The First Fall 4
Love Command 1 The First Fall Karya Janice Nathania Bagian 4
sempat terkejut- lalu tak dinyana, beralih merangkul erat gadis congkak itu dengan sengaja
setelahnya. Keterkejutan Bianca makin menjadi-jadi. Ia membelalak tak percaya, lalu menoleh menatap Ryo
yg tersenyum menghipnotis ke arahnya. Sedangkan Shilla membuang muka, berusaha
mengabaikan nyeri yg datang lagi di dadanya.
Patra kini kembali merasakan aura kecemasan pada Shilla. Dengan heran ia menatap Ryo yg
sembunyi2 menatap Shilla, yg kini menatap kosong ke arah panggung. Pasti ada sesuatu di
antara mereka... tebaknya yakin.
"Shil. Lo bawa lilin, kan" Yuk, siap2." Tiba2 Devta datang, menyelamatkan keadaan yg
mencekam. "Eh, elo Patra, ya" Sepupunya Ifa" Bawa lilin sama Shilla, kan" Yuk, siap2 di belakang," kata
Devta lagi. Membuat Shilla dan Patra terdiam sejenak, masih bingun. "Yeh... pada bengong. Eh,
kalian berdua pegangan tangan, ya" Cieeeee." celetuknya, tak bisa membaca suasana.
Ryo kontan mendelik ke arah Devta yg mengatakan kenyataan secablak itu. Ia menggeram dalam
hati, menahan monster di hatinya yg tiba2 ingin mencakar muka pemuda asing yg lengannya
dipegang Shilla. Devta akhirnya memisahkan Patra dan Shilla tepat di tengah, lalu merangkul mereka berdua di
kiri dan kanannya. "Yuk," katanya lalu menoleh dan melongo menyadari ada dua orang lain
dengan tatapan mengerikan di dekatnya. "Eh, ada Ryo sama Bianca toh. Kita duluan, ya. Yuk,
daaah..." Bianca hanya mencibir sepeninggal ketiganya. "Norak." Ia merapatkan diri pada Ryo.
Ryo melengos, segera melepas rangkulannya karna tiba2 merasa butuh udara segar. "Gue ke
toilet sebentar," ucapnya lalu bergegas meninggalkan Bianca yg tampak kecewa.
Dansa-dansi. Memang acara yg ala kerajaan sekali. Tapi Shilla enggan melangkahkan kaki ke
lantai dansa. Meja2 bulat untuk makan tadi sudah disingkirkan untuk menyediakan ruang bagi
lantai dansa. Kalau ia berdansa dipastikan akan ada keributan yg terjadi, karna ada yg tak sengaja
tersenggol atau terinjak.
Lebih baik ia duduk bersedekap seperti sekarang ini, di bangku yg dijajarkan di samping lantai
dansa. Menunggu Patra yg sedang mengambil koktail untuknya.
"Nih," Patra mengangsurkan Collin glass berisi koktail ke arah Shilla, lalu duduk di sebelahnya.
"Makasih," jawab Shilla lalu menyeruput minuman di tangannya.
"You're welcome," jawab Patra sambil tersenyum lagi.
"Nggak dansa" Lagunya bagus nih," kata Shilla mengenali lagu A Whole New World yg baru
saja menggema di seantero ballroom.
"Nggak bisa gue. Nanti ada yg keinjek lagi, hahaha. Lo sendiri nggak?"
"Nggak, lah. Alesannya sama kayak kamu," kata Shilla ikut tertawa, heran juga menemukan
banyak persamaan antara diri mereka. Sepanjang malam ini hampir ia habiskan bersama Patra,
karna Devta juga suka menghilang entah ke mana.
Shilla menenggak lagi koktailnya saat tiba2 Ifa yg agak berkeringat namun tetap cantik muncul
di hadapan mereka. "Pat, lo harus dansa sama gue, lo kan sepupu gue yg paling deket. Sini," kata Ifa, meraih tangan
Patra. "Nggak deh, Fa. Nanti lo keserimpet gara2 gue lho," kata Patra mewanti-wanti.
"Ih," kata Ifa, setengah gemas, "yg ulang tahun nggak boleh dibantah, tau. You know the rules.."
Patra mendesah lalu tersenyum juga akhirnya. "Ayo, deh... Tapi Shilla gimana" Masa ditinggal?"
"E... cieeeee... Patra mikirin Shilla lho," kata Ifa menggoda, sambil setengah tertawa.
"Nggak papaaaa, taaauuuuu," ujar Shilla, lalu menepuk pelan pundak pemuda di sebelahnya.
"Sana dansa." Patra akhirnya mengangkat bahu sambil tersenyum pada kedua gadis di dekatnya lalu mengikuti
Ifa ke lantai dansa. Shilla juga tersenyum, sementara tanpa sadar matanya mengikuti Ifa dan Patra ke lantai dansa.
Lalu ia tak sengaja melihat Bianca, yg dengan tidak canggung menyandarkan kepala di bahu
Ryo, yg juga tampak nyaman2 saja.
Shilla memalingkan muka, tepat saat Ryo menoleh ke arahnya. Membuat Ryo akhirnya
menghela napas dan beralih membuang pandangannya ke lantai.
Shilla memejamkan mata lagi. Kini, bukan lagi dirinya yg ada dalam dekapan Ryo. Ada sosok
lain yg ada dalam naungan tubuh tegapnya. Dalam harumnya. Bukan lagi dia.
Ia merasa tidak bisa lagi menghirup udara di dalam atmosfer yg sama dengan Ryo dan Bianca.
Maka, ia memutuskan beranjak keluar dari ballroom setelah meletakkan gelas koktailnya di
lantai, berdampingan dengan gelas Patra sebelumnya. Perlahan ia melangkah ke luar, menuju
pintu terbuka di samping kiri ballroom, yg ternyata balkon. Balkon ini memanjang hingga ke
samping ballroom, hanya tersekat kaca hingga Shilla masih bisa melihat apa yg terjadi di pesta
Ifa. Ia menarik napas pelan, lalu membuang pandangan jauh2 melampaui batas balkon, menyusuri
hotel bintang lima yg dipilih Ifa ada di bagian utara Jakarta, sehingga ada pemandangan laut yg
bisa didapatnya dari tempatnya kini berdiri. Aroma asin yg menerpa hidungnya sangat
menyegarkan. Seakan bisa membantunya menormalkan lagi otak dan hatinya yg bergemuruh. Ia
sempat bergidik sedikit saat merasakan angin dingin di bahunya yg telanjang.
Tapi keheningan tidak melingkupinya lama2. Shilla mendengar deham berat dari balik
punggungnya. Ia mengernyit, lalu perlahan menoleh.
Ryo. Sendirian. Shilla terpaku menatap sosok tampan itu. Angin berembus, membuatnya bisa mencium lagi
aroma yg selama ini diam2 dirindukannya. Pa
rfum Ryo itu. Ia mendesah pelan lalu menggeleng
samar. Kalau Ryo mau di sini, biar Shilla yg pergi.
Sebenarnya Ryo juga terkejut mendapati Shilla di balkon. Tempatnya tadi menenangkan pikiran
yg kini ingin dikunjunginya lagi. Shilla tadi memandangi laut. Apa yg dia pikirkan" Ryo
akhirnya hanya bisa ikut terdiam ketika menangkap keraguan yg tampak saat gadis itu
melihatnya. Shilla mendesah. Ia berbalik dan hendak melangkah pergi. Rambutnya yg terkucir perlahan
tertiup angin, sehingga sedikit menebas wajah Ryo. Ia tersentak, seakan sadar tak bisa lagi
berdiam diri. Akhirnya ia mencekal tangan Shilla, yg hampir saja menghilang lagi di balik pintu.
Shilla berbalik, menatap tangannya yg kini digenggam tangan kokoh Ryo. Ia menatap mata Ryo.
Dan diam ketika ia menemukan ombak yg sama. Ombak yg dulu ada, yg belum mampu ia redam
juga. Sebuah lagu terdengar jelas dari arah ballroom. Menerobos jendela dan membuat keduanya
terhanyut. Ryo melepas tangan Shilla. Sebagai gantinya, ia mengulurkan tangan kanannya ke
arah gadis itu, mengajaknya berdansa di balkon ini.
Lirik2 lagu First Dance dari seorang penyanyi remaja terkenal mengalun pelan. Mendorong
Shilla untuk, entah kenapa, menyambut uluran tangan itu. Masih menatap Ryo yg kembali
seperti dulu. Ryo perlahan meraih pinggangnya dan sementara ia menyampirkan tangan di bahu
pemuda itu. Senandung yg melenakan mulai menyusup ke telinga mereka. Ryo merasakan pertahanan
hatinya sudah terlanjur dijebol, hanya bisa menatap Shilla dan berkata pelan, "Gue... kangen
sama elo..." Shilla terdiam, membiarkan dirinya tenggelam dalam ombak yg berkejaran di mata itu. Akhirnya
aku ada dalam dekapan Ryo lagi setelah selama ini, pikirnya.
"Kalo elo?" tanya Ryo pelan, penuh harap.
Shilla hanya menunduk ketika kembali mendapati keraguan di hatinya. Ia bungkam. Bingung.
Apa yg bisa ia katakan tentang apa yg ia sendiri belum pernah jelajahi"
Shilla mendongak, menatap pahatan wajah Ryo yg juga memandanginya beberapa saat. Hingga
akhirnya, gadis itu menunduk lagi lalu menjauhkan diri.
Shilla menarik napas pnjang, berpikir sejenak sebelum akhirnya berbicara pelan, "Yg tadi itu...
Lupain aja, Tuan." Lalu ia bergegas memutar tubuhnya ke arah balkon, membelakangi Ryo.
Ryo, terperangah tak menyangka keadaan berubah secepat ini. Ada apa lagi dengan gadis itu"
"Sh..." "Shilla?" Ryo menoleh ke belakang dengan geram. Baru saja ia berniat kembali menyapa dan
menghampiri Shilla ketika tiba2 terdengar suara lain memanggil gadis itu.
Cowok tadi. Ryo mendengus kesal ketika mendapati siapa yg memanggil Shilla. Mau apa sih
dia" Patra balas menatap pandangan kesal Ryo dengan heran, lalu beralih memandang Shilla yg
berdiri kaku memunggungi pintu balkon dan makin tidak mengerti.
Perlahan, ia meyakinkan dirinya untuk terus bergerak mendekati Shilla. Meyakinkan diri bahwa
ia tidak sedang mengganggu momen penting atau semacamnya.
"Shi..." Patra terdiam begitu berhenti dan melihat wajah Shilla. Gadis itu sedang memejamkan mata,
tanpa setitik pun ketenangan dalam rautnya. Air mukanya tampak begitu tegang, direntang
kegalauan begitu hebat. Refleks, Patra menoleh dan menatap Ryo dengan pandangan bertanya sekaligus curiga.
Sementara Ryo kembali memandangi punggun Shilla.
Setelah bertahan menunggu beberapa lama, Ryo mengepalkan sebelah tangannya sambil
menghela napas karna gadis itu tak juga bergerak, lalu akhirnya memutuskan beranjak.
Patra memperhatikan punggung Ryo menjauh dari sela pintu balkon yg terbuka, lalu mengurai
kernyitan keningnya dan menghampiri Shilla.
Gadis itu tampak bergidik pelan, mungkin karna kedinginan, tapi mungkin juga tidak. Patra
mendesah, lalu melepas jasnya dan menyelubungkannya ke bahu Shilla, yg kini menoleh ke
arahnya. Shilla menatap Patra yg melakukan semuanya dalam diam. Ia bisa menemukan binar cemas di
mata pemuda itu. Emosinya yg sempat berubah kaku rasanya kini normal karna atmosfer hangat
khas yg dibawa Patra. Ia membiarkan sosok Patra ikut beranjak ke sampingnya. Mendengarkan desau angin yg sama.
Patra menatap lurus ke depan sambil berkata, "Lo nggak dengerin kata2 gue, ya?"
"Hah?" tanya Shilla spontan.
Patra mengalihkan pandangan ke arah gadis di sebelahnya. "Buat nikmatin pestanya?"
"Oh," jawab Shilla pelan. "Keliatan, ya?"
Pemuda itu mengangkat bahu, menoleh ke depan lagi. Melihat pemandangan yg serupa dengan
Shilla. Ombak yg memukul-mukul batu karang. Lalu suasana berubah hening sejenak, yg
akhirnya dipecahkan desah panjang Shilla. Patra kembali memalingkan wajah ke arah gadis itu,
yg raut kalutnya kian mencemaskan saja.
"Dari penampilan lo, gue kira," kata Patra pelan, "elo setegar karang..."
Shilla tersenyum miris, masih memandang ke depan. "Karang pun bisa rapuh kalau diterjang
ombak terus," jawabnya.
"Jadi, cowok itu ombaknya?" tanya Patra.
Shilla terkejut mendengar perkataan Patra barusan, ia memandang pemuda itu lekat2 dan
bertanya serius, "Keliatan, ya?"
Tak disangka, Patra tertawa kecil. "Nggak ada yg lebih menyedihkan daripada orang yg nanya
hal yg sama dalam waktu kurang dari lima menit."
Shilla menunduk. Tahu keadaannya memang teramat menyedihkan.
Patra mendesah, "Cuma bercanda." Ia sendiri heran, kenapa ia begitu peduli pada gadis yg baru
dikenalnya kurang dari empat jam lalu.
Shilla menarik sudut2 bibirnya ke atas. Usaha tersenyum yg gagal. Mengenaskan.
"Cowok itu siapa?" tanya Patra pelan. Siapanya elo" Kenapa dia ninggalin lo disini" Kenapa dia
bikin lo kalut" Kenapa dia datang sama cewek lain" Kenapa lo begitu sedih" Rentetan tanda
tanya berukuran gigantis yg biasanya tak pernah mau ia campuri mulai melayang di benak Patra.
"Eh, bukan berarti gue mau ikut campur, lho... Cuma..." Patra menggantung kata-katanya.
Shilla tersenyum. "Iya, aku tau," katanya melirik kejujuran di mata Patra. "Tapi ceritanya agak
panjang..." Ia menarik napas dan melihat Patra yg tersenyum kecil, mengetahui bahwa pemuda
ini tulus dan mau bersabar mendengarkannya.
Shilla mengela napas. Mungkin terlalu banyak yg ditanggungnya sendiri, terlalu banyak teka-teki
yg tak mampu dipecahkan hati kecilnya yg malang. Mungkin, harus ada seseorang untuk
berbagi. Seseorang yg bisa membantunya mengurai misteri perasaannya. Dan mungkin kini
orang itu ada di sebelahnya.
"Dia..." Maka Shilla pun memulai kisahnya. Tentang bundanya, Ayi dan senandungnya yg ajaib,
tentang pekerjaan barunya (Patra tampak tidak terganggu dengan hal ini), tentang tempat
tinggalnya sekarang, tentang Arya, tentang Ryo, tentang petualangan mereka di taman bermain
itu, dan tentang... Ponsel Patra berdering tepat ketika Shilla akan bercerita tentang benang merah semua masalah
ini, hal yg harus dipecahkannya namun tak pernah bisa. Tentang hatinya. Tentang benar atau
tidaknya spekulasi Bianca.
"Halo" Iya, Fa" Iya, iya. Gue sama Shilla... Hah" Oh... Yah, ya udah... Iya, iya, bawel."
Shilla tertawa kecil mendengar Patra berdebat kecil dengan Ifa, walau belum selesai, lega
rasanya membagi sebagian pikirannya dengan seseorang. Walau seseorang itu baru dikenalnya
beberapa jam lalu. "Kenapa?" tanyanya saat Patra menutup percakapannya.
Patra mengangkat bahu. "Si birthday girl mau kita buru2 balik masuk. Ayo..."
Tanpa sadar, Patra menarik tangan Shilla, membuat gadis itu terkejut seakan baru terkena arus
listrik pendek. Mengingat pemuda yg sempat juga menggenggam tangannya tadi. Ia mendesah
pelan. "Kok diem?" tanya pemuda itu ketika menyadari Shilla tiba2 terdiam kaku seperti patung. "Ayo,
nanti gue dikutuk Ifa nih..."
Shilla tertawa kecil, lalu mengikuti Patra yg membimbingnya keluar balkon. Ia berusaha
mengabaikan ingatan yg membuat hatinya seperti disundut korek api.
Tawa Shilla terhenti seketika saat melihat siapa yg berdiri di depan pintu ballroom yg ditujunya.
Ryo dan Bianca. Tampaknya Bianca tengah merajuk, entah kenapa. Ryo memandang Bianca
dengan ekspresi manis, walau matanya seperti berniat membekap dan mengurung Bianca di
suatu tempat. Patra berhenti sejenak, disambut tatapan maut yg tiba2 diluncurkan Bianca karna melihat Shilla.
Ryo sempat membelalak kesal saat melihat Patra mempererat genggamannya di tangan Shilla
dan melihat Shilla terbungkus jas pemuda itu.
Shilla menunduk pelan, melihat Ryo... sedekat itu dengan Bianca membuat hatinya terusik.
Walau ia tak tahu kenapa... Bukankah ia menyukai Ayi" Menyukai Arya" Bukan Ryo, kan"
Bukan, kan" "Ayo, Shil," ajak Patra beberap detik kemudian, menarik tangan Shilla memasuki ballroom,
mengabaikan tatapan mematikan sejoli yg baru mereka lewati.
Kediaman Keluarga Luzardi, 23.55
Ryo mengintip dari jendela kamarnya saat deru pelan Picanto hitam berhenti di depan gerbang
rumahnya. Pemuda bertubuh cukup tinggi keluar dari pintu pengemudi, lalu memutar dan membukakan
pintu penumpang. Ryo sudah tahu siapa sosok yg akan keluar dari sana. Sosok yg masih
menghantui sudut pikirannya.
Shilla sudah tidak mengenakan gaun cantiknya. Sebagai gantinya, dia mengenakan blus biru
muda dan celana jins yg dipakainya pagi tadi. Meski make up-nya sudah dihapus, rambutnya
masih terkucir tinggi ke atas.
Manis. Ryo lagi2 harus mengakuinya.
Kini Ryo harus menahan amarahnya kuat2. Saat melihat pemuda yg tak dikenalnya itu memeluk
Shilla dengan satu tangan (pelukan sahabat bagi orang normal yg melihatnya, tapi hati Ryo yg
diliputi kecemburuan tidak bisa menerimanya), berbisik pelan, dan menepuk puncak kepala
gadis itu. Dan Shilla tertawa! Tertawa karna pemuda itu atau karna pelukannya" Ingin sekali Ryo
memutilasi tangan pemuda asing di bawah sana.
Shilla baru pulang karna tadi harus membantu Ifa membereskan beberapa hal kecil. Untung Patra
-yg rumahnya searah- bersedia mengantarkannya, larut malam begini.
Patra memutuskan mentransfer sedikit atmosfer hangat menenangkannya dengan satu pelukan
kilat pada Shilla. "Jangan sedih lagi... atau gue kutuk si Ryo nanti," ancamnya, lalu menepuk puncak kepala gadis
itu. Shilla tertawa kecil, lalu melambai pada Picanto hitam yg semakin menjauh. Shilla berhenti
tertawa. Rasa berat kembali melandanya. Entah karna lelah atau karna hal lain. Ia baru ingat
belum sempat membicarakan kelanjutan kisah itu, kelanjutan tentang hati dan perasaannya yg
belum terpecahkan. Omong2 perasaan, Shilla mendapat pikiran aneh bahwa seseorang memperhatikannya, saat ia
memasuki gerbang. Ia mengedarkan pandangan sekilas, lalu mendongak ke arah kamar Ryo.
Tertutup tirai, tentu saja. Dan hatinya pun kacau lagi. Aku nggak suka pada Ryo, KAN" ia
bertanya-tanya. Shilla mendesah pelan.
Ryo menghela napas lamat2. Tidak menyadari Shilla bisa saja mendapatinya sedang mengintai,
seandainya ia menutup tirai tiga detik lebih lambat. Shilla... tertawa karna sosok lain... bukan
dia... Ryo diam mematung. Apakah memang tidak ada lagi atau memang tak pernah ada
tempatnya di hati Shilla"
Ryo berpikir sejenak. Tapi, bagaimana bisa ia menyerah kalau ia saja belum sepenuhnya
berjuang" Kenapa ia tidak mencoba saja agar Shilla membalas perasaannya"
Pagi lagi. Shilla sudah bangun sejak pagi buta, membantu Bi Okky. Menggantikan waktu
seharian kemarin, saat ia sama sekali tidak bekerja.
Shilla sedang berada di ruang tamu, mengelap meja panjang kaca di sana, saat ponselnya
berdering menandakan ada pesan baru yg masuk. Dari Patra. SMS aneh disertai lelucon paginya
yg menyejukkan. Shilla tertawa kecil. Ia tidak sadar Ryo baru saja turun dari tangga dan
memperhatikannya. Ryo menatap Shilla yg sedang tersenyum-senyum sendiri. Dia tahu pasti ini berhubungan dengan
cowok kemarin. Bahaya. Siaga satu. Cowok itu semakin memperbanyak rekor membuat Shilla
tersenyum. Kalau dipikir-pikir, Shilla hanya menampakkan wajah manyun yg lucu kalau bersama dirinya.
Biarpun lucu, itu manyun, bukan tersenyum. Kacau.
Shilla menunduk pelan saat menyadari Ryo memperhatikannya dengan tatapan penuh arti, "Pagi,
Tuan," cicitnya. Entah kenapa, kali ini Ryo tidak menjawab. Ia hanya mendesah saat menyadari ancaman sosok
Patra begitu kuat, memicunya untuk bergerak. Tapi dengan cara biasa tentu takkan menghasilkan
apa2. Jadi, apa... yg harus ia lakukan"
Patra terrenyum ceria walau tak tahu apa yg membuatnya begitu senang. Ia mengetukkan jemari
ke setir Picanto-nya. Menunggu di seberang gerbang hitam menjulang mengerikan ini.
Menunggu Shilla.
Love Command 1 The First Fall Karya Janice Nathania di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Patra meraih ponsel di dasbor. Mencari satu nama di daftar kontaknya lalu menyentuh tanda
"yes" di layar ponselnya.
Tuut... tuut... Terdengar nada sambung, lalu terdengar suara samar gadis manis yg baru
dihafalnya semalaman tadi.
"Halo..." "Halo?" sapa Patra... hening sejenak... tuut... tuuut... hah" Patra menatap ponselnya heran... kok
udah ada yg jawab masih ada nada sambungnya"
Seseorang tiba2 mengetuk kaca jendela pintu penumpang. Shilla.
Patra tertawa, ternyata gadis yg baru saja akan diteleponnya, sudah berada di sisi lain mobilnya.
Ia pun membuka kaca jendela otomatis dan tersenyum. "Masuk."
Shilla menurut dan masuk melewati pintu penumpang. Ia tersenyum dan menatap Patra.
"Sebenernya kamu nggak perlu repot2 anter aku."
Patra menggeleng-geleng, seakan hal yg diucapkan Shilla salah besar. "Mumpung searah,"
jawabnya. "Berangkat sekarang?"
Shilla mengangguk pelan. Patra baru saja memutar balik mobilnya, saat gadis di sebelahnya tiba2 menjerit pelan, "Buku
agendaku..." Patra menggeleng-geleng lagi. Menghentikan mobilnya tepat di depan gerbang hitam itu, karna
ia sudah memutar balik. "Cepet sana... Takut macet..."
Shilla mengangguk cepat dan bergegas melangkah melalui gerbang, yg kini tertutup lagi.
Patra sedang mengetuk-ngetukkan jarinya ke setir saat tiba2 pintu gerbang yg berada tepat di
samping mobilnya membuka otomatis. Sebuah sedan melaju cepat, hampir menabrak mobilnya.
Mobil Ryo berdecit nyaring akibat usahanya mengerem mendadak. Untung, ia belum melajukan
sedannya dengan kecepatan "normalnya".
Picanto sialan... rutuk Ryo dalam hati. Ia menekan klakson menahan amarah, bertanya-tanya
siapa pemilik mobil yg masih tak bergerak, menghalangi jalannya.
Sekelebat bayangan menarik perhatiannya. Shilla datang terengah-engah lalu masuk ke Picanto
itu, tidak menyadari Ryo berada di dalam sedan yg dilewatinya, tidak menyadari kejadian nahas
bisa saja menimpa Picanto yg baru saja dinaikinya.
Tunggu, tunggu... Ryo menyipitkan mata.
Oh, oh... Ryo baru menyadari mobil siapa di depan mobilnya. Ryo tersenyum kecut. Boleh juga
membuat Picanto hitam mengilat di depannya ini lecet sedikit. Ryo mulai menginjak gas
mobilnya, spidometer bergerak naik, dan... tepat saat itu Patra melajukan mobilnya, hanya
beberapa meter ke depan, menyisakan beberapa puluh sentimeter sehingga bagian kanan
mobilnya tidak "tercium" moncong mobil Ryo.
Sial. Ryo mencibir lalu membanting setir, membiarkan jarum spidometer tetap naik dan
mebiarkan mobilnya meraung menjauhi Picanto milik Patra yg berjalan santai.
Shilla menatap Patra ngeri. Baru sadar kemarahan yg terjadi dari pengendara sedan itu. Ryo.
Kenapa Ryo semarah itu" pikir Shilla. Oh, tentu saja karna temperamen Ryo yg memang tinggi.
Bukan karna dirinya. Astaga, memalukan sekali dirinya berpikir dia penyebab kemarahan Ryo.
Ia tidak seberharga itu. Shilla sibuk dengan pikirannya sendiri, hingga tidak menyadari Patra tersenyum kecil melihat
Ryo meraung marah tadi. Awal yg aneh... dan provokasi yg cukup baik.
Patra sudah memutuskan sesuatu sejak tadi malam. Dan apa pun jalannya, ia harus
menggenapkan keputusannya. Ini menyangkut gadis di sebelahnya.
Bab 13 LUKA, LUKA, LUKA... Diulangnya ribuan kali hingga kata itu tak lagi bermakna... Dan ketika
rasa itu mulai bernama... Mana yg harus dipilihnya" Mengungkapkannya" Atau sanggupkah ia
melepasnya" Sebuah Picanto hitam merangkak pelan, seiring alur kemacetan petang kota Jakarta yg menggila.
Patra menghela napas panjang, lalu menginjak rem. Menyesali kebodohannya memilih jalan
besar sebagai rute pulang. Padahal ia tahu beberapa jalan tikus yg bisa ditempuhnya dari tempat
Shilla tinggal. Ya, Shilla. Patra hampir terkejut menyadari dampak nama itu pada kecepatan detak jantungnya
belakangan ini. Menyadari dampak suasana hati yg terbawa ke mana2 hingga mamanya bertanya
ada apa dengan dirinya. Beliau khawatir anaknya memakai narkoba atau barang apa hingga terus
tersenyum seperti orang gila.
Patra hampir tertawa lagi, lalu tiba2 menyadari bagaimana orang luar melihat dirinya. Mungkin
dia memang aneh. Patra menggaruk kepalanya yg tidak gatal lalu menatap jok di sebelahnya. Jok
yg diduduki gadis yg menghantui sudut pikirannya selama hampir tiga minggu terakhir.
Hampir tiga minggu setelah pesta Ifa berakhir. Hampir tiga minggu sejak pertemuan pertama itu.
Hampir tiga minggu Patra bersedia mengantar-jemput Shilla (mengabaikan ejekan Ifa dan Devta
seputar "sopir pribadi"). Hampir tiga minggu ada yg slalu tertawa di sampingnya.
Tapi... Patra mulai berpikir... serenyah apa pun tawa itu, ia takkan pernah melupakan saat2
hening yg sebenarnya jarang terjadi, namu selalu sangat mencemaskan jika berlangsung. Saat
Shilla menatap ke luar jendela, entah menatap apa. Tatapan yg selalu mengingatkan Patra air
mata Shilla, yg jatuh pada hari yg bersamaan dengan pertemuan pertama mereka. Patra tidak
perlu penjelasan mendetail untuk tahu siapa yg sedang direnungi Shilla.
Sesungguhnya pula, hampir tiga minggu sudah Patra menyayangi gadis itu.
Patra memejamkan mata sejenak. Ingatannya melayang pada penjelasan-mendetail-yg-tidakperlu-karna-Patra-sudah-tahu yg dikisahkan Shilla suatu saat. Penjelasan gadis itu tentang siapa
yg mengusik perasaannya, membuat hatinya berteka-teki tak pasti, teka-teki yg tak mampu
diurainya sendiri. Ryo. Juga siapa yg membuatnya bisa berpikir seperti itu. Orang lain bernama Bianca.
Entah Shilla terlalu naif atau sedang berusaha membohongi dirinya sendiri. Seharusnya orang
paling bodoh pun tahu apa yg sedang Shilla rasakan sebenarnya.
Patra tidak menanggapi saat Shilla bercerita tentang Ryo. Ia tidak mau menjawab dan tidak
berharap dimintai jawaban. Setengah dirinya ingin berteriak agar gadis bodoh yg disayanginya
itu menyelesaikan teka-tekinya sendiri. Namun setengah dirinya yg lain juga berbisik, berharap
dalam gelap, agar Shilla tak perlu mengurai teka-teki dan perlahan melupakan perasaan itu karna
kehadiran Patra. Sebetulnya Patra tahu, sadar atau tidak, hanya Ryo yg ada di hati gadis itu.
Patra menghela napas, terusik kebisuan yg terlalu mencekam. Ia memutuskan menyalakan radio.
Hela napasnya merileks, mendengarkan penyiar favoritnya bercuap-cuap mengenai gosip salah
satu penyanyi muda Amerika yg sedang naik daun, Taylor Swift.
"Anyway... daripada gue ngomongin gosip mulu ya bo, mending gue puterin salah satu lagu
favorit gue dari si eneng ini. Check it out. 'Invisible' from Taylor Swift... Stay tune on one-o-one
point forty five, Truk FM..."
Suara bawel si penyiar mulai mengecil seiring intro lagu yg berkumandang. Patra mengetukkan
jarinya ke setir. Ia belum pernah mendengar lagu si penyanyi blonde yg ini.
Patra berusaha membunuh kebosanan menunggu kemacetan dengan mencoba menyerapi isi
lagunya dan tercekat saat mendapati bagian akhir refrain yg jika diubah gender subjeknya akan
sesuai dengan keadaannya kini.
"...he never gonna love you like I want to...
You just see right through me...
But if you only knew me...
We could be a beautiful miracle, unbelievable
Instead of just invisible..."
Invisible. Patra mendecakkan lidah. Begitukah dirinya sebenarnya selama ini" Invisible" Tidak terlihat"
Tidak terlihat bahkan saat ia hanya berada seembusan napas dari Shilla" Tidak terlihat bukan
dalam arti fisik... Lalu dia apa" Semacam bayangan yg bisa berbicara"
Pikiran getir Patra dipecahkan bunyi menjerit-jerit di sebelahnya. Patra meraih ponselnya lalu
menekan tombol "yes".
"Yo-a. Kenapa, Raf"... Iya, lagi di jalan... Iye, napa?" Patra sempat heran kenapa ketua OSIS
sekolahnya menghubunginya tiba2. "Oooh... mau survei" Gue ikut" Hmm... Ke mana"
Cimacan"... Buset... Trus kumpul jam berapa" Lima" Pagi"... Oh, ya udah... Yok, bye..."
Patra memutuskan pembicaraan, lalu meletakkan kembali ponselnya. Ia menghela napas. Baru
saja, Rafki -ketua OSIS rekolahnya- mengajaknya (sekaligus meminjam mobilnya) menyurvei
lokasi perkemahan sehari untuk kegiatan sekolah mereka di daerah Jawa Barat, besok pagi.
Berarti... pikir Patra, sambil melajukan mobilnya perlahan, besok gue nggak bisa menjemput
Shilla. Patra mendesah. Mungkin ada baiknya ia absen sehari saja dari hadapan Shilla. Mungkin tak ada
salahnya berharap dengan ketidakhadirannya, Shilla bisa melihatnya secara jelas.
Karna mungkin, simpul Patra, tak selamanya kehadiran fisik, membuat orang lain menyadari kita
ada. *** Shilla berada dalam cermin hingga Ryo tak bisa meraih gadis itu. Gadis itu berada di dunia
bayangan, sehingga Ryo hanya bisa memandanginya dari kejauhan, dan tidak bisa berbuat apa2.
Sikap Shilla yg menjauhinya seakan ia sakit kusta, membuat Ryo terpaksa menelan
kekecewaannya akan kenyataan bahwa ada seseorang yg sedang berusaha menggapai gadis
bayangannya dan hampir mendapatkannya. Dan ia pun tahu orang itu juga berada dalam dunia
yg sama, dunia dalam cermin, berada satu frame dengan gadis bayangannya. Sementara ia
berlakon sendiri, memelototi dari dunia nyata. Dan tidak bisa berbuat apa2.
Ryo berusaha bersikap tenang walau sebenarnya ia ingin sekali melindas Picanto hitam sialan itu
sekaligus pemiliknya dengan tank baja. Terkadang memandangi secara nyata pun cukup sulit.
Ryo terlalu takut melihat penolakan di mata Shilla. Tidak, setelah cukup banyak penolakan
dalam hidupnya. Maka ia pun harus rela mengintip diam2 dari balik tirai, mencuri dengar dari pembicaraan orang
lain tentang sosok bayangan itu. Ia juga berusaha keras mengabaikan kenyataan bahwa Shilla
selalu menatap nanar ke arah Picanto hitam yg menjauh setelah mengantarkannya, membuat Ryo
ikut ketar-ketir setengah mati sesudahnya.
Menyedihkan, tapi itulah konsekuensinya. Seperti tema film klise remaja Amerika yg bertahuntahun menggentayangi Hollywood, Ryo menjadi seperti sosok yg jatuh cinta diam2 dan tidak
bisa berbuat apa2. Tapi mungkin ada yg berbeda pagi hari itu. Ryo turun dari kamarnya, agak bergegas karna Tag
Heuer di tangannya sudah menunjukkan pukul 06.20. Kemacetan pagi Jakarta akan sama
"ramahnya" seperti saat petang.
Ryo menghampiri ruang makan, tahu tiap pagi Bi Okky pasti menyiapkan roti dengan selai
sarikaya dan segelas susu putih untuknya. Ryo tidak duduk. Ia menyambar rotinya dan
mengunyah cepat, tak sengaja mendengar beberapa pelayan tampak berkasak-kusuk sambil
mengelap lukisan di ruang makan. Pemuda itu memutar bola mata.
"...Iya tuh, tumbenan dia nggak dijemput sama yg naik mobil itu... Trus tadi dia bangun telat,
pula... Katanya bekernya rusak... Ih, alesan," bisik seorang pelayan dengan agak sinis pada
temannya. Ryo merasa tahu siapa yg mereka bicarakan. Ia berusaha mengunyah sewajar mungkin sambil
mencuri dengar. "...Mungkin emang beneran rusak jamnya..."
"Aaah... Dia itu mah dari dulu kebanyakan dimanjain sama Tuan Arya," sahut pelayan tadi.
Tiba2 Ryo merasa perlu membersihkan tenggorokannya. Ia berdeham, membuat kedua pelayan
itu terlonjak kaget. "Pa... pagi, Tuan," sapa kedua pelayan itu.
Ryo melotot, lalu berkata tajam, "Pagi2 ngegosipin orang..." Ryo pun berlalu dari ruang makan
sambil berpikir. Jadi... si Petra, Petro, atau siapalah itu namanya tidak menjemput Shilla hari
ini... hmm.. Dia ingin tahu kenapa...
Ia terlalu sibuk berpikir sehingga tidak menyadari saat meraih pegangan pintu utama, ada tangan
lain yg juga sedang menggapainya.
Pandangan Ryo dan Shilla bertemu. Shilla sempat melotot kaget saat mendapati tangan siapa yg
dipegangnya. Ia lalu melepas tangannya dan memelototi lantai.
Sementara Ryo hanya terdiam. Belum benar2 memikirkan bagaimana cara membuktikan
kesungguhannya. Sebenarnya ia pun belum siap terlibat kontak lagi dengan gadis ini. Selama
beberapa menit, hanya ada kebisuan. Mereka mematung di tempat. Tidak tahu mau berbuat apa.
Ryo gatal ingin mengatakan sesuatu. "Lo telat." Shilla menoleh lagi ke arah Ryo, melongo, lalu
memelototi lantai lagi sambil mengangguk mendengar pertanyaan Ryo.
"Kenapa?" tanya pemuda itu ingin tahu, sedikit geli melihat Shilla sepertinya ingin sekali
mencari cara untuk cepat2 kabur darinya.
"Mmm," gumam Shilla pelan, "beker saya mati."
"Oohh... bukan karna nungguin cowok lo yg nggak dateng2?" sindir Ryo, tidak bisa menutupi
kesinisan dalam pertanyaannya.
Gadis itu melengos pelan. Ryo bisa mendengar Shilla berkata sesuatu seperti "macan" dan
"survei". Ryo mengangkat bahu sok tak acuh, padahal ia ingin tahu apa maksudnya macan2 itu.
Ya, dia tidak boleh terlalu berharap bahwa maksud Shilla adalah si-potong-bebek-angsa-itu
ditelan macan. Itu akan terlalu indah untuk jadi kenyataan.
"Mau ikut gue?" tanya Ryo, kali ini memutuskan bersikap wajar, bahkan menjurus ketus.
Pikirnya mungkin, akan lebih mudah Shilla mendekat padanya lagi asal ia tidak terlihat terlalu
tertarik. Shilla terkejut sekilas memandang pemuda itu. Ah, Ryo suka sekali melihat mata bening Shilla
membelalak seperti sekarang.
"Gue nggak ada maksud apa2. Gue cuma nggak mau Arya nyesel udah nyekolahin elo karna elo
telat," kata Ryo, sebenarnya agak terganggu mebawa-bawa nama kakaknya dalam urusan ini.
Shilla berdalih, "Bukan karna itu... Saya nggak mau Bianca berpikir macam2..."
Sial. Kenapa pula gadis ini membawa-bawa ratu mulut cabe itu" Senjata makan tuan, rutuk Ryo
diam2. "Nggak usah bawel. Gue tunggu lo di depan," kata pemuda itu akhirnya, mendahului Shilla
menuju halaman depan tempat sedan andalannya terparkir.
Shilla membelalakkan mata sepanjang perjalanan, terkadang melirik cepat ke arah Ryo di
sebelahnya. Ia benar2 tidak memercayai apa yg terjadi. Bagaimana mungkin dia bisa berada
semobil dengan Ryo yg seharusnya terus ia hindari" Dan bagaimana mungkin hatinya mulai
bertalu-talu lagi, kembali menimbulkan teka-teki itu ke permukaan"
Shilla menyadari benar perbedaan berada semobil dengan Patra dan Ryo. Berada semobil dengan
Patra berarti ceria, tertawa karna lelucon2 anehnya yg tak ada habisnya. Berada semobil dengan
Ryo berarti ketegangan. Shilla bahkan segan mengeluarkan suara sekecil apa pun. Yg jelas, kalau
berada semobil dengan Patra jantungnya tidak akan berdetak melebihi batas kewajaran begini.
Shilla berusaha menetralisir ketegangan dengan cara memuntir-muntir kuciran biru
kesayangannya yg ia bawa dari Desa Apit. Ikat rambut yg sudah menemui ajalnya tadi pagi.
Selain bekernya rusak, Shilla menyadari bahwa ini bukan hari terbaiknya, karna kuciran
kesayangannya itu ditemukan tergeletak tak bernyawa alias putus dengan sentosa. Ia terpaksa
menggunakan karet dapur berwarna cokelat agar rambutnya tidak terurai ke mana2.
Mereka terjebak lampu merah. Shilla menarik napas pelan. Memusatkan pikirannya pada kuciran
birunya, daripada memikirkan pemuda di sebelahnya. Mungkin juga dengan berkonsentrasi
kucirannya bisa kembali tersambung. Abakadabra.
"Itu apa?" tanya Ryo heran, melihat benda berbulu di tangan Shilla.
"Kuciran saya," cicit gadis itu pelan, masih menatapi ikatan rambutnya.
"Kenapa lo pegangin?" Ryo menggerakkan matanya, melirik rambut Shilla yg terkucir rapi.
"Karet dapur?" tanyanya tak percaya.
Shilla cuma diam. Tidak ada gunanya deh Ryo bicara, malah mencelanya. Shilla akhirnya
mengangkat bahu. "Kuciran saya putus..."
Ryo mengangkat alis mendengar jawaban Shilla. Beker mati, hampir terlambat sekolah, kuciran
putus. Sial sekali gadis di sampingnya itu. Hei, tapi... bukannya gue bisa... Ryo berpikir sejenak.
Saatnya pergi ke pusat perbelanjaan hari ini.
*** 1 Message Received Shil, ntr plg gue jmpt lo ya see you soon...
Sender: Patra 14:45 Shilla membuka laci di meja sekolahnya, melirik sebentar ke arah Mr. Joe yg sedang
menjelaskan materi dengan berapi-api di papan tulis. Ia mendengar bunyi getaran teredam dan
mendapati SMS dari Patra. Shilla tersenyum sendiri, menyadari bahwa ia sedikit merindukan
Patra dan aura hangat yg dibawa pemuda itu. Saat itu juga, Shilla mendengar dehaman dari
belakangnya. Gadis itu mendelik ke belakangnya, lalu baru teringat siapa yg duduk di belakangnya. Jelas Ryolah yg berdeham tadi. Ia langsung menatap ke depan lagi, karna Ryo kali ini hanya menatapnya
tanpa ekspresi, seakan dia gila. Shilla berusaha melupakan detak jantungnya yg memburu itu
dengan cara membuka SMS terakhir dari Patra, lelucon hariannya, membuat Shilla tersemyum
sendiri lagi. Shilla terus melihat ke arah jam dinding, berharap pelajaran Mr. Joe segera berakhir. Lima
menit... sepuluh menit... lima belas menit... Akhirnya bel pun berdering. Tak lama setelah Sir Joe
beranjak, Shilla mencium kelebatan wangi yg familier. Ternyata Ryo baru saja melesat ke luar
pintu. Shilla mendesah, menyadari ternyata ia masih bereaksi pada wangi itu.
"Shil, gue pulang duluan, ya?" tanya Ifa.
Shilla mengangkat wajahnya. "Lho, tumben, Fa" Biasanya mau ketemu Patra dulu?"
Ifa tersenyum. "Bosen ah, ketemu di melulu."
"Gue juga duluan ya, Shil... Nyokap mau belanja bulanan... Biasaaaa... Gue titip salam buat sopir
lo deh," kata Devta lalu tertawa. Shilla menjulurkan lidah, kesal karna ledekan harian Ifa dan
Devta yg itu2 aja. "Daaah," kata Devta, menepuk kepala Shilla lalu beranjak ke luar pintu.
Tanpa disadari, Shilla kini sendirian di dalam kelas. Ia menghela napas sebentar lalu perlahan
memutar tubuhnya ke belakang. Menatap bangku dan meja Ryo, mau tak mau memikirkan
penghuninya. Shilla lalu bertopang dagu, menumpukan sikunya di meja Ryo.
"Ucapan Bianca itu nggak bener, kan?" tanya Shilla. "Nggak, kan?" ulangnya, setengah
memaksa. Shilla menghela napas, lalu mengambil ponselnya yg ia sadari bergetar di sakunya.
1 Message Received Touchdown... ayo turun, Neng!
Sender: Patra 15:07 Shilla tersenyum lalu bergegas turun melalui lift. Ia tersenyum lagi saat mendapati Picanto hitam
terparkir di depan gedungnya. Shilla melangkah ringan dan mengetuk kaca jendela penumpang.
Patra membuka kaca jendela, lalu tersenyum mendapati Shilla yg tersenyum juga.
"Langit bertanya... di mana Matahari hari ini" Mengapa awan yg seharian menggelayutiku dan
membuat semuanya kelabu?" kata Shilla besajak.
Patra menanggapi. "Matahari sudah kembali dari persembunyiannya... untuk menghibur sang
Putri Langit yg ikut bermuram, katanya."
Shilla tertawa, lalu membuka pintu mobil Patra dan masuk. Patra menoleh ke arah Shilla. "Oke,
sejak kapan gue jadi Matahari?"
Love Command 1 The First Fall Karya Janice Nathania di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Gadis itu lalu tertawa geli. "Sejak kapan aku jadi Putri Langit?"
Patra menjawab tanpa sadar, "Mungkin sejak kita ketemu..."
"Hmm?" Shilla tampaknya tidak mendengar ucapan Patra yg menyerempet itu, karna ia sedang
memelototi strip obat berwarna perak-hijau yg tergeletak di dasbor mobil Patra.
"Kamu punya penyakit maag?" tanya Shilla, mengambil strip itu lalu menoleh ke arah Patra.
Patra hanya tersenyum dan mengangkat bahu.
"Kayaknya gitu... gue kan kalo makan agak nggak teratur. Makan pagi juga jarang," sahutnya
jujur sambil menstater mobilnya.
Shilla berpikir sejenak. "Jarang makan paginya baru2 ini atau...?"
Patra tahu kecemasan yg melayang di benak gadis baik seperti Shilla. "Gue emang dari dulu
jarang sarapan kok, karna memang nggak sempet..."
"Oooh," sahut Shilla akhirnya, tiba2 jadi memikirkan jarak dari daerah rumah Patra ke tempatnya
tinggal. Memang searah sih, tapi... jam berapa dia harus bangun setiap hari" Berapa lama yg
dibutuhkannya untuk bersiap-siap hingga tak sempat menyentuh sarapan" Hmm... Patra slalu
baik padanya, mungkin tak ada salahnya, walaupun tak seberapa, kalau ia melakukan sesuatu
untuk Patra. Sandwich. Shilla memutuskan membuat sepotong sandwich untuk Patra. Mungkin sederhana dan
tidak seberapa. Tapi sebenarnya cuma ini menu sarapan yg bisa ia buat dan tidak perlu
menimbulkan grusak-grusuk berisik saat prosesnya.
Keesokannya, gadis itu berniat membuat sarapan itu pagi2 sekali di pantry, dapur bersih yg
terletak di sebelah kamar Arya, di seberang kamar Ryo di lantai atas. Sambil membawa bahan2
yg sudah ia siapkan di wadah Tupperware besar, Shilla melangkah perlahan menaiki tangga,
berusaha tidak menimbulkan suara.
Entah kenapa, langkah Shilla sempat terhenti di depan pintu bertuliskan "ENTER WITH YOUR
OWN RISK!" yg terletak di seberang pantry yg ditujunya. Ia menghela napas panjang,
memandangi pintu yg pernah membuat pipinya memerah itu. Ia lalu melangkah gontai ke pantry
dan mengeluarkan bahan2 dari Tupperware yg dibawanya.
Shilla menyadari apa yg ia lakukan tadi membuat dirinya resah sendiri. Membayangkan Ryo
hanya sejauh itu dan... Shilla mendesah, ia mulai menggoreng daging asap yg dibawanya di
wajan. Bunyi berdesis dan letupan minyak membuat pikirannya teralih. Dan ia cukup senang
akan hal itu. Ia tidak mau memikirkan Ryo, tapi masalahnya, otaknya tak mau diajak
berkomplot. Shilla mengetuk-ngetukkan jarinya ke dahi. Berharap dengan berbuat begitu bisa
menghilangkan bayangan Ryo di benaknya.
Sementara Shilla sudah hampir menyelesaikan bekalnya dengan cara "mencoret" bagian atas
sandwich dengan saus sambal, menulis huruf2 yg pasti akan membuat Patra tertawa ketika
melihatnya, ternyata Ryo sudah bangun dari tidurnya.
Ryo sedang menikmati kelancaran internet pagi hari dengan mengunjungi beberapa situs musik
favoritnya. Saat ia sedang mengunduh musik gratis yg tersedia di salah satu situs, layar PC-nya
bergetar, ternyata Arya mem-buzz Yahoo! Messenger-nya.
Arya78: BUZZ!!! Ryo_Luzardi:" Arya78: Yo" Ryo_Luzardi: Hah" Arya78: Kok lo udah bangun" Di sana masih jam brp"
Ryo_Luzardi: Lah, lo sendiri blm ngorok" Di sono jam brp"
Arya78: Kok pertanyaan gue malah dibalikin"
Ryo_Luzardi: Ngapain coba, Kak, kita nge-chat nggak jelas gini"
Arya78: Kangen juga gue ngejitak pala lo, Yo...
Arya78 is writing a message...
Baru sekali ini sejak berbulan-bulan Arya pergi, mereka bisa berkomunikasi lewat chatting.
Sebelumnya mana pernah jam melek Arya dan jam melek Ryo bertemu.
Arya78: Di sono subuh, ya"
Ryo_Luzardi: Yoa. Arya78: Lo nggak niat nge-chat ama gue apa gimana sih"
Ryo_Luzardi: Lagi ngantuk gue...
Arya78: Ya tidur dong... repot bener.
Arya78: Mending lo bantuin Shilla beberes dapur sana...
Deg. Ngapain juga si Arya bawa2 nama Shilla" Keki juga Ryo menyadari Arya ternyata masih
mengingat Shilla. Hei, tapi...
Ryo_Luzardi: Dari mana lo tau Shilla lg beberes dapur"
Arya78: Ya tau aja, hahahaaha...
Jangan2... pikir Ryo... mereka masih rutin berkomunikasi, lagi.
Arya78: Woi, kok diem" Gue ngasal, lagi... gue udah jarang komunikasi sama dia kok.
Ryo_Luzardi: Oh... trus gue peduli, ya"
Arya78: Hahaha... Ryo_Luzardi: Knp ketawa"
Arya78: Hmm... have you...
Ryo_Luzardi: Apaan sih"
Arya78: Fallen for her"
Ryo_Luzardi: Bkn urusan lo...
Arya78: Hahahaa... Ryo_Luzardi: Tau deh ah... gue off dulu.
Arya78: Lari dari kenyataan nggak akan nyelesaiin masalah, Yo... Hadepin aja perasaan lo...
Ryo_Luzardi has signed off.
Ryo mengetuk-ngetukkan jari ke meja, melirik kata2 yg sempat diketik Arya. Ia menghela napas,
melihat ke arah jam di bagian kanan bawah layar lalu mematikan PC-nya. Matanya tertumbuk ke
bungkusan biru yg kini bertengger di seberang sana, di nakas.
Ryo beranjak dari meja belajarnya dan menaiki undakan ke tempat tidurnya. Mengambil
bungkusan biru yg berisi dua benda yg baru dibelinya kemarin. Benda yg satu tidak sulit
didapatkan, karna ada di mana2, di warung, supermarket semua ada. Yg satunya lagi, sebenarnya
pun tidak sulit didapat, tapi ada proses memalukan yg harus dilaluinya. Dipandangi ibu2 kelewat
gaul, gerombolan cewek yg terus cekikikan, dan pelayan toko berbando kuping kelinci bukan hal
yg menyenangkan, tahu. Tak lama ia terdiam, telinganya mendengar bunyi akrab dari luar. Itu suara yg biasa didengarnya
saat Arya kelaparan dan memutuskan membuat makanan cepat saji. Di pantry. Ryo mengerutkan
kening, Arya jelas2 masih di Paris. Masa sih celetukan Arya benar" Ada Shilla di sana"
Ia melangkah cepat menuruni undakan, bergegas ke pintu dan mengintip dari celahnya. Pintu
pantry tertutup dan ia memang mendengar bunyi sedikit berisik dari sana. Ryo hampir
merapatkan kembali pintu kamarnya saat melihat pintu pantry terbuka, lalu Shilla keluar dari
sana, setengah berlari menuruni tangga, meninggalkan pintu pantry setengah terbuka.
Ryo mengerutkan kening lagi. Kok Arya bisa bener begitu" Hei, Shilla meninggalkan pintu
pantry setengah terbuka. Berarti mungkin, dia akan kembali ke sana. Ryo memandangi
bungkusan di tangannya dan tersenyum lebar. Ia tahu cara memberikan benda2 ini pada Shilla
tanpa terlihat. Ryo jadi tersenyum-senyum lagi mengingat kejadian kemarin, sambil melangkah pelan menuju
pantry. Ia merindukan ekspresi itu dan akhirnya melihatnya lagi kemarin di kelas. Shilla
mendelik kesal yg terlihat sangat lucu di matanya. Lalu, setelah itu, ia melihat Shilla tersenyum
diam2 memandangi lacinya. Jelas, Shilla tidak tersenyum karna laci itu bermain sirkus di depan
matanya, kan" Salahkah ia berharap, Shilla tersenyum diam2 untuknya" Setelah melihatnya"
Ryo terus tersenyum sambil memasuki pantry. Aroma daging asap menyeruak dari sana. Ryo
mengangkat bahu tak acuh, memikirkan di mana ia meletakkan bungkusan itu agar terlihat
Shilla. Ryo melongok ke arah piring sandwich dengan olesan saus sambal acak-acakan yg
terletak di meja seberang pintu. Mungkin di sana saja, pikirnya.
Ryo melangkah pelan menuju ke samping piring itu, lalu baru menyadari secara jelas nama yg
terukir di atas sandwich, terbuat dari sambal, coretan nama rivalnya, P-A-T-R-A.
*** Shilla bergegas menaiki tangga, ia baru saja dari dapur kotor di bawah untuk mengambil
Tupperware lain yg lebih kecil untuk dijadikan kotak bekal. Saat naik itulah ia mendengar bunyi
berderit pelan. Ia menoleh ke arah pintu jati itu. Kalau kupingnya tidak salah, pasti pintu itulah
yg baru saja ditutup, sehingga menimbulkan bunyi berderit tadi. Sudah bangunkah Ryo" Shilla
menghela napas panjang. Berusaha mengusir keingintahuan itu.
Gadis itu melangkah cepat ke arah pantry. Menyadari waktu sudah menunjukkan hampir pukul
lima pagi. Sebentar lagi aktivitas di sekitarnya akan dimulai. Shilla bersenandung kecil sambil
menuju meja tempatnya menaruh sandwich buatannya tadi. Dahinya mengerut mendapati sebuah
bungkusan asing yg bertengger di sana. Bungkusan siapa ini" Kok ada di sini" Apa isinya"
Akhirnya rasa keingintahuan mengalahkan pertimbangan lain Shilla. Ia membuka bungkusan
biru itu dan terkesiap mendapati benda yg ada di dalamnya. Sepasang baterai jam dan ikat
rambut bulu biru berlabel merek salah satu toko aksesoris remaja. Entah kenapa, di otaknya
hanya terlintas satu nama. Walau mungkin tidak mungkin. Pemilik pintu jati berderit tadi. Ryo.
Bab 14 KESADARAN itu merayap bagai kabut. Bergerak pelahan, lalu tanpa sadar terasa mengaburkan
pandangan. Ini yg Patra rasakan kemudian. Kesadaran yg ia takuti, namun ternyata ia harapkan.
Ia mendapati dirinya sedang menggapai air. Sedetik lalu, ia merasakan Shilla di ujung jari, tapi
sesaat kemudian gadis itu tak di sana lagi.
Patra melirik gadis di sebelahnya. Yg lagi2, entah keberapa kali untuk pagi ini, memandangi
langit cerah di luar dengan kegalauan yg menjadi-jadi. Kegelisahan itu seperti berkedip-kedip
bak mercusuar dari setiap jengkal tubuh Shilla. Pasti ada yg tidak beres.
"Shil?" panggil Patra pelan. Gadis di sebelahnya masih diam, matanya berkedip sekali
menandakan kehidupan sambil tetap memandang ke luar jendela. Patra menghela napas lalu
memanggil lebih keras, "Shil..."
"Hah" Eh..." Shilla agak terkejut mendengar namanya dipanggil. "Sori..."
Patra cuma tersenyum. "Are you really here" Or am I talking to a shadow?" Patra menggerakgerakkan sebelah tangannya iseng ke depan wajah gadis di sebelahnya, seakan mau meyakinkan
bahwa Shilla benar2 di sebelahnya. Ulahnya itu akhirnya membuat Shilla tertawa kecil. Diam2
Patra menghela napas lega.
Patra menatap Shilla lekat2. "Jujur, ya... elo lagi kenapa sih?"
Shilla mencubit-cubit pipinya, lalu membuang muka ke depan. Gadis itu tidak menjawab hingga
akhirnya menepuk dahi dengan tangan, seakan melupakan sesuatu. Lalu merogoh ranselnya.
"Tadaaaaa..." Shilla menyodorkan wadah Tupperware ke depan wajah Patra saat lampu lalu
lintas berubah merah. "Apaan nih?" tanyanya. Ia mengambil lalu membuka tutup kotak yg disodorkan Shilla dan
mendapati... sepotong sandwich dengan coretan nama P-A-T-R-A di atasnya. Ia tersenyum
cerah, memutar kepalanya ke arah Shilla dan berkata, "Thanks, ya..."
Shilla mengangguk. "Aku bakal bikinin kamu sarapan tiap pagi lho..."
Patra tersenyum, memutuskan menaruh kotak bekal itu di dasbor dan memakannya nanti, karna
lampu sudah berubah hijau. Ia lalu menginjak gas dan berkonsentrasi menyetir. Tak berapa lama,
Patra melirik cepat ke arah Shilla dan mendapati gadis itu tengah melamun lagi.
Patra mendesah. Oke... pikirnya... Mari kita keluar jalur sebentar. Pemuda itu membelokkan
setirnya ke kanan, bukan ke kiri, ke arah sekolah Shilla.
Shilla yg sedang melamun tiba2 tersadar. "Pat" Kita mau ke mana" Ini bukan jalan ke sekolahku,
kan?" Patra tersenyum. "Bukan... Ke sekolah gue juga bukan..."
"Trus?" "Bolos sekali2 itu menyehatkan, tau..."
Jadi, di sinilah mereka. Di kawasan pantai berbatu besar di Jakarta Utara. Bukan. Bukan Ancol.
Patra tidak seperti mas2 yg kebelet pacaran sampai memilih Ancol untuk tempat nongkrong.
Mereka berada di Muara Baru. Kawasan ini sebenarnya tempat pemancingan dan ada kawasan
Pasar Lelang Ikan tak jauh dari sini. Tapi pemandangan pantai Muara Baru cukup bagus dan
belum banyak orang tahu tempat ini, sehingga masih cukup sepi.
"Waah," kata Shilla. Ia bergegas turun dari mobil dan melangkah ke depan beton yg biasa
dijadikan tempat duduk bagi para pemancin. Ia mememjamkan mata dan menghirup wangi asin
yg entah kenapa mengingatkannya lagi pada seseorang yg berada di dekatnya beberapa minggu
lalu. Shilla membiarkan seragam dan rambutnya berkibar-kibar ditiup angin.
Patra melangkah ke sebelah Shilla yg sudah membuka matanya. "Kayak deja vu, ya," kata
pemuda itu, membuat Shilla mengerutkan kening.
Patra memandang ke laut lepas. "Kita ngeliat laut berdua lagi. Bedanya, kita nggak ngeliat laut
dari atas balkon... dan kita sekarang nggak lagi pake baju pesta... tapi..."
"Tapi?" "Tapi hari ini elo sama galaunya kayak waktu gue nemuin lo di balkon itu. Pertanyaannya...
apakah orang yg sama yg bikin lo begini?"
Tatapan Shilla tiba2 mengeras. Ia sebenarnya tidak mau membahas hal ini. Ia menghela napas,
menatap ombak yg bergulung-gulung, lalu menjawab pelan, "Melihatnya... Merasakan
kehadirannya itu semudah menarik napas. Bahkan tanpa mencarinya, aku menemukannya di
mana2. Karna ironisnya, aku tinggal di tempat dia tumbuh..."
Shilla menghela napas lalu meneruskan. "Tapi merasakannya... begitu sulit. Aku mencoba
'merasakannya' saat memikirkannya..." Gadis itu menaruh kedua telapak tangannya di dada.
"Kadang sakit sekali... Di sini... Tapi apa yg sebenarnya aku rasakan" Rasanya seperti ada bagian
puzzle yg hilang. Jika itu dia... Bagaimana jika aku bahkan nggak tau apa perekatnya?"
Saat itulah kesadaran menghantam Patra. Patra menyadari perekat yg dimaksud Shilla. Perekat
yg belum ditemukannya itu adalah teka-tekinya sendiri. Bagi Patra, Shilla sekarang tampak
seperti anak kecil yg bimbang karna tidak tahu bagaimana cara membuat balon menggelembung.
Patra menggigit bibir. Apa yg harus dilakukannya sekarang" Menyadarkan Shilla bahwa
sebenarnya dia sudah memiliki perekat itu" Atau menawarkan Shilla kepingan dan perekat lain"
"Lo tau," kata pemuda itu akhirnya, "alam yg tenang kayak gini, bisa menyimpan apa?"
Patra terus menatap ke depan, ke arah langit, tidak menghiraukan Shilla yg sekarang
kebingungan menatapnya. "Alam yg tenang kayak gini bisa menyimpan badai. Apakah alam pura2 nggak tau badai akan
datang" Atau dia emang nggak ngerti gimana menunjukkannya pada manusia" Atau dia emang
nggak tau sama sekali" Kita nggak akan pernah tau apa yg dipikirkan alam...
"Badai itu kekuatan alam yg dahsyat, kan" Manusia nggak akan pernah tau dengan jelas pemicu
badai sebenarnya. Manusia hanya bisa mengira dengan keterbatasan pengetahuan yg dimiliki,
tapi yg jelas badai itu pasti dan semudah itu dia datang tanpa perlu permisi. Saat badai bisa
dilacak, maka dia pasti bukan badai alam, tapi badai buatan...
"Cuma Tuhan dan badai itu sendiri yg tau kapan dia datang. Alam akan menyadari badai itu pada
waktunya saat dia di depan mata. Entah alam sudah tau atau pura2 tidak tau tentang badai itu,
lagi2 kita nggak akan pernah tau."
Patra kini menyipitkan mata menatap gadis di dekatnya, memuntahkan amunisi finalnya, "Saat
elo mendengar jelas sendiri gemuruh itu di sana," tunjuknya ke dada Shilla, "lo akan sadar bahwa
lo udah tau badai apa itu sebenernya. Jangan biarin ada sekat yg bikin lo buta, saat lo tau badai
itu nyata." Ucapan Patra ini mungkin seperti racauan orang aneh. Tapi sepertinya Shilla menyadari, Patra
membantunya menemukan perekat itu dengan cara memberi petunjuk. Pemuda itu
membekalinya untuk berenang bukan dengan pelampung, melainkan dengan mengajarinya cara
menemukan tepian saat ia akan tenggelam.
Shilla terdiam. Ryo menatap langit2 kamarnya sambil tidur2 ayam di ranjang empuknya. Ia mendesah, berusaha
menangkapi bayangan yg melayang-layang di benaknya, di hatinya, di langit2 kamarnya, di
mana pun ia berada. Cobalah melayang ke tempat lain, Shilla... batinnya. Ryo memukul-mukul udara dengan
tangannya berharap sosok itu bisa menghilang. Uuugh... Kilat di luar mulai menyambar,
tampaknya akan turun hujan sebentar lagi. Hujan biasanya membuatnya mengantuk. Tapi ia
tidak ingin tidur, karna mimpi malah akan membuat gadis itu semakin nyata, dan membuatnya
semakin memikirkan Shilla lebih jelas keesokannya.
Ponselnya tiba2 berbunyi. Ryo bangkit dari ranjangnya, meraih ponsel di meja kecil lalu
bersandar di kepala ranjang dan membuka pesan yg masuk.
Bianca" Yo, lusa temenin aku ke Welcome Home Party-nya papi-mami Aren, ya"
Please please pleaseeeee... I beg you
Sender: Bianca 20:53 Ya Tuhan, betapa ingin Ryo menendang jauh2 cewek yg terus menempel bagai lintah padanya
ini. Dikiranya dengan memasang emoticon sedih begitu, Ryo akan luluh"
Ryo membanting ponselnya ke ranjang, lalu menangkupkan tangan ke wajahnya. Lebih baik
membuat kopi agar tidak jatuh tertidur, atau mimpinya dipenuhi sosok bayangan aneh dan nenek
sihir bermulut cabe. Shilla melangkah ke arah pantry. Ia berniat membuat kopi karna harus begadang menyelesaikan
tugas sekolah yg tidak sempat diselesaikannya sore tadi. Selain itu, kata2 Patra masih terngiang
di benaknya. Patra jelas2 memberinya petunjuk tersembunyi dari perumpamaan badai itu.
Hmm... Tapi yg mana jawabannya" Alam-nya" atau Badai-nya"
Shilla mengerutkan kening saat berjalan mendekati dapur. Ada suara berisik dari sana. Siapa yg
masak malam2 begini" Chef Dave tidak segila itu sampai mengobrak-abrik dapur untuk
bereksperimen larut malam.
Shilla bergidik ngeri. Dia mendengar suara kilat menyambar di luar... Astaga, ia tidak mau ada
adegan film Scream malam Jumat begini. Shilla menelan ludah. Ia tidak berani, tapi terlalu
membutuhkan kopi untuk membuat matanya terjaga.
Kriieeeettt... Shilla membuka pintu dapur perlahan... siapa itu" Dengan setelan hitam begitu"
Ting... ting... ting. Sosok itu sedang mengaduk-aduk sesuatu.
Shilla berjalan pelan, mendekati sosok yg belum menyadari bahwa ia baru saja masuk. Ia
menelengkan kepala, berusaha melihat siapa sosok itu.
Ryo berbalik saat Shilla berada sekitar dua meter di belakangnya. Ia sempat terlonjak, lalu
mengelus dada. Bikin kaget saja.
Tapi, Ryo lagi2 tidak berkata apa2. Ia sedang berusaha mencari creamer agar kopinya tidak
terlalu pahit. Siapa suruh cuma ada kopi hitam pekat begitu di dapur ini" Shilla pun tidak tahu
mau menyapa bagaimana. Ia mengabaikan detak jantungnya yg nakal itu lalu beranjak ke rak
tempat kopi tersimpan. Tinggal satu sachet terakhir.
Sudah berapa lama ia tidak berada satu ruangan dengan Ryo seperti ini" Ryo dan Shilla saling
memunggungi. Masing2 dengan kegalauan sendiri. Tanpa tahu, badai itu akan menghantam
sebentar lagi. Ryo sudah menemukan creamer dan menuangnya, lalu meninggalkan dapur.
Shilla menghela napas, bersyukur wangi Ryo tersamar wangi kopi yg kental, sehingga
jantungnya tidak perlu bertambah keras bekerja. Shilla sudah menuang kopi bubuk ke cangkir
Love Command 1 The First Fall Karya Janice Nathania di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dan berniat menuang air panas saat tiba2 kilat menyambar terlalu keras.
Shilla tersentak, tanpa sengaja lengannya menggeser cangkir kopi hingga jatuh bergulin ke
lantai. Praaaang... Ia refleks berlutut untuk membersihkan pecahan cangkir. Tapi, saat itu, tiba2
lampu dapur berkedip lemah dua kali dan mati. Tidak. Bukan hanya lampu dapur. Semua lampu
di rumah itu mati. Gawat. Pasti kilat menyambar steker atau entah apa sehingga memutuskan arus listrik. Butuh
beberapa saat juga untuk mengaktifkan diesel. Ah... Shilla benci adegan seperti ini. Ia berusaha
menggeser tubuhnya untuk berdiri saat... "Aaaah," ia kontan mengaduh, salah satu pecahan gelas
itu pasti menyobek lututnya. "Ssssss... aaaaahh... au.." Shilla menggeser tubuhnya, berusaha
mundur, mengira-ngira tempat yg tidak terserak pecahan cangkirnya. Gadis itu lalu mengusap
pelan bagian sekitar lukanya. Dia sulit berdiri kecuali...
Sebuah tangan tiba2 meraih tangan kirinya, sementara tangan lain lagi melingkar di
punggungnya, menopangnya untuk berdiri. Ryo memapah Shilla, ia melingkarkan tangan Shilla
yg tadi ia pegangi ke bahunya.
"Bodoh," gumam pemuda itu pelan.
Mendengar suara bariton itu menggelitik telinganya sedekat ini, Shilla tiba2 jadi kehilangan
kata2. Kali ini ia tak bisa berpura-pura menolak lagi. Sesuatu yg memabukkannya, wangi parfum
Aigner maskulin Ryo. Shilla merasakan pipinya memanas dan memerah. Ternyata gelap, sedikit membantu juga.
Menyamarkan agar jangan sampai Ryo tahu ia tersipu.
"Kaki lo luka?" tanya Ryo.
"Aduh..." Setelah ditanya, barulah Shilla merasakan luka di lututnya lagi.
Ryo tertawa tertahan sambil terus memapah Shilla yg terpincang-pincang. Ah, gadis itu ingin
sekali melihat tawa tertahan Ryo itu. Kedengarannya begitu... tampan. Bisakah ketampanan
didengar" Mungkin bisa bagi Shilla yg otaknya sedang bermasalah, diliputi badai pribadinya.
Ryo memapah Shilla ke halaman belakang. Ia menggeser pintu lalu membiarkan Shilla duduk di
teras halaman belakang yg berkanopi sehingga gadis itu tidak terkena cipratan hujan yg
mengamuk di luar. "Tunggu..." Pemuda itu lalu pergi ke dalam lagi, meninggalkan Shilla yg terdiam menatapi
hujan. Shilla memandangi hujan tidak percaya. Ryo. Ryo. Ryo. Kenapa dia yg mengisi benaknya,
menawarkan sesuatu yg tak lagi dapat ditampiknya" Kebaikan Ryo ini. Harum Ryo ini. Badai itu
mulai berarak, siap menunjukkan jati diri.
Pemuda itu melangkah kembali ke hadapannya. Dari luar, masih ada cahaya samar yg dihasilkan
alam. Shilla bisa melihat Ryo membawa kotak P3K dan kopi yg tadi dibuatnya.
Ryo meletakkan cangkir kopinya di meja kecil di pojok teras. Ia lalu berlutut di depan Shilla.
Menarik perlahan kaki Shilla yg luka.
"Aah," kata gadis itu pelan.
Ryo mengeluarkan kapas dan meneteskan alkohol ke sana. Ia menepuk-nepuk pelan luka Shilla,
mensterilkannya dari bakteri. Lalu Ryo mengoles luka gadis itu dengan ujung cottonbud yg
sudah dibubuhi obat merah.
Pemuda itu mulai meniup pelan luka Shilla lalu membersihkan daerah sekitar luka agar tidak
terlalu kotor dengan cara mengusapnya pelan dengan tisu.
"Sakit, ya?" tanya Ryo, lalu meniup-niup luka Shilla lagi.
Gadis itu seketika terdiam, tidak menyangka Ryo akan mengobatinya begini. Dia tampak manis
sekali. Perlahan Shilla bisa merasakan wajahnya kembali memanas, ia pun menunduk.
Ryo menepuk pelan daerah di dekat luka Shilla, bangkit sebentar mengambil kopinya, lalu duduk
kembali di sebelah Shilla.
Tiba2 Shilla tak bisa menahan keinginannya bertanya pada Ryo. Seseorang yg pernah -dan
mungkin masih- dianggapnya sebagai Ayi.
"Menurut kamu, apa yg harus kita lakukan tentang masa lalu yg selalu terus mendesak ke
permukaan?" tanya gadis itu.
Ryo terkesiap. Masa lalu untuknya berarti Mai. Shilla seperti menanyakan padanya hal yg juga
menjadi pertanyaan untuk Ryo sendiri, yg belum sempat ia pikirkan.
"Melupakannya..." Ya, Mai mungkin ini saatnya untuk melupakanmu... "Saat masa lalu itu tak
begitu penting..." Bukan, Mai bukan berarti kamu tidak penting, hanya... "Apalagi saat elo sudah
menemukan apa yg bisa menggantikan masa lalu itu." Dan aku sudah menemukan penggantimu,
Mai. "Karna kita tidak akan bisa memilih masa lalu dan masa depan pada waktu bersamaan, kan?"
tanya Shilla, tanpa sadar berusaha meyakinkan pilihannya sendiri.
"Ya, tepat seperti itu," sahut Ryo sambil tersenyum. Tanpa sadar Ryo meletakkan tangannya ke
kepala Shilla, mengusap-ngusapnya. Tak lama, ia menjatuhkan tangannya, meraih cangkir
dengan kedua tangan. Shilla menatap sambil membisu Ryo, mendengar gelora yg mulai menggema keras di
jantungnya. Sebenarnya Ryo sendiri menyadari Shilla terkejut akan perbuatannya, tapi malah
sibuk meniup-niup kopinya.
"Kenapa?" Suara Shilla agak bergetar, kebimbangannya memuncak. Ryo menatap Shilla dan
mengerutkan kening, tidak mengerti maksud Shilla.
"Kenapa Tuan ngelakuin ini semua?"
Ryo menurunkan cangkir kopi yg baru akan ia sentuhkan ke bibir. Ia berpikir, apakah Shilla
mulai menyadari perasaannya"
"Ngelakuin apa?" jawab Ryo akhirnya, entah berusaha memancing atau tidak. Ia tersenyum.
"Mau kopi?" ia menyodorkan cangkir kopinya pada Shilla.
Shilla harus tahu apa yg ditutup-tutupi Ryo, sesuatu di balik jawabannya soal masa lalu itu tadi,
siapa yg sudah menggantikan masa lalunya. Ia meraih cangkir kopi itu dan tanpa segan
meminumnya lantas menaruh cangkir itu di antara mereka berdua.
"Apa sebenernya?" Gadis itu menyipitkan mata. "Apa sebenernya yg membuat sikap Tuan
berbeda ke saya semenjak kepergian Tuan Arya" Apa?" Shilla merasakan nada bicaranya
meninggi, ia tidak tahan lagi pada teka-teki ini, sekaligus tertekan mengingat hipotesis Bianca.
Sikap Ryo juga membuatnya makin bingung. Ryo seperti sedang mengejeknya,
menyembunyikan jawaban itu darinya.
Ryo menjadi sedikit bingung. Kenapa gadis ini sebenarnya"
"Itu cuma... Perasaan lo aja. Nggak ada yg berubah," kata Ryo sambil tersenyum miring. Senyum
favorit Shilla. Tapi senyum itu tidak menenangkannya, malah membuatnya makin bingung dan
meledak. "Saya nggak percaya kalo nggak ada apa2. Sikap Tuan itu terlalu... Terlalu..." Gadis itu mulai tak
bisa melanjutkan, suara badai dalam hatinya terasa sungguh berisik.
Ryo mendesah. Entah kenapa kini merasa iba dan tak tega memaksa Shilla membaca isi hatinya.
Masa ia harus meneriakkannya pada gadis ini"
"Mau lo apa, Shil" Lo mau tau tentang apa?" kata Ryo pelan.
"Kenapa Tuan... Terlalu memperhatikan saya?" tanya Shilla mendesak. Dan kenapa saya juga tak
bisa menolak segala sesuatu tentang Tuan" imbuhnya sendiri.
"Itu cuma perasaan lo aja. Nothing important," kata Ryo.
"Mungkin itu nggak penting buat Tuan, tapi penting buat saya... Tuan nggak tau kan, seberapa
sering saya berusaha nggak memikirkan, tapi ingin juga mencari jawabannya sendiri. Betapa
kebingungan ini seolah memecahkan otak saya dan..."
"Dan lo nggak tau apa2 soal otak yg mau meledak, Shilla... Lo nggak tau kan seberapa sering
gue mikirin lo... Betapa gue berharap lo tau perasaan gue dan lo bisa membalasnya. Lo juga
nggak tau betapa gue..." Ryo terdiam, menyadari ia sudah berkata terlalu banyak.
Shilla menatapnya. "Betapa apa, Tuan?" Badai itu mulai merayap, berdenyut dari tepi2
jantungnya yg siap meledak.
Ryo menghela napas pelan. Merasa tidak ada ruginya dikatakan sekarang. "Betapa gue sayang
sama elo, Shil," jawab Ryo akhirnya, menuntaskan pernyataannya.
Shilla mematung, tidak percaya itu jawaban yg dilontarkan Ryo.
Pemuda itu mendesah, "Gue tau lo nggak akan semudah ini nerima jawaban macam begini dari
gue." Ryo membelai pelan wajah gadis yg disayanginya itu.
"Gue nggak akan minta jawaban dari elo, Shil. Di mana pun dan sama siapa pun elo bahagia saat
ini, di sana hati gue akan selalu ngejaga elo..."
Ryo lantas bangkit, tersenyum, lalu tak bisa menahan diri untuk menepuk pelan kepala Shilla.
Ryo kemudian berjalan pelan ke dalam rumah, meninggalkan Shilla dan pikirannya. Teka-teki
itu terbuka. Gemuruh badai yg tanpa sadar selalu ia tekan karna ketakutannya sendiri, kini
berjaya, memperdengarkan gelegarnya kelewat jelas daripada seharusnya.
Patra, akhirnya aku menyadari badai itu. Yg selama ini sesungguhnya sudah ada. Jadi, benar2
cinta. Itu... yg aku rasakan pada Ryo, kan"
Ryo menghela napas dan menelusuri daftar kontaknya. Memencet satu nama, menekan tombol
"yes" dan mendekatkan ponsel itu ke telinganya.
"Bi" Besok kita ketemu oke" Gue mau bicara sama elo."
Bab 15 KABUT yg dulu mengaburkan pandangan itu kini membutakan. Menumpulkan penglihatan.
Menghantamnya dengan kenyataan bahwa ia harus merelakan. Dan meninggalkan serpihan
hatinya menjadi kenangan.
Wanita itu turun ke dapur dan membuka rak makanannya. Mencari-cari apa yg ia butuhkan
untuk bisa tetap terjaga dan melanjutkan persiapan bukti perkara kliennya yg naik banding esok
hari. Akhirnya, ia menemukan yg dicarinya, kotak kardus kopi karamelnya, yg ternyata...
kosong. Wanita itu menghela napas, sia2 ia menempelkan memo kecil bertuliskan "Mom's Possesion" di
sisi depan kardusnya. Ia yakin, kemarin malam masih tersisa satu bungkus kopi karamel di kotak
ini. Siapa yg mengambilnya"
Mbok Tati" Yg anti dengan segala jenis kafein yg katanya bisa membuat umurnya memendek"
Tidak mungkin. Suaminya" Yg jelas2 lebih menyukai kopi hitam pekat" Tidak mungkin. Kalau
bukan mereka, berarti... wanita itu membuang kotak kosong di tangannya, keluar dari dapur,
melewati ruang tamu dan menaiki tangga menuju kamar anak semata wayangnya.
Ia mulai mengetuk pintu. Tidak ada jawaban. Mana mungkin anaknya sudah tidur sebegini awal"
Ia mengetuk lebih keras, dan akhirnya memutuskan untuk membuka kenop pintu di depannya.
Wanita itu mengerutkan kening, tidak terlihat tanda kehidupan di sini. Tapi... Ia mengedarkan
pandangan dan melihat pintu menuju balkon terbuka. Ia melangkah pelan menuju balkon. Dan
melihat anak lelaki semata wayangnya duduk memunggunginya, serius memperhatikan ponsel,
menghela napas setelahnya lalu meletakkan ponsel itu di meja balkon yg terletak di antara
tempatnya duduk dan satu bangku lainnya.
Wanita itu melihat lebih jauh. Lalu menemukan cangkir yg terletak di dekat ponsel anaknya tadi.
Dia tahu aroma isi cangkir itu. Kopi karamel. Wanita itu tersenyum kecil sambil menggeleng,
lalu bersandar pada kusen pintu balkon dan bersedekap.
"Pat?" Patra tersentak, lalu menoleh ke belakang, terkejut mendapati siapa yg berdiri di sana. "Mama?"
Mama tersenyum kecil. Membatin dalam hati apakah anaknya ini sedang melewati masa transisi
akil balik atau apa, sehingga akhir2 ini bertingkah seperti orang linglung.
"Sejak kapan kamu minum kopi?" tanya Mama, lalu berjalan dan duduk di bangku satunya, yg
kosong. Patra cuma mengangkat bahu.
"Pat, jangan sampai Mama tau kamu pakai..."
Patra menatap Mama sedikit kesal. "Ya ampun, Ma... percaya deh. Aku nggak pakai obat atau
apa pun yg Mama pikirin."
"You acting weird, lately... You know?" kata Mama.
Patra menatap ke depan lagi. Melamun menatapi langit di atasnya. Menghela napas pelan. "Ma,"
ucapnya pelan. "Hmm?" tanya Mama, yg memutuskan meneguk kopi karamel Patra yg tergeletak di meja. Ya,
daripada dia tidak minum kopi itu sama sekali.
"Pernah nggak... Mama nggak mendapat sesuatu yg Mama inginkan?" tanya pemuda itu.
Mama mengerutkan kening. "Maksudnya?"
"Mama terlanjur sayang, bukan sekedar ingin, pada sesuatu... Tapi ternyata sesuatu itu bukan
buat Mama," ujar Patra setengah melamun.
Uh-oh. Mama mulai mendapatkan maksud Patra dan mulai menyadari kenapa Patra sering
bertingkah aneh akhir2 ini. Anak lelakinya ini sedang jatuh cinta.
"Oh, jadi ini masalah cewek" You are ini love, aren't you?" Mama tersenyum lebar.
"Maaa..." Patra memutar bola mata.
Mama tersenyum kecil, lalu bangkit dari duduknya, mengusap sayang kepala anak lelakinya yg
beranjak dewasa. Patra menatap Mama yg sekarang sedang berdiri di depan balkon. "Nggak semua yg kamu
inginkan akan kamu dapatkan, Pat. Sekalipun saat kamu sudah memiliki semua hal lain di dunia
kecuali dia." Seekor capung terbang melintas malam, lalu hinggap di susuran balkon, tempat Mama berdiri di
dekatnya. "Kadang dia sudah sedekat ini," Mama menjengkal jaraknya dengan capung itu. "Dan kamu
terlalu egois... merasa kamu akan mendapatkannya..." Mama mengendap-endap lalu berusaha
menangkap capung itu, yg kini terbang ke langit2, menyadari adanya bahaya.
Mama berbalik, memandang Patra lalu mengangkat bahu. "Tapi ternyata dia terbang menjauh...
Terjemahan: dia memang bukan buat kamu.
"Tapi... ssssh..." Mama berbalik lagi, lalu meletakkan salah satu siku tangannya di susuran
balkon, mengancungkan satu telunjuknya ke atas. Patra mengerutkan kening. Lalu baru
menyadari apa yg terjadi, tak lama capung itu hinggap di telunjuk Mama.
Mama menoleh ke belakang, berbisik pelan, "Pada saat yg tepat, dia akan datang sendiri
menghampirimu... dan kamu..." Mama menangkap capung di telunjuknya dengan tangannya yg
lain. Berjalan pelan ke arah Patra lalu menyusupkan capung itu ke tangan anaknya.
"...akan mendapatkannya..." Mama meneruskan kata-katanya, lalu mengedipkan sebelah matanya
dan tersenyum jail. Patra menatap capung yg kini meronta minta dilepaskan di tanganmya, lalu menyadari Mama
sudah berjalan menuju pintu kamarnya.
"Ma?" Mama menoleh pelan. "Ya?"
"Thanks." Patra tersenyum manis.
Mama membalas senyum Patra. "Anytime..."
Patra kembali memperhatikan capung di tangannya. Menyadari perumpamaan Mama, Mama
mengerti. Capung itu bukan menggambarkan Shilla, melainkan menggambarkan perasaannya
pada Shilla. Patra kembali membuka pesan yg tadi dibacanya sebelum Mama datang.
Pat, aku sudah menemukan badai itu. Bantu aku untuk menguraikan padanya, ya" Karna... dia
tampaknya terisap badai yg sama
Sender: Shilla Patra merenung. Bukankah ini sebenarnya tujuan rencananya selama ini" Rencana yg sudah
dibuatnya, bahkan sejak pertemuan pertama mereka. Dia tidak pernah hadir untuk menjadi rival
Ryo, tapi untuk membantu Shilla memecahkan teka-tekinya. Walaupun ia berarti membantu
Shilla menjaring badai bersama Ryo.
Patra melepaskan capung di tangannya. Membiarkan hewan itu terbang ke langitnya sendiri.
"Jadi?" Shilla memutar bola mata dan tersenyum. "Kamu kan udah tau."
Patra tersenyum, menstater dan melajukan mobilnya melewati gerbang hitam menjulang yg
mengerikan itu. "Well, gue kan nggak tau detailnya."
"Harus, ya?" kata Shilla, setengah tertawa.
Pemuda itu mengangkat bahu dan tersenyum. "Hey, seems like you're in a very good mood
today... You keep smiling... Pengaruh kesuksesan teka-teki terpecahkan?"
Shilla mencubit lengan Patra. "Jangan gitu. Aku lagi malu."
"Kenapa malu?" Shilla tertawa kecil, pipinya bersemu merah. "Soalnya tadi pagi aku ketemu dia, trus..."
"Trus?" "Trus dia natap aku dan bilang selamat pagi... hehehe..."
Patra menggeleng-geleng, padahal dalam hati meringis juga. Ya sudahlah, batinnya, yg penting
dia bahagia... Patra membiarkan Shilla berceloteh riang soal kemarin malam. Setiap kata yg
diucapkan Shilla mengirisnya. Ternyata, merelakan bukan berarti lantas terbebas dari rasa sakit
hati. "Dia ngobatin aku, Pat... Ryo gitu, bisa ngobatin orang... Trus dia keceplosan bilang kalo dia..."
"Kalo dia" Lo kenapa jadi suka ngegantung kalimat gini sih?"
Wajah Shilla bersemu lagi. "Kalo dia sayang sama aku..." Gadis itu benar2 mabuk kepayang.
Kejujuran Ryo semalam membuatnya tidak bisa memikirkan apa2 selain pemuda itu, bahkan
tidak ancaman Bianca. Patra mengangguk pelan. Keceplosan, ya. Betapa dia berharap bisa keceplosan juga saat ini.
"Trus maksud lo dengan SMS kemaren malem" Lo mau gue bantu menguraikan apa" Jawaban
esai?" Shilla menatap pemuda di sebelahnya dan melotot lucu. "Gimana sih... tukang bikin
perumpamaan, nggak bisa nebak perumpamaan."
Patra hanya tersenyum. "Dia... dia nggak minta jawaban, Pat. Tapi aku mau dia tau perasaanku juga... Aku nggak mau
menyesal suatu hari nanti, karna nggak pernah bilang..."
Jawaban yg cukup telak untuk Patra. Seperti menyindirnya.
"Kapan?" Shilla mengerucutkan bibir, untuk itu ia juga belum memikirkannya.
Patra mendesah, "Tapi nanti pulang gue masih bisa jemput lo, kan?"
Dan betapa leganya ia ketika Shilla mengangguk. Paling tidak gadis itu masih bisa ada di
dekatnya untuk kali ini. Pelajaran jam terakhir hari itu kosong. Pelajaran Bu Indah sebenarnya, namun kata guru piket
beliau tidak masuk karna sakit. Shilla menghelap napas, menenangkan jantungnya yg kini benar2
tidak tahu aturan. Ia yakin, orang yg berada lima kilometer jauhnya dari sini pun pasti bisa
mendengar detak jantungnya.
Tapi kenyataannya tentu saja tidak. Shilla menyadari siapa yg membuat jantungnya berdegup
begitu keras. Hanya satu sebenarnya, Ryo yg duduk di belakangnya. Ia harus menahan keinginan
untuk terus menoleh ke belakang dan menatap wajah Ryo yg terus membayanginya itu.
Seperti biasa, kelas mulai gaduh. Ketidakhadiran guru pada jam terakhir adalah berkah tak
terhingga setelah seharian berhadapan dengan pelajaran ekstra macam kimia dan fisika.
Kegaduhan itu terhenti saat tiba2 seseorang memasuki kelas mereka. Dagunya terangkat tinggi,
wajah cantiknya tampak tak peduli dan ketukan sepatu Gosh-nya membuat segenap perhatian
tertuju padanya. Bianca berjalan tegap menuju meja Ryo. Membuat seisi kelas memperhatikannya. Menanti
Love Command 1 The First Fall Karya Janice Nathania di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
drama macam apa yg bakal terjadi. Shilla sampai memutar tubuhnya ke belakang.
Ryo menghela napas keras, memandangi Bianca yg berdiri angkuh di samping mejanya.
"I'm pretty sure that we still have a date today," kata Binca, to the point, menekankan kata "date"
tepat sasaran. Ia tak mengacuhkan "rakyat jelata" yg sedang menonton aksinya.
Ryo memandang sekilas ke arah Shilla, yg sempat tertegun lalu pura2 memandang langit2 dan
memutar tubuhnya kembali ke depan. Pemuda itu yakin benar Shilla sedang berpura-pura tak
acuh. Ryo menatap Bianca lelah, yg hanya dibalas senyum manis oleh Bianca. Bianca mendekatkan
bibirnya ke telinga Ryo. "You have promised me... Finish it, now or never." Bianca menjauh,
lalu berjalan angkuh ke luar, setelah sebelumnya melempar tatapan mematikan pada Shilla.
Shilla tidak mengerti apa yg terjadi, meskipun dia memang tidak berhak mengerti. Tapi... apakah
Ryo masih berhubungan dengan Bianca, lalu yg kemarin... Shilla mendengar suara gerakan di
belakangnya dan akhirnya melihat Ryo berjalan melewatinya. Shilla menghela napas panjang.
Ryo sempat menoleh ke belakang sejenak, berniat memberikan senyum menenangkan pada
Shilla. Tapi ternyata gadis itu sedang menunduk, entah mencari apa di lacinya. Ryo mendesah
pelan. Yg penting dia harus menunaikan janjinya pada si ratu mulut cabe dulu.
Shilla meraih ponselnya sambil menenangkan dirinya sendiri. Udahlah jangan negative
thingking, batinnya, Bianca kan memang suka melebih-lebihkan.
*** 1 message received Shil, keluar jam brp"
Sender: Patra Shilla mengetik balasan sambil melirik ke arah jam dinding di kelasnya. Sepuluh menit lagi bel
akan berdering. Sepuluh menit pun berlalu. Shilla segera membereskan alat tulisnya. Tersenyum pada Devta dan
Ifa yg masih belum beberes.
"Aku duluan, ya?" tanya Shilla.
Devta mengangguk, sementara Ifa sedang sibuk berbicara serius di ponselnya sehingga tidak
membalas ucapan Shilla. Shilla memberikan isyarat pada Devta agar menyampaikan pada Ifa
bahwa ia pulang duluan. Setelah Devta menggumamkan iya, Shilla pun mengambil langkah panjang menuju lift. Ia
memasuki lift bersama dua gadis lain yg sibuk berbicara heboh.
"Well, that couple is totally hot. Ya, meskipun gue nggak suka sama Bianca... tapi harus diakui
mereka cocok... Lo tau" Tadi tumben mereka makan siang bareng... Yah, kita tau mereka udah
deket selama ini. Tapi hari ini mereka keliatan lebih."
"Lebih apa?" sahut temannya.
Si ratu gosip melanjutkan, "Lebih hidup... lebih mesra aja gitu..."
Ting... lift berhenti di lantai paling bawah. Shilla tersadar lalu berjalan agak linglung keluar. O...
ke, jadi apa maksudnya dengan pembicaraan tadi" Couple mana yg dibicarakan" Bianca-Ryo"
Ryo" Ryyyooo" Shilla menghela napas tidak mengerti, menuruni undakan depan lalu tersenyum
kecil sambil berjalan ke arah Patra, yg sedang bersandar di kap mobilnya.
"Hmm?" Patra menyadari aura kecemasan itu lagi. "Ada masalah?"
Gadis itu tersenyum. "Semoga aja nggak."
Patra mengangkat sebelah alisnya. "Never mind... boleh pinjem hape" Hape gue barusan lowbatt
trus sekarang mati..."
Shilla menyerahkan ponselnya pada Patra. Lalu tak lama perhatian mereka berdua teralih,
mendengar pembicaraan menarik dari sekelompok gadis yg sedang berjalan melintas.
"Audisi cheerleader. Pasti seru banget. Mungkin bakal lebih seru daripada sesi latihan biasa."
"Oooh... Mau liat berapa banyak yg cukup bodoh menganggap cheerleading itu gampang?"
"Atau berapa banyak yg bakal dipermaluin sama Bianca?"
"Both... Hahahaha... Cheers jadi makin seru sejak Bianca jadi ketuanya... Too much drama from
Queen Bi." Patra tersenyum ke arah Shilla. "Bianca yg pernah lo ceritain itu" Yg lo usap mukanya pake lap
sampah" Yuk, gue penasaran liat mukanya..." Patra menarik tangan Shilla mengikuti arah
gerombolan gadis itu berjalan.
Audisi cheerleader diadakan di taman belakang sekolah. Taman belakang yg biasanya relatif
sepi, kini terlihat lebih ramai daripada biasa. Tim inti cheerleader tahun ini, dengan Bianca
sebagai ketuanya, sedang berlatih. Mengintimidasi para juniornya untuk bisa menjadi sama
kerennya dengan angkatan tahun ini.
Rupanya mereka datang agak terlambat untuk pertunjukan pembuka. Tim inti melakukan
gerakan penutup yg manis dengan Bianca berada di puncak piramida. Tampak tetap cantik walau
keringat membasahi wajahnya. Shilla harus mengakui, selain bakat sombong dan menyindirnya
yg luar biasa, Bianca ternyata memiliki bakat cheerleading yg tak terkalahkan, didukung percaya
dirinya yg tinggi. Kalau Shilla" Ia mungkin lebih memilih memanjat Monas, daripada
menggerak-nggerakkan tubuhnya di depan orang banyak.
Shilla tiba2 tersadar. Kalau gosip itu benar, berarti sekarang di sini juga ada... Ryo. Shilla
melihat pemuda berdiri tidak jauh di depannya. Sedikit tampak terganggu, tapi tersenyum saat
Bianca menghampirinya setelah Bianca meneriakkan "Break bentar!" pada timnya... Tunggu...
Ryo tersenyum" Pada Bianca"
Pandangan Shilla kini tertumbuk pada dua sosok itu. Hatinya bertalu-talu dan perutnya dicekam
kepakan kupu-kupu yg membuatnya mual. Menanti epik apa yg akan terjadi setelah ini. Dan apa
akibatnya pada perasaannya. Ia meramalkan sesuatu yg kurang baik. Apa "pertunjukan" yg
dilihatnya setelah ini akan membuatnya meragukan kebenaran pernyataan Ryo semalam"
Kini Ryo berjalan mendekati Bianca, mengambil handuk kecil di bangku besi dekat situ. Lalu,
perlahan, mengusap peluh di wajah Bianca. Mula2 dahinya, lalu kedua pipinya.
Shilla tidak mengerti apa yg sedang terjadi. Apa yg sebenarnya sedang Ryo lakukan. Patra pun
ikut tergugup, tidak tahu harus melakukan apa, menyelamatkan Shila dari sini atau apa.
Sementara, Shilla mematung melihat betapa... betapa lembut Ryo melakukan itu pada Bianca.
Seperti saat mengobati kakinya semalam.
"Bi," Ryo berkata pelan, "kenapa harus di sini?"
Bianca tersenyum manis, semanis White Witch saat meracuni Edmund Pevensie dengan Turkish
Delight-nya. "Karna kita harus meyakinkan, Yo... Jangan melankolis begitu... Kenapa" Apa
karna ada cewek lo di sini?"
Ryo menatap nyalang Bianca. "Maksudnya?" Pemuda itu mengedarkan pandangan sejenak dan
mendapati Shilla sedang menatapnya tak percaya. Ada kegalauan yg sarat di sana, membuat Ryo
ingin berlari menenangkannya. Ryo juga menyadari ada Patra di belakang gadis itu.
Bianca menepuk pipi Ryo pelan. "Senyum, Yo... bukan begitu cara memperlakukan pacarmu
ini..." "Bi, please," Ryo menatap Bianca dengan pandangan memohon, "gue udah akting jadi pacar lo
seharian ini..." Pemuda itu mendesah. Memang inilah yg dinegosiasikannya pada Bianca semalam. Ia tahu ada
harga yg harus dibayarnya setelah selama ini "memanfaatkan" gadis pongah itu. Dan Bianca,
bukanlah sosok besar hati yg rela melepas apa yg bahkan tidak d
imilikinya tanpa syarat. Bianca akhirnya pura2 berpikir keras, lalu menggeleng. "Belum... Kamu belum total akting jadi
pacarku... Dan aku nggak suka sesuatu yg nggak total..." Bianca menepuk pipi Ryo lagi.
"Lakukan lebih baik..."
Ryo mencuri pandang ke arah Shilla, cemas akan apa yg dipikirkan gadis itu sekarang. "Trus
mau lo apa?" Bianca berbisik ke telinga Ryo. "Say that three magic words and treat me as your girl."
"Bi..." Ryo bertekad menjelaskan pada Shilla setelah ini.
"No compromise. Kamu udah janji, oke" Aku cuma minta satu hari jadi pacar kamu, SATU
hari... Dan aku nggak bakal ganggu kamu lagi. Kamu kan yg minta aku ngejauh kemarin
malem..." Bianca menuding dada Ryo namun tetap tersenyum manis.
*** Shilla tidak mendengar perdebatan Ryo dan Bianca. Ia tidak berada cukup dekat untuk bisa
mendengar. Yg jelas di matanya, mereka berdua sedang berbincang entah apa. Dan Shilla tak
pernah melihat senyum Bianca semanis itu.
Shilla sedang menunggu bom itu disulut, sehingga ia tidak sadar bahwa ia berjalan lebih dekat ke
arah Ryo dan Bianca. Ryo menatap Bianca. "I..." Oh Tuhan, ia benar2 muak diperlakukan seperti ini dan dia ingin
mengakhiri semua secepatnya.
Bianca mengangkat alis dan tersenyum. "Ryo... Ryo... Tatap mata gue dan beraktinglah dengan
baik... Atau perjanjian kita ba..."
Ryo menaruh telunjuknya di bibir Bianca, lalu memandang mata Bianca, berusaha
membayangkan kedua mata Shilla, dan menamatkan episode kisah memuakkan hati itu. "I love
you," katanya lembut, lalu mendekatkan diri.
Kedua mata Shilla membelalak dan bom itu meledak. Kepakan kupu-kupu di perutnya menggila.
Shilla mungkin tidak mengerti apa yg terjadi, tapi dia tahu arti tiga kata yg diucapkan Ryo
barusan. Semudah itukah Ryo mengatakan cinta" Semudah itu"
Shilla berusaha menyangkal apa yg didengarnya, namun ternyata penyangkalan itu meracuninya
dari dalam. Shilla menatap Ryo tidak percaya. Sekarang hatinya jatuh berserak. Namun, perasaan
Shilla yg sudah terlalu dalam pada pemuda membuatnya tidak bisa mengeluarkan sumpah
serapah, bahkan dalam hatinya. Ia terlalu menyayangi Ryo.
Patra menepuk pundak Shilla cemas. Ia juga bisa membaca gumaman Ryo tadi. Si brengsek Ryo,
kalau ia menyebutnya sekarang.
Shilla menoleh ke arah Patra, berusaha keras agar air matanya tidak merebak. "A... aku pulang
duluan," katanya linglung lalu berjalan terseok-seok.
Patra membuang pandangannya ke arah Ryo. Lalu baru menyadari ponsel Shilla masih di
tangannya. Ryo melepaskan telunjuknya dari bibir Bianca, mendesah, "Are you happy now?" Ryo
mendengus lalu berjalan menuju semak2 menjauhi Bianca yg masih mematung.
Drrt... Drrrt... Ponsel Ryo berdering menandakan ada pesan masuk.
Tetap di tempat lo berada sekarang. -P
Sender: Shilla Ryo menoleh ke kanan dan ke kiri. Siapa P" pikirnya. Terdengar gemerisik semak2, lalu
tampaklah sosok yg selama ini selalu ia anggap rivalnya. Patra. Dia sedang memegang ponsel
Shilla. Patra menatapnya dengan ketenangan semu, yg siap meledak kapan saja.
"Serahin dia ke gue," kata Patra.
"Emang gue lagi nyulik orang, ya?" tanya Ryo. Kini dia dan Patra berjalan berputar, mengelilingi
lingkaran tak kasatmata, dengan jarak sempurna yg sama, terlalu berbahaya untuk diubah.
Patra tertawa sinis. "Nggak usah pura2 bego."
Ryo mendesah pelan, menghentikan langkah berputar ala film2 action-nya tadi. "Oke... ini semua
nggak seperti yg Shilla atau lo liat..."
"Oh, ya?" Ryo mengangkat bahu. "Buat apa juga lo minta gue nyerahin dia" Dia belum dan mungkin nggak
akan pernah jadi milik gue" She totally has a crush on you, anyway..."
Patra berdecak. "Lo nggak tau apa yg baru aja bakal lo dapetin kalo lo nggak brengsek kayak
tadi... Dia mau ngasih lo jawaban, yg nggak lo minta..." Patra berjalan mundur, tersenyum
sarkatis pada Ryo. "Tunggu," ucap Ryo.
Shilla berjalan tersaruk-saruk seperti zombie. Buta arah. Entah dia sedang berjalan ke mana, yg
jelas belum begitu jauh dari sekolahnya. Ia tidak percaya. Ryo ternyata... Shilla memejamkan
mata, berusaha menyangkal sakit di dadanya. Puzzle yg sudah terpasang semua itu kini hancur.
Bukan hanya satu keping. Semua keping puzzle itu terserak berantakan dan ia harus menatanya
lagi, suatu hari nanti. Tiiin... tiin... Shilla mendesah, menepikan dirinya ke trotoar agar mobil berisik itu bisa lewat.
Tiiin... tiiin... Shilla mendengus lalu menoleh ke samping, melihat Picanto hitam yg ternyata sumber suara
berisik itu. Kepala Patra muncul dari jendela mobil. "Shil..."
Shilla membuang muka dan berjalan lagi. Patra turun dari mobilnya lalu mengejar Shilla. Ia
meraih pundak gadis itu dan membalikkan tubuhnya.
"A... aku cuma..." Shilla mencoba merangkai kata.
Patra berkata, "Ssshh... sssh..."
Shilla akhirnya membiarkan air matanya berbicara. Patra tidak bisa berbuat apa2 selain
membiarkan tangis Shilla pecah dalam dekapannya.
"Kenapa kamu ngajak aku ke sini lagi?" tanya Shilla.
Patra hanya diam, menatap Shilla sebentar, mengangkat bahu lalu mulai meneruskan
pekerjaannya yg kurang penting, melempari laut dengan kerikil. Mereka kembali ke Muara Baru
lagi. Patra mengajak Shilla duduk ke sini, setelah air mata Shilla dinilainya sudah cukup banyak
untuk memberi minum orang sekampung.
"Pat..." Patra menghela napas, memberikan sekaleng teh hijau yg dikeluarkannya dari saku blazer
sekolahnya pada Shilla. "Minum itu..."
Shilla mengambil kaleng itu dan mengernyitkan dahi. "Pat."
"Minum," kata Patra final.
Shilla membuka penutup kaleng dan menyesap teh hijau di dalamnya. Sejuk rasanya, minum
sehabis menangis. "Teh hijau bagus buat lo... Ada antioksidannya... Mungkin otak lo lagi kebanyakan
karbondioksida atau apa," racau Patra.
Shilla hanya tersenyum. "Thanks, Pat..."
Patra tersenyum akhirnya, mengusap kepala Shilla. "Anytime. Mau sharing sama gue" Gue
nggak keberatan ada adegan air mata ronde kedua..."
Gadis itu tersenyum lagi. "Nggak, lah. Aku nggak mau nangis lagi... Capek... Cuma aku nggak
nyangka aja, Ryo kayak gitu."
"Don't judge a book by its cover. Don't until you know its content..." kata Patra. "Kita nggak tau
apa yg dilakukan Ryo sebenarnya tadi..."
Shilla mengerutkan kening ke arah Patra. "Kamu ngebela Ryo?"
Patra menjawab dengan mengangkat bahu.
Shilla tertawa kecil. "Padahal dulu kamu bilang mau ngutuk dia..." Gadis itu lalu mengalihkan
tatapan ke arah laut. "Ombak itu akhirnya memukul karang lagi, kan" Meninggalkan lubang
erosi lain di sana..."
"Shil..." Shilla melemparkan tatapan memohon. "Please, jangan ngebela Ryo..."
Patra memutuskan mengabaikan ucapan Shilla. "Mungkin ombak itu keliatan jahat ya sama
karang" Membuat karang berlubang, rapuh. Tapi, apa yg baru baru gue pelajari..." Patra
menuding seekor ketam, kepiting kecil, yg sedang berjalan miring memasuki lubang di salah satu
batu karang di dekat mereka.
"Ombak membuat tempat tinggal buat kepiting2 kecil ini berlindung. Ombak membuat karang
bermanfaat. Nggak cuma diam manis nggak berguna kayak sekadar batu. Mereka saling
membutuhkan, tau" Karang membuat ombak tidak melewati batas saat ombak berlari ke tepi
pantai... "Pikirin itu, Shil..." Patra bangkit dari duduknya. "Gue pergi bentar. Kalo lo udah mikir baik2
dan siap pulang, telepon gue. Tadi hape gue udah gue charge di mobil kok." Pemuda itu
menyerahkan ponsel Shilla pada pemilik aslinya.
Shilla mengambil ponselnya, memandang Patra yg kini berjalan menuju mobilnya. "Oh ya," kata
Patra. "Kadang di sini ada pengamen. Siapin uang receh, hati-hati..." Patra memberikan senyum
terakhir pada Shilla. Gadis itu membalas senyum sekenanya. Lalu kembali menatap ke arah laut. Kenapa harus selalu
laut yg menjadi saksi bisu kegalauannya"
Muara Baru begitu sepi. Membuat Shilla mendengar sesuatu lebih jelas. Suara hatinya. Shilla
mulai menyelami hatinya. Siapa yg saat ini memenuhi pikirannya" Ryo. Siapa yg saat ini
menempati hatinya" Ryo. Ternyata, sesakit apa pun hatinya hari ini, sosok itu masih bertahan di
sana, dan Shilla sesungguhnya tetap ingin memiliki Ryo di sini.
Pikirannya terpecah suara gonjreng gitar dan suara serak2 basah dari belakangnya. Shilla tidak
perlu menoleh untuk tahu itu pengamen.
"Cantik... ingin rasa hati berbisik... Untuk melepas keresahan diriku...
Ooh Cantik, bukan kuingin mengganggumu... Tapi apa arti merindu selalu...
Walau mentari terbit di utara... Hatiku hanya untukmu..."
Lagu Cantik dari Kahitna yg dibawakan secara akustik. Shilla menggaruk kepalanya yg tidak
gatal. Oke, suara pengamen itu tidak jelek. Bagus, malah. Tapi apa harus sekarang" Saat ia
sedang sibuk memastika isi hatinya" Shilla merogoh kantongnya, mencoba mencari uang receh.
"Ada hati yang termanis dan penuh cinta... Tentu saja kan kubalas seisi jiwa...
Tiada lagi, tiada lagi yang ganggu kita..."
Shilla sedang merogoh ranselnya saat mendengar penutup refrein ini.
"Ini kesungguhan, sungguh aku sayang Shilla."
Shilla menoleh ke belakang, melihat siapa yg bernyanyi. Sesosok tubuh tinggi yg masih dibalut
seragam Season High. Ryo" Shilla membuang muka. Ternganga.
"Ngapain kamu di sini?" Shilla menoleh ke belakang lagi saat suara gitar itu berhenti.
Ryo tersenyum miring, memetik gitarnya. "Ngamen..."
Shilla memutar bola mata, lalu bangkit dan berjalan mendekati Ryo, yg kelihatan sedang
menyusun kata2. "Shil, gue... Gue tau tadi mungkin gue bikin lo sakit hati. Tapi, gue sayang sama elo. Sumpah,
gue sayangnya sama elo. Ah, gue nggak bisa ngerangkai kata2 bagus nih."
Shilla mendengus. "Dari mana kamu tau aku di sini" Oh... Patra, ya" Sejak kapan kalian
berkomplot?" "Shil," Ryo menatap mata Shilla. "Sori, soal yg tadi. Tapi kalo lo emang udah ilfil sama gue..."
Shilla membalas pandangan Ryo tanpa reaksi apa2. "Ilfil" Emang sejak kapan aku ada feeling
buat kamu?" "Lo tau... Gue nggak akan pernah maksa lo ngejawab..." Ryo mengangkat bahu, berbalik, dan
berjalan menjauhi Shilla.
Mungkin si kucrut Patra itu mengerjainya. Ryo menghela napas. Yah, kalau memang takdirnya
bukan sama Shilla, dia mau berbuat apa. Yg jelas, Ryo tidak akan mudah melupakan Shilla.
Mungkin dia bisa mencoba mengurung diri di ruang bawah tanah dan membiarkan tikus2
menggerogoti... Shilla berlari kecil menyusul Ryo, lalu menyusupkan jemarinya ke jemari Ryo yg tidak
memegang gitar. Ia menyentak tubuh Ryo hingga mereka berdua berpandangan.
Shilla menatap mata Ryo. "Kamu beneran nggak mau tau jawabanku?" tanyanya sambil
tersenyum.
Love Command 1 The First Fall Karya Janice Nathania di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ryo tersenyum. "Sumpah, Shil... Yg tadi gue sama Bianca..."
"Ssssh..." Shilla tersenyum lagi, mempererat genggamannya. "Aku tau dan percaya sama
kamu..." Pemuda itu melepaskan genggamannya lalu memeluk Shilla erat2, tidak berniat melepaskannya.
Ia mengacungkan jempol pada Patra yg sedang memperhatikan dari mobilnya di ujung sana. Ryo
memejamkan mata, menikmati saat itu dan mengecup puncak kepala Shilla, yg kini resmi
menjadi gadisnya. Patra tersenyum melihat pemandangan di depannya. Tak lama ia menunduk dan menghela napas.
Drrt... Drrt... 1 message received Terima kasih untuk segalanya .. :')
Sender: Shilla Patra melajukan mobilnya ke dalam keheningan petang. Sayup-sayup mendengar lagu dari radio
mobilnya. "Aku tak tahu mengapa dirimu... Yang datang saat aku merasa...
Meskipun aku tak mungkin miliki... Namun kuakui, kauubah hariku..."
(Kauubah Hariku - Kahitna)
Dan meninggalkan serpihan hatinya menjadi kenangan.
-END- Sumber: https://www.facebook.com/pages/Kumpulan-cerbungcerpen-dan-novelremaja/398889196838615"fref=photo
Pendekar Panji Sakti 22 Pahlawan Dan Kaisar Karya Zhang Fu Kupu Kupu Mata Dewa 2
sempat terkejut- lalu tak dinyana, beralih merangkul erat gadis congkak itu dengan sengaja
setelahnya. Keterkejutan Bianca makin menjadi-jadi. Ia membelalak tak percaya, lalu menoleh menatap Ryo
yg tersenyum menghipnotis ke arahnya. Sedangkan Shilla membuang muka, berusaha
mengabaikan nyeri yg datang lagi di dadanya.
Patra kini kembali merasakan aura kecemasan pada Shilla. Dengan heran ia menatap Ryo yg
sembunyi2 menatap Shilla, yg kini menatap kosong ke arah panggung. Pasti ada sesuatu di
antara mereka... tebaknya yakin.
"Shil. Lo bawa lilin, kan" Yuk, siap2." Tiba2 Devta datang, menyelamatkan keadaan yg
mencekam. "Eh, elo Patra, ya" Sepupunya Ifa" Bawa lilin sama Shilla, kan" Yuk, siap2 di belakang," kata
Devta lagi. Membuat Shilla dan Patra terdiam sejenak, masih bingun. "Yeh... pada bengong. Eh,
kalian berdua pegangan tangan, ya" Cieeeee." celetuknya, tak bisa membaca suasana.
Ryo kontan mendelik ke arah Devta yg mengatakan kenyataan secablak itu. Ia menggeram dalam
hati, menahan monster di hatinya yg tiba2 ingin mencakar muka pemuda asing yg lengannya
dipegang Shilla. Devta akhirnya memisahkan Patra dan Shilla tepat di tengah, lalu merangkul mereka berdua di
kiri dan kanannya. "Yuk," katanya lalu menoleh dan melongo menyadari ada dua orang lain
dengan tatapan mengerikan di dekatnya. "Eh, ada Ryo sama Bianca toh. Kita duluan, ya. Yuk,
daaah..." Bianca hanya mencibir sepeninggal ketiganya. "Norak." Ia merapatkan diri pada Ryo.
Ryo melengos, segera melepas rangkulannya karna tiba2 merasa butuh udara segar. "Gue ke
toilet sebentar," ucapnya lalu bergegas meninggalkan Bianca yg tampak kecewa.
Dansa-dansi. Memang acara yg ala kerajaan sekali. Tapi Shilla enggan melangkahkan kaki ke
lantai dansa. Meja2 bulat untuk makan tadi sudah disingkirkan untuk menyediakan ruang bagi
lantai dansa. Kalau ia berdansa dipastikan akan ada keributan yg terjadi, karna ada yg tak sengaja
tersenggol atau terinjak.
Lebih baik ia duduk bersedekap seperti sekarang ini, di bangku yg dijajarkan di samping lantai
dansa. Menunggu Patra yg sedang mengambil koktail untuknya.
"Nih," Patra mengangsurkan Collin glass berisi koktail ke arah Shilla, lalu duduk di sebelahnya.
"Makasih," jawab Shilla lalu menyeruput minuman di tangannya.
"You're welcome," jawab Patra sambil tersenyum lagi.
"Nggak dansa" Lagunya bagus nih," kata Shilla mengenali lagu A Whole New World yg baru
saja menggema di seantero ballroom.
"Nggak bisa gue. Nanti ada yg keinjek lagi, hahaha. Lo sendiri nggak?"
"Nggak, lah. Alesannya sama kayak kamu," kata Shilla ikut tertawa, heran juga menemukan
banyak persamaan antara diri mereka. Sepanjang malam ini hampir ia habiskan bersama Patra,
karna Devta juga suka menghilang entah ke mana.
Shilla menenggak lagi koktailnya saat tiba2 Ifa yg agak berkeringat namun tetap cantik muncul
di hadapan mereka. "Pat, lo harus dansa sama gue, lo kan sepupu gue yg paling deket. Sini," kata Ifa, meraih tangan
Patra. "Nggak deh, Fa. Nanti lo keserimpet gara2 gue lho," kata Patra mewanti-wanti.
"Ih," kata Ifa, setengah gemas, "yg ulang tahun nggak boleh dibantah, tau. You know the rules.."
Patra mendesah lalu tersenyum juga akhirnya. "Ayo, deh... Tapi Shilla gimana" Masa ditinggal?"
"E... cieeeee... Patra mikirin Shilla lho," kata Ifa menggoda, sambil setengah tertawa.
"Nggak papaaaa, taaauuuuu," ujar Shilla, lalu menepuk pelan pundak pemuda di sebelahnya.
"Sana dansa." Patra akhirnya mengangkat bahu sambil tersenyum pada kedua gadis di dekatnya lalu mengikuti
Ifa ke lantai dansa. Shilla juga tersenyum, sementara tanpa sadar matanya mengikuti Ifa dan Patra ke lantai dansa.
Lalu ia tak sengaja melihat Bianca, yg dengan tidak canggung menyandarkan kepala di bahu
Ryo, yg juga tampak nyaman2 saja.
Shilla memalingkan muka, tepat saat Ryo menoleh ke arahnya. Membuat Ryo akhirnya
menghela napas dan beralih membuang pandangannya ke lantai.
Shilla memejamkan mata lagi. Kini, bukan lagi dirinya yg ada dalam dekapan Ryo. Ada sosok
lain yg ada dalam naungan tubuh tegapnya. Dalam harumnya. Bukan lagi dia.
Ia merasa tidak bisa lagi menghirup udara di dalam atmosfer yg sama dengan Ryo dan Bianca.
Maka, ia memutuskan beranjak keluar dari ballroom setelah meletakkan gelas koktailnya di
lantai, berdampingan dengan gelas Patra sebelumnya. Perlahan ia melangkah ke luar, menuju
pintu terbuka di samping kiri ballroom, yg ternyata balkon. Balkon ini memanjang hingga ke
samping ballroom, hanya tersekat kaca hingga Shilla masih bisa melihat apa yg terjadi di pesta
Ifa. Ia menarik napas pelan, lalu membuang pandangan jauh2 melampaui batas balkon, menyusuri
hotel bintang lima yg dipilih Ifa ada di bagian utara Jakarta, sehingga ada pemandangan laut yg
bisa didapatnya dari tempatnya kini berdiri. Aroma asin yg menerpa hidungnya sangat
menyegarkan. Seakan bisa membantunya menormalkan lagi otak dan hatinya yg bergemuruh. Ia
sempat bergidik sedikit saat merasakan angin dingin di bahunya yg telanjang.
Tapi keheningan tidak melingkupinya lama2. Shilla mendengar deham berat dari balik
punggungnya. Ia mengernyit, lalu perlahan menoleh.
Ryo. Sendirian. Shilla terpaku menatap sosok tampan itu. Angin berembus, membuatnya bisa mencium lagi
aroma yg selama ini diam2 dirindukannya. Pa
rfum Ryo itu. Ia mendesah pelan lalu menggeleng
samar. Kalau Ryo mau di sini, biar Shilla yg pergi.
Sebenarnya Ryo juga terkejut mendapati Shilla di balkon. Tempatnya tadi menenangkan pikiran
yg kini ingin dikunjunginya lagi. Shilla tadi memandangi laut. Apa yg dia pikirkan" Ryo
akhirnya hanya bisa ikut terdiam ketika menangkap keraguan yg tampak saat gadis itu
melihatnya. Shilla mendesah. Ia berbalik dan hendak melangkah pergi. Rambutnya yg terkucir perlahan
tertiup angin, sehingga sedikit menebas wajah Ryo. Ia tersentak, seakan sadar tak bisa lagi
berdiam diri. Akhirnya ia mencekal tangan Shilla, yg hampir saja menghilang lagi di balik pintu.
Shilla berbalik, menatap tangannya yg kini digenggam tangan kokoh Ryo. Ia menatap mata Ryo.
Dan diam ketika ia menemukan ombak yg sama. Ombak yg dulu ada, yg belum mampu ia redam
juga. Sebuah lagu terdengar jelas dari arah ballroom. Menerobos jendela dan membuat keduanya
terhanyut. Ryo melepas tangan Shilla. Sebagai gantinya, ia mengulurkan tangan kanannya ke
arah gadis itu, mengajaknya berdansa di balkon ini.
Lirik2 lagu First Dance dari seorang penyanyi remaja terkenal mengalun pelan. Mendorong
Shilla untuk, entah kenapa, menyambut uluran tangan itu. Masih menatap Ryo yg kembali
seperti dulu. Ryo perlahan meraih pinggangnya dan sementara ia menyampirkan tangan di bahu
pemuda itu. Senandung yg melenakan mulai menyusup ke telinga mereka. Ryo merasakan pertahanan
hatinya sudah terlanjur dijebol, hanya bisa menatap Shilla dan berkata pelan, "Gue... kangen
sama elo..." Shilla terdiam, membiarkan dirinya tenggelam dalam ombak yg berkejaran di mata itu. Akhirnya
aku ada dalam dekapan Ryo lagi setelah selama ini, pikirnya.
"Kalo elo?" tanya Ryo pelan, penuh harap.
Shilla hanya menunduk ketika kembali mendapati keraguan di hatinya. Ia bungkam. Bingung.
Apa yg bisa ia katakan tentang apa yg ia sendiri belum pernah jelajahi"
Shilla mendongak, menatap pahatan wajah Ryo yg juga memandanginya beberapa saat. Hingga
akhirnya, gadis itu menunduk lagi lalu menjauhkan diri.
Shilla menarik napas pnjang, berpikir sejenak sebelum akhirnya berbicara pelan, "Yg tadi itu...
Lupain aja, Tuan." Lalu ia bergegas memutar tubuhnya ke arah balkon, membelakangi Ryo.
Ryo, terperangah tak menyangka keadaan berubah secepat ini. Ada apa lagi dengan gadis itu"
"Sh..." "Shilla?" Ryo menoleh ke belakang dengan geram. Baru saja ia berniat kembali menyapa dan
menghampiri Shilla ketika tiba2 terdengar suara lain memanggil gadis itu.
Cowok tadi. Ryo mendengus kesal ketika mendapati siapa yg memanggil Shilla. Mau apa sih
dia" Patra balas menatap pandangan kesal Ryo dengan heran, lalu beralih memandang Shilla yg
berdiri kaku memunggungi pintu balkon dan makin tidak mengerti.
Perlahan, ia meyakinkan dirinya untuk terus bergerak mendekati Shilla. Meyakinkan diri bahwa
ia tidak sedang mengganggu momen penting atau semacamnya.
"Shi..." Patra terdiam begitu berhenti dan melihat wajah Shilla. Gadis itu sedang memejamkan mata,
tanpa setitik pun ketenangan dalam rautnya. Air mukanya tampak begitu tegang, direntang
kegalauan begitu hebat. Refleks, Patra menoleh dan menatap Ryo dengan pandangan bertanya sekaligus curiga.
Sementara Ryo kembali memandangi punggun Shilla.
Setelah bertahan menunggu beberapa lama, Ryo mengepalkan sebelah tangannya sambil
menghela napas karna gadis itu tak juga bergerak, lalu akhirnya memutuskan beranjak.
Patra memperhatikan punggung Ryo menjauh dari sela pintu balkon yg terbuka, lalu mengurai
kernyitan keningnya dan menghampiri Shilla.
Gadis itu tampak bergidik pelan, mungkin karna kedinginan, tapi mungkin juga tidak. Patra
mendesah, lalu melepas jasnya dan menyelubungkannya ke bahu Shilla, yg kini menoleh ke
arahnya. Shilla menatap Patra yg melakukan semuanya dalam diam. Ia bisa menemukan binar cemas di
mata pemuda itu. Emosinya yg sempat berubah kaku rasanya kini normal karna atmosfer hangat
khas yg dibawa Patra. Ia membiarkan sosok Patra ikut beranjak ke sampingnya. Mendengarkan desau angin yg sama.
Patra menatap lurus ke depan sambil berkata, "Lo nggak dengerin kata2 gue, ya?"
"Hah?" tanya Shilla spontan.
Patra mengalihkan pandangan ke arah gadis di sebelahnya. "Buat nikmatin pestanya?"
"Oh," jawab Shilla pelan. "Keliatan, ya?"
Pemuda itu mengangkat bahu, menoleh ke depan lagi. Melihat pemandangan yg serupa dengan
Shilla. Ombak yg memukul-mukul batu karang. Lalu suasana berubah hening sejenak, yg
akhirnya dipecahkan desah panjang Shilla. Patra kembali memalingkan wajah ke arah gadis itu,
yg raut kalutnya kian mencemaskan saja.
"Dari penampilan lo, gue kira," kata Patra pelan, "elo setegar karang..."
Shilla tersenyum miris, masih memandang ke depan. "Karang pun bisa rapuh kalau diterjang
ombak terus," jawabnya.
"Jadi, cowok itu ombaknya?" tanya Patra.
Shilla terkejut mendengar perkataan Patra barusan, ia memandang pemuda itu lekat2 dan
bertanya serius, "Keliatan, ya?"
Tak disangka, Patra tertawa kecil. "Nggak ada yg lebih menyedihkan daripada orang yg nanya
hal yg sama dalam waktu kurang dari lima menit."
Shilla menunduk. Tahu keadaannya memang teramat menyedihkan.
Patra mendesah, "Cuma bercanda." Ia sendiri heran, kenapa ia begitu peduli pada gadis yg baru
dikenalnya kurang dari empat jam lalu.
Shilla menarik sudut2 bibirnya ke atas. Usaha tersenyum yg gagal. Mengenaskan.
"Cowok itu siapa?" tanya Patra pelan. Siapanya elo" Kenapa dia ninggalin lo disini" Kenapa dia
bikin lo kalut" Kenapa dia datang sama cewek lain" Kenapa lo begitu sedih" Rentetan tanda
tanya berukuran gigantis yg biasanya tak pernah mau ia campuri mulai melayang di benak Patra.
"Eh, bukan berarti gue mau ikut campur, lho... Cuma..." Patra menggantung kata-katanya.
Shilla tersenyum. "Iya, aku tau," katanya melirik kejujuran di mata Patra. "Tapi ceritanya agak
panjang..." Ia menarik napas dan melihat Patra yg tersenyum kecil, mengetahui bahwa pemuda
ini tulus dan mau bersabar mendengarkannya.
Shilla mengela napas. Mungkin terlalu banyak yg ditanggungnya sendiri, terlalu banyak teka-teki
yg tak mampu dipecahkan hati kecilnya yg malang. Mungkin, harus ada seseorang untuk
berbagi. Seseorang yg bisa membantunya mengurai misteri perasaannya. Dan mungkin kini
orang itu ada di sebelahnya.
"Dia..." Maka Shilla pun memulai kisahnya. Tentang bundanya, Ayi dan senandungnya yg ajaib,
tentang pekerjaan barunya (Patra tampak tidak terganggu dengan hal ini), tentang tempat
tinggalnya sekarang, tentang Arya, tentang Ryo, tentang petualangan mereka di taman bermain
itu, dan tentang... Ponsel Patra berdering tepat ketika Shilla akan bercerita tentang benang merah semua masalah
ini, hal yg harus dipecahkannya namun tak pernah bisa. Tentang hatinya. Tentang benar atau
tidaknya spekulasi Bianca.
"Halo" Iya, Fa" Iya, iya. Gue sama Shilla... Hah" Oh... Yah, ya udah... Iya, iya, bawel."
Shilla tertawa kecil mendengar Patra berdebat kecil dengan Ifa, walau belum selesai, lega
rasanya membagi sebagian pikirannya dengan seseorang. Walau seseorang itu baru dikenalnya
beberapa jam lalu. "Kenapa?" tanyanya saat Patra menutup percakapannya.
Patra mengangkat bahu. "Si birthday girl mau kita buru2 balik masuk. Ayo..."
Tanpa sadar, Patra menarik tangan Shilla, membuat gadis itu terkejut seakan baru terkena arus
listrik pendek. Mengingat pemuda yg sempat juga menggenggam tangannya tadi. Ia mendesah
pelan. "Kok diem?" tanya pemuda itu ketika menyadari Shilla tiba2 terdiam kaku seperti patung. "Ayo,
nanti gue dikutuk Ifa nih..."
Shilla tertawa kecil, lalu mengikuti Patra yg membimbingnya keluar balkon. Ia berusaha
mengabaikan ingatan yg membuat hatinya seperti disundut korek api.
Tawa Shilla terhenti seketika saat melihat siapa yg berdiri di depan pintu ballroom yg ditujunya.
Ryo dan Bianca. Tampaknya Bianca tengah merajuk, entah kenapa. Ryo memandang Bianca
dengan ekspresi manis, walau matanya seperti berniat membekap dan mengurung Bianca di
suatu tempat. Patra berhenti sejenak, disambut tatapan maut yg tiba2 diluncurkan Bianca karna melihat Shilla.
Ryo sempat membelalak kesal saat melihat Patra mempererat genggamannya di tangan Shilla
dan melihat Shilla terbungkus jas pemuda itu.
Shilla menunduk pelan, melihat Ryo... sedekat itu dengan Bianca membuat hatinya terusik.
Walau ia tak tahu kenapa... Bukankah ia menyukai Ayi" Menyukai Arya" Bukan Ryo, kan"
Bukan, kan" "Ayo, Shil," ajak Patra beberap detik kemudian, menarik tangan Shilla memasuki ballroom,
mengabaikan tatapan mematikan sejoli yg baru mereka lewati.
Kediaman Keluarga Luzardi, 23.55
Ryo mengintip dari jendela kamarnya saat deru pelan Picanto hitam berhenti di depan gerbang
rumahnya. Pemuda bertubuh cukup tinggi keluar dari pintu pengemudi, lalu memutar dan membukakan
pintu penumpang. Ryo sudah tahu siapa sosok yg akan keluar dari sana. Sosok yg masih
menghantui sudut pikirannya.
Shilla sudah tidak mengenakan gaun cantiknya. Sebagai gantinya, dia mengenakan blus biru
muda dan celana jins yg dipakainya pagi tadi. Meski make up-nya sudah dihapus, rambutnya
masih terkucir tinggi ke atas.
Manis. Ryo lagi2 harus mengakuinya.
Kini Ryo harus menahan amarahnya kuat2. Saat melihat pemuda yg tak dikenalnya itu memeluk
Shilla dengan satu tangan (pelukan sahabat bagi orang normal yg melihatnya, tapi hati Ryo yg
diliputi kecemburuan tidak bisa menerimanya), berbisik pelan, dan menepuk puncak kepala
gadis itu. Dan Shilla tertawa! Tertawa karna pemuda itu atau karna pelukannya" Ingin sekali Ryo
memutilasi tangan pemuda asing di bawah sana.
Shilla baru pulang karna tadi harus membantu Ifa membereskan beberapa hal kecil. Untung Patra
-yg rumahnya searah- bersedia mengantarkannya, larut malam begini.
Patra memutuskan mentransfer sedikit atmosfer hangat menenangkannya dengan satu pelukan
kilat pada Shilla. "Jangan sedih lagi... atau gue kutuk si Ryo nanti," ancamnya, lalu menepuk puncak kepala gadis
itu. Shilla tertawa kecil, lalu melambai pada Picanto hitam yg semakin menjauh. Shilla berhenti
tertawa. Rasa berat kembali melandanya. Entah karna lelah atau karna hal lain. Ia baru ingat
belum sempat membicarakan kelanjutan kisah itu, kelanjutan tentang hati dan perasaannya yg
belum terpecahkan. Omong2 perasaan, Shilla mendapat pikiran aneh bahwa seseorang memperhatikannya, saat ia
memasuki gerbang. Ia mengedarkan pandangan sekilas, lalu mendongak ke arah kamar Ryo.
Tertutup tirai, tentu saja. Dan hatinya pun kacau lagi. Aku nggak suka pada Ryo, KAN" ia
bertanya-tanya. Shilla mendesah pelan.
Ryo menghela napas lamat2. Tidak menyadari Shilla bisa saja mendapatinya sedang mengintai,
seandainya ia menutup tirai tiga detik lebih lambat. Shilla... tertawa karna sosok lain... bukan
dia... Ryo diam mematung. Apakah memang tidak ada lagi atau memang tak pernah ada
tempatnya di hati Shilla"
Ryo berpikir sejenak. Tapi, bagaimana bisa ia menyerah kalau ia saja belum sepenuhnya
berjuang" Kenapa ia tidak mencoba saja agar Shilla membalas perasaannya"
Pagi lagi. Shilla sudah bangun sejak pagi buta, membantu Bi Okky. Menggantikan waktu
seharian kemarin, saat ia sama sekali tidak bekerja.
Shilla sedang berada di ruang tamu, mengelap meja panjang kaca di sana, saat ponselnya
berdering menandakan ada pesan baru yg masuk. Dari Patra. SMS aneh disertai lelucon paginya
yg menyejukkan. Shilla tertawa kecil. Ia tidak sadar Ryo baru saja turun dari tangga dan
memperhatikannya. Ryo menatap Shilla yg sedang tersenyum-senyum sendiri. Dia tahu pasti ini berhubungan dengan
cowok kemarin. Bahaya. Siaga satu. Cowok itu semakin memperbanyak rekor membuat Shilla
tersenyum. Kalau dipikir-pikir, Shilla hanya menampakkan wajah manyun yg lucu kalau bersama dirinya.
Biarpun lucu, itu manyun, bukan tersenyum. Kacau.
Shilla menunduk pelan saat menyadari Ryo memperhatikannya dengan tatapan penuh arti, "Pagi,
Tuan," cicitnya. Entah kenapa, kali ini Ryo tidak menjawab. Ia hanya mendesah saat menyadari ancaman sosok
Patra begitu kuat, memicunya untuk bergerak. Tapi dengan cara biasa tentu takkan menghasilkan
apa2. Jadi, apa... yg harus ia lakukan"
Patra terrenyum ceria walau tak tahu apa yg membuatnya begitu senang. Ia mengetukkan jemari
ke setir Picanto-nya. Menunggu di seberang gerbang hitam menjulang mengerikan ini.
Menunggu Shilla.
Love Command 1 The First Fall Karya Janice Nathania di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Patra meraih ponsel di dasbor. Mencari satu nama di daftar kontaknya lalu menyentuh tanda
"yes" di layar ponselnya.
Tuut... tuut... Terdengar nada sambung, lalu terdengar suara samar gadis manis yg baru
dihafalnya semalaman tadi.
"Halo..." "Halo?" sapa Patra... hening sejenak... tuut... tuuut... hah" Patra menatap ponselnya heran... kok
udah ada yg jawab masih ada nada sambungnya"
Seseorang tiba2 mengetuk kaca jendela pintu penumpang. Shilla.
Patra tertawa, ternyata gadis yg baru saja akan diteleponnya, sudah berada di sisi lain mobilnya.
Ia pun membuka kaca jendela otomatis dan tersenyum. "Masuk."
Shilla menurut dan masuk melewati pintu penumpang. Ia tersenyum dan menatap Patra.
"Sebenernya kamu nggak perlu repot2 anter aku."
Patra menggeleng-geleng, seakan hal yg diucapkan Shilla salah besar. "Mumpung searah,"
jawabnya. "Berangkat sekarang?"
Shilla mengangguk pelan. Patra baru saja memutar balik mobilnya, saat gadis di sebelahnya tiba2 menjerit pelan, "Buku
agendaku..." Patra menggeleng-geleng lagi. Menghentikan mobilnya tepat di depan gerbang hitam itu, karna
ia sudah memutar balik. "Cepet sana... Takut macet..."
Shilla mengangguk cepat dan bergegas melangkah melalui gerbang, yg kini tertutup lagi.
Patra sedang mengetuk-ngetukkan jarinya ke setir saat tiba2 pintu gerbang yg berada tepat di
samping mobilnya membuka otomatis. Sebuah sedan melaju cepat, hampir menabrak mobilnya.
Mobil Ryo berdecit nyaring akibat usahanya mengerem mendadak. Untung, ia belum melajukan
sedannya dengan kecepatan "normalnya".
Picanto sialan... rutuk Ryo dalam hati. Ia menekan klakson menahan amarah, bertanya-tanya
siapa pemilik mobil yg masih tak bergerak, menghalangi jalannya.
Sekelebat bayangan menarik perhatiannya. Shilla datang terengah-engah lalu masuk ke Picanto
itu, tidak menyadari Ryo berada di dalam sedan yg dilewatinya, tidak menyadari kejadian nahas
bisa saja menimpa Picanto yg baru saja dinaikinya.
Tunggu, tunggu... Ryo menyipitkan mata.
Oh, oh... Ryo baru menyadari mobil siapa di depan mobilnya. Ryo tersenyum kecut. Boleh juga
membuat Picanto hitam mengilat di depannya ini lecet sedikit. Ryo mulai menginjak gas
mobilnya, spidometer bergerak naik, dan... tepat saat itu Patra melajukan mobilnya, hanya
beberapa meter ke depan, menyisakan beberapa puluh sentimeter sehingga bagian kanan
mobilnya tidak "tercium" moncong mobil Ryo.
Sial. Ryo mencibir lalu membanting setir, membiarkan jarum spidometer tetap naik dan
mebiarkan mobilnya meraung menjauhi Picanto milik Patra yg berjalan santai.
Shilla menatap Patra ngeri. Baru sadar kemarahan yg terjadi dari pengendara sedan itu. Ryo.
Kenapa Ryo semarah itu" pikir Shilla. Oh, tentu saja karna temperamen Ryo yg memang tinggi.
Bukan karna dirinya. Astaga, memalukan sekali dirinya berpikir dia penyebab kemarahan Ryo.
Ia tidak seberharga itu. Shilla sibuk dengan pikirannya sendiri, hingga tidak menyadari Patra tersenyum kecil melihat
Ryo meraung marah tadi. Awal yg aneh... dan provokasi yg cukup baik.
Patra sudah memutuskan sesuatu sejak tadi malam. Dan apa pun jalannya, ia harus
menggenapkan keputusannya. Ini menyangkut gadis di sebelahnya.
Bab 13 LUKA, LUKA, LUKA... Diulangnya ribuan kali hingga kata itu tak lagi bermakna... Dan ketika
rasa itu mulai bernama... Mana yg harus dipilihnya" Mengungkapkannya" Atau sanggupkah ia
melepasnya" Sebuah Picanto hitam merangkak pelan, seiring alur kemacetan petang kota Jakarta yg menggila.
Patra menghela napas panjang, lalu menginjak rem. Menyesali kebodohannya memilih jalan
besar sebagai rute pulang. Padahal ia tahu beberapa jalan tikus yg bisa ditempuhnya dari tempat
Shilla tinggal. Ya, Shilla. Patra hampir terkejut menyadari dampak nama itu pada kecepatan detak jantungnya
belakangan ini. Menyadari dampak suasana hati yg terbawa ke mana2 hingga mamanya bertanya
ada apa dengan dirinya. Beliau khawatir anaknya memakai narkoba atau barang apa hingga terus
tersenyum seperti orang gila.
Patra hampir tertawa lagi, lalu tiba2 menyadari bagaimana orang luar melihat dirinya. Mungkin
dia memang aneh. Patra menggaruk kepalanya yg tidak gatal lalu menatap jok di sebelahnya. Jok
yg diduduki gadis yg menghantui sudut pikirannya selama hampir tiga minggu terakhir.
Hampir tiga minggu setelah pesta Ifa berakhir. Hampir tiga minggu sejak pertemuan pertama itu.
Hampir tiga minggu Patra bersedia mengantar-jemput Shilla (mengabaikan ejekan Ifa dan Devta
seputar "sopir pribadi"). Hampir tiga minggu ada yg slalu tertawa di sampingnya.
Tapi... Patra mulai berpikir... serenyah apa pun tawa itu, ia takkan pernah melupakan saat2
hening yg sebenarnya jarang terjadi, namu selalu sangat mencemaskan jika berlangsung. Saat
Shilla menatap ke luar jendela, entah menatap apa. Tatapan yg selalu mengingatkan Patra air
mata Shilla, yg jatuh pada hari yg bersamaan dengan pertemuan pertama mereka. Patra tidak
perlu penjelasan mendetail untuk tahu siapa yg sedang direnungi Shilla.
Sesungguhnya pula, hampir tiga minggu sudah Patra menyayangi gadis itu.
Patra memejamkan mata sejenak. Ingatannya melayang pada penjelasan-mendetail-yg-tidakperlu-karna-Patra-sudah-tahu yg dikisahkan Shilla suatu saat. Penjelasan gadis itu tentang siapa
yg mengusik perasaannya, membuat hatinya berteka-teki tak pasti, teka-teki yg tak mampu
diurainya sendiri. Ryo. Juga siapa yg membuatnya bisa berpikir seperti itu. Orang lain bernama Bianca.
Entah Shilla terlalu naif atau sedang berusaha membohongi dirinya sendiri. Seharusnya orang
paling bodoh pun tahu apa yg sedang Shilla rasakan sebenarnya.
Patra tidak menanggapi saat Shilla bercerita tentang Ryo. Ia tidak mau menjawab dan tidak
berharap dimintai jawaban. Setengah dirinya ingin berteriak agar gadis bodoh yg disayanginya
itu menyelesaikan teka-tekinya sendiri. Namun setengah dirinya yg lain juga berbisik, berharap
dalam gelap, agar Shilla tak perlu mengurai teka-teki dan perlahan melupakan perasaan itu karna
kehadiran Patra. Sebetulnya Patra tahu, sadar atau tidak, hanya Ryo yg ada di hati gadis itu.
Patra menghela napas, terusik kebisuan yg terlalu mencekam. Ia memutuskan menyalakan radio.
Hela napasnya merileks, mendengarkan penyiar favoritnya bercuap-cuap mengenai gosip salah
satu penyanyi muda Amerika yg sedang naik daun, Taylor Swift.
"Anyway... daripada gue ngomongin gosip mulu ya bo, mending gue puterin salah satu lagu
favorit gue dari si eneng ini. Check it out. 'Invisible' from Taylor Swift... Stay tune on one-o-one
point forty five, Truk FM..."
Suara bawel si penyiar mulai mengecil seiring intro lagu yg berkumandang. Patra mengetukkan
jarinya ke setir. Ia belum pernah mendengar lagu si penyanyi blonde yg ini.
Patra berusaha membunuh kebosanan menunggu kemacetan dengan mencoba menyerapi isi
lagunya dan tercekat saat mendapati bagian akhir refrain yg jika diubah gender subjeknya akan
sesuai dengan keadaannya kini.
"...he never gonna love you like I want to...
You just see right through me...
But if you only knew me...
We could be a beautiful miracle, unbelievable
Instead of just invisible..."
Invisible. Patra mendecakkan lidah. Begitukah dirinya sebenarnya selama ini" Invisible" Tidak terlihat"
Tidak terlihat bahkan saat ia hanya berada seembusan napas dari Shilla" Tidak terlihat bukan
dalam arti fisik... Lalu dia apa" Semacam bayangan yg bisa berbicara"
Pikiran getir Patra dipecahkan bunyi menjerit-jerit di sebelahnya. Patra meraih ponselnya lalu
menekan tombol "yes".
"Yo-a. Kenapa, Raf"... Iya, lagi di jalan... Iye, napa?" Patra sempat heran kenapa ketua OSIS
sekolahnya menghubunginya tiba2. "Oooh... mau survei" Gue ikut" Hmm... Ke mana"
Cimacan"... Buset... Trus kumpul jam berapa" Lima" Pagi"... Oh, ya udah... Yok, bye..."
Patra memutuskan pembicaraan, lalu meletakkan kembali ponselnya. Ia menghela napas. Baru
saja, Rafki -ketua OSIS rekolahnya- mengajaknya (sekaligus meminjam mobilnya) menyurvei
lokasi perkemahan sehari untuk kegiatan sekolah mereka di daerah Jawa Barat, besok pagi.
Berarti... pikir Patra, sambil melajukan mobilnya perlahan, besok gue nggak bisa menjemput
Shilla. Patra mendesah. Mungkin ada baiknya ia absen sehari saja dari hadapan Shilla. Mungkin tak ada
salahnya berharap dengan ketidakhadirannya, Shilla bisa melihatnya secara jelas.
Karna mungkin, simpul Patra, tak selamanya kehadiran fisik, membuat orang lain menyadari kita
ada. *** Shilla berada dalam cermin hingga Ryo tak bisa meraih gadis itu. Gadis itu berada di dunia
bayangan, sehingga Ryo hanya bisa memandanginya dari kejauhan, dan tidak bisa berbuat apa2.
Sikap Shilla yg menjauhinya seakan ia sakit kusta, membuat Ryo terpaksa menelan
kekecewaannya akan kenyataan bahwa ada seseorang yg sedang berusaha menggapai gadis
bayangannya dan hampir mendapatkannya. Dan ia pun tahu orang itu juga berada dalam dunia
yg sama, dunia dalam cermin, berada satu frame dengan gadis bayangannya. Sementara ia
berlakon sendiri, memelototi dari dunia nyata. Dan tidak bisa berbuat apa2.
Ryo berusaha bersikap tenang walau sebenarnya ia ingin sekali melindas Picanto hitam sialan itu
sekaligus pemiliknya dengan tank baja. Terkadang memandangi secara nyata pun cukup sulit.
Ryo terlalu takut melihat penolakan di mata Shilla. Tidak, setelah cukup banyak penolakan
dalam hidupnya. Maka ia pun harus rela mengintip diam2 dari balik tirai, mencuri dengar dari pembicaraan orang
lain tentang sosok bayangan itu. Ia juga berusaha keras mengabaikan kenyataan bahwa Shilla
selalu menatap nanar ke arah Picanto hitam yg menjauh setelah mengantarkannya, membuat Ryo
ikut ketar-ketir setengah mati sesudahnya.
Menyedihkan, tapi itulah konsekuensinya. Seperti tema film klise remaja Amerika yg bertahuntahun menggentayangi Hollywood, Ryo menjadi seperti sosok yg jatuh cinta diam2 dan tidak
bisa berbuat apa2. Tapi mungkin ada yg berbeda pagi hari itu. Ryo turun dari kamarnya, agak bergegas karna Tag
Heuer di tangannya sudah menunjukkan pukul 06.20. Kemacetan pagi Jakarta akan sama
"ramahnya" seperti saat petang.
Ryo menghampiri ruang makan, tahu tiap pagi Bi Okky pasti menyiapkan roti dengan selai
sarikaya dan segelas susu putih untuknya. Ryo tidak duduk. Ia menyambar rotinya dan
mengunyah cepat, tak sengaja mendengar beberapa pelayan tampak berkasak-kusuk sambil
mengelap lukisan di ruang makan. Pemuda itu memutar bola mata.
"...Iya tuh, tumbenan dia nggak dijemput sama yg naik mobil itu... Trus tadi dia bangun telat,
pula... Katanya bekernya rusak... Ih, alesan," bisik seorang pelayan dengan agak sinis pada
temannya. Ryo merasa tahu siapa yg mereka bicarakan. Ia berusaha mengunyah sewajar mungkin sambil
mencuri dengar. "...Mungkin emang beneran rusak jamnya..."
"Aaah... Dia itu mah dari dulu kebanyakan dimanjain sama Tuan Arya," sahut pelayan tadi.
Tiba2 Ryo merasa perlu membersihkan tenggorokannya. Ia berdeham, membuat kedua pelayan
itu terlonjak kaget. "Pa... pagi, Tuan," sapa kedua pelayan itu.
Ryo melotot, lalu berkata tajam, "Pagi2 ngegosipin orang..." Ryo pun berlalu dari ruang makan
sambil berpikir. Jadi... si Petra, Petro, atau siapalah itu namanya tidak menjemput Shilla hari
ini... hmm.. Dia ingin tahu kenapa...
Ia terlalu sibuk berpikir sehingga tidak menyadari saat meraih pegangan pintu utama, ada tangan
lain yg juga sedang menggapainya.
Pandangan Ryo dan Shilla bertemu. Shilla sempat melotot kaget saat mendapati tangan siapa yg
dipegangnya. Ia lalu melepas tangannya dan memelototi lantai.
Sementara Ryo hanya terdiam. Belum benar2 memikirkan bagaimana cara membuktikan
kesungguhannya. Sebenarnya ia pun belum siap terlibat kontak lagi dengan gadis ini. Selama
beberapa menit, hanya ada kebisuan. Mereka mematung di tempat. Tidak tahu mau berbuat apa.
Ryo gatal ingin mengatakan sesuatu. "Lo telat." Shilla menoleh lagi ke arah Ryo, melongo, lalu
memelototi lantai lagi sambil mengangguk mendengar pertanyaan Ryo.
"Kenapa?" tanya pemuda itu ingin tahu, sedikit geli melihat Shilla sepertinya ingin sekali
mencari cara untuk cepat2 kabur darinya.
"Mmm," gumam Shilla pelan, "beker saya mati."
"Oohh... bukan karna nungguin cowok lo yg nggak dateng2?" sindir Ryo, tidak bisa menutupi
kesinisan dalam pertanyaannya.
Gadis itu melengos pelan. Ryo bisa mendengar Shilla berkata sesuatu seperti "macan" dan
"survei". Ryo mengangkat bahu sok tak acuh, padahal ia ingin tahu apa maksudnya macan2 itu.
Ya, dia tidak boleh terlalu berharap bahwa maksud Shilla adalah si-potong-bebek-angsa-itu
ditelan macan. Itu akan terlalu indah untuk jadi kenyataan.
"Mau ikut gue?" tanya Ryo, kali ini memutuskan bersikap wajar, bahkan menjurus ketus.
Pikirnya mungkin, akan lebih mudah Shilla mendekat padanya lagi asal ia tidak terlihat terlalu
tertarik. Shilla terkejut sekilas memandang pemuda itu. Ah, Ryo suka sekali melihat mata bening Shilla
membelalak seperti sekarang.
"Gue nggak ada maksud apa2. Gue cuma nggak mau Arya nyesel udah nyekolahin elo karna elo
telat," kata Ryo, sebenarnya agak terganggu mebawa-bawa nama kakaknya dalam urusan ini.
Shilla berdalih, "Bukan karna itu... Saya nggak mau Bianca berpikir macam2..."
Sial. Kenapa pula gadis ini membawa-bawa ratu mulut cabe itu" Senjata makan tuan, rutuk Ryo
diam2. "Nggak usah bawel. Gue tunggu lo di depan," kata pemuda itu akhirnya, mendahului Shilla
menuju halaman depan tempat sedan andalannya terparkir.
Shilla membelalakkan mata sepanjang perjalanan, terkadang melirik cepat ke arah Ryo di
sebelahnya. Ia benar2 tidak memercayai apa yg terjadi. Bagaimana mungkin dia bisa berada
semobil dengan Ryo yg seharusnya terus ia hindari" Dan bagaimana mungkin hatinya mulai
bertalu-talu lagi, kembali menimbulkan teka-teki itu ke permukaan"
Shilla menyadari benar perbedaan berada semobil dengan Patra dan Ryo. Berada semobil dengan
Patra berarti ceria, tertawa karna lelucon2 anehnya yg tak ada habisnya. Berada semobil dengan
Ryo berarti ketegangan. Shilla bahkan segan mengeluarkan suara sekecil apa pun. Yg jelas, kalau
berada semobil dengan Patra jantungnya tidak akan berdetak melebihi batas kewajaran begini.
Shilla berusaha menetralisir ketegangan dengan cara memuntir-muntir kuciran biru
kesayangannya yg ia bawa dari Desa Apit. Ikat rambut yg sudah menemui ajalnya tadi pagi.
Selain bekernya rusak, Shilla menyadari bahwa ini bukan hari terbaiknya, karna kuciran
kesayangannya itu ditemukan tergeletak tak bernyawa alias putus dengan sentosa. Ia terpaksa
menggunakan karet dapur berwarna cokelat agar rambutnya tidak terurai ke mana2.
Mereka terjebak lampu merah. Shilla menarik napas pelan. Memusatkan pikirannya pada kuciran
birunya, daripada memikirkan pemuda di sebelahnya. Mungkin juga dengan berkonsentrasi
kucirannya bisa kembali tersambung. Abakadabra.
"Itu apa?" tanya Ryo heran, melihat benda berbulu di tangan Shilla.
"Kuciran saya," cicit gadis itu pelan, masih menatapi ikatan rambutnya.
"Kenapa lo pegangin?" Ryo menggerakkan matanya, melirik rambut Shilla yg terkucir rapi.
"Karet dapur?" tanyanya tak percaya.
Shilla cuma diam. Tidak ada gunanya deh Ryo bicara, malah mencelanya. Shilla akhirnya
mengangkat bahu. "Kuciran saya putus..."
Ryo mengangkat alis mendengar jawaban Shilla. Beker mati, hampir terlambat sekolah, kuciran
putus. Sial sekali gadis di sampingnya itu. Hei, tapi... bukannya gue bisa... Ryo berpikir sejenak.
Saatnya pergi ke pusat perbelanjaan hari ini.
*** 1 Message Received Shil, ntr plg gue jmpt lo ya see you soon...
Sender: Patra 14:45 Shilla membuka laci di meja sekolahnya, melirik sebentar ke arah Mr. Joe yg sedang
menjelaskan materi dengan berapi-api di papan tulis. Ia mendengar bunyi getaran teredam dan
mendapati SMS dari Patra. Shilla tersenyum sendiri, menyadari bahwa ia sedikit merindukan
Patra dan aura hangat yg dibawa pemuda itu. Saat itu juga, Shilla mendengar dehaman dari
belakangnya. Gadis itu mendelik ke belakangnya, lalu baru teringat siapa yg duduk di belakangnya. Jelas Ryolah yg berdeham tadi. Ia langsung menatap ke depan lagi, karna Ryo kali ini hanya menatapnya
tanpa ekspresi, seakan dia gila. Shilla berusaha melupakan detak jantungnya yg memburu itu
dengan cara membuka SMS terakhir dari Patra, lelucon hariannya, membuat Shilla tersemyum
sendiri lagi. Shilla terus melihat ke arah jam dinding, berharap pelajaran Mr. Joe segera berakhir. Lima
menit... sepuluh menit... lima belas menit... Akhirnya bel pun berdering. Tak lama setelah Sir Joe
beranjak, Shilla mencium kelebatan wangi yg familier. Ternyata Ryo baru saja melesat ke luar
pintu. Shilla mendesah, menyadari ternyata ia masih bereaksi pada wangi itu.
"Shil, gue pulang duluan, ya?" tanya Ifa.
Shilla mengangkat wajahnya. "Lho, tumben, Fa" Biasanya mau ketemu Patra dulu?"
Ifa tersenyum. "Bosen ah, ketemu di melulu."
"Gue juga duluan ya, Shil... Nyokap mau belanja bulanan... Biasaaaa... Gue titip salam buat sopir
lo deh," kata Devta lalu tertawa. Shilla menjulurkan lidah, kesal karna ledekan harian Ifa dan
Devta yg itu2 aja. "Daaah," kata Devta, menepuk kepala Shilla lalu beranjak ke luar pintu.
Tanpa disadari, Shilla kini sendirian di dalam kelas. Ia menghela napas sebentar lalu perlahan
memutar tubuhnya ke belakang. Menatap bangku dan meja Ryo, mau tak mau memikirkan
penghuninya. Shilla lalu bertopang dagu, menumpukan sikunya di meja Ryo.
"Ucapan Bianca itu nggak bener, kan?" tanya Shilla. "Nggak, kan?" ulangnya, setengah
memaksa. Shilla menghela napas, lalu mengambil ponselnya yg ia sadari bergetar di sakunya.
1 Message Received Touchdown... ayo turun, Neng!
Sender: Patra 15:07 Shilla tersenyum lalu bergegas turun melalui lift. Ia tersenyum lagi saat mendapati Picanto hitam
terparkir di depan gedungnya. Shilla melangkah ringan dan mengetuk kaca jendela penumpang.
Patra membuka kaca jendela, lalu tersenyum mendapati Shilla yg tersenyum juga.
"Langit bertanya... di mana Matahari hari ini" Mengapa awan yg seharian menggelayutiku dan
membuat semuanya kelabu?" kata Shilla besajak.
Patra menanggapi. "Matahari sudah kembali dari persembunyiannya... untuk menghibur sang
Putri Langit yg ikut bermuram, katanya."
Shilla tertawa, lalu membuka pintu mobil Patra dan masuk. Patra menoleh ke arah Shilla. "Oke,
sejak kapan gue jadi Matahari?"
Love Command 1 The First Fall Karya Janice Nathania di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Gadis itu lalu tertawa geli. "Sejak kapan aku jadi Putri Langit?"
Patra menjawab tanpa sadar, "Mungkin sejak kita ketemu..."
"Hmm?" Shilla tampaknya tidak mendengar ucapan Patra yg menyerempet itu, karna ia sedang
memelototi strip obat berwarna perak-hijau yg tergeletak di dasbor mobil Patra.
"Kamu punya penyakit maag?" tanya Shilla, mengambil strip itu lalu menoleh ke arah Patra.
Patra hanya tersenyum dan mengangkat bahu.
"Kayaknya gitu... gue kan kalo makan agak nggak teratur. Makan pagi juga jarang," sahutnya
jujur sambil menstater mobilnya.
Shilla berpikir sejenak. "Jarang makan paginya baru2 ini atau...?"
Patra tahu kecemasan yg melayang di benak gadis baik seperti Shilla. "Gue emang dari dulu
jarang sarapan kok, karna memang nggak sempet..."
"Oooh," sahut Shilla akhirnya, tiba2 jadi memikirkan jarak dari daerah rumah Patra ke tempatnya
tinggal. Memang searah sih, tapi... jam berapa dia harus bangun setiap hari" Berapa lama yg
dibutuhkannya untuk bersiap-siap hingga tak sempat menyentuh sarapan" Hmm... Patra slalu
baik padanya, mungkin tak ada salahnya, walaupun tak seberapa, kalau ia melakukan sesuatu
untuk Patra. Sandwich. Shilla memutuskan membuat sepotong sandwich untuk Patra. Mungkin sederhana dan
tidak seberapa. Tapi sebenarnya cuma ini menu sarapan yg bisa ia buat dan tidak perlu
menimbulkan grusak-grusuk berisik saat prosesnya.
Keesokannya, gadis itu berniat membuat sarapan itu pagi2 sekali di pantry, dapur bersih yg
terletak di sebelah kamar Arya, di seberang kamar Ryo di lantai atas. Sambil membawa bahan2
yg sudah ia siapkan di wadah Tupperware besar, Shilla melangkah perlahan menaiki tangga,
berusaha tidak menimbulkan suara.
Entah kenapa, langkah Shilla sempat terhenti di depan pintu bertuliskan "ENTER WITH YOUR
OWN RISK!" yg terletak di seberang pantry yg ditujunya. Ia menghela napas panjang,
memandangi pintu yg pernah membuat pipinya memerah itu. Ia lalu melangkah gontai ke pantry
dan mengeluarkan bahan2 dari Tupperware yg dibawanya.
Shilla menyadari apa yg ia lakukan tadi membuat dirinya resah sendiri. Membayangkan Ryo
hanya sejauh itu dan... Shilla mendesah, ia mulai menggoreng daging asap yg dibawanya di
wajan. Bunyi berdesis dan letupan minyak membuat pikirannya teralih. Dan ia cukup senang
akan hal itu. Ia tidak mau memikirkan Ryo, tapi masalahnya, otaknya tak mau diajak
berkomplot. Shilla mengetuk-ngetukkan jarinya ke dahi. Berharap dengan berbuat begitu bisa
menghilangkan bayangan Ryo di benaknya.
Sementara Shilla sudah hampir menyelesaikan bekalnya dengan cara "mencoret" bagian atas
sandwich dengan saus sambal, menulis huruf2 yg pasti akan membuat Patra tertawa ketika
melihatnya, ternyata Ryo sudah bangun dari tidurnya.
Ryo sedang menikmati kelancaran internet pagi hari dengan mengunjungi beberapa situs musik
favoritnya. Saat ia sedang mengunduh musik gratis yg tersedia di salah satu situs, layar PC-nya
bergetar, ternyata Arya mem-buzz Yahoo! Messenger-nya.
Arya78: BUZZ!!! Ryo_Luzardi:" Arya78: Yo" Ryo_Luzardi: Hah" Arya78: Kok lo udah bangun" Di sana masih jam brp"
Ryo_Luzardi: Lah, lo sendiri blm ngorok" Di sono jam brp"
Arya78: Kok pertanyaan gue malah dibalikin"
Ryo_Luzardi: Ngapain coba, Kak, kita nge-chat nggak jelas gini"
Arya78: Kangen juga gue ngejitak pala lo, Yo...
Arya78 is writing a message...
Baru sekali ini sejak berbulan-bulan Arya pergi, mereka bisa berkomunikasi lewat chatting.
Sebelumnya mana pernah jam melek Arya dan jam melek Ryo bertemu.
Arya78: Di sono subuh, ya"
Ryo_Luzardi: Yoa. Arya78: Lo nggak niat nge-chat ama gue apa gimana sih"
Ryo_Luzardi: Lagi ngantuk gue...
Arya78: Ya tidur dong... repot bener.
Arya78: Mending lo bantuin Shilla beberes dapur sana...
Deg. Ngapain juga si Arya bawa2 nama Shilla" Keki juga Ryo menyadari Arya ternyata masih
mengingat Shilla. Hei, tapi...
Ryo_Luzardi: Dari mana lo tau Shilla lg beberes dapur"
Arya78: Ya tau aja, hahahaaha...
Jangan2... pikir Ryo... mereka masih rutin berkomunikasi, lagi.
Arya78: Woi, kok diem" Gue ngasal, lagi... gue udah jarang komunikasi sama dia kok.
Ryo_Luzardi: Oh... trus gue peduli, ya"
Arya78: Hahaha... Ryo_Luzardi: Knp ketawa"
Arya78: Hmm... have you...
Ryo_Luzardi: Apaan sih"
Arya78: Fallen for her"
Ryo_Luzardi: Bkn urusan lo...
Arya78: Hahahaa... Ryo_Luzardi: Tau deh ah... gue off dulu.
Arya78: Lari dari kenyataan nggak akan nyelesaiin masalah, Yo... Hadepin aja perasaan lo...
Ryo_Luzardi has signed off.
Ryo mengetuk-ngetukkan jari ke meja, melirik kata2 yg sempat diketik Arya. Ia menghela napas,
melihat ke arah jam di bagian kanan bawah layar lalu mematikan PC-nya. Matanya tertumbuk ke
bungkusan biru yg kini bertengger di seberang sana, di nakas.
Ryo beranjak dari meja belajarnya dan menaiki undakan ke tempat tidurnya. Mengambil
bungkusan biru yg berisi dua benda yg baru dibelinya kemarin. Benda yg satu tidak sulit
didapatkan, karna ada di mana2, di warung, supermarket semua ada. Yg satunya lagi, sebenarnya
pun tidak sulit didapat, tapi ada proses memalukan yg harus dilaluinya. Dipandangi ibu2 kelewat
gaul, gerombolan cewek yg terus cekikikan, dan pelayan toko berbando kuping kelinci bukan hal
yg menyenangkan, tahu. Tak lama ia terdiam, telinganya mendengar bunyi akrab dari luar. Itu suara yg biasa didengarnya
saat Arya kelaparan dan memutuskan membuat makanan cepat saji. Di pantry. Ryo mengerutkan
kening, Arya jelas2 masih di Paris. Masa sih celetukan Arya benar" Ada Shilla di sana"
Ia melangkah cepat menuruni undakan, bergegas ke pintu dan mengintip dari celahnya. Pintu
pantry tertutup dan ia memang mendengar bunyi sedikit berisik dari sana. Ryo hampir
merapatkan kembali pintu kamarnya saat melihat pintu pantry terbuka, lalu Shilla keluar dari
sana, setengah berlari menuruni tangga, meninggalkan pintu pantry setengah terbuka.
Ryo mengerutkan kening lagi. Kok Arya bisa bener begitu" Hei, Shilla meninggalkan pintu
pantry setengah terbuka. Berarti mungkin, dia akan kembali ke sana. Ryo memandangi
bungkusan di tangannya dan tersenyum lebar. Ia tahu cara memberikan benda2 ini pada Shilla
tanpa terlihat. Ryo jadi tersenyum-senyum lagi mengingat kejadian kemarin, sambil melangkah pelan menuju
pantry. Ia merindukan ekspresi itu dan akhirnya melihatnya lagi kemarin di kelas. Shilla
mendelik kesal yg terlihat sangat lucu di matanya. Lalu, setelah itu, ia melihat Shilla tersenyum
diam2 memandangi lacinya. Jelas, Shilla tidak tersenyum karna laci itu bermain sirkus di depan
matanya, kan" Salahkah ia berharap, Shilla tersenyum diam2 untuknya" Setelah melihatnya"
Ryo terus tersenyum sambil memasuki pantry. Aroma daging asap menyeruak dari sana. Ryo
mengangkat bahu tak acuh, memikirkan di mana ia meletakkan bungkusan itu agar terlihat
Shilla. Ryo melongok ke arah piring sandwich dengan olesan saus sambal acak-acakan yg
terletak di meja seberang pintu. Mungkin di sana saja, pikirnya.
Ryo melangkah pelan menuju ke samping piring itu, lalu baru menyadari secara jelas nama yg
terukir di atas sandwich, terbuat dari sambal, coretan nama rivalnya, P-A-T-R-A.
*** Shilla bergegas menaiki tangga, ia baru saja dari dapur kotor di bawah untuk mengambil
Tupperware lain yg lebih kecil untuk dijadikan kotak bekal. Saat naik itulah ia mendengar bunyi
berderit pelan. Ia menoleh ke arah pintu jati itu. Kalau kupingnya tidak salah, pasti pintu itulah
yg baru saja ditutup, sehingga menimbulkan bunyi berderit tadi. Sudah bangunkah Ryo" Shilla
menghela napas panjang. Berusaha mengusir keingintahuan itu.
Gadis itu melangkah cepat ke arah pantry. Menyadari waktu sudah menunjukkan hampir pukul
lima pagi. Sebentar lagi aktivitas di sekitarnya akan dimulai. Shilla bersenandung kecil sambil
menuju meja tempatnya menaruh sandwich buatannya tadi. Dahinya mengerut mendapati sebuah
bungkusan asing yg bertengger di sana. Bungkusan siapa ini" Kok ada di sini" Apa isinya"
Akhirnya rasa keingintahuan mengalahkan pertimbangan lain Shilla. Ia membuka bungkusan
biru itu dan terkesiap mendapati benda yg ada di dalamnya. Sepasang baterai jam dan ikat
rambut bulu biru berlabel merek salah satu toko aksesoris remaja. Entah kenapa, di otaknya
hanya terlintas satu nama. Walau mungkin tidak mungkin. Pemilik pintu jati berderit tadi. Ryo.
Bab 14 KESADARAN itu merayap bagai kabut. Bergerak pelahan, lalu tanpa sadar terasa mengaburkan
pandangan. Ini yg Patra rasakan kemudian. Kesadaran yg ia takuti, namun ternyata ia harapkan.
Ia mendapati dirinya sedang menggapai air. Sedetik lalu, ia merasakan Shilla di ujung jari, tapi
sesaat kemudian gadis itu tak di sana lagi.
Patra melirik gadis di sebelahnya. Yg lagi2, entah keberapa kali untuk pagi ini, memandangi
langit cerah di luar dengan kegalauan yg menjadi-jadi. Kegelisahan itu seperti berkedip-kedip
bak mercusuar dari setiap jengkal tubuh Shilla. Pasti ada yg tidak beres.
"Shil?" panggil Patra pelan. Gadis di sebelahnya masih diam, matanya berkedip sekali
menandakan kehidupan sambil tetap memandang ke luar jendela. Patra menghela napas lalu
memanggil lebih keras, "Shil..."
"Hah" Eh..." Shilla agak terkejut mendengar namanya dipanggil. "Sori..."
Patra cuma tersenyum. "Are you really here" Or am I talking to a shadow?" Patra menggerakgerakkan sebelah tangannya iseng ke depan wajah gadis di sebelahnya, seakan mau meyakinkan
bahwa Shilla benar2 di sebelahnya. Ulahnya itu akhirnya membuat Shilla tertawa kecil. Diam2
Patra menghela napas lega.
Patra menatap Shilla lekat2. "Jujur, ya... elo lagi kenapa sih?"
Shilla mencubit-cubit pipinya, lalu membuang muka ke depan. Gadis itu tidak menjawab hingga
akhirnya menepuk dahi dengan tangan, seakan melupakan sesuatu. Lalu merogoh ranselnya.
"Tadaaaaa..." Shilla menyodorkan wadah Tupperware ke depan wajah Patra saat lampu lalu
lintas berubah merah. "Apaan nih?" tanyanya. Ia mengambil lalu membuka tutup kotak yg disodorkan Shilla dan
mendapati... sepotong sandwich dengan coretan nama P-A-T-R-A di atasnya. Ia tersenyum
cerah, memutar kepalanya ke arah Shilla dan berkata, "Thanks, ya..."
Shilla mengangguk. "Aku bakal bikinin kamu sarapan tiap pagi lho..."
Patra tersenyum, memutuskan menaruh kotak bekal itu di dasbor dan memakannya nanti, karna
lampu sudah berubah hijau. Ia lalu menginjak gas dan berkonsentrasi menyetir. Tak berapa lama,
Patra melirik cepat ke arah Shilla dan mendapati gadis itu tengah melamun lagi.
Patra mendesah. Oke... pikirnya... Mari kita keluar jalur sebentar. Pemuda itu membelokkan
setirnya ke kanan, bukan ke kiri, ke arah sekolah Shilla.
Shilla yg sedang melamun tiba2 tersadar. "Pat" Kita mau ke mana" Ini bukan jalan ke sekolahku,
kan?" Patra tersenyum. "Bukan... Ke sekolah gue juga bukan..."
"Trus?" "Bolos sekali2 itu menyehatkan, tau..."
Jadi, di sinilah mereka. Di kawasan pantai berbatu besar di Jakarta Utara. Bukan. Bukan Ancol.
Patra tidak seperti mas2 yg kebelet pacaran sampai memilih Ancol untuk tempat nongkrong.
Mereka berada di Muara Baru. Kawasan ini sebenarnya tempat pemancingan dan ada kawasan
Pasar Lelang Ikan tak jauh dari sini. Tapi pemandangan pantai Muara Baru cukup bagus dan
belum banyak orang tahu tempat ini, sehingga masih cukup sepi.
"Waah," kata Shilla. Ia bergegas turun dari mobil dan melangkah ke depan beton yg biasa
dijadikan tempat duduk bagi para pemancin. Ia mememjamkan mata dan menghirup wangi asin
yg entah kenapa mengingatkannya lagi pada seseorang yg berada di dekatnya beberapa minggu
lalu. Shilla membiarkan seragam dan rambutnya berkibar-kibar ditiup angin.
Patra melangkah ke sebelah Shilla yg sudah membuka matanya. "Kayak deja vu, ya," kata
pemuda itu, membuat Shilla mengerutkan kening.
Patra memandang ke laut lepas. "Kita ngeliat laut berdua lagi. Bedanya, kita nggak ngeliat laut
dari atas balkon... dan kita sekarang nggak lagi pake baju pesta... tapi..."
"Tapi?" "Tapi hari ini elo sama galaunya kayak waktu gue nemuin lo di balkon itu. Pertanyaannya...
apakah orang yg sama yg bikin lo begini?"
Tatapan Shilla tiba2 mengeras. Ia sebenarnya tidak mau membahas hal ini. Ia menghela napas,
menatap ombak yg bergulung-gulung, lalu menjawab pelan, "Melihatnya... Merasakan
kehadirannya itu semudah menarik napas. Bahkan tanpa mencarinya, aku menemukannya di
mana2. Karna ironisnya, aku tinggal di tempat dia tumbuh..."
Shilla menghela napas lalu meneruskan. "Tapi merasakannya... begitu sulit. Aku mencoba
'merasakannya' saat memikirkannya..." Gadis itu menaruh kedua telapak tangannya di dada.
"Kadang sakit sekali... Di sini... Tapi apa yg sebenarnya aku rasakan" Rasanya seperti ada bagian
puzzle yg hilang. Jika itu dia... Bagaimana jika aku bahkan nggak tau apa perekatnya?"
Saat itulah kesadaran menghantam Patra. Patra menyadari perekat yg dimaksud Shilla. Perekat
yg belum ditemukannya itu adalah teka-tekinya sendiri. Bagi Patra, Shilla sekarang tampak
seperti anak kecil yg bimbang karna tidak tahu bagaimana cara membuat balon menggelembung.
Patra menggigit bibir. Apa yg harus dilakukannya sekarang" Menyadarkan Shilla bahwa
sebenarnya dia sudah memiliki perekat itu" Atau menawarkan Shilla kepingan dan perekat lain"
"Lo tau," kata pemuda itu akhirnya, "alam yg tenang kayak gini, bisa menyimpan apa?"
Patra terus menatap ke depan, ke arah langit, tidak menghiraukan Shilla yg sekarang
kebingungan menatapnya. "Alam yg tenang kayak gini bisa menyimpan badai. Apakah alam pura2 nggak tau badai akan
datang" Atau dia emang nggak ngerti gimana menunjukkannya pada manusia" Atau dia emang
nggak tau sama sekali" Kita nggak akan pernah tau apa yg dipikirkan alam...
"Badai itu kekuatan alam yg dahsyat, kan" Manusia nggak akan pernah tau dengan jelas pemicu
badai sebenarnya. Manusia hanya bisa mengira dengan keterbatasan pengetahuan yg dimiliki,
tapi yg jelas badai itu pasti dan semudah itu dia datang tanpa perlu permisi. Saat badai bisa
dilacak, maka dia pasti bukan badai alam, tapi badai buatan...
"Cuma Tuhan dan badai itu sendiri yg tau kapan dia datang. Alam akan menyadari badai itu pada
waktunya saat dia di depan mata. Entah alam sudah tau atau pura2 tidak tau tentang badai itu,
lagi2 kita nggak akan pernah tau."
Patra kini menyipitkan mata menatap gadis di dekatnya, memuntahkan amunisi finalnya, "Saat
elo mendengar jelas sendiri gemuruh itu di sana," tunjuknya ke dada Shilla, "lo akan sadar bahwa
lo udah tau badai apa itu sebenernya. Jangan biarin ada sekat yg bikin lo buta, saat lo tau badai
itu nyata." Ucapan Patra ini mungkin seperti racauan orang aneh. Tapi sepertinya Shilla menyadari, Patra
membantunya menemukan perekat itu dengan cara memberi petunjuk. Pemuda itu
membekalinya untuk berenang bukan dengan pelampung, melainkan dengan mengajarinya cara
menemukan tepian saat ia akan tenggelam.
Shilla terdiam. Ryo menatap langit2 kamarnya sambil tidur2 ayam di ranjang empuknya. Ia mendesah, berusaha
menangkapi bayangan yg melayang-layang di benaknya, di hatinya, di langit2 kamarnya, di
mana pun ia berada. Cobalah melayang ke tempat lain, Shilla... batinnya. Ryo memukul-mukul udara dengan
tangannya berharap sosok itu bisa menghilang. Uuugh... Kilat di luar mulai menyambar,
tampaknya akan turun hujan sebentar lagi. Hujan biasanya membuatnya mengantuk. Tapi ia
tidak ingin tidur, karna mimpi malah akan membuat gadis itu semakin nyata, dan membuatnya
semakin memikirkan Shilla lebih jelas keesokannya.
Ponselnya tiba2 berbunyi. Ryo bangkit dari ranjangnya, meraih ponsel di meja kecil lalu
bersandar di kepala ranjang dan membuka pesan yg masuk.
Bianca" Yo, lusa temenin aku ke Welcome Home Party-nya papi-mami Aren, ya"
Please please pleaseeeee... I beg you
Sender: Bianca 20:53 Ya Tuhan, betapa ingin Ryo menendang jauh2 cewek yg terus menempel bagai lintah padanya
ini. Dikiranya dengan memasang emoticon sedih begitu, Ryo akan luluh"
Ryo membanting ponselnya ke ranjang, lalu menangkupkan tangan ke wajahnya. Lebih baik
membuat kopi agar tidak jatuh tertidur, atau mimpinya dipenuhi sosok bayangan aneh dan nenek
sihir bermulut cabe. Shilla melangkah ke arah pantry. Ia berniat membuat kopi karna harus begadang menyelesaikan
tugas sekolah yg tidak sempat diselesaikannya sore tadi. Selain itu, kata2 Patra masih terngiang
di benaknya. Patra jelas2 memberinya petunjuk tersembunyi dari perumpamaan badai itu.
Hmm... Tapi yg mana jawabannya" Alam-nya" atau Badai-nya"
Shilla mengerutkan kening saat berjalan mendekati dapur. Ada suara berisik dari sana. Siapa yg
masak malam2 begini" Chef Dave tidak segila itu sampai mengobrak-abrik dapur untuk
bereksperimen larut malam.
Shilla bergidik ngeri. Dia mendengar suara kilat menyambar di luar... Astaga, ia tidak mau ada
adegan film Scream malam Jumat begini. Shilla menelan ludah. Ia tidak berani, tapi terlalu
membutuhkan kopi untuk membuat matanya terjaga.
Kriieeeettt... Shilla membuka pintu dapur perlahan... siapa itu" Dengan setelan hitam begitu"
Ting... ting... ting. Sosok itu sedang mengaduk-aduk sesuatu.
Shilla berjalan pelan, mendekati sosok yg belum menyadari bahwa ia baru saja masuk. Ia
menelengkan kepala, berusaha melihat siapa sosok itu.
Ryo berbalik saat Shilla berada sekitar dua meter di belakangnya. Ia sempat terlonjak, lalu
mengelus dada. Bikin kaget saja.
Tapi, Ryo lagi2 tidak berkata apa2. Ia sedang berusaha mencari creamer agar kopinya tidak
terlalu pahit. Siapa suruh cuma ada kopi hitam pekat begitu di dapur ini" Shilla pun tidak tahu
mau menyapa bagaimana. Ia mengabaikan detak jantungnya yg nakal itu lalu beranjak ke rak
tempat kopi tersimpan. Tinggal satu sachet terakhir.
Sudah berapa lama ia tidak berada satu ruangan dengan Ryo seperti ini" Ryo dan Shilla saling
memunggungi. Masing2 dengan kegalauan sendiri. Tanpa tahu, badai itu akan menghantam
sebentar lagi. Ryo sudah menemukan creamer dan menuangnya, lalu meninggalkan dapur.
Shilla menghela napas, bersyukur wangi Ryo tersamar wangi kopi yg kental, sehingga
jantungnya tidak perlu bertambah keras bekerja. Shilla sudah menuang kopi bubuk ke cangkir
Love Command 1 The First Fall Karya Janice Nathania di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dan berniat menuang air panas saat tiba2 kilat menyambar terlalu keras.
Shilla tersentak, tanpa sengaja lengannya menggeser cangkir kopi hingga jatuh bergulin ke
lantai. Praaaang... Ia refleks berlutut untuk membersihkan pecahan cangkir. Tapi, saat itu, tiba2
lampu dapur berkedip lemah dua kali dan mati. Tidak. Bukan hanya lampu dapur. Semua lampu
di rumah itu mati. Gawat. Pasti kilat menyambar steker atau entah apa sehingga memutuskan arus listrik. Butuh
beberapa saat juga untuk mengaktifkan diesel. Ah... Shilla benci adegan seperti ini. Ia berusaha
menggeser tubuhnya untuk berdiri saat... "Aaaah," ia kontan mengaduh, salah satu pecahan gelas
itu pasti menyobek lututnya. "Ssssss... aaaaahh... au.." Shilla menggeser tubuhnya, berusaha
mundur, mengira-ngira tempat yg tidak terserak pecahan cangkirnya. Gadis itu lalu mengusap
pelan bagian sekitar lukanya. Dia sulit berdiri kecuali...
Sebuah tangan tiba2 meraih tangan kirinya, sementara tangan lain lagi melingkar di
punggungnya, menopangnya untuk berdiri. Ryo memapah Shilla, ia melingkarkan tangan Shilla
yg tadi ia pegangi ke bahunya.
"Bodoh," gumam pemuda itu pelan.
Mendengar suara bariton itu menggelitik telinganya sedekat ini, Shilla tiba2 jadi kehilangan
kata2. Kali ini ia tak bisa berpura-pura menolak lagi. Sesuatu yg memabukkannya, wangi parfum
Aigner maskulin Ryo. Shilla merasakan pipinya memanas dan memerah. Ternyata gelap, sedikit membantu juga.
Menyamarkan agar jangan sampai Ryo tahu ia tersipu.
"Kaki lo luka?" tanya Ryo.
"Aduh..." Setelah ditanya, barulah Shilla merasakan luka di lututnya lagi.
Ryo tertawa tertahan sambil terus memapah Shilla yg terpincang-pincang. Ah, gadis itu ingin
sekali melihat tawa tertahan Ryo itu. Kedengarannya begitu... tampan. Bisakah ketampanan
didengar" Mungkin bisa bagi Shilla yg otaknya sedang bermasalah, diliputi badai pribadinya.
Ryo memapah Shilla ke halaman belakang. Ia menggeser pintu lalu membiarkan Shilla duduk di
teras halaman belakang yg berkanopi sehingga gadis itu tidak terkena cipratan hujan yg
mengamuk di luar. "Tunggu..." Pemuda itu lalu pergi ke dalam lagi, meninggalkan Shilla yg terdiam menatapi
hujan. Shilla memandangi hujan tidak percaya. Ryo. Ryo. Ryo. Kenapa dia yg mengisi benaknya,
menawarkan sesuatu yg tak lagi dapat ditampiknya" Kebaikan Ryo ini. Harum Ryo ini. Badai itu
mulai berarak, siap menunjukkan jati diri.
Pemuda itu melangkah kembali ke hadapannya. Dari luar, masih ada cahaya samar yg dihasilkan
alam. Shilla bisa melihat Ryo membawa kotak P3K dan kopi yg tadi dibuatnya.
Ryo meletakkan cangkir kopinya di meja kecil di pojok teras. Ia lalu berlutut di depan Shilla.
Menarik perlahan kaki Shilla yg luka.
"Aah," kata gadis itu pelan.
Ryo mengeluarkan kapas dan meneteskan alkohol ke sana. Ia menepuk-nepuk pelan luka Shilla,
mensterilkannya dari bakteri. Lalu Ryo mengoles luka gadis itu dengan ujung cottonbud yg
sudah dibubuhi obat merah.
Pemuda itu mulai meniup pelan luka Shilla lalu membersihkan daerah sekitar luka agar tidak
terlalu kotor dengan cara mengusapnya pelan dengan tisu.
"Sakit, ya?" tanya Ryo, lalu meniup-niup luka Shilla lagi.
Gadis itu seketika terdiam, tidak menyangka Ryo akan mengobatinya begini. Dia tampak manis
sekali. Perlahan Shilla bisa merasakan wajahnya kembali memanas, ia pun menunduk.
Ryo menepuk pelan daerah di dekat luka Shilla, bangkit sebentar mengambil kopinya, lalu duduk
kembali di sebelah Shilla.
Tiba2 Shilla tak bisa menahan keinginannya bertanya pada Ryo. Seseorang yg pernah -dan
mungkin masih- dianggapnya sebagai Ayi.
"Menurut kamu, apa yg harus kita lakukan tentang masa lalu yg selalu terus mendesak ke
permukaan?" tanya gadis itu.
Ryo terkesiap. Masa lalu untuknya berarti Mai. Shilla seperti menanyakan padanya hal yg juga
menjadi pertanyaan untuk Ryo sendiri, yg belum sempat ia pikirkan.
"Melupakannya..." Ya, Mai mungkin ini saatnya untuk melupakanmu... "Saat masa lalu itu tak
begitu penting..." Bukan, Mai bukan berarti kamu tidak penting, hanya... "Apalagi saat elo sudah
menemukan apa yg bisa menggantikan masa lalu itu." Dan aku sudah menemukan penggantimu,
Mai. "Karna kita tidak akan bisa memilih masa lalu dan masa depan pada waktu bersamaan, kan?"
tanya Shilla, tanpa sadar berusaha meyakinkan pilihannya sendiri.
"Ya, tepat seperti itu," sahut Ryo sambil tersenyum. Tanpa sadar Ryo meletakkan tangannya ke
kepala Shilla, mengusap-ngusapnya. Tak lama, ia menjatuhkan tangannya, meraih cangkir
dengan kedua tangan. Shilla menatap sambil membisu Ryo, mendengar gelora yg mulai menggema keras di
jantungnya. Sebenarnya Ryo sendiri menyadari Shilla terkejut akan perbuatannya, tapi malah
sibuk meniup-niup kopinya.
"Kenapa?" Suara Shilla agak bergetar, kebimbangannya memuncak. Ryo menatap Shilla dan
mengerutkan kening, tidak mengerti maksud Shilla.
"Kenapa Tuan ngelakuin ini semua?"
Ryo menurunkan cangkir kopi yg baru akan ia sentuhkan ke bibir. Ia berpikir, apakah Shilla
mulai menyadari perasaannya"
"Ngelakuin apa?" jawab Ryo akhirnya, entah berusaha memancing atau tidak. Ia tersenyum.
"Mau kopi?" ia menyodorkan cangkir kopinya pada Shilla.
Shilla harus tahu apa yg ditutup-tutupi Ryo, sesuatu di balik jawabannya soal masa lalu itu tadi,
siapa yg sudah menggantikan masa lalunya. Ia meraih cangkir kopi itu dan tanpa segan
meminumnya lantas menaruh cangkir itu di antara mereka berdua.
"Apa sebenernya?" Gadis itu menyipitkan mata. "Apa sebenernya yg membuat sikap Tuan
berbeda ke saya semenjak kepergian Tuan Arya" Apa?" Shilla merasakan nada bicaranya
meninggi, ia tidak tahan lagi pada teka-teki ini, sekaligus tertekan mengingat hipotesis Bianca.
Sikap Ryo juga membuatnya makin bingung. Ryo seperti sedang mengejeknya,
menyembunyikan jawaban itu darinya.
Ryo menjadi sedikit bingung. Kenapa gadis ini sebenarnya"
"Itu cuma... Perasaan lo aja. Nggak ada yg berubah," kata Ryo sambil tersenyum miring. Senyum
favorit Shilla. Tapi senyum itu tidak menenangkannya, malah membuatnya makin bingung dan
meledak. "Saya nggak percaya kalo nggak ada apa2. Sikap Tuan itu terlalu... Terlalu..." Gadis itu mulai tak
bisa melanjutkan, suara badai dalam hatinya terasa sungguh berisik.
Ryo mendesah. Entah kenapa kini merasa iba dan tak tega memaksa Shilla membaca isi hatinya.
Masa ia harus meneriakkannya pada gadis ini"
"Mau lo apa, Shil" Lo mau tau tentang apa?" kata Ryo pelan.
"Kenapa Tuan... Terlalu memperhatikan saya?" tanya Shilla mendesak. Dan kenapa saya juga tak
bisa menolak segala sesuatu tentang Tuan" imbuhnya sendiri.
"Itu cuma perasaan lo aja. Nothing important," kata Ryo.
"Mungkin itu nggak penting buat Tuan, tapi penting buat saya... Tuan nggak tau kan, seberapa
sering saya berusaha nggak memikirkan, tapi ingin juga mencari jawabannya sendiri. Betapa
kebingungan ini seolah memecahkan otak saya dan..."
"Dan lo nggak tau apa2 soal otak yg mau meledak, Shilla... Lo nggak tau kan seberapa sering
gue mikirin lo... Betapa gue berharap lo tau perasaan gue dan lo bisa membalasnya. Lo juga
nggak tau betapa gue..." Ryo terdiam, menyadari ia sudah berkata terlalu banyak.
Shilla menatapnya. "Betapa apa, Tuan?" Badai itu mulai merayap, berdenyut dari tepi2
jantungnya yg siap meledak.
Ryo menghela napas pelan. Merasa tidak ada ruginya dikatakan sekarang. "Betapa gue sayang
sama elo, Shil," jawab Ryo akhirnya, menuntaskan pernyataannya.
Shilla mematung, tidak percaya itu jawaban yg dilontarkan Ryo.
Pemuda itu mendesah, "Gue tau lo nggak akan semudah ini nerima jawaban macam begini dari
gue." Ryo membelai pelan wajah gadis yg disayanginya itu.
"Gue nggak akan minta jawaban dari elo, Shil. Di mana pun dan sama siapa pun elo bahagia saat
ini, di sana hati gue akan selalu ngejaga elo..."
Ryo lantas bangkit, tersenyum, lalu tak bisa menahan diri untuk menepuk pelan kepala Shilla.
Ryo kemudian berjalan pelan ke dalam rumah, meninggalkan Shilla dan pikirannya. Teka-teki
itu terbuka. Gemuruh badai yg tanpa sadar selalu ia tekan karna ketakutannya sendiri, kini
berjaya, memperdengarkan gelegarnya kelewat jelas daripada seharusnya.
Patra, akhirnya aku menyadari badai itu. Yg selama ini sesungguhnya sudah ada. Jadi, benar2
cinta. Itu... yg aku rasakan pada Ryo, kan"
Ryo menghela napas dan menelusuri daftar kontaknya. Memencet satu nama, menekan tombol
"yes" dan mendekatkan ponsel itu ke telinganya.
"Bi" Besok kita ketemu oke" Gue mau bicara sama elo."
Bab 15 KABUT yg dulu mengaburkan pandangan itu kini membutakan. Menumpulkan penglihatan.
Menghantamnya dengan kenyataan bahwa ia harus merelakan. Dan meninggalkan serpihan
hatinya menjadi kenangan.
Wanita itu turun ke dapur dan membuka rak makanannya. Mencari-cari apa yg ia butuhkan
untuk bisa tetap terjaga dan melanjutkan persiapan bukti perkara kliennya yg naik banding esok
hari. Akhirnya, ia menemukan yg dicarinya, kotak kardus kopi karamelnya, yg ternyata...
kosong. Wanita itu menghela napas, sia2 ia menempelkan memo kecil bertuliskan "Mom's Possesion" di
sisi depan kardusnya. Ia yakin, kemarin malam masih tersisa satu bungkus kopi karamel di kotak
ini. Siapa yg mengambilnya"
Mbok Tati" Yg anti dengan segala jenis kafein yg katanya bisa membuat umurnya memendek"
Tidak mungkin. Suaminya" Yg jelas2 lebih menyukai kopi hitam pekat" Tidak mungkin. Kalau
bukan mereka, berarti... wanita itu membuang kotak kosong di tangannya, keluar dari dapur,
melewati ruang tamu dan menaiki tangga menuju kamar anak semata wayangnya.
Ia mulai mengetuk pintu. Tidak ada jawaban. Mana mungkin anaknya sudah tidur sebegini awal"
Ia mengetuk lebih keras, dan akhirnya memutuskan untuk membuka kenop pintu di depannya.
Wanita itu mengerutkan kening, tidak terlihat tanda kehidupan di sini. Tapi... Ia mengedarkan
pandangan dan melihat pintu menuju balkon terbuka. Ia melangkah pelan menuju balkon. Dan
melihat anak lelaki semata wayangnya duduk memunggunginya, serius memperhatikan ponsel,
menghela napas setelahnya lalu meletakkan ponsel itu di meja balkon yg terletak di antara
tempatnya duduk dan satu bangku lainnya.
Wanita itu melihat lebih jauh. Lalu menemukan cangkir yg terletak di dekat ponsel anaknya tadi.
Dia tahu aroma isi cangkir itu. Kopi karamel. Wanita itu tersenyum kecil sambil menggeleng,
lalu bersandar pada kusen pintu balkon dan bersedekap.
"Pat?" Patra tersentak, lalu menoleh ke belakang, terkejut mendapati siapa yg berdiri di sana. "Mama?"
Mama tersenyum kecil. Membatin dalam hati apakah anaknya ini sedang melewati masa transisi
akil balik atau apa, sehingga akhir2 ini bertingkah seperti orang linglung.
"Sejak kapan kamu minum kopi?" tanya Mama, lalu berjalan dan duduk di bangku satunya, yg
kosong. Patra cuma mengangkat bahu.
"Pat, jangan sampai Mama tau kamu pakai..."
Patra menatap Mama sedikit kesal. "Ya ampun, Ma... percaya deh. Aku nggak pakai obat atau
apa pun yg Mama pikirin."
"You acting weird, lately... You know?" kata Mama.
Patra menatap ke depan lagi. Melamun menatapi langit di atasnya. Menghela napas pelan. "Ma,"
ucapnya pelan. "Hmm?" tanya Mama, yg memutuskan meneguk kopi karamel Patra yg tergeletak di meja. Ya,
daripada dia tidak minum kopi itu sama sekali.
"Pernah nggak... Mama nggak mendapat sesuatu yg Mama inginkan?" tanya pemuda itu.
Mama mengerutkan kening. "Maksudnya?"
"Mama terlanjur sayang, bukan sekedar ingin, pada sesuatu... Tapi ternyata sesuatu itu bukan
buat Mama," ujar Patra setengah melamun.
Uh-oh. Mama mulai mendapatkan maksud Patra dan mulai menyadari kenapa Patra sering
bertingkah aneh akhir2 ini. Anak lelakinya ini sedang jatuh cinta.
"Oh, jadi ini masalah cewek" You are ini love, aren't you?" Mama tersenyum lebar.
"Maaa..." Patra memutar bola mata.
Mama tersenyum kecil, lalu bangkit dari duduknya, mengusap sayang kepala anak lelakinya yg
beranjak dewasa. Patra menatap Mama yg sekarang sedang berdiri di depan balkon. "Nggak semua yg kamu
inginkan akan kamu dapatkan, Pat. Sekalipun saat kamu sudah memiliki semua hal lain di dunia
kecuali dia." Seekor capung terbang melintas malam, lalu hinggap di susuran balkon, tempat Mama berdiri di
dekatnya. "Kadang dia sudah sedekat ini," Mama menjengkal jaraknya dengan capung itu. "Dan kamu
terlalu egois... merasa kamu akan mendapatkannya..." Mama mengendap-endap lalu berusaha
menangkap capung itu, yg kini terbang ke langit2, menyadari adanya bahaya.
Mama berbalik, memandang Patra lalu mengangkat bahu. "Tapi ternyata dia terbang menjauh...
Terjemahan: dia memang bukan buat kamu.
"Tapi... ssssh..." Mama berbalik lagi, lalu meletakkan salah satu siku tangannya di susuran
balkon, mengancungkan satu telunjuknya ke atas. Patra mengerutkan kening. Lalu baru
menyadari apa yg terjadi, tak lama capung itu hinggap di telunjuk Mama.
Mama menoleh ke belakang, berbisik pelan, "Pada saat yg tepat, dia akan datang sendiri
menghampirimu... dan kamu..." Mama menangkap capung di telunjuknya dengan tangannya yg
lain. Berjalan pelan ke arah Patra lalu menyusupkan capung itu ke tangan anaknya.
"...akan mendapatkannya..." Mama meneruskan kata-katanya, lalu mengedipkan sebelah matanya
dan tersenyum jail. Patra menatap capung yg kini meronta minta dilepaskan di tanganmya, lalu menyadari Mama
sudah berjalan menuju pintu kamarnya.
"Ma?" Mama menoleh pelan. "Ya?"
"Thanks." Patra tersenyum manis.
Mama membalas senyum Patra. "Anytime..."
Patra kembali memperhatikan capung di tangannya. Menyadari perumpamaan Mama, Mama
mengerti. Capung itu bukan menggambarkan Shilla, melainkan menggambarkan perasaannya
pada Shilla. Patra kembali membuka pesan yg tadi dibacanya sebelum Mama datang.
Pat, aku sudah menemukan badai itu. Bantu aku untuk menguraikan padanya, ya" Karna... dia
tampaknya terisap badai yg sama
Sender: Shilla Patra merenung. Bukankah ini sebenarnya tujuan rencananya selama ini" Rencana yg sudah
dibuatnya, bahkan sejak pertemuan pertama mereka. Dia tidak pernah hadir untuk menjadi rival
Ryo, tapi untuk membantu Shilla memecahkan teka-tekinya. Walaupun ia berarti membantu
Shilla menjaring badai bersama Ryo.
Patra melepaskan capung di tangannya. Membiarkan hewan itu terbang ke langitnya sendiri.
"Jadi?" Shilla memutar bola mata dan tersenyum. "Kamu kan udah tau."
Patra tersenyum, menstater dan melajukan mobilnya melewati gerbang hitam menjulang yg
mengerikan itu. "Well, gue kan nggak tau detailnya."
"Harus, ya?" kata Shilla, setengah tertawa.
Pemuda itu mengangkat bahu dan tersenyum. "Hey, seems like you're in a very good mood
today... You keep smiling... Pengaruh kesuksesan teka-teki terpecahkan?"
Shilla mencubit lengan Patra. "Jangan gitu. Aku lagi malu."
"Kenapa malu?" Shilla tertawa kecil, pipinya bersemu merah. "Soalnya tadi pagi aku ketemu dia, trus..."
"Trus?" "Trus dia natap aku dan bilang selamat pagi... hehehe..."
Patra menggeleng-geleng, padahal dalam hati meringis juga. Ya sudahlah, batinnya, yg penting
dia bahagia... Patra membiarkan Shilla berceloteh riang soal kemarin malam. Setiap kata yg
diucapkan Shilla mengirisnya. Ternyata, merelakan bukan berarti lantas terbebas dari rasa sakit
hati. "Dia ngobatin aku, Pat... Ryo gitu, bisa ngobatin orang... Trus dia keceplosan bilang kalo dia..."
"Kalo dia" Lo kenapa jadi suka ngegantung kalimat gini sih?"
Wajah Shilla bersemu lagi. "Kalo dia sayang sama aku..." Gadis itu benar2 mabuk kepayang.
Kejujuran Ryo semalam membuatnya tidak bisa memikirkan apa2 selain pemuda itu, bahkan
tidak ancaman Bianca. Patra mengangguk pelan. Keceplosan, ya. Betapa dia berharap bisa keceplosan juga saat ini.
"Trus maksud lo dengan SMS kemaren malem" Lo mau gue bantu menguraikan apa" Jawaban
esai?" Shilla menatap pemuda di sebelahnya dan melotot lucu. "Gimana sih... tukang bikin
perumpamaan, nggak bisa nebak perumpamaan."
Patra hanya tersenyum. "Dia... dia nggak minta jawaban, Pat. Tapi aku mau dia tau perasaanku juga... Aku nggak mau
menyesal suatu hari nanti, karna nggak pernah bilang..."
Jawaban yg cukup telak untuk Patra. Seperti menyindirnya.
"Kapan?" Shilla mengerucutkan bibir, untuk itu ia juga belum memikirkannya.
Patra mendesah, "Tapi nanti pulang gue masih bisa jemput lo, kan?"
Dan betapa leganya ia ketika Shilla mengangguk. Paling tidak gadis itu masih bisa ada di
dekatnya untuk kali ini. Pelajaran jam terakhir hari itu kosong. Pelajaran Bu Indah sebenarnya, namun kata guru piket
beliau tidak masuk karna sakit. Shilla menghelap napas, menenangkan jantungnya yg kini benar2
tidak tahu aturan. Ia yakin, orang yg berada lima kilometer jauhnya dari sini pun pasti bisa
mendengar detak jantungnya.
Tapi kenyataannya tentu saja tidak. Shilla menyadari siapa yg membuat jantungnya berdegup
begitu keras. Hanya satu sebenarnya, Ryo yg duduk di belakangnya. Ia harus menahan keinginan
untuk terus menoleh ke belakang dan menatap wajah Ryo yg terus membayanginya itu.
Seperti biasa, kelas mulai gaduh. Ketidakhadiran guru pada jam terakhir adalah berkah tak
terhingga setelah seharian berhadapan dengan pelajaran ekstra macam kimia dan fisika.
Kegaduhan itu terhenti saat tiba2 seseorang memasuki kelas mereka. Dagunya terangkat tinggi,
wajah cantiknya tampak tak peduli dan ketukan sepatu Gosh-nya membuat segenap perhatian
tertuju padanya. Bianca berjalan tegap menuju meja Ryo. Membuat seisi kelas memperhatikannya. Menanti
Love Command 1 The First Fall Karya Janice Nathania di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
drama macam apa yg bakal terjadi. Shilla sampai memutar tubuhnya ke belakang.
Ryo menghela napas keras, memandangi Bianca yg berdiri angkuh di samping mejanya.
"I'm pretty sure that we still have a date today," kata Binca, to the point, menekankan kata "date"
tepat sasaran. Ia tak mengacuhkan "rakyat jelata" yg sedang menonton aksinya.
Ryo memandang sekilas ke arah Shilla, yg sempat tertegun lalu pura2 memandang langit2 dan
memutar tubuhnya kembali ke depan. Pemuda itu yakin benar Shilla sedang berpura-pura tak
acuh. Ryo menatap Bianca lelah, yg hanya dibalas senyum manis oleh Bianca. Bianca mendekatkan
bibirnya ke telinga Ryo. "You have promised me... Finish it, now or never." Bianca menjauh,
lalu berjalan angkuh ke luar, setelah sebelumnya melempar tatapan mematikan pada Shilla.
Shilla tidak mengerti apa yg terjadi, meskipun dia memang tidak berhak mengerti. Tapi... apakah
Ryo masih berhubungan dengan Bianca, lalu yg kemarin... Shilla mendengar suara gerakan di
belakangnya dan akhirnya melihat Ryo berjalan melewatinya. Shilla menghela napas panjang.
Ryo sempat menoleh ke belakang sejenak, berniat memberikan senyum menenangkan pada
Shilla. Tapi ternyata gadis itu sedang menunduk, entah mencari apa di lacinya. Ryo mendesah
pelan. Yg penting dia harus menunaikan janjinya pada si ratu mulut cabe dulu.
Shilla meraih ponselnya sambil menenangkan dirinya sendiri. Udahlah jangan negative
thingking, batinnya, Bianca kan memang suka melebih-lebihkan.
*** 1 message received Shil, keluar jam brp"
Sender: Patra Shilla mengetik balasan sambil melirik ke arah jam dinding di kelasnya. Sepuluh menit lagi bel
akan berdering. Sepuluh menit pun berlalu. Shilla segera membereskan alat tulisnya. Tersenyum pada Devta dan
Ifa yg masih belum beberes.
"Aku duluan, ya?" tanya Shilla.
Devta mengangguk, sementara Ifa sedang sibuk berbicara serius di ponselnya sehingga tidak
membalas ucapan Shilla. Shilla memberikan isyarat pada Devta agar menyampaikan pada Ifa
bahwa ia pulang duluan. Setelah Devta menggumamkan iya, Shilla pun mengambil langkah panjang menuju lift. Ia
memasuki lift bersama dua gadis lain yg sibuk berbicara heboh.
"Well, that couple is totally hot. Ya, meskipun gue nggak suka sama Bianca... tapi harus diakui
mereka cocok... Lo tau" Tadi tumben mereka makan siang bareng... Yah, kita tau mereka udah
deket selama ini. Tapi hari ini mereka keliatan lebih."
"Lebih apa?" sahut temannya.
Si ratu gosip melanjutkan, "Lebih hidup... lebih mesra aja gitu..."
Ting... lift berhenti di lantai paling bawah. Shilla tersadar lalu berjalan agak linglung keluar. O...
ke, jadi apa maksudnya dengan pembicaraan tadi" Couple mana yg dibicarakan" Bianca-Ryo"
Ryo" Ryyyooo" Shilla menghela napas tidak mengerti, menuruni undakan depan lalu tersenyum
kecil sambil berjalan ke arah Patra, yg sedang bersandar di kap mobilnya.
"Hmm?" Patra menyadari aura kecemasan itu lagi. "Ada masalah?"
Gadis itu tersenyum. "Semoga aja nggak."
Patra mengangkat sebelah alisnya. "Never mind... boleh pinjem hape" Hape gue barusan lowbatt
trus sekarang mati..."
Shilla menyerahkan ponselnya pada Patra. Lalu tak lama perhatian mereka berdua teralih,
mendengar pembicaraan menarik dari sekelompok gadis yg sedang berjalan melintas.
"Audisi cheerleader. Pasti seru banget. Mungkin bakal lebih seru daripada sesi latihan biasa."
"Oooh... Mau liat berapa banyak yg cukup bodoh menganggap cheerleading itu gampang?"
"Atau berapa banyak yg bakal dipermaluin sama Bianca?"
"Both... Hahahaha... Cheers jadi makin seru sejak Bianca jadi ketuanya... Too much drama from
Queen Bi." Patra tersenyum ke arah Shilla. "Bianca yg pernah lo ceritain itu" Yg lo usap mukanya pake lap
sampah" Yuk, gue penasaran liat mukanya..." Patra menarik tangan Shilla mengikuti arah
gerombolan gadis itu berjalan.
Audisi cheerleader diadakan di taman belakang sekolah. Taman belakang yg biasanya relatif
sepi, kini terlihat lebih ramai daripada biasa. Tim inti cheerleader tahun ini, dengan Bianca
sebagai ketuanya, sedang berlatih. Mengintimidasi para juniornya untuk bisa menjadi sama
kerennya dengan angkatan tahun ini.
Rupanya mereka datang agak terlambat untuk pertunjukan pembuka. Tim inti melakukan
gerakan penutup yg manis dengan Bianca berada di puncak piramida. Tampak tetap cantik walau
keringat membasahi wajahnya. Shilla harus mengakui, selain bakat sombong dan menyindirnya
yg luar biasa, Bianca ternyata memiliki bakat cheerleading yg tak terkalahkan, didukung percaya
dirinya yg tinggi. Kalau Shilla" Ia mungkin lebih memilih memanjat Monas, daripada
menggerak-nggerakkan tubuhnya di depan orang banyak.
Shilla tiba2 tersadar. Kalau gosip itu benar, berarti sekarang di sini juga ada... Ryo. Shilla
melihat pemuda berdiri tidak jauh di depannya. Sedikit tampak terganggu, tapi tersenyum saat
Bianca menghampirinya setelah Bianca meneriakkan "Break bentar!" pada timnya... Tunggu...
Ryo tersenyum" Pada Bianca"
Pandangan Shilla kini tertumbuk pada dua sosok itu. Hatinya bertalu-talu dan perutnya dicekam
kepakan kupu-kupu yg membuatnya mual. Menanti epik apa yg akan terjadi setelah ini. Dan apa
akibatnya pada perasaannya. Ia meramalkan sesuatu yg kurang baik. Apa "pertunjukan" yg
dilihatnya setelah ini akan membuatnya meragukan kebenaran pernyataan Ryo semalam"
Kini Ryo berjalan mendekati Bianca, mengambil handuk kecil di bangku besi dekat situ. Lalu,
perlahan, mengusap peluh di wajah Bianca. Mula2 dahinya, lalu kedua pipinya.
Shilla tidak mengerti apa yg sedang terjadi. Apa yg sebenarnya sedang Ryo lakukan. Patra pun
ikut tergugup, tidak tahu harus melakukan apa, menyelamatkan Shila dari sini atau apa.
Sementara, Shilla mematung melihat betapa... betapa lembut Ryo melakukan itu pada Bianca.
Seperti saat mengobati kakinya semalam.
"Bi," Ryo berkata pelan, "kenapa harus di sini?"
Bianca tersenyum manis, semanis White Witch saat meracuni Edmund Pevensie dengan Turkish
Delight-nya. "Karna kita harus meyakinkan, Yo... Jangan melankolis begitu... Kenapa" Apa
karna ada cewek lo di sini?"
Ryo menatap nyalang Bianca. "Maksudnya?" Pemuda itu mengedarkan pandangan sejenak dan
mendapati Shilla sedang menatapnya tak percaya. Ada kegalauan yg sarat di sana, membuat Ryo
ingin berlari menenangkannya. Ryo juga menyadari ada Patra di belakang gadis itu.
Bianca menepuk pipi Ryo pelan. "Senyum, Yo... bukan begitu cara memperlakukan pacarmu
ini..." "Bi, please," Ryo menatap Bianca dengan pandangan memohon, "gue udah akting jadi pacar lo
seharian ini..." Pemuda itu mendesah. Memang inilah yg dinegosiasikannya pada Bianca semalam. Ia tahu ada
harga yg harus dibayarnya setelah selama ini "memanfaatkan" gadis pongah itu. Dan Bianca,
bukanlah sosok besar hati yg rela melepas apa yg bahkan tidak d
imilikinya tanpa syarat. Bianca akhirnya pura2 berpikir keras, lalu menggeleng. "Belum... Kamu belum total akting jadi
pacarku... Dan aku nggak suka sesuatu yg nggak total..." Bianca menepuk pipi Ryo lagi.
"Lakukan lebih baik..."
Ryo mencuri pandang ke arah Shilla, cemas akan apa yg dipikirkan gadis itu sekarang. "Trus
mau lo apa?" Bianca berbisik ke telinga Ryo. "Say that three magic words and treat me as your girl."
"Bi..." Ryo bertekad menjelaskan pada Shilla setelah ini.
"No compromise. Kamu udah janji, oke" Aku cuma minta satu hari jadi pacar kamu, SATU
hari... Dan aku nggak bakal ganggu kamu lagi. Kamu kan yg minta aku ngejauh kemarin
malem..." Bianca menuding dada Ryo namun tetap tersenyum manis.
*** Shilla tidak mendengar perdebatan Ryo dan Bianca. Ia tidak berada cukup dekat untuk bisa
mendengar. Yg jelas di matanya, mereka berdua sedang berbincang entah apa. Dan Shilla tak
pernah melihat senyum Bianca semanis itu.
Shilla sedang menunggu bom itu disulut, sehingga ia tidak sadar bahwa ia berjalan lebih dekat ke
arah Ryo dan Bianca. Ryo menatap Bianca. "I..." Oh Tuhan, ia benar2 muak diperlakukan seperti ini dan dia ingin
mengakhiri semua secepatnya.
Bianca mengangkat alis dan tersenyum. "Ryo... Ryo... Tatap mata gue dan beraktinglah dengan
baik... Atau perjanjian kita ba..."
Ryo menaruh telunjuknya di bibir Bianca, lalu memandang mata Bianca, berusaha
membayangkan kedua mata Shilla, dan menamatkan episode kisah memuakkan hati itu. "I love
you," katanya lembut, lalu mendekatkan diri.
Kedua mata Shilla membelalak dan bom itu meledak. Kepakan kupu-kupu di perutnya menggila.
Shilla mungkin tidak mengerti apa yg terjadi, tapi dia tahu arti tiga kata yg diucapkan Ryo
barusan. Semudah itukah Ryo mengatakan cinta" Semudah itu"
Shilla berusaha menyangkal apa yg didengarnya, namun ternyata penyangkalan itu meracuninya
dari dalam. Shilla menatap Ryo tidak percaya. Sekarang hatinya jatuh berserak. Namun, perasaan
Shilla yg sudah terlalu dalam pada pemuda membuatnya tidak bisa mengeluarkan sumpah
serapah, bahkan dalam hatinya. Ia terlalu menyayangi Ryo.
Patra menepuk pundak Shilla cemas. Ia juga bisa membaca gumaman Ryo tadi. Si brengsek Ryo,
kalau ia menyebutnya sekarang.
Shilla menoleh ke arah Patra, berusaha keras agar air matanya tidak merebak. "A... aku pulang
duluan," katanya linglung lalu berjalan terseok-seok.
Patra membuang pandangannya ke arah Ryo. Lalu baru menyadari ponsel Shilla masih di
tangannya. Ryo melepaskan telunjuknya dari bibir Bianca, mendesah, "Are you happy now?" Ryo
mendengus lalu berjalan menuju semak2 menjauhi Bianca yg masih mematung.
Drrt... Drrrt... Ponsel Ryo berdering menandakan ada pesan masuk.
Tetap di tempat lo berada sekarang. -P
Sender: Shilla Ryo menoleh ke kanan dan ke kiri. Siapa P" pikirnya. Terdengar gemerisik semak2, lalu
tampaklah sosok yg selama ini selalu ia anggap rivalnya. Patra. Dia sedang memegang ponsel
Shilla. Patra menatapnya dengan ketenangan semu, yg siap meledak kapan saja.
"Serahin dia ke gue," kata Patra.
"Emang gue lagi nyulik orang, ya?" tanya Ryo. Kini dia dan Patra berjalan berputar, mengelilingi
lingkaran tak kasatmata, dengan jarak sempurna yg sama, terlalu berbahaya untuk diubah.
Patra tertawa sinis. "Nggak usah pura2 bego."
Ryo mendesah pelan, menghentikan langkah berputar ala film2 action-nya tadi. "Oke... ini semua
nggak seperti yg Shilla atau lo liat..."
"Oh, ya?" Ryo mengangkat bahu. "Buat apa juga lo minta gue nyerahin dia" Dia belum dan mungkin nggak
akan pernah jadi milik gue" She totally has a crush on you, anyway..."
Patra berdecak. "Lo nggak tau apa yg baru aja bakal lo dapetin kalo lo nggak brengsek kayak
tadi... Dia mau ngasih lo jawaban, yg nggak lo minta..." Patra berjalan mundur, tersenyum
sarkatis pada Ryo. "Tunggu," ucap Ryo.
Shilla berjalan tersaruk-saruk seperti zombie. Buta arah. Entah dia sedang berjalan ke mana, yg
jelas belum begitu jauh dari sekolahnya. Ia tidak percaya. Ryo ternyata... Shilla memejamkan
mata, berusaha menyangkal sakit di dadanya. Puzzle yg sudah terpasang semua itu kini hancur.
Bukan hanya satu keping. Semua keping puzzle itu terserak berantakan dan ia harus menatanya
lagi, suatu hari nanti. Tiiin... tiin... Shilla mendesah, menepikan dirinya ke trotoar agar mobil berisik itu bisa lewat.
Tiiin... tiiin... Shilla mendengus lalu menoleh ke samping, melihat Picanto hitam yg ternyata sumber suara
berisik itu. Kepala Patra muncul dari jendela mobil. "Shil..."
Shilla membuang muka dan berjalan lagi. Patra turun dari mobilnya lalu mengejar Shilla. Ia
meraih pundak gadis itu dan membalikkan tubuhnya.
"A... aku cuma..." Shilla mencoba merangkai kata.
Patra berkata, "Ssshh... sssh..."
Shilla akhirnya membiarkan air matanya berbicara. Patra tidak bisa berbuat apa2 selain
membiarkan tangis Shilla pecah dalam dekapannya.
"Kenapa kamu ngajak aku ke sini lagi?" tanya Shilla.
Patra hanya diam, menatap Shilla sebentar, mengangkat bahu lalu mulai meneruskan
pekerjaannya yg kurang penting, melempari laut dengan kerikil. Mereka kembali ke Muara Baru
lagi. Patra mengajak Shilla duduk ke sini, setelah air mata Shilla dinilainya sudah cukup banyak
untuk memberi minum orang sekampung.
"Pat..." Patra menghela napas, memberikan sekaleng teh hijau yg dikeluarkannya dari saku blazer
sekolahnya pada Shilla. "Minum itu..."
Shilla mengambil kaleng itu dan mengernyitkan dahi. "Pat."
"Minum," kata Patra final.
Shilla membuka penutup kaleng dan menyesap teh hijau di dalamnya. Sejuk rasanya, minum
sehabis menangis. "Teh hijau bagus buat lo... Ada antioksidannya... Mungkin otak lo lagi kebanyakan
karbondioksida atau apa," racau Patra.
Shilla hanya tersenyum. "Thanks, Pat..."
Patra tersenyum akhirnya, mengusap kepala Shilla. "Anytime. Mau sharing sama gue" Gue
nggak keberatan ada adegan air mata ronde kedua..."
Gadis itu tersenyum lagi. "Nggak, lah. Aku nggak mau nangis lagi... Capek... Cuma aku nggak
nyangka aja, Ryo kayak gitu."
"Don't judge a book by its cover. Don't until you know its content..." kata Patra. "Kita nggak tau
apa yg dilakukan Ryo sebenarnya tadi..."
Shilla mengerutkan kening ke arah Patra. "Kamu ngebela Ryo?"
Patra menjawab dengan mengangkat bahu.
Shilla tertawa kecil. "Padahal dulu kamu bilang mau ngutuk dia..." Gadis itu lalu mengalihkan
tatapan ke arah laut. "Ombak itu akhirnya memukul karang lagi, kan" Meninggalkan lubang
erosi lain di sana..."
"Shil..." Shilla melemparkan tatapan memohon. "Please, jangan ngebela Ryo..."
Patra memutuskan mengabaikan ucapan Shilla. "Mungkin ombak itu keliatan jahat ya sama
karang" Membuat karang berlubang, rapuh. Tapi, apa yg baru baru gue pelajari..." Patra
menuding seekor ketam, kepiting kecil, yg sedang berjalan miring memasuki lubang di salah satu
batu karang di dekat mereka.
"Ombak membuat tempat tinggal buat kepiting2 kecil ini berlindung. Ombak membuat karang
bermanfaat. Nggak cuma diam manis nggak berguna kayak sekadar batu. Mereka saling
membutuhkan, tau" Karang membuat ombak tidak melewati batas saat ombak berlari ke tepi
pantai... "Pikirin itu, Shil..." Patra bangkit dari duduknya. "Gue pergi bentar. Kalo lo udah mikir baik2
dan siap pulang, telepon gue. Tadi hape gue udah gue charge di mobil kok." Pemuda itu
menyerahkan ponsel Shilla pada pemilik aslinya.
Shilla mengambil ponselnya, memandang Patra yg kini berjalan menuju mobilnya. "Oh ya," kata
Patra. "Kadang di sini ada pengamen. Siapin uang receh, hati-hati..." Patra memberikan senyum
terakhir pada Shilla. Gadis itu membalas senyum sekenanya. Lalu kembali menatap ke arah laut. Kenapa harus selalu
laut yg menjadi saksi bisu kegalauannya"
Muara Baru begitu sepi. Membuat Shilla mendengar sesuatu lebih jelas. Suara hatinya. Shilla
mulai menyelami hatinya. Siapa yg saat ini memenuhi pikirannya" Ryo. Siapa yg saat ini
menempati hatinya" Ryo. Ternyata, sesakit apa pun hatinya hari ini, sosok itu masih bertahan di
sana, dan Shilla sesungguhnya tetap ingin memiliki Ryo di sini.
Pikirannya terpecah suara gonjreng gitar dan suara serak2 basah dari belakangnya. Shilla tidak
perlu menoleh untuk tahu itu pengamen.
"Cantik... ingin rasa hati berbisik... Untuk melepas keresahan diriku...
Ooh Cantik, bukan kuingin mengganggumu... Tapi apa arti merindu selalu...
Walau mentari terbit di utara... Hatiku hanya untukmu..."
Lagu Cantik dari Kahitna yg dibawakan secara akustik. Shilla menggaruk kepalanya yg tidak
gatal. Oke, suara pengamen itu tidak jelek. Bagus, malah. Tapi apa harus sekarang" Saat ia
sedang sibuk memastika isi hatinya" Shilla merogoh kantongnya, mencoba mencari uang receh.
"Ada hati yang termanis dan penuh cinta... Tentu saja kan kubalas seisi jiwa...
Tiada lagi, tiada lagi yang ganggu kita..."
Shilla sedang merogoh ranselnya saat mendengar penutup refrein ini.
"Ini kesungguhan, sungguh aku sayang Shilla."
Shilla menoleh ke belakang, melihat siapa yg bernyanyi. Sesosok tubuh tinggi yg masih dibalut
seragam Season High. Ryo" Shilla membuang muka. Ternganga.
"Ngapain kamu di sini?" Shilla menoleh ke belakang lagi saat suara gitar itu berhenti.
Ryo tersenyum miring, memetik gitarnya. "Ngamen..."
Shilla memutar bola mata, lalu bangkit dan berjalan mendekati Ryo, yg kelihatan sedang
menyusun kata2. "Shil, gue... Gue tau tadi mungkin gue bikin lo sakit hati. Tapi, gue sayang sama elo. Sumpah,
gue sayangnya sama elo. Ah, gue nggak bisa ngerangkai kata2 bagus nih."
Shilla mendengus. "Dari mana kamu tau aku di sini" Oh... Patra, ya" Sejak kapan kalian
berkomplot?" "Shil," Ryo menatap mata Shilla. "Sori, soal yg tadi. Tapi kalo lo emang udah ilfil sama gue..."
Shilla membalas pandangan Ryo tanpa reaksi apa2. "Ilfil" Emang sejak kapan aku ada feeling
buat kamu?" "Lo tau... Gue nggak akan pernah maksa lo ngejawab..." Ryo mengangkat bahu, berbalik, dan
berjalan menjauhi Shilla.
Mungkin si kucrut Patra itu mengerjainya. Ryo menghela napas. Yah, kalau memang takdirnya
bukan sama Shilla, dia mau berbuat apa. Yg jelas, Ryo tidak akan mudah melupakan Shilla.
Mungkin dia bisa mencoba mengurung diri di ruang bawah tanah dan membiarkan tikus2
menggerogoti... Shilla berlari kecil menyusul Ryo, lalu menyusupkan jemarinya ke jemari Ryo yg tidak
memegang gitar. Ia menyentak tubuh Ryo hingga mereka berdua berpandangan.
Shilla menatap mata Ryo. "Kamu beneran nggak mau tau jawabanku?" tanyanya sambil
tersenyum.
Love Command 1 The First Fall Karya Janice Nathania di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ryo tersenyum. "Sumpah, Shil... Yg tadi gue sama Bianca..."
"Ssssh..." Shilla tersenyum lagi, mempererat genggamannya. "Aku tau dan percaya sama
kamu..." Pemuda itu melepaskan genggamannya lalu memeluk Shilla erat2, tidak berniat melepaskannya.
Ia mengacungkan jempol pada Patra yg sedang memperhatikan dari mobilnya di ujung sana. Ryo
memejamkan mata, menikmati saat itu dan mengecup puncak kepala Shilla, yg kini resmi
menjadi gadisnya. Patra tersenyum melihat pemandangan di depannya. Tak lama ia menunduk dan menghela napas.
Drrt... Drrt... 1 message received Terima kasih untuk segalanya .. :')
Sender: Shilla Patra melajukan mobilnya ke dalam keheningan petang. Sayup-sayup mendengar lagu dari radio
mobilnya. "Aku tak tahu mengapa dirimu... Yang datang saat aku merasa...
Meskipun aku tak mungkin miliki... Namun kuakui, kauubah hariku..."
(Kauubah Hariku - Kahitna)
Dan meninggalkan serpihan hatinya menjadi kenangan.
-END- Sumber: https://www.facebook.com/pages/Kumpulan-cerbungcerpen-dan-novelremaja/398889196838615"fref=photo
Pendekar Panji Sakti 22 Pahlawan Dan Kaisar Karya Zhang Fu Kupu Kupu Mata Dewa 2