Linggang Si Bunian 2
Linggang Si Bunian Karya Wendi Andriko Bagian 2
dia tetap tidak mau lempar handuk dan menyerah. Malah berkata bahwa, akan tetap ditunggunya
Sabai sampai hati si gadis terbuka untuknya, penantian yang ia sendiri;pun tahu akan berakhir
sia-sia. Si gadis jelita punya alasan kenapa menolak pinangan pemuda keras hati itu berkali-kali.
Sebab, ia telah mempunyai tambatan hati jauh hari sebelum dilamar oleh Rajo Batuah, Randai
namanya. Sesungguhnya lagi, seandainya saja Si Rajo Batuah tahu betapa betapa besar
pengorbanan sahabatnya, Randai, yang berpesan agar Sabai tidak menyakiti hati Rajo Batuah, si
laki-laki tak beradat yang juga tak paham ereang jo gendeang itu. Karna Rajo batuah adalah
sahabatnya sendiri. Pelik betul masalahnya. Akibatnya, Cukup lama dua insan itu sembunyikan
hubungan agar tidak diketahui. Tambah sakit hati pula si Rajo Batuah nantinya. Mereka
berharap, jika suatu hari nanti ia mengetahui, maka dengan jiwa besar ia berhenti mengharap
sabai yang rupanya milik sahabatnya sendiri.
Tapi, apa hendak dikata! Seakan tidak ada lagi Minang dalam badan, tersisakan kabau
dalam diri, Rajo Batuah malah berniat datang lagi membawa serta keluarga besarnya untuk
melamar sabai. Katanya, kalau tidak bisa dengan baik-baik, dengan paksaan;pun akan tetap
dilakukannya pernikahan itu. Sabai cemas dan mengadulah pada kekasihnya, Randai, yang
hanyalah seorang yatim-piatu, sebatang kara, tiada saudara kandung didunia.
Diambil-lah keputusan ketika itu, yaitu menikah secepatnya.
Maka, malam itu juga dilangsungkanlah pernikahan antara sabai dan Randai kekasihnya
dengan acara seadanya. Usaha yang dilakukan untuk menyelamatkan Sabai, juga demi
menghindari nafsu serakah dan niatan buruk Rajo Batuah yang hendak menganiaya. Pernikahan
mereka didasari cinta yang tulus dan janji yang suci. Tiada paksaan dari siapapun, atau sebelah
pihak. Dua mereka memanglah saling berjodoh.
Rajo batuah tiba didepan rumah Mak ina, ikut menyaksikan pernikahan sabai. Bukan
kepalang murka-nya, tak kepalang pula amukannya, siapa didepan adalah lawan. Siapa
mendekat dapat pukulan. Ia menuding gadis pujaannya, kekasihya telah direnggut orang, dan
tanpa malu mengatakan sabai telah menghianati cintanya. Sejak kapan" Randai berjiwa besar
menenangkan, demi terjaga persahabatan, agar tak renggang persaudaraan diantara mereka.
Diajaknya Rajo Batuah berdamai, dan ingin diterangkan cerita yang sebenarnya. Bahwa, ia dan
Sabai sudah saling cinta dan mengikat janji bertahun-tahun lamanya. Bahkan, sebelum Rajo
Batuah mengenal Sabai. Sungguh tak diduga Randai, terfikirpun tidak, sahabat yang selama ini dibela, disanjungsanjung demikian rupa, dikorbankannya perasaan sendiri demi menjaga hatinya, dengan tega
tanpa rasa kekeluargaan selayaknya teman, dia menyerang, bahkan hendak membunuhnya tanpa
mau mendengar penjelasan. Terjadilah pertarungan sengit antara dua sahabat itu. Randai
menangkis, bertahan, juga mengelakkan gempuan, tak sekalipun ia menyerang seperti yang Rajo
Batuah lakukan. Ia tetap bersabar diri. Namun Randai, memang takkan sanggup dikalahkan
sebegitu mudah. Justru, Rajo Batua:lah yang keteteran! Dapat Malu besar ia dimalam naas itu.
Miris, sejak hari itu Si laki-laki keras hati, Rajo Batuah tak pernah berhenti memburu
Randai dan sabai isterinya. Tidak seharipun dibiarkan tenang menikmati hidup. Rumah kecil
tempat tinggalnya;pun dibakar hangus oleh anak buah suruhannya. Satu sumpah dibuatnya
ketika itu, "Jika suatu hari nanti kau punya anak! Akan kubakar hidup-hidup anakmu! Ingat
itu!". Randai khawatir, takut keselamatan isteri dan Mak Ina terancam, tak ada lagi jalan keluar
selain menjauh, menyelamatkan keluarganya. Maka, ia memutuskan untuk hidup diempat
tersembunyi, dimana tak ada musuh yang mengusik mereka membina rumah tangga. Dimulailah
hidup baru. Hidup terasing ditengah hutan!
* "Sumpah itulah yang ditunaikan Rajo Batuah, Hingga aku terpaksa nekad membawa
cicitku ini kabur ditengah malam! Beruntung kau bersedia datang menyelamatkan kami. Sabai
dan Randai, aku tak tahu bagaimana nasib mereka!", Mak Ina selesaikan cerita.
5. Lima Sesosok manusia dibaluti jubah hitam berkelebat diudara dan mendarat dihadapan
Randai. Wajahnya keriput, berkumis tipis dan memutih. Rambut ditutupi kain hitam pengikat
kepala. Ia tersenyum memandang laki-laki mudah didepannya. "Apa kabar anakku" Lama kau
menghilang, rindu pula rasanya hendak melihat. Mungkinkah kau melupakan orang tua jelek
didepanmu ini" Jika benar, malang benar nasibku . . . !", sapanya.
Randai tercengang. Raut keterkejutan tak bisa disembunyikan dari wajahnya yang
tegang. Dalam gelap ia menimbang-nimbang dan mengira;siapa adanya pak tua didepannya.
Dalam gelap kepalanya menyegarkan ingatan pada suara yang tak asing ditelinga. Dalam hati ia
bertanya, "Siapa agaknya dia" Seperti suara ..."
Tak seberapa lama, Randai terhenyak. Lalu bersimpuh didepan pak tua itu. "Paman
Kuto!", kata Randai nyaris teriak. Diciumnya tangan si orang tua penuh rasa hormat."Maafkan
aku, anakmu yang tak berguna ini. Yang tidak bisa mengenalimu begitu cepat. Aku benar-benar
durhaka. Sungguh kecil dunia, sungguh sempitnya padang, hari ini aku akhirnya berjumpa dengan
Paman sekaligus ayah angkat. Orang teramat kurindukan selama aku hidup berpindah-pindah.
Adakah paman baik-baik saja?"
Kuto menarik nafas dalam. Lalu pegangi kepala Randai. Bak mencurahkan kasih sayang,
diusap-usapnya rambut laki-laki muda yang telah lama tak dijumpainya ini. Anak angkat yang
seakan raib tak tentu rimba."Seperti yang kau lihat, bujang anakku", katanya
tersenyum."Pamanmu ini selalu sehat sampai pertemuan kita lagi malam ini. Jikalau pun ada
sakit, hanyalah sakit biasa. Maklum, pamanmu sudah tua. Sudah terlalu banyak yang rusak
dalam badan" "Syukurlah Paman. Hatiku legah mendengarnya", kata randai tersenyum, kemudian
melanjutkan ucapan."Hal apa kiranya yang membawa paman sampai kebukit ini" Hari sudah
larut, cuaca juga tidak baik. Apa yang paman cari?"
"Seseorang . . . !!"
"Seseorang" Siapa maksud Paman?"
"Ya! Aku sedang mencari buronan yang kuduga melarikan diri kepuncak bukit ini. Sudah
dua hari orang itu kukejar, mulai dari perbatasan kampung kita. Aku punya sedikit urusan
pribadi dengannya. Sayang sekali, aku kehilangan jejak. Tapi tidak masalah karna aku malah
bertuntung bertemu kau disini. Perburuanku bisa kupikirkan belakangan", jawab kuto sambil
memperhatikan keadaan. Ditelitinya setiap sudut gelap bukit dan dua buah batu besar
didekatnya. Juga gubuk kecil dipertengahan batu itu. Dalam hati ia ingin tahu keberadaan dan
pemilik gubuk itu. Siapa yang tinggal disana.
Matanya membelalak menyadari disekelilingnya terdapat gelimpangan mayat-mayat
manusia. Tubuhnya kedinginan, bulu kuduk merinding bagai dijalari ribuan semut.
Pemandangan mengerikan yang mungkin belum pernah seumur hidup disaksikan oleh kakek tua
ini. "Randai", katanya, "Apa yang terjadi ditempat ini, nak" Kenapa banyak sekali mayatmayat manusia bergelimpangan seperti binatang" Sss...ssiapa yang membunuh mereka?"
Mulut si Randai bungkam seribu bahasa. Nafas sesak ketakutan. Juga ,bingung
memikirkan bagaimana cara menerangkan, bahwa penyebab banyak mayat itu adalah ia sendiri.
Orang-orang itu sebenarnya mati ditangannya. Ya, Tangannyalah yang merenggut hak hidup
para algojo-algojo bayaran Rajo batuah yang kini sudah jadi bangkai. Jika diterangkan, ada
perasaan takut dalam sanubarinya jika kuto akan bersak wasangka yang bukan-bukan. Akan
menuduh yang tidak-tidak. Meski kenyataannya, semua itu terjadi semata-mata karna membela
diri. "Kenapa Randai" Ada apa?"
"Tuanku Nan Kuto Basi ,, ", terdengar suara lain menyela percakapan dua anak dan ayah
angkat itu. Suaranya berat dan tersendat-sendat, Tan Mali. Rupanya, walapun bersusah payah,
Kakek ceking itu masih sanggup berdiri dengan sisa tenaganya yang tadi terkuras habis setelah
pertarungan panjang melawan Randai. Dipeganginya dada yang mendenyut sakit, "Kau masih
kenal aku Tuanku?". Kuto menatapnya lama-lama. Kedua mata sedikit dipicingkan mencoba menangkapnangkap sosok didepannya. "Aku mengenal suaramu. Siapa kau?". Balasnya.
Tan Mali menyeringai. "Mali,,! Aku Tan Mali, Tuanku !! Masa muda dibuang-buang,
masa tua menjadi-jadi. Waktu muda kebencian orang, sampai tua tak berbudi. Bukankah itu
katamu padaku waktu kau menghajarku di warung ujang"
"Rupanya kau, Mali", katanya. "Apa lagi yang kau perbuat sekarang" Belum henti juga
kau berbuat nista dan kekejaman meski tubuhmu sudah bau tanah" Sungguh biadab, lagi-lagi
kau membunuh banyak orang. Kau renggut banyak nyawa. Wajar saja anakku menghukummusampai ingin melenyapkanmu dari dunia ini. Manusia laknat sepertimu memang tidak
sepantasnya hidup lama. Hanya menyebarkan angkara-murka tiada henti . . !! Kau memang
layak mati . ." Tuanku Nan Kuto Basi mencabut keris dipinggang, bersiap menyerang Tan Mali.
"Tunggu . . ", seru tan mali. Kuto mengurungkan niat. "Tuanku salah menduga. Bukan seperti itu
ceritanya. Semua yang kau lihat ini bukanlah perbuatanku. Aku tidak bersalah dan sama sekali
tidak berbuat dosa seperti yang kau tuduhkan kali ini. Aku hanyalah korban"
"Korban . . . ?", serganya."Korban apa maksudmu?"
Pucat pasi disertai amarah muka Randai. Asung-fitnah Tan Mali mulai menyerang telak
nan Kuto, pamannya. Kekhawatiran akan kelicikan tan mali yang sedari tadi tertahan,-sebentar
lagi akan menjadi bencana. Bencana besar yang bakal sulit dielakkan. Bisa jadi, Nan Kuto justru
balik menyerang dan membinasakan dirinya andai termakan asung-fitnah. Seperti yang ia
ketahui, watak dan pemikiran Tan Mali tidaklah benar. Terkurung hendak diluar, terhimpit ingin
diatas, Licik. Sifat Pamannya yang sangat membenci kezaliman akan dimanfaatkan betul
olehnya. Bagaimanapun juga, ia akan sulit terhindar dari tuduhan licik Tan Mali yang
menyerangnya dengan segala cara. Yang ingin memusnakan musuh melalui tangan siapa saja,
termasuk tangan Nan Kuto Basi.
"Paman!", kata Randai. "Biar kujelaskan duduk perkaranya"
"Tunggu Randai, biarkan bajingan tengik ini bicara . . . ! Apa lagi yang ingin
dikatakannya sekarang !!".
Randai ingin melanjutkan, tapi bicaranya langsung dipotong.
"Anakmu . . . ", kata Tan Mali tersengal-sengal memegangi dada."Si Randai bangsat
itulah yang membunuh mereka semua. Kami datang ketempat ini baik-baik. Tidak sedikitpun
ada niat jahat. Tapi, dia malah menyerang kami! Lebih menyakitkan lagi, dia sampai hati
menuduh sayah dan teman-teman yang sudah menjadi bangkai ini sebagai perampok. Apapula
yang hendak kami Rampok dari rumah buruk reok ini" Tidak ada Tuanku..! Aku coba
menerangkan, berharap diberikan kesempatan untuk bermufakat bahwa kami ini tersesat. Malah,
tanpa ampun ia membantai kami satu persatu sebelum sempat aku memberi kebenaran.
Beruntung kau menyelamatkan Tuanku, sebelum dia menggorok leherku sampai putus. Bocah
ini sudah gila. Anak haram yang dulu kau pungut dari tempat sampah ini sekarang tak ubahnya
seperti binatang Tuanku. Dia tidak pantas . . !"
"Hentikan fitnahmu, bajingan !", Randai membentak."Hasutanmu sunggu sudah diluar
batas . . . !!" "Fitnah apa yang kau maksudkan, Randai?", kata Tan Mali berlagak."Bukankah yang
kukatakan itu benar" Jika tidak, lalu siapa yang membunuh teman-temanku ini, eh" Tidak ada
orang lain disini selain kau. Bukankah golokmu itu yang menggorok mereka" Lancang sekali
kau menuduhku memfitnah. Pembunuh . . .!!"
"Benar kau yang melakukannya, Randai?", tanya Nan Kuto Basi.
Randai menekurkan kepala dan menjawab,"Be . . . Benar Paman. Tapi, itu kulakukan
untuk membela diri. Tan Mali datang ketempat ini atas suruhan majikannya untuk membunuhku
dan keluargaku. Mereka diperintahkan untuk membantai anak istri serta mertuaku, paman. Tak
ada cara lain yang bisa kulakukan Paman. Aku tak ingin istri dan anakku celaka"
"Siapa majikan Tan Mali yang kau maksudkan?", tanya Nan kuto lagi. "Keluarga apa
pula maksud kau, Randai" Kau sudah punya keluarga, nak" Punya anak dan istri?" Sejak kapan"
Kenapa kabar angin pun tak bertiup ketelingaku ini?"
"Ya paman, setahun yang lalu aku menikahi sabai. Mohon maaf, karna tidak sempat
memberi tahu paman berita baik itu. Semua terlalu cepat berubah paman. Hari pertama
pernikahan kami adalah hari kami hidup sembunyi-sembunyi dari kejaran . . . "
"Alaahh", tan mali memotong."Jangan termakan iba kau ,Tuanku. Manusia serakah ini
berhati iblis, pintar bertipu-muslihat. Kalu lihatlah dia, lihatlah tampangnya itu, Sekarang dia
berusaha mencari simpatimu, jangan terpengaruh. Atau, kau akan celaka setelahnya..".
"Diam kau, Tan mali.", bentak nan kuto membelalak."Aku lebih percaya omongan
anakku daripada celoteh busukmu". Ia kembali menoleh pada Randai. "Lanjutkan Randai. Siapa
yang mengejarmu?" "Orang itu adalah . . . !"
"Hahahahaha . . .Manusia tengik itu sedang memperdayaimu, Tuanku", lagi-lagi Tan
Mali memotong."Kurasa kau tidak sebodoh itu. Pendekar ternama sepertimu tidak bakal mudah
menerima dusta!". "Praakk", batu yang disandari tan mali bergetar. Mulutnya ternganga beberapa saat.
Andaikata jantungnya ibsa keluar, mungkin sudah terlempar benda itu dari tubuhnya. Redup
halilintar samar-samar, tampak dibatu sebelah kanan kepala Tan Mali ukiran sebentuk telapak
tangan manusia sedalam kuku jari. Bekas cekungan tangan itu mengepulkan asap. "Telapak
Besi", kata tan mali mengigil.
Tuanku nan kuto basi mengusap-usapkan tangannya kebaju hitam yang membalutinya.
Dibibir tersungging senyuman hambar pada Tan Mali. "Diamlah kau disana! Atau kutambah
jejak luka ditubuhmu". "Am. . Ampun Tuanku!", balasnya memelas dan kemudian diam,
menuruti perintah kuto . Randai terkesima melihat kejadian yang baru saja menimpa Tan Mali. Nyaris sekejap
mata nyawa lelaki tua picik itu melayang ditangan pamannya, nan kuto basi. Kini dilihatnya si
kakek tukang fitnah berpangku tangan, belum beranjak dari batu pesandaran. Mungkin hilang
akal atau kaget yang tak mau hilang.
Bagaimanapun juga, sebagai manusia, ia turut merasa ngeri. Bulu roma berdiri, perasaan
dingin menjalari telapak kaki sampai keubun kepalanya. Belum pernah seumur hidup
disaksikannya kemarahan nan kuto basi. Sekalipun, yang ia saksikan tadi barulah selentikan
jari. Hatinya tak hentinya menerkah, jurus apa yang digunakan pamannya itu"
"Katakanlah Randai", kata kuto."Siapa manusia yang memburumu" Takkan kubiarkan
seorangpun menyakiti anakku,,!!"
Laki-laki muda ini masih tampak ragu-ragu. Dadanya seperti ditekan sesuatu yang
teramat berat, bagai menanggung banyak beban. Ada sesuatu yang membungkam mulutnya. Ia
seakan bisu dan hanya bisa menghela nafas dalam-dalam,"Orang itu . ... !",jawabnya mengusap
peluh dikening."Orang itu adalah . . . !!"
"Siapa . . . !! Lekas jawab Randai . . . !!"
"Aku ...!! Akulah yang memburunya . . . !!", terdengar dari belakang sebuah jawaban
datang tanpa diminta. Orang itu adalah si culas, Rajo batuah.
Randai terkesiap. Dua tangan dikepal kuat-kuat. Sedari tadi hati memang bertanya-tanya
tentang keberadaan musuh bebuyutannya itu. Sejak awal perkelahian dimuali, ia tak lagi
memperhatikan gerak-gerik Rajo batuah. Dan, ia sempat berfikir bahwa ia telah kabur melarikan
diri. Rupanya, rencana busuk telah direncanakan sembari dirinya sibuk melayani anak buah serta
pesuruhnya, Tan mali. Amarah semakin menggebu-gebu melihat dua tangan manusia laknat itu sedang
mendekap seseorang. Seseorang yang amat ia kenal dan ia cintai, yakni sabai, isterinya. Sabai
kini terkulai lemah dalam pangkuan Rajo batuah yang kekar, entah hidup, entah sudah mati.
Tetesan-tetesan air mata panas;pun turun kepipi Randai. Kepala menggeleng-geleng,
melukiskan ketidak relaannya melihat wanita yang ia cintai dipeluk orang lain yang sangat
dibencinya. Jangankan dipeluk, disentuh sedikitpun ia tidak akan rela. Dengan lantang,
Randaipun berteriak, "Bangsat ...!! Kau apakan istriku.....lepaskan dia, pengecut! Kita bertarung
sampai mati", Kekhawatiran kini benar-benar berada dipuncak. Ketakutan akan keselamatan putera
semata wayangnya membuncah. Beribu pertanyaan menggelora dihatinya menuntut jawaban.
Bagaimana keadaan puteranya, bagaimana dengan mak ina" Selamatkah mereka" Kemana harus
dicari jawabannya" "Selangkah kau bergerak", kata Rajo batuah."Nyawa isterimu yang mulus ini kubuat
melayang keakhirat...hahaha...mampus kau sekarang...dendamku akhirnya terbalaskan!!"
"Apa yang kau perbuat pada isteriku" Dendam-mu hanyalah tentang kita berdua, jangan
libatkan sabai. Dia tidak tahu apa-apa!"
"Ah ,, Randai . . Randai . . .apapun yang sudah kuperbuat pada isterimu, yang penting
kau tidak melihat. Bukankah itu sudah cukup?", balasnya membelai kepala sabai."Aku mau
bersenang-senang ataupun lebih dari yang kau pikirkan, ya terserah padaku. Bukankah dulu
perempuan ini seharusnya jadi milikku. Kau malah merebutnya. Tapi setidaknya, aku sudah
berbuat baik padamu, hehehehe! Sebagai teman, aku masih menghormatimu"
Nan kuto basi berdiri berpangku tangan. Sesekali kepalanya mengangguk-angguk sambil
menyunggingkan senyuman yang entah bermaksud apa. Helaan nafas berat juga mengiringi
tubuh rentah lelaki tua ini. "Aku sudah tua! Sebentar lagi bisa pikun dan tak berguna. Sekalipun
begitu, sebelum aku mati, aku juga ingin berbuat kebajikan pada orang lain. Sepanjang hidupku,
beribu aral melintang pernah kujalani, beratus musuh kutaklukkan dengan keji, bahkan beragam
sifat manusia kutemui. Manusia tamak, dengki, angkuh, sombong dan haus akan kekuasaan
adalah diantaranya. Meski harus kuakui, segelintir diantara mereka ada juga yang bijaksana dan
berbudi luhur. Namun sejujurnya, baru kali ini kusaksikan pertumpahan darah, dendam yang
membabi buta dari masalalu sampai hari tua menjelang belum juga reda hanya karena cinta.
Hanya karena hal yang tak terlau sulit untuk dimaafkan. Sungguh memalukan, Gara-gara
memaksakan cinta satu wanita, mayat-mayat bergelimpangan sia-sia ditempat ini. Puluhan anak
akan terlantar, kelaparan karena ayahnya tergeletak ditanah seperti anjing tak terurus demi
membela manusia menjijikkan. Dunia ini, selain tua, juga sudah gila!".
"Diam kau kakek tua!", bentak Rajo batuah."Tau apa kau soal hati manusia, eh" Jangan
berlagak sok suci didepanku. Telinga dan mataku masih belum asing melihatmu sedari aku
belum bisa berjalan sampai kau rentah begini. Kau juga sama kejinya denganku. Bahkan, kau
lebih menakutkan, setan,,!!"
"Sadarlah bujang, anakku!", balas nan kuto."Ingatlah, ada masa didepan sana sedang
menunggu penyesalanmu atas perbuatanmu hari ini. Ada suatu hari disana, kau akan menangisi
kealpaan yang terjadi padamu dimalam ini. Ingat Tuhan, bujang! Ingat kau akan dihukum jika
kau berbuat salah" "Persetan dengan bacotmu, Nan kuto",kata Rajo batuah membentak. "Apa peduliku"
Jangan sekali-kali kau panggil aku dengan sebutan menjijikkan itu lagi, kakek tua hina. Namaku
Rajo batuah. Panggil aku selayaknya orang-orang memanggilku. Kau tidak ada hak
memanggilku "bujang"!!".
"Manusia durhaka,,!!", Randai memotong."Jangankan pada orang lain, pada ayahmu
sendiri kau tidak sedikitpun menaruh hormat. Terbuat dari apa hatimu, Rajo batuah" Atau
mungkin isi kepalamu sudah dipenuhi oleh kotoran anjing dan hatimu ditempeli iblis"
Menjijikkan . . . Terkutuklah kau!!"
Tuanku Nan kuto basi diam-diam menitikkan air mata. Laki-laki yang tak lain adalah
ayah kandung rajo batuah ini merasakan pedih diuluh hati ketika mendengar si bujang yang dulu
Linggang Si Bunian Karya Wendi Andriko di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kecil teramat disayang, anak pertama yang ditimang-timang dimandikan, kini memanggilnya
begitu rupa. Menyebutnya "kakek tua", Andaikata ada petir menyambar ketika itu, belum tentu
bisa mengalahkan gemuruh perasaannya. Masih lekat diingatan, terbayang jelas dipelupuk mata,
kejadian puluhan tahun silam, ketika itu Rajo batuah kecil berlari menyonsong kehalaman,
menyambutnya setelah pulang bekerja,"ayaaahhh", katanya berjingkrak penuh semangat. Tanpa
diduga, karna terlalu riang, kakinya tersandung akar pohon jambu yang mencongkel besar diatas
permukaan tanah. Rajo batuah kecilpun terjatuh dan menangis. Lututnya berdarah.
Nan kuto teramat marah. Belum lepas penat letihnya, belum kering keringatnya,
diambilnya kapak, ditebang dan dicabutnya pohon jambu itu sampai keakar-akarnya karena
menyakiti putera tercinta. Dan kini, si kecil itu sudah besar. Sudah bisa dibanggakan dan jadikan
tempat mengadu. Akan tetapi, balasan kata-katanya tadi teramatlah menyakitkan bagi nan kuto.
Tidak disangka, si bujang sulung, semata wayang nan dulu, kini ibarat membesarkan seekor
harimau. Ya, cuma harimau yang tidak pernah mengenal tuan. Jika ada kesempatan, tuannya;pun
akan dijadikan santapan. Kuto memegangi bahu Randai,"Sudahlah! Tidak ada cara lain menyelamatkan isterimu
selain menyerangnya dengan cepat!"
"Itu tidak mungkin paman!", kata Randai lirih."Aku takut, puteramu benar-benar
melakukan ancamannya. Isteriku bisa celaka"
"Aku juga tidak mungkin menyerang anakku sendiri, Randai!", kata rajo batuah."Naluri
seorang ayah, takkan pernah mau mencelakai anaknya. Bahkan, rela mati. Dia anakku dan aku
tetap berharap kau tidak mencelakainya"
Randai termenung. Apa yang tengah dihadapi bagaikan memakan buah si malakama.
"Malang nian nasibmu, Randai!", kata rajo batuah buyarkan keheningan."Apa benar kau
mengenal kakek rentah disampingmu itu" Kau tahu siapa dia" Sehingga, kau begitu marah
padaku" Hahahaha....kasihan"
"Apa masih perlu pertanyaanmu kujawab" Binatang!!"
"Oh, Randai sobatku!", kata rajo batuah terkekeh."Kau,,kau terlalu bodoh memahami
kenyataan. Otakmu sangatlah kecil dibandingkan dengan seekor tungau. Bertahun-tahun kau
hidup dengan kami, dari kecil sampai dewasa. Aku melihat kau sangat bahagia. Penuh tawa dan
kesenangan. Hari-harimu tampak istimewa. Ya, sangat bahagia. Tapi kawanku yang malang, kau
tidak menyadari satu hal sobat. Selama ini kebahagiaanmu adalah kebohongan. Kau hidup dalam
kebohongan. Betapa bodohnya kau mau tinggal bersama orang yang telah membuatmu
menderita. . . . !" "Tidak usah berbelit-belit dan membuat teka-teki padaku. Apa ujung perkataanmu"
Adakah hasut yang terlontar dari mulut busuk serakahmu itu?"
"Perlu kau tahu!! Selama ini, Kau ibarat seekor anak burung yang hidup dalam sangkar
pemburu. Tiap hari kau diberi makan dan kau senang. Sebab, karena kebaikannyalah kau hidup.
Demi membalas budi, tiap hari kau berkicau untuknya, tanpa tahu dan bertanya-tanya siapa
yang menangkap dan menjual indukmu"
Baju Randai berkibar ditiup angin. Jantungnya berdebar-debar diusik rasa prasangka.
"Jadi....jadi ...kau terlibat dalam pembunuhan ayahku?", katanya sayuh. Lutut dan kaki keluh.
Sesuatu yang tidak disangka-sangka kini menebar kenyataan yang lebih sulit diterima. Ia
berlutut ditanah. "Jika itu kebenarannya, kubunuh kau bajingan....!!"
"Randai,,, awasss!!!", dan "buggghh"... Terdengar lenguhan panjang disertai sesosok
tubuh manusia roboh. Mulut Randai terbuka lebar. Dilihatnya sosok roboh terkapar itu, megap-megap
menyonsong maut. Mulut dan hidungnya menyemburkan darah. Matanya membeliak dan dada
membusung kesulitan bernafas. Rintihan kecil terputus-putus terdengar sayup dengan mata yang
terus memandangi Randai. Orang sekarat itu adalah Tan mali.
Randai menatap kebelakang, mencari sosok kuto, pamannya. Yang ia lihat hanyalah
kegelapan. Tidak ada lagi kuto disana. Dalam sekejap, ia menghilang. Sekelebatan saja mata
berkedip ia lenyap. Randai membathin dan bertanya, kenapa pamannya mencelakai Tan mali
sementara sebelum ini dialah yang mencegahnya membunuh perampok itu" Kenapa pamannya
pergi tanpa berpamitan"
"Apakah kau berniat membokongku, Tan Mali?", sergah Randai memegangi pergelangan
tangannya. Tan mali tidak menjawab. Hanya tatapan panjang yang tidak putus-putusnya, terus ia
berikan kepada Randai. "Kemana paman kuto?"
"Bangsat tengik! Urusan kita belum selesai! Apa perlu kubereskan istrimu sekarang
juga?", teriak Rajo batuah.
Randai berdiri, membiarkan sosok Tan Mali terkapar dalam keadaan sekarat.
Dibenarkannya ikatan kepala yang sudah basah. Diemeretakkan jari-jari dalam kepalan.
"Lepaskan isteriku! Kita bertarung secara jantan!", tantang Randai.
"Hahahahaha.....Baiklah! Terima ini ....!!", kata Rajo batuah melemparkan dua buah
benda sebentuk pisau kecil, senjata rahasia. "Pengecut!!" Kata Randai melompat dan
melayangkan tubuhnya diudara guna mengelakkan serangan mendadak secara tidak terpuji itu.
Dua benda berkelebat bagai kilat dan nyaris mengenai perut andai saja ia tidak melayang lebih
tinggi. Beruntung ia masih sanggup mengelak.
Dan,"Clupp", serangan Rajo batuah menancapi dahan pepohonan. Dalam hitungan detik
daun-daun didahan yang ditancapi senjata rahasia menjadi kering berguguran. Teramat dahsyat.
Randai berkelebat turun setelah selamat dari kematian. Banyak sedikitnya, kengerian
dirasakannya juga melihat dedaunan didahan kayu berguguran akibat terserang racun senjata
rajo batuah. "Luarbiasa!", lirih Randai. "Senjata beracun rupanya. Aku harus berhati-hati".
Pandangannya kembali terarah pada musuhnya. Rajo batuah masih berdiri tidak jauh dari
tempat Randai terpaku. Perasaan iba menghinggapi laki-laki muda ini melihat isteri tercinta
terkulai lemah ditangan orang lain. Ia diamuk dendam dan kebencian serta
kecemburuan."Bertahanlah isteriku",katanya.
Akan tetapi, ada sesuatu hal dalam dikepala yang membuatnya bimbang. Ia tidak tahu
bagaimana cara untuk menyerang, sementara isterinya berada dalam dekapan Rajo batuah.
Salah-salah, isterinya akan dijadikan tameng pemutus serangana. Isterinya juga yang akan
celaka. Beberapa saat, laki-laki ini terdiam diamuk pemikiran.
Ia mengambil nafas dalam-dalam, kemudian dihembuskannya perlahan. "Baiklah! Tidak
ada cara lain". Katanya mendesah. "Aku terpaksa!".
Randai duduk bersila ditanah. Tangan dibekap kedada. "Ajian terlarang Raja Naga emas
dari lembah darah. Tubuh emas jiwa binatang. Sekali terucap tak bisa dirubah", katanya
setengah berbisik. Mulut tampak komat-kamit seperti melapalkan sesuatu. Kedua mata
dipejamkan. Telapak tangan ditempelkan didada. Lalu, dengan sangat luar biasa dan tak terduga
oleh akal manusia, tubuh suami sabai itu berubah menjadi bayangan hitam. Asap pekat
mengepul disekitar tempatnya bersila. Lalu, Sosok Randai lenyap dari pemandangan.
Berdegub jantung rajo batuah, terpompa cepat aliran darah, bagai keluar bola mata
menyaksikan apa yang sedang terjadi didepannya. Semua yang serba mustahil. Sangatlah tidak
masuk akal kejadian yang baru saja lewat didepannya beberapa saat yang lalu. "Ke . . . Kemana
kau bajingan" Dimana kau bersembunyi Randai tengik !!", serunya ketakutan setengah mati.
"Lekas kau keluar!"
Randai ditelan bumi. Entah kemana dan dimana tubuh kasarnya. Satu-satunya yang
masih bisa dilihat Rajo batuah dalam gelap senyap itu hanyalah tubuh sekarat tan mali yang tak
sadarkan diri. Atau mungkin sudah mati.
Mata rajo batuah jadi liar. Ia bergerak kekiri dan kekanan mencari sosok randai yang
hilang lenyap. Ia khawatir diserang dari belakang, samping atau didepan. "Pengecut kau,
Randai!". Serunya. Terdengar dengusan nafas, terdengar pula gerisik logam-logam pipih bersentuhan. Suarasuara aneh itu tepat dibelakang Rajo Batuah. Tak ubahnya seperti dengusan seekor binatang.
Harimau atau beruangkah itu" Ia;pun segera menoleh.
"Ya Tuhan!", seru Rajo batuah yang masih memegangi sabai. Ia surut jauh."Ma .
.mmakhluk apa ini?" Sesosok binatang bersisik emas kemerahan ,kepala bertanduk dan berukuran sangat
panjang sedang mendongak tinggi dihadapan Rajo batuah. Matanya merah menyala, lidahnya
bercabang dua menjulur berulang-ulang. Ada dua pasang kaki yang mengangkat tubuh besar itu.
Seekor naga bersisik merah keemasan.
"Huss....hus ... Pergi! Aku bukan mangsamu, keparat!",kata rajo batuah panik. Serasa
terbang nyawa dibadan, bagai berada diawang-awang tubuhnya."Kau mau makan, eh" Iya" Ini
makanlah ....! Makan dia sampai habis". Seraya melemparkan tubuh sabai yang tidak sadar.
"Cepat makan... Aku tidak butuh perempuan itu...!
Ia berjalan dengan empat kaki, bukan merayap layaknya ular. Didekatinya tubuh sabai,
diendus-endus, selayaknya membaui tubuh yang kebasahan oleh air hujan itu. Helaan nafas si
naga semakin cepat dan tidak lagi teratur. "Aarrrgggghhhhh", dia menggembor dan mengejar
Rajo batuah. Ketika itu juga ekor panjang bersisik berayun cepat dari belakang, langsung menubruk
tubuh si Gendut itu. Sedikit berkilah kekiei, ia mampu berkelit. Dengan sigap melakukan
gerakan salto kebelakang. "Prakk", pohon besar tumbang dihantam ekor naga.
"Makluk iblis ini marah padaku! Bukankah dia mencari makan" Kenapa bukan sabai saja
yang dimakan?", rutuknnya dalam cengkeraman rasa takut.
Serangan datang lagi. Kali ini agak aneh. Naga berkelebat seperti angin dan berputarputar mengelilingi putera nan kuto basi yang durhaka. Makin lama, makin cepat putarannya.
Yang tampak kini hanya kepulan asap menyelubungi lelaki tambun buruk rupa itu.
Laki-laki tambun itu memekik. Seluruh belulang dirasakannya remuk. Mulut
mengucurkan darah. Suara badai berpusing lebih kuat dari topan samudera. Pohon-pohon
tumbang. Batu besar disebelah pondok bergeser kebelakang. Gubuk mak ina terbang keawangawang dan jatuh kejurang. Tubuh tan mali terangkat dan tersangkut dipepohonan.
Rajo batuah berusaha melepaskan diri. Tidak hilang akalnya selagi bisa menyelamatkan
diri. Sekalipun, kesempatan untuk selamat itu hanya setipis kulit arih. Ditariknya gagang keris
dipinggang sekuat tenaga. Teriakan dan pekik kesakitannya terdengar pedih ditimpali desaudesau dedaunan. Ia tetap tidak berputus asah. "Jejadian apa kauuuuu?", disela jeritnya.
Sekuat apapun berusaha, ia tetap tidak bisa melepaskan diri dari jepitan angin yang
seperti membaluti sekujur tubuh. Kekuatan yang melebihi kemampuannya. Tenaga rajo batuah
mulai melemah, sudah terkikis nyaris habis. Kini baru disadarinya. Dia telah dililit naga besar
itu. Perlahan-lahan pusaran angin mereda. Lilitan naga samar-samar membayang, terlihat
semakin nyata. Si culas licik ,Rajo batuah terjepit diantara lingakaran tubuh sebesar pohon
kelapa. Hanya kepala besar dipenuhi jambang bawuk keangkuhan yang masih terlihat,
selebihnya diremuk oleh binatang itu. Ular besar yang bagai seuntai tali tambang mengikat
seekor anak kelinci. Isi perutnyapun akan keluar. Kini pasti telah dirasakan, bagaimana sakitnya
menantang maut. "Teganya kau membunuh isteriku!! Sampai hati kau menganiaya orang yang paling
kucintai. Hanya dia satu-satunya milikku didunia. Dialah ibu dari anakku yang belum bernama.
Kau membunuh sabai,,,!!!! Keparat kau, Rajo batuah...Sudah saatnya kau mampus!",
Suara yang semakin membuat Rajo batuah mati ketakutan. Semakin didengar, semakin
takut ia dibuatnya. Naga itu bisa bicara!! "Kau...Randai?",
"Ya..!! Aku pencabut nyawamu"
Rajo Batuah mencibir getir, ludah dan giginya memerah bercampur darah."Ma...af!
Maafkan .... aku! Aku tidak bermaksud...aku tidak bermaksud membunuhnya, Randai!
Tolonglah..." "Tidak ada ampun! Kembalikan nyawa isteriku jika kau bisa, itulah penebus dosamu!
Tapi, itu tidak mungkin terjadi! Matilah kau ...!!
Tubuh panjang bergeser perlahan, melilit semakin keras. Geretak belulang hancur
"Krekkkhh", semakin banyak, bagai berserakan ditanah. Terdengar rintihan, pekik halus
kematian mengernyit pilu, Rajo Batuah menghadapi sakratul maut.."Iiiiiikkkhhhh.....!!!!!!!!!!".
Dan, nyawanya putus. Kepala terkulai, lidah menjulur, mata membeliak besar. Tewaslah si
kejam Rajo Batuah, lunas hutang piutang, selesai perkara dunia.
Telah tamat riwayat Rajo Batuah. Tenggelam buruk namanya bersama lepasnya lilitan
naga yang menjadi penyambung tangan malaikat neraka. Laksana tertawa seisi alam, bersuka ria
seluruh arwah-arwah penasaran yang dulu menjadi korban keserakahannya. Tubuh tambun
penuh lemak itu, telah lumat menjadi seonggok daging tiada tulang. Mati mengerikan! Tiada
rupa, tak dapat lagi dikenali.
*** 6. Enam "Sabai ... Bangunlah istriku.. Tolong bangunlah!", Randai mengguncang tubuh wanita
dipelukan dengan air mata terus meleleh. Perubahan sebagai naga menakutkan telah hilang, ia
telah kembali kesosok pemuda gagah sebagaimana bentuk aslinya. Sayangnya wajah itu kini
sedang diremuk kesedihan.
Dipandang dan diusap wajah pucat Sabai. Serupa tiada darah lagi yang mengaliri
tubuhnya. Akankah kebahagiaan yang baru sesaat ini segera berlalu" Rumah tangga yang masih
dipenuhi hangatnya berkasih-kasihan, bagai berselimut pelangi setiap hari. Akankah berakhir"
Belumlah lama mereka bersama, terlalu sebentar berpayung cinta, kini tubuh yang dicintai itu
telah dingin kaku dipelukan. Bagai mimpi saja yang dialaminya itu. Tak mau percaya hatinya
sekalipun itulah kenyataan yang harus ia terima. Isak getir menyeduh-nyeduh dari bibir Randai.
"Tidak....! Tidak.... Aku mohon, jangan mati isteriku...anak kita belum bernama, sangat
membutuhkan ibunya. Jangan biarkan ia sengsara tanpa kasih sayang, Sabai...bangunlaaaah".
Menyebut anak, Randaipun seakan tersadar, ia belum pula tahu keadaan puteranya.
Kemana anaknya" Dimana Mak Ina" "Anakku...",desahnya semakin kalut."Dimana anakku?". Ia
berlari mengitari segala sisi bukit dan berteriak-teriak layaknya orang gila. "Mak Inaaaaaaaaa....!
Mak Inaaaaaaa....! Dimana kaliaaaaaannn...", nafas menyesak-menumbuk dada. Berulang-ulang
dilakukannya mengitari bukit bukit Gundam yang telah hancur lebur. Sampai letih, punah
seluruh tenaga. Ia terkapar.
* Langit ufuk timur mulai memerah. Sang Raja hari mulai bangkit dari penaungan,
menyonsong tempat tertinggi dimana puncak tahta sinarnya bermula. Ufuk timur ditembus
batangan-batangan cahaya langit, merobek gelap yang berjalan lamban. Angkasa raya
menguning. Kokok ayam bersahut-sahutan. Baik dihutan ataupun diperkampungan. Bagai rusuh
suka ria seisi pegunungan. Pagi telah datang.
Randai membaringkan isterinya direrumputan. Duduk termenung dirinya memikirkan
nasib, kejamnya penannggungan. Takdirnya malang yang berhembus sayuh namun
menyakitkan. Anak hilang, isteri tiada. Mertua berkubur entah dimana. Ah, sungguh berat beban
si Randai. Berurai air mata, dipandang-dikenangnya waktu-waktu yang telah lalu. Wajah itu,
wajah yang tertidur itu, adalah wajah yang selalu mengisi relung terdalam hatinya dengan
kebahagiaan. Wajah yang selalu menghantarkan senyuman dikala senja bersambut malam.
Wajah yang selalu dihiasi keramahan. Wajah tercantik tiada tertandingi oleh siapapun.
Disandarkan kepala diantara dua lutut. Terbayang-bayanglah segala kenangan. Menimangnimang si buah hati, bermain dan bercanda bersama. Perlahan-lahan, bayangan itu buyar! Akan
tiada lagi hari bahagia penuh canda itu. Telah direnggut semuanya oleh Rajo batuah yang
serakah. Jika kini rindu, hendak kemana rindu dilepaskan" Bila pilu, kemana sedih akan bertuan.
Kemana lagi tempat mengadukan keresahan" Malang, sungguh malang benar nasib
penanggungannya. Lindap mimpi-limbung diri, senyap menyisakan sakit direlung terdalam. Buah pikir
hanyalah mengakhiri hidup, memutus nafas dan mati disisi isterinya. Keputus asaan seorang
hamba sebatag kara. "Tak ada lagi arti hidupku Sabai. Kaulah yang membuatku
bertahan...sekarang alasan hidup itu hilang!"
Ketika hendak kembali memeluk, dilihatnya sesuatu. Ada sesuatu yang lain pada tubuh
isterinya. Ditariknya sebelah bahu, memposisikan tubuh Sabai menghadap kekiri. Randai
terhenyak. Itulah jawabannya. Itulah penyebab kenapa Sabai berdiam kaku. "Apa yang telah
dilakukan oleh Rajo Batuah padamu, Sabai?", bisiknya seorang diri.
Baju putih itu, dibagian punggungnya telah memerah dibanjiri bercak darah yang telah
mengering, bekas tikaman! Isterinya ditikam dari belakang. Sungguh biadab! Tak sanggup lagi
Randai menahan gejolak hati, menangislah ia sejadi-jadinya. Tak tahu lagi apa yang harus
diperbuat. Sudah habis dayanya. Hendak marah, kemana amarah akan dilampiaskan" Musuh
telah mati. * Sudah benderang permukaan bumi. Telah berdiri tegak matahari. Dari hangat menjadi
panas. Dari dingin berubah keringat. Randai belum juga beranjak. Belum reda tangisan, tak henti
juga air mata bercucuran dihadapan tubuh kaku Sabai, isterinya. Tiada semangat, hampa.
Pesakitan hidup menuntunnya semakin jauh meninggalkan kefanaan dunia yang begitu kejam. Ia
hanya ingin mati. "Tiadalah guna engkau menangis. Sebab air mata takkan merubah apa-apa. Sesuatu yang
terjadi adalah ketentuan. Dan ketentuan tidaklah bisa dirubah. Sekalipun seisi dunia kau
remukkan dalam genggaman. Meski lautan kau keringkan, namun perjanjian adalah perjanjian.
Akan ditagih diwaktu yang ditentukan.
Jangan pula salahkan takdir, sebab takdir hanyalah persetujuan sebelum roh ditiupkan
kedalam badan. Tubuh kasar boleh berontak, menyangkal! Setan menaungi disisi lain dalam diri,
yang selalu membisikkan keburukan, menghadiahkan kenistaan", seorang kakek-kakek berdiri
membelakangi ,tidak jauh dari Randai, dekat batu besar yang telah bergeser itu. Entah kapan ia
datang" Tahu-tahu, ia sudah berada ditempat itu. Siapa lagi orang ini" Tubuhnya bungkuk
rentah. Ditopang sebuah tongkat kayu sebagai pegangan. Kulit wajahnya berkerut keriput. Usia
yang sudah sangatlah tua.
Terpancing si Randai mendengar ucap katanya. Ditegakkan kepala mencoba melihat
wujud si pemberi nasihat. Dan berkata, "Siapa kau, Pak Tua" Hatiku sedang tidak baik. Tolong
pergilah,,! Sebelum sesuatu yang buruk menimpamu ditempat ini"
"Aku bukan siapa-siapa, anak muda",balasnya."Hanya seorang kakek tua yang sedang
menunggu ajal tiba. Entah kapan pintu kuburku terbuka"
Bagai mengepul asap dikepala Randai mendengar jawab asalan itu, kemurkaan ,"Jangan
sampai kuantarkan kau keliang kubur atau terkapar tanpa nisan. Tanganku sudah muak
menyentu anyir darah! Sudah cukup masalah yang menderaku, jangan paksa lagi aku
membunuh. Aku sedang berduka kakek tua"
"Ah, anak manusia zaman sekarang memang kelewat sombong pada orang yang belum
dikenalnya. Seolah bisa diukurnya dunia dengan dua telapak tangan. Tidak menaruh hormat
pada yang tua-tua. Padahal, yang tua-tua itu menyimpan banyak cerita serta rahasia.
Baiklah, jika kemauanmu begitu. Aku pergi. Tapi, sebelum kepergianku, ingatlah satu
hal anak muda. Hanya tersisa tiga orang lagi didunia ini yang tahu riwayat hidupmu beserta
kebenarannya. Kuburlah keingin tahuanmu tentang masalalu, buanglah jauh-jauh. Menyesal-lah
kau seumur hidup karna salah seorang dari tiga itu adalah aku. Satu pesanku, hidupmu sedang
dilumuri tipuan. Sebaik yang kau lihat dengan mata, belum tentu baik kenyataannya. Berhatihatilah". Si kakek;pun berjalan lamban menjauh.
"Tunggu!!", seru Randai berdiri menyusul, terbuka juga pikiran sadarnya. Si kakek
hentikan langkah dan menoleh."Mohon maaf atas kekurang ajaranku. Aku... Aku sedang kalut.
Isteriku meninggal dibunuh orang, anak dan mertuaku juga turut hilang. Hanya amarah tak tentu
arah yang mengisi kekosongan jiwaku ini. Mohon maaf.
Apa benar kakek tahu riwayat hidup saya" Siapa adanya kakek dihadapan saya ini"
Dengan siapa kiranya saya sedang bertatap muka?"
Linggang Si Bunian Karya Wendi Andriko di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Orang tua itu tersenyum. Dipegangnya bahu Randai dan berkata,"Tidak baik berburuk
sangka bujang muda. Aku datang untuk kepentinganmu. Memenuhi janjiku dimasalalu. Namaku
Datuk Malintang Bumi"
"Nama Datuk belum pernah kudengar. Agaknya Datuk datang dari tempat yang jauh,
darimana datu berasal" Janji apa pula maksud Datuk?"
"Nantilah, kuterangkan siapa diriku. Kalau perkara janji, Ya! Duapuluh tahun yang silam
aku pernah berjanji pada seseorang", katanya memandangi tempat yang jauh dibawah bukit.
"Janji itulah menahanku tetap hidup melebihi umur sewajarnya manusia. Perjanjian yang
mempersangkutkan perkara hidupmu, anak muda. Akan tetapi, sebelum aku bercerita, mari kita
urus dulu isterimu!"
"Bukan sewajarnya umur manusia" Ah, terlalu banyak pertanyaanku padamu, Datuk",
kata Randai. Ia dan kakek Tua bernama Datuk Malintang Bumi berjalan ketempat dimana Sabai
terbaring diam. Disana, kembali dipeluk tubuh isteri yang telah kaku, menangisi nasibnya. "Isteriku telah
mati, Datuk",katanya mengangkat kepala sabai diletakkan kebahunya."Kami dizalimi banyak
orang! Puluhan manusia tadi malam memburu kami sampai kesini, bermaksud memusnahkan
kami sekeluarga. Aku terpaksa berjibaku melawan. Tak kusadari Anak dan mertuaku
menghilang. Belum ku-ketahui apakah mereka selamat atau tidak. Isteriku ini ditawan, kemudian
dibunuhnya dengan keji. Dia ditikam dari belakang Datuk!"
"Hmm...", Datuk menarik nafas dalam-dalam."Bersabarlah bujang. Tabahkan hatimu!
Berserah dirilah pada yang maha satu. Tiada yang lebih tahu selain Dia"
"Takdir hidupku terlalu buruk untuk kuterima, datuk. Sedari kecil kehilangan ayah. Tiada
juga tahu siapa ibu kandung. Setelah dewasa mendapat isteri dan punya anak, isteriku dibunuh
dan anakku hilang! Salah apa saya, Datuk" Kenapa musibah datang timpa bertimpa. Seakan
tiada akhirnya penderitaan"
"Jangan mengumpat takdir, Nak! Tidak baik. Itu sama saja kau mengumpat putusan
Tuhan", kata Datuk Malintang Bumi menasihati. Ia memejamkan mata sejenak, hanya sejenak.
Setelah itu kembali dibuka."Isterimu belum meninggal...!"
Randai menatap curiga. Sejelas apa lagi membuktikan bahwa Sabai sudah tidak
bernyawa" Hatinya bertanya-tanya, adakah kakek yang tidak dikenalinya itu berdusta dan
memperdayainya" Barangkali, orang gila yang tersesat. Atau, ia sengaja mempermainkan
kesedihan yang berkecamuk dalam dirinya" "Jangan mencandaiku dengan hal menyakitkan
seperti ini, Datuk!", katanya agak keras.
"Sama sekali tidak", datuk membalas dengan tenang."Apapun bisa terjadi dialam ini.
Bumi berserta isinya menyimpan begitu banyak rahasia yang terlalu rumit dimengerti.
Terkadang sesuatu yang ganjil;pun takkan disadari. Fanah, namun bagi kita sesama manusia
saja, tidak untuk sebagian lainnya. Mohon maaf, harus kukatakan sejujurnya, isterimu bukanlah
salah satu dari kaum kita! Ia berasal dari alam lain...!"
Naik amarah Randai memenuhi dada. Memuncak kemurkaannya mendengar keterangan
Datuk Malintang Bumi yang tidak masuk akal, terkesan mengada-ada."Cukup, Datuk! Sudah
kelewat batas datuk mencandai hal yang tidak sepatutnya. Tidak pantas menjadikan kemalangan
saya sebagai bahan tawa. Dimana hati nurani Datuk" Siapa Datuk sebenarnya" Gelagat datuk
membuatku curiga ...!"
"Siapa aku..."', jawabnya menunduk kemudian tersenyum."Aku kakekmu!".
Diam, Langsung terdiam Randai dari celotehnya. Duduk terhenyak ia ditanah. Bagai palu
godam menghantam pecah kepalanya ketika itu. Dada membusung turun naik. Belum selesai
perkara isterinya yang disebutnya bukan manusia, datang lagi pengakuan lain si Datuk yang
benar-benar membuatnya gila. Ia sempoyongan.
"Ap...apa?", "Ya! Itu benar..!", jawabnya singkat. Setetes cairan bening turun kekulit wajah
keriputnya si kakek. Kemudian diusap-usap cairan itu dari permukaan pipi tanpa sempat turun
lebih banyak."Kau cucuku...!"
Datuk Malintang Bumi menengadahkan kepala kelangit luas. Dikumpulkanlah segenap
ingatan, memutar balik segala kejadian. Darimanakah kisah Randai berpangkal" Dan, mulailah
si kakek bercerita. ** 7.Tujuh Padukuan, sebuah desa kecil yang terletak jauh dari hiruk-pikuk keramaian. Desa yang
tenang lagi damai. Penduduknya ramah dan murah senyum. Penuh persaudaraan dan
kekeluargaan. Negeri terpencil namun elok alam dan laku penduduknya. Semua pendatang
senang pergi bermain kesana, mencari udara segar. Ada yang sekedar melihat-liha saja diwaktu
senggang, ada juga yang hendak mencari buah-buahan seperti semangka ataupun yang lainnya
diwaktu tertentu. Seukuran tempat-tempat lain, Desa itu cukuplah istimewa.
Mata pencaharian penduduk sekitar yang bernaung disana lebih banyak bertani,
berladang dan bersawah. Bila pagi datang, selepas adzan subuh berkumandang, tampaklah
bagaimana giat dan tekunnya orang-orang bekerja demi menafkahi keluarga. Laki-laki
membawa cangkul, ibu-ibu membawa bakul yang berisi makanan untuk disantap kala
beristarahat nanti. Sepanjang jalanan kampung, suguhan bulir-bulir padi ranum menghampar
luas bak untaian permadani mengalasi tanah. Ladang-ladang jagung mengayun melambai ketika
tiupan angin membuai daun-daun panjangnya. Tampaklah indah dari kejauhan.
Sekali seminggu warga berbondong-bondong pergi ke pasar guna menjual hasil bumi dan
perkebunan untuk ditukar dengan barang yang dibawa dari tempat lain, sesuai kebutuhan seharihari. Atau, dijual kepada tauke-tauke yang mengambil sedikit keuntungan. Begitulah kehidupan
mereka. Tenteram! Dalam kampung, tampuk kepimimpinan dipegang oleh seorang yang tuakan dalam kaum
dengan panggilan "Datuk". Datuk seibaratkan Raja yang mengendalikan segala tindak-tanduk
anak kemenakannya. Yang bengkok diluruskan, yang salah dibenarkan. Dan, kaum kampung
padukuan sangat menghormati pemimpinnya. Segalah macam persoalan yang terjadi,
perselisihan dalam adat pasukuan, kepada datuklah orang mengadu. Seperti sengketa tanah
ulayat, pusaka tinggi yang tak boleh dijual, kedua belah pihak saling mengaku dialah yang
paling ber-hak mengelola. Maka, Datuklah yang akan menyelesaikan, mencari kata mufakat
dengan jalan bermusyawarah kekeluargaan tanpa ada putusan sepihak.
Seminggu belakangan ini warga padukuan dirundung duka. Sutan Bazar, datuk mereka
telentang lemah diatas petiduran dalam keadaan sakit-keras. Sejak berpuluh tahun menjadi datuk
, cuma elok budi, baik tingkah yang dikenang orang. Wajar jika orang sekampung menjadi
cemas melihat keadaannya. Kalau sampai berburuk sangka, tinggal menunggu hari saja perginya
beliau itu. Tentu banyak yang akan kehilangan sementara masalah silih berganti datang dan
masih ada yang belum terselesaikan. Maklum, umur sudah tua, badannya sudah lemah.
Hal lain yang membuat orang-padukuan khawatir adalah calon pengganti Sutan Bazar.
Kalau sempatlah malang tak dapat dotolak, mujur tak dapat diengkuh, meninggal ia dalam waktu
dekat, siapa yang menggantikan" Yang ingin tentulah banyak, yang berbudi luhurlah yang susah
dicari. Ada desas-desus terdengar bahwa sudah ada rencana untuk mengangkat Mangkuto Sati,
kemenakan pertama Sutan Bazar sebagai pengganti beliau. Menurut para tetuah adat beserta
dubalang, baik perangai Mangkuto Sati tidak akan jauh berbeda dengan mamaknya. Ia rajin dan
ulet dalam bekerja. Bertanggung jawab pada keluarga. Dan tentunya, disenangi banyak orang.
Hampir seluruh kampung tahu sifatnya itu yang sedari kecil sudah di ajarkan tata-krama oleh
Sutan Bazar. Banyak penduduk mendukung gagasaan itu.
Mangkuto Sati mendengar kabar itu dari temannya yang ikut berkumpul di Rumah
Gadang, merasa sangat senang dan bangga. Ia memang sudah yakin dirinyalah yang akan
menggantikan posisi mamaknya itu jika kelak ia meninggal. Mana ada orang yang berani
menikam jejak sebelum ia melangkah. Ia terdidik sebagai pemimpin. Penyambung tangan
pamannya dikemudian hari. Sudah lama pula ia persiapkan diri, meniru-niru perangai Sutan
Bazar agar telihat sama baiknya oleh semua orang. Ternyata, usaha itu tidak sia-sia. Sudah
mendekati keberhasilan. "Bagus, Mali! Waang sebarkan keorang-orang sekampung, kalau aku
ini memang orang baik, ya! Supaya mereka sepakat mengangkatku menjadi Datuk", katanya
pada temannya itu. Namun, sekalipun banyak anggapan baik tentang rencana pengangkatan itu, ada juga
yang kurang setuju, perlu dipertimbangkan lagi masak-masak. Menurut mereka, pucuk yang
patah-tumbuh kembali, sekalipun besar tidak akan lurus. Bisa bengkok kekiri, bisa juga kekanan.
Anggapan yang menyatakan bahwa baik lakunya mamak-sebaik itu pula perangai kemenakan,
tidaklah benar adanya. Maka, terjadi perselisihan pendapat para ninik mamak dalam rumah
gadang membahas itu. Sampai, tengah malam mereka mencari kata yang satu, yaitu mufakat,
tidak juga ditemukan. Diputuskanlah ketika itu, sidang akan dilanjutkan dilain hari dengan
waktu yang telah ditentukan. Bubarlah para petinggi adat.
Sehari setelah pertemuan ninik mamak dirumah gadang, pulanglah seorang anak
perantauan yang bertahun-tahun mengaduh untung dinegeri orang. Namanya, Sutan Rajo Ameh.
Anak dari alim ulama angku Hasanudin, yang amat terkenal cara ceramahnya. Sutan Rajo Ameh
pulang membawa banyak harta. Kain-kain mahal-emas permata berpeti-peti, sangat kaya raya.
Usahanya menebus nasib dinegeri jauh rupanya tidak sia-sia. Penduduk gempar dengan
kepulangannya. Baru beberapa bulan ia dirumah, sudah dibuatnya rumah besar layaknya istana
untuk kedua orang tuanya. Dibelinya pula tanah yang luas, dijadikannya sebagai padang
gembalaan peternakan-peternakan sapi dan kerbau. Usaha-usaha lain dia kembangkan dengan
cara dagang yang berbeda. Dalam waktu singkat kekayaannya semakin bertambah banyak,
sudah tesohor Sutan Rajo ameh sampai kekampung-kampung tetangga sebagai tuan tanah yang
sukses. Selain kaya, ia juga dermawan. Gemar membantu orang yang kesusahan. Tidak segan
turun dari punggung kuda untuk menolong kakek tua yang terjatuh bebannya dari panggulan dan
kemudian mengantarnya pulang. Semakin hormat orang-orang menilainya.
Baik perilaku itu didukung pula dengan wajah yang tampan, tidak mengherankan jika
gadis-gadis banyak terpikat olehnya. Bermimpi agar dipersunting sebagai isteri. Celoteh-celoteh
mereka ditepi pintu rumah dipetang hari selayaknya gadis-gadis minang, sering terdengar,
"Beruntunglah aku jika bersuamikan tuan yang baik hati lagi penyayang itu. Tidak akan sengsara
dunia akhirat". Katanya sambil tertawa-tawa kecil. Budi luhur dan tuturnya lembut sopan telah
menyihir siapa saja. Semua orang menghormatinya layaknya orang besar, pesohor dalam negeri.
Bilamana malam tiba, kedai-kedai terisi penuh oleh pemuda-pemuda yang bercekeramah,
itu juga buah bibirnya. Menyanjung tinggi kebaikan Sutan Rajo Ameh. "Kalau ambo caliekcaliek, Si Sutan itu pantas menjadi Datuk kita, sebagai pengganti Sutan Bazar, datuk kita yang
sekarang. Bagai pinang dibelah dua perangainya. Tidak akan rugi jika tetuah adat mengangkat
Sutan Rajo Ameh", kata salah seorang muda berbadan tegap, bertelanjang dada. Kulitnya agak
sedikit gelap. "Iyo! Sayapun setuju", jawab seorang lagi didepannya."Sutan Rajo Ameh itu masih
muda, tapi perangainya, onde mande, sangatlah baik. Angku hasanudin saja sekarang
dilarangnya pergi kesawah. Ongkang-ongkang kaki sajalah jadinya apak tua itu, berkerja ini itu
tidak boleh lagi oleh si Sutan. Sayang betul pada orang tua"
"Apalagi Amaknya! Baju-baju yang dipakai sekarang, mahal semua. Selain memasak,
tidak boleh bekerja. Berjualan kepasarpun sekarang tidak diperbolehkan. Beruntung sekali
angku Hasanudin dan amak Siti punya anak. Senang terus sepanjang hari. Jadi iri awak",
seorang pemuda yang lain menyela.
Desas-desus yang beredar dari mulut ke mulut tentang perihal pengangkatan Sutan Rajo
Ameh sebagai calon datuk sampai ketelinga Mangkuto Sati. Karuan saja, langsung panas dingin
badannya dan merutuk-rutuk seorang diri. Heran membayangkan kenapa begitu cepat
pandangan kaum berubah, tak berharga lagi dirinya" Jika dibiarkan berlama-lama, ia akan
semakin ditepikan dari calon pengganti Sutan Bazar. Duduk-berdiri, mondar mandir hilag akal
Mangkuto Sati. Pesaing yang baru pulang itu bukan lawan sembarangan, orang kaya! Berani
sekali si sutan Raji Ameh itu, lancang. Bisa rusak rencana yang lama dipersiapkan dengan rapi,
hilang angan-angan akan kehormatan yang dihauskan bak dahaga selama ini. "Bajingan kurang
ajar!", kata mangkuto sati membanting gelas minuman ditangannya.
8.Delapan * Serimbun apapun semak serta belukar ditengah hutan, pastilah ada setangkai bunga
mekar cantik tersembunyi diantaranya. Meskipun tersembunyi jauh, harumnya akan tercium juga
oleh kumbang-kumbang pengelana. Begitu juga dengan kampung padukuan. Ada banyak gadis
jelita yang manis parasnya, elok lakunya, sopan pula tuturnya. Bak jarum dalam duri, seorang
dari yang banyak tentu ada yang lebih menonjol, yang digilai kecantikannya. Hal lumrah dan
tidak mengherankan. Bunga yang tersembunyi yang paling banyak dikerumuni kumbang itu bernama Puti
Asmini. Kembang desa nan sedang mekar. Wewangiannya tersebar kemana-mana, bahkan
kepelosok desa-desa lain yang cukup jauh. Wajahnya lembut gemulai, kulitnya putih dan
rambutnya panjang. Bibirnya merah bergelantung delima ranum, ditambah sinaran mata bak
serpihan berlian nan indah memikat. Lemah tersungkur para pemuda memandangnya jikalau
lewat pulang mengaji, disore menjelang petang hari.
Namun sayang, puti nan cantik itu tiada yang berani menegur menyapa, apalagi
menggoda, sebab ia adalah Puteri bungsu jagoan paling ditakuti seisi kampung padukuan, yang
bernama Malintang Bumi. Pendekar hebat disegani. Berotot baja, tulangnya besi, kebal senjata.
Bukan isapan jempol ataupun berita angin lalu kehebatannya, sudah disaksikan oleh banyak
orang. Yang paling melekat diingatan tentu saja peristiwa genting kala ia bertarung matianmatian melawan perampok ganas yaitu gerombolan Rambong Bajah, perompak keji penguasa
bukit rimbo bujang dari tanah Jambi, datang ke padukuan dengan maksud menjarah harta
rakyat. Ketika itu, apapun yang ingini, akan diambilnya sesuka hati. Makan dikedai sesuka
perutnya tanpa sepersen;pun dibayar. Sapi, kambing dan binatang ternak lainnya dijarah dan
dibawah. Gadis-gadis disandera dan dikumpulkan, hendak dijual. Seorang penduduk yang tak
kuat ditindas, nedad melawan, baku hantam terjadi. Malang, tanpa ampun orang itu mati dibacok
lehernya nyaris putus. Berhetilah perlawan. Bertepatan dengan kejadian itu, Malintang Bumi
yang masih muda, pulang kampung setelah menimba ilmu silat bertahun-tahun lamanya ditanah
lintau, negeri jauh yang silatnya terkenal tiada tandingan itu. Diketahuinya kesulitan penduduk
dari pengaduan orang di perbatasan yang sempat kabur. Datanglah ia menyelamatkan padukuan,
kesempatan mencobai ilmu baru. Dia bertempur seorang diri melawan puluhan perompak,
memerangi kesemena-menaan yang menjajah padukuan, tanah tumpahnya. Pertarungan
menegangkan berlangsung cukup lama. Menurut cerita penduduk, konon diwaktu itu bulu kuduk
orang-orang bergidik ketika berpuluh-puluh golok dapat membacok Malintang Bumi berkalikali, punggung, leher, juga kepala. Akan tetapi, sesuatu yang membuat orang takjub adalah tak
satupun gores luka membekas dikulitnya. Hebatnya lagi, malahan senjata penjahat-penjahat itu
patah dua. Dan diakhir cerita, Si ketua perompak Rambong Bajah sendiri yang hebat ilmu
silatnya itu dapat digebuk, takluk. Ia bersujud-sujud kekaki agar diampuni dan tidak dibunuh
oleh Malintang Bumi. Sebagaimana orang minang, jika keras-sekeras batu! Kalau lunakselembut kapas. Mereka dimaafkan, diusir dengan perjanjian tidak menginjak tanah minang lagi,
dimanapun itu. Begitulah kehebatan yang abadi sepanjang sejarah padukuan. Selama ini belum
ada seorangpun pemuda yang nekad mendekati atau sekedar bertanya apakah si gadis, anaknya
sudah dipinang atau belum. Salah bicara, bisa-bisa kepala bakal terpisah dari badan. Bukan
sembarangan orang yang berani datang menyambangi.
Malintang bumi berpangkat terhormat, disegani, yakni dubalang didalam kampung. Jika
terjadi masalah, kekacauan atau semacam perselisihan yang mengancam keselamatan penduduk,
dialah yang turun tangan. Berdiri digarda depan bak tameng pelindung semua orang. Berbekal
kepandaian bermain silat, belumlah ada jagoan manapun yang keceplosan lidah meragukan
kepiawaian-nya itu. Semua takluk padanya.
Sekalipun begitu, berilmu silat tingkat tinggi, sebenarnya Malintang bumi tidaklah
pernah bertindak sesuka hati. Ia bukan tipe orang yang suka pamer apalagi semena-mena, jauh
dari kata lupa diri. Justru, ia jarang marah. Kecuali, pada saat tertentu, seperti ketika silang
pendapat dengan petinggi adat yang lain dalam memecah sebuah perkara atau mempertahankan
anak kemenakan yang terlibat perkelahian dengan kampung lain. Barulah ia bertindak. Dilain
hari, ia berlaku sebagaimana layaknya manusia biasa. Lebih tepatnya, kemarahannya
membuncah apabila kedaulatan serta harga diri anak kemenakan diinjak-injak oleh orang yang
lain asal, seperti yang dilakukan oleh Rambong Baja dimasalalu.
Banyak yang menaruh hati tapi tidak punya nyali melamar, tidak begitu ceritanya dengan
Mangkuto Sati. Seperti remaja-remaja sebaya, darah mudanya juga ikut tergoda oleh kecantikan
anak Malintang Bumi, putih asmini. Hatinya telah tertaruh tak mau berpisah lagi, gila cinta
setiap hari. Meskipun, ia pernah mencoba mendekatkan diri tapi ditolak secara halus, ia tidak
mau memundurkan langkah, berbalik arah begitu saja, pantang bagi laki-laki. Pikirnya, sekeras
hati manusia, akan melunak dengan kata-kata dan niat yang tulus. Maka dari itu, sebelum
kecolongan, dipersiapkannya diri jauh-jauh hari. Dan dihari dan waktu yang telah ditentukan,
penuh keyakinan, gagah berani, ia mendatangi tempat yang sebagian laki-laki menganggapnya
angker itu, tanpa rasa takut akan dicekik lehernya sampai berjuluran lidah oleh ayah gadis
pujaannya. Setibanya disana, Ia diterima dengan baik oleh Malintang Bumi. "Ada keperluan apa nak
bujang datang kemari?", kata malintang bumi sambil mempersilahkannya duduk dikursi depan
rumah. "Ah, bukan apa-apa Angku, Cuma untuk bersilatuhrrahmi saja! Sambil jalan-jalan sore",
jawabnya malu-malu. Kemudian, mereka terlibat cakap-bercakap panjang lebar tentang rencana
pergantian tampuk kepemimpinan dalam kaum pasukuannya. Disinggung-singgungnya sedikit
rencana itu. Apakah benar dirinyalah yang akan diangkat sebagai pengganti" Pancingan yang
bermaksud agar tinggi derajatnya dimata calon mertua. Malintang bumi menerangkan, bahwa
rencana awal ninik mamak berserta perangkat kaum memang begitu adanya. Akan tetapi,
sebagaian dari tetuah belum menyetujui putusan itu. Ibarat bulat belum seragi, pangkal belum
berujung, pencalonan itu belum bisa diputuskan dalam waktu dekat. Belum ada kata sepakat.
Agak kecewa Mangkuto Sati mendengar penjelasan Malintang Bumi. Kata yang
disangkanya tinggal menunggu waktu itu rupanya masih perlu dirundingkan lagi oleh para
petinggi adat dan kaum. Bertambah kuat dugaannya akan ditunjuknya Sutan Rajo Ameh,
pesaing yang cukup membuat khawatir itu. "Setan alas!", bathinnya merutuki. Menurut pikirnya,
kalau sudah pasti diangkat menjadi Datuk, pemimpin kaum yang disegani, maka usahanya untuk
meminang Asmini pada Malintang Bumi akan semakin mudah. Bahkan sangat mudah.
Tujuannya itu tidak akan terlalu sulit terlaksana atau serumit yang dikerjakannya ini. Tinggal
minta, dikabulkan dan langsung nikah. Sebab, orang berpangkat tinggi dalam kampung,
sangatlah dihormati. Malintang Bumi tentu lebih suka puterinya disunting oleh seorang datuk
yang seibarat Raja , daripada bersuamikan laki-laki biasa saja. Aiih, ia mengeluh dalam-dalam.
Belum lama setelah percakapan, Puti asmini, bunga mekar yang hendak dipagar tinggi
oleh Mangkuto Sati, datang membawa dua cangkir teh beserta sedikit makan kecil. Geraknya
meletakkan nampan diatas meja, meliuk gemulai. Berdesirlah darah didada Mangkuto Sati.
Terbakar darah muda melihat tambatan hati berada didepan mata. Serasa dipenuhi wewangian
puncak hidungnya."Silahkan diminum Uda!", kata si gadis melontarkan senyuman semanis
madu. Aduhai, terbang melayang kemenakan Datuk Bazar. Merona merah pipi, Mengigil
kedinginan disiang hari tubuhnya. Tak sanggup dijawabnya perkataan basa-basi itu. Lalu,
Asmini masuk kembali kedalam rumah. Menganga, mulut Mangkuto terbuka sedikit lebar,
terpana memandang punggung si gadis yang perlahan menghilang. Sadarpun tidak, ketika lalat
sudah leluasa bermain-keluar masuk mulutnya.
"Ehem...!", mendehem kecil Malintang Bumi. "Diminum Tehnya Bujang!", lanjutnya
Linggang Si Bunian Karya Wendi Andriko di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
seolah menghentikan lamunan indah pemuda didepannya. Tersentak Mangkuto Sati. Malu,
teramat malu dirasakannya. Ia menganggukkan kepala dan meminum teh panas buatan Asmini.
Sembari meminum teh, tak sanggup ia menegakkan kepala.
Cukup lama setelah itu, barulah kembali ia membuka suara. Setelah dirasa-rasanya usai
waktu berbasa-basi. Dibenarkan posisi duduk agak lebih sopan, mendehem sedikit, dan mulai
buka suara, "Begini angku, sebenarnya, bukan sembarang hari saya datang menyambangi,
angku. Ada tujuan serta maksud yang hendak saya sampaikan sebagai bentuk permintaan, bisa
juga permohonan ke diri Angku"
"Tujuan dan maksud apa itu bujang" Bicarakanlah dengan jelas... !"
"Tujuan dan maksud saya itu, tidak lain dan tidak bukan adalah perkara anak gadis
Angku, Puti Asmini. Seperti yang angku ketahui tentang diri saya, bujang muda belum beristeri,
sedang mencari jodoh. Jika diperbolehkan berkehendak, pinta boleh biberi, saya hendak
meminang Puteri angku itu. Saya ingin menjadikannya pendamping, teman hidup saya dunia
akhirat! Itulah maksud saya"
Malintang Bumi terdiam mendengar penjelasan Mangkuto Sati. Ditekurkannya kepala
dan kemudian mengangguk tanda mengerti. Senyuman tersungging dari bibir laki-laki setengah
baya itu. Dan menjawab,"Begini bujang! Besar sekali hati angku mendengar maksud baik anak
bujang itu. Tiada terkira senangnya. Kalaulah bunga itu masih tertanam dihalaman, belum
berpagar kiri dan kanan, mungkin masih berkenan saya terima pinangan anak bujang. Perkara
menikah adalah sunnah Rasul untuk menyempurnakan agama. Tidak boleh ditunda bila suda
waktunya. Apalagi menaruh anak perempuan, bagai menyimpan pisang mengkal, hari ini
diperam-besok sudah ranum, harus cepat dinikahkan. Tapi sekalipun begitu, apa yang hendak
dikata, maksud bujang boleh tersampaikan-pinta tidaklah bisa angku berikan. Sebab, bunga yang
kau inginkan itu sudah berpagar besi dikeempat seginya, sudah dimiliki orang lain. Bujang
keduluan selangkah oleh orang itu. Puti , anakku sudah dipinang"
"Duarrr", Bagai meletus suara meriam ditelinga, kala mendengar perkataan Malintang
Bumi, yang dari awal ia yakini akan menjadi ayah mertuanya. Terbeliak mata mangkuto sati,
pandangan gelap agak berkunang. Berdebar-debar jantungnya, "Sudah dipinang orang, Angku?"
"Ya! Sudah sebulan yang lalu orang itu datang meminang. Bukan orang jauh, masih
kerabat kita disini juga!"
"Ss..iapa angku" Bolehkah saya tahu?"
"Sutan Rajo Ameh!"
Tambah menyalak petir dikepala Mangkuto Sati. Lagi-lagi nama kebenciannya itu. Bagai
menanak nasi orang dikepala hingga mengepulkan asap dikedua telinga. Sudah mau merebut
tahta pemimpin kaum, calon isteri;pun ikut disikat. Serakah sekali manusia bernama Sutan Rajo
ameh menurut pikir piciknya. "Ss...Sutan yang kaya raya itu?"
Malintang bumi mengangguk, "Puti Asmini sudah menyetujui pertalian itu. Cincin sudah
dipasang dijari masing-masing sebagai tanda jadi. Tinggal melakukan akad yang diresmikan
secara adat dan agama saja. Semua hal keperluan sudah dipersiapkan!"
Bukan main! Mangkuto Sati hendak mengamuk. Berbinar, berkaca-kaca matanya
menahan sesak nafas. Seakan runtuh langit, seakan taban bumi. "Bangsat kau Rajo Ameh! Baru
pulang dari tanah jauh, sudah merampas calon isteriku... Tidak tahu diri...!", umpat serapahnya
dalam hati. Diluar ia tetap tenang,"Kapan pernikahannya dilangsungkan angku?"
"InsyaAllah, seminggu lagi. Belum rezki-mu dengan Asmini, bujang. Kumbang tidak
seekor, bunga tidak pula setangkai. Masih banyak gadis lain yang mungkin berjodoh denganmu.
Jodoh, takdir dan mati memang sudah diatur. Kita tinggal menjalankan", kata si dubalang penuh
bijaksana. "Kalau kau punya waktu luang, datanglah dipernikahan anakku nanti, lihat-lihat juga
kami disini". Ajakan yang teramat pedih. Mangkuto sati angguk-anggukkan kepala, meski
hatinya tidaklah terima, remuk redam. Ia merasa terhina. Harga dirinya bagai diinjak-injak. Dia
orang terpandang disegani, calon datuk, calon pemimpin, pengganti mamaknya dimasa depan.
Bagaimana bisa ditolak mentah-mentah begitu rupa" "Tidak...sampai mati aku tidak terima",
katanya mendesah. Sebelum waktu ashar tiba, ia pamit pulang. Ditinggalkannya rumah Malintang Bumi
dengan muka hambar penuh dendam. Dalam baik tutur dan kesopanan yang ditunjukkannya,
tersimpan niat buruk. Entah rencana apa yang telah dipersiapkan dikemudian hari.
Setibanya dirumah, teman setianya, Mali menunggu didepan pintu, tak sabar ingin
bertanya. Keyakinan akan kabar baik seolah membutakan matanya. Dihampirinya Si Tuan
terhormat "katanya" itu. Cengar-cengir, garuk-garuk kepala yang tidak gatal, "Bagaimana
hasilnya Tuan" Aku yakin, pasti diterima pinangan Tuanku! Betulkah begitu" Hehehe!".
Mangkuto Sati tidak menjawab. Dikerlingkan mata sedikit sebagai isyarat pertanda tidak
baik, mempertingatkan. Lalu, langsung berjalan masuk kedalam rumah tanpa menoleh
sedikitpun pada yang bertanya. Raut wajahnya cemberut, kening berkerut, masam tanpa rona
sedikitpun. Tampak redup semangatnya yang sebelum pergi tadi teramat sumringah.
Si mali masih cengar-cengir rupanya agak kurang tanggap dengan keadaan. Nekad, ia
kembali menanyai. Tidak dilihatnya awan sedang hitam, langit sedang mendung,"ah, tuanku!
Mentang-mentang sedang bersenang hati, lupa sama teman sendiri...bagi-bagilah kebahagiaan
itu! Kita sudah setikar-setiduran, janganlah menganggapku seperti orang lain"
"Plaakk", alangkah terkejutnya si mali, bukan jawaban yang ia dapat, malah sebuah
tamparan bersarang dipipinya. Itulah jawaban yang diberikan oleh orang yang dianggapnya
teman. Ia mengaduh memegangi pipi, serasa tebal dan membengkak. Belum lagi hilang sakitnya
itu, ditambah lagi dengan hantaman keras kepantatnya, "buggh". Tak ayal, tubuh kurusnya
tersorong kedepan, terlempar dari teras rumah kayu itu dan kemudian tersungkur kehalaman.
"Aduh", rintihnya kesakitan. Tak disangka-sangkanya akan menerima pukulan teramat keras dari
Mangkuto Sati. Wajah dan bajunya yang semula bersih, berubah cokelat kehitaman bagai
setahun tidak dicuci, ia berlumuran lumpur.
"Kenapa memukulku, Tuanku" Apa salahku?", katanya mengumpat, heran.
Memerah muka Mangkuto Sati, "Dua kesalahanmu mali! Pertama, kau mengatakan
bahwa aku sudah pasti diangkat menjadi datuk, semua tetuah telah sepakat akan hal itu. Tapi
rupanya, masih sebatas pendapat, ditambah lagi dengan adanya calon lain, Si brengsek Sutan
Rajo ameh! Posisiku semakin sulit. Kedua, kau bertanya disaat hatiku sedang tidak baik untuk
menjawab pertanyaan yang kau ajukan. Maka, enyalah sekarang sebelum kau tambah lagi
kesalahanmu yang ketiga. Bisa hilang nyawamu!"
Mengumpat panjang pendek si Mali. Menyumpah-nyumpah ia dalam hati. Niat baiknya
untuk sekedar bertanya tidak dihargai. Malah dilecehkan layaknya anjing,"Matilah kau bangsat,
muka buruk disangka tampan, tidak sadar diri. Aku tahu Malintang Bumi tidak akan menerima
pinangan orang bermuka dua macam kau. Lain diluar-lain pula didalam. Beruk saja masih pikir
dua kali menerima pinanganmu!", bathinnya sambil berlalu pulang dengan muka coklat.
9.Sembilan * Sutan Rajo Ameh duduk diberanda menimang-nimang sebatang padi ditangan. Kepala
mendongak menatap langit senja yang memerah. Bangau-bangau putih terbang berkelompok,
sejajar beraturan menuju pantai. Pipit-pipit yang sudah kenyang berdecit-decit menuju sarang,
puas menjarah padi orang. Alam terkembang bagai lukisan. Langit merah bak genangan emas
dimatanya. Bibir berbisik halus mengucap-segala puja-puji kebesaran ilahi. Dalam ketenangan
hatinya, senja itu terasa begitu istimewah.
"Apa yang kau renungkan, anakku" Adakah sesuatu yang berat mengganjal dan jadi
masalah?", kata Mak siti, ibunya menegur.
"Tidak, Mak! Aku hanya memandang senja dan matahari terbenam saja. Masalah bukan
untuk dibawa bermenung, tapi diselesaikan dengan segera. Amak, ada-ada saja!", jawab Sutan
tersenyum. "Memikirkan Si Puti, calaon menantu amak?"
"Apa pula yang kupikirkan tentang Puti, Mak! Hari pernikahan kami sudah dekat. Cuma
berdebar sedikit kalau teringat . Wajarlah, pengalaman sekali seumur hidup"
"Jika nanti kau sudah jadi suaminya, jangan samakan hidupmu dengan cara kau
membujang ini! Jadi suami itu harus banyak bersabar. Perempuan memang sering bicara, tapi
hatinya tulus. Salah sedikit terkadang jadi masalah, kalau kau tidak bisa bersabar. Contohlah
ayahmu! Kalau amak sedang marah, dia diam saja. Dia dengarkan keluhan amak sampai celoteh
amak selesai. Setelah reda, barulah ia bicara!"
"Iya ,Mak! Akan selalu kuingat nasihat ini. Aku juga sadar, menikah bukan untuk
bertengkar lalu bercerai. Tapi, sama-sama mencari kesenangan lahir bathin dan tak lupa
mengabdikan diri pada Yang Kuasa. Bagaimana caranya Amak dan Ayah medidik-ku, begitu
juga caraku nanti menjaga anak-anakku"
"Baguslah kalau begitu. Oya, Apa kau sudah dengar permintaan ninik mamak dirumah
gadang?" "Permintaan" Permintaan dalam hal apa Mak?"
"Tadi, ayahmu dipanggil Sutan Bazar, datuk kita yang sedang sakit keras itu. Katanya,
ada suatu hal yang penting ingin dia bicarakan pada ayahmu. Amak juga tidak tahu permintaan
apa yang mereka maksud. Semoga saja tidak memberatkan kamu dan keluarga kita"
"Semoga saja, Mak! Kalau aku bisa, apa salahnya kupenuhi. Aku tidak akan keberatan
jika tidak melewati batas kesanggupanku. Kecuali, ninik mamak memintaku mencari sisik belut,
barulah aku akan angkat tangan"
Mak Siti hendak mencubit bahu puteranya. Namun, belum sempat dilakukan,
"Asslammualaikum...!", terdengar suara perempuan mengucap salam, "Waalaikumsalam!",
jawab sutan dan mak siti bersamaan.
Mereka beranjak kedepan. Sutan mengikuti ibunya dari belakang. Dia tampak malu-malu
mengetahui siapa yang datang. "Dek Puti?", katanya menyapa Calon isteri, pujaan hati siang dan
malam. "Iyo Uda!", balas si puti tersipu. Keduanya sama-sama saling menundukkan kepala.
Waktu lewat dan berlalu sekian lama dengan curi-curi pandang. Mak Siti memandang keduanya
senyum-senyum. "Yang ini cantik, yang ini tampan! Serasi sekali kalian berdua", katanya
menggoda. Makin tersipu dua calon suami-isteri itu dibuatnya.
"Ada apa datang sore-sore begini, dik?", Sutan Rajo Ameh buka suara.
"Ibu menyuruhku mengantarkan makanan ini, Udah! Tadi kami membuat sedikit kue.
Beliau berpesan, tidak boleh lama-lama, sudah mau gelap!"
"Yasudah, hari memang sudah hampir magrib! Amak salin dulu kue ini ya!", kata mak
siti. Puti mengangguk dan kembali dipandangnya sebentar wajah si calon suami. Bergetar
dadanya. Ya, pemuda tampan didepannya memang nyata calon suaminya. Dilain pihak, Sutan
Rajo Ameh;pun merasakan hal yang sama. Dipujinya kecantikan puti Asmini , bidadari hatinya.
Puti Asmini pamit pulang. Sutan Rajo Ameh berniat mengantarkannya sampai kerumah
supaya tenang hatinya. Maklum, sedekat apapun jarak rumah-yang namanya cinta akan tetap
berlebihan. Sejengkal jadi sedepa, dekat akan jadi jauh. Puti asmini tidak mau merepotkan calon
suaminya, sekalipun sebenarnya dalam hati sangat ingin berduaan. Ditolaknya secara halus.
Katanya, tidak apa-apa pulang sendiri. Menyerah juga Sutan Rajo Ameh. Dengan berat hati,
dilepaskannya puti asmini yang ingin pulang tanpa pengawalannya. Agak sedikit ragu-ragu, ia
menyetujui, walau ada rasa takut kehilangan dalam ruang terdalam hatinya yang membesitkan
kekhawatiran. Ia berdiri dihalaman sampai hilang bayang si kekasih dibelokan jalan. Tanpa
diketahuinya, dibalik semak-semak belukar , tidak jauh dari halaman rumahnya, ada sepasang
mata sedang mengintip kemesraan mereka dengan hati remuk redam. Mata itu menatap nanar
penuh api kecemburuan yang teramat dalam dengan debaran jantung yang teramat kuat.
Si pengintip mengikuti Puti Asmini diam-diam. Langkahnya nyaris tak terdengar
direrumputan, lebih halus dari desingan angin malam yang mulai bertiup. Mata liarnya
memperhatikan gerak-gerik si anak gadis bungsu malintang bumi dan juga keadaan sekitar.
Sepertinya ada niat buruk yang hendak dilakukan. Siapa orang itu"
Disebuah tikungan jalan menuju kerumah malintang bumi, tempat itu memang agak
lengang, dimana hari juga sudah mulai gelap, semakin mempermudah dirinya bersembunyi,
orang itu meloncat dari semak-semak dan menghadang langkah calon isteri Sutan Rajo Ameh.
Tangan dibentang menghalangi jalan. "Mau kemana adik manis?", katanya tertawa mengekeh.
Puteri Malintang bumi kaget bukan kepalang. Sosok yang menghadang langkahnya,
bagai hantu datang tiba-tiba membuatnya terpekik. Setan atau binatangkah itu" Ia mencoba
mengenali wajah manusia didepannya, "Uda...Mangkuto Sati?", serunya dengan pandangan agak
kurang senang, langkah disurutkan."Ada perlu apa udah menghambat jalan saya ditempat gelap
seperti ini" Kalau ingin bertemu, datanglah bertamu baik-baik. Jangan berlaku seperti maling.
Tidak baik dilihat orang, akan timbul fitnah yang bukan-bukan nantinya. Lekaslah uda
menyingkir, beri saya jalan!"
"Tunggu dulu... Sabarlah sebentar kau calon isteriku...! Aku ada sedikit keperluan
denganmu. Ayahmu yang jagoan itu tidak ada disini, bukankah mempermudah kita agar bisa
berduaan lebih lama. Kalau dirumah, aku hanya bisa menatapmu sekilas saja, disini aku bisa
leluasa...hehehe..dari mana kau, Asmini" Kenapa keluyuran malam-malam?"
"Calon isteri" Mengigaukan siapa kau Mangkuto Sati" Pandanglah baik-baik! Meski
gelap, matamu belumlah buta, bukan" Aku bukan calon isterimu! Lekas pergi dari sini dan
bawalah berobat kedukun. Periksalah, apa yang rusak dikepalamu...siapa sudi bertatap muka
denganmu" "Eh...eh...sok jual mahal pula kau padaku ,Asmini. Jangan membantah perkataanku! Aku
tahu perangai wanita gila harta sepertimu. Bukankah yang kau mau adalah suami yang banyak
uang" Kalau saja si bangsat Sutan Rajo ameh itu tidak kaya raya, akulah yang akan menjadi
suamimu, bukan"...aku ini calon orang besar dan dihormati. Lagipula, Si tolol Bazar itu sudah
hampir keok. Tapi, anjing kurap yang bernama Rajo Ameh itu merampasmu yang seharusnya
milikku...perempuan murahan!", katannya melempar senyuman sinis.
"Lancang mulutmu bicara! Tengoklah jauh-jauh kedalam diri, sudah bersihkah kau dari
tuduhan yang kau sebutkan itu" Semua orang tahu, kau gila kekuasaan dan berharap tetuah
memilihmu sebagai datuk. Pikirmu seolah aku ini milikmu saja, Mangkuto! Aku memilih Sutan Rajo Ameh bukan
karena harta, uang, atau tahta. Tapi sesuatu yang lebih besar dari itu. Sesuatu yang seujung
kuku;pun tidak kau punyai sebagai manusia, hanya manusia beradat beragama saja yang
memilikinya, yaitu berbudi luhur dan berakhlak tinggi. Ia tidak ada bandingannya dengan
pecundang macam kau. Jangan kira aku tidak tahu tabiatmu yang kau sembunyikan dari orang-orang sekampung.
Penjudi. . . !" "Hahahaha...", tawanya memecah."Bicara apa kau, Asmini! Aku bukan orang seperti itu.
Jangan pandang hinanya aku dimatamu, manis, aku laki-laki baik! Percayalah". Dicubitnya dagu
Asmini. Sontak sang dara menepis.
"Aih, nasib...nasib! Nasibku memang malang. Baiklah, jika aku tidak bisa memilikimu
sebagai isteri, akan kuberikan sisa-ku pada suami-mu nanti. Hahahaha....", jaraknya diperdekat,
muka ditolok kedepan, cengar-cengir layaknya seekor anjing liar mencari makan ditong sampah,
kelaparan. Asmini;pun surut kebelakang, menjaga jarak demi menghindari perkiraan buruk yang
mulai diduganya. Ia dilanda kecemasan, cemas akan keselamatan yang tengah terancam. Lalu,
Bak seekor harimau, Mangkuto Sati mencengkeram tubuh puti asmini kuat-kuat, berusaha
memeluknya dan menciumnya secara paksa. Mata membeliak penuh nafsu. Lidah menjulurjulur, liur menetes menjijik-kan. Puti nan malang berteriak-teriak ketakutan, berusaha melawan.
Dipukul-pukulnya tubuh mangkuto dimana;pun bisa. Ia meronta-ronta, minta tolong sambil
menangis. Kepiluan yang teramat pedih terdengar.
Mangkuto hilang kendali dan lupa diri. Tak dipedulikannya teriakan dan rintihan gadis
itu. Hatinya telah dilumuri nafsu bejat dan kecemburuan yang membabi buta. Jika cinta tak bisa
dimilikinya-maka cinta itu haram hukumnya bagi orang lain. Semua yang ada dikepalanya
hanyalah cara membalaskan sakit hati karena lamarannya ditolak mentah-mentah oleh malintang
bumi. Ia sangat mencintai Asmini, tapi kenyataan sangatlah menyakitkan. Si gadis malah
memilih orang kaya dan terpandang. Jika dibandingkan, ia memang bukanlah apa-apanya dari
Sutan Rajo Ameh. Wajah dan keberuntungan nasib tidak ada yang memihak padanya.
Mengenang itu, sakit hatinya semakin dalam mencucuk akal sehat. Lakunya sudah sebanding
dengan seekor binatang, biadab.
Asmini terus menangis minta dilepaskan. Air mata cemas, takut dan putus asah memsahi
pipi mulusnya. Tiada rela hidupnya ternoda dan dizalimi oleh manusia laknat teramat
dibencinya. Dalam hati ia berharap semoga ada orang yang datang menolongnya dari niat bejat
Mangkuto Sati. "Toloooonnggg....toloooonnggg....!", rintihnya dalam tangis. Akan tetapi,
semakin letih tubuhnya menahan tenaga kuat si laki-laki bejat, belum juga ada pertolongan.
Mereka berguling-gulingan ditanah. Mangkuto Sati memeluknya bergelak tawa.
Tiba-tiba, "Bugghh..!!", Mangkuto sati melenguh sakit mendapati tubuhnya terpelanting
dan kemudian tersungkur ditanah. Sebuah hantaman tak terduga bersarang telak dikepalanya,
membuatnya sempoyongan sementara waktu. Cengkeramannya pada puti asmini lepas. Gadis itu
segera berlari kebelakang si penolong, mencari perlindungan.
Mangkuto Sati kaget bukan main, siapa yang berani menyerangnya" Ia mencoba berdiri
meski kepala yang menerima hantaman terasa pusing, mata berkunang-kunang. Sekian waktu
disaksikannya banyak bintang menghiasi pemandangan. Sebelum mengusap-usap mata beberapa
kali agar pandangannya lebih jelas.
Tambah menjadi-jadi kejut Mangkuto Sati melihat orang yang menyerangnya. Diusap
lagi mata beberapa kali, seakan tidak percaya menyaksikan sosok didepannya. Terbeliak
matanya lebar-lebar. Menggembor-gembor gemeretukan rahangnya, "Penghianat!!!! Berani
menyerangku.. Kucincang kau sampai mati...!", katanya pada si penolong yang rupanya adalah
Sahabat karibnya sendiri, bandit suruhan yang selama ini terjamin keetiaannya, Mali. Teman
akrab yang tak jauh bedanya dengan pesuruh, anak buah. Diperlakukan sesuka hati, dipukul
kapanpun ia mau. Baginya, Mali adalah budak sahaya yang harus menuruti segala perintahnya,
sehina binatang. "Aku bukan penghianat... Hubungan apa diantara kita yang menjadikan aku sebagai
penghianat" Tidak ada! Aku cuma kacung suruhan bila dibayar. Tapi aku,,membenci tingkah
manusia yang tak ubanya seperti binatang! Tak tahu adat! Memaksa anak gadis ditempat gelap
yang sudah jelas-jelas calon bini orang. Menjijikkan! Kau taruh dimana muka buruk rupamu itu"
Sudah buruk tak tahu diri pula..."
"Bangsat benar!! Berani menghinaku.." Tidak sayang nyawa kau, Mali! Bersiaplah
menghadap setan neraka manusia jahanam!"
"Perkara nyawa usah disebut akan tamat disini, beruk jelek! Urus saja muka buruk rupa
dan tidak tahu dirimu itu. Betulkan dulu bentuknya yang agak kurang sempurna! Kalau perlu,
oleskan taik sapi, jadikan topeng...hahaha! Aku jamin kau lebih tampan dari wajahmu yang
sekarang", katanya meledek sinis, kesengajaan memancing amarah agar luapan emosi
melemahkan musuhnya. Ditariknya tangan Puti dan berkata,"cepat pulang! Kadukan pada
ayahmu kejadian ini...! Aku tidak akan sanggup bertahan berlama-lama melawan si bangsat itu.
Ilmu silatnya cukup tinggi. Hanya ayahmu yang sanggup merobohkan".
Puti asmini ragu-ragu,"Tapi, bagaimana denganmu ,Mali" Kau bisa celaka! Lebih baik
kita kabur saja bersama-sama"
"Sudahlah, Putih! Mustahil...! Itu tidak mungkin kulakukan...Mangkuto sati brengsek ini
tidak akan diam saja melihat kita lari. Begini saja, Aku akan menahannya sampai kau selamat
dan bawakan bantuan agar aku tidak mati konyol ditangan manusia kafir itu". Puti mengangguk
Linggang Si Bunian Karya Wendi Andriko di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan helaan nafas berat. "Ayo cepat!". Ia;pun segera berlari pulang. Bermaksud
mengadukannya kejadian yang menimpanya pada Malintang Bumi. Mangkuto Sati terpana tanpa
berusaha mencegah. "Sebentar lagi Malintang Bumi akan datang memenggal kepalamu , kepalamu
Tuanku...hehee! Ingat itu! Menjelang dia datang, mari kulayani kau satu_dua jurus! Majulah!",
hardik mali cengengesan, membuka langkah.
"Mencari mati kau, budak sahaya! Lupa diri ... Sebelum Malintang Bumi datang, sudah
kubuat nyawamu lepas dari badan",katanya menyerang.
"Siapa sudi jadi budakmu!", balas Mali pula.
Dua telapak tangan mangkuto Sati dikembang, mulut komatkamit merapal bacaan,
mantera telapak besi. Ilmu hitam yang dipelajarinya dari dukun jahat yang bernaung dikaki
gunung Linggo. Jurus telapak besi bukan ilmu kebatinan biasa, diciptakan oleh seorang sakti
berilmu hitam amat ditakuti puluhan tahun silam. Pendekar-pendekar terdahulu tidaklah asing
jika mendengar namanya. Dimasalalu jurus itu telah menelan banyak nyawa tokoh-tokoh penting
tingkat tinggi diranah minang, terutama diselatan pesisir pulau Andalas. Keangkaramurkaan
merajalela, penggunanya menebar bencana dimana-mana. Angkara murka itu baru dapat
dihentikan ketika seluruh tokoh silat kelas wahid mengeroyok dukun ilmu hitam pencipta
telapak besi beramai-ramai dan kemudian dipisahkan kepalanya dari badan. Sebab, selain
telapak besi, ia menguasai ilmu tambun! Tak bisa mati selagi tubuhnya menyentuh tanah. Jika
tidak digantung, usaha membunuhnya akan percuma. Dalam waktu singkat si dukun akan
kembali hidup. Semenjak peristiwa menggemparkan jagad persilatan itu, Telapak besi dianggap
sebagai jurus larangan, bukan untuk dipelajari. Jika ada yang mempelajari, ia akan diburu oleh
ahli silat didelapan penjuru angin. Pemilik pukulan akan mati dibunuh dengan kepala terpenggal
bergelantungan didahan pepohonan.
Namun berbeda dengan Mangkuto Sati, jurus telapak besinya barulah tahap dasar, masih
terlalu jauh dari kesempurnaan sebagaimana dahsyatnya telapak besi. Sebab, belum lama
menimba ilmu, gurunya, si dukun jahat keburu masuk tanah, terlalu uzur diusia sembilanpuluh
delapan tahun. Sebelum kematian gurunya, Ia sempat diwariskan sebuah kitab rahasia tentang
tata cara pembelajaran telapak besi sampai menuju kesempurnaan. Jika kelak kitab itu
dipelajarinya, barulah bencana akan kembali merajalela.
Tubuh mangkuto sati bergetar hebat, mata terpejam. Ajaib, dua telapak tangannya
seketika berubah warna menjadi hitam legam, logam hangus. Asap mengepul disetiap ujungujung jarinya.
Bergidik nyali Mali melihat perubahan pada tangan Mangkuto Sati, maut sudah datang,
pikirnya. Setelah getaran hilang, Mangkuto buka kedua mata. Nampak memerah kedua sudutnya.
Telapak hitam legam dihadapkan kedepan. Mulut menyeringai merendahkan. Lalu, diiringi
teriakan nyaring, ia meluncur menyusur tanah, sangat cepat. "Terima ini..!", bentaknya
menghantamkan dua telapak tangan itu kedada mali.
Si pemudah bernama Mali mencoba berkelit kekiri, badan dibungkukkan. Lalu, tangan
kiri diangkat, menepis pukulan lawan. Ia berhasil! Mangkuto Sati urung mengenai sasaran. Tak
sampai disitu, kini Mali malah sanggup membalikkan dua kali serangan bertubi keperut
Mangkuto Sati. "Bugghh...bugghh", orang itu terpelanting cukup jauh. Mangkuto terduduk dan
melenguh ketika ulu hatinya seakan robek besar. Ia mengaduh memegangi perut. "Bangsat kau
Mali!", teriaknya kesal."Setan!"
Sementara itu, Mali terkapar ditanah setelah tubuhnya menghantam sebuah pohon pinus.
Mungkin sudah remuk atau patah tulang punggungnya. Ia diam tak bergerak, hanya helaan nafas
megap-megap sesekali terdengar. Kenapa bisa begitu" Rupanya, disaat ia melepaskan dua
serangan balik keperut lawan, tak disadarinya telapak kanan Mangkuto juga telah mengenai
dadanya. Salah satu serangan telapak besi mangkuto urung dielakkan. Dari dua-hanya satu yang
bisa ditepis, yang satunya lagi bersarang telak didadanya, tepat dimana jantungnya berdetak. Ia
sekarat. Ditempat lain, putih telah tiba dirumah, menangis histeris tak mau dihentikan. Ibunya
berusaha menenangkan. Apa yang terjadi" Ibunya bertanya. Ia cuma menangis dan menunjuknunjuk kebelokan jalan. Setelah diberi air putih, barulah keadaanya mebaik. Ia mengadukan
musibah yang menimpanya diperjalanan pulang dari rumah Sutan Rajo Ameh, calon suaminya.
Tak luput pula menceritakan si Mali yang dalam bahaya, baku hantam dengan Mangkuto Sati
karena menolongnya. Naik pitam si jagoan. Mendidih darah panas yang telah lama dingin. Api
seakan bergolak dalam tubuh dan otot-ototnya. Siapa yang berani mengusik kehidupan
Breaking Dawn 12 Candika Dewi Penyebar Maut I I Mutiara Hitam 9
dia tetap tidak mau lempar handuk dan menyerah. Malah berkata bahwa, akan tetap ditunggunya
Sabai sampai hati si gadis terbuka untuknya, penantian yang ia sendiri;pun tahu akan berakhir
sia-sia. Si gadis jelita punya alasan kenapa menolak pinangan pemuda keras hati itu berkali-kali.
Sebab, ia telah mempunyai tambatan hati jauh hari sebelum dilamar oleh Rajo Batuah, Randai
namanya. Sesungguhnya lagi, seandainya saja Si Rajo Batuah tahu betapa betapa besar
pengorbanan sahabatnya, Randai, yang berpesan agar Sabai tidak menyakiti hati Rajo Batuah, si
laki-laki tak beradat yang juga tak paham ereang jo gendeang itu. Karna Rajo batuah adalah
sahabatnya sendiri. Pelik betul masalahnya. Akibatnya, Cukup lama dua insan itu sembunyikan
hubungan agar tidak diketahui. Tambah sakit hati pula si Rajo Batuah nantinya. Mereka
berharap, jika suatu hari nanti ia mengetahui, maka dengan jiwa besar ia berhenti mengharap
sabai yang rupanya milik sahabatnya sendiri.
Tapi, apa hendak dikata! Seakan tidak ada lagi Minang dalam badan, tersisakan kabau
dalam diri, Rajo Batuah malah berniat datang lagi membawa serta keluarga besarnya untuk
melamar sabai. Katanya, kalau tidak bisa dengan baik-baik, dengan paksaan;pun akan tetap
dilakukannya pernikahan itu. Sabai cemas dan mengadulah pada kekasihnya, Randai, yang
hanyalah seorang yatim-piatu, sebatang kara, tiada saudara kandung didunia.
Diambil-lah keputusan ketika itu, yaitu menikah secepatnya.
Maka, malam itu juga dilangsungkanlah pernikahan antara sabai dan Randai kekasihnya
dengan acara seadanya. Usaha yang dilakukan untuk menyelamatkan Sabai, juga demi
menghindari nafsu serakah dan niatan buruk Rajo Batuah yang hendak menganiaya. Pernikahan
mereka didasari cinta yang tulus dan janji yang suci. Tiada paksaan dari siapapun, atau sebelah
pihak. Dua mereka memanglah saling berjodoh.
Rajo batuah tiba didepan rumah Mak ina, ikut menyaksikan pernikahan sabai. Bukan
kepalang murka-nya, tak kepalang pula amukannya, siapa didepan adalah lawan. Siapa
mendekat dapat pukulan. Ia menuding gadis pujaannya, kekasihya telah direnggut orang, dan
tanpa malu mengatakan sabai telah menghianati cintanya. Sejak kapan" Randai berjiwa besar
menenangkan, demi terjaga persahabatan, agar tak renggang persaudaraan diantara mereka.
Diajaknya Rajo Batuah berdamai, dan ingin diterangkan cerita yang sebenarnya. Bahwa, ia dan
Sabai sudah saling cinta dan mengikat janji bertahun-tahun lamanya. Bahkan, sebelum Rajo
Batuah mengenal Sabai. Sungguh tak diduga Randai, terfikirpun tidak, sahabat yang selama ini dibela, disanjungsanjung demikian rupa, dikorbankannya perasaan sendiri demi menjaga hatinya, dengan tega
tanpa rasa kekeluargaan selayaknya teman, dia menyerang, bahkan hendak membunuhnya tanpa
mau mendengar penjelasan. Terjadilah pertarungan sengit antara dua sahabat itu. Randai
menangkis, bertahan, juga mengelakkan gempuan, tak sekalipun ia menyerang seperti yang Rajo
Batuah lakukan. Ia tetap bersabar diri. Namun Randai, memang takkan sanggup dikalahkan
sebegitu mudah. Justru, Rajo Batua:lah yang keteteran! Dapat Malu besar ia dimalam naas itu.
Miris, sejak hari itu Si laki-laki keras hati, Rajo Batuah tak pernah berhenti memburu
Randai dan sabai isterinya. Tidak seharipun dibiarkan tenang menikmati hidup. Rumah kecil
tempat tinggalnya;pun dibakar hangus oleh anak buah suruhannya. Satu sumpah dibuatnya
ketika itu, "Jika suatu hari nanti kau punya anak! Akan kubakar hidup-hidup anakmu! Ingat
itu!". Randai khawatir, takut keselamatan isteri dan Mak Ina terancam, tak ada lagi jalan keluar
selain menjauh, menyelamatkan keluarganya. Maka, ia memutuskan untuk hidup diempat
tersembunyi, dimana tak ada musuh yang mengusik mereka membina rumah tangga. Dimulailah
hidup baru. Hidup terasing ditengah hutan!
* "Sumpah itulah yang ditunaikan Rajo Batuah, Hingga aku terpaksa nekad membawa
cicitku ini kabur ditengah malam! Beruntung kau bersedia datang menyelamatkan kami. Sabai
dan Randai, aku tak tahu bagaimana nasib mereka!", Mak Ina selesaikan cerita.
5. Lima Sesosok manusia dibaluti jubah hitam berkelebat diudara dan mendarat dihadapan
Randai. Wajahnya keriput, berkumis tipis dan memutih. Rambut ditutupi kain hitam pengikat
kepala. Ia tersenyum memandang laki-laki mudah didepannya. "Apa kabar anakku" Lama kau
menghilang, rindu pula rasanya hendak melihat. Mungkinkah kau melupakan orang tua jelek
didepanmu ini" Jika benar, malang benar nasibku . . . !", sapanya.
Randai tercengang. Raut keterkejutan tak bisa disembunyikan dari wajahnya yang
tegang. Dalam gelap ia menimbang-nimbang dan mengira;siapa adanya pak tua didepannya.
Dalam gelap kepalanya menyegarkan ingatan pada suara yang tak asing ditelinga. Dalam hati ia
bertanya, "Siapa agaknya dia" Seperti suara ..."
Tak seberapa lama, Randai terhenyak. Lalu bersimpuh didepan pak tua itu. "Paman
Kuto!", kata Randai nyaris teriak. Diciumnya tangan si orang tua penuh rasa hormat."Maafkan
aku, anakmu yang tak berguna ini. Yang tidak bisa mengenalimu begitu cepat. Aku benar-benar
durhaka. Sungguh kecil dunia, sungguh sempitnya padang, hari ini aku akhirnya berjumpa dengan
Paman sekaligus ayah angkat. Orang teramat kurindukan selama aku hidup berpindah-pindah.
Adakah paman baik-baik saja?"
Kuto menarik nafas dalam. Lalu pegangi kepala Randai. Bak mencurahkan kasih sayang,
diusap-usapnya rambut laki-laki muda yang telah lama tak dijumpainya ini. Anak angkat yang
seakan raib tak tentu rimba."Seperti yang kau lihat, bujang anakku", katanya
tersenyum."Pamanmu ini selalu sehat sampai pertemuan kita lagi malam ini. Jikalau pun ada
sakit, hanyalah sakit biasa. Maklum, pamanmu sudah tua. Sudah terlalu banyak yang rusak
dalam badan" "Syukurlah Paman. Hatiku legah mendengarnya", kata randai tersenyum, kemudian
melanjutkan ucapan."Hal apa kiranya yang membawa paman sampai kebukit ini" Hari sudah
larut, cuaca juga tidak baik. Apa yang paman cari?"
"Seseorang . . . !!"
"Seseorang" Siapa maksud Paman?"
"Ya! Aku sedang mencari buronan yang kuduga melarikan diri kepuncak bukit ini. Sudah
dua hari orang itu kukejar, mulai dari perbatasan kampung kita. Aku punya sedikit urusan
pribadi dengannya. Sayang sekali, aku kehilangan jejak. Tapi tidak masalah karna aku malah
bertuntung bertemu kau disini. Perburuanku bisa kupikirkan belakangan", jawab kuto sambil
memperhatikan keadaan. Ditelitinya setiap sudut gelap bukit dan dua buah batu besar
didekatnya. Juga gubuk kecil dipertengahan batu itu. Dalam hati ia ingin tahu keberadaan dan
pemilik gubuk itu. Siapa yang tinggal disana.
Matanya membelalak menyadari disekelilingnya terdapat gelimpangan mayat-mayat
manusia. Tubuhnya kedinginan, bulu kuduk merinding bagai dijalari ribuan semut.
Pemandangan mengerikan yang mungkin belum pernah seumur hidup disaksikan oleh kakek tua
ini. "Randai", katanya, "Apa yang terjadi ditempat ini, nak" Kenapa banyak sekali mayatmayat manusia bergelimpangan seperti binatang" Sss...ssiapa yang membunuh mereka?"
Mulut si Randai bungkam seribu bahasa. Nafas sesak ketakutan. Juga ,bingung
memikirkan bagaimana cara menerangkan, bahwa penyebab banyak mayat itu adalah ia sendiri.
Orang-orang itu sebenarnya mati ditangannya. Ya, Tangannyalah yang merenggut hak hidup
para algojo-algojo bayaran Rajo batuah yang kini sudah jadi bangkai. Jika diterangkan, ada
perasaan takut dalam sanubarinya jika kuto akan bersak wasangka yang bukan-bukan. Akan
menuduh yang tidak-tidak. Meski kenyataannya, semua itu terjadi semata-mata karna membela
diri. "Kenapa Randai" Ada apa?"
"Tuanku Nan Kuto Basi ,, ", terdengar suara lain menyela percakapan dua anak dan ayah
angkat itu. Suaranya berat dan tersendat-sendat, Tan Mali. Rupanya, walapun bersusah payah,
Kakek ceking itu masih sanggup berdiri dengan sisa tenaganya yang tadi terkuras habis setelah
pertarungan panjang melawan Randai. Dipeganginya dada yang mendenyut sakit, "Kau masih
kenal aku Tuanku?". Kuto menatapnya lama-lama. Kedua mata sedikit dipicingkan mencoba menangkapnangkap sosok didepannya. "Aku mengenal suaramu. Siapa kau?". Balasnya.
Tan Mali menyeringai. "Mali,,! Aku Tan Mali, Tuanku !! Masa muda dibuang-buang,
masa tua menjadi-jadi. Waktu muda kebencian orang, sampai tua tak berbudi. Bukankah itu
katamu padaku waktu kau menghajarku di warung ujang"
"Rupanya kau, Mali", katanya. "Apa lagi yang kau perbuat sekarang" Belum henti juga
kau berbuat nista dan kekejaman meski tubuhmu sudah bau tanah" Sungguh biadab, lagi-lagi
kau membunuh banyak orang. Kau renggut banyak nyawa. Wajar saja anakku menghukummusampai ingin melenyapkanmu dari dunia ini. Manusia laknat sepertimu memang tidak
sepantasnya hidup lama. Hanya menyebarkan angkara-murka tiada henti . . !! Kau memang
layak mati . ." Tuanku Nan Kuto Basi mencabut keris dipinggang, bersiap menyerang Tan Mali.
"Tunggu . . ", seru tan mali. Kuto mengurungkan niat. "Tuanku salah menduga. Bukan seperti itu
ceritanya. Semua yang kau lihat ini bukanlah perbuatanku. Aku tidak bersalah dan sama sekali
tidak berbuat dosa seperti yang kau tuduhkan kali ini. Aku hanyalah korban"
"Korban . . . ?", serganya."Korban apa maksudmu?"
Pucat pasi disertai amarah muka Randai. Asung-fitnah Tan Mali mulai menyerang telak
nan Kuto, pamannya. Kekhawatiran akan kelicikan tan mali yang sedari tadi tertahan,-sebentar
lagi akan menjadi bencana. Bencana besar yang bakal sulit dielakkan. Bisa jadi, Nan Kuto justru
balik menyerang dan membinasakan dirinya andai termakan asung-fitnah. Seperti yang ia
ketahui, watak dan pemikiran Tan Mali tidaklah benar. Terkurung hendak diluar, terhimpit ingin
diatas, Licik. Sifat Pamannya yang sangat membenci kezaliman akan dimanfaatkan betul
olehnya. Bagaimanapun juga, ia akan sulit terhindar dari tuduhan licik Tan Mali yang
menyerangnya dengan segala cara. Yang ingin memusnakan musuh melalui tangan siapa saja,
termasuk tangan Nan Kuto Basi.
"Paman!", kata Randai. "Biar kujelaskan duduk perkaranya"
"Tunggu Randai, biarkan bajingan tengik ini bicara . . . ! Apa lagi yang ingin
dikatakannya sekarang !!".
Randai ingin melanjutkan, tapi bicaranya langsung dipotong.
"Anakmu . . . ", kata Tan Mali tersengal-sengal memegangi dada."Si Randai bangsat
itulah yang membunuh mereka semua. Kami datang ketempat ini baik-baik. Tidak sedikitpun
ada niat jahat. Tapi, dia malah menyerang kami! Lebih menyakitkan lagi, dia sampai hati
menuduh sayah dan teman-teman yang sudah menjadi bangkai ini sebagai perampok. Apapula
yang hendak kami Rampok dari rumah buruk reok ini" Tidak ada Tuanku..! Aku coba
menerangkan, berharap diberikan kesempatan untuk bermufakat bahwa kami ini tersesat. Malah,
tanpa ampun ia membantai kami satu persatu sebelum sempat aku memberi kebenaran.
Beruntung kau menyelamatkan Tuanku, sebelum dia menggorok leherku sampai putus. Bocah
ini sudah gila. Anak haram yang dulu kau pungut dari tempat sampah ini sekarang tak ubahnya
seperti binatang Tuanku. Dia tidak pantas . . !"
"Hentikan fitnahmu, bajingan !", Randai membentak."Hasutanmu sunggu sudah diluar
batas . . . !!" "Fitnah apa yang kau maksudkan, Randai?", kata Tan Mali berlagak."Bukankah yang
kukatakan itu benar" Jika tidak, lalu siapa yang membunuh teman-temanku ini, eh" Tidak ada
orang lain disini selain kau. Bukankah golokmu itu yang menggorok mereka" Lancang sekali
kau menuduhku memfitnah. Pembunuh . . .!!"
"Benar kau yang melakukannya, Randai?", tanya Nan Kuto Basi.
Randai menekurkan kepala dan menjawab,"Be . . . Benar Paman. Tapi, itu kulakukan
untuk membela diri. Tan Mali datang ketempat ini atas suruhan majikannya untuk membunuhku
dan keluargaku. Mereka diperintahkan untuk membantai anak istri serta mertuaku, paman. Tak
ada cara lain yang bisa kulakukan Paman. Aku tak ingin istri dan anakku celaka"
"Siapa majikan Tan Mali yang kau maksudkan?", tanya Nan kuto lagi. "Keluarga apa
pula maksud kau, Randai" Kau sudah punya keluarga, nak" Punya anak dan istri?" Sejak kapan"
Kenapa kabar angin pun tak bertiup ketelingaku ini?"
"Ya paman, setahun yang lalu aku menikahi sabai. Mohon maaf, karna tidak sempat
memberi tahu paman berita baik itu. Semua terlalu cepat berubah paman. Hari pertama
pernikahan kami adalah hari kami hidup sembunyi-sembunyi dari kejaran . . . "
"Alaahh", tan mali memotong."Jangan termakan iba kau ,Tuanku. Manusia serakah ini
berhati iblis, pintar bertipu-muslihat. Kalu lihatlah dia, lihatlah tampangnya itu, Sekarang dia
berusaha mencari simpatimu, jangan terpengaruh. Atau, kau akan celaka setelahnya..".
"Diam kau, Tan mali.", bentak nan kuto membelalak."Aku lebih percaya omongan
anakku daripada celoteh busukmu". Ia kembali menoleh pada Randai. "Lanjutkan Randai. Siapa
yang mengejarmu?" "Orang itu adalah . . . !"
"Hahahahaha . . .Manusia tengik itu sedang memperdayaimu, Tuanku", lagi-lagi Tan
Mali memotong."Kurasa kau tidak sebodoh itu. Pendekar ternama sepertimu tidak bakal mudah
menerima dusta!". "Praakk", batu yang disandari tan mali bergetar. Mulutnya ternganga beberapa saat.
Andaikata jantungnya ibsa keluar, mungkin sudah terlempar benda itu dari tubuhnya. Redup
halilintar samar-samar, tampak dibatu sebelah kanan kepala Tan Mali ukiran sebentuk telapak
tangan manusia sedalam kuku jari. Bekas cekungan tangan itu mengepulkan asap. "Telapak
Besi", kata tan mali mengigil.
Tuanku nan kuto basi mengusap-usapkan tangannya kebaju hitam yang membalutinya.
Dibibir tersungging senyuman hambar pada Tan Mali. "Diamlah kau disana! Atau kutambah
jejak luka ditubuhmu". "Am. . Ampun Tuanku!", balasnya memelas dan kemudian diam,
menuruti perintah kuto . Randai terkesima melihat kejadian yang baru saja menimpa Tan Mali. Nyaris sekejap
mata nyawa lelaki tua picik itu melayang ditangan pamannya, nan kuto basi. Kini dilihatnya si
kakek tukang fitnah berpangku tangan, belum beranjak dari batu pesandaran. Mungkin hilang
akal atau kaget yang tak mau hilang.
Bagaimanapun juga, sebagai manusia, ia turut merasa ngeri. Bulu roma berdiri, perasaan
dingin menjalari telapak kaki sampai keubun kepalanya. Belum pernah seumur hidup
disaksikannya kemarahan nan kuto basi. Sekalipun, yang ia saksikan tadi barulah selentikan
jari. Hatinya tak hentinya menerkah, jurus apa yang digunakan pamannya itu"
"Katakanlah Randai", kata kuto."Siapa manusia yang memburumu" Takkan kubiarkan
seorangpun menyakiti anakku,,!!"
Laki-laki muda ini masih tampak ragu-ragu. Dadanya seperti ditekan sesuatu yang
teramat berat, bagai menanggung banyak beban. Ada sesuatu yang membungkam mulutnya. Ia
seakan bisu dan hanya bisa menghela nafas dalam-dalam,"Orang itu . ... !",jawabnya mengusap
peluh dikening."Orang itu adalah . . . !!"
"Siapa . . . !! Lekas jawab Randai . . . !!"
"Aku ...!! Akulah yang memburunya . . . !!", terdengar dari belakang sebuah jawaban
datang tanpa diminta. Orang itu adalah si culas, Rajo batuah.
Randai terkesiap. Dua tangan dikepal kuat-kuat. Sedari tadi hati memang bertanya-tanya
tentang keberadaan musuh bebuyutannya itu. Sejak awal perkelahian dimuali, ia tak lagi
memperhatikan gerak-gerik Rajo batuah. Dan, ia sempat berfikir bahwa ia telah kabur melarikan
diri. Rupanya, rencana busuk telah direncanakan sembari dirinya sibuk melayani anak buah serta
pesuruhnya, Tan mali. Amarah semakin menggebu-gebu melihat dua tangan manusia laknat itu sedang
mendekap seseorang. Seseorang yang amat ia kenal dan ia cintai, yakni sabai, isterinya. Sabai
kini terkulai lemah dalam pangkuan Rajo batuah yang kekar, entah hidup, entah sudah mati.
Tetesan-tetesan air mata panas;pun turun kepipi Randai. Kepala menggeleng-geleng,
melukiskan ketidak relaannya melihat wanita yang ia cintai dipeluk orang lain yang sangat
dibencinya. Jangankan dipeluk, disentuh sedikitpun ia tidak akan rela. Dengan lantang,
Randaipun berteriak, "Bangsat ...!! Kau apakan istriku.....lepaskan dia, pengecut! Kita bertarung
sampai mati", Kekhawatiran kini benar-benar berada dipuncak. Ketakutan akan keselamatan putera
semata wayangnya membuncah. Beribu pertanyaan menggelora dihatinya menuntut jawaban.
Bagaimana keadaan puteranya, bagaimana dengan mak ina" Selamatkah mereka" Kemana harus
dicari jawabannya" "Selangkah kau bergerak", kata Rajo batuah."Nyawa isterimu yang mulus ini kubuat
melayang keakhirat...hahaha...mampus kau sekarang...dendamku akhirnya terbalaskan!!"
"Apa yang kau perbuat pada isteriku" Dendam-mu hanyalah tentang kita berdua, jangan
libatkan sabai. Dia tidak tahu apa-apa!"
"Ah ,, Randai . . Randai . . .apapun yang sudah kuperbuat pada isterimu, yang penting
kau tidak melihat. Bukankah itu sudah cukup?", balasnya membelai kepala sabai."Aku mau
bersenang-senang ataupun lebih dari yang kau pikirkan, ya terserah padaku. Bukankah dulu
perempuan ini seharusnya jadi milikku. Kau malah merebutnya. Tapi setidaknya, aku sudah
berbuat baik padamu, hehehehe! Sebagai teman, aku masih menghormatimu"
Nan kuto basi berdiri berpangku tangan. Sesekali kepalanya mengangguk-angguk sambil
menyunggingkan senyuman yang entah bermaksud apa. Helaan nafas berat juga mengiringi
tubuh rentah lelaki tua ini. "Aku sudah tua! Sebentar lagi bisa pikun dan tak berguna. Sekalipun
begitu, sebelum aku mati, aku juga ingin berbuat kebajikan pada orang lain. Sepanjang hidupku,
beribu aral melintang pernah kujalani, beratus musuh kutaklukkan dengan keji, bahkan beragam
sifat manusia kutemui. Manusia tamak, dengki, angkuh, sombong dan haus akan kekuasaan
adalah diantaranya. Meski harus kuakui, segelintir diantara mereka ada juga yang bijaksana dan
berbudi luhur. Namun sejujurnya, baru kali ini kusaksikan pertumpahan darah, dendam yang
membabi buta dari masalalu sampai hari tua menjelang belum juga reda hanya karena cinta.
Hanya karena hal yang tak terlau sulit untuk dimaafkan. Sungguh memalukan, Gara-gara
memaksakan cinta satu wanita, mayat-mayat bergelimpangan sia-sia ditempat ini. Puluhan anak
akan terlantar, kelaparan karena ayahnya tergeletak ditanah seperti anjing tak terurus demi
membela manusia menjijikkan. Dunia ini, selain tua, juga sudah gila!".
"Diam kau kakek tua!", bentak Rajo batuah."Tau apa kau soal hati manusia, eh" Jangan
berlagak sok suci didepanku. Telinga dan mataku masih belum asing melihatmu sedari aku
belum bisa berjalan sampai kau rentah begini. Kau juga sama kejinya denganku. Bahkan, kau
lebih menakutkan, setan,,!!"
"Sadarlah bujang, anakku!", balas nan kuto."Ingatlah, ada masa didepan sana sedang
menunggu penyesalanmu atas perbuatanmu hari ini. Ada suatu hari disana, kau akan menangisi
kealpaan yang terjadi padamu dimalam ini. Ingat Tuhan, bujang! Ingat kau akan dihukum jika
kau berbuat salah" "Persetan dengan bacotmu, Nan kuto",kata Rajo batuah membentak. "Apa peduliku"
Jangan sekali-kali kau panggil aku dengan sebutan menjijikkan itu lagi, kakek tua hina. Namaku
Rajo batuah. Panggil aku selayaknya orang-orang memanggilku. Kau tidak ada hak
memanggilku "bujang"!!".
"Manusia durhaka,,!!", Randai memotong."Jangankan pada orang lain, pada ayahmu
sendiri kau tidak sedikitpun menaruh hormat. Terbuat dari apa hatimu, Rajo batuah" Atau
mungkin isi kepalamu sudah dipenuhi oleh kotoran anjing dan hatimu ditempeli iblis"
Menjijikkan . . . Terkutuklah kau!!"
Tuanku Nan kuto basi diam-diam menitikkan air mata. Laki-laki yang tak lain adalah
ayah kandung rajo batuah ini merasakan pedih diuluh hati ketika mendengar si bujang yang dulu
Linggang Si Bunian Karya Wendi Andriko di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kecil teramat disayang, anak pertama yang ditimang-timang dimandikan, kini memanggilnya
begitu rupa. Menyebutnya "kakek tua", Andaikata ada petir menyambar ketika itu, belum tentu
bisa mengalahkan gemuruh perasaannya. Masih lekat diingatan, terbayang jelas dipelupuk mata,
kejadian puluhan tahun silam, ketika itu Rajo batuah kecil berlari menyonsong kehalaman,
menyambutnya setelah pulang bekerja,"ayaaahhh", katanya berjingkrak penuh semangat. Tanpa
diduga, karna terlalu riang, kakinya tersandung akar pohon jambu yang mencongkel besar diatas
permukaan tanah. Rajo batuah kecilpun terjatuh dan menangis. Lututnya berdarah.
Nan kuto teramat marah. Belum lepas penat letihnya, belum kering keringatnya,
diambilnya kapak, ditebang dan dicabutnya pohon jambu itu sampai keakar-akarnya karena
menyakiti putera tercinta. Dan kini, si kecil itu sudah besar. Sudah bisa dibanggakan dan jadikan
tempat mengadu. Akan tetapi, balasan kata-katanya tadi teramatlah menyakitkan bagi nan kuto.
Tidak disangka, si bujang sulung, semata wayang nan dulu, kini ibarat membesarkan seekor
harimau. Ya, cuma harimau yang tidak pernah mengenal tuan. Jika ada kesempatan, tuannya;pun
akan dijadikan santapan. Kuto memegangi bahu Randai,"Sudahlah! Tidak ada cara lain menyelamatkan isterimu
selain menyerangnya dengan cepat!"
"Itu tidak mungkin paman!", kata Randai lirih."Aku takut, puteramu benar-benar
melakukan ancamannya. Isteriku bisa celaka"
"Aku juga tidak mungkin menyerang anakku sendiri, Randai!", kata rajo batuah."Naluri
seorang ayah, takkan pernah mau mencelakai anaknya. Bahkan, rela mati. Dia anakku dan aku
tetap berharap kau tidak mencelakainya"
Randai termenung. Apa yang tengah dihadapi bagaikan memakan buah si malakama.
"Malang nian nasibmu, Randai!", kata rajo batuah buyarkan keheningan."Apa benar kau
mengenal kakek rentah disampingmu itu" Kau tahu siapa dia" Sehingga, kau begitu marah
padaku" Hahahaha....kasihan"
"Apa masih perlu pertanyaanmu kujawab" Binatang!!"
"Oh, Randai sobatku!", kata rajo batuah terkekeh."Kau,,kau terlalu bodoh memahami
kenyataan. Otakmu sangatlah kecil dibandingkan dengan seekor tungau. Bertahun-tahun kau
hidup dengan kami, dari kecil sampai dewasa. Aku melihat kau sangat bahagia. Penuh tawa dan
kesenangan. Hari-harimu tampak istimewa. Ya, sangat bahagia. Tapi kawanku yang malang, kau
tidak menyadari satu hal sobat. Selama ini kebahagiaanmu adalah kebohongan. Kau hidup dalam
kebohongan. Betapa bodohnya kau mau tinggal bersama orang yang telah membuatmu
menderita. . . . !" "Tidak usah berbelit-belit dan membuat teka-teki padaku. Apa ujung perkataanmu"
Adakah hasut yang terlontar dari mulut busuk serakahmu itu?"
"Perlu kau tahu!! Selama ini, Kau ibarat seekor anak burung yang hidup dalam sangkar
pemburu. Tiap hari kau diberi makan dan kau senang. Sebab, karena kebaikannyalah kau hidup.
Demi membalas budi, tiap hari kau berkicau untuknya, tanpa tahu dan bertanya-tanya siapa
yang menangkap dan menjual indukmu"
Baju Randai berkibar ditiup angin. Jantungnya berdebar-debar diusik rasa prasangka.
"Jadi....jadi ...kau terlibat dalam pembunuhan ayahku?", katanya sayuh. Lutut dan kaki keluh.
Sesuatu yang tidak disangka-sangka kini menebar kenyataan yang lebih sulit diterima. Ia
berlutut ditanah. "Jika itu kebenarannya, kubunuh kau bajingan....!!"
"Randai,,, awasss!!!", dan "buggghh"... Terdengar lenguhan panjang disertai sesosok
tubuh manusia roboh. Mulut Randai terbuka lebar. Dilihatnya sosok roboh terkapar itu, megap-megap
menyonsong maut. Mulut dan hidungnya menyemburkan darah. Matanya membeliak dan dada
membusung kesulitan bernafas. Rintihan kecil terputus-putus terdengar sayup dengan mata yang
terus memandangi Randai. Orang sekarat itu adalah Tan mali.
Randai menatap kebelakang, mencari sosok kuto, pamannya. Yang ia lihat hanyalah
kegelapan. Tidak ada lagi kuto disana. Dalam sekejap, ia menghilang. Sekelebatan saja mata
berkedip ia lenyap. Randai membathin dan bertanya, kenapa pamannya mencelakai Tan mali
sementara sebelum ini dialah yang mencegahnya membunuh perampok itu" Kenapa pamannya
pergi tanpa berpamitan"
"Apakah kau berniat membokongku, Tan Mali?", sergah Randai memegangi pergelangan
tangannya. Tan mali tidak menjawab. Hanya tatapan panjang yang tidak putus-putusnya, terus ia
berikan kepada Randai. "Kemana paman kuto?"
"Bangsat tengik! Urusan kita belum selesai! Apa perlu kubereskan istrimu sekarang
juga?", teriak Rajo batuah.
Randai berdiri, membiarkan sosok Tan Mali terkapar dalam keadaan sekarat.
Dibenarkannya ikatan kepala yang sudah basah. Diemeretakkan jari-jari dalam kepalan.
"Lepaskan isteriku! Kita bertarung secara jantan!", tantang Randai.
"Hahahahaha.....Baiklah! Terima ini ....!!", kata Rajo batuah melemparkan dua buah
benda sebentuk pisau kecil, senjata rahasia. "Pengecut!!" Kata Randai melompat dan
melayangkan tubuhnya diudara guna mengelakkan serangan mendadak secara tidak terpuji itu.
Dua benda berkelebat bagai kilat dan nyaris mengenai perut andai saja ia tidak melayang lebih
tinggi. Beruntung ia masih sanggup mengelak.
Dan,"Clupp", serangan Rajo batuah menancapi dahan pepohonan. Dalam hitungan detik
daun-daun didahan yang ditancapi senjata rahasia menjadi kering berguguran. Teramat dahsyat.
Randai berkelebat turun setelah selamat dari kematian. Banyak sedikitnya, kengerian
dirasakannya juga melihat dedaunan didahan kayu berguguran akibat terserang racun senjata
rajo batuah. "Luarbiasa!", lirih Randai. "Senjata beracun rupanya. Aku harus berhati-hati".
Pandangannya kembali terarah pada musuhnya. Rajo batuah masih berdiri tidak jauh dari
tempat Randai terpaku. Perasaan iba menghinggapi laki-laki muda ini melihat isteri tercinta
terkulai lemah ditangan orang lain. Ia diamuk dendam dan kebencian serta
kecemburuan."Bertahanlah isteriku",katanya.
Akan tetapi, ada sesuatu hal dalam dikepala yang membuatnya bimbang. Ia tidak tahu
bagaimana cara untuk menyerang, sementara isterinya berada dalam dekapan Rajo batuah.
Salah-salah, isterinya akan dijadikan tameng pemutus serangana. Isterinya juga yang akan
celaka. Beberapa saat, laki-laki ini terdiam diamuk pemikiran.
Ia mengambil nafas dalam-dalam, kemudian dihembuskannya perlahan. "Baiklah! Tidak
ada cara lain". Katanya mendesah. "Aku terpaksa!".
Randai duduk bersila ditanah. Tangan dibekap kedada. "Ajian terlarang Raja Naga emas
dari lembah darah. Tubuh emas jiwa binatang. Sekali terucap tak bisa dirubah", katanya
setengah berbisik. Mulut tampak komat-kamit seperti melapalkan sesuatu. Kedua mata
dipejamkan. Telapak tangan ditempelkan didada. Lalu, dengan sangat luar biasa dan tak terduga
oleh akal manusia, tubuh suami sabai itu berubah menjadi bayangan hitam. Asap pekat
mengepul disekitar tempatnya bersila. Lalu, Sosok Randai lenyap dari pemandangan.
Berdegub jantung rajo batuah, terpompa cepat aliran darah, bagai keluar bola mata
menyaksikan apa yang sedang terjadi didepannya. Semua yang serba mustahil. Sangatlah tidak
masuk akal kejadian yang baru saja lewat didepannya beberapa saat yang lalu. "Ke . . . Kemana
kau bajingan" Dimana kau bersembunyi Randai tengik !!", serunya ketakutan setengah mati.
"Lekas kau keluar!"
Randai ditelan bumi. Entah kemana dan dimana tubuh kasarnya. Satu-satunya yang
masih bisa dilihat Rajo batuah dalam gelap senyap itu hanyalah tubuh sekarat tan mali yang tak
sadarkan diri. Atau mungkin sudah mati.
Mata rajo batuah jadi liar. Ia bergerak kekiri dan kekanan mencari sosok randai yang
hilang lenyap. Ia khawatir diserang dari belakang, samping atau didepan. "Pengecut kau,
Randai!". Serunya. Terdengar dengusan nafas, terdengar pula gerisik logam-logam pipih bersentuhan. Suarasuara aneh itu tepat dibelakang Rajo Batuah. Tak ubahnya seperti dengusan seekor binatang.
Harimau atau beruangkah itu" Ia;pun segera menoleh.
"Ya Tuhan!", seru Rajo batuah yang masih memegangi sabai. Ia surut jauh."Ma .
.mmakhluk apa ini?" Sesosok binatang bersisik emas kemerahan ,kepala bertanduk dan berukuran sangat
panjang sedang mendongak tinggi dihadapan Rajo batuah. Matanya merah menyala, lidahnya
bercabang dua menjulur berulang-ulang. Ada dua pasang kaki yang mengangkat tubuh besar itu.
Seekor naga bersisik merah keemasan.
"Huss....hus ... Pergi! Aku bukan mangsamu, keparat!",kata rajo batuah panik. Serasa
terbang nyawa dibadan, bagai berada diawang-awang tubuhnya."Kau mau makan, eh" Iya" Ini
makanlah ....! Makan dia sampai habis". Seraya melemparkan tubuh sabai yang tidak sadar.
"Cepat makan... Aku tidak butuh perempuan itu...!
Ia berjalan dengan empat kaki, bukan merayap layaknya ular. Didekatinya tubuh sabai,
diendus-endus, selayaknya membaui tubuh yang kebasahan oleh air hujan itu. Helaan nafas si
naga semakin cepat dan tidak lagi teratur. "Aarrrgggghhhhh", dia menggembor dan mengejar
Rajo batuah. Ketika itu juga ekor panjang bersisik berayun cepat dari belakang, langsung menubruk
tubuh si Gendut itu. Sedikit berkilah kekiei, ia mampu berkelit. Dengan sigap melakukan
gerakan salto kebelakang. "Prakk", pohon besar tumbang dihantam ekor naga.
"Makluk iblis ini marah padaku! Bukankah dia mencari makan" Kenapa bukan sabai saja
yang dimakan?", rutuknnya dalam cengkeraman rasa takut.
Serangan datang lagi. Kali ini agak aneh. Naga berkelebat seperti angin dan berputarputar mengelilingi putera nan kuto basi yang durhaka. Makin lama, makin cepat putarannya.
Yang tampak kini hanya kepulan asap menyelubungi lelaki tambun buruk rupa itu.
Laki-laki tambun itu memekik. Seluruh belulang dirasakannya remuk. Mulut
mengucurkan darah. Suara badai berpusing lebih kuat dari topan samudera. Pohon-pohon
tumbang. Batu besar disebelah pondok bergeser kebelakang. Gubuk mak ina terbang keawangawang dan jatuh kejurang. Tubuh tan mali terangkat dan tersangkut dipepohonan.
Rajo batuah berusaha melepaskan diri. Tidak hilang akalnya selagi bisa menyelamatkan
diri. Sekalipun, kesempatan untuk selamat itu hanya setipis kulit arih. Ditariknya gagang keris
dipinggang sekuat tenaga. Teriakan dan pekik kesakitannya terdengar pedih ditimpali desaudesau dedaunan. Ia tetap tidak berputus asah. "Jejadian apa kauuuuu?", disela jeritnya.
Sekuat apapun berusaha, ia tetap tidak bisa melepaskan diri dari jepitan angin yang
seperti membaluti sekujur tubuh. Kekuatan yang melebihi kemampuannya. Tenaga rajo batuah
mulai melemah, sudah terkikis nyaris habis. Kini baru disadarinya. Dia telah dililit naga besar
itu. Perlahan-lahan pusaran angin mereda. Lilitan naga samar-samar membayang, terlihat
semakin nyata. Si culas licik ,Rajo batuah terjepit diantara lingakaran tubuh sebesar pohon
kelapa. Hanya kepala besar dipenuhi jambang bawuk keangkuhan yang masih terlihat,
selebihnya diremuk oleh binatang itu. Ular besar yang bagai seuntai tali tambang mengikat
seekor anak kelinci. Isi perutnyapun akan keluar. Kini pasti telah dirasakan, bagaimana sakitnya
menantang maut. "Teganya kau membunuh isteriku!! Sampai hati kau menganiaya orang yang paling
kucintai. Hanya dia satu-satunya milikku didunia. Dialah ibu dari anakku yang belum bernama.
Kau membunuh sabai,,,!!!! Keparat kau, Rajo batuah...Sudah saatnya kau mampus!",
Suara yang semakin membuat Rajo batuah mati ketakutan. Semakin didengar, semakin
takut ia dibuatnya. Naga itu bisa bicara!! "Kau...Randai?",
"Ya..!! Aku pencabut nyawamu"
Rajo Batuah mencibir getir, ludah dan giginya memerah bercampur darah."Ma...af!
Maafkan .... aku! Aku tidak bermaksud...aku tidak bermaksud membunuhnya, Randai!
Tolonglah..." "Tidak ada ampun! Kembalikan nyawa isteriku jika kau bisa, itulah penebus dosamu!
Tapi, itu tidak mungkin terjadi! Matilah kau ...!!
Tubuh panjang bergeser perlahan, melilit semakin keras. Geretak belulang hancur
"Krekkkhh", semakin banyak, bagai berserakan ditanah. Terdengar rintihan, pekik halus
kematian mengernyit pilu, Rajo Batuah menghadapi sakratul maut.."Iiiiiikkkhhhh.....!!!!!!!!!!".
Dan, nyawanya putus. Kepala terkulai, lidah menjulur, mata membeliak besar. Tewaslah si
kejam Rajo Batuah, lunas hutang piutang, selesai perkara dunia.
Telah tamat riwayat Rajo Batuah. Tenggelam buruk namanya bersama lepasnya lilitan
naga yang menjadi penyambung tangan malaikat neraka. Laksana tertawa seisi alam, bersuka ria
seluruh arwah-arwah penasaran yang dulu menjadi korban keserakahannya. Tubuh tambun
penuh lemak itu, telah lumat menjadi seonggok daging tiada tulang. Mati mengerikan! Tiada
rupa, tak dapat lagi dikenali.
*** 6. Enam "Sabai ... Bangunlah istriku.. Tolong bangunlah!", Randai mengguncang tubuh wanita
dipelukan dengan air mata terus meleleh. Perubahan sebagai naga menakutkan telah hilang, ia
telah kembali kesosok pemuda gagah sebagaimana bentuk aslinya. Sayangnya wajah itu kini
sedang diremuk kesedihan.
Dipandang dan diusap wajah pucat Sabai. Serupa tiada darah lagi yang mengaliri
tubuhnya. Akankah kebahagiaan yang baru sesaat ini segera berlalu" Rumah tangga yang masih
dipenuhi hangatnya berkasih-kasihan, bagai berselimut pelangi setiap hari. Akankah berakhir"
Belumlah lama mereka bersama, terlalu sebentar berpayung cinta, kini tubuh yang dicintai itu
telah dingin kaku dipelukan. Bagai mimpi saja yang dialaminya itu. Tak mau percaya hatinya
sekalipun itulah kenyataan yang harus ia terima. Isak getir menyeduh-nyeduh dari bibir Randai.
"Tidak....! Tidak.... Aku mohon, jangan mati isteriku...anak kita belum bernama, sangat
membutuhkan ibunya. Jangan biarkan ia sengsara tanpa kasih sayang, Sabai...bangunlaaaah".
Menyebut anak, Randaipun seakan tersadar, ia belum pula tahu keadaan puteranya.
Kemana anaknya" Dimana Mak Ina" "Anakku...",desahnya semakin kalut."Dimana anakku?". Ia
berlari mengitari segala sisi bukit dan berteriak-teriak layaknya orang gila. "Mak Inaaaaaaaaa....!
Mak Inaaaaaaa....! Dimana kaliaaaaaannn...", nafas menyesak-menumbuk dada. Berulang-ulang
dilakukannya mengitari bukit bukit Gundam yang telah hancur lebur. Sampai letih, punah
seluruh tenaga. Ia terkapar.
* Langit ufuk timur mulai memerah. Sang Raja hari mulai bangkit dari penaungan,
menyonsong tempat tertinggi dimana puncak tahta sinarnya bermula. Ufuk timur ditembus
batangan-batangan cahaya langit, merobek gelap yang berjalan lamban. Angkasa raya
menguning. Kokok ayam bersahut-sahutan. Baik dihutan ataupun diperkampungan. Bagai rusuh
suka ria seisi pegunungan. Pagi telah datang.
Randai membaringkan isterinya direrumputan. Duduk termenung dirinya memikirkan
nasib, kejamnya penannggungan. Takdirnya malang yang berhembus sayuh namun
menyakitkan. Anak hilang, isteri tiada. Mertua berkubur entah dimana. Ah, sungguh berat beban
si Randai. Berurai air mata, dipandang-dikenangnya waktu-waktu yang telah lalu. Wajah itu,
wajah yang tertidur itu, adalah wajah yang selalu mengisi relung terdalam hatinya dengan
kebahagiaan. Wajah yang selalu menghantarkan senyuman dikala senja bersambut malam.
Wajah yang selalu dihiasi keramahan. Wajah tercantik tiada tertandingi oleh siapapun.
Disandarkan kepala diantara dua lutut. Terbayang-bayanglah segala kenangan. Menimangnimang si buah hati, bermain dan bercanda bersama. Perlahan-lahan, bayangan itu buyar! Akan
tiada lagi hari bahagia penuh canda itu. Telah direnggut semuanya oleh Rajo batuah yang
serakah. Jika kini rindu, hendak kemana rindu dilepaskan" Bila pilu, kemana sedih akan bertuan.
Kemana lagi tempat mengadukan keresahan" Malang, sungguh malang benar nasib
penanggungannya. Lindap mimpi-limbung diri, senyap menyisakan sakit direlung terdalam. Buah pikir
hanyalah mengakhiri hidup, memutus nafas dan mati disisi isterinya. Keputus asaan seorang
hamba sebatag kara. "Tak ada lagi arti hidupku Sabai. Kaulah yang membuatku
bertahan...sekarang alasan hidup itu hilang!"
Ketika hendak kembali memeluk, dilihatnya sesuatu. Ada sesuatu yang lain pada tubuh
isterinya. Ditariknya sebelah bahu, memposisikan tubuh Sabai menghadap kekiri. Randai
terhenyak. Itulah jawabannya. Itulah penyebab kenapa Sabai berdiam kaku. "Apa yang telah
dilakukan oleh Rajo Batuah padamu, Sabai?", bisiknya seorang diri.
Baju putih itu, dibagian punggungnya telah memerah dibanjiri bercak darah yang telah
mengering, bekas tikaman! Isterinya ditikam dari belakang. Sungguh biadab! Tak sanggup lagi
Randai menahan gejolak hati, menangislah ia sejadi-jadinya. Tak tahu lagi apa yang harus
diperbuat. Sudah habis dayanya. Hendak marah, kemana amarah akan dilampiaskan" Musuh
telah mati. * Sudah benderang permukaan bumi. Telah berdiri tegak matahari. Dari hangat menjadi
panas. Dari dingin berubah keringat. Randai belum juga beranjak. Belum reda tangisan, tak henti
juga air mata bercucuran dihadapan tubuh kaku Sabai, isterinya. Tiada semangat, hampa.
Pesakitan hidup menuntunnya semakin jauh meninggalkan kefanaan dunia yang begitu kejam. Ia
hanya ingin mati. "Tiadalah guna engkau menangis. Sebab air mata takkan merubah apa-apa. Sesuatu yang
terjadi adalah ketentuan. Dan ketentuan tidaklah bisa dirubah. Sekalipun seisi dunia kau
remukkan dalam genggaman. Meski lautan kau keringkan, namun perjanjian adalah perjanjian.
Akan ditagih diwaktu yang ditentukan.
Jangan pula salahkan takdir, sebab takdir hanyalah persetujuan sebelum roh ditiupkan
kedalam badan. Tubuh kasar boleh berontak, menyangkal! Setan menaungi disisi lain dalam diri,
yang selalu membisikkan keburukan, menghadiahkan kenistaan", seorang kakek-kakek berdiri
membelakangi ,tidak jauh dari Randai, dekat batu besar yang telah bergeser itu. Entah kapan ia
datang" Tahu-tahu, ia sudah berada ditempat itu. Siapa lagi orang ini" Tubuhnya bungkuk
rentah. Ditopang sebuah tongkat kayu sebagai pegangan. Kulit wajahnya berkerut keriput. Usia
yang sudah sangatlah tua.
Terpancing si Randai mendengar ucap katanya. Ditegakkan kepala mencoba melihat
wujud si pemberi nasihat. Dan berkata, "Siapa kau, Pak Tua" Hatiku sedang tidak baik. Tolong
pergilah,,! Sebelum sesuatu yang buruk menimpamu ditempat ini"
"Aku bukan siapa-siapa, anak muda",balasnya."Hanya seorang kakek tua yang sedang
menunggu ajal tiba. Entah kapan pintu kuburku terbuka"
Bagai mengepul asap dikepala Randai mendengar jawab asalan itu, kemurkaan ,"Jangan
sampai kuantarkan kau keliang kubur atau terkapar tanpa nisan. Tanganku sudah muak
menyentu anyir darah! Sudah cukup masalah yang menderaku, jangan paksa lagi aku
membunuh. Aku sedang berduka kakek tua"
"Ah, anak manusia zaman sekarang memang kelewat sombong pada orang yang belum
dikenalnya. Seolah bisa diukurnya dunia dengan dua telapak tangan. Tidak menaruh hormat
pada yang tua-tua. Padahal, yang tua-tua itu menyimpan banyak cerita serta rahasia.
Baiklah, jika kemauanmu begitu. Aku pergi. Tapi, sebelum kepergianku, ingatlah satu
hal anak muda. Hanya tersisa tiga orang lagi didunia ini yang tahu riwayat hidupmu beserta
kebenarannya. Kuburlah keingin tahuanmu tentang masalalu, buanglah jauh-jauh. Menyesal-lah
kau seumur hidup karna salah seorang dari tiga itu adalah aku. Satu pesanku, hidupmu sedang
dilumuri tipuan. Sebaik yang kau lihat dengan mata, belum tentu baik kenyataannya. Berhatihatilah". Si kakek;pun berjalan lamban menjauh.
"Tunggu!!", seru Randai berdiri menyusul, terbuka juga pikiran sadarnya. Si kakek
hentikan langkah dan menoleh."Mohon maaf atas kekurang ajaranku. Aku... Aku sedang kalut.
Isteriku meninggal dibunuh orang, anak dan mertuaku juga turut hilang. Hanya amarah tak tentu
arah yang mengisi kekosongan jiwaku ini. Mohon maaf.
Apa benar kakek tahu riwayat hidup saya" Siapa adanya kakek dihadapan saya ini"
Dengan siapa kiranya saya sedang bertatap muka?"
Linggang Si Bunian Karya Wendi Andriko di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Orang tua itu tersenyum. Dipegangnya bahu Randai dan berkata,"Tidak baik berburuk
sangka bujang muda. Aku datang untuk kepentinganmu. Memenuhi janjiku dimasalalu. Namaku
Datuk Malintang Bumi"
"Nama Datuk belum pernah kudengar. Agaknya Datuk datang dari tempat yang jauh,
darimana datu berasal" Janji apa pula maksud Datuk?"
"Nantilah, kuterangkan siapa diriku. Kalau perkara janji, Ya! Duapuluh tahun yang silam
aku pernah berjanji pada seseorang", katanya memandangi tempat yang jauh dibawah bukit.
"Janji itulah menahanku tetap hidup melebihi umur sewajarnya manusia. Perjanjian yang
mempersangkutkan perkara hidupmu, anak muda. Akan tetapi, sebelum aku bercerita, mari kita
urus dulu isterimu!"
"Bukan sewajarnya umur manusia" Ah, terlalu banyak pertanyaanku padamu, Datuk",
kata Randai. Ia dan kakek Tua bernama Datuk Malintang Bumi berjalan ketempat dimana Sabai
terbaring diam. Disana, kembali dipeluk tubuh isteri yang telah kaku, menangisi nasibnya. "Isteriku telah
mati, Datuk",katanya mengangkat kepala sabai diletakkan kebahunya."Kami dizalimi banyak
orang! Puluhan manusia tadi malam memburu kami sampai kesini, bermaksud memusnahkan
kami sekeluarga. Aku terpaksa berjibaku melawan. Tak kusadari Anak dan mertuaku
menghilang. Belum ku-ketahui apakah mereka selamat atau tidak. Isteriku ini ditawan, kemudian
dibunuhnya dengan keji. Dia ditikam dari belakang Datuk!"
"Hmm...", Datuk menarik nafas dalam-dalam."Bersabarlah bujang. Tabahkan hatimu!
Berserah dirilah pada yang maha satu. Tiada yang lebih tahu selain Dia"
"Takdir hidupku terlalu buruk untuk kuterima, datuk. Sedari kecil kehilangan ayah. Tiada
juga tahu siapa ibu kandung. Setelah dewasa mendapat isteri dan punya anak, isteriku dibunuh
dan anakku hilang! Salah apa saya, Datuk" Kenapa musibah datang timpa bertimpa. Seakan
tiada akhirnya penderitaan"
"Jangan mengumpat takdir, Nak! Tidak baik. Itu sama saja kau mengumpat putusan
Tuhan", kata Datuk Malintang Bumi menasihati. Ia memejamkan mata sejenak, hanya sejenak.
Setelah itu kembali dibuka."Isterimu belum meninggal...!"
Randai menatap curiga. Sejelas apa lagi membuktikan bahwa Sabai sudah tidak
bernyawa" Hatinya bertanya-tanya, adakah kakek yang tidak dikenalinya itu berdusta dan
memperdayainya" Barangkali, orang gila yang tersesat. Atau, ia sengaja mempermainkan
kesedihan yang berkecamuk dalam dirinya" "Jangan mencandaiku dengan hal menyakitkan
seperti ini, Datuk!", katanya agak keras.
"Sama sekali tidak", datuk membalas dengan tenang."Apapun bisa terjadi dialam ini.
Bumi berserta isinya menyimpan begitu banyak rahasia yang terlalu rumit dimengerti.
Terkadang sesuatu yang ganjil;pun takkan disadari. Fanah, namun bagi kita sesama manusia
saja, tidak untuk sebagian lainnya. Mohon maaf, harus kukatakan sejujurnya, isterimu bukanlah
salah satu dari kaum kita! Ia berasal dari alam lain...!"
Naik amarah Randai memenuhi dada. Memuncak kemurkaannya mendengar keterangan
Datuk Malintang Bumi yang tidak masuk akal, terkesan mengada-ada."Cukup, Datuk! Sudah
kelewat batas datuk mencandai hal yang tidak sepatutnya. Tidak pantas menjadikan kemalangan
saya sebagai bahan tawa. Dimana hati nurani Datuk" Siapa Datuk sebenarnya" Gelagat datuk
membuatku curiga ...!"
"Siapa aku..."', jawabnya menunduk kemudian tersenyum."Aku kakekmu!".
Diam, Langsung terdiam Randai dari celotehnya. Duduk terhenyak ia ditanah. Bagai palu
godam menghantam pecah kepalanya ketika itu. Dada membusung turun naik. Belum selesai
perkara isterinya yang disebutnya bukan manusia, datang lagi pengakuan lain si Datuk yang
benar-benar membuatnya gila. Ia sempoyongan.
"Ap...apa?", "Ya! Itu benar..!", jawabnya singkat. Setetes cairan bening turun kekulit wajah
keriputnya si kakek. Kemudian diusap-usap cairan itu dari permukaan pipi tanpa sempat turun
lebih banyak."Kau cucuku...!"
Datuk Malintang Bumi menengadahkan kepala kelangit luas. Dikumpulkanlah segenap
ingatan, memutar balik segala kejadian. Darimanakah kisah Randai berpangkal" Dan, mulailah
si kakek bercerita. ** 7.Tujuh Padukuan, sebuah desa kecil yang terletak jauh dari hiruk-pikuk keramaian. Desa yang
tenang lagi damai. Penduduknya ramah dan murah senyum. Penuh persaudaraan dan
kekeluargaan. Negeri terpencil namun elok alam dan laku penduduknya. Semua pendatang
senang pergi bermain kesana, mencari udara segar. Ada yang sekedar melihat-liha saja diwaktu
senggang, ada juga yang hendak mencari buah-buahan seperti semangka ataupun yang lainnya
diwaktu tertentu. Seukuran tempat-tempat lain, Desa itu cukuplah istimewa.
Mata pencaharian penduduk sekitar yang bernaung disana lebih banyak bertani,
berladang dan bersawah. Bila pagi datang, selepas adzan subuh berkumandang, tampaklah
bagaimana giat dan tekunnya orang-orang bekerja demi menafkahi keluarga. Laki-laki
membawa cangkul, ibu-ibu membawa bakul yang berisi makanan untuk disantap kala
beristarahat nanti. Sepanjang jalanan kampung, suguhan bulir-bulir padi ranum menghampar
luas bak untaian permadani mengalasi tanah. Ladang-ladang jagung mengayun melambai ketika
tiupan angin membuai daun-daun panjangnya. Tampaklah indah dari kejauhan.
Sekali seminggu warga berbondong-bondong pergi ke pasar guna menjual hasil bumi dan
perkebunan untuk ditukar dengan barang yang dibawa dari tempat lain, sesuai kebutuhan seharihari. Atau, dijual kepada tauke-tauke yang mengambil sedikit keuntungan. Begitulah kehidupan
mereka. Tenteram! Dalam kampung, tampuk kepimimpinan dipegang oleh seorang yang tuakan dalam kaum
dengan panggilan "Datuk". Datuk seibaratkan Raja yang mengendalikan segala tindak-tanduk
anak kemenakannya. Yang bengkok diluruskan, yang salah dibenarkan. Dan, kaum kampung
padukuan sangat menghormati pemimpinnya. Segalah macam persoalan yang terjadi,
perselisihan dalam adat pasukuan, kepada datuklah orang mengadu. Seperti sengketa tanah
ulayat, pusaka tinggi yang tak boleh dijual, kedua belah pihak saling mengaku dialah yang
paling ber-hak mengelola. Maka, Datuklah yang akan menyelesaikan, mencari kata mufakat
dengan jalan bermusyawarah kekeluargaan tanpa ada putusan sepihak.
Seminggu belakangan ini warga padukuan dirundung duka. Sutan Bazar, datuk mereka
telentang lemah diatas petiduran dalam keadaan sakit-keras. Sejak berpuluh tahun menjadi datuk
, cuma elok budi, baik tingkah yang dikenang orang. Wajar jika orang sekampung menjadi
cemas melihat keadaannya. Kalau sampai berburuk sangka, tinggal menunggu hari saja perginya
beliau itu. Tentu banyak yang akan kehilangan sementara masalah silih berganti datang dan
masih ada yang belum terselesaikan. Maklum, umur sudah tua, badannya sudah lemah.
Hal lain yang membuat orang-padukuan khawatir adalah calon pengganti Sutan Bazar.
Kalau sempatlah malang tak dapat dotolak, mujur tak dapat diengkuh, meninggal ia dalam waktu
dekat, siapa yang menggantikan" Yang ingin tentulah banyak, yang berbudi luhurlah yang susah
dicari. Ada desas-desus terdengar bahwa sudah ada rencana untuk mengangkat Mangkuto Sati,
kemenakan pertama Sutan Bazar sebagai pengganti beliau. Menurut para tetuah adat beserta
dubalang, baik perangai Mangkuto Sati tidak akan jauh berbeda dengan mamaknya. Ia rajin dan
ulet dalam bekerja. Bertanggung jawab pada keluarga. Dan tentunya, disenangi banyak orang.
Hampir seluruh kampung tahu sifatnya itu yang sedari kecil sudah di ajarkan tata-krama oleh
Sutan Bazar. Banyak penduduk mendukung gagasaan itu.
Mangkuto Sati mendengar kabar itu dari temannya yang ikut berkumpul di Rumah
Gadang, merasa sangat senang dan bangga. Ia memang sudah yakin dirinyalah yang akan
menggantikan posisi mamaknya itu jika kelak ia meninggal. Mana ada orang yang berani
menikam jejak sebelum ia melangkah. Ia terdidik sebagai pemimpin. Penyambung tangan
pamannya dikemudian hari. Sudah lama pula ia persiapkan diri, meniru-niru perangai Sutan
Bazar agar telihat sama baiknya oleh semua orang. Ternyata, usaha itu tidak sia-sia. Sudah
mendekati keberhasilan. "Bagus, Mali! Waang sebarkan keorang-orang sekampung, kalau aku
ini memang orang baik, ya! Supaya mereka sepakat mengangkatku menjadi Datuk", katanya
pada temannya itu. Namun, sekalipun banyak anggapan baik tentang rencana pengangkatan itu, ada juga
yang kurang setuju, perlu dipertimbangkan lagi masak-masak. Menurut mereka, pucuk yang
patah-tumbuh kembali, sekalipun besar tidak akan lurus. Bisa bengkok kekiri, bisa juga kekanan.
Anggapan yang menyatakan bahwa baik lakunya mamak-sebaik itu pula perangai kemenakan,
tidaklah benar adanya. Maka, terjadi perselisihan pendapat para ninik mamak dalam rumah
gadang membahas itu. Sampai, tengah malam mereka mencari kata yang satu, yaitu mufakat,
tidak juga ditemukan. Diputuskanlah ketika itu, sidang akan dilanjutkan dilain hari dengan
waktu yang telah ditentukan. Bubarlah para petinggi adat.
Sehari setelah pertemuan ninik mamak dirumah gadang, pulanglah seorang anak
perantauan yang bertahun-tahun mengaduh untung dinegeri orang. Namanya, Sutan Rajo Ameh.
Anak dari alim ulama angku Hasanudin, yang amat terkenal cara ceramahnya. Sutan Rajo Ameh
pulang membawa banyak harta. Kain-kain mahal-emas permata berpeti-peti, sangat kaya raya.
Usahanya menebus nasib dinegeri jauh rupanya tidak sia-sia. Penduduk gempar dengan
kepulangannya. Baru beberapa bulan ia dirumah, sudah dibuatnya rumah besar layaknya istana
untuk kedua orang tuanya. Dibelinya pula tanah yang luas, dijadikannya sebagai padang
gembalaan peternakan-peternakan sapi dan kerbau. Usaha-usaha lain dia kembangkan dengan
cara dagang yang berbeda. Dalam waktu singkat kekayaannya semakin bertambah banyak,
sudah tesohor Sutan Rajo ameh sampai kekampung-kampung tetangga sebagai tuan tanah yang
sukses. Selain kaya, ia juga dermawan. Gemar membantu orang yang kesusahan. Tidak segan
turun dari punggung kuda untuk menolong kakek tua yang terjatuh bebannya dari panggulan dan
kemudian mengantarnya pulang. Semakin hormat orang-orang menilainya.
Baik perilaku itu didukung pula dengan wajah yang tampan, tidak mengherankan jika
gadis-gadis banyak terpikat olehnya. Bermimpi agar dipersunting sebagai isteri. Celoteh-celoteh
mereka ditepi pintu rumah dipetang hari selayaknya gadis-gadis minang, sering terdengar,
"Beruntunglah aku jika bersuamikan tuan yang baik hati lagi penyayang itu. Tidak akan sengsara
dunia akhirat". Katanya sambil tertawa-tawa kecil. Budi luhur dan tuturnya lembut sopan telah
menyihir siapa saja. Semua orang menghormatinya layaknya orang besar, pesohor dalam negeri.
Bilamana malam tiba, kedai-kedai terisi penuh oleh pemuda-pemuda yang bercekeramah,
itu juga buah bibirnya. Menyanjung tinggi kebaikan Sutan Rajo Ameh. "Kalau ambo caliekcaliek, Si Sutan itu pantas menjadi Datuk kita, sebagai pengganti Sutan Bazar, datuk kita yang
sekarang. Bagai pinang dibelah dua perangainya. Tidak akan rugi jika tetuah adat mengangkat
Sutan Rajo Ameh", kata salah seorang muda berbadan tegap, bertelanjang dada. Kulitnya agak
sedikit gelap. "Iyo! Sayapun setuju", jawab seorang lagi didepannya."Sutan Rajo Ameh itu masih
muda, tapi perangainya, onde mande, sangatlah baik. Angku hasanudin saja sekarang
dilarangnya pergi kesawah. Ongkang-ongkang kaki sajalah jadinya apak tua itu, berkerja ini itu
tidak boleh lagi oleh si Sutan. Sayang betul pada orang tua"
"Apalagi Amaknya! Baju-baju yang dipakai sekarang, mahal semua. Selain memasak,
tidak boleh bekerja. Berjualan kepasarpun sekarang tidak diperbolehkan. Beruntung sekali
angku Hasanudin dan amak Siti punya anak. Senang terus sepanjang hari. Jadi iri awak",
seorang pemuda yang lain menyela.
Desas-desus yang beredar dari mulut ke mulut tentang perihal pengangkatan Sutan Rajo
Ameh sebagai calon datuk sampai ketelinga Mangkuto Sati. Karuan saja, langsung panas dingin
badannya dan merutuk-rutuk seorang diri. Heran membayangkan kenapa begitu cepat
pandangan kaum berubah, tak berharga lagi dirinya" Jika dibiarkan berlama-lama, ia akan
semakin ditepikan dari calon pengganti Sutan Bazar. Duduk-berdiri, mondar mandir hilag akal
Mangkuto Sati. Pesaing yang baru pulang itu bukan lawan sembarangan, orang kaya! Berani
sekali si sutan Raji Ameh itu, lancang. Bisa rusak rencana yang lama dipersiapkan dengan rapi,
hilang angan-angan akan kehormatan yang dihauskan bak dahaga selama ini. "Bajingan kurang
ajar!", kata mangkuto sati membanting gelas minuman ditangannya.
8.Delapan * Serimbun apapun semak serta belukar ditengah hutan, pastilah ada setangkai bunga
mekar cantik tersembunyi diantaranya. Meskipun tersembunyi jauh, harumnya akan tercium juga
oleh kumbang-kumbang pengelana. Begitu juga dengan kampung padukuan. Ada banyak gadis
jelita yang manis parasnya, elok lakunya, sopan pula tuturnya. Bak jarum dalam duri, seorang
dari yang banyak tentu ada yang lebih menonjol, yang digilai kecantikannya. Hal lumrah dan
tidak mengherankan. Bunga yang tersembunyi yang paling banyak dikerumuni kumbang itu bernama Puti
Asmini. Kembang desa nan sedang mekar. Wewangiannya tersebar kemana-mana, bahkan
kepelosok desa-desa lain yang cukup jauh. Wajahnya lembut gemulai, kulitnya putih dan
rambutnya panjang. Bibirnya merah bergelantung delima ranum, ditambah sinaran mata bak
serpihan berlian nan indah memikat. Lemah tersungkur para pemuda memandangnya jikalau
lewat pulang mengaji, disore menjelang petang hari.
Namun sayang, puti nan cantik itu tiada yang berani menegur menyapa, apalagi
menggoda, sebab ia adalah Puteri bungsu jagoan paling ditakuti seisi kampung padukuan, yang
bernama Malintang Bumi. Pendekar hebat disegani. Berotot baja, tulangnya besi, kebal senjata.
Bukan isapan jempol ataupun berita angin lalu kehebatannya, sudah disaksikan oleh banyak
orang. Yang paling melekat diingatan tentu saja peristiwa genting kala ia bertarung matianmatian melawan perampok ganas yaitu gerombolan Rambong Bajah, perompak keji penguasa
bukit rimbo bujang dari tanah Jambi, datang ke padukuan dengan maksud menjarah harta
rakyat. Ketika itu, apapun yang ingini, akan diambilnya sesuka hati. Makan dikedai sesuka
perutnya tanpa sepersen;pun dibayar. Sapi, kambing dan binatang ternak lainnya dijarah dan
dibawah. Gadis-gadis disandera dan dikumpulkan, hendak dijual. Seorang penduduk yang tak
kuat ditindas, nedad melawan, baku hantam terjadi. Malang, tanpa ampun orang itu mati dibacok
lehernya nyaris putus. Berhetilah perlawan. Bertepatan dengan kejadian itu, Malintang Bumi
yang masih muda, pulang kampung setelah menimba ilmu silat bertahun-tahun lamanya ditanah
lintau, negeri jauh yang silatnya terkenal tiada tandingan itu. Diketahuinya kesulitan penduduk
dari pengaduan orang di perbatasan yang sempat kabur. Datanglah ia menyelamatkan padukuan,
kesempatan mencobai ilmu baru. Dia bertempur seorang diri melawan puluhan perompak,
memerangi kesemena-menaan yang menjajah padukuan, tanah tumpahnya. Pertarungan
menegangkan berlangsung cukup lama. Menurut cerita penduduk, konon diwaktu itu bulu kuduk
orang-orang bergidik ketika berpuluh-puluh golok dapat membacok Malintang Bumi berkalikali, punggung, leher, juga kepala. Akan tetapi, sesuatu yang membuat orang takjub adalah tak
satupun gores luka membekas dikulitnya. Hebatnya lagi, malahan senjata penjahat-penjahat itu
patah dua. Dan diakhir cerita, Si ketua perompak Rambong Bajah sendiri yang hebat ilmu
silatnya itu dapat digebuk, takluk. Ia bersujud-sujud kekaki agar diampuni dan tidak dibunuh
oleh Malintang Bumi. Sebagaimana orang minang, jika keras-sekeras batu! Kalau lunakselembut kapas. Mereka dimaafkan, diusir dengan perjanjian tidak menginjak tanah minang lagi,
dimanapun itu. Begitulah kehebatan yang abadi sepanjang sejarah padukuan. Selama ini belum
ada seorangpun pemuda yang nekad mendekati atau sekedar bertanya apakah si gadis, anaknya
sudah dipinang atau belum. Salah bicara, bisa-bisa kepala bakal terpisah dari badan. Bukan
sembarangan orang yang berani datang menyambangi.
Malintang bumi berpangkat terhormat, disegani, yakni dubalang didalam kampung. Jika
terjadi masalah, kekacauan atau semacam perselisihan yang mengancam keselamatan penduduk,
dialah yang turun tangan. Berdiri digarda depan bak tameng pelindung semua orang. Berbekal
kepandaian bermain silat, belumlah ada jagoan manapun yang keceplosan lidah meragukan
kepiawaian-nya itu. Semua takluk padanya.
Sekalipun begitu, berilmu silat tingkat tinggi, sebenarnya Malintang bumi tidaklah
pernah bertindak sesuka hati. Ia bukan tipe orang yang suka pamer apalagi semena-mena, jauh
dari kata lupa diri. Justru, ia jarang marah. Kecuali, pada saat tertentu, seperti ketika silang
pendapat dengan petinggi adat yang lain dalam memecah sebuah perkara atau mempertahankan
anak kemenakan yang terlibat perkelahian dengan kampung lain. Barulah ia bertindak. Dilain
hari, ia berlaku sebagaimana layaknya manusia biasa. Lebih tepatnya, kemarahannya
membuncah apabila kedaulatan serta harga diri anak kemenakan diinjak-injak oleh orang yang
lain asal, seperti yang dilakukan oleh Rambong Baja dimasalalu.
Banyak yang menaruh hati tapi tidak punya nyali melamar, tidak begitu ceritanya dengan
Mangkuto Sati. Seperti remaja-remaja sebaya, darah mudanya juga ikut tergoda oleh kecantikan
anak Malintang Bumi, putih asmini. Hatinya telah tertaruh tak mau berpisah lagi, gila cinta
setiap hari. Meskipun, ia pernah mencoba mendekatkan diri tapi ditolak secara halus, ia tidak
mau memundurkan langkah, berbalik arah begitu saja, pantang bagi laki-laki. Pikirnya, sekeras
hati manusia, akan melunak dengan kata-kata dan niat yang tulus. Maka dari itu, sebelum
kecolongan, dipersiapkannya diri jauh-jauh hari. Dan dihari dan waktu yang telah ditentukan,
penuh keyakinan, gagah berani, ia mendatangi tempat yang sebagian laki-laki menganggapnya
angker itu, tanpa rasa takut akan dicekik lehernya sampai berjuluran lidah oleh ayah gadis
pujaannya. Setibanya disana, Ia diterima dengan baik oleh Malintang Bumi. "Ada keperluan apa nak
bujang datang kemari?", kata malintang bumi sambil mempersilahkannya duduk dikursi depan
rumah. "Ah, bukan apa-apa Angku, Cuma untuk bersilatuhrrahmi saja! Sambil jalan-jalan sore",
jawabnya malu-malu. Kemudian, mereka terlibat cakap-bercakap panjang lebar tentang rencana
pergantian tampuk kepemimpinan dalam kaum pasukuannya. Disinggung-singgungnya sedikit
rencana itu. Apakah benar dirinyalah yang akan diangkat sebagai pengganti" Pancingan yang
bermaksud agar tinggi derajatnya dimata calon mertua. Malintang bumi menerangkan, bahwa
rencana awal ninik mamak berserta perangkat kaum memang begitu adanya. Akan tetapi,
sebagaian dari tetuah belum menyetujui putusan itu. Ibarat bulat belum seragi, pangkal belum
berujung, pencalonan itu belum bisa diputuskan dalam waktu dekat. Belum ada kata sepakat.
Agak kecewa Mangkuto Sati mendengar penjelasan Malintang Bumi. Kata yang
disangkanya tinggal menunggu waktu itu rupanya masih perlu dirundingkan lagi oleh para
petinggi adat dan kaum. Bertambah kuat dugaannya akan ditunjuknya Sutan Rajo Ameh,
pesaing yang cukup membuat khawatir itu. "Setan alas!", bathinnya merutuki. Menurut pikirnya,
kalau sudah pasti diangkat menjadi Datuk, pemimpin kaum yang disegani, maka usahanya untuk
meminang Asmini pada Malintang Bumi akan semakin mudah. Bahkan sangat mudah.
Tujuannya itu tidak akan terlalu sulit terlaksana atau serumit yang dikerjakannya ini. Tinggal
minta, dikabulkan dan langsung nikah. Sebab, orang berpangkat tinggi dalam kampung,
sangatlah dihormati. Malintang Bumi tentu lebih suka puterinya disunting oleh seorang datuk
yang seibarat Raja , daripada bersuamikan laki-laki biasa saja. Aiih, ia mengeluh dalam-dalam.
Belum lama setelah percakapan, Puti asmini, bunga mekar yang hendak dipagar tinggi
oleh Mangkuto Sati, datang membawa dua cangkir teh beserta sedikit makan kecil. Geraknya
meletakkan nampan diatas meja, meliuk gemulai. Berdesirlah darah didada Mangkuto Sati.
Terbakar darah muda melihat tambatan hati berada didepan mata. Serasa dipenuhi wewangian
puncak hidungnya."Silahkan diminum Uda!", kata si gadis melontarkan senyuman semanis
madu. Aduhai, terbang melayang kemenakan Datuk Bazar. Merona merah pipi, Mengigil
kedinginan disiang hari tubuhnya. Tak sanggup dijawabnya perkataan basa-basi itu. Lalu,
Asmini masuk kembali kedalam rumah. Menganga, mulut Mangkuto terbuka sedikit lebar,
terpana memandang punggung si gadis yang perlahan menghilang. Sadarpun tidak, ketika lalat
sudah leluasa bermain-keluar masuk mulutnya.
"Ehem...!", mendehem kecil Malintang Bumi. "Diminum Tehnya Bujang!", lanjutnya
Linggang Si Bunian Karya Wendi Andriko di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
seolah menghentikan lamunan indah pemuda didepannya. Tersentak Mangkuto Sati. Malu,
teramat malu dirasakannya. Ia menganggukkan kepala dan meminum teh panas buatan Asmini.
Sembari meminum teh, tak sanggup ia menegakkan kepala.
Cukup lama setelah itu, barulah kembali ia membuka suara. Setelah dirasa-rasanya usai
waktu berbasa-basi. Dibenarkan posisi duduk agak lebih sopan, mendehem sedikit, dan mulai
buka suara, "Begini angku, sebenarnya, bukan sembarang hari saya datang menyambangi,
angku. Ada tujuan serta maksud yang hendak saya sampaikan sebagai bentuk permintaan, bisa
juga permohonan ke diri Angku"
"Tujuan dan maksud apa itu bujang" Bicarakanlah dengan jelas... !"
"Tujuan dan maksud saya itu, tidak lain dan tidak bukan adalah perkara anak gadis
Angku, Puti Asmini. Seperti yang angku ketahui tentang diri saya, bujang muda belum beristeri,
sedang mencari jodoh. Jika diperbolehkan berkehendak, pinta boleh biberi, saya hendak
meminang Puteri angku itu. Saya ingin menjadikannya pendamping, teman hidup saya dunia
akhirat! Itulah maksud saya"
Malintang Bumi terdiam mendengar penjelasan Mangkuto Sati. Ditekurkannya kepala
dan kemudian mengangguk tanda mengerti. Senyuman tersungging dari bibir laki-laki setengah
baya itu. Dan menjawab,"Begini bujang! Besar sekali hati angku mendengar maksud baik anak
bujang itu. Tiada terkira senangnya. Kalaulah bunga itu masih tertanam dihalaman, belum
berpagar kiri dan kanan, mungkin masih berkenan saya terima pinangan anak bujang. Perkara
menikah adalah sunnah Rasul untuk menyempurnakan agama. Tidak boleh ditunda bila suda
waktunya. Apalagi menaruh anak perempuan, bagai menyimpan pisang mengkal, hari ini
diperam-besok sudah ranum, harus cepat dinikahkan. Tapi sekalipun begitu, apa yang hendak
dikata, maksud bujang boleh tersampaikan-pinta tidaklah bisa angku berikan. Sebab, bunga yang
kau inginkan itu sudah berpagar besi dikeempat seginya, sudah dimiliki orang lain. Bujang
keduluan selangkah oleh orang itu. Puti , anakku sudah dipinang"
"Duarrr", Bagai meletus suara meriam ditelinga, kala mendengar perkataan Malintang
Bumi, yang dari awal ia yakini akan menjadi ayah mertuanya. Terbeliak mata mangkuto sati,
pandangan gelap agak berkunang. Berdebar-debar jantungnya, "Sudah dipinang orang, Angku?"
"Ya! Sudah sebulan yang lalu orang itu datang meminang. Bukan orang jauh, masih
kerabat kita disini juga!"
"Ss..iapa angku" Bolehkah saya tahu?"
"Sutan Rajo Ameh!"
Tambah menyalak petir dikepala Mangkuto Sati. Lagi-lagi nama kebenciannya itu. Bagai
menanak nasi orang dikepala hingga mengepulkan asap dikedua telinga. Sudah mau merebut
tahta pemimpin kaum, calon isteri;pun ikut disikat. Serakah sekali manusia bernama Sutan Rajo
ameh menurut pikir piciknya. "Ss...Sutan yang kaya raya itu?"
Malintang bumi mengangguk, "Puti Asmini sudah menyetujui pertalian itu. Cincin sudah
dipasang dijari masing-masing sebagai tanda jadi. Tinggal melakukan akad yang diresmikan
secara adat dan agama saja. Semua hal keperluan sudah dipersiapkan!"
Bukan main! Mangkuto Sati hendak mengamuk. Berbinar, berkaca-kaca matanya
menahan sesak nafas. Seakan runtuh langit, seakan taban bumi. "Bangsat kau Rajo Ameh! Baru
pulang dari tanah jauh, sudah merampas calon isteriku... Tidak tahu diri...!", umpat serapahnya
dalam hati. Diluar ia tetap tenang,"Kapan pernikahannya dilangsungkan angku?"
"InsyaAllah, seminggu lagi. Belum rezki-mu dengan Asmini, bujang. Kumbang tidak
seekor, bunga tidak pula setangkai. Masih banyak gadis lain yang mungkin berjodoh denganmu.
Jodoh, takdir dan mati memang sudah diatur. Kita tinggal menjalankan", kata si dubalang penuh
bijaksana. "Kalau kau punya waktu luang, datanglah dipernikahan anakku nanti, lihat-lihat juga
kami disini". Ajakan yang teramat pedih. Mangkuto sati angguk-anggukkan kepala, meski
hatinya tidaklah terima, remuk redam. Ia merasa terhina. Harga dirinya bagai diinjak-injak. Dia
orang terpandang disegani, calon datuk, calon pemimpin, pengganti mamaknya dimasa depan.
Bagaimana bisa ditolak mentah-mentah begitu rupa" "Tidak...sampai mati aku tidak terima",
katanya mendesah. Sebelum waktu ashar tiba, ia pamit pulang. Ditinggalkannya rumah Malintang Bumi
dengan muka hambar penuh dendam. Dalam baik tutur dan kesopanan yang ditunjukkannya,
tersimpan niat buruk. Entah rencana apa yang telah dipersiapkan dikemudian hari.
Setibanya dirumah, teman setianya, Mali menunggu didepan pintu, tak sabar ingin
bertanya. Keyakinan akan kabar baik seolah membutakan matanya. Dihampirinya Si Tuan
terhormat "katanya" itu. Cengar-cengir, garuk-garuk kepala yang tidak gatal, "Bagaimana
hasilnya Tuan" Aku yakin, pasti diterima pinangan Tuanku! Betulkah begitu" Hehehe!".
Mangkuto Sati tidak menjawab. Dikerlingkan mata sedikit sebagai isyarat pertanda tidak
baik, mempertingatkan. Lalu, langsung berjalan masuk kedalam rumah tanpa menoleh
sedikitpun pada yang bertanya. Raut wajahnya cemberut, kening berkerut, masam tanpa rona
sedikitpun. Tampak redup semangatnya yang sebelum pergi tadi teramat sumringah.
Si mali masih cengar-cengir rupanya agak kurang tanggap dengan keadaan. Nekad, ia
kembali menanyai. Tidak dilihatnya awan sedang hitam, langit sedang mendung,"ah, tuanku!
Mentang-mentang sedang bersenang hati, lupa sama teman sendiri...bagi-bagilah kebahagiaan
itu! Kita sudah setikar-setiduran, janganlah menganggapku seperti orang lain"
"Plaakk", alangkah terkejutnya si mali, bukan jawaban yang ia dapat, malah sebuah
tamparan bersarang dipipinya. Itulah jawaban yang diberikan oleh orang yang dianggapnya
teman. Ia mengaduh memegangi pipi, serasa tebal dan membengkak. Belum lagi hilang sakitnya
itu, ditambah lagi dengan hantaman keras kepantatnya, "buggh". Tak ayal, tubuh kurusnya
tersorong kedepan, terlempar dari teras rumah kayu itu dan kemudian tersungkur kehalaman.
"Aduh", rintihnya kesakitan. Tak disangka-sangkanya akan menerima pukulan teramat keras dari
Mangkuto Sati. Wajah dan bajunya yang semula bersih, berubah cokelat kehitaman bagai
setahun tidak dicuci, ia berlumuran lumpur.
"Kenapa memukulku, Tuanku" Apa salahku?", katanya mengumpat, heran.
Memerah muka Mangkuto Sati, "Dua kesalahanmu mali! Pertama, kau mengatakan
bahwa aku sudah pasti diangkat menjadi datuk, semua tetuah telah sepakat akan hal itu. Tapi
rupanya, masih sebatas pendapat, ditambah lagi dengan adanya calon lain, Si brengsek Sutan
Rajo ameh! Posisiku semakin sulit. Kedua, kau bertanya disaat hatiku sedang tidak baik untuk
menjawab pertanyaan yang kau ajukan. Maka, enyalah sekarang sebelum kau tambah lagi
kesalahanmu yang ketiga. Bisa hilang nyawamu!"
Mengumpat panjang pendek si Mali. Menyumpah-nyumpah ia dalam hati. Niat baiknya
untuk sekedar bertanya tidak dihargai. Malah dilecehkan layaknya anjing,"Matilah kau bangsat,
muka buruk disangka tampan, tidak sadar diri. Aku tahu Malintang Bumi tidak akan menerima
pinangan orang bermuka dua macam kau. Lain diluar-lain pula didalam. Beruk saja masih pikir
dua kali menerima pinanganmu!", bathinnya sambil berlalu pulang dengan muka coklat.
9.Sembilan * Sutan Rajo Ameh duduk diberanda menimang-nimang sebatang padi ditangan. Kepala
mendongak menatap langit senja yang memerah. Bangau-bangau putih terbang berkelompok,
sejajar beraturan menuju pantai. Pipit-pipit yang sudah kenyang berdecit-decit menuju sarang,
puas menjarah padi orang. Alam terkembang bagai lukisan. Langit merah bak genangan emas
dimatanya. Bibir berbisik halus mengucap-segala puja-puji kebesaran ilahi. Dalam ketenangan
hatinya, senja itu terasa begitu istimewah.
"Apa yang kau renungkan, anakku" Adakah sesuatu yang berat mengganjal dan jadi
masalah?", kata Mak siti, ibunya menegur.
"Tidak, Mak! Aku hanya memandang senja dan matahari terbenam saja. Masalah bukan
untuk dibawa bermenung, tapi diselesaikan dengan segera. Amak, ada-ada saja!", jawab Sutan
tersenyum. "Memikirkan Si Puti, calaon menantu amak?"
"Apa pula yang kupikirkan tentang Puti, Mak! Hari pernikahan kami sudah dekat. Cuma
berdebar sedikit kalau teringat . Wajarlah, pengalaman sekali seumur hidup"
"Jika nanti kau sudah jadi suaminya, jangan samakan hidupmu dengan cara kau
membujang ini! Jadi suami itu harus banyak bersabar. Perempuan memang sering bicara, tapi
hatinya tulus. Salah sedikit terkadang jadi masalah, kalau kau tidak bisa bersabar. Contohlah
ayahmu! Kalau amak sedang marah, dia diam saja. Dia dengarkan keluhan amak sampai celoteh
amak selesai. Setelah reda, barulah ia bicara!"
"Iya ,Mak! Akan selalu kuingat nasihat ini. Aku juga sadar, menikah bukan untuk
bertengkar lalu bercerai. Tapi, sama-sama mencari kesenangan lahir bathin dan tak lupa
mengabdikan diri pada Yang Kuasa. Bagaimana caranya Amak dan Ayah medidik-ku, begitu
juga caraku nanti menjaga anak-anakku"
"Baguslah kalau begitu. Oya, Apa kau sudah dengar permintaan ninik mamak dirumah
gadang?" "Permintaan" Permintaan dalam hal apa Mak?"
"Tadi, ayahmu dipanggil Sutan Bazar, datuk kita yang sedang sakit keras itu. Katanya,
ada suatu hal yang penting ingin dia bicarakan pada ayahmu. Amak juga tidak tahu permintaan
apa yang mereka maksud. Semoga saja tidak memberatkan kamu dan keluarga kita"
"Semoga saja, Mak! Kalau aku bisa, apa salahnya kupenuhi. Aku tidak akan keberatan
jika tidak melewati batas kesanggupanku. Kecuali, ninik mamak memintaku mencari sisik belut,
barulah aku akan angkat tangan"
Mak Siti hendak mencubit bahu puteranya. Namun, belum sempat dilakukan,
"Asslammualaikum...!", terdengar suara perempuan mengucap salam, "Waalaikumsalam!",
jawab sutan dan mak siti bersamaan.
Mereka beranjak kedepan. Sutan mengikuti ibunya dari belakang. Dia tampak malu-malu
mengetahui siapa yang datang. "Dek Puti?", katanya menyapa Calon isteri, pujaan hati siang dan
malam. "Iyo Uda!", balas si puti tersipu. Keduanya sama-sama saling menundukkan kepala.
Waktu lewat dan berlalu sekian lama dengan curi-curi pandang. Mak Siti memandang keduanya
senyum-senyum. "Yang ini cantik, yang ini tampan! Serasi sekali kalian berdua", katanya
menggoda. Makin tersipu dua calon suami-isteri itu dibuatnya.
"Ada apa datang sore-sore begini, dik?", Sutan Rajo Ameh buka suara.
"Ibu menyuruhku mengantarkan makanan ini, Udah! Tadi kami membuat sedikit kue.
Beliau berpesan, tidak boleh lama-lama, sudah mau gelap!"
"Yasudah, hari memang sudah hampir magrib! Amak salin dulu kue ini ya!", kata mak
siti. Puti mengangguk dan kembali dipandangnya sebentar wajah si calon suami. Bergetar
dadanya. Ya, pemuda tampan didepannya memang nyata calon suaminya. Dilain pihak, Sutan
Rajo Ameh;pun merasakan hal yang sama. Dipujinya kecantikan puti Asmini , bidadari hatinya.
Puti Asmini pamit pulang. Sutan Rajo Ameh berniat mengantarkannya sampai kerumah
supaya tenang hatinya. Maklum, sedekat apapun jarak rumah-yang namanya cinta akan tetap
berlebihan. Sejengkal jadi sedepa, dekat akan jadi jauh. Puti asmini tidak mau merepotkan calon
suaminya, sekalipun sebenarnya dalam hati sangat ingin berduaan. Ditolaknya secara halus.
Katanya, tidak apa-apa pulang sendiri. Menyerah juga Sutan Rajo Ameh. Dengan berat hati,
dilepaskannya puti asmini yang ingin pulang tanpa pengawalannya. Agak sedikit ragu-ragu, ia
menyetujui, walau ada rasa takut kehilangan dalam ruang terdalam hatinya yang membesitkan
kekhawatiran. Ia berdiri dihalaman sampai hilang bayang si kekasih dibelokan jalan. Tanpa
diketahuinya, dibalik semak-semak belukar , tidak jauh dari halaman rumahnya, ada sepasang
mata sedang mengintip kemesraan mereka dengan hati remuk redam. Mata itu menatap nanar
penuh api kecemburuan yang teramat dalam dengan debaran jantung yang teramat kuat.
Si pengintip mengikuti Puti Asmini diam-diam. Langkahnya nyaris tak terdengar
direrumputan, lebih halus dari desingan angin malam yang mulai bertiup. Mata liarnya
memperhatikan gerak-gerik si anak gadis bungsu malintang bumi dan juga keadaan sekitar.
Sepertinya ada niat buruk yang hendak dilakukan. Siapa orang itu"
Disebuah tikungan jalan menuju kerumah malintang bumi, tempat itu memang agak
lengang, dimana hari juga sudah mulai gelap, semakin mempermudah dirinya bersembunyi,
orang itu meloncat dari semak-semak dan menghadang langkah calon isteri Sutan Rajo Ameh.
Tangan dibentang menghalangi jalan. "Mau kemana adik manis?", katanya tertawa mengekeh.
Puteri Malintang bumi kaget bukan kepalang. Sosok yang menghadang langkahnya,
bagai hantu datang tiba-tiba membuatnya terpekik. Setan atau binatangkah itu" Ia mencoba
mengenali wajah manusia didepannya, "Uda...Mangkuto Sati?", serunya dengan pandangan agak
kurang senang, langkah disurutkan."Ada perlu apa udah menghambat jalan saya ditempat gelap
seperti ini" Kalau ingin bertemu, datanglah bertamu baik-baik. Jangan berlaku seperti maling.
Tidak baik dilihat orang, akan timbul fitnah yang bukan-bukan nantinya. Lekaslah uda
menyingkir, beri saya jalan!"
"Tunggu dulu... Sabarlah sebentar kau calon isteriku...! Aku ada sedikit keperluan
denganmu. Ayahmu yang jagoan itu tidak ada disini, bukankah mempermudah kita agar bisa
berduaan lebih lama. Kalau dirumah, aku hanya bisa menatapmu sekilas saja, disini aku bisa
leluasa...hehehe..dari mana kau, Asmini" Kenapa keluyuran malam-malam?"
"Calon isteri" Mengigaukan siapa kau Mangkuto Sati" Pandanglah baik-baik! Meski
gelap, matamu belumlah buta, bukan" Aku bukan calon isterimu! Lekas pergi dari sini dan
bawalah berobat kedukun. Periksalah, apa yang rusak dikepalamu...siapa sudi bertatap muka
denganmu" "Eh...eh...sok jual mahal pula kau padaku ,Asmini. Jangan membantah perkataanku! Aku
tahu perangai wanita gila harta sepertimu. Bukankah yang kau mau adalah suami yang banyak
uang" Kalau saja si bangsat Sutan Rajo ameh itu tidak kaya raya, akulah yang akan menjadi
suamimu, bukan"...aku ini calon orang besar dan dihormati. Lagipula, Si tolol Bazar itu sudah
hampir keok. Tapi, anjing kurap yang bernama Rajo Ameh itu merampasmu yang seharusnya
milikku...perempuan murahan!", katannya melempar senyuman sinis.
"Lancang mulutmu bicara! Tengoklah jauh-jauh kedalam diri, sudah bersihkah kau dari
tuduhan yang kau sebutkan itu" Semua orang tahu, kau gila kekuasaan dan berharap tetuah
memilihmu sebagai datuk. Pikirmu seolah aku ini milikmu saja, Mangkuto! Aku memilih Sutan Rajo Ameh bukan
karena harta, uang, atau tahta. Tapi sesuatu yang lebih besar dari itu. Sesuatu yang seujung
kuku;pun tidak kau punyai sebagai manusia, hanya manusia beradat beragama saja yang
memilikinya, yaitu berbudi luhur dan berakhlak tinggi. Ia tidak ada bandingannya dengan
pecundang macam kau. Jangan kira aku tidak tahu tabiatmu yang kau sembunyikan dari orang-orang sekampung.
Penjudi. . . !" "Hahahaha...", tawanya memecah."Bicara apa kau, Asmini! Aku bukan orang seperti itu.
Jangan pandang hinanya aku dimatamu, manis, aku laki-laki baik! Percayalah". Dicubitnya dagu
Asmini. Sontak sang dara menepis.
"Aih, nasib...nasib! Nasibku memang malang. Baiklah, jika aku tidak bisa memilikimu
sebagai isteri, akan kuberikan sisa-ku pada suami-mu nanti. Hahahaha....", jaraknya diperdekat,
muka ditolok kedepan, cengar-cengir layaknya seekor anjing liar mencari makan ditong sampah,
kelaparan. Asmini;pun surut kebelakang, menjaga jarak demi menghindari perkiraan buruk yang
mulai diduganya. Ia dilanda kecemasan, cemas akan keselamatan yang tengah terancam. Lalu,
Bak seekor harimau, Mangkuto Sati mencengkeram tubuh puti asmini kuat-kuat, berusaha
memeluknya dan menciumnya secara paksa. Mata membeliak penuh nafsu. Lidah menjulurjulur, liur menetes menjijik-kan. Puti nan malang berteriak-teriak ketakutan, berusaha melawan.
Dipukul-pukulnya tubuh mangkuto dimana;pun bisa. Ia meronta-ronta, minta tolong sambil
menangis. Kepiluan yang teramat pedih terdengar.
Mangkuto hilang kendali dan lupa diri. Tak dipedulikannya teriakan dan rintihan gadis
itu. Hatinya telah dilumuri nafsu bejat dan kecemburuan yang membabi buta. Jika cinta tak bisa
dimilikinya-maka cinta itu haram hukumnya bagi orang lain. Semua yang ada dikepalanya
hanyalah cara membalaskan sakit hati karena lamarannya ditolak mentah-mentah oleh malintang
bumi. Ia sangat mencintai Asmini, tapi kenyataan sangatlah menyakitkan. Si gadis malah
memilih orang kaya dan terpandang. Jika dibandingkan, ia memang bukanlah apa-apanya dari
Sutan Rajo Ameh. Wajah dan keberuntungan nasib tidak ada yang memihak padanya.
Mengenang itu, sakit hatinya semakin dalam mencucuk akal sehat. Lakunya sudah sebanding
dengan seekor binatang, biadab.
Asmini terus menangis minta dilepaskan. Air mata cemas, takut dan putus asah memsahi
pipi mulusnya. Tiada rela hidupnya ternoda dan dizalimi oleh manusia laknat teramat
dibencinya. Dalam hati ia berharap semoga ada orang yang datang menolongnya dari niat bejat
Mangkuto Sati. "Toloooonnggg....toloooonnggg....!", rintihnya dalam tangis. Akan tetapi,
semakin letih tubuhnya menahan tenaga kuat si laki-laki bejat, belum juga ada pertolongan.
Mereka berguling-gulingan ditanah. Mangkuto Sati memeluknya bergelak tawa.
Tiba-tiba, "Bugghh..!!", Mangkuto sati melenguh sakit mendapati tubuhnya terpelanting
dan kemudian tersungkur ditanah. Sebuah hantaman tak terduga bersarang telak dikepalanya,
membuatnya sempoyongan sementara waktu. Cengkeramannya pada puti asmini lepas. Gadis itu
segera berlari kebelakang si penolong, mencari perlindungan.
Mangkuto Sati kaget bukan main, siapa yang berani menyerangnya" Ia mencoba berdiri
meski kepala yang menerima hantaman terasa pusing, mata berkunang-kunang. Sekian waktu
disaksikannya banyak bintang menghiasi pemandangan. Sebelum mengusap-usap mata beberapa
kali agar pandangannya lebih jelas.
Tambah menjadi-jadi kejut Mangkuto Sati melihat orang yang menyerangnya. Diusap
lagi mata beberapa kali, seakan tidak percaya menyaksikan sosok didepannya. Terbeliak
matanya lebar-lebar. Menggembor-gembor gemeretukan rahangnya, "Penghianat!!!! Berani
menyerangku.. Kucincang kau sampai mati...!", katanya pada si penolong yang rupanya adalah
Sahabat karibnya sendiri, bandit suruhan yang selama ini terjamin keetiaannya, Mali. Teman
akrab yang tak jauh bedanya dengan pesuruh, anak buah. Diperlakukan sesuka hati, dipukul
kapanpun ia mau. Baginya, Mali adalah budak sahaya yang harus menuruti segala perintahnya,
sehina binatang. "Aku bukan penghianat... Hubungan apa diantara kita yang menjadikan aku sebagai
penghianat" Tidak ada! Aku cuma kacung suruhan bila dibayar. Tapi aku,,membenci tingkah
manusia yang tak ubanya seperti binatang! Tak tahu adat! Memaksa anak gadis ditempat gelap
yang sudah jelas-jelas calon bini orang. Menjijikkan! Kau taruh dimana muka buruk rupamu itu"
Sudah buruk tak tahu diri pula..."
"Bangsat benar!! Berani menghinaku.." Tidak sayang nyawa kau, Mali! Bersiaplah
menghadap setan neraka manusia jahanam!"
"Perkara nyawa usah disebut akan tamat disini, beruk jelek! Urus saja muka buruk rupa
dan tidak tahu dirimu itu. Betulkan dulu bentuknya yang agak kurang sempurna! Kalau perlu,
oleskan taik sapi, jadikan topeng...hahaha! Aku jamin kau lebih tampan dari wajahmu yang
sekarang", katanya meledek sinis, kesengajaan memancing amarah agar luapan emosi
melemahkan musuhnya. Ditariknya tangan Puti dan berkata,"cepat pulang! Kadukan pada
ayahmu kejadian ini...! Aku tidak akan sanggup bertahan berlama-lama melawan si bangsat itu.
Ilmu silatnya cukup tinggi. Hanya ayahmu yang sanggup merobohkan".
Puti asmini ragu-ragu,"Tapi, bagaimana denganmu ,Mali" Kau bisa celaka! Lebih baik
kita kabur saja bersama-sama"
"Sudahlah, Putih! Mustahil...! Itu tidak mungkin kulakukan...Mangkuto sati brengsek ini
tidak akan diam saja melihat kita lari. Begini saja, Aku akan menahannya sampai kau selamat
dan bawakan bantuan agar aku tidak mati konyol ditangan manusia kafir itu". Puti mengangguk
Linggang Si Bunian Karya Wendi Andriko di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan helaan nafas berat. "Ayo cepat!". Ia;pun segera berlari pulang. Bermaksud
mengadukannya kejadian yang menimpanya pada Malintang Bumi. Mangkuto Sati terpana tanpa
berusaha mencegah. "Sebentar lagi Malintang Bumi akan datang memenggal kepalamu , kepalamu
Tuanku...hehee! Ingat itu! Menjelang dia datang, mari kulayani kau satu_dua jurus! Majulah!",
hardik mali cengengesan, membuka langkah.
"Mencari mati kau, budak sahaya! Lupa diri ... Sebelum Malintang Bumi datang, sudah
kubuat nyawamu lepas dari badan",katanya menyerang.
"Siapa sudi jadi budakmu!", balas Mali pula.
Dua telapak tangan mangkuto Sati dikembang, mulut komatkamit merapal bacaan,
mantera telapak besi. Ilmu hitam yang dipelajarinya dari dukun jahat yang bernaung dikaki
gunung Linggo. Jurus telapak besi bukan ilmu kebatinan biasa, diciptakan oleh seorang sakti
berilmu hitam amat ditakuti puluhan tahun silam. Pendekar-pendekar terdahulu tidaklah asing
jika mendengar namanya. Dimasalalu jurus itu telah menelan banyak nyawa tokoh-tokoh penting
tingkat tinggi diranah minang, terutama diselatan pesisir pulau Andalas. Keangkaramurkaan
merajalela, penggunanya menebar bencana dimana-mana. Angkara murka itu baru dapat
dihentikan ketika seluruh tokoh silat kelas wahid mengeroyok dukun ilmu hitam pencipta
telapak besi beramai-ramai dan kemudian dipisahkan kepalanya dari badan. Sebab, selain
telapak besi, ia menguasai ilmu tambun! Tak bisa mati selagi tubuhnya menyentuh tanah. Jika
tidak digantung, usaha membunuhnya akan percuma. Dalam waktu singkat si dukun akan
kembali hidup. Semenjak peristiwa menggemparkan jagad persilatan itu, Telapak besi dianggap
sebagai jurus larangan, bukan untuk dipelajari. Jika ada yang mempelajari, ia akan diburu oleh
ahli silat didelapan penjuru angin. Pemilik pukulan akan mati dibunuh dengan kepala terpenggal
bergelantungan didahan pepohonan.
Namun berbeda dengan Mangkuto Sati, jurus telapak besinya barulah tahap dasar, masih
terlalu jauh dari kesempurnaan sebagaimana dahsyatnya telapak besi. Sebab, belum lama
menimba ilmu, gurunya, si dukun jahat keburu masuk tanah, terlalu uzur diusia sembilanpuluh
delapan tahun. Sebelum kematian gurunya, Ia sempat diwariskan sebuah kitab rahasia tentang
tata cara pembelajaran telapak besi sampai menuju kesempurnaan. Jika kelak kitab itu
dipelajarinya, barulah bencana akan kembali merajalela.
Tubuh mangkuto sati bergetar hebat, mata terpejam. Ajaib, dua telapak tangannya
seketika berubah warna menjadi hitam legam, logam hangus. Asap mengepul disetiap ujungujung jarinya.
Bergidik nyali Mali melihat perubahan pada tangan Mangkuto Sati, maut sudah datang,
pikirnya. Setelah getaran hilang, Mangkuto buka kedua mata. Nampak memerah kedua sudutnya.
Telapak hitam legam dihadapkan kedepan. Mulut menyeringai merendahkan. Lalu, diiringi
teriakan nyaring, ia meluncur menyusur tanah, sangat cepat. "Terima ini..!", bentaknya
menghantamkan dua telapak tangan itu kedada mali.
Si pemudah bernama Mali mencoba berkelit kekiri, badan dibungkukkan. Lalu, tangan
kiri diangkat, menepis pukulan lawan. Ia berhasil! Mangkuto Sati urung mengenai sasaran. Tak
sampai disitu, kini Mali malah sanggup membalikkan dua kali serangan bertubi keperut
Mangkuto Sati. "Bugghh...bugghh", orang itu terpelanting cukup jauh. Mangkuto terduduk dan
melenguh ketika ulu hatinya seakan robek besar. Ia mengaduh memegangi perut. "Bangsat kau
Mali!", teriaknya kesal."Setan!"
Sementara itu, Mali terkapar ditanah setelah tubuhnya menghantam sebuah pohon pinus.
Mungkin sudah remuk atau patah tulang punggungnya. Ia diam tak bergerak, hanya helaan nafas
megap-megap sesekali terdengar. Kenapa bisa begitu" Rupanya, disaat ia melepaskan dua
serangan balik keperut lawan, tak disadarinya telapak kanan Mangkuto juga telah mengenai
dadanya. Salah satu serangan telapak besi mangkuto urung dielakkan. Dari dua-hanya satu yang
bisa ditepis, yang satunya lagi bersarang telak didadanya, tepat dimana jantungnya berdetak. Ia
sekarat. Ditempat lain, putih telah tiba dirumah, menangis histeris tak mau dihentikan. Ibunya
berusaha menenangkan. Apa yang terjadi" Ibunya bertanya. Ia cuma menangis dan menunjuknunjuk kebelokan jalan. Setelah diberi air putih, barulah keadaanya mebaik. Ia mengadukan
musibah yang menimpanya diperjalanan pulang dari rumah Sutan Rajo Ameh, calon suaminya.
Tak luput pula menceritakan si Mali yang dalam bahaya, baku hantam dengan Mangkuto Sati
karena menolongnya. Naik pitam si jagoan. Mendidih darah panas yang telah lama dingin. Api
seakan bergolak dalam tubuh dan otot-ototnya. Siapa yang berani mengusik kehidupan
Breaking Dawn 12 Candika Dewi Penyebar Maut I I Mutiara Hitam 9