Nggak Usah Jaim Deh 3
Nggak Usah Jaim Deh Karya Valleria Verawati Bagian 3
"Kapan Papa kamu ulang tahun?" pertanyaan Papa memecah keheningan.
"Sabtu ini Oom... ini saya bawa undangan dari Papa untuk Oom sekeluarga. Tadi saya menyuruh
Rhea turun dari mobil lebih dulu karena saya masih harus mencari undangan ini yang terselip di
kursi belakang," jawab Nico seraya memberikan undangan itu pada Papa.
Papa mengambilnya lalu segera membuka dan membacanya. Mama melepaskan rangkulannya
dari pundak Rhea dan buru-buru mendekati Papa untuk melihat undangan itu. Rhea masih berdiri
terpaku di tempatnya sambil menatap Nico. Merasa ada mata yang mengawasinya, Nico menoleh
dan menatap Rhea. Tatapan mereka bertemu. Rhea merasakan getaran dahsyat pada dirinya. Ada
kehangatan yang begitu luar biasa menjalar dalam kalbunya hanya dengan menatap kedua bola
mata Nico yang begitu teduh. Nico tersenyum. Senyum pertama yang sama sekali nggak pernah
Rhea lihat selama ini. Dan entah kenapa, saat ini senyum itu telah menawan hatinya dan
membawanya terbang tinggi.
"Bilang sama Papa kamu Nico... kami sekeluarga pasti akan datang..." kata-kata Mama
menyadarkan Rhea dari keterpakuannya.
"Iya, Tante," jawab Nico.
"Masalah hari ini lupakan saja," ujar Papa. "Kalo memang Rhea perginya sama kamu, Oom
izinkan karena Oim percaya sama kamu. Tapi Oom minta lain kali kamu tidak boleh lupa
memberitahu Oom terlebih dulu jika memang kamu mau mengajak Rhea keluar."
"Baik, Oom. Terima kasih. Kalau begitu saya permisi pulang. Sudah malam," pamit Nico.
"Baiklah salam untuk Papamu."
"Hati-hati di jalan ya. Biar Rhea yang mengantar kamu ke depan," sambung Mama sambil
menatap Rhea dan memberi isyarat dengan matanya. Rhea menurut dan ia pun berjalan
mendahului Nico menuju pintu keluar.
"Kenapa?" tanya Rhea begitu mereka sampai di depan pagar.
"Apanya yang kenapa?" Nico malah balik bertanya.
"Kenapa elo nolong gue?"
Nico menghela napas panjang dan memandang hitamnya langit malam. "Gue cuma nggak mau
melihat wajah kecewa Mama-Papa lo kalo tau anak mereka udah jadi pembohong."
"Gue terpaksa," sela Rhea pelan. "Gue nggak punya pilihan lain. Gue cuma pengin merasakan
indahnya pacaran di masa remaja."
"Apapun alasan elo, bohong tetaplah bohong. Dan orang tua lo nggak layak dibohongi."
"Elo tau apa" Elo tau apa tentang perasaan gu..."
"Ssst.. kecilin suara elo." Nico buru-buru membekap mulut Rhea dengan telapak tangannya.
"Apa lo mau Mama-Papa lo dengerin percakapan kita?"
Rhea terdiam. Nico melepas bekapannya dengan perlahan, takut tiba-tiba Rhea teriak lagi. "Gue emang nggak
tau apa yang lo rasakan. Tapi yang gue tau, orang tua lo sayang banget sama lo dan mereka pasti
kecewa jika tau elo telah membohongi mereka. Itu aja."
Rhea nggak bisa membalas ucapan Nico karena setiap kalimat yang diucapkan cowok itu
mengandung kebenaran. Rhea hanya diam dan menunduk.
"Ya udahlah, gue pulang dulu," kata Nico. "Oh iya, berhubung hari ini kita nggak les, jadwal les
hari ini dipindah besok ya. Jangan jalan-jalan lagi, oke!"
Rhea hanya diam. Nico menatap cewek di sampingnya dalam-dalam. Lalu ia melangkah keluar
dan masuk ke mobilnya yang diparkir di depan rumah Rhea.
*** Rhea mengempaskan tubuhnya di tempat tidur dan memeluk guling erat-erat. Tubuhnya terasa
begitu lelah. Hari ini terlalu banyak masalah yang dihadapinya. Dulu saat berbaring di tempat
tidur seperti ini yang dirasakannya adalah kebosanaan akan kehidupan yang dijalaninya.
Kehidupan monoton yang hanya menampilkan warna hitam putih. Sekarang, saat hidupnya
mulai lebih berwarna, ia malah merasa begitu lelah. Sangat lelah! Setiap kata yang diucapkan
Nico terngiang kembali di telinganya. Rhea nggak mengerti apa yang hrus dilakukannya saat ini.
Apakah ia harus mengakhiri hubungannya dengan Felix"
BAB 8 Rhea berjalan gontai menyusuri koridor sekolah menuju kelasnya. Hari masih pagi, sekolah pun
masih sepi. Kepala Rhea masih agak berat. Kejadian kemarin membuatnya sama sekali nggak
bisa tidur nyenyak. Dan hasilnya ia jadi pusing.
Sesampainya di kelas, Rhea terkejut melihat Marcia dan Rachel sudah datang dan duduk di
bangku Rhea. "Kalian kok datangnya pagi banget" Memangnya hari ini ada PR ya?" tanya Rhea heran sambil
berjalan mendekati bangkunya.
"Rhea!" seru Marcia dan Rachel bersama, lalu bangkit dari tempat duduk dan langsung
menyerbu Rhea. Mereka memeluk Rhea begitu erat, sampai-sampai Rhea susah bernapas.
"Heh, lepas dong... lepas. Rhea berusaha meronta sebelum benar-benar kehabisan napas."
Marcia dan Rachel akhirnya melepas pelukan mereka lalu sama-sama nyengir.
"Apa-apaan sih lo berdua" Kalian pada pengin bunuh gue ya?" Rhea tersengal-sengal dan
berusaha menarik napas sebanyak-banyaknya.
"Sori Rhe," ucap Marcia sambil meringis.
Setelah napasnya kembali normal, Rhea meletakan tas ranselnya di meja dan duduk di
bangkunya sendiri. Marcia juga ikutan duduk di bangku sebelah Rhea yang masih kosong,
sedangkan Rachel duduk di bangku depan dengan posisi menghadap Rhea.
"Lo berdua kenapa sih?" Rhea heran melihat tingkah aneh kedua sobatnya ini.
"Gini Rhe... kami tuh mau minta maaf. Kami juga khawatir sama elo," jawab Marcia yang
diikuti anggukan Rachel. "Minta maaf" Khawatir?" Rhea mengerutkan keningnya.
"Kemarin bokap lo tau ya, kalo elo jalan sama Felix" Pembokat gue yang bilang kalo bokap lo
nyari gue dan dia malah bilang kalo gue lagi mandi. Rachel juga di telepon."
"Iya, gue juga ditelepon. Pas saat itu gue lagi tidur. Kakak gue tuh yang ngangkat dan langsung
bilang gue lagi tidur. Sori, Rhe. Gue lupa bilang ke mereka kalo ada yang nyari gue bilang gue
lagi pergi." Rhea menghela napas panjang. "Jadi ini yang bikin kalian datang pagi-pagi?"
Marcia dan Rachel mengangguk berbarengan. Tampak keprihatinan dan rasa bersalah di wajah
mereka. Rhea jadi nggak tega kalo harus marah-marah. Lagi pula ini bukan salah mereka.
"Kalian tenang aja. Rahasia gue masih aman kok."
"Kok bisa?" Marcia terkejut sekaligus lega.
"Lo ngarang cerita apa Rhe " Lo udah mulai jago bohong ya?" mata Rachel membelalak. Dia
nggak percaya rahasia Rhea masih aman-aman saja.
"Gue nggak ngarang cerita apapun kok. Nico yang bantuin gue."
"Hah" Nico" Guru les yang kata lo nyolot abis itu kan?" tanya Rachel heran.
Rhea mengangguk. Dia lalu menceritakan kejadian kemarin pada kedua sahabatnya ini. Marcia
dan Rachel mendengarkan cerita Rhea tanpa berkedip.
"Kok Felix gitu sih" Dia jelas tau lo ada les dan nggak bisa pulang malam-malam, tapi dia malah
lebih mementingkan teman-temannya dari pada elo," komentar Rachel begitu Rhea
menyelesaikan ceritanya. "Felix nggak salah-salah amat kok. Dia memang lupa waktu karena udah lama nggak ketemu
teman-temannya itu. Lagian dia juga udah minta maaf berkali-kali sama gue," bela Rhea.
"Sekarang yang jadi topik bukan Felix, tapi Nico. Kata lo dia nyolot abis dan selalu marah-marah
sama elo. Tapi kenapa dia mau bantuin elo, bahkan sampai rela mengakui kesalahan yang sama
sekali nggak pernah dia lakukan, hanya untuk menolong elo" Gimana kalo bokap lo ngamuk"
Pasti tamat riwayatnya." Marcia coba menganalisis cerita Rhea.
Rhea terdiam. Marcia benar. Kenapa Nico rela membantu Rhea seperti itu" Kalo saja kemarin
Papa ngamuk, Nico bisa-bisa masuk rumah sakit.
"Jangan-jangan Nico suka sama elo Rhe," celetuk Rachel tiba-tiba.
"Gue sependapat sama elo Rachel," timpal Marcia.
Rhea melotot. "Mana mungkin"! Lo nggak liat sih gimana sikapnya kalo lagi ngajarin gue.
Nyebelinnya amit-amit."
"Tapi masalahnya, Rhe, cuma orang yang lagi jatuh cinta yang rela berkorban apa saja untuk
menolong sang pujaan hati dari marabahaya. Dan itu yang dilakukan Nico kemarin, nolongin elo
tanpa peduli akibatnya," kata Marcia.
"Tapi tetap aja nggak mungkin!" Rhea bersi keras.
Tiba-tiba terdengar lagu Sexy Naughty Bitchy-nya Tata Young.
Marcia buru-buru merogoh saku roknya dan mengeluarkan HP ber-casing hitam. "Ada SMS.
Gue lupa silent." Marcia mulai memencet tombol-tombol di keypad HP-nya.
"Dari siapa, Mar?" tanya Rachel ingin tahu.
"Nggak tahu" "Kok bisa nggak tau" Emangnya nggak muncul nama pengirimnya?" Rachel jadi heran.
"Nggak ada. Dan gue nggak tau ini nomor siapa. Dia nggak mau ngasih tau namanya siapa. Ini
bukan pesan pertama yang dia kirim ke gua. Gue udah sering SMS-an sama dia tapi dia nggak
mau ngasih tau dia siapa."
"Hah" Kok lo nggak cerita-cerita sih?" protes Rachel.
Rhea ikut mengangguk sambil menatap Marcia yang jadi salah tingkah.
"Bukannya gue nggak mau cerita, tapi gue rasa ini bukan hal penting yang harus di certain," kata
Marcia. "Nggak bisa gitu dong, Mar. Kita kan sobatan bukan untuk berbagi hal yang penting-penting aja.
Kita berbagi segala hal," ujar Rachel diplomatis.
"Udah deh... sekarang kita dengerin dulu cerita Marcia," Rhea menengahi.
Marcia terdiam sesaat. Lalu disodorkannya HP-nya kepada Rhea dan Rachel. "Kalian baca aja
SMS-nya. Semua SMS dari dia masih gue simpen. Juga ada beberapa MMS dari dia."
Rachel mengambil HP dari tangan Marcia dan langsung membuka fitur message. Rhea buruburu ikutan melihat. Ada banyak sekali SMS dari si pengirim nggak di kenal itu yang dinamai
Marcia "someone". Sebagian besar isinya kata-kata romantis dan berbagai macam bentuk
perhatian. Ada yang isinya sekedar pertanyaan "kamu udah makan belum?". Ada juga puisi
pendek yang asli puitis banget sampai-sampai Rhea sendiri nggak ngerti apa arti puisi itu.
Setelah puas membuka beberapa SMS dan MMS, Rachel mengembalikan HP itu ke Marcia
sambil senyum-senyum. "Lo jujur ya sama gue. Lo naksir ya sama penggemar rahasia lo ini?" tanya Rachel tiba-tiba
dengan pandangan menyelidik.
"Mmm.. gimana ya?" Marcia menjawab ragu-ragu. "Gue masih nggak yakin sama apa yang gue
rasain. Mungkin karena gue nggak tau siapa orang itu. Tapi selama dia SMS-an sama gue, gue
ngerasa enak banget ngobrol sama dia. Nyambung gitu deh. Gue ngerasa dia bisa bikin gue
nyaman dan senang." "Itu berarti lo udah jatuh cinta sama dia?" Rachel berkesimpulan.
"Nggak tau deh. Orangnya aja gue nggak tau siapa. Gimana bisa jatuh cinta?" Marcia menghela
napas lalu kembali menyimpan HP-nya ke dalam saku.
"Kenapa lo nggak nyoba cari tau" tanya langsung kek, paksa, ngancam juga boeh," desak
Rachel. "Gue udah coba berbagai cara, tapi jawabannya cuma satu, dia belum bisa bilang karena dia
belum siap mental," kata Marcia.
"Belum siap mental" Memangnya kenapa" Jangan-jangan tampangnya nyeremin. Atau janganjangan.... dia si Parmin, tukang parkir sekolah kita. Parmin kan demen banget sama lo, Mar."
wajah Rachel tampak serius.
"Hah" Gila lo! Mana mungkin" Emangnya si parmin punya HP?" Marcia berusaha cuek, tapi
terpengaruh juga dengan kata-kata Rachel. Dia jadi sedikit khawatir.
"Bisa aja dia punya HP. Zaman sekarang, punya HP udah nggak pandang status sosial. Sopir
angkot, tukang ojek, sampai tukang sayur, semua punya HP. Tukang bakso langganan gue aja
punya nomor delivery service," kata Rachel.
"Serius lo?" Marcia bergidik ngeri. Dia nggak bisa membayangkan kalau dugaan Rachel sampai
terbukti benar. Gila aja kalo ternyata selama ini dia tuh SMS-an sama Parmin yang selalu dia
jutekin karena nggak kapok-kapoknya godain dia.
Rhea jadi geli sendiri melihat Marcia mulai terpengaruh kata-kata Rachel yang jelas banget lagi
berusaha ngerjain dirinya. Logika aja deh, anggap si Parmin punya HP, tetap aja nggak mungkin
dia yang ngirim SMS-SMS itu. Soalnya si Parmin kan buta huruf. Gimana caranya dia ngetik,
kalo huruf A aja dia nggak tau. Rhea geleng-geleng kepala sambil berusaha menahan tawa.
Heran ya, kok bisa-bisanya Marcia gampang banget di kerjain. Padahal biasanya tuh anak
logikanya jalan banget. Mungkin ini yang namanya jatuh cinta"
*** Pelajaran hari ini berakhir lebih cepat, karena guru-guru ada rapat mendadak. Rhea duduk
sendirian di perpustakaan sambil nungguin Papa selesai rapat. Rachel dan Marcia nggak
menemaninya karena mereka ada keperluan mendesak. Jadi terpaksa Rhea menghabiskan waktu
dengan melumat buku-buku di perpustakaan yang hampir semuanya sudah pernah dia baca,
kecuali buku-buku tebal yang menurut Rhea nggak jelas apa isinya.
Seperti biasa, perpustakaan selalu sepi. Siang ini hanya Rhea satu-satunya pengunjung. Rhea
mengambil tempat duduk di meja paling pojok yang dekat dengan jendela. Ia meletakkan
beberapa buku yang tadi diambilnya dari dalam rak di atas meja. Diambilnya buku di tumpukan
teratas, lalu mulai membacanya. Baru lima menit Rhea tenggelam dalam bacaannya, sebuah
tepukan pelan di pundak membuatnya tersentak.
"Betet! Lo mau bikin gue jantungan ya!" maki Rhea pelan, soalnya di perpustakaan kan nggak
boleh berisik. Betet cuma tertawa lalu menarik kursi di sebelah Rhea.
"Mau ngapain sih lo" Ada rencana OSIS yang baru?"
Betet menggeleng, lalu duduk di kursi. "Gue ada keperluan pribadi sama elo."
"Keperluan pribadi?" kedua alis Rhea bertaut.
"Iya Rhe. Gue mau minta tolong sama elo."
"Minta tolong?"
Betet mengangguk, kemudian menunduk seperti sedang mengheningkan cipta. "Gue lagi jatuh
cinta, Rhe," kata Betet lirih dengan kepala masih tertunduk.
"Bagus dong!" "Tapi masalahnya, gue nggak berani bilang sama cewek itu." kali ini Betet menatap Rhea.
"Kenapa" Lo takut ditolak?"
"Ih, Rhea... Elo to the point banget sih."
"Lho, tapi benerkan?"
"Iya..," suara Betet terdengar lemas dan putus asa.
"Siapa sih cewek yang lo suka" Lo udah PDKT belum?"
"Mmm... gue udah coba ngedekatin dia, tapi nggak secara terang-terangan sih.. gue masih
ngerahasiain identitas gue."
"MARCIA, YA!?" pekik Rhea nggak percaya.
Suaranya yang keras membuat Bu Naomi, petugas perpustakaan, melotot ke arah mereka. Rhea
buru-buru membekap mulutnya sendiri. Ia benar_benar kaget. Jadi cowok yang sering SMS-an
sama Marcia Betet" "Marcia cerita ya sama elo kalau dia sering SMS-an sama orang yang sama sekali nggak dia
kenal?" Rhea mengangguk. "Jadi..., elo suka Marcia, Tet?"
"Iya. Gue naksir berat sama dia sejak pertama kali gue masuk sekolah ini. Tapi gue nggak pernah
berani ngedekatin dia. Gue takut di tolak. Gue lebih suka merhatiin dia secara diam-diam." Betet
terdiam sesaat. "Tapi gue nggak tahan kalo cuma diam terus. Gue takut tau-tau dia udah direbut
orang. Makanya gue nekat ngedeketin dia. Gue kasih Message in the botle ke dia, gue cari tau
nomor HP-nya, dan nekat SMS-in dia."
"Oh" jadi elo orangnya, yang ngasih Message in the botle ke Marcia?"
Betet mengangguk. "Gue harus gimana dong, Rhe" Nggak mungkin kan... gue terus ngerahasiain
identitas gue?" Rhea menatap Betet dalam-dalam. Ternyata kalau berurusan dengan yang namanya cinta, Betet
bisa kehilangan ide-ide inovatifnya, bahkan dia bisa berubah serius dan nggak konyol lagi.
Mmm... malah kalo dilihat dari deket begini, Betet lumayan kok. Hidungnya yang besar itu jadi
kelihatan oke juga, pas sama bentuk mukanya.
"Gue cuma punya satu saran buat elo. Jelasin identitas lo ke Marcia, terus tembak dia."
"Hah"! Nggak kecepetan, Rhe" Gimana kalo gue di tolak?"
"Sama sekali nggak kecepatan Tet. Ini memang waktu yang tepat. Lagi pula lebih baik ditolak
kan, dari pada sama sekali nggak mencoba dan berusaha?"
"Tapi.. " "Udah deh.. lo nggak usah ragu-ragu. Lo harus percaya diri. Gue rasa lo punya peluang besar
buat ngedapetin Marcia. Manfaatin deh peluang itu sebaik-baiknya, sebelum Marcia jadian sama
Parmin." "Parmin" Maksud lo, Parmin tukang parkir sekolah kita?"
"Yup. Soalnya Marcia curiga, SMS yang dia terima selama ini tuh dari Parmin. Parmin kan
ngebet banget sama dia."
"Hah" Kok bisa?"
"Mana gue tau. Makanya lo harus bergerak lebih cepat kalo nggak mau keduluan si Parmin."
Betet mengangguk mantap. "Thanks ya, Rhe. Gue mau ke rumah Marcia sekarang juga. Gue
nggak akan kalah dari si Parmin."
Rhea tersenyum geli. "Oke.. Good luck ya!"
Betet buru-buru melesat meninggalkan perpustakaan. Rhea tertawa melihatnya. Kira-kira gimana
ya reaksi Marcia kalau tahu someone-nya Betet" Apa dia bakal shock atau dia malah menerima
Betet jadi pacarnya" Tapi menurut insting Rhea, Marcia pasti nerima Betet. Jauh lebih baik Betet
kan, dari pada si Parmin" Rhea tertawa sendiri membayangkan reaksi Marcia. Lalu ia pun mulai
melanjutkan kegiatannya tadi yang sempat terhenti gara-gara Betet.
*** "Ma, Rhea pulang!" teriak Rhea sesampainya di rumah. Ia melempar tas ranselnya ke sofa dan
mengenyahkan tubuhnya di sana.
"Hush! anak gadis nggak baik teriak-teriak begitu," sahut Mama yang muncul dari ruang makan.
"Kalau pelan-pelan, mana mungkin Mama dengar?" Rhea membela diri.
"Kan kamu bisa samperin Mama di ruang makan. Udah deh nggak usah ngebantah lagi. Ganti
baju sana, lalu kita makan sama-sama. Papa mana?"
"Papa di garasi, lagi meriksa mobil. Kayaknya ada yang eror gitu deh."
"Mama liat Papa dulu ya. Kamu cepat ganti baju sana. Oh iya, ada Nico di taman belakang sama
kakakmu." Rhea kaget sekaligus heran. "Nico" di taman belakang sama mbak Reva" Ngapain ?"
"Mama nggak tau. Tapi kayaknya Reva sedang minta diajari salah satu mata kuliahnya.
Udahlah... kamu ganti baju sana!" perintah Mama.
Rhea pun menurut. Ia berjalan lalu mengambil tas ranselnya dan berjalan menuju kamar. Pikiran
Rhea masih penuh tanda tanya. Nico ngapain sih ke sini" Ada perlu apa sama mbak Reva" Ini
kan baru jam dua, kok mbak Reva juga udah pulang kuliah" Kok motornya Nico juga nggak ada
di depan" Aneh!
Nggak Usah Jaim Deh Karya Valleria Verawati di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Langkah Rhea terhenti di depan tangga. Ia mendengar suara tawa dari taman belakang. Rhea jadi
penasaran. Pasti itu suara tawa Mbak Reva dan Nico. Tapi aneh, masa Nico bisa tertawa seperti
itu. Selama ini cowok itu boro-boro tertawa, senyum aja baru kemarin. Nico kan manusia robot.
Rhea mengendap-endap menuju taman. Suara tawa yang didengarnya semakin keras. Tawa itu
terdengar begitu lepas. Pintu belakang sepertinya nggak tertutup rapat. Rhea berusaha mengintip
keluar dari celah-celah pintu yang terbuka.
Mbak Reva tampak duduk di depan laptop-nya sambil tertawa dan menunjuk-nunjuk layar
laptop. Di sebelahnya ada Nico yang juga tertawa lepas. Rhea baru pertama kali melihat wajah
Nico yang sedang tertawa seperti itu. Mukanya jadi seperti anak kecil. Cakep banget. Ada lesung
pipi di kedua pipinya. Rhea terpesona melihatnya. Jauh lebih keren dari senyum yang kemarin
Rhea lihat. Asli cakep banget! Entah apa yang sedang mereka lihat, Nico bisa tertawa seperti itu.
Rhea benar-benar heran. Kenapa kalau Nico sedang bersama Mbak Reva, cowok itu terlihat
begitu santai, lembut, dan ramah" Tapi kalau sedang bersama Rhea, dia langsung berubah diam,
galak, sangar, dingin dan menyebalkan. Ya ampun... ngapain itu mbak Reva pakai nyubit-nyubit
pipi Nico" Kecentilan banget sih! Ngapain juga tuh tangan pakai ditaruh di pundak Nico. Sok
akrab banget! Nico juga kenapa sih mau-maunya dicubitin kayak gitu" Waduh, malah megangmegang rambut Mbak Reva! ih sebel! Rhea menggerutu. Rhea cemberut. Nggak tau kenapa
rasanya marah sekali. Sepertinya ada yang menyulut api di dalam tubuhnya, rasanya panas
banget, dan menjalar dari ujung rambut sampai ke ujung kaki.
Rhea membalik tubuhnya dengan marah. Dia nggak tahan melihat pemandangan di depannya itu.
Lalu dengan emosi yang masih memuncak, dia berlari menaiki tangga lalu masuk ke kamarnya
dan membanting pintu. Reva dan Nico tersentak kaget. Mereka berpandangan.
"Apaan tuh" Gempa ya?" tanya Nico heran.
"Bukan gempa.. bom, kali..," Sahut Reva sama herannya.
Tiba-tiba terdengar teriakan kesal dari garasi. Suara Papa.
"Ooooh... pasti Rhea udah pulang," duga Reva. "Gue ke kamar Rhea dulu ya. Mungkin dia lagi
ada masalah." Nico mengangguk. Reva bangkit dari duduknya dan berjalan menuju kamar adik kesayangannya.
Diketuknya pintu kamar Rhea pelan-pelan.
"Rhea" ini Mbak, sayang. Mbak boleh masuk, ya?"
"Nggak!" teriak Rhea dari dalam.
Reva bengong. Nggak biasanya Rhea seperti ini. Pasti ada sesuatu yang telah terjadi, dan Reva
harus segera mencari tahu. "Kamu ada masalah ya, Rhe" Cerita dong sama Mbak. Mbak janji
pasti bakal bantuin kamu," bujuk Reva lembut.
"Nggak! Mbak nggak usah sok baik gitu deh. Rhea nggak butuh bantuan siapa pun. Rhea nggak
mau diganggu." Weleh.. weleh... kenapa nih si Rhea" Reva jadi bingung dibuatnya. "Oke. Mbak nggak akan
ganggu kamu. Tapi kamu keluar ya, kita kan mau makan siang sama-sama. Nanti Papa marah lho
kalau kamu nggak turun makan."
Rhea diam. Dia masih kesal. Tapi benar kata mbak Reva. Kalau dia nggak turun, pasti Papa
bakal marah-marah. "Mbak tunggu di bawah ya, Rhe... Nico juga ikut makan siang sama kita lho," kata Reva, lalu
menghela napas panjang dan kembali ke taman.
Rhea menjatuhkan diri ke tempat tidur. Pemandangan di taman tadi kembali muncul di pelupuk
matanya. Buru-buru disambarnya guling yang ada di sampingnya, dan dibenamkan wajahnya ke
guling. Rasanya sebel banget. Ada apa sih dengan dirinya" Kenapa pemandangan itu bisa begitu
mengganggunya dan membuatnya marah"
*** Rhea duduk di depan Nico, masih dengan setumpuk kesal. Nico nggak menyadari hal itu, tapi dia
bisa merasakan ada sesuatu dalam diri Rhea yang berbeda. Rhea mengerjakaan soal-soal
Geografi di hadapannya dengan setengah hati. Banyak soal yang dia lewatkan begitu saja tanpa
jawaban. "Maaf, Rhe. Mbak boleh ganggu sebentar, nggak?" Reva muncul tiba-tiba, membuat Rhea
terlonjak kaget. Rhea menoleh, dan bibirnya langsung mencebik karena kesal melihat wajah kakaknya yang udah
berdiri manis di sebelah Nico. Boleh, nggak boleh, Mbak juga udah ngeganggu tau! gerutunya
dalam hati. Reva tersenyum dan duduk di sebelah Nico tanpa menunggu tanggapan Rhea. Ia memeluk
sebuah buku berwarna hijau yang nggak begitu tebal. "Nic, ada yang gue nggak ngerti nih. Gue
boleh nanya sebentar nggak?" tanya Reva manis sambil mendekatkan dirinya pada Nico.
Rhea melihat kedua insan itu dengan mata melotot.
"Boleh. Yang mana?" tanya Nico ramah.
Reva membuka buku yang dipegangnya dan memperlihatkannya kepada Nico.
"Ooo... yang ini. Memang agak sulit sih. Elo harus perhatiin kasusnya dulu, terus elo jabarin apa
aja penyakit yang diderita pasien, baru setelah itu lo bisa menentukan obat dan dosis yang tepat
untuk diberikan. Kalo elo masih belum jelas juga, lo buka kasus 12 yang ada di halaman 131.
Kasus 12 mirip sama kasus yang ini," jelas Nico pelan. Nico menjelaskan ke Reva sampai Reva
benar-benar mengerti. Rhea hanya diam memandang dua orang di hadapannya dengan emosi terbakar. Oke dddehhh!
Sekarang yang lagi les itu gue atau mbak Reva" Kalau Mbak Reva mau ngeles, cari hari lain
dong. Juga cari guru yang lain, jangan sama Nico. Nico itu guru les gue.
"Oke deh, Nic, gue udah ngerti sekarang. Makasih ya, Pak Guru," kata Reva setelah Nico selesai
menjelaskan. "Asal jangan lupa traktir gue ya, kalo ujian lo dapet A," balas Nico.
"Tenang aja deh," Reva tersenyum dan menepuk pundak Nico pelan. Ia lalu bangun dari
duduknya dan menatap Rhea yang pura-pura sibuk menulis. Reva tersenyum lalu mengedipkan
sebelah matanya ke arah Nico dan bergegas kembali ke kamarnya.
Nico menatap Rhea. "Masih belum selesai juga ngerjainnya?"
"Belum," jawab Rhea, tetap menunduk.
"Makanya ngerjainnya yang serius, jangan cuma dipelototin tuh kertas. Gue juga masih banyak
kerjaan lain." Rhea menjatuhkan pensil di tangannya ke atas meja, lalu menatap Nico lekat-lekat. Melihat
wajah Nico yang persis di hadapannya, entah kenapa malah membuat Rhea ingin menangis.
Buru-buru Rhea menunduk lagi, menarik napas dalam-dalam, menggigit bibir, berusaha
menahan air mata yang hendak bergulir di pipinya. Rhea mengambil pensil lagi dan mencoba
mengalihkan pikirannya kembali pada soal-soal di kertas.
Dahi Nico berkerut. Ditatapnya Rhea dengan sejuta pertanyaan.
BAB 9 Sudah empat hari ini Rhea bersikap dingin pada Reva. Ia hanya bicara seperlunya, dan lebih
banyak menghabiskan waktu di kamar. Hubungannya dengan Felix masih berjalan cukup lancar
meskipun mereka udah jarang jalan-jalan. Di sekolah mereka nggak banyak bicara, tapi Felix
rajin menghubungi Rhea lewat handphone. Terkadang Felix juga suka menitip cokelat dan surat
cinta lewat Rachel. Marcia juga udah jadian sama Betet. Di antara Rhea, Marcia dan Rachel, sekarang tinggal
Rachel yang masih ngejomblo, dan itu yang bikin Rachel kadang-kadang jadi sewot kalau
melihat Marcia dan Betet ngobrol di kelas atau melihat Rhea dapat cokelat dari Felix.
Seperti siang itu, Marcia sama Betet lagi berduaan di pojok kelas.
Rachel dan Rhea yang baru balik dari kantin untuk membeli soft drink langsung disuguhi
pemandangan mesra. Rachel yang belakangan ini memang lagi sensitif langsung marah-marah.
"Woi! Lo berdua! ini kelas ya, bukan pantai Ancol!"
Marcia yang melihat Rachel sewot langsung tersenyum geli. Dia sudah mengerti banget sifat
Rachel yang kalau lagi sensitif begitu pasti suka marah-marah.
"Iya, Bu Hansip. Betet juga udah mau balik ke kelasnya kok," sahut Marcia.
Betet cuma bisa mengangguk pasrah. Marcia dan Betet berjalan bergandengan mendekati Rhea
dan Rachel. "Lho, kok minuman buat gue nggak ada?" tanya Marcia heran.
"Minta aja sama cowok lo! Jangan cuma mojok doang kerjanya," jawab Rachel ketus.
"Ya udah. Say, aku minta tolong dibeliin minuman boleh nggak?" Marcia sengaja bermanjamanja ke Betet, tepat di depan muka Rachel.
Rhea nggak bisa menahan tawa melihat Rachel yang tambah keki melihat ulah Marcia.
"Lautan pun akan kubeli hanya untukmu, dewi ku," balas Betet nggak kalah manja dan romantis.
"Udah deh pergi sana! Jangan bikin gue tambah enek nih!" usir Rachel, diikuti tawa Marcia,
Betet dan Rhea. Betet meninggalkan kelas sambil tertawa. Rachel yang kesel langsung menjatuhkan diri di
tempat duduknya. Marcia dan Rhea mengikuti sambil tersenyum geli.
"Lo kenapa sih marah-marah terus, Chel?" tanya Rhea.
"Chel, lo nggak suka ya, gue jadian sama Betet?" tanya Marcia.
Rachel mencebikan bibirnya. Kaleng minumannya di letakan di pojok meja, lalu ia merebahkan
kepala ke atas meja. "Chel, lo kenapa sih?" tanya Rhea sambil membelai rambut Rachel.
"HUAAA....gue kesel!" teriak Rachel, sambil kembali duduk tegak.
Seisi kelas kaget mendengar teriakan Rachel. Mereka malihat ke sumber suara.
"Kenapa sih lo, Chel" Pakai teriak-teriak segala. Jantung gue mau copot nih dengar teriakan lo,"
gerutu Teddy yang lagi duduk di meja depan sambil menikmati kuaci.
Rachel sudah mau menjawab, tapi buru-buru dibekap Marcia. "Sori, Ted. Biasa si Rachel lagi
kumat," Marcia yang menjawab.
Teddy manggut-manggut dan kembali menikmati kuacinya.
"Rachel sayang, kalau elo emang punya masalah, kita bicara baik-baik aja," kata Marcia sambil
melepas bekapannya dari mulut Rachel.
Rachel mencebik lagi. "Abis, lo berdua udah punya pacar... Tinggal gue yang jomblo sendirian."
"Ya ampun, Chel, emangnya kenapa kalau elo jomblo?" tanya Rhea heran.
"Ya gue iri aja!"
"Kalau elo iri, kenapa elo nggak cepat-cepat cari pacar?" tanya Marcia.
"Emangnya cari pacar gampang" Tinggal jalan ke pasar, pilih yang bagus, nawar, terus beli
gitu?" jawab Rachel sewot.
"Elo sih terlalu milih. Coba elo kayak Marcia yang mau membuka hati sama cowok jenis
apapun. Pasti lo juga udah punya pacar sekarang," kata Rhea.
"Betul!" sahut Marcia menyetujui. "Contohnya si Black. Dia kan demen banget sama elo. Dia
pintar, lagi. Bisa gampang dapet sontekan tuh kalau ada ulangan."
"Hah lo gila! Pinter sih pinter, tapi itemnya itu lho. Kalau dia jalan-jalan malam-malam, yang
kelihatan cuma giginya doang. Ogah lah ya!"
Marcia dan Rhea sama-sama tertawa.
"Rachel nggak usah cemas ngejomblo," kata Rhea. "Tenang aja, cinta itu akan datang dengan
sendirinya kalau saatnya udah tepat. Elo hanya perlu bersabar dan menunggu."
"Betul, Chel, seperti gue yang mendapatkan Betet begitu aja. Gue nggak perlu cari ke manamana, dia datang sendiri."
Rachel diam saja. Lalu dalam satu tarikan napas dia berkata, "Emang sih. Gue juga berharap, gue
yakin malah, akan mendapatkan pasangan yang pas buat gue. Sama seperti kalian."
Rhea dan Marcia mengangguk, lalu tersenyum lega melihat sinar semangat di wajah Rachel.
Sahabat mereka yang satu ini memang unik. Kadang begitu ceria, berisik, bawel dan lucu.
Kadang bisa berubah jadi menyebalkan, nyolot, tulalit dan meledak-ledak emosinya. Butuh
kesabaran ekstra dan pengertian yang dalam untuk menghadapi Rachel. Tapi yang namanya
sahabat memang harus seperti itu kan"
*** Rhea duduk di tempat tidur. Hari ini rasanya begitu melelahkan. Tas ranselnya tergeletak begitu
saja di lantai. Tok tok tok! terdengar ketukan halus di pintu kamar. Rhea bisa menebak, yang
berdiri di balik pintu itu pasti mbak Reva. Ketukan halus itu memang ciri khas Reva kalau mau
masuk kamar Rhea. "Rhea, mbak boleh masuk nggak?" tanya Reva dari balik pintu.
"Masuk aja," jawab Rhea singkat.
Dia masih kesel sama kakaknya itu, tapi Rhea sadar nggak sepantasnya Rhea marah-marah sama
kakaknya yang sama sekali nggak tau apa-apa. Marcia juga bilang kalau Rhea marah-marah
hanya karena melihat Mbak Reva dan Nico berakrab-akrab, itu dia namanya cemburu. Nico kan
bukan siapa-siapanya. Karena itu Rhea nggak mau marah-marah lagi sama Mbak Reva. Reva
membuka pintu kamar adiknya dan masuk sambil tersenyum manis. Tangan kanannya
menenteng kantong besar. "Kamu belum ganti baju kan" Kalo begitu kamu sekalian mandi aja ya. Mbak tunggu kamu di
sini..." Reva meletakkan kantong besar itu di meja belajar Rhea.
"Mandi" Jam segini" Buat apa?" tanya Rhea.
"Lho, hari ini kan kita mau ke pesta ulang tahun Papanya Nico. Masa kamu lupa. Acaranya kan
jam enam. Sekarang udah jam tiga. Kamu kan butuh waktu buat dandan dan siap-siap."
"Oh iya, Rhea lupa. Tapi... buat apa sih dandan segala" Rhea nggak mau."
"Harus, Rhea. Mama udah beliin kamu baju pesta, dan mama udah nyuruh Mbak yang dandanin
kamu, jadi kamu nggak boleh nolak."
"Ih, ngapain sih sampai segitunya" cuma pesta ulang tahun kan?"
"Tapi ini pesta ulang tahun Pak Alexius Djayaprana, guru besar yang terkenal. Pasti banyak
orang penting yang hadir di pestanya. Kita nggak boleh malu-maluin."
Iya, Mbak Reva pasti mau tampil secantik mungkin biar bisa memikat hati Nico dan Papanya.
Paling gue cuma jadi kambing congek di pesta itu, gerutu Rhea dalam hati.
"Udah, kamu mandi sana. Mbak tunggu di sini. Habis itu biar mbak yang bantuin kamu dandan."
Rhea merengut kesal. Dia berdiri lalu menyambar handuk yang tersampir di kaki ranjangnya,
dan masuk ke kamar mandi.
*** Reva sibuk memblow rambut Rhea. Sang adik duduk di tempat tidur, sedangkan si kakak
berlutut di belakang Rhea, di atas tempat tidur. Soalnya di kamar Rhea nggak ada meja rias,
sehingga Reva meletakan peralatan make-up di atas kursi.
"Nah, rambut kamu udah kering. Kira-kira bagusnya di apaain ya?" tanya Reva sambil meletakan
hair-dryer ke atas tempat tidur.
"Terserah Mbak deh. Tapi awas ya, kalau Rhea jadi kelihatan kayak ibu-ibu."
"Iya, iya... Mbak tau."
Reva mengambil sisir dari atas kursi dan mulai menyisir rambut Rhea perlahan-lahan. Sekali dua
kali Reva memelintir rambut Rhea lalu kembali mengurainya lagi. Reva tampak barpikir serius,
lalu memutuskan untuk menyanggul rambut Rhea. Ia menyisakan sedikit rambut di bagian depan
untuk di plintir-pelintir. Reva menambahkan sedikit foam ke sanggul Rhea, juga menyemprotkan
hairspray agar sanggulnya nggak lepas. Setelah itu ia menyematkan beberapa jepitan berbentuk
kupu-kupu putih di sanggul itu.
Reva tersenyum puas melihat hasil karyanya. "Oke. Sekarang tinggal mukanya yang di makeup," kata Reva.
Reva berjalan dan menarik kursi dari depan meja komputer lalu menempatkannya di hadapan
Rhea. Ia duduk dan mulai mengambil foundation dari tempat make-up-nya, lalu menyapukan
tipis-tipis ke wajah Rhea.
"Jangan tebal-tebal, Mbak," Rhea mengingatkan.
"Iya. Udah deh, kamu diam aja dulu," jawab Reva.
Kemudian dengan gaya bak penata rias profesional, ia mulai merias wajah Rhea. Nggak sampai
sepulug menit, Reva selesai mendandani sang adik tersayang. Ia memandang wajah Rhea dan
tersenyum puas. "Udah selesai Mbak?" tanya Rhea.
"Udah. Kamu lihat aja hasilnya di cermin. Mbak jamin kamu pasti terpesona melihat wajahmu
sekarang." Rhea bangun dan berjalan menuju cermin yang tergantung di samping pintu kamarnya. Begitu
dilihatnya bayangan di cermin itu, Rhea langsung melotot. Dia nggak percaya kalau gadis yang
ada di cermin itu adalah dirinya. Nggak mungkin banget. Cewek di cermin itu terlalu cantik.
Karena pengaruh make-up yang tipis tapi oke, wajah Rhea jadi bikin pangling. Hidungnya jadi
kelihatan lebih mancung. Matanya juga kelihatan lebih bulat.
"Mbak, ini Rhea?" tanya Rhea nggak percaya.
"Lho, menurut kamu siapa?" Reva tertawa melihat reaksi Rhea.
"Ya ampun... nggak nyangka ya, ternyata Rhea cakep begini," Rhea memuji dirinya sendiri.
"Ye.... itu sih karena penata riasnya aja yang jago, bisa dandanin muka kamu yang biasa-biasa
aja itu jadi oke." "Enak aja. Apa maksudnya tuh, muka Rhea yang biasa-biasa aja?" Rhea memelototi Reva.
"Hahaha! Udah ah, sekarang giliran Mbak yang siap-siap. Kamu pakai sendiri ya bajunya. Hatihati, jangan sampai dandanan kamu jadi rusak. Sepatunya juga udah Mbak sediain di dalam
kantong itu," ucap Reva diikuti anggukan Rhea.
Reva berjalan keluar kamar dengan senyum merekah di bibirnya. Rhea melirik jam beker di meja
belajar. Udah jam empat sore. Rhea mengambil kantong yang dibawa Reva lalu duduk di tempat
tidur. Ia mengeluarkan sebuah kotak besar dari dalam kantong itu. Pelan-pelan dibukanya kotak
itu. Ada kain warna putih di dalamnya. Rhea mengambil kain itu hingga tergerai. Ternyata
sebuah gaun berwarna putih. Gaun berbahu terbuka, dengan tali spageti di bahu. Bagian
bawahnya mengembang, dihiasi renda-renda bermotif manis. Selain itu juga terdapat bordiran
berbentuk kupu-kupu yang terbuat dari benang sutra berwarna putih keemasan di bagian perut
gaun itu. Di dasar kotak masih terdapat sehelai kain putih berkilau sebagai selendangnya. Indah
sekali. Harganya pasti mahal banget. Jarang lho, Mama mau membeli gaun semahal ini.
Biasanya mama bilang, nggak ada gunanya membeli gaun pesta yang harganya mahal. Soalnya
cuma akan dipakai satu-dua kali saja, selebihnya hanya akan membuat sumpek lemari. Jadi aneh
rasanya kalau hanya untuk pesta ulang tahun Papanya Nico, Mama sampai rela mengeluarkan
banyak uang. Tapi.. lumayan lah! Sering-sering aja Papanya Nico bikin pesta. Pesta ulang tahun
kek, pesta pernikahan kek, atau pesta sunatan juga boleh. Hehehe...
Rhea melepas pakaiannya dan berusaha mengenakan gaun itu dengan hati-hati. Lalu ia
mengeluarkan satu kotak lagi dari dalam kantong. Kotak itu berisi sepatu berhak tinggi,
warnanya putih. Itu sepatunya Reva yang dibelinya sebulan yang lalu. Rencananya akan Reva
pakai saat menghadiri pesta pernikahan temannya, dua bulan lagi. Sepatu itu masih baru dan
belum pernah Reva gunakan. Rhea tersenyum melihat sepatu itu. Sepatu itu memang bagus
banget dan sesuai dengan gaun yang dikenakannya saat ini. Mbak Reva memang baik. Rhea jadi
menyesal udah bersikap jahat sama mbak Reva kemarin. Rhea duduk di tempat tidur dan
memasang sepatu itu ke kakinya. Sempurna! Sekarang Rhea siap berangkat. Ia melilitkan
selendang ke lengannya, lalu berjalan menuju cermin dan berputar-putar di depannya. Gadis itu
siap berangkat ke pesta! *** Rhea dan Reva duduk di jok belakang, sedangkan Mama di depan bersama Papa yang bertugas
mengemudikan mobil. Papa mengenakan kemeja batik cokelat, dan mama mengenakan gaun
berwarna krem. Rambut mama diblow sehingga terlihat rapi. Mama terlihat cantik sekali. Tapi
jauh lebih cantik Mbak Reva. Rhea melirik kakaknya yang duduk di sampingnya. Rambut Reva
yang panjang sepundak digerai begitu saja. Namun ada sejumput rambut di dekat kedua
pelipisnya yang di kepang kecil dan diikat menjadi satu ke belakang. Jepitan berbentuk bunga
Nggak Usah Jaim Deh Karya Valleria Verawati di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berwarna pink membuat Reva tampak lebih manis. Rhea melirik gaun yang dikenakan Reva.
Gaun pink itu pas banget di tubuh Reva. Tubuhnya yang tinggi jadi tampak anggun. Pokoknya
cantik banget. Rhea yakin semua mata akan tertuju pada Reva di pesta nanti, terutama Nico.
"Reva, habis ini kita belok kanan atau kiri?" tanya Papa saat mobil mereka berhenti di lampu
merah. "Kita lurus dulu, Pa. Nanti kalau ada perempatan, kita belok kanan. Setelah itu kita lurus
aja. Rumahnya gede banget kok, Pa. Dari ujung jalan juga udah kelihatan," jawab Reva.
Rhea menata Reva heran. "Memangnya Mbak pernah ke rumah Nico?"
"Pernah sekali. Waktu itu Mbak mau pinjem buku, tapi dia lupa bawa jadi Mbak diajak ke
rumahnya." Tanpa Rhea sadari, rasa kesal yang berusaha dia hapus dari dalam dirinya kembali muncul.
Mobil mereka kembali melaju. Rhea mengalihkan pandangannya ke luar jendela. Dia nggak
menyangka, ternyata hubungan Nico dan Mbak Reva sudah lebih jauh dari yang dia kira.
"Yang putih itu ya rumahnya?" tanya Mama dengan nada kagum.
"Iya, Ma. Besar banget, kan" Ya ampun... kayaknya udah rame deh," komentar Reva sambil
celingak-celinguk memerhatikan suasana di luar mobil.
Rhea melihat ke luar jendela, berusaha melihat rumah yang dimaksud mama. Rumah megah itu
didominasi warna putih, berlantai tiga.
Mobil mereka mulai melambat. Sudah ada beberapa mobil di depan mereka yang mengantre
untuk mencari tempat parkir.
"Untung kita dandan rapi. Lihat saja... yang datang orang kaya dan orang penting semua. Di
depan kita itu mobil jaguar kan, Pa?" komentar Reva.
"Iya. Walaupun Papa cuma Kepala Sekolah, kita nggak boleh malu-maluin di depan mereka
dong," Mama menggantikan Papa merespon komentar Reva.
Setelah mereka turun dari mobil dan bersama-sama memasuki gerbang, seorang petugas
berseragam batik tersenyum ramah mempersilahkan mereka.
"Papa sih... Mama kan udah bilang, Papa pakai jas aja. Eh Papa malah nggak mau. Tuh kan,
jadinya baju Papa sama dengan satpamnya," kata Mama, diikuti tawa Reva dan Rhea. Papa cuma
tersenyum kecut. Benar kata Reva, rumah Nico sangat besar. Jarak dari pintu gerbang ke rumah aja cukup buat
main badminton. Mereka harus mengitari taman yang cukup luas untuk sampai ke depan rumah.
Rhea berjalan di sebelah Mama sedangkan Reva menggandeng Papa. Bersama beberapa tamu
lain, mereka memasuki tempat pesta.
Rhea memandang takjub ke arah rumah yang ada di depan matanya. Terdapat dua pilar besar di
depan pintu utama. Ukiran naga menghiasi kedua pilar itu, seakan sedang melilit pilar menuju
atas. Pintu masuknya yang terbuka lebar juga sangat besar. Begitu memasuki ruangan, Rhea
kembali dibuat takjub. Ruangan ini seperti aula besar. Di bagian kanan dan kiri masing-masing
terdapat tiga pondok yang menyediakan berbagai macam makanan. Di bagian kanan dekat
tangga ada pondok yang lebih besar tampaknya untuk menyediakan makanan utama. Di dinding
sebelah kiri terpajang foto berpigura berukuran besar, dihiasi untaian bunga, foto wanita
setengah baya yang sangat cantik. Hidungnya mancung, kulitnya putih, matanya agak sipit
dengan rambut disanggul ke atas.
"Itu foto siapa, Ma?" tanya Rhea setengah berbisik.
"Itu foto almarhumah Mamanya Nico," jawab mama.
"Oooh.. pantas cantik," kata Rhea.
"Halo, Pak Kepala Sekolah! Apa kabar?" sapa seorang laki-laki yang mengenakan setelan jas
berwarna hitam. Kelihatannya laki-laki itu seumuran Papa.
"Halo, Lex. Wah... lama ya kita tidak bertemu," balas Papa, langsung merangkul laki-laki itu.
Rhea langsung mengerti, laki-laki itu pasti Om Alex, Papanya Nico.
"Kelihatan makin tua saja kamu," kata Om Alex lagi.
"Umurku bertambah, penampilanku semakin tua lah. Memangnya kamu. Makin tua makin
gagah," sahut papa. "Hahaha! Bisa saja kamu. Wah ini pasti Sri. Istrimu ini makin cantik saja" " Oom Alex tertawa
sambil menyalami mama. "Kamu bisa saja, Lex. Aku tersanjung mendengarnya..." pipi Mama bersemu merah.
"Aku jujur lho. Nanti aku pinjam istrimu untuk menemaniku berdansa ya." Papa tertawa
mendengarnya. "Wah... apa kedua bidadari ini putrimu?" tanya Oom Alex.
"Benar," jawab Papa tersenyum bangga.
"Malam Om. Saya Reva. Waktu itu saya pernah ke sini sekali, tapi Om lagi nggak ada di rumah.
Oh iya, Oom, selamat ulang tahun ya," Reva memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangan.
"Kok Nico nggak cerita ya?" Oom Alex membalas uluran tangan Reva lalu menoleh ke arah
Papa. "Dia cuma bilang, dia sekarang jadi guru les salah satu anakmu."
"Benar, anakmu itu pintar sekali. Dia sudah banyak membantu Rhea selama ini," kata Papa.
"Rhea?" Oom Alex memandang ke arah Rhea.
"Malam, Oom. Saya Rhea. Selamat ulang tahun ya, Oom," gantian Rhea memperkenalkan diri.
"Jadi ini yang namanya Rhea. Dulu waktu kecil kamu suka main sama Nico. Kamu ingat tidak,
dulu kamu tuh pernah main bola sama Nico sampai memecahkan guci antik kesayangan Oom."
Rhea hanya mampu tersenyum malu. Ih payah nih Oom Alex. Kejadian kayak gitu saja masih
diingat-ingat, gerutu Rhea dalam hati. Tapi Rhea juga mengakui, kalau kita kehilangan barang
yang kita sayang, kita nggak bakal ngelupain sepanjang hidup kita.
Kejadiannya sih udah lama, waktu rumah Oom Alex masih bertetangga sama Rhea. Ketika itu
Papa lagi ngobrol sama Oom Alex di ruang tamu, dan Rhea main sama Nico. Karena menendang
bola terlalu keras, bolanya melenting dan mengenai guci Oom Alex. Papa marah banget sama
Rhea, sampai-sampai Papa memarahi Rhea habis-habisan di depan Nico dan Oom Alex. Padahal
kan Rhea waktu itu nggak sengaja. Namanya juga anak kecil, kalau sudah main lupa sama
lingkungan sekitar. Untung Nico ngebelain Rhea. Oom Alex juga buru-buru menenangkan Papa
sehingga kemarahan Papa bisa cepat mereda.
"Kamu tuh waktu kecil sifatnya mirip laki-laki, tomboi sekali. Mama dan Papamu sampai pusing
melihat kenakalanmu itu. Berbeda dengan Reva yang dari kecil memang sudah kalem," kata
Oom Alex lagi. Rhea kembali tersenyum malu. Pipinya jadi bersemu merah.
"Tapi melihat kamu hari ini tampil sangat cantik, Oom sampai pangling. Oom pasti seneng kalau
punya anak gadis secantik kamu."
"Makasih, Oom." Rhea merasa meayang dipuji seperti itu. Rhea jadi berpikir, beda sekali Nico
dengan ayahnya. Ayahnya begitu ramah dan menyenangkan, tapi kenapa anaknya begitu
menyebalkan. "Oh iya, ayo silakan makan." Oom Alex mempersilakan mereka untuk segera menikmati
hidangan di pesta itu yang tampaknya sangat menggugah selera.
"Oh iya Oom, Nico-nya mana?" tanya Reva.
"Lagi di taman belakang. Nanti biar Oom panggilkan. Kalian makan saja dulu."
Reva mengangguk lalu bersama Rhea menuju pondok-pondok yang ada di sekitar mereka untuk
mencicipi makanan. *** "Gimana kambing gulingnya" Enak nggak?" tegur Nico, mengejutkan Rhea dan Reva yang lagi
asyik menikmati kambing guling.
"Ngumpet di mana lo, Nic" Kok baru nongol sekarang?" tanya Reva.
"Gue dari tadi di belakang, mempersiapkan mental. Lo tau kan mempersiapkan mental untuk
apa...," jawab Nico sambil melirik ke arah Rhea. Reva tertawa kecil mendengarnya. Dia tahu
maksud Nico. Rhea pun diam-diam melirik ke arah Nico. Mempersiapkan mental apa ya" tanya Rhea dalam
hati. Malam ini Nico keren banget. Jauh lebih keren dari biasanya. Ganteng banget, malah! Dia
tampil rapi, dengan setelan abu-abu dan jas warna hitam. Oh, God! Gila nih cowok. Cakep abis.
Kaki gue sampai lemas. "Gimana" Cantik kan adik gue?" tanya Reva berbisik.
Nico mengacungkan kedua jempolnya dan menganggukan kepala.
Rhea menatap kakaknya dan Nico yang saling berbisik mesra itu dengan kesal. Dia merasa
seperti kambing congek. Benar-benar nggak ngerti dengan pembicaraan kedua orang itu.
"Eh, tuh lagunya udah diputar. Kita dansa yuk," ajak Nico pada Reva b
egitu mendengar alunan Hero-nya Mariah Carey. "Boleh." Reva mengangguk setuju dan meletakan piring kecil berisi irisan kambing guling ke
meja yang ada di sebelahnya.
Nico pun mengulurkan tangan dan Reva langsung menyambutnya sambil tersenyum manis.
Rhea membuang muka, pura-pura menikmati kambing guling yang masih tersisa di piringnya.
Reva dan Nico bergandengan tangan menuju ke area dansa. Disitu telah banyak pasangan lain
yang berdansa mengikuti alunan penyanyi dan pemain musik. Rhea menyendok bumbu kambing
guling di piringnya dengan kesal, lalu membanting sendok itu ke atas piring dan meletakannya
kembali ke atas meja. Rhea menatap ke arah Nico dan Reva yang kini sedang berdansa penuh
kehangatan. Mereka tampak begitu romantis. Rhea benar-benar kesal melihatnya.
Gue nggak peduli apa kata Marcia kalau gue bilang gue kesel banget melihat Mbak Reva dan
Nico akrab. Yang jelas , gue emang benar-benar kesal! Cemburu atau jealous namanya, gue
nggak mau tau. Yang penting, gue nggak suka melihat mereka mesra-mesraan di depan mata
gue! Rhea ngedumel dalam hati.
Rhea terus memandang Reva dan Nico yang masih melangkahkan kaki mengikuti irama. Sorot
mata Rhea begitu tajam. Sama sekali nggak ada senyuman terukir di wajahnya. Belum sampai
sepuluh menit Reva dan Nico berdansa, Reva berjalan kembali ke arah Rhea. Rhea mengerutkan
kening penuh tanda tanya. Hanya Reva yang berjalan kembali ke arahnya sedangkan Nico tetap
berdiri diam di area dansa.
"Rhe... gantiin Mbak dansa ya," pinta Reva.
Tanpa menunggu jawaban dari Rhea, Reva langsung menarik tangan kanan Rhea dan
menariknya menuju lantai dansa. Dengan wajah bengong, Rhea hanya menurut begitu tangannya
ditarik Reva. "Nih, Nic... Rhea aja yang gantiin gue. Gue mau ke belakang dulu ya. Kambing guling lo
ngadain pembrontakan nih di perut gue, minta segera di keluarin," kata Reva asal, lalu
mendorong adiknya pelan ke hadapan Nico dan bergegas meninggalkan mereka.
Rhea melongo. Bola matanya mengikuti langkah kaki Reva yang menghilang di tengah
keramaian tamu. Nico menatap Rhea. Sorot matanya penuh permohonan. Lalu dengan segenap keberanian dan
tekad, diulurkannya tangan kirinya ke hadapan Rhea. Rhea menatap tangan itu, lalu menolehkan
kepalanya menatap Nico yang tersenyum padanya. "Kita dansa yuk, Rhe," ajak Nico lembut.
Rhea terpana. Ia merasa dirinya terbang ke awan-awan. Jantungnya berdebar begitu cepat,
sampai rasanya dadanya nggak mampu lagi menahan jantung itu untuk tetap berada di
tempatnya. Mendadak ia jadi begitu tegang.
Perlahan Rhea menggerakan tangannya dan menyambut uluran tangan Nico. Tangan cowok itu
begitu hangat. Nico menggenggam tangan kiri Rhea dan meletakan tangan kirinya di pinggang
Rhea. Rhea pun meletakan tangan kanannya di pundak Nico. Jarak mereka sekarang nggak lebih
dari sepuluh senti. Rhea dapat mencium aroma parfum dari tubuh Nico. Ia dapat pula merasakan
desah napas cowok itu. Bahkan ia yakin, ia juga bisa merasakan detak jantung Nico berdebar
cepat. Alunan lagu My Endless Love-nya Lionel Richie mengiringi setiap langkah dan goyangan
mereka. Begitu seirama. "Hari ini lo cantik banget, Rhe..," puji Nico setengah berbisik.
"Gombal," sahut Rhea, padahal mukanya udah semerah kepiting rebus.
Nico tertawa kecil. Rhea merasa ada rasa hangat yang menjalar di sekujur tubuhnya.
"Pestanya mewah, ya. Keren banget." Rhea berusaha mengalihkan pembicaraan.
"Terima kasih, Rhe," sahut Nico. " Tapi pesta ini nggak akan berkesan tanpa kehadiran elo."
"Apaan sih lo?" Rhea pura-pura ngambek.
"Bener. Kalau bukan karena elo, gue nggak akan mau membantu Papa mengatur
penyelenggaraan pesta ini. Pasti gue akan memaksa papa untuk mengadakan syukuran kecilkecilan aja."
"Kenapa begitu?"
"Untuk apa bikin pesta besar" Cuma menghamburkan uang aja. Tapi ceritanya akan berbeda jika
dengan adanya pesta ini, gue bisa berdansa sama elo."
Rhea tersipu malu. Tapi dalam hati ia juga bertanya-tanya, kenapa Nico jadi berubah ya" Kok
dia jadi romantis begini" Jadi lembut banget, lagi. Setiap kata yang diucapkannya seakan
mengatakan bahwa dia melakukan semuanya memang cuma untuk Rhea. Apa iya"
"Mas Nico, permisi sebentar..." tiba-tiba seorang laki-laki berseragam batik menghentikan
pembicaraan mereka. Nico dan Rhea sama-sama melepas pegangan tangan mereka. Tapi tangan kiri Nico masih tetap
di pinggang Rhea seakan takut kehilangan gadis itu.
"Ada apa, Din?" tanya Nico.
"Pak Alex meminta saya untuk memanggil Mas Nico," jawab laki-laki yang bernama Udin itu.
Nico mengangguk dan berbisik di dekat telinga Rhea, "Gue pergi dulu sebentar. Jangan ke manamana ya."
Jantung Rhea berdegup kencang. Ia dapat merasakan desah napas Nico di tengkuknya. Bola
matanya yang hitam mengikuti langkah kaki Nico yang berjalan ke arah tangga menuju atas.
Rhea terus menatap punggung Nico hingga cowok itu menghilang dari pandangannya.
Nico bilang dia harus menunggunya di sini. Tapi ini kan tempat orang-orang yang mau dansa.
Rhea memutuskan untuk beranjak dari tempatnya. Ia mencari-cari Reva dan kedua orang tuanya,
tapi mereka seperti lenyap ditelan keramaian para tamu yang semakin lama semakin banyak.
Rhea menghela napas putus asa. Nggak enak banget di tempat pesta seperti ini harus berdiri
sendirian. Udah gitu nggak ada yang kenal lagi.
Rhea melangkahkan kakinya menuju belakang ruangan. Ada pintu kaca yang tertutup tirai putih.
Rhea menyibak tirai itu sedikit dan mengintip. Ternyata ada taman dan kolam di belakang
ruangan ini. Rhea berusaha membuka pintunya. Nggak dikunci. Perlahan ia mendorong pintu itu
dan keluar dari ruangan pesta. Ia berjalan melewati teras kecil kecil menuju taman.
Udara malam begitu sejuk. Angin berembus sepoi-sepoi. Sedikit terasa dingin di kulit. Terdengar
suara dedaunan yang saling bergesek, seakan mereka sedang bercengkrama. Terkadang terdengar
juga suara jangkrik yang bernyanyi bersahut-sahutan.
Rhea berjalan menyusuri jalan setapak yang di kanan kirinya terhampar taman yang penuh
berbagai macam tanaman. Di taman itu juga ada air mancur dan patung wanita menggendong
kendi. Airnya keluar dari dalam kendi dan menimbulkan suara gemericik. Lampu taman
menghiasi setiap sudut sehingga suasana jadi tampak lebih indah.
Rhea menyusuri jalan setapak menuju gazebo yang berada tepat di tengah kolam renang. Ia
menaiki jembatan yang terbuat dari batu pualam untuk sampai di gazebo itu. Lalu Rhea berdiri di
tepi gazebo, menatap kolam renang luas yang mengelilinginya. Cahaya rembulan membuat air di
kolam tampak bercahaya. "Kenapa elo menyendiri di sini?" tegur Nico, membuat Rhea tersentak kaget. Rhea nggak
menyadari Nico sudah berdiri di belakangnya.
"Gue nggak enak di dalam sendiri. Gue udah cari mbak Reva dan Mama-Papa, tapi nggak
ketemu..." Nico tersenyum lembut. Lalu ia melepas jas yang melekat di tubuhnya dan memakaikannya ke
pundak Rhea. Rhea terkejut. Pipinya langsung bersemu merah.
"Udara malam ini agak dingin, jangan sampai elo masuk angin," kata Nico dengan senyum
manisnya. "Makasih," kata Rhea lirih. Jantungnya kembali berdebar keras. Bahkan tangannya mulai dingin
karena gugup. "Orang tua lo lagi sama bokap gue di atas. Tadi gue ketemu mereka. Entah mereka
membicarakan apa." Nico berdiri di samping Rhea dan menengadah, menatap kelamnya langit
malam. "Pantes gue cari-cari nggak ketemu."
"Biasalah... kalau di pesta seperti ini, Papa pasti semangat banget ngenalin gue ke semua
temannya." "Itu artinya bokap lo sayang dan bangga sama elo."
"I know" tapi bosen banget kan kalau harus pura-pura tersenyum terus di depan bapak-bapak
dan ibu-ibu itu. Udah gitu yang paling nyebelin kalau ada ibu-ibu yang bilang, 'Ih, anak Pak Alex
cakep ya. Mukanya lucu deh.' Habis itu pipi gue dicubit sama mereka."
Rhea tertawa. "Masa ada yang kayak gitu sih?"
"Betul ada. Ngapain juga gue bohong?"
"Abis, lo emang cakep kok." Ups! Rhea buru-buru menutup mulutnya dan mengalihkan
pandangannya ke sudut kolam yang lain.
Nico tersenyum. "Kalau elo juga mau nyubit pipi gue boleh kok." Nico mendekatkan pipinya ke
arah Rhea. "Ih... apa-apaan sih lo...?" Rhea mendorong pipi Nico dan tertawa.
Nico ikut tertawa renyah. Jantung Rhea berdegup lebih cepat. Ini pertama kalinya ia bisa
bercanda begitu santai dengan Nico. Ada jutaan rasa berkecamuk dalam batinnya. Ingin sekali
rasanya waktu berhenti berputar dan malam terus terjaga tanpa pagi menjelang. Entah mengapa
Rhea ingin terus seperti ini, berdua dengan Nico, ngobrol dengannya, bercanda, menatap
rembulan dan bintang yang bertebaran di langit, menghabiskan setiap detik dengan menatap
senyum Nico. Perasaan seperti ini nggak pernah sekali pun ia rasakan sebelumnya. Begitu
tenteram, hangat, damai, dan berbunga-bunga. Perasaan apa ini"
BAB 10 "YA ampun! Lo berduaan sama cowok lain tanpa sepengetahuan Felix"!" pekik Rachel saat
Rhea menyelesaikan ceritanya tentang pesta Sabtu malam kemarin.
"Ssst..! Kecilin suara elo, Chel," bisik Rhea sambil memandang sekeliling kelas. Untung nggak
ada yang mendengar. Semua tampak sibuk dengan kegiatan masing-masing.
"Tapi Rhe, itu kan sama aja artinya elo selingkuh," kata Rachel yang sudah memperkecil volume
suaranya. "Masa gitu doang selingkuh sih?" bantah Marcia. "Nggak kok, Rhe.. Rachel aja yang terlalu
membesar-besarkan." "Nggak selingkuh gimana" Jelas Rhea berduaan sama cowok lain pas malam minggu tanpa
bilang-bilang sama Felix. Itu kan artinya Rhea berusaha menutupi hubungannya sama cowok
itu." Rachel mencoba berargumen.
"Tapi cowok itu kan cuma guru les Rhea...," bantah Marcia.
"Emangnya kalau guru les nggak bisa jadi orang ketiga" Sopir aja bisa kok jadi perusak
hubungan cinta majikan.." Rachel nggak mau kalah.
"Udah.. udah! Stop! Kok malah kalian sih yang ribut?" Rhea berusaha menghentikan perdebatan
kedua sahabatnya itu. Rachel dan Marcia sama-sama bete.
"Gue tau gue emang salah. Sesaat gue emang lupa diri. Kelembutan Nico bikin gue terlena dan
lupa sama Felix. Dan itu yang menjadi kesalahan gue," kata Rhea.
Rachel dan Marcia terdiam, lalu mereka bertatapan.
"Rhea, elo jatuh cinta ya sama Nico?" tanya Marcia pelan.
Nggak Usah Jaim Deh Karya Valleria Verawati di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Rhea diam, lalu menjawab, "Gue nggak tau. Tapi yang jelas gue bahagia malam itu. Bahkan
perasaan itu sulit gue ucapkan dalam kata-kata. Saat gue di dekat Nico, gue merasakan debaran
yang berbeda dibandingkan Felix. Selama ini Nico selalu nyolot kalau ketemu gue, dan Sabtu
kemaren tiba-tiba dia jadi begitu lembut dan hangat. Dia bikin gue terhanyut.."
Marcia menghela napas panjang. "Jadi sekarang lo mau gimana" Lo mau mutusin Felix, terus
nyoba PDKT sama Nico?"
"Hah" Gue nggak mungkin sejahat itu lah...! Gue nggak boleh melakukan itu. Soalnya itu berarti
gue mempermainkan ketulusan Felix."
"Jadi lo maunya gimana?" tanya Rachel.
Rhea diam sejenak, lalu berkata pelan, "Yah... gue sih mau serius sama Felix. Gue akan berusaha
menghentikan perasaan gila gue ke Nico. Lagian gue rasa, Nico sukanya sama kakak gue, bukan
sama gue." "Iya, Rhe.. Felix udah baik banget sama elo. Elo nggak boleh ngecewain dia." Rachel ikut
memberi semangat. Rhea mengangguk dan tersenyum. Ia bangkit dari kursinya lalu menggandeng tangan Marcia dan
Rachel. "Eh, eh.. mau ke mana lo?" tanya Marcia.
"Ke kelasnya Felix," jawab Rhea enteng.
"Mau ngapain" Tumben...," timpal Rachel.
"Nggak tau nih. Kok tiba-tiba gue kangen sama dia," jawab Rhea.
"Ceileh...! Tapi oke deh. Yuk kita ke sana. Kali aja si Felix bawa cokelat buat kita.."
"Huu.. maunya!" sahut Rhea.
Marcia dan Rachel semangat banget. Bersama Rhea, keduanya melangkah ke luar kelas.
*** "Itu suara Felix, kan" Berarti dia ada di kelas. Ayo, Rhe!" ujar Rachel saat mereka mulai
mendekati kelas Felix. Rhea berusaha mendengarkan suara-suara yang berasal dari dalam ruang kelas Felix. Tapi ada
yang aneh, dia merasa namanya disebut-sebut dalam percakapan itu. Rhea berhenti dan menahan
kedua sahabatnya. "Ssst..! Gue ngerasa ada yang lagi ngomongin gue di dalam sana," bisik Rhea.
Marcia dan Rachel berusaha menajamkan pendengaran mereka.
Rachel yang penasaran mencoba mengintip dari jendela kelas. "Itu Felix dan beberapa
temannya," kata Rachel memberi info kepada Marcia dan Rhea.
"Ngapain mereka ngomongin gue" Jangan-jangan Felix cerita tentang hubungan gue sama dia...,"
kata Rhea heran. Marcia cuma mengangkat bahu.
"Ssst.. jangan berisik. Kita dengerin aja percakapan mereka," kata Rachel sambil menempelkan
telunjuknya ke bibir. Rhea, Marcia, dan Rachel bersama-sama menajamkan pendengaran mereka, berusaha
menguping pembicaraan di kelas Felix.
"So for so good...," sayup-sayup terdengar suara Felix.
"Lo jahat juga, Lix! Tu cewek kan masih polos, belum bernah pacaran. Lo malah manfaatin dia
kayak gitu," kata Leo, salah satu temen dekat Felix.
"Siapa suruh dia lahir jadi anak kepala sekolah sialan itu" Gue udah bilang, gue pasti bakal
ngebales si tua bangka itu, dan gue nggak main-main!" kata Felix berapi-api.
"Itu kan, udah lama, Lix. Ngapain juga sih lo dendam gitu?" ujar Marcell, yang menjabat kapten
di klub basket sekolah. "Gue nggak akan pernah ngelupain kejadian itu. Si tua bangka itu udah mempermaluin gue di
depan umum. Dia nuduh gue sebagai anak yang nggak bertanggung jawab, pembohong dan
nggak tau aturan. Bahkan dia ngasih gue skors selama seminggu. Bokap gue jadi marah besar
sama gue. Padahal itu gara-gara gue nggak sengaja mecahin jendela ruang guru dan
melimpahkan kesalahan pada si bloon Tony."
Leo dan Marcell tertawa. "Salah lo juga sih, ngejadiin si Tony sebagai kambing hitam."
"Siapa suruh tuh anak bloon banget!" Yang pasti dendam itu nggak bakal gue lupain begitu aja.
"Tapi kasihan Rhea, Lix. Dia nggak tau apa-apa," kata Marcell.
"Tapi cuma dia satu-satunya alat paling tepat untuk membalas dendam gue pada si tua bangka
itu. Gue pengin tau gimana reaksi tua bangka sialan itu saat dia mengetahui putri kesayangannya
udah berubah jadi pembrontak dan pembohong. Gue nggak akan pernah berhenti membuat Rhea
tergila-gila sama gue, dan membuat dia membohongi orang tuanya lalu memberontak dari segala
aturan rumahnya. Rhea Athena, yah.. cuma alat yang sangat cantik dan berguna buat gue." Felix
tertawa, sama sekali nggak menyadari bahwa cewek yang lagi diomongin sedang berdiri di luar
kelas, mendengar semua kata yang dilontarkannya.
Jantung Rhea berdegup cepat. Ia terdiam. Marcia dan Rachel sama-sama terkejut atas apa yang
barusan mereka dengar. Mereka menatap Rhea tanpa tahu harus berbuat apa. Rhea terpaku di
tempatnya. Setiap kata yang masuk telinganya seperti anak panah yang menusuk jantungnya satu
per satu. Tangan Rhea bergetar, begitu juga seluruh tubuhnya. Ia bahkan seperti nggak mampu
lagi menopang berat tubuhnya. Lalu dengan mengerahkan segenap tenaga yang tersisa dalam
dirinya, ia berlari kencang meninggalkan Marcia dan Rachel yang meneriakan namanya. Entah
berapa orang yang mengumpat kesal karena ditabrak Rhea, tapi cewek itu nggak peduli. Ia terus
berlari menuju ruang guru untuk menemui guru piket dan meminta izin pulang. Rhea berhenti di
depan meja piket dengan napas terengah-engah. Tubuhnya masih gemetaran. Keringat pun
mengalir di keningnya. Bibirnya terlihat kering dan pucat.
"Maaf, Bu, saya mau minta izin pulang. Saya merasa nggak enak badan," ujar Rhea sambil
berusaha mengatur napasnya. Bu Epin yang hari ini bertugas sebagai guru piket menatap Rhea
heran. Namun melihat wajah Rhea yang pucat, ia nggak lagi banyak bertanya, tapi langsung menulis
surat izin agar Rhea dapat segera pulang. Bu Epin itu guru BP. Ia guru favorit anak-anak,
soalnya selain baik hati ia juga lembut dan pengertian. Rhea beruntung hari ini Bu Epin yang jadi
guru piketnya. Bu Epin menyodorkan surat izin pada Rhea sambil bertanya, "siapa yang akan mengantar kamu
pulang" Sebaiknya kamu jangan pulang sendirian. Apa perlu saya beri tahu Papa kamu" \"
"Nggak, Bu. Jangan bilang ke Papa. Biar saya pulang sendiri naik taksi," tolak Rhea, lalu
tersenyum tipis dan meninggalkan meja piket menuju kelasnya untuk mengambil tas.
Marcia dan Rachel menghalangi jalan Rhea.
"Rhe, lo mau ke mana?" tanya Marcia.
"Pulang. Gue butuh ketenangan saat ini."
"Gue anterin ya!" Marcia menawarkan diri.
"Nggak usah, Mar. Gue bisa sendiri kok." Rhea berusaha tersenyum, tapi yang keluar malah
seringai hambar. "Rhe, lo yakin nggak butuh kami?" tanya Rachel dengan sorot mata cemas.
"Tenang aja. Gue cuma lagi butuh waktu buat menyendiri."
"Ya udah. Kalau gitu kami anterin lo cari taksi. Soal tas lo, biar gue aja yang nganterin ke rumah
lo. Tapi janji ya, Rhe, kalau ada sesuatu, langsung hubungi kami..." Marcia meraih tangan Rhea
dan menggenggamnya erat. "Iya, gue janji..."
*** Rhea berbaring di tempat tidurnya dengan perasaan kacau. Kepalanya terasa sakit, begitu pula
hatinya. Seperti ada sesuatu yang menusuk-nusuk kedua sudut matanya, dan tak mau hilang. Ia
meraih guling dan menutup wajahnya dengan benda itu. Percakapan yang didengarnya tadi
seperti diputar ulang dalam memorinya. Rhea sama sekali nggak nyangka Felix tega melakukan
semua itu. Ternyata semua kebaikan dan keromantisannya hanya untuk memperalat Rhea. Felix
nggak pernah benar-benar jatuh cinta padanya, nggak benar-benar tulus padanya. Rhea hanya
dijadikan alat balas dendam, nggak lebih dari itu.
Rhea ingin berteriak marah. Kenapa semua ini harus terjadi padanya" Tapi Rhea nggak bisa
menyalahkan Felix. Ia yang bodoh hingga terbedaya rayuan Felix. Ia yang bodoh karena
membohongi keluarganya demi Felix. Ia yang bodoh karena nggak memedulikan nasihat Papa.
Kalau memang ada yang harus disalahkan, dirinya lah yang seharusnya disalahkan. Felix
hanyalah salah satu murid di sekolah yang menyimpan dendam pada Papa dan berniat
membalasnya melalui Rhea. Felix hanyalah manusia rapuh berjiwa kerdil, sikapnya yang seperti
ini cuma menunjukan ketidakdewasaannya dan membuktikan kebenaran dari semua makian Papa
pada Felix dulu. Felix hanyalah laki-laki yang sedang dalam tahap pencarian jati diri, yang salah
melangkah dan patut dikasihani. Cowok itu hanya sedang melindungi jiwanya yang rapuh di
balik ketampanan dan popularitasnya di sekolah.
Rhea menyesal telah terpedaya rayuan Felix. Rasanya sakit.. benar-benar sakit. Tapi Rhea tahu,
dia nggak boleh lemah. Dia nggak boleh melakukan kesalahan untuk yang kedua kalinya dengan
membiarkan Felix terus memperalat dirinya. Dia harus menyelesaikan semua ini sekarang juga.
Rhea bangun dari tempat tidur dan meraih HP-nya yang ada di meja belajar. Ia membuka fitur
message dan menulis SMS. Lix, gw mo ktemu elo jam 3 di PS. tnggu gw di McD. pntng!
Pesan terkirim. Beberapa saat kemudian ia menerima SMS baru. Rhea membacanya.
OK. honey! Ge tunggu elo di sana. Muuaachh!
Rhea menarik napas panjang, berusaha menahan ledakan mual di perutnya setelah membaca
SMS itu. Rhea sakit hati sekaligus jijik pada semua kepura-puraan Felix.
Rhea berjaan membuka pintu kamarnya, menuju kamar Reva. Diketuknya pintu kamar Reva
perlahan. "Mbak... ini Rhea.. "
"Masuk aja Rhe," sahut Reva dari dalam kamarnya.
Rhea membuka pintu dan memasuki kamar kakaknya yang bernuansa putih. Reva sedang duduk
di depan meja rias sambil menyisir rambut.
"Kata Mama kamu nggak enak badan ya?" tanya Reva sambil sibuk mengucir rambutnya dengan
model ekor kuda. "Sedikit. Tapi sekarang udah nggak lagi."
"Ada apa kamu cari Mbak" Ada yang mau diceritain?" Reva yang sudah selesai mengucir
rambutnya berbalik dari depan kaca, dan menatap Rhea sambil tersenyum.
"Ah... nggak kok. Rhea mau minta nomor HP Nico. Rhea ada perlu sedikit sama dia. Mbak
punya kan?" "Oh.. cuma itu?" Reva mengambil dompetnya yang tergeletak di tempat tidur dan memberikan
selembar kartu nama buat Rhea. "Ini buat kamu aja. Mbak udah simpen nomor HP Nico di
phonebook HP Mbak." Rhea tersenyum. "Makasih ya, Mbak." Rhea pun meninggalkan kamar Reva, diikuti senyuman
misterius yang tersungging di bibir Reva.
Rhea kembali ke kamarnya lalu mengambil HP dan menekan nomor yang tertera di kartu nama
Nico. "Halo..," sapanya begitu hubungannya tersambung.
"Halo..," sahut cowok di sebrang sana.
"Ini Nico ya" Gue Rhea.."
"Iya.. gue tau."
"Tau?" "Ada perlu apa lo telepon gue?"
"I need your help."
"Maksud lo?" "Gue mesti keluar rumah untuk menemui seseorang. Ini penting banget. Jadi gue butuh bantuan
elo untuk meyakinkan Papa kalau elo ada perlu sama gue. Papa kan pernah bilang.. kalau sama
elo, dia percaya. Please.. gue bener-bener butuh bantuan elo nih.."
Nico terdiam sesaat, lalu akhirnya berkata, "Oke jam berapa gue harus jemput elo?"
Rhea tersenyum. "Jam dua ya. Thanks banget ya, Nic."
"Ya udah, kalau gitu sampai nanti."
"Iya, sampai nanti.." Rhea pun menutup sambungan teleponnya.
*** Rhea berjalan di samping Nico memasuki Plaza Senayan yang hari ini cukup ramai. Sesuai
dugaan Rhea, kalau sama Nico ia pasti lebih mudah mendapatkan izin dari Papa. Ya.. memang
sih, ia harus sedikit berbohong dengan mengatakan bahwa ia ingin melihat-lihat koleksi buku
yang ada di rumah Nico. Tapi Rhea janji, ini akan menjadi kebohongannya yang terakhir.
McD sudah di depan mata. Jantung Rhea mulai berdegup cepat. Tangannya mulai dingin dan
berkeringat. "Gue tunggu lo di sini," kata Nico singkat.
Rhea mengangguk. Sejenak dipejamkannya mata dan ditariknya napas panjang. Kemudian
dengan mantap ia melangkahkan kakinya.
"Rhea...," panggil Nico.
Rhea membalik badannya dan menatap Nico.
"Gue nggak tau elo mau nemuin siapa dan ada masalah apa. Tapi yang pasti elo harus tau, gue
ada di sini, nungguin elo, dan siap membela elo. Jadi jangan takut ya."
Setiap kata yang keluar dari mulut Nico seperti angin yang menyejukkan hati Rhea dan mengusir
kecemasan serta keraguan di hatinya. Kata-kata itu seperti memberinya kekuatan yang nggak
berwujud dan langsung menyelubungi dirinya bagai perisai.
Rhea tersenyum lalu membalikkan badannya dan melangkah santai. Bola matanya bergerakgerak mencari sosok Felix.
Begitu diliihatnya Felix duduk sendirian di pojok ruangan sambil menikmati segelas soft drink,
Rhea tersenyum dan berjalan ke arahnya. Hatinya begitu tenang. Rhea sudah merasa sangat siap
untuk bicara empat mata dengan Felix.
"Hai!" sapa Rhea lalu menarik kursi dan duduk di hadapan Felix.
"Hai, Rhe. Gue denger tadi elo pulang cepet karena sakit. Apa sekarang elo udah baik?"
Rhea mengangguk sambil tersenyum. "Makasih ya, atas perhatiaan elo."
"Itu karena gue khawatir sama elo."
Lagi-lagi Rhea tersenyum.
"Ada perlu apa, Rhe" Elo bilang apa sama bokap lo, sampai elo dapat izin keluar rumah lagi?"
"Gue bohong." Rhea menarik napas dalam-dalam. "Tapi ini kebohongan gue yang terakhir. Gue
udah tau semuanya, Lix. Gue tau tujuan elo macarin gue. Gue udah dengar semuanya..."
"Maksud lo apa?"
"Gue udah nggak mau lagi jadi alat balas dendam lo ke bokap gue, Lix. Gue nggak mau lo
peralat lagi. Gue nggak mau ngecewain keluarga gue, terutama bokap gue. Gue sayang dia, gue
sayang keluarga gue. Elo nggak punya hak untuk menghancurkan keluarga gue."
"Memperalat elo?"
"Lo nggak usah pura-pura lagi deh. Gue udah denger dengan telinga gue sendiri, percakapan elo
di kelas tadi pagi..." Rhea berusaha mengatur napasnya, berusaha tetap tenang di tengah gemuruh
emosi yang mengguncang perasaannya.
Felix terdiam. Dia nggak menyangka rencananya sudah terbongkar.
"Tenang aja, gue nggak dendam kok. Menurut gue, elo cuma salah satu anak kecil yang nggak
terima dirinya dihukum karena udah berbuat salah. Di sekolah kita pasti bukan cuma elo yang
kesal karena kedisiplinan bokap gue terhadap peraturan. Hanya saja dari siswa-siswi itu, cuma
elo yang rapuh dan seperti anak kecil, yang menyimpan dendam dan nggak mau mengakui
kesalahan. Elo nggak lebih dari pengecut yang mencari kambing hitam untuk menutupi setiap
kesalahan yang elo perbuat."
Felix masih diam. Kata-kata Rhea seperti membuka tabir yang menutupi kekelaman dalam
dirinya. "Gue kasihan sama elo, Lix. Tapi gue tetep berterima kasih atas semua yang udah elo berikan
buat gue. Elo membuat gue punya pengalaman berharga. Elo membuat gue mengerti pahitnya
cinta, membuat kehidupan gue yang monoton jadi memiliki riak, bahkan ombak. Gue berterima
kasih atas semua itu.... Met tinggal..." Rhea bangkit dari duduknya dan berjalan keluar dari
restoran fastfood yang selalu ramai itu.
"Rhea tunggu!" panggil Felix yang ikut bangun mengejar Rhea. Felix menarik tangan Rhea dan
menahannya. "Tunggu Rhe... please..."
"Apa lagi yang lo mau, Lix" Gue nggak akan mempercayai setiap kata yang keluar dari mulut
lo!" "Ma-maafin gue, Rhe..... elo bener.... gue cuma cowok rapuh dan pengecut. Gue seperti anak
kecil. Gue minta maaf, Rhe... gue bener-bener minta maaf."
"Sejak awal gue udah maafin elo."
"Kalau begitu tolong kasih gue kesempatan untuk memperbaiki semuanya. Gue nggak akan
nyakitin elo lagi. Gue janji!" Felix memohon sambil menggenggam erat tangan Rhea.
"Nggak! Semua udah selesai..." jawab Rhea.
"Please, Rhe... kasih gue kesempatan."
"Nggak! Lepasin tangan gue, Lix. Gue mau pulang!" Rhea berusaha meronta dan melepaskan
tangannya dari genggaman Felix.
"Nggak akan gue lepas sampai elo mau ngasih gue kesempatan lagi..."
"Lepas!" Rhea mulai berteriak panik. Ia mulai takut melihat sorot mata Felix yang sepertinya
penuh obsesi gila "Lepasin tangan lo!" hardik Nico yang tiba-tiba muncul di sebelah Rhea dengan tatapan tajam.
Melihat Nico, Felix jadi marah. Dia ingat Nico, cowok yang ditemuinya di toko buku.
"Ngapain lagi lo disini" Ini bukan urusan lo!" Felix berteriak marah. Ia melepaskan tangan Rhea
lalu maju menghadap Nico dan menarik kerah kaus Nico dengan kasar. "Rhea itu cinta sama gue
dan elo nggak akan bisa menghancurkan hubungan gue dengan status lo yang cuma guru lesnya
aja. Asal lo tau, lo nggak bakal lama jadi guru les Rhea karena Rhea nggak akan tahan punya
guru les kayak elo!" maki Felix.
Nico menatap Felix dengan tenang. Ia melepaskan cengkraman Felix di kerahnya. Rhea melihat
kedua cowok itu berhadapan. Telapak tangan Rhea cepat-cepat menutup mulutnya kuat-kuat,
berusaha agar tak berteriak. Banyak pengunjung mal mulai berhenti dan memperhatikan mereka
penuh dengan rasa ingin tahu.
"Status gue sebagai guru les Rhea lebih berharga dari pada status lo itu. Kalau dia nggak mau
sama elo lagi, lo jangan maksa dong! Heh, asal elo tau aja ya, bokapnya Rhea percaya 100%
sama gue. Dia cukup dengerin cerita gue tentang kejadian hari ini, dan gue jamin elo pasti akan
menghadapi masalah besar dengan Kepala Sekolah lo itu. Gue yakin, demi membela putri
kesayangannya, dia nggak akan segan-segan ngeluarin elo dari sekolah."
"Brengsek! Sialan!" Felix melayangkan tinjunya ke wajah Nico.
Nico nggak menghindar dan sama sekali nggak melawan. Tinju itu bersarang tepat di wajahnya,
darah segar mengalir dari bibirnya. Nico terhuyung sedikut ke belakang.
"Nico..!" Rhea berteriak kaget. Dia hendak mendekati Nico, namun cowok itu menahan dengan
isyarat tangannya. Rhea menghentikan langkahnya.
"Cuma segini aja..." Nico kembali berdiri tegak dan mencibir. "Gue rasa luka ini cukup menjadi
bukti untuk bokap Rhea. Kalau elo masih mau mukul gue lagi, jangan salahin gue kalau elo
Nggak Usah Jaim Deh Karya Valleria Verawati di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bukan hanya dikeluarin dari sekolah, tapi juga harus berurusan dengan polisi."
"Sialan!" Felix berteriak marah dan mengepalkan tinjunya ke udara. Namun ia nggak berani
melayangkan pukulan lagi ke arah Nico.
Nico mendekati Felix hingga jarak mereka tinggal lima sentimeter, lalu berkata tegas, "Inget
kata-kata gue! Jangan coba-coba ganggu Rhea lagi, atau elo akan berurusan dengan gue. Gue
nggak akan hanya membuat elo membayar satu pukulan ini, tapi gue juga akan bikin lo menyesal
seumur hidup karena pernah mengenal gue!"
BAB 11 NICO duduk di belakang setir mobil sambil menghapus darah di sudut bibirnya dengan selembar
tisu. "Masih sakit ya?" tanya Rhea cemas.
Nico tertawa. "Nggak kok. Ini cuma luka kecil. Mungkin bibir gue sedikit robek. Tenang aja.."
Rhea menunduk. "Sori ya, Nic. Ini semua gara-gara gue."
"Nggak perlu minta maaf, ini bukan salah lo. Cowok itu emang perlu dikasih pelajaran."
Rhea menatap ke depan, pandangannya jauh menerawang.
"Felix emang pacar gue, Nic. Dia cowok pertama yang berani ngedeketin gue di sekolah. Bahkan
dia cowok pertama yang berani menyatakan cinta ke gue. Papa selama ini nggak pernah ngizinin
gue pacaran. Gue bosen hidup gue begini-begini aja. Makanya gue nerima Felix. Gue rasa dia
bisa memberi warna lain dalam hidup gue," jelas Rhea pelan.
"Sejak itu gue jadi sering ngebohongin Papa-Mama biar bisa jalan sama Felix. Gue seneng
banget, karena hidup gue mulai seru, meskipun gue tau gue udah berdosa besar sama orangtua
gue. Tapi ternyata... Felix cuma memperalat gue. Dia menyimpan dendam sama Papa dan
menggunakan gue untuk menyakiti Papa. Dia sengaja mendekati gue, ngajak gue pacaran,
backstreet, lalu perlahan-lahan menjadikan gue sebagai pembrontak, sebagai pembohong ulung."
Rhea menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Rasanya ingin sekali menangis, tapi
nggak bisa. Air matanya enggan mengalir walaupun sepertinya sudah menumpuk di sudut mata.
Nico diam saja. Ia mengemudikan mobil dengan tenang, seakan memberi waktu pada Rhea
untuk mengontrol emosinya.
*** Nico menghentikan mobilnya di pantai. Hari sudah mulai sore. Jam tangan Rhea sudah
menunjukan pukul 17.00. "Mau jalan-jalan sebentar?" tanya Nico sambil tersenyum manis.
Rhea mengangguk. Nico keluar dari mobil diikuti Rhea. Mereka berjalan menyusuri pasir
terhampar luas di pesisir pantai. Pantai ini indah, tapi kenapa pengunjungnya sedikit" tanya Rhea
dalam hati. Padahal kebersihannya cukup terjaga.
"Kita naik ke batu karang itu yuk!" ajak Nico sambil menunjuk ke arah batu karang yang cukup
tinggi. Ombak menerpa bagian bawah karang dengan keras sehingga menimbulkan suara
lecutan. Rhea menggeleng. "Nggak ah. Gue takut."
"Tenang aja... kan ada gue." Nico mengulurkan tangannya ke arah Rhea.
Rhea menatap tangan Nico lalu menyambutnya dengan senyuman yang paling manis. Mereka
berjalan menuju karang dan mulai mendakinya perlahan-lahan. Nico menggenggam erat tangan
Rhea dan menuntunnya hingga ke tepi.
Nico duduk di atas karang itu dan menarik tangan Rhea untuk duduk di sampingnya. Kaki
mereka terjuntai ke bawah karang, menyentuh air laut yang beriak. Ombak yang datang menerpa
karang, membuat tubuh mereka basah terkena percikan-percikan air. Angin laut mengibarkan
rambut Rhea yang tergerai. Rhea jadi kerepotan karena rambutnya berantakan.
Nico tersenyum dan bertanya, "Elo nggak bawa karet rambut?"
Rhea menggeleng sambil berusaha memegangi rambutnya. Nico mengambil sapu tangan dari
saku celananya, kemudian mengikat rambut Rhea dengan sapu tangan itu.
Jantung Rhea berdegup kencang.
"Nah, kalau begini nggak berantakan lagi, kan..."
"Iya, makasih."
Nico kembali menatap lautan luas di hadapan mereka.
"Rhe, apa sekarang elo masih mau nangis?" tanya Nico pelan tanpa menoleh ke arah Rhea.
Rhea menatap Nico. Hatinya terasa begitu hangat. Senyum manis mengembang di bibirnya.
Ternyata itu alasan Nico mengajaknya ke pantai ini. Nico khawatir melihat Rhea begitu sedih.
"Nggak kok, gue udah nggak pengin nangis lagi. Seharusnya gue malah bersyukur dan senang
bisa melepaskan diri dari Felix sebelum terperosok semakin dalam."
"Syukurlah kalau begitu," kata Nico lega.
"Nic, gue boleh nanya nggak?"
Nico menoleh dan menatap Rhea."Nanya aja..."
"Kenapa belakangan ini lo jadi baik dan lembut sama gue?"
Nico terdiam. Ia mengalihkan pandangannya ke laut.
"Karena... gue berfikir untuk menyerah," jawab Nico akhirnya.
"Menyerah" Menyerah untuk apa?" dahi Rhea berkerut heran.
"Menyerah untuk mengejar elo, menyerah untuk merebut perhatian elo, menyerah untuk
mendapatkan cinta lo," kata Nico kembali menatap Rhea.
Rhea tersentak kaget. Matanya membelalak dan mulutnya sedikit terbuka.
"Rhe, gue... gue suka sama elo?" Nico menelan ludah, wajahnya agak gugup. "Sejak pertama
kita ketemu lagi, setelah sekian lama nggak bertemu, entah kenapa gue terpesona sma elo. Tanpa
gue sadari, rasa suka gue perlahan berubah jadi sayang. Gue sendiri nggak tau bagaimana sampai
semua itu terjadi. Semua rasanya tumbuh begitu aja dalam diri gue. Dan semakin hari rasa itu
semakin besar dan kuat..."
Rhea mendengar semua cerita Nico dengan perasaan setengah percaya.
"Gue masih ingat jelas masa kecil kita. Tapi waktu itu gue cuma menganggap elo adik. Perasaan
suka itu timbul secara tiba-tiba, sejak hari pertama gue ngajar elo. Elo ingat nggak, kejadian di
hari pertama itu" Waktu gue benar-benar nggak bisa ngontrol diri gue. Gue jadi gugup dan salah
tingkah. Hasilnya gue malah bersikap kasar sama elo. Waktu itu gue benar-benar menyesali
kebodohan gue, gue merasa stupid dan konyol. Apa ini yang namanya love first sight, gue juga
nggak tau.." Nico berhenti bercerita. Ia menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Langit
mulai gelap. Matahari mulai bergerak ke garis cakrawala. Laut yang berwarna biru mulai
bernuansa kemerahan. Nico melanjutkan ceritanya. "Tapi waktu gue melihat elo di mal sama cowok brengsek itu, gue
putus asa. Gue merasa udah nggak ada harapan lagi buat ngedapetin elo. Gue sakit hati dan
kecewa. Rasanya hidup gue hancur. Gue berusaha tegar karena gue sadar elo bukan siapa-siapa
gue, dan elo bebas jalan sama siapa pun yang elo suka. Semua rasa sakit hati gue bukan karena
kesalahan elo. So, sejak itu gue memutuskan menyerah. Tapi semakin gue berusaha mundur,
semakin kuat rasa cinta itu mengikat gue. Bahkan ikatannya hampir membuat gue nggak mampu
bernapas...." Sorot mata Nico mendadak berubah redup. Ada kepedihan terbayang di sana.
"Gue.. gue nggak tau elo suka sama gue karena selama ini lo selalu kasar sama gue. Gue pikir....
elo suka sama mbak Reva."
"Reva?" "Iya. Setiap kali elo berada di samping Mbak Reva, elo pasti bersikap lembut dan santai. Seperti
sikap lo belakangan ini ke gue. Sedangkan kalo elo sama gue, pasti tingkah lo jadi kasar, tukang
nyolot, galak... nyebelin banget deh pokoknya."
"Itu karena gue berusaha menjadi sosok yang elo impikan sebagai pacar lo. Lagian juga.. Reva
kan udah punya pacar."
"Mbak Reva udah punya pacar?" Rhea terkejut mendengarnya.
"Iya, pacarnya itu masih sepupuan sama gue. Pacarnya juga dateng kok ke pesta ulang tahun
bokap gue. Makanya mereka menghilang begitu saja, soalnya mereka ngobrol di teras kamar
gue, biar nggak ketahuan sama bokap lo."
"Jadi Mbak Reva juga backstreet?"
"Ya. Jadi nggak mungkin gue suka sama Reva..."
Rhea termenung. Dia sama sekali nggak menyangka, ternyata Mbak Reva diam-diam juga sudah
punya pacar, Mbak Reva juga backstreet seperti dirinya. Tunggu dulu, ada yang aneh! Kenapa
Nico bilang bahwa dia bersikap nyebelin karena berusaha menjadi sosok pacar impian gue"
Sejak kapan gue mau punya pacar nyebelin"
"Eh Nic, tadi lo bilang lo bersikap beda ke gue karena elo ingin menjadi sosok pacar impian gue.
Memangnya kapan gue bilang gue pengin punya pacar nyebelin gitu?"
"Lho, dulu waktu elo masih kecil, elo pernah bilang sama gue. Kalau nanti udah gede, lo pengin
punya pacar yang berwibawa, tegas, cool dan sedikit angkuh. Lo mau punya pacar yang kaya
bokap lo itu. Makanya gue bersikap begitu biar elo tertarik sama gue."
Rhea berusaha mengingat-ingat masa lalunya. Apa iya dia pernah bilang begitu" Mmm....
kayaknya si pernah. Kalau nggak salah waktu itu Rhea lagi mengagumi sosok Papa yang begitu
berwibawa. Makanya dia bilang pada semua orang bahwa dia pengin punya pacar yang
berwibawa kayak Papa. Tapi itu kan dulu waktu dia masih kecil.
"Kalau bukan karena gue teringat kata-kata elo itu, gue nggak akan bersikap tegas gitu di depan
lo. Cukup di hari pertama aja. Lagian, ngapain juga gue pura-pura tegas dan sok cool gitu kalau
bukan untuk membuat lo suka sama gue" Padahal gue pengin banget ngobrol dan bercanda sama
elo. Hmmm... kalo dipikir-pikir, gue payah juga ya. Bikin susah aja. Semua itu gue lakuin hanya
untuk mendapatkan perhatian dari elo. Itu aja," gerutu Nico dengan tampang seperti anak kecil
yang lagi merajuk. Rhea tertawa melihat wajah cowok itu. "Hahaha! Siapa yang tertarik kalau elo nyebelin gitu" Itu
sih bukannya tegas dan cool tapi nyolot."
Nico terdiam. Rhea jadi merasa bersalah melihatnya. Seharusnya dia nggak boleh tertawa seperti
itu. Nico melakukan semua itu kan karena dia ingin mendapatkan perhatian dari dirinya.
"Maaf ya, gue nggak bermaksud ngetawain elo," kata Rhea tulus.
"Nggak apa-apa. Gue emang bodoh. Nggak seharusnya gue berusaha menjadi orang lain. Nggak
seharusnya gue masih mengingat kata-kata anak kecil yang pastinya suka berubah-ubah."
"Iya, lo emang bodoh. Gue jauh lebih suka dengan sifat asli lo yang lembut, dewasa, dan
perhatian." Nico terpana. Ia menatap Rhea yang pipinya bersemu merah.
"Maksud lo... lo juga suka sama gue?"
Rhea mengangguk pelan. Nico tersenyum lebar dan langsung menarik tubuh Rhea dalam pelukannya. Pipi Rhea terasa
panas. Ia dapat merasakan detak jantung Nico di telinganya. Ia bahkan dapat mencium aroma
parfum yang dipakai Nico dengan jelas. Tanpa sadar tangan Rhea bergerak melingkar di
punggung Nico dengan erat. Rhea ingin terus seperti ini, dia nggak mau kehilangan pelukan ini.
Rasa bahagia ini, Rhea tahu, inilah rasanya jatuh cinta. Sungguh berbeda dengan yang
dirasakannya pada Felix. Kali ini Rhea tahu, inilah yang namanya cinta.
Tiba-tiba Rhea teringat sesuatu, lalu didorongnya tubuh Nico.
"Kenapa Rhe?" Nico bertanya heran.
"Gue nggak bisa. Kalau gue pacaran sama elo, gue akan menimbulkan kebohongan lagi ke Papa.
Kita pasti backstreet, dan setiap mau keluar rumah kita pasti harus berbohong sama Papa seperti
tadi. Gue nggak mau kayak gitu lagi."
Nico tersenyum mengerti. "Mau nggak mau kita memang harus backstreet karena bokap lo
belum ngizinin elo pacaran. Iya kan?"
Rhea mengangguk. "Tapi itu bukan berarti kita harus bohong kalau mau pergi kencan. Gue janji, gue akan minta izin
bokap lo secara jantan dan terus terang kalau mau ngajak elo jalan-jalan. Lagian juga bokap lo
pernah bilang, sama gue dia percaya sepenuhnya. Gue juga akan tetap jadi guru les lo. Gue akan
berusaha menempatkan diri sebagai guru maupun pacar. Gue akan terus membantu elo untuk
meningkatkan prestasi, biar bokap lo bangga dan percaya bahwa anaknya nggak akan pernah
ngacewain mereka. Asal prestasi lo tetap oke, gue yakin mereka nggak akan melarang hubungan
kita." "Tapi kalau Papa tetap nggak mau merestui hubungan kita dan marah sama kita bagaimana?"
"Tenang aja. Kalau itu sampai terjadi, dengan sangat terpaksa... gue akan minta bokap gue segera
ngelamar elo. Bokap gue pasti bisa meluluhkan hati bokap lo..."
"Hah" Nggak mau! Gue nggak mau kawin muda!"
Nico tertawa. Ditariknya tubuh Rhea kembali ke dalam pelukannya. Matahari mulai terbenam di
cakrawala. Perlahan-lahan turun dan menghilang di telan bumi. Rembulan yang bergerak
menemani sang malam tersenyum manis, melihat sepasang kekasih yang duduk di atas karang
saling mengikat janji. Rhea sadar perjalanan cintanya masih panjang. Ini cuma sebuah awal yang
akan membawanya menuju kedewasaan. Sebuah awal yang akan membuat hidupnya kembali
penuh warna. Sebuah awal yang akan memperkenalkannya pada arti cinta. Ini hanya sebuah awal
yang baru. -END- Sumber: https://id-id.facebook.com/pages/Kumpulan-cerbungcerpen-dan-novel-remaja/398889196838615
Pendekar Penyebar Maut 9 Kuda Binal Kasmaran Serial Tujuh Senjata Karya Gu Long Name Of Rose 9
"Kapan Papa kamu ulang tahun?" pertanyaan Papa memecah keheningan.
"Sabtu ini Oom... ini saya bawa undangan dari Papa untuk Oom sekeluarga. Tadi saya menyuruh
Rhea turun dari mobil lebih dulu karena saya masih harus mencari undangan ini yang terselip di
kursi belakang," jawab Nico seraya memberikan undangan itu pada Papa.
Papa mengambilnya lalu segera membuka dan membacanya. Mama melepaskan rangkulannya
dari pundak Rhea dan buru-buru mendekati Papa untuk melihat undangan itu. Rhea masih berdiri
terpaku di tempatnya sambil menatap Nico. Merasa ada mata yang mengawasinya, Nico menoleh
dan menatap Rhea. Tatapan mereka bertemu. Rhea merasakan getaran dahsyat pada dirinya. Ada
kehangatan yang begitu luar biasa menjalar dalam kalbunya hanya dengan menatap kedua bola
mata Nico yang begitu teduh. Nico tersenyum. Senyum pertama yang sama sekali nggak pernah
Rhea lihat selama ini. Dan entah kenapa, saat ini senyum itu telah menawan hatinya dan
membawanya terbang tinggi.
"Bilang sama Papa kamu Nico... kami sekeluarga pasti akan datang..." kata-kata Mama
menyadarkan Rhea dari keterpakuannya.
"Iya, Tante," jawab Nico.
"Masalah hari ini lupakan saja," ujar Papa. "Kalo memang Rhea perginya sama kamu, Oom
izinkan karena Oim percaya sama kamu. Tapi Oom minta lain kali kamu tidak boleh lupa
memberitahu Oom terlebih dulu jika memang kamu mau mengajak Rhea keluar."
"Baik, Oom. Terima kasih. Kalau begitu saya permisi pulang. Sudah malam," pamit Nico.
"Baiklah salam untuk Papamu."
"Hati-hati di jalan ya. Biar Rhea yang mengantar kamu ke depan," sambung Mama sambil
menatap Rhea dan memberi isyarat dengan matanya. Rhea menurut dan ia pun berjalan
mendahului Nico menuju pintu keluar.
"Kenapa?" tanya Rhea begitu mereka sampai di depan pagar.
"Apanya yang kenapa?" Nico malah balik bertanya.
"Kenapa elo nolong gue?"
Nico menghela napas panjang dan memandang hitamnya langit malam. "Gue cuma nggak mau
melihat wajah kecewa Mama-Papa lo kalo tau anak mereka udah jadi pembohong."
"Gue terpaksa," sela Rhea pelan. "Gue nggak punya pilihan lain. Gue cuma pengin merasakan
indahnya pacaran di masa remaja."
"Apapun alasan elo, bohong tetaplah bohong. Dan orang tua lo nggak layak dibohongi."
"Elo tau apa" Elo tau apa tentang perasaan gu..."
"Ssst.. kecilin suara elo." Nico buru-buru membekap mulut Rhea dengan telapak tangannya.
"Apa lo mau Mama-Papa lo dengerin percakapan kita?"
Rhea terdiam. Nico melepas bekapannya dengan perlahan, takut tiba-tiba Rhea teriak lagi. "Gue emang nggak
tau apa yang lo rasakan. Tapi yang gue tau, orang tua lo sayang banget sama lo dan mereka pasti
kecewa jika tau elo telah membohongi mereka. Itu aja."
Rhea nggak bisa membalas ucapan Nico karena setiap kalimat yang diucapkan cowok itu
mengandung kebenaran. Rhea hanya diam dan menunduk.
"Ya udahlah, gue pulang dulu," kata Nico. "Oh iya, berhubung hari ini kita nggak les, jadwal les
hari ini dipindah besok ya. Jangan jalan-jalan lagi, oke!"
Rhea hanya diam. Nico menatap cewek di sampingnya dalam-dalam. Lalu ia melangkah keluar
dan masuk ke mobilnya yang diparkir di depan rumah Rhea.
*** Rhea mengempaskan tubuhnya di tempat tidur dan memeluk guling erat-erat. Tubuhnya terasa
begitu lelah. Hari ini terlalu banyak masalah yang dihadapinya. Dulu saat berbaring di tempat
tidur seperti ini yang dirasakannya adalah kebosanaan akan kehidupan yang dijalaninya.
Kehidupan monoton yang hanya menampilkan warna hitam putih. Sekarang, saat hidupnya
mulai lebih berwarna, ia malah merasa begitu lelah. Sangat lelah! Setiap kata yang diucapkan
Nico terngiang kembali di telinganya. Rhea nggak mengerti apa yang hrus dilakukannya saat ini.
Apakah ia harus mengakhiri hubungannya dengan Felix"
BAB 8 Rhea berjalan gontai menyusuri koridor sekolah menuju kelasnya. Hari masih pagi, sekolah pun
masih sepi. Kepala Rhea masih agak berat. Kejadian kemarin membuatnya sama sekali nggak
bisa tidur nyenyak. Dan hasilnya ia jadi pusing.
Sesampainya di kelas, Rhea terkejut melihat Marcia dan Rachel sudah datang dan duduk di
bangku Rhea. "Kalian kok datangnya pagi banget" Memangnya hari ini ada PR ya?" tanya Rhea heran sambil
berjalan mendekati bangkunya.
"Rhea!" seru Marcia dan Rachel bersama, lalu bangkit dari tempat duduk dan langsung
menyerbu Rhea. Mereka memeluk Rhea begitu erat, sampai-sampai Rhea susah bernapas.
"Heh, lepas dong... lepas. Rhea berusaha meronta sebelum benar-benar kehabisan napas."
Marcia dan Rachel akhirnya melepas pelukan mereka lalu sama-sama nyengir.
"Apa-apaan sih lo berdua" Kalian pada pengin bunuh gue ya?" Rhea tersengal-sengal dan
berusaha menarik napas sebanyak-banyaknya.
"Sori Rhe," ucap Marcia sambil meringis.
Setelah napasnya kembali normal, Rhea meletakan tas ranselnya di meja dan duduk di
bangkunya sendiri. Marcia juga ikutan duduk di bangku sebelah Rhea yang masih kosong,
sedangkan Rachel duduk di bangku depan dengan posisi menghadap Rhea.
"Lo berdua kenapa sih?" Rhea heran melihat tingkah aneh kedua sobatnya ini.
"Gini Rhe... kami tuh mau minta maaf. Kami juga khawatir sama elo," jawab Marcia yang
diikuti anggukan Rachel. "Minta maaf" Khawatir?" Rhea mengerutkan keningnya.
"Kemarin bokap lo tau ya, kalo elo jalan sama Felix" Pembokat gue yang bilang kalo bokap lo
nyari gue dan dia malah bilang kalo gue lagi mandi. Rachel juga di telepon."
"Iya, gue juga ditelepon. Pas saat itu gue lagi tidur. Kakak gue tuh yang ngangkat dan langsung
bilang gue lagi tidur. Sori, Rhe. Gue lupa bilang ke mereka kalo ada yang nyari gue bilang gue
lagi pergi." Rhea menghela napas panjang. "Jadi ini yang bikin kalian datang pagi-pagi?"
Marcia dan Rachel mengangguk berbarengan. Tampak keprihatinan dan rasa bersalah di wajah
mereka. Rhea jadi nggak tega kalo harus marah-marah. Lagi pula ini bukan salah mereka.
"Kalian tenang aja. Rahasia gue masih aman kok."
"Kok bisa?" Marcia terkejut sekaligus lega.
"Lo ngarang cerita apa Rhe " Lo udah mulai jago bohong ya?" mata Rachel membelalak. Dia
nggak percaya rahasia Rhea masih aman-aman saja.
"Gue nggak ngarang cerita apapun kok. Nico yang bantuin gue."
"Hah" Nico" Guru les yang kata lo nyolot abis itu kan?" tanya Rachel heran.
Rhea mengangguk. Dia lalu menceritakan kejadian kemarin pada kedua sahabatnya ini. Marcia
dan Rachel mendengarkan cerita Rhea tanpa berkedip.
"Kok Felix gitu sih" Dia jelas tau lo ada les dan nggak bisa pulang malam-malam, tapi dia malah
lebih mementingkan teman-temannya dari pada elo," komentar Rachel begitu Rhea
menyelesaikan ceritanya. "Felix nggak salah-salah amat kok. Dia memang lupa waktu karena udah lama nggak ketemu
teman-temannya itu. Lagian dia juga udah minta maaf berkali-kali sama gue," bela Rhea.
"Sekarang yang jadi topik bukan Felix, tapi Nico. Kata lo dia nyolot abis dan selalu marah-marah
sama elo. Tapi kenapa dia mau bantuin elo, bahkan sampai rela mengakui kesalahan yang sama
sekali nggak pernah dia lakukan, hanya untuk menolong elo" Gimana kalo bokap lo ngamuk"
Pasti tamat riwayatnya." Marcia coba menganalisis cerita Rhea.
Rhea terdiam. Marcia benar. Kenapa Nico rela membantu Rhea seperti itu" Kalo saja kemarin
Papa ngamuk, Nico bisa-bisa masuk rumah sakit.
"Jangan-jangan Nico suka sama elo Rhe," celetuk Rachel tiba-tiba.
"Gue sependapat sama elo Rachel," timpal Marcia.
Rhea melotot. "Mana mungkin"! Lo nggak liat sih gimana sikapnya kalo lagi ngajarin gue.
Nyebelinnya amit-amit."
"Tapi masalahnya, Rhe, cuma orang yang lagi jatuh cinta yang rela berkorban apa saja untuk
menolong sang pujaan hati dari marabahaya. Dan itu yang dilakukan Nico kemarin, nolongin elo
tanpa peduli akibatnya," kata Marcia.
"Tapi tetap aja nggak mungkin!" Rhea bersi keras.
Tiba-tiba terdengar lagu Sexy Naughty Bitchy-nya Tata Young.
Marcia buru-buru merogoh saku roknya dan mengeluarkan HP ber-casing hitam. "Ada SMS.
Gue lupa silent." Marcia mulai memencet tombol-tombol di keypad HP-nya.
"Dari siapa, Mar?" tanya Rachel ingin tahu.
"Nggak tahu" "Kok bisa nggak tau" Emangnya nggak muncul nama pengirimnya?" Rachel jadi heran.
"Nggak ada. Dan gue nggak tau ini nomor siapa. Dia nggak mau ngasih tau namanya siapa. Ini
bukan pesan pertama yang dia kirim ke gua. Gue udah sering SMS-an sama dia tapi dia nggak
mau ngasih tau dia siapa."
"Hah" Kok lo nggak cerita-cerita sih?" protes Rachel.
Rhea ikut mengangguk sambil menatap Marcia yang jadi salah tingkah.
"Bukannya gue nggak mau cerita, tapi gue rasa ini bukan hal penting yang harus di certain," kata
Marcia. "Nggak bisa gitu dong, Mar. Kita kan sobatan bukan untuk berbagi hal yang penting-penting aja.
Kita berbagi segala hal," ujar Rachel diplomatis.
"Udah deh... sekarang kita dengerin dulu cerita Marcia," Rhea menengahi.
Marcia terdiam sesaat. Lalu disodorkannya HP-nya kepada Rhea dan Rachel. "Kalian baca aja
SMS-nya. Semua SMS dari dia masih gue simpen. Juga ada beberapa MMS dari dia."
Rachel mengambil HP dari tangan Marcia dan langsung membuka fitur message. Rhea buruburu ikutan melihat. Ada banyak sekali SMS dari si pengirim nggak di kenal itu yang dinamai
Marcia "someone". Sebagian besar isinya kata-kata romantis dan berbagai macam bentuk
perhatian. Ada yang isinya sekedar pertanyaan "kamu udah makan belum?". Ada juga puisi
pendek yang asli puitis banget sampai-sampai Rhea sendiri nggak ngerti apa arti puisi itu.
Setelah puas membuka beberapa SMS dan MMS, Rachel mengembalikan HP itu ke Marcia
sambil senyum-senyum. "Lo jujur ya sama gue. Lo naksir ya sama penggemar rahasia lo ini?" tanya Rachel tiba-tiba
dengan pandangan menyelidik.
"Mmm.. gimana ya?" Marcia menjawab ragu-ragu. "Gue masih nggak yakin sama apa yang gue
rasain. Mungkin karena gue nggak tau siapa orang itu. Tapi selama dia SMS-an sama gue, gue
ngerasa enak banget ngobrol sama dia. Nyambung gitu deh. Gue ngerasa dia bisa bikin gue
nyaman dan senang." "Itu berarti lo udah jatuh cinta sama dia?" Rachel berkesimpulan.
"Nggak tau deh. Orangnya aja gue nggak tau siapa. Gimana bisa jatuh cinta?" Marcia menghela
napas lalu kembali menyimpan HP-nya ke dalam saku.
"Kenapa lo nggak nyoba cari tau" tanya langsung kek, paksa, ngancam juga boeh," desak
Rachel. "Gue udah coba berbagai cara, tapi jawabannya cuma satu, dia belum bisa bilang karena dia
belum siap mental," kata Marcia.
"Belum siap mental" Memangnya kenapa" Jangan-jangan tampangnya nyeremin. Atau janganjangan.... dia si Parmin, tukang parkir sekolah kita. Parmin kan demen banget sama lo, Mar."
wajah Rachel tampak serius.
"Hah" Gila lo! Mana mungkin" Emangnya si parmin punya HP?" Marcia berusaha cuek, tapi
terpengaruh juga dengan kata-kata Rachel. Dia jadi sedikit khawatir.
"Bisa aja dia punya HP. Zaman sekarang, punya HP udah nggak pandang status sosial. Sopir
angkot, tukang ojek, sampai tukang sayur, semua punya HP. Tukang bakso langganan gue aja
punya nomor delivery service," kata Rachel.
"Serius lo?" Marcia bergidik ngeri. Dia nggak bisa membayangkan kalau dugaan Rachel sampai
terbukti benar. Gila aja kalo ternyata selama ini dia tuh SMS-an sama Parmin yang selalu dia
jutekin karena nggak kapok-kapoknya godain dia.
Rhea jadi geli sendiri melihat Marcia mulai terpengaruh kata-kata Rachel yang jelas banget lagi
berusaha ngerjain dirinya. Logika aja deh, anggap si Parmin punya HP, tetap aja nggak mungkin
dia yang ngirim SMS-SMS itu. Soalnya si Parmin kan buta huruf. Gimana caranya dia ngetik,
kalo huruf A aja dia nggak tau. Rhea geleng-geleng kepala sambil berusaha menahan tawa.
Heran ya, kok bisa-bisanya Marcia gampang banget di kerjain. Padahal biasanya tuh anak
logikanya jalan banget. Mungkin ini yang namanya jatuh cinta"
*** Pelajaran hari ini berakhir lebih cepat, karena guru-guru ada rapat mendadak. Rhea duduk
sendirian di perpustakaan sambil nungguin Papa selesai rapat. Rachel dan Marcia nggak
menemaninya karena mereka ada keperluan mendesak. Jadi terpaksa Rhea menghabiskan waktu
dengan melumat buku-buku di perpustakaan yang hampir semuanya sudah pernah dia baca,
kecuali buku-buku tebal yang menurut Rhea nggak jelas apa isinya.
Seperti biasa, perpustakaan selalu sepi. Siang ini hanya Rhea satu-satunya pengunjung. Rhea
mengambil tempat duduk di meja paling pojok yang dekat dengan jendela. Ia meletakkan
beberapa buku yang tadi diambilnya dari dalam rak di atas meja. Diambilnya buku di tumpukan
teratas, lalu mulai membacanya. Baru lima menit Rhea tenggelam dalam bacaannya, sebuah
tepukan pelan di pundak membuatnya tersentak.
"Betet! Lo mau bikin gue jantungan ya!" maki Rhea pelan, soalnya di perpustakaan kan nggak
boleh berisik. Betet cuma tertawa lalu menarik kursi di sebelah Rhea.
"Mau ngapain sih lo" Ada rencana OSIS yang baru?"
Betet menggeleng, lalu duduk di kursi. "Gue ada keperluan pribadi sama elo."
"Keperluan pribadi?" kedua alis Rhea bertaut.
"Iya Rhe. Gue mau minta tolong sama elo."
"Minta tolong?"
Betet mengangguk, kemudian menunduk seperti sedang mengheningkan cipta. "Gue lagi jatuh
cinta, Rhe," kata Betet lirih dengan kepala masih tertunduk.
"Bagus dong!" "Tapi masalahnya, gue nggak berani bilang sama cewek itu." kali ini Betet menatap Rhea.
"Kenapa" Lo takut ditolak?"
"Ih, Rhea... Elo to the point banget sih."
"Lho, tapi benerkan?"
"Iya..," suara Betet terdengar lemas dan putus asa.
"Siapa sih cewek yang lo suka" Lo udah PDKT belum?"
"Mmm... gue udah coba ngedekatin dia, tapi nggak secara terang-terangan sih.. gue masih
ngerahasiain identitas gue."
"MARCIA, YA!?" pekik Rhea nggak percaya.
Suaranya yang keras membuat Bu Naomi, petugas perpustakaan, melotot ke arah mereka. Rhea
buru-buru membekap mulutnya sendiri. Ia benar_benar kaget. Jadi cowok yang sering SMS-an
sama Marcia Betet" "Marcia cerita ya sama elo kalau dia sering SMS-an sama orang yang sama sekali nggak dia
kenal?" Rhea mengangguk. "Jadi..., elo suka Marcia, Tet?"
"Iya. Gue naksir berat sama dia sejak pertama kali gue masuk sekolah ini. Tapi gue nggak pernah
berani ngedekatin dia. Gue takut di tolak. Gue lebih suka merhatiin dia secara diam-diam." Betet
terdiam sesaat. "Tapi gue nggak tahan kalo cuma diam terus. Gue takut tau-tau dia udah direbut
orang. Makanya gue nekat ngedeketin dia. Gue kasih Message in the botle ke dia, gue cari tau
nomor HP-nya, dan nekat SMS-in dia."
"Oh" jadi elo orangnya, yang ngasih Message in the botle ke Marcia?"
Betet mengangguk. "Gue harus gimana dong, Rhe" Nggak mungkin kan... gue terus ngerahasiain
identitas gue?" Rhea menatap Betet dalam-dalam. Ternyata kalau berurusan dengan yang namanya cinta, Betet
bisa kehilangan ide-ide inovatifnya, bahkan dia bisa berubah serius dan nggak konyol lagi.
Mmm... malah kalo dilihat dari deket begini, Betet lumayan kok. Hidungnya yang besar itu jadi
kelihatan oke juga, pas sama bentuk mukanya.
"Gue cuma punya satu saran buat elo. Jelasin identitas lo ke Marcia, terus tembak dia."
"Hah"! Nggak kecepetan, Rhe" Gimana kalo gue di tolak?"
"Sama sekali nggak kecepatan Tet. Ini memang waktu yang tepat. Lagi pula lebih baik ditolak
kan, dari pada sama sekali nggak mencoba dan berusaha?"
"Tapi.. " "Udah deh.. lo nggak usah ragu-ragu. Lo harus percaya diri. Gue rasa lo punya peluang besar
buat ngedapetin Marcia. Manfaatin deh peluang itu sebaik-baiknya, sebelum Marcia jadian sama
Parmin." "Parmin" Maksud lo, Parmin tukang parkir sekolah kita?"
"Yup. Soalnya Marcia curiga, SMS yang dia terima selama ini tuh dari Parmin. Parmin kan
ngebet banget sama dia."
"Hah" Kok bisa?"
"Mana gue tau. Makanya lo harus bergerak lebih cepat kalo nggak mau keduluan si Parmin."
Betet mengangguk mantap. "Thanks ya, Rhe. Gue mau ke rumah Marcia sekarang juga. Gue
nggak akan kalah dari si Parmin."
Rhea tersenyum geli. "Oke.. Good luck ya!"
Betet buru-buru melesat meninggalkan perpustakaan. Rhea tertawa melihatnya. Kira-kira gimana
ya reaksi Marcia kalau tahu someone-nya Betet" Apa dia bakal shock atau dia malah menerima
Betet jadi pacarnya" Tapi menurut insting Rhea, Marcia pasti nerima Betet. Jauh lebih baik Betet
kan, dari pada si Parmin" Rhea tertawa sendiri membayangkan reaksi Marcia. Lalu ia pun mulai
melanjutkan kegiatannya tadi yang sempat terhenti gara-gara Betet.
*** "Ma, Rhea pulang!" teriak Rhea sesampainya di rumah. Ia melempar tas ranselnya ke sofa dan
mengenyahkan tubuhnya di sana.
"Hush! anak gadis nggak baik teriak-teriak begitu," sahut Mama yang muncul dari ruang makan.
"Kalau pelan-pelan, mana mungkin Mama dengar?" Rhea membela diri.
"Kan kamu bisa samperin Mama di ruang makan. Udah deh nggak usah ngebantah lagi. Ganti
baju sana, lalu kita makan sama-sama. Papa mana?"
"Papa di garasi, lagi meriksa mobil. Kayaknya ada yang eror gitu deh."
"Mama liat Papa dulu ya. Kamu cepat ganti baju sana. Oh iya, ada Nico di taman belakang sama
kakakmu." Rhea kaget sekaligus heran. "Nico" di taman belakang sama mbak Reva" Ngapain ?"
"Mama nggak tau. Tapi kayaknya Reva sedang minta diajari salah satu mata kuliahnya.
Udahlah... kamu ganti baju sana!" perintah Mama.
Rhea pun menurut. Ia berjalan lalu mengambil tas ranselnya dan berjalan menuju kamar. Pikiran
Rhea masih penuh tanda tanya. Nico ngapain sih ke sini" Ada perlu apa sama mbak Reva" Ini
kan baru jam dua, kok mbak Reva juga udah pulang kuliah" Kok motornya Nico juga nggak ada
di depan" Aneh!
Nggak Usah Jaim Deh Karya Valleria Verawati di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Langkah Rhea terhenti di depan tangga. Ia mendengar suara tawa dari taman belakang. Rhea jadi
penasaran. Pasti itu suara tawa Mbak Reva dan Nico. Tapi aneh, masa Nico bisa tertawa seperti
itu. Selama ini cowok itu boro-boro tertawa, senyum aja baru kemarin. Nico kan manusia robot.
Rhea mengendap-endap menuju taman. Suara tawa yang didengarnya semakin keras. Tawa itu
terdengar begitu lepas. Pintu belakang sepertinya nggak tertutup rapat. Rhea berusaha mengintip
keluar dari celah-celah pintu yang terbuka.
Mbak Reva tampak duduk di depan laptop-nya sambil tertawa dan menunjuk-nunjuk layar
laptop. Di sebelahnya ada Nico yang juga tertawa lepas. Rhea baru pertama kali melihat wajah
Nico yang sedang tertawa seperti itu. Mukanya jadi seperti anak kecil. Cakep banget. Ada lesung
pipi di kedua pipinya. Rhea terpesona melihatnya. Jauh lebih keren dari senyum yang kemarin
Rhea lihat. Asli cakep banget! Entah apa yang sedang mereka lihat, Nico bisa tertawa seperti itu.
Rhea benar-benar heran. Kenapa kalau Nico sedang bersama Mbak Reva, cowok itu terlihat
begitu santai, lembut, dan ramah" Tapi kalau sedang bersama Rhea, dia langsung berubah diam,
galak, sangar, dingin dan menyebalkan. Ya ampun... ngapain itu mbak Reva pakai nyubit-nyubit
pipi Nico" Kecentilan banget sih! Ngapain juga tuh tangan pakai ditaruh di pundak Nico. Sok
akrab banget! Nico juga kenapa sih mau-maunya dicubitin kayak gitu" Waduh, malah megangmegang rambut Mbak Reva! ih sebel! Rhea menggerutu. Rhea cemberut. Nggak tau kenapa
rasanya marah sekali. Sepertinya ada yang menyulut api di dalam tubuhnya, rasanya panas
banget, dan menjalar dari ujung rambut sampai ke ujung kaki.
Rhea membalik tubuhnya dengan marah. Dia nggak tahan melihat pemandangan di depannya itu.
Lalu dengan emosi yang masih memuncak, dia berlari menaiki tangga lalu masuk ke kamarnya
dan membanting pintu. Reva dan Nico tersentak kaget. Mereka berpandangan.
"Apaan tuh" Gempa ya?" tanya Nico heran.
"Bukan gempa.. bom, kali..," Sahut Reva sama herannya.
Tiba-tiba terdengar teriakan kesal dari garasi. Suara Papa.
"Ooooh... pasti Rhea udah pulang," duga Reva. "Gue ke kamar Rhea dulu ya. Mungkin dia lagi
ada masalah." Nico mengangguk. Reva bangkit dari duduknya dan berjalan menuju kamar adik kesayangannya.
Diketuknya pintu kamar Rhea pelan-pelan.
"Rhea" ini Mbak, sayang. Mbak boleh masuk, ya?"
"Nggak!" teriak Rhea dari dalam.
Reva bengong. Nggak biasanya Rhea seperti ini. Pasti ada sesuatu yang telah terjadi, dan Reva
harus segera mencari tahu. "Kamu ada masalah ya, Rhe" Cerita dong sama Mbak. Mbak janji
pasti bakal bantuin kamu," bujuk Reva lembut.
"Nggak! Mbak nggak usah sok baik gitu deh. Rhea nggak butuh bantuan siapa pun. Rhea nggak
mau diganggu." Weleh.. weleh... kenapa nih si Rhea" Reva jadi bingung dibuatnya. "Oke. Mbak nggak akan
ganggu kamu. Tapi kamu keluar ya, kita kan mau makan siang sama-sama. Nanti Papa marah lho
kalau kamu nggak turun makan."
Rhea diam. Dia masih kesal. Tapi benar kata mbak Reva. Kalau dia nggak turun, pasti Papa
bakal marah-marah. "Mbak tunggu di bawah ya, Rhe... Nico juga ikut makan siang sama kita lho," kata Reva, lalu
menghela napas panjang dan kembali ke taman.
Rhea menjatuhkan diri ke tempat tidur. Pemandangan di taman tadi kembali muncul di pelupuk
matanya. Buru-buru disambarnya guling yang ada di sampingnya, dan dibenamkan wajahnya ke
guling. Rasanya sebel banget. Ada apa sih dengan dirinya" Kenapa pemandangan itu bisa begitu
mengganggunya dan membuatnya marah"
*** Rhea duduk di depan Nico, masih dengan setumpuk kesal. Nico nggak menyadari hal itu, tapi dia
bisa merasakan ada sesuatu dalam diri Rhea yang berbeda. Rhea mengerjakaan soal-soal
Geografi di hadapannya dengan setengah hati. Banyak soal yang dia lewatkan begitu saja tanpa
jawaban. "Maaf, Rhe. Mbak boleh ganggu sebentar, nggak?" Reva muncul tiba-tiba, membuat Rhea
terlonjak kaget. Rhea menoleh, dan bibirnya langsung mencebik karena kesal melihat wajah kakaknya yang udah
berdiri manis di sebelah Nico. Boleh, nggak boleh, Mbak juga udah ngeganggu tau! gerutunya
dalam hati. Reva tersenyum dan duduk di sebelah Nico tanpa menunggu tanggapan Rhea. Ia memeluk
sebuah buku berwarna hijau yang nggak begitu tebal. "Nic, ada yang gue nggak ngerti nih. Gue
boleh nanya sebentar nggak?" tanya Reva manis sambil mendekatkan dirinya pada Nico.
Rhea melihat kedua insan itu dengan mata melotot.
"Boleh. Yang mana?" tanya Nico ramah.
Reva membuka buku yang dipegangnya dan memperlihatkannya kepada Nico.
"Ooo... yang ini. Memang agak sulit sih. Elo harus perhatiin kasusnya dulu, terus elo jabarin apa
aja penyakit yang diderita pasien, baru setelah itu lo bisa menentukan obat dan dosis yang tepat
untuk diberikan. Kalo elo masih belum jelas juga, lo buka kasus 12 yang ada di halaman 131.
Kasus 12 mirip sama kasus yang ini," jelas Nico pelan. Nico menjelaskan ke Reva sampai Reva
benar-benar mengerti. Rhea hanya diam memandang dua orang di hadapannya dengan emosi terbakar. Oke dddehhh!
Sekarang yang lagi les itu gue atau mbak Reva" Kalau Mbak Reva mau ngeles, cari hari lain
dong. Juga cari guru yang lain, jangan sama Nico. Nico itu guru les gue.
"Oke deh, Nic, gue udah ngerti sekarang. Makasih ya, Pak Guru," kata Reva setelah Nico selesai
menjelaskan. "Asal jangan lupa traktir gue ya, kalo ujian lo dapet A," balas Nico.
"Tenang aja deh," Reva tersenyum dan menepuk pundak Nico pelan. Ia lalu bangun dari
duduknya dan menatap Rhea yang pura-pura sibuk menulis. Reva tersenyum lalu mengedipkan
sebelah matanya ke arah Nico dan bergegas kembali ke kamarnya.
Nico menatap Rhea. "Masih belum selesai juga ngerjainnya?"
"Belum," jawab Rhea, tetap menunduk.
"Makanya ngerjainnya yang serius, jangan cuma dipelototin tuh kertas. Gue juga masih banyak
kerjaan lain." Rhea menjatuhkan pensil di tangannya ke atas meja, lalu menatap Nico lekat-lekat. Melihat
wajah Nico yang persis di hadapannya, entah kenapa malah membuat Rhea ingin menangis.
Buru-buru Rhea menunduk lagi, menarik napas dalam-dalam, menggigit bibir, berusaha
menahan air mata yang hendak bergulir di pipinya. Rhea mengambil pensil lagi dan mencoba
mengalihkan pikirannya kembali pada soal-soal di kertas.
Dahi Nico berkerut. Ditatapnya Rhea dengan sejuta pertanyaan.
BAB 9 Sudah empat hari ini Rhea bersikap dingin pada Reva. Ia hanya bicara seperlunya, dan lebih
banyak menghabiskan waktu di kamar. Hubungannya dengan Felix masih berjalan cukup lancar
meskipun mereka udah jarang jalan-jalan. Di sekolah mereka nggak banyak bicara, tapi Felix
rajin menghubungi Rhea lewat handphone. Terkadang Felix juga suka menitip cokelat dan surat
cinta lewat Rachel. Marcia juga udah jadian sama Betet. Di antara Rhea, Marcia dan Rachel, sekarang tinggal
Rachel yang masih ngejomblo, dan itu yang bikin Rachel kadang-kadang jadi sewot kalau
melihat Marcia dan Betet ngobrol di kelas atau melihat Rhea dapat cokelat dari Felix.
Seperti siang itu, Marcia sama Betet lagi berduaan di pojok kelas.
Rachel dan Rhea yang baru balik dari kantin untuk membeli soft drink langsung disuguhi
pemandangan mesra. Rachel yang belakangan ini memang lagi sensitif langsung marah-marah.
"Woi! Lo berdua! ini kelas ya, bukan pantai Ancol!"
Marcia yang melihat Rachel sewot langsung tersenyum geli. Dia sudah mengerti banget sifat
Rachel yang kalau lagi sensitif begitu pasti suka marah-marah.
"Iya, Bu Hansip. Betet juga udah mau balik ke kelasnya kok," sahut Marcia.
Betet cuma bisa mengangguk pasrah. Marcia dan Betet berjalan bergandengan mendekati Rhea
dan Rachel. "Lho, kok minuman buat gue nggak ada?" tanya Marcia heran.
"Minta aja sama cowok lo! Jangan cuma mojok doang kerjanya," jawab Rachel ketus.
"Ya udah. Say, aku minta tolong dibeliin minuman boleh nggak?" Marcia sengaja bermanjamanja ke Betet, tepat di depan muka Rachel.
Rhea nggak bisa menahan tawa melihat Rachel yang tambah keki melihat ulah Marcia.
"Lautan pun akan kubeli hanya untukmu, dewi ku," balas Betet nggak kalah manja dan romantis.
"Udah deh pergi sana! Jangan bikin gue tambah enek nih!" usir Rachel, diikuti tawa Marcia,
Betet dan Rhea. Betet meninggalkan kelas sambil tertawa. Rachel yang kesel langsung menjatuhkan diri di
tempat duduknya. Marcia dan Rhea mengikuti sambil tersenyum geli.
"Lo kenapa sih marah-marah terus, Chel?" tanya Rhea.
"Chel, lo nggak suka ya, gue jadian sama Betet?" tanya Marcia.
Rachel mencebikan bibirnya. Kaleng minumannya di letakan di pojok meja, lalu ia merebahkan
kepala ke atas meja. "Chel, lo kenapa sih?" tanya Rhea sambil membelai rambut Rachel.
"HUAAA....gue kesel!" teriak Rachel, sambil kembali duduk tegak.
Seisi kelas kaget mendengar teriakan Rachel. Mereka malihat ke sumber suara.
"Kenapa sih lo, Chel" Pakai teriak-teriak segala. Jantung gue mau copot nih dengar teriakan lo,"
gerutu Teddy yang lagi duduk di meja depan sambil menikmati kuaci.
Rachel sudah mau menjawab, tapi buru-buru dibekap Marcia. "Sori, Ted. Biasa si Rachel lagi
kumat," Marcia yang menjawab.
Teddy manggut-manggut dan kembali menikmati kuacinya.
"Rachel sayang, kalau elo emang punya masalah, kita bicara baik-baik aja," kata Marcia sambil
melepas bekapannya dari mulut Rachel.
Rachel mencebik lagi. "Abis, lo berdua udah punya pacar... Tinggal gue yang jomblo sendirian."
"Ya ampun, Chel, emangnya kenapa kalau elo jomblo?" tanya Rhea heran.
"Ya gue iri aja!"
"Kalau elo iri, kenapa elo nggak cepat-cepat cari pacar?" tanya Marcia.
"Emangnya cari pacar gampang" Tinggal jalan ke pasar, pilih yang bagus, nawar, terus beli
gitu?" jawab Rachel sewot.
"Elo sih terlalu milih. Coba elo kayak Marcia yang mau membuka hati sama cowok jenis
apapun. Pasti lo juga udah punya pacar sekarang," kata Rhea.
"Betul!" sahut Marcia menyetujui. "Contohnya si Black. Dia kan demen banget sama elo. Dia
pintar, lagi. Bisa gampang dapet sontekan tuh kalau ada ulangan."
"Hah lo gila! Pinter sih pinter, tapi itemnya itu lho. Kalau dia jalan-jalan malam-malam, yang
kelihatan cuma giginya doang. Ogah lah ya!"
Marcia dan Rhea sama-sama tertawa.
"Rachel nggak usah cemas ngejomblo," kata Rhea. "Tenang aja, cinta itu akan datang dengan
sendirinya kalau saatnya udah tepat. Elo hanya perlu bersabar dan menunggu."
"Betul, Chel, seperti gue yang mendapatkan Betet begitu aja. Gue nggak perlu cari ke manamana, dia datang sendiri."
Rachel diam saja. Lalu dalam satu tarikan napas dia berkata, "Emang sih. Gue juga berharap, gue
yakin malah, akan mendapatkan pasangan yang pas buat gue. Sama seperti kalian."
Rhea dan Marcia mengangguk, lalu tersenyum lega melihat sinar semangat di wajah Rachel.
Sahabat mereka yang satu ini memang unik. Kadang begitu ceria, berisik, bawel dan lucu.
Kadang bisa berubah jadi menyebalkan, nyolot, tulalit dan meledak-ledak emosinya. Butuh
kesabaran ekstra dan pengertian yang dalam untuk menghadapi Rachel. Tapi yang namanya
sahabat memang harus seperti itu kan"
*** Rhea duduk di tempat tidur. Hari ini rasanya begitu melelahkan. Tas ranselnya tergeletak begitu
saja di lantai. Tok tok tok! terdengar ketukan halus di pintu kamar. Rhea bisa menebak, yang
berdiri di balik pintu itu pasti mbak Reva. Ketukan halus itu memang ciri khas Reva kalau mau
masuk kamar Rhea. "Rhea, mbak boleh masuk nggak?" tanya Reva dari balik pintu.
"Masuk aja," jawab Rhea singkat.
Dia masih kesel sama kakaknya itu, tapi Rhea sadar nggak sepantasnya Rhea marah-marah sama
kakaknya yang sama sekali nggak tau apa-apa. Marcia juga bilang kalau Rhea marah-marah
hanya karena melihat Mbak Reva dan Nico berakrab-akrab, itu dia namanya cemburu. Nico kan
bukan siapa-siapanya. Karena itu Rhea nggak mau marah-marah lagi sama Mbak Reva. Reva
membuka pintu kamar adiknya dan masuk sambil tersenyum manis. Tangan kanannya
menenteng kantong besar. "Kamu belum ganti baju kan" Kalo begitu kamu sekalian mandi aja ya. Mbak tunggu kamu di
sini..." Reva meletakkan kantong besar itu di meja belajar Rhea.
"Mandi" Jam segini" Buat apa?" tanya Rhea.
"Lho, hari ini kan kita mau ke pesta ulang tahun Papanya Nico. Masa kamu lupa. Acaranya kan
jam enam. Sekarang udah jam tiga. Kamu kan butuh waktu buat dandan dan siap-siap."
"Oh iya, Rhea lupa. Tapi... buat apa sih dandan segala" Rhea nggak mau."
"Harus, Rhea. Mama udah beliin kamu baju pesta, dan mama udah nyuruh Mbak yang dandanin
kamu, jadi kamu nggak boleh nolak."
"Ih, ngapain sih sampai segitunya" cuma pesta ulang tahun kan?"
"Tapi ini pesta ulang tahun Pak Alexius Djayaprana, guru besar yang terkenal. Pasti banyak
orang penting yang hadir di pestanya. Kita nggak boleh malu-maluin."
Iya, Mbak Reva pasti mau tampil secantik mungkin biar bisa memikat hati Nico dan Papanya.
Paling gue cuma jadi kambing congek di pesta itu, gerutu Rhea dalam hati.
"Udah, kamu mandi sana. Mbak tunggu di sini. Habis itu biar mbak yang bantuin kamu dandan."
Rhea merengut kesal. Dia berdiri lalu menyambar handuk yang tersampir di kaki ranjangnya,
dan masuk ke kamar mandi.
*** Reva sibuk memblow rambut Rhea. Sang adik duduk di tempat tidur, sedangkan si kakak
berlutut di belakang Rhea, di atas tempat tidur. Soalnya di kamar Rhea nggak ada meja rias,
sehingga Reva meletakan peralatan make-up di atas kursi.
"Nah, rambut kamu udah kering. Kira-kira bagusnya di apaain ya?" tanya Reva sambil meletakan
hair-dryer ke atas tempat tidur.
"Terserah Mbak deh. Tapi awas ya, kalau Rhea jadi kelihatan kayak ibu-ibu."
"Iya, iya... Mbak tau."
Reva mengambil sisir dari atas kursi dan mulai menyisir rambut Rhea perlahan-lahan. Sekali dua
kali Reva memelintir rambut Rhea lalu kembali mengurainya lagi. Reva tampak barpikir serius,
lalu memutuskan untuk menyanggul rambut Rhea. Ia menyisakan sedikit rambut di bagian depan
untuk di plintir-pelintir. Reva menambahkan sedikit foam ke sanggul Rhea, juga menyemprotkan
hairspray agar sanggulnya nggak lepas. Setelah itu ia menyematkan beberapa jepitan berbentuk
kupu-kupu putih di sanggul itu.
Reva tersenyum puas melihat hasil karyanya. "Oke. Sekarang tinggal mukanya yang di makeup," kata Reva.
Reva berjalan dan menarik kursi dari depan meja komputer lalu menempatkannya di hadapan
Rhea. Ia duduk dan mulai mengambil foundation dari tempat make-up-nya, lalu menyapukan
tipis-tipis ke wajah Rhea.
"Jangan tebal-tebal, Mbak," Rhea mengingatkan.
"Iya. Udah deh, kamu diam aja dulu," jawab Reva.
Kemudian dengan gaya bak penata rias profesional, ia mulai merias wajah Rhea. Nggak sampai
sepulug menit, Reva selesai mendandani sang adik tersayang. Ia memandang wajah Rhea dan
tersenyum puas. "Udah selesai Mbak?" tanya Rhea.
"Udah. Kamu lihat aja hasilnya di cermin. Mbak jamin kamu pasti terpesona melihat wajahmu
sekarang." Rhea bangun dan berjalan menuju cermin yang tergantung di samping pintu kamarnya. Begitu
dilihatnya bayangan di cermin itu, Rhea langsung melotot. Dia nggak percaya kalau gadis yang
ada di cermin itu adalah dirinya. Nggak mungkin banget. Cewek di cermin itu terlalu cantik.
Karena pengaruh make-up yang tipis tapi oke, wajah Rhea jadi bikin pangling. Hidungnya jadi
kelihatan lebih mancung. Matanya juga kelihatan lebih bulat.
"Mbak, ini Rhea?" tanya Rhea nggak percaya.
"Lho, menurut kamu siapa?" Reva tertawa melihat reaksi Rhea.
"Ya ampun... nggak nyangka ya, ternyata Rhea cakep begini," Rhea memuji dirinya sendiri.
"Ye.... itu sih karena penata riasnya aja yang jago, bisa dandanin muka kamu yang biasa-biasa
aja itu jadi oke." "Enak aja. Apa maksudnya tuh, muka Rhea yang biasa-biasa aja?" Rhea memelototi Reva.
"Hahaha! Udah ah, sekarang giliran Mbak yang siap-siap. Kamu pakai sendiri ya bajunya. Hatihati, jangan sampai dandanan kamu jadi rusak. Sepatunya juga udah Mbak sediain di dalam
kantong itu," ucap Reva diikuti anggukan Rhea.
Reva berjalan keluar kamar dengan senyum merekah di bibirnya. Rhea melirik jam beker di meja
belajar. Udah jam empat sore. Rhea mengambil kantong yang dibawa Reva lalu duduk di tempat
tidur. Ia mengeluarkan sebuah kotak besar dari dalam kantong itu. Pelan-pelan dibukanya kotak
itu. Ada kain warna putih di dalamnya. Rhea mengambil kain itu hingga tergerai. Ternyata
sebuah gaun berwarna putih. Gaun berbahu terbuka, dengan tali spageti di bahu. Bagian
bawahnya mengembang, dihiasi renda-renda bermotif manis. Selain itu juga terdapat bordiran
berbentuk kupu-kupu yang terbuat dari benang sutra berwarna putih keemasan di bagian perut
gaun itu. Di dasar kotak masih terdapat sehelai kain putih berkilau sebagai selendangnya. Indah
sekali. Harganya pasti mahal banget. Jarang lho, Mama mau membeli gaun semahal ini.
Biasanya mama bilang, nggak ada gunanya membeli gaun pesta yang harganya mahal. Soalnya
cuma akan dipakai satu-dua kali saja, selebihnya hanya akan membuat sumpek lemari. Jadi aneh
rasanya kalau hanya untuk pesta ulang tahun Papanya Nico, Mama sampai rela mengeluarkan
banyak uang. Tapi.. lumayan lah! Sering-sering aja Papanya Nico bikin pesta. Pesta ulang tahun
kek, pesta pernikahan kek, atau pesta sunatan juga boleh. Hehehe...
Rhea melepas pakaiannya dan berusaha mengenakan gaun itu dengan hati-hati. Lalu ia
mengeluarkan satu kotak lagi dari dalam kantong. Kotak itu berisi sepatu berhak tinggi,
warnanya putih. Itu sepatunya Reva yang dibelinya sebulan yang lalu. Rencananya akan Reva
pakai saat menghadiri pesta pernikahan temannya, dua bulan lagi. Sepatu itu masih baru dan
belum pernah Reva gunakan. Rhea tersenyum melihat sepatu itu. Sepatu itu memang bagus
banget dan sesuai dengan gaun yang dikenakannya saat ini. Mbak Reva memang baik. Rhea jadi
menyesal udah bersikap jahat sama mbak Reva kemarin. Rhea duduk di tempat tidur dan
memasang sepatu itu ke kakinya. Sempurna! Sekarang Rhea siap berangkat. Ia melilitkan
selendang ke lengannya, lalu berjalan menuju cermin dan berputar-putar di depannya. Gadis itu
siap berangkat ke pesta! *** Rhea dan Reva duduk di jok belakang, sedangkan Mama di depan bersama Papa yang bertugas
mengemudikan mobil. Papa mengenakan kemeja batik cokelat, dan mama mengenakan gaun
berwarna krem. Rambut mama diblow sehingga terlihat rapi. Mama terlihat cantik sekali. Tapi
jauh lebih cantik Mbak Reva. Rhea melirik kakaknya yang duduk di sampingnya. Rambut Reva
yang panjang sepundak digerai begitu saja. Namun ada sejumput rambut di dekat kedua
pelipisnya yang di kepang kecil dan diikat menjadi satu ke belakang. Jepitan berbentuk bunga
Nggak Usah Jaim Deh Karya Valleria Verawati di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berwarna pink membuat Reva tampak lebih manis. Rhea melirik gaun yang dikenakan Reva.
Gaun pink itu pas banget di tubuh Reva. Tubuhnya yang tinggi jadi tampak anggun. Pokoknya
cantik banget. Rhea yakin semua mata akan tertuju pada Reva di pesta nanti, terutama Nico.
"Reva, habis ini kita belok kanan atau kiri?" tanya Papa saat mobil mereka berhenti di lampu
merah. "Kita lurus dulu, Pa. Nanti kalau ada perempatan, kita belok kanan. Setelah itu kita lurus
aja. Rumahnya gede banget kok, Pa. Dari ujung jalan juga udah kelihatan," jawab Reva.
Rhea menata Reva heran. "Memangnya Mbak pernah ke rumah Nico?"
"Pernah sekali. Waktu itu Mbak mau pinjem buku, tapi dia lupa bawa jadi Mbak diajak ke
rumahnya." Tanpa Rhea sadari, rasa kesal yang berusaha dia hapus dari dalam dirinya kembali muncul.
Mobil mereka kembali melaju. Rhea mengalihkan pandangannya ke luar jendela. Dia nggak
menyangka, ternyata hubungan Nico dan Mbak Reva sudah lebih jauh dari yang dia kira.
"Yang putih itu ya rumahnya?" tanya Mama dengan nada kagum.
"Iya, Ma. Besar banget, kan" Ya ampun... kayaknya udah rame deh," komentar Reva sambil
celingak-celinguk memerhatikan suasana di luar mobil.
Rhea melihat ke luar jendela, berusaha melihat rumah yang dimaksud mama. Rumah megah itu
didominasi warna putih, berlantai tiga.
Mobil mereka mulai melambat. Sudah ada beberapa mobil di depan mereka yang mengantre
untuk mencari tempat parkir.
"Untung kita dandan rapi. Lihat saja... yang datang orang kaya dan orang penting semua. Di
depan kita itu mobil jaguar kan, Pa?" komentar Reva.
"Iya. Walaupun Papa cuma Kepala Sekolah, kita nggak boleh malu-maluin di depan mereka
dong," Mama menggantikan Papa merespon komentar Reva.
Setelah mereka turun dari mobil dan bersama-sama memasuki gerbang, seorang petugas
berseragam batik tersenyum ramah mempersilahkan mereka.
"Papa sih... Mama kan udah bilang, Papa pakai jas aja. Eh Papa malah nggak mau. Tuh kan,
jadinya baju Papa sama dengan satpamnya," kata Mama, diikuti tawa Reva dan Rhea. Papa cuma
tersenyum kecut. Benar kata Reva, rumah Nico sangat besar. Jarak dari pintu gerbang ke rumah aja cukup buat
main badminton. Mereka harus mengitari taman yang cukup luas untuk sampai ke depan rumah.
Rhea berjalan di sebelah Mama sedangkan Reva menggandeng Papa. Bersama beberapa tamu
lain, mereka memasuki tempat pesta.
Rhea memandang takjub ke arah rumah yang ada di depan matanya. Terdapat dua pilar besar di
depan pintu utama. Ukiran naga menghiasi kedua pilar itu, seakan sedang melilit pilar menuju
atas. Pintu masuknya yang terbuka lebar juga sangat besar. Begitu memasuki ruangan, Rhea
kembali dibuat takjub. Ruangan ini seperti aula besar. Di bagian kanan dan kiri masing-masing
terdapat tiga pondok yang menyediakan berbagai macam makanan. Di bagian kanan dekat
tangga ada pondok yang lebih besar tampaknya untuk menyediakan makanan utama. Di dinding
sebelah kiri terpajang foto berpigura berukuran besar, dihiasi untaian bunga, foto wanita
setengah baya yang sangat cantik. Hidungnya mancung, kulitnya putih, matanya agak sipit
dengan rambut disanggul ke atas.
"Itu foto siapa, Ma?" tanya Rhea setengah berbisik.
"Itu foto almarhumah Mamanya Nico," jawab mama.
"Oooh.. pantas cantik," kata Rhea.
"Halo, Pak Kepala Sekolah! Apa kabar?" sapa seorang laki-laki yang mengenakan setelan jas
berwarna hitam. Kelihatannya laki-laki itu seumuran Papa.
"Halo, Lex. Wah... lama ya kita tidak bertemu," balas Papa, langsung merangkul laki-laki itu.
Rhea langsung mengerti, laki-laki itu pasti Om Alex, Papanya Nico.
"Kelihatan makin tua saja kamu," kata Om Alex lagi.
"Umurku bertambah, penampilanku semakin tua lah. Memangnya kamu. Makin tua makin
gagah," sahut papa. "Hahaha! Bisa saja kamu. Wah ini pasti Sri. Istrimu ini makin cantik saja" " Oom Alex tertawa
sambil menyalami mama. "Kamu bisa saja, Lex. Aku tersanjung mendengarnya..." pipi Mama bersemu merah.
"Aku jujur lho. Nanti aku pinjam istrimu untuk menemaniku berdansa ya." Papa tertawa
mendengarnya. "Wah... apa kedua bidadari ini putrimu?" tanya Oom Alex.
"Benar," jawab Papa tersenyum bangga.
"Malam Om. Saya Reva. Waktu itu saya pernah ke sini sekali, tapi Om lagi nggak ada di rumah.
Oh iya, Oom, selamat ulang tahun ya," Reva memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangan.
"Kok Nico nggak cerita ya?" Oom Alex membalas uluran tangan Reva lalu menoleh ke arah
Papa. "Dia cuma bilang, dia sekarang jadi guru les salah satu anakmu."
"Benar, anakmu itu pintar sekali. Dia sudah banyak membantu Rhea selama ini," kata Papa.
"Rhea?" Oom Alex memandang ke arah Rhea.
"Malam, Oom. Saya Rhea. Selamat ulang tahun ya, Oom," gantian Rhea memperkenalkan diri.
"Jadi ini yang namanya Rhea. Dulu waktu kecil kamu suka main sama Nico. Kamu ingat tidak,
dulu kamu tuh pernah main bola sama Nico sampai memecahkan guci antik kesayangan Oom."
Rhea hanya mampu tersenyum malu. Ih payah nih Oom Alex. Kejadian kayak gitu saja masih
diingat-ingat, gerutu Rhea dalam hati. Tapi Rhea juga mengakui, kalau kita kehilangan barang
yang kita sayang, kita nggak bakal ngelupain sepanjang hidup kita.
Kejadiannya sih udah lama, waktu rumah Oom Alex masih bertetangga sama Rhea. Ketika itu
Papa lagi ngobrol sama Oom Alex di ruang tamu, dan Rhea main sama Nico. Karena menendang
bola terlalu keras, bolanya melenting dan mengenai guci Oom Alex. Papa marah banget sama
Rhea, sampai-sampai Papa memarahi Rhea habis-habisan di depan Nico dan Oom Alex. Padahal
kan Rhea waktu itu nggak sengaja. Namanya juga anak kecil, kalau sudah main lupa sama
lingkungan sekitar. Untung Nico ngebelain Rhea. Oom Alex juga buru-buru menenangkan Papa
sehingga kemarahan Papa bisa cepat mereda.
"Kamu tuh waktu kecil sifatnya mirip laki-laki, tomboi sekali. Mama dan Papamu sampai pusing
melihat kenakalanmu itu. Berbeda dengan Reva yang dari kecil memang sudah kalem," kata
Oom Alex lagi. Rhea kembali tersenyum malu. Pipinya jadi bersemu merah.
"Tapi melihat kamu hari ini tampil sangat cantik, Oom sampai pangling. Oom pasti seneng kalau
punya anak gadis secantik kamu."
"Makasih, Oom." Rhea merasa meayang dipuji seperti itu. Rhea jadi berpikir, beda sekali Nico
dengan ayahnya. Ayahnya begitu ramah dan menyenangkan, tapi kenapa anaknya begitu
menyebalkan. "Oh iya, ayo silakan makan." Oom Alex mempersilakan mereka untuk segera menikmati
hidangan di pesta itu yang tampaknya sangat menggugah selera.
"Oh iya Oom, Nico-nya mana?" tanya Reva.
"Lagi di taman belakang. Nanti biar Oom panggilkan. Kalian makan saja dulu."
Reva mengangguk lalu bersama Rhea menuju pondok-pondok yang ada di sekitar mereka untuk
mencicipi makanan. *** "Gimana kambing gulingnya" Enak nggak?" tegur Nico, mengejutkan Rhea dan Reva yang lagi
asyik menikmati kambing guling.
"Ngumpet di mana lo, Nic" Kok baru nongol sekarang?" tanya Reva.
"Gue dari tadi di belakang, mempersiapkan mental. Lo tau kan mempersiapkan mental untuk
apa...," jawab Nico sambil melirik ke arah Rhea. Reva tertawa kecil mendengarnya. Dia tahu
maksud Nico. Rhea pun diam-diam melirik ke arah Nico. Mempersiapkan mental apa ya" tanya Rhea dalam
hati. Malam ini Nico keren banget. Jauh lebih keren dari biasanya. Ganteng banget, malah! Dia
tampil rapi, dengan setelan abu-abu dan jas warna hitam. Oh, God! Gila nih cowok. Cakep abis.
Kaki gue sampai lemas. "Gimana" Cantik kan adik gue?" tanya Reva berbisik.
Nico mengacungkan kedua jempolnya dan menganggukan kepala.
Rhea menatap kakaknya dan Nico yang saling berbisik mesra itu dengan kesal. Dia merasa
seperti kambing congek. Benar-benar nggak ngerti dengan pembicaraan kedua orang itu.
"Eh, tuh lagunya udah diputar. Kita dansa yuk," ajak Nico pada Reva b
egitu mendengar alunan Hero-nya Mariah Carey. "Boleh." Reva mengangguk setuju dan meletakan piring kecil berisi irisan kambing guling ke
meja yang ada di sebelahnya.
Nico pun mengulurkan tangan dan Reva langsung menyambutnya sambil tersenyum manis.
Rhea membuang muka, pura-pura menikmati kambing guling yang masih tersisa di piringnya.
Reva dan Nico bergandengan tangan menuju ke area dansa. Disitu telah banyak pasangan lain
yang berdansa mengikuti alunan penyanyi dan pemain musik. Rhea menyendok bumbu kambing
guling di piringnya dengan kesal, lalu membanting sendok itu ke atas piring dan meletakannya
kembali ke atas meja. Rhea menatap ke arah Nico dan Reva yang kini sedang berdansa penuh
kehangatan. Mereka tampak begitu romantis. Rhea benar-benar kesal melihatnya.
Gue nggak peduli apa kata Marcia kalau gue bilang gue kesel banget melihat Mbak Reva dan
Nico akrab. Yang jelas , gue emang benar-benar kesal! Cemburu atau jealous namanya, gue
nggak mau tau. Yang penting, gue nggak suka melihat mereka mesra-mesraan di depan mata
gue! Rhea ngedumel dalam hati.
Rhea terus memandang Reva dan Nico yang masih melangkahkan kaki mengikuti irama. Sorot
mata Rhea begitu tajam. Sama sekali nggak ada senyuman terukir di wajahnya. Belum sampai
sepuluh menit Reva dan Nico berdansa, Reva berjalan kembali ke arah Rhea. Rhea mengerutkan
kening penuh tanda tanya. Hanya Reva yang berjalan kembali ke arahnya sedangkan Nico tetap
berdiri diam di area dansa.
"Rhe... gantiin Mbak dansa ya," pinta Reva.
Tanpa menunggu jawaban dari Rhea, Reva langsung menarik tangan kanan Rhea dan
menariknya menuju lantai dansa. Dengan wajah bengong, Rhea hanya menurut begitu tangannya
ditarik Reva. "Nih, Nic... Rhea aja yang gantiin gue. Gue mau ke belakang dulu ya. Kambing guling lo
ngadain pembrontakan nih di perut gue, minta segera di keluarin," kata Reva asal, lalu
mendorong adiknya pelan ke hadapan Nico dan bergegas meninggalkan mereka.
Rhea melongo. Bola matanya mengikuti langkah kaki Reva yang menghilang di tengah
keramaian tamu. Nico menatap Rhea. Sorot matanya penuh permohonan. Lalu dengan segenap keberanian dan
tekad, diulurkannya tangan kirinya ke hadapan Rhea. Rhea menatap tangan itu, lalu menolehkan
kepalanya menatap Nico yang tersenyum padanya. "Kita dansa yuk, Rhe," ajak Nico lembut.
Rhea terpana. Ia merasa dirinya terbang ke awan-awan. Jantungnya berdebar begitu cepat,
sampai rasanya dadanya nggak mampu lagi menahan jantung itu untuk tetap berada di
tempatnya. Mendadak ia jadi begitu tegang.
Perlahan Rhea menggerakan tangannya dan menyambut uluran tangan Nico. Tangan cowok itu
begitu hangat. Nico menggenggam tangan kiri Rhea dan meletakan tangan kirinya di pinggang
Rhea. Rhea pun meletakan tangan kanannya di pundak Nico. Jarak mereka sekarang nggak lebih
dari sepuluh senti. Rhea dapat mencium aroma parfum dari tubuh Nico. Ia dapat pula merasakan
desah napas cowok itu. Bahkan ia yakin, ia juga bisa merasakan detak jantung Nico berdebar
cepat. Alunan lagu My Endless Love-nya Lionel Richie mengiringi setiap langkah dan goyangan
mereka. Begitu seirama. "Hari ini lo cantik banget, Rhe..," puji Nico setengah berbisik.
"Gombal," sahut Rhea, padahal mukanya udah semerah kepiting rebus.
Nico tertawa kecil. Rhea merasa ada rasa hangat yang menjalar di sekujur tubuhnya.
"Pestanya mewah, ya. Keren banget." Rhea berusaha mengalihkan pembicaraan.
"Terima kasih, Rhe," sahut Nico. " Tapi pesta ini nggak akan berkesan tanpa kehadiran elo."
"Apaan sih lo?" Rhea pura-pura ngambek.
"Bener. Kalau bukan karena elo, gue nggak akan mau membantu Papa mengatur
penyelenggaraan pesta ini. Pasti gue akan memaksa papa untuk mengadakan syukuran kecilkecilan aja."
"Kenapa begitu?"
"Untuk apa bikin pesta besar" Cuma menghamburkan uang aja. Tapi ceritanya akan berbeda jika
dengan adanya pesta ini, gue bisa berdansa sama elo."
Rhea tersipu malu. Tapi dalam hati ia juga bertanya-tanya, kenapa Nico jadi berubah ya" Kok
dia jadi romantis begini" Jadi lembut banget, lagi. Setiap kata yang diucapkannya seakan
mengatakan bahwa dia melakukan semuanya memang cuma untuk Rhea. Apa iya"
"Mas Nico, permisi sebentar..." tiba-tiba seorang laki-laki berseragam batik menghentikan
pembicaraan mereka. Nico dan Rhea sama-sama melepas pegangan tangan mereka. Tapi tangan kiri Nico masih tetap
di pinggang Rhea seakan takut kehilangan gadis itu.
"Ada apa, Din?" tanya Nico.
"Pak Alex meminta saya untuk memanggil Mas Nico," jawab laki-laki yang bernama Udin itu.
Nico mengangguk dan berbisik di dekat telinga Rhea, "Gue pergi dulu sebentar. Jangan ke manamana ya."
Jantung Rhea berdegup kencang. Ia dapat merasakan desah napas Nico di tengkuknya. Bola
matanya yang hitam mengikuti langkah kaki Nico yang berjalan ke arah tangga menuju atas.
Rhea terus menatap punggung Nico hingga cowok itu menghilang dari pandangannya.
Nico bilang dia harus menunggunya di sini. Tapi ini kan tempat orang-orang yang mau dansa.
Rhea memutuskan untuk beranjak dari tempatnya. Ia mencari-cari Reva dan kedua orang tuanya,
tapi mereka seperti lenyap ditelan keramaian para tamu yang semakin lama semakin banyak.
Rhea menghela napas putus asa. Nggak enak banget di tempat pesta seperti ini harus berdiri
sendirian. Udah gitu nggak ada yang kenal lagi.
Rhea melangkahkan kakinya menuju belakang ruangan. Ada pintu kaca yang tertutup tirai putih.
Rhea menyibak tirai itu sedikit dan mengintip. Ternyata ada taman dan kolam di belakang
ruangan ini. Rhea berusaha membuka pintunya. Nggak dikunci. Perlahan ia mendorong pintu itu
dan keluar dari ruangan pesta. Ia berjalan melewati teras kecil kecil menuju taman.
Udara malam begitu sejuk. Angin berembus sepoi-sepoi. Sedikit terasa dingin di kulit. Terdengar
suara dedaunan yang saling bergesek, seakan mereka sedang bercengkrama. Terkadang terdengar
juga suara jangkrik yang bernyanyi bersahut-sahutan.
Rhea berjalan menyusuri jalan setapak yang di kanan kirinya terhampar taman yang penuh
berbagai macam tanaman. Di taman itu juga ada air mancur dan patung wanita menggendong
kendi. Airnya keluar dari dalam kendi dan menimbulkan suara gemericik. Lampu taman
menghiasi setiap sudut sehingga suasana jadi tampak lebih indah.
Rhea menyusuri jalan setapak menuju gazebo yang berada tepat di tengah kolam renang. Ia
menaiki jembatan yang terbuat dari batu pualam untuk sampai di gazebo itu. Lalu Rhea berdiri di
tepi gazebo, menatap kolam renang luas yang mengelilinginya. Cahaya rembulan membuat air di
kolam tampak bercahaya. "Kenapa elo menyendiri di sini?" tegur Nico, membuat Rhea tersentak kaget. Rhea nggak
menyadari Nico sudah berdiri di belakangnya.
"Gue nggak enak di dalam sendiri. Gue udah cari mbak Reva dan Mama-Papa, tapi nggak
ketemu..." Nico tersenyum lembut. Lalu ia melepas jas yang melekat di tubuhnya dan memakaikannya ke
pundak Rhea. Rhea terkejut. Pipinya langsung bersemu merah.
"Udara malam ini agak dingin, jangan sampai elo masuk angin," kata Nico dengan senyum
manisnya. "Makasih," kata Rhea lirih. Jantungnya kembali berdebar keras. Bahkan tangannya mulai dingin
karena gugup. "Orang tua lo lagi sama bokap gue di atas. Tadi gue ketemu mereka. Entah mereka
membicarakan apa." Nico berdiri di samping Rhea dan menengadah, menatap kelamnya langit
malam. "Pantes gue cari-cari nggak ketemu."
"Biasalah... kalau di pesta seperti ini, Papa pasti semangat banget ngenalin gue ke semua
temannya." "Itu artinya bokap lo sayang dan bangga sama elo."
"I know" tapi bosen banget kan kalau harus pura-pura tersenyum terus di depan bapak-bapak
dan ibu-ibu itu. Udah gitu yang paling nyebelin kalau ada ibu-ibu yang bilang, 'Ih, anak Pak Alex
cakep ya. Mukanya lucu deh.' Habis itu pipi gue dicubit sama mereka."
Rhea tertawa. "Masa ada yang kayak gitu sih?"
"Betul ada. Ngapain juga gue bohong?"
"Abis, lo emang cakep kok." Ups! Rhea buru-buru menutup mulutnya dan mengalihkan
pandangannya ke sudut kolam yang lain.
Nico tersenyum. "Kalau elo juga mau nyubit pipi gue boleh kok." Nico mendekatkan pipinya ke
arah Rhea. "Ih... apa-apaan sih lo...?" Rhea mendorong pipi Nico dan tertawa.
Nico ikut tertawa renyah. Jantung Rhea berdegup lebih cepat. Ini pertama kalinya ia bisa
bercanda begitu santai dengan Nico. Ada jutaan rasa berkecamuk dalam batinnya. Ingin sekali
rasanya waktu berhenti berputar dan malam terus terjaga tanpa pagi menjelang. Entah mengapa
Rhea ingin terus seperti ini, berdua dengan Nico, ngobrol dengannya, bercanda, menatap
rembulan dan bintang yang bertebaran di langit, menghabiskan setiap detik dengan menatap
senyum Nico. Perasaan seperti ini nggak pernah sekali pun ia rasakan sebelumnya. Begitu
tenteram, hangat, damai, dan berbunga-bunga. Perasaan apa ini"
BAB 10 "YA ampun! Lo berduaan sama cowok lain tanpa sepengetahuan Felix"!" pekik Rachel saat
Rhea menyelesaikan ceritanya tentang pesta Sabtu malam kemarin.
"Ssst..! Kecilin suara elo, Chel," bisik Rhea sambil memandang sekeliling kelas. Untung nggak
ada yang mendengar. Semua tampak sibuk dengan kegiatan masing-masing.
"Tapi Rhe, itu kan sama aja artinya elo selingkuh," kata Rachel yang sudah memperkecil volume
suaranya. "Masa gitu doang selingkuh sih?" bantah Marcia. "Nggak kok, Rhe.. Rachel aja yang terlalu
membesar-besarkan." "Nggak selingkuh gimana" Jelas Rhea berduaan sama cowok lain pas malam minggu tanpa
bilang-bilang sama Felix. Itu kan artinya Rhea berusaha menutupi hubungannya sama cowok
itu." Rachel mencoba berargumen.
"Tapi cowok itu kan cuma guru les Rhea...," bantah Marcia.
"Emangnya kalau guru les nggak bisa jadi orang ketiga" Sopir aja bisa kok jadi perusak
hubungan cinta majikan.." Rachel nggak mau kalah.
"Udah.. udah! Stop! Kok malah kalian sih yang ribut?" Rhea berusaha menghentikan perdebatan
kedua sahabatnya itu. Rachel dan Marcia sama-sama bete.
"Gue tau gue emang salah. Sesaat gue emang lupa diri. Kelembutan Nico bikin gue terlena dan
lupa sama Felix. Dan itu yang menjadi kesalahan gue," kata Rhea.
Rachel dan Marcia terdiam, lalu mereka bertatapan.
"Rhea, elo jatuh cinta ya sama Nico?" tanya Marcia pelan.
Nggak Usah Jaim Deh Karya Valleria Verawati di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Rhea diam, lalu menjawab, "Gue nggak tau. Tapi yang jelas gue bahagia malam itu. Bahkan
perasaan itu sulit gue ucapkan dalam kata-kata. Saat gue di dekat Nico, gue merasakan debaran
yang berbeda dibandingkan Felix. Selama ini Nico selalu nyolot kalau ketemu gue, dan Sabtu
kemaren tiba-tiba dia jadi begitu lembut dan hangat. Dia bikin gue terhanyut.."
Marcia menghela napas panjang. "Jadi sekarang lo mau gimana" Lo mau mutusin Felix, terus
nyoba PDKT sama Nico?"
"Hah" Gue nggak mungkin sejahat itu lah...! Gue nggak boleh melakukan itu. Soalnya itu berarti
gue mempermainkan ketulusan Felix."
"Jadi lo maunya gimana?" tanya Rachel.
Rhea diam sejenak, lalu berkata pelan, "Yah... gue sih mau serius sama Felix. Gue akan berusaha
menghentikan perasaan gila gue ke Nico. Lagian gue rasa, Nico sukanya sama kakak gue, bukan
sama gue." "Iya, Rhe.. Felix udah baik banget sama elo. Elo nggak boleh ngecewain dia." Rachel ikut
memberi semangat. Rhea mengangguk dan tersenyum. Ia bangkit dari kursinya lalu menggandeng tangan Marcia dan
Rachel. "Eh, eh.. mau ke mana lo?" tanya Marcia.
"Ke kelasnya Felix," jawab Rhea enteng.
"Mau ngapain" Tumben...," timpal Rachel.
"Nggak tau nih. Kok tiba-tiba gue kangen sama dia," jawab Rhea.
"Ceileh...! Tapi oke deh. Yuk kita ke sana. Kali aja si Felix bawa cokelat buat kita.."
"Huu.. maunya!" sahut Rhea.
Marcia dan Rachel semangat banget. Bersama Rhea, keduanya melangkah ke luar kelas.
*** "Itu suara Felix, kan" Berarti dia ada di kelas. Ayo, Rhe!" ujar Rachel saat mereka mulai
mendekati kelas Felix. Rhea berusaha mendengarkan suara-suara yang berasal dari dalam ruang kelas Felix. Tapi ada
yang aneh, dia merasa namanya disebut-sebut dalam percakapan itu. Rhea berhenti dan menahan
kedua sahabatnya. "Ssst..! Gue ngerasa ada yang lagi ngomongin gue di dalam sana," bisik Rhea.
Marcia dan Rachel berusaha menajamkan pendengaran mereka.
Rachel yang penasaran mencoba mengintip dari jendela kelas. "Itu Felix dan beberapa
temannya," kata Rachel memberi info kepada Marcia dan Rhea.
"Ngapain mereka ngomongin gue" Jangan-jangan Felix cerita tentang hubungan gue sama dia...,"
kata Rhea heran. Marcia cuma mengangkat bahu.
"Ssst.. jangan berisik. Kita dengerin aja percakapan mereka," kata Rachel sambil menempelkan
telunjuknya ke bibir. Rhea, Marcia, dan Rachel bersama-sama menajamkan pendengaran mereka, berusaha
menguping pembicaraan di kelas Felix.
"So for so good...," sayup-sayup terdengar suara Felix.
"Lo jahat juga, Lix! Tu cewek kan masih polos, belum bernah pacaran. Lo malah manfaatin dia
kayak gitu," kata Leo, salah satu temen dekat Felix.
"Siapa suruh dia lahir jadi anak kepala sekolah sialan itu" Gue udah bilang, gue pasti bakal
ngebales si tua bangka itu, dan gue nggak main-main!" kata Felix berapi-api.
"Itu kan, udah lama, Lix. Ngapain juga sih lo dendam gitu?" ujar Marcell, yang menjabat kapten
di klub basket sekolah. "Gue nggak akan pernah ngelupain kejadian itu. Si tua bangka itu udah mempermaluin gue di
depan umum. Dia nuduh gue sebagai anak yang nggak bertanggung jawab, pembohong dan
nggak tau aturan. Bahkan dia ngasih gue skors selama seminggu. Bokap gue jadi marah besar
sama gue. Padahal itu gara-gara gue nggak sengaja mecahin jendela ruang guru dan
melimpahkan kesalahan pada si bloon Tony."
Leo dan Marcell tertawa. "Salah lo juga sih, ngejadiin si Tony sebagai kambing hitam."
"Siapa suruh tuh anak bloon banget!" Yang pasti dendam itu nggak bakal gue lupain begitu aja.
"Tapi kasihan Rhea, Lix. Dia nggak tau apa-apa," kata Marcell.
"Tapi cuma dia satu-satunya alat paling tepat untuk membalas dendam gue pada si tua bangka
itu. Gue pengin tau gimana reaksi tua bangka sialan itu saat dia mengetahui putri kesayangannya
udah berubah jadi pembrontak dan pembohong. Gue nggak akan pernah berhenti membuat Rhea
tergila-gila sama gue, dan membuat dia membohongi orang tuanya lalu memberontak dari segala
aturan rumahnya. Rhea Athena, yah.. cuma alat yang sangat cantik dan berguna buat gue." Felix
tertawa, sama sekali nggak menyadari bahwa cewek yang lagi diomongin sedang berdiri di luar
kelas, mendengar semua kata yang dilontarkannya.
Jantung Rhea berdegup cepat. Ia terdiam. Marcia dan Rachel sama-sama terkejut atas apa yang
barusan mereka dengar. Mereka menatap Rhea tanpa tahu harus berbuat apa. Rhea terpaku di
tempatnya. Setiap kata yang masuk telinganya seperti anak panah yang menusuk jantungnya satu
per satu. Tangan Rhea bergetar, begitu juga seluruh tubuhnya. Ia bahkan seperti nggak mampu
lagi menopang berat tubuhnya. Lalu dengan mengerahkan segenap tenaga yang tersisa dalam
dirinya, ia berlari kencang meninggalkan Marcia dan Rachel yang meneriakan namanya. Entah
berapa orang yang mengumpat kesal karena ditabrak Rhea, tapi cewek itu nggak peduli. Ia terus
berlari menuju ruang guru untuk menemui guru piket dan meminta izin pulang. Rhea berhenti di
depan meja piket dengan napas terengah-engah. Tubuhnya masih gemetaran. Keringat pun
mengalir di keningnya. Bibirnya terlihat kering dan pucat.
"Maaf, Bu, saya mau minta izin pulang. Saya merasa nggak enak badan," ujar Rhea sambil
berusaha mengatur napasnya. Bu Epin yang hari ini bertugas sebagai guru piket menatap Rhea
heran. Namun melihat wajah Rhea yang pucat, ia nggak lagi banyak bertanya, tapi langsung menulis
surat izin agar Rhea dapat segera pulang. Bu Epin itu guru BP. Ia guru favorit anak-anak,
soalnya selain baik hati ia juga lembut dan pengertian. Rhea beruntung hari ini Bu Epin yang jadi
guru piketnya. Bu Epin menyodorkan surat izin pada Rhea sambil bertanya, "siapa yang akan mengantar kamu
pulang" Sebaiknya kamu jangan pulang sendirian. Apa perlu saya beri tahu Papa kamu" \"
"Nggak, Bu. Jangan bilang ke Papa. Biar saya pulang sendiri naik taksi," tolak Rhea, lalu
tersenyum tipis dan meninggalkan meja piket menuju kelasnya untuk mengambil tas.
Marcia dan Rachel menghalangi jalan Rhea.
"Rhe, lo mau ke mana?" tanya Marcia.
"Pulang. Gue butuh ketenangan saat ini."
"Gue anterin ya!" Marcia menawarkan diri.
"Nggak usah, Mar. Gue bisa sendiri kok." Rhea berusaha tersenyum, tapi yang keluar malah
seringai hambar. "Rhe, lo yakin nggak butuh kami?" tanya Rachel dengan sorot mata cemas.
"Tenang aja. Gue cuma lagi butuh waktu buat menyendiri."
"Ya udah. Kalau gitu kami anterin lo cari taksi. Soal tas lo, biar gue aja yang nganterin ke rumah
lo. Tapi janji ya, Rhe, kalau ada sesuatu, langsung hubungi kami..." Marcia meraih tangan Rhea
dan menggenggamnya erat. "Iya, gue janji..."
*** Rhea berbaring di tempat tidurnya dengan perasaan kacau. Kepalanya terasa sakit, begitu pula
hatinya. Seperti ada sesuatu yang menusuk-nusuk kedua sudut matanya, dan tak mau hilang. Ia
meraih guling dan menutup wajahnya dengan benda itu. Percakapan yang didengarnya tadi
seperti diputar ulang dalam memorinya. Rhea sama sekali nggak nyangka Felix tega melakukan
semua itu. Ternyata semua kebaikan dan keromantisannya hanya untuk memperalat Rhea. Felix
nggak pernah benar-benar jatuh cinta padanya, nggak benar-benar tulus padanya. Rhea hanya
dijadikan alat balas dendam, nggak lebih dari itu.
Rhea ingin berteriak marah. Kenapa semua ini harus terjadi padanya" Tapi Rhea nggak bisa
menyalahkan Felix. Ia yang bodoh hingga terbedaya rayuan Felix. Ia yang bodoh karena
membohongi keluarganya demi Felix. Ia yang bodoh karena nggak memedulikan nasihat Papa.
Kalau memang ada yang harus disalahkan, dirinya lah yang seharusnya disalahkan. Felix
hanyalah salah satu murid di sekolah yang menyimpan dendam pada Papa dan berniat
membalasnya melalui Rhea. Felix hanyalah manusia rapuh berjiwa kerdil, sikapnya yang seperti
ini cuma menunjukan ketidakdewasaannya dan membuktikan kebenaran dari semua makian Papa
pada Felix dulu. Felix hanyalah laki-laki yang sedang dalam tahap pencarian jati diri, yang salah
melangkah dan patut dikasihani. Cowok itu hanya sedang melindungi jiwanya yang rapuh di
balik ketampanan dan popularitasnya di sekolah.
Rhea menyesal telah terpedaya rayuan Felix. Rasanya sakit.. benar-benar sakit. Tapi Rhea tahu,
dia nggak boleh lemah. Dia nggak boleh melakukan kesalahan untuk yang kedua kalinya dengan
membiarkan Felix terus memperalat dirinya. Dia harus menyelesaikan semua ini sekarang juga.
Rhea bangun dari tempat tidur dan meraih HP-nya yang ada di meja belajar. Ia membuka fitur
message dan menulis SMS. Lix, gw mo ktemu elo jam 3 di PS. tnggu gw di McD. pntng!
Pesan terkirim. Beberapa saat kemudian ia menerima SMS baru. Rhea membacanya.
OK. honey! Ge tunggu elo di sana. Muuaachh!
Rhea menarik napas panjang, berusaha menahan ledakan mual di perutnya setelah membaca
SMS itu. Rhea sakit hati sekaligus jijik pada semua kepura-puraan Felix.
Rhea berjaan membuka pintu kamarnya, menuju kamar Reva. Diketuknya pintu kamar Reva
perlahan. "Mbak... ini Rhea.. "
"Masuk aja Rhe," sahut Reva dari dalam kamarnya.
Rhea membuka pintu dan memasuki kamar kakaknya yang bernuansa putih. Reva sedang duduk
di depan meja rias sambil menyisir rambut.
"Kata Mama kamu nggak enak badan ya?" tanya Reva sambil sibuk mengucir rambutnya dengan
model ekor kuda. "Sedikit. Tapi sekarang udah nggak lagi."
"Ada apa kamu cari Mbak" Ada yang mau diceritain?" Reva yang sudah selesai mengucir
rambutnya berbalik dari depan kaca, dan menatap Rhea sambil tersenyum.
"Ah... nggak kok. Rhea mau minta nomor HP Nico. Rhea ada perlu sedikit sama dia. Mbak
punya kan?" "Oh.. cuma itu?" Reva mengambil dompetnya yang tergeletak di tempat tidur dan memberikan
selembar kartu nama buat Rhea. "Ini buat kamu aja. Mbak udah simpen nomor HP Nico di
phonebook HP Mbak." Rhea tersenyum. "Makasih ya, Mbak." Rhea pun meninggalkan kamar Reva, diikuti senyuman
misterius yang tersungging di bibir Reva.
Rhea kembali ke kamarnya lalu mengambil HP dan menekan nomor yang tertera di kartu nama
Nico. "Halo..," sapanya begitu hubungannya tersambung.
"Halo..," sahut cowok di sebrang sana.
"Ini Nico ya" Gue Rhea.."
"Iya.. gue tau."
"Tau?" "Ada perlu apa lo telepon gue?"
"I need your help."
"Maksud lo?" "Gue mesti keluar rumah untuk menemui seseorang. Ini penting banget. Jadi gue butuh bantuan
elo untuk meyakinkan Papa kalau elo ada perlu sama gue. Papa kan pernah bilang.. kalau sama
elo, dia percaya. Please.. gue bener-bener butuh bantuan elo nih.."
Nico terdiam sesaat, lalu akhirnya berkata, "Oke jam berapa gue harus jemput elo?"
Rhea tersenyum. "Jam dua ya. Thanks banget ya, Nic."
"Ya udah, kalau gitu sampai nanti."
"Iya, sampai nanti.." Rhea pun menutup sambungan teleponnya.
*** Rhea berjalan di samping Nico memasuki Plaza Senayan yang hari ini cukup ramai. Sesuai
dugaan Rhea, kalau sama Nico ia pasti lebih mudah mendapatkan izin dari Papa. Ya.. memang
sih, ia harus sedikit berbohong dengan mengatakan bahwa ia ingin melihat-lihat koleksi buku
yang ada di rumah Nico. Tapi Rhea janji, ini akan menjadi kebohongannya yang terakhir.
McD sudah di depan mata. Jantung Rhea mulai berdegup cepat. Tangannya mulai dingin dan
berkeringat. "Gue tunggu lo di sini," kata Nico singkat.
Rhea mengangguk. Sejenak dipejamkannya mata dan ditariknya napas panjang. Kemudian
dengan mantap ia melangkahkan kakinya.
"Rhea...," panggil Nico.
Rhea membalik badannya dan menatap Nico.
"Gue nggak tau elo mau nemuin siapa dan ada masalah apa. Tapi yang pasti elo harus tau, gue
ada di sini, nungguin elo, dan siap membela elo. Jadi jangan takut ya."
Setiap kata yang keluar dari mulut Nico seperti angin yang menyejukkan hati Rhea dan mengusir
kecemasan serta keraguan di hatinya. Kata-kata itu seperti memberinya kekuatan yang nggak
berwujud dan langsung menyelubungi dirinya bagai perisai.
Rhea tersenyum lalu membalikkan badannya dan melangkah santai. Bola matanya bergerakgerak mencari sosok Felix.
Begitu diliihatnya Felix duduk sendirian di pojok ruangan sambil menikmati segelas soft drink,
Rhea tersenyum dan berjalan ke arahnya. Hatinya begitu tenang. Rhea sudah merasa sangat siap
untuk bicara empat mata dengan Felix.
"Hai!" sapa Rhea lalu menarik kursi dan duduk di hadapan Felix.
"Hai, Rhe. Gue denger tadi elo pulang cepet karena sakit. Apa sekarang elo udah baik?"
Rhea mengangguk sambil tersenyum. "Makasih ya, atas perhatiaan elo."
"Itu karena gue khawatir sama elo."
Lagi-lagi Rhea tersenyum.
"Ada perlu apa, Rhe" Elo bilang apa sama bokap lo, sampai elo dapat izin keluar rumah lagi?"
"Gue bohong." Rhea menarik napas dalam-dalam. "Tapi ini kebohongan gue yang terakhir. Gue
udah tau semuanya, Lix. Gue tau tujuan elo macarin gue. Gue udah dengar semuanya..."
"Maksud lo apa?"
"Gue udah nggak mau lagi jadi alat balas dendam lo ke bokap gue, Lix. Gue nggak mau lo
peralat lagi. Gue nggak mau ngecewain keluarga gue, terutama bokap gue. Gue sayang dia, gue
sayang keluarga gue. Elo nggak punya hak untuk menghancurkan keluarga gue."
"Memperalat elo?"
"Lo nggak usah pura-pura lagi deh. Gue udah denger dengan telinga gue sendiri, percakapan elo
di kelas tadi pagi..." Rhea berusaha mengatur napasnya, berusaha tetap tenang di tengah gemuruh
emosi yang mengguncang perasaannya.
Felix terdiam. Dia nggak menyangka rencananya sudah terbongkar.
"Tenang aja, gue nggak dendam kok. Menurut gue, elo cuma salah satu anak kecil yang nggak
terima dirinya dihukum karena udah berbuat salah. Di sekolah kita pasti bukan cuma elo yang
kesal karena kedisiplinan bokap gue terhadap peraturan. Hanya saja dari siswa-siswi itu, cuma
elo yang rapuh dan seperti anak kecil, yang menyimpan dendam dan nggak mau mengakui
kesalahan. Elo nggak lebih dari pengecut yang mencari kambing hitam untuk menutupi setiap
kesalahan yang elo perbuat."
Felix masih diam. Kata-kata Rhea seperti membuka tabir yang menutupi kekelaman dalam
dirinya. "Gue kasihan sama elo, Lix. Tapi gue tetep berterima kasih atas semua yang udah elo berikan
buat gue. Elo membuat gue punya pengalaman berharga. Elo membuat gue mengerti pahitnya
cinta, membuat kehidupan gue yang monoton jadi memiliki riak, bahkan ombak. Gue berterima
kasih atas semua itu.... Met tinggal..." Rhea bangkit dari duduknya dan berjalan keluar dari
restoran fastfood yang selalu ramai itu.
"Rhea tunggu!" panggil Felix yang ikut bangun mengejar Rhea. Felix menarik tangan Rhea dan
menahannya. "Tunggu Rhe... please..."
"Apa lagi yang lo mau, Lix" Gue nggak akan mempercayai setiap kata yang keluar dari mulut
lo!" "Ma-maafin gue, Rhe..... elo bener.... gue cuma cowok rapuh dan pengecut. Gue seperti anak
kecil. Gue minta maaf, Rhe... gue bener-bener minta maaf."
"Sejak awal gue udah maafin elo."
"Kalau begitu tolong kasih gue kesempatan untuk memperbaiki semuanya. Gue nggak akan
nyakitin elo lagi. Gue janji!" Felix memohon sambil menggenggam erat tangan Rhea.
"Nggak! Semua udah selesai..." jawab Rhea.
"Please, Rhe... kasih gue kesempatan."
"Nggak! Lepasin tangan gue, Lix. Gue mau pulang!" Rhea berusaha meronta dan melepaskan
tangannya dari genggaman Felix.
"Nggak akan gue lepas sampai elo mau ngasih gue kesempatan lagi..."
"Lepas!" Rhea mulai berteriak panik. Ia mulai takut melihat sorot mata Felix yang sepertinya
penuh obsesi gila "Lepasin tangan lo!" hardik Nico yang tiba-tiba muncul di sebelah Rhea dengan tatapan tajam.
Melihat Nico, Felix jadi marah. Dia ingat Nico, cowok yang ditemuinya di toko buku.
"Ngapain lagi lo disini" Ini bukan urusan lo!" Felix berteriak marah. Ia melepaskan tangan Rhea
lalu maju menghadap Nico dan menarik kerah kaus Nico dengan kasar. "Rhea itu cinta sama gue
dan elo nggak akan bisa menghancurkan hubungan gue dengan status lo yang cuma guru lesnya
aja. Asal lo tau, lo nggak bakal lama jadi guru les Rhea karena Rhea nggak akan tahan punya
guru les kayak elo!" maki Felix.
Nico menatap Felix dengan tenang. Ia melepaskan cengkraman Felix di kerahnya. Rhea melihat
kedua cowok itu berhadapan. Telapak tangan Rhea cepat-cepat menutup mulutnya kuat-kuat,
berusaha agar tak berteriak. Banyak pengunjung mal mulai berhenti dan memperhatikan mereka
penuh dengan rasa ingin tahu.
"Status gue sebagai guru les Rhea lebih berharga dari pada status lo itu. Kalau dia nggak mau
sama elo lagi, lo jangan maksa dong! Heh, asal elo tau aja ya, bokapnya Rhea percaya 100%
sama gue. Dia cukup dengerin cerita gue tentang kejadian hari ini, dan gue jamin elo pasti akan
menghadapi masalah besar dengan Kepala Sekolah lo itu. Gue yakin, demi membela putri
kesayangannya, dia nggak akan segan-segan ngeluarin elo dari sekolah."
"Brengsek! Sialan!" Felix melayangkan tinjunya ke wajah Nico.
Nico nggak menghindar dan sama sekali nggak melawan. Tinju itu bersarang tepat di wajahnya,
darah segar mengalir dari bibirnya. Nico terhuyung sedikut ke belakang.
"Nico..!" Rhea berteriak kaget. Dia hendak mendekati Nico, namun cowok itu menahan dengan
isyarat tangannya. Rhea menghentikan langkahnya.
"Cuma segini aja..." Nico kembali berdiri tegak dan mencibir. "Gue rasa luka ini cukup menjadi
bukti untuk bokap Rhea. Kalau elo masih mau mukul gue lagi, jangan salahin gue kalau elo
Nggak Usah Jaim Deh Karya Valleria Verawati di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bukan hanya dikeluarin dari sekolah, tapi juga harus berurusan dengan polisi."
"Sialan!" Felix berteriak marah dan mengepalkan tinjunya ke udara. Namun ia nggak berani
melayangkan pukulan lagi ke arah Nico.
Nico mendekati Felix hingga jarak mereka tinggal lima sentimeter, lalu berkata tegas, "Inget
kata-kata gue! Jangan coba-coba ganggu Rhea lagi, atau elo akan berurusan dengan gue. Gue
nggak akan hanya membuat elo membayar satu pukulan ini, tapi gue juga akan bikin lo menyesal
seumur hidup karena pernah mengenal gue!"
BAB 11 NICO duduk di belakang setir mobil sambil menghapus darah di sudut bibirnya dengan selembar
tisu. "Masih sakit ya?" tanya Rhea cemas.
Nico tertawa. "Nggak kok. Ini cuma luka kecil. Mungkin bibir gue sedikit robek. Tenang aja.."
Rhea menunduk. "Sori ya, Nic. Ini semua gara-gara gue."
"Nggak perlu minta maaf, ini bukan salah lo. Cowok itu emang perlu dikasih pelajaran."
Rhea menatap ke depan, pandangannya jauh menerawang.
"Felix emang pacar gue, Nic. Dia cowok pertama yang berani ngedeketin gue di sekolah. Bahkan
dia cowok pertama yang berani menyatakan cinta ke gue. Papa selama ini nggak pernah ngizinin
gue pacaran. Gue bosen hidup gue begini-begini aja. Makanya gue nerima Felix. Gue rasa dia
bisa memberi warna lain dalam hidup gue," jelas Rhea pelan.
"Sejak itu gue jadi sering ngebohongin Papa-Mama biar bisa jalan sama Felix. Gue seneng
banget, karena hidup gue mulai seru, meskipun gue tau gue udah berdosa besar sama orangtua
gue. Tapi ternyata... Felix cuma memperalat gue. Dia menyimpan dendam sama Papa dan
menggunakan gue untuk menyakiti Papa. Dia sengaja mendekati gue, ngajak gue pacaran,
backstreet, lalu perlahan-lahan menjadikan gue sebagai pembrontak, sebagai pembohong ulung."
Rhea menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Rasanya ingin sekali menangis, tapi
nggak bisa. Air matanya enggan mengalir walaupun sepertinya sudah menumpuk di sudut mata.
Nico diam saja. Ia mengemudikan mobil dengan tenang, seakan memberi waktu pada Rhea
untuk mengontrol emosinya.
*** Nico menghentikan mobilnya di pantai. Hari sudah mulai sore. Jam tangan Rhea sudah
menunjukan pukul 17.00. "Mau jalan-jalan sebentar?" tanya Nico sambil tersenyum manis.
Rhea mengangguk. Nico keluar dari mobil diikuti Rhea. Mereka berjalan menyusuri pasir
terhampar luas di pesisir pantai. Pantai ini indah, tapi kenapa pengunjungnya sedikit" tanya Rhea
dalam hati. Padahal kebersihannya cukup terjaga.
"Kita naik ke batu karang itu yuk!" ajak Nico sambil menunjuk ke arah batu karang yang cukup
tinggi. Ombak menerpa bagian bawah karang dengan keras sehingga menimbulkan suara
lecutan. Rhea menggeleng. "Nggak ah. Gue takut."
"Tenang aja... kan ada gue." Nico mengulurkan tangannya ke arah Rhea.
Rhea menatap tangan Nico lalu menyambutnya dengan senyuman yang paling manis. Mereka
berjalan menuju karang dan mulai mendakinya perlahan-lahan. Nico menggenggam erat tangan
Rhea dan menuntunnya hingga ke tepi.
Nico duduk di atas karang itu dan menarik tangan Rhea untuk duduk di sampingnya. Kaki
mereka terjuntai ke bawah karang, menyentuh air laut yang beriak. Ombak yang datang menerpa
karang, membuat tubuh mereka basah terkena percikan-percikan air. Angin laut mengibarkan
rambut Rhea yang tergerai. Rhea jadi kerepotan karena rambutnya berantakan.
Nico tersenyum dan bertanya, "Elo nggak bawa karet rambut?"
Rhea menggeleng sambil berusaha memegangi rambutnya. Nico mengambil sapu tangan dari
saku celananya, kemudian mengikat rambut Rhea dengan sapu tangan itu.
Jantung Rhea berdegup kencang.
"Nah, kalau begini nggak berantakan lagi, kan..."
"Iya, makasih."
Nico kembali menatap lautan luas di hadapan mereka.
"Rhe, apa sekarang elo masih mau nangis?" tanya Nico pelan tanpa menoleh ke arah Rhea.
Rhea menatap Nico. Hatinya terasa begitu hangat. Senyum manis mengembang di bibirnya.
Ternyata itu alasan Nico mengajaknya ke pantai ini. Nico khawatir melihat Rhea begitu sedih.
"Nggak kok, gue udah nggak pengin nangis lagi. Seharusnya gue malah bersyukur dan senang
bisa melepaskan diri dari Felix sebelum terperosok semakin dalam."
"Syukurlah kalau begitu," kata Nico lega.
"Nic, gue boleh nanya nggak?"
Nico menoleh dan menatap Rhea."Nanya aja..."
"Kenapa belakangan ini lo jadi baik dan lembut sama gue?"
Nico terdiam. Ia mengalihkan pandangannya ke laut.
"Karena... gue berfikir untuk menyerah," jawab Nico akhirnya.
"Menyerah" Menyerah untuk apa?" dahi Rhea berkerut heran.
"Menyerah untuk mengejar elo, menyerah untuk merebut perhatian elo, menyerah untuk
mendapatkan cinta lo," kata Nico kembali menatap Rhea.
Rhea tersentak kaget. Matanya membelalak dan mulutnya sedikit terbuka.
"Rhe, gue... gue suka sama elo?" Nico menelan ludah, wajahnya agak gugup. "Sejak pertama
kita ketemu lagi, setelah sekian lama nggak bertemu, entah kenapa gue terpesona sma elo. Tanpa
gue sadari, rasa suka gue perlahan berubah jadi sayang. Gue sendiri nggak tau bagaimana sampai
semua itu terjadi. Semua rasanya tumbuh begitu aja dalam diri gue. Dan semakin hari rasa itu
semakin besar dan kuat..."
Rhea mendengar semua cerita Nico dengan perasaan setengah percaya.
"Gue masih ingat jelas masa kecil kita. Tapi waktu itu gue cuma menganggap elo adik. Perasaan
suka itu timbul secara tiba-tiba, sejak hari pertama gue ngajar elo. Elo ingat nggak, kejadian di
hari pertama itu" Waktu gue benar-benar nggak bisa ngontrol diri gue. Gue jadi gugup dan salah
tingkah. Hasilnya gue malah bersikap kasar sama elo. Waktu itu gue benar-benar menyesali
kebodohan gue, gue merasa stupid dan konyol. Apa ini yang namanya love first sight, gue juga
nggak tau.." Nico berhenti bercerita. Ia menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Langit
mulai gelap. Matahari mulai bergerak ke garis cakrawala. Laut yang berwarna biru mulai
bernuansa kemerahan. Nico melanjutkan ceritanya. "Tapi waktu gue melihat elo di mal sama cowok brengsek itu, gue
putus asa. Gue merasa udah nggak ada harapan lagi buat ngedapetin elo. Gue sakit hati dan
kecewa. Rasanya hidup gue hancur. Gue berusaha tegar karena gue sadar elo bukan siapa-siapa
gue, dan elo bebas jalan sama siapa pun yang elo suka. Semua rasa sakit hati gue bukan karena
kesalahan elo. So, sejak itu gue memutuskan menyerah. Tapi semakin gue berusaha mundur,
semakin kuat rasa cinta itu mengikat gue. Bahkan ikatannya hampir membuat gue nggak mampu
bernapas...." Sorot mata Nico mendadak berubah redup. Ada kepedihan terbayang di sana.
"Gue.. gue nggak tau elo suka sama gue karena selama ini lo selalu kasar sama gue. Gue pikir....
elo suka sama mbak Reva."
"Reva?" "Iya. Setiap kali elo berada di samping Mbak Reva, elo pasti bersikap lembut dan santai. Seperti
sikap lo belakangan ini ke gue. Sedangkan kalo elo sama gue, pasti tingkah lo jadi kasar, tukang
nyolot, galak... nyebelin banget deh pokoknya."
"Itu karena gue berusaha menjadi sosok yang elo impikan sebagai pacar lo. Lagian juga.. Reva
kan udah punya pacar."
"Mbak Reva udah punya pacar?" Rhea terkejut mendengarnya.
"Iya, pacarnya itu masih sepupuan sama gue. Pacarnya juga dateng kok ke pesta ulang tahun
bokap gue. Makanya mereka menghilang begitu saja, soalnya mereka ngobrol di teras kamar
gue, biar nggak ketahuan sama bokap lo."
"Jadi Mbak Reva juga backstreet?"
"Ya. Jadi nggak mungkin gue suka sama Reva..."
Rhea termenung. Dia sama sekali nggak menyangka, ternyata Mbak Reva diam-diam juga sudah
punya pacar, Mbak Reva juga backstreet seperti dirinya. Tunggu dulu, ada yang aneh! Kenapa
Nico bilang bahwa dia bersikap nyebelin karena berusaha menjadi sosok pacar impian gue"
Sejak kapan gue mau punya pacar nyebelin"
"Eh Nic, tadi lo bilang lo bersikap beda ke gue karena elo ingin menjadi sosok pacar impian gue.
Memangnya kapan gue bilang gue pengin punya pacar nyebelin gitu?"
"Lho, dulu waktu elo masih kecil, elo pernah bilang sama gue. Kalau nanti udah gede, lo pengin
punya pacar yang berwibawa, tegas, cool dan sedikit angkuh. Lo mau punya pacar yang kaya
bokap lo itu. Makanya gue bersikap begitu biar elo tertarik sama gue."
Rhea berusaha mengingat-ingat masa lalunya. Apa iya dia pernah bilang begitu" Mmm....
kayaknya si pernah. Kalau nggak salah waktu itu Rhea lagi mengagumi sosok Papa yang begitu
berwibawa. Makanya dia bilang pada semua orang bahwa dia pengin punya pacar yang
berwibawa kayak Papa. Tapi itu kan dulu waktu dia masih kecil.
"Kalau bukan karena gue teringat kata-kata elo itu, gue nggak akan bersikap tegas gitu di depan
lo. Cukup di hari pertama aja. Lagian, ngapain juga gue pura-pura tegas dan sok cool gitu kalau
bukan untuk membuat lo suka sama gue" Padahal gue pengin banget ngobrol dan bercanda sama
elo. Hmmm... kalo dipikir-pikir, gue payah juga ya. Bikin susah aja. Semua itu gue lakuin hanya
untuk mendapatkan perhatian dari elo. Itu aja," gerutu Nico dengan tampang seperti anak kecil
yang lagi merajuk. Rhea tertawa melihat wajah cowok itu. "Hahaha! Siapa yang tertarik kalau elo nyebelin gitu" Itu
sih bukannya tegas dan cool tapi nyolot."
Nico terdiam. Rhea jadi merasa bersalah melihatnya. Seharusnya dia nggak boleh tertawa seperti
itu. Nico melakukan semua itu kan karena dia ingin mendapatkan perhatian dari dirinya.
"Maaf ya, gue nggak bermaksud ngetawain elo," kata Rhea tulus.
"Nggak apa-apa. Gue emang bodoh. Nggak seharusnya gue berusaha menjadi orang lain. Nggak
seharusnya gue masih mengingat kata-kata anak kecil yang pastinya suka berubah-ubah."
"Iya, lo emang bodoh. Gue jauh lebih suka dengan sifat asli lo yang lembut, dewasa, dan
perhatian." Nico terpana. Ia menatap Rhea yang pipinya bersemu merah.
"Maksud lo... lo juga suka sama gue?"
Rhea mengangguk pelan. Nico tersenyum lebar dan langsung menarik tubuh Rhea dalam pelukannya. Pipi Rhea terasa
panas. Ia dapat merasakan detak jantung Nico di telinganya. Ia bahkan dapat mencium aroma
parfum yang dipakai Nico dengan jelas. Tanpa sadar tangan Rhea bergerak melingkar di
punggung Nico dengan erat. Rhea ingin terus seperti ini, dia nggak mau kehilangan pelukan ini.
Rasa bahagia ini, Rhea tahu, inilah rasanya jatuh cinta. Sungguh berbeda dengan yang
dirasakannya pada Felix. Kali ini Rhea tahu, inilah yang namanya cinta.
Tiba-tiba Rhea teringat sesuatu, lalu didorongnya tubuh Nico.
"Kenapa Rhe?" Nico bertanya heran.
"Gue nggak bisa. Kalau gue pacaran sama elo, gue akan menimbulkan kebohongan lagi ke Papa.
Kita pasti backstreet, dan setiap mau keluar rumah kita pasti harus berbohong sama Papa seperti
tadi. Gue nggak mau kayak gitu lagi."
Nico tersenyum mengerti. "Mau nggak mau kita memang harus backstreet karena bokap lo
belum ngizinin elo pacaran. Iya kan?"
Rhea mengangguk. "Tapi itu bukan berarti kita harus bohong kalau mau pergi kencan. Gue janji, gue akan minta izin
bokap lo secara jantan dan terus terang kalau mau ngajak elo jalan-jalan. Lagian juga bokap lo
pernah bilang, sama gue dia percaya sepenuhnya. Gue juga akan tetap jadi guru les lo. Gue akan
berusaha menempatkan diri sebagai guru maupun pacar. Gue akan terus membantu elo untuk
meningkatkan prestasi, biar bokap lo bangga dan percaya bahwa anaknya nggak akan pernah
ngacewain mereka. Asal prestasi lo tetap oke, gue yakin mereka nggak akan melarang hubungan
kita." "Tapi kalau Papa tetap nggak mau merestui hubungan kita dan marah sama kita bagaimana?"
"Tenang aja. Kalau itu sampai terjadi, dengan sangat terpaksa... gue akan minta bokap gue segera
ngelamar elo. Bokap gue pasti bisa meluluhkan hati bokap lo..."
"Hah" Nggak mau! Gue nggak mau kawin muda!"
Nico tertawa. Ditariknya tubuh Rhea kembali ke dalam pelukannya. Matahari mulai terbenam di
cakrawala. Perlahan-lahan turun dan menghilang di telan bumi. Rembulan yang bergerak
menemani sang malam tersenyum manis, melihat sepasang kekasih yang duduk di atas karang
saling mengikat janji. Rhea sadar perjalanan cintanya masih panjang. Ini cuma sebuah awal yang
akan membawanya menuju kedewasaan. Sebuah awal yang akan membuat hidupnya kembali
penuh warna. Sebuah awal yang akan memperkenalkannya pada arti cinta. Ini hanya sebuah awal
yang baru. -END- Sumber: https://id-id.facebook.com/pages/Kumpulan-cerbungcerpen-dan-novel-remaja/398889196838615
Pendekar Penyebar Maut 9 Kuda Binal Kasmaran Serial Tujuh Senjata Karya Gu Long Name Of Rose 9