Pencarian

The Second Chance 1

Love Command 2 The Second Chance Karya Janice Nathania Bagian 1


Bab 1 Libur tengah semester akhirnya datang juga. Besok. Shilla tersenyum riang sambil menunggu
Ryo menjemputnya di halte kedua terdekat dari sekolah. Ia memainkan ponselnya, mengirim
pesan untuk pemuda itu. To: Ryooo Cepetaaaaan, nanti aku keburu gosong.
Yg tak lama dibalas Ryo: Siapa suruh kamu nunggu di situuu" Jeleeek
Sender: Ryooo Shilla mencibir, lalu memasukkan ponselnya, menahan keinginan untuk membalas Ryo dengan
ejekan sayang yg lebih jahat.
Tak lama, sebuah sedan berhenti tepat di hadapannya. Shilla menoleh ke kanan-kiri, lalu buru2
masuk ke mobil. Ryo yg sebelumnya menunggu dengan senyuman, kini mengernyit kesal melihat cara Shilla
masuk ke sebelahnya. Setelah duduk, gadis itu kembali memperhatikan keadaan di luar jendela
dengan sembunyi2, lalu menoleh ke arah Ryo dan memberikan isyarat agar mobil segera maju.
"Mobil ini pake kaca film, Shil. Nggak bakal ada yg bisa ngeliat kamu dari luar."
Shilla menatap Ryo sambil melongo sejenak, lalu mengangguk-angguk.
Ryo mendengus gusar. "Kamu kenapa sih begini terus, Shil" Kenapa kita harus belagak
backstreet" Kamu punya cowok lain apa gimana?"
Shilla sontak menggembungkan pipi, menatap Ryo sekilas. "Iya kali," katanya ketus, lalu
membuang muka ke arah jendela, ikut kesal. Aku kan udah bilang jangan sampai orang2 di
rumah atau sekolah tahu kita pacaran, pikirnya kesal. Masih terbayang jelas ocehan menakutkan
gadis2 di toilet waktu itu, juga ancaman Bianca, walau ia tidak pernah memberitahu Ryo. Itulah
sebabnya ia rela setiap berangkat diturunkan di dua halte sebelum Season High, begitu juga
ketika pulang. Jadi, bagaimana bisa Ryo menuduhnya macam2" Bagaimana bisa Shilla memikirkan cowok lain
kalau hanya Ryo yg bisa membuatnya berdebar-debar" Jahat sekali. Cih.
"Yeeee... ngambeeeeek," ujar Ryo yg tak bisa kesal lama2 dan kini malah berusaha menahan
tawa. "Auk ah," jawab Shilla sambil bersedekap.
"Heiiiii." Ryo mencolek bahu Shilla.
Shilla menepis jemari Ryo. "Sana ah tangannya."
"Maaf deh, maaf. Kan bercanda." Ryo menjauhkan tangannya. "Aku cuma mau semua orang tau
kalo aku itu punya kamu," katanya sambil mendesah pelan, lalu mulai memindahkan perseneling
dan menggerakkan setir. Shilla ikut mendesah, lalu menoleh ke arah Ryo yg memasang wajah sedih. Ia jadi tak tega.
"Suatu saat ya, Yo."
jawabnya sambil tersenyum, walau ia sendiri tak tahu pasti kapan kata-katanya itu jadi
kenyataan. *** Dua hari kemudian. Shilla sedang terlelap ketika mendengar ketukan di pintu kamarnya larut malam itu. Dengan
mata menyipit karna mengantuk, ia mendesah setelah melihat jam. Pukul sebelas lewat. Ia
menguap, lalu bangkit dan duduk di tepi ranjang sambil menggosok-gosok mata. Mau apa Bi
Okky kemari malam2 begini" Ada tugas yg harus dikerjakan" Mungkin ngasih makan drakula,
pikirnya setengah kesal. Ketukan itu terdengar makin keras.
"Iya, tungguuuuu," sahutnya pelan, lalu mendesah dan berdiri.
Shilla berjalan tersaruk-saruk ke pintu, masih mengumpulkan nyawa. Ia sempat mengernyit
ketika merasa mendengar bunyi berlari teredam, tapi lalu memutuskan itu hanya halusinasi yg
mengerikan. Tak pernah ada yg berlari di lorong malam2 begini.
Ia mendadak sadar sepenuhnya saat nyaris memutar handel pintu. Ia menelan ludah dengan
ketakutan, baru sadar Bi Okky tak pernah menyuruhnya melakukan sesuatu selarut ini. Malah
kepala pelayan itu sendiri yg berpesan semua pelayan harus segera tidur dan tak boleh keluar
kamar selepas setengah sepuluh malam, kecuali jika keluarga Luzardi mengadakan acara atau
mereka sudah izin pergi. Shilla jadi ragu untuk membuka pintu, takut bukan Bi Okky yg berdiri
di sana, malah han... Ah, tidak, tidak, tidak. Shilla menggeleng-geleng, mencegah benaknya
menakut-nakuti diri sendiri.
Kalau ternyata tidak ada siapa2 di luar, Shilla bertekad akan langsung kabur ke tempat tidur dan
bergelung di bawah selimut. Ia lalu menarik dan mengembuskan napas dalam2, sebelum
akhirnya perlahan memutar handel pintu. Ia sempat terlonjak saat menangkap bunyi sesuatu
bekeriut, lalu merutuki diri sendiri karna bunyi itu sebenarnya sering ia dengar.
Dengan mulut berkomat-kamit sibuk berdoa, Shilla lalu menarik napas lagi dan mulai mengintip
melalui celah pintu. Benar, tidak ada siapa2. Gawat. Shilla menelan ludah. Ia baru saja berniat
menutup pintu ketika sesuatu menarik perhatiannya. Ia mengerjap heran lalu menelengkan
kepala dan melongok lebih jauh, ingin memastikan penglihatannya tidak salah.
Tampak barisan bayangan berbentuk tetesan yg membias dan terus bergerak-gerak tak tenang di
salah satu sisi dinding lorong yg agak jauh. Rasa penasaran mulai menggantikan ketakutan
Shilla, sehingga akhirnya ia memutuskan membuka pintu untuk memastikan.
Shilla tersentak ketika ayunan pintunya tiba2 tersendat. Ia kontan memandang ke bawah, lantas
mengernyit saat mendapati sosok gelap yg duduk diam di sana, menghalangi pintu. Boneka
beruang" pikirnya heran sambil mengernyit ketika mencoba melihat lebih jelas. Boneka beruang
putih berukuran jumbo, lebih tepatnya. Karna tak perlu ada yg ditakuti dari sosok lucu itu, Shilla
hanya mendesah dan melangkah ke lorong.
"Halo," ucapnya lembut sambil mengulurkan tangan untuk menggendong tamu berbulunya
malam ini. Jika tidak dalam posisi duduk, ternyata boneka itu hampir setinggi dirinya.
Tiba2 sesuatu terjatuh begitu Shilla mengangkat boneka beruang itu. Ia menunduk lalu
memungut benda yg ternyata secarik kertas kecil.
Hey ya, sleepyhead! Could you please meet my twin by following the candles & petals path" But
don't embrace me too long, *whisper* or he'll get mad.
Shilla menggeleng-geleng, tersenyum setengah geli. Dasar Ryo. Ia meletakkan terlebih dulu
boneka besar itu di kamar kemudian menyusuri lorong.
Ternyata pesan itu benar. Deret bayangan bergoyang berbentuk tetesan tadi ternyata lilin yg
dijadikan pemandunya menuju halaman belakang. Namun ketika ia menggeser pintu halaman
belakang, kerlip cahaya yg tersebar itu kini digantikan kelopak mawar. Ia mendesah, sedikit
waswas akan ada orang lain di rumah yg menyadari perbuatan Ryo. Ia terus berjalan mengikuti
jejak kelopak yg sedikit tersembunyi dalam gelap, lantas agak heran karna jejaknya berhenti di
sesemakan. "Ryo?" panggilnya pelan.
"Sini." Shilla menahan senyum saat mendengar suara Ryo dari balik semak2, lalu mengitari tempat
persembunyian pemuda itu. Ia tertegun begitu mendapati Ryo duduk di atas kain lebar bermotif
kotak2, dengan keranjang piknik dan selimut di dekatnya. Ryo yg sebelumnya diam menatap
langit itu kini berganti menatapnya. "Sini..." panggilnya sambil menepuk-nepuk tempat kosong
di sebelahnya. Shilla melepas sandalnya lalu menuruti kata Ryo. "Ada acara apa?" tanyanya heran. Ia hanya
bisa menelan ludah saat Ryo membuatnya salah tingkah dengan tatapan menusuk pemuda itu yg
biasa. Ryo tersenyum. "Kita nggak pernah nge-date, kan" Karna ka... kita terlalu takut" Jadi, yaaa
sekarang aja." Shilla meng-oh pelan, lalu bertanya, "Trus kembaran kamu itu buat...?"
Ryo tersenyum lagi. "Itu... Tunggu jam dua belas tepat aja."
Shilla mengernyit. Kok nggak nyambung, batinnya. Ia hanya mengangkat bahu, lalu
menjulurkan kepala, ingin melihat isi keranjang piknik itu. Kalau dipikir-pikir, ia lapar juga.
Shilla baru saja mengulurkan tangan, berniat mengambil makanan apa pun dalam keranjang,
ketika Ryo memukul punggung tangannya. "Nggak boleh!"
Shilla kontan mengaduh, lalu melotot galak ke arah pemuda itu. "Sakit tau," ujarnya ketus.
"Emang isinya apa sih?" tanyanya sambil mengangkat alis.
"Itu buat entar jam dua belas," jawab Ryo setengah grogi.
Shilla mencibir, mendesis kesal. Ryo memang tak terlalu mengubah sikap pongahnya walaupun
kini status mereka berbeda. Meski kadang membuatnya kesal, diam2 sebenarnya ia senang juga,
karna gaya Ryo yg begitulah yg membuatnya mengawang-awang.
"Udah sini," ucap Ryo pelan, sambil mengambil dan membuka selimut di dekatnya. Ia
menyampirkan satu sisi ujung selimut di bahunya, sementara sisi lain dibiarkan menyelubungi
Shilla. Sebenarnya Ryo ingin sekali memeluk bahu Shilla, namun ia tidak melakukannya. Cukup
baginya merasakan kulit gadis itu bersentuhan dengan kulitnya. Merasakan panas tubuh mereka
membaur menjadi satu di bawai penghangatnya. Ia bukan orang yg biasa terlibat kontak fisik
sehingga mampu mengendalikan diri.
Lalu tengah malam akhirnya datang juga. Shilla, yg sudah turut merasa nyaman bisa berdekatan
dengan Ryo tanpa harus bersembunyi, kini mengangkat alis memperhatikan pemuda itu menarik
keranjang piknik mendekat.
Ryo membuka tutup keranjang lalu mengangsurkannya pada Shilla, menunjukkan deretan
cupcake dengan hiasan huruf di dalamnya yg membentuk tulisan "Happy birthday, Shilla".
Shilla tertegun, lalu menatap Ryo penuh rasa terima kasih. "Aku aja lupa."
Ryo mengangguk, lantas bergerak perlahan menggenggam tangan Shilla, lalu mendekatkan
wajah dan dengan lembut membisikkan "I love you," di telinga Shilla.
Napas Ryo yg menyapu kulitnya, harum pemuda itu yg terhirup lebih pekat daripada biasa,
membuat Shilla merasa sendinya lumer seketika. Setelah berhasil menguasai diri, Shilla akhirnya
membalas genggaman tangan Ryo, lalu ganti berbisik, "Aku tau."
Malam pun tetap berjalan sebagaimana adanya, meski ada dua percik cinta yg menghiasi
buminya tanpa lagi banyak berkata.
*** Gadis itu tersenyum dingin, membaca berita yg baru dibawa seorang temannya melalui pesan
elektronik. Selihai apa pun mereka menyembunyikannya, kenyataan itu tidak akan lolos darinya.
Ryo dan pelayan itu ternyata...
Bianca meraih ponselnya tanpa ekspresi, lalu menekan speed-dial dan menunggu hingga orang
yg dihubunginya menjawab pada dering pertama. "Aku mau semua yg kamu beritahukan bulan
lalu tentang cewek itu dicetak besar2 dan di-publish di sekolahku. In every corner of my school.
Dan buat seheboh mungkin. Bayar produser infotainment yg mana saja untuk meracik
bumbunya. Meskipun berita ini cuma beredar di lingkungan sekolahku. I don't mind... Hari Senin
semuanya sudah harus tertempel rapi. And don't leave any trace..." Klik. Gadis itu memutus
pembicaraan di ponselnya lalu tersenyum culas dan mengangkat dagu tinggi2. Apa kamu
sebodoh itu, Aryo Luzardi" batinnya. Percaya aku bakal ngelepasin kamu sama cewek miskin itu
begitu aja" Nggak ada apa pun di dunia ini yg nggak bisa didapat Bianca Thalita Pangemanan.
Just wait and see. Bab 2 Waktu pun, berlari tanpa ragu dan sejurus kemudian berlalu. Hitungan hari sudah mencapai
angka tujuh, saat pengujung liburan tengah semester bagi seluruh siswa Season High pun tiba.
Melemparkan mereka kembali kepada rutinitas membosankan namun penting yg harus dihadapi.
Minggu petang ini, kediaman keluarga Luzardi tampak lebih sibuk daripada biasa. Para pelayan
dengan seragam hitam andalan mereka berlalu lalang di sekitar dapur hingga aula besar
(merangkap ruang serbaguna dan ruang tamu), melapisi meja2 dengan kain besar bercorak
abstrak, menumpukkan serbet2 kertas dan piring2 keramik berwarna gading serta menyalakan
kandelir yg terletak di sudut2.
Berbagai pastry berukuran sekali telan ditata di nampan2 cantik, mangkuk2 besar diisi fruit
punch dan bermacam hidangan utama (sebagian besar menu non-fattening, memperhitungkan
mereka yg sedang diet ketat) dimasukkan ke baki2 perak jumbo. Rupanya hari itu jadwal pesta
sosialita diadakan di kediaman Luzardi. Berhubung Arya sedang berada di Paris, Ryo-lah yg
didaulat (dengan terpaksa) sebagai tuan rumah.
Di meja tengah dapur, seorang gadis manis dibantu dua orang lainnya tampak sibuk menuangkan
koktail ke ratusan collin glass yg akan dihidangkan sebagai welcome drink. Shilla sedang
mengisi gelas kedua puluh saat Bi Okky tiba2 menyuruhnya menghias puluhan cupcake polos
berwarna-warni di nampan panjang di meja marmer dapur yg menempel ke tembok, di dekat
pintu. Shilla dituntut menggunakan sumpit untuk mengambil topping (entah itu butiran chocochip atau
sereal honeystar) lalu meletakkannya di atas kue2 mungil menggemaskan itu. Karna tidak
terbiasa menggunakan sumpit, sereal atau chocochip yg disumpitnya kadang melompat ke
mana2. Tepat pada saat itu, sesosok tubuh tinggi memasuki dapur dan tersentil salah satu
chocochip yg sedang melompat indah hingga chocochip itu menempel di bawah matanya,
membuatnya seperti punya tompel. Shilla melotot takut sambil berusaha menahan tawa. "Sori..."
ucapnya, lalu mengelap chocochip itu dari wajah Ryo. Shilla kemudian meneruskan
pekerjaannya dengan tampang tak bersalah.
Ryo merengut. Ia menyandarkan pinggangnya pada meja marmer hingga berhadapan dengan
Shilla, memperhatikan gadis itu dengan tekun menghias kue. Shilla mencondongkan tubuh,
hendak menghias salah satu cupcake yg terletak di pojok nampan, agak jauh dari posisi tubuhnya
saat tiba2 sebelah tangan iseng mengambil kue yg akan dikerjakannya.
Gadis itu sontak mendengus ke arah Ryo, yg sedang melahap cupcake tadi tanpa rasa bersalah.
"Kenapa?" tanya Ryo sambil mengangkat alis. Ia melahap sisa cupcake lalu terbatuk pelan. Ia
berdeham lalu berkata agak lantang, "Nggak ada yg nyediain saya minum nih?"
Shilla menatap Ryo tidak percaya. Dasar orang gila. Shilla menghentikan pekerjaannya sejenak,
lalu melihat sekeliling. Para pelayan yg sedari tadi sibuk menyiapkan tetek bengek pesta kini
mengerubungi lemari pendingin. Mereka mengambil berbagai macam minuman lalu
meletakkannya di baki panjang untuk dipilih Ryo, seperti biasa.
Pemuda itu mengambil sekaleng moccacino dingin dengan angkuh, saat baki itu disodorkan ke
hadapannya. Ryo membuka penutup kaleng, menyesapnya sedikit lalu memandang Shilla,
"Mau?" Shilla tersenyum masam, lalu memutuskan kembali berkonsentrasi pada sumpit laknat itu, yg
masih menolak bekerja sama dengannya.
"Nggak bisa pake sumpit, ya" Lama banget?" cela Ryo pelan. Suaranya terdengar sedikht parau.
Shilla menggeram pelan. Mentang2 sedang kesal karna terpaksa menjadi tuan rumah acara yg menurut Ryo sendiri- kurang penting ini, jangan menularkan aura kejengkelan ke semua orang
dong. Selepas adegan -agak- romantis pada malam ulang tahunnya, ia dan Ryo memang kembali pada
aktivitas adu mulut rutin mereka. Sepertinya kapasitas sikap manis pemuda itu memang hanya
ala kadarnya. Shilla mendengus. Dalam hati meratapi begitu banyak cupcake yg harus dihiasnya. Dan pemuda
di sampingnya ini bukan datang membantu malah merecoki.
Ryo menguap kecil lalu menyapukan pandangan, mencari objek untuk menceriakan dirinya yg
mengantuk. Shilla memutar bola mata saat melihat pemuda itu mencegat seorang pelayan yg
membawa baki berisi pai apel berukuran sekali telan. "Ambilin satu," Ryo menadahkan tangan,
"yg isinya paling banyak..." kata pemuda itu banyak maunya. Pelayan itu hendak meletakkan
sebuah pai di tangan Ryo saat tuan muda yg satu itu misuh2, "Ambilin tisu dulu dong, baru
ditaro di tangan saya... Gimana sih..."
Setelah mendapatkan keinginannya, (disertai bungkukan dalam2 dari pelayan tadi), Ryo melahap
pai tersebut, lalu menepuk-nepuk perutnya. Ia menyesap moccacino-nya dan terbatuk pelan.
Tenggorokannya memang agak gatal sejak tadi.
Shilla memandang Ryo. Ia mengira batuk tadi merupakan salah satu bentuk gangguan lain dari
Ryo, namun dilihatnya wajah pemuda itu agak pias. "Kamu sakit?" tanyanya.
Ryo mengangkat bahu lalu menatap Shilla. "Kalo gitu ambilin aspirin deh..." kata Ryo dengan
nada memerintahnya yg biasa. "Sekalian air putih."
Shilla menyipitkan mata. "Nggak bisa bilang 'tolong', ya?"
Ryo cuma mengangkat alis hingga akhirnya Shilla beranjak mengambil aspirin di kotak obat.
Kemudian ia menuangkan air dari pitcher ke gelas tinggi dan memberikannya keduanya pada
Ryo. Ryo menelan obatnya, meletakkan gelas ke meja, lalu memandang Shilla yg kini kembali
berkutat dengan cupcake. "You are so friggin' boring, tau nggak?" kata Ryo, yg cuma dijawab dengan tatapan mencela
oleh Shilla. Pemuda itu menghela napas, membetulkan posisi berdirinya lalu menarik tangan Shilla keluar
dapur. Ryo mencolek salah seorang pelayan yg dilewatinya. "Selesaiin kerjaan dia," ucapnya
sambil menunjuk nampan cupcake itu dari kejauhan.
"Ry... eh, Tuan apaan sih?" sergah Shilla terengah, menyadari tatapan aneh yg diluncurkan
semua pelayan ke arah mereka.
Ryo berhenti tepat di tengah aula, dan memandang Shilla dengan jengkel. Shilla menatap
tangannya yg masih berada dalam genggaman Ryo, lalu baru menyadari penampilan pemuda itu
malam ini. Ryo tampak gagah dengan setelan merah marun mahalnya, yg makin menonjolkan
warna mata pemuda itu. Shilla lalu ganti memandang dirinya sendiri, dengan seragam pelayan
keluarga Luzardi. Ini yg disebut pungguk bersanding dengan bulan.
Omong2 soal kekontrasan pakaian, seorang gadis berperawakan mungil baru saja memasuki
aula, mengenakan tube dress hitam super ketat dan killer shoes yg benar2 killer, membuat Shilla
buru2 melepaskan tangan Ryo.
"Mantan kamu, arah jam sembilan," bisik Shilla iseng, menyamakan skor dengan Ryo yg sejak
tadi membuatnya kesal. Tanpa menghiraukan protes Ryo, ia melanjutkan, "Aku ngumpet dulu
deh," ucapnya, meninggalkan Ryo yg mendengus kesal menghadapi gadis mungil yg
menghampiri sambil tersenyum sinis.
Akhirnya, Shilla menghabiskan malam itu dengan bersembunyi di dapur, membenahi piring2
kotor. Bab 3 Shilla turun dari angkutan umum, membetulkan posisi ransel hitam andalannya, lalu menutup
hidung demi menghindari semburan asap knalpot bus yg menderu meninggalkannya. Hari ini
Ryo tidak masuk sekolah. Selain karna masih pusing, pemuda itu bilang dia memang punya hak
istimewa untuk izin dari sekolah kapan saja -itu katanya.
Gadis itu melangkah memasuki gerbang lalu berhenti beberapa meter setelah melewatinya. Ia
melirik cepat ke kanan dan kiri, lalu tanpa kentara mengecek atasan seragamnya. Kemeja dan
blazernya masih terkancing semua. Dasi tersimpul rapi di leher. Shilla menengok ke bawah.
Kaus kakinya serasi, putih sebatas lutut dengan lambang Season High di bagian atas. Bahkan dia
pun memakai sepatu yg benar. Tidak tertukar antara kiri dan kanan. Atau mungkin... Shilla
meraba bagian belakan rok lipitnya, ritsletingnya jelas2 tertutup rapat. Lantas kenapa semua
orang menatapnya seakan ia alien yg baru turun dari piring terbang perak untuk menginvasi


Love Command 2 The Second Chance Karya Janice Nathania di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bumi" Shilla berjalan cepat sambil menoleh ke sekelilingnya dengan curiga. Tarik napas, Shilla...
batinnya. Gerombolan cewek di sana tidak sedang berbisik-bisik membicarakanmu dan
kumpulan cowok yg bersandar di depan kap VW itu tidak mungkin menyuitimu. Memang siapa
kamu" Artis" Shilla menarik napas dalam2 seolah mengumpulkan kekuatan, lalu berjalan ke dalam gedung. Ia
memasukkan kartu pelajarnya ke mesin absen dan bergegas menuju lift yg sudah terisi
gerombolan gadis lain, menggenapkan jumlah delapan orang dari total maksimal yg bisa
diangkut lift ini. Gerombolan itu terdiam ketika Shilla memasuki lift. Shilla berbalik menghadap pintu yg hampir
menutup tepat saat sebuah tangan berhias gelang Swarovski dengan kasar memencet tombol
"open" di dekatnya.
Shilla mendengar kasak-kusuk di belakangnya. Sebuah suara bernada manja, sepertinya pemilik
tangan yg masih menahan tombol itu, berbisik pada teman-temannya, "Ada DIA, bego..." Kata
kedua diberi penekanan agak keras. "Gue nggak mau satu lift sama DIA..."
Shilla mengerutkan kening lalu merasa gadis2 di belakangnya mulai meringsek maju dan
menyenggolnya dengan kasar untuk keluar. Sekarang hanya dirinya yg tersisa di dalam lift. Ada
apa sih sebenarnya" Apa semalam orang2 planet Mars menculiknya, lalu mengubah mukanya
hingga sekarang ia tampak seperti alien"
Hal terakhir yg dilihat Shilla adalah tatapan penuh kejijikan yg dilemparkan kepadanya melalui
celah pintu lift yg kian mengecil.
Ini hari apa sih" Apa ada hari nasional baru di kalender" Hari-Mari-Anggap-Shilla-Kena-Kustadan-Jauhi-Dia-Beramai-ramai" batinnya sarkatis. Ia masih ingat jelas tampang cowok yg
membawa buku fisika supertebal yg hampir memasuki lift di lantai dua tadi.
Hampir. Karna saat melihat Shilla yg tersenyum mempersilakannya masuk, cowok itu tiba2
menggaruk kepala, menjauhi lift sambil bergumam samar, "Tunggu lift lain aja deh..."
Shilla mendengus kesal mengingat kejadian itu lalu keluar dari lift ketika akhirnya tiba di lantai
tujuannya. Ia menegapkan tubuh. Bodo amat deh orang2 mau apa, pikirnya. Namun ternyata
Shilla tak bisa berpura-pura tidak peduli. Di lantai ini, kasak-kusuk terdengar lebih lantang
ditujukan pada dirinya. Sial, kenapa kelasku harus ada di ujung lorong sih" batinnya kesal.
"Anjrit. Masih berani masuk aja dia, gile... Ckckck..."
"...korbannya mana" Kok nggak sama dia" Udah insaf kali ya?"
"Gue nggak relaaaa... Masa pangeran kita sama dia"!"
"Dulu gue kirain ransel bututnya itu ala2 NY street style gituuu... Eh, taunya rombeng
beneran..." "Ulah dukun kampung dia kali. Dukun kampung kan biasanya ilmunya asli, nggak ecek2 kayak
di Jakarta gini..." Shilla berjalan memasuki kelas sambil menggigit bibir. Meski sekarang sadar semua omongan
aneh itu ditujukan padanya, ia masih tidak tahu apa persisnya yg mereka bicarakan.
Suasana kelas yg agak gaduh mendadak hening saat ia masuk. Ia menunduk dalam2, menyadari
semua mata terpaku menatapnya. Ia berjalan menyusuri lorong barisan kursinya berada. Namun
langkahnya terhenti ketika penghapus murid yg duduk di depannya terjatuh. Secara otomatis,
Shilla mengambil dan menyerahkan penghapus itu pada sang empunya yg kini melongo
menatapnya. "Ehm... Buat lo aja deh..." kata si pemilik penghapus sambil meringis geli.
Entah dari mana asalnya, tiba2 sepotong blazer Season High melayang ke kakinya. Shilla
menatap oknum pelempar blazer itu. Gadis yg kini hanya mengenakan kemeja, melemparkan
pandangan meremehkan ke arahnya.
"Ambhlin dong blazer gue. Eh, cuciin aja deh, Mbok... Udah biasa kan" Eh, eh, jangan deh...
Buat lo aja, gue sumbangin. Daripada lo morotin cowok cuma buat seragam... Hii..."
Celetukan gadis tadi mengundang gelak tawa seisi kekas, kecuali satu orang. Devta (Ifa tidak
terlihat) yg sekarang memandangnya miris. Shilla menghela napas pelan, lalu melanjutkan
langkah menuju kursinya, tepat saat bel masuk berbunyi.
Shilla mengempaskan tubuh ke kursi. Tak lama kemudian, Pak Chiko masuk ke kelas dan
menyuruh mereka mengerjakan evaluasi bab lima sementara ia sendiri mengoreksi hasil ulangan
kelas sebelah. Shilla membuka bukunya, lalu berusaha memecahkan soal nomor satu. Tetapi,
saat ini satu-satunya soal yg harus diselesaikan otaknya adalah: Kenapa sih orang2 ini"
Devta yg duduk tak jauh darinya, mencoleknya. "Pinjem buku cetak..." gumam Devta pelan.
Shilla yg bingung karna Devta jelas2 punya buku cetak sendiri akhirnya menurut dan mengoper
bukunya. Devta melirik ke kanan-kiri, lalu menyelipkan sepotong kertas ke buku cetak Shilla dan
menyerahkan buku itu kembali.
Shilla mengerutkan kening melihat kertas tersebut. Devta bergumam, "Baca aja. Jangan histeris.
Selebaran itu ada di mana2 di seluruh penjuru sekolah..."
Shilla menurut lalu membuka bukunya. Kertas dari Devta sepertinya selembar salinan sebuah
artikel yg aslinya mungkin seukuran surat kabar lalu diperkecil. Shilla melotot membaca kepala
berita dan isi artikel tersebut.
A FILTHY FACT (and a Scummy Scandal)
Between the heir of Luzardi's throne and his servant"
Jakarta, 23/09- Who doesn't know Aryo Junio Luzardi"
An arrogant but to-die-for prince typical, one of the two heirs of Luzardi's giant corporation"
(Everybody does) And does anyone know this unknow common girl named Ahsilla
Ratsomething" (No one, actually). But, is this for real that they are dating"
Bahkan, di sinetron laga campur dongen paling kacangan yg diputar salah satu televisi swasta
kita pun, tidak pernah ada cerita mengenai hubungan seorang putra mahkota dan seorang budak.
At least, Cinderella pun sebenarnya anak bangsawan yg didera ibu tirinya. Selusuh apa pun
Cinderella, ia masih punya status yg dibawa ke mana2. Sementara, Ahsilla kita ini membawa tak
lain, hanya dirinya dan buntelan penuh kuman, bakteri, dan mungkin juga berbagai ilmu sesat
saat memasuki istana keluarga Luzardi. Berakting sebagai pembantu rumah tangga, Ahsilla
Ratsomething ini memikat kedua (ya, keduanya...) pewaris takhta kerajaan bisnis Luzardi untuk
memenuhi keinginan kotor "kecil"-nya.
Dikabarkan, ibunya sendiri menemui ajal di tangannya. Demi memenuhi keinginan kotornya,
ibunya juga terpaksa menjual dir...
Shilla menggeram rendah. Artikel SAMPAH macam apa ini" Sial. Shilla mengetuk-ngetukkan
jemarinya, lalu memindai artikel tersebut dengan cepat (ada foto dirinya bersama Ryo yg tak bisa
ia ingat kapan diambilnya). Ia menemukan banyak kata2 nakal yg tersirat, seakan dirinya bukan
perempuan baik2. Gila, semua masa lalunya tertulis di sini, walau dengan mayoritas fakta yg
diputarbalikkan. Shilla menjauhkan kertas itu, seakan ada kuman di sekujur permukaannya. Maaf saja ya,
batinnya, artikel yg bahkan salah mengeja namaku ini tidak akan mengusikku. Silakan melucu
dan tertawa sendiri sana.
Namun Shilla tak bisa lagi berpura-pura tidak peduli. Dua hal lain terjadi beruntun pada jam
pelajaran terakhir siang itu (pelajaran kosong, karna sebagian besar guru sedang rapat). Dua hal
yg menyulut lalu meledakkan emosinya.
Hari itu, Shilla memang tidak pergi ke kantin. Ia sudah terlalu lelah menghadapi tatapan dan
ocehan sinis murid2 lain. Saat Shilla sedang membuat lukisan benang kusut di buku tulisnya,
tiba2 kantong plastik hitam mendarat di mejanya. Ia menoleh ke kanan-kiri, namun tampaknya
semua orang di sini patut dicurigai. Dengan waspada, Shilla membuka bungkusan itu. Ternyata
isinya bongkahan roti berjamur dengan olesan entah apa yg berlendir dan berbau menyengat.
Secarik kertas terselip di sana, membuat kemarahan Shilla mencapai ubun2. "Starving" Don't be
greedy! Share it with your f***in' mother in hell. LOL"
Shilla membuang kantong hitam itu ke lantai, diiringi tawa anak sekelas yg sejak tadi ternyata
memperhatikan gerak-geriknya.
"Heh, jangan nyampah lo, anak kampung!"
"Kalo mau buang sampah, buang aja sekalian diri lo! BUAHAHAHA!"
Shilla mendengus lalu kembali menekuni lukisan benangnya yg makin kusut. Hal kedua itu
menghantam egonya tanpa jeda. Seorang temannya tampak membagi-bagikan selebaran kecil ke
setiap meja. Dia juga memberikannya pada Shilla dengan kasar. Apa-apaan lagi ini" Kalau
sampai artikel tadi... Shilla membaca selebaran itu.
Season High Charity Fundraising
Date/time: Today, after school -onward
Place: Season High's backyard
About: The aim of today's Charity Fundraising is to help our scummy lil' servant of the month,
Ms. Ass-hilla Rayanda. Ynu can collect everything to our founder team. Trashy clothes, holey
flip-flop even your old underwear (ooops). Don't miss the fun! See ya!
Ini sudah keterlaluan. Shilla menangkap kalimat yg dicetak kecil di bagian bawah selebaran itu
(brought to you by Pangemanan & Co. Ltd), lalu mulai menyatukan puzzle dalam otaknya. Jelas
saja, nenek sihir itu dalangnya.
"Eh, Ass-shilla... Gue lagi pake kaus kutang nih. Bau sih keringetan... Mau nggak nih" Gue
sumbang sekarang aja ya" BUAHAHAHAHA!" celetuk seseorang.
Shilla mengepalkan tangan. Tanpa menghiraukan seruan ejekan di belakangnya, ia bergegas
menuju kelas nenek sihir busuk itu. Sekarang tak perlu ada yg ditakutinya, karna toh ancaman
Bianca sudah terlaksana. Tapi tidak dengan fitnah begini caranya.
Shilla membanting pintu kelas Bianca dengan emosi yg menjalari sekujur tubuh. Seisi kelas itu
hening saat ia masuk lalu entah dari mana mulai terdengar siulan tidak sopan dari seluruh
penjuru kelas. Shilla berusaha menulikan telinga dan menyapukan pandangan ke seisi ruangan.
Nenek sihir sialan itu tidak terlihat di mana pun, tapi Shilla bisa melihat antek-anteknya sedang
cekikikan persis kuntilanak.
Shilla bergegas mendekati gerombolan itu dan berkata keras, "Mana si nenek lampir?" Tidak ada
jawaban. Seakan pertanyaannya hanya angin lalu. Shilla menginjak kaki salah seorang dari
gerombolan itu dengan tampang tak bersalah, hingga si pemilik kaki meringis dan
memelototinya. Ia bertanya lagi dengan tenang, "Mana ketua laknat kalian?" Ia bersiap-siap
menginjak lagi kaki siapa pun jika tak ada yg menjawab.
Gadis bertampang sok imut dengan bando kuning mencolok yg duduk di dekatnya berdiri dan
menjawab, "Ah... LO ngomong sama kita" Kirain sama debu yg beterbangan." Bahkan gadis ini
tidak bisa melucu. "Kita nggak tau tuh Bianca di mana..."
Shilla menatap garang si bando kuning, lalu menarik dasinya hingga gadis itu kelihatan tercekik.
Terdengar lagi seruan heboh di sana-sini.
"Wow. Ganas juga dia!"
"Eh, cewek. Gue juga mau kali dilayanin kapan2."
Sejuta kali sial. Shilla memelototi si bando kuning, menuntut jawaban. "Dii... a... dddi... tt-tooil...
et," ucap gadis itu akhirnya.
Shilla menyentakkan dasi si bando kuning dengan kasar, lalu meninggalkan kelas berisik itu.
Bianca baru saja memandangi cermin panjang yg di kamar kecil untuk mengecek kerapian
pulasan bibirnya saat menangkap sosok bayangan lain di belakangnya. Bianca tersenyum culas,
meneruskan kesibukannya. Cermin setinggi satu meter lebih yg terletak di dekat wastafel ini
berguna sekali. Cukup untuk memuat hampir seluruh refleksi dirinya yg cantik.
"Uuuuh... sejak kapan ya, sampah punya kaki buat jalan ke toilet?" ucap Bianca pelan sambil
menata rambutnya. "Sejak kapan juga putri sampah punya otak buat bikin fitnah murahan begitu?" Shilla
menyipitkan mata ke pantulan wajah Bianca. "Aku nggak suka cara kamu..."
Bianca mengangkat sebelah alis. "None of my business, that is exactly what will happen to
everyone who gets in my way."
Shilla menghampiri Bianca sambil menahan amarah yg menggelegak di hatinya. Kalau di film2
kartun, pasti sekarang kepalanya sudah berasap.
Bianca memandangi siluet yg mendekatinya. Dalam hati dia ketar-ketir juga. Dia tahu gadis itu
bisa sangat brutal terhadapnya, apalagi dia sendirian di sini.
"I told you... Don't even try to mess with me..." kata Bianca sok tenang, masih berpura-pura
sibuk berkaca. "And YOU stole my boy..."
Shilla tertawa kecil. "Jadi, Ryo masalahnya?"
Bianca berbalik sambil berdoa dalam hati agar dirinya bisa pulang dalam keadaan utuh. "Ya
iyalah, sam-pah!" Shilla tersenyum sinis. "Bahkan Ryo pun masih memilih aku yg 'sampah' ini dibanding nenek
sihir busuk sepertimu. Caramu... kam-pung-an..." Shilla menekankan kata terakhirnya dalam tiga
silabel berjeda. Bianca membalas senyum Shilla tak kalah sinis. "Who are you, anyway" Criticize my evil act.."
Shilla pura2 terkejut. "Ah, jadi kamu mengakui kamu memang anak setan, ya" Selama ini aku
udah curiga sih." Bianca menggigit bibir, lalu memuntahkan peluru terakhirnya. "Gue juga udah curiga kenapa lo
murahan banget. Mungkin karna ibu lo yg udah mati itu juga pela..."
Sebelum kata2 tidak sopan itu meluncur, Shilla sudah terlebih dahulu meringsek ke arah Bianca,
menyundutkan gadis itu hingga punggungnya beradu dengan cermin. Catat ini, semua orang
boleh menghinanya. Tapi tidak sekali pun, tak ada ejekan sekecil apa pun soal almarhumah
bundanya yg boleh keluar dari mulut2 hedonis itu. Shilla melayangkan tinju ke permukaan
cermin tepat di dekat telinga kanan Bianca hingga cermin itu berderak pecah. Kini serpihan kaca
menyusup dan merobek kulit tangannya.
Bianca terkesiap mendengar suara pecahan kaca itu tepat di dekatnya. Ia menatap buku2 jari
Shilla yg kini mengucurkan darah.
Shilla mendesis kepada Bianca yg bergidik ketakutan, "Jangan sampai aku denger kamu
membicarakan ibuku seperti itu lagi. Atau serpihan kaca ini akan menguliti wajah cantikmu
selapis demi selapis," Shilla mengacungkan punggung tangannya yg tersusup potongan kaca. Ia
mendengus lalu merobek lapisan terbawah rok tumpuk mahal milik Bianca. Ia membalut
tangannya yg terluka dengan carikan kain mahal itu, lalu mengentakkan kaki keluar tepat saat
bunyi bel pulang terdengar. Shilla bergegas melangkah ke kelas untuk menyambar ranselnya,
mengacuhkan ejekan yg kini terasa makin memuakkan dan berjalan menjauhi mimpi buruknya.
Shilla mengibaskan tangannya yg perih sambil mengendap-endap ke kamar. Darah mulai
merembes ke carikan kain yg membalut buku jarinya. Shilla mengambil sebotol obat merah di
kotak P3K serta beberapa peralatan yg ia perlukan dari dapur. Kini ia sibuk mencari pinset.
Setelah mendapat semua yg diperlukan, ia duduk di pinggir ranjang. Ia melepas balutan kain dan
menyadari genangan darah mulai mengering di antara jemarinya, sementara masih ada darah
segar mengalir pelan dari luka yg terbuka. Kemudian sambil meringis ia mulai mencabuti
serpihan kaca di buku2 jarinya dengan pinset yg sudah disterilkan alkohol. Ada beberapa
serpihan yg tertanam terlalu dalam sehingga ia harus sedikit mengorek kulitnya untuk menarik
serpihan tersebut ke luar. Shilla meletakkan semua serpihan kaca itu di mangkuk.
Akhirnya semua serpihan kaca berhasil dicabut. Ketika Shilla baru hendak membersihkan noda
di sekitar lukanya dengan air hangat, terdengar ketukan di pintu kamar. Shilla berdiri,
menyembunyikan tangannya yg terluka di balik punggung, lalu membuka pintu.
"Ryo?" Shilla terkesiap mendapati sosok jangkung yg berdiri di depannya. Ia semakin
menyembunyikan tangannya.
"Cuma mau tanya, tadi di sekolah ada kejadian apa?" tanya Ryo dengan teramat tenang.
"Apa" Nggak ada apa2," jawab Shilla sedikit gelisah.
Ryo menghela napas pelan, lalu memperhatikan Shilla dan bahasa tubuhnya yg aneh. "Kenapa
tangan kamu disembunyiin begitu?" tanyanya curiga.
Shilla baru saja akan menjawab "Nggak pa-pa" saat tangan Ryo meraih ke belakang
punggungnya. Dia memegangi tangan Shilla, memperhatikan buku2 jarinya yg masih bernoda
darah. Ryo menatapnya dengan lelah. "Siapa yg bikin tangan kamu jadi begini?"
Shilla hanya menjawab dengan gelengan.
Ryo menghela napas, memandangi Shilla dengan cemas. "Shilla," tuturnya keras hingga gadis itu
menatapnya juga. "I'm your man. Please... lean on me."
Shilla membisu. Tak pernah ada yg menawarkan diri sebagai tempat bersandar untuknya
sebelum ini. Dan yg pertama, pemuda... Bukan. Pria-nya. Ia suka bagaimana cara Ryo
mengatakannya. Pria, bukan pemuda. Menjanjikan kemantapan.
Ryo melepas tangan Shilla perlahan, merogoh saku celana dan meraih ponselnya, lalu
menunjukkan layar lebarnya pada Shilla, membuat gadis itu mengerutkan kening.
"Berita kampungan itu juga tersebar di milis grup siswa Season High. Siapa yg tau apa yg bakal
terjadi sama kamu karna berita ini" Coba tadi pagi aku ngecek e-mail," sesal Ryo.
Shilla menunduk dalam2 mendengar Ryo mengomel sambil mondar-mandir. "Kita harus lakuin
sesuatu. Klarifikasi kalo kamu bukan pelayanku, kamu bukan dari kampung."
"Yo, tapi itu bener," kata Shilla pelan.
Ryo berhenti mondar-mandir lalu menatap Shilla. "Nggak semua di berita itu bener, kan" Yg
perlu kita perbuat hanya melakukan persis apa yg dilakukan si penyebar fitnah ini.
Memutarbalikkan fakta, tapi ke arah yg lebih baik. Aku bisa beliin kamu rumah untuk
mendukung alibi itu dan..."
Kini ganti Shilla mendesah lelah. "Yo..."
"Aku bisa sewa notaris untuk mengurus surat2 palsu soal kamu... orangtuamu... trus..."
"Yo!" ujar Shilla keras, hingga Ryo menoleh kaget ke arahnya. Shilla merasa suaranya nyaris
histeris saat berucap, "Lihat aku! Ini aku dan ini diriku! Berita itu nggak semuanya benar, kamu
tau itu. Aku nggak mau kamu mengubahku menjadi orang dengan status sosial lain. Karna inilah
aku! Aku memang cuma pelayan dan berasal dari kampung. Harusnya kamu juga mau menerima
aku apa adanya." Shilla melanjutkan lirih, "Harusnya kamu berani menunjukkan pada dunia
bahwa aku adalah aku, dan kamu nggak malu sama hal itu." Ia mengakhiri dengan desah
panjang, sedikit meragukan "pria"-nya itu.
Ryo menghampiri Shilla lalu bergumam, "Sori." Ia menggigit bibir. "Tapi... ini tetep harus
diluruskan, oke" Mungkin bukan ke arah yg lebih baik, hanya yg lebih benar. Gimana?"
Shilla mengangguk pelan. "Dan aku harus mengejar oknum penyebar fitnah ini. Kamu tau siapa orangnya?" tanya Ryo,
mulai mondar-mandir lagi. Shilla belum sempat mengatakan apa2 hingga akhirnya Ryo menepuk
dahinya sendiri dan bergumam, "Pasti si ratu mulut cabe itu, kan?" Ryo tersenyum misterius.
"Kita lihat kejutan apa yg akan nenek sihir dan orang2 Season High itu dapatkan besok,
hahaha..." Akhirnya, setelah Ryo menepuk pundaknya, Shilla membiarkan pemuda itu mengobati
tangannya sambil bertanya-tanya rencana sinting apa yg sedang disusun olehnya.
Bab 4 Mereka sedang berpura-pura jadi tentara, yg membantah mentah2 idiom "Revenge is a dish best
served cold". Ah, ayolah, apa enaknya sesuatu kalau sudah dingin" Maka, mereka menancapkan
sanggahannya. Revenge is best served hot in a boiling cauldron and in a smooth, unpredictable
way. Jadi, dalam suasana yg masih mendidih itu mereka mulai mempersiapkan perlengkapan perang
tak kasatmata. Sekutu2 sudah dihubungi dan menyanggupi. Pelatuk sudah ditarik meskipun
moncongnya tidak dikokang terlalu tinggi. Ranjau pun telah disebar di tempat2 tak terduga,


Love Command 2 The Second Chance Karya Janice Nathania di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

untuk melumpuhkan siapa pun yg berusaha mendekati wilayah mereka. Sekadar melumpuhkan,
bukan mematikan. Karna terkadang, kemenangan sempurna bukanlah melihat musuh tergeletak
tak bernyawa, melainkan membiarkannya mendeklarasikan kekalahan dengan berlutut di
hadapan kita. Revenge is also sweet, eh"
Mereka seperti agen rahasia yg sedang merencanakan misi balasan dendam sambil menganalisis
peta kekuatan lawan. Mereka mempelajari teknik ampuh untuk memenangi pertempuran: Buat
musuhmu lengah dan mengira segalanya baik2 saja. Lebih baik lagi, buat dirimu seolah sudah
menyerah sehingga musuhmu tidak tahu kapan amunisi itu diarahkan kepadanya.
Seperti malam ini, Ryo memandangi ponselnya yg baru saja berbunyi, tanda ada pesan masuk.
Ryo melengos setelah melihat siapa yg mengirim pesan itu. Dasar cewek muka badak, batinnya.
"Siapa?" tanya Shilla. Entah kenapa, Ryo mengajaknya duduk di kursi panjang berayun di teras
belakang yg sepi setelah membalut lukanya dengan perban. Mungkin dia mau mematangkan
rencana yg sudah disusunnya.
"Bianca," jawab Ryo pelan sambil memasukkan ponsel ke sakunya lagi.
"Oooh," jawab Shilla pelan.
Ryo tertawa "'Oh'-nya kok begitu banget?" tukasnya lalu hendak merangkul Shilla, yg langsung
dicegah si empunya bahu. Belakangan ini Ryo memang mulai tidak bisa menahan diri, setelah
menyadari ia harus melindungi Shilla.
"Duh, nanti ada yg ngeliat," sergah Shilla sambil celingukan lalu menangkap sebelah tangan Ryo
dan menempatkannya di samping tubuh pemuda itu lagi.
"Ck..." ucap Ryo kesal. "Katanya mau nunjukin ke dunia kalo aku nggak malu pacaran sama
kamu." Shilla mencibir. "Dunianya kecuali rumah kamu deh. Lagian ada yg lebih penting buat dipikirin
nih." "Apa?" "Soal besok," kata Shilla lalu menatap Ryo dengan pandangan please-deh-gitu-aja-nggak-tau.
Ryo mengangkat sebelah alisnya. "Alaaah. Besok kan aku yg melaksanakan misi. Kamu cuma
duduk diam manis di rumah."
"Itu kan rencana kamu. Aku juga bakal tetep masuk sekolah kok kalo kamu nggak ngelarang."
"No, no, no. Kalo kamu diapa-apain trus aku nggak bisa bantuin, gimana" Bisa berantakan deh
semua," ucap Ryo. "Tuh, kaaaan." Shilla mengerutkan hidung. "Kamu udah telepon Pak Bono lagi?"
Ryo mengangguk. "Udah beres semua kok. Tinggal besok akting aja nih depan si ratu mulut
cabe. Itu sih kecil," katanya sambil menjentikkan jari.
Shilla tertawa kecil, lalu terdiam. "Jahat banget nggak sih kita" Biar begitu dia kan cewek," kata
Shilla serius, seakan mengatakan bahwa Mars tidak termasuk planet dalam gugusan galaksi
Bimasakti. Ryo memandang Shilla dengan heran. "Yg kita omongin ini Bianca lho. Kamu yakin dia
cewek?" Shilla sampai menonjok bahu Ryo. "Dia tuh udah mempermalukan kamu di depan
ratusan orang. Lah, dia cuma bakal dipermalukan di depan Tuhan, aku, dan dirinya sendiri."
Shilla bergidik. "Asal aktingnya jangan keterusan aja nanti."
"Nanti kamu cemburu?" tanya Ryo.
"Nggak. Ih." "Alaaah." "Nggak ya nggak. Bweeeek." Shilla menjulurkan lidah. Lalu terdiam karna Ryo menatapnya
lekat2. Tanpa sadar sedari tadi Ryo merapat ke tubuhnya, membuat Shilla ikut bergeser. Tanpa
melepas pandangan, Ryo menggenggam tangannya.
"Shil..." ucap Ryo pelan.
"Apa?" sahut gadis itu galak, detak jantungnya mulai memburu. Mau apa Ryo ini" Gelagatnya
mencurigakan. Ryo mendekatkan wajahnya ke wajah Shilla, membuat Shilla bergeser lagi. Ryo menatap Shilla
hingga gadis itu merasa seolah tenggelam dalam matanya.
"Shil..." ucap pemuda itu lagi. Shilla merasa bulu kuduknya meremang. Dia sudah merapat
sampai ke tembok dan tidak bisa bergerak lagi. Hingga akhirnya Ryo mengerjapkan mata.
"Shil, kok geser2 mulu sih" Mataku kelilipan nih. Tiupin dong..."
Dweeeeng. Siang hari itu terlihat biasa. Matahari masih bersinar, rerumputan masih bergoyang dan Ian
Kasela masih setia dengan kacamata hitam. Tapi menurut Bianca, ini salah satu hari terbaiknya.
Gadis itu memandangi ujung kukunya yg sudah dimanikur rapi sambil menatap ponsel di
lacinya, menunggu balasan pesan singkat teman-temannya yg sebenarnya duduk tidak jauh
darinya. Drrt... drrt... drrt... drrt... drrt... drrt...
Bianca melirik cepat ke arah Bu Wiwien, guru keriput berusia menjelang enam puluhan yg
mengajar sejarah. Gaya mengajar serta suara Bu Wiwien lantang tapi mendayu-dayu membuat
dia sama kuno dan membosankannya dengan materi yg diajarkan. Bianca sampai bingung.
Kenapa Bu Wiwien tidak didepak dan diganti guru lain saja sih" Dia juga tak habis pikir kenapa
Season High menjadwalkan mata pelajaran sejarah di jam terakhir. Ya mampun, mana ada yg
masuk ke otaknya" Tentu saja Bianca tak memikirkan masalah itu terlalu lama. Gossip model terbaru Burberry jauh
lebih menarik daripada masalah begitu.
4 messages received To: Bianca Smw artkel udh dcopot, pkokny ga ad jjak lo dh.
Bianca tersenyum senang. To: Bianca Gw td liat mang dudung, tkg prkir yg bolot it aj ngmongin gsp kmrn. Yuhuu psti udh jd hotnews
di slrh skul dech. Good, good, batin Bianca.
To: Bianca Gue dah tny Goldi, ktny tuh cwe g msk skul
Munkin dia udah bunuh diri.
To: Bianca Td guw ktm Ryo, doi nanya lo mana" cieee... ad prkmbangan bru ap nih"
Bianca tersenyum membaca pesan terakhir itu. Teman-temannya ini ketinggalan berita deh. Ryo
kan sudah mencampakkan gadis itu dan melancarkan pendekatan ke arahnya. Ryo sepertinya
sama sekali tidak tahu siapa dalang di balik berita miring seputar gadis itu. Ah, tentu saja, mana
ada sih yg bisa menahan pesona Bianca Thalita Pangemanan" Sekali menjentikkan jari lagi, Ryo
pasti bakal berlutut di hadapannya. Siapa suruh dulu sok jual mahal. Ha ha.
Pesan pertama kemarin malam dibalas cukup lama oleh Ryo. Toh akhirnya Ryo membalas dan
mereka terlibat percakapan. Begini kira2 rangkaian pesannya (sayangnya Bianca tidak tahu
Shilla yg mendiktekan isi pesan itu):
Yo, lg ap" Sender: Bianca Lg napas Sender: Ryo ("Dih, kok jutek amat sih balesnya?" kata Shilla sambil melongok layar ponsel Ryo.
"Biarin, udah bagus dibales," tukas Ryo, yg langsung disambut jitakan Shilla.
"Ck, nanti aku yg balesin aja deh.")
Oh. Sender: Bianca ("Nggak seru nih Bianca balesnya. Kita langsung PDKT aja. Oke?" Shilla memainkan alisnya,
lalu merebut ponsel Ryo dan memandanginya lamaaaaa sekali. "Yo, aku nggak ngerti HP kamu.
Kamu yg ketik, aku yg dikte deh," kata Shilla, membuat Ryo mengerang gemas.)
Lo sndr lg ap" Sender: Ryo (Balasan ini diketik cukup lama karna Shilla dan Ryo berdebat panjang sebelumnya. Shilla mau
kata2 yg lebih mesra seperti, "Kamu lagi apa" Udah makan?" Tapi Ryo bilang dia tak mau
disangka sama noraknya dengan tukang sayur.)
Lg mikirin kamu eh, berita itu bnr y" Hmm sori loh yg di milis itu..
Sender: Bianca ("Yaiks. Ini mah muna tingkat tujuh namanya. Udah deh nggak usah dibales, nanti dia ngompol
kegirangan lagi," kata Ryo yg langsung dijawab cubitan Shilla.
"Bales nggak" Kan sekalian buat besok," ujarnya sambil melotot.)
Menurut lo" Tau dh gue ga pduli.
Sender: Ryo Sorry. Trs dia kmn" msh d rmh km" ih gatau diri bgt ya
Sender: Bianca (Shilla mencak2. "Siapa tuh yg nggak tau diri maksudnya, hah?")
Ga tau juga. Ga peduli. Gue lbh mikirin reputasi gue.
Sender: Ryo Iya juga sih, hehe. Eh, moochie-ku lg msk bengkel nih
Sender: Bianca ("Siapa Moochie?" tanya Shilla.
Ryo menjawab sekenanya, "Jin piaraan dia kali." Mereka berdua berpikir keras, lalu baru
menyadari itu nama mobil Bianca.)
Oh gt. Trs bsk lo brgkt ma syp"
Sender: Ryo Brgkt sama sopir. Plgny paling nebeng Cindy
Sender: Bianca ("Bagus nih, Yo. Kamu nggak perlu repot2 mikir gimana dia ikut pulang bareng kamu...")
Oh kbtulan bsk siang gue mo ke arah rmh lo. Plgny ikt gue aj gmn"
Sender: Ryo Serius" Thank you, Yo
Sender: Bianca Yep. Sender: Ryo (Shilla hampir menari salsa saking girangnya membayangkan misi mereka berhasil sementara
muka Ryo sekecut jeruk nipis.)
Bianca tersenyum-senyum dengan pandangan menerawang, tidak menyadari Bu Wiwien tahu
ada satu siswi yg tidak mendengarkan penjelasannya sejak tadi.
"Bianca!" bentaknya.
"Hmm?" sahut gadis itu setengah sadar. Pikirannya masih mengawang.
"Bianca!" Bu Wiwien menghampiri Bianca.
Bianca tersadar lalu mendelik ke arah Bu Wiwien. "Ck. Apa sih bu?" tanyanya ketus.
"Siapa yg memenangi Perang Teluk?" tanya Bu Wiwien, mengevaluasi materi yg baru dibahas.
Gadis pongah itu mengernyit lalu memamdangi ujung kukunya. "Yg jelas bukan Papi saya..."
Seisi kelas tergelak. Bu Wiwien menahan amarah hingga wajahnya memerah.
"Perang Teluk II?"
bianca melengos dan menatap Bu Wiwien dengang pandangan please-deh-segitu-pentingnya-yague-aja-belom-lahir. "Jack Sparrow kali," ucapnya enteng lalu tersenyum ke arah Bu Wiwien.
Bu Wiwien mendengus, berusaha bersabar. Memandang penjelmaan pepatah "Tong Kosong
Nyaring Bunyinya". Tidak pernah ada murid selancang ini sepanjang sejarah mengajarnya.
Sayangnya, dia tahu siswi ini anak orang berpengaruh di Season High. Seandainya gaya
menghukum lama bisa diterapkan disini. Ujung2 jari anak itu akan dihajarnya dengan cambuk
paku, bukan lagi rotan. "Kita lanjutkan pelajaran. Tolong semuanya perhatikan kalau mau lulus
semester pertama!" tegasnya, membuat Bianca mencibir karna sadar dia yg disinggung.
Belum lagi Bu Wiwien tiba di depan papan tulis, bel pulang sudah memekik-mekik. Seisi kelas
pun melonjak kegirangan dan bergegas membenahi peralatan sekolah masing2 dan
meninggalkan kelas. Di tengah kegaduhan khas pulang sekolah, Bianca yg asyik membaca ulang pesan2 dari Ryo di
ponselnya dikejutkan kerumunan murid di lapangan parkir. Mereka tampak kebingungan.
Anehnya, mereka semua mengalami hal yg sama.
Setiap mobil salah satu bannya bocor. Dan tak satu pun dapat menjawab kenapa hal seaneh itu
bisa terjadi. Ryo tergelak memandangi sekelilingnya. Semua warga sekolah tampak kebingungan di lapangan
parkir. Tentu saja semua orang melongo memandangi setiap mobil yg salah satu bannya bocor.
Namun mereka tidak tahu ada satu mobil yg tidak kekurangan apa pun. Hanya mobilnya.
Ryo menggeleng-geleng sambil mengetukkan jarinya ke setir, lalu memutuskan mengabari Shilla
yg pasti sedang manyun di rumah karna ketinggalan kabar.
"Halo!" sapa Shilla ketus. Dia uring-uringan seharian mendekam di rumah tanpa tahu apa2. Ryo
tidak membalas pesannya. Devta dan Ifa membalas, tapi mereka tidak tahu apa yg terjadi di
sekolah karna Devta sedang mengantar Ifa berkeliling mengajukan proposal acara sekolah yg
beberapa bulan lagi akan diadakan pada sponsor2 yg tampaknya berminat. Mereka berada di luar
sekolah. "Duile. Galak bener," kata pemuda yg suasana hatinya sedang bagus itu.
"Ck. Ngapain nelepon2" Masih inget aku" Atau kamu lagi berduaan sama si nenek sihir itu"
Aktingnya keterusan?" cerocos Shilla.
Ryo menjauhkan ponselnya sejenak. Shilla kesambet apa sih" Kenapa jadi galakan dia" "Shil,
ah. Diem dulu kenapa sih..."
"Iya, iya..." Shilla melengos di ujung ponsel.
"Part one has been done," ucap Ryo "Sekarang semua anak yg cari gara2 sama kamu lagi
kebingungan nyari tau kenapa ban mobil mereka gembos."
"Oh," jawab Shilla datar, masih keki.
Ryo berdecak. "Seneng dikit kenapa sih Shil" Begini kan juga demi kamu..."
"Iya. Aku seneeeeeeeeng banget, Ryo Sayaaaaaang. Nanti yg mesra yaaaaa sama Bianca..." ucap
Shilla dibuat-buat. "Puas?"
Ryo mendesah. Lagi PMS kali nih si Shilla. Biarin dulu deh, nanti di rumah baru dijitak,
batinnya. "Ya udah deh Shil. Bianca lagi jalan ke mobil nih. Aku siap-siap dulu."
Shilla melengos. "Uuuh. Siap-siap. Awas aja kalo aktingnya keterusan," ancamnya. "Daah.."
Klik. Bab 5 Sepanjang jalan, Bianca tidak berhenti mengoceh kepada Ryo yg terus-menerus tersenyum
memikat kepadanya. Padahal dia tidak tahu Ryo sedang berusaha menulikan telinga. Bianca
berasumsi panjang-lebar soal keanehan ban2 yg bocor itu dan tidak curiga sama sekali kenapa
hanya mobil Ryo yg tidak tersentuh. Padahal kalau dia lebih pintar sedikit saja, harusnya dia tahu
kejadian itu salah satu bentuk awal pembalasan Ryo.
Gadis itu kini berceloteh soal Shilla. "Udah aku bilang kan, Yo," katanya penuh kemenangan.
"Bangkai itu kalo disimpen lama2 pasti bakal kecium juga baunya." Bianca tersenyum licik, lalu
baru menyadari Ryo menatapnya curiga.
Bianca bergidik melihat pemuda itu menyipitkan mata. Gawat kalau sampai ketahuan. Duh.
Untungnya Ryo malah berkata pelan, "Lo bener..."
"Hah?" "Gue bilang, lo bener."
"Bener soal apa?" tanya Bianca memastikan pendengarannya.
Ryo berdecak. "Soal bangkai itu lah. Yg harusnya dikubur, bukan disimpen. Yg harus disimpen
itu harusnya... berlian, kan?"
Bianca mengangkat alis, menyadari Ryo sedang merayunya. Pemuda itu melanjutkan, "Gue juga
bingung kenapa kemaren bisa suka sama dia. Artikel di milis itulah yg bikin gue sadar. Bener
juga. Apa selevel gue sama dia?"
Bianca mencibir lalu mulai berceloteh riang lagi, tidak tahu pemuda itu tertawa dalam hati. Gadis
ini tentu tidak tahu dia sedang dibawa ke tempat "eksekusinya". Ke lokasi "pemakamannya"
sendiri. Ironis. "Ngapain kita ke sini?" pekik Bianca ketika menyadari Jeep milik Ryo menjejak daerah
pinggiran Jakarta. Jalan yg ditempuhnya agak sepi dan masih berupa kawasan tanah merah. Uh.
"Yo" Kita mau ke mana sih?" Bianca mulai bergerak-gerak gelisah di joknya. Ia melirik Ryo yg
tengah serius menyetir. Tatapannya tampak menyeramkan. Berbagai bayangan berkelebat dalam
benak Bianca. Jangan2 Ryo sebenarnya psikopat pemutilasi orang kayak Ryan Jombang,
makanya gue dibawa ke tempat sepi, pikirnya ngeri.
Ryo menepuk punggung tangan Bianca. "Tenang aja, Bi," katanya sambil tersenyum. Berhasil.
Bianca terdiam karna setruman yg dirasakannya saat Ryo menyentuhnya.
Jeep milik Ryo berhenti di depan gedung tua yg tampak kusam dengan beberapa kaca jendela yg
menghilang. Tiga buldoser tersebar di sekitar gedung bobrok itu, di sekeliling gunungan pasir
dan kerikil. "Yo?" pekik Bianca meminta penjelasan. Masa bodohlah soal setruman2 tadi. Ngapain gue
dibawa ke sini" Disuruh ngejalanin buldoser" Nyalain vacuum cleaner aja gue nggak bisa. Atau
jangan2, pikiran soal Ryan Jombang melintas lagi, gue bakal digilas dengan buldoser itu" Bianca
menepuk-nepuk pipinya, berusaha menghilangkan pikiran negatif itu.
Ryo melompat dari mobilnya lalu menuju pintu penumpang dan membukakannya untuk Bianca.
"Ayo turun." Apa" Turun" Turun ke tanah merah lembek kotor yg entah sudah bercampur dengan unsur jorok
apa saja itu" Bianca memandangi black pump heels-nya. Sori saja ya... gue nggak sudi
membenamkan hak cantik ini ke tanah bau itu. No, no, no, batin Bianca.
Bianca menggeleng kuat2. "Nggak. Aku mau pulang. Anterin. Aku. Pulang. Se-ka-rang!"
ujarnya dengan nada memerintah. Lupa bahwa Ryo adalah tuan muda yg tidak pernah diperintah.
Ryo mengulurkan tangan. "Ayo turun, Bi," katanya manis.
"Nggak." "Ayo turun, Sayang."
Bianca mendelik mendengar kata terakhir Ryo, lalu mendesah. "Ini Steve Madden, Yo..." Ia
menuding sepatunya. Ryo memutar bola mata. "Bi. Lo kan bisa langsung beli yg baru begitu pulang dari sini. Atau
nanti gue yg beliin deh."
Gadis itu mencibir. "Beneran?" tanyanya, yg dijawab Ryo dengan mengangkat sebelah alis.
Bianca menganggap itu sebagai "ya", jadi dia menyambut uluran tangan Ryo, berdiri dan...
"Aku nggak mau lompat. Jeep ini ketinggian." Bianca duduk lagi, lalu memainkan jemari Ryo yg
masih berada dalam genggamannya.
Pemuda itu mendesah tak kentara sambil membatin putus asa betapa berat derita nestapa yg
harus ditanggungnya, seolah ingin mengirim telepati kepada Shilla. Ryo jadi ingat tadi Bianca
naik ke mobil dengan dibantu keempat temannya, seakan dia putri kerajaan antah-berantah yg
mau menaiki kereta kuda. Ryo mendekati Bianca dan berbisik, "Bianca, Sayang, turun atau gue tarik biar lo jatoh dan baju
lo belepotan tanah," kata Ryo semanis mungkin, tidak menyadari ancaman halusnya bisa


Love Command 2 The Second Chance Karya Janice Nathania di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membuat Bianca curiga. Gadis itu memang sempat terdiam sejenak, lalu tersenyum. "Kamu bercanda, kan?" Yg cuma
dijawab tawa masam Ryo. "Oke, oke..." Bianca melepas tangan Ryo, lalu memutar tubuhnya
menghadap pintu. Ia mengangkat dagunya tinggi2 lalu menjulurkan kedua kakinya keluar.
Syyyuuuut... ia meluncur mulus dari jok kulit licin itu hingga menjejak tanah. Sempurna. Tak
kurang suatu apa. Tak perlu melompat segala.
Ryo mengangkat alis lalu membiarkan Bianca menggamitnya dan terus berceloteh menjelekjelekkan Shilla. Ryo tertawa dalam hati. Bianca, Bianca... kalau kata tokoh di salah satu novel
Dewi Lestari sih, selamat datang di jebakan Batman!
Ryo mengajak Bianca naik ke atap gedung tersebut. Bagian atapnya berupa balkon terbuka
dengan dinding2 setinggi kepala. Untuk naik ke sini, mereka harus menggunakan lift jelek yg
terus berderit mengerikan setiap kali bergerak, lalu menaiki tangga kecil dan memasuki pintu
besi. Bianca tampaknya terlalu memikirkan keamanan lift yg mereka gunakan hingga tidak
curiga. Gadis itu berjalan mendahului Ryo. Merasakan angin menerpa dan memperhatikan sayap senja
yg mulai menghapus guratan matahari. Ryo membawanya hanya untuk melihat ini" Bagus sih,
tapi biasa banget. Malah terkesan kampungan.
"Kita ngapain ke sini sih, Yo?" tanyanya. Ryo ini kalau mau ngajak kencan ke tempat yg elite
dikit kenapa" Ngapain jauh2 ke sini" Gaya pacaran zaman kapan nih" Bianca mencibir lalu
berkata pada pemuda yg berdiri di belakangnya, "Kamu mau ngajak aku kencan" Kenapa nggak
bilang sih, Yo?" Ia berbalik lalu menikmati tatapan tajam Ryo yg terkesan berbahaya. "Kamu
biasanya sama cewek itu ke sini ya" Iiih. Nggak banget deh. Nggak heran sih... Pasti cewek itu
yg ngajak kamu ke sini. Cocok sih sama dia. Sama2 kumuh." Bianca tertawa, lalu terdiam. Ia
mundur teratur. Tatapan Ryo kini tampak lebih mematikan. Matilah. Salah ngomong kayaknya
gue, pikir Bianca. Pikiran soal mutilasi kembali melayang di benaknya. Kalau mau teriak di sini kayaknya juga
percuma deh. Paling cuma angin dan debu yg bakal menyahuti. Bianca kini terpojok di salah satu
dinding. Keringat dingin membanjiri wajahnya karna Ryo benar2 tampak mengerikan. Ditambah
salah satu hak sepatunya patah waktu dia berjalan mundur dan tersandung.
Ryo mendekat lalu berhenti beberapa senti di hadapan Bianca, bersedekap dan mengintimidasi
dengan tatapannya. "Lo itu ya," katanya, berdecak. "Setan kecil yg nggak bisa liat hidup orang
bahagia..." Bianca tertawa takut2. "Apa maksud kamu, Yo?"
"Gue tau lo yg nyebar artikel sampah itu, Bianca."
"Trus kalo iya" Kamu mau apa?" tantang gadis itu.
Ryo mendengus. "Udah kejepit masih nantangin aja lagi lo. Di sini gue yg punya kuasa. Dan gue
mau kasih lo pelajaran."
"Apaan sih Yo" Masalah cewek itu" Katanya kamu udah nggak peduli" Lagian berita itu nggak
ngaruh kan buat kamu" Kamu nggak dirugiin, kan" Kamu kan korban..." Bianca mengerling.
"Lagian kan di sini cuma kita berdua, ngapain sih mikirin sampah itu?"
Ryo melancarkan tatapan membunuhnya. "Shilla seribu kali jauh lebih berharga daripada lo!"
bentaknya, membuat Bianca kian mengerut. "Elo," tudingnya. "Jangan sampe gue denger lo
ngeganggu Shilla lagi."
"Kalo aku nggak mau" Kamu dipelet pake apa sih sama dia?" kata Bianca tertahan.
Ryo mendesis geram. Cewek ini benar2 nggak punya muka atau apa" Terpaksa dia
menggunakan ancaman terakhirnya. Ia merogoh bagian dalam blazernya. Mengeluarkan sebuah
pisau buah yg ujungnya berkilat mengerikan.
Tuh, kan! Bianca membatin. Gue bakal dimutilasi! Ya Tuhan, Bianca tidak ingin mati dengan
cara begini. Ryo berjakan mendekati Bianca. Berpura-pura mendekatkan pisau ke leher gadis itu. Ia berhenti
beberapa senti di depan Bianca, lalu mengeluarkan benda lain dari blazernya. Sepotong mangga
ranum. "Lo tau kan gue nggak pernah main2?"
Bianca terperanjat. Apa sebelum dibunuh dia akan disuruh makan mangga dulu"
Ryo menatap mangga di tangannya, lalu memandang Bianca yg terperangah. "Kita anggep ini
lo," kata Ryo sambil mengacungkan mangga. "Kalo elo... gangguin gue sama Shilla lagi..." Ryo
menggantung kalimatnya lalu mulai menguliti mangga itu dengan kasar. Karna memang tidak
becus menggunakan pisau, terkadang ada daging buah yg ikut terpotong bersama irisan kulitnya.
Bianca bergidik ketika mendengar Ryo berkata, "Ck... lo tau nggak" Gue nggak pernah jago
ngupas buah nih. Ngupas mangga aja nggak bisa, apalagi ngulitin orang. Bisa2 daging lo ikut
kepotong kayak gini nih."
Ryo masih berkutat dengan mangganya. Kini di tangannya hanya ada seonggok daging mangga.
Ia mulai memotongnya dari atas tanpa perasaan. "Ini kepala lo, badan lo, kaki lo..." hingga yg
tertinggal bijinya. "Dan kalo lo masih coba2..." Ryo menatap Bianca lagi lalu tanpa ampun
menancapkan pisau ke tengah biji mangga itu. Ryo menghamphri Bianca sambil mengacungkan
pisau. Ia mencabut biji mangga itu dengan dramatis, lalu membuang dan menginjaknya hingga
pipih. "Itu jantung lo, ngerti"!"
Bianca sudah tidak bisa bergerak saat Ryo dengan sengaja mengelap tangannya yg berbau
mangga ke ujung lengan seragam gadis itu. Bianca membeku ketakutan.
"Jangan bergerak sebelum ada yg jemput lo," ancam Ryo. Ia beranjak pergi lalu berbalik lagi dan
melambai-lambaikan pisau di hadapan Bianca, lalu melemparkannya ke dekat kaki gadis itu.
Ryo bergerak cepat, meninggalkan balkon lalu menaiki lift menuju lantai dasar. Dia menepuk
pundak seseorang berseragam hitam yg ditemuinya. "Pak Bono, lima menit lagi ke atap. Bapak
bakal nemuin cewek di situ. Dia orang gila. Nanti anterin sampe jalan depan aja, oke?" kata Ryo
cepat. Pak Bono hanya bisa menuruti titah aneh Ryo. Ngapain ya majikannya bawa2 orang gila ke
gedung yg mau direnovasi perusahaan keluarganya sendir, terus ditinggal" Orang kaya memang
aneh. Patra sedang mengendarai mobilnya dengan santai, tepat saat panggilan alam menyerangnya. Ia
mengetukkan-ngetukkan jari ke dasbor, lalu memutuskan mencari toilet umum terdekat.
Rumahnya masih sangat jauh, karna dia masih di daerah Tangerang.
Ia menepikan mobil saat menemukan plang yg dicarinya, lalu turun dan menuntaskan panggilan
alamnya. Setelah selesai, pemuda itu berjalan santai kembali menuju mobil. Tepat saat ia
melewati pohon beringin, ia mendengar isakan.
Deg. Kayaknya ini bukan malam jumat deh. Kenapa ada suara mistis macam itu" Patra berusaha
mengusir rasa takutnya, karna ia menangkap sesosok tubuh mungil sedang meringkuk dan
membenamkan wajah sambil terisak. Anehnya, sepertinya ia mengenali pakaian yg dikenakan
sosok itu. Seragam Season High. Seragam sekolah kenalannya.
Patra berjalan mendekati tubuh mungil itu. "Hei."
Sosok mungil itu kini mengangkat kepala. Rambutnya awut-awutan, mukanya kusut, dan
matanya sembap. Tak lama kemudian gadis itu menyeka ingusnya dengan punggung lengan
seragam yg berwarna kekuningan.
Patra tahu siapa gadis ini. Meskipun berantakan, ia bisa menangkap seraut wajah manis yg
dikenalinya sebagai penggandeng rivalnya dulu. Shilla pernah menyebut-nyebut namanya.
Hmm... Bianca bukan, ya"
"Bianca?" Gadis itu mendelik, lalu terisak pelan. "Apa"!" ujarnya galak. "Kok lo tau gue Bianca"! Gue
masih bisa dikenalin, ya"! Puas lo liat gue jelek"! Puas lo liat gue nggak tau di mana gue
sekarang"! Puas gue hampir dimutilasi Ryo"!" Bianca mencak2.
Patra tertawa kecil lalu berjongkok di hadapan Bianca. Ia baru memperhatikan keadaannya yg
benar2 kacau. Bahkan sepatunya cuma sebelah.
"Kenapa sepatu lo cuma satu?" tanyanya.
"Yg satu patah trus gue buang! Nggak suka" Lo tau nggak ini Steve Madden"!"
Patra tertawa lagi. "Rumah lo di mana?"
"Menurut lo"!" kata Bianca galak. "Ya jelas bukan di... di... di tempat terpencil kayak gini lah!"
Patra hanya mengangguk. "Mau gue anter pulang nggak?"
Bianca mendelik. "Lo nggak bakal mutilasi gue, kan"! Atau motong mangga di depan gue"! Gue
trauma sama mangga!"
Patra mengernyit. Tampaknya Bianca sedang terjangkit gangguan jiwa sementara. Tapi dia
manis juga, batinnya. Patra lalu mengulurkan tangan kepada Bianca. "Yuk," ajaknya.
Bianca mengernyit. Mendadak ia mengenali pemuda di hadapannya. "Bukannya lo temennya si
cewek kampungan itu?" Ia semakin histeris melihat pemuda itu mengernyit. "Lo temennya
Shilla, kan" Ya, kan"! Ngapain lo ngebaik-baikin gue"!"
Patra menggeleng-geleng. "Jadi nggak mau gue anter nih?"
Bianca membisu. Memandangi sepatunya yg hanya sebelah dan mobil Patra bergantian. Antara
gengsi dan terjebak di negeri antah-berantah. Akhirnya ia membiarkan Patra menggeretnya ke
mobil berjalan tersaruk-saruk.
Ryo mau segalanya tuntas setuntas-tuntasnya. Walaupun Shilla meronta-ronta minta dilepaskan,
Ryo tetap menggandeng gadis itu sampai ke podium aula besar, tempat semua warga Season
High berkumpul saat ini. "Gue nggak mau basa-basi. Lo semua tau gue dan tau siapa dia..." Ryo meraih mikrofon lalu
mengacungkan tangan Shilla yg berada dalam genggamannya. "Dia cewek gue dan memang
pelayan di rumah gue. Gue yakin lo semua udah baca artikel sampah itu. Dan gue cuma mau
negesin dua fakta dari sana. Kalo ada yg nggak percaya dan nggak terima soal klarifikasi gue,
tolong angkat tangan." Hening. Tidak ada yg bergerak atau bahkan bersuara. "Gue nggak mau
munafik. Shilla memang pelayan di rumah gue. Bener2 pelayan, nggak ada plus-plusnya. Ada yg
nggak terima dengan status dia?"
Sekali lagi semua diam. "Kalo sampe gue tau ada yg ganggu Shilla... baik secara verbal maupun non-verbal... orang itu
bakal berhadapan sama gue!" Ryo meninggalkan podium sambil menggeret Shilla, mengacuhkan
tatapan terperangah seisi aula.
Bisa ditebak, tak ada yg mengusik mereka lagi setelah itu.
"Semuanya lancar akhir2 ini," ucap Shilla pelan. Malam itu, ia dan Ryo sedang membenamkan
kaki ke kolam renang berukuran gigantis milik keluarga Luzardi beberapa hari setelah klarifikasi
heboh Ryo. "Karna aku," kata pemuda itu tak acuh.
"Iya deh," Shilla memutar bola mata. "Karna kamu," katanya. Shilla mulai merenungkan kembali
keadaan beberapa hari terakhir ini. Semua baik2 saja di sekolah. Meskipun Ifa sekarang sering
absen karna sibuk menjalankan tugas sebagai ketua OSIS, Devta masih menjadi temannya.
Begitu pula Zera yg sejak awal memang mau berteman tulus dengannya. Tak ada celaan maupun
kata2 bersayap yg mengejeknya. Sementara itu, beberapa orang di rumah tampak mulai
mengendus hubungan mereka, tapi tak ada yg berkomentar banyak.
Shilla mengambil cangkir teh Darjeeling yg terletak di antara dirinya dan Ryo, lalu
menyesapnya. Sementara Ryo terpekur memandang langit berbintang di atasnya. Setelah Shilla
meletakkan cangkirnya di sisi lain, Ryo menggapai tangannya tanpa mengalihkan pandangan
dari langit. Ryo memandang Shilla seolah mau menelannya bulat2. Shilla mengernyit. "Apaan
sih?" kata Shilla lalu menutupi wajah dengan tangannya yg diperban.
"Lagi mikir..." gumam Ryo lalu mengalihkan pandangan sementara tangannya masih
menghangatkan jemari Shilla.
"Mikir apa?" tanya Shilla.
Ryo menatap gadis itu lagi. "Kenapa aku slalu deg-degan kalo liat kamu" Kenapa aku selalu mau
ada di samping kamu" Padahal kamu itu bawel, galak, nyolot..."
Shilla mencibir. Terus saja mencelanya.
"Kata orang, ini cinta, ya?" ujar Ryo, lebih kepada dirinya sendiri. "Kenapa cinta itu selalu
dianalogikan dengan yg indah2" Bunga, bintang, hadiah" Gimana kalo nggak selamanya cinta
diandaikan dengan hal yg berkilau dan berharga?"
Shilla mengangkat alis. Tidak mengerti racauan pemuda itu.
"Kalau cinta itu hadir dengan bentuk berbeda untuk setiap orang, gimana kalo cinta yg
disediakan buat seseorang ternyata barang rongsokan?"
Shilla tidak mengerti. Tapi ia tahu yg dimaksud Ryo dengan barang rongsokan itu bukan dirinya.
"Ada nggak ya, orang yg cukup pantas untuk mengambilnya" Karna kayaknya bentuk itulah yg
dibuatkan Tuhan untuk Aryo Junio. Di sini..." Ryo menuding dadanya. "Sudah terlalu banyak
karat karna goresan keangkuhan dan ketidakpedulian. Pernah ada seseorang yg mengambil dan
memolesnya, tapi toh dia juga meninggalkannya lagi. Membiarkannya merasa berharga sejenak,
lalu menghilang." Ryo menatap Shilla penuh arti. "Setelah itu, ada tangan kecil yg meleburnya,
mencetaknya menjadi bentuk lain yg lebih berharga dan masih menggenggamnya sampai
sekarang. Membuat rongsokan itu lagi2 merasa berharga. Dan berharap terus merasa begitu."
Shilla hanya bisa tersenyum bingung. Apaan sih maksudnya"
Ryo melengos. "Aku ngomong panjang lebar, kamu ngerti nggak sih?"
Shilla menggeleng jujur, lalu tertawa geli. Ryo menghela napas. Gadis ini benar2 payah deh.
"Uh..." Ryo merapatkan dirinya pada tubuh Shilla lalu merangkulnya dengan paksa, padahal
Shilla meronta-ronta minta dilepaskan.
"Ryo, ah!" kata Shilla sambil mendorong Ryo menjauh.
"Sssst..." Ryo memaksa kepala Shilla untuk bersandar di bahunya. Karna lagi2 Shilla mengelak
Ryo mengancam. "Diem atau kucium nih..."
"Ck..." kata Shilla menyerah lalu menyandarkan kepalanya di bahu Ryo. Mengenyahkan sejenak
pikiran waswasnya soal orang2 lain di rumah. "Yo?" kata Shilla.
"Sssst... Diem kenapa sih" Biar kayak di film2."
Shilla memutar bola mata, lalu tersentak saat mendengar suara di belakang mereka.
"Den Ryo..." panggil Bi Okky.
Shilla langsung mendorong tubuh Ryo dan bergeser sejauh dua meter. Aduh, aduh. Shilla
menunduk dan menyusupkan beberapa helai rambut ke belakan telinga. Lalu melirik Bi Okky.
Namun Bi Okky ternyata cuma mengangkat alis dan berpura-pura tidak melihat adegan tadi. Ia
tidak mau mencampuri privasi tuan mudanya. Lagi pula, Shilla memang tidak punya jadwal
bekerja pada hari Minggu. Bi Okky menatap tuan mudanya yg terlihat jengkel. Bi Okky
membungkuk sekilas "Maaf, Den. Den Arya sudah pulang."
Bab 6 Rasa itu menjalari satu tempat yg tak dapat dibohongi. Saat dia kembali, ada yg terganti pada
hati, tempat yg tak pernah pasti. Dan perubahan itu tersembunyi, kecuali untuk dirinya sendiri.
"Arya pulang?" Dua kata itu meluncur otomatis dari bibir Ryo. Ia mengernyitkan dahi sambil
merutuk dalam hati. Mau pulang kok nggak bilang2.
Seakan menjawab pertanyaan Ryo, tiba2 sebuah suara berat menyapa dari belakang Bi Okky.
"Halo." Dan Ryo betul2 terpana menyaksikan sosok jangkung yg menghampirinya, lelaki dengan tubuh
makin berisi dan kacamata tanpa bingkai itu... kakaknya"
Bi Okky undur diri tanpa suara. Sementara itu sambil tersenyum Arya memperhatikan adik
semata wayangnya yg masih tercengang. Matanya lalu menangkap sosok lain di sana, yg juga
sedang duduk sambil membenamkan kaki ke kolam.
Shilla banyak berubah sejak terakhir kali ia menjumpainya di bandara. Rambut gadis itu semakin
panjang dan wajahnya pun terlihat lebih dewasa. Yg Arya tidak ketahui, gadis itu baru saja
merasakan indra pendengaran dan sekujur tubuhnya bergetar karna suaranya.
Arya tersenyum singkat. Ngapain dua orang ini malam2 di pinggir kolam" Entah kenapa, karna
sebuah dorongan kuat, Arya menghampiri Shilla yg masih menatapnya lekat2, lalu mengulurkan
tangan untuk membantu gadis itu berdiri. Ia tak sadar Ryo melotot melihat perlakuannya pada
Shilla. Ia pun melihat guratan aneh yg dirasanya pernah tampak di mata gadis itu. Arya
tersenyum saat Shilla menyambut bantuannya. Yg ia tidak tahu, Shilla menikmati kehangatan yg
menyusup ke jemari saat tangannya menggenggam tangan gadis itu.
Ryo mengangkat kakinya dari air, berdiri sendiri karna tidak ada yg membantunya bangun.
Mengenaskan. Ia memperhatikan wajah Arya dan Shilla bergantian, dan tangan mereka yg masih
bertautan. Ryo mengeluh dalam hati lalu berdeham keras.
Arya tersenyum lalu melepaskan tangan Shilla." Gue cuma mau bilang halo," kata Arya seakan
memberikan penjelasan pada Ryo. "Gue ke atas dulu. Nice to see you again, Shilla," katanya lalu
tersenyum lagi dan beranjak.
Ryo mencibir lalu baru sadar Shilla masih terbengong-bengong melihat kepergian Arya. Ia
berusaha mengusir kecemasan mendadak yg melandanya. "Heh. Bengong aja," katanya sambil
menjawil lengan gadis itu.
Shilla sedikit terperanjat lalu buru2 mengubah ekspresinya. "Dih... siapa yg bengong. Orang
lagi... lagi ngantuk," bantahnya, lalu menjulurkan lidah.
Ryo mengangkat alis. "Ngantuk" Beneran" Bukan karna syok Arya pulang?"
Shilla mengernyit. "Apaan sih" Kamu maunya aku syok" Cemburu?" sindirnya.
Ryo menggigit bibir, lalu terlintas ide iseng di benaknya. "Beneran ngantuk?"
Shilla menoleh ke arah Ryo. "Iya, bawel."
"Mau tau gimana caranya biar nggak ngantuk?"
"Gimana?" "Tutup mata." "Apa?" "Tutup mata," perintah Ryo lagi.
"Ck," decak Shilla lalu menutup matanya. Ryo ternyata menggandengnya berbalik ke arah kolam
renang. Shilla membuka mata. "Nggak ada acara cebur-ceburan, ya!"
"Tutup mata." "Ck," kata Shilla lagi.
Ryo mendekatkan wajahnya ke wajah Shilla lalu mendaratkan kecupan kilat di pipi gadis itu.
"Tuh, obat ngantuknya."
"RYOOOOO! Centil ih!" Shilla membelalak lalu memukuli lengan Ryo dengan barbar.
Ryo menjauhkan diri dari pukulan Shilla sambil tertawa-tawa. "Tuh kan, nggak ngantuk lagi."
Shilla mengusap-ngusap pipinya. "Dasar," katanya sambil manyun.
Ryo merentangkan tangan. "Huaaah. Ke atas dulu ah. Mau ikut nggak?"
Shilla berpikir sejenak. Merasakan pergolakan batin di hatinya, lalu memutuskan menolak ajakan
Ryo. "Nggak deh. Aku mau tidur aja. Ngantuk," ujarnya, menafikan hatinya yg meronta minta
bertemu sosok lain itu lagi.
Ryo mengerutkan alis saat Shilla malah berjalan mendahuluinya. Ada apa sih dengan gadis itu"
Ryo memasuki kamar Arya tanpa permisi. Ia menyapukan pandangan lalu mendapati sosok
kakaknya sedang duduk di sofa ruang tamu kamar, menekuni MacBook-nya.
"Kapan lo nyampe di Jakarta?" tanya Ryo.
Arya mendongak, memperbaiki letak kacamatanya yg sedikit melorot, lalu mengernyit. "Begitu
sapaan buat kakak yg udah nggak lo temuin berbulan-bulan" Yg di bawah tadi nggak gue itung
sapaan. Pelototan nggak pernah masuk itungan greeting."
Ryo memutar bola mata. "Penting, ya?" Ia menutup pintu lalu berjalan menuju sofa yg diduduki
Arya. Arya cuma mengangkat sebelah alis lalu memperhatikan MacBook-nya lagi.
"Tutup dulu kenapa sih MacBook-nya" Nggak mau berbasa-basi ria sama adik lo tersayang ini?"


Love Command 2 The Second Chance Karya Janice Nathania di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Arya hanya melengos lalu menatap Ryo. "Penting, ya?"
Ryo mengempaskan tubuhnya di samping Arya lalu merentangkan tangannya di kepala sofa.
"Kapan lo nyampe?" tanyanya lagi.
"Sebenernya tadi sore, tapi gue mampir ke kantor dulu."
"Ooh..." ucap Ryo. "Dalam rangka apa lo balik?"
"Nggak dalam rangka apa2, gue mau balik aja. Ada masalah?" tanya Arya, memandang Ryo
sekilas. Ryo manyun. Masalahnya, lo menimbulkan percik2 cinta di hati Shilla lagi, kuya, batin Ryo,
mengingat kilat aneh di mata gadis itu.
"Lo balik buat seterusnya?" tukas Ryo penuh hasrat mengusir.
"Gue stay di sini sampe... sampe gue nggak betah di Jakarta kali."
Maksudnya" Sampai Arya nggak betah" Tunggu...
"Bukannya Papa nyuruh lo menetap di Paris?" tuntut Ryo. "Lo kabur, ya?"
Arya menatap Ryo kesal. "Kata Papa gue udah cukup tergembleng di Paris, gue juga cuti kuliah
dulu. Jadi, gue mutusin pulang. Eneg ngeliat baguette tiap sarapan. Gue udah kangen Jakarta.
Papa-Mama juga mau nyusul bentar lagi. Trus, Mama juga nyuruh gue... ngawasin elo," Arya
menyeringai. Ryo mendelik. "Hah" Ngawasin gue" Gue bukan anak kecil lagi kali," katanya jengah.
Arya mengangguk-ngangguk. "Gue tau kok lo bukan anak kecil lagi," ujarnya sambil mengulum
senyum geli. "Ngapain senyum2?" tuntut Ryo.
Arya menatap Ryo penuh arti. "Lo ngapain tadi berduaan sama Shilla di kolam renang" Lagi
pacaran?" Ryo melotot hingga langsung ditanggapi dengan semburan tawa oleh Arya.
"Yo, Yo... YM-an sama gue ada gunanya juga?"
Ryo memasang tampang kecut. "Apa sih?"
"Nggak heran sih. Kal
o diliat-liat, Shilla tambah cantik, ya?" Arya memainkan kedua alisnya
iseng sambil menutup MacBook-nya.
"Maksud lo" Dia itu punya gue, tau," ujar Ryo. Lagi2 Arya tertawa menanggapi gelagat
kecemburuan Ryo yg terlihat kekanakan.
Pemuda berkacamata itu berdiri, merentangkan tangannya lebar2, lalu menoleh ke arah Ryo.
"Kalo gitu, kita langsung jalan aja, yuk."
"Apa" Ke mana?"
"Nggak usah belagak lupa deh. Lo kan udah janji lari keliling Bunderan HI tengah malem kalo
jadian sama Shilla."
Kegelisahan itu menghantui dan mengendap dalam hati. Rasa sayang yg terlalu besar kini
berubah menjadi takut kehilangan.
Sejujurnya, kepulangan Arya membuahkan dua perkara dalam benak Ryo. Kegalauan yg muncul
setelah ia berpikir cukup jauh. Lega dan cemas. Lega karna ternyata ia kangen pada sosok
kakaknya yg terkadang kelewat perhatian itu. Juga cemas, kalau2 kepulangan Arya akan
membuat perasaan di hati Shilla bersemi lagi. Tidak mudah melupakan waktu2 sulit gadis itu
setelah kepergian Arya dulu. Ryo juga tak pernah tahu dan tak pernah sampai sejauh itu berpikir
soal sedalam apa benih perasaan Shilla untuk Arya terpendam.
Benarkah benih itu sudah hilang tersapu angin" Atau hanya mengendap di tanah dan tertimpa
akar2 lain" Kalau yg kedua itu benar, bagaimana kalau kepulangan Arya memupuki benih itu
dengan air dan sinar matahari yg cukup hingga benih itu kembali bertunas dan menyulur liar
menerobos hal lain yg selama ini menutupinya"
Ryo takkan pernah tahu dan karna itu kini otaknya masih sibuk berpikir. Terlintas dalam
benaknya kilasan pembicaraan Arya tadi sepulangnya mereka dari Bundaran HI (mereka
melaksanakan hukuman Ryo tanpa Shilla, karna berasumsi gadis itu sudah tidur seperti yg tadi
dikatakannya pada Ryo). Ryo meneguk air dalam botolnya dengan rakus. Lari malam2, selain berpotensi dikira orang
sakit jiwa, ternyata juga menimbulkan efek kelekahan dan rasa haus luar biasa seperti yg kini
dirasakannya. Belum lagi embusan angin malam yg bukannya menyejukkan malah membuat
seluruh tulangnya ngilu. Sepertinya olahraga memang paling sehat dilakukan pagi2.
Sambil memandang jalanan lengang di hadapannya sambil serius menyetir, Arya bergumam
pelan, "Shilla... akhirnya bikin lo jatuh juga, ya..."
Ryo menurunkan botol airnya dan memandang Arya penuh tanda tanya.
"Ramalan gue bener kan," kata Arya lagi.
"Kenapa dari dulu lo udah bisa ngira gitu?"
Arya menatap Ryo serius. "Karna sejak pertama gue ketemu dia, gue liat sesuatu dalam
matanya," Arya tersenyum singkat. "Dia... istimiwa."
Ryo semakin frustasi menyadari ucapan Arya. Istimewa dalam hal apa maksudnya" Seumurumur, Ryo belum pernah melihat Arya bercerita -apalagi mengistimewakan- seorang gadis.
Paling2 waktu masih SMP (Arya sudah SMA kala itu), ia pernah mendengar Arya dekat dengan
beberapa gadis. Cuma dekat, katanya.
Beberapa gadis pernah mengunjungi rumah mereka. Ryo suka mengintip dan tahu Arya
menyambut baik kedatangan gadis2 itu. Gadis2 yg memandang kakaknya dengan tatapan penuh
pemujaan. Tapi tampaknya mereka semua kelewat lelah karna pada dasarnya Arya bersikap
manis kepada semua orang, bukan hanya kaum hawa.
Ryo menyusuri lorong kamar pelayan. Ia baru tiba beberapa menit yg lalu dan memutuskan
mencari penyejuk hatinya. Shilla. Perlahan, ia membuka pintu kamar Shilla. Gadisnya sedang
tidur memunggungi pintu. Dia masih mengenakan seragam pelayan.
Dalam keremangan, Ryo berjalan mendekati gadis itu. Ia berdiri di depan Shilla yang tertidur,
tampak begitu manis, dan tersenyum. Penyejuk hatinya adalah Shilla dalam keadaan seperti ini,
sedang tidur. Karna kalau Shilla terjaga, repetan mulutnya kadang-kadang malah membuat Ryo
kesal sendiri. Ia menarik bangku di pojok lalu meletakkannya di depan Shilla. Ia duduk dan
memperhatikan Shilla, memperhatikan setiap jengkal wajah gadis itu, layaknya orang buta yang
baru melihat matahari terbit pertama kali. Mendadak pikiran-pikiran cemas itu kembali
berkecamuk di benaknya. Bagaimana kalau suatu saat nanti Shilla menyadari benih perasaan lain
itu tumbuh kembali" Ryo mendesah pelan. Ia berdiri lalu menarik selimut di bagian bawah ranjang hingga menutupi
tubuh Shilla. Ia membelai rambut Shilla dan menarikan telunjuknya di dahi, ujung hidung, dan
sudut bibir gadis itu. Gadisnya. Gadis yang ia perjuangkan mati-matian. Ryo berbisik, "Dia
sudah kembali, Shilla. Aku harap itu nggak akan mengubah apa-apa."
Ryo mengusap rambut Shilla lagi lalu kembali duduk dan memandangi gadis itu lama sekali.
Menyusupkan sedikit kedamaian dalam otaknya yang sedang riuh dengan cara ini ternyata
menyenangkan juga. Tak lama kemudian, Ryo memutuskan kembali ke kamarnya sendiri.
Namun saat ia menutup pintu, Shilla membuka mata dan ikut berdoa dalam hati, aku juga
berharap nggak akan ada yang berubah, Yo.
Shilla berusaha memejamkan matanya lagi. Berusaha membohongi dirinya sendiri soal
perubahan hatinya itu dalam mimpi. Berusaha mengenyahkan getar-getar lain yang bertalu
terlalu keras di jantungnya.
Bab 7 Shilla tak menyangka ketika kemungkinan masa lalu itu kembali disodorkan padanya, ia akan
kembali bimbang. Ia tidak seyakin ketika terakhir kali meminta jawaban dari Ryo pada malam
berhujan lalu. Sebenarnya mungkin yg terjadi tidak terlalu berarti, namun bagi Shilla, hal itu
cukup untuk membuat dadanya dipenuhi getaran2 aneh.
Seperti pagi pertama setelah Arya pulang. Shilla sedang menunggu Ryo di halaman depan seperti
biasa, di dekat Jaguar-nya yg sudah siap siaga, sementara si empunya masih belum tampak
batang hidungnya. Shilla hanya menghela napas sambil melirik jam di layar ponselnya, lalu
berdecak pelan karna ia bisa memprediksi mereka akan terlambat lagi hari ini.
Bisa2 merah semua absennya nanti. Awas aja Ryo, Shilla mengutuk Ryo dalam hati.
"Itu ponsel dari saya, ya?" tanya sebuah suara mengagetkan Shilla.
"Eh. Pa-pagi, Tuan," sapanya setelah menyadari pemilik suara itu adalah Arya.
Arya hanya tersenyum membalas sapaan Shilla, yg langsung sibuk mengalihkan pandangan. Ke
mana saja asal bukan pada Arya.
"Nunggu Ryo, ya?" tanya Arya lagi.
"Iya, Tuan," jawab Shilla sambil mengangguk cepat pada Arya sebelum kembali menunduk.
Hening. Tak ada yg berbicara hingga beberapa saat lamanya, sampai akhirnya Arya lagi yg
bersuara. "Gimana di sekolah?" tanyanya ramah. "Masih betah?"
Shilla mengernyit sedikit menyadari bahwa Arya tampaknya berusaha berbasa-basi dengannya
(dan entah kenapa itu malah menimbulkan lagi perasaan aneh di hatinya), namun akhirnya ia
menjawab juga. "Masih, Tuan."
Arya hanya mengangguk kecil, menahan tawa mendapati Shilla terkesan agak menarik diri
darinya. Pasti gara2 Ryo, pikirnya geli.
Lucu juga menyadari prediksinya ternyata benar. Sepasang manusia yg awalnya tampak tidak
kompatibel itu, sekarang malah berakhir bersama.
Sementara Shilla, mengetahui Arya kali ini berusaha menahan senyum saat memandangnya, mau
tak mau grogi juga. Karna bahkan dari ekor matanya, ia bisa menangkap betapa rupawan pemuda
yg sudah lama tak dilihatnya itu. Shilla menghela napas tanpa suara. Diam2 berharap Ryo segera
muncul dan menyelamatkannya dari situasi canggung tersebut.
Arya akhirnya tidak bisa menahan senyum memperhatikan raut muka Shilla yg terlihat makin
rumit saja. Ia menggeleng sejenak sebelum berkata, "Kamu sama Ry..."
"Eh-hmm." Arya dan Shilla sama-sama menoleh untuk mencari asal suara.
"Ngapain kalian deket2 gitu?" tanya Ryo sambil mengernyit tak suka.
Shilla tersenyum kaku pada Ryo. Lega karna doanya terkabul, tapi tetap canggung karna Arya
masih di dekatnya. Arya menahan tawa. "Gue cuma mau bilang sama Shilla kalo dia cantik hari ini," katanya,
sengaja menggoda Ryo. "Ya kan, Shil?"
"Eh?" Shilla hanya tersenyum bingung.
Ryo melotot. "Bercanda kali, Yo," kata Arya sambil tertawa geli "Tampang lo... Pffft..."
Ryo berdecak. "Tsk. Udah, sana, sana," usirnya, membuat isyarat dengan tangan. "Ganggu orang
pagi-pagi aja bisanya."
Tawa Arya meledak, sebelum akhirnya berhasil mengendalikan diri. "Ya udah, sana berangkat,"
katanya. "Hati-hati lo. Jangan ngebut melulu."
"Bawel," jawab Ryo sepintas sambil berlalu. "Ayo, Shil."
"Kalo Ryo ngebut, jewer aja Shil," kata Arya, tersenyum lagi saat ia membukakan pintu
penumpang dan menunggu Shilla duduk.
Shilla hanya mengangguk pelan.
"Hati-hati, ya," kata Arya, membungkuk sedikit untuk melongok ke dalam dan menepuk lengan
Shilla. Menyadari bahu Shilla menegang sesaat akibat perlakuan Arya, Ryo mengerutkan dahi sesaat
sebelum mengambil tindakan. "Buruan sana. Tutup pintunya. Gue mau jalan."
"Dah..." kata Arya pada akhirnya sambil menutup pintu penumpang.
Ia melambaikan tangan setelah mobil mulai melaju, meskipun sebenarnya tidak bisa melihat
apakah ada yg membalas lambaiannya.
Ryo melirik Shilla dari spion, memperhatikan gadis itu masih kelihatan terlalu diam bahkan
setelah mereka keluar dari gerbang. Rasanya aneh mengingat biasanya Shilla senang berkicau,
mengomentari apa saja yg bisa dikomentari, atau setidaknya memarahi Ryo karna mereka akan
terlambat lagi. Tapi entah kenapa, kali ini Ryo tidak berkata apa-apa.
Shilla mematung memandang pemuda di hadapannya. Ia merasa lututnya dan pegangannya di
baki tak stabil. Shilla belum melihat Arya lagi sejak pertemuan singkat mereka pagi kemarin,
pertemuan yg bahkan terlalu singkat untuk menyadari betapa berbeda pemuda itu sekarang. Sore
ini, ketika Bi Okky menyuruhnya mengantarkan baki berisi es batu dan kompres ke kamar Arya,
barulah Shilla memperhatikan penampilan tuannya.
Arya sedang duduk di sofa ruang tamu kamarnya dalam balutan polo shirt dan celana training
hitam yg terkesan santai. Ia terlihat sama menawannya seperti ketika sedang berpakaian rapi.
Kacamata tanpa bingkai yg bertengger di hidungnya tidak menimbulkan kesan nerdy, malah
membuatnya makin tampak dewasa.
Tapi yg membuat Shilla terkejut adalah memar keunguan di tulang pipi dan di bawah mata teduh
pemuda itu. Arya sedang meringis memegangi wajahnya saat mendengar suara lirih yg cukup akrab di
telinganya. "Permisi, Tuan."
Arya menoleh ke asal suara itu, tidak menyangka orang yg ia persilakan masuk tadi adalah
Shilla. "Hai." sapanya.
Gadis itu mengangguk lalu meletakkan baki yg dibawanya ke meja di hadapan Arya. Karna
jantungnya berdegup tak keruan dan tangannya gemetar, baki yg ditaruhnya sdikit terbanting,
menimbulkan pekik nyaring dan menyebabkan beberapa es batu di dalamnya berloncatan.
Arya tertawa renyah lalu meringis sedikit sambil menyentuh tulang pipinya. Shilla makin
terkesima, mendapati pahatan wajah malaikat baik hati itu di depannya dan ah, senyum yg diam2
dirindukannya, yg tidak bisa dengan gamblang dinikmatinya kemarin pagi.
Tiba2 tubuhnya terasa panas-dingin, mendapati perasaan bersalah yg bergelut di hatinya. Ia pacar
Ryo dan tidak seharusnya berdebar-debar karna pemuda lain. Shilla mendesah pelan.
"Sa-saya cuma mau anter ini, Tuan. Permisi," kata Shilla lalu berbalik, berniat segera hengkang
dari situ dan menampari diri sendiri supaya segera menyadari statusnya.
"Sebentar," panggil Arya.
Sebelum berbalik, Shilla menarik napas dalam2, seolah berniat mengumpulkan oksigen
sebanyak-banyaknya. Seakan kalau tidak begitu, fungsi otak dan kesadarannya akan dikacaukan
zat2 memikat yg ditimbulkan Arya.
Arya membuka kacamatanya, mengerjap-ngerjap sambil meringis. "Tolong sekalian obatin ini,"
pintanya sambil menunjuk wajahnya.
Karna Shilla menyadari ia sedang diperintah majikan, bukannya sedang dirayu calon kakak ipar
yg membuat jantungnya berdebar tak keruan, perlahan ia pun duduk di dekat Arya. Benaknya
sibuk merapal kalimat yg mengingatkan statusnya sebagai pacar Ryo.
Arya kini duduk menghadap Shilla dan memajukan sisi kanan wajahnya yg memar. Shilla
bergidik dan tak tahan untuk bertanya, "Tuan habis berantem?"
Sebenarnya Arya ingin tertawa, namun kemudian teringat semakin ia memainkan air mukanya,
(seperti saat tertawa tadi) maka tulang pipinya akan makin berdenyut menyakitkan. Jadi, Arya
cuma meringis lalu memejamkan sebelah mata, membiarkan Shilla mengompres memar di
bawah matanya. Arya berkata pelan, "Menurut kamu, saya ini tipe orang yg suka bertengkar sampai tonjoktonjokan?"
Shilla tertawa kecil sambil memasukkan kompres ke baskom es. "Nggak sih... yg lebih mirip
preman galak itu kan Ry... eh, Tuan Ryo."
"Nggak usah canggung gitu. Saya tahu kok ada apa antara kalian."
Shilla merasakan pipinya bersemu. Ia memeras kompres di tangannya sambil terus mengulangi
kalimat yg sama dalam hati sementara hatinya terus bergetar melihat Arya. "Ooh," katanya
pelan. Shilla mulai mengompres bagian bawah mata Arya. Agar pekerjaannya menjadi lebih mudah,
tanpa sadar ia menaruh telunjuk tangannya yg lain di dagu Arya dan menarik majikannya itu
mendekat. Shilla bisa merasakan embusan napas Arya di tangannya, lalu menyadari rapalannya buyar. Arya
yg masih memejamkam mata tentu tidak tahu Shilla sedang membasuh memarnya sambil
menikmati setiap jengkal wajah pemuda itu, yg membuatnya terdiam dalam penyangkalan
tentang statusnya. "Kamu sama Ryo. Lucu, ya. Nggak nyangka kalian bisa bersama. Kenapa kalian bisa deket?"
tanya Arya, melontarkan hal yg sebenarnya ingin ia singgung sejak kemarin pagi.
Shilla hanya menjawab dalam hati. Karna kesepian, karna kepergian Tuan, karna perasaan saya
yg nggak akan pernah tersampaikan pada Tuan. Tanpa Shilla sadari, jawaban hatinya seakan
menggenapi bahwa perasaanya pada Ryo hanyalah pelampiasan, walau mungkin sesungguhnya
bukan begitu. "Kamu betul-betul sayang sama Ryo?" tanya Arya lagi.
Shilla menjawab pelan, "Ya." Suaranya bergetar. Tangannya masih menyentuh wajah Arya yg
terasa indah dan semakin tidak nyata.
"Ryo itu jarang membuka hati lho. Kamu... jangan ngecewain dia ya," kata Arya, membuat
Shilla makin gelisah. Shilla memekik dalam hati. Tolong bantu saya untuk tidak mengecewakan Ryo, Tuan. Tolong
jawab kenapa rasanya jantung saya berlompatan karna Tuan"
Arya mengalihkan pembicaraan. "Memar ini... kemarin kacamata saya jatuh waktu naik tangga.
Saya mau ambil, malah kesandung sampai bagian kanan ini kebentur ujung tangga. Kemarin
malam sakitnya nggak seberapa, jadi saya diemin aja. Ternyata tadi siang malah jadi biru, terus
sekarang ungu jelek begini."
Shilla berkata pelan, "Tuan tetap tampan kok."
"Oh, ya?" Arya membuka mata karna Shilla sudah menurunkan tangan. Tampaknya dia sudah
selesai mengompres bagian itu.
Shilla mengangkat tangannya lagi untuk membasuh tulang pipi Arya, tepat saat tangan pemuda
itu menyambar tangannya hingga terhenti di udara. Entah untuk apa.
Shilla baru menyadari kini wajah Arya kian dekat dengan wajahnya. Genggaman dan embusan
napas Arya membuat jantungnya berdebar tak keruan. Kedua mata teduh di hadapannya sungguh
berbeda dengan mata Ryo yang selalu tampak menusuk. Mata Arya menenangkan. Terlalu
menenangkan dan membuatnya tenggelam, ikut terseret ke kedalaman yang memabukkan. Sesaat
Shilla seperti terbawa ke alam yang tidak nyata. Ia mengangkat tangannya yang lain, hendak
merengkuh wajah tampan itu, yang takkan pernah dimilikinya.
Pintu mendadak terbukam. "Kak, gue mau pin..." Ryo menghentikan ucapannya. Sekonyong-konyong ia melupakan niat
awal untuk meminjam buku grammar milik Arya. Ia terpana melihat mimpi buruknya menjelma
jadi kenyataan. Wajah Shilla dan Arya mereka hanya berjarak beberapa senti. Tangan Arya
sedang menahan satu tangan Shilla, sementara tangan gadisnya sendiri sedang melayang di dekat
pipi Arya. Sekarang Ryo tahu apa arti kilat aneh di mata Shilla kemarin. Shilla sudah menemukan
mataharinya yang dulu. Bab 8 Jakarta, 1955 Rintik awal musim penghujan pada bulan Oktober sore itu bertahan lama. Menyapa sisa2 terik
keemasan yg sebelumnya berkuasa, mendepak jauh2 angin kering angin timur laut dan


Love Command 2 The Second Chance Karya Janice Nathania di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menggantinya dengan embusan basah angin barat daya.
Dua pemuda duduk di kedai kopi tua pinggir jalan. Mereka menghayati dendang hujan dalam
keheningan seraya mereguk segelas kopi untuk menghangatkan diri.
Salah seorang pemuda berkemeja flanel cokelat tua mengambil pisang goreng yg tersedia di
meja, lalu memasukkan potongan itu ke mulut. Ia melirik teman karibnya -pemuda lain
berkemeja katun merah marun- yg kelihatan sedang bermuram durja, lalu menghela napas.
Tatapan teman di sebelahnya tak pernah sekosong itu. Seakan di sedang menanggung cobaan
seisi dunia. "Masih memikirkan masalah itu, ya?"
Pemuda dengan kemeja marun itu menoleh sekilas, lalu mengangguk samar. Ia mengalihkan
tatapan ke jejeran stoples warna-warni di depannya, lalu mendesah panjang. "Bagaimana tidak"
Aku tidak menyangka Ayah punya utang sebesar itu. Utang yg mencekiknya hingga ke
kematian," ia bergidik. "Habislah usaha ekspedisi itu. Habislah aku..." Lalu sambil menyesap
kopinya, ia mengulangi ucapannya lagi, seperti kaset rusak. "Habislah aku, Dava."
Davara memperhatikan sobat karibnya sekilas. Ia tahu benar mengapa Luzardi begitu putus asa.
Ayah Luzardi baru saja meninggal. Entah karna apa. Mungkin karna pikiran berat yg
menggelayutinya. Keluarga Luzardi adalah salah satu perintis usaha ekspedisi -pengiriman barang- di Jakarta.
Kehidupan mereka selalu cukup walau tak melimpah. Karna setahu Davara, ayah Luzardi orang
baik, ia tidak percaya saat Luzardi bercerita bahwa ayahnya diisapi lintah darat hingga usaha
mereka bangkrut. Setelah kematian ayahnya, tinggallah Luzardi, yg baru berusia 22 tahun sebagai tulang punggung
keluarga. Dengan tiga saudara perempuan dan ibu yg harus dihidupi, serta dua orang pekerja yg sesuai kebijakan ayah Luzardi- harus disekolahkan dan tak mungkin dirumahkan begitu saja.
Davara menepuk pundak Luzardi. "Dewasalah. Semua masalah pasti ada jalan keluarnya.
Ayahmu juga merintis usaha dari nol, kan?"
"Maksudmu?" Luzardi mengerutkan kening.
"Belilah truk kecil dengan pembayaran berkala. Mulai usaha itu lagi. Kecil pun tak apa. Toh
nama ayahmu juga sudah dipercaya beberapa organisasi dan masyarakat di sini."
Luzardi meresapi kata2 Davara, terdiam sejenak. "Tapi aku tak punya..."
Davara tersenyum, mengerti benar maksud Luzardi. Ia merogoh saku belakang celananya,
mengeluarkan amplop cokelat yg dilipat sedemikian rupa hingga membentuk persegi panjang. Ia
meletakkan amplop itu di meja lalu mendorongnya ke arah Luzardi. "Pakailah."
Luzardi mendorong amplop itu kembali ke arah Davara. "Tidak. Ini tabunganmu."
Davara tersenyum. "Pakailah. Kamu lebih butuh. Aku toh masih bisa jadi benalu di rumah
bibiku." Luzardi menggeleng. "Tidak."
"Pakai uang itu, atau aku akan membuangnya ke tempat sampah," gertak Davara, menjejalkan
amplop itu ke tangan Luzardi.
Luzardi memandangi amplop di tangannya. "Ah. Terima kasih. Nanti pasti akan kukembalikan,
beserta bunganya," ucap pemuda itu.
Davara hanya tertawa. Ia berdiri lalu menepuk pundak Luzardi. "Pikirkan itu nanti saja. Intinya,
jangan temui aku sebelum kamu bisa menghasilkan rupiah pertamamu dari usaha itu. Aku pergi
dulu." Tak ada yg menyangka, ternyata itu pertemuan terakhir mereka.
Dua minggu berselang. Luzardi berlari kecil menembus gerimis, kakinya bergerak lincah mencari pijakan tanah yg tak
tergenang air kecokelatan. Walau berkonsentrasi sedemikian rupa, wajahnya tetap berseri-seri.
Ingatannya melayang pada perkembangan usaha ekspedisi kecilnya yg cukup signifikan.
Ternyata banyak yg mendukungnya. Bukan hanya Davara, yg dengan dananya membantu
Luzardi menutup hampir seperempat modal utama. Namun ada juga beberapa pengguna jasa
ayahnya yg membantu dengan meminjamkan tempat dan inventaris kantor dengan cicilan sangat
rendah. Pemuda yg tampak lunglai waktu itu kini kembali bersemangat. Karna rupiah pertama rudah
diterimanya secara bersih. Kini ia pergi untuk mengabarkan berita gembira itu pada sahabatnya.
Luzardi berjalan menyusuri gang tempat rumah bibi Davara berada. Pemuda itu memang
menumpang pada bibinya di Jakarta. Luzardi tersenyum ketika melihat wanita lebih dari paruh
baya dengan daster bunga2 sedang menyapu teras rumah mungil.
"Bi," sapanya. Wanita itu terkesiap sekenak lalu mendongak. "Nak Luzardi, ada apa?"
"Davara ke mana, Bi" Sedang pergi?"
Wanita itu mengangguk lalu memandang Luzardi penuh arti sekaligus keheranan. "Memangnya
kamu tidak tahu?" Luzardi menggeleng. Kemudian jawaban bibi Davara seakan menyambarnya seperti petir di
siang bolong. "Davara dimaki ibunya karna menghambiskan tabungan yg dikumpulkannya hampir setahun
entah untuk apa. Tabungan itu sebenarnya akan digunakan untuk biaya pengobatan ayahnya di
kampung. Ibunya menyuruh Davara merantau dan bekerja untuk temannya di Jawa. Bibi juga
tidak tahu tepatnya dimana."
Paris (GMT +2), 2013 Ketukan di pintu membuat wanita dengan blus merah tua yg duduk di ruang tamu flat mewahnya
berdiri. Ia membuka pintu, tersenyum pada pengurus rumah tangga apartemen yg ternyata
menanyakan apakah benar besok ia akan pulang.
"Ya. Kami akan pulang besok," katanya dalam bahasa Prancis.
Ia mengangguk sebentar saat pengurus rumah tangga itu berpamitan. "Merci beaucoup -terima
kasih banya," jawabnya, lalu kembali menutup pintu.
Sepeninggal sang pengurus rumah, wanita itu melangkah pelan menuju ruang kerja suaminya. Ia
membuka pintu, lalu melongok. Ia mendesah saat melihat suaminya tengah menatap langit
malam Paris dengan pandangan menerawang.
Wanita itu berdeham, berusaha menarik perhatian suaminya. Saat lelaki itu menoleh sekilas lalu
kembali membuang muka, akhirnya ia berkata, "We'll be heading back tomorrow dawn."
Lelaki itu berkata tak acuh, "Je sais -aku tahu."
Wanita dapat menangkap kepasrahan dalam suara suaminya. Mungkin ia tahu kenapa lelaki itu
selalu enggan untuk pulang. Karna di rumah yg sama itulah tempat berkumpulnya kenangan
pahit yg tak pernah berhenti membayangi mereka.
Ia memandang gurat2 tampan yg masih tersisa di wajah hampa suaminya. Bahkan setelah tahun2
terlewati, masih juga dilontarkannya pertanyaan ini dalam bahasa ibunya, "Kakak... sedang
memikirkan Ratya, ya?"
Diam, menghindar, dan bersikap munafik adalah jalan yg dipilihnya. Jalan yg menurutnya paling
baik untuk semua orang. Shilla memutuskan membuang jauh2 perasaannya. Ia menghindar dari
kedua kakak-beradik itu dan menjadi munafik dengan bertingkah sebagai pelayan biasa yg tak
punya kisah apa2 dengan majikannya.
Shilla tidak mau memikirkan Arya atau Ryo, atau siapa pun lagi. Ia tak mau menyakiti siapa2
lagi dengan sikapnya yg kelewat jahat. Shilla tahu ia egois, tapi menurutnya inilah jalan satusatunya. Ia sudah terseret ke berbagai permasalahan rumit karna hatinya sendiri. Kenapa pula
hatinya plinplan sekali"
Ia memilih mengalihkan perhatiannya dengan bekerja sekeras dan sebanyak mungkin. Tetapi ia
berpura-pura tuli kalau Bi Okky berteriak menyuruh salah seorang pelayan mengantarkan
Alengka Bersimbah Darah 1 Pendekar Rajawali Sakti 61 Memperebutkan Bunga Wijaya Kusuma Pedang Angin Berbisik 29
^