Pencarian

Mutiara Hitam 9

Mutiara Hitam Karya Kho Ping Hoo Bagian 9


membayangkan kematangan jiwa sehingga tampak gurat-an-guratan nyata. Wajah yang
tampan dan penuh kesabaran, penuh pengertian, namun sinar matanya amat kuat berwiba-wa.
Pakaiannya sederhana serba putih dari kain yang kasar, pakaian dan topi-nya seperti seorang pelajar. Usianya tentu sudah dua puluh lima atau dua puluh enam tahun. Ada sesuatu yang amat menarik hati Kwi Lan pada wajah orang ini. Namun hatinya mendongkol karena ia dicegah membantu Hauw Lam.
"Justeru karena Si Berandal terdesak maka aku akan membantunya!" bentaknya penasaran karena ia anggap orang ini aneh, sudah tahu Hauw Lam terdesak mengapa malah
melarangnya membantu" "Apa kaukira aku tidak mampu menan-dingi tua bangka genit itu?"
Tanpa menoleh kepadanya laki-laki itu berkata, suaranya tetap halus namun penuh
kesungguhan. "Dia itu lihai sekali dan keji, harap Nona jangan mendekat. Akulah lawannya dan biar aku membantu temanmu itu!" Sebelum Kwi Lan sempat membantah laki-laki itu sudah berkelebat ke depan, gerakannya ringan sekali se-hingga mau tidak mau Kwi Lan menjadi kagum dan heran. Apalagi ketika pemuda itu menyerbu ke dalam pertempuran, terdengar Bu-tek Siu-lam berseru kaget dan meloncat mundur, ia makin kagum.
Pemuda itu telah mengeluarkan sepasang senjatanya yang aneh, yaitu sebatang pensil bulu dan pensil kayu di kedua tangannya. Senjata ini amat pendek dan amat kecil, juga lemah, akan tetapi mengapa Bu-tek Siu-lam terkejut dan menghindar sambil meloncat mundur" Ia tidak tahu bahwa dalam segebrakan saja, tadi, pemuda itu telah menotok tujuh belas jalan darah terpenting dengan se-pasang senjatanya kalau mengenai sasar-annya akan cukup kuat merobohkan la-wan sekuat Bu-tek Siu-lam! Karena inilah Bu-tek Siu-lam terkejut dan terpaksa meloncat mundur menghindarkan diri.
Selagi Kwi Lan menonton dengan wajah tegang karena kini Bu-tek Siu-lam digempur oleh dua orang pemuda itu dan pertandingan berjalan amat cepat dan seru, tiba-tiba ada angin dahsyat menyambar ke arahnya dari belakang. Kwi Lan terkejut dan cepat membalikkan Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 201
tubuhnya sambil menangkis, akan tetapi inilah kekeliruannya. Gadis ini tidak men-duga dan tidak tahu siapa yang menye-rangnya, maka ia yang amat percaya akan kekuatan sendiri lalu menangkis. Ia sama sekali tidak tahu bahwa yang me-nyerangnya dari belakang adalah Thai-lek Kauw-ong, tokoh yang paling lihai di antara kelima "dewa", jadi lebih lihai daripada gurunya sendiri! Tangkisannya tidak ada artinya. Kalau ia mengelak, mungkin ia masih dapat menghindar dari bahaya, akan tetapi karena ia menangkis, lengannya ditangkap dan di lain saat pundaknya sudah dipencet, membuat gadis ini lemas kehilangan semua tenaga, bahkan tak dapat mengeluarkan suara lagi! Dengan mudah saja Thai-lek kauw-ong mengempit tubuh gadis itu di le-ngan kiri, lalu kedua kakinya berloncatan cepat sekali meninggalkan puncak.
"Heh-heh, biar dirasakan oleh Bu-tek Siu-lam. Dua orang itu akan mem-buatnya sibuk. Kalau aku membantu keenakan untuk dia!" gerutu kakek gundul tinggi besar ini yang sama sekali tidak mempedulikan kesetiakawanan.
Sementara itu, Bu-tek Siu-lam yang tadinya merasa penasaran bukan main karena sebegitu lama belum juga dapat membuka rahasia ilmu silat Hauw Lam, tiba-tiba diserang pemuda baju putih dengan dua macam pensilnya. Ia kaget melihat gerakan ini karena mendatang-kan dua macam angin pukulan yang ber-lawanan, juga gerakannya amat halus seperti orang mencorat-coret membuat tulisan, namun di dalam kehalusan gerak ini tersembunyi tenaga yang amat dah-syat. Tahulah ia bahwa pemuda baju putih ini bukan orang sembarangan pula.
Diam-diam ia mengeluh. Pemuda beran-dalan yang bergolok besar itu sudah memiliki tingkat kepandaian yang jauh melampaui pemuda-pemuda sebayanya, bahkan memiliki ilmu silat aneh yang tak dikenalnya sama sekali. Sekarang muncul pemuda lain yang demikian dahsyat ilmu-nya. Benar di dunia telah muncul jago-jago muda yang amat hebat!
"Hi-hi-hik, bocah tampan dan halus. Kau siapakah dan mengapa menyerangku" Apakah kau sahabat dia.... eh, Si Beran-dal mentah ini?"
Sebelum pemuda baju putih yang pen-diam dan berwajah serius itu menjawab, Hauw Lam yang dimaki berandal mentah sudah mendahului dan mengejek. "Ha-ha-ha! Manusia banci yang tak tahu ma-lu! Makin banyak datang pemuda tampan kau makin hendak bergenit!
Ataukah engkau hendak menggunakan lagak pe-rempuan lacur untuk merayu dan
me-nyembunyikan rasa takutmu" Tentu saja Enghiong (Pendekar) ini membantuku dan
menyerangmu karena semua orang gagah di dunia maklum belaka bahwa Bu-tek Siu-lam adalah seorang manusia iblis yang selain jahat, juga banci cabul tak bermalu dan patut dibasmi...."
"Siuuutt.... klik-klik....!" Gunting be-sar itu menyambar hebat dan dua kali menggunting ke arah leher dan pinggang Hauw Lam.
"Haya.... sayang tidak kena....!" Hauw Lam berhasil menangkis dengan goloknya, guntingan pertama ke arah lehernya, namun goloknya sempat terlepas dari tangannya yang terasa panas dan pada saat guntingan ke dua ke arah pinggang-nya mengancam sehingga jalan satu-satu-nya baginya untuk menyelamatkan diri hanya membuang diri ke belakang dan
bergulingan, hal yang pada saat seperti itu amat memalukan karena berarti ia kalah, mendadak pensil bulu di tangan pemuda baju putih menolongnya, menang-kis gunting sehingga pemuda yang nakal biarpun mukanya pucat dan dahinya me-ngeluarkan keringat dingin, masih sempat mengejek juga!
Kembali Bu-tek Siu-lam, tercengang. Tangkisan Hauw Lam tadi, sungguhpun cukup kuat, akan tetapi tidak menghe-rankan karena senjata pemuda itu ada-lah sebatang golok besar yang berat. Akan tetapi, biarpun hanya ditangkis dengan pena bulu, guntingnya terpental dan ia merasa tenaga yang tersalur pada guntingnya membalik sehingga lengannya terasa
kesemutan! Inilah hebat! Ia makin kagum dan sinar matanya memandang wajah pemuda itu dengan penuh perha-tian.
Perlu diketahui bahwa tokoh aneh ini sebetulnya berasal dari barat. Di negara Nepal, ia pernah menjadi orang keperca-yaan Raja di sana, yaitu menjadi kepala thaikam (pembesar Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 202
kebiri) yang dipercaya untuk mengurus segala urusan rumah tangga dan keluarga raja. Akan tetapi karena sebelum menjadi thaikam, Bu--tek Siu-lam telah memiliki ilmu kepan-daian tinggi, maka biarpun dikebiri, ia tetap menjadi seorang laki-laki yang kuat. Kalau orang lain dikebiri lalu ke-hilangan kemampuannya sebagai laki-laki, sebaliknya Bu-tek Siu-lam makin bertambah nafsunya, karena pengebirian yang dilakukan terhadap dirinya sebagai syarat menjadi thaikam itu hanya mele-nyapkan kemampuannya mendapat ke-turunan saja.
Biarpun dengan kenyataan ini diam-diam dapat merajalela dan merusak ke-susilaan yang dijaga keras di dalam is-tana dengan melakukan hubungan-hubung-an gelap dengan para puteri dan selir raja, namun pergaulannya dengan para thaikam lainnya, juga mungkin akibat pengebirian, mendatangkan sifat kewani-ta-wanitaan kepada dirinya seperti ke-pada thaikam-thaikam lain. Seperti juga thaikam-thaikam lain, timbullah kesukaan aneh pada diri Bu-tek Siu-lam, yaitu ia suka sekali kepada pemuda-pemuda tampan, hampir sama besarnya dengan rasa suka terhadap gadis-gadis cantik! Kebia-saan seperti inilah yang membuat makin lama tokoh banci ini menjadi makin tidak normal dan boleh dibilang men-dekati gila! Dan akhirnya, karena dia tampan dan telah berhasil melakukan hubungan-hubungan gelap dengan para selir, ia ketahuan dan terpaksa melarikan diri karena akan dihukum gantung oleh raja yang marah! Demikianlah akhirnya bekas thaikam yang sakti ini melarikan diri ke timur dan berhasil mempengaruhi para kaum sesat yang menyelundup da-lam dunia pengemis.
Kini bertemu dengan Hauw Lam yang memang tampan, hatinya sudah tertarik, sama dengan tertariknya hati seorang kakek mata keranjang melihat gadis ayu. Akan tetapi sikap Hauw Lam yang mengejek dan menghinanya membuat rasa sukanya berubah kebencian. Kemudian muncul pemuda baju putih yang pendiam dan juga amat tampan wajahnya. Maka ia menjadi tertarik dan suka sekali, apa-lagi mendapat kenyataan bahwa pemuda ini memiliki kepandaian yang hebat, lebih lihai daripada Si Pemuda Berandalan, bahkan ia merasa sangsi apakah ia dapat mengalahkan pemuda ini dengan mudah.
"Orang muda, boleh juga kepandaian-mu. Siapakah engkau dan mengapa eng-kau memusuhi Bu-tek Siu-lam tanpa alasan?"
Pemuda baju putih itu menjawab, suaranya tenang sekali. "Bu-tek Siu-lam, sudah lama aku mendengar tentang na-mamu yang besar di dunia kang-ouw, juga tentang sepak terjangmu.
Aku she Kiang, bernama Liong, dari kota raja. Memang tidak ada permusuhan di antara kita, aku hanya tidak ingin kau mence-lakai orang lain. Sobat muda ini benar karena telah menolong seorang Nona yang hendak kauperhina...."
"Hi-hik, jadi engkaukah yang menyam-bitkan kerikil tadi" Sudah kuduga tentu bukan bocah berandal sombong ini, dan...."
"Ah....!" Tiba-tiba Hauw Lam memo-tong, memandang pemuda baju putih itu tanpa
menghiraukan Bu-tek Siu-lam lagi. "Kiranya Kiang Kongcu....! Namamu amat terkenal sebagai pendekar muda di kota raja Sung, putera Pangeran Kiang dan murid Suling Emas....!"
Pemuda baju putih yang mengaku bernama Kiang Liong itu menahan se-nyum. Memang tidak salah dugaan Hauw Lam. Pemuda baju putih ini memang be-nar Kiang-kongcu, putera
Pangeran Kiang yang sulung. Para pembaca cerita CINTA BERNODA DARAH tentu masih
ingat bahwa ibu pemuda ini bernama Suma Ceng dan sebelum Suma Ciang menikah dengan Pangeran Kiang, ia telah me-ngandung anak sulung ini! Jadi siapakah ayah pemuda ini"
Bukan lain adalah Su-ling Emas! Sebelum menikah, puteri Pangeran Suma ini telah saling cinta dengan Suling Emas dan karena keduduk-an mereka tak memungkinkan perjodohan di antara mereka, maka dengan nekat mereka melakukan hubungan gelap yang mengakibatkan Suling Emas disiksa (ke-tika itu belum sakti) dan Suma Ceng di-kawinkan dengan Pangeran Kiang. Tentu saja Kiang Liong sendiri tidak tahu akan hal ini yang menjadi rahasia besar dan hanya diketahui oleh dua orang saja, yaitu tentu saja Suling Emas dan Suma Ceng.
Bagi Kiang Liong, Suling Emas adalah pendekar sakti yang ia kasihi, hormati dan taati, karena Suling Emas adalah gurunya yang menggemblengnya sejak ia masih kecil. Masih Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 203
teringat olehnya be-tapa ketika ia berusia sepuluh tahun, pada suatu malam Suling Emas memasuki kamarnya, dengan sikap manis mengajak-nya bercakap-cakap kemudian
mengajak-nya keluar dan mulai malam hari itulah ia menjadi murid Suling Emas. Murid terkasih dalam rahasia, bahkan ibu kan-dungnya sendiri tidak mengetahui akan hal yang dirahasiakan ini. Lima tahun kemudian, setelah ia berusia lima belas tahun, barulah ayah ibunya tahu akan hal ini. Ayahnya marah-marah, akan tetapi setelah mendapat penjelasan ibunya, ma-rahnya mereda dan sejak itu ia menjadi murid Suling Emas secara berterang.
Hanya anehnya, gurunya tidak pernah mau bertemu dengan ayah kandungnya, dan selalu datang menemuinya dalam kamar, lalu mengajaknya berlatih di da-lam taman bunga.
"Sobat baik, engkau terlalu memuji. Akan tetapi sungguh tajam penglihatanmu sehingga engkau segera dapat mengenal-ku "
Adapun Bu-tek Siu-lam ketika mendengar bahwa pemuda itu adalah murid Suling Emas, menjadi kaget dan kagum sekali, disamping pera-saan tidak enak di hatinya. Dari sambar-an batu kerikil yang mengenai lengannya dan tangkisan pensil terhadap guntingnya saja sudah membuktikan betapa tinggi ilmu kepandaian pemuda itu. Kalau mu-ridnya sepandai ini, betapa hebat kepandaian gurunya yang dianggap musuh oleh Bu-tek Ngo-sian!
"Heh-heh, kiranya engkau murid Su-ling Emas" Bagus sekali! Orang muda yang tampan, kaukatakan kepada Gurumu bahwa kalau dia memang seorang pende-kar sakti, boleh dia menghadapi Bu-tek Ngo-sian (Lima Dewa Tanpa Tanding)!"
Kiang Liong mengerutkan keningnya. "Hemmm, Bu-tek Ngo-sian, siapa saja gerangan
mereka itu?" "Hi-hik, pantas sekali engkau belum tahu karena nama itu baru tadi dilahir-kan. Dengarkan baik-baik dan kaucerita-kan kepada mereka yang menganggap diri sebagai pendekar-pendekar kang-ouw. Bu-tek Ngo-sian mulai hari ini menguasai dunia persilatan yang kalian sebut kaum sesat sebagai pengganti Thian-te Liok--kwi yang telah lenyap! Pertama-tama adalah aku sendiri, Bu-tek Siu-lam, ke dua adalah Thai-lek Kauw-ong, kemudian Siauw-bin Lo-mo, Pak-sin-ong, dan Sian-twanio. Sayang kau datang terlambat, kalau tidak tentu dapat berjumpa dengan mereka. Akan tetapi, dapat kuperkenal-kan Thai-lek Kauw-ong....!" ia menoleh ke arah raksasa gundul tadi duduk lalu berseru, "....ehhh.... kemana Kauw-ong?"
"Heeeiii, mana dia Mutiara Hi-tam....?" Hauw Lam juga berseru sambil memandang ke sana ke mari. "Kiang-kongcu, tentu dia dibawa lari setan gun-dul tadi. Mari kaubantu aku mengejar-nya!"
Kiang Liong adalah seorang pemuda yang tenang dan tidak gugup seperti Hauw Lam, akan tetapi ia pun merasa khawatir karena tidak melihat bayangan dua orang itu. Ia merasa heran betapa kakek gundul itu dapat bergerak sedemi-kian cepatnya dan tanpa ia ketahui. Hal itu saja sudah jelas membuktikan bahwa kakek gundul itu tentu lihai bukan main. Ia mengangguk lalu mengejar Hauw Lam yang sudah lari terlebih dahulu.
Bu-tek Siau-lam terkekeh ketawa. "Hi-hi-hik, Kauw-ong, engkau mencari penyakit! Tidak membantuku malah mem-bawa lari gadis galak tadi. Biar kaurasa-kan betapa lihainya orang-orang muda sekarang, hi-hi-hik!" Ia lalu turun dari puncak, memberi isyarat kepada anak buahnya yang segera bergerak mengikuti datuk itu turun gunung.
*** "Hei, kakek gundul! Mau apa kau bawa-bawa aku, dan ke mana?"
Thai-lek Kauw-ong tercengang. Suara gadis yang dikempitnya itu tenang dan ketus, sedikit pun tidak membayangkan rasa takut. Di samping ketabahan ini, juga menurut perhitungannya, gadis yang sudah ia lumpuhkan syarafnya ini belum tiba saatnya dapat bicara lagi.
Kemu-dian, rasa kagetnya bertambah ketika secara tiba-tiba tubuh yang ramping itu meronta dan tangan kanan Kwi Lan me-nyambar dahsyat ke arah lambungnya. Thai-lek Kauw-ong adalah seorang ahli Thai-lek-kang, seorang yang memiliki tenaga hebat dan kuat sekali, maka ten-tu saja ia pun mengenal pukulan yang mengandung tenaga sin-kang amat ber-bahaya ini.
Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 204
Untuk menghindarkan diri dari ancaman maut, tiada lain jalan ba-ginya kecuali melepaskan kempitannya dan menggunakan pinggulnya yang digerakkan tiba-tiba untuk melemparkan gadis itu. Usahanya berhasil, Kwi Lan terlempar dan pukulan dahsyat ke arah lambung gagal, namun tamparan tangan kirinya pada pundak kakek itu sebelum tubuhnya terpental, tidak gagal sama sekali.
"Plakk!" Dan tubuh Thai-lek Kauw--ong terhuyung sedikit. Ia terheran dan kagum sekali, kini berdiri memandang Kwi Lan yang sudah berdiri dengan sikap gagah dan muka mengandung kemarahan. Tentu saja kakek kosen ini sama sekali tidak tahu akan latar belakang peristiwa ini. Kwi Lan adalah murid terkasih Kiam Sian Eng yang menurunkan ilmu aneh, ilmu-ilmu silat tinggi yang dipela-jari secara sesat, sehingga menghasilkan ilmu yang lain sekali daripada ilmu silat tinggi biasa, bahkan telah berubah sama sekali daripada aselinya.
Demikian pula dalam melatih lwee-kang dan memper-kuat sin-kang, Kwi Lan mempunyai cara berlatih yang amat aneh sehingga hasil-nya pun luar biasa dan kadang-kadang ia dapat melakukan hal dengan sin-kang yang takkan dapat dilakukan oleh ahli lwee-keh yang sudah lebih tinggi tingkat-nya! Inilah sebabnya mengapa dalam berusaha mengerahkan tenaga, dalam waktu singkat saja Kwi Lan sudah mam-pu membebaskan diri. Menurut perhitung-an Thai-lek Kauw-ong, totokannya itu akan melumpuhkan lawan selama dua belas jam. Akan tetapi, baru tiga empat jam ia lari turun gunung, gadis itu sudah mampu membebaskan diri, bahkan sekaligus menyerangnya dengan pukulan maut!
"Hemm, kau boleh juga, patut men-jadi. murid Thai-lek Kauw-ong!" Kakek gundul yang tidak pandai bicara itu ber-kata sambil mengangguk-angguk.
Kwi, Lan selain pemberani, juga amat cerdik. Ia kini tidak berani memandang rendah orang lain. Sudah terlalu banyak ia melihat orang-orang pandai yang ilmunya. luar biasa seperti Pak-kek Sin-ong, Lam-kek Sian-ong, Bu Kek Siansu, dan tadi pun ia melihat betapa lihainya Bu-tek Siu-lam. Kakek gundul tinggi besar ini tentu sahabat Bu-tek Siu-lam dan jelas memiliki ilmu kepandaian yang hebat. Buktinya, tanpa dapat ia cegah tadi telah menawahnya sedemikian mu-dahnya. Setelah kini mendengar bahwa kakek itu menawannya dengan niat mengambilnya sebagai murid, Kwi Lan men-jadi lega hati dan tersenyum mengejek.
"Kakek gundul, jangan kau mimpi pada siang hari! Kau ingin menjadi Guruku" Sungguh lamunan kosong! Sampai di ma-nakah tingginya ilmu kepandaianmu maka kau mempunyai keinginan seperti itu" Apakah kau mampu menandingi....Bu Kek Siansu?"
Thai-lek Kauw-ong membelalakkan ke-dua matanya dan mulutnya terbuka. Se-jenak ia tidak mengeluarkan suara. Sudah terlalu lama ia mendengar tentang nama besar Bu Kek Siansu yang disebut oleh segala macam golongan dengan sikap hormat dan kagum, bahkan dianggap sebagai dewa! Melihat betapa orang-orang pandai demikian menghormat, biar-pun ia sendiri belum pemah jumpa, sedikit banyak ia merasa segan juga. Akan tetapi kini mendengar ucapan gadis ini yang mengandung tantangan ia segera menjawab.
"Aku ingin mencoba kepandaiannya" Apakah dia Gurumu?"
"Bukan. Sayang aku bukan muridnya karena kalau aku muridnya, tentu sejak tadi kau sudah menggeletak tanpa nyawa lagi. Kau belum cukup pandai untuk menjadi Guruku kalau kau belum mampu menandingi Bu Kek Siansu!"
Panas hati kakek itu. Selama ini, sudah puluhan tahun ia tidak pernah menemui lawan yang sanggup mengalah-kannya. Selama puluhan tahun bertapa di pulau-pulau kosong di laut timur telah menghasilkan ilmu yang hebat-hebat pada dirinya. Di samping himpunan tenaga Thai-lek-kang yang dahsyat, juga ia telah menciptakan ilmu silat tangan kosong yang ia namakan Soan-hong-sin-ciang. Ilmu ini ia ciptakan dengan mengambil dasar gerakan pusaran angin diwaktu badai mengamuk di pulau-pulau kosong. Di samping Sian-hong-sin-ciang ini, juga senjatanya sepasang gembreng amat he-bat. Suaranya saja sudah dapat meroboh-kan seorang lawan tangguh. Tidak meng-herankan apabila kakek ini tidak pernah bertemu tanding dan Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 205
kemenangan-keme-nangan itu membuatnya haus, haus akan pertandingan-pertandingan baru dan ke menangan-kemenangan baru.
"Boleh coba! Hayo siapa yang dapat mengalahkan aku?" seru kakek itu sambil berdiri tegak, agak membungkuk seperti seekor monyet besar.
Kwi Lan tertawa lalu berkata, "Wah, lagaknya! Tentu saja, karena tahu di sini tidak ada siapa-siapa lalu mengeluarkan ucapan besar dan bersumbar! Sekarang begini saja, eh.... siapa namamu tadi?"
Thai-lek Kauw-ong menyipitkan mata-nya, memandang penuh perhatian. Masih terbayang ia akan Bu-tek Siu-lam yang mempermainkan Po Leng In tadi dan diam-diam ia membayangkan bahwa gadis di depannya ini jauh lebih cantik jauh lebih indah bentuk tubuhnya daripada Po Leng In! Thai-lek Kauw-ong bukan se-orang bermata keranjang, bahkan sudah puluhan tahun ia tidak pernah mau mendekati wanita. Namun, perbuatan, Bu-tek Siu-lam tadi membuat hatinya ber-gerak dan nafsu yang sudah lama tidur kini ikut bergerak hendak bangkit kem-bali.
"Orang menyebutku Thai-lek Kauw--ong," jawabnya singkat.
"Wah, cocok. Memang mukamu seperti raja monyet! Dan melihat nama julukan-mu, tentu engkau memiliki tenaga besar.
Nah, sekarang coba kauperlihatkan ke-pandaianmu agar dapat kubandingkan dengan ilmu-ilmu yang pernah kusaksikan dari Bu Kek Siansu."
Thai-lek Kauw-ong berpikir sejenak.
Ia harus mendemonstrasikan kepandaian, terutama tenaganya untuk menundukkan gadis yang berani ini. Ia melihat seba-tang pohon tak jauh dari tempat itu, maka ia mendapat pikiran baik.
Ia menu-dingkan telunjuknya ke arah pohon sam-bil berkata.
"Kaulihat, dari tempat ini aku sang-gup sekali pukul, membikin rontok semua daun dari atas pohon itu!"
Kwi Lan memandang dan ia terce-ngang. Betulkah itu" Seorang yang me-miliki sin-kang amat hebat sekalipun, sekali memukul dari jarak jauh pa-ling-paling hanya akan membikin rontok puluhan , helai daun. Pohon itu daunnya amat lebat, tidak hanya puluhan, bahkan ratusan dan ribuan helai daunnya! Mung-kinkah kakek ini akan mampu memukul rontok semua daun itu hanya dengan sekali pukul" ia tidak percaya dan meng-geleng kepala, tersenyum lebar dan ber-kata.
"Kakek sombong, bagaimana aku bisa percaya kalau tidak melihat buktinya sendiri" Akan tetapi kau harus merontok-kan semua daunnya, sehelai pun tak boleh ketinggalan."
"Hemm, kaulihat baik-baik!" Thai-lek Kauw-ong berseru, panas juga hatinya diejek dan digoda oleh nona yang pandai bicara itu.
Thai-lek Kauw-ong lalu menekuk ke-dua lututnya sampai hampir berjongkok, tubuhnya merendah dan ia mengumpulkan tenaga Thai-lek-kang, kedua tangannya, dengan jari-jari terbuka dan agak ditekuk ujung menempel di kedua pangkal paha matanya mencorong
memandang ke arah pohon itu, kemudian dari kerongkongan-nya keluar suara kasar dan parau seperti suara burung gagak dan kedua tangannya didorong ke depan, agak ke atas meng-arah pohon. Hebat bukan main akibatnya. Dari kedua. lengan tangan raksasa gundul ini
menyambar angin yang dahsyat ke arah pohon, membuat batang pohon se-perti didorong tenaga raksasa sehingga miring dan cabang-cabangnya bergoyang--goyang sehingga semua daunnya rontok dan melayang turun bagaikan hujan lebat! Itulah ilmu pukulan Thai-lek-kang yang luar biasa dahsyatnya dan sukar dilawan.
Kwi Lan terkejut sekali. Sekilas pan-dang saja ia dapat melihat bahwa kakek itu benar-benar telah berhasil merontok-kan semua daun pohon sekali pukul! Ketika ia melihat daun-daun rontok ber-hamburan sebagian melayang ke arah tubuhnya, gadis ini cepat mengerahkan tenaga menggerakkan kedua tangan cepat sekali, menyambar dan menangkap bebe-rapa helai daun lalu mengerahkan tenaga sin-kang menyambitkan daun-daun itu ke arah dahan pohon.
Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 206
Daun itu masih me-layang-layang akan tetapi melayang ke atas dan dengan tepat tangkai daun-daun itu menancap pada ranting pohon!
"Hi-hik, Thai-lek Kauw-ong, masi, ada beberapa helai daun yang tinggal, tidak rontok semua!" Kwi Lan mengejek, Gadis ini tidak peduli apakah kakek itu tahu akan perbuatannya atau tidak ka-rena ia memang hanya berniat meng-gangu sambil memperlihatkan pula kepandaiannya untuk membuktikan bahwa ia pun bukan tidak memiliki kepandaian.
Dan sebetulnyalah bahwa kakek itu telah melihat dan tahu apa yang dilakukan Kwi Lan.
Raksasa gundul yang sudah berdiri tegak kembali napasnya agak ter-engah karena tadi ia telah memperguna-kan tenaga besar sekali. Ia merasa yakin bahwa semua daun pohon akan rohtok dan tentu saja ia tadi melihat gerakan Kwi Lan. Alangkah heran hatinya karena ia segera mengenal gerakan ini yang tiada bedanya dengan gerakan Sian-twa-nio ketika menyambitkan daun-daun dari atas pohon!
"Eh, Nona.... apa hubunganmu dengan Sian-twanio....?"
Kini Kwi Lan yang menjadi terce-ngang. Ia cukup cerdik untuk menghu-bung-hubungkan sesuatu persoalan. Kakek gundul ini agaknya mengenal ilmunya menyambitkan daun sebagai senjata ra-hasia maka menyinggung nama Bibi Sian, gurunya.
"Bibi Sian adalah Guruku. Apakah kau kenal dengan Guruku?"
Kakek gundul itu mengangguk-angguk. Dia tidak banyak cerita, hanya mukanya yang
menjadi berseri gembira. "Hemm, dia itu adik termuda dari Bu-tek Ngo-sian. Aku yang paling tua. Kausebut aku Twa-supek (Uwa Guru Tertua)!"
Kwi Lan mengerutkan keningnya. "Ah, mana ada hubungan ini" Siapa dan apa-kah Bu-tek Ngo-sian itu" Guruku tidak pernah bercerita tentang itu kepadaku." bantahnya meragu.
Thai-lek Kauw-ong mengangguk. "Ten-tu saja. Baru pagi tadi terbentuk. Aku orang pertama.
Kedua adalah Pak-sin-ong. Ke tiga Siauw-bin Lo-mo. Ke empat Bu-tek Siu-lam. Ke lima Gurumu. Bu-tek Ngo-sian menggantikan kedudukan Thian-te Liok-kwi."
Kwi Lan tidak puas. Biarpun ia tahu bahwa gurunya orang yang amat aneh dan harus ia akui kadang-kadang tidak waras jalan pikirannya, akan tetapi ia pun tahu akan watak angkuh gurunya. Mana mungkin gurunya sudi bersekutu dengan orang-orang jahat macam ini"
Betapapun juga, hal itu merupakan perto-longan baginya, karena setelah kakek itu tahu bahwa dia murid Sian-twanio, tentu tidak akan diganggunya.
"Nah, biarlah kau kusebut Twa-supek, boleh saja. Setelah kau tahu bahwa aku murid Sian-twanio, tentu saja aku tidak dapat menjadi muridmu."
Sejenak kakek itu termenung. Memang ia tadi menawan gadis ini sama sekali bukan karena ingin mengambil murid, hanya terdorong oleh rangsangan hati yang timbul setelah melihat Bu-tek Siu--lam mempermainkan Po Leng In. Maka ia lalu menjawab.
"Bukan murid. Kita orang sendiri. Kautemani aku beberapa hari. Keponakan harus bersikap manis kepada Supeknya." Sambil berkata demikian, sepasang mata itu memandang Kwi Lan seolah-olah hendak menelan tubuh gadis itu bulat-bulat dengan pandang matanya. Kwi Lan bergidik. Sudah terlalu sering ia melihat pandang mata laki-laki seperti ini. Akan tetapl biasanya ia hanya memandang rendah, tidak mempedulikan, atau kalau hatinya terlalu jengkel, menghajar si pemandang. Kini melihat pandang mata Si Kakek Gundul yang
memiliki ilmu kepandaian amat tinggi itu, ia merasa ngeri, sungguhpun hal ini belum menim-bulkan rasa takut.
Pada saat itu terdengar derap kaki dua ekor kuda. Hal ini bagi Kwi Lan amat kebetulan karena seolah-olah mem-bebaskan dia pada saat yang tegang. Mereka berdua menengok dan
tampaklah dua orang penunggang kuda. Mereka itu adalah dua orang laki-laki tua yang berpakaian indah dan gagah, penuh hiasan yang berkilauan. Pakaian dua orang pang-lima Khitan. Kepala mereka memakai topi yang berhiaskan bulu burung yang amat indah, sikap mereka angker dan gagah. Melihat sikap mereka dan cara mereka duduk di atas kuda mudah diduga bahwa dua orang panglima asing ini ten-tu memiliki ilmu kepandaian tinggi, apa-lagi Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 207
gagang dan sarung senjata yang ter-gantung di pinggang mereka berhiaskan emas permata!
Kwi Lan sama sekali tidak tahu panglima-panglima dari mana mereka itu, akan tetapi ia dapat men-duga bahwa mereka adalah orang-orang berkepandaian. Oleh karena inilah, otak-nya yang cerdik segera bekerja dan ia berseru kepada Thai-lek Kauw-ong.
"Twa-supek! Kepandaianmu tadi sama sekali tidak mengesankan hatiku. Kalau engkau bisa mengalahkan dua orang pe-nunggang kuda itu, barulah aku mau mengaku bahwa kau
memang gagah per-kasa!"
Thai-lek Kauw-ong boleh jadi telah memperoleh tingkat ilmu silat yang amat tinggi, akan tetapi karena terlalu lama bertapa mengasingkan diri, agaknya jalan pikirannya menjadi amat sederhana dan tentu saja ia tidak dapat menandingi Kwi Lan dalam hal kecerdikan. Ia sama sekali tidak mengira bahwa gadis itu sengaja memanaskan hatinya untuk mengalihkan perhatian yang tercurah pada pandang matanya yang penuh nafsu berahi tadi, dan
menganggap gadis itu sebagai murid Sian-twanio besar-benar belum merasa yakin akan kelihaiannya. Oleh karena itu ia segera menjawab.
"Baik, kaulihatlah!"
Sambil berkata demikian, tubuhnya yang tinggi besar itu sudah berkelebat membuat loncatan tinggi melayang ke arah dua orang penunggang kuda yang sudah datang dekat. Sekali berjungkir balik di tengah udara, kakek itu sudah menyambar ke depan dan kedua tangan-nya mencengkeram ke arah pundak dua orang panglima itu sambil berseru keras.
"Turun kalian....!" Suaranya keras, sambarannya cepat.
Akan tetapi dua orang panglima itu biarpun merasa ngeri, ternyata benar-benar bukan orang sembarangan. Tampak bayangan tubuh mereka berkelebat dan cepat sekali mereka sudah bergerak de-ngan jalan melakukan gerakan meluncur turun dari atas kuda dengan loncatan miring. Terdengar suara keras dari pa-tahnya tulang-tulang punggung kedua ekor kuda itu disusul meringkiknya kuda dan robohnya tubuh dua ekor kuda besar yang kini berkelojotan di atas tanah dalam keadaan sekarat! Dapat dibayang-kan betapa hebatnya tenaga Thai-lek-kang di kedua tangan Thai-lek Kauw-ong yang sekali pukul dapat merobohkan dua ekor kuda besar dengan tulang-tulang punggung patah-patah
Dua orang Panglima Khitan yang bertubuh tinggi besar, hampir sama de-ngan bentuk Thai-lek Kauw-ong itu se-sungguhnya bukanlah orang-orang biasa. Mereka itu keduanya adalah dua orang panglima yang berkedudukan tinggi di kerajaan Khitan yang mukanya brewok dengan jenggot panjang adalah panglima barisan berkuda di Khitan dan sebagai tanda pangkatnya antara lain adalah lukisan kepala kuda di baju depan dada. Nama kakek ini adalah Hoan Ti-ciangkun. Adapun orang ke dua yang bermuka bengis adalah Loan Ti-ciangkun, panglima barisan penjaga benteng, seperti dapat dikenal pada lukisan pilar benteng di de-pan dadanya. Hoan Ti-ciangkun dan Loan Ti-ciangkun inilah adanya dua orang pang-lima yang belum lama ini telah menyam-paikan surat dari Ratu Yalina di Khitan untuk Suling Emas.
Selain ilmu kepan-daian kedua orang panglima ini lihai, juga mereka berdua merupakan utusan-utusan ratu setiap kali pemerintah Khi-tan mengadakan hubungan dengan raja-raja di selatan. Oleh karena itu, kedua-nya amat mahir berbahasa selatan untuk memudahkan perkenalan, mereka pun me-makai nama Hoan Ti-ciangkun dan Loan Ti-ciangkun. Mereka merupakan pang-lima-panglima Kerajaan Khitan yang setia karena semenjak muda mereka sudah menjadi perajurit yang kemudian makin menanjak kedudukan mereka ber-kat ilmu kepandaian mereka yang tinggi.
Tanpa sebab sama sekali kini mereka dalam perjalanan pulang ke Khitan telah diserang Thai-lek Kauw-ong sehingga kuda mereka berkelojotan hampir tewas. Tentu saja mereka menjadi marah sekali di samping rasa heran dan kaget. Namun sebagai orang-orang berpengalaman, me-reka maklum akan keanehan tokoh-tokoh kang-ouw di dunia selatan ini, maka mereka menindih perasaan amarah. Hoan Ti-ciangkun yang jenggotnya panjang dan halus, menoleh Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 208
ke arah dua ekor kuda yang berkelojotan, mengelus jenggotnya dan menarik napas panjang.
"Kasihan, kalian menderita tanpa dosa." Setelah berkata demikian, Hoan Ti-ciangkun melangkah maju setindak dan tangan kanannya memukul ke arah dua ekor kuda dua kali berturut-turut. Pukulan jarak jauh yang cukup dahsyat, karena seketika dua ekor kuda itu berhenti ber-kelojotan karena pukulan yang tepat mengarah kepala itu membuat dua ekor blnatang ini tewas seketika! Kemudian Hoan Ti-clangkun bersama kawannya mengangkat kedua tangan dirangkapkan ke dada memberi hormat.
"Maaf, kami berdua Hoan Ti dan Loan Ti dari Khitan merasa belum per-nah kenal dengan Lo-suhu, juga tidak merasa melakukan sesuatu kesalahan, apa sebabnya Lo-suhu menyerang kami" Sia-pakah Lo-suhu?"
Ucapan ini benar-benar merupakan sikap yang amat merendahkan diri, sikap yang amat terpuji dari dua orang pang-lima itu sehingga tidak mengherankan apabila Ratu Khitan mengagkat mereka sebagai utusan-utusan negara. Memang pada masa itu, Kerajaan Khitan di bawah pimpinan Ratu Yalina selalu berusaha untuk menjauhi permusuhan dengan rak-yat selatan. Sikap ini ditambah kekuatan Khitan agaknya membuat Kerajaan Sung tidak berdaya dan selama itu belum juga mau menaklukkan Khitan, padahal kera-jaan-kerajasn lain telah ditaklukkannya.
Siapa kita, ucapan yang halus dan merendah itu malah membuat Thai-lek Kauw-ong marah-marah. Hal ini karena dua orang panglima itu salah duga dan menyebutnya Lo-suhu, sebutan bagi se-orang hwesio. Agaknya karena ia berke-pala dundul maka orang Khitan itu
me-nyangkanya hwesio, tidak tahu bahwa gundulnya adalah gundul aseli, bukan karena dicukur, melainkan gundul sebagai akibat dari latihan Thai-lek-kang!
"Aku Thai-lek Kauw-ong bukan pandeta. Aku orang pertama Bu-tek Ngo-sian. Tidak ada permusuhan. Hanya kalian harus mengakui keunggulanku. Lihat seranganku!" Setelah berkata demikian, kakek gundul itu sudah menerjang maju kalang-kabut, menggunakan kedua
lengannya yang besar dan kuat.
Dua orang panglima Khitan itu men-dongkol bukan main. Tiada hujan tiada angin kakek gundul yang bukan hwesio ini telah membunuh kuda mereka, dan menyerang mereka secara membabi buta hanya karena ingin diakui keunggulannya! Kalau saja permintaan itu dilakukan secara baik-baik, mereka berdua yang men-taati pesan ratu mereka tentu akan suka mengakui keunggulan Si Gundul gila ini. Akan tetapi karena mereka diserang, maka keduanya cepat mengelak dan bah-kan kini balas menyerang.
"Ji-wi Ciangkun, kakek gundul itu sombong sekali. Harap Ji-wi suka kalah-kan dia!" Tiba-tiba Kwi Lan berteriak dan kini kedua orang panglima itu dapat menduga sebabnya mengapa Si Gundul ini bertindak secara edan-edanan. Kiranya karena gadis cantik itu. Tentu saja Si Gundul ini hendak memamerkan kepandaian kepada Si Gadis Cantik! Keparat, sudah tua bangka, mukanya seperti mo-nyet, masih hendak berlagak di depan seorang gadis remaja!
Pikiran ini mem-buat kedua orang panglima Khitan ini makin marah dan mereka lalu berdecak dan menyerang sungguh-sungguh.
Dua orang panglima itu adalah orang-orang gagah. Hal ini dapat dilihat dari cara mereka melakukan penyerang-an. Biarpun mereka berdua adalah ahli-ahli bermain senjata tajam, namun me-lihat bahwa lawan mereka tidak meme-gang senjata, mereka juga tidak men-cabut senjata, melainkan maju menerjang dengan kepalan. Melihat gerakan mereka, jelas bahwa biarpun mereka berdua ada-lah panglima-panglima Khitan, namun me-reka memiliki ilmu silat selatan yang amat kuat. Terutama mereka amat kuat dalam daya tahan, juga memiliki tenaga dalam yang tak boleh dipandang ringan.
Thai-lek Kauw-ong memang sudah menyangka bahwa dua orang ini bukan orang
sembarangan, akan tetapi tidak mengira bahwa mereka memiliki lwee-kang demikian
kuatnya, maka karena ia merasa khawatir kalau-kalau tidak dapat merobohkan kedua orang lawannya secara cepat sehingga akan diremehkan Kwi Lan, kakek ini segera mengeluarkan Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 209
se-ruan keras sekali dan tubuhnya lalu ber-gerak berpusingan dengan kedua lengan dikembangkan. Hebat bukan main akibat-nya gerakan ini karena dari kedua lengan itu timbul angin menyambar-nyambar ke kanan kiri dengan luar biasa, kemudian makin lama tubuh kakek itu makin cepat berputaran, angin pun makin hebat pula berpusingan. Inilah ilmunya yang amat ia andalkan, yaitu Soan-hong-sin-ciang! Ja-rang sekali Thai-lek Kauw-ong menge-luarkan ilmunya yang ampuh ini, seka-rang karena dalam hatinya timbul do-rongan nafsu dan ingin sekali ia mem-buat Kwi Lan kagum akan kepandaiannya, ia hendak
merobohkan kedua lawannya itu dalam waktu sesingkat-singkat-nya!
Dua orang panglima itu terkejut bu-kan main. Tak pernah mereka menyangka bahwa kakek gundul itu sedemikian lihai. Betapa pun dia mempertahankan diri, kedua kaki mereka mulai menggigil dan perlahan-lahan tubuh mereka mulai men-doyong dan akhirnya, makin cepat Thai-lek Kauw-ong berputar, makin hebat tenaga angin berpusing yang menyedot, mereka tak dapat mempertahankan diri lagi dan terhuyung-huyung ikut dengan pusaran angin yang amat kuat itu. Ter-lambat mereka sadar akan bahayanya ilmu kakek gundul itu dan selagi mereka ber-dua mengerahkan tenaga mempertahankan diri, topi terhias bulu yang berada di atas kepala mereka telah terlepas dan terlempar entah ke mana, dibawa angin yang timbul dari ilmu pukulan Soan-hong-sin-ciang yang hebat itu. Hoan Ti-ciang-kun dan Loan Ti-ciangkun, berusaha men-cabut senjata mereka, namun terlambat, karena pada saat itu, sambil memutar-mutar tubuhnya, kedua lengan Thai-lek Kauw-ong menyambar, dua tamparan me-ngenai pundak Hoan Ti-ciangkun dan dada Loan Ti-ciangkun. Dua orang pang-lima itu mengeluh dan terlempar ke be-lakang, masih berputar karena kini mereka terbawa angin, kemudian roboh ter-guling-guling! Pada saat itu terdengar suara melengking merdu sekali dan jelas bahwa itu adalah suara suling yang ditiup dengan indahnya. Namun, ketika dua orang panglima itu roboh pingsan, suara suling yang masih merdu itu kini mengandung nada kemarahan dan mengandung pula penga-ruh yang membuat jantung Kwi Lan ber-detak keras.
Seketika tubuhnya menjadi lemas dan lesu, seperti orang kehilangan tenaga. Terkejut sekali gadis ini. Sebagai murid Kam Sian Eng, tentu saja ia mak-lum bahwa suara melengking yang meru-pakan nyanyian suling ini mengandung khi-kang yang amat kuat. Gurunya malah pernah mengajarkan kepadanya tentang ilmu menyerang lawan menggunakan sua-ra ini, akan tetapi selama hidupnya be-lum pernah ia menyaksikan pengaruh yang begini hebat sehingga secara lang-sung merampas tenaganya! Gurunya sen-diri tidak akan mampu mengeluarkan suara sekuat ini pengaruhnya. Karena maklum bahwa hal ini amat berbahaya baginya, Kwi Lan cepat menjatuhkan diri, duduk bersila dan mengerahkan se-luruh tenaganya untuk melindungi jan-tungnya.
Juga Thai-lek Kauw-ong menjadi ter-kejut sekali ketika tiba-tiba mendengar suara melengking tinggi sehingga tubuh-nya yang masih berpusing itu menjadi terhuyung. Terpaksa ia mengurungkan niat hatinya untuk mengirim pukulan susulan untuk membunuh dua orang panglima Khitan itu, dan menghentikan gerakannya sambil mengerahkan tenaga sin-kang untuk melawan suara itu. Tiba-tiba suara melengking itu berhenti dan tahu-tahu di situ telah berdiri seorang laki-laki tinggi besar yang bagian bawah mukanya tertutup sehelai saputangan. Di tangan kiri laki-laki ini tampak sebatang suling dan kepalanya terlindung sebuah topi lebar pinggirannya yang sudah butut. Thai-lek Kauw-ong memandang penuh perhatian dan matanya bersinar-sinar girang. Inilah seorang lawan yang tang-guh, pikirnya. Ia boleh mengharapkan perlawanan gigih, pertandingan yang seru, tidak seperti dua orang Panglima Khitan yang tiada guna itu.
"Eh, permainanmu boleh juga. Kau siapakah?"
"Thai-lek Kauw-ong sejak engkau turun ke dunia ramai, engkau telah mengangkat nama besar dengan perbuat-an-perbuatan keji dan ganas. Kini secara kebetulan kita bertemu di sini dan kembali engkau telah berlaku sewenang-we-nang mengandalkan kepandaianmu. Andai-kata aku tidak mengambil pusing sulingku ini saja tentu takkan membiarkan engkau melakukan Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 210
segala macam keganasan se-kehendak hatimu sendiri!" Sambil berkata demlkian, orang itu menggerakkan suling-nya di depan dada dan tampak sinar kuning emas berkelebatan
menyilaukan mata. "Ahhh.... engkau.... Suling Emas?" Thai--lek Kauw-ong kaget ketika melihat suling yang berubah menjadi sinar kuning emas itu.
Sebelum Suling Emas menjawab, Kwi Lan sudah berkata cepat, "Thai-lek Kauw-ong, engkau mengalahkan dua panglima itu masih tidak aneh. Kalau kau bisa mengalahkan Suling Emas, barulah kau boleh menyebut orang pertama dari Bu-tek Ngo-sian.
Suling Emas mengerutkan keningnya. Bocah itu benar-benar bersikap berandal-an dan nakal.
Ia tahu bahwa gadis ini mulutnya amat berbahaya dan sekarang pun dia sedang berusaha mengadu kakek gundul ini dengannya. Benar-benar gadis yang binal dan nakal, dan
teringatlah ia kepada Lin Lin atau Ratu Yalina, dahulu di waktu mudanya juga seperti gadis ini. Ataukah seperti Kam Sian Eng" Kalau gadis ini murid Sian Eng, agaknya puteri adik tirinya itu. Ia tahu bahwa Sian Eng telah menjadi korban cinta kasihnya ke-pada Suma Boan, putera pangeran yang jahat itu dan setelah Suma Boan tewas di tangan Sian Eng dan Lin Lin, Sian Eng lalu lari, ingatannya seperti berubah gila dan secara aneh dan mendadak telah memiliki ilmu kepandaian yang dahsyat! Puteri Sian Engkah gadis cantik yang liar dan nakal ini"
"Hemm, kebetulan sekali. Pak-sian-ong mengatakan kau lihai, ingin aku mencobanya. Suling Emas, kausambutlah seranganku ini!" Setelah berkata demikian, tiba-tiba tubuh kakek gundul itu kembali berputar-putar amat cepatnya, seperti ketika ia menyerang dua orang Panglima Khitan tadi. Makin lama makin cepat gerakannya dan mulai terdengar angin berdesing menyambar keluar dari kedua lengan tangannya yang dipentang lebar. Karena dapat menduga bahwa lawannya ini lihai sekali maka begitu menyerang, Thai-lek Kauw-ong sudah
mengeluarkan ilmu simpanannya, yaitu Soan-hong-sin-ciang!
"Aahhh, sayang sekali ilmu yang be-gini hebat menjadi milik seorang yang gila nama dan kemenangan." kata Suling Emas sambil menarik napas panjang. Menghadapi angin yang mulai berpusingan itu Suling Emas bersikap tenang sekali, menyelipkan sulingnya di pinggang kemudian berdiri tegak menghadapi lawan yang kini sudah berpusingan amat cepat-nya itu. Makin cepat tubuh Thai-lek Kauw-ong berputar dan angin yang berpusing di sekeliling tubuhnya amat kuat. Dengan angin kedua lengannya ini saja ia sudah berhasil membuat dua orang Pang-lima Khitan terhuyung-huyung. Kini me-lihat sikap Suling Emas yang berdiri te-nang dan biarpun pakaian pendekar sakti ini berkibar tertiup angin yang berpusing, namun tubuhnya tetap tegak, sedikit pun tidak bergeming. Thai-lek Kauw-ong lalu berseru keras dan tubuhnya yang ber-putar itu mulailah bergerak menyerang. Inilah ilmu Soan-hong Sin-ciang yang dimainkan dengan sepenuhnya. Tubuh itu berpusingan sukar dlikuti pandang mata saking cepatnya, bagaikan telah berubah menjadi asap bergumpal-gumpal dan dari asap berpusingan ini secara tak tersang-ka-sangka melayang, keluar dua buah lengan tangan yang melakukan pukulan-pukulan dahsyat.
"Hebat....!" Suling Emas memuji. Ia kagum sekali. Kecuali Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong yang tiba-tiba muncul kembali dan yang ia ketahui memang memiliki ilmu
kepandaian luar biasa, sejak mati atau mundurnya Thian-te Liok-kwi, belum pernah ia bertemu tanding yang memiliki ilmu kepandaian seperti ini. Harus ia akui bahwa ilmu silat yang dimainkan kakek gundul ini lain daripada ilmu silat tinggi lainnya. Baru angin yang berpusing itu saja sudah mempunyai daya tarik sukar ditahan, seakan-akan angin taufan mengamuk, atau pusaran angin yang menghanyutkan. Kalau saja ia tidak memiliki sin-kang yang sudah sempurna sehingga tubuhnya terseret dan kuda-kuda goyah, berarti ia sudah setengah kalah dan tentu takkan dapat menghindarkan diri dari serangan kedua tangan yang seakan-akan dua ekor naga menyambar keluar dari awan tebal itu.
Memang lihai sekali Thai-kek Kauw--ong dan ia patut menjadi seorang pertama dari Bu-tek Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 211
Ngo-sian. Ilmu silatnya. Soan-hong Sin-hoat jarang bertemu tanding. Akan tetapi sekali ini ia bertemu dengan ,Suling Emas, seorang pendekar sakti yang sudah matang ilmunya. Tadi pun ketika Thai-lek Kauw-ong meroboh-kan dua orang Panglima Khitan dan mengirim
pukulan maut hanya dengan suara sulingnya saja Suling Emas sudah mampu "menangkis"
atau mengurungkan niat keji kakek gundul ini. Tiupan suling tadi pun bukan sembarang tiupan, melainkan semacam ilmu yang sangat tinggi, yang diperoleh Suling Emas yaitu yang disebut Kim-kong Sin-kiam.
Kini menghadapi Soan-hong Sin-ciang yang dimainkan dengan sungguh-sungguh serta
disertai tenaga dalam, amat kuat itu, Suling Emas menghadapinya dengan tenang. Ia maklum akan lihainya kakek ini dan ia juga merasa sayang. Biarpun belum jelas mengenal kakek ini orang macam apa, akan tetapi sepanjang pen-dengarannya, kakek ini semenjak muncul dari pulau di lautan timur, selalu men-cari perkara dan suka sekali berkelahi, namun tidak ia dengar kakek ini mempu-nyai anak buah penjahat. Maka ia pun tidak ingin membunuhnya, merasa sayang melihat Ilmu kepandaian yang amat tinggi itu. Dengan tenang namun waspada, Suling Emas lalu menggerakkan kedua tangannya. Jari-jarinya terbuka dan te-lunjuk kedua tangannya membuat gerakan mencorat-coret di udara kosong. Hanya tampaknya saja
mencoret-coret menulis huruf dengan telunuk di udara, namun sesungguhnya inilah ilmu sakti Hong-in Bun-hoat dimainkan oleh seorang ahli yang sudah matang!
Thai-lek Kauw-ong terkejut setengah mati. Kedua tangan lawannya hanya mencorat-coret, namun semua pukulannya terpental membalik, dan dua buah telun-juk itu sedemikian kuatnya sehingga me-nembus pusaran angin, langsung melaku-kan totokan-totokan pada jalan darah di seluruh tubuhnya. Karuan saja kakek gundul ini menjadi sibuk sekali, menang-kis dan mengelak. Biarpun ia menangkis dengan kedua tangannya dan mengelak cepat-cepat, agaknya kedua tangan dan elakannya masih belum cukup untuk melindungi tubuhnya karena yang menyerangnya bukan lagi dua buah telunjuk, melainkan puluhan buah telunjuk! Demi-kian cepatnya gerakan Suling Emas. Se-lain terkejut, juga kakek gundul ini kagum sekali. Timbul kegembiraan hati-nya karena baru kali ini ia bertemu tanding yang hebat. Ia segera menghenti-kan pusingan tubuhnya dan melayani gerakan Suling Emas dengan sama
cepat-nya. Setelah tubuhnya tidak berpusing lagi, ia tidaklah begitu terdesak karena kini ia dapat mencurahkan seluruh per-hatiannya ke satu jurusan saja, yaitu ke depan. Ia masih mengandalkan besarnya tenaga dan beberapa kali ia sengaja mengadu lengan sambil
mengerahkan tenaga. Namun ternyata bahwa lawannya itu sama sekali tidak takut beradu ta-ngan setiap kali kedua lengan mereka bertemu, Suling Emas terpental mundur dua langkah, akan tetapi biarpun tubuh Thai-lek Kauw-ong tidak terpental mun-dur ia merasa lengannya seperti lumpuh dan dadanya panas. Hal ini berarti bahwa Suling Emas kalah setingkat dalam hal tenaga keras, namun menangseusap dalam tenaga lemas. Dan kalau hal ini dilanjutkan, yang menderita rugi besar adalah Thai-lek Kauw-ong sendiri!
"Suling Emas, kau hebat!" Kakek gundul itu biarpun merasa penasaran, namun ia tidak marah melainkan kagum dan gembira. "Kausambutlah ini!" Sambil berkata demikian, tubuhnya yang sudah mencelat mundur itu kini berjongkok dan dari kerongkongannya keluar bunyi burung gagak, kemudian kedua tangannya yang terbuka jari-jari tangannya itu mendorong ke arah Suling Emas!
Suling Emas belum pernah mendengar akan ilmu kepandaian Thai-lek Kauw-ong maka tadi ia kagum dan mengira bahwa Soan-hong Sin-ciang itu adalah ilmu simpanan atau ilmu yang diandalkan kakek gundul itu. Ketika melihat kakek itu mencelat mundur dan berjongkok, ia sudah menduga bahwa kakek ini tentu mengeluarkan ilmu lain macam lagi, maka ia waspada dan memasang kuda--kuda. Ketika mendengar suara seperti burung gagak keluar dari kerangkongan kakek itu, ia terkejut bukan main. Ia pernah mendengar.... tentang ilmu yang amat dahsyat dan yang suaar dimiliki orang, kecuali oleh mereka yang sudah mencapai kesempurnaan dalam ilmu lwee-kang, yaitu Ilmu Hoa-mo-kang, semacam Ilmu yang dimiliki Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 212
seekor ka-tak. Dengan ilmu ini, katak yang demi-kian kecil dapat mempunyai tenaga yang dahsyat sekali. Ia pernah mendengar penuturan tentang Hoa-mo-kang dan Si pemilik ilmu Hoa-mo-kang kabarnya juga mengeluarkan suara dari kerongkongannya seperti suara katak.
Kini kakek gundul ini berjongkok mengerahkan tenaga dari tangan dan mengeluarkan suara dari kerongkongannya seperti suara gagak, ilmu apakah ini" Suling Emas yang cerdik itu segera teringat akan julukan kakek gun-dul itu. Tak salah lagi, tentulah ilmu pukulan yang menggunakan dasar tenaga tian-tan inilah yang membuat kakek itu dijuluki Thai-lek. Setelah dengan cepat dapat menduga akan dasar ilmu pukulan ini, timbul keinginan hati Suling Emas untuk mencoba pukulan lawan tangguh ini sampai di mana batas kekuatannya. Karena ia tidak mau sembrono dan membahayakan diri sendiri, maka ia hanya mempergunakan tenaga
sebanyak tiga perempat bagian saja sedangkan sisa tenaganya ia, persiapkan untuk dipakai meringankan tubuhnya dan meloncat menghindarkan diri.
Melihat Suling Emas berani menyam-but Thai-lek-kang dengan dorongan kedua tangan dari atas ke bawah kakek itu menjadi girang. Ia merasa yakin bahwa kali ini ia akan menang.
Boleh jadi ia tidak mampu menandingi ilmu silat Su-ling Emas yang demikian ajaib, akan tetapi dalam hal pertandingan mengadu tenaga, tak mungkin ia kalah kuat. Se-lama hidupnya, belum pernah ada orang yang sanggup mengalahkan Thai-lek-kang. Sekali ini pun ia harus dapat menangkan lawan tangguh ini dengan pukulan Thai-lek-kang, maka sambil
mendorongkan kedua lengannya, ia mengerahkan seluruh tenaganya. Hawa panas mengalir bagai-kan banjir keluar dari pusarnya mela-lui kedua lengan.
Bagi pandangan orang lain, pertemu-an dua tenaga sakti di udara itu tidak kelihatan dan seakan-akan tidak ada apa--apa. Namun bagi kedua orang sakti ini, seakan-aikan halilintar menyambar dan meledak di atas kepala mereka. Akibat-nya hebat sekali. Dua pasang tangan itu hanya saling menyentuh ketika keduanya mendorong ke depan, namun keduanya merasa seperti diseruduk gajah. Tubuh Suling Emas terdorong dari bawah dan karena pendekar ini memang sudah was-pada, ia segera menggunakan sisa tenaga-nya untuk meringankan tubuh sehingga ia berhasil "mematahkan" tenaga dorongan dari kedua tangan lawan dengan cara membiarkan tubuhnya terlempar ke atas sampai hampir empat meter tingginya! Tidak demikian dengan Thai-lek Kauw-ong. Karena raksasa gundul ini menggu-nakan seluruh tenaganya dan ia berdiri kokoh kuat di atas tanah, biarpun ia menang posisi dan dibantu oleh kerasnya tanah, akan tetapi ia seperti tergencet dan begitu dua tenaga sakti itu bertemu, kedua kakinya amblas ke dalam tanah sampai ke lutut! Selain ini, juga kakek gundul ini merasa napasnya sesak dan seakan-akan dadanya hendak meledak. Thai-lek Kauw-ong terkejut dan maklum-lah ia bahwa lawannya benar-benar amat lihai sehingga kalau ia terus mengguna-kan Thai-lek-kang untuk melawannya, akan terancam bahaya dan bisa mende-rita luka parah di dalam tubuh. Se-bagai seorang ahli ia tidak bodoh dan tidak mau mengulangi penggunaan ilmu pukulan Thai-lek-kang yang biasanya amat dia andalkan itu. Sekali ia menge-luarkan seruan keras, tubuhnya sudah meloncat ke atas, kedua kakinya yang amblas ke tanah sudah tercabut keluar dan di kedua tangannya tampak senjata-nya yang ampuh, yaitu sepasang gem-breng.
"Aha, kiranya kepandaianmu hanya sebegitu, saja, Thai-lek Kauw-ong" Belum lecet kulitmu belum patah tulangmu, kau sudah mengeluarkan senjata. Heh, kalau hanya sebegitu
kepandaianmu, mana boleh engkau mengangkat dirimu sebagai orang pertama Bu-tek Ngosian" Melawan Guruku saja ,kau belum tentu menang!"
Panas rasa perut Thai-lek Kau-ong mendengar ejekan Kwi Lan ini. Suling Emas juga mengerutkan kening. Benar-benar seorang gadis yang bermulut tajam dan berbahaya. Bocah seperti itu patut ia telungkupkan di atas pangkuannya dan dipukuli punggungnya sampai minta-minta ampun dan bertobat! Ia tahu bahwa ka-kek gundul ini merupakan lawan yang tangguh dan sudah merupakan ahli ting-kat atasan yang sukar dicari tandingnya.
"Suling Emas, coba kausambut sen-jataku ini!" Thai-lek Kauw-ong yang kini menjadi Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 213
penasaran dan marah oleh ejekan Kwi Lan, bergerak maju, sepasang gem-brengnya
mengeluarkan bunyi nyaring sekali ketika ia adu-adukan. Tubuh Suling Emas berkelebat dan di depan tubuhnya tampak bergulung sinar kuning emas, yaitu sinar senjata sulingnya yang sudah ia cabut dan gerakkan untuk menangkis datangnya senjata lawan yang hebat.
"Trangg.... trangggg....!" Mata Kwi Lan menjadi silau karena bunga api yang berpijar keluar amat terang, kemudian disambung oleh suara beradunya sepasang gembreng yang membuat jantungnya ter-getar. Gadis ini menjadi kagum dan kaget, apalagi ketika dari suling yang digerakkan tangan Suling Emas itu keluar pula lengkingan tinggi nyaring yang me-nandingi bunyl nyaring sepasang gem-breng. Riuh-rendah suara suling dan gembreng ini dan Kwi Lan segera men-jatuhkan diri duduk bersila. Ia menyatu-kan semangat dan mengatur pernapasan sambil memandang penuh perhatian. Dua orang itu tampak bergerak makin lama makin cepat.
sehingga sukar dibedakan lagi mana Suling Emas mana Thai-lek Kauw-ong.
Adapun suara gembreng dan suling amat aneh. Makin lama makin terasa oleh Kwi Lan betapa dua macam alat tetabuhan yang kini digunakan sebagai senjata itu mulai membentuk irama ter-tentu seakan-akan dua orang itu tidak sedang bertanding, melainkan sedang mainkan lagu bersama!
Akan tetapi, makin merdu suara suling dan makin nyaring suara gembreng, makin hebat pula pengaruhnya sehingga akhirnya Kwi Lan tidak dapat menahan lagi untuk memandang
pertempuran itu. Ia makin mengerahkan tenaganya dan membatasi diri hanya menggunakan telinganya saja untuk mendengarkan suara suling dan gembreng. Kini diam-diam ia mengakui kehebatan ilmu kepandaian Thai-lek Kauw-ong dan ia merasa sangsi apakah gurunya akan dapat menandingi kakek gundul yang perkasa itu. Makin besar pula kagumnya terhadap Suling Emas yang agaknya malah jauh lebih sakti daripada Thai-lek Kauw-ong. Biar-pun tingkat kedua orang ini lebih tinggi daripadanya, namun pertandingan tangan kosong disusul pertandingan adu tenaga dalam tadi dapat ia ikuti dengan seksama dan ia tahu bahwa dalam dua pertan-dingan terdahulu itu Suling Emas berada di pihak unggul.
Makin lama suara suling dan gem-breng saling serang dengan irama yang cocok, jalin-menjalin, seling-menyeling, kadang-kadang malah ganas dan marah saling menghimpit, akan tetapi adakala-nya merdu merayu seperti sepasang orang muda bercumbu rayu. Akan tetapi kurang lebih seperempat jam kemudian suara suling makin nyaring melengking, sebaliknya suara gembreng makin kacau balau dan menyeleweng daripada irama bahkan terdengar parau tidak keras lagi. Mendengar ini. Kwi Lan maklum bahwa kembali Suling Emas unggul, maka ia mengangkat muka memandang. Betul saja dugaannya, permainan Thai-lek Kauw--ong mulai kacau-balau, sepasang gem-brengnya yang berubah menjadi dua gu-lungan sinar kebiruan menjadi makin ciut dan kecil, sebaliknya sinar, kuning emas menjadi makin besar dan panjang, bergulung-gulung menekan dan menghimpit dua gulungan sinar kebiruan.
Namun gerakan mereka masih sama cepatnya sehingga tubuh mereka tertutup oleh gulungan sinar senjata.
"Cukuplah!" Tiba-tiba terdengar suara Suling Emas yang meloncat ke belakang sambil menarik kembali sulingnya yang sudah menekan dan membuat lawan ham-pir tak dapat menangkis lagi. Ia berdiri dengan sepasang mata bersinar dan mulut di balik saputangan ia berkata, "Thai-lek Kauw-ong, ilmu kepandaianmu hebat sekali. Kau akan dapat membuat banyak jasa terhadap kemanusiaan dengan ilmu kepandaianmu."
Thai-lek Kauw-ong juga menghentikan gerakannya. Matanya terbelalak lebar, mulutnya agak ternganga dan napasnya terengah-engah, mukanya agak pucat penuh peluh, juga pakaiannya basah se-mua, tangan kakinya nampak lemas tanda bahwa ia lelah bukan main. Setelah men-ngatur napas dan tidak begitu terengah-engah lagi ia berkata.
"Suling Emas memang lihai. Lain kali bertemu dan bertanding lagi!" Setelah berkata demikian, kakek itu mengebutkan lengan bajunya menyimpan gembrengnya lalu pergi dari situ dengan langkah lebar.
Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 214
"Heeei!, Kauw-ong, tentu lain kali kau mengajak teman-temanmu mengero-yok, ya?" Kwi Lan mengejek. Kakek gundul itu tidak menjawab, terus melang-kah pergi.
"Eh, Twa-supek! Apakah kau tidak ingin kusebut Twa-supek lagi" Tidak mau mengambil murid kepadaku" Heeei....!" Akan tetapi Thai-lek Kauw-ong berjalan terus, menengok satu kali pun tidak, sampai tubuhnya lenyap di sebuah ti-kungan jalan. Kwi Lan tertawa-tawa dengan nada mengejek, dan baru berhenti tertawa ketika bayangan kakek itu lenyap.
Suling Emas berdiri tegak, mengerut-kan keningnya memandang gadis itu. Melihat gadis itu mengejek dan tertawa-tawa bebas, ia menggeleng-geleng kepa-lanya. Gadis ini mirip Lin Lin di waktu muda, akan tetapi ada keanehan yang luar biasa, cara ketawanya yang bebas tanpa sungkan, akalnya mengadu domba, semua ini condong ke arat watak yang liar dan tidak baik.
"Nona, apakah dia itu Twa-supekmu (Uwa Gurumu)?" ia bertanya ketika gadis itu
menghentikan tawanya dan kini ber-diri di depannya, memandangnya penuh perhatian.
Kekaguman memancar daripa-da mata gadis itu dan entah. bagaimana, rasa hati Suling Emas berdebar dan ia agak gugup melihat pandang mata seperti itu!
"Dia" Twa-supekku" Ah, hanya me-nurut pengakuan dia saja. Dia bilang bahwa kini telah terbentuk Bu-tek Ngo-sian dan ia menjadi orang nomor satu sedangkan Guruku menjadi orang nomor lima, malah dia menyuruh aku menyebut-nya Twa-supekku. Mana aku percaya"
Guruku mana sudi bersekutu dengan dia?"
Suling Emas mengerutkan keningnya lebih ke bawah. "Bukankah Gurumu yang bernama
Kam Sian Eng?" Kini Kwi Lan yang menjadi heran sekali. Bagaimana Suling Emas tahu akan nama gurunya"
Ia sendiri baru satu kali mendengar gurunya menyebutkan nama-nya, yaitu ketika gurunya bicara dengan anggauta partai pengemis yang berani mendatangi tempat tinggal gurunya dan menerima hajaran. Ia mengangguk heran dan bertanya.
"Eh, bagaimana kau bisa tahu nama-nya?"
Kini Suling Emas tersenyum di balik saputangannya. Kalau sudah bertanya sambil
memandang seperti itu, benar-benar gadis ini tiada ubahnya dengan Lin Lin dahulu! "Tentu saja aku tahu karena sebenarnya aku adalah kakak Gurumu! Karena itu, akulah yang sebetulnya harus kaupanggil Twa-supek!"
Kwi Lan kembali melengak. Hal ini sama sekali tidak pernah disangka-sang-kanya. Gurunya adik Suling Emas" Akan tetapi mendengar bahwa Suling Emas pernah menjadi kekasih Ratu Khitan, ke-kasih ibu kandungnya! Mengapa begini kebetulan"
"Harap.... harap kau suka membuka saputangan itu!"
"He" Apa.... mengapa?"
"Kalau memang betul kata-katamu tadi, aku ingin menyaksikan wajah Twa-supekku, bukan hanya orang berkedok saputangan."
Suling Emas tersenyum geli, kemudian perlahan ia merenggut saputangan yang menutupi bagian bawah mukanya.
"Bukankah kau pernah melihat wajah-ku di Kang-hu?"
"Benar, akan tetapi hanya sebentar saja." jawab Kwi Lan sambil menatap wajah yang tampan dan penuh garis-garis pengalaman pahit itu. "Hemmm, aku tidak suka mempunyai Twa-supek yang kurang ajar!" Kata-kata terakhir ini ke-luar dari mulutnya seperti makian, penuh kemarahan dan penyesalan. Pada saat itu, Kwi Lan tidak hanya mendongkol teringat akan sikap Suling Emas yang dianggapnya kurang ajar ketika menyuruh ia membuka baju, juga bahkan terutama sekali karena ia mendengar bahwa tokoh ini adalah kekasih ibu kandungnya!
Kalau memang kekasihnya, mengapa Suling Emas meninggalkan Ratu Khitan"
Suling Emas terkejut, akan tetapi segera tersenyum, "Hemmm, kau masih salah sangka agaknya. Engkau mengang-gap, aku kurang ajar karena di Kang-hu tempo hari aku menyuruh engkau membuka bajumu" Ah, anak nakal ja-ngankan kini mengetahui bahwa engkau murid Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 215
Sian Eng dan masih murid kepo-nakanku sendiri. Andaikata tidak tahu sekalipun, aku bukanlah seorang laki-laki tua yang suka berlaku kurang ajar kepada seorang gadis remaja.
Memang kusuruh engkau membuka baju, akan tetapi kata-kataku belum selesai engkau sudah terburu-buru lari dan marah. Tentu saja maksudku agar engkau membuka baju memeriksa dadamu sendiri apakah tidak mengalami luka seperti yang dide-rita Yu Siang Ki sebagai akibat pukulan lihai dari Pak-kek Sian-ong." ,
Merah wajah Mutiara Hitam. Memang setelah ia lari dengan marah-marah, di tengah jalan ia mengenang kembali peris-tiwa itu dan ia pun mengerti apa yang dimaksudkan oleh pendekar ini. Akan tetapi dasar wataknya yang keras, ia tidak mau mengakui begitu saja tentang kekeliruan dugaannya.
"Huh, kakek gila tua bangka itu mana mampu begitu mudah melukai aku" Yu Siang Ki bodoh dan kurang waspada maka dapat terluka. Aku tidak luka apa-apa!"
Suling Emas mula-mula heran dan kagum mendengar ini, kemudian ia meng-angguk-angguk.
"Agaknya engkau telah mewarisi ilmu kepandaian Sian Eng yang amat aneh maka engkau dapat ter-hindar dari pukulan jarak jauh Pak-kek Sian-ong. Gurumu telah mewariskan ilmu kepandaian yang hebat, akan tetapi sa-yang kurang memperhatikan pelajaran sopan santun sehingga terhadap uwa guru sendiri engkau berlaku kurang hormat." Biarpun mulut Suling Emas masih ter-senyum namun sepasang matanya meman-dang penuh teguran.
Sepasang mata yang bening tajam tiba-tiba memandangnya dengan penuh selidik, kemudian terdengar gadis itu bertanya, suaranya lantang dan agak menggetar perasaan.
"Suling Emas.... ada hubungan apakah antara engkau dan.... Ratu Khitan....?"
Seketika wajah yang tenang dan sudah agak pucat itu menjadi makin pucat, sepasang mata pendekar itu menyipit dan keningnya berkerut, kening tebal yang hampir bersambung setelah dikerutkan seperti itu. Pertanyaan yang tak disang-ka-sangkanya sama sekali ini datangnya terlalu tiba-tiba, lebih-mengagetkan dari-pada tusukan sebuah pedang yang tajam.
"Apa...." Apa.... maksudmu....?" Ia tergagap sambil menatap wajah gadis itu yang kini membayangkan kekerasan dan kesungguhan.
"Adakah Ratu Khitan itu dahulu per-nah menjadi kekasihmu?" Kwi Lan me-nyerangnya dengan langsung dan tajam.
Kalamenjing di leher Suling Emas ber-gerak-gerak naik turun ketika ia menelan ludah seperti menelan kembali jantungnya yang meloncat naik ke tenggorokannya. Tak kuasa ia menjawab dan tanpa ia sadari, ia mengangguk sungguhpun hatinya mulai dikuasai kemarahan
mendengar akan pertanyaan-pertanyaan yang lancang kurang ajar ini.
Alangkah kaget dan herannya ketika ia melihat gadis ini membanting-banting kaki seperti orang marah sekali dan sua-ra gadis itu bercampur isak. "Kalau kau sudah merayunya sehingga dia menjadi kekasihmu, kenapa sekarang kau berada di sini dan meninggalkan dia?"
Ucapan ini disertai pandang mata yang tajam menusuk melebihi sepasang pedang pusa-ka sehingga Suling Emas melangkah mun-dur setindak. Akan tetapi pendekar besar ini sudah dapat menguasai kekagetan hatinya dan kini kemarahan membuat wajahnya yang pucat menjadi agak merah kembali, sepasang matanya memancarkan sinar berpengaruh, kedua tangannya di-kepalkan. Gadis ini terlalu lancang, ter-lalu kurang ajar. Biarpun gadis ini murid Sian Eng, atau anak Sian Eng sekalipun, terutama sekali kalau anak Sian Eng, bocah ini tidak berhak bersikap seperti itu dan mengorek-ngorek urusan pribadinya secara demikian kurang ajar!
"Bocah kurang ajar tak tahu kesopan-an!" bentaknya marah, melangkah maju setindak, telunjuknya ditudingkan ke arah muka Kwi Lan yang memandang dengan tajam penuh
tantangan. "Lancang benar mulutmu. Apa pedulimu dengan semua urusanku dan urusan Ratu Khitan" Ada sangkut-paut apakah dengan dirimu?"
Suling Emas yakin akan kewibawaan suara dan pandang matanya, apalagi pada saat itu setelah kemarahannya bangkit dan semua tenaga sin-kang terkumpul di dadanya. Lawan yang Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 216
tangguh sekalipun akan tergetar. Gadis ini sama sekali tidak keder atau takut, malah kalau tadi ia melangkah maju setindak, gadis itu kini melangkah maju dua tindak dan kalau ia menudingkan telunjuk ke arah muka gadis itu, kini gadis itu menuding-kan telunjuknya ke hidung sendiri sambll menjawab ketus.
"Huh, mau tahu" Dia adalah Ibu kan-dungku!" Setelah berkata demikian, sambil mendengus seperti sapi betina marah, Kwi Lan membalikkan tubuhnya dan me-loncat pergi dari tempat itu.
Jawaban ini seperti halilintar me-nyambar di atas kepala. Begitu hebat keheranan dan kekagetan hati Suling Emas sehingga ia berdiri terlongong de-ngan muka pucat, memandang ke arah lenyapnya bayangan gadis itu. Setelah bayangan Kwi Lan lenyap, barulah Suling Emas dapat menguasai hatinya dan ia berseru. "Heii, tunggu jangan lari...."
Akan tetapi baru saja ia menggerak-kan kaki hendak lari mengejar, ia men-dengar suara dua orang Panglima Khitan yang tadi pingsan oleh pukulan Thai-lek Kauw-ong dan yang kini sudah siuman kembali, "Tai-hiap....!"
Suling Emas menahan kakinya dan menengok. Benar juga, pikirnya. Mereka ini adalah Panglima-panglima Khitan, utusan Lin Lin, dari mereka ini pun aku akan dapat mendengar keterangan ten-tang Lin Lin dan.... gadis yang mengaku anaknya itu. Maka ia urungkan niatnya mengejar Kwi Lan karena dari sikap gadis itu ia pun merasa sangsi apakah jika dapat menyusulnya ia akan dapat memaksa gadis itu memberi penjelasan. Hatinya tenang kembali dan karena kini tidak ingin menyembunyikan diri lagi terhadap mereka, ia membuka saputangan yang menutupi mukanya dan menghadapi mereka. Begitu melihat wajah di balik saputangan, dua orang Panglima Khitan itu menjadi girang. Dahulu pernah mereka melihat Suling Emas menjadi tamu ratu mereka di Khitan dan kini mereka mengenal muka ini. Serta-merta mereka menjatuhkan diri berlutut.
"Terima kasih kami haturkan atas pertolongan Taihiap, terutama sekali karena hal ini membuktikan bahwa Tai-hiap masih belum melupakan sahabat-sahabat dari Khitan." kata Hoan Ti--ciangkun yang berjenggot panjang.
Suling Emas cepat-cepat mengangkat bangun kedua panglima tua itu. "Ji-wi Ciangkun harap bangun, aku ingin mem-bicarakan hal penting."
Setelah mereka bangkit kemudian bersama mencari tempat duduk di tempat yang teduh, mulailah Suling Emas menceritakan maksud hatinya.
"Pertama-tama kuharap Ji-wi berjanji bahwa Ji-wi tidak akan membuka raha-siaku kepada siapapun juga. Hanya kepa-da Ji-wi saja aku suka memperlihatkan muka karena aku ingin minta pertolongan Ji-wi. Maukah Ji-wi berjanji takkan membuka rahasiaku sebagai Suling Emas?"
Dua orang panglima itu saling pan-dang, kemudian mengangguk. "Kami ber-janji." kata mereka berbareng.
"Juga takkan membuka rahasia kepada ratu kalian?"
Mereka bersangsi sejenak. Kesetiaan mereka terhadap ratu mereka mutlak, akan tetapi, mengingat bahwa mereka tadi tertolong nyawa mereka oleh Suling Emas dan permintaan itu pun tidak me-langgar sesuatu, mereka kembali menya-takan setuju.
Lega hati Suling Emas. Ia ingat kem-bali siapa dua orang ini dan ia merasa yakin bahwa dua orang ini takkan mung-kin mau melanggar janji. Demikianlah sikap seorang gagah dari Khitan, jujur dan setia. "Sekarang aku ingat kepada Ji-wi. Bukankah Ji-wi ini Loan Ti Ciang-kun dan Hoan Ti Ciangkun, pembantu-pembantu utama Panglima Kayabu?"
Kembali dua orang panglima itu mengangguk. Mereka pun tahu bahwa di antara ratu mereka, Panglima Besar Ka-yabu, dan Suling Emas terdapat hubungan yang amat erat, bahkan mereka pun tahu bahwa Suling Emas ini adalah kakak angkat ratu mereka. Karena itu, kedu-dukan Suling Emas di mata mereka se-perti seorang Pangeran Khitan yang ha-rus mereka hormati.
Hanya saja, mereka tidak menyebut pangeran karena maklum bahwa pendekar besar ini tentu Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 217
tidak suka disebut demikian.
"Ji-wi Ciangkun." katanya, "Semenjak meninggalkan Khitan, aku tidak tahu sama sekali akan keadaan di istana. Su-kakah kalian memberi penjelasan kepada-ku tentang keadaan ratu kalian" Tentu kalian tahu bahwa ratumu adalah adik angkatku. Bagaimanakah keadaannya"
Apakah ratumu itu sudah mempunyai putera?"
Dua pasang mata itu berseri gembira. "Ah, sayang bahwa Tai-hiap tidak pernah datang berkunjung ke Khitan. Ratu kami kini, mempunyai seorang putera yang gagah perkasa dan tampan yaitu, Pangeran Talibu yang kami hormati dan cinta."
Rasa panas menjalar ke dalam dada Suling Emas, jantungnya seperti terbakar, kepalanya pening, pandang matanya ber-kunang. Berbagai macam dugaan dan per-tanyaan muncul dalam hatinya. Mengapa Lin Lin menikah" Kapan dan dengan siapa" Rasa cemburu dan iri menyesak di dalam dadanya dan menurutkan perasaan ini, ingin ia sekali bergerak


Mutiara Hitam Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

merobohkan dua orang utusan Lin Lin ini, kemudian pergi ke Khitan untuk memaki-maki be-kas kekasihnya yang selalu tak pernah ia lupakan dan yang mengakibatkan ia hidup menderita, merana dan berpenyakitan. Kalau perlu membunuh suami Lin Lin!
Akan tetapi seperti biasa, kesadaran lebih kuat dalam batin pendekar besar ini. Sebentar saja ia sudah menguasai kembali hatinya, mengusir iri dan cem-buru dan karena perang yang semacam ini terlalu sering terjadi di hatinya yang selalu dirundung kedukaan dan rindu den-dam, biarpun Suling Emas berhasil me-nguasai hatinya, namun ia tidak dapat mencegah rangsangan batuk yang tiba-tiba datang. Ia terbatuk-batuk dan meng-gunakan saputangan menutupi mulutnya. Setelah reda, ia menarik napas panjang dan menatap wajah dua orang Panglima Khitan itu yang tadi memandangnya de-ngan terheran. Siapa takkan menjadi heran melihat seorang pendekar sakti seperti Suling Emas terserang batuk-ba-tuk sedemikian parah seperti keadaan seorang yang lemah saja"
"Ji-wi Ciangkun (Saudara Panglima Berdua), maafkan aku. Beritamu ini be-nar-benar mengagetkan hatiku. Ah, beta-pa sudah amat lamanya aku tidak pernah mendengar tentang ratu kalian, adik angkatku itu sehingga aku tidak tahu siapa yang telah menjadi adik iparku.
Apakah dia seorang Pangeran Khitan yang gagah perkasa."
Kini tiba giliran dua orang Panglima Khitan itu yang kaget dan melongo, sa-ling pandang kemudian kembali meman-dang Suling Emas. "Apa yang Taihiap maksudkan?" kata Hoan Ti Ciangkun. "Ratu kami tak pernah.... tak pernah me-nikah!" Dalam kata-katanya, panglima ini jelas marah mendengar ratunya dikata-kan menikah karena hal ini dianggapnya suatu penghinaan. Akan tetapi Loan Ti Ciangkun sudah dapat lebih dulu menger-ti mengapa Suling Emas menduga demi-kian, maka ia juga cepat menyambung.
"Ah, kami yang keliru, Taihiap. Harap Taihiap maklum bahwa ratu kami tidak menikah dan adapun putera beliau itu adalah putera angkat. Sesung-guhnya, Pangeran Talibu itu dahulu ada-lah putera dari Panglima Kayabu yang dalam usia lima tahun diangkat anak se-cara resmi oleh ratu kami."
Keterangan ini membuat hati Suling Emas terasa lapang, seakan-akan sebong-kah batu besar yang tadi menindih jan-tungnya kini terangkat. Demikian lega dan senang hatinya sehingga tanpa ia sadari sendiri ia tertawa bergelak, "Ha-ha-ha-ha....!" Dan dua titik air mata me-loncat ke atas pipinya.
Dua orang Panglima Khitan itu saling pandang, terheran-heran. Akan tetapi karena mereka tahu bahwa banyak orang sakti berwatak dan bersikap aneh-aneh, maka mereka tidak berkata sesuatu.
"Ji-wi Ciangkun, aku girang bahwa adik angkatku itu kini mempunyai se-orang putera yang bernama Pangeran Talibu. Dan.... siapakah namanya puteri-nya?"
Kini dua orang panglima itu benar-benar heran. "Puterinya" Puteri siapakah, Tai-hiap" Ratu kami tidak mempunyai seorang anak lain kecuali Pangeran Tali-bu!"
Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 218
"Hee...." Ada seorang gadis bernama Mutiara Hitam.... dan.... ah, sudahlah. Kalian tidak mengenal Mutiara Hitam?"
Dua orang panglima itu menggeleng kepala dan muai meragukan kewarasan otak pendekar besar ini. Suling Emas termenung, mengerutkan keningnya. Ada banyak rahasia aneh meliputi diri Lin Lin, pikirnya. Kalau Lin Lin tidak me-nikah lagi, itu tidak aneh karena ia juga selalu percaya akan kesetiaan dan kecin-taan hati ratu itu kepadanya. Kemudian, tentang pengangkatan seorang anak, anak Panglima Kayabu yang perkasa, sebagai pangeran, juga hal yang tidak menghe-rankan. Akan tetapi gadis itu, Mutiara Hitam yang mempunyai
kepandaian seperti Sian Eng, yang mengaku murid Sian Eng, yang berwajah dan berwatak seperti Lin Lin di waktu muda, mengapa menga-ku sebagai anak Lin Lin" Kemudian surat Lin Lin kepadanya. Bagaimana pula bunyi kalimat itu" TERLALU LAMA MENYIM-PAN
RAHASIA BESAR. Rahasia apa gerangan yang dimaksudkan Lin Lin" Sampai lama Suling Emas termenung, menimbang-nimbang, mencari-cari namun tetap saja ia tidak dapat
menduga rahasia apa gerang-an yang disembunyikan kekasihnya dan mengapa pula sekarang setelah berpisah dua puluh tahun, Lin Lin minta agar ia suka datang berkunjung ke Khitan.
Kalau tidak ada urusan penting sekali, mengapa harus saling jumpa kembali" Untuk me-robek kembali luka yang sudah hampir kering" Betapapun besar keinginan hati-nya untuk bertemu dengan orang yang dicintanya, ia tetap hendak menjaga nama baik kekasihnya itu, menjaga nama baik seorang ratu yang dijunjung tinggi rakyatnya.
"Ji-wi Ciangkun, masih ingatkah janji-janji Ji-wi tadi kepadaku?"
Dua orang panglima itu mengangguk.
"Baiklah kalau begitu, aku akan me-menuhi surat undangan ratu kalian yang Ji-wi serahkan kepadaku. Aku akan ber-kunjung ke Khitan, akan tetapi tidak secara berterang dan selain Ji-wi, tidak boleh ada orang lain mengenalku. Maukah Ji-wi membantuku?"
Dua orang panglima itu kelihatan ragu-ragu, "Tentu saja kami suka mem-bantu Tai-hiap."
jawab Hoan Ti Ciang-kun, "akan tetapi...., bagaimana cara-nya?"
"Aku ingin sekali mengunjungi adik angkatku, akan tetapi aku tidak meng-hendaki sebagai Suling Emas. Jalan satu--satunya hanya menyamar. Kalian cerita-kan kepada ratu kalian tentang penyerangan Thai-lek kauw-ong dan bahwa aku telah membantu kalian. Aku akan menyamar sebagai seorang kakek berjuluk San-siang Lojin (Kakek Pegunungan). Maukah kalian membantuku?"
Dua orang panglima itu mengangguk-angguk tanda setuju.
"Dan untuk menghilangkan kecurigaan, harap Loan Ti Ciangkun mengangkat aku sebagai pembantu, menjadi seorang per-wira penjaga benteng."
Loan Ti Ciangkun mengangguk-angguk sungguhpun di dalam hatinya ia merasa heran.
Memang aneh-aneh sikap orang-orang sakti di selatan ini, pikirnya. Hen-dak mengunjungi adik angkat saja me-ngapa mesti menyamar seperti ini" Na-mun karena ia tahu bahwa ratunya sudah lama mencari kakak angkatnya ini dan yakin bahwa Suling Emas bukan musuh yang patut dicurigai, maka ia tidak membantah dan menganggap hal ini se-bagai lelucon.
Setelah berunding, kedua orang pang-lima itu mencarikan alat-alat yang di-butuhkan untuk penyamaran Suling Emas dan ketika mereka bertiga berangkat ke Khitan, Suling Emas sudah berubah men-jadi seorang kakek berjenggot panjang, seorang kakek yang berusia enam puluh tahun lebih.
*** Kita tinggalkan dulu Suling Emas yang ikut bersama Loan Ti Ciangkun dan Hoan Ti
Ciangkun menuju ke Khitan dengan hati berdebar tegang karena akan berjumpa dengan wanita yang dicinta dan selama dua puluh tahun tak pernah ia jumpai namun tak pernah pula ia lupa itu. Dan mari kita mengikuti perjalanan dua orang pemuda perkasa yang melaku-kan pengejaran terhadap Thai-lek Kauw-ong yang membawa lari Kwi Lan.
Seperti telah dituturkan di bagian depan. Tang Hauw Lam terkejut ketika ia tidak melihat Kwi Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 219
Lan dan Thai-lek Kauw-ong di situ, lalu berseru dan meng-ajak Kiang-kongcu atau nama lengkapnya Kiang Liong pemuda perkasa murid Su-ling Emas itu untuk melakukan
pengejaran. Kiang Liong tidak mengenal siapa gerangan gadis remaja yang cantik jelita tadi, akan tetapi ia pun merasa khawatir mendengar gadis itu diculik Thai-lek Kauw-ong yang diperkenalkan Bu-tek Siu-lam sebagai tokoh pertama Bu-tek Ngo-sian. Maka ia pun tidak mempedulikan lagi tokoh banci itu dan ikut bersama Hauw Lam melakukan pengejaran setelah ia mengambil alat musik yang-kim yang tadi ia gantungkan pada sebatang pohon.
Kiranya Kiang Liong ini pun suka akan seni musik, hanya bedanya kalau gurunya suka meniup suling, dia lebih suka ber-main yang-kim. Yang-kim itu buatannya sendiri, berbentuk seekor binatang yang menyeramkan dan jangan dikira bahwa yang-kim ini hanya untuk menciptakan suara merdu karena pemuda itu dapat mempergunakan sebagai sebuah senjata yang amat ampuh.
Biarpun Kiang Liong seorang putera pangeran yang mempunyai kedudukan cukup tinggi di kota raja Sung, akan tetapi perjalanannya kali ini bukan me-rupakan perjalanan seorang pemuda bang-sawan pergi melancong, akan tetapi lebih merupakan perjalanan seorang pendekar muda yang mendukung sebuah tugas yang berat. Kiang Liong bertugas melakukan penyelidikan ke perbatasan barat, dari-mana muncul ancaman baru bagi kese-lamatan Kerajaan Sung.
Keadaan pemerintah Kerajaan Sung ternyata mengalami kemunduran besar. Pada permulaan Kerajaan Sung didirikan oleh Cau Kwang Yin, seorang panglima besar yang pandai akan siasat perang, Kerajaan Sung memang kelihatan kuat, bala tentaranya kuat sehingga berhasil menundukkan dan menaklukkan banyak kerajaan-kerajaan kecil. Hanya dua buah kerajaan yang tidak ditaklukkan, yaitu Kerajaan Nan-cao di Yu-nan dan Keraja-an Khitan di timur laut dan utara. Se-lama Kerajaan Sung dipimpin oleh kaisar pertama dan ke dua, kerajaan ini masih memperlihatkan kemajuan. Akan tetapi keadaannya makin lama makin mundur dan mulai masa pemerintahan kaisar ke dua yaitu Kaisar Sung Thai Cung menje-lang hari tuanya.
Kerajaan Sung sudah kurang memperhatikan tentang kekuatan tentaranya. Perhatian lebih dikerahkan dan ditujukan kepada urusan dalam, kepada kebudayaan dan kesenian, lebih cenderung memperindah kerajaan dan tenggelam dalam kesenangan.
Sikap atau politik inilah yang menye-babkan Kerajaan Sung menjadi semakin lemah, bahkan sedemikian lemahnya se-hingga tidak lagi kerajaan ini memper-gunakan senjata untuk menjaga kesela-matan negara, melainkan menggunakan emas dan perak untuk "menyogok"
dan menawan hati calon musuh sehingga si musuh tidak tega atau segan untuk me-nyerang Kerajaan Sung. Maka timbullah kebiasaan mengirim upeti kepada keraja-an-kerajaan lain, terutama Kerajaan Khi-tan.
Pada waktu cerita ini terjadi, Keraja-an Sung dipimpin oleh kaisar yang ke tiga, yaitu Kaisar Chen Cung (998-1022). Dia adalah keponakan dari kaisar perta-ma dan terkenal sebagai seorang yang anti kekerasan, anti perang dan berusaha mempengaruhi dan merobah atau mem-belokkan Agama Buddha dan Tao demi keuntungan pribadinya. Ia menyatakan bahwa dia seketurunannya adalah orang--orang pilihan Tuhan yang bertugas seba-gai wakil Tuhan menjadi kaisar di bumi! Ia lebih tenggelam kepada perkembangan kebudayaan dan sama sekali tidak becus mengatur pemerintahan, apalagi menyu-sun kekuatan untuk melindungi negara daripada ancaman dan bahaya dari luar. Bahkan dinyatakan oleh Kaisar Chen Cung bahwa kerajaannya tidak membu-tuhkan kekuatan militer, akan tetapi membutuhkan kekuatan gaib yang timbul dari kemajuan batin, terutama berkat wibawa Sang Kaisar!
Kaisar ke tiga dari Kerajaan Sung ini sama sekali buta terhadap ancaman-an-caman yang selalu mengelilingi kerajaan-nya, tidak melihat betapa banyak ke-kuatan-kekuatan yang mengilar meng-inginkan kerajaannya. Karena itu ia pun tidak melihat atau tidak acuh terhadap munculnya bangsa Hsi-hsia di perbatasan barat. Bangsa Hsi-hsia ini adalah bang-sa perantauan seperti keadaan bangsa Khitan, yang muncul dari barat. Sebagai bangsa perantau Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 220
mereka ini ulet dan tahan uji. Mereka melihat akan kelemah-an Kerajaan Sung, melihat pula akan politik Kaisar Sung yang selalu mengalah serta murah hati, oleh karena itu mereka mulai dengan petualangannya ke pedalaman. Di antara para pimpinan bangsa Hsi-shia ini terdapa banyak orang pan-dai dan sakti dari barat dan mereka ini sudah mulai memperlihatkan kepandaian-nya untuk mencari pengaruh dan kekua-saan di antara penduduk pedalaman di sekitar tapal batas sebelah barat.
Hanya karena desakan dan peringatan para panglima dan menteri yang setia kepada kerajaan dan yang masih ingat akan kewaspadaan saja maka akhirnya Kaisar Chen Cung menaruh perhatian dan akhirnya diperintahkan kepada Kiang Liong untuk melakukan penyelidikan.
Inilah sebabnya maka Kiang Liong me-lakukan perjalanan, keluar kota raja dan secara kebetulan pemuda ini bertemu dengan Tang Hauw Lam dan Kwi Lan yang hampir celaka dalam tangan Bu-tek Siu-lam.
Kini Kiang Liong dan Hauw Lam me-lakukan pengejaran terhadap Thai-lek Kauw-ong yang membawa lari Kwi Lan. Akan tetapi sampai jauh mereka menge-jar, belum juga mereka dapat menyusul Thai-lek Kauw-ong. Sudah terlalu lama kakek gundul itu pergi sehingga mereka terlambat dan tidak tahu betul arah mana yang diambil kakek itu. Kiang Liong yang tadi terpaksa menahan kece-patan geraknya untuk mengimbangi kece-patan Hauw Lam, menarik napas panjang dan berkata.
"Sobat, tiada gunanya mengejar lagi kalau kita belum tahu betul ke mana iblis itu pergi. Lebih baik kita berpencar saja. Aku sedang melakukan perjalanan ke barat, biarlah aku mengejar ke barat dan kau boleh melanjutkan pengejaranmu ke mana kausuka. Kalau aku bertemu dengan iblis itu, jangan khawatir, tentu aku akan turun tangan membantu.... eh, siapa nama Nona tadi?"
"Mutiara Hitam."
"Mutiara Hitam...., tentu dia bukan sembarang orang dan biarpun dia sudah tertawan, kurasa tidak akan mudah bagi kakek iblis itu untuk mencelakainya."
"Kau betul, Kiang-kongcu. Dengan berpencar kita akan lebih berhasil. Te-rima kasih atas bantuanmu dan sampai jumpa!" kata Hauw Lam yang juga tidak mau membuang waktu lagi karena ia amat mengkhawatirkan nasib gadis lincah yang telah menjatuhkan hatinya itu.
"Agar Kongcu tidak lupa, namaku adalah Tang Hauw Lam, akan tetapi Mutiara Hitam
menyebutku Si Berandal!"
Setelah menjura, Hauw Lam lalu me-lompat dan melanjutkan pengejaran ke utara. Kiang Liong berdiri dan terse-nyum, menggeleng-geleng kepalanya dan berkata lirih kepada diri sendiri. "Bocah itu mabok asmara, tak salah lagi. Mu-dah-mudahan tidak akan gagal, dia anak baik...." Sambil bicara seorang diri pe-muda yang tenang ini lalu melanjutkan perjalanannya ke barat sambil memasang mata penuh perhatian ke sekelilingnya kalau-kalau kakek gundul yang melarikan Mutiara Hitam itu lewat di situ dan meninggalkan jejak.
Sambil melanjutkan perjalanan untuk melakukan penyelidikan, Kiang Liong mengingat-ingat akan segala keterangan yang diperolehnya tentang bangsa Hsi-hsia ini. Menurut keterangan yang ia kumpulkan, bangsa yang menjadi ancaman baru ini dipimpin oleh pendeta-pendeta Tibet yang mendirikan Kerajaan Tangut. Pendeta-pendeta berjubah merah dari Tibet ini memang banyak yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Adapun bangsa Hsi-hsia yang mereka pimpin merupakah bangsa berdarah campuran.
Setelah melanjutkan perjalanannya selama beberapa hari, Kiang Liong tidak menemukan jejak Mutiara Hitam dan penculiknya, juga tidak melihat adanya gerakan-gerakan bangsa Hsi-hsia. Akan tetapi ia memperoleh keterangan bahwa beberapa bulan yang lalu barisan besar bangsa Hsi-hsia berbondong-bondong me-nuju ke selatan. Tak seorang pun di antara penduduk dusun yang ia tanya dapat menjelaskan apa yang hendak di-lakukan barisan itu dan ke mana pergi-nya. Hanya yang jelas tampak bekas amukan mereka pada setiap dusun yang mereka lalui. Tidak ada harta benda dan wanita muda yang mereka lepaskan be-gitu saja.
Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 221
Tidak ada dusun yang mereka lalui tanpa mengalami korban yang amat banyak, pembunuhan sewenang-wenang, perampokan, perkosaan dan penculikkan.
Kiang Liong menghela napas panjang menyaksikan ini semua. Selama ia meng-ikuti jejak barisan bangsa Hsi-hsia, entah sudah berapa puluh kali ia berhenti untuk mengubur jenazah-jenazah wanita muda yang menggeletak begitu saja di pinggir jalan, ditinggalkan oleh bangsa Hsi-hsia. Melihat wanita-wanita muda tewas tanpa pakaian itu, ada di antaranya yang sudah menjadi korban binatang buas sehingga mayatnya tidak utuh lagi, Kiang Liong teringat akan bunyi sajak tentang bunga--bunga yang dicampakkan begitu saja ke dalam lumpur setelah habis diisap madu-nya dan dinikmati harumnya. Karena banyaknya mayat-mayat itu dan karena terlalu sering berhenti di dusun-dusun yang menjadi korban keganasan bangsa Hsi-hsia untuk menolong mereka yang terluka, perjalanan Kiang Liong amat lambat. Dan memang bukan kehendaknya untuk mengejar barisan yang menurut taksiran penduduk berjumlah puluhan ribu orang itu. Ia hanya ingin menyelidiki apa yang hendak mereka lakukan dan sampai berapa jauhnya gerakan mereka mengan-cam Kerajaan Sung.
Ia dapat mengumpulkan makin banyak keterangan dari para penduduk dusun--dusun yang dilalui. Menurut berita itu, barisan ini dipimpin oleh perwira-per-wira yang perkasa dan para perwira ini dikepalai oleh serombongan pendeta ber-jubah merah. Di tengah-tengah para pen-deta berjubah merah ini terdapat sebuah tandu yang tertutup sutera-sutera merah. Di dalamnya tentu ada orang karena menurut para penduduk, ada suara orang yang halus dan rendah keluar dari tandu, dalam bahasa asing, dan adakalanya gadis tercantik yang terampas dimasukkan ke dalam tandu secara paksa. Namun ti-dak ada seorang pun pernah melihat siapa gerangan orangnya yang berada di dalam tandu dan seperti apa macamnya. Yang jelas bagi Kiang Liong kini adalah bahwa semua pendeta jubah merah me-nyembah-nyembah penghuni tandu seperti menyembah dewa, sedangkan para per-wira tunduk dan taat kepada perintah para pendeta, sebaliknya para anggauta barisan juga taat kepada pimpinan para perwira.
Pendeknya, barisan ini merupa-kan barisan yang amat kuat.
Makin jauh ke selatan ia mengikuti jejak barisan itu, makin heran dan akhirnya khawatir hati Kiang Liong. Kini ia telah memasuki wilayah Kerajaan Nan-cao! Mau apa barisan orang-orang Hsi-hsia ke Nan-cao" Kerajaan Nan-cao ada-lah kerajaan ke dua yang bersahabat dengan Kerajaan Sung, setelah Kerajaan Khitan. Dan dia sendiri bersahabat de-ngan kaum Beng-kauw yang berkuasa di Nan-cao. Sudah dua kali ia mewakili gurunya, Suling Emas, berkunjung ke Nan-cao untuk menghadiri perayaan Beng-kauw. Karena ia sudah hampir se-bulan ketinggalan oleh barisan Hsi-hsia, kini Kiang Liong mempercepat perjalanan-nya.
Begitu memasuki dusun yang termasuk wilayah Kerajaan Nan-cao, mulailah ia mendengar berita tentang perang yang mencemaskan hal itu. Perang penyerbuan barisan Hsi-hsia ke kota raja Nan-cao dan betapa bala tentara Nan-cao me-nyambut musuh di luar kota raja dan di mana terjadi perang sampai hampir se-bulan lamanya. Akan tetapi akhirnya barisan Hsi-hsia dapat dipukul mundur, demikian menurut berita yang didengarnya.
Pada hari itu ketika Kiang Liong menuruni lereng pegunungan kecil, me-masuki daerah yang tandus berbatu, tiba-tiba ia mendengar suara ramai-ramai di sebelah depan. Ia merasa curiga.
Daerah tandus ini tidak ditinggali manusia, tanah-nya terlalu tandus dan dari puncak pe-gunungan tadi ia tidak melihat adanya dusun. Akan tetapi suara di depan itu menandakan banyak orang berada disana, diseling suara tertawa-tawa dan suara wanita marah-marah. Ia mempercepat jalannya dan setelah membelok di sebuah tikungan yang tertutup batu besar, ia melihat sedikitnya ada dua puluh orang laki-laki yang buas dan asing mengurung dua orang wanita muda yang cantik je-lita dan bersikap gagah. Begitu melihat dua orang gadis itu, Kiang Liong menjadi kaget dan menurutkan kata hatinya, ingin ia sekali bergerak
melemparkan dua puluh orang laki-laki kasar itu. Akan tetapi ia bukan seorang yang sembrono dan ia cukup tahu bahwa dua orang gadis itu bukanlah gadis-gadis lemah, maka ia menyelinap dan mengintai untuk melihat dan mendengar sebelum menentukan apa-kah ia Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 222
perlu turun tangan menolong.
Dua orang gadis itu cantik sekali, kecantikan daerah selatan yang panas. Se-orang di antara mereka, yang wajahnya lembut dan agak lebih tua, berusia ku-rang lebih dua puluh tahun, pakaiannya berwarna kuning dan rambutnya yang hitam digelung ke atas. Gadis ke dua paling banyak delapan belas tahun, pa-kaiannya serba merah, gagang pedang tersembul di belakang punggungnya, mem-buat ia tampak gagah sekali. Wajahnya lebih manis dan galak! Dan gadis yang lebih muda inilah yang kini membentak dan memaki.
"Anjing-anjing Hsi-hsia, kalian sudah terusir keluar dari negeri kami, masih berani berkeliaran di sini. Hemm, sung-guh kebetulan,sekali, sebelum membasmi seribu ekor anjing Hsi-hsia, takkan puas hatiku!"
"Betul, Adikku. Kita harus bunuh an-jing-anjing ini agar tidak penasaran ar-wah orang tua kita." kata gadis yang berpakaian kuning. Mereka berdua meng-gerakkan tangan dan sudah mencabut pedang masing-masing.
"Huah-ha-ha-ha, bidadari-bidadari cantik manis, kenapa galak amat" Mari bersenang dengan kami, jago-jago dari Hsi-hsia!" Seorang di antara dua puluh laki-laki kasar itu, yang berambut merah, berkata sambil menyeringai lebar. Teman-temannya tertawa bergelak dan mereka mengurung dua orang gadis itu dengan sikap menjemukan, seperti segerombolan harimau mengurung dua ekor kelinci yang hendak dipermainkan lebih dulu sebelum dijadikan mangsa.
Tiba-tiba tampak dua gulungan sinar putih yang menyilaukan mata. Terdengar jerit-jerit kesakitan disusul robohnya dua orang Hsi-hsia, seorang diantaranya ada-lah Si Rambut Merah. Ternyata dua orang gadis itu sudah mulai turun ta-ngan, gerakan pedang mereka amat cepat sehingga dalam. sekejap mata saja dua orang laki-laki kasar yang nampak kuat itu sudah roboh binasa. Hal ini sama sekali tidak tersangka-sangka oleh ge-rombolan orang Hsi-hsia itu sehingga mereka menjadi kaget sekali dan kalau tadinya mereka bergembira hendak
meng-ganggu dan berkurang ajar, kini mereka menjadi marah. Tampak kilatan senjata ketika mereka semua mencabut golok melengkung lebar dari pinggang.
Kiang Liong yang menonton dari tem-pat pengintaiannya tidak bergerak, ia maklum bahwa menghadapi pengeroyokan orang-orang kasar itu, dua orang gadis ini tentu tidak akan kalah dan tidak membutuhkan bantuannya. Ia tersenyum dan memandang kagum. Lima enam
ta-hun yang lalu ketika ia berkunjung ke Nan-cao, dua orang gadis itu masih amat muda, masih remaja. Kini mereka telah menjadi dewasa yang selain cantik manis, juga memiliki ilmu silat yang cukup mengagumkan, tidak mengecewakan kalau mereka menjadi cucu Ketua Beng-kauw. Ia masih ingat betapa enam tahun yang lalu, dua orang gadis yang dulu masih cilik, tanpa malu-malu menemuinya dan mendengar pujian ayah mereka tentang diri Kiang Liong, mereka tanpa sungkan-sungkan minta petunjuk-petunjuk ilmu silat.
Dua orang gadis itu adalah puteri-puteri dari adik tiri gurunya yang bernama Kam Bu Sin, mantu Ketua Beng-kauw. Yang tua bernama Kam Siang Kui sedangkan adiknya, dua tahun lebih mu-da, bernama Kam Siang Hui. Kiang Liong masih ingat betul betapa sejak enam tahun yang lalu, Siang Hui lebih berani dan lebih galak. Kini ia dapat mengenal dua orang gadis itu. Tentu nona baju merah itulah Kam Siang Hui, sedangkan yang berpakaian kuning dan bersikap lebih tenang adalah Kam Siang Kui.
Akan tetapi, ketika tadi ia mendengar ucapan dua orang gadis itu, hati Kiang Liong berdebar gelisah. Ia cerdik dan sekali mendengar kata-kata kedua orang kakak beradik itu, ia sudah dapat men-duganya. Tentu dua orang gadis itu ke-hilangan orang tua mereka dalam perang melawan bangsa Hsi-hsia yang menyerbu Nan-cao. Dan ia menjadi heran dan juga gelisah.
Paman gurunya, Kam Bu Sin, memiliki kepandaian tinggi, juga ibu kedua orang gadis itu, yang bernama Liu Hwee, adalah puteri tunggal Ketua Beng-kauw dan memiliki ilmu
kepandaian yang lebih tinggi lagi. Kalau mereka berdua sampai gugur di medan perang, berarti bahwa fihak musuh memiliki orang-orang yang sakti.
Betapapun cemas dan gelisah hati Kiang Liong namun ia tidak mau keluar untuk membantu Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 223
Siang Kui dan Siang Hui. Sebagai seorang pendekar ia tentu saja mengerti bahwa membantu orang-orang gagah yang sama sekali tidak perlu dibantu mendatangkan kesan yang tidak baik dan dapat menyinggung perasaan. Maka ia hanya menonton, walaupun siap untuk turun tangan kalau-kalau dua orang gadis itu terancam bahaya.
Dua orang gadis itu mengamuk se-perti dua ekor naga. Gulungan sinar pe-dang mereka yang berwarna putih ber-kilauan seperti perak, menyambar-nyambar dan para pengeroyok yang hanya terdiri dari orang-orang kasar yang mengandal-kan tenaga itu mulai roboh seorang demi seorang. Dalam waktu singkat saja belas-an orang roboh mandi darah dan sisanya mulai gentar, bahkan ada yang sudah membalikkan tubuh hendak melarikan diri.
"Cici, jangan biarkan anjing-anjing itu lari!" seru Siang Hui sambil memutar pe-dang mendesak maju, merintangi mereka yang hendak lari. Siang Kui mengejar ke depan, kedua tangannya bergerak dan robohlah tiga orang lawan yang sudah lari itu, punggung mereka tertusuk sen-jata rahasia yang berbentuk anak panah. Sisa gerombolan yang hanya tinggal enam orang itu menjadi nekat. Sambil berte-riak-teriak liar mereka menyerbu mati--matian, namun kenekatan mereka tiada gunanya karena dengan mudah saja Siang Kui dan Siang Hui merobohkan mereka. Dua puluh satu orang menggeletak ma-lang-melintang di depan dua orang gadis itu yang seakan-akan telah menjadi gila saking marah dan sakit hatinya sehingga kini mereka membacok dan menusuki korban yang masih dapat bergerak-gerak dan
berkelojotan sampai semua lawan mereka rebah tak bernyawa lagi! Biarpun Kiang Liong maklum bahwa semua itu terdorong oleh rasa duka kehilangan ayah bunda, namun tetap saja ia menganggap-nya terlalu kejam dan tidak baik. Maka kini ia melompat keluar dan berseru,
"Adik-adik....! Cukuplah....!"
Siang Kui dan Siang Hui yang muka-nya masih kemerahan dan beringas, mem-balikkan tubuh dengan sigapnya, siap menghadapi lawan baru. Mula-mula me-reka pangling melihat seorang pemuda berpakaian putih yang berdiri di depan mereka dengan sikap tenang dan pandang mata penuh teguran itu sehingga mereka makin mempererat genggaman tangan pada gagang pedang. Akan tetapi ketika mereka melihat alat musik yang-khim tergantung di belakang punggung dan tampak tersembul di belakang pundak pemuda itu, mereka segera mengenal orangnya.
"Liong-twako (Kakak Liong)....!" me-reka berseru bergantian sambil berlari maju
menghampiri Kiang Liong, wajah mereka yang tadinya merah beringas itu berubah lembut, bahkan agak berseri ketika dua pasang mata itu memandang Kiang Liong dan mereka cepat-cepat menyimpan kembali pedang yang tadi di-pakai mengamuk.
"Ji-wi Siauw-moi (Kedua Adik) me-ngapa berada di sini dan membunuhi orang-orang ini" Ji-wi hendak pergi ke manakah?"
Ditanya begini, tiba-tiba Siang Hui menubruk Kiang Liong sambil menangis. Ketika Kiang Liong berkunjung ke rumah gadis itu enam tahun yang lalu, Siang Hui baru berusia dua belas tahun maka kini bertemu pemuda ini ia seperti lupa bahwa ia kini sudah berusia delapan be-las tahun. Ia sesenggukan di dada Kiang Liong yang menepuk-nepuk pundaknya. Melihat adiknya menangis tersedu-sedu, Siang Kui juga menangis, akan tetapi yang lebih tua hanya berani memegang lengan Kiang Liong sambil berkata,
"Ah, engkau tidak tahu, Liong-twa-ko....! Mereka ini adalah musuh-musuh Nan-cao, mereka ini anjing-anjing Hsi--hsia yang telah menyerbu Nan-cao.... dan.... dan.... dalam pertempuran.... Ayah dan Ibu kami telah gugur...."
Kiang Liong mengangguk-angguk. Un-tung tadi ia sudah mendengar dan dapat menduga, kalau tidak, tentu ia akan ter-kejut sekali. Karena ia sudah tahu, maka kini ia dapat mengeluarkan kata-kata hiburan untuk membangkitkan semangat.
"Ah, Adik-adikku. Aku juga ikut ber-duka sekali atas kematian Ayah Bunda kalian. Akan tetapi ingatlah bahwa mati hidup manusia berada di tangan Thian Yang Maha Kuasa. Dan kalau diingat, kematian Ayah Bunda kalian dalam tugas membela negara adalah kematian Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 224
pahlawan yang amat terhormat dan sungguh-pun kehilangan ini amat mendukakan hati, namun kematian beliau berdua itu patut dibuat bangga! Aku sudah men-dengar bahwa bangsa Hsi-hsia yang me-nyerbu ke Nan-cao dapat dipukul mundur. Pengorbanan orang tua kalian bukan sia-sia kalau begitu."
Ucapan pemuda itu tentu akan men-jadi hiburan yang manjur dan dapat membangkitkan semangat, apalagi kalau diingat bahwa dua orang gadis ini bukan keturunan sembarangan, melainkan ke-turunan suami isteri yang gagah perkasa dan masih cucu Ketua Beng-kauw yang sakti. Akan tetapi sungguh di luar duga-an Kiang Liong. Mereka itu hanya se-bentar saja terhibur dan sinar mata me-reka bercahaya penuh semangat, akan tetapi di lain saat mereka telah me-nangis lagi tersedu-sedu. Kemudian Siang Hui yang kini berkata dengan suara pe-nuh duka.
"Liong-twako, malapetaka itu lebih hebat daripada yang kauduga. Tidak ha-nya Ayah Bunda kami yang gugur, bah-kan Han Ki, adik kami yang baru berusia sebelas tahun terculik dan....
Kong-kong (Kakek) serta sebagian besar pimpinan Beng-kauw juga tewas di tangan
mu-suh...." "Apa...." Kini Kiang Liong tak dapat menahan kekagetan hatinya. Berita ini terlalu hebat.
"Bagaimanakah orang Hsi-hsia mampu menewaskan orang-orang seperti Beng-kauwcu
(Ketua Beng-kauw) dan para pimpinan Beng-kauw?"
"Diantara barisan Hsi-hsia terdapat orang-orang sakti, dan agaknya mereka ini memang menyelundup bersama barisan Hsi-hsia untuk menyerbu Beng-kauw. Buktinya mereka tidak peduli akan ke-kalahan barisan Hsi-hsia dan lebih meng-utamakan penghancuran pimpinan Beng-kauw. Mereka adalah pendeta-pendeta berjubah merah yang rata-rata memiliki ilmu kepandaian lihai, dipimpin oleh se-orang wanita setengah tua yang cantik dan berambut panjang dan seorang kakek pendeta jubah merah yang kaki kirinya buntung sebatas lutut. Dua orang inilah yang lihai sekali dan yang berhasil me-newaskan Kong-kong dan para pimpinan Beng-kauw, termasuk Ayah Bunda kami. Liong-twako, kautolonglah, bantulah kami untuk membalas dendam dan menolong adik kami Han Ki."
"Tentu aku suka membantu kalian. Akan tetapi, ke mana kita akan mencari" Dan ke mana pula kalian hendak pergi sebelum bertemu dengan pasukan musuh ini?"
"Tadinya kami hendak pergi meng-hadap Kakek Kauw Bian Cinjin untuk minta
pertolongannya." jawab Siang Kui.
Wajah Kiang Liong yang tadinya men-jadi muram karena berita duka yang hebat itu agak berseri, "Ahhh, jadi Lo-cianpwe Kauw Bian Cinjin tidak gugur bersama pimpinan Beng-kauw?"
Siang Kui menggeleng kepala dan menghapus air matanya. "Kakek Kauw Bian Cinjin sudah tiga tahun lebih meng-undurkan diri dari Beng-kauw dan pergi bertapa di Puncak Tai-liang-san, maka terhindar dari malapetaka. Hanya beliau yang dapat membantu kami, dan untung kami bertemu denganmu di sini, Liong-twako. Musuh amat kuat dan biarpun tentara Hsi-hsia sudah terpukul mundur dari Nan-cao, namun mereka masih ber-keliaran di sekitar tapal batas barat. Buktinya di sini kami bertemu dengan anjing-anjing ini yang agaknya memang menghadang perjalanan kami. Menurut para penyelidik, kakek dan nenek sakti bersama para pendeta berjubah merah bersembunyi di Pegunungan Kao-likung-san di lembah Sungai Nu-kiang."
Tiba-tiba Kiang Liong menggerakkan kedua tangannya mendorong pundak ke-dua orang gadis itu sehingga mereka itu terlempar dua meter lebih, terhuyung-huyung.
"Eh, ada apa, Twako....?" Siang Hui menegur, juga Siang Kui terkejut sekali.
Akan tetapi Kiang Liong sudah me-loncat sambil membalikkan tubuhnya kedua tangannya menangkis dan runtuhlah beberapa buah peluru hitam yang me-nyambar ke arah tubuhnya.
Kini barulah dua orang gadis itu tahu bahwa tadi pun ada beberapa buah peluru hitam Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 225
me-nyambar ke arah mereka dan kalau tidak ada Kiang Liong yang mendorong mere-ka, tentu mereka menjadi korban. Me-reka memandang dengan mata terbelalak, merasa ngeri betapa ada orang dapat membokong mereka tanpa mereka keta-hui. Hal ini saja sudah menjadi bukti bahwa orang yang melepas senjata raha-sia itu tentulah orang yang amat lihai.
Kedele Maut 16 Istana Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Pedang Kiri Pedang Kanan 14
^