"Dia aja maunya berduaan. Nanti kalo menganggu kemesraan mereka,
dibilang perusuh," tambah Kelly.
"Suasananya jadi gak sekompak waktu kita baru berangkat, ya?" Krisna
mencoba sabar. "Mana kita tahu dia bakal supermanja" Kalau dia anaknya Sultan Bolkiah
sih, manja no problem, dayang-dayangnya juga sepeleton," ujar Kelly
meladeni Krisna. "Susah deh ngomong sama cewek-cewek sinting kayak kalian. Lebih
gampang ngerobohin Tembok Cina," balas Krisna.
"Eh, hari ini lo udah sial lagi belum?" tanyaku mengeluarkan rasa ingin
tahuku. "Nyumpahin, ya?" Krisna balik bertanya dengan tampang duka.
"Jangan lo waktu main Truth or Dare di Danau Toba bohong, makanya kena
kutukan beneran," timpal Kelly.
"Bohong gimana" Eh, tapi kalau hari ini gue sial lagi, nantui gue coba lihat
deh, apa ada yang gak sinkron antara hati dan mulut gue. Ceilee... Gombal!"
Krisna menyoraki diri sendiri.
"Idih, lo ngapain sih" Sorak-sorak sendiri kyak gitu. Menurut gue sial itu gak
ada. Yang ada kita teledor, makanya jadi berantakan, terus kita bilang sial,"
kata Lia panjang lebar. "Lagu lo, Li, kayak engkong-engkong pemikir dari Yunani." Anty tak mau
kalah. "Bahasa lo tuh, Ty! Masa engkong-engkong" Filsug gitu, biar lo keliatan
agak terpelajar." Rupanya Lia kesal sama Anty yang sering asal njeplak.
"Iya deh, cewek pilihan Krisna tapi hatinya doang. Eh, kalo gue sih
tersinggung cuma dipilih hatinya. Dalam hati pasti gue bertanya-tanya.
Memangnya fisik gue kenapa" Apakah kayak setrika atau...," Anty berusaha
mematikan Lia. "Stop! Stop! Jangan cari masalah baru," potong Kelly cepat.
"Iya, cari topik baru aja deh. Pusing gue denger omongan lo, Ty," kataku
sebelum Anty kebablasan sintingnya.
"Heran deh, kalau gue memberikan pemikiran orisinal, gak ada yang mau
denger," kata Anty sok ngambek.
"Kalau orisinal inovatif sih gak apa-apa, lo kan merusak," Krisna
menambahi. "Kayak gue gini aja, Ty. Kegilaan gue gak merusak tapi menambah
keceriaan suasana," kataku sambil berdiri. Pegal duduk terus.
"Untung lo sadar, otak lo rada miring," komentar Kelly.
"Dengar ya, saudara sebangsa dan setanah air yang beda RT, gue disebut
gila pada masa kini, tapi di masa depan orang akan menyebut gue jenius.
Iya toh?" kataku tak mau kalah. Perang mulut yang superkonyol tak
terhindarkan di antara kami. Tapi diwarnai canda tawa bukan air mata.
"Woooii, para tukang bikin onar! Mobil sudah beres nih!" teriak Sandro
gembira. "Horeee!" Kami berhamburan ke arah mobil kayak orang udik baru melihat
pesawat. Rahmat menjajal mobil hasil ketok magic-nya Mahmud. Setelah
beberapa kali berputar-putar di parkiran mobi. Rahmat mengancungkan
jempol ke arah kami sambil tersenyum. Gubraaak! Gantengnya minta
ampun. Melihat para cewek tersipu, Krisna dan Sandro hanya bisa gelenggeleng kepala perlahan.
"Kami maafin deh kelakuan lo kemarin sore, Mud. Tapi maafnya untuk hari
ini aja, ya," kataku sambil masuk ke mobil.
"Heh, lo berdua mau ikut atau mau bertapa di bawah pohon?" teriak Kelly
ke arah Adi dan Nidya yang masih asyik berduaan. Mereka pun langsung
berlarian ke mobil tanpa mampu membalas omongan Kelly.
*** Ternyata Danau Maninjau tak jauh dari hotel tadi. Di sekitar danau banyak
pengasong telur burung puyuh rebus, aneka gorengan, dan kerang rebus.
Karena perut kami lapar tak terkendali, dagangan si uda pun ludes dalam
sekejap. Uda telur puyuh itu kayaknya bahagia banget sampai ngucapin
terima kasih enam kali. "Lo dari tadi makan telur melulu. Nih, cobaik kerang," Anty menawariku.
"Ogah ah. Kalau makan kerang, perut gue langsung mules. Trauma gue.
Keren kan trauma kerang?" kataku sambil melahap satu butir telur lagi.
From Sumatra With Love Karya Esi Lahur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Apanya yang keren sih" Enak, tahu. Ini cobain," paksa Sandro.
"Dasar Ande-Ande Lumut! Dibilang gue gak mau kok dipaksa. Nanti aja ah
makannya, kalo udaj ketemu rumah makan Padang," tolakku sewot.
Heran deh, kalau kita banyak rencana, kayaknya waktu berjalan cepat
banget. Tapi kalau kita bengong, justru jam seperti gak bergerak.
Saat mau pergi dari danau sempat ada masalah dengan tukang parkir lagi.
Karena tahu kami mau kabur, mobilnya malah ditendang. Lha, masa parkir
sebentar saja minta lima ribu. Bukannya pekit, tapi kan ngeselin dipalak
kayak gitu. Jalanan yang sepi ternyata menguntungkan. Kami bisa berfoto-foto dan
menggila di sawah orang, bahkan di tengah jalan raya. Kami sempat
mampir ke pantai ketika hari sudah gelap.
"Pantai apaan nih?" tanya Anty padaku.
"Mana gue tahu. Lo kate gue Nyi Blorong," jawabku sembarangan.
Rahmat yang ditanya Sandro juga gak tahu. Bodo amat lah. Mobil diparkir
tepat di bibir pantai. Yang bisa kami lihat hanya ombak kecil. Itu pun
ngeliatnya dengan sorotan lampu depan mobil.
"Sudah deh, gak ada bagus-bagusnya nih. Masa pemandangannya seuplik
gitu. Mendingan juga ke Ancol. Udah gitu nama pantainya juga gak ada
yang tahu, lagi. Sepi banget nih," kataku waswas. Untung yang lain sepakat.
Setelah foto-foto dalam gelap-gambarnya juga gak bisa menunjukkan kami
lagi di pantai-kami langsung cabut lagi.
"Mobil gak bisa jalan nih," kata rahmat sewaktu mencoba memundurkan
mobil. Rupanya ban belakang mobil kelelep. Semakin dicoba untuk
dijalankan, semakin kelelep butiran pasir. Gawat nih.
Kami bergegas turun dari mobil. Mahmud langsung mengeluarkan
dongkrak, lalku memasangnya di dekat ban belakang. Erulang kali dicoba,
tetapi tak berhasil mengangkat mobil keluar dari pasir. Gawat! Tidak ada
suara ribut di antar kami. Semua bahu_membahu mengangkat mobil dari
kepungan pasir. Keringat bercucuran. Selagi kami berusaha, tiba-tiba
datang seorang bapak tua dan dua orang berbadan besar. Tanpa ba-bi-bu
mereka langsung mengangkat bagian belakang mobil. Ban berhasi keluar.
Rahmat dengan cepat menjalankan mobil. Ketika kami mau mengucapkan
terima kasih, ketiga penolong itu sudah tak kelihatan.
"Orang-orang tadi siapa, ya?" tanya Sandro saat kami sudah keluar dari
pantai. "Baik banget ya, tapi datengnya dari mana" Pas mereka dateng tadi gue
udah sempet berpikiran buruk. Jangan-jangan mereka mau minta duit atau
ngerampok. Eh, gak tahunya malah ngebantu tanpa basa-basi," kata Krisna
rada terharu. "Kalau gitu kita sebut malaikat pantai saja," tambahku masih agak
merinding karena jejak mereka sama sekali gak ada.
*** Habis merinding, kami pesta keripik. Ya, keripik sanjai yang merah dan
pedas. Yang bikin keringetan tapi lezat. Di seopanjang jalan Soekarno-Hatta
melimpah pedagang snack. Berbagai jenis keripik tumpah ruah. Enaknya,
pengunjung bisa icip-icip gratis sebelum membeli.
Kulihat Sandro gak berhenti mencicipi aneka keripik padahal dia gak ada
niatan beli. Yang belanja dalam jumlah besar hanya cewek-cewek. Memang
sih para cowok juga ikutan beli, tapi gak sekalap cewek-cewek.
"Ingat ya, mobil kita sudah sempit. Jangan kebanyakan belanjanya," tegur
Sandro pelan. "Inget juga ya, antara icip-icip dengan ngembat dagangan orang
terbentang dinding yang tipis. Setupis kulit bawang!" semprotku ke kuping
Sandro dengan pelkan tapi tegas. Sandro bengong. Sudah bagus keripik
bayam yang baru ditelannya gak bikin tersedak.
Setelah puas memborong aneka keripik, kami kembali melanjutkan
perjalanan. Di mobil dalam perjalanan menuju Rumbai, kami asyik ngemil.
Ini salah satu cara agar gak ketiduran karena kasihan Sandro, yang
sekarang gantian mengemudi, haruk melek sendiri.
"Kayaknya kita harus cari pom bensin," ujar Rahmat setelah sekilas melihat
tanda indikator solar. "Tapi makan malam dulu deh supaya perasaan tenang," ajak Sandro yang
berusaha menenangkan diri plus perutnya yang sudah rindu makan porsi
besar, bukan sekedar keripik-keripik pemanis usus.
Kami masuk ke rumah makan Padang untuk memesan sate dan soto
Padang. Sembari menunggu pesanan, Mahmud memaksa untuk memijat
Rahmat. Si ganteng itu pun gak menolak. Dengan sigap Mahmud memijati
pundak, punggung, dan pinggang rahmat sementara kami memilih berdiri
karena sudah pegal duduk.
Begitu makanan tiba, kami segera duduk manis dan langsung makan
dengan lahap kayak korban bencana yang sudah ditelantarkan berhari-hari.
Soto Padang yang super pedas malah bikin kami makan nasi gak kira-kira
banyaknya. Anty makan dua piring, sama kayak anak-anak cowok. Lia hany
makan sate karena perutnya sudah kepenuhan keripik. Sehabis makan kami
bagaikan baterai yang baru di-charge.
"Semoga ada pom bensin di dekat sini," ujar Rahmat harap-harap cemas.
"Mud, lo sanggup gak dorong mobil ini sampai di Rumbai?" tanya Kelly.
"Kacau lo, Kel. Kayaknya lo perlu cuci otak deh," kata Lia.
"Kalau itu di anggap kejam, nati pas mobil kita benar-benar kehabisan
solar, tplong lo cari tukang solar terdekat plus jerikennya," Kelly berusaha
meralat namun kekejamannya tak berkurang.
"Jeriken" Apa hubungannya sama solar" Jeriken kan yang mimpin paduan
suara?" Adi nimbrung.
"Lo jangan garing deh," sergap Anty.
"Eh, gue beneran nih," jawab Adi lemah.
"Yang mimpin koor itu dirigen, Adi anakku sayang," jawab Anty bete.
"Berarti selama ini gue salah dong. Tapi tukang bensin dekat rumah gue
kalau gue bilang dirigen kok ngerti ya?" Adi balik bertanya.
"Interogasi aja tukang bensin itu," cibir Anty.
"Huu... Lo baru bener sekali aja udah kayak juara Kumon nasional," protes
Adi tak terima dihina Anty yang dianggap terbolot.
"Kumon apaan sih?" giliran Anty yang bolotnya kumat.
"Lo pada cerdas cermat berdua deh. Kami yang jadi dewan juri. Kok
pengetahuan kalian berdua agak dangkal ya" Nilai kelulusan SMP kalian
patut dipertanyakan tuh," Kelly menengahi. Biarin deh pada ribut karena
siaran radio sudah tidak tertangkap lagi.
"Payah banget lo, Ty. Kumon aja gak tahu. Lo tinggal di daerah mana sih?"
cecar Adi. "Jahat banget lo. Orang nanya aja dipersulit, gimana kalau minta
sumbangan. Pasti lebih menyakitkan lagi jawabannya. Kumon" Oh... Kutu
montok, ya?" Anty mencoba menjawab. Kami semua ngakak sampai perut
melilit. Di jalanan yang sepi kami melihat rambu pom bensin. Perasaan langsung
lega karena berarti perjalanan kami bakal aman. Tapi sampai di tempat
yang sesuai dengan petunjuk kami bengong. Pom bensinnya belum jadi.
"Gawat, gawat, mana solarnya sudah tipis banget, lagi," kata Sandro cemas.
"Jangan takut. Nanti aku tanya orang. Siapa tahu di depan ada warung,"
Rahmat berusaha menenangkan.
Kami yang duduk di belakang perasaannya sudah campur aduk. Antar
senang dengan daya juang Rahmat, mau bertahan gak tidur tapi mata
sudah lima watt, serta panik gara-gara solar menipis. Rasanya gak tahu mau
ngomong apalagi supaya senmangat kami meningkat. Sebenarnya Rahmat
juga sudah tepar, makanya dia minum minuman berenergi.
"Sudah berapa kaleng lo minum?" tanya Sandro yang di rumah makan tadi
minum dua gelas kopi kental.
"Gak ngitung, tapi abis dapat solar aku tidur dulu ya supaya tengah malam
segar lagi dan bisa gantiin nyetir," jawab Rahmat. Aih, sudah ganteng, katakatanya pun membawa ketenangan bagi kami. Tak jauh dari pom bensin
yang belum jadi itu ada warung dan pemiliknya bilang tak jauh dari situ ada
pom bensin. Leganya! Satu maslah teratasi. Namun, masalah lain datang.
Di sebuah kelokan sempit, jalan dua arah macet total. Entah ada apa.
Rahmat turun dari mobil dan berlari ke depan untuk mengetahui penyebab
macet. "Untung Rahmat penuh vitalitas dan lincah," puji Anty yang matanya jadi
segar setelah melihat gerakan Rahmat. "Iya, tuh anak kuat banget. Kita
sudah teler tapi dia masih bugar gitu." Tambah Kelly.
"Ty, siaopa aja nih yang udah pada almarhum?" tanyaku lemah.
"Pasangan tekukur udah tidur bergenggaman tangan dari tadi. Mahmud, lo
masih hidup, kan?" Anty berteriak di kuoing Mahmud yang kesadarannya
udah mulai hilang. "Apaan sih, Ty, gue ngantuk nih," jawab Mahmud lemas.
"Ty, jangan ganggu orang tidur." Tegur Sandro dari depan.
"Tumben lo ngebela Mahmud," tanggap Anty gak terima dimarahi.
Rahmat kembali saat hujam turun rintik-rintik.
"Tenang saja. Nanti jakan kok," kata Rahmat sambil menutup pintu.
"Macet banget di depan?" tanya Sandro.
"Lumayan. Tapi udah ada polisi," jawab Rahmat.
"Hebat bener polisi di sini. Sudah malam, hujan, masih tugas. Coba kalau di
Jakarta" Pas tempo hari hujan deras hingga banjir dan jalanan macet total,
polisinya malah ngilang kayak drakula dikasih bawang putih," puji Kelly
dibumbui kutukan-kutukan.
"Ampun deh, Kel, udah ngantuk berat tapi lo masih bisa nyumpahi polisi,"
kata Krisna yang tak kalah letih. Kelly terkikik.
"Tapi bener juga lo, Kel, kalo dikasih duit baru deh tuh polisi pada nyengir.
Pengen gue lemparin tomat busuk, gitu," tambah Anty yang mulai terasah
sifat anrkisnya. "Daripada nyiapin tomat busuk, mending lo gak udsah melkanggar
peraturan lalu lintas. Beres, kan?" imbuh Lkia, seperti biasanya dalam nada
bijak. Masalah seolah gak ada habisnya. Setelah terbebas dari macet, turun kabut
dan hujan yang luar biasa deras. Perasaan jadi terbelah antar waswas
terhadap keselamatan perjalanan dan godaan udara dinggin yang enak
untuk tidur. Ternyata satu per satu mulau terlelap. Mahmud dan Anty tidur
bersusulan. Lalu Krisna dan lia juga terlelap. Si ganteng yang ada di depan
juga tidur. "Kel, udah ya, gue gak kuat lagi," kataku langsung blek! Tidur nyenyak.
Kami menggantungkan nasib di tangan satu orang.
*** "Sebentar lagi sampai. Kita sudah masuk Rumbai!" teriak Sandro
membangunkan kami. Hujan masih deras. Pukul 05.17.
Aku terbangu, Lia juga. Kelly ternyata masih terjaga.
"Lo semedi, Kel?" tanyaku.
"Gue gak bisa tidur. Gak tenang," jawab Kelly sambil memelototkan mata.
Kulihat Rahmat dibelakang setir berusaha bertahan meski matany sudah
memerah. Semoga kami cepat sampai.
*** "Horeee!! Home sweet home!" teriak Sandro di tengah kencangnya dru
hujan. Suara badainya sekaligus menjadi alarm bagi yang lain. Satu per satu
terbangun sementara orangtua Sandro sudah menunggu di teras rumah.
"Woooiii, Anty, bangun lo! Tidur kayak fo
sil dinosaurus!" Kelly
mengguncang-guncangg tubuh Anty. Yang dibangunkan mulutnya
langsung monyong. Sambil mengangkat barang-barangnya, Anty turun
dari mobil persis kayak pengungsi.
"Mat, masuk saja duluan. Tidur sana," suruh Sandro melihat Rahmat yang
sudah capek berat. "Iya, Mat. Ayo tidur dulu. Atau mau sarapan dulu?" Mama Sandro ikut
mengurusi Rahmat. "Iya deh. Aku tidur duluan ya. Udah gak tahan nih," kata Rahmat pamitan
pada kami sambil berjalan cepat ke dalam rumah.
Ada lagi yang ikutan masuk dengan lenggang kangkung padahal kami plus
orangtuanya Sandro bahu-membahu mengangkati barang belanjaan ke
dalam rumah. Nidya. Bahkan tasnya sendiri pun ditinggal begitu saja.
Mahmud pura-pura tidak melihat ransel itu dan sok sibuk membawa
kantong-kantong belanjaan. Adi, yang bengong melihat melesatnya Nidya,
akhirnya membawakan ransel itu.
"Sini, Di. Kita umpetin aja, ya" Keterlaluan banget," kata Sandro. Adi
mengangguk pelan. Mungkin dia juga mau memberi pelajaran pada Nidya.
"Bagus! Biar dia kapok!" tegas Lia.
Atas kesepakatan bersama, Sandro menyembunyikan ransel Nidya di
belakang sofa ruang tamu. Setelah semua barang diturunkan dari mobil,
ternyata semua memilih tidur ketimbang sarapan. Mata betul-betul gak
bisa di ajak kompromi. Bab 9 Hari Ketiga Belas, Hari Penghakiman
Matahari sudah tinggi saat kami bangun. Perut lapar dan keroncongan
tidak bisa dibiarkan. Tanpa sikat gigi semua menuju ruang maka. Mamanya
Sandro sudah menyiapkan martabak Mesir, telur bebek goreng, kari
kambing, dan es buah. Dasar ibu-ibu, mama Sandro senang banget
makanannya kami lahap. Aku merasa sudah terlalu banyak mengambil
kerupuk udang yang selebar CD. Tiga buah! Tapi ternyata ada yang lebih
maniak, siapa lagi kalau bukan Anty" Dia sudah makan enam kerupuk
udang. "Mana Rahmat, Ndro?" tanya Lia.
"Masih tidur. Buset, nyenyak banget tidurnya. Kayak bayi," jawab Sandro
sambil menyeruput es buah.
"Kalau gue pasti gak tahan. Mending bantu yang lain deh," timpal Mahmud
yang juga bisa nyetir dan sering membawa mobil Krisna sewaktu kami
bersama-sama ke mal di hari Sabtu atau sepulang sekolah yang besoknya
tanggal merah. "Tadi tas gue udah dibawa turun?" tanya Nidya pada Adi yang duduk di
sebelahnya. "Mmm... Gak tahu. Bukannya lo yang bawa?" Adi balik bertanya dengan
mata yang hanya berani menatap makanan di piring. Yang lain pura-pura
tuli dan asyik makan. "Lho, kok belum" Tadi gue kira lo yang bawain, abis gue ngantuk banget,"
jawab Nidya cemberut. "Wah, gue gak tahu. Tadi pas lo turun kan gue lagi ngangkutin kantong
belanjaan. Ransel gue juga udah gue bawa jadi gue gak ngecek lagi ke
barisan belakang. Gak tahu deh yang lain pada lihat gak?" Adi
melemparkan masalah tas ke kami.
"Gue kira lo juga udah bawa. Mana gue perhatiin," jawab Anty yang tadi
duduk di barisan belakang.
"Gimana sih nih" Mud, lo lihat tas gue?" tanya Nidya kian panik.
Makanannya langsung gak disentuhnya sama sekali. Dan ini kali pertama
dia ngomong dengan Mahmud setelah peristiwa "penggerebekan" di
Bukittinggi. "Gak. Gue gak tahu," jawab Mahmud dengan singkat tanpa memandang
wajah Nidya sama sekali. Mungkin Mahmud masih sakit hati karena tibatiba saja Nidya berpaling lagi ke Adi.
"Gimana sih kalian" Bukannya pada ngecek mobil, lihat ada yang
ketunggalan atau gak," kata Nidya marah. Nada suaranya seperti mau
menangis. "Eh, lo aja yang punya barang gak peduli. Kenapa kami mesti peduli?"
jawab Sandro keras. Mama Sandro yang dari tadi mondar-mandir melihat
cukup-tidaknya makanan, pasti mendengar pertikaian kami. Cuma beliau
gak enak hati untuk nimbrung atau melerai.
"Iya. Kok lo malah nyalahin kami?" tambah Lia ikutan sewot.
"Emang kami pembantu lo?" Kelly ikut protes, bikin suasananya bertambah
panas. "Eh, sori ya. Cuman ngomongin masalah remeh kayak begini ntar aja deh.
Gak ngenak-enakin orang makan nih," protesku sambil mengambil
potongan martabak lagi. "Setuju!" teriak Krisna tertawa-tawa.
"Tante, martabaknya bikin sendiri atau beli?" tanyaku pada mama Sandro
yang datang mengambil piring kosong bekas wadah telur bebek goreng.
"Beli. Tante gak bisa beli martabak sendiri. Besok sebelum pulang kita ke
restorannya yuk," ajak mama Sandro.
"Iya, Ma, besok aja. Tiket aja sampai sekarang belum punya," kata Sandro.
"Lho, kamu mau ikutan balik ke Jakarta besok?" tanya Mama Sandro yang
selama ini bolak-balik Jakarta-Riau untuk menemani Sandro tinggal di
From Sumatra With Love Karya Esi Lahur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jakarta dan akhir pekan balik ke Riau.
"Gak kok. Tenang aja," jawab Sandro bak anak manis. Dia sih enak karena
papanya kerja di Caltex, pulang dengan pesawat kantor gratis!
Aku melirik Nidya yang masih sewot. Tangannya mengaduk-aduk makanan
di depannya dan matanya agak berkaca-kaca. Wah, sinetron banget nih.
Mama Sandro meninggalkan kami ke dapur.
"Hari ini kita ngapain selain beli tiket?" tanya Kelly semangat lagi. Perut
kenyang, hati senang. "Istirahat aja deh, gue masih tepar nih," jawab Krisna.
"Huh, dasar pria lemah," semprot Kelly tak puas.
"Kel, kami juga capek nih. Lo kan biasa kerja di perkebunan, jadi gak kerasa
capeknya," imbuhku usil.
"Ngaco lo!" kata Kelly sambil tertawa.
"Terus tas gue gimana dong?" Nidya masih ngeyel dengan tatapan gak
merasa bersalah. "Begini deh, daripada lo mengacaukan suasana liburan kita melulu, nanti lo
kasih nomor telepon penyewaan mobil Caltex dan lo tanya ke mereka soal
tas lo," jawab Sandro. Otak jailnya mulai keluar.
"Jangan gue dong yang telepin. Kan lo yang kenal," elak Nidya.
"Gue juga gak kenal. Bokap gue yang kenal. Terus kalo lo gak mau usaha, lo
mau nyuruh bokap gue?" tanya Sandro dengan nada tinggi.
*** Habis makan kami mandi dan langsung mencari tiket bus malam. Kami
semua" No, no, no. Si Miss Manja tinggal di rumah karena mau menelepon
penyewaan mobil Caltex. Adi menemaninya sembari kami ancam, kalau dia
buka mulut akan terjadi perang besar. Rahmat masih pulas, sama sekali gak
terbangun meskipun anak-anak cowok bolak-balik ke kamar.
Kami sepakat pulangnya akan menghakimi Nidya. Kami tidak bermaksud
jahat, tapi melatih dia supaya mengurangi manjanya. Sejelek-jeleknya, kami
sudah lumayan mandiri lho.
Dasar pada edan. Setibanya di rumah Sandro setelah membeli tiket, gak
ada satu pun yang mananyakan Nidya tentang nasib tasnya. Kami malah
ramai-ramai tertawa. Sebenarnya ketawa-ketawanya sengaja dibikin-bikin
supaya Nidya makin panas.
"Anak-anak, mau ikut Tante ke Pasar Bawah gak?" tanya mama Sandro.
"Pake dua mobil lagi, Tan?" Kelly balik nanya.
"Ah, gak usah. Cewek-cewek aja yang ikut," jawab mama Sandro sambil
mengambil kunci mobil dari tangan putranya.
"Terus kami ngapain, Ma?" tanya Sandro bingung. Maksudnya
mempertanyakan kejelasan nasib cowok-cowok bila ditinggal pergi.
"Temenin Rahmat. Kan kasihan kalau dia bangun gak ada orang di rumah.
Itu, Mama sudah siapkan pisang goreng dan es cendol di kulkas kalau
kalian mau ngemil. Ayo, kita berangkat," ajak mama Sandro semangat. Kali
ini Nidya mau gak mau ikut.
"Daah! Kami tinggal dulu ya! Mau nitip apa?" tanya Anty kecentilan seperti
biasa. "Kalau kalian masih punya hati nurani sih, kami dibeliin apaan, gitu," jawab
Krisna. "Oke, asal pisang gorengnya jangan dihabisin, ya," janji Lia.
*** Dasar cewek. Cuman melihat barang-barang impor dari Malaysia dan
Singapura dengan harga miring saja sudah senang banget. Dari baju, tas,
keramik, elektronik, sampai aneka makanan. Karena harganya serba gak
terjangkau, kami memutuskan beli makanan saja. Anty beli snack sejenis
Chiki rasa durian made in Malaysia. Nidya sama sekali tidak belanja.
Mungkin pikirannya masih mengawang ke tasnya yang kenyap atau malah
dia sudah tenang karena Adi sudah memberitahukan keusilan kami.
Entahlah. Lia beli permen susu bergambar udang. Pas di mobil kami cicipi, gak tahuny
rasanya kacang doang, tapi bentuk permennya kayak kepompong,
tengahnya bolong. Aku mengirim SMS pada Sandro saat di mobil menuju perjalanan pulang.
Tanya Adi, apa dia udah bocorin"
Bagus, Sandro langsung membalas.
Emang kenapa" Kok Nid diem-diem aja. Lebih nyante gitu.
Ntar deh gue cek, oke. Tak lama kemudian datang lagi SMS dari Sandro.
Dah nyampe mana" Mana gue tahu. Dasar! Adi ngaku. Dia ksh tahu tas udh dtrunin tp diumpetin.
Dengan geram aku mengetik SMS balasan:
PENGKHIANAT!!! Ntar langsung ke atas aja, kmi lg pda di atas kok.
Enak aja. Pisgor 'n cendolnya gmna"
Barbar. Iya gue bawa ke atas sekalian.
*** Benar-benar pesta makanan. Aneka snack dari belanja tadi plus pisang
goreng dan es cendol yang dicampur dengan ketan, tapai, dan alpukat,
dijamin sedap dan segar serta sukses membuat kami gendut. Rahmat
makan banyak karena gabungan sarapan dan makan siang.
"Gimana, Mat" Nyawa lo udah balik?" tanya Kelly sok perhatian.
"Sudah. Sudah. Tadi habis mandi dipijat Mahmud lagi," jawab rahmat
girang. "Gila nih. Berat kita naik berapa kilo ya?" tanyaku pada Anty.
"Jangan nanya-nanya gitu dong. Merusak kenikmatan liburan," jawab Anty
manyun. "Iya, Sa. Nanti kita masuk sekolah juga disiksa lagi. Pikiran mumet sama
pelajaran, udah gitu Pak Paino kalo ngasih olahraga kan gak kira-kira,"
timpal Krisna. "Setuju! Tempo hari kita disuruh lari lima ribu meter di Lapangan Banteng.
Jangan-jangan sekarang kelas dua belas disuruh lari sepuluh ribu meter.
Kan berabe. Kadang gue berharap ada banteng beneran masuk ke
lapangan supaya kita bisa bubaran," celetuk Kelly.
"Impian lo itu memang gak sesuai dengan keadaan ibu kota. Kalo di
kampung lo masuk akal. Gajah aja bisa jalan-jalan di tengah kota," sahutku
sambil menyuap cendol. "Udah belum bercandanya" Gue mau ngomong nih." Sandro kayaknya
udah siap lahir-batin untuk pidato.
"Kenapa" Lo kayak engkong-engkong mau ngasih mau wejangan," cetus
Anty iseng. Sandro langsung pasang tampang bete semingamuk.
"Ampun, ampun, ampun," kata Anty lagi sambil mengatupkan kedua
tangan di atas kepala. Aku memutuskan kali ini hanya menjadi penonton sehingga tidak memberi
komentar yang bikin tambah kacau.
"Nid, gimana tas lo, udah ketemu belum?" tanya Sandro.
"Belum,"k jawab Nidya dengan muka sebal.
"Gue yang umpetin," kata Sandro lagi, sok bijak.
"Lo" Kami juga ngedukung kok. Iya, kan?" bela Krisna sambil memandang
yang lain, termasuk aku. Kami menjawab dengan angguka kepala.
"Kalau ada penilaian selama perjalanan ini, mungkin lo yang paling jelek
nilainya. Menurut gue, lo agak berlebihan deh. Manjanya menyebalkan,"
kata Sandro. " Gue pengennya lo ngomong yang sebenarnya karena gue
gak pengen ada kelanjutan cerita yang jelek dari perjalanan ke Sumatera ini
pas nanti kita masuk sekolah lagi."
Nidya hanya memonyonglan mulut dengan gaya sok kemanja-manjaan.
"Heh, lo jangan sok imut gitu. Ngomong apaan kek," kata Kelly pedas.
Rupanya dia juga gak sabar melihat kelakuan Nidya.
"Ngomong apa dong?" Nidya bali bertanya sambil meluk-meluk bantal.
"Yah... Lo bilang bagaimana perasaan lo tentang perjalanan ini, tentang
kami, dan kenapa lo nyebelin banget," jawab Lia mulai tak sabaran. Rasanya
aku juga inigin menyemprot Nidya yang menye-menye itu. Tapi kutahan
saja karena takut makin kisruh. Kulihat Anty juga gak minat menambah
kekacauan. "Apa ya" Gue ya kayak begini. Emang baru pada tahu, ya?" Nidya malah
balik bertanya dengan wajah tak bersalah.
"Perasaan, lo di sekolah gak begini. Jaim, ya?" tanya Kelly.
"Gimana, ya" Emang salah, ya?" Nidya masih anteng saja.
Dasar idiot. Ditanya malkah nanya balik. Kapan selesainya" Duh, rasanya
pengen kusiram air seember.
"Menurut lo salah gak?" Lia mulai ikutan kesal sementara Adi dan Mahmud
tetap diam. "Nid, kalo ditanya, jawab! Bukannya malah balik nanya. Menurut gue, lo
manja dan senang memanfaatkan orang. Intinya, lo gak bisa apa-apa. Gak
becus. Ngapain sih lo ikut kalau hanya bikin kacau?" akhirnya aku
menyemprot Nidya dengan nada setengah membentak.
Nidya langsung mewek. Dia sesenggukan gal ada juntrungannya. Air mata
buaya! "Kalau manja sekali gak ada salahnya, tapi kalau terus-terusan kebangetan
deh. Menyebalkan," Lia berusaha menengahi.
"Gue bersikap begitu karena di rumah gak ada yang merhatiin. Bonyok gue
kayaknya lebih peduli sama kakak dan adik gue," kata Nidya.
Ngomong gitu aja kok susah banget sih. Pakai melantur ke mana-mana
dulu. "Jangan-jangan bonyok lo biasa aja, merhatiin semua, tapi lo aja yang sensi.
Sensitif! Jadi mikirnya yang aneh-aneh," Lia berusaha mengerti. Memang
Lia bercita-cita kuliah di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Kalau
melihat gelagatnya selama ini, kayaknya cocok banget.
"Bukannya gue gak setia kawan, tapi urusan di rumah jangan dibawa-bawa
ke perjalanan dong. Kalau gue bilang sih lo bohong. Apa hubungannya
tidak diperhatikan di rumah dengan memanfaatkan Mahmud?" Anty gak
tahan juga untuk ikut menghakimi.
"Bagian itu, gue setuju!" tegas Krisna. "Gila lo, cung.., eh, Mud! Punya
pengacara sebanyak ini!"
Mahmud hanya mesam-mesem, tapi dia pasti pengen banget dengar
bagian ini karena dia pikir Nidya seneng beneran padanya. Gak tahunya
sekadar dimanfaatkan. Nah lo, sekarang Nidya gelagapan.
"Ngaku aja deh lo bohong. Tampang lo tuh bingung," Sandro terus
memojokkan. Nidya melirik ke arah Adi. Tapi Adi, seperti biasa, balik memandant tanpa
ekspresi. "Kalian kok pandang-pandangan gitu sih" Ada kode-kode, ya?" tanya Kelly
usil. Nidya menarik napas panjang. Kayaknya beban hidupnya seberat bebatuan
Gunung Singgalang. "Gue akan jawab dengan jujur, tapi jangan diledek, ya," pinta Nidya pelan.
"Iya, tenang aja," jawab kami serempak sambil cengengesan. Kayaknya seru
nih. "Sumpe lo?" kata Anty kepadaku.
"Dasar sinting! Sumpe lo, sumpe lo, muke lo rata!" semprotku. Anty malah
terkikik mendengar amukanku.
"Mm... Gue cuma pengen bikin Adi jealous. Kalo dengan Sandro dan krisna
kan gak mungkin karena merka berdua pada galak. Tapi kalau
Mahmud...eh... Gue minta maaf pada Mahmud. Memang Mahmud pernah
bilang suka sama gue, tapi gue sudah nolak dan Mahmud...ngg...pernah
bilang nanti cowok yang jadian sama gue bakal dia musuhin." Nidya tak
berani menatap wajah Mahmud.
"Oh gitu" Sebenarnya gue antar pengen ngakak dan kasihan sama nasib
Mahmud," celoteh Kelly tertawa-tawa.
"Memang nasib lo apes bener, Mud," timpal Anty.
Aku ikutan tertawa. Mahmud berusaha tersenyum.
"Tapi kok pake ngancem gitu sih?" tanyaku yang hanya dijawab Mahmud
dengan senyum tipis. "Jadi gitu masalahnya. Sekarang sih urusan Mahnud, mau memaafkan atau
melepeh lo," Sandro menengahi.
"Cocok nih teman perjalanan kita, manisnya mimpi pahitnya kenyataan,"
kataku masih terus mencela Mahmud.
"Dangdut banget sih!" protes Lia.
"Ssttt! Lo cewek-cewek pada berisik banget sih?" Krisna geleng-geleng
kepala. "Yah... Gue mau ngomong," kata Mahmud setelah diam cukup lama. Kami
semua langsung terdiam. Duh, Mahmud, masih remaja begini saja nasib
percintaanmu sudah tragis.
"Nidya, gak apa-apa lo memanfaatkan gue, bahkan mempermainkan gue.
Gue maafin. Ancaman gue cuma berlaku di awal-awal lo nolak gue kok. Gak
selamanya. Tapi jangan lagi deh bikin sebel semua orang di sini. Sudah
bagus yang lain gak nyuruh lo pulang duluan. Sudah bagus lo dimarahin.
Buat gue itu artinya mereka masih pengen temenan sama lo," kata
Mahmud dalam pidato perdananya.
"Ceileee... Puitis banget, Mahmud. Chairil Anwar aja sih kewat nih," teriak
Anty kampungan. Kelly malah ketawa gak berhenti dari tadi. Sandro, Krisna
, dan Andi sok jaim. Ketiganuya cima tersenyum dikulum. Padahal aku yakin
meraka nahan ketawa setangah mati.
.Tapi, Nid, Adi cemburu gak liat lo sama Mahmud?" tanya Lia penasaran.
Nidya menaikkan kedua bahu. Serempak semua memandang ke arah Adi
yang langsung panik. "Lho, ko pada ngeliatin gue" Apa salah gue nih?" tanya Adi dengan wajah
datar. "Gimana" Lo cemburu gak" Dari tadi kami ngomong, lo dengerin, kan"
Atau lo melayang-layang sendirian?" cecar Kelly gusar.
"Tenang, Kel, tenang. Jangan sampai ada amuk massa di sini. Ini rumah gue,
bukan di kampung lo," canda Sandro geli melihat Kelly yang begitu
bernafsu. "Lo gak lagi demo melakukan gerakan tutup mulut, kan?" aku menambahi
biar makin ramai. "Iya deh gue jawab, daripada lo mati penasaran, ntar gentayangan di kamar
gue, lagi. Cakep gak, nyeremin iya," kata Adi yang sedari tadi seolah sedang
tapa brata alias tak bersuara. Kelly ngedumel disebut-sebut menyeramkan.
"Gue bukan cemburuin mahmud, tapi marah sama keduanya. Gue marah
sama Mahmud karena dia tahu gue naksir Nidya, lalu ngapain juga dia mau
diajak berduaan" Itu kan namanya makan temen. Gue emang naksir Nidya,
tapi bukan lantas bisa disuruh-suruh atau keinginannya gak gue turuti
lantas ngambek. Seharusnya ini urusan gue dan Nidya, tapi karena kalian
memaksa, terus Nidya gue kasih tahu baik-baik malah ngambek, ya sudah,
terpaksa gue ngomong," tegas Adi.
Baru kali ini kami menyaksikan Adi bicara sepanjang itu. Dia gak plangaplongo kayak habis kesambar petir di siang bolong. Anty sontak tepuk
tangan lalu mengancungkan jempol. Nidya diam tertunduk, begitu juga
Mahmud. "Anty! Lo ngapain sih tepuk tangan segala" Emang lo pikir kita lagi nonton
kuda lumping?" bentakku.
"Woi, woi, woi, kita sampai lupa ada rahmat di sini. Sori ya, lo harus berada
di suasana yang gak enak begini. Gimana kalau lo jadi hakim kami saja?"
Sandro mengingatkan kami mengenai keberadaan Rahmat.
"Gak apa-apa kok, aku malah senang karena berarti aku dianggap teman
dan gak ada rahasia. Hehehe..." Rahmat malah menjawab sambil tertawa.
Aduh, duh, itu tampang kok keren banget ya" Kenapa makhluk ganteng ini
gaka da niatan merantau ke Jakarta"
"Semua maslah sudah beres, kan" Atau masih ada yang keganjal hatinya?"
tanya Sandro. "Gue, mungkin juga yang lain, minta maaf ke Mahmud yang kita katakatain kacung. Lalu gue secara pribadi minta Nidya gak usah terlalu manja
deh. Lo mengharap disayang, yang lo dapet malah dibenci. Biasa aja gitu
loh," Lia menambahkan.
"Ngapain minta maaf karena ngatain Mahmud kacung" Dia gak merasa
dilecehka kok dengan sebutan itu. Iya gak, Mud?" tembakku kangsung
mengarah ke Mahmud. "Gue disebut apa aja, gak apa-apa. Montir boleh, tukang benerin pintu
kamar mandi boleh, gak masalah kok," jawab Mahmud sambil tersenyum.
Gak tahu tulus atau tidak.
"Tuh, Li, lo denger sendiri. Apalah arti sebuah nama," Anty ikut nimbrung.
Lia_yang kayaknya paling normal dan gak begitu sadis di antara cewekcewek- hanya tersenyum tipis sambil geleng-geleng kepala melihat
From Sumatra With Love Karya Esi Lahur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kelakuan minus barusan. "Pokoknya apa yang terjadi di perjalanan ini gak usah dimasukin ke hati.
Gak usah diseriusin," kata Kelly.
"Setujuuu!" sorak kami serempak.
"Eh, tunggu, tunggu! Kalian kan selama ini ngomingin gue karena gue sial
melulu. Malahan nuduh-nuduh gue kena kutukan Danau Toba karena
bohong. Gue ngaku nih, gue memang bohong, tapi dikit. Makanya kemarin
gue gak sial, kan" Hehehe..." Krisna tertawa senang melihat wajah-wajah
yang penasaran. "Maksud lo apa sih, Kris" Jadi yang lo demen buka Clarissa dan Lia?" tanya
Kelly mencoba menebak. "Lo kok gak pernah cerita ke gue sih?" tanya Sandro rada geram.
"Itu kan rahasia hati. Pokoknya di antar kelima cewek ini ada yang paling
gue demen, tapi gue gak mau bilang ke kalian," jawab Krisna berteka-teki.
"Ha?" Tapi ceweknya tahu gak didemenin kamu?" Rahmat ikutan heboh.
"Ya tahu dong. Gue udah pernah bilang kok. Tapi ya gitu, ditolak," jawab
Krisna sumringah. Mungkin dia merasa menang karena berhasil bukin kami
penasaran. "Lo cewek-cewek, mau ngaku gak" Kalau gak, kalian gak boleh makan ntar
malam!" ancam Sandro. Bercanda tentu.
Hasilnya, kami berlima-lima saling bertanya-tanya. Siapa sih" Siapa"
"Jangan-jangan lo lagi adu domba, ya?" ucap Kelly dengan wajah bingung.
"Hilang deh dompet gue kalo gue bohong!" balas Krisna sambil
mengangkat jari tanda bersumpah.
"Sumpe lo?" Kelly memastikan.
"Jangan-jangan lo ya, Kel, makanya lo pura-pura nanya supaya gak
dicurigai," tuduh Adi.
"Sudah, sudah, biar jadi misteri aja. Siapa yang bisa nebak dan disertai
bukti-bukti, gak bakal kita cela setahun deh!" Sandro melerai keriuhan.
"Omong-omong barang bukti, gue jadi inget nih," kataku sambil mencaricari foto-foto di ponselku dengan tampang jail. "Siapa nih yang bulan
madu di kapal" Gosip paling hot, tidur seranjang!" Aku sengaja
mendramtisir barang bukti berupa foto di ponselku. Semuanya ngakak.
"Ampun deh, itu kan... Gila lo pada!" teriak Nidya malu waktu melihat fotofotonya dengan Adi saat tidur bergenggaman di kapal.
"Untuk bakat lo jadi paparazi, gue ancungin jempo,' kata Adi tersipu.
"Bisa ngomong juga lo" Gue kira kita lagi shooting film bisu," serang Anty.
"Emang enak mai kutu," Mahmud menambahkan. Tawa kami jadi semakin
heboh. "Iya deh, yang dendam cintanya ditolak...," goda Lia.
Ah, hari yang semula tampaknya menegangkan ternyata berakhir
menyenangkan. Apalagi sate Padang jadi penutup pertemuan kami.
Semoga intrik-intrik sepanjang perjalanan juga beneran berakhir. Oh ya, ini
kan hari ketiga belas. Bohong banget deh kalaui angka 13 dibilang sial.
Buktinya hari ini kami malah jadi kompak lagi.
Bab 10 See you di kantin sekolah
Tak terasa tepat dua minggu kami meninggalkan rumah. Cewek-cewek
yang lebih dulu bangun diajak oleh mama sandro sarapan di warung yang
andalannya lontong sayur dan lontong pecel yang pedas nya setengah
mati. Sudah begitu masih ditambah mi ayam! Gimana bisa nolak" Rasanya
lezaaat banget! Keempat cowok, minus rahmat yang sudah pamit semalam, masih tidur
nyenyak karena semalam main gitar di kebun belakang sampai dini hari.
Paling-paling mereka berkhayal lagi konser atau merayakan perdamaian di
antara kami. Mmm, tepatnya sih antara mahmud dan adi.
Tante membelikan sarapan untuk para cowok. Kami nggak langsung
pulang, melainkan mampir dulu di jalan sekolah buat beli martabak mesir
yang enak. Niatnya untuk camilan. Sayangnya, kami nggak berani makan
terlalu banyak. Nanti sore kan kami balik ke jakarta naik bus, gimana
jadinya kalau perut berontak karena ada yang minta dikeluarkan"
*** Waktu perpisahan pun tiba. Begitu jam menunjukan pukul empat sore,
kami ke pul bus merah hati diantar Sandro dan mamanya. Iya, Sandro
nggak ikut balik ke jakarta. Di baru kembali ke Jakarta lusa naik pesawat.
Kelly juga nggak ikut kami. Dia naik bus yang lain untuk kembali ke medan
karena orangtuanya masih di sana. Rencananya Kelly akan pulang bareng
orangtuanya naik pesawat.
Setelah peluk cium dengan mama Sandro dan tos-tosan dengan Sandro
dan Kelly, bus berangkat tepat waktu, pukul lima. Kami bertujuh, yaitu aku,
Anty, Lia, Nidya, Mahmud, Adi, dan Krisna, menepati bus supereksekitif
yang mempunyai posisi duduk 2-1, persis di belakang supir. Anty dan aku
sejajar dengan Lia yang sendirian. Di belakang kami ada Nidya dan Adi
yang sejajar dengan Krisna. Nah, yang duduk sendirian di belakang Krisna,
sudah pasti Mahmud yang kini menjabat bodyguard kami.
Bus belum jalan jauh dari pul, kami sudah heboh. Apalagi begitu
mendengar lagu yang berkumandang. Lagi-lagi Pance Pondaag! Tapi waktu
semakin malam, pak sopir malah menggantinya dengan lagu-lagu Minang
yang bertempo cepat. Kayak Minang remix gitu loh...
Selama perjalanan posisi duduk kami berubah-ubah, kecuali Nidya dan Adi,
plus aku yang nggak mau duduk di sebelah jendela. Trauma. Gara-garanya
aku pernah naik bus AC di Jakarta, eh di gordennya ada kecoak. Bukannya
takut,tapi jijik! Kasihan deh awak busnya. Masa sepanjang jalan banyak preman yang
malakin mereka. Kata sopirnya, kalau nggak di beri uang, bisa-bisa kaca bus
dilempari batu. Buset, jahat banget ya.
"Kayaknya Sandro pantes tuh jadi begal kayak gitu," kata Anty padaku.
"Lo beraninya kalo nggak ada orangnya. Coba kalo ada, paling lo bisik-bisik
aja," sambar Krisna.
"Sepertinya ada suara tapi nggak ada orangnya. Penampakan ya?" Balas
Anty pura-pura nggak menyadari keberadaan Krisna yang mengeritiknya
barusan. "Huuuu!" serapah Krisna sambil melempar bungkus kacang ke Anty.
"Heh, dasar penunggu kuburan! Lo jangan buang sampah sembarangan
dong. Kan kasian keneknya." Anty terpaksa memungut bungkus kacang di
lantai bus. "Iya deh, Miss Cleaning Service. Maaf, maaf" Krisna mencibir.
"Ty, masa jam segini toko-toko udah pada tutup?" Kataku sambil menunjuk
ke arah jendela. "Iya. Pas di Medan gitu juga. Begitu jam tujuh sudah banyak toko yang
tutup. Apa banyak rampok, ya?" Anty malah balik bertanya.
"Kenapa prasangka lo buruk melulu sih" Siapa tahu biar hemat listrik,"
jawabku ogah-ogahan. "Eh, gue masih penasaran nih, siapa sih yang diincer Krisna" Lo ya" Kalo
gue, jelas bukan. Gue bukan tipenya," Anty berbisik-bisik.
"Males ngomonginnya. Besok-besok juga ketahuan sendiri. Bosen gue dari
kemarin ngomongin cinta-cintaan melulu. Ganti topik dong," pintaku
sambil menyelonjorkan kaki.
"Lo jangan gitu dong. Ini kan gosip top, masa kita gak ada investigasi sama
sekali. Atau beneran dia demen sama lo?" pancing Anty.
"Bukannya gitu, Anty yang cantik jelita pujaan engkong-engkong seIndonesia. Nanti kita dituduh tukang ngomongin orang," jelasku geregetan.
"Ini sih bukan ngomongin orang, tapi melatih investigasi untuk penelitian.
Nanti begitu kelas dua belas ada penelitian ilmiah, kita sudah piawai," Anty
terus membujukku. "Bisa aja lo cari cara untuk memuaskan kegilaan lo," kataku semi ngedumel.
"Menurut gue, Krisna nembak Lia tapi ditolak. Tahu sendiri, Lia kan banyak
pertimbangan secara psikologis, fisik, etika, tata bicara, kecerdasan...,"
celoteh Anty salam nada pelan karena kalau kedengaran yang lain pasti
kami ditimpuki. "Memang dia mau nyari cowok atau jadi juri Miss Universe?"
"Lo kayak gak kenal Lia aja. Miss Perfect. Lo ingat gak waktu PR bahasa
Prancis-nya dipinjam Luki, terus lembarannya sedikit kelipet, sejak saat itu
Luki gak boleh pinjam apa-apa darinya," cerita Anty penuh semangat.
"Ah, yang bener" Lo hiperbolis, ya?" tanyaku tak percaya.
"Sumpah. Gue liat sendiri kok Luki diusir dari meja Lia."
"Bener juga. Gue jadi inget. Lia kan pernah marahin kita gara-gara makan
sayur asem. Ingwt gak lo" Kita makan jagungnya berantakan. Lalu dia
ngajari, makan jagung harus dari kiri ke kanan, kiri ke kanan, berulangulang. Ini mau makan jagung atau main harmonika sih?" Aku jadi
terpancing untuk bercerita juga.
"Tapi kenapa dengan kita dia gak gitu-gitu amat ya" Maksud gue, gak
langsung marah?" tanya Anty.
"Kita kan temenan sudah dari kelas sepuluh. Adi malah satu SMP dengan
Lia. Pasti Lia sudah memaklumi kegilaan kita dan menyesuaikan diri dengan
kerapijaliannya. Gila! Keren banget ya omongan gue barusan," jawabku
sambil berdecak kagum. "Ge-er banget sih lo!" cibir Anty sewot dalam suara keras.
"Sttt! Berisik banget sih kalian." Adi menendangi kursi kami dari belakang.
"Kalau berani muncul dong, jangan malah nendang dari belakang," balas
Anty sewot. Aku ikutan melemparkan bungkus biskuit ke arah Nidya dan
Adi. "Dasar anak-anak brutal," sumpah Adi empet.
"Ty, ternyata kalo dugaan kita salah, siapa dong terdakwanya" Kelly?"
tanyaku. "Gue yakin, pasti Lia. Tuh, liat aja. Lia duduk sendirian, eh Krisna ikut milih
kursi di belakangnya. Tanda-tanda apa, coba" Menjaga secara diam-diam,
kan?" jelas Anty semangat. Untung Lia tertidur dan untungnya lagi, musik
yang dipasang sopir membahana di dalam bus sehingga suara kami tak
terdengar. "Omongan lo ada benernya sih," pujiku.
"Siapa dulu dong" Gue!" ujar Anty sombong.
*** Malam makin larut, kami makin tak bisa melihat apa-apa di luarsana.
Termasuk melihat ada-tidaknya perempuan-perempuan nakal yang biasa
mangkal di tepi jalan. Kalau di Medan, pangkalan becak di bawah pohon
rindang dekat Medan Plaza jadi andalan cewek nakal yang dijuluki "cewek
the botol". Kata Kelly, cewek-cewek itu pura-pura jualan minuman dalam
botol, buka teh saja lho, tapi nanti pembeli bayarnya 25 ribu atau lebih. Jadi
beli minuman sekaligus memegang dan meraba-raba pedangnya.
Hiii...serem! Sudah ah, daripada mikir yang gak-gak, mendingan tidur. Perjalanan masih
panjang. Ampun deh, Anty sudah tidur dengan mulut mangap-mangap
kayak lele dumbo nyari udara.
*** Hujan deras. Gelap. Enak-enak tidur nyenyak, tiba-tiba...ciiitt!! Suara tarikan
rem terdengar berdecit. Semua penumpang terbangun karena bus Merah
Hati yang kami tumpangi tergelincir! Lima belas hari perjalanan, giliran mau
pulang kok malah ada masalah begini...
Para penumpang diminta segera turun karena bus bisa kecebur ke sungai
yang cukup dalam. Kami bergegas menyelamatkan diri. Adi masih tidur
nyenyak, sama sekali tidak merasakan kekacauan di sekelilingnya.
"Di, bangun, cepetan turun! Bus kita nyusruk." Krisna mengguncang tubuh
Adi sambil berteriak. "Eh, kita nyusruk, ya?" tanya Adi polos. Wah, jangan-jangan dia pikir dia
ngelindur, lagi. Begitu turun, semua penumpang berlari ke bawah pohon agar terlindung
dari guyuran hujan. Bagian pinggir jalan yang sempit itu sangat gelap
karena ketiadaan lampu jalan di luar kota. Satu-satunya penerangan
hanyalah mengandalkan sorotan lampu mobil yang sesekali lewat. Kata
beberapa penumpang yang masih terjaga, kecelakaan terjadi karena bus
kami bersalip-salipan dengan bus lain yang sudah meluncur meninggalkan
kami. Sekarang sopur dan beberapa penumpang berudaha menghentikan
truk besar agar membantu menarik bus supaya tidak kecebur sungai
beneran. Selagi menunggu pertolongan datang, kami jongkok atau berdiri di bawah
pohon memepet tepian jalan. Tiba-tiba ada mobil berdecit-decit. Aku
refleks melompat kodok ke rerumputan karena posisiku memang lagi
jongkok. Teman-temanku yang lain juga refleks melompat atau berlari.
Braaakk! "Ada yang ketabrak!" terdengar teriakan seorang penumpang.
"Mahmud! Mahmud! Lo gak apa-apa, kan?" Sekarang terdengar suara
Krisna berteriak panik memanggil-manggil Mahmud yang tergolek di
tengah jalan. Aku segera berlari ke arah Mahmud dengan perasaan ngeri.
Khawatir... Ternyata ada dua onggokan besar di jalan. Karena amat gelap, aku sempat
mengiranya sebagai potongan badan Mahmud. Begitu terkena cahaya
lampu, gak tahunya cuma dua karung tomat.
Syukurlah Mahmud selamat. Ia hanya tertabrak pelan. Sekalipun Mahmud
sangat kaget, lukanya hanya berupa goresan yang tidak mengkhawatirkan.
Mungkin ada sedikit lebam. Entahlah. Keadaan masih gelap.
"Kok bisa sih, Mud?" tanya Lia yang bersama Krisna menuntun Mahmud
untu duduk agak ke tepi. "Gak tahu, Li. Gue yang berdiri terlalu ke tengah atau sopir mobil boksnya
yang ngantuk?" jawab Mahmud lemah.
Mobil boks pengangkut sayur tadi gak berani balik karena tahu ada yang
ketabrak. Dua karung tomatnya diangkat warga setempat yang mulai
berdatangan. Seakan Mahmud menjadi tumbal, gak lama kemudian ada
truk gede lewat dan bersedia membantu menarik bus kami. Wah, selamat
deh. *** Rute perjalanan bus bia Jambi, Lubuk Linggau, Tebing Tinggi, Lahat,
Martapura, lalu besok subuh masuk Lampung. Tadi kami kecelakaan di
daerah mana ya" Gak jelas deh nama tempatnya. Ah, mending melanjutkan
tidur aja. *** Kami benar-benar tertidur nyenyak karena begitu bangun tahu-tahu sudah
siang. Matahari sudah tinggi.
"Mud, tadi lo memang gak sengaja ketabrak, kan" Bukannya mau bunuh
diri karena cintanya ditolak?" tanya Krisna setengah berteriak.
"Gak lah. Ngaco lo," jawab Mahmud tersipu.
.Tadi gue SMS Sandro, dia panik waktu gue bilang Mahmud ketabrak,"
cerita Anty yang memang punya bakat jadi humas.
"Jelas panik dong dia. Apalagi HP gue kehabisan baterai," imbuh Mahmud
pelan. "Nih, gue telepon, ya," kata Anty dengan tampang bahagia karena bisa
menyebarkan info ke orang yang belum tahu sehingga kemudian orang itu
bertanya-tanya penasaran. "Halo, Ndro, segitu paniknya lo denger Mahmud
kecelakaan... Lo mau ngomong sama dia" Bentar aja ya, karena bibirnya jadi
dower karena abis nyium aspal." Anty lalu menyerahkan ponsel ke
Mahmud. "Halo, Ndro. Tenang aja, gue gak apa-apa kok, cuma lecet-lecet dikit,"
Mahmud berbicara pelan. Sempat ada jeda sejenak, mungkin Sandro lagi
bicara. "Ha" Ngaco tuh Anty, gue gak sampe berdarah-darah kok," Mahmud
memaksakan tertawa, mungkin agar Sandro yakin dia memang baik-baik
saja. " Oke, beres deh. Besok pagi kami juga nyampe. Lo mau ngomong
sama yang lain" Ya udah, tengkyu ya." Mahmud mengakhiri pembicaraan
dan mengembalikan ponsel Anty.
"Terlalu lo, Ty. Lo bilang kepala gue berdarah-darah dan gegar otak, ya"
Nyokap Sandro langsung panik tuh," kata Mahmud. Kami hanya tertawa
mendengar keusilan Anty. "Gue kan kreatif. Siapa suruh mereka pada panik" Biasa aja dong..." Anty
tak mau kalah seperti biasanya.
"Ntar di Jakarta lo pasti diamuk dan paling parah gak dibawain oleh-oleh
sama Sandro," Krisna menakut-nakuti.
"Yah... Masa sampai segitunya sih," sesal Anty. "Iya deh, ntar gue minta
maaf. Maksud gue kan hanya bercanda."
"Lo denger kata 'makan' aja langsung deh penyesalan seumur hidup. Tapi
Sandro memang janji mau bawain martabak Mesir dan snack dari Pasar
Bawah kalau nanti sudah masuk sekolah," imbuhku.
"Ha" Emang gak basi martabaknya?" tanya Anty terkejut.
"Basi kenapa" Dia kan naik pesawat, Anty yang cerdik cendekia kayak Dr.
Wahidin sudirohusodo," jawabku sinis.
From Sumatra With Love Karya Esi Lahur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Oh iya ya, kalau gitu gue buruan minta maaf ah," kata Anty ceria.
*** Cara paling aman membunuh kebosanan adalah tidur lagi! Baru merem
sebentar, ada SMS masuk. Dari Krisna.
Ada yang cipokan. Aku langsung menunjukkan SMS iitu pada Anty yang belum bisa tidur dan
asyik bengong-bengong. "Ha" Gila! Siapa" Di belakang kita?" tanya Anty syok dan pelan.
"Ya iyalah, siapa lagi" Masa Mahmud sama jendela?" balasku tak kalah
perhatian. Anty membalas SMS Krisna dengan ponselku.
Sumpe lo" Kronologisnya plis.
Sambil menunggu jawaban Krisna, Anty langsung heboh. Aku juga kaget
dan kantuk pun sontak hilang.
"Gila ih! Pinter banget nyari kesempatan," kata Anty lagi.
"Jangan kenceng-kenceng ngomonongnya ah," aku mengingatkan.
"Lo nulis SMS atau bikin puisi sih"
Aku melayangkan protes ke Krisna yang lama banget membalas SMS
barusan. Aku menengok ke arah bangkunya. Dia menjawab tanpa suara.
"Sabar. Panjang."
Kemudian masuklah SMS lengkapnya.
Gw cm merem tp mereka kira gw tidur. Trus ya gtu deh. Nid nyosor duluan.
Adi sih tampangnya bego kyk biasanya.
"Gila! Gue SMS Kelly dan Sandro dulu, ah," kata Anty semangat dan
langsung mengetik SMS. Lia perlu dikasih tahu gak ya" Ntar dia malah khotbah lagi. Nanti sajalah,
dia juga gak terlalu demen berita-berita kayak beginian.
"Sa, gue penasaran nih apa jawaban mereka?" Anty berbi aku menunjukkan
layar ponselku. Sandro menelepon dari rumah.
"Sumpe lo?" tanya Sandro tanpa basa-basi.
"Tanya aja sohib hombreng lo itu," jawabku. "Kacung gimana" Udah tahu
belum?" "Belum. Nanti dia bunuh diri beneran, lagi. Kok lo telepon gue" Gak ke Anty
aja?" "Ogah. Ngaco tuh anak. Tadi pas dia SMS kacung tabrakan kan gue panik
banget. Kalo kacung beneran mati terus gue belum minta maaf, nanti gue
digentayangin." "Halah...bilang aja lo ada rasa sayang."
"Sama siapa" Anty?"
.Bukan. Yang satunya."
"Kacung" Iya sih, zaman gini kan susah nyari pembokat yang penuh
pengabdian kayak dia."
"Ancur lo. Udah, mau ngomong apa lagi" Mau ngomong sama Anty?"
"Ogah. Dibilang ogah kok lo masih maksa" Ya udah, teruskan saja
investigasinya. Sampe ketemu di Jakarta, ya."
"Oke. Bye!" aku menutup pembicaraan.
"Ngomong apa tuh reog Ponorogo?" tanya Anty gak sabar dan sewot.
"Standar. Kayak tampangnya," jawabku sekenanya. Anty ngakak kayak
kuntilanak. "Hus! Ntar penumpang bus bakar menyan lho, dikirtanya lo kuntilanak,"
kataku supaya Anty menghentikan tawa yang bikin bulu kuduk merinding
itu. "Gue kasih tahu lo ngatain Sandro bertampang standar," ancam Anty.
"Memang tampangnya standar. Mendingan gue, daripada lo bilang dia
reog ponorogo," kataku tak mau kalah.
Anty mengecek ponselnya. "Ini nih SMS Kelly." Setelah membaca, dia
memberikan pinselnya padaku. "Baca, Sa."
Kalian jgn ganggu kemesraan org lain deh. PR kalian utk mencari cewek yg
diincar Krisna. Atau kalian slh satunya"
Wah, ganti topik lagi nih. Buru-buru Anty membalas.
Kami mencurigai Lia. Gue juga. Kumpulkan bukti.
"Dasar mandor kuli perkebunan terong Belanda! Emang kita anak buahnya,
pakai nyuruh kumpulin bukti?" kataku sewot begitu selesai membaca SMS
balasan Kelly. "Tenang aja, San. Kita semakin perketat pengawasan untuk Lia dan
pasangan yang baru jadian," ajak Anty sambil mengarahkan jempol ke kursi
belakang. "Perketat" Perketat gimana" Keliatan ujudnya mereka juga gak. Yang ada
tuh sopir dan kenek. Gue ogah ah disuruh mandang-mandang mereka,"
elakku empet. "Gak usah mandang-mandangi mereka. Cukup curi-curi pandang." Anty
masih bersemangat untuk hal-hal beginian. Aku juga tertarik sih, cuma gak
usah sampe diagendakan kayak begini dong.
"Omong-omong, Ty, lo dari tadi ngomong melulu. Emang gak lapar, ya?"
tanyaku membelokkan pembicaraan yang sudah mulai melantur ini.
"Sebenarnya gue lapar. Masa keripik sanjai untulk oleh-oleh rumah gue
embat" Ntar gue dituduh anak durjhakaak durhaka, lagi," jawab Anty.
"Emang lo lupa" Kan Mahnud kita minta bawain kantong yang isinya
makanan. Sana gih ambil," aku menyuruh Anty padahal aku juga mau
makan. "Panggil aja ah," tolak Anty enggan.
"Jangan deh. Ntar kalau dia liat kemesraan di belakang kita, dapat serangan
jantung, lagi. Sudah ketabrak mobil, apa masih belum cukup juga
penderitaannya?" Aku memaksa Anty mengambil sendiri ke tempat
penyimpanan tas di atas kursi penumpang. Ia kembali membawa empat
bungkus makanan sambil cengengesan. Satu bungkusan besar isi keripik
bayam sudah terbuka. "Mahmud lo bagi gak?" tanyaku.
"Udah. Gue kasih selembar," jawab Anty pelit. Aku hanya menggelengkan
kepalka. Sebal-sebalnya aku pada Mahmud, kalau soal makanan pasti dia
kubagi. Paling tidak, ditambahi dua lembar lagi. Hehehe, gak beda jauh ya"
"Tapi tadi gue bilang, kalau dia mau lagi ya ambil aja ke tempat kita," jelas
Anty mendahului. Rupanya dia waswas kusemprot.
Mau melakukan apa pun, rasanya aku sudah gak mood. Yang ada di
piikiran hanya rumah, terutama ranjang.
*** Dini hari kami sudah sampai di pelabuhan Bakauheni, Lampung. Mulai
menyeberang sekitar pukul 03.30. Selama dua jam penyeberangan kami
tidur di bus saja dan kayaknya penumpang doi bus-bus lain juga begitu.
Yang sempat keluar hanya Krisna dan Adi, tapi hanya sebentar. Setelah itu
keduanya ikut tidur lagi.
Begitu tiba di pelabuhan Merak, satu persatu terbangun dan berceloteh
riang. Seperti biasa, Anty yang terakhir bangun.
"Ty! Bangun! Udah mau nyampe nih!" Krisna mendatangi kursi kami sambil
mengguncang bahu Anty. "Ha" Yang bener lo?" seru Anty langsung melek.
"Sekitar dua jam lagi. Hehehe...," kata Krisna sambil ngeloyor pergi.
"Setan! Awas lo, Kris!" Anty menyumpahi Krisna jengkel. Kemudian Anty
berpalaing dan bertanya padaku. "Lo sudah kangen sekolah belum?"
"Lumayan sih. Tapi nanti kalau sudah masuk agak lama, kok pengennya
libur lagi, ya?" aku balik bertanya.
"Kelas dua belas gue gak mau aneh-aneh ah. Kita kan sekolah gak nyampe
setahun penuh. Mau gue nikmatin." Anty menerawang persis eyang-eyang
habis ngasih wejangan. "Siapa aja ya yang nanti masuk kelas kita" Asal jangan anak-anak yang
nyebelin deh," harapku.
"Bener. Lagian kelas bahasa kan cuma dua. Semoga kelas kita yang asyik ya,
terus wali kelas kita Pak Pandu yang ganteng dan keren. Bener-bener
segeeer," celoteh Anty heboh.
"Lo pada cerita apaan sih pagi-pagi" Ribut bener," protes Lia yang akhirnya
gak betah duduk di kursi sendirian. Kami hanya nyengir kuda.
Ponsel Anty berbunyi dan dia langsung menerima telepon. "Halo... Bentar
lagi nyampe kok... Semua udah bangun. Oke, sampe ketemu." Anty terdiam
sejenak. "Eh, barusan siapa ya yang telepon?" tanyanya bego. Aku langsung
ngakak. "Gila lo ye, udah ngomong panjang lebar tapi gak tahu siapa yang diajak
ngomong. Hhaha...!" Aku tertawa gak berhenti.
"Siapa ya?" Anty masih bertanya-tanya sambil mengecek ponselnya. "Tuh
kan, gak ada namanya. Tapi dari suaranya sih Sandro," lanjutnya bingung.
"Kalo bukan" Hiii," kataku menakuti lalu mengetik SMS untuk Sandro.
Masa Anty udah ngomong, tp gak tau yg telepon siapa. Lo ya"
"Baca nih, Ty." Aku menunjukkan ponselku ke Anty, ada jawaban SMS
Sandro. Dasar idiot. Gw telepon pake HP nyokap.
"Sembarangan tuh barong! Ngatain gue idiot. Emang dia siapa" Einstein"
Tes IQ gak nyampe seratus aja belagu," protes Anty sengit.
"Yang kayak beginian sih gak perlu lo masukin ke hati. Lempar aja ke laut,"
kataku geli melihatnya sewot.
*** "Sa, udah nyampe Jakarta, Sa!" Anty menguncang-guncang tangan
kananku kayak orang baru pertama kali ngeliat Jakarta.
"Lo kata penglihatan gue udah lamur, ha?" tanyaku.
Seharusnya kami tiba di terminal bus Rawamangun pukul enam pagi. Tapi
sekarang sudah pukul 07.40. Itu karena busnya pake acara nyusruk segala.
Tapi gak apalah. Masa sopirnya mau kami amuk"
"Berapa lama kita pergi, Sa?" tanya Anty mulai sok melankolis. Sudah bagus
dia gak menyanyikan lagu Gelas-gelas Kaca milik Nia Daniaty sambil
menangis-nangis. "Enam belas hari," jawabku.
"Hebat benar kita, ya," Anty memuji. Kali ini aku setuju. Kami memang
hebat bisa pergi sejauh itu bersama-sama dan mengatasi berbagai masalah
dan kekonyolan yang terjadi sepanjang jalan.
Kami berpisah di terminal Rawamangun. Kami semua saling tos dengan
wajah ceria walau bau badan menyengat dan muka berminyak.
"See you di kantin sekolah!" teriak Krisna ceria.
Epilog Kantin di hari pertama masuk sekolah langsung ramai. Leganya. Kami bisa
kembali makan bakso dengan porsi normal. Gak perlu ngirit lagi. Tambah
sedap karena Sandro membawakan martabak Mesir.
"Gue dateng semalem. Jadi gue masukin kulkas dulu baru tadi pagi
diangetin lagi," jelas Sandro.
"Ah, bodo amat deh. Mau semalem atau dua hari yang lalku, sikaaatt!"
Krisna langsung menyerbu dan mengambil tiga potong martabak.
"Kita bersembilan sejelas lagi, kan?" tanya Kelly.
"Iya dong. Memang kenapa" Ada yang pengen lo tendang?" jawab Nidya
yang kini sudah berani tampil berdua dengan Adi di seantero sekolah.
Apalagi setelah ciuman di bus, pasti mereka makin dekat saja.
"Cuma nanya," jawab Kelly sambil melahap bakso urat.
"Gue baru inget!" teriak Krisna.
"Inget apaan" Inget lo gebetan tapi dirahasiakan?" sindir Sandro yang
masih gak terima mendapati Krisna menyembunyikan sesuatu darinya.
"Hehehe... Bukan, boy. Ini masalah Pance Pindaag," jawab Krisn ayang
langsung disambut tawa berderai kami.
"Tragis deh! Bener-bener tragis. Dari Rawamangun gue pulang ke Sunter
kan naik angkot. Begitu keluar dari terminal, masa sopir angkotnya nyetel
lagu Pance!" cerita Krisna histeris. Kami tertawa keras sekali.
"Iiih, gak banget deh!" teriak kami geli.
"Gue merasa terteror!" imbuh Krisna sambil mengambil satu potong
martabak lagi. "Lo terteror sih boleh-boleh aja, tapi itu martabak lo yang terakhir!" kata
Kelly galak. Krisna pasti nurut daripada dihajar Kelly. Ini kan zamannya girl
power! "Seru ya perjalanan kita, bahkan sampai saat terakhir. Apalagi yang bus
nyusruk lah, Mahmud ketabrak mobil segala," kata Adi agak telat.
"Nyawa lo kayak kucing ya" Ada sembilan?" timpal Lia ke Mahmud yang
hanya mesam-mesem tanpa perlawanan.
"Gimana kalau tahun depan kita jalan-jalan lagi" Hitung-hitung perpisahan.
Ke lombok misalnya," ajakku.
"Kayaknya seru tuh." Sandro langsung antusias.
"Seru tapi kita mesti ngirit lebih banyak lagi, kan?" Anty mengelak halus.
"Iya. Sudah begitu waktunya gimana" Kita mesti daftar kuliah, belajar buat
SPMB, siapa tahu kita bisa kuliah bareng," tutur Lia kalem.
"Kayaknya kita gak kuliah bareng deh. Emang di antara kita siapa yang mau
kuliah psikologi selain lo?" tanyaku.
"Siapa tahu nanti ada yang berubah pikiran," Lia tak mau kalah.
"Sudah deh, jangan ngomongin kuliah dulu. Kelas aja belum dimulai,"
sergah Kelly. "Mendingan kita pada cari tahu, siapa cewek yang didemenin makhluk satu
ini?" Sandro membelokkan pembicaraan. Kami berpandangan dengan
tatapan menyelidik. Tapi tak ada yang bisa menduga.
"Susah bener, ya" Kalian berlima memang pantas jadi aktris, pandai
bersandiwara," komentar Sandro kesal karena dia tetap gak bisa menebak.
"Daripada ruwet, mending ngabisin martabak nih," kata Mahmud sambil
mencomot satu martabak. Aku memandang Krisna. Krisna ternyata sedang menatapku. Dalam hati aku
tersenyum. Akulah cewek yang dicari-cari. Krisna memang pernah
mengajak jadian, tapi aku cuma menjawab, "Tunggu setelah lulus SMA." Ya,
tunggu saja. The End. Sumber dari : https://www.facebook.com/398889196838615/photos/a.68471658
8255873.1073741839.398889196838615/645288932198639/"type
=3&theater dayviienz.blogspot.com Pendekar Sakti Suling Pualam 13 Pusaka Tongkat Sakti Karya Tjoe Beng Siang Malaikat Maut Berambut Salju 2
Krisna yang harus kembali duduk dengan Mahmud, Nidya, dan Adi begitu
masuk ke mobil. Ketiganya tidak ada yang tertawa. Semua berwajah datar.
Perjalanan dilanjutkan. Untung tape mobil rusak, jadi cowok-cowok gila
gagal menyetel kaset mereka yang gak ada nadanya. Kami hanya
mendengarkan radio. "Orang rumah pada nyariin gak?" tanyaku pada semua teman.
"Gue gak ada SMS dari rumah tuh," jawab Anty cuek.
"Itu sih gak heran. Lo kan memang anak durhaka," sambung Kelly tertawa.
Rahmat ikutan tertawa. Ih, senyumnya bikin lemes. Kami yang duduk di
tengah saling bersenggolan.
"Nyokap gue bilang, kalau bisa jangan lebih dari dua minggu," kata Lia.
"Mana bisa, Li" Lebih sehari-dua hari gak apa-apa, kan" Tiket balik aja
belum kita beli," ujar Sandro.
"Sesekali pergi lama kan gak apa-apa, Li. Emang lo mau dipasung?" tanya
Krisna. "Cieeh...betapa perhatiannya. Mau lamaran atau pernikahan dini?" goda
Anty menjadi-jadi. "Eh, ini rambut siapa yang rontok di sandaran kursi?" tanya Adi sambil
mengambil beberapa helai rambut. "Dari warnanya yang semicokelat dan
panjangnya, jelas ini rambut Miss Bolot," kata Nidya.
Mampus lu, Ty. Emamng enak diledekin Nidya, batinku geli.
"Mana?" Kelly menjulurkan tangan ke belakang, meminta helai rambut ke
Adi. "Iya nih, rambut lo pada rontok tuh," Lia ikut mengamati rambut di tangan
Kelly. "Ty, ini sih bukan pernikahan dini, tapi kebotakan dini," ledekku. Lagi-lagi
Rahmat tertawa. Semua tertawa melihat Anty kebingungan. Rahmat
melihatnya dari spion sambil tersenyum. Anty langsung salah tingkah.
"Udha boker di tengah perjalanan, ketombean, rambut rontok, duh...,"
gumam Adi sambil ngedumel.
Hoahaha!! Kami terbahak-bahak, antar geli mendengar komentar Adi dan
senang melihat Anty gak berkutik.
*** Kami makan siang di Lembah Harau yang memiliki tujuh air terjun. Melihat
pemandangan begitu bagus sudah jelas kegiatan kami adalah berfoto
bareng. Kali ini Mahmud ikut karena Rahmat berinisiatif memotret.
"Mud, lo ngapain sih" Kaihan kan Rahmat sudah capek bawa mobi, eh
masih disuruh motret," sembur Anty.
"Tahu tuh. Mendingan juga Rahmat yang difoto," aku menberi dukungan
moral pada Anty. Biar saja Nidya cemberut, memang kenyataannya
Mahmud gak fotogenik kok. Hore! Rahmat ikutan foto bersama kami.
Di Lembah Harau pengunjung bisa manjat tebing. Tapi gak ada satu pun
dari kami yang berminat. Makanya kami melanjutkan berjalan kaki,
menjelajahi permainan dan pemandangan lain. Nah, kalau yang satu ini
memang patut dicoba oleh setiap irang. Echo spot. Ada satu titik yang
sudah ditentukan untu tempat berteriak, kemudian suara kita akan
bergema ke sekeliling lembah yang luas.
"Coba saja," saran Rahmat.
"Kacuuuung!" teriak Sandro yang langsung diikuti gema
"kacung...cung...cung...cung..."
"Lucu nih. Coba ah. Anty buluk!" teriakku.
"Ngaco lo," protes Anty di sela-sela gema suara "buluk...luk...luk...luk..."
Puas mengubek-ubek Lembah Haray, kami melanjutkan perjalanan lagi.
Entah karena perut sudah kekenyangan atau efek karena bangun kepagian,
kami mulai mengantu. Suasana di mobil sunyi-sepi karena tidak ada yang
berminat berkicau. Satu-satunya suara yang kemudian terdengar hanyalah
ucapan Rahmat sewaktu mulaik kebingungan menentukan arah ke
Bukittinggi. "Arah mana ya, Ndro" Aku agak lupa."
Bersamaan dengan itu di radio terdengar lagu dalam bahasa Minang yang
syairmya mengenai arah dan letak geografis kota-kota di Sumatera barat.
Untuk Rahmat cepat ngeh dan untung juga dia sebagai coeok Minang
masih ingat bahasa asalnya jadi kami gak tersesat. Mmm...sudah keren,
cerdas lagi. Coba dia yang sekolah bareng kami di Jakarta, bukannya
Sandro yang mulutnya kayak cacing dicabein.
*** Menjelang sore kami check-in di Hotel Gadang, Bukittinggi. Kali ini
rombongan dibagi dalam tiga kamar. Pertama, Sandro, Krisna, dan Rahmat.
Diseberangnya aku, Anty, dan Lia. Terakhir, Kelly, Nidya, Adi, dan Mahmud.
"Masa gue sekamar dengan korban perselingkuhan," keluh Kelly.
"Habis gimana dong?" tanya Sandro.
"Kalau Krisna di kamar itu, gue mau deh. Lagian, Li, lo kenapa gak mau sih?"
tanya Kelly kepada Lia yang sejak awal menolak sekamar dengan Adi,
Mahmud, dan Nidya. Masalahnya, di hotel ini bolehnya sekamar maksimal
empat orang, itu pun harus dengan dua ekstra bed. Kalau boleh lebih sih,
kami maunya pesan dua kamar saja.
"Plis deh, Kel, gue gak mau," kata Lia memelas. Kelly jadi gak tega.
"Kalau gitu gue ganti sekamar dengan Rahmat dan Adi. Lo dengan siapa
aja, Sa?" tanya Sandro.
"Lia dan Anty," jawabku.
"Sisanya dengan gue, ya. Mahmud lo kan dengan Nidya. Gue berasyikmasyuk dengan Kelly deh," canda Krisna.
"Pokoknya gue mohon tolong jaga kelakuan masing-masing. Gue gak mau
ada apa-apa. Kelly dan Nidya tidur berdua. Lo dan mahmud di extra bed,"
tegas Sandro yang tagu-tahu mengangkat diri jadi kepala keluarga kami.
"Memangnya lo pikir gue mau ngapain sih?" tanya Nidya sewot.
"Bukannya gue nuduh ya, tapi kalau ada setan lewat lantas kalian berbuat
mesum, lo mau tanggung jawab?" Sandro balik bertanya dengan ketus.
"Gue gak sekamar dengan Mahmud juga gak apa-apa," jawab Nidya. Aku
yang berdiri di belakang Nidya memberi kode menolak ke Sandro. Aku
emoh sekamar dengan Nidya yang manja, persis kata Lia.
"Sudahlah, gak usah diperpanjang. Gue kan hanya minta jaga kelakuan kita
semua. Yuk, masuk kamar yang sudah ditentukan!" kata Sandro.
Di kamar, masing-masing istirahat. Mmm...enaknya bisa meregangkan otot
di kasur empuk dan kamar yang dingin. Kami dapat lantai yang ada balkon
untuk bersantai dan bisa langsung memandang ke jalan raya. Tapi nanti
sajalah ke balkonnya, sekarang rebahan dulu dan bergosip. Tuh kan, belum
apa-apa Anty sudah nyerocos.
"Nidya kenapa sih" Ajaib banget kelakuannya, padahal kalau di sekolah gak
begitu-begitu amat," kata Anty heran.
"Mana gue tahu" Memang gue emaknya," jawabku sambil memejamkan
mata. "Kata orang, kalau kita bepergian dalam waktu yang lama, sifat asli setiap
orang bisa ketahuan," kata Lia.
"Asli gimana" Gue aslinya memang sadis, semau gue, gak ada yang gue
tutupui," jawabku tertarik dengan tema barusan. "Anty juga tetap bolot, gak
ada perubahan yang mencolok dari kelakuannya."
"Kan gak semua orang kayak lo, Neng," balas Lia.
"Lantas mau kita apain lagi nih"' tanya Anty yang sudah mati rasa dijuluki
"bolot". "Satu+satu dong. Krisna aja belum beres. Kalau dia sial lagi hari nih, itu
baru topik yang menarik. Kutukan danau toba!" kataku meyakinkan.
*** Pasti yang paling butuh istirahat tuh Rahmat. Kalau kami sih rasanya udah
cukup deh. Makanya begitu merasa bosan ngendon di kamar, kami menuju
kursi di balkon yang nyaman. Yang lain pada ngapain ya" Eh, baru saja
mikir begitu, Krisna dan Kelly sudah ikut bergabung.
"Gila lo! Ninggalin mereka berdua" Bisa honeymoon tuh mereka!" jeritku.
"Gak. Kalian tenang saja. Kami sudah bilang kamar jangan dikunci. Kalau
sampai mereka ngunci, gue ngamuk!" jamin Krisna.
"Ngapain aja mereka di kamar?" tanya Anty.
"Masih biasa aja sih," jawab Krisna lagi sambil berjalan ke arah pagar
balkon. "Biasa gimana?"
"Nidya langsung kumat manjanya. Gue sih merasa dia bukannya seneng
sama Mahmud, tapi pengen dilayani doang. Mahmud saja yang kege-eran
setangah hidup," papar Kelly bagaikan Bu Ratih, guru konseling di sekolah.
"Sumpe lo" Jadi maksud lo, hatinya masih buat si cowok bisu itu?"
sambarku. "Adi" Kayaknya begitu," jawab Kelly lagi.
"Heh, cewek-cewek, kalian demen banget sih ngegosipin orang?" sela
Krisna dari arah balkon. "Halah... Gak usah sok cool deh. Pasti lo juga seneng dengernya. Ini
ibaratnya latihan onvestigasi awal. Kalau yang begini aja lo gak bisa
memecahkan, gimana mau kasusu besar?" jawab Anty tak mau kalah.
"Lagian nih, Kris, ini bukan gosip. Ini fakta!" tegasku.
"Oke, oke. Gue ikut kalian, tapi masa Mahmud...eh, Pance segitu
gobloknya" Bisa aja Nidya ada hati, tapi sedikit banget." Krisna tertawa
gelisendirian. Heran, perasaan gak lucu-lucu amat.
"Kalian gak ada yang mau ngecek ke kamar?" tanya Lia agak senewen.
"Tenang saja, Li. Kalau ada apa-apa, kita hajar ramai-ramai. Musuhin, suruh
pulang, tinggalin," Kelly menenangkan.
Adi, Sandro, dan Rahmat muncul dengan wajah segar.
"Lengkap nih kit... Lho, kemana pasangan itu?" tanya Sandro bengong ke
arah Krisna. "Di kamar," jawab Kelly tenang.
"Edan lo semua! Yakin lo ninggalin mereka berdua di kamar?" Kata Sandro
lagi sambil menarik napas panjang. Kayaknya otaknya lagi butek banget.
"Ya udah, gue panggil deh." Kelly beranjak bangun menuju kamar. Belum
ada dua menit dia balik sambil berlari. "Kamarnya dikunci!" seru Kelly
heboh. Sontak kami semua lari menuju kamar itu. Pintu masih belum bisa
dibuka. Sandro menggedor. Pintu terbuka.
Mahmud keluar sambil tersenyum. "Sori. Kamarnya gue kunci. Takut ada
yang masuk kamar kan malah serem."
"Tadi kan udah gue bilang jangan dikunci!" bentak Krisna gusar. Kami
semua masuk ke kamar dan menutupnya.
"Kalian pada mau ngapain" Emangnya gue ngapain sampai dugerebek
begini?" kata Nidya setengah berteriak.
"Gue kan tdi bilang jangan dikunci," balas Kelly.
"Memangnya gue mau ngapain" ML sama Mahmud" Gue capek, tahu gak"
Capek karena perjalanan jauh, capek karena perlakuan kalian ke gue!"
Nidya makin emosi. "Kalo orang lain dalam posisi lo, pasti lo juga bakal khawatir seperti kami
kok. Dan itu kami lakukan bukan karena kami benci sama kalian, tapi karena
kami peduli dan gak mau hal buruk terjadi. Kita kan bukan malaikat,
monyong!" Sandro menyemprot dengan bengis. Kayaknya kesabarannya
lada luntur. "Sudah, Ndro. Sabar," Rahmat berusaha menenangkan sahabat lamanya itu.
"Gue mestu nagapain supaya kalian gak apada curiga?" tantang Nidya.
"Terserah lo. Lo mau ML kek, mau hamil di luar nikah kek, bukan urusan
kami! Kenapa sih lo gak kompak kayak cewek-cewek yang lain" Kalo lo
pengen diistimewain, jangan ikut!" umpat Sandro sambil keluar dari kamar.
Rahmat dan Krisna mengikuti keluar.
Nidya menangis. Kami bingung mau berbuat apa. Tiba-tiba Adi
mendekatunya. "Nid, udah jangan nangis. Yang lain keluar dulu deh. Gue
mau ngoming bentar sama dia." Adi menatap kami seolah meyakinkan tak
akan terjadi sesuatu jika mereka duitinggal berdua. Kami menuju pintu. Tapi
Mahmud berlagak berbenah.
"Mud, lo juga kekuar dulu," kata Adi tegas.
Tanpa membantah Mahmud langsung ngintil keluar bersama kami. Rasanya
aku belum pernah melihat Adi berkata setegas itu.
"Gimana?" tanya Krisna yang melihat Mahmud datang belakangan dengan
muka lesu. Kami kembali berkumpul di balkon tadi.
"Adi mau ngomong berdua dengan Nidya. Tunggu aja deh," jawab Lia
pelan. "Masih marah, Ndro?" tanyaku memilih duduk di sebelah Sandro.
"Sa, gue kesal banget sama Nidya. Kenapa si tuh bicah?" jawab Sandro
pelan. Mahmud berdiri di balkon melihat pemandangan persis kayak orang
mau bunuh diri. Kami memperhatikan gerak-geriknya sambil terkikik.
Kenapa lagi tuh makhluk jadi ikutan melankolis gitu"
"Cuekin aja. Over acting," bisik Anty pelan banget.
"Perasaan di sekolah gak begitu-begitu amat. Emang dia suka menyemenye, tapi kolokannya menjadi-jadi banget, kayak memanfaatkan orang
aja," kata Sandro masih belum puas menumpahkan unek-unek.
"Sudahlah, Ndro. Sudah," Lia berusaha meredam. Kami merasa gak enak
hati, terutama karena ada Rahmat yang gak ngerti apa-apa.
"Sori ya, Mat. Jadi agak kacau gini peejalanannya." Kata Sandro tak kalah
lemas. "Ah, gak apa-apa kok. Seru juga kayak nonton sinetron, hehehe...," tanggap
Rahmat sambil tertawa geli. Duh, lesung pipinya. Pasti semua cewek yang di
sini menelan ludah melihat senyum yang bikin perasaan adem itu.
"Gals, gue tahu yang ada dalam pikiran kalianl kata Krisna sambil gelenggeleng kepala. Brengsek. Rupanya Krisna menyadari juga hati kami pada
resah gara-gara Rahmat. "Gak apa kan kita ninggalin mereka berdua?" Lia berusaha memastikan
supaya jangan ada keributan baru yang akan terjadi lagi.
"Kalo Adi, gue percaya." Jawab Sandro.
"Kalo yang lain?" pancing Anty. Tapi Sandro tak terpancing. Mungkin
Mahmud mendengar. Dia berjalan menuju kami dengan wajah supersuntuk.
"Sori. Gue mau menjelaskan," kata Mahmud mulai bicara dengan lemah.
"Tadi gue dan Nidya gak ngapa-ngapain. Sumpah. Gue ngunci pintu karena
disuruh Nidya." "Duh, baru sekali ini aku mendengar suara Mahmud yang begitu lemah,
tidak seperti saat dia ingin berbenah. Biasanya dia ceria. Kasihan sih, tapi
juga nyebelin karena bikin suasana jadi kacau. Sandro diam saja, begitu
juga Krisna. "Jadi, lo lebih mendengarkan Nidya daripada permintaan kami" Emang
permintaan Nidya gak salah, tapi lo juga tahu alasan kami minta jangan
dikunci. Lo pasti ngerti!" kata Kelly supergalak karena merasa gak dianggap.
"Kenapa sih, Mahmud" Kenapa lo aneh banget?" tanya Anty tak mau kalah.
"Masa gara-gara cewek, kelakuan lo berubah banget?" Kelly menambahi
lagi. "Mm, gimana ya" Gue juga gak tahu gimana awalnya, tiba-tiba saja Nidya
sering ngedeketin gue, terus minta tolong ini-itu. Tahu-tahu deket aja,"
cerita Mahmud yang gak mau harus buka mulut daripada dibantau kami
karena merusak suasana. "Lo yakin Nidya deketin ko karena demen, bukan mau memanfaatkan
kelakuan lo yang ringan tangan dan multitalented itu?" Krisna gak tahan
ikut nimbrung setelah bisa meramau emosinya yang ikut meleduk kayak
kawah Gunung Merapi. "Yah, gue gak tahu. Gue sih...terserah dia. Uka beneran atau hanya
dimanfaatkan, yang penting gue sudah memberikan yang terbaik. Lagi pula
dia pernah bilang sayang sama gue," jawab Mahmud lagi persis kayak
orang diinterogasi. Bener-bener kayak sinetron nih. Bersamaan dengan kalimat terakhir
Mahmud, Nidya dan Adi muncul. Aje gile! Muka Mahmud langung kayak
jus jambu biji merah. Adi dan Nidya juga tak kalah syok. Tampang mereka
juga agak terpukul dengan pernyataan Mahmud.
"Begini deh, lo mau kita ngobrol untuk menyelesaikan masalah ini atau
langsung cabut aja" Gue udah muak, pusing, enek karena masalah ini," kata
Sandro dengan tampang apriori.
"Ayo, kita cabut saja. Sayang kan, sudah sampai di ini waktunya malah
terbuang percuma," Adi menjawab dengan cepat.
"Oke. Sekarang kita muter-muter Bukittinggi, nanti agak malam kita ke Jam
Gadang. Bagaimana, Bos?" tanya Rahmat dengan suara yang menyejukkan.
"Atur aja, Mat," jawab Sandro berusaha sedikit tersenyum.
Kami memang langsung berangkat, tapi komposisi duduk di mobil,
ibaratnya lagu, sudah diaransemen. Di tengah, aku, Lia, Kelly, dan Krisna. Di
belakang, Anty merelakan diri untyuk menjadi penengah dengan posisi
berselang seling. Nidya, Adi, Anty, dan Mahmud.
Sore begini cuaca cukup adem dan jalanan sepi karena memang tak banyak
mobil yang lewat. Tak banyak yang bicara dalam mobil. Yang ramai cuma
penyiar radio di dalam mobil yang berkoar-koar sok asyik.
From Sumatra With Love Karya Esi Lahur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Di sini ada mal gak ya?" tanya Anty berusaha memecah keheningan
dengan pertanyaan konyol. Kami gak menjawab karena memang gak tahu.
Belum ada yang pernah ke sini kecuali... Rahmat.
"Gak ada. Kalau mau yang enak, lebih baik kamu borong keripik sanjai yang
banyak," jawab Rahmat ramah sambul melihat ke kaca spion. Anty
gelagapan karena pemuda idamannya menjawab langsung pertanyaannya.
"Oh, keripik sanjai yang enak itu ya" Iya nih, mau beli yang banyak. Bisa
sekarang?" Anty langsung menguasai diri dan memberikan pertanyaan
yang untungnya cukup cerdas.
"Kalau sekarang gak bisa. Lebih baik besok saja sekalian pulang ke Rumbai.
Gak apa-apa, kan?" Rahmat balik bertanya dengan suara merdu. Anty, Anty,
bisa bener lo! "Besok juga gak apa-apa deh," jawab Anty centil. Krisna langsung berlagak
batuk dengan volume kencang.
"Heh, batuk sinetron lo! Ntar bengek beneran baru kapok lo." Anty
meradang, tapi dalam hati pasti bahagia.
"Kayaknya ada yang hatinya berbunga-bunga, dipenuhi bunga bangkai
nih," selaku geli. "Awas lo, Sa!" rutuk Anty.
*** Jam Gadang sudah kami nikmati, sate padang ala Bukittinggi juga sudah
kami lahap. Sekarang saatnya tidur lelap. Badan lelah tapi mata gak mau
merem juga. Pembagian kamar tidur gak ada yang berubah, namun
menurut Kelly dalam SMS-nya barusan, Mahmud dan Nidya malah tak
bertegur sapa sama sekali.
"Kok jadi kacau begini ya perjalanan kita?" Lia memulai curhat.
"Ah, biasa aja. Jangan dimasukin hati deh. Cepat atau lambat, seperti lo
bilang, kalo pergi rame-rame pasti ada kejadian begini," jawabku
membatasi curhatnya. "Tapi yang tadi sore itu memang seru. Cinta memang bikin buta. Buktinya si
Mahmud. Nidya hanya kasih perhatian seimprit, dia udah keblinger kayak
dicucuk cula badak," Anty nimbrung juga.
"Kacay juga Nidya, mental anak mami banget. Makanya Adi kesal kali
karena Nidya manas-manasin Adi dengan deket-deket sama Mahmud.
Mahmud memang target yang paling mudah dibanding Sandro yang
bengis atau Krisna yang keji," aku mencoba menganalisis.
"Jahat banget lo! Emangnya kita gerombolan narapidana?" balas Lia.
"Tapi semua kan masih dugaan. Gara-gara tadi sore kita jadi gagal
menyidang Krisna dan hari ini dia juga gak mengalami kesialan." Anty
berusaha mengingat-ingat semua kejadian yang menimpa Krisna hari ini.
"Masih sebel sama Nidya, Li?" tanyaku sambil membenamkan diri dalam
selimut yang tebal. "Sekarang masih. Kalau dia berubah, ya gue kurangi juga kesebelan gue.
Gak ngerti gue kenapa dia kekanak-kanakkan gitu. Moron!" rutuk Lia.
"Sudah, sudah, tidur. Jangan ngomongin yang jelek-jelek deh, nanti bisa
mimpi buruk. Semoga gue mimpi indah. Mimpiin Rahmat," harap Anty
dengan tatapan berbinar campur berair karena menguap melulu.
Hari yang panjang. Super melelahkan lahir-batin. Semoga besok ada
keajaiban yang bisa bikin kami kompak lagi, paling tidak seperti waktu
berangkat. *** Klining...klining...klining... Suara keliningan sapi berbunyi ramai di dalam
mobil. Itu suvenir gantungan kunci, salah satu belanjaan kami yang dibeli di
pasar di sekitar Jam Gadang.
Tadi pagi setelah sarapan kami langsung check out dari hotel. Waktu kami
tak banyak. Malam ini kami balik sehingga besok pagi tiba di Rumbai.
Besok sore kami beli tiket bus malam untuk pulang lusa. Nada homesick
sudah mulai terdengar. Tapi sebelum ngomongin besok, jalani dulu hari
kedua belas ini. Aku benar-benar berharap tidak ada keributan lagi.
Memang awalnya seru sih, tapi lama-lama menyebalkan. Niat kami jalanjalan kan untuk senang-senang, bukan untuk terapi kejiwaan!
Karena terburu-buru kami gak mampir, melainkan hanya melewati Ngarai
Sianok yang indah itu. Kami singgah di Benteng Fort de Kock, lalu jalan kaki
menyeberang jembatan Lilampek. Tapi tunggu dulu!
"Kris, sandal lo ketinggalan, ya" Kok sandal jepit hotel lo embat?" tanyaku
yang berjalan bersebelahan dengan Krisna di atas jembatan Lilampek
setelah berfoto-foto seperti biasa.
"Semalem tali sandal gunung gue putus. Emang udah uzur sih, tapi kenapa
putusnya pas di sini ya?" cerita Krisna datar.
"Sekarang sandal lo di mana" Dibuang"' tanyaku sok berempati.
"Dibuanglah. Disimpan juga gak bisa. Biar deh, nanti pulang dari sini gue
malah bisa beli yang baru, hehehe...," jawabnya menghibur diri.
Tuh kan! Berarti kemarin dia sial lagi. Tapi hari ini kami gak mungkin
menginterogasi dia karena jadwal "biro perjalanan maut" ini begitu padat.
Aku mulai yakin Krisna memang berbohong.
Ternyata di seberang benteng ada kebun binatang mini dan miniatur
rumah gadang. Kirain mau melihat apaan. Kalau hanya binatang, di Jakarta
malah lebih lengkap. Tapi Sandro terkesan banget saat melihat harimau,
buaya, dan beruang. "Maaf ya, gue bukannya mau mengganggu kesenangan kalian melihat
rekan seperjuangan yang lagi dikerangkeng. Kalau kalian pengen lihat lebih
dekat, bisa ke kebun binatang Ragunan atau ke Taman Safari. Gimana?"
kataku dalam nada superlembut namun tersenyum geram.
"Iya, Non. Ini juga kita mau berangkat," jawab Sandro tidak marah, tapi
malah mau ngakak. "Ke mana?" tanya Lia.
"Istana Pagaruyung," jawab Rahmat sambil, lagi-lagi, memamerkan lesung
pipinya. "Ty, kayaknya Tuhan mengirimkan dia supaya otak kita gak butek
menghadapi cowok-cowok barbar dan gak mutu, ya," bisikku pada Anty.
"Setuju!" teriak Anty.
"Setuju, setuju, setuju apaan" Lo kira kita lagi rapat RT?" semprot Sandro
kesal karena kena muncratan Anty.
"Hari yang cerah begini, lo jangan galak-galak dong. Itu namanya in-ti-mida-si," Kelly mencegah keributan sambil mengajak semua masuk mobil
dengan komposisi duduk seperti kemarin malam.
"Gue mau intimnya, tapi dasinya gue kasih ke Adi. Gimana, Bro" Terima gak
dasi gue?" jawab Sandro.
Dasar Aldi telmi, dia malah bengong. "Dasi apaan" Emangnya masuk Istana
Pagaruyung mesti make dasi?" tanya Adi bego. Kami semua terbahak.
Setelah agak lama, baru deh Adi tertawa.
*** Istana Pagaruyung memang keren. Tapi kami kurang bisa menikmati,
karena selain arsitektur yang cantik dan ukiran yang indah, bagian
dalamnya biasa aja. Selain itu, karena musim liburan, pengunjungnya pun
ramai. Saking ramainya tidak ada petugas yang memedulikan tau melarang
anak-anak menendang-nendang bola di dalam istana.
"Mana sih ortunya" Memang gak bisa dibilangin apa anaknya?" Krisna
ngedumel melihat keriuhan anak-anak itu. Pasti di dalam lubuk hatinya
yang terdalam dia mau menghajar, minimal memarahi anak-anak itu biar
kapok. Halaman istana itu kan luas banget, mainnya di luar saja.
Dari istana kami berencana menuju Danau Maninjau. Tapi waktu mau
keluar parkir, kami ketiban maslah lagi. Rahmat sudah membayar seribu ke
tukang parkir yang berseragam resmi. Eh, tahu-tahu ada tukang parkir lain
yang minta uang sepuluh ribu karena katanya dia sudah menjaga mobil
kami. Kami jelas menolak. Sandro yang duduk di depan bilang sudah bayar,
Rahmat juga sudah menolak dalam bahasa setempat. Tapi preman buluk
itu memaksa. Rahmat nekat mengegas mobil dan ngebut meninggalkan
lapangan parkir sementara preman tadi kaget dan hanya bissa
menyumpah-nyumpah. Melihat aksi taktis Rahmat, tanpa sadar cewekcewek bersorak dan memberi tepuk tangan meriah.
"Heh, kalian pada kenapa sih?" protes Krisna empet.
"Kenapa" Sirik, ya" Sewot nih yee," timpal Kelly tertawa-tawa.
"Udah bagus kami gak pake standing ovation," sambungku geli.
"Standing ovation apaan sih?" tanya Anty sambil nyengir.
"Yahj, itulah kalau kita tidak berada dalam level IQ yang setara," celaku
sadis. Rahmat terkikik. "Emang enak diketawain Rahmat?" Sandro ikut menambahi dengan wajah
puas. "Jadi, standing ovation apaan dong?" rengek Anty.
Melihat semangat belajar Anty yang tinggi, Lia pun tak sampai hati. "Itu lho,
penonton tepuk tangan sambil berdiri ramai-ramai. Kayak di piala Oscar,"
jawab lia sikat dan padat kayak ngisi esai ulangan.
"Kalau sendirian berarti bukan, ya?" Anty memastikan.
"Kalau sendirian ya tepuk tangan biasa. Udah" Puas, lo?" sambungku judes.
"Pernah lihat penyerahan Piala Oscar gak" Atau tontonan favorit lo cuma
lenongan" Pasti besok 17-an lo mau praktik standing ovation di RT lo, kan"
Ngaku aja deh," serbu Krisna.
Anty tak menjawab berondongan cercaan Krisna yang lebih menyakitkan
daripada tembakan timah panas. Anty hanya membalasnya dengan
mencibir. Perjalanan menuju Danau Maninjau masih panjang. Kata rahmat, kami akan
melewati Kelok Sembilan dan Kelok 44. Itu berarti nyetirnya harus
superawas dan para penumpang haru bersiap-siap supaya jangan sampai
muntah. Benar saja. Kelokannya tajam-tajam dan ada batu yang bertuliskan nomor
kelokan. "Ada yang punya plastik kosong gak?" tanya Adi.
"Emang kenapa" Lo mau muntah?" tanya Anty cepat dan panik karena dia
duduk tepat di sebelah Adi.
"Bukan. Nidya mau muntah," jawab Adi pelan.
Dalam hati aku merutuk. Teman-teman yang lain juga mungkin kesal. Minta
sendiri memangnya gak bisa ya, pakai nyuruh-nyuruh Adi segala. Dasar
cemen. Ujuk-ujuk Mahmud memberikan plastik dari dalam tasnya. Mau gak
mau Adi dan nidya menerimanya karena yang lain gak ada yang
menggerakkan tangan untuk mencari plastik.
Tiba-tiba Krisna nyeletuk, "Tokcer juga lo, Mud. Baru kemarin sore,
sekarang ydah jadi."
Rahmat langsung tertawa geli. Kami yang tadinya bingung mau ketawa
atau diam jadi mendapat kesempatan tertawa tapi tanpa komentar apapun.
Sungguh, aku gak berani melihat wajah Mahmud dan Nidya yang pasti
malu. Danau Maninjau belum terlihat, eh kami malah mencium semerbak bau
bensin. Apakah ada masalah dengan mobil kami"
"Mobil depan kali tuh, kan udah rongsokan," tuduh Kelly. Memang bener.
Mobil boks di depan kami bukan hanya kotor, tapi lebih tepat kumuh
banget. Untungnya Rahmat gak gegabah dan berhenti dulu di parkiran hotel yang
ada di dekat situ. Gak tahunya memang mobil kami yang berasap dan
remnya blong. "Tadi memang sudah terasa gak enak, tapi aku kira perasaanku saja," kata
Rahmat sambil memandang mesin mobil yang asapnya mengepul.
"Ah, gak apa-apa kok," kata cewek-cewek, minus Nidya, nyaris bersamaan.
Sambil mengelus dada Sandro menyahut, "Dasar cewek-cewek kesambet.
Coba kalo gue yang bikin salah, pasti sudah kalian kutuk habis."
"Sirik tanda tak mampu. Tapi keluhan pria sarat tragedi kayak lo akan kami
pertimbangkan," kata Anty sok.
Sebenarnya Sandro mau membalas, tapi karena melihat Rahmat terkiki, dia
hanya bisa menarik napas panjang sekali. Mahmud kembali tampil menjadi
bintang. Dia segera mengecek mesin mobil. Tahu ah! Aku gak ngerti. Adi
juga asyik berduaan dengan Nidya di bawah pohon yang ada di lapangan
parkir itu. Krisna hanya bengong, gak tahu mau membantu apa. Sandro dan Rahmat
sok sibuk jadi asisten Mahmud.
"Kris, daripada bengong kayak penunggu rumah gadang, mendingan lo ke
sini deh, gabungan sama kami," ajak Kelly. Mau gak mau Krisna bergabung
dengan kami yang berda di emperan lapangan parkir.
"Kalian gak nemenin Nidya" Lama-lama kasihan juga lho," kata Krisna
pelan. "Kasihan itu awal dari cinta," jawabku tak acuh.
"Dia aja maunya berduaan. Nanti kalo menganggu kemesraan mereka,
dibilang perusuh," tambah Kelly.
"Suasananya jadi gak sekompak waktu kita baru berangkat, ya?" Krisna
mencoba sabar. "Mana kita tahu dia bakal supermanja" Kalau dia anaknya Sultan Bolkiah
sih, manja no problem, dayang-dayangnya juga sepeleton," ujar Kelly
meladeni Krisna. "Susah deh ngomong sama cewek-cewek sinting kayak kalian. Lebih
gampang ngerobohin Tembok Cina," balas Krisna.
"Eh, hari ini lo udah sial lagi belum?" tanyaku mengeluarkan rasa ingin
tahuku. "Nyumpahin, ya?" Krisna balik bertanya dengan tampang duka.
"Jangan lo waktu main Truth or Dare di Danau Toba bohong, makanya kena
kutukan beneran," timpal Kelly.
"Bohong gimana" Eh, tapi kalau hari ini gue sial lagi, nantui gue coba lihat
deh, apa ada yang gak sinkron antara hati dan mulut gue. Ceilee... Gombal!"
Krisna menyoraki diri sendiri.
"Idih, lo ngapain sih" Sorak-sorak sendiri kyak gitu. Menurut gue sial itu gak
ada. Yang ada kita teledor, makanya jadi berantakan, terus kita bilang sial,"
kata Lia panjang lebar. "Lagu lo, Li, kayak engkong-engkong pemikir dari Yunani." Anty tak mau
kalah. "Bahasa lo tuh, Ty! Masa engkong-engkong" Filsug gitu, biar lo keliatan
agak terpelajar." Rupanya Lia kesal sama Anty yang sering asal njeplak.
"Iya deh, cewek pilihan Krisna tapi hatinya doang. Eh, kalo gue sih
tersinggung cuma dipilih hatinya. Dalam hati pasti gue bertanya-tanya.
Memangnya fisik gue kenapa" Apakah kayak setrika atau...," Anty berusaha
mematikan Lia. "Stop! Stop! Jangan cari masalah baru," potong Kelly cepat.
"Iya, cari topik baru aja deh. Pusing gue denger omongan lo, Ty," kataku
sebelum Anty kebablasan sintingnya.
"Heran deh, kalau gue memberikan pemikiran orisinal, gak ada yang mau
denger," kata Anty sok ngambek.
"Kalau orisinal inovatif sih gak apa-apa, lo kan merusak," Krisna
menambahi. "Kayak gue gini aja, Ty. Kegilaan gue gak merusak tapi menambah
keceriaan suasana," kataku sambil berdiri. Pegal duduk terus.
"Untung lo sadar, otak lo rada miring," komentar Kelly.
"Dengar ya, saudara sebangsa dan setanah air yang beda RT, gue disebut
gila pada masa kini, tapi di masa depan orang akan menyebut gue jenius.
Iya toh?" kataku tak mau kalah. Perang mulut yang superkonyol tak
terhindarkan di antara kami. Tapi diwarnai canda tawa bukan air mata.
"Woooii, para tukang bikin onar! Mobil sudah beres nih!" teriak Sandro
gembira. "Horeee!" Kami berhamburan ke arah mobil kayak orang udik baru melihat
pesawat. Rahmat menjajal mobil hasil ketok magic-nya Mahmud. Setelah
beberapa kali berputar-putar di parkiran mobi. Rahmat mengancungkan
jempol ke arah kami sambil tersenyum. Gubraaak! Gantengnya minta
ampun. Melihat para cewek tersipu, Krisna dan Sandro hanya bisa gelenggeleng kepala perlahan.
"Kami maafin deh kelakuan lo kemarin sore, Mud. Tapi maafnya untuk hari
ini aja, ya," kataku sambil masuk ke mobil.
"Heh, lo berdua mau ikut atau mau bertapa di bawah pohon?" teriak Kelly
ke arah Adi dan Nidya yang masih asyik berduaan. Mereka pun langsung
berlarian ke mobil tanpa mampu membalas omongan Kelly.
*** Ternyata Danau Maninjau tak jauh dari hotel tadi. Di sekitar danau banyak
pengasong telur burung puyuh rebus, aneka gorengan, dan kerang rebus.
Karena perut kami lapar tak terkendali, dagangan si uda pun ludes dalam
sekejap. Uda telur puyuh itu kayaknya bahagia banget sampai ngucapin
terima kasih enam kali. "Lo dari tadi makan telur melulu. Nih, cobaik kerang," Anty menawariku.
"Ogah ah. Kalau makan kerang, perut gue langsung mules. Trauma gue.
Keren kan trauma kerang?" kataku sambil melahap satu butir telur lagi.
From Sumatra With Love Karya Esi Lahur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Apanya yang keren sih" Enak, tahu. Ini cobain," paksa Sandro.
"Dasar Ande-Ande Lumut! Dibilang gue gak mau kok dipaksa. Nanti aja ah
makannya, kalo udaj ketemu rumah makan Padang," tolakku sewot.
Heran deh, kalau kita banyak rencana, kayaknya waktu berjalan cepat
banget. Tapi kalau kita bengong, justru jam seperti gak bergerak.
Saat mau pergi dari danau sempat ada masalah dengan tukang parkir lagi.
Karena tahu kami mau kabur, mobilnya malah ditendang. Lha, masa parkir
sebentar saja minta lima ribu. Bukannya pekit, tapi kan ngeselin dipalak
kayak gitu. Jalanan yang sepi ternyata menguntungkan. Kami bisa berfoto-foto dan
menggila di sawah orang, bahkan di tengah jalan raya. Kami sempat
mampir ke pantai ketika hari sudah gelap.
"Pantai apaan nih?" tanya Anty padaku.
"Mana gue tahu. Lo kate gue Nyi Blorong," jawabku sembarangan.
Rahmat yang ditanya Sandro juga gak tahu. Bodo amat lah. Mobil diparkir
tepat di bibir pantai. Yang bisa kami lihat hanya ombak kecil. Itu pun
ngeliatnya dengan sorotan lampu depan mobil.
"Sudah deh, gak ada bagus-bagusnya nih. Masa pemandangannya seuplik
gitu. Mendingan juga ke Ancol. Udah gitu nama pantainya juga gak ada
yang tahu, lagi. Sepi banget nih," kataku waswas. Untung yang lain sepakat.
Setelah foto-foto dalam gelap-gambarnya juga gak bisa menunjukkan kami
lagi di pantai-kami langsung cabut lagi.
"Mobil gak bisa jalan nih," kata rahmat sewaktu mencoba memundurkan
mobil. Rupanya ban belakang mobil kelelep. Semakin dicoba untuk
dijalankan, semakin kelelep butiran pasir. Gawat nih.
Kami bergegas turun dari mobil. Mahmud langsung mengeluarkan
dongkrak, lalku memasangnya di dekat ban belakang. Erulang kali dicoba,
tetapi tak berhasil mengangkat mobil keluar dari pasir. Gawat! Tidak ada
suara ribut di antar kami. Semua bahu_membahu mengangkat mobil dari
kepungan pasir. Keringat bercucuran. Selagi kami berusaha, tiba-tiba
datang seorang bapak tua dan dua orang berbadan besar. Tanpa ba-bi-bu
mereka langsung mengangkat bagian belakang mobil. Ban berhasi keluar.
Rahmat dengan cepat menjalankan mobil. Ketika kami mau mengucapkan
terima kasih, ketiga penolong itu sudah tak kelihatan.
"Orang-orang tadi siapa, ya?" tanya Sandro saat kami sudah keluar dari
pantai. "Baik banget ya, tapi datengnya dari mana" Pas mereka dateng tadi gue
udah sempet berpikiran buruk. Jangan-jangan mereka mau minta duit atau
ngerampok. Eh, gak tahunya malah ngebantu tanpa basa-basi," kata Krisna
rada terharu. "Kalau gitu kita sebut malaikat pantai saja," tambahku masih agak
merinding karena jejak mereka sama sekali gak ada.
*** Habis merinding, kami pesta keripik. Ya, keripik sanjai yang merah dan
pedas. Yang bikin keringetan tapi lezat. Di seopanjang jalan Soekarno-Hatta
melimpah pedagang snack. Berbagai jenis keripik tumpah ruah. Enaknya,
pengunjung bisa icip-icip gratis sebelum membeli.
Kulihat Sandro gak berhenti mencicipi aneka keripik padahal dia gak ada
niatan beli. Yang belanja dalam jumlah besar hanya cewek-cewek. Memang
sih para cowok juga ikutan beli, tapi gak sekalap cewek-cewek.
"Ingat ya, mobil kita sudah sempit. Jangan kebanyakan belanjanya," tegur
Sandro pelan. "Inget juga ya, antara icip-icip dengan ngembat dagangan orang
terbentang dinding yang tipis. Setupis kulit bawang!" semprotku ke kuping
Sandro dengan pelkan tapi tegas. Sandro bengong. Sudah bagus keripik
bayam yang baru ditelannya gak bikin tersedak.
Setelah puas memborong aneka keripik, kami kembali melanjutkan
perjalanan. Di mobil dalam perjalanan menuju Rumbai, kami asyik ngemil.
Ini salah satu cara agar gak ketiduran karena kasihan Sandro, yang
sekarang gantian mengemudi, haruk melek sendiri.
"Kayaknya kita harus cari pom bensin," ujar Rahmat setelah sekilas melihat
tanda indikator solar. "Tapi makan malam dulu deh supaya perasaan tenang," ajak Sandro yang
berusaha menenangkan diri plus perutnya yang sudah rindu makan porsi
besar, bukan sekedar keripik-keripik pemanis usus.
Kami masuk ke rumah makan Padang untuk memesan sate dan soto
Padang. Sembari menunggu pesanan, Mahmud memaksa untuk memijat
Rahmat. Si ganteng itu pun gak menolak. Dengan sigap Mahmud memijati
pundak, punggung, dan pinggang rahmat sementara kami memilih berdiri
karena sudah pegal duduk.
Begitu makanan tiba, kami segera duduk manis dan langsung makan
dengan lahap kayak korban bencana yang sudah ditelantarkan berhari-hari.
Soto Padang yang super pedas malah bikin kami makan nasi gak kira-kira
banyaknya. Anty makan dua piring, sama kayak anak-anak cowok. Lia hany
makan sate karena perutnya sudah kepenuhan keripik. Sehabis makan kami
bagaikan baterai yang baru di-charge.
"Semoga ada pom bensin di dekat sini," ujar Rahmat harap-harap cemas.
"Mud, lo sanggup gak dorong mobil ini sampai di Rumbai?" tanya Kelly.
"Kacau lo, Kel. Kayaknya lo perlu cuci otak deh," kata Lia.
"Kalau itu di anggap kejam, nati pas mobil kita benar-benar kehabisan
solar, tplong lo cari tukang solar terdekat plus jerikennya," Kelly berusaha
meralat namun kekejamannya tak berkurang.
"Jeriken" Apa hubungannya sama solar" Jeriken kan yang mimpin paduan
suara?" Adi nimbrung.
"Lo jangan garing deh," sergap Anty.
"Eh, gue beneran nih," jawab Adi lemah.
"Yang mimpin koor itu dirigen, Adi anakku sayang," jawab Anty bete.
"Berarti selama ini gue salah dong. Tapi tukang bensin dekat rumah gue
kalau gue bilang dirigen kok ngerti ya?" Adi balik bertanya.
"Interogasi aja tukang bensin itu," cibir Anty.
"Huu... Lo baru bener sekali aja udah kayak juara Kumon nasional," protes
Adi tak terima dihina Anty yang dianggap terbolot.
"Kumon apaan sih?" giliran Anty yang bolotnya kumat.
"Lo pada cerdas cermat berdua deh. Kami yang jadi dewan juri. Kok
pengetahuan kalian berdua agak dangkal ya" Nilai kelulusan SMP kalian
patut dipertanyakan tuh," Kelly menengahi. Biarin deh pada ribut karena
siaran radio sudah tidak tertangkap lagi.
"Payah banget lo, Ty. Kumon aja gak tahu. Lo tinggal di daerah mana sih?"
cecar Adi. "Jahat banget lo. Orang nanya aja dipersulit, gimana kalau minta
sumbangan. Pasti lebih menyakitkan lagi jawabannya. Kumon" Oh... Kutu
montok, ya?" Anty mencoba menjawab. Kami semua ngakak sampai perut
melilit. Di jalanan yang sepi kami melihat rambu pom bensin. Perasaan langsung
lega karena berarti perjalanan kami bakal aman. Tapi sampai di tempat
yang sesuai dengan petunjuk kami bengong. Pom bensinnya belum jadi.
"Gawat, gawat, mana solarnya sudah tipis banget, lagi," kata Sandro cemas.
"Jangan takut. Nanti aku tanya orang. Siapa tahu di depan ada warung,"
Rahmat berusaha menenangkan.
Kami yang duduk di belakang perasaannya sudah campur aduk. Antar
senang dengan daya juang Rahmat, mau bertahan gak tidur tapi mata
sudah lima watt, serta panik gara-gara solar menipis. Rasanya gak tahu mau
ngomong apalagi supaya senmangat kami meningkat. Sebenarnya Rahmat
juga sudah tepar, makanya dia minum minuman berenergi.
"Sudah berapa kaleng lo minum?" tanya Sandro yang di rumah makan tadi
minum dua gelas kopi kental.
"Gak ngitung, tapi abis dapat solar aku tidur dulu ya supaya tengah malam
segar lagi dan bisa gantiin nyetir," jawab Rahmat. Aih, sudah ganteng, katakatanya pun membawa ketenangan bagi kami. Tak jauh dari pom bensin
yang belum jadi itu ada warung dan pemiliknya bilang tak jauh dari situ ada
pom bensin. Leganya! Satu maslah teratasi. Namun, masalah lain datang.
Di sebuah kelokan sempit, jalan dua arah macet total. Entah ada apa.
Rahmat turun dari mobil dan berlari ke depan untuk mengetahui penyebab
macet. "Untung Rahmat penuh vitalitas dan lincah," puji Anty yang matanya jadi
segar setelah melihat gerakan Rahmat. "Iya, tuh anak kuat banget. Kita
sudah teler tapi dia masih bugar gitu." Tambah Kelly.
"Ty, siaopa aja nih yang udah pada almarhum?" tanyaku lemah.
"Pasangan tekukur udah tidur bergenggaman tangan dari tadi. Mahmud, lo
masih hidup, kan?" Anty berteriak di kuoing Mahmud yang kesadarannya
udah mulai hilang. "Apaan sih, Ty, gue ngantuk nih," jawab Mahmud lemas.
"Ty, jangan ganggu orang tidur." Tegur Sandro dari depan.
"Tumben lo ngebela Mahmud," tanggap Anty gak terima dimarahi.
Rahmat kembali saat hujam turun rintik-rintik.
"Tenang saja. Nanti jakan kok," kata Rahmat sambil menutup pintu.
"Macet banget di depan?" tanya Sandro.
"Lumayan. Tapi udah ada polisi," jawab Rahmat.
"Hebat bener polisi di sini. Sudah malam, hujan, masih tugas. Coba kalau di
Jakarta" Pas tempo hari hujan deras hingga banjir dan jalanan macet total,
polisinya malah ngilang kayak drakula dikasih bawang putih," puji Kelly
dibumbui kutukan-kutukan.
"Ampun deh, Kel, udah ngantuk berat tapi lo masih bisa nyumpahi polisi,"
kata Krisna yang tak kalah letih. Kelly terkikik.
"Tapi bener juga lo, Kel, kalo dikasih duit baru deh tuh polisi pada nyengir.
Pengen gue lemparin tomat busuk, gitu," tambah Anty yang mulai terasah
sifat anrkisnya. "Daripada nyiapin tomat busuk, mending lo gak udsah melkanggar
peraturan lalu lintas. Beres, kan?" imbuh Lkia, seperti biasanya dalam nada
bijak. Masalah seolah gak ada habisnya. Setelah terbebas dari macet, turun kabut
dan hujan yang luar biasa deras. Perasaan jadi terbelah antar waswas
terhadap keselamatan perjalanan dan godaan udara dinggin yang enak
untuk tidur. Ternyata satu per satu mulau terlelap. Mahmud dan Anty tidur
bersusulan. Lalu Krisna dan lia juga terlelap. Si ganteng yang ada di depan
juga tidur. "Kel, udah ya, gue gak kuat lagi," kataku langsung blek! Tidur nyenyak.
Kami menggantungkan nasib di tangan satu orang.
*** "Sebentar lagi sampai. Kita sudah masuk Rumbai!" teriak Sandro
membangunkan kami. Hujan masih deras. Pukul 05.17.
Aku terbangu, Lia juga. Kelly ternyata masih terjaga.
"Lo semedi, Kel?" tanyaku.
"Gue gak bisa tidur. Gak tenang," jawab Kelly sambil memelototkan mata.
Kulihat Rahmat dibelakang setir berusaha bertahan meski matany sudah
memerah. Semoga kami cepat sampai.
*** "Horeee!! Home sweet home!" teriak Sandro di tengah kencangnya dru
hujan. Suara badainya sekaligus menjadi alarm bagi yang lain. Satu per satu
terbangun sementara orangtua Sandro sudah menunggu di teras rumah.
"Woooiii, Anty, bangun lo! Tidur kayak fo
sil dinosaurus!" Kelly
mengguncang-guncangg tubuh Anty. Yang dibangunkan mulutnya
langsung monyong. Sambil mengangkat barang-barangnya, Anty turun
dari mobil persis kayak pengungsi.
"Mat, masuk saja duluan. Tidur sana," suruh Sandro melihat Rahmat yang
sudah capek berat. "Iya, Mat. Ayo tidur dulu. Atau mau sarapan dulu?" Mama Sandro ikut
mengurusi Rahmat. "Iya deh. Aku tidur duluan ya. Udah gak tahan nih," kata Rahmat pamitan
pada kami sambil berjalan cepat ke dalam rumah.
Ada lagi yang ikutan masuk dengan lenggang kangkung padahal kami plus
orangtuanya Sandro bahu-membahu mengangkati barang belanjaan ke
dalam rumah. Nidya. Bahkan tasnya sendiri pun ditinggal begitu saja.
Mahmud pura-pura tidak melihat ransel itu dan sok sibuk membawa
kantong-kantong belanjaan. Adi, yang bengong melihat melesatnya Nidya,
akhirnya membawakan ransel itu.
"Sini, Di. Kita umpetin aja, ya" Keterlaluan banget," kata Sandro. Adi
mengangguk pelan. Mungkin dia juga mau memberi pelajaran pada Nidya.
"Bagus! Biar dia kapok!" tegas Lia.
Atas kesepakatan bersama, Sandro menyembunyikan ransel Nidya di
belakang sofa ruang tamu. Setelah semua barang diturunkan dari mobil,
ternyata semua memilih tidur ketimbang sarapan. Mata betul-betul gak
bisa di ajak kompromi. Bab 9 Hari Ketiga Belas, Hari Penghakiman
Matahari sudah tinggi saat kami bangun. Perut lapar dan keroncongan
tidak bisa dibiarkan. Tanpa sikat gigi semua menuju ruang maka. Mamanya
Sandro sudah menyiapkan martabak Mesir, telur bebek goreng, kari
kambing, dan es buah. Dasar ibu-ibu, mama Sandro senang banget
makanannya kami lahap. Aku merasa sudah terlalu banyak mengambil
kerupuk udang yang selebar CD. Tiga buah! Tapi ternyata ada yang lebih
maniak, siapa lagi kalau bukan Anty" Dia sudah makan enam kerupuk
udang. "Mana Rahmat, Ndro?" tanya Lia.
"Masih tidur. Buset, nyenyak banget tidurnya. Kayak bayi," jawab Sandro
sambil menyeruput es buah.
"Kalau gue pasti gak tahan. Mending bantu yang lain deh," timpal Mahmud
yang juga bisa nyetir dan sering membawa mobil Krisna sewaktu kami
bersama-sama ke mal di hari Sabtu atau sepulang sekolah yang besoknya
tanggal merah. "Tadi tas gue udah dibawa turun?" tanya Nidya pada Adi yang duduk di
sebelahnya. "Mmm... Gak tahu. Bukannya lo yang bawa?" Adi balik bertanya dengan
mata yang hanya berani menatap makanan di piring. Yang lain pura-pura
tuli dan asyik makan. "Lho, kok belum" Tadi gue kira lo yang bawain, abis gue ngantuk banget,"
jawab Nidya cemberut. "Wah, gue gak tahu. Tadi pas lo turun kan gue lagi ngangkutin kantong
belanjaan. Ransel gue juga udah gue bawa jadi gue gak ngecek lagi ke
barisan belakang. Gak tahu deh yang lain pada lihat gak?" Adi
melemparkan masalah tas ke kami.
"Gue kira lo juga udah bawa. Mana gue perhatiin," jawab Anty yang tadi
duduk di barisan belakang.
"Gimana sih nih" Mud, lo lihat tas gue?" tanya Nidya kian panik.
Makanannya langsung gak disentuhnya sama sekali. Dan ini kali pertama
dia ngomong dengan Mahmud setelah peristiwa "penggerebekan" di
Bukittinggi. "Gak. Gue gak tahu," jawab Mahmud dengan singkat tanpa memandang
wajah Nidya sama sekali. Mungkin Mahmud masih sakit hati karena tibatiba saja Nidya berpaling lagi ke Adi.
"Gimana sih kalian" Bukannya pada ngecek mobil, lihat ada yang
ketunggalan atau gak," kata Nidya marah. Nada suaranya seperti mau
menangis. "Eh, lo aja yang punya barang gak peduli. Kenapa kami mesti peduli?"
jawab Sandro keras. Mama Sandro yang dari tadi mondar-mandir melihat
cukup-tidaknya makanan, pasti mendengar pertikaian kami. Cuma beliau
gak enak hati untuk nimbrung atau melerai.
"Iya. Kok lo malah nyalahin kami?" tambah Lia ikutan sewot.
"Emang kami pembantu lo?" Kelly ikut protes, bikin suasananya bertambah
panas. "Eh, sori ya. Cuman ngomongin masalah remeh kayak begini ntar aja deh.
Gak ngenak-enakin orang makan nih," protesku sambil mengambil
potongan martabak lagi. "Setuju!" teriak Krisna tertawa-tawa.
"Tante, martabaknya bikin sendiri atau beli?" tanyaku pada mama Sandro
yang datang mengambil piring kosong bekas wadah telur bebek goreng.
"Beli. Tante gak bisa beli martabak sendiri. Besok sebelum pulang kita ke
restorannya yuk," ajak mama Sandro.
"Iya, Ma, besok aja. Tiket aja sampai sekarang belum punya," kata Sandro.
"Lho, kamu mau ikutan balik ke Jakarta besok?" tanya Mama Sandro yang
selama ini bolak-balik Jakarta-Riau untuk menemani Sandro tinggal di
From Sumatra With Love Karya Esi Lahur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jakarta dan akhir pekan balik ke Riau.
"Gak kok. Tenang aja," jawab Sandro bak anak manis. Dia sih enak karena
papanya kerja di Caltex, pulang dengan pesawat kantor gratis!
Aku melirik Nidya yang masih sewot. Tangannya mengaduk-aduk makanan
di depannya dan matanya agak berkaca-kaca. Wah, sinetron banget nih.
Mama Sandro meninggalkan kami ke dapur.
"Hari ini kita ngapain selain beli tiket?" tanya Kelly semangat lagi. Perut
kenyang, hati senang. "Istirahat aja deh, gue masih tepar nih," jawab Krisna.
"Huh, dasar pria lemah," semprot Kelly tak puas.
"Kel, kami juga capek nih. Lo kan biasa kerja di perkebunan, jadi gak kerasa
capeknya," imbuhku usil.
"Ngaco lo!" kata Kelly sambil tertawa.
"Terus tas gue gimana dong?" Nidya masih ngeyel dengan tatapan gak
merasa bersalah. "Begini deh, daripada lo mengacaukan suasana liburan kita melulu, nanti lo
kasih nomor telepon penyewaan mobil Caltex dan lo tanya ke mereka soal
tas lo," jawab Sandro. Otak jailnya mulai keluar.
"Jangan gue dong yang telepin. Kan lo yang kenal," elak Nidya.
"Gue juga gak kenal. Bokap gue yang kenal. Terus kalo lo gak mau usaha, lo
mau nyuruh bokap gue?" tanya Sandro dengan nada tinggi.
*** Habis makan kami mandi dan langsung mencari tiket bus malam. Kami
semua" No, no, no. Si Miss Manja tinggal di rumah karena mau menelepon
penyewaan mobil Caltex. Adi menemaninya sembari kami ancam, kalau dia
buka mulut akan terjadi perang besar. Rahmat masih pulas, sama sekali gak
terbangun meskipun anak-anak cowok bolak-balik ke kamar.
Kami sepakat pulangnya akan menghakimi Nidya. Kami tidak bermaksud
jahat, tapi melatih dia supaya mengurangi manjanya. Sejelek-jeleknya, kami
sudah lumayan mandiri lho.
Dasar pada edan. Setibanya di rumah Sandro setelah membeli tiket, gak
ada satu pun yang mananyakan Nidya tentang nasib tasnya. Kami malah
ramai-ramai tertawa. Sebenarnya ketawa-ketawanya sengaja dibikin-bikin
supaya Nidya makin panas.
"Anak-anak, mau ikut Tante ke Pasar Bawah gak?" tanya mama Sandro.
"Pake dua mobil lagi, Tan?" Kelly balik nanya.
"Ah, gak usah. Cewek-cewek aja yang ikut," jawab mama Sandro sambil
mengambil kunci mobil dari tangan putranya.
"Terus kami ngapain, Ma?" tanya Sandro bingung. Maksudnya
mempertanyakan kejelasan nasib cowok-cowok bila ditinggal pergi.
"Temenin Rahmat. Kan kasihan kalau dia bangun gak ada orang di rumah.
Itu, Mama sudah siapkan pisang goreng dan es cendol di kulkas kalau
kalian mau ngemil. Ayo, kita berangkat," ajak mama Sandro semangat. Kali
ini Nidya mau gak mau ikut.
"Daah! Kami tinggal dulu ya! Mau nitip apa?" tanya Anty kecentilan seperti
biasa. "Kalau kalian masih punya hati nurani sih, kami dibeliin apaan, gitu," jawab
Krisna. "Oke, asal pisang gorengnya jangan dihabisin, ya," janji Lia.
*** Dasar cewek. Cuman melihat barang-barang impor dari Malaysia dan
Singapura dengan harga miring saja sudah senang banget. Dari baju, tas,
keramik, elektronik, sampai aneka makanan. Karena harganya serba gak
terjangkau, kami memutuskan beli makanan saja. Anty beli snack sejenis
Chiki rasa durian made in Malaysia. Nidya sama sekali tidak belanja.
Mungkin pikirannya masih mengawang ke tasnya yang kenyap atau malah
dia sudah tenang karena Adi sudah memberitahukan keusilan kami.
Entahlah. Lia beli permen susu bergambar udang. Pas di mobil kami cicipi, gak tahuny
rasanya kacang doang, tapi bentuk permennya kayak kepompong,
tengahnya bolong. Aku mengirim SMS pada Sandro saat di mobil menuju perjalanan pulang.
Tanya Adi, apa dia udah bocorin"
Bagus, Sandro langsung membalas.
Emang kenapa" Kok Nid diem-diem aja. Lebih nyante gitu.
Ntar deh gue cek, oke. Tak lama kemudian datang lagi SMS dari Sandro.
Dah nyampe mana" Mana gue tahu. Dasar! Adi ngaku. Dia ksh tahu tas udh dtrunin tp diumpetin.
Dengan geram aku mengetik SMS balasan:
PENGKHIANAT!!! Ntar langsung ke atas aja, kmi lg pda di atas kok.
Enak aja. Pisgor 'n cendolnya gmna"
Barbar. Iya gue bawa ke atas sekalian.
*** Benar-benar pesta makanan. Aneka snack dari belanja tadi plus pisang
goreng dan es cendol yang dicampur dengan ketan, tapai, dan alpukat,
dijamin sedap dan segar serta sukses membuat kami gendut. Rahmat
makan banyak karena gabungan sarapan dan makan siang.
"Gimana, Mat" Nyawa lo udah balik?" tanya Kelly sok perhatian.
"Sudah. Sudah. Tadi habis mandi dipijat Mahmud lagi," jawab rahmat
girang. "Gila nih. Berat kita naik berapa kilo ya?" tanyaku pada Anty.
"Jangan nanya-nanya gitu dong. Merusak kenikmatan liburan," jawab Anty
manyun. "Iya, Sa. Nanti kita masuk sekolah juga disiksa lagi. Pikiran mumet sama
pelajaran, udah gitu Pak Paino kalo ngasih olahraga kan gak kira-kira,"
timpal Krisna. "Setuju! Tempo hari kita disuruh lari lima ribu meter di Lapangan Banteng.
Jangan-jangan sekarang kelas dua belas disuruh lari sepuluh ribu meter.
Kan berabe. Kadang gue berharap ada banteng beneran masuk ke
lapangan supaya kita bisa bubaran," celetuk Kelly.
"Impian lo itu memang gak sesuai dengan keadaan ibu kota. Kalo di
kampung lo masuk akal. Gajah aja bisa jalan-jalan di tengah kota," sahutku
sambil menyuap cendol. "Udah belum bercandanya" Gue mau ngomong nih." Sandro kayaknya
udah siap lahir-batin untuk pidato.
"Kenapa" Lo kayak engkong-engkong mau ngasih mau wejangan," cetus
Anty iseng. Sandro langsung pasang tampang bete semingamuk.
"Ampun, ampun, ampun," kata Anty lagi sambil mengatupkan kedua
tangan di atas kepala. Aku memutuskan kali ini hanya menjadi penonton sehingga tidak memberi
komentar yang bikin tambah kacau.
"Nid, gimana tas lo, udah ketemu belum?" tanya Sandro.
"Belum,"k jawab Nidya dengan muka sebal.
"Gue yang umpetin," kata Sandro lagi, sok bijak.
"Lo" Kami juga ngedukung kok. Iya, kan?" bela Krisna sambil memandang
yang lain, termasuk aku. Kami menjawab dengan angguka kepala.
"Kalau ada penilaian selama perjalanan ini, mungkin lo yang paling jelek
nilainya. Menurut gue, lo agak berlebihan deh. Manjanya menyebalkan,"
kata Sandro. " Gue pengennya lo ngomong yang sebenarnya karena gue
gak pengen ada kelanjutan cerita yang jelek dari perjalanan ke Sumatera ini
pas nanti kita masuk sekolah lagi."
Nidya hanya memonyonglan mulut dengan gaya sok kemanja-manjaan.
"Heh, lo jangan sok imut gitu. Ngomong apaan kek," kata Kelly pedas.
Rupanya dia juga gak sabar melihat kelakuan Nidya.
"Ngomong apa dong?" Nidya bali bertanya sambil meluk-meluk bantal.
"Yah... Lo bilang bagaimana perasaan lo tentang perjalanan ini, tentang
kami, dan kenapa lo nyebelin banget," jawab Lia mulai tak sabaran. Rasanya
aku juga inigin menyemprot Nidya yang menye-menye itu. Tapi kutahan
saja karena takut makin kisruh. Kulihat Anty juga gak minat menambah
kekacauan. "Apa ya" Gue ya kayak begini. Emang baru pada tahu, ya?" Nidya malah
balik bertanya dengan wajah tak bersalah.
"Perasaan, lo di sekolah gak begini. Jaim, ya?" tanya Kelly.
"Gimana, ya" Emang salah, ya?" Nidya masih anteng saja.
Dasar idiot. Ditanya malkah nanya balik. Kapan selesainya" Duh, rasanya
pengen kusiram air seember.
"Menurut lo salah gak?" Lia mulai ikutan kesal sementara Adi dan Mahmud
tetap diam. "Nid, kalo ditanya, jawab! Bukannya malah balik nanya. Menurut gue, lo
manja dan senang memanfaatkan orang. Intinya, lo gak bisa apa-apa. Gak
becus. Ngapain sih lo ikut kalau hanya bikin kacau?" akhirnya aku
menyemprot Nidya dengan nada setengah membentak.
Nidya langsung mewek. Dia sesenggukan gal ada juntrungannya. Air mata
buaya! "Kalau manja sekali gak ada salahnya, tapi kalau terus-terusan kebangetan
deh. Menyebalkan," Lia berusaha menengahi.
"Gue bersikap begitu karena di rumah gak ada yang merhatiin. Bonyok gue
kayaknya lebih peduli sama kakak dan adik gue," kata Nidya.
Ngomong gitu aja kok susah banget sih. Pakai melantur ke mana-mana
dulu. "Jangan-jangan bonyok lo biasa aja, merhatiin semua, tapi lo aja yang sensi.
Sensitif! Jadi mikirnya yang aneh-aneh," Lia berusaha mengerti. Memang
Lia bercita-cita kuliah di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Kalau
melihat gelagatnya selama ini, kayaknya cocok banget.
"Bukannya gue gak setia kawan, tapi urusan di rumah jangan dibawa-bawa
ke perjalanan dong. Kalau gue bilang sih lo bohong. Apa hubungannya
tidak diperhatikan di rumah dengan memanfaatkan Mahmud?" Anty gak
tahan juga untuk ikut menghakimi.
"Bagian itu, gue setuju!" tegas Krisna. "Gila lo, cung.., eh, Mud! Punya
pengacara sebanyak ini!"
Mahmud hanya mesam-mesem, tapi dia pasti pengen banget dengar
bagian ini karena dia pikir Nidya seneng beneran padanya. Gak tahunya
sekadar dimanfaatkan. Nah lo, sekarang Nidya gelagapan.
"Ngaku aja deh lo bohong. Tampang lo tuh bingung," Sandro terus
memojokkan. Nidya melirik ke arah Adi. Tapi Adi, seperti biasa, balik memandant tanpa
ekspresi. "Kalian kok pandang-pandangan gitu sih" Ada kode-kode, ya?" tanya Kelly
usil. Nidya menarik napas panjang. Kayaknya beban hidupnya seberat bebatuan
Gunung Singgalang. "Gue akan jawab dengan jujur, tapi jangan diledek, ya," pinta Nidya pelan.
"Iya, tenang aja," jawab kami serempak sambil cengengesan. Kayaknya seru
nih. "Sumpe lo?" kata Anty kepadaku.
"Dasar sinting! Sumpe lo, sumpe lo, muke lo rata!" semprotku. Anty malah
terkikik mendengar amukanku.
"Mm... Gue cuma pengen bikin Adi jealous. Kalo dengan Sandro dan krisna
kan gak mungkin karena merka berdua pada galak. Tapi kalau
Mahmud...eh... Gue minta maaf pada Mahmud. Memang Mahmud pernah
bilang suka sama gue, tapi gue sudah nolak dan Mahmud...ngg...pernah
bilang nanti cowok yang jadian sama gue bakal dia musuhin." Nidya tak
berani menatap wajah Mahmud.
"Oh gitu" Sebenarnya gue antar pengen ngakak dan kasihan sama nasib
Mahmud," celoteh Kelly tertawa-tawa.
"Memang nasib lo apes bener, Mud," timpal Anty.
Aku ikutan tertawa. Mahmud berusaha tersenyum.
"Tapi kok pake ngancem gitu sih?" tanyaku yang hanya dijawab Mahmud
dengan senyum tipis. "Jadi gitu masalahnya. Sekarang sih urusan Mahnud, mau memaafkan atau
melepeh lo," Sandro menengahi.
"Cocok nih teman perjalanan kita, manisnya mimpi pahitnya kenyataan,"
kataku masih terus mencela Mahmud.
"Dangdut banget sih!" protes Lia.
"Ssttt! Lo cewek-cewek pada berisik banget sih?" Krisna geleng-geleng
kepala. "Yah... Gue mau ngomong," kata Mahmud setelah diam cukup lama. Kami
semua langsung terdiam. Duh, Mahmud, masih remaja begini saja nasib
percintaanmu sudah tragis.
"Nidya, gak apa-apa lo memanfaatkan gue, bahkan mempermainkan gue.
Gue maafin. Ancaman gue cuma berlaku di awal-awal lo nolak gue kok. Gak
selamanya. Tapi jangan lagi deh bikin sebel semua orang di sini. Sudah
bagus yang lain gak nyuruh lo pulang duluan. Sudah bagus lo dimarahin.
Buat gue itu artinya mereka masih pengen temenan sama lo," kata
Mahmud dalam pidato perdananya.
"Ceileee... Puitis banget, Mahmud. Chairil Anwar aja sih kewat nih," teriak
Anty kampungan. Kelly malah ketawa gak berhenti dari tadi. Sandro, Krisna
, dan Andi sok jaim. Ketiganuya cima tersenyum dikulum. Padahal aku yakin
meraka nahan ketawa setangah mati.
.Tapi, Nid, Adi cemburu gak liat lo sama Mahmud?" tanya Lia penasaran.
Nidya menaikkan kedua bahu. Serempak semua memandang ke arah Adi
yang langsung panik. "Lho, ko pada ngeliatin gue" Apa salah gue nih?" tanya Adi dengan wajah
datar. "Gimana" Lo cemburu gak" Dari tadi kami ngomong, lo dengerin, kan"
Atau lo melayang-layang sendirian?" cecar Kelly gusar.
"Tenang, Kel, tenang. Jangan sampai ada amuk massa di sini. Ini rumah gue,
bukan di kampung lo," canda Sandro geli melihat Kelly yang begitu
bernafsu. "Lo gak lagi demo melakukan gerakan tutup mulut, kan?" aku menambahi
biar makin ramai. "Iya deh gue jawab, daripada lo mati penasaran, ntar gentayangan di kamar
gue, lagi. Cakep gak, nyeremin iya," kata Adi yang sedari tadi seolah sedang
tapa brata alias tak bersuara. Kelly ngedumel disebut-sebut menyeramkan.
"Gue bukan cemburuin mahmud, tapi marah sama keduanya. Gue marah
sama Mahmud karena dia tahu gue naksir Nidya, lalu ngapain juga dia mau
diajak berduaan" Itu kan namanya makan temen. Gue emang naksir Nidya,
tapi bukan lantas bisa disuruh-suruh atau keinginannya gak gue turuti
lantas ngambek. Seharusnya ini urusan gue dan Nidya, tapi karena kalian
memaksa, terus Nidya gue kasih tahu baik-baik malah ngambek, ya sudah,
terpaksa gue ngomong," tegas Adi.
Baru kali ini kami menyaksikan Adi bicara sepanjang itu. Dia gak plangaplongo kayak habis kesambar petir di siang bolong. Anty sontak tepuk
tangan lalu mengancungkan jempol. Nidya diam tertunduk, begitu juga
Mahmud. "Anty! Lo ngapain sih tepuk tangan segala" Emang lo pikir kita lagi nonton
kuda lumping?" bentakku.
"Woi, woi, woi, kita sampai lupa ada rahmat di sini. Sori ya, lo harus berada
di suasana yang gak enak begini. Gimana kalau lo jadi hakim kami saja?"
Sandro mengingatkan kami mengenai keberadaan Rahmat.
"Gak apa-apa kok, aku malah senang karena berarti aku dianggap teman
dan gak ada rahasia. Hehehe..." Rahmat malah menjawab sambil tertawa.
Aduh, duh, itu tampang kok keren banget ya" Kenapa makhluk ganteng ini
gaka da niatan merantau ke Jakarta"
"Semua maslah sudah beres, kan" Atau masih ada yang keganjal hatinya?"
tanya Sandro. "Gue, mungkin juga yang lain, minta maaf ke Mahmud yang kita katakatain kacung. Lalu gue secara pribadi minta Nidya gak usah terlalu manja
deh. Lo mengharap disayang, yang lo dapet malah dibenci. Biasa aja gitu
loh," Lia menambahkan.
"Ngapain minta maaf karena ngatain Mahmud kacung" Dia gak merasa
dilecehka kok dengan sebutan itu. Iya gak, Mud?" tembakku kangsung
mengarah ke Mahmud. "Gue disebut apa aja, gak apa-apa. Montir boleh, tukang benerin pintu
kamar mandi boleh, gak masalah kok," jawab Mahmud sambil tersenyum.
Gak tahu tulus atau tidak.
"Tuh, Li, lo denger sendiri. Apalah arti sebuah nama," Anty ikut nimbrung.
Lia_yang kayaknya paling normal dan gak begitu sadis di antara cewekcewek- hanya tersenyum tipis sambil geleng-geleng kepala melihat
From Sumatra With Love Karya Esi Lahur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kelakuan minus barusan. "Pokoknya apa yang terjadi di perjalanan ini gak usah dimasukin ke hati.
Gak usah diseriusin," kata Kelly.
"Setujuuu!" sorak kami serempak.
"Eh, tunggu, tunggu! Kalian kan selama ini ngomingin gue karena gue sial
melulu. Malahan nuduh-nuduh gue kena kutukan Danau Toba karena
bohong. Gue ngaku nih, gue memang bohong, tapi dikit. Makanya kemarin
gue gak sial, kan" Hehehe..." Krisna tertawa senang melihat wajah-wajah
yang penasaran. "Maksud lo apa sih, Kris" Jadi yang lo demen buka Clarissa dan Lia?" tanya
Kelly mencoba menebak. "Lo kok gak pernah cerita ke gue sih?" tanya Sandro rada geram.
"Itu kan rahasia hati. Pokoknya di antar kelima cewek ini ada yang paling
gue demen, tapi gue gak mau bilang ke kalian," jawab Krisna berteka-teki.
"Ha?" Tapi ceweknya tahu gak didemenin kamu?" Rahmat ikutan heboh.
"Ya tahu dong. Gue udah pernah bilang kok. Tapi ya gitu, ditolak," jawab
Krisna sumringah. Mungkin dia merasa menang karena berhasil bukin kami
penasaran. "Lo cewek-cewek, mau ngaku gak" Kalau gak, kalian gak boleh makan ntar
malam!" ancam Sandro. Bercanda tentu.
Hasilnya, kami berlima-lima saling bertanya-tanya. Siapa sih" Siapa"
"Jangan-jangan lo lagi adu domba, ya?" ucap Kelly dengan wajah bingung.
"Hilang deh dompet gue kalo gue bohong!" balas Krisna sambil
mengangkat jari tanda bersumpah.
"Sumpe lo?" Kelly memastikan.
"Jangan-jangan lo ya, Kel, makanya lo pura-pura nanya supaya gak
dicurigai," tuduh Adi.
"Sudah, sudah, biar jadi misteri aja. Siapa yang bisa nebak dan disertai
bukti-bukti, gak bakal kita cela setahun deh!" Sandro melerai keriuhan.
"Omong-omong barang bukti, gue jadi inget nih," kataku sambil mencaricari foto-foto di ponselku dengan tampang jail. "Siapa nih yang bulan
madu di kapal" Gosip paling hot, tidur seranjang!" Aku sengaja
mendramtisir barang bukti berupa foto di ponselku. Semuanya ngakak.
"Ampun deh, itu kan... Gila lo pada!" teriak Nidya malu waktu melihat fotofotonya dengan Adi saat tidur bergenggaman di kapal.
"Untuk bakat lo jadi paparazi, gue ancungin jempo,' kata Adi tersipu.
"Bisa ngomong juga lo" Gue kira kita lagi shooting film bisu," serang Anty.
"Emang enak mai kutu," Mahmud menambahkan. Tawa kami jadi semakin
heboh. "Iya deh, yang dendam cintanya ditolak...," goda Lia.
Ah, hari yang semula tampaknya menegangkan ternyata berakhir
menyenangkan. Apalagi sate Padang jadi penutup pertemuan kami.
Semoga intrik-intrik sepanjang perjalanan juga beneran berakhir. Oh ya, ini
kan hari ketiga belas. Bohong banget deh kalaui angka 13 dibilang sial.
Buktinya hari ini kami malah jadi kompak lagi.
Bab 10 See you di kantin sekolah
Tak terasa tepat dua minggu kami meninggalkan rumah. Cewek-cewek
yang lebih dulu bangun diajak oleh mama sandro sarapan di warung yang
andalannya lontong sayur dan lontong pecel yang pedas nya setengah
mati. Sudah begitu masih ditambah mi ayam! Gimana bisa nolak" Rasanya
lezaaat banget! Keempat cowok, minus rahmat yang sudah pamit semalam, masih tidur
nyenyak karena semalam main gitar di kebun belakang sampai dini hari.
Paling-paling mereka berkhayal lagi konser atau merayakan perdamaian di
antara kami. Mmm, tepatnya sih antara mahmud dan adi.
Tante membelikan sarapan untuk para cowok. Kami nggak langsung
pulang, melainkan mampir dulu di jalan sekolah buat beli martabak mesir
yang enak. Niatnya untuk camilan. Sayangnya, kami nggak berani makan
terlalu banyak. Nanti sore kan kami balik ke jakarta naik bus, gimana
jadinya kalau perut berontak karena ada yang minta dikeluarkan"
*** Waktu perpisahan pun tiba. Begitu jam menunjukan pukul empat sore,
kami ke pul bus merah hati diantar Sandro dan mamanya. Iya, Sandro
nggak ikut balik ke jakarta. Di baru kembali ke Jakarta lusa naik pesawat.
Kelly juga nggak ikut kami. Dia naik bus yang lain untuk kembali ke medan
karena orangtuanya masih di sana. Rencananya Kelly akan pulang bareng
orangtuanya naik pesawat.
Setelah peluk cium dengan mama Sandro dan tos-tosan dengan Sandro
dan Kelly, bus berangkat tepat waktu, pukul lima. Kami bertujuh, yaitu aku,
Anty, Lia, Nidya, Mahmud, Adi, dan Krisna, menepati bus supereksekitif
yang mempunyai posisi duduk 2-1, persis di belakang supir. Anty dan aku
sejajar dengan Lia yang sendirian. Di belakang kami ada Nidya dan Adi
yang sejajar dengan Krisna. Nah, yang duduk sendirian di belakang Krisna,
sudah pasti Mahmud yang kini menjabat bodyguard kami.
Bus belum jalan jauh dari pul, kami sudah heboh. Apalagi begitu
mendengar lagu yang berkumandang. Lagi-lagi Pance Pondaag! Tapi waktu
semakin malam, pak sopir malah menggantinya dengan lagu-lagu Minang
yang bertempo cepat. Kayak Minang remix gitu loh...
Selama perjalanan posisi duduk kami berubah-ubah, kecuali Nidya dan Adi,
plus aku yang nggak mau duduk di sebelah jendela. Trauma. Gara-garanya
aku pernah naik bus AC di Jakarta, eh di gordennya ada kecoak. Bukannya
takut,tapi jijik! Kasihan deh awak busnya. Masa sepanjang jalan banyak preman yang
malakin mereka. Kata sopirnya, kalau nggak di beri uang, bisa-bisa kaca bus
dilempari batu. Buset, jahat banget ya.
"Kayaknya Sandro pantes tuh jadi begal kayak gitu," kata Anty padaku.
"Lo beraninya kalo nggak ada orangnya. Coba kalo ada, paling lo bisik-bisik
aja," sambar Krisna.
"Sepertinya ada suara tapi nggak ada orangnya. Penampakan ya?" Balas
Anty pura-pura nggak menyadari keberadaan Krisna yang mengeritiknya
barusan. "Huuuu!" serapah Krisna sambil melempar bungkus kacang ke Anty.
"Heh, dasar penunggu kuburan! Lo jangan buang sampah sembarangan
dong. Kan kasian keneknya." Anty terpaksa memungut bungkus kacang di
lantai bus. "Iya deh, Miss Cleaning Service. Maaf, maaf" Krisna mencibir.
"Ty, masa jam segini toko-toko udah pada tutup?" Kataku sambil menunjuk
ke arah jendela. "Iya. Pas di Medan gitu juga. Begitu jam tujuh sudah banyak toko yang
tutup. Apa banyak rampok, ya?" Anty malah balik bertanya.
"Kenapa prasangka lo buruk melulu sih" Siapa tahu biar hemat listrik,"
jawabku ogah-ogahan. "Eh, gue masih penasaran nih, siapa sih yang diincer Krisna" Lo ya" Kalo
gue, jelas bukan. Gue bukan tipenya," Anty berbisik-bisik.
"Males ngomonginnya. Besok-besok juga ketahuan sendiri. Bosen gue dari
kemarin ngomongin cinta-cintaan melulu. Ganti topik dong," pintaku
sambil menyelonjorkan kaki.
"Lo jangan gitu dong. Ini kan gosip top, masa kita gak ada investigasi sama
sekali. Atau beneran dia demen sama lo?" pancing Anty.
"Bukannya gitu, Anty yang cantik jelita pujaan engkong-engkong seIndonesia. Nanti kita dituduh tukang ngomongin orang," jelasku geregetan.
"Ini sih bukan ngomongin orang, tapi melatih investigasi untuk penelitian.
Nanti begitu kelas dua belas ada penelitian ilmiah, kita sudah piawai," Anty
terus membujukku. "Bisa aja lo cari cara untuk memuaskan kegilaan lo," kataku semi ngedumel.
"Menurut gue, Krisna nembak Lia tapi ditolak. Tahu sendiri, Lia kan banyak
pertimbangan secara psikologis, fisik, etika, tata bicara, kecerdasan...,"
celoteh Anty salam nada pelan karena kalau kedengaran yang lain pasti
kami ditimpuki. "Memang dia mau nyari cowok atau jadi juri Miss Universe?"
"Lo kayak gak kenal Lia aja. Miss Perfect. Lo ingat gak waktu PR bahasa
Prancis-nya dipinjam Luki, terus lembarannya sedikit kelipet, sejak saat itu
Luki gak boleh pinjam apa-apa darinya," cerita Anty penuh semangat.
"Ah, yang bener" Lo hiperbolis, ya?" tanyaku tak percaya.
"Sumpah. Gue liat sendiri kok Luki diusir dari meja Lia."
"Bener juga. Gue jadi inget. Lia kan pernah marahin kita gara-gara makan
sayur asem. Ingwt gak lo" Kita makan jagungnya berantakan. Lalu dia
ngajari, makan jagung harus dari kiri ke kanan, kiri ke kanan, berulangulang. Ini mau makan jagung atau main harmonika sih?" Aku jadi
terpancing untuk bercerita juga.
"Tapi kenapa dengan kita dia gak gitu-gitu amat ya" Maksud gue, gak
langsung marah?" tanya Anty.
"Kita kan temenan sudah dari kelas sepuluh. Adi malah satu SMP dengan
Lia. Pasti Lia sudah memaklumi kegilaan kita dan menyesuaikan diri dengan
kerapijaliannya. Gila! Keren banget ya omongan gue barusan," jawabku
sambil berdecak kagum. "Ge-er banget sih lo!" cibir Anty sewot dalam suara keras.
"Sttt! Berisik banget sih kalian." Adi menendangi kursi kami dari belakang.
"Kalau berani muncul dong, jangan malah nendang dari belakang," balas
Anty sewot. Aku ikutan melemparkan bungkus biskuit ke arah Nidya dan
Adi. "Dasar anak-anak brutal," sumpah Adi empet.
"Ty, ternyata kalo dugaan kita salah, siapa dong terdakwanya" Kelly?"
tanyaku. "Gue yakin, pasti Lia. Tuh, liat aja. Lia duduk sendirian, eh Krisna ikut milih
kursi di belakangnya. Tanda-tanda apa, coba" Menjaga secara diam-diam,
kan?" jelas Anty semangat. Untung Lia tertidur dan untungnya lagi, musik
yang dipasang sopir membahana di dalam bus sehingga suara kami tak
terdengar. "Omongan lo ada benernya sih," pujiku.
"Siapa dulu dong" Gue!" ujar Anty sombong.
*** Malam makin larut, kami makin tak bisa melihat apa-apa di luarsana.
Termasuk melihat ada-tidaknya perempuan-perempuan nakal yang biasa
mangkal di tepi jalan. Kalau di Medan, pangkalan becak di bawah pohon
rindang dekat Medan Plaza jadi andalan cewek nakal yang dijuluki "cewek
the botol". Kata Kelly, cewek-cewek itu pura-pura jualan minuman dalam
botol, buka teh saja lho, tapi nanti pembeli bayarnya 25 ribu atau lebih. Jadi
beli minuman sekaligus memegang dan meraba-raba pedangnya.
Hiii...serem! Sudah ah, daripada mikir yang gak-gak, mendingan tidur. Perjalanan masih
panjang. Ampun deh, Anty sudah tidur dengan mulut mangap-mangap
kayak lele dumbo nyari udara.
*** Hujan deras. Gelap. Enak-enak tidur nyenyak, tiba-tiba...ciiitt!! Suara tarikan
rem terdengar berdecit. Semua penumpang terbangun karena bus Merah
Hati yang kami tumpangi tergelincir! Lima belas hari perjalanan, giliran mau
pulang kok malah ada masalah begini...
Para penumpang diminta segera turun karena bus bisa kecebur ke sungai
yang cukup dalam. Kami bergegas menyelamatkan diri. Adi masih tidur
nyenyak, sama sekali tidak merasakan kekacauan di sekelilingnya.
"Di, bangun, cepetan turun! Bus kita nyusruk." Krisna mengguncang tubuh
Adi sambil berteriak. "Eh, kita nyusruk, ya?" tanya Adi polos. Wah, jangan-jangan dia pikir dia
ngelindur, lagi. Begitu turun, semua penumpang berlari ke bawah pohon agar terlindung
dari guyuran hujan. Bagian pinggir jalan yang sempit itu sangat gelap
karena ketiadaan lampu jalan di luar kota. Satu-satunya penerangan
hanyalah mengandalkan sorotan lampu mobil yang sesekali lewat. Kata
beberapa penumpang yang masih terjaga, kecelakaan terjadi karena bus
kami bersalip-salipan dengan bus lain yang sudah meluncur meninggalkan
kami. Sekarang sopur dan beberapa penumpang berudaha menghentikan
truk besar agar membantu menarik bus supaya tidak kecebur sungai
beneran. Selagi menunggu pertolongan datang, kami jongkok atau berdiri di bawah
pohon memepet tepian jalan. Tiba-tiba ada mobil berdecit-decit. Aku
refleks melompat kodok ke rerumputan karena posisiku memang lagi
jongkok. Teman-temanku yang lain juga refleks melompat atau berlari.
Braaakk! "Ada yang ketabrak!" terdengar teriakan seorang penumpang.
"Mahmud! Mahmud! Lo gak apa-apa, kan?" Sekarang terdengar suara
Krisna berteriak panik memanggil-manggil Mahmud yang tergolek di
tengah jalan. Aku segera berlari ke arah Mahmud dengan perasaan ngeri.
Khawatir... Ternyata ada dua onggokan besar di jalan. Karena amat gelap, aku sempat
mengiranya sebagai potongan badan Mahmud. Begitu terkena cahaya
lampu, gak tahunya cuma dua karung tomat.
Syukurlah Mahmud selamat. Ia hanya tertabrak pelan. Sekalipun Mahmud
sangat kaget, lukanya hanya berupa goresan yang tidak mengkhawatirkan.
Mungkin ada sedikit lebam. Entahlah. Keadaan masih gelap.
"Kok bisa sih, Mud?" tanya Lia yang bersama Krisna menuntun Mahmud
untu duduk agak ke tepi. "Gak tahu, Li. Gue yang berdiri terlalu ke tengah atau sopir mobil boksnya
yang ngantuk?" jawab Mahmud lemah.
Mobil boks pengangkut sayur tadi gak berani balik karena tahu ada yang
ketabrak. Dua karung tomatnya diangkat warga setempat yang mulai
berdatangan. Seakan Mahmud menjadi tumbal, gak lama kemudian ada
truk gede lewat dan bersedia membantu menarik bus kami. Wah, selamat
deh. *** Rute perjalanan bus bia Jambi, Lubuk Linggau, Tebing Tinggi, Lahat,
Martapura, lalu besok subuh masuk Lampung. Tadi kami kecelakaan di
daerah mana ya" Gak jelas deh nama tempatnya. Ah, mending melanjutkan
tidur aja. *** Kami benar-benar tertidur nyenyak karena begitu bangun tahu-tahu sudah
siang. Matahari sudah tinggi.
"Mud, tadi lo memang gak sengaja ketabrak, kan" Bukannya mau bunuh
diri karena cintanya ditolak?" tanya Krisna setengah berteriak.
"Gak lah. Ngaco lo," jawab Mahmud tersipu.
.Tadi gue SMS Sandro, dia panik waktu gue bilang Mahmud ketabrak,"
cerita Anty yang memang punya bakat jadi humas.
"Jelas panik dong dia. Apalagi HP gue kehabisan baterai," imbuh Mahmud
pelan. "Nih, gue telepon, ya," kata Anty dengan tampang bahagia karena bisa
menyebarkan info ke orang yang belum tahu sehingga kemudian orang itu
bertanya-tanya penasaran. "Halo, Ndro, segitu paniknya lo denger Mahmud
kecelakaan... Lo mau ngomong sama dia" Bentar aja ya, karena bibirnya jadi
dower karena abis nyium aspal." Anty lalu menyerahkan ponsel ke
Mahmud. "Halo, Ndro. Tenang aja, gue gak apa-apa kok, cuma lecet-lecet dikit,"
Mahmud berbicara pelan. Sempat ada jeda sejenak, mungkin Sandro lagi
bicara. "Ha" Ngaco tuh Anty, gue gak sampe berdarah-darah kok," Mahmud
memaksakan tertawa, mungkin agar Sandro yakin dia memang baik-baik
saja. " Oke, beres deh. Besok pagi kami juga nyampe. Lo mau ngomong
sama yang lain" Ya udah, tengkyu ya." Mahmud mengakhiri pembicaraan
dan mengembalikan ponsel Anty.
"Terlalu lo, Ty. Lo bilang kepala gue berdarah-darah dan gegar otak, ya"
Nyokap Sandro langsung panik tuh," kata Mahmud. Kami hanya tertawa
mendengar keusilan Anty. "Gue kan kreatif. Siapa suruh mereka pada panik" Biasa aja dong..." Anty
tak mau kalah seperti biasanya.
"Ntar di Jakarta lo pasti diamuk dan paling parah gak dibawain oleh-oleh
sama Sandro," Krisna menakut-nakuti.
"Yah... Masa sampai segitunya sih," sesal Anty. "Iya deh, ntar gue minta
maaf. Maksud gue kan hanya bercanda."
"Lo denger kata 'makan' aja langsung deh penyesalan seumur hidup. Tapi
Sandro memang janji mau bawain martabak Mesir dan snack dari Pasar
Bawah kalau nanti sudah masuk sekolah," imbuhku.
"Ha" Emang gak basi martabaknya?" tanya Anty terkejut.
"Basi kenapa" Dia kan naik pesawat, Anty yang cerdik cendekia kayak Dr.
Wahidin sudirohusodo," jawabku sinis.
From Sumatra With Love Karya Esi Lahur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Oh iya ya, kalau gitu gue buruan minta maaf ah," kata Anty ceria.
*** Cara paling aman membunuh kebosanan adalah tidur lagi! Baru merem
sebentar, ada SMS masuk. Dari Krisna.
Ada yang cipokan. Aku langsung menunjukkan SMS iitu pada Anty yang belum bisa tidur dan
asyik bengong-bengong. "Ha" Gila! Siapa" Di belakang kita?" tanya Anty syok dan pelan.
"Ya iyalah, siapa lagi" Masa Mahmud sama jendela?" balasku tak kalah
perhatian. Anty membalas SMS Krisna dengan ponselku.
Sumpe lo" Kronologisnya plis.
Sambil menunggu jawaban Krisna, Anty langsung heboh. Aku juga kaget
dan kantuk pun sontak hilang.
"Gila ih! Pinter banget nyari kesempatan," kata Anty lagi.
"Jangan kenceng-kenceng ngomonongnya ah," aku mengingatkan.
"Lo nulis SMS atau bikin puisi sih"
Aku melayangkan protes ke Krisna yang lama banget membalas SMS
barusan. Aku menengok ke arah bangkunya. Dia menjawab tanpa suara.
"Sabar. Panjang."
Kemudian masuklah SMS lengkapnya.
Gw cm merem tp mereka kira gw tidur. Trus ya gtu deh. Nid nyosor duluan.
Adi sih tampangnya bego kyk biasanya.
"Gila! Gue SMS Kelly dan Sandro dulu, ah," kata Anty semangat dan
langsung mengetik SMS. Lia perlu dikasih tahu gak ya" Ntar dia malah khotbah lagi. Nanti sajalah,
dia juga gak terlalu demen berita-berita kayak beginian.
"Sa, gue penasaran nih apa jawaban mereka?" Anty berbi aku menunjukkan
layar ponselku. Sandro menelepon dari rumah.
"Sumpe lo?" tanya Sandro tanpa basa-basi.
"Tanya aja sohib hombreng lo itu," jawabku. "Kacung gimana" Udah tahu
belum?" "Belum. Nanti dia bunuh diri beneran, lagi. Kok lo telepon gue" Gak ke Anty
aja?" "Ogah. Ngaco tuh anak. Tadi pas dia SMS kacung tabrakan kan gue panik
banget. Kalo kacung beneran mati terus gue belum minta maaf, nanti gue
digentayangin." "Halah...bilang aja lo ada rasa sayang."
"Sama siapa" Anty?"
.Bukan. Yang satunya."
"Kacung" Iya sih, zaman gini kan susah nyari pembokat yang penuh
pengabdian kayak dia."
"Ancur lo. Udah, mau ngomong apa lagi" Mau ngomong sama Anty?"
"Ogah. Dibilang ogah kok lo masih maksa" Ya udah, teruskan saja
investigasinya. Sampe ketemu di Jakarta, ya."
"Oke. Bye!" aku menutup pembicaraan.
"Ngomong apa tuh reog Ponorogo?" tanya Anty gak sabar dan sewot.
"Standar. Kayak tampangnya," jawabku sekenanya. Anty ngakak kayak
kuntilanak. "Hus! Ntar penumpang bus bakar menyan lho, dikirtanya lo kuntilanak,"
kataku supaya Anty menghentikan tawa yang bikin bulu kuduk merinding
itu. "Gue kasih tahu lo ngatain Sandro bertampang standar," ancam Anty.
"Memang tampangnya standar. Mendingan gue, daripada lo bilang dia
reog ponorogo," kataku tak mau kalah.
Anty mengecek ponselnya. "Ini nih SMS Kelly." Setelah membaca, dia
memberikan pinselnya padaku. "Baca, Sa."
Kalian jgn ganggu kemesraan org lain deh. PR kalian utk mencari cewek yg
diincar Krisna. Atau kalian slh satunya"
Wah, ganti topik lagi nih. Buru-buru Anty membalas.
Kami mencurigai Lia. Gue juga. Kumpulkan bukti.
"Dasar mandor kuli perkebunan terong Belanda! Emang kita anak buahnya,
pakai nyuruh kumpulin bukti?" kataku sewot begitu selesai membaca SMS
balasan Kelly. "Tenang aja, San. Kita semakin perketat pengawasan untuk Lia dan
pasangan yang baru jadian," ajak Anty sambil mengarahkan jempol ke kursi
belakang. "Perketat" Perketat gimana" Keliatan ujudnya mereka juga gak. Yang ada
tuh sopir dan kenek. Gue ogah ah disuruh mandang-mandang mereka,"
elakku empet. "Gak usah mandang-mandangi mereka. Cukup curi-curi pandang." Anty
masih bersemangat untuk hal-hal beginian. Aku juga tertarik sih, cuma gak
usah sampe diagendakan kayak begini dong.
"Omong-omong, Ty, lo dari tadi ngomong melulu. Emang gak lapar, ya?"
tanyaku membelokkan pembicaraan yang sudah mulai melantur ini.
"Sebenarnya gue lapar. Masa keripik sanjai untulk oleh-oleh rumah gue
embat" Ntar gue dituduh anak durjhakaak durhaka, lagi," jawab Anty.
"Emang lo lupa" Kan Mahnud kita minta bawain kantong yang isinya
makanan. Sana gih ambil," aku menyuruh Anty padahal aku juga mau
makan. "Panggil aja ah," tolak Anty enggan.
"Jangan deh. Ntar kalau dia liat kemesraan di belakang kita, dapat serangan
jantung, lagi. Sudah ketabrak mobil, apa masih belum cukup juga
penderitaannya?" Aku memaksa Anty mengambil sendiri ke tempat
penyimpanan tas di atas kursi penumpang. Ia kembali membawa empat
bungkus makanan sambil cengengesan. Satu bungkusan besar isi keripik
bayam sudah terbuka. "Mahmud lo bagi gak?" tanyaku.
"Udah. Gue kasih selembar," jawab Anty pelit. Aku hanya menggelengkan
kepalka. Sebal-sebalnya aku pada Mahmud, kalau soal makanan pasti dia
kubagi. Paling tidak, ditambahi dua lembar lagi. Hehehe, gak beda jauh ya"
"Tapi tadi gue bilang, kalau dia mau lagi ya ambil aja ke tempat kita," jelas
Anty mendahului. Rupanya dia waswas kusemprot.
Mau melakukan apa pun, rasanya aku sudah gak mood. Yang ada di
piikiran hanya rumah, terutama ranjang.
*** Dini hari kami sudah sampai di pelabuhan Bakauheni, Lampung. Mulai
menyeberang sekitar pukul 03.30. Selama dua jam penyeberangan kami
tidur di bus saja dan kayaknya penumpang doi bus-bus lain juga begitu.
Yang sempat keluar hanya Krisna dan Adi, tapi hanya sebentar. Setelah itu
keduanya ikut tidur lagi.
Begitu tiba di pelabuhan Merak, satu persatu terbangun dan berceloteh
riang. Seperti biasa, Anty yang terakhir bangun.
"Ty! Bangun! Udah mau nyampe nih!" Krisna mendatangi kursi kami sambil
mengguncang bahu Anty. "Ha" Yang bener lo?" seru Anty langsung melek.
"Sekitar dua jam lagi. Hehehe...," kata Krisna sambil ngeloyor pergi.
"Setan! Awas lo, Kris!" Anty menyumpahi Krisna jengkel. Kemudian Anty
berpalaing dan bertanya padaku. "Lo sudah kangen sekolah belum?"
"Lumayan sih. Tapi nanti kalau sudah masuk agak lama, kok pengennya
libur lagi, ya?" aku balik bertanya.
"Kelas dua belas gue gak mau aneh-aneh ah. Kita kan sekolah gak nyampe
setahun penuh. Mau gue nikmatin." Anty menerawang persis eyang-eyang
habis ngasih wejangan. "Siapa aja ya yang nanti masuk kelas kita" Asal jangan anak-anak yang
nyebelin deh," harapku.
"Bener. Lagian kelas bahasa kan cuma dua. Semoga kelas kita yang asyik ya,
terus wali kelas kita Pak Pandu yang ganteng dan keren. Bener-bener
segeeer," celoteh Anty heboh.
"Lo pada cerita apaan sih pagi-pagi" Ribut bener," protes Lia yang akhirnya
gak betah duduk di kursi sendirian. Kami hanya nyengir kuda.
Ponsel Anty berbunyi dan dia langsung menerima telepon. "Halo... Bentar
lagi nyampe kok... Semua udah bangun. Oke, sampe ketemu." Anty terdiam
sejenak. "Eh, barusan siapa ya yang telepon?" tanyanya bego. Aku langsung
ngakak. "Gila lo ye, udah ngomong panjang lebar tapi gak tahu siapa yang diajak
ngomong. Hhaha...!" Aku tertawa gak berhenti.
"Siapa ya?" Anty masih bertanya-tanya sambil mengecek ponselnya. "Tuh
kan, gak ada namanya. Tapi dari suaranya sih Sandro," lanjutnya bingung.
"Kalo bukan" Hiii," kataku menakuti lalu mengetik SMS untuk Sandro.
Masa Anty udah ngomong, tp gak tau yg telepon siapa. Lo ya"
"Baca nih, Ty." Aku menunjukkan ponselku ke Anty, ada jawaban SMS
Sandro. Dasar idiot. Gw telepon pake HP nyokap.
"Sembarangan tuh barong! Ngatain gue idiot. Emang dia siapa" Einstein"
Tes IQ gak nyampe seratus aja belagu," protes Anty sengit.
"Yang kayak beginian sih gak perlu lo masukin ke hati. Lempar aja ke laut,"
kataku geli melihatnya sewot.
*** "Sa, udah nyampe Jakarta, Sa!" Anty menguncang-guncang tangan
kananku kayak orang baru pertama kali ngeliat Jakarta.
"Lo kata penglihatan gue udah lamur, ha?" tanyaku.
Seharusnya kami tiba di terminal bus Rawamangun pukul enam pagi. Tapi
sekarang sudah pukul 07.40. Itu karena busnya pake acara nyusruk segala.
Tapi gak apalah. Masa sopirnya mau kami amuk"
"Berapa lama kita pergi, Sa?" tanya Anty mulai sok melankolis. Sudah bagus
dia gak menyanyikan lagu Gelas-gelas Kaca milik Nia Daniaty sambil
menangis-nangis. "Enam belas hari," jawabku.
"Hebat benar kita, ya," Anty memuji. Kali ini aku setuju. Kami memang
hebat bisa pergi sejauh itu bersama-sama dan mengatasi berbagai masalah
dan kekonyolan yang terjadi sepanjang jalan.
Kami berpisah di terminal Rawamangun. Kami semua saling tos dengan
wajah ceria walau bau badan menyengat dan muka berminyak.
"See you di kantin sekolah!" teriak Krisna ceria.
Epilog Kantin di hari pertama masuk sekolah langsung ramai. Leganya. Kami bisa
kembali makan bakso dengan porsi normal. Gak perlu ngirit lagi. Tambah
sedap karena Sandro membawakan martabak Mesir.
"Gue dateng semalem. Jadi gue masukin kulkas dulu baru tadi pagi
diangetin lagi," jelas Sandro.
"Ah, bodo amat deh. Mau semalem atau dua hari yang lalku, sikaaatt!"
Krisna langsung menyerbu dan mengambil tiga potong martabak.
"Kita bersembilan sejelas lagi, kan?" tanya Kelly.
"Iya dong. Memang kenapa" Ada yang pengen lo tendang?" jawab Nidya
yang kini sudah berani tampil berdua dengan Adi di seantero sekolah.
Apalagi setelah ciuman di bus, pasti mereka makin dekat saja.
"Cuma nanya," jawab Kelly sambil melahap bakso urat.
"Gue baru inget!" teriak Krisna.
"Inget apaan" Inget lo gebetan tapi dirahasiakan?" sindir Sandro yang
masih gak terima mendapati Krisna menyembunyikan sesuatu darinya.
"Hehehe... Bukan, boy. Ini masalah Pance Pindaag," jawab Krisn ayang
langsung disambut tawa berderai kami.
"Tragis deh! Bener-bener tragis. Dari Rawamangun gue pulang ke Sunter
kan naik angkot. Begitu keluar dari terminal, masa sopir angkotnya nyetel
lagu Pance!" cerita Krisna histeris. Kami tertawa keras sekali.
"Iiih, gak banget deh!" teriak kami geli.
"Gue merasa terteror!" imbuh Krisna sambil mengambil satu potong
martabak lagi. "Lo terteror sih boleh-boleh aja, tapi itu martabak lo yang terakhir!" kata
Kelly galak. Krisna pasti nurut daripada dihajar Kelly. Ini kan zamannya girl
power! "Seru ya perjalanan kita, bahkan sampai saat terakhir. Apalagi yang bus
nyusruk lah, Mahmud ketabrak mobil segala," kata Adi agak telat.
"Nyawa lo kayak kucing ya" Ada sembilan?" timpal Lia ke Mahmud yang
hanya mesam-mesem tanpa perlawanan.
"Gimana kalau tahun depan kita jalan-jalan lagi" Hitung-hitung perpisahan.
Ke lombok misalnya," ajakku.
"Kayaknya seru tuh." Sandro langsung antusias.
"Seru tapi kita mesti ngirit lebih banyak lagi, kan?" Anty mengelak halus.
"Iya. Sudah begitu waktunya gimana" Kita mesti daftar kuliah, belajar buat
SPMB, siapa tahu kita bisa kuliah bareng," tutur Lia kalem.
"Kayaknya kita gak kuliah bareng deh. Emang di antara kita siapa yang mau
kuliah psikologi selain lo?" tanyaku.
"Siapa tahu nanti ada yang berubah pikiran," Lia tak mau kalah.
"Sudah deh, jangan ngomongin kuliah dulu. Kelas aja belum dimulai,"
sergah Kelly. "Mendingan kita pada cari tahu, siapa cewek yang didemenin makhluk satu
ini?" Sandro membelokkan pembicaraan. Kami berpandangan dengan
tatapan menyelidik. Tapi tak ada yang bisa menduga.
"Susah bener, ya" Kalian berlima memang pantas jadi aktris, pandai
bersandiwara," komentar Sandro kesal karena dia tetap gak bisa menebak.
"Daripada ruwet, mending ngabisin martabak nih," kata Mahmud sambil
mencomot satu martabak. Aku memandang Krisna. Krisna ternyata sedang menatapku. Dalam hati aku
tersenyum. Akulah cewek yang dicari-cari. Krisna memang pernah
mengajak jadian, tapi aku cuma menjawab, "Tunggu setelah lulus SMA." Ya,
tunggu saja. The End. Sumber dari : https://www.facebook.com/398889196838615/photos/a.68471658
8255873.1073741839.398889196838615/645288932198639/"type
=3&theater dayviienz.blogspot.com Pendekar Sakti Suling Pualam 13 Pusaka Tongkat Sakti Karya Tjoe Beng Siang Malaikat Maut Berambut Salju 2