Pencarian

Nggak Usah Jaim Deh 2

Nggak Usah Jaim Deh Karya Valleria Verawati Bagian 2


lesnya. "Sorry.... aku cuma nggak pengin ngajar murid yang bisanya cuma menghayal atau ngelamun.
Aku di sini diminta dan dibayar untuk ngajarin kamu, bukan nemenin kamu ngelamun. Atau gini
aja, kalo kamu memang nggak suka diajarin aku, aku bilang deh ke papa kamu untuk stop belajar
hari ini juga." Nico menutup buku yang dipegangnya dan siap-siap bangun dari duduknya.
"Eh... jangan!" tahan Rhea. "Kalo kak Nico ngomong gitu ke papa, papa pasti ngamuk berat
sama aku. Please..."
Nico mengurungkan niatnya begitu melihat tampang Rhea yang begitu memelas. Ia mendesah
pelan. "Sorry," ujar Rhea. "Cuma aku pikir..... ini kan hari pertama aku les. Mestinya hari ini
perkenalan aja dulu." Rhea memberanikan diri menyampaikan idenya.
"Lho, bukannya kita udah saling kenal?"
"Kenalan kan bukan buat itu aja. Misalnya... kita saling cerita pribadi masing-masing. Soalnya
kan kita udah lama nggak ketemu. Bisa aja kan, sifat Kak Nico sekarang berubah" Soalnya aku
ngerasa kak Nico beda sama yang dulu."
Kedua ujung bibir Nico sedikit terangkat, tapi kemudian ekspresi cowok itu kembali datar.
"Memangnya sekarang aku gimana?" ujarnya dingin.
"Ng... sekarang kak Nico jaim."
"Yah.... kamu juga jaim. Manggil aku aja pake 'kak' segala. Kak Nico, Kak Nico.. kayak di
pramuka aja..." "Habis kak Nico duluan sih. Dulu kita ngomingnya 'elo-gue', sekarang kak Nico nyebutnya 'akukamu'" kan aku.. eh... gue jadi ikut jaim."
"Oke deh. Sekarang kita ganti!" suara Nico lebih lunak, tapi wajahnya tetap tanpa ekspresi. "Trus
masih ada yang mau lo omongin?"
"Ng... ini.. kembali ke persoalan perkenalan. Kak Nico.. eh.. elo masih ingat nggak kalau waktu
kecil dulu, kita suka main perang-perangan?"
"Gue rasa itu nggak perlu. Pribadi gue ya urusan gue. Gue nggak dibayar untuk menyampaikan
riwayat hidup gue ke elo. Gue inget atau enggak, itu bukan urusan lo!"
"Tapi..." "Ah... udah deh," Nico memotong ucapan Rhea. Rhea cuma bisa bengong. "Sekarang lo kerjain
aja soal-soal Matematika ini dari nomor 1 sampai 20. Gue mau tau sejauh apa pemahaman lo
terhadap materi yang lo dapet selama ini. Belajar matematika tuh yang paling dibutuhkan cuma
latihan. Nggak boleh nanya-nanya. kerjain aja semampu lo. Gue kasih waktu satu jam. Kalo
sudah selesai, langsung gue koreksi," perintah Nico sambil menyodorkan buku soal-soal
matematika kepada Rhea. Mata Rhea melotot lebar begitu melihat buku yang disodorkan Nico. "Hah!" Banyak banget"
Mana mungkin selasai dalam waktu satu jam?" protes Rhea.
"Pasti selesai. Soalnya gue pernah ngerjain tuh soal cuma dalam waktu setengah jam. Jadi jangan
banyak alasan, kecuali kalo elo ngerjainnya sambil ngelamun."
Rhea melotot kesal. Rasanya ingin sekali melayangkan satu tonjokan ke muka Nico yang asli
nyolot banget. Sombong banget sih, mentang-mentang sekarang jadi guru les gue, dia semenamena gitu sama gue, pikir Rhea. Lagian Nico sih enak otaknya encer. Ngerjain dua puluh soal
matematika yang panjang-panjang gini cuma dalam waktu setengah jam. Nah gue kan masih
pemula" Rhea ngedumel dalam hati. Apa kerennya sih nih cowok" Tampang boleh oke, tapi
sifatnya masuk black list. Mbak Reva bener-bener buta, cowok kaya gini kok dibilang top. Ini sih
cuma menang tampang, tapi dalamnya sungguh menyedihkan.
Rhea keki setengah mati. Fia mengerjakan soal-soal itu dengan hati yang teramat dongkol. Pensil
yang ditekannya keras-keras di kertas sewaktu ia mulai menghitung. Bahkan ujung pensilnya
patah sampai lima kali gara-gara ditekan terlalu keras. Tapi Rhea sama sekali nggak peduli, ia
tetap menulis dengan setengah tenaga. Begitu pula Nico, ia malah asyik membaca buku Biologi
Rhea tanpa memedulikan Rhea yang berkutat dengan angka-angka di hadapannya.
*** Otak Rhea terasa mau pecah. Badannya juga terasa pegal-pegal. Nico sudah pulang, jadi Rhea
sudah bisa beristirahat sekarang. Malapetaka bagi Rhea, kenapa nasibnya malang begini. Dapat
guru les boleh aja punya tampang cakep, tapi kok kaya serigala berbulu domba. Rhea
merebahkan dirinya di tempat tidur. Untung lesnya cuma seminggu tiga kali. Coba kalo tiap hari,
huh, rasanya Rhea mau minggat dari rumah aja! Bayangkan aja, hari pertama les sudah dijejali
20 soal Matematika plus 30 soal Biologi yang harus dikerjakan dalam waktu singkat. Bukan
hanya itu setiap kali ada jawaban yang salah, Rhea harus mengerjakan satu soal tambahan. Dan
itu akan terus berlanjut sampai semua soal yang ia kerjakan benar semua. Kalo begini terus,
otaknya pasti akan meledak. Rhea memijit-mijit keningnya yang terasa senut-senut. Tiba-tiba
HP-nya bergetar. Rhea pun bangkit dan setengah terpaksa menyeret tubuhnya ke arah meja
belajar untuk mengambil HP yang memang lagi nangkring manis di situ. Ada SMS. Rhea
membuka pesan itu. Hi, sweety! Lg ngapain" gue lagi mikirin elo nih. kangeeennn... banget.
Dari Felix! Penat yang dirasakan Rhea, juga senut-senut di kepalanya, langsung sirna nggak berbekas.
sekarang jantungnya jadi berdebar-debar. Rhea segera mengetik message balasan untuk Felix.
kpl gw lg skt bgt. prtama kli les gw disiksa hbs2an sm gurunya. skrng rasanya
kpl gw mo pecah. Tidak lebih dari lima menit Rhea sudah menerima SMS yang kedua dari Felix. Cepat juga nih
operator kerjanya. kacian.. cb gw da di situ... gw pijitin d . awas tuh guru klo cinta gwa ampe
knp2.... elo mnm obat aja skrng.
Rhea senyum-senyum sendiri mebaca SMS yang baru diterimanya. Ah... senangnya diperhatikan
sepeti ini. Apalagi Felix sudah berani memanggilnya "cinta". Rhea jadi berbunga-bunga. Entah
berapa kali message-message bertebaran lewat satelit. Yang pasti sekarang Rhea sudah lupa
dengan deritanya gara-gara Nico.
*** Sudah dua minggu Rhea les. Dan penderitaannya sama sekali nggak berkurang. Nico masih saja
menjejalinya dengan berbagai macam soal yang tingkat kesulitannya semakin lama semakin
tinggi. Entah itu untuk mata pelajaran matematika, kimia, fisika, biologi, geografi, bahasa
indonesia, atau apa sajalah. Sepertinya Nico mempunyai kumpulan soal semacam itu yang asli
lengkap banget. Dan yang bikin Rhea sebel banget yaitu saat Mama mengantarkan cemilan untuk
mereka, Nico sama sekali nggak mengizinkan Rhea untuk menyentuhnya. Rhea harus
menyelesaikan semua tugasnya dulu, baru boleh menikmati cemilan dari Mama. Parahnya, Nico
malah asyik menikmati cemilan itu saat Rhea sedang pusing mencari jawaban. Dan hasilnya saat
Rhea sudah menyelesaikan semua tugasnya, cemilan itu sudah ludes. Gondok banget rasanya.
Tapi anehnya, semua orang di rumah ini suka bangeet sama Nico. Bahkan pernah Mama sengaja
mengundangnya makan malam walaupun hari itu bukan jadwal les Rhea. Setelah makan malam,
Papa malah asyik ngobrol dengan Nico sampai lupa waktu. Rhea akui, cowok itu memang hebat.
Dia bisa nyambung saat ngobrol sama Papa, bahkan tidak ragu-ragu adu argumentasi.
Pengetahuannya luas banget. Dia tahu tentang banyak hal, baik masalah publik, pendidikan,
ataupun masalah-masalah umum, seperti gosip-gosip selebriti. Reva juga seneng banget karena
Nico menyediakan waktu untuk membantu mengerjakan beberapa tugas kuliahnya.
Selain itu, yang bikin Nico punya nilai lebih lagi, cowok itu juga mengerti medan dapur. Dia
pernah datang lebih awal ke rumah Rhea sebelum les dimulai untuk mempraktikan kemampuan
memasaknya di hadapan Mama. Makanya, Mama jadi suka banget sama dia. Kali ini Rhea nggak
bisa mencela karena memang terbukti hasil masakannya sedap banget.
Sekarang Rhea semakin sulit melepaskan diri dari guru lesnya ini, karena Papa dan Mama pasti
nggak akan membiarkan Rhea berhenti les karena alasan apapun. Kalo saja Rhea bisa menyukai
Nico seperti keluarganya menyukai cowok itu, Rhea pasti nggak akan sengsara seperti ini. Tapi
bagaimana mungkin Rhea bisa menyukainya kalo Nico-nya sendiri nggak pernah sekalipun
bersikap manis dan baik sama Rhea.
Seperti sore ini, datang-datang Nico langsung menyodorkan sebuah buku yang isinya 50 soal
kimia. Dan dalam waktu satu setengah jam Rhea sudah harus menyelesaikan soal itu.
Karena telah terbiasa berada dalam situasi ini, Rhea nggak mau lagi membuang tenaga untuk
protes karena ia tau itu akan sia-sia saja. Makanya dia memilih mengambil buku itu dari tangan
Nico dan mulai mengerjakannya tanpa suara.
Sudah satu jam berlalu dan Rhea telah menyelesaikan 28 soal. Tapi Rhea mulai menemukan
kesulitan saat ia mengerjakan soal nomor 29. Berkali-kali angka-angka ia masukan ke dalam
rumus, tapi tetap saja ia nggak berhasil menemukan jawabannya. Rhea sama sekali nggak
mengerti di mana letak kesalahannya.
"Nic... ng... gue boleh nanya nggak" Gue bener-bener nggak bisa nih," Rhea memberanikan diri
untuk bertanya. Yang ditanya malah diam aja dan tetap asyik membaca buku tebal yang dipinjamnya dari Reva
sebelum les di mulai. Kayaknya sih itu buku kedokteran.
"Nic.... satu soal aja deh. Bantuin gue..," rayu Rhea pantang menyerah.
"Elo coba dulu sendiri. Manja banget sih, apa-apa selalu minta bantuan," Nico malah menjawab
dengan setengah membentak.
Rhea yang nggak terima dibentak seperti itu langsung membalas, "lo rese banget sih" Gue minta
tolong baik-baik malah dibentak. Lagian juga tugas lo di sini kan bukan buat ngasih gue soalsoal doang terus lo malah sibuk sendiri dan nyuekin gue begitu! Kalo kayak gini sih mending
gue beli kumpulan soal aja sendiri!"
"Oooh" jadi lo nggak suka gue ngajar lo les?"
"Iya! Dari awal gue emang nggak suka diajar sama elo. Gue terpaksa tau!"
"Fine! Gue stop aja ngajar lo," tegas Nico, lalu merapikan buku-bukunya dan bangkit dari
duduknya. "Eh, tunggu!" Rhea baru sadar akibat ucapannya barusan. "Ng... lo serius, ya?" Rhea berusaha
menahan Nico yang sudah berjalan hendak menuju pintu.
"Lho, memang ini kan yang lo mau" Gue serius kok. Gue nggak minat ngajar orang yang pada
dasarnya emang nggak punya motivasi buat belajar." Nico kembali melangkahkan kakinya.
Melihat itu, Rhea cepat-cepat menghadang Nico. "Eits, ntar dulu!"
"Why" Ini kan yang elo mau?" Nico menatap Rhea galak.
"Kalo elo stop, Papa pasti marah banget sama gue. Papa pasti nganggep gue yang nggak mau
belajar." "Tapi memang itu kenyataannya?"
"Iya nggak lah... gue bukannya nggak mau belajar. Gue kan tadi cuma nanya."
"Nanya kok malah akhirnya maki-maki gurunya sendiri."
"Gue nggak bermaksud begitu. Tadi gue lagi keki aja."
"Oooh... keki..."
Rhea cemberut melihat ekspresi Nico yang asli nyebelin banget. Kalo bukan karena takut kena
omel Papa, Rhea ogah nahan-nahan nih cowok sampai seperti ini. Malah Rhea bersyukur Nico
mau berhenti ngajar. Tapi karena Rhea sudah bisa membayangkan reaksi papa kalo Nico bilang
mau berhenti ngajar atas permintaan Rhea, Rhea jadi nggak berani ngambil resiko. Lebih baik
menurunkan gengsinya dan menahan nih cowok dari pada Papa benar-benar ngamuk nantinya.
Terdengar langkah kaki dari arah dapur. Rhea menoleh dan melihat Mama sedang berjalan
dengan membawa nampan berisi dua cangkir minuman dan kue kecil. Langkah Mama langsung
terhenti melihat Rhea dan Nico yang berdiri nggak jauh dari muka pintu. Mama menatap mereka
heran. " Lho, ada apa ini" Kok belajarnya sambil berdiri?"
"Ah nggak ada apa-apa, Ma," Rhea buru-buru menjawab.
"Saya mau pamit pulang tante." kata-kata Nico membuat wajah Rhea pucat.
"Kenapa?" tanya Mama heran. Tatapannya sekarang menuduh Rhea-lah yang membuat Nico
hendak pulang lebih awal hari ini. Yah... kalau Rhea mau jujur, setengah kecurigaan Mama itu
memang betul sih! Nico ikut menatap Rhea, sorot matanya penuh kemenangan, tapi Rhea membalas tatapan cowok
itu dengan sorot memohon agar Nico mau berbaik hati padanya.
Tak lama kemudian Nico tersenyum. Rhea nggak mengerti arti senyuman itu. Sekarang dia
malah jadi heran sendiri. Apakah itu senyum kemenangan" atau.. apakah itu senyum yang
melambangkan Nico nggak peduli pada permohonan Rhea"
"Maaf tante... malam ini saya harus mengantar Papa ke tempat temannya. Maaf ya, Tante," kata
Nico sambil menatap Mama Rhea sopan.
Ternyata hari ini Nico memang sudah punya rencana pulang cepat, nggak peduli apakah tadi
Rhea menahannya atau tidak. Mendengar kata-kata Nico, Rhea cuma bisa melotot dan menyesal
tadi sudah menahan cowok itu.
"Oh... nggak apa-apa kalo begitu. Tante pikir Rhea sudah membuat kamu marah dan memaksa
kamu berhenti dari pekerjaan ini," jawab mama, terlihat begitu lega.
"Nggak kok Tante" Rhea sangat menikmati saat-saat belajar bersama saya. Makanya kalo
boleh, besok saya akan datang lagi untuk melunasi utang saya hari ini sama Rhea. Iya kan, Rhe?"
Apa"!! Besok mau les lagi" Mata Rhea hampir keluar begitu mendengar ucapan Nico. Cowok itu
tampaknya berhasil membuat Rhe nggak berkutik. Rhea akhirnya mengangguk pasrah.
"Kalo Rhea bersedia, Tante sih setuju-setuju saja. Toh yang belajar kan Rhea juga."
"Terima kasih Tante. Kalo begitu saya pamit pulang dulu. Takut terlambat sampai di rumah.
"Nggak munum dulu?" Mama menawarkan minuman yang dibawanya.
"Nggak usah, Tan makasih."
"Ya sudahlah. Tante bisa ngerti kok." Mama tersenyum.
Rhea tambah bete melihat adegan itu. Ngapain sih semua orang di sini baik sama Nico, si
serigala berbulu domba. "Oh ya, Rhe. Besok elo ulangan kimia kan" Ini semua rumus sekaligus contoh soalnya udah gue
rangkum. Elo pelajari aja sendiri. Nomor 29 yang tadi lo nggak ngerti juga ada caranya di buku
itu. Dan jangan lupa tuh soal-soal harus udah selesaikan malam ini juga. Soalnya besok gue
bakal memeriksa semua kerjaan elo," ujar Nico datar sambil menyodorkan buku kecil berwarna
biru kepada Rhea. Setengah terpaksa Rhea mengambil buku itu. Kenapa nggak ngomong dari tadi sih kalau dia
udah merangkum rumus-rumus buat gue" Rhea ngedumel dalam hati. Kan gue jadi nggak perlu
berantem sama dia. Jangan-jangan Nico emang punya maksud ngerjain gue lagi. Pengin gue
mohon-mohon sama dia. ih jijay!
"Rhea, kok kamu diam aja?" tegur Mama melihat Rhea dengan cueknya mengambil buku dari
tangan Nico. "Nico udah susah-susah buat rangkuman untuk kamu, eh kamunya malah begitu."
"Makasih ya," jawab Rhea datar dan ogah-ogahan. Sedikitpun dia nggak melirik ke arah Nico.
Mama cuma bisa geleng-geleng kepala melihat kelakuan putrinya yang sama sekali nggak sopan
dan nggak tau berterima kasih itu.
"Ya sudah, mari tante anter Nic," ujar Mama sambil meletakkan nampan di atas meja ruang
tamu. "Terima kasih, Tante," jawab Nico lalu berjalan mengikuti langkah Mama keluar rumah.
Buru-buru Rhea menutup pintu begitu mama dan Nico keluar. Cepat-cepat dia berlari menuju
kamarnya. Rhea melempar buku Nico di atas tempat tidur. Rhea kesel banget. Diraihnya bantalgulingnya dan ditinjunya kuat-kuat untuk melampiaskan emosi yang bersarang dalam dirinya.
Kasihan banget tuh guling, cuma bisa diam dan pasrah menjadi tempat pelampiasan kekesalan
sang nona. Setelah puas, diraihnya HP yang tergeletak di samping jam beker. Rhea membuka
fitur message dan menulis pesan untuk Marcia.
lg ngapaib nek" gw lg bt bgt nih. otak gw mumet. gw bth penyegaran nih!
Pesan terkirim. Rhea berbaring, menenangkan otaknya, sambil menunggu balasan dari Marcia. Sepuluh menit
kemudian datang balasan dari Marcia,
gw jg lg mumet nih. gw lg bkn pr fisika yg 25 soal itu. lo da y" klo da, gw
pnjm dong! Rhea tertegun membaca balasan dari Marcia. PR fisika" Plak! Rhea menepuk dahinya keraskeras. Dia baru ingat ada PR fisika buat besok. Oh... God, ulangan Kimia, PR Fisika, ditambah
lagi PR les. Bagaimana cara Rhea menyelesaikan semuanya dalam waktu semalam" Kenapa juga
dia sampai lupa PR Fisika" Rhea melirik jam. Sudah jam tujuh kurang sepuluh menit. Jam
sembilan jatah memadamkan lampu kamar. Tampaknya malam ini Rhea harus menyelesaikan
tugasnya dalam keremangan cahaya. Rhea mengetik SMS balasan untuk Marcia tanpa semangat.
BAB 4 Setengah mengantuk, Rhea berjalan memasuki kelas. Matanya berat dan pedih, rasanya enggan
sekali untuk terbuka. Semalam ia mengerjakaan semua tugasnya dalam cahaya lampu lima watt
sampai jam satu pagi. Itu pun tanpa belajar Kimia. Kalo masih harus belajar kimia lagi, mungkin
saat ini Rhea masih tergolek di tempat tidur dan nggak akan mampu berangkat ke sekolah.
Beberapa kali Rhea menguap. Saat ia sudah duduk di bangku kelasnya, Rhea baru menyadari
bahwa suasana pagi ini sangat berbeda dari biasanya. Tidak biasanya kelas sudah ramai sepagi
ini. Biasanya Rhea termasuk orang pertama yang tiba di kelas. Tapi nggak untuk hari ini. Sudah
setengah dari penghuni kelas datang. Bahkan Marcia dan Rachel juga sudah datang. Aneh!
"Kok tumben, kelas sudah rame, Mar?" Rhea mendekati Marcia yang lagi siibuk menyalin
sesuatu berdua dengan Rachel.
"Lo udah datang ya! Mana PR Fisika lo" Gue pinjem dong! Cepetan!" kata Marcia tanpa
menjawab pertanyaan Rhea. Rhea langsung tahu, apa penyebab keadaan yang nggak biasa ini.
PR Fisika. Rhea beranjak kembali ke tempat duduknya, lalu mengambil buku PR dari dalam tasnya dan
menyerahkannya pada Marcia. Tapi Rachel ternyata lebih cekatan. Ia menyambar buku itu dari
Rhea. Selama beberapa detik terjadi tarik-menaraik buku antara Marcia dan Rachel. Melihat ulah
kedua temannya, Rhea jadi ngeri. dia cemas bukunya bakal robek.
"Hei! Dari pada lo berdua rebutan, mending lo taruh di tengah dan salin sama-sama. Lima belas
menit lagi bel, tau?"
Teguran Rhea berhasil membuat Marcia dan Rachel saling mengalah. Mereka meletakkan buku
di tengah-tengah meja dan mulai sibuk menyalin dengan kecepatan tinggi. Yah... sesekali sih
mereka masih tarik-menarik buku saat membalik halaman-halamannya.
Rhea cuma bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah kedua sobatnya itu. Pertama soal Marcia.
Katanya semalam ngerjain PR, tapi kok hari ini nyontak juga" Kalo Rachel sih Rhea nggak heran
lagi. Tuh anak mana pernah ngerjain PR dari rumah" Apalagi ini PR fisika. Walaupun langit
runtuh, Rachel nggak bakalan mau ngerjain PR di rumah. Soalnya dia punya filosofi yang dia
karang sendiri, bahwa tugas dari sekolah ya harus diselesaikan di sekolah juga. Kata Rachel sih
dia mengikuti prinsip bokapnya, yang nggak pernah membawa tugas kantor pulang ke rumah.
Ah, Rachel, cari alasan kok maksa banget. Padahal memang dianya aja yang malas. Tapi ada
yang janggal dengan pemandangan pagi ini. Kok David alias si gepeng belum nongol juga
batang hidungnya" Padahal biasanya kalo ada PR yang banyak begini, gepeng termasuk siswa
yang rajin datang pagi buat cari sontekan. Apa gepeng sudah bertaubat ya" Rhea kembali
menguap untuk kesekian kalinya. Ia menelungkupkan kepala di atas meja dan memejamkan
mata. Tapi baru saja matanya terpejam, terdengar suara khas dari depan kelas yang memanggilmanggil namanya.
"Rhea Athena dari kelas 1 D.... Rhea...Rhea..!" Rhea yakin itu suara Betet.
"Gue di dalam. Lo masuk aja kenapa!" teriak Rhea kesal.
Tapi nggak seorang anakpun di dalam kelas yang merasa terganggu karena teriakan Rhea
barusan. Tampaknya semua terlalu khusyuk dengn contekan masing-masing.
"Aloha, Rhe!" sapa Betet begitu masuk. Cowok itu menghampiri Rhea. Wajah Rhea kelihatan


Nggak Usah Jaim Deh Karya Valleria Verawati di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

suntuk banget. "Ada apa pagi-pagi udah mampir ke kelas gue?" tanyanya malas.
"Ih, lo kok nggak semangat gitu sih! Nggak asyik ah!" Betet jadi manyun melihat ekspresi bete
Rhea. "Gue lagi ngantuk berat nih.. Ada apa?" Rhea berusaha tersenyum walaupun hatinya ngedumel
nggak karuan. "Nah, gitu dong... itu baru cantik! Hehehe..." Betet malah sok ngegodain Rhea segala, bikin Rhea
jadi keki berat. "Udah deh... nggak usah ngegombal. Lo kesini mau apa?" Rhea berusaha bersabar.
"Cuma mau ngingetin. Anggota OSIS wajib ngumpul jam sepuluh nanti."
"Jam sepuluh" Itu kan masih jam pelajaran?"
"Kan kemarin gue udah bilang, hari ini kita pulang jam sepuluh kurang seperempat, jadi kita
ngadain rapat jam sepuluh."
"Hah! masa sih"!" pekik Rhea nggak percaya.
Seisi kelas terdiam sesaat. Sepertinya mereka mendengarkan ucapan Betet barusan.
"Elo nggak nyimak omongan gue pas rapat kemarin ya?" Betet mengerutkan kening. Dia mulai
kesal karena ternyata Rhea nggak mendengarkan jalannya rapat kemarin dengan baik.
"Sori, Tet..." Kemarin emang Rhea nggak sepenuh hati ikut rapat. Bahkan nggak ada satupun isi rapat yang
nyangkut ke kepalanya. Itu semua gara-gara Felix. Pas dalam perjaanan ke ruamg rapat, Rhea
ketemu Felix yang memang sedang mencari-cari dia. Felix sengaja memberikan Rhea cokelat
berbentuk hati yang di atasnya terukir kata "I LOVE YOU". Saat menyerahkan cokelat itu, Felix
berbisik di telinga Rhea, "Special chocolate... just for my princess...." Nah gimana hati Rhea
nggak berbunga-bunga"
Rhea menatap Betet yang bibirnya monyong lima senti gara-gara kesal. Rhea nggak enak hati.
"Maaf ya, Tet! Tapi ntar pasti gue ikut ngumpul. On time."
"Ya udah. Nih, gue punya cokelat buat lo sama dua teman lo itu. Tante gue baru pulang dari
Canada dan dia bawain gue banyak cokelat. Mau nggak?" Betet menyodorkan tiga batang
cokelat pada Rhea dengan wajah sedikit manyun.
"Tentu dong.. Makasih ya, Tet. Elo emang cowok paling baik sedunia," rayu Rhea sambil
menerima cokelat-cokelat itu.
"Hehehe... emang..." Betet tertawa lebar dipuji Rhea, seakan sudah lupa akan rasa kesalnya
beberapa detik lalu. Kali ini giliran Rhea menyesali kata-katanya sendiri. Soalnya, kalau Betet sudah mulai tertawa,
butuh waktu lama untuk menghentikannya. Anak-anak sudah pada menutup buku mereka.
Nggak ada seorangpun yang menyalin sontekan, termasuk Rachel dan Marcia. Itu karena
pelajaran Fisika pelajaran terakhir. Kalau pulang jam 09.45 berarti nggak akan ada pelajaran
Fisika dong! Paling cuma ulangan Kimia yang memang jam pelajaran pertama hari ini. Sambil
menunggu Betet selesai tertawa, Rhea menyesal kemarin nggak mendengarkan jalannya rapat.
Tahu gitu kan dia nggak perlu begadang semalam. Capek-capekin aja! Pantes gepeng belum
nongol juga, soalnya Gepeng anggota OSIS dan dia pasti tahu informasi ini. Rhea kesel banget.
Capek-capek ngerjain fisika malah nggak ada pelajarannya. Eh, nggak belajar kimia malah jadi
ulangan. Gondok banget rasanya!
*** "Oke! Yang cewek pada nulis pesan di kertas yang udah disiapin, lalu yang cowok pada bantuin
masukin kertas-kertas yang udah ditulis ke dalam tempatnya sesuai pesanan yang diminta. Ingat,
jangan sampai ada yang salah ya!" Betet menginstruksi semua anggota OSIS.
"Siap, bos!" jawab anak-anak serentak.
Semua mulai mengambil posisi masing-masing. Anak-anak cewek mengambil kumpulan pesan
dan mulai menyalinnya kembali pada selembar kertas kecil. Setelah itu para cowok menggulunggulung kertas-kertas tersebut dan memasukannya ke dalam botol, atau ke dalam amplop yang
kemudian di tempel di bunga mawar plastik. Melihat banyaknya pesan yang harus mereka tulis,
tampaknya usaha pencarian dana kali ini cukup sukses. Berarti banyak anak yang tertarik untuk
memesan ke panitia. Pasti OSIS bakal untung gede nih!
Rhea ikut sibuk menyalin pesan-pesan itu. Beberapa kali ia terkikik geli waktu membaca
beberapa pesan yang konyol atau sok puitis. Apalagi yang namanya pesan cinta, wuih" asli deh,
gombal banget. Bahkan ada juga pesan nekat yang dikirim oleh anak cowok kelas 1 buat kakak
kelas 3 yang isinya super konyol. Begini bunyinya, "Cantik.. sejak pertama bertemu, aku telah
jatuh cinta padamu. Rambutmu yang ikal kayak mi kriting, matamu yang cokelat kaya mata
doggy kesayanganku di rumah, juga aroma tubuhmu yang seharum bunga raflesia, membuatku
tak pernah berhenti merindukanmu." Gila banget kan tuh" Mau ngungkapin Cinta atau mau
ngajak berantem" Jangan-jangan tuh cowok nggak ngerti lagi sama yang namanya bunga
Raflesia. Rhea jadi bingung, harus ketawa atau kasihan melihat pesan cinta itu.
Selesai menulis pesan itu, Rhea mengambil pesan selanjutnya. Kali ini ia kembali terpana
melihat pesan yang ada di tangannya. Pesan itu buat Marcia. Bahkan kerennya lagi, isi pesan itu
sebait puisi indah. Mentari senja merah membara
Mengukir mega dengan pesona warnanya
Izinkan aku menyentuh relung hatimu
Mengukir cinta dengan pena kasihku
Ya ampun, cowok mana yang bisa bikin puisi seindah ini buat Marcia" Kok Marcia punya
penggemar rahasia tapi nggak pernah ngomong-ngomong sih"
"Sabrina, lo tau nggak siapa pengirim pesan ini" Elo kan panitia penerima pesan. Semestinya lo
tau dong?" Sabrina yang lagi asyik mebulis menghentikan kegiatannya. Diambilnya kertas di tangan Rhea
lalu dibacanya. Kemudian dia pun senyum-senyum sendiri. "Iya.. sebenernya gue tau sih. Tapi
gue nggak boleh ngasih tau elo. Apalagi ini kan pesan buat bestfriand lo. Nanti lo bocorin ke
Marcia, lagi. Padahal gue udah janji untuk merahasiakan identitas si pengirim ini," tolak Sabrina,
lalu menyerahkan kembali kertas itu ke tangan Rhea.
"Nggak. Gue nggak akan kasih tau Marcia deh. Gue cuma pengin tau aja,"
"Sory, Rhe.. Gue nggak bisa ngasih tau elo," kata Sabrina lagi.
"Iya Rhe. Kami panitia memang udah janji nggak akan membocorkan identitas pengirim pada
siapapun juga," celetuk Luna yang menguping pembicaraan Rhea dan Sabrina itu.
Rhea mengangguk mengerti. Emang sih, sebetulnya dia nggak boleh memaksa Sabrina untuk
membocorkan rahasia. "Iya deh, gue ngerti kok posisi kalian. Sori bukan maksud gue maksa," ujar Rhea.
"It,s okey, lagi..," sahut Sabrina, lalu mulai sibuk lagi.
Rhea membaca pesan itu sekali lagi. Ada gejolak rasa penasaran yang bersarang dalam dirinya.
Siapa kira-kira pengirim pesan ini" Pasti ini akan jadi kejutan yang manis untuk Marcia. Rhea
mulai asyik membayangkan pipi Marcia yang merona saat menerima pesan ini nanti. Dan Rhea
sama sekali nggak sadar ada seseorang yang terus memerhatikannya dari sudut ruangan sambil
memasukan kertas ke botol.
*** "Apa maksud lo bakal ada kejutan buat gue hari ini?" tanya Marcia penasaran.
Hari ini adalah hari pengiriman pesan yang sudah disiapkan panitia pengumpulan dana.
Kelihatan banget anak-anak pada nggak sabar menunggu jam pelajaran terakhir. Soalnya Betet
sudah minta izin kepala sekolah menggunakan satu jam terakhir untuk membagikan pesanan
melalui setiap wali kelas ke kelas masing-masing. Terbukti, saat pelajaran ke tujuh berakhir,
anak-anak berteriak antusias. Jantung mereka berdebar-debar. Yang punya pacar deg-degan,
ingin tahu apakah mereka dapat kiriman dari pacar mereka. Yang masih jomblo juga deg-degan,
siapa tahu ada yang mengirim pesan buat menyatakan cinta. Yang nggak mesen cuma bisa
bengong menyesali diri kenapa nggak ikut mesen.
Anak-anak kelas 1 D berteriak heboh waktu pak Hery, Wali kelas mereka, muncul di kelas
sambil membawa sekardus mawar dan message in the bottle. Rhea juga bisa mendengar teriakan
anak-anak dari kelas lain yang sepertinya juga sudah kedatangan wali kelas mereka. Suasana saat
itu benar-benar berisik. "Weleh.. weleh! Ternyata anak didik Bapak laku juga ya! Lumayan berat nih kardus," kata pak
Hery yang langsung disambut tawa seisi penghuni kelas.
"Perlu bantuan nggak, Pak?" teriak David.
"Kamu ya, kalo soal beginian semangat banget menawarkan bantuan. Tapi kalau giliran Bapak
minta tolong kamu ngerjain soal Matematika di papan tulis, kamu langsung lari minta izin ke
WC," kata pak Hery yang memang guru Matematika. Anak-anak tartawa heboh mendengar
ucapan Pak Hery. Sambil garuk-garuk kepala, David langsung menjawab, "Habis... kalo ketemu yang namanya
Matematika, hasrat buat pipis tak tertahankan lagi, Pak."
"Dasar kamu" kalau nanti ada pesanan yang ditujukan buat kamu, Bapak minta kamu bacain di
depn kelas ya," kata pak Hery, diikuti tepuk tangan tanda setuju dari teman-teman sekelas.
"Yah... jangan gitu dong, Pak..," ujar David memelas.
Tapi tampaknya pak Hery nggak peduli. Ia mulai mengambil potongan kertas dari dalam kardus.
Rhea cuma bisa tersenyum iba pada David, soalnya Rhea tau David memang dapat satu message
in the bottle dari Aster, anak kelas 1 C yang baru sebulan ini jadi pacarnya.
"Untuk Deborra..," Pak Hery mulai membacakan nama pemilik pesan-pesan itu.
Deborra maju dengan wajah bersemu merah. Ia mendapat setangkai mawar. Selanjutnya Calvin,
yang dapat tiga message in the bottle. Ya ampun...! Ternyata laku juga si Calvin! Lalu Laticia,
Clarissa, Kevin, Andry, Gerry, Sonia, Aulia, bergantian maju mengambil pesan buat mereka.
"Kali ini ada lima mawar buat Jessica..," kata pak Hery.
"Jessica yang mana pak?" David tampak bingung. Soalnya di kelas mereka ada dua anak
bernama Jessica. Yang satu Jessica Wijaya, satunya lagi Jessica Miliana. Pak Hery mencoba
membaca nama yang tertulis di salah satu mawar itu, lalu mengucapkan satu nama, "untuk
Jessica Miliani." Jessica Miliani yang lebih akrab di panggil "Jemi" maju ke depan kelas. Pak Hery kembali
melanjutkan tugasnya membagikan pesan cinta itu.
Kali ini giliran Marcia. Marcia sempat bengong sewaktu namanya disebut. Rhea dan Rachel
bertepuk tangan heboh. Tampang Marcia benar-benar tolol sewaktu kembali ke tempat duduknya
sambil membawa setangkai mawar.
Rhea dan Rachel tidak lagi mendengarkan nama-nama yang disebutkan Pak Hery. Mereka
berdua meninggalkan kursi masing-masing dan mengerubungi Marcia.
"Nah, itu kejutan buat elo! Gue yang nyalin tuh pesan kemaren," kata Rhea.
Marcia begitu terpesona melihat mawar plastik di tangannya. Dia sama sekali nggak menyangka
akan mendapat bunga, soalnya udah dua tahun ini dia ngejomblo.
"Lo tau siapa yang ngirim?" Marcia penasaran.
Rhea menggeleng. "Nggak tau Mar. Soalnya yang dapat tugas nerima pesan kan bukan gue. Gue
udah coba nanya ke anak lain, tapi mereka bilang nggak boleh kasih tahu siapa-siapa, atas
permintaan si pemesan."
"Paksa dong!" ujar Marcia.
"Yee.. enak aja lo main paksa anak orang!" bantah Rhea.
"Udah deh.. yang penting dibaca dulu dong kartunya." Rachel yang juga penasaran mencoba
menengahi perdebatan ini.
Marcia mengangguk setuju. Sedangkan Rhea, berhubung sudah tahu isi kartu itu, dia nggak lagi
penasaran seperti kedua sahabatnya. Marcia dan Rachel membaca pesan itu bersama-sama.
belum sampai semenit, Rachel terkikik geli. Ia membekap mulutnya untuk menahan tawa yang
seakan hendak meledak. "Ih, gombal banget sih nih orang!" gerutu Marcia, pipinya merona. Ia memasukan kembali kertas
kecil yang baru saja dibacanya ke dalam amplop.
"Emang gombal sih.. tapi suka kan?" goda Rachel.
"Apaan sih lo!" seru Marcia malu. Tapi cewek itu tetap nggak bisa menutupi perasaan berbungabunga di hatinya.
Bahkan Rhea dan Rachel bisa melihatnya jelas dari ekspresi maupun sorot mata Marcia kalau tuh
anak seneng banget mendapatkan bunga itu.
"Tapi hati-hati, Mar.. jangan keburu seneng dulu! Jangan-jangan tuh bunga salah kirim lagi.
Yang namanya Marcia kan bukan cuma elo. Atau malah jangan-jangan yang ngirim tuh Pak
Tukul tukang bakso di depan sekolah yang demen banget lo godain," Rachel kembali menggoda
Marcia. Rhea membekap mulutnya menahan tawa. Marcia sudah ingin membalas ledekan Rechel, tapi
tertahan karena melihat David sudah berdiri di depan kelas dengan sebuah message in the bottle.
Rhea dan Rachel buru-buru kembali ke tempat duduk mereka. David berdiri di depan kelas
dengan tampang memelas. "Pak, masa harus saya bacain sih" Jangan dong pak!" pinta David setengah memohon.
"Lho memangnya kenapa kalo dibaca" Teman-temanmu kan juga mau tau isinya. Memangnya
ada rahasianya ya?" tanya pak Hery.
"Nggak ada rahasia sih, tapi kan malu, Pak!" ungkap David.
Seisi kelas riuh melihat David dikerjain Pak Hery seperti ini. Smua makin bersemangat
menyoraki David yang semakin tak berdaya.
"Udah, Vid... paling nggak kalo lo baca di depan kita-kita, rasanya jadi nggak begitu sakit,"
sambung Calvin. "Sial lo. baru sebulan gue jadian, lo udah nyumpahin gue putus! dia nggak mungkin ngajak gue
putus, soalnya gue sama dia lagu hot-hotnya nih!" seru David membela diri.
"HUUUU!" anak-anak berteriak heboh mendengar pembelaan David.
"David ayo baca sekarang! Kalau nggak, kamu nggak boleh pulang!" perintah pak Hery purapura marah.
David semakin tersudut. Ia nggak punya pilihan lain selain membaca pesan di tangannya itu.
David mengeluarkan gulungan kertas dari dalam botol.
"Dibaca nih pak?" tanyanya sambil menatap Pak Hery. Dia berharap banget Pak Hery berhenti
ngerjain dia. "Kalau nggak mau dibaca, kamu tulis aja di papan tulis dan jangan di hapus sampai besok pagi."
Itu sih sama aja bohong! David menelan ludah dan mulai membaca nyaris berbisik.
"Kamu ngomong apa, David" Suara kamu kok pelan bener" Biasanya kalo lagi ribut di kelas,
suara kamu stereo!" protes Pak Hery yang d ikuti teriakan anak-anak yang pada protes.
David kembali menelan ludah dan membaca pesan yang ada di tangannya sekali lagi. "Untuk my
big rabbit...." seisi kelas langsung tertawa mendengarnya. Bahkan Pak Hery nggak bisa menahan
gelu. David terdiam, mukanya merah banget.
"Ayo lanjutin dong, Vid!" Aulia memberi semangat.
David memandang Pak Hery dengan sorot memelas. Tapi tampaknya Pak Hery nggak mau
peduli. Tangannya bergerak memberi isyarat agar David terus membaca.
David pasrah. Ia menarik napas dalam-dalam dan membaca untaian kata yang tertera di kertas
kecil di tangannya. "Untuk my big rabbit.. terima kasih untuk malam indah yang kau berikan padaku. Kamu hebat,
tapi jangan lupa, kamu harus mau bertanggung jawab. Salam penuh cinta. Your honey." David
selesai membaca dan buru-buru menggulung kertas itu lagi dan memasukannya ke dalam botol.
Ia menatap teman-temannya, menunggu reaksi mereka. Tapi sungguh aneh, seluruh kelas jadi
hening. David mengerutkan keningnya menatap heran.
"David, bapak mau kamu jujur.... sejauh apa gaya pacaranmu selama ini" tanya Pak Hery tajam.
David melongo seperti orang bodoh mendengar pertanyaan pak Hery. "Maksud bapak apa, pak"
"Bapak mau tanya. Apa maksud kata-kata 'kamu hebat' lalu minta pertanggung jawaban kamu
itu?" tanya pak Hery lagi.
Tampaknya kali ini David mengerti arah pembicaraan Pak Hery.
"Apa harus saya jawab pak?" tanya David ragu-ragu.
"Ya harus lah!" bentak pak Hery.
"Ih, bapak jangan galak-galak dong! Sini pak saya bisikin." David mendekati pak Hery dan
mulutnya komat-kamit. Anak-anak menatap dengan curiga. Masa iya David dan Aster baru
sebulan pacaran sudah berbuat "macam-macam?"
"Apa! kamu masak?" seru pak Hery tiba-tiba. David masak" cerita konyol apa lagi nih"
"Jadi pacar kamu muji kamu jago masak, lalu tanggung jawab itu maksudnya adalah
membuatkan dia bekal setiap hari?" pak Hery mencoba memastikan pendengarannya.
"Yee" bapak. Sekalian aja ngomongnya pakai mikrofon. Apa gunanya saya bisik-bisik tadi.."
David keki banget sama gurunya yang satu ini.
"Apa" Elo masak buat cewek lo, Vid" Gue nggak salah denger kan"! seru Gery, menatap David
nggak percaya. "Nggak mungkin! Pasti masakannya hangus!" teriak Laticia.
"Jangan-jangan David ngibul, lagi! Belinya di restoran tapi ngakunya masak sendiri!" Calvin
nggak mau ketinggalan. "Pantas aja si Aster udah tiga hari nggak masuk sekolah. Dia pasti keracunan makanan yang lo
buat, Vid!" Rachel ikut-ikutan ngeledek David.
"Enak aja! Kalo itu sih gara-gara kena cacar! Lo semua kok sirik gitu sih sama gue!" David jadi
sewot. Anak-anak tertawa heboh dan nggak henti-hentinya meledek David sampai akhirnya bel tanda
pulang berdering nyaring.
"Elo berdua masih nunggu apa sih kok belum pada pulang?" tanya Rhea heran. Dia masih ikutan
duduk di kelas bersama Rachel dan Marcia. Katanya mereka berdua lagi nunggu seseorang dan
mereka memaksa Rhea untuk ikut menemani mereka.
"Udah deh, lo jangan banyak tanya. Pokoknya tunggu aja yang sabar.." Rachel tersenyum penuh
rahasia. "Tapi bokap gue bisa marah-marah kalau dia harus nunggu gue. Lo tau kan, bokap gue kayak
gimana..." Rhea mulai gelisah. Sesekali ia melirik jam tangannya dengan cemas.
"Nah, itu yang ditunggu muncul!" Marcia menunjuk ke arah pintu kelas.
Rhea menatap sosok yang ditunjuk Marcia dengan pandangan heran. "Felix...," ucapnya heran.
Marcia dan Rachel kemudian beranjak, meninggalkan Rhea di dalam kelas.
"Sukses ya, Rhe. Kami nunggu di luar. Lo tenang aja, biar kami berdua yang jaga-jaga biar
nggak ada yang masuk," kata Marcia sebelum menghilang di balik pintu.
Rhea nggak tahu harus berkata apa. Dia bingung ada apa sebenarnya" Apa yang direncanakan
kedua sahabatnya itu"
Felix berjalan menghampiri Rhea dengan senyum mautnya. "Halo, Rhe!" sapa cowok itu.
"Halo.. ada apa sih, temen-temen gue ngerjain elo ya?" tanya Rhea.
"Nggak kok. Malah mereka yang bantuin gue. Gue yang minta tolong mereka untuk nahan lo
disini," jawab Felix .
"Elo" What for?"
"Untuk nyerahin ini ke elo.." Felix menyodorkan setangkai mawar merah yang asli indah banget.
Rhea terpana menatap mawar yang begitu cantik itu. "Ini buat gue?" tanyanya nggak percaya.
"Iya." "Makasih ya. Elo baik banget."
"Gue ngasih elo bunga karena gue nggak mau kayak anak-anak lain, yang cuma ngasih bunga
plastik untuk pacarnya. Bagi gue, elo terlalu spesial dan nggak boleh disamain dengan anak-anak
lain. Makanya gue sengaja mempersiapkan bunga itu untuk elo"


Nggak Usah Jaim Deh Karya Valleria Verawati di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Makasih... ini indah banget!"
"Rhe... would you be mine?"
Rhea terpana mendengarnya. Mulutnya terbuka lebar. Dia nggak mempercayai pendengarannya
barusan. Would you be mine. Itu kan artinya Felix nembak gue! Gue nggak salah denger kan" Ini
bukan april Mop kan" Rhea bertanya-tanya dalam hati.
"Elo becanda, kan?"
"Gue serius, Rhe. Gue jatuh cinta sama elo. Gue sayang sama elo. Apa elo bersedia nerima cinta
gue, Rhe?" "Ng... tapi..."
"Please, Rhe. Gue nggak lagi main-main. Gue bener-bener serius sama elo!"
Rhea jadi bingung harus menjawab apa. Felix memang baik banget. Rhea seneng saat bersama
cowok itu. Tapi apa ini yang namanya cinta" Lalu bagaimana dengan Papa" Papa pasti nggak
setuju. "Tapi bokap gue nggak mungkin setuju. Bokap belum ngizinin gue pacaran."
"It's oke. Asal elo bersedia jadi pacar gue, urusan izin belakangan aja."
"Itu berarti kita pacarannya ngumpet-ngumpet alias backstreet dong."
"Kalo emang harus seperti itu, nggak jadi masalah kok. Cinta memang butuh pengorbanan. Lagi
pula, pacaran ngumput-ngumpet kan lebih seru dan menegangkan."
"Apa elo kuat?"
"Kan gue udah bilang, Rhe... Cinta tuh butuh pengorbanan."
Rhea termenung. Dia lagi berpikir. Terima... nggak... terima" nggak...
"Gimana Rhe, apa elo bersedia jadi pacar gue?"
Rhea menatap Felix dalam-dalam lalu tersenyum sambil berkata, "Gue coba ngejalanin seperti
yang lo bilang tadi... Cinta emang butuh pengorbanan."
"Ah, akhirnya!" Felix tertawa lega, lalu ditariknya Rhea ke dalam pelukannya. Muka Rhea
bersemu merah, tapi ia menikmati pelukan itu.
"Makasih ya, Rhe. Lo nggak tau betapa bahagianya gue saat ini."
"Tapi inget ya, Lix... ini rahasia. Nggak boleh ada yang tau. Di sekolah kita harus bersikap
seperti teman biasa, jangan sampai menimbulkan kecurigaan. Cuma Marcia dan Rachel yang tau
tentang hubungan kita ini. Oke?"
"I'll do everything for you."
Tiba-tiba terdengar suara grasak-grusuk dari luar kelas. Rhea dan Felix melepas pelukan mereka.
Marcia dan Rachel muncul di muka kelas dengan muka panik.
"Bokap lo lagi menuju ke sini, Rhe!" seru Marcia.
"Hah"!" wajah Rhea langsung berubah pucat. Rhea berlari mengintip dari pintu kelas. Benar kata
Marcia, Papanya sedang menuju kelas mereka.
"Gimana nih?" tanya Rhea cemas. Semua coba memutar otak untuk mencari akal.
"Gue tau!" Marcia mendapat ide. "Felix, lo cepat masuk ke kolong meja guru. Lo jangan keluar
sampai kami bertiga benar-benar udah pergi. Sekarang kami mau keluar sebelum bokapnya Rhea
masuk ke kelas ini. Oke?" semua manggut-mangut tanda setuju.
"Udah cepetan gih sana! Jangan cuma manggut-manggut doang!"seru Marcia.
Semua buru-buru bergerak sesuai ucapan Marcia. Felix masuk ke kolong meja sedangkan Rhea,
Marcia dan Rachel dengan jantung berdebar keluar menghampiri kepala sekolah mereka alias
Papanya Rhea sambil menenteng tas masing-masing. Rhea asli tegang banget saat ini, dan itu
bisa dilihat dari keringat yang mengalir di keningnya serta mukanya yang sudah sewarna dengan
dinding sekolahan yang berwarna putih pucat.
"Eh.. siang, Pak! Baru saja kami mau ke tempat parkir, Pak," sapa Marcia begitu mereka mereka
bertiga berdiri di hadapan papanya Rhea.
Papa nggak membalas sapaan Marcia. Dia diam saja menunjukan wibawanya.
"Pa... Rhea udah mau pulang kok," kata Rhea takut-takut.
"Sedang apa kalian di kelas" Apa masih ada kegiatan?" tanya Papa tegas.
"Ng... anu, Pa... nggak ada kegiatan lagi kok. Kami cuma... cuma...." Rhea nggak tau harus
menjawab apa. "Cuma apa?" Papa kelihatannya mulai kesal melihat Rhea gugup begitu.
"Kami cuma..." Rhea makin nggak ngerti harus ngomong apa sama Papa.
"Rhea sama Marcia cuma nemenin saya nyelesaiin catatan saya kok, Pak. Soalnya catatan itu
buat ulangan besok. Makanya saya tadi pinjem catatannya Rhea biar bisa secepatnya saya
selesaiin." bantuan datang dari mulut Rachel, dan alasannya masih masuk akal kok. Semoga saja
Papa percaya. Papa terdiam. Dia sedikit curiga pada ketiga ABG ini. Soalnya kalo cuma nemenin Rachel,
menyelesaikan catatan di kelas, untuk apa Rhea terlihat gugup kayak gitu. Aneh aja. Tapi Papa
nggak bisa menemukan letak kesalahan mereka. Jadi papa cuma bisa bilang, "Makanya
hilangkan kebiasasan malas mencatat kamu. Jadi kalo ada ulangan catatan kamu selalu lengkap
dan siap untuk di pelajari. Jangan cuma ngobrol atau tidur di kelas. Bagaimana kamu bisa pintar
kalo begitu" Kamu mengerti Rachel?"
"Iya Pak... saya tau." kasihan Rachel. Demi teman ia harus rela berkorban jadi kambing hitam.
Rhea menatap Rachel penuh rasa terima kasih. Bahagia banget rasanya punya teman kayak gini.
Ini baru yang namanya sahabat sejati. Ingin rasanya ia memeluk Rachel erat-erat saat ini juga.
"Ayo Rhe, kamu sudah membuat Mama menunggu terlalu lama untuk makan siang sama-sama
di rumah! Papa nggak mau ini terulang lagi. Ngerti!" tegas papa.
Rhea cuma bisa manggut-manggut pasrah.
"Kalian berdua juga pulang sekarang. Jangan keluyuran kemana-mana!" perintah papa pada
Rachel dan Marcia yang cuma bisa tersenyum masam. Kemudian papa berbalik dan menyusuri
koridor sekolah menuju tempat parkir.
"Gue balik duluan ya! Thanks for everything... nanti sore gue telepon kalian!" pamit Rhea penuh
rasa terima kasih, lalu berjalan cepat menyusul papanya yang mulai menjauh.
BAB 5 "Tuh kan, gue bilang apa! Felix naksir elo! Cie...! Akhirnya Rhea punya pacar juga," goda
Marcia di telepon sore itu.
Rhea yang sedang menunggu Nico sambil menerima telepon dari Marcia jadi tersipu malu dan
sok imut. Dia memilin-milin rambutnya sendiri sampai berantakan.
"Tapi gue nggak yakin, Mar. Habis gue harus backstreet gini."
"Elo nih, banyak banget khawatirnya! Jalanin aja dulu, backstreet ya backstreet. Elo takut"
"Jelas gue takut! Kalau ketahuan bokap, gue bisa digantung."
"Nggak akan ketahuan kalo elo hati-hati dan nggak ada yang ember."
"Nah itu yang gue takutin! Mulut lo sama Rachel kan bocor banget!"
"Sial lo! Emangnya gue temen apaan" Masa gue tega nyelakain temen sendiri sih?"
"Hehehe.. bercanda Mar."
"Itu sih penghinaan namanya!"
"Sori deh.. tapi, gue masih belum sepenuhnya yakin keputusan gue ini tepat. Gue bahagia banget
pas tadi dia nembak gue. Untung mawarnya nggak ancur gara-gara gue masukin tas. Cuma gue
nggak yakin apa iya gue cinta sama dia."
"Rhea... Rhea... elo tuh polos banget sih" Lo kan cuma pacaran, bukannya mau kawin" Kalo
emang ternyata lo ngerasa nggak cocok, ya tinggal putus aja. Ngapain juga lo pusingin?"
"Itu sih artinya gue jahat dong" Pacaran cuma buat have fun aja. Gue nggak mau kalo gitu."
"Itu kan kalo emang nggak cocok. Tapi kalo cocok ya jalan terus. Pacaran itu kan sebuah proses
yang membuat kita mengenal pasangan lebih dekat lagi dan saling menyesuaikan diri. Kalo
ternyata dalam proses itu kita nggak menemukan kecocokan, yah... buat apa lagi diterusin?"
ceramah Marcia panjang-lebar.
Asli Marcia cocok banget jadi konselor pernikahan! Lagi kesambet jin apaan tuh anak" Kok
ngomongnya sok bijak kaya gitu. Tapi Rhea nggak berani mengomentari langsung, takut jinnya
kabur. Soalnya saat ini dia memang butuh advice.
"Tapi Mar, bukannya ini berarti gue ngebohongin Felix dan diri gue sendiri" Felix jelas tau dan
sadar sepenuhnya kalau dia lagi jatuh cinta sama gue. Sedangkan gue sama sekali belum
memahami apakah gue juga jatuh cinta sama dia dan main asal nerima aja pernyataan cintanya
itu." "Rhe, cinta itu bisa tumbuh sejalan dengan waktu. Nggak semua cinta muncul saat pertama kita
kenal pasangan kita. Ada lho pasangan yang udah sahabatan lama, tapi baru menyadari pasangan
masing-masing setelah persahabatan mereka memasuki tahun ke lima. Itu yang dialami sepupu
gue yang nikah bulan lalu. So, bisa aja setelah elo menjalani masa-masa pacaran sama Felix, lo
bisa benar-benar jatuh cinta dan tergila-gila sama dia. Nggak ada seorang pun di dunia ini yang
tau pasti apa yang akan terjadi besok."
Gila! Marcia keren banget. Kata-katanya itu, bo! Bijak banget.
"Mungkin elo bener, Mar. Gue mesti coba dulu, baru gue memutuskan apa yang harus gue
lakukan selanjutnya. Backstreet, siapa takut?"
"Nah... Gitu dong! Bel rumah Rhea mengalunkan musik merdu. Pasti Nico sudah datang. Hari ini kan ada jadwal
les. "Mar, udahan dulu ya. Guru les gue udah datang nih."
"Oke deh. Tapi jangan lupa ya, besok istirahat pertama dua mangkok soto mi sebagai ongkos
tutup mulutnya." "Ye.. rese lo!"
Marcia tertawa lalu say bye. Setelah meletakan kembali gagang telepon, Rhea berlari menuju
pintu depan. *** "Ini udah selesai." Rhea menyodorkan buku tugasnya ke Nico.
Lagi-lagi disuruh ngerjain soal. Tiap kali les selalu kayak gini. Hari ini giliran 50 soal biologi
yang mesti Rhea selesaikan. Memang sih gara-gara sering latihan soal kayak gini dia jadi
mengenal banyak tipe soal. Mulai dari soal yang langsung ketahuan apa jawabannya sampai soal
yang banyak sekali jebakan dan bikin syaraf otak jadi kusut. Selain itu banyak banget
pengetahuan yang sama sekali belum pernah Rhea dengar selama ini, dia temukan di soal-soal
itu. Apalagi Nico rajin banget ngasih rumus-rumus alternatif untuk ngerjain soal-soal Fisika,
Kimia dan Matematika. Bahkan sampai ngebuatin rangkuman rumus-rumus. Dan hasilnya, Rhea
jauh lebih ngerti lagi sekarang. Bahkan kalo dipikir-pikir lagi, belakangan ini soal-soal ulangan
MAFIA (Matematika, Fisika, Kimia) jadi terasa jauh lebih mudah. Contohnya ulangan Kimia
tadi pagi. Biarpun Rhea nggak belajar, tapi gara-gara diwajibkan Nico ngerjain soal-soal dan
baca rangkuman rumusnya, ulangan tadi asli gampang. Bukannya sombong, tapi memang
gampang! Nico yang sudah mulai mengoreksi pekerjaan Rhea merasa kalau cewek di depannya ini lagi
bengong. Nico menghentikan kegiatannya.
"Rhea, jangan bengong!" bentak Nico, membuat Rhea terlonjak kaget.
"Siapa yang bengong"!" Rhea membela diri.
"Itu apa namanya kalau bukan bengong" Kenapa" Lagi mikirin cowok" Tenang aja... nggak
bakal ada cowok yang mau sama elo. Soalnya cewek tukang bengong kaya elo pasti susah diajak
jalan. Nggak bakal ada yang mau deh!"
"Apaan sih lo" Kok nyolot banget" Apa hak lo ngelecehin gue kayak gitu"!"
"Ini hak gue sebagai guru untuk negur murid yang suka bengong sewaktu pelajaran."
"Udah gue bilang, gue nggak bengong!"
"Nggak bengong tapi ngelamun. Iya kan?"
"Terserah elo deh!"
"Ya udah kalo gitu. Daripada elo nerusin pentas bengong lo, mending lo ambil buku biologi yang
warnanya biru." Nico menunjuk tumpukan buku yang dibawanya dari rumah. "Lo baca dari
halaman 234 sampai 242."
Rhea menarik napas dalam-dalam untuk meredakan emosinya. Matanya mulai mencari-cari buku
yang dimaksud Nico, sedangkan Nico udah mulai serius lagi memeriksa hasil pekerjaan Rhea.
Yups! Ketemu juga buku itu yang ternyata ada di tumpukan paling bawah. Dan....GILA! Tebel
banget tuh buku! Udah kaya high heels kesayangan Marcia yang pernah dia pamerin sebulan
lalu. Kalo diukur pake penggaris pasti tebalnya sekitar sepuluh senti. Yang bikin nih buku niat
banget sih" Rhea mengambil buku itu dan membuka halaman-halaman pertamanya pelan-pelan. Ya ampun,
bahasa inggris, lagi! Gila! Masa gue disuruh baca buku beginian" Nggak deh, makasih!
"Lo yakin gue harus baca nih buku?" Rhea memberanikan diri bertanya.
"Kenapa" Lo nggak bisa baca?" Nico balik bertanya tanpa sedikit pun menghentikan
aktifitasnya. Ye... dasar manusia nyebelin! Rhea berusaha menahan emosinya. Rhea menarik napas dalamdalam, berusaha sabar.
"Bukan begitu... soalnya nih buku pake Bahasa Inggris. Lo punya nggak, buku yang pake Bahasa
Indonesia aja. Trus, nggak usah tebal-tebal kayak ini."
"Nggak punya! Lagian kan pake bahasa inggris. Jadi selain belajar biologi, lo juga bisa
memperkaya vocab inggris lo."
"Tapi kan... " "Udah... baca aja," potong Nico. "cerewet banget sih lo! Disuruh baca aja susah banget!"
Rhea terdiam. Dia menelan ludah dan menarik napas dalam-dalam. Sabar ya Rhe! Anak sabar
disayang Tuhan. Rhea mengalihkan pandangannya ke buku yang ada di depannya dan mulai membaca halaman
yang udah terbuka. Belum satu kalimat dibacanya, ada suara yang dia kenal berbunyi nyaring
dari atas meja telepon. Nada-nada lagu Toxic itu pasti berasal dari HP-nya yang lagi bertengger
di meja telepon. Rhea jadi bingung. Mau angkat atau nggak ya" Kalau diangkat, Nico bisa marah
karena ini jelas mengganggu. Tapi kalo nggak diangkat malah jauh lebih mengganggu, kan"
Gimana dong" Angkat... nggak" angkat... nggak...
"Woi, Non! Elo tuli ya" Nggak denger apa, HP lo bunyi?" suara Nico membuat Rhea terlonjak
kaget. "Iya gue denger!" jawab Rhea sewot.
"So, kenapa nggak lo angkat" Mau pamer sama gue kalo lo punya HP"!"
"Lo kenapa sih nggak bisa ngomong baik-baik sedikit aja" Bikin orang marah aja!"
"Ah, bawel lo! Angkat aja tuh HP, bisa nggak" Berisik, tau!"
Jantung Rhea berdegup kencang. Rasanya darahnya menjalar naik sampai ke ubun-ubun. Cowok
gila! Bisa gila gue ngeladenin cowok kayak gini! pikirnya.
Rhea pun bangkit dan berjalan menuju meja telepon. HP-nya masih berbunyi. Langsung saja
disambarnya benda itu dan ditekannya tombol answer, tanpa sempat melihat nama yang muncul
di layar HP-nya. "Halo?" "Halo, sweety... lagi ngapain?" terdengar suara di seberang sana.
Oh, God... Felix! Rhea langsung merapatkan diri ke dinding, berusaha menjauhkan diri dari Nico
yang sedang serius memeriksa buku tugas Rhea.
"Felix.. ada apa?" tanya Rhea dengan suara berbisik.
"Gue kangen sama elo."
"Hah" Kan tadi baru aja ketemu di sekolah."
"Iya gue tau. Tapi kan sedetik aja nggak ketemu elo, rasanya seperti seabad. Gue nggak tahan"
kangen banget!" Rhea heran, kenapa Felix tiba-tiba jadi begini" Kesannya manja banget. Bikin gue geli aja nih.
"Gue lagi les nih. Lo teleponnya nanti aja deh. Guru les gue galak banget," ujar Rhea setengah
berbisik. "Ya udah deh. Nanti malam gue call elo lagi. Tapi elo mau janji satu hal dulu nggak sama gue?"
"Janji apa?" "Bilang aja iya."
"Iya, tapi apa?"
"Sabtu kita jalan ya. Gue mau ngajak elo nonton. Oke, honey?"
First date! Felix ngajak kencan. Tapi gimana caranya" Rhea mulai bingung. Emangnya Papa
bakal kasih izin" Kayaknya gue nggak mungkin bisa keluar begitu aja tanpa dicurigai Papa. Tapi
ini kesempatan pertama yang asli langka banget seumur hidup gue. Masa sih gue sia-siain gitu
aja! "Mmm... lo tau kan gue susah keluar. Lagian kan kita backstreet. Gue nggak bisa janji bakal
jalan berdua elo sabtu nanti. Tapi gue bakal usahain. Gue pikirin dulu gimana caranya ya. Kalo
gue udah yakin bisa keluar, gue kabarin elo lagi. Gimana"
"Iya gue ngerti kok. Tapi usahain ya Rhe... Gue pengin banget jalan sama elo."
"Iya, gue usahain."
"Ya udah, nanti malam gue call elo lagi ya say. Met belajar!"
"Iya, bye!" Rhea meletakkan kembali HP-nya ke atas meja, dan beranjak kembali mendekati Nico yang
masih tekun dengan buku tugas Rhea. Tapi baru aja dia mau duduk, HP-nya kembali berdering
nyaring. Rhea menatap Nico takut-takut, tapi nggak ada reaksi dari cowok itu. Dia tetap menatap
buku seperti nggak peduli suara HP. Rhea buru-buru balik ke meja telepon dan menyambar HP.
Nama Felix muncul di layar.
"Ada apa lagi sih, Lix?"
"Lho, kok elo ngomongnya gitu sih" Elo nggak suka ya gue nelepon?"
"Bukan gitu. Cuma" gue kan udah bilang kalo gue lagi les. Kalo gue angkat telepon terus gue
bisa kena marah." "Oh, sori deh kalo gitu. Gue cuma mau bilang... kalo sabtu elo bisa keluar, kita janjiannya jam
empat aja ya. Urusan tempat nyusul, oke?"
"Iya... gue setuju-setuju aja."
"Gue udah nggak sabar nih mau jalan berdua sama elo."
"Iya, gue juga."
"Bener?" "Iya.." "Makasih ya, Rhe. Elo udah bikin gue bahagia banget hari ini."
Pipi Rhea bersemu merah. Dia terharu banget. Dia sama sekali nggak menyangka Felix benarbenar serius sama dia.
"Lix... gue les dulu ya," ujar Rhea yang nggak tau harus gimana merespon ucapan Felix tadi.
"Iya, iya.. gue nggak ganggu elo lagi deh. See you, honey! I love you so much."
"Iya. bye!" Pipi Rhea merah padam. Ia terpesona mendengar untaian kata yang keluar dari mulut Felix. Ini
pertama kali dalam hidupnya ada seorang cowok yang mengatakan hal-hal yang begitu manis
padanya. Rhea berjalan pelan setelah men-silent HP-nya dan meletakannya lagi ke atas meja.
Rhea kembali duduk dan membaca buku yang ada di depannya. Lebih tepatnya pura-pura
membaca, soalnya sebenarnya dia cuma melamunkan kembali percakapan mesranya dengan
Felix barusan. Buku di depannya cuma sebagai kedok, biar kesannya tuh dia lagi baca. Nico
menatap cewek di depannya yang lagi menunduk. Nico tau Rhea tidak sedang membaca, karena
nggak mungkin ada orang yang baca buku Biologi setebal itu dengan wajah bersemu merah dan
senyum-senyum sendiri. Nico yakin telepon tadilah yang membuat Rhea seperti ini.
"Telepon dari cowok lo ya?" tegur Nico.
Rhea terlonjak kaget. Jangan-jangan Nico mendengar percakapannya di telepon tadi.


Nggak Usah Jaim Deh Karya Valleria Verawati di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apaan sih" Bukan urusan elo!" Rhea berusaha mengelak.
"Nggak usah ditutupi deh," Nico tersenyum sinis. "Muka lo tuh udah ngasih jawabannya."
"Ih, sok tau!" Rhea mulai kesal.
"Rhe, bukannya lo nggak boleh pacaran sama bokap lo" Pasti elo backstreet!" tepat di sasaran.
Wajah Rhea langsung berubah pucat. "Mmm... gimana ya kalo gue lapor ke bokap lo" Pasti
bakal jadi tontonan seru nih! Mungkin akan terjadi perang dunia ketiga kali ya?"
Psikopat! Dasar cowok psikopat! maki Rhea dalam hati.
Nico menatap wajah Rhea yang kini benar-benar seperti mayat. Nico tau tebakannya memang
tepat. Tapi sedetik kemudian, segores luka menyayat hatinya. Rasanya perih sekali saat melihat
ekspresi Rhea. "Tapi... kayaknya nggak mungkin juga sih," kata Nico lagi, kini mencoba menghibur Rhea.
Wajah Rhea berangsur-angsur normal kembali. Tapi cuma sesaat, karena Nico nyeletuk lagi.
"Soalnya, mana ada sih cowok yang mau pacaran sma elo?"
"Elo gila ya! Kenapa sih mulut elo nggak pernah bisa dikontrol!"!" maki Rhea kesal.
"Tapi gue benerkan" Mana mungkin ada yang mau sma elo!" Nico mulai cengengesan.
"ADA ATAU NGGAK, ITU BUKAN URUSAN LO!" Rhea membanting buku dan masuk ke
kamar. Soal Nico, sebodo amat!
*** Perpustakaan sudah sepi. Nggak banyak anak-anak yang nongkrong di situ. Sebagian besar
sudah pada pulang. Rachel, Rhea dan Marcia mojok di sudut ruangan sambil sibuk mencari
bahan makalah tentang sejarah olimpiade, sekalian nungguin papanya Rhea yang masih rapat.
Selain mereka, cuma ada beberapa pasang muda-mudi yang lagi di mabok cinta, ngambil setting
perpustakaan sebagai lokasi pacaran.
"Chel... Mar.. gimana dong" Udah hari jumat nih, dan gue belum dapat satu ide pun untuk bisa
keluar sama Felix," kata Rhea setengah berbisik.
"Ya ampun, gitu aja kok repot!" Rachel menatap Rhea heran. "Itu kan gampang. Lo tinggal cari
alasan aja biar bisa keluar rumah."
"Ngomong sih gampang, tapi gimana prakteknya" Gue kan belum pernah bohong sama bokap
gue," jawab Rhea. "Kalau ketauann, gimana" Gue takut, Chel."
"Yah... Rhea. Justru ini serunya bacsktreet, Rhe!" Marcia tersenyum menggoda.
"Gila! Ini sih namanya cari mati. Gue benar-benar stres berat nih!"
Rachel dan Marcia tertawa geli mendengar ucapan Rhea. Rhea memang terlalu lugu. Pacaran,
apalagi backstreet, benar-benar hal baru untuknya.
"Ya udah, biar kami yang bantuin elo," Marcia memberikan harapan baru buat Rhea.
"Bantuin gimana?"
Marcia berdecak, lalu berkata, "lo bilang aja ke bokap lo kalo kita mau belajar kelompok buat
ngerjain makalah tentang Olimpiade ini di rumah gue. Nanti biar gue sama Rachel yang jemput
elo, supaya bokap elo percaya. Nah pulang dari jalan sama Felix, lo minta deh si Felix nganterin
elo lagi ke rumah gue. Seterusnya biar gue yang nganter elo pulang. Oke?"
Rhea mengernyitkan keningnya. Ide yang sederhana tapi cukup bagus. Kenapa gue nggak
kepikiran ke situ ya" ujarnya dalam hati.
"Tapi... gimana kalo sampai ketahuan?"
"Lo nggak usah mikir macam-macam, Rhe," ujar Rachel, seperti bisa membaca hati Rhea. "Lo
mau kan jalan sama Felix?" tanyanya begitu dilihatnya keraguan di wajah Rhea.
"Iya, gue mau banget, tapi... "
"Rhe, kapan lagi momen berharga ini terjadi dalam hidup lo" Lo mau kencan sama cowok yang
benar-benar sayang sama elo, cowok yang jadi inceran cewek-cewek satu sekolah. Elo kan selalu
ngimpiin punya pengalaman yang seru dalam hidup lo. Nah, sekaranglah kesempatan itu datang.
Masa lo mau mundur gitu aja sih" Come on, Rhe, masa gitu aja lo takut?" bujuk Marcia.
Rhea terdiam. Ia mulai memikirkan kembali ide sahabatnya itu, juga semua kata-kata Marcia
barusan. Marcia benar, Rhea nggak boleh mundur begitu saja. Kesempatan seperti ini belum
tentu akan terulang lagi.
"Oke, gue setuju. Gue coba nekat kali ini," kata Rhea mantap.
"Nah.. gitu dong!" seru Rachel dan Marcia bersamaan, membuat beberapa pasang mata yang
masih ada di dalam ruangan itu menatap mereka. Rachel dan Marcia buru-buru menutup mulut.
Rhea tersenyum geli. "Makasih ya, kalian udah bantuin gue cari ide."
"Ini sih soal gampang, Rhe. Tapi jangan lupa balas budinya ya." Rachel mengembalikan buku ke
dalam rak. "Iya deh... apa aja yang kalian mau, gue kabulin."
"Bener nih" Kami berdua cuma minta satu hal. Nggak susah kok." Rachel tersenyum mani
s, tapi senyum itu malah membuat Rhea curiga. Pasti ada maksud terselubung di balik senyum Rachel
itu. "Mmm... kami cuma mau makalah kelompok kita jadi tanggung jawab lo sepenuhnya.
Gampang kan Rhe." Yup! kecurigaan Rhea terbukti benar.
BAB 6 CUACA sore itu agak mendung. Matahari tengah bersembunyi di balik awan. Rhea duduk di
tempat tidurnya sambil menggenggam HP. Tampak keraguan di matanya. Rhea menarik napas
panjang, kemudian menekan nomor telepon Felix yang sudah disimpannya dalam speed dial.
"Halo, Felix," sapa Rhea begitu teleponnya tersambung.
"Halo, honey, ada apa?" balas Felix dari ujung telepon.
"Mmm... gue mau bicara soal besok."
"Besok" elo bisa keluar?"
"Iya. Gue udah pikirin caranya dan itu yang mau gue bahas sama elo sekarang."
"Oke, gimana?" Rhea menarik napas dalam-dalam. "Besok gue bilang sama bokap kalau gue mau ngerjain tugas
kelompok di rumah Marcia. Nanti Marcia yang jemput gue biar bokap gue percaya. Trus kita
ketemuan di rumah Marcia. Dan sebelum jam sembilan gue udah harus pulang. Elo anterin gue
ke rumah Marcia lagi, biar nanti Marcia yang anterin gue pulang ke rumah."
"Brilian! Itu ide yang asli oke banget! Bokap lo pasti nggak bakal curiga."
"Semoga aja begitu. Trus kita janjiannya di mana?"
"Di Plaza Senayan aja... di depan bioskopnya. Kita kan mau nonton. Oke say?"
"Ya udah. Kita ketemuan besok jam empat di depan Plaza Senayan."
"Say" makasih ya."
"Makasih untuk apa?"
"Makasih karena elo mau berkorban banyak banget biar kita bisa jalan berdua. Gue seneng
banget walaupun gue tau ini berat buat elo. Elo pasti nggak pernah melakukan hal seperti ini
sebelumnya." "Iya" ini pertama kalinya gue nekat melakukan hal semacam ini. Bohong sama keluarga,
ngarang-ngarang cerita, rasanya seperti bukan gue. Jujur aja, gue takut banget. Tapi gue tetap
mau jalan sama elo karena gue pikir gue harus mencoba menikmati masa remaja gue. Kalo
nggak sekarang kapan lagi?"
"Karena itu, Rhe, gue makasih banget sama elo. Tenang aja... gue janji, gue akan bikin besok
jadi hari yang nggak terlupakan buat elo."
"Iya," *** Rhea meremas-remas kedua tangannya. Masalahnya dia nggak tahu bagaimana caranya minta
izin sama Papa dan mengawali semua rencana besarnya hari ini. Semua jam yang ada di kamar
Rhea kompak menunjukan pukul 14.30. Ini tandanya Rhea nggak punya banyak waktu lagi. Ia
semakin bingung. Rhea berdiri di depan pintu kamarnya lalu menarik napas panjang. Tangannya bergerak pelan
hendak membuka pintu, tapi kemudian ia berubah pikiran. Rhea mundur beberapa langkah lalu
bolak-balik di depan tempat tidurnya kaya setrikaan. Ia terus meremas-remas kedua tangannya.
Sejenak Rhea berhenti di tempat, lalu memejamkan kedua matanya rapat-rapat dan menarik
napas panjang lagi. Setelah itu membuka mata dan tersenyum lebar. Oke, Rhea lakukan sekarang
untuk masa depanmu atau kamu akan menyesal seumur hidupmu. Rhea pun melangkah mantap
dan membuka pintu, lalu berjalan menuruni anak tangga satu per satu menuju ruang tamu. Di
sana papa dan mama lagi duduk berdua menonton televisi.
"Pa... Ma" Rhea mau minta izin nih," Rhea langsung duduk di sebelah mamanya begitu sampai
di ruang tamu. "Kamu mau ke mana Rhe?" tanya mama lembut.
"Mmm.. Rhea... Rhea mau ke rumah Marcia, mau kerja kelompok bikin makalah tentang sejarah
Olimpiade, Ma," jawab Rhea ragu-ragu. Begini nih kalo nggak pernah bohong. Bohong sedikit
aja udah grogi dan keluar keringat dingin.
"Kenapa nggak kerja kelompok di sini saja" Papa kan punya koleksi buku yang jauh lebih
lengkap dan bisa dijadikan referensi untuk makalah kamu?" tanya Papa.
Kayaknya ia mulai curiga melihat tingkah anak bungsunya. Rhea terdiam sesaat. Otaknya
berputar cepat berusaha mengarang jawaban yang masuk akal. Ini benar-benar pertanyaan di luar
dugaan. Nggak ada dalam skenario, dan membutuhkan improvisasi.
"Itu, Pa... rumah Marcia kan kosong. Soalnya mama-papanya lagi pada pergi. Makanya kami
mau kerja kelompok di rumah Marcia aja, sekalian nemenin Marcia jaga rumah," jawab Rhea
begitu menemukan alasan yang masuk akal.
"Kamu mau pergi jam berapa" Biar papa yang antar," kata mama.
"Nggak usah, Ma. Marcia nanti jemput Rhea jam setengah empat," buru-buru Rhea menolak
tawaran Mama. "Kata kamu Marcia jaga rumah, kok dia bisa jemput kamu?" O-o" pertanyaan Papa membuat
Rhea menelan ludah. "Mm... anu, Pa... kan jemput Rachel sama Rhea cuma sebentar, jadi nggak apa-apa kalau
rumahnya ditinggal. Masalahnya, mobil Rachel lagi di bengkel, jadi mau nggak mau Marcia
harus jemput Rachel lalu sekalian jemput Rhea."
"Ya sudah, yang penting kamu jangan pulang malam-malam. Sebelum jam sembilan kamu sudah
harus sampai rumah. Kalo tugasnya belum selesai kan bisa dilanjut besok. Selain itu kamu juga
nggak boleh telat makan. Mama percaya sama kamu, kamu kan sudah besar," kata mama lembut,
sambil membelai rambut Rhea.
"Iya, Ma. Makasih?" sahut Rhea lirih. Perasaan bersalah memenuhi hatinya. Ini pertama kali
dalam hidupnya ia berbohong pada orangtua. Padahal Mama udah begitu baik, bahkan mama
memberikan kepercayaan padanya. Tapi Rhea sudah terlanjur basah dan nggak mungkin mundur
lagi. Maaf, Ma" Maaf, Pa" Maafkan Rhea...
*** Rhea berjalan pelan menuju bioskop tempat dia janjian sama Felix kemarin. Rhea merasa agak
risi. Masalahnya, tank top bermotif polkadot yang disediakan Rachel dan Marcia malah
membuatnya nggak percaya diri. Dia merasa penampilannya terlalu sexi. Tadi di mobil, selama
perjalanan menuju Plaza Senayan ini, Rhea dipermak habis-habisan. Mukanya dipakein bedak
dan blush-on, sampai-sampai Rhea merasa mukanya mirip.... hmm.. maaf... pantat monyet.
Matanya juga dipakein eye-shadow plus eyeliner. Belum lagi bibirnya dipoles lipstik lengkap
dengan lipgloss-nya, membuat bibirnya kelihatan berminyak banget kaya habis makan bakmi
ayam. Untung saja dia tadi berhasil menolak memakai rok mini yang juga udah disiapin kedua sobatnya
itu, dan tetap bertahan dengan celana jinsnya. Tapi tank top dan berbagai aksesoris seperti ikat
pinggang, kalung warna-warni, anting-anting berbentuk bola warna-warni, dan gelang warna
pelangi sama sekali nggak bisa ditolak. Bahkan Rachel sampai memakaikannya secara paksa ke
tubuh Rhea. Belum lagi sendal jepitnya juga dipaksa ganti dengan sepatu high heels warna biru
muda. Dan yang terakhir, tas ransel kesayangannya juga disita dan diganti dengan tas cangklong
bermotif polkadot. Penampilan Rhea benar-benar beda dari biasanya. Bahkan Rhea sendiri sampai nggak ngenali
dirinya lagi. Selama ini dia nggak pernah beresperimen dengan penampilannya atau mengikuti
tren mode masa kini. Cukup bedak, pelembab bibir, dan cologne bayi yang menyentuh tubuhnya.
Pakaiannya paling cuma celana jins dan T-shirt. Ditambah tas ransel dan sendal jepit.
Penampilan beda seperti ini membuat Rhea kurang pede. Tapi kata Rachel dan Marcia, kencan
pertama wajib meninggalkan kesan yang berbeda, biar hubungan sama gebetan bisa awet.
Karena itu Rachel juga melengkapi Rhea dengan tiga perlindungan ekstra, yaitu permen
penyegar mulut, body lotion, dan eau de toilette. Perman penyegar mulut fungsinya agar mulut
Rhea terhindar dari napas tak sedap, juga supaya bibir Rhea siap kapan saja menyambut
serangan mendadak bibir Felix. Trus body lotion berfungsi supaya tangan Felix betah mengeluselus tangan Rhea, dan eau de toilette menjaga tubuh Rhea wangi 24 jam dan membuat Felix
mabok kepayang. Mendengar semua itu Rhea cuma bisa pasrah dan nurut aja. Rhea sudah
hampir sampai di depan bioskop matanya mulai mencari-cari sosok Felix.
Yups, ketemu. Felix sedang berdiri nggak jauh dari pintu masuk bioskop. Cowok itu memakai
kaus ketat tanpa lengan berwarna hitam, celana bahan yang juga berwarna hitam, dan sepatu kets
warna hitam dengan garis-garis putih di pinggirnya. Asli, Felix jadi kelihatan lebih keren dari
biasanya. "Hai! Lama, ya?" sapa Rhea tersenyum manis.
"Rhea?" Felix terpana melihat sosok gadis di depannya yang baru saja menyapanya dan kini
sedang tersenyum manis padanya.
"Iya. Emang kenapa" Gue aneh ya?"
"Bukan" nggak... nggak aneh. Malah... elo kelihatan cakep banget. Beda dari biasanya."
"Masa sih?" Rhea sedikit tersanjung, tapi dia merasa gugup juga. "Gue malah merasa nggak pede
nih." "Bener gue jujur lho. Elo emang cakep banget."
"Makasih," pipi Rhea bersemu merah, membuat warna blush-on di pipinya terlihat semakin
menyala. "Gue sampai pangling lho."
Rhea cuma bisa tersenyum malu. Ternyata nggak rugi juga nurutin Marcia dan Rachel. "Elo
udah lama nunggu, ya" Rhea berusaha mengalihkan pembicaraan."
"Nggak juga. Tapi gue udah beli tiketnya, soalnya takut kehabisan. Kita nonton Spiderman 2,
ya" Katanya filmnya keren banget. Elo belum nonton kan?"
"Eh, belum..," jawab Rhea berbohong. Padahal baru dua hari yang lalu dia nonton di VCD yang
dipinjam Reva dari temannya.
"Bagus deh kalau begitu. Kita masuk yuk. Tapi kita beli minum dan popcron dulu," Rhea
mengangguk. Felix meraih tangan Rhea dan menggandengnya masuk ke area bioskop. Jantung Rhea berdegup
cepat, dan dia yakin saat ini pasti pipinya sudah semerah kepiting rebus.
*** Studio 1 sudah gelap. Felix menggandeng tangan Rhea mencari tempat duduk mereka. Filmnya
sudah dimulai. Gara-gara Rhea kebelet pipis, mereka jadi telat masuk. Akhirnya ketemu juga deh
tempat duduknya. Felix duduk di sebelah kanan Rhea. Tangannya tak lagi menggenggam tangan
Rhea, tapi sibuk mengambil popcorn dan melahapnya. Cowok itu tampak serius menatap layar
lebar yang ada di hadapan mereka. Rhea menghirup minumannya. Tadi dia memang nggak mau
beli popcorn, dan hanya membeli segelas soft drink. Udah terasa begitu dingin. Apalagi saat ini
dia hanya memakai tank top. AC yang begitu dingin membuat mata Rhea terasa berat. Belum
lagi semalam dia sama sekali nggak bisa tidur gara-gara mikirin hari ini. Sekarang rasanya Rhea
benar-benar ngantuk... pengin tidur... Rhea nggak tahan lagi...
"Rhe, kamu ketiduran ya?" tegur Felix.
"Ah, sory... ya ampun!" Rhea terkejut saat melihat ruangan sudah kembali terang dan para
penonton sudah mulai beranjak dari tempat duduk. "Filmnya udah selesai ya, Lix?" Rhea
bertanya dengan nada menyesal. Gimana nggak menyesal" Ini kencan pertamanya, dan dia
malah ketiduran. Ini benar-benar nggak bisa di percaya.
"Iya, filmnya emang sudah selesai. Kamu ngantuk banget ya" Kita keluar yuk," ajak Felix, tetap
lembut seperti sebelumnya.
Rhea mengangguk pasrah lalu berdiri mengekor Felix menuju pintu keluar. Felix memperlambat
langkahnya agar bisa berjalan sejajar dengan Rhea.
"Kita makan dulu ya, Rhe."
"Iya," Rhea menjawab pelan sambil mengangguk.
Dia masih nggak henti-hentinya mengutuk diri karena kebodohan yang baru saja dilakukannya.
Ia pun berjalan sambil menunduk, soalnya dia mau menguap. Mereka menuruni eskalator lalu
memasuki restoran jepang. Mereka mengambil tempat di pojok ruangan. Suasana di restoran ini
memang agak remang-remang sehingga memberi kesan romantis. Dekorasinya seperti taman
kota. Ada banyak pohon dan tanaman-tanaman plastik di setiap sudut ruangan. Semua
pelayannya memakai kimono berwarna hijau-putih. Benar-benar membuat perasaan jadi teduh
dan tenang. "Elo mau makan apa Rhe?" tanya Felix ramah.
Pelayan yang berdiri di sebelah mereka juga ikut tersenyum manis. Jangan-jangan nih pelayan
naksir Felix lagi" pikir Rhea. Kalau nggak, ngapain dia senyam-senyum segala. Cari perhatian.
"Gue terserah elo aja," Rhea buru-buru menjawab agar Felix segera menyelesaikan pesanan
mereka dan si pelayan cepat-cepat pergi.
"Ya udah, Mbak. Samain aja dengan pesanan saya tadi."
Pelayan itu mengangguk sambil tersenyum ramah, lalu kembali membacakan pesanan mereka,
setelah itu baru meninggalkan meja mereka.
"Kamu tadi ngantuk banget ya" Nyenyak sekali tidurnya," Felix memulai percakapan
"Sori... gue emang ngantuk banget. Gue sama sekali nggak sadar, tau-tau gue udah ketiduran
gitu." "Nggak apa-apa kok. Elo nggak usah merasa bersalah gitu dong."
"Tapi gue kan jadi nggak enak sama elo. Diajak nonton kok malah ketiduran."
"It's okay lagi. Rhe."
"Beneran... elo nggak marah?"
"Buat apa gue marah" Mmmm.... gue malah pengin ngomong serius sama elo."
"Ngomong serius?"
"Iya... gue mau jujur sama elo, tentang rahasia terbesar yang gue simpan dalam hidup gue selama
ini. Gue nggak mau nyembunyiin apa pun dari elo, Rhe."
"Rahasia apa sih?" Rhea jadi deg-degan dan penasaran ingin mendengar penuturan Felix.
Memangnya selama ini cowok itu nyimpen rahasia apa ya"
"Tapi elo janji ya, Rhe. Jangan bilang sama siapa pun tentang hal ini."
"Iya" gue janji," Rhea menjawab mantap. Dia udah penasaran banget pengin tahu apa yang
hendak dikatakan Felix. "Rhe...sebenarnya gue.. sebenarnya gue ini.... SPIDERMAN..."
HAH" Rhea melongo. Dia nggak percaya sama kata-kata yang baru saja menyentuh gendang
telinganya. "sss-Spiderman?"
"Iya, Rhe.. gue ini Spiderman. Selama ini gue menyembunyikan identitas gue dari semua orang.
Diam-diam gue ngebantuin polisi menangkap penjahat-penjahat yang berkeliaran di Jakarta.
Bahkan sekarang ini gue lagi dalam tahap pelacakan lokasi tempat tinggal pelaku pemboman


Nggak Usah Jaim Deh Karya Valleria Verawati di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang meneror Jakarta akhir-akhir ini."
Mulut Rhea terbuka lebar mendengar penjelasan Felix. Nggak mungkin! Nggak lucu banget sih
bercandanya. Konyol! Benar-benar konyol! Apa Felix terlalu terbawa film tadi ya" Ini benarbenar nggak bisa di percaya.
"Lo bercanda kan ?" Rhea tertawa. Dia menduga Felix mungkin sedang iseng menjailinya.
Felix menghela napas panjang. "Gue tau elo nggak mungkin percaya sama omongan gue
barusan. Tapi gue harus jujur sama elo agar elo hati-hati. Musuh-musuh gue pasti akan
mengincar gue karena mereka tau elo orang terpenting dalam hidup gue. Terutama Lord
Voldemord. Elo harus hati-hati sama dia."
Hah" Lord Voldemord" Rhea semakin melongo dibuatnya. Dia benar-benar nggak ngerti arah
percakapan ini. Kok jadi semakin nyasar begini sih" Musuh Spiderman kan Dr. Octopus dan
Harry Osborn yang bapaknya mati. Lord Voldemord kan musuhnya Harry Potter. Gila ini benarbenar gila! Kepala gue kayak mau pecah. Ini terlalu konyol. Terlalu konyol!
"Rhe, kamu nggak dengerin aku ya" Apanya yang konyol?" sayup-sayup Rhea mendengar suara
Felix. "Rhe kamu ketiduran ya?"
Rhea tersentak. Dia membuka kedua kelopak matanya. Lampu ruangan sudah menyala. Banyak
orang yang sudah beranjak dari kursi. Tapi yang pasti, ini masih di ruang bioskop" Bukannya di
restoran Jepang" "Rhe, kamu kenapa" Kamu mimpi ya?" tanya Felix lembut.
"Sori" filmnya baru selesai ya?" Rhea mengucek-ucek matanya. Kacau deh. Benar-benar kacau.
Kirain gue tadi udah bangun, trus makan di restoran Jepang. Eh ternyata masih mimpi juga,
gerutu Rhea dalam hati. Felix mengangguk sambil tersenyum manis. Rhea memandang sekeliling. Ia pun menarik napas
panjang. Lega. Berarti percakapan tentang Spidermen itu hanya mimpi. Ya ampun, bisa-bisanya
gue mimpi kayak begitu. Rhea menertawai dirinya sendiri.
"Kamu pasti ngantuk banget ya" Kita keluar sekarang yuk, habis itu kita cari tempat makan. Aku
tau restoran Jepang yang enak di sini. Kita makan dulu yuk!"
Restoran Jepang" Makan malam" Deg...! Rhea menatap Felix dalam-dalam. Mimpinya tadi
seperti diputar kembali dalam memorinya.
"Nggak deh, Lix. Kita langsung pulang aja. Gue takut kemalaman," tolak Rhea. Masalahnya
bukan takut kemalaman, tapi Rhea takut mimpinya tadi benar-benar jadi kenyataan.
"Ya udah, kalo begitu," Felix nggak mau memaksa walau dari nada bicaranya tersirat
kekecewaan. Namun bukan hanya Felix yang kecewa. Rhea juga sama kecewanya. Dia benar-benar kesal
karena kencan pertamanya harus berakhir seperti ini. Mimpi yang benar-benar mengacaukan
semuanya. BAB 7 Sudah tiga hari berlalu sejak kencan pertama yang kacau itu. Semalam Felix menelepon Rhea.
Minta ditemenin cari buku di mal. Rhea nggak bisa nolak, soalnya dia masih merasa bersalah
karena kejadian waktu kencan itu. Coba kalau dia nggak pake acara ketiduran, pasti semuanya
nggak akan kacau begitu. Hari ini Rhea minta bantuan Marcia dan Rachel lagi. Dua sobatnya itu akan kembali
mengorbankan diri untuk membantu Rhea. Marcia dan Rachel datang ke rumah Rhea dan
menunggunya ganti baju sekaligus makan siang, lalu sama-sama ke mal dengan alasan
menemani Rachel mencari baju senam. Mau nggak mau mereka berdua pun harus siap
mendengarkan ceramah setengah jam dari kepala sekolah mereka di rumah Rhea nanti. Tapi
demi sahabat, kita kan harus selalu siap berkorban. Iya nggak sih"
"Makasih ya. Lo berdua udah rela ngebantuin gue," ucap Rhea tulus sewaktu mereka sudah
berada di dalam mobil Marcia menuju mal.
"No problemo, Rhe. That's what friends are for," sahut Rachel yang duduk di bangku depan di
samping Marcia yang lagi nyetir.
Rhea duduk di bangku belakang sendirian. Kali ini Rachel nggak ngotot memermak Rhea,
soalnya ini kan cuma jalan-jalan biasa. Jadi kata Rachel, Rhea boleh aja tampil kasual.
"Tapi Rhe, bokap lo itu beneran hebat lho," kata Marcia. "Bayangin aja. Selama tiga puluh menit
dia sama sekali nggak kehabisan bahan buat ceramah. Ada aja yang dia omongin. Tentang anakanak yang mulai nggak peduli sama aturan sekolah, sampai ring basket sekolah kita yang rusak
gara-gara anak tim basket ngelempar bola terlalu kuat. Aneh juga bokap lo itu. Kalo ngelempar
bola pelan-pelan ya mana bisa masuk. Iya nggak?"
Rachel dan Rhea tertawa mendengarnya. Dosa sih ngetawain orang tua, apalagi orang tua
sendiri, tapi Marcia emaang bener. Papa tuh nggak pernah kehabisan stok kalo lagi asyik
ceramah. "Oke, girls, kita udah sampai," kata Marcia begitu mobil berada di depan mal Taman Anggrek.
"Thanks banget ya, Mar, Chel."
"Sama-sama Rhe," sahut Marcia. "Lo yakin nanti nggak usah gue jemput lagi?"
"Nggak usah. Gue bisa minta Felix nganterin gue sampai halte yang nggak jauh dari rumah gue.
Habis itu gue tinggal jalan sedikit."
"Ya udah kalo begitu. Sukses ya!" kata Marcia tulus.
"Satu lagi, jangan sampai lo ketiduran waktu lagi cari buku. Oke!" ujar Rachel sambil tertawa.
"Rese lo!" seru Rhea sambil menutup pintu mobil.
"Bye, Rhe!" Rachel melambaikan tangannya dari dalam mobil yang udah mulai melaju lagi.
Rhea membalas lambaian tangan Rachel sampai sobatnya itu menghilang dari pandangannya.
Setelah itu baru ia melangkah memasuki mal. Suasana mal Taman Anggrek hari ini nggak begitu
ramai. Mungkin karena hari kerja. Rhea berjalan santai. Kali ini ia berjalan penuh percaya diri,
nggak perlu merasa risih seperti waktu itu. Rhea memasuki toko buku tampat ia janjian sama
Felix. Suasananya agak sepi. Kepala Rhea mulai celingak-celinguk mencari Felix. Itu dia!
Cowok itu lagi berdiri di bagian buku-buku otomotif. Rhea langsung mempercepat langkahnya
mendekati Felix. "Hai...!" sapa Rhea.
"Hai, Rhe! Kamu baru sampai ya?" tanpa lupa tersenyum manis pada Rhea yang sekarang berdiri
di sampingnya, Felix balas menyapa. Ia masih memegang buku bergambar mobil sport.
"Elo lagi baca apa sih?" Rhea berusaha mengintip buku di tangan Felix.
"Ini... buku tentang otomotif."
"Oh, elo suka otomotif juga?"
"Sedikit." "Buku yang elo cari udah ketemu" Memangnya buku apaan sih yang elo cari?"
"Belum ketemu nih. Tadi gue udah nyoba nyari, tapi di sini lagi kosong. Gue lagi nyari buku
yang ngebahas latar belakang terjadinya perang dunia ke satu dan kedua."
"Oh, kalo buku tentang perang dunia sih gue punya. Bokap gue punya banyak koleksi buku dan
gue pernah baca tentang perang dunia di salah satu bukunya. Nanti gue cariin deh."
"Nggak usah!" tiba-tiba jawaban Felix terdengar ketus. Mimik wajahnya seperti nggak suka
dengan tawaran Rhea itu. Rhea menatap Felix heran. Rasanya dia nggak salah bicara, tapi kenapa cowok ini tiba-tiba jadi
ketus begitu" "Sori, Rhe. Gue nggak bermaksud kasar. Gue cuma nggak mau nyusahin elo. Gue lebih suka
nyari dan beli buku itu sendiri dari pada minjem," suara Felix mulai lembut kembali.
Kelihatannya dia sadar kata-katanya tadi emang kasar.
Rhea tersenyum lega. "Nggak apa-apa kok. Ya udah, kalo kamu memang mau cari dulu. Mm...
gimana kalo kita coba cari di tempat lain?"
"Boleh." Felix tersenyum dan mengangguk. Ia meletakan buku yang dipegangnya ke dalam rak,
lalu menggandeng tangan Rhea dan berjalan keluar dari toko buku itu.
Genggaman Felix terasa begitu hangat. Jantung Rhea jadi berdebar cepat. Rhea berjalan di
samping Felix sambil terus menatap tangannya yang kini berada dalam genggaman tangan Felix.
Tapi tiba-tiba... BUK! Tanpa sadar Rhea menabrak seseorang.
"Aduh! Sori..." Rhea buru-buru minta maaf. Genggaman Felix sudah terlepas. Rhea
menengadahkan kepalanya, dan ia pun langsung terpana begitu menatap wajah orang yang baru
saja ditabraknya. Jantungnya langsung berdetak tiga kali lebih cepat dari biasanya. "Nico," kata
Rhea lirih. Nico juga sama terkejutnya dengan Rhea. Dia nggak sadar kalo cewek yang menabraknya adalah
Rhea. "Lo ngapain di sini?" tanya Nico kasar.
Melihat tanggapan Nico begitu, Rhea jadi kesal. "Eh, apa urusan elo" Gue mau ngapain di sini ya
terserah gue." "Asal jangan lupa waktu aja. Ini udah hampir jam lima. Sejam lagi jadwal les kita. Jangan
keasyikan pacaran ya," ujar Nico sinis sambil menatap Felix dari ujung rambut sampai ujung
kaki. Felix tampaknya nggak suka dilihat dengan cara begitu. Ia langsung maju selangkah dan berkata,
"Apa ada masalah" Dia cewek gue. Apa hak lo ngatur-ngatur dia" Kapan dia mau pulang, itu
urusan dia." "Oh... ini cowok lo, Rhe" Bukannya lo nggak boleh pacaran sama bokap lo?" kemudian Nico
menatap Felix. "Eh, sekalian deh elo gue kasih tau... Gue guru les Rhea. Dan asal lo tau aja ya,
gue punya hak ngingetin dia untuk pulang karena hari ini dia ada jadwal les sama gue."
Felix sudah hendak bicara lagi, tapi Rhea buru-buru menahannya. Ia bisa merasakan api yang tak
berwujud sedang menyelubungi kedua cowok ini, dan Rhea nggak mau kalau sampai terjadi
masalah. Apalagi ini kan tempat umum.
"Gue pacaran atau nggak, bokap gue ngasih izin atau nggak, itu urusan pribadi gue. Elo cuma
guru les yang sama sekali nggak punya hak mengatur kehidupan gue. Tenang aja deh, gue pasti
pulang tepat waktu Pak Guru!" tukas Rhea. Ia sendiri sampai kagum dengan nada bicaranya
yang bisa terdengar begitu tegas. Rasanya jadi mirip Papa kalau lagi ngomong, membuat lawan
bicara jadi nggak bisa berkutik lagi.
Nico terdiam. Dia menatap cewek di depannya dengan sorot mata tajam seperti hendak menelan
Rhea bulat-bulat. Lalu tanpa berkata apa-apa lagi, Nico berbalik dan meninggalkan Rhea begitu
saja. Rhea terpaku. Perasaannya jadi nggak karuan. Ada rasa takut Nico akan mengadukan
masalah ini kepada orangtuanya. Ada perasaan bersalah karena sudah bersikap kasar pada Nico.
Juga ada perasaan sedih karena Nico sama sekali nggak membalas kata-katanya dan berlalu
begitu saja. "Rhe, elo nggak apa-apa?" tegur Felix.
Rhea tersentak. "Nggak... nggak apa-apa. Kita jalan lagi yuk. Gue masih punya waktu 45 menit
untuk bantuin lo cari buku."
Felix mengangguk. Tangannyya merangkul bahu Rhea segera mengajak cewek itu menuju toko
buku lain. Rhea sendiri hanya diam dan nggak lagi banyak bicara. Ia hanya tersenyum dan
menjawab sekadarnya jika Felix mengajaknya bicara. Peristiwa tadi telah membuat mood-nya
jadi berantakan. *** "Rhe, sori... Gue benar-benar minta maaf. Elo jangan diam aja dong!" Felix berkata sambil
setengah memohon. Tatapannya tetap ke depan, kedua tangannya memegang setir.
Hari ini Felix bawa mobil. Motor yang biasa dipakainya lagi rusak dan terpaksa menginap di
bengkel. Rhea duduk di sebelah Felix dengan kebisuan. Dia benar-benar kesal. Udah jam 18.15.
Nico pasti sudah di rumah sekarang. Papa dan Mama pasti marah besar karena Rhea telat pulang.
Bagaimana kalo Nico mengadu pada Papa dan Mama kalau dia ketemu Rhea di mal lagi jalan
sama cowok" Ini semua karena tadi Felix ketemu teman-teman SMPnya lalu mengobrol sampai
lupa waktu. Sudah berkali-kali Rhea berusaha mengingatkan Felix bahwa dia harus segera
pulang, tapi Felix selalu menjawab, "Iya, say.. sebentar lagi say". Rhea benar-benar kesal.
"Rhe, maafin gue. Mereka tuh teman-teman SMP gue, dan gue udah lama banget nggak ketemu
mereka. Pas tadi ketemu mereka lagi, gue benar-benar lupa waktu. Gue nggak bermaksud
nyuekin elo dan bikin elo terlambat pulang."
Rhea tetap diam. Masalahnya sekarang bukan karena dia masih kesel, tapi karena dia pusing dan
takut akan apa yang dihadapi begitu tiba di rumah nanti.
"Lix, gue turun di halte depan itu aja," kata Rhea begitu mereka hampir memasuki area
perumahan tempat tinggal Rhea.
"Gue anterin sampai rumah aja ya," tawar Felix.
"Hah" Lo lupa ya" Kita ini kan backstreet! Kalo lo nganterin gue sampai rumah, orang tua gue
bisa tau kalau kita tuh pacaran."
"Tapi Rhe..." "Nggak ada tapi-tapian. Turunin gue disitu."
Felix terdiam dan menuruti kemauan Rhea. Ia mengambil jalur kiri dan menghentikan mobilnya
tepat di depan halte. Rhea buru-buru melapaskan sabuk pengaman dan membuka pintu mobil.
Sebelum Rhea menutup pintu, Felix berkata pelan, "Rhe, gue benar-benar minta maaf. Gue
nggak bermaksud bikin elo marah."
Rhea menarik napas dalam_dalam. "Gue udah nggak marah lagi kok. Tadi gue emang sempet
kesel, tapi sekarang udah nggak lagi."
"Makasih, Rhe. Hati-hati ya."
Rhea mengangguk dan menutup pintu mobil, lalu segera berlari kecil ke arah rumahnya.
Jantungnya berdegup kencang. Rhea berhenti tepat di depan rumah. Keringatnya bercucuran.
Napasnya juga ngos-ngosan kaya habis dikejar anjing. Rhea berusaha mengatur napasnya. Ia
memperhatikan situasi rumahnya. Kok sepi ya" Motor Nico juga nggak ada di garasi. Apa
jangan-jangan Nico sudah datang, melaporkan semua kejadian tadi siang pada Papa, lalu
langsung pulang lagi" Rhea semakin ketakutan dan cemas. Perutnya sampai terasa mules garagara terlalu tegang. Belum lagi peluh yang bercucuran di dahinya sudah berganti dengan keringat
dingin. Tangannya saja sudah mulai sedingin es. Gimana dong" Tapi bagaimanapun Rhea harus
masuk, nggak mungkin dia berdiri terus di sini. Memangnya mau ganti tugas satpam kompleks
buat jaga rumah" Rhea melirik baby-G pinknya. Sudah hampir jam tujuh. Rhea menelan ludah. Habislah ia kali
ini. Rhea melangkah pelan dan masuk ke rumah. Perlahan dibukanya pintu ruang tamu, dan
matanya langsung tertuju pada sosok Papa yang berdiri tepat di depan meja telepon sambil
bertolak pinggang. Papa yang menyadari kepulangan Rhea langsung menoleh dan menatap Rhea
tajam. Mama yang lagi membereskan meja makan langsung buru-buru mendekati putrinya.
"Rhea, kamu dari mana aja" Ini kan sudah malam?" tanya mama khawatir dan langsung
merangkul putri bungsunya.
"Rhea dari mal, Ma. Kan tadi nemenin Rachel cari baju senam."
"Diam!" bentak papa. "Kamu nggak usah bohong lagi, Rhea!"
Deg! Jantung Rhea berdegup cepat. Rasanya jantungnya udah mau kabur dari tempatnya.
Bohong" Apa Papa sudah tahu semuanya" Wajah Rhea langsung pucat. Lidahnya terasa kelu.
"Papa nggak nyangka, kamu sudah berani berbohong pada orang tua. Kamu bilang kamu pergi
sama Marcia dan Rachel, tapi kenapa saat Papa menghubungi rumah mereka, mereka ada di
rumah" Marcia sedang mandi, dan Rachel sedang tidur. Lalu kamu...?"
Rhea nggak bisa jawab pertanyaan Papa. Mulutnya terasa begitu berat untuk terbuka. Air mata
menggenang di pelupuk matanya, tapi mati-matian ditahannya air mata itu agar tidak menetes. Ia
sama sekali nggak berani menatap mata Papa.
"Pa, jangan marah-marah seperti itu. Kita dengar dulu penjelasan Rhea. Mungkin mereka
memang berpisah di mal karena Rhea ada keperluan lain," bela Mama.
"Benar Oom, Tante.. dan itu semua salah saya."
Nico muncul tiba-tiba dari belakang sebelum Rhea sempat membuka mulut. Rhea membalik
badan dan tersentak kaget melihat Nico yang tiba-tiba muncul begitu saja.
"Maaf Oom, Tante" saya masuk tanpa permisi. Tapi saya merasa perlu menjelaskan persoalan
sebenarnya pada Oom dan Tante," ujar Nico sopan.
"Apa maksud kamu Nico?" tanya Papa tegas.
"Maaf, Oom" saya yang membuat Rhea pulang terlambat. Tadi waktu jalan-jalan di mal saya
bertemu Rhea dan teman-temannya. Saat itu saya sedang bingung mencari hadiah ulang tahun
yang tepat untuk Papa saya. Kebetulan saya bertemu Rhea, dan saya langsung minta tolong dia
mencarikan kado untuk Papa. Saya memang salah, seharusnya saya minta izin dulu pada Oom
dan Tante supaya Oom dan Tante nggak perlu cemas memikirkan Rhea. Saya benar-benar minta
maaf..." Suasana jadi hening. Rhea menatap Nico yang menundukan kepala, menunjukan permohonan
maafnya pada Papa untuk sesuatu yang sama sekali bukan kesalahannya. Rhea nggak percaya,
orang yang selama ini selalu dikasarinya, hari ini malah muncul untuk menjadi pahlawan
penyelamatnya. Tusuk Kondai Pusaka 11 Pendekar Mata Keranjang 8 Geger Para Iblis Pendekar Super Sakti 9
^